X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 52

Cerita silat jawa serial senopati pamungkas buku kedua jilid 52 karya Arswendo Atmowiloto
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 52

Dan nyatanya merasa begitu, kalau tidak tiba-tiba saja Praba menyebutkan kebesaran Baginda. Raja Jayanegara menghela napas.

“Permaisuriku, apakah kamu pun akan mengatakan bahwa Baginda mempunyai bayangan yang lebih besar dariku?”

“Hamba tak akan pernah menyebut itu, karena itu tak akan terjadi. Hamba hanya merasakan Raja Sesembahan yang mengidungkan sehingga hamba pulih seperti sediakala.”

Raja menggeleng. “Permaisuriku. Kamu wanita yang luar biasa bagiku. Dalam segala hal. Ketika aku memilihmu, mengangkatmu sebagai permaisuri, kamu malah memalingkan wajah. Kamu malah mengatakan bahwa aku melakukan ini hanya untuk membuktikan bahwa aku yang berkuasa. Permaisuriku. Tanpa melakukan apa-apa, aku tetap Raja yang paling berkuasa. Bisa melakukan apa saja. Permaisuriku. Dalam geringmu aku menunggui. Aku undang seribu tabib Keraton, aku lihat sendiri. Ketika ratusan putri menunggu dan berharap kulirik atau kupanggil menghiburku, aku memikirkanmu. Bahkan Ibunda Indreswari tak kupedulikan. Apakah kamu masih ragu?”

Praba terguguk. Menyembah dengan tangan dan tubuh gemetar. “Raja Sesembahan. Hamba…”

“Permaisuriku. Bagiku kamu adalah wanita yang luar biasa. Yang sulit kuselami, yang menghadang keinginanku, tetapi aku bahagia. Permaisuriku. Aku hanya bisa bicara padamu. Hatiku merasa longgar, lega, dan penuh suka cita. Tidak kepada yang lain. Tidak.” Raja berdiri. “Aku tahu kamu ingin mengatakan sesuatu. Aku sangat mengenalmu. Katakan….”

Praba menunduk. Tetap menunduk.

“Katakan, Praba….”

“Raja Sesembahan. Kalau hamba meminta, demi hamba sendiri dan demi kebesaran Raja Sesembahan….”

“Katakan, Permaisuriku. Aku lebih bahagia bila bisa memenuhi keinginanmu. Pesta besar empat puluh hari empat puluh malam bisa kuperpanjang menjadi pesta selamanya. Permaisuriku. Mintalah. Katakan.”

Praba tetap menunduk. Wajahnya tertekuk ke arah lutut. Bibirnya gemetar. Lirih. Samar. Antara terdengar dan tidak. Antara mengucapkan dan tidak.

Wajah Raja memerah. Giginya bersatu. Dengan satu gerakan, daun pintu ditendang keras, sebelum akhirnya menghilang. Kejadian yang mendadak itu tak bisa diketahui secara persis oleh puluhan dayang dan prajurit kawal khusus yang menjadi pucat dan tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.

Betapa tidak bingung. Baru saja Raja memerintahkan untuk mengumumkan pesta empat puluh hari empat puluh malam, yang menjadi perintah resmi. Sebagai pertanda rasa suka cita. Lalu mendadak berubah. Menendang pintu. Pertanda tidak ingin menutupi kegeramannya. Inilah berbahaya.

Karena seorang raja tidak perlu memperlihatkan perasaan yang wadak, yang lahiriah sifatnya. Meskipun selama ini Raja selalu menunjukkan perintah yang aneh, akan tetapi belum pernah seperti sekarang ini. Saat bersama Praba Raga Karana! Padahal sesungguhnya guncangan dari gelombang pertama masih terasa gelegarnya.

Kabar sembuhnya Praba Raga Karana adalah petir dan badai dahsyat yang menyambar secara bersamaan bagi Halayudha. Mahapatih yang merasa semua berada dalam perhitungannya itu benar-benar tak menduga. Bahwa akhir geringnya Praba Raga Karana begitu sederhana. Kemampuan dan daya pikirnya yang luar biasa tak bisa menangkap apa yang sesungguhnya terjadi. Termasuk nasibnya!

Ini berarti hancur-hancuran. Tak ada yang tersisa lagi baginya untuk membela diri. Tak ada siasat yang bisa mengalihkan tanggung jawab dan perbuatan yang dilakukan. Halayudha yang sering memuji dirinya, kini merasa benar-benar tak berharga. Tak bisa mengembangkan siasat sedikit pun.

Selama ini dalam berbagai kesempitan yang mengimpit, Halayudha mampu membebaskan dirinya. Selalu muncul kekuatan yang bisa menyelamatkan dirinya. Atau bahkan kadang berbalik menjadi keunggulan. Tapi tidak sekarang ini. Segala ilmu yang dipelajari, segala pencerahan yang pernah merasuk dalam dirinya, mendadak menjadi macet. Tak ada jalan keluar.

