Bandar Hantu Malam - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Bandar Hantu Malam
Karya Suryadi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
ANGIN berhembus bersama mega mendung di langit. Kian lama hembusannya kian cepat. Sebuah bukit berhutan tipis disapu angin senja. Cahaya matahari memerah di cakrawala. Tapi cahaya itu masih mampu tampakkan sosok manusia kurus berjubah putih. Manusia kurus itu berambut putih, panjangnya sebatas punggung tanpa ikat kepala. Rambut putih itu milik seorang lelaki yang diperkirakan berusia hampir delapan puluh tahun. Jenggot dan kumisnya pun telah memutih rata. Rambut itu meriap-riap disapu anginsenja.

Kian lama hembusan angin kian kencang. Pohon- pohon meliuk nyaris patah bagian tengah batangnya. Angin kencang itu seakan ingin tumbangkan tokoh tua yang berdiri tegak di puncak bukit bertanah lapang. Nyatanya tokoh tua itu tetap diam saja tak bergeming. Tetap berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, membiarkan tubuhnya dihembus angin kencang. Jika bukan tokoh berilmu tinggi, tentu ia sudah tumbang sejak tadi.

Hembusan angin itu jelas bukan sembarang angin. Pasti ada yang mengirimkan kekuatan tenaga dalamnya melalui hembusan angin. Karena angin itu ternyata mempunyai hawa panas. Kian lama kian terasa jelas hawa panasnya. Bahkan dedaunan pohon, ilalang, dan rumput menjadi layu. Sekalipun tidak sampai kering, namun kehijauan dedaunan itu telah mulai berkeriput dan layu.

Unggas yang mendiami bukit itu lari ketakutan diterpa angin panas tersebut. Toh nyatanya tokoh tua berjubah putih masih tetap diam berlipat tangan didada, seakan menahan serangan dari lawannya yang mengancam keselamatan jiwa.

Kreseeek... Brrruuk...!

Pohon mulai tumbang. Itu tandanya kekuatan angin cukup tinggi. Bahkan sebongkah batu sebesar kerbau pun mulai retak. Traak...! Praak...! Dan akhirnya pecah terbelah menjadi lebih dari delapan bagian. Tetapi tubuh kurus tua itu masih tetap berdiri tegak tanpa bergeser sedikit pun dari tempatnya berpijak.

Bukit itu mempunyai jurang dalam sekali. Di seberang jurang ada bukit lain tanpa tanaman tinggi. Hanya batu-batuan yang saling bertonjolan sebagai ganti tanaman. Bukit yang gersang itu dinamakan orang Puncak Karang. Tanah dan bebatuannya berbentuk seperti karang laut.

Di Puncak Karang itu terlihat seorang pemuda berambut lurus sepanjang lewat bahu. Orang muda itu mengenakan baju coklat tanpa lengan, celananya putih kusam karena kotor oleh tanah. Entah berapa lama tidak dicuci. Pemuda tampan dan gagah itu menggendong bambu tempat tuak yang panjangnya sedepa. Bambu itu adalah jenis bambu besi berwarna coklat kehijauan dengan tali coklat kehitam-hitaman.

Melihat ciri pada bambu bumbung tuak itu, setiap tokoh di dunia persilatan pasti mengenali pemuda ganteng tersebut. Dia adalah Pendekar Mabuk, bernama Suto, murid sinting si Gila Tuak. Ilmunya yang sering dibilang edan-edanan itulah yang membuat Suto dikatakan murid sinting dan akhirnya dikenal dengan nama Suto Sinting. Di Puncak Karang itu si murid sinting Gila Tuak memandangi bukit seberang jurang. Hatinya menyimpan rasa heran dan kecamuk yang didengar oleh telinga batinnya sendiri.

"Hembusan angin itu jelas bukan angin sembarangan. Seseorang sedang menyerang kakek berjubah putih itu. Tapi di mana penyerangnya? Siapa orangnya? Aku tak menemukan hal-hal yang mencurigakan di sana. Yang jelas penyerangnya pasti ada di timur, karena angin itu berhembus dari timur ke barat. Aku merasakan hawa panas yang sepertinya mengandung tusukan seribu jarum. Ini pasti ilmu tinggi yang dikuasai seseorang sebagai ilmu andalannya. Kalau kakek berjubah putih itu bukan orang sakti, pasti ia sudah muntah darah atau menjadi hancur karena tenaga dalam yang cukup tinggi itu. Hmmm... siapa kakek berkalung batuan merah itu?"

Tokoh tua berjubah putih itu memang kenakan kalung batu-batuan warna merah kecoklat-coklatan. Warna kalungnya itu sangat menyolok karena ada di antara jubah putih dan jenggot panjang yang putih pula. Sejauh ini Suto Sinting hanya bertindak sebagai penonton yang baik. Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk justru duduk dengan satu kaki masih menapak di tanah dan satu kaki menumpang di atas batu seukuran pinggangnya.

"Pertarungan ini merupakan tontonan yang menarik sekali. Aku ingin tahu akhir dari pertarungan aneh itu. Apakah kakek berjenggot putih itu mampu menahan serangan lawannya yang tak kelihatan itu? Hmm... kulihat saja bagaimana jadinya."

Gemuruh suara angin bagaikan banjir datang dari kejauhan. Kecepatan angin sungguh besar, sampai- sampai pohon yang telah tumbang terseret ke barat bagaikan didorong dan ditarik tenaga yang amat kuat. Batu-batuan mulai menggelinding jatuh ke jurang. Tetapi kakek berjubah putih itu masih diam tanpa bergerak, kecuali jubahnya yang melambai-lambai dan rambutnya yang meriap-riap seakan ingin copot dari kulit kepalanya.

Hawa panas yang hadir bersama angin itu sudah membuat dedaunan menjadi menguning dengan cepat. Mungkin tak lama lagi semua dedaunan akan menjadi kering berwarna coklat. Keadaan Suto Sinting tidak tepat berada di belakang kakek kurus itu. Ia berada di sebelah selatan. Tapi ketinggian tempatnya berpijak membuat pandangan matanya mampu melihat jelas keadaan sang kakek sakti itu. Sekalipun demikian, hawa panas yang hadir bersama angin sempat terasa menyengat kulit lengannya. Padahal angin berhawa panas itu tidak terarah kepadanya.

"Kalau tubuh orang awam yang menerima hembusan angin panas itu, pasti tubuhnya menjadi melepuh bagai terbakar," pikir Suto dalam kebungkamannya. "Angin panas itu harus dilawan dengan gelombang hawa dingin. Dengan begitu rasa panasnya tidak akan terasa dan... dan oh, mungkin si kakek itu sedang melawannya dengan gelombang hawa dingin?!"

Pertarungan tanpa gerak itu semakin menarik perhatian. Mata Suto Sinting lebih melebar lagi karena ia melihat kalung batu-batuan merah yang melingkar di leher sang kakek kurus itu mulai menyala, memancarkan cahaya kebiru-biruan. Cahaya itu indah dipandang mata, tapi mempunyai makna keselamatan yang sangat besar.

"Dia mulai melepaskan kekuatan gelombang hawa dinginnya," gumam Suto lirih, seperti bicara pada diri sendiri.

Dugaan Pendekar Mabuk itu memang benar. Sebab kejap berikutnya, daun-daun pohon atau ilalang di kaki bukit itu menjadi berubah warna. Yang semula menguning layu kini mulai segar kembali. Warna kuningnya berubah menjadi hijau pupus. Kian lama dedaunan itu kian tampak lebih hijau lagi pada saat kalung merah tersebut masih memancarkan sinar biru indah.

Mata Pendekar Mabuk kian melebar kagum melihat pohon-pohon yang tumbang bergerak pelan-pelan, berdiri kembali bagai diatur seperti awalnya. Pohon yang telah terseret dari tempatnya kini kembali bergeser pada tempat semula. Pohon itu pun berdiri lagi dengan gerakan yang amat pelan. Batu-batu yang sudah beterbangan kembali ke tempatnya, yang pecah kembali melayang dan menyatu lagi. Tanah yang terbongkar karena sentakan akar pohon tumbang pun kembali menimbun lubangnya dan menjadi rapat seperti semula.

"Gila?! Dia telah pulihkan keadaan alam yang sudah berantakan menjadi tertata seperti awalnya. Luar biasa tinggi ilmu si kakek itu?!" gumam Suto dengan wajah tegang.

Cahaya pendar-pendar biru masih keluar dari kalung batu-batuan merah. Semakin tercengang Suto Sinting melihat adegan berikutnya. Daun-daun mulai berbusa tipis. Bintik-bintik putih yang dilihatnya dari seberang jurang itu tak lain adalah busa-busa salju. Bebatuan yang hitam pun mulai dilapisi warna putih lembut. Bertambah lama bertambah tebal busa putih itu.

"Sungguh mengagumkan!" gumam Suto bermata lebar. "Alam sekelilingnya kini menjadi penuh salju. Tanah pun bersalju, bergumpal-gumpal dan menutupi kedua kakinya. Wow...! Hebat sekali ilmu si kakek itu. Angin kencang dihentikan, hawa panas dilawannya. Oh, siapa sebenarnya kakek sakti itu?"

Langit berawan mendung hitam ikut-ikutan menyingkir. Kini langit menjadi cerah, walau masih memancarkan warna merah saga karena matahari mulai tenggelam ke peraduannya. Tetapi lenyapnya awan hitam itu membuat hati Suto Sinting seolah-olah mengalami perasaan lega dan tenang. Lenyapnya awan hitam itu sudah tentu karena kekuatan dahsyat sang kakek berjubah putih yang berpengaruh sampai ke langit di ataskepalanya.

"Sayang Guru tidak ada di sini. Kalau ada di sini akan kutanyakan kepada Guru, siapa kakek kurus berjubah putih berkalung merah itu? Apakah ilmunya masih lebih tinggi dari ilmu guruku? Hmmm... kurasa sejajar. Ya, setidaknya Guru punya ilmu sejajar tingginya dengan kakek itu. Atau mungkin Guru lebih tinggi lagi, hanya tidak pernah diperlihatkan padaku ketinggian ilmunya yang melebihi ilmu kakek berjubah putih itu?" kata Suto dalam kecamuk batinnya.

Duaaar...!

Suara ledakan terdengar di kejauhan. Bukan berasal dari bukti seberang jurang. Bukan berasal dari tempat kakek sakti itu melakukan pertarungan gelap, tapi berasal dari kaki Puncak Karang. Suto Sinting pun segera berpaling ke belakang, memandang ke bawah, melihat kepulan asap tipis yang segera hilang.

"Ada apa di sana? Jangan-jangan Rindu Malam dan Kelana Cinta bertarung sendiri adu kehebatan ilmu masing-masing?"

Kelana Cinta dan Rindu Malam adalah dua wanita cantik yang berasal dari negeri Ringgit Kencana. Kemunculan Rindu Malam dan Kelana Cinta dari negerinya adalah sebagai utusan sang Ratu yang bernama Asmaradani. Rindu Malam ditugaskan menjemput Suto Sinting, sekaligus membantu menghadapi masalah yang waktu itu hampir membuat Suto kehilangan gelar kependekarannya.

Sedangkan Kelana Cinta adalah orang kepercayaan Ratu Asmaradani yang bertindak sebagai wakil sang Ratu dalam menghadiri pertemuan tokoh tingkat tinggi dalam memecahkan masalah persoalan kematian Empu Sakya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Keris Setan Kobra). Kedudukan Kelana Cinta lebih tinggi dari Rindu Malam, sebab Kelana Cinta mempunyai jabatan atau pangkat perwira di negeri Ringgit Kencana itu.

Ketika mereka bermaksud membawa Suto Sinting ke negeri Ringgit Kencana untuk menghadap Ratu Asmaradani yang pernah hadir lewat mimpi Suto, tiba- tiba keduanya mempunyai selisih pendapat. Mereka terpaksa berhenti di perjalanan dan menyuruh Suto agak menjauh, karena mereka ingin lakukan perdebatan yang tak boleh didengar siapa pun.

Karenanya, Suto Sinting naik ke Puncak Karang dan terkesima oleh pertarungan kakek sakti yang aneh itu, sementara Rindu Malam dan Kelana Cinta lakukan perdebatan sengit di kaki Puncak Karang tersebut. Apa yang diperdebatkan oleh kedua wanita cantik berpotongan rambut cepak seperti lelaki itu adalah sesuatu yang tak disangka-sangka oleh Suto Sinting.

"Sekalipun kau telah pertaruhkan nyawamu beberapa kali untuknya, tapi kau tetap tidak diizinkan untuk jatuh cinta padanya, Rindu Malam."

"Gusti Ratu Asmaradani tidak keluarkan larangan seperti itu, Perwira! Larangan yang dikeluarkan oleh Gusti Ratu Asmaradani adalah tidak boleh menyakiti atau melukai Suto!"

"Memang. Tapi jatuh cinta pada Suto itu pun merupakan larangan yang tak perlu dijelaskan. Mestinya kau sudah mengetahui tanpa mendapat penjelasan lebih dulu!"

"Kurasa kau sendiri yang mengincarnya, sehingga kau takut kalau Suto lebih tertarik kepadaku dari pada kepadamu, Perwira!"

Mata Kelana Cinta yang indah itu sedikit menyipit memandang Rindu Malam. Ia menahan kemarahan dalam hatinya. Suaranya mulai menggeram lirih. "Jalankan tugasmu saja. Jangan bicara soal cinta."

"Tapi aku tak bisa menahannya dan ingin mengatakan padanya bahwa aku menaruh hati padanya. Kau pun tidak berhak melarangku, Perwira. Karena tugasmu bukan melarang orang jatuh cinta tapi memberikan suara pembelaan dalam menghadiri sidang para tokoh tingkat tinggi itu!"

"Rindu Malam, jangan pancing kemarahanku sekali lagi. Jangan kau buat kesabaranku habis dengan kekerasan hatimu itu! Aku pun bertugas menyelamatkan Suto dari gangguan siapa pun, baik gangguan raganya maupun gangguan hati dan jiwanya. Kalau kau nyatakan dirimu jatuh cinta kepada Suto, maka pendekar tampan itu akan punya penilaian lain terhadap kita. Dia tidak mau datang ke negeri kita jika dia tidak berkenan menerima cintamu!"

Rindu Malam masih ngotot. "Dia pasti berkenan menerima cintaku. Dia pasti membalas cintaku. Yang penting aku harus bicara apa yang ada di dalam hatiku. Aku tak tahan jika harus memendamnya lama-lama."

"Rindu Malam!" sentak Kelana Cinta. "Jangan rendahkan dirimu gara-gara rasa cinta pada seorang lelaki! Biarkan lelaki itu yang bicara, tapi kau jangan mengawalinya!"

"Tidak bisa! Untuk lelaki seperti Suto aku harus berani mengawalinya, supaya ia segera mengetahui apa isi hatiku sebenarnya!"

"Aku akan menjatuhkan hukuman untukmu jika kau nekat mengatakan isi hatimu! Aku bisa menuduhmu sebagai warga Ringgit Kencana yang menjatuhkan citra dan harga diri seluruh rakyat negeri Ringgit Kencana dengan caramu itu!"

"Aku tak peduli hukumanmu, Perwira Kelana Cinta! Kalau kau mau hukum aku, silakan saja, yang penting Suto harus tahu kalau aku mencintainya!" tegas Rindu Malam.

Tapi tiba-tiba sebuah suara segera menyahut dari belakang mereka. "Manusia bodoh!"

Kedua utusan dari negeri Ringgit Kencana itu terkejut dan cepat palingkan wajah dengan masing-masing paaang kuda-kuda secepatnya. Rindu Malam siap lepaskan serangan jika keadaan membahayakan. Sedangkan Kelana Cinta segera kendurkan ketegangan karena ia mengenal siapa perempuan muda yang datang berpakaian ungu muda dengan jubah warna ungu lebih tua lagi itu. Wanita muda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu menyandang pedang di punggung yang dililit kain ungu pula pada bagian sarung dan gagangnya. Rambutnya di sanggul sebagian di bagian tengah, matanya indah tapi berkesan galak.

"Sumbaruni?!" geram Kelana Cinta yang merasa tak suka perdebatannya dicampuri oleh orang lain. Karenanya sikap Kelana Cinta terhadap Sumbaruni saat itu kurang bersahabat.

Tetapi wanita muda yang sebenarnya sudah berusia sekitar delapan puluh tahun lewat itu sengaja sunggingkan senyum sinis sebagai sikap tenangnya. Sumbaruni yang juga sering disebut Pelangi Sutera adalah bekas istri jin Kazmat, yang mendapat ilmu turunan dari seorang petapa sakti yang cukup disegani pada masanya. Dari perkawinannya dengan jin Kazmat yang merubah wujud sebagai pemuda tampan itu, Sumbaruni mendapatkan seorang anak bertubuh tinggi, besar, gundul, berkuncir, hitam kulitnya, dan hanya memakai cawat.

Anak itu bernama Logo, yang sering disebut sebut sebagai anak jin. Sumbaruni terpikat oleh Suto Sinting, karena ia merindukan seorang kekasih dan suami dalam hidupnya selanjutnya. Bahkan ia sanggup beradu kesaktian dengan Ratu Gusti Mahkota Sejati, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi, yang punya nama asli Dyah Sariningrum dan menjadi calon istri Suto itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak).

Sebab itulah Pelangi Sutera tidak menyukai perdebatan itu dan segera ikut campur dengan sikap kurang bersahabat. Pelangi Sutera atau Sumbaruni mempunyai ilmu yang dapat dipakai untuk mengukur ketinggian ilmu seseorang dengan melihat wajahnya atau mendengar namanya saja. Tak heran jika Sumbaruni berkesan meremehkan kedua utusan dari negeri Ringgit Kencana itu, karena ia sadar bahwa ilmunya lebih tinggi dari kedua orang tersebut.

"Apa maksudmu ikut campur dalam percakapan kami, Sumbaruni?!" tegur Kelana Cinta dengan ketus.

"Karena aku tak izinkan gadis mana pun jatuh cinta kepada Suto Sinting."

"Apa alasannya?!" sentak Rindu Malam merasa tertantang oleh jawaban itu.

Sumbaruni sunggingkan senyum sinis semakin lebar. "Aku lebih dulu jatuh cinta kepada Suto dan bermaksud ingin memiliki Suto!"

"Lancang betul mulutmu!" geram Rindu Malam sambil melangkah menyamping mencari kesempatan untuk lakukan penyerangan.

Sumbaruni tetap tenang. Matanya kian tajam memandangi Rindu Malam yang terus bicara dengan suara geram yang pelan, tanpa sentakan keras sedikit pun. "Aku tak peduli siapa dirimu, yang jelas aku pun siap bertanding adu kekuatan denganmu untuk dapatkan Pendekar Mabuk itu!"

"Tahan!" potong Kelana Cinta. "Jangan kalian menjadi orang-orang konyol gara-gara cinta! Sangat memalukan!"

"Cinta punya harga diri sendiri, Kelana Cinta!" sahut Sumbaruni. "Aku setuju dengan usul temanmu itu! Aku bersedia adu kesaktian dengan gadis itu!"

Kelana Cinta masuk ke pertengahan jarak antara Sumbaruni dan Rindu Malam. Wajahnya tegang karena menyimpan kejengkelan. "Kalau kalian ingin bertanding kesaktian, silakan saja! Tapi jangan karena cinta, jangan karena merebutkan seorang lelaki! Seberapa pun tingginya harga diri sebuah cinta, tetap akan memalukan jika didengar orang-orang yang tidak menyukai kita. Sadarlah kalian!"

"Minggirlah, Perwira...!" geram Rindu Malam dengan mulai mencabut pedangnya.

Kelana Cinta semakin dongkol dengan sikap Rindu Malam. Ia menghardik orang yang termasuk bawahannya itu, "Kuperintahkan padamu untuk pulang lebih dulu. Rindu Malam!"

"Aku tidak mau!"

"Kau membangkang perintahku?!"

"Aku terpaksa membangkang, karena perintahmu tidak beralasan!"

Agaknya Rindu Malam tak merasa takut menghadapi Kelana Cinta. Semua demi maksud hatinya yang ingin menyampaikan rasa cintanya kepada Suto Sinting. Hal itu membuat Kelana Cinta segera menghampiri Rindu Malam dengan berang, lalu menampar wajah gadis itu dengan gerakan cepat. Deeg...! Kelebatan tangan itu ditangkis cepat pula oleh Rindu Malam, sehingga pergelangan tangan mereka saling beradu kuat.

"Jangan memerintahku dalam keadaan seperti saat ini, Perwira! Siapa pun bisa kulawan tanpa peduli menang dan kalah!"

"Rindu Malam!" hardik Kelana Cinta dengan wajah kian tampakkan kemarahan.

"Biarkan aku bertanding kekuatan dengan perempuan itu!" sahut Rindu Malam, sangat ngotot dan tak bisa dicegah lagi.

"Tidak! Tidak kuizinkan!"

Deeg...! Tiba-tiba Rindu Malam memukul rusuk Kelana Cinta dengan telapak tangannya. Pukulan itu sangat cepat dan tak sempat ditangkis oleh Kelana Cinta. Akibatnya tubuh Kelana Cinta terlempar ke samping, empat langkah jauhnya. Dan pada saat itulah Rindu Malam segera berseru kepada Sumbaruni,

"Majulah kalau kau ingin tahu seberapa besar hasratku mencintai Suto!"

"Kulayani tantanganmu!" kata Sumbaruni tanpa gentar.

Tapi baru saja Sumbaruni hendak langkahkan kaki untuk maju, tiba-tiba tangan kiri Rindu Malam telah lepaskan pukulan tenaga dalam bersinar putih bagaikan sekeping logam bundar. Slaaap...! Sinar putih itu segera disambut oleh lompatan Sumbaruni ke atas sambil lepaskan pukulan dari genggaman tangan kanannya yang memancarkan sinar hijau menggumpal tak beraturan.

Duaar...!

Ledakan sinar putih dan sinar hijau itulah yang didengar Suto Sinting dari Puncak Karang, itulah sebabnya Pendekar Mabuk segera lari turun dari Puncak Karang untuk mengetahui apa yang terjadi di kaki puncak itu. Namun sebelum Pendekar Mabuk tiba di kaki puncak, Rindu Malam sudah lebih dulu melompat dengan menebaskan pedangnya ke dada Sumbaruni.

Wuuutt...!

Sumbaruni bersalto mundur satu langkah. Begitu mendarat di tanah ia langsung merendah. Tangannya menapak tanah, kaki kanannya menendang pergelangan tangan Rindu Malam yang menggenggam pedang.

Wuuut...! Deess...!

Wees...! Pedang pun terlepas dari tangan, terlempar ke atas. Tapi Rindu Malam segera sentakkan kakinya begitu tiba di tanah, sehingga tubuhnya kembali melesat ke atas dan menyambar gagang pedangnya kembali dengan tangan kiri.

Tabb...!

Waktu itu bertepatan dengan Sumbaruni lepaskan pukulan mautnya melalui sodokan dua jari kanan. Suuut...! Dan terlepaslah selarik sinar biru dari ujung dua jari itu. Karena tubuh Rindu Malam sudah telanjur melesat naik, maka sinar biru itu tidak mengenai sasaran, melainkan justru mengarah ke dada Kelana Cinta. Dengan cepat Kelana Cinta sentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu sinar merah bergelombang memancar keluar dan dihantam oleh sinar birunya Sumbaruni.

Blaaar...!

Ledakan ini cukup kuat. Sumbaruni terpental ke belakang, demikian pula Kelana Cinta. Sedangkan Rindu Malam terpelanting ke samping dengan melayang tanpa keseimbangan badan. Bruuk...! Mereka saling jatuh ke tanah hampir bersamaan. Dan pada waktu itulah Suto Sinting tiba di tempat tersebut.

Jleeg!

"Sumbaruni?!" Suto Sinting memandang heran terhadap Sumbaruni yang tak disangka-sangka sudah ada di tempat itu. Mata Pendekar Mabuk yang bagus dan jeli menurut para wanita itu, segera menatap Kelana Cinta dan Rindu Malam yang sedang bergegas bangkit dari kejatuhan mereka.

"Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa kalian saling bertarung?"

"Hmmm... anu... hanya salah paham sedikit," jawab Kelana Cinta menutupi persoalan sebenarnya.

"Salah paham bagaimana?"

"Rindu Malam menyangka Sumbaruni orangnya Raden Udaya, dan Sumbaruni menyangka Rindu Malam anaknya Malaikat Beku. Kurasa... kurasa bisa kami selesaikan sendiri, Suto."

"Benarkah begitu, Sumbaruni?" tanya Suto.

"Hmm... eh... iya," Jawab Sumbaruni sambil melirik Rindu Malam.

Dan ketika Suto menanyakan kepada Rindu Malam, gadis itu pun akhirnya dengan berat hati menganggukkan kepala.

"Memang... memang hanya salah paham saja."

Suto Sinting tertawa, tapi Rindu Malam dan Sumbaruni saling lirik penuh hasrat untuk saling menyerang. Hasrat itu sama-sama mereka tahan supaya tidak membuat si pendekar tampan besar kepala, karena merasa diperebutkan.

Tiba-tiba sekelebat bayangan datang dari arah belakang Sumbaruni. Bayangan itu tahu-tahu sudah berwujud di depan mereka, membuat Sumbaruni dan Suto sedikit tercengang melihat penampilan seorang tokoh tua berambut panjang abu-abu, berbadan kurus dan berjubah putih kusam. Orang itu bukan orang tua yang bertarung aneh di puncak bukit seberang tadi, melainkan seorang tokoh tua yang amat dikenal Suto dan Sumbaruni. Dia adalah Raja Maut, tokoh beraliran putih yang tidak sempat hadir dalam pertemuan di Jurang Lindu untuk membicarakan pelaku pembunuhan Ki Empu Sakya.

"Sumbaruni, syukurlah kau bisa kutemui di sini!" kata Raja Maut.

"Ada apa, Prasonco?" tanya Sumbaruni menyebutkan nama asli Raja Maut.

"Anakmu... terpeleset jatuh ke Jurang Petaka saat mencarimu!"

"Hah...?! Logo jatuh ke Jurang Petaka?!" sentak Sumbaruni dengan kaget.

Suto berkerut dahi dan berkata membatin, "Jurang Petaka?! Bukankah jurang itu adalah jurang yang amat dalam dan tak akan membuat siapa pun bisa selamat jika masuk ke sana?! Oh, celaka! Kalau begitu Logo dalam bahaya besar!"

Tetapi Raja Maut segera berkata kepada Sumbaruni dan amat mengejutkan Pendekar Mabuk, "Cepatlah cari anakmu itu sebelum ia dimanfaatkan oleh Siluman Tujuh Nyawa! Sebab kudengar Siluman Tujuh Nyawa bersemayam di Jurang Petaka sudah beberapa waktu lamanya."

Detak jantung Pendekar Mabuk menjadi cepat dan menghentak-hentak. Nama Siluman Tujuh Nyawa adalah nama yang mengobarkan kemarahan dalam dadanya. Tokoh sesat yang paling sakti dan mampu menembus dunia gaib itu adalah tokoh yang sedang dikejar-kejar oleh Pendekar Mabuk selama ini. Ia tak akan mengawini Dyah Sariningrum sebelum berhasil membunuh tokoh paling kejam dan ganas itu. Tetapi selama ini Suto kehilangan Jejak Siluman Tujuh Nyawa yang selalu menghindar jika bertemu dengan Suto.

"Sayang aku sedang dalam perjalanan ke negeri Ringgit Kencana!" geram Suto dalam hatinya. "Apakah sebaiknya kubatalkan saja rencana kunjunganku ke negeri Ringgit Kencana itu? Tapi, Ratu Asmaradani sangat membutuhkan pertolonganku, ia dalam bahaya yang agaknya sangat menyedihkan. Atau... biarlah kukerjakan dulu rencana pergi ke Ringgit Kencana, setelah itu baru memburu Siluman Tujuh Nyawa ke Jurang Petaka?!"

Kebimbangan Pendekar Mabuk membuat si murid sinting Gila Tuak itu tertegun beberapa saat dalam keadaan tetap berdiri memandangi Rindu Malam. Yang dipandang dengan tatapan kosong itu justru menyangka Suto sedang mengagumi kecantikannya dan mulai berhasrat untuk mendekati hatinya. Tak heran jika Rindu Malam akhirnya berdebar-debar panik dan salah tingkah mendapat tatapan mata si pendekar tampan itu.

* * *

DUA
UNTUK mencapai negeri Ringgit Kencana, mereka harus terlebih dulu menemukan Pulau Bayangan. Pulau itu terletak di Selat Buaya. Sebuah selat di antara dua pulau besar yang berair tenang. Gelombang lautan seakan enggan melintasi Selat Buaya. Konon, di perairan itu dulunya hidup binatang yang mirip buaya dan dinamakan Buaya Laut. Tetapi binatang itu sekarang sudah punah dan tak pernah terlihat lagi.

Pulau Bayangan adalah sebuah pulau kecil, luasnya kurang dari sepuluh langkah. Bentuknya seperti mangkok terbalik, tanpa tanaman apa pun kecuali hanya rumput laut. Mereka mencapai Pulau Bayangan dengan sebuah sampan yang terbuat dari batang kelapa. Sampan itu panjang, tapi sempit. Dibuat secara mendadak oleh Rindu Malam dan Kelana Cinta. Suto Sinting hanya memperhatikan sambil sesekali meneguk tuak dari bumbungnya, ia memang tidak diizinkan bekerja oleh kedua utusan Ratu Asmaradani itu.

"Di mana sebenarnya letak negeri Ringgit Kencana itu?" tanya Suto ketika mereka tinggal beberapa saat lagi mencapai Pulau Bayangan.

"Di Pulau Bayangan," jawab Kelana Cinta mendahului mulut Rindu Malam yang ingin menjawab pertanyaan itu.

"Katamu, Pulau Bayangan adalah pulau yang ada di depan kita itu?"

"Memang."

"Pulaunya kecil begitu?!" Suto Sinting heran.

"Memang kecil," jawab Kelana Cinta lagi membuat Rindu Malam kembali tak jadi bicara.

"Lalu, mana istananya? Mana negerinya?"

"Negerinya..."

"Ada di sana!" sahut Kelana Cinta.

Rindu Malam bersungut-sungut. Merasa jengkel dengan sikap Kelana Cinta yang selalu mendahuluinya dalam bicara. Padahal dia ingin sekali menjawab apa-apa yang ditanyakan oleh Suto. Ia ingin menjadi pemandu Pendekar Mabuk. Dan melihat Rindu Malam cemberut dan bersungut-sungut, Kelana Cinta sunggingkan senyum geli, sebab ia sengaja menggoda hati Rindu Malam agar jengkel oleh sikapnya. Hal itu dilakukan oleh Kelana Cinta sekedar untuk melemparkan canda dan menghilangkan ketegangan yang tadi terjadi di antara mereka sebelum Sumbaruni datang.

Ketika Sumbaruni pergi bersama Raja Maut mencari Logo, anaknya yang jatuh ke Jurang Petaka itu, Kelana Cinta berhasil membujuk Suto Sinting agar tetap meneruskan perjalanan ke negeri Ringgit Kencana. Padahal waktu itu Rindu Malam sudah mau bicara dan membujuk Suto, tapi didahului oleh Kelana Cinta. Gadis itu hanya bisa menyimpan kedongkolan saja.

Sampan dari batang kelapa dibuang begitu mereka tiba di pulau kecil seperti tempurung terbalik itu. Sampan dibiarkan hanyut terbawa arus lemah, entah menuju ke pantai sebelah mana. Yang jelas Kelana Cinta segera menyuruh Suto ke tengah pulau kecil tersebut.

"Aneh sekali?!" gumam Suto Sinting sambil memandang pulau gundul yang seolah-olah tempat pengasingan amat menyedihkan. Tak ada tonggak, tak ada pohon, tak ada atap, tak ada apa-apa. Tentu saja Pendekar Mabuk bingung mencari di mana negeri Ringgit Kencana itu.

Rindu Malam membawa Suto persis ke tengah pulau. Kelana Cinta segera lakukan gerakan aneh. Kedua tangannya direntangkan, lalu mengeras, dan bergerak saling mendekat di depan dada. Kedua tangan itu saling bertemu, tapi hanya ujung telunjuk dan ujung jempolnya saja yang bertemu, jari lainnya menggenggam rapat.

Kelana Cinta memusatkan pikirannya, mengerahkan tenaga untuk keluarkan kekuatan aneh dari ujung pertemuan dua telunjuk tersebut. Kejap berikut, ujung telunjuk itu lepaskan selarik sinar warna-warni, bagaikan sinar pelangi. Sinar itu melesat tanpa putus, mengarah ke tanah cadas berumput laut.

Sinar itu bergerak sesuai dengan langkah kaki Kelana Cinta yang mengelilingi tubuh Rindu Malam dan Suto Sinting. Sinar warna-warni itu mengingatkan Suto pada setangkai bunga mawar warna-warni yang hadir dalam mimpinya dan sempat menjadi kenyataan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Keris Setan Kobra).

Sinar itu begitu mengenai tanah membekas seperti warna dan nyala aslinya. Langkah kaki Kelana Cinta yang bergerak berkeliling itu membuat tanah menjadi bersinar dalam bentuk lingkaran, Kelana Cinta ada dalam lingkaran tersebut. Dan ia segera hentikan tindakan itu setelah bentuk sinar di tanah menjadi lingkaran yang saling bertaut ujungnya. Kini Kelana Cinta mendekati Suto dan Rindu Malam. Sinar di tanah masih menyala warna pelangi, makin lama makin berkobar seperti api, dan tahu-tahu bergerak cepat naik ke atas.

Wuuusst...!

Pendekar Mabuk kaget dan sempat ditertawakan kedua gadis itu. Wajah Suto terheran-heran memandang sinar itu telah membentuk dinding tinggi warna-warni di bagian atasnya saling merapat, meruncing seperti kerucut. Kini mereka berada di dalam kurungan sinar warna-warni.

Tak sepatah kata pun terlepas dari mulut Suto yang sedikit ternganga karena kagum dan heran. Bahkan Pendekar Mabuk itu kian kerutkan dahi ketika rasakan pulau yang dipijaknya itu bergerak amblas ke dalam laut secara pelan-pelan. Gerakan itu terjadi cukup lama, sehingga Suto dapat memperkirakan bahwa dirinya bersama dua utusan negeri Ringgit Kencana itu sedang dibawa menyelam ke dalam laut oleh pulau kecil tersebut. Hal yang mengherankan Suto adalah tak ada air yang masuk ke dalam lingkaran itu, tapi telinganya sempat mendengar bunyi gemuruh air samar-samar.

"Dibawa ke mana aku ini?" pikir Suto dengan was-was. "Jangan-jangan aku diajak bunuh diri bersama-sama?"

Rindu Malam sempat tersenyum tipis, menertawakan keheranan Suto Sinting. Tapi anehnya, baik Rindu Malam maupun Kelana Cinta tak ada yang bicara sepatah kata pun. Hal itu membuat Suto sendiri tak berani bicara apa-apa.

Claaap...!

Sinar pelangi itu lenyap begitu saja. Juga sempat mengejutkan Suto Sinting. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata saat itu Suto sudah berada di pelataran sebuah istana yang dihuni olah wanita-wanita cantik berambut pendek seperti potongan lelaki. Bentuk kecantikannya memang berbeda, tapi agaknya ada satu keharusan bagi mereka untuk memangkas rambutnya sependek mungkin hampir mirip seorang lelaki.

Pendekar Mabuk itu celingak-celinguk kebingungan. Ia buru-buru meneguk tuaknya sambil membatin, "Siapa tahu setelah minum tuak aku tidak terlalu bingung begini!"

Namun setelah meneguk tuak, ternyata Suto Sinting semakin tambah bingung. Hal yang membuatnya bingung adalah munculnya sejumlah gadis cantik berpakaian macam-macam warna, namun mempunyai bentuk pedang yang sama, bergagang bentuk bunga mawar. Sedangkan di tepian pelataran Istana itu, terdapat tanaman bunga mawar berjajar. Mawar-mawar di sana berwarna seperti pelangi.

Keharumannya yang khas menyebar membuat Pendekar Mabuk merasa seperti hidup di alam mimpi. Bunga-bunga mawar itu pun mempunyai tangkai yang tanpa duri, seperti bunga mawar yang diberikan kepadanya oleh seorang ratu bernama Asmaradani di dalam mimpinya beberapa waktu yanglalu.

Suto masih tidak berani bergerak. Bingung memandangi wajah-wajah cantik yang segera membentuk satu barisan memanjang dari dalam istana sampai ke gerbang yang ada di belakang Suto Sinting itu. Rupanya kehadiran Suto disambut dengan penghormatan khusus, tak bedanya seorang tamu agung mengunjungi sebuah negeri.

Sekalipun Pendekar Mabuk mencoba tenangkan diri, tapi masih saja tampak keheranannya ketika memperhatikan wajah-wajah cantik penuh senyum menawan kepadanya, dan segera disadari bahwa tak satu pun ada orang lelaki di sekelilingnya.

Satu-satunya orang lelaki yang ada di antara mereka adalah dirinya sendiri. Suto Sinting mulai grogi merasa dirinya tunggal ada di antara gadis-gadis cantik.

"Di... di mana aku ini?" tanya Suto dalam bisik kepada Rindu Malam.

"Di negeri Ringgit Kencana," jawab Rindu Malam seiring senyum manisnya.

Kelana Cinta menambahkan kata, "Kita berada di dasar laut, Suto!"

"Di dasar laut?! Aneh?!" gumam Suto yang memang merasa aneh, karena ia tidak melihat ciri-ciri kehidupan dasar laut. Tanah yang dipijak seperti tanah di permukaan bumi. Pakaian mereka ataupun kulit mereka tidak ada yang bersisik. Bagian atas tampak ada langit bermega putih. Langit dalam keadaan terang walau tak terlihat di mana letak mataharinya.

"Sebuah negeri yang aneh," katanya pelan. "Seperti negeri di atas permukaan sebuah pulau saja!"

"Gusti Ratu kami mempunyai ilmu 'Latar Bayangan' yang membuat semua pemandangan di sini seperti pemandangan di permukaan pulau," kata Kelana Cinta.

"Apakah di sini juga ada siang dan malam?"

"Ya. Kami juga mengenal siang dan malam, tapi kami tak punya matahari dan rembulan," jawab Rindu Malam. "Hanya orang berilmu tinggi dan mempunyai kepekaan indera keenam saja yang bisa sampai ditempat kami ini. Tetapi jika kau tinggal disini, kau akan dibekali ilmu tersendiri yang bisa membuatmu keluar-masuk kenegeri kami, seperti contohnya ilmu yang kugunakan membawamu kemari tadi," kata Kelana Cinta. "Seandainya ada..."

Kelana Cinta tak jadi teruskan kata, ia melihat seorang wanita berjubah perak muncul di serambi istana. Wanita berambut pendek itu membungkukkan badannya, memberi hormat kepada Suto Sinting. Maka Kelana Cinta berkata,

"Sebaiknya kita segera masuk ke istana. Pendeta Agung Dewi Rembulan sudah mempersilakan kita untuk menghadap sang Ratu."

"O, perempuan cantik itu juga punya jabatan tinggi di sini?" sambil Suto memandangi pendeta Agung Dewi Rembulan yang kepalanya dihiasi rantai emas dengan batu-batu kecil warna hijau bening, sejenis batu giok.

"Dia adalah pemimpin upacara suci bagi rakyat kami sekaligus penasihat Ratu Asmaradani," bisik Rindu Malam. "Ayolah, sang Ratu sudah menunggu."

Sambil melangkah menuju Istana bertangga sepuluh baris itu, Suto sempat berpikir curiga, "Jangan-jangan aku dibawa ke sini mau dikawinkan? Wah, gawat kalau begitu. Kalau toh aku lari, tak akan bisa timbul di permukaan laut. Aku tak tahu jalan keluar dari negeri ini."

Pilar-pilar istana terbuat dari batuan bening. Lantainya bagaikan kaca yang memantulkan bayangan orang diatasnya. Pilar bening itu memantulkan sinar warna-warni yang mempunyai nilai keindahan tersendiri. Hawanya sejuk, tapi tidak membuat tubuh sampai menggigil. Suto melangkah menaiki tangga serambi sambil memandang kagum kepada kemegahan di sekitarnya.

Ruang paseban sangat luas, hening dan bersuasana penuh kharisma. Di ruang paseban itulah Suto dipertemukan dengan seorang wanita berambut panjang. Hanya dialah wanita yang mempunyai rambut panjang dari sekian banyak wanita yang ada di negeri tersebut.

Wanita itu seperti masih berusia dua puluh lima tahun. Cantik, dadanya montok menggiurkan, senyum tipisnya menampakkan lesung pipit yang memikat, hidungnya tidak terlalu mancung namun bangir dan indah. Bibirnya pun seperti kuncup mawar yang selalu basah. Wanita itu mengenakan jubah biru sutera tipis, dilengkapi dengan perhiasan mewah, termasuk mahkota separo lingkaran yang dipajang di rambutnya, membuat ia tampak berwibawa dan anggun. Wanita itu duduk di sebuah kursi dari bebatuan bening warna hijau. Bagian depannya tertutup meja dari marmer putih tak tembus pandang, sehingga yang terlihat hanya sebatas dada ke atas saja.

Hal yang membuat Pendekar Mabuk menjadi terbengong-bengong adalah kenyataan yang nyaris tak dipercayainya, bahwa wanita berjubah biru tipis itu adalah wanita cantik yang hadir dalam mimpinya beberapa waktu yang lalu. Tentu saja Suto Sinting segera ingat nama wanita yang memberikan bunga mawar dua kali dalam mimpinya itu.

"Dia pasti Ratu Asmaradani...," ucapnya dalam hati.

Lalu sang Ratu berkata, "Selamat datang di negeriku. Tentunya kau heran tapi tidak asing dengan wajahku yang pernah hadir dalam mimpimu itu, Pendekar Mabuk."

Suto Sinting menelan ludahnya. "Iiy... iya...," jawabnya dengan kikuk antara malu dan kagum. "Boleh aku minum tuak sedikit?"

"Silakan," jawab Ratu Asmaradani dengan penuh keramahan dan senyum yang amat menawan, ia tetap duduk di singgasananya, ia memandangi Suto meneguk tuaknya dengan wajah penuh keceriaan, seakan amat gembira menerima kedatangan Pendekar Mabuk.

Pendeta Agung Dewi Rembulan juga memandang dengan senyum keramahan, ia berdiri lima langkah di samping tempat duduk sang Ratu. Wajahnya yang cantik dan sepertinya baru berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu, sebenarnya wajah yang terawat oleh sebuah ilmu kecantikan. Padahal Pendeta Agung Dewi Rembulan sebenarnya berusia di atas sembilan puluh tahun. Sedangkan Ratu Asmaradani sebenarnya berusia di atas tujuh puluh tahun.

Rindu Malam dan Kelana Cinta ada di samping kanan kiri Suto dalam jarak masing-masing tujuh langkah. Mereka berdiri tegak bagaikan sepasang pengawal setia sang tamu. Sedangkan di pinggiran sana berlututlah wanita-wanita muda dan cantik yang menjadi prajurit istana negeri tersebut. Semua mata tertuju kepada Suto Sinting dengan wajah berseri-seri.

Suto duduk di atas batuan marmer putih, seperti marmer meja di depan Ratu Asmaradani. Batuan marmer itu berbentuk kotak kubus yang agaknya sengaja disediakan untuk seorang tamu. Batu marmer itu diberi bantalan warna merah jambu yang empuk dan sangat enak untuk diduduki.

"Suto Sinting, sebelumnya aku minta maaf padamu karena telah hadir dalam mimpimu menggunakan Ilmu 'Rambah Batin' yang kumiliki itu."

"Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku tidak merasa terganggu," kata Suto Sinting menampakkan ketegasan sikapnya.

"Aku sengaja memanggilmu dan ingin meminta bantuan padamu, Suto."

"Kurasa kau salah orang, Nyai Ratu. Aku bukan dewa yang bisa dimintai bantuan. Aku hanya manusia biasa dengan kemampuan yang sangat terbatas."

"Tapi firasat yang datang padaku mengatakan, kaulah satu-satunya orang yang bisa menolongku, Suto Sinting. Apakah kau keberatan?"

Suara merdu yang lembut itu bergema di ruangan berlangit-langit tinggi. Suara gemanya membuat suasana di situ semakin berkesan sakral dan penuh penghormatan. Suara Suto sendiri, menurut mereka, juga enak didengar dan menimbulkan keindahan tersendiri di batin mereka.

"Jika demi kebaikan, aku tak pernah keberatan menolong siapa pun semasa aku mampu melakukannya, Nyai Ratu."

"Terima kasih sebelumnya, Pendekar Mabuk." Ratu Asmaradani masih belum mau mendekati Suto, hanya duduk dengan sunggingan senyum kian indah dan ceria. "Perlu kau ketahui," kata sang Ratu, "Sebelumnya aku juga sudah meminta izin kepada gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang melalui mimpi juga."

Suto terperanjat, "Kau mengenal guruku, Nyai Ratu?!"

"Sangat kenal," jawabnya penuh rasa bangga. "Aku adalah adik sepupu Nawang Tresni atau Bidadari Jalang, Bibi gurumu itu"

"Ooo...?!" Suto Sinting melongo dengan rasa kaget. Selama ini bibi gurunya tak pemah menceritakan tentang saudara sepupu yang bernama Asmaradani. Maka Suto pun dapat menduga berapa usia Asmaradani sebenarnya jika ia adalah adik sepupu Bidadari Jalang, gurunya juga itu.

"Ibuku adalah adik dari ibunya Bidadari Jalang. Jadi cukup dekat hubunganku dengan bibi gurumu itu, Suto Sinting."

Pendekar tampan angguk-anggukkan kepala. Senyumnya kian mekar berseri menggoda hati para prajurit di pinggiran ruang pertemuan itu. Pendekar Mabuk merasa lega dan bangga bisa bertemu dengan Ratu Asmaradani, yang dalam urutan silsilah termasuk orang yang patut dihormati dan dilindungi, sebab adik dari gurunya sendiri. Tetapi Suto Sinting diam-diam menyimpan keheranan kecil.

"Tentunya dia punya ilmu tinggi. Tapi mengapa dia tak bisa selesaikan persoalannya sendiri? Mengapa harus meminta bantuan padaku?"

Kemudian Suto Sinting pun bertanya, "Jadi, bagaimana aku harus memanggilmu, Nyai Ratu? Bibi atau..."

"Terserah kau. Bukan panggilan hormatmu yang kubutuhkan, tapi kesaktianmu yang kuharapkan bisa menolongku."

"Boleh aku tahu apa kesulitanmu, Nyai Ratu?"

"Beberapa waktu yang lalu, seorang lelaki berilmu tinggi dapat masuk ke negeri ini. Ia mengaku berjuluk Bandar Hantu Malam, ia ingin mengawiniku, bahkan memaksaku menerima lamarannya. Aku menolak, dia sakit hati, lalu terjadilah pertarungan antara aku dan dia. Aku kalah, Suto Sinting. Dan sampai sekarang dia masih menginginkan diriku. Sampai sekarang aku pun belum mampu menemukan lawan tanding ilmunya yang dijatuhkan padaku yang bernama ilmu 'Racun Siluman' itu. Kekuatan ilmu 'Racun Siluman' tak bisa hilang sebelum disembuhkan olehnya atau si pemilik 'Racun Siluman' itu mati."

Murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu membatin di hatinya, "Sehebat apakah ilmu yang dimiliki Bandar Hantu Malam itu, sehingga Asmaradani tak bisa mengatasinya? Jangan-jangan ilmu Asmaradani hanya pas-pasan? Ah, kurasa tidak! Buktinya ia bisa membangun istana di dasar laut yang bersuasana seperti di permukaan bumi begini. Lalu, mengapa ia tak bisa kalahkan ilmu 'Racun Siluman' itu? Jangan-jangan dia hanya menguji kesaktianku?"

Suara merdu yang enak didengar itu kembali dilontarkan dengan lembuat, "Orang-orangku tak mungkin mampu tandingi ilmunya Bandar Hantu Malam. Jadi tak kuizinkan mereka menyerang Bandar Hantu Malam. Dalam teropong batinku yang kupadukan dengan ilmu 'Getar Sukma' itu, aku melihat sebentuk kesaktian yang dahsyat dan tertinggi di antara ilmu-ilmu lainnya ada padamu. Salah satu hal yang bisa kulihat dalam teropong batinku adalah jurus-jurus mautmu yang bernama jurus 'Yudha' dan jurus 'Manggala' pemberian Ratu Kartika Wangi dari Puri Gerbang Surgawi di alam gaib itu."

Hati sang pendekar tampan tersentak lembut mendengar nama Kartika Wangi, calon mertuanya disebut-sebut. Suto tak perlu meminta penjelasan lebih lanjut, ia sudah dapat mengetahui bahwa Asmaradani adalah orang berilmu tinggi, terbukti bisa mengetahui Ilmu jurus 'Manggala' dan jurus 'Yudha' tersebut. Tentunya Suto pun yakin, Asmaradani mampu melihat titik merah di dahinya sebagai tanda bahwa Suto adalah orang terhormat di negeri alam gaib tersebut.

Tetapi agaknya ada sesuatu yang membuat Suto heran. "Aku mendengar kau menyebut-nyebut nama Ilmu 'Getar Sukma'. Seingatku ilmu itu juga dimiliki oleh bekas istri jin bernama Sumbaruni atau Pelangi Sutera. Apakah ada hubungannya denganmu, Nyai Ratu?"

"Memang. Sumbaruni adalah bekas pengawalku. Jelasnya, dulu dia pernah mengabdi di sini sebagai panglimaku. Tetapi karena dia sangat mencintai anaknya, maka ia tinggalkan jabatan itu dan mengembara mencari anaknya yang bernama Logo. Aku memberinya julukan nama Pelangi Sutera."

"Ooo... pantas!" gumam Suto, tapi juga gumam hati Rindu Malam. Karena Rindu Malam merasa baru sekarang mendengar bahwa Sumbaruni adalah bekas panglima negeri Ringgit Kencana itu. Rindu Malam menjadi gentar hatinya setelah mengetahui hal itu dan tak mau sesumbar menantang Pelangi Sutera lagi.

Sedangkan Kelana Cinta hanya melirik Rindu Malam dan tersenyum tipis, sebagai tanda mencemooh. Sebab ia sengaja tidak beri tahu lebih dulu kepada Rindu Malam tentang siapa Sumbaruni itu. Kini Kelana Cinta puas melihat Rindu Malam terbengong menyadari kelancangan dan sesumbarnya.

"Apakah Sumbaruni tidak bisa ditarik kembali dan dimintai bantuannya untuk melawan Bandar Hantu Malam, Nyai?" usul Suto dalam bentuk tanya.

Dengan senyum manis sang Ratu gelengkan kepala. "Ilmunya tak bisa kalahkan 'Racun Siluman' milik Bandar Hantu Malam. Seandainya Bandar Hantu Malam tak memiliki 'Racun Siluman', tentunya Kelana Cinta sendiri bisa kalahkan dia."

Suto melirik Kelana Cinta, wanita itu diam saja dan pura-pura tidak merasa dilirik. Lalu, Suto Sinting kembali pandangi Ratu Asmaradani yang masih duduk di balik meja marmer itu. "Bagaimana kalau kita coba meminta bantuan Sumbaruni? Mungkin Sumbaruni punya ilmu simpanan yang..."

"Tidak akan bisa, Suto!" potong Ratu Asmaradani dengan tetap tersenyum. "Jangan menambah korban dengan cara coba-coba. Aku tak mau Sumbaruni atau yang lainnya temui nasib sepertiku."

"Kulihat kau baik-baik saja dan sehat, Nyai Ratu."

"Kelihatannya begitu. Tapi coba perhatikan diriku. ," kata sang Ratu, lalu ia berdiri dan berjalan sampai di depan meja, berhadapan dengan Suto.

Pendekar Mabuk kagat bukan kepalang. Matanya mendelik lebar-lebar melihat keadaan ratu cantik dan menggairahkan itu. Ternyata Ratu Asmaradani kehilangan tubuh bagian bawahnya dari batas pusar sampai ke telapak kaki. Tubuh itu hanya sepotong, yang tersisa dari perut sampai ke kepala. Andai saja Ratu Asmaradani tidak mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi, tentunya ia tak dapat berjalan karena tak punya kaki.

Pada saat Pendekar Mabuk tercengang, wajah Ratu Asmaradani tertunduk malu dan sedih. Tapi suaranya terdengar jelas, "Paksa dia untuk sembuhkan diriku, Suto. Jika memang sangat terpaksa, kalahkan dia dengan caramu. Aku mohon bantuanmu. Pendekar Mabuk...!"

Suto Sinting masih tertegun merinding melihat keganasan ilmu 'Racun Siluman', ia dapat bayangkan alangkah menderitanya hidup tanpa bagian perut ke bawah.

* * *

TIGA
RINDU Malam hanya diizinkan oleh Ratu Asmaradani mengantar Suto sampai di permukaan laut saja. Ia harus segera kembali, karena sang Ratu punya firasat adanya rasa cinta di hati Rindu Malam. Bahkan sebelum ia ditugaskan mengantarkan Suto ke permukaan laut, sang Ratu sudah berpesan kepada semua rakyat dan orang-orang bawahannya,

"Tak satu pun boleh mencintai Suto dan merayunya. Dia orang terhormat, murid dari kakak sepupuku. Apalagi kalau dia berhasil kalahkan Bandar Hantu Malam, kalian semua, termasuk aku, berhutang budi kepadanya. Jadi jangan paksa dia jatuh cinta kepada kalian. Karena aku pun tahu, bahwa dia sudah punya calon istri tersendiri. Jika terjadi perkawinan antara dia dan salah satu dari kita, maka Ratu Kartika Wangi jelas akan menuntut dan kita akan bermusuhan dengan penguasa negeri alam gaib itu."

Memang menyedihkan keputusan itu bagi Rindu Malam. Mau tak mau ia harus membantai habis rasa cintanya kepada Suto Sinting, ia tak berani melanggar larangan dari ratunya. Sekalipun membantai cinta adalah pekerjaan yang paling sulit dilakukan bagi setiap insan, tetapi Rindu Malam punya keyakinan, sedikit demi sedikit ia akan mampu melakukannya.

