X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 50

Cerita silat jawa serial senopati pamungkas buku kedua jilid 50 karya Arswendo Atmowiloto
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 50

“Rasanya aku pernah melihatmu. Apakah kamu juga prajurit di sini?”

“Aku Mahapatih Rake Dyah Halayudha, Eyang. Aku yang bertanggung jawab memberi pangkat, derajat, dan makanan serta minuman. Yang memilih dan menghentikan prajurit.” “Aku ingat. Mestinya kamu ini siapa. Tapi kenapa kamu ikutan? Siapa yang menyuruhmu?”

Memindah Sukma
HALAYUDHA berdiri dengan gagah. “Sebagai prajurit, kalian semua harus tahu tata krama keprajuritan. Karena akulah yang memimpin, akulah yang bertanya. Kalau tidak ditanya, tidak diperkenankan sama sekali bertanya. Semua pertanyaan dan perkataan dariku harus dijawab dengan sendika dawuh. Jelas?”

Mada, Senggek, serta Kwowogen, menyembah bersamaan dan mengatakan apa yang diperintahkan Halayudha. Eyang Puspamurti merasa bingung, menoleh kiri-kanan, menepuk jidatnya sendiri, akan tetapi akhirnya menyembah juga.

“Sendika dawuh, Mahapatih….”

Halayudha melipat tangannya di dada. Udara tipis mendesis dari celah bibirnya. Satu pijakan kemenangan yang menjungkir-balikkan kekuatan Eyang Puspamurti. Tokoh sakti yang tingkahnya ganjil ini sebenarnya tingkat kesadarannya masih tinggi. Tidak seaneh Dewa Maut yang linglung. Hanya saja kini posisinya sangat repot. Posisi yang dipasang oleh Halayudha. Dengan menerima keempatnya sekaligus sebagai prajurit, berarti meletakkan mereka sebagai bawahannya. Dasar serta sikap prajurit yang mengiya kepada atasan tak bisa ditentang. Itulah yang terjadi sekarang.

Kalau Eyang Puspamurti tadinya sedikit ragu, karena masih sangsi harus bersikap memusuhi atau mengiya. Hanya ketika melirik kiri-kanan dan melihat ketiga muridnya sudah mengiya, tak ada jalan lain baginya. Eyang Puspamurti tak ingin mengecewakan murid-muridnya.

“Aku masih menghormatimu, dengan menyebut Eyang. Karena kebesaran namamu, karena kamu ksatria. Akan tetapi karena aku yang bertanggung jawab untuk penerimaan seluruh prajurit, aku tak akan membeda-bedakan. Rasanya Eyang bisa mengerti.”

“Ya, Mahapatih. Tapi…”

“Tak ada tapi. Aku suka melihat Eyang melatih prajurit baru. Aku memberi kesempatan seluas-luasnya. Kalau bisa aku membantu Eyang. Sebagai prajurit, Eyang harus menjawab pertanyaanku.”

“Ya, Mahapatih…”

“Pukulan Petir yang baru Eyang ciptakan mempunyai persamaan dengan kekuatan Barisan Api. Di mana persamaan itu?”

“Mahapatih, dalam soal ilmu silat…”

“Dalam tata krama keprajuritan…”

“Baik, baik. Persamaannya dalam menyatukan kekuatan. Menyatukan tujuan. Menyamakan diri sebagai mahamanusia.”

“Begitu gampang?”

“Mahamanusia itu sederhana. Seperti kodratnya, terjadi dengan sendirinya. Yang membedakan hanyalah bahwa Pukulan Graksa ini menjadi satu pukulan, dan empat pukulan. Penyatuan kekuatan dari tarikan napas, ketiga tenaga dalam di perut naik ke tengah dada.”

“Apakah itu memakai tenaga dalam atau tenaga sukma?”

Mata Eyang Puspamurti berkejap-kejap. “Tenaga sukma?”

“Dalam Kidungan Pamungkas disebut-sebut mengenai sukma. Tenaga sukma, dalam wujudnya menjadi Ngrogoh Sukma Sejati, Merogoh Sukma Sejati. Mahamanusia berkuasa atas sukma….”

Eyang Puspamurti menggeleng. “Mahapatih bisa keliru. Itu bukan Kidungan Pamungkas. Itu Kidungan Paminggir. Sedangkan tata krama keprajuritan dan raja dalam Kidungan Para Raja. Tetapi aneh juga. Kenapa bisa berbeda tapi sama? Ya, ada kaitannya dan saling menerangkan. Sukma sejati bisa menjadi kekuatan, karena ia kekuatan itu sendiri. Saya biasanya hafal….”

Eyang Puspamurti bersungut. Tubuhnya bergerak perlahan, membungkuk. Kedua tangannya terlipat di depan, pundaknya menutup. Tubuhnya seperti tergerak oleh embusan angin. Halayudha duduk di sampingnya.

