Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 14
Sebagai jago silat, seperti juga yang lainnya, kehancuran seseorang ditentukan kalau ia mulai mundur secara teratur. Beban yang menindih makin lama makin kuat. Seumpama gelundungan batu, makin ke bawah makin besar, dan makin berat.
Ilmu Kulit Ketela
SINGANADA menggeram keras. Ia tak bisa menahan diri. Rambutnya yang tergerai meliar ketika tubuhnya menerkam maju, menerobos kepungan. Tekadnya hanya satu: tak akan membiarkan Upasara mati dikeroyok. Tindakan yang nekat. Karena bahayanya terlalu besar.
Sejenak Gendhuk Tri terpana. Ada rasa kagum dan kesal. Kagum karena sikap ksatria yang ditunjukkan Singanada, kesal karena dirinya belum leluasa bergerak. Kegagahan Singanada memang terbukti. Dengan auman seekor singa, tubuhnya menerjang maju, tangannya mencakar kiri dan kanan, dengan cepat menarik Wacak ke arahnya. Dua sambaran pukulan lawan dibiarkan mendekat dan Singanada malah memapak maju. Benar-benar tak memedulikan keselamatan diri.
Bagi sebagian prajurit, tindakan Singanada seperti bunuh diri dengan sia-sia. Bagi Halayudha, tindakan Singanada sangat cerdik. Dengan menerjang masuk ke dalam bahaya, Singanada bisa menahan serbuan gencar yang mengarah ke Upasara. Tanpa tindakan nekat, tak mungkin perhatian lawan terpecah. Nyatanya, untuk sementara, perhatian lawan terbelah.
Akan tetapi yang tak diduganya, justru serangan yang tertuju ke arahnya datang dari Bandring Cluring Manmathaba. Satu irisan tajam membuat desis kecil. Yang terasa kemudian adalah potongan rambut yang terbang ke udara. Bagai pisau tajam, tali bandring yang terbuat dari otot berhasil memutuskan rambut Singanada. Meleng sedikit saja, bisa-bisa kepala atau tangan Singanada yang teriris putus.
Gendhuk Tri tak bisa menahan diri. Ia menerobos masuk dengan selendangnya. Kembali sebelum tubuhnya mendekat, kesiuran angin mengurung dirinya. Sebelum Gendhuk Tri sadar bahaya yang sesungguhnya, secara sempurna selendangnya menutup tubuh untuk melindungi.
Tok-pletok, bret-breeet.
Tok-tok, pletok-tok.
Di antara bunyi peletok ujung bandul yang menyentuh lantai dengan irama tetap yang makin lama makin cepat, terdengar suara robeknya kain. Ternyata sobekan selendang Gendhuk Tri yang menjadi compang-camping dan putus kena sabetan tali bandring. Siapa pun yang menyaksikan jalannya pertarungan, menahan napas karena ngerinya.
Dengan penguasaan tenaga dalam dan senjata bandring yang sakti Manmathaba sedang menunjukkan kelihaiannya. Tali bandringnya bisa menebas rambut, seperti juga mengiris selendang. Dua benda yang jauh berbeda. Rambut adalah bagian dari tubuh yang keras, kuat, dan cukup liat. Apalagi kalau jumlahnya ribuan. Diperlukan pisau yang kelewat tajam untuk bisa menebas. Sebaliknya selendang adalah benda yang lembut, apalagi tergerai oleh angin.
Akan tetapi keduanya ternyata bisa ditebas oleh tali bandring. Berarti tali bandring Manmathaba sangat luar biasa, atau juga si pemakai sangat sakti. Bisa jadi keduanya. Kemampuannya menebas benda keras atau lembut tak ada celanya. Sementara suara pletok-tok-tok makin keras, makin mendesing.
Ketiga senopati Keraton Singasari bagai kanak-kanak yang dipermainkan oleh seorang pelatih. Singanada dipaksa jumpalitan oleh gerakan yang menyerang. Tak ubahnya singa yang dipaksa meloncati api atau digulung dalam liang kecil. Yang tak bisa menghindar kalau tidak mau tercincang ayunan bandring.
Sementara Gendhuk Tri sendiri sejak loncatan pertama praktis tertahan serangannya. Hanya bisa mundur dengan robekan selendang yang makin hancur. Beberapa kali malah terancam jiwa dan kain yang dikenakan. Padahal bandring itu tidak tertuju langsung ke arahnya.
Padahal bandring itu sepenuhnya tertuju ke Upasara Wulung. Hanya sesekali mengarah kepadanya. Itu sudah membuat repot sekali. Bisa dibayangkan kedudukan Upasara sekarang ini. Upasara memang makin terdesak. Pukulan kiri-kanan yang seakan makin nempel dan mendesak, sementara ayunan bandring dengan tok-tok-pletok makin kencang di seputar tubuhnya.
Dalam keadaan terdesak, Upasara justru bisa menemukan beberapa kali pemecahan. Melihat kemungkinan untuk balas menyerang. Hanya saja kini perhatian terpecah sedikit untuk memperhatikan Singanada dan terutama Gendhuk Tri. Hal ini sebenarnya sudah diketahui oleh Singanada. Menghadapi jurus Kebat Kelewat, tak perlu dibantu. Karena bantuan bisa berubah menjadi gangguan.
Keberanian Upasara untuk menjajal menangkap tali bandring atau bandulnya beberapa kali urung dengan sendirinya. Karena setiap kali mencoba merangsek maju, satu bandring bisa dipunahkan, bandring yang lain justru tertuju keras kepada Gendhuk Tri. Agaknya Manmathaba mampu mengatur serangan secara sempurna. Menyeimbangkan antara tenaga menyerang kanan dan kiri.
“Upasara, jangan pedulikan kami. Gempur!” teriak Singanada.
“Tidak!”
“Tolol, kamu. Harus bisa. Harus berani.”
“Tidak.”
“Kalau kamu tak mau, biar aku mati duluan.”
Singanada menggerung keras. Tubuhnya menggeliat, punggungnya tertekuk ke dalam. Dengan sekali menyentak, badannya berbalik. Maju ke arah Manmathaba!
Upasara tidak menduga bahwa Singanada akan berbuat seperti itu. Sengaja masuk ke tengah gelanggang. Cepat Upasara membebaskan dari pikiran kasihan atau menguatirkan orang lain, ia melabrak maju. Tangan kirinya membelit ke arah putaran bandring, sementara tangan kanannya melakukan gerakan yang sama. Tubuhnya sendiri berputar keras sekali, cepat sekali seperti menggulung dengan kecepatan bumi.
Hebat. Teriakan kekaguman dalam hati meluncur dengan ikhlas dari hati Halayudha. Gulungan tubuh Upasara bagai gelombang air laut yang mengempaskan apa saja yang menghalangi. Membuyarkan serangan yang datang. Pada kesempatan yang pendek, tangan Upasara meraih keris dari pinggang Senopati Agung Brahma, dan secepat itu kembali lagi ke gelanggang.
“Maaf…” Hanya itu yang menandai bahwa Upasara meminjam dengan cara yang agak kasar. Bahwa Upasara melakukan ini dalam keadaan terpaksa, bisa dimengerti. Karena tiada pilihan lain. Dan dengan keris di tangan, Upasara bisa memainkan jurus-jurus Banteng Ketaton. Yang lebih baik daripada menghadapi dengan tangan kosong. Gelombang tubuh Upasara yang bergulat cepat, bisa membuyarkan serangan Manmathaba. Bahkan Wacak dan Resres tersurut mundur.
“Jangan pedulikan kami…” Teriakan Singanada yang kedua, ditandai dengan gempuran langsung dan auman tinggi.
“Awas…”
Peringatan Upasara tertuju kepada Singanada dan Gendhuk Tri, juga kepada lawan. Tangan kiri yang terbuka menuju ke arah tali bandring, sementara ujung keris di tangan kanan berputar menusuk ke arah lawan. Dua kaki yang menjadi kuda-kuda menekuk ke belakang sehingga tubuhnya condong ke depan, siap melakukan gerakan lanjutan. Dan betul-betul bergerak! Tangan kiri Upasara berhasil mengibaskan bandring, tangan kanan bagai menuding langsung ke arah tangan Manmathaba. Menusuk masuk menebas kulit dan menggores dalam! Amblas!
Bersamaan dengan itu terdengar dua jeritan keras. Bandul pertama yang tertolak oleh Upasara mengenai batok kepala Pendeta Resres yang seketika pecah berantakan. Bandul yang lain menyabet kaki Singanada yang langsung jatuh terjerembap. Anehnya, Manmathaba tetap berdiri gagah. Kedua tangannya memainkan Bandring Cluring. Tanpa terluka sedikit pun! Tak ada darah mengalir, tak ada goresan. Tak ada bekas apa-apa. Bahkan bibirnya tersenyum.
“Ksatria lelananging jagat, saat telah sampai. Sebelum matahari bercahaya…”
Bibir Halayudha tergetar keras. Giginya sampai gemeretuk. Tubuhnya tetap berdiri tegak tidak kelihatan menggigil, akan tetapi terasakan betapa seluruh bulu tubuhnya berdiri. Ilmu yang dipamerkan Manmathaba adalah ilmu yang dikenal bernama Kulit Ketela. Ilmu kebal yang meskipun kulit menjadi setipis kulit ketela, akan tetapi kebal dari senjata apa pun. Jelas sekali Upasara berhasil menikam, menggoreskan, akan tetapi bahkan bekasnya pun tak terlihat. Pendeta Manmathaba memiliki ilmu simpanan yang makin lama makin sulit dipercaya.
Kisah Sepasang Air
BETAPA tidak. Upasara adalah tokoh kelas utama dalam dunia persilatan. Apalagi menggunakan jurus yang diketahui dan dilatih sejak kecil, jurus Banteng Ketaton. Dengan tenaga dalam hasil latihan ajaran Kitab Bumi secara sempurna boleh dikatakan tak ada tandingannya. Senjata keris yang digunakan, pastilah juga bukan sembarang keris, karena milik Senopati Agung Brahma. Bahkan dalam keadaan yang paling lemah sekali pun, kerisnya masih bisa menembus karang, membelah batu. Nyatanya kulit luar Manmathaba pun tak tergores. Bahkan tak sempat terguncang karenanya.
“Baginda, bagian tubuh mana yang Baginda paling tidak sukai? Batok kepala, tulang dada, kemaluan, atau jakunnya? Itu yang pertama hamba ledakkan…”
Gendhuk Tri terhuyung-huyung. Di satu pihak sangat mencemaskan Singanada yang rebah tak bergerak, di lain pihak khawatir melihat nasib Upasara. Ksatria gagah yang selama ini selalu dikagumi dan bisa unggul, kini seakan menunggu nasib. Mendadak satu tubuh mendekat ke arahnya. Merangkul erat. Masih tercium bau harum tubuhnya.
“Gendhuk, maaf, mari kita mainkan gerakan dari Kitab Air, seperti semula. Ini saatnya sepasang air menemukan denyutnya, menemukan gelora, menjadi mengalir. Ayo, Yayi Tri…”
Gendhuk Tri bagai terseret mengikuti gerakan lelaki di sebelahnya. Ia seakan terbimbing dan mulai bergerak. Bagai penari yang mulai rombeng selendangnya. Lelaki di sebelahnya melakukan gerakan yang sama.
