Senopati Pamungkas Kedua Jilid 81 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 81

Tubuhnya yang gempal, dadanya yang bidang, serta rambutnya yang berombak terlihat jelas di antara para prajurit yang menyamar maupun penduduk biasa. Langsung menyerbu ke dalam. Senopati Jurang Grawah berusaha menahannya. Akan tetapi hanya dengan tangan kosong Mada menyambut. Tusukan kedua, ketiga dihindari dengan menggeser kakinya. Tusukan keempat dibiarkan begitu saja, sementara pukulannya datang membarengi. Yang diincar adalah bagian pangkal leher.

Jurang Grawah tak menduga Mada senekat itu. Kedua tangannya ditarik mundur. Itulah kekeliruannya. Setidaknya kalau tidak ditarik atau malah diteruskan, Mada akan mengubah serangannya kalau tak ingin pundaknya putus. Karena berada dalam keraguan menarik kekuatan itulah Mada membenamkan kedua tangannya ke leher.

Dengan satu pengerahan tenaga keras, terdengar bunyi keretekan keras, seolah tulang belakang Jurang Grawah hancur. Tubuhnya bagai batang pisang ketika terbanting rata ke tanah.

“Kuti, akulah lawanmu.”

Besar semangat Mada. Lebih besar lagi keberanian memanggil nama Kuti begitu saja. Seakan nama besar Senopati Utama tak ada harganya. Patih Wangkong yang belum bisa menundukkan, merasa sedikit terjegal. Karena Mada langsung mengambil alih pertarungan.

“Jaga mulutmu…”

Kalimat Senopati Kuti belum selesai, ketika gulatan Mada mencengkeram. Mada benar-benar tidak memedulikan. Dadanya terkena pukulan, akan tetapi pinggang lawan berhasil dicekal, diangkat untuk dibanting. Bersamaan dengan itu tubuh Mada melayang dengan kedua kaki terentang. Menendang jauh tubuh Senopati Kuti.

Patih Wangkong tak pernah membayangkan, bahwa di balik tubuh yang gemuk itu tersimpan kekuatan dan kegesitan. Senopati Kuti yang begitu perkasa bisa ditendang dan dibanting dalam satu rangkulan. Bahkan masih juga disertai tendangan. Itu ternyata belum semuanya. Ketika terkena tendangan tubuh Senopati Kuti terpental makin jauh.

Akan tetapi Mada bergerak lebih cepat lagi. Mendahului ke tempat jatuhnya tubuh, dan sambil membalik tubuh, Mada melancarkan serangan tendangan. Sekali lagi tubuh Senopati Kuti terlempar. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir, bersamaan. Mada membalikkan tubuhnya, menyambar. Senopati Kuti membidikkan kedua kerisnya secara berputar tiga kali di tengah udara, sebelum turun

Lagi-lagi dengan tenaga penuh, Mada menubruk maju. Langsung memeluk tubuh Senopati Kuti rapat. Dan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Terdengar bunyi krak yang agak keras. Mada mengempos lagi tenaga dalamnya dan menarik kuat sekali lagi. Bunyi berikutnya merupakan sisa-sisa tulang dan atau kekuatan yang ada.

Tubuh Senopati Kuti terkulai, sebelum untuk kesekian kalinya diempaskan Mada dengan bantingan berkekuatan penuh. Senopati Utama yang perkasa itu betul-betul dihajar habis. Tubuhnya terjajar di dinding Keraton, sebelum akhirnya nglumpruk, tanpa tenaga. Jatuh merapat ke dinding.

“Yang menyerah mendapat pengampunan, yang menyerang mendapat kemenangan.”

Agak susah mengartikan apa yang diucapkan Mada. Karena dalam kalimat itu separuh pertama berlaku untuk lawan, separuh sisanya untuk prajurit. Bagi lawan yang menyerah akan mendapat pengampunan, sementara prajuritnya yang menyerang akan mendapat penghargaan.

Tapi memang saat itu bukan saat yang longgar untuk menafsirkan kata-kata. Teriakan yang tanpa makna sekalipun bisa mempunyai arti menggugah dan mengobarkan peperangan. Senopati Banyak yang meletakkan senjata segera diringkus. Tubuh Senopati Kuti diangkat tinggi-tinggi oleh Mada, diputar di atas kepalanya.

“Ayo, majulah semua jika ingin mati lebih ngenas.”

Sebelum bayangan tubuh di alun-alun membentuk sempurna, para pemberontak sudah berhasil ditundukkan. Mada segera memerintahkan agar Raja dibawa ke dalam. Ia sendiri kemudian berbalik ke arah pintu gerbang.

“Pertarungan melawan kejahatan telah selesai. Ini pemberontakan pamungkas, yang terakhir di Keraton. Barang siapa mencoba tidak setia, akan diselesaikan sekarang juga. Tak ada pengampunan. Tak ada bibit di kelak kemudian hari.”

Gagah, penuh wibawa, agak sedikit jemawa, kalimat Mada benar-benar menggetarkan. Menggetarkan hati Patih Tilam yang sejak pertama mengakui bahwa Mada adalah prajurit pilihan. Apa yang dulu pernah membuat Mahapatih Jabung Krewes terheran-heran, terulang kembali. Hanya bedanya Patih Tilam merasa ancaman besar bagi dirinya. Yang entah kenapa telah terbayang dalam benaknya.

Mada bergerak sangat cepat. Dan terus bergerak. Sebelum matahari tenggelam di bagian barat, semua prajurit bawahan dharmaputra telah dilucuti dan ditawan, dan dihitung jumlahnya. Para penduduk diminta kembali ke tempat semula, karena keadaan telah tenang kembali.

Barang siapa yang membangkang atau sengaja mencari keuntungan dalam keributan, digolongkan sebagai pemberontak. Dan sewaktu obor dinyalakan, Mada mengatakan bahwa prajurit dan pemimpin dari enam kanoman, yang dipimpin para pangeran anom, diminta agar segera kembali ke daerahnya masing-masing.

“Ya, malam ini juga. Termasuk Paman Patih Tilam dan Paman Patih Wangkong. Tugas telah selesai, dan selanjutnya menunggu dawuh Raja yang berikutnya.” Mada seakan tidak memedulikan perasaan yang melintas di wajah Patih Tilam dan Patih Wangkong. Malah mengesampingkan dengan bertanya.

“Apakah kurang jelas, Paman Patih?”

“Apa lagi yang kamu rencanakan, Mada?”

“Akan segera saya sampaikan kepada Raja. Karena saya prajurit Raja.”

Patih Tilam mengangguk. “Saya tak tahu, apakah wangsit yang saya terima tidak mungkin keliru. Akan tetapi kamu melakukan kesalahan yang besar, Mada. Dan kamu tak punya waktu untuk menyesali. Kamu akan mengingat apa yang kukatakan ini.”

Niatan Ungkal Bener
MADA memandang tanpa berkedip. Sikapnya tak berubah. “Paman Patih, saya bisa menganggap ramalan perhitungan Paman terlalu dilebih-lebihkan. Tetapi saya tidak ingin mengatakan itu. Semua kesalahan akan saya tanggung sendiri. Saya hanya menjalankan tugas dan wewenang saya sebagai prajurit. Bahwa sesungguhnya untuk membasmi pemberontakan sampai tandas dan tak boleh bersemi lagi, adalah dengan memisahkan siapa lawan dan siapa kawan. Karena Keraton merupakan pusat segalanya, saya memulai dari Keraton. Saya sadar sepenuhnya bahwa tindakan saya sangat kurang ajar. Pangeran Muda Wengker bakal murka. Juga Pangeran Angon Kertawardhana. Juga keempat pangeran anom dan para patih lainnya. Saya yang mengundang dengan sangat hormat, tapi seakan sekarang ini bernada mengusir. Saya akan menanggung semua ini.”

“Tajam lidahmu, Mada. Apakah kamu mengharapkan dengan tersingkirnya kami semua, Raja akan mengangkatmu sebagai mahapatih?”

“Mahapatih Jabung Krewes masih sepenuhnya menjabat dan Raja belum mencari penggantinya.”

“Jadi apa yang kamu cari?”

“Menjalankan tugas dan wewenang sebagai prajurit.”

Patih Tilam mengangguk. “Baik. Sebagai sesama prajurit yang menjalankan tugas, saya menolak. Saya hanya menerima perintah dari atasan saya.”

Mada mengangguk. “Saya akan menemui para pangeran anom. Semuanya. Keenam-enamnya.”

