X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 43

Cerita silat Jawa Serial Senopati Pamungkas Buku Kedua Jilid 43 karya Arswendo Atmowiloto
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 43

Bukan karena dengan demikian kemungkinan menduduki takhta jadi jauh, akan tetapi pertama-tama karena ada yang tak bisa diperhitungkan, walaupun dengan saksama dicoba diteliti. Kesan itu demikian kuat mendasar, sehingga akhirnya Gemuka memilih jalan yang berbeda. Pangeran Hiang memuji. Tapi juga sangsi.

Apakah kalau Gemuka tetap berada dalam satu rombongan, Barisan Api bisa dengan mudah dipatahkan? Apakah Upasara mampu menghadapi saat itu? Ini pertanyaan yang mengganggu. Tapi tak banyak artinya. Karena nyatanya Gemuka memisahkan diri, dan nyatanya Barisan Api bisa dikalahkan.

“Bagaimana, Kakang?” Teriakan Gendhuk Tri menyadarkan lamunan Pangeran Hiang.

“Saya tidak melihat apa-apa, selain ikan biasa.”

“Barangkali sebentar lagi.”

“Saya kira begitu. Di bengawan ini boleh dikatakan tak ada yang terseret arus. Kalau benar perahu itu meledak, kepingan kayu atau arang mestinya ada juga yang melewati arus ini. Nyatanya, sejak pertama kali sadar berada di sini, tak ada barang lain. Taruh kata sebagian ikut hanyut bersama karung kulit, mestinya ada yang lain…”

Gendhuk Tri memekik. Tubuhnya menyelam cepat sekali. Upasara menggeliatkan perutnya. Tubuhnya menyelam, bergerak menuju Gendhuk Tri. Benar juga! Ada bayangan putih bergerak, memburu ke antara kaki Gendhuk Tri. Meskipun di dalam air Upasara tak bisa bergerak sempurna, akan tetapi tetap bisa lebih cepat dari Gendhuk Tri. Kedua tangannya yang memegang tali kulit menyentak. Pusaran air dipatahkan.

Sejenak udang putih itu seperti kehilangan irama arus. Satu sabetan lagi Upasara berhasil melingkar tali ke tubuh udang. Bersamaan dengan tali yang disabetkan Gendhuk Tri. Berada dalam air bengawan yang jernih, keduanya bisa saling mengetahui. Merasa tangkapannya mengena, Gendhuk Tri mengibaskan ke atas. Udang putih itu melayang ke atas permukaan air. Upasara menggenjot tubuhnya ke dasar bengawan. Mumbul ke permukaan air. Bersamaan dengan Gendhuk Tri.

“Kena!”

Kedua tali di tangan Gendhuk Tri bagai tali jerat. Melibat udang seroja.

“Tangkap, Kakang.”

Gendhuk Tri mengayun ke arah tepi. Udang seroja yang terikat itu terlempar lagi ke tengah udara. Ke arah tepi. Upasara menyongsong cepat. Menangkap ujung tali yang lepas, dan menyentakkan ke tepi.

“Tangkap…”

Kini Gendhuk Tri yang meraup dan melemparkan pendek ke tepi. Satu kali lagi hal itu dilakukan, keduanya sudah berada di tepi. Dengan udang seroja di tangan. Gendhuk Tri meleletkan lidahnya. Udang seroja itu benar-benar sebesar pahanya. Seluruhnya berwarna putih. Tampaknya masih terengah-engah. Supitnya bergerak-gerak. Gendhuk Tri merasa ada sesuatu yang aneh. Barulah kemudian sadar bahwa di pepohonan sekitar sini dipenuhi oleh burung-burung yang luar biasa banyaknya. Berkaokan. Mata membelalak. Dan terjun beramai-ramai.

“Awas…!”

Upasara menarik tali, sementara tangan lainnya melancarkan pukulan dengan tenaga ringan. Karena Upasara tidak ingin membunuh burung-burung yang datang. Hanya mengusir. Lima burung yang berwarna hitam mengeluarkan kaokan hebat, tubuhnya terdorong ke air, tapi jumlah yang lebih banyak terus menyambar ke arah udang!

Gendhuk Tri bersuit keras. Dua tangannya menyambar ke atas. Meraup sekenanya beberapa ekor burung yang mematuk, mencakar. Untuk dikedutkan dan saling ditabrakkan. Burung-burung itu berkaokan. Suasana menjadi bising. Ribut. Karena makin lama jumlah burung makin banyak dan makin beraneka. Semua mengincar udang seroja.

