Senopati PamungkasKedua Jilid 82 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 82

Di saat-saat kebahagiaan itu tinggal diraih, di saat tangan telah menyentuh, kejadian bisa berubah. Maha Singanada adalah contoh nyata yang dialami dan masih serasa dialami. Ketenangan dan penerimaan yang luar biasa terasakan sesaat ketika Jaghana berada di tengahnya, menggandeng tangannya dan tangan Upasara.

Didahului dengan kidungan dan diteruskan dengan kidungan, Gendhuk Tri merasa aman, tenteram, bahagia. Sayup-sayup Gendhuk Tri mendengar suara air tersibak. Dan tawa yang renyah, yang lepas. Nyai Demang pastilah kini sedang berendam di air, berlompatan, merasa bebas dari segala impitan. Tak merasa ada yang menahan untuk melampiaskan semua keinginannya. Sedemikian bebasnya sehingga menari-nari dan melepaskan semua pakaiannya.

Alangkah bahagianya Nyai Demang. Saat ini. Tapi Gendhuk Tri tak bisa merasakan seperti itu. Karena kakinya masih menginjak bumi. Masih terbenam dalam-dalam. Bahwa pemulihan tenaga dalam Upasara Wulung dan dirinya masih belum lagi dimulai. Padahal pada saat seperti ini, Ngwang, Pangeran Hiang, Halayudha masih gentayangan. Masih mencari peluang untuk muncul, dengan alasan yang berbeda-beda.

Cubluk, Perwujudan Asmara
SEKITAR sepenanak nasi, Upasara bersemadi. Baru kemudian mengusap kembali wajahnya. Perasaannya sedikit lebih segar. Tenaga dalamnya sebagian terhimpun kembali. Baru kemudian mencoba menjajal menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Gendhuk Tri. Menggiring kembali bercak hitam, dan berusaha menghilangkan.

Tidak dengan menggempur keras, tidak dengan mendobrak, akan tetapi berusaha melarutkan. Mengembalikan kepada kekuatan tenaga dalam Gendhuk Tri yang asli. Sehingga nantinya tenaga dalam Gendhuk Tri tidak berkurang.

Usaha yang dilakukan siang dan malam, beberapa hari berturut-turut, memeras kemampuan Upasara Wulung. Akan tetapi Upasara seperti tenggelam dalam keasyikan. Semakin lama semakin membuatnya terus menjajal.

Nyai Demang melihat bahwa pada beberapa bagian bercak itu bisa hilang. Namun Upasara dan Gendhuk Tri menyadari bahwa hal ini akan memakan waktu lama, dengan pengerahan tenaga sepenuh-penuhnya.

“Sampai lima puluh tahun yang akan datang, baru separuhnya bebas,” kata Gendhuk Tri, yang dijawab Upasara Wulung dengan anggukan.

“Rasanya ada yang keliru, Yayi. Tenaga dalam bisa menyalur cepat, akan tetapi hasilnya tak seberapa.”

“Kenapa kalian berdua tidak menikah saja lebih dulu?”

Pertanyaan atau ungkapan Nyai Demang yang sangat mendadak, membuat Upasara menggigit bibirnya. Dagunya mengangguk. Sebaliknya, Gendhuk Tri menghela napas.

“Nyai, tubuh saya sekarang ini hanya sepertiga sehat. Kalau bercak hitam ini berada dalam pengerahan tenaga, akan memacetkan semuanya. Bahkan kesadaran pun tak saya miliki lagi. Hanya akan merepotkan dan menambah kekecewaan belaka. Karena saya tak tahu apakah saya ini disebut kliwa sementara atau seterusnya.”

Kali ini suara Gendhuk Tri getir. Seperti menyihir Nyai Demang hingga memejamkan mata. Kliwa adalah sebutan bagi wanita yang tidak merasa dirinya sebagai wanita, karena tidak mengalami nggarap sari atau datang bulan. Biasanya pada usia tertentu hal itu wajar terjadi pada setiap wanita. Akan tetapi termasuk janggal kalau Gendhuk Tri sudah mengalami sekarang ini, kalau dibandingkan dengan dirinya yang masih nggarap sari.

Nyai Demang memang sangat memperhatikan perawatan tubuh dan menjaga diri sehingga kondisi dan usianya tak bisa dibandingkan dengan wanita lain. Namun kalau itu terjadi pada diri Gendhuk Tri, pasti ada sesuatu yang tak beres. Perasaan kewanitaan Nyai Demang teriris. Sesaat tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Sebaliknya, Gendhuk Tri terlihat lebih tabah, menghadapi tanpa alis berkerut.

“Anakku…”

“Rasanya kita tak perlu menyembunyikan sesuatu di antara diri kita sendiri.”

“Cukup.”

“Tidak, Nyai. Saya harus meyakinkan diri saya, harus berani mengatakan bahwa persatuan daya asmara hanya akan memperparah keadaan saya sekarang ini. Selama bercak hitam ini masih ada, selama itu pula tak ada jaminan keselamatan bagi bayi yang saya kandung.”

“Cukup, anakku.”

“Padahal seperti yang Nyai katakan, justru kehadiran perwujudan daya asmara yang bisa membebaskan ini semua. Seperti juga halnya kesediaan Paman Jaghana berada di antara saya dan Kakang. Sebagai perwujudan tanah air.”

Nyai Demang mengusap keningnya.

“Apakah, apakah diriku tak bisa?” Gendhuk Tri ragu.

Upasara Wulung berdeham kecil. “Halayudha memakai pendekatan seperti yang Nyai katakan. Melalui tubuh Mada. Tetapi hasilnya, juga timbulnya bercak hitam.”

“Kalau begitu,” kalimat Nyai Demang seperti menghibur diri sendiri, coba terus dengan usaha yang selama ini kamu lakukan. Meskipun perlahan, telah terbukti.”

“Atau kita lupakan.” Suara Gendhuk Tri terdengar hambar. Meskipun bisa mengutarakan dengan jelas, terang, dan kadang mengesankan dingin dari perasaan, apa yang dikatakan Gendhuk Tri banyak benarnya.

Upasara yang merasa sedikit terpukul. Wajahnya menjadi murung. Untuk beberapa hari, ketiganya seperti menghindari pembicaraan satu sama lain. Seperti saling menghindari, bahkan untuk bertemu. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya, mencoba menemukan jalan pencerahan.

Gendhuk Tri yang mengesankan sedikit-banyak bisa mengesampingkan beban pikirannya. Masih bisa berlatih sendiri, berloncatan, dan berjalan mengelilingi Perguruan Awan. Di hari ketujuh, Gendhuk Tri mencari tempat persemayaman Jaghana. Dan benar dugaannya, raga Jaghana telah lenyap. Bersatu dengan alam.

Gendhuk Tri bersila, bersemadi, memanjatkan segala doa kepada Yang Mahadewa. Mengucapkan syukur atas penerimaan Jaghana kembali kepada Yang Maha Pencipta. Sedemikian khusyuknya, sehingga Gendhuk Tri terlelap. Baru kemudian terusik kesadarannya ketika mendengar suara sangat halus. Gendhuk Tri menahan napas dan memusatkan perhatiannya.

Dari sisi kiri terdengar irama langkah tertentu. Perguruan Awan boleh dikatakan tempat yang sangat terpencil. Tidak sembarangan orang lalu lalang. Tidak semua kaki leluasa datang dan pergi. Makanya langkah-langkah yang terdengar terasa sangat ganjil.

Meskipun demikian Gendhuk Tri tidak merasakan adanya bahaya. Karena langkah kaki itu meninggalkan suara sangat berirama dan jelas. Bahkan dari orang yang menyembunyikan diri. Sesaat Gendhuk Tri masih menduga Nyai Demang yang berjalan. Hanya karena irama kakinya berbeda, Gendhuk Tri segera meloncat memburu arah datangnya suara.

