X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 44

Cerita silat Jawa Serial Senopati Pamungkas Buku Kedua Jilid 44 karya Arswendo Atmowiloto
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 44

Karena tidak lagi mengacu kepada Sri Baginda Raja sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan. Padahal, memang itu yang dimaksudkan Eyang Sepuh. Sekurangnya dalam penangkapan dan pemahaman Upasara sekarang ini.

Sri Baginda Raja bisa diibaratkan sebagai tenaga dalam. Sumber segala sumber kekuatan dalam mengatur pernapasan dan permainan ilmu silat. Kenyataannya itulah yang terjadi selama ini. Dari mana pun asal tenaga dalam, memakai pendekatan bumi, air, atau benda lain, tetap mempergunakan tenaga dalam.

Sedangkan pupuh sepuluh menyebutkan, bahwa kekuatan baru yang dilambangkan dengan Wahyu Paminggir bisa memakai kekuatan tenaga dalam sebagai sumber, bisa pula yang lainnya. Yang lain itulah yang disebut sebagai kekuatan sukma. Jadi jelas sekali, bahwa Eyang Sepuh ingin membedakan sumber kekuatan yang utama. Yaitu bisa berasal dari tenaga dalam, dan bisa berasal dari gerak sukma.

Sukma menjadi sumber kekuatan. Yang bentuk dan perwujudannya tidak sama dengan cara-cara mengerahkan tenaga dalam. Pada kidungan, hanya diistilahkan dengan tenaga theg. Tenaga tik. Itulah wahyu, itulah anugerah, kekuatan yang baru. Sejauh Upasara tahu, penjelasan yang lain tidak ada.

Dewa Maut sendiri tak bisa memahami sepenuhnya. Karena yang kemudian bisa dilakukan adalah memisahkan sukma dengan Merogoh Sukma Sejati. Memisahkan sukma dari badan wadak. Sehingga Dewa Maut bisa menjadi badan yang lain.

Upasara menemukan kemungkinan lain. Dalam keadaan tenaga dalamnya terkuras, tak mungkin melakukan Ngrogoh Sukma Sejati. Karena dalam keadaan seperti itu, sukmanya bisa lepas, akan tetapi tetap saja tenaga dalamnya tersedot habis. Yang dilakukan adalah menyatukan. Sukma dengan tubuh, dengan raga. Caranya, dengan theg.

Theg seperti apa dan bagaimana, agaknya Eyang Sepuh ketika menciptakan belum merinci lebih dalam. Ini berbeda dari Kitab Bumi, di mana latihan pernapasan sangat jelas. Bahkan jurus-jurus dan sumber kekuatan diuraikan dengan contoh jelas: kekuatan dan letak bintang di langit. Kalau kemudian Upasara menjajal, sebenarnya karena tak ada pilihan lain.

Sukmanya melepas, berjalan, menuju ke arah theg, bersama seluruh kesadarannya, yang tiba-tiba saja terjadi. Sehingga bisa membebaskan diri. Kalau itu gagal, akibatnya bisa lebih parah dari sekadar kehilangan semua tenaga dalamnya! Perjalanan sukma, perjalanan kehidupan yang panjang mengerikan karena tak ada batasnya.

Upasara makin menyadari betapa sesungguhnya ia hanyalah seorang ksatria, yang dalam hal ini bila dibandingkan dengan Eyang Sepuh tak ada apa-apanya. Eyang Sepuh sudah berada pada tingkat di mana kearifan, ketajaman, penelusupan kemampuannya mengatasi tindak-tanduknya. Bahkan kekuatan utama dari sukma, yang berbeda jauh dari pengerahan tenaga dalam, sudah dilihat.

Dan dicoba dirumuskan. Dengan satu kata: theg. Yang dijabarkan dengan pengertian wahyu. Anugerah Dewa, tetapi Dewa sendiri ingin memiliki. Rada rumit. Tetapi toh Eyang Sepuh dengan cara yang luar biasa mampu menyusunnya.

Suatu pemikiran yang paling berani, terobosan yang menjungkirkan pengertian yang selama ini telah diyakini. Bahwa biasanya menjadi kemungkinan semua manusia bisa menduduki takhta, ini merupakan kewajaran yang berkesinambungan. Karena ajaran dalam ilmu silat berasal dari suatu pandangan, suatu sikap pokok, di mana unsurnya bisa mencakup tata pemerintahan Keraton.

Rasa hormat yang tulus tadi, bagi Upasara adalah memuji keluhuran dan kedewaan Eyang Sepuh. Meskipun mungkin sedikit berbeda, bila saja saat itu Eyang Sepuh mengetahui. Atau sekarang ini mengetahui di suatu tempat entah di mana. Perbedaannya, karena Upasara mampu mengembangkan kekuatan sukma, yang pada Eyang Sepuh agaknya baru tersiratkan bahwa kekuatan itu ada.

Upasara-lah yang mampu mengembangkan. Lebih dari Dewa Maut. Lebih dari Jaghana, yang pada bersitannya menjadikan dirinya sebagai Truwilun, dukun yang berusaha menolong sesama. Intinya sama. Kekuatan sukma. Kekuatan yang selama ini terabaikan, karena dianggap pengerahan tenaga dalam saja sudah cukup. Atau pengerahan tenaga dalam dengan sendirinya pengerahan sukma.

