Lentera Kematian

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Lentera Kematian karya Suryadi
Serial Pendekar Mabuk
Lentera Kematian
Karya Suryadi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
KEGELAPAN malam bagaikan selubung kematian warna hitam. Sekalipun langit cerah berbintang tanpa rembulan, tapi tak sedikit pun bias sinar cerah ada yang menerangi jalanan di ujung jembatan bambu. Jembatan itulah yang menghubungkan Tanah Merah dengan Lembah Kabut.

Rindangnya dedaunan di sekitar Jembatan bambu itu yang membuat kadang sinar rembulan pun tak bisa menerobos masuk untuk menyinari jalanan penghubung itu. Sementara mereka yang akan melintas dari Tanah Merah ke Lembah Kabut tak punya pilihan lain kecuali melewati jalanan tersebut.

Karena di bawah jembatan bambu yang sering berderit reot jika terkena angin kencang itu adalah jurang yang amat dalam dan tak mungkin bisa dilalui orang. Tetapi sudah tiga malam ini di ujung jembatan nyala api lentera yang cukup menerangi keadaan sekitarnya. Memang tak bisa sampai ke seberang jembatan bias sinar lentera itu, tapi setidaknya bisa digunakan pemandu langkah sebelum memasuki jembatan bambu.

Seorang berpakaian putih bersama kedua temannya ingin menyeberangi jembatan tersebut. Meraka dari Lembah Kabut menuju Tanah Merah. Orang berpakaian putih itu berkata kepada kedua temannya.

"Ada lentera penerang jalan! Lumayan bisa kita bawa sampai ke ujung jembatan, lalu kita tinggalkan di ujung sana, biar orang dari sana nanti membawanya kembali dan meninggalkan di sini!"

"Ambillah! Memang sangat beruntung membawa lentera melintasi jembatan. Setidaknya kaki kita tidak salah langkah masuk ke jurang sedalam itu!"

Orang berpakaian putih itu mengambil lentera dan menentengnya sambil melangkah menyeberangi jembatan. Dua temannya mengikuti dari belakang. Langkah mereka sangat lancar karena penerangan itu. Sekalipun jembatan bergoyang-goyang tapi langkah mereka menapak dengan pasti. Dan ketika mereka sampai di seberang jembatan, lentera itu diletakkan pada sebuah batu, biar dipakai menyeberang oleh orang lain yang mau menuju ke Lembah Kabut.

Namun tiga langkah setelah itu, orang berbaju putih tiba-tiba jatuh, Brukk...! Ia mengerang sebentar. Temannya menolong, yang berbaju kuning mengangkat kepala orang yang jatuh, yang berbaju hijau menarik lengannya. Tetapi si baju putih tiba-tiba mengejang dan berkeringat sekujur tubuhnya. Kejap berikutnya si baju putih itu pun tersentak, napasnya tertahan. lalu menghembus lepas dan tak bergerak lagi.

"Wirya...! Wiiir....!" temannya yang berbaju kuning menepuk-nepuk pipi si baju putih itu. "Ya, ampuuun... dia mati, Kas!"

"Pasti ada orang yang menyerangnya dengan senjata rahasia!" kata Kasmo, yang berbaju hijau itu. "Coba periksa seluruh tubuhnya, Rantu!"

Segera yang berbaju kuning bernama Rantu itu, memeriksa bagian punggung Wirya. Ternyata tak ada luka seujung jarum pun. Juga di bagian sekitar tengkuk, leber, lengan, kaki, tak ada luka bekas tusukan atau goresan senjata rahasia.

Hanya saja, Kasmo dan Rantu menjadi heran melihat keringat Wirya begitu banyak dan berbau amis, seperti amisnya darah. "Apa dia kena sambet penunggu jembatan itu ya, Kas?"

"Kurasa... Uhg...! Uuhg...!" Kasmo mendelik, ingin mengucapkan sesuatu tak bisa. Tubuhnya kejang seketika, lalu ia rubuh dalam keadaan kaku. Matanya terbeliak, tubuhnya berkeringat, makin lama semakin banyak keringat yang mengucur dari tubuhnya. Kejap berikutnya, Kasmo pun menghembuskan napas terakhirnya.

"Kasmo...?!" pekik Rantu dengan panik dan ketakutan, ia memandangi kedua temannya yang tahu-tahu mati secara misterius itu. Ia segera bangkit dan melarikan diri dengan sekuat tenaga. Namun belum sempat tiga tindak ia melangkah, tiba-tiba tubuhnya pun terasa keras, kejang, dan ia rubuh ke tanah dalam keadaan menggelepar-gelepar sebentar. Badannya mengucurkan keringat. Setelah itu napasnya pun tak tertahankan lagi, lepas begitu saja untuk kemudian diam selama-lamanya.

Dalam waktu singkat, tiga orang telah menjadi korban. Padahal mereka adalah orang-orang Lembah Kabut. Orang-orang Lembah Kabut terkenal kuat dan ganas-ganas. Pada umumnya berilmu tinggi karena di Lembah Kabut itulah terletak benteng Perguruan Kobra Hitam. Perguruan ini sangat ditakuti di kalangan dunia persilatan, karena keganasan ilmu yang dimiliki oleh masing-masing murid perguruan tersebut.

Tapi agaknya kematian yang dialami oleh ketiga orang Lembah Kabut telah membuat seseorang terkikik geli dan kegirangan di balik kerimbunan semak belukar itu. Suara kikik tawa yang tertahan itu segera lenyap setelah terdengar langkah orang dari arah Tanah Merah.

Dua orang melangkah menuju Lembah Kabut, yang satu berpakaian hitam-hitam, yang satu mengenakan pakaian putih-putih seperti Wirya tadi. Mereka melangkah dengan gagahnya, karena di pinggang mereka terselip golok panjang yang siap cabut dan bacok sewaktu waktu ada musuh menyerang. Dua orang gagah berdada kekar itu segera tersentak kaget melihat ketiga mayat bergelimpangan di jalanan ujung jembatan bambu.

"Edan!" geram yang berpakaian putih. "Mereka mati di sini, Guntolo! Siapa yang menyerang mereka?!"

"Periksa sekeliling tempat ini, Cambang!" perintah yang berpakaian hitam-hitam.

"Kurasa pembunuhnya belum jauh dari sini!"

Cambang ganti memerintah Guntolo, "Ambil lentera itu, kita periksa bersama di sebelah timur itu!"

Dengan menenteng lentera mereka memeriksa kerimbunan hutan sebelah timur. Sebentar kemudian mereka memeriksa kerimbunan hutan yang di sebelah barat. "Tak ada manusia disini, Gun!"

"Coba kita periksa sampal di ujung jembatan sana!"

"Bukankah itu wilayah kita?"

"Barangkali orang itu sedang menyusup ke wilayah kita!"

Cambang dan Guntolo bergegas menyeberangi jembatan bambu. Langkah mereka tampak tergesa-gesa dengan mata memandang nanar.

Tiba-tiba Guntolo yang memegangi lentera itu tersentak, "Uhg,..!"

"Gun! Kenapa?!"

"Dadaku sakit!" lentera diletakkan oleh Guntolo di atas sebuah batu datar setinggi pinggangnya. Selesai meletakkan lentera tubuhnya limbung dan dipapah oleh Cambang.

"Gun, ada apa...?!" Cambang menjadi tegang dan mulai cemas.

Guntolo mengejang, kejot-kejot sebentar. Tubuhnya berkeringat deras. Amis baunya. Kemudian tubuh itu tersentak satu kali, untuk kemudian melemas mati.

"Gun...?! Guntolo...?!" Cambang mengguncang-guncang tubuh temannya itu. Namun beberapapa saat kemudian, ia sendiri mengalami nasib seperti Guntolo. Kejang, tak bisa bicara, mendelik, berkeringat banyak, dan bau amis, akhirnya menghembuskan napas terakhir dengan terkulai lemas.

Suara tawa mengikik dari dalam kerimbunan hutan itu terdengar lagi. Tapi tawa itu tertutup sesuatu, sepertinya tangan orang Itu sendiri yang menutup mulutnya. Lima korban jatuh sudah. Apa penyebabnya, tak jelas. Tapi sudah pasti ada saksi mata yang melihat kematian aneh itu. Apakah saksi tersebut juga tahu penyebab kematian aneh tersebut?

Esoknya, gemparlah seluruh Lembah Kabut membicarakan tentang kematian kelima orangnya. Peristiwa itu sungguh membuat dunia seakan menjadi heboh, karena kematian lima korban itu ternyata membawa korban lain. Setiap orang yang mengangkut korban tersebut beberapa saat kemudian mengalami nasib yang sama. Mengejang, kaku, mata melotot, dan keluarkan keringat amis, setelan itu mati.

Dalam waktu singkat sembilan korban mati dengan keadaan sama seperti kelima korban malam hari itu. Kesembilan korban itu segera ditolong, dirawat mayatnya, tapi toh tetap saja membawa korban baru sehingga jumlah keseluruhan sampai siang hari ada dua puluh tiga korban yang mati aneh. Kedua puluh tiga korban itu sama-sama keluarkan keringat berbau amis.

Perguruan Kobra Hitam ditimpa musibah misterius. Logayo, sebagai ketua perguruan tersebut segera keluarkan perintah, "Jangan sentuh lagi mayat-mayat korban!"

"Bagaimana kami mau memakamkan mereka Ketua?! Mengapa Ketua melarang kami menyentuh mayat-mayat saudara kami ini?!" Ekayana mengajukan pertanyaan yang bersifat menentang keputusan dan perintah sang ketua.

Dengan suara penuh kegusaran karena memendam murka, Logayo berseru kepada Ekayana, "Matamu buta! Mayat-mayat itu ternyata beracun, tahu?! Siapa yang menyentuhnya, akan tertular racun dan mengalami mati yang sama dengan mayat sebelumnya! Dan racun itu amat ganas. Tak memberi kesempatan bagi orang yang terkena untuk berobat ke mana pun juga! Kalau kau ingin mati seperti mereka, sentulah mayat mereka, Ekayana!"

"Beracun...?!" Ekayana menggumam, dahinya berkerut "Siapa yang mempunyai racun seganas itu?!"

"Ambil sebagian keringat mereka memakai alat, dan suruh Brajawisnu menyelidikinya. Racun jenis apa dan siapa pemiliknya!"

Ekayana adalah orang kedua setelah Logayo. Ia banyak bertugas sebagai penghubung antara Logayo dengan para anggota lainnya. Perguruan itu, bukan semata-mata tempat menimba ilmu dan menuntut kesaktian tinggi, melainkan juga sebuah perkumpulan orang-orang sesat yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kesenangan pribadi, atau keuntungan bersama.

Brajawisnu adalah pakar racun yang juga menjadi guru di situ. Jika para anggota atau murid Perguruan Kobra Hitam ingin belajar ilmu racun, Brajawisnu-lah gurunya. Jika mereka ingin memperdalam ilmu pedang, Ekayana-lah gurunya. Untuk setiap bagian mempunyai setiap guru sendiri-sendiri. Ekayana mempunyai julukan sebagai Malaikat Maha Pedang. Brajawisnu mempunyai julukan Iblis Maha Racun, dan sebagai ketua perkumpulan orang sesat, Logayo mempunyai julukan sendiri, yaitu Dewa Murka.

Itulah sebabnya orang-orang Tanah Merah heboh dan saling mengatakan, "Dewa Murka mengamuk! Dewa Murka marah besar karena musibah yang menimpa Benteng Kobra Hitam!"

Orang-orang Tanah Merah bukan orang-orang seganas kelompoknya Logayo. Di Tanah Merah juga ada perguruan, yaitu di seberang sebuah perkampungan orang-orang kate. Penduduknya kerdil-kerdil dan mempunyai masyarakat kerdil tersendiri. Hidup mereka dari bercocok tanam. Karenanya, perkampungan itu dinamakan Perkampungan Orang Kate, cukup luas dan banyak penduduknya.

Di seberang Perkampungan Orang Kate itu terdapat sebuah perguruan yang bernama Perguruan Elang Putih, dipimpin oleh seorang guru yang beraliran ilmu putih, bergelar si Embun Salju, ia seorang perempuan tua yang awet muda, Cantik dan anggun laksana seorang ratu yang bijaksana.

Tak banyak tokoh persilatan yang tahu nama aslinya, karena setiap nama aslinya disebutkan, maka hujan petir akan turun bersama deru hembusan badai yang mengamuk. Karenanya, para tokoh rimba persilatan lebih sering menyebut namanya sebagai Embun Salju. Bagi mereka yang sudah tahu nama asli Embun Salju, mereka tetap menyimpan nama itu, karena tak mau kedatangan hujan petir dan amukan badai.

Perguruan Elang Putih ini benar-benar perguruan murni yang mengajarkan ilmu-ilmu kebaikan . Mereka menempati sebuah kuil kuno yang letaknya tak seberapa jauh dari pantai. Dan perguruan ini pernah diserang oleh Perguruan Kobra Hitam, namun mereka kehilangan jejak karena kuil tersebut bagaikan lenyap dimakan bumi beserta para penghuninya.

Itulah sebabnya, Perguruan Kobra Hitam tak berani mendekati orang-orang Elang Putih. Dewa Murka sendiri mengingatkan kepada orang-orangnya agar menghindari permasalahan dengan orang-orang Elang Putih. Tetapi hal itu dilakukan secara diam-diam supaya tak kentara bahwa Dewa Murka merasa sungkan dan agak takut kepada Embun Salju.

Melewati wilayah Tanah Merah, terdapat sebuah desa yang makmur dan berpenduduk padat juga. Desa itu bernama Desa Kanjengan, karena masih dalam kekuasaan seorang adipati yang berkuasa sejak turun temurun dan berkedudukan jauh dari Desa Kanjengan.

Hal yang dipertanyakan oleh orang-orang Lembah Kabut adalah, siapa pemilik racun maut itu? Orang-orang Desa Kanjengan? Atau salah satu dari Perkampungan Orang Kate? Atau orang dari Elang Putih? Atau dari tempat lain. Mengingat banyaknya orang tidak menyukai sikap dan tingkah laku orang-orang Kobra Hitam, maka Brajawisnu mengatakan kepada mereka yang hadir dalam pertemuan di bangsal tersebut,

"Orang-orang Kate tidak mungkin berani melintasi jembatan itu, bahkan mendekatinya pun tak akan berani. Sedangkan orang-orang Desa Kanjengan sudah gentar lebih dulu jika orang kita ada di sana. Tapi orang-orang dari Elang Putih masih punya kemungkinan berani menyeberang ke Lembah Hitam ini dengan menyebar racun dijembatan. Tapi seingatku, orang-orang Elang Putih tidak mempunyai racun jenis ini!"

"Ini yang dinamakan Racun Getah Tengkorak. Getah itu sebenarnya dari sejenis tanaman langka berkayu warna putih kurus sebesar tulang, bercabang-cabang mirip tengkorak"

"Di mana adanya tanaman itu?" tanya Dewa Murka.

"Setahuku," kata Brajawisnu, "Tanaman aneh itu tumbuh di hutan bersalju. Tapi tidak setiap hutan bersalju punya tanaman aneh itu."

"Hutan bersalju?!" gumam Ekayana. "Mungkinkah si Embun Salju yang membawanya dari suatu tempat yang bersalju?"

"Jangan terkecoh dengan nama dan alam sebenarnya," kata Brajawisnu. "Embun Salju hanya sebuah nama, bahkan mungkin belum tentu ia mengenal tanaman aneh dan Racun Getah Tengkorak ini"

Logayo segera berkata, "Jangan terpancing oleh dugaan yang gegabah! Bisa-bisa kita bentrok dengan Embun Salju!"

"Mengapa takut?" sela Ekayana. "Mengapa harus jera?!"

Suara Logayo membentak kasar, "Aku bukan takut kepada Embun Salju! Tapi aku menghindari pertumpahan darah yang bisa membuat orang-orang kita banyak yang mati! Sementara persoalannya belum jelas bahwa Embun Salju yang memiliki racun itu! Bodoh!"

Ekayana mengambil napas, menahan kesabaran. Ia mengangkat tangannya sambil berkata, "Baiklah, baiklah...! Kita cari dulu kemungkinan di tempat lain. Embun Salju adalah kemungkinan terakhir jika memang di tempat lain tak ada orang yang memiliki Racun Getah Tengkorak itu!"

Kemudian setelah terjadi hening sekejap, Logayo bertanya kepada Brajawisnu dengan sisa suara geramnya. "Siapa lagi yang pantas kita curigai menurutmu?"

"Tabib Cawan Maut!" jawab Brajawisnu.

"Apa urusannya orang setua renta begitu masih mau mengganggu ketenangan kita?!" Ekayana menyanggah, karena ia tahu, Tabib Cawan Maut sudah sangat tua, bahkan untuk berjalan pun sudah payah, pelan, terbungkuk-bungkuk, sempoyongan, dan tertatih-tatih. Tabib Cawan Maut tak pernah keluar dari pondoknya. Mereka yang butuh obat datang kepadanya dan ia tak pernah bersedia dibawa keluar dari rumah.

"Mengapa kau mencurigai orang setua Tabib Cawan Maut?" tanya Logayo kepada Brajawisnu.

"Dia punya pelayan, Jongos Daki namanya. Bisa saja yang melepaskan racun itu adalah Jongos Daki."

"Alasannya?"

"Kita pernah menghajar Jongos Daki ketika ia menyembunyikan Shinta dari kejaran kita dulu! Barangkali dia masih punya dendam kepada kita dan baru dilampiaskan setelah tiga tahun peristiwa itu terjadi,"

"Kecil kemungkinannya!" sahut Pancakana, guru untuk jurus-jurus cambuk maut yang bergelar Hantu Naga Belah. "Kurasa Jongos Daki sudah melupakan peristiwa yang sudah tiga tahun berlalu itu!"

Logayo manggut-manggut dengan mata masih lebar dan brewoknya diusap-usap. Lalu, ia bertanya lagi kepada Brajawisnu, "Selain Jongos Daki dan Tabib Cawan Maut, siapa lagi yang memungkinkan bisa memiliki Racun Getah Tengkorak itu?"

"Tabib Awan Putih," jawab Brajawisnu.

"Dia tidak punya masalah dengan kita! Dia hanya kenal sama kita dan tidak bikin perkara apa pun!"

"Tapi dia seorang tabib, Tabib dari Cina. Sangat tahu akan Racun Getah Tengkorak," kata Brajawisnu. "Bisa saja dia disuruh seseorang dengan upah tinggi untuk menyerang kita dengan racun ganas ini!"

"Masuk akal," kata Pancakana, lalu diam lagi, "Selain Tabib Awan Putih?"

"Orang-orang Sedayu!"

Tiba-tiba Logayo menarik wajahnya dari sedikit maju menjadi tegak. Ekayana juga terkesiap mendengar nama Sedayu. Pancakana sendiri menyipitkan mata dengan dahi segera berkerut.

"Mungkinkah mereka menyerang kita?" ucap Logayo pelan.

"Kenapa tidak? Sedayu merasa jengah dan bosan melayani cinta Ekayana. Ia merasa tak mampu menghindar, maka ia bunuh kita satu persatu dengan cara seperti yang sudah kita lihat sendiri"

"Bukankah Sedayu mencintai Ekayana?" kata Pancakana.

"Memang. Tapi cinta yang bagaimana? Setelah ia menguasai semua Jurus pedang Ekayana, apakah dia masih cinta? Jika benar masih mencintai Ekayana, mengapa dia selalu menolak jika Ekayana mengajaknya menikah?"

"Jika benar orangnya Sedayu," kata Logayo, lantas, dari mana dia mendapatkan Racun Getah Tengkorak yang amat langka itu?"

"Pranawijaya...!" jawab Ekayana sendiri.

"Benar!" Brajawisnu menegaskan.

"Pranawijaya seorang pengelana, ia juga mempunyai jurus pedang yang cukup lumayan, Ia sedang naksir Sedayu, walau Sedayu tidak nyata-nyata membuka hati untuknya. Tapi dengan bantuan memberikan Racun Getah Tengkorak, Sedayu dapat terkesan dan tertarik nyata-nyata kepada Pranawijaya. Mungkin juga Pranawijaya sendirilah yang menyebarkan racun itu ke tubuh korban kemarin malam!" kata Ekayana dengan wajah tanpa senyum dan sedikit memerah.

"Tapi mengapa kita yang diserang sedangkan urusannya adalah urusan antar pribadi. Kau dan dia!" kata Logayo.

Ekayana yang menjawab lagi, "Mungkin... mungkin Sedayu sendiri juga tidak suka dengan perkumpulan kita ini! Untuk membuat perguruannya naik, ia harus menggempur perguruan kita! Setidaknya jika berhasil, ia akan mendapat pujian dan sorotan dari para tokoh persilatan! Dan Pranawijaya hadir sebagai pelaku impian Sedayu!"

Logayo menggeram pelan, tapi segera menyentak. "Serang orang-orang Sedayu!"

* * *

DUA
DEBUR ombak bagaikan nyanyian alam kubur yang terpendam lama. Ketika lidahnya menghantam batuan karang, sang ombak pun pecah tak berbentuk lagi. Namun kejap berikut toh ia datang lagi dengan garangnya menghantam batuan karang tanpa kenal menyerah dan pasrah.

Seperti ombak itulah gemuruh laga dua tokoh tua yang sedang bertarung di atas dua gugusan batu karang. Gugusan batu karang itu terpisah antara sepuluh tombak jauhnya. Di masing-masing gugusan karang itu duduk dua sosok manusia lanjut usia yang dapat dilihat dari putihnya rambut mereka, atau keriputnya kulit wajah mereka.

Seorang lelaki berambut panjang dan rata dengan uban itu membiarkan rambutnya dipermainkan angin laut, hingga sesekali menyirat di wajahnya yang berkumis dan berjenggot putih itu. Ia duduk bersila mengenakan jubah putih dalam usia sekitar tujuh puluh tahun, sedangkan lawannya yang sejak tadi tampak tangguh menahan kekuatan tenaga dalamnya itu juga duduk bersila di atas gugusan karang di seberangnya.

Tokoh tua yang satu ini pernah muncul dan berhadapan dengan Pendekar Mabuk dalam kisah Manusia Seribu Wajah. Orang itu berbadan kurus seperti lawannya, bermata cekung dan berkulit keriput, rambutnya putih beruban rata disanggul tengah, sisanya dibiarkan meriap sekeliling konde itu. Ia mengenakan jubah hitam dan celana putih. Biasanya tokoh wanita berilmu tinggi ini bersenjata tongkat lengkung warna hitam, tapi kali ini tongkat itu diletakkan di sampingnya, ia tak lain adalah Nini Pasung Jagat. Guru dari si bencong Tanjung Bagus.

Perempuan itu duduk bersila dengan kedua tangan di dada, yang kiri menyangga pergelangan tangan kanan yang membuka telapaknya dan menghadap ke samping dalam keadaan tegak lurus. Matanya sedikit terpejam, bagai tengah mengerahkan segala kekuatannya untuk menyerang lawannya lagi.

Sementara itu, si Jubah Putih juga duduk bersila dengan kedua tangan di depan dada, hanya dua telunjuk dan dua ibu jarinya yang saling bertemu, sisa jari lainnya menggenggam. Orang itu juga tampak sedang memusatkan segenap jiwa, batin dan pikirannya untuk mengeluarkan serangan tenaga dalam kepada lawannya.

Mulut mereka sama-sama bungkam mencapai lima puluh helaan napas. Tetapi tiba-tiba dari ujung jari telunjuk si Jubah Putih melesat sinar biru memanjang bagaikan sebatang tongkat kecil. Sinar biru itu melesat menuju Nini Pasung Jagat.

Tetapi dari tengah kening Nini Pasung Jagat mendadak keluar sinar merah berbentuk bola sebesar jeruk nipis. Cahaya merah berpendar-pendar itu berkelebat bagai di panahkan dari tengah dahi Nini Pasung Jagat, kemudian menghantam sinar biru bagaikan menyongsong serangan sang lawan.

Entah untuk yang keberapa kalinya bunyi ledakan menggelegar itu terjadi di atas perairan laut biru itu. Ledakan yang kali ini ternyata menimbulkan gelombang angin kencang yang membuat seluruh rambut si Jubah Putih berkelebat ke belakang dengan kuatnya, jubahnya pun terhempas ke belakang bagai mau robek dari jahitannya.

Sedangkan Nini Pasung Jagat pun mengalami hal serupa, bahkan tubuhnya sedikit guncang akibat menahan gelombang angin yang ditimbulkan dari benturan dua sinar bertenaga dalam tinggi tersebut.