“Ah, itu dia…” Itu teriakan Halayudha.
Serentak dengan itu, Manmathaba meloncat mundur menjauh. Apa yang terlihat adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Di antara kepungan para prajurit, di antara Putra Mahkota dan Permaisuri serta para petinggi Keraton yang mengenakan pakaian kebesaran, di situ terlihat bekas-bekas pertarungan yang mengerikan. Sesosok mayat yang tercabik-cabik, sesosok lainnya hancur kepalanya. Satu orang terluka kakinya dan tergeletak.
Sementara Upasara masih berdiri gemetar. Dan Pendeta Manmathaba yang baru saja ganas telengas meloncat mundur. Di gelanggang hanya ada sepasang lelaki-perempuan yang seolah sedang menari. Gerakannya serba lembut, bagai irama air mengalir tenang, sempurna, seirama dengan irama alami. Sangat ganjil. Juga mengerikan. Beberapa saat tak ada suara. Hanya desir angin dari tangan Gendhuk Tri dan pasangan yang tak lain tak bukan adalah Pangeran Janaka Rajendra.
Teriakan kaget Halayudha bisa dimengerti. Selama ini ia banyak mempelajari ilmu silat dari berbagai kitab kelas utama. Salah satu yang membuatnya sangat gregetan ialah Tirta Parwa atau Kitab Air. Yang tadinya dianggap bersumber dari ilmu Pendeta Sidateka. Itu yang dipelajari secara perlahan, hingga ia perlu mengejar Gendhuk Tri. Baru belakangan diketahui bahwa jurus-jurus Kitab Air itu diciptakan oleh Eyang Putri Pulangsih! Tokoh yang sezaman dan sekelas dengan Eyang Sepuh.
Yang membuat Halayudha sangat penasaran ialah kitab yang dipergunakan dan banyak dipelajari itu seperti tak memberikan apa-apa padanya. Artinya tak terlalu luar biasa. Sehingga Halayudha mempunyai dua kesimpulan. Pertama, kitab itu tidak sehebat yang digambarkan orang. Yang kedua, dirinya tak bisa menemukan kunci bagaimana memainkannya. Baru kemudian sedikit terjawab, ketika Gendhuk Tri memainkan bersama Singanada. Mereka berdua bagai pasangan pendekar yang tak terkalahkan. Yang terpadu erat. Saat itu Halayudha terdesak oleh mereka.
Saat itu Halayudha menemukan sumber utama kekuatan Kitab Air. Bahwa jurus-jurus itu mempunyai kekuatan berlipat ganda apabila dimainkan dengan dasar-dasar pernapasan dari Kitab Bumi. Yang bisa diterima, karena semasa hidupnya Eyang Putri Pulangsih mempunyai daya asmara terhadap Eyang Sepuh, ataupun Paman Sepuh. Halayudha merasa menemukan kunci utama.
Namun ternyata masih ada kemungkinan lain. Jurus-jurus yang sama, yang dimainkan oleh Gendhuk Tri dan Pangeran Janaka Rajendra, mempunyai kekuatan lain. Yang sekilas lebih lembut, lebih alami, tetapi menyimpan kekuatan yang lebih mendesak. Sepasang air yang tak kalah hebatnya dengan pasangan air dengan bumi. Sungguh luar biasa. Tak terduga. Bahwa di balik kehebatan, masih tersimpan kehebatan yang lain.
Halayudha terbengong karenanya. Terbersit kekaguman bahwa Eyang Sepuh yang mumpuni yang menguasai itu bukan satu-satunya yang paling hebat. Masih ada Eyang Putri Pulangsih yang justru menyimpan kehebatan berlapis-lapis. Betapa sesungguhnya para empu mempunyai pandangan yang jauh, yang mampu meletakkan dasar-dasar kanuragan yang bisa terus dikembangkan sampai suatu tingkat yang tak bisa diperkirakan.
Siapa mengira bahwa memainkan jurus yang sama bisa menjadikan tenaga berlipat ganda? Siapa yang mengira, kalau selama ini tumbuh anggapan bahwa barisan atau perpaduan kekuatan dilakukan dengan jurus yang dasarnya sama, akan tetapi gerakannya berbeda?
Dua belas murid Kiai Sumelang Gandring memperlihatkan barisan yang melipat gandakan kekuatan dengan gerakan yang berbeda. Demikian juga yang dilahirkan dari Perguruan Semeru. Bahkan yang dikenal dari negeri Turkana dengan Lompatan Turkana atau 64 Langkah Jong yang terkenal juga begitu. Bahkan Barisan Padatala, barisan tiga pendeta bergelang kaki, juga demikian prinsip-prinsip dasarnya. Sepasang air tidak membeda-bedakan. Sama. Sepasang air ialah air dengan air!
Itu sebabnya Halayudha ternganga. Untuk pertama kali menyadari bahwa ada sesuatu yang tak terpecahkan oleh kemampuan daya pikir dan keuletan berlatihnya. Lebih mengherankan lagi bahwa Pangeran Janaka Rajendra melihat kemungkinan itu dan kemudian memainkannya. Hanya dari melihat gerakan Gendhuk Tri, bisa langsung menggabungkan.
Bagi Pendeta Manmathaba lain lagi alasannya melompat mundur. Ilmu yang diperlihatkan Gendhuk Tri adalah ilmu yang dikenali, karena itu ilmu utama di negeri Syangka. Ilmu yang menjadi babon utama di negerinya, tak jauh berbeda dari Kitab Bumi di tanah Jawa. Maka tadi ketika Gendhuk Tri menyerang masuk, Manmathaba segera mengenali. Dan juga menyadari kenapa beberapa serangannya hanya mampu merobek selendang, tapi tak bisa seketika menghancurkan lawan, atau setidaknya melukai.
Segalanya baru menjadi jelas ketika Pangeran Janaka Rajendra memainkan secara bersama. Jauh lebih indah, jauh lebih mengesankan, dan membuka hatinya. Biar bagaimanapun telengasnya, Manmathaba masih bisa tergetar melihat ilmu andalannya yang dianggap suci. Apalagi kini dimainkan oleh orang lain! Ini yang membuatnya melangkah mundur. Setengah tidak percaya. Tapi itulah yang dilihatnya sendiri.
Perlahan Manmathaba bisa mengerti. Kenapa bubuk racun yang maha mematikan, bubuk pagebluk, bisa ditemukan pemusnahnya-walau mungkin untuk sementara. Selama ini, hanya dirinya yang mampu membuat ramuan obat pencegah bubuk pagebluk! Tak tahunya ada juga orang lain. Bisa dimengerti kalau Pangeran Janaka Rajendra mampu menciptakan atau menemukan obat pemusnah, karena juga mempelajari dari sumber yang sama.
“Manmathaba, majulah! Biar kita sempurnakan ilmu kita.”
Manmathaba meloncat maju. Bandring di tangannya bergetar. “Mari, akan kuberi pelajaran yang berarti kalian…”
Mendadak Puspamurti menggeleng. “Kamu jangan main curang, pendeta busuk. Kalau ada ilmu yang begini indah, kamu rusak begitu saja, aku tak bisa berdiam diri. Pangeran tampan dan penari jalanan, kalian menjauh saja. Pendeta busuk ini akan main curang lagi.”
Manmathaba sadar bahwa Puspamurti mengetahui sesungguhnya walau indah luar biasa akan tetapi gerakan Sepasang Air belum saatnya untuk diadu dengan ilmu Manmathaba. Hal ini mudah dimengerti oleh mereka yang mempunyai penglihatan luas. Biar bagaimanapun, pasangan yang baru bertemu, belum bisa memainkan secara bersamaan. Menganut prinsip air mengalir, keduanya belum sepenuhnya bisa menyatu. Sehingga satu peluang kecil bisa diterobos oleh lawan.
Gelang Kaki Ketiga
PERMAISURI INDRESWARI mengangkat dagunya. “Biarlah mereka lewat jalan yang tersesat. Itu bukan urusanmu, Manmathaba.” Tanpa tarikan napas yang membedakan nada, Permaisuri Indreswari melanjutkan, “Biarkan Manmathaba menyelesaikan tugasnya, nenek ayu. Itu bukan urusanmu. Yang kamu cari adalah Kidungan Pamungkas. Terimalah…”
Puspamurti tersenyum. “Ya, biar saja yang tolol bermain dengan yang dungu. Itu bukan urusanku.” Kipas gedenya bergerak, dan angin menyambar kitab di tangan Permaisuri Indreswari. Puspamurti meraih, membaca sekilas. “Benar, ini kitab asli. Permaisuri bermata sipit, ternyata kamu memenuhi janjimu. Aku tak mau lagi berurusan dengan pendeta bau…”
Puspamurti langsung ngeloyor dengan langkah tenang. Satu tangan membaca kitab, tangan yang lain menyeret kipas, sambil terus berjalan. Tak memedulikan sekitar.
Manmathaba memutar bandringnya. Mendesing. Dengan mundurnya Puspamurti dan menjauhnya Pangeran Janaka serta Gendhuk Tri, yang tertinggal hanyalah Upasara, Wacak, serta Manmathaba. Sementara yang lain berada di tempat yang rada jauh.
“Aku akan menyelesaikan tugasku. Bersiaplah!” Kalimat Manmathaba pendek, seolah bergumam. Bandul bandringnya mendesing.
Upasara mengeluarkan seruan sambil membidikkan kerisnya. Kakinya menotol lantai, dan tubuhnya menyambar maju. Senopati Agung Brahma mendesis. Apa yang dilihatnya di luar semua jalan pikirannya. Sungguh tak disangka bahwa Manmathaba menghajar Wacak. Bandul bandring justru mengarah kepada Wacak! Setelah dua pendeta yang lain tewas, agaknya Manmathaba ingin menyelesaikan semuanya. Itulah yang dikatakan sebagai “menyelesaikan tugas”. Itulah sebabnya mengatakan “bersiaplah”. Karena kalau mau mengarah ke Upasara, tak ada kata pendahuluan “bersiaplah”.
Sulit diduga jalan pikiran para pendeta dari tanah Syangka ini. Kalaupun ketiga pendeta ini dianggap gagal dalam menjalankan tugas, tentunya hukuman tidak dijatuhkan saat itu juga. Di tengah pertarungan yang masih berlangsung. Tata krama macam apa ini semua? Sungguh licik dan tanpa perasaan.
Tapi ternyata Senopati Agung Brahma juga tak bisa menduga jalan pikiran Upasara! Justru Upasara bergerak membidikkan kerisnya untuk menghalangi Manmathaba. Upasara melindungi pembunuhan atas diri Wacak, yang berdiri tegak sambil menutup mata. Tata krama seorang ksatria. Sungguh luhur budinya. Tapi juga susah dimengerti.
Upasara yang dalam pertarungan dicurangi, masih membela Wacak. Lebih menakjubkan lagi ternyata bidikan Upasara tepat mengenai ujung bandul yang nyaris menghancurkan batok kepala Wacak. Lebih menakjubkan lagi, karena ketika keris yang membalik kena benturan, bisa menghalau bandul kedua! Luar biasa.
