Senopati Pamungkas Kedua Jilid 80 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 80

Kembali ke pernyataan semula bahwa Upasara telah gagal, rasanya pernyataan itu bisa berubah menjadi masih gagal. Karena justru di saat-saat terakhir itu, Upasara bisa bergandengan tangan dengan Gendhuk Tri. Artinya benturan tenaga dalamnya dengan tenaga dalam Gendhuk Tri tak lagi mematikan.

Kalau benar ini yang terjadi, dalam tahapan berikutnya hanya tinggal menyempurnakan. Kalau itu yang terjadi, Halayudha merasa tingkat kesempurnaan Upasara Wulung, dan bisa juga Gendhuk Tri, sulit ditandingi lagi. Kaitannya dengan apa yang dikatakan Upasara Wulung sebagai kekuatan tanah air. Yang terpahami sepenuhnya oleh Halayudha akan tetapi tak sepenuhnya mampu mewujudkan.

Yang paling meng-goreh-kan, merisaukan pikirannya, ialah kematian Jaghana. Kematian yang pasrah, yang dilakukan dengan bersemadi, bersila, menyambut tusukan Ngwang. Bagi Halayudha masih merupakan teka-teki. Bahwa Jaghana memiliki rasa setia kawan, membela kawan dengan mengorbankan diri, serambut dibagi selaksa pun tak diragukan lagi. Akan tetapi kalau dinalar secara perlahan, Jaghana tak usah melakukan!

Tidak dengan bersemadi dan menerima tusukan. Bisa dengan memotong serangan lawan. Atau mendului menyerang. Apalagi posisi Upasara dan Gendhuk Tri saat itu tidak dalam keadaan sangat terancam. Bahwa mereka berdua bisa celaka sangat mungkin terjadi. Akan tetapi belum tentu harus ditengahi dengan pengorbanan diri.

Rasanya ada wadi, misteri, yang disampaikan Jaghana. Lebih kuat dugaan itu, karena sebelumnya Jaghana, Gendhuk Tri, maupun Upasara Wulung mengidungkan sesuatu yang ada kaitannya dengan tanah air. Kidungan tanah air. Halayudha tak mampu menerobos masuk, atau memberi makna pilihan kematian Jaghana. Tetapi merasa pasti ada sesuatu yang cukup berarti.

Bisa jadi itu merupakan inti pemecahan kekuatan tanah air. Tetapi inti yang bagaimana dan apa? Bukankah kalau dirinya yang lebih dulu bisa menyingkap, tak ada lagi yang mampu menandingi sampai tujuh puluh turunan?

Pedang Kematian Abadi
HALAYUDHA masih berada di tempatnya. Jalan pikirannya masih berkutetan mengenai kematian Jaghana. Dicobanya menerobos dengan berbagai kemungkinan lintasan menerawang. Saat-saat sebelum akhir hayatnya, Jaghana yang hanya mengenal ajaran dari Kitab Bumi, mampu mengungkapkan ajaran Kidungan Pamungkas. Mampu menggelarkan ajaran mahamanusia yang tidak bertentangan dengan takhta. Itu perubahan yang berarti, dan mungkin satu-satunya yang pernah terjadi. Jaghana menjadi Truwilun.

Dalam waktu perubahan yang singkat itu, Jaghana menemukan dan atau dipertemukan dengan murid-murid baru, di antaranya Mada. Seakan kebetulan yang membalikkan nasib seseorang. Kebetulan karena ini bertentangan dengan ajaran Perguruan Awan. Selama ini Perguruan Awan tidak pernah mengangkat murid secara resmi. Kalau ada yang menggabungkan diri, jadilah mereka sebagian dari penghuni Perguruan Awan. Tak pernah ada yang berkelana ke luar dan kemudian mengangkat murid.

Tapi, yang tak pernah terbayangkan bisa terjadi, bisa juga menjadi kenyataan. Dan ini mengubah nasib Mada. Dari seorang yang sama sekali tak dikenal, menjadi pusat perhatian. Mada seakan lahir begitu saja dari perut bumi. Didasari ajaran mahamanusia dari Jaghana, kemudian dipimpin langsung oleh Eyang Puspamurti, dan kemudian sekali selalu berlatih bersamanya.

Rasanya tak ada murid baru yang mempunyai guru dan pembimbing yang merupakan tokoh kelas satu seperti Mada. Mada, bisa jadi juga akan menjadi kunci pemecahan wadi kematian Jaghana. Halayudha bisa mengeduk paksa keterangan yang nanti akan diperdebatkan dengan Mada. Dari sudut pandang yang lain, bisa pula diperoleh dari Kangkam Galih.

Pedang tipis-hitam-panjang, sejak masih dalam sarung galih asam, sudah menjadi senjata yang ganas. Gebukannya membuat tulang kepala jadi adonan lumpur. Ketika lepas dari sarung, Kangkam Galih makin merajalela. Menebarkan maut dengan cara yang mengerikan. Pasti sekali Jaghana mengenal keampuhan Kangkam Galih. Ketika pedang itu ditudingkan Jaghana justru memilih untuk menghadang.

Kenapa? Kenapa Jaghana masih perkasa dan mencoba mengalahkan Ngwang, sebelum Ngwang merebut Kangkam Galih? Bukan tidak mungkin pemecahan itu berasal dari pedang sakti pengantar kematian yang abadi. Bukan tidak mungkin, kalau diingat Jaghana sebelumnya bahkan berusaha keras mengungguli Ngwang. Terutama dengan memindahkan keampuhan ilmu Ngwang. Cara memindahkan yang sempurna, yang jauh lebih cepat dari yang bisa dilakukan Halayudha.

Bisa diartikan, saat itu belum terlintas dalam pikiran Jaghana untuk membiarkan tubuhnya dibelah. Masih penuh dengan dorongan untuk mempertahankan diri. Masih berkobaran semangat hidup, di mana dirinya sudah mencapai tahap pencerahan.

Tahap di mana semua ilmu yang dipelajari sudah menyatu dengan sikap hidupnya, dalam segala tindak-tanduknya. Pemecahan Kidungan Pamungkas, sebagai bentuk yang menyatu dari Kidungan Paminggir dengan Kidungan Para Raja, merupakan penemuan yang paling gemilang.

Jalan pikiran yang dipenuhi dengan pencerahan itu pula yang membuat Jaghana bisa memahami dengan cepat apa yang diperlihatkan Ngwang. Seakan hanya dengan menyalin mampu memindahkan semua simpanan Ngwang. Itu sudah dibuktikan.

Dari kejadian ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya Jaghana tak perlu kalah dari Ngwang. Betapapun Ngwang berhasil menciptakan jurus-jurus yang mengandaskan serangan dari Kitab Bumi, Jaghana masih akan tetap bisa memahami. Dan menandingi. Atau mengungguli.

Halayudha menimang Kangkam Galih. Berusaha menggerakkan dengan memainkan berbagai jurus. Jurus dari Kitab Bumi, Kitab Air, dari Syangka, Jepun, Hindia. Setiap kali dijajal, bahkan sabetan anginnya mampu meretakkan dahan atau melukai kulit pohon.

Mendadak Halayudha menghentikan permainannya di tengah jalan. Kangkam Galih diletakkan di sebelahnya, sementara ia bersila kembali. Duduk tepekur, punggung sedikit melengkung. Kedua tangan terangkum berkaitan di depan, jatuh lepas di tanah. Matanya ditutup. Serentak dengan itu, kemampuan indrianya ditenggelamkan. Getaran mulai mendenging lewat telinganya.

Halayudha memasrahkan diri dengan mengeluarkan tenaga sukma sejati. Memanggil tanda nada, sukma dari dalam tubuhnya. Ngrogoh Sukma Sejati, yang dilakukan dengan cari membisik tanpa suara, memanggil tanda nada, sukma dari dalam tubuhnya.

Tubuh yang melengkung itu bergetar. Seluruh ujung jari, kaki, rambut, telinga seperti bergetar. Seperti dilewati ratusan semut secara teratur. Makin lama makin cepat, temponya makin meninggi, seirama dengan tarikan napasnya. Dap.

Halayudha merasa sukmanya melepas dari getaran. Pandangan matanya yang masih tertutup seperti menemukan dirinya sendiri, seperti masih berada di tempat, masih mengenali Kangkam Galih, masih merasakan semilirnya angin. Hanya saja di depannya berdiri bayangan tubuh Jaghana. Yang tak berubah sedikit pun, kecuali sobekan menganga.

“Maaf, saya terpaksa memanggil Paman Jaghana… Paman sudah sampai di akhir perjalanan rupanya.”

Bayangan itu tersenyum tipis.

“Saya ingin mengetahui kenapa Paman memilih jalan menerima tusukan Kangkam Galih. Apakah itu merupakan kunci pemecahan persatuan kekuatan tanah air, ataukah pencerahan yang lain?”