Upasara meloncat ke dalam hutan. Baru beberapa saat berdiri, merasa bahwa hutan seakan digerakkan oleh gesekan tubuh. Gendhuk Tri mengedutkan tali kulit. "Plas." Seekor ular menggelepar, hancur tubuhnya! Tapi gesekan di antara daun-daun masih terdengar. Keduanya berpandangan.

Bagi Gendhuk Tri jelas, bahwa udang seroja yang diambil memang merupakan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan juga di antara binatang-binatang hutan. Kalau tadinya tempat ini seperti hanya dihuni mereka berempat, kini rasanya jadi penuh sesak. Dari segala semak bisa bermunculan segala jenis binatang.

“Pangeran… berikan buat Putri.”

Di luar dugaan Upasara, Pangeran Hiang menggeleng.

“Coba saja.”

“Tak ada gunanya. Saya tahu dan mengerti udang itu jenis yang dicari di mana pun. Seperti halnya cula badak atau tanduk rusa cabang tiga belas. Akan tetapi apa artinya? Putri tak bisa memakan. Tak bisa menggerakkan bibir.”

Benar juga! Betapapun susahnya mencari udang seroja, betapapun hebat khasiatnya, kalau tak bisa dimakan, tak ada gunanya.

“Paksa saja. Jejalkan ke mulut,” teriak Gendhuk Tri kesal.

“Tak ada gunanya.”

“Baik, kalau begitu,” kata Gendhuk Tri. “Saya akan bakar sendiri. Berkhasiat atau tidak, pastilah dagingnya lezat sekali. Kalau tidak, burung dan ular tidak ngiler dan nekat.”

Gendhuk Tri benar-benar gemas. Tangannya meraup ke tali yang dipegang Upasara.

“Sebaiknya kita coba.” Upasara tidak secara sengaja menghindar. Melainkan bergerak ke arah lain. Menuju ke gua pepohonan tempat Putri Koreyea ditempatkan.

Gendhuk Tri dan Pangeran Hiang menyusul. Bahkan dengan satu loncatan, Pangeran Hiang mampu mengungguli loncatan Upasara. Pertanda ilmu mengentengkan tubuh yang hebat. Memang Upasara tidak terlalu unggul dalam soal meringankan tubuh. Akan tetapi apa yang dilakukannya jauh lebih cepat dan lebih lebar dibandingkan dengan loncatan Gendhuk Tri.

Toh Pangeran Hiang yang selama ini tak pernah kelihatan bergerak, bisa melakukan dengan luar biasa. Hanya dengan tiga lompatan keduanya sampai ke dekat Putri Koreyea. Pangeran Hiang bisa menghalangi. Namun kali ini berdiam, menunggu. Karena ada getaran aneh. Getaran tubuh Putri Koreyea! Inilah luar biasa. Tak bisa dipercaya.

Ketika Upasara mendekatkan udang seroja yang tangan dan kakinya masih terus bergerak, dengusan napas Putri Koreyea berubah. Ketika lebih mendekat lagi, cuping hidung Putri Koreyea bergerak. Bergerak. Napas Gendhuk Tri masih terengah-engah. Enam atau tujuh loncatan yang dikerahkan dengan tenaga sepenuhnya benar-benar menguras tenaga dalamnya, setelah bermain-main di tengah bengawan.

“Baukan lagi, Kakang….”

Gendhuk Tri adalah wanita, yang dalam soal bau lebih tajam dibandingkan Upasara dan Pangeran Hiang. Sejak menangkap pertama, sudah mencium bau harum yang lembut, samar. Bau yang menyebabkan burung-burung kini berada di mulut gua. Putri Koreyea bergerak. Matanya yang selalu tertutup selama ini menunjukkan gerak biji matanya. Pangeran Hiang berlutut. Begitu prasaja, begitu sederhana.

Kemenangan Tanpa Mengalahkan
KEDUA tangan Pangeran Hiang terkepal di atas kepala, ikut berayun bersama separuh tubuhnya bagian atas. Beberapa kali naik-turun. Disertai helaan napas panjang kemudian. Disusul ucapan yang bisa dimengerti oleh Pangeran Hiang sendiri. Mungkin juga Putri Koreyea, andai sudah sadar sepenuhnya. Sorot mata Pangeran Hiang penuh dengan rasa terima kasih, walau bibirnya tak mengucapkan sepatah kata pun.

