Senopati Pamungkas Kedua Jilid 57

Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 57

“Saya bisa melakukan. Saya menguasai sukmanya, sehingga mampu menggetarkan lidahnya untuk mengatakan apa yang saya inginkan.”

“Hebat. Saya mendengar mengenai kekuatan sukma sejati. Dengan Merogoh Sukma Sejati kita bisa melepaskan diri, memisahkan dari sukma yang akan mampu menjelajah ke alam pikiran orang lain. Tetapi bahwa itu juga bisa membuat jiwa orang lain terkuasai, saya baru sekarang mendengar.” “Saya bisa memperlihatkan itu pada diri Nyai, kalau Nyai mau mencoba. Tapi itu nanti dulu. Saya ingin menjelaskan hal yang kedua, yaitu kenapa saya begitu ingin secepatnya mempelajari, mengerti tata krama budaya Tartar. Karena inilah sekarang kekuatan yang menguasai Raja! Kalau dulunya beliau sangat dikuasai para pendeta Syangka yang berbuat sangat kurang ajar hingga gelaran utama pun menunjukkan itu, kini kekuatan yang sepenuhnya berasal tokoh dari Tartar. Semua tindakan Raja menjadi garang karena merasa memiliki andalan yang luar biasa. Itu pula yang membuat saya akan disingkirkan dalam waktu dekat. Atau mungkin sudah disingkirkan. Atas petunjuk tokoh Tartar yang kini berada di belakang Raja. Tetapi seperti saya katakan tadi, beliau mampu dan maha bijak untuk membiarkan segala kekuatan yang bertentangan saling beradu, sehingga kedudukan beliau sebagai payung pelindung makin kokoh. Dengan mempelajari tata krama budaya Tartar, saya berharap bisa merebut kembali pengaruh Raja. Saya maha licik, tetapi saya lebih suka melihat Keraton diperintah bangsa sendiri.”

“Kata-katamu masih selalu berbisa.”

Halayudha tidak menggubris pertanyaan Nyai Demang. Meskipun ia sadar bahwa Nyai Demang seakan bisa mengetahui mana yang dipertajam, mana yang dilambungkan, dan mana yang untuk menarik simpati. Yang terakhir ini dengan jalan menuding siapa yang mempengaruhi Raja. Masih lebih terhormat orang seperti Halayudha, dibandingkan orang dari negeri asing.

“Ketiga, saya tidak memaksakan kepada Nyai untuk mengajarkan hal ini, karena saya sendiri masih was was. Dengan kekuatan sukma sejati, begitu kita rumangsuk, merasuk, kita luluh, leleh dan menyatu dengan kekuatan yang belum sepenuhnya kita kuasai. Kita, karena sekarang ini Upasara, saya, tokoh Tartar yang berada di belakang Raja, dan yang lainnya sedang menggumuli, mencari pencerahan yang sejati. Ketidakmampuan untuk menguasai secara sempurna inilah yang bisa mengakibatkan sesuatu yang tak terduga. Bisa Nyai menjadi tidak waras, bisa kabur, bisa tidak keruan omongannya. Sehingga ajaran yang diberikan juga jungkir-balik. Kalau masih ada cara lain, itu yang akan saya jajal. Dan yang keempat, seperti tadi saya katakan, kesimpulan Nyai melihat dan menghadapi permasalahan ini, serta mengambil sikap.”

“Semua orang bisa kamu kelabui, Halayudha. Bahkan seluruh Lumajang bisa kamu ratakan.”

“Lain, Nyai. Setelah sedikit menyelami kekuatan sukma sejati, jadi lain sama sekali. Ada pertentangan mengenai hal ini. Karena bagaimana kekuatan sukma sejati, tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Ini merupakan wilayah yang masih penuh pitakonan, penuh tanda tanya. Dan masih akan begitu. Apakah Nyai ingin memperoleh imbalan dengan penguasaan sukma sejati?”

Nyai Demang terdiam.

“Seperti ilmu yang lain, kekuatan sukma sejati adalah ilmu terbuka yang bisa selalu diuji, bisa dipelajari siapa saja.”

“Apa yang Mahapatih harapkan dari saya?” Suara Nyai Demang sedikit-banyak menunjukkan penghormatan. Nyai Demang sadar bahwa keinginan itu muncul dengan sendirinya. Meskipun bukan tidak mungkin karena pengaruh gaya bicara Halayudha.

“Nyai, saya ingin dijelaskan mengenai Tiga Laku Utama.”

Nyai Demang terenyak. Halayudha tidak sekadar bertanya secara mengacak. Rasa ingin tahunya tumbuh, justru karena ia sudah menguasai beberapa bagian. Dengan menyebutkan Tiga Laku Utama, sebenarnya Halayudha sudah menguasai masalah mendasar. Berarti ia tak bisa sembarangan mengelabui.

Kitab Jalan Perdamaian
“SAYA mengerti apa yang Mahapatih maksudkan, akan tetapi tidak bisa menangkap apa yang diinginkan. Tiga Laku Utama yang menjadi dasar, yang menjadi babon, menjadi sumber, terlalu luas jangkauannya. Perlu Mahapatih ketahui, apa yang saya peroleh juga sepotong-sepotong. Saya mempelajari sendiri karena tertarik, lalu ketika bertemu dengan utusan yang datang pertama kali, Tiga Naga, sampai dengan Raja Segala Naga, Naga Nareswara, yang merupakan pendeta paling tinggi jabatannya di negeri Tartar. Bersama Naga Nareswara, saya bisa berbicara, bisa mempelajari lebih banyak. Karena Naga Nareswara lebih tertarik mengadu ilmu silat untuk menandingi Eyang Sepuh dibandingkan datang sebagai utusan Kaisar Tartar. Namun itu juga bukan sesuatu yang luar biasa bagi Mahapatih. Jauh sebelum bertemu dengan saya, Mahapatih bahkan pernah menyekapnya, pernah menguras habis ilmu Naga Nareswara.”