Praga Raga Karana telah sembuh seperti sediakala. Satu kata saja, selesailah dirinya. Habislah impiannya, yang sekarang justru telah digenggam dan merasuk ke dalam tubuhnya sebagai mahapatih. Apa ada gunanya membela diri?

Tak ada lagi. Sehingga tak perlu meneliti siapa yang bisa menyembuhkan Praba. Apa ada gunanya membuat perhitungan terakhir. Karena kini sebagai mahapatih, dirinya bisa menggerakkan seluruh prajurit dan senopati yang setia kepadanya. Untuk menundukkan Keraton dan menawan Raja, bukan sesuatu yang tak mungkin. Apakah ini jalan satu-satunya untuk membela diri? Mendahului menggempur!

Tapi, sekali lagi, Halayudha merasa tak menemukan gema dalam hatinya. Tak ada kekuatan yang mendukung naluri yang tajam, yang biasa melejit dengan cemerlang. Kalau ada sisa penyesalan yang mengganjal, bagi Halayudha hanyalah rasa terhina, rasa kalah, dan tersungkur, hanya karena seorang juru pijat!

Jagatnya menggelepar. Bahkan kini Halayudha tak yakin lagi apa yang akan dilakukan jika ada senopati yang datang dan menawan. Tak yakin apakah ia akan melawan sepenuh tenaga untuk mempertahankan nyawanya, ataukah menyerah pasrah bongkokan, menyerah sepenuhnya, seutuhnya. Menunggu nasib baik adanya pengampunan. Kemungkinan kecil ini dilindasnya sendiri. Tak ada lagi sisa itu.

Sikap yang paling berpengharapan pun tak akan sampai kepada separuh dari kemungkinan itu. Ataukah pada saat seperti ini akan ada gunung meletus, bumi terbelah, dan Keraton musnah? Atau mendadak muncul lagi pasukan Tartar yang mengancam, sehingga untuk sementara Raja tidak memenggal kepalanya. Halayudha tersenyum meringis. Membayangkan dirinya tak bisa berpikir waras. Karena angan-angan yang diketahui paling mustahil pun, bisa menyeruak masuk dan memberi hiburan palsu padanya.

Justru di puncak kekuatannya, di ujung langit kekuasaannya, Halayudha merasa tak mempunyai tenaga. Kakinya, tangannya, tubuhnya, seperti tak mempunyai tenaga. Halayudha berjalan perlahan, seperti merambat untuk bisa duduk dengan tenang. Tubuhnya, raganya, rasanya seperti melayang-layang, tak menginjak tanah.

Getaran Sukma Sejati
SENOPATI BANGO TONTONG segera masuk ke kamar, membimbing Halayudha yang berjalan glayaran, sempoyongan dan limbung. Perasaan aneh menjalar dalam diri Bango Tontong ketika mengetahui tubuh yang dipegangnya sangat dingin.

“Mahapatih, Paduka…”

Halayudha hanya menggeleng. Bango Tontong membimbing ke arah tempat istirahat. Tubuh Halayudha seperti mengikut saja. Bahkan kalau saat itu Bango Tontong melepaskan secara tiba-tiba, pastilah tubuhnya ambruk di lantai.

“Mahapatih terlalu letih….”

Napas Halayudha masih satu-satu. Tertahan-tahan, perlahan, dan berjarak antara menarik dan melepaskan kembali. Bango Tontong memerintahkan agar menggosok dengan jahe yang telah diramu untuk membuat panas.

“Panggil Eyang Puspamurti….”

Bango Tontong menyembah dan segera menuju ke tempat penampungan Eyang Puspamurti yang berada dalam bagian kepatihan. Tak terlalu sulit menemukan, karena Eyang Puspamurti sedang berada di luar, di bawah pohon beringin. Berdiri dan tepekur. Mada serta Kwowogen bersila di depannya. Menunduk. Tepekur. Langkah Bango Tontong terhenti karena kalimat Eyang Puspamurti seperti ditujukan kepada dirinya.

“Perhatikan baik-baik, Mada dan kamu Kwowogen. Apa yang kukatakan tak keliru satu patah pun. Orang ini datang kemari karena disuruh Mahapatih. Untuk memanggilku.”

Bango Tontong adalah senopati yang cukup dianggap terhormat di Keraton. Telinganya menjadi panas disebut sebagai “orang ini” begitu saja. Akan tetapi perasaan tersinggung itu tak bergema dalam hatinya, karena ia cukup menyadari bahwa dalam dunia persilatan banyak tokoh yang sikapnya aneh.

“Apakah saya meleset?”

“Tidak sedikit pun. Maka saya minta Eyang segera menghadap.”