Upasara mendekatkan udang seroja. Menggoyang sedikit di atas wajah Putri Koreyea. Sebenarnya ada juga rasa kuatir Gendhuk Tri. Kalau-kalau udang itu lepas dan mengenai wajah Putri Koreyea yang putih mulus bagai kapas padat. Soalnya, Gendhuk Tri tidak tahu persis apakah udang itu tidak berbahaya. Jika sapitnya atau tanduknya atau apanya ternyata menyimpan bisa, bisa membahayakan. Tapi tidak. Meskipun udang seroja itu masih bisa menggerakkan kakinya yang banyak, akan tetapi tidak jatuh. Tidak juga meloncat.

Putri Koreyea terbuka matanya. Terbuka. Mata yang bagai garis tipis itu bergerak perlahan. Satu sorot mata yang sayu, sangat sayu, mencoba menatap sekitar. Mata yang hitam kelam. Kembali Pangeran Hiang mengucapkan sesuatu. Putri Koreyea seperti mendengar. Ada reaksi dalam sorot mata itu, sebelum akhirnya menutup kembali. Napasnya turun-naik dengan teratur.

“Saya sebenarnya masih bingung,” kata Gendhuk Tri lirih. “Udang seroja ini mau diapakan. Apakah cukup dibuat bauan begini saja, atau perlu dibakar, atau bagaimana.”

“Adik Tri… Untuk sementara ini cukup. Saya juga kurang mengetahui, akan tetapi jelas membawa berkah yang besar. Entah kebetulan entah tidak, akan tetapi ini pertama kalinya Putri Koreyea kembali sadar. Untuk ini, adalah sangat hina kalau saya tidak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam.”

“Saya bisa mengerti,” jawab Gendhuk Tri menirukan gaya bicara Pangeran Hiang. “Saya bisa mengerti sepenuhnya. Sementara kita belum mengetahui apa yang akan kita lakukan, bagaimana kalau udang seroja ini kita kembalikan ke bengawan?”

“Binatang itu sangat langka dan susah dicari. Pun di negeri kami. Mencari udang sebesar ini, bukan sesuatu yang sulit. Akan tetapi menemukan yang berwarna putih bagai susu kambing, Khan yang Perkasa pun belum tentu bisa mendapatkan. Apakah tidak terlalu sia-sia jika kita kembalikan?”

“Tidak. Kita masih bisa menangkap kembali. Rasanya yang seperti ini tidak hanya satu ekor. Soalnya saya mulai mendengar gerisik suara ular dan kaokan burung warna hitam di luar.”

“Ular-ular atau burung itu tak akan berani mendekat,” jawab Pangeran Hiang mantap. “Saya telah membuat garis di tanah.”

“Saya bisa mengerti. Bisa mengerti sepenuhnya bahwa Pangeran mempunyai ilmu tentang binatang berbisa, karena pernah mengumpulkan semut merah dan ular hijau. Kalau begitu Kakang tak usah menenteng terus seperti itu.”

Upasara tidak melayani perkataan Gendhuk Tri. Ucapannya tertuju kepada Pangeran Hiang.

“Pangeran Hiang, kini kesempatan untuk memberikan tenaga dalam seperti sebelumnya. Tubuh Putri Koreyea sudah bisa memberikan reaksi. Berarti ada keteg tubuhnya.”

Pangeran Hiang melorot ke bawah tubuh Putri Koreyea yang tetap terpejam, terdiam kaku. Telapak tangan Pangeran Hiang menyelusup ke bawah baju. Perlahan asap putih keluar dari tubuhnya. Mengepul. Upasara menjauhkan udang seroja dari kepulan asap yang panas. Gendhuk Tri menjauh beberapa langkah.

“Kakang, aku merasa lapar.”

Upasara merasa kadang-kadang Gendhuk Tri bersikap keterlaluan manja dan nakalnya. Sesuatu yang tampak dibuat-buat justru karena kini tubuhnya sudah dewasa sempurna.

“Mungkin ini saat terbaik merasakan daging.”

“Adik Tri… udang ini…”

“Siapa bilang mau makan udang? Saya hanya bilang lapar dan ingin makan daging. Kalau di atas banyak burung, ular, dan entah apa lagi, bukankah itu juga daging? Kalau udang itu sudah bisa menolong, dan karena langka, biar saja dilepas kembali. Kita sudah memperoleh kemenangan tanpa mengorbankan udang.”

