Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 15
Kekuatan kedua adalah pengikut setia Senopati Agung Brahma. Sudah jelas dalam perhitungan Halayudha, bahwa di kelak kemudian hari Senopati Agung Brahma tak akan bisa ditarik ke pihaknya. Senopati lanjut usia itu terlalu keras pendiriannya, terlalu teguh tak bisa diusik sedikit pun. Apalagi jika kelompok ini sempat naik dan memegang beberapa jabatan, Halayudha akan mengalami kesulitan di belakang hari.
Itu masih harus ditambahkan bahwa kemungkinannya untuk naik ke tata pemerintahan sangat besar. Jalan satu-satunya adalah merontokkan sebelum terlalu kuat akarnya, terlalu luas pengaruhnya. Halayudha memilih sasaran kelompok Senopati Agung Brahma. Sekarang dalam hatinya ia tersenyum, karena sudah menduga apa yang akan ditanyakan Permaisuri Indreswari.
Hadiah Tanah Seberang
“APA yang pantas kuberikan sebagai hadiah atas jasanya?”
Itu sudah diduga Halayudha. Dengan menyebutkan hadiah, secara tidak langsung justru sudah menanyakan hukuman apa yang pantas dijatuhkan. Pantas karena tak bisa menghilangkan pangkatnya begitu saja. Akan banyak masalah yang timbul. Tetapi jelas juga tak bisa biarkan begitu saja.
“Baginda Muda pernah menitahkan. Rasa-rasanya hamba belum lupa mengingatnya. Senopati Agung Brahma berjasa menaklukkan tanah Melayu. Bukankah tlatah ini bisa diberikan sebagai balas jasa pengabdiannya membesarkan kekuasaan Keraton?”
Permaisuri Indreswari mengangguk perlahan. Tanah adalah hadiah tertinggi yang diberikan kepada seseorang. Akan tetapi maknanya berbeda jauh jika tanah kekuasaan yang diberikan berada di seberang! Itu sama artinya dengan dibuang! Cara yang paling halus untuk mengasingkan, untuk meniadakan, untuk menghapus dari percaturan tata pemerintahan. Akhirnya memang harus begitu. Jalan keluar terbaik.
Permaisuri Indreswari menghela napas. Di satu pihak ia sama sekali tak menyangka bahwa Halayudha selalu saja bisa menunjukkan jalan keluar terbaik. Di pihak yang lain, kecurigaan pada Halayudha makin tumbuh. Justru karena senopati yang satu ini seakan mengetahui segala apa yang tengah terjadi di Keraton. Mengetahui sampai hal yang sekecil-kecilnya.
Ini berarti bisa menimbulkan bahaya di belakang hari. Apalagi Halayudha cukup sakti. Ilmu silatnya cukup tinggi dan sulit dicari tandingannya di Keraton. Dengan keleluasaan bergerak, bisa saja menjadi lain kalau melihat kesempatan. Dan Permaisuri Indreswari tak akan memberikan kesempatan, sedikit pun.
Halayudha seakan bisa menebak jalan pikiran Permaisuri. “Hamba lancang dan seakan mengetahui rahasia Keraton. Padahal hamba hanya bisa menduga-duga. Kalau hamba dibebaskan dari kesalahan bicara sekarang ini, biarlah mulai besok hamba mengembalikan semua pangkat dan derajat yang Permaisuri anugerahkan. Hamba akan menjadi petani di dusun.”
“Tidak sejauh itu. Aku tak mengetahui banyak tentang dirimu yang sesungguhnya, akan tetapi rasanya kamu masih bisa melanjutkan pengabdianmu.”
Halayudha menyembah hormat. Dalam sekali. “Adalah kerikil yang lain?”
“Rasanya dari kalangan ksatria yang suka bikin onar tak ada lagi selain Puspamurti.”
“Aku bisa mengatasi. Bagaimana dengan Manmathaba?”
Halayudha berhati-hati ketika menjawab. “Permaisuri yang Mulia lebih tahu. Selama bisa membantu, tak ada salahnya tinggal di sini. Hanya liku-likunya terlalu banyak yang disembunyikan.”
“Apakah mereka akan menimbulkan bencana di belakang hari?”
“Tidak bagi Keraton. Hanya saja mungkin menyulitkan karena sebentar lagi teman-temannya akan berdatangan.”
“Kalau begitu, aku tahu bagaimana mengatasinya. Bagaimana dengan kalangan senopati?”
“Nasib mereka tergantung di bawah telapak kaki Permaisuri yang Mulia. Hari ini diperintahkan berhenti, akan berhenti. Hari ini menjadi mahapatih, begitulah yang terjadi. Kemurahan hati dan kebesaran jiwa Permaisuri-lah yang menghidupkan atau mematikan mereka.”
“Juga Mahapatih?”
Halayudha menunduk dalam sembah.
“Bagaimana bila aku menunjuk kamu sebagai mahapatih?”
Halayudha menggeleng perlahan. “Kalau hamba masih diperkenankan mengabdi sebagai prajurit biasa sekalipun, bagi hamba itu sudah suatu anugerah. Berarti semua kelancangan hamba dimaafkan.”
“Apakah kamu jujur mengatakan ini?”
“Demi segala Dewa yang Maha benar.”
Permaisuri bangkit dari peraduannya. “Kalau begitu panggil juru tulis Keraton, perintahkan membuat keputusan Raja. Bahwa Senopati Agung Brahma diberi kehormatan tlatah kulon, wilayah yang pernah dikunjungi. Senopati Agung Brahma bisa menikmati bersama seluruh keluarganya tanpa kecuali. Bahwa Mahapatih Nambi direstui untuk kembali sementara ke tempat kelahirannya. Bahwa wewenang Keraton sepenuhnya di tangan Manmathaba.”
Halayudha terus menyembah.
“Lakukan itu.”
“Segala titah dijalankan sebagaimana kehendak Dewa…”
Dini hari itu pula layang kekancingan, surat rahasia, keputusan raja yang juga memakai nama kebesaran Raja Jayanegara, disampaikan kepada Senopati Agung Brahma. Ketika Dyah Dara Jingga menyatakan keheranan dan menyampaikan niatnya untuk menemui adiknya, jawabannya tidak mungkin. Bagi Senopati Agung Brahma sendiri, putusan itu seperti tak mengejutkan sama sekali.
Dengan sembah yang dalam, Senopati Agung menerima. Dalam tarikan napas yang sama, diperintahkan untuk mengemasi apa yang bisa dibawa. Sebelum matahari tenggelam, Senopati Agung diperintahkan untuk meninggalkan Keraton.
“Kalau Janaka masih belum kembali, biarlah suatu hari ia segera menyusul.”
Hanya itu yang dikatakan secara pendek. Selebihnya masuk ke dalam kamar, bersemadi. Tak ada yang berani mengusik. Tak ada yang berani berbisik. Tak ada yang tahu bahwa dalam kesendiriannya, Senopati Agung Brahma seperti melihat semua yang pernah dilakukan. Semua tergambar secara jelas, berjejer satu demi satu.
Itulah saat-saat di mana ia akan menjelajah lautan sebagai duta Keraton Singasari. Tak ada yang lebih membanggakan, tetapi sekaligus memberatkan hati. Membanggakan karena itulah puncak pengabdiannya kepada Baginda Raja yang sangat dihormati. Dirinya terpilih sebagai senopati utama yang mewakili Baginda ke tanah seberang.
Menyedihkan karena dengan itu ia harus berpisah dari putri Keraton yang menjadi idaman hatinya, yang telah direstui oleh Baginda untuk dipersunting di kelak kemudian hari. Senopati Agung Brahma tak pernah melupakan malam menjelang keberangkatannya. Ia meminta izin Baginda untuk menemui tambatan hatinya, meminta diri.
Malam yang kemudian mengubah pandangan hidupnya. Karena wanita tambatan hatinya, putri sekar kedaton, putri Baginda Kertanegara yang disembah, menolak pertemuan itu. Hanya menerima di balik sekat yang membatasi.
“Gusti Putri, kenapa Gusti tak mau menemui hamba?”
“Berangkatlah, Senopati! Kamulah prajurit sejati. Ksatria yang menjadi panutan. Berangkatlah kenegeri seberang, taklukkan, boyong putri yang tercantik, permaisurikan dia… Berangkatlah…”
“Gusti Putri…”
“Gusti Putri telah layu…”
“Hamba bersumpah…”
“Saya tak mau mendengar…”
“Hamba berjanji demi Dewa…”
“Saya tak mau mendengar… Berangkatlah, Senopati… Ksatria… Pendekar… Duta… Pemimpin… Panglima Perang… Berangkatlah... Itulah duniamu. Takdirmu. Itulah dirimu…”
Malam yang menggelisahkan. Hingga fajar tak ada pembicaraan lain. Hanya kerinduan dan ketidaktahuan akan apa yang sesungguhnya terjadi. Kenapa secara tiba-tiba tambatan hatinya tidak mau menemuinya.
Di tengah amukan gelombang laut, di antara pepohonan di negeri seberang, Senopati Brahma baru kemudian sekali menemukan jawaban yang masih serba samar. Bahwa kepergiannya diartikan sebagai perpisahan. Bahwa dunianya yang kemudian adalah dunia yang tak punya hubungan dengan tambatan hatinya.
Senopati Brahma ingin membuktikan kesungguhan hatinya. Kesucian tekadnya. Menunaikan tugas utama, dan kembali dengan hati yang sama, untuk menemui tambatan hatinya. Itulah yang selalu menghuni benaknya siang dan malam. Sampai kemudian utusan yang dikirim ke Keraton membawa kabar yang membuatnya tak mampu menatap matahari. Senopati Brahma merasa bahwa kepergiannya, pengabdiannya, ternyata sia-sia, tanpa arti apa-apa bagi dirinya. Putri Keraton Singasari menyusul ke negeri seberang. Sebagai mempelai wanita.
Permaisuri Keraton Caban
SENOPATI BRAHMA mengetahui jauh setelah putri tambatan hatinya meninggalkan Keraton Singasari. Utusan yang membawa berita hanya melaporkan bahwa tak lama setelah Senopati Brahma berangkat, rombongan Dyah Ayu Tapasi juga berangkat ke negeri seberang, ke tlatah Campa. Untuk dipermaisurikan Raja dari Keraton Caban.
“Adakah sesuatu yang dikatakan sebelum berangkat? Adakah pesan tertentu dari Mpu Raganata?”
