Senopati Pamungkas Kedua Jilid 79 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 79

Halayudha mendadak bangkit berdiri. Mengubah gerakan tangan dan kakinya. Kepalanya miring mencoba menangkap kidungan yang sayup.

Tanah air tak mengenal batas
semua laut bisa dikuras
semua gunung bisa dipangkas
seluas pandangan
Sri Baginda Raja Kertanegara

tanah air bukan takhta
yang bisa diwariskan
tanah air bukan harta
yang bisa dibagi, dikurangi, dicurangi
tanah air bukan pribadi
sebab semua bisa memiliki

tanpa menimbulkan iri, risi
tanah air adalah ibu
yang menyusui, yang mengasihi
tanah air adalah daya asmara sejati
yang menggerakkan berahi



Apa pun yang terjadi, Ngwang tak mau memberikan kesempatan. Karena melihat bahwa kidungan samar itu bisa membuat Halayudha bangkit berdiri. Seakan mendapat tiupan sukma kehidupan. Padahal, tubuh Halayudha memang berbeda. Simpanan kekuatannya bisa memulihkan kesadarannya.

Ngwang tak mau memberi peluang perubahan yang bisa membalikkan suasana sekarang ini. Tubuhnya terangkat dari tanah. Dengan satu gerakan sangat gesit, merampas Kangkam Galih dari tangan Pangeran Sang Hiang. Halayudha tersedak. Ia meloncat ke depan akan tetapi tubuhnya masih sempoyongan. Jangan kata menubruk maju, untuk bisa tegak di tempatnya saja kelihatannya masih belum bisa sempurna.

Yang bergerak pertama adalah Jaghana. Yang tetap bersila, menunduk, tapi beralih tempatnya. Berada di antara Gendhuk Tri dan Upasara Wulung! Tempat di mana tusukan Kangkam Galih tertuju. Ngwang memang tidak menusuk langsung ke arah Upasara ataupun Gendhuk Tri. Karena masih merasa perlu berjaga-jaga jika kedua lawan yang luar biasa ini mampu mengeluarkan serangan mendadak.

Ngwang tak ingin terjebak, di saat-saat di mana kemenangan sudah berada di tangan. Makanya tusukannya tertuju ke arah tangan Upasara Wulung yang bergenggaman dengan Gendhuk Tri.

“Tusuk!” Teriakan Pangeran Hiang melecut Ngwang yang untuk sesaat seperti menahan laju Kangkam Galih! Ujung pedang hitam tipis yang mampu menetas besi bagai memotong batang pisang itu tak tertahan lagi.

Jaghana yang mencekal erat tangan Upasara Wulung dan Gendhuk Tri tersenyum. Matanya yang jernih, suci, seakan memancarkan sinar. Meskipun Kangkam Galih amblas di dadanya yang selalu licin telanjang. Sewaktu Kangkam Galih ditarik dengan sodetan, yang tertinggal adalah luka yang menganga. Bersih. Tak ada darah menetes. Hanya lapisan daging yang terbelah, tulang iga yang patah. Kepergian orang suci. Kembalinya orang yang diterima Dewa Maha Pencipta.

Persinggahan Abadi
TUBUH Jaghana telentang. Dari dada sampai perut menganga luka, dengan sobekan melintang. Tapi siapa pun yang melihatnya tidak ngeri, tidak jijik. Bukan karena tak ada darah yang muncrat atau tumpah. Melainkan karena ada kekuatan yang tiba-tiba menyertai kepergiannya.

Awan memayungi matahari. Ujung-ujung daun rumput dan semua tumbuhan bergerak sangat perlahan, disentuh angin lembut. Bau wangi menyebar, tersimpan lama bagi siapa pun yang mengisap udara saat itu. Alam terasa sangat damai. Tenang. Lestari.

Tak tergetar sedikit pun sisa-sisa kebencian atau ketegangan. Meskipun Ngwang masih memegang erat Kangkam Galih, yang anehnya juga tak mengucurkan atau basah oleh darah.

“Om.” Suara yang salah nada. Sumbang. Mengganggu ketenteraman.

Karena ketenangan lebih menggetarkan. Lebih mendalam rasa yang terendapkan. Meskipun bukannya tanpa pergolakan. Justru Pangeran Hiang yang tampak berubah wajahnya. Ada bayangan Gemuka yang muncul kembali. Gemuka yang gagah perkasa, yang jemawa tanpa tanding, mati dengan cara mengenaskan. Dengan seluruh tubuhnya yang seolah memuncratkan darah penderitaan dan kesengsaraan. Akhir yang alot berkelojotan. Sementara Jaghana justru sebaliknya. Tanpa darah, bahkan menyebarkan bau harum bunga melati.

Halayudha mengelus rambutnya dari pangkal hingga ujung. Puluhan kali matanya menyaksikan kematian, baik dengan tangannya sendiri secara langsung ataupun tidak. Baik yang didengar ataupun yang samar-samar dialami. Tokoh-tokoh yang paling hebat, ia saksikan kematiannya. Baik Ratu Ayu Bawah Langit yang mengenaskan, gurunya sendiri yang pernah ditumpuki batu, ataupun bahkan anaknya sendiri.

Ia mendengar bahwa tokoh yang paling dipuja selamanya, Sri Baginda Raja Kertanegara, juga meninggal dunia dengan cara mengenaskan. Baginda Sanggrama Wijaya sendiri pun demikian, kurang-lebihnya. Bahkan empu sakti dan berjiwa luhur, Mpu Raganata, tak selembut dan sedamai seperti apa yang sekarang disaksikannya.

Dibandingkan dengan tokoh-tokoh utama yang sakti, Eyang Kebo Berune, Puspamurti, Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, atau para pemimpin keprajuritan, tak ada yang menyamai keabadian yang begitu menyentuh. Bahkan tidak dialami Eyang Sepuh, yang masih kembali dari moksa. Dari segala macam ilmu yang didalami secara tuntas, untuk pertama kalinya Halayudha menemukan kesempurnaan perjalanan keabadian pada diri Jaghana.

Dewa pun belum tentu bisa kembali ke asalnya dengan kasampurnan yang sejati. Persinggahan abadi yang indah. Yang meninggalkan makna penuh bahwa kematian bisa berarti ketulusan, kesucian yang abadi. Kekal sepanjang masa.

Getaran yang sama, rumasuk dalam jiwa Upasara maupun Gendhuk Tri. Dalam keadaan luka di dalam, dalam keadaan tersendat, keduanya merasa ditunjukkan kepada tempat yang sangat membahagiakan, tanpa keraguan.

Nyai Demang yang terkena kekuatan sirep bau minyak atau bau tubuh Pangeran Hiang sampai terbangun. Pengaruh harum sirep seakan pudar lebih cepat. Nyai Demang duduk bersila dalam keheningan sambil mengucapkan segala doa dan mantra dari mata batinnya.

Siapa pun yang mengenal Jaghana, hanya mempunyai kata-kata pujian untuk mengenangnya. Tak pernah ada kesan atau rasa, di mana Jaghana sengaja berbuat jahat atau curang atau nakal untuk kepentingannya sendiri.

Sewaktu berusia dua puluhan tahun, ketika pertama kali Upasara terjun ke gelanggang persilatan dari penempaan yang dahsyat di Ksatria Pingitan, Jaghana yang sederhana telah mempengaruhi jiwanya. Walaupun saat pertama bertemu, Upasara belum bisa menerima seorang yang tidak mengenakan pakaian selain kain gombal penutup bagian tubuhnya yang penting. Kepalanya dibiarkan pelontos, tubuhnya gemuk, bibirnya selalu tersenyum dengan sorot mata sebening embun pagi hari.

Pemakaian nama Jaghana adalah bentuk pengejawantahan, bentuk nyata yang membumi. Perjalanan hidup Upasara selanjutnya membuatnya mengenal Jaghana lebih dalam. Juga ketika Jaghana menerima pilihan Eyang Sepuh, bahwa Upasara Wulung yang lebih pantas memimpin Perguruan Awan.