Sukma sejati, keluarlah
tinggalkan tubuh
sebab tubuh itu wadah
sebab tubuh itu hanya wadah
sukma sejati, kamulah kekuatan

bukan kaki, bukan hati
bukan tangan, bukan pikiran
sukma sejati akan menyatu dengan alam
dengan kehidupan
sebab sukma sejati dalam

mengatasi kematian
sukma sejati, keluarlah
tubuhmu mengalah
jadilah kehendakmu
kehendakmu yang sejati

jadilah maumu
mau yang sejati
sukma sejati
bukan sukma, bukan nyawa
bukan kemauan, bukan doa

sukma sejati
roh segala roh
inti segala inti
nyawa segala nyawa
ada segala ada

kidung segala kidung
sukma sejati
sejatinya sukma
kekal abadi
selamanya…


Tubuh Eyang Puspamurti gemetar. Senggek yang mengikuti seperti terengah-engah. Mendadak tubuhnya mengejang hebat, tangannya meraup tanah. Menelannya. Mada terkesiap. Kwowogen berusaha menahan. Akan tetapi di luar dugaannya, kaki Senggek menendang keras. Tak ampun lagi Kwowogen jatuh terbanting.

“Jangan main-main. Jangan mau dipermainkan. Kalian dalam bahaya. Aku dalam bahaya.”

Teriakan Senggek demikian keras hingga semua prajurit mendengar apa yang dikatakan. Ketika mereka bergerak mendekat, Senggek langsung menerjang. Pertarungan yang segera terjadi menandai awal keributan. Senggek tak bisa dikendalikan. Terus menyerang kiri-kanan. Tubuhnya terluka oleh tusukan dan sabetan, akan tetapi terus menerjang.

Bahkan Mada yang mendekat dilabrak. Terpaksa membela diri. Kwowogen ikut bergabung. Keduanya memutar tubuh, menekuk tangan, sambil berputar. Pukulan Petir. Menyambar keras. Tubuh Senggek, yang tadi mengikuti gerakan Mada dan Kwowogen, memakai gerakan untuk memukul kepalanya sendiri. Apa yang terjadi sangat mengerikan. Kepala Senggek seperti terbelah. Meninggalkan warna hitam di sekujur tubuh.

Halayudha menutup kedua tangan ke wajah. Hatinya tergetar dahsyat. Bukan kengerian wajah yang terbelah serta berubah menjadi hitam seakan hangus yang membuatnya menutupi wajah. Melainkan guncangan yang lain. Guncangan yang membuka mata batinnya. Bahwa ilmu yang disebut sebagai Ngrogoh Sukma Sejati ternyata sederhana akan tetapi juga maha sulit. Apa yang dilihatnya menunjukkan bukti jelas.

Senggek tak mampu mengikuti getaran sukma Eyang Puspamurti. Atau bisa juga diartikan mampu mengikuti. Sehingga kekuatan sukmanya bisa keluar. Namun pada saat itu, kekuatan tersebut justru menemukan adanya bahaya, yaitu kehadiran Halayudha. Ketegangan antara mengikuti kekuatan sukma dan kekuatan rasa bertarung. Karena belum menguasai sepenuhnya, Senggek menjadi tak terkendali. Mengamuk seperti kesurupan tenaga lain. Padahal itu tenaga sukmanya sendiri.

Hal kedua yang tak kalah ngerinya ialah ketika Mada dan Kwowogen mencoba menahan serangan dengan Pukulan Petir. Pada saat itu, Senggek juga melakukan gerakan yang sama. Hanya sasarannya kepalanya sendiri. Dengan tiga tenaga menyatu, kepala Senggek remuk karenanya. Seketika itu juga.

Titipan Asmara, Percakapan Sukma
TANGAN Halayudha masih menutupi wajahnya. Di balik tangan, mata Halayudha masih tertutup. Akan tetapi seperti bisa melihat semuanya dengan terang. Bahwa ada kekuatan baru yang bisa dicabut ke luar, bisa menjadi sesuatu yang bahkan tak pernah bisa diperkirakan akan sampai ke mana. Kekuatan sukma.

Kalau selama ini sumber utama kekuatan adalah tenaga dalam, betapapun juga masih bisa diperhitungkan kemajuan dan babakan yang bisa dicapai. Semakin kuat dan tahan serta tekun berlatih, semakin bertambah tenaga dalamnya. Perkembangan ini bisa diperkirakan dari lamanya bertapa atau melatih. Meskipun ada unsur kemajuan seseorang berbeda dari yang lainnya, akan tetapi tetap bisa diperkirakan.

Hal yang sangat berbeda dari itu adalah penggunaan kekuatan sukma. Perkembangannya bisa sangat luar biasa, karena ternyata melewati babakan yang selama ini dikenal. Bisa menjadi loncatan tak terkendali ke suatu wilayah yang belum bisa diramal kapan berhentinya dan pada bagian yang mana. Halayudha mengenal dari dua kejadian penting.

Pertama, pertemuannya dengan Dewa Maut yang bisa merogoh sukma dan menjadikan dirinya orang lain. Dengan kekuatan sukma yang menurut Dewa Maut berintikan kepada katresnan atau cinta kasih, sukmanya bisa menembus batasan ruang dan waktu. Bisa menjelma menjadi orang lain.