Bayangan Jaghana seperti berbicara, seperti tetap tersenyum, akan tetapi Halayudha bisa mendengar jelas. “Saya tidak memilih jalan kematian atau kehidupan. Semuanya datang sendiri. Apakah itu pencerahan atau pemecahan, adalah jawaban yang sesungguhnya sama dengan apakah saya memilih atau tidak memilih. Kekuatan tanah air, bukan sesuatu yang istimewa, karena tak ada yang lebih istimewa dari yang lain.”

“Kenapa Kangkam Galih?”

“Kangkam Galih adalah barang, berujud pedang. Barang tak pernah menyatukan atau memisahkan, karena tidak memiliki sukma. Pedang diisi, bisa menjadi hidup. Tetapi tetap barang yang mati.”

“Apakah dengan itu berarti harus ditolak?”

Bayangan Jaghana makin mengabur.

“Maaf, Paman, apakah yang hidup itu?”

“Manusia, dan itulah adanya mahamanusia. Manusia, hanya manusia yang mampu mengubah diri menjelma menjadi mahamanusia. Binatang tak bisa mencapai menjadi maha binatang sampai selamanya. Manusia berasal dari manusia. Yang mengasalkan manusia, manusia juga, dan akan membuahkan manusia. Itulah yang disebutkan dalam Tembang Tanah air, yang melintas dan dikidungkan sesaat sebelum Kangkam Galih menusuk. Kangkam Galih tak akan melahirkan Kangkam Galih lain yang menjelmakan Kangkam Galih berikutnya. Sukma sejati tidak berada pada barang mati.”

Suara yang terdengar dalam telinga batin Halayudha makin melemah. Kemampuan Halayudha dipusatkan, akan tetapi bayangan Jaghana mengabur dan lenyap. Tinggal tubuhnya yang masih bergetar. Dan mulai menerima sekitarnya. Getaran Kangkam Galih yang diletakkan di sisinya, letak pohon dan dedaunan, serta bau tanah. Sesuatu yang juga dirasakan ketika merogoh sukma, akan tetapi terasakan ada bedanya. Yang sekarang terasakan sangat wadak.

Halayudha mengatur napasnya. Setelah mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, Halayudha bangkit. Diambilnya Kangkam Galih dan diamati dengan cermat. Sangat cermat. Mencoba menerobos di balik guratan besi atau campuran dari besi, yang bukan tidak mungkin menyimpan kekuatan tertentu. Yang bukan tidak mungkin dari guratan itu tercermin kidungan, atau cara-cara melatihnya. Seperti yang dilihat dulu, Kangkam Galih tetap berwarna hitam kelam, tipis panjang, tak menyimpan sesuatu yang lain.

Halayudha menjinjing. Ringan langkahnya, perlahan ayunannya. Seperti juga pikirannya yang disusun satu demi satu. Terutama mengenai Tembang Tanah air, seperti yang baru saja diuraikan bayangan Jaghana. Terutama tentang manusia yang bisa menjelma sebagai mahamanusia. Didengar selintas seperti tak ada yang berbeda dari pengertian yang selama ini dimengerti semua orang. Namun pastilah mengandung sesuatu yang mempunyai makna yang dalam, karena menjadi pembicaraan terakhir sukma Jaghana.

Halayudha melangkah perlahan menuju Keraton. Meskipun masih berpikir keras mengenai kematian Jaghana, Halayudha merasa masih berurusan dengan Ngwang maupun Pangeran Hiang. Itu sebabnya masih mencekal Kangkam Galih. Dengan Kangkam Galih, yang meskipun disebut sebagai barang mati, Halayudha lebih percaya menghadapi Ngwang maupun Pangeran Hiang. Yang pasti akan menyatroni Keraton. Kalau kedua tokoh itu menyerang dengan sisa kekuatan terakhir, Senopati Kuti dan para dharmaputra yang lain tak akan mampu menahan. Pun andai Mada ikut bergabung.

Persiapan Enam Penjuru
MADA memilih caranya sendiri. Sejak membawa Raja meninggalkan Keraton, seakan sayapnya tumbuh, cakarnya keluar. Tanggung jawab yang diemban, membongkar kemampuannya yang selama ini terpendam. Sebagai prajurit kawal Raja, Mada memperlihatkan kemampuan yang lebih dari itu. Warisan ajaran mengenai tata keprajuritan dari Eyang Puspamurti yang pernah menjadi senopati, yang puluhan tahun terakhir hidupnya hanya memperdalam mengenai hal itu, mampu diserap Mada. Dan dipergunakan.

Gemblengan yang diperoleh Mada tidak melalui tahapan demi tahapan, melainkan seakan disuntak seluruhnya. Sehingga boleh dikatakan cara menyerapnya pun secara menyeluruh. Ada untung dan ada ruginya. Untung, karena dengan demikian Mada bisa memperoleh pengajaran banyak dalam waktu yang singkat. Seorang prajurit biasa memerlukan pengajaran lama sebelum memperoleh apa yang diperoleh Mada. Sementara Mada, dengan posisinya sebagai prajurit kawal Raja, telah terlibat dalam percaturan tingkat tinggi.

Rugi, karena dengan demikian cara berpikir dan bertindak Mada kadang menyimpang dari tata krama yang ada. Dorongan untuk cepat melaksanakan keputusan dan bertindak langsung kadang tidak dimengerti orang-orang di dekatnya. Seperti tindakan Mada untuk menuju Perguruan Awan. Untuk menemui Jaghana dan meminta restu. Walau akhirnya Mada kembali di tengah perjalanan setelah menemukan darah yang berceceran, potongan tangan.

Mada hanya mengucapkan doa, dan kemudian kembali ke markas persembunyiannya di Badander. Ketika Raja mendesak dengan pertanyaan kapan menyerbu Keraton, Mada menghaturkan bahwa saatnya akan tiba. Kalimat Mada yang sederhana, pendek, terasa menyinggung tata krama keprajuritan yang paling dasar. Walau dalam pengasingan, Raja yang tergantung keamanannya pada Mada, tetap tak bisa menerima sikap semacam itu. Padahal, Mada tak mempunyai pikiran lain, selain mengabdi, dan mempersembahkan yang terbaik.

“Apakah Ingsun juga tak boleh mengetahui rencanamu, Mada?”

“Hamba hanya akan melaksanakan dawuh…?"

“Lalu apa yang kamu tunggu lagi?”

Mada mengibaskan tangannya, menyuruh para prajurit yang lainnya menyingkir. Setelah yakin tak ada yang mendengarkan, barulah Mada mengutarakan rencananya. “Benar semua yang disabdakan Ingkang Sinuwun. Bahwa Pangeran Muda Wengker serta Pangeran Anom Kertawardhana telah menyatakan kesetiaan. Akan tetapi sesungguhnya selama ini, sebagaimana Raja sesembahan yang mulia tahu, pangeran anom bawahan Keraton Majapahit ada enam. Empat yang lainnya adalah Pangeran Anom Pajang, Pangeran Anom Lasem, Pangeran Anom Mataun, serta Pangeran Anom Wirabumi. Kesemuanya mempunyai prajurit-prajurit, mempunyai garis komando yang berdiri sendiri-sendiri. Meskipun kekuatannya tidak sehebat Keraton Tua, keempat pangeran anom ini bisa menjadi kekuatan yang merepotkan bila tidak berada dalam satu komando.”

“Dengan kata lain, sebelum keenamnya mengakui Ingsun, kamu masih akan menunggu? Sampai kapan, Mada?”

Mada menyembah.

“Sampai kapan, Mada? Sampai Ingsun dilupakan?”

“Mohon beribu ampun, Raja Sesembahan yang Mulia, Hamba merasa perlu meyakinkan diri hamba bahwa enam penjuru memiliki irama yang sama, impian yang sama. Waktu selalu dibutuhkan, akan tetapi kita tak bisa nggege mangsa, mempercepat musim. Musim mangga berbuah, tak bisa dipercepat kalau mengharapkan mangga yang lezat sebagaimana diciptakan. Kalau dari enam pangeran anom ada yang tidak seirama, besar sekali kemungkinannya Senopati Kuti akan berlindung ke sana. Dan hamba akan mengalami kesulitan selama mereka belum bisa terbasmi. Sebab perimbangannya akan berbalik. Hamba bersama prajurit berada di tempat terang, sementara mereka berada di tempat yang gelap. Seperti keadaan kita sekarang. Kita lebih leluasa bergerak. Mohon beribu ampun. Hamba hanya mengutarakan apa yang ada dalam benak hamba, yang belum teruji kebenarannya. Mohon Raja Sesembahan mempertimbangkan. Apa pun sabda Raja, hamba akan segera menjalankan. Kalau Raja bertitah menyerbu sekarang, sebelum keringat kering hamba sudah akan berada di barisan depan menyerbu Keraton. Kalau hamba rewel dan kurang tata krama, karena hamba ingin memastikan bahwa tak ada lagi kraman, tak ada pemberontakan. Ini yang terakhir. Demikianlah pendapat hamba.”