Suto Sinting diberi kunci untuk keluar masuk ke negeri Ringgit Kencana tanpa melalui cahaya warna-warni seperti saat ia dibawa ke situ oleh Kelana Cinta dan Rindu Malam. Kunci itu berupa setangkai bunga mawar warna pelangi tanpa duri. Bunga itu akan tetap segar dan menyebarkan bau harum jika direndam dalam tabung tuaknya Suto. Bunga itu dapat membuat Suto sampai ke negeri Ringgit Kencana dengan hanya berdiri di atas Pulau Bayangan dan menghirup aroma bunga dengan napas panjang dan mata terpejam. Demikian pula yang harus dilakukan jika ia akan keluar atau pergi tinggalkan negeri itu.

"Jika dari sini kau menghirup bunga dengan napas panjang dan pejamkan mata, kau akan muncul di pantai utara tanah Jawa yang tak seberapa jauh dari Pulau Bayangan. Tapi jika ingin masuk ke sini, kau harus berdiri di pulau kecil itu lebih dulu," kata sang Ratu menjelaskan. "Sebetulnya aku sudah kirimkan dua kali kunci menuju kemari kepadamu melalui mimpi, tapi rupanya kau belum mengetahui bagaimana caranya menggunakan kunci itu. Aku bisa memakluminya."

Kini pikiran Suto tertuju pada tokoh keji yang mempunyai jurus 'Racun Siluman' itu. Ratu Asmaradani tidak bisa mengetahui di mana Bandar Hantu Malam itu berada. Karenanya sang Ratu hanya memberi perintah kepada Suto,

"Cari dan temukan! Kau pasti akan berhasil menemukannya. Bandar Hantu Malam kurasa bukan nama yang asing bagi para tokoh dunia persilatan, terutama para tokoh tuanya. Sayang sekali sebelumnya aku tak pernah dengar nama itu dan tak pernah jumpa. Satu kali berjumpa langsung dia melamarku dan memaksaku menjadi istrinya. Kulacak dengan ilmu teropong batinku juga tak bisa ketemu, ia punya kekuatan yang mampu sembunyikan diri dari teropong indera keenam para tokoh tingkat tinggi."

Buat Suto Sinting, melacak tokoh sakti tidaklah sulit. Kenalannya, para tokoh tua berilmu tinggi, tentu bisa dimintai bantuan untuk melacak tempat tinggal Bandar Hantu Malam itu. Maka untuk itu, Pendekar Mabuk segera temui Tabib Awan Putih yang tinggal tak jauh dari pantai utara. Tabib bermata kecil dengan pakaian serba putih, kurus, bungkuk, berusia sekitar delapan puluh tahun itu, segera manggut-manggut ketika Suto menanyakan tentang orang bernama Bandar Hantu Malam. Tabib Awan Putih yang berjenggot panjang lurus ke bawah itu segera berkata dengan suara bijaknya,

"Setahuku, orang yang berjuluk Bandar Hantu Malam itu tinggalnya di Gunung Keong Langit, arah timur dari sini."

"Apakah dia orang sakti yang berbahaya, Tabib Awan Putih?"

"Dulu memang ia berbahaya, ketika hidupnya sesat dan belum beristri, ia bekas seorang perampok yang mencari korban malam hari, sehingga berjuluk Bandar Hantu Malam, karena kehadirannya bagaikan hantu tanpa jejak. Cepat datang juga cepat pergi," tutur sang Tabib sambil menghisap pipa tembakaunya.

"Kudengar dia punya Ilmu 'Racun Siluman'. Apa benar itu?"

"Karena dia termasuk murid Warok Guci Wangsit, sedangkan ilmu 'Racun Siluman' hanya milik Warok Guci Wangsit pada masa itu, maka bisa saja ia mewarisi ilmu tersebut dari gurunya. Dan ilmu itu sangat berbahaya, Suto."

Suto Sinting angguk-anggukkan kepala. Sebelum ia ucapkan kata, Tabib Awan Putih sudah bicara lagi dengan tenang. "Tapi sejak ia punya istri, sang istri mampu membuatnya bertobat dan pelajari ilmu-ilmu aliran putih. Sayang istrinya sudah meninggal, sehingga bisa jadi ia kambuh menjadi sesat kembali. Namun sejauh ini aku tak pernah dengar si Bandar Hantu Malam bikin ulah yang menggegerkan dunia persilatan. Namanya pun bagaikan telah lenyap ditelan bumi. Itulah sebabnya aku merasa heran mengapa kau tanyakan nama Bandar Hantu Malam?"

"Hmmm... aku hanya sekadar ingin temui dia saja. Ada persoalan sedikit yang harus kuselesaikan dengannya," jawab Suto tak mau berterus terang, karena takut membuat nama Ratu Asmaradani dilecehkan oleh siapa saja. Karena wanita itu saudara sepupu bibi gurunya, maka Pendekar Mabuk merasa perlu melindungi nama baik wanita itu juga. Dalam perjalanannya menuju Gunung Keong Langit, yang menurut keterangan Tabib Awan Putih, bentuk gunung itu seperti rumah keong raksasa itu, Suto Sinting sempat berpikir tentang semua kata-kata dan penjelasan tabib bungkuk itu.

. "Mungkin memang karena tak beristri lagi, maka Bandar Hantu Malam kembali ke jalan yang sesat karena tak ada orang yang mengingatkannya. Tapi mengapa diawali dari dasar laut? Mengapa sasaran pertamanya Ratu Asmaradani? Apakah dengan begitu tingkah lakunya tidak mudah tercemar di permukaan bumi? Atau karena Bandar Hantu Malam tak bisa menahan hasratnya untuk beristri lagi dan sudah lama mengincar Ratu Asmaradani yang masih tampak muda itu?"

Renungan itu patah. Langkah pun terhenti. Pandangan Suto segera tertuju kearah kirinya.Disana ada tanah lega berpohon jarang. Di atas tanah itu tampak dua orang mengadu kesakitan dengan letupan-letupan yang kadang menjadi ledakan mengguncang tanah. Suto Sinting segera bergegas kepertarungan dua perempuan yang jaraknya lebih dari lima puluh langkah orang biasa.

"Sumbaruni...?!" gumam Suto Sinting, lalu matanya beralih kepada perempuan yang satunya lagi, yang kenakan baju dalam warna kuning kunyit dan dirangkap baju jubah hijau. Perempuan yang ini berkuku runcing, walau tak terlalu panjang. Dadanya kelihatan montok sekali, wajahnya pun cantik, matanya indah tapi berkesan jalang dan kulitnya putih mulus bagai tanpa cacat. Melihat kakinya tak menyentuh tanah, maka Suto Sinting segera tahu bahwa perempuan bersenjata kipas bulu merak itu tak lain adalah Nila Cendani yang disebut-sebut sebagai Ratu Tanpa Tapak.

Perempuan itulah yang membuat Suto dikejar-kejar para pembunuh bayaran karena disangka memegang pusaka Keris Setan Kobra pada waktu keris itu belum ditemukan. Perempuan itu mempunyai dendam yang begitu tinggi, karena ia pernah dikalahkan oleh Suto Sinting dalam satu pertarungan di Gunung Sesat. Niatnya yang ingin menaklukkan seluruh tokoh persilatan dan menguasai dunia membuat Nila Cendani tak peduli lagi bahwa Sumbaruni adalah neneknya jika diurutkan sesuai silsilah sebenarnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak).

Untuk sementara waktu Pendekar Mabuk tidak ikut campur dalam pertarungan tersebut, ia berdiri diatas gundukan tanah yang ditutupi bayangan pohon besar hingga tampak teduh. Suto Sinting justru menenggak tuaknya beberapa teguk, setelah itu memperhatikan pertarungan tersebut dengan tenang. Jarak pertarungan itu dengan tempatnya duduk sekitar lima belas langkah.

Melihat kehadiran Suto Sinting di situ, Nila Cendani segara hentikan pertarungan sejenak. Matanya memandang sipit kepada Pendekar Mabuk pertanda sedang memendam dendam. Suto Sinting yang merasa dipandangi segera sunggingkan senyum menawan, seakan sengaja menggoda Nila Cendani yang tak bisa disentuh oleh orang yang bukan perawan atau bukan jejaka.

Itulah sebabnya Sumbaruni sejak tadi hanya menghindari serangan-serangan Nila Cendani sambil mencari akal bagaimana untuk menyerang balik. Sebab Nila Cendani tak bisa disentuh oleh Sumbaruni yang sudah tidak perawan lagi itu. Bahkan pukulan-pukulan tenaga dalam Sumbaruni tidak bisa kenai Nila Cendani, tapi pukulan Nila Cendani dapat sampai ke tubuh Sumbaruni. Untuk sementara itu Sumbaruni hanya memanfaatkan pukulan Nila Cendani yang melesat ke arahnya dan diadu dengan pukulan tenaga dalamnya. Gelombang ledakan itulah yang dimanfaatkan oleh Sumbaruni dan diharapkan dapat menumbangkan tubuh lawannya.

"Memang susah melawan orang itu bagi Sumbaruni atau orang yang sudah tidak perawan lagi," pikir Suto Sinting. "Kurasa biar sebesar apa pun kekuatan Sumbaruni jika terus-terusan hanya menghindari serangan Ratu Tanpa Tapak itu, lama-lama ia akan tumbang juga di tangan sang Ratu sesat itu. Agaknya aku tak boleh biarkan pertarungan itu menjadi lebih lama lagi, karena Sumbaruni sudah mulai kehilangan akalnya."

Terdengar seruan Sumbaruni menantang Ratu Tanpa Tapak yang hentikan pertarungan karena pandangi Suto Sinting. "Nila Cendani! Lanjutkan perterungan kita, karena aku tak sabar lagi ingin segera mengalahkan dirimu!"

Mata Nila Cendani masih tertuju pada Suto Sinting. Bahkan sikap berdirinya pun terang-terangan menghadap ke arah Pendekar Mabuk. Diam-diam Sumbaruni khawatir jika Nila Cendani lepaskan Ilmu 'Serap Sukma Asmara' lewat gigitan bibirnya sendiri yang dapat membuat Suto Sinting jatuh cinta dalam sekejap. Karenanya, Sumbaruni segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya berbentuk kilatan cahaya merah ke arah wajah Nila Cendani.

Claap...! Zruub...!

Cahaya merah itu padam sebelum menyentuh wajah Nila Cendani. Hal itu dilakukan berulang-ulang oleh Sumbaruni atau Pelangi Sutera untuk memancing perhatian lawannya. Tetapi agaknya Nila Cendani tidak mau terpancing dan justru melangkah dekati Suto Sinting. Sumbaruni ketakutan dan segera berseru kepada Suto,

"Pergi kau! Jangan di situ, Suto! Pergiii...!"

Karena Suto Sinting tak mau pergi, maka Sumbaruni segera sentakkan kaki dan melenting ke udara, melesat ke arah pertengahan jarak antara Suto dan Nila Cendani. Wuuut...! Jleeg...! Kakinya menapak di tanah dengan mantap dan langsung dalam keadaan berdiri menghadang Nila Cendani.

"Kau tak akan bisa menyentuhnya. Nila Cendani!" gertak Sumbaruni.

Perempuan itu diam saja, tapi tahu-tahu mencabut kipasnya dari pinggang dan menyentakkan ke depan. Suuut...! Claap...! Sinar hijau menyebar lebar bagaikan mata pedang yang melesat ke arah leher Sumbaruni.

"Minggir, Sumbaruni!" teriak Suto dengan tegang.

Tetapi Sumbaruni andalkan jurus mautnya dengan lepaskan sinar warna-warni dari sentakan kedua tangannya. Sinar warna-warni itu membentuk perisai di depannya dan dihantam oleh sinar hijau lebar milik Nila Cendani.

Blaaarrr...!

Ledakan menggelagar begitu dahsyat mengguncang bumi. Sinar terang menyilaukan melesat dalam sekejap, nyaris membuat pandangan mata menjadi buta. Gelombang ledakan yang sempat membuat beberapa dahan pohon patah itu ternyata membuat Sumbaruni tumbang terkapar dalam jarak delapan langkah dari tempatnya berdiri. Tubuhnya berlumur darah yang keluar menyembur dari tiap lubang ditubuhnya.

"Parah!" gumam Suto dalam kecemasan melihat keadaan Sumbaruni. Ia sendiri tadi sempat terpelanting jatuh dan terguling-guling saat merasakan hentakan gelombang ledakan. Tapi keadaan Suto tidak mengalami cedera apa pun. Ia segera bangkit dan mencari Ratu Tanpa Tapak. Oh, rupanya Ratu Tanpa Tapak juga tersentak mundur beberapa langkah sampai ke belakang sebuah pohon akibat ledakan dahsyat tadi. Namun keadaannya masih tetap segar, tidak mengalami luka apa pun. Bahkan kini ia melesat maju tanpa melangkah. Kakinya yang tidak menginjak tanah itu membuat gerakannya bagaikan melayang mendekati Suto Sinting.

"Kuhancurkan tubuh Sumbaruni jika kau tak mau tunduk padaku, Suto!" kata Nila Cendani mengancam dengan suara dingin.

"Aku tak akan pernah tunduk pada orang sesat sepertimu, Nila Cendani!"

"Bagus. Kalau begitu kau ingin lihat tubuh Sumbaruni hancur sekarang juga!"

Wuuut...! Claaap...!

Dari mata Nila Cendani melesat selarik sinar biru bening ke arah tubuh Sumbaruni yang terkapar tak berdaya itu. Suto Sinting cepat patahkan sinar biru itu dengan lepaskan jurus 'Surya Dewata', yaitu sinar ungu yang keluar dari telapak tangan yang disatukan di dada dan disentakkan ke depan. Claap...!

Blegaaarrr...!

Ledakan lebih dahsyat dari yang tadi telah membuat tanah bagaikan diguncang gempa hebat. Tiga pohon di seberang sana tumbang, akarnya terdongkel keluar dari tanah. Dua gugusan batu sempat pecah akibat gelombang panas yang menghentak dahsyat dari ledakan yang timbul akibat perpaduan sinar birunya Nila Cendani dan sinar ungunya Suto Sinting.

Akibat ledakan itu, Nila Cendani terlempar kuat kebelakang dalam jarak tujuh langkah. Ia terbanting kesana-sini, dan akhirnya terpuruk di bawah sebuah pohon dengan suara rintih yang samar-samar. Sedangkan Suto Sinting sendiri juga terpental kebelakang, bahkan bumbung bambunya sempat terlepas dari pundak. Mulut Suto sempat lelehkan darah segar karena dadanya terasa dihantam gunung pada saat terjadi ledakan maha dahsyat tadi. Pandangan mata Pendekar Mabuk sempat berkunang-kunang dan buram.

Samar-samar ia mencari bambu tuaknya dan segera berhasil menemukannya. Lalu ia buru-buru menenggak tuaknya beberapa teguk, setelah itu baru merasa tenang. Pandangan matanya terang kembali, rasa sakit di dada berangsur-angsur reda. Pendekar Mabuk berdiri dengan tegak dan tegap. Matanya memandang tajam ke arah Nila Cendani yang baru saja bangkit di bawah pohon. Wajahnya berlumur darah. Kakinya sudah bisa menapak di tanah. Tetapi darah dari kedua matanya masih mengucur terus membuatnya bersandar di batang pohon.

"Oh, dia buta...?!" gumam Suto dalam hati sambil kian mendekati lawan untuk melihat lebih jelas lagi.

Kedua biji mata Nila Cendani itu hancur akibat sinar birunya yang keluar dari mata tadi merusak biji mata sendiri setelah diadu dengan sinar ungunya Pendekar Mabuk. Akibatnya Nila Cendani tak bisa melihat apa-apa lagi. Dan tangannya mulai meraba-raba ketika ingin melangkah berpindah ke tempat yang menurutnya lebih aman, yaitu di balik pohon besar tersebut.

"Celaka! Keadaanku sangat parah. Tak mungkin bisa menang melawan pemuda tampan yang mirip setan alas itu!" geram Nila Cendani.

"Nila Cendani!" seru Suto, "Jika kau ingin bertobat, jika kau mau tinggalkan alam sesatmu, aku sanggup sembuhkan biji matamu itu, Nila Cendani!"

"Persetan denganmu, Suto! Suatu saat aku akan datang membalas kekalahan ini! Kau harus menebusnya dengan dua biji matamu, Suto!"

Setelah berseru begitu, Nila Cendani melesat dari balik pohon, meninggalkan tempat itu. Gerakan larinya sangat cepat. Tapi karena matanya buta, maka ia pun menghantam pohon di depannya. Bruus...! Bruk! Ia jatuh, lalu bangkit lagi dan berlari lagi ke arah lain. Tapi ia tak tahu di depannya ada semak berduri sehingga ia pun menerabas semak berduri itu.

Bruus...!

"Aauh...!" pekiknya dengan terengah-engah. Sekujur tubuhnya tergores duri, membuat pakaiannya pun menjadi robek-robek begitu keluar dari semak-semak itu. Tapi Nila Cendani tak mau mengeluh berkepanjangan, ia larikan diri lagi dengan agak mengurangi kecepatannya dan tangannya meraba-raba.

Sementara itu, Suto Sinting tak pedulikan lagi lawannya yang telah menjadi buta itu. Perhatian Pendekar Mabuk tercurah kepada Sumbaruni yang terkapar dalam keadaan parah. "Sumbaruni, bertahanlah...!" sambil Suto mempersiapkan bumbung tuaknya.

"Tinggalkan aku. Aku... aku sudah tak kuat lagi. Pergilah sana...," rintih Sumbaruni dengan napas mulai menipis.

"Tidak. Kau harus minum tuak ini, Sumbaruni! Ayo, minumlah...! Minum!"

"Ak... aku... aku tak bisa menelan," katanya kian lirih dan serak.

"Kau harus bisa menelan tuak ini! Kau harus meminumnya. Lukamu akan sembuh, Sumbaruni! Ayo, minumlah! Usahakan menelan tuak ini!"

Sumbaruni yang gagal menemukan anaknya di Jurang Petaka, akhirnya harus menderita separah itu dalam pertarungannya melawan perempuan sesat tersebut. Suto Sinting tak tega membiarkan Sumbaruni tanpa daya. Ia paksakan perempuan itu agar mau meminum tuaknya. Tapi mulut Sumbaruni terasa makin kaku, sulit untuk dibuka. Suto Sinting buru-buru memaksa mulut itu agar terbuka dan bisa dituangi tuak bagian dalamnya. Namun mata Sumbaruni sudah mulai sayu, menyipit, dan napasnya pun kian menipis.

"Ayo, minum tuak ini sedikit saja, Sumbaruni! Jangan menyerah kepada keparahanmu! Ayo, berusaha melawan keparahan ini!" desak Suto Sinting sambil berusaha membuka mulut Sumbaruni walau agar kasar caranya.

* * *

EMPAT
SEBUAH desa yang penduduknya cukup padat menjadi tempat persinggahan Suto Sinting. Desa itu terletak di kaki Gunung Keong Langit. Sebenarnya Suto Sinting ingin tetap lakukan perjalanan, mendaki gunung itu untuk tiba di pondok Bandar Hantu Malam. Tetapi agaknya ia membutuhkan sebuah kedai untuk beristirahat dan mengisi tabung bambu tuak yang telah menipis isinya itu.

Suasana awal petang menyertai kehadiran Suto di desa itu. Sebuah kedai yang tak seberapa besar menjadi tempat tujuan pertama. Namun pada saat itu kedai tersebut sudah mau ditutup oleh pemiliknya; Ki Rosowelas. Orang itu bertubuh kurus, rambutnya pendek bercampur uban lebat, wajahnya penuh kesan seorang yang sabar dan ramah. Tapi saat itu Suto melihat lelaki berbaju abu-abu itu menyimpan perasaan takut ketika didatangi Suto.

"Baru menjelang petang kenapa sudah mau tutup, Pak Tua?!" tanya Suto sebagai teguran ramah kepada lelaki berusia sekitar enam puluh tahun itu.

Senyum Ki Rosowelas menjadi kaku. Pandangan matanya penuh selidik. Suto tahu ia dipandang dengan curiga, tapi Suto tidak merasa tersinggung, hanya merasa heran dan menjadi penasaran. Ki Rosowelas mencoba bicara seramah mungkin, "Anu... maaf, Nak. Saya tidak berani buka sampai malam hari. Hmm... maklum, sedang tidak aman."

"Tidak aman bagaimana? Maukah kau jelaskan padaku, Pak Tua?"

Ki Rosowelas tampak bimbang, membuat Suto perlu yakinkan diri sebagai orang yang tak perlu dicurigai dan ditakuti. "Aku hanya ingin beristirahat sebentar sambil mengisi bumbung tuakku. Jangan takut, aku bukan orang jahat seperti kecurigaanmu, Pak Tua."

Karena tutur katanya sopan dan wajah Suto tidak kelihatan bengis, maka Ki Rosowelas pun mempersilakan Suto untuk masuk ke kedainya. Kedai itu tidak ditutup semua, melainkan disisakan satu pintu untuk keluarnya Suto nanti. Selain mengisi bumbung tuaknya, Suto juga memesan secangkir tuak untuk diminumnya di situ. Dua potong ketan bakar dinikmati pula sebagai pengisi perutnya. Ki Rosowelas menemani Suto dengan ikut menikmati secangkir tuak pula.

Seorang gadis manis berkulit hitam segera bergegas ke belakang setelah menyerahkan tuak untuk diisikan ke bumbung bambu itu oleh Suto. Gadis manis berusia sekitar dua puluh tahun itu adalah anak tunggal Ki Rosowelas yang terlambat lahir. Gadis itu bernama Sunari, yang lahir pada saat Ki Rosowelas sudah berusia empat puluh tahun. Mulanya Ki Rosowelas dan mendiang istrinya merasa tidak akan punya keturunan, karena sudah bertahun-tahun hidup berumah tangga tapi tidak pernah mempunyai anak.

Ketika mereka sudah berusia separo baya, sang istri justru hamil. Tapi sayang sang istri harus meninggalkan bayi dan suaminya untuk menghadap Yang Maha Kuasa saat melahirkan Sundari. Ki Rosowelas tampak menyimpan keharuan saat menceritakan hal itu kepada Suto Sinting. Suto pun tak tega melihat wajah tua itu menyimpan duka karena kenangan lama. Maka Suto segera alihkan pembicaraan ke masalah lain.

"Ki Rosowelas belum ceritakan padaku apa yang membuat Ki Rosowelas mengatakan keadaan di sini sedang tidak aman tadi?"

"Oh, itu...?" Ki Rosowelas terkekeh lirih. "Biasa, Nak. Di mana-mana selalu ada orang jahat. Tidak di kota, tidak di desa, orang jahat bagaikan disebarkan oleh raja iblis untuk membuat keonaran, membenci kedamaian, mengacaukan ketenangan. Begitu pula dengan desa Pucangan ini, Nak," kata Ki Rosowelas sambil melinting tembakau.

Pada masa itu masih jarang orang melinting tembakau. Umumnya tembakau digunakan untuk campuran sirih, baik lelaki maupun wanita. Orang menggunakan tembakau sebagai rokok hanya apabila mempunyai pipa cangklong, dan hal itu hanya dilakukan oleh para bangsawan atau tokoh tua seperti Tabib Awan Putih. Umumnya tembakau yang dihisap sebagai rokok menggunakan campuran madat. Tapi Ki Rosowelas tidak demikian, ia melinting tembakau untuk dijadikan rokok yang bagi Suto merupakan pemandangan yang aneh. Tak heran jika sejak tadi Suto mengikuti gerakan jari melinting tembakau, dan tersenyum kagum melihat Ki Rosowelas menghisap tembakau itu.

"Sudah dua hari ini desa kami dikacaukan oleh kehadiran bayangan hitam yang menculik pemuda desa. Ia melumpuhkan seorang pemuda yang tampak bertubuh kekar, lalu membawanya lari entah ke mana. Dalam dua hari ini, sudah dua pemuda yang hilang pada malam hari. Beberapa keluarga mereka melihat sendiri pemuda tersebut dilarikan oleh orang berpakaian serba hitam, wajahnya tertutup kain hitam sampai hanya kelihatan bagian matanya saja."

"Apakah tak ada yang berusaha mencegah atau melawan bayangan hitam itu?"

Ki Rosowelas gelengkan kepala. "Tak ada yang berani mencobanya, karena bayangan itu bergerak dengan cepat bagaikan kilat."

"Apakah ada korban nyawa?"

"Tidak ada. Tapi penduduk desa menjadi selalu ketakutan jika malam tiba. Tak ada kedai atau rumah yang masih buka pintunya jika petang tiba. Itulah sebabnya aku tadi buru-buru menutup kedai karena takut disambangi bayangan hitam yang tak diketahui dari mana asalnya."

Pendekar Mabuk meneguk tuak dalam cangkir keramik kasar. Ki Rosowelas juga ikut meneguk tuaknya. Setelah itu ia berkata dengan suara pelan bagaikan takut didengar orang lain. "Terus terang saja, ada beberapa orang yang curiga pada tokoh sakti yang bermukim di Gunung Keong Langit itu."

"Bandar Hantu Malam maksudmu, Ki?"

"Ya. Kau mengenalnya?!" Ki Rosowelas sedikit terperanjat dan cepat memandang Pendekar Mabuk.

"Aku hanya mengenal namanya saja, belum pernah jumpa orangnya."

"Para sesepuh di sini ada yang mengetahui riwayat hidup Bandar Hantu Malam semasa orang itu masih muda. Tapi menurut para sesepuh, Bandar Hantu Malam sudah tidak seganas dulu. Sejak mempunyai istri, dia menjadi orang bijak dan suka menolong kepada siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Para sesepuh pun mempunyai praduga, barangkali karena tidak beristri lagi maka Bandar Hantu Malam kembali ganas dan suka membuat kekacauan. Tapi beberapa sesepuh juga menyangsikan hal itu, karena Bandar Hantu Malam sudah beberapa kali menyelamatkan desa ini dari gangguan siapa saja."

"Lalu mengapa sekarang dia tidak menyelamatkan desa ini dari gangguan yang kau sebut bayangan hitam itu tadi, Ki?"

"Justru itulah yang dipertanyakan oleh para sesepuh di desa Pucangan ini, Suto. Maka timbul dua pendapat, mungkin Bandar Hantu Malam belum mendengar peristiwa yang menakutkan penduduk desa ini, mungkin juga dialah pelaku sebenarnya. Semuanya belum bisa jelas."

Pendekar Mabuk manggut-manggut. Hatinya berkata, "Jika benar bayangan hitam itu adalah Bandar Hantu Malam, maka suatu hal yang sangat kebetulan bagiku, tak perlu harus mendaki ke lereng gunung itu. Ada baiknya kalau malam ini aku bermalam di desa ini sambil menunggu kemunculan bayangan hitami tu. Tapi..., apakah Ki Rosowelas dan yang lainnya tidak akan curiga kepadaku? Nanti jangan-jangan malah aku sendiri yang disangka orang berpakaian serba hitam itu?"

Maka, pendekar tampan yang ternyata sejak tadi diintip oleh Sundari dari celah pintu dapur itu, mencoba mengutarakan maksudnya kepada Pak Tua pemilik kedai tersebut. "Apakah kau menyediakan kamar untuk penginapan, Ki?"

"Tidak. Maksudmu bagaimana, Suto?"

"Kalau ada kamar, aku akan bermalam di sini. Aku ingin tahu siapa bayangan hitam itu. Karena..., terus terang saja, kedatanganku kemari adalah dalam perjalanan menemui Bandar Hantu Malam."

"Hahh...?!" Ki Rosowelas terkejut.

Suto memang tidak jelaskan pokok masalah sebenarnya agar tak mengundang perhatian terlalu besar bagi si pemilik kedai itu. Suto hanya berkata, "Aku punya sedikit urusan dengan Bandar Hantu Malam dan harus segera kuselesaikan. Jika bayangan hitam itu memang Bandar Hantu Malam, berarti aku tak perlu susah-susah mendaki Gunung Keong Langit. Jika memang bukan dia, maka kita semua akan tahu siapa sebenarnya bayangan hitam itu."

"Tapi dia berbahaya, Suto. Bayangan hitam itu, baik dia adalah Bandar Hantu Malam atau bukan, tapi dilihat dari gerakan cepatnya, jelas dia orang berilmu tinggi. Kau bisa celaka jika melawannya."

"Kau tak perlu takut, Ki Rosowelas. Bukankah bayangan hitam tidak mau membunuh, dan sejak dua hari ini tidak ada korban nyawa?"

"Memang. Tapi hal itu dikarenakan tidak ada orang yang berani menghalanginya Jika ada yang nekat menghalanginya, tentunya dia tidak akan segan-segan melenyapkan nyawa orang itu."

"Aku hanya ingin mengetahui siapa dia sebenarnya. Mungkin tidak harus menghadapi dia. Aku bisa lakukan dengan sembunyi-sembunyi," kata Suto dengan berbisik. "Kalau kau punya kamar, aku akan menyewanya untuk satu malam saja."

Ki Rosowelas menatap Suto mencoba mempalajari siapa diri anak muda itu. Lewat pancaran mata tajam tapi bersuasana lembut, lewat kegagahan dan ketegapan tubuh Suto, lewat cara meminum tuak dengan santai tanpa mabuk, Ki Rosowelas mulai punya kesimpulan, bahwa anak muda yang dihadapi setidaknya punya ilmu yang lumayan tinggi. Setidaknya ilmu untuk melarikan diri dari kejaran lawan dimiliki oleh Suto. Kecemasan Ki Rosowelas terhadap bahaya yang akan mencelakakan Suto mulai berkurang.

"Jika ia berani bertekad menemui Bandar Hantu Malam sendirian seperti saat ini, tentunya ia punya landasan ilmu cukup kuat. Orang berilmu ringan tak akan berani punya tekad temui Bandar Hantu Malam di puncak Gunung Keong Langit itu!" pikir Ki Rosowelas yang akhirnya memanggil Sundari dan menyuruhnya mempersiapkan kamar untuk Pendekar Mabuk.

"Kau tidur bersamaku saja," kata sang Ayah kapada putrinya. "Biar tamu kita ini tidur di kamarmu untuk semalam."

"Terserah apa putusanmu, Pak. Aku ikut saja," jawab Sundari sambil tampak tersipu dan tak berani terang-terangan pandangi Suto Sinting. Namun dalam hati gadis itu sempat berkata, "Alangkah bangganya, alangkah senang hatiku jika mempunyai kekasih seperti si tampan ini. Hmm... hatiku sejak tadi berdebar-debar jika kebetulan beradu pandang dengannya. Daya tarik yang dimilikinya sangat besar. Aku jadi tak sabar dan ingin bicara berduaan dengannya."

Di dalam kamar yang disewanya itu, Suto Sinting sengaja baringkan badan di atas dipan beralaskan kain penutup kapas sebagai ganti kasur. Kedua tangannya direntangkan, ditindih dengan kepala. Ia sengaja menunggu malam kian kelam, setelah itu baru bergerak memeriksa keadaan desa.

"Kuharap orang yang disebut-sebut sebagai bayangan hitam itu memang benar Bandar Hantu Malam. Aku harus segera bereskan orang itu dan cepat kembali kepada Ratu Asmaradani. Jika orang itu bukan Bandar Hantu Malam, akan kugunakan untuk memancing Bandar Hantu Malam supaya turun gunung dan temui aku di sini. Dengan begitu aku tak perlu susah payah mendaki gunung."

Selagi asyik berkecamuk sendiri dalam hatinya, tiba-tiba Suto mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Ketukan itu pelan sekali. Suto sudah dapat menduga siapa yang punya ketukan selembut itu. Maka ia sudah siap dengan senyum ramah di bibirnya ketika bergegas membukakan pintu kamar.

"Sundari?" sapanya pelan.

"Ssst...!" Sundari menempalkan jarinya di bibir, memberi isyarat agar Suto mengurangi suaranya. "Bapak sedang tidur, jangan keras-keras bicaramu, nanti Bapak tahu kalau aku kemari."

"Ada apa kau datang kemari?"

"Mengapa kau tanyakan hal itu? Apakah kau belum tahu bahwa kamar ini sebenarnya kamarku?"

"Ya, aku tahu," jawab Suto yang akhirnya tak bisa mencegah gadis itu menyusup masuk ke dalam. "Tapi apakah kau lupa bahwa kamar ini sedang disewa untuk satu malam?"

"Aku tidak lupa. Tapi ketahuilah, bahwa aku tak bisa tidur jika tidak di dalam kamarku sendiri."

"Kenapa begitu?"

"Jiwaku dengan kamar ini telah menyatu."

"Kalau begitu aku akan tidur di luar saja. Di bangku kedai."

"Kalau kau mau, silakan ke sana. Uang sewa mu bisa kukembalikan. Tapi perlu kau ketahui juga, aku datang kemari ada yang ingin kubicarakan denganmu Suto. Ini menyangkut masalah keselamatanmu."

"Apa makaudmu?" Suto Sinting akhirnya duduk di tepian dipan.

Gadis berkulit hitam manis dengan senyum yang juga manis itu, kini ikut duduk di tepian dipan. Jaraknya kurang dari satu jangkauan dari Suto. Ia beranikan diri menatap Suto beberapa saat, seakan memanfaatkan waktu untuk menikmati ketampanan Suto dan menikmati debar-debar indah di hatinya.

"Apa yang ingin kau katakan?" tegur Suto merasa tak enak dipandangi terus-terusan, ia sempat meneguk tuak dari cangkir yang dibawanya dari kedai ke kamar. Tuak di cangkir itu adalah tuak yang kelima kalinya. Sundari menyimpan perasaan heran melihat Suto kuat minum sampai lima cangkir tanpa mabuk sedikit pun.

Gadis itu berkata pelan, "Kudengar kau mau hadapi bayangan hitam itu?"

"Dari siapa kau mendengarnya?"

"Cerita Bapak di kamar tadi."

Suto tersenyum tipis, "Tak salah pendengaranmu itu."

"Kalau boleh kuingatkan, jangan lakukan hal itu."

"Kenapa?"

"Sangat berbahaya. Kau bisa mati."

"O, ya?" Suto Sinting tertawa kecil, berkesan meremehkan peringatan itu. "Apakah kau yakin aku akan mati jika berhadapan dengan bayangan hitam itu?"

"Ya. Sebab dia orang sakti, ilmunya tinggi dan keji. Tak kenal ampun!"

"Dari mana kau tahu bahwa dia berilmu tinggi?"

"Karena akulah orang itu!"

Suto Sinting terkejut, tangannya melayang cepat menampar wajah Sundari.

Plook...!

"Ooh...!" Sundari tersentak dan jatuh ke dipan karena tamparan itu. Ia menyeringai kesakitan sambil mengusap-usap pipinya, wajahnya memerah, bibirnya digigit menahan sakit yang membuatnya mau menangis.

Suto Sinting memandang dengan penuh sesal. "Untung hanya sebuah tamparan," kata Suto dalam hati. "Jika memang dia berilmu tinggi tentunya dia sangat mudah menangkis gerakan tanganku dalam menampar tadi. Jika ia berlimu tinggi, tak mungkin pipinya menjadi merah, karena tamparanku tak begitu keras untuk ukuran orang berilmu tinggi. Aku tak percaya kalau dia adalah bayangan hitam."

"Kau kasar sekali, Suto," ucapnya dengan suara bergetar karena menahan tangis.

Suto Sinting tarik napas panjang-panjang jauhi dipan. "Untuk apa kau membohongiku, Sundari? Aku tahu bukan kau orang yang disebut-sebut sebagai bayangan hitam itu."

"Memang aku orangnya!" Sundari cemberut. "Karena itu, kuharap kau jangan hadapi dia karena itu sama saja kau berhadapan denganku dan aku tak tega jika harus membunuhmu."

Suto Sinting sunggingkan senyum tak percaya. "Kalau memang kau bayangan hitam yang dikatakan sakti dan mampu bergerak secepat kilat hingga seperti bayangan lewat, maka kau pasti akan mampu menangkis gerakan tanganku tadi. Ternyata kau tidak mampu menangkisnya, itu berarti kau tidak punya gerak firasat, sebagaimana yang dimiliki oleh para tokoh berilmu tinggi. Pipimu tak akan merah, karena tamparanku tadi belum apa-apa untuk ukuran orang berilmu tinggi, Sundari."

Gadis itu diam, masih cemberut dan mengusap-usap pipi dengan memandang ke arah lain. Suto Sinting kembali dekati Sundari, ia sedikit membungkuk ketika berkata dengan nada suara pelan, "Apa makaudmu menipuku, Sundari? Apa maksudmu mengaku-aku sebagai bayangan hitam itu?!"

Sundari masih diam cemberut. Suto Sinting meraih dagu gadis desa itu. Pelan-pelan sekali dagu itu diputar hingga matanya saling pandang. Wajah manis itu sedikit mendongak dalam menatap Suto, dan Suto mengulangi pertanyaannya tadi. "Apa maksudnya, jelaskan!"

"Karena... karena aku takut kau celaka."

"Mengapa kau takut aku celaka?" desak Suto.

"Entahlah. Pokoknya aku takut kau celaka dan mati. Aku tak ingin kau mengalami nasib seperti itu. Karenanya aku mengaku sebagai bayangan hitam, supaya kau tak jadi temui dia malam ini."

Suto tersenyum, kali ini berkesan ramah, ia mulai tahu perasaan Sundari. Ada rasa suka yang disimpan di hati gadis itu. Ada rasa cemas di sana. Sebab jika Suto sampai mati, sama saja harapan untuk dapat lebih dekat dengan Suto ikut mati juga. Rupanya gadia itu tak ingin kehilangan harapan. "Apakah malam ini bayangan hitam akan muncul lagi?" tanya Suto.

"Aku tak tahu. Tapi menurut dugaanku, juga dugaan beberapa orang, ia akan muncui lagi untuk menculik seorang pemuda. Aku sangat takut, karena di sini sekarang ada seorang pemuda tampan yang menggetarkan hatiku. Aku takut pemuda tamuku akan diculiknya. Kuharap kau tidak keluar rumah, Suto."

"Baiklah," jawab Suto sambil hempaskan napas. "Aku akan turuti kemauanmu. Sekarang cepatlah kembali ke kamar bersama bapakmu, supaya kehadiranmu di sini tidak dicurigai. Aku tak enak kalau dinilai buruk olehnya karena dugaan yang bukan-bukan terhadap diri kita berdua."

"Apakah... apakah kau tidak suka kalau aku menemanimu di kamar ini?"

"Aku tidak akan bisa tidur jika ditemani seorang gadis secantik dirimu," jawab Suto.

"Mengapa kau justru tak bisa tidur?"

"Hanya lelaki bodoh yang tidur dengan nyenyak jika ada teman wanita cantik di sampingnya. Umumnya lelaki akan sulit tidur jika ditemani wanita cantik, karena tangannya pasti akan punya kesibukan sendiri sampai pagi."

Sundari tersenyum malu, karena gadis itu tahu maksud Suto Sinting. Ia bahkan mengatakan, "Kesibukan itu kutunggu sejak lama. Aku ingin bersuami. Tapi tak pernah tertarik dengan lelaki mana pun. Sekarang aku punya rasa tertarik. Kurasa jika tanganmu sibuk lakukan pekerjaan aku tak akan menolak."

"Semudah itukah kau serahkan dirimu kepada orang yang baru dikenal?"

Wajah Sundari cepat-cepat berubah menjadi merah jambu karena menahan malu. Ia menyesal dalam hati, "Seharusnya aku tidak berkata begitu. Seharusnya aku tidak boleh bersikap mengejar. Aku pasti dinilai sebagai gadis desa yang murahan. Ah, tak enak jadinya. Sebaiknya aku segera kembali ke kamar Bapak saja, biar penilaian buruknya terhadapku hilang."

Sebenarnya kenyataan di hati Sundari memang demikian, ingin punya pendamping hidup, tapi tidak pernah tertarik dengan pemuda desanya, ia sering menolak rayuan pemuda desanya, ia bahkan pernah mengubur hasratnya untuk bersuami. Tapi ketika melihat Suto Sinting, hasrat itu menjadi kambuh kembali. Akhirnya ia beranikan diri untuk nekat temui Suto, karena menurutnya kesempatan seperti itu belum tentu datang lagi jika Suto sudah pergi dan ia terlambat menjerat hati pemuda itu. Untunglah ia segera sadari tindakannya tidak sesuai dengan sikap gadis desa pada umumnya, sehingga ia pun segera kembali ke kamar ayahnya.

Kepergian Sundari membuat Suto lega. Lalu secara pelan-pelan ia pun keluar dari kamarnya, menghamburkan diri di tengah kegelapan malam, menyusuri jalan-jalan sepi dengan gerakan yang menyelinap dari tempat tersembunyi ke tempat aman lainnya. Hampir seluruh desa diputari. Tapi Suto tidak temukan hal-hal yang mencurigakan. Sementara itu malam semakin kelam dan kesunyian amat mencekam. Desa itu bagaikan kuburan yang tak berpenghuni makhluk bernyawa lagi. Tak ada suara apa pun yang bisa didengar oleh Pendekar Mabuk.

"Barangkali bayangan hitam itu tidak muncul pada malam ini. Ah, sayang sekali jika memang begitu. Mau tak mau esok aku harus mendaki gunung dan mencari kediaman Bandar Hantu Malam," pikir Suto yang sudah bertengger di salah satu pohon tinggi. Sebab dari sana ia bisa memandang keadaan desa dalam keremangan malam.

Angin berhembus ke utara. Awan pun bergerak ke arah yang sama. Ternyata di balik awan ada rembulan. Sekalipun tidak penuh dan tampak jauh, tapi cahayanya cukup membuat malam menjadi pucat. Batu dan tanaman rumput mulai bisa terlihat. Keadaan remang membuat Suto merasa senang, karena dengan begitu matanya dapat memandang sekeliling dengan lebih jelas lagi.

"Hei, ada gerakan di sebelah barat sana? Hmmm... apa itu? Oh, seseorang melesat menuju sela-sela rumah penduduk? Nah, itu dia! Bayangan hitam itu akhirnya datang juga. Aku harus segera mengejarnya kesana!" Zlaaap...! Suto pergunakan gerakan peringan tubuh yang mampu melesat dengan cepat tanpa suara. Dalam waktu singkat ia tiba di belakang sebuah rumah, tempat bayangan tadi menghilang di sela-sela dua rumah. Suto merunduk di balik tanaman singkong yang tingginya baru sebatas dada manusia dewasa. Matanya memandang dengan waspada ke berbagai arah. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari seberang.

Braaak...!

"Aaaa...!" jerit suara wanita. "Lepaskan anakku! Lepaskan anakku! Tolong...! Tolooong...!" suara wanita yang diperkirakan berusia separo baya itu kian terdengar jelas.

Suto pindah tempat persembunyian, dan di sana ia melihat sekelebat bayangan yang memanggul sesosok tubuh di pundaknya. "Itu dia si bayangan hitam. Pakaiannya memang serba hitam dan... kurasa yang dipanggul di pundaknya itu adalah seorang pemuda yang sudah ditotoknya!"

Zlaaap...! Suto Sinting segera mengejar, tak mempedulikan jeritan minta tolong yang membuat penduduk desa menjadi bangun dan suasana pun kian tegang. Bayangan hitam itu memang bergerak dengan cepat, menandakan ia orang berilmu tinggi. Kecepatan bayangan hitam itu hampir menyamai kecepatan gerak Suto Sinting, ia tidak sadar ada orang yang berani mengejarnya. Bahkan ia menjadi sangat kaget ketika tahu-tahu bagian atas tubuhnya dilompati oleh seseorang dalam gerakan bersalto ringan, lalu langkahnya pun terhadang oleh orang yang melompatinya itu.

Jleeg...!

Suto Sinting si Pendekar Mabuk itulah yang menghadang langkahnya. Mau tak mau bayangan hitam hentikan langkah. Ia mulai sadar datangnya bahaya. Tak mau menunda waktu lagi karena takut kepergok penduduk desa yang terbangun karena jeritan ibu si pemuda yang dipanggulnya itu, maka tangannya segera melemparkan sesuatu yang diambil dari balik baju hitamnya.

Slaaap...! Wuuut...!

Suto Sinting cepat hadangkan bumbung tuaknya. Benda yang dilemparkan itu menghantam bumbung tuak.

Traak...! Weesss...!

Benda itu ternyata sebuah pisau kecil yang memantul balik ke arah pelempamya begitu kenai bumbung keramat itu. Gerakan pisau yang dua kali lebih cepat dari lemparan pertama membuat orang yang berpakaian serba hitam menjadi terkejut, ia segera hindari pisaunya sendiri. Tapi gerakannya sedikit terlambat. Pisau itu akhirnya menancap di pinggang kanannya.

Jruub...!

"Uuhg...!" ia terpekik dengan suara tertahan.

Melihat lawannya mengejang dengan pegangan pada sosok di pundaknya melemah, maka Suto pun segera berkelebat cepat dalam satu lompatan tinggi ke arah orang berpakaian hitam.

Wuuut...! Wees...!

Pemuda yang tertotok jalan darahnya kini sudah berpindah tangan. Suto Sinting segera membawanya lari ke jalanan desa menuju rumah penduduk. Di sana Suto Sinting segera berhenti, meletakkan pemuda itu di tanah, dan menunggu kejaran orang berpakaian serba hitam.

Dengan menahan sakit karena pisau beracun menancap di pinggangnya, dan sampai saat itu belum bisa dicabut karena terlalu menyakitkan, orang berpakaian mirip ninja itu segera berhenti di depan Pendekar Mabuk. Napasnya terangah-engah. Ia bermaksud merebut pemuda yang berhasil diculiknya itu. Tentunya ia harus merobohkan pemuda tampan yang ada di depannya. Maka orang itu pun segera menyerang Suto dengan lepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh. Ia kibaskan tangannya bagai melempar sesuatu, dan ternyata gumpalan api sebesar genggaman tangan melesat cepat menerjang Suto.

Wuuusss...!

Suto menghajar bola api dengan jurus yang dinamakan 'Pukulan Gegana' pemberian Bidadari Jalang, Bibi Gurunya itu. Dari dua jari Suto melesat sinar patah-patah warna kuning. Sinar itu menghantam bola api dan menimbulkan ledakan yang lebih mengagetkan penduduk desa.

Blaaarrr...! Glegeeerrr...!

Ledakan menggema itu hadirkan gelombang hawa panas yang mampu mengeringkan sebuah pohon dalam waktu satu helaan napas. Mestinya orang berkerudung kain hitam itu akan mati kering jika terkena langsung pukulan tersebut. Tetapi karena gelombang ledakan saja, maka orang itu terjungkal ke belakang dan berguling-guling hingga tak sengaja kain penutup kepalanya terlepas. Ketika bangkit dan mencoba berdiri lagi, sinar rembulan menampakkan wajah cantiknya.

Ternyata ia seorang wanita bermata indah tapi punya kesan jalang. Usianya diperkirakan sekitar dua puluh tujuh tahun. Dari hidungnya yang bangir tampak ada cairan merah mengalir, itulah darah dari luka dalamnya akibat ledakan tadi. Sementara Suto Sinting sama sekali tidak terpengaruh oleh ledakan tadi, ia hanya terdesak mundur dua tindak.

Beberapa orang datang membawa obor dari dua arah, selatan dan timur. Perempuan cantik itu menjadi sangat tegang dan gusar, ia hanya berkata kepada Pendekar Mabuk, "Suatu saat kita akan bertemu, dan akan kubalas kekalahan ini!"

Beberapa penduduk desa yang sempat melihat raut wajah wanita itu menjadi tercengang. Salah seorang menyebut dengan nada heran sekali. "Nyai Sedah...?!"

Begitu suara orang yang menyebutkan namanya itu lenyap, Nyai Sedah cepat sentakkan kaki dan pergi dalam keadaan luka. Ia masih mampu bergerak cepat. Suto sengaja tidak mau mengejarnya, karena ia hanya ingin tahu apakah orang itu Bandar Hantu Malam atau bukan. Ternyata orang itu adalah Nyai Sedah.

"Siapa Nyai Sedah itu?" tanya Suto kepada Ki Rosowelas yang ternyata ikut hadir dalam kerumunan tersebut bersama Sundari, anaknya.

"Nyai Sedah adalah mantan istri lurah kami," jawab Ki Rosowelas.

Salah satu orang berambut putih yang usianya diperkirakan sudah mencapai tujuh puluh tahun itu ikut menimpali jawaban Ki Rosowelas. "Nyai Sedah adalah wanita yang tak pernah puas dengan seribu lelaki. Dulu suaminya adalah mantan lurah kami yang sudah tiada. Dia terusir dari desa ini karena sering mengganggu para suami, membuat para istri resah. Mungkin selama tujuh tahun dia menghilang itu, dia pelajari beberapa ilmu dari seseorang, sehingga ia mampu lebih sakti dari sebelumnya. Pantas jika ia menculik para pemuda. Pasti di tempatnya sana dijadikan pemuas gairahnya."

"Apakah ada hubungannya dengan Bandar Hantu Malam?" tanya Suto.

Tapi orang-orang itu hanya diam dan saling pandang. Lalu, Ki Rosowelas pun menjawab, "Bisa jadi... dia adalah murid Bandar Hantu Malam. Karena di daerah ini hanya ada satu orang sakti, yaitu Bandar Hantu Malam. Tapi... tapi apakah Bandar Hantu Malam mau punya murid sesat seperti Nyai Sedah?!"

Ki Rosowelas menyanggah pendapatnya sendiri, sebab segalanya memang belum jelas tentang keadaan Bandar Hantu Malam. Bagi Suto, semua itu akan menjadi lebih jelas jika ia sudah temui Bandar Hantu Malam di puncak Gunung Keong Langit.

* * * LIMA SUARA ledakan yang disusul dengan rontoknya dedaunan hutan membuat langkah Suto Sinting terhenti di lereng gunung itu. Sebagian daun pohon sempat merontoki kepala Suto. Sehelai daun diambilnya dari atas kepala, diperhatikan beberapa saat, lalu dahinya pun berkerut tajam.

"Gila!" gumam Suto setelah mengetahui daun itu ternyata sudah menjadi debu namun masih membentuk warna dan serat aslinya. Daun itu hanya ditekan dengan dua jari sudah hancur dengan sendirinya.

"Tenaga dalam siapa yang sehebat ini? Aku yakin tak jauh dari sini ada pertarungan hebat. Hmmm...! Aku mendengar detak jantung di sebelah barat. Aku ingin tahu siapa pemilik ilmu tenaga dalam yang mampu membuat daun-daun berubah menjadi debu!"

Ia pun segera melesat ke arah barat. Alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk ketika mengetahui siapa orang yang bertarung pada saat itu. Seorang kakek berjubah putih, rambut putih, kumis dan jenggotnya putih, bertubuh kurus, mengenakan kalung batu-batuan warna merah kecoklat-coklatan. Suto ingat lelaki tua itu adalah orang yang dilihatnya melakukan pertarungan di seberang jurang dengan lawan yang tak diketahui letak kedudukannya.

"Dia lagi...?!" gumam Suto dalam keheranan. "Sikapnya masih sama seperti tempo hari. Diam, tenang, berdiri tegak dengan kaki sedikit renggang, kedua tangannya terlipat di dada. Oh, benar-benar seorang tokoh sakti tingkat tinggi yang baru kali ini kulihat begitu tenangnya menghadapi lawan yang ganas."

Lawan si kakek berjubah putih itu adalah seorang perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, tapi masih lincah dan gesit. Nenek itu berjubah merah, kurus, dan kempot. Rambutnya yang putih digulung menjadi konde di tengah kepala, ia menggenggam senjata logam putih mengkilat berbentuk seperti kipas yang bagian tangannya berlubang untuk tempat jari-jarinya.

Piringan itu punya bagian tepi yang tajam sekali. Lebarnya satu jengkal. Jika dipakai untuk menebas leher bisa putus seketika. Tapi agaknya senjata yang mirip kipas rata pinggirnya itu tidak akan sampai digunakan menebas seluruh bagian. Suto melihat jurus menggunakan senjata itu sangat sederhana.

Nenek tersebut mencoba menyerang sang kakek berjubah putih dengan satu lompatan cepat. Tapi tahu-tahu sang kakek sudah ada di belakangnya tanpa diketahui gerakannya. Keadaan sang kakek tetap diam dan melipat tangan di dada. Sedangkan gerakan sang nenek yang cepat itu menemui tempat kosong.

Tapi ketika ia mengibaskan senjatanya itu, sebuah pohon besar segera tumbang bagai habis terpotong dengan senjata amat tajam dan besar. Pohon itu tumbang dalam keadaan terpotong rata bagian tengahnya. Padahal pohon itu hanya berjarak dua langkah dari tempat sang nenek mengibaskan senjatanya.

"Senjata itu tak sampai menyentuh pohon, tapi kekuatan tenaga tebas yang terpancar dari tepian senjata itu sudah mampu memotong batang pohon yang lumayan besar," gumam Suto dalam hati. "Tentunya nenek itu punya ilmu tinggi yang dapat disalurkan melalui angin tebasan senjata aneh itu. Tapi gerakan kakek berjubah putih itu juga sangat hebat. Tak tahu kapan dan ke mana ia bergerak, tahu-tahu sudah ada di belakang sangnenek."

Pendekar Mabuk masih tetap diam dari persembunyiannya. Matanya memandang pertarungan hebat itu tanpa mau berkedip. Lagi-lagi ia dibuat tercengang melihat sang nenek lakukan serangan dengan mengibas-ngibaskan tangannya yang bersenjata. Gerakannya cepat dan sepertinya tak beraturan. Dari gerakan tangan ke sana-sini itu memancarlah sinar hijau yang tiada putusnya hingga menyerupai benang atau tali hijau yang awut-awutan. Tapi dalam sentakan terakhir, sang nenek putarkan tubuhnya. Wuuusss...! Sinar hijau yang mirip tali itu berkelebat menjerat tubuh kakek berjubah putih.

Zraab...!

Dalam sekejap tubuh kakek itu telah terjerat kuat oleh tali sinar hijau. Namun orang berjenggot panjang itu tetap diam, tetap melipat tangan di dada. Sedangkan mata Suto memandang kian tegang, tali sinar hijau itu makin lama makin menjerat kuat, seakan mulai masuk ke daging tubuh sang kakek.

