Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 83
Nyai Demang merasakan kekuatan dan pilihan jitu jurus-jurus ciptaan Upasara. Kini untuk pertama kalinya ia mempelajari ilmu silat dari awal. Kalau selama ini dirinya memperdalam dan memulai dari bagian tengah atau malah akhir, kini mulai sebagaimana orang yang belum pernah belajar sama sekali. Dengan melantunkan kidungan, dengan menembang, dengan melakukan gerakan pemanasan, pemusatan pikiran, sebelum mulai berlatih.
Yang agak mengherankan Gendhuk Tri ialah kenyataan bahwa Nyai Demang seperti bersaing dalam artian sebenarnya dengan Klobot. Setiap kali Klobot bisa melakukan suatu gerakan dengan sempurna, Nyai Demang berusaha menunjukkan dengan cara yang lebih sempurna. Seakan dengan demikian semangatnya tumbuh kembali dari awal, seakan Klobot sepantaran dengan usianya. Yang harus dikalahkan dengan telak.
“Salah, Nyai…”
“Tidak bisa. Nyai lebih benar. Kekuatan kawah adalah kekuatan pecahnya air ketuban. Kekuatan yang berasal dari dalam. Ada miripnya dengan keluarnya telor, munculnya akar, pecahnya bulir padi. Akan tetapi bedanya dengan kekuatan dari Kitab Bumi adalah gerakan tangan kanan itu baru awal. Bukan kekuatan itu sendiri. Karena kekuatan itu sendiri terjadi sebelum gerakan tangan kiri terjadi. Intinya berada di antara kawah dan ari-ari. Bagaimana kamu bisa bilang salah? Dalam ajaran Kitab Bumi maupun Kitab Air, gerakan yang pertama sudah berarti pengerahan tenaga. Tetapi apa yang diciptakan Rama Wulung berada di tengahnya. Itu berarti ketika kamu menggerakkan tangan kanan ke atas sampai ke telinga, bukan tenaga yang sesungguhnya. Tenaga sesudah itu, tetapi sebelum tenaga tangan kiri yang kamu gerakkan ke belakang membentuk lengkungan busur panah, itulah tenaga tanah air. Bagaimana kamu bisa bilang salah?”
Nyai Demang memperlihatkan dengan gerakan yang halus, dan memaksa Klobot memperhatikan. Setengah memaksa Klobot mengakui bahwa gerakannya sendiri tak sesempurna itu. Klobot tak pernah mau mengakui, kecuali kalau Nyai Demang sudah meloncat tinggi dan memetik buah mangga.
Upasara tidak bisa memahami sepenuhnya perasaan Nyai Demang yang mendadak seperti menemukan gairah baru untuk menunjukkan keunggulan atas Klobot. Akan tetapi sepenuhnya bisa memahami bagaimana Nyai Demang sangat memperhatikan Klobot. Bagaimana Klobot bermanja-manja di dalam dekapan Nyai Demang, sementara tangan Klobot dibiarkan nakal mencolek lubang hidung, atau mempermainkan rambut Nyai Demang.
Sifat yang lain yang kemudian muncul adalah ketika berlatih jurus kedua, Endhut Blegedaba, atau Lumpur Magma Blegedaba. Jurus kedua yang diciptakan Upasara memperlihatkan kekuatan yang sangat keras. Yang sebenarnya bisa dimengerti karena asal-usul ilmu silat Upasara sendiri berawal dari ilmu silat yang diciptakan Ngabehi Pandu dengan mengambil sifat banteng, yang pada saat tertentu menjadi banteng ketaton, atau kekuatan banteng terluka.
Gerakan kedua tangan menggebrak ke depan, bagai memuntahkan tenaga sepenuhnya sambil menahan udara di pusar ini menggambarkan bagaimana muntahnya lumpur magma dari kandungan Gunung Jamurdipa, gunung paling ganas dalam kerajaan para dewa. Menurut cerita, dari kandungan Kawah Candradimuka yang selalu bergelegak panas itu mengalir endhut atau lumpur yang dinamai blegedaba.
Tenaga itulah yang dipakai untuk pengerahan. Jurus kedua yang ganas, karena sudah langsung menerjang, menggulung. Yang justru sangat disenangi Klobot. Juga Nyai Demang. Disenangi Klobot karena tenaga dorongan yang besar itu terlihat hasilnya. Bisa membuat pohon bergoyang, bisa membuat Cubluk menjerit dan bergulingan, ataupun krendi menguik-uik. Termasuk untuk mengagetkan Nyai Demang!
Sebaliknya, Nyai Demang menyukai karena, sekali lagi, dalam jurus ini keunggulannya terlihat jelas. Setiap kali Klobot nakal, dengan jurus yang sama dengan yang dimainkan Klobot, Nyai Demang bisa membuat Klobot terjungkal bergulingan. Kalau Klobot belum berteriak-teriak minta ampun berkepanjangan, Nyai Demang tak akan menghentikan serangannya. Bahwa semua tadi dilakukan dengan ukuran tenaga tertentu sehingga hanya membuat Klobot jungkir-balik tanpa terluka, hanya Klobot sendiri yang tidak tahu.
Pada jurus ketiga yang disebut Endhog Amun-Amun, Susuh Angin, Klobot makin repot. Apa pun daya serangnya, dengan tendangan, pukulan, atau melarikan diri, selalu diketahui dengan saksama. Bahkan ketika Klobot memilih berdiam diri sambil menutup mata, Nyai Demang bisa meniup Klobot hingga gelagapan.
Jurus ketiga ini sebenarnya untuk mengetahui serangan lawan. Yang diibaratkan mencari susuh angin, atau sarang angin, yang dalam artian sebenarnya tak bisa ditemukan. Karena angin tidak diketahui di mana sarangnya, ke mana tujuan utamanya. Sama dengan mencari endhog amun-amun, atau telur amun-amun, getaran air yang terkena sinar matahari. Setiap kali didekati akan menjauh kembali. Sehingga sebenarnya tak pernah bisa disentuh.
Amsal yang dipergunakan Upasara sangat jelas bagi Nyai Demang, akan tetapi tentu saja tak bisa dipahami Klobot. Justru di sini Nyai Demang merasa bisa mengungguli habis-habisan. Tanpa memedulikan sejauh mana Klobot bisa menangkap apa yang diucapkan, Nyai Demang akan selalu berusaha menerangkan panjang-lebar.
Rangkaian jurus dan pengerahan tenaga dalam dari Kidungan Tanah air bisa diikuti dengan mudah. Mulai dengan pengerahan tenaga, serangan keras yang tiba-tiba, sampai jurus ketiga, menebak asal serangan lawan. Yang sedikit luar biasa bagi Nyai Demang adalah bahwa dalam setiap serangan memang terkandung kekuatan tenaga bumi, tetapi sekaligus juga tenaga air. Dalam lumpur terkandung air dan sekaligus tanah. Dalam kawah, amun-amun, demikian juga halnya.
Yang lebih membuat Nyai Demang kesengsem memamerkan ialah Nyai Demang bisa mengubah tenaga tangan kanan dengan tangan kiri, dan sebaliknya. Bahkan bisa mengubah dengan jurus ketiga lebih dulu. Sehingga dalam berlatih, sebelum jurus kedua Klobot bisa dikempit di antara kaki, atau bahkan kepala Klobot seolah tersorong ke bawah ketiak Nyai Demang.
Bahwa tanpa menggunakan jurus-jurus itu pun Nyai Demang bisa mengalahkan Klobot dengan sangat mudah, Klobot tak mengetahui. Sehingga makin penasaran. Dan setiap kali Nyai Demang puas seolah bisa memperdayai habis-habisan.
“Klobot, kamu sudah janji. Kalau kalah akan mencari kutu.”
“Ya, Nyai.”
“Ayo.”
“Lima ekor saja.”
“Janjinya sepuluh ya sepuluh.”