Masih hening sesaat di antara kedua tokoh sakti itu. Mereka bagai mengumpulkan tenaga kembali, membiarkan suara debur ombak mengisi keheningan di antara mereka berdua. Hanya saja, kejap lain sang nenek mulai memperdengarkan suaranya yang lantang itu,

"Menyerahlah. Padmanaba! Serahkan pusaka itu untuk kuberikan dan kuwariskan kepada muridku!"

"Berteriaklah sekuatmu memohon begitu, Nini Pasung Jagat! Sampai tenggorokanmu pecah dan mulut tua mu robek, tak akan aku serahkan benda itu kepadamu!" seru Ki Padmanaba alias si Jubah Putih itu dengan suara tua yang masih lantang juga.

"Kau benar-benar keras kepala, Padmanaba! Kau ternyata lebih sayang dengan benda itu daripada dengan nyawamu! Benar-benar manusia bodoh dan dungu kau, Padmanaba!"

"Terserah apa katamu. Pasung Jagat! Yang jelas aku mempertahankan amanat guru kita, bahwa benda itu tak boleh jatuh ke tangan orang lain, sekalipun ke tanganmu dan ke tangan muridku sendiri! Karenanya benda itu tak pernah kuserahkan kepada siapa pun! Cucuku pun tak kuwarisi pusaka tersebut apalagi kamu. Pasung Jagat!"

"Benar-benar serakah!" geramm Nini Pasung Jagat. Matanya memandang dengan tajam dan ganas. "Cukup lama pusaka itu ada padamu, sekarang giliran aku yang harus memegang pusaka itu, Padmanaba! Kalau kau tak memberikannya, aku akan merebut darimu sekalipun harus membunuh nyawa saudara seperguruan sendiri!"

"Aku siap menerima ancamanmu, Pasung Jagat! Kapan saja kau ingin mencabut nyawaku, aku telah siap menghadapimu! Hanya yang kukhawatirkan, apakah kamu sendiri mampu mempertahan kan nyawamu dari tanganku ini. Pasung Jagat!"

"Jangan kau meremehkan aku. Padmanaba! Ilmu yang kumiliki bukan saja ilmu dari guru kita, melainkan kuperoleh dari beberapa tempat, beberapa orang, dan beberapa waktu! Kau tak akan bisa menandingi kesaktianku, Padmanaba! Percayalah, tak akan bisa!"

"Pasti bisa!" jawab Ki Padmanaba dengan tegas dan penuh keyakinan. "Kau pikir aku tidak mempersiapkan diri untuk melawanmu sejak dulu, hah? Aku tahu suatu saat kau akan merebut pusaka itu dariku! Jadi aku sudah persiapkan jurus pencabut nyawa untukmu, Pasung Jagat!"

"Keparat busuk kau. Padmanaba!" geram Nini Pasung Jagat, kemudian kedua tangannya terangkat ke atas dalam keadaan tetap duduk bersila. Wajahnya menyeringai bengis memancarkan geram nafsu untuk membunuh saudara seperguruannya itu.

Tetapi agaknya Ki Padmanaba sendiri tidak kalah siap. la segera membuka telapak tangannya dan meletakkan ke samping. Dalam keadaan terbuka menghadap ke bawah ujung jari-jarinya. Dan ketika dari kedua tangan Nini Pasung Jagat mengeluarkan sinar hijau berturut-turut dengan cepatnya menyerang bak senjata rahasia itu, Ki Padmanaba menyentakkan kedua telapak tangannya ke depan, tak sampai lurus kedua tangan tersentak, ternyata dari telapak tangan keduanya menyorotkan sinar biru pecah bagaikan lampu besar di ujung mercu suar.

Wussst...! Sinar terang warna biru itu membentuk kabut setelah bertemu dengan sinar hijaunya Nini Pasung Jagat. Kabut itu membungkus sinar hijau tersebut, hingga terjadi beberapa kali letupan yang teredam suaranya.

Tub, belp... tubb, tub, bleb...!

Namun Nini Pasung Jagat ternyata sudah menduga akan terjadi hal seperti itu. Dan ia telah siapkan serangan lain melalui kedua matanya. Dalam sekejap dari kedua matanya itu melesat mengeluarkan dua berkas sinar ungu yang melesat cepat menghantam dada Ki Padmanaba. Agaknya sinar ungu itu sangat di luar dugaan Ki Padmanaba, sehingga ia sangat terkejut ketika sinar ungu itu melesat menghantam dadanya.

Dabb....!

Bagai mendapat dua pukulan besar dada Ki Padmanaba terasa mau jebol sampai ke belakang. Pukulan itu sangat dahsyat. Berat dan kuat, sehingga tubuh kurus Ki Padmanaba pun terpental hebat. Tubuh itu melayang bagaikan dilemparkan dan jatuh di pasir pantai yang jaraknya dari tempat ia duduk tadi sekitar lima belas tombak.

Brugggh...! Bruss....!

Tubuh itu sempat menyerosot di pasir pantai dalam keadaan terkapar. Dadanya menjadi hitam, pakaiannya menjadi hangus. Dan wajahnya pun pucat pasi, tak bisa bernapas.

Pada waktu itu, seorang pemuda gagah dan tampan, berpakaian coklat dan celana putih, tiba di pantai tersebut. Langkahnya terhenti ketika dilihatnya sesosok tubuh menyerosot ke arah depan kakinya. Dan pemuda berambut panjang lemas dan tak mengenakan ikat kepala itu segera terkesiap mata nya, kaget melihat wajah orang yang menyerobot di depan kakinya itu. "Ki Padmanaba...?!" cetusnya kemudian.

Pemuda yang menyandang bumbung tempat tuak dipunggungnya itu segera berjongkok untuk memeriksa keadaan orang sakti yang dikenalnya itu. "Ki Padmanaba? Apa yang terjadi?!"

Mata tua yang sedang sekarat itu sempat memandang ke arah pemuda yang tak lain adalah si Pendekar Mabuk itu. Mulutnya yang sulit bernapas segera mengucapkan kata pelan, "Suto.... Sinting..."

"Ya, saya Suto Sinting, murid dari si Gila Tuak, sahabat Ki Padmanaba itu! Kita pernah bertemu walau satu kali. Masih ingatkah Ki Padmanaba pada guru saya?"

"Selamatkan... pusaka... Pucuk Cemara Tunggal dalam purnama..." Ki Padmanaba tidak menggubris pertanyaan Pendekat Mabuk tadi, tapi ia mengucapkan kata-kata yang menyerupai sebuah pesan itu.

"Ki Padmanaba, minumlah tuak saya ini untuk..., untuk...," Suto Sinting ingin menuangkan tuak ke mulut Ki Padmanaba yang berwajah seputih kapas itu. Namun ternyata Ki Padmanaba sudah tidak bernapas lagi. Matanya terpejam sedikit dengan mulut ternganga, tubuhnya dingin membeku dan tak bergerak sedikit pun.

"Oh, terlambat aku memberinya minum tuak ini!" gumam Suto dalam nada penuh kekecewaannya. "Kalau saja aku sempat memberinya minum tuak ini, pasti luka hangus di dadanya akan cepat sembuh, ia akan tertolong jiwanya. Kasihan, Ki Padmanaba...! Mengapa begitu bertemu denganku lagi pada saat ia ingin menghembuskan napas terakhirnya? Sungguh tak kusangka peristiwa ini akan kuhadapi. Dan... dan apa yang diucapkannya tadi? Seperti sebuah pesan atau amanat?!"

Mendadak Suto dikejutkan dengan kehadiran tokoh tua yang menjadi lawan Ki Padmanaba tadi. Kesadaran Suto dari lamunannya membuat pemuda itu berjingkat lompat ke belakang dan siap menghadapi serangan dengan kuda kuda kekarnya. Matanya menjadi terkesiap ketika memandang kearah tokoh tua yang bermata cekung itu,

"Oh, kau rupanya, Nini Pasung Jagat...?!"

"Iyaah...! Aku yang membunuh Ki Padmanaba! Mau apa kau, Suto Sinting, Pendekar Mabuk?! Mau apa, hah...?!" ucapan Nini Pasung Jagat pelan, tapi penuh tekanan menggeram dengan wajah memandang angker.

Terlintas dalam sekejap ingatan Suto pada saat bertemu dengan tokoh itu di saat ia ingin menyembuhkan si Kembang Hitam. (Baca Serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah). Teringat pula kehebatan ilmu Nini Pasung Jagat yang mempunyai Jurus andalan kala itu bernama 'Rembulan Jantan'. Hampir saja Suto Sinting mati atau celaka oleh Jurus tersebut. Nenek yang satu ini memang agak berbahaya. Kelihatannya biasa-biasa saja, tapi serangannya bisa membawa maut yang sukar dilawan.

Terasa heran Suto mendengar pengakuan Nini Pasung Jagat telah membunuh Ki Padmanaba. Padahal Ki Padmanaba ilmunya cukup tinggi, hampir memadai dengan Ki Jangkar Langit atau hampir menyamai ilmu bibi Guru Suto yang bernama Bidadari Jalang itu. Jika Ki Padmanaba bisa terbunuh oleh Nini Pasung Jagat, berarti Nini Pasung Jagat setidaknya mempunyai ilmu seimbang dengan Ki Padmanaba, bisa jadi lebih tinggi. Atau karena saat pertarungan Ki Padmanaba agak lengah? Pendekar Mabuk tidak tahu bahwa Ki Padmanaba dan Nini Pasung Jagat adalah saudara seperguruan.

Hanya saja, selepasnya Nini Pasung Jagat dari gunung tempat dirinya digembleng itu, ia segera mencari guru lain dan menekuni beberapa kitab pu­saka yang pernah dipinjam, dicuri, atau ditemukan secara tak sengaja. Itulah yang membuat Nini Pasung Jagat kelihatan lebih unggul dari Ki Padmanaba. Suto pun tidak tahu persoalan sebenarnya antara kedua tokoh tua itu, tapi ia didesak oleh Nini Pasung Jagat.

"Apa yang ia katakan tadi, Suto?!"

"Apa maksudmu?" Suto berlagak bego.

"Kulihat di kejauhan tadi, ia bicara padamu! Apa yang ia katakan padamu?! Katakanlah pula padaku, Bocah Sinting?!" perempuan tua yang masih tersisa rias kecantikan usangnya itu menggertak bagai mengancam maut kepada Suto Sinting. Tapi pemuda tampan yang murah senyum itu justru meneguk tuaknya beberapakali dengan cara mendongak dan menuangkan bumbung tuak tersebut.

"Benar-benar sinting kau! Diajak bicara orang tua malah menenggak tuak! Hihh...!"

Wuutt...! Pukulan tenaga dalam jarak jauh dilepaskan dari sentakan pendek tangan kiri Nini Pasung Jagat. Pukulan Jarak Jauh itu tidak bercahaya, namun dapat dirasakan oleh Suto hembusan anginnya yang menuju ke arah pinggangnya. Maka, dengan kalem Suto menyentitkan Jari telunjuknya, mengirim tenaga dalam melalui Jurus 'Jari Guntur'-nya itu.

Wuttt...! Dubbb...!

Nini Pasung Jagat terguncang sedikit tubuhnya. Pukulan tenaga jarak jauhnya bagaikan membalik sebagian dan menghentak perutnya, ia menjadi lebih geram dengan mata memandang penuh ketajaman permusuhan. Di dalam hatinya ia membatin, "Bocah ini memang tak bisa dianggap sepele! Seluruh kekuatan dan kesaktian dia ada dalam diri bocah ini!" sambil sang nenek membayangkan seraut wajah yang menjadi gurunya Suto Sinting, yaitu seraut wajah si Gila Tuak yang punya nama asli Sabawana.

"Bocah sinting!" seru Nini Pasung Jagat, "Aku tahu, Ki Padmanaba adalah sahabat gurumu! Pasti ada pesan rahasia yang disampaikan oleh Padmanaba sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya tadi, sebab ia pun pasti tahu bahwa kau adalah murid sahabatnya. Pertemuan di ambang kematiannya, adalah suatu keberuntungan besar bagi Ki Padmanaba. Tapi sekalipun hanya berupa pesan, aku harus merebut pesan itu darimu, Suto!"

"Apa yang diucapkan tadi oleh Ki Padmanaba, sedang kupikirkan, Nini! Sebab aku lupa!" jawab Pendekar Mabuk dengan senyum tenangnya.

"Sabawana tidak akan mempunyai murid bodoh, pasti ia memilih murid yang cerdas! Jadi aku tidak percaya, kalau kau lupa dengan pesan Padmanaba tadi, Bocah Sinting!"

Suto tertawa pelan, geli sendiri melihat sikap si nenek yang sangat penasaran itu. Kemudian tetap dengan kalem Suto pun berkata kepada Nini Pasung Jagat, "Manusia itu mempunyai kodrat yang sama, ingat dan lupa selalu ada pada diri setiap manusia, Nini!"

"Tak perlu bertele-tele kau bicara padaku, Suto! Katakan apa yang diucapkan Padmanaba tadi?! Lekas!" sambil Nini Pasung Jagat mulai mengangkat tongkatnya.

"Apa maumu menggertakku begitu. Nini? Bukankah lebih baik kita tidak saling bermusuhan, ketimbang harus saling membunuh?"

"Apa pun yang terjadi, kau memang harus kubunuh, Suto!"

"Hanya untuk sebuah pesan dari mulut orang yang sudah mati, kau tega membunuhku, Nini?"

"Bukan hanya karena itu!" gertak Nini Pasung Jagat dengan suara semakin keras dan wajah kian beringas.

"Jadi karena apa lagi jika bukan karena itu?"

"Kau murid si Gila Tuak! Itulah sebabnya aku harus membunuhmu!"

Berkerut tajam dahi Suto Sinting mendengar jawaban tersebut, ia pun segera bertanya dengan nada heran, "Mengapa sebab itu? Apa salahnya aku menjadi murid si Gila Tuak di matamu? Aku tak pernah mengganggu ketenangan dan kedamaianmu, bahkan kau yang menggangguku dan menyerangku lebih dulu pada waktu kita Jumpa di Pulau Hitam itu?!"

"Hm...!" Nini Pasung Jagat mencibir sinis, melangkah pelan mengelilingi Suto Sinting dengan mata tertuju ke arah Suto. Tajam. "Kau tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara aku dan gurumu!"

Hati Pendekar Mabuk semakin tertarik dan menjadi ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi antara Nini Pasung Jagat dengan si Gila Tuak, gurunya itu. Sengaja Pendekar Mabuk tak bertanya apa apa, tapi dengan kerutan dahinya yang dipamerkan semakin tajam itu, Nini Pasung Jagat merasa mendapat pertanyaan yang membuat ia harus melanjutkan ucapannya. Langkahnya terhenti lebih dulu, baru mulut sang nenek mulai bicara kembali.

"Entah beberapa puluh tahun yang lalu, lebih dari setengah abad, ada seorang gadis yang mencintai Sabawana. Begitu besar cintanya, sehingga gadis itu mau berkorban meninggalkan keluarganya, meninggalkan adik-adiknya, ayahnya, ibunya, hanya untuk mengikuti pengembaraan Sabawana. Beratap langit, bertudung hujan, gadis itu dengan setianya mendampingi Sabawana! Tetapi alangkah sakit hati gadis itu, setelah tahu Sabawana ternyata tidak bersedia menikah dengan gadis itu. Bahkan ia jatuh cinta dengan perempuan lain! Sekalipun mahkota sang gadis masih tetap terjaga, tapi pengorbanannya yang meninggalkan seluruh keluarga serta kampung halaman, kesetiaannya yang tak pernah lapuk dipanggang mentari serta digores badai hujan itu, adalah suatu hal yang amat menyakitkan jika dikhianati! Sampai sekarang gadis itu masih sakit hati kepada Sabawana alias si Gila Tuak. Dan gadis itu adalah aku sendiri, Suto!"

"Oh...?!" Pendekar Mabuk terperanjat sekejap, kemudian segara kembali menenangkan hati dan jiwanya.

"Sampai sekarang aku masih mendendam kepada gurumu, Suto! Empat kali aku bertemu dengannya dan mencoba membunuhnya untuk melampiaskan sakit hatiku, tapi selalu gagal. Dia memang jauh lebih sakti dariku! Tapi setelah usiaku mencapai setua ini, tentunya ilmuku terus bertambah! Akan kucari si Gila Tuak untuk kubunuh!"

"Kau tak akan berhasil. Nini!"

"Harus berhasil" jawab Nini Pasung Jagat dengan menyentak keras. "Kau pikir aku akan gagal membunuh si Gila Tuak itu karena dia mempunyai murid yang lebih muda, lebih tangguh dan lebih perkasa ini?! Hmm...! Tidak! Aku tidak akan gagal membunuhnya, Suto! Karena sebelum aku membunuhnya, mungkin aku harus membunuh muridnya dulu! Karena aku benci pada ilmu yang dimiliki oleh si Gila Tuak, dan ilmu itu ada padamu, maka aku harus membunuhmu! Kalau toh tidak berhasil membunuhmu lebih dulu, tentu saja aku membunuh Gila Tuak lebih dulu, baru menyusul membunuh muridnya!"

Berdetak setiap denyut nadi yang ada dalam diri Suto. Merah telinganya mendengar kata-kata Nini Pasung Jagat. Tak ketinggalan gigipun menggeletuk kuat-kuat menahan amarahnya. Apalagi setelah Suto Sinting mendengar kata-kata Nini Pasung Jagat selanjutnya itu, yang mengatakan,

"Gila Tuak di mataku saat ini tidak lebih dari seekor semut yang siap digilas kapan saja! Seluruh ilmu dan kesaktian Gila Tuak ada di telapak kakiku, sebagian ada di pantatku, tahu?! Dan menurutku. Gila Tuak memang pantas mati dalam keadaan tercabik-cabik tubuhnya, biar semua orang tahu, bahwa Gila Tuak telah modar tak bergeming lagi namanya yang besar itu!"

Darah Pendekar Mabuk bagaikan mendidih, ia selalu tak rela dan marah jika nama gurunya dijelek-jelekkan atau dihina. Dan apabila Suto Sinting mulai marah, napasnya pun berubah menjadi napas yang mengerikan. Jika ia saat itu menyentakkan napasnya ke arah Nini Pasung Jagat, maka nenek tua itu sudah pasti akan melayang terbang terhempas badai yang amat dahsyat. Pepohonan akan tumbang, batu-batu besar akan beterbangan, awan hitam datang dan bergulung-gulung di langit, sambil sang petir menghujani bumi. Itulah kedahsyatan ilmu Napas Tuak Setan yang ada dalam diri Pendekar Mabuk.

Napas maut itu tidak akan ada seandainya Suto tidak menelan Pusaka Tuak Setan, yang mestinya dimusnahkan namun secara tidak sengaja tertuang masuk ke dalam mulutnya dan tertelan. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila). Tetapi Pendekar Mabuk itu selalu berusaha agar tidak menggunakan jurus 'Napas Tuak Setan' yang bisa mendatangkan bencana dan korban bagi pihak tak bersalah. Hanya dalam keadaan sangat terpaksa saja, maka Suto mau tak mau melepaskan jurus Napas Tuak Setan tersebut.

Seperti saat ini Suto Sinting masih berusaha menahan diri agar tidak melepaskan Napas Tuan Setannya. Sekalipun demikian, karena di dalam hati Suto bergemuruh darah murka akibat gurunya dihina sedemikian rupa oleh Nini Pasung Jagat, maka napas biasanya saja sudah bisa membuat pasir-pasir pantai beterbangan. Butiran pasar di bawah kaki Suto yang terkena hembusan napas biasanya itu menjadi cekung dalam, karena pasir itu menyirat ke mana mana terkena angin kencang dari napas Pendekar Mabuk.

Pendekar Mabuk berdiri tegak dengan mata memandang dingin ke arah Nini Pasung Jagat, ia tak mau menundukkan kepala, takut napasnya membuat tanah di bawah kaki menjadi kian cekung ke dalam. Tetapi dengan keadaan berdiri tegak, mata memandang Nini Pasung Jagat, wajah terangkat datar ke depan, napasnya toh masih membuat rambut Nini Pasung Jagat meriap-riap ke belakang, bagaikan mendapat semburan angin dari arah depannya.

Di dalam hatinya Nini Pasung Jagat mulai berkata dalam kecemasan. "Celaka! Kurasa bocah sinting ini juga punya 'Napas Tuak Setan'! Apakah Sabawana memberikan Pusaka Tuak Setan kepada bocah ini? Oh, sinting betul si Sabawana jika benar begitu! Bukankah dia sendiri tak berani meminum Tuak Setan karena takut mencelakai orang tak bersalah melalui napasnya?! Tapi mengapa bocah bau kencur ini bisa mengeluarkan napas sekuat dan sepanas ini? Padahal ia bernapas dengan biasa-biasa saja?! Oh, kulit wajahku yang kena napasnya ini menjadi seperti berada di depan kawah gunung berapi. Panas sekali. Rambutku bisa keriting terbakar kalau terlalu lama berada di depan bocah sinting ini! Agaknya aku memang harus menyingkir lebih dulu! Pusaka itu harus kutemukan, setelah itu baru aku melawan bocah sinting ini!"

Terdengar Pendekar Mabuk berkata dengan suara datar menandakan sedang memendam kemarahan besar dalam hatinya, "Jangan sekali-sekali menghina Guru di depanku, Nini Pasung Jagat! Kau tak akan mendapat ampun sedikit pun dariku jika hal itu kau lakukan lagi! Kau tak akan mendapat kesempatan untuk menyerangku jika aku sudah menuntut penghinaan itu padamu, Nini! Ingatlah kata kataku ini!"

"Persetan dengan kata katamu! Aku tetap akan mencari Si Gila Tuak lebih dulu untuk membunuhnya!" kata Nini Pasung Jagat memaksakan diri agar tidak kelihatan gentar. "Tetapi untuk sementara ini, ada yang kucari dan lebih penting dari urusanku denganmu dan si Gila Tuak, Suto! Aku harus menemukan apa yang kucari itu lebih dulu, setelah itu aku datang padamu untuk membunuhmu! Tak peduli kau punya 'Napas Tuak Setan', aku sanggup membunuhmu, Juga menginjak-injak kepala gurumu!"

"Nini...!" bentak Suto dengan kemarahan meluap. Bentakan itu tiba-tiba mendatangkan angin kencang yang sempat membuat tubuh Nini Patung Jagat terpental mundur lebih dari lima tombak.

Brukk...! Ia jatuh di tanah dengan wajah tegang dan cemas. "Edan! Membentak saja suaranya sampai bikin heboh bumi! Oh. batu itu menjadi pecah dan pohon itu pun kulitnya mengelupas?! Benar-benar sinting murid si Gila Tuak itu! Aku harus segera pergi!"

Tanpa banyak bicara lagi. Nini Pasung Jagat segera melarikan diri. Suto Sinting bergegas mengejarnya, karena ia takut Nini Pasung Jagat membunuh si Gila Tuak sebelum Pendekar Mabuk sempat membunuh perempuan tua itu.

* * *

TIGA
Nenek tua yang ternyata usianya jauh lebih muda dari dugaan banyak orang itu, ternyata pula mempunyai kecepatan berlari seperti kilatan anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Suto Sinting mempunyai Jurus gerak siluman dalam melarikan diri, yang mempunyai kecepatan melebihi badai. Tetapi mungkin karena ia salah arah, sehingga ia kehilangan jejak Nini Pasung Jagat.

Terlalu lama ia mencari Nini Pasung Jagat, sehingga tanpa disadari kemarahan di dalam hatinya sudah menurun dengan sendirinya. Terutama setelah dalam hatinya menemukan suatu pendapat yang menenangkan jiwa, kemarahan itu menjadi susut sedikit demi sedikit.

"Sekalipun Nini Pasung Jagat bisa bertemu dengan Guru, tak mungkin ia bisa mengalahkan kesaktian Guru. Aku percaya, Guru tak akan kalah jika menghadapi amukan dendam cinta masa mudanya Nini Pasung Jagat. Bisa jadi Nini Pasung Jagat jatuh berlutut dan mengharapkan cinta pada Guru, karena Guru mempunyai Ilmu 'Sukma Kasmaran Tumbang'. Sudah berpuluh-puluh tahun Ilmu itu tidak digunakan oleh Guru, hanya semasa mudanya ilmu itu digunakan untuk menundukkan perempuan sejahat apa pun menjadi pasrah kepada beliau. Tapi jika sekarang guru masih mau gunakan ilmu itu, pasti Nini Pasung Jagat tidak akan bisa berkutik lagi"

Pendekar Mabuk bahkan tersenyum. "Biarlah dua asmara usang bertemu lagi dalam kenangan masing-masing, Kurasa aku tak perlu mencemaskan keadaan Guru. Tapi... tapi bagaimana jika ilmu 'Sukma kasmaran Tumbang' itu sudah tidak dimiliki Guru lagi? Bukankah ilmu itu telah diwariskan kepadaku? Walau tak pernah kugunakan, tapi aku merasakan jelas kehadiran iImu 'Sukma Kasmaran Tumbang' itu. Dan... Guru bisa berbahaya dalam menghadapi Nini Pasung Jagat?!"