"Celaka! Kenapa dia diam saja?! Dia bisa terpotong oleh tali sinar itu!" pikir Suto Sinting mulai tak sabar ingin segera turun ke pertarungan tersebut

Wajah sang kakek mulai merah kebiru-biruan. Seperti orang tercekik kuat-kuat, sebab tali sinar hijau itu juga ada yang melilit di lehernya. Agaknya ia sedang mengimbangi kekuatan tali sinar hijau itu dengan tenaga dalam yang dikerahkan sekuat tenaga, namun masih belum berhasil memutuskan atau memecahkan tali sinar hijau itu.

"Hik, hik, hik, hik...!" nenek itu tertawa. "Tak akan mampu kau lakukan! Tak ada orang yang bisa melawan jurus 'Tambang Akhirat' milikku itu! Sekarang sudah waktunya kau modar dengan tubuh terpotong-potong, Manusia Bodoh! Hik, hik, hik, hik...!"

Hati Pendekar Mabuk menggerutu kesal. "Memang bodoh kakek itu. Kenapa diam saja? Cepat lakukan sesuatu?!" Suto Sinting menjadi gemas sendiri.

Sementara itu tali sinar hijau kian menjerat kuat, sebagian mulai menembus daging tubuh sang kakek yang kurus itu. Tiba-tiba nenek berjubah merah itu melompat dengan satu teriakan nafsu membunuh. "Hiaaaahhh...!"

Melihat keadaan seperti itu, Suto Sinting berani pastikan sang kakek pasti akan tumbang di tangan sang nenek, sebab keadaannya tak berdaya menghadapi tali sinar hijau. Sedangkan sang nenek sudah jelas akan mengibaskan senjatanya untuk mempercepat terpotongnya tubuh sang kakek. Maka dengan gerakan secepat anak panah, Suto Sinting segera melesat dari persembunyiannya menerjang tubuh sang nenek dari samping. Bambu bumbung tuak digunakan untuk menyodok tubuh sang nenek.

Wuuuttt...! Buuuhg...!

"Aaahg...!" nenek itu terpekik, terlempar keras dan membentur sebatang pohon besar akibat terkena sodokan bambu tuaknya Suto. Jika ia tidak punya ilmu tinggi, maka ia akan mengalami patah tulang di sekujur tubuhnya. Dan Suto berani lakukan hal itu karena ia hanya ingin menahan serangan sang nenek kepada kakek jubah putih yang sudah tak berdaya itu. Suto berani lakukan hal itu karena ia tahu sodokan bambunya tidak akan membuat sang nenek menjadi parah. Sodokan bambu itu hanya akan membuat tubuh sang nenek menjadi ngilu, mungkin juga memar biru pada bagian yang terkena sodokan.

"Bocah ingusan!" sentak sang nenek. "Apa maksudmu ikut campur urusanku?! Apakah kau ingin mati di tangan Nini Pancungsari, hah?!"

Suto Sinting tidak pedulikan keadaan sang nenek yang berang itu. Ia segera bergegas untuk menolong kakek berjubah putih yang diam-diam telah dikaguminya sejak pertama dilihat di atas Puncak Karang. Tetapi alangkah kagetnya Suto Sinting ketika mau bergerak, ternyata tubuh sang kakek pecah terjerat tali sinar hijau. Tubuh itu menjadi terpotong-potong dan berserakan di tanah. Mata Suto Sinting sangat sulit dikedipkan bahkan kian lebar memandang potongan-potongan tubuh sang kakek.

"Hik, hik, hik, hik...! Bocah ingusan terheran-heran. Kasihan sekali kau, Nak. Kalau kau ingin tahu, itulah yang dinamakan jurus 'Tambang Akhirat'. Tak ada yang punya selain diriku; Nini Pancungsari! Hik, hik, hik, hik...!"

Napas kedongkolan ditarik kuat-kuat oleh Pendekar Mabuk, ia memandangi Nini Pancungsari dengan penuh kegeraman. Tangan kirinya yang tidak menenteng bumbung bambu itu menggenggam kuat-kuat pertanda ia sedang menahan gejolak nafsu amarah terhadap nenek sadis itu. Tetapi tiba-tiba Pendekar Mabuk dan Nini Pancungsari dikejutkan oleh suara bernada penuh wibawa.

"Apa yang kau tertawakan, Pancungsari?!"

Suto dan nenek itu sama-sama memandang ke arah selatan, ternyata kakek berjubah putih itu ada di sana, berdiri dengan tangan terlipat di dada. Suto dan nenek itu kembali pandangi potongan tubuh yang berserakan ditanah, dan mereka sama-sama terperanjat karena ternyata yang ada di tanah bukan potongan tubuh manusia melainkan potongan kayu jati yang masih bertahan tapi sudah kering. Ternyata apa yang dijerat oleh tali sinar hijau tadi adalah sebatang kayu jati yang sudah lama tumbang.

Tentu saja murka sang nenek kembali menyala-nyala. "Kuhabisi kau sekarang juga, Manusia Bodoh! Heaaah...!" Nini Pancungsari lepaskan pukulan bersinar biru, besar dan lurus, seperti sebuah kayu balok. Sinar biru itu keluar dari telapak tangan kirinya.

Wooss...!

Sang kakek pun keluarkan pukulan penangkis. Kali ini tangan kirinya juga menyodok ke depan dan dari telapak tangan itu keluar sinar besar, sama ukurannya, beda warnanya. Warna sinar besar lurus itu seperti warna merah batu kalungnya. Sinar itu menghantam sinar biru di pertengahan jarak. Gemuruh pertemuan dua sinar itu bagaikan sesuatu yang siap meledak. Di pertengahan jarak mereka memancar sinar ungu, perpaduan antara sinar merah dengan biru. Sinar ungu itu berpijar-pijar lebar, bergerak maju mundur, seakan mengikuti kekuatan dorong yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Nini Pancungsari rendahkan kedua kakinya sambil kerahkan tenaga pendorong agar sinar ungu itu bergerak mendekati tubuh lawannya, kalau bisa menghantam telak tubuh itu. Tapi kakek berjubah putih pun lakukan dorongan dengan sikap tetap berdiri tegak, tak kentara keluarkan tenaga. Sedangkan Nini Pancungsari tubuhnya sampai gemetaran karena kerahkan tenaganya habis-habisan.

Pertemuan dua sinar itu makin mendekati tubuh sang kakek, itu tandanya sang kakek terdesak dan kekuatannya berkurang. Suto Sinting menjadi cemas, sebab ia tak rela jika kakek yang menjadi kebanggaan hatinya itu hancur oleh sinar ungu tersebut. Maka dengan cepat Suto Sinting segera sodokkan bambunya ke depan.

Suuut...!

Dan memancarlah sinar kuning lurus yang menuju kepertengahan jarak kedua tokoh sakti itu. Sinar kuning Suto bagaikan menyangga pertemuan kedua sinar tersebut, lalu dengan perlahan-lahan mengangkat pertemuan sinar yang memercikkan warna ungu itu. Makin lama makin keatas, sehingga dengan kaki menghentak Suto dapat ledakkan kedua sinar itu di angkasa sana.

Blegaaarrrr...!

Jurus 'Naga Sontok' milik Pendekar Mabuk telah selamatkan kedua tubuh tokoh tua tersebut. Tak ada yang hancur karena ledakan sinar ungu itu. Tapi akibat dari ledakan tersebut, delapan pohon tumbang dalam keadaan rusak berat, belum yang mengalami patah dahan di sana-sini. Tanah tempat mereka berpijak bagaikan ditungging balikkan. Ketiganya sama-sama terpelanting jatuh tak tentu arah. Sama-sama mengalami sesak napas beberapa saat karena gelombang ledakan tadi bagaikan seekor banteng yang menerjang dada masing-masing.

Suto sendiri merasakan nyeri di ulu hatinya, seperti ditusuk-tusuk oleh paku sebesar kelingking, ia buru-buru meneguk tuaknya, glek, glek, glek. Kakek berjubah putih itu sempat terpuruk di bawah kerimbunan semak ilalang. Tapi agaknya ia mampu kendalikan diri, dalam waktu singkat sudah bisa berdiri walaupun wajahnya tampak pucat, bibirnya membiru pertanda mengalami luka dalam yang lumayan parah. Berulang kali ia tarik napas untuk mengatasi luka di dalam tubuhnya.

Sedangkan Nini Pancungsari dalam keadaan berdarah. Lubang hidung dan mulutnya sempat lelehkan darah segar. Wajahnya lebih pucat dari sang kakek. Dadanya kepulkan asap tipis, ia lebih parah dari sang kakek. Karenanya, ketika ia sudah mampu berdiri, ia segera berkata dengan nada geram dan bergetar sambil matanya tertuju pada sang kakek dan Suto Sinting secara bergantian.

"Baik. Sekarang kalian unggul! Tapi ingat, akan kubalas kalian lebih kejam lagi. Dan kau, Manusia Bodoh! Sampai kapan pun masih tetap akan kutuntut nyawamu!"

Wuuut...!

Nini Pancungsari segera berkelebat pergi. Suto Sinting bergegas mengejar, tapi sang kakek segera berseru, "Tahan...!"

Pendekar Mabuk hentikan langkah, berpaling memandang sang kakak yang sedang melangkah dekati dirinya. Suaranya terdengar sedikit serak, mungkin karena menahan luka di dalam dadanya.

"Jangan mengejar orang yang telah mengaku kalah dan menyerah."

"Maaf, aku gemas sekali dengannya."

"Apakah kau punya urusan dengan Nini Pancungsari?"

"Tidak, Kek. Tapi... entah mengapa aku gemas sekali dengannya, ia tadi nyaris membunuhmu."

"Mengapa kau membelaku, Anak Muda?"

"Aku mengagumi ilmu kesaktianmu yang tenang sekali itu, Kek," jawab Suto jujur, tak ada kesan memuji atau menyindir, tapi lebih berkesan polos.

"Siapa namamu?" tanya kakek itu setelah tarik napas dengan berat

"Namaku Suto. Banyak yang memanggilku Suto Sinting."

"Hmmm...," kakek itu manggut-manggut dengan mata menatap tajam namun tak menakutkan. Bersifat tegas dan bersahabat. "Kalau tak salah dugaanku, kau adalah murid Ki Sabawana yang berjuluk si Gila Tuak itu!"

Suto Sinting berkerut dahi. "Benar, Kek. Apakah kau kenal dengan beliau?"

"Ya. Kenal."

"Apakah...," Suto tak lanjutkan kata, karana saat itu sang kakek terbatuk-batuk, lalu keluarkan darah dari mulutnya. "Kek...?! Kau terluka dalam dan agaknya cukup parah. Minumlah tuakku ini seteguk atau dua teguk."

Kakek itu terengah-engah, badannya jadi lemas, ia berpegangan pada batang pohon. Suto Sinting segera menolong, menopang tangannya, lalu dengan pelan-pelan membawanya ke tempat teduh dan mendudukkannya di situ.

"Ledakan tadi menyebarkan racun, karena pukulanku dan pukulan Pancungsari sama-sama beracun tinggi. Dalam waktu kurang dari setengah hari tempat ini akan menjadi gersang, tanaman mati dan rumput tak bisa tumbuh lagi," katanya sambil berusaha kendalikan napasnya yang berat dihela.

Untung Suto Sinting segera memberikan tuaknya, sehingga luka dalam yang berbahaya itu sangat menolong jiwa sang kakek. Beberapa saat setelah meneguk tuak dari bumbung itu, napas sang kakek mulai terasa ringan. Tidak seberat tadi. Rasa nyeri di dada sampai ke perut pun terasa berangsur-angsur reda. Tubuh sang kakek lebih enak dari sebelum meneguk tuak Suto.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Suto Sinting," ucapnya setelah ia berdiri lagi, mencoba menggerak-gerakkan tangan, kaki, dan badannya yang ternyata terasa lebih enak dari sebelumitu. "Tuakmu ini sangat mujarab dan kukatakan sebagai tuak sakti. Aku yakin racun di dalam tubuhku akan menjadi tawar setelah minum tuakmu."

Suto Sinting hanya tersenyum sedikit malu mendengar pujian itu. Ia berkata dengan pandangan mata ke arah bumbung tuaknya. "Tuak ini kubeli dari desa Pucangan. Kurasa tuak biasa-biasa saja, Kek."

"Memang. Tapi bumbungnya jelas bukan dari sembarang bambu."

"Guruku yang memberikan bumbung ini."

Kakek itu berkerut dahi. "Kalau begitu... kalau tak salah ingatanku...," ia seperti ragu-ragu mengatakannya. "Bumbung tuak ini pasti dari bambu ajaib."

"Mungkin begitu," jawab Suto merendahkan diri.

"Bukan mungkin saja, tapi pasti!" kata kakek itu. "Jika memang ini bambu pemberian gurumu, berarti bambu ini jenis bambu besi yang diperoleh Gila Tuak di dasar Gunung Karak Kato."

Suto kaget, "Dari mana kau mengetahuinya, Kek?"

"Semasa muda Sabawana, gurumu, adalah sahabat dekatku. Memang dia lebih tua dariku, tapi dia dan aku bersahabat seperti orang berusia sebaya. Sabawana pernah cerita padaku, ia memperoleh bambu tempat tuaknya dari dasar Gunung Karak Kato yang disebut Penjara Bumi. Bambu itu jelmaan dari eyang gurunya yang bernama Wijayasura."

Blegaaarrr!

Terdengar suara petir menggelegar di angkasa tanpa mendung tanpa hujan. Bahkan langit terang tiba-tiba menjadi redup, kemudian mendung hitam datang bersama badai di langit. Mendung hitam bergulung-gulung membuat bumi makin temaram. Sinar matahari tak mampu menembus kepekatan warna hitam sang mendung. Angin bumi pun bertiup kencang. Jubah dan rambut sang kakek berkelebat, demikian pula rambut Pendekar Mabuk yang meriap-riap dihempas angin kencang.

Kakek itu tertegun sebentar, wajahnya berubah menjadi penuh sesal, seperti punya perasaan bersalah. Suto Sinting sudah tak heran lagi dengan keadaan alam yang tiba-tiba menjadi seperti mau kiamat itu, karena memang begitulah keadaan yang terjadi jika seseorang menyebutkan nama Wijayasura, eyang gurunya Gila Tuak, yang sebenarnya menjelma menjadi bumbung tuaknya Suto itu.

"Maaf, aku telah menyebutkan namanya. Aku tak berani bicara tentang beliau lagi," kata kakek itu. "Yang jelas, aku tahu betul silsilah guru-gurumu sampai kepadamu, tapi aku tak berani beberkan. Takut alam menjadi murka." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Guntur Biru).

Dalam hati Suto merasa beruntung bisa bertemu kakek itu. "Ilmunya pasti sedikit lebih rendah dari guruku. Aku bisa minta bantuan padanya untuk mengalahkan Bandar Hantu Malam. Kurasa dia pasti mau membantuku, aku yakin dia orang sakti beraliran putih."

"Apa yang kau renungkan, Nak?" tanya kakek itu.

Suto menggeragap malu, lalu menjawab, "Aku sedang memikirkan persoalan yang kau hadapi bersama Nini Pancungsari itu, Kek. Aku tak habis pikir, mengapa Nini Pancungsari selalu menyebutkan manusia bodoh dan berkamauan keras untuk membunuhmu?"

"Itu persoalan lama. Aku pernah mengalahkan suaminya, dan ia menyimpan dendam serta ingin menebus kematian suaminya dengan nyawaku. Lupakan tentang itu. Sekarang kalau boleh kutahu, ada urusan apa kau datang ke lereng gunung ini? Apakah hanya kebetulan lewat saja atau memang punya tujuan lain?"

"Aku ingin mencari Bandar Hantu Malam, Kek!"

Kakek beralis tebal dan putih itu berkerut dahi dengan tajam, ia menggumam, "Bandar Hantu Malam...?!"

"Benar. Apakah kau mengenalnya?"

Kakek itu manggut-manggut seperti ragu menjawab. "Hmmm... yah, aku mengenalnya. Tapi untuk apa kau mencari Bandar Hantu Malam? Apakah kau punya urusan dengan Bandar Hantu Malam?"

"Benar!"

"Kau sudah pernah bertemu dengan Bandar Hantu Malam?"

"Belum. Justru itu aku ingin minta tolong padamu untuk mempertemukan aku dengan Bandar Hantu Malam jika kau tahu di mana pondoknya berada. Yang kudengar, ia tinggal di puncak gunung ini, tapi di sebelah mana aku kurang tahu secara pasti. Apakah kau bersedia menolongku mempertemukan dengan Bandar Hantu Malam?"

"Sangat bersedia, karena kebetulan kau sudah berhadapan dengan Bandar Hantu Malam," jawab kakek itu membuat Suto menjadi heran, sangsi, dan bingung.

"Maksudmu bagaimana. Kak?"

"Akulah yang bernama Bandar Hantu Malam!"

Deeg...! Jantung Suto bagaikan tersentak kuat dan berhenti sekejap. Dipandanginya wajah tua kakek yang membuat hatinya terkagum-kagum itu. Ia berharap salah dengar, ia bagai tak mau percaya bahwa yang dihadapinya itu adalah orang yang dicari-cari, yaitu Bandar Hantu Malam.

* * *

ENAM
PENDEKAR Mabuk dibawa oleh kakek yang mengaku bernama Bandar Hantu Malam itu ke pondoknya. Letak pondok itu hampir mendekati puncak gunung. Suasana di sekitarnya berkabut dan berhawa dingin. Pondok itu dibangun dari belahan kayu-kayu pohon yang sangat sederhana tapi tampak kokoh. Rupanya di situ sang kakek hidup seorang diri, konon ia mengasingkan diri dari keramaian kehidupan di muka bumi.

"Julukan itu sudah lama melekat dalam kehidupanku," kata sang kakek. "Namaku sebenarnya adalah Randu Papak. Ada yang memanggilku dengan sebutan Ki Randu Papak. Namun sejak hidupku sesat, aku mendapat julukan dari para tokoh rimba persilatan dengan nama Bandar Hantu Malam. Waktu itu, aku memang seperti hantu yang bergentayangan menyebarkan maut di malam hari. Pengaruh ilmu-ilmu dari guruku; Ki Warok Guci Wangsit, membuat hidupku menjadi sesat dan berpisah dengan gurumu; si Gila Tuak. Aku pun sempat dibenci oleh Gila Tuak. Namun sejak aku menikah dengan istriku tercinta, aku bisa merubah sikap dan menyadari kesesatanku. Lalu, aku berhenti menjadi manusia sesat demi istriku tercinta. Sayang sekali dia lebih dulu pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Sekalipun begitu, aku tetap menjaga sikapku untuk tetap menjadi orang baik, supaya roh istriku tidak menangis di alam sana," tutur Ki Randu Papak dengan wajah murung dicekam duka karena terkenang istrinya.

Suto Sinting memperhatikan tak berkedip. Pikirannya sempat dibuat kacau oleh pendapat dan kesimpulannya sendiri. Tapi untuk sementara waktu ia sengaja tidak banyak bicara, karena ia ingin dengar semua pengakuan Ki Randu Papak.

"Sekalipun aku sudah menjadi orang baik, tapi julukan itu sepertinya masih melekat pada diriku, sehingga sampai sekarang masih banyak yang memanggilku dengan julukan Bandar Hantu Malam. Padahal aku lebih suka jika dipanggil dengan nama Ki Randu Papak saja. Di sini aku mengasingkan diri, sekadar untuk membuat mereka lupa dengan nama Bandar Hantu Malam. Ternyata cara itu belum bisa dikatakan berhasil, buktinya kau datang kemari dan mencariku dengan nama Bandar Hantu Malam. Mau tak mau aku harus mau menyandang julukan yang sudah tak kusukai itu. Aku sengaja mengasingkan diri di sini untuk menebus tingkah lakuku masa lalu dan menjauhi pertikaian dengan siapa pun. Tapi nyatanya masih ada yang mengusikku, seperti halnya Nini Pancungsari dan yang lainnya."

"Aku pernah melihatmu bertarung di seberang Puncak Karang, Ki."

"Ya. Beberapa waktu yang lalu aku memang terlibat pertikaian dengan seseorang di sana. Aku mencoba untuk tidak melawan, tapi aku hampir saja mati konyol, sehingga mau tak mau memberikan balasan sekadar mengusirnya."

Suto Sinting tarik napas dalam-dalam. Tak tega untuk utarakan maksud sebenarnya. Tapi Ki Randu Papak memaksanya bicara dengan ajukan pertanyaan, "Apa perlumu mencari dan menemuiku, Suto?"

Dengan gelisah dan susah payah akhirnya Suto menjawab, "Aku diutus oleh Ratu Asmaradani untuk..."

"Siapa itu Ratu Asmaradani?" potong Ki Randu Papak dengan dahi berkerut dan wajah penuh keheranan.

"Ratu yang menguasai negeri Ringgit Kencana didasar laut. Apakah kau tidak pernah jumpa dengannya?" pancing Suto.

"Mendengar namanya saja baru sekarang," jawab Ki Randu Papak. "Apa tugas yang kau emban dari ratu itu?"

Kembali Pendekar Mabuk dibuat bingung oleh jawaban yang harus diberikan kepada Ki Randu Papak. Hatinya segera membatin, "Jangan-jangan Asmaradani salah menyebutkan namanya? Bandar Hantu Malam tak punya tanda-tanda melakukan perbuatan sejahat itu. Tutur katanya yang berwibawa dan berkesan ramah, sikapnya yang tenang dan penuh kharisma, membuatku tak yakin dengan penjelasan Ratu Asmaradani. Apa benar orang sebijak ini memaksa Ratu Asmaradani untuk menjadi istrinya dengan cara melukai sang Ratu sekejam itu? Ah, batinku menjadi bimbang sekali. Tak tega untuk menjelaskan kepada Ki Randu Papak."

Karena jawaban Suto yang ditunggu-tunggu tak datang jua, maka Ki Randu Papak pun kembali perdengarkan suaranya. "Aku melihat kebimbangan di matamu, Suto. Ada baiknya jika kau katakan saja terus terang padaku, apa yang menjadi tugasmu sebagai utusan Ratu Asmaradani itu? Setidaknya aku akan mempertimbangkan segala sesuatunya, karena kau adalah murid sahabatku, aku punya kewajiban membantumu. Apalagi kau tadi kuanggap telah selamatkan jiwaku dengan tuakmu itu, jadi aku juga harus balas kebaikanmu itu dengan kebaikan pula. Katakanlah, Suto, jangan ragu!"

Tapi Pendekar Mabuk tetap tak tega mengatakan yang sebenarnya, ia hanya bisa memancing dengan pertanyaan-pertanyaan yang nanti akan bisa disimpulkan sendiri oleh kecerdasannya. "Apakah... apakah Ki Randu Papak mempunyai jurus 'Racun Siluman'?"

Pertanyaan itu membuat Bandar Hantu Malam tarik kepala sedikit ke belakang, ia terperanjat dan tak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Karenanya, ia diam untuk sesaat, setelah itu baru menjawab dengan suara pelan. "Ya, memang aku mempunyai jurus 'Racun Siluman' warisan dari guruku: Ki Warok Guci Wangsit. Tapi jurus itu tidak pernah kugunakan sejak aku meninggalkan kehidupan sesatku. Jurus itu juga tak bisa kuberikan kepada siapa pun, Suto. Sebab aku takut orang itu akan menggunakan jurus 'Racun Siluman' untuk perbuatan-perbuatan yang tercela."

Pendekar Mabuk membatin, "Dari kesimpulan jawaban yang ini saja sudah bisa diketahui, bahwa Ki Randu Papak tak ingin lakukan kejahatan dengan menggunakan jurus itu. Tapi mengapa Ratu Asmaradani mengatakan, bahwa orang yang mencelakainya dengan 'Racun Siluman' itu adalah Bandar Hantu Malam?"

Diamnya Pendekar Mabuk membuat Ki Randu Papak punya dugaan lain, sehingga akhirnya ia bertanya, "Apakah kau ingin memiliki jurus itu?"

Suto malahan punya gagasan untuk alihkan pembicaraan agar tak ketahuan menaruh kecurigaan kepada sang tokoh sakti itu. "Seandainya aku ingin memiliki jurus itu, bagaimana?"

"Perlu kutanyakan dulu untuk apa?"

"Hmmm...," Suto berpikir sejenak. "Untuk... untuk melawan seorang tokoh sesat," jawabnya hanya sekadar mencari alasan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh hatinya. Tapi alasan itu ditanggapi oleh Bandar Hantu Malam dengan kata-kata yang cukup jelas dan tenang.

"Tokoh sesat yang mana maksudmu? Setahuku, di dunia ini banyak tokoh sesat. Tapi aku yakin ilmu kesaktianmu cukup mampu kalahkan mereka. Tak perlu gunakan jurus 'Racun Siluman'. Apakah kau punya lawan yang tak bisa kau kalahkan?"

Tiba-tiba otak Suto segera teringat dengan lawan yang sampai sekarang masih dalam pengejarannya. Maka Suto pun menjawab dengan tegas, "Ya. Ada lawan yang belum bisa kukalahkan karena licin seperti belut, dan dia sangat tinggi ilmunya. Tokoh sesat itu adalah Siluman Tujuh Nyawa!"

"Durmala Sanca, maksudmu?"

"Ki Randu Papak tahu nama asli tokoh itu rupanya?"

Bandar Hantu Malam manggut-manggut. "Sudah kukatakan, aku tahu silsilah guru-gurumu, sampai pada anak-anak Purbapati dan Nini Galih, guru dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu. Purbapati dan Nini Galih mempunyai tujuh anak, tapi yang hidup hanya tiga orang, yaitu Durmagati, Begawan Sangga Mega, dan Raja Nujum. Durmagati mempunyai anak Wicara Sanca dan Durmala Sanca. Tetapi Durmala Sanca menjadi manusia sesat, dan berjuluk Siluman Tujuh Nyawa, ia membunuh kakaknya sendiri, juga ayah ibunya dibunuhnya pula. Durmala Sanca terkena kutuk dari kakeknya menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun, karena ia memperkosa neneknya sendiri. Sekarang usia Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa baru mencapai dua ratus lima belas tahun, jadi ia masih punya waktu menjadi orang sesat selama delapan puluh lima tahun lagi."

Suto manggut-manggut, membenarkan cerita itu, karena ia pernah mendengar cerita tersebut dari mulut Hantu Laut yang tak sadar akan segala apa yang diucapkannya itu, (Baca serial pendekar Mabuk dalam episode Cermin Pemburu Nyawa).

"Kalau kau ingin kalahkan Siluman Tujuh Nyawa," kata Ki Randu Papak alias Bandar Hantu Malam, "Kau harus gunakan sebuah senjata khusus yang bernama Pedang Kayu Petir."

"Pedang Kayu Petir?" ucap Suto mengingat-ingat nama pusaka itu.

"Pemilik pusaka Pedang Kayu Petir adalah Resi Wulung Gading, anak dari adiknya Nini Galuh, istri Purbapati yang diperkosa oleh Durmala Sanca itu!"

Suto Sinting kian tertegun bengong. Tapi semua kata-kata Bandar Hantu Malam itu dicatat dalam otaknya dan diresapinya. Bahkan Bandar Hantu Malam tambahkan kata,

"Jika kau ingin dapatkan Pedang Kayu Petir, kau harus temui Resi Wulung Gading dan meminjamnya. Karena pedang itu mungkin tak akan diberikan atau diturunkan oleh siapa pun. Resi Wulung Gading tinggal di Lembah Sunyi, sebelah selatan gunung ini arahnya. Kusarankan pergilah ke sana dan temui Resi Wulung Gading lebih dulu sebelum kau hadapi Siluman Tujuh Nyawa."

Kejadian ini sungguh aneh bagi Suto Sinting. Orang yang dicari dan dianggap sebagai lawannya, sekarang justru memberikan jalan keluar untuk melawan musuh utamanya. Semestinya Pendekar Mabuk memaksa Bandar Hantu Malam untuk mengobati Ratu Asmaradani, jika tidak mau maka Suto Sinting harus mengalahkannya dalam pertarungan. Tetapi kenyataan itu ternyata sangat berat dilakukan oleh Suto Sinting, ia merasa seperti diharuskan melawan orang baik dan bijak. Kalau dia bukan seorang pendekar, maka hal itu sangat mudah dilakukan. Tapi jiwa pendekar yang ada di dalam darah Suto itu membuat ia tak mampu bertarung dan membunuh orang bijak seperti Ki Randu Papak.

"Kejahatan memang harus dibantai dan dihilangkan, tapi pelaku kejahatan tidak harus dibumi-hanguskan. Karena seseorang yang berbuat jahat, berjalan di jalur yang sesat, suatu saat akan kembali sebagai manusia sejati manakala kesadaran hati nuraninya telah timbul kembali. Jadi kalau kau mau bertarung melawan siapa saja, kalahkanlah kejahatannya tanpa harus mematikan pelakunya."

Petuah Bandar Hantu Malam itulah yang membuat Suto Sinting menilainya sebagai orang bijak. Bahkan ketika Suto memancingnya dengan pertanyaan, "Apakah Ki Randu Papak tidak ingin menikah lagi?"

Tokoh tua itu menjawab, "Usiaku tinggal beberapa saat lagi. Kalau aku menikah lagi dan mempunyai istri, maka pada saat kutemui ajalku aku sama saja mengecewakan istriku. Jadi menurutku lebih baik bersuci diri agar punya persiapan menyambut datangnya kematian nanti."

"Tapi perkawinan dan kemesraan itu dibutuhkan setiap orang sampai saat ia menjelang dimakamkan, Ki."

"Orang yang memburu perkawinan menjelang saat dimakamkan adalah orang yang tidak sadar telah melukai hati pasangannya," jawab Bandar Hantu Malam.

"Bukankah kematian itu sudah merupakan suatu kepastian dalam perjalanan hidup kita. Seandainya toh kematian itu tiba pada saat kita baru menikah dua purnama, itu toh bukan kesalahan kita, Ki?"

"Itu kesalahan kita, sebab kita tidak punya perhitungan ke masa depan, yaitu masa-masa setelah kita mati dan meninggalkan istri."

Suto Sinting mencoba lagi memancingnya dengan pertanyaan, "Kurasa orang setua Ki Randu Papak masih bisa mencari wanita cantik dan muda."

"Hanya perempuan bodoh yang mau menikah dengan lelaki setua diriku dan semiskin aku ini."

"Bisa saja terjadi, kalau wanita itu terancam keselamatannya, mau tak mau dia menerima lamaran si lelaki."

"Cinta yang hadir karena ancaman tidak pernah punya nilai kehidupan dan kebahagiaan yang hakiki. Sama saja kita memuaskan diri dengan diri sendiri. Cinta yang timbul karena ancaman hanya akan menghadirkan sejuta kecemasan dan kecurigaan. Pada akhirnya yang diperoleh hanyalah kesia-siaan."

Lewat percakapan itulah Suto Sinting akhirnya mempunyai kecurigaan terhadap Ratu Asmaradani. Dalam hatinya Suto Sinting berkata, "Jangan-jangan Ratu Asmaradani memfitnah Bandar Hantu Malam karena suatu alasan yang tak kuketahui? Jangan-jangan Ratu Asmaradani punya dendam kepada Bandar Hantu Malam, tapi tak bisa mengalahkannya, sehingga ia menggunakan tanganku untuk membalaskan dendamnya itu? Sebab menurut hasil percakapanku tadi, Bandar Hantu Malam bukan laki-laki yang gila wanita, ia tak ingin melukai hati wanita, bahkan perkawinan di ambang kematian dianggapnya suatu perbuatan keji, yaitu mengecewakan dan melukai hati sang istri. Bandar Hantu Malam juga menganggap cinta yang hadir karena ancaman hanya akan menghadirkan penderitaan batin yang terselubung senyum bagi keduanya. Jadi menurutku, Bandar Hantu Malam sebenarnya tidak melakukan apa-apa kepada Ratu Asmaradani. Dia bukan orang jahat dan kejam seperti yang diceritakan Ratu negeri Ringgit Kencana itu. Aku tak bisa melukai orang seperti dia."

Melihat kenyataan seperti itu, Suto Sinting merasa perlu menemui Ratu Asmaradani dan mengungkapkan isi hatinya. Tapi terlebih dulu ia ingin sempatkan singgah ke Lembah Sunyi untuk temui Resi Wulung Gading, ia ingin perkenalkan diri kepada tokoh sakti yang termasuk keponakan Eyang Nini Galih, yaitu guru dari Bidadari Jalang.

Menurut penjelasan Bandar Hantu Malam, padepokan Resi Wulung Gading terletak di seberang sungai berair kuning, alias sungai belerang. Sungai air kuning itu kini telah ditemukan Pendekar Mabuk, tinggal mencari jembatan untuk menyeberangi sungai tersebut dan mencari padepokan itu. Karena jembatan penyeberangan itu tidak ditemukan oleh Pendekar Mabuk, maka ia terpaksa memetik beberapa daun yang lebarnya seukuran telapak tangan. Dengan melemparkan daun-daun itu ke permukaan sungai, Suto melompat dari daun ke daun menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Sambil berpijak pada daun yang satu, daun yang lain dilemparkan ke depan dan menjadi pijakan berikutnya. Cara itulah yang membuat Pendekar Mabuk tiba di seberang sungai.

"Ilmunya cukup tinggi? Siapa dia?" gumam hati seseorang yang berada di balik kerimbunan pohon bambu. Rupanya kehadiran Suto ke tanah Lembah Sunyi sudah diperhatikan oleh seseorang sejak tadi. Orang tersebut juga melihat kehebatan Suto menyeberang sungai tanpa gunakan jembatan, dan hanya melompati daun-daun selebar telapak tangan. Orang yang bersembunyi itu menjadi kagum dan panasaran, lalu mengikuti langkah Suto secara diam-diam.

Tetapi Pendekar Mabuk bukan orang bodoh, ia mampu dengarkan suara detak jantung seseorang yang ada dalam jarak dua puluh langkah lebih dalam kitaran sekelilingnya. Suara jantung itu berdetak-detak cepat bagaikan orang dalam ketegangan. Jika detak jantung itu cepat, maka Suto dapat menyimpulkan orang yang menguntitnya pasti punya maksud tak baik. Maksud tak baik itulah yang menegangkan jiwanya dan memacu jantung menjadi deg-degan. Karena itu, Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah dan berpura-pura menenggak tuak dalam bumbung bambunya. Tapi pada saat itu sebenarnya mata Suto melirik ke arah datangnya suara detak jantung.

"Hmmm... dia ada di balik pohon berakar gantung itu," pikir Suto dengan sikap masih tenang, seakan-akan tak merasa curiga apa-apa. "Kulihat di sana ada potongan pohon kering yang akarnya masih terpendam. Aku harus manfaatkan batang pohon kering itu agar orang tersebut terkecoh oleh tingkahnya sendiri."

Pendekar Mabuk tetap melangkah dengan kalem, tapi arahnya membelok ke kumpulan bambu Wulung lainnya. Di situ memang banyak tanaman bambu Wulung yang menggerombol di sana-sini, hidup dengan liar tanpa ada yang merawat.

Slaap...!

Suto Sinting segera berlindung di balik kerimbunan pohon bambu itu. Orang yang mengikutinya sempat dibuat bingung sesaat. Matanya mencari-cari Suto dengan rasa penasaran. Tapi kejap berikutnya ia menjadi lega karena orang yang diikutinya kembali terlihat oleh pandangan mata. Orang tersebut melihat Suto sedang duduk merenungkan sesuatu di seberang serumpun bambu. Orang itu menunggu tindakan Suto selanjutnya, ia memperhatikan terus ke arah Suto dengan hati bertanya-tanya karena tak mengenai siapa orang yang diikutinya itu.

"Jangan-jangan ia sedang memikirkan sesuatu yang dapat membuat suasana lebih kacau lagi? Kurasa... kurasa dia mata-mata yang bingung mencari jalan untuk menyusup," pikir orang itu. "Sebaiknya kuserang dulu orang itu, supaya ia panik dan akhirnya mengaku apa yang sedang dilakukannya dan siapa dirinya. Aku tak mau kalah gerak dengannya."

Orang berpakaian hitam dengan rambut ikal sebatas tengkuk dan berusia sekitar tiga puluh tahun itu segera mencabut senjatanya. Sebuah golok bergagang hitam telah tergenggam di tangannya sebagai persiapan datangnya bahaya pada saat lakukan gertakan nanti. Tetapi orang kurus itu tiba-tiba terkajut setelah rasakan ada seseorang yang mencoleknya dari belakang. Mulanya ia menyangka yang mencolek itu teman sendiri, sehingga tanpa berpaling ia segera berkata lirih,

"Diam dulu! Aku sedang perhatikan orang itu. Kurasa dia mata-mata! Sergap saja dia dan paksa supaya mengaku. Setuju?"

Orang yang mencoleknya itu menjawab, "Tidak."

Jawaban tersebut membuatnya merasa aneh dan akhirnya berpaling ke belakang. Maka seketika itulah orang berpakaian hitam itu mendelik dan menjadi gagap karena orang yang mencoleknya ternyata orang yang sedang diintainya. Suto Sinting sudah berdiri di belakang orang itu dengan senyum ramah dan sikap tenangnya. Orang itu tidak tahu kalau Suto Sinting telah pergunakan sebuah ilmu kesaktiannya yang bernama ilmu 'Seberang Raga', yaitu sebuah ilmu yang mampu membuat benda atau makhluk apa pun bisa menyerupai dirinya, ilmu itu sering digunakan untuk menipu lawannya apabila Suto merasa tidak ingin melayani orang tersebut.

Tetapi kali ini Suto pergunakan ilmu itu untuk mengecoh penguntitnya, sekaligus suatu pernyataan bahwa orang itu tak perlu menguntitnya, karena ia bisa saja berbuat tak baik jika ia inginkan. Dengan mencolek orang tersebut Suto berharap bahwa orang itu menyadari kekalahannya, dan mengakui keunggulan Suto yang mampu mengecoh dirinya.

"Kampret! Orang ini sudah berada di belakangku?" pikir si baju hitam. "Kalau dia tadi tahu-tahu menyerangku, aku bisa mati sejak tadi. Tapi agaknya ia tak mau lakukan hal itu? Lantas...? Lantas siapa yang ada di seberang sana tadi?"

Orang itu berpaling memandang ke arah Suto yang tadi dilihatnya duduk merenung, ia terkejut, karena ternyata apa yang dilihatnya sebagai Suto adalah sebatang kayu pohon kering yang tumbang dan tersisa sebatas perut. Orang tersebut menjadi gemataran kaki dan tangannya. Wajahnya pucat, napasnya tampak lebih cepat dari biasanya.

"Mana mata-mata yang kau maksud tadi?" goda Suto Sinting.

"Hmmm... eh... anu... eh, ini!" jawabnya sambil memegang kedua matanya sendiri. Orang itu takut, malu, dan terheran-heran, sehingga tak mampu menjaga ketenangan batinnya.

"Mengapa kau mengikutiku?"

"Hmm... anu... hanya... hanya sekadar... hanya kebetulan saja."

"Tapi kudengar kau tadi menyangkaku sebagai mata- mata? Mata-mata dari mana maksudmu?"

"Dar... dari... yah, dari mana sajalah," jawabnya salah tingkah.

Suto lebarkan senyum geii. Matanya melirik ke golok yang digenggam orang itu. Suto pun bertanya, "Untuk apa golok itu?"

"Untuk... hmmm... yah... anu... untuk tebang-tebang bambu," jawabnya, lalu ia menebang bambu yang ada di dekatnya. Tapi hanya anak bambu yang ditebanginya sebagai tindakan salah tingkah pada diri sendiri.

Suto Sinting akhirnya tertawa geli walau tanpa suara. "Siapa namamu, Sobat?" tanya Suto mengakrabkan diri.

"Dul," jawabnya singkat tanpa berani memandang. "Dul siapa?"

"Dul ya Dul," jawabnya makin merasa terpojok, ia berhenti menebangi anak bambu dan memasukkan goloknya. Lalu tanpa memandang lagi ia pergi meninggalkan Suto Sinting, ia merasa lebih baik segera tinggalkan tempat itu karena merasa cemas kalau-kalau orang yang tadi dikuntitnya tiba-tiba menyerang ganas. Dalam hatinya mengakui bahwa orang yang dikuntitnya itu ilmunya sangat tinggi, tidak sebanding dengan ilmunya sendiri.

Mulanya Dul melangkah pelan-pelan, berlagak santai. Makin lama melirik ke belakang, melihat Suto masih di tempat memandanginya. Langkahnya sedikit cepat, tapi masih dibuat sesantai mungkin. Lama-lama, wuuut..! ia melarikan diri secepat-cepatnya dan ingin memberitahukan kehadiran Suto kepada seorang teman.

Zlaaap...!

Suto pun cepat tinggalkan tempat, bergerak bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Dalam waktu singkat ia sudah bisa tiba di jalanan yang sedang dituju oleh Dul tadi. Sedangkan Dul berlari sambil sesekali memandang ke belakang, merasa aman dan lega karena ia tidak dikejar oleh orang yang dianggapnya mata-mata itu. Hanya saja, ketika ia kembali memandang ke depan, ia menjadi sangat terkejut karena Suto Sinting ternyata sudah berdiri di tengah jalan dalam jarak kurang dari lima langkah.

"Hahhh...?!" ia terpekik lirih tanpa sengaja. Hatinya membatin, "Orang itu tahu-tahu sudah ada di depanku? Kurang ajar! Gerakannya sangat cepat. Jangan-jangan dia bukan manusia?"

"Kau tak perlu melarikan diri, Sobat. Aku bukan orang jahat seperti dugaanmu. Aku datang kemari untuk mencari padepokannya Resi Wulung Gading."

Dul tampak terperanjat dan lebih tegang lagi. "Sssi... siapa kau?"

"Namaku Suto Sinting. Kau boleh memanggilku Suto saja." Wajah dan senyum Pendekar Mabuk dipamerkan seramah mungkin agar Dul tidak merasa takut.

"Untuk apa kau mencari padepokan kami?" tanya Dul.

Suto sedikit berkerut dahi, lalu segera bertanya, "Apakah kau orangnya Resi Wulung Gading?"

"Hmmm... eeh... iya... eh, tidak! Eh... anu... iya...!" Agaknya Dul serba salah dalam menjawab pertanyaan itu.

Ada kecemasan lain yang ditemukan Suto di balik pancaran mata orang kurus itu. Ada niat berlindung demi keselamatan dari jawaban tersebut. Suto Sinting menjadi curiga dan bertanya dengan mendekati si Dul, sedangkan si Dul mundur dua langkah penuh kecemasan.

"Mengapa kau kelihatannya tegang sekali? Kau takut mengakui sebagai orangnya Resi Wulung Gading. Ada apa sebenarnya, Dul?"

"Hmm... eh... tidak ada apa-apa," jawab Dul masih serba bingung.

"Katakan saja terus terang. Sekali lagi kukatakan padamu, aku bukan orang jahat. Aku datang ingin bertamu kepada Resi Wulung Gading secara baik-baik. Justru kalau kau punya kesulitan aku siap membantumu, Dul. Karena ketahuilah, bahwa Resi Wulung Gading adalah keponakan dari Eyang Guruku, yaitu Eyang Nini Galih. Tentunya kau pernah mendengar nama Eyang Nini Galih, bukan?"

Napas si Dul terhempas panjang menandakan rasa lega. Wajahnya tidak setegang tadi. Berangsur-angsur ia menjadi tenang, karena Suto menyebut-nyebut nama Eyang Nini Galih yang dikenal oleh Dul melalui cerita Resi Wulung Gading, ia mulai percaya bahwa Suto bukan orang jahat.

"Maaf, aku terpaksa curiga padamu dan merasa takut. Karena kami baru saja mengalami musibah."

"Musibah bagaimana, maksudmu?"

Dul diam sebentar, wajahnya mulai kelihatan sedih. Akhirnya ia berkata sambil melangkah, "Ikutlah aku ke padepokan."

Suto akhirnya mengikuti Dul dari belakang. Agaknya Dul tak mau diajak bicara, karena ia berjalan dengan cepat menuju padepokan dengan rona wajah dukanya. Suto Sinting hanya bertanya-tanya dalam hati tanpa mau mencoba menanyakan beberapa hal kepada Dul, sebab tadi dua kali Suto bertanya tentang sesuatu, tapi Dul diam saja dan tetap melangkah.

Bau busuk sudah sejak tadi menyebar dan tercium oleh Suto Sinting. Makin mendekati padepokan semakin tajam baunya. Hati Pendekar Mabuk sudah menaruh curiga sejak awal terciumnya bau busuk. Kecurigaannya itu ternyata benar, bahwa di padepokan terdapat mayat dalam jumlah banyak yang belum sempat dikubur. Ada yang di luar gerbang padepokan, ada di depan pintu gerbang, dan semakin masuk ke dalam halaman padepokan semakin banyak mayat yang dilihat Suto Sinting.

Seorang lelaki seusia Dul datang dari samping gerbang. Orang itu berlumur tanah liat dan napasnya terengah-engah. Matanya memandang curiga pada Suto. "Kita kedatangan tamu, Sukat. Tapi tamu kita ini orang baik-baik," kata Dul kepada temannya yang agaknya habis melakukan kerja keras itu.

Sukat terpaksa anggukkan kepala dan tersenyum ramah namun kaku. Suto membalas dengan kaku pula, sebab hatinya masih bertanya-tanya melihat keadaan di padepokan itu amat berantakan. Tembok-tembok jebol, pagar ambrol, tiang dan pohon tumbang. Keadaan padepokan seperti habis mengalami kiamat. Mayat bergelimpangan di sana-sini, membusuk dan menjijikkan.

"Beginilah keadaan padepokan kami," kata Dul dengan nada sedih.

"Siapa yang membantai mereka itu? Siapa yang mengobrak-abrik tempat ini?"

"Entahlah," jawab Dul. "Tadi pagi kami tiba dari bepergian kami yang diutus Guru Resi Wulung Gading ke pesisir kidul untuk temui seseorang di sana. Kami pergi selama lima hari. Ketika kami tiba di sini keadaan sudah seperti ini. Teman kami mati semua. Sampai sekarang kami belum selesai menguburkan mereka. Kami capek dan terlalu sedih melihat kenyataan ini."

Sukat menimpali kata, "Waktu kami tiba, masih ada yang bertahan hidup dalam luka parah. Dia sempat memberi tahu bahwa musibah ini terjadi dua hari yang lalu. Seseorang telah datang dan mengamuk ganas di sini."

"Mana temanmu yang terluka parah itu? Aku ingin menanyainya."

"Tidak bisa," jawab Sukat dengan sedih.

"Hanya menanyakan sesuatu saja."

"Tetap tidak bisa."

"Kenapa?"

"Karena dia sudah pergi, nyawanya terbang sebelum siang tiba," jawab Sukat yang berambut cepak dan berwajah cengeng itu. Ia menangis walau tak terdengar suara isakannya.

"Apakah dia tahu siapa orang yang membantai teman-temanmu ini?"

Dul yang menjawab, "Menurut keterangannya, orang itu berjuluk Bandar Hantu Malam. Datangnya pada malam hari."

Seketika itu alis mata Suto beradu, dahi berkerut, dan mata menatap tajam, ia sangat terkejut mendengar nama itu disebutkan oleh si Dul. Ia hampir-hampir tidak mempercayainya. Dengan segera napas pun ditarik dan dihirup panjang-panjang. Suto menahan getaran hatinya yang bergemuruh karena mendengar nama Bandar Hantu Malam.

"Resi Wulung Gading sendiri bagaimana?"

Dul geleng-geleng kepala. "Mungkin tewas di tempat lain, mungkin diculik oleh Bandar Hantu Malam, atau mungkin bersembunyi di suatu tempat yang tidak kami ketahui."

Sukat menambahkan kata, "Menurut cerita teman kami yang sekarang sudah meninggal itu, Bandar Hantu Malam menyerang sendirian, membantai siapa saja yang ditemuinya. Tapi pada waktu itu, guru kami memang tidak ada di tempat. Katanya sedang semadi di Gua Getah Tumbal."

"Di mana itu Gua Getah Tumbal?"

"Kami berdua tidak tahu. Makanya kami tidak bisa mencari di mana Guru berada. Teman kami ini tidak jelaskan di mana letak Gua Getah Tumbal, ia sudah pergi meninggalkan dunia," jawab Sukat dengan nada sedih sekali.

Suto Sinting tertegun dengan hati iba bercampur gusar. "Apa yang harus kulakukan kalau begini?" pikirnya dalam kegusaran itu.

* * *

TUJUH
SANGAT wajar jika pikiran Pendekar Mabuk menjadi kacau bagaikan benang-benang kusut. Di matanya ia melihat Bandar Hantu Malam adalah orang bijak yang bersikap tenang, berwibawa, namun tidak angker. Di matanya, Bandar Hantu Malam adalah orang yang mengagumkan. Tapi kini Suto harus menghadapi kenyataan yang senada dengan cerita Ratu Asmaradani, bahwa Bandar Hantu Malam orang kejam dan jahat.

"Berarti pada saat kemarin aku bertamu dengan Bandar Hantu Malam, rupanya ia baru saja pulang dari membantai semua murid Resi Wulung Gading. Pantas ia mendesakku untuk mampir ke padepokan Resi Wulung Gading, rupanya ia ingin unjuk gertakan terhadapku tentang kekejamannya yang bagai orang tak kenal ampun terhadap sesama."

Suto Sinting sengaja hentikan perjalanannya yang sudah jauh dari padepokan Resi Wulung Gading, ia sengaja duduk di bawah pohon rindangan dengan satu kaki melonjor dan satu kaki ditekuk, memijak tanah, ia perlu merenungkan kenyataan tersebut agar tak sampai salah langkah jika lakukan sesuatu.

"Kakek itu memang mengagumkan sekali. Bukan hanya ilmunya, tapi juga kepura-puraannya. Hampir saja ia tampil sebagai tokoh bijaksana yang baik hati dan layak dihormati secara utuh. Kuakui, aku telah tertipu mentah-mentah oleh kepura-puraannya. Jika Bandar Hantu Malam atau Ki Randu Papak itu orang baik-baik, tentunya ia tidak diserang oleh Nini Pancungsari, ia juga tidak lakukan pertarungan di seberang Puncak Karang, tempo hari. Tentunya rakyat desa Pucangan pun tidak menaruh curiga padanya. Ah, bodohnya diriku ini. Mengapa aku mudah mempercayai kata-katanya? Mengapa aku tidak bisa melihat kepura-puraannya?"

Sebatang rumput dicabut, dihisap-hisap sarinya sebagai keisengan dalam lakukan renungan tersebut. Suto Sinting mengecam dirinya sendiri yang dianggap bodoh dan mau saja dibodohi.

"Ratu Asmaradani tak mungkin menipuku jika kekejian Bandar Hantu Malam tidak benar-benar terjadi. Lalu, Dul dan Sukat..., apa urusannya, apa untungnya mereka berbohong padaku? Kurasa mereka bicara yang sebenarnya. O, ya... aku ingat ancaman Nini Pancungsari saat perempuan itu belum pergi, ia berjanji untuk membalas dendam kepada Bandar Hantu Malam dengan nyawa, ia menganggap Bandar Hantu Malam berhutang nyawa padanya. Apakah Nini Pancungsari punya hubungan dengan pihak padepokan Resi Wulung Gading? Apakah gara-gara pembantaian itu maka Nini Pancungsari bersikeras menghabisi Bandar Hantu Malam? Atau mungkin Nini Pancungsari ada di pihak lain yang merasa dirugikan seperti kerugian yang dialami Resi Wulung Gading?"

Siang dibiarkan kian tenggelam. Matahari semakin condong ke cakrawala barat. Suto Sinting masih diam ditempatnya, sambil sesekali meneguk tuak. Ia sempat rasakan hatinya yang menyesal telah membantu Bandar Hantu Malam dan membuat Nini Pancungsari menderita luka dalam cukup parah, ia ingin temui Nini Pancungsari, tapi tak tahu di mana perempuan itu tinggal.

"Ada baiknya kalau aku kembali ke pondok Bandar Hantu Malam. Aku akan desak dia dan membongkar kepura-puraannya! Akan kubeberkan tanpa ragu-ragu lagi kejahatannya yang sempat kudengar dan kulihat kenyataannya. Aku tak peduli dia mengaku teman baik guruku, aku tak mau terkecoh lagi olehnya. Kejahatan memang harus ditumpas habis. Jika kejahatan itu bermukim dalam jiwa seseorang, maka jiwa itu pun harus disirnakan!"

Dengan gemuruh kemarahan mulai membakar darah dan menyesakkan dada, Pendekar Mabuk segera jejakkan kaki ke tanah dan melesat pergi menuju puncak Gunung Keong Langit itu. ia harus bisa mencapai pondok Bandar Hantu Malam sebelum bumi menjadi gelap dan malam pun tiba.

"Tapi tunggu dulu," katanya sendiri. "Jika benar kata Dul, bahwa pembantaian itu dilakukan pada malam hari, maka ada baiknya aku justru mengintai di dekat pondoknya, apakah ia keluar pada malam hari atau tetap di tempat?"

Sampai puncak gunung suasana telah gelap. Hawa dingin begitu mencekam kuat. Namun Suto berusaha tetap di balik kerimbunan semak, mengawasi pondok Bandar Hantu Malam. Berulang kali ia meneguk tuak untuk menghalau hawa dingin yang hadir bersama kabut putih. Untung saja Suto seorang peminum tuak. Seandainya bukan, maka tubuhnya akan berubah menjadi gumpalan salju dan darahnya akan membeku dicekam hawa dingin yang amat tinggi itu. Tuak yang ada di bambu keramat itu mampu hadirkan kehangatan yang membuat Suto tak terlalu menggigil walaupun pakaiannya mulai dilapisi busa salju. Sampai sekian lama ditunggu, Bandar Hantu Malam belum tampakkan diri. Suto agak sangsi dengan dugaannya.

"Jangan-jangan malam ini ia tidak bermaksud keluar rumah?" pikirnya diliputi kebimbangan yang menjengkelkan hati.

Pondok itu gelap. Tanpa penerangan di dalamnya. Tak terlihat biasa lampu minyak yang mestinya terlihat dari celah-celah suasana kayu dindingnya. Suto makin punya kecurigaan yang bukan-bukan.