Mada tak perlu melakukan sendiri. Karena yang kemudian terjadi adalah Raja menyatakan sendiri, bahwa Keraton sudah sepenuhnya dikuasai. Raja tak memerlukan lagi penjagaan. Pada hari tertentu, bulan tertentu yang akan ditetapkan kemudian, Raja akan mengadakan pertemuan besar. Yang lebih mencengangkan lagi ialah kenyataan bahwa Jabung Krewes masih tetap kembali ke kedudukannya semula sebagai mahapatih. Tak banyak yang menduga kejadian seperti itu.

Raja Jayanegara menyabdakan dengan suara yang mantap. Seakan kini sepenuhnya seluruh kekuasaan kembali utuh di tangannya. Tak ada yang perlu dikuatirkan lagi. Tidak juga ketika secara resmi memberi pengampunan kepada Senopati Banyak, satu di antara enam senopati utama yang ikut menguasai Keraton.

Mahapatih Jabung Krewes maupun Senopati Utama Banyak tak menduga akan perubahan nasibnya, ketika Raja memanggilnya. Mahapatih Jabung Krewes bahkan menghadap dengan rambut terurai dan mengenakan kain putih, sebagai pertanda menyerah tanpa akan membantah semua dosa dan kesalahan.

“Ingsun yang mengangkatmu, Jabung Krewes. Dan hanya Ingsun yang bisa mencabut derajat dan pangkatmu. Mulai hari ini, kamu menjalankan tugas sebagaimana biasa.”

Jabung Krewes gemetar, menyembah ke kaki Raja.

“Kamu tidak becus. Itu dulu. Sekarang masih ada sisa waktu untuk membuktikan bahwa kamu masih mempunyai sisa umur untuk mengabdi kepada Ingsun.”

“Sembah sujud ke kaki Raja….”

“Manusia mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Kecuali Ingsun, yang tak bisa berbuat keliru.”

Jabung Krewes tidak menyadari sama sekali bahwa di balik pengampunan yang maha asih, tersimpan sesuatu yang sengaja tidak diungkapkan. Raja menyadari bahwa pada lapisan para senopati, kini terjadi kekosongan utama. Dengan tumbangnya para senopati utama, dengan lepasnya Halayudha, tak ada lagi yang bisa diandalkan. Para pangeran anom, dengan para pengikutnya, masih menyisakan tanda tanya. Kesetiaan mereka selama ini adalah kesetiaan untuk tidak memihak kepada pemberontak.

Dengan memaksakan kekosongan kepada senopati yang lain, akan sulit dikendalikan. Dengan beban dosa sebesar gunung, Jabung Krewes sekarang ini akan melata di bawah telapak kakinya. Demikian pula halnya dengan Senopati Banyak. Sekurangnya dengan memberikan ampunan, sisa-sisa prajurit yang setia kepada Senopati Utama akan terpecah keinginannya membalas dendam. Di samping bisa dikuras seluruh keterangan di balik semua yang belum muncul ke permukaan.

Mada memang termasuk yang sangat diperhatikan. Prajurit kawal yang satu ini memang sangat istimewa. Kemampuannya bertindak dalam situasi yang kritis sangat menentukan. Keunggulan ilmu silatnya juga bisa diandalkan. Hanya saja tradisi yang mengalir dalam darahnya bukanlah tradisi prajurit. Bukan anak-turun prajurit. Ditambah lagi masih terlalu muda dari segi pengalaman, sehingga tindakannya sangat gegabah.

Sekurangnya masih bertindak tanpa mengikuti garis kuasa yang menyangkut tata krama keprajuritan. Itu yang tak bisa diterima. Karena sebagai prajurit, seharusnya hanya menjalankan perintah tanpa pertimbangan lain. Sementara Mada beberapa kali menunjukkan bahwa suara hatinya merupakan getar pertama pilihan tindakannya. Lebih memiliki sifat ksatria daripada prajurit. Lebih memakai pendekatan ungkal bener dibandingkan kesetiaan pengabdian yang membuta.

Ungkal bener adalah sifat-sifat yang lebih banyak dimiliki dan diperlihatkan secara menonjol oleh para ksatria maupun pendeta. Selalu ungkal-mengasah-kebenaran. Titik-tolak langkah dan tindakannya seolah memihak kepada kebenaran, tanpa peduli tata cara dan tata krama keprajuritan. Ini bisa menimbulkan gangguan di belakang hari, jika jiwanya tidak bisa menerima secara utuh tata nilai Keraton. Yang kadang bisa bertentangan dengan jiwa ksatria atau pendeta. Raja Jayanegara mengetahui cara terbaik untuk mengatasi masalah ini. Dengan memanggilnya.

“Kamu tahu kenapa hari ini Ingsun timbali?”

Mada menyembah dengan hormat.

“Mada, jasamu besar bagi Keraton. Ingsun ingin memberikan bebana, hadiah yang menyenangkan hidupmu. Kamu mempelajari tata krama keprajuritan, memperdalam ilmumu. Tak perlu menunggu waktu terlalu lama. Berangkatlah segera ke Daha. Di sana ada Patih Tilam yang sakti, yang bisa mengajarmu.”

Mada menyembah hormat. “Sendika dawuh Dalem, siap melaksanakan perintah Raja.”

“Satu hal lagi, Mada. Ingsun merasa ada yang mengganjal hatimu. Atas perkenanku, katakan apa yang ingin kamu sampaikan.”

“Hamba segera menjalankan perintah Raja.”

“Tak mau kaukatakan?”

“Sesungguhnya memang tak ada, Raja Sesembahan. Hanya hal kecil, sedemikian kecilnya sehingga sebenarnya hamba hanya memperbesar.”

“Apa itu?”

“Rasa-rasanya selain Paman Upasara Wulung, masih ada Pangeran Tartar yang bisa mengganggu ketenteraman Keraton untuk waktu yang lama.”

“Kamu kira kamu bisa mengatasi kalau kamu di sini?”

Mada menyembah. “Mereka pernah datang dengan prajurit lengkap, dengan senopati pilihan. Tapi tak pernah bisa mengalahkan. Mereka datang lagi dan berusaha datang menculik Baginda, tetapi bisa disapu bersih. Apalagi hanya sisa-sisanya."

Mada kembali menyembah.

“Berangkatlah, Mada.” Raja meninggalkan Mada yang masih menyembah.

Mada masih tepekur agak lama, sebelum akhirnya menyembah hormat kepada Mahapatih Jabung Krewes dan mundur. Tidak perlu kembali ke rumah kediamannya yang memang tidak ada. Tak perlu berpamitan, karena memang tak ada yang dipamiti. Mada langsung berangkat menuju tempat tugasnya yang baru. Mengabdi kepada Patih Tilam. Memang dalam sudut hatinya tumbuh pertanyaan. Kenapa harus mengabdi kepada Patih Tilam, kalau patih Daha itu sangat tidak menyukai sikapnya.

Akan tetapi Mada menganggapnya sebagai perintah, dan ia menjalankan. Apa yang segera teringat adalah bayangan Eyang Puspamurti, yang selama ini menggembleng secara ketat mengenai pengabdian. Semua kalimat yang pernah diucapkan Eyang Puspamurti terngiang kembali. Ini yang memperkuat niatnya, tanpa merasa sedikit pun bahwa dirinya kini disingkirkan. Bahwa dirinya dimasukkan ke situasi yang paling tidak enak. Mada tak mempunyai pikiran seperti itu.

Kalaupun ada, sudah dibenamkan dalam-dalam ke hatinya untuk menjalankan perintah. Hanya kalau sekarang kakinya melangkah menuju Perguruan Awan sebagai jalan menuju Daha, itu karena masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Sebelumnya, di Perguruan Awan, ketika ia berusaha menemui Paman Guru Jaghana, yang ia temukan hanya ceceran darah dan tangan orang.

Di samping itu masih bisa ia lihat sendiri bahwa kehadiran Ngwang merupakan ancaman yang kuat. Tokoh yang begitu sakti, yang mampu mendesak dan melabrak tokoh-tokoh utama saat ini. Sekurangnya itulah situasi ketika ditinggalkan dulu, untuk menyelamatkan Raja.

Perjalanan Kebahagiaan
AKAN tetapi, kini sesampai di Perguruan Awan, suasana purba yang menyambut. Angin, daun, tak banyak berubah. Perguruan Awan, tetap merupakan Perguruan Awan yang berada dalam angan-angan setiap orang. Banyak hal tidak diketahui Mada.

Ketika Ngwang membopong Pangeran Hiang dan dikejar Halayudha yang menggenggam Kangkam Galih, Upasara Wulung dan Gendhuk Tri segera menyembah dan mengangkat tubuh Jaghana. Nyai Demang masih limbung, hanya mengikuti langkah demi langkah tanpa suara.