Kedua, pertemuannya dengan Eyang Puspamurti dan ketiga muridnya. Kekuatan sukma kali ini mendapatkan bentuknya sebagai kekuatan jasmani, yang bisa disatukan menjadi satu pukulan. Bukan sekadar satu rasa, tetapi satu sukma. Bahaya penggunaan kekuatan sukma ternyata juga mengerikan. Pada Dewa Maut, berakhir dengan kematiannya sendiri. Pada Senggek, berakhir dengan kematian yang mengerikan.

Semua ini isyarat adanya kekuatan yang hebat akan tetapi sekaligus juga bahaya yang gawat, tanpa disadari oleh yang bersangkutan. Halayudha menurunkan tangannya setelah mengusap wajah.

“Eyang, mari kita masuk ke kepatihan. Di sana kita bisa berlatih dengan lebih tenang.”

"Jagat, jagat telah berubah. Sudah datang saat di mana mahamanusia lahir.”

“Eyang, mari…”

“Kamu benar, Mahapatih. Kidungan Paminggir ajaran Eyang Sepuh adalah bagian yang disempurnakan Sri Baginda Raja dalam Kidungan Para Raja, yang disatukan dalam Kidungan Pamungkas oleh Mpu Raganata. Ketiganya sebenarnya satu. Kamu benar. Ketiganya berbicara tentang mahamanusia. Sungguh luar biasa. Selama ini aku hanya melihat dari satu sumber. Dan meniadakan yang lain. Padahal ketiganya sama. Sosok yang sama. Yang pernah berada dalam puncak kejayaan kekuatan sukma. Sri Baginda Raja akan terus dikenang dan ada di sepanjang segala zaman, karena apa yang telah dilakukan sebagai raja gung binatara, raja besar. Eyang Sepuh memakai kekuatan sukma untuk moksa, untuk hidup bersatu antara raga dan jiwa. Mpu Raganata, yang lebih sakti dari keduanya, dengan menggabungkan, menyatukan perbedaan yang ada. Mpu Raganata hadir ketika menyingkirkan diri. Sukmanya melebur. Sungguh luar biasa. Eyang Sepuh meniupkan kekuatan, membesut awal persilatan dengan Kitab Bumi menjadi sumber ilmu kanuragan. Sri Baginda Raja meniupkan kebesaran seorang raja. Dan Mpu Raganata sejak semula menjadi pamong, yang mengabdi kepada Sri Baginda Raja, tetapi juga pamong pemikiran para pendeta. Sejak semula sudah disingkirkan Sri Baginda Raja, akan tetapi selalu menyertai dan berada di sampingnya. Sejak semula diemohi para ksatria dan dijauhi para pendeta, akan tetapi tetap menjadi bagian dari mereka. Mpu Raganata yang weruh sadurunging winarah, mengetahui sebelum mengalami, mengerti sebelum terjadi, adalah raja sekaligus pendeta sekaligus ksatria, yang tidak ketiga-tiganya. Hebat, sungguh hebat. Tidak salah aku memilih Kidungan Pamungkas, sebagai kitab terakhir sebagai bacaan ajaran utama. Luar biasa.”

Halayudha maju setindak. “Eyang lupa, bahwa Eyang adalah titisan Mpu Raganata.”

“Aku? Aku ini, Mahapatih?”

Halayudha mengangguk. “Ya, sesungguhnya begitu, Eyang Puspamurti. Dengan kekuatan sukma Eyang, pertemuan dan penyatuan dengan Mpu Raganata bukan hal yang mustahil. Mari kita berlatih, mencari pertemuan di kepatihan.”

“Ya, Mahapatih.”

Tangan Eyang Puspamurti memberi tanda kepada Mada dan Kwowogen, lalu berjalan di samping Halayudha, setengah langkah di belakangnya. Wajahnya menunduk, kedua tangannya rapat di dada.

“Kamu cukup cerdas dan pintar, Mahapatih. Dari mana Mahapatih mengetahui kekuatan sukma?”

“Dari bibit kawit yang bernama katresnan, cinta kasih. Yang menggerakkan Eyang menerima murid-murid dan mengajarinya secara penuh. Tanpa katresnan, untuk apa Eyang Puspamurti melakukan itu semua kalau selama ini cukup aman berada dalam Keraton? Untuk apa Eyang rela menjadi prajurit? Untuk apa sebagai Mahapatih saya mengurusi langsung prajurit yang baru? Untuk apa mengabdi kepada Keraton, dan bersedia hanya sebagai mahapatih?”

Eyang Puspamurti menggeleng, sambil mengelus rambutnya. “Katresnan. Memang. Tapi omonganmu ngawur. Katresnanmu berbau busuk mengandung pamrih, mengandung permintaan dan pemaksaan, bukan keikhlasan. Dari pertama kamu sudah busuk. Aku bisa membedakan busuk dan bau dengan tidak busuk dan bau harum. Dengan keluhuran. Mpu Raganata sudah sampai tingkatan menyatukan itu.”