"Jangan-jangan Bandar Hantu Malam sedang berbuat sesuatu dengan seorang perempuan di dalam pondoknya?! Apakah sebaiknya kudobrak saja pondok itu? Tapi... bisa jadi dia sudah keluar dari pondok sejak tadi, sebelum aku ada di sini? Hmm...! Ya, mungkin dia sudah keluar sejak tadi dan tidak jumpa denganku di kaki gunung. Sial! Lantas untuk apa kubiarkan diriku dicekam salju sejak tadi? Ini pekerjaan yang sia-sia! Sebaiknya kuperiksa dulu pondok itu, jika memang tak ada tanda-tanda kehidupan, aku segera turun gunung!"

Dengan langkah tanpa suara, Suto Sinting dekati pondok itu. Semakin dekat semakin dipasang baik-baik telinganya. Bahkan pendengaran hati sanubarinya juga digunakan. Ternyata di dalam pondok tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tak ada denyut jantung yang terdengar dari dalam pondok. Suto menggerutu dan jengkel sendiri.

"Sial! Pondok kosong ditunggui?! Aku harus segera turun gunung dan mencari orang itu. Pasti dia lakukan keganasan lagi pada malam ini di tempat lain. Mungkin desa Pucangan juga sedang disambangi. Sebaiknya aku ke sana dan bicara dengan para sesepuh desa yang tahu tentang Bandar Hantu Malam!"

Malam itu rembulan mengintip di balik awan. Hanya separo yang tampak dari permukaan bumi, namun cahayanya cukup mampu membuat bumi menjadi remang-remang. Rumput dan batu kerikil bisa terlihat jelas. Suasana ini sungguh menguntungkan bagi Pendekar Mabuk, sehingga ia bisa berjalan melalui jalan setapak yang tadi dilewati, tanpa harus takut tergelincir ke jurang yang cukup dalam di tepi lereng gunung itu.

Sebelum mencapai perbatasan desa Pucangan, kedua kaki Suto Sinting terhenti serentak dan matanya memandang penuh waspada, ia sempat melihat sekelebat bayangan melintas jalanan di depannya. Gerakannya cukup cepat, membuat Suto yakin bahwa sekelebatan bayangan itu pasti milik orang berilmu tinggi. Siapa orangnya, Suto tak bisa melihat dengan jelas. Tapi ia punya dua kemungkinan dalam hatinya.

"Nyai Sedah, atau Bandar Hantu Malam?" pikirnya dalam pertimbangan langkah. "Mungkinkah Nyai Sedah sedang menuju desa Pucangan lagi? Ya, mungkin saja. Barangkali dia tahu bahwa aku hanyalah seorang tamu di desa itu, sehingga ia menduga desa itu aman bagi dirinya karena ia menganggap aku sudah pergi dari desa tersebut. Tapi mungkin saja bayangan itu adalah Bandar Hantu Malam yang sedang menuju ke tempat lain tanpa mengetahui diriku di sini? Sebaiknya kukejar saja dia ke arah lenyapnya bayangan tadi! Aku jadi penasaran sekali!"

Bayangan yang melintas dari barat ke timur segera dikejar ke arah timur. Suto mengejarnya tidak melalui jalan darat, melainkan melalui pohon demi pohon, ia melesat bagaikan seekor burung yang mencari tempat untuk tidur. Gerakannya tidak timbulkan bunyi sedikit pun, sebab Suto gunakan ilmu peringan tubuhnya yang membuat ranting pun tidak berbunyi saat diinjak kakinya.

"Sial! Ke mana bayangan tadi? Aku kehilangan jejaknya!" gerutu Suto sambil memandang sekeliling dari atas pohon. Napasnya terjaga hingga tak terlalu ngos-ngosan.

"Sebaiknya aku mengarah ke desa Pucangan saja dengan jalan kaki," pikirnya. Lalu ia bergegas turun dari atas pohon. Tapi alangkah terkejutnya Suto begitu melihat ke bawah, ternyata di sana ada bayangan hitam yang dikejar-kejarnya. Bayangan hitam itu adalah orang berkerudung kain hitam sekujur tubuhnya, dan sedang berbicara bisik-bisik dengan seseorang.

"Siapa orang yang diajaknya bicara itu?" pikir Suto sambil kian hati-hati lakukan gerakan, bahkan bernapas pun sangat hati-hati. Matanya memandang ke bawah dengan sedikit disipitkan. Lalu ia temukan seraut wajah yang cukup dikenalinya.

"Sundari...?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya dengan nada terkejut. "Ternyata dia kenal dengan orang berselubung kain hitam itu? Hmm... apakah orang berkain hitam itu masih sama seperti malam itu? Apakah dia Nyai Sedah? Kalau begitu, Sundari punya hubungan dengan Nyai Sedah? Sejauh mana hubungan mereka sebenarnya?"

Tiba-tiba terdengar suara wajah ditampar. Plaaak...! Suto Sinting terperanjat melihat Sundari ditampar orang berpakaian serba hitam itu. Terdengar pula pekik kecil dari Sundari yang kesakitan, lalu suara tangis pun terdengar samar-samar.

"Katakan!" sentak orang berkerudung hitam. Kini Suto yakin orang itu adalah Nyai Sedah, sebab suara yang terdengar menyentak adalah suara perempuan. "Katakan, Sundari! Atau kau menerima upah maut dariku, hah?!"

Suto Sinting masih belum bergerak dan tidak lakukan apa-apa. Walaupun ia melihat rambut Sundari dijambak dengan kasar oleh orang berpakaian hitam itu, tapi Suto masih tetap menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu, ia masih ingin tahu apa yang dilakukan oleh kedua orang di bawahnya itu.

"Kesabaranku habis pada hitungan ketiga, Sundari! Satu... dua "

"Dia ke puncak! Carilah di puncak sana!" jawab Sundari dengan rasa marah yang tak mampu dilampiaskan. Tangisnya kian terdengar jelas dari tempat Suto bersembunyi di atas pohon.

"Tidak mungkin, Sundari! Aku bukan orang bodoh yang bisa kau bohongi! Kau ingin menjebakku di puncak sana, bukan?!"

"Ttt... tidak!"

"Kau bohong! Aku jadi muak padamu!"

Sreeet...! Orang berkerudung hitam itu mencabut pisau sepanjang dua jengkal dari balik baju hitamnya. Pisau itu hendak ditikamkan ke dada Sundari. Tapi Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur'-nya lewat sentilan tangan.

Taaas!

Tenaga dalam yang dilepaskan lewat sentilan tangannya itu tepat kenai pelipis orang berpakaian hitam. Dees...! Orang itu pun tersentak dan terpelanting ke samping bagaikan terkena tendangan kuda binal. Ia berguling-guling tiga kali, lalu cepat ambil sikap berdiri lagi.

Wuuut...! Jleeg...!

Suto Sinting turun dari atas pohon langsung berhadapan dengan perempuan berkerudung hitam itu. Sundari terkejut girang, sedangkan perempuan berkerudung hitam menjadi cemas.

"Suto, syukurlah kau ada di sini!" Sundari segera hampiri Suto dan memeluknya dari belakang.

"Siapa dia, Sundari? Nyai Sedah?"

"Ya. Dia orang yang kemarin juga!" jawab Sundari dengan takut.

"Menjauhlah, biar kuhadapi orang itu."

Wuuut...!

Tiba-tiba pisau di tangan Nyai Sedah dilemparkan ke arah dada Suto. Tapi tangan Suto berkelebat cepat dan berhasil tangkap pisau itu dengan jepitan dua jari tangannya.

Teeb...!

"Sudah kuduga kau bisa menangkapnya!" kata Nyai Sedah yang hanya kelihatan bagian matanya saja.

"Apakah kau ingin aku berbuat lebih kejam dari malam itu, Nyai Sedah?"

"Aku sengaja kembali untuk bikin perhitungan denganmu!" geram Nyai Sedah, lalu ia lepaskan pukulan dari tangan kosongnya.

Slaap...!

Sinar putih perak melesat dari telapak tangan itu. Suto segera meraih bumbung tuaknya dan menangkisnya. Sinar putih perak itu menghantam bumbung tuak dengan kuat. Trak...! Dan ternyata sinar itu membalik arah menjadi lebih besar dan lebih cepat.

"Celaka!" geram Nyai Sedah. Ia segera sentakkan kaki dan tubuhnya pun melenting di udara. Tetapi gerakan itu terlambat. Akibatnya sinar perak itu kenai betis Nyai Sedah. Jraaas...! Suaranya seperti bara masuk ke dalam air.

"Auh...!" Nyai Sedah memekik kesakitan. Kulit betis sampai telapak kakinya menjadi hangus. Sayang cahaya malam kurang kuat sehingga tak bisa dilihat dengan jelas oleh Suto dan Sundari. Tubuh Nyai Sedah jatuh terpuruk tak mampu berdiri lagi. Ia mengerang kecil sambil memperhatikan kakinya yang berasap. Suto Sinting segera mendekatinya, Sundari menjadi cemas melihat Suto mendekat.

"Awas, jangan dekati dia! Kukunya beracun!" seru Sundari.

Wuuut...!

Nyai Sedah ternyata cepat menyambar kaki Suto dengan cakarnya. Tapi tubuh Pendekar Mabuk segera lompat ke atas dan cakaran itu mengenai tempat kosong. Suto Sinting sempat bersalto mundur satu kali.

"Aku dapat menyembuhkanmu sekarang juga jika kau bersedia tinggalkan segala perbuatan terkutukmu. Nyai Sedah," kata Suto mencoba menawarkan kebaikan demi kesadaran perempuan itu.

"Persetan dengan tawaranmu! Hiaah...!"

Claap...! Selarik sinar hijau melesat dari telapak tangan Nyai Sedah. Suto Sinting segera menangkisnya kembali dengan bumbung tuaknya. Traak...! Sinar itu berubah menjadi besar dan akhirnya menghantam balik tubuh Nyai Sedah.

Zraaabb..! Bluub..!

"Aahhg...! Aaahg...!" Nyai Sedah tak mampu berteriak, tubuhnya segera terbungkus api karena terkena sinar hijaunya sendiri, ia berguling-guling mencoba memadamkan api itu, tapi usahanya tak berhasil. Sundari sendiri sempat palingkan wajah tak tega memandang Nyai Sedah.

Suto Sinting cepat meneguk tuaknya, sebagian disimpan pada mulut, lalu ia semburkan tuak di mulutnya ke tubuh yang terbungkus api itu.

Bwwrruss...!

Blaaab...! Api padam seketika, tinggal kepulan asapnya. Tapi tubuh Nyai Sedah telah tak bernyawa. Rupanya sinar hijau tadi bukan membakar tubuh saja, melainkan membakar bagian dalam tubuh, merusakkan jantung, paru-paru, dan yang lainnya. Pertolongan Suto terlambat, tapi ia merasa telah lakukan hal yang benar, yaitu memberikan tawaran baik sebelum ajal merenggut nyawa. Tapi tawaran itu ditolak, bahkan dibalas dengan kemurkaan, akibatnya Nyai Sedah menerima nasib yang ditentukan oleh tindakannya sendiri.

Suto mendengar suara isak yang meratap. Ternyata Sundari saat itu menangis di balik pohon melihat kematian Nyai Sedah. Pendekar Mabuk heran dalam hatinya, tapi ia tak berani tanyakan dulu sebab tangis Sundari. Ia membujuk Sundari untuk diam dan segera tinggalkan tempat itu untuk laporkan kepada pihak kepala desa.

"Mengapa dia kau bunuh?" Sundari bagaikan menuntut Suto.

"Dia yang membunuh dirinya sendiri dengan sinar hijaunya tadi."

"Aku... aku jadi kehilangan calon guru!"

"Calon guru?"

"Dia calon guruku. Setelah aku bisa memberi kabar tentang pemuda-pemuda yang aman diculiknya sebanyak sepuluh orang, aku akan diangkatnya sebagai murid! Tapi sekarang baru tiga pemuda dia sudah mati. Sia-sia saja aku mencarikan tiga pamuda pemuas gairahnya yang mungkin... mungkin sekarang sudah dibunuh setelah diserap habis darah kejantanannya," tutur Sundari dalam tangisnya.

Suto Sinting jadi tertegun beberapa saat mengetahui hal itu. "Jadi... selama ini kaulah yang memberi kabar tentang pemuda-pemuda yang aman diculiknya?"

"Ya. Karena itu syarat untuk menjadi muridnya."

"Kau salah, Sundari. Kau tidak boleh membantu pihak yang sesat seperti Nyai Sedah itu."

"Tapi aku ingin memiliki ilmu seperti yang dimilikinya!"

"Ada jalan lain, tanpa harus membantunya melakukan kejahatan."

Sundari kian menangis di sela malam bercahaya rembulan. Suto mencoba memahami jalan pikiran lugu gadis desa itu. Akhirnya ia bertanya, "Lalu mengapa kau tadi mau dibunuhnya?"

"Sejak kemarin ia mencarimu, tapi aku tak mau kasih tahu di mana dirimu! Aku takut kau dijadikan korban seperti pemuda lainnya. Lalu, malam ini ia mendesakku lagi, tapi tidak percaya kalau kukatakan bahwa kau ke puncak. Rupanya dia bermaksud serahkan dirimu kepada suaminya, yang juga sebagai gurunya, ia merelakan diperistri oleh suaminya itu hanya untuk dapatkan ilmu-ilmu sakti seperti yang dimilikinya sekarang ini. Tapi menurutnya, ia tak pernah mendapatkan kepuasan cinta dengan suaminya, sehingga ia perlu mencari pemuda yang masih perjaka untuk diajaknya bercinta di tempat khusus di tengah hutan sebelah utara sana."

Suto Sinting manggut-manggut. Lalu setelah diam beberapa saat ia pun ajukan tanya, "Siapa suaminya itu?"

"Seorang tokoh sakti berilmu tinggi. Namanya Dampu Sabang."

Suto berkerut dahi. "Dambu Sabang?" ia menggumam penuh tanda tanya. Lalu pikirannya segera melayang pada peristiwa beberapa waktu yang lalu. Ia ingat, Dambu Sabang adalah guru dari Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas, yang telah dikalahkan olehnya dan dibuang ke Sumur Tembus Jagat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Naga Pamungkas).

"Apakah kau tahu kenapa dia ingin serahkan diriku kepada Dampu Sabang?"

"Baru tadi kuketahui, katanya kau telah membunuh murid tunggalnya yang bernama Iblis Naga Pamungkas."

"Ya, memang aku yang menghabisi Wiratmoko alias si Iblis Naga Pamungkas," kata Suto Sinting dengan suara pelan. "Tapi hal itu kulakukan demi kedamaian diantara sesama. Hanya saja... bagaimana dia bisa mengenaliku sebagai Suto Sinting?"

"Kemarin malam aku menceritakan siapa dirimu dan apa tujuanmu. Maafkan aku, Suto. Semua kulakukan karena aku ingin memiliki ilmunya," Sundari mengisak penuh sesal. "Aku tak menyangka kalau dia juga mengincarmu, lebih tak menyangka lagi setelah tadi dia bilang mau menangkapmu dan menyerahkannya kepada Dampu Sabang."

"Apakah kau tahu di mana Dampu Sabang berada saat ini?"

Sundari menggeleng. Tangisnya ditahan sesaat, lalu ia berkata, "Tadi sore kutemui Nyai Sedah di hutan sebelah utara. Dia sempat bilang padaku, bahwa Dampu Sabang pergi ke suatu tempat untuk lakukan pertarungan dengan Bandar Hantu Malam. Dia merasa makin punya banyak waktu jika suaminya sibuk mengejar musuh-musuhnya."

"Pertarungan?!" gumam Suto bagaikan bicara sendiri. "Apakah malam ini Bandar Hantu Malam sedang berhadapan dengan Dampu Sabang? Di mana mereka mengadakan pertarungan itu? Aku ingin menyusulnya!"

* * *

DELAPAN
URUSAN Suto bukan dengan Dampu Sabang, melainkan dengan Bandar Hantu Malam. Karena itu, yang dicari dalam pertarungan dua tokoh itu adalah Bandar Hantu Malam. Apakah Bandar Hantu Malam tumbang di tangan Dampu Sabang, atau unggul dalam pertarungan ini? Jika Ki Randu Papak ternyata unggul melawan Dampu Sabang, berarti Suto yang akan menumbangkannya. Tapi jika Ki Randu Papak atau Bandar Hantu Malam itu sudah roboh di tangan Dampu Sabang, berarti Suto tidak perlu repot-repot lagi kerahkan tenaga untuk melawan tokoh sakti itu.

Tentang dendam Dampu Sabang yang ingin membalas kematian muridnya, Suto sudah siap pertahankan diri dengan sebaris alasan. Jika ternyata alasan itu tidak bisa diterima oleh Dampu Sabang, maka Suto pun siap dengan pertarungan demi membela kebenaran dan kedamaian di antara sesama. Bagi Pendekar Mabuk, melawan Bandar Hantu Malam atau Dampu Sabang sama saja. Tak ada yang ditakuti, tak ada yang dianggap ringan, tapi tak ada pula yang harus dikasihani. Kedua tokoh sakti itu sama-sama kejam, ganas, dan jahat. Kejahatan itulah yang harus ditumbangkan Suto dengan cara apapun.

Tetapi ternyata cukup sulit mencari tempat pertarungan bagi dua tokoh sakti itu. Sepanjang malam hingga pagi Suto mencari, tapi tempat pertarungan mereka tidak ditemukan. Untung Pendekar Mabuk tidak membawa Sundari, walaupun gadis itu sangat ingin menyertai Suto, tapi oleh Suto diantar pulang ke rumah Ki Rosowelas. Seandainya ia membawa Sundari, maka gadis itu akan mengeluh dan justru merepotkan Suto. Sebab pencarian itu tidak hanya sampai pagi saja, melainkan dilanjutkan hingga menuju siang hari. Rasa kantuk dan lelah bisa diatasi Suto dengan menenggak tuak agak banyak.

Mendekati pertengahan siang, Suto mendengar suara ledakan menggelegar di sebelah barat. Ledakan itu juga membuat tanah tempat Suto berpijak menjadi berguncang bagai dilanda gempa kecil. Asap hitam membubung naik dari sebuah bukit yang ada di barat. Asap itu menggumpal dalam bentuk kelompok tersendiri dan memercikkan bunga api beberapa kali.

"Dua pukulan tenaga dalam dahsyat telah beradu di sana. Pasti di bukit itulah Dampu Sabang bertarung melawan Bandar Hantu Malam. Aku harus segera menuju bukit itu dan melihat keadaan mereka secara sembunyi-sembunyi dulu."

Bukit itu tidak terlalu tinggi. Tanamannya tidak begitu rimbun. Bagian puncak bukit termasuk datar dan mempunyai tempat yang enak untuk sebuah pertarungan. Rimbunan semaknya tumbuh secara berkelompok- kelompok. Dan di salah satu rimbunan semak berdaun lebar itulah Suto bersembunyi mengintai sebuah pertarungan. Ternyata pertarungan itu adalah pertarungan yang tidak disangka-sangka oleh Suto Sinting. Bukan pertarungan Bandar Hantu Malam melawan Dampu Sabang, melainkan pertarungan antara Sumbaruni dengan orang berkerudung kain hitam dan membawa senjata tombak El Maut yang ujungnya mirip sabit.

Orang itu adalah tokoh sesat yang diburu-buru oleh Pendekar Mabuk selama ini. Dia tak lain adalah Siluman Tujuh Nyawa, yang mempunyai wajah pucat dan dingin. Tentu saja Pendekar Mabuk terkejut sekali melihat tokoh sesat itu muncul di bukit tersebut dan lakukan pertarungan dengan Sumbaruni. Apa persoalan mereka, Suto tidak tahu secara pasti.

Tetapi sebagai orang yang sudah beberapa kali bertarung melawan Siluman Tujuh Nyawa, Suto dapat mengukur ketinggian ilmu si wajah pucat itu yang melebihi ketinggian ilmu Sumbaruni atau Pelangi Sutera. Tentu saja hati Suto Sinting mencemaskan keselamatan Sumbaruni, sehingga ia perlu segera ikut campur membela Sumbaruni.

Pada saat Sumbaruni terjatuh karena pukulan sinar merahnya Siluman Tujuh Nyawa, orang berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki itu segera melompat dan mengibaskan tombak El Mautnya untuk memancung leher Sumbaruni. Namun Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Pecah Raga' berupa sinar hijau yang melesat dari telapak tangannya.

Claap...!

Sinar hijau itu diarahkan ke tubuh Siluman Tujuh Nyawa, tapi karena gerakan orang tersebut melesat dengan cepat, akibatnya sinar itu justru menghantam tombak yang hendak ditebaskan memancung leher Sumbaruni.

Trang! Weeesss...!

Tombak itu tidak pecah, melainkan tersentak kuat-kuat ke arah samping kiri dari pemegangnya. Sentakan yang amat kuat itu membuat tubuh Siluman Tujuh Nyawa terbawa terbang dan terpelanting enam langkah jauhnya dari tempat semula. Siluman Tujuh Nyawa merasa diterjang badai yang amat kuat, sehingga ia tidak mampu pertahankan keadaannya.

Sumbaruni yang segera bangkit dalam keadaan mulut melelehkan darah secepatnya memandang ke arah datangnya sinar hijau. Tentunya ia ingin tahu siapa orang yang telah selamatkan jiwanya dalam keadaan kritis tadi. Dan pada saat itulah Pendekar Mabuk melenting di udara, bersalto dua kali, lalu mendarat tepat di samping Sumbaruni, menghadap ke arah Siluman Tujuh Nyawa.

Jleeg...!

Suto...!" desah Sumbaruni bernada lega. "Untung kau datang tepat pada waktunya!"

"Apa persoalanmu dengan setan itu?"

"Logo disembunyikan olehnya, aku harus merampas anakku itu agar tidak dijadikan budak sesatnya!"

"Hmmm...!" Suto Sinting hanya menggumam, tapi matanya masih memandang ke arah Siluman Tujuh Nyawa yang menggeram penuh luapan amarah. Orang itu telah bangkit dan menatap Suto. Namun wajahnya tetap dingin dan tidak berperasaan. Matanya sedikit menyipit menandakan dadanya kian kuat menjerat jiwa.

"Kita bertemu lagi, Durmala Sanca!" kata Suto Sinting tampak bangga dan senang. Tapi dalam hatinya berkata, "Sayang aku belum bertemu Resi Wulung Gading, sehingga tak sempat membawa Pedang Kayu Petir. Tapi akan kucoba lagi melumpuhkannya dengan kekuatan yang ada padaku!"

"Kali ini kau akan binasa di tanganku, Pendekar Mabuk!" ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan datar.

"Kita buktikan siapa yang unggul saat ini juga! Jangan sampai kau lari dari pertarungan ini, Durmala Sanca!" sambil Suto melangkah ke samping kiri dan Siluman Tujuh Nyawa melangkah ke samping kanan. Sumbaruni segera tarik diri, mundur ke bawah pohon, karena ia merasa yakin bahwa Suto mampu menangani tokoh sesat berilmu tinggi itu.

"Aku harus mencari kesempatan untuk menghantamnya dari belakang," pikir Sumbaruni. "Memang curang, tapi tak ada salahnya berbuat curang kepada orang sesat yang termasuk raja curang itu. Akan kupukul dia dengan jurus 'Anak Rembulan' agar ia lumpuh tak punya tenaga lagi!"

Durmala Sanca segera sabetkan tombak El Mautnya dari kanan ke kiri, jaraknya dengan Suto sekitar tujuh langkah. Wuuung...! Dari sabetan itu melesat sinar bergelombang bagai spiral yang berwarna merah terang dan semakin mendekati lawan semakin lebar bentuk lingkarannya.

Pendekar Mabuk tidak menghindari serangan itu, melainkan mengadu dengan jurus 'Tapak Guntur', yaitu sinar biru yang keluar dari telapak tangan kiri yang disentakkan ke depan. Suuuut...!

Duaarrr...!

Perpaduan dua sinar tersebut hasilkan satu ledakan yang mengguncang bumi dengan hebat. Tiga pohon segera tumbang, satu di antaranya nyaris menjatuhi tubuh Sumbaruni. Tanah di sekitar tempat itu menjadi retak-retak di beberapa bagian. Kulit-kulit pohon terkelupas bagai dilanda angin lahar dari magma gunung berapi.

Sentakan daya ledak itu sangat besar. Tak heran jika Suto Sinting sendiri terlempar jatuh ke belakang dalam jarak empat langkah dari tempat semula. Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terhempas ke belakang bagaikan terbang. Tubuhnya membentur sebuah dahan pohon seukuran paha manusia dewasa. Duhg! Kraak! Dahan itu patah seketika karena ditabrak punggung Siluman Tujuh Nyawa.

Tentunya itu sebuah tanda bahwa tubuh Siluman Tujuh Nyawa mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar, sehingga apa pun yang disentuhnya dapat hancur atau petah. Tubuh itu setelah membentur dahan segera turun dengan keseimbangan yang terjaga. Kakinya menapak di tanah dengan tegap dan sigap.

Jleeg...!

Melihat Suto Sinting belum bangkit dari jatuhnya, Siluman Tujuh Nyawa segera lepaskan pukulan mautnya yang keluar dari lima jari kiri berkuku runcing itu. Slaaap...! Lima larik sinar hijau seukuran bambu seruling itu meluncur dengan cepat ke arah dada Suto Sinting.

Suto baru saja ingin menangkisnya dengan jurus lain, tapi tiba-tiba dari arah belakangnya muncul sinar merah berbentuk lingkaran besar. Wuuut...! Sinar berbentuk lingkaran besar itu menghadang sinar hijau lima larik, dan ketika sinar itu masuk ke dalam lingkaran, maka sinar mereka segera mengecil dengan cepat, bagaikan menjerat kuat, tapi gerakan sinar masih tetap maju. Mendorong lima larik sinar yang kini telah menjadi satu ujungnya itu. Dan sinar tersebut membalik arah menghantam pemiliknya.

Blaaar...!

Sinar hijau itu pecah menjadi lebar, lalu padam seketika. Tubuh Siluman Tujuh Nyawa terpelanting dalam keadaan mengepulkan asap. Kerudung kain hitamnya hangus sebagian. Mulutnya keluarkan darah kental. Matanya menjadi merah bagai digenangi cairan darah. Tongkat El Mautnya menjadi putih bagaikan dilapisi busa-busa salju.

"Keparat!" gumamnya lirih, lalu ia sentakkan kakidan lari tinggalkan tempat itu secepatnya.

Suto Sintingpun bergegas mengejar, tetapi Sumbaruni segera berseru,"Biar kubereskan dia!" dan perempuan cantik itu segera melesat dengan cepat mengejar Siluman Tujuh Nyawa. Sedangkan Suto segera berpaling ke belakang untuk melihat siapa orang yang telah selamatkan jiwanya dari serangan lima larik sinar hijau tadi.

"Oh, kau...?!" Suto Sinting terkejut bukan kepalang. Ternyata orang yang melepaskan sinar merah berbentuk lingkaran tadi adalah Bandar Hantu Malam, alias Ki Randu Papak.

"Kau terlambat sedikit, Suto! Sinar hijau itu harus dibarengi dengan pukulan penangkis. Sedikit lambat tak akan mampu ditembus oleh pukulan penangkis apa pun. Itu yang dinamakan jurus 'Lima Dewa Kilat'. Hanya dia yang memiliki jurus berbahaya itu," kata Bandar Hantu Malam dengan sikapnya yang tenang, penuh wibawa, dan kharisma.

Pendekar Mabuk menenangkan diri, hatinya yang resah dan jiwanya yang guncang akibat kebimbangan dalam benak membuat Suto terpaksa menenggak tuaknya beberapa saat. Sambil menenggak tuak ia membatin, "Lagi-lagi aku dibuat bimbang oleh sikap dan penampilannya yang tenang dan menyerupai seorang berjiwa bijak. Lagi-lagi aku tak tega untuk lakukan serangan terhadapnya. Ah, kenapa begini? Ia tampil tanpa permusuhan, bahkan termasuk telah selamatkan jiwaku. Lalu apa yang harus kulakukan jika begini?"

Bandar Hantu Malam masih melangkah ke arah larinya Siluman Tujuh Nyawa, tapi segera berhenti dalam jarak lima langkah dari tempat Suto berdiri. Dengan memandang ke arah kepergian Siluman Tujuh Nyawa, Ki Randu Papak yang melipat kedua tangan di dada itu perdengarkan suaranya, seakan bicara pada dirinya sendiri.

"Jika Sumbaruni berhasil kejar Durmala Sanca, pasti dia dapat kalahkan tokoh sesat itu. Tapi Jika Durmala Sanca berhasil lolos, lalu mereka bertemu kembali, maka Sumbaruni akan hancur di tangan Durmala Sanca. Sebab jika Siluman Tujuh Nyawa diserang dalam keadaan sedang terluka seperti tadi, kekuatannya tak akan bisa menandingi kekuatan Sumbaruni."

Suto segera ajukan tanya, "Apakah kau juga tahu tentang Sumbaruni?"

"Pernah mendengar namanya, pernah melihat jurus-jurusnya. Tapi jauh dari semua itu...," Bandar Hantu Malam balikkan badan dengan kalem, menatap Pendekar Mabuk tanpa senyum, tapi tanpa keangkuhan sedikit pun. "Pada umumnya para tokoh seusiaku mengetahui bahwa Sumbaruni adalah pelayan seorang petapa sakti yang mendapat titisan ilmu dan akhirnya kawin dengan jin yang bernama Jin Kazmat. Dari perkawinan itu lahirlah anak jin yang bernama Logo."

Mata si pendekar tampan terkesiap walau hatinya membenarkan keterangan tersebut. Cara bicara yang kalem membuat Suto Sinting kembali ragu-ragu untuk melontarkan tuduhan kepada Bandar Hantu Malam. Bahkan untuk lakukan serangan mendadak pun terasa sulit, seakan bertentangan dengan hati kecilnya. Padahal sebelum bertemu Bandar Hantu Malam, semangatnya menggebu-gebu untuk lakukan penyerangan terhadap tokoh tua itu.

"Kurasa dia mempunyai ilmu penjinak kemarahan orang," pikir Suto dalam kebungkaman mulutnya. "Siapa pun akan menjadi segan bila berhadapan dengannya. Amarah siapa pun akan menjadi reda jika sudah bertatap muka dengannya. Begitulah keadaanku sekarang ini. Tapi... tapi mengapa Nyai Pancungsari tidak mempunyai keraguan saat ingin menghabisi nyawanya? Apakah ilmu penjinak kemarahan orang tidak berlaku bagi Nyai Pancungsari? Ah, membingungkan sekali keadaan ini. Dia pintar sekali berpura-pura menjadi tokoh yang tenang dan disegani. Rasa hormatku kepadanya masih saja ada, padahal aku sudah melihat sendiri keganasannya dalam membantai murid-murid Resi Wulung Gading?!"

Bandar Hantu Malam dekati Suto, berdiri dalam jarak satu tombak, ia segera ajukan tanya, "Mengapa kau tak meminjam Pedang Kayu Petir kepada Resi Wulung Gading? Bukankah sudah kukatakan padamu, jika iIngin kalahkan Siluman Tujuh Nyawa, kau harus gunakan Pedang Kayu Petir?"

Kesempatan itu digunakan oleh Suto untuk lontarkan kekecewaannya terhadap keadaan yang ditemui di padepokan Resi Wulung Gading. "Kau menipuku, Ki Randu Papak." Suto bicara agak datar, menimbulkan perasaan aneh dalam hati kakek berjubah putih itu, sehingga dahi sang kakek pun tampak berkerut dalam memandangi Suto.

"Apakah menurutmu aku punya niat jahat padamu?"

"Bisa saja begitu!" jawab Suto bernada ketus. "Yang jelas aku kecewa mengikuti saranmu untuk pergi ke Lembah Sunyi menemui Resi Wulung Gading."

"Apa yang membuatmu kecewa, Nak?" sambil Ki Randu Papak dekati Suto yang menjauh tiga langkah.

Suto sengaja bicara tanpa memandang kakek itu. "Apakah kau harus berpura-pura bijak selamanya, Ki Randu Papak?"

Kerutan dahi Bandar Hantu Malam tampak kian tajam. "Aku semakin tak mengerti maksudmu."

Suto menatap dengan berani, "Padepokan di Lembah Sunyi telah hancur. Dua hari sebelum aku sampai di sana, seseorang telah datang dan membantai semua murid Resi Wulung Gading."

Perubahan wajah yang ada pada Ki Randu Papak tampak jelas sebagai ungkapan rasa kaget, namun juga rasa tidak percaya. Suto Sinting sengaja diam untuk menunggu kata-kata dari sang kakek itu.

"Apa maksudmu dengan mengatakan aku menipumu, Pendekar Mabuk? Kata-katamu menyimpang dari watak kependekaranmu yang harus bicara jujur."

"Aku bicara yang sebenarnya, Ki Randu Papak. Kau boleh buktikan sendiri ke Lembah Sunyi. Hanya ada dua murid yang selamat dari pembantaian sadis itu, karena mereka sedang diutus ke pesisir selatan."

"Sepertinya kau bicara mengigau. Tapi baiklah, kucoba untuk mempercayai kata-katamu. Lalu, bagaimana dengan Resi Wulung Gading sendiri? Apakah dia ikut menjadi korban?"

Suto menggeleng berkesan dingin, "Resi Wulung Gading bertapa di Gua Getah Tumbal. Mungkin sampai sekarang belum mengetahuinya."

"Kalau begitu aku harus ke Gua Getah Tumbal untuk memberitahukan hal itu kepada Resi Wulung Gading!" tegas Ki Randu Papak.

Tiba-tiba terbersit kecemasan dalam hati Suto. Ia pun membatin, "Celaka! Aku telah sebutkan tempat itu. Pasti Ki Randu Papak mau ke sana bukan untuk kabarkan musibah tersebut, tapi untuk membunuh Resi Wulung Gading yang kala itu tak ditemui di padepokan. Tentunya kata-kataku tadi merupakan berita bagus baginya. Oh, aku harus mencegahnya agar tidak pergi ke Gua Getah Tumbal!"

Maka ketika Bandar Hantu Malam hendak bergerak pergi, Suto Sinting segera melompat dan menghadang di depannya. Sikap itu sangat mengherankan bagi Bandar Hantu Malam, ia memandang penuh perasaan ingin tahu. "Mengapa kau menghadangku?"

"Tak kuizinkan siapa pun pergi ke Gua Getah Tumbal!"

"Kau pikir aku akan berbuat jahat kepada Resi Wulung Gading?"

"Ya Pasti kau akan membunuhnya, Ki Randu Papak."

Mata tua itu terbelalak kaget mendengar ucapan Suto. Ia mendekati Pendekar Mabuk dengan pandangan mata tajam bagaikan menembus ke hati Suto. "Tega-teganya kau mencurigaiku begitu, Pendekar Mabuk?! Apa alasanmu menduga begitu padaku?"

"Karena menurut saksi dalam pembantaian di padepokan itu, orang yang datang malam hari dan menjagal semua murid Resi Wulung Gading itu bernama Bandar Hantu Malam!" jawab Suto tegas dan jelas.

Ki Randu Papak kian tampakkan rasa kagetnya. Dengan suara menggeram pertanda menahan kemarahan, Ki Randu Papak berucap kata, "Itu fitnah! Tak benar!"

"Itu benar, Ki. Karena Ratu Asmaradani pun mengutusku membunuhmu sebab kau ingin mengawininya, dan menggunakan ilmu 'Racun Siluman' untuk memperdaya sang Ratu agar mau menjadi istrimu!"

Gemetaran sekujur tubuh Ki Randu Papak. Hawa panas mulai naik ke dada dan bermukim di kepala. Wajah tuanya tampak merah pertanda menahan murka. Tapi Suto Sinting hanya memperhatikan dengan tenang, penuh keisengan, ia melihat gigi tokoh tua itu menggeletuk, bola matanya mengecil bagaikan menyimpan dendam atau kemarahan yang tak jelas arahnya.

"Fitnaaah...!" geramnya dengan napas mulai memberat. Jari-jari tangannya tampak bergetar. Jari-jari tangan itu akhirnya disentakkan ke samping dan melesatlah sinar biru pecah, menyebar ke seluruh penjuru.

Praaass...!

Suto kaget dan melompat mundur, pasang kuda-kuda. Tapi kuda-kudanya segera mengendur ketika melihat enam pohon yang terkena percikan sinar biru itu lenyap tinggal debunya yang menggunduk di tanah. Suto Sinting tertegun takjub untuk beberapa saat. Bandar Hantu Malam hembuskan napas panjang, tundukkan kepala, kedua tangan menggenggam kuat-kuat, menahan luapan murka yang hampir-hampir tak bisa dikendalikan. Suto diam beberapa saat, memberi kesempatan kepada tokoh tua itu untuk menenangkan diri. Setelah merasa cukup tenang, Bandar Hantu Malam segera angkat kepala pelan-pelan dan pandangi Suto dalam keadaan menoleh ke samping.

"Aku tidak sejahat itu," katanya dengan suara gemetar. "Aku bukan orang sesat seperti dulu, Suto!"

"Dua peristiwa kulihat sendiri, Ki Randu Papak. Dua orang menjadi saksi keganasanmu. Ratu Asmaradani hilang tubuh bagian perut ke bawah karena terkena Ilmu 'Racun Siluman'-mu, Ki Randu Papak."

"Aku tidak kenal dengan Asmaradani! Bawa aku ke sana dan kubuktikan padamu apakah orang aku yang menyerangnya!" sentak Bandar Hantu Malam dengan nada jengkel dan gemas sekali. Suto jadi berkerut dahi, mulai bimbang lagi. Tapi Ki Randu Papak memandang bagai menuntut pembuktian.

* * *

SEMBILAN
SEBERKAS sinar merah terang melesat ke langit, lalu melatup di angkasa. Letupannya memercikkan bunga api berasap tebal. Ki Randu Papak segera pandangi sinar merah itu, demikian pula Suto Sinting. Pada saat Suto mendongak ke atas, Ki Randu Papak tahu-tahu telah lenyap dari tempatnya, ia bergerak luar biasa cepatnya sehingga seperti menghilang gaib. Suto Sinting kaget dan menjadi tegang karena merasa kehilangan buruannya.

Tapi pendengar batinnya masih mampu melacak suara detak jantung yang kian menjauh. Suto Sinting segera melesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya, ia berlari mengejar suara detak jantung milik Bandar Hantu Malam. Sambil berlari hatinya menggeram penuh gerutu,

"Ke mana pun kau pergi akan kukejar, Bandar Hantu Malam. Tak akan kubiarkan kau lolos begitu saja! Kau harus pertanggungjawabkan perbuatanmu di depanku. Setinggi apa pun ilmumu aku harus tetap melawanmu, Bandar Hantu Malam!"

Rupanya Ki Randu Papak berlari menuju arah datangnya sinar merah yang meletup di angkasa tadi. Tetapi gerakannya mampu dipatahkan oleh Suto Sinting yang tahu-tahu menghadang langkahnya. Jleeg...!

"Mau lari ke mana kau, Bandar Hantu Malam?!" tegur Suto tak ramah lagi.

"Suto, minggirlah dulu. Aku punya urusan dengan seseorang! Setelah kuselesaikan urusanku ini, kita bicara lagi mencari kebenaran fitnah itu!"

"Tak kubiarkan kau lari tinggalkan tanggung jawabmu. Bandar Hantu Malam!"

"Jangan paksa aku melukaimu, Suto!"

"Tidak. Aku hanya ingin paksa dirimu mengobati Ratu Asmaradani yang terkena 'Racun Siluman' itu!"

"Itu bukan tanggung jawabku, Suto! Aku tidak melakukannya!" sentak Ki Randu Papak. "Tapi kalau kau ingin aku membantumu, aku sanggup membantumu. Tapi nanti, setelah kuselesaikan urusanku dengan Dampu Sabang!"

"Sekarang juga kau harus lakukan penyembuhan terhadap Ratu Asmaradani!"

"Tidak bisa! Aku sudah punya janji untuk lakukan pertarungan terakhir dengan adik seperguruanku Dampu Sabang!"

"Aku akan memaksamu, Ki Randu Papak!"

"Bocah nekat!" geramnya dengan gusar. Tapi ia tidak lakukan penyerangan. Ia justru melesat ke arah lain untuk larikan diri.

Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur' nya dengan sentilan tangan ke arah tubuh Ki Randu Papak. Teess...! Sentilan tangan yang mengeluarkan tenaga dalam besar itu menghantam punggung Ki Randu Papak.

Deeb...!

"Ahg...!" orang itu tersentak, tubuhnya segera tumbang ke tanah, namun ia segera berdiri lagi dan hendak lanjutkan pelariannya. Ia tidak memberikan serangan balasan, membuat Suto semakin penasaran dan beranggapan bahwa Bandar Hantu Malam sengaja ingin menghindari tuntutannya. Suto Sinting akhirnya melompat dan bersalto di udara satu kali, lalu tiba di punggung Bandar Hantu Malam dengan sebuah tendangan kuat bertenaga dalam cukup tinggi.

Duuhg...!

"Aaahg...!" kakek tua itu terlempar jauh dan terguling-guling di tanah.

Suto Sinting cepat-cepat menyergapnya, seakan tidak berikan kesempatan kepada Bandar Hantu Malam untuk lakukan serangan balik. Tetapi ketika Suto menerjang mendekati tokoh tua yang baru saja bangkit dari jatuhnya,tiba-tiba tubuhnya terpental kebelakang manakala kalung merah yang dikenakan Bandar Hantu Malam itu menyala kuning seperti emas.

Gusraak...!

"Edan! Dia punya lapisan tenaga dalam yang sangat besar membentengi dirinya. Apakah dia tidak ingin diserang lagi. Tapi kenapa ia tidak mau menyerangku?" pikir Pendekar Mabuk sambil berusaha bangkit dari jatuhnya. Ketika ia berdiri, ternyata Bandar Hantu Malam sudah tidak ada di tempat. Suto Sinting sempat kehilangan jejak. Tapi ia ingat arah datangnya sinar merah yang tadi melesat ke langit itu. Pasti Bandar Hantu Malam pergi ke arah sana. Sinar merah itu sepertinya sebuah tanda bahwa Bandar Hantu Malam ditunggu lawannya di sana.

Dugaan Suto tidak salah. Bandar Hantu Malam ada di kaki bukit ia sedang berhadapan dengan seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, berambut abu-abu, wajahnya nyaris tertutup brewok lebat warna abu-abu juga. Orang itu kenakan pakaian hitam dirangkap dengan baju jubah lengan panjang warna hijau tua. Tubuhnya agak gemuk, mengenakan gelang akar bahar hitam di tangan kirinya. Matanya lebar dan tajam memandang, berkesan bengis. Suto Sinting bersembunyi di balik dua pohon yang tumbuh merapat. Dari sana ia bukan saja bisa melihat pertarungan itu melainkan juga bisa mendengar percakapan kedua tokoh tua tersebut.

"Sejak semalam kucari kau di Bukit Cadas, tapi ternyata kau tak hadir di sana, Dampu Sabang!" kata Bandar Hantu Malam.

Suto menggumam dalam hati, "Ooo... dia yang bernama Dampu Sabang?!"

Terdengar suara Dampu Sabang terkekeh dalam tawa besarnya, ia berkata dengan nada angkuh. "Maaf, aku harus temui kekasihku yang baru, yang tak bisa kutinggalkan walau sekejap saja. Sekaranglah saatnya kita bertemu dan tentukan nasib kita, Bandar Hantu Malam!"

"Sebenarnya aku enggan melakukannya, Dampu Sabang. Tapi demi wasiat dari guru kita, Cambuk Getar Bumi harus tetap di tanganku. Karena akulah yang diwarisi pusaka itu!"

"Aku tetap ingin memiliki pusaka Cambuk Getar Bumi. Kita sama-sama murid Ki Warok Guci Wangsit, kita mempunyai ilmu yang sama, tapi belum tentu kita mempunyai kelicikan sama pula, Bandar Hantu Malam! Jalanmu sudah membelok dari arah yang semestinya. Mendiang Guru akan kecewa melihat kau menjadi orang sok suci dan berlagak menjadi pahlawan kebenaran. Kurasa pusaka Cambuk Getar Bumi tidak pantas lagi ada di tanganmu."

"Apakah kita harus saling bunuh untuk perebutkan pusaka itu, Dampu Sabang?"

"Kurasa itulah jalan yang terbaik bagi kita, Bandar Hantu Malam! Bersiaplah menerima seranganku, Tua Bangka! Heaaah...!"

Dampu Sabang menggerakkan tangannya ke atas, mengembang lebar bagai sayap burung garuda, kakinya yang kiri terangkat lurus hingga lututnya hampir dekati bagian dada. Lalu dengan cepat kaki kanan mengayun naik dan tubuhnya pun melayang cepat ke arah Bandar Hantu Malam. Sementara orang yang diserangnya pun menggunakan jurus seperti burung bangau, yang melesat menuju sasaran dengan cepat.

Wuuut...!

Di udara mereka beradu kecepatan pukulan tangan. Dahk, dahk, dahk...! Dan setiap benturan tangan dengan tangan menimbulkan percikan bunga api berwarna merah kebiru-biruan. Kecepatan itu sempat membuat Bandar Hantu Malam kecolongan jurus, sehingga dada di bawah pundak kirinya berhasil dihantam dengan telapak tangan Dampu Sabang.

Baaaahg...!

Wuuut..! Bandar Hantu Malam jatuh terpental dan berguling- guling, sedangkan Dampu Sabang berhasil mendarat dengan kaki tegak dan kekar. Suto melihat Bandar Hantu Malam memuntahkan darah kental dari mulutnya. Bekas pukulan Dampu Sabang tampak hitam dan berasap. Kain jubah bolong, kulit dada terlihat melepuh warna hitam kebiru-biruan.

"Saatnya kau menuju ke neraka menyusul guru kita, Randu Papak! Heaaat...!" Dampu Sabang lepaskan pukulan dari telapak tangannya yang bersinar biru melingkar-lingkar.

Pada saat itu Bandar Hantu Malam segera bangkit dan kalungnya menyala kuning emas. Suto tahu jika kalung menyala kuning emas menyilaukan itu berarti Bandar Hantu Malam melapisi tubuhnya dengan perisai tenaga dalam yang tak bisa ditembus serangan lawan. Tetapi di luar dugaan, ternyata sinar biru melingkar-lingkar itu berhasil menembus lapisan perisai tenaga dalamnya.

Praaak...! Terdengar seperti suara cermin pecah. Lalu sinar biru itu menghantam tubuh Bandar Hantu Malam. Zruub! Tepat mengenai iga kanan Bandar Hantu Malam.

"Aaahhhg...!" Bandar Hantu Malam mengejang dengan kepala terdongak dan kedua kakinya menekuk ke depan. Sekujur tubuhnya berasap, warna kulitnya menjadi merah retak-retak.

Suto Sinting terbelalak melihat keadaan Bandar Hantu Malam. Lukanya sangat parah, tapi agaknya ia bertahan untuk tetap lakukan serangan ke arah Dampu Sabang. Tapi serangannya sangat lunak dan mudah dihindari Dampu Sabang yang tertawa terbahak-bahak kegirangan. Suto dalam kebimbangan. Mau menolong, tapi yang ditolong adalah yang menjadi musuhnya dan ingin dibinasakan jika tak mau tawarkan racun yang mengenal Ratu Asmaradani. Jika ia tidak menolong, ia tak tega melihat orang yang pernah dikagumi itu menderita siksaan begitu keji.

Dalam keadaan bimbang itu, tiba-tiba Suto Sinting dikejutkan oleh gerakan halus yang datang dari arah belakangnya. Suto cepat-cepat genggamkan tangan untuk lepaskan pukulan kepada orang yang datang dari belakangnya dengan mengendap-endap itu. Tetapi pukulan itu segera dikendurkan, napas Pendekar Mabuk segera dihembuskan dengan lega begitu tahu siapa yang datang.

"Kelana Cinta...?!"

"Ssst...!" Kelana Cinta, perwira negeri Ringgit Kencana justru menempelkan telunjuk ke bibirnya yang ranum itu. Ia mendekati Suto, sedikit merapatkan badan agar terhalang dua pohon berjajar itu.

"Kenapa kau kemari?" bisik Suto.

"Ratu menyuruhku menjagamu dari kejauhan."

"Kenapa justru mendekat?"

"Karena saatnya telah tiba."

Suto kembali memandang Bandar Hantu Malam sebentar yang semakin menderita itu. Lalu ia memandang Kelana Cinta dan berkata dalam nada bisik, "Sejak kapan kau mengikutiku?"

"Sejak kau pergi dari Lembah Sunyi. Aku sempat melihat mereka terbantai. Kupikir semula ingin temui Resi Wulung Gading, sahabatku itu, tapi keadaannya tidak memungkinkan. Lalu kulihat kau tinggalkan tempat itu dan aku mengikutimu. Sekarang berbuatlah!"

"Apa yang harus kuperbuat?!"

"Hadapi Bandar Hantu Malam itu!"

"Untuk apa? Dia sudah hampir mati karena serangan adik seperguruannya."

"Kasihan Pak Tua yang sekarat itu kalau kau tidak segera turun tangan."

"Kenapa kasihan? Bukankah dia adalah Bandar Hantu Malam?!"

"Salah!" sentak Kelana Cinta dalam bisik. "Bandar Hantu Malam adalah lelaki brewok itu!"

"Hahh...?!" Suto terkejut. "Apakah kau tak salah lihat?"

"Tidak. Aku melihat jelas ia bertingkah seenaknya di istana kami! Dia yang mengaku Bandar Hantu Malam dan melepaskan pukulan 'Racun Siluman' ke tubuh Ratu Asmaradani."

"Tapi... tapi yang bernama Bandar Hantu Malam adalah orang yang sedang sekarat itu!"

"Tapi yang datang ke istana adalah si brewok itu!" bantah Kelana Cinta.

Suto bimbang sejenak. Tapi kebimbangan itu segera temui kepastiannya setelah Dampu Sabang berkata penuh kemenangan kepada Bandar Hantu Malam. "Randu Papak... akan kupercepat ajalmu tiba dengan satu jurus pelebur ragamu! Tapi sebelumnya perlu kau ketahui, seandainya kau hidup pun akan sia-sia, sebab nama Bandar Hantu Malam telah kugunakan untuk menyerang beberapa rekanmu, termasuk melukai ratu dasar laut dengan 'Racun Siluman'. Seandainya kau hidup, kau akan banyak musuh dan tak akan diakui sebagai orang aliran putih lagi! Mereka tak akan percaya padamu, Randu Papak. Ha, ha, ha, ha...!" Dampu Sabang tertawa lepas.

Suto Sinting menggeram. Tangannya mulai gemetar penuh hasrat menyerang Dampu Sabang. Napasnya membuat tanah di bawahnya menjadi melesak ke dalam. Karena napas yang keluar pada saat ia sedang marah adalah napas tuak satan yang dapat hadirkan badai dahsyat mengerikan.

"Sekarang terimalah ajalmu, Randu Papak! Hiaaat!" Sinar merah sebesar telapak tangan dihantamkan ke arah tubuh Bandar Hantu Malam dalam jarak lima langkah.

Tapi sebelum sinar itu melesat jauh dari telapak tangan Dampu Sabang, Suto Sinting lebih dulu lepaskan pukulan 'Pecah Raga' dari tangannya. Sinar hijau itu menghantam sinar merah dan terjadilah ledakan dahsyat yang mengguncangkan tanah sekitarnya.

Blegaaar!

Burung-burung yang hinggap di pohon jauh dari tempat itu berlarian. Beberapa pohon besar tumbang tak karuan. Tanah sempat retak di beberapa tempat. Kelana Cinta terjungkal sendiri ke belakang karena hentakan daya ledak tadi. Sedangkan Suto Sinting hanya terdesak mundur satu tindak, tapi Dampu Sabang terpental jauh dan berguling-guling. Dampu Sabang segera bangkit walau wajahnya menghitam legam, mulutnya berdarah dan brewoknya rontok dengan sendirinya. Dampu Sabang menjadi sangat murka dan berteriak keras-keras.

"Bangsat! Siapa yang mau ikut campur urusanku ini, hah?!"

"Aku!" jawab Suto sambil lompat dari persembunyiannya. "Aku, Suto Sinting yang kalahkan muridmu Wiratmoko dan telah bunuh istrimu yang sesat itu; Nyai Sedah!"

Mata Dampu Sabang merah dan menjadi liar, ia menggeram sambil melangkah maju dengan penuh nafsu membunuh. "Bangsat busuk! Kuleburkan ragamu menjadi satu dengan tanah, murid Gila Tuak! Hiaaah...!"

Tapi Suto Sinting lebih dulu sentakkan tangannya ke depan. Telapak tangannya dalam keadaan miring. Maka, puluhan pisau kecil melesat dari telapak tangan itu. Claaap...! Zrruubb...! Pisau-pisau kecil itu menancap tepat di dada sampai perut Dampu Sabang.

"Ahg...!" Dampu Sabang tersentak dan diam seketika dengan tangan masih mau disentakkan. Lama sekali dia tak bergerak. 

Kelana Cinta dan Bandar Hantu Malam sempat merasa heran melihat Dampu Sabang bagaikan menjadi patung. Tetapi ketika angin berhembus kencang, mereka terkejut melihat tubuh Dampu Sabang berhamburan ke mana-mana. Rupanya pada saat itu Dampu Sabang sudah tak bernyawa lagi. Pisau-pisau kecil itu telah membuat Dampu Sabang berubah menjadi debu yang masih saling bergumpalan. Itulah kehebatan dan kedahsyatan jurus 'Manggala' milik Pendekar Mabuk, pemberian dari Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu.

Dengan terbunuhnya tubuh Dampu Sabang, maka persoalan Bandar Hantu Malam palsu pun terselesaikan. Ki Randu Papak segera ditolong olah Suto menggunakan tuak saktinya, dan Suto meminta maaf kepada tokoh tua yang bijak itu.

Sedangkan Ratu Asmaradani tubuhnya menjadi pulih seperti sediakala, terbebas dari pengaruh 'Racun Siluman' yang juga dimiliki oleh Dampu Sabang. Hubungan Suto dengan Ratu Asmaradani semakin akrab, namun hanya sebatas sahabat saja. Tak ada yang berani jatuh cinta kepada Suto, sebab Suto sudah ada yang punya. Dialah Dyah Sariningrum, Gusti Mahkota Sejati.