Gundahnya hati Suto saat itu, terbawa lelap di alam tidurnya yang ada di atas pohon. Pada saat tidur itulah, segala amarah dan kecemasan mengendap diam di lubuk hati, tertutup oleh selaput ketenangan jiwa. Sehingga, pada saat ia bangun esok paginya, tak ada lagi kecemasan dan kegundahan selain hanya hasrat untuk menguntit kepergian Nini Pasung Jagat, ingin tahu apakah nenek tua itu pergi menemui si Gila Tuak, atau mencari benda yang dimaksud?

"Apa benda yang dimaksud itu?" pikir Suto Sinting. "Mengapa ia mendesakku untuk mendengar pesan yang diucapkan oleh Ki Padmanaba sebelum menghembuskan napas terakhirnya itu?!"

Dalam renungannya, Suto menjadi terngiang kata-kata Ki Padmanaba yang berbunyi, "Selamatkan pusaka Pucuk Cemara Tunggal dalam purnama...!"

Suto bicara sendiri dengan suara pelan. "Tak jelas apa maksudnya! Pusaka Pucuk Cemara Tunggal... pusaka bentuk apa itu? Di mana letaknya? Sepintas kelihatannya Ki Padmanaba menyuruhku menyelamatkan pusaka, tapi dimana aku harus menemukan pusaka itu, sebab ia tidak menyebutkan tempatnya. Apa yang dimaksud dalam purnama itu? Apakah aku harus pergi ke bulan untuk mendapat kan pusaka di sana? Mustahil sekali kedengaran! Tapi agaknya pusaka itulah yang diinginkan oleh Nini Pasung Jagat. Dan pasti pusaka itu sangat berbahaya Jika jatuh ditangan orang seperti Nini Pasung Jagat, sehingga Ki Padmanaba menyuruhku menyelamatkan pusaka tersebut. Ah, membingungkan sekali pesan terakhir Ki Padmanaba itu! Sungguh tak jelas ke mana arah langkahku untuk memenuhi pesannya tersebut, tak jelas apa yang harus kutemukan, kitab, pedang, tombak, keris, atau batu atau apa....? Dan anehnya, mengapa aku sejak saat itu jadi mempunyai kewajiban besar, yaitu kewajiban memenuhi pesan yang disampaikan menyerupai perintah tersebut? Mengapa aku jadi punya rasa harus menyelamatkan pusaka tersebut? Bukankah aku tidak menjadi pewaris pusaka itu dan tidak berhak memilikinya?!"

Luar biasa bingungnya Suto menghadapi teka-teki tersebut. Karena timbulnya perasaan aneh di dalam hatinya itulah yang membuat Pendekar Mabuk jadi repot sendiri memikirkan pusaka Pucuk Cemara Tunggal. Suara hati kecil yang mengatakan, "Aku harus mendapatkan pusaka itu!" adalah sebuah kata hati yang lahir tanpa kehendak hati nurani Suto sendiri. Sepertinya ada kekuatan yang memaksa Suto harus mencari pusaka itu dan menyelamatkannya dengan sekuat tenaga. Ini yang kadang membuat Pendekar Mabuk jadi bertanya tanya,

"Apakah arwah Ki Padmanaba bermukim dalam hati kecilku dan memerintahku seperti ini?!"

Renungan Pendekar Mabuk terhenti sebentar. Matanya melihat sekelabat manusia lewat menembus dedaunan semak hutan. Arahnya tidak menuju ke tempatnya. Tapi mata Suto tak bisa dibohongi, bahwa manusia yang berkelebat dengan pakaian kuning itu tak lain adalah seorang perempuan. Muda atau tua, belum bisa dipastikan. Hanya saja, melihat langkahnya yang cepat dan memburu itu, Suto menjadi ingin tahu, apa yang diburu oleh perempuan itu,

"Jangan-jangan ia dikejar oleh Nini Pasung Jagat?!" pikir Pendekar Mabuk yang membuat ia semakin ingin mengikuti perempuan berpakaian kuning gading itu.

Rupanya ia seorang gadis yang menyandangi pedang di punggungnya. Tubuhnya sekal, padat, tidak terlalu kurus, tidak pula gemuk. Rambutnya pendek berponi tanpa ikat kepala, Gerakannya cukup lincah. Gadis itu juga punya ilmu peringan tubuh yang bisa membuatnya melesat naik ke atas dahan sebuah pohon dengan satu kali kaki menjejak bumi. Bahkan ia mampu melompat dari dahan ke dahan tanpa timbulkan banyak suara. Sampai pada suatu saat, ia melompat turun dengan bersalto satu kali.

Wuttt...! Jlegg....!

Ia mendarat di depan langkah seorang pemuda berwajah tampan dan bertubuh tegap, gagah, berambut pendek, dengan ikat kepala kuning emas. Pemuda itu mengenakan pakaian serba hijau, dengan ikat pinggangnya kain rajutan benang emas. Pedangnya ada di pinggang kiri.

Pemuda itu menghembuskan napas kesal melihat gadis berpakaian kuning gading itu tahu-tahu menghadang langkah di depannya. Ia tampak gemas namun kegemasan itu tertahan melalui hembusan napasnya yang mendengus tanda kesal hatinya.

"Mau apa lagi kau, Kirana?!" geram pemuda berpakaian hijau itu.

Si gadis yang ternyata bernama Kirana itu segera menjawab dengan wajah cemberut ketus, "Jawab dulu pertanyaanku tadi! Ke mana kau akan pergi, Pranawijaya?! Kau tadi belum menjawab pertanyaanku tapi sudah kabur!"

Pranawijaya, pemuda tampan itu, tertawa kecil di sela kedongkolan hatinya, kemudian berkata, "Kirana, aku sudah dewasa, sudah besar, sama halnya dengan dirimu. Ke mana aku akan pergi, tak perlu kau tahu, Kirana! Kau memang punya perhatian padaku! Tapi tidak harus mengetahui segala hal sekecil apa pun dari apa yang kulakukan. Kita sudah sama-sama dewasa, jangan sama sama mengusik pribadi masing-masing!"

"Hmmm...! Kirana mencibir, semakin cantik ia jika mencibir dengan matanya yang bundar bening itu kian indah dipandangnya. Kirana berkata dengan wajah cemberut. "Pasti kau mau menemui Sedayu!"

Pranawijaya tersenyum, lalu tertawa dalam gumam dengan satu tangan bertolak pinggang, "Kalau memang benar begitu, kau mau apa?!" kata Pranawijaya.

"Jauhi dia!" Jawab Kirana dengan tegas dan ketus sekali.

Pranawijaya semakin memperpanjang tawanya.

"Dengar kataku, Prana!" bentak Kirana. Masih banyak perempuan lain yang layak kau jadikan sahabat atau layak kau cintai, tapi jangan Sedayu!"

"Cinta tidak bisa dirakit dan direncanakan, Kirana! Cinta tidak bisa diperintah, karena dia bergerak secara naluriah!"

"Pokoknya jangan kau dekati lagi Sedayu!" bentak Kirana. "Aku justru tega membunuhmu jika kau bercinta dengan Sedayu. Prana!"

Berkerut dahi Pranawijaya memandang tajam matanya kepada Kirana yang tampaknya bersungguh-sungguh itu. Perasaan heran dipendam dalam hati Pranawijaya ketika ia berkata, "Kau tak bisa melarangku, Kirana!"

"Aku melarangmu karena aku tak ingin membunuhmu! Tapi jika kau tak mau hiraukan laranganku itu maka jangan salahkan aku jika aku pun terpaksa tega membunuhmu. Prana!"

"Apa alasanmu? Apa alasanmu melarangku jatuh cinta pada Sedayu?"

"Kau tak perlu tahu alasanku!" ucap Kirana dengan wajah semakin kelihatan sangar-sangar cantik.

"Sedayu sangat baik padaku! Sedayu cantik dan ia mencintaiku juga, tapi ia tidak berani ucapkan sebelum aku mendului mengucapkan cintaku di depannya!"

"Tapi dia adalah perempuan iblis yang layak dibunuh!"

"Kirana!" sentak Pranawijaya kelihatan mulai geram kepada gadis berdada sekal dan montok itu. "Jangan kau memancing perselisihan denganku, Kirana! Aku pun bisa tega membunuhmu kalau kau memusuhi Sedayu, mengerti?!"

"Kau pikir aku takut dengan gertakan dan ancamanmu?!"

"Hmm...! Sama sekali tidak, Pranawijiya! Aku tetap akan membunuh Sedayu jika bertemu dengannya!"

"Kenapa?!" bentak Pranawijaya tak sabar lagi.

"Karena dialah yang membunuh guruku, Prana! Dia membunuh guruku dari belakang! Bukankah sikap seperti itu adalah sikap perempuan berjiwa iblis?!"

"Tutup mulutmu, Kirana?!" teriak Pranawijaya.

"Aku tak akan tutup mulut sebelum kau mau menuruti permintaanku, jangan dekati Sedayu dan jangan jatuh cinta dengan perempuan laknat itu!" kata Kirana dengan nada makin lama semakin tinggi.

"Soal dia membunuh gurumu, itu urusan pribadimu! Tak ada sangkut-pautnya dengan urusan pribadiku! Tak akan membuat aku berhenti mengejar cinta Sedayu!"

Kirana menghempaskan napas, mencoba menahan kemarahannya yang hampir saja meledakkan dada itu. Kemudian ia berkata dengan suara agak rendah, "Kalau kau mencintai dia, sedangkan aku harus membunuhnya, itu berarti kau akan membela dia dan kau akan bertarung denganku!"

"Apa boleh buat!"

"Kau bilang kita punya urusan pribadi masing-masing dan tak boleh saling mencampuri! Lalu aku punya urusan pribadi dengan Sedayu karena dia membunuh guruku. Jika kau ikut campur apakah itu namanya bukan kau ikut campur urusan pribadi ku?"

"Karena urusan pribadimu menyangkut urusan pribadiku, Kirana! Cinta adalah sesuatu yang sangat pribadi, hingga terasa pantas jika harus dibela sampai mati!"

"Tahi kucing soal cinta!" bentak Kirana meninggi lagi suaranya.

"Mungkin dugaanmu tentang pembunuh gurumu itu salah, Kirana. Mungkin bukan Sedayu yang membunuhnya!"

"Jelas Sedayu yang membunuhnya! la tinggalkan guruku setelah melemparkan tiga senjata rahasianya dari belakang. Guruku terkapar di bawah Cemara Tunggal, ia sangka saat itu Guru sudah mati, tapi ketika bertemu denganku, Guru masih sempat memberitahu siapa pelaku penyerangan itu. Setelah menyebutkan nama Sedayu. Guru pun wafat dan aku segera membawanya pergi dari Cemara Tunggal!"

"Ada apa gurumu ke Cemara Tunggal?"

"Itu urusan Guru, aku tidak tahu! Yang jelas sekarang, jauhi Sedayu atau kita bertarung lebih dulu sebelum tiba saatnya aku membunuh perempuan iblis itu!"

Srett...! Kirana segera mencabut pedang dari punggungnya. Matanya telah memperlihatkan sikap bermusuhan yang siap tarung itu. Maka Pranawijaya pun melayaninya dengan mencabut pedangnya dari pinggang.

"Baiklah kalau kau memaksa, Kirana! Kusanggupi desakanmu ini! Bersiaplah untuk mati demi membela gurumu, Kirana!"

"Kau pun bersiaplah untuk mati demi membela perempuan liar yang bersekutu dengan orang-orang Kobra Hitam itu!"

"Omong kosong!" bentak Pranawijaya dengan marah sekali. Lalu, ia pun segera melompat maju dengan kilatan pedangnya menyambar dada Kirana. Dengan cepat Kirana menangkisnya dalam satu ke lebatan.

Trangng...!

Begitu pedang tertangkis, kaki Kirana menjejak ke depan dengan kuatnya.

Wuttt...!

Beggh...! Perut Pranawijaya menjadi sasaran empuk tendangan cepat itu. Pranawijaya mundur dua tindak. Tapi ia tidak merasa gentar sedikit pun. Ia kembali menebaskan pedangnya dengan satu sentakan kaki maju ke depan.

Wuttt...!

Kirana menghindar ke samping hingga tebasan dari atas ke bawah yang seharusnya memenggal pundaknya itu terhindar jelas-jelas. Kirana membalas dengan menebaskan pedangnya bertubi-tubi ke tubuh Pranawijaya. Kegeramannya tercurah sambil melontarkan pekik, "Hiaattt...!"

Trang tang trang trang,..! Wugggh...! Trang! Behgg...! Plokk...!

Pukulan Pranawijaya mengenai wajah Kirana, tendangan kakinya yang memutar, menampar wajah itu juga. Kirana terhempas ke samping, dan jatuh dalam posisi tengkurap. Pada waktu itu Pranawijaya segera menebaskan pedangnya ke punggung Kirana sambil berteriak penuh amarah yang meluap, "Demi cintaku pada Sedayu, aku terpaksa harus membunuhmu, Kirana. Hiaaat...!"

Wuttt...! Tubb...!

"Aaaah...!"

Teriakan itu cukup keras dan mengejutkan. Bukan Kirana yang berteriak, melainkan Pranawijaya yang kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya, dan pedangnya sendiri jatuh ke tanah di depannya.

Kirana terkejut melihat Pranawijaya mengalami pembengkakan pada punggung tangan kanannya yang tadi dipakai menggenggam pedang itu. Punggung tangan tersebut menjadi bengkak dan membiru, Kirana tak tahu, bahwa pada saat Pranawijaya hendak mengayunkan pedangnya untuk membabat punggung, tiba-tiba sebutir batu kecil sebesar butiran jagung melayang dengan cepat. Mencelat dari satu sisi dan menghantam punggung lengan tersebut.

Pada saat itulah, Pranawijaya menjadi kesakitan, karena punggung tangannya bagaikan dihantam kuat kuat dengan sepotong besi baja. Sekujur tubuhnya terasa sakit, sepertinya ada urat yang ditarik dengan paksa. Rasa sakit itu membuat tubuh Pranawijaya lemas sekejap, hingga pedangnya jatuh. Ketika rasa sakit seluruh tubuhnya lenyap, kini se olah-olah semua rasa sakit bersarang di punggung tangannya.

Kirana yang merasa tidak melakukan hal itu segera membelalakkan mata dan berkata, "Siapa yang melakukan?!"

"Aku!" Jawab seseorang yang tahu-tahu sudah berada di belakang Kirana.

Cepat-cepat Kirana ber paling memandang ke belakang, dan dilihatnya seorang pemuda tampan seusia Pranawijaya telah berdiri dengan badan tegap, tinggi, dan wajah sangat menawan. Kirana terperanjat sesaat memandangi pemuda yang belum dikenalnya itu, kemudian wajah terperanjat itu berubah menjadi ketus dan berkesan benci.

Pranawijaya bergegas mengambil pedangnya dengan tangan kiri, kemudian berseru kepada si pelempar batu kerikil tadi, yang tak lain adalah Suto Sinting si Pendekar Mabuk. "Apa perlumu mengganggu urusan kami, heh?!" bentak Pranawijaya.

"Kau kejam! Kau ingin membunuhnya dari belakang!" Jawab Pendekar Mabuk. "Kalau memang kau kesatria berjiwa pendekar, hadapi dia dari depan, dan bunuh dia dari depan juga!"

"Persetan dengan omonganmu! Membunuhmu dari depan pun aku sanggup, Manusia usil! Hiaaat...!"

Pranawijaya menyerang Suto dengan menggunakan pedang di tangan kiri . Pedang itu ditebaskan ke perut Suto, tapi dengan sigap Pendekar Mabuk sedikit melompat mundur dan menangkisnya dengan gerakan bumbung yang sejak tadi sudah dijinjing nya itu.

Trakk...!

Cepat-cepat pula tangan itu ditendang dari bawah oleh Suto Sinting.

Plakkk..! Tangan pemegang pedang tersentak naik ke atas bagaikan disambar petir dari bawah. Karena keras sentakan tangan itu, pedang yang digenggamnya terlempar ke belakang.

Wurrsss..!

Jrab! Padang itu menancap ke tanah. Sedangkan Pendekar Mabuk cepat membuat gerakan berputar, dan kakinya menampar wajah Pranawijaya dengan kuat kuat.

Plakkk...! Pranawijaya terjerembab ke belakang. Kepalanya membentur batu. Dugggh ...! Tulang pipinya yang menjadi sasaran, hingga tulang pipi itu sedikit bengkak memerah.

Semua gerakan yang dilakukan Suto begitu cepat dan tak tertangkap pandangan mata Pranawijaya maupun Kirana. Menyadari gerakan secepat itu dari lawannya, Pranawijaya segera menggunakan pukulan jarak jauh. Ia melepaskan pukulan lewat dua jari telunjuk dan jari tengah yang disentakkan ke depan, seperti dicolokkan ke alam bebas.

Zlapp. zlapp...!

Dua sinar merah berbentuk pipih seperti dua lembar daun beringin, melesat mengarah ke tubuh Pendekar Mabuk. Tapi dengan gerakan cepat pula, Pendekar Mabuk menghadangkan bumbung tuaknya, sehingga dua sinar merah itu menghantam bumbung tuak tersebut.

Tubb tubb...! Wosss, wosss...!

Sinar merah itu membalik arah ke tempat semula dengan lebih cepat dan lebih besar. Pranawijaya terbeliak kaget, kemudian berguling-guling di rerumputan semak. Tetapi, satu dari dua sinar merah itu tak sempat dihindari. Sinar itu mengenai ujung pundak Pranawijaya.

Desss....!

"Aahg...!" Pranawijaya memekik dengan mata terpejam dan mulut menganga, wajahnya menyeringai.

"Jahanam kau! Hiaaat...!" Kirana yang terkejut melihat Pranawijaya terkena pukulan balik itu menjadi naik pitam. Ia melompat dan menebaskan pedangnya ke leher Suto. Dengan cepat Suto Sinting merendahkan badan sambil menadahkan bumbung tuaknya menggunakan dua tangan.

Pedang itu mengenai bumbung tuak. Benturan itu ternyata mempunyai saluran tenaga dalam yang cukup besar, sehingga tangan Kirana yang memegang pedang terlempar keras ke belakang, dan hampir saja copot dari engselnya jika tubuhnya tidak segera ikut terbawa terlempar dan jatuh berguling-guling.

"Kenapa kau justru menyerangku?! Aku membelamu. Bodoh!" sentak Suto yang merasa dongkol dengan sikap Kirana. Dilihatnya ke arah Pranawijaya, ternyata pemuda itu sudah melarikan diri dengan cepatnya sambil mengambil pedangnya yang menancap di tanah.

"Pranaa...!" teriak Kirana. Tapi ia tak segera mengejarnya karena ia melihat Pendekar Mabuk bergegas mau mengejar, sehingga Kirana justru menghadang di depan Suto.

"O, kau tak menghendaki pemuda itu kubawa kemari untuk meminta maaf kepadamu?!"

"Aku tak membutuhkan jasamu!" jawab Kirana dengan ketus.

"Aneh kau ini!"kata Suto sambil sunggingkan senyum di bibirnya. "Kau hampir mati. Aku menyelamatkan nyawamu, tapi kau justru memusuhiku? Begitukah caramu berterima kasih kepada seorang penolong?!"

"Aku tidak butuh pertotonganmu! teriak Kirana dengan gusar. Dia tidak mungkin membunuhku!"

"Kenapa?"

"Dia kakakku!"

"Ooo...!" Suto mangut-mangut sambil membuka tutup bumbung tuak. "Tapi agaknya kau menghalangi cintanya tadi! Seseorang bisa gelap mata dan tak mengenal saudara jika sudah terganggu cintanya! Dia bisa menjadi buas dan liar seperti seekor binatang!"

"Persetan celotehmu! Aku harus mengejar Prana agar tidak menemui Sedayu dan membocorkan rencanaku!"

"Hei, tunggu! Aku ingin tahu tentang Cemara Tunggal yang kau sebutkan tadi, Kirana!"

Kirana tidak peduli saat pemuda itu menyebut namanya, ia terus berlari mengejar Pranawijaya, kakaknya. Pendekar Mabuk meneguk tuak sebentar, kemudian segera mengejar Kirana dengan gerakan jurus silumannya.

Zlappp...! Dalam waktu sekejap, Suto Sinting sudah tiba di depan Kirana, membuat langkah gadis cantik itu ter henti dan terperanjat melihat Suto tahu-tahu sudah ada di depan langkahnya, antara lima tombak.

"Kau tadi kudengar menyebut nyebut tentang Cemara Tunggal! Aku ingin tahu tentang Cemara Tunggal itu, Kirana!"

"Tanyakan pada nenek moyangmu! Jangan ke padaku!" ketus Kirana sambil bergegas meninggal kan tempat. Tapi tangan Suto sempat meraih dan mencekal lengan Kirana, sehingga gadis itu terhenti dan mengibaskan pegangan tangan Suto dengan wajah masih cemberut.

"Jangan ganggu aku lagi! Kau dan aku tidak ada hubungan apa apa, dan tidak punya persoalan apa-apa!" kata Kirana.

"Percayalah padaku, Kirana...! Kalau kau berkeras hati melarang Pranawijaya bertemu dengan Sedayu, kau pasti akan dibunuh! Kulihat cahaya cinta Pranawijaya pada Sedayu sangat berkobar-kobar. Kulihat kobaran itu tampak jelas di kedua matanya saat kau menghina Sedayu!"

"Aku tak peduli ! Dan ingat..., aku tak butuh pertolonganmu! Jangan melindungi aku!" sentak Kirana dengan amat ketus dan galak, ia sengaja bersikap begitu, karena sebenarnya ia merasa takut kepada hatinya sendiri. Hatinya saat itu berdebar-debar dan menimbulkan letupan-letupan keindahan pada saat memandang ketampanan Suto Sinting itu.

Kirana ingin membuang letupan indah itu agar ia tidak terperangkap oleh khayalannya sendiri dengan bersikap galak. Namun sikap galak itu justru membuat Suto Sinting melebarkan senyumannya, dan senyuman itulah yang menjadikan Kirana semakin gelisah dicekam keindahan yang nyaris menjerat hatinya. Maka, dengan cepat ia pun melarikan diri menggunakan tenaga peringan tubuhnya. Dan Pendekar Mabuk mengejarnya terus, karena ingin tahu tentang Cemara Tunggal yang tadi ia dengar disebutkan Kirana.

* * *

EMPAT
Di Lereng Tudung Bumi sedang terjadi keributan. Lereng Tudung Bumi adalah tempat tinggal Sedayu bersama beberapa murid-murid peninggalan mendiang gurunya. Sejak gurunya wafat, Sedayu-lah yang berkuasa di perguruan tersebut dan menjadi guru bagi para murid yang pada umum-nya terdiri atas perempuan itu.

Tetapi saat ini, Perguruan Tudung Bumi sedang diserang oleh orang-orang dari Kobra Hitam, dipimpin langsung oleh Ekayana, yang berjuluk Malaikat Maha Pedang itu. Pada mulanya Ekayana hanya ingin menangkap Sedayu. Setidaknya ia ingin berbicara lebih dulu dengan Sedayu tentang pembunuhan beracun yang menewaskan orang-orang Kobra Hitam itu. Tetapi Sedayu menanggapinya dengan marah, karena beberapa orangnya Ekayana yang sudah mengepung perguruan itu dianggap sudah merupakan penyerangan dengan maksud tak baik.

Sedayu pun segera memerintahkan murid-muridnya untuk menyerang orang-orangnya Ekayana. Di depan Ekayana, Sedayu berkata, "Serang mereka! Jangan biarkan satu pun yang mengepung tempat kita! Itu sudah merupakan tindakan yang jelas bermusuhan!"

"Tunggu!" Ekayana berteriak. "Aku perlu bicara dulu padamu Sedayu! Kalau memang bisa, aku tak ingin ada pertumpahan darah di antara kita, Sedayu!"

"Kau telah mengawali pertumpahan darah dengan memotong telinga anak buahku yang berjaga di perbatasan, Ekayana!"

"Karena aku terpaksa dan perlu memberi pelajaran padanya!" jawab Ekayana membela diri.

