X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 85

Cerita silat jawa serial senopati pamungkas buku kedua jilid 85 karya Arswendo Atmowiloto
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 85

Hal sama yang dirasakan Upasara. Yang tersita seluruh perhatiannya kepada Cubluk. Bahkan ketika beberapa kali mencoba bersemadi, bayangan bercak hitam kadang-kadang muncul. Berbeda dari mereka, Klobot yang bisa menikmati dengan gairah tinggi. Ia menjadi tumpuan pemuasan kemanjaan Nyai Demang.

Dan sifat nakal anak-anaknya makin tumbuh. Secara sengaja Klobot menyelinap dan bersembunyi sehingga Nyai Demang kelabakan mencari. Sengaja Klobot menghindar jauh sekali, dan tertawa sendiri membayangkan Nyai Demang kebingungan.

“Kalau kamu pergi terus, saya akan mengikat kakimu.”

“Kalau Eyang Nyai mengikat kaki saya, saya akan pergi dan tak kembali.”

Nyai Demang makin tak berkutik. Dan Klobot bisa menikmati kemenangan. Kadang sengaja mencari perhatian dengan memanjat pohon yang tinggi, dan bersiap meloncat ke bawah. Sebenarnya Nyai Demang bukannya tidak mengetahui bahwa Klobot ingin menarik perhatian Upasara Wulung. Biar bagaimanapun, Klobot sebagai anak lelaki sangat memuja keunggulan Rama Wulung. Yang selalu membuatnya takjub.

Nyai Demang bisa mengerti dari ucapan Klobot yang sedikit-sedikit menyinggung dan menyebutkan Rama Wulung. Juga dari tindakan-tindakannya. Selama ini Nyai Demang masih bisa menguasai Klobot, karena ilmunya jauh di atas Klobot. Hanya saja kekuatirannya juga makin membesar. Mengingat tindakan Klobot makin tak terkendalikan. Sementara Upasara Wulung sendiri seperti tenggelam dengan Cubluk. Dan pembicaraan dengan Gendhuk Tri.

“Kakang marah kalau saya mengatakan sesuatu yang menyinggung hati Kakang?”

“Apa pun akan Kakang terima, Yayi, selama itu demi kesembuhan Cubluk.”

“Juga kalau kita ke pertapaan Simping?”

“Simping?”

“Menemui Permaisuri Rajapatni…”

Dada Upasara terguncang. Terasa sakit hingga ulu hati. Gendhuk Tri menunduk. “Yayi Tri, kenapa Yayi begitu tega mengatakan hal itu?”

Gendhuk Tri mendongak. “Tadinya saya ragu. Tapi akhirnya lebih baik saya katakan. Saya tahu apa yang harus saya lakukan. Bukannya tanpa alasan kalau saya menyebutkan nama Permaisuri Rajapatni yang sekarang menyucikan diri di Sanggar Pamujan Simping. Ingatan itu tidak tiba-tiba saja, Kakang. Rasanya…”

“Tidak.”

“Kakang dengar dulu.”

“Tidak. Yayi dengar apa yang saya katakan. Permaisuri Rajapatni sudah memilih jalan suci yang terluhur selama ini. Yaitu bertapa, menjauhkan diri dari segala yang bersifat keduniawian. Datang kepadanya hanya akan menggugurkan niatnya yang luhur. Kesucian yang selama ini diperoleh. Tidak.”

“Permaisuri…”

Yang Lalu Telah Lewat
WAJAH Upasara tampak membeku. Ada pergolakan di balik sikapnya yang kelihatan tetap tenang. Ada sesuatu yang mendadak menyeruak, sehingga tidak memberi kesempatan bicara pada Gendhuk Tri. Yang agaknya juga terpancing untuk bersuara dengan nada tinggi. Untuk pertama kalinya Upasara seperti tidak peduli sikap Gendhuk Tri.

“Tidak. Selama ini saya merasa Permaisuri Rajapatni tidak mempunyai hubungan dengan penyembuhan, dengan bercak hitam, atau yang seperti itu. Tak ada hubungannya sama sekali.”