Terpaksa Klobot mencari kutu di rambut Nyai Demang yang berbaring sambil memejamkan mata, dan merasakan seluruh kebahagiaan lewat sentuhan lembut tangan-tangan Klobot. Yang bisa menjadi gemas karena menemukan kesulitan besar menemukan kutu di antara belantara rambut Nyai Demang.
Tujuh Gunung, Tujuh Samudra
SEBALIKNYA dari Klobot, Cubluk sama sekali tak berminat berlatih silat. Hanya saat melatih pernapasan Cubluk mengikuti. Selebihnya bermain kembali, atau menjauh.
Yang membuat Upasara menaruh perhatian lebih, terutama karena Cubluk sebenarnya sangat cepat mengerti. Segala sesuatu yang diajarkan padanya, dengan sekali memberi pengertian, Cubluk bisa menangkap dengan cepat dan mampu mengingat. Rasanya, ketika Gendhuk Tri merasa dirinya belum selesai mengajarkan pun, Cubluk sudah mengangguk.
“Kenapa Rama Wulung menyebut jurus keempat sebagai Let Gunung-Sagara Sap Pitu?”
“Hanya perumpamaan belaka. Itu artinya biarpun dihadang tujuh gunung dan tujuh samudra luas, dalam mengerahkan tenaga untuk memukul dan menguasai lawan, lawan pasti akan bertahan, atau berusaha menyerang. Diibaratkan pertahanan lawan itu sebagai let, sebagai batas dari tujuh gunung dan tujuh samudra. Biarpun demikian, pukulan yang kita lancarkan harus mengenai sasaran.”
“Kenapa tujuh?”
Upasara melengak. Tak pernah menduga akan dikejar dengan pertanyaan semacam itu.
“Kenapa tujuh gunung dan tujuh samudra, Rama Wulung? Kenapa tidak sembilan misalnya?”
“Itu… itu… hanya penyebutan belaka. Tak ada kelirunya kalaupun diberi nama sembilan gunung, sembilan samudra misalnya. Penyebutan ini, karena kita biasanya menyebut tingkat yang tinggi dengan angka tujuh. Langit tingkat tujuh, bumi tingkat tujuh, dan lain sebagainya.”
“Kenapa Rama menciptakan jurus ini?”
“Ya karena saya ingin menciptakan ilmu silat. Karena Rama mendapat petunjuk untuk merumuskan apa yang saya inginkan. Ilmu silat itu dinamai Tembang Tanah air, karena liriknya bisa ditembangkan. Barangkali nantinya akan menjadi Kitab Tanah air, kalau sudah dituliskan.”
“Kenapa Rama Wulung dan Ibu Jagattri memakai perumpamaan dipisahkan tujuh gunung, tujuh samudra?”
Upasara benar-benar tersudut. Gendhuk Tri menghela napas. Agak susah menerangkan dengan panjang-lebar. Bukan karena kuatir Cubluk tak bisa menangkap. Justru sebaliknya. Nama Cubluk yang dikenakan menunjukkan perbedaan antara bumi dan langit. Dalam waktu yang singkat ketika mulai mengucapkan kata-kata, Cubluk bisa menyebutkan dua puluh nama yang berbeda dari rambut yang ada di tubuh.
Dapat dengan mudah membedakan nama buah mangga, buah sawo yang masih kecil. Nama biji antara buah yang satu dan yang lain. Nama binatang atau anak binatang yang berbeda. Bagi Klobot bisa disebutkan dengan sama atau satu sebutan saja, tetapi Cubluk bisa menyebut dengan tepat perbedaan satu dengan yang lainnya.
Agak susah menerangkan selengkapnya, karena Upasara Wulung maupun Gendhuk Tri merasa sedikit rikuh, jengah, untuk menjelaskan bahwa jurus keempat ini dinamai demikian untuk menggambarkan keadaan mereka berdua. Yang diumpamakan dipisahkan oleh tujuh gunung dan tujuh samudra, kalau sudah jodoh akhirnya akan bertemu juga. Dieletana sagara-gunung sap pitu.
Ilmu silat Upasara yang diciptakan adalah penemuan ketika pergolakan batinnya telah menemukan kedamaian. Sehingga meskipun kelihatannya sekilas sangat ganas, akan tetapi mengandung keteguhan dan menggambarkan adanya pertemuan kebahagiaan. Inti bersatunya kekuatan tanah dengan kekuatan air.
“Kalau memang bisa menemukan, kenapa jurus itu menjadi jurus keempat, Rama? Kenapa bukan jurus pertama?”
“Tidak bisa begitu saja. Semua ada prosesnya. Tumbuhan tidak langsung berbuah begitu saja. Rumput pun tidak langsung tumbuh sebesar itu. Juga kamu. Juga Kakang Klobot. Juga krendi. Semua berasal dari kecil. Semua lahir lebih dulu.”
“Apakah gunung tadinya juga kecil?”
“Barangkali malah sebaliknya,” jawab Gendhuk Tri. “Gunung tadinya lebih besar. Yang bisa tumbuh adalah yang hidup.”
“Apakah matahari hidup, Ibu Jagattri?”
“…Ya.”
“Apakah matahari akan bertambah panas?”
Cubluk akan terus mengejar dengan berbagai pertanyaan, yang menyebabkan untuk pertama kalinya. Gendhuk Tri merasa tersudut. Selama ini dirinya selalu bisa menyudutkan lawan dalam berbicara. Akan tetapi menghadapi Cubluk, batas kesabaran Gendhuk Tri tinggal seujung rambut. Upasara tampak lebih telaten. Lebih sering terus menemani, dan Cubluk juga biasa tidur di pangkuan Upasara.
“Ibu Jagattri, kenapa bercak hitamnya masih ada?”
“Sebentar lagi juga akan hilang.”
“Kata Rama Wulung, bisa dipindahkan ke Kakang Klobot secara tak sengaja. Kenapa tak dipindahkan seluruhnya saja?”
“Kenapa, kamu tak suka kepada Kakang Klobot?”
“Bukankah Kakang Klobot bisa mengusir dengan ilmunya?”
Gendhuk Tri mengangguk. “Memang, itu cara yang cepat. Akan tetapi, bercak hitam ini pertanda tenaga dalam yang macet. Jika terlalu banyak, melebihi kemampuan Kakang Klobot, akibatnya bisa bahaya.”
“Kenapa tidak dicobakan ke saya, Ibu Jagattri?”
“Tidak, tidak. Kamu…”
“Saya lebih kuat, Ibu Jagattri. Saya bisa mengerahkan tenaga dalam. Bisa memusatkan dan melakukan seperti Kakang Klobot dan Eyang Putri Nyai Demang.”
“Ya, ya, tapi terlalu berbahaya.”
Inilah yang tidak diduga Gendhuk Tri. Maupun Upasara Wulung. Bahwa Cubluk mampu melakukan itu. Semua itu terjadi ketika Upasara Wulung tengah berlatih bersama Gendhuk Tri. Sewaktu konsentrasi penggempuran tenaga dalam mencapai puncaknya, Cubluk menarik napas dalam, mengerahkan tenaga dalam Kakang Kawah, Adi Ari-Ari dan dengan kedua tangan membuka langsung menubruk ke arah pertemuan kedua tangan yang beradu.
Cubluk berada di tengahnya. Dengan kemampuan yang dimiliki, dengan tenaga yang ada dan mulai terlatih, sentuhan seketika mampu menyalurkan dengan cepat. Dengan sangat cepat. Jauh lebih cepat dibandingkan ketika Klobot menubruk secara tak sengaja. Saat itu Upasara dan Gendhuk Tri mampu mengurangi tenaga dalamnya. Sekarang justru sebaliknya.
Apalagi tubuh Cubluk sudah sama irama tarikan napas dan saluran tenaga dalamnya. Inilah hebat. Mengejutkan! Kalau dulu Klobot hanya terkena bercak hitam di bagian lengan yang terpegang tangan Gendhuk Tri, kini boleh dikatakan sepenuhnya tubuh Cubluk terkena sentuhan. Gendhuk Tri seperti melayang ke atas. Tubuhnya benar-benar tersentak, dan pandangannya membelalak ke arah Cubluk yang berdiri dengan wajah tetap tersenyum. Tetap tersenyum. Tetap dengan mata bening. Walau bagian leher, pundak, lengan, dan dada berwarna hitam.