“Perhatikan baik-baik, Mada. Karena terlihat dengan jelas, bisa dilihat dengan mata telanjang. Halayudha kehilangan tenaga dan menjadi risau. Padahal itu tak apa-apa. Biasa saja. Sebentar lagi akan pulih dengan sendirinya, kalau sukmanya telah tenteram, kalau bisa menguasai diri. Itu hal yang biasa. Wajar. Perhatikan baik-baik, Mada. Bila seseorang mempelajari dan menyelami Kitab Paminggir, Kitab Para Raja, serta Kitab Pamungkas, ia akan berada pada batas di mana kekuatan sukmanya terpanggil. Hubungan antara sukma dan tenaga dalam, dan tenaga luar, dan tubuhnya, tak bisa dibatasi, tak bisa dipisahkan. Saling mengalir dan menyatu. Begitu sukma sejati merasakan ada sesuatu yang tidak beres, akibatnya bisa dilihat pada tubuhnya. Di satu pihak saya suka karena mahapatih itu terpukul. Sekarang sedang keok. Tapi di lain pihak saya lebih suka lagi, karena itu bukti bahwa mahapatih yang pernah kita telanjangi itu sebenarnya telah mulai menguasai sukma sejati. Atau sekurangnya telah mengenali kekuatan itu. Perhatikan baik-baik, Mada.”

Bango Tontong menahan diri dan memperhatikan dengan saksama. Baginya, kalimat Eyang Puspamurti aneh bunyinya. Suka karena Mahapatih terpukul. Ini saja sudah ganjil. Mana ada senopati yang terang-terangan mengatakan hal itu? Lebih ganjil lagi ketika mengatakan bahwa ia lebih suka lagi karena Mahapatih sudah menguasai sukma sejati. Kenapa justru suka, kalau ia tidak setuju dengan apa yang dilakukan Mahapatih? Lalu kalimat yang dengan enteng diucapkan bahwa Mahapatih pernah ditelanjangi! Di telinga Bango Tontong memang ganjil. Walau sebenarnya biasa-biasa saja.

Eyang Puspamurti mengatakan apa adanya. Ia merasa bersuka cita karena Mahapatih terluka. Tapi sebagai sesama ksatria yang mempelajari sifat mahamanusia, ia merasa bergembira karena menemukan tokoh yang sama alirannya. Bahwa Mahapatih pernah ditelanjangi dalam artian sebenarnya, agak susah untuk diterangkan kepada Bango Tontong.

“Dari mana Eyang mengetahui?”

“Perhatikan baik-baik pertanyaan itu, Mada. Menurut kamu dari mana, Mada?”

Kwowogen yang segera menjawab, “Dari getaran. Siapa yang sudah bisa mempelajari sukma sejati bisa menangkap getaran yang sama. Pada tingkat tinggi, sudah bisa merogoh sukma sejati, untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Titik penguasaan itu yang dikatakan Eyang Sepuh dengan sebutan Tepukan Satu Tangan. Dengan satu tangan bisa mengeluarkan suara lebih nyaring dari dua tangan. Pemusatan kekuatan sukma sejati, seperti yang ditunjukkan Mpu Raganata dengan jurus-jurus dalam Weruh Sadurunging Winarah, Mengetahui Sebelum Terjadi. Inti pengerahan tenaga itu sama dengan apa yang pada dasarnya berada dalam pupuh ketiga Kitab Bumi. Kidungan yang mengatakan bahwa kekuatan bumi bisa kita ambil dengan tenaga berputar, telapak menghadap ke bawah.”

“Pupuh pertama,” jawab Mada mantap. “Pada pupuh pertama Kitab Bumi yang masih bernama Dua Belas Nujum Bintang, hal itu telah disebutkan. Mengangkangkan kaki seperti mengendarai kuda. Tangan ditarik dari bawah ke atas, siku tertarik ke belakang. Saat tarikan udara dari hidung ke otak turun ke sumsum tulang belakang, adalah memakai kekuatan bumi.”

“Saat tangan pertama bergerak, itu sebenarnya saat menarik kekuatan bumi.”

“Pupuh pertama,” sergap Kwowogen. “Pupuh pertama bisa dianggap demikian. Akan tetapi pemindahan tenaga bumi, penyerapan tenaga bumi yang intinya mencari kekuatan luar untuk diubah menjadi kekuatan sendiri, berawal dari pupuh ketiga.”

“Pupuh pertama,” suara Mada mengeras. “Karena sukma sejati berawal dari kekuatan sendiri. Berawal dari diri sendiri, dan bukan memakai tenaga pinjaman kekuatan luar.”

“Pupuh ketiga…”

“Pertama.”

“Pertama,” suara Eyang Puspamurti lirih. “Yang pertama telah mengisyaratkan itu. Perhatikan baik-baik, Kwowogen. Niatan itu, theg, berawal dari kekuatan sendiri. Kemampuan diri. Sifat utama mahamanusia. Karena mahamanusia bisa menjadi mahamanusia bukan karena kekuatan alam, kekuatan di luar, kekuatan Dewa, kekuatan raja, melainkan kekuatan mahamanusia.”

“Eyang…”

“Kwowogen, perhatikan baik-baik. Dalam ajaran sukma sejati, tidak diterima dengan akal, tidak dengan nalar, tidak dengan pikiran.”