Meskipun jelas sasaran ucapan Gendhuk Tri tertuju kepada Pangeran Hiang, akan tetapi yang dimaksud tidak mendengar sama sekali. Seluruh kemampuannya sedang dikerahkan untuk menerobos dan mengirimkan tenaga dalamnya lewat pusar Putri Koreyea. Dan bisa. Berhasil. Tenaga yang selama ini terbendung, membentur dan lenyap begitu saja, kini bisa mendorong maju. Hawa panas menyusup masuk ke tubuh Putri Koreyea. Sampai kira-kira sepenanak nasi, Pangeran Hiang melepaskan diri. Menyusup dari bawah tubuh Putri Koreyea, duduk bersemadi untuk beberapa saat. Wajahnya tampak sangat letih.

“Bagaimana, Pangeran Hiang?”

“Ada perubahan. Untuk sementara saya bisa mengirimkan tenaga di sekitar pusar. Akan tetapi usaha selanjutnya saya masih ragu, karena seperti semula, tak ada jawaban.”

Upasara memandang lekat. Pangeran Hiang tersenyum.

“Tenaga dalam saya cukup untuk menerobos batu karang di sini. Akan tetapi nyatanya tak bisa. Saya akan menjajalnya lagi.”

Namun setelah berusaha lagi, Pangeran Hiang menggeleng. “Sekarang justru tenaga dalam saya yang tak mampu menerobos.”

“Saya bisa mengerti. Pangeran Hiang tak perlu putus asa. Meskipun hawa panas itu hanya berada di sekitar pusar, akan tetapi kini jelas bahwa Putri Koreyea untuk beberapa saat belum akan meninggal. Barangkali kalau bergantian dengan Kakang Upasara, hasilnya akan lebih nyata.”

Jalan pikiran sederhana. Jitu. Karena dengan bergantian, Pangeran Hiang bisa beristirahat dan saat itu Upasara mengirimkan tenaga dalamnya, atau sebaliknya. Dua tokoh yang bekerja sama, bisa memberi hasil lipat ganda. Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Pangeran Hiang tetap tak akan mengizinkan Upasara menyentuh tubuh Putri Koreyea.

Berarti memang hanya Pangeran Hiang yang bisa melakukan. Dengan kecemasan yang tersisa. Kalau tidak segera bisa menghimpun tenaga bukan tidak mungkin Pangeran Hiang yang akan kehabisan tenaga. Sementara Putri Koreyea bisa mendingin kembali tubuhnya.

Hal ini disadari baik oleh Upasara maupun Pangeran Hiang. Dari ajaran yang mana pun, cara memberikan bantuan dengan mengirim tenaga dalam bersifat sementara. Lebih untuk membangkitkan kekuatan yang ada. Tenaga dalam kiriman hanyalah tenaga bantuan untuk menggugah. Selanjutnya tergantung bagaimana si penerima. Kalau bisa memanfaatkan dengan baik, akan berhasil. Kalau tidak, paling hanya menunda apa yang akan terjadi.

“Sekarang ini kita berpacu. Antara menyelamatkan udang seroja ini, dengan hawa panas dalam tubuh Putri Koreyea. Menurut pendapat saya, udang seroja ini sudah cukup memberikan bauan yang menghidupkan kembali. Tinggal kita, bagaimana memanfaatkan kemungkinan yang ada.”

Kalimat Gendhuk Tri seperti mengulang-ulang pikiran sebelumnya. Merasa tidak bisa menemukan cara yang tepat, Gendhuk Tri mendesis sendiri.

“Ada cara yang lebih baik.” Suara Upasara terdengar mantap sekali. “Adik Tri yang menggantikan.”

“Kakang, tenaga dalam saya tak cukup.”

“Saya akan mendampingi.”

Gendhuk Tri berkejap matanya. “Apa Pangeran masih tetap berkeberatan dengan cara ini?”

Pangeran Hiang menggigit bibirnya. Keras. “Pangeran Upasara, mari kita jajal bersama.”

Kali ini Pangeran Hiang duduk membelakangi Upasara dan Gendhuk Tri. Tangannya meraba pusar Putri Koreyea. Mengirimkan tenaga dalam. Upasara tak menunggu lagi. Tali kulit di mana udang seroja bergantung, diserahkan kepada Gendhuk Tri. Tangannya kemudian menepuk pundak Pangeran Hiang. Merabai bagian punggung. Mencari saluran yang tepat. Kemudian mulai mengirimkan tenaga dalam.

Theg
YANG dicoba Upasara adalah tenaga sepersepuluh, untuk mengetahui bagaimana reaksi tubuh Pangeran Hiang. Di luar dugaannya sendiri, ternyata tubuh Pangeran Hiang bisa menyalurkan, tanpa kesulitan yang berarti. Seolah Upasara sendiri yang memegang langsung pusar Putri Koreyea. Dan merasakan tenaganya masuk, menjelajah. Terasakan. Upasara mengempos lagi semangatnya. Tiga persepuluh tenaga dikirimkan. Melesak.

