X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 51

Cerita silat Indonesia Serial Senopati Pamungkas Buku Kedua Jilid 51 karya Arswendo Atmowiloto
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 51

Jabung Krewes bisa menilai dengan tepat karena tugas utamanya selama ini adalah menjadi juru tulis. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, gulungan kertas yang banyak itu dibawa dengan diam-diam, disembunyikan melebihi melindungi nyawanya sendiri.

Jabung Krewes tidak tahu apa yang harus dikerjakan dengan kertas kidungan yang ditulis Baginda. Kalaupun ia berusaha membaca, itu karena dorongan rasa ingin tahu semata-mata. Jabung Krewes tetap tak tahu apa yang harus diperbuat, kalau dirinya tidak digeser kedudukannya kembali sebagai juru catat Keraton.

Kidungan Raja Pendiri
JABATAN sebagai juru tulis atau juru catat Keraton menempatkan Jabung Krewes lebih dekat dengan Raja. Sebab tugas utamanya kini melayani Raja, untuk menyalin kitab atau menuliskan perintah-perintah. Itulah saat yang baik untuk bisa menghadap.

“Mohon Raja berkenan bermurah hati kalau hamba yang hina ini berani lancang. Baru sekarang hamba berani menyampaikan hal ini kepada Raja.” Jabung Krewes menyerahkan tulisan yang ditemukan di sanggar.

“Apa itu?”

“Inilah Kidungan Para Raja, duh Raja Yang Bijaksana dan Besar….”

“Apakah berarti Baginda telah mengundurkan diri sepenuhnya sekarang ini?”

“Bahkan jauh dari itu….”

Jabung Krewes sangat mengetahui bahwa setiap raja yang memerintah selalu menulis kidungan yang disebut Kidungan Para Raja. Biasanya raja yang mengundurkan diri pada saat-saat terakhirnya menuliskan semua yang dialami, untuk diwariskan kepada penggantinya yang akan memegang takhta.

“Jauh dari itu, apa maksudmu?”

“Duh, Raja. Agaknya, melihat goresan yang ada, kidungan itu sudah lama ditulis Baginda.”

“Kamu kidungkan dengan baik, Ingsun ingin tahu tanpa harus membaca sendiri.”

Jabung Krewes menyembah tujuh kali kepada Raja. Tujuh kali kepada kitab, yang kemudian ditembangkan dalam kidungan yang menawan.

Kidungan Para Raja
Diwariskan Raja Pendiri Keraton Majapahit, Pelindung
Syiwa dan Buddha,
Pendiri Tradisi Keluhuran dan Kebesaran Keraton Tanah Jawa Beserta Seluruh Isinya.
Pupuh pertama, dan pupuh penghabisan

Akulah Raja yang meneruskan
garis kodrat para Dewa,
Menyambung darah Raja
Sri Baginda Raja Kertanegara
Akulah Raja keturunan Rajasa yang perkasa

Kidung ini kutulis dengan bimbingan Dewa
Untuk putraku, yang akan memerintah tanah Jawa
Agar meneruskan kebijaksanaan, kewibawaan, pengayoman
Dan hanya yang berdarah Rajasa yang berhak atas takhta
Dewa pun tak bisa

Adalah Sri Baginda Raja Kertanegara yang tiada tara
Memandang seluas laut, setinggi langit, sekokoh gunung
Namun Sri Baginda Raja
Lupa bahwa Raja yang sesungguhnya adalah
Raja dalam Keraton

Raja dalam keluarga
Raja dalam menyembah Dewa
Raja dalam perang
Sri Baginda Raja, belum menjadi Raja dalam keluarga

Akulah Raja yang sempurna
Yang membangkitkan tradisi, membuat Keraton Majapahit
Yang menjunjung tinggi kebesaran
Dan meneruskan
Hanya aku Raja pendiri

Dewa pun bukan
Dewa menunjuk, memilih, merestui aku
Sebab hanya aku yang mampu
Meneruskan apa yang ditinggalkan
Sri Baginda Raja
Yang Maha besar bagi sekalian jagat

Akulah yang mampu
Menciptakan Keraton yang lebih besar
Menciptakan tatanan, tata krama yang abadi…


Suara Jabung Krewes terhenti.

Raja menguap sambil bersungut. “Apa anehnya kidungan itu? Apa maksudmu, Jabung Krewes? Kamu menghendaki aku menulis lanjutannya dan menyerahkan kekuasaan?”