“Apakah para dharmaputra sangat kuat?”

“Sangat kuat, kalau mereka bersatu. Sekarang ini sekurangnya Senopati Tanca secara resmi mengatakan tidak berada dalam satu barisan. Sejauh hamba tahu, Senopati Banyak diliputi keraguan. Dengan dua senopati tidak menyatu, hamba lebih berani menerjang habis hingga tandas.”

“Gagasanmu tidak seburuk caramu bicara.”

“Mohon beribu ampun. Hamba tak pernah belajar tata krama, hamba lebih mengenal lumpur dibandingkan batu bata…”

‘Tadinya Ingsun mengira kamu sengaja menunda-nunda, agar Ingsun mensabdakan ada pangkat tinggi jika kamu memenangkan perebutan kembali Keraton. Kalaupun begitu, kamu hanya bisa mencapai jika serangan balik ini berhasil.”

Mada menyembah.

“Kalau benar nantinya Ingsun kembali ke Keraton, akan ada perubahan besar. Selama ini yang menjabat mahapatih tak sepenuhnya bisa menjalankan kewajiban dan wewenangnya. Mengherankan sekali Jabung Krewes. Ia sama sekali tidak memperlihatkan apa pangkat dan derajatnya.”

“Begitulah, Raja Sesembahan yang Mulia. Mahapatih Jabung Krewes, ibarat kata adalah suh, simpai, pengikat utama. Sehingga jika suh tidak kuat, tak ada sapu, yang ada adalah kumpulan lidi. Sapu tanpa suh, bukanlah sapu. Tidak bisa digunakan untuk menyapu, malah mengotori. Selain itu juga lebih mudah dipatahkan.”

“Ingsun lebih tahu mengenai hal itu. Kamu kadang bicara lancang.”

Mada menyembah hingga rata dengan tanah.

“Tetapi kali ini kuampuni, Mada. Aku menyadari sekali, ketika harus menempuh perjalanan malam tanpa wanita tanpa pelayan yang memijati dan mengelap keringat atau menyisir rambutku. Aku menyadari bahwa itu semua ternyata bisa terjadi. Wolak-waliking zaman, zaman bisa berbolak-balik. Yang di atas menjadi di bawah. Seorang Raja Tanah Jawa seperti aku, bisa dipaksa berkeringat dan lapar serta haus. Aku belajar banyak, Mada. Dan aku tak akan mengulangi apa yang terjadi padaku saat ini. Aku membutuhkan kamu, saat ini. Segera setelah semua rencana kamu selesai, Ingsun yang akan memutuskan….” Sampai di sini, nada Ingsun mulai meninggi, membuat dada Raja membusung terangkat.

“Selama ini kukira telah dilakukan Jabung Krewes dengan baik. Nyatanya semua omong kosong. Selama ini aku telah berbuat baik, mengampuni Tujuh Senopati Utama, tetapi mereka ternyata berbuat sangat kurang ajar. Ingsun tak akan pernah membiarkan mereka hidup.”

“Demikian sabda Raja Sesembahan. Itu yang akan terjadi. Dengan mengandalkan waktu. Ada yang bisa dibasmi seketika, ada yang dibiarkan selama tidak merupakan ancaman. Menumpas habis seluruhnya sampai tandas hanya akan membuat lebih banyak dendam permusuhan di belakang hari. Sementara dengan membiarkan beberapa di antaranya, citra keadilan dan kemurahan yang muncul. Yang pada dasarnya untuk menyempurnakan kemenangan.”

“Sejak kapan kamu membaca Kitab Perang?”

“Mohon beribu ampun. Hamba hanya mampu mengingat serba sedikit apa yang diajarkan Eyang Puspamurti.”

“Memenangkan perang adalah menundukkan strategi lawan. Mematikan sebelum lawan bisa menggunakan. Mada, asal kamu ingat baik-baik. Ingsun tak bisa menunggu lebih lama lagi. Badanku, kulitku, rambutku, rasanya sudah menjadi kental. Tak banyak beda dengan kamu sekalian. Ingat itu, Mada.”

Mada menyembah hingga rata dengan tanah.

“Ingsun tak mau tahu apa yang kamu lakukan dengan enam pangeran anom atau dengan siapa pun, dengan cara apa pun. Ingsun menghendaki segera kembali ke Keraton. Bisa kamu lakukan, Mada?”

Mada menyembah hormat lagi.

“Buktikan, Mada.”

Mada masih menunduk hingga rata dengan tanah, di mana kaki Raja berdiri.

Serangan Seribu Lintah
PATIH TILAM, yang paling tua dan berpengaruh, datang ke Desa Badander bersama Patih Wangkong secara hampir bersamaan. Keduanya menemui Mada untuk sowan kepada Raja.

“Saya yang akan menyampaikan apa yang Paman Patih ingin sampaikan.”

“Apakah itu berarti kamu menghalangi kami?” Suara Patih Tilam terdengar dingin nadanya.

“Bisa diartikan demikian. Saya tidak menghendaki dalam saat yang gawat seperti ini, Raja Sesembahan memperoleh keterangan yang bertentangan. Tak cukup waktu untuk merenungkan, sehingga kita semua terkena akibatnya bila Raja sudah bersabda.”

Patih Wangkong mendesis. “Aku sudah menyiapkan seluruh prajurit. Mau tunggu apa lagi?”

“Maaf, Paman Patih Arya Wangkong. Saya yang menjadi pemimpin senopati sekarang ini. Dalam peperangan, hanya ada satu kepala. Kereta tak bisa berjalan sempurna bila ada dua atau tiga sais.”

“Aku muak dengan omonganmu. Kita jadi berperang atau tidak?”

Mada ganti mendesis. “Kalaupun semua prajurit mundur, saya tetap akan maju sendirian.”

“Apa yang kamu andalkan, sehingga berani membuka mulut lebar?” Suara Patih Tilam tetap dingin, menyudutkan.

“Saya hanya mengandalkan kekuatan penduduk. Prajurit kita banyak jumlahnya, terlatih, mempunyai kesetiaan tinggi. Akan tetapi tidak disiapkan untuk mengadakan penyerangan bersama. Kalah menyatu dengan prajurit Keraton atau juga prajurit pilihan Tujuh Senopati Utama. Peperangan besar hanya akan membuat kita malu karena tak bisa saiyeg saeka kapti, tak bisa kompak.”

“Aku sudah melihat kemungkinan itu, Mada. Sebaiknya kita memakai siasat perang Brajasutiknalungid. Dengan prajurit inti yang kuat dan mampu menggempur atau mundur, kita bisa segera menguasai Keraton.”

Patih Tilam mengatakan dengan suara perlahan, seolah tidak ingin didengar sempurna oleh Mada. Dalam hatinya ingin menjajal sejauh mana Mada mengetahui mengenai siasat perang. Dengan mengatakan secara samar dan cepat, kata-kata braja, sutikna, lungid disatukan. Artinya kata itu adalah panah yang tajam.

Dalam siasat perang, mengandalkan satu pasukan tempur pilihan yang akan menggempur maju. Merupakan ujung panah yang menyusup maju mendahului. Dan karena jumlahnya tidak begitu banyak, bisa segera ditarik mundur, apabila situasi tidak memungkinkan untuk menang.

Siasat perang ini pernah dipergunakan Ugrawe ketika menggempur Keraton Singasari. Dibarengi dengan barisan Supit Urang, atau barisan yang membentuk lingkaran, dengan kekuatan utama di sapit kanan maupun kiri. Dua kekuatan ini merupakan inti penyerbuan dan bisa bergerak leluasa untuk memindahkan medan pertempuran.

Nyatanya berhasil menggempur dan menaklukkan para prajurit sekitar Keraton, sementara barisan Panah Runcing menyusup masuk ke Keraton. Dan berhasil sempurna, karena Sri Baginda Raja Kertanegara maupun Mpu Raganata, mahapatih utama, berhasil ditewaskan.

Mada menggeleng mantap. “Brajasutiknalungid sebagai siasat perang waktu itu sangat memungkinkan, karena ada para ksatria pilihan yang digabungkan. Terutama sekali juga karena Sri Baginda Raja tidak menduga ada manusia berhati culas seperti halnya Raja Muda Gelang-Gelang. Saya tidak mengatakan siasat perang itu tidak baik. Justru sebaliknya, tokoh yang bernama Ugrawe sangat linuwih, sangat pinunjul, lebih hebat dari siapa pun, karena mampu mempergunakan kekuatan yang tak terduga oleh lawan. Namun saya sendiri menilai siasat perang itu sebagai serangan licik, tanpa mengurangi kehebatan strategi perang yang dilancarkan secara tepat.”

“Aku tidak mengerti, karena kamu susah payah mengumpulkan kami yang begitu luas berpengalaman dalam perang, kemudian mengubah menjadi serangan yang mengandalkan kekuatan penduduk? Bisa apa mereka? Kalau memang penduduk bisa berperang, tak ada lagi gunanya prajurit atau senopati atau patih seperti aku.”