“Kakang…”

Upasara mengangguk perlahan.

“Pangeran Upasara tidak apa-apa,” suara Pangeran Hiang terdengar sangat perlahan. “Meskipun saya hampir saja menghancurkannya. Pangeran Upasara, segalanya telah jelas sekarang. Mengenai penyakit yang diderita Putri Koreyea, mengenai pribadi dan jiwa kita. Kalau Pangeran Upasara tidak berkeberatan, perkenankan saya mengajukan diri menjadi saudara muda Pangeran.”

Upasara menggeleng lembut. “Pangeran Hiang, saya tak berhak menerima kebesaran ini.”

“Terima saja, Kakang. Sebab dengan demikian, sebagai sesama saudara kalian tak akan saling mengirimkan pasukan dan melibatkan Keraton.”

Upasara menangkap maksud Gendhuk Tri. Dengan mengangkat saudara, pasukan Tartar tak akan menyerbu ke tanah Jawa lagi.

“Lebih dari itu, sebagai sesama saudara, adikmu ini akan mengikuti apa keinginan Kakang…” Suaranya haru ketika menyebut kata Kakang.

“Sebagai saudara, saya hanya akan menyusahkan tradisi dan niat Pangeran yang sesungguhnya. Sementara Putri Koreyea tetap tak bisa kita tolong.”

Pangeran Hiang menghela napas penyesalan. Wajahnya membayang duka yang tak bersisa. Gendhuk Tri menunduk. Perasaannya terguncang. Kini semua jelas alasannya, kenapa selama ini Pangeran Hiang selalu menghindar dan tak mau menjawab langsung penderitaan Putri Koreyea. Mengeduk duka sempurna!

Musna Daya
GUGATAN Pangeran Hiang adalah jeritan yang paling pedih. Pekikan tanpa suara, rintihan tanpa nada, penderitaan tanpa warna. Perlahan kemudian Pangeran Hiang menceritakan, bahwa kejadiannya juga sangat tiba-tiba. Dalam perjalanan di atas perahu, Putri Koreyea menderita gering. Sangat tiba-tiba karena sebelumnya tidak menunjukkan tanda apa-apa. Sesaat sebelum Gemuka meninggalkan perahu, Pangeran Hiang mendengarkan secara terbuka.

“Penyakit Putri Koreyea bukan penyakit yang ringan, Saudara Muda. Bukan juga penyakit berat. Melainkan sangat berat. Saya tak menemukan apa sebabnya dan bagaimana pengobatannya.”

“Segera akan baik kembali, Saudara Tua.”

“Kamu pasti mengetahui juga, Saudara Muda. Tubuh Putri Koreyea tak mempunyai kekuatan dalam arti sesungguhnya. Daya tubuhnya seolah musna, tak bersisa.”

“Saya bisa memberikan tenaga dalam. Pada saat yang tepat.”

“Itu kalimat yang tidak menyelesaikan.”

Pangeran Hiang menyadari bahwa penderitaan Putri Koreyea memang tak terkirakan sebelumnya. Beberapa kali usaha untuk menembus tetap tak bisa. Bahkan kemudian terbukti bahwa penyakit musna daya, atau tanpa tenaga sama sekali itu lebih dahsyat lagi. Contohnya terjadi baru saja. Tenaga dalamnya sendiri terkuras. Tenaga dalam Upasara terkuras, sehingga akhirnya akan menderita kemusnahan tenaga.

Contoh yang kemudian lebih jelas lagi terjadi pada burung-burung serta ular-ular. Satu gigitan paruh saja bisa menghancurkan daya tubuh. Kalau udang seroja bisa sedikitnya bertahan, barangkali karena sedikit-banyak tubuhnya mempunyai kekebalan tertentu. Akan tetapi yang lebih mengerikan, justru pada tubuh udang seroja itu tersimpan daya penghancur yang sama.

Musna daya ini berbeda dengan penderita yang keracunan. Karena penderita yang keracunan bisa dihancurkan racunnya. Bisa dilenyapkan, meskipun barangkali bisa menular. Yang diderita Putri Koreyea sebaliknya. Pangeran Hiang menolak kenyataan itu dalam hati. Sampai terbukti dengan usaha Upasara.

Dalam keadaan seperti itulah Pangeran Hiang menggugat sempurna kepada Dewa yang memberikan penyakit tersebut. Dosa atau karma apa yang harus ditanggung dengan penderitaan yang begitu berat? Guratan kepedihan itulah yang terasakan oleh Upasara. Sehingga hatinya tersentuh.

“Pangeran Hiang, kalau Pangeran Hiang memang merasa bersedia, dengan senang hati saya mengucapkan terima kasih….”

Pangeran Hiang mengangguk. “Adik Tri bersedia mengangkat saudara dengan kami berdua?”

“Saya… saya… Saya kira saya mau… Saya kira tidak saja.”