SELESAI

Bandar Hantu Malam

Serial Pendekar Mabuk
Bandar Hantu Malam
Karya Suryadi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
ANGIN berhembus bersama mega mendung di langit. Kian lama hembusannya kian cepat. Sebuah bukit berhutan tipis disapu angin senja. Cahaya matahari memerah di cakrawala. Tapi cahaya itu masih mampu tampakkan sosok manusia kurus berjubah putih. Manusia kurus itu berambut putih, panjangnya sebatas punggung tanpa ikat kepala. Rambut putih itu milik seorang lelaki yang diperkirakan berusia hampir delapan puluh tahun. Jenggot dan kumisnya pun telah memutih rata. Rambut itu meriap-riap disapu anginsenja.

Kian lama hembusan angin kian kencang. Pohon- pohon meliuk nyaris patah bagian tengah batangnya. Angin kencang itu seakan ingin tumbangkan tokoh tua yang berdiri tegak di puncak bukit bertanah lapang. Nyatanya tokoh tua itu tetap diam saja tak bergeming. Tetap berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, membiarkan tubuhnya dihembus angin kencang. Jika bukan tokoh berilmu tinggi, tentu ia sudah tumbang sejak tadi.

Hembusan angin itu jelas bukan sembarang angin. Pasti ada yang mengirimkan kekuatan tenaga dalamnya melalui hembusan angin. Karena angin itu ternyata mempunyai hawa panas. Kian lama kian terasa jelas hawa panasnya. Bahkan dedaunan pohon, ilalang, dan rumput menjadi layu. Sekalipun tidak sampai kering, namun kehijauan dedaunan itu telah mulai berkeriput dan layu.

Unggas yang mendiami bukit itu lari ketakutan diterpa angin panas tersebut. Toh nyatanya tokoh tua berjubah putih masih tetap diam berlipat tangan didada, seakan menahan serangan dari lawannya yang mengancam keselamatan jiwa.

Kreseeek... Brrruuk...!

Pohon mulai tumbang. Itu tandanya kekuatan angin cukup tinggi. Bahkan sebongkah batu sebesar kerbau pun mulai retak. Traak...! Praak...! Dan akhirnya pecah terbelah menjadi lebih dari delapan bagian. Tetapi tubuh kurus tua itu masih tetap berdiri tegak tanpa bergeser sedikit pun dari tempatnya berpijak.

Bukit itu mempunyai jurang dalam sekali. Di seberang jurang ada bukit lain tanpa tanaman tinggi. Hanya batu-batuan yang saling bertonjolan sebagai ganti tanaman. Bukit yang gersang itu dinamakan orang Puncak Karang. Tanah dan bebatuannya berbentuk seperti karang laut.

Di Puncak Karang itu terlihat seorang pemuda berambut lurus sepanjang lewat bahu. Orang muda itu mengenakan baju coklat tanpa lengan, celananya putih kusam karena kotor oleh tanah. Entah berapa lama tidak dicuci. Pemuda tampan dan gagah itu menggendong bambu tempat tuak yang panjangnya sedepa. Bambu itu adalah jenis bambu besi berwarna coklat kehijauan dengan tali coklat kehitam-hitaman.

Melihat ciri pada bambu bumbung tuak itu, setiap tokoh di dunia persilatan pasti mengenali pemuda ganteng tersebut. Dia adalah Pendekar Mabuk, bernama Suto, murid sinting si Gila Tuak. Ilmunya yang sering dibilang edan-edanan itulah yang membuat Suto dikatakan murid sinting dan akhirnya dikenal dengan nama Suto Sinting. Di Puncak Karang itu si murid sinting Gila Tuak memandangi bukit seberang jurang. Hatinya menyimpan rasa heran dan kecamuk yang didengar oleh telinga batinnya sendiri.

"Hembusan angin itu jelas bukan angin sembarangan. Seseorang sedang menyerang kakek berjubah putih itu. Tapi di mana penyerangnya? Siapa orangnya? Aku tak menemukan hal-hal yang mencurigakan di sana. Yang jelas penyerangnya pasti ada di timur, karena angin itu berhembus dari timur ke barat. Aku merasakan hawa panas yang sepertinya mengandung tusukan seribu jarum. Ini pasti ilmu tinggi yang dikuasai seseorang sebagai ilmu andalannya. Kalau kakek berjubah putih itu bukan orang sakti, pasti ia sudah muntah darah atau menjadi hancur karena tenaga dalam yang cukup tinggi itu. Hmmm... siapa kakek berkalung batuan merah itu?"

Tokoh tua berjubah putih itu memang kenakan kalung batu-batuan warna merah kecoklat-coklatan. Warna kalungnya itu sangat menyolok karena ada di antara jubah putih dan jenggot panjang yang putih pula. Sejauh ini Suto Sinting hanya bertindak sebagai penonton yang baik. Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk justru duduk dengan satu kaki masih menapak di tanah dan satu kaki menumpang di atas batu seukuran pinggangnya.

"Pertarungan ini merupakan tontonan yang menarik sekali. Aku ingin tahu akhir dari pertarungan aneh itu. Apakah kakek berjenggot putih itu mampu menahan serangan lawannya yang tak kelihatan itu? Hmm... kulihat saja bagaimana jadinya."

Gemuruh suara angin bagaikan banjir datang dari kejauhan. Kecepatan angin sungguh besar, sampai- sampai pohon yang telah tumbang terseret ke barat bagaikan didorong dan ditarik tenaga yang amat kuat. Batu-batuan mulai menggelinding jatuh ke jurang. Tetapi kakek berjubah putih itu masih diam tanpa bergerak, kecuali jubahnya yang melambai-lambai dan rambutnya yang meriap-riap seakan ingin copot dari kulit kepalanya.

Hawa panas yang hadir bersama angin itu sudah membuat dedaunan menjadi menguning dengan cepat. Mungkin tak lama lagi semua dedaunan akan menjadi kering berwarna coklat. Keadaan Suto Sinting tidak tepat berada di belakang kakek kurus itu. Ia berada di sebelah selatan. Tapi ketinggian tempatnya berpijak membuat pandangan matanya mampu melihat jelas keadaan sang kakek sakti itu. Sekalipun demikian, hawa panas yang hadir bersama angin sempat terasa menyengat kulit lengannya. Padahal angin berhawa panas itu tidak terarah kepadanya.

"Kalau tubuh orang awam yang menerima hembusan angin panas itu, pasti tubuhnya menjadi melepuh bagai terbakar," pikir Suto dalam kebungkamannya. "Angin panas itu harus dilawan dengan gelombang hawa dingin. Dengan begitu rasa panasnya tidak akan terasa dan... dan oh, mungkin si kakek itu sedang melawannya dengan gelombang hawa dingin?!"

Pertarungan tanpa gerak itu semakin menarik perhatian. Mata Suto Sinting lebih melebar lagi karena ia melihat kalung batu-batuan merah yang melingkar di leher sang kakek kurus itu mulai menyala, memancarkan cahaya kebiru-biruan. Cahaya itu indah dipandang mata, tapi mempunyai makna keselamatan yang sangat besar.

"Dia mulai melepaskan kekuatan gelombang hawa dinginnya," gumam Suto lirih, seperti bicara pada diri sendiri.

Dugaan Pendekar Mabuk itu memang benar. Sebab kejap berikutnya, daun-daun pohon atau ilalang di kaki bukit itu menjadi berubah warna. Yang semula menguning layu kini mulai segar kembali. Warna kuningnya berubah menjadi hijau pupus. Kian lama dedaunan itu kian tampak lebih hijau lagi pada saat kalung merah tersebut masih memancarkan sinar biru indah.

Mata Pendekar Mabuk kian melebar kagum melihat pohon-pohon yang tumbang bergerak pelan-pelan, berdiri kembali bagai diatur seperti awalnya. Pohon yang telah terseret dari tempatnya kini kembali bergeser pada tempat semula. Pohon itu pun berdiri lagi dengan gerakan yang amat pelan. Batu-batu yang sudah beterbangan kembali ke tempatnya, yang pecah kembali melayang dan menyatu lagi. Tanah yang terbongkar karena sentakan akar pohon tumbang pun kembali menimbun lubangnya dan menjadi rapat seperti semula.

"Gila?! Dia telah pulihkan keadaan alam yang sudah berantakan menjadi tertata seperti awalnya. Luar biasa tinggi ilmu si kakek itu?!" gumam Suto dengan wajah tegang.

Cahaya pendar-pendar biru masih keluar dari kalung batu-batuan merah. Semakin tercengang Suto Sinting melihat adegan berikutnya. Daun-daun mulai berbusa tipis. Bintik-bintik putih yang dilihatnya dari seberang jurang itu tak lain adalah busa-busa salju. Bebatuan yang hitam pun mulai dilapisi warna putih lembut. Bertambah lama bertambah tebal busa putih itu.

"Sungguh mengagumkan!" gumam Suto bermata lebar. "Alam sekelilingnya kini menjadi penuh salju. Tanah pun bersalju, bergumpal-gumpal dan menutupi kedua kakinya. Wow...! Hebat sekali ilmu si kakek itu. Angin kencang dihentikan, hawa panas dilawannya. Oh, siapa sebenarnya kakek sakti itu?"

Langit berawan mendung hitam ikut-ikutan menyingkir. Kini langit menjadi cerah, walau masih memancarkan warna merah saga karena matahari mulai tenggelam ke peraduannya. Tetapi lenyapnya awan hitam itu membuat hati Suto Sinting seolah-olah mengalami perasaan lega dan tenang. Lenyapnya awan hitam itu sudah tentu karena kekuatan dahsyat sang kakek berjubah putih yang berpengaruh sampai ke langit di ataskepalanya.

"Sayang Guru tidak ada di sini. Kalau ada di sini akan kutanyakan kepada Guru, siapa kakek kurus berjubah putih berkalung merah itu? Apakah ilmunya masih lebih tinggi dari ilmu guruku? Hmmm... kurasa sejajar. Ya, setidaknya Guru punya ilmu sejajar tingginya dengan kakek itu. Atau mungkin Guru lebih tinggi lagi, hanya tidak pernah diperlihatkan padaku ketinggian ilmunya yang melebihi ilmu kakek berjubah putih itu?" kata Suto dalam kecamuk batinnya.

Duaaar...!

Suara ledakan terdengar di kejauhan. Bukan berasal dari bukti seberang jurang. Bukan berasal dari tempat kakek sakti itu melakukan pertarungan gelap, tapi berasal dari kaki Puncak Karang. Suto Sinting pun segera berpaling ke belakang, memandang ke bawah, melihat kepulan asap tipis yang segera hilang.

"Ada apa di sana? Jangan-jangan Rindu Malam dan Kelana Cinta bertarung sendiri adu kehebatan ilmu masing-masing?"

Kelana Cinta dan Rindu Malam adalah dua wanita cantik yang berasal dari negeri Ringgit Kencana. Kemunculan Rindu Malam dan Kelana Cinta dari negerinya adalah sebagai utusan sang Ratu yang bernama Asmaradani. Rindu Malam ditugaskan menjemput Suto Sinting, sekaligus membantu menghadapi masalah yang waktu itu hampir membuat Suto kehilangan gelar kependekarannya.

Sedangkan Kelana Cinta adalah orang kepercayaan Ratu Asmaradani yang bertindak sebagai wakil sang Ratu dalam menghadiri pertemuan tokoh tingkat tinggi dalam memecahkan masalah persoalan kematian Empu Sakya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Keris Setan Kobra). Kedudukan Kelana Cinta lebih tinggi dari Rindu Malam, sebab Kelana Cinta mempunyai jabatan atau pangkat perwira di negeri Ringgit Kencana itu.

Ketika mereka bermaksud membawa Suto Sinting ke negeri Ringgit Kencana untuk menghadap Ratu Asmaradani yang pernah hadir lewat mimpi Suto, tiba- tiba keduanya mempunyai selisih pendapat. Mereka terpaksa berhenti di perjalanan dan menyuruh Suto agak menjauh, karena mereka ingin lakukan perdebatan yang tak boleh didengar siapa pun.

Karenanya, Suto Sinting naik ke Puncak Karang dan terkesima oleh pertarungan kakek sakti yang aneh itu, sementara Rindu Malam dan Kelana Cinta lakukan perdebatan sengit di kaki Puncak Karang tersebut. Apa yang diperdebatkan oleh kedua wanita cantik berpotongan rambut cepak seperti lelaki itu adalah sesuatu yang tak disangka-sangka oleh Suto Sinting.

"Sekalipun kau telah pertaruhkan nyawamu beberapa kali untuknya, tapi kau tetap tidak diizinkan untuk jatuh cinta padanya, Rindu Malam."

"Gusti Ratu Asmaradani tidak keluarkan larangan seperti itu, Perwira! Larangan yang dikeluarkan oleh Gusti Ratu Asmaradani adalah tidak boleh menyakiti atau melukai Suto!"

"Memang. Tapi jatuh cinta pada Suto itu pun merupakan larangan yang tak perlu dijelaskan. Mestinya kau sudah mengetahui tanpa mendapat penjelasan lebih dulu!"

"Kurasa kau sendiri yang mengincarnya, sehingga kau takut kalau Suto lebih tertarik kepadaku dari pada kepadamu, Perwira!"

Mata Kelana Cinta yang indah itu sedikit menyipit memandang Rindu Malam. Ia menahan kemarahan dalam hatinya. Suaranya mulai menggeram lirih. "Jalankan tugasmu saja. Jangan bicara soal cinta."

"Tapi aku tak bisa menahannya dan ingin mengatakan padanya bahwa aku menaruh hati padanya. Kau pun tidak berhak melarangku, Perwira. Karena tugasmu bukan melarang orang jatuh cinta tapi memberikan suara pembelaan dalam menghadiri sidang para tokoh tingkat tinggi itu!"

"Rindu Malam, jangan pancing kemarahanku sekali lagi. Jangan kau buat kesabaranku habis dengan kekerasan hatimu itu! Aku pun bertugas menyelamatkan Suto dari gangguan siapa pun, baik gangguan raganya maupun gangguan hati dan jiwanya. Kalau kau nyatakan dirimu jatuh cinta kepada Suto, maka pendekar tampan itu akan punya penilaian lain terhadap kita. Dia tidak mau datang ke negeri kita jika dia tidak berkenan menerima cintamu!"

Rindu Malam masih ngotot. "Dia pasti berkenan menerima cintaku. Dia pasti membalas cintaku. Yang penting aku harus bicara apa yang ada di dalam hatiku. Aku tak tahan jika harus memendamnya lama-lama."

"Rindu Malam!" sentak Kelana Cinta. "Jangan rendahkan dirimu gara-gara rasa cinta pada seorang lelaki! Biarkan lelaki itu yang bicara, tapi kau jangan mengawalinya!"

"Tidak bisa! Untuk lelaki seperti Suto aku harus berani mengawalinya, supaya ia segera mengetahui apa isi hatiku sebenarnya!"

"Aku akan menjatuhkan hukuman untukmu jika kau nekat mengatakan isi hatimu! Aku bisa menuduhmu sebagai warga Ringgit Kencana yang menjatuhkan citra dan harga diri seluruh rakyat negeri Ringgit Kencana dengan caramu itu!"

"Aku tak peduli hukumanmu, Perwira Kelana Cinta! Kalau kau mau hukum aku, silakan saja, yang penting Suto harus tahu kalau aku mencintainya!" tegas Rindu Malam.

Tapi tiba-tiba sebuah suara segera menyahut dari belakang mereka. "Manusia bodoh!"

Kedua utusan dari negeri Ringgit Kencana itu terkejut dan cepat palingkan wajah dengan masing-masing paaang kuda-kuda secepatnya. Rindu Malam siap lepaskan serangan jika keadaan membahayakan. Sedangkan Kelana Cinta segera kendurkan ketegangan karena ia mengenal siapa perempuan muda yang datang berpakaian ungu muda dengan jubah warna ungu lebih tua lagi itu. Wanita muda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu menyandang pedang di punggung yang dililit kain ungu pula pada bagian sarung dan gagangnya. Rambutnya di sanggul sebagian di bagian tengah, matanya indah tapi berkesan galak.

"Sumbaruni?!" geram Kelana Cinta yang merasa tak suka perdebatannya dicampuri oleh orang lain. Karenanya sikap Kelana Cinta terhadap Sumbaruni saat itu kurang bersahabat.

Tetapi wanita muda yang sebenarnya sudah berusia sekitar delapan puluh tahun lewat itu sengaja sunggingkan senyum sinis sebagai sikap tenangnya. Sumbaruni yang juga sering disebut Pelangi Sutera adalah bekas istri jin Kazmat, yang mendapat ilmu turunan dari seorang petapa sakti yang cukup disegani pada masanya. Dari perkawinannya dengan jin Kazmat yang merubah wujud sebagai pemuda tampan itu, Sumbaruni mendapatkan seorang anak bertubuh tinggi, besar, gundul, berkuncir, hitam kulitnya, dan hanya memakai cawat.

Anak itu bernama Logo, yang sering disebut sebut sebagai anak jin. Sumbaruni terpikat oleh Suto Sinting, karena ia merindukan seorang kekasih dan suami dalam hidupnya selanjutnya. Bahkan ia sanggup beradu kesaktian dengan Ratu Gusti Mahkota Sejati, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi, yang punya nama asli Dyah Sariningrum dan menjadi calon istri Suto itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak).

Sebab itulah Pelangi Sutera tidak menyukai perdebatan itu dan segera ikut campur dengan sikap kurang bersahabat. Pelangi Sutera atau Sumbaruni mempunyai ilmu yang dapat dipakai untuk mengukur ketinggian ilmu seseorang dengan melihat wajahnya atau mendengar namanya saja. Tak heran jika Sumbaruni berkesan meremehkan kedua utusan dari negeri Ringgit Kencana itu, karena ia sadar bahwa ilmunya lebih tinggi dari kedua orang tersebut.

"Apa maksudmu ikut campur dalam percakapan kami, Sumbaruni?!" tegur Kelana Cinta dengan ketus.

"Karena aku tak izinkan gadis mana pun jatuh cinta kepada Suto Sinting."

"Apa alasannya?!" sentak Rindu Malam merasa tertantang oleh jawaban itu.

Sumbaruni sunggingkan senyum sinis semakin lebar. "Aku lebih dulu jatuh cinta kepada Suto dan bermaksud ingin memiliki Suto!"

"Lancang betul mulutmu!" geram Rindu Malam sambil melangkah menyamping mencari kesempatan untuk lakukan penyerangan.

Sumbaruni tetap tenang. Matanya kian tajam memandangi Rindu Malam yang terus bicara dengan suara geram yang pelan, tanpa sentakan keras sedikit pun. "Aku tak peduli siapa dirimu, yang jelas aku pun siap bertanding adu kekuatan denganmu untuk dapatkan Pendekar Mabuk itu!"

"Tahan!" potong Kelana Cinta. "Jangan kalian menjadi orang-orang konyol gara-gara cinta! Sangat memalukan!"

"Cinta punya harga diri sendiri, Kelana Cinta!" sahut Sumbaruni. "Aku setuju dengan usul temanmu itu! Aku bersedia adu kesaktian dengan gadis itu!"

Kelana Cinta masuk ke pertengahan jarak antara Sumbaruni dan Rindu Malam. Wajahnya tegang karena menyimpan kejengkelan. "Kalau kalian ingin bertanding kesaktian, silakan saja! Tapi jangan karena cinta, jangan karena merebutkan seorang lelaki! Seberapa pun tingginya harga diri sebuah cinta, tetap akan memalukan jika didengar orang-orang yang tidak menyukai kita. Sadarlah kalian!"

"Minggirlah, Perwira...!" geram Rindu Malam dengan mulai mencabut pedangnya.

Kelana Cinta semakin dongkol dengan sikap Rindu Malam. Ia menghardik orang yang termasuk bawahannya itu, "Kuperintahkan padamu untuk pulang lebih dulu. Rindu Malam!"

"Aku tidak mau!"

"Kau membangkang perintahku?!"

"Aku terpaksa membangkang, karena perintahmu tidak beralasan!"

Agaknya Rindu Malam tak merasa takut menghadapi Kelana Cinta. Semua demi maksud hatinya yang ingin menyampaikan rasa cintanya kepada Suto Sinting. Hal itu membuat Kelana Cinta segera menghampiri Rindu Malam dengan berang, lalu menampar wajah gadis itu dengan gerakan cepat. Deeg...! Kelebatan tangan itu ditangkis cepat pula oleh Rindu Malam, sehingga pergelangan tangan mereka saling beradu kuat.

"Jangan memerintahku dalam keadaan seperti saat ini, Perwira! Siapa pun bisa kulawan tanpa peduli menang dan kalah!"

"Rindu Malam!" hardik Kelana Cinta dengan wajah kian tampakkan kemarahan.

"Biarkan aku bertanding kekuatan dengan perempuan itu!" sahut Rindu Malam, sangat ngotot dan tak bisa dicegah lagi.

"Tidak! Tidak kuizinkan!"

Deeg...! Tiba-tiba Rindu Malam memukul rusuk Kelana Cinta dengan telapak tangannya. Pukulan itu sangat cepat dan tak sempat ditangkis oleh Kelana Cinta. Akibatnya tubuh Kelana Cinta terlempar ke samping, empat langkah jauhnya. Dan pada saat itulah Rindu Malam segera berseru kepada Sumbaruni,

"Majulah kalau kau ingin tahu seberapa besar hasratku mencintai Suto!"

"Kulayani tantanganmu!" kata Sumbaruni tanpa gentar.

Tapi baru saja Sumbaruni hendak langkahkan kaki untuk maju, tiba-tiba tangan kiri Rindu Malam telah lepaskan pukulan tenaga dalam bersinar putih bagaikan sekeping logam bundar. Slaaap...! Sinar putih itu segera disambut oleh lompatan Sumbaruni ke atas sambil lepaskan pukulan dari genggaman tangan kanannya yang memancarkan sinar hijau menggumpal tak beraturan.

Duaar...!

Ledakan sinar putih dan sinar hijau itulah yang didengar Suto Sinting dari Puncak Karang, itulah sebabnya Pendekar Mabuk segera lari turun dari Puncak Karang untuk mengetahui apa yang terjadi di kaki puncak itu. Namun sebelum Pendekar Mabuk tiba di kaki puncak, Rindu Malam sudah lebih dulu melompat dengan menebaskan pedangnya ke dada Sumbaruni.

Wuuutt...!

Sumbaruni bersalto mundur satu langkah. Begitu mendarat di tanah ia langsung merendah. Tangannya menapak tanah, kaki kanannya menendang pergelangan tangan Rindu Malam yang menggenggam pedang.

Wuuut...! Deess...!

Wees...! Pedang pun terlepas dari tangan, terlempar ke atas. Tapi Rindu Malam segera sentakkan kakinya begitu tiba di tanah, sehingga tubuhnya kembali melesat ke atas dan menyambar gagang pedangnya kembali dengan tangan kiri.

Tabb...!

Waktu itu bertepatan dengan Sumbaruni lepaskan pukulan mautnya melalui sodokan dua jari kanan. Suuut...! Dan terlepaslah selarik sinar biru dari ujung dua jari itu. Karena tubuh Rindu Malam sudah telanjur melesat naik, maka sinar biru itu tidak mengenai sasaran, melainkan justru mengarah ke dada Kelana Cinta. Dengan cepat Kelana Cinta sentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu sinar merah bergelombang memancar keluar dan dihantam oleh sinar birunya Sumbaruni.

Blaaar...!

Ledakan ini cukup kuat. Sumbaruni terpental ke belakang, demikian pula Kelana Cinta. Sedangkan Rindu Malam terpelanting ke samping dengan melayang tanpa keseimbangan badan. Bruuk...! Mereka saling jatuh ke tanah hampir bersamaan. Dan pada waktu itulah Suto Sinting tiba di tempat tersebut.

Jleeg!

"Sumbaruni?!" Suto Sinting memandang heran terhadap Sumbaruni yang tak disangka-sangka sudah ada di tempat itu. Mata Pendekar Mabuk yang bagus dan jeli menurut para wanita itu, segera menatap Kelana Cinta dan Rindu Malam yang sedang bergegas bangkit dari kejatuhan mereka.

"Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa kalian saling bertarung?"

"Hmmm... anu... hanya salah paham sedikit," jawab Kelana Cinta menutupi persoalan sebenarnya.

"Salah paham bagaimana?"

"Rindu Malam menyangka Sumbaruni orangnya Raden Udaya, dan Sumbaruni menyangka Rindu Malam anaknya Malaikat Beku. Kurasa... kurasa bisa kami selesaikan sendiri, Suto."

"Benarkah begitu, Sumbaruni?" tanya Suto.

"Hmm... eh... iya," Jawab Sumbaruni sambil melirik Rindu Malam.

Dan ketika Suto menanyakan kepada Rindu Malam, gadis itu pun akhirnya dengan berat hati menganggukkan kepala.

"Memang... memang hanya salah paham saja."

Suto Sinting tertawa, tapi Rindu Malam dan Sumbaruni saling lirik penuh hasrat untuk saling menyerang. Hasrat itu sama-sama mereka tahan supaya tidak membuat si pendekar tampan besar kepala, karena merasa diperebutkan.

Tiba-tiba sekelebat bayangan datang dari arah belakang Sumbaruni. Bayangan itu tahu-tahu sudah berwujud di depan mereka, membuat Sumbaruni dan Suto sedikit tercengang melihat penampilan seorang tokoh tua berambut panjang abu-abu, berbadan kurus dan berjubah putih kusam. Orang itu bukan orang tua yang bertarung aneh di puncak bukit seberang tadi, melainkan seorang tokoh tua yang amat dikenal Suto dan Sumbaruni. Dia adalah Raja Maut, tokoh beraliran putih yang tidak sempat hadir dalam pertemuan di Jurang Lindu untuk membicarakan pelaku pembunuhan Ki Empu Sakya.

"Sumbaruni, syukurlah kau bisa kutemui di sini!" kata Raja Maut.

"Ada apa, Prasonco?" tanya Sumbaruni menyebutkan nama asli Raja Maut.

"Anakmu... terpeleset jatuh ke Jurang Petaka saat mencarimu!"

"Hah...?! Logo jatuh ke Jurang Petaka?!" sentak Sumbaruni dengan kaget.

Suto berkerut dahi dan berkata membatin, "Jurang Petaka?! Bukankah jurang itu adalah jurang yang amat dalam dan tak akan membuat siapa pun bisa selamat jika masuk ke sana?! Oh, celaka! Kalau begitu Logo dalam bahaya besar!"

Tetapi Raja Maut segera berkata kepada Sumbaruni dan amat mengejutkan Pendekar Mabuk, "Cepatlah cari anakmu itu sebelum ia dimanfaatkan oleh Siluman Tujuh Nyawa! Sebab kudengar Siluman Tujuh Nyawa bersemayam di Jurang Petaka sudah beberapa waktu lamanya."

Detak jantung Pendekar Mabuk menjadi cepat dan menghentak-hentak. Nama Siluman Tujuh Nyawa adalah nama yang mengobarkan kemarahan dalam dadanya. Tokoh sesat yang paling sakti dan mampu menembus dunia gaib itu adalah tokoh yang sedang dikejar-kejar oleh Pendekar Mabuk selama ini. Ia tak akan mengawini Dyah Sariningrum sebelum berhasil membunuh tokoh paling kejam dan ganas itu. Tetapi selama ini Suto kehilangan Jejak Siluman Tujuh Nyawa yang selalu menghindar jika bertemu dengan Suto.

"Sayang aku sedang dalam perjalanan ke negeri Ringgit Kencana!" geram Suto dalam hatinya. "Apakah sebaiknya kubatalkan saja rencana kunjunganku ke negeri Ringgit Kencana itu? Tapi, Ratu Asmaradani sangat membutuhkan pertolonganku, ia dalam bahaya yang agaknya sangat menyedihkan. Atau... biarlah kukerjakan dulu rencana pergi ke Ringgit Kencana, setelah itu baru memburu Siluman Tujuh Nyawa ke Jurang Petaka?!"

Kebimbangan Pendekar Mabuk membuat si murid sinting Gila Tuak itu tertegun beberapa saat dalam keadaan tetap berdiri memandangi Rindu Malam. Yang dipandang dengan tatapan kosong itu justru menyangka Suto sedang mengagumi kecantikannya dan mulai berhasrat untuk mendekati hatinya. Tak heran jika Rindu Malam akhirnya berdebar-debar panik dan salah tingkah mendapat tatapan mata si pendekar tampan itu.

* * *

DUA
UNTUK mencapai negeri Ringgit Kencana, mereka harus terlebih dulu menemukan Pulau Bayangan. Pulau itu terletak di Selat Buaya. Sebuah selat di antara dua pulau besar yang berair tenang. Gelombang lautan seakan enggan melintasi Selat Buaya. Konon, di perairan itu dulunya hidup binatang yang mirip buaya dan dinamakan Buaya Laut. Tetapi binatang itu sekarang sudah punah dan tak pernah terlihat lagi.

Pulau Bayangan adalah sebuah pulau kecil, luasnya kurang dari sepuluh langkah. Bentuknya seperti mangkok terbalik, tanpa tanaman apa pun kecuali hanya rumput laut. Mereka mencapai Pulau Bayangan dengan sebuah sampan yang terbuat dari batang kelapa. Sampan itu panjang, tapi sempit. Dibuat secara mendadak oleh Rindu Malam dan Kelana Cinta. Suto Sinting hanya memperhatikan sambil sesekali meneguk tuak dari bumbungnya, ia memang tidak diizinkan bekerja oleh kedua utusan Ratu Asmaradani itu.

"Di mana sebenarnya letak negeri Ringgit Kencana itu?" tanya Suto ketika mereka tinggal beberapa saat lagi mencapai Pulau Bayangan.

"Di Pulau Bayangan," jawab Kelana Cinta mendahului mulut Rindu Malam yang ingin menjawab pertanyaan itu.

"Katamu, Pulau Bayangan adalah pulau yang ada di depan kita itu?"

"Memang."

"Pulaunya kecil begitu?!" Suto Sinting heran.

"Memang kecil," jawab Kelana Cinta lagi membuat Rindu Malam kembali tak jadi bicara.

"Lalu, mana istananya? Mana negerinya?"

"Negerinya..."

"Ada di sana!" sahut Kelana Cinta.

Rindu Malam bersungut-sungut. Merasa jengkel dengan sikap Kelana Cinta yang selalu mendahuluinya dalam bicara. Padahal dia ingin sekali menjawab apa-apa yang ditanyakan oleh Suto. Ia ingin menjadi pemandu Pendekar Mabuk. Dan melihat Rindu Malam cemberut dan bersungut-sungut, Kelana Cinta sunggingkan senyum geli, sebab ia sengaja menggoda hati Rindu Malam agar jengkel oleh sikapnya. Hal itu dilakukan oleh Kelana Cinta sekedar untuk melemparkan canda dan menghilangkan ketegangan yang tadi terjadi di antara mereka sebelum Sumbaruni datang.

Ketika Sumbaruni pergi bersama Raja Maut mencari Logo, anaknya yang jatuh ke Jurang Petaka itu, Kelana Cinta berhasil membujuk Suto Sinting agar tetap meneruskan perjalanan ke negeri Ringgit Kencana. Padahal waktu itu Rindu Malam sudah mau bicara dan membujuk Suto, tapi didahului oleh Kelana Cinta. Gadis itu hanya bisa menyimpan kedongkolan saja.

Sampan dari batang kelapa dibuang begitu mereka tiba di pulau kecil seperti tempurung terbalik itu. Sampan dibiarkan hanyut terbawa arus lemah, entah menuju ke pantai sebelah mana. Yang jelas Kelana Cinta segera menyuruh Suto ke tengah pulau kecil tersebut.

"Aneh sekali?!" gumam Suto Sinting sambil memandang pulau gundul yang seolah-olah tempat pengasingan amat menyedihkan. Tak ada tonggak, tak ada pohon, tak ada atap, tak ada apa-apa. Tentu saja Pendekar Mabuk bingung mencari di mana negeri Ringgit Kencana itu.

Rindu Malam membawa Suto persis ke tengah pulau. Kelana Cinta segera lakukan gerakan aneh. Kedua tangannya direntangkan, lalu mengeras, dan bergerak saling mendekat di depan dada. Kedua tangan itu saling bertemu, tapi hanya ujung telunjuk dan ujung jempolnya saja yang bertemu, jari lainnya menggenggam rapat.

Kelana Cinta memusatkan pikirannya, mengerahkan tenaga untuk keluarkan kekuatan aneh dari ujung pertemuan dua telunjuk tersebut. Kejap berikut, ujung telunjuk itu lepaskan selarik sinar warna-warni, bagaikan sinar pelangi. Sinar itu melesat tanpa putus, mengarah ke tanah cadas berumput laut.

Sinar itu bergerak sesuai dengan langkah kaki Kelana Cinta yang mengelilingi tubuh Rindu Malam dan Suto Sinting. Sinar warna-warni itu mengingatkan Suto pada setangkai bunga mawar warna-warni yang hadir dalam mimpinya dan sempat menjadi kenyataan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Keris Setan Kobra).

Sinar itu begitu mengenai tanah membekas seperti warna dan nyala aslinya. Langkah kaki Kelana Cinta yang bergerak berkeliling itu membuat tanah menjadi bersinar dalam bentuk lingkaran, Kelana Cinta ada dalam lingkaran tersebut. Dan ia segera hentikan tindakan itu setelah bentuk sinar di tanah menjadi lingkaran yang saling bertaut ujungnya. Kini Kelana Cinta mendekati Suto dan Rindu Malam. Sinar di tanah masih menyala warna pelangi, makin lama makin berkobar seperti api, dan tahu-tahu bergerak cepat naik ke atas.

Wuuusst...!

Pendekar Mabuk kaget dan sempat ditertawakan kedua gadis itu. Wajah Suto terheran-heran memandang sinar itu telah membentuk dinding tinggi warna-warni di bagian atasnya saling merapat, meruncing seperti kerucut. Kini mereka berada di dalam kurungan sinar warna-warni.

Tak sepatah kata pun terlepas dari mulut Suto yang sedikit ternganga karena kagum dan heran. Bahkan Pendekar Mabuk itu kian kerutkan dahi ketika rasakan pulau yang dipijaknya itu bergerak amblas ke dalam laut secara pelan-pelan. Gerakan itu terjadi cukup lama, sehingga Suto dapat memperkirakan bahwa dirinya bersama dua utusan negeri Ringgit Kencana itu sedang dibawa menyelam ke dalam laut oleh pulau kecil tersebut. Hal yang mengherankan Suto adalah tak ada air yang masuk ke dalam lingkaran itu, tapi telinganya sempat mendengar bunyi gemuruh air samar-samar.

"Dibawa ke mana aku ini?" pikir Suto dengan was-was. "Jangan-jangan aku diajak bunuh diri bersama-sama?"

Rindu Malam sempat tersenyum tipis, menertawakan keheranan Suto Sinting. Tapi anehnya, baik Rindu Malam maupun Kelana Cinta tak ada yang bicara sepatah kata pun. Hal itu membuat Suto sendiri tak berani bicara apa-apa.

Claaap...!

Sinar pelangi itu lenyap begitu saja. Juga sempat mengejutkan Suto Sinting. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata saat itu Suto sudah berada di pelataran sebuah istana yang dihuni olah wanita-wanita cantik berambut pendek seperti potongan lelaki. Bentuk kecantikannya memang berbeda, tapi agaknya ada satu keharusan bagi mereka untuk memangkas rambutnya sependek mungkin hampir mirip seorang lelaki.

Pendekar Mabuk itu celingak-celinguk kebingungan. Ia buru-buru meneguk tuaknya sambil membatin, "Siapa tahu setelah minum tuak aku tidak terlalu bingung begini!"

Namun setelah meneguk tuak, ternyata Suto Sinting semakin tambah bingung. Hal yang membuatnya bingung adalah munculnya sejumlah gadis cantik berpakaian macam-macam warna, namun mempunyai bentuk pedang yang sama, bergagang bentuk bunga mawar. Sedangkan di tepian pelataran Istana itu, terdapat tanaman bunga mawar berjajar. Mawar-mawar di sana berwarna seperti pelangi.

Keharumannya yang khas menyebar membuat Pendekar Mabuk merasa seperti hidup di alam mimpi. Bunga-bunga mawar itu pun mempunyai tangkai yang tanpa duri, seperti bunga mawar yang diberikan kepadanya oleh seorang ratu bernama Asmaradani di dalam mimpinya beberapa waktu yanglalu.

Suto masih tidak berani bergerak. Bingung memandangi wajah-wajah cantik yang segera membentuk satu barisan memanjang dari dalam istana sampai ke gerbang yang ada di belakang Suto Sinting itu. Rupanya kehadiran Suto disambut dengan penghormatan khusus, tak bedanya seorang tamu agung mengunjungi sebuah negeri.

Sekalipun Pendekar Mabuk mencoba tenangkan diri, tapi masih saja tampak keheranannya ketika memperhatikan wajah-wajah cantik penuh senyum menawan kepadanya, dan segera disadari bahwa tak satu pun ada orang lelaki di sekelilingnya.

Satu-satunya orang lelaki yang ada di antara mereka adalah dirinya sendiri. Suto Sinting mulai grogi merasa dirinya tunggal ada di antara gadis-gadis cantik.

"Di... di mana aku ini?" tanya Suto dalam bisik kepada Rindu Malam.

"Di negeri Ringgit Kencana," jawab Rindu Malam seiring senyum manisnya.

Kelana Cinta menambahkan kata, "Kita berada di dasar laut, Suto!"

"Di dasar laut?! Aneh?!" gumam Suto yang memang merasa aneh, karena ia tidak melihat ciri-ciri kehidupan dasar laut. Tanah yang dipijak seperti tanah di permukaan bumi. Pakaian mereka ataupun kulit mereka tidak ada yang bersisik. Bagian atas tampak ada langit bermega putih. Langit dalam keadaan terang walau tak terlihat di mana letak mataharinya.

"Sebuah negeri yang aneh," katanya pelan. "Seperti negeri di atas permukaan sebuah pulau saja!"

"Gusti Ratu kami mempunyai ilmu 'Latar Bayangan' yang membuat semua pemandangan di sini seperti pemandangan di permukaan pulau," kata Kelana Cinta.

"Apakah di sini juga ada siang dan malam?"

"Ya. Kami juga mengenal siang dan malam, tapi kami tak punya matahari dan rembulan," jawab Rindu Malam. "Hanya orang berilmu tinggi dan mempunyai kepekaan indera keenam saja yang bisa sampai ditempat kami ini. Tetapi jika kau tinggal disini, kau akan dibekali ilmu tersendiri yang bisa membuatmu keluar-masuk kenegeri kami, seperti contohnya ilmu yang kugunakan membawamu kemari tadi," kata Kelana Cinta. "Seandainya ada..."

Kelana Cinta tak jadi teruskan kata, ia melihat seorang wanita berjubah perak muncul di serambi istana. Wanita berambut pendek itu membungkukkan badannya, memberi hormat kepada Suto Sinting. Maka Kelana Cinta berkata,

"Sebaiknya kita segera masuk ke istana. Pendeta Agung Dewi Rembulan sudah mempersilakan kita untuk menghadap sang Ratu."

"O, perempuan cantik itu juga punya jabatan tinggi di sini?" sambil Suto memandangi pendeta Agung Dewi Rembulan yang kepalanya dihiasi rantai emas dengan batu-batu kecil warna hijau bening, sejenis batu giok.

"Dia adalah pemimpin upacara suci bagi rakyat kami sekaligus penasihat Ratu Asmaradani," bisik Rindu Malam. "Ayolah, sang Ratu sudah menunggu."

Sambil melangkah menuju Istana bertangga sepuluh baris itu, Suto sempat berpikir curiga, "Jangan-jangan aku dibawa ke sini mau dikawinkan? Wah, gawat kalau begitu. Kalau toh aku lari, tak akan bisa timbul di permukaan laut. Aku tak tahu jalan keluar dari negeri ini."

Pilar-pilar istana terbuat dari batuan bening. Lantainya bagaikan kaca yang memantulkan bayangan orang diatasnya. Pilar bening itu memantulkan sinar warna-warni yang mempunyai nilai keindahan tersendiri. Hawanya sejuk, tapi tidak membuat tubuh sampai menggigil. Suto melangkah menaiki tangga serambi sambil memandang kagum kepada kemegahan di sekitarnya.

Ruang paseban sangat luas, hening dan bersuasana penuh kharisma. Di ruang paseban itulah Suto dipertemukan dengan seorang wanita berambut panjang. Hanya dialah wanita yang mempunyai rambut panjang dari sekian banyak wanita yang ada di negeri tersebut.

Wanita itu seperti masih berusia dua puluh lima tahun. Cantik, dadanya montok menggiurkan, senyum tipisnya menampakkan lesung pipit yang memikat, hidungnya tidak terlalu mancung namun bangir dan indah. Bibirnya pun seperti kuncup mawar yang selalu basah. Wanita itu mengenakan jubah biru sutera tipis, dilengkapi dengan perhiasan mewah, termasuk mahkota separo lingkaran yang dipajang di rambutnya, membuat ia tampak berwibawa dan anggun. Wanita itu duduk di sebuah kursi dari bebatuan bening warna hijau. Bagian depannya tertutup meja dari marmer putih tak tembus pandang, sehingga yang terlihat hanya sebatas dada ke atas saja.

Hal yang membuat Pendekar Mabuk menjadi terbengong-bengong adalah kenyataan yang nyaris tak dipercayainya, bahwa wanita berjubah biru tipis itu adalah wanita cantik yang hadir dalam mimpinya beberapa waktu yang lalu. Tentu saja Suto Sinting segera ingat nama wanita yang memberikan bunga mawar dua kali dalam mimpinya itu.

"Dia pasti Ratu Asmaradani...," ucapnya dalam hati.

Lalu sang Ratu berkata, "Selamat datang di negeriku. Tentunya kau heran tapi tidak asing dengan wajahku yang pernah hadir dalam mimpimu itu, Pendekar Mabuk."

Suto Sinting menelan ludahnya. "Iiy... iya...," jawabnya dengan kikuk antara malu dan kagum. "Boleh aku minum tuak sedikit?"

"Silakan," jawab Ratu Asmaradani dengan penuh keramahan dan senyum yang amat menawan, ia tetap duduk di singgasananya, ia memandangi Suto meneguk tuaknya dengan wajah penuh keceriaan, seakan amat gembira menerima kedatangan Pendekar Mabuk.

Pendeta Agung Dewi Rembulan juga memandang dengan senyum keramahan, ia berdiri lima langkah di samping tempat duduk sang Ratu. Wajahnya yang cantik dan sepertinya baru berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu, sebenarnya wajah yang terawat oleh sebuah ilmu kecantikan. Padahal Pendeta Agung Dewi Rembulan sebenarnya berusia di atas sembilan puluh tahun. Sedangkan Ratu Asmaradani sebenarnya berusia di atas tujuh puluh tahun.

Rindu Malam dan Kelana Cinta ada di samping kanan kiri Suto dalam jarak masing-masing tujuh langkah. Mereka berdiri tegak bagaikan sepasang pengawal setia sang tamu. Sedangkan di pinggiran sana berlututlah wanita-wanita muda dan cantik yang menjadi prajurit istana negeri tersebut. Semua mata tertuju kepada Suto Sinting dengan wajah berseri-seri.

Suto duduk di atas batuan marmer putih, seperti marmer meja di depan Ratu Asmaradani. Batuan marmer itu berbentuk kotak kubus yang agaknya sengaja disediakan untuk seorang tamu. Batu marmer itu diberi bantalan warna merah jambu yang empuk dan sangat enak untuk diduduki.

"Suto Sinting, sebelumnya aku minta maaf padamu karena telah hadir dalam mimpimu menggunakan Ilmu 'Rambah Batin' yang kumiliki itu."

"Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku tidak merasa terganggu," kata Suto Sinting menampakkan ketegasan sikapnya.

"Aku sengaja memanggilmu dan ingin meminta bantuan padamu, Suto."

"Kurasa kau salah orang, Nyai Ratu. Aku bukan dewa yang bisa dimintai bantuan. Aku hanya manusia biasa dengan kemampuan yang sangat terbatas."

"Tapi firasat yang datang padaku mengatakan, kaulah satu-satunya orang yang bisa menolongku, Suto Sinting. Apakah kau keberatan?"

Suara merdu yang lembut itu bergema di ruangan berlangit-langit tinggi. Suara gemanya membuat suasana di situ semakin berkesan sakral dan penuh penghormatan. Suara Suto sendiri, menurut mereka, juga enak didengar dan menimbulkan keindahan tersendiri di batin mereka.

"Jika demi kebaikan, aku tak pernah keberatan menolong siapa pun semasa aku mampu melakukannya, Nyai Ratu."

"Terima kasih sebelumnya, Pendekar Mabuk." Ratu Asmaradani masih belum mau mendekati Suto, hanya duduk dengan sunggingan senyum kian indah dan ceria. "Perlu kau ketahui," kata sang Ratu, "Sebelumnya aku juga sudah meminta izin kepada gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang melalui mimpi juga."

Suto terperanjat, "Kau mengenal guruku, Nyai Ratu?!"

"Sangat kenal," jawabnya penuh rasa bangga. "Aku adalah adik sepupu Nawang Tresni atau Bidadari Jalang, Bibi gurumu itu"

"Ooo...?!" Suto Sinting melongo dengan rasa kaget. Selama ini bibi gurunya tak pemah menceritakan tentang saudara sepupu yang bernama Asmaradani. Maka Suto pun dapat menduga berapa usia Asmaradani sebenarnya jika ia adalah adik sepupu Bidadari Jalang, gurunya juga itu.

"Ibuku adalah adik dari ibunya Bidadari Jalang. Jadi cukup dekat hubunganku dengan bibi gurumu itu, Suto Sinting."

Pendekar tampan angguk-anggukkan kepala. Senyumnya kian mekar berseri menggoda hati para prajurit di pinggiran ruang pertemuan itu. Pendekar Mabuk merasa lega dan bangga bisa bertemu dengan Ratu Asmaradani, yang dalam urutan silsilah termasuk orang yang patut dihormati dan dilindungi, sebab adik dari gurunya sendiri. Tetapi Suto Sinting diam-diam menyimpan keheranan kecil.

"Tentunya dia punya ilmu tinggi. Tapi mengapa dia tak bisa selesaikan persoalannya sendiri? Mengapa harus meminta bantuan padaku?"

Kemudian Suto Sinting pun bertanya, "Jadi, bagaimana aku harus memanggilmu, Nyai Ratu? Bibi atau..."

"Terserah kau. Bukan panggilan hormatmu yang kubutuhkan, tapi kesaktianmu yang kuharapkan bisa menolongku."

"Boleh aku tahu apa kesulitanmu, Nyai Ratu?"

"Beberapa waktu yang lalu, seorang lelaki berilmu tinggi dapat masuk ke negeri ini. Ia mengaku berjuluk Bandar Hantu Malam, ia ingin mengawiniku, bahkan memaksaku menerima lamarannya. Aku menolak, dia sakit hati, lalu terjadilah pertarungan antara aku dan dia. Aku kalah, Suto Sinting. Dan sampai sekarang dia masih menginginkan diriku. Sampai sekarang aku pun belum mampu menemukan lawan tanding ilmunya yang dijatuhkan padaku yang bernama ilmu 'Racun Siluman' itu. Kekuatan ilmu 'Racun Siluman' tak bisa hilang sebelum disembuhkan olehnya atau si pemilik 'Racun Siluman' itu mati."

Murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu membatin di hatinya, "Sehebat apakah ilmu yang dimiliki Bandar Hantu Malam itu, sehingga Asmaradani tak bisa mengatasinya? Jangan-jangan ilmu Asmaradani hanya pas-pasan? Ah, kurasa tidak! Buktinya ia bisa membangun istana di dasar laut yang bersuasana seperti di permukaan bumi begini. Lalu, mengapa ia tak bisa kalahkan ilmu 'Racun Siluman' itu? Jangan-jangan dia hanya menguji kesaktianku?"

Suara merdu yang enak didengar itu kembali dilontarkan dengan lembuat, "Orang-orangku tak mungkin mampu tandingi ilmunya Bandar Hantu Malam. Jadi tak kuizinkan mereka menyerang Bandar Hantu Malam. Dalam teropong batinku yang kupadukan dengan ilmu 'Getar Sukma' itu, aku melihat sebentuk kesaktian yang dahsyat dan tertinggi di antara ilmu-ilmu lainnya ada padamu. Salah satu hal yang bisa kulihat dalam teropong batinku adalah jurus-jurus mautmu yang bernama jurus 'Yudha' dan jurus 'Manggala' pemberian Ratu Kartika Wangi dari Puri Gerbang Surgawi di alam gaib itu."

Hati sang pendekar tampan tersentak lembut mendengar nama Kartika Wangi, calon mertuanya disebut-sebut. Suto tak perlu meminta penjelasan lebih lanjut, ia sudah dapat mengetahui bahwa Asmaradani adalah orang berilmu tinggi, terbukti bisa mengetahui Ilmu jurus 'Manggala' dan jurus 'Yudha' tersebut. Tentunya Suto pun yakin, Asmaradani mampu melihat titik merah di dahinya sebagai tanda bahwa Suto adalah orang terhormat di negeri alam gaib tersebut.

Tetapi agaknya ada sesuatu yang membuat Suto heran. "Aku mendengar kau menyebut-nyebut nama Ilmu 'Getar Sukma'. Seingatku ilmu itu juga dimiliki oleh bekas istri jin bernama Sumbaruni atau Pelangi Sutera. Apakah ada hubungannya denganmu, Nyai Ratu?"

"Memang. Sumbaruni adalah bekas pengawalku. Jelasnya, dulu dia pernah mengabdi di sini sebagai panglimaku. Tetapi karena dia sangat mencintai anaknya, maka ia tinggalkan jabatan itu dan mengembara mencari anaknya yang bernama Logo. Aku memberinya julukan nama Pelangi Sutera."

"Ooo... pantas!" gumam Suto, tapi juga gumam hati Rindu Malam. Karena Rindu Malam merasa baru sekarang mendengar bahwa Sumbaruni adalah bekas panglima negeri Ringgit Kencana itu. Rindu Malam menjadi gentar hatinya setelah mengetahui hal itu dan tak mau sesumbar menantang Pelangi Sutera lagi.

Sedangkan Kelana Cinta hanya melirik Rindu Malam dan tersenyum tipis, sebagai tanda mencemooh. Sebab ia sengaja tidak beri tahu lebih dulu kepada Rindu Malam tentang siapa Sumbaruni itu. Kini Kelana Cinta puas melihat Rindu Malam terbengong menyadari kelancangan dan sesumbarnya.

"Apakah Sumbaruni tidak bisa ditarik kembali dan dimintai bantuannya untuk melawan Bandar Hantu Malam, Nyai?" usul Suto dalam bentuk tanya.

Dengan senyum manis sang Ratu gelengkan kepala. "Ilmunya tak bisa kalahkan 'Racun Siluman' milik Bandar Hantu Malam. Seandainya Bandar Hantu Malam tak memiliki 'Racun Siluman', tentunya Kelana Cinta sendiri bisa kalahkan dia."

Suto melirik Kelana Cinta, wanita itu diam saja dan pura-pura tidak merasa dilirik. Lalu, Suto Sinting kembali pandangi Ratu Asmaradani yang masih duduk di balik meja marmer itu. "Bagaimana kalau kita coba meminta bantuan Sumbaruni? Mungkin Sumbaruni punya ilmu simpanan yang..."

"Tidak akan bisa, Suto!" potong Ratu Asmaradani dengan tetap tersenyum. "Jangan menambah korban dengan cara coba-coba. Aku tak mau Sumbaruni atau yang lainnya temui nasib sepertiku."

"Kulihat kau baik-baik saja dan sehat, Nyai Ratu."

"Kelihatannya begitu. Tapi coba perhatikan diriku. ," kata sang Ratu, lalu ia berdiri dan berjalan sampai di depan meja, berhadapan dengan Suto.

Pendekar Mabuk kagat bukan kepalang. Matanya mendelik lebar-lebar melihat keadaan ratu cantik dan menggairahkan itu. Ternyata Ratu Asmaradani kehilangan tubuh bagian bawahnya dari batas pusar sampai ke telapak kaki. Tubuh itu hanya sepotong, yang tersisa dari perut sampai ke kepala. Andai saja Ratu Asmaradani tidak mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi, tentunya ia tak dapat berjalan karena tak punya kaki.

Pada saat Pendekar Mabuk tercengang, wajah Ratu Asmaradani tertunduk malu dan sedih. Tapi suaranya terdengar jelas, "Paksa dia untuk sembuhkan diriku, Suto. Jika memang sangat terpaksa, kalahkan dia dengan caramu. Aku mohon bantuanmu. Pendekar Mabuk...!"

Suto Sinting masih tertegun merinding melihat keganasan ilmu 'Racun Siluman', ia dapat bayangkan alangkah menderitanya hidup tanpa bagian perut ke bawah.

* * *

TIGA
RINDU Malam hanya diizinkan oleh Ratu Asmaradani mengantar Suto sampai di permukaan laut saja. Ia harus segera kembali, karena sang Ratu punya firasat adanya rasa cinta di hati Rindu Malam. Bahkan sebelum ia ditugaskan mengantarkan Suto ke permukaan laut, sang Ratu sudah berpesan kepada semua rakyat dan orang-orang bawahannya,

"Tak satu pun boleh mencintai Suto dan merayunya. Dia orang terhormat, murid dari kakak sepupuku. Apalagi kalau dia berhasil kalahkan Bandar Hantu Malam, kalian semua, termasuk aku, berhutang budi kepadanya. Jadi jangan paksa dia jatuh cinta kepada kalian. Karena aku pun tahu, bahwa dia sudah punya calon istri tersendiri. Jika terjadi perkawinan antara dia dan salah satu dari kita, maka Ratu Kartika Wangi jelas akan menuntut dan kita akan bermusuhan dengan penguasa negeri alam gaib itu."

Memang menyedihkan keputusan itu bagi Rindu Malam. Mau tak mau ia harus membantai habis rasa cintanya kepada Suto Sinting, ia tak berani melanggar larangan dari ratunya. Sekalipun membantai cinta adalah pekerjaan yang paling sulit dilakukan bagi setiap insan, tetapi Rindu Malam punya keyakinan, sedikit demi sedikit ia akan mampu melakukannya.