“Hamba hanya mendapat kisikan dari Mpu Raganata yang bijak, bahwa semua ini atas kehendak Tuan Putri sendiri. Ketika Tuan Putri Dyah Ayu Tapasi mendengar berita bahwa Raja Caban meminta salah seorang putri Keraton Singasari, beliau sendiri yang mengajukan diri, dan memutuskan untuk berangkat secepatnya. Baginda Raja sendiri tak menolak. Hanya itu yang dikisikkan, selebihnya, Baginda Raja berkenan menyampaikan restu dan menunggu Senopati kembali ke Keraton.”
Pertarungan batin Senopati Brahma, saat itu, tak selesai. Pandangan matanya selalu nyalang setiap kali berada di tepian samudra. Ombak yang bergolak, angin yang bertiup, seakan mendorong jiwanya untuk segera kembali ke Keraton, untuk mendengar kabar yang sesungguhnya.
Pertanyaan yang ingin dipuaskan ialah: Kenapa tambatan hatinya, Dyah Ayu Tapasi, mendadak saja menerima lamaran dari Raja Caban? Ada berita apa sesungguhnya di balik ini semua? Kenapa setelah sekian lama memadu kasih, merencanakan jalan kehidupan yang bahagia, yang direstui Baginda, keinginan itu tak terwujud? Buyar begitu saja. Tak ada yang mengganggu hubungan asmara selama ini.
Dyah Ayu Tapasi walaupun putri sekar kedaton, putri istana, sudah lama menerima dirinya yang kalau dirunut masih mempunyai darah keturunan seorang raja. Ia bukan sekadar senopati yang berasal dari darah petani. Bahkan ia tak pernah bermimpi, tak pernah mendapat firasat buruk sedikit pun sebelumnya. Sampai langkah terakhir ketika mengunjungi kaputren, masih tak terasa bakal ada sesuatu yang mengubah jalan sejarah hidupnya. Tertumpuk semua pertanyaan tanpa jawaban. Dan semua ingin ditumpahkan pada saat kembali ke bumi Singasari. Hanya saja segalanya telah berubah.
Sri Baginda Raja yang dikagumi dan dipuja sudah tidak memerintah lagi. Demikian juga Mpu Raganata. Yang meneruskan takhta adalah Sanggrama Wijaya. Seperti senopati seberang yang lain, Senopati Brahma meneruskan pengabdiannya. Dan diterima dengan sangat terhormat oleh Raja Kertarajasa, diangkat menjadi sesepuh para senopati dengan gelar Senopati Agung Brahma. Akan tetapi sejak itu, pertanyaan yang masih menggumpal tak terjawab.
Dalam kedudukan, dalam menjalankan tugas sehari-hari, Senopati Agung Brahma seperti tidak bersemangat. Lebih banyak mengurung diri dan menjauh dari segala kegiatan. Sampai suatu ketika Baginda memanggil, dan mengatakan bahwa sudah layak dan sepantasnya Senopati Agung ada yang mendampingi.
“Paman Senopati Agung, rasa-rasanya hanya Paman yang pantas memperistri Dyah Dara Jingga…”
Senopati Agung tak bisa menjawab selain mengangguk, mengiyakan. Sewaktu didesak lebih jauh, Senopati Agung menerangkan bahwa ia menunggu berita apa yang terjadi dengan Dyah Ayu Tapasi. Baginda menyanggupi akan mencari kabar secepatnya.
“Akan tetapi pernikahan Paman tak bisa ditunda. Sebab Dyah Dara Jingga harus menikah lebih dulu, sebelum adiknya ada yang mengambil.”
Semua berjalan sebagaimana yang direncanakan. Pesta pernikahan yang megah. Akan tetapi Senopati Agung Brahma kembali mengasingkan diri. Tak mau terlibat kejadian sehari-hari. Lebih suka mengurung diri dalam kapustakan, mempelajari kitab, menembang, berlatih, dan sering dalam waktu tiga bulan tidak berbicara satu patah kata pun.
Demikian juga ketika putranya lahir, Senopati Agung mendidik sendiri, bergulat sendiri dengan putranya. Tanpa pernah mau secara langsung melibatkan diri dengan peristiwa Keraton. Tak ada yang bisa menggugah Senopati Agung Brahma. Tak ada yang bisa membuat perhatiannya teralih. Membingungkan siapa pun, akan tetapi Senopati Agung yang dianggap bertapa membisu terus menjauhkan diri dari tata pergaulan, sampai belasan tahun.
Sampai suatu ketika, Senopati Agung mendengar bahwa sebagian rombongan para senopati yang dulu dikirim ke tanah seberang telah datang. Yang membuatnya tergerak karena di antara yang datang kembali ada yang dari tlatah Campa! Seorang ksatria gagah perkasa yang bernama Maha Singanada. Sewaktu berangkat dulu, Senopati Agung tidak mengenali Singanada. Akan tetapi wajahnya, sikap keras kepalanya, mengingatkan kepada salah seorang senopati yang dikenalnya.
Celakanya, justru ketika mencoba berhubungan dengan Singanada yang terjadi adalah salah paham yang tak terselesaikan. Saat itu Singanada bahkan berniat membunuhnya. Makin tak masuk akal. Senopati Agung menyadari bahwa semua rombongan dari tlatah Campa tak ada sedikit pun yang mau membuka mulut mengenai tugas di tanah seberang. Jangan kata mendengar laporan mengenai Dyah Ayu Tapasi, kalau ia menyebut tlatah Campa, yang diajak bicara langsung mengerutkan dahi dan menjauh.
Rasa ingin tahu makin menebal. Tapi tetap tak ada jawaban. Sampai kemudian terjadi gegeran di Keraton, dan dirinya tak bisa menghindarkan diri. Yang sedikit disesali karena putranya ikut terlibat. Ini berarti semua dosa akan ditanggung bersama. Bagi Senopati Agung, dibuang ke tanah seberang selalu menimbulkan bayangan yang tidak enak. Karena itulah dulu ia kehilangan putri tambatan hatinya. Dan mau tak mau sekarang harus dijalani lagi.
Pertarungan batin yang meletihkan. Karena tak ada jawaban. Karena tak ada gema. Semua ditanggung sendiri. Doa dari sukma yang merintih tak juga memperoleh penerangan, atau firasat akan sesuatu. Buntu. Mangu. Menengok kembali ke masa yang dijalani, Senopati Agung Brahma merasa selama ini dirinya hidup dalam mimpi. Dalam bayangan daya asmara Dyah Ayu Tapasi yang hanya hidup dalam angannya. Dirinya selalu hidup dalam keadaan sukma yang kering. Betapa sia-sia. Senopati Agung menatap dirinya sendiri dengan sorot mata kasihan, iba tak terperi.
“Itulah dirimu. Seorang ksatria, seorang senopati yang jiwanya kosong. Yang tak mengerti bahkan jawaban pertanyaan yang paling sederhana pun. Ke mana Dyah Ayu Tapasi? Kenapa malam itu memutuskan tak mau bertemu? Kenapa tiba-tiba mau menerima lamaran Raja Campa? Apa yang terjadi di sana?
Pertanyaan yang paling sederhana. Tapi kamu tak bisa menjawab. Brahma, apa sebenarnya yang sudah kamu jalani selama ini? Apa arti dirimu lahir, besar, dan menjadi senopati? Kamu tidak melakukan apa-apa. Kamu sudah mati ketika kapal meninggalkan Keraton Singasari.” Pertanyaan yang tergema kembali sebagai pertanyaan.
“Telah terlambat,” jawabnya sendiri. “Terlambat untuk memulai sesuatu. Kenapa tidak dari dulu mencari ke tlatah Campa? Kenapa tidak dari semula kamu tanyai Dyah Ayu Tapasi? Sekarang apa yang kamu peroleh? Tak ada siapa-siapa. Tak ada apa-apa. Sekarang dan selamanya. Kamu tak pernah ada.”
Senopati Agung menggeleng. Berulang kali. Menghela napas berulang kali. Sesungguhnya inilah yang membuatnya sedih. Bukan karena dibuang. Bukan karena mendapat perlakuan yang kurang ajar dari keponakannya sendiri. Bukan karena pangkat atau derajat.
“Kamu kehilangan yang sangat berharga dalam hidupmu, tetapi kamu tak tahu apa yang hilang itu. Sebab kamu tak memiliki hidup. Bahkan sekarang ini kalau kamu bunuh diri, kamu tidak mati. Karena kamu sudah tidak ada. Hanya memperpanjang beban istrimu, anak-anakmu, terutama Janaka Rajendra…”
Hanya yang terakhir ini mempunyai gema yang menggeletar dalam hatinya. Putranya, Pangeran Anom Janaka yang begitu cepat menangkap pelajaran yang diberikan, yang begitu mengerti dirinya, yang bisa berhari-hari menemani tanpa mengucapkan sepatah kata. Bentuk lain dari dirinya.
Jalinan Tetes Air
APA yang dipikirkan Senopati Agung Brahma mengenai putranya adalah pikiran yang membuatnya merasa ngeri, sedih, dan hanya bisa menghela napas tertahan. Barangkali perasaan yang bisa melihat ke depan. Yang melihat bagaimana akhir perjalanan hidup dari mata batin yang mampu menjangkau ke depan.
Janaka Rajendra tidak menyadari hal itu. Bahkan tidak menyadari akan mencapai tatanan yang sama sekali tak diduganya. Sejak menyaksikan Gendhuk Tri yang berpasangan dengan Singanada, yang membersit dalam pikirannya ialah permainan ilmu silat yang selama ini dipelajari dari Kitab Air. Selama ini ia selalu dilatih ayahnya, tanpa henti dan tanpa mengenal ilmunya dimainkan orang lain.
Maka hatinya sangat tertarik ketika melihat Gendhuk Tri memainkan. Bagai tersedot tenaga gaib, ia sendiri ikut memainkan, dan hanyut ke dalamnya. Sehingga tak bisa menghentikan sendiri. Hanya sewaktu sadar, segera membantu Gendhuk Tri menggotong Singanada untuk dibawa bersembunyi ke dalam rumah kediaman Janaka Rajendra.
Saat itu juga semua tabib dikerahkan, akan tetapi semuanya menggeleng. Tempurung lutut kanan Singanada telah membusuk, hancur lumat, tak bisa dipisahkan antara tulang, daging, dan urat.
“Bandul bandring itu benar-benar biadab.”
“Saya yang biadab,” kata Janaka. “Karena saya tak bisa berbuat apa-apa. Satu-satunya yang bisa saya lakukan hanyalah menjejali dengan ramuan jamu untuk menahan rasa sakit.”
Gendhuk Tri menunggui Singanada. Rajendra ikut menunggui.
“Maaf, saya lupa mengucapkan rasa terima kasih yang dalam. Pangeran Anom telah berbuat sangat baik kepada kami berdua. Jiwa budi luhur ini tak nanti kami lupakan.”