Upasara Wulung memanggul bersama Gendhuk Tri. Berjalan perlahan, seirama dengan angin, dengan goyangan dedaunan. Membawa tubuh Jaghana dan meletakkan di suatu tempat. Tak bisa dikatakan di tengah atau di pinggir, karena Perguruan Awan memang tak bisa ditentukan mana tengah dan mana tepinya. Di tempat itulah Jaghana dibaringkan. Gendhuk Tri dan Upasara Wulung kembali bersemadi dalam waktu yang cukup lama.

“Paman Jaghana yang mulia. Saya hanya bisa mengantarkan sampai di sini. Perjalanan kebahagiaan hanya bisa ditempuh Paman seorang yang berjiwa mulia. Sugeng tindak, Paman…”

Suara Upasara Wulung tidak menggeletar. Tidak dibebani dengan rasa menyesal, tidak nggogo-onggo, tidak gondok. Yang ada adalah kepasrahan total, sepenuh-penuhnya. Hal yang sama yang dirasakan Gendhuk Tri. Jaghana telah kembali kepada kekekalan dengan utuh. Tak ada yang disesali, tak ada yang diberati lagi. Lebih sempurna dibandingkan Eyang Sepuh yang moksa.

Meskipun tidak paham sekali, Nyai Demang mengetahui bahwa tata cara Perguruan Awan memang sedikit berbeda. Siapa pun yang pernah menjadi warga Perguruan Awan, pada hakikatnya menjadi bagian dari alam. Tak berbeda dengan buah yang jatuh, atau daun kering, serta angin ataupun curahan hujan. Raga Jaghana ditinggalkan, karena akan menyatu dengan alam. Tidak ditandai dengan gundukan tanah atau candi atau perabuan.

Karena demikianlah perputaran alam yang murni. Sebagaimana buah atau daun, sebagaimana angin atau embun. Mereka bertiga meninggalkan tempat raga Jaghana disemayamkan. Nyai Demang beberapa kali menelan ludah, sebelum akhirnya mulai berbicara.

“Anakku, bagaimana keadaan tubuhmu?”

Gendhuk Tri mengangguk. “Segera akan kembali seperti sediakala, Nyai….”

“Syukurlah kalau begitu. Saya sudah tertinggal mengetahui bagaimana perkembangan yang terjadi. Tetapi rasa-rasanya…”

“Berkat Paman Jaghana kita semua diselamatkan.”

Jawaban Upasara terdengar biasa. Tanpa tekanan memberi penghormatan yang berlebihan kepada penyebutan nama Jaghana. Tanpa berlebihan, juga tanpa basa-basi.

“Kami akan segera mencari tempat, agar bisa mengusir bercak hitam yang tersisa. Juga dalam tubuh saya, Nyai. Masih perlu waktu, akan tetapi rasanya tak ada lagi halangan yang mengganjal.”

Nyai Demang mengangguk-angguk, meskipun terkesan masih ada beberapa pertanyaan yang mengganjal. “Anakmas Upasara. Maaf kalau saya masih menyinggung dan menyebut nama Jaghana. Saya tahu itu akan mengurangi perjalanan keabadian yang kini tengah ditempuh. Akan tetapi ceritakanlah sedikit, agar saya menjadi tenteram.”

Upasara memulai ceritanya dari tradisi ajaran di Perguruan Awan, yang mau tak mau diterima dan dipahami semenjak dirinya ditunjuk Eyang Sepuh untuk menjadi pemimpin. Meskipun sebenarnya tak kentara benar siapa pemimpin atau guru dan siapa siswa. Bahkan menyebut nama Jaghana tidak berarti menghalangi perjalanan keabadian, bilamana penyebutannya tidak disertai rasa getun-menyesal, atau eman-menyayangkan. Segalanya harus diterima dengan wajar, sebagaimana alam.

Baru kemudian Upasara menerangkan bahwa sejauh yang bisa ditangkap, Jaghana memang memilih berada di antara Gendhuk Tri dan Upasara Wulung, sebagai bentuk penyatuan tenaga tanah atau bumi dengan tenaga air. Selama ini Upasara merasa telah menguasai kedua inti kekuatan dan merasa telah bisa menyatukan, akan tetapi sesungguhnya belum dalam pengertian yang sejati.

Hal ini terbukti ketika Upasara berusaha mengusir bercak hitam di tubuh Gendhuk Tri selalu gagal. Tak banyak berbeda dari apa yang dilakukan Halayudha. Bahkan lebih mengerikan lagi, karena tenaga dalam Halayudha merusak tenaga dalam Gendhuk Tri.

Penyerahan Jaghana merupakan pencerahan sesungguhnya kekuatan tanah air. Kekuatan yang benar-benar menyatu, tak bisa dibedakan lagi mana kekuatan tanah dan mana kekuatan air, tak bisa dipisahkan antara Upasara Wulung dan Gendhuk Tri. Cara yang ditempuh Jaghana adalah dengan berada di tengahnya, dengan pengorbanan diri. Pengorbanan yang suci untuk kekuatan tanah air.

“Saya merasakan keikhlasan Paman Jaghana, karena sesungguhnya Paman Jaghana-lah yang mampu menyatukan Eyang Sepuh dengan Eyang Putri Pulangsih. Paman Jaghana mendapat pencerahan dari Yang Mahadewa dalam pengabdian keprajuritan dan pengabdian ksatria. Dengan menjadi Truwilun, Paman Jaghana mampu menyatukan pengertian mahamanusia, sebagai bagian yang utuh dari Kidungan Paminggir maupun Kidungan Para Raja. Apa yang telah diisyaratkan Eyang Mpu Raganata, mampu dibumikan Paman Jaghana. Dua pertentangan besar antara mahamanusia dan takhta, ternyata sesungguhnya bukan pertentangan. Hal yang sama dicerahkan Paman Jaghana dari ajaran Eyang Sepuh serta Eyang Putri Pulangsih. Dua ajaran yang berintikan Kitab Bumi dengan Kitab Air, dua ajaran yang berintikan penolakan satu sama lain, ternyata bisa disatukan dalam kekuatan yang baru. Hanya Paman Jaghana yang mampu mendapat pencerahan dari Yang Mahadewa, lebih dari siapa pun.”

Nyai Demang mengelus dadanya.

“Apa yang Kakang katakan adalah hal sebenarnya, Nyai... Kakang Upasara menemukan penyatuan kekuatan sebagai yang disebutkan kekuatan tanah air. Namun sesungguhnya itu baru dalam angan-angan, dalam kemungkinan yang masih tersimpan sebagaimana biji yang belum bersemi. Dalam jurus-jurus ilmu silat, Nyai telah mengetahui bahwa sewaktu saya memainkan Kitab Air dan Kakang Maha Singanada memainkan Kitab Bumi, terjadi kekuatan baru. Penggabungan yang kuat. Akan tetapi, ternyata penggabungan itu sebenarnya baru kulit luarnya saja. Penggabungan yang sebenarnya…”

Nyai Demang mengangguk. Bibirnya tersenyum tipis. “Sungguh dalam dan tak gampang dibayangkan. Bagaimana dulunya Eyang Sepuh dan Eyang Putri Pulangsih, yang saling mencintai tetapi juga saling menolak, masing-masing bertahan pada pendiriannya. Kitab Bumi, terutama bagian Tumbal Bantala Parwa, tercipta karena penolakan Eyang Sepuh. Sementara Eyang Putri Pulangsih justru menciptakan jurus-jurus yang melengkapi, sebagaimana bentuk pengorbanan diri dan penerimaan apa yang dilakukan Eyang Sepuh. Sungguh dalam dan menyentuh. Bahkan beberapa saat lalu, Anak Tri masih menolak Anakmas Upasara… Ah, sungguh aneh jagat ini. Setelah berlangsung puluhan tahun, Eyang Sepuh dan Eyang Putri Pulangsih bisa ditemukan, bisa dipersatukan dalam arti yang sesungguhnya. Dalam penyatuan kalian berdua. Selamat, anakku. Selamat. Sembah dan puji syukur kepada Yang Mahadewa. Akhirnya kebahagiaan penyatuan itu datang juga. Dan syukur yang agung, saya masih mengalami.”

Gendhuk Tri tergetar. Matanya berkaca-kaca. Rasa bahagia Nyai Demang terasakan sangat tulus. Mengetahui dan mengalami, bukan saja penyatuan ajaran Eyang Sepuh dengan Eyang Putri Pulangsih, melainkan juga dalam raga Upasara Wulung dengan Gendhuk Tri. Kebahagiaan seorang ibu yang dirasakan anaknya!

Namun Gendhuk Tri juga merasakan ada kegetiran yang lain. Apalagi ketika Nyai Demang menubruk dirinya, merangkul kencang dan kemudian juga merangkul kencang Upasara. Kegetiran karena Gendhuk Tri melihat sendiri, justru ketika kebahagiaan itu serasa dalam genggaman, Nyai Demang terbanting. Yaitu saat kehadiran Pangeran Hiang yang di luar dugaannya. Yang membawa Kangkam Galih! Air mata Nyai Demang membasah. Dua ujung selendangnya serasa tak cukup untuk mengelap.