Suto Sinting diberi kunci untuk keluar masuk ke negeri Ringgit Kencana tanpa melalui cahaya warna-warni seperti saat ia dibawa ke situ oleh Kelana Cinta dan Rindu Malam. Kunci itu berupa setangkai bunga mawar warna pelangi tanpa duri. Bunga itu akan tetap segar dan menyebarkan bau harum jika direndam dalam tabung tuaknya Suto. Bunga itu dapat membuat Suto sampai ke negeri Ringgit Kencana dengan hanya berdiri di atas Pulau Bayangan dan menghirup aroma bunga dengan napas panjang dan mata terpejam. Demikian pula yang harus dilakukan jika ia akan keluar atau pergi tinggalkan negeri itu.

"Jika dari sini kau menghirup bunga dengan napas panjang dan pejamkan mata, kau akan muncul di pantai utara tanah Jawa yang tak seberapa jauh dari Pulau Bayangan. Tapi jika ingin masuk ke sini, kau harus berdiri di pulau kecil itu lebih dulu," kata sang Ratu menjelaskan. "Sebetulnya aku sudah kirimkan dua kali kunci menuju kemari kepadamu melalui mimpi, tapi rupanya kau belum mengetahui bagaimana caranya menggunakan kunci itu. Aku bisa memakluminya."

Kini pikiran Suto tertuju pada tokoh keji yang mempunyai jurus 'Racun Siluman' itu. Ratu Asmaradani tidak bisa mengetahui di mana Bandar Hantu Malam itu berada. Karenanya sang Ratu hanya memberi perintah kepada Suto,

"Cari dan temukan! Kau pasti akan berhasil menemukannya. Bandar Hantu Malam kurasa bukan nama yang asing bagi para tokoh dunia persilatan, terutama para tokoh tuanya. Sayang sekali sebelumnya aku tak pernah dengar nama itu dan tak pernah jumpa. Satu kali berjumpa langsung dia melamarku dan memaksaku menjadi istrinya. Kulacak dengan ilmu teropong batinku juga tak bisa ketemu, ia punya kekuatan yang mampu sembunyikan diri dari teropong indera keenam para tokoh tingkat tinggi."

Buat Suto Sinting, melacak tokoh sakti tidaklah sulit. Kenalannya, para tokoh tua berilmu tinggi, tentu bisa dimintai bantuan untuk melacak tempat tinggal Bandar Hantu Malam itu. Maka untuk itu, Pendekar Mabuk segera temui Tabib Awan Putih yang tinggal tak jauh dari pantai utara. Tabib bermata kecil dengan pakaian serba putih, kurus, bungkuk, berusia sekitar delapan puluh tahun itu, segera manggut-manggut ketika Suto menanyakan tentang orang bernama Bandar Hantu Malam. Tabib Awan Putih yang berjenggot panjang lurus ke bawah itu segera berkata dengan suara bijaknya,

"Setahuku, orang yang berjuluk Bandar Hantu Malam itu tinggalnya di Gunung Keong Langit, arah timur dari sini."

"Apakah dia orang sakti yang berbahaya, Tabib Awan Putih?"

"Dulu memang ia berbahaya, ketika hidupnya sesat dan belum beristri, ia bekas seorang perampok yang mencari korban malam hari, sehingga berjuluk Bandar Hantu Malam, karena kehadirannya bagaikan hantu tanpa jejak. Cepat datang juga cepat pergi," tutur sang Tabib sambil menghisap pipa tembakaunya.

"Kudengar dia punya Ilmu 'Racun Siluman'. Apa benar itu?"

"Karena dia termasuk murid Warok Guci Wangsit, sedangkan ilmu 'Racun Siluman' hanya milik Warok Guci Wangsit pada masa itu, maka bisa saja ia mewarisi ilmu tersebut dari gurunya. Dan ilmu itu sangat berbahaya, Suto."

Suto Sinting angguk-anggukkan kepala. Sebelum ia ucapkan kata, Tabib Awan Putih sudah bicara lagi dengan tenang. "Tapi sejak ia punya istri, sang istri mampu membuatnya bertobat dan pelajari ilmu-ilmu aliran putih. Sayang istrinya sudah meninggal, sehingga bisa jadi ia kambuh menjadi sesat kembali. Namun sejauh ini aku tak pernah dengar si Bandar Hantu Malam bikin ulah yang menggegerkan dunia persilatan. Namanya pun bagaikan telah lenyap ditelan bumi. Itulah sebabnya aku merasa heran mengapa kau tanyakan nama Bandar Hantu Malam?"

"Hmmm... aku hanya sekadar ingin temui dia saja. Ada persoalan sedikit yang harus kuselesaikan dengannya," jawab Suto tak mau berterus terang, karena takut membuat nama Ratu Asmaradani dilecehkan oleh siapa saja. Karena wanita itu saudara sepupu bibi gurunya, maka Pendekar Mabuk merasa perlu melindungi nama baik wanita itu juga. Dalam perjalanannya menuju Gunung Keong Langit, yang menurut keterangan Tabib Awan Putih, bentuk gunung itu seperti rumah keong raksasa itu, Suto Sinting sempat berpikir tentang semua kata-kata dan penjelasan tabib bungkuk itu.

. "Mungkin memang karena tak beristri lagi, maka Bandar Hantu Malam kembali ke jalan yang sesat karena tak ada orang yang mengingatkannya. Tapi mengapa diawali dari dasar laut? Mengapa sasaran pertamanya Ratu Asmaradani? Apakah dengan begitu tingkah lakunya tidak mudah tercemar di permukaan bumi? Atau karena Bandar Hantu Malam tak bisa menahan hasratnya untuk beristri lagi dan sudah lama mengincar Ratu Asmaradani yang masih tampak muda itu?"

Renungan itu patah. Langkah pun terhenti. Pandangan Suto segera tertuju kearah kirinya.Disana ada tanah lega berpohon jarang. Di atas tanah itu tampak dua orang mengadu kesakitan dengan letupan-letupan yang kadang menjadi ledakan mengguncang tanah. Suto Sinting segera bergegas kepertarungan dua perempuan yang jaraknya lebih dari lima puluh langkah orang biasa.

"Sumbaruni...?!" gumam Suto Sinting, lalu matanya beralih kepada perempuan yang satunya lagi, yang kenakan baju dalam warna kuning kunyit dan dirangkap baju jubah hijau. Perempuan yang ini berkuku runcing, walau tak terlalu panjang. Dadanya kelihatan montok sekali, wajahnya pun cantik, matanya indah tapi berkesan jalang dan kulitnya putih mulus bagai tanpa cacat. Melihat kakinya tak menyentuh tanah, maka Suto Sinting segera tahu bahwa perempuan bersenjata kipas bulu merak itu tak lain adalah Nila Cendani yang disebut-sebut sebagai Ratu Tanpa Tapak.

Perempuan itulah yang membuat Suto dikejar-kejar para pembunuh bayaran karena disangka memegang pusaka Keris Setan Kobra pada waktu keris itu belum ditemukan. Perempuan itu mempunyai dendam yang begitu tinggi, karena ia pernah dikalahkan oleh Suto Sinting dalam satu pertarungan di Gunung Sesat. Niatnya yang ingin menaklukkan seluruh tokoh persilatan dan menguasai dunia membuat Nila Cendani tak peduli lagi bahwa Sumbaruni adalah neneknya jika diurutkan sesuai silsilah sebenarnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak).

Untuk sementara waktu Pendekar Mabuk tidak ikut campur dalam pertarungan tersebut, ia berdiri diatas gundukan tanah yang ditutupi bayangan pohon besar hingga tampak teduh. Suto Sinting justru menenggak tuaknya beberapa teguk, setelah itu memperhatikan pertarungan tersebut dengan tenang. Jarak pertarungan itu dengan tempatnya duduk sekitar lima belas langkah.

Melihat kehadiran Suto Sinting di situ, Nila Cendani segara hentikan pertarungan sejenak. Matanya memandang sipit kepada Pendekar Mabuk pertanda sedang memendam dendam. Suto Sinting yang merasa dipandangi segera sunggingkan senyum menawan, seakan sengaja menggoda Nila Cendani yang tak bisa disentuh oleh orang yang bukan perawan atau bukan jejaka.

Itulah sebabnya Sumbaruni sejak tadi hanya menghindari serangan-serangan Nila Cendani sambil mencari akal bagaimana untuk menyerang balik. Sebab Nila Cendani tak bisa disentuh oleh Sumbaruni yang sudah tidak perawan lagi itu. Bahkan pukulan-pukulan tenaga dalam Sumbaruni tidak bisa kenai Nila Cendani, tapi pukulan Nila Cendani dapat sampai ke tubuh Sumbaruni. Untuk sementara itu Sumbaruni hanya memanfaatkan pukulan Nila Cendani yang melesat ke arahnya dan diadu dengan pukulan tenaga dalamnya. Gelombang ledakan itulah yang dimanfaatkan oleh Sumbaruni dan diharapkan dapat menumbangkan tubuh lawannya.

"Memang susah melawan orang itu bagi Sumbaruni atau orang yang sudah tidak perawan lagi," pikir Suto Sinting. "Kurasa biar sebesar apa pun kekuatan Sumbaruni jika terus-terusan hanya menghindari serangan Ratu Tanpa Tapak itu, lama-lama ia akan tumbang juga di tangan sang Ratu sesat itu. Agaknya aku tak boleh biarkan pertarungan itu menjadi lebih lama lagi, karena Sumbaruni sudah mulai kehilangan akalnya."

Terdengar seruan Sumbaruni menantang Ratu Tanpa Tapak yang hentikan pertarungan karena pandangi Suto Sinting. "Nila Cendani! Lanjutkan perterungan kita, karena aku tak sabar lagi ingin segera mengalahkan dirimu!"

Mata Nila Cendani masih tertuju pada Suto Sinting. Bahkan sikap berdirinya pun terang-terangan menghadap ke arah Pendekar Mabuk. Diam-diam Sumbaruni khawatir jika Nila Cendani lepaskan Ilmu 'Serap Sukma Asmara' lewat gigitan bibirnya sendiri yang dapat membuat Suto Sinting jatuh cinta dalam sekejap. Karenanya, Sumbaruni segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya berbentuk kilatan cahaya merah ke arah wajah Nila Cendani.

Claap...! Zruub...!

Cahaya merah itu padam sebelum menyentuh wajah Nila Cendani. Hal itu dilakukan berulang-ulang oleh Sumbaruni atau Pelangi Sutera untuk memancing perhatian lawannya. Tetapi agaknya Nila Cendani tidak mau terpancing dan justru melangkah dekati Suto Sinting. Sumbaruni ketakutan dan segera berseru kepada Suto,

"Pergi kau! Jangan di situ, Suto! Pergiii...!"

Karena Suto Sinting tak mau pergi, maka Sumbaruni segera sentakkan kaki dan melenting ke udara, melesat ke arah pertengahan jarak antara Suto dan Nila Cendani. Wuuut...! Jleeg...! Kakinya menapak di tanah dengan mantap dan langsung dalam keadaan berdiri menghadang Nila Cendani.

"Kau tak akan bisa menyentuhnya. Nila Cendani!" gertak Sumbaruni.

Perempuan itu diam saja, tapi tahu-tahu mencabut kipasnya dari pinggang dan menyentakkan ke depan. Suuut...! Claap...! Sinar hijau menyebar lebar bagaikan mata pedang yang melesat ke arah leher Sumbaruni.

"Minggir, Sumbaruni!" teriak Suto dengan tegang.

Tetapi Sumbaruni andalkan jurus mautnya dengan lepaskan sinar warna-warni dari sentakan kedua tangannya. Sinar warna-warni itu membentuk perisai di depannya dan dihantam oleh sinar hijau lebar milik Nila Cendani.

Blaaarrr...!

Ledakan menggelagar begitu dahsyat mengguncang bumi. Sinar terang menyilaukan melesat dalam sekejap, nyaris membuat pandangan mata menjadi buta. Gelombang ledakan yang sempat membuat beberapa dahan pohon patah itu ternyata membuat Sumbaruni tumbang terkapar dalam jarak delapan langkah dari tempatnya berdiri. Tubuhnya berlumur darah yang keluar menyembur dari tiap lubang ditubuhnya.

"Parah!" gumam Suto dalam kecemasan melihat keadaan Sumbaruni. Ia sendiri tadi sempat terpelanting jatuh dan terguling-guling saat merasakan hentakan gelombang ledakan. Tapi keadaan Suto tidak mengalami cedera apa pun. Ia segera bangkit dan mencari Ratu Tanpa Tapak. Oh, rupanya Ratu Tanpa Tapak juga tersentak mundur beberapa langkah sampai ke belakang sebuah pohon akibat ledakan dahsyat tadi. Namun keadaannya masih tetap segar, tidak mengalami luka apa pun. Bahkan kini ia melesat maju tanpa melangkah. Kakinya yang tidak menginjak tanah itu membuat gerakannya bagaikan melayang mendekati Suto Sinting.

"Kuhancurkan tubuh Sumbaruni jika kau tak mau tunduk padaku, Suto!" kata Nila Cendani mengancam dengan suara dingin.

"Aku tak akan pernah tunduk pada orang sesat sepertimu, Nila Cendani!"

"Bagus. Kalau begitu kau ingin lihat tubuh Sumbaruni hancur sekarang juga!"

Wuuut...! Claaap...!

Dari mata Nila Cendani melesat selarik sinar biru bening ke arah tubuh Sumbaruni yang terkapar tak berdaya itu. Suto Sinting cepat patahkan sinar biru itu dengan lepaskan jurus 'Surya Dewata', yaitu sinar ungu yang keluar dari telapak tangan yang disatukan di dada dan disentakkan ke depan. Claap...!

Blegaaarrr...!

Ledakan lebih dahsyat dari yang tadi telah membuat tanah bagaikan diguncang gempa hebat. Tiga pohon di seberang sana tumbang, akarnya terdongkel keluar dari tanah. Dua gugusan batu sempat pecah akibat gelombang panas yang menghentak dahsyat dari ledakan yang timbul akibat perpaduan sinar birunya Nila Cendani dan sinar ungunya Suto Sinting.

Akibat ledakan itu, Nila Cendani terlempar kuat kebelakang dalam jarak tujuh langkah. Ia terbanting kesana-sini, dan akhirnya terpuruk di bawah sebuah pohon dengan suara rintih yang samar-samar. Sedangkan Suto Sinting sendiri juga terpental kebelakang, bahkan bumbung bambunya sempat terlepas dari pundak. Mulut Suto sempat lelehkan darah segar karena dadanya terasa dihantam gunung pada saat terjadi ledakan maha dahsyat tadi. Pandangan mata Pendekar Mabuk sempat berkunang-kunang dan buram.

Samar-samar ia mencari bambu tuaknya dan segera berhasil menemukannya. Lalu ia buru-buru menenggak tuaknya beberapa teguk, setelah itu baru merasa tenang. Pandangan matanya terang kembali, rasa sakit di dada berangsur-angsur reda. Pendekar Mabuk berdiri dengan tegak dan tegap. Matanya memandang tajam ke arah Nila Cendani yang baru saja bangkit di bawah pohon. Wajahnya berlumur darah. Kakinya sudah bisa menapak di tanah. Tetapi darah dari kedua matanya masih mengucur terus membuatnya bersandar di batang pohon.

"Oh, dia buta...?!" gumam Suto dalam hati sambil kian mendekati lawan untuk melihat lebih jelas lagi.

Kedua biji mata Nila Cendani itu hancur akibat sinar birunya yang keluar dari mata tadi merusak biji mata sendiri setelah diadu dengan sinar ungunya Pendekar Mabuk. Akibatnya Nila Cendani tak bisa melihat apa-apa lagi. Dan tangannya mulai meraba-raba ketika ingin melangkah berpindah ke tempat yang menurutnya lebih aman, yaitu di balik pohon besar tersebut.

"Celaka! Keadaanku sangat parah. Tak mungkin bisa menang melawan pemuda tampan yang mirip setan alas itu!" geram Nila Cendani.

"Nila Cendani!" seru Suto, "Jika kau ingin bertobat, jika kau mau tinggalkan alam sesatmu, aku sanggup sembuhkan biji matamu itu, Nila Cendani!"

"Persetan denganmu, Suto! Suatu saat aku akan datang membalas kekalahan ini! Kau harus menebusnya dengan dua biji matamu, Suto!"

Setelah berseru begitu, Nila Cendani melesat dari balik pohon, meninggalkan tempat itu. Gerakan larinya sangat cepat. Tapi karena matanya buta, maka ia pun menghantam pohon di depannya. Bruus...! Bruk! Ia jatuh, lalu bangkit lagi dan berlari lagi ke arah lain. Tapi ia tak tahu di depannya ada semak berduri sehingga ia pun menerabas semak berduri itu.

Bruus...!

"Aauh...!" pekiknya dengan terengah-engah. Sekujur tubuhnya tergores duri, membuat pakaiannya pun menjadi robek-robek begitu keluar dari semak-semak itu. Tapi Nila Cendani tak mau mengeluh berkepanjangan, ia larikan diri lagi dengan agak mengurangi kecepatannya dan tangannya meraba-raba.

Sementara itu, Suto Sinting tak pedulikan lagi lawannya yang telah menjadi buta itu. Perhatian Pendekar Mabuk tercurah kepada Sumbaruni yang terkapar dalam keadaan parah. "Sumbaruni, bertahanlah...!" sambil Suto mempersiapkan bumbung tuaknya.

"Tinggalkan aku. Aku... aku sudah tak kuat lagi. Pergilah sana...," rintih Sumbaruni dengan napas mulai menipis.

"Tidak. Kau harus minum tuak ini, Sumbaruni! Ayo, minumlah...! Minum!"

"Ak... aku... aku tak bisa menelan," katanya kian lirih dan serak.

"Kau harus bisa menelan tuak ini! Kau harus meminumnya. Lukamu akan sembuh, Sumbaruni! Ayo, minumlah! Usahakan menelan tuak ini!"

Sumbaruni yang gagal menemukan anaknya di Jurang Petaka, akhirnya harus menderita separah itu dalam pertarungannya melawan perempuan sesat tersebut. Suto Sinting tak tega membiarkan Sumbaruni tanpa daya. Ia paksakan perempuan itu agar mau meminum tuaknya. Tapi mulut Sumbaruni terasa makin kaku, sulit untuk dibuka. Suto Sinting buru-buru memaksa mulut itu agar terbuka dan bisa dituangi tuak bagian dalamnya. Namun mata Sumbaruni sudah mulai sayu, menyipit, dan napasnya pun kian menipis.

"Ayo, minum tuak ini sedikit saja, Sumbaruni! Jangan menyerah kepada keparahanmu! Ayo, berusaha melawan keparahan ini!" desak Suto Sinting sambil berusaha membuka mulut Sumbaruni walau agar kasar caranya.

* * *

EMPAT
SEBUAH desa yang penduduknya cukup padat menjadi tempat persinggahan Suto Sinting. Desa itu terletak di kaki Gunung Keong Langit. Sebenarnya Suto Sinting ingin tetap lakukan perjalanan, mendaki gunung itu untuk tiba di pondok Bandar Hantu Malam. Tetapi agaknya ia membutuhkan sebuah kedai untuk beristirahat dan mengisi tabung bambu tuak yang telah menipis isinya itu.

Suasana awal petang menyertai kehadiran Suto di desa itu. Sebuah kedai yang tak seberapa besar menjadi tempat tujuan pertama. Namun pada saat itu kedai tersebut sudah mau ditutup oleh pemiliknya; Ki Rosowelas. Orang itu bertubuh kurus, rambutnya pendek bercampur uban lebat, wajahnya penuh kesan seorang yang sabar dan ramah. Tapi saat itu Suto melihat lelaki berbaju abu-abu itu menyimpan perasaan takut ketika didatangi Suto.

"Baru menjelang petang kenapa sudah mau tutup, Pak Tua?!" tanya Suto sebagai teguran ramah kepada lelaki berusia sekitar enam puluh tahun itu.

Senyum Ki Rosowelas menjadi kaku. Pandangan matanya penuh selidik. Suto tahu ia dipandang dengan curiga, tapi Suto tidak merasa tersinggung, hanya merasa heran dan menjadi penasaran. Ki Rosowelas mencoba bicara seramah mungkin, "Anu... maaf, Nak. Saya tidak berani buka sampai malam hari. Hmm... maklum, sedang tidak aman."

"Tidak aman bagaimana? Maukah kau jelaskan padaku, Pak Tua?"

Ki Rosowelas tampak bimbang, membuat Suto perlu yakinkan diri sebagai orang yang tak perlu dicurigai dan ditakuti. "Aku hanya ingin beristirahat sebentar sambil mengisi bumbung tuakku. Jangan takut, aku bukan orang jahat seperti kecurigaanmu, Pak Tua."

Karena tutur katanya sopan dan wajah Suto tidak kelihatan bengis, maka Ki Rosowelas pun mempersilakan Suto untuk masuk ke kedainya. Kedai itu tidak ditutup semua, melainkan disisakan satu pintu untuk keluarnya Suto nanti. Selain mengisi bumbung tuaknya, Suto juga memesan secangkir tuak untuk diminumnya di situ. Dua potong ketan bakar dinikmati pula sebagai pengisi perutnya. Ki Rosowelas menemani Suto dengan ikut menikmati secangkir tuak pula.

Seorang gadis manis berkulit hitam segera bergegas ke belakang setelah menyerahkan tuak untuk diisikan ke bumbung bambu itu oleh Suto. Gadis manis berusia sekitar dua puluh tahun itu adalah anak tunggal Ki Rosowelas yang terlambat lahir. Gadis itu bernama Sunari, yang lahir pada saat Ki Rosowelas sudah berusia empat puluh tahun. Mulanya Ki Rosowelas dan mendiang istrinya merasa tidak akan punya keturunan, karena sudah bertahun-tahun hidup berumah tangga tapi tidak pernah mempunyai anak.

Ketika mereka sudah berusia separo baya, sang istri justru hamil. Tapi sayang sang istri harus meninggalkan bayi dan suaminya untuk menghadap Yang Maha Kuasa saat melahirkan Sundari. Ki Rosowelas tampak menyimpan keharuan saat menceritakan hal itu kepada Suto Sinting. Suto pun tak tega melihat wajah tua itu menyimpan duka karena kenangan lama. Maka Suto segera alihkan pembicaraan ke masalah lain.

"Ki Rosowelas belum ceritakan padaku apa yang membuat Ki Rosowelas mengatakan keadaan di sini sedang tidak aman tadi?"

"Oh, itu...?" Ki Rosowelas terkekeh lirih. "Biasa, Nak. Di mana-mana selalu ada orang jahat. Tidak di kota, tidak di desa, orang jahat bagaikan disebarkan oleh raja iblis untuk membuat keonaran, membenci kedamaian, mengacaukan ketenangan. Begitu pula dengan desa Pucangan ini, Nak," kata Ki Rosowelas sambil melinting tembakau.

Pada masa itu masih jarang orang melinting tembakau. Umumnya tembakau digunakan untuk campuran sirih, baik lelaki maupun wanita. Orang menggunakan tembakau sebagai rokok hanya apabila mempunyai pipa cangklong, dan hal itu hanya dilakukan oleh para bangsawan atau tokoh tua seperti Tabib Awan Putih. Umumnya tembakau yang dihisap sebagai rokok menggunakan campuran madat. Tapi Ki Rosowelas tidak demikian, ia melinting tembakau untuk dijadikan rokok yang bagi Suto merupakan pemandangan yang aneh. Tak heran jika sejak tadi Suto mengikuti gerakan jari melinting tembakau, dan tersenyum kagum melihat Ki Rosowelas menghisap tembakau itu.

"Sudah dua hari ini desa kami dikacaukan oleh kehadiran bayangan hitam yang menculik pemuda desa. Ia melumpuhkan seorang pemuda yang tampak bertubuh kekar, lalu membawanya lari entah ke mana. Dalam dua hari ini, sudah dua pemuda yang hilang pada malam hari. Beberapa keluarga mereka melihat sendiri pemuda tersebut dilarikan oleh orang berpakaian serba hitam, wajahnya tertutup kain hitam sampai hanya kelihatan bagian matanya saja."

"Apakah tak ada yang berusaha mencegah atau melawan bayangan hitam itu?"

Ki Rosowelas gelengkan kepala. "Tak ada yang berani mencobanya, karena bayangan itu bergerak dengan cepat bagaikan kilat."

"Apakah ada korban nyawa?"

"Tidak ada. Tapi penduduk desa menjadi selalu ketakutan jika malam tiba. Tak ada kedai atau rumah yang masih buka pintunya jika petang tiba. Itulah sebabnya aku tadi buru-buru menutup kedai karena takut disambangi bayangan hitam yang tak diketahui dari mana asalnya."

Pendekar Mabuk meneguk tuak dalam cangkir keramik kasar. Ki Rosowelas juga ikut meneguk tuaknya. Setelah itu ia berkata dengan suara pelan bagaikan takut didengar orang lain. "Terus terang saja, ada beberapa orang yang curiga pada tokoh sakti yang bermukim di Gunung Keong Langit itu."

"Bandar Hantu Malam maksudmu, Ki?"

"Ya. Kau mengenalnya?!" Ki Rosowelas sedikit terperanjat dan cepat memandang Pendekar Mabuk.

"Aku hanya mengenal namanya saja, belum pernah jumpa orangnya."

"Para sesepuh di sini ada yang mengetahui riwayat hidup Bandar Hantu Malam semasa orang itu masih muda. Tapi menurut para sesepuh, Bandar Hantu Malam sudah tidak seganas dulu. Sejak mempunyai istri, dia menjadi orang bijak dan suka menolong kepada siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Para sesepuh pun mempunyai praduga, barangkali karena tidak beristri lagi maka Bandar Hantu Malam kembali ganas dan suka membuat kekacauan. Tapi beberapa sesepuh juga menyangsikan hal itu, karena Bandar Hantu Malam sudah beberapa kali menyelamatkan desa ini dari gangguan siapa saja."

"Lalu mengapa sekarang dia tidak menyelamatkan desa ini dari gangguan yang kau sebut bayangan hitam itu tadi, Ki?"

"Justru itulah yang dipertanyakan oleh para sesepuh di desa Pucangan ini, Suto. Maka timbul dua pendapat, mungkin Bandar Hantu Malam belum mendengar peristiwa yang menakutkan penduduk desa ini, mungkin juga dialah pelaku sebenarnya. Semuanya belum bisa jelas."

Pendekar Mabuk manggut-manggut. Hatinya berkata, "Jika benar bayangan hitam itu adalah Bandar Hantu Malam, maka suatu hal yang sangat kebetulan bagiku, tak perlu harus mendaki ke lereng gunung itu. Ada baiknya kalau malam ini aku bermalam di desa ini sambil menunggu kemunculan bayangan hitami tu. Tapi..., apakah Ki Rosowelas dan yang lainnya tidak akan curiga kepadaku? Nanti jangan-jangan malah aku sendiri yang disangka orang berpakaian serba hitam itu?"

Maka, pendekar tampan yang ternyata sejak tadi diintip oleh Sundari dari celah pintu dapur itu, mencoba mengutarakan maksudnya kepada Pak Tua pemilik kedai tersebut. "Apakah kau menyediakan kamar untuk penginapan, Ki?"

"Tidak. Maksudmu bagaimana, Suto?"

"Kalau ada kamar, aku akan bermalam di sini. Aku ingin tahu siapa bayangan hitam itu. Karena..., terus terang saja, kedatanganku kemari adalah dalam perjalanan menemui Bandar Hantu Malam."

"Hahh...?!" Ki Rosowelas terkejut.

Suto memang tidak jelaskan pokok masalah sebenarnya agar tak mengundang perhatian terlalu besar bagi si pemilik kedai itu. Suto hanya berkata, "Aku punya sedikit urusan dengan Bandar Hantu Malam dan harus segera kuselesaikan. Jika bayangan hitam itu memang Bandar Hantu Malam, berarti aku tak perlu susah-susah mendaki Gunung Keong Langit. Jika memang bukan dia, maka kita semua akan tahu siapa sebenarnya bayangan hitam itu."

"Tapi dia berbahaya, Suto. Bayangan hitam itu, baik dia adalah Bandar Hantu Malam atau bukan, tapi dilihat dari gerakan cepatnya, jelas dia orang berilmu tinggi. Kau bisa celaka jika melawannya."

"Kau tak perlu takut, Ki Rosowelas. Bukankah bayangan hitam tidak mau membunuh, dan sejak dua hari ini tidak ada korban nyawa?"

"Memang. Tapi hal itu dikarenakan tidak ada orang yang berani menghalanginya Jika ada yang nekat menghalanginya, tentunya dia tidak akan segan-segan melenyapkan nyawa orang itu."

"Aku hanya ingin mengetahui siapa dia sebenarnya. Mungkin tidak harus menghadapi dia. Aku bisa lakukan dengan sembunyi-sembunyi," kata Suto dengan berbisik. "Kalau kau punya kamar, aku akan menyewanya untuk satu malam saja."

Ki Rosowelas menatap Suto mencoba mempalajari siapa diri anak muda itu. Lewat pancaran mata tajam tapi bersuasana lembut, lewat kegagahan dan ketegapan tubuh Suto, lewat cara meminum tuak dengan santai tanpa mabuk, Ki Rosowelas mulai punya kesimpulan, bahwa anak muda yang dihadapi setidaknya punya ilmu yang lumayan tinggi. Setidaknya ilmu untuk melarikan diri dari kejaran lawan dimiliki oleh Suto. Kecemasan Ki Rosowelas terhadap bahaya yang akan mencelakakan Suto mulai berkurang.

"Jika ia berani bertekad menemui Bandar Hantu Malam sendirian seperti saat ini, tentunya ia punya landasan ilmu cukup kuat. Orang berilmu ringan tak akan berani punya tekad temui Bandar Hantu Malam di puncak Gunung Keong Langit itu!" pikir Ki Rosowelas yang akhirnya memanggil Sundari dan menyuruhnya mempersiapkan kamar untuk Pendekar Mabuk.

"Kau tidur bersamaku saja," kata sang Ayah kapada putrinya. "Biar tamu kita ini tidur di kamarmu untuk semalam."

"Terserah apa putusanmu, Pak. Aku ikut saja," jawab Sundari sambil tampak tersipu dan tak berani terang-terangan pandangi Suto Sinting. Namun dalam hati gadis itu sempat berkata, "Alangkah bangganya, alangkah senang hatiku jika mempunyai kekasih seperti si tampan ini. Hmm... hatiku sejak tadi berdebar-debar jika kebetulan beradu pandang dengannya. Daya tarik yang dimilikinya sangat besar. Aku jadi tak sabar dan ingin bicara berduaan dengannya."

Di dalam kamar yang disewanya itu, Suto Sinting sengaja baringkan badan di atas dipan beralaskan kain penutup kapas sebagai ganti kasur. Kedua tangannya direntangkan, ditindih dengan kepala. Ia sengaja menunggu malam kian kelam, setelah itu baru bergerak memeriksa keadaan desa.

"Kuharap orang yang disebut-sebut sebagai bayangan hitam itu memang benar Bandar Hantu Malam. Aku harus segera bereskan orang itu dan cepat kembali kepada Ratu Asmaradani. Jika orang itu bukan Bandar Hantu Malam, akan kugunakan untuk memancing Bandar Hantu Malam supaya turun gunung dan temui aku di sini. Dengan begitu aku tak perlu susah payah mendaki gunung."

Selagi asyik berkecamuk sendiri dalam hatinya, tiba-tiba Suto mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Ketukan itu pelan sekali. Suto sudah dapat menduga siapa yang punya ketukan selembut itu. Maka ia sudah siap dengan senyum ramah di bibirnya ketika bergegas membukakan pintu kamar.

"Sundari?" sapanya pelan.

"Ssst...!" Sundari menempalkan jarinya di bibir, memberi isyarat agar Suto mengurangi suaranya. "Bapak sedang tidur, jangan keras-keras bicaramu, nanti Bapak tahu kalau aku kemari."

"Ada apa kau datang kemari?"

"Mengapa kau tanyakan hal itu? Apakah kau belum tahu bahwa kamar ini sebenarnya kamarku?"

"Ya, aku tahu," jawab Suto yang akhirnya tak bisa mencegah gadis itu menyusup masuk ke dalam. "Tapi apakah kau lupa bahwa kamar ini sedang disewa untuk satu malam?"

"Aku tidak lupa. Tapi ketahuilah, bahwa aku tak bisa tidur jika tidak di dalam kamarku sendiri."

"Kenapa begitu?"

"Jiwaku dengan kamar ini telah menyatu."

"Kalau begitu aku akan tidur di luar saja. Di bangku kedai."

"Kalau kau mau, silakan ke sana. Uang sewa mu bisa kukembalikan. Tapi perlu kau ketahui juga, aku datang kemari ada yang ingin kubicarakan denganmu Suto. Ini menyangkut masalah keselamatanmu."

"Apa makaudmu?" Suto Sinting akhirnya duduk di tepian dipan.

Gadis berkulit hitam manis dengan senyum yang juga manis itu, kini ikut duduk di tepian dipan. Jaraknya kurang dari satu jangkauan dari Suto. Ia beranikan diri menatap Suto beberapa saat, seakan memanfaatkan waktu untuk menikmati ketampanan Suto dan menikmati debar-debar indah di hatinya.

"Apa yang ingin kau katakan?" tegur Suto merasa tak enak dipandangi terus-terusan, ia sempat meneguk tuak dari cangkir yang dibawanya dari kedai ke kamar. Tuak di cangkir itu adalah tuak yang kelima kalinya. Sundari menyimpan perasaan heran melihat Suto kuat minum sampai lima cangkir tanpa mabuk sedikit pun.

Gadis itu berkata pelan, "Kudengar kau mau hadapi bayangan hitam itu?"

"Dari siapa kau mendengarnya?"

"Cerita Bapak di kamar tadi."

Suto tersenyum tipis, "Tak salah pendengaranmu itu."

"Kalau boleh kuingatkan, jangan lakukan hal itu."

"Kenapa?"

"Sangat berbahaya. Kau bisa mati."

"O, ya?" Suto Sinting tertawa kecil, berkesan meremehkan peringatan itu. "Apakah kau yakin aku akan mati jika berhadapan dengan bayangan hitam itu?"

"Ya. Sebab dia orang sakti, ilmunya tinggi dan keji. Tak kenal ampun!"

"Dari mana kau tahu bahwa dia berilmu tinggi?"

"Karena akulah orang itu!"

Suto Sinting terkejut, tangannya melayang cepat menampar wajah Sundari.

Plook...!

"Ooh...!" Sundari tersentak dan jatuh ke dipan karena tamparan itu. Ia menyeringai kesakitan sambil mengusap-usap pipinya, wajahnya memerah, bibirnya digigit menahan sakit yang membuatnya mau menangis.

Suto Sinting memandang dengan penuh sesal. "Untung hanya sebuah tamparan," kata Suto dalam hati. "Jika memang dia berilmu tinggi tentunya dia sangat mudah menangkis gerakan tanganku dalam menampar tadi. Jika ia berlimu tinggi, tak mungkin pipinya menjadi merah, karena tamparanku tak begitu keras untuk ukuran orang berilmu tinggi. Aku tak percaya kalau dia adalah bayangan hitam."

"Kau kasar sekali, Suto," ucapnya dengan suara bergetar karena menahan tangis.

Suto Sinting tarik napas panjang-panjang jauhi dipan. "Untuk apa kau membohongiku, Sundari? Aku tahu bukan kau orang yang disebut-sebut sebagai bayangan hitam itu."

"Memang aku orangnya!" Sundari cemberut. "Karena itu, kuharap kau jangan hadapi dia karena itu sama saja kau berhadapan denganku dan aku tak tega jika harus membunuhmu."

Suto Sinting sunggingkan senyum tak percaya. "Kalau memang kau bayangan hitam yang dikatakan sakti dan mampu bergerak secepat kilat hingga seperti bayangan lewat, maka kau pasti akan mampu menangkis gerakan tanganku tadi. Ternyata kau tidak mampu menangkisnya, itu berarti kau tidak punya gerak firasat, sebagaimana yang dimiliki oleh para tokoh berilmu tinggi. Pipimu tak akan merah, karena tamparanku tadi belum apa-apa untuk ukuran orang berilmu tinggi, Sundari."

Gadis itu diam, masih cemberut dan mengusap-usap pipi dengan memandang ke arah lain. Suto Sinting kembali dekati Sundari, ia sedikit membungkuk ketika berkata dengan nada suara pelan, "Apa makaudmu menipuku, Sundari? Apa maksudmu mengaku-aku sebagai bayangan hitam itu?!"

Sundari masih diam cemberut. Suto Sinting meraih dagu gadis desa itu. Pelan-pelan sekali dagu itu diputar hingga matanya saling pandang. Wajah manis itu sedikit mendongak dalam menatap Suto, dan Suto mengulangi pertanyaannya tadi. "Apa maksudnya, jelaskan!"

"Karena... karena aku takut kau celaka."

"Mengapa kau takut aku celaka?" desak Suto.

"Entahlah. Pokoknya aku takut kau celaka dan mati. Aku tak ingin kau mengalami nasib seperti itu. Karenanya aku mengaku sebagai bayangan hitam, supaya kau tak jadi temui dia malam ini."

Suto tersenyum, kali ini berkesan ramah, ia mulai tahu perasaan Sundari. Ada rasa suka yang disimpan di hati gadis itu. Ada rasa cemas di sana. Sebab jika Suto sampai mati, sama saja harapan untuk dapat lebih dekat dengan Suto ikut mati juga. Rupanya gadia itu tak ingin kehilangan harapan. "Apakah malam ini bayangan hitam akan muncul lagi?" tanya Suto.

"Aku tak tahu. Tapi menurut dugaanku, juga dugaan beberapa orang, ia akan muncui lagi untuk menculik seorang pemuda. Aku sangat takut, karena di sini sekarang ada seorang pemuda tampan yang menggetarkan hatiku. Aku takut pemuda tamuku akan diculiknya. Kuharap kau tidak keluar rumah, Suto."

"Baiklah," jawab Suto sambil hempaskan napas. "Aku akan turuti kemauanmu. Sekarang cepatlah kembali ke kamar bersama bapakmu, supaya kehadiranmu di sini tidak dicurigai. Aku tak enak kalau dinilai buruk olehnya karena dugaan yang bukan-bukan terhadap diri kita berdua."

"Apakah... apakah kau tidak suka kalau aku menemanimu di kamar ini?"

"Aku tidak akan bisa tidur jika ditemani seorang gadis secantik dirimu," jawab Suto.

"Mengapa kau justru tak bisa tidur?"

"Hanya lelaki bodoh yang tidur dengan nyenyak jika ada teman wanita cantik di sampingnya. Umumnya lelaki akan sulit tidur jika ditemani wanita cantik, karena tangannya pasti akan punya kesibukan sendiri sampai pagi."

Sundari tersenyum malu, karena gadis itu tahu maksud Suto Sinting. Ia bahkan mengatakan, "Kesibukan itu kutunggu sejak lama. Aku ingin bersuami. Tapi tak pernah tertarik dengan lelaki mana pun. Sekarang aku punya rasa tertarik. Kurasa jika tanganmu sibuk lakukan pekerjaan aku tak akan menolak."

"Semudah itukah kau serahkan dirimu kepada orang yang baru dikenal?"

Wajah Sundari cepat-cepat berubah menjadi merah jambu karena menahan malu. Ia menyesal dalam hati, "Seharusnya aku tidak berkata begitu. Seharusnya aku tidak boleh bersikap mengejar. Aku pasti dinilai sebagai gadis desa yang murahan. Ah, tak enak jadinya. Sebaiknya aku segera kembali ke kamar Bapak saja, biar penilaian buruknya terhadapku hilang."

Sebenarnya kenyataan di hati Sundari memang demikian, ingin punya pendamping hidup, tapi tidak pernah tertarik dengan pemuda desanya, ia sering menolak rayuan pemuda desanya, ia bahkan pernah mengubur hasratnya untuk bersuami. Tapi ketika melihat Suto Sinting, hasrat itu menjadi kambuh kembali. Akhirnya ia beranikan diri untuk nekat temui Suto, karena menurutnya kesempatan seperti itu belum tentu datang lagi jika Suto sudah pergi dan ia terlambat menjerat hati pemuda itu. Untunglah ia segera sadari tindakannya tidak sesuai dengan sikap gadis desa pada umumnya, sehingga ia pun segera kembali ke kamar ayahnya.

Kepergian Sundari membuat Suto lega. Lalu secara pelan-pelan ia pun keluar dari kamarnya, menghamburkan diri di tengah kegelapan malam, menyusuri jalan-jalan sepi dengan gerakan yang menyelinap dari tempat tersembunyi ke tempat aman lainnya. Hampir seluruh desa diputari. Tapi Suto tidak temukan hal-hal yang mencurigakan. Sementara itu malam semakin kelam dan kesunyian amat mencekam. Desa itu bagaikan kuburan yang tak berpenghuni makhluk bernyawa lagi. Tak ada suara apa pun yang bisa didengar oleh Pendekar Mabuk.

"Barangkali bayangan hitam itu tidak muncul pada malam ini. Ah, sayang sekali jika memang begitu. Mau tak mau esok aku harus mendaki gunung dan mencari kediaman Bandar Hantu Malam," pikir Suto yang sudah bertengger di salah satu pohon tinggi. Sebab dari sana ia bisa memandang keadaan desa dalam keremangan malam.

Angin berhembus ke utara. Awan pun bergerak ke arah yang sama. Ternyata di balik awan ada rembulan. Sekalipun tidak penuh dan tampak jauh, tapi cahayanya cukup membuat malam menjadi pucat. Batu dan tanaman rumput mulai bisa terlihat. Keadaan remang membuat Suto merasa senang, karena dengan begitu matanya dapat memandang sekeliling dengan lebih jelas lagi.

"Hei, ada gerakan di sebelah barat sana? Hmmm... apa itu? Oh, seseorang melesat menuju sela-sela rumah penduduk? Nah, itu dia! Bayangan hitam itu akhirnya datang juga. Aku harus segera mengejarnya kesana!" Zlaaap...! Suto pergunakan gerakan peringan tubuh yang mampu melesat dengan cepat tanpa suara. Dalam waktu singkat ia tiba di belakang sebuah rumah, tempat bayangan tadi menghilang di sela-sela dua rumah. Suto merunduk di balik tanaman singkong yang tingginya baru sebatas dada manusia dewasa. Matanya memandang dengan waspada ke berbagai arah. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari seberang.

Braaak...!

"Aaaa...!" jerit suara wanita. "Lepaskan anakku! Lepaskan anakku! Tolong...! Tolooong...!" suara wanita yang diperkirakan berusia separo baya itu kian terdengar jelas.

Suto pindah tempat persembunyian, dan di sana ia melihat sekelebat bayangan yang memanggul sesosok tubuh di pundaknya. "Itu dia si bayangan hitam. Pakaiannya memang serba hitam dan... kurasa yang dipanggul di pundaknya itu adalah seorang pemuda yang sudah ditotoknya!"

Zlaaap...! Suto Sinting segera mengejar, tak mempedulikan jeritan minta tolong yang membuat penduduk desa menjadi bangun dan suasana pun kian tegang. Bayangan hitam itu memang bergerak dengan cepat, menandakan ia orang berilmu tinggi. Kecepatan bayangan hitam itu hampir menyamai kecepatan gerak Suto Sinting, ia tidak sadar ada orang yang berani mengejarnya. Bahkan ia menjadi sangat kaget ketika tahu-tahu bagian atas tubuhnya dilompati oleh seseorang dalam gerakan bersalto ringan, lalu langkahnya pun terhadang oleh orang yang melompatinya itu.

Jleeg...!

Suto Sinting si Pendekar Mabuk itulah yang menghadang langkahnya. Mau tak mau bayangan hitam hentikan langkah. Ia mulai sadar datangnya bahaya. Tak mau menunda waktu lagi karena takut kepergok penduduk desa yang terbangun karena jeritan ibu si pemuda yang dipanggulnya itu, maka tangannya segera melemparkan sesuatu yang diambil dari balik baju hitamnya.

Slaaap...! Wuuut...!

Suto Sinting cepat hadangkan bumbung tuaknya. Benda yang dilemparkan itu menghantam bumbung tuak.

Traak...! Weesss...!

Benda itu ternyata sebuah pisau kecil yang memantul balik ke arah pelempamya begitu kenai bumbung keramat itu. Gerakan pisau yang dua kali lebih cepat dari lemparan pertama membuat orang yang berpakaian serba hitam menjadi terkejut, ia segera hindari pisaunya sendiri. Tapi gerakannya sedikit terlambat. Pisau itu akhirnya menancap di pinggang kanannya.

Jruub...!

"Uuhg...!" ia terpekik dengan suara tertahan.

Melihat lawannya mengejang dengan pegangan pada sosok di pundaknya melemah, maka Suto pun segera berkelebat cepat dalam satu lompatan tinggi ke arah orang berpakaian hitam.

Wuuut...! Wees...!

Pemuda yang tertotok jalan darahnya kini sudah berpindah tangan. Suto Sinting segera membawanya lari ke jalanan desa menuju rumah penduduk. Di sana Suto Sinting segera berhenti, meletakkan pemuda itu di tanah, dan menunggu kejaran orang berpakaian serba hitam.

Dengan menahan sakit karena pisau beracun menancap di pinggangnya, dan sampai saat itu belum bisa dicabut karena terlalu menyakitkan, orang berpakaian mirip ninja itu segera berhenti di depan Pendekar Mabuk. Napasnya terangah-engah. Ia bermaksud merebut pemuda yang berhasil diculiknya itu. Tentunya ia harus merobohkan pemuda tampan yang ada di depannya. Maka orang itu pun segera menyerang Suto dengan lepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh. Ia kibaskan tangannya bagai melempar sesuatu, dan ternyata gumpalan api sebesar genggaman tangan melesat cepat menerjang Suto.

Wuuusss...!

Suto menghajar bola api dengan jurus yang dinamakan 'Pukulan Gegana' pemberian Bidadari Jalang, Bibi Gurunya itu. Dari dua jari Suto melesat sinar patah-patah warna kuning. Sinar itu menghantam bola api dan menimbulkan ledakan yang lebih mengagetkan penduduk desa.

Blaaarrr...! Glegeeerrr...!

Ledakan menggema itu hadirkan gelombang hawa panas yang mampu mengeringkan sebuah pohon dalam waktu satu helaan napas. Mestinya orang berkerudung kain hitam itu akan mati kering jika terkena langsung pukulan tersebut. Tetapi karena gelombang ledakan saja, maka orang itu terjungkal ke belakang dan berguling-guling hingga tak sengaja kain penutup kepalanya terlepas. Ketika bangkit dan mencoba berdiri lagi, sinar rembulan menampakkan wajah cantiknya.

Ternyata ia seorang wanita bermata indah tapi punya kesan jalang. Usianya diperkirakan sekitar dua puluh tujuh tahun. Dari hidungnya yang bangir tampak ada cairan merah mengalir, itulah darah dari luka dalamnya akibat ledakan tadi. Sementara Suto Sinting sama sekali tidak terpengaruh oleh ledakan tadi, ia hanya terdesak mundur dua tindak.

Beberapa orang datang membawa obor dari dua arah, selatan dan timur. Perempuan cantik itu menjadi sangat tegang dan gusar, ia hanya berkata kepada Pendekar Mabuk, "Suatu saat kita akan bertemu, dan akan kubalas kekalahan ini!"

Beberapa penduduk desa yang sempat melihat raut wajah wanita itu menjadi tercengang. Salah seorang menyebut dengan nada heran sekali. "Nyai Sedah...?!"

Begitu suara orang yang menyebutkan namanya itu lenyap, Nyai Sedah cepat sentakkan kaki dan pergi dalam keadaan luka. Ia masih mampu bergerak cepat. Suto sengaja tidak mau mengejarnya, karena ia hanya ingin tahu apakah orang itu Bandar Hantu Malam atau bukan. Ternyata orang itu adalah Nyai Sedah.

"Siapa Nyai Sedah itu?" tanya Suto kepada Ki Rosowelas yang ternyata ikut hadir dalam kerumunan tersebut bersama Sundari, anaknya.

"Nyai Sedah adalah mantan istri lurah kami," jawab Ki Rosowelas.

Salah satu orang berambut putih yang usianya diperkirakan sudah mencapai tujuh puluh tahun itu ikut menimpali jawaban Ki Rosowelas. "Nyai Sedah adalah wanita yang tak pernah puas dengan seribu lelaki. Dulu suaminya adalah mantan lurah kami yang sudah tiada. Dia terusir dari desa ini karena sering mengganggu para suami, membuat para istri resah. Mungkin selama tujuh tahun dia menghilang itu, dia pelajari beberapa ilmu dari seseorang, sehingga ia mampu lebih sakti dari sebelumnya. Pantas jika ia menculik para pemuda. Pasti di tempatnya sana dijadikan pemuas gairahnya."

"Apakah ada hubungannya dengan Bandar Hantu Malam?" tanya Suto.

Tapi orang-orang itu hanya diam dan saling pandang. Lalu, Ki Rosowelas pun menjawab, "Bisa jadi... dia adalah murid Bandar Hantu Malam. Karena di daerah ini hanya ada satu orang sakti, yaitu Bandar Hantu Malam. Tapi... tapi apakah Bandar Hantu Malam mau punya murid sesat seperti Nyai Sedah?!"

Ki Rosowelas menyanggah pendapatnya sendiri, sebab segalanya memang belum jelas tentang keadaan Bandar Hantu Malam. Bagi Suto, semua itu akan menjadi lebih jelas jika ia sudah temui Bandar Hantu Malam di puncak Gunung Keong Langit.

* * * LIMA SUARA ledakan yang disusul dengan rontoknya dedaunan hutan membuat langkah Suto Sinting terhenti di lereng gunung itu. Sebagian daun pohon sempat merontoki kepala Suto. Sehelai daun diambilnya dari atas kepala, diperhatikan beberapa saat, lalu dahinya pun berkerut tajam.

"Gila!" gumam Suto setelah mengetahui daun itu ternyata sudah menjadi debu namun masih membentuk warna dan serat aslinya. Daun itu hanya ditekan dengan dua jari sudah hancur dengan sendirinya.

"Tenaga dalam siapa yang sehebat ini? Aku yakin tak jauh dari sini ada pertarungan hebat. Hmmm...! Aku mendengar detak jantung di sebelah barat. Aku ingin tahu siapa pemilik ilmu tenaga dalam yang mampu membuat daun-daun berubah menjadi debu!"

Ia pun segera melesat ke arah barat. Alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk ketika mengetahui siapa orang yang bertarung pada saat itu. Seorang kakek berjubah putih, rambut putih, kumis dan jenggotnya putih, bertubuh kurus, mengenakan kalung batu-batuan warna merah kecoklat-coklatan. Suto ingat lelaki tua itu adalah orang yang dilihatnya melakukan pertarungan di seberang jurang dengan lawan yang tak diketahui letak kedudukannya.

"Dia lagi...?!" gumam Suto dalam keheranan. "Sikapnya masih sama seperti tempo hari. Diam, tenang, berdiri tegak dengan kaki sedikit renggang, kedua tangannya terlipat di dada. Oh, benar-benar seorang tokoh sakti tingkat tinggi yang baru kali ini kulihat begitu tenangnya menghadapi lawan yang ganas."

Lawan si kakek berjubah putih itu adalah seorang perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, tapi masih lincah dan gesit. Nenek itu berjubah merah, kurus, dan kempot. Rambutnya yang putih digulung menjadi konde di tengah kepala, ia menggenggam senjata logam putih mengkilat berbentuk seperti kipas yang bagian tangannya berlubang untuk tempat jari-jarinya.

Piringan itu punya bagian tepi yang tajam sekali. Lebarnya satu jengkal. Jika dipakai untuk menebas leher bisa putus seketika. Tapi agaknya senjata yang mirip kipas rata pinggirnya itu tidak akan sampai digunakan menebas seluruh bagian. Suto melihat jurus menggunakan senjata itu sangat sederhana.

Nenek tersebut mencoba menyerang sang kakek berjubah putih dengan satu lompatan cepat. Tapi tahu-tahu sang kakek sudah ada di belakangnya tanpa diketahui gerakannya. Keadaan sang kakek tetap diam dan melipat tangan di dada. Sedangkan gerakan sang nenek yang cepat itu menemui tempat kosong.

Tapi ketika ia mengibaskan senjatanya itu, sebuah pohon besar segera tumbang bagai habis terpotong dengan senjata amat tajam dan besar. Pohon itu tumbang dalam keadaan terpotong rata bagian tengahnya. Padahal pohon itu hanya berjarak dua langkah dari tempat sang nenek mengibaskan senjatanya.

"Senjata itu tak sampai menyentuh pohon, tapi kekuatan tenaga tebas yang terpancar dari tepian senjata itu sudah mampu memotong batang pohon yang lumayan besar," gumam Suto dalam hati. "Tentunya nenek itu punya ilmu tinggi yang dapat disalurkan melalui angin tebasan senjata aneh itu. Tapi gerakan kakek berjubah putih itu juga sangat hebat. Tak tahu kapan dan ke mana ia bergerak, tahu-tahu sudah ada di belakang sangnenek."

Pendekar Mabuk masih tetap diam dari persembunyiannya. Matanya memandang pertarungan hebat itu tanpa mau berkedip. Lagi-lagi ia dibuat tercengang melihat sang nenek lakukan serangan dengan mengibas-ngibaskan tangannya yang bersenjata. Gerakannya cepat dan sepertinya tak beraturan. Dari gerakan tangan ke sana-sini itu memancarlah sinar hijau yang tiada putusnya hingga menyerupai benang atau tali hijau yang awut-awutan. Tapi dalam sentakan terakhir, sang nenek putarkan tubuhnya. Wuuusss...! Sinar hijau yang mirip tali itu berkelebat menjerat tubuh kakek berjubah putih.

Zraab...!

Dalam sekejap tubuh kakek itu telah terjerat kuat oleh tali sinar hijau. Namun orang berjenggot panjang itu tetap diam, tetap melipat tangan di dada. Sedangkan mata Suto memandang kian tegang, tali sinar hijau itu makin lama makin menjerat kuat, seakan mulai masuk ke daging tubuh sang kakek.