Tapi Sedayu tetap berkata, "Itu sudah merupakan tantangan bagi kami!"

"Aku minta maaf!"

"Bisa kumaafkan, tapi harus kau ganti dengan daun telingamu sendiri yang harus kupotong!"

"Sedayu..?!" geram Ekayana.

Sedayu berseru kepada anak buahnya, "seraaang!"

Ekayana pun berteriak kepada anak buahnya, "Hancurkan mereka!"

Maka, terjadilah pertempuran hebat antara kelompok Ekayana dengan kelompoknya Sedayu. Anehnya, Ekayana justru meninggalkan Sedayu dan membabat habis beberapa anak buah Sedayu. Sementara itu, Sedayu pun cukup banyak menewaskan anak buah Ekayana yang jumlahnya lebih dari dua puluh lima orang itu.

Sedayu mempunyai kekuatan pertahanan tak seimbang dengan orang-orang ganas dari Lembah Kabut, Perguruan Kobra Hitam itu. Dalam waktu tak terlalu lama, tinggal beberapa anak buahnya yang masih tersisa. Melihat keadaan begitu, Sedayu segera melarikan diri, dan Ekayana mengejarnya. Pedang yang sudah bermandikan darah itu masih tergenggam di tangan Sedayu dan Ekayana.

Pelarian Sedayu tiba di lereng sebuah bukit yang jarang ditumbuhi oleh pepohonan tinggi, hanya beberapa semak menggerumbul terpisah di sana-sini, bebatuan yang menjulang tinggi, dan rumput kering di sekelilingnya.

Di sana, Ekayana berhasil melepaskan pukulan jarak jauhnya yang membuat Sedayu terpelanting dan jatuh. Pelarian Sedayu untuk sementara waktu terhenti. Kini ia berhadapan dengan Ekayana, orang yang sering datang membawa segenggam kemesraan padanya, dan Sedayu pun sering memanfaatkan kemesraan itu sebagai pengisi hatinya yang kosong, sebagai pemuas dahaganya yang selalu kerontang jika tak jumpa Ekayana dalam sepekan.

Tapi agaknya kali ini Ekayana datang tidak membawa segenggam kemesraan, melainkan segenggam maut di ujung pedang. Sedayu sendiri siap mencabut maut tersebut dengan petaka yang sudah disiapkan di ujung pedangnya pula. Pukulan jarak jauh itu hanya membuat nyeri di tulang belakang. Tapi Sedayu cepat mengatasi rata nyeri itu dengan menghirup napas panjang-panjang dan menahannya beberapa saat.

Perempuan berpakaian biru muda itu kini tegak di depan lelaki berpakaian kulit bulu beruang putih yang tanpa lengan, menyerupai rompi panjang itu. Mereka saling berpandangan mata tajam beberapa saat, kemudian Sedayu yang membuka suara lebih dulu,

"Tak kusangka kau keji padaku, Ekayana!"

"Karena kau pun kejam terhadapku, Sedayu!"

"Di mana letak kekejamanku padamu? Bukankah setiap kau datang aku selalu menyambutnya dengan hangat?"

"Tapi kau punya rencana busuk di balik kehangatan cintamu, Sedayu! Kau telah menyebar racun di antara orang-orangku, sehingga cukup banyak jumlah yang mati termakan racun Getah Tengkorak yang kau sebar di Lembah Kabut itu!"

"Apa yang kau bicarakan sebenarnya, Ekayana?! Kau seperti bayi yang tidur siang hari dan sedang mengigau!" kata Sedayu sambil berkerut dahi menandakan keheranannya.

Ekayana menahan luapan amarahnya sambil sesekali menggelutukkan giginya, dan berkata kepada Sedayu, "Jangan berpura-pura bodoh, Sedayu! Pasti akulah sasaran yang akan kau bunuh, karena kau sudah bosan padaku! Kau ingin menyingkirkan diriku, dan sekaligus ingin menjadikan perguruanmu menjadi terkuat di jajaran Tanah Selatan ini. Lalu kau sebarkan racun itu pada malam hari! Entah siapa yang kau suruh, tapi aku yakin kau ada di balik racun itu Sedayu!"

"Kurobek mulutmu jika berani bicara selancang itu lagi, Ekayana!" geram perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu. "Aku tak punya tindakan sebodoh itu! Kalau aku mau, cukup dengan membunuhmu, aku bisa menggemparkan dunia persilatan di Jajaran Tanah Selatan!"

"Kalau kau tak bersalah, kau tak akan lari, Sedayu! Dan kemana arah tujuanmu melarikan diri, sudah dapat kuketahui! Pasti kau akan minta bantuan kepada Pranawijaya! Pria itu yang sekarang mengisi hatimu, bukan?!"

"Tutup mulutmu, Ekayana!" bentak Sedayu dengan gusar.

Ekayana tertawa keras hingga tubuhnya terguncang-guncang. Ia kegirangan melihat wajah Sedayu menjadi merah karena tertebak hatinya. Tapi ia tak tahu bahwa hal itu justru membuat Sedayu menjadi bertambah benci dan murka kepadanya. Karena itu, Sedayu pun segera melepaskan serangan pedangnya lebih dulu.

"Hiaaah...!"

Wusss...! Pedang Sedayu menebas leher Ekayana, tapi dengan cepat Ekayana tahu-tahu sudah berada di belakang Sedayu. Pedangnya ditebaskan dari atas ke bawah dengan tujuan membelah punggung Sedayu. Tetapi, Sedayu sudah lebih dulu berputar balik, sambil kelebatkan arah pedangnya ke arah Ekayana.

Trangng...! Pedang Ekayana yang hampir membelah tubuh Sedayu itu berhasil ditangkis. Tetapi, Ekayana segera memutar badan dan sentakkan kaki.

Wuttt...! Wess.,.! Plok!

Wajah Sedayu terkena tendangan kuat. Terlambat sedikit saja kaki Ekayana bergerak mundur setelah menendang, maka ia akan menjadi buntung dibabat pedang Sedayu. Tapi karena gerakan kaki begitu cepatnya, maka wajah Sedayulah yang menjadi sasaran, membuat Sedayu terpental antara tujuh langkah jauhnya.

Pada saat Sedayu dalam keadaan bergegas bangkit, Ekayana sudah menusukkan pedangnya dari jarak jauh. Maka, seberkas sinar kuning melesat dari ujung pedang itu.

Zlappp...! Sinar kuning seperti kumpulan benang-benang kasur itu menghantam tubuh Sedayu. Tetapi sebelum sempat mencapai tubuh Sedayu, seberkas sinar putih perak melesat dan mematahkan gerakan sinar kuning tersebut.

Duarrr...!

Tubuh Sedayu jatuh tersungkur lagi karena gelombang ledakan itu menghentak kuat. Ia terguling-guling tiga kali, kemudian segera berpegangan pada salah satu sisi batu. Ia menghempaskan napas kelelahan di sana, kemudian cepat bangkit berdiri dengan bersiap menyerang Ekayana. Tapi alangkah terkejutnya Sedayu setelah mengetahui, ternyata di depannya ada Pranawijaya yang sedang memunggungi, dan berhadapan dengan Ekayana.

"Pranawijaya, menyingkirlah! Biar kuhadapi dia!"

Pranawijaya menjawab dengan tanpa memandang Sedayu, tapi menatap Ekayana yang tampak menyunggingkan senyum tipis sambil mengusap-usap kumis tipis di wajahnya. "Istirahatlah, Sedayu! Orang ini bagianku!"

"Aha...! Seorang ksatria datang mau menolong tuan putri yang cantik?! Duhai... seperti dongeng sebelum bayi tidur saja! Ha ha ha ha...!"

"Tutup bacotmu, Ekayana! Kita selesaikan perkara ini secara jantan...!" tantang Pranawijaya sambil mencabut pedangnya. Dalam hati ia menggerutu, "Sial! Gara-gara tanganku masih memar akibat terlempar kerikil di sana, pegangan pedangku masih belum begitu kuat! Tapi lumayan, luka di pundakku sudah bisa kusembuhkah dengan hawa murniku sendiri, walaupun masih terasa mengilukan tulang sebelah kanan..."

Terdengar suara Ekayana berseru, "Orang gendeng...! Kalau kau sudah bosan hidup, majulah, biar perempuan itu tahu bagaimana cara membelah kepalamu seperti membelah sebuah semangka!"

"Kau benar-benar manusia banyak bacot, Ekayana! Heaaah....!"

Ekayana diam saja ketika Pranawijaya maju menyerang dalam satu lompatan. Pedang segera ditebaskan. Tapi serta-merta Ekayana bergerak menangkis dengan cepat sekali.

"Auuhg...!" Pranawijaya terpekik. Gerakan pedang Ekayana yang berkelebat cepat itu merobek perut Pranawijaya. Segera tangan kiri Pranawijaya mendekap lukanya dengan jatuh terlutut di tanah. Kalau pada saat itu, Ekayana segera menyerang, ia pasti bisa dengan mudah memenggal kepala Pranawijaya.

Tetapi Ekayana segera meninggalkan Pranawijaya, karena dilihatnya Sedayu segera melarikan diri begitu melihat Pranawijaya terkena sabetan pedang lawan. Ekayana berlari mengejar Sedayu sambil berseru, "Jangan lari kau, Sedayu...! Aku tak akan kehilangan jejakmu walau kau lari ke lubang semut sekalipun!"

Pranawijaya tak bisa mengejar Ekayana. Ingin rasanya ia menahan pemuda itu agar tidak mengejar Sedayu. Tetapi luka di perutnya itu cukup membuat ia gemetar sekujur tubuh dan panas dingin. Maka, segera ia mencari tempat dan melakukan semadi secepatnya, ia memompa hawa murninya ke perut, supaya lukanya tak menjadi parah. Toh luka itu sendiri tidak sampai ke bagian yang paling dalam. Masih bisa disembuhkan dengan hawa murninya.

Sementara itu, Ekayana benar-benar tak memberi kesempatan Sedayu untuk melarikan diri, ia berhasil mencegat Sedayu di tanah datar berpepohonan lebat itu. Sedayu terpaksa menghentikan langkahnya dan kembali bersiap menghadapi pedang Ekayana. Dalam hati Sedayu pun mengakui kehebatan pedang Ekayana,

"Gerakan pedang orang ini memang hebat. Rasa-rasanya aku sedang dipermainkan olehnya! Kalau dia mau, dia bisa membunuhku saat Pranawijaya belum datang! Buktinya, ia bisa lukai Pranawijaya dengan secepat itu!"

"Sedayu!" seru Ekayana. "Mau lari ke mana lagi? Ketempat yang rimbun? Merayuku untuk bercumbu? Oh. tidak! Tidak bisa, Sedayu! Saat ini bukan saat bercumbu, tapi saatku membalas kematian orang orangku yang kau musnahkan dengan racunmu itu!"

"Aku tidak melakukannya!" bentak Sedayu. Tapi kalau kau tetap menganggapku begitu, apa pun keinginanmu akan kulayani! Jangan anggap hanya kau yang jago main pedang! Aku pun bisa menandingi-mu!"

"Bagus! Aku lebih suka membunuh orang yang punya ilmu pedang, daripada yang hanya punya ilmu memuncakkan gairah! He he he...!"

"Manusia berotak kotor! Terimalah pedang 'Jegal Baja'-ku ini! Hiaaat!" Sedayu melompat menyerang, pedangnya menebas cepat ke kiri dan ke kanan bagai membuat garis silang beberapa kali. Ekayana sempat mundur dua tindak, kemudian dengan cepat ia kelebatkan pedangnya dari bawah ke atas.

Wrruttt....! Trangng...!

Pedang Sedayu terpental melayang jauh. Perempuan itu menjadi tegang karena tanpa pedang lagi di tangannya. Ekayana tersenyum menang. Tapi segera ia menghentakkan kakinya ke depan, melangkah satu kali dan pedangnya menebas miring dari bawah kanan ke atas kiri.

Wesst...! Trangngng...!

Sepotong dahan kering melesat menghalangi gerakan pedang itu. Sepotong dahan itu terbelah menjadi dua, padahal seharusnya dada Sedayu yang sekal itu yang terbelah menjadi dua. Ada seseorang yang menyerang dan melemparkan sebatang dahan itu. Ekayana segera mencari orang itu ke samping kanan-kiri. Tapi ketika ia menengok ke belakang, tiba-tiba sebuah kaki menjejak wajahnya dengan sangat kuat dan cepat.

Plookk..!

"Uhff...!" Ekayana terpental ke belakang, jatuh terkapar di rerumputan. Dengan cepat ia kibaskan pedangnya sambil tiduran ketika sebatang tongkat hendak menancap di dadanya. Trakk...! Lalu, dengan sentakan pinggang, Ekayana melenting naik dan berdiri dengan tegap lagi. Kedua tangannya menggenggam pedang, matanya melirik tajam ke arah seseorang yang ada di samping kirinya.

"Bangsat tua...! Kau rupanya!" geram Ekayana yang sudah mengenali tokoh tua bertongkat itu tak lain adalah Nini Pasung Jagat.

* * *

LIMA
TERLINTAS dugaan kuat di dalam pikiran Ekayana, "Jangan-jangan nenek tua ini yang menabur racun di Lembah Kabut?! Karena sudah tiga kali dia bentrok denganku, satu kali bentrok dengan Brajawisnu!"

Ekayana membiarkan Sedayu mencari pedangnya yang mental tadi. Kini perhatian Ekayana lebih tertuju kepada tokoh tua yang sudah lama dikenalnya. Bahkan sama seperti dulu, setiap bertemu dengan tokoh tua itu, sepertinya bentrokan harus terjadi dan tak pernah bisa dielakkan. Kali ini pun tokoh tua itu sudah memancarkan sinar permusuhan di dalam tatapan matanya yang cekung dan angker itu.

"Kakekmu sudah kubantai mati!" kata Nini Pasung Jagat.

Terperanjat Ekayana mendengarnya. Jantungnya bagaikan mau berhenti saat itu juga. Tapi ia bertahan untuk tenang dan membantah pengakuan tersebut dengan berkata, "Tidak mungkin! Kau tidak mungkin unggul melawan kakekku!"

"Padmanaba tidak ada sekuku hitamnya jika dibandingkan dengan kesaktianku, Ekayana! Tengoklah di pesisir, barangkali bangkainya masih tersisa beberapa bagian, kalau belum habis dimakan burung!"

"Tidak mungkin!" bentak Ekayana mlaui naik pitam.

"Mungkin saja! Sebab dia tidak mau tunjukkan padaku di mana dia simpan pusaka itu?! Dia tidak mau serahkan pusaka peninggalan guru kami, sehingga dia serahkan nyawanya secara cuma-cuma! Hik, hik, hik hik...! " Nini Pasung Jagat tertawa terkikik-kikik.

Ekayana menggeram. Dadanya naik turun karena napasnya terengah-engah menahan luapan amarah. Bahkan ia biarkan Sedayu yang diam-diam melarikan diri darinya. "Agaknya memang benar pengakuan itu," kata Ekayana di dalam hatinya.

"Kakek selama ini tidak tahu apa yang kulakukan di dalam tubuh Perkumpulan Kobra Hitam ini! Kakek selama ini menganggapku sebagai orang baik-baik yang layak menerima sebuah pusaka jika memang waktunya tiba dan dirasakan sudah saatnya harus ada di tanganku. Kakek pernah bilang, bahwa pusaka itu diincar terus oleh Nini Pasung Jagat. Rupanya sekaranglah saatnya bagi si nenek tua ini untuk mendesak Kakek Padmanaba untuk mendapatkan pusaka itu, dan aku percaya kalau Kakak Padmanaba mempertahankan sampai mati! Tapi aku tak pernah tahu apa dan di mana pusaka itu sebenarnya. Kakek tak pernah mau menceritakannya kepadaku, sekalipun aku adalah cucu kesayangannya!"

Nini Pasung Jagat segera lontarkan kata kepada Ekayana yang menatapnya dalam bungkam, tak berkedip, dan tetap menggenggam pedangnya yang siap tebas itu. "kalau kau seorang cucu yang cerdas dan pintar, kau tentunya tidak akan mengikuti jejak kakek mu yang bodoh itu! Kalau kakekmu bertahan sampai kehilangan nyawanya dan tak mau serahkan pusaka itu, tentunya kau tak akan ikut-ikutan menyerahkan nyawa kepadaku jika aku inginkan pusaka itu, Ekayana. Bukankah begitu. Nak?!"

"Persetan dengan bujukanmu! Aku tak tahu-menahu tentang pusaka itu!" bentak Ekayana dengan marahnya. "Yang kupikirkan sekarang, bagaimana menanam mayatmu nanti jika kau telah kupotong-potong dalam satu jurus pedangku ini!"

"Hi hi hi hik...!" Nini Pasung Jagat menertawakan. Bocah ingusan seperti kamu berlagak mau menggertak ku yang tua begini? O, alaa... Nak, Nak! Sadarlah bahwa nyawamu tadi sudah di ujung tongkatku ini! Kalau aku tidak kasihan padamu, sudah melayang sejak tadi sukmamu itu, Ekayana! Tapi karena aku yakin, kau pasti tahu di mana pusaka itu disimpan, maka kuharap kau mau menyebutkannya, walau tak harus mengambilnya sendiri. Biarlah aku yang mengambilnya!"

"Dasar Nenek budek! Sudah kubilang, aku tak tahu menahu tentang pusaka itu, tapi masih saja memancing kemarahanku untuk segera meledak sekarang juga! Kalau memang itu maumu, terimalah jurus 'Pedang Pembelah Petir' ini, heaaah...!"

Ekayana melompat menyerang dengan cepat. Pedangnya ditebaskan dalam beberapa gerakan tapi kelihatannya hanya satu gerakan. Dan hal itu membuat Nini Pasung Jagat tersentak mundur lalu ber salto ke belakang satu kali dan ganti menebaskan tongkatnya untuk menggempur kepala Ekayana.

Wuesss...!

Dengan lincah Ekayana bergerak ke samping dan mengirimkan tendangan miring kepada lawannya.

Wuttt...! Degg...!

Tendangan itu ditahan dengan kepala tongkat, kemudian kepala tongkat menyodok ke depan mengikut gerakan kaki Ekayana.

Buhgg...!

"Ehg...! Ekayana mendelik, perutnya bagai di sodok dengan batu sebesar gunung. Ia terpental ke belakang hingga berguling-guling dan membentur pohon tubuhnya. Ekayana tak bisa bernapas dalam beberapa kejap. Nini Pasung Jagat menyerangnya lagi sebelum anak muda itu kelihatan segar kembali. Kali ini ia melepaskan pukulan tenaga dalam melalui sentakan tangan kirinya.

Wuttt..!

Sinar merah terlepas dan melesat menghantam Ekayana, Tapi oleh Ekayana sinar itu ditangkisnya dengan menghadangkan pedangnya di depan wajah. Pedang itu keluarkan cahaya perak berkilauan, seluruh tubuh pedang yang memancar membentuk perisai. Dan sinar merah itu menghantam cahaya perak yang berkilauan dengan kuat.

Blarrr...!

Mau tak mau Ekayana kembali terpekik tertahan, karena gelombang ledakan itu sangat kuat menghantam dadanya, sementara Nini Pasung Jagat hanya tersentak mundur antara tiga tindak, ia terhuyung-huyung mau jatuh, namun buru-buru bertahan pada sebuah pohon besar.

"Edan! Pukulan apa tadi yang dilepaskannya padaku?!" pikir Ekayana sambil bergegas bangkit dengan melalui rambatan pada sebatang pohon. "Kulit tubuhku terasa mau pecah dan tercabik-cabik terhantam ledakannya tadi. Untung aku bisa menahannya, kalau tidak, habislah riwayatku tadi! Agaknya ia cukup tangguh untuk ditumbangkan! Ia bisa lolos dari gerakan jurus 'Pedang Pembelah Petir' tadi. Biasanya lawan yang kuserang dengan jurus itu tubuhnya akan terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Jurus itu sukar dihindari atau ditangkis! Tapi nenek tua itu ternyata mampu menyelamatkan diri dari jurus pedangku itu! Luar biasa!"

Napas dihela dalam-dalam beberapa kali. Ekayana memandang kanan-kiri, melihat arah pelarian Sedayu sambil berpikir, "Bimbang juga pikiranku, Sedayu atau nenek tua ini yang sebenarnya menaburkan racun Getah Tengkorak?! Jika nenek ini yang berbuat, mengapa Sedayu melarikan diri? Pasti dia menghindar dari maut karena merasa bersalah! Kalau begitu, Sedayu saja yang kucecer lebih dulu! Urusan nenek edan ini nanti saja, setelah kuselesaikan urusanku dengan Sedayu, baru aku menuntut balas atas kemauan kakek dari tangan si nenek edan ini!"

Tiba-tiba terdengar suara Nini Pasung Jagat menyentak keras, "Ekayana! Kalau kau bersikeras ingin menyerahkan nyawa daripada menyerahkan pusaka itu, maka terimalah jurus 'Rembulan Jantan' ini, hiaaah...!"

Sebuah pukulan tongkat yang memutar memercikkan cahaya kuning bagai piringan. Cahaya kuning itu melayang, melesat cepat dalam keadaan datar. Clappp...! Begitu cepatnya sampai-sampai tak memberi kesempatan Ekayana untuk menarik napas, ia segara kibaskan pedangnya dengan memutar di atas kepala juga, dan dari kibasan itu keluar percikan sinar merah yang membentuk piringan bundar pula.

Clapp...! Blarrr...! Glarrr...!

Begitu dahsyatnya ledakan itu hingga bisa terjadi dua kali. Itu karena kedua sinar maut sama sama berkekuatan tinggi dan sama sama ingin tetap menyerang lawan. Akibatnya ledakan kedua adalah ledakan penghabisan dari sebuah serangan yang dahsyat. Dua kali ledakan dahsyat itu membuat Nini Pasung Jagat terpental dan tubuhnya jatuh terjepit di sela dua pohon yang merapat tumbuhnya itu.

Sementara Ekayana jatuh di atas semak semak berduri yang rimbun. Tubuhnya tergores duri bagai disergap mata pisau ratusan buah. Untunglah Ekayana cepat gunakan ilmu peringan tubuhnya, sehingga duri duri itu tidak sempat menancap di kulit tubuhnya dan ia segera melesat lompat dari sana.

Sementara itu, Nini Pasung Jagat terpaksa menghentakkan kedua tangannya ke kanan kiri dan merubuhkan dua pohon itu sekaligus dalam satu kali hentakan kuat.

Krakkk...Brukk! Grubukkk...!

Kalau tidak begitu, ia tidak bisa lepas dari himpitan dua pohon yang tumbuhnya merapat itu. Ia tersangkut dan terjepit kuat hingga sukar meloloskan diri dengan cara wajar. Melihat Nini Pasung Jagat berusaha meloloskan diri, Ekayana segera sentakkan kakinya dan melesat pergi tinggalkan tempat.

Saat itu Nini Pasung Jagat tidak melihat gerakan minggat Ekayana. Ia hanya tertegun bingung dan celingak-celinguk begitu bisa lepas dari dua pohon yang menghimpitnya itu. Ia mencari-cari Ekayana yang disangka mati di suatu tempat. Namun begitu ia melihat kelebatan Ekayana di kejauhan sana, ia pun menggeram sambil memukulkan tongkatnya ke tanah. Setelah itu segera mengejar Ekayana sambil berkata dalam hati.

"Anak itu harus kutemukan, harus kutangkap! Tidak akan kubunuh sebelum kupaksa ia menjawab di mana pusaka kakeknya itu berada! Jika memang ia tak tahu atau tetap ngotot, terpaksa harus kubunuh daripada kelak ia membokongku dari belakang! Sudah tentu ia tidak akan tinggal diam setelah tahu akulah yang membunuh kakeknya!"

Kalau tidak karena punya dugaan kuat kepada Sedayu sebagai orang penyebar racun di Lembah Kabut, Ekayana pasti akan menggempur terus ke adaan Nini Pasung Jagat tadi. Tapi kali ini agaknya ia harus melupakan hal itu dan mengejar sedayu dengan mengandalkan gerak nalurinya.

Sayang di penjalanan ia sempat melihat Tanjung Bagus, yang berambut panjang selewat punggung, memakai bunga kemboja putih di atas telinga kanan nya. Cepat-cepat Ekayana menghampiri lelaki yang berdandanan wanita, dengan wajah cantik dan berkesan binal itu. Pakaian pinjung sebatas dada menutupi gundukan daging yang tak seberapa besar tapi berkesan montok. Celana dan pinjung ketat warna kuning itu dirangkapi kain jubah warna merah jambu.