“Paman Patih Wangkong. Sekarang perkenankan saya mengatakan rencana penyerangan, dan kemungkinan peperangan. Mengetahui kekuatan lawan dan mengakui kelemahan sendiri, adalah langkah pertama. Saat ini, kekuatan Tujuh Senopati Utama adalah karena keunggulan dan kesatuan kepemimpinan. Telah dibuktikan bahwa Keraton bisa dikuasai mutlak kurang dari setengah malam. Saat ini, kelemahan kita justru pada jumlah prajurit yang kurang memadai, dengan keterampilan di bawah prajurit Tujuh Senopati Utama. Peperangan yang akan terjadi lebih banyak membuktikan perkiraan saya. Kita akui, prajurit Keraton selalu lebih unggul dari prajurit kanoman, prajurit yang dipimpin para pangeran anom. Saya lebih mengandalkan serangan dengan siasat Wredu-Angga Sasra, yang bergerak menyeluruh serta bersamaan.”

Patih Tilam mengelus bibir atas, tepat di bawah hidung. Sebagai orang yang dituakan, sebagai patih sekaligus penasihat rohani Pangeran Anom Wengker, pandangannya sangat luas. Sesaat melihat Mada, sudah terasakan kelebihan prajurit yang satu ini. Seakan memancarkan kekuatan yang sangat mendesak, menyeruak, dan siap meledak. Sekarang terbukti. Dengan mengajukan gagasan siasat Wredu-Angga Sasra, Mada membalik siasat yang selama ini dipakai dalam peperangan.

Wredu berarti ulat, wredu-angga berarti lintah, sedangkan sasra berarti seribu. Gerakan Wredu-Angga Sasra selama ini selalu diterapkan dalam membentuk barisan atau baris-berbaris. Gerakan tangan dan kaki yang bersamaan, diatur sedemikian rupa sehingga mirip gerakan seribu lintah bersamaan. Tak pernah terpikirkan bahwa gerak baris-berbaris ini menjadi siasat perang.

“Saya mengetahui bahwa gagasan saya sangat tidak masuk akal. Paman Patih yang jauh lebih berpengalaman. Namun ada alasan kenapa sebaiknya kita memakai siasat Seribu Lintah. Pertama, karena penduduk sekitar sudah terkumpul di alun-alun. Jumlah mereka sangat banyak. Kalau ada satu atau dua atau tiga yang menggerakkan maju secara bersamaan, akan merupakan kekuatan yang tak terbendung. Satu-dua prajurit dengan gampang bisa membunuh, akan tetapi itu hanya akan memancing peperangan besar. Kalau kita mempunyai pemimpin yang kuat untuk meneriakkan maju ke depan. Dalam kebersamaan yang menyatu, prajurit Keraton akan bimbang. Membunuhi penduduk gampang, akan tetapi mereka akan berpikir bahwa sungguh tidak layak prajurit membunuhi penduduk biasa. Dalam kebimbangan itulah barisan kita merangsek maju bagai gerakan seribu lintah. Dalam hal ini yang kita perlukan hanyalah para pemimpin yang namur laku, yang menyamar di antara para penduduk yang pepe, berjemur. Merekalah yang mengarahkan serangan dan maju dengan aba-aba. Alasan kedua, yang bagi saya sangat penting, adalah bahwa serangan ini serentak, menyeluruh, melibatkan semua penduduk dan prajurit. Yang mempunyai makna besar, bahwa mereka semua mendukung dan mengakui takhta Raja. Keunggulan ini sangat berarti, karena menggambarkan bahwa peperangan yang terjadi bukan hanya antara prajurit Tujuh Senopati Utama dan prajurit Raja, melainkan prajurit Tujuh Senopati Utama melawan seluruh penduduk dan prajurit. Pemusatan kekuatan ini menjadi sangat penting, ketika kita semua melakukan kewajiban dan menangkap Tujuh Senopati Utama. Dan alam pikiran kita semua akan terbebas dari rasa bersalah kalau kita menganggap bahwa mereka adalah kraman, yang memusuhi penduduk.”

Patih Tilam kembali mengangguk dalam hati. Gerakan baris Wredu-Angga Sasra, atau Seribu Lintah, dalam hal ini memang bisa menjadi bagian serangan. Serangan yang menyeluruh. Kalau benar ini berhasil, Patih Tilam makin percaya bahwa Mada memiliki sinar yang berbeda dengan kebanyakan senopati. Tapi Patih Tilam tak berubah wajahnya. Nada suaranya tetap dingin.

“Kamu akan mengorbankan penduduk biasa yang tak bersenjata? Di mana sifat prajurit yang seharusnya justru mengayomi?”

“Saya tidak mengorbankan penduduk biasa.”

“Apakah…”

“Mereka itu ada yang menjadi korban, Tetapi saya tidak mengorbankan.”

“Tahukah kamu, Mada, bahwa kata-katamu itu terlalu tajam dan kamu menjadi terlalu pintar untuk mengubah kebenaran?”

“Saya tidak paham kata-kata Paman Patih yang bijak. Saya hanya menjalankan tugas dan wewenang yang ada di pundak saya sekarang ini.”

“Kamu yang bertanggung jawab kalau ada yang menjadi korban?”

“Saya tak akan lari dari tanggung jawab. Saya akan menerima semua tuntutan dan menanggung semua kesalahan ini. Kecuali kalau Paman Patih mengemukakan gagasan yang lain, yang bisa meyakinkan untuk merebut kemenangan.”

“Apakah kamu yakin?”

“Besok, saat matahari menyatu dengan bumi, saat bayangan tubuh terinjak sepenuhnya, keyakinan saya akan menjadi kenyataan.”

Pemberontakan Pamungkas
TEPAT ketika matahari bersinar di atas ubun-ubun, ketika bayangan lurus dengan tubuh, penduduk yang melakukan pepe, berjemur, bergerak serentak. Patih Wangkong yang tak sabaran langsung berada di depan. Lautan manusia bagai gelombang pasang yang menggetarkan isi Keraton. Melewati alun-alun, bagian depan sudah di depan gerbang, sebagian masih di sitihinggil, sementara bagian belakang masih tertinggal di jalan masuk.

Senopati Jurang Grawah tidak memperhitungkan bahwa masyarakat yang dihadapi bisa menjadi kekuatan yang membuat bulu kuduknya bangkit. Betapa tidak, jika mereka hanya bisa mendesak maju, merangsek maju, menggertak maju. Tombak tak bisa menghalangi. Bahkan satu-dua korban yang jatuh membuat kemarahan menjadi berlipat. Hanya dalam waktu singkat, Keraton telah dipenuhi lautan manusia yang terus mendesak maju. Manusia tanpa senjata.

Senopati Kuti dan Senopati Pangsa belum sempat mengatur siasat dan menerapkan perintah, ketika Patih Wangkong sudah menggempur.

“Atas nama Raja Majapahit yang mulia. Para pemberontak yang hina harap meletakkan senjata!”

Diiringi bunyi genderang, bende, dan teriakan serta naiknya umbul-umbul dari berbagai penjuru, Mada memimpin di barisan tengah, mengawal joli indah. Senopati Kuti mempersiapkan serangan bertahan yang terakhir. Akan tetapi perintahnya tak ada yang dipenuhi prajuritnya. Meskipun sigap dan cekatan, rasanya mereka masih ragu menghunjamkan senjata kepada penduduk yang tidak bersenjata. Sehingga terus terdesak mundur.

Senopati Kuti mencabut kedua kerisnya. Berusaha memotong arus maju yang makin merapat, ketika Patih Arya Wangkong menerjang ganas. Permainan silatnya yang lugas, serba tergesa, memang bukan tandingan Senopati Kuti. Akan tetapi gerebekan yang mengimpit rapat menyebabkan Senopati Kuti tak bisa berbuat banyak. Apalagi Senopati Pangsa memilih mundur ke arah kaputren, yang segera disambut Patih Tilam. Pertarungan tak seimbang terjadi.

Tak seimbang karena Patih Tilam menyiapkan jebakan dengan jitu, sementara Senopati Pangsa dalam keadaan kacau-balau. Seakan patah semangat sebelum terjadi pertarungan yang sesungguhnya. Hanya dalam lima jurus, Senopati Pangsa berhasil ditundukkan dengan tusukan ujung tombak. Robohnya Senopati Pangsa dibarengi dengan teriakan dahsyat. Teriakan bergemuruh sebagai tanda kemenangan.

Senopati Wedeng bahkan tertusuk senjatanya sendiri. Senopati Yuyu seakan melakukan serangan nglalu atau serangan bunuh diri. Sendirian Senopati Yuyu menyerang ke arah joli utama. Sambutan serangan dari berbagai jurusan menyudahi gerakannya, jauh sebelum bisa menyentuh joli. Mada meloncat maju setelah menyembah ke arah joli.