Bibirnya tersenyum. Dari arah datangnya suara terlihat krendi, rusa tutul, yang berjalan dengan tenang. Selama ini binatang yang berdiam di Perguruan Awan, seakan bisa menikmati suasana yang tenang dan damai. Akan tetapi rusa tutul yang satu ini seperti sangat jinak. Barulah kemudian Gendhuk Tri sadar bahwa rusa tutul itu memakai kalung mainan dari tangkai daun singkong.

Ini yang membuatnya sedikit heran. Siapa yang berbuat ganjil seperti ini? Rasa-rasanya hanya Dewa Maut yang mempunyai keisengan. Gendhuk Tri menggerakkan ranting. Krendi menoleh dan meloncat dengan sigap. Gendhuk Tri memburu tanpa menimbulkan suara. Perhitungannya hanyalah krendi ini akan kembali ke tempat asalnya. Dan dengan membuntuti, Gendhuk Tri bisa mengetahui siapa yang memelihara.

Dugaannya tepat. Tapi juga membuatnya kaget. Karena rusa itu kembali ke tengah hutan, dan masuk ke pepohonan yang lebat. Kembali kepada pemiliknya, atau orang yang begitu akrab dengannya. Karena rusa tutul itu tampak jinak sekali, lulut ketika dielus. Gendhuk Tri tak percaya bahwa ada penghuni lain di salah satu wilayah Perguruan Awan.

Tapi kini disaksikannya sendiri. Ada dua anak kecil yang mengelus rusa tutul. Sedemikian kecil sehingga tak terlihat karena teraling dedaunan. Sepasang anak kecil itu seperti kakak-beradik, lelaki dan perempuan, karena keduanya tampak sangat mirip. Rambutnya tergerai dan kotor, tubuhnya tak ditutupi selembar daun pun.

Agaknya dua bocah itu mengetahui kehadiran Gendhuk Tri. Serta-merta keduanya mengeluarkan bunyi mirip rusa, dan menyebar. Gendhuk Tri mengempos tenaganya. Dan selendangnya terentang. Satu menyambar ke arah kiri, satu ke arah kanan. Satu sabetan dari gerakan yang berbeda arahnya. Meskipun pepohonan sangat lebat dan menghalang, sabetan selendang Gendhuk Tri bisa menjerat dua kaki sekaligus.

“Tunggu!” Sentakannya lembut.

Dua anak itu seperti melayang di tengah udara, ketika selendang disendal balik. Dengan perlahan Gendhuk Tri berusaha merangkul. Tapi mendadak kaget dan menjerit. Dua-duanya menggigit dada Gendhuk Tri. Dua tangan Gendhuk Tri mendorong, dan dua tubuh kecil terayun kembali ke udara. Kali ini Gendhuk Tri meraup dengan dua ujung selendang.

“Siapa suruh kalian begitu nakal?” Dengan menggulung ke dalam selendang, Gendhuk Tri membuat keduanya tak berkutik. Hanya sorot mata kedua bocah itu yang memandang bengis ke arahnya.

“Cubluk,” teriak salah satu anak tersebut.

“Klobot,” susul yang kedua.

Anak Tiban
GENDHUK TRI heran bercampur girang. Heran karena melihat reaksi yang dipancarkan lewat sorot mata yang begitu ganas memusuhi. Girang karena ternyata sepasang anak kecil yang belum berusia lima tahun, yang rambutnya awut-awutan seperti tak mengenal air, ternyata bisa bersuara.

“Ya, ya. Namaku Bibi Tri.”

“Cubluk.”

“Klobot.”

Ketika keduanya mengulang lagi dua patah kata itu, Gendhuk Tri agak sangsi. Apakah itu nama masing-masing anak kecil itu ataukah memang hanya itu yang bisa diucapkan. Kemungkinan yang pertama lebih masuk akal. Karena cubluk berarti bodoh atau lugu. Sedangkan klobot berarti daun buah jagung yang kering. Sebutan yang merendah memang sangat sering dipakai orang kebanyakan. Atau mereka yang sengaja menyamar.

Gendhuk Tri merasa menemukan mainan yang menyenangkan. Dua ujung selendangnya mengemban Cubluk dan Klobot yang meronta dan meneriakkan nama mereka. Pandangan Gendhuk Tri menyapu sekitarnya. Tempat di mana Cubluk dan Klobot berada tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka berdua telah berdiam cukup lama.

Agaknya sepasang bocah kecil ini selalu mengembara dan berpindah tempat. Ini sangat mungkin sekali terjadi, karena Gendhuk Tri atau Nyai Demang menyadari kehadiran mereka. Bukan tidak mungkin sewaktu Upasara tengah bersemadi atau terjadi pertarungan berat, kedua anak kecil itu mulai masuk ke dalam rimba Perguruan Awan. Entah dari mana asalnya.

Karena tak mungkin ditanyai. Dengan satu sentakan lembut, Gendhuk Tri menarik selendangnya hingga menggulung ke arah tubuhnya. Cubluk dan Klobot seperti terlipat ke dalam perutnya. Ikut bergerak ketika tubuh Gendhuk Tri melayang ke arah rusa tutul, yang mengawasi sejak tadi dari kejauhan.

Rusa tutul termasuk binatang yang gesit. Apalagi berada di tengah pepohonan dan semak yang rimbun. Namun Gendhuk Tri bisa meloncati dan berada di depannya. Rusa membalik ke arah lain, akan tetapi kembali Gendhuk Tri meloncat dan berada di depannya, bahkan kedua tangannya mengelus telinga rusa tutul.

Yang dengan kaget melesat lari dengan kencang, menabrak segala sesuatu yang menghalangi. Sedemikian kencang larinya, sehingga ketika tiba-tiba berhenti, keempat kakinya seperti tertahan di belakang. Gendhuk Tri berada di depan moncongnya.

Di luar dugaan Gendhuk Tri, Cubluk dan Klobot bersorak. Atau lebih tepatnya mengeluarkan jeritan yang melengking. Hanya karena wajah mereka memancarkan kegembiraan, Gendhuk Tri merasa bisa memberikan permainan yang menyenangkan. Dua kali Gendhuk Tri mempermainkan rusa tutul yang kini mulai kelelahan dan tampak jinak.

Saat itu Nyai Demang yang tertarik mendengar suara-suara, bisa melihat dari kejauhan. Kembali perasaan kewanitaannya tersentuh melihat Gendhuk Tri yang bermain bersama dua anak yang lucu dalam gendongan. Sudah sepantasnya sekiranya Gendhuk Tri mempunyai anak seusia itu.

Ada hari, ada nyanyi Kenapa harus bersedih hati Waktu bayi, temanmu adalah bidadari…

Lagu yang ditembangkan dengan rengeng-rengeng-bersenandung itu dilantunkan Upasara. Yang tiba-tiba saja teringat suatu peristiwa saat pertama kali melihat Gendhuk Tri. Yang waktu itu usianya belum ada sepuluh tahun, yang diculik dan coba dihibur oleh Jagaddhita, nenek berambut putih yang selendangnya warna-warni.

Sudah barang tentu Gendhuk Tri hafal lahir-batin senandung tersebut. Karena Mbakyu Jagaddhita selalu mengulang kidungan itu, dan hanya itu-itu saja barisnya, dalam keadaan perang atau menghibur. Dan sekarang Upasara yang menyenandungkan. Sementara Gendhuk Tri yang berperan sebagai Jagaddhita.

“Dari mana dua anak manis ini?”

“Paman Jaghana yang mengirimkan, Nyai,” jawab Gendhuk Tri tertawa-tawa.

“Alangkah manis dan lucunya. Coba saya gendong. Apakah saya sudah terlalu tua atau malah sudah tak sanggup lagi?”

Nyai Demang meloncat, dan membuka lipatan selendang. Seketika itu juga Cubluk dan Klobot melorot turun dan dengan gesit sekali berlari kencang sambil mengeluarkan pekikan. Cara berlarinya sangat kencang. Namun tanpa menggeser kedua kakinya, tenaga Upasara bisa menarik keduanya. Yang langsung mencakar, menggigit tangan Upasara.

“Awas, gigitannya…” Suara Gendhuk Tri tidak diselesaikan. Kalau tadi ia melepas, terutama karena kaget. Sedangkan Upasara membiarkan Cubluk dan Klobot menggigit keras hingga keduanya seperti mau mengeluarkan air mata.