“Nyai benar. Naga Nareswara lebih lama bersama saya ketika saya mengurungnya di bawah tanah Keraton. Hanya saja selama ini saya langsung belajar mengenai ilmu silatnya, caranya melatih pernapasan, memperoleh kekuatan. Padahal itu hanya bagian luarnya. Ada inti yang mendasari itu. Itu yang saya tanyakan kepada Nyai.”

“Saya tidak tahu apakah saya bisa menjawab pertanyaan Mahapatih. Akan saya katakan saja apa yang saya mengerti, dan Mahapatih bisa menanyakan. Tiga Laku Utama yang banyak disebut-sebut sebagai sumber utama dunia persilatan di negeri Cina adalah tiga cara yang bisa berbeda, akan tetapi bisa pula menyatu. Laku pertama, tak jauh berbeda dari yang kita kenal, yaitu yang dikenal dengan sebutan Jalan Buddha. Laku kedua, dikenal dengan Jalan Kong, ajaran Pendeta Khong Hu Tju. Laku ketiga, yang berkembang dari tlatah Hindia, yang kemudian menyebar ke Cina, Jepun, Koreyea, dan tumbuh dengan kembangannya sendiri. Sehingga tak ketahuan asal-usulnya yang pasti. Laku ketiga warisan ajaran Pendeta Tao, kemudian Lao, yang dikenal sebagai Jalan Tata Tentrem Kerta Raharja, atau juga dikenal sebagai Jalan Perdamaian. Kalau keinginan Mahapatih mencoba menandingi pengaruh tokoh sakti di balik Raja yang belum lama datang ke tanah Jawa, barangkali saja Mahapatih akan berhadapan dengan yang mengajarkan Jalan Tata Tentrem itu. Naga Nareswara pernah menyebut-nyebut adanya Kitab Jalan Perdamaian.”

“Saya sampai sekarang ini belum mengenali, bahkan nama atau gelaran tokoh yang mendampingi Raja itu pun saya belum tahu.”

“Bagaimana mungkin Mahapatih mengetahui tokoh itu berasal dari negeri Tartar?”

“Raja mulai belajar pujasastra Cina, yang kini dikuasai Tartar.”

“Itulah aneh. Barangkali saya malah mengetahui siapa tokoh itu.”

Tanpa prasangka sedikit pun, Nyai Demang menceritakan apa yang didengar dari penuturan Gendhuk Tri. Bahwa dalam rombongan Pangeran Hiang, masih ada satu tokoh yang entah berada di mana. Tokoh itu bernama Gemuka, dan ia turun dari perahu sebelum masuk Keraton. Memilih jalan lain. Bukan tidak mungkin tokoh di balik Raja itu adalah Gemuka, yang menurut penuturan Gendhuk Tri tidak kalah saktinya dibandingkan dengan Pangeran Hiang.

Halayudha mengakui kecerdasan Nyai Demang, sekaligus mengakui bahwa tokoh yang berada di balik kekuasaan Raja sekarang tidak main-main. Bukan hanya mampu mengatur siasat dengan jitu dan perangkap yang rumit, akan tetapi ternyata sakti mandraguna. Selama ini Halayudha belum mengetahui kekuatan Pangeran Hiang yang sesungguhnya. Karena belum pernah bentrok atau menyaksikan ilmu silatnya.

Akan tetapi Halayudha cukup mengenal Barisan Api, yang menjadi pasukan andalannya. Dan boleh dikatakan, Halayudha mengakui keunggulan Barisan Api. Karena saat bertarung ia tak mungkin memenangkan. Nyai Demang juga cukup maklum, karena pernah merasakan kehebatannya. Walau baru pada gebrakan pertama.

“Apa yang Nyai ketahui tentang Kitab Jalan Perdamaian?”

“Kitab Jalan Perdamaian, sebutan kita untuk Tai Ping Ching, atau bisa juga disebut Kitab Perdamaian Agung. Seperti semua kitab yang suci dan diagungkan, kitab ini banyak disalin, banyak dipelajari, dan dengan sendirinya banyak perubahan yang terjadi. Dan seperti kitab yang lain, selain berisikan mengenai ilmu silat, mengenai hubungan Keraton dengan Dewa, hubungan manusia sejak lahir hingga kematian…”

“Adakah Nyai ingat bahwa ada bagian yang secara rinci menyebutkan mengenai sukma sejati?”

“Tidak.”

“Atau menjurus ke arah itu?”

“Tidak.”

“Atau bisa ditafsirkan ke arah itu?”

“Tidak. Mahapatih lebih tahu tentang sukma sejati. Tentunya tidak bisa balik bertanya.”

Halayudha menggerakkan badannya. “Saya justru yang bertanya. Karena saya melihat, merasakan, bahwa kini, kalau benar Gemuka namanya, ia menguasai Raja secara penuh. Bukan hanya secara wadak atau jasmaniah saja, tetapi juga sukmanya, hingga ke tulang sumsum. Seakan tak ada kata dari Gemuka yang perlu diragukan atau ditanyakan.”

“Maaf, saya kurang mengerti tentang kekuatan sukma sejati.”

Halayudha mengangguk. Duduk bersila. Kedua tangannya berada di paha. “Nyai, saya akan berusaha menjelaskan sebisa saya. Sependek pengetahuan dan otak dalam kepala yang kecil ini. Secara tidak terduga sebelumnya gabungan dari Kitab Paminggir, Kitab Para Raja, Kitab Pamungkas memberikan suatu persamaan dalam pengerahan tenaga. Bahkan petunjuknya yang lebih jelas diperoleh dengan memenggal pupuh dari satu kitab, dan menggabungkan dengan pupuh pada kitab yang lain. Menurut kisah yang saya dengar, adalah Eyang Sepuh yang secara luar biasa menciptakan Kitab Paminggir, yang ditolak Sri Baginda Raja, yang kemudian menuliskan Kitab Para Raja. Kitab ini seperti Nyai ketahui, hanya boleh dibaca para raja, yang ditulis sendiri oleh para raja. Akan tetapi, Sri Baginda Raja adalah penguasa takhta satu-satunya dan tak bisa disamai oleh yang lain. Kitab Para Raja akhirnya malah setengah disebarkan kepada kalangan tertentu. Kepada para pendeta, para resi, para ksatria utama. Sebagai jawaban kepada Eyang Sepuh. Secara resminya, persoalan sudah selesai. Bila Sri Baginda Raja telah bersabda, tak ada yang tersisa. Namun, Mpu Raganata, mahapatih pertama Keraton Singasari, mahapatih bijaksana yang mampu mengimbangi sebagai tangan kanan Sri Baginda Raja, sekaligus tokoh utama dalam dunia persilatan yang gegedhug, beliau mampu melahirkan Kitab Pamungkas.”