“Eyang…”

“Tidak juga dengan rasa. Bukan batin kita, bukan rasa, bukan lubuk hati. Dengan sukma sejati.”

“Eyang, perhatikan baik-baik. Kalau tak bisa disamakan dengan kekuatan batin, kekuatan di dalam kekuatan hati…”

“Karena itu kekuatan sukma sejati. Tak ada istilah lain.”

“Bukankah intinya sama, Eyang?”

“Tidak ada inti atau bukan inti. Tidak ada luar atau dalam. Tidak ada persamaan. Tidak ada perbandingan. Yang ada penerimaan. Yaitu sukma sejati. Jangan diganti, jangan disamakan dengan pengertian yang pernah ada, yang pernah kamu terima. Perhatikan baik-baik.”

“Baik, Eyang.”

“Mada?”

“Baik, Eyang.”

“Baik. Jadi paham kalau Mahapatih menjadi gering seketika?”

“Karena penguasaan sukma sejati belum sempurna.”

Eyang Puspamurti membanting kakinya keras. Hingga amblas ke rumput sampai sebatas separuh lutut. Bango Tontong sampai melangkah mundur.

“Bodoh. Kamu yang paling bodoh di seantero jagat ini, Mada. Saya kira kamu lebih pintar dari Kwowogen. Ternyata sama bodohnya. Sia-sialah saya mengajarimu selama ini. Bodoh.”

“Saya tidak bodoh, Eyang. Geringnya Mahapatih Halayudha bukan karena penguasaan kekuatan sukma sejati yang belum sempurna. Sampai kapan pun sukma sejati tetap tak akan bisa dikuasai. Karena sukma sejati adalah kekuatan yang mempunyai tata kramanya sendiri. Bisa dimunculkan, akan tetapi tak bisa dikuasai.”

“Itu separuh bodoh. Bagaimana mungkin saya mempunyai murid yang begini dungu? Umur saya bergegas, tapi mereka masih sama seperti sebelum bertemu dengan saya.”

Bergetar, Bukan Tergetar
KWOWOGEN merangkapkan tangan. Matanya tertutup. Bibirnya bergerak-gerak. “Bagaimana mungkin murid tidak bodoh kalau gurunya juga sama tololnya?”

Kali ini hati Bango Tontong yang mundur. Percakapan guru dengan murid seperti yang dilakukan Eyang Puspamurti dengan Mada dan Kwowogen, dilihat sekilas seperti kurang ajar. Kalau diperhatikan benar-benar menyinggung tata krama. Menjungkir-balikkan hubungan murid dengan guru. Bagaimana bisa murid mengatai gurunya juga tolol?

Rasanya ajaran mana pun tak sekasar itu. Lebih menyakitkan telinga Bango Tontong karena selama ini dirinya juga mendalami ilmu surat serta ilmu silat. Memang dalam memperdalam ilmu surat, dirinya tak bisa dibandingkan dengan Jabung Krewes yang memang memperdalam secara lebih tekun. Akan tetapi Bango Tontong menyadari bahwa tata krama, aturan baku, menjadi terbiasa dengan kehidupannya sehari-hari. Tata krama dalam bahasa, dalam menulis, dalam membaca, telah ada patokan tertentu yang tak bisa dilanggar begitu saja, kalau tidak mau dikatakan salah. Bango Tontong tak bisa menerima cara-cara yang dilihat di depan matanya.

“Saya memang separuh goblok. Tapi kalian berdua lebih goblok lagi. Sampai tujuh turunan masih akan begitu.”

“Di mana kekeliruan itu?”

“Di kepala kamu. Di otak. Di penalaran. Di hati. Di dalam sukma sejati. Perhatikan baik-baik, Mada dan kamu Kwowogen. Sukma sejati itu adanya bersama jagat. Lahir bersama roh suci kebaikan, kebajikan. Sukma sejati bisa dikuasai, karena ia bisa dipanggil, seperti memanggil dan mengerahkan tenaga dalam. Sukma sejati bisa dilatih. Itu jelas.”

“Eyang, saya mengatakan begitu.”

“Itu salahmu, Kwowogen.”

“Salahnya, karena untuk menguasai sukma sejati harusnya memakai tenaga sukma sejati itu sendiri,” Mada menjawab cepat sekali. “Begitu sukma sejati keluar, mewujud, kita mengikuti kekuatannya, yang akan menuntun, menyeret, melarutkan kita.”

“Hampir tepat. Dalam contoh wadak, kenapa Halayudha bisa sakit?”

Keduanya tak menjawab.

“Karena ada kekuatan lain yang tidak sepenuhnya rela. Sukma sejati sebagai unsur kekuatan terhambat oleh sesuatu yang ditolak Halayudha, yang tersembunyi. Suatu karep, kehendak, yang sebenarnya ditolak sukma sejatinya.”

“Kehendak apa yang ditolak oleh Mahapatih? Kehendak apa yang disembunyikan Mahapatih?”