“Cubluk, kamu… Kamu…”
“Ibu Jagattri, bercak hitam itu tak ada lagi di tubuh Ibu.”
Gendhuk Tri sangat lega memang. Sekilas bisa mengetahui bahwa akibat sedotan yang memancar keras, bercak tubuhnya berpindah ke tubuh Cubluk. Seluruhnya. Itu yang membuatnya mau pingsan.
“Bagaimana, bagaimana tubuhmu?”
“Tak apa-apa, Ibu Jagattri.”
Upasara meraba denyut nadi Cubluk yang bergolakan. Nyai Demang yang mendekat kemudian tak bisa berkata apa-apa selain bibirnya yang membuka.
“Celaka besar,” kata Gendhuk Tri tak bisa mengontrol perasaannya.
“Kalau bercak hitam itu menyebar…”
“Kita harus segera membebaskan.”
Upasara menarik lembut Cubluk. Mendudukkan dengan bersila. “Mari…”
Cubluk menggeleng. “Saya tak mau berlatih ilmu itu, Rama Wulung.”
“Kenapa tak mau?”
“Rasa-rasanya dulu pernah ada yang saling membunuh, saling menyiksa dengan ilmu silat. Makanya saya tak mau membunuh dan menyiksa.”
Gendhuk Tri menggeleng-geleng beberapa kali. Loncatan pikirannya membersit dan menabrak kian-kemari. Cubluk ini sangat cerdas dan luar biasa peka perasaannya. Kalau Klobot bisa melupakan atau tak peduli dengan apa yang pernah terjadi dengannya, sebaliknya hal yang demikian melekat pada Cubluk. Bukan tidak mungkin keluarganya dulu dihabisi atau terlibat dalam pertarungan yang mengerikan.
Itu yang membuat sikap Cubluk tidak mau mempelajari ilmu silat. Seperti yang ditunjukkan selama ini. Ini berarti sama dengan membiarkan Cubluk menerima kematian. Alangkah ngerinya. Nyai Demang yang merasa paling pintar membujuk dan berpengalaman dengan anak kecil, menjadi mati kutu.
Kuasa Sukma Tanah air
KARENA Cubluk hanya menggeleng. Dengan sorot mata kanak-kanak dan senyum polos.
“Cubluk memang sangat bodoh,” teriak Klobot kesal. “Kamu bisa mati seketika! Aku saja yang lebih gagah dan lebih hebat bisa sakit dan tersengal-sengal.”
“Kenapa Kakang Klobot selalu marah?”
“Karena kamu bodoh. Karena kamu mau mati.”
“Hush!” sergah Nyai Demang.
"Apakah mati menyakitkan? Kata Rama dulu, mati tidak menyakitkan, seperti kata Ibu. Mati hanyalah perpisahan sementara untuk nanti kita akan bertemu lagi. Tetapi Kakang Klobot jangan marah pada saya.”
Jantung Upasara seperti digilas dengan gada. Hatinya seperti ditusuki duri. Kalimat Cubluk yang lengkap, sorot mata yang tak berubah, makin menggelisahkan. Benteng pertahanan rasa harunya seperti porak-poranda. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama tak pernah tersentuh keharuan, mata Upasara membasah. Gendhuk Tri memeluk kencang. Menyusupkan kepala Cubluk ke dadanya.
“Apakah Rama Wulung juga tidak marah kepada saya?”
“Tidak,” jawab Gendhuk Tri.
“Eyang Putri Nyai Demang?”
“Juga tidak. Tak ada yang marah padamu, Cubluk. Tak ada.”
“Kenapa semua berdiam, Ibu Jagattri?”
“Karena… karena, karena kamu tak mau berlatih tenaga dalam…”
“Saya memang tidak mau, Ibu.”
Gendhuk Tri hanya bisa mengira-ngira kejadian yang mengerikan yang dialami Cubluk. Barangkali dengan kekuatan mengerahkan Ngrogoh Sukma Sejati akan bisa diketahui dengan jelas asal-usul Cubluk. Walaupun sebenarnya sekarang ini sudah bisa diperkirakan. Bahwa Cubluk, dan juga Klobot, berasal dari keluarga yang masih berdarah Keraton, kalau mengingat caranya memanggil Nyai Demang dengan sebutan Eyang Putri.
Barangkali masih salah satu keturunan Keraton yang ikut terbasmi habis saat-saat pertarungan perebutan kekuasaan. Saat-saat terakhir sebelum melarikan diri, Cubluk masih sempat bercakap dengan kedua orangtuanya yang menjelang ajal. Dan hebatnya, semuanya bisa terekam sempurna. Meskipun kemudian pelariannya di hutan cukup lama, ingatan itu tak terhapus. Hanya mengendap saja, karena kemudian tidak berani berkata-yang bukan tidak mungkin disebabkan karena ketakutan.
Maka begitu bisa berkata dan sedikitnya merasa aman, semua perbendaharaan yang dimiliki seperti tertumpah. Membuka semuanya. Gendhuk Tri merasa kesal pada diri sendiri! Kenapa justru di saat seperti ini malah terpikir mengenai masa lalu Cubluk. Dan bukan memusatkan perhatian bagaimana membujuk Cubluk atau mencari jalan keluar.
“Bagaimana rasa tubuhmu, Cubluk?”
“Mengantuk, Ibu. Mengantuk sekali.”
Upasara bergerak mendekati. Berjalan di sebelah Gendhuk Tri tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Apakah merebut Cubluk dari gendongan Gendhuk Tri dan menggendongnya, ataukah membiarkan begitu saja. Atau yang lainnya.
“Bagian mana yang sakit?”
Napas Cubluk tersengal. Sebagian wajahnya tampak merah. Gendhuk Tri mengatupkan geraham. Dirinya yang sudah mengalami pengaruh adanya bercak hitam pada tubuh bisa merasakan sepenuhnya. Pada saat saluran pernapasan tertutup, sakitnya sungguh-sungguh menyiksa. Mampetnya pernapasan yang sempurna menyebabkan wajahnya menjadi merah, karena darah pun seolah berhenti mengalir. Gendhuk Tri bisa menghayati penderitaan Cubluk. Tubuhnya yang kuat, penguasaan tenaga dalamnya yang sempurna saja masih bisa seketika ambruk tanpa daya.
Tangan Upasara mengusap wajah Cubluk. Bibirnya tersenyum. Tangannya bergerak perlahan. Upasara segera mengangkat tubuh Cubluk dan menggendongnya. Perlahan Upasara berusaha menyalurkan tenaga dalamnya lewat usapan telapak tangan. Terutama di bagian bercak hitam itu tampak berkumpul. Mengurut perlahan.
“Lebih enak?”
Napas Cubluk tersengal. Dadanya naik-turun tanpa irama. Sebentar seperti mengejang, sebentar seperti berkelojotan.
“Bagaimana, Kakang?”
Upasara mendekap, seolah tidak membiarkan Gendhuk Tri mendekat. Baru kemudian setelah menguasai perasaannya, Upasara Wulung duduk bersila. Mengerahkan seluruh kemampuannya, seluruh kekuatan tenaga dalamnya dengan sangat hati-hati, meneroboskan ke dalam tubuh Cubluk. Demikian juga halnya dengan Gendhuk Tri. Napas Cubluk menjadi teratur kembali. Warna merah di wajahnya perlahan menghilang. Berganti seperti semula. Nyai Demang menghela napas bersamaan dengan Gendhuk Tri dan Upasara Wulung.
“Sudah baik?”
“Untuk sementara, Nyai. Untuk sementara bisa tidur. Akan tetapi jika bercak itu terseret atau tersebar ke bagian tubuh yang berbahaya, akan terulang lagi. Apalagi jika di bagian ulu hati sempat mengental.”
“Biar saja begitu.”