Upasara menambah lagi tenaga dalamnya. Yang terasa kemudian adalah bahwa tenaga itu seperti berputar di tempat. Tidak menerobos, meskipun juga tidak dilawan. Tubuh Upasara menjadi basah oleh keringat. Tanpa hasil. Beberapa kali Upasara menjajal, tetap saja gagal. Celakanya justru ketika tenaganya ingin ditarik kembali, tubuh Pangeran Hiang tak bergerak memberikan kemungkinan. Tubuh dan tenaga dalam Pangeran Hiang seakan membetot seluruh tenaga dalam yang berada dalam tubuh Upasara. Inilah bahaya. Gendhuk Tri mengetahui ada sesuatu yang tak beres. Akan tetapi tak bisa berbuat suatu apa.

“Kakang…” Suaranya merintih. Pedih. “Kakang…” Suaranya pedih. Merintih. “Ka…” Suaranya habis. Tubuhnya gemetar.

Putri Koreyea tetap terbaring. Tak berubah. Tangan Pangeran Hiang masih tetap menempel. Tapi tubuhnya kaku bagai batu. Tak ada uap putih mengepul. Tak ada tanda-tanda mendengar atau sadar apa yang tengah terjadi. Sementara tubuh Upasara sudah sepenuhnya basah oleh keringat. Wajahnya, dengan mata terpejam, tampak seperti menahan beban yang makin tak bisa dikuasai. Kalau bisa berteriak, Upasara sudah meneriakkan dengan suara memekakkan telinga. Namun, tak ada suara. Dadanya sesak. Seakan meledak tersentuh angin.

“…kang…”

Upasara makin limbung kesadarannya. Kekuatannya tak bisa ditarik kembali. Tak bisa dihentikan. Seakan tenaganya terus disedot, diserap, dikuras.

Pupuh sepuluh, masih atas nama Sri Baginda Raja masihkah?
akhirnya sama saja
siapa pun tidak berbeda
sebab manusia itu juga raja
juga Dewa
juga mahamanusia

pupuh ini tanpa kidungan
karena tak ada lagu
karena tak perlu
tanpa kekuatan
karena kekuatan
tanpa Dewa
karena Dewa
tanpa manusia
karena manusia

inilah pupuh yang paling kisruh
kacau
paling theg
theg
sebenarnya hanya theg, itulah Wahyu Paminggir
dengan theg
jagat dicipta
dengan theg
jagat musna
dengan theg

zaman Kaliyuga
bukan apa
theg
atau tik
letikan
bisa sinar
bisa bukan sinar
Wahyu Paminggir rumasuk
tanpa bekas

Wahyu Paminggir keluar
tanpa batas
tanpa kabar
theg
theg
theg
satu theg
inilah pupuh kesepuluh
theg…


Bibir Upasara seperti menggetarkan Kidungan Paminggir pupuh kesepuluh. Seperti gemetar tanpa nada.

Pangeran Hiang sebenarnya menyadari bahaya yang terjadi. Bahwa tubuhnya, kesadaran dan kekuatannya telah menjadi perangkap bagi Upasara Wulung. Yang terus mengisap, tanpa bisa dikuasai sendiri, meskipun mengetahui bahwa tubuh Putri Koreyea tetap membeku. Karena dorongan tenaga dalam yang bagaimanapun tetap buntu. Sangat gawat.

Gawatnya. Terutama karena Pangeran Hiang merasa tak bisa berbuat apa-apa. Di satu pihak tenaga dalamnya sendiri malah menjadi penghantar yang kuat, di pihak lain tubuh Putri Koreyea bergeming. Berarti pengeluaran tenaga dalam yang deras tanpa guna. Gawatnya lagi, Pangeran Hiang berada dalam posisi di mana pengerahan pikirannya untuk mengantarkan tenaga dalam Upasara, dan tak bisa menguasai untuk menahan atau menarik kembali. Karena kuatir tindakan yang tiba-tiba akan membawa akibat cukup berat. Bahkan bisa fatal. Bagi Putri Koreyea!

Karena penghentian yang tiba-tiba atau bahkan penarikan, bisa menyebabkan tenaga yang kini berada pada sekitar pusar Putri Koreyea tertarik ke luar. Kalau ini terjadi sama dengan membunuhnya! Ini yang tak mungkin dilakukan Pangeran Hiang. Ini bahaya yang sesungguhnya.