Tanpa terasa Halayudha menepukkan tangan tiga kali. Untuk pertama kalinya, Halayudha memuji dengan ikhlas. Rela sampai ke dasar hatinya memuji kehebatan Upasara. Bidikan keris secara seketika, dilakukan sebagai reaksi dari serangan yang tak terduga, dan bisa menggagalkan dua serangan aneh sekaligus. Aneh, karena dalam penilaian Halayudha, ayunan bandul bandring berbeda satu sama lain. Berbeda arahnya, getaran, serta kekuatan yang terkandung dalam masing-masing bandul.
Sesungguhnya itulah ilmu bandring yang tadi dikagumi oleh Puspamurti. Adakalanya seperti membentuk lingkaran ke depan, tapi di sebelah lain bisa ke arah belakang, membentuk lingkaran yang tidak bulat. Dari suara tok-tok-pletok pun berbeda satu sama lain iramanya. Sehingga menyulitkan, karena serangan beruntun akan tetapi tidak dalam napas yang sama. Tidak dalam irama yang bisa diperkirakan perbedaan waktu antara serangan pertama dan kedua.
Kekaguman Halayudha terutama juga karena Upasara begitu cepat menangkap inti perbedaan tersebut. Dalam pertarungan, meskipun terdesak berat, ternyata Upasara bisa mempelajari gaya dan makna serangan. Halayudha masih merasa kagum, meskipun ia menyadari ini semua terutama dari pendalaman dan pemahaman Delapan Jurus Penolak Bumi. Dasar-dasarnya adalah mengenali keadaan bumi. Di kiri ada gunung, di sebelah kanan ada mata air. Di barat ada lembah, arus angin berputar di selatan, pastilah titik lemah sebagai penangkal ada di tempat tertentu.
Begitu seterusnya. Masing-masing kekuatan ada imbangan kelemahan. Akan tetapi lawan lakukan dengan cepat, sehingga memerlukan waktu untuk mengenali kiri dan mana kanan, mana bawah dan mana atas. Akan tetapi, Upasara menunjukkan daya serap yang cepat sekali.
“Upasara, kenapa kamu lakukan itu?” Pertanyaan yang pertama justru terlontar dari Pendeta Wacak.
“Kenapa tidak?”
"Kematian adalah wajar dalam pertempuran.”
“Kematian adalah kewajaran dalam pertarungan,” Upasara mengulangi, dan dengan nada yang berbeda melanjutkan, “akan tetapi tidak dengan cara bunuh diri.”
“Aku anggota Barisan Padatala. Barisan berkaki gelang. Kalau dua yang lainnya sudah binasa, bukankah aku harus mati juga? Atau kamu lebih puas kalau aku mati di tanganmu?”
Senopati Agung menghela napas. Sungguh bagai langit dan bumi perbedaan antara pendeta dari Syangka yang ini dan Upasara. Kalau yang satu serba curiga dan tidak bisa menghargai kebaikan hati orang lain, ksatria satunya justru tak menduga akan mendengar pertanyaan semacam itu.
“Aku gelang kaki terakhir, dan akan berakhir. Kalau kamu memang menginginkan aku mati di tanganmu, silakan…”
Wacak melangkah maju mendekat. Matanya tertutup, jalannya limbung, seakan menyerah. Upasara menggeleng. Kedua tangannya turun. Helaan napasnya dipenuhi rasa penyesalan. Penyesalan dan tidak mengerti sikap yang diambil Wacak. Senopati Agung Brahma mendecak. Belum terungkap semua decaknya, apa yang dikuatirkan terjadi!
Wacak yang seakan pasrah, linglung, limbung langkahnya, mendadak saja menubruk Upasara! Menyerang dengan tangan terbuka! Pada saat yang sama, bandul bandring Manmathaba menotol arah batok kepala bagian belakang.
Sakti seperti dewa sekalipun, Upasara tak pernah menduga serangan seperti sekarang ini. Dan nalurinya secara ksatria berbuat seperti diduga oleh Manmathaba! Yaitu menolong Wacak terlebih dulu! Membuka kedua tangan yang menubruk ke arahnya, baru memikirkan menyelamatkan diri sendiri dari serangan Manmathaba. Yang datang lebih cepat, karena Manmathaba menyerang bersamaan dengan Wacak, tanpa memedulikan keselamatan keduanya.
Kalau Upasara masih menggenggam keris, atau tidak begitu memedulikan dirinya, atau kalau Wacak tidak asal nekat, hasil akhir tak akan seperti sekarang. Tapi Upasara hanya bisa memiringkan kepalanya, kedua tangan yang menjadi terlambat ditarik sepenuhnya ke belakang, menangkap tali bandring yang satu dan menyentakkan dengan keras. Sangat keras. Sangat mendadak. Sehingga Manmathaba terpental ke tengah udara.
Namun bersamaan dengan itu, kedua tangan Wacak telak-telak menghantam dada Upasara. Kedua kaki Upasara tak kuat menahan tubuhnya yang berputar, terjatuh sambil memuntahkan darah. Tanpa memedulikan lawan yang sudah jatuh, Wacak meloncat ke atas dan siap menghancurkan dada Upasara dengan injakan sepasang kaki.
“Biadab!”
Samar, lamat, setengah sadar, Upasara berusaha menggulingkan tubuh. Namun satu kaki Wacak sempat mampir di pundaknya. Terasa ngilu di sekujur tubuh. Apalagi ketika kemudian tendangan Wacak berikutnya mengenai punggungnya, Upasara bagai batang pisang, terlempar ke tengah udara. Wacak bagai menemukan permainan yang mengasyikkan. Dua sikunya ditekuk ke depan, tepat mengenai dada Upasara yang kembali bergulingan sambil memuntahkan darah segar.
Senopati Agung Brahma merasa terlambat maju. Karena dua atau tiga pukulan berikutnya tetap mengenai tubuh Upasara yang terus meluncur menghantam dinding Keraton bagian luar.
“Cukup!” teriak Permaisuri Indreswari.
Wacak bagai kesetanan, ia menyerang terus. Bahkan kali ini mengambil keris yang tadi dipergunakan Upasara untuk membebaskan dirinya dari maut!
Pukulan Pinggir
KERIS Senopati Agung Brahma itu untuk menikam habis Upasara.
“Berani benar melanggar perintah Ratu!”
Suara Halayudha yang keras, dibarengi dengan dua tangan yang bergerak cepat memukul ke arah tubuh Wacak. Cukup cepat dan tepat. Tubuh Wacak bagai terdorong ke arah lain, agak menyerong ke arah kiri. Kakinya bersandungan, akan tetapi keris itu tetap meluncur. Amblas ke dalam tubuh Upasara. Inilah akhirnya. Upasara yang tadi membebaskan Wacak justru terkena sabetan keris yang dipakai untuk menolong.
Di antara semua yang hadir, Senopati Agung Brahma yang paling menggigil dan menjadi pucat wajahnya. Apa yang disaksikan sejak awal membuat perutnya mual, dan rasanya sudah muntah berkali-kali akan tetapi tertelan kembali, sehingga makin menimbulkan rasa tidak enak. Manmathaba sangat keji, Wacak demikian juga. Tapi Halayudha ternyata sama biadabnya! Kalau Manmathaba dan Wacak melakukan kekejian dengan cara terang-terangan, Halayudha melakukan dengan kedok!
Dengan topeng mengikuti perintah Permaisuri. Untuk menghentikan gerakan Wacak. Dengan demikian seolah ia melaksanakan perintah Permaisuri untuk menahan serangan Wacak. Yang berarti menjalankan tugas. Di samping mendapat pujian dari para ksatria dan senopati, yang sebagian besar tidak pernah menganggap Upasara sebagai musuh utama yang harus dilenyapkan. Padahal yang dilakukan, sebenarnya lebih busuk.
Halayudha memang memukul ke arah Wacak, sehingga Wacak terserong dan kakinya bersandungan. Akan tetapi sesungguhnya ia melakukan pukulan dengan tenaga Dayaka Dawata. Senopati Agung Brahma bisa melihat dengan jelas. Dayaka adalah sebutan untuk orang yang memberi sedekah, menaruh belas kasihan. Sedangkan dawata berarti pinggir atau tepi. Dua kata yang digabung menyimpan pengertian tersendiri.
Dengan mempergunakan tenaga Dayaka Dawata, atau Pukulan Pinggir, Halayudha seperti menolong Upasara padahal sebenarnya justru mencelakakan. Dengan pukulan pinggir, apalagi yang di arah bagian lengan dan pinggang kanan, jelas bahwa Halayudha ingin keris itu langsung tertuju ke arah Upasara! Dengan demikian, Upasara akan tetap terkena tusukan keris yang dibidikkan, sementara tubuh Wacak tersungkur.
Kelicikan yang jelas terlihat di mata Senopati Agung ini yang membuat tiba-tiba jiwanya menjadi kosong. Kepercayaan diri kepada sesama manusia, sesaat terbang semuanya. Tak ada yang tersisa. Tubuhnya makin menggigil. Bagaimana mungkin ada manusia sejahat Halayudha yang sangat licik? Bagaimana mungkin manusia itu berada di Keraton, dan memegang jabatan yang tinggi, bahkan menjadi salah seorang senopati utama?
Berapa banyak korban tak berdosa jatuh ke tangannya? Dan masih berapa lagi yang akan berjatuhan? Dan bagaimana mungkin Halayudha yang bersikap curang bisa duduk tenang, menyembah hormat kepada Permaisuri tanpa terlihat sedikit pun penyesalan?
Pergolakan batin Senopati Agung makin lama makin menggerogoti kekuatan dalamnya. Hingga tanpa terasa lututnya melemas, tubuhnya terjatuh di tempat. Tubuhnya menggigil. Kalau kemudian Wacak diamankan para senopati yang lain, tak banyak artinya bagi apa yang terjadi. Tidak juga bagi Halayudha yang menyembah hormat.
“Maaf, Permaisuri Yang Mulia, hamba tak bisa melakukan tugas dengan baik. Saya hanya bisa menahan pembunuhan terhadap Upasara yang perlu kita tanyai…”
Dengan samar Halayudha mengisyaratkan bahwa Upasara tidak mati, hanya terluka. Sehingga maksud Permaisuri untuk menangkap Upasara hidup-hidup masih bisa terlaksana.
“Semua prajurit harap membersihkan ruangan. Sebentar lagi fajar akan tiba, dan Baginda akan memulai pemerintahannya pada lantai yang bersih dari semua kotoran.”
Halayudha menyembah lagi. Permaisuri Indreswari melirik kecil, kemudian diiringkan oleh putranya masuk kembali ke dalam Keraton, diiringi para dayang dan pengawal utama. Halayudha memerintahkan untuk menawan Upasara di tempat yang Ditentukan, untuk kemudian ia sendiri bergegas memerintahkan pembersihan dan persiapan adanya pertemuan baru bersamaan dengan fajar.
Halayudha tahu bagaimana mengambil alih kepemimpinan sementara, sebelum Mahapatih atau senopati lain menyadari. Bahkan dengan suara sangat tenang, Halayudha-lah yang meminta Pendeta Manmathaba beristirahat.