“Cubluk.”

“Klobot.”

Setelah merasa tak berhasil Cubluk dan Klobot mencakari. Dan masih melakukan gerakan penyerangan lain, sebelum akhirnya berusaha melarikan diri kembali. Kepala mereka tertarik, karena Upasara telah memegangi ujung rambut mereka.

“Anak tiban biasanya memang nakal. Tapi bapaknya ternyata lebih nakal lagi.”

Suara Nyai Demang menunjukkan isi hati yang sebenarnya. Dengan menyebut sebagai anak tiban, Nyai Demang secara tidak langsung menerima sebagai “anak yang diberikan”. Apalagi dengan membahasakan diri Upasara sebagai “bapaknya”.

“Bagaimana tidak nakal, kalau bapaknya belum pernah mengetahui cara momong…”

Keriangan segera menjalar di Perguruan Awan. Perhatian Upasara, Nyai Demang, maupun Gendhuk Tri terserap oleh Cubluk dan Klobot. Mereka mengajak bicara, dan tak terjawab. Mereka mengajak bermain, dan tak dihiraukan karena memilih lari. Mereka memberikan buah-buahan, dan dimakan lahap. Mereka mendekatkan krendi, dan keduanya tampak senang sekali. Kalau Gendhuk Tri membelit mereka ke dalam dengan ujung selendang dan berloncatan, Cubluk dan Klobot tampak sangat gembira.

Barulah setelah malam tiba, Cubluk dan Klobot tidak lari menjauh. Terutama karena rusa tutul itu tampak tenang berada di dekat Upasara Wulung. Keduanya juga berada di situ sampai tertidur pulas. Gendhuk Tri menceritakan bahwa keduanya ditemukan begitu saja, seolah kiriman dari Paman Jaghana.

“Sejak peperangan yang terus berlangsung, entah berapa anak yang hilang di hutan ini. Akan tetapi Cubluk dan Klobot ini agaknya dibimbing oleh Dewa. Sehingga selamat sampai sekarang. Cukup mengagumkan kalau diingat selama ini mereka berdua sudah berada di hutan sejak bisa berjalan.”

“Apa pun sebabnya, rasanya menyenangkan melihat mereka berdua. Lucu.”

Meskipun kikuk, Upasara berusaha mendekati mereka. Meloncat ke atas pohon yang tinggi untuk mengambil buah, membuat lingkaran di tanah di mana krendi tak bisa melalui, atau mencoba membopong keduanya. Hanya di saat mengerahkan tenaga dalam ke tubuh Gendhuk Tri, Cubluk dan Klobot diasuh Nyai Demang.

Cubluk cepat akrab dengan Nyai Demang. Apalagi Nyai Demang bisa membuatkan kalung dari tangkai daun singkong, dari daun pepaya, bahkan dari biji buah mada, atau menggunakan klenteng, biji kapuk, sebagai sabuk. Sebaliknya, Klobot lebih suka menjauh, bermain dengan krendi. Berjalan sendiri dan mencari permainan sendiri. Ketika itulah Nyai Demang menyadari keterlambatannya.

Klobot dan krendi bergerak ke arah Upasara Wulung dan Gendhuk Tri. Yang tengah bersila berhadapan sambil menempelkan kedua telapak tangan dan kaki. Saat yang gawat. Akan tetapi mana mungkin Klobot mengetahui. Ia mendekat, menarik-narik selendang Gendhuk Tri.

“Jangan!” Teriakan Nyai Demang yang parau dan keras terdengar oleh Klobot.

Akan tetapi agaknya Klobot tak mengerti artinya. Ataupun kalau mengerti tetap akan nekat menarik selendang. Dengan tenaga keras. Tenaga bocah usia lima tahun. Akan tetapi cukup kuat untuk membuyarkan pemusatan pikiran yang justru tengah berada pada puncak pertemuan.

Gendhuk Tri merasa dadanya bergolak, perutnya bergolak, dan seluruh isi perutnya memberontak. Berusaha menahan masuknya tenaga dalam Upasara yang terus memancar. Sebab jika tenaga itu tersalur ke arah Klobot yang menyentuh bagian tubuh Gendhuk Tri atau Upasara Wulung, anak itu bisa celaka. Si bocah kecil yang tak berdosa itu bakal terkena gempuran keras.

Klobot tetap menyendal selendang Gendhuk Tri, mengajak bermain. Karena sentakannya yang terlalu keras, tubuhnya jadi tertarik cepat. Tertarik ke arah tubuh Gendhuk Tri. Yang segera melebarkan tangannya. Padahal justru pancaran tenaga dalam di situ paling kuat arusnya. Demikian pula halnya dengan Upasara!

Sentuhan Tanah air
TANGAN Gendhuk Tri lebih dulu merangkul tubuh Klobot. Dengan sedikit memutar tubuh mengikuti irama dorongan jatuhnya Klobot, Gendhuk Tri menahan Klobot. Upasara melompat bangun, dan bersiaga di sebelah Gendhuk Tri. Kekuatiran Nyai Demang sebagian terbukti.

Klobot berada dalam bahaya benturan tenaga dalam. Akan tetapi tidak menangis atau mengeluarkan suara kesakitan. Hanya kalau diperhatikan, telapak tangan Gendhuk Tri meninggalkan bekas di kedua lengan Klobot. Seakan sidik jarinya menempel jelas dalam bercak-bercak hitam.

Upasara mengatupkan gerahamnya. Gendhuk Tri gemetar membopong Klobot. Pandangannya beradu dengan mata Upasara yang memandang dengan sorot mata kasih dan kuatir, sorot mata bertanggung jawab dan bertanya.

Nyai Demang mengelus-elus hidungnya. Merasakan betapa perpindahan tenaga dalam dari Upasara tidak sampai menghancurkan Klobot. Meskipun hasilnya cukup mengerikan. Bercak itu berpindah ke tubuh Klobot.

Dilihat dari segi tertentu, seakan ada pemecahan. Bahwa bercak hitam itu bisa dipindahkan dari tubuh Gendhuk Tri. Tanpa menyebabkan Gendhuk Tri menderita terlalu lama. Tapi dilihat dari segi Klobot, seakan menjadi korban belaka.

“Apa… apa… tidak mungkin bercak hitam itu dipindahkan ke saya?”

Gendhuk Tri menggeleng. “Kecil kemungkinannya, Nyai. Klobot ini seakan bagian perwujudan tenaga bumi dengan tenaga air. Yang membentuk dengan sendirinya, yang mengalir dengan sendirinya.”

“Apa… apa… tidak mungkin bercak hitam di tubuh Klobot dihilangkan?”

Kali ini Upasara yang menjawab, “Tenaga dari luar hanya akan mengacaukan tenaga yang sekarang ada dalam diri Klobot. Kecuali kalau Klobot sendiri bisa mengusirnya. Karena sesungguhnya tenaga dalam yang berada dalam tubuhnya kini berawal dari kekuatan tanah air. Sentuhan yang masih wungkul, karenanya bercak hitam itu ikut terbawa.”

“Apa… apa… itu berarti Anak Tri bisa mengatasi juga, andai tenaga dalamnya sudah berupa kekuatan tenaga tanah air?”

Jalan pikiran Nyai Demang sederhana. Dan tepat. Bahwa kini dalam tubuh Klobot tersimpan tenaga dalam yang berasal dari kekuatan tenaga dalam Gendhuk Tri maupun Upasara. Yang masih murni, maupun yang tercampur dengan bercak hitam. Kalau hal yang sama terjadi dalam diri Gendhuk Tri, besar sekali kemungkinannya untuk menyembuhkan diri. Karena Gendhuk Tri menguasai cara melatih diri dan mengerahkan tenaga dalam.

Sementara sedikit persoalan timbul dengan Klobot. Anak kecil itu sama sekali tak memiliki dan tak tahu bagaimana melatih kekuatannya. Dan agak sulit memberitahukan, kalau mengingat selama ini ia tak mengenal kata dan kalimat.