“Sayalah yang seharusnya minta maaf pada Adik Tri. Karena telah lancang mengajak Adik memainkan bersama bagian-bagian dari Tirta Parwa.”
“Dari mana Pangeran Anom mempelajari itu?”
“Dari Rama…”
“Kalau begitu kita satu aliran…”
“Semua ksatria berada dalam arus yang sama. Semua air adalah sama sumbernya. Kehidupan…”
Gendhuk Tri mendadak memalingkan wajahnya. “Pangeran Anom selama ini berlaku sangat baik. Saya sungguh tak berhak atas kehormatan semacam ini. Silakan beristirahat atau meninggalkan kami. Biarlah kami meneruskan perjalanan ini.”
“Tidak mungkin. Adik Tri mau pergi ke mana?”
Gendhuk Tri tak bisa menjawab. Ia tak tahu apakah perlu menjelaskan bahwa usianya jauh di atas Pangeran Anom, sehingga ganjil kalau dipanggil dengan sebutan “adik” atau “yayi”. Tapi yang lebih membebani pikirannya ialah ia tak tahu harus pergi ke mana. Juga tak mengerti apa yang terjadi dengan Upasara Wulung serta yang lainnya. Yang diketahui hanyalah dirinya berada di kediaman Pangeran Anom, ditunggui, dan menunggui Singanada yang hancur kakinya.
“Sekarang ini Adik Tri masih terkena pengaruh bubuk pagebluk. Setiap setengah hari akan ada serangan yang membuat Adik Tri ketagihan. Sehingga harus ditawarkan. Selama ini saya tak membuat banyak, akan tetapi akan saya usahakan.”
“Pangeran makin membuat saya malu.”
“Tidak. Saya ingin menolong Adik Tri.”
“Kenapa Pangeran begitu baik?”
Janaka Rajendra menatap mata Gendhuk Tri. Gendhuk Tri memalingkan wajahnya yang mendadak merah. Terasa panas menjalar di pipinya. Lalu berubah menjadi penyesalan. Gendhuk Tri membuang pikiran yang secara aneh menyelinap ke dalam benaknya. Bagaimana ia bisa berpikir yang bukan-bukan kalau Singanada sedang tak keruan nasibnya?
Akan tetapi Pangeran Anom ini memandang begitu lekat, dan tak mau meninggalkan tempat. Kenapa tak segera menjawab? Pertanyaan yang wajar bagi wanita yang justru memahami sikap asmara Pangeran Anom yang sedang tumbuh. Yang hidungnya mulai menghirup angin asmara. Sikap Pangeran Anom yang begitu baik menimbulkan tanda tanya.
Bagi Janaka Rajendra sendiri agak susah menguraikan bagaimana sesungguhnya perasaan hatinya. Ia menjadi bengong dan memandang lekat ke Gendhuk Tri ketika ditanya “kenapa begitu baik” dan tak bisa segera menjawab. Bukan karena apa, tetapi terutama sekali seumur hidupnya tak pernah ada pertanyaan semacam itu yang ditujukan kepada dirinya. Selama ini ia hanya belajar dari ayahnya mengenai ilmu silat, mengenai ilmu pengobatan dan jampi-jampi. Dan setiap kali melakukan. Tanpa pernah ada yang menanyakan untuk apa. Maka itu membuatnya tertegun.
Yang begini tak bisa dipahami Gendhuk Tri. Yang justru latar belakangnya terbalik dengan Pangeran Anom. Betapa tidak. Sejak kecil ia sudah langsung bergaul di tengah masyarakat persilatan, di tengah hiruk-pikuknya pertarungan dan pergaulan. Sedangkan Pangeran Anom justru hanya mengenai secara langsung ayahnya sendiri.
Jalan pikiran Gendhuk Tri yang menjadi sangat peka, terutama juga karena dirinya merasa gadis dewasa, sebenarnya tak terpikirkan oleh Janaka Rajendra secara sadar. Akan tetapi justru karena Janaka Rajendra terdiam bengong, Gendhuk Tri merasa serbasalah. Mereka berdua jadi terdiam lama. Gendhuk Tri menjadi tidak enak. Ia mengalihkan ke pembicaraan yang lain.
“Pangeran Anom, apakah Pangeran sudah lama mempelajari Kitab Air?”
“Sejak semula saya belajar dari Rama.”
“Kenapa Pangeran mengajak saya memainkan bersama…”
Kalimat Gendhuk Tri tak selesai. Baru ia menyadari bahwa setiap kali pertanyaan justru seperti mendesak pengakuan dari Janaka Rajendra.
“Saya sangat tertarik. Adik Tri bisa memainkan sangat bagus. Saya tertarik karena sesama air akan saling menarik tanpa menyusahkan. Sesama air akan menjalin dengan sendirinya. Persamaan perasaan akan menjelma menjadi kekuatan.
“Setetes air adalah setetes air. Sekian tetes air yang menyatu bisa menjadi tenaga banjir.”
“Saya tak pernah menduga…”
“Tidak bisa diduga. Air menemukan pasangannya dengan sesama air. Itulah kodrat alam. Saya merasa menemukan pasangan dengan perasaan Adik Tri…”
Gendhuk Tri menunduk. “Apa yang sesungguhnya ingin Pangeran katakan?”
“Bahwa air pasangannya dengan air. Ketika Adik Tri memainkan dan menjelmakan kekuatan air dan berpasangan dengan tenaga bumi, sungguh luar biasa. Bagai pasangan yang abadi tak terpisahkan. Akan tetapi tenaga air dalam diri saya meluap, mencari persatuan dengan sesama air. Kita bisa menjadi pasangan yang cocok. Lebih cocok daripada air dengan bumi.”
Gendhuk Tri menggeleng lagi. “Rasanya kurang pantas kita bicarakan sekarang, Pangeran…”
“Maaf…”
“Bagaimana kalau Pangeran beristirahat sebentar? Biarlah saya menunggui Kakang Singanada…”
Ganti Janaka Rajendra menggeleng. “Tak bisa, tak bisa. Saya akan menemani Adik Tri.”
“Kurang baik bagi abdi Keraton, Pangeran…”
“Mereka tidak apa-apa. Atau… atau… Adik Tri tidak mau saya temani?”
“Bukan begitu,” jawab Gendhuk Tri buru-buru. Lalu menggeleng lagi, merasa serba salah lagi. Tiba-tiba saja ada perasaan kikuk, jengah, tidak enak. Gendhuk Tri yang biasa bersikap semaunya, asal berbuat menuruti kata hatinya, sekarang merasa mati langkah. Merasa tak bisa bersikap wajar lagi.
“Adik Tri, apakah Singanada ini kekasih Adik?” Pertanyaan yang polos. Seadanya. Janaka Rajendra memang kurang memiliki kepekaan dalam pergaulan. Sehingga apa yang dirasakan langsung ditanyakan begitu saja.
Gendhuk Tri terdiam. Tak bisa seketika mengangguk atau menggeleng. Mengangguk belum tentu tepat. Tetapi menggeleng juga jelas salah. Selama ini Singanada menganggap dirinya adalah kekasihnya. Atau setidaknya mempunyai hubungan yang khusus. Untuk sementara Gendhuk Tri juga menerima. Perhatiannya terpecah ketika mendengar erangan Singanada.
Rintihan Bumi
BURU-BURU Gendhuk Tri mendekat, dan karena gugup ia menyentuh kaki kanan yang terluka. Singanada mengerang hebat. Tubuhnya menggigil, rasa sakit yang memilukan.
“Celaka, jamu penahan sakit telah hilang pengaruhnya.”
“Tobat! Aku tobat!”
“Apa yang harus kita lakukan, Pangeran?”
“Tobat… Kanya… aku tak kuat…”
Gendhuk Tri mengucak-ngucak rambutnya hingga dandanannya makin tidak keruan. Janaka Rajendra memencet paha Singanada yang terjulur ke arahnya.
“Bangsawan tengik, kamu… kamu membunuhku.” Sesaat tubuh Singanada menggelinjang, lalu tenang kembali.
Janaka Rajendra masih mengurut beberapa kali. Hingga tubuhnya mandi keringat.
“Bagaimana, Pangeran?”
“Susah sekali, Adik Tri. Rasa sakit yang diderita Singanada sangat hebat. Urat-urat kepekaan bagian kakinya hancur. Satu-satunya jamu penahan rasa sakit hanya bisa dibuat dalam waktu satu purnama penuh, dengan mengumpulkan ramuan yang diseduh dari ujung embun. Saya tak mempunyai persediaan lagi.”
“Tidak adakah jampi yang lain?”
“Saya tak berani mengatakan.”
“Katakan, ini soal hidup-matinya Kakang Singanada.”
“Untuk menahan rasa sakit, jamu dari embun yang paling tepat. Tidak mempunyai akibat sampingan. Saya tidak berani mengatakan kalau kita gunakan jenis bubuk pagebluk yang bisa mematikan rasa. Karena akan membuat Kakang Singanada terus-menerus ketagihan.”
“Lalu akan kita biarkan ia mengerang begini?”
“Kecuali… kecuali kalau kakinya dipotong.”
Gendhuk Tri mundur setapak. “Dipotong?”
“Ya. Dengan demikian urat perasa yang peka bisa kita matikan. Sehingga yang tertinggal adalah rasa sakit yang ada, tanpa menjalar.”
“Pangeran bisa melakukan?”
“Selama ini Rama hanya mengajari bagaimana meramu jamu. Saya belum pernah melakukan.”
“Pangeran mau mencobanya?”
“Mau, akan tetapi tetap harus menunggu kekuatan Singanada membaik. Selama tenaga dalamnya masih tak beraturan, akan susah mengaturnya. Kekuatan erangan bumi tak bisa sepenuhnya saya kuasai. Kalau Adik Tri yang terluka, saya bisa mengimbangi dengan tenaga dalam saya.”
“Saya jadi bingung. Bagaimana sebaiknya, Pangeran?”
“Kita harus menunggunya.”
“Sampai kapan?”
“Sampai tenaganya pulih sebagian. Panas tubuhnya tidak menjalar seperti sekarang.”
“Sampai kapan?”
“Itulah susahnya. Saya tak tahu. Makin cepat makin baik. Karena sekarang ini darahnya kita alihkan alirannya. Rasa sakitnya kita hentikan. Kalau terlalu lama bisa mengganggu.”
“Apakah tidak ada yang bisa menolongnya?”
“Rama bisa.”
“Kenapa…” Pertanyaan Gendhuk Tri terkunci oleh jawaban yang diketahui. Agak repot kalau sampai Senopati Agung Brahma yang menolong. Singanada pasti menolak.