Suara Klobot belum selesai, ketika tangan Nyai Demang menyambar. Dua pipi Klobot berbekas telapak tangan Nyai Demang. Tapi yang lebih membuat sakit hati Klobot ialah bahwa Nyai Demang yang selama ini selalu sayang padanya, selalu memanjakan, bisa menamparnya. Dengan sorot mata penuh kemurkaan.
Lebih menyakitkan lagi karena ketika Klobot melarikan diri, tak ada yang mengejar. Tak ada yang menahan. Tak ada yang menaruh perhatian. Klobot yang masih kecil tak bisa mengetahui bahwa Nyai Demang sedang galau pikirannya. Tangannya tampak selalu gemetar.
“Selama ini saya tahu bagaimana merawat anak yang sakit. Tidak hanya satu atau tujuh. Tapi yang seperti ini belum pernah. Ah… kenapa Dewa selalu menguji dengan cara seperti ini? Kenapa…” Nyai Demang menunduk. Menghela napas. Kedua tangannya mengelus tubuh Cubluk.
Mendadak Gendhuk Tri mendorong tubuh Nyai Demang. “Jangan, Nyai. Jangan lakukan itu.”
Nyai Demang yang terguling bangkit dengan cepat. “Kenapa kamu sekasar itu?”
“Jangan Nyai lakukan. Tak ada gunanya.”
Upasara berdeham pelan. Menawarkan suasana yang tiba-tiba membelit. Nyai Demang baru saja melakukan sesuatu yang dianggap sebagai penyelesaian. Yaitu dengan mengerahkan tenaga menyedot bercak hitam. Paling tidak bercak hitam itu akan berpindah ke tubuhnya. Sebagian atau seluruhnya. Gendhuk Tri segera bisa mengetahui. Makanya mencegah.
Karena kalau itu bisa dilakukan sebagai penyembuhan, dirinya sudah melakukannya! Hanya karena keduanya sedang dipenuhi emosi dan rasa gelisah, bentuknya seakan bermusuhan dan saling menyalahkan. Dehaman Upasara menyadarkan keduanya.
“Maaf, Ibu….”
“Sudahlah….” Nyai Demang mengelus kepala Gendhuk Tri.
Upasara masih bersila, memangku Cubluk. Disertai helaan napas berat, Nyai Demang beranjak menjauh. Diikuti Gendhuk Tri. Keduanya berdiri, tenggelam dalam suara hati masing-masing. Cukup lama.
“Aneh. Kenapa cobaan selalu datang dengan cara seperti ini?”
Gendhuk Tri seperti belum bereaksi.
“Kita harus melakukan sesuatu, saya tak tahu apa. Tanpa itu…”
Gendhuk Tri menghela napas.
“Memang aneh. Sekarang saya bebas dari bercak hitam, tetapi rasanya lebih menderita. Sekarang Kakang Upasara menemukan kekuatan baru, tetapi sekaligus sangat lemah. Benar-benar ganjil. Ah, tapi mana Klobot?”
Ajaran Sangkan Paran
BAGI Gendhuk Tri pertanyaan yang terlontar adalah pertanyaan yang wajar. Karena tidak melihat Klobot, bibirnya mengucap begitu saja. Bagi Nyai Demang ternyata lain lagi. Pertanyaan itu lebih dari perintah. Yang digerakkan oleh hatinya sendiri, sehingga tubuhnya langsung melayang. Dan kemudian akan berlari-lari kencang, mengitari seluruh bagian dari ujung ke ujung kalau perlu.
Dengan perasaan was was, seolah kuatir Klobot akan lenyap ditelan bumi. Kalau sudah begitu, Nyai Demang akan memandangi Klobot lama, memegangi kepalanya, menarik tangannya. Gendhuk Tri sering mengatakan bahwa Nyai Demang sudah tidak wajar kelakuannya. Upasara hanya tersenyum kecil.
“Apa bedanya dengan Yayi Tri?”
“Saya?”
“Kalau sebentar lagi Klobot tidak kelihatan, Yayi juga akan mencari.”
“Kakang sendiri juga begitu.”
“Ya, tetapi saya mengakui.”
Nyatanya begitu. Suasana yang sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Kehadiran Klobot dan Cubluk seolah membalik semua kenyataan sebelumnya. Sekarang semuanya terasa hangat, bersentuhan, dan mempunyai makna. Kalau sudah demikian, saat yang terbaik dan paling menyenangkan ialah saat semuanya berkumpul.
Upasara Wulung duduk di tengah lingkaran, sementara Gendhuk Tri di kirinya. Nyai Demang agak di depan, dan Klobot bersila. Cubluk kadang berada di pangkuan Gendhuk Tri, kadang menggelendot Upasara Wulung, kadang terlena di pangkuan Nyai Demang.
Kadang berlatih silat atau pernapasan, kadang saling bercerita. Satu-satunya yang memecahkan ketenteraman yang ada hanyalah kondisi Cubluk yang masih tak menentu. Atau juga pertanyaan-pertanyaan yang terdengar seperti menggugat.
“Kenapa Rama menciptakan ilmu silat?”
“Karena ilmu silat bisa untuk mempertahankan diri bila diserang musuh. Karena ilmu silat menjadi laku untuk memuja kebesaran Dewa Yang Mahadewa.”
“Rama Wulung sudah bisa main silat, kenapa menciptakan terus? Sampai kapan Rama berhenti?”
“Sampai Rama ini tak bisa menciptakan lagi. Sampai saat sudah sangat tua, tak bisa main silat lagi.”
“Siapa yang pertama kali menciptakan ilmu silat, Rama?”
“Manusia juga. Gerakan pertama bayi yang lahir adalah gerakan ilmu silat. Rama ini menciptakan jurus Kakang Kawah karena mau mengembalikan kepada kelahiran, kepada asal-mula dan kepada akhir, ke sangkan paraning dumadi. Awal kelahiran dan akhir kehidupan yang sesungguhnya. Inilah salah satu cara kita menjalani hidup. Tidak benar kalau ilmu silat itu jahat, Cubluk.”
Kalimat Upasara seperti mencekik lehernya sendiri, karena dengan sorotan matanya yang bening, Cubluk seakan mengatakan apa yang menjadi kebalikannya. Seolah bisa balik menuduh: kalau ilmu silat tidak jahat kenapa ada bercak-bercak hitam dalam tubuhnya?
“Kelak kamu akan mengerti, Cubluk,” kata Gendhuk Tri lembut sambil mengusap rambut Cubluk. “Saya juga tak bermimpi akan bermain silat seperti sekarang ini. Saya ingin menjadi penari Keraton.”
Mata Cubluk bersinar. “Keraton kita?”
Ganti pandangan Gendhuk Tri yang bersinar tajam. “Ya, keraton kita.”
Cubluk mengangguk.
“Cubluk, bukankah kamu dulunya pernah berada di Keraton?”
“Saya tak tahu, Ibu Tri. Tetapi saya pernah mendengar Keraton disebut-sebut.”
Nyai Demang menepuk pundak Klobot. “Kamu mestinya ingat, Klobot.”
Klobot menggeleng. “Saya tak mau mengingat. Kalau di sini boleh bermain sepuasnya, boleh berlatih silat, saya tak akan mengingat kembali.”
“Siapa yang mengajarimu bicara sekasar itu?”
“Eyang Putri sendiri.”
Nyai Demang menggaruk lehernya. Ya, siapa yang mengajari kalau bukan mereka? Bukankah hanya mereka yang ditemui sekarang ini?
“Baik, sekarang kita mulai berlatih.” Gendhuk Tri mengalihkan perhatian.