“Duh, Raja sesembahan semua makhluk hidup di tanah Jawa. Kidungan Baginda lebih menjelaskan bahwa sejak Raja masih timur, masih kecil, telah dipilih oleh para Dewa, tanpa pernah ada keraguan lagi. Dan hanya keturunan Raja yang bisa meneruskan Keraton.”

“Apa anehnya? Bukankah selalu begitu?”

Jabung Krewes tidak tergoda untuk menunjukkan bahwa ada bagian-bagian yang lebih penting. Karena kalau mengatakan hal itu, sama juga halnya dengan menelanjangi diri sudah membaca lebih dulu. Suatu pantangan yang tak bisa diampuni. Karena Kidungan Para Raja hanya boleh dibaca oleh raja.

“Baginda meninggalkan warisan….”

“Aku malas mendengarnya. Baginda merasa repot, merasa kikuk, karena warisan kebesaran Sri Baginda Raja. Bukankah begitu? Jabung, Ingsun menjadi raja sejak masih kecil. Begitu lahir, Baginda telah memilihku. Permaisuri Tribhuana telah mengangkatku sebagai putranya. Aku mengerti semuanya. Aku tahu segalanya. Aku tahu banyak keluarga Keraton yang ragu dan menimbang lebih dulu. Tapi aku tak ragu, tak takut, tak gentar. Aku telah menjadi raja sejak dalam kandungan. Dewa tak berani menyangkal dan mengubah.”

Jabung Krewes menunggu. Sebagai abdi yang selama ini terbiasa melayani, bukan sesuatu yang luar biasa untuk menahan diri.

“Jabung…”

“Sembah dalem…”

“Coba periksa, apakah ada yang menyebutkan mengenai perkawinanku dengan Tunggadewi dan Rajadewi yang jadi pembicaraan itu?”

“Rasanya tidak ada, duh Raja. Baginda lebih mengingatkan akan…”

“Kidungkan!” Raja bersandar ke kursi.

Jabung Krewes menyembah lagi. Juga ke kitab.

Akulah Raja Pendiri, yang bisa mengatur segalanya dari awal mula
Akulah yang mengangkat mahapatih, senopati, prajurit, emban, atau apa saja, atau segalanya
tak mungkin keliru sebab Akulah Raja Pendiri
tapi mereka itu orang tak tahu diri
berebutan seperti kelaparan
bertarung seperti kehausan

Akulah Raja yang bijaksana
yang bisa menentukan
mahapatih, senopati, daksa, pendeta
tahu apa
mau apa

Aku sedih, kecewa
ternyata tak perlu dipercaya
Aku tak bisa mengangkat derajat
manusia yang hina...


Raja menguap kembali. Tangannya memberi gerakan agar Jabung Krewes berhenti “Cukup.”

Jabung Krewes mengangguk.

“Yang itu, aku tahu. Kamu tulis saja, untuk nanti.”

Jabung Krewes mengangguk dan menyembah.

“Kamu tulis mengenai apa yang kukatakan. Sudah itu pergilah.”

Jabung Krewes menyembah dan segera meninggalkan tempat peraduan. Wajahnya yang lembut, gerakannya yang lemah, tak sedikit pun menunjukkan kekecewaan yang teramat sangat. Kekecewaan yang menyesakkan dadanya. Baginya Kidungan Para Raja adalah kitab yang paling istimewa dari semua kitab yang ada. Kitab yang sesungguh-sungguhnya. Akan tetapi Raja ternyata tak berkenan, walaupun hanya untuk mendengarkan.

Jabung Krewes merasa bahwa pengabdiannya goyah. Karena merasa apa yang dituliskan Baginda sangat berharga, sangat luar biasa. Tapi ternyata seperti tak ada gunanya.

Kidungan Permaisuri
RAJA JAYANEGARA membawa Kidungan Para Raja yang ditulis Baginda, menuju kamar Permaisuri Praba Raga Karana. Kemudian memerintahkan para dayang dan pengawal untuk meninggalkan mereka berdua. Para dayang yang seluruhnya berjumlah empat puluh dan para pengawal pribadi diusir jauh. Raja duduk di pinggir ranjang Permaisuri Praba. Yang terbaring lemah tanpa gerak. Hanya matanya yang kadang mengedip, itu pun tampak susah.