JILID 79BUKU PERTAMAJILID 81

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 80

Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 80

Kembali ke pernyataan semula bahwa Upasara telah gagal, rasanya pernyataan itu bisa berubah menjadi masih gagal. Karena justru di saat-saat terakhir itu, Upasara bisa bergandengan tangan dengan Gendhuk Tri. Artinya benturan tenaga dalamnya dengan tenaga dalam Gendhuk Tri tak lagi mematikan.

Kalau benar ini yang terjadi, dalam tahapan berikutnya hanya tinggal menyempurnakan. Kalau itu yang terjadi, Halayudha merasa tingkat kesempurnaan Upasara Wulung, dan bisa juga Gendhuk Tri, sulit ditandingi lagi. Kaitannya dengan apa yang dikatakan Upasara Wulung sebagai kekuatan tanah air. Yang terpahami sepenuhnya oleh Halayudha akan tetapi tak sepenuhnya mampu mewujudkan.

Yang paling meng-goreh-kan, merisaukan pikirannya, ialah kematian Jaghana. Kematian yang pasrah, yang dilakukan dengan bersemadi, bersila, menyambut tusukan Ngwang. Bagi Halayudha masih merupakan teka-teki. Bahwa Jaghana memiliki rasa setia kawan, membela kawan dengan mengorbankan diri, serambut dibagi selaksa pun tak diragukan lagi. Akan tetapi kalau dinalar secara perlahan, Jaghana tak usah melakukan!

Tidak dengan bersemadi dan menerima tusukan. Bisa dengan memotong serangan lawan. Atau mendului menyerang. Apalagi posisi Upasara dan Gendhuk Tri saat itu tidak dalam keadaan sangat terancam. Bahwa mereka berdua bisa celaka sangat mungkin terjadi. Akan tetapi belum tentu harus ditengahi dengan pengorbanan diri.

Rasanya ada wadi, misteri, yang disampaikan Jaghana. Lebih kuat dugaan itu, karena sebelumnya Jaghana, Gendhuk Tri, maupun Upasara Wulung mengidungkan sesuatu yang ada kaitannya dengan tanah air. Kidungan tanah air. Halayudha tak mampu menerobos masuk, atau memberi makna pilihan kematian Jaghana. Tetapi merasa pasti ada sesuatu yang cukup berarti.

Bisa jadi itu merupakan inti pemecahan kekuatan tanah air. Tetapi inti yang bagaimana dan apa? Bukankah kalau dirinya yang lebih dulu bisa menyingkap, tak ada lagi yang mampu menandingi sampai tujuh puluh turunan?

Pedang Kematian Abadi
HALAYUDHA masih berada di tempatnya. Jalan pikirannya masih berkutetan mengenai kematian Jaghana. Dicobanya menerobos dengan berbagai kemungkinan lintasan menerawang. Saat-saat sebelum akhir hayatnya, Jaghana yang hanya mengenal ajaran dari Kitab Bumi, mampu mengungkapkan ajaran Kidungan Pamungkas. Mampu menggelarkan ajaran mahamanusia yang tidak bertentangan dengan takhta. Itu perubahan yang berarti, dan mungkin satu-satunya yang pernah terjadi. Jaghana menjadi Truwilun.

Dalam waktu perubahan yang singkat itu, Jaghana menemukan dan atau dipertemukan dengan murid-murid baru, di antaranya Mada. Seakan kebetulan yang membalikkan nasib seseorang. Kebetulan karena ini bertentangan dengan ajaran Perguruan Awan. Selama ini Perguruan Awan tidak pernah mengangkat murid secara resmi. Kalau ada yang menggabungkan diri, jadilah mereka sebagian dari penghuni Perguruan Awan. Tak pernah ada yang berkelana ke luar dan kemudian mengangkat murid.

Tapi, yang tak pernah terbayangkan bisa terjadi, bisa juga menjadi kenyataan. Dan ini mengubah nasib Mada. Dari seorang yang sama sekali tak dikenal, menjadi pusat perhatian. Mada seakan lahir begitu saja dari perut bumi. Didasari ajaran mahamanusia dari Jaghana, kemudian dipimpin langsung oleh Eyang Puspamurti, dan kemudian sekali selalu berlatih bersamanya.

Rasanya tak ada murid baru yang mempunyai guru dan pembimbing yang merupakan tokoh kelas satu seperti Mada. Mada, bisa jadi juga akan menjadi kunci pemecahan wadi kematian Jaghana. Halayudha bisa mengeduk paksa keterangan yang nanti akan diperdebatkan dengan Mada. Dari sudut pandang yang lain, bisa pula diperoleh dari Kangkam Galih.

Pedang tipis-hitam-panjang, sejak masih dalam sarung galih asam, sudah menjadi senjata yang ganas. Gebukannya membuat tulang kepala jadi adonan lumpur. Ketika lepas dari sarung, Kangkam Galih makin merajalela. Menebarkan maut dengan cara yang mengerikan. Pasti sekali Jaghana mengenal keampuhan Kangkam Galih. Ketika pedang itu ditudingkan Jaghana justru memilih untuk menghadang.

Kenapa? Kenapa Jaghana masih perkasa dan mencoba mengalahkan Ngwang, sebelum Ngwang merebut Kangkam Galih? Bukan tidak mungkin pemecahan itu berasal dari pedang sakti pengantar kematian yang abadi. Bukan tidak mungkin, kalau diingat Jaghana sebelumnya bahkan berusaha keras mengungguli Ngwang. Terutama dengan memindahkan keampuhan ilmu Ngwang. Cara memindahkan yang sempurna, yang jauh lebih cepat dari yang bisa dilakukan Halayudha.

Bisa diartikan, saat itu belum terlintas dalam pikiran Jaghana untuk membiarkan tubuhnya dibelah. Masih penuh dengan dorongan untuk mempertahankan diri. Masih berkobaran semangat hidup, di mana dirinya sudah mencapai tahap pencerahan.

Tahap di mana semua ilmu yang dipelajari sudah menyatu dengan sikap hidupnya, dalam segala tindak-tanduknya. Pemecahan Kidungan Pamungkas, sebagai bentuk yang menyatu dari Kidungan Paminggir dengan Kidungan Para Raja, merupakan penemuan yang paling gemilang.

Jalan pikiran yang dipenuhi dengan pencerahan itu pula yang membuat Jaghana bisa memahami dengan cepat apa yang diperlihatkan Ngwang. Seakan hanya dengan menyalin mampu memindahkan semua simpanan Ngwang. Itu sudah dibuktikan.

Dari kejadian ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya Jaghana tak perlu kalah dari Ngwang. Betapapun Ngwang berhasil menciptakan jurus-jurus yang mengandaskan serangan dari Kitab Bumi, Jaghana masih akan tetap bisa memahami. Dan menandingi. Atau mengungguli.

Halayudha menimang Kangkam Galih. Berusaha menggerakkan dengan memainkan berbagai jurus. Jurus dari Kitab Bumi, Kitab Air, dari Syangka, Jepun, Hindia. Setiap kali dijajal, bahkan sabetan anginnya mampu meretakkan dahan atau melukai kulit pohon.

Mendadak Halayudha menghentikan permainannya di tengah jalan. Kangkam Galih diletakkan di sebelahnya, sementara ia bersila kembali. Duduk tepekur, punggung sedikit melengkung. Kedua tangan terangkum berkaitan di depan, jatuh lepas di tanah. Matanya ditutup. Serentak dengan itu, kemampuan indrianya ditenggelamkan. Getaran mulai mendenging lewat telinganya.

Halayudha memasrahkan diri dengan mengeluarkan tenaga sukma sejati. Memanggil tanda nada, sukma dari dalam tubuhnya. Ngrogoh Sukma Sejati, yang dilakukan dengan cari membisik tanpa suara, memanggil tanda nada, sukma dari dalam tubuhnya.

Tubuh yang melengkung itu bergetar. Seluruh ujung jari, kaki, rambut, telinga seperti bergetar. Seperti dilewati ratusan semut secara teratur. Makin lama makin cepat, temponya makin meninggi, seirama dengan tarikan napasnya. Dap.

Halayudha merasa sukmanya melepas dari getaran. Pandangan matanya yang masih tertutup seperti menemukan dirinya sendiri, seperti masih berada di tempat, masih mengenali Kangkam Galih, masih merasakan semilirnya angin. Hanya saja di depannya berdiri bayangan tubuh Jaghana. Yang tak berubah sedikit pun, kecuali sobekan menganga.

“Maaf, saya terpaksa memanggil Paman Jaghana… Paman sudah sampai di akhir perjalanan rupanya.”

Bayangan itu tersenyum tipis.

“Saya ingin mengetahui kenapa Paman memilih jalan menerima tusukan Kangkam Galih. Apakah itu merupakan kunci pemecahan persatuan kekuatan tanah air, ataukah pencerahan yang lain?”