Jaghana, murid angkatan pertama yang mengabdi sepenuhnya pada ajaran Perguruan Awan, menerimanya dengan rasa bahagia. Sikap menerima dengan penghormatan yang tulus mulus, tidak hanya terwujud dalam jurus-jurus ilmu silatnya, melainkan tercermin dari seluruh tindakannya.

Nyai Demang juga merasakan hal yang sama, meskipun dari sudut yang lain. Di antara sekian lelaki yang mengenalnya, hanya Jaghana yang tidak pernah setitik pun berbuat tidak senonoh. Sekelebat bayangan dibagi selaksa pun tak pernah dirasakan. Baginda begitu ingin mencicipi. Bahkan Dewa Maut sempat tergoda dan berbuat di luar kemauannya. Upasara sendiri pernah tertarik dengannya.

Tapi tidak bagi Jaghana. Sebutan paman kepadanya adalah dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Bahkan ketika mengobati Nyai Demang dengan cara yang tidak biasanya, kesan kurang ajar itu tidak ada. Walau tidak berarti dingin. Segala puja dan puji. Segala doa dan mantra untuk seorang yang tak pernah berniat menonjolkan diri, tak pernah menginjak rumput, atau bahkan mengambil buah yang tak ditanamnya sendiri. Seekor semut, seekor nyamuk, seekor cacing, bahkan mungkin angin tak pernah merasa dirugikan oleh Jaghana.

Kalau ada pertanyaan yang membersit adalah kenapa Dewa Yang Mahadewa berkenan memanggilnya sekarang? Kenapa bukan aku, Nyai Demang, yang merasa melakukan banyak penyimpangan dalam hidup? Kenapa bukan aku, Halayudha, yang menumpuk dosa lebih tinggi dari gunung? Kenapa bukan aku, Gendhuk Tri, yang membuat keonaran? Kenapa bukan aku, Upasara Wulung, yang menjadi ragu di saat yang menentukan dan menyengsarakan batin wanita yang dikasihi? Kenapa bukan aku, batu, yang merasa tanpa guna. Kenapa bukan aku, daun, yang sudah kering?

Barangkali dalam bentuk lain, pertanyaan itu juga tergema dalam sanubari Pangeran Hiang. Yang masih terkesima, seakan tak menyadari sepenuhnya bahwa pedang yang tadi digenggam yang menghentikan kehidupan Jaghana.

Ngwang maju setindak. Untuk meyakinkan pandangannya. Untuk membuktikan bahwa matanya tidak menemukan setetes darah. Matanya berkejap-kejap memandang ke langit. Bibirnya berkomat-kamit. Lalu, dalam satu tarikan napas, kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih. Memandang sekitarnya. Siap melakukan serangan yang berikutnya. Pedang tipis hitam yang telah mengantarkan tokoh-tokoh utama selama ini, seakan masih mencium kematian. Bergetar.

“Pangeran…” Suara Nyai Demang terdengar serak.

“Tak ada yang mengemis kebaikan. Tak ada artinya persaudaraan.” Suara Halayudha terdengar lantang dan nyaring. Cepat sekali ia memotong ucapan Nyai Demang yang ingin mengembalikan ingatan Pangeran Hiang.

“Majulah kalian berdua. Ingsun akan menghadapi sebagaimana halnya Raja Tanah Jawa. Kalau kalian tak mau mendahului, jangan salahkan Ingsun” Kaki kiri Halayudha terentang maju.

Ngwang melayang. Kangkam Galih di tangannya menyabet perkasa, seakan kesiuran anginnya yang tajam mampu memapras ranting dan dedahanan. Akan tetapi agaknya Halayudha tidak gentar. Ia merangsek maju. Menyusup di bawah sabetan pedang, jari tangan kirinya yang terbuka meraup. Menyerang dada sebelah kiri. Sambil berputar. Sehingga dalam satu gerakan, seakan tangan kanannya siap mencengkeram tengkuk Ngwang.

Ngwang yang berusaha menarik sedikit pedangnya, membuat Halayudha jungkir-balik menyelamatkan diri. Dua serangannya terpaksa ditarik kembali, juga putaran tubuhnya ke arah kanan, menjadi ke arah kiri. Berbalik ke tempatnya semula, dengan dua kaki secara keras menyapu. Ngwang hanya menurunkan pedang ke bawah. Arahnya lurus bagai tongkat.

Halayudha melejit ke atas. Dua tangannya yang perkasa mengeluarkan tenaga pukulan memberondong, memancarkan hawa panas yang menyengat keras. Kesembilan jarinya menusuk-nusuk tajam, kadang menggoresi. Hanya dengan cara itulah Halayudha mampu merepotkan Ngwang. Tapi selebihnya, semua serangannya kandas atau bahkan sangat menyulitkan dirinya. Hanya dengan menarik pedang untuk melindungi, tak ada terobosan serangan. Bahkan jika Ngwang memakai pedang untuk mengurung diri, dan sesekali melancarkan serangan, Halayudha akan makin terdesak.

Pertarungan yang tidak seimbang. Pertarungan pincang, berat sebelah. Ngwang dengan pedang saktinya meredam habis serangan Halayudha. Keunggulan kembangan jurus dan permainan silat Halayudha menjadi kandas setiap kali Ngwang mengajak adu senjata. Kalah kekuatan dan posisi ini menyebabkan Halayudha dikuras kemampuannya, karena harus memilih serangan yang bisa mengacaukan lawan.

Ngwang seperti menikmati keunggulannya. Tak merasa perlu buru-buru menyikat lawan. Malah sebaliknya, menunggu kesempatan yang baik. Karena tak ada yang perlu dipertaruhkan lagi.

Krekalasa Warna
HANYA soal waktu. Kesalahan yang paling buruk pun tak akan banyak mempengaruhi hasil pertarungan. Keadaan Halayudha lebih buruk dari Jaghana. Meskipun demikian, Halayudha tidak kelihatan kehilangan semangat. Dengan terpontang-panting, dengan jungkir-balik untuk menyelamatkan nyawanya, daya serangnya yang kecil-kecilan masih bisa membuat Ngwang menahan nafsu kemenangan.

Untuk pertama kalinya, Halayudha dipaksa berada dalam keadaan mati-hidup yang tak bisa dihindari dengan kelicikan atau keculasan. Sekarang ini ilmu silatnya benar-benar diuji sepenuhnya.

Ngwang menggertak maju. Sabetan Kangkam Galih kini menerabas, menggunting jalan mundur Halayudha. Kegesitan yang pesat bisa diimbangi dengan ilmu mengentengkan tubuh yang belum ada tandingannya. Satu-satunya halangan bagi Ngwang hanyalah tidak terbiasa memainkan pedang tipis, sehingga mengganggu kelincahan geraknya. Namun kekurangan itu terisi dan terimbangi oleh kesaktian pedangnya.

“Om.”

Cegatan tusukan lambung langsung menyodet ke atas. Serangan yang mematikan karena Halayudha tak mungkin meloncat mundur atau bergeser ke kanan atau ke kiri. Kalaupun mencoba mengerahkan kemampuan tenaga air seperti Gendhuk Tri, Ngwang hanya tinggal memutar pergelangan tangannya. Ujung pedangnya bisa menukik ke bawah. Halayudha tak akan bisa meloloskan diri!

Kalau sebelumnya Gendhuk Tri mampu menundukkan Ngwang, tidak berarti Gendhuk Tri mampu mengungguli Halayudha. Ilmu silat Gendhuk Tri menjadi unggul karena kekuatan tenaga air memang tak terduga. Dan saat itu Ngwang tidak seperti sekarang ini. Menggenggam erat Kangkam Galih. Pegangan tangan Gendhuk Tri mengeras di jari-jari Upasara Wulung. Meskipun dipenuhi dendam pribadi, Gendhuk Tri tak tega melihat keadaan Halayudha. Yang memilih meluncur ke bawah. Ujung Kangkam Galih beralih ke bawah.