“Apakah ada yang bisa merasakan kebahagiaan lebih dariku? Tidak, tak ada lagi. Apakah ada yang bisa mengurangi rasa bahagiaku? Tidak, tak ada lagi.”

Justru kalimat itu yang menikam, menghunjam. Yang menunjukkan bahwa dendam Nyai Demang makin keras dan menajam!

Lepas Kendali Bumi
SESAAT. Sesaat bagai sinar laban, kilat, yang menerangi dan kembali ke wujudnya semula. Pandangan mata Nyai Demang terbengong, berkedip-kedip, sementara senyum di bibirnya makin lama makin melebar, makin merekah. Darah di tubuh Nyai Demang seakan berlarian. Angin yang dihirup dan diembuskan seakan berloncatan. Nyai Demang mendongak ke atas langit, kedua tangannya terentang. Diiringi tawa bergelak, kedua tangan, kedua kaki Nyai Demang bergerak. Menari.

Menari! Kepalanya mengibas, dan seluruh rambutnya yang tadi tersanggul lepas terurai, kreyapan. Nyai Demang terus menari, dengan gerakan kaki, tangan, dengan mencabut selendang, membuang ke samping. Tawaran terus bergelak, sementara air mata membanjiri pipinya. Kegembiraan yang melambung sampai di awan tingkat tujuh.

Ini adalah puncak kegembiraan Nyai Demang, yang bisa dirasakan untuk pertama kalinya, sejak keluarganya hancur dan habis. Kegembiraan yang dilampiaskan dengan melepas semua kendali perasaannya. Mengikuti rasa yang mendorong, yang membuat tangan, kaki, tubuh, dan kepala bergerak, terus bergerak.

Gendhuk Tri merasa tangan Upasara mencekal erat tangannya. Gendhuk Tri mengetahui bahwa Nyai Demang perlu menyalurkan perasaannya secara terbuka, seperti sekarang ini. Perlu melepaskan “pijakan bumi”, dan melayang-layang. Perlu juga bisa memahami sepenuhnya bahwa Nyai Demang selama ini tertindih beban pikiran yang sarat dan berat.

Kejadian demi kejadian menenggelamkan dirinya ke jalan buntu. Dan secara tiba-tiba, Nyai Demang mengetahui bahwa Gendhuk Tri, anaknya, akhirnya menerima Upasara Wulung, seperti yang sangat diharapkan. Itu semua menghapuskan tindihan hatinya. Nyai Demang masih terus bergerak, menari, menarik kainnya, melepaskan, dan masuk ke tengah rerimbunan pepohonan. Tinggal Upasara dan Gendhuk Tri yang masih berdiri dan bergandengan.

“Kakang…”

“Nyai Demang sangat mencintai kita berdua. Karena sangat bersyukur, ia serasa tidak menginjak bumi.”

“Akhirnya masih ada yang menjadi saksi kebahagiaan kita, Kakang.”

“Daun, angin, tanah di tempat ini akan selalu menjadi saksi dan menjadi bagian diri kita. Kita telah kehilangan banyak sekali orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita, kita telah dipisahkan dari saudara-saudara kita. Tetapi alam ini masih akan selalu bersama kita, Yayi.”

“Ya, Kakang. Tapi masih perlu waktu untuk menemukan itu. Kekuatan Kakang belum pulih sepenuhnya, dan bercak hitam di bawah kulit di atas daging tubuh saya belum terusir.”

Upasara Wulung melepaskan genggaman. Merangkul Gendhuk Tri. “Segera setelah kita bisa menenangkan diri, kita bisa mulai menjajal pemulihan tenaga dalam.”

Keduanya berjalan, menuju suatu tempat di mana buah-buahan bisa diraih tanpa meninggikan tumit

“Apakah benar Kakang hanya akan bertarung untuk menguji ilmu yang sejati?”

“Rasanya begitu, Yayi.”

“Kenapa, Kakang?”

“Karena itulah yang saya rasakan terbaik. Eyang Sepuh mulai mengundang untuk pertarungan setiap lima puluh tahun. Dan kini sayalah yang memegang tugas itu. Rasa-rasanya kalau semua jago silat di jagat ini memilih arena itu sebagai medan pertarungan menguji ilmu silat dan jalan kebenaran, jagat ketenteraman akan lebih luas dari wilayah Perguruan Awan ini.”

“Ya, dan Kakang menyadari. Bahwa Perguruan Awan ini masih menjadi ajang pertarungan. Bahwa masih ada Pendita Ngwang yang bergerak leluasa. Masih ada Pangeran Hiang, dan mungkin tokoh-tokoh tersembunyi lainnya. Masih ada Halayudha yang membawa Kangkam Galih. Masih banyak yang belum diselesaikan, Kakang.”

“Masih banyak, dan tidak akan selesai, kalaupun Kakang bertarung setiap hari. Yayi, saya tidak berusaha melarikan diri, tidak mau lepas dari kendali bumi. Seperti juga dulu Eyang Sepuh memilih berada di Perguruan Awan, sewaktu Keraton sedang menuntut keberadaannya. Justru ketika sedang ramai-ramainya, Eyang Sepuh memilih berada di tempat ini.”

Upasara menahan diri sejenak. Gendhuk Tri tersenyum.

“Kakang, kita berdua seperti mengulang apa yang dialami Eyang Sepuh dan Eyang Putri Pulangsih, dengan penitisan yang berbeda. Saya sedang berusaha memahami, apakah kepergian Eyang Sepuh mengasingkan diri di tempat ini dulu bukannya karena menghindari Eyang Putri? Eyang Sepuh mau memperlihatkan daya asmara yang tetap tersimpan dengan cara menyembunyikan diri.”

Upasara tersenyum. “Bisa jadi. Tapi kenapa Yayi berpikir begitu?”

“Kadang masih tersisa pertanyaan kecil mengenai Putri Gayatri….”

Suara Gendhuk Tri bagai gelombang awan yang menggeser di langit. Mengubah bentuk semula. Upasara menghela napas.

“Maaf, Kakang. Rasa kewanitaan saya mengatakan begitu. Bukan karena Kakang sekarang ini memanggil saya Yayi, bukan karena hal lainnya. Saya tahu Kakang akhirnya memilih saya. Kakang menentukan jalan hidup Kakang bersama saya. Dan dengan sepenuh-penuhnya saya menerima. Saya merasa sangat bahagia. Dan karena rasa bahagia itu, karena rasa menyatu Kakang dengan saya, saya masih bisa merasakan getar yang tersembunyi. Apakah saya salah mengucap, Kakang?”

“Tidak. Saya tidak ingin menghapus dari ingatan apa yang telah terjadi antara saya dan Permaisuri Rajapatni. Tetapi semuanya sudah berlalu, dan akan lebih baik menjadi begitu. Lebih baik bagi semuanya, bagi alam seisinya.”

“Kakang bukan menyembunyikan diri?”

“Sama sekali tidak.”

“Menurut Kakang, apakah Permaisuri Rajapatni juga tidak berusaha menjauhkan diri dari Kakang?”

“Saya tak tahu pasti. Barangkali ada unsur itu. Tetapi menjadi tidak berarti dibandingkan dengan apa yang dicapainya. Kita dilahirkan berbeda, dengan tanggung jawab yang berbeda. Permaisuri Rajapatni lahir sebagai putri Keraton, penerus tradisi kebesaran Sri Baginda Raja. Apalagi Permaisuri Rajapatni ditakdirkan Dewa akan menurunkan raja besar tiada tara di belakang hari. Semuanya adalah tanggung jawab yang tak bisa ditanggalkan begitu saja. Tak bisa dilepaskan karena terbawa sejak lahir.”

Gendhuk Tri mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana keadaan tubuh Kakang?”

Mata Upasara terpejam. Napasnya naik-turun. Perlahan getaran tubuhnya menyebar ke arah sekeliling. Gendhuk Tri mengetahui bahwa pergolakan tenaga dalam Upasara Wulung kadang masih bertentangan. Hal yang sama terjadi pada dirinya sendiri. Bahwa keduanya telah mengetahui bagaimana pemecahannya dan usaha penyembuhannya, tidak berarti dengan sendirinya semua persoalan telah selesai.

Karena masih memerlukan waktu, karena masih mungkin sekali terjadi segala sesuatu yang tak diperhitungkan sebelumnya. Rasa kuatir Gendhuk Tri lebih besar dari Upasara Wulung, baik karena dirinya mempunyai kepekaan yang halus sebagai wanita, ataupun karena pengalaman masa lalunya.