Bayangan Jaghana seperti berbicara, seperti tetap tersenyum, akan tetapi Halayudha bisa mendengar jelas. “Saya tidak memilih jalan kematian atau kehidupan. Semuanya datang sendiri. Apakah itu pencerahan atau pemecahan, adalah jawaban yang sesungguhnya sama dengan apakah saya memilih atau tidak memilih. Kekuatan tanah air, bukan sesuatu yang istimewa, karena tak ada yang lebih istimewa dari yang lain.”

“Kenapa Kangkam Galih?”

“Kangkam Galih adalah barang, berujud pedang. Barang tak pernah menyatukan atau memisahkan, karena tidak memiliki sukma. Pedang diisi, bisa menjadi hidup. Tetapi tetap barang yang mati.”

“Apakah dengan itu berarti harus ditolak?”

Bayangan Jaghana makin mengabur.

“Maaf, Paman, apakah yang hidup itu?”

“Manusia, dan itulah adanya mahamanusia. Manusia, hanya manusia yang mampu mengubah diri menjelma menjadi mahamanusia. Binatang tak bisa mencapai menjadi maha binatang sampai selamanya. Manusia berasal dari manusia. Yang mengasalkan manusia, manusia juga, dan akan membuahkan manusia. Itulah yang disebutkan dalam Tembang Tanah air, yang melintas dan dikidungkan sesaat sebelum Kangkam Galih menusuk. Kangkam Galih tak akan melahirkan Kangkam Galih lain yang menjelmakan Kangkam Galih berikutnya. Sukma sejati tidak berada pada barang mati.”

Suara yang terdengar dalam telinga batin Halayudha makin melemah. Kemampuan Halayudha dipusatkan, akan tetapi bayangan Jaghana mengabur dan lenyap. Tinggal tubuhnya yang masih bergetar. Dan mulai menerima sekitarnya. Getaran Kangkam Galih yang diletakkan di sisinya, letak pohon dan dedaunan, serta bau tanah. Sesuatu yang juga dirasakan ketika merogoh sukma, akan tetapi terasakan ada bedanya. Yang sekarang terasakan sangat wadak.

Halayudha mengatur napasnya. Setelah mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, Halayudha bangkit. Diambilnya Kangkam Galih dan diamati dengan cermat. Sangat cermat. Mencoba menerobos di balik guratan besi atau campuran dari besi, yang bukan tidak mungkin menyimpan kekuatan tertentu. Yang bukan tidak mungkin dari guratan itu tercermin kidungan, atau cara-cara melatihnya. Seperti yang dilihat dulu, Kangkam Galih tetap berwarna hitam kelam, tipis panjang, tak menyimpan sesuatu yang lain.

Halayudha menjinjing. Ringan langkahnya, perlahan ayunannya. Seperti juga pikirannya yang disusun satu demi satu. Terutama mengenai Tembang Tanah air, seperti yang baru saja diuraikan bayangan Jaghana. Terutama tentang manusia yang bisa menjelma sebagai mahamanusia. Didengar selintas seperti tak ada yang berbeda dari pengertian yang selama ini dimengerti semua orang. Namun pastilah mengandung sesuatu yang mempunyai makna yang dalam, karena menjadi pembicaraan terakhir sukma Jaghana.

Halayudha melangkah perlahan menuju Keraton. Meskipun masih berpikir keras mengenai kematian Jaghana, Halayudha merasa masih berurusan dengan Ngwang maupun Pangeran Hiang. Itu sebabnya masih mencekal Kangkam Galih. Dengan Kangkam Galih, yang meskipun disebut sebagai barang mati, Halayudha lebih percaya menghadapi Ngwang maupun Pangeran Hiang. Yang pasti akan menyatroni Keraton. Kalau kedua tokoh itu menyerang dengan sisa kekuatan terakhir, Senopati Kuti dan para dharmaputra yang lain tak akan mampu menahan. Pun andai Mada ikut bergabung.

Persiapan Enam Penjuru
MADA memilih caranya sendiri. Sejak membawa Raja meninggalkan Keraton, seakan sayapnya tumbuh, cakarnya keluar. Tanggung jawab yang diemban, membongkar kemampuannya yang selama ini terpendam. Sebagai prajurit kawal Raja, Mada memperlihatkan kemampuan yang lebih dari itu. Warisan ajaran mengenai tata keprajuritan dari Eyang Puspamurti yang pernah menjadi senopati, yang puluhan tahun terakhir hidupnya hanya memperdalam mengenai hal itu, mampu diserap Mada. Dan dipergunakan.

Gemblengan yang diperoleh Mada tidak melalui tahapan demi tahapan, melainkan seakan disuntak seluruhnya. Sehingga boleh dikatakan cara menyerapnya pun secara menyeluruh. Ada untung dan ada ruginya. Untung, karena dengan demikian Mada bisa memperoleh pengajaran banyak dalam waktu yang singkat. Seorang prajurit biasa memerlukan pengajaran lama sebelum memperoleh apa yang diperoleh Mada. Sementara Mada, dengan posisinya sebagai prajurit kawal Raja, telah terlibat dalam percaturan tingkat tinggi.

Rugi, karena dengan demikian cara berpikir dan bertindak Mada kadang menyimpang dari tata krama yang ada. Dorongan untuk cepat melaksanakan keputusan dan bertindak langsung kadang tidak dimengerti orang-orang di dekatnya. Seperti tindakan Mada untuk menuju Perguruan Awan. Untuk menemui Jaghana dan meminta restu. Walau akhirnya Mada kembali di tengah perjalanan setelah menemukan darah yang berceceran, potongan tangan.

Mada hanya mengucapkan doa, dan kemudian kembali ke markas persembunyiannya di Badander. Ketika Raja mendesak dengan pertanyaan kapan menyerbu Keraton, Mada menghaturkan bahwa saatnya akan tiba. Kalimat Mada yang sederhana, pendek, terasa menyinggung tata krama keprajuritan yang paling dasar. Walau dalam pengasingan, Raja yang tergantung keamanannya pada Mada, tetap tak bisa menerima sikap semacam itu. Padahal, Mada tak mempunyai pikiran lain, selain mengabdi, dan mempersembahkan yang terbaik.

“Apakah Ingsun juga tak boleh mengetahui rencanamu, Mada?”

“Hamba hanya akan melaksanakan dawuh…?"

“Lalu apa yang kamu tunggu lagi?”

Mada mengibaskan tangannya, menyuruh para prajurit yang lainnya menyingkir. Setelah yakin tak ada yang mendengarkan, barulah Mada mengutarakan rencananya. “Benar semua yang disabdakan Ingkang Sinuwun. Bahwa Pangeran Muda Wengker serta Pangeran Anom Kertawardhana telah menyatakan kesetiaan. Akan tetapi sesungguhnya selama ini, sebagaimana Raja sesembahan yang mulia tahu, pangeran anom bawahan Keraton Majapahit ada enam. Empat yang lainnya adalah Pangeran Anom Pajang, Pangeran Anom Lasem, Pangeran Anom Mataun, serta Pangeran Anom Wirabumi. Kesemuanya mempunyai prajurit-prajurit, mempunyai garis komando yang berdiri sendiri-sendiri. Meskipun kekuatannya tidak sehebat Keraton Tua, keempat pangeran anom ini bisa menjadi kekuatan yang merepotkan bila tidak berada dalam satu komando.”

“Dengan kata lain, sebelum keenamnya mengakui Ingsun, kamu masih akan menunggu? Sampai kapan, Mada?”

Mada menyembah.

“Sampai kapan, Mada? Sampai Ingsun dilupakan?”

“Mohon beribu ampun, Raja Sesembahan yang Mulia, Hamba merasa perlu meyakinkan diri hamba bahwa enam penjuru memiliki irama yang sama, impian yang sama. Waktu selalu dibutuhkan, akan tetapi kita tak bisa nggege mangsa, mempercepat musim. Musim mangga berbuah, tak bisa dipercepat kalau mengharapkan mangga yang lezat sebagaimana diciptakan. Kalau dari enam pangeran anom ada yang tidak seirama, besar sekali kemungkinannya Senopati Kuti akan berlindung ke sana. Dan hamba akan mengalami kesulitan selama mereka belum bisa terbasmi. Sebab perimbangannya akan berbalik. Hamba bersama prajurit berada di tempat terang, sementara mereka berada di tempat yang gelap. Seperti keadaan kita sekarang. Kita lebih leluasa bergerak. Mohon beribu ampun. Hamba hanya mengutarakan apa yang ada dalam benak hamba, yang belum teruji kebenarannya. Mohon Raja Sesembahan mempertimbangkan. Apa pun sabda Raja, hamba akan segera menjalankan. Kalau Raja bertitah menyerbu sekarang, sebelum keringat kering hamba sudah akan berada di barisan depan menyerbu Keraton. Kalau hamba rewel dan kurang tata krama, karena hamba ingin memastikan bahwa tak ada lagi kraman, tak ada pemberontakan. Ini yang terakhir. Demikianlah pendapat hamba.”