“Aku baru saja menerima Kidungan Para Raja, warisan Baginda. Goresannya lembut, hurufnya manis sekali, akan tetapi nadanya penuh keputusasaan. Pupuh pertama, sekaligus pupuh penghabisan. Semacam penyesalan, semacam pengakuan pemaksaan diri harus menuliskan kidungan. Kamu tahu, Permaisuri, bahwa aku nantinya tak perlu melanjutkan tradisi itu? Aku bahkan akan memintamu menuliskan Kidungan Permaisuri. Biar putra kita kelak mengerti. Bahwa aku adalah Raja yang sesungguhnya. Yang berkuasa dan menentukan. Yang bisa bicara seperti apa yang kuinginkan. Berbuat apa yang ingin kulakukan. Permaisuriku, bagiku kamu adalah segalanya. Aku tak bisa mempercayai siapa saja dan aku tak mau menyesali seperti Baginda. Aku lebih suka bicara padamu. Permaisuriku, kamu mau dengar apa yang dituliskan Baginda? Akan kukidungkan buatmu.”

Raja memilih dari beberapa lembar yang ada. Lalu mulai mengidung. Baru satu tarikan suara, sudah terputus.

“Segera akan kamu ketahui, bahwa aku sudah mengetahui bahkan sebelum Baginda menuliskannya. Barangkali memang kitab Kidungan Para Raja ini tak perlu ditulis.” Suaranya mengandung gugatan yang diucapkan dengan lirih.

Akulah Raja Pendiri
Yang memegang takhta dari peperangan
bukan warisan
Akulah Raja Pendiri
Yang mewarisi trah Rajasa
bukan Wijayawangsa
Akulah Raja
Berdarah Raja

Di puncak takhta, aku melihat
tanah Jawa rata di kakiku
Aku terperanjat
Siapa gerangan Brahmana Hindu
Datang dari gunung apa, sungai mana
Di belahan jagat ini
Dewa siapa yang dibawa
Nilai apa yang menentukan jiwa
Ini tanah Jawa

Akulah Raja Pendiri
Yang tidak harus mengikuti ajaran Brahmana
Dari tlatah Hindia
Atau dari Syangka
Atau dari Tartar
Akulah Raja yang menentukan
merah atau putih, hitam atau biru

Dari atas takhtaku
Aku melihat
Tanah Jawa telah lama menelan para Brahmana
dan memuntahkan dalam tata krama Jawa
Aku yang mewarisi
Dan meneruskan
Untuk putraku
Hanya untuk putraku
Tampan, putih, bercahaya

Kala Gemet yang akan meraih kuasa, kodrat, kemenangan Yang sempurna
Tak ada bayangan yang menyamai
Tak ada yang lebih tampan dan bercahaya
Semua hanya pembantu
Juga para senopati, para prajurit, para pendeta
Dan para ksatria

Para ksatria adalah abdi yang setia
Mengabdi Raja, mengabdi Keraton
Itu kewajiban ksatria
Pun jika bernama Upasara Wulung
Sebab Raja tak boleh mengotori tangan dan jarinya

Sebab para ksatria
Hanya bisa mengabdi
Mengikuti, menyembah, dan berbakti
Pun jika bernama Upasara Wulung
Senopati Pamungkas dalam Perang Tartar
Yang menguasai Kitab Bumi
Tetap abdi

Akulah Raja, yang bakal menurunkan Raja
Sebab Raja adalah titisan Dewa Yang Maha dewa
Sebab hanya Raja yang membuat dan membaca
Kidungan Para Raja…


Raja bersungut kecil. “Tahukah kamu, permaisuriku, betapa Baginda gundah ketika berhadapan dengan Upasara Wulung? Yang mencari pembenaran asmara dan kuasa dalam kodrat? Tahukah kamu, permaisuriku, betapa aku tak gentar sedikit pun memilihmu, mencari pengganti Rajadewi dan Tunggadewi? Aku tak punya kegelisahan kerdil.”

Raja menunduk, mencium kening Praba Raga Karana. Kertas di tangannya teremas. Justru saat itu terbaca baris-barisnya. Yang membuat Raja menahan napas. Bibirnya membentuk garis keras.