Yang Gendhuk Tri pun bisa mengetahui, akan tetapi tak bisa cepat menentukan harus berbuat bagaimana. Gendhuk Tri menyadari tenaga dalamnya tak sekuat Upasara atau Pangeran Hiang. Sehingga campur tangannya akan lebih membahayakan dirinya. Kalau ia mengambil jalan menarik tubuh Putri Koreyea misalnya, hatinya tak tega. Itu yang menyebabkan Gendhuk Tri seperti lumpuh.

Kejadian yang berlangsung cepat ini dalam beberapa saat membuat Upasara tersengal-sengal. Kini bukan hanya bibir, akan tetapi seluruh tubuhnya gemetar, bergoyangan.

…dalam pupuh sepuluh ini juga
seperti pupuh kedua yang direstui Sri Baginda Raja bicara soal Wahyu Paminggir
wahyu adalah karunia, adalah cahaya, adalah theg

berdiam, bertapa, terima wahyu
theg begitu
jadilah ia Ksatria Paminggir
Dewa pun tak tahu kenapa
tak sempat bertanya
kenapa wahyu
bisa theg
manjing, merasuk
Dewa pun ingin
bisa menerima wahyu
dan bisa juga
andai mau

andai menjadi mahamanusia
melalui manusia
theg
theg
jadilah theg
mulai dengan theg

sukma lepas dari raga
theg
sukma menjelma
theg
sukma sejati
theg…


Kodrat Duka
TUBUH Upasara menyatu dengan pikirannya, dengan tenaga dalamnya, menyatu dengan sukma, dengan rasa, dengan irama kidungan yang bertitik-titik, seperti meluncur ke arah theg.

Theg. Bagai dipatahkan gerakannya, tubuh Upasara tersengat oleh tenaga dalamnya sendiri. Begitu kuat, begitu keras, hingga tubuhnya terayun ke belakang. Lepas dari pegangan Pangeran Hiang. Sambil mengeluarkan pekikan keras. Demikian juga halnya dengan Pangeran Hiang. Mengeluarkan suara keras tak bisa diketahui artinya. Tubuhnya bagai dilontarkan ke atas. Tetap bersila, tubuhnya mumbul ke atas, untuk kemudian jatuh secara terbalik. Kepalanya di bawah. Dengan kaki masih bersila.

Gendhuk Tri sendiri tak bisa menguasai rasa kagetnya. Tubuhnya meloncat mundur seketika begitu Upasara memekik. Akibatnya udang seroja jatuh. Mengenai bagian leher Putri Koreyea. Kaki-kaki udang seroja yang jumlahnya banyak itu seakan merayapi, mengusap, demikian juga sungutnya. Gendhuk Tri bereaksi cepat. Takut ada bahaya yang akan datang, seketika dua jarinya menyentil. Udang seroja yang berada di leher terkena pukulan tenaga sentilan. Melejit ke atas, melayang ke luar gua. Jatuh ke tanah.

Pada saat itu semua burung hitam bergaok-gaok, turun bersamaan menyambar. Mereka yang telah mengepung sejak tadi dan tak bisa masuk ke lingkaran, kini menemukan kesempatan untuk menerkam. Upasara tak bergerak, Pangeran Hiang masih menenangkan diri dengan duduk bersila secara terbalik. Tinggal Gendhuk Tri. Yang begitu sadar dari kagetnya ingin menyelamatkan udang seroja. Semacam gerakan seketika saja, yang muncul dari kesadarannya untuk menyelamatkan udang seroja dari serbuan burung-burung hitam dan serbuan ular-ular besar.

Aneh. Sebelum bergerak, Gendhuk Tri melihat bahwa puluhan burung itu memekik nyaring ketika mematuk udang seroja. Tapi begitu paruhnya mengenai bagian tubuh udang seroja, burung itu segera menggelepar. Jatuh ke tanah berpasir. Tak bergerak. Tak bergerak lagi. Kalau jatuhnya menelentang, tetap menelentang. Kalau jatuhnya tengkurap, tetap tengkurap. Satu-dua tiga ekor burung hitam mengalami perubahan kondisi. Yang segera diikuti burung yang lain. Dalam sekejap saja, belasan burung hitam bergeletakan di sekitar udang seroja.

Demikian juga barisan ular. Seekor ular bisa menggigit dan berusaha lari, begitu udang seroja lepas dari gigitannya ular itu jatuh ke tanah. Badannya mengejang, mengendur, tak bergerak. Lemas. Tanpa tenaga. Pemandangan yang mengguncang hati.