“Itulah ketololan yang paling tak bisa dimaafkan. Perhatikan baik-baik, Mada. Perhatikan, perhatikan. Saya selalu bilang perhatikan tapi kalian tidak menaruh perhatian sedikit pun. Itulah namanya cubluk, atau tolol, atau dungu, atau bodoh. Perhatikan baik-baik. Kamu tidak menanyakan itu kepada saya, atau kepada Mahapatih, atau kepada orang ini. Tidak ada gunanya. Itu masih lebih percaya kepada panca indria. Kamu bisa bertanya sendiri. Kalau mau. Sebab kamu memiliki sukma sejati.”

Bango Tontong menahan napas. Ia tertarik akan tetapi lebih banyak yang tak terpahami.

“Biarkan sukma sejati bergetar. Keluar. Biarkan menjadi karep, menjadi niyatingsun, menjadi kehendak pribadi. Ikuti saja, apakah ia mau mencari tahu atau tidak. Dengan membiarkan hadir, keluar, dengan theg, sukma sejati akan bergetar. Bergetar, ingat. Perhatikan baik-baik. Bergetar, bukan tergetar. Bergetar dengan sendirinya. Seperti ketika saya bisa mengetahui ada sesuatu yang tidak beres dengan Mahapatih. Saya tidak ingin mencari tahu. Karena tadi kita sedang membicarakan hal lain. Lalu tiba-tiba saya mengetahui, dan melihat, dan tepat. Kalian sebagai murid saya harus bisa memperhatikan dengan baik.”

Sunyi sesaat.

“Eyang…”

“Kamu balik kembali ke dalam,” tuding Eyang Puspamurti kepada Bango Tontong. “Tak perlu eyang-eyangan. Kalau mahapatih mu itu tahu, ia sudah tahu diri. Tak perlu berusaha mendatangkan saya atau yang lain. Sana, pergi sana.”

Bango Tontong mengangguk. “Saya akan mengatakan apa yang Eyang katakan.”

“Mada, Perhatikan baik-baik. “Orang ini bisa baik, bisa jahat. Bisa baik karena sebagai prajurit ia mengabdi, menjalankan perintah. Bisa jahat karena sebagai prajurit ia tidak menyelesaikan perkara. Ia diperintahkan memanggil, tapi tidak memaksa. Perhatikan baik-baik, Mada dan Kwowogen. Begitu kalian menjadi prajurit, kalian harus melaksanakan perintah. Sampai tuntas semua tugas. Semua yang menghalangi harus ditebas. Semua bendungan harus dikuras. Semua yang lunak harus dibuat keras. Semua bijian adalah beras. Untuk menjalankan perintah, karena kamu prajurit. Sukma sejati dalam dirimu akan hadir sebagaimana wujud kasarmu. Jelas?”

Senopati Bango Tontong mendengar secara utuh. Kali ini telinganya benar-benar panas. “Eyang Puspamurti jangan mencaci seenaknya. Sebagai pemimpin Barisan Kosala, saya bisa menahan siapa pun, bisa menghukum siapa pun. Termasuk Eyang, termasuk Mada dan Kwowogen.”

“Perhatikan baik-baik, Mada,” suara Kwowogen berubah nadanya. Menjadi tinggi, senada dengan Eyang Puspamurti. “Perhatikan, Mada dan Eyang. Pemimpin Barisan Kosala, Senopati Bango Tontong, sedang menunjukkan kekuasaan, bukan kekuatan. Itu cara terpendek untuk menciptakan tenaga. Jika kekuatan sebenarnya tidak berbunyi yang muncul adalah kekuasaan. Sebagai ini, sebagai itu. Padahal itu hanya dipakai sebagai jalan terakhir.”

Senopati Bango Tontong bergerak cepat. Kedua tangannya membentuk lingkaran sebelum menjotos ke arah Kwowogen, yang meloncat menghindar sambil menyembah. Ketika Bango Tontong bersiap dengan serangan berikutnya, Eyang Puspamurti menggerakkan tangannya. Mendorong ke depan, ke arah tubuh Bango Tontong. Terhuyung.

“Perhatikan baik-baik, Kwowogen,” suara Mada menggeledek. “Kamu harus bisa menjaga mulutmu, tubuhmu, tanganmu, dan kakimu. Tak boleh bersikap kurang ajar kepada atasan. Apalagi Senopati Bango Tontong.” Lalu suaranya berubah menghormat. “Hamba menyesal melihat kelakuan teman hamba. Mohon Senopati Bango Tontong berkenan memaafkan, atau menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan kelancangannya.”

Senopati Bango Tontong berusaha berdiri tegak. “Baik, aku terima permohonanmu. Prajurit Mada, kamu bisa menguasai diri, tapi juga sangat keras. Di belakang hari, kita pasti akan bertemu.”