"Celaka! Kenapa dia diam saja?! Dia bisa terpotong oleh tali sinar itu!" pikir Suto Sinting mulai tak sabar ingin segera turun ke pertarungan tersebut

Wajah sang kakek mulai merah kebiru-biruan. Seperti orang tercekik kuat-kuat, sebab tali sinar hijau itu juga ada yang melilit di lehernya. Agaknya ia sedang mengimbangi kekuatan tali sinar hijau itu dengan tenaga dalam yang dikerahkan sekuat tenaga, namun masih belum berhasil memutuskan atau memecahkan tali sinar hijau itu.

"Hik, hik, hik, hik...!" nenek itu tertawa. "Tak akan mampu kau lakukan! Tak ada orang yang bisa melawan jurus 'Tambang Akhirat' milikku itu! Sekarang sudah waktunya kau modar dengan tubuh terpotong-potong, Manusia Bodoh! Hik, hik, hik, hik...!"

Hati Pendekar Mabuk menggerutu kesal. "Memang bodoh kakek itu. Kenapa diam saja? Cepat lakukan sesuatu?!" Suto Sinting menjadi gemas sendiri.

Sementara itu tali sinar hijau kian menjerat kuat, sebagian mulai menembus daging tubuh sang kakek yang kurus itu. Tiba-tiba nenek berjubah merah itu melompat dengan satu teriakan nafsu membunuh. "Hiaaaahhh...!"

Melihat keadaan seperti itu, Suto Sinting berani pastikan sang kakek pasti akan tumbang di tangan sang nenek, sebab keadaannya tak berdaya menghadapi tali sinar hijau. Sedangkan sang nenek sudah jelas akan mengibaskan senjatanya untuk mempercepat terpotongnya tubuh sang kakek. Maka dengan gerakan secepat anak panah, Suto Sinting segera melesat dari persembunyiannya menerjang tubuh sang nenek dari samping. Bambu bumbung tuak digunakan untuk menyodok tubuh sang nenek.

Wuuuttt...! Buuuhg...!

"Aaahg...!" nenek itu terpekik, terlempar keras dan membentur sebatang pohon besar akibat terkena sodokan bambu tuaknya Suto. Jika ia tidak punya ilmu tinggi, maka ia akan mengalami patah tulang di sekujur tubuhnya. Dan Suto berani lakukan hal itu karena ia hanya ingin menahan serangan sang nenek kepada kakek jubah putih yang sudah tak berdaya itu. Suto berani lakukan hal itu karena ia tahu sodokan bambunya tidak akan membuat sang nenek menjadi parah. Sodokan bambu itu hanya akan membuat tubuh sang nenek menjadi ngilu, mungkin juga memar biru pada bagian yang terkena sodokan.

"Bocah ingusan!" sentak sang nenek. "Apa maksudmu ikut campur urusanku?! Apakah kau ingin mati di tangan Nini Pancungsari, hah?!"

Suto Sinting tidak pedulikan keadaan sang nenek yang berang itu. Ia segera bergegas untuk menolong kakek berjubah putih yang diam-diam telah dikaguminya sejak pertama dilihat di atas Puncak Karang. Tetapi alangkah kagetnya Suto Sinting ketika mau bergerak, ternyata tubuh sang kakek pecah terjerat tali sinar hijau. Tubuh itu menjadi terpotong-potong dan berserakan di tanah. Mata Suto Sinting sangat sulit dikedipkan bahkan kian lebar memandang potongan-potongan tubuh sang kakek.

"Hik, hik, hik, hik...! Bocah ingusan terheran-heran. Kasihan sekali kau, Nak. Kalau kau ingin tahu, itulah yang dinamakan jurus 'Tambang Akhirat'. Tak ada yang punya selain diriku; Nini Pancungsari! Hik, hik, hik, hik...!"

Napas kedongkolan ditarik kuat-kuat oleh Pendekar Mabuk, ia memandangi Nini Pancungsari dengan penuh kegeraman. Tangan kirinya yang tidak menenteng bumbung bambu itu menggenggam kuat-kuat pertanda ia sedang menahan gejolak nafsu amarah terhadap nenek sadis itu. Tetapi tiba-tiba Pendekar Mabuk dan Nini Pancungsari dikejutkan oleh suara bernada penuh wibawa.

"Apa yang kau tertawakan, Pancungsari?!"

Suto dan nenek itu sama-sama memandang ke arah selatan, ternyata kakek berjubah putih itu ada di sana, berdiri dengan tangan terlipat di dada. Suto dan nenek itu kembali pandangi potongan tubuh yang berserakan ditanah, dan mereka sama-sama terperanjat karena ternyata yang ada di tanah bukan potongan tubuh manusia melainkan potongan kayu jati yang masih bertahan tapi sudah kering. Ternyata apa yang dijerat oleh tali sinar hijau tadi adalah sebatang kayu jati yang sudah lama tumbang.

Tentu saja murka sang nenek kembali menyala-nyala. "Kuhabisi kau sekarang juga, Manusia Bodoh! Heaaah...!" Nini Pancungsari lepaskan pukulan bersinar biru, besar dan lurus, seperti sebuah kayu balok. Sinar biru itu keluar dari telapak tangan kirinya.

Wooss...!

Sang kakek pun keluarkan pukulan penangkis. Kali ini tangan kirinya juga menyodok ke depan dan dari telapak tangan itu keluar sinar besar, sama ukurannya, beda warnanya. Warna sinar besar lurus itu seperti warna merah batu kalungnya. Sinar itu menghantam sinar biru di pertengahan jarak. Gemuruh pertemuan dua sinar itu bagaikan sesuatu yang siap meledak. Di pertengahan jarak mereka memancar sinar ungu, perpaduan antara sinar merah dengan biru. Sinar ungu itu berpijar-pijar lebar, bergerak maju mundur, seakan mengikuti kekuatan dorong yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Nini Pancungsari rendahkan kedua kakinya sambil kerahkan tenaga pendorong agar sinar ungu itu bergerak mendekati tubuh lawannya, kalau bisa menghantam telak tubuh itu. Tapi kakek berjubah putih pun lakukan dorongan dengan sikap tetap berdiri tegak, tak kentara keluarkan tenaga. Sedangkan Nini Pancungsari tubuhnya sampai gemetaran karena kerahkan tenaganya habis-habisan.

Pertemuan dua sinar itu makin mendekati tubuh sang kakek, itu tandanya sang kakek terdesak dan kekuatannya berkurang. Suto Sinting menjadi cemas, sebab ia tak rela jika kakek yang menjadi kebanggaan hatinya itu hancur oleh sinar ungu tersebut. Maka dengan cepat Suto Sinting segera sodokkan bambunya ke depan.

Suuut...!

Dan memancarlah sinar kuning lurus yang menuju kepertengahan jarak kedua tokoh sakti itu. Sinar kuning Suto bagaikan menyangga pertemuan kedua sinar tersebut, lalu dengan perlahan-lahan mengangkat pertemuan sinar yang memercikkan warna ungu itu. Makin lama makin keatas, sehingga dengan kaki menghentak Suto dapat ledakkan kedua sinar itu di angkasa sana.

Blegaaarrrr...!

Jurus 'Naga Sontok' milik Pendekar Mabuk telah selamatkan kedua tubuh tokoh tua tersebut. Tak ada yang hancur karena ledakan sinar ungu itu. Tapi akibat dari ledakan tersebut, delapan pohon tumbang dalam keadaan rusak berat, belum yang mengalami patah dahan di sana-sini. Tanah tempat mereka berpijak bagaikan ditungging balikkan. Ketiganya sama-sama terpelanting jatuh tak tentu arah. Sama-sama mengalami sesak napas beberapa saat karena gelombang ledakan tadi bagaikan seekor banteng yang menerjang dada masing-masing.

Suto sendiri merasakan nyeri di ulu hatinya, seperti ditusuk-tusuk oleh paku sebesar kelingking, ia buru-buru meneguk tuaknya, glek, glek, glek. Kakek berjubah putih itu sempat terpuruk di bawah kerimbunan semak ilalang. Tapi agaknya ia mampu kendalikan diri, dalam waktu singkat sudah bisa berdiri walaupun wajahnya tampak pucat, bibirnya membiru pertanda mengalami luka dalam yang lumayan parah. Berulang kali ia tarik napas untuk mengatasi luka di dalam tubuhnya.

Sedangkan Nini Pancungsari dalam keadaan berdarah. Lubang hidung dan mulutnya sempat lelehkan darah segar. Wajahnya lebih pucat dari sang kakek. Dadanya kepulkan asap tipis, ia lebih parah dari sang kakek. Karenanya, ketika ia sudah mampu berdiri, ia segera berkata dengan nada geram dan bergetar sambil matanya tertuju pada sang kakek dan Suto Sinting secara bergantian.

"Baik. Sekarang kalian unggul! Tapi ingat, akan kubalas kalian lebih kejam lagi. Dan kau, Manusia Bodoh! Sampai kapan pun masih tetap akan kutuntut nyawamu!"

Wuuut...!

Nini Pancungsari segera berkelebat pergi. Suto Sinting bergegas mengejar, tapi sang kakek segera berseru, "Tahan...!"

Pendekar Mabuk hentikan langkah, berpaling memandang sang kakak yang sedang melangkah dekati dirinya. Suaranya terdengar sedikit serak, mungkin karena menahan luka di dalam dadanya.

"Jangan mengejar orang yang telah mengaku kalah dan menyerah."

"Maaf, aku gemas sekali dengannya."

"Apakah kau punya urusan dengan Nini Pancungsari?"

"Tidak, Kek. Tapi... entah mengapa aku gemas sekali dengannya, ia tadi nyaris membunuhmu."

"Mengapa kau membelaku, Anak Muda?"

"Aku mengagumi ilmu kesaktianmu yang tenang sekali itu, Kek," jawab Suto jujur, tak ada kesan memuji atau menyindir, tapi lebih berkesan polos.

"Siapa namamu?" tanya kakek itu setelah tarik napas dengan berat

"Namaku Suto. Banyak yang memanggilku Suto Sinting."

"Hmmm...," kakek itu manggut-manggut dengan mata menatap tajam namun tak menakutkan. Bersifat tegas dan bersahabat. "Kalau tak salah dugaanku, kau adalah murid Ki Sabawana yang berjuluk si Gila Tuak itu!"

Suto Sinting berkerut dahi. "Benar, Kek. Apakah kau kenal dengan beliau?"

"Ya. Kenal."

"Apakah...," Suto tak lanjutkan kata, karana saat itu sang kakek terbatuk-batuk, lalu keluarkan darah dari mulutnya. "Kek...?! Kau terluka dalam dan agaknya cukup parah. Minumlah tuakku ini seteguk atau dua teguk."

Kakek itu terengah-engah, badannya jadi lemas, ia berpegangan pada batang pohon. Suto Sinting segera menolong, menopang tangannya, lalu dengan pelan-pelan membawanya ke tempat teduh dan mendudukkannya di situ.

"Ledakan tadi menyebarkan racun, karena pukulanku dan pukulan Pancungsari sama-sama beracun tinggi. Dalam waktu kurang dari setengah hari tempat ini akan menjadi gersang, tanaman mati dan rumput tak bisa tumbuh lagi," katanya sambil berusaha kendalikan napasnya yang berat dihela.

Untung Suto Sinting segera memberikan tuaknya, sehingga luka dalam yang berbahaya itu sangat menolong jiwa sang kakek. Beberapa saat setelah meneguk tuak dari bumbung itu, napas sang kakek mulai terasa ringan. Tidak seberat tadi. Rasa nyeri di dada sampai ke perut pun terasa berangsur-angsur reda. Tubuh sang kakek lebih enak dari sebelum meneguk tuak Suto.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Suto Sinting," ucapnya setelah ia berdiri lagi, mencoba menggerak-gerakkan tangan, kaki, dan badannya yang ternyata terasa lebih enak dari sebelumitu. "Tuakmu ini sangat mujarab dan kukatakan sebagai tuak sakti. Aku yakin racun di dalam tubuhku akan menjadi tawar setelah minum tuakmu."

Suto Sinting hanya tersenyum sedikit malu mendengar pujian itu. Ia berkata dengan pandangan mata ke arah bumbung tuaknya. "Tuak ini kubeli dari desa Pucangan. Kurasa tuak biasa-biasa saja, Kek."

"Memang. Tapi bumbungnya jelas bukan dari sembarang bambu."

"Guruku yang memberikan bumbung ini."

Kakek itu berkerut dahi. "Kalau begitu... kalau tak salah ingatanku...," ia seperti ragu-ragu mengatakannya. "Bumbung tuak ini pasti dari bambu ajaib."

"Mungkin begitu," jawab Suto merendahkan diri.

"Bukan mungkin saja, tapi pasti!" kata kakek itu. "Jika memang ini bambu pemberian gurumu, berarti bambu ini jenis bambu besi yang diperoleh Gila Tuak di dasar Gunung Karak Kato."

Suto kaget, "Dari mana kau mengetahuinya, Kek?"

"Semasa muda Sabawana, gurumu, adalah sahabat dekatku. Memang dia lebih tua dariku, tapi dia dan aku bersahabat seperti orang berusia sebaya. Sabawana pernah cerita padaku, ia memperoleh bambu tempat tuaknya dari dasar Gunung Karak Kato yang disebut Penjara Bumi. Bambu itu jelmaan dari eyang gurunya yang bernama Wijayasura."

Blegaaarrr!

Terdengar suara petir menggelegar di angkasa tanpa mendung tanpa hujan. Bahkan langit terang tiba-tiba menjadi redup, kemudian mendung hitam datang bersama badai di langit. Mendung hitam bergulung-gulung membuat bumi makin temaram. Sinar matahari tak mampu menembus kepekatan warna hitam sang mendung. Angin bumi pun bertiup kencang. Jubah dan rambut sang kakek berkelebat, demikian pula rambut Pendekar Mabuk yang meriap-riap dihempas angin kencang.

Kakek itu tertegun sebentar, wajahnya berubah menjadi penuh sesal, seperti punya perasaan bersalah. Suto Sinting sudah tak heran lagi dengan keadaan alam yang tiba-tiba menjadi seperti mau kiamat itu, karena memang begitulah keadaan yang terjadi jika seseorang menyebutkan nama Wijayasura, eyang gurunya Gila Tuak, yang sebenarnya menjelma menjadi bumbung tuaknya Suto itu.

"Maaf, aku telah menyebutkan namanya. Aku tak berani bicara tentang beliau lagi," kata kakek itu. "Yang jelas, aku tahu betul silsilah guru-gurumu sampai kepadamu, tapi aku tak berani beberkan. Takut alam menjadi murka." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Guntur Biru).

Dalam hati Suto merasa beruntung bisa bertemu kakek itu. "Ilmunya pasti sedikit lebih rendah dari guruku. Aku bisa minta bantuan padanya untuk mengalahkan Bandar Hantu Malam. Kurasa dia pasti mau membantuku, aku yakin dia orang sakti beraliran putih."

"Apa yang kau renungkan, Nak?" tanya kakek itu.

Suto menggeragap malu, lalu menjawab, "Aku sedang memikirkan persoalan yang kau hadapi bersama Nini Pancungsari itu, Kek. Aku tak habis pikir, mengapa Nini Pancungsari selalu menyebutkan manusia bodoh dan berkamauan keras untuk membunuhmu?"

"Itu persoalan lama. Aku pernah mengalahkan suaminya, dan ia menyimpan dendam serta ingin menebus kematian suaminya dengan nyawaku. Lupakan tentang itu. Sekarang kalau boleh kutahu, ada urusan apa kau datang ke lereng gunung ini? Apakah hanya kebetulan lewat saja atau memang punya tujuan lain?"

"Aku ingin mencari Bandar Hantu Malam, Kek!"

Kakek beralis tebal dan putih itu berkerut dahi dengan tajam, ia menggumam, "Bandar Hantu Malam...?!"

"Benar. Apakah kau mengenalnya?"

Kakek itu manggut-manggut seperti ragu menjawab. "Hmmm... yah, aku mengenalnya. Tapi untuk apa kau mencari Bandar Hantu Malam? Apakah kau punya urusan dengan Bandar Hantu Malam?"

"Benar!"

"Kau sudah pernah bertemu dengan Bandar Hantu Malam?"

"Belum. Justru itu aku ingin minta tolong padamu untuk mempertemukan aku dengan Bandar Hantu Malam jika kau tahu di mana pondoknya berada. Yang kudengar, ia tinggal di puncak gunung ini, tapi di sebelah mana aku kurang tahu secara pasti. Apakah kau bersedia menolongku mempertemukan dengan Bandar Hantu Malam?"

"Sangat bersedia, karena kebetulan kau sudah berhadapan dengan Bandar Hantu Malam," jawab kakek itu membuat Suto menjadi heran, sangsi, dan bingung.

"Maksudmu bagaimana. Kak?"

"Akulah yang bernama Bandar Hantu Malam!"

Deeg...! Jantung Suto bagaikan tersentak kuat dan berhenti sekejap. Dipandanginya wajah tua kakek yang membuat hatinya terkagum-kagum itu. Ia berharap salah dengar, ia bagai tak mau percaya bahwa yang dihadapinya itu adalah orang yang dicari-cari, yaitu Bandar Hantu Malam.

* * *

ENAM
PENDEKAR Mabuk dibawa oleh kakek yang mengaku bernama Bandar Hantu Malam itu ke pondoknya. Letak pondok itu hampir mendekati puncak gunung. Suasana di sekitarnya berkabut dan berhawa dingin. Pondok itu dibangun dari belahan kayu-kayu pohon yang sangat sederhana tapi tampak kokoh. Rupanya di situ sang kakek hidup seorang diri, konon ia mengasingkan diri dari keramaian kehidupan di muka bumi.

"Julukan itu sudah lama melekat dalam kehidupanku," kata sang kakek. "Namaku sebenarnya adalah Randu Papak. Ada yang memanggilku dengan sebutan Ki Randu Papak. Namun sejak hidupku sesat, aku mendapat julukan dari para tokoh rimba persilatan dengan nama Bandar Hantu Malam. Waktu itu, aku memang seperti hantu yang bergentayangan menyebarkan maut di malam hari. Pengaruh ilmu-ilmu dari guruku; Ki Warok Guci Wangsit, membuat hidupku menjadi sesat dan berpisah dengan gurumu; si Gila Tuak. Aku pun sempat dibenci oleh Gila Tuak. Namun sejak aku menikah dengan istriku tercinta, aku bisa merubah sikap dan menyadari kesesatanku. Lalu, aku berhenti menjadi manusia sesat demi istriku tercinta. Sayang sekali dia lebih dulu pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Sekalipun begitu, aku tetap menjaga sikapku untuk tetap menjadi orang baik, supaya roh istriku tidak menangis di alam sana," tutur Ki Randu Papak dengan wajah murung dicekam duka karena terkenang istrinya.

Suto Sinting memperhatikan tak berkedip. Pikirannya sempat dibuat kacau oleh pendapat dan kesimpulannya sendiri. Tapi untuk sementara waktu ia sengaja tidak banyak bicara, karena ia ingin dengar semua pengakuan Ki Randu Papak.

"Sekalipun aku sudah menjadi orang baik, tapi julukan itu sepertinya masih melekat pada diriku, sehingga sampai sekarang masih banyak yang memanggilku dengan julukan Bandar Hantu Malam. Padahal aku lebih suka jika dipanggil dengan nama Ki Randu Papak saja. Di sini aku mengasingkan diri, sekadar untuk membuat mereka lupa dengan nama Bandar Hantu Malam. Ternyata cara itu belum bisa dikatakan berhasil, buktinya kau datang kemari dan mencariku dengan nama Bandar Hantu Malam. Mau tak mau aku harus mau menyandang julukan yang sudah tak kusukai itu. Aku sengaja mengasingkan diri di sini untuk menebus tingkah lakuku masa lalu dan menjauhi pertikaian dengan siapa pun. Tapi nyatanya masih ada yang mengusikku, seperti halnya Nini Pancungsari dan yang lainnya."

"Aku pernah melihatmu bertarung di seberang Puncak Karang, Ki."

"Ya. Beberapa waktu yang lalu aku memang terlibat pertikaian dengan seseorang di sana. Aku mencoba untuk tidak melawan, tapi aku hampir saja mati konyol, sehingga mau tak mau memberikan balasan sekadar mengusirnya."

Suto Sinting tarik napas dalam-dalam. Tak tega untuk utarakan maksud sebenarnya. Tapi Ki Randu Papak memaksanya bicara dengan ajukan pertanyaan, "Apa perlumu mencari dan menemuiku, Suto?"

Dengan gelisah dan susah payah akhirnya Suto menjawab, "Aku diutus oleh Ratu Asmaradani untuk..."

"Siapa itu Ratu Asmaradani?" potong Ki Randu Papak dengan dahi berkerut dan wajah penuh keheranan.

"Ratu yang menguasai negeri Ringgit Kencana didasar laut. Apakah kau tidak pernah jumpa dengannya?" pancing Suto.

"Mendengar namanya saja baru sekarang," jawab Ki Randu Papak. "Apa tugas yang kau emban dari ratu itu?"

Kembali Pendekar Mabuk dibuat bingung oleh jawaban yang harus diberikan kepada Ki Randu Papak. Hatinya segera membatin, "Jangan-jangan Asmaradani salah menyebutkan namanya? Bandar Hantu Malam tak punya tanda-tanda melakukan perbuatan sejahat itu. Tutur katanya yang berwibawa dan berkesan ramah, sikapnya yang tenang dan penuh kharisma, membuatku tak yakin dengan penjelasan Ratu Asmaradani. Apa benar orang sebijak ini memaksa Ratu Asmaradani untuk menjadi istrinya dengan cara melukai sang Ratu sekejam itu? Ah, batinku menjadi bimbang sekali. Tak tega untuk menjelaskan kepada Ki Randu Papak."

Karena jawaban Suto yang ditunggu-tunggu tak datang jua, maka Ki Randu Papak pun kembali perdengarkan suaranya. "Aku melihat kebimbangan di matamu, Suto. Ada baiknya jika kau katakan saja terus terang padaku, apa yang menjadi tugasmu sebagai utusan Ratu Asmaradani itu? Setidaknya aku akan mempertimbangkan segala sesuatunya, karena kau adalah murid sahabatku, aku punya kewajiban membantumu. Apalagi kau tadi kuanggap telah selamatkan jiwaku dengan tuakmu itu, jadi aku juga harus balas kebaikanmu itu dengan kebaikan pula. Katakanlah, Suto, jangan ragu!"

Tapi Pendekar Mabuk tetap tak tega mengatakan yang sebenarnya, ia hanya bisa memancing dengan pertanyaan-pertanyaan yang nanti akan bisa disimpulkan sendiri oleh kecerdasannya. "Apakah... apakah Ki Randu Papak mempunyai jurus 'Racun Siluman'?"

Pertanyaan itu membuat Bandar Hantu Malam tarik kepala sedikit ke belakang, ia terperanjat dan tak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Karenanya, ia diam untuk sesaat, setelah itu baru menjawab dengan suara pelan. "Ya, memang aku mempunyai jurus 'Racun Siluman' warisan dari guruku: Ki Warok Guci Wangsit. Tapi jurus itu tidak pernah kugunakan sejak aku meninggalkan kehidupan sesatku. Jurus itu juga tak bisa kuberikan kepada siapa pun, Suto. Sebab aku takut orang itu akan menggunakan jurus 'Racun Siluman' untuk perbuatan-perbuatan yang tercela."

Pendekar Mabuk membatin, "Dari kesimpulan jawaban yang ini saja sudah bisa diketahui, bahwa Ki Randu Papak tak ingin lakukan kejahatan dengan menggunakan jurus itu. Tapi mengapa Ratu Asmaradani mengatakan, bahwa orang yang mencelakainya dengan 'Racun Siluman' itu adalah Bandar Hantu Malam?"

Diamnya Pendekar Mabuk membuat Ki Randu Papak punya dugaan lain, sehingga akhirnya ia bertanya, "Apakah kau ingin memiliki jurus itu?"

Suto malahan punya gagasan untuk alihkan pembicaraan agar tak ketahuan menaruh kecurigaan kepada sang tokoh sakti itu. "Seandainya aku ingin memiliki jurus itu, bagaimana?"

"Perlu kutanyakan dulu untuk apa?"

"Hmmm...," Suto berpikir sejenak. "Untuk... untuk melawan seorang tokoh sesat," jawabnya hanya sekadar mencari alasan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh hatinya. Tapi alasan itu ditanggapi oleh Bandar Hantu Malam dengan kata-kata yang cukup jelas dan tenang.

"Tokoh sesat yang mana maksudmu? Setahuku, di dunia ini banyak tokoh sesat. Tapi aku yakin ilmu kesaktianmu cukup mampu kalahkan mereka. Tak perlu gunakan jurus 'Racun Siluman'. Apakah kau punya lawan yang tak bisa kau kalahkan?"

Tiba-tiba otak Suto segera teringat dengan lawan yang sampai sekarang masih dalam pengejarannya. Maka Suto pun menjawab dengan tegas, "Ya. Ada lawan yang belum bisa kukalahkan karena licin seperti belut, dan dia sangat tinggi ilmunya. Tokoh sesat itu adalah Siluman Tujuh Nyawa!"

"Durmala Sanca, maksudmu?"

"Ki Randu Papak tahu nama asli tokoh itu rupanya?"

Bandar Hantu Malam manggut-manggut. "Sudah kukatakan, aku tahu silsilah guru-gurumu, sampai pada anak-anak Purbapati dan Nini Galih, guru dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu. Purbapati dan Nini Galih mempunyai tujuh anak, tapi yang hidup hanya tiga orang, yaitu Durmagati, Begawan Sangga Mega, dan Raja Nujum. Durmagati mempunyai anak Wicara Sanca dan Durmala Sanca. Tetapi Durmala Sanca menjadi manusia sesat, dan berjuluk Siluman Tujuh Nyawa, ia membunuh kakaknya sendiri, juga ayah ibunya dibunuhnya pula. Durmala Sanca terkena kutuk dari kakeknya menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun, karena ia memperkosa neneknya sendiri. Sekarang usia Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa baru mencapai dua ratus lima belas tahun, jadi ia masih punya waktu menjadi orang sesat selama delapan puluh lima tahun lagi."

Suto manggut-manggut, membenarkan cerita itu, karena ia pernah mendengar cerita tersebut dari mulut Hantu Laut yang tak sadar akan segala apa yang diucapkannya itu, (Baca serial pendekar Mabuk dalam episode Cermin Pemburu Nyawa).

"Kalau kau ingin kalahkan Siluman Tujuh Nyawa," kata Ki Randu Papak alias Bandar Hantu Malam, "Kau harus gunakan sebuah senjata khusus yang bernama Pedang Kayu Petir."

"Pedang Kayu Petir?" ucap Suto mengingat-ingat nama pusaka itu.

"Pemilik pusaka Pedang Kayu Petir adalah Resi Wulung Gading, anak dari adiknya Nini Galuh, istri Purbapati yang diperkosa oleh Durmala Sanca itu!"

Suto Sinting kian tertegun bengong. Tapi semua kata-kata Bandar Hantu Malam itu dicatat dalam otaknya dan diresapinya. Bahkan Bandar Hantu Malam tambahkan kata,

"Jika kau ingin dapatkan Pedang Kayu Petir, kau harus temui Resi Wulung Gading dan meminjamnya. Karena pedang itu mungkin tak akan diberikan atau diturunkan oleh siapa pun. Resi Wulung Gading tinggal di Lembah Sunyi, sebelah selatan gunung ini arahnya. Kusarankan pergilah ke sana dan temui Resi Wulung Gading lebih dulu sebelum kau hadapi Siluman Tujuh Nyawa."

Kejadian ini sungguh aneh bagi Suto Sinting. Orang yang dicari dan dianggap sebagai lawannya, sekarang justru memberikan jalan keluar untuk melawan musuh utamanya. Semestinya Pendekar Mabuk memaksa Bandar Hantu Malam untuk mengobati Ratu Asmaradani, jika tidak mau maka Suto Sinting harus mengalahkannya dalam pertarungan. Tetapi kenyataan itu ternyata sangat berat dilakukan oleh Suto Sinting, ia merasa seperti diharuskan melawan orang baik dan bijak. Kalau dia bukan seorang pendekar, maka hal itu sangat mudah dilakukan. Tapi jiwa pendekar yang ada di dalam darah Suto itu membuat ia tak mampu bertarung dan membunuh orang bijak seperti Ki Randu Papak.

"Kejahatan memang harus dibantai dan dihilangkan, tapi pelaku kejahatan tidak harus dibumi-hanguskan. Karena seseorang yang berbuat jahat, berjalan di jalur yang sesat, suatu saat akan kembali sebagai manusia sejati manakala kesadaran hati nuraninya telah timbul kembali. Jadi kalau kau mau bertarung melawan siapa saja, kalahkanlah kejahatannya tanpa harus mematikan pelakunya."

Petuah Bandar Hantu Malam itulah yang membuat Suto Sinting menilainya sebagai orang bijak. Bahkan ketika Suto memancingnya dengan pertanyaan, "Apakah Ki Randu Papak tidak ingin menikah lagi?"

Tokoh tua itu menjawab, "Usiaku tinggal beberapa saat lagi. Kalau aku menikah lagi dan mempunyai istri, maka pada saat kutemui ajalku aku sama saja mengecewakan istriku. Jadi menurutku lebih baik bersuci diri agar punya persiapan menyambut datangnya kematian nanti."

"Tapi perkawinan dan kemesraan itu dibutuhkan setiap orang sampai saat ia menjelang dimakamkan, Ki."

"Orang yang memburu perkawinan menjelang saat dimakamkan adalah orang yang tidak sadar telah melukai hati pasangannya," jawab Bandar Hantu Malam.

"Bukankah kematian itu sudah merupakan suatu kepastian dalam perjalanan hidup kita. Seandainya toh kematian itu tiba pada saat kita baru menikah dua purnama, itu toh bukan kesalahan kita, Ki?"

"Itu kesalahan kita, sebab kita tidak punya perhitungan ke masa depan, yaitu masa-masa setelah kita mati dan meninggalkan istri."

Suto Sinting mencoba lagi memancingnya dengan pertanyaan, "Kurasa orang setua Ki Randu Papak masih bisa mencari wanita cantik dan muda."

"Hanya perempuan bodoh yang mau menikah dengan lelaki setua diriku dan semiskin aku ini."

"Bisa saja terjadi, kalau wanita itu terancam keselamatannya, mau tak mau dia menerima lamaran si lelaki."

"Cinta yang hadir karena ancaman tidak pernah punya nilai kehidupan dan kebahagiaan yang hakiki. Sama saja kita memuaskan diri dengan diri sendiri. Cinta yang timbul karena ancaman hanya akan menghadirkan sejuta kecemasan dan kecurigaan. Pada akhirnya yang diperoleh hanyalah kesia-siaan."

Lewat percakapan itulah Suto Sinting akhirnya mempunyai kecurigaan terhadap Ratu Asmaradani. Dalam hatinya Suto Sinting berkata, "Jangan-jangan Ratu Asmaradani memfitnah Bandar Hantu Malam karena suatu alasan yang tak kuketahui? Jangan-jangan Ratu Asmaradani punya dendam kepada Bandar Hantu Malam, tapi tak bisa mengalahkannya, sehingga ia menggunakan tanganku untuk membalaskan dendamnya itu? Sebab menurut hasil percakapanku tadi, Bandar Hantu Malam bukan laki-laki yang gila wanita, ia tak ingin melukai hati wanita, bahkan perkawinan di ambang kematian dianggapnya suatu perbuatan keji, yaitu mengecewakan dan melukai hati sang istri. Bandar Hantu Malam juga menganggap cinta yang hadir karena ancaman hanya akan menghadirkan penderitaan batin yang terselubung senyum bagi keduanya. Jadi menurutku, Bandar Hantu Malam sebenarnya tidak melakukan apa-apa kepada Ratu Asmaradani. Dia bukan orang jahat dan kejam seperti yang diceritakan Ratu negeri Ringgit Kencana itu. Aku tak bisa melukai orang seperti dia."

Melihat kenyataan seperti itu, Suto Sinting merasa perlu menemui Ratu Asmaradani dan mengungkapkan isi hatinya. Tapi terlebih dulu ia ingin sempatkan singgah ke Lembah Sunyi untuk temui Resi Wulung Gading, ia ingin perkenalkan diri kepada tokoh sakti yang termasuk keponakan Eyang Nini Galih, yaitu guru dari Bidadari Jalang.

Menurut penjelasan Bandar Hantu Malam, padepokan Resi Wulung Gading terletak di seberang sungai berair kuning, alias sungai belerang. Sungai air kuning itu kini telah ditemukan Pendekar Mabuk, tinggal mencari jembatan untuk menyeberangi sungai tersebut dan mencari padepokan itu. Karena jembatan penyeberangan itu tidak ditemukan oleh Pendekar Mabuk, maka ia terpaksa memetik beberapa daun yang lebarnya seukuran telapak tangan. Dengan melemparkan daun-daun itu ke permukaan sungai, Suto melompat dari daun ke daun menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Sambil berpijak pada daun yang satu, daun yang lain dilemparkan ke depan dan menjadi pijakan berikutnya. Cara itulah yang membuat Pendekar Mabuk tiba di seberang sungai.

"Ilmunya cukup tinggi? Siapa dia?" gumam hati seseorang yang berada di balik kerimbunan pohon bambu. Rupanya kehadiran Suto ke tanah Lembah Sunyi sudah diperhatikan oleh seseorang sejak tadi. Orang tersebut juga melihat kehebatan Suto menyeberang sungai tanpa gunakan jembatan, dan hanya melompati daun-daun selebar telapak tangan. Orang yang bersembunyi itu menjadi kagum dan panasaran, lalu mengikuti langkah Suto secara diam-diam.

Tetapi Pendekar Mabuk bukan orang bodoh, ia mampu dengarkan suara detak jantung seseorang yang ada dalam jarak dua puluh langkah lebih dalam kitaran sekelilingnya. Suara jantung itu berdetak-detak cepat bagaikan orang dalam ketegangan. Jika detak jantung itu cepat, maka Suto dapat menyimpulkan orang yang menguntitnya pasti punya maksud tak baik. Maksud tak baik itulah yang menegangkan jiwanya dan memacu jantung menjadi deg-degan. Karena itu, Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah dan berpura-pura menenggak tuak dalam bumbung bambunya. Tapi pada saat itu sebenarnya mata Suto melirik ke arah datangnya suara detak jantung.

"Hmmm... dia ada di balik pohon berakar gantung itu," pikir Suto dengan sikap masih tenang, seakan-akan tak merasa curiga apa-apa. "Kulihat di sana ada potongan pohon kering yang akarnya masih terpendam. Aku harus manfaatkan batang pohon kering itu agar orang tersebut terkecoh oleh tingkahnya sendiri."

Pendekar Mabuk tetap melangkah dengan kalem, tapi arahnya membelok ke kumpulan bambu Wulung lainnya. Di situ memang banyak tanaman bambu Wulung yang menggerombol di sana-sini, hidup dengan liar tanpa ada yang merawat.

Slaap...!

Suto Sinting segera berlindung di balik kerimbunan pohon bambu itu. Orang yang mengikutinya sempat dibuat bingung sesaat. Matanya mencari-cari Suto dengan rasa penasaran. Tapi kejap berikutnya ia menjadi lega karena orang yang diikutinya kembali terlihat oleh pandangan mata. Orang tersebut melihat Suto sedang duduk merenungkan sesuatu di seberang serumpun bambu. Orang itu menunggu tindakan Suto selanjutnya, ia memperhatikan terus ke arah Suto dengan hati bertanya-tanya karena tak mengenai siapa orang yang diikutinya itu.

"Jangan-jangan ia sedang memikirkan sesuatu yang dapat membuat suasana lebih kacau lagi? Kurasa... kurasa dia mata-mata yang bingung mencari jalan untuk menyusup," pikir orang itu. "Sebaiknya kuserang dulu orang itu, supaya ia panik dan akhirnya mengaku apa yang sedang dilakukannya dan siapa dirinya. Aku tak mau kalah gerak dengannya."

Orang berpakaian hitam dengan rambut ikal sebatas tengkuk dan berusia sekitar tiga puluh tahun itu segera mencabut senjatanya. Sebuah golok bergagang hitam telah tergenggam di tangannya sebagai persiapan datangnya bahaya pada saat lakukan gertakan nanti. Tetapi orang kurus itu tiba-tiba terkajut setelah rasakan ada seseorang yang mencoleknya dari belakang. Mulanya ia menyangka yang mencolek itu teman sendiri, sehingga tanpa berpaling ia segera berkata lirih,

"Diam dulu! Aku sedang perhatikan orang itu. Kurasa dia mata-mata! Sergap saja dia dan paksa supaya mengaku. Setuju?"

Orang yang mencoleknya itu menjawab, "Tidak."

Jawaban tersebut membuatnya merasa aneh dan akhirnya berpaling ke belakang. Maka seketika itulah orang berpakaian hitam itu mendelik dan menjadi gagap karena orang yang mencoleknya ternyata orang yang sedang diintainya. Suto Sinting sudah berdiri di belakang orang itu dengan senyum ramah dan sikap tenangnya. Orang itu tidak tahu kalau Suto Sinting telah pergunakan sebuah ilmu kesaktiannya yang bernama ilmu 'Seberang Raga', yaitu sebuah ilmu yang mampu membuat benda atau makhluk apa pun bisa menyerupai dirinya, ilmu itu sering digunakan untuk menipu lawannya apabila Suto merasa tidak ingin melayani orang tersebut.

Tetapi kali ini Suto pergunakan ilmu itu untuk mengecoh penguntitnya, sekaligus suatu pernyataan bahwa orang itu tak perlu menguntitnya, karena ia bisa saja berbuat tak baik jika ia inginkan. Dengan mencolek orang tersebut Suto berharap bahwa orang itu menyadari kekalahannya, dan mengakui keunggulan Suto yang mampu mengecoh dirinya.

"Kampret! Orang ini sudah berada di belakangku?" pikir si baju hitam. "Kalau dia tadi tahu-tahu menyerangku, aku bisa mati sejak tadi. Tapi agaknya ia tak mau lakukan hal itu? Lantas...? Lantas siapa yang ada di seberang sana tadi?"

Orang itu berpaling memandang ke arah Suto yang tadi dilihatnya duduk merenung, ia terkejut, karena ternyata apa yang dilihatnya sebagai Suto adalah sebatang kayu pohon kering yang tumbang dan tersisa sebatas perut. Orang tersebut menjadi gemataran kaki dan tangannya. Wajahnya pucat, napasnya tampak lebih cepat dari biasanya.

"Mana mata-mata yang kau maksud tadi?" goda Suto Sinting.

"Hmmm... eh... anu... eh, ini!" jawabnya sambil memegang kedua matanya sendiri. Orang itu takut, malu, dan terheran-heran, sehingga tak mampu menjaga ketenangan batinnya.

"Mengapa kau mengikutiku?"

"Hmm... anu... hanya... hanya sekadar... hanya kebetulan saja."

"Tapi kudengar kau tadi menyangkaku sebagai mata- mata? Mata-mata dari mana maksudmu?"

"Dar... dari... yah, dari mana sajalah," jawabnya salah tingkah.

Suto lebarkan senyum geii. Matanya melirik ke golok yang digenggam orang itu. Suto pun bertanya, "Untuk apa golok itu?"

"Untuk... hmmm... yah... anu... untuk tebang-tebang bambu," jawabnya, lalu ia menebang bambu yang ada di dekatnya. Tapi hanya anak bambu yang ditebanginya sebagai tindakan salah tingkah pada diri sendiri.

Suto Sinting akhirnya tertawa geli walau tanpa suara. "Siapa namamu, Sobat?" tanya Suto mengakrabkan diri.

"Dul," jawabnya singkat tanpa berani memandang. "Dul siapa?"

"Dul ya Dul," jawabnya makin merasa terpojok, ia berhenti menebangi anak bambu dan memasukkan goloknya. Lalu tanpa memandang lagi ia pergi meninggalkan Suto Sinting, ia merasa lebih baik segera tinggalkan tempat itu karena merasa cemas kalau-kalau orang yang tadi dikuntitnya tiba-tiba menyerang ganas. Dalam hatinya mengakui bahwa orang yang dikuntitnya itu ilmunya sangat tinggi, tidak sebanding dengan ilmunya sendiri.

Mulanya Dul melangkah pelan-pelan, berlagak santai. Makin lama melirik ke belakang, melihat Suto masih di tempat memandanginya. Langkahnya sedikit cepat, tapi masih dibuat sesantai mungkin. Lama-lama, wuuut..! ia melarikan diri secepat-cepatnya dan ingin memberitahukan kehadiran Suto kepada seorang teman.

Zlaaap...!

Suto pun cepat tinggalkan tempat, bergerak bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Dalam waktu singkat ia sudah bisa tiba di jalanan yang sedang dituju oleh Dul tadi. Sedangkan Dul berlari sambil sesekali memandang ke belakang, merasa aman dan lega karena ia tidak dikejar oleh orang yang dianggapnya mata-mata itu. Hanya saja, ketika ia kembali memandang ke depan, ia menjadi sangat terkejut karena Suto Sinting ternyata sudah berdiri di tengah jalan dalam jarak kurang dari lima langkah.

"Hahhh...?!" ia terpekik lirih tanpa sengaja. Hatinya membatin, "Orang itu tahu-tahu sudah ada di depanku? Kurang ajar! Gerakannya sangat cepat. Jangan-jangan dia bukan manusia?"

"Kau tak perlu melarikan diri, Sobat. Aku bukan orang jahat seperti dugaanmu. Aku datang kemari untuk mencari padepokannya Resi Wulung Gading."

Dul tampak terperanjat dan lebih tegang lagi. "Sssi... siapa kau?"

"Namaku Suto Sinting. Kau boleh memanggilku Suto saja." Wajah dan senyum Pendekar Mabuk dipamerkan seramah mungkin agar Dul tidak merasa takut.

"Untuk apa kau mencari padepokan kami?" tanya Dul.

Suto sedikit berkerut dahi, lalu segera bertanya, "Apakah kau orangnya Resi Wulung Gading?"

"Hmmm... eeh... iya... eh, tidak! Eh... anu... iya...!" Agaknya Dul serba salah dalam menjawab pertanyaan itu.

Ada kecemasan lain yang ditemukan Suto di balik pancaran mata orang kurus itu. Ada niat berlindung demi keselamatan dari jawaban tersebut. Suto Sinting menjadi curiga dan bertanya dengan mendekati si Dul, sedangkan si Dul mundur dua langkah penuh kecemasan.

"Mengapa kau kelihatannya tegang sekali? Kau takut mengakui sebagai orangnya Resi Wulung Gading. Ada apa sebenarnya, Dul?"

"Hmm... eh... tidak ada apa-apa," jawab Dul masih serba bingung.

"Katakan saja terus terang. Sekali lagi kukatakan padamu, aku bukan orang jahat. Aku datang ingin bertamu kepada Resi Wulung Gading secara baik-baik. Justru kalau kau punya kesulitan aku siap membantumu, Dul. Karena ketahuilah, bahwa Resi Wulung Gading adalah keponakan dari Eyang Guruku, yaitu Eyang Nini Galih. Tentunya kau pernah mendengar nama Eyang Nini Galih, bukan?"

Napas si Dul terhempas panjang menandakan rasa lega. Wajahnya tidak setegang tadi. Berangsur-angsur ia menjadi tenang, karena Suto menyebut-nyebut nama Eyang Nini Galih yang dikenal oleh Dul melalui cerita Resi Wulung Gading, ia mulai percaya bahwa Suto bukan orang jahat.

"Maaf, aku terpaksa curiga padamu dan merasa takut. Karena kami baru saja mengalami musibah."

"Musibah bagaimana, maksudmu?"

Dul diam sebentar, wajahnya mulai kelihatan sedih. Akhirnya ia berkata sambil melangkah, "Ikutlah aku ke padepokan."

Suto akhirnya mengikuti Dul dari belakang. Agaknya Dul tak mau diajak bicara, karena ia berjalan dengan cepat menuju padepokan dengan rona wajah dukanya. Suto Sinting hanya bertanya-tanya dalam hati tanpa mau mencoba menanyakan beberapa hal kepada Dul, sebab tadi dua kali Suto bertanya tentang sesuatu, tapi Dul diam saja dan tetap melangkah.

Bau busuk sudah sejak tadi menyebar dan tercium oleh Suto Sinting. Makin mendekati padepokan semakin tajam baunya. Hati Pendekar Mabuk sudah menaruh curiga sejak awal terciumnya bau busuk. Kecurigaannya itu ternyata benar, bahwa di padepokan terdapat mayat dalam jumlah banyak yang belum sempat dikubur. Ada yang di luar gerbang padepokan, ada di depan pintu gerbang, dan semakin masuk ke dalam halaman padepokan semakin banyak mayat yang dilihat Suto Sinting.

Seorang lelaki seusia Dul datang dari samping gerbang. Orang itu berlumur tanah liat dan napasnya terengah-engah. Matanya memandang curiga pada Suto. "Kita kedatangan tamu, Sukat. Tapi tamu kita ini orang baik-baik," kata Dul kepada temannya yang agaknya habis melakukan kerja keras itu.

Sukat terpaksa anggukkan kepala dan tersenyum ramah namun kaku. Suto membalas dengan kaku pula, sebab hatinya masih bertanya-tanya melihat keadaan di padepokan itu amat berantakan. Tembok-tembok jebol, pagar ambrol, tiang dan pohon tumbang. Keadaan padepokan seperti habis mengalami kiamat. Mayat bergelimpangan di sana-sini, membusuk dan menjijikkan.

"Beginilah keadaan padepokan kami," kata Dul dengan nada sedih.

"Siapa yang membantai mereka itu? Siapa yang mengobrak-abrik tempat ini?"

"Entahlah," jawab Dul. "Tadi pagi kami tiba dari bepergian kami yang diutus Guru Resi Wulung Gading ke pesisir kidul untuk temui seseorang di sana. Kami pergi selama lima hari. Ketika kami tiba di sini keadaan sudah seperti ini. Teman kami mati semua. Sampai sekarang kami belum selesai menguburkan mereka. Kami capek dan terlalu sedih melihat kenyataan ini."

Sukat menimpali kata, "Waktu kami tiba, masih ada yang bertahan hidup dalam luka parah. Dia sempat memberi tahu bahwa musibah ini terjadi dua hari yang lalu. Seseorang telah datang dan mengamuk ganas di sini."

"Mana temanmu yang terluka parah itu? Aku ingin menanyainya."

"Tidak bisa," jawab Sukat dengan sedih.

"Hanya menanyakan sesuatu saja."

"Tetap tidak bisa."

"Kenapa?"

"Karena dia sudah pergi, nyawanya terbang sebelum siang tiba," jawab Sukat yang berambut cepak dan berwajah cengeng itu. Ia menangis walau tak terdengar suara isakannya.

"Apakah dia tahu siapa orang yang membantai teman-temanmu ini?"

Dul yang menjawab, "Menurut keterangannya, orang itu berjuluk Bandar Hantu Malam. Datangnya pada malam hari."

Seketika itu alis mata Suto beradu, dahi berkerut, dan mata menatap tajam, ia sangat terkejut mendengar nama itu disebutkan oleh si Dul. Ia hampir-hampir tidak mempercayainya. Dengan segera napas pun ditarik dan dihirup panjang-panjang. Suto menahan getaran hatinya yang bergemuruh karena mendengar nama Bandar Hantu Malam.

"Resi Wulung Gading sendiri bagaimana?"

Dul geleng-geleng kepala. "Mungkin tewas di tempat lain, mungkin diculik oleh Bandar Hantu Malam, atau mungkin bersembunyi di suatu tempat yang tidak kami ketahui."

Sukat menambahkan kata, "Menurut cerita teman kami yang sekarang sudah meninggal itu, Bandar Hantu Malam menyerang sendirian, membantai siapa saja yang ditemuinya. Tapi pada waktu itu, guru kami memang tidak ada di tempat. Katanya sedang semadi di Gua Getah Tumbal."

"Di mana itu Gua Getah Tumbal?"

"Kami berdua tidak tahu. Makanya kami tidak bisa mencari di mana Guru berada. Teman kami ini tidak jelaskan di mana letak Gua Getah Tumbal, ia sudah pergi meninggalkan dunia," jawab Sukat dengan nada sedih sekali.

Suto Sinting tertegun dengan hati iba bercampur gusar. "Apa yang harus kulakukan kalau begini?" pikirnya dalam kegusaran itu.

* * *

TUJUH
SANGAT wajar jika pikiran Pendekar Mabuk menjadi kacau bagaikan benang-benang kusut. Di matanya ia melihat Bandar Hantu Malam adalah orang bijak yang bersikap tenang, berwibawa, namun tidak angker. Di matanya, Bandar Hantu Malam adalah orang yang mengagumkan. Tapi kini Suto harus menghadapi kenyataan yang senada dengan cerita Ratu Asmaradani, bahwa Bandar Hantu Malam orang kejam dan jahat.

"Berarti pada saat kemarin aku bertamu dengan Bandar Hantu Malam, rupanya ia baru saja pulang dari membantai semua murid Resi Wulung Gading. Pantas ia mendesakku untuk mampir ke padepokan Resi Wulung Gading, rupanya ia ingin unjuk gertakan terhadapku tentang kekejamannya yang bagai orang tak kenal ampun terhadap sesama."

Suto Sinting sengaja hentikan perjalanannya yang sudah jauh dari padepokan Resi Wulung Gading, ia sengaja duduk di bawah pohon rindangan dengan satu kaki melonjor dan satu kaki ditekuk, memijak tanah, ia perlu merenungkan kenyataan tersebut agar tak sampai salah langkah jika lakukan sesuatu.

"Kakek itu memang mengagumkan sekali. Bukan hanya ilmunya, tapi juga kepura-puraannya. Hampir saja ia tampil sebagai tokoh bijaksana yang baik hati dan layak dihormati secara utuh. Kuakui, aku telah tertipu mentah-mentah oleh kepura-puraannya. Jika Bandar Hantu Malam atau Ki Randu Papak itu orang baik-baik, tentunya ia tidak diserang oleh Nini Pancungsari, ia juga tidak lakukan pertarungan di seberang Puncak Karang, tempo hari. Tentunya rakyat desa Pucangan pun tidak menaruh curiga padanya. Ah, bodohnya diriku ini. Mengapa aku mudah mempercayai kata-katanya? Mengapa aku tidak bisa melihat kepura-puraannya?"

Sebatang rumput dicabut, dihisap-hisap sarinya sebagai keisengan dalam lakukan renungan tersebut. Suto Sinting mengecam dirinya sendiri yang dianggap bodoh dan mau saja dibodohi.

"Ratu Asmaradani tak mungkin menipuku jika kekejian Bandar Hantu Malam tidak benar-benar terjadi. Lalu, Dul dan Sukat..., apa urusannya, apa untungnya mereka berbohong padaku? Kurasa mereka bicara yang sebenarnya. O, ya... aku ingat ancaman Nini Pancungsari saat perempuan itu belum pergi, ia berjanji untuk membalas dendam kepada Bandar Hantu Malam dengan nyawa, ia menganggap Bandar Hantu Malam berhutang nyawa padanya. Apakah Nini Pancungsari punya hubungan dengan pihak padepokan Resi Wulung Gading? Apakah gara-gara pembantaian itu maka Nini Pancungsari bersikeras menghabisi Bandar Hantu Malam? Atau mungkin Nini Pancungsari ada di pihak lain yang merasa dirugikan seperti kerugian yang dialami Resi Wulung Gading?"

Siang dibiarkan kian tenggelam. Matahari semakin condong ke cakrawala barat. Suto Sinting masih diam ditempatnya, sambil sesekali meneguk tuak. Ia sempat rasakan hatinya yang menyesal telah membantu Bandar Hantu Malam dan membuat Nini Pancungsari menderita luka dalam cukup parah, ia ingin temui Nini Pancungsari, tapi tak tahu di mana perempuan itu tinggal.

"Ada baiknya kalau aku kembali ke pondok Bandar Hantu Malam. Aku akan desak dia dan membongkar kepura-puraannya! Akan kubeberkan tanpa ragu-ragu lagi kejahatannya yang sempat kudengar dan kulihat kenyataannya. Aku tak peduli dia mengaku teman baik guruku, aku tak mau terkecoh lagi olehnya. Kejahatan memang harus ditumpas habis. Jika kejahatan itu bermukim dalam jiwa seseorang, maka jiwa itu pun harus disirnakan!"

Dengan gemuruh kemarahan mulai membakar darah dan menyesakkan dada, Pendekar Mabuk segera jejakkan kaki ke tanah dan melesat pergi menuju puncak Gunung Keong Langit itu. ia harus bisa mencapai pondok Bandar Hantu Malam sebelum bumi menjadi gelap dan malam pun tiba.

"Tapi tunggu dulu," katanya sendiri. "Jika benar kata Dul, bahwa pembantaian itu dilakukan pada malam hari, maka ada baiknya aku justru mengintai di dekat pondoknya, apakah ia keluar pada malam hari atau tetap di tempat?"

Sampai puncak gunung suasana telah gelap. Hawa dingin begitu mencekam kuat. Namun Suto berusaha tetap di balik kerimbunan semak, mengawasi pondok Bandar Hantu Malam. Berulang kali ia meneguk tuak untuk menghalau hawa dingin yang hadir bersama kabut putih. Untung saja Suto seorang peminum tuak. Seandainya bukan, maka tubuhnya akan berubah menjadi gumpalan salju dan darahnya akan membeku dicekam hawa dingin yang amat tinggi itu. Tuak yang ada di bambu keramat itu mampu hadirkan kehangatan yang membuat Suto tak terlalu menggigil walaupun pakaiannya mulai dilapisi busa salju. Sampai sekian lama ditunggu, Bandar Hantu Malam belum tampakkan diri. Suto agak sangsi dengan dugaannya.

"Jangan-jangan malam ini ia tidak bermaksud keluar rumah?" pikirnya diliputi kebimbangan yang menjengkelkan hati.

Pondok itu gelap. Tanpa penerangan di dalamnya. Tak terlihat biasa lampu minyak yang mestinya terlihat dari celah-celah suasana kayu dindingnya. Suto makin punya kecurigaan yang bukan-bukan.