Akulah Raja Pendiri
Yang mewariskan takhta
Ketika Dewa belum siap sedia
Aku kembali ke Simping
Dunia perjalananku yang abadi
Sebab aku telah menguasai
Raja Keraton, Raja Keluarga, Raja Perang, Raja segalanya

Di sanggar pamujan
Kutemukan diriku
Raja Pendiri tanpa tanding
Itu sudah melebihi Raja mana pun
Kutinggalkan jagat
Kuucapkan selamat
Tak ada lagi diriku

Meskipun masih bisa kamu lihat dan rasa
Itu bukan lagi Aku
Tapi kebesaranku
Telah kuucapkan selamat, moksa
Tinggal kebesaranku tiada tara
Selamanya…


Raja mendesis lirih. Berubah menjadi keras. “Permaisuriku, apakah yang meninggalkan Keraton itu bukan Baginda? Apakah Baginda telah moksa? Apakah yang diperebutkan di Lodaya tepian Brantas bukan Baginda tapi kebesarannya? Apakah semua ini bekas-bekas kebesaran Baginda?”

Mata Raja Jayanegara membelalak. Di luar dugaannya, Praba Raga Karana mengangguk.

“Praba!” Teriakan Raja mengguntur. “Permaisuriku!”

Teriakan yang demikian keras, mau tidak mau memaksa para dayang berdesakan di mulut pintu. Mereka kuatir jangan-jangan Permaisuri Praba Raga Karana mengalami sesuatu yang…

Empat puluh dayang yang berjongkok dalam jajaran panjang berderet di depan pintu hanya sesaat memandang, lalu menunduk. Tapi dalam sesaat itu seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Praba Raga Karana tampak menggerakkan lehernya. Tangannya!

Raja melihat Praba Raga Karana berusaha duduk, turun ke lantai, dan menyembah kakinya. “Praba!”

“Raja sesembahan semua kawula tanah Jawa. Hamba telah sembuh. Berkat sabda Raja. Adalah benar bahwa sesungguhnya Baginda telah menuju jagat yang abadi, ketika mewariskan takhta kepada Raja. Sejak saat itu yang kita lihat, kita temui, adalah kebesarannya.” Praba Raga Karana menyembah.

Kidung Kebesaran Baginda
RAJA benar-benar terpesona. Juga masih tak sepenuhnya sadar ketika turun dari pembaringan, jongkok di lantai, dan memeluk Praba. Memeluk kencang.

“Dewa Jagat Batara. Umumkan kepada seluruh Keraton agar berpesta pora selama empat puluh hari empat puluh malam tanpa henti. Perintahkan sekarang juga. Jabung Krewes, catat perintahku. Barang siapa tidak bersenang-senang akan dihukum, akan dipidana tanpa ampunan. Umumkan sekarang juga. Bunyikan genderang. Tabuh semua bunyi-bunyian kegembiraan.” Raja merenggangkan pelukannya.

Di luar teriakan kegembiraan diumumkan secara bersambung dari mulut, dari bunyian, dari gerakan. Angin mengalir dengan keras, dengan kencang. Tak ada rumput dan dedaunan yang tidak terusik oleh kabar sangat luar biasa. Permaisuri Praba Raga Karana telah sembuh. Sehat seperti sediakala. Segala puja dan puji hanya untuk kebesaran Raja.

Saat itu juga empat puluh dayang menyediakan air wewangian untuk mandi, untuk keramas, untuk membersihkan kuku, menyiapkan pakaian kebesaran, menata semua keperluan yang ada. Raja masih berada di tempatnya. Duduk di ranjang kayu berukir warna emas. Praba Raga Karana masih bersimpuh.

“Permaisuriku. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?”

“Keajaiban Raja yang membawa berkah bahagia bagi umatnya.”

“Raja atau Baginda?” Kalimatnya menjadi bergolak. Kedua tangan Raja terkepal erat. “Permaisuriku. Aku tak tahu, apakah yang meninggalkan Keraton menuju Simping hanyalah bayangan yang ada dalam diri kita. Apakah Baginda sudah moksa atau menyusun Kidungan Para Raja kemudian, untuk membenarkan, untuk menyucikan diri. Aku tak mau tahu. Permaisuriku. Aku hanya ingin mengerti, apakah mukjizat Dewa yang membuatmu sembuh secara tiba-tiba karena pengaruh kidungan?”

Praba tetap menunduk. Luruh ke bawah pandangannya. “Hamba tak bisa menjawab, Raja sesembahan….”

“Kamu yang merasakan, permaisuriku. Katakan.”

“Hamba, hamba… Hamba mendengar suara Raja sesembahan ketika membaca kidungan….”

“Suara Ingsun atau suara Baginda?”

“Hamba belum pernah mendengar suara Baginda.”

Jawaban yang sangat sederhana. Tak ada yang bisa membantah. Praba Raga Karana, sebelum memakai nama tersebut adalah abdi dalem yang sangat jauh jaraknya dalam tata krama kepangkatan. Sehingga jangan kata mendengar suara Baginda, bisa mencium bau bunga yang bekas diinjak pun rasanya sudah istimewa.