Keduanya melangkah sampai ke dalam kepatihan. Menuju samping pendapa, di bawah naungan pohon sawo. Mada dan Kwowogen duduk agak di belakang. Menunduk, menunggu, mendengarkan.

“Mari, Eyang, kita pergunakan kekuatan sukma untuk menyatu dengan Mpu Raganata.”

Halayudha bersemadi. Tangannya memegang tangan Eyang Puspamurti, sambil membisikkan kidungan yang menjadi mantra Dewa Maut. Yang merupakan gabungan dari lirik ketiga kitab yang dibacanya tidak secara berurutan. Tubuh Eyang Puspamurti bergerak. Bergetar. Pandangan matanya tajam, membuat Halayudha menarik kembali tangannya.

“Kamukah Mpu Raganata? Bukan, bukan. Kamu kosong, karena kamu tak mau memperlihatkan sukmamu. Aku adalah Halayudha yang ingin mengetahui kekuatan sukma sejati dengan memakai sukma orang lain. Aku bisa mencapai karena dasar ilmuku tak jauh dari itu. Ajaran Paman Sepuh, Gajah Mahabengis. Mendapat keterbukaan, menjadi tinarbuka karena Dewa Maut yang memiliki dasar katresnan, ajaran welas asih. Akulah Halayudha. Dan kamu siapa? Siapa?”

Halayudha tak bisa segera menyahut. Sewaktu bersama Dewa Maut, Dewa Maut sendiri yang menganggap Halayudha adalah Dewa Maut. Kini Halayudha ingin menjawab Eyang Puspamurti. Tapi bibirnya kelu.

“Kamu anak Dewi Renuka? Kamu anak lelaki yang membunuh ibu yang mengandung mu sembilan bulan sepuluh hari? Siapa yang kamu cari? Yang paling jahat, paling hina, paling berdosa, paling celaka, yang kalah yang bersenjatakan luku? Jadi kamu tak punya nama, selain disebut Tenggala Seta?”

Halayudha terbatuk keras. Dadanya menjadi sakit. Ada irisan menyamping yang membelah tubuhnya dari atas ke bawah. Pengalaman demi pengalaman berhubungan dengan kekuatan sukma sejati, membuatnya terseok-seok. Jelas bahwa Eyang Puspamurti tak mengetahui segala apa yang ada hubungannya dengan yang dialami. Karena selama ini bersembunyi di dalam Keraton. Sama mustahilnya mendengar kalimat percakapannya dengan Dewa Maut.

Akan tetapi sekali meneropong, langsung mengetahui bahwa ada nama Dewi Renuka. Lebih jauh lagi, bahkan menyebutkan nama Tenggala Seta, atau bisa berarti bajak atau luku berwarna putih. Tidak luar biasa andai saja kata tenggala, yang jahat, yang hina, yang berdosa, yang celaka, dan yang kalah, mempunyai kata yang berarti sama, yaitu halo.

Tak mungkin kebetulan bisa terjadi beberapa kali. Bukan hanya persamaan nama melainkan juga kata seta, yang mengingatkan akan ucapan Dewi Renuka ketika pertama kali mengajak bermain asmara dengannya. “O, ternyata putih, tidak seperti tubuhmu.” Itu yang dulu diucapkan oleh Dewi Renuka. Dan hanya bisikan lirih itu, tanpa kata lain. Sambaran Pukulan Petir tak akan mengguncangkan Halayudha seperti sekarang ini. Justru di saat berada dalam kondisi puncak kekuasaan, dirinya dilempar kembali ke dalam masa lalu.

“Apakah kamu putraku?”

“Aku tak tahu. Namaku Tenggala Seta. Aku adalah titipan asmara yang tercipta karenanya.”

“Di mana kamu sekarang, Tenggala Seta? Di mana… di mana ibumu?”

Eyang Puspamurti terbatuk. Tubuhnya bergoyang. Dengan satu helaan napas, wajahnya kembali seperti sediakala. “Mada, Kwowogen, perhatikan baik-baik. Setiap kali adalah ajaran. Aku sedang melatih untuk mengetahui kekuatan sukma. Tetapi aku sendiri tak sepenuhnya bisa mengetahui apa yang terjadi. Kamu perhatikan baik-baik.”

“Eyang…”

“Eyang…”

“Usiaku tak panjang lagi. Aku harus menyelam hingga tuntas, agar kamu mengetahui semua yang harus kamu ketahui. Mahapatih, sampai di mana kita?”

Halayudha menutup bibirnya. “Sampai Tenggala Seta berada di mana? Ibunya ada di mana?”

Pandangan Eyang Puspamurti berkejap-kejap. “Siapa nama yang tak pernah kudengar itu? Apa urusanmu dengan ibunya? Kwowogen, kamu cepat pintar dan kuat, tapi jangan terlalu memperhatikan hal yang tak berguna. Aku minta kamu memperhatikan ajaranku, bukan orang lain.”