“Apa… apa… mungkin melatih dan mengajari Klobot?” Pertanyaan itu dijawab sendiri. “Mungkin sekali. Kalau saja kita bisa menyuruh menirukan apa yang kalian lakukan, dengan sendirinya Klobot akan berlatih. Caranya dengan membuatnya bergembira lebih dulu, yaitu diayun dengan selendang. Kalau Cubluk mengikuti, Klobot pasti akan mengikuti juga.”

Gendhuk Tri mengangguk. Mengakui jalan perasaan Nyai Demang sebagai ibu lebih menentukan karena ditunjang pengalaman mengasuh anak.

“Apa… apa… bercak itu juga berbahaya pada diri Klobot?”

“Sama dengan yang saya alami. Kalau bercak ini mengganggu dan terseret ke pernapasan, sangat fatal akibatnya. Karena Klobot tak cukup kuat menahan diri.”

“Kalau begitu jangan terlalu lama.”

Gendhuk Tri memandang ke arah Upasara. “Kakang yang menentukan gerakan-gerakan apa yang paling sesuai.”

“Mari kita coba bersama.”

Upasara mulai memusatkan pikirannya. Sekarang benar-benar ditakar ilmu dan kemampuannya untuk menciptakan gerakan-gerakan, jurus-jurus kekuatan tenaga tanah air. Yang selama ini baru berada dalam ingatannya, dalam kemungkinan-kemungkinan.

Sekarang harus segera diwujudkan. Kalau tidak, bercak hitam di tubuh Klobot akan mengancam jiwanya. Dan jika itu yang terjadi lebih dulu, penyesalan yang paling panjang sekalipun tak ada gunanya.

Gendhuk Tri juga memusatkan pikiran, rasa, nalar, dan mencari detak theg, dan bisa mulai dengan irama kidungan yang disenandungkan Upasara Wulung.

Tiada tanah
tiada air
pada tanah air
tiada ayah
tiada lahir
asmara tak berakhir

tanah air ialah Dewa sekalian Dewa
tanah air ialah takhta sekalian takhta
tanah air ialah sukma sejati
yang kekal abadi

bukan kekuatan tanah
bukan kekuatan air
bukan kekuatan Dewa
bukan kekuatan takhtasemata

di setiap jengkal tanah ada air
di setiap tetes air ada tanah
di mana ada tanah, di situ ada air
di darah, di angin pernapasan yang mengalir

di tangan kiri yang ke kiri dan ke kanan
di tangan kanan yang ke kanan dan ke kiri
di kaki kanan dan kiri
di telinga kiri dan kanan
di pusar, di hati, di kewanitaan, di kelelakian

gerakan tangan, tarik kaki kanan
gerakan hati, saluran pernapasan
menyatu satu
menjelma esa…


Tangan, kaki, perut, dan tenaga Upasara mengikuti irama kidungan. Demikian juga Gendhuk Tri. Nyai Demang juga berusaha mengikuti, seakan baru pertama kalinya berlatih silat. Klobot dan Cubluk akhirnya juga ikut melakukan gerakan-gerakan.

Kelimanya tenggelam dalam latihan ilmu dan jurus-jurus baru yang diciptakan Upasara. Yang cukup memeras tenaga, karena sekujur tubuh Upasara maupun Gendhuk Tri tergetar hebat. Klobot mengikuti, akan tetapi beberapa kali mengalihkan perhatian ke arah lain.

Adalah Nyai Demang yang menjewer keras telinga Klobot, memuntir dengan pedas, setiap kali Klobot tak mau mengikuti. Cubluk beberapa kali mengikuti, akan tetapi kemudian lebih suka kepada mainan yang ada di tangannya.

Nyai Demang sebenarnya bisa memaksa Cubluk. Namun karena merasa bahwa yang lebih perlu adalah Klobot untuk penyembuhan tubuhnya, perhatiannya lebih tertuju padanya. Dan senakal-nakalnya Klobot, ia sadar bahwa pelintiran dan jeweran di telinga atau di rambut lebih menyakitkan. Sehingga mau tak mau memaksa diri untuk mengikuti.

Tanpa terasa, Upasara mewujudkan pendekatan baru dari ilmu silatnya, yang diturunkan langsung kepada Klobot. Bocah kecil ini telah mewarisi ilmu silat dan pengerahan tenaga dalam yang paling utama.

Bukannya tanpa akibat. Karena di hari kelima, hampir saja Nyai Demang menyesali hidupnya. Ketika beristirahat, Klobot merebut mainan Cubluk dengan jalan mendorong tubuh Cubluk. Yang terakhir ini terpental.

Hanya karena Nyai Demang sigap, segera bisa mengamankan. Namun tak urung menjadi cemas. Karena tenaga dorongan Klobot sangat luar biasa kerasnya. Peristiwa kedua terjadi ketika Klobot berusaha mengelus krendi. Dan menarik ekornya. Rusa tutul itu melengking kesakitan, matanya melotot dan berkelojotan.

“Lepas, Klobot!”

Klobot melepaskan.

“Sekarang kamu tidak boleh sembarangan. Tenagamu terlalu besar. Kamu bisa meraih buah di ujung pohon itu…”

Nyai Demang memberi contoh meloncat ke atas. Tangannya bisa menyentuh buah mangga. Klobot mencoba. Dan berteriak kegirangan. Karena meskipun tak bisa menyentuh, akan tetapi tubuhnya terangkat tinggi. Tanpa diperintah, Klobot meminta Nyai Demang melatihnya lagi.

“Kamu harus minta dengan baik-baik, cucuku. Tak bisa main tarik selendang seperti ini.”

Kakang Kawah…
Klobot ternyata lebih cepat menangkap apa yang dilihat. Sekurangnya menaruh minat yang besar. Dengan cepat bisa mengikuti apa yang diperintahkan Nyai Demang. Bisa segera mengucapkan Rama, Ibu, tetapi telanjur memanggil Nyai kepada Nyai Demang.

Sebenarnya Cubluk, tidak seperti nama yang dipakai. Kemampuan untuk mengikuti secara tidak langsung apa yang diajarkan kepada Klobot, bisa mencerna dengan baik. Akan tetapi perhatiannya kepada segala jenis mainan jauh lebih besar.

“Nyai… main lagi. Main lagi.”

“Main apa?”

“Main lagi, Nyai.”

“Iya, main apa?”

Mata Klobot bersinar dan berputar-putar. Ia tak segera bisa menyebutkan namanya. Gendhuk Tri memandang sambil menahan senyum.

“Main silat?” Gendhuk Tri membuat gerakan permulaan.

“Ya, Ibu.”

“Baik. Kita mulai dengan jurus permulaan….”

Gendhuk Tri kembali memandang Upasara. “Kakang, apakah jurus-jurus ini kita biarkan saja ataukah…”

“Jurus Kakang Kawah, Adi Ari-Ari….”

“Inilah gerakan pertama. Klobot, kakinya jangan terlalu rapat…”

Klobot mengikuti dari awal. Kedua kaki setengah mengangkang, bahu turun dan mulai dengan gerakan tangan. Berbeda dari pembukaan pada ajaran Kitab Bumi, Upasara tidak menaikkan kedua tangan secara bersamaan. Melainkan tangan kanan yang ditarik ke atas, tangan kiri tetap di tempat dengan sikap membuka. Tarikan tangan kanan pun mencapai setinggi telinga, untuk kemudian dibenamkan ke bawah.

Jurus yang dinama Kakang Kawah, Adi Ari-Ari, memang sesuai sebagai jurus pembukaan. Walau kedengarannya seperti menjawab sekenanya, namun Upasara mempunyai pandangan yang mengakar. Inti permulaan yang digetarkan melalui tenaga dalam tanah air adalah pembukaan seperti kelahiran bayi. Di mana yang keluar pertama adalah kawah atau air ketuban, sehingga dituakan dan disebut sebagai kakang. Sedangkan yang keluar kemudian disebut sebagai kekuatan yang lebih muda, adi.