Rada aneh kedengarannya. Belum lama Gendhuk Tri menganjurkan Upasara menerima pengangkatan saudara. Kini dirinya sendiri jadi gelagapan. Bukan karena apa. Gendhuk Tri merasa menjadi kikuk. Ia sama sekali tak berkeberatan mengangkat saudara dengan Pangeran Hiang. Kalaupun tak ada untungnya untuk diri sendiri, tak ada ruginya juga. Akan tetapi demi kepentingan Keraton akan lebih baik dan terjamin.

Hanya saja kalau ia harus mengangkat saudara dengan Upasara, rasanya bagaimana… Masih ada ganjalan. Selama ini Gendhuk Tri mengaku sebagai adik. Menganggap dan memanggil Upasara sebagai kakang. Rasa persaudaraan mereka tak perlu dipertanyakan lagi. Namun kalau dalam upacara resmi, apakah itu tidak berarti mengangkat menjadi saudara kandung? Kalau benar begitu, tertutup kemungkinan untuk mendapatkan Upasara. Itu suara hati kecil Gendhuk Tri.

Tidak. Gendhuk Tri sama sekali tidak meniadakan Maha Singanada. Tak ada pikiran menyeleweng dari itu. Rasanya itu saja sudah lebih dari pilihannya yang mantap. Hanya saja, masih ada hanyanya. Ada pertimbangan tertentu mengenai Upasara….

“Adik Tri, upacara ini hanyalah upacara persaudaraan. Supaya kita lebih bisa mengalami kepedihan dan kegembiraan bersama seperti yang selama ini terjadi. Membantu satu sama lain, saling menepati janji. Tak ada hubungannya dengan kemungkinan perkawinan Adik Tri dengan Pangeran Upasara.”

Wajah Gendhuk Tri menjadi merah padam. Pangeran Hiang mendahului maju. Menuju kepada satu pohon besar. Upasara mengikuti di sampingnya, menundukkan kepala, bersembah seperti yang dilakukan Pangeran Hiang. Tanpa dupa. Tanpa bunga. Hanya kalimat sederhana.

“Kami, Pangeran Sang Hiang, Pangeran Upasara Wulung, serta Adik Tri, yang dilahirkan lain tempat dan lain waktu, atas perkenan Dewa Langit dan Dewa Bumi, mengikat tali persaudaraan. Kami akan bantu-membantu selamanya. Kami rela mati bersama. Bila salah seorang di antara kami mengingkari sumpah, semoga Dewa Langit dan Dewa Bumi memberikan hukuman yang seberat-beratnya.”

Selesai mengucapkan sumpah, Pangeran Hiang memanggil Upasara dengan sebutan Kakang. Dan meminta Upasara memanggil dengan sebutan Adik.

“Dewa Langit mengabulkan doa kita….” Suara Pangeran Hiang diiringi oleh gerimis. Gerimis yang pertama sejak mereka berada di pulau.

Gendhuk Tri setengah percaya setengah tidak. Nyatanya memang ada gerimis, dan rambutnya basah. Hingga ia terpaksa menyembunyikan udang seroja serta para binatang di dalam gua. Pangeran Hiang membuat perapian dari kayu kering dan letikan batu api. Saat itulah Gendhuk Tri menyaksikan bahwa burung-burung yang tak bertenaga itu menggigil perlahan dan mati. Mati. Demikian juga beberapa ular. Aneh.

Burung dan ular yang terbiasa dengan alam ini, mendadak tak tahan dengan alam ini, mendadak tak tahan dengan perubahan cuaca dalam sekejap. Bahkan udang seroja itu tampak menggulung kaki dan badannya.

“Adik Tri, itulah penderitaan yang dialami Putri Koreyea. Daya tahan tubuhnya tak ada. Sehingga kalau angin berubah arah, akan menyebabkan parah. Kalau batuk dan bersin, menjadi penderitaan yang luar biasa. Bahwa sekarang masih bertahan hidup, itu suatu mukjizat.”

“Hawa panas dalam perutnya itu merupakan sisa tenaga terakhir.”

“Entah berapa lama bisa bertahan. Hawa itu bisa menerobos masuk ketika bau udang seroja mengusik hidung. Sekarang kalau Adik Tri perhatikan baik-baik, udang putih itu telah berubah warna menjadi keabu-abuan. Berarti daya tahan tubuhnya sebagian telah musnah. Inilah yang lebih membuat menderita. Tubuh Putri Koreyea bukan hanya menanggung beban penyakitnya, akan tetapi juga bisa menularkan kepada orang lain, yang berhubungan tenaga dalam dengannya. Putri Koreyea menjadi penyebar bencana.”

“Kakang Pangeran sendiri selama ini tidak tertular?”

“Tidak. Karena tak mampu membuat terobosan ke dalam. Kalau seperti yang dilakukan bersama Kakang Upasara, bisa saja terjadi. Tidakkah itu mengerikan?”

“Tidak. Karena Putri Koreyea mengetahui penyakitnya bisa menular, makanya Putri menutup kemungkinan merembesnya tenaga dalam dari luar. Ini hanya perhitungan saya sementara. Akan tetapi bila kita memberitahunya bahwa kita tak akan melakukan itu, atau paling tidak Kakang Pangeran Hiang tidak melakukan, barangkali Putri Koreyea bisa membuka kebuntuan itu.”

“Kenapa begitu?” tanya Upasara.