“Kalaupun dipaksa, setelah sembuh nanti Singanada pasti akan membunuh karena alasan yang belum tersingkap. Rama sudah dibuang ke tanah seberang.”
Gendhuk Tri menepuk jidatnya sendiri. “Kenapa Pangeran tidak ikut?”
“Tidak. Saya lebih suka menunggui Adik Tri di sini.”
Kembali tangan Gendhuk Tri menggaruk rambutnya. Kali ini hanya tangan kiri, walau tidak menunjukkan berkurangnya rasa bingung dibandingkan menggaruk dengan kedua tangan. “Kenapa Pangeran lebih suka menunggui di sini?”
“Karena saya senang pada Adik Tri. Karena kita adalah sepasang air yang akan selalu bersama.”
Gendhuk Tri mendongak. Suaranya menggeletar. “Pangeran, saya tak tahu bagaimana harus bersikap. Saat ini saya sangat bingung. Saya tak tahu di mana dan bagaimana keadaan Kakang Upasara. Sekarang ini Kakang Singanada juga tak ketahuan mati-hidupnya. Tapi semua ini tak menghalangi Pangeran jika akan pergi ke tlatah seberang. Saya cukup tahu diri untuk tidak membebani Pangeran…”
“Tidak, Adik Tri. Saya sendiri yang memutuskan berada di sini.”
Gendhuk Tri menggigit bibirnya. “Apa yang akan kita lakukan?”
“Mengobati Singanada.”
“Baik-baik-baik. Apa yang perlu kita persiapkan?”
“Menunggu sampai tubuh Singanada tidak begitu panas. Lalu kita memotong kakinya, dan menunggui hingga agak sembuh.”
“Dengan apa memotongnya?”
“Kita cari senjata atau apa saja…”
Gendhuk Tri merasa perlu menahan diri. Makin dipaksakan berbicara, makin dipaksakan bertanya, makin disadari bahwa susunan kata-katanya tidak urut. Sudah jelas untuk memotong kaki diperlukan senjata. Masa hal sepele begitu perlu ditanyakan?
“Bagaimana caranya agar Kakang Singanada tidak terlalu panas?”
“Dengan tenaga air. Adik Tri bisa mengirimkan tenaga dalam untuk mengurangi panas tubuh Kakang Singanada. Kalau mau dicoba kita bisa melakukan bersama-sama.”
“Saya tahu tenaga dalam saya belum pulih sepenuhnya. Bantuan Pangeran sangat besar artinya. Tetapi kalau kita berdua melakukan pengerahan tenaga, bagaimana mungkin bisa memotong kaki?”
“Saya tidak tahu apakah Adik Tri setuju atau tidak. Kita bisa melakukan secara bersama. Apalagi jika kekuatan batin kita menyatu, pikiran kita satu, perasaan kita satu, rasanya apa yang akan kita lakukan tak akan saling mengganggu. Kekuatan air yang bergabung, tak akan’ saling menolak. Kekuatan air yang bergabung, bisa dialirkan ke mana saja.”
Kini Gendhuk Tri menyadari sepenuhnya. Bahwa dengan menyatukan perasaan dan pikiran, tenaga dalamnya bisa bersatu dengan tenaga dalam Janaka Rajendra. Dengan demikian bisa disalurkan dan diatur.
“Syaratnya harus bersatu. Seperti ketika pertama kali dipadukan dan mereka seakan menari bersama! Hanya karena sekarang harus bersemadi, berarti harus berdua-dua pula."
Sebenarnya jauh dalam hati Gendhuk Tri tak dibebani perasaan apa-apa, kalaupun harus mengerahkan tenaga dalam bersama-sama. Hanya saja ia mengetahui bahwa bersatunya rasa dan pikiran bisa berbuntut panjang. Karena kalau pengerahannya bisa searus, pastilah dengan betul-betul menyatukan perasaan yang paling peka dan pemusatan pikiran yang paling dalam. Kalau bisa menyatu, tenaga bisa dikerahkan dan diatur. Kalau tidak, akan saling membentur. Yang pertama artinya ia menyatukan keinginan dengan Pangeran Anom, yang kedua kalau gagal makin membahayakan Singanada.
“Pangeran, apakah Pangeran bersedia?”
“Saya bersedia. Apakah Adik Tri bersedia, itu yang menjadi pertanyaan.”
Gendhuk Tri mengangguk mantap. “Demi Kakang Singanada, marilah kita menyatukan…”
Gendhuk Tri segera bersila. Dua tangannya bergerak bagai menarikan sesuatu, sebelum kemudian Janaka Rajendra melakukan hal yang sama. Tiga kali tarikan napas, Gendhuk Tri masih menggelinjang. Pemusatan pikiran masih dibebani dengan apa dan siapa Pangeran Anom sebenarnya. Dan apa maksudnya? Apa di balik kebaikannya? Secara tiba-tiba dikenal, dan secara tiba-tiba pula berbuat begitu banyak kebaikan. Justru perasaan curiga inilah yang menghalangi pemusatan pikiran.
Janaka Rajendra menggeleng. “Sulit… sulit… tak bisa dipaksa.”
“Maaf…”
“Bukan salah Adik Tri…”
Keduanya berpandangan. Gendhuk Tri tergetar. Sesungguhnyalah yang dipandangi seorang lelaki yang sangat tampan, bersinar wajahnya, polos, dan sangat menaruh perhatian. Sangat dekat. Lekat. Hingga terasakan desiran napasnya.
Ditunggui Ratu Ayu
DADA Gendhuk Tri bergerak naik-turun. Deru napasnya tak bisa ditutupi. Tak syak lagi bahwa hati kewanitaannya tergetar melihat sepasang mata lelaki yang menatap ke arahnya. Lelaki yang tampan. Lelaki yang memperhatikan. Yang baik budinya, yang mempunyai latar belakang darah keturunan. Yang mempunyai gelar Pangeran Anom atau Pangeran Muda. Rasanya tak gampang menghapus wajah itu begitu saja. Apalagi secara terus terang Pangeran Anom mengakui tertarik kepada Gendhuk Tri.
Ini yang membuat dada Gendhuk Tri naik-turun. Akan tetapi kalau hati dan pikiran serta perasaannya sulit dipusatkan, bukan karena Pangeran Anom. Justru sebaliknya. Yang memenuhi isi kepala dan perasaan Gendhuk Tri, tak lain dan tak bukan masih tetap Upasara Wulung. Entah kenapa perasaan yang diselimuti daya asmara tak bisa disingkirkan. Keinginan membuang jauh-jauh pikiran mengenai Upasara justru berakibat makin lekat. Bayangan Upasara seakan selalu ada di sekitarnya, memandangi ke arahnya, mengedip, dan terkadang tersenyum.
Juga ketika menatap Pangeran Anom, Gendhuk Tri justru serasa bersalah kepada Upasara. Perasaan aneh yang tak bisa dipahami sendiri. Tapi itu yang hidup dalam rasa batinnya. Sekarang ini seluruh pikirannya justru tertuju ke arah Upasara. Ketika ia tinggalkan gelanggang sementara ia mengetahui bahwa keris milik Senopati Agung Brahma, karena perbuatan Halayudha, menusuk tubuh Upasara. Gendhuk Tri mengetahui bahwa sasaran keris yang amblas itu adalah pundak kiri.
Halayudha cerdik dan bisa mematahkan tepat di mana kekuatan Upasara tersimpan. Tangan kiri Upasara jauh lebih mudah digunakan untuk menyimpan kekuatan. Dalam latihan Kitab Bumi, tangan kiri lah yang membuka, sementara tangan kanan terkulai lemah. Itulah yang menjadi sasaran Halayudha. Dan kena.
Rasa kuatir mengenai nasib Upasara sama seperti ketika ia berada di dalam Keraton dan ditawan di sana. Antara sadar dan tidak, ia mengetahui dirinya berada dalam tempat penyimpanan pusaka. Dalam keadaan tak menentu kesadarannya, pandangan matanya justru menemukan Galih Kangkam! Pedang tipis hitam yang dipakai oleh Upasara!
Pedang yang ditemukan secara tak sengaja karena berada di dalam galih asam milik Galih Kaliki. Pedang itu hanya berpindah sekali dari tangan Upasara, yaitu ketika diberikan kepada Ratu Ayu Azeri Baijani. Ratu Ayu Bawah Langit dari negeri Turkana, biar bagaimanapun juga adalah istri Upasara Wulung. Yang terbersit ketika itu ialah bagaimana mungkin pedang utama milik suaminya bisa tergeletak dan tersimpan dalam Keraton. Apa yang terjadi dengan pemiliknya? Apa sekarang ini Ratu Ayu justru sedang menunggui? Alangkah mesranya!
Gendhuk Tri tak akan memedulikan nasib Ratu Ayu kalau itu tak ada hubungannya dengan Upasara. Maka bisa dimengerti kalau begitu keluar dan dibopong oleh Singanada, yang pertama kali terucap dari bibirnya ialah menanyakan kepada Upasara Wulung, bagaimana keadaan Ratu Ayu. Bagi Gendhuk Tri segala sesuatu yang bisa dihubungkan dengan Upasara tak akan hilang begitu saja. Bahkan membekas dan mempunyai makna tertentu. Hatinya sendiri mengakui bahwa satu daya tarik Singanada justru karena wajah dan perawakannya sangat mirip dengan Upasara!
Dalam waktu yang sangat pendek, hatinya mengenali siapa sesungguhnya Singanada. Seorang ksatria gagah yang lugu, yang begitu mencintai dan memperhatikan. Dalam keadaan tak mungkin memperoleh kembali Upasara yang hatinya telah diserahkan kepada Gayatri, walau resminya menjadi suami Ratu Ayu, Gendhuk Tri membuka pintu bagi kehadiran Singanada untuk melangkah lebih jauh. Yang berikutnya adalah pemunculan Pangeran Anom.
Agak tergesa-gesa ia mengartikan kehadiran Pangeran Anom ini, akan tetapi hati kecilnya mengatakan ia tak keliru menebak jalan pikiran seseorang yang menaruh minat padanya. Tidak, bagi Gendhuk Tri tak begitu mudah mengalihkan perhatian kepada lelaki lain. Apalagi setelah batinnya ditata untuk menerima Singanada. Namun yang terjadi sekarang ini ialah ia harus bisa menyatukan rasa dan pikiran dengan Pangeran Anom. Sebab hanya itu jalan satu-satunya untuk bisa menolong Singanada.
“Apa yang Adik Tri pikirkan?”
“Tidak…,” jawab Gendhuk Tri mengambang.