JILID 81BUKU PERTAMAJILID 83

Senopati PamungkasKedua Jilid 82

Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 82

Di saat-saat kebahagiaan itu tinggal diraih, di saat tangan telah menyentuh, kejadian bisa berubah. Maha Singanada adalah contoh nyata yang dialami dan masih serasa dialami. Ketenangan dan penerimaan yang luar biasa terasakan sesaat ketika Jaghana berada di tengahnya, menggandeng tangannya dan tangan Upasara.

Didahului dengan kidungan dan diteruskan dengan kidungan, Gendhuk Tri merasa aman, tenteram, bahagia. Sayup-sayup Gendhuk Tri mendengar suara air tersibak. Dan tawa yang renyah, yang lepas. Nyai Demang pastilah kini sedang berendam di air, berlompatan, merasa bebas dari segala impitan. Tak merasa ada yang menahan untuk melampiaskan semua keinginannya. Sedemikian bebasnya sehingga menari-nari dan melepaskan semua pakaiannya.

Alangkah bahagianya Nyai Demang. Saat ini. Tapi Gendhuk Tri tak bisa merasakan seperti itu. Karena kakinya masih menginjak bumi. Masih terbenam dalam-dalam. Bahwa pemulihan tenaga dalam Upasara Wulung dan dirinya masih belum lagi dimulai. Padahal pada saat seperti ini, Ngwang, Pangeran Hiang, Halayudha masih gentayangan. Masih mencari peluang untuk muncul, dengan alasan yang berbeda-beda.

Cubluk, Perwujudan Asmara
SEKITAR sepenanak nasi, Upasara bersemadi. Baru kemudian mengusap kembali wajahnya. Perasaannya sedikit lebih segar. Tenaga dalamnya sebagian terhimpun kembali. Baru kemudian mencoba menjajal menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Gendhuk Tri. Menggiring kembali bercak hitam, dan berusaha menghilangkan.

Tidak dengan menggempur keras, tidak dengan mendobrak, akan tetapi berusaha melarutkan. Mengembalikan kepada kekuatan tenaga dalam Gendhuk Tri yang asli. Sehingga nantinya tenaga dalam Gendhuk Tri tidak berkurang.

Usaha yang dilakukan siang dan malam, beberapa hari berturut-turut, memeras kemampuan Upasara Wulung. Akan tetapi Upasara seperti tenggelam dalam keasyikan. Semakin lama semakin membuatnya terus menjajal.

Nyai Demang melihat bahwa pada beberapa bagian bercak itu bisa hilang. Namun Upasara dan Gendhuk Tri menyadari bahwa hal ini akan memakan waktu lama, dengan pengerahan tenaga sepenuh-penuhnya.

“Sampai lima puluh tahun yang akan datang, baru separuhnya bebas,” kata Gendhuk Tri, yang dijawab Upasara Wulung dengan anggukan.

“Rasanya ada yang keliru, Yayi. Tenaga dalam bisa menyalur cepat, akan tetapi hasilnya tak seberapa.”

“Kenapa kalian berdua tidak menikah saja lebih dulu?”

Pertanyaan atau ungkapan Nyai Demang yang sangat mendadak, membuat Upasara menggigit bibirnya. Dagunya mengangguk. Sebaliknya, Gendhuk Tri menghela napas.

“Nyai, tubuh saya sekarang ini hanya sepertiga sehat. Kalau bercak hitam ini berada dalam pengerahan tenaga, akan memacetkan semuanya. Bahkan kesadaran pun tak saya miliki lagi. Hanya akan merepotkan dan menambah kekecewaan belaka. Karena saya tak tahu apakah saya ini disebut kliwa sementara atau seterusnya.”

Kali ini suara Gendhuk Tri getir. Seperti menyihir Nyai Demang hingga memejamkan mata. Kliwa adalah sebutan bagi wanita yang tidak merasa dirinya sebagai wanita, karena tidak mengalami nggarap sari atau datang bulan. Biasanya pada usia tertentu hal itu wajar terjadi pada setiap wanita. Akan tetapi termasuk janggal kalau Gendhuk Tri sudah mengalami sekarang ini, kalau dibandingkan dengan dirinya yang masih nggarap sari.

Nyai Demang memang sangat memperhatikan perawatan tubuh dan menjaga diri sehingga kondisi dan usianya tak bisa dibandingkan dengan wanita lain. Namun kalau itu terjadi pada diri Gendhuk Tri, pasti ada sesuatu yang tak beres. Perasaan kewanitaan Nyai Demang teriris. Sesaat tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Sebaliknya, Gendhuk Tri terlihat lebih tabah, menghadapi tanpa alis berkerut.

“Anakku…”

“Rasanya kita tak perlu menyembunyikan sesuatu di antara diri kita sendiri.”

“Cukup.”

“Tidak, Nyai. Saya harus meyakinkan diri saya, harus berani mengatakan bahwa persatuan daya asmara hanya akan memperparah keadaan saya sekarang ini. Selama bercak hitam ini masih ada, selama itu pula tak ada jaminan keselamatan bagi bayi yang saya kandung.”

“Cukup, anakku.”

“Padahal seperti yang Nyai katakan, justru kehadiran perwujudan daya asmara yang bisa membebaskan ini semua. Seperti juga halnya kesediaan Paman Jaghana berada di antara saya dan Kakang. Sebagai perwujudan tanah air.”

Nyai Demang mengusap keningnya.

“Apakah, apakah diriku tak bisa?” Gendhuk Tri ragu.

Upasara Wulung berdeham kecil. “Halayudha memakai pendekatan seperti yang Nyai katakan. Melalui tubuh Mada. Tetapi hasilnya, juga timbulnya bercak hitam.”

“Kalau begitu,” kalimat Nyai Demang seperti menghibur diri sendiri, coba terus dengan usaha yang selama ini kamu lakukan. Meskipun perlahan, telah terbukti.”

“Atau kita lupakan.” Suara Gendhuk Tri terdengar hambar. Meskipun bisa mengutarakan dengan jelas, terang, dan kadang mengesankan dingin dari perasaan, apa yang dikatakan Gendhuk Tri banyak benarnya.

Upasara yang merasa sedikit terpukul. Wajahnya menjadi murung. Untuk beberapa hari, ketiganya seperti menghindari pembicaraan satu sama lain. Seperti saling menghindari, bahkan untuk bertemu. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya, mencoba menemukan jalan pencerahan.

Gendhuk Tri yang mengesankan sedikit-banyak bisa mengesampingkan beban pikirannya. Masih bisa berlatih sendiri, berloncatan, dan berjalan mengelilingi Perguruan Awan. Di hari ketujuh, Gendhuk Tri mencari tempat persemayaman Jaghana. Dan benar dugaannya, raga Jaghana telah lenyap. Bersatu dengan alam.

Gendhuk Tri bersila, bersemadi, memanjatkan segala doa kepada Yang Mahadewa. Mengucapkan syukur atas penerimaan Jaghana kembali kepada Yang Maha Pencipta. Sedemikian khusyuknya, sehingga Gendhuk Tri terlelap. Baru kemudian terusik kesadarannya ketika mendengar suara sangat halus. Gendhuk Tri menahan napas dan memusatkan perhatiannya.

Dari sisi kiri terdengar irama langkah tertentu. Perguruan Awan boleh dikatakan tempat yang sangat terpencil. Tidak sembarangan orang lalu lalang. Tidak semua kaki leluasa datang dan pergi. Makanya langkah-langkah yang terdengar terasa sangat ganjil.

Meskipun demikian Gendhuk Tri tidak merasakan adanya bahaya. Karena langkah kaki itu meninggalkan suara sangat berirama dan jelas. Bahkan dari orang yang menyembunyikan diri. Sesaat Gendhuk Tri masih menduga Nyai Demang yang berjalan. Hanya karena irama kakinya berbeda, Gendhuk Tri segera meloncat memburu arah datangnya suara.