“Agar segar kembali dalam pasowanan yang akan datang. Apa yang Bapa Pendeta tunjukkan, lebih hebat dari semua yang ada di sini Bapa Pendeta berhasil mengalahkan ksatria jagat yang selama ini tak terkalahkan.”
“Pujian yang berlebihan, meskipun begitulah kenyataannya. Aku perlu belajar banyak darimu, Halayudha.”
“Ini yang berlebihan. Saya tidak layak mendengarnya…”
Manmathaba mendehem. “Agaknya kita ditakdirkan akan bertemu lagi…”
“Saya siap melayani, seperti perintah Baginda…”
Halayudha bisa menangkap ancaman Manmathaba yang agaknya cukup mengetahui bahwa Halayudha mempunyai peranan yang unik tapi menentukan dalam tata pemerintahan Keraton. Meskipun demikian, Halayudha tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda ia mengetahui dirinya dicurigai atau diperhitungkan. Halayudha seakan menganggap ucapan “kita ditakdirkan akan bertemu lagi”, seperti arti yang diucapkan.
Sikapnya yang waspada, hati-hati, dan penuh dengan perhitungan, ditutupi dengan penampilan polos, seadanya, sebagai prajurit yang selalu mengikuti perintah atasan. Itu pula yang dilakukan Halayudha ketika mendapat isyarat agar menghadap Permaisuri Indreswari di kamarnya. Halayudha berjalan jongkok dan menyembah beberapa kali, duduk tepekur di tempat yang agak jauh dari pembaringan, di mana Permaisuri Indreswari terbaring menatap langit-langit.
“Apa yang harus kulakukan, Halayudha?”
Halayudha menyembah. Tanpa menjawab.
“Apa yang harus kulakukan, Halayudha?”
“Permaisuri yang Mulia lebih dari tahu apa yang sebaiknya dilakukan.”
Halayudha tetap bisa menahan diri untuk tidak segera menunjukkan bahwa ia mempunyai rencana tertentu yang sudah dipersiapkan.
“Bagaimana keadaan sekarang ini?”
Halayudha menyembah, menunduk lama. “Fajar yang sangat indah sekali sebentar lagi mewarnai Putra Mahkota untuk memulai takhta. Sekarang semuanya sudah rata, bercahaya, dan harum. Tak ada lagi yang menghalangi. Tidak juga sebutir kerikil yang paling kecil sekalipun.”
“Apa benar begitu?”
Halayudha menyembah lagi. “Siapa saja bisa menangkap firasat bahwa fajar akan dimulai setelah semua kegelapan tersapu rata. Tak ada lagi penghalang yang tersisa. Tidak dari Mahapatih atau semua senopati yang masih ingin membangkang. Tidak dari para ksatria yang sok gagah perkasa. Upasara Wulung yang di zaman Baginda tak bisa dicegah kenakalannya pun sekarang bisa ditundukkan. Semua pertanda dari Dewa bagi kesejahteraan dan kebesaran putra utama Permaisuri yang Mulia.”
“Bagaimana dengan Senopati Agung?”
Halayudha terdiam.
“Bersama dengan fajar nanti, putraku, raja yang berkuasa, akan memutuskan apa yang harus ditaati oleh Senopati Agung dan seluruh keluarganya.”
“Hamba bisa mengerti kesulitan Permaisuri yang Bijak untuk mengampuni Senopati Agung…”
“Aku lebih memikirkan putranya… Senopati Agung sudah tua. Tak nanti akan berbuat, dan tak akan bisa. Akan tetapi putranya… aku melihat sinar matanya tajam menerawang, jernih, wajahnya bercahaya… Aku tak pernah menyadari si bocah kecil itu sudah tumbuh menjadi dewasa, menjadi ksatria… mempunyai sinar mata jernih dan alis mata yang teduh… Ah, ia tak mempunyai darah turunan yang direstui Dewa…”
Halayudha menyembah sambil menunduk hingga mencium lantai. Lama. “Hamba tak berani mengatakan, akan tetapi manusia bisa lupa bahwa hanya satu yang ditakdirkan Dewa menduduki kursi dampar kencana, kursi emas Keraton…”
Menang Awu, Menang Selamanya
“BERANI benar kamu mempunyai dugaan sejahat itu, Halayudha?”
Suara Permaisuri Indreswari mengandung kemurkaan yang mendendam. Akan tetapi Halayudha mulai tahu bahwa apa yang menjadi pertimbangannya sesaat ini masuk ke dalam pertimbangan Permaisuri.
“Dosamu besar, Halayudha.”
Halayudha menghela napas penyesalan yang dalam, menyembah dengan tangan gemetar. “Biarlah hamba yang menanggung dosa itu. Sekurangnya itu lebih menenteramkan Keraton dibandingkan dengan dugaan hamba yang benar.”
“Apa maksudmu?”
“Sekadar lamunan orang tidak waras. Pangeran Anom Janaka bisa merasa lebih pantas kalau terus-menerus digosok perasaan seperti itu. Sebongkah batu yang keras bisa berlubang oleh tetesan air. Hutan luas yang lebat bisa hangus oleh satu letikan api. Apalagi hati manusia yang tak ada sekepal besarnya.”
“Katakan terus terang, jangan bersembunyi di balik kata-kata yang samar.”
“Duh, Permaisuri yang Mulia. Janganlah melihat apa yang terjadi sekarang ini. Yang sekarang ini tumbuh dari masa lalu. Ada bayi yang dilahirkan sama, akan tetapi setelah besar nasibnya berubah. Kalau tidak mau menyadari perubahan, satu bayi dengan yang lainnya akan menyalahi tata krama. Ketika Baginda masih bernama Raden Sanggrama Wijaya, yang dengan gemilang bisa mengusir pasukan dari Tartar, ketika itu datanglah Senopati Anabrang dari negeri seberang. Yang turut dibawa serta adalah emas intan berlian dan segala kekayaan. Akan tetapi dari sekian yang paling berharga, ada dua yang paling bermakna besar. Yaitu dua wanita ayu, agung, dan memancarkan cahaya Dewa. Tubuhnya lembut, bercahaya sinar perak, wajahnya menunduk luruh. Dyah Dara Jingga nama sang kakak, dan Dyah Dara Petak nama sang adik. Tergetarlah hati Raden Sanggrama Wijaya yang kemudian naik takhta. Tergetarlah sukmanya, terbangkit daya asmara. Daya asmara yang menyebabkan tak bisa tidur dan tak enak makan. Walaupun segalanya ada, termasuk putri-putri Keraton Singasari yang ayu, jelita bagai bidadari. Akan tetapi semuanya tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang diinginkan. Sang Baginda sedemikian rindunya, sehingga ketika akhirnya berhasil mendapatkan wanita ayu putih idamannya, semuanya rela diserahkan. Termasuk petunjuk Dewa yang menguasai alam, yang membisikkan bahwa di kelak kemudian hari, hanya keturunannya lah yang pantas meneruskan kebesaran dan kewibawaan serta kekuasaan Keraton. Dyah Dara Petak, gadis ayu berkulit putih bagai cahaya perak, resmi menjadi permaisuri utama, pendamping utama raja, ibu yang melahirkan penerus kejayaan. Dyah Dara Jingga, sang kakak, yang merasa selalu bersama-sama dengan adiknya, menyadari adanya nasib yang tiba-tiba berbeda. Perubahan yang bisa dimengerti, bisa diterima karena itulah kemauan Dewa, akan tetapi selalu dirasa kurang bisa dijalani. Apalagi dirinya hanya diperistrikan oleh senopati yang pernah ditugaskan ke tanah seberang. Tak jauh beda pangkat dan derajatnya dari senopati yang membawanya ke Keraton.”
“Sebegitukah rasa iri itu?”
“Sangat mungkin sekali. Senopati Agung Brahma adalah tokoh yang dihormati. Senopati yang unggul dan perkasa. Akan tetapi tetap seorang senopati. Pada tatanan para Dewa tidak dikenal sebagai apa-apa, selain seperti kawula yang lain. Para Dewa hanya melihat satu orang yang bakal meneruskan wahyu Dewa. Yaitu Baginda dan keturunannya. Bagi senopati yang lain, seperti siapa saja, tidaklah menjadi beban, karena menyadari derajat dan pangkatnya hanyalah titipan dan anugerah Baginda. Akan tetapi Senopati Agung Brahma merasa lain dari senopati biasa. Bukan hanya karena memakai gelaran ‘Agung’, tetapi juga karena istrinya adalah kakak Permaisuri yang Mulia. Senopati Agung Brahma merasa lebih tua, merasa lebih harus dihormati karena usia yang lebih tua, menang awu. Menang urutan darah yang berlaku selamanya. Perlakuan istimewa dari Baginda, bisa disalahartikan bahwa Senopati Agung Brahma berhak berbuat apa saja. Kesempatan demi kesempatan ditunggu. Sampai tradisi diteruskan kepada putranya. Yang secara diam-diam dilatih segala jenis ilmu yang baik dan buruk, setiap saat dipompa untuk meraih yang paling tinggi. Yang lebih tinggi dari kodratnya. Semuanya dilakukan secara sembunyi, dipersiapkan dengan sangat hati-hati. Menunggu saat tepat. Tetapi Dewa tak pernah keliru. Baginda tak salah memilih siapa yang bijak dan bisa meneruskan kebesaran Keraton. Ketika pilihan itu dijatuhkan, saat itu Senopati Agung Brahma tak bisa menahan diri untuk memanaskan suasana mengeruhkan keadaan. Agar dalam keadaan yang keruh ini pandangan yang biasa terhalangi. Sehingga Baginda salah pilih.”
“Apakah benar suami Kakangmbok Dara Jingga berbuat itu?”
“Selama ini Senopati Agung Brahma boleh dikatakan tak pernah tampil, tak pernah muncul dalam urusan apa pun. Kraman demi kraman terjadi, Senopati Agung malah menyembunyikan diri. Apakah bukannya justru menunggu saat di mana Baginda disingkirkan, dan dirinya yang kemudian tampil? Bukankah kalau sampai ada apa-apa dengan Baginda, sebelum Putra Mahkota naik takhta, Senopati Agung yang akan menjalankan roda pemerintahan Keraton setiap hari?”
“Perhitungan masuk akal. Aku tak pernah menduga sejauh itu.”
“Duh, Permaisuri… Kalau tidak begitu, kenapa sejak semula Pangeran Anom mempelajari ilmu penangkis bubuk pagebluk? Dan menyembunyikan secara rahasia? Kenapa yang dibantu secara terang-terangan justru orang-orang yang memusuhi Baginda? Bukankah Gendhuk Tri, Maha Singanada, apalagi Upasara Wulung adalah abdi-abdi yang melakukan kraman? Kenapa dibantu secara diam-diam? Bahkan Singanada dibebaskan dari tahanan? Bahkan Pangeran Anom melakukan tarian bersama Gendhuk Tri secara tak senonoh?”
“Agak masuk akal. Tapi kenapa Kakang Senopati Agung melakukan itu? Bukankah selama ini mereka hidup enak, tenteram, tak kurang suatu apa?”