Dengan satu putaran, Bango Tontong kembali ke dalam dalem kepatihan. Banyak pertanyaan menggoda dalam benaknya. Siapa sebenarnya Eyang Puspamurti, Bango Tontong tak begitu mengetahui asal-usulnya, meskipun ia mengawasi semua kejadian di Keraton sejak masih mengabdi kepada Mahapatih Nambi. Namun satu hal sangat jelas, Eyang Puspamurti sangat sakti. Dan tak bisa ditarik ke pihaknya. Akan tetapi Bango Tontong melihat kemungkinan Eyang Puspamurti akan menjadi bagian kekuatannya. Yaitu dengan cara memperalat Kwowogen serta Mada.

Kalau diperhatikan bahwa Eyang Puspamurti begitu open, begitu teliti dan penuh kasih kepada Mada serta Kwowogen, rasanya peluang itu bukannya tidak ada. Apalagi kalau Kwowogen tetap bersikap terbuka dan kasar, akan lebih banyak peluang untuk menekan. Perlahan Bango Tontong menyusun kerangka langkah-langkah yang akan datang. Saat yang baik untuk mengatur strategi, kalau benar Mahapatih Halayudha masih memerlukan waktu untuk kembali seperti sediakala.

Dugaannya keliru. Halayudha sudah duduk di kursi, mengenakan kain putih melilit bagian bawah tubuhnya. “Aku kalah. Tapi aku tak rela kekuasaan jatuh ke tanganmu, Bango Tontong.”

Panggilan Permaisuri Praba
BANGO TONTONG tidak mengerti dan tak bisa menebak arah kata-kata Halayudha. Memang tidak. Dan Halayudha tidak memberi kesempatan baginya untuk mengerti. Ia lebih suka meninggalkannya sebagai teka-teki yang nantinya akan menggerogoti pikiran Bango Tontong.

Halayudha tak mempunyai pilihan lain ketika secara resmi menerima panggilan Permaisuri Praba Karana untuk menghadap. Ketika utusan resmi dan prajurit kawal khusus menghadap, Halayudha segera bangkit. Merasa tubuhnya lebih sehat. Mendengarkan perintah dengan bersila di lantai. Dan kemudian mengganti kainnya dengan warna putih. Warna berkabung, warna pasrah, warna untuk melanjutkan perjalanan ke alam lain. Sesuatu yang tak bisa ditawar.

Panggilan Permaisuri Praba Raga Karana hanya berarti kematian baginya. Perlawanan yang akan diberikan dengan membangkang, hanya memperpanjang dan memperdalam luka serta penderitaan. Meskipun merasa dirinya sakti, Halayudha tak akan bisa mengalahkan pengaruh Permaisuri Praba. Keraton bukan Lumajang.

Memang terbersit keinginan untuk menyergap Permaisuri pada saat-saat terakhir, akan tetapi keinginan itu menjadi keraguan. Taruh kata ia bisa menyerang, apakah artinya sesudah itu kalau seluruh Keraton mengeroyoknya? Memang terbersit keinginan untuk melarikan diri saat sekarang ini. Akan tetapi keinginan itu menjadi keraguan. Taruh kata ia bisa melarikan diri dan selamat, pencarian seluruh Keraton akan menyulitkan dirinya. Keraton yang dihadapi sekarang ini.

Halayudha untuk pertama kali dalam hidupnya mengakui kekalahan. Mengakui niatan terakhir untuk mempertahankan hidupnya tak ada lagi. Meskipun demikian, Halayudha masih tidak rela jika jabatan mahapatih nantinya akan jatuh ke tangan Senopati Bango Tontong. Meskipun pengangkatan mahapatih adalah penunjukan Raja secara mutlak, akan tetapi mengingat posisi Bango Tontong sebagai pemimpin Barisan Kosala sekarang ini, memberi kesempatan paling besar bagi Bango Tontong. Masih ada semangat untuk mematahkan Bango Tontong. Tapi tidak untuk melawan Permaisuri Praba.

Halayudha menyadari ada kekuatan batin yang bergeser. Akan tetapi tak bisa menerangkan dengan jelas untuk dirinya sendiri. Kini dengan berjalan perlahan, Halayudha menuju Keraton. Ke Keraton. Bukan ke kaputren. Karena Permaisuri Praba sekarang sudah berada dalam Keraton. Halayudha melangkah dengan ringan. Kecamukan pikiran ia coba hilangkan dengan tarikan napas dalam. Dengan memandang sekitarnya, seolah pandangan yang terakhir.

Memasuki Keraton, Mahapatih Halayudha menerima penghormatan sembah dari para prajurit, para senopati. Halayudha membalas sekenanya, menyadari bahwa semua kekuatan sedang disiagakan. Halayudha masuk ke dalam. Berjalan jongkok menuju ke bagian utama. Menyembah hormat. Di ruang tengah, duduk di kursi besar berukir rumit dengan kaki dari emas, ia bisa melihat Permaisuri Praba duduk dengan pandangan tajam. Satu kursi di depan sedikit, kosong. Kursi dampar kencana yang diduduki Raja. Halayudha bersila. Menyembah kembali dengan hormat.

“Sembah pangabekti, sembah sujud hamba, Mahapatih Halayudha, ke hadapan kaki Tuanku Permaisuri Praba Raga Karana. Izinkanlah hamba hari ini sowan ke hadapan Yang Mulia memenuhi panggilan.”