Sederhana. Menunjukkan bahwa suara Raja yang didengar. Tapi tidak menjelaskan. Tidak menjelaskan kebanggaan dan kepuasan Raja. Karena kalau benar ada keajaiban-dan agaknya tak ada kemungkinan lain yang bisa menerangkan-itu karena kebesaran Baginda.

Praba menyadari, mengalami sendiri, sesuatu yang aneh dalam tubuhnya. Sejak ditotok nadi kepekaannya oleh Halayudha, Praba Raga Karana seolah tiga perempat mati. Rasa yang dimiliki tak ada lagi. Kehendak untuk ini atau itu, sekadar mengangkat tangan atau mengedipkan mata atau bahkan menelan ludah, tak bisa dilakukan seperti kemauannya.

Kalau bisa menelan ludah, itu seakan terjadi dengan sendirinya. Selebihnya hanya telentang dengan pandangan nyalang. Perlahan pula kesadaran Praba menurun. Semua yang dilihat, didengar, dirasa menjadi samar. Antara disadari dan tidak. Antara terekam dalam ingatannya dan tidak.

Praba tak tahu berapa lama waktu berlalu. Tak ada bedanya siang dan malam. Tak ada bedanya emban atau Raja yang menyentuh dan mengelus rambutnya. Sampai secara gaib, telinganya mendengar kidungan. Dirinya menjadi hanyut, dan pandangannya makin lama makin jelas ke arah sosok tubuh yang tinggi, perkasa, penuh dengan cahaya, naik ke angkasa, meniti asap dupa.

Tubuh Baginda. Yang jernih, bercahaya. Yang tertinggal di bawah hanyalah bayangan tubuhnya. Yang tidak jelas wajah, bentuk, maupun geraknya. Meninggalkan Keraton menuju Simping. Sampai saat itu, Praba tak menyadari bahwa anggota tubuhnya mulai bisa digerakkan. Seolah bangun dari kelelapan yang panjang. Sesuatu yang membuatnya lupa akan penderitaan selama ini. Begitu saja perubahan itu.

Praba mengetahui bahwa penderitaan yang berkepanjangan adalah akibat tindakan Halayudha. Meskipun dirinya tak mengerti ilmu silat, akan tetapi tahu bahwa nadi-nadi tubuhnya yang dibekukan Halayudha. Dan tiba-tiba saja totokan itu terbebas dengan sendirinya. Praba tak bisa menjelaskan, apakah membukanya totokan nadi itu terjadi dengan sendirinya, karena kekuatan Halayudha sudah meluntur, ataukah karena tarikan kidungan. Ataukah keduanya. Yang terjadi pada saat yang sama.

Akan tetapi itu bukan pertanyaan pokok dalam diri Praba. Kepasrahannya menerima nasib dan menjalani, jauh lebih besar dan mendasar dari semua kegaiban yang dialami. Baginya, terpilih oleh Raja sebagai permaisuri, dicelakakan Halayudha, dan kini memperoleh kembali penyembuhan adalah takdir yang harus dijalani. Tanpa melontarkan pertanyaan mengusut.

Ini yang membedakan dengan Raja. Bagi Raja, yang tidak mengetahui polah Halayudha, penderitaan yang disandang Praba Raga Karana menjadi tamparan yang keras. Seolah ada kekuatan yang luar biasa, yang mengerem dan menandingi tindakannya, yang rasanya tak ada yang mampu menunda. Apalagi ketika semua tabib dan pendeta tak mampu mengobati.

Raja justru merasa disudutkan oleh cara berpikirnya sendiri untuk terus melawan. Dan akhirnya terbukti dirinya menang. Praba sembuh kembali. Yang mengganggu keakuannya adalah: apakah benar karena dirinya yang lebih besar, dan bisa mengatasi “kutukan” yang diderita Praba, ataukah karena kebesaran Baginda. Bagi Raja ini konflik terbesar.

Perebutan kemenangan yang tak akan bisa dirasakan atau bahkan dimengerti orang lain. Yang hanya bisa dimengerti Baginda, yang ternyata juga menyimpan persaingan yang sama dengan Sri Baginda Raja. Perasaan, pertarungan rasa yang hanya mungkin dirasakan oleh orang yang memegang puncak kekuasaan, yang memegang kodrat bagi orang lain. Karena akar semua yang dilakukan sekarang ini adalah keinginannya untuk hadir. Untuk diakui sebagai raja. Raja satu-satunya. Tak dihalangi, tak ditinggii siapa pun. Raja yang sesungguhnya.