Bibirnya tersenyum. Dari arah datangnya suara terlihat krendi, rusa tutul, yang berjalan dengan tenang. Selama ini binatang yang berdiam di Perguruan Awan, seakan bisa menikmati suasana yang tenang dan damai. Akan tetapi rusa tutul yang satu ini seperti sangat jinak. Barulah kemudian Gendhuk Tri sadar bahwa rusa tutul itu memakai kalung mainan dari tangkai daun singkong.

Ini yang membuatnya sedikit heran. Siapa yang berbuat ganjil seperti ini? Rasa-rasanya hanya Dewa Maut yang mempunyai keisengan. Gendhuk Tri menggerakkan ranting. Krendi menoleh dan meloncat dengan sigap. Gendhuk Tri memburu tanpa menimbulkan suara. Perhitungannya hanyalah krendi ini akan kembali ke tempat asalnya. Dan dengan membuntuti, Gendhuk Tri bisa mengetahui siapa yang memelihara.

Dugaannya tepat. Tapi juga membuatnya kaget. Karena rusa itu kembali ke tengah hutan, dan masuk ke pepohonan yang lebat. Kembali kepada pemiliknya, atau orang yang begitu akrab dengannya. Karena rusa tutul itu tampak jinak sekali, lulut ketika dielus. Gendhuk Tri tak percaya bahwa ada penghuni lain di salah satu wilayah Perguruan Awan.

Tapi kini disaksikannya sendiri. Ada dua anak kecil yang mengelus rusa tutul. Sedemikian kecil sehingga tak terlihat karena teraling dedaunan. Sepasang anak kecil itu seperti kakak-beradik, lelaki dan perempuan, karena keduanya tampak sangat mirip. Rambutnya tergerai dan kotor, tubuhnya tak ditutupi selembar daun pun.

Agaknya dua bocah itu mengetahui kehadiran Gendhuk Tri. Serta-merta keduanya mengeluarkan bunyi mirip rusa, dan menyebar. Gendhuk Tri mengempos tenaganya. Dan selendangnya terentang. Satu menyambar ke arah kiri, satu ke arah kanan. Satu sabetan dari gerakan yang berbeda arahnya. Meskipun pepohonan sangat lebat dan menghalang, sabetan selendang Gendhuk Tri bisa menjerat dua kaki sekaligus.

“Tunggu!” Sentakannya lembut.

Dua anak itu seperti melayang di tengah udara, ketika selendang disendal balik. Dengan perlahan Gendhuk Tri berusaha merangkul. Tapi mendadak kaget dan menjerit. Dua-duanya menggigit dada Gendhuk Tri. Dua tangan Gendhuk Tri mendorong, dan dua tubuh kecil terayun kembali ke udara. Kali ini Gendhuk Tri meraup dengan dua ujung selendang.

“Siapa suruh kalian begitu nakal?” Dengan menggulung ke dalam selendang, Gendhuk Tri membuat keduanya tak berkutik. Hanya sorot mata kedua bocah itu yang memandang bengis ke arahnya.

“Cubluk,” teriak salah satu anak tersebut.

“Klobot,” susul yang kedua.

Anak Tiban
GENDHUK TRI heran bercampur girang. Heran karena melihat reaksi yang dipancarkan lewat sorot mata yang begitu ganas memusuhi. Girang karena ternyata sepasang anak kecil yang belum berusia lima tahun, yang rambutnya awut-awutan seperti tak mengenal air, ternyata bisa bersuara.

“Ya, ya. Namaku Bibi Tri.”

“Cubluk.”

“Klobot.”

Ketika keduanya mengulang lagi dua patah kata itu, Gendhuk Tri agak sangsi. Apakah itu nama masing-masing anak kecil itu ataukah memang hanya itu yang bisa diucapkan. Kemungkinan yang pertama lebih masuk akal. Karena cubluk berarti bodoh atau lugu. Sedangkan klobot berarti daun buah jagung yang kering. Sebutan yang merendah memang sangat sering dipakai orang kebanyakan. Atau mereka yang sengaja menyamar.

Gendhuk Tri merasa menemukan mainan yang menyenangkan. Dua ujung selendangnya mengemban Cubluk dan Klobot yang meronta dan meneriakkan nama mereka. Pandangan Gendhuk Tri menyapu sekitarnya. Tempat di mana Cubluk dan Klobot berada tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka berdua telah berdiam cukup lama.

Agaknya sepasang bocah kecil ini selalu mengembara dan berpindah tempat. Ini sangat mungkin sekali terjadi, karena Gendhuk Tri atau Nyai Demang menyadari kehadiran mereka. Bukan tidak mungkin sewaktu Upasara tengah bersemadi atau terjadi pertarungan berat, kedua anak kecil itu mulai masuk ke dalam rimba Perguruan Awan. Entah dari mana asalnya.

Karena tak mungkin ditanyai. Dengan satu sentakan lembut, Gendhuk Tri menarik selendangnya hingga menggulung ke arah tubuhnya. Cubluk dan Klobot seperti terlipat ke dalam perutnya. Ikut bergerak ketika tubuh Gendhuk Tri melayang ke arah rusa tutul, yang mengawasi sejak tadi dari kejauhan.

Rusa tutul termasuk binatang yang gesit. Apalagi berada di tengah pepohonan dan semak yang rimbun. Namun Gendhuk Tri bisa meloncati dan berada di depannya. Rusa membalik ke arah lain, akan tetapi kembali Gendhuk Tri meloncat dan berada di depannya, bahkan kedua tangannya mengelus telinga rusa tutul.

Yang dengan kaget melesat lari dengan kencang, menabrak segala sesuatu yang menghalangi. Sedemikian kencang larinya, sehingga ketika tiba-tiba berhenti, keempat kakinya seperti tertahan di belakang. Gendhuk Tri berada di depan moncongnya.

Di luar dugaan Gendhuk Tri, Cubluk dan Klobot bersorak. Atau lebih tepatnya mengeluarkan jeritan yang melengking. Hanya karena wajah mereka memancarkan kegembiraan, Gendhuk Tri merasa bisa memberikan permainan yang menyenangkan. Dua kali Gendhuk Tri mempermainkan rusa tutul yang kini mulai kelelahan dan tampak jinak.

Saat itu Nyai Demang yang tertarik mendengar suara-suara, bisa melihat dari kejauhan. Kembali perasaan kewanitaannya tersentuh melihat Gendhuk Tri yang bermain bersama dua anak yang lucu dalam gendongan. Sudah sepantasnya sekiranya Gendhuk Tri mempunyai anak seusia itu.

Ada hari, ada nyanyi Kenapa harus bersedih hati Waktu bayi, temanmu adalah bidadari…

Lagu yang ditembangkan dengan rengeng-rengeng-bersenandung itu dilantunkan Upasara. Yang tiba-tiba saja teringat suatu peristiwa saat pertama kali melihat Gendhuk Tri. Yang waktu itu usianya belum ada sepuluh tahun, yang diculik dan coba dihibur oleh Jagaddhita, nenek berambut putih yang selendangnya warna-warni.

Sudah barang tentu Gendhuk Tri hafal lahir-batin senandung tersebut. Karena Mbakyu Jagaddhita selalu mengulang kidungan itu, dan hanya itu-itu saja barisnya, dalam keadaan perang atau menghibur. Dan sekarang Upasara yang menyenandungkan. Sementara Gendhuk Tri yang berperan sebagai Jagaddhita.

“Dari mana dua anak manis ini?”

“Paman Jaghana yang mengirimkan, Nyai,” jawab Gendhuk Tri tertawa-tawa.

“Alangkah manis dan lucunya. Coba saya gendong. Apakah saya sudah terlalu tua atau malah sudah tak sanggup lagi?”

Nyai Demang meloncat, dan membuka lipatan selendang. Seketika itu juga Cubluk dan Klobot melorot turun dan dengan gesit sekali berlari kencang sambil mengeluarkan pekikan. Cara berlarinya sangat kencang. Namun tanpa menggeser kedua kakinya, tenaga Upasara bisa menarik keduanya. Yang langsung mencakar, menggigit tangan Upasara.

“Awas, gigitannya…” Suara Gendhuk Tri tidak diselesaikan. Kalau tadi ia melepas, terutama karena kaget. Sedangkan Upasara membiarkan Cubluk dan Klobot menggigit keras hingga keduanya seperti mau mengeluarkan air mata.