Halayudha berusaha menguasai diri. Satu hal yang membuatnya sedikit lega. Eyang Puspamurti bisa merogoh sukma, akan tetapi peristiwa yang dialami tidak mengendap dalam ingatannya. Ini agak berbeda dengan Dewa Maut yang bisa mengendalikan kemampuan sukma. Sementara Kwowogen dan Mada mendengar akan tetapi tak mengetahui hubungan yang ada, dan malah surut kembali karena disalahkan.

“Terima kasih, Eyang. Sejauh kemampuan yang ada, titipan asmara akan saya rawat sebagaimana kodrat yang ada.”

“Bukan kepadaku, kepada dirimu sendiri,” getaran suara Eyang Puspamurti berbeda kembali. Seolah ada kekuatan lain yang masuk dan menguasai dirinya, atau kekuatannya sendiri yang keluar dan menguasai sekitarnya. Kedua tangannya terentang.

Mada dan Kwowogen mendekat. Bersentuhan telapak tangan. Halayudha mendekat, menyatukan tangan, sehingga membentuk lingkaran. Mula-mula tidak dirasakan sesuatu yang luar biasa, akan tetapi perlahan pikirannya terseret kidungan Eyang Puspamurti, yang bisa diikuti, karena ujung kata-katanya bisa dikenali, meskipun berasal dari tiga kitab yang digabung.

Sukma sejati
bukan nyawa, sebab nyawa bisa pergi
sukma sejati
roh suci
jadi bersama jagat

sukma sejati
adalah sang pencipta
yang menjelma
yang tercipta
bersama jagat
menguasai isinya…


Sukma Sejati, Sukma Kekal Abadi
HALAYUDHA merasa getaran tangannya tidak bisa seirama dengan yang lainnya. Merasa bahwa dirinya tidak bisa masuk sepenuhnya, mengalir dan menyatu. Akan tetapi bisa mengikuti irama dan isi kidungan.

Yang dinamai sukma sejati
bukan sukma sejati
karena sukma sejati
itulah arti
tak disamai roh, nyawa, budi,

sebab sukma sejati kekal abadi
dalam telur sukma sejati
adalah kulit, putih dan kuningnya
dalam buah sukma sejati
adalah kulit, buah dan bijinya

dalam kehidupan
adalah lahir, nasib dan matinya
setiap kali tumimbal lahir
setiap kali ada kembali
seperti jagat, seperti matahari

seperti Dewa, seperti udara
sukma sejati
ada selalu
padamu, padaku, pada apa saja
sukma sejati itu wahyu

yang selalu diwahyukan kembali
itu arti kekal abadi
mengatasi lahir, nasib dan mati
pembaruan kehidupan, nasib dan kematian
dalam sukma sejati

selalu
sekali
selamanya…


Halayudha menarik telapak tangannya. Menghela napas. Membiarkan ketiga yang lain membentuk lingkaran. Baginya lebih dari cukup untuk mengenali, untuk bisa berada dalam pencarian dan penjelasan sukma sejati. Ia tak ingin masuk lebih dalam, seperti Eyang Puspamurti, seperti Dewa Maut, yang belum terbaca akan bermuara ke mana.

Halayudha menjauh dengan jalan berjongkok. Sekitar lima tombak dari tempat Eyang Puspamurti, Halayudha berdiri dan memerintahkan para prajurit untuk menjaga dan melayani Eyang Puspamurti, Mada, serta Kwowogen. Perintahnya yang kemudian adalah meminta daftar para prajurit yang baru. Halayudha tidak mengatakan ia mencari nama Tenggala Seta, karena hal itu akan dilakukan sendiri.

Sesuatu yang menurut perkiraannya masuk akal. Meskipun agak terlambat, usia Tenggala Seta tak jauh berbeda dari Mada atau Kwowogen. Yang kalau tidak mempunyai pekerjaan tetap selama ini, melihat kemungkinan terbaik untuk masuk menjadi prajurit.

Sebenarnya Halayudha setengah percaya setengah tidak terhadap apa yang didengar dari Eyang Puspamurti. Akan tetapi ia tak bisa menyembunyikan rasa hubungan darah yang mendesak secara tiba-tiba. Selama ini Halayudha merasa hidupnya sendirian. Sangat sendirian, tanpa sanak saudara, tanpa teman dekat sekalipun.

Dan kini tiba-tiba ada suara yang mengatakan bahwa bukan tidak mungkin dirinya mempunyai darah keturunan secara langsung. Panggilan yang ganjil yang belum didengar selama ini. Keinginan untuk menemukan kembali akar yang telah menjadi buah dan berkembang. Namun semua itu tidak mempengaruhi penampilannya. Halayudha tetap Halayudha yang kini adalah Mahapatih Keraton Majapahit.

Melangkah masuk ke ruangan, Halayudha sudah menjadi apa yang diimpikan. Melangkah dengan gagah, mendengarkan laporan, dan memberikan perintah. Yang membuatnya sedikit mengerutkan kening adalah laporan dari Senopati Bango Tontong yang mengatakan bahwa Permaisuri Rajapatni sudah meninggalkan Simping. Tidak ketahuan berada di mana. Sehingga tidak bisa memenuhi permintaan Mahapatih Halayudha.