Upasara Wulung mengangguk. "Dalam ilmu kanuragan ada berbagai jenis, ada berbagai kembangan. Yang sebenarnya akarnya sama. Yaitu pengerahan dan pengendalian tenaga dalam. Tenaga dalam itu ada dalam setiap manusia. Kalau dilatih bisa dikuasai, bisa dikendalikan sesuai dengan keinginan kita. Tenaga dalam adalah tenaga yang berada di dalam. Yang tidak kelihatan. Yang berbeda dari tenaga kasar, bisa dilihat dari otot atau tulang yang keras. Pengerahan yang pertama ialah dengan pasrah. Dengan memusatkan pikiran pada Dewa Yang Mahadewa…”
Yang agak mengherankan Gendhuk Tri ialah kenyataan bahwa Nyai Demang seperti bersaing dalam artian sebenarnya dengan Klobot. Setiap kali Klobot bisa melakukan suatu gerakan dengan sempurna, Nyai Demang berusaha menunjukkan dengan cara yang lebih sempurna. Seakan dengan demikian semangatnya tumbuh kembali dari awal, seakan Klobot sepantaran dengan usianya. Yang harus dikalahkan dengan telak.
“Salah, Nyai…”
“Tidak bisa. Nyai lebih benar. Kekuatan kawah adalah kekuatan pecahnya air ketuban. Kekuatan yang berasal dari dalam. Ada miripnya dengan keluarnya telor, munculnya akar, pecahnya bulir padi. Akan tetapi bedanya dengan kekuatan dari Kitab Bumi adalah gerakan tangan kanan itu baru awal. Bukan kekuatan itu sendiri. Karena kekuatan itu sendiri terjadi sebelum gerakan tangan kiri terjadi. Intinya berada di antara kawah dan ari-ari. Bagaimana kamu bisa bilang salah? Dalam ajaran Kitab Bumi maupun Kitab Air, gerakan yang pertama sudah berarti pengerahan tenaga. Tetapi apa yang diciptakan Rama Wulung berada di tengahnya. Itu berarti ketika kamu menggerakkan tangan kanan ke atas sampai ke telinga, bukan tenaga yang sesungguhnya. Tenaga sesudah itu, tetapi sebelum tenaga tangan kiri yang kamu gerakkan ke belakang membentuk lengkungan busur panah, itulah tenaga tanah air. Bagaimana kamu bisa bilang salah?”
Nyai Demang memperlihatkan dengan gerakan yang halus, dan memaksa Klobot memperhatikan. Setengah memaksa Klobot mengakui bahwa gerakannya sendiri tak sesempurna itu. Klobot tak pernah mau mengakui, kecuali kalau Nyai Demang sudah meloncat tinggi dan memetik buah mangga.
Upasara tidak bisa memahami sepenuhnya perasaan Nyai Demang yang mendadak seperti menemukan gairah baru untuk menunjukkan keunggulan atas Klobot. Akan tetapi sepenuhnya bisa memahami bagaimana Nyai Demang sangat memperhatikan Klobot. Bagaimana Klobot bermanja-manja di dalam dekapan Nyai Demang, sementara tangan Klobot dibiarkan nakal mencolek lubang hidung, atau mempermainkan rambut Nyai Demang.
Sifat yang lain yang kemudian muncul adalah ketika berlatih jurus kedua, Endhut Blegedaba, atau Lumpur Magma Blegedaba. Jurus kedua yang diciptakan Upasara memperlihatkan kekuatan yang sangat keras. Yang sebenarnya bisa dimengerti karena asal-usul ilmu silat Upasara sendiri berawal dari ilmu silat yang diciptakan Ngabehi Pandu dengan mengambil sifat banteng, yang pada saat tertentu menjadi banteng ketaton, atau kekuatan banteng terluka.
Gerakan kedua tangan menggebrak ke depan, bagai memuntahkan tenaga sepenuhnya sambil menahan udara di pusar ini menggambarkan bagaimana muntahnya lumpur magma dari kandungan Gunung Jamurdipa, gunung paling ganas dalam kerajaan para dewa. Menurut cerita, dari kandungan Kawah Candradimuka yang selalu bergelegak panas itu mengalir endhut atau lumpur yang dinamai blegedaba.
Tenaga itulah yang dipakai untuk pengerahan. Jurus kedua yang ganas, karena sudah langsung menerjang, menggulung. Yang justru sangat disenangi Klobot. Juga Nyai Demang. Disenangi Klobot karena tenaga dorongan yang besar itu terlihat hasilnya. Bisa membuat pohon bergoyang, bisa membuat Cubluk menjerit dan bergulingan, ataupun krendi menguik-uik. Termasuk untuk mengagetkan Nyai Demang!
Sebaliknya, Nyai Demang menyukai karena, sekali lagi, dalam jurus ini keunggulannya terlihat jelas. Setiap kali Klobot nakal, dengan jurus yang sama dengan yang dimainkan Klobot, Nyai Demang bisa membuat Klobot terjungkal bergulingan. Kalau Klobot belum berteriak-teriak minta ampun berkepanjangan, Nyai Demang tak akan menghentikan serangannya. Bahwa semua tadi dilakukan dengan ukuran tenaga tertentu sehingga hanya membuat Klobot jungkir-balik tanpa terluka, hanya Klobot sendiri yang tidak tahu.
Pada jurus ketiga yang disebut Endhog Amun-Amun, Susuh Angin, Klobot makin repot. Apa pun daya serangnya, dengan tendangan, pukulan, atau melarikan diri, selalu diketahui dengan saksama. Bahkan ketika Klobot memilih berdiam diri sambil menutup mata, Nyai Demang bisa meniup Klobot hingga gelagapan.
Jurus ketiga ini sebenarnya untuk mengetahui serangan lawan. Yang diibaratkan mencari susuh angin, atau sarang angin, yang dalam artian sebenarnya tak bisa ditemukan. Karena angin tidak diketahui di mana sarangnya, ke mana tujuan utamanya. Sama dengan mencari endhog amun-amun, atau telur amun-amun, getaran air yang terkena sinar matahari. Setiap kali didekati akan menjauh kembali. Sehingga sebenarnya tak pernah bisa disentuh.
Amsal yang dipergunakan Upasara sangat jelas bagi Nyai Demang, akan tetapi tentu saja tak bisa dipahami Klobot. Justru di sini Nyai Demang merasa bisa mengungguli habis-habisan. Tanpa memedulikan sejauh mana Klobot bisa menangkap apa yang diucapkan, Nyai Demang akan selalu berusaha menerangkan panjang-lebar.
Rangkaian jurus dan pengerahan tenaga dalam dari Kidungan Tanah air bisa diikuti dengan mudah. Mulai dengan pengerahan tenaga, serangan keras yang tiba-tiba, sampai jurus ketiga, menebak asal serangan lawan. Yang sedikit luar biasa bagi Nyai Demang adalah bahwa dalam setiap serangan memang terkandung kekuatan tenaga bumi, tetapi sekaligus juga tenaga air. Dalam lumpur terkandung air dan sekaligus tanah. Dalam kawah, amun-amun, demikian juga halnya.
Yang lebih membuat Nyai Demang kesengsem memamerkan ialah Nyai Demang bisa mengubah tenaga tangan kanan dengan tangan kiri, dan sebaliknya. Bahkan bisa mengubah dengan jurus ketiga lebih dulu. Sehingga dalam berlatih, sebelum jurus kedua Klobot bisa dikempit di antara kaki, atau bahkan kepala Klobot seolah tersorong ke bawah ketiak Nyai Demang.
Bahwa tanpa menggunakan jurus-jurus itu pun Nyai Demang bisa mengalahkan Klobot dengan sangat mudah, Klobot tak mengetahui. Sehingga makin penasaran. Dan setiap kali Nyai Demang puas seolah bisa memperdayai habis-habisan.
“Klobot, kamu sudah janji. Kalau kalah akan mencari kutu.”
“Ya, Nyai.”
“Ayo.”
“Lima ekor saja.”
“Janjinya sepuluh ya sepuluh.”
Terpaksa Klobot mencari kutu di rambut Nyai Demang yang berbaring sambil memejamkan mata, dan merasakan seluruh kebahagiaan lewat sentuhan lembut tangan-tangan Klobot. Yang bisa menjadi gemas karena menemukan kesulitan besar menemukan kutu di antara belantara rambut Nyai Demang.