“Apakah para dharmaputra sangat kuat?”

“Sangat kuat, kalau mereka bersatu. Sekarang ini sekurangnya Senopati Tanca secara resmi mengatakan tidak berada dalam satu barisan. Sejauh hamba tahu, Senopati Banyak diliputi keraguan. Dengan dua senopati tidak menyatu, hamba lebih berani menerjang habis hingga tandas.”

“Gagasanmu tidak seburuk caramu bicara.”

“Mohon beribu ampun. Hamba tak pernah belajar tata krama, hamba lebih mengenal lumpur dibandingkan batu bata…”

‘Tadinya Ingsun mengira kamu sengaja menunda-nunda, agar Ingsun mensabdakan ada pangkat tinggi jika kamu memenangkan perebutan kembali Keraton. Kalaupun begitu, kamu hanya bisa mencapai jika serangan balik ini berhasil.”

Mada menyembah.

“Kalau benar nantinya Ingsun kembali ke Keraton, akan ada perubahan besar. Selama ini yang menjabat mahapatih tak sepenuhnya bisa menjalankan kewajiban dan wewenangnya. Mengherankan sekali Jabung Krewes. Ia sama sekali tidak memperlihatkan apa pangkat dan derajatnya.”

“Begitulah, Raja Sesembahan yang Mulia. Mahapatih Jabung Krewes, ibarat kata adalah suh, simpai, pengikat utama. Sehingga jika suh tidak kuat, tak ada sapu, yang ada adalah kumpulan lidi. Sapu tanpa suh, bukanlah sapu. Tidak bisa digunakan untuk menyapu, malah mengotori. Selain itu juga lebih mudah dipatahkan.”

“Ingsun lebih tahu mengenai hal itu. Kamu kadang bicara lancang.”

Mada menyembah hingga rata dengan tanah.

“Tetapi kali ini kuampuni, Mada. Aku menyadari sekali, ketika harus menempuh perjalanan malam tanpa wanita tanpa pelayan yang memijati dan mengelap keringat atau menyisir rambutku. Aku menyadari bahwa itu semua ternyata bisa terjadi. Wolak-waliking zaman, zaman bisa berbolak-balik. Yang di atas menjadi di bawah. Seorang Raja Tanah Jawa seperti aku, bisa dipaksa berkeringat dan lapar serta haus. Aku belajar banyak, Mada. Dan aku tak akan mengulangi apa yang terjadi padaku saat ini. Aku membutuhkan kamu, saat ini. Segera setelah semua rencana kamu selesai, Ingsun yang akan memutuskan….” Sampai di sini, nada Ingsun mulai meninggi, membuat dada Raja membusung terangkat.

“Selama ini kukira telah dilakukan Jabung Krewes dengan baik. Nyatanya semua omong kosong. Selama ini aku telah berbuat baik, mengampuni Tujuh Senopati Utama, tetapi mereka ternyata berbuat sangat kurang ajar. Ingsun tak akan pernah membiarkan mereka hidup.”

“Demikian sabda Raja Sesembahan. Itu yang akan terjadi. Dengan mengandalkan waktu. Ada yang bisa dibasmi seketika, ada yang dibiarkan selama tidak merupakan ancaman. Menumpas habis seluruhnya sampai tandas hanya akan membuat lebih banyak dendam permusuhan di belakang hari. Sementara dengan membiarkan beberapa di antaranya, citra keadilan dan kemurahan yang muncul. Yang pada dasarnya untuk menyempurnakan kemenangan.”

“Sejak kapan kamu membaca Kitab Perang?”

“Mohon beribu ampun. Hamba hanya mampu mengingat serba sedikit apa yang diajarkan Eyang Puspamurti.”

“Memenangkan perang adalah menundukkan strategi lawan. Mematikan sebelum lawan bisa menggunakan. Mada, asal kamu ingat baik-baik. Ingsun tak bisa menunggu lebih lama lagi. Badanku, kulitku, rambutku, rasanya sudah menjadi kental. Tak banyak beda dengan kamu sekalian. Ingat itu, Mada.”

Mada menyembah hingga rata dengan tanah.

“Ingsun tak mau tahu apa yang kamu lakukan dengan enam pangeran anom atau dengan siapa pun, dengan cara apa pun. Ingsun menghendaki segera kembali ke Keraton. Bisa kamu lakukan, Mada?”

Mada menyembah hormat lagi.

“Buktikan, Mada.”

Mada masih menunduk hingga rata dengan tanah, di mana kaki Raja berdiri.

Serangan Seribu Lintah
PATIH TILAM, yang paling tua dan berpengaruh, datang ke Desa Badander bersama Patih Wangkong secara hampir bersamaan. Keduanya menemui Mada untuk sowan kepada Raja.

“Saya yang akan menyampaikan apa yang Paman Patih ingin sampaikan.”

“Apakah itu berarti kamu menghalangi kami?” Suara Patih Tilam terdengar dingin nadanya.

“Bisa diartikan demikian. Saya tidak menghendaki dalam saat yang gawat seperti ini, Raja Sesembahan memperoleh keterangan yang bertentangan. Tak cukup waktu untuk merenungkan, sehingga kita semua terkena akibatnya bila Raja sudah bersabda.”

Patih Wangkong mendesis. “Aku sudah menyiapkan seluruh prajurit. Mau tunggu apa lagi?”

“Maaf, Paman Patih Arya Wangkong. Saya yang menjadi pemimpin senopati sekarang ini. Dalam peperangan, hanya ada satu kepala. Kereta tak bisa berjalan sempurna bila ada dua atau tiga sais.”

“Aku muak dengan omonganmu. Kita jadi berperang atau tidak?”

Mada ganti mendesis. “Kalaupun semua prajurit mundur, saya tetap akan maju sendirian.”

“Apa yang kamu andalkan, sehingga berani membuka mulut lebar?” Suara Patih Tilam tetap dingin, menyudutkan.

“Saya hanya mengandalkan kekuatan penduduk. Prajurit kita banyak jumlahnya, terlatih, mempunyai kesetiaan tinggi. Akan tetapi tidak disiapkan untuk mengadakan penyerangan bersama. Kalah menyatu dengan prajurit Keraton atau juga prajurit pilihan Tujuh Senopati Utama. Peperangan besar hanya akan membuat kita malu karena tak bisa saiyeg saeka kapti, tak bisa kompak.”

“Aku sudah melihat kemungkinan itu, Mada. Sebaiknya kita memakai siasat perang Brajasutiknalungid. Dengan prajurit inti yang kuat dan mampu menggempur atau mundur, kita bisa segera menguasai Keraton.”

Patih Tilam mengatakan dengan suara perlahan, seolah tidak ingin didengar sempurna oleh Mada. Dalam hatinya ingin menjajal sejauh mana Mada mengetahui mengenai siasat perang. Dengan mengatakan secara samar dan cepat, kata-kata braja, sutikna, lungid disatukan. Artinya kata itu adalah panah yang tajam.

Dalam siasat perang, mengandalkan satu pasukan tempur pilihan yang akan menggempur maju. Merupakan ujung panah yang menyusup maju mendahului. Dan karena jumlahnya tidak begitu banyak, bisa segera ditarik mundur, apabila situasi tidak memungkinkan untuk menang.

Siasat perang ini pernah dipergunakan Ugrawe ketika menggempur Keraton Singasari. Dibarengi dengan barisan Supit Urang, atau barisan yang membentuk lingkaran, dengan kekuatan utama di sapit kanan maupun kiri. Dua kekuatan ini merupakan inti penyerbuan dan bisa bergerak leluasa untuk memindahkan medan pertempuran.

Nyatanya berhasil menggempur dan menaklukkan para prajurit sekitar Keraton, sementara barisan Panah Runcing menyusup masuk ke Keraton. Dan berhasil sempurna, karena Sri Baginda Raja Kertanegara maupun Mpu Raganata, mahapatih utama, berhasil ditewaskan.

Mada menggeleng mantap. “Brajasutiknalungid sebagai siasat perang waktu itu sangat memungkinkan, karena ada para ksatria pilihan yang digabungkan. Terutama sekali juga karena Sri Baginda Raja tidak menduga ada manusia berhati culas seperti halnya Raja Muda Gelang-Gelang. Saya tidak mengatakan siasat perang itu tidak baik. Justru sebaliknya, tokoh yang bernama Ugrawe sangat linuwih, sangat pinunjul, lebih hebat dari siapa pun, karena mampu mempergunakan kekuatan yang tak terduga oleh lawan. Namun saya sendiri menilai siasat perang itu sebagai serangan licik, tanpa mengurangi kehebatan strategi perang yang dilancarkan secara tepat.”

“Aku tidak mengerti, karena kamu susah payah mengumpulkan kami yang begitu luas berpengalaman dalam perang, kemudian mengubah menjadi serangan yang mengandalkan kekuatan penduduk? Bisa apa mereka? Kalau memang penduduk bisa berperang, tak ada lagi gunanya prajurit atau senopati atau patih seperti aku.”