“Tidak semua orang bisa mensyukuri hidup, duh, Permaisuri yang Mulia. Senopati Agung tidak mau bersyukur bahwa semua pangkat, derajat, kemewahan, dan kekuasaannya selama ini karena kemurahan hati Permaisuri yang Mulia. Bukan lagi kemewahan yang dicari, melainkan kekuasaan. Kekuasaan yang tunggal.”
“Sejahat itukah?”
“Yang ditunggangi setan, tak sadar apa yang diperbuat.”
“Kenapa kamu tak mengatakan ini sebelumnya?”
“Duh, Gusti… Sekarang ini, setelah ada bukti nyata, rasanya hamba masih tak pantas melaporkan hal ini…”
Suara Halayudha terdengar menggeletar karena cemas, takut, dan ragu-ragu. Kemampuan berpura-pura yang tak dimiliki dan tak diduga oleh lawan bicaranya. Siapa pun dia ini! Bagi Halayudha persoalannya memang sederhana. Kini musuh utamanya yang dianggap paling kuat dan sulit ditaklukkan, yaitu Upasara Wulung, sudah selesai perlawanannya. Yang tersisa hanya dua kekuatan.
Yang pertama adalah kekuatan dari kelompok pendeta Syangka yang dipimpin oleh Manmathaba. Bukan kebetulan kalau Manmathaba sangat sakti dan penuh tipu daya. Kekuatannya yang utama, bisa langsung dekat dengan Permaisuri dan Baginda. Namun kelemahan yang utama adalah bahwa Manmathaba tak mungkin bisa menjabat mahapatih atau lebih tinggi dari itu.
Ilmu Kulit Ketela
SINGANADA menggeram keras. Ia tak bisa menahan diri. Rambutnya yang tergerai meliar ketika tubuhnya menerkam maju, menerobos kepungan. Tekadnya hanya satu: tak akan membiarkan Upasara mati dikeroyok. Tindakan yang nekat. Karena bahayanya terlalu besar.
Sejenak Gendhuk Tri terpana. Ada rasa kagum dan kesal. Kagum karena sikap ksatria yang ditunjukkan Singanada, kesal karena dirinya belum leluasa bergerak. Kegagahan Singanada memang terbukti. Dengan auman seekor singa, tubuhnya menerjang maju, tangannya mencakar kiri dan kanan, dengan cepat menarik Wacak ke arahnya. Dua sambaran pukulan lawan dibiarkan mendekat dan Singanada malah memapak maju. Benar-benar tak memedulikan keselamatan diri.
Bagi sebagian prajurit, tindakan Singanada seperti bunuh diri dengan sia-sia. Bagi Halayudha, tindakan Singanada sangat cerdik. Dengan menerjang masuk ke dalam bahaya, Singanada bisa menahan serbuan gencar yang mengarah ke Upasara. Tanpa tindakan nekat, tak mungkin perhatian lawan terpecah. Nyatanya, untuk sementara, perhatian lawan terbelah.
Akan tetapi yang tak diduganya, justru serangan yang tertuju ke arahnya datang dari Bandring Cluring Manmathaba. Satu irisan tajam membuat desis kecil. Yang terasa kemudian adalah potongan rambut yang terbang ke udara. Bagai pisau tajam, tali bandring yang terbuat dari otot berhasil memutuskan rambut Singanada. Meleng sedikit saja, bisa-bisa kepala atau tangan Singanada yang teriris putus.
Gendhuk Tri tak bisa menahan diri. Ia menerobos masuk dengan selendangnya. Kembali sebelum tubuhnya mendekat, kesiuran angin mengurung dirinya. Sebelum Gendhuk Tri sadar bahaya yang sesungguhnya, secara sempurna selendangnya menutup tubuh untuk melindungi.
Tok-pletok, bret-breeet.
Tok-tok, pletok-tok.
Di antara bunyi peletok ujung bandul yang menyentuh lantai dengan irama tetap yang makin lama makin cepat, terdengar suara robeknya kain. Ternyata sobekan selendang Gendhuk Tri yang menjadi compang-camping dan putus kena sabetan tali bandring. Siapa pun yang menyaksikan jalannya pertarungan, menahan napas karena ngerinya.
Dengan penguasaan tenaga dalam dan senjata bandring yang sakti Manmathaba sedang menunjukkan kelihaiannya. Tali bandringnya bisa menebas rambut, seperti juga mengiris selendang. Dua benda yang jauh berbeda. Rambut adalah bagian dari tubuh yang keras, kuat, dan cukup liat. Apalagi kalau jumlahnya ribuan. Diperlukan pisau yang kelewat tajam untuk bisa menebas. Sebaliknya selendang adalah benda yang lembut, apalagi tergerai oleh angin.
Akan tetapi keduanya ternyata bisa ditebas oleh tali bandring. Berarti tali bandring Manmathaba sangat luar biasa, atau juga si pemakai sangat sakti. Bisa jadi keduanya. Kemampuannya menebas benda keras atau lembut tak ada celanya. Sementara suara pletok-tok-tok makin keras, makin mendesing.
Ketiga senopati Keraton Singasari bagai kanak-kanak yang dipermainkan oleh seorang pelatih. Singanada dipaksa jumpalitan oleh gerakan yang menyerang. Tak ubahnya singa yang dipaksa meloncati api atau digulung dalam liang kecil. Yang tak bisa menghindar kalau tidak mau tercincang ayunan bandring.
Sementara Gendhuk Tri sendiri sejak loncatan pertama praktis tertahan serangannya. Hanya bisa mundur dengan robekan selendang yang makin hancur. Beberapa kali malah terancam jiwa dan kain yang dikenakan. Padahal bandring itu tidak tertuju langsung ke arahnya.
Padahal bandring itu sepenuhnya tertuju ke Upasara Wulung. Hanya sesekali mengarah kepadanya. Itu sudah membuat repot sekali. Bisa dibayangkan kedudukan Upasara sekarang ini. Upasara memang makin terdesak. Pukulan kiri-kanan yang seakan makin nempel dan mendesak, sementara ayunan bandring dengan tok-tok-pletok makin kencang di seputar tubuhnya.
Dalam keadaan terdesak, Upasara justru bisa menemukan beberapa kali pemecahan. Melihat kemungkinan untuk balas menyerang. Hanya saja kini perhatian terpecah sedikit untuk memperhatikan Singanada dan terutama Gendhuk Tri. Hal ini sebenarnya sudah diketahui oleh Singanada. Menghadapi jurus Kebat Kelewat, tak perlu dibantu. Karena bantuan bisa berubah menjadi gangguan.
Keberanian Upasara untuk menjajal menangkap tali bandring atau bandulnya beberapa kali urung dengan sendirinya. Karena setiap kali mencoba merangsek maju, satu bandring bisa dipunahkan, bandring yang lain justru tertuju keras kepada Gendhuk Tri. Agaknya Manmathaba mampu mengatur serangan secara sempurna. Menyeimbangkan antara tenaga menyerang kanan dan kiri.
“Upasara, jangan pedulikan kami. Gempur!” teriak Singanada.
“Tidak!”
“Tolol, kamu. Harus bisa. Harus berani.”
“Tidak.”
“Kalau kamu tak mau, biar aku mati duluan.”
Singanada menggerung keras. Tubuhnya menggeliat, punggungnya tertekuk ke dalam. Dengan sekali menyentak, badannya berbalik. Maju ke arah Manmathaba!
Upasara tidak menduga bahwa Singanada akan berbuat seperti itu. Sengaja masuk ke tengah gelanggang. Cepat Upasara membebaskan dari pikiran kasihan atau menguatirkan orang lain, ia melabrak maju. Tangan kirinya membelit ke arah putaran bandring, sementara tangan kanannya melakukan gerakan yang sama. Tubuhnya sendiri berputar keras sekali, cepat sekali seperti menggulung dengan kecepatan bumi.
Hebat. Teriakan kekaguman dalam hati meluncur dengan ikhlas dari hati Halayudha. Gulungan tubuh Upasara bagai gelombang air laut yang mengempaskan apa saja yang menghalangi. Membuyarkan serangan yang datang. Pada kesempatan yang pendek, tangan Upasara meraih keris dari pinggang Senopati Agung Brahma, dan secepat itu kembali lagi ke gelanggang.
“Maaf…” Hanya itu yang menandai bahwa Upasara meminjam dengan cara yang agak kasar. Bahwa Upasara melakukan ini dalam keadaan terpaksa, bisa dimengerti. Karena tiada pilihan lain. Dan dengan keris di tangan, Upasara bisa memainkan jurus-jurus Banteng Ketaton. Yang lebih baik daripada menghadapi dengan tangan kosong. Gelombang tubuh Upasara yang bergulat cepat, bisa membuyarkan serangan Manmathaba. Bahkan Wacak dan Resres tersurut mundur.
“Jangan pedulikan kami…” Teriakan Singanada yang kedua, ditandai dengan gempuran langsung dan auman tinggi.
“Awas…”
Peringatan Upasara tertuju kepada Singanada dan Gendhuk Tri, juga kepada lawan. Tangan kiri yang terbuka menuju ke arah tali bandring, sementara ujung keris di tangan kanan berputar menusuk ke arah lawan. Dua kaki yang menjadi kuda-kuda menekuk ke belakang sehingga tubuhnya condong ke depan, siap melakukan gerakan lanjutan. Dan betul-betul bergerak! Tangan kiri Upasara berhasil mengibaskan bandring, tangan kanan bagai menuding langsung ke arah tangan Manmathaba. Menusuk masuk menebas kulit dan menggores dalam! Amblas!
Bersamaan dengan itu terdengar dua jeritan keras. Bandul pertama yang tertolak oleh Upasara mengenai batok kepala Pendeta Resres yang seketika pecah berantakan. Bandul yang lain menyabet kaki Singanada yang langsung jatuh terjerembap. Anehnya, Manmathaba tetap berdiri gagah. Kedua tangannya memainkan Bandring Cluring. Tanpa terluka sedikit pun! Tak ada darah mengalir, tak ada goresan. Tak ada bekas apa-apa. Bahkan bibirnya tersenyum.
“Ksatria lelananging jagat, saat telah sampai. Sebelum matahari bercahaya…”
Bibir Halayudha tergetar keras. Giginya sampai gemeretuk. Tubuhnya tetap berdiri tegak tidak kelihatan menggigil, akan tetapi terasakan betapa seluruh bulu tubuhnya berdiri. Ilmu yang dipamerkan Manmathaba adalah ilmu yang dikenal bernama Kulit Ketela. Ilmu kebal yang meskipun kulit menjadi setipis kulit ketela, akan tetapi kebal dari senjata apa pun. Jelas sekali Upasara berhasil menikam, menggoreskan, akan tetapi bahkan bekasnya pun tak terlihat. Pendeta Manmathaba memiliki ilmu simpanan yang makin lama makin sulit dipercaya.