Tujuh Gunung, Tujuh Samudra
SEBALIKNYA dari Klobot, Cubluk sama sekali tak berminat berlatih silat. Hanya saat melatih pernapasan Cubluk mengikuti. Selebihnya bermain kembali, atau menjauh.
Yang membuat Upasara menaruh perhatian lebih, terutama karena Cubluk sebenarnya sangat cepat mengerti. Segala sesuatu yang diajarkan padanya, dengan sekali memberi pengertian, Cubluk bisa menangkap dengan cepat dan mampu mengingat. Rasanya, ketika Gendhuk Tri merasa dirinya belum selesai mengajarkan pun, Cubluk sudah mengangguk.
“Kenapa Rama Wulung menyebut jurus keempat sebagai Let Gunung-Sagara Sap Pitu?”
“Hanya perumpamaan belaka. Itu artinya biarpun dihadang tujuh gunung dan tujuh samudra luas, dalam mengerahkan tenaga untuk memukul dan menguasai lawan, lawan pasti akan bertahan, atau berusaha menyerang. Diibaratkan pertahanan lawan itu sebagai let, sebagai batas dari tujuh gunung dan tujuh samudra. Biarpun demikian, pukulan yang kita lancarkan harus mengenai sasaran.”
“Kenapa tujuh?”
Upasara melengak. Tak pernah menduga akan dikejar dengan pertanyaan semacam itu.
“Kenapa tujuh gunung dan tujuh samudra, Rama Wulung? Kenapa tidak sembilan misalnya?”
“Itu… itu… hanya penyebutan belaka. Tak ada kelirunya kalaupun diberi nama sembilan gunung, sembilan samudra misalnya. Penyebutan ini, karena kita biasanya menyebut tingkat yang tinggi dengan angka tujuh. Langit tingkat tujuh, bumi tingkat tujuh, dan lain sebagainya.”
“Kenapa Rama menciptakan jurus ini?”
“Ya karena saya ingin menciptakan ilmu silat. Karena Rama mendapat petunjuk untuk merumuskan apa yang saya inginkan. Ilmu silat itu dinamai Tembang Tanah air, karena liriknya bisa ditembangkan. Barangkali nantinya akan menjadi Kitab Tanah air, kalau sudah dituliskan.”
“Kenapa Rama Wulung dan Ibu Jagattri memakai perumpamaan dipisahkan tujuh gunung, tujuh samudra?”
Upasara benar-benar tersudut. Gendhuk Tri menghela napas. Agak susah menerangkan dengan panjang-lebar. Bukan karena kuatir Cubluk tak bisa menangkap. Justru sebaliknya. Nama Cubluk yang dikenakan menunjukkan perbedaan antara bumi dan langit. Dalam waktu yang singkat ketika mulai mengucapkan kata-kata, Cubluk bisa menyebutkan dua puluh nama yang berbeda dari rambut yang ada di tubuh.
Dapat dengan mudah membedakan nama buah mangga, buah sawo yang masih kecil. Nama biji antara buah yang satu dan yang lain. Nama binatang atau anak binatang yang berbeda. Bagi Klobot bisa disebutkan dengan sama atau satu sebutan saja, tetapi Cubluk bisa menyebut dengan tepat perbedaan satu dengan yang lainnya.
Agak susah menerangkan selengkapnya, karena Upasara Wulung maupun Gendhuk Tri merasa sedikit rikuh, jengah, untuk menjelaskan bahwa jurus keempat ini dinamai demikian untuk menggambarkan keadaan mereka berdua. Yang diumpamakan dipisahkan oleh tujuh gunung dan tujuh samudra, kalau sudah jodoh akhirnya akan bertemu juga. Dieletana sagara-gunung sap pitu.
Ilmu silat Upasara yang diciptakan adalah penemuan ketika pergolakan batinnya telah menemukan kedamaian. Sehingga meskipun kelihatannya sekilas sangat ganas, akan tetapi mengandung keteguhan dan menggambarkan adanya pertemuan kebahagiaan. Inti bersatunya kekuatan tanah dengan kekuatan air.
“Kalau memang bisa menemukan, kenapa jurus itu menjadi jurus keempat, Rama? Kenapa bukan jurus pertama?”
“Tidak bisa begitu saja. Semua ada prosesnya. Tumbuhan tidak langsung berbuah begitu saja. Rumput pun tidak langsung tumbuh sebesar itu. Juga kamu. Juga Kakang Klobot. Juga krendi. Semua berasal dari kecil. Semua lahir lebih dulu.”
“Apakah gunung tadinya juga kecil?”
“Barangkali malah sebaliknya,” jawab Gendhuk Tri. “Gunung tadinya lebih besar. Yang bisa tumbuh adalah yang hidup.”
“Apakah matahari hidup, Ibu Jagattri?”
“…Ya.”
“Apakah matahari akan bertambah panas?”
Cubluk akan terus mengejar dengan berbagai pertanyaan, yang menyebabkan untuk pertama kalinya. Gendhuk Tri merasa tersudut. Selama ini dirinya selalu bisa menyudutkan lawan dalam berbicara. Akan tetapi menghadapi Cubluk, batas kesabaran Gendhuk Tri tinggal seujung rambut. Upasara tampak lebih telaten. Lebih sering terus menemani, dan Cubluk juga biasa tidur di pangkuan Upasara.
“Ibu Jagattri, kenapa bercak hitamnya masih ada?”
“Sebentar lagi juga akan hilang.”
“Kata Rama Wulung, bisa dipindahkan ke Kakang Klobot secara tak sengaja. Kenapa tak dipindahkan seluruhnya saja?”
“Kenapa, kamu tak suka kepada Kakang Klobot?”
“Bukankah Kakang Klobot bisa mengusir dengan ilmunya?”
Gendhuk Tri mengangguk. “Memang, itu cara yang cepat. Akan tetapi, bercak hitam ini pertanda tenaga dalam yang macet. Jika terlalu banyak, melebihi kemampuan Kakang Klobot, akibatnya bisa bahaya.”
“Kenapa tidak dicobakan ke saya, Ibu Jagattri?”
“Tidak, tidak. Kamu…”
“Saya lebih kuat, Ibu Jagattri. Saya bisa mengerahkan tenaga dalam. Bisa memusatkan dan melakukan seperti Kakang Klobot dan Eyang Putri Nyai Demang.”
“Ya, ya, tapi terlalu berbahaya.”
Inilah yang tidak diduga Gendhuk Tri. Maupun Upasara Wulung. Bahwa Cubluk mampu melakukan itu. Semua itu terjadi ketika Upasara Wulung tengah berlatih bersama Gendhuk Tri. Sewaktu konsentrasi penggempuran tenaga dalam mencapai puncaknya, Cubluk menarik napas dalam, mengerahkan tenaga dalam Kakang Kawah, Adi Ari-Ari dan dengan kedua tangan membuka langsung menubruk ke arah pertemuan kedua tangan yang beradu.
Cubluk berada di tengahnya. Dengan kemampuan yang dimiliki, dengan tenaga yang ada dan mulai terlatih, sentuhan seketika mampu menyalurkan dengan cepat. Dengan sangat cepat. Jauh lebih cepat dibandingkan ketika Klobot menubruk secara tak sengaja. Saat itu Upasara dan Gendhuk Tri mampu mengurangi tenaga dalamnya. Sekarang justru sebaliknya.
Apalagi tubuh Cubluk sudah sama irama tarikan napas dan saluran tenaga dalamnya. Inilah hebat. Mengejutkan! Kalau dulu Klobot hanya terkena bercak hitam di bagian lengan yang terpegang tangan Gendhuk Tri, kini boleh dikatakan sepenuhnya tubuh Cubluk terkena sentuhan. Gendhuk Tri seperti melayang ke atas. Tubuhnya benar-benar tersentak, dan pandangannya membelalak ke arah Cubluk yang berdiri dengan wajah tetap tersenyum. Tetap tersenyum. Tetap dengan mata bening. Walau bagian leher, pundak, lengan, dan dada berwarna hitam.
“Cubluk, kamu… Kamu…”
“Ibu Jagattri, bercak hitam itu tak ada lagi di tubuh Ibu.”