“Beri saya kesempatan untuk ganti berbicara, Kakang. Kekuatan…”

“Tidak. Saya menangkap apa yang akan Yayi katakan. Tenaga dalam murni yang kita miliki adalah tenaga dalam kekuatan dari Tanah air. Tenaga dalam yang menyatu. Walaupun belum bisa dikatakan padu seutuhnya. Dari pikiran ini Yayi mengira bahwa jika tenaga Tanah air yang sesungguhnya akan bisa menyembuhkan Cubluk. Tenaga penyatuan yang sesungguhnya itu mungkin sekali berasal dari tenaga dalam saya dan tenaga dalam Permaisuri Rajapatni. Bukankah itu yang Yayi pikirkan? Ya! Jalan pikiran itu tidak salah. Penyatuan tenaga Tanah air adalah tenaga yang menyatu, dari kekuatan tanah dan kekuatan air. Sebagaimana bersatunya daya asmara yang sejati. Daya asmara yang sejati. Dan itu yang tidak saya miliki pada Permaisuri Rajapatni, demikian juga sebaliknya. Tidak, Yayi. Tidak. Sebelum Permaisuri Rajapatni memutuskan untuk bertapa, barangkali pengandaian itu masih bisa. Meskipun itu pengandaian yang tidak beralasan, justru karena saat itu saya belum memiliki tenaga Tanah air. Tak mungkin. Tidak. Yayi, daya asmara yang sejati, sebagaimana penyatuan tanah dengan air, adalah penyatuan yang murni, yang tidak dipaksakan, yang diterima dan berlaku sebagaimana alam ini diciptakan. Hal yang sama terjadi pada kita. Kalaupun penyatuan kita tidak mungkin karena secara murni Yayi tidak bisa menerima Kakang…”

Gendhuk Tri menubruk Upasara Wulung. Rebah di dada yang gagah. Dan basah oleh air mata. Jari-jari Gendhuk Tri gemetar menutup bibir Upasara. “Cukup, Kakang. Saya merasakan getaran daya asmara Kakang. Tanpa perlu diucapkan.”

“Tidak, Yayi. Saya akan mengucapkan. Agar Yayi lebih merasakan bahwa saya memang menghendaki Yayi.”

Pelukan Gendhuk Tri makin rapat. Makin erat. “Kenapa Kakang murka kalau tak mempunyai rasa lagi terhadap Permaisuri Rajapatni?”

Upasara balas merangkul lembut, hangat, padat. “Saya tak ingin Yayi menebak-nebak apa yang sepenuhnya saya rasakan.”

Gendhuk Tri benar-benar menggeletar. Sama sekali tak disangkanya Upasara akan mengatakan setegas itu. Setega itu mengucapkan dari bibirnya sendiri. Gendhuk Tri tidak mempunyai bayangan dan perkiraan apa-apa ketika menyebutkan nama Permaisuri Rajapatni.

Semuanya sangat mungkin sekali, bisa diatasi dengan penyatuan tenaga dalam Upasara Wulung dengan kekuatan batin Permaisuri Rajapatni. Dan agaknya ini merupakan satu-satunya jalan keluar. Gendhuk Tri menyadari hati kecilnya masih nggregel, masih mengganjal, setiap kali menyebut nama Rajapatni, atau Gayatri. Karena merasakan betapa Upasara terseok-seok mengalami pasang-surut hidupnya.

Akan tetapi ternyata dugaannya meleset. Upasara terpancing emosinya, dari sisi yang berbeda. Sisi yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Ledakan perasaan yang lebih mengejutkan, tetapi sekaligus membuatnya bahagia adalah pernyataan Upasara bahwa ia mengharapkan! Itu sudah lebih dari cukup! Lebih dari apa pun! Hanya agaknya Upasara Wulung sendiri masih perlu melanjutkan.

“Yayi akan mendengarkan penjelasan saya. Yang terakhir kalinya. Saya merelakan sepenuhnya jalan yang ditempuh Permaisuri Rajapatni. Karena itulah yang terbaik. Sebagaimana kita merelakan Paman Jaghana. Karena itulah yang terbaik dan mulia. Yang lalu biarlah lewat. Akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. Baik yang penuh kebaikan, ataupun penuh keluhuran. Yayi dengar semua yang saya katakan?”