Bagi lelaki yang belum tahu siapa Tanjung Bagus itu, maka ia akan terangsang melihatnya karena dianggap sebagai perempuan yang punya daya pikat tinggi dan menggairahkan. Padahal orang itu sebenarnya seorang lelaki yang punya nama asli Legowo. Ekayana melompat dan tahu-tahu berdiri di depan Tanjung Bagus.

Orang itu memekik genit dan latah, "Eh, alah... kadal, babi, kambing, cicak, semut, gajah...! Iih! Bikin kaget saja kamu!" sambil tangannya melambai dan tubuhnya melenggok ganjen.

Kalau Ekayana tidak sedang marah, ia akan tertawa dan terus menggoda kelatahan Tanjung Bagus. Tapi karena ia sedang marah kepada gurunya Tanjung Bagus, maka wajah Ekayana tetap diam, dingin, dan memancarkan nafsu untuk membunuh. Tanjung Bagus sedikit curiga, tapi ia hanya meliriknya dengan pasang gaya genit supaya menarik minat lelaki tampan di depannya. Bahkan ia berkata,

"Lain kali kalau mau temui aku jangan gitu, ah! Kita kan kaget, Ekayana! Mau apa sebenarnya kamu, ha? Mau apa? Ngomonglah! Aku siap menerima ajakanmu untuk apaaa... saja!" lalu ia tersenyum nyengir, Menurutnya senyuman itu manis, tapi menurut Ekayana memuakkan.

Ekayana diam saja, masih membisu di tempat Tanjung Bagus memandangnya dengan mata nakal. Senyumnya adalah senyum jalang yang biasa dipakai menggoda lelaki atau lebih tepatnya menjebak lelaki yang diminatinya. "Mau apa kamu menghadangku, Ekayana? Ngomonglah...!"

"Mau membunuhmu!" bentak Ekayana keras membuat Tanjung Bagus terlonjak kaget dan berucap latah,

"E, alah... babi, kambing, tikus, bebek, kucing, ayam...! Aduh, suaramu itu lho! suka bikin jantung cotot, eh... comot, eh...copot!"

Tanjung Bagus bahkan berjalan melenggok lenggok mendekati Ekayana seraya berkata lagi, "Datang-datang kok mau membunuhku? Ada masalah apa, Ekayana? Kamu kalau sedang cemberut gitu ganteng sekali lho! Betul kok!"

Srett...! Wutt...! Pedang dicabut, ditebaskan dari bawah ke atas dalam satu gerakan mencabut.

Crasss...! Tanjung Bagus diam, memandang Ekayana dalam senyum. Tapi senyumnya itu lama-lama kendor. Tanjung Bagus tetap tak bergerak dan tak berkedip. Lama lama tubuhnya mulai meliuk mau tumbang, perut sampai dada robek dalam, bahkan leher pun sempat robek karena tebasan kilat pedang Ekayana. Brukkk...! Tanpa bicara 'A', I atau U, Tanjung Bagus rubuh dan tak bernyawa lagi.

Ekayana yang sejak tadi juga diam dengan pedang terangkat habis dipakai menyabet tubuh lawannya, kali ini menarik badannya yang melangkah maju menjadi sejajar tegak. Pedangnya pun sudah diturunkan. Wajahnya masih berkesan bengis.

"Tak dapat membunuh gurunya, muridnya pun jadi!" katanya. "Tapi ini belum lunas! Nini Pasung Jagat masih harus membayar nyawa kakek dengan nyawanya sendiri!" sambil menggumam begitu, Ekayana membersihkan darah dipedangnya memakai rambut mayat Tanjung Bagus. Dan tanpa ia sadari, hal itu dilihat oleh Nini Pasung Jagat dari kejauhan sehingga berteriaklah nenek ganas itu.

Wess...! Ekayana cepat tinggalkan tempat, tak mau melayani Nini Pasung Jagat yang segera mendekati mayat muridnya. Ia terperanjat kaget melihat Tanjung Bagus sudah tidak bernyawa lagi. Ia berseru, "Banci...! Banci, kau mati, Nak...? Oh, murid ku...?!" Nini Pasung Jagat meratap.

Tanjung Bagus satu-satunya murid yang setia padanya, karena itu Nini Pasung Jagat sangat sayang kepada Tanjung Bagus walaupun anak itu banci. Melihat kematian muridnya, Nini Pasung Jagat meluap murkanya kepada Ekayana. Bahkan ia berteriak sambil mengangkat kedua tangannya yang memegangi tongkat di sebelah kanan itu, "Ekayana...! Aku bersumpah akan membunuh mu untuk menebus kematian muridku! Tunggu aku, Ekayanaaa...!"

Entah mendengar atau tidak Ekayana saat itu, yang jelas pemuda berpakaian kulit beruang putih bercelana hitam itu berlari mengikuti petunjuk nalurinya dalam mengejar Sedayu. Dan ternyata, Sedayu memang ada dalam arah yang dituju.

Tetapi ternyata Pranawijaya sudah lebih cepat bergerak memotong jalan dan berhasil menyusul Sedayu. Keadaan luka di perut PranawiJaya telah tertutup kain pengikat pinggang, dan beberapa ramuan daun telah dimakan dan diborehkan pada lukanya itu. Keadaan tersebut membuat Pranawijaya tak berkurang kekuatannya. "Sedayu...! panggilnya dari belakang.

Sedayu menoleh dan juga berseru kaget, "Prana...! Oh, Prana... syukurkah kau selamat!"

Sedayu memeluk Pranawijaya. Agaknya memang hati perempuan itu saat ini sedang tertuju pada Pranawijaya, sehingga dengan erat dan hangat ia memeluk Pranawijaya, bahkan menciuminya penuh gairah.Tetapi kecemasan telah membuat gairah itu surut dan terpendam untuk sementara waktu.

"Dia masih mengejarmu, Sedayu?"

"Ya. Masih! Tapi tadi kulihat dia bertarung dengan tokoh tua, dan aku punya kesempatan melarikan diri kemari! Oh, syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi Prana!" sambil Sedayu memeluk Pranawijaya lagi.

"Tenangkan hatimu! Aku punya tempat persembunyian yang cukup aman buat kita, Sedayu!" sambil tangan Pranawijaya mengusap usap rambut Sedayu yang bersandar di dadanya dengan hangat. "Di sana kau aman dari gangguan siapa saja. Sedayu! Kau bisa istirahat dengan tenang!"

Tiba-tiba ada yang menyahut, "Iya. Kuburan itulah tempatnya beristirahat dengan tenang!"

Pranawijaya terkejut, demikian pula Sedayu, ia buru-buru menjauhkan jarak dengan Pranawijaya. Keduanya buru-buru memandang ke atas pohon, ternyata di sana sudah bertengger seorang gadis cantik berpakaian kuning gading. Dialah Kirana!

Wuggg...! Kirana melompat turun dari atas pohon. Jaraknya hanya tiga langkah dari depan Sedayu. Matanya memancarkan gairah untuk membunuh Sedayu. Tetapi Sedayu tak gentar sedikit pun, bahkan berkata dengan nada menggeram gemas, "Bocah usil! Begitukah kerjamu setiap hari mengintip orang yang sedang bermesraan?!"

"Kerjaku setiap hari mengincar kamu untuk ku bunuh, Sedayu!" Kirana bicara dengan keras dan berani.

"Kirana, jaga bicaramu!" Pranawijaya membentak.

Tapi Kirana justru bersuara lebih keras lagi, "Kau boleh berada di pihak dia, Prana! Aku tak akan gentar melawan kalian berdua!"

"Bocah bodoh kamu ini! Tak ada masalah apa apa mau membunuhku?!"

"Kau yang berlagak bodoh. Sedayu! Kau telah membunuh guruku, tapi berlagak tidak mempunyai masalah apa apa denganku?!"

"Ooo... jadi kau menuntut kematian gurumu itu?!" Sedayu manggut-manggut sambil pamerkan wajah sinisnya.

"Jangan banyak bicara! Terima saja pembalasanku ini! Heaah...!

Srett...! Wuttt wuttt...!

Dua kali Kirana berkelebat menebaskan pedangnya ke wajah Sedayu, tapi bisa dihindari oleh Sedayu dengan memiringkan badan dan merunduk satu kali. Tapi dengan cepat Kirana membalikkan badan dan dengan tendangan berputar, ia mencapai dada Sedayu, lalu menyentakkan kakinya kuat-kuat.

Behgg...!

"Uhg...! Sedayu terpekik tertahan karena sentakan itu. Tubuhnya tersentak ke belakang, dan kini merapat dengan sebatang pohon. Dengan cepat Kirana melompat dan membabatkan pedangnya ke arah leher Sedayu.

Crass...! Pedang itu melukai batang pohon, karena Sedayu segera berguling ke tanah sambil mencabut pedang, kemudian dengan cepat ia berdiri sigap, menatap Kirana yang sedang ditahan dari belakang oleh Pranawijaya.

"Hentikan, Kirana! Hentikan...!"

"Setan kau. Prana! Hihh...!" Kirana menendang bagaikan kuda, Pranawijaya terkena tendangan itu di perutnya yang masih luka, ia memekik,

"Auuh...!" dan terhuyung huyung mundur dua tindak.

Melihat Pranawijaya terkena tendangan yang menyakitkan, Sedayu segera melepaskan serangannya dengan jurus pedang menebas dari atas ke bawah sambil ia memekik keras, "Hiaaah...!"

Wuttt...! Trang...!

Kirana berhasil menangkis pedang itu, tapi oleh Sedayu pedang tersebut diputar dan disentakkan ke samping. Clakk...! Pedang itu terlepas dari genggaman Kirana. Segera tubuh Kirana ditodong ujung pedang Sedayu sambil Sedayu berkata penuh kegeraman hati,

"Lihat! Betapa mudahnya aku membunuhmu saat ini, bukan?! Jangan sekali-sekali kau bertingkah di depanku dan berkoar mau membunuhku! Kau bisa terbunuh sendiri oleh ucapanmu, Kirana!"

"Setan jalang kau, Sedayu!"

Wuttt...! Plakk...!

Di luar dugaannya, Kirana menyentakkan kaki ke atas sambil tubuhnya melengkung ke belakang dan berjungkir balik dengan cepat. Gerakan kaki yang dilakukan bersamaan dengan berjungkir balik, itu telah mengenai tangan Sedayu, sehingga tangan itu tersentak naik, dan pedangnya terlepas, karena tulangnya terasa ngilu akibat tendangan kaki bertenaga dalam itu.

Kedua perempuan itu kini sudah kembali menggenggam pedang masing-masing. Kirana siap-siap menyerang. Tapi tahu-tahu dari arah belakang ia merasakan ada gerakan dingin yang mendekatinya dengan cepat. Maka serta-merta ia berlutut satu kaki dan menadahkan pedang menyilang di atas kepala dengan tangan kiri menopang ujung pedangnya.

Trangngng...!

Gerakan Pranawijaya yang ingin membelah kepala adik sendiri dengan pedang itu berhasil ditangkis. Tapi tiba-tiba tubuh Kirana dijatuhkan dan berputar cepat menyabet kaki kakaknya dengan pedang berkecepatan tinggi.

Wuuttt...! Kaki itu melompat dengan cepat dan menendang wajah Kirana. Plokk...!

"Auh...!" Kirana memekik kesakitan, tulang pipinya bagaikan mau pecah akibat tendangan Pranawijaya.

Sedayu segera menyerang dengan pedang menebas ke tanah. Tapi Kirana berguling ke samping, lalu pedangnya berkelebat menyabet tangan Sedayu.

Wuttt...! Crass...!

Tangan Sedayu terlambat sedikit menghindari sabetan pedang Kirana, akibatnya tangan itu tergores mata pedang yang tajam. Untung tak seberapa dalam. Hanya agak panjang lukanya dan mengeluarkan darah yang membuat mata Pranawijaya terbelalak marah.

"Kau benar-benar cari mampus, Kirana!" teriak Pranawijaya.

Pada waktu itu, Kirana sudah siap berdiri dengan sigap dan mengangkat pedangnya ke samping dada kanan dengan kaki sedikit merendah, rapat antara yang kiri dengan yang kanan. Tubuhnya sedikit serong, sehingga sewaktu waktu datang serangan tinggal menebaskan pedangnya.

Wuttt...! Crass...!

Sedayu yang terpekik saat itu. Pranawijaya terkejut dan menoleh ke belakang, ia tambah terbelalak melihat Ekayana sudah berada di sana, baru saja berhasil menyabetkan pedangnya dan melukai punggung Sedayu. Untung tidak terlalu parah, sehingga Sedayu bisa cepat melompat menjauhinya dan bergabung dengan Pranawijaya.

"Bangsat! Kau harus menebus lukanya dengan nyawamu, Ekayana!" bentak Pranawijaya lalu cepat maju menyerang bersama pedangnya.

Wuttt wuttt., trang trang...! Plok...!

Wajah Pranawijaya menjadi merah. Sebuah tendangan bertenaga dalam tinggi menghantam wajahnya, membuat ia terpental mundur empat langkah.

Melihat Pranawijaya terjungkal jatuh dalam keadaan payah, Kirana segera berteriak garang dan menyerang Ekayana. "Heaaat...!"

Wuttt, wuttt...! Trang trang trang...! Behgg!

Kini tendangan kaki Kirana yang menghantam telak perut Ekayana. Pemuda itu tersentak mundur tiga langkah, lalu berdiri tegak lagi. "Kau mau ikut campur rupanya!"

"Kau mau membunuh kakakku! Maka aku yang akan berhadapan denganmu!" kata Kirana, masih saja membela kakaknya walaupun tadi hampir saja ia mati di ujung pedang Pranawijaya.

"Kepung dia" seru Sedayu dengan masih kuat melakukan serangan walau sudah terluka punggungnya.

Pranawijaya yang mendengar seruan itu segera bangkit dan mengepung Ekayana. Kini, Ekayana dikeroyok tiga orang yang masing-masing punya kemampuan memainkan pedang.

"Sedayu!" kata Ekayana. "Sebaiknya kau menyerah saja dan kubawa ke Lembah Kabut untuk diadili di sana! Daripada kau di sini mati di tanganku, lebih baik kau diadili oleh Logayo. Aku bisa membelamu untuk mendapatkan keringanan hukuman darinya!"

"Cuih...!" Sedayu meludah. "Lebih baik kau bawa kepalaku ke sana ketimbang aku harus diadili sementara aku tak bersalah!"

"Mengakulah Sedayu! Orang-orangku sudah banyak yang tahu bahwa kaulah yang menyebar racun Getah Tengkorak di tempatku! Kau tak bisa mengelak lagi, Sedayu!"

"Mendengar nama racun itu saja baru dari mulutmu! Bagaimana mungkin aku bisa menggunakan racun tersebut?! Dari mana aku mendapatkannya!? Kau jangan mengada-ada, Ekayana! Bilang saja kau cemburu karena kau tahu aku sekarang berpindah pelukan pada Pranawijaya!"

"Baiklah kalau kau tetap membandel! Aku Malaikat Maha Pedang, terpaksa merampungkan tugasku dengan berat hati!"

"Seraaang...!" teriak Sedayu memberi perintah. Maka, Pranawijaya dan Kirana pun menyerang Ekayana secara serempak. Ekayana sendiri hanya diam saja ketika mereka bertiga bergerak maju, tapi tiba-tiba ia menggunakan jurus 'Pedang Pembelah Petir'nya itu.

Wuttt...! Cras...! Crass...! Trang...!

Dalam satu gerakan cepat, pedang Ekayana telah berhasil merobek dada Sedayu dan leher Pranawijaya. Sementara gerakan berikutnya dapat ditangkis oleh Kirana, sehingga gadis itu hanya terpental akibat kekuatan tenaga dalam yang mengalir dalam pedang Ekayana.

Begitu Kirana berhasil cepat berdiri, takut diserang lagi, ia menjadi tertegun melihat kakaknya rubuh tak bernyawa dan Sedayu pun tergolek mati di samping Pranawijaya. Kirana ingin berteriak, tapi tak mampu, sehingga yang keluar hanya berupa desah kesedihan mendalam. Ia pun tak bisa mendekati mayat kakaknya karena serangan dari Ekayana kembali membahayakan jiwanya.

Kirana menangkis serangan itu dua kali dan berhasil menendang tubuh Ekayana hingga terjengkang jatuh sang lawan, kemudian ia cepat-cepat melarikan diri meninggalkan lawannya yang membahayakan itu. Ia berlari sambil membawa kesedihan atas kematian kakaknya, namun juga membawa ketegangan karena Ekayana berlari mengejarnya.

* * *

ENAM
KALAU Kirana tidak lari, dia akan mati. Kirana tahu persis kekuatan ilmu pedang lawannya itu. Ia tak mau mati konyol melawan sesuatu yang jelas lebih tinggi ilmunya dari ilmu yang dimilikinya. Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana menghindari kejaran dari Ekayana. Agaknya orang itu bernafsu juga untuk membunuh Kirana dalam kaitan pengeroyokannya bersama Pranawijaya dan Sedayu. Sudah pasti Ekayana menganggap Kirana berkomplot dengan kedua orang tersebut. Padahal Kirana sendiri sebenarnya merasa tak menyukai Sedayu dan kecewa sekali Sedayu mati di tangan Ekayana.

Pelarian di ujung senja itu membawa Kirana ke sebuah pantai. Sampai di sana, Kirana merasa bingung harus bersembunyi di mana, sementara dia tahu persis, Ekayana masih terus membuntutinya. Bahkan kali ini Kirana terpekik kaget dengan pedang cepat berkelebat ke belakang sambil membalikkan badan, karena ia mendengar suara seorang lelaki di belakangnya,

"Mau menyeberang lautan?!"

Wuttt...!

"Hai, tunggu dulu!" seru pemuda itu yang ternyata adalah Suto Sinting. Untung Suto segera sentakkan badan ke belakang, sehingga pedang itu lewat di depan perutnya dalam jarak satu jengkal.

"Oh, kau...!" Kirana menggeram jengkel-jengkel senang. Napasnya dihempaskan lepas. Cepat-cepat ia buang muka karena tak mau terlalu lama memandang senyuman Pendekar Mabuk yang membahayakan hatinya itu.

"Lain kali berteriaklah dulu kalau mau mendekatiku! Jangan begitu caranya! Hampir saja aku membunuhmu!"

"Bukankah itu lebih baik bagimu?" kata Suto menggoda. "Kau sudah hampir membunuhku tadi pagi!"

"Aku... aku khilaf!" jawab Kirana. "Sekarang... sekarang aku dalam bahaya! Aku menghadapi musuh yang punya ilmu pedang cukup tinggi! Kakakku dan Sedayu kekasihnya, mati di tangan Ekayana! Dia sedang mengejarku, dan kusangka kau adalah Ekayana! Karenanya kutebaskan pedangku lebih dulu sebelum dia membunuhku!"

"O, kau mau dibunuh oleh orang yang bernama Ekayana?"

"Ya. Aku sudah mencoba melawannya, tapi kurasa aku kalah!"

Pendekar Mabuk tertawa, "Kalau tak kalah, tak mungkin kau lari sampai ke sini!"

Kirana ingin mengucapkan kata kala lagi, tapi ia bimbang, bingung, dan akhirnya hanya menghempaskan napas sambil angkat bahu. Ia duduk di atas sebuah batu yang tingginya sebatas pinggulnya. Ia masih memegangi pedang di tangannya. Sementara itu, Suto Sinting menenggak tuaknya beberapa teguk dan merasakan kesegaran tuak melalui hembusan napas lewat mulutnya.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Kiran setelah membisu beberapa saat. Ia memandang Suto sekejap, lalu buru-buru memandang laut yang ingin menelan matahari senja itu.

"Kau mulai ramah padaku rupanya! Mungkin kau punya maksud tersembunyi di balik keramahan mu?"

"Yang ingin kutahu, siapa dirimu!" Kirana membelalakkan mata seperti dipaksakan untuk menjadi galak lagi.

Suto menertawakan sekejap, kemudian ia menjawab dengan suaranya yang lembut, melenakan kalbu, "Namaku Suto Sinting! Secara kebetulan saja aku sedang mencari apa arti Cemara Tunggal!"

"Arti Cemara Tunggal?!" Kirana berkerut dahi memandang Suto.

"Maksudku, aku tidak tahu apakah Cemara Tunggal itu nama sebuah tempat, nama pusaka, nama tokoh tua, atau nama makanan!"

Kirana diam. Tapi kemudian ia tertawa berderai. Suto sedikit malu tersipu, namun ia segera berkata lagi, "Aku memang bodoh dalam hal itu!"

"Aku bisa menolongmu, tapi kau harus menolongku!"

"Apa yang harus kulakukan untuk menolongmu?"

"Menghadapi Ekayana!"

Pendekar Mabuk makin melebarkan senyum, bahkan tertawa dalam nada gumam. Kirana berkata lagi, "Kau bersedia?!"

"Sebenarnya bersedia, tapi karena kau tadi pagi sudah mengatakan bahwa dirimu tak butuh pertolonganku, maka kuurungkan pertolonganku untukmu!" goda Suto sambil mulai membuka tutup bumbung tuaknya.

"Kalau kau tak mau menolongku, aku juga tak mau menolongmu! Padahal aku tahu banyak tentang Cemara Tunggal!" Kirana membuang muka berlagak acuh tak acuh.

Suto membiarkannya, malahan ia menenggak tuak beberapa teguk. Setelah itu ia melangkah bersebelahan dengan Kirana. Ikut memandang ke arah lautan lepas. "Indah sekali pemandangan senja di tepi pantai itu! Hampir setiap ada kesempatan, aku selalu meluangkan waktu untuk menikmati keindahan seperti saat ini!"

"Hei, bagaimana dengan tawaranku tadi?!" Kirana merasa sedang dialihkan bicaranya, sehingga ia tak mau melayani pembicaraan Suto, namun memaksa Suto untuk kembali ke percakapan semula.

Suto Sinting hanya memandang dengan senyum menawan tersungging di bibirnya yang masih tampak basah karena tuak tadi. "Apakah kau benar benar membutuhkan bantuanku?"

"Ya," jawab Kirana dengan tegas dan jelas.

"Kau tidak kecewa seperti saat mendapat pertolongan dariku tadi pagi?!"

"Tidak akan! Karena ini demi menyelamatkan nyawaku!"

"Yang kulakukan tadi pagi juga demi menyelamatkan nyawamu"

"Tapi lawanku adalah kakak sendir! Dan aku tak yakin dia akan tega membunuhku! Tapi kali ini, Ekayana yang menjadi lawanku. Dia orang buas dari sekian banyak manusia bejat yang tinggal di Lembah Kabut dan dalam benteng Perguruan Kobra Hitam! Kurasa dia benar-benar ingin membunuhku, dan aku butuh pelindung!"

"O, begitu?" Suto sengaja menggoda dengan lagak acuh tak acuhnya, dan juga lagak bodohnya. Kirana ingin marah karena merasa sedang dipermainkan, tapi sisi hatinya yang lain merasa senang dengan cara Suto mempermainkannya.

"Baiklah," kata Pendekar Mabuk akhirnya. "Ku ingatkan saja padamu, lain kali jangan kau sesumbar dan sesombong begitu! Sekarang aku akan menolongmu!"

"Kalau kau tak suka, tak apalah! Aku tak akan memaksamu minta tolong," kata Kirana dengan sikap angkuhnya ditonjolkan.

Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala, merasa aneh dengan lagak gadis cantik berhidung mancung itu. "Sebutkan dulu, apa nama Cemara Tunggal itu?"

"Setahuku itu nama sebuah tempat, letaknya di Bukit Canang! Disana memang ada sebuah cemara yang tumbuh sendirian, tanpa tanaman lain, berbentuk lurus, tinggi, seperti sebuah menara atau prasasti tugu bersejarah. Hanya ada satu cemara di sekitar Bukit Canang."

"Hmm... di mana tempat itu? Maksudku, Bukit Canang terletak di sebelah mana?" tanya Sulo semakin serius.

Tapi tiba-tiba Kirana terperanjat. Matanya melebar seketika, karena ia melihat sekelebat sinar hijau tua yang melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Kirana yang terkesiap dan tak sempat menghindar itu dihantam sinar hijau tua dalam bentuk seperti ujung anak panah.

Melihat hal itu, Suto bergerak cepat di luar dugaan Kirana. Bumbung tuaknya dihadangkan di depan Kirana, dan sinar hijau itu membentur bumbung tersebut.

Trangng...! Bagai dua besi baja beradu suaranya. Sinar hijau itu membalik kearah pemiliknya dengan lebih besar dan lebih cepat gerakan terbangnya. Zlappp!