Gendhuk Tri sangat lega memang. Sekilas bisa mengetahui bahwa akibat sedotan yang memancar keras, bercak tubuhnya berpindah ke tubuh Cubluk. Seluruhnya. Itu yang membuatnya mau pingsan.
“Bagaimana, bagaimana tubuhmu?”
“Tak apa-apa, Ibu Jagattri.”
Upasara meraba denyut nadi Cubluk yang bergolakan. Nyai Demang yang mendekat kemudian tak bisa berkata apa-apa selain bibirnya yang membuka.
“Celaka besar,” kata Gendhuk Tri tak bisa mengontrol perasaannya.
“Kalau bercak hitam itu menyebar…”
“Kita harus segera membebaskan.”
Upasara menarik lembut Cubluk. Mendudukkan dengan bersila. “Mari…”
Cubluk menggeleng. “Saya tak mau berlatih ilmu itu, Rama Wulung.”
“Kenapa tak mau?”
“Rasa-rasanya dulu pernah ada yang saling membunuh, saling menyiksa dengan ilmu silat. Makanya saya tak mau membunuh dan menyiksa.”
Gendhuk Tri menggeleng-geleng beberapa kali. Loncatan pikirannya membersit dan menabrak kian-kemari. Cubluk ini sangat cerdas dan luar biasa peka perasaannya. Kalau Klobot bisa melupakan atau tak peduli dengan apa yang pernah terjadi dengannya, sebaliknya hal yang demikian melekat pada Cubluk. Bukan tidak mungkin keluarganya dulu dihabisi atau terlibat dalam pertarungan yang mengerikan.
Itu yang membuat sikap Cubluk tidak mau mempelajari ilmu silat. Seperti yang ditunjukkan selama ini. Ini berarti sama dengan membiarkan Cubluk menerima kematian. Alangkah ngerinya. Nyai Demang yang merasa paling pintar membujuk dan berpengalaman dengan anak kecil, menjadi mati kutu.
Kuasa Sukma Tanah air
KARENA Cubluk hanya menggeleng. Dengan sorot mata kanak-kanak dan senyum polos.
“Cubluk memang sangat bodoh,” teriak Klobot kesal. “Kamu bisa mati seketika! Aku saja yang lebih gagah dan lebih hebat bisa sakit dan tersengal-sengal.”
“Kenapa Kakang Klobot selalu marah?”
“Karena kamu bodoh. Karena kamu mau mati.”
“Hush!” sergah Nyai Demang.
"Apakah mati menyakitkan? Kata Rama dulu, mati tidak menyakitkan, seperti kata Ibu. Mati hanyalah perpisahan sementara untuk nanti kita akan bertemu lagi. Tetapi Kakang Klobot jangan marah pada saya.”
Jantung Upasara seperti digilas dengan gada. Hatinya seperti ditusuki duri. Kalimat Cubluk yang lengkap, sorot mata yang tak berubah, makin menggelisahkan. Benteng pertahanan rasa harunya seperti porak-poranda. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama tak pernah tersentuh keharuan, mata Upasara membasah. Gendhuk Tri memeluk kencang. Menyusupkan kepala Cubluk ke dadanya.
“Apakah Rama Wulung juga tidak marah kepada saya?”
“Tidak,” jawab Gendhuk Tri.
“Eyang Putri Nyai Demang?”
“Juga tidak. Tak ada yang marah padamu, Cubluk. Tak ada.”
“Kenapa semua berdiam, Ibu Jagattri?”
“Karena… karena, karena kamu tak mau berlatih tenaga dalam…”
“Saya memang tidak mau, Ibu.”
Gendhuk Tri hanya bisa mengira-ngira kejadian yang mengerikan yang dialami Cubluk. Barangkali dengan kekuatan mengerahkan Ngrogoh Sukma Sejati akan bisa diketahui dengan jelas asal-usul Cubluk. Walaupun sebenarnya sekarang ini sudah bisa diperkirakan. Bahwa Cubluk, dan juga Klobot, berasal dari keluarga yang masih berdarah Keraton, kalau mengingat caranya memanggil Nyai Demang dengan sebutan Eyang Putri.
Barangkali masih salah satu keturunan Keraton yang ikut terbasmi habis saat-saat pertarungan perebutan kekuasaan. Saat-saat terakhir sebelum melarikan diri, Cubluk masih sempat bercakap dengan kedua orangtuanya yang menjelang ajal. Dan hebatnya, semuanya bisa terekam sempurna. Meskipun kemudian pelariannya di hutan cukup lama, ingatan itu tak terhapus. Hanya mengendap saja, karena kemudian tidak berani berkata-yang bukan tidak mungkin disebabkan karena ketakutan.
Maka begitu bisa berkata dan sedikitnya merasa aman, semua perbendaharaan yang dimiliki seperti tertumpah. Membuka semuanya. Gendhuk Tri merasa kesal pada diri sendiri! Kenapa justru di saat seperti ini malah terpikir mengenai masa lalu Cubluk. Dan bukan memusatkan perhatian bagaimana membujuk Cubluk atau mencari jalan keluar.
“Bagaimana rasa tubuhmu, Cubluk?”
“Mengantuk, Ibu. Mengantuk sekali.”
Upasara bergerak mendekati. Berjalan di sebelah Gendhuk Tri tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Apakah merebut Cubluk dari gendongan Gendhuk Tri dan menggendongnya, ataukah membiarkan begitu saja. Atau yang lainnya.
“Bagian mana yang sakit?”
Napas Cubluk tersengal. Sebagian wajahnya tampak merah. Gendhuk Tri mengatupkan geraham. Dirinya yang sudah mengalami pengaruh adanya bercak hitam pada tubuh bisa merasakan sepenuhnya. Pada saat saluran pernapasan tertutup, sakitnya sungguh-sungguh menyiksa. Mampetnya pernapasan yang sempurna menyebabkan wajahnya menjadi merah, karena darah pun seolah berhenti mengalir. Gendhuk Tri bisa menghayati penderitaan Cubluk. Tubuhnya yang kuat, penguasaan tenaga dalamnya yang sempurna saja masih bisa seketika ambruk tanpa daya.
Tangan Upasara mengusap wajah Cubluk. Bibirnya tersenyum. Tangannya bergerak perlahan. Upasara segera mengangkat tubuh Cubluk dan menggendongnya. Perlahan Upasara berusaha menyalurkan tenaga dalamnya lewat usapan telapak tangan. Terutama di bagian bercak hitam itu tampak berkumpul. Mengurut perlahan.
“Lebih enak?”
Napas Cubluk tersengal. Dadanya naik-turun tanpa irama. Sebentar seperti mengejang, sebentar seperti berkelojotan.
“Bagaimana, Kakang?”
Upasara mendekap, seolah tidak membiarkan Gendhuk Tri mendekat. Baru kemudian setelah menguasai perasaannya, Upasara Wulung duduk bersila. Mengerahkan seluruh kemampuannya, seluruh kekuatan tenaga dalamnya dengan sangat hati-hati, meneroboskan ke dalam tubuh Cubluk. Demikian juga halnya dengan Gendhuk Tri. Napas Cubluk menjadi teratur kembali. Warna merah di wajahnya perlahan menghilang. Berganti seperti semula. Nyai Demang menghela napas bersamaan dengan Gendhuk Tri dan Upasara Wulung.
“Sudah baik?”
“Untuk sementara, Nyai. Untuk sementara bisa tidur. Akan tetapi jika bercak itu terseret atau tersebar ke bagian tubuh yang berbahaya, akan terulang lagi. Apalagi jika di bagian ulu hati sempat mengental.”
“Biar saja begitu.”
Suara Klobot belum selesai, ketika tangan Nyai Demang menyambar. Dua pipi Klobot berbekas telapak tangan Nyai Demang. Tapi yang lebih membuat sakit hati Klobot ialah bahwa Nyai Demang yang selama ini selalu sayang padanya, selalu memanjakan, bisa menamparnya. Dengan sorot mata penuh kemurkaan.