“Untuk sementara ini, Adik Tri jangan terganggu oleh pikiran yang lain. Saya bermaksud menolong Kakang Singanada. Saya tak akan berbuat curang untuk keuntungan pribadi saya.”
“Tidak. Bukan itu, Pangeran Anom. Saya sendiri yang tak begitu…”
Itu masih harus ditambahkan bahwa kemungkinannya untuk naik ke tata pemerintahan sangat besar. Jalan satu-satunya adalah merontokkan sebelum terlalu kuat akarnya, terlalu luas pengaruhnya. Halayudha memilih sasaran kelompok Senopati Agung Brahma. Sekarang dalam hatinya ia tersenyum, karena sudah menduga apa yang akan ditanyakan Permaisuri Indreswari.
Hadiah Tanah Seberang
“APA yang pantas kuberikan sebagai hadiah atas jasanya?”
Itu sudah diduga Halayudha. Dengan menyebutkan hadiah, secara tidak langsung justru sudah menanyakan hukuman apa yang pantas dijatuhkan. Pantas karena tak bisa menghilangkan pangkatnya begitu saja. Akan banyak masalah yang timbul. Tetapi jelas juga tak bisa biarkan begitu saja.
“Baginda Muda pernah menitahkan. Rasa-rasanya hamba belum lupa mengingatnya. Senopati Agung Brahma berjasa menaklukkan tanah Melayu. Bukankah tlatah ini bisa diberikan sebagai balas jasa pengabdiannya membesarkan kekuasaan Keraton?”
Permaisuri Indreswari mengangguk perlahan. Tanah adalah hadiah tertinggi yang diberikan kepada seseorang. Akan tetapi maknanya berbeda jauh jika tanah kekuasaan yang diberikan berada di seberang! Itu sama artinya dengan dibuang! Cara yang paling halus untuk mengasingkan, untuk meniadakan, untuk menghapus dari percaturan tata pemerintahan. Akhirnya memang harus begitu. Jalan keluar terbaik.
Permaisuri Indreswari menghela napas. Di satu pihak ia sama sekali tak menyangka bahwa Halayudha selalu saja bisa menunjukkan jalan keluar terbaik. Di pihak yang lain, kecurigaan pada Halayudha makin tumbuh. Justru karena senopati yang satu ini seakan mengetahui segala apa yang tengah terjadi di Keraton. Mengetahui sampai hal yang sekecil-kecilnya.
Ini berarti bisa menimbulkan bahaya di belakang hari. Apalagi Halayudha cukup sakti. Ilmu silatnya cukup tinggi dan sulit dicari tandingannya di Keraton. Dengan keleluasaan bergerak, bisa saja menjadi lain kalau melihat kesempatan. Dan Permaisuri Indreswari tak akan memberikan kesempatan, sedikit pun.
Halayudha seakan bisa menebak jalan pikiran Permaisuri. “Hamba lancang dan seakan mengetahui rahasia Keraton. Padahal hamba hanya bisa menduga-duga. Kalau hamba dibebaskan dari kesalahan bicara sekarang ini, biarlah mulai besok hamba mengembalikan semua pangkat dan derajat yang Permaisuri anugerahkan. Hamba akan menjadi petani di dusun.”
“Tidak sejauh itu. Aku tak mengetahui banyak tentang dirimu yang sesungguhnya, akan tetapi rasanya kamu masih bisa melanjutkan pengabdianmu.”
Halayudha menyembah hormat. Dalam sekali. “Adalah kerikil yang lain?”
“Rasanya dari kalangan ksatria yang suka bikin onar tak ada lagi selain Puspamurti.”
“Aku bisa mengatasi. Bagaimana dengan Manmathaba?”
Halayudha berhati-hati ketika menjawab. “Permaisuri yang Mulia lebih tahu. Selama bisa membantu, tak ada salahnya tinggal di sini. Hanya liku-likunya terlalu banyak yang disembunyikan.”
“Apakah mereka akan menimbulkan bencana di belakang hari?”
“Tidak bagi Keraton. Hanya saja mungkin menyulitkan karena sebentar lagi teman-temannya akan berdatangan.”
“Kalau begitu, aku tahu bagaimana mengatasinya. Bagaimana dengan kalangan senopati?”
“Nasib mereka tergantung di bawah telapak kaki Permaisuri yang Mulia. Hari ini diperintahkan berhenti, akan berhenti. Hari ini menjadi mahapatih, begitulah yang terjadi. Kemurahan hati dan kebesaran jiwa Permaisuri-lah yang menghidupkan atau mematikan mereka.”
“Juga Mahapatih?”
Halayudha menunduk dalam sembah.
“Bagaimana bila aku menunjuk kamu sebagai mahapatih?”
Halayudha menggeleng perlahan. “Kalau hamba masih diperkenankan mengabdi sebagai prajurit biasa sekalipun, bagi hamba itu sudah suatu anugerah. Berarti semua kelancangan hamba dimaafkan.”
“Apakah kamu jujur mengatakan ini?”
“Demi segala Dewa yang Maha benar.”
Permaisuri bangkit dari peraduannya. “Kalau begitu panggil juru tulis Keraton, perintahkan membuat keputusan Raja. Bahwa Senopati Agung Brahma diberi kehormatan tlatah kulon, wilayah yang pernah dikunjungi. Senopati Agung Brahma bisa menikmati bersama seluruh keluarganya tanpa kecuali. Bahwa Mahapatih Nambi direstui untuk kembali sementara ke tempat kelahirannya. Bahwa wewenang Keraton sepenuhnya di tangan Manmathaba.”
Halayudha terus menyembah.
“Lakukan itu.”
“Segala titah dijalankan sebagaimana kehendak Dewa…”
Dini hari itu pula layang kekancingan, surat rahasia, keputusan raja yang juga memakai nama kebesaran Raja Jayanegara, disampaikan kepada Senopati Agung Brahma. Ketika Dyah Dara Jingga menyatakan keheranan dan menyampaikan niatnya untuk menemui adiknya, jawabannya tidak mungkin. Bagi Senopati Agung Brahma sendiri, putusan itu seperti tak mengejutkan sama sekali.
Dengan sembah yang dalam, Senopati Agung menerima. Dalam tarikan napas yang sama, diperintahkan untuk mengemasi apa yang bisa dibawa. Sebelum matahari tenggelam, Senopati Agung diperintahkan untuk meninggalkan Keraton.
“Kalau Janaka masih belum kembali, biarlah suatu hari ia segera menyusul.”
Hanya itu yang dikatakan secara pendek. Selebihnya masuk ke dalam kamar, bersemadi. Tak ada yang berani mengusik. Tak ada yang berani berbisik. Tak ada yang tahu bahwa dalam kesendiriannya, Senopati Agung Brahma seperti melihat semua yang pernah dilakukan. Semua tergambar secara jelas, berjejer satu demi satu.
Itulah saat-saat di mana ia akan menjelajah lautan sebagai duta Keraton Singasari. Tak ada yang lebih membanggakan, tetapi sekaligus memberatkan hati. Membanggakan karena itulah puncak pengabdiannya kepada Baginda Raja yang sangat dihormati. Dirinya terpilih sebagai senopati utama yang mewakili Baginda ke tanah seberang.
Menyedihkan karena dengan itu ia harus berpisah dari putri Keraton yang menjadi idaman hatinya, yang telah direstui oleh Baginda untuk dipersunting di kelak kemudian hari. Senopati Agung Brahma tak pernah melupakan malam menjelang keberangkatannya. Ia meminta izin Baginda untuk menemui tambatan hatinya, meminta diri.
Malam yang kemudian mengubah pandangan hidupnya. Karena wanita tambatan hatinya, putri sekar kedaton, putri Baginda Kertanegara yang disembah, menolak pertemuan itu. Hanya menerima di balik sekat yang membatasi.
“Gusti Putri, kenapa Gusti tak mau menemui hamba?”
“Berangkatlah, Senopati! Kamulah prajurit sejati. Ksatria yang menjadi panutan. Berangkatlah kenegeri seberang, taklukkan, boyong putri yang tercantik, permaisurikan dia… Berangkatlah…”
“Gusti Putri…”
“Gusti Putri telah layu…”
“Hamba bersumpah…”
“Saya tak mau mendengar…”
“Hamba berjanji demi Dewa…”
“Saya tak mau mendengar… Berangkatlah, Senopati… Ksatria… Pendekar… Duta… Pemimpin… Panglima Perang… Berangkatlah... Itulah duniamu. Takdirmu. Itulah dirimu…”
Malam yang menggelisahkan. Hingga fajar tak ada pembicaraan lain. Hanya kerinduan dan ketidaktahuan akan apa yang sesungguhnya terjadi. Kenapa secara tiba-tiba tambatan hatinya tidak mau menemuinya.
Di tengah amukan gelombang laut, di antara pepohonan di negeri seberang, Senopati Brahma baru kemudian sekali menemukan jawaban yang masih serba samar. Bahwa kepergiannya diartikan sebagai perpisahan. Bahwa dunianya yang kemudian adalah dunia yang tak punya hubungan dengan tambatan hatinya.
Senopati Brahma ingin membuktikan kesungguhan hatinya. Kesucian tekadnya. Menunaikan tugas utama, dan kembali dengan hati yang sama, untuk menemui tambatan hatinya. Itulah yang selalu menghuni benaknya siang dan malam. Sampai kemudian utusan yang dikirim ke Keraton membawa kabar yang membuatnya tak mampu menatap matahari. Senopati Brahma merasa bahwa kepergiannya, pengabdiannya, ternyata sia-sia, tanpa arti apa-apa bagi dirinya. Putri Keraton Singasari menyusul ke negeri seberang. Sebagai mempelai wanita.
Permaisuri Keraton Caban
SENOPATI BRAHMA mengetahui jauh setelah putri tambatan hatinya meninggalkan Keraton Singasari. Utusan yang membawa berita hanya melaporkan bahwa tak lama setelah Senopati Brahma berangkat, rombongan Dyah Ayu Tapasi juga berangkat ke negeri seberang, ke tlatah Campa. Untuk dipermaisurikan Raja dari Keraton Caban.
“Adakah sesuatu yang dikatakan sebelum berangkat? Adakah pesan tertentu dari Mpu Raganata?”
“Hamba hanya mendapat kisikan dari Mpu Raganata yang bijak, bahwa semua ini atas kehendak Tuan Putri sendiri. Ketika Tuan Putri Dyah Ayu Tapasi mendengar berita bahwa Raja Caban meminta salah seorang putri Keraton Singasari, beliau sendiri yang mengajukan diri, dan memutuskan untuk berangkat secepatnya. Baginda Raja sendiri tak menolak. Hanya itu yang dikisikkan, selebihnya, Baginda Raja berkenan menyampaikan restu dan menunggu Senopati kembali ke Keraton.”