Gendhuk Tri merasa ngeri. Tubuhnya pernah memendam racun yang luar biasa ganas, sehingga binatang hutan tak ada yang berani mendekati. Para tokoh sakti pun jeri padanya, karena satu torehan luka bisa menyalurkan racun yang ada dalam tubuh Gendhuk Tri! Tapi ini lebih mencekam! Karena burung-burung dan barisan ular itu tidak mengeluarkan pekikan, tidak berteriak. Tidak mundur. Tapi juga tidak mati seketika. Itulah yang disaksikan Gendhuk Tri.

Barisan burung hitam itu menggeletak, terbaring, dengan pandangan mata yang masih berkejap-kejap. Demikian juga barisan ular. Lidahnya masih ada yang terjulur dan masuk, akan tetapi gerakannya sangat perlahan. Ketika Gendhuk Tri berusaha mendekat, kakinya berusaha menyentuh, tak ada reaksi perlawanan. Padahal jelas tubuh ular itu masih hangat. Masih hidup, seperti tak ada apa-apanya. Hanya tak mampu bergerak. Seperti burung-burung hitam yang demikian gesit, tangkas dan selalu hinggap di atas pohon. Bergeming.

Gendhuk Tri mengambil tali kulit. Perlahan mendekat kembali ke arah salah seekor burung. Ketika disentuhkan dan ditarik, burung itu terlontar ke udara. Dan jatuh seperti batu. Daerah sekitar gua menjadi jajaran tubuh-tubuh tak bertenaga. Udang seroja itu sendiri masih bergerak-gerak. Walau tubuhnya terluka oleh patukan dan gigitan, masih bisa bergerak. Menggerakkan semua kakinya, menyeret tubuhnya, kembali ke sungai.

Gendhuk Tri terbatuk. Beberapa ekor burung yang baru datang melakukan sergapan yang sama. Dengan akhir yang sama. Beberapa ekor ular kecil masih nekat maju, melewati ular-ular lain, akan tetapi begitu menggigit, langsung lemas. Dalam keadaan tubuh compang-camping, udang seroja terus bergerak, kembali ke sungai. Jalan pikiran Gendhuk Tri melesat, mendahului gerakan udang seroja.

Kalau udang seroja yang terluka seluruh tubuhnya ini kembali ke sungai, sama artinya dengan menyebar maut. Dalam waktu seketika, bisa-bisa seluruh isi bengawan musnah dan lumpuh. Hanya dengan satu gerakan kecil, Gendhuk Tri menyentilkan tali kulit. Sret. Mematok udang seroja hingga tak bergerak lagi. Bukan itu saja. Gendhuk Tri mengambil kulit beruang untuk menutup tubuh udang seroja. Untuk menghindarkan diri dari kemungkinan binatang lain yang menjadi korban. Barulah kemudian sekali Gendhuk Tri menarik napas lega. Dan perlahan, jalan pikirannya tersusun kembali. Tertata satu bagian demi satu bagian.

Udang seroja yang menurut cerita sangat berkhasiat ini telah berubah menjadi penyimpan kelumpuhan yang sangat berbahaya. Yang bila menyentuh binatang lain, menularkan kehancuran seketika. Sumber kehancuran itu berada dalam tubuh Putri Koreyea. Tak bisa lain. Yang dalam seketika terisap ke dalam tubuh udang seroja. Dan mengeram di situ. Mengenai semua burung hitam dan ular. Yang kalau juga digigit binatang lain, akan mengakibatkan hal yang sama. Gendhuk Tri tak mau menunggu korban lebih banyak. Ia segera mengumpulkan semua binatang yang lumpuh itu menjadi satu. Menempatkan pada satu tempat yang tak bisa dimakan binatang lain untuk sementara.

Tubuh Pangeran Hiang merebah. Lalu bangun dan duduk kembali. Bersemadi untuk beberapa saat. “Adik Tri…” Suaranya mengandung duka yang kelewat sarat memberat. “…Kini Adik Tri mengetahui kenapa selama ini saya tak mau menceritakan penyakit yang diderita Putri Koreyea. Penderitaan yang sangat mengerikan. Penyakit kutukan Dewa. Yang tak terpahami, tak terobati, tak diketahui sebab-musababnya kenapa Dewa memberikan kutukan seperti ini kepada seorang wanita yang seumur hidupnya tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa. Adik Tri… Ketika Pangeran Upasara mengatakan kehidupan lebih berarti dari kemenangan dan kematian, saya bisa mengerti. Tetapi kehidupan macam apa yang harus dipertahankan? Sedangkan Adik Tri sendiri tak tega membunuh burung dan ular, apalagi manusia. Apalagi wanita yang tak pernah membuat dosa sepanjang hidupnya. Katakan, Adik Tri, kutukan macam apa ini, kodrat duka apa yang harus ditanggung Putri Koreyea?”