Pengertian akan hal ini sejak awal tumbuh dalam diri Raja. Sejak masih bayi, sejak merangkak dengan panggilan Bagus Kala Gemet, ia mulai menyadari dirinya berbeda dari siapa pun. Dengan bimbingan para senopati utama, para empu, Bagus Kala Gemet tumbuh dengan segala keunggulan.

Apalagi ketika secara resmi dirinya menjadi raja muda. Dari wilayahnya di Daha, Raja Muda Bagus Kala Gemet menyiapkan dirinya. Bukan sesuatu yang luar biasa dan terlalu dilebih-lebihkan jika saat itu laporan kepada Baginda menunjukkan kelebihan Raja Muda Bagus Kala Gemet. Dalam usianya yang masih sangat muda, Raja Muda Bagus Kala Gemet telah menguasai berbagai kitab utama yang menjadi dasar ajaran Keraton. Bahkan lebih dari itu, Raja Muda juga menguasai ilmu silat.

Dalam suasana yang memberi keleluasaan dan kekuasaan yang tak terbatas, Raja Muda hanya melihat satu hal yang berada di atasnya. Yaitu Baginda. Tak ada yang lain. Tidak juga Dewa. Tidak juga tata krama Keraton. Para empu, para senopati yang selama ini mendampingi, melayani, tidak bisa melihat bahwa perasaan yang sesungguhnya Raja Muda Bagus Kala Gemet adalah melangkah ke puncak kekuasaan. Dorongan yang tak akan terbaca oleh siapa pun. Kecuali dirinya sendiri. Dan Baginda.

Lahir Sebagai Raja
KESEMBUHAN Praba Raga Karana, yang mendadak tanpa sebab yang pasti, menggoyang alam pikiran Raja. Balik ke asal mula sejauh ingatannya bisa merekam. Sekarang menyembul kembali. Masa kanak-kanak yang diingat adalah ketika bisa mengenang dirinya yang berlari-lari di ruangan yang sangat luas, yang penuh dengan patung, porselen berwarna biru, cokelat, dan hijau, yang bila digoyangkan semua pengawal menjadi pucat ketakutan.

Dan bila ia menjatuhkan hingga menjadi kepingan, ketakutan itu akan berubah menjadi menggelikan. Ia melihat tubuh yang bersujud, menyembah, seakan menjilati kakinya. Ia bisa mengencingi mereka sambil tertawa, akan tetapi itu tak dilakukan. Karena kemudian sekali yang dirasa adalah rasa kesal.

Para pengawal akan memaksanya untuk mencuci kemaluannya, mengganti kain yang dikenakan, menaburi dengan wewangian yang membuat napasnya sesak. Ia bisa memenuhi kamarnya dengan ribuan cengkerik, tikus, ular yang digunting lidahnya, kucing, dan segala jenis burung.

Tetapi yang paling menyenangkan ialah tidur di atas tumpukan buah mangga yang sudah dikupas. Ada rasa aman, dingin, dan manis setiap kali bibirnya bergerak. Rasa manis yang tertinggal di tangan, jari-jarinya. Satu-satunya yang membuatnya takut hanyalah seorang wanita yang harus ia panggil Ibunda Permaisuri Indreswari. Para pengawal yang begitu setia, begitu mau melakukan apa saja, tak berani menghalangi jika Ibunda Permaisuri Indreswari muncul, dan menanyakan soal makanan atau menyuruh tidur.

Setiap kali Ibunda Permaisuri Indreswari muncul, ia merasa takut, terkekang, dan ingin menangis. Makanya sangat menyenangkan ketika ia mulai dipindahkan ke Dahanapura. Ia bisa bebas, berbuat apa saja, termasuk menetek pada dayang-dayang yang jumlahnya banyak sekali. Tak ada yang melarang, tak ada yang menghalangi. Ia bisa berendam di sungai buatan setiap hari, atau berada di atas pohon.

Satu-satunya yang kemudian sangat dikenal adalah seorang lelaki yang sudah berumur, yang datang menghadap kepadanya. Ia tak begitu peduli, karena setiap kali selalu ada yang menghadap dan menyembahnya. Akan tetapi sekali ini lain. Lelaki tua itu membawa bambu yang panjang, yang di dalamnya telah dihilangkan batas dan ruasnya. Sehingga ia bisa mengintip dan memandang buah-buahan, memandang dayang yang main di telaga.