Jres! Pedang itu menebas ke dalam tanah. Amblas sampai gagangnya. Sehingga Ngwang yang melayang di atas tanah tertarik ke bawah. Tubuhnya terseret kekuatan pedang sakti. Dengan kekuatan menyentak dan di luar dugaannya sendiri. Perhitungan Ngwang atau siapa pun, tetap tak menyangka bahwa Kangkam Galih benar-benar sakti. Digerakkan dengan tenaga keras atau kuat, kesaktiannya berlipat. Sehingga pengubahan tenaga menusuk menjadi menghunjam, terus menusuk.

Tanah keras terlalu empuk bagi Kangkam Galih. Akibatnya amblas terus ke dalam. Tubuh Ngwang tersedot ke bawah oleh kekuatan ayunan tikamannya. Apa pun akibatnya, tubuh Halayudha tak mungkin lolos. Secepat apa pun ia bergerak, hunjaman tetap lebih cepat. Tak mungkin memiringkan tubuh menghindari serangan. Itu akan mengurangi kecepatannya bergerak. Sebelum bisa miring, Kangkam Galih berhasil memanggangnya.

Begitulah perhitungan yang bisa terjadi. Nyatanya tidak. Nyatanya tubuh Ngwang yang terjungkal, melayang di angkasa. Dada Nyai Demang seakan meledak. Ada yang ingin diteriakkan, tapi mampat. Dugaannya yang pertama adalah Pangeran Hiang yang turun tangan. Karena begitu tubuh Ngwang terjungkal bagai orang yang terpeleset dan tak mampu menguasai keseimbangan, ada bayangan yang begitu dekat berkelebat.

Merenggangkan kaki berupa tendangan, dengan gerakan nggajul. Menendang dengan ujung jari kaki ke arah atas. Entah bagian tubuh mana yang terkena gajulan, sehingga arah terjungkalnya Ngwang jadi berubah. Dari terjerembap ke tanah menjadi melayang lagi ke angkasa. Saat itu memang tubuh Pangeran Hiang berkelebat. Sebat, bagai kilat. Tak terlalu berlebihan jika Pangeran Hiang dalam saat-saat kritis terobek nuraninya dan turun tangan.

Namun jalan pikiran Nyai Demang mempertanyakan. Untuk apa Pangeran Hiang menendang Ngwang, kalau jelas lawan sudah telanjur dikalahkan? Kalau Pangeran Hiang menahan Ngwang saat menghabisi Upasara Wulung, Gendhuk Tri, atau dirinya, Nyai Demang bisa menerima. Tapi kalau Halayudha? Rasanya sulit diterima. Dan lagi, rasanya Halayudha masih berkelebat.

Memang masih. Dengan sangat luar biasa Halayudha menyambar gagang Kangkam Galih, dengan tubuh masih meluncur, menyabetkan Kangkam Galih. Terdengar suara terengah. Darah muncrat. Nyai Demang menggigit lidahnya tak terasa. Potongan tangan yang masih berdarah, masih mengeluarkan gerakan, jatuh tepat di depannya. Tangan Pangeran Hiang. Kutung mulai dari pangkal bahu! Tangan kanan Pangeran Hiang. Yang kelima jarinya seperti masih bergerak-gerak terus, sementara bagian pangkalnya menyemburkan darah segar.

Cepat dan tangkas jalan pikiran Nyai Demang, akan tetapi tak bisa mengartikan apa yang baru saja terjadi. Gendhuk Tri tak bisa mengamati dengan jelas rangkaian kejadian yang seakan lebih cepat dari kilat. Sabetan cahaya kilat masih bisa dilihat pangkalnya, akan tetapi kejadian yang belakangan sulit diikuti mata. Yang ia tahu hanya bagian akhirnya. Sehingga harus disusun sendiri.

Yang dilihat Gendhuk Tri ialah bahwa kenyataan Halayudha lolos dari maut. Bahkan lebih dari itu, sewaktu tubuh Ngwang terpeleset, Halayudha bisa menendang keras. Sehingga tubuh tanpa kekuatan itu terpental. Saat itulah Halayudha mencabut Kangkam Galih, menyambar lawan dengan menyabetkan pedang. Saat itu Pangeran Hiang sudah bergerak. Dan tangannya, tangan kanannya, tertebas.

Bagaimana Halayudha bisa meloloskan diri, masih diperkirakan kemungkinannya. Meskipun bagi Upasara Wulung bisa terbaca. Bahwa pada kejapan terakhir, Halayudha mempergunakan kekuatan sukma sejati, atau tenaga sukma sejati, sukmanya terogoh dengan sendirinya. Ngrogoh sukma yang sempurna. Sebagaimana dulu Upasara memainkan, atau lebih tepat mengalami, ketika tubuhnya seolah menjadi dua atau tiga sosok yang berada di tempat yang berbeda.

Kini Halayudha yang mempunyai pencarian yang sama dengan pendalaman yang sama kuatnya, juga terpanggil sukmanya. Tubuhnya pecah menjadi dua. Seakan melintas ke belakang, seakan jatuh ke bawah. Dalam hal ini Upasara sendiri tidak bisa memastikan di mana tubuh Halayudha berada. Berbeda dari dirinya, saat Ngrogoh Sukma Sejati, tubuh yang sebenarnya seakan terpaku di satu tempat. Meskipun tubuh yang lain berada di tempat yang berbeda, dan menghadapi lawan yang berbeda pula.

Tidak mudah bagi Upasara menangkap gejolak batin Halayudha. Karena memang titik tolak pendalaman dari sikap yang mendasari berbeda. Pada diri Halayudha pencapaian sukma sejati sebagai inti kekuatan tidaklah semurni Upasara Wulung. Akan tetapi, dalam hal ini tak bisa dikatakan lebih rendah atau kalah unggul. Kekuatan utama sukma sejati, justru pada kekuatan yang telah dimiliki, sikap mendalam dan mendasar yang ada.

Pada diri Halayudha, kemenangan adalah mutlak, dengan risiko atau cara apa pun. Menyembulnya kemenangan itu dalam batas yang paling akhir, yaitu mempertahankan hidupnya. Kekuatan sukma sejati memancar. Dan karena Halayudha pada dasarnya tidak bersih, yang mencuat ke luar adalah pencapaian pikirannya, batinnya, sukmanya. Yaitu secara sadar mengecoh lawan, dengan gerakan Krekalasa Warna.

Krekalasa berarti bengkarung atau bunglon, binatang yang mampu menyesuaikan warna kulitnya dengan alam sekitarnya. Maka pecahan tubuh Halayudha pun untuk menjebak serangan lawan. Dalam hal ini, Halayudha bisa menerjang dari bawah, dengan menggunakan kekuatan dan gerakan air, jika tusukan Ngwang tidak diubah.

Bagi Upasara, bisa jadi itu semua menjadi masalah. Akan tetapi tidak bagi Halayudha. Dengan pemahaman yang begitu mendalam dan larut pada berbagai ajaran dan ilmu silat, Halayudha susah dipastikan apakah dirinya penganut ajaran kekuatan bumi, air, atau bahkan dari Tartar dan atau juga dari Jepun. Semua bisa dimainkan tanpa bertentangan, karena pribadi Halayudha yang mendasari tak pernah menyatu. Karena sikap Halayudha sendiri mampu mencampakkan sementara apa yang sedang diyakini.

Dengan gerakan krekalasa, Ngwang terjebak. Celakanya, ia tidak menyadari kekuatan Kangkam Galih yang meskipun tipis tapi sangat berat ketika digerakkan. Dan hanya Halayudha yang bisa sama ganasnya dengan Ngwang. Ketika Ngwang kehilangan keseimbangan, Halayudha tidak hanya membiarkan lolos. Tapi juga menendang keras dengan gajulan sepenuh tenaga, karena kini posisi tubuhnya berada di belakang Ngwang.

Bukan berhenti di situ saja. Melihat lawan sungsang-sumbel, Halayudha mencabut Kangkam Galih dan menebas. Dan tidak hanya berhenti di situ pula. Halayudha masih mencecar lawan. Tubuhnya memutar, dan Kangkam Galih digetarkan. Pindah dari tangan kiri ke tangan kanan. Sekali tubuhnya melayang, sekaligus melancarkan 24 tusukan yang berbeda arahnya.