Nyai Demang merasa ada yang aneh dalam nada ucapan Halayudha. Barulah kemudian sadar, bahwa itu untuk pertama kalinya Halayudha, yang biasa mendongak ke arah lain, mau juga mengakui kebesaran orang lain. Kebesaran Mpu Raganata. Baik dalam pengertian sempit ingin mengangkat derajat dan pangkat seorang mahapatih, ataupun dalam arti yang lebih, keunggulan Mpu Raganata dalam dunia persilatan. Ini termasuk pertama kalinya Halayudha mengakui secara terbuka.

Selama ini Halayudha boleh dikatakan tak pernah menganggap ada tokoh lain yang istimewa. Jangan kata Upasara Wulung, bahkan Eyang Sepuh pun tak pernah diakui kelebihannya. Sebenarnya ini juga bukan sesuatu yang luar biasa. Halayudha adalah murid langsung Paman Sepuh, yang menciptakan Kitab Bumi. Sehingga kekagumannya kepada Eyang Sepuh jauh berkurang.

Apalagi dalam perjalanan hidupnya Halayudha melalap semua kitab yang ada. Mempelajari secara bersungguh-sungguh dari sumber utama yang ditemui. Apakah dari Kiai Sambartaka, Naga Nareswara, atau Kama Kangkam dari Jepun. Belum lagi langkah Jong dari Turkana maupun jurus-jurus dari tanah Syangka. Boleh dikatakan, Halayudha mengenal semua aliran ilmu silat yang pernah ada di tanah Jawa.

Dari dalam tanahnya sendiri, Halayudha bukan hanya dibesarkan dari Kitab Bumi, tetapi juga mempelajari dan melatih apa yang ada dalam Kitab Air. Gabungan dari aneka ragam yang bahkan Upasara Wulung pun tak bisa menyamai separuhnya. Bahwa ini semua masih menyisakan pujian bagi Mpu Raganata, merupakan pertanda keterbukaan. Apakah ini karena pengaruh melatih kekuatan sukma sejati atau taktik belaka, Nyai Demang tak bisa memastikan segera.

“Dari Kitab Pamungkas, jelas-jelas disebutkan lahirnya mahamanusia. Manusia menjadi mahamanusia bila mampu menguasai kekuatannya yang tak terbatas, kecuali untuk satu orang yang kelak menjadi pilihan Dewa untuk menjadi raja. Mahamanusia berkuasa atas sukma, tanpa menjadi mati. Mahamanusia ialah barang siapa yang mampu mengikuti dan mendengarkan kekuatan dari sukma sejati.”

Pencerahan Sukma Sejati
APA yang dituturkan Halayudha bukan hal baru bagi Nyai Demang. Akan tetapi dari penjelasannya yang bernada menggurui, menyadarkan Nyai Demang bahwa Halayudha tidak mempelajari secara sembarangan.

“Puluhan tahun ketiga kitab utama dituliskan. Akan tetapi selama ini tak ada yang mendapat pencerahan untuk memahami. Bahkan tidak juga tokoh sakti yang bernama Eyang Puspamurti, yang sepanjang hidupnya mempelajari Kitab Pamungkas. Kidungan yang dihafal sampai ke dalam mimpinya itu, tak pernah dikuasai benar-benar sampai ketika bertemu dengan Jaghana. Paman Gundul dari Perguruan Awan ini seakan dituntun oleh roh Eyang Sepuh yang moksa untuk menyadarkan batasan mahamanusia, untuk menyadarkan Eyang Puspamurti bagian yang lain, yaitu dua kitab sebelumnya. Saya mengatakan pencerahan, sebab Jaghana telah melihat sinar terang itu sebelum bertemu Eyang Puspamurti. Dalam kegelisahan batinnya, Jaghana menjadi Dukun Truwilun, sesuatu yang tak akan pernah terbayangkan sebelumnya. Tokoh yang sangat sederhana, dari penampilan, namanya, sikap hidupnya sehari-hari, yang telah menyatu dengan seluruh kehidupannya, tiba-tiba muncul dengan cara lain. Dengan memanjangkan rambut, dengan terjun sebagai dukun. Perubahan tubuh yang tak pernah terjadi. Sesuatu yang biasa jika terjadi pada diri saya, pada diri Nyai Demang, atau bahkan Eyang Sepuh. Tapi tidak bagi Jaghana. Menurut pengamatan saya, kegelisahan itu karena Jaghana mulai menangkap perubahan, akan tetapi belum memahami sepenuhnya ke mana gerak sukmanya. Begitulah Jaghana menempuh jalan dengan kaki dan tubuhnya mengikuti dorongan sukmanya. Dengan begini, sekurangnya ada dua tokoh sakti yang mengetahui adanya kekuatan sukma sejati. Kekuatan yang bukan lagi berdasarkan tenaga dalam atau tenaga luar, akan tetapi kekuatan yang bersumber dari sukma sejati. Tokoh lain yang dengan gemilang menangkap pencerahan ini adalah Dewa Maut…”

Suara Halayudha menjadi haru. Kalau saja saat itu Nyai Demang bertanya mengenai Dewa Maut, Halayudha tak akan berdusta. Ia akan mengatakan apa adanya! Tapi Nyai Demang tidak menanyakan, karena ragu. Ragu jika ada yang mengetahui dirinya menanyakan secara khusus mengenai seorang lelaki. Ragu karena takut diketahui bahwa ia mempunyai hubungan asmara dengan seseorang, sejak ditinggal mati suami dan anak-anaknya. Padahal kalaupun ditanyakan, tak akan menimbulkan kecurigaan sedikit pun.