Kisah Sepasang Air
BETAPA tidak. Upasara adalah tokoh kelas utama dalam dunia persilatan. Apalagi menggunakan jurus yang diketahui dan dilatih sejak kecil, jurus Banteng Ketaton. Dengan tenaga dalam hasil latihan ajaran Kitab Bumi secara sempurna boleh dikatakan tak ada tandingannya. Senjata keris yang digunakan, pastilah juga bukan sembarang keris, karena milik Senopati Agung Brahma. Bahkan dalam keadaan yang paling lemah sekali pun, kerisnya masih bisa menembus karang, membelah batu. Nyatanya kulit luar Manmathaba pun tak tergores. Bahkan tak sempat terguncang karenanya.
“Baginda, bagian tubuh mana yang Baginda paling tidak sukai? Batok kepala, tulang dada, kemaluan, atau jakunnya? Itu yang pertama hamba ledakkan…”
Gendhuk Tri terhuyung-huyung. Di satu pihak sangat mencemaskan Singanada yang rebah tak bergerak, di lain pihak khawatir melihat nasib Upasara. Ksatria gagah yang selama ini selalu dikagumi dan bisa unggul, kini seakan menunggu nasib. Mendadak satu tubuh mendekat ke arahnya. Merangkul erat. Masih tercium bau harum tubuhnya.
“Gendhuk, maaf, mari kita mainkan gerakan dari Kitab Air, seperti semula. Ini saatnya sepasang air menemukan denyutnya, menemukan gelora, menjadi mengalir. Ayo, Yayi Tri…”
Gendhuk Tri bagai terseret mengikuti gerakan lelaki di sebelahnya. Ia seakan terbimbing dan mulai bergerak. Bagai penari yang mulai rombeng selendangnya. Lelaki di sebelahnya melakukan gerakan yang sama.
“Ah, itu dia…” Itu teriakan Halayudha.
Serentak dengan itu, Manmathaba meloncat mundur menjauh. Apa yang terlihat adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Di antara kepungan para prajurit, di antara Putra Mahkota dan Permaisuri serta para petinggi Keraton yang mengenakan pakaian kebesaran, di situ terlihat bekas-bekas pertarungan yang mengerikan. Sesosok mayat yang tercabik-cabik, sesosok lainnya hancur kepalanya. Satu orang terluka kakinya dan tergeletak.
Sementara Upasara masih berdiri gemetar. Dan Pendeta Manmathaba yang baru saja ganas telengas meloncat mundur. Di gelanggang hanya ada sepasang lelaki-perempuan yang seolah sedang menari. Gerakannya serba lembut, bagai irama air mengalir tenang, sempurna, seirama dengan irama alami. Sangat ganjil. Juga mengerikan. Beberapa saat tak ada suara. Hanya desir angin dari tangan Gendhuk Tri dan pasangan yang tak lain tak bukan adalah Pangeran Janaka Rajendra.
Teriakan kaget Halayudha bisa dimengerti. Selama ini ia banyak mempelajari ilmu silat dari berbagai kitab kelas utama. Salah satu yang membuatnya sangat gregetan ialah Tirta Parwa atau Kitab Air. Yang tadinya dianggap bersumber dari ilmu Pendeta Sidateka. Itu yang dipelajari secara perlahan, hingga ia perlu mengejar Gendhuk Tri. Baru belakangan diketahui bahwa jurus-jurus Kitab Air itu diciptakan oleh Eyang Putri Pulangsih! Tokoh yang sezaman dan sekelas dengan Eyang Sepuh.
Yang membuat Halayudha sangat penasaran ialah kitab yang dipergunakan dan banyak dipelajari itu seperti tak memberikan apa-apa padanya. Artinya tak terlalu luar biasa. Sehingga Halayudha mempunyai dua kesimpulan. Pertama, kitab itu tidak sehebat yang digambarkan orang. Yang kedua, dirinya tak bisa menemukan kunci bagaimana memainkannya. Baru kemudian sedikit terjawab, ketika Gendhuk Tri memainkan bersama Singanada. Mereka berdua bagai pasangan pendekar yang tak terkalahkan. Yang terpadu erat. Saat itu Halayudha terdesak oleh mereka.
Saat itu Halayudha menemukan sumber utama kekuatan Kitab Air. Bahwa jurus-jurus itu mempunyai kekuatan berlipat ganda apabila dimainkan dengan dasar-dasar pernapasan dari Kitab Bumi. Yang bisa diterima, karena semasa hidupnya Eyang Putri Pulangsih mempunyai daya asmara terhadap Eyang Sepuh, ataupun Paman Sepuh. Halayudha merasa menemukan kunci utama.
Namun ternyata masih ada kemungkinan lain. Jurus-jurus yang sama, yang dimainkan oleh Gendhuk Tri dan Pangeran Janaka Rajendra, mempunyai kekuatan lain. Yang sekilas lebih lembut, lebih alami, tetapi menyimpan kekuatan yang lebih mendesak. Sepasang air yang tak kalah hebatnya dengan pasangan air dengan bumi. Sungguh luar biasa. Tak terduga. Bahwa di balik kehebatan, masih tersimpan kehebatan yang lain.
Halayudha terbengong karenanya. Terbersit kekaguman bahwa Eyang Sepuh yang mumpuni yang menguasai itu bukan satu-satunya yang paling hebat. Masih ada Eyang Putri Pulangsih yang justru menyimpan kehebatan berlapis-lapis. Betapa sesungguhnya para empu mempunyai pandangan yang jauh, yang mampu meletakkan dasar-dasar kanuragan yang bisa terus dikembangkan sampai suatu tingkat yang tak bisa diperkirakan.
Siapa mengira bahwa memainkan jurus yang sama bisa menjadikan tenaga berlipat ganda? Siapa yang mengira, kalau selama ini tumbuh anggapan bahwa barisan atau perpaduan kekuatan dilakukan dengan jurus yang dasarnya sama, akan tetapi gerakannya berbeda?
Dua belas murid Kiai Sumelang Gandring memperlihatkan barisan yang melipat gandakan kekuatan dengan gerakan yang berbeda. Demikian juga yang dilahirkan dari Perguruan Semeru. Bahkan yang dikenal dari negeri Turkana dengan Lompatan Turkana atau 64 Langkah Jong yang terkenal juga begitu. Bahkan Barisan Padatala, barisan tiga pendeta bergelang kaki, juga demikian prinsip-prinsip dasarnya. Sepasang air tidak membeda-bedakan. Sama. Sepasang air ialah air dengan air!
Itu sebabnya Halayudha ternganga. Untuk pertama kali menyadari bahwa ada sesuatu yang tak terpecahkan oleh kemampuan daya pikir dan keuletan berlatihnya. Lebih mengherankan lagi bahwa Pangeran Janaka Rajendra melihat kemungkinan itu dan kemudian memainkannya. Hanya dari melihat gerakan Gendhuk Tri, bisa langsung menggabungkan.
Bagi Pendeta Manmathaba lain lagi alasannya melompat mundur. Ilmu yang diperlihatkan Gendhuk Tri adalah ilmu yang dikenali, karena itu ilmu utama di negeri Syangka. Ilmu yang menjadi babon utama di negerinya, tak jauh berbeda dari Kitab Bumi di tanah Jawa. Maka tadi ketika Gendhuk Tri menyerang masuk, Manmathaba segera mengenali. Dan juga menyadari kenapa beberapa serangannya hanya mampu merobek selendang, tapi tak bisa seketika menghancurkan lawan, atau setidaknya melukai.
Segalanya baru menjadi jelas ketika Pangeran Janaka Rajendra memainkan secara bersama. Jauh lebih indah, jauh lebih mengesankan, dan membuka hatinya. Biar bagaimanapun telengasnya, Manmathaba masih bisa tergetar melihat ilmu andalannya yang dianggap suci. Apalagi kini dimainkan oleh orang lain! Ini yang membuatnya melangkah mundur. Setengah tidak percaya. Tapi itulah yang dilihatnya sendiri.
Perlahan Manmathaba bisa mengerti. Kenapa bubuk racun yang maha mematikan, bubuk pagebluk, bisa ditemukan pemusnahnya-walau mungkin untuk sementara. Selama ini, hanya dirinya yang mampu membuat ramuan obat pencegah bubuk pagebluk! Tak tahunya ada juga orang lain. Bisa dimengerti kalau Pangeran Janaka Rajendra mampu menciptakan atau menemukan obat pemusnah, karena juga mempelajari dari sumber yang sama.
“Manmathaba, majulah! Biar kita sempurnakan ilmu kita.”
Manmathaba meloncat maju. Bandring di tangannya bergetar. “Mari, akan kuberi pelajaran yang berarti kalian…”
Mendadak Puspamurti menggeleng. “Kamu jangan main curang, pendeta busuk. Kalau ada ilmu yang begini indah, kamu rusak begitu saja, aku tak bisa berdiam diri. Pangeran tampan dan penari jalanan, kalian menjauh saja. Pendeta busuk ini akan main curang lagi.”
Manmathaba sadar bahwa Puspamurti mengetahui sesungguhnya walau indah luar biasa akan tetapi gerakan Sepasang Air belum saatnya untuk diadu dengan ilmu Manmathaba. Hal ini mudah dimengerti oleh mereka yang mempunyai penglihatan luas. Biar bagaimanapun, pasangan yang baru bertemu, belum bisa memainkan secara bersamaan. Menganut prinsip air mengalir, keduanya belum sepenuhnya bisa menyatu. Sehingga satu peluang kecil bisa diterobos oleh lawan.
Gelang Kaki Ketiga
PERMAISURI INDRESWARI mengangkat dagunya. “Biarlah mereka lewat jalan yang tersesat. Itu bukan urusanmu, Manmathaba.” Tanpa tarikan napas yang membedakan nada, Permaisuri Indreswari melanjutkan, “Biarkan Manmathaba menyelesaikan tugasnya, nenek ayu. Itu bukan urusanmu. Yang kamu cari adalah Kidungan Pamungkas. Terimalah…”
Puspamurti tersenyum. “Ya, biar saja yang tolol bermain dengan yang dungu. Itu bukan urusanku.” Kipas gedenya bergerak, dan angin menyambar kitab di tangan Permaisuri Indreswari. Puspamurti meraih, membaca sekilas. “Benar, ini kitab asli. Permaisuri bermata sipit, ternyata kamu memenuhi janjimu. Aku tak mau lagi berurusan dengan pendeta bau…”
Puspamurti langsung ngeloyor dengan langkah tenang. Satu tangan membaca kitab, tangan yang lain menyeret kipas, sambil terus berjalan. Tak memedulikan sekitar.
Manmathaba memutar bandringnya. Mendesing. Dengan mundurnya Puspamurti dan menjauhnya Pangeran Janaka serta Gendhuk Tri, yang tertinggal hanyalah Upasara, Wacak, serta Manmathaba. Sementara yang lain berada di tempat yang rada jauh.
“Aku akan menyelesaikan tugasku. Bersiaplah!” Kalimat Manmathaba pendek, seolah bergumam. Bandul bandringnya mendesing.
Upasara mengeluarkan seruan sambil membidikkan kerisnya. Kakinya menotol lantai, dan tubuhnya menyambar maju. Senopati Agung Brahma mendesis. Apa yang dilihatnya di luar semua jalan pikirannya. Sungguh tak disangka bahwa Manmathaba menghajar Wacak. Bandul bandring justru mengarah kepada Wacak! Setelah dua pendeta yang lain tewas, agaknya Manmathaba ingin menyelesaikan semuanya. Itulah yang dikatakan sebagai “menyelesaikan tugas”. Itulah sebabnya mengatakan “bersiaplah”. Karena kalau mau mengarah ke Upasara, tak ada kata pendahuluan “bersiaplah”.