“Saya bisa mengerti kenapa Kakang Upasara bertanya begitu. Sewaktu Kakang berusaha mengerahkan tenaga dalam bersama Kakang Pangeran, yang terjadi pertama adalah tenaga yang buntu. Karena memang Putri Koreyea membuntunya. Perkiraan saya penutupan itu karena Putri Koreyea tak ingin Kakang Pangeran ketularan. Hal yang pasti tetap akan dilakukan, pun andai Kakang Pangeran tahu akibatnya. Dengan begitu Putri Koreyea ingin menanggung sendiri akibatnya. Akan tetapi itu memperburuk tubuh dan kekuatannya. Maka kalau Kakang Pangeran mau memberitahu dan berjanji akan mematuhi hal ini, Putri Koreyea akan, sedikitnya, lebih baik. Hanya memang Kakang Pangeran harus berjanji untuk mematuhi. Kalau tidak, Putri Koreyea akan merasa dua kali berdosa. Dan tak punya pengampunan lagi.”

Ucapan Gendhuk Tri memang masuk akal. Sama-sama mengawasi, menekuni, akan tetapi ternyata bersitan pikiran Gendhuk Tri bisa menemukan apa yang tidak dilihat Pangeran Hiang. Ketika hal ini dibisikkan, dan Pangeran Hiang kembali menyentuhkan kepalanya ke bumi sebagai tanda bersumpah, segera terjadi perubahan.

Perjalanan Kemenangan
TUBUH Putri Koreyea bergerak. Bergerak. Tubuhnya! Bukan hanya bola matanya. Tubuhnya. Dengan gerakan yang sangat lembut, Putri Koreyea duduk, bersimpuh. Menunduk.

“Maafkan aku, suamiku tercinta, Pangeran Sang Hiang Liong Khan yang Gagah. Maafkan aku, Kakang Pangeran Upasara. Maafkan aku, Adik Tri yang budiman. Maafkan….”

Nadanya kaku, akan tetapi suaranya bisa dimengerti maknanya. “Apa yang dikatakan Adik Tri benar sekali. Kini aku lebih lega. Kalaupun penderitaan ini pernah ada, aku sendiri yang menanggung.”

Pangeran Hiang memeluk kencang Putri Koreyea. Memeluk kencang. Rapat.

Gendhuk Tri memberi peringatan. “Kakang Pangeran Hiang, hati-hati sedikit. Tubuh Putri Koreyea masih lemah.”

Pangeran Hiang tetap memeluk. Dengan rangkulan lembut. Barulah kemudian mereka berempat duduk bersama membentuk lingkaran. Tanpa api, karena Putri Koreyea akan merasa kepanasan sekali. Tubuhnya sedikit lebih enak setelah memakan secara mentah daging udang seroja yang masih putih bersih. Sedangkan sisanya, bersama dengan binatang-binatang lain, dikubur dalam-dalam. Agar tidak menular kepada makhluk lain.

Malam itu dengan suara perlahan Putri Koreyea bercerita. Bahwa semua yang selama ini diperbincangkan, dipercakapkan, terdengar jelas olehnya. Putri Koreyea bisa mengerti bahasa Upasara, karena ia sudah mempelajari sedikit-sedikit kala menemani Pangeran Hiang di Keraton, ketika mengadakan persiapan akan ke tanah Jawa. Untuk ini Putri Koreyea mengucapkan beribu terima kasih akan semua usaha, budi baik, pertolongan yang diberikan.

“Suamiku tercinta tak akan mau membiarkan aku menderita. Makanya, begitu mendengar sumpahnya, aku baru mau percaya.”

“Kenapa Putri menutup diri, ketika Kakang Upasara membantu?”

“Itu juga terbaik, Adik Tri. Penyakit yang kuderita adalah kutukan dari Dewa yang keliru. Tapi itu bukan kesalahan Dewa atau siapa saja. Itu adalah kodrat yang harus kita lewati. Semua harus melalui jalan. Aku diciptakan untuk melalui jalan hidup seperti ini. Untuk apa disesali? Untuk apa digugat? Hanya aku tak ingin orang lain menderita karena aku yang menjadi penyebabnya. Apalagi itu suamiku sendiri, atau Kakang Pangeran Upasara yang baik hati. Kalau aku membuka diri, berarti ada kemungkinan suamiku tercinta dan orang lain yang baik hati tertular penyakit yang sama. Aku tak kuasa menanggung dosa berganda.”

“Putri Koreyea, kenapa Putri menganggap ini kutukan Dewa, seperti juga Kakang Pangeran Hiang?”

Putri Koreyea membaringkan tubuhnya ke dada Pangeran Hiang. “Selain Dewa yang sanggup membuatku begitu, siapa lagi?”

Gendhuk Tri kemudian menceritakan bahwa di tanah Jawa ini ada satu tokoh yang sakti, bernama Eyang Kebo Berune. Tokoh ini tak bisa bergerak, karena keliru dalam cara mengatur tenaga dalamnya. Sehingga tubuhnya lumpuh tak bisa digerakkan. Hal yang sangat lumrah dan bisa terjadi pada siapa saja. Termasuk Upasara sendiri yang pernah menghabiskan tenaga dalamnya. Sehingga menjadi orang biasa.