“Dan kamu percaya begitu saja, Bango Tontong?”

“Begitulah hamba, Paduka Mahapatih. Karena yang mengatakan adalah Permaisuri Indreswari sendiri yang berkenan menemui hamba dan menanyakan mengenai putranya, Raja Jayanegara. Yang barangkali akan membuat Paduka tertarik ialah bahwa sebelum kepergian Permaisuri Rajapatni, Ksatria Upasara Wulung datang ke Simping. Permaisuri Indreswari melihat sendiri, karena Upasara Wulung tidak datang secara sesideman atau sembunyi-sembunyi. Upasara Wulung datang menghadap Baginda. Permaisuri Indreswari melihatnya sebagai ancaman bagi Raja. Paduka Permaisuri Indreswari tidak diperkenankan hadir dalam pertemuan tersebut.”

Halayudha menarik udara keras lewat hidungnya. “Ulet nyawa Upasara Wulung. “Aku jadi ingin mengetahui sampai di mana Dewa selalu melindunginya dalam saat seperti sekarang ini. Hmmm, di jagat ini susah menemukan lawan setanding seperti dia. Tapi itu soal lain. Bagaimana dengan perhitunganmu bahwa dua putri calon permaisuri diculik oleh Ratu Ayu?”

“Tidak meleset sedikit pun, Paduka. Putri Tunggadewi dan Rajadewi berada di Simping, menempati kamar yang tadinya dihuni Permaisuri Rajapatni. Mengenai Ratu Ayu Azeri Baijani…”

Senopati Bango Tontong agaknya sengaja menggantung kata-katanya. Halayudha yang mengetahui cara-cara seperti itu menjadi gondok. Akan tetapi bukannya memperlihatkan wajah murka, sebaliknya Halayudha sedikit memiringkan kepalanya. Seolah benar-benar sangat tertarik kepada apa yang akan dikatakan Senopati Bango Tontong. Halayudha tahu bagaimana menempatkan dirinya untuk berpura-pura hanyut.

“Mengenai Ratu Ayu, hamba mempunyai pikiran untuk mengadu persoalan dengan Permaisuri Rajapatni. Saat ini hamba sedang mengundangnya ke Keraton. Maaf, Paduka Mahapatih. Kelancangan hamba hanyalah untuk kebesaran Mahapatih.”

“Apa ada gunanya?”

“Kalaupun tidak, sekurangnya bisa memanaskan api kecemburuan dan pertarungan. Ratu Ayu nekat melakukan penculikan ke kaputren, semata-mata karena merasa dirinya istri Upasara Wulung. Bagian dari kegiatan Raja Turkana. Apa yang tidak disukai Upasara, tidak akan disukai pula oleh Ratu Ayu. Itu alasan Ratu Ayu menculik dua putri calon permaisuri. Akan tetapi sekarang pastilah sangat kecewa. Karena Raja Turkana yang sangat dibela dan dihormati, muncul di Simping untuk menemui Permaisuri Rajapatni. Bibit ini bisa dipanaskan. Bisa membakar.”

“Apa ada gunanya?”

“Upasara Wulung disebut sebagai lelananging jagat, dan selama ini terbukti ilmu silatnya belum ada yang menandingi, apalagi mengalahkan. Keunggulannya yang menjulang ke langit tidak diimbangi dengan masalah asmara. Justru sebaliknya, Upasara Wulung menjadi tidak menentu sikapnya kalau dibelit persoalan asmara. Inilah alasan hamba.”

“Apa ada gunanya?”

“Gunanya untuk menyudutkan Upasara Wulung dalam situasi di mana ia mengambil sikap yang sembarangan. Misalnya menghancurkan ilmunya, tenaga dalamnya, atau justru melarikan diri, bersembunyi di Perguruan Awan. Dengan demikian akan berguna, karena Mahapatih tidak perlu turun tangan untuk mengatasi.”

“Ada gunanya memelihara kamu.”

“Maaf, Mahapatih, akan lebih berguna lagi jika Mahapatih tidak memecah kekuasaan yang ada dengan Senopati Krewes.”

“Jabung Krewes aku adakan karena aku harus berjaga dari siasatmu yang licik. Bango Tontong, aku mengakui kamu pintar. Itu sebabnya aku berjaga-jaga. Aku tahu Jabung Krewes tidak menghamba kepadaku, tetapi ia lebih tidak menghamba kepadamu. Ia memiliki tradisi sendiri untuk mengabdi.”

“Kalau Paduka Mahapatih tidak mempercayai hamba sepenuhnya, hamba pun…”

“Kamu tidak bisa memaksaku. Tetapi aku akan menarik Senopati Jabung Krewes ke dalam.”

Senopati Bango Tontong menyembah hormat. Samar terlihat sunggingan senyuman Mahapatih Halayudha. Benar dugaannya dan tepat strateginya, dengan memajang dan menarik kembali Senopati Jabung Krewes.