Pertarungan batin Senopati Brahma, saat itu, tak selesai. Pandangan matanya selalu nyalang setiap kali berada di tepian samudra. Ombak yang bergolak, angin yang bertiup, seakan mendorong jiwanya untuk segera kembali ke Keraton, untuk mendengar kabar yang sesungguhnya.
Pertanyaan yang ingin dipuaskan ialah: Kenapa tambatan hatinya, Dyah Ayu Tapasi, mendadak saja menerima lamaran dari Raja Caban? Ada berita apa sesungguhnya di balik ini semua? Kenapa setelah sekian lama memadu kasih, merencanakan jalan kehidupan yang bahagia, yang direstui Baginda, keinginan itu tak terwujud? Buyar begitu saja. Tak ada yang mengganggu hubungan asmara selama ini.
Dyah Ayu Tapasi walaupun putri sekar kedaton, putri istana, sudah lama menerima dirinya yang kalau dirunut masih mempunyai darah keturunan seorang raja. Ia bukan sekadar senopati yang berasal dari darah petani. Bahkan ia tak pernah bermimpi, tak pernah mendapat firasat buruk sedikit pun sebelumnya. Sampai langkah terakhir ketika mengunjungi kaputren, masih tak terasa bakal ada sesuatu yang mengubah jalan sejarah hidupnya. Tertumpuk semua pertanyaan tanpa jawaban. Dan semua ingin ditumpahkan pada saat kembali ke bumi Singasari. Hanya saja segalanya telah berubah.
Sri Baginda Raja yang dikagumi dan dipuja sudah tidak memerintah lagi. Demikian juga Mpu Raganata. Yang meneruskan takhta adalah Sanggrama Wijaya. Seperti senopati seberang yang lain, Senopati Brahma meneruskan pengabdiannya. Dan diterima dengan sangat terhormat oleh Raja Kertarajasa, diangkat menjadi sesepuh para senopati dengan gelar Senopati Agung Brahma. Akan tetapi sejak itu, pertanyaan yang masih menggumpal tak terjawab.
Dalam kedudukan, dalam menjalankan tugas sehari-hari, Senopati Agung Brahma seperti tidak bersemangat. Lebih banyak mengurung diri dan menjauh dari segala kegiatan. Sampai suatu ketika Baginda memanggil, dan mengatakan bahwa sudah layak dan sepantasnya Senopati Agung ada yang mendampingi.
“Paman Senopati Agung, rasa-rasanya hanya Paman yang pantas memperistri Dyah Dara Jingga…”
Senopati Agung tak bisa menjawab selain mengangguk, mengiyakan. Sewaktu didesak lebih jauh, Senopati Agung menerangkan bahwa ia menunggu berita apa yang terjadi dengan Dyah Ayu Tapasi. Baginda menyanggupi akan mencari kabar secepatnya.
“Akan tetapi pernikahan Paman tak bisa ditunda. Sebab Dyah Dara Jingga harus menikah lebih dulu, sebelum adiknya ada yang mengambil.”
Semua berjalan sebagaimana yang direncanakan. Pesta pernikahan yang megah. Akan tetapi Senopati Agung Brahma kembali mengasingkan diri. Tak mau terlibat kejadian sehari-hari. Lebih suka mengurung diri dalam kapustakan, mempelajari kitab, menembang, berlatih, dan sering dalam waktu tiga bulan tidak berbicara satu patah kata pun.
Demikian juga ketika putranya lahir, Senopati Agung mendidik sendiri, bergulat sendiri dengan putranya. Tanpa pernah mau secara langsung melibatkan diri dengan peristiwa Keraton. Tak ada yang bisa menggugah Senopati Agung Brahma. Tak ada yang bisa membuat perhatiannya teralih. Membingungkan siapa pun, akan tetapi Senopati Agung yang dianggap bertapa membisu terus menjauhkan diri dari tata pergaulan, sampai belasan tahun.
Sampai suatu ketika, Senopati Agung mendengar bahwa sebagian rombongan para senopati yang dulu dikirim ke tanah seberang telah datang. Yang membuatnya tergerak karena di antara yang datang kembali ada yang dari tlatah Campa! Seorang ksatria gagah perkasa yang bernama Maha Singanada. Sewaktu berangkat dulu, Senopati Agung tidak mengenali Singanada. Akan tetapi wajahnya, sikap keras kepalanya, mengingatkan kepada salah seorang senopati yang dikenalnya.
Celakanya, justru ketika mencoba berhubungan dengan Singanada yang terjadi adalah salah paham yang tak terselesaikan. Saat itu Singanada bahkan berniat membunuhnya. Makin tak masuk akal. Senopati Agung menyadari bahwa semua rombongan dari tlatah Campa tak ada sedikit pun yang mau membuka mulut mengenai tugas di tanah seberang. Jangan kata mendengar laporan mengenai Dyah Ayu Tapasi, kalau ia menyebut tlatah Campa, yang diajak bicara langsung mengerutkan dahi dan menjauh.
Rasa ingin tahu makin menebal. Tapi tetap tak ada jawaban. Sampai kemudian terjadi gegeran di Keraton, dan dirinya tak bisa menghindarkan diri. Yang sedikit disesali karena putranya ikut terlibat. Ini berarti semua dosa akan ditanggung bersama. Bagi Senopati Agung, dibuang ke tanah seberang selalu menimbulkan bayangan yang tidak enak. Karena itulah dulu ia kehilangan putri tambatan hatinya. Dan mau tak mau sekarang harus dijalani lagi.
Pertarungan batin yang meletihkan. Karena tak ada jawaban. Karena tak ada gema. Semua ditanggung sendiri. Doa dari sukma yang merintih tak juga memperoleh penerangan, atau firasat akan sesuatu. Buntu. Mangu. Menengok kembali ke masa yang dijalani, Senopati Agung Brahma merasa selama ini dirinya hidup dalam mimpi. Dalam bayangan daya asmara Dyah Ayu Tapasi yang hanya hidup dalam angannya. Dirinya selalu hidup dalam keadaan sukma yang kering. Betapa sia-sia. Senopati Agung menatap dirinya sendiri dengan sorot mata kasihan, iba tak terperi.
“Itulah dirimu. Seorang ksatria, seorang senopati yang jiwanya kosong. Yang tak mengerti bahkan jawaban pertanyaan yang paling sederhana pun. Ke mana Dyah Ayu Tapasi? Kenapa malam itu memutuskan tak mau bertemu? Kenapa tiba-tiba mau menerima lamaran Raja Campa? Apa yang terjadi di sana?
Pertanyaan yang paling sederhana. Tapi kamu tak bisa menjawab. Brahma, apa sebenarnya yang sudah kamu jalani selama ini? Apa arti dirimu lahir, besar, dan menjadi senopati? Kamu tidak melakukan apa-apa. Kamu sudah mati ketika kapal meninggalkan Keraton Singasari.” Pertanyaan yang tergema kembali sebagai pertanyaan.
“Telah terlambat,” jawabnya sendiri. “Terlambat untuk memulai sesuatu. Kenapa tidak dari dulu mencari ke tlatah Campa? Kenapa tidak dari semula kamu tanyai Dyah Ayu Tapasi? Sekarang apa yang kamu peroleh? Tak ada siapa-siapa. Tak ada apa-apa. Sekarang dan selamanya. Kamu tak pernah ada.”
Senopati Agung menggeleng. Berulang kali. Menghela napas berulang kali. Sesungguhnya inilah yang membuatnya sedih. Bukan karena dibuang. Bukan karena mendapat perlakuan yang kurang ajar dari keponakannya sendiri. Bukan karena pangkat atau derajat.
“Kamu kehilangan yang sangat berharga dalam hidupmu, tetapi kamu tak tahu apa yang hilang itu. Sebab kamu tak memiliki hidup. Bahkan sekarang ini kalau kamu bunuh diri, kamu tidak mati. Karena kamu sudah tidak ada. Hanya memperpanjang beban istrimu, anak-anakmu, terutama Janaka Rajendra…”
Hanya yang terakhir ini mempunyai gema yang menggeletar dalam hatinya. Putranya, Pangeran Anom Janaka yang begitu cepat menangkap pelajaran yang diberikan, yang begitu mengerti dirinya, yang bisa berhari-hari menemani tanpa mengucapkan sepatah kata. Bentuk lain dari dirinya.
Jalinan Tetes Air
APA yang dipikirkan Senopati Agung Brahma mengenai putranya adalah pikiran yang membuatnya merasa ngeri, sedih, dan hanya bisa menghela napas tertahan. Barangkali perasaan yang bisa melihat ke depan. Yang melihat bagaimana akhir perjalanan hidup dari mata batin yang mampu menjangkau ke depan.
Janaka Rajendra tidak menyadari hal itu. Bahkan tidak menyadari akan mencapai tatanan yang sama sekali tak diduganya. Sejak menyaksikan Gendhuk Tri yang berpasangan dengan Singanada, yang membersit dalam pikirannya ialah permainan ilmu silat yang selama ini dipelajari dari Kitab Air. Selama ini ia selalu dilatih ayahnya, tanpa henti dan tanpa mengenal ilmunya dimainkan orang lain.
Maka hatinya sangat tertarik ketika melihat Gendhuk Tri memainkan. Bagai tersedot tenaga gaib, ia sendiri ikut memainkan, dan hanyut ke dalamnya. Sehingga tak bisa menghentikan sendiri. Hanya sewaktu sadar, segera membantu Gendhuk Tri menggotong Singanada untuk dibawa bersembunyi ke dalam rumah kediaman Janaka Rajendra.
Saat itu juga semua tabib dikerahkan, akan tetapi semuanya menggeleng. Tempurung lutut kanan Singanada telah membusuk, hancur lumat, tak bisa dipisahkan antara tulang, daging, dan urat.
“Bandul bandring itu benar-benar biadab.”
“Saya yang biadab,” kata Janaka. “Karena saya tak bisa berbuat apa-apa. Satu-satunya yang bisa saya lakukan hanyalah menjejali dengan ramuan jamu untuk menahan rasa sakit.”
Gendhuk Tri menunggui Singanada. Rajendra ikut menunggui.
“Maaf, saya lupa mengucapkan rasa terima kasih yang dalam. Pangeran Anom telah berbuat sangat baik kepada kami berdua. Jiwa budi luhur ini tak nanti kami lupakan.”
“Sayalah yang seharusnya minta maaf pada Adik Tri. Karena telah lancang mengajak Adik memainkan bersama bagian-bagian dari Tirta Parwa.”
“Dari mana Pangeran Anom mempelajari itu?”