Sulit diduga jalan pikiran para pendeta dari tanah Syangka ini. Kalaupun ketiga pendeta ini dianggap gagal dalam menjalankan tugas, tentunya hukuman tidak dijatuhkan saat itu juga. Di tengah pertarungan yang masih berlangsung. Tata krama macam apa ini semua? Sungguh licik dan tanpa perasaan.
Tapi ternyata Senopati Agung Brahma juga tak bisa menduga jalan pikiran Upasara! Justru Upasara bergerak membidikkan kerisnya untuk menghalangi Manmathaba. Upasara melindungi pembunuhan atas diri Wacak, yang berdiri tegak sambil menutup mata. Tata krama seorang ksatria. Sungguh luhur budinya. Tapi juga susah dimengerti.
Upasara yang dalam pertarungan dicurangi, masih membela Wacak. Lebih menakjubkan lagi ternyata bidikan Upasara tepat mengenai ujung bandul yang nyaris menghancurkan batok kepala Wacak. Lebih menakjubkan lagi, karena ketika keris yang membalik kena benturan, bisa menghalau bandul kedua! Luar biasa.
Tanpa terasa Halayudha menepukkan tangan tiga kali. Untuk pertama kalinya, Halayudha memuji dengan ikhlas. Rela sampai ke dasar hatinya memuji kehebatan Upasara. Bidikan keris secara seketika, dilakukan sebagai reaksi dari serangan yang tak terduga, dan bisa menggagalkan dua serangan aneh sekaligus. Aneh, karena dalam penilaian Halayudha, ayunan bandul bandring berbeda satu sama lain. Berbeda arahnya, getaran, serta kekuatan yang terkandung dalam masing-masing bandul.
Sesungguhnya itulah ilmu bandring yang tadi dikagumi oleh Puspamurti. Adakalanya seperti membentuk lingkaran ke depan, tapi di sebelah lain bisa ke arah belakang, membentuk lingkaran yang tidak bulat. Dari suara tok-tok-pletok pun berbeda satu sama lain iramanya. Sehingga menyulitkan, karena serangan beruntun akan tetapi tidak dalam napas yang sama. Tidak dalam irama yang bisa diperkirakan perbedaan waktu antara serangan pertama dan kedua.
Kekaguman Halayudha terutama juga karena Upasara begitu cepat menangkap inti perbedaan tersebut. Dalam pertarungan, meskipun terdesak berat, ternyata Upasara bisa mempelajari gaya dan makna serangan. Halayudha masih merasa kagum, meskipun ia menyadari ini semua terutama dari pendalaman dan pemahaman Delapan Jurus Penolak Bumi. Dasar-dasarnya adalah mengenali keadaan bumi. Di kiri ada gunung, di sebelah kanan ada mata air. Di barat ada lembah, arus angin berputar di selatan, pastilah titik lemah sebagai penangkal ada di tempat tertentu.
Begitu seterusnya. Masing-masing kekuatan ada imbangan kelemahan. Akan tetapi lawan lakukan dengan cepat, sehingga memerlukan waktu untuk mengenali kiri dan mana kanan, mana bawah dan mana atas. Akan tetapi, Upasara menunjukkan daya serap yang cepat sekali.
“Upasara, kenapa kamu lakukan itu?” Pertanyaan yang pertama justru terlontar dari Pendeta Wacak.
“Kenapa tidak?”
"Kematian adalah wajar dalam pertempuran.”
“Kematian adalah kewajaran dalam pertarungan,” Upasara mengulangi, dan dengan nada yang berbeda melanjutkan, “akan tetapi tidak dengan cara bunuh diri.”
“Aku anggota Barisan Padatala. Barisan berkaki gelang. Kalau dua yang lainnya sudah binasa, bukankah aku harus mati juga? Atau kamu lebih puas kalau aku mati di tanganmu?”
Senopati Agung menghela napas. Sungguh bagai langit dan bumi perbedaan antara pendeta dari Syangka yang ini dan Upasara. Kalau yang satu serba curiga dan tidak bisa menghargai kebaikan hati orang lain, ksatria satunya justru tak menduga akan mendengar pertanyaan semacam itu.
“Aku gelang kaki terakhir, dan akan berakhir. Kalau kamu memang menginginkan aku mati di tanganmu, silakan…”
Wacak melangkah maju mendekat. Matanya tertutup, jalannya limbung, seakan menyerah. Upasara menggeleng. Kedua tangannya turun. Helaan napasnya dipenuhi rasa penyesalan. Penyesalan dan tidak mengerti sikap yang diambil Wacak. Senopati Agung Brahma mendecak. Belum terungkap semua decaknya, apa yang dikuatirkan terjadi!
Wacak yang seakan pasrah, linglung, limbung langkahnya, mendadak saja menubruk Upasara! Menyerang dengan tangan terbuka! Pada saat yang sama, bandul bandring Manmathaba menotol arah batok kepala bagian belakang.
Sakti seperti dewa sekalipun, Upasara tak pernah menduga serangan seperti sekarang ini. Dan nalurinya secara ksatria berbuat seperti diduga oleh Manmathaba! Yaitu menolong Wacak terlebih dulu! Membuka kedua tangan yang menubruk ke arahnya, baru memikirkan menyelamatkan diri sendiri dari serangan Manmathaba. Yang datang lebih cepat, karena Manmathaba menyerang bersamaan dengan Wacak, tanpa memedulikan keselamatan keduanya.
Kalau Upasara masih menggenggam keris, atau tidak begitu memedulikan dirinya, atau kalau Wacak tidak asal nekat, hasil akhir tak akan seperti sekarang. Tapi Upasara hanya bisa memiringkan kepalanya, kedua tangan yang menjadi terlambat ditarik sepenuhnya ke belakang, menangkap tali bandring yang satu dan menyentakkan dengan keras. Sangat keras. Sangat mendadak. Sehingga Manmathaba terpental ke tengah udara.
Namun bersamaan dengan itu, kedua tangan Wacak telak-telak menghantam dada Upasara. Kedua kaki Upasara tak kuat menahan tubuhnya yang berputar, terjatuh sambil memuntahkan darah. Tanpa memedulikan lawan yang sudah jatuh, Wacak meloncat ke atas dan siap menghancurkan dada Upasara dengan injakan sepasang kaki.
“Biadab!”
Samar, lamat, setengah sadar, Upasara berusaha menggulingkan tubuh. Namun satu kaki Wacak sempat mampir di pundaknya. Terasa ngilu di sekujur tubuh. Apalagi ketika kemudian tendangan Wacak berikutnya mengenai punggungnya, Upasara bagai batang pisang, terlempar ke tengah udara. Wacak bagai menemukan permainan yang mengasyikkan. Dua sikunya ditekuk ke depan, tepat mengenai dada Upasara yang kembali bergulingan sambil memuntahkan darah segar.
Senopati Agung Brahma merasa terlambat maju. Karena dua atau tiga pukulan berikutnya tetap mengenai tubuh Upasara yang terus meluncur menghantam dinding Keraton bagian luar.
“Cukup!” teriak Permaisuri Indreswari.
Wacak bagai kesetanan, ia menyerang terus. Bahkan kali ini mengambil keris yang tadi dipergunakan Upasara untuk membebaskan dirinya dari maut!
Pukulan Pinggir
KERIS Senopati Agung Brahma itu untuk menikam habis Upasara.
“Berani benar melanggar perintah Ratu!”
Suara Halayudha yang keras, dibarengi dengan dua tangan yang bergerak cepat memukul ke arah tubuh Wacak. Cukup cepat dan tepat. Tubuh Wacak bagai terdorong ke arah lain, agak menyerong ke arah kiri. Kakinya bersandungan, akan tetapi keris itu tetap meluncur. Amblas ke dalam tubuh Upasara. Inilah akhirnya. Upasara yang tadi membebaskan Wacak justru terkena sabetan keris yang dipakai untuk menolong.
Di antara semua yang hadir, Senopati Agung Brahma yang paling menggigil dan menjadi pucat wajahnya. Apa yang disaksikan sejak awal membuat perutnya mual, dan rasanya sudah muntah berkali-kali akan tetapi tertelan kembali, sehingga makin menimbulkan rasa tidak enak. Manmathaba sangat keji, Wacak demikian juga. Tapi Halayudha ternyata sama biadabnya! Kalau Manmathaba dan Wacak melakukan kekejian dengan cara terang-terangan, Halayudha melakukan dengan kedok!
Dengan topeng mengikuti perintah Permaisuri. Untuk menghentikan gerakan Wacak. Dengan demikian seolah ia melaksanakan perintah Permaisuri untuk menahan serangan Wacak. Yang berarti menjalankan tugas. Di samping mendapat pujian dari para ksatria dan senopati, yang sebagian besar tidak pernah menganggap Upasara sebagai musuh utama yang harus dilenyapkan. Padahal yang dilakukan, sebenarnya lebih busuk.
Halayudha memang memukul ke arah Wacak, sehingga Wacak terserong dan kakinya bersandungan. Akan tetapi sesungguhnya ia melakukan pukulan dengan tenaga Dayaka Dawata. Senopati Agung Brahma bisa melihat dengan jelas. Dayaka adalah sebutan untuk orang yang memberi sedekah, menaruh belas kasihan. Sedangkan dawata berarti pinggir atau tepi. Dua kata yang digabung menyimpan pengertian tersendiri.
Dengan mempergunakan tenaga Dayaka Dawata, atau Pukulan Pinggir, Halayudha seperti menolong Upasara padahal sebenarnya justru mencelakakan. Dengan pukulan pinggir, apalagi yang di arah bagian lengan dan pinggang kanan, jelas bahwa Halayudha ingin keris itu langsung tertuju ke arah Upasara! Dengan demikian, Upasara akan tetap terkena tusukan keris yang dibidikkan, sementara tubuh Wacak tersungkur.
Kelicikan yang jelas terlihat di mata Senopati Agung ini yang membuat tiba-tiba jiwanya menjadi kosong. Kepercayaan diri kepada sesama manusia, sesaat terbang semuanya. Tak ada yang tersisa. Tubuhnya makin menggigil. Bagaimana mungkin ada manusia sejahat Halayudha yang sangat licik? Bagaimana mungkin manusia itu berada di Keraton, dan memegang jabatan yang tinggi, bahkan menjadi salah seorang senopati utama?
Berapa banyak korban tak berdosa jatuh ke tangannya? Dan masih berapa lagi yang akan berjatuhan? Dan bagaimana mungkin Halayudha yang bersikap curang bisa duduk tenang, menyembah hormat kepada Permaisuri tanpa terlihat sedikit pun penyesalan?
Pergolakan batin Senopati Agung makin lama makin menggerogoti kekuatan dalamnya. Hingga tanpa terasa lututnya melemas, tubuhnya terjatuh di tempat. Tubuhnya menggigil. Kalau kemudian Wacak diamankan para senopati yang lain, tak banyak artinya bagi apa yang terjadi. Tidak juga bagi Halayudha yang menyembah hormat.