Lelaki tua itu begitu sabar memberikan banyak permainan yang menyenangkan. Tangannya kalau didekatkan ke obor, bisa menimbulkan bayangan yang berbentuk kijang, harimau, gajah, buah manggis, ketela, kadang ayam. Lelaki tua itu menyebabkannya melakukan hal yang sama. Ia mengikuti setiap gerakannya.

“Paman Sora pintar sekali.”

“Putra Mahkota lebih pintar.”

Ia senang karena bisa melakukan apa yang dilakukan Paman Sora. Juga berlatih ilmu silat untuk meloncat ke dahan pohon. Berkelebat dan turun sudah membawa buah. Atau berada di sungai buatan dan melihat Paman Sora menahan arus dengan kedua tangannya. Menghentikan arus, bahkan membalik. Paman Sora yang selalu mendongeng, berada di dekatnya bila malam, dan menjagai.

“Paman Sora, jangan pergi.”

“Hamba akan selalu di samping Putra Mahkota bila dikehendaki.”

Ia merasa senang. Karena apa yang dilakukan bisa mengundang sembah hormat dan pujian. Semua yang diajarkan Paman Sora membuatnya bahagia.

“Aku ini putra mahkota, Paman?”

“Ya, Paduka adalah putra mahkota, yang akan menjadi raja.”

“Di Keraton, Paman?”

“Di Keraton.”

“Lebih besar, lebih indah dari yang ada di sini?”

“Ya. Paduka putra mahkota yang akan menjadi raja, kelak kemudian hari. Paduka telah menjadi raja ketika lahir ke jagat. Lahir sebagai raja. Dengan lindungan Dewa dan pengabdian para hamba. Termasuk Paman Sora.”

“Apakah tidak banyak yang lahir sebagai raja?”

“Hanya Paduka.”

“Rama Baginda?”

“Rama Baginda tidak lahir sebagai putra mahkota.”

“Hanya aku, Paman?”

Pertanyaan demi pertanyaan memperoleh jawaban. Semua rasa ingin tahunya bisa terpuaskan. Paman Sora bisa menjawab apa saja yang ingin diketahuinya.

“Para pendeta itu tak bisa disingkirkan. Paduka akan selalu dikelilingi.”

“Aku tak suka. Mereka menakutkan.”

“Tidak, Putra Mahkota. Para pendeta tidak untuk menakuti, melainkan untuk menjadikan Putra Mahkota suci. Adalah tugas para pendeta untuk menjaga kesucian, meneruskan ajaran kesucian dengan cara mengajar, belajar, mengajukan sajian, memanjatkan doa bagi Raja dan keluarganya, bagi dirinya sendiri, menerima dan memberikan derma. Para pendeta adalah abdi Paduka. Seperti halnya para prajurit. Mereka abdi yang akan melayani, menjunjung tinggi perintah Paduka. Menjaga keunggulan Keraton dengan berperang, dengan menggunakan senjata, dengan bermain ilmu silat. Seperti halnya para saudagar, yang akan memberikan upeti sebagai tanda persembahan. Porselen, kaca, sutra, bau harum, emas, permata, manikam, semua pengabdian kepada Putra Mahkota.”

Suara Paman Sora terngiang, lembut, melarutkan jiwanya.

“Semua ada tata kramanya, ada aturannya, ada tugasnya. Pendeta tak bisa menjadi saudagar, karena akan mengotori sesajinya. Saudagar tak bisa menjadi pendeta, karena pujiannya tak sampai kepada Dewa. Semua ini disebut tata krama Keraton, yang menjadi angger-angger, menjadi undang-undang. Putra Mahkota tak perlu menjadi pendeta karena sudah ada yang akan melayani. Tak perlu menjadi prajurit. Tak perlu menjadi saudagar. Semua ada tata krama, ada aturannya. Kelak Putra Mahkota bisa membuat angger-angger kalau sudah memegang puncak kekuasaan seperti Baginda. Agar lebih cepat, Paduka bisa belajar membaca kitab.”

Ia mulai sadar, mulai menyadari hubungan barang satu dengan yang lainnya. Mulai bisa membedakan manusia satu dengan yang lainnya. Bisa mempelajari jurus-jurus yang diajarkan dasar-dasarnya oleh Paman Sora. Baru kemudian ia mengetahui bahwa Paman Sora yang menjadi tempatnya bertanya, yang selalu berada di dekatnya, adalah salah seorang yang istimewa.