JILID 80BUKU PERTAMAJILID 82

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 81

Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 81

Tubuhnya yang gempal, dadanya yang bidang, serta rambutnya yang berombak terlihat jelas di antara para prajurit yang menyamar maupun penduduk biasa. Langsung menyerbu ke dalam. Senopati Jurang Grawah berusaha menahannya. Akan tetapi hanya dengan tangan kosong Mada menyambut. Tusukan kedua, ketiga dihindari dengan menggeser kakinya. Tusukan keempat dibiarkan begitu saja, sementara pukulannya datang membarengi. Yang diincar adalah bagian pangkal leher.

Jurang Grawah tak menduga Mada senekat itu. Kedua tangannya ditarik mundur. Itulah kekeliruannya. Setidaknya kalau tidak ditarik atau malah diteruskan, Mada akan mengubah serangannya kalau tak ingin pundaknya putus. Karena berada dalam keraguan menarik kekuatan itulah Mada membenamkan kedua tangannya ke leher.

Dengan satu pengerahan tenaga keras, terdengar bunyi keretekan keras, seolah tulang belakang Jurang Grawah hancur. Tubuhnya bagai batang pisang ketika terbanting rata ke tanah.

“Kuti, akulah lawanmu.”

Besar semangat Mada. Lebih besar lagi keberanian memanggil nama Kuti begitu saja. Seakan nama besar Senopati Utama tak ada harganya. Patih Wangkong yang belum bisa menundukkan, merasa sedikit terjegal. Karena Mada langsung mengambil alih pertarungan.

“Jaga mulutmu…”

Kalimat Senopati Kuti belum selesai, ketika gulatan Mada mencengkeram. Mada benar-benar tidak memedulikan. Dadanya terkena pukulan, akan tetapi pinggang lawan berhasil dicekal, diangkat untuk dibanting. Bersamaan dengan itu tubuh Mada melayang dengan kedua kaki terentang. Menendang jauh tubuh Senopati Kuti.

Patih Wangkong tak pernah membayangkan, bahwa di balik tubuh yang gemuk itu tersimpan kekuatan dan kegesitan. Senopati Kuti yang begitu perkasa bisa ditendang dan dibanting dalam satu rangkulan. Bahkan masih juga disertai tendangan. Itu ternyata belum semuanya. Ketika terkena tendangan tubuh Senopati Kuti terpental makin jauh.

Akan tetapi Mada bergerak lebih cepat lagi. Mendahului ke tempat jatuhnya tubuh, dan sambil membalik tubuh, Mada melancarkan serangan tendangan. Sekali lagi tubuh Senopati Kuti terlempar. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir, bersamaan. Mada membalikkan tubuhnya, menyambar. Senopati Kuti membidikkan kedua kerisnya secara berputar tiga kali di tengah udara, sebelum turun

Lagi-lagi dengan tenaga penuh, Mada menubruk maju. Langsung memeluk tubuh Senopati Kuti rapat. Dan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Terdengar bunyi krak yang agak keras. Mada mengempos lagi tenaga dalamnya dan menarik kuat sekali lagi. Bunyi berikutnya merupakan sisa-sisa tulang dan atau kekuatan yang ada.

Tubuh Senopati Kuti terkulai, sebelum untuk kesekian kalinya diempaskan Mada dengan bantingan berkekuatan penuh. Senopati Utama yang perkasa itu betul-betul dihajar habis. Tubuhnya terjajar di dinding Keraton, sebelum akhirnya nglumpruk, tanpa tenaga. Jatuh merapat ke dinding.

“Yang menyerah mendapat pengampunan, yang menyerang mendapat kemenangan.”

Agak susah mengartikan apa yang diucapkan Mada. Karena dalam kalimat itu separuh pertama berlaku untuk lawan, separuh sisanya untuk prajurit. Bagi lawan yang menyerah akan mendapat pengampunan, sementara prajuritnya yang menyerang akan mendapat penghargaan.

Tapi memang saat itu bukan saat yang longgar untuk menafsirkan kata-kata. Teriakan yang tanpa makna sekalipun bisa mempunyai arti menggugah dan mengobarkan peperangan. Senopati Banyak yang meletakkan senjata segera diringkus. Tubuh Senopati Kuti diangkat tinggi-tinggi oleh Mada, diputar di atas kepalanya.

“Ayo, majulah semua jika ingin mati lebih ngenas.”

Sebelum bayangan tubuh di alun-alun membentuk sempurna, para pemberontak sudah berhasil ditundukkan. Mada segera memerintahkan agar Raja dibawa ke dalam. Ia sendiri kemudian berbalik ke arah pintu gerbang.

“Pertarungan melawan kejahatan telah selesai. Ini pemberontakan pamungkas, yang terakhir di Keraton. Barang siapa mencoba tidak setia, akan diselesaikan sekarang juga. Tak ada pengampunan. Tak ada bibit di kelak kemudian hari.”

Gagah, penuh wibawa, agak sedikit jemawa, kalimat Mada benar-benar menggetarkan. Menggetarkan hati Patih Tilam yang sejak pertama mengakui bahwa Mada adalah prajurit pilihan. Apa yang dulu pernah membuat Mahapatih Jabung Krewes terheran-heran, terulang kembali. Hanya bedanya Patih Tilam merasa ancaman besar bagi dirinya. Yang entah kenapa telah terbayang dalam benaknya.

Mada bergerak sangat cepat. Dan terus bergerak. Sebelum matahari tenggelam di bagian barat, semua prajurit bawahan dharmaputra telah dilucuti dan ditawan, dan dihitung jumlahnya. Para penduduk diminta kembali ke tempat semula, karena keadaan telah tenang kembali.

Barang siapa yang membangkang atau sengaja mencari keuntungan dalam keributan, digolongkan sebagai pemberontak. Dan sewaktu obor dinyalakan, Mada mengatakan bahwa prajurit dan pemimpin dari enam kanoman, yang dipimpin para pangeran anom, diminta agar segera kembali ke daerahnya masing-masing.

“Ya, malam ini juga. Termasuk Paman Patih Tilam dan Paman Patih Wangkong. Tugas telah selesai, dan selanjutnya menunggu dawuh Raja yang berikutnya.” Mada seakan tidak memedulikan perasaan yang melintas di wajah Patih Tilam dan Patih Wangkong. Malah mengesampingkan dengan bertanya.

“Apakah kurang jelas, Paman Patih?”

“Apa lagi yang kamu rencanakan, Mada?”

“Akan segera saya sampaikan kepada Raja. Karena saya prajurit Raja.”

Patih Tilam mengangguk. “Saya tak tahu, apakah wangsit yang saya terima tidak mungkin keliru. Akan tetapi kamu melakukan kesalahan yang besar, Mada. Dan kamu tak punya waktu untuk menyesali. Kamu akan mengingat apa yang kukatakan ini.”

Niatan Ungkal Bener
MADA memandang tanpa berkedip. Sikapnya tak berubah. “Paman Patih, saya bisa menganggap ramalan perhitungan Paman terlalu dilebih-lebihkan. Tetapi saya tidak ingin mengatakan itu. Semua kesalahan akan saya tanggung sendiri. Saya hanya menjalankan tugas dan wewenang saya sebagai prajurit. Bahwa sesungguhnya untuk membasmi pemberontakan sampai tandas dan tak boleh bersemi lagi, adalah dengan memisahkan siapa lawan dan siapa kawan. Karena Keraton merupakan pusat segalanya, saya memulai dari Keraton. Saya sadar sepenuhnya bahwa tindakan saya sangat kurang ajar. Pangeran Muda Wengker bakal murka. Juga Pangeran Angon Kertawardhana. Juga keempat pangeran anom dan para patih lainnya. Saya yang mengundang dengan sangat hormat, tapi seakan sekarang ini bernada mengusir. Saya akan menanggung semua ini.”

“Tajam lidahmu, Mada. Apakah kamu mengharapkan dengan tersingkirnya kami semua, Raja akan mengangkatmu sebagai mahapatih?”

“Mahapatih Jabung Krewes masih sepenuhnya menjabat dan Raja belum mencari penggantinya.”

“Jadi apa yang kamu cari?”

“Menjalankan tugas dan wewenang sebagai prajurit.”

Patih Tilam mengangguk. “Baik. Sebagai sesama prajurit yang menjalankan tugas, saya menolak. Saya hanya menerima perintah dari atasan saya.”

Mada mengangguk. “Saya akan menemui para pangeran anom. Semuanya. Keenam-enamnya.”

Mada tak perlu melakukan sendiri. Karena yang kemudian terjadi adalah Raja menyatakan sendiri, bahwa Keraton sudah sepenuhnya dikuasai. Raja tak memerlukan lagi penjagaan. Pada hari tertentu, bulan tertentu yang akan ditetapkan kemudian, Raja akan mengadakan pertemuan besar. Yang lebih mencengangkan lagi ialah kenyataan bahwa Jabung Krewes masih tetap kembali ke kedudukannya semula sebagai mahapatih. Tak banyak yang menduga kejadian seperti itu.