Sejenak tak ada jawaban. Napas Halayudha menjadi sesak. Sekilas tadi tampak jauh berbeda. Praba Raga Karana tampil sebagai permaisuri, dengan kain dan kemben kebesaran berwarna emas. Mengenakan sumping di telinga yang dipenuhi permata mutu manikam. Permaisuri Praba memberi aba dengan gerakan tangan lembut. Para prajurit kawal yang bersiaga seperti dikejutkan sebentar, lalu menyembah dan dengan berjalan jongkok melangkah ke luar.

Demikian juga para dayang yang membawa wewangian, yang mengipasi kiri-kanan. Keluar dari ruangan. Tinggal Permaisuri Praba dan dirinya. Hanya berdua saja. Ini benar-benar tak masuk akal Halayudha. Kalau tadi mengira dirinya berada dalam pengawalan dan pengawasan ketat, seperti suasana di luar, mendadak jadi terbalik. Permaisuri Praba menemuinya seorang diri. Bukankah ini sangat berbahaya?

“Kuterima sungkem pangabekti mu, Mahapatih Halayudha….”

“Beribu terima kasih hamba haturkan, Tuanku Permaisuri Praba Raga Karana.” Sewaktu menyembah lagi, Halayudha melihat Praba duduk bersandar di kursi dengan anggun.

“Kamu pasti bertanya-tanya dalam hati, Halayudha. Kenapa saat ini aku memanggilmu menghadap di Keraton seperti sekarang ini dan aku duduk di sini. Mengagumkan, kamu masih berani datang. Dengan kain putih seperti itu. Halayudha, kamu masih ingat semua yang pernah kamu lakukan padaku?”

Tubuh Halayudha menggigil. Tangannya gemetar ketika menyembah.

“Masih? Kamu tahu apa yang akan terjadi dengan dirimu?”

“Duh, Permaisuri Praba Raga Karana. Hamba pasrahkan jiwa-raga, meskipun tak akan mampu menghapus dosa hamba sampai tujuh turunan.”

“Apakah kamu akan memohon ampun, Halayudha?”

Halayudha menyembah. Tidak mengisyaratkan mengiyakan atau menolak. Menggantung.

“Kalau kamu menjadi aku, apa yang akan kamu lakukan, Halayudha?”

“Mohon ampun, Permaisuri Praba Raga Karana, permaisuri pilihan Raja. Yang akan hamba lakukan saat ini, menghukum mati dengan memoteng tubuh. Atau memberi ampunan dengan tujuan, hamba akan berbakti tanpa batas.”

“Kalau aku memilih yang kedua, apakah ada jaminan manusia semacam kamu akan bisa baik mengabdi?”

“Sesungguh-sungguhnya tidak ada, Tuan Permaisuri. Hanya kepercayaan, bahwa manusia bisa berubah.”

“Apa itu bisa berlaku bagimu?"

Halayudha tak menjawab. Ragu dengan kemampuannya sendiri. Bayangannya adalah kekejian yang menistakan Praba Raga Karana.

“Mahapatih Halayudha. Banyak orang tertipu dengan sikapmu yang tersipu. Aku tak akan terpengaruh. Aku tahu betul siapa dirimu. Halayudha. Hari ini aku, sebagai permaisuri Raja, memanggilmu, agar kamu tidak menjadi ketakutan. Aku memanggilmu, mengajak berbicara berdua, agar jiwamu lebih tenang. Bahwa aku tak akan melupakan kekejian yang kamu lakukan. Namun aku tak akan mengatakan hal itu kepada siapa pun.”

Mulut Halayudha menganga. Mengeluarkan suara mendesis.

“Hanya itu yang ingin kukatakan kepadamu.”

Halayudha bahkan lupa menyembah. Lupa menunduk. Bibirnya terbuka.

“Aku permaisuri Raja. Kamu tidak bisa memandang seperti itu.”

Halayudha menunduk. Menyembah hingga mencium lantai. “Permaisuri Praba. Semoga roh suci memberkati Permaisuri sepanjang jagat.”

Praba Raga Karana menghela napas. “Untuk apa kamu menyebut roh suci? Aku tidak memerlukan sebutan seperti itu.”

Halayudha menyembah. “Permaisuri Raja. Hamba siap menerima segala jenis hukuman. Akan tetapi hamba tak siap dengan pengampunan maha besar ini. Kekuatan sukma sejati yang rumangsuk, yang menitis dalam tubuh Permaisuri, sungguh mulia. Pencerahan yang tiada tara. Yang menjadikan Permaisuri maha bijak, sebijak-bijaknya, maha luhur seluhur-luhurnya, hanyalah sukma sejati, roh maha suci. Yang membebaskan belenggu kehinaan yang pernah hamba lakukan. Semoga setetes kecerahan sukma sejati itu juga akan sempat hamba lihat kilaunya.”

“Kembalilah, Halayudha….” Suara Praba Raga Karana sangat perlahan.