“Cubluk.”

“Klobot.”

Setelah merasa tak berhasil Cubluk dan Klobot mencakari. Dan masih melakukan gerakan penyerangan lain, sebelum akhirnya berusaha melarikan diri kembali. Kepala mereka tertarik, karena Upasara telah memegangi ujung rambut mereka.

“Anak tiban biasanya memang nakal. Tapi bapaknya ternyata lebih nakal lagi.”

Suara Nyai Demang menunjukkan isi hati yang sebenarnya. Dengan menyebut sebagai anak tiban, Nyai Demang secara tidak langsung menerima sebagai “anak yang diberikan”. Apalagi dengan membahasakan diri Upasara sebagai “bapaknya”.

“Bagaimana tidak nakal, kalau bapaknya belum pernah mengetahui cara momong…”

Keriangan segera menjalar di Perguruan Awan. Perhatian Upasara, Nyai Demang, maupun Gendhuk Tri terserap oleh Cubluk dan Klobot. Mereka mengajak bicara, dan tak terjawab. Mereka mengajak bermain, dan tak dihiraukan karena memilih lari. Mereka memberikan buah-buahan, dan dimakan lahap. Mereka mendekatkan krendi, dan keduanya tampak senang sekali. Kalau Gendhuk Tri membelit mereka ke dalam dengan ujung selendang dan berloncatan, Cubluk dan Klobot tampak sangat gembira.

Barulah setelah malam tiba, Cubluk dan Klobot tidak lari menjauh. Terutama karena rusa tutul itu tampak tenang berada di dekat Upasara Wulung. Keduanya juga berada di situ sampai tertidur pulas. Gendhuk Tri menceritakan bahwa keduanya ditemukan begitu saja, seolah kiriman dari Paman Jaghana.

“Sejak peperangan yang terus berlangsung, entah berapa anak yang hilang di hutan ini. Akan tetapi Cubluk dan Klobot ini agaknya dibimbing oleh Dewa. Sehingga selamat sampai sekarang. Cukup mengagumkan kalau diingat selama ini mereka berdua sudah berada di hutan sejak bisa berjalan.”

“Apa pun sebabnya, rasanya menyenangkan melihat mereka berdua. Lucu.”

Meskipun kikuk, Upasara berusaha mendekati mereka. Meloncat ke atas pohon yang tinggi untuk mengambil buah, membuat lingkaran di tanah di mana krendi tak bisa melalui, atau mencoba membopong keduanya. Hanya di saat mengerahkan tenaga dalam ke tubuh Gendhuk Tri, Cubluk dan Klobot diasuh Nyai Demang.

Cubluk cepat akrab dengan Nyai Demang. Apalagi Nyai Demang bisa membuatkan kalung dari tangkai daun singkong, dari daun pepaya, bahkan dari biji buah mada, atau menggunakan klenteng, biji kapuk, sebagai sabuk. Sebaliknya, Klobot lebih suka menjauh, bermain dengan krendi. Berjalan sendiri dan mencari permainan sendiri. Ketika itulah Nyai Demang menyadari keterlambatannya.

Klobot dan krendi bergerak ke arah Upasara Wulung dan Gendhuk Tri. Yang tengah bersila berhadapan sambil menempelkan kedua telapak tangan dan kaki. Saat yang gawat. Akan tetapi mana mungkin Klobot mengetahui. Ia mendekat, menarik-narik selendang Gendhuk Tri.

“Jangan!” Teriakan Nyai Demang yang parau dan keras terdengar oleh Klobot.

Akan tetapi agaknya Klobot tak mengerti artinya. Ataupun kalau mengerti tetap akan nekat menarik selendang. Dengan tenaga keras. Tenaga bocah usia lima tahun. Akan tetapi cukup kuat untuk membuyarkan pemusatan pikiran yang justru tengah berada pada puncak pertemuan.

Gendhuk Tri merasa dadanya bergolak, perutnya bergolak, dan seluruh isi perutnya memberontak. Berusaha menahan masuknya tenaga dalam Upasara yang terus memancar. Sebab jika tenaga itu tersalur ke arah Klobot yang menyentuh bagian tubuh Gendhuk Tri atau Upasara Wulung, anak itu bisa celaka. Si bocah kecil yang tak berdosa itu bakal terkena gempuran keras.

Klobot tetap menyendal selendang Gendhuk Tri, mengajak bermain. Karena sentakannya yang terlalu keras, tubuhnya jadi tertarik cepat. Tertarik ke arah tubuh Gendhuk Tri. Yang segera melebarkan tangannya. Padahal justru pancaran tenaga dalam di situ paling kuat arusnya. Demikian pula halnya dengan Upasara!

Sentuhan Tanah air
TANGAN Gendhuk Tri lebih dulu merangkul tubuh Klobot. Dengan sedikit memutar tubuh mengikuti irama dorongan jatuhnya Klobot, Gendhuk Tri menahan Klobot. Upasara melompat bangun, dan bersiaga di sebelah Gendhuk Tri. Kekuatiran Nyai Demang sebagian terbukti.

Klobot berada dalam bahaya benturan tenaga dalam. Akan tetapi tidak menangis atau mengeluarkan suara kesakitan. Hanya kalau diperhatikan, telapak tangan Gendhuk Tri meninggalkan bekas di kedua lengan Klobot. Seakan sidik jarinya menempel jelas dalam bercak-bercak hitam.

Upasara mengatupkan gerahamnya. Gendhuk Tri gemetar membopong Klobot. Pandangannya beradu dengan mata Upasara yang memandang dengan sorot mata kasih dan kuatir, sorot mata bertanggung jawab dan bertanya.

Nyai Demang mengelus-elus hidungnya. Merasakan betapa perpindahan tenaga dalam dari Upasara tidak sampai menghancurkan Klobot. Meskipun hasilnya cukup mengerikan. Bercak itu berpindah ke tubuh Klobot.

Dilihat dari segi tertentu, seakan ada pemecahan. Bahwa bercak hitam itu bisa dipindahkan dari tubuh Gendhuk Tri. Tanpa menyebabkan Gendhuk Tri menderita terlalu lama. Tapi dilihat dari segi Klobot, seakan menjadi korban belaka.

“Apa… apa… tidak mungkin bercak hitam itu dipindahkan ke saya?”

Gendhuk Tri menggeleng. “Kecil kemungkinannya, Nyai. Klobot ini seakan bagian perwujudan tenaga bumi dengan tenaga air. Yang membentuk dengan sendirinya, yang mengalir dengan sendirinya.”

“Apa… apa… tidak mungkin bercak hitam di tubuh Klobot dihilangkan?”

Kali ini Upasara yang menjawab, “Tenaga dari luar hanya akan mengacaukan tenaga yang sekarang ada dalam diri Klobot. Kecuali kalau Klobot sendiri bisa mengusirnya. Karena sesungguhnya tenaga dalam yang berada dalam tubuhnya kini berawal dari kekuatan tanah air. Sentuhan yang masih wungkul, karenanya bercak hitam itu ikut terbawa.”

“Apa… apa… itu berarti Anak Tri bisa mengatasi juga, andai tenaga dalamnya sudah berupa kekuatan tenaga tanah air?”

Jalan pikiran Nyai Demang sederhana. Dan tepat. Bahwa kini dalam tubuh Klobot tersimpan tenaga dalam yang berasal dari kekuatan tenaga dalam Gendhuk Tri maupun Upasara. Yang masih murni, maupun yang tercampur dengan bercak hitam. Kalau hal yang sama terjadi dalam diri Gendhuk Tri, besar sekali kemungkinannya untuk menyembuhkan diri. Karena Gendhuk Tri menguasai cara melatih diri dan mengerahkan tenaga dalam.

Sementara sedikit persoalan timbul dengan Klobot. Anak kecil itu sama sekali tak memiliki dan tak tahu bagaimana melatih kekuatannya. Dan agak sulit memberitahukan, kalau mengingat selama ini ia tak mengenal kata dan kalimat.