“…yang sedang mencoba berlatih saat ini saya sendiri dan Upasara Wulung, untuk menyebutkan dua nama di samping puluhan tokoh yang lain. Mencoba dan tidak bisa menduga sampai di mana batas dan kemungkinannya. Karena seperti Nyai Demang dengar, bahkan Permaisuri Praba Raga Karana mendapat pencerahan yang sama sehingga terbebas dari penyakit dan penderitaannya. Tidak tahu sampai di mana batas dan kemungkinannya, karena bukan tidak mungkin Gemuka mampu menguasainya. Padahal Gemuka belum tentu mengetahui dari kitab yang sama.”

“Apa yang membingungkan, Mahapatih? Yang namanya kitab suci, kitab babon semua kitab, mempunyai persamaan dan perbedaan di negeri satu dengan yang lainnya. Itu sebabnya Eyang Sepuh mampu mengundang pendekar dari seluruh jagat untuk mengadu kesaktian, mana ajaran yang lebih benar. Atau ajaran yang paling benar. Bukan tidak mungkin kekuatan yang mempelajari sukma sejati juga diajarkan dalam kitab lain, meskipun penamaan sukma sejati hanya kita yang mengenalnya. Itu sebabnya saya mengatakan tidak, kalau disamakan dengan yang lain.”

“Yang membingungkan saya, pencerahan sukma sejati pada beberapa tokoh menjadi sangat berbeda bentuknya. Berbeda dengan kalau misalnya kita memperdalam Kitab Bumi, atau sebut kitab apa saja. Pada pencerahan sukma sejati, kita melihat Jaghana yang berubah dari seorang malu-malu menjadi beringas dan membiarkan rambutnya tumbuh di dagu, di pipi. Sesuatu yang selama ini bahkan tak bisa tumbuh di atas kepalanya. Pada Dewa Maut lain lagi. Pada Eyang Puspamurti, ia menjadi pengikut setia Jaghana dan menerima sepenuhnya Jaghana ketika menitipkan muridnya. Sekarang ini Eyang Puspamurti bahkan bersedia menjadi prajurit Keraton. Karena nglabuhi, membela keperluan Mada dan Kwowogen, yang sebenarnya tak ada artinya. Pada Permaisuri Praba Raga Karana berarti penyembuhan. Pada Upasara Wulung, ia juga mengalami perubahan mendasar seperti Jaghana. Sekarang bahkan mau menyanding Ratu Ayu. Pada diri saya sendiri, barangkali keinginan untuk menjadi abdi Keraton, memangku jabatan mahapatih secara lebih benar. Maaf, yang terakhir ini tak perlu dipercaya. Maaf, Nyai. Saya menangkap pembicaraan Nyai Demang dengan Gendhuk Tri mengenai Upasara Wulung. Namun bagi saya tetap menjadi tanda tanya. Kenapa kalau demi kedamaian hati Permaisuri Rajapatni dan Gendhuk Tri, Upasara Wulung tidak melakukan sejak dulu? Kenapa justru setelah mengenal kekuatan sukma sejati? Kenapa ini semua? Apakah karena kebetulan belaka? Karena kedewasaan sikap Upasara sehingga memilih kembali bersama Ratu Ayu? Apakah sukma sejati itu garis tangan yang disebut kodrat atau nasib, yang sebenarnya tak bisa dipelajari dan diperhitungkan kekuatannya?”

Nyai Demang mengelus lehernya yang berkeringat. “Saya bisa menangkap apa kemauan Mahapatih. Menggali sumber latihan penggunaan kekuatan sukma sejati lewat Jalan Perdamaian.”

“Lebih dari itu, Nyai. Saya ingin mengetahui sejauh mana Raja diperlakukan semaunya oleh Gemuka.”

“Saya bisa memahami cara Mahapatih bertutur dan mempengaruhi jalan pikiran orang lain. Barangkali dari sisi ini, Mahapatih Halayudha yang paling tepat mendalami. Karena menyerupai sifat Mahapatih Halayudha yang bisa mengubah diri hingga ke isi tulang.”

“Pujian yang menyakitkan, Nyai. Tetapi bagaimanapun saya menerimanya sebagai pujian.”

“Saya tak bisa menemukan jawaban yang tepat. Kenapa ajaran maha luhur Mpu Raganata justru tepat untuk seorang Halayudha.” Suara Nyai Demang terdengar memelas. Tidak seperti gugatan, melainkan rintihan.

“Bagaimana dengan Jalan Perdamaian?”

“Kitab itu juga tidak berdiri sendiri. Kalau ada kaitannya, barangkali pada kidungan yang mengisahkan Jalan Lima Puluh Kati Beras. Jalan di sini bisa berarti jurus…”

Suara Nyai Demang mengambang. Bibirnya bergumam dalam bahasa yang samar, sedikit dimengerti oleh Halayudha. Bahasa yang banyak persamaannya dengan yang diucapkan oleh Raja, dan dulu oleh Naga Nareswara. Agaknya Nyai Demang mencoba mengenali dan menggali isi dari kidungan bahasa aslinya.

Salah satu Jalan Perdamaian adalah
Yang disebut Jalan Lima Puluh Kati Beras
Jalan ini bisa dilewati beras seberat lima puluh kati
Atau seonggok padi dalam satu pikulan
Barang siapa menghalangi, kibaskan
Patahkan, kalahkan, tumpas

Sebab lima puluh kati beras
Adalah laksana bibit yang akan tumbuh
Dan sesungguhnya saudagar itu bukan
Kasta terendah sesudah pendeta, ksatria,
Saudagar itu tidak menempatkan yin di atas yang
Tidak berada di bawah Langit, Bumi, dan Manusia

Berarti, Jalan Lima Puluh Kati Beras
Adalah jalan lurus
Saudagar menjadi tenaga, menjadi arwah
Yang mengutuk, yang membalas dendam
Yang menimbulkan bahaya

Banjir, Api, Gunung Meletus
Mata pencaharian dan kehidupan
Tempuhlah Jalan Lima Puluh Kati Beras
Sebagai pemimpin,
Dan semua akan mengikuti
Jagat Perdamaian akan datang…


Nyai Demang menggeleng, tanda kurang puas akan apa yang dikatakan.