“Paman Patih Wangkong. Sekarang perkenankan saya mengatakan rencana penyerangan, dan kemungkinan peperangan. Mengetahui kekuatan lawan dan mengakui kelemahan sendiri, adalah langkah pertama. Saat ini, kekuatan Tujuh Senopati Utama adalah karena keunggulan dan kesatuan kepemimpinan. Telah dibuktikan bahwa Keraton bisa dikuasai mutlak kurang dari setengah malam. Saat ini, kelemahan kita justru pada jumlah prajurit yang kurang memadai, dengan keterampilan di bawah prajurit Tujuh Senopati Utama. Peperangan yang akan terjadi lebih banyak membuktikan perkiraan saya. Kita akui, prajurit Keraton selalu lebih unggul dari prajurit kanoman, prajurit yang dipimpin para pangeran anom. Saya lebih mengandalkan serangan dengan siasat Wredu-Angga Sasra, yang bergerak menyeluruh serta bersamaan.”

Patih Tilam mengelus bibir atas, tepat di bawah hidung. Sebagai orang yang dituakan, sebagai patih sekaligus penasihat rohani Pangeran Anom Wengker, pandangannya sangat luas. Sesaat melihat Mada, sudah terasakan kelebihan prajurit yang satu ini. Seakan memancarkan kekuatan yang sangat mendesak, menyeruak, dan siap meledak. Sekarang terbukti. Dengan mengajukan gagasan siasat Wredu-Angga Sasra, Mada membalik siasat yang selama ini dipakai dalam peperangan.

Wredu berarti ulat, wredu-angga berarti lintah, sedangkan sasra berarti seribu. Gerakan Wredu-Angga Sasra selama ini selalu diterapkan dalam membentuk barisan atau baris-berbaris. Gerakan tangan dan kaki yang bersamaan, diatur sedemikian rupa sehingga mirip gerakan seribu lintah bersamaan. Tak pernah terpikirkan bahwa gerak baris-berbaris ini menjadi siasat perang.

“Saya mengetahui bahwa gagasan saya sangat tidak masuk akal. Paman Patih yang jauh lebih berpengalaman. Namun ada alasan kenapa sebaiknya kita memakai siasat Seribu Lintah. Pertama, karena penduduk sekitar sudah terkumpul di alun-alun. Jumlah mereka sangat banyak. Kalau ada satu atau dua atau tiga yang menggerakkan maju secara bersamaan, akan merupakan kekuatan yang tak terbendung. Satu-dua prajurit dengan gampang bisa membunuh, akan tetapi itu hanya akan memancing peperangan besar. Kalau kita mempunyai pemimpin yang kuat untuk meneriakkan maju ke depan. Dalam kebersamaan yang menyatu, prajurit Keraton akan bimbang. Membunuhi penduduk gampang, akan tetapi mereka akan berpikir bahwa sungguh tidak layak prajurit membunuhi penduduk biasa. Dalam kebimbangan itulah barisan kita merangsek maju bagai gerakan seribu lintah. Dalam hal ini yang kita perlukan hanyalah para pemimpin yang namur laku, yang menyamar di antara para penduduk yang pepe, berjemur. Merekalah yang mengarahkan serangan dan maju dengan aba-aba. Alasan kedua, yang bagi saya sangat penting, adalah bahwa serangan ini serentak, menyeluruh, melibatkan semua penduduk dan prajurit. Yang mempunyai makna besar, bahwa mereka semua mendukung dan mengakui takhta Raja. Keunggulan ini sangat berarti, karena menggambarkan bahwa peperangan yang terjadi bukan hanya antara prajurit Tujuh Senopati Utama dan prajurit Raja, melainkan prajurit Tujuh Senopati Utama melawan seluruh penduduk dan prajurit. Pemusatan kekuatan ini menjadi sangat penting, ketika kita semua melakukan kewajiban dan menangkap Tujuh Senopati Utama. Dan alam pikiran kita semua akan terbebas dari rasa bersalah kalau kita menganggap bahwa mereka adalah kraman, yang memusuhi penduduk.”

Patih Tilam kembali mengangguk dalam hati. Gerakan baris Wredu-Angga Sasra, atau Seribu Lintah, dalam hal ini memang bisa menjadi bagian serangan. Serangan yang menyeluruh. Kalau benar ini berhasil, Patih Tilam makin percaya bahwa Mada memiliki sinar yang berbeda dengan kebanyakan senopati. Tapi Patih Tilam tak berubah wajahnya. Nada suaranya tetap dingin.

“Kamu akan mengorbankan penduduk biasa yang tak bersenjata? Di mana sifat prajurit yang seharusnya justru mengayomi?”

“Saya tidak mengorbankan penduduk biasa.”

“Apakah…”

“Mereka itu ada yang menjadi korban, Tetapi saya tidak mengorbankan.”

“Tahukah kamu, Mada, bahwa kata-katamu itu terlalu tajam dan kamu menjadi terlalu pintar untuk mengubah kebenaran?”

“Saya tidak paham kata-kata Paman Patih yang bijak. Saya hanya menjalankan tugas dan wewenang yang ada di pundak saya sekarang ini.”

“Kamu yang bertanggung jawab kalau ada yang menjadi korban?”

“Saya tak akan lari dari tanggung jawab. Saya akan menerima semua tuntutan dan menanggung semua kesalahan ini. Kecuali kalau Paman Patih mengemukakan gagasan yang lain, yang bisa meyakinkan untuk merebut kemenangan.”

“Apakah kamu yakin?”

“Besok, saat matahari menyatu dengan bumi, saat bayangan tubuh terinjak sepenuhnya, keyakinan saya akan menjadi kenyataan.”

Pemberontakan Pamungkas
TEPAT ketika matahari bersinar di atas ubun-ubun, ketika bayangan lurus dengan tubuh, penduduk yang melakukan pepe, berjemur, bergerak serentak. Patih Wangkong yang tak sabaran langsung berada di depan. Lautan manusia bagai gelombang pasang yang menggetarkan isi Keraton. Melewati alun-alun, bagian depan sudah di depan gerbang, sebagian masih di sitihinggil, sementara bagian belakang masih tertinggal di jalan masuk.

Senopati Jurang Grawah tidak memperhitungkan bahwa masyarakat yang dihadapi bisa menjadi kekuatan yang membuat bulu kuduknya bangkit. Betapa tidak, jika mereka hanya bisa mendesak maju, merangsek maju, menggertak maju. Tombak tak bisa menghalangi. Bahkan satu-dua korban yang jatuh membuat kemarahan menjadi berlipat. Hanya dalam waktu singkat, Keraton telah dipenuhi lautan manusia yang terus mendesak maju. Manusia tanpa senjata.

Senopati Kuti dan Senopati Pangsa belum sempat mengatur siasat dan menerapkan perintah, ketika Patih Wangkong sudah menggempur.

“Atas nama Raja Majapahit yang mulia. Para pemberontak yang hina harap meletakkan senjata!”

Diiringi bunyi genderang, bende, dan teriakan serta naiknya umbul-umbul dari berbagai penjuru, Mada memimpin di barisan tengah, mengawal joli indah. Senopati Kuti mempersiapkan serangan bertahan yang terakhir. Akan tetapi perintahnya tak ada yang dipenuhi prajuritnya. Meskipun sigap dan cekatan, rasanya mereka masih ragu menghunjamkan senjata kepada penduduk yang tidak bersenjata. Sehingga terus terdesak mundur.

Senopati Kuti mencabut kedua kerisnya. Berusaha memotong arus maju yang makin merapat, ketika Patih Arya Wangkong menerjang ganas. Permainan silatnya yang lugas, serba tergesa, memang bukan tandingan Senopati Kuti. Akan tetapi gerebekan yang mengimpit rapat menyebabkan Senopati Kuti tak bisa berbuat banyak. Apalagi Senopati Pangsa memilih mundur ke arah kaputren, yang segera disambut Patih Tilam. Pertarungan tak seimbang terjadi.

Tak seimbang karena Patih Tilam menyiapkan jebakan dengan jitu, sementara Senopati Pangsa dalam keadaan kacau-balau. Seakan patah semangat sebelum terjadi pertarungan yang sesungguhnya. Hanya dalam lima jurus, Senopati Pangsa berhasil ditundukkan dengan tusukan ujung tombak. Robohnya Senopati Pangsa dibarengi dengan teriakan dahsyat. Teriakan bergemuruh sebagai tanda kemenangan.

Senopati Wedeng bahkan tertusuk senjatanya sendiri. Senopati Yuyu seakan melakukan serangan nglalu atau serangan bunuh diri. Sendirian Senopati Yuyu menyerang ke arah joli utama. Sambutan serangan dari berbagai jurusan menyudahi gerakannya, jauh sebelum bisa menyentuh joli. Mada meloncat maju setelah menyembah ke arah joli.

JILID 79BUKU PERTAMAJILID 81