“Paman Sora dulu senopati utama di Keraton?”

“Kebetulan Paman memang pernah mengabdi di Keraton.”

“Benarkah Paman pernah akan menjadi mahapatih?”

“Maaf, nanti Paduka Putra Mahkota akan menemukan kebenarannya yang sejati. Paman sendiri tidak merasa demikian. Mahapatih adalah tangan kanan Raja yang berkuasa. Tidak sembarang senopati bisa kuat dan kangkat menduduki jabatan tersebut. Kelak Paduka harus cermat memutuskan pilihan.”

“Paman pastilah senopati yang hebat. Kalau tidak Rama Baginda tidak memilih Paman. Aku merasa senang bersama Paman.”

“Sembah bekti hamba, Paduka berkenan menerima pengabdian hamba.”

“Paman, kenapa aku menjadi putra mahkota dan bukan yang lainnya? Bukankah putra Baginda tidak hanya seorang?”

“Putra Baginda lebih banyak dari jumlah jari kaki dan jari tangan hamba maupun Paduka. Akan tetapi Paduka adalah putra mahkota karena lahir sebagai raja. Dewa telah menunjuk, telah menyerahkan kekuasaan di bumi kepada Paduka, untuk melindungi dan menjaga kebesaran Keraton beserta semua isinya. Karena Paduka yang menentukan kematian dan kehidupan, kepangkatan dan kehinaan, perintah, larangan, yang menyangkut semuanya. Paduka harus teguh hati, kuat jiwa dan raga dalam memutuskan segala sesuatu. Memegang tindak yang adil, mengayomi rakyat. Sebab itulah kebesaran dan kedigdayaan sebuah keraton.”

“Apakah aku akan menjadi raja yang sakti mandraguna kelak atau sekarang ini?”

“Dengan kebijaksanaan dan keadilan, Dewa akan menyertai Paduka menjadi raja gung binatara, bukan sekadar sakti.”

“Aku tak ada yang mengalahkan lagi.”

“Ilmu silat itu seumpama bintang tingginya. Ada yang tinggi, masih ada yang lebih tinggi lagi. Paduka tak perlu bermain silat untuk mengalahkan lawan, karena sudah ada ksatria, sudah ada prajurit, sudah ada senopati, sudah ada mahapatih. Ilmu surat itu seumpama bintang tingginya. Ada yang tinggi pujasastranya, tetapi ada empu yang lebih tinggi lagi. Semua mendukung Paduka.”

Ia menemukan kedamaian dan ketenteraman. Hanya kemudian ketika Paman Sora menahan keinginannya untuk membuat Keraton Dahanapura seperti Keraton Majapahit, ia memalingkan wajahnya. Ia merasa terganggu. Apalagi ketika keinginannya untuk mendapatkan Ratu Ayu Azeri Baijani tidak segera dijawab dengan menyembah, ia melupakan Paman Sora-nya.

Pertarungan Batin Raja
SEJAK itu Putra Mahkota Bagus Kala Gemet memilih pendamping yang lain. Yang selalu menyembah dan menjalankan perintahnya. Ia mulai merasa bahwa berada di Keraton jauh lebih menyenangkan daripada di Dahanapura. Ibunda Permaisuri Indreswari sangat merestui niatan itu.

Sejak itu pula segala niatan dan keinginannya dilaksanakan. Bisa berbuat seperti Baginda. Dengan prajurit kawal khusus, dengan pakaian kebesaran dan payung emas, dengan mengangkat gelar yang berwangsa Syangka.

Ia menemukan jalan bagi pertarungan utama yang mengendap. Bahwa dirinya akan segera menemukan kekuasaan dan kekuatan seperti yang telah dikodratkan. Ia memutuskan untuk tidak memakai para pendeta dari Hindu, melainkan dari Syangka. Ia memilih para prajurit utama, dan memberi anugerah pangkat.

Hanya saja, selama ini dirinya belum merasa bisa menyamai atau menandingi Baginda. Selalu ada yang kurang memuaskan hatinya, dan selalu Baginda tampak lebih besar. Juga Ibunda Permaisuri Indreswari. Ia menentukan langkahnya sendiri. Memilih wanita pemijat untuk diangkat sebagai permaisuri, dan memberi gelar Permaisuri Praba Raga Karana. Ia merasa bisa melakukan sesuatu yang berbeda.

JILID 50BUKU PERTAMAJILID 52