“Nyai bisa menuliskan?”

“Tidak. Tapi kalau membaca rasanya masih bisa.”

“Maksud saya mengingatnya dalam bahasa Cina, dan saya akan menghafalkan. Ini cara singkat untuk menarik perhatian Raja agar berpaling dari Gemuka.”

Jika Bukan, Itu Jalan Tao
“BAGAIMANA caranya Gemuka bisa menyusup ke dalam Keraton?”

Halayudha menggerakkan kedua bahunya. “Hanya perkiraan, Nyai. Raja mempunyai kebiasaan secara diam-diam mengundang tokoh yang dianggap sakti. Sangat mungkin sekali cara Gemuka menyusup ke dalam puncak kekuasaan tak berbeda dengan para pendeta dari Syangka. Tak berbeda dengan para raja dari seberang yang dikumpulkan. Rasanya semua raja mempunyai rasa batin, dan Gemuka merupakan orang yang datang pada waktunya. Dengan pameran kesaktiannya, Raja akan terpikat dan memberi keleluasaan padanya.”

“Tahukah, Mahapatih, bahwa pernyataan itu membuahkan beberapa pertanyaan dan kesimpulan? Pertama, dengan cara apa Gemuka memamerkan kesaktiannya? Sekarang ini rasanya banyak tokoh yang sakti, yang bisa mendekat kepada Raja. Tetapi kenapa Gemuka? Pastilah ia mempunyai sesuatu yang sangat istimewa dan memikat. Kedua, dengan Gemuka berada di belakang Raja, berarti ia berdiam di sekitar Keraton. Rasanya sulit dimengerti kalau selama ini Mahapatih tak bisa menemukan. Ketiga, kalau Gemuka sudah mengetahui hasil di Lodaya, Raja berada dalam bahaya besar. Karena setiap saat Gemuka bisa menyekap dan membawa Raja ke tanah Tartar.”

“Keempat, kita harus bertindak cepat. Nyai, apa sebenarnya ajaran Jalan Perdamaian itu?”

“Segala yang bukan Jalan Buddha, dan bukan Jalan Kong, itu disebut Jalan Perdamaian, jalan yang pernah ditempuh Pendeta Tao. Sebab penamaan ini dengan memberikan kata bukan, lebih mengenai sasaran. Jalan Tao ialah bukan Jalan Buddha dan bukan Jalan Kong. Jalan Tao, Jalan Perdamaian berarti bukan jalan perang. Di antara dua perang, itulah perdamaian. Jalan Tao, atau Hsuan-chiao, membawa pengertian bahwa hsuan, bukan jalan biasa. Hsuan juga berarti mistik, berarti bisa menjadi sikap mendasar, cara membaca mantra dan kidungan. Itu sebabnya disebutkan sebagai agama, atau jalan. Dalam pupuh keempat, yang disebut Obah Ora Owah, atau Berbuat Tanpa Berubah, atau bisa juga disebut Bertindak Tanpa Berbuat. Wu, bisa diartikan berbuat, melakukan sesuatu, atau tumindak, sedangkan wu-wei berarti tidak. Dalam pupuh kelima, disebutkan sumber tenaga itu berasal dari chung, dari kekosongan, dari tanpa bentuk, atau kekosongan yang mengisi. Kalau benar begitu…”

Halayudha mengangguk berat. “Apa pun caranya, sebenarnya kita mengenal lebih dalam pengertian yang berbeda. Kekuatan utama Obah Ora Owah hanya berbeda pengertiannya dari apa yang saya kenal dengan pukulan Banjir Bandang Segara Asat. Hanya mungkin bedanya, saya masih harus menggerakkan pukulan dan melontarkan, sementara Jalan Perdamaian sama sekali tidak menggerakkan apa-apa. Gemuka sekarang ini berdiam diri, dan membiarkan Raja mengambil tindakan, berbuat. Tanpa perlu bergerak apa-apa, semua keinginannya tercapai.”

“Maaf, Mahapatih, pengetahuan saya mengenai bahasa aslinya sangat terbatas. Ini juga dari ingatan yang tumpul, ketika hamba mendengarkan apa yang dikatakan Naga Nareswara. Karena pada pupuh keempat belas yang menyebutkan mengenai asal mula tenaga dikatakan bahwa, lihat tapi tidak kelihatan itulah yi, dengar tapi tak terdengar itulah hsi, pegang tapi tak bisa disentuh itulah wei. Tiga kata pada pupuh keempat belas yang disebutkan sebagai kekuatan asal mula, sebenarnya bisa mengandung pengertian tersendiri. Ungkapannya bisa seperti yi-hsi-wei, atau mirip-mirip i-hi-vei, yang memperlihatkan sesuatu yang berbeda.”

Nyai Demang mencoret-coret di lantai dengan jarinya, lalu menggeleng.

“Akan saya sediakan keperluan Nyai. Akan tetapi agaknya saya harus bekerja keras dan cepat. Apakah Nyai masih ingin di sini sementara ataukah ingin kembali ke tempat semula?”

Bukan kebaikan yang tulus. Ini hanya karena cara berpikir Halayudha yang praktis. Pada akhirnya tak ada gunanya menahan Nyai Demang seperti sekarang ini, seperti yang dulu dilakukan pada Naga Nareswara atau Kama Kangkam.

“Terserah Nyai.”

“Mahapatih tak akan mampu berbuat sendiri.”