“Dari Rama…”
“Kalau begitu kita satu aliran…”
“Semua ksatria berada dalam arus yang sama. Semua air adalah sama sumbernya. Kehidupan…”
Gendhuk Tri mendadak memalingkan wajahnya. “Pangeran Anom selama ini berlaku sangat baik. Saya sungguh tak berhak atas kehormatan semacam ini. Silakan beristirahat atau meninggalkan kami. Biarlah kami meneruskan perjalanan ini.”
“Tidak mungkin. Adik Tri mau pergi ke mana?”
Gendhuk Tri tak bisa menjawab. Ia tak tahu apakah perlu menjelaskan bahwa usianya jauh di atas Pangeran Anom, sehingga ganjil kalau dipanggil dengan sebutan “adik” atau “yayi”. Tapi yang lebih membebani pikirannya ialah ia tak tahu harus pergi ke mana. Juga tak mengerti apa yang terjadi dengan Upasara Wulung serta yang lainnya. Yang diketahui hanyalah dirinya berada di kediaman Pangeran Anom, ditunggui, dan menunggui Singanada yang hancur kakinya.
“Sekarang ini Adik Tri masih terkena pengaruh bubuk pagebluk. Setiap setengah hari akan ada serangan yang membuat Adik Tri ketagihan. Sehingga harus ditawarkan. Selama ini saya tak membuat banyak, akan tetapi akan saya usahakan.”
“Pangeran makin membuat saya malu.”
“Tidak. Saya ingin menolong Adik Tri.”
“Kenapa Pangeran begitu baik?”
Janaka Rajendra menatap mata Gendhuk Tri. Gendhuk Tri memalingkan wajahnya yang mendadak merah. Terasa panas menjalar di pipinya. Lalu berubah menjadi penyesalan. Gendhuk Tri membuang pikiran yang secara aneh menyelinap ke dalam benaknya. Bagaimana ia bisa berpikir yang bukan-bukan kalau Singanada sedang tak keruan nasibnya?
Akan tetapi Pangeran Anom ini memandang begitu lekat, dan tak mau meninggalkan tempat. Kenapa tak segera menjawab? Pertanyaan yang wajar bagi wanita yang justru memahami sikap asmara Pangeran Anom yang sedang tumbuh. Yang hidungnya mulai menghirup angin asmara. Sikap Pangeran Anom yang begitu baik menimbulkan tanda tanya.
Bagi Janaka Rajendra sendiri agak susah menguraikan bagaimana sesungguhnya perasaan hatinya. Ia menjadi bengong dan memandang lekat ke Gendhuk Tri ketika ditanya “kenapa begitu baik” dan tak bisa segera menjawab. Bukan karena apa, tetapi terutama sekali seumur hidupnya tak pernah ada pertanyaan semacam itu yang ditujukan kepada dirinya. Selama ini ia hanya belajar dari ayahnya mengenai ilmu silat, mengenai ilmu pengobatan dan jampi-jampi. Dan setiap kali melakukan. Tanpa pernah ada yang menanyakan untuk apa. Maka itu membuatnya tertegun.
Yang begini tak bisa dipahami Gendhuk Tri. Yang justru latar belakangnya terbalik dengan Pangeran Anom. Betapa tidak. Sejak kecil ia sudah langsung bergaul di tengah masyarakat persilatan, di tengah hiruk-pikuknya pertarungan dan pergaulan. Sedangkan Pangeran Anom justru hanya mengenai secara langsung ayahnya sendiri.
Jalan pikiran Gendhuk Tri yang menjadi sangat peka, terutama juga karena dirinya merasa gadis dewasa, sebenarnya tak terpikirkan oleh Janaka Rajendra secara sadar. Akan tetapi justru karena Janaka Rajendra terdiam bengong, Gendhuk Tri merasa serbasalah. Mereka berdua jadi terdiam lama. Gendhuk Tri menjadi tidak enak. Ia mengalihkan ke pembicaraan yang lain.
“Pangeran Anom, apakah Pangeran sudah lama mempelajari Kitab Air?”
“Sejak semula saya belajar dari Rama.”
“Kenapa Pangeran mengajak saya memainkan bersama…”
Kalimat Gendhuk Tri tak selesai. Baru ia menyadari bahwa setiap kali pertanyaan justru seperti mendesak pengakuan dari Janaka Rajendra.
“Saya sangat tertarik. Adik Tri bisa memainkan sangat bagus. Saya tertarik karena sesama air akan saling menarik tanpa menyusahkan. Sesama air akan menjalin dengan sendirinya. Persamaan perasaan akan menjelma menjadi kekuatan.
“Setetes air adalah setetes air. Sekian tetes air yang menyatu bisa menjadi tenaga banjir.”
“Saya tak pernah menduga…”
“Tidak bisa diduga. Air menemukan pasangannya dengan sesama air. Itulah kodrat alam. Saya merasa menemukan pasangan dengan perasaan Adik Tri…”
Gendhuk Tri menunduk. “Apa yang sesungguhnya ingin Pangeran katakan?”
“Bahwa air pasangannya dengan air. Ketika Adik Tri memainkan dan menjelmakan kekuatan air dan berpasangan dengan tenaga bumi, sungguh luar biasa. Bagai pasangan yang abadi tak terpisahkan. Akan tetapi tenaga air dalam diri saya meluap, mencari persatuan dengan sesama air. Kita bisa menjadi pasangan yang cocok. Lebih cocok daripada air dengan bumi.”
Gendhuk Tri menggeleng lagi. “Rasanya kurang pantas kita bicarakan sekarang, Pangeran…”
“Maaf…”
“Bagaimana kalau Pangeran beristirahat sebentar? Biarlah saya menunggui Kakang Singanada…”
Ganti Janaka Rajendra menggeleng. “Tak bisa, tak bisa. Saya akan menemani Adik Tri.”
“Kurang baik bagi abdi Keraton, Pangeran…”
“Mereka tidak apa-apa. Atau… atau… Adik Tri tidak mau saya temani?”
“Bukan begitu,” jawab Gendhuk Tri buru-buru. Lalu menggeleng lagi, merasa serba salah lagi. Tiba-tiba saja ada perasaan kikuk, jengah, tidak enak. Gendhuk Tri yang biasa bersikap semaunya, asal berbuat menuruti kata hatinya, sekarang merasa mati langkah. Merasa tak bisa bersikap wajar lagi.
“Adik Tri, apakah Singanada ini kekasih Adik?” Pertanyaan yang polos. Seadanya. Janaka Rajendra memang kurang memiliki kepekaan dalam pergaulan. Sehingga apa yang dirasakan langsung ditanyakan begitu saja.
Gendhuk Tri terdiam. Tak bisa seketika mengangguk atau menggeleng. Mengangguk belum tentu tepat. Tetapi menggeleng juga jelas salah. Selama ini Singanada menganggap dirinya adalah kekasihnya. Atau setidaknya mempunyai hubungan yang khusus. Untuk sementara Gendhuk Tri juga menerima. Perhatiannya terpecah ketika mendengar erangan Singanada.
Rintihan Bumi
BURU-BURU Gendhuk Tri mendekat, dan karena gugup ia menyentuh kaki kanan yang terluka. Singanada mengerang hebat. Tubuhnya menggigil, rasa sakit yang memilukan.
“Celaka, jamu penahan sakit telah hilang pengaruhnya.”
“Tobat! Aku tobat!”
“Apa yang harus kita lakukan, Pangeran?”
“Tobat… Kanya… aku tak kuat…”
Gendhuk Tri mengucak-ngucak rambutnya hingga dandanannya makin tidak keruan. Janaka Rajendra memencet paha Singanada yang terjulur ke arahnya.
“Bangsawan tengik, kamu… kamu membunuhku.” Sesaat tubuh Singanada menggelinjang, lalu tenang kembali.
Janaka Rajendra masih mengurut beberapa kali. Hingga tubuhnya mandi keringat.
“Bagaimana, Pangeran?”
“Susah sekali, Adik Tri. Rasa sakit yang diderita Singanada sangat hebat. Urat-urat kepekaan bagian kakinya hancur. Satu-satunya jamu penahan rasa sakit hanya bisa dibuat dalam waktu satu purnama penuh, dengan mengumpulkan ramuan yang diseduh dari ujung embun. Saya tak mempunyai persediaan lagi.”
“Tidak adakah jampi yang lain?”
“Saya tak berani mengatakan.”
“Katakan, ini soal hidup-matinya Kakang Singanada.”
“Untuk menahan rasa sakit, jamu dari embun yang paling tepat. Tidak mempunyai akibat sampingan. Saya tidak berani mengatakan kalau kita gunakan jenis bubuk pagebluk yang bisa mematikan rasa. Karena akan membuat Kakang Singanada terus-menerus ketagihan.”
“Lalu akan kita biarkan ia mengerang begini?”
“Kecuali… kecuali kalau kakinya dipotong.”
Gendhuk Tri mundur setapak. “Dipotong?”
“Ya. Dengan demikian urat perasa yang peka bisa kita matikan. Sehingga yang tertinggal adalah rasa sakit yang ada, tanpa menjalar.”
“Pangeran bisa melakukan?”
“Selama ini Rama hanya mengajari bagaimana meramu jamu. Saya belum pernah melakukan.”
“Pangeran mau mencobanya?”
“Mau, akan tetapi tetap harus menunggu kekuatan Singanada membaik. Selama tenaga dalamnya masih tak beraturan, akan susah mengaturnya. Kekuatan erangan bumi tak bisa sepenuhnya saya kuasai. Kalau Adik Tri yang terluka, saya bisa mengimbangi dengan tenaga dalam saya.”
“Saya jadi bingung. Bagaimana sebaiknya, Pangeran?”
“Kita harus menunggunya.”
“Sampai kapan?”
“Sampai tenaganya pulih sebagian. Panas tubuhnya tidak menjalar seperti sekarang.”
“Sampai kapan?”
“Itulah susahnya. Saya tak tahu. Makin cepat makin baik. Karena sekarang ini darahnya kita alihkan alirannya. Rasa sakitnya kita hentikan. Kalau terlalu lama bisa mengganggu.”
“Apakah tidak ada yang bisa menolongnya?”
“Rama bisa.”
“Kenapa…” Pertanyaan Gendhuk Tri terkunci oleh jawaban yang diketahui. Agak repot kalau sampai Senopati Agung Brahma yang menolong. Singanada pasti menolak.
“Kalaupun dipaksa, setelah sembuh nanti Singanada pasti akan membunuh karena alasan yang belum tersingkap. Rama sudah dibuang ke tanah seberang.”
Gendhuk Tri menepuk jidatnya sendiri. “Kenapa Pangeran tidak ikut?”