Pukauan Angin
HALAYUDHA tak menyisakan sedikit kemungkinan bagi lawan. Kalau dalam satu sabetan berhasil mengutungkan lengan, Halayudha tak peduli sabetan kedua dan ketiga akan mengutungkan apa dan siapa yang terkena. Dua puluh empat sabetan yang dilancarkan menunjukkan keganasan itu. Bahwa tenaga dalam Halayudha sepenuhnya dikerahkan dengan geram, dapat dilihat dari caranya memainkan pedang Kangkam Galih yang membabi buta, sehingga bisa dirasakan wibawa maut yang menyebar.

Ngwang yang sudah telanjang dada, memutar tubuhnya, melesat bagai pijaran kilat, sambil memanggul Pangeran Hiang. Tanpa sungkan atau malu-malu, tubuhnya meninggalkan gelanggang pertarungan begitu saja. Hanya satu tangannya sempat melepaskan senjata rahasia, bersamaan tangan kiri Pangeran Hiang juga melepaskan pukulan.

Halayudha memperhitungkan bahwa Ngwang bisa melarikan diri. Itu sebabnya ia ingin mengunci dengan berbagai arah kemungkinan, sambil menutup diri, karena sadar bahwa lawan mampu menggunakan senjata rahasia yang serba tak bisa diperhitungkan sebelumnya. Terutama ragamnya yang aneh. Walau akibatnya sama, yaitu menghancurkan lawan dengan tega.

Hal yang tak diperhitungkan Halayudha adalah bahwa ketika ia menerjang tadi, Ngwang memuntahkan sesuatu dari tubuhnya. Bau wangi yang larut dalam angin. Yang bisa bekerja begitu keras dan sangat cepat! Semacam aji sirep atau ajian untuk memukau, untuk menghilangkan kesadaran. Halayudha pernah mengetahui keampuhan bubuk pagebluk yang datang dari tanah Syangka. Yang bila ditebarkan akan menguasai kesadaran dan melimbungkan. Tapi yang sekarang ini ternyata jauh lebih hebat.

Karena pukauan itu berkembang bersama angin, sesuai dengan kekuatan utama Ngwang. Barangkali yang paling mengenali adalah Nyai Demang. Ia pernah merasakan pengaruh yang menindih seketika, sehingga tak sadar siapa yang berbuat padanya. Sedemikian kuatnya, sehingga Upasara Wulung ataupun Jaghana yang waktu itu ada di dekatnya juga tak segera menyadari dari mana datangnya pukauan.

Dan karena kemampuan tenaga dalam Nyai Demang paling lemah, dirinyalah yang lebih dulu terkuasai. Sebelum Ngwang mengempos seluruh kemampuannya. Mengeluarkan sengatan terakhir. Halayudha tak mampu melancarkan pengejaran, bahkan sebaliknya. Kesadarannya rontok dengan cepat, pandangannya kabur. Ia masih sempat melihat luncuran senjata rahasia berupa ujung jarum kecil, namun tangannya kaku untuk ditarik.

Jarum berkait, yang baru diketahui kemudian, meluncur deras karena dorongan tenaga dalam Pangeran Hiang. Baru tahu kemudian, karena sebagian besar jarum berkait itu terangkup pada selendang Gendhuk Tri. Yang tubuhnya melayang sambil melepaskan selendang, bersamaan dengan Upasara. Keduanya masih tetap bergandengan ketika melayang ke bawah.

Halayudha terhuyung-huyung kembali. Dadanya terasa sesak. Hanya karena tenaga dalamnya cukup kuat dan kemauannya sangat keras, tidak membuatnya jatuh terduduk. Halayudha mengelap wajahnya beberapa kali.

“Kalian jangan menduga aku akan mengucapkan terima kasih, karena sudah diselamatkan dari serangan jarum racun berkait. Aku bisa mengatasi sendiri.”

Napas Halayudha tersengal-sengal. “Kalian berdua sungguh hebat. Ngwang gendheng tadi juga hebat. Tapi aku tetap yang terhebat. Aku yang membuat mereka lari. Tapi itu belum berarti kemenangan. Rasa-rasanya keratonku berada dalam bahaya jika mereka pergi ke sana.” Halayudha terbatuk-batuk. Dadanya terasa sakit.

“Jangan tahan napas di dada….”

“Ingsun lebih tahu. Lebih tahu apa yang harus dilakukan. Keratonku!”

Halayudha menggerung. Kakinya masih sempoyongan, akan tetapi dipaksakan berjalan. Sambil menyeret Kangkam Galih yang seolah membelah tanah saking tajamnya. Barulah di tempat yang agak sepi, Halayudha mengerahkan tenaga dalam murni untuk mengusir angin yang melumatkan kesadarannya. Halayudha sengaja memilih tempat yang sepi untuk keamanan dan untuk menyembunyikan bahwa pengaruh sirep Pendita Ngwang tak bisa dianggap main-main.

Halayudha tak ingin orang lain melihat kelemahannya. Apalagi orang lain itu Upasara Wulung dan Gendhuk Tri. Yang kini menjelma bagai pasangan kekuatan yang menyatu. Dua nama yang sepanjang perjalanan hidupnya sebagai tokoh tak terkalahkan menurut ukurannya sendiri, selalu mementokkan keunggulannya.

Upasara Wulung, Halayudha sudah mempunyai perhitungan jauh sebelumnya. Ksatria sakti mandraguna yang satu ini memang susah diri. Pendalamannya tentang Kitab Bumi seakan selalu ditakdirkan selangkah lebih dulu. Sampai di tataran Ngrogoh Sukma Sejati pun, Upasara sudah lebih dulu memperlihatkan.

Akan tetapi Gendhuk Tri dipandang lain. Gendhuk Tri bukan hanya mengalami kemajuan yang berarti, akan tetapi bahkan mampu melakukan loncatan besar dalam perkembangan ilmu silat maupun ketenangan tenaga dalamnya. Bukti nyata tak terbantah siapa pun terlihat jelas ketika Gendhuk Tri berhasil menaklukkan Gemuka tanpa menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga. Itu merupakan kekuatan dalam yang luar biasa.

Bukti lain yang hanya diketahui Halayudha ialah ketika ia mengadu tenaga dalam dengan Gendhuk Tri. Mengejutkan sekali, bahwa Gendhuk Tri bisa menandingi. Hanya karena pengalaman dan pendalamannya yang kurang dibandingkan dirinya, Halayudha bisa meringkus Gendhuk Tri.

Akan tetapi dalam keadaan yang sudah sedemikian payah, Gendhuk Tri masih mempunyai benteng pertahanan yang kuat. Sehingga usaha Halayudha untuk menerobos tergagalkan. Bahkan kemudian akibatnya timbul bercak-bercak hitam yang terlihat di permukaan kulit. Itu menandakan bahwa tenaga dalam Gendhuk Tri tak bisa dikalahkan, tak bisa diungguli. Yang bisa hanya dihancurkan.

Halayudha memang tidak memperhatikan risiko penderitaan Gendhuk Tri. Ia memaksakan diri, juga melalui tenaga dalam Mada. Nyatanya tetap tidak berhasil. Bahkan Upasara sendiri pun kelihatannya juga tidak berhasil. Tidak berhasil?

Kalau mau jujur dengan diri sendiri, Halayudha tak bisa begitu saja menyimpulkan dengan satu pengertian: bahwa Upasara tidak berhasil. Meskipun kenyataannya, yang terlihat seperti itu. Bercak itu belum bisa pulih. Masih mengganjal pada Gendhuk Tri.

Toh itu tak mengurangi kekaguman Halayudha kecil-kecilan. Karena Gendhuk Tri hanya terpengaruh pada saat-saat tertentu saja. Kalau bercak itu tidak menghalangi, keadaannya tak berbeda sedikit pun. Apalagi namanya kalau bukan simpanan tenaga dalam yang dahsyat?