Duarrr...! Brrrukk...!

Sebatang pohon kelapa menjadi sasaran sinar hijau tersebut, sebab pemiliknya segera melompat menghindari sinar yang membalik. Dan pohon kelapa itu pecah berantakan pada bagian yang terkena sinar hijau, sehingga sisanya di bagian atas tumbang tanpa ampun lagi. Bau terbakar menyengat hidung. Bagian batang kelapa yang hancur kepulkan asap dalam keadaan hangus, bahkan masih terdapat bara api yang menyala di sana. Sedangkan buahnya menggelinding berserakan di pasir pantai tersebut.

"Itu yang bernama Ekayana!" bisik Kirana. Bisikan itu terucap setelah mereka sama-sama memandang kemunculan Ekayana yang tadi bersalto di udara menghindari sinar hijaunya yang membalik arah itu.

"Diamlah di sini, biar aku yang menemui dia!" bisik Suto Sinting.

"Hati-hati, dia jago pedang!"

"Aku jago lari" jawab Suto seenaknya saja sambil meninggalkan Kirana sendirian. Ia melangkah mendekati Ekayana yang berdiri dengan pedang telah tergenggam di tangannya.

Ekayana berkerut dahi merasa asing dengan wajah Suto Sinting yang baru kali itu ditemuinya. Kerutan dahi membuat wajah Ekayana yang berkumis tipis dan tampak ganteng pula itu menjadi berkesan tegang. Sementara itu, Suto tetap tampak lebih tenang dan kalem penampilannya.

"Kekasihmukah itu?" tanya Ekayana dengan nada sinis dan keras. Kirana yang mendengar menjadi deg-degan. Lebih deg-degan lagi saat Suto menjawab,

"Ya, dia kekasihku! Mau apa kau?!"

"Dia akan kubunuh!"

"Silahkan!" jawab Suto seenaknya saja. Kemudian ia menyisih, seakan membuka jalan untuk Ekayana. Kirana menjadi kebingungan.

"Sinting betul itu orang! Disuruh melindungiku malah membiarkan orang itu akan membunuhku?!" pikir Kirana dengan ketegangan yang disembunyikan.

Ekayana sendiri menjadi curiga melihat Pendekar Mabuk memberi jalan kepadanya. Ekayana tidak segera bergerak melangkah mendekati Kirana. Ia bahkan menatap Suto dengan mata sedikit menyipit, memperlihatkan sikap permusuhannya.

"Silahkan...!" ulang Suto dengan kalem, tangannya bergerak melambai, selayaknya orang mempersilakan tamu yang mau lewat.

"Kau tak kecewa dan tak menyesal kalau sampai kekasihmu itu mati di ujung pedangku?!"

"Tidak!" jawab Suto terang-terangan dan nyeplos begitu saja.

"Kenapa kau tidak menyesal kalau dia mati?"

"Karena aku yakin kau tidak akan bisa menggerakkan pedangmu!" Jawab Pendekar Mabuk.

"Hm...!" Ekayana tersenyum sinis.

Pendekar Mabuk segera membuka bumbung tuak, dan menenggaknya beberapa saat. Kemudian melangkah mendekati Kirana. "Jangan sakit hati pada ucapanku!" bisik Suto.

"Kau mempersilakan dia membunuhku! Bagaimana aku tak sakit hati?"

"Percayalah, dia tak akan bisa menggerakkan tangannya! Pedang itu tak akan bisa ditebaskan ke tubuhmu, walau kakinya bisa berjalan mendekatimu! Lihat saja nanti!"

Benar saja apa yang dikatakan Pendekar Mabuk itu. Ekayana ingin menggerakkan pedangnya yang sudah terangkat di atas pundak kanan dengan menggunakan kedua tangan. Pedang itu sebenarnya sudah siap menebas lawan. Tapi Ekayana kebingungan menggerakkan kedua tangan. Bahkan untuk membungkukkan badannya saja terasa kaku, tak bisa ditekuk sedikitpun. Kedua tangan itu bagaikan membeku, urat-uratnya sangat keras dan kaku. Sedikit pun jarinya tak ada yang bisa digerakkan. Tetap saja menggenggam gagang pedang dengan keras.

"Bangkai busuk kenapa tangan dan badanku jadi kaku begini?! Apakah pemuda brengsek itu telah menotok jalan darahku untuk bagian tangan dan badan? Sejak kapan dia menotokku?!" pikir Ekayana dengan terheran-heran.

Kirana sendiri memandangnya dengan heran sekali. Dalam hatinya ia berkata, "Orang tampan ini sintingnya kelewat batas! Tak kulihat gerakan menotoknya, tapi tahu-tahu Ekayana tak bisa menggerakkan kedua tangannya?! Tinggi juga ilmu Suto Sinting ini? Murid siapa dia?!"

Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum memandangi Ekayana, yang mirip patung sedang jadi tontonan itu. Kemudian, Kirana berbisik, "Sejak kapan kau menotoknya?"

"Lewat gerakan tanganku waktu mempersilakan dia berjalan!"

Kirana manggut-manggut, namun dalam hatinya berkata, "Memang edan dia ini! Hanya dengan gerakan tangan selembut itu ia bisa kirimkan tenaga dalam untuk menotok lawan dalam jarak tiga langkah di depannya! Luar biasa sekali ilmunya!"

Ekayana bersusah payah melepaskan diri dari pengaruh totokan tersebut. Bahkan ia berlari ke dekat pohon kelapa, dan dibentur-benturkan badannya ke sana, tangannya yang jadi sasaran pembenturan itu. Tapi pengaruh totokan tangannya belum bisa terlepas. Masih saja tangan itu kaku. Keduanya memegang gagang pedang yang sudah ada di atas pundaknya. Punggungnya sendiri tak bisa ditekuk, walau ia telah menggerakkan tenaganya sekuat mungkin.

"Hoi...! Monyet...!" panggil Ekayana.

"Kau memanggil dirimu sendiri atau memanggil orang lain?!" tanya Suto dengan nada melecehkan.

Ekayana hanya menggeram dengan wajah merah menahan amarah. "Bebaskan aku dari pengaruh totokanmu! Jangan berani-beranian mempermainkan orang Kobra Hitam begini, Kunyuk!"

"Kobra Hitam?! Apa hebatnya Kobra Hitam itu? Mengapa kau sombongkan di depanku?! Kalau orang Kobra Hitam itu orang kuat, sakti, jagoan tidak mungkin bisa meratap ratap minta dibebaskan totokan jalan darahnya!" Pendekar Mabuk tertawa pelan.

Luapan amarah sudah tak terbendung lagi sebenarnya. Tapi Ekayana terpaksa tak bisa melampiaskan selain hanya bisa berah-uh-ah-uh, memaksakan tenaga untuk melepaskan diri dari pengaruh totokan itu. "Bangsat kau!" geram Ekayana. "Kalau kau merasa berilmu tinggi, mari kita bertarung secara kesatria! Ambil pedang dan kita beradu nyawa dengan pedang!"

"Aku tidak mau!" jawab Suto sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak bisa jurus pedang! Tapi kalau jurus memenggal kepala tanpa menggunakan pedang atau senjata apa pun, aku bisa!"

"Manusia busuk kau! Banci! Cengeng dan kecil nyalimu!" Ekayana sengaja memancing kemarahan Pendekar Mabuk.

Tapi Suto hanya tertawa sambil tetap berada di samping Kirana. "Kau mengatai dirimu sendiri!" kata Suto. "Kalau kau tidak merasa banci, cengeng, dan kecil nyalimu, coba kau lepaskan diri dari pengaruh totokan itu! Coba!" tantang Suto makin memanaskan hati Ekayana.

Saat itu, darah Ekayana benar-benar mendidih. Tapi karena tak bisa berbuat apa-apa, Ekayana hanya bisa menggeram penuh kejengkelan. "Tunggu! Jangan pergi ke mana pun kalian! Aku akan datang kembali menemui kalian di sini!" setelah berkata begitu, Ekayana segera pergi meninggalkan pantai dengan berlari lari, tangan keduanya masih menggenggam pedang di atas pundak kanannya.

Suto menertawakan dan Kirana pun cekikikan geli melihat Ekayana lari dalam keadaan seperti itu. Mereka tak tahu apa yang dicemaskan hati Ekayana sebelum berlari meninggalkan tempat,

"Nini Pasung Jagat pasti sedang memburuku! Kalau aku dalam keadaan seperti ini. Nini Pasung Jagat pasti dengan mudah membunuhku. Sebelum nenek setan itu muncul, aku harus melarikan diri lebih dulu. Kurasa Brajawisnu ataupun Pancakana, dapat menolongku membebaskan pengaruh totokan iblis ini! Kelak jika aku berhadapan dengan pemuda berbumbung tuak itu, aku harus lebih waspada lagi! Memang edan ilmu yang dimiliki pemuda itu!"

Nini Pasung Jagat adalah orang yang ditakuti Ekayana pada saat mengalami nasib seperti itu. Tetapi, Kirana mempunyai dugaan lain, dan segera berkata kepada Pandekar Mabuk, "Pasti dia pulang untuk memanggil orang orangnya! Sebaiknya kita cepat menyingkir dari tempat ini, Suto!"

"Mengapa harus menyingkir? Biar saja ia datang bersama orang-orangnya! Tak ada salahnya dia ke sini membawa teman, barangkali butuh ngobrol bersama di tepi pantai!"

"Suto! Orang orang Kobra Hitam itu ganas-ganas dan berilmu tinggi. Kau jangan meremehkan mereka!" Kirana tampak cemas.

"Kalau aku meremehkan mereka, kenapa?"

"Kau bisa dibunuh oleh mereka!" sentak Kirana tak sabar.

"Kalau aku dibunuh mereka?"

"Matilah kau!"

"Ya, sudah. Biar saja mati. Memangnya kenapa kalau aku mati? Apa kau merasa rugi?!"

Kirana gelisah dan jengkel sendiri, akhirnya menjawab dengan wajah cemberut ketus, "Tidak!"

Dan Pendekar Mabuk tahu perasaan hati Kirana sebenarnya, karena itu ia menertawakan gadis itu. Sang gadis semakin tersipu dongkol.

* * *

TUJUH
RUMAH terdekat dari pantai itu adalah tempat kediaman Tabib Cawan Maut. Rumah itu ada di tepi laut, tapi di sebuah bukit karang yang sepi oleh penghuni, sunyi oleh binatang burung, karena tak ada tanaman di atas bukti karang itu. Bukit tersebut jika lewat siang hari tertutup bayangan tebing karang yang tinggi, letaknya di seberang bukit karang. Antara bukit tersebut dengan tebing karang yang tinggi terdapat selat berombak besar. Curam dan berkesan ganas alam di bawah bukit itu.

Tabib Cawan Maut membuat atap lebar dan panjang dari daun kelapa dan nipah. Dengan adanya tempat bernaung yang panjang dan lebar itu, rumah gubuk kediaman Tabib Cawan Maut menjadi teduh dan nyaman ditempati. Di situ ia tinggal dengan seorang pelayannya, lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang bernama Jongos Daki.

Dulu kerjanya mendaki gunung untuk mencari tanaman yang dibutuhkan sebagai campuran ramuan obat. Itulah sebabnya ia dikenal dengan nama Jongos Daki. Sekali pun orangnya agak gemuk dan pendek, tapi kerjanya cepat, gerakannya gesit dan lincah. Kirana mengenal Jongos Daki, dan memanggilnya dengan sebutan Paman. Kepada Tabib Cawan Maut pun, Kirana cukup kenal baik, karena dulu ia sering disuruh oleh gurunya, si Punding Sunyi, untuk memesan berbagai macam obat-obatan yang di perlukan.

Seringnya datang memesan obat-obatan, membuat hubungan mereka menjadi baik. Tak heran jika kehadiran Suto dan Kirana ke rumah itu disambut dengan baik oleh Tabib Cawan Maut dan Jongos Daki.

"Cukup lama kau tidak kemari, Kirana?! Apakah orang-orang Mawar Seruni dalam keadaan sehat semuanya?" kata Tabib Cawan Maut kepada Kirana.

"Untuk sementara ini, kami dalam keadaan baik dan sehat-sehat saja, Tabib! Hanya... Guru yang..."

"Ada apa dengan gurumu?" sergah lelaki tua yang sudah kempot dan keriput wajahnya itu. Badannya kurus, matanya cekung, punggungnya sedikit bungkuk, rambutnya panjang beruban rata. Suto mengira-ngira usia tabib itu sekitar delapan puluh tahunan. "Katakan apa sebenarnya yang terjadi pada gurumu, Kirana?" desak Tabib Cawan Maut dengan suara tua yang bergetar itu.

"Guru telah tewas, Tabib!" Jawab Kirana dengan sedih.

"Punding Sunyi tewas...?!" mata tabib itu menjadi sayu saat memandang Kirana.

Dan gadis berambut poni yang cantik itu hanya menganggukkan ke palanya. Kemudian menceritakan siapa pembunuhnya dan bagaimana saat bertemu dengan gurunya yang terluka itu.

"Sebenarnya kalau belum terlambat, bisa kutawarkan racun itu! Sedayu punya racun berbahaya dari kakeknya dulu, dan nama racun itu adalah Racun Lintah Merah. Aku punya obat penawarnya," kata tabib. "Tapi rupanya semua itu sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Kematian tetap saja harus terjadi dan tak bisa dielakkan lagi! Kesembuhan pun datangnya dari dia, yang menguasai kita sekalian.Cuma kadang-kadang orang salah mengartikan, bahwa kesembuhan datangnya dari tanganku, atau tabib lain! Padahal aku dan tabib-tabib lainnya itu hanya semata-mata sebagai perantara dari penyembuhan-Nya."

Banyak yang dibicarakan oleh Kirana dan Tabib Cawan Maut. Karena asyiknya mereka bicara, Suto keluar menikmati pemandangan dan udara malam, karena saat itu rembulan muncul separo bagian di balik awan bermega putih perak. Memandang malam, menikmati sunyi, merupakan sesuatu yang berarti sekali bagi jiwa Pendekar Mabuk itu. Setidaknya ia memperoleh sebentuk ketentraman jiwa yang begitu menyegarkan.

Sesaat kemudian, Jongos Daki muncul dan mendekati Suto yang duduk di pelataran dekat pagar tebing samping. Suto duduk di sebuah bangku dari kayu gelondongan, hanya dikemas bagian atasnya supaya enak dipakai duduk. Jongos Daki membawakan empat potong jagung rebus yang konon diambilnya dari ladang petani yang sudah kenal baik dengannya, beberapa waktu yang lalu. Di bangku itu, mereka duduk menghadap ke tebing tinggi dan laut yang menggelora. Suara debur ombaknya terdengar jelas dari tempat mereka berada. Tanpa sadar percakapan mereka sampai pada Kirana.

"Dia gadis yang cantik dan menggairahkan. Kalau dulu aku tidak dikebiri oleh seseorang yang berjiwa binatang, mungkin aku juga merasa tertarik dengan perempuan secantik Kirana. Dan, kurasa kau sendiri sependapat denganku, Suto, bahwa Kirana sudah cukup umur dan layak untuk bersuami!"

"Ya, saya sependapat dengan Paman Jongos Daki. Tapi siapa lelaki yang akan menjadi suami Kirana, kita tak tahu. Atau mungkin Paman tahu siapa kekasih Kirana?"

"Dia tak pernah bercerita tentang seorang kekasih sejak aku mengenalnya! Bahkan membawa seorang teman lelaki, baru sekarang. Kaulah orangnya. Dan, kusangka kau adalah kekasihnya! Aku merasa kagum saat dia datang bersamamu, dan hatiku berkata, sungguh serasi Kirana memilih calon suami. Ternyata..."

Jongos Daki tertawa sendiri sambil menikmati jagung rebusnya. Suto pun jadi ikut tertawa sambil melemparkan bonggol jagung yang sudah habis termakan bulir-bulirnya.

"Tapi apa benar kau bukan kekasihnya?" Jongos Daki menyatakan kesangsiannya yang dipendam sejak tadi.

"Bukan, Paman!"

"Mengapa kau tidak mengambil dia sebagai istrimu saja? Kurasa tak ada ruginya beristrikan wanita secantik Kirana itu! Keberaniannya pun membuatku kagum."

"Saya sudah punya kekasih sendiri, Paman," jawab Suto jujur.

"Boleh tahu siapa wanita yang beruntung menjadi kekasihmu?" Jongos Daki tersenyum-senyum.

Suto agak tersipu walau akhirnya ia berkata, "Seseorang yang tinggalnya jauh dari sini. Ada di sebuah pulau."

"Sebutkan nama pulaunya, maka aku akan mampu menebaknya!"

Suto berpaling memandang Jongos Daki, "Paman punya banyak pengalaman mengarungi lautan?"

"Dulu aku ikut sebuah kapal. Ayolah, sebutkan nama pulau itu! Setidaknya aku bisa menebak siapa kekasihmu itu. Suto."

"Baiklah, Pulau itu bernama Pulau Serindu!"

Jongos Daki terperanjat kaget, mulutnya sampai ternganga lebar, matanya mendelik dan wajahnya menjadi tegang, ia mengusap kedua lengannya yang terasa merinding mendengar nama Pulau Serindu. Hal itu membuat Suto menjadi terheran-heran dan segera mengajukan tanya bernada bimbang,

"Kenapa..., kenapa Paman kelihatan kaget?"

"Setahuku, Pulau Serindu adalah tempat berdirinya Istana Puri Gerbang Surgawi, dan aku tahu penguasa di Pulau Serindu itu adalah Gusti Mahkota Sejati, yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum!"

"Dialah kekasihku, Paman," Jawab Suto sambil tersenyum.

"Edan! Tak mungkin!" Jongos Daki agak ngotot.

"Mengapa tak mungkin?"

"Dyah Sariningrum adalah perempuan yang di incar oleh Siluman Tujuh Nyawa, tak ada orang yang berani mendekatinya! Kalau kau ingin menjadi kekasih atau bahkan suami dari Gusti Mahkota Sejati, itu berarti kau harus berhadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa!"

"Maksud Paman, orang yang bernama asli Durmala Sanca itu?!"

"Benar! Benar sekali! Apakah... apakah kau kenal dia?"

"Aku sedang memburunya untuk memenggal kepalanya!"

"Eh, Jangan begitu bicaramu! Hati-hatilah! Kalau ada yang mendengar, kau bisa celaka diamuk oleh murkanya!" Jongos Daki tampak bersunguh-sungguh dalam kecemasannya.

Tetapi Suto Sinting tetap tenang dan berkata, "Kalau Paman bisa mempertemukan saya dengan dia, saya akan kasih hadiah kepada Paman Jongos!"

"Kau... kau benar-benar sedang memburunya?"

Tidak dijawab oleh Pendekar Mabuk, melainkan Pendekar Mabuk ganti bertanya, "Paman tahu betul tentang Siluman Tujuh Nyawa itu?"

Paman Jongos Daki terbungkam mulutnya. Seperti ada rasa sesal terhadap apa yang pernah diucapkan tadi. Setelah diam beberapa saat dan sadar jawabannya ditunggu oleh Suto, Jongos Daki pun menjawab dengan suara pelan, "Dulu aku adalah anak buahnya!"

"Oh...?!" kini Pendekar Mabuk yang terperanjat kaget.

"Tapi aku melarikan diri, tak tahan hidup sesat dengan kelompoknya. Bahkan, seperti yang kukatakan tadi, aku dikebiri oleh manusia berjiwa binatang itu, sehingga aku tidak punya selera lagi terhadap perempuan secantik apa pun dia. Dan orang yang mengebiri aku itu adalah Durmala Sanca keparat!"

Jongos Daki menuturkan kisahnya dengan mengenang penuh duka. Suto Sinting tidak memotong ucapan demi ucapan dari Jongos Daki. Ia sengaja membiarkan mantan anak buah Siluman Tujuh Nyawa itu membeberkan rahasia Siluman Tujuh Nyawa.

"Durmala Sanca adalah orang yang sulit dibunuh. Ia punya otak penuh dengan kelicikan dan kekejaman. Tak pernah ada anak buahnya yang bisa lari dengan selamat kecuali aku. Itu pun karena aku ditolong olah seorang tokoh sakti yang bernama Ki Padmanaba."

Kembali Suto tersentak kaget begitu Jongos Daki menyebutkan nama Ki Padmanaba. Cepat-cepat Pendekar Mabuk bertanya kepada Jongos Daki, "Apakah Paman banyak mengetahui tentang Ki Padmanaba?" "Hmmm.. yah, sedikit banyak tahulah! Dulu aku pernah mengabdi menjadi pelayannya. Tapi semenjak dia mengangkat murid yang bernama Ekayana, aku mengundurkan diri, tak tahan melihat tingkah laku muridnya yang sekaligus cucunya sendiri itu."

"Hmmm.. yah, sedikit banyak tahulah! Dulu aku pernah mengabdi menjadi pelayannya. Tapi semenjak dia mengangkat murid yang bernama Ekayana, aku mengundurkan diri, tak tahan melihat tingkah laku muridnya yang sekaligus cucunya sendiri itu."

"Hmmm...!" Suto manggut-manggut.

"Kakek dan cucunya sangat bertolak belakang sifatnya. Ekayana itu sombong dan berjiwa kejam. Kakeknya kebalikannya dan...."

"Tunggu, Paman!" kali ini Suto baru memotong pembicaraan karena dirasakan ada yang perlu ditanyakan sebelum percakapan menginjak ke masalah lain. "Apakah Paman tahu, bahwa Ki Padmanaba mempunyai sebuah pusaka yang sangat dirahasiakan?"

"Hmmm... ya, memang dia punya! Dia pernah bercerita padaku tentang pusaka tersebut. Tapi tak pernah ditunjukkannya kepadaku."

"Kalau boleh saya ingin tahu, apa jenis pusaka-nya itu?"

"Sebuah pedang!"

"O, sebuah pedang!" Suto manggut-manggut lalu merenung beberapa kejap.

Jongos Daki menambahkan kata, "Pedang itu bernama... kalau tak salah ingatan ku... pedang itu bernama Pedang Wukir Kencana."

"Wukir Kencana?!" Pendekar Mabuk mengejanya ulang.

"Kabarnya, ini menurut cerita Ki Padmanaba, pedang itu terbuat dari emas murni yang cukup berat. Seluruhnya dari emas. Bagian tengahnya berukir gambar seekor naga. Kedua sisinya sangat tajam. Kata dia, pedang itu bisa membelah benda apa pun juga, termasuk pilar baja, juga bisa dipakai memburu lawan. Ke mana pun lawan bersembunyi pedang itu akan bergerak dengan sendirinya menunjukkan tempat lawan yang bersembunyi. Tangan kita yang memegangnya hanya bisa mengikuti saja ke mana kemauan pedang tersebut bergerak."

"Hebat sekali," gumam Suto memuji.

Jongos Daki menambahkan kata setelah ia mengingat-ingat cerita yang didengar dari mulut Ki Padmanaba sendiri. "Bahkan Ki Padmanaba pernah bilang padaku, bahwa pedang itu bisa membuat orang sebodoh apa pun bisa main pedang dengan dahsyat jika memegang pedang tersebut. Karenanya, dulu Ki Padmanaba pernah berjuluk Dewa Pedang Pamungkas!"

"Lalu... kenapa tidak digunakan terus oleh Ki Padmanaba?"

"Ia sudah bersumpah pada diri sendiri agar tidak menggunakan pedang warisan gurunya itu, karena pernah terjadi suatu peristiwa menyedihkan buat si Dewa Pedang Pamungkas itu."

"Peristiwa apa?" desak Suto Sinting.

"Pedang dipakai oleh istrinya, dan istrinya itu membunuh orangtua Ki Padmanaba sendiri! Sejak itu, sejak Ki Padmanaba akhirnya membunuh istrinya sendiri ketika tidur malam, Ki Padmanaba tidak mau menggunakan pedang tersebut. "

"Apakah istrinya Jago pedang?"

"Konon, Istrinya perempuan biasa yang lemah dan penurut. Tapi ketika cekcok dengan mertuanya, ia mengambil pedang itu dan bisa jago bermain pedang, padahal mertuanya juga sangat tinggi ilmu pedangnya, tapi bisa dikalahkan oleh istri Ki Padmanaba. Karena seperti yang kukatakan tadi, Pedang Wukir Kencana bisa membuat seseorang menjadi jago pedang jika membawa atau menggunakan pedang tersebut! Itulah bahayanya Pedang Wukir Kencana jika jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Karena itu, Ki Padmanaba menyimpan pusaka tersebut, entah di mana tempat penyimpanannya!"