Permainan Menyembunyikan Giwang
DENGAN ditariknya Jabung Krewes dari pengawasan lapangan atas Barisan Kosala, sebenarnya terjadi permainan menarik yang diam-diam antara para pemimpin. Terutama tarik-menarik kekuatan antara Mahapatih Halayudha dan Senopati Bango Tontong. Tarik-ulur terlibat di permukaan, tetapi juga menunjukkan adanya pertentangan di bawah.

Halayudha mempunyai perhitungan bahwa Bango Tontong tak bisa dilepaskan begitu saja. Ia dipajang untuk memimpin Barisan Kosala yang mempunyai kekuasaan leluasa, dan ternyata terlalu cerdik untuk bisa mempergunakan kedudukannya. Untuk bisa tetap mengawasi Bango Tontong, Halayudha sengaja memasang Jabung Krewes.

Dan ternyata Jabung Krewes bisa menjalankan peranannya. Bango Tontong tak bisa leluasa seolah tanpa batas dalam bergerak. Sekurangnya untuk mempertanggungjawabkan. Bango Tontong bisa memeriksa, menggeledah setiap rumah, menahan semua orang, akan tetapi ada yang mengawasi sejauh mana tindakannya sebagai penjaga ketertiban dan keamanan tidak disalahgunakan. Jabung Krewes mampu menjadi pengawas, dan ini merepotkan Bango Tontong.

Sehingga Bango Tontong mengajukan usul agar Jabung Krewes ditarik mundur. Usul yang lebih dikenal Halayudha sebagai senggara macan, atau auman harimau, untuk menakuti, untuk menggertak. Halayudha bukan tokoh yang bisa digertak. Ancaman itu terlalu kecil baginya. Ia bisa balik menggertak dan menunjukkan kekuasaannya. Akan tetapi, itu tidak dilakukan. Justru sebaliknya, Halayudha menarik mundur Jabung Krewes. Seolah memenuhi tuntutan Bango Tontong-itu pun dengan cara seolah tak sepenuhnya rela.

Yang diharapkan Halayudha dengan sikap semacam itu, Bango Tontong merasa mendapat angin, seolah bisa menekankan keinginannya. Bisa memaksakan kehendaknya. Pada saat seperti itu biasanya ia menjadi sembrono, kurang berhati-hati. Sehingga bisa terbaca semua isi hatinya. Itu perhitungan Halayudha menarik mundur Jabung Krewes. Lain lagi perhitungan Bango Tontong. Ternyata ia mempunyai langkah terencana yang tidak diduga Halayudha. Bango Tontong menyimpan langkah tersendiri. Desakan agar Jabung Krewes ditarik, sedikitnya mempunyai dua kekuatan baginya.

Pertama, karena senopati berwajah lembut, dengan gerakan yang serba lemah gemulai ini mempunyai pandangan sangat tajam. Dalam diam, dalam kalimat yang kadang tak mempunyai gema dan makna, terkandung gugatan yang tajam. Terutama sekali karena pandangannya yang luas dalam membandingkan perkara satu dengan yang lainnya. Sehingga Bango Tontong merasa tersudut, dan gerakannya terganggu karena gugatan-gugatan Jabung Krewes, yang mengingatkan bahwa Bango Tontong tak bisa menahan para bangsawan seenaknya, atau mengangkut harta begitu saja.

Jabung Krewes tak bisa diajak kerja sama. Senyumannya yang lunak, pandangannya yang menyiratkan wajah kanak-kanak, kelewat keras untuk mengubah pendiriannya yang tak bergoyah. Sehingga Bango Tontong mengubah taktiknya. Yaitu mengubahnya menjadikan kekuatan kedua. Dengan cara menarik Jabung Krewes ke pihaknya, karena selama ini diketahuinya bahwa Jabung Krewes tidak puas dengan kepemimpinan Halayudha. Dengan menarik Jabung Krewes yang mempunyai kelebihan dan kekukuhan pendirian, Bango Tontong merasa tenaganya menjadi dua kali lipat untuk menjaga diri dari Halayudha.

Caranya dengan membina persekutuan secara diam-diam. Bango Tontong tahu bahwa dalam kondisi seperti sekarang, pendekatannya tak akan digubris. Akan tetapi begitu diumumkan bahwa Jabung Krewes dipindahkan tugasnya ke dalam Keraton dan tidak mengawasi lapangan lagi, masalahnya menjadi lain.

Jabung Krewes kini berada dalam keadaan tersingkir dan tersisih. Dalam keadaan gagal sebagai senopati, Jabung Krewes akan dengan senang hati menerima Bango Tontong yang mengutarakan bahwa sebenarnya Jabung Krewes dianggap menghalangi upaya untuk mengumpulkan harta dan pusaka. Bango Tontong menjelaskan bahwa ia semata-mata menjalankan perintah Mahapatih!