“Di sini bedanya, Adik Tri. Aku memang pendekar silat. Di negeriku, pendekar wanita yang bisa mengalahkanku tidak ada. Suamiku yang tercinta ini hampir kalah olehku. Aku melatih tenaga dalam. Tapi tak ada hubungannya dengan penyakitku. Seperti sudah kamu lihat, aku menderita kehancuran daya tahan tubuh. Bukan saja ilmu silat dan tenaga dalamku lenyap, akan tetapi aku bukan orang biasa. Aku orang yang cacat. Yang tak tahan melihat sinar matahari, tak tahan angin dan bau. Apalagi kena senjata. Selembar bulu burung pun bisa melukaiku. Bagiku, untuk mati hanya menunggu saat saja. Bisa dihitung kapan datangnya.”

“Tapi selama tidak terkena apa-apa, bukankah bisa bertahan?”

“Apa mungkin, Adik Tri? Apa mungkin aku berada dalam awang-awang tak menyentuh angin, air, dan tergigit nyamuk? Daya tubuh ini musnah dengan sendirinya. Ah, sudahlah. Perjalanan ke tanah Jawa ini perjalanan yang sangat menyenangkan. Sangat membahagiakan. Hingga aku bisa mati dengan tenteram, tanpa penyesalan. Aku tak pernah merasakan ini di negeriku. Juga di Keraton Tawu. Melainkan di sini. Di tanah becek. Aku menemukan suami tercinta yang tiada taranya menyayangiku, melindungiku, membuktikan dengan tindakan nyata. Aku menemukan sahabat yang hebat, saudara yang tidak dilahirkan dari satu perut, tapi lebih dekat dari urat leher sendiri. Tidakkah itu membahagiakan? Tidakkah ini penemuan yang abadi? Aku merasakan perjalanan ini sebagai perjalanan kemenangan. Kemenangan menemukan kebahagiaan, kemenangan yang gilang-gemilang. Adik Tri, tidak semua orang bisa seperti diriku. Menemukan kesempurnaan seperti ini. Itulah sebabnya aku tidak menggugat, tidak menuntut. Barangkali dengan melewati jalan ini aku menemukan cinta yang sejati pada suami yang sejati.”

Gendhuk Tri meneteskan air mata. Pangeran Hiang bergelora dadanya. Napasnya tersendat. Putri Koreyea mengatur napas.

“Biar saya bercerita sebentar lagi. Siapa tahu maut sudah berada di sekitar. Siap menjemput. Sisa waktu yang sedikit ini ingin kupergunakan dengan baik. Untuk menyatakan cinta dan terima kasih yang dalam. Sekian lama aku menutup diri. Merasakan sendiri. Kini bisa membuka diri. Adik Tri, maukah Adik menolongku?”

Gendhuk Tri mengangguk. Tangannya menggenggam lembut jemari Putri Koreyea.

“Adik Tri harus tetap awas, dan waras. Wanita selalu bisa menahan rasa dan emosi. Tidak laki-laki seperti suamiku yang tercinta, atau Kakang Pangeran Upasara. Jadi, Adik Tri mulai besok pagi melanjutkan membuat rakit. Menyiapkan diri untuk segera meninggalkan pulau ini. Cepat atau lambat, ditunggu atau tidak, keadaanku tak jauh berbeda. Berdiam di sini atau pergi, akan selalu ada angin dan matahari. Adik Tri mau berjanji?”

“Mau, Putri. Tetapi rasanya saya mau mencari udang seroja yang lain….”

“Ah. Masihkah Adik Tri percaya aku bisa disembuhkan?”

“Saya tidak tahu. Tetapi barangkali kekuatan Putri akan bertambah sedikit-sedikit.”

“Memang bau harum udang itu membuat aku lapar dan ingat hawa nafsu. Tetapi aku mau memakannya, dan sekarang tidak sebagai cara Kakang Pangeran Upasara atau suamiku yang tercinta mencoba menyembuhkan dengan tenaga dalam. Kamu berjanji, Adik Tri?”

“Dengan senang hati, Putri.”

“Janji seorang ksatria tak bisa diingkari.”

Malam itu mereka berempat beristirahat. Pangeran Hiang berjaga terus, membebaskan sekitar gua dari kemungkinan masuknya binatang atau nyamuk sekalipun. Dan pagi-pagi berikutnya, Pangeran Hiang sudah berendam di bengawan untuk mencari udang seroja. Gendhuk Tri sendiri berada di pinggir, dan mulai mengumpulkan pohon-pohon kering. Sementara Putri Koreyea berada di dalam gua. Kadang duduk, berbaring, mengawasi, atau menutup mata.

Menjelang malam, Pangeran Hiang hanya menemukan seekor udang seroja yang kecil. Tapi itu cukup untuk makan Putri Koreyea seharian. Ada beberapa buah-buahan, akan tetapi Pangeran Hiang belum berani mencobakan. Hanya menimbang-nimbang. Tiga hari kemudian, Putri Koreyea berjalan perlahan mendekati Gendhuk Tri.

“Adik Tri, rakit itu tak akan pernah jadi. Tapi aku ada rencana lain. Adik Tri harus mau menolongku.”