Kini mulai jelas teka-teki yang selama ini meresahkan pikiran Suto, bahwa ada pusaka yang disimpan oleh Ki Padmanaba di Cemara Tunggal, yang ada di Bukit Canang itu. Pusaka itu adalah sebuah pedang sakti. Pantas kalau dalam pesan terakhirnya sebelum wafat, Ki Padmanaba menyebutkan kata-kata 'selamatkan'. Mungkin yang dimaksud agar jangan sampai pedang itu jatuh ke tangan orang-orang sesat.

Renungan itu dibawa oleh Suto sampai ke peraduan. Tempatnya tidur, bersebelahan dengan tempat tidurnya Jongos Daki. Mereka tidur di ruangan terbuka, dalam arti tanpa dinding penyekat. Tabib Cawan Maut pun tidur di dipan sebelah kanan, sementara itu Kirana berada di dipan lain, jauh dari Suto. Sebenarnya tadi Kirana ingin menempati tempat tidur yang dipakai oleh Jongos Daki, namun ia tak enak hati karena Jongos Daki lebih dulu membaringkan badan di tempat tersebut.

Sementara itu, di tempat lain, terjadi sebuah pesta yang tidak terlalu mewah, namun cukup meriah. Perguruan Kobra Hitam yang mengadakan pesta mabuk-mabukan. Pasalnya, mereka menyambut gembira atas berita terbunuhnya Sedayu, si penyebar racun maut itu.

Pada mulanya, berita tersebut tidak dipercayai oleh Logayo, si Dewa Murka yang menjadi ketua perguruan tersebut. Terlebih kedatangan Ekayana membuat suatu kegaduhan lebih dulu. Ekayana datang dalam keadaan tangan masih kaku tertotok jalan darahnya, dan tak bisa membungkuk sedikitpun.

Pada waktu ia ingin menemui Logayo di serambi belakang, Ekayana datang dari arah belakang Logayo. Ketika ia menyapa Logayo, orang itu berpaling. Tapi karena melihat kedua tangan Ekayana menggenggam pedang di pundak kanan, Logayo merasa mau diserang oleh Ekayana. Maka dengan cepat kakinya menendang empat kali berturut-turut ke arah dada, perut, leher, dan wajah Ekayana. Tendangan itu adalah tendangan yang mematikan. Gerakannya cepat, beruntun dan bertenaga dalam tinggi.

Tentu saja hal itu membuat Ekayana terpental dalam keadaan berdarah dari mulut dan hidungnya. Suaranya menjadi serak, dan bibirnya jontor ke depan. Untung tak sampai rompal giginya. Kalau Ekayana bukan orang berilmu tinggi, pasti sudah mati terkena tendangan beruntun yang dinamakan jurus 'Patuk Kobra Liar'.

"Apa maksudmu mau membunuhku. hah?!" bentak Logayo dengan murka.

Pada waktu itu, beberapa orang sudah mengepung Ekayana dengan senjata masing-masing, termasuk Pancakana dan Brajawisnu. Tetapi ketika mereka memaksa bangun Ekayana, dan tangan Ekayana masih tetap seperti orang mau membabatkan pedangnya, mereka menjadi berkerut dahi dan terheran-heran. Logayo berseru,

"Sarungkan pedangmu atau kusuruh mereka merajangmu sekarang juga, Ekayana!"

"Tid.. tidak bisa..."

"Bangsat! Jadi kau benar-benar menghendaki kematianku? Kau mau membunuhku, hah?!"

Ekayana menggeleng-geleng dengan sedih, menahan marah dan jengkel yang tak tersalurkan. Lalu, ia berkata, "Aku kena totok dalam keadaan begini! Tanganku sejak dari sana tidak bisa turun!"

Setelah dijelaskan lebih rinci lagi maka meledaklah tawa Logayo bersama yang lainnya. Rupanya Logayo salah duga dan menyangka mau dibabat pedang oleh Ekayana, padahal Ekayana mau memberi laporan dan meminta tolong tentang tangannya yang kaku itu. Andai Ekayana datangnya tidak dari belakang Logayo dan menyapanya tidak dari jarak dua langkah di belakang Logayo, tentunya Logayo tak akan berpikiran buruk.

Peristiwa salah paham itu sungguh menggelikan bagi mereka, tapi memalukan bagi Ekayana. Untuk menghibur hati Ekayana, Logayo membuat pesta kecil-kecilan dengan beberapa guci arak yang paling bagus dan berharga mahal. Apalagi setelah Brajawisnu dan beberapa orang membuktikan mayat Sedayu terkapar di samping Pranawijaya, mereka semakin yakin dan mengelu-elukan Ekayana, memuji dan menyanjung-nyanjung Ekayana. Bahkan Logayo berkata,

"Tak ada lagi yang perlu dicemaskan oleh kita sekarang ini! Dua orang itu sudah mati. Sedayu dan Pranawijaya! Dan kalau bukan karena kehebatan Ekayana, tak mungkin dalam waktu sesingkat ini mereka bisa terbunuh!"

Malam menyusup di antara sunyi. Pesta minum, pesta perempuan jalanan, pesta judi terbeber luas di balik tembok tinggi yang disebut bentang itu. Malam yang pekat, hadirkan gelap karena cahaya rembulan tak bisa menerobos masuk melewati celah dedaunan yang merapat, menutupi jembatan bambu yang menghubungkan Lembah Kabut dengan Tanah Merah.

Tapi di tengah malam, seseorang meletakkan lentera di ujung jalan jembatan bambu itu. Lentera itu terletak di atas batu pada sisi ujung jembatan yang akan menuju ke Lembah Kabut. Dua orang lewat, mereka habis membeli makanan dari sebuah desa dan sedang menuju pulang ke lembah tersebut. Sebelum melewati jembatan bambu yang gelap, orang yang berpakaian biru segera menyuruh temannya yang berpakaian kuning untuk membawa lentera itu.

"Bawalah lentera itu! Kurasa memang disediakan untuk penerang jalan di tengah jembatan!"

Si baju kuning merasa tidak keberatan, karena membawa lentera tidaklah terlalu sulit, tidak pula berat. Lentera itu mempunyai kawat lengkung ke atas sebagai tempat menjinjing. Namun seperti yang sudah sudah orang berpakaian kuning itu tiba-tiba jatuh begitu selesai meletakkan lentera di ujung jembatan, dengan maksud jika ada yang mau menyeberang jembatan dari arah Lembah Kabut ke Tanah Merah, lentara itu bisa dibawa menyeberang lagi. Peristiwa sama seperti malam sebelumnya. Orang berpakaian kuning tiba-tiba mengejang, keringatnya mengucur keluar dan berbau amis, temannya menolong, kemudian keduanya sama sama mati.

Hanya saja kali ini muncul sesosok bayangan hitam yang mendekati kedua mayat tersebut. Orang itu mengenakan kerudung ketat di sekujur tubuhnya, memakai pakaian hitam, bertutup kepala hitam, hanya bagian matanya yang tampak. Kakinya dibungkus alas kaki hitam, tangannya mengenakan sarung tangan kulit binatang warna hitam pula. Orang itu menyeret dan menyembunyikan mayat kedua orang itu ke semak semak pinggir jalan menuju jembatan. Lentera masih diletakkan di tempatnya.

Beberapa saat kemudian, muncul empat orang. Rupanya mereka rombongan tamu yang diundang pesta oleh Logayo. Mereka mau pulang, dan menyeberangi jembatan. Salah seorang berkata, "Bau amis daerah sini, ya?"

"Air Jurang itu mungkin menguap dan karena tak pernah mengalir deras, maka comberan di dasar jurang itu menyebarkan bau amis," kata temannya.

"Wah, gelap sekali lewat tengah jembatan! Bisa-bisa kita kejeblos di tengah jembatan sana!"

"Bawa saja lentera itu, nanti letakkan di ujung jembatan sana!" kata yang satunya lagi.

Dalam beberapa saat saja, empat orang itu sudah terkapar mati di Tanah Merah dalam keadaan berkeringat dan berbau amis. Orang berpakaian serba hitam itu segera memindahkan lentera ke tanah wilayah Lembah Kabut. Ketika itu, tiga orang tamu mau lewat jembatan untuk pulang. Ketiganya pun akhirnya meninggal karena membawa lentera tersebut, tanpa diketahui bahwa tubuh yang mati itu pun menularkan racun ganas, yang jika disentuh tangan orang, maka orang itu akan terbunuh oleh racun tersebut.

Setelah mendapat mangsa kira-kira sepuluh orang lebih, manusia berpakaian hitam-hitam itu segera menjejer-jejerkan mayat tersebut di ujung jembatan pada wilayah Lembah Kabut. Beberapa orang keluar dari benteng, mereka mau menyeberang ke Tanah Merah.

Melihat mayat-mayat itu, mereka terkejut dan segera menyingkirkan mayat-mayat, membawanya ketepian. Maka, jatuhlah beberapa orang itu, mati tak bernyawa serupa dengan mayat-mayat yang disingkirkan oleh mereka sendiri. Logayo tertegun dengan wajah memerah memandang mayat mayat yang jumlahnya lebih dari tiga puluh orang itu, setelah pagi hari jumlahnya dihitung dengan tepat. Murka Logayo tak bisa dilampiaskan kepada siapa pun saat itu, karena penjaga pintu gerbang pun kedua duanya mati karena racun tersebut.

Logayo tak tahu, bahwa orang berpakaian serba hitam itu telah memindahkan lenteranya di dekat jalanan menuju pintu gerbang. Hal itu dilakukan setelah ia melihat sendiri banyak korban yang berjatuhan di ujung jembatan. Dan kali ini pancingannya kembali mengenai sasaran. Satu dari petugas pintu gerbang itu tertarik dengan lentera tersebut, lalu mengambilnya dan membawanya kepada teman satu tugas itu. Kemudian, orang tersebut jatuh tak bernyawa, temannya menolong dan jatuh pula tak bernyawa.

Dari dalam muncul beberapa orang dan tanpa sadar langsung saja menolong kedua penjaga tersebut. Akibatnya, jatuh lagi korban Racun Getah Tengkorak itu. Sedangkan si pemasang jerat yang menggunakan lentera itu, lebih dulu meninggalkan tempat dengan meniup lentara dan api lentara menjadi padam.

"Setan Alas!" geram Logayo sambil mengepalkan kedua tangannya. "Sedayu sudah dibunuh, Pranawijaya juga sudah, tapi ternyata masih saja ada orang yang menyebarkan racun itu kepada kita! Lama-lama habislah orang-orangku dimakan racun ganas itu."

Mereka yang dipanggil menghadap Logayo, menundukkan kepala dengan rasa takut menghadapi murka Logayo. Segera orang itu berseru dengan urat leher sebesar jari bertonjolan keluar, "Brajawisnu! Tugasmu cari pelakunya dan bunuh seketika itu juga memakai racun andalanmu!"

"Baik!" kata Brajawisnu. Tapi dalam hatinya ia bertanya pada diri sendiri, "Siapa pelakunya itu?! Sulit sekali memastikannya!"

* * *

DELAPAN
SUTO merencanakan untuk mencari pusaka itu di Cemara Tunggal. Ia akan mendesak Kirana agar mau mengantarkan ke Bukit Canang. Tetapi, ketika bangun di pagi hari, ternyata Kirana sudah tidak ada di tempat tidurnya. Sementara itu, Tabib Cawan Maut dan Jongos Daki belum bangun. Suto bangun lebih dulu karena tiba tiba hatinya tersentak kaget tanpa tahu apa sebabnya.

"Kirana hilang?! Pasti dia mau menghindar dari janjinya! Aku sudah tolong dia, tapi dia tidak mau tunjukkan di mana Bukit Canang dan Cemara Tunggal itu! Kurang ajar!"

Suto meneguk tuaknya sebentar, kemudian bergegas pergi walaupun hari masih terlalu pagi. Ia tak sempat membangunkan Jongos Daki atau Tabib Cawan Maut karena tergesa-gesa. Hatinya diliputi rasa jengkel dan ia berharap bisa mengejar Kirana. Karena tergesa-gesa itulah maka Pendekar Mabuk pun lupa menutup pintu kembali.

Namun, baru saja ia melangkah tiga tindak dari depan pintu, ia melihat Kirana berjalan santai dengan kedua tangan berada di belakang dan tampak sedang menikmati udara pagi yang segar. Pendekar Mabuk menghembuskan napas lega. Ternyata Kirana bukan lari melainkan sudah bangun sejak tadi, dan sedang menikmati udara segar di pagi yang cerah. Gadis itu melangkah memasuki pekarangan berpagar balok-balok kayu setinggi satu dada.

Kirana justru berkerut dahi melihat Suto Sinting sudah menyelempangkan bumbung tuaknya ke punggung, itu pertanda Suto mau pergi. Maka ketika ia mendekati Suto, mulutnya ingin mengajukan sebuah pertanyaan, tapi Suto Sinting sudah lebih dulu memperdengarkan suaranya,

"Rupanya kau sudah bangun dari tadi, Kirana?!"

Dengan tenang, Kirana menjawab, "Aku tak bisa tidur!"

"Kenapa?!"

"Karena tidur sendirian," Jawab Kirana acuh tak acuh. Ia melangkah mendekati pagar samping dan memandang ombak laut di pagi hari yang bergulung gulung dengan indahnya.

Suto Sinting menenggak tuaknya sebentra, lalu memperdengarkan suaranya kembali. "Apakah biasanya kau selalu mempunyai teman tidur?"

Kirana memandang Suto dengan cepat, agak cemberut. Lebih berkesan melirik sewot. Kemudian ia berucap kata pelan, "Hati hati kalau bicara! Jangan membuatku tersinggung! Aku bukan perempuan murahan yang setiap malam berganti ganti teman tidur!"

Suto tertawa menyepelekan kecemberutan itu. "Aku tidak berprasangka begitu, Kirana! Siapa tahu setiap malamnya kau punya teman tidur wanita yang bisa diajak ngobrol sebelum lelap tertidur. Itu maksudku!"

Kirana tahu bahwa Pendekar Mabuk hanya mengalihkan praduga saja, ia tidak memberi ucapan tentang apa yang ia tahu dari nada bicara Suto tersebut, tapi ia hanya berkata, "Karena aku susah tidur, maka kugunakan jalan jalan begitu kulihat cahaya matahari mulai tiba."

"Kusangka kau pergi, sehingga aku ingin menyusulmu. Maksudku, mengejar kepergianmu!"

"Mengejarku?! Apa kau mau mengejarku kalau aku pergi meninggalkan kamu?!" pancing Kirana.

"Kenapa tidak!"

"Sungguh?" gadis itu mulai sunggingkan senyum manis walau tipis.

"Ya. Sungguh!"

"Kenapa kau mau mengejarku?" pancing Kirana dengan hati makin berdebar-debar.

"Karena aku membutuhkan kamu, Kirana," jawab Suto pelan.

"Membutuhkan... dalam arti bagaimana?" pancing Kirana lagi.

"Aku harus ke Cemara Tunggal, dan aku butuh bantuanmu untuk mencapai ke sana!"

Kirana menarik napas panjang panjang, kemudian dihembuskan dengan lepas. Tampak ada rona kecewa di wajah cantik itu.

Suto Sinting tahu, jawaban apa sebenarnya yang diharapkan Kirana, tapi Suto merasa tak bisa memberikan jawaban yang diharapkan oleh gadis itu. Maka, Suto pun bertanya pelan, "Apakah kau menolak dan keberatan kuminta bantuanmu mengantar ke Cemara Tunggal?"

"Kalau aku keberatan, kau mau apa?" ketus Kirana bernada dongkol.

"Aku akan mencarinya sendiri, biar susah payah bagaimanapun juga! Mungkin aku bisa bertanya dan minta tolong perempuan lain yang tahu letak Cemara Tunggal."

Mendengar kata-kata itu, Kirana melirikkan matanya dengan masih berwajah cemberut tipis, lalu berkata, "Aku yang akan antar kau!" Ada rona cemburu kali ini di wajah Kirana.

Pendekar Mabuk hanya tertawa sambil membuang pandangan ke arah laut, tak mau memandang gadis yang tersipu dongkol itu.

Menginjak sedikit siang, mereka berangkat ke Cemara Tunggal. Perjalanan hampir mencapai setengah hari. Bukit Canang terletak di antara dua gunung besar. Bukit itu sebenarnya tidak terlalu tinggi. Untuk mendaki puncaknya hanya membutuhkan waktu beberapa saat saja, tak sampai lima ratus langkah.

Pada satu lereng bukit, memang terlihat tanah kosong yang ditumbuhi oleh rumput dan beberapa batu besar. Tapi di bagian tengah tanah kosong itu, terdepat sebatang pohon cemara tinggi. Pucuknya meliuk-liuk dipermainkan angin. Hanya satu pohon cemara yang ada. Dan itulah yang dinamakan Cemara Tunggal oleh setiap orang.

"Sebenarnya apa yang kau cari di sini?" tanya Kirana yang sebenarnya tidak mau tahu urusan Pendekar Mabuk itu. Akhirnya ia tak kuat menahan rasa ingin tahunya, hingga terlontar pertanyaan seperti itu.

"Sebelumnya aku ingin tahu, apa yang dicari oleh gurumu saat kau temukan tewas di sini?!"

"Aku tidak tahu! yang jelas, dulu semasa mudanya, Guru punya tempat tinggal di daerah ini. Tepatnya di lereng sebelah selatan sana, di balik bukit ini!"

"Apakah sekarang tempat tinggalnya itu masih ada?"

"Tinggal petilasannya saja. Semua bangunan telah roboh diamuk badai yang datang kala itu."

"Hmmm...!" Sambil memandang sekeliling, Suto mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi diam-diam hatinya bertanya, mana tempat yang memungkinkan untuk menyimpan sebuah pedang? "Menurutmu, apa yang dicari gurumu di petilasan tempat tinggalnya dulu itu?!"

"Sudah kubilang, aku tak tahu!" sentak Kirana. "Tapi sebelum guruku pergi, sudah pamit kepada salah satu temanku bahwa dia mau ke Cemara Tunggal. Lalu aku menyusulnya kemari dan menemukan Guru sudah terkapar di batu sebelah sana itu!" sambil Kirana menuding ke arah dua batu yang berjejeran, masing-masing tingginya sebatas dada manusia dewasa.

"Mari kita ke sana!" ajak Pendekar Mabuk dan hal itu semakin membuat Kirana terheran-heran.

Sampai di batu dua jajar itu pun, Kirana bertambah kerutkan dahi melihat Suto berusaha mendorong batu itu dengan tenaga biasa. Suto juga memandangi sekeliling batu tersebut. Kirana tidak tahu bahwa Suto menduga ada lubang atau ruangan di bawah tanah yang pintunya melalui tempat sekitar batu tersebut.

Suto menyangka cara membuka pintu ruangan itu dengan menggeser batu tersebut. Tapi ternyata, Suto segera menghapus dugaan itu. Karena menurutnya, tak ada pintu apa-apa, sebab rumput di sekelilingnya tak memberi tanda bekas diinjak manusia atau terdapat satu garis aneh. Tak ada hal itu. Jadi Suto berkesimpulan, mungkin di tempat lain pusaka itu disembunyikan.

"Suto, kalau kau tak mau jujur padaku, aku akan pergi dan tak mau menemanimu di sini!" ancam Kirana. "Apa yang kau cari di sini sebenarnya?!"

"Sebuah pusaka," jawab Pendekar Mabuk setelah diam beberapa saat.

Jawaban itu tidak membuat Kirana kaget namun justru menyunggingkan senyum dan sekarang malahan tertawa geli. Suto-lah yang menjadi terheran-heran melihat sikap Kirana. "Maksudmu pusaka milik Ki Padmanaba?!"

Terkesiap mata Pendekar Mabuk mendengar Kirana menyebutkan nama itu. Ia segera berkata lirih, seperti ditujukan pada dirinya sendiri, "Kau mengenal nama itu rupanya?!"

"Ki Padmanaba adalah teman dari guruku Nyai Punding Sunyi. Dan kabar tentang Ki Padmanaba punya pusaka ampuh itu sudah lama beredar, tapi tak satu pun ada yang menemukannya. Karena itu, kabar tentang pusaka Ki Padmanaba itu dianggap omong kosong belaka!"

"Omong kosong?!" Pendekar Mabuk berkerut dahi makin tajam.

"Kalau kau mau tanya soal pusaka, tanyalah kepada Ekayana! Karena dia adalah cucunya Ki Padmanaba!"

"Darimana kau tahu?!"

"Sudah lama!" jawab Kirana acuh tak acuh, kadang gadis ini memang menjengkelkan, kadang menggelikan juga.

"Kalau memang pusaka itu hanya omong kosong, mengapa gurumu datang ke sini? Pasti dia saat itu sedang mencari pusaka tersebut!"

"Setahuku, guruku tak pernah tertarik dengan pusaka Ki Padmanaba! Bahkan diajak bicara tentang hal itu pun beliau tak mau. Sudah bosan membicarakannya dari dulu!"

"Sudah bosan, atau menutup diri supaya orang tak banyak membicarakan dan mengincarnya? Siapa tahu diam-diam gurumu mempelajari tentang rahasia pusaka tersebut, sampai suatu saat menemukan rahasia penyimpanan pusaka itu, dan akhirnya datang sendiri untuk mengambilnya secara diam-diam?!"

Sambil berkata begitu, Suto melangkah mendekati pohon cemara yang seperti anak sebatang kara itu. Kirana mengiringi di samping kiri Suto sambil merenungkan penjelasan Suto Sinting tadi.

"Orang pintar," kata Pendekar Mabuk lagi. "Jelas tak akan banyak bicara tentang rahasia pusaka itu. Ia akan bersikap tenang, kalau perlu bersikap masa bodoh dan tidak mempercayai adanya pusaka ampuh milik Ki Padmanaba. Tapi diam-diam ia mencari dalam hatinya, dengan begitu ia merasa sebagai pemburu pusaka sendirian tanpa ada orang lain yang menjadi saingannya!"

"Mungkinkah Guru begitu?!" gumam Kirana, setelah mereka berhenti tepat di bawah cemara.

Pendekar Mabuk tidak melayani kata-kata Kirana untuk sejenak. Suto sibuk memeriksa batang pohon cemara tersebut. dari atas sampai bawah ia pandangi dengan baik-baik. Batangnya dipukul pukul pelan, karena ada kemungkinan pedang pusaka itu disimpan dalam batang cemara. Jika memang benar, berarti batang itu berongga di dalamnya. Melalui pukulan pukulan, Pendekar Mabuk dapat mendengarkan bunyi gema jika memang ada bagian dalam batang yang berongga. Tapi nyatanya tidak ada.

Suto Sinting membatin kata. "Cemara Tunggal dalam purnama? Apa maksudnya?! Pedang itu tersimpan di Cemara Tunggal dalam purnama. Apakah yang dimaksud bentuk lingkaran yang ada di sekitar pohon cemara ini?!"

Suto pun berkeliling memandangi tempat-tempat tertentu, mencari bentuk lingkaran. Tapi bentuk itu sendiri tak ada, bagaimana mungkin bisa menemukan pusaka tersebut? Suto duduk di bawah cemara itu. Kirana pun ikut duduk di sebelahnya. Mereka sama-sama merenung, dan agaknya Kirana mulai tertarik dengan kemungkinan Suto, bahwa Nyai Punding Sunyi agaknya mulai mengetahui letak pusaka tersebut setelah sekian lama memikirkan tempat penyimpanannya. Andai kata benar, lalu mengapa Nyai Punding Sunyi dibunuh oleh Sedayu?

Benarkah gara-gara saling tersinggung dengan ucapan yang terjadi setahun yang lalu? Apakah bukan berarti Nyai Punding Sunyi telah menemukan pedang pusaka itu, lalu dicuri oleh Sedayu? Tapi mengapa Sedayu tidak menggunakannya untuk melawan Ekayana? Mengapa Sedayu mati di tangan Ekayana?

Pemikiran seperti itu, ada di dalam benak Suto Sinting. Tetapi sampai hampir menjelang senja, mereka masih saja duduk di situ, dan Suto belum menemukan jawaban yang pasti.

Sampai akhirnya Kirana berkata, "Kelihatannya ada orang sedang berlari kemari, Suto!" seraya ia menatap ke arah kanan. Suto ikut memandang jauh. Dan ternyata benar, ada seseorang yang berlari menuju ke arah Cemara Tunggal itu. Orang tersebut mengenakan pakaian abu-abu dan berbadan sedikit pendek dan agak gemuk. Semakin dekat semakin jelas bentuk wajahnya.

"Paman Jongos Daki!" gumam Kirana.