JILID 78BUKU PERTAMAJILID 80

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 79

Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 79

Halayudha mendadak bangkit berdiri. Mengubah gerakan tangan dan kakinya. Kepalanya miring mencoba menangkap kidungan yang sayup.

Tanah air tak mengenal batas
semua laut bisa dikuras
semua gunung bisa dipangkas
seluas pandangan
Sri Baginda Raja Kertanegara

tanah air bukan takhta
yang bisa diwariskan
tanah air bukan harta
yang bisa dibagi, dikurangi, dicurangi
tanah air bukan pribadi
sebab semua bisa memiliki

tanpa menimbulkan iri, risi
tanah air adalah ibu
yang menyusui, yang mengasihi
tanah air adalah daya asmara sejati
yang menggerakkan berahi



Apa pun yang terjadi, Ngwang tak mau memberikan kesempatan. Karena melihat bahwa kidungan samar itu bisa membuat Halayudha bangkit berdiri. Seakan mendapat tiupan sukma kehidupan. Padahal, tubuh Halayudha memang berbeda. Simpanan kekuatannya bisa memulihkan kesadarannya.

Ngwang tak mau memberi peluang perubahan yang bisa membalikkan suasana sekarang ini. Tubuhnya terangkat dari tanah. Dengan satu gerakan sangat gesit, merampas Kangkam Galih dari tangan Pangeran Sang Hiang. Halayudha tersedak. Ia meloncat ke depan akan tetapi tubuhnya masih sempoyongan. Jangan kata menubruk maju, untuk bisa tegak di tempatnya saja kelihatannya masih belum bisa sempurna.

Yang bergerak pertama adalah Jaghana. Yang tetap bersila, menunduk, tapi beralih tempatnya. Berada di antara Gendhuk Tri dan Upasara Wulung! Tempat di mana tusukan Kangkam Galih tertuju. Ngwang memang tidak menusuk langsung ke arah Upasara ataupun Gendhuk Tri. Karena masih merasa perlu berjaga-jaga jika kedua lawan yang luar biasa ini mampu mengeluarkan serangan mendadak.

Ngwang tak ingin terjebak, di saat-saat di mana kemenangan sudah berada di tangan. Makanya tusukannya tertuju ke arah tangan Upasara Wulung yang bergenggaman dengan Gendhuk Tri.

“Tusuk!” Teriakan Pangeran Hiang melecut Ngwang yang untuk sesaat seperti menahan laju Kangkam Galih! Ujung pedang hitam tipis yang mampu menetas besi bagai memotong batang pisang itu tak tertahan lagi.

Jaghana yang mencekal erat tangan Upasara Wulung dan Gendhuk Tri tersenyum. Matanya yang jernih, suci, seakan memancarkan sinar. Meskipun Kangkam Galih amblas di dadanya yang selalu licin telanjang. Sewaktu Kangkam Galih ditarik dengan sodetan, yang tertinggal adalah luka yang menganga. Bersih. Tak ada darah menetes. Hanya lapisan daging yang terbelah, tulang iga yang patah. Kepergian orang suci. Kembalinya orang yang diterima Dewa Maha Pencipta.

Persinggahan Abadi
TUBUH Jaghana telentang. Dari dada sampai perut menganga luka, dengan sobekan melintang. Tapi siapa pun yang melihatnya tidak ngeri, tidak jijik. Bukan karena tak ada darah yang muncrat atau tumpah. Melainkan karena ada kekuatan yang tiba-tiba menyertai kepergiannya.

Awan memayungi matahari. Ujung-ujung daun rumput dan semua tumbuhan bergerak sangat perlahan, disentuh angin lembut. Bau wangi menyebar, tersimpan lama bagi siapa pun yang mengisap udara saat itu. Alam terasa sangat damai. Tenang. Lestari.

Tak tergetar sedikit pun sisa-sisa kebencian atau ketegangan. Meskipun Ngwang masih memegang erat Kangkam Galih, yang anehnya juga tak mengucurkan atau basah oleh darah.

“Om.” Suara yang salah nada. Sumbang. Mengganggu ketenteraman.

Karena ketenangan lebih menggetarkan. Lebih mendalam rasa yang terendapkan. Meskipun bukannya tanpa pergolakan. Justru Pangeran Hiang yang tampak berubah wajahnya. Ada bayangan Gemuka yang muncul kembali. Gemuka yang gagah perkasa, yang jemawa tanpa tanding, mati dengan cara mengenaskan. Dengan seluruh tubuhnya yang seolah memuncratkan darah penderitaan dan kesengsaraan. Akhir yang alot berkelojotan. Sementara Jaghana justru sebaliknya. Tanpa darah, bahkan menyebarkan bau harum bunga melati.

Halayudha mengelus rambutnya dari pangkal hingga ujung. Puluhan kali matanya menyaksikan kematian, baik dengan tangannya sendiri secara langsung ataupun tidak. Baik yang didengar ataupun yang samar-samar dialami. Tokoh-tokoh yang paling hebat, ia saksikan kematiannya. Baik Ratu Ayu Bawah Langit yang mengenaskan, gurunya sendiri yang pernah ditumpuki batu, ataupun bahkan anaknya sendiri.

Ia mendengar bahwa tokoh yang paling dipuja selamanya, Sri Baginda Raja Kertanegara, juga meninggal dunia dengan cara mengenaskan. Baginda Sanggrama Wijaya sendiri pun demikian, kurang-lebihnya. Bahkan empu sakti dan berjiwa luhur, Mpu Raganata, tak selembut dan sedamai seperti apa yang sekarang disaksikannya.

Dibandingkan dengan tokoh-tokoh utama yang sakti, Eyang Kebo Berune, Puspamurti, Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, atau para pemimpin keprajuritan, tak ada yang menyamai keabadian yang begitu menyentuh. Bahkan tidak dialami Eyang Sepuh, yang masih kembali dari moksa. Dari segala macam ilmu yang didalami secara tuntas, untuk pertama kalinya Halayudha menemukan kesempurnaan perjalanan keabadian pada diri Jaghana.

Dewa pun belum tentu bisa kembali ke asalnya dengan kasampurnan yang sejati. Persinggahan abadi yang indah. Yang meninggalkan makna penuh bahwa kematian bisa berarti ketulusan, kesucian yang abadi. Kekal sepanjang masa.

Getaran yang sama, rumasuk dalam jiwa Upasara maupun Gendhuk Tri. Dalam keadaan luka di dalam, dalam keadaan tersendat, keduanya merasa ditunjukkan kepada tempat yang sangat membahagiakan, tanpa keraguan.

Nyai Demang yang terkena kekuatan sirep bau minyak atau bau tubuh Pangeran Hiang sampai terbangun. Pengaruh harum sirep seakan pudar lebih cepat. Nyai Demang duduk bersila dalam keheningan sambil mengucapkan segala doa dan mantra dari mata batinnya.

Siapa pun yang mengenal Jaghana, hanya mempunyai kata-kata pujian untuk mengenangnya. Tak pernah ada kesan atau rasa, di mana Jaghana sengaja berbuat jahat atau curang atau nakal untuk kepentingannya sendiri.

Sewaktu berusia dua puluhan tahun, ketika pertama kali Upasara terjun ke gelanggang persilatan dari penempaan yang dahsyat di Ksatria Pingitan, Jaghana yang sederhana telah mempengaruhi jiwanya. Walaupun saat pertama bertemu, Upasara belum bisa menerima seorang yang tidak mengenakan pakaian selain kain gombal penutup bagian tubuhnya yang penting. Kepalanya dibiarkan pelontos, tubuhnya gemuk, bibirnya selalu tersenyum dengan sorot mata sebening embun pagi hari.

Pemakaian nama Jaghana adalah bentuk pengejawantahan, bentuk nyata yang membumi. Perjalanan hidup Upasara selanjutnya membuatnya mengenal Jaghana lebih dalam. Juga ketika Jaghana menerima pilihan Eyang Sepuh, bahwa Upasara Wulung yang lebih pantas memimpin Perguruan Awan.