Raja Jayanegara menyabdakan dengan suara yang mantap. Seakan kini sepenuhnya seluruh kekuasaan kembali utuh di tangannya. Tak ada yang perlu dikuatirkan lagi. Tidak juga ketika secara resmi memberi pengampunan kepada Senopati Banyak, satu di antara enam senopati utama yang ikut menguasai Keraton.

Mahapatih Jabung Krewes maupun Senopati Utama Banyak tak menduga akan perubahan nasibnya, ketika Raja memanggilnya. Mahapatih Jabung Krewes bahkan menghadap dengan rambut terurai dan mengenakan kain putih, sebagai pertanda menyerah tanpa akan membantah semua dosa dan kesalahan.

“Ingsun yang mengangkatmu, Jabung Krewes. Dan hanya Ingsun yang bisa mencabut derajat dan pangkatmu. Mulai hari ini, kamu menjalankan tugas sebagaimana biasa.”

Jabung Krewes gemetar, menyembah ke kaki Raja.

“Kamu tidak becus. Itu dulu. Sekarang masih ada sisa waktu untuk membuktikan bahwa kamu masih mempunyai sisa umur untuk mengabdi kepada Ingsun.”

“Sembah sujud ke kaki Raja….”

“Manusia mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Kecuali Ingsun, yang tak bisa berbuat keliru.”

Jabung Krewes tidak menyadari sama sekali bahwa di balik pengampunan yang maha asih, tersimpan sesuatu yang sengaja tidak diungkapkan. Raja menyadari bahwa pada lapisan para senopati, kini terjadi kekosongan utama. Dengan tumbangnya para senopati utama, dengan lepasnya Halayudha, tak ada lagi yang bisa diandalkan. Para pangeran anom, dengan para pengikutnya, masih menyisakan tanda tanya. Kesetiaan mereka selama ini adalah kesetiaan untuk tidak memihak kepada pemberontak.

Dengan memaksakan kekosongan kepada senopati yang lain, akan sulit dikendalikan. Dengan beban dosa sebesar gunung, Jabung Krewes sekarang ini akan melata di bawah telapak kakinya. Demikian pula halnya dengan Senopati Banyak. Sekurangnya dengan memberikan ampunan, sisa-sisa prajurit yang setia kepada Senopati Utama akan terpecah keinginannya membalas dendam. Di samping bisa dikuras seluruh keterangan di balik semua yang belum muncul ke permukaan.

Mada memang termasuk yang sangat diperhatikan. Prajurit kawal yang satu ini memang sangat istimewa. Kemampuannya bertindak dalam situasi yang kritis sangat menentukan. Keunggulan ilmu silatnya juga bisa diandalkan. Hanya saja tradisi yang mengalir dalam darahnya bukanlah tradisi prajurit. Bukan anak-turun prajurit. Ditambah lagi masih terlalu muda dari segi pengalaman, sehingga tindakannya sangat gegabah.

Sekurangnya masih bertindak tanpa mengikuti garis kuasa yang menyangkut tata krama keprajuritan. Itu yang tak bisa diterima. Karena sebagai prajurit, seharusnya hanya menjalankan perintah tanpa pertimbangan lain. Sementara Mada beberapa kali menunjukkan bahwa suara hatinya merupakan getar pertama pilihan tindakannya. Lebih memiliki sifat ksatria daripada prajurit. Lebih memakai pendekatan ungkal bener dibandingkan kesetiaan pengabdian yang membuta.

Ungkal bener adalah sifat-sifat yang lebih banyak dimiliki dan diperlihatkan secara menonjol oleh para ksatria maupun pendeta. Selalu ungkal-mengasah-kebenaran. Titik-tolak langkah dan tindakannya seolah memihak kepada kebenaran, tanpa peduli tata cara dan tata krama keprajuritan. Ini bisa menimbulkan gangguan di belakang hari, jika jiwanya tidak bisa menerima secara utuh tata nilai Keraton. Yang kadang bisa bertentangan dengan jiwa ksatria atau pendeta. Raja Jayanegara mengetahui cara terbaik untuk mengatasi masalah ini. Dengan memanggilnya.

“Kamu tahu kenapa hari ini Ingsun timbali?”

Mada menyembah dengan hormat.

“Mada, jasamu besar bagi Keraton. Ingsun ingin memberikan bebana, hadiah yang menyenangkan hidupmu. Kamu mempelajari tata krama keprajuritan, memperdalam ilmumu. Tak perlu menunggu waktu terlalu lama. Berangkatlah segera ke Daha. Di sana ada Patih Tilam yang sakti, yang bisa mengajarmu.”

Mada menyembah hormat. “Sendika dawuh Dalem, siap melaksanakan perintah Raja.”

“Satu hal lagi, Mada. Ingsun merasa ada yang mengganjal hatimu. Atas perkenanku, katakan apa yang ingin kamu sampaikan.”

“Hamba segera menjalankan perintah Raja.”

“Tak mau kaukatakan?”

“Sesungguhnya memang tak ada, Raja Sesembahan. Hanya hal kecil, sedemikian kecilnya sehingga sebenarnya hamba hanya memperbesar.”

“Apa itu?”

“Rasa-rasanya selain Paman Upasara Wulung, masih ada Pangeran Tartar yang bisa mengganggu ketenteraman Keraton untuk waktu yang lama.”

“Kamu kira kamu bisa mengatasi kalau kamu di sini?”

Mada menyembah. “Mereka pernah datang dengan prajurit lengkap, dengan senopati pilihan. Tapi tak pernah bisa mengalahkan. Mereka datang lagi dan berusaha datang menculik Baginda, tetapi bisa disapu bersih. Apalagi hanya sisa-sisanya."

Mada kembali menyembah.

“Berangkatlah, Mada.” Raja meninggalkan Mada yang masih menyembah.

Mada masih tepekur agak lama, sebelum akhirnya menyembah hormat kepada Mahapatih Jabung Krewes dan mundur. Tidak perlu kembali ke rumah kediamannya yang memang tidak ada. Tak perlu berpamitan, karena memang tak ada yang dipamiti. Mada langsung berangkat menuju tempat tugasnya yang baru. Mengabdi kepada Patih Tilam. Memang dalam sudut hatinya tumbuh pertanyaan. Kenapa harus mengabdi kepada Patih Tilam, kalau patih Daha itu sangat tidak menyukai sikapnya.

Akan tetapi Mada menganggapnya sebagai perintah, dan ia menjalankan. Apa yang segera teringat adalah bayangan Eyang Puspamurti, yang selama ini menggembleng secara ketat mengenai pengabdian. Semua kalimat yang pernah diucapkan Eyang Puspamurti terngiang kembali. Ini yang memperkuat niatnya, tanpa merasa sedikit pun bahwa dirinya kini disingkirkan. Bahwa dirinya dimasukkan ke situasi yang paling tidak enak. Mada tak mempunyai pikiran seperti itu.

Kalaupun ada, sudah dibenamkan dalam-dalam ke hatinya untuk menjalankan perintah. Hanya kalau sekarang kakinya melangkah menuju Perguruan Awan sebagai jalan menuju Daha, itu karena masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Sebelumnya, di Perguruan Awan, ketika ia berusaha menemui Paman Guru Jaghana, yang ia temukan hanya ceceran darah dan tangan orang.

Di samping itu masih bisa ia lihat sendiri bahwa kehadiran Ngwang merupakan ancaman yang kuat. Tokoh yang begitu sakti, yang mampu mendesak dan melabrak tokoh-tokoh utama saat ini. Sekurangnya itulah situasi ketika ditinggalkan dulu, untuk menyelamatkan Raja.

Perjalanan Kebahagiaan
AKAN tetapi, kini sesampai di Perguruan Awan, suasana purba yang menyambut. Angin, daun, tak banyak berubah. Perguruan Awan, tetap merupakan Perguruan Awan yang berada dalam angan-angan setiap orang. Banyak hal tidak diketahui Mada.

Ketika Ngwang membopong Pangeran Hiang dan dikejar Halayudha yang menggenggam Kangkam Galih, Upasara Wulung dan Gendhuk Tri segera menyembah dan mengangkat tubuh Jaghana. Nyai Demang masih limbung, hanya mengikuti langkah demi langkah tanpa suara.