Halayudha menunduk lama, sebelum beringsut mundur.

Sentuhan Sukma Sejati
ITULAH akhirnya! Halayudha beringsut mundur setapak demi setapak, dan jalan pikirannya melejit, melenyap, membersit, menusuk ke seluruh bagian pikirannya yang paling dalam. Praba Raga Karana! Betapa sangat dikenalnya wanita itu. Sebagai wanita yang bertubuh keras, yang tak mempunyai keahlian apa-apa selain sebagai juru pijat para prajurit. Wanita yang tak mengenal ilmu silat dan ilmu surat.

Betapa mengagumkan ketika Raja menjatuhkan pilihan padanya, serta mengangkatnya sebagai permaisuri. Betapa lebih mengagumkan bahwa wanita yang tak pernah menunjukkan kehendaknya selain mengiya dengan bahagia, sepertinya malah menolak titah Raja. Dan selama itu Halayudha tetap menganggapnya sebagai wanita yang sangat kebetulan saja nasibnya beruntung. Sangat beruntung. Dan karena menjadi ganjalan, Halayudha melindasnya dengan cara yang hina. Menotok semua nadi tubuhnya, terutama nadi kewanitaannya. Menghabisi hingga benar-benar rata dengan tanah.

Akan tetapi dengan cara yang sangat luar biasa bisa kembali seperti sediakala. Dengan sangat luar biasa pula membebaskan orang yang paling menyakiti hatinya! Apa lagi jika itu bukan kekuatan sukma sejati? Apa lagi jika itu bukan sentuhan sukma sejati, yang menitis ke dalam tubuh Praba Raga Karana? Kemahamuliaan macam apa yang bisa menerangkan ini?

Halayudha kenyang dengan intrik, dendam, siasat, strategi, dan perhitungan yang paling kotor sekalipun. Dan satu-satunya yang secara terbuka tidak membalas dendam padanya adalah Upasara Wulung. Akan tetapi bukan berarti memberi pengampunan. Seperti yang baru saja dilakukan Permaisuri Praba. Yang dengan suara datar, lirih, mengungkapkan bahwa ia mengetahui semuanya, tapi tetap tidak menjatuhkan hukuman sebagai pembalasan dendam yang sangat pantas dilakukan.

Tidak, kata Halayudha dalam hati. Tidak ada kebetulan yang bisa terjadi secara berturut-turut. Keberuntungan yang terulang bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Terpilihnya Praba sebagai permaisuri di antara ratusan wanita, penolakannya yang diam-diam, penghapusan dendam, menunjukkan titik-titik persamaan dalam kelebihan yang tak dimiliki manusia lain. Halayudha menyebutnya sebagai sentuhan sukma sejati.

Karena secara nalar, apa yang terjadi pada Permaisuri Praba tak bisa diterima akal sehat. Tidak juga karena strategi tertentu, seperti yang diucapkan Halayudha. Bahwa pengampunan yang diberikan dengan tujuan agar dirinya menjadi pengabdi tanpa batas. Halayudha sangat mengenal Praba! Yang justru jauh dari cara berpikir seperti itu. Yang penuh perhitungan dan masuk dalam liku-liku permainan.

Praba dengan polos, dengan tulus, menjalani hidupnya. Inilah yang luar biasa. Bahwa sukma sejati bisa hadir pada wanita yang biasa-biasa. Yang tidak secara sadar mengejar ke arah itu. Halayudha merasa gentar. Ia merasa sangat yakin Permaisuri Praba bahkan tidak sepenuhnya menyadari apa yang sekarang ini dilakukan, dalam artian memang merencanakan dengan saksama. Bisikan hatinya yang menuntunnya. Halayudha seperti melayang di atas tanah. Jiwanya mengembara, menabrak dinding kenyataan yang mengusik hatinya.

Tokoh luar biasa yang ditemui Halayudha yang menunjukkan adanya kekuatan sukma sejati adalah Dewa Maut. Yang memberikan petunjuk mengenai pengalihan kekuatan planangan, yang kemudian mengorbankan diri, karena itulah kekuatan katresnan, kekuatan kasih yang menggerakkan ombak, mendorong angin, membuat buah-buahan terbentuk. Boleh dikatakan itulah pertama kalinya Halayudha mengenal kekuatan sukma sejati.

Dewa Maut lebih dari Eyang Puspamurti yang sepanjang hidupnya justru berupaya mendapatkan sukma sejati untuk menjadi mahamanusia. Eyang Puspamurti termasuk luar biasa, dan mampu menggali kekuatan dari sukma sejati sebagai sumber utama. Akan tetapi rasanya masih terombang-ambing. Dan sekarang ini, Permaisuri Praba Raga Karana.

Jadi apa sesungguhnya sukma sejati itu? Halayudha masih bertanya-tanya ketika melewati halaman luas di kepatihan, dan melihat dari kejauhan Eyang Puspamurti masih berdiri mengajar dua muridnya.

JILID 51BUKU PERTAMAJILID 53