Kembali ke Ajal
GENDHUK TRI tak pernah menyangka. Bahwa tekad Putri Koreyea sangat mantap. Pilihannya hanya satu, berangkat dengan rakit.

“Putri,” Gendhuk Tri berbisik. “Saya mengerti Putri tak ingin memberati hati Pangeran Hiang atau Kakang Upasara atau bahkan saya. Tetapi kalau Putri meninggalkan tempat ini, bagaimana dengan yang ditinggal?”

“Tidak lebih buruk kalau aku tetap di sini. Adik Tri, di tempat ini hanya kita berempat. Aku memilihmu karena kaum wanita selalu paling sehat. Lebih waras, karena kakinya menginjak ke bumi. Perjalananku adalah yang terbaik. Cepat atau lambat aku akan mati juga. Perjalananku adalah perjalanan menuju ajal, tak berbeda dengan semua orang. Hanya mungkin aku berjalan lebih cepat.”

"Saya mengerti….”

“Adik Tri, kenapa Adik begitu tega memperolok suamiku yang tercinta?”

Gendhuk Tri tersenyum kecut. “Putri, saya tak tahu kiri dan kanan. Kalau kita naik rakit, kita tak tahu akan mendarat di mana. Sebelah selatan seperti lautan bebas yang ganas.”

“Kalau begitu, Adik Tri menolongku. Selesaikan rakit itu, dan aku akan berangkat.”

“Putri…”

“Adik Tri, kalau aku tetap di sini, kamu akan tertahan di sini. Suami yang tercinta akan tertahan di sini. Kakang Pangeran Upasara akan tertahan pula di sini. Dosa apa lagi yang harus kutanggung? Kalian semua adalah ksatria, ada tugas mulia yang lain. Membantu sesama. Hanya karena aku seorang kalian meninggalkan tugas ksatria, bukankah menambah dosa bagiku?”

Gendhuk Tri mengiyakan. “Hanya rasanya tidak mungkin kita pergi menyelinap tanpa mereka ketahui.”

Putri Koreyea tersenyum. “Adik Tri, aku punya rencana. Suamiku yang tercinta pasti akan menolak kalau kukatakan, atau kamu katakan, bahwa di sebelah hulu lebih banyak udang serojanya. Kakang Pangeran Upasara tak akan menolak kalau kuminta melihat kemungkinan sekeliling pulau ini.”

“Akal yang bagus.”

“Hanya wanita yang memiliki akal yang bagus.”

Gendhuk Tri masih sedikit ragu. Meskipun bisa menerima alasan yang dikemukakan Putri Koreyea. Permintaan yang tulus, yang bisa bergema dalam hatinya sebagai sesama wanita. Permintaan yang mulia, demi kebaikan. Kalaupun banyak bahaya yang lain, itu bukan berarti halangan.

“Besar kemungkinannya kita akan bertemu Gemuka. Kalau peristiwa di perahu itu diketahui, Gemuka bisa menelusuri bengawan ini dan menemukan kira-kira di mana kulit karung yang kita pakai.”

Putri Koreyea merangkul Gendhuk Tri. “Aku tahu, Adik Tri, kamu tak tega melepas aku sendirian. Tetapi aku minta, kalau memang tak bisa dipertahankan lagi, demi keselamatanmu dan demi ketenangan sukmaku, jangan hiraukan apa yang terjadi nanti. Kamu berjanji?”

“Putri, saya bukan suami tercinta. Kalau saya berjanji, saya bisa mengingkari.”

“Kenapa?”

“Karena wanita banyak akalnya.”

Putri Koreyea merangkul kencang. Hari ini kelihatan bersemangat. Wajahnya yang pucat beku kelihatan seperti bercahaya. Gairah hidupnya seperti menyala kembali. Perjalanan ajal, yang membangkitkan. Perjalanan kematian, yang memberi kehidupan. Inilah yang ganjil. Inikah jiwa wanita?

Ternyata yang paling tidak menyadari hal ini adalah Upasara Wulung. Dengan lugu ia berangkat menuju hulu, menuju datangnya air. Mengulang perjalanan ketika mengikuti Gendhuk Tri. Hanya kali ini dilakukan dengan saksama, dengan penuh perhatian. Hingga menjelang senja. Hingga kaget karena Pangeran Hiang menyusul dengan tergesa.

“Kakang Pangeran, kita katiwasan!”

Upasara seperti tak mau percaya. Ia berusaha menengok kembali ke tempat semula. Akan tetapi Pangeran Hiang memutuskan memakai beberapa batang pohon yang diikat, dan mereka berdua terus berlayar mengikuti arus.

“Semakin cepat menemukan mereka berdua, semakin besar kemungkinan kita memberikan pertolongan.”

Dalam gelap, mereka berdua naik ke batang perahu. Mengikuti arus bengawan. Baik Pangeran Hiang maupun Upasara mempunyai tenaga dalam yang besar, sehingga batang pohon itu bisa dikayuh dengan lebih cepat. Pandangan keduanya menyelusup ke kiri dan kanan. Menebak-nebak dalam gelap. Tengah malam, pohon yang mereka tumpangi mulai oleng. Ombak arus sungai seperti bergolak. Benturan batu-batu dan pusaran ombak yang makin keras tak bisa diimbangi dengan ikatan dari sulur kayu. Putus, dan dua batang kayu itu memisah.