"Benar! Kelihatannya memang dia. Tapi mengapa dia menyusul kita kemari? Pasti ada sesuatu yang penting."

Mereka berdua bergegas menyongsong kedatangan Jongos Daki yang tampak berwajah tegang. Kirana yang menyapa lebih dulu dengan cemas, karena firasatnya mengatakan ada yang tak beres telah terjadi di kediaman Tabib Cawan Maut itu. "Ada apa, Paman?!"

Jongos Daki menjawab dengan napas terengah-engah. Agaknya ia melarikan diri terus-menerus tanpa berhenti dari bukit karang itu sampai ke Bukit Canang. "Tabib... tewas!"

"Hahh...?!" Suto dan Kirana sama-sama terkejut dan terbelalak.

"Apa yang terjadi sebenarnya, Paman?!"

"Orang... orang-orang Kobra Hitam menyerang. Tabib tewas dan aku melarikan diri dalam pengejaran mereka."

"Mengapa tabib dibunuh?" tanya Pendekar Mabuk.

Sementara Kirana termenung sambil menggumam lirih, "Kobra Hitam...!"

Jongos Daki menjawab, "Permasalahannya tak begitu jelas, Suto. Tapi kudengar salah seorang bicara menuduh kepada tabib, dan karena Tabib Cawan Maut menyanggah tuduhan itu, maka diseranglah tabib oleh mereka yang berjumlah tiga orang itu!"

"Tuduhan apa yang dilemparkan pada Tabib Cawan Maut?!"

"Tuduhan... meracuni orang orang Kobra Hitam! Mereka menyangka tabib mempunyai Racun Getah Tengkorak dan dipakai membunuh banyak orang Kobra Hitam! Padahal, tabib merasa tidak memiliki racun Getah Tengkorak yang amat jarang terdapat di sembarang tempat itu. Tabib hanya merasa, racun seperti itu memang ada. Tapi ia tak menyimpannya walau sedikit pun!"

Napas Jongos Daki masih terengah-engah sewaktu Pendekar Mabuk termenung sedih membayangkan kematian Tabib Cawan Maut. Kirana pun menundukkan kepala, tanda ikut berkabung atas meninggalnya tabib yang dikenalnya dengan baik itu.

"Tolong aku...! Mereka mengejarku dan juga menuduhku orang yang menyebarkan racun itu!" kata Jongos Daki.

"Mengapa Paman tidak melawannya?" tanya Kirana.

"Tak mungkin. Mereka yang datang berilmu tinggi semua. Ekayana, Brajawisnu, dan Pancakana! Mereka orang-orang kuat di Kobra Hitam!"

"Ya. ya... aku paham. Tapi seharusnya mereka tidak membabi-buta begitu!" kata Kirana dengan menggenggamkan tangannya kuat-kuat.

Kepada Pendekar Mabuk yang tertegun. Kirana bertanya. "Maukah kau lari bersembunyi bersama kami? Mereka pasti mengejar sampai kemari!"

"Akan kuhadapi mereka! Tak perlu lari!" kata Pendekar Mabuk dengan tenang. Kemudian ia meneguk tuaknya beberapa kali.

* * *

SEMBILAN
TIGA orang berkuda mendekati Cemara Tunggal. Dari kejauhan sudah kelihatan mereka bertiga tampak bernafsu sekali untuk membunuh orang yang mereka duga sebagai penyebar Racun Getah Tengkorak. Wajah mereka tampak beringas dan buas. Seolah-olah tiga ekor singa yang kelaparan dan memburu mangsa siapa saja yang ditemuinya.

Melihat tiga ekor kuda berderap menuju Cemara Tunggal, Jongos Daki mulai tampak cemas dan bergeser berdirinya ke belakang Suto Sinting. Kirana sendiri kelihatan memendam kegelisahan, hatinya waswas, sehingga ia berlagak mendekati Jongos Daki ke belakang Suto Sinting.

Berbeda dengan Pendekar Mabuk, ketika melihat tiga ekor kuda menuju tempat mereka berada, ia justru meneguk tuaknya beberapa kali dan dengan tenang melangkah ke tanah yang datar. Jongos Daki dan Kirana bergegas mengikuti Suto dari belakang. Ketika itu Pendekar Mabuk segera membalikkan badan dan berkata kepada mereka,

"Jangan dekat-dekat. Menjauhlah dan carilah tempat bersembunyi!"

"Kau sendirian, Suto!" bisik Kirana.

"Dari dulu memang aku sendirian," jawab Suto.

Jongos Daki ikut bicara, "Mereka bukan orang sembarangan. Mereka pasti orang-orang pilihan dari Kobra Hitam yang kusaksikan sendiri ilmu mereka begitu tingginya."

Kirana menimpali, "Mereka bersenjata, sedangkan kau tidak, Suto. Pakailah pedangku!"

"Bawalah buat menjaga dirimu sendiri," kata Suto Sinting. "Mana yang paling berbahaya dari ketiga orang itu?" tanyanya.

"Ekayana lebih berbahaya dari keduanya itu," jawab Kirana.

"Baiklah, kalau begitu kulumpuhkan Ekayana lebih dulu! Lekas menjauhlah. Mereka mulai semakin dekat kemari! Bersembunyilah di balik dua batu besar itu, supaya jangan sampai kalian menjadi sasaran pukulan tenaga dalam mereka jika meleset mengenaiku! Pergilah ke sana, Kirana. Jangan bengong saja!"

Ada kebimbangan di hati Kirana. Ada kecemasan untuk meninggalkan Pendekar Mabuk sendirian menghadapi tiga orang ganas itu. Tak tega hati Kirana sebenarnya membiarkan Suto bertarung sendirian. Tapi karena Suto mendesaknya terus, akhirnya Kirana pun mengikuti saran Pendekar Mabuk yang masih kelihatan tetap tenang itu.

Setelah Kirana dan Jongos Daki bersembunyi di balik dua batu berjajar yang dipakai tempat bersandarnya Nyai Punding Sunyi pada saat sebelum ajal tiba, Pendekar Mabuk maju beberapa tindak menyambut kedatangan tiga orang ganas itu.

Kuda kuda mereka berhenti dalam jarak antara sepuluh tombak dari tempat Pendekar Mabuk berdiri, Suto berdiri di dekat gugusan batu yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya. Di sana ia sedikit bersandar punggung pada batu tersebut, kedua tangannya terlipat di dada. Ia sengaja menunggu ketiga orang itu mendekatinya. Tapi ketiga manusia beringas itu masih tetap berada di punggung kuda.

Ekayana sudah terbebas dari totokan pada tangannya. Logayo sendiri yang membebaskan totokan darah tersebut. Kini ia kelihatan tampak siap bersama pedangnya di pinggang, kepalanya diikat kain putih bagai seseorang yang sudah siap mati dalam pertempuran. Ia berada di tengah, di antara Brajawisnu dan Pancakana yang berwajah lonjong, beralis tebal, dan kumisnya turun ke bawah sampai dagu itu. Pancakana juga berambut panjang, tapi diikat kain merah sebagai lambang berani mati.

Ia bersenjatakan cambuk berujung mata pisau. Sedangkan Brajawisnu yang berjubah ungu tua dengan usia sekitar enam puluh tahun itu, kelihatan tak sabar ingin segera turun dan menyerang pemuda tampan di depannya itu. Brajawisnu yang bermata cekung dan dingin itu berambut panjang pula tapi tak diikat.

Orang yang tak pernah tersenyum itu menyimpan beberapa pisau terbang di balik jubahnya, karena memang pisau-pisau terbang itulah senjata yang paling diandalkan. Karena pada pisau-pisau itulah Brajawisnu yang ahli racun itu membubuhkan berbagai macam jenis racun untuk setiap mata pisaunya.

Ketiga manusia yang masing-masing berjuluk Malaikat Maha Pedang, untuk Ekayana, Iblis Maha Racun untuk Brajawisnu, dan Hantu Naga Belah untuk Pancakana, segera turun dari punggung kuda setelah diberi aba-aba oleh Ekayana. Tali kekang kuda ditambatkan begitu saja di rimbunan semak yang menggerombol tak jauh dari mereka. Kemudian dengan langkah pelan dan menegangkan mereka bertiga mendekati Pendekar Mabuk yang tetap berdiri dengan tenang, memandang dengan kalem, bahkan terhias senyum tipis membayang di bibirnya.

Saat itu, Ekayana sempat berbisik kepada kedua temannya, "Itu yang kubilang pemuda setan kurap! Dia yang menotokku dengan cara yang tak kuketahui."

"Sikapnya sengaja menunggu kedatangan kita," gumam Brajawisnu. "Apakah dia berpihak pada Jogos Daki?"

"Entahlah. Tapi tadi kulihat Jongos Daki bersama Kirana, orang Perguruan Mawar Seruni!"

"Kalau begitu, jelas sudah pemuda mabuk itu pasti berpihak kepada Jongos Daki. Atau, mungkin saja dialah orangnya yang menyebarkan Racun Getah Tengkorak di tempat kita," kata Pancakana.

Brajawisnu menggeram, "Habisi dia sekalian!"

Ekayana berkata, "Biarkan aku dulu yang maju melawannya. Kalian berdua jagai aku dari kejauhan!"

"Baik," jawab Pancakana sedangkan Brajawisnu hanya menggumam.

Ekayana meneruskan langkah lebih mendekati Pendekar Mabuk, sementara Brajawisnu dan Pancakana diam di tempat. Tapi keduanya saling berjaga-jaga. Pancakana sudah kelihatan mulai mengambil cambuk mautnya dari pinggang. Cambuk itu masih tetap digulung tiga lilitan, dan digenggam dengan tangan kanannya.

"Kita bertemu lagi, bangsat!" kata Ekayana sengaja memancing kemarahan Suto dengan makian.

Tapi Pendekar Mabuk tetap tenang dan bahkan menyunggingkan senyum berkesan meremehkan. "Terlalu lama aku menunggumu di pantai, jadi aku pindah ke sini untuk menunggumu, Ekayana."

"Bagus. Tapi aku ke sini juga mengejar Jongos Daki."

"Untuk apa kau mengejar lawan yang lebih rendah ilmunya dari mu?"

"Jongos Daki dan Tabib Cawan Maut bekerja sama menyebarkan Racun Getah Tengkorak untuk membunuh sekian banyak orang-orangku! Mereka layak mendapat anugerah kematian dari tangan kami!"

"Apakah mereka sudah terbukti bersalah?"

"Hanya Tabib Cawan Maut yang mengetahui adanya racun itu! Hanya saja, entah siapa yang disuruhnya menaburkan racun itu ke tempat kami, mungkin Jongos Daki, mungkin juga kau! Atau mungkin kalian berdua bekerja sama!"

"Tak perlu pakai alasan macam-macam tuduhan! Aku tahu apa yang kamu inginkan datang kemari, Ekayana!"

"Benar! Kau pasti tahu kalau aku ingin mencabut nyawamu. Bangsat Kurap! Jika kau tak sabar, bersiaplah menghadapi pedangku! Kali ini tak kubiarkan kau bergerak sedikit pun!" Srett...! Ekayana mencabut pedangnya sambil melompat dan menyabetkan ke dada Pendakar Mabuk.

Tapi serangan yang cepat itu segera dihindari oleh Suto dengan gerak silumannya. Zlapp...! Tahu-tahu Suto berada di samping Ekayana, sementara itu Ekayana menyabetkan pedangnya dari atas ke bawah dan mengenai batu yang tadi dipakai sandaran Pendekar Mabuk.

Tringngng...! Percikan api keluar akibat kecepatan tebas pedang di permukaan batu keras itu.

"Gerakan jurus pedangmu belum sempurna, Ekayana!" kata Suto Sinting sengaja memancing luapan amarah lawannya.

Ternyata pancingan itu termakan oleh Ekayana, sehingga ia bergerak semakin tanpa perhitungan. Nafsunya untuk membunuh Pendekar Mabuk meluap-luap dan tak terkendali lagi. "Terima jurus 'Pedang Pembelah Petir' ini, Monyet busuk! Hiaah!"

Wuttt...! Wes wes wes wes wwukk...!

Ekayana bergerak dengan cepat. Kelihatannya hanya satu kali menebaskan pedangnya, padahal beberapa kali gerakan tebas pedang telah dilakukan, kurang dari satu helaan napas. Tetapi akhirnya Ekayana bingung sendiri, karena ternyata ia menebas tempat kosong bebarapa kali.

Sedangkan orang yang dijadikan sasaran tahu-tahu sudah berada dalam jarak lima tombak di belakangnya, sedang menengadahkan kepalanya, meminum tuaknya beberapa teguk.

Brajawisnu berbisik kepada Pancakana, "Dia punya gerakan yang tak bisa dilihat mata kita! Dia cukup berbahaya!"

"Kalau kau takut, mundurlah! Biar aku yang hadapi dia!"

"Setan kau! Jangan bicara begitu! Dia boleh punya gerakan secepat setan, tapi belum tentu bisa mengimbangi gerakan pisau terbangku! Lihat...!"

Wuttt...!

Tiba-tiba tangan Brajawisnu berkelebat ke depan. Rupanya dia telah mencabut pisau dan melemparkannya ke arah Pendekar Mabuk yang baru saja selesai meneguk tuaknya. Gerakan pisau terbang yang amat cepat itu masih bisa ditangkis oleh bumbung tuak Suto dalam keadaan Suto melimbungkan diri seperti gerakan orang mabuk.

Trakkk....! Pisau itu mengenal bumbung tuak, dan bumbung itu dibelokkan sedikit oleh Pendekar Mabuk dalam gerakan cepat. Akibatnya pisau itu memantul tapi tidak berbalik ke arah penyerangnya, melainkan meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah Ekayana.

Zuttt...! Crabb..!

"Aaah...!" Ekayana terpekik, pisau itu menancap di bawah pundak kirinya. Brajawisnu dan Pancakana mendelik kaget melihatnya.

"Ekayana...?!"pekik Pancakana segera melompat menghampiri Ekayana yang menjadi merah bagian pundak, dada serta lengan kirinya itu. Racun ganas pada pisau tersebut membuat Ekayana menjadi lemah.

Brajawisnu merasa bersalah, menyesal sekali Ekayana bisa terkena pisau beracun itu. Hatinya menjadi panas kepada Suto Sinting yang seenaknya saja menangkis pisau terbangnya. Brajawisnu merasa diremehkan. Karenanya, setelah melemparkan sebutir obat kepada Ekayana dan menyuruh Ekayana menelan butiran sebesar tahi kambing itu, Brajawisnu segera menghadapi Pendekar Mabuk.

"Keparat kau! Terlalu meremehkan kami dengan kesombonganmu! Hadapi aku si Iblis Maha Racun ini!"

"Baik. Kulayani permintaanmu!" kata Pendekar Mabuk.

Brajawisnu segera menyerang dengan menyentakkan tangannya dalam keadaan telapak tangan terbuka mekar dan menghadap ke bawah, lalu dari dalam tangan jubahnya melesatlah dua mata pisau kecil yang berwarna putih mengkilat, bercahaya karena pantulan sinar matahari.

Zlaapp, Zlappp...!

Pendekar Mabuk sentakkan kakinya pelan ke tanah, tubuhnya melesat naik dan bersalto maju dua kali. Jlegg...! Ia sudah ada di depan Brajawisnu dalam jarak hanya dua langkah, sedangkan dua pisau tadi meluncur terus mengenai pohon di tempat jauh. Pohon itu tumbang dengan menimbulkan suara gemuruh yang mengerikan.

Hadirnya Suto Sinting di depan mata membuat Brajawisnu terkejut. Saat terkejut itulah Suto segera melepaskan tendangan beruntun ke wajah dan tubuh Brajawisnu. Tendangan beruntun itu sangat cepat. Sepertinya tendangan satu kali lepas saja, tapi sesungguhnya punya lima tendangan yang mengenai sasaran dengan cepat. Dari wajah sampai ke perut Brajawisnu rata mendapat bagian tendangan bertenaga dalam tinggi itu.

Jeb jeb jeb jeb jeb…!

"Hiaaaah....!" pekik Pendekar Mabuk untuk tendangan yang terakhir kalinya, yaitu melompat dan memutar tubuh dengan cepat. Kakinya melayang kuat menghantam wajah kiri Brajawisnu.

Plokkk! Telak sekali tendangan yang terakhir itu, membuat Brajawisnu terlempar dan jatuh menabrak Ekayana yang sudah siap menyerang Suto kembali itu. Akibat tabrakan tersebut, Ekayana jadi ikut terpental dan jatuh tertindih Brajawisnu.

"Braja....!" pekik Pancakana yang hampir saja tadi ikut tertabrak tubuh Brajawisnu. Mata Pancakana menjadi terbelalak karena ia melihat dengan jelas pedang Ekayana menembus lambung Brajawisnu dan tembus ke pinggang sebelahnya.

"Ekayana! Kau telah membunuh Brajawisnu!" teriak Pancakana dengan panik. Ekayana sendiri terkejut luar biasa setelah menyadari pedangnya menembus tubuh teman sendiri.

"Bangsaaaattt....!" teriak Ekayana dalam amukannya yang meledak-ledak. Ia sangat menyesal karena merasa sepertinya dialah yang membunuh teman sendiri. Malaikat Maha Pedang itu segera menyerang Pendekar Mabuk bersama-sama dengan Pancakana. Cambuk berujung pisau itu dilecutkan, tak ada suara yang keluar dari cambuk itu.

Wutt...! Hanya itu yang didengar dari lecutan cambuk, Suto menghindarinya dengan melompat ke kiri.

Wutt...! Kembali cambuk dilecutkan, Suto menghindar ke depan dan bersalto. Begitu mendaratkan kaki, pedang Ekayana berkelebat dengan cepatnya. Wesss....!

Trakkk! Suto menangkis dengan bumbung tuak, lalu dengan cepat bumbung tuaknya dihantamkan ke wajak Ekayana.

Duarrrr...!

Terdengar suara ledakan ketika bumbung tuak menghantam kepala Ekayana. Setetah itu, Ekayana tak berkutik lagi. Rubuh dalam keadaan hancur kepalanya.

"Jahanam kau!" geram Pancakana dengan mata makin melotot. Ia mengamuk melihat Ekayana mati dengan keadaan sangat menyedihkan. Maka cambuknya pun dilecutkan beberapa kali ke tubuh Suto Sinting.

Wuttt, wutt, wutt, wuttt...!

Zrattt...! Cambuk melilit di bumbung tuak yang ditangkiskan Pendekar Mabuk. Pancakana berusaha menarik cambuknya, tapi dengan mengerahkan tenaga sebesar apa pun, cambuk itu tetap melilit ke bumbung tuak.

Maka, dengan kedua tangannya Suto pun menyentakkan bumbung tuak itu ke belakang, dan satu kali sentak tubuh Pancakana melayang terbang karena tarikan cambuknya. Begitu tubuh Pancakana mendekat, bumbung tuak segera dimiringkan dan kini bagian bawah bumbung disodokkan ke dada Pancakana dengan kuat.

Duhggg....!

"Ughh....!" Pancakana terpental balik dengan cambuk terlepas. Tubuhnya melayang dan jatuh sejauh lima tombak. Ia jatuh di bawah kaki kuda dalam keadaan wajah menjadi biru legam, rambutnya mulai rontok tertiup angin. Sedikit demi sedikit akhrirnya rambut itu habis dari kepala Pancakana. Kepala orang itu menjadi plontos dan berwarna biru legam.

Rupanya sodokan bumbung tadi mempunyai kekuatan dahsyat yang tak diduga-duga oleh siapa saja. Pancakana sendiri tak menyangka kalau akan tersodok bumbung tuak pada saat Suto Sinting menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh. Rupanya itulah jurus 'Mabuk Pelebur Gunung' yang dimiliki oleh Pendekar Mabuk.

Pancakana merasa seperti ada jutaan semut yang menggerayangi dan menggerogoti bagian dalam dadanya. Jantungnya terasa sakit, demikian pula paru-parunya bagai mulai kropos. Cepat-cepat ia berusaha melomnpat ke punggung kuda. Dengan sikap sedikit telungkup menahan sakit, ia memacu kuda untuk meninggalkan tempat tersebut. Orang berkepala pelontos gundul itu melarikan diri dari pertarungannya, karana ia merasa jiwanya tak akan bisa tertolong lagi tapi perlu memberi laporan kepada sang ketua Perkumpulan Kobra Hitam.

Kirana segera berlari dan melompat, tahu-tahu ia sudah duduk di atas punggung kuda. Suto segera berseru, "Kirana! Mau apa kau?"

"Mengejar setan busuk itu!"

"Tak perlu! Dia akan mati begitu tiba di tempat, atau mungkin dalam perjalanannya!"

Akhirnya Kirana pun turun dari kuda, tak jadi mengejar Pancakana. Tiba-tiba terdengar suara letupan keras. Tar tarrr...!

Suto Sinting tegang dan bersiap menghadapi serangan lagi. Matanya memandang sekeliling dengan tajam. Tapi Kirana segara berkata dengan tenang.

"Tak ada apa-apa. Suto! Itu hanya suara lecutan cambuk Pancakana yang tertinggal!"

"Yang tertinggal?!" Suto heran.

"Cambuk itu tadi melebihi kecepatan suara. Dan itulah kehebatan cambuk Pancakana, bisa meredam suara pada saat dilecutkan ke lawan, sehingga lawan akan merasa menyepelekan kekuatan cambuk itu"

Jongos Daki muncul dari balik batu. Pada saat ia mendekati Suto dan Kirana, suara cambuk Pancakana yang tadi dilecutkan empat kali tanpa suara itu, kali ini terdengar lagi.

Tar tar tar tarrr!

Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala. Ia mengguman, "Cukup dahsyat sebenarnya, cambuk itu, tapi sayang digenggam tangan sesat, jadi tak berguna bagi hidupnya sendiri!"

"Logayo pasti akan murka mendapat kabar dua orang kuatnya kau rubuhkan, Suto" kata Kirana.

"Lebih murka lagi melihat Pancakana seolah-olah kau kirim kembali sebagai bangkai! Dia pasti akan mencari kita!"

"Aku siap menghadapinya kapan saja. Yang penting bagiku sekarang adalah mencari tahu, di mana pusaka Ki Padmanaba disimpannya?"

Jongos Daki berkata, "Aku sendiri tak tahu. Tapi yang jadi buah pikiranku sekarang ini adalah, siapa orang yang menabur racun di antara orang orang Kobra Hitam itu?! Siapa pemilik Racun Getah Tengkorak yang langka dan sulit diperoleh itu?"

"Barangkali untuk mencari tahu tempat penyimpanan pusaka Ki Padmanaba, kita bisa tanyakan kepada Nyai Embun Salju, ketua Perguruan Elang Putih, yang nama aslinya tak boleh disebutkan oleh siapapun karena bisa mendatangkan hujan petir dan amukan badai!"

"O, begitu dahsyatnya nama itu sendiri?" kata Suto dengan kagum. "Kalau begitu, cepat bawa aku kepada Nyai Embun Salju! Kita perlu mengetahui dimana Ki Padmanaba menyimpan pusaka tersebut."

Jongos Daki bertanya kepada Kirana, "Mengapa harus kepada Nyai Embun Salju kita bertanya?!"

"Karena Nyai Embun Salju adalah kakak dari Ki Padmanaba, tapi mereka hanya satu ibu lain bapak!" jawab Kirana. "Yang kutakutkan kalau Nyai Embun Salju tidak mengetahui tempat pusaka itu di simpan, tapi justru kakak ipar Ki Padmanaba mengetahuinya."

"Kakak ipar?! Maksudnya kakak dari istrinya Ki Padmanaba?" tanya Suto Sinting dengan semakin ingin tahu.

"Benar! Karena ketika Ki Padmanaba membunuh istrinya, kakak iparnya mengancam akan merebut pusaka itu! Dan kakak iparnya itulah yang mempengaruhi istri Ki Padmanaba untuk membunuh mertua sang istri, yaitu membunuh orangtua Ki Padmanaba!"

"Siapa kakak iparnya Ki Padmanaba itu?!"

"Logayo, ketua perguruan Kobra Hitam!" jawab Kirana dengan tegas.

Pendekar Mabuk berkerut dahi dan memandang ke arah jauh. Sebenarnya ia tak ingin terlibat dalam masalah pusaka, yang bukan hak miliknya itu. Tapi amanat dari Ki Padmanaba saat menjelang ajalnya tiba itu, membuat Suto semakin merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan pusaka itu agar tidak jatuh ke tangan orang sesat.

Sementara itu sebuah pertanyaan masih menyelinap di dalam hati Suto tentang siapa penyebar Racun Getah Tengkorak itu sebenarnya?

SELESAI

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.