Jaghana, murid angkatan pertama yang mengabdi sepenuhnya pada ajaran Perguruan Awan, menerimanya dengan rasa bahagia. Sikap menerima dengan penghormatan yang tulus mulus, tidak hanya terwujud dalam jurus-jurus ilmu silatnya, melainkan tercermin dari seluruh tindakannya.

Nyai Demang juga merasakan hal yang sama, meskipun dari sudut yang lain. Di antara sekian lelaki yang mengenalnya, hanya Jaghana yang tidak pernah setitik pun berbuat tidak senonoh. Sekelebat bayangan dibagi selaksa pun tak pernah dirasakan. Baginda begitu ingin mencicipi. Bahkan Dewa Maut sempat tergoda dan berbuat di luar kemauannya. Upasara sendiri pernah tertarik dengannya.

Tapi tidak bagi Jaghana. Sebutan paman kepadanya adalah dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Bahkan ketika mengobati Nyai Demang dengan cara yang tidak biasanya, kesan kurang ajar itu tidak ada. Walau tidak berarti dingin. Segala puja dan puji. Segala doa dan mantra untuk seorang yang tak pernah berniat menonjolkan diri, tak pernah menginjak rumput, atau bahkan mengambil buah yang tak ditanamnya sendiri. Seekor semut, seekor nyamuk, seekor cacing, bahkan mungkin angin tak pernah merasa dirugikan oleh Jaghana.

Kalau ada pertanyaan yang membersit adalah kenapa Dewa Yang Mahadewa berkenan memanggilnya sekarang? Kenapa bukan aku, Nyai Demang, yang merasa melakukan banyak penyimpangan dalam hidup? Kenapa bukan aku, Halayudha, yang menumpuk dosa lebih tinggi dari gunung? Kenapa bukan aku, Gendhuk Tri, yang membuat keonaran? Kenapa bukan aku, Upasara Wulung, yang menjadi ragu di saat yang menentukan dan menyengsarakan batin wanita yang dikasihi? Kenapa bukan aku, batu, yang merasa tanpa guna. Kenapa bukan aku, daun, yang sudah kering?

Barangkali dalam bentuk lain, pertanyaan itu juga tergema dalam sanubari Pangeran Hiang. Yang masih terkesima, seakan tak menyadari sepenuhnya bahwa pedang yang tadi digenggam yang menghentikan kehidupan Jaghana.

Ngwang maju setindak. Untuk meyakinkan pandangannya. Untuk membuktikan bahwa matanya tidak menemukan setetes darah. Matanya berkejap-kejap memandang ke langit. Bibirnya berkomat-kamit. Lalu, dalam satu tarikan napas, kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih. Memandang sekitarnya. Siap melakukan serangan yang berikutnya. Pedang tipis hitam yang telah mengantarkan tokoh-tokoh utama selama ini, seakan masih mencium kematian. Bergetar.

“Pangeran…” Suara Nyai Demang terdengar serak.

“Tak ada yang mengemis kebaikan. Tak ada artinya persaudaraan.” Suara Halayudha terdengar lantang dan nyaring. Cepat sekali ia memotong ucapan Nyai Demang yang ingin mengembalikan ingatan Pangeran Hiang.

“Majulah kalian berdua. Ingsun akan menghadapi sebagaimana halnya Raja Tanah Jawa. Kalau kalian tak mau mendahului, jangan salahkan Ingsun” Kaki kiri Halayudha terentang maju.

Ngwang melayang. Kangkam Galih di tangannya menyabet perkasa, seakan kesiuran anginnya yang tajam mampu memapras ranting dan dedahanan. Akan tetapi agaknya Halayudha tidak gentar. Ia merangsek maju. Menyusup di bawah sabetan pedang, jari tangan kirinya yang terbuka meraup. Menyerang dada sebelah kiri. Sambil berputar. Sehingga dalam satu gerakan, seakan tangan kanannya siap mencengkeram tengkuk Ngwang.

Ngwang yang berusaha menarik sedikit pedangnya, membuat Halayudha jungkir-balik menyelamatkan diri. Dua serangannya terpaksa ditarik kembali, juga putaran tubuhnya ke arah kanan, menjadi ke arah kiri. Berbalik ke tempatnya semula, dengan dua kaki secara keras menyapu. Ngwang hanya menurunkan pedang ke bawah. Arahnya lurus bagai tongkat.

Halayudha melejit ke atas. Dua tangannya yang perkasa mengeluarkan tenaga pukulan memberondong, memancarkan hawa panas yang menyengat keras. Kesembilan jarinya menusuk-nusuk tajam, kadang menggoresi. Hanya dengan cara itulah Halayudha mampu merepotkan Ngwang. Tapi selebihnya, semua serangannya kandas atau bahkan sangat menyulitkan dirinya. Hanya dengan menarik pedang untuk melindungi, tak ada terobosan serangan. Bahkan jika Ngwang memakai pedang untuk mengurung diri, dan sesekali melancarkan serangan, Halayudha akan makin terdesak.

Pertarungan yang tidak seimbang. Pertarungan pincang, berat sebelah. Ngwang dengan pedang saktinya meredam habis serangan Halayudha. Keunggulan kembangan jurus dan permainan silat Halayudha menjadi kandas setiap kali Ngwang mengajak adu senjata. Kalah kekuatan dan posisi ini menyebabkan Halayudha dikuras kemampuannya, karena harus memilih serangan yang bisa mengacaukan lawan.

Ngwang seperti menikmati keunggulannya. Tak merasa perlu buru-buru menyikat lawan. Malah sebaliknya, menunggu kesempatan yang baik. Karena tak ada yang perlu dipertaruhkan lagi.

Krekalasa Warna
HANYA soal waktu. Kesalahan yang paling buruk pun tak akan banyak mempengaruhi hasil pertarungan. Keadaan Halayudha lebih buruk dari Jaghana. Meskipun demikian, Halayudha tidak kelihatan kehilangan semangat. Dengan terpontang-panting, dengan jungkir-balik untuk menyelamatkan nyawanya, daya serangnya yang kecil-kecilan masih bisa membuat Ngwang menahan nafsu kemenangan.

Untuk pertama kalinya, Halayudha dipaksa berada dalam keadaan mati-hidup yang tak bisa dihindari dengan kelicikan atau keculasan. Sekarang ini ilmu silatnya benar-benar diuji sepenuhnya.

Ngwang menggertak maju. Sabetan Kangkam Galih kini menerabas, menggunting jalan mundur Halayudha. Kegesitan yang pesat bisa diimbangi dengan ilmu mengentengkan tubuh yang belum ada tandingannya. Satu-satunya halangan bagi Ngwang hanyalah tidak terbiasa memainkan pedang tipis, sehingga mengganggu kelincahan geraknya. Namun kekurangan itu terisi dan terimbangi oleh kesaktian pedangnya.

“Om.”

Cegatan tusukan lambung langsung menyodet ke atas. Serangan yang mematikan karena Halayudha tak mungkin meloncat mundur atau bergeser ke kanan atau ke kiri. Kalaupun mencoba mengerahkan kemampuan tenaga air seperti Gendhuk Tri, Ngwang hanya tinggal memutar pergelangan tangannya. Ujung pedangnya bisa menukik ke bawah. Halayudha tak akan bisa meloloskan diri!

Kalau sebelumnya Gendhuk Tri mampu menundukkan Ngwang, tidak berarti Gendhuk Tri mampu mengungguli Halayudha. Ilmu silat Gendhuk Tri menjadi unggul karena kekuatan tenaga air memang tak terduga. Dan saat itu Ngwang tidak seperti sekarang ini. Menggenggam erat Kangkam Galih. Pegangan tangan Gendhuk Tri mengeras di jari-jari Upasara Wulung. Meskipun dipenuhi dendam pribadi, Gendhuk Tri tak tega melihat keadaan Halayudha. Yang memilih meluncur ke bawah. Ujung Kangkam Galih beralih ke bawah.