Upasara segera meloncat, berenang ke arah tepi. Bersama dengan Pangeran Hiang. Tidak seperti yang diduga, pusaran ombak sangat kuat sekali. Sehingga beberapa kali mereka gagal menepi. Upasara membiarkan tubuhnya terseret hingga dasar, baru kemudian menjejakkan tubuhnya. Meluncur keras menuju ke tepi. Tenaganya dikerahkan penuh. Bukan cara berenang yang baik, akan tetapi itulah yang menyelamatkan hingga tepi.

Begitu juga Pangeran Hiang yang terpaksa melepaskan pakaian kebesarannya. Barulah mereka menyadari bahwa keduanya berada di muara samudra. Angin barat menderu kencang sekali. Pangeran Hiang segera berlari sepanjang pantai. Mencari dan mencari, bolak-balik dan berteriak mengguntur, memanggil dengan suara keras sekali. Upasara bagai orang yang sama tololnya, mengikuti berlari, berteriak, dan terus mengitar.

Baru kemudian sadar untuk mendatangi penduduk sekitar. Ketika melewati perumahan penduduk, Upasara berhenti untuk bertanya. Lama sekali baru dibukakan pintu. Agaknya penduduk yang tidak seberapa jumlahnya itu makin ketakutan karena mendengar suara teriakan Pangeran Hiang.

“Kami kira suara penunggu laut,” jawaban pertama dari yang berani membuka pintu.

“Maaf, Paman. Saya dan kadang, saudara, saya ini kehilangan teman. Kami ingin bantuan Paman untuk mencari….”

“Kami tidak berani, apalagi di tengah malam pada musim barat seperti ini.”

“Kami membutuhkan pertolongan Paman… Andai saja ada yang menemukan teman saya. Dua orang wanita.”

Mulailah usaha pencarian yang dilakukan secara beramai-ramai. Apalagi ketika pemimpin nelayan itu mengenali Upasara Wulung, mereka merasa mendapat kehormatan besar. Tanpa diminta, suami-istri dan anak-anak menyalakan kayu dan sabut kelapa. Pertanyaan Upasara mendapat jawaban yang sama. Bahwa sejak sore mereka tak berani ke laut, sehingga tidak mengetahui apa yang terjadi.

“Senopati dari mana? Kenapa bisa kemari?”

Upasara menerangkan bahwa ia tadinya berada di Lodaya, lalu terseret arus hingga sampai ke suatu pulau kecil, sebelum akhirnya sampai di tempat sekarang ini.

“Apakah Senopati mengarungi Sungai Sumbermanjing?”

Upasara mengangguk ragu. “Saya bahkan tidak tahu namanya. Tapi terusan dari Brantas.”

“Ya, itulah Sungai Sumbermanjing. Apakah Senopati dan temannya juga dari tempat yang sama?”

“Ya, kira-kira di mana bermuara kalau tidak di sini?”

Pemimpin nelayan itu ragu. “Hanya tempat ini…” Suaranya menggantung. “Atau pantai Ngliyepan… Tapi mustahil. Mustahil.”

Pangeran Hiang mengepalkan tangannya. Jari-jari tangannya mengeluarkan suara keras.

“Lebih baik Senopati tidak ke sana… Tak mungkin, sekarang ini… Mohon…”

Bagi Pangeran Hiang dan Upasara tidak ada pilihan lain. Meskipun penjelasan bahwa pantai di wilayah Ngliyepan dianggap pantai yang paling ganas dan menakutkan. Pada hari-hari biasa tak ada yang berani ke tempat tersebut. Apalagi di musim angin begitu keras menabrak apa saja.

Kunjara Ngliyepan
PANGERAN HIANG tak sabar mendengarkan. Tapi Upasara tak bisa meninggalkan begitu saja. Karena tata krama maupun karena melihat nasihat yang diberikan dengan sepenuh hati. Di samping, ia sendiri tak begitu mengenal wilayah yang akan dilalui. Selama ini dirinya ternyata terseret arus Brantas hingga terdampar di pulau kecil yang terjadi karena arus sungai terbelah. Wilayah yang paling jarang, atau tak pernah, dilalui nelayan.

Karena belahan arus itu mengalir kuat menuju laut. Baik yang melalui Sungai Sumbermanjing, yang masih lebih baik alamnya dibandingkan dengan pesisir, maupun pantai Ngliyepan. Sebab pesisir Ngliyepan selama ini dikenal sebagai wilayah tak berpenghuni selain setan lautan. Pesisir itu oleh masyarakat sekitar diberi julukan Kunjara Ngliyepan. Kunjara bisa berarti gajah, tapi juga bisa diartikan penjara. Sedangkan ngliyep berarti mengantuk atau tertidur. Yang bisa berarti pula tertidur untuk selamanya.

Apa pun terjemahannya, artinya sama. Siapa pun yang menginjakkan kaki ke wilayah tersebut, tak akan pernah kembali. Peribahasa penduduk adalah sato mara sato mati, jalma mara jalma mati, binatang datang binatang yang mati, manusia datang manusia pula yang mati. Tidak peduli binatang atau manusia, bakal sirna selamanya. Keangkeran wilayah pesisir itu bukan hanya dongengan, karena selama ini terbukti tak pernah dipergunakan untuk keperluan apa pun.