Suaranya bagai rintihan, bagai erangan. Sebagian dalam bahasa yang bisa dimengerti Gendhuk Tri, sebagian dalam bahasa yang tak terpahami. Seperti mengalir dari ganjalan yang sekian lama dibenamkan dalam hati.

“Dewa Yang Maha Terkutuk, apa yang ingin kamu lakukan?”

Upasara yang terdiam sejak tadi, menggerakkan tangannya. Kedua tangannya mengusap wajah dengan lembut. Dari atas ke bawah. Lepas di bawah dagu, membentuk gerak tertentu di dada seperti menyembah. Sebelum kedua tangan itu berpisah. Satu tangan kiri memegang lutut kiri, satu tangan kanan memegang lutut kanan. Helaan napas panjang. Panjaaaaang sekali.

Sudah lama Gendhuk Tri tidak menyaksikan Upasara mengakhiri semadi dengan rasa syukur yang begitu mendalam dan khusyuk. Pertanda bahwa peristiwa yang baru saja lewat, pantas disyukuri secara tulus.

Perjalanan Sukma
LEBIH dari yang diperkirakan Gendhuk Tri, Upasara baru saja terbebas dari pengalaman batin yang luar biasa hebat. Itu pula sebabnya, ia lebih lama mengakhiri pemulihan tenaga dibandingkan dengan Pangeran Hiang. Karena guncangan batin yang baru dialami, tidak dengan mudah bisa dikuasai. Ketika menyadari bahwa tenaga dalamnya makin terkuras, Upasara berada dalam titik kritis. Hanya dalam waktu beberapa saat lagi, tenaganya akan habis terkuras. Tak berbeda dari ketika berusaha menyembuhkan Gendhuk Tri yang ketika itu tubuhnya terkena racun.

Namun ada bedanya. Dulu Upasara yakin bisa memulihkan tenaga dalam Gendhuk Tri. Sedangkan sekarang ini, tubuh Putri Koreyea tak bisa menerima. Saat itulah pengertian tumbal, pengertian bersedia mengorbankan diri, berkobar dalam jiwa Upasara Wulung. Pengorbanan seperti yang diajarkan dalam Kitab Bumi terutama di delapan jurus terakhir, tidak tepat untuk saat seperti sekarang. Pengorbanan yang sia-sia adalah kekonyolan, yang justru merugikan diri sendiri.

Akan tetapi Upasara tak bisa membendung. Tak bisa menghentikan. Karena ajaran dalam Kitab Bumi tidak mempertimbangkan kesadaran untuk berkorban. Berkorban adalah berkorban. Kesadaran pada situasi sekarang ini, menyelinap dan meletik dalam diri Upasara di luar ajaran yang ada. Karena selama ajaran itu diciptakan, peristiwa seperti yang diderita Putri Koreyea belum ada. Pada saat itu, Upasara berada dalam kebimbangan. Kebimbangan pikiran, menyebabkan pengaturan tenaga dalamnya makin payah. Makin tak terkuasai, sehingga menderas keluar.

Upasara juga menyadari bahwa tubuh Pangeran Hiang tak bisa menjadi penghalang. Kelebatan pikiran yang meletik adalah ajaran Kidung Paminggir. Yang secara mendalam dipelajari kala bersama Dewa Maut. Yang pernah dipraktekkan Dewa Maut dengan pendekatan Ngrogoh Sukma Sejati. Seperti diketahui, Upasara mengetahui kekuatan itu, akan tetapi tak pernah menjajalnya. Karena bagian itu merupakan bagian yang belum sepenuhnya terpahami.

Baik karena kemampuannya, maupun karena isi kidungan itu seperti bertentangan dengan lirik-lirik dalam kidung sebelumnya. Kidungan Paminggir, pupuhnya-pupuhnya ditulis atas nama Sri Baginda Raja. Hanya di pupuh sepuluh lebih jelas diterangkan bahwa bisa atas nama Sri Baginda Raja, bisa atas nama siapa saja. Pendekatan pengertian inilah yang membuat Sri Baginda Raja berang.

JILID 42BUKU PERTAMAJILID 44