Ia berharap agar Jabung Krewes bisa menahan diri, untuk mencari waktu yang tepat menyatakan ketidakpuasannya. Meskipun tidak segera menerima, Jabung Krewes tidak pula terang-terangan menolak uluran tangan Bango Tontong. Bagi Bango Tontong ini sudah dua pertiga berhasil. Kalau Halayudha merasa menang di atas angin dalam permainan ini, sebaliknya Bango Tontong juga tidak merasa kalah.

Dua permainan yang berbeda jurusnya. Seperti permainan anak-anak di Keraton. Di mana seorang anak meringkuk, dan lima atau enam anak meletakkan tangan menengadah di atas punggungnya. Salah seorang membawa giwang untuk diletakkan pada tangan secara bergantian diiringi nyanyian. Sampai satu saat nyanyian berhenti, dan si anak yang meringkuk duduk, kemudian menebak siapa di antara keenam anak yang menggenggam giwang.

Hanya satu yang benar-benar menggenggam giwang. Yang lima tidak. Keenamnya seolah menggenggam, tapi seolah juga tidak. Permainan menyembunyikan suweng atau giwang ini sangat menyenangkan bagi anak-anak. Dan kali ini Bango Tontong juga menikmati, dengan tuntutan yang berbeda dari waktu kanak-kanak.

Yang tidak diketahui dan tak diduga oleh Halayudha maupun Bango Tontong ialah sebenarnya permainan apa yang tengah dimainkan oleh Jabung Krewes. Berbeda dari kedua tokoh yang memperlihatkan dirinya, Jabung Krewes masih bersembunyi di balik senyumnya yang sumanak, bersahabat dan akrab. Padahal Jabung Krewes tidak menerima begitu saja. Gagasan untuk menyampaikan keadaan di Simping sebenarnya hanyalah rekaan Jabung Krewes yang bisa menyusup masuk ke wilayah sanggar pamujan.

Akan tetapi seperti yang lain, Jabung Krewes tak bisa mengetahui keadaan yang sebenarnya. Semua hanya berdasarkan dugaan dan perkiraan belaka. Dengan perhitungan bahwa kalau dirinya tak bisa menyusup lebih ke dalam, tokoh mana pun juga tak akan mampu. Dalam hal ini, Jabung Krewes tidak sembarangan mengarang. Ada dasar-dasarnya.

Bagi orang luar, sejak kepulangan Baginda dari Keraton, apalagi sejak peristiwa di Lodaya, tak ada yang diperkenankan masuk ke sanggar pamujan. Jabung Krewes pun tidak bisa diterima meskipun selama ini ia memang melayani Baginda dalam menuliskan pujasastra. Tapi bukannya tanpa hasil sama sekali. Dari para emban, para dayang, Jabung Krewes mendengar beberapa hal.

Di antaranya kabar bahwa Upasara Wulung telah datang, dan bertemu dengan Permaisuri Rajapatni yang didampingi Permaisuri Tribhuana. Hasil lain yang lebih berarti baginya ialah karena secara diam-diam Jabung Krewes bisa mengangkut tulisan-tulisan dalam sanggar pamujan yang kosong.

Sejak menginjakkan kaki di Simping, tak ada yang menemuinya selain para dayang yang setia, yang mengenalnya. Saat itulah Jabung Krewes berusaha masuk ke sanggar pamujan secara diam-diam. Sanggar yang selama ini hanya ditempati oleh Baginda. Sanggar tempat Baginda bersemadi ini menurut kabar yang terdengar tak pernah dimasuki orang lain, selain para permaisuri. Sejak kedatangannya di Simping, Baginda bahkan tidak memperkenankan para abdi untuk membersihkan atau merawat.

Semua dilakukan oleh tangan-tangan halus para permaisuri. Termasuk mengatur kayu cendana yang mengeluarkan bau harum, dupa sesaji, bunga, sampai dengan membersihkan debu. Jabung Krewes sedikit terenyak. Tertunduk lama. Tak ada siapa-siapa. Tak ada bayangan matahari, tak ada bayangan manusia. Ruangan yang kosong. Di dalamnya hanya ada sebuah ranjang kayu sederhana tanpa ukiran dengan selembar kain sutra putih di atasnya. Di dekatnya ada meja pendek dengan gulungan kertas warna pucat di atasnya, serta bulu angsa.

Tak ada lainnya. Tak ada apa-apa. Jabung Krewes masih menunggu. Agak lama. Baru kemudian bergerak ke arah meja. Duduk di dekat meja, bersila. Dorongan batinnya yang membuatnya berani melakukan itu. Terutama karena merasa tak ada yang mengetahui. Tikar pandan yang dianyam telah menjadi halus dan mengilat. Pertanda Baginda telah menggunakan untuk waktu yang lama. Jabung Krewes menyingkirkan dengan hormat. Bersila di atas papan kayu.

Menyembah dalam, sebelum berani membaca. Tulisan yang sangat indah, sangat halus, tebal-tipis yang terjaga sangat sempurna. Hanya orang yang mempunyai cita rasa tinggi serta tahan menahan napas panjang yang mampu menghasilkan huruf-huruf yang tampak hidup dan terjaga dari lembar pertama.

JILID 49BUKU PERTAMAJILID 51