Di dada Upasara, dagu Gendhuk Tri bergerak. “Apalah susahnya menemui ke Simping. Apalah susahnya menemui Paman Jaghana di keabadian. Akan tetapi apa artinya? Memanjakan masa lalu? Menghidupkan masa lalu yang pernah membuahkan kekecewaan?”

“Kakang seperti kakek-kakek.”

Upasara tetap merangkul. “Sejak kapan Yayi mempunyai dan mengenal kakek-kakek?”

“Sejak tadi.” Gendhuk Tri berusaha membebaskan diri. Tapi Upasara tidak melonggarkan rangkulannya.

“Setiap kali kita memutuskan sesuatu, kita berjalan di jalan itu. Setiap kali kita memutuskan sesuatu, kadang berarti membuat putus dengan sesuatu yang tadinya melekat dalam diri kita. Inilah pilihan. Yayi masih mau mendengarkan omongan kakek-kakek?”

“Terpaksa.”

Upasara tersenyum. Tetap bersandar dan bersila, meskipun tangannya tak lagi memeluk. Gendhuk Tri beringsut sedikit. “Sikap pasrah adalah sikap menerima dan sekaligus memberikan kebahagiaan tanpa pamrih. Kadang menyakitkan karena seperti membunuh kenangan yang selalu menyenangkan dan manis, tetapi itu tidak berarti lebih buruk. Sewaktu Permaisuri Rajapatni memutuskan untuk bertapa di Simping, saya rasa sudah melalui perhitungan yang mendalam. Sudah sampai tingkat memasrahkan diri. Dengan melepas semua nafsu, segala emosi, segala rasa, segala nalar. Kita harus menghormatinya. Dan meyakini sebagai yang paling menenteramkan. Itulah semuanya.”

Gendhuk Tri memandang ke arah lain. “Kalau tak ada Cubluk, rasanya pembicaraan seperti ini tak akan terjadi.”

“Cubluk dikirim Paman Jaghana.”

“Rasanya saya percaya hal itu, Kakang.” Lalu suaranya berubah sedih. “Tapi bagaimana dengan Cubluk? Apakah…” Gendhuk Tri tertahan kalimat lanjutannya. Lehernya tercekik oleh penderitaan yang lengket. “Kepada siapa lagi kita meminta, Kakang? Barangkali Senopati Tanca. Tabib yang sangat tersohor itu bisa kita mintai pertolongannya, meskipun saya tak yakin. Apakah Cubluk bisa dibawa ke sana? Keadaannya menguatirkan setiap ada perubahan. Atau Tabib Tanca yang dibawa kemari?”

“Semua usaha, ada baiknya dicoba. Meskipun kita ragu apakah Tabib Tanca tidak memerlukan waktu yang lebih panjang dari penderitaan Cubluk. Rasanya, seperti yang diderita Putri Koreyea, sumber utamanyalah yang seharusnya bisa menyembuhkan. Itu berarti kita berdua.”

“Mudah-mudahan saya bisa menerima Kakang. Saya tak bisa memaksa diri saya.”

Upasara bangkit. Merangkul Gendhuk Tri. Agak lama. Baru kemudian berdiri, menggandeng tangan Gendhuk Tri dan tetap menggenggamnya.

“Kalau saja penyembuhan Cubluk berhasil, rasanya tak ada yang membebani lagi. Entah dengan cara bagaimana mengucapkan rasa syukur yang agung ini.”

“Tempat ini sangat asri, Kakang. Kalau saja…” Kembali suara Gendhuk Tri tertahan. Upasara sempat bercekat, karena menduga ada sesuatu yang ganjil. “…Kalau saja Halayudha dengan Kangkam Galih, Pendita Ngwang, Pangeran Hiang bisa menemukan jalan yang terbaik.”

“Juga kita, Yayi.” Genggaman Upasara makin meremas.