Jres! Pedang itu menebas ke dalam tanah. Amblas sampai gagangnya. Sehingga Ngwang yang melayang di atas tanah tertarik ke bawah. Tubuhnya terseret kekuatan pedang sakti. Dengan kekuatan menyentak dan di luar dugaannya sendiri. Perhitungan Ngwang atau siapa pun, tetap tak menyangka bahwa Kangkam Galih benar-benar sakti. Digerakkan dengan tenaga keras atau kuat, kesaktiannya berlipat. Sehingga pengubahan tenaga menusuk menjadi menghunjam, terus menusuk.

Tanah keras terlalu empuk bagi Kangkam Galih. Akibatnya amblas terus ke dalam. Tubuh Ngwang tersedot ke bawah oleh kekuatan ayunan tikamannya. Apa pun akibatnya, tubuh Halayudha tak mungkin lolos. Secepat apa pun ia bergerak, hunjaman tetap lebih cepat. Tak mungkin memiringkan tubuh menghindari serangan. Itu akan mengurangi kecepatannya bergerak. Sebelum bisa miring, Kangkam Galih berhasil memanggangnya.

Begitulah perhitungan yang bisa terjadi. Nyatanya tidak. Nyatanya tubuh Ngwang yang terjungkal, melayang di angkasa. Dada Nyai Demang seakan meledak. Ada yang ingin diteriakkan, tapi mampat. Dugaannya yang pertama adalah Pangeran Hiang yang turun tangan. Karena begitu tubuh Ngwang terjungkal bagai orang yang terpeleset dan tak mampu menguasai keseimbangan, ada bayangan yang begitu dekat berkelebat.

Merenggangkan kaki berupa tendangan, dengan gerakan nggajul. Menendang dengan ujung jari kaki ke arah atas. Entah bagian tubuh mana yang terkena gajulan, sehingga arah terjungkalnya Ngwang jadi berubah. Dari terjerembap ke tanah menjadi melayang lagi ke angkasa. Saat itu memang tubuh Pangeran Hiang berkelebat. Sebat, bagai kilat. Tak terlalu berlebihan jika Pangeran Hiang dalam saat-saat kritis terobek nuraninya dan turun tangan.

Namun jalan pikiran Nyai Demang mempertanyakan. Untuk apa Pangeran Hiang menendang Ngwang, kalau jelas lawan sudah telanjur dikalahkan? Kalau Pangeran Hiang menahan Ngwang saat menghabisi Upasara Wulung, Gendhuk Tri, atau dirinya, Nyai Demang bisa menerima. Tapi kalau Halayudha? Rasanya sulit diterima. Dan lagi, rasanya Halayudha masih berkelebat.

Memang masih. Dengan sangat luar biasa Halayudha menyambar gagang Kangkam Galih, dengan tubuh masih meluncur, menyabetkan Kangkam Galih. Terdengar suara terengah. Darah muncrat. Nyai Demang menggigit lidahnya tak terasa. Potongan tangan yang masih berdarah, masih mengeluarkan gerakan, jatuh tepat di depannya. Tangan Pangeran Hiang. Kutung mulai dari pangkal bahu! Tangan kanan Pangeran Hiang. Yang kelima jarinya seperti masih bergerak-gerak terus, sementara bagian pangkalnya menyemburkan darah segar.

Cepat dan tangkas jalan pikiran Nyai Demang, akan tetapi tak bisa mengartikan apa yang baru saja terjadi. Gendhuk Tri tak bisa mengamati dengan jelas rangkaian kejadian yang seakan lebih cepat dari kilat. Sabetan cahaya kilat masih bisa dilihat pangkalnya, akan tetapi kejadian yang belakangan sulit diikuti mata. Yang ia tahu hanya bagian akhirnya. Sehingga harus disusun sendiri.

Yang dilihat Gendhuk Tri ialah bahwa kenyataan Halayudha lolos dari maut. Bahkan lebih dari itu, sewaktu tubuh Ngwang terpeleset, Halayudha bisa menendang keras. Sehingga tubuh tanpa kekuatan itu terpental. Saat itulah Halayudha mencabut Kangkam Galih, menyambar lawan dengan menyabetkan pedang. Saat itu Pangeran Hiang sudah bergerak. Dan tangannya, tangan kanannya, tertebas.

Bagaimana Halayudha bisa meloloskan diri, masih diperkirakan kemungkinannya. Meskipun bagi Upasara Wulung bisa terbaca. Bahwa pada kejapan terakhir, Halayudha mempergunakan kekuatan sukma sejati, atau tenaga sukma sejati, sukmanya terogoh dengan sendirinya. Ngrogoh sukma yang sempurna. Sebagaimana dulu Upasara memainkan, atau lebih tepat mengalami, ketika tubuhnya seolah menjadi dua atau tiga sosok yang berada di tempat yang berbeda.

Kini Halayudha yang mempunyai pencarian yang sama dengan pendalaman yang sama kuatnya, juga terpanggil sukmanya. Tubuhnya pecah menjadi dua. Seakan melintas ke belakang, seakan jatuh ke bawah. Dalam hal ini Upasara sendiri tidak bisa memastikan di mana tubuh Halayudha berada. Berbeda dari dirinya, saat Ngrogoh Sukma Sejati, tubuh yang sebenarnya seakan terpaku di satu tempat. Meskipun tubuh yang lain berada di tempat yang berbeda, dan menghadapi lawan yang berbeda pula.

Tidak mudah bagi Upasara menangkap gejolak batin Halayudha. Karena memang titik tolak pendalaman dari sikap yang mendasari berbeda. Pada diri Halayudha pencapaian sukma sejati sebagai inti kekuatan tidaklah semurni Upasara Wulung. Akan tetapi, dalam hal ini tak bisa dikatakan lebih rendah atau kalah unggul. Kekuatan utama sukma sejati, justru pada kekuatan yang telah dimiliki, sikap mendalam dan mendasar yang ada.

Pada diri Halayudha, kemenangan adalah mutlak, dengan risiko atau cara apa pun. Menyembulnya kemenangan itu dalam batas yang paling akhir, yaitu mempertahankan hidupnya. Kekuatan sukma sejati memancar. Dan karena Halayudha pada dasarnya tidak bersih, yang mencuat ke luar adalah pencapaian pikirannya, batinnya, sukmanya. Yaitu secara sadar mengecoh lawan, dengan gerakan Krekalasa Warna.

Krekalasa berarti bengkarung atau bunglon, binatang yang mampu menyesuaikan warna kulitnya dengan alam sekitarnya. Maka pecahan tubuh Halayudha pun untuk menjebak serangan lawan. Dalam hal ini, Halayudha bisa menerjang dari bawah, dengan menggunakan kekuatan dan gerakan air, jika tusukan Ngwang tidak diubah.

Bagi Upasara, bisa jadi itu semua menjadi masalah. Akan tetapi tidak bagi Halayudha. Dengan pemahaman yang begitu mendalam dan larut pada berbagai ajaran dan ilmu silat, Halayudha susah dipastikan apakah dirinya penganut ajaran kekuatan bumi, air, atau bahkan dari Tartar dan atau juga dari Jepun. Semua bisa dimainkan tanpa bertentangan, karena pribadi Halayudha yang mendasari tak pernah menyatu. Karena sikap Halayudha sendiri mampu mencampakkan sementara apa yang sedang diyakini.

Dengan gerakan krekalasa, Ngwang terjebak. Celakanya, ia tidak menyadari kekuatan Kangkam Galih yang meskipun tipis tapi sangat berat ketika digerakkan. Dan hanya Halayudha yang bisa sama ganasnya dengan Ngwang. Ketika Ngwang kehilangan keseimbangan, Halayudha tidak hanya membiarkan lolos. Tapi juga menendang keras dengan gajulan sepenuh tenaga, karena kini posisi tubuhnya berada di belakang Ngwang.

Bukan berhenti di situ saja. Melihat lawan sungsang-sumbel, Halayudha mencabut Kangkam Galih dan menebas. Dan tidak hanya berhenti di situ pula. Halayudha masih mencecar lawan. Tubuhnya memutar, dan Kangkam Galih digetarkan. Pindah dari tangan kiri ke tangan kanan. Sekali tubuhnya melayang, sekaligus melancarkan 24 tusukan yang berbeda arahnya.