Baik keperluan Keraton atau kepentingan penduduk untuk menangkap hasil laut. Keraton bahkan menganggapnya sebagai benteng pertahanan alam yang tak mungkin diterobos siapa pun. Upasara mengakui bahwa apa yang diceritakan bukan hanya omongan yang ditambah-tambahi. Bahkan keadaan sebenarnya lebih ganas.

Meniti pesisir Sumbermanjing menuju pesisir Ngliyepan memerlukan daya tahan yang besar. Apalagi mereka berdua berusaha selalu berada di pesisir berombak, sehingga bisa melihat kalau-kalau Gendhuk Tri dan Putri Koreyea terdampar. Akan tetapi sampai fajar menyingsing, tak ada tanda-tanda adanya seseorang atau rakit yang terempas. Sampai mereka tiba di pesisir yang ombaknya sebesar gajah.

“Tidak masuk akal kalau mereka berdua hilang begitu saja, Kakang Pangeran Upasara.”

“Barangkali kita bergerak terlalu cepat.”

“Saya berpikir begitu juga. Kakang Pangeran Upasara, saya tak ingin memberati Kakang. Biarkan saya kembali mengarungi jalanan yang tadi. Siapa tahu masih sempat bertemu dengan sisa tubuh mereka.”

“Adikku Pangeran Hiang, Jangan merasa merepotkan. Saya mempunyai tanggung jawab yang sama.”

Mereka berdua kembali ke pesisir Sumbermanjing. Dari sana dengan sampan yang lebih ramping, dengan galah sebagai penyangga yang lebih kuat. Melawan arus kuat, menuju ke tempat semula. Perjalanan yang hampir tidak mungkin karena arus berputar keras. Hanya karena tekad yang membaja dan usaha keras, mereka berdua bisa kembali ke tempat semula. Mengitari kembali pulau kecil. Dan kembali ke tempat semula.

“Ada kemungkinan lain. Adik Tri cukup pintar. Bukan tidak mungkin ia sengaja membawa rakit ke depan, lalu mengikuti arus yang tidak bermuara ke laut. Saya akan melewati tempat itu. Sebaiknya Kakang Upasara melewati jalur yang tadi. Kalau umur kita panjang dan Dewa berkenan, kita akan segera bertemu kembali.”

“Adik Pangeran…”

Upasara tak bisa melanjutkan kata-katanya. Tak perlu. Karena ia menyadari apa yang berkecamuk dalam hati Pangeran Hiang. Kalaupun Upasara menguatirkan Gendhuk Tri, keadaannya tidak seperti Putri Koreyea. Yang sedang berada dalam keadaan menunggu ajal. Upasara membungkukkan badan, mengikuti tata krama Pangeran Hiang. Pertemuan yang singkat, tetapi membawa perubahan banyak.

Sejak berada dalam perahu Siung Naga Bermahkota, dirinya dengan Pangeran Hiang berhadapan sebagai musuh yang menentukan kemenangan dari kematian lawan. Pertarungan yang menegangkan dan disambung dengan ajakan Pangeran Hiang untuk menyelamatkan diri sewaktu perahu diserbu dengan panah api. Itu titik yang makin nyata bagi Upasara untuk mengenal dan mempercayai jiwa besar Pangeran Tartar, putra mahkota Kubilai Khan yang Perkasa.

Apalagi berada di tempat terpencil, di mana pergumulan dan penemuan nilai-nilai kehidupan mencapai bentuknya dengan saling mengangkat saudara. Suatu penguburan dendam masa lalu, yang tadinya seakan tak mungkin terjadi. Dan sekarang ini berpisah. Untuk waktu yang tidak jelas, kapan bisa bertemu lagi.

Pangeran Hiang mengalami perasaan yang sama, akan tetapi putra mahkota yang dibesarkan dengan gemblengan sifat lelaki di gurun pasir, bisa lebih menguasai perasaannya. Setelah membungkuk sekali lagi, Pangeran Hiang mendayung perahunya. Melawan arus lagi, untuk menemukan pecahan Kali Brantas dan menyisiri dari pinggiran yang berbeda.

Upasara menggunakan dua batang pohon yang kini diikat lebih erat, lebih kuat. Kembali menelusuri Sungai Sumbermanjing hingga ke pesisir. Yang berbeda kali ini adalah bahwa ketika ia meminggirkan rakitnya, puluhan warga nelayan menunggu dan menyambutnya dengan penghormatan penuh. Upasara terpaksa menunda keberangkatannya dan bermalam. Baru esok paginya Upasara meneruskan perjalanan menuju pedalaman. Menuju Keraton Majapahit. Masih ada yang menunggu di sana. Masih ada yang tersisa sebagai pertanyaan.

Yang pertama adalah keadaan Dewa Maut. Tokoh berambut putih yang menggugah kembali jiwa ksatria ini bersifat angin-anginan. Hatinya yang baik, sifatnya yang luhur, dan keinginannya menolong bisa dengan mudah dibelokkan untuk tujuan jahat.

JILID 43BUKU PERTAMAJILID 45