Upasara Wulung memanggul bersama Gendhuk Tri. Berjalan perlahan, seirama dengan angin, dengan goyangan dedaunan. Membawa tubuh Jaghana dan meletakkan di suatu tempat. Tak bisa dikatakan di tengah atau di pinggir, karena Perguruan Awan memang tak bisa ditentukan mana tengah dan mana tepinya. Di tempat itulah Jaghana dibaringkan. Gendhuk Tri dan Upasara Wulung kembali bersemadi dalam waktu yang cukup lama.

“Paman Jaghana yang mulia. Saya hanya bisa mengantarkan sampai di sini. Perjalanan kebahagiaan hanya bisa ditempuh Paman seorang yang berjiwa mulia. Sugeng tindak, Paman…”

Suara Upasara Wulung tidak menggeletar. Tidak dibebani dengan rasa menyesal, tidak nggogo-onggo, tidak gondok. Yang ada adalah kepasrahan total, sepenuh-penuhnya. Hal yang sama yang dirasakan Gendhuk Tri. Jaghana telah kembali kepada kekekalan dengan utuh. Tak ada yang disesali, tak ada yang diberati lagi. Lebih sempurna dibandingkan Eyang Sepuh yang moksa.

Meskipun tidak paham sekali, Nyai Demang mengetahui bahwa tata cara Perguruan Awan memang sedikit berbeda. Siapa pun yang pernah menjadi warga Perguruan Awan, pada hakikatnya menjadi bagian dari alam. Tak berbeda dengan buah yang jatuh, atau daun kering, serta angin ataupun curahan hujan. Raga Jaghana ditinggalkan, karena akan menyatu dengan alam. Tidak ditandai dengan gundukan tanah atau candi atau perabuan.

Karena demikianlah perputaran alam yang murni. Sebagaimana buah atau daun, sebagaimana angin atau embun. Mereka bertiga meninggalkan tempat raga Jaghana disemayamkan. Nyai Demang beberapa kali menelan ludah, sebelum akhirnya mulai berbicara.

“Anakku, bagaimana keadaan tubuhmu?”

Gendhuk Tri mengangguk. “Segera akan kembali seperti sediakala, Nyai….”

“Syukurlah kalau begitu. Saya sudah tertinggal mengetahui bagaimana perkembangan yang terjadi. Tetapi rasa-rasanya…”

“Berkat Paman Jaghana kita semua diselamatkan.”

Jawaban Upasara terdengar biasa. Tanpa tekanan memberi penghormatan yang berlebihan kepada penyebutan nama Jaghana. Tanpa berlebihan, juga tanpa basa-basi.

“Kami akan segera mencari tempat, agar bisa mengusir bercak hitam yang tersisa. Juga dalam tubuh saya, Nyai. Masih perlu waktu, akan tetapi rasanya tak ada lagi halangan yang mengganjal.”

Nyai Demang mengangguk-angguk, meskipun terkesan masih ada beberapa pertanyaan yang mengganjal. “Anakmas Upasara. Maaf kalau saya masih menyinggung dan menyebut nama Jaghana. Saya tahu itu akan mengurangi perjalanan keabadian yang kini tengah ditempuh. Akan tetapi ceritakanlah sedikit, agar saya menjadi tenteram.”

Upasara memulai ceritanya dari tradisi ajaran di Perguruan Awan, yang mau tak mau diterima dan dipahami semenjak dirinya ditunjuk Eyang Sepuh untuk menjadi pemimpin. Meskipun sebenarnya tak kentara benar siapa pemimpin atau guru dan siapa siswa. Bahkan menyebut nama Jaghana tidak berarti menghalangi perjalanan keabadian, bilamana penyebutannya tidak disertai rasa getun-menyesal, atau eman-menyayangkan. Segalanya harus diterima dengan wajar, sebagaimana alam.

Baru kemudian Upasara menerangkan bahwa sejauh yang bisa ditangkap, Jaghana memang memilih berada di antara Gendhuk Tri dan Upasara Wulung, sebagai bentuk penyatuan tenaga tanah atau bumi dengan tenaga air. Selama ini Upasara merasa telah menguasai kedua inti kekuatan dan merasa telah bisa menyatukan, akan tetapi sesungguhnya belum dalam pengertian yang sejati.

Hal ini terbukti ketika Upasara berusaha mengusir bercak hitam di tubuh Gendhuk Tri selalu gagal. Tak banyak berbeda dari apa yang dilakukan Halayudha. Bahkan lebih mengerikan lagi, karena tenaga dalam Halayudha merusak tenaga dalam Gendhuk Tri.

Penyerahan Jaghana merupakan pencerahan sesungguhnya kekuatan tanah air. Kekuatan yang benar-benar menyatu, tak bisa dibedakan lagi mana kekuatan tanah dan mana kekuatan air, tak bisa dipisahkan antara Upasara Wulung dan Gendhuk Tri. Cara yang ditempuh Jaghana adalah dengan berada di tengahnya, dengan pengorbanan diri. Pengorbanan yang suci untuk kekuatan tanah air.

“Saya merasakan keikhlasan Paman Jaghana, karena sesungguhnya Paman Jaghana-lah yang mampu menyatukan Eyang Sepuh dengan Eyang Putri Pulangsih. Paman Jaghana mendapat pencerahan dari Yang Mahadewa dalam pengabdian keprajuritan dan pengabdian ksatria. Dengan menjadi Truwilun, Paman Jaghana mampu menyatukan pengertian mahamanusia, sebagai bagian yang utuh dari Kidungan Paminggir maupun Kidungan Para Raja. Apa yang telah diisyaratkan Eyang Mpu Raganata, mampu dibumikan Paman Jaghana. Dua pertentangan besar antara mahamanusia dan takhta, ternyata sesungguhnya bukan pertentangan. Hal yang sama dicerahkan Paman Jaghana dari ajaran Eyang Sepuh serta Eyang Putri Pulangsih. Dua ajaran yang berintikan Kitab Bumi dengan Kitab Air, dua ajaran yang berintikan penolakan satu sama lain, ternyata bisa disatukan dalam kekuatan yang baru. Hanya Paman Jaghana yang mampu mendapat pencerahan dari Yang Mahadewa, lebih dari siapa pun.”

Nyai Demang mengelus dadanya.

“Apa yang Kakang katakan adalah hal sebenarnya, Nyai... Kakang Upasara menemukan penyatuan kekuatan sebagai yang disebutkan kekuatan tanah air. Namun sesungguhnya itu baru dalam angan-angan, dalam kemungkinan yang masih tersimpan sebagaimana biji yang belum bersemi. Dalam jurus-jurus ilmu silat, Nyai telah mengetahui bahwa sewaktu saya memainkan Kitab Air dan Kakang Maha Singanada memainkan Kitab Bumi, terjadi kekuatan baru. Penggabungan yang kuat. Akan tetapi, ternyata penggabungan itu sebenarnya baru kulit luarnya saja. Penggabungan yang sebenarnya…”

Nyai Demang mengangguk. Bibirnya tersenyum tipis. “Sungguh dalam dan tak gampang dibayangkan. Bagaimana dulunya Eyang Sepuh dan Eyang Putri Pulangsih, yang saling mencintai tetapi juga saling menolak, masing-masing bertahan pada pendiriannya. Kitab Bumi, terutama bagian Tumbal Bantala Parwa, tercipta karena penolakan Eyang Sepuh. Sementara Eyang Putri Pulangsih justru menciptakan jurus-jurus yang melengkapi, sebagaimana bentuk pengorbanan diri dan penerimaan apa yang dilakukan Eyang Sepuh. Sungguh dalam dan menyentuh. Bahkan beberapa saat lalu, Anak Tri masih menolak Anakmas Upasara… Ah, sungguh aneh jagat ini. Setelah berlangsung puluhan tahun, Eyang Sepuh dan Eyang Putri Pulangsih bisa ditemukan, bisa dipersatukan dalam arti yang sesungguhnya. Dalam penyatuan kalian berdua. Selamat, anakku. Selamat. Sembah dan puji syukur kepada Yang Mahadewa. Akhirnya kebahagiaan penyatuan itu datang juga. Dan syukur yang agung, saya masih mengalami.”

Gendhuk Tri tergetar. Matanya berkaca-kaca. Rasa bahagia Nyai Demang terasakan sangat tulus. Mengetahui dan mengalami, bukan saja penyatuan ajaran Eyang Sepuh dengan Eyang Putri Pulangsih, melainkan juga dalam raga Upasara Wulung dengan Gendhuk Tri. Kebahagiaan seorang ibu yang dirasakan anaknya!

Namun Gendhuk Tri juga merasakan ada kegetiran yang lain. Apalagi ketika Nyai Demang menubruk dirinya, merangkul kencang dan kemudian juga merangkul kencang Upasara. Kegetiran karena Gendhuk Tri melihat sendiri, justru ketika kebahagiaan itu serasa dalam genggaman, Nyai Demang terbanting. Yaitu saat kehadiran Pangeran Hiang yang di luar dugaannya. Yang membawa Kangkam Galih! Air mata Nyai Demang membasah. Dua ujung selendangnya serasa tak cukup untuk mengelap.