Pukauan Angin
HALAYUDHA tak menyisakan sedikit kemungkinan bagi lawan. Kalau dalam satu sabetan berhasil mengutungkan lengan, Halayudha tak peduli sabetan kedua dan ketiga akan mengutungkan apa dan siapa yang terkena. Dua puluh empat sabetan yang dilancarkan menunjukkan keganasan itu. Bahwa tenaga dalam Halayudha sepenuhnya dikerahkan dengan geram, dapat dilihat dari caranya memainkan pedang Kangkam Galih yang membabi buta, sehingga bisa dirasakan wibawa maut yang menyebar.

Ngwang yang sudah telanjang dada, memutar tubuhnya, melesat bagai pijaran kilat, sambil memanggul Pangeran Hiang. Tanpa sungkan atau malu-malu, tubuhnya meninggalkan gelanggang pertarungan begitu saja. Hanya satu tangannya sempat melepaskan senjata rahasia, bersamaan tangan kiri Pangeran Hiang juga melepaskan pukulan.

Halayudha memperhitungkan bahwa Ngwang bisa melarikan diri. Itu sebabnya ia ingin mengunci dengan berbagai arah kemungkinan, sambil menutup diri, karena sadar bahwa lawan mampu menggunakan senjata rahasia yang serba tak bisa diperhitungkan sebelumnya. Terutama ragamnya yang aneh. Walau akibatnya sama, yaitu menghancurkan lawan dengan tega.

Hal yang tak diperhitungkan Halayudha adalah bahwa ketika ia menerjang tadi, Ngwang memuntahkan sesuatu dari tubuhnya. Bau wangi yang larut dalam angin. Yang bisa bekerja begitu keras dan sangat cepat! Semacam aji sirep atau ajian untuk memukau, untuk menghilangkan kesadaran. Halayudha pernah mengetahui keampuhan bubuk pagebluk yang datang dari tanah Syangka. Yang bila ditebarkan akan menguasai kesadaran dan melimbungkan. Tapi yang sekarang ini ternyata jauh lebih hebat.

Karena pukauan itu berkembang bersama angin, sesuai dengan kekuatan utama Ngwang. Barangkali yang paling mengenali adalah Nyai Demang. Ia pernah merasakan pengaruh yang menindih seketika, sehingga tak sadar siapa yang berbuat padanya. Sedemikian kuatnya, sehingga Upasara Wulung ataupun Jaghana yang waktu itu ada di dekatnya juga tak segera menyadari dari mana datangnya pukauan.

Dan karena kemampuan tenaga dalam Nyai Demang paling lemah, dirinyalah yang lebih dulu terkuasai. Sebelum Ngwang mengempos seluruh kemampuannya. Mengeluarkan sengatan terakhir. Halayudha tak mampu melancarkan pengejaran, bahkan sebaliknya. Kesadarannya rontok dengan cepat, pandangannya kabur. Ia masih sempat melihat luncuran senjata rahasia berupa ujung jarum kecil, namun tangannya kaku untuk ditarik.

Jarum berkait, yang baru diketahui kemudian, meluncur deras karena dorongan tenaga dalam Pangeran Hiang. Baru tahu kemudian, karena sebagian besar jarum berkait itu terangkup pada selendang Gendhuk Tri. Yang tubuhnya melayang sambil melepaskan selendang, bersamaan dengan Upasara. Keduanya masih tetap bergandengan ketika melayang ke bawah.

Halayudha terhuyung-huyung kembali. Dadanya terasa sesak. Hanya karena tenaga dalamnya cukup kuat dan kemauannya sangat keras, tidak membuatnya jatuh terduduk. Halayudha mengelap wajahnya beberapa kali.

“Kalian jangan menduga aku akan mengucapkan terima kasih, karena sudah diselamatkan dari serangan jarum racun berkait. Aku bisa mengatasi sendiri.”

Napas Halayudha tersengal-sengal. “Kalian berdua sungguh hebat. Ngwang gendheng tadi juga hebat. Tapi aku tetap yang terhebat. Aku yang membuat mereka lari. Tapi itu belum berarti kemenangan. Rasa-rasanya keratonku berada dalam bahaya jika mereka pergi ke sana.” Halayudha terbatuk-batuk. Dadanya terasa sakit.

“Jangan tahan napas di dada….”

“Ingsun lebih tahu. Lebih tahu apa yang harus dilakukan. Keratonku!”

Halayudha menggerung. Kakinya masih sempoyongan, akan tetapi dipaksakan berjalan. Sambil menyeret Kangkam Galih yang seolah membelah tanah saking tajamnya. Barulah di tempat yang agak sepi, Halayudha mengerahkan tenaga dalam murni untuk mengusir angin yang melumatkan kesadarannya. Halayudha sengaja memilih tempat yang sepi untuk keamanan dan untuk menyembunyikan bahwa pengaruh sirep Pendita Ngwang tak bisa dianggap main-main.

Halayudha tak ingin orang lain melihat kelemahannya. Apalagi orang lain itu Upasara Wulung dan Gendhuk Tri. Yang kini menjelma bagai pasangan kekuatan yang menyatu. Dua nama yang sepanjang perjalanan hidupnya sebagai tokoh tak terkalahkan menurut ukurannya sendiri, selalu mementokkan keunggulannya.

Upasara Wulung, Halayudha sudah mempunyai perhitungan jauh sebelumnya. Ksatria sakti mandraguna yang satu ini memang susah diri. Pendalamannya tentang Kitab Bumi seakan selalu ditakdirkan selangkah lebih dulu. Sampai di tataran Ngrogoh Sukma Sejati pun, Upasara sudah lebih dulu memperlihatkan.

Akan tetapi Gendhuk Tri dipandang lain. Gendhuk Tri bukan hanya mengalami kemajuan yang berarti, akan tetapi bahkan mampu melakukan loncatan besar dalam perkembangan ilmu silat maupun ketenangan tenaga dalamnya. Bukti nyata tak terbantah siapa pun terlihat jelas ketika Gendhuk Tri berhasil menaklukkan Gemuka tanpa menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga. Itu merupakan kekuatan dalam yang luar biasa.

Bukti lain yang hanya diketahui Halayudha ialah ketika ia mengadu tenaga dalam dengan Gendhuk Tri. Mengejutkan sekali, bahwa Gendhuk Tri bisa menandingi. Hanya karena pengalaman dan pendalamannya yang kurang dibandingkan dirinya, Halayudha bisa meringkus Gendhuk Tri.

Akan tetapi dalam keadaan yang sudah sedemikian payah, Gendhuk Tri masih mempunyai benteng pertahanan yang kuat. Sehingga usaha Halayudha untuk menerobos tergagalkan. Bahkan kemudian akibatnya timbul bercak-bercak hitam yang terlihat di permukaan kulit. Itu menandakan bahwa tenaga dalam Gendhuk Tri tak bisa dikalahkan, tak bisa diungguli. Yang bisa hanya dihancurkan.

Halayudha memang tidak memperhatikan risiko penderitaan Gendhuk Tri. Ia memaksakan diri, juga melalui tenaga dalam Mada. Nyatanya tetap tidak berhasil. Bahkan Upasara sendiri pun kelihatannya juga tidak berhasil. Tidak berhasil?

Kalau mau jujur dengan diri sendiri, Halayudha tak bisa begitu saja menyimpulkan dengan satu pengertian: bahwa Upasara tidak berhasil. Meskipun kenyataannya, yang terlihat seperti itu. Bercak itu belum bisa pulih. Masih mengganjal pada Gendhuk Tri.

Toh itu tak mengurangi kekaguman Halayudha kecil-kecilan. Karena Gendhuk Tri hanya terpengaruh pada saat-saat tertentu saja. Kalau bercak itu tidak menghalangi, keadaannya tak berbeda sedikit pun. Apalagi namanya kalau bukan simpanan tenaga dalam yang dahsyat?

JILID 78BUKU PERTAMAJILID 80