“Rasanya begitu. Pertanyaan yang Nyai ajukan mengenai bagaimana cara Gemuka memperoleh kedudukannya sekarang, menghajar saya, menampar kekuatan saya.”

Dugaan Halayudha hanya satu. Gemuka bisa mempengaruhi dan kemudian dekat dengan Raja hanya dengan satu alasan: Permaisuri Praba! Tak ada cara lain. Rasanya kekuatan sukma sejati yang selama ini ditafsirkan orang, bukan jatuh di pangkuan Permaisuri Praba begitu saja, melainkan melalui cara yang biasa. Disembuhkan. Kalau benar begitu, kenapa Permaisuri Praba tidak menghukum dirinya? Dari mana jiwa besar itu muncul?

Halayudha tidak berani mengemukakan kemungkinan masuknya Gemuka melalui pengobatan Permaisuri Praba, karena tak bisa membayangkan betapa Nyai Demang akan murka hebat. Perasaan sesama wanita akan membuat Nyai Demang membencinya tujuh turunan.

“Kita harus berpacu karena saya menyadari bahwa jika Gemuka pada akhirnya menguasai kekuatan sukma sejati dan bisa lebih berhasil, habislah kita semua ini. Maaf, Nyai. Selangkah dari pintu Nyai akan segera mengenali bangunan Keraton. Saya akan menemui Nyai untuk bertanya, dan dalem kepatihan terbuka lebar untuk kedatangan Nyai.”

Halayudha mengangguk, dengan menyembah hormat melangkah ke luar. Nyai Demang masih tercenung beberapa saat sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Menuju ke tempat kediamannya. Dengan pikiran yang penuh. Tak ada yang bisa dipegang sekarang ini. Bahkan Upasara Wulung pun rasanya perlu diragukan. Apakah bukan karena sebab yang lain ia memutuskan bersama Ratu Ayu?

Tak ada yang bisa dipercaya. Perasaan ini tumbuh dalam sudut hati Nyai Demang sewaktu Gendhuk Tri datang. Mereka minum teh bersama, bercakap biasa. Yang membuat Nyai Demang bertanya-tanya adalah kenapa Gendhuk Tri tidak sedikit pun bertanya atau heran. Gendhuk Tri seperti menyembunyikan sesuatu justru dengan tidak melontarkan pertanyaan kenapa pada pertemuan sebelumnya mereka tak bisa saling bertemu.

“Kamu baik-baik saja, anakku?”

“Seperti yang Nyai lihat.” Suaranya dingin.

“Anakku Jagattri, apakah kini kamu pun perlu mempertimbangkan siapa yang mengajak bicara padamu? Apakah kamu akan percaya kalau saya mengatakan saya baru saja bertemu dengan Mahapatih Halayudha?”

Gendhuk Tri sama sekali tidak bereaksi.

“Apakah yang saya katakan ini merupakan rencana yang lain? Benarkah kamu berpikir begitu?”

“Nyai, mengapa Nyai selama ini mendustai saya?”

Mata Nyai Demang sedikit membelalak. “Dalam hal apa?”

“Dalam hal Kakang Upasara. Saya tidak menyesali putusan saya menjadi menantu Rama Ki Dalang Memeling. Saya tidak menyesali apa yang telah saya putuskan dan lakukan. Tetapi saya menyesali kenapa Nyai yang tidak bertemu dengan Kakang Upasara bisa mengatakan sebaliknya.”

Nyai Demang beringsut. Mundur. Matanya masih membelalak. “Aku… aku… mana mungkin aku mendustai?”

Gendhuk Tri menghela napas. “Kakang Upasara mengatakan bahwa selama ini ia belum bertemu lagi dengan Nyai sejak pertarungan di Lodaya.”

Nyai Demang menggeleng. “Itu tidak mungkin. Tidak mungkin.” Nyai Demang berdiri mendekat. Lalu mundur lagi. “Apakah kau benar Jagattri, Gendhuk Tri, atau manusia jejadian?”

Nyai Demang memegangi pipinya, dadanya, beberapa kali menghela napas. Bagaimana mungkin ia tak bertemu dengan Upasara kalau bisa mengetahui dan mengingat apa yang dikatakan? Tapi sama mustahilnya kalau Gendhuk Tri berdusta.

Apakah yang ditemuinya itu bukan Upasara Wulung? Tak mungkin. Apakah yang ditemui Gendhuk Tri bukan Upasara Wulung? Ataukah yang dilihatnya sekarang ini bukan Gendhuk Tri? Benarkah ini semua karena keunggulan Gemuka? Ataukah Halayudha? Ataukah keduanya? Kalau tidak, lalu siapa?

Tantangan Kekuasaan
SEBENARNYA tuduhan, tudingan, dan perkiraan Halayudha maupun Nyai Demang tidak meleset terlalu jauh. Bahkan boleh dikatakan sangat tepat. Terutama mengenai Raja Jayanegara yang telah memperhitungkan dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa muncul. Daya tarik utama baginya sekarang ini adalah memainkan peranannya. Karena secara menyeluruh merupakan tantangan kekuasaan.

Raja ingin membuktikan pada dirinya bahwa takhta yang dikenakan, kursi emas yang diduduki sekarang ini bukan karena kebetulan dirinya adalah putra mahkota, melainkan karena dirinya adalah yang paling menguasai dan paling kuat. Lebih dari sebelumnya, kini pusat perhatian terserap ke arahnya tanpa kecuali. Semua mata di bumi dan di langit seolah seperti menyorot ke arahnya. Baik dari mahapatihnya, para senopatinya, para prajurit, para raja seberang, maupun Dewa-Dewa di atas awan.

Kalau sebelumnya selalu mengajak Permaisuri Praba Raga Karana dalam pembicaraan, dalam rerasan, kini dilakukan kembali. Padahal sejak Permaisuri Praba membisikkan bahwa Tunggadewi dan Rajadewi sengaja dikabarkan hilang, Raja tak mau mendatangi. Kini berubah. Bahkan dengan perasaan tidak meluap, Raja bisa mengajak bicara Permaisuri Praba.