Lebih menyakitkan lagi karena ketika Klobot melarikan diri, tak ada yang mengejar. Tak ada yang menahan. Tak ada yang menaruh perhatian. Klobot yang masih kecil tak bisa mengetahui bahwa Nyai Demang sedang galau pikirannya. Tangannya tampak selalu gemetar.
“Selama ini saya tahu bagaimana merawat anak yang sakit. Tidak hanya satu atau tujuh. Tapi yang seperti ini belum pernah. Ah… kenapa Dewa selalu menguji dengan cara seperti ini? Kenapa…” Nyai Demang menunduk. Menghela napas. Kedua tangannya mengelus tubuh Cubluk.
Mendadak Gendhuk Tri mendorong tubuh Nyai Demang. “Jangan, Nyai. Jangan lakukan itu.”
Nyai Demang yang terguling bangkit dengan cepat. “Kenapa kamu sekasar itu?”
“Jangan Nyai lakukan. Tak ada gunanya.”
Upasara berdeham pelan. Menawarkan suasana yang tiba-tiba membelit. Nyai Demang baru saja melakukan sesuatu yang dianggap sebagai penyelesaian. Yaitu dengan mengerahkan tenaga menyedot bercak hitam. Paling tidak bercak hitam itu akan berpindah ke tubuhnya. Sebagian atau seluruhnya. Gendhuk Tri segera bisa mengetahui. Makanya mencegah.
Karena kalau itu bisa dilakukan sebagai penyembuhan, dirinya sudah melakukannya! Hanya karena keduanya sedang dipenuhi emosi dan rasa gelisah, bentuknya seakan bermusuhan dan saling menyalahkan. Dehaman Upasara menyadarkan keduanya.
“Maaf, Ibu….”
“Sudahlah….” Nyai Demang mengelus kepala Gendhuk Tri.
Upasara masih bersila, memangku Cubluk. Disertai helaan napas berat, Nyai Demang beranjak menjauh. Diikuti Gendhuk Tri. Keduanya berdiri, tenggelam dalam suara hati masing-masing. Cukup lama.
“Aneh. Kenapa cobaan selalu datang dengan cara seperti ini?”
Gendhuk Tri seperti belum bereaksi.
“Kita harus melakukan sesuatu, saya tak tahu apa. Tanpa itu…”
Gendhuk Tri menghela napas.
“Memang aneh. Sekarang saya bebas dari bercak hitam, tetapi rasanya lebih menderita. Sekarang Kakang Upasara menemukan kekuatan baru, tetapi sekaligus sangat lemah. Benar-benar ganjil. Ah, tapi mana Klobot?”
Ajaran Sangkan Paran
BAGI Gendhuk Tri pertanyaan yang terlontar adalah pertanyaan yang wajar. Karena tidak melihat Klobot, bibirnya mengucap begitu saja. Bagi Nyai Demang ternyata lain lagi. Pertanyaan itu lebih dari perintah. Yang digerakkan oleh hatinya sendiri, sehingga tubuhnya langsung melayang. Dan kemudian akan berlari-lari kencang, mengitari seluruh bagian dari ujung ke ujung kalau perlu.
Dengan perasaan was was, seolah kuatir Klobot akan lenyap ditelan bumi. Kalau sudah begitu, Nyai Demang akan memandangi Klobot lama, memegangi kepalanya, menarik tangannya. Gendhuk Tri sering mengatakan bahwa Nyai Demang sudah tidak wajar kelakuannya. Upasara hanya tersenyum kecil.
“Apa bedanya dengan Yayi Tri?”
“Saya?”
“Kalau sebentar lagi Klobot tidak kelihatan, Yayi juga akan mencari.”
“Kakang sendiri juga begitu.”
“Ya, tetapi saya mengakui.”
Nyatanya begitu. Suasana yang sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Kehadiran Klobot dan Cubluk seolah membalik semua kenyataan sebelumnya. Sekarang semuanya terasa hangat, bersentuhan, dan mempunyai makna. Kalau sudah demikian, saat yang terbaik dan paling menyenangkan ialah saat semuanya berkumpul.
Upasara Wulung duduk di tengah lingkaran, sementara Gendhuk Tri di kirinya. Nyai Demang agak di depan, dan Klobot bersila. Cubluk kadang berada di pangkuan Gendhuk Tri, kadang menggelendot Upasara Wulung, kadang terlena di pangkuan Nyai Demang.
Kadang berlatih silat atau pernapasan, kadang saling bercerita. Satu-satunya yang memecahkan ketenteraman yang ada hanyalah kondisi Cubluk yang masih tak menentu. Atau juga pertanyaan-pertanyaan yang terdengar seperti menggugat.
“Kenapa Rama menciptakan ilmu silat?”
“Karena ilmu silat bisa untuk mempertahankan diri bila diserang musuh. Karena ilmu silat menjadi laku untuk memuja kebesaran Dewa Yang Mahadewa.”
“Rama Wulung sudah bisa main silat, kenapa menciptakan terus? Sampai kapan Rama berhenti?”
“Sampai Rama ini tak bisa menciptakan lagi. Sampai saat sudah sangat tua, tak bisa main silat lagi.”
“Siapa yang pertama kali menciptakan ilmu silat, Rama?”
“Manusia juga. Gerakan pertama bayi yang lahir adalah gerakan ilmu silat. Rama ini menciptakan jurus Kakang Kawah karena mau mengembalikan kepada kelahiran, kepada asal-mula dan kepada akhir, ke sangkan paraning dumadi. Awal kelahiran dan akhir kehidupan yang sesungguhnya. Inilah salah satu cara kita menjalani hidup. Tidak benar kalau ilmu silat itu jahat, Cubluk.”
Kalimat Upasara seperti mencekik lehernya sendiri, karena dengan sorotan matanya yang bening, Cubluk seakan mengatakan apa yang menjadi kebalikannya. Seolah bisa balik menuduh: kalau ilmu silat tidak jahat kenapa ada bercak-bercak hitam dalam tubuhnya?
“Kelak kamu akan mengerti, Cubluk,” kata Gendhuk Tri lembut sambil mengusap rambut Cubluk. “Saya juga tak bermimpi akan bermain silat seperti sekarang ini. Saya ingin menjadi penari Keraton.”
Mata Cubluk bersinar. “Keraton kita?”
Ganti pandangan Gendhuk Tri yang bersinar tajam. “Ya, keraton kita.”
Cubluk mengangguk.
“Cubluk, bukankah kamu dulunya pernah berada di Keraton?”
“Saya tak tahu, Ibu Tri. Tetapi saya pernah mendengar Keraton disebut-sebut.”
Nyai Demang menepuk pundak Klobot. “Kamu mestinya ingat, Klobot.”
Klobot menggeleng. “Saya tak mau mengingat. Kalau di sini boleh bermain sepuasnya, boleh berlatih silat, saya tak akan mengingat kembali.”
“Siapa yang mengajarimu bicara sekasar itu?”
“Eyang Putri sendiri.”
Nyai Demang menggaruk lehernya. Ya, siapa yang mengajari kalau bukan mereka? Bukankah hanya mereka yang ditemui sekarang ini?
“Baik, sekarang kita mulai berlatih.” Gendhuk Tri mengalihkan perhatian.
Upasara Wulung mengangguk. "Dalam ilmu kanuragan ada berbagai jenis, ada berbagai kembangan. Yang sebenarnya akarnya sama. Yaitu pengerahan dan pengendalian tenaga dalam. Tenaga dalam itu ada dalam setiap manusia. Kalau dilatih bisa dikuasai, bisa dikendalikan sesuai dengan keinginan kita. Tenaga dalam adalah tenaga yang berada di dalam. Yang tidak kelihatan. Yang berbeda dari tenaga kasar, bisa dilihat dari otot atau tulang yang keras. Pengerahan yang pertama ialah dengan pasrah. Dengan memusatkan pikiran pada Dewa Yang Mahadewa…”
JILID 82 | BUKU PERTAMA | JILID 84 |
---|