“Apa… apa… mungkin melatih dan mengajari Klobot?” Pertanyaan itu dijawab sendiri. “Mungkin sekali. Kalau saja kita bisa menyuruh menirukan apa yang kalian lakukan, dengan sendirinya Klobot akan berlatih. Caranya dengan membuatnya bergembira lebih dulu, yaitu diayun dengan selendang. Kalau Cubluk mengikuti, Klobot pasti akan mengikuti juga.”

Gendhuk Tri mengangguk. Mengakui jalan perasaan Nyai Demang sebagai ibu lebih menentukan karena ditunjang pengalaman mengasuh anak.

“Apa… apa… bercak itu juga berbahaya pada diri Klobot?”

“Sama dengan yang saya alami. Kalau bercak ini mengganggu dan terseret ke pernapasan, sangat fatal akibatnya. Karena Klobot tak cukup kuat menahan diri.”

“Kalau begitu jangan terlalu lama.”

Gendhuk Tri memandang ke arah Upasara. “Kakang yang menentukan gerakan-gerakan apa yang paling sesuai.”

“Mari kita coba bersama.”

Upasara mulai memusatkan pikirannya. Sekarang benar-benar ditakar ilmu dan kemampuannya untuk menciptakan gerakan-gerakan, jurus-jurus kekuatan tenaga tanah air. Yang selama ini baru berada dalam ingatannya, dalam kemungkinan-kemungkinan.

Sekarang harus segera diwujudkan. Kalau tidak, bercak hitam di tubuh Klobot akan mengancam jiwanya. Dan jika itu yang terjadi lebih dulu, penyesalan yang paling panjang sekalipun tak ada gunanya.

Gendhuk Tri juga memusatkan pikiran, rasa, nalar, dan mencari detak theg, dan bisa mulai dengan irama kidungan yang disenandungkan Upasara Wulung.

Tiada tanah
tiada air
pada tanah air
tiada ayah
tiada lahir
asmara tak berakhir

tanah air ialah Dewa sekalian Dewa
tanah air ialah takhta sekalian takhta
tanah air ialah sukma sejati
yang kekal abadi

bukan kekuatan tanah
bukan kekuatan air
bukan kekuatan Dewa
bukan kekuatan takhtasemata

di setiap jengkal tanah ada air
di setiap tetes air ada tanah
di mana ada tanah, di situ ada air
di darah, di angin pernapasan yang mengalir

di tangan kiri yang ke kiri dan ke kanan
di tangan kanan yang ke kanan dan ke kiri
di kaki kanan dan kiri
di telinga kiri dan kanan
di pusar, di hati, di kewanitaan, di kelelakian

gerakan tangan, tarik kaki kanan
gerakan hati, saluran pernapasan
menyatu satu
menjelma esa…


Tangan, kaki, perut, dan tenaga Upasara mengikuti irama kidungan. Demikian juga Gendhuk Tri. Nyai Demang juga berusaha mengikuti, seakan baru pertama kalinya berlatih silat. Klobot dan Cubluk akhirnya juga ikut melakukan gerakan-gerakan.

Kelimanya tenggelam dalam latihan ilmu dan jurus-jurus baru yang diciptakan Upasara. Yang cukup memeras tenaga, karena sekujur tubuh Upasara maupun Gendhuk Tri tergetar hebat. Klobot mengikuti, akan tetapi beberapa kali mengalihkan perhatian ke arah lain.

Adalah Nyai Demang yang menjewer keras telinga Klobot, memuntir dengan pedas, setiap kali Klobot tak mau mengikuti. Cubluk beberapa kali mengikuti, akan tetapi kemudian lebih suka kepada mainan yang ada di tangannya.

Nyai Demang sebenarnya bisa memaksa Cubluk. Namun karena merasa bahwa yang lebih perlu adalah Klobot untuk penyembuhan tubuhnya, perhatiannya lebih tertuju padanya. Dan senakal-nakalnya Klobot, ia sadar bahwa pelintiran dan jeweran di telinga atau di rambut lebih menyakitkan. Sehingga mau tak mau memaksa diri untuk mengikuti.

Tanpa terasa, Upasara mewujudkan pendekatan baru dari ilmu silatnya, yang diturunkan langsung kepada Klobot. Bocah kecil ini telah mewarisi ilmu silat dan pengerahan tenaga dalam yang paling utama.

Bukannya tanpa akibat. Karena di hari kelima, hampir saja Nyai Demang menyesali hidupnya. Ketika beristirahat, Klobot merebut mainan Cubluk dengan jalan mendorong tubuh Cubluk. Yang terakhir ini terpental.

Hanya karena Nyai Demang sigap, segera bisa mengamankan. Namun tak urung menjadi cemas. Karena tenaga dorongan Klobot sangat luar biasa kerasnya. Peristiwa kedua terjadi ketika Klobot berusaha mengelus krendi. Dan menarik ekornya. Rusa tutul itu melengking kesakitan, matanya melotot dan berkelojotan.

“Lepas, Klobot!”

Klobot melepaskan.

“Sekarang kamu tidak boleh sembarangan. Tenagamu terlalu besar. Kamu bisa meraih buah di ujung pohon itu…”

Nyai Demang memberi contoh meloncat ke atas. Tangannya bisa menyentuh buah mangga. Klobot mencoba. Dan berteriak kegirangan. Karena meskipun tak bisa menyentuh, akan tetapi tubuhnya terangkat tinggi. Tanpa diperintah, Klobot meminta Nyai Demang melatihnya lagi.

“Kamu harus minta dengan baik-baik, cucuku. Tak bisa main tarik selendang seperti ini.”

Kakang Kawah…
Klobot ternyata lebih cepat menangkap apa yang dilihat. Sekurangnya menaruh minat yang besar. Dengan cepat bisa mengikuti apa yang diperintahkan Nyai Demang. Bisa segera mengucapkan Rama, Ibu, tetapi telanjur memanggil Nyai kepada Nyai Demang.

Sebenarnya Cubluk, tidak seperti nama yang dipakai. Kemampuan untuk mengikuti secara tidak langsung apa yang diajarkan kepada Klobot, bisa mencerna dengan baik. Akan tetapi perhatiannya kepada segala jenis mainan jauh lebih besar.

“Nyai… main lagi. Main lagi.”

“Main apa?”

“Main lagi, Nyai.”

“Iya, main apa?”

Mata Klobot bersinar dan berputar-putar. Ia tak segera bisa menyebutkan namanya. Gendhuk Tri memandang sambil menahan senyum.

“Main silat?” Gendhuk Tri membuat gerakan permulaan.

“Ya, Ibu.”

“Baik. Kita mulai dengan jurus permulaan….”

Gendhuk Tri kembali memandang Upasara. “Kakang, apakah jurus-jurus ini kita biarkan saja ataukah…”

“Jurus Kakang Kawah, Adi Ari-Ari….”

“Inilah gerakan pertama. Klobot, kakinya jangan terlalu rapat…”

Klobot mengikuti dari awal. Kedua kaki setengah mengangkang, bahu turun dan mulai dengan gerakan tangan. Berbeda dari pembukaan pada ajaran Kitab Bumi, Upasara tidak menaikkan kedua tangan secara bersamaan. Melainkan tangan kanan yang ditarik ke atas, tangan kiri tetap di tempat dengan sikap membuka. Tarikan tangan kanan pun mencapai setinggi telinga, untuk kemudian dibenamkan ke bawah.

Jurus yang dinama Kakang Kawah, Adi Ari-Ari, memang sesuai sebagai jurus pembukaan. Walau kedengarannya seperti menjawab sekenanya, namun Upasara mempunyai pandangan yang mengakar. Inti permulaan yang digetarkan melalui tenaga dalam tanah air adalah pembukaan seperti kelahiran bayi. Di mana yang keluar pertama adalah kawah atau air ketuban, sehingga dituakan dan disebut sebagai kakang. Sedangkan yang keluar kemudian disebut sebagai kekuatan yang lebih muda, adi.

JILID 81BUKU PERTAMAJILID 83