“Apa lagi yang kamu impikan, Praba? Akan ada puncak upacara pengangkatanmu sebagai permaisuri yang resmi. Sejak itu pula, putra yang kamu kandung nanti akan menjadi putra mahkota. Apa lagi yang kamu impikan, Praba?”

“Raja sesembahan seluruh tanah Jawa. Hamba hanya berani memimpikan apa yang menjadi perintah Paduka.”

“Apakah bukan kebesaran Baginda yang membuatmu menjadi permaisuri sekarang ini? Ingsun hanya putra Baginda…”

Tampak kekecewaan tergurat di wajah Raja. Yang segera berpaling, menggerakkan tangan menyuruh Permaisuri menyingkir. Raja sendiri bergerak bersamaan melangkah ke arah lain, menuju tempat penyimpanan senjata pusaka. Tempat yang paling wingit, paling angker, dan keramat. Tempat yang hanya boleh dimasuki Raja, atau prajurit yang bertugas membaca mantra dan memandikan senjata.

Tapi sejak beberapa waktu lalu, Raja memerintahkan bahwa tak ada seorang pun yang boleh memasuki senthong tempat penyimpanan senjata pusaka. Para prajurit hanya mengawasi dari kejauhan. Dengan menunduk dan menyembah, kala Raja keluar atau masuk. Seperti sekarang ini. Ruangan itu boleh dikatakan sangat tertutup. Tanpa jendela, dengan pintu yang hanya terbuka saat Raja melalui.

Selebihnya hanya jajaran senjata pusaka yang ditata dengan sempurna. Dengan nama-nama pusaka, asal-usul, serta peletakan yang berurutan. Hanya kali ini agak lain. Sudah beberapa saat lalu lain. Karena dua tombak pusaka tidak dipasang tidur di dinding. Melainkan diberdirikan tegak, dengan ujung menganga tanpa tutup. Di atas kedua ujung tombak itu terbaring tubuh yang kaku, seolah membeku karena tertusuk.

Begitu Raja masuk, tubuh yang berbaring di atas ujung tombak di bagian belakang kepala serta kaki bergerak sedikit. Kedua tangan yang terangkap di dada membuat gerakan menyembah. Raja mengambil tempat bersila di bagian ujung, dekat dengan tumpukan keris.

“Jadi apa sebenarnya maumu, Gemuka? Selain menjadi penasihat batin, kekuasaan apa yang kamu incar?”

Yang diajak bicara memang Gemuka! Saudara angkat Pangeran Hiang yang datang bersama ke tanah Jawa ini telah melakukan pilihan yang tepat. Tidak merapat bersama perahu. Melainkan turun lebih dulu, dan sasaran utamanya adalah Keraton. Tidak terlalu sulit bagi Gemuka menyusup ke dalam Keraton dan berbuat semaunya. Yang menjadi sasaran utama adalah kapustakan. Kemudian bergerak ke dalam. Dengan satu langkah yang tepat dan tak terduga.

Ketika itu Raja menuju ke tempat pembaringan, menguakkan selimut. Pandangan Raja berubah ketika menemukan sosok tubuh yang berbaring dengan tenang. Dengan dada telanjang menampakkan keperkasaan.

“Raja Tanah Jawa yang memiliki semuanya, saya bisa melipat habis tubuhmu. Kalau mau.”

Raja bergerak cepat mencabut kerisnya, dan dengan sangat cepat pula menusuk ke arah perut. Meskipun lama tidak berlatih silat, Raja Jayanegara termasuk tokoh yang tidak sembarangan. Gemblengan Mpu Sora terbukti dari tenaga dan arah sasaran. Akan tetapi tubuh yang ditusuk mendadak miring. Dan keris tertancap di ranjang. Tanpa bisa dicabut.

“Raja Tanah Jawa. Kalau aku mau, sejak tadi aku bisa membunuhmu.”

Raja berusaha keras menarik kerisnya. Tangan kirinya yang bebas menjotos keras. Ke arah leher tubuh yang miring. Kembali terjadi sesuatu yang tak diduga. Tangannya melengket. Tak bisa ditarik. Baru terlepas ketika tubuh yang miring itu telentang.

“Aku Gemuka. Benarkah kamu Raja Tanah Jawa?”

“Siapa yang mengajarimu tak mengenal tata krama?” Suara Raja menanggung beban kemurkaan serta mengandung ancaman.

“Aku memang tak mengenal tata krama. Tetapi aku sangat kamu butuhkan. Permaisuri Praba akan sembuh seperti sediakala.”

Raja melangkah mundur setindak. Gemuka tetap berbaring dengan kedua tangan terlipat di dada. Dengan napas yang teratur.

“Di mana saja, Raja membutuhkan kekuatan yang bisa diandalkan. Aku akan mendampingimu, seperti dongengan kera putih mendampingi sang Prajaka menuju Puncak Jagat. Aku bisa membunuhmu, kapan saja aku mau. Ini sangat jelas membuktikan, aku tidak berbuat jahat.” Tutur bicaranya kaku, terpotong-potong, akan tetapi cukup bisa dimengerti.

“Siapa kamu, Gemuka? Apa maksudmu?”

“Aku sedang mencari saudaraku. Aku ingin kamu menjadi raja yang besar. Yang tidak dimakan mahapatih ataupun senopatimu. Akulah senopatimu, pendetamu, prajuritmu yang sesungguhnya. Ambillah kedua putri. Atau aku akan mengambilkan untukmu. Perintahkan agar mahapatihmu mencari. Setelah itu Permaisuri Praba akan kusembuhkan.”

Semakin banyak berbicara, semakin memperlihatkan bahwa gaya berbicara Gemuka sangat tidak biasa. Caranya mengucapkan aku, kalimatnya yang berloncatan, serta sikapnya yang kurang ajar menegaskan bahwa Gemuka memang tidak mengenal tata krama. Tapi inti maksudnya jelas. Raja tak sempat berpikir banyak. Sorot mata Gemuka begitu tajam mencengkeram. Pandangan yang dulu dirasakan dari Ibunda Permaisuri Indreswari yang membuatnya tak berani menempuh jalan lain. Pandangan Pendeta Manmathaba yang seakan tusukan pedang tipis.