Kebimbangan Raja
KETIKA Gendhuk Tri menemukan Klobot dan Cubluk, ketika itu pula Halayudha menemukan kesunyian. Ketika kembali ke Keraton, Halayudha merasa tak menemukan apa-apa dan siapa-siapa. Seakan di seluruh Keraton tak ada yang dikenali satu pun. Setelah berhari-hari seluruh perhatiannya terserap kehebatan Kangkam Galih, dan tidak menemukan pemecahan di balik ketajaman pedang hitam tipis, Halayudha menuju Keraton.

Tak ada prajurit yang mencegah atau menghalangi. Bahkan di pintu gerbang, para prajurit jaga menyembah hormat padanya. Halayudha masuk sambil menenteng Kangkam Galih tanpa memedulikan penghormatan. Sampai di dalam langsung menuju ruangannya. Dan tetap tak menemukan apa-apa serta siapa-siapa. Tak ada Mada, satu-satunya tokoh yang bisa berhubungan dengannya.

Dan dalam linglungnya karena pikiran terpusat kepada satu hal, Halayudha tak mengerti bagaimana cara mengetahui di mana Mada. Padahal dengan membuka satu pertanyaan saja, Halayudha akan memperoleh jawaban bahwa Mada dikirimkan untuk nyuwita, untuk mengabdi, kepada Patih Arya Tilam.

Dalam keadaan seperti itu, jalan pikiran Halayudha menjadi buntu. Tak tahu harus berbuat apa. Hanya sedikit ingatannya bahwa ia datang ke Keraton karena ingin menemui seseorang, sekaligus berjaga akan serangan seseorang atau dua orang. Selebihnya tak disadari benar.

Apa yang dilakukan dalam Keraton hanya mempermainkan Kangkam Galih. Memainkan jurus demi jurus sampai kelelahan. Menghunjamkan pedang ke dinding tembok hingga amblas. Memotong pohon dengan sambaran angin. Hingga bosan sendiri karena selama ini tak ada yang berani menegur atau menyapa. Tak ada yang melihatnya. Kecuali Raja Jayanegara yang melangkah dengan kaki ringan di dekatnya, dan tersenyum dingin.

“Baru Ingsun tahu, bahwa mahamanusia yang perkasa, raja yang tak mengenakan takhta, mahapatih yang berkuasa, pendekar tanpa tanding ini bisa kehilangan arah, bisa kehilangan pandom dalam hidupnya.”

“Kamu mengerti apa bisa bicara seperti itu? Aku tetap mahamanusia yang perkasa. Dengan Kangkam Galih di tanganku ini, matahari bisa kubelah, rembulan bisa kucincang. Tak ada lagi yang bisa menandingi. Aku tetap mahamanusia. Aku tetap raja walau tak mengenakan mahkota. Dengan satu gerakan tangan, mahkota dan kursi dampar kencana akan menjadi milik dan lambangku. Kamu hanyalah raja, tetapi tak memiliki apa-apa. Yang lari terbirit-birit dari Keraton, hanya karena seorang prajurit mengangkat senjata. Di mana nyalimu? Di mana wibawamu? Raja macam apa dirimu itu?”

Wajah Raja Jayanegara berubah.

“Aku kadang kala bimbang. Kamu selalu dalam kebimbangan. Sebutanmu hanya Raja. Berbeda dengan ayahanda Baginda. Berbeda jauh dengan sebutan Sri Baginda Raja. Adalah bagus kalau sampai sekarang kamu tidak memiliki putra mahkota, agar tidak lebih nista lagi. Apa lagi yang kamu miliki?”

“Lancang benar mulutmu yang busuk itu.”