“Apakah ada yang bisa merasakan kebahagiaan lebih dariku? Tidak, tak ada lagi. Apakah ada yang bisa mengurangi rasa bahagiaku? Tidak, tak ada lagi.”

Justru kalimat itu yang menikam, menghunjam. Yang menunjukkan bahwa dendam Nyai Demang makin keras dan menajam!

Lepas Kendali Bumi
SESAAT. Sesaat bagai sinar laban, kilat, yang menerangi dan kembali ke wujudnya semula. Pandangan mata Nyai Demang terbengong, berkedip-kedip, sementara senyum di bibirnya makin lama makin melebar, makin merekah. Darah di tubuh Nyai Demang seakan berlarian. Angin yang dihirup dan diembuskan seakan berloncatan. Nyai Demang mendongak ke atas langit, kedua tangannya terentang. Diiringi tawa bergelak, kedua tangan, kedua kaki Nyai Demang bergerak. Menari.

Menari! Kepalanya mengibas, dan seluruh rambutnya yang tadi tersanggul lepas terurai, kreyapan. Nyai Demang terus menari, dengan gerakan kaki, tangan, dengan mencabut selendang, membuang ke samping. Tawaran terus bergelak, sementara air mata membanjiri pipinya. Kegembiraan yang melambung sampai di awan tingkat tujuh.

Ini adalah puncak kegembiraan Nyai Demang, yang bisa dirasakan untuk pertama kalinya, sejak keluarganya hancur dan habis. Kegembiraan yang dilampiaskan dengan melepas semua kendali perasaannya. Mengikuti rasa yang mendorong, yang membuat tangan, kaki, tubuh, dan kepala bergerak, terus bergerak.

Gendhuk Tri merasa tangan Upasara mencekal erat tangannya. Gendhuk Tri mengetahui bahwa Nyai Demang perlu menyalurkan perasaannya secara terbuka, seperti sekarang ini. Perlu melepaskan “pijakan bumi”, dan melayang-layang. Perlu juga bisa memahami sepenuhnya bahwa Nyai Demang selama ini tertindih beban pikiran yang sarat dan berat.

Kejadian demi kejadian menenggelamkan dirinya ke jalan buntu. Dan secara tiba-tiba, Nyai Demang mengetahui bahwa Gendhuk Tri, anaknya, akhirnya menerima Upasara Wulung, seperti yang sangat diharapkan. Itu semua menghapuskan tindihan hatinya. Nyai Demang masih terus bergerak, menari, menarik kainnya, melepaskan, dan masuk ke tengah rerimbunan pepohonan. Tinggal Upasara dan Gendhuk Tri yang masih berdiri dan bergandengan.

“Kakang…”

“Nyai Demang sangat mencintai kita berdua. Karena sangat bersyukur, ia serasa tidak menginjak bumi.”

“Akhirnya masih ada yang menjadi saksi kebahagiaan kita, Kakang.”

“Daun, angin, tanah di tempat ini akan selalu menjadi saksi dan menjadi bagian diri kita. Kita telah kehilangan banyak sekali orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita, kita telah dipisahkan dari saudara-saudara kita. Tetapi alam ini masih akan selalu bersama kita, Yayi.”

“Ya, Kakang. Tapi masih perlu waktu untuk menemukan itu. Kekuatan Kakang belum pulih sepenuhnya, dan bercak hitam di bawah kulit di atas daging tubuh saya belum terusir.”

Upasara Wulung melepaskan genggaman. Merangkul Gendhuk Tri. “Segera setelah kita bisa menenangkan diri, kita bisa mulai menjajal pemulihan tenaga dalam.”

Keduanya berjalan, menuju suatu tempat di mana buah-buahan bisa diraih tanpa meninggikan tumit

“Apakah benar Kakang hanya akan bertarung untuk menguji ilmu yang sejati?”

“Rasanya begitu, Yayi.”

“Kenapa, Kakang?”

“Karena itulah yang saya rasakan terbaik. Eyang Sepuh mulai mengundang untuk pertarungan setiap lima puluh tahun. Dan kini sayalah yang memegang tugas itu. Rasa-rasanya kalau semua jago silat di jagat ini memilih arena itu sebagai medan pertarungan menguji ilmu silat dan jalan kebenaran, jagat ketenteraman akan lebih luas dari wilayah Perguruan Awan ini.”

“Ya, dan Kakang menyadari. Bahwa Perguruan Awan ini masih menjadi ajang pertarungan. Bahwa masih ada Pendita Ngwang yang bergerak leluasa. Masih ada Pangeran Hiang, dan mungkin tokoh-tokoh tersembunyi lainnya. Masih ada Halayudha yang membawa Kangkam Galih. Masih banyak yang belum diselesaikan, Kakang.”

“Masih banyak, dan tidak akan selesai, kalaupun Kakang bertarung setiap hari. Yayi, saya tidak berusaha melarikan diri, tidak mau lepas dari kendali bumi. Seperti juga dulu Eyang Sepuh memilih berada di Perguruan Awan, sewaktu Keraton sedang menuntut keberadaannya. Justru ketika sedang ramai-ramainya, Eyang Sepuh memilih berada di tempat ini.”

Upasara menahan diri sejenak. Gendhuk Tri tersenyum.

“Kakang, kita berdua seperti mengulang apa yang dialami Eyang Sepuh dan Eyang Putri Pulangsih, dengan penitisan yang berbeda. Saya sedang berusaha memahami, apakah kepergian Eyang Sepuh mengasingkan diri di tempat ini dulu bukannya karena menghindari Eyang Putri? Eyang Sepuh mau memperlihatkan daya asmara yang tetap tersimpan dengan cara menyembunyikan diri.”

Upasara tersenyum. “Bisa jadi. Tapi kenapa Yayi berpikir begitu?”

“Kadang masih tersisa pertanyaan kecil mengenai Putri Gayatri….”

Suara Gendhuk Tri bagai gelombang awan yang menggeser di langit. Mengubah bentuk semula. Upasara menghela napas.

“Maaf, Kakang. Rasa kewanitaan saya mengatakan begitu. Bukan karena Kakang sekarang ini memanggil saya Yayi, bukan karena hal lainnya. Saya tahu Kakang akhirnya memilih saya. Kakang menentukan jalan hidup Kakang bersama saya. Dan dengan sepenuh-penuhnya saya menerima. Saya merasa sangat bahagia. Dan karena rasa bahagia itu, karena rasa menyatu Kakang dengan saya, saya masih bisa merasakan getar yang tersembunyi. Apakah saya salah mengucap, Kakang?”

“Tidak. Saya tidak ingin menghapus dari ingatan apa yang telah terjadi antara saya dan Permaisuri Rajapatni. Tetapi semuanya sudah berlalu, dan akan lebih baik menjadi begitu. Lebih baik bagi semuanya, bagi alam seisinya.”

“Kakang bukan menyembunyikan diri?”

“Sama sekali tidak.”

“Menurut Kakang, apakah Permaisuri Rajapatni juga tidak berusaha menjauhkan diri dari Kakang?”

“Saya tak tahu pasti. Barangkali ada unsur itu. Tetapi menjadi tidak berarti dibandingkan dengan apa yang dicapainya. Kita dilahirkan berbeda, dengan tanggung jawab yang berbeda. Permaisuri Rajapatni lahir sebagai putri Keraton, penerus tradisi kebesaran Sri Baginda Raja. Apalagi Permaisuri Rajapatni ditakdirkan Dewa akan menurunkan raja besar tiada tara di belakang hari. Semuanya adalah tanggung jawab yang tak bisa ditanggalkan begitu saja. Tak bisa dilepaskan karena terbawa sejak lahir.”

Gendhuk Tri mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana keadaan tubuh Kakang?”

Mata Upasara terpejam. Napasnya naik-turun. Perlahan getaran tubuhnya menyebar ke arah sekeliling. Gendhuk Tri mengetahui bahwa pergolakan tenaga dalam Upasara Wulung kadang masih bertentangan. Hal yang sama terjadi pada dirinya sendiri. Bahwa keduanya telah mengetahui bagaimana pemecahannya dan usaha penyembuhannya, tidak berarti dengan sendirinya semua persoalan telah selesai.

Karena masih memerlukan waktu, karena masih mungkin sekali terjadi segala sesuatu yang tak diperhitungkan sebelumnya. Rasa kuatir Gendhuk Tri lebih besar dari Upasara Wulung, baik karena dirinya mempunyai kepekaan yang halus sebagai wanita, ataupun karena pengalaman masa lalunya.

JILID 80BUKU PERTAMAJILID 82