“Raja Tanah Jawa akan mengetahui kepalsuan Mahapatih.”

Dan semua terbukti. Ketika kemudian kedua putri Permaisuri Rajapatni tahu-tahu berada dalam kamar peraduannya. Ketika kemudian Halayudha menyampaikan kesimpulannya bahwa kedua putri diculik Ratu Ayu. Tapi yang paling menggetarkan adalah ketika Gemuka mengatakan dengan suara yang dingin.

“Raja Tanah Jawa, kalau memang Raja menghendaki Permaisuri sehat seperti sediakala, tunggulah saat yang tepat. Saat Raja merasa perlu berbicara dengannya, saat di mana kesembuhan itu tak terduga. Siapa yang tidak menginginkan kesembuhan, ia akan sembuh. Siapa yang sangat berharap dan memaksa diri, tak akan terpilih.”

“Hari ini juga Ingsun akan ke sana.”

“Kalau tidak ingin bersenang dengan kedua putri.” Lalu disambung, “Lebih dulu.” Lalu dibetulkan. “Kalau Raja tidak ingin bersenang dengan kedua putri lebih dulu.”

“Ingsun bisa melakukan setiap saat seperti dulu, seperti sekarang, seperti yang akan datang.”

“Itu membuktikan Raja Tanah Jawa sangat mencintai Permaisuri Praba sekarang, dan itu artinya kesembuhan. Sebelum matahari sepenuhnya tenggelam.”

Raja memandang tak percaya.

Siapa Berbisik, Siapa Berisik
GEMUKA tak berubah sikapnya. “Permaisuri Praba hanya terkunci nadi dan sarafnya. Aku bisa meniup dari sini. Aku bisa meniup sebelumnya. Itu jalannya. Itu penyembuhnya. Seperti semua dongeng, semua kisah, aku akan membuktikan keajaiban lebih dulu, sehingga Raja percaya. Meskipun sebenarnya bukan keajaiban. Hal yang sangat biasa. Makanya temui sebelum matahari tenggelam, sehingga Raja memberi kuasa dan keluhuran Permaisuri Praba hanya dengan usapan tangan. Bukti lebih berbicara.”

Nyatanya begitu! Nyatanya terbukti Permaisuri Praba seketika sembuh kembali. Meskipun yang membuat Raja sangat murka ialah pengakuan Permaisuri Praba bahwa kesembuhannya berkat kebesaran Baginda! Hanya karena saat itu Raja menemui Jabung Krewes lebih dulu, dan datang membawa Kidungan Para Raja yang ditulis Baginda. Dan ditembangkan olehnya. Makanya bisa dimengerti kalau Raja murka dan seketika itu juga timbul niatnya membuka rahasia mengenai Gemuka.

Akan tetapi itu tersaput dengan kemurkaan yang lain. Yaitu ketika Permaisuri Praba mengatakan langsung bahwa kedua putri disembunyikan oleh Raja sendiri. Kemurkaan yang membuat Raja kalap tidak sepenuhnya bisa dimengerti oleh Praba Raga Karana. Karena masalahnya bukan hanya bahwa kedoknya terbuka kala mengatakan daya asmara yang sejati dan masih menyembunyikan dua putri, akan tetapi lebih dari itu.

Telinga Raja menjadi panas membara, justru karena Praba mengetahui bahwa dirinyalah yang berada di belakang penculikan dua putri. Rasanya tidak masuk akal, tidak masuk rasa. Semakin dipikir, semakin dirasa-rasa, semakin membuahkan tanda tanya. Selama ini Praba terbaring. Bahkan menggerakkan kelopak mata saja tak bisa. Bagaimana mungkin bisa mengetahui rencana penculikan dua putri? Yang Mahapatih pun tak mengetahui?

Amarah yang luar biasa karena Raja merasa dipermainkan Gemuka. Satu-satunya orang yang mengetahui hanyalah Gemuka. Itu pula sebabnya begitu melangkah masuk, Raja langsung menusuk dengan pertanyaan apa yang disembunyikan.

“Pertanyaan menarik. Aku mau balas dendam. Mau menghancurkan, menundukkan tanah Jawa. Tapi apa hubungannya?”

“Praba mengetahui siapa di belakang penculikan kedua putri.”

Wajah Gemuka seperti berubah. Tubuhnya sedikit bergoyang di atas tombak. “Raja Tanah Jawa. Tanahmu tanah perkasa. Sehingga aku menduga kamu sengaja membuka serangan dengan taktik itu. Tak ada yang mengetahui. Tapi kalau benar Permaisuri Praba mengetahui, itu menunjukkan ada kekuatan lain yang hebat. Tanahmu tanah perkasa. Perahu Siung Naga Bermahkota bisa kamu tenggelamkan. Itu belum berarti menang. Tapi tak mengurangi inilah tanah perkasa.” Gemuka merangkapkan kedua tangannya. “Pada puncak pesta nanti, akan terlihat jelas. Siapa yang berbisik dan membisikkan apa, siapa yang berisik tapi tidak membisikkan apa-apa. Raja Tanah Jawa. Jangan sampai tidak, siapa pun yang dianggap lawan, hadirkan di puncak pesta.”

“Ingsun tak pernah diperintahkan manusia atau Dewa.”

Gemuka tidak menjawab. Memejamkan matanya. Hanya dua tombak yang menyangga tubuhnya bergoyang, menandai gemuruh yang terjadi saat memusatkan perhatian. Bagi Gemuka keterangan bahwa Permaisuri Praba mengetahui rencana penculikan sulit dimengerti. Selain dengan pengertian bahwa memang tanah Jawa tanah yang perkasa. Yang menyimpan kekuatan demikian kuat, demikian kuat, di balik kelembutan dan kesan mudah dikuasai.

JILID 56BUKU PERTAMAJILID 58
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.