Halayudha malah tersenyum melihat Raja menjadi geram. Kangkam Galih diletakkan di pundak. Tetap menempel meskipun kedua tangannya bergerak leluasa, mengiringi kalimatnya. “Lihatlah dirimu, wahai yang menamakan diri Raja Jayanegara. Apakah kamu masih berharap semuanya datang dan menyembah? Mencium bekas kakimu? Itu bisa saja terjadi. Dan masih akan terjadi. Karena tidak semua bisa menjadi seperti aku, mahamanusia. Yang bisa mengatakan apa adanya, sebagaimana mata bisa melihat. Aku bimbang, itu kuakui. Tapi aku tak mengenakan mahkota. Kamu mengenakan mahkota, kebimbanganmu menyebabkan kehancuran orang lain. Dan alangkah ajaibnya kalau kamu tak pernah menyadari itu. Kamu tak bisa menyadari dirimu sebagai manusia yang bisa merasakan perasaan manusia yang lain. Kamu telanjur salah dilahirkan.”

Halayudha bersungut. Bergeming tak menghindar ketika Raja mencabut keris pusaka dan menikam. Kangkam Galih melorot sendiri, menangkis. Terdengar bunyi cring yang keras. Keris itu terlepas dari genggaman.

“Kamu bisa panggil seluruh prajurit utama. Akan kurajang seperti bawang, akan kuiris seperti buncis. Kamu bisa mengeluarkan Tumbak Kiai Braja yang bercabang lima sebagai tombak pusaka Keraton. Akan kupotong seperti tangkai bayam. Saat ini kamu keliru memilih manusia untuk melampiaskan kemarahanmu.”

Tangan kiri Halayudha terulur. Pundak Raja seperti tertekan. Sewaktu berusaha melawan, tindihan makin memberat. Sewaktu berusaha menahan, lututnya menjadi goyah. Sehingga tanpa disadari bergoyangan dan berlutut. Berlutut.

“Itu lebih baik. Sesekali berlutut di depan orang lain. Masih beruntung kamu berlutut di depan mahamanusia. Ini pelajaran pertama, yang terbaik. Selama ini kamu tak pernah menerima pelajaran dari orang lain. Semua guru hanya memenuhi permintaanmu. Para empu yang mengajarimu menjadikan kamu bukan manusia. Aku memberikan kesempatan terakhir. Berlututlah sampai kamu bisa membebaskan diri.”

Halayudha menyeringai dan menyeret Kangkam Galih meninggalkan tempat begitu saja. Meninggalkan Raja yang masih tertekuk lututnya. Yang menjadi kaku untuk digerakkan. Bahwa Halayudha sakti, bisa diketahui. Akan tetapi bahwa tanpa menyentuh kulit sekali pun bisa membuat Raja berjongkok tanpa bisa membebaskan diri, itu baru luar biasa!

Karena biar bagaimanapun dirinya membesar-besarkan ilmunya, Raja Jayanegara mempunyai dasar yang cukup kuat. Maka hati kecilnya makin gondok karena ternyata dengan enteng sekali bisa didudukkan oleh Halayudha. Kalau saja ini terjadi di luar tempat kediaman, apa lagi yang tersisa? Seorang prajurit yang paling cubluk sekalipun meragukan apa yang dilihat: Seorang raja berlutut di jalanan! Siapa lagi yang bisa menghormati?

Benar-benar tak terbayangkan oleh Raja sendiri. Benar-benar dilindas hingga rata tanpa sisa. Lebih menyakitkan lagi, karena kalimat sembarangan Halayudha seakan mengatakan hal yang sebenarnya. Dirinya tak pernah duduk di depan orang lain. Dirinya salah sejak lahir. Dirinya bukan manusia. Rasa geram membuat Raja Jayanegara makin gemetar. Tapi tetap saja tak bisa bergerak. Akankah dirinya berteriak meminta pertolongan?

“Sinuwun, jangan melawan tenaga yang menindih. Kosongkan pikiran. Pusatkan kekuatan pada tangan yang menempel ke bumi.”

Suara dalam nada yang aneh. Sekejap Raja menduga itu suara Halayudha yang nadanya dilainkan. Akan tetapi sebutan menghormat Sinuwun, memungkinkan adanya orang lain. Lagi pula memang tak ada pilihan lain. Raja meletakkan kedua tangannya ke tanah. Menempel rata.

“Jangan mencoba berdiri. Biarkan tenaga bumi mengalir ke tangan.”

JILID 84BUKU PERTAMAJILID 86