"Jangan-jangan Bandar Hantu Malam sedang berbuat sesuatu dengan seorang perempuan di dalam pondoknya?! Apakah sebaiknya kudobrak saja pondok itu? Tapi... bisa jadi dia sudah keluar dari pondok sejak tadi, sebelum aku ada di sini? Hmm...! Ya, mungkin dia sudah keluar sejak tadi dan tidak jumpa denganku di kaki gunung. Sial! Lantas untuk apa kubiarkan diriku dicekam salju sejak tadi? Ini pekerjaan yang sia-sia! Sebaiknya kuperiksa dulu pondok itu, jika memang tak ada tanda-tanda kehidupan, aku segera turun gunung!"

Dengan langkah tanpa suara, Suto Sinting dekati pondok itu. Semakin dekat semakin dipasang baik-baik telinganya. Bahkan pendengaran hati sanubarinya juga digunakan. Ternyata di dalam pondok tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tak ada denyut jantung yang terdengar dari dalam pondok. Suto menggerutu dan jengkel sendiri.

"Sial! Pondok kosong ditunggui?! Aku harus segera turun gunung dan mencari orang itu. Pasti dia lakukan keganasan lagi pada malam ini di tempat lain. Mungkin desa Pucangan juga sedang disambangi. Sebaiknya aku ke sana dan bicara dengan para sesepuh desa yang tahu tentang Bandar Hantu Malam!"

Malam itu rembulan mengintip di balik awan. Hanya separo yang tampak dari permukaan bumi, namun cahayanya cukup mampu membuat bumi menjadi remang-remang. Rumput dan batu kerikil bisa terlihat jelas. Suasana ini sungguh menguntungkan bagi Pendekar Mabuk, sehingga ia bisa berjalan melalui jalan setapak yang tadi dilewati, tanpa harus takut tergelincir ke jurang yang cukup dalam di tepi lereng gunung itu.

Sebelum mencapai perbatasan desa Pucangan, kedua kaki Suto Sinting terhenti serentak dan matanya memandang penuh waspada, ia sempat melihat sekelebat bayangan melintas jalanan di depannya. Gerakannya cukup cepat, membuat Suto yakin bahwa sekelebatan bayangan itu pasti milik orang berilmu tinggi. Siapa orangnya, Suto tak bisa melihat dengan jelas. Tapi ia punya dua kemungkinan dalam hatinya.

"Nyai Sedah, atau Bandar Hantu Malam?" pikirnya dalam pertimbangan langkah. "Mungkinkah Nyai Sedah sedang menuju desa Pucangan lagi? Ya, mungkin saja. Barangkali dia tahu bahwa aku hanyalah seorang tamu di desa itu, sehingga ia menduga desa itu aman bagi dirinya karena ia menganggap aku sudah pergi dari desa tersebut. Tapi mungkin saja bayangan itu adalah Bandar Hantu Malam yang sedang menuju ke tempat lain tanpa mengetahui diriku di sini? Sebaiknya kukejar saja dia ke arah lenyapnya bayangan tadi! Aku jadi penasaran sekali!"

Bayangan yang melintas dari barat ke timur segera dikejar ke arah timur. Suto mengejarnya tidak melalui jalan darat, melainkan melalui pohon demi pohon, ia melesat bagaikan seekor burung yang mencari tempat untuk tidur. Gerakannya tidak timbulkan bunyi sedikit pun, sebab Suto gunakan ilmu peringan tubuhnya yang membuat ranting pun tidak berbunyi saat diinjak kakinya.

"Sial! Ke mana bayangan tadi? Aku kehilangan jejaknya!" gerutu Suto sambil memandang sekeliling dari atas pohon. Napasnya terjaga hingga tak terlalu ngos-ngosan.

"Sebaiknya aku mengarah ke desa Pucangan saja dengan jalan kaki," pikirnya. Lalu ia bergegas turun dari atas pohon. Tapi alangkah terkejutnya Suto begitu melihat ke bawah, ternyata di sana ada bayangan hitam yang dikejar-kejarnya. Bayangan hitam itu adalah orang berkerudung kain hitam sekujur tubuhnya, dan sedang berbicara bisik-bisik dengan seseorang.

"Siapa orang yang diajaknya bicara itu?" pikir Suto sambil kian hati-hati lakukan gerakan, bahkan bernapas pun sangat hati-hati. Matanya memandang ke bawah dengan sedikit disipitkan. Lalu ia temukan seraut wajah yang cukup dikenalinya.

"Sundari...?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya dengan nada terkejut. "Ternyata dia kenal dengan orang berselubung kain hitam itu? Hmm... apakah orang berkain hitam itu masih sama seperti malam itu? Apakah dia Nyai Sedah? Kalau begitu, Sundari punya hubungan dengan Nyai Sedah? Sejauh mana hubungan mereka sebenarnya?"

Tiba-tiba terdengar suara wajah ditampar. Plaaak...! Suto Sinting terperanjat melihat Sundari ditampar orang berpakaian serba hitam itu. Terdengar pula pekik kecil dari Sundari yang kesakitan, lalu suara tangis pun terdengar samar-samar.

"Katakan!" sentak orang berkerudung hitam. Kini Suto yakin orang itu adalah Nyai Sedah, sebab suara yang terdengar menyentak adalah suara perempuan. "Katakan, Sundari! Atau kau menerima upah maut dariku, hah?!"

Suto Sinting masih belum bergerak dan tidak lakukan apa-apa. Walaupun ia melihat rambut Sundari dijambak dengan kasar oleh orang berpakaian hitam itu, tapi Suto masih tetap menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu, ia masih ingin tahu apa yang dilakukan oleh kedua orang di bawahnya itu.

"Kesabaranku habis pada hitungan ketiga, Sundari! Satu... dua "

"Dia ke puncak! Carilah di puncak sana!" jawab Sundari dengan rasa marah yang tak mampu dilampiaskan. Tangisnya kian terdengar jelas dari tempat Suto bersembunyi di atas pohon.

"Tidak mungkin, Sundari! Aku bukan orang bodoh yang bisa kau bohongi! Kau ingin menjebakku di puncak sana, bukan?!"

"Ttt... tidak!"

"Kau bohong! Aku jadi muak padamu!"

Sreeet...! Orang berkerudung hitam itu mencabut pisau sepanjang dua jengkal dari balik baju hitamnya. Pisau itu hendak ditikamkan ke dada Sundari. Tapi Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur'-nya lewat sentilan tangan.

Taaas!

Tenaga dalam yang dilepaskan lewat sentilan tangannya itu tepat kenai pelipis orang berpakaian hitam. Dees...! Orang itu pun tersentak dan terpelanting ke samping bagaikan terkena tendangan kuda binal. Ia berguling-guling tiga kali, lalu cepat ambil sikap berdiri lagi.

Wuuut...! Jleeg...!

Suto Sinting turun dari atas pohon langsung berhadapan dengan perempuan berkerudung hitam itu. Sundari terkejut girang, sedangkan perempuan berkerudung hitam menjadi cemas.

"Suto, syukurlah kau ada di sini!" Sundari segera hampiri Suto dan memeluknya dari belakang.

"Siapa dia, Sundari? Nyai Sedah?"

"Ya. Dia orang yang kemarin juga!" jawab Sundari dengan takut.

"Menjauhlah, biar kuhadapi orang itu."

Wuuut...!

Tiba-tiba pisau di tangan Nyai Sedah dilemparkan ke arah dada Suto. Tapi tangan Suto berkelebat cepat dan berhasil tangkap pisau itu dengan jepitan dua jari tangannya.

Teeb...!

"Sudah kuduga kau bisa menangkapnya!" kata Nyai Sedah yang hanya kelihatan bagian matanya saja.

"Apakah kau ingin aku berbuat lebih kejam dari malam itu, Nyai Sedah?"

"Aku sengaja kembali untuk bikin perhitungan denganmu!" geram Nyai Sedah, lalu ia lepaskan pukulan dari tangan kosongnya.

Slaap...!

Sinar putih perak melesat dari telapak tangan itu. Suto segera meraih bumbung tuaknya dan menangkisnya. Sinar putih perak itu menghantam bumbung tuak dengan kuat. Trak...! Dan ternyata sinar itu membalik arah menjadi lebih besar dan lebih cepat.

"Celaka!" geram Nyai Sedah. Ia segera sentakkan kaki dan tubuhnya pun melenting di udara. Tetapi gerakan itu terlambat. Akibatnya sinar perak itu kenai betis Nyai Sedah. Jraaas...! Suaranya seperti bara masuk ke dalam air.

"Auh...!" Nyai Sedah memekik kesakitan. Kulit betis sampai telapak kakinya menjadi hangus. Sayang cahaya malam kurang kuat sehingga tak bisa dilihat dengan jelas oleh Suto dan Sundari. Tubuh Nyai Sedah jatuh terpuruk tak mampu berdiri lagi. Ia mengerang kecil sambil memperhatikan kakinya yang berasap. Suto Sinting segera mendekatinya, Sundari menjadi cemas melihat Suto mendekat.

"Awas, jangan dekati dia! Kukunya beracun!" seru Sundari.

Wuuut...!

Nyai Sedah ternyata cepat menyambar kaki Suto dengan cakarnya. Tapi tubuh Pendekar Mabuk segera lompat ke atas dan cakaran itu mengenai tempat kosong. Suto Sinting sempat bersalto mundur satu kali.

"Aku dapat menyembuhkanmu sekarang juga jika kau bersedia tinggalkan segala perbuatan terkutukmu. Nyai Sedah," kata Suto mencoba menawarkan kebaikan demi kesadaran perempuan itu.

"Persetan dengan tawaranmu! Hiaah...!"

Claap...! Selarik sinar hijau melesat dari telapak tangan Nyai Sedah. Suto Sinting segera menangkisnya kembali dengan bumbung tuaknya. Traak...! Sinar itu berubah menjadi besar dan akhirnya menghantam balik tubuh Nyai Sedah.

Zraaabb..! Bluub..!

"Aahhg...! Aaahg...!" Nyai Sedah tak mampu berteriak, tubuhnya segera terbungkus api karena terkena sinar hijaunya sendiri, ia berguling-guling mencoba memadamkan api itu, tapi usahanya tak berhasil. Sundari sendiri sempat palingkan wajah tak tega memandang Nyai Sedah.

Suto Sinting cepat meneguk tuaknya, sebagian disimpan pada mulut, lalu ia semburkan tuak di mulutnya ke tubuh yang terbungkus api itu.

Bwwrruss...!

Blaaab...! Api padam seketika, tinggal kepulan asapnya. Tapi tubuh Nyai Sedah telah tak bernyawa. Rupanya sinar hijau tadi bukan membakar tubuh saja, melainkan membakar bagian dalam tubuh, merusakkan jantung, paru-paru, dan yang lainnya. Pertolongan Suto terlambat, tapi ia merasa telah lakukan hal yang benar, yaitu memberikan tawaran baik sebelum ajal merenggut nyawa. Tapi tawaran itu ditolak, bahkan dibalas dengan kemurkaan, akibatnya Nyai Sedah menerima nasib yang ditentukan oleh tindakannya sendiri.

Suto mendengar suara isak yang meratap. Ternyata Sundari saat itu menangis di balik pohon melihat kematian Nyai Sedah. Pendekar Mabuk heran dalam hatinya, tapi ia tak berani tanyakan dulu sebab tangis Sundari. Ia membujuk Sundari untuk diam dan segera tinggalkan tempat itu untuk laporkan kepada pihak kepala desa.

"Mengapa dia kau bunuh?" Sundari bagaikan menuntut Suto.

"Dia yang membunuh dirinya sendiri dengan sinar hijaunya tadi."

"Aku... aku jadi kehilangan calon guru!"

"Calon guru?"

"Dia calon guruku. Setelah aku bisa memberi kabar tentang pemuda-pemuda yang aman diculiknya sebanyak sepuluh orang, aku akan diangkatnya sebagai murid! Tapi sekarang baru tiga pemuda dia sudah mati. Sia-sia saja aku mencarikan tiga pamuda pemuas gairahnya yang mungkin... mungkin sekarang sudah dibunuh setelah diserap habis darah kejantanannya," tutur Sundari dalam tangisnya.

Suto Sinting jadi tertegun beberapa saat mengetahui hal itu. "Jadi... selama ini kaulah yang memberi kabar tentang pemuda-pemuda yang aman diculiknya?"

"Ya. Karena itu syarat untuk menjadi muridnya."

"Kau salah, Sundari. Kau tidak boleh membantu pihak yang sesat seperti Nyai Sedah itu."

"Tapi aku ingin memiliki ilmu seperti yang dimilikinya!"

"Ada jalan lain, tanpa harus membantunya melakukan kejahatan."

Sundari kian menangis di sela malam bercahaya rembulan. Suto mencoba memahami jalan pikiran lugu gadis desa itu. Akhirnya ia bertanya, "Lalu mengapa kau tadi mau dibunuhnya?"

"Sejak kemarin ia mencarimu, tapi aku tak mau kasih tahu di mana dirimu! Aku takut kau dijadikan korban seperti pemuda lainnya. Lalu, malam ini ia mendesakku lagi, tapi tidak percaya kalau kukatakan bahwa kau ke puncak. Rupanya dia bermaksud serahkan dirimu kepada suaminya, yang juga sebagai gurunya, ia merelakan diperistri oleh suaminya itu hanya untuk dapatkan ilmu-ilmu sakti seperti yang dimilikinya sekarang ini. Tapi menurutnya, ia tak pernah mendapatkan kepuasan cinta dengan suaminya, sehingga ia perlu mencari pemuda yang masih perjaka untuk diajaknya bercinta di tempat khusus di tengah hutan sebelah utara sana."

Suto Sinting manggut-manggut. Lalu setelah diam beberapa saat ia pun ajukan tanya, "Siapa suaminya itu?"

"Seorang tokoh sakti berilmu tinggi. Namanya Dampu Sabang."

Suto berkerut dahi. "Dambu Sabang?" ia menggumam penuh tanda tanya. Lalu pikirannya segera melayang pada peristiwa beberapa waktu yang lalu. Ia ingat, Dambu Sabang adalah guru dari Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas, yang telah dikalahkan olehnya dan dibuang ke Sumur Tembus Jagat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Naga Pamungkas).

"Apakah kau tahu kenapa dia ingin serahkan diriku kepada Dampu Sabang?"

"Baru tadi kuketahui, katanya kau telah membunuh murid tunggalnya yang bernama Iblis Naga Pamungkas."

"Ya, memang aku yang menghabisi Wiratmoko alias si Iblis Naga Pamungkas," kata Suto Sinting dengan suara pelan. "Tapi hal itu kulakukan demi kedamaian diantara sesama. Hanya saja... bagaimana dia bisa mengenaliku sebagai Suto Sinting?"

"Kemarin malam aku menceritakan siapa dirimu dan apa tujuanmu. Maafkan aku, Suto. Semua kulakukan karena aku ingin memiliki ilmunya," Sundari mengisak penuh sesal. "Aku tak menyangka kalau dia juga mengincarmu, lebih tak menyangka lagi setelah tadi dia bilang mau menangkapmu dan menyerahkannya kepada Dampu Sabang."

"Apakah kau tahu di mana Dampu Sabang berada saat ini?"

Sundari menggeleng. Tangisnya ditahan sesaat, lalu ia berkata, "Tadi sore kutemui Nyai Sedah di hutan sebelah utara. Dia sempat bilang padaku, bahwa Dampu Sabang pergi ke suatu tempat untuk lakukan pertarungan dengan Bandar Hantu Malam. Dia merasa makin punya banyak waktu jika suaminya sibuk mengejar musuh-musuhnya."

"Pertarungan?!" gumam Suto bagaikan bicara sendiri. "Apakah malam ini Bandar Hantu Malam sedang berhadapan dengan Dampu Sabang? Di mana mereka mengadakan pertarungan itu? Aku ingin menyusulnya!"

* * *

DELAPAN
URUSAN Suto bukan dengan Dampu Sabang, melainkan dengan Bandar Hantu Malam. Karena itu, yang dicari dalam pertarungan dua tokoh itu adalah Bandar Hantu Malam. Apakah Bandar Hantu Malam tumbang di tangan Dampu Sabang, atau unggul dalam pertarungan ini? Jika Ki Randu Papak ternyata unggul melawan Dampu Sabang, berarti Suto yang akan menumbangkannya. Tapi jika Ki Randu Papak atau Bandar Hantu Malam itu sudah roboh di tangan Dampu Sabang, berarti Suto tidak perlu repot-repot lagi kerahkan tenaga untuk melawan tokoh sakti itu.

Tentang dendam Dampu Sabang yang ingin membalas kematian muridnya, Suto sudah siap pertahankan diri dengan sebaris alasan. Jika ternyata alasan itu tidak bisa diterima oleh Dampu Sabang, maka Suto pun siap dengan pertarungan demi membela kebenaran dan kedamaian di antara sesama. Bagi Pendekar Mabuk, melawan Bandar Hantu Malam atau Dampu Sabang sama saja. Tak ada yang ditakuti, tak ada yang dianggap ringan, tapi tak ada pula yang harus dikasihani. Kedua tokoh sakti itu sama-sama kejam, ganas, dan jahat. Kejahatan itulah yang harus ditumbangkan Suto dengan cara apapun.

Tetapi ternyata cukup sulit mencari tempat pertarungan bagi dua tokoh sakti itu. Sepanjang malam hingga pagi Suto mencari, tapi tempat pertarungan mereka tidak ditemukan. Untung Pendekar Mabuk tidak membawa Sundari, walaupun gadis itu sangat ingin menyertai Suto, tapi oleh Suto diantar pulang ke rumah Ki Rosowelas. Seandainya ia membawa Sundari, maka gadis itu akan mengeluh dan justru merepotkan Suto. Sebab pencarian itu tidak hanya sampai pagi saja, melainkan dilanjutkan hingga menuju siang hari. Rasa kantuk dan lelah bisa diatasi Suto dengan menenggak tuak agak banyak.

Mendekati pertengahan siang, Suto mendengar suara ledakan menggelegar di sebelah barat. Ledakan itu juga membuat tanah tempat Suto berpijak menjadi berguncang bagai dilanda gempa kecil. Asap hitam membubung naik dari sebuah bukit yang ada di barat. Asap itu menggumpal dalam bentuk kelompok tersendiri dan memercikkan bunga api beberapa kali.

"Dua pukulan tenaga dalam dahsyat telah beradu di sana. Pasti di bukit itulah Dampu Sabang bertarung melawan Bandar Hantu Malam. Aku harus segera menuju bukit itu dan melihat keadaan mereka secara sembunyi-sembunyi dulu."

Bukit itu tidak terlalu tinggi. Tanamannya tidak begitu rimbun. Bagian puncak bukit termasuk datar dan mempunyai tempat yang enak untuk sebuah pertarungan. Rimbunan semaknya tumbuh secara berkelompok- kelompok. Dan di salah satu rimbunan semak berdaun lebar itulah Suto bersembunyi mengintai sebuah pertarungan. Ternyata pertarungan itu adalah pertarungan yang tidak disangka-sangka oleh Suto Sinting. Bukan pertarungan Bandar Hantu Malam melawan Dampu Sabang, melainkan pertarungan antara Sumbaruni dengan orang berkerudung kain hitam dan membawa senjata tombak El Maut yang ujungnya mirip sabit.

Orang itu adalah tokoh sesat yang diburu-buru oleh Pendekar Mabuk selama ini. Dia tak lain adalah Siluman Tujuh Nyawa, yang mempunyai wajah pucat dan dingin. Tentu saja Pendekar Mabuk terkejut sekali melihat tokoh sesat itu muncul di bukit tersebut dan lakukan pertarungan dengan Sumbaruni. Apa persoalan mereka, Suto tidak tahu secara pasti.

Tetapi sebagai orang yang sudah beberapa kali bertarung melawan Siluman Tujuh Nyawa, Suto dapat mengukur ketinggian ilmu si wajah pucat itu yang melebihi ketinggian ilmu Sumbaruni atau Pelangi Sutera. Tentu saja hati Suto Sinting mencemaskan keselamatan Sumbaruni, sehingga ia perlu segera ikut campur membela Sumbaruni.

Pada saat Sumbaruni terjatuh karena pukulan sinar merahnya Siluman Tujuh Nyawa, orang berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki itu segera melompat dan mengibaskan tombak El Mautnya untuk memancung leher Sumbaruni. Namun Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Pecah Raga' berupa sinar hijau yang melesat dari telapak tangannya.

Claap...!

Sinar hijau itu diarahkan ke tubuh Siluman Tujuh Nyawa, tapi karena gerakan orang tersebut melesat dengan cepat, akibatnya sinar itu justru menghantam tombak yang hendak ditebaskan memancung leher Sumbaruni.

Trang! Weeesss...!

Tombak itu tidak pecah, melainkan tersentak kuat-kuat ke arah samping kiri dari pemegangnya. Sentakan yang amat kuat itu membuat tubuh Siluman Tujuh Nyawa terbawa terbang dan terpelanting enam langkah jauhnya dari tempat semula. Siluman Tujuh Nyawa merasa diterjang badai yang amat kuat, sehingga ia tidak mampu pertahankan keadaannya.

Sumbaruni yang segera bangkit dalam keadaan mulut melelehkan darah secepatnya memandang ke arah datangnya sinar hijau. Tentunya ia ingin tahu siapa orang yang telah selamatkan jiwanya dalam keadaan kritis tadi. Dan pada saat itulah Pendekar Mabuk melenting di udara, bersalto dua kali, lalu mendarat tepat di samping Sumbaruni, menghadap ke arah Siluman Tujuh Nyawa.

Jleeg...!

Suto...!" desah Sumbaruni bernada lega. "Untung kau datang tepat pada waktunya!"

"Apa persoalanmu dengan setan itu?"

"Logo disembunyikan olehnya, aku harus merampas anakku itu agar tidak dijadikan budak sesatnya!"

"Hmmm...!" Suto Sinting hanya menggumam, tapi matanya masih memandang ke arah Siluman Tujuh Nyawa yang menggeram penuh luapan amarah. Orang itu telah bangkit dan menatap Suto. Namun wajahnya tetap dingin dan tidak berperasaan. Matanya sedikit menyipit menandakan dadanya kian kuat menjerat jiwa.

"Kita bertemu lagi, Durmala Sanca!" kata Suto Sinting tampak bangga dan senang. Tapi dalam hatinya berkata, "Sayang aku belum bertemu Resi Wulung Gading, sehingga tak sempat membawa Pedang Kayu Petir. Tapi akan kucoba lagi melumpuhkannya dengan kekuatan yang ada padaku!"

"Kali ini kau akan binasa di tanganku, Pendekar Mabuk!" ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan datar.

"Kita buktikan siapa yang unggul saat ini juga! Jangan sampai kau lari dari pertarungan ini, Durmala Sanca!" sambil Suto melangkah ke samping kiri dan Siluman Tujuh Nyawa melangkah ke samping kanan. Sumbaruni segera tarik diri, mundur ke bawah pohon, karena ia merasa yakin bahwa Suto mampu menangani tokoh sesat berilmu tinggi itu.

"Aku harus mencari kesempatan untuk menghantamnya dari belakang," pikir Sumbaruni. "Memang curang, tapi tak ada salahnya berbuat curang kepada orang sesat yang termasuk raja curang itu. Akan kupukul dia dengan jurus 'Anak Rembulan' agar ia lumpuh tak punya tenaga lagi!"

Durmala Sanca segera sabetkan tombak El Mautnya dari kanan ke kiri, jaraknya dengan Suto sekitar tujuh langkah. Wuuung...! Dari sabetan itu melesat sinar bergelombang bagai spiral yang berwarna merah terang dan semakin mendekati lawan semakin lebar bentuk lingkarannya.

Pendekar Mabuk tidak menghindari serangan itu, melainkan mengadu dengan jurus 'Tapak Guntur', yaitu sinar biru yang keluar dari telapak tangan kiri yang disentakkan ke depan. Suuuut...!

Duaarrr...!

Perpaduan dua sinar tersebut hasilkan satu ledakan yang mengguncang bumi dengan hebat. Tiga pohon segera tumbang, satu di antaranya nyaris menjatuhi tubuh Sumbaruni. Tanah di sekitar tempat itu menjadi retak-retak di beberapa bagian. Kulit-kulit pohon terkelupas bagai dilanda angin lahar dari magma gunung berapi.

Sentakan daya ledak itu sangat besar. Tak heran jika Suto Sinting sendiri terlempar jatuh ke belakang dalam jarak empat langkah dari tempat semula. Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terhempas ke belakang bagaikan terbang. Tubuhnya membentur sebuah dahan pohon seukuran paha manusia dewasa. Duhg! Kraak! Dahan itu patah seketika karena ditabrak punggung Siluman Tujuh Nyawa.

Tentunya itu sebuah tanda bahwa tubuh Siluman Tujuh Nyawa mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar, sehingga apa pun yang disentuhnya dapat hancur atau petah. Tubuh itu setelah membentur dahan segera turun dengan keseimbangan yang terjaga. Kakinya menapak di tanah dengan tegap dan sigap.

Jleeg...!

Melihat Suto Sinting belum bangkit dari jatuhnya, Siluman Tujuh Nyawa segera lepaskan pukulan mautnya yang keluar dari lima jari kiri berkuku runcing itu. Slaaap...! Lima larik sinar hijau seukuran bambu seruling itu meluncur dengan cepat ke arah dada Suto Sinting.

Suto baru saja ingin menangkisnya dengan jurus lain, tapi tiba-tiba dari arah belakangnya muncul sinar merah berbentuk lingkaran besar. Wuuut...! Sinar berbentuk lingkaran besar itu menghadang sinar hijau lima larik, dan ketika sinar itu masuk ke dalam lingkaran, maka sinar mereka segera mengecil dengan cepat, bagaikan menjerat kuat, tapi gerakan sinar masih tetap maju. Mendorong lima larik sinar yang kini telah menjadi satu ujungnya itu. Dan sinar tersebut membalik arah menghantam pemiliknya.

Blaaar...!

Sinar hijau itu pecah menjadi lebar, lalu padam seketika. Tubuh Siluman Tujuh Nyawa terpelanting dalam keadaan mengepulkan asap. Kerudung kain hitamnya hangus sebagian. Mulutnya keluarkan darah kental. Matanya menjadi merah bagai digenangi cairan darah. Tongkat El Mautnya menjadi putih bagaikan dilapisi busa-busa salju.

"Keparat!" gumamnya lirih, lalu ia sentakkan kakidan lari tinggalkan tempat itu secepatnya.

Suto Sintingpun bergegas mengejar, tetapi Sumbaruni segera berseru,"Biar kubereskan dia!" dan perempuan cantik itu segera melesat dengan cepat mengejar Siluman Tujuh Nyawa. Sedangkan Suto segera berpaling ke belakang untuk melihat siapa orang yang telah selamatkan jiwanya dari serangan lima larik sinar hijau tadi.

"Oh, kau...?!" Suto Sinting terkejut bukan kepalang. Ternyata orang yang melepaskan sinar merah berbentuk lingkaran tadi adalah Bandar Hantu Malam, alias Ki Randu Papak.

"Kau terlambat sedikit, Suto! Sinar hijau itu harus dibarengi dengan pukulan penangkis. Sedikit lambat tak akan mampu ditembus oleh pukulan penangkis apa pun. Itu yang dinamakan jurus 'Lima Dewa Kilat'. Hanya dia yang memiliki jurus berbahaya itu," kata Bandar Hantu Malam dengan sikapnya yang tenang, penuh wibawa, dan kharisma.

Pendekar Mabuk menenangkan diri, hatinya yang resah dan jiwanya yang guncang akibat kebimbangan dalam benak membuat Suto terpaksa menenggak tuaknya beberapa saat. Sambil menenggak tuak ia membatin, "Lagi-lagi aku dibuat bimbang oleh sikap dan penampilannya yang tenang dan menyerupai seorang berjiwa bijak. Lagi-lagi aku tak tega untuk lakukan serangan terhadapnya. Ah, kenapa begini? Ia tampil tanpa permusuhan, bahkan termasuk telah selamatkan jiwaku. Lalu apa yang harus kulakukan jika begini?"

Bandar Hantu Malam masih melangkah ke arah larinya Siluman Tujuh Nyawa, tapi segera berhenti dalam jarak lima langkah dari tempat Suto berdiri. Dengan memandang ke arah kepergian Siluman Tujuh Nyawa, Ki Randu Papak yang melipat kedua tangan di dada itu perdengarkan suaranya, seakan bicara pada dirinya sendiri.

"Jika Sumbaruni berhasil kejar Durmala Sanca, pasti dia dapat kalahkan tokoh sesat itu. Tapi Jika Durmala Sanca berhasil lolos, lalu mereka bertemu kembali, maka Sumbaruni akan hancur di tangan Durmala Sanca. Sebab jika Siluman Tujuh Nyawa diserang dalam keadaan sedang terluka seperti tadi, kekuatannya tak akan bisa menandingi kekuatan Sumbaruni."

Suto segera ajukan tanya, "Apakah kau juga tahu tentang Sumbaruni?"

"Pernah mendengar namanya, pernah melihat jurus-jurusnya. Tapi jauh dari semua itu...," Bandar Hantu Malam balikkan badan dengan kalem, menatap Pendekar Mabuk tanpa senyum, tapi tanpa keangkuhan sedikit pun. "Pada umumnya para tokoh seusiaku mengetahui bahwa Sumbaruni adalah pelayan seorang petapa sakti yang mendapat titisan ilmu dan akhirnya kawin dengan jin yang bernama Jin Kazmat. Dari perkawinan itu lahirlah anak jin yang bernama Logo."

Mata si pendekar tampan terkesiap walau hatinya membenarkan keterangan tersebut. Cara bicara yang kalem membuat Suto Sinting kembali ragu-ragu untuk melontarkan tuduhan kepada Bandar Hantu Malam. Bahkan untuk lakukan serangan mendadak pun terasa sulit, seakan bertentangan dengan hati kecilnya. Padahal sebelum bertemu Bandar Hantu Malam, semangatnya menggebu-gebu untuk lakukan penyerangan terhadap tokoh tua itu.

"Kurasa dia mempunyai ilmu penjinak kemarahan orang," pikir Suto dalam kebungkaman mulutnya. "Siapa pun akan menjadi segan bila berhadapan dengannya. Amarah siapa pun akan menjadi reda jika sudah bertatap muka dengannya. Begitulah keadaanku sekarang ini. Tapi... tapi mengapa Nyai Pancungsari tidak mempunyai keraguan saat ingin menghabisi nyawanya? Apakah ilmu penjinak kemarahan orang tidak berlaku bagi Nyai Pancungsari? Ah, membingungkan sekali keadaan ini. Dia pintar sekali berpura-pura menjadi tokoh yang tenang dan disegani. Rasa hormatku kepadanya masih saja ada, padahal aku sudah melihat sendiri keganasannya dalam membantai murid-murid Resi Wulung Gading?!"

Bandar Hantu Malam dekati Suto, berdiri dalam jarak satu tombak, ia segera ajukan tanya, "Mengapa kau tak meminjam Pedang Kayu Petir kepada Resi Wulung Gading? Bukankah sudah kukatakan padamu, jika iIngin kalahkan Siluman Tujuh Nyawa, kau harus gunakan Pedang Kayu Petir?"

Kesempatan itu digunakan oleh Suto untuk lontarkan kekecewaannya terhadap keadaan yang ditemui di padepokan Resi Wulung Gading. "Kau menipuku, Ki Randu Papak." Suto bicara agak datar, menimbulkan perasaan aneh dalam hati kakek berjubah putih itu, sehingga dahi sang kakek pun tampak berkerut dalam memandangi Suto.

"Apakah menurutmu aku punya niat jahat padamu?"

"Bisa saja begitu!" jawab Suto bernada ketus. "Yang jelas aku kecewa mengikuti saranmu untuk pergi ke Lembah Sunyi menemui Resi Wulung Gading."

"Apa yang membuatmu kecewa, Nak?" sambil Ki Randu Papak dekati Suto yang menjauh tiga langkah.

Suto sengaja bicara tanpa memandang kakek itu. "Apakah kau harus berpura-pura bijak selamanya, Ki Randu Papak?"

Kerutan dahi Bandar Hantu Malam tampak kian tajam. "Aku semakin tak mengerti maksudmu."

Suto menatap dengan berani, "Padepokan di Lembah Sunyi telah hancur. Dua hari sebelum aku sampai di sana, seseorang telah datang dan membantai semua murid Resi Wulung Gading."

Perubahan wajah yang ada pada Ki Randu Papak tampak jelas sebagai ungkapan rasa kaget, namun juga rasa tidak percaya. Suto Sinting sengaja diam untuk menunggu kata-kata dari sang kakek itu.

"Apa maksudmu dengan mengatakan aku menipumu, Pendekar Mabuk? Kata-katamu menyimpang dari watak kependekaranmu yang harus bicara jujur."

"Aku bicara yang sebenarnya, Ki Randu Papak. Kau boleh buktikan sendiri ke Lembah Sunyi. Hanya ada dua murid yang selamat dari pembantaian sadis itu, karena mereka sedang diutus ke pesisir selatan."

"Sepertinya kau bicara mengigau. Tapi baiklah, kucoba untuk mempercayai kata-katamu. Lalu, bagaimana dengan Resi Wulung Gading sendiri? Apakah dia ikut menjadi korban?"

Suto menggeleng berkesan dingin, "Resi Wulung Gading bertapa di Gua Getah Tumbal. Mungkin sampai sekarang belum mengetahuinya."

"Kalau begitu aku harus ke Gua Getah Tumbal untuk memberitahukan hal itu kepada Resi Wulung Gading!" tegas Ki Randu Papak.

Tiba-tiba terbersit kecemasan dalam hati Suto. Ia pun membatin, "Celaka! Aku telah sebutkan tempat itu. Pasti Ki Randu Papak mau ke sana bukan untuk kabarkan musibah tersebut, tapi untuk membunuh Resi Wulung Gading yang kala itu tak ditemui di padepokan. Tentunya kata-kataku tadi merupakan berita bagus baginya. Oh, aku harus mencegahnya agar tidak pergi ke Gua Getah Tumbal!"

Maka ketika Bandar Hantu Malam hendak bergerak pergi, Suto Sinting segera melompat dan menghadang di depannya. Sikap itu sangat mengherankan bagi Bandar Hantu Malam, ia memandang penuh perasaan ingin tahu. "Mengapa kau menghadangku?"

"Tak kuizinkan siapa pun pergi ke Gua Getah Tumbal!"

"Kau pikir aku akan berbuat jahat kepada Resi Wulung Gading?"

"Ya Pasti kau akan membunuhnya, Ki Randu Papak."

Mata tua itu terbelalak kaget mendengar ucapan Suto. Ia mendekati Pendekar Mabuk dengan pandangan mata tajam bagaikan menembus ke hati Suto. "Tega-teganya kau mencurigaiku begitu, Pendekar Mabuk?! Apa alasanmu menduga begitu padaku?"

"Karena menurut saksi dalam pembantaian di padepokan itu, orang yang datang malam hari dan menjagal semua murid Resi Wulung Gading itu bernama Bandar Hantu Malam!" jawab Suto tegas dan jelas.

Ki Randu Papak kian tampakkan rasa kagetnya. Dengan suara menggeram pertanda menahan kemarahan, Ki Randu Papak berucap kata, "Itu fitnah! Tak benar!"

"Itu benar, Ki. Karena Ratu Asmaradani pun mengutusku membunuhmu sebab kau ingin mengawininya, dan menggunakan ilmu 'Racun Siluman' untuk memperdaya sang Ratu agar mau menjadi istrimu!"

Gemetaran sekujur tubuh Ki Randu Papak. Hawa panas mulai naik ke dada dan bermukim di kepala. Wajah tuanya tampak merah pertanda menahan murka. Tapi Suto Sinting hanya memperhatikan dengan tenang, penuh keisengan, ia melihat gigi tokoh tua itu menggeletuk, bola matanya mengecil bagaikan menyimpan dendam atau kemarahan yang tak jelas arahnya.

"Fitnaaah...!" geramnya dengan napas mulai memberat. Jari-jari tangannya tampak bergetar. Jari-jari tangan itu akhirnya disentakkan ke samping dan melesatlah sinar biru pecah, menyebar ke seluruh penjuru.

Praaass...!

Suto kaget dan melompat mundur, pasang kuda-kuda. Tapi kuda-kudanya segera mengendur ketika melihat enam pohon yang terkena percikan sinar biru itu lenyap tinggal debunya yang menggunduk di tanah. Suto Sinting tertegun takjub untuk beberapa saat. Bandar Hantu Malam hembuskan napas panjang, tundukkan kepala, kedua tangan menggenggam kuat-kuat, menahan luapan murka yang hampir-hampir tak bisa dikendalikan. Suto diam beberapa saat, memberi kesempatan kepada tokoh tua itu untuk menenangkan diri. Setelah merasa cukup tenang, Bandar Hantu Malam segera angkat kepala pelan-pelan dan pandangi Suto dalam keadaan menoleh ke samping.

"Aku tidak sejahat itu," katanya dengan suara gemetar. "Aku bukan orang sesat seperti dulu, Suto!"

"Dua peristiwa kulihat sendiri, Ki Randu Papak. Dua orang menjadi saksi keganasanmu. Ratu Asmaradani hilang tubuh bagian perut ke bawah karena terkena Ilmu 'Racun Siluman'-mu, Ki Randu Papak."

"Aku tidak kenal dengan Asmaradani! Bawa aku ke sana dan kubuktikan padamu apakah orang aku yang menyerangnya!" sentak Bandar Hantu Malam dengan nada jengkel dan gemas sekali. Suto jadi berkerut dahi, mulai bimbang lagi. Tapi Ki Randu Papak memandang bagai menuntut pembuktian.

* * *

SEMBILAN
SEBERKAS sinar merah terang melesat ke langit, lalu melatup di angkasa. Letupannya memercikkan bunga api berasap tebal. Ki Randu Papak segera pandangi sinar merah itu, demikian pula Suto Sinting. Pada saat Suto mendongak ke atas, Ki Randu Papak tahu-tahu telah lenyap dari tempatnya, ia bergerak luar biasa cepatnya sehingga seperti menghilang gaib. Suto Sinting kaget dan menjadi tegang karena merasa kehilangan buruannya.

Tapi pendengar batinnya masih mampu melacak suara detak jantung yang kian menjauh. Suto Sinting segera melesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya, ia berlari mengejar suara detak jantung milik Bandar Hantu Malam. Sambil berlari hatinya menggeram penuh gerutu,

"Ke mana pun kau pergi akan kukejar, Bandar Hantu Malam. Tak akan kubiarkan kau lolos begitu saja! Kau harus pertanggungjawabkan perbuatanmu di depanku. Setinggi apa pun ilmumu aku harus tetap melawanmu, Bandar Hantu Malam!"

Rupanya Ki Randu Papak berlari menuju arah datangnya sinar merah yang meletup di angkasa tadi. Tetapi gerakannya mampu dipatahkan oleh Suto Sinting yang tahu-tahu menghadang langkahnya. Jleeg...!

"Mau lari ke mana kau, Bandar Hantu Malam?!" tegur Suto tak ramah lagi.

"Suto, minggirlah dulu. Aku punya urusan dengan seseorang! Setelah kuselesaikan urusanku ini, kita bicara lagi mencari kebenaran fitnah itu!"

"Tak kubiarkan kau lari tinggalkan tanggung jawabmu. Bandar Hantu Malam!"

"Jangan paksa aku melukaimu, Suto!"

"Tidak. Aku hanya ingin paksa dirimu mengobati Ratu Asmaradani yang terkena 'Racun Siluman' itu!"

"Itu bukan tanggung jawabku, Suto! Aku tidak melakukannya!" sentak Ki Randu Papak. "Tapi kalau kau ingin aku membantumu, aku sanggup membantumu. Tapi nanti, setelah kuselesaikan urusanku dengan Dampu Sabang!"

"Sekarang juga kau harus lakukan penyembuhan terhadap Ratu Asmaradani!"

"Tidak bisa! Aku sudah punya janji untuk lakukan pertarungan terakhir dengan adik seperguruanku Dampu Sabang!"

"Aku akan memaksamu, Ki Randu Papak!"

"Bocah nekat!" geramnya dengan gusar. Tapi ia tidak lakukan penyerangan. Ia justru melesat ke arah lain untuk larikan diri.

Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur' nya dengan sentilan tangan ke arah tubuh Ki Randu Papak. Teess...! Sentilan tangan yang mengeluarkan tenaga dalam besar itu menghantam punggung Ki Randu Papak.

Deeb...!

"Ahg...!" orang itu tersentak, tubuhnya segera tumbang ke tanah, namun ia segera berdiri lagi dan hendak lanjutkan pelariannya. Ia tidak memberikan serangan balasan, membuat Suto semakin penasaran dan beranggapan bahwa Bandar Hantu Malam sengaja ingin menghindari tuntutannya. Suto Sinting akhirnya melompat dan bersalto di udara satu kali, lalu tiba di punggung Bandar Hantu Malam dengan sebuah tendangan kuat bertenaga dalam cukup tinggi.

Duuhg...!

"Aaahg...!" kakek tua itu terlempar jauh dan terguling-guling di tanah.

Suto Sinting cepat-cepat menyergapnya, seakan tidak berikan kesempatan kepada Bandar Hantu Malam untuk lakukan serangan balik. Tetapi ketika Suto menerjang mendekati tokoh tua yang baru saja bangkit dari jatuhnya,tiba-tiba tubuhnya terpental kebelakang manakala kalung merah yang dikenakan Bandar Hantu Malam itu menyala kuning seperti emas.

Gusraak...!

"Edan! Dia punya lapisan tenaga dalam yang sangat besar membentengi dirinya. Apakah dia tidak ingin diserang lagi. Tapi kenapa ia tidak mau menyerangku?" pikir Pendekar Mabuk sambil berusaha bangkit dari jatuhnya. Ketika ia berdiri, ternyata Bandar Hantu Malam sudah tidak ada di tempat. Suto Sinting sempat kehilangan jejak. Tapi ia ingat arah datangnya sinar merah yang tadi melesat ke langit itu. Pasti Bandar Hantu Malam pergi ke arah sana. Sinar merah itu sepertinya sebuah tanda bahwa Bandar Hantu Malam ditunggu lawannya di sana.

Dugaan Suto tidak salah. Bandar Hantu Malam ada di kaki bukit ia sedang berhadapan dengan seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, berambut abu-abu, wajahnya nyaris tertutup brewok lebat warna abu-abu juga. Orang itu kenakan pakaian hitam dirangkap dengan baju jubah lengan panjang warna hijau tua. Tubuhnya agak gemuk, mengenakan gelang akar bahar hitam di tangan kirinya. Matanya lebar dan tajam memandang, berkesan bengis. Suto Sinting bersembunyi di balik dua pohon yang tumbuh merapat. Dari sana ia bukan saja bisa melihat pertarungan itu melainkan juga bisa mendengar percakapan kedua tokoh tua tersebut.

"Sejak semalam kucari kau di Bukit Cadas, tapi ternyata kau tak hadir di sana, Dampu Sabang!" kata Bandar Hantu Malam.

Suto menggumam dalam hati, "Ooo... dia yang bernama Dampu Sabang?!"

Terdengar suara Dampu Sabang terkekeh dalam tawa besarnya, ia berkata dengan nada angkuh. "Maaf, aku harus temui kekasihku yang baru, yang tak bisa kutinggalkan walau sekejap saja. Sekaranglah saatnya kita bertemu dan tentukan nasib kita, Bandar Hantu Malam!"

"Sebenarnya aku enggan melakukannya, Dampu Sabang. Tapi demi wasiat dari guru kita, Cambuk Getar Bumi harus tetap di tanganku. Karena akulah yang diwarisi pusaka itu!"

"Aku tetap ingin memiliki pusaka Cambuk Getar Bumi. Kita sama-sama murid Ki Warok Guci Wangsit, kita mempunyai ilmu yang sama, tapi belum tentu kita mempunyai kelicikan sama pula, Bandar Hantu Malam! Jalanmu sudah membelok dari arah yang semestinya. Mendiang Guru akan kecewa melihat kau menjadi orang sok suci dan berlagak menjadi pahlawan kebenaran. Kurasa pusaka Cambuk Getar Bumi tidak pantas lagi ada di tanganmu."

"Apakah kita harus saling bunuh untuk perebutkan pusaka itu, Dampu Sabang?"

"Kurasa itulah jalan yang terbaik bagi kita, Bandar Hantu Malam! Bersiaplah menerima seranganku, Tua Bangka! Heaaah...!"

Dampu Sabang menggerakkan tangannya ke atas, mengembang lebar bagai sayap burung garuda, kakinya yang kiri terangkat lurus hingga lututnya hampir dekati bagian dada. Lalu dengan cepat kaki kanan mengayun naik dan tubuhnya pun melayang cepat ke arah Bandar Hantu Malam. Sementara orang yang diserangnya pun menggunakan jurus seperti burung bangau, yang melesat menuju sasaran dengan cepat.

Wuuut...!

Di udara mereka beradu kecepatan pukulan tangan. Dahk, dahk, dahk...! Dan setiap benturan tangan dengan tangan menimbulkan percikan bunga api berwarna merah kebiru-biruan. Kecepatan itu sempat membuat Bandar Hantu Malam kecolongan jurus, sehingga dada di bawah pundak kirinya berhasil dihantam dengan telapak tangan Dampu Sabang.

Baaaahg...!

Wuuut..! Bandar Hantu Malam jatuh terpental dan berguling- guling, sedangkan Dampu Sabang berhasil mendarat dengan kaki tegak dan kekar. Suto melihat Bandar Hantu Malam memuntahkan darah kental dari mulutnya. Bekas pukulan Dampu Sabang tampak hitam dan berasap. Kain jubah bolong, kulit dada terlihat melepuh warna hitam kebiru-biruan.

"Saatnya kau menuju ke neraka menyusul guru kita, Randu Papak! Heaaat...!" Dampu Sabang lepaskan pukulan dari telapak tangannya yang bersinar biru melingkar-lingkar.

Pada saat itu Bandar Hantu Malam segera bangkit dan kalungnya menyala kuning emas. Suto tahu jika kalung menyala kuning emas menyilaukan itu berarti Bandar Hantu Malam melapisi tubuhnya dengan perisai tenaga dalam yang tak bisa ditembus serangan lawan. Tetapi di luar dugaan, ternyata sinar biru melingkar-lingkar itu berhasil menembus lapisan perisai tenaga dalamnya.

Praaak...! Terdengar seperti suara cermin pecah. Lalu sinar biru itu menghantam tubuh Bandar Hantu Malam. Zruub! Tepat mengenai iga kanan Bandar Hantu Malam.

"Aaahhhg...!" Bandar Hantu Malam mengejang dengan kepala terdongak dan kedua kakinya menekuk ke depan. Sekujur tubuhnya berasap, warna kulitnya menjadi merah retak-retak.

Suto Sinting terbelalak melihat keadaan Bandar Hantu Malam. Lukanya sangat parah, tapi agaknya ia bertahan untuk tetap lakukan serangan ke arah Dampu Sabang. Tapi serangannya sangat lunak dan mudah dihindari Dampu Sabang yang tertawa terbahak-bahak kegirangan. Suto dalam kebimbangan. Mau menolong, tapi yang ditolong adalah yang menjadi musuhnya dan ingin dibinasakan jika tak mau tawarkan racun yang mengenal Ratu Asmaradani. Jika ia tidak menolong, ia tak tega melihat orang yang pernah dikagumi itu menderita siksaan begitu keji.

Dalam keadaan bimbang itu, tiba-tiba Suto Sinting dikejutkan oleh gerakan halus yang datang dari arah belakangnya. Suto cepat-cepat genggamkan tangan untuk lepaskan pukulan kepada orang yang datang dari belakangnya dengan mengendap-endap itu. Tetapi pukulan itu segera dikendurkan, napas Pendekar Mabuk segera dihembuskan dengan lega begitu tahu siapa yang datang.

"Kelana Cinta...?!"

"Ssst...!" Kelana Cinta, perwira negeri Ringgit Kencana justru menempelkan telunjuk ke bibirnya yang ranum itu. Ia mendekati Suto, sedikit merapatkan badan agar terhalang dua pohon berjajar itu.

"Kenapa kau kemari?" bisik Suto.

"Ratu menyuruhku menjagamu dari kejauhan."

"Kenapa justru mendekat?"

"Karena saatnya telah tiba."

Suto kembali memandang Bandar Hantu Malam sebentar yang semakin menderita itu. Lalu ia memandang Kelana Cinta dan berkata dalam nada bisik, "Sejak kapan kau mengikutiku?"

"Sejak kau pergi dari Lembah Sunyi. Aku sempat melihat mereka terbantai. Kupikir semula ingin temui Resi Wulung Gading, sahabatku itu, tapi keadaannya tidak memungkinkan. Lalu kulihat kau tinggalkan tempat itu dan aku mengikutimu. Sekarang berbuatlah!"

"Apa yang harus kuperbuat?!"

"Hadapi Bandar Hantu Malam itu!"

"Untuk apa? Dia sudah hampir mati karena serangan adik seperguruannya."

"Kasihan Pak Tua yang sekarat itu kalau kau tidak segera turun tangan."

"Kenapa kasihan? Bukankah dia adalah Bandar Hantu Malam?!"

"Salah!" sentak Kelana Cinta dalam bisik. "Bandar Hantu Malam adalah lelaki brewok itu!"

"Hahh...?!" Suto terkejut. "Apakah kau tak salah lihat?"

"Tidak. Aku melihat jelas ia bertingkah seenaknya di istana kami! Dia yang mengaku Bandar Hantu Malam dan melepaskan pukulan 'Racun Siluman' ke tubuh Ratu Asmaradani."

"Tapi... tapi yang bernama Bandar Hantu Malam adalah orang yang sedang sekarat itu!"

"Tapi yang datang ke istana adalah si brewok itu!" bantah Kelana Cinta.

Suto bimbang sejenak. Tapi kebimbangan itu segera temui kepastiannya setelah Dampu Sabang berkata penuh kemenangan kepada Bandar Hantu Malam. "Randu Papak... akan kupercepat ajalmu tiba dengan satu jurus pelebur ragamu! Tapi sebelumnya perlu kau ketahui, seandainya kau hidup pun akan sia-sia, sebab nama Bandar Hantu Malam telah kugunakan untuk menyerang beberapa rekanmu, termasuk melukai ratu dasar laut dengan 'Racun Siluman'. Seandainya kau hidup, kau akan banyak musuh dan tak akan diakui sebagai orang aliran putih lagi! Mereka tak akan percaya padamu, Randu Papak. Ha, ha, ha, ha...!" Dampu Sabang tertawa lepas.

Suto Sinting menggeram. Tangannya mulai gemetar penuh hasrat menyerang Dampu Sabang. Napasnya membuat tanah di bawahnya menjadi melesak ke dalam. Karena napas yang keluar pada saat ia sedang marah adalah napas tuak satan yang dapat hadirkan badai dahsyat mengerikan.

"Sekarang terimalah ajalmu, Randu Papak! Hiaaat!" Sinar merah sebesar telapak tangan dihantamkan ke arah tubuh Bandar Hantu Malam dalam jarak lima langkah.

Tapi sebelum sinar itu melesat jauh dari telapak tangan Dampu Sabang, Suto Sinting lebih dulu lepaskan pukulan 'Pecah Raga' dari tangannya. Sinar hijau itu menghantam sinar merah dan terjadilah ledakan dahsyat yang mengguncangkan tanah sekitarnya.

Blegaaar!

Burung-burung yang hinggap di pohon jauh dari tempat itu berlarian. Beberapa pohon besar tumbang tak karuan. Tanah sempat retak di beberapa tempat. Kelana Cinta terjungkal sendiri ke belakang karena hentakan daya ledak tadi. Sedangkan Suto Sinting hanya terdesak mundur satu tindak, tapi Dampu Sabang terpental jauh dan berguling-guling. Dampu Sabang segera bangkit walau wajahnya menghitam legam, mulutnya berdarah dan brewoknya rontok dengan sendirinya. Dampu Sabang menjadi sangat murka dan berteriak keras-keras.

"Bangsat! Siapa yang mau ikut campur urusanku ini, hah?!"

"Aku!" jawab Suto sambil lompat dari persembunyiannya. "Aku, Suto Sinting yang kalahkan muridmu Wiratmoko dan telah bunuh istrimu yang sesat itu; Nyai Sedah!"

Mata Dampu Sabang merah dan menjadi liar, ia menggeram sambil melangkah maju dengan penuh nafsu membunuh. "Bangsat busuk! Kuleburkan ragamu menjadi satu dengan tanah, murid Gila Tuak! Hiaaah...!"

Tapi Suto Sinting lebih dulu sentakkan tangannya ke depan. Telapak tangannya dalam keadaan miring. Maka, puluhan pisau kecil melesat dari telapak tangan itu. Claaap...! Zrruubb...! Pisau-pisau kecil itu menancap tepat di dada sampai perut Dampu Sabang.

"Ahg...!" Dampu Sabang tersentak dan diam seketika dengan tangan masih mau disentakkan. Lama sekali dia tak bergerak. 

Kelana Cinta dan Bandar Hantu Malam sempat merasa heran melihat Dampu Sabang bagaikan menjadi patung. Tetapi ketika angin berhembus kencang, mereka terkejut melihat tubuh Dampu Sabang berhamburan ke mana-mana. Rupanya pada saat itu Dampu Sabang sudah tak bernyawa lagi. Pisau-pisau kecil itu telah membuat Dampu Sabang berubah menjadi debu yang masih saling bergumpalan. Itulah kehebatan dan kedahsyatan jurus 'Manggala' milik Pendekar Mabuk, pemberian dari Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu.

Dengan terbunuhnya tubuh Dampu Sabang, maka persoalan Bandar Hantu Malam palsu pun terselesaikan. Ki Randu Papak segera ditolong olah Suto menggunakan tuak saktinya, dan Suto meminta maaf kepada tokoh tua yang bijak itu.

Sedangkan Ratu Asmaradani tubuhnya menjadi pulih seperti sediakala, terbebas dari pengaruh 'Racun Siluman' yang juga dimiliki oleh Dampu Sabang. Hubungan Suto dengan Ratu Asmaradani semakin akrab, namun hanya sebatas sahabat saja. Tak ada yang berani jatuh cinta kepada Suto, sebab Suto sudah ada yang punya. Dialah Dyah Sariningrum, Gusti Mahkota Sejati.

SELESAI