“Tidak. Saya lebih suka menunggui Adik Tri di sini.”
Kembali tangan Gendhuk Tri menggaruk rambutnya. Kali ini hanya tangan kiri, walau tidak menunjukkan berkurangnya rasa bingung dibandingkan menggaruk dengan kedua tangan. “Kenapa Pangeran lebih suka menunggui di sini?”
“Karena saya senang pada Adik Tri. Karena kita adalah sepasang air yang akan selalu bersama.”
Gendhuk Tri mendongak. Suaranya menggeletar. “Pangeran, saya tak tahu bagaimana harus bersikap. Saat ini saya sangat bingung. Saya tak tahu di mana dan bagaimana keadaan Kakang Upasara. Sekarang ini Kakang Singanada juga tak ketahuan mati-hidupnya. Tapi semua ini tak menghalangi Pangeran jika akan pergi ke tlatah seberang. Saya cukup tahu diri untuk tidak membebani Pangeran…”
“Tidak, Adik Tri. Saya sendiri yang memutuskan berada di sini.”
Gendhuk Tri menggigit bibirnya. “Apa yang akan kita lakukan?”
“Mengobati Singanada.”
“Baik-baik-baik. Apa yang perlu kita persiapkan?”
“Menunggu sampai tubuh Singanada tidak begitu panas. Lalu kita memotong kakinya, dan menunggui hingga agak sembuh.”
“Dengan apa memotongnya?”
“Kita cari senjata atau apa saja…”
Gendhuk Tri merasa perlu menahan diri. Makin dipaksakan berbicara, makin dipaksakan bertanya, makin disadari bahwa susunan kata-katanya tidak urut. Sudah jelas untuk memotong kaki diperlukan senjata. Masa hal sepele begitu perlu ditanyakan?
“Bagaimana caranya agar Kakang Singanada tidak terlalu panas?”
“Dengan tenaga air. Adik Tri bisa mengirimkan tenaga dalam untuk mengurangi panas tubuh Kakang Singanada. Kalau mau dicoba kita bisa melakukan bersama-sama.”
“Saya tahu tenaga dalam saya belum pulih sepenuhnya. Bantuan Pangeran sangat besar artinya. Tetapi kalau kita berdua melakukan pengerahan tenaga, bagaimana mungkin bisa memotong kaki?”
“Saya tidak tahu apakah Adik Tri setuju atau tidak. Kita bisa melakukan secara bersama. Apalagi jika kekuatan batin kita menyatu, pikiran kita satu, perasaan kita satu, rasanya apa yang akan kita lakukan tak akan saling mengganggu. Kekuatan air yang bergabung, tak akan’ saling menolak. Kekuatan air yang bergabung, bisa dialirkan ke mana saja.”
Kini Gendhuk Tri menyadari sepenuhnya. Bahwa dengan menyatukan perasaan dan pikiran, tenaga dalamnya bisa bersatu dengan tenaga dalam Janaka Rajendra. Dengan demikian bisa disalurkan dan diatur.
“Syaratnya harus bersatu. Seperti ketika pertama kali dipadukan dan mereka seakan menari bersama! Hanya karena sekarang harus bersemadi, berarti harus berdua-dua pula."
Sebenarnya jauh dalam hati Gendhuk Tri tak dibebani perasaan apa-apa, kalaupun harus mengerahkan tenaga dalam bersama-sama. Hanya saja ia mengetahui bahwa bersatunya rasa dan pikiran bisa berbuntut panjang. Karena kalau pengerahannya bisa searus, pastilah dengan betul-betul menyatukan perasaan yang paling peka dan pemusatan pikiran yang paling dalam. Kalau bisa menyatu, tenaga bisa dikerahkan dan diatur. Kalau tidak, akan saling membentur. Yang pertama artinya ia menyatukan keinginan dengan Pangeran Anom, yang kedua kalau gagal makin membahayakan Singanada.
“Pangeran, apakah Pangeran bersedia?”
“Saya bersedia. Apakah Adik Tri bersedia, itu yang menjadi pertanyaan.”
Gendhuk Tri mengangguk mantap. “Demi Kakang Singanada, marilah kita menyatukan…”
Gendhuk Tri segera bersila. Dua tangannya bergerak bagai menarikan sesuatu, sebelum kemudian Janaka Rajendra melakukan hal yang sama. Tiga kali tarikan napas, Gendhuk Tri masih menggelinjang. Pemusatan pikiran masih dibebani dengan apa dan siapa Pangeran Anom sebenarnya. Dan apa maksudnya? Apa di balik kebaikannya? Secara tiba-tiba dikenal, dan secara tiba-tiba pula berbuat begitu banyak kebaikan. Justru perasaan curiga inilah yang menghalangi pemusatan pikiran.
Janaka Rajendra menggeleng. “Sulit… sulit… tak bisa dipaksa.”
“Maaf…”
“Bukan salah Adik Tri…”
Keduanya berpandangan. Gendhuk Tri tergetar. Sesungguhnyalah yang dipandangi seorang lelaki yang sangat tampan, bersinar wajahnya, polos, dan sangat menaruh perhatian. Sangat dekat. Lekat. Hingga terasakan desiran napasnya.
Ditunggui Ratu Ayu
DADA Gendhuk Tri bergerak naik-turun. Deru napasnya tak bisa ditutupi. Tak syak lagi bahwa hati kewanitaannya tergetar melihat sepasang mata lelaki yang menatap ke arahnya. Lelaki yang tampan. Lelaki yang memperhatikan. Yang baik budinya, yang mempunyai latar belakang darah keturunan. Yang mempunyai gelar Pangeran Anom atau Pangeran Muda. Rasanya tak gampang menghapus wajah itu begitu saja. Apalagi secara terus terang Pangeran Anom mengakui tertarik kepada Gendhuk Tri.
Ini yang membuat dada Gendhuk Tri naik-turun. Akan tetapi kalau hati dan pikiran serta perasaannya sulit dipusatkan, bukan karena Pangeran Anom. Justru sebaliknya. Yang memenuhi isi kepala dan perasaan Gendhuk Tri, tak lain dan tak bukan masih tetap Upasara Wulung. Entah kenapa perasaan yang diselimuti daya asmara tak bisa disingkirkan. Keinginan membuang jauh-jauh pikiran mengenai Upasara justru berakibat makin lekat. Bayangan Upasara seakan selalu ada di sekitarnya, memandangi ke arahnya, mengedip, dan terkadang tersenyum.
Juga ketika menatap Pangeran Anom, Gendhuk Tri justru serasa bersalah kepada Upasara. Perasaan aneh yang tak bisa dipahami sendiri. Tapi itu yang hidup dalam rasa batinnya. Sekarang ini seluruh pikirannya justru tertuju ke arah Upasara. Ketika ia tinggalkan gelanggang sementara ia mengetahui bahwa keris milik Senopati Agung Brahma, karena perbuatan Halayudha, menusuk tubuh Upasara. Gendhuk Tri mengetahui bahwa sasaran keris yang amblas itu adalah pundak kiri.
Halayudha cerdik dan bisa mematahkan tepat di mana kekuatan Upasara tersimpan. Tangan kiri Upasara jauh lebih mudah digunakan untuk menyimpan kekuatan. Dalam latihan Kitab Bumi, tangan kiri lah yang membuka, sementara tangan kanan terkulai lemah. Itulah yang menjadi sasaran Halayudha. Dan kena.
Rasa kuatir mengenai nasib Upasara sama seperti ketika ia berada di dalam Keraton dan ditawan di sana. Antara sadar dan tidak, ia mengetahui dirinya berada dalam tempat penyimpanan pusaka. Dalam keadaan tak menentu kesadarannya, pandangan matanya justru menemukan Galih Kangkam! Pedang tipis hitam yang dipakai oleh Upasara!
Pedang yang ditemukan secara tak sengaja karena berada di dalam galih asam milik Galih Kaliki. Pedang itu hanya berpindah sekali dari tangan Upasara, yaitu ketika diberikan kepada Ratu Ayu Azeri Baijani. Ratu Ayu Bawah Langit dari negeri Turkana, biar bagaimanapun juga adalah istri Upasara Wulung. Yang terbersit ketika itu ialah bagaimana mungkin pedang utama milik suaminya bisa tergeletak dan tersimpan dalam Keraton. Apa yang terjadi dengan pemiliknya? Apa sekarang ini Ratu Ayu justru sedang menunggui? Alangkah mesranya!
Gendhuk Tri tak akan memedulikan nasib Ratu Ayu kalau itu tak ada hubungannya dengan Upasara. Maka bisa dimengerti kalau begitu keluar dan dibopong oleh Singanada, yang pertama kali terucap dari bibirnya ialah menanyakan kepada Upasara Wulung, bagaimana keadaan Ratu Ayu. Bagi Gendhuk Tri segala sesuatu yang bisa dihubungkan dengan Upasara tak akan hilang begitu saja. Bahkan membekas dan mempunyai makna tertentu. Hatinya sendiri mengakui bahwa satu daya tarik Singanada justru karena wajah dan perawakannya sangat mirip dengan Upasara!
Dalam waktu yang sangat pendek, hatinya mengenali siapa sesungguhnya Singanada. Seorang ksatria gagah yang lugu, yang begitu mencintai dan memperhatikan. Dalam keadaan tak mungkin memperoleh kembali Upasara yang hatinya telah diserahkan kepada Gayatri, walau resminya menjadi suami Ratu Ayu, Gendhuk Tri membuka pintu bagi kehadiran Singanada untuk melangkah lebih jauh. Yang berikutnya adalah pemunculan Pangeran Anom.
Agak tergesa-gesa ia mengartikan kehadiran Pangeran Anom ini, akan tetapi hati kecilnya mengatakan ia tak keliru menebak jalan pikiran seseorang yang menaruh minat padanya. Tidak, bagi Gendhuk Tri tak begitu mudah mengalihkan perhatian kepada lelaki lain. Apalagi setelah batinnya ditata untuk menerima Singanada. Namun yang terjadi sekarang ini ialah ia harus bisa menyatukan rasa dan pikiran dengan Pangeran Anom. Sebab hanya itu jalan satu-satunya untuk bisa menolong Singanada.
“Apa yang Adik Tri pikirkan?”
“Tidak…,” jawab Gendhuk Tri mengambang.
“Untuk sementara ini, Adik Tri jangan terganggu oleh pikiran yang lain. Saya bermaksud menolong Kakang Singanada. Saya tak akan berbuat curang untuk keuntungan pribadi saya.”
“Tidak. Bukan itu, Pangeran Anom. Saya sendiri yang tak begitu…”
JILID 14 | BUKU PERTAMA | JILID 16 |
---|