“Maaf, Permaisuri Yang Mulia, hamba tak bisa melakukan tugas dengan baik. Saya hanya bisa menahan pembunuhan terhadap Upasara yang perlu kita tanyai…”
Dengan samar Halayudha mengisyaratkan bahwa Upasara tidak mati, hanya terluka. Sehingga maksud Permaisuri untuk menangkap Upasara hidup-hidup masih bisa terlaksana.
“Semua prajurit harap membersihkan ruangan. Sebentar lagi fajar akan tiba, dan Baginda akan memulai pemerintahannya pada lantai yang bersih dari semua kotoran.”
Halayudha menyembah lagi. Permaisuri Indreswari melirik kecil, kemudian diiringkan oleh putranya masuk kembali ke dalam Keraton, diiringi para dayang dan pengawal utama. Halayudha memerintahkan untuk menawan Upasara di tempat yang Ditentukan, untuk kemudian ia sendiri bergegas memerintahkan pembersihan dan persiapan adanya pertemuan baru bersamaan dengan fajar.
Halayudha tahu bagaimana mengambil alih kepemimpinan sementara, sebelum Mahapatih atau senopati lain menyadari. Bahkan dengan suara sangat tenang, Halayudha-lah yang meminta Pendeta Manmathaba beristirahat.
“Agar segar kembali dalam pasowanan yang akan datang. Apa yang Bapa Pendeta tunjukkan, lebih hebat dari semua yang ada di sini Bapa Pendeta berhasil mengalahkan ksatria jagat yang selama ini tak terkalahkan.”
“Pujian yang berlebihan, meskipun begitulah kenyataannya. Aku perlu belajar banyak darimu, Halayudha.”
“Ini yang berlebihan. Saya tidak layak mendengarnya…”
Manmathaba mendehem. “Agaknya kita ditakdirkan akan bertemu lagi…”
“Saya siap melayani, seperti perintah Baginda…”
Halayudha bisa menangkap ancaman Manmathaba yang agaknya cukup mengetahui bahwa Halayudha mempunyai peranan yang unik tapi menentukan dalam tata pemerintahan Keraton. Meskipun demikian, Halayudha tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda ia mengetahui dirinya dicurigai atau diperhitungkan. Halayudha seakan menganggap ucapan “kita ditakdirkan akan bertemu lagi”, seperti arti yang diucapkan.
Sikapnya yang waspada, hati-hati, dan penuh dengan perhitungan, ditutupi dengan penampilan polos, seadanya, sebagai prajurit yang selalu mengikuti perintah atasan. Itu pula yang dilakukan Halayudha ketika mendapat isyarat agar menghadap Permaisuri Indreswari di kamarnya. Halayudha berjalan jongkok dan menyembah beberapa kali, duduk tepekur di tempat yang agak jauh dari pembaringan, di mana Permaisuri Indreswari terbaring menatap langit-langit.
“Apa yang harus kulakukan, Halayudha?”
Halayudha menyembah. Tanpa menjawab.
“Apa yang harus kulakukan, Halayudha?”
“Permaisuri yang Mulia lebih dari tahu apa yang sebaiknya dilakukan.”
Halayudha tetap bisa menahan diri untuk tidak segera menunjukkan bahwa ia mempunyai rencana tertentu yang sudah dipersiapkan.
“Bagaimana keadaan sekarang ini?”
Halayudha menyembah, menunduk lama. “Fajar yang sangat indah sekali sebentar lagi mewarnai Putra Mahkota untuk memulai takhta. Sekarang semuanya sudah rata, bercahaya, dan harum. Tak ada lagi yang menghalangi. Tidak juga sebutir kerikil yang paling kecil sekalipun.”
“Apa benar begitu?”
Halayudha menyembah lagi. “Siapa saja bisa menangkap firasat bahwa fajar akan dimulai setelah semua kegelapan tersapu rata. Tak ada lagi penghalang yang tersisa. Tidak dari Mahapatih atau semua senopati yang masih ingin membangkang. Tidak dari para ksatria yang sok gagah perkasa. Upasara Wulung yang di zaman Baginda tak bisa dicegah kenakalannya pun sekarang bisa ditundukkan. Semua pertanda dari Dewa bagi kesejahteraan dan kebesaran putra utama Permaisuri yang Mulia.”
“Bagaimana dengan Senopati Agung?”
Halayudha terdiam.
“Bersama dengan fajar nanti, putraku, raja yang berkuasa, akan memutuskan apa yang harus ditaati oleh Senopati Agung dan seluruh keluarganya.”
“Hamba bisa mengerti kesulitan Permaisuri yang Bijak untuk mengampuni Senopati Agung…”
“Aku lebih memikirkan putranya… Senopati Agung sudah tua. Tak nanti akan berbuat, dan tak akan bisa. Akan tetapi putranya… aku melihat sinar matanya tajam menerawang, jernih, wajahnya bercahaya… Aku tak pernah menyadari si bocah kecil itu sudah tumbuh menjadi dewasa, menjadi ksatria… mempunyai sinar mata jernih dan alis mata yang teduh… Ah, ia tak mempunyai darah turunan yang direstui Dewa…”
Halayudha menyembah sambil menunduk hingga mencium lantai. Lama. “Hamba tak berani mengatakan, akan tetapi manusia bisa lupa bahwa hanya satu yang ditakdirkan Dewa menduduki kursi dampar kencana, kursi emas Keraton…”
Menang Awu, Menang Selamanya
“BERANI benar kamu mempunyai dugaan sejahat itu, Halayudha?”
Suara Permaisuri Indreswari mengandung kemurkaan yang mendendam. Akan tetapi Halayudha mulai tahu bahwa apa yang menjadi pertimbangannya sesaat ini masuk ke dalam pertimbangan Permaisuri.
“Dosamu besar, Halayudha.”
Halayudha menghela napas penyesalan yang dalam, menyembah dengan tangan gemetar. “Biarlah hamba yang menanggung dosa itu. Sekurangnya itu lebih menenteramkan Keraton dibandingkan dengan dugaan hamba yang benar.”
“Apa maksudmu?”
“Sekadar lamunan orang tidak waras. Pangeran Anom Janaka bisa merasa lebih pantas kalau terus-menerus digosok perasaan seperti itu. Sebongkah batu yang keras bisa berlubang oleh tetesan air. Hutan luas yang lebat bisa hangus oleh satu letikan api. Apalagi hati manusia yang tak ada sekepal besarnya.”
“Katakan terus terang, jangan bersembunyi di balik kata-kata yang samar.”
“Duh, Permaisuri yang Mulia. Janganlah melihat apa yang terjadi sekarang ini. Yang sekarang ini tumbuh dari masa lalu. Ada bayi yang dilahirkan sama, akan tetapi setelah besar nasibnya berubah. Kalau tidak mau menyadari perubahan, satu bayi dengan yang lainnya akan menyalahi tata krama. Ketika Baginda masih bernama Raden Sanggrama Wijaya, yang dengan gemilang bisa mengusir pasukan dari Tartar, ketika itu datanglah Senopati Anabrang dari negeri seberang. Yang turut dibawa serta adalah emas intan berlian dan segala kekayaan. Akan tetapi dari sekian yang paling berharga, ada dua yang paling bermakna besar. Yaitu dua wanita ayu, agung, dan memancarkan cahaya Dewa. Tubuhnya lembut, bercahaya sinar perak, wajahnya menunduk luruh. Dyah Dara Jingga nama sang kakak, dan Dyah Dara Petak nama sang adik. Tergetarlah hati Raden Sanggrama Wijaya yang kemudian naik takhta. Tergetarlah sukmanya, terbangkit daya asmara. Daya asmara yang menyebabkan tak bisa tidur dan tak enak makan. Walaupun segalanya ada, termasuk putri-putri Keraton Singasari yang ayu, jelita bagai bidadari. Akan tetapi semuanya tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang diinginkan. Sang Baginda sedemikian rindunya, sehingga ketika akhirnya berhasil mendapatkan wanita ayu putih idamannya, semuanya rela diserahkan. Termasuk petunjuk Dewa yang menguasai alam, yang membisikkan bahwa di kelak kemudian hari, hanya keturunannya lah yang pantas meneruskan kebesaran dan kewibawaan serta kekuasaan Keraton. Dyah Dara Petak, gadis ayu berkulit putih bagai cahaya perak, resmi menjadi permaisuri utama, pendamping utama raja, ibu yang melahirkan penerus kejayaan. Dyah Dara Jingga, sang kakak, yang merasa selalu bersama-sama dengan adiknya, menyadari adanya nasib yang tiba-tiba berbeda. Perubahan yang bisa dimengerti, bisa diterima karena itulah kemauan Dewa, akan tetapi selalu dirasa kurang bisa dijalani. Apalagi dirinya hanya diperistrikan oleh senopati yang pernah ditugaskan ke tanah seberang. Tak jauh beda pangkat dan derajatnya dari senopati yang membawanya ke Keraton.”
“Sebegitukah rasa iri itu?”
“Sangat mungkin sekali. Senopati Agung Brahma adalah tokoh yang dihormati. Senopati yang unggul dan perkasa. Akan tetapi tetap seorang senopati. Pada tatanan para Dewa tidak dikenal sebagai apa-apa, selain seperti kawula yang lain. Para Dewa hanya melihat satu orang yang bakal meneruskan wahyu Dewa. Yaitu Baginda dan keturunannya. Bagi senopati yang lain, seperti siapa saja, tidaklah menjadi beban, karena menyadari derajat dan pangkatnya hanyalah titipan dan anugerah Baginda. Akan tetapi Senopati Agung Brahma merasa lain dari senopati biasa. Bukan hanya karena memakai gelaran ‘Agung’, tetapi juga karena istrinya adalah kakak Permaisuri yang Mulia. Senopati Agung Brahma merasa lebih tua, merasa lebih harus dihormati karena usia yang lebih tua, menang awu. Menang urutan darah yang berlaku selamanya. Perlakuan istimewa dari Baginda, bisa disalahartikan bahwa Senopati Agung Brahma berhak berbuat apa saja. Kesempatan demi kesempatan ditunggu. Sampai tradisi diteruskan kepada putranya. Yang secara diam-diam dilatih segala jenis ilmu yang baik dan buruk, setiap saat dipompa untuk meraih yang paling tinggi. Yang lebih tinggi dari kodratnya. Semuanya dilakukan secara sembunyi, dipersiapkan dengan sangat hati-hati. Menunggu saat tepat. Tetapi Dewa tak pernah keliru. Baginda tak salah memilih siapa yang bijak dan bisa meneruskan kebesaran Keraton. Ketika pilihan itu dijatuhkan, saat itu Senopati Agung Brahma tak bisa menahan diri untuk memanaskan suasana mengeruhkan keadaan. Agar dalam keadaan yang keruh ini pandangan yang biasa terhalangi. Sehingga Baginda salah pilih.”
“Apakah benar suami Kakangmbok Dara Jingga berbuat itu?”
“Selama ini Senopati Agung Brahma boleh dikatakan tak pernah tampil, tak pernah muncul dalam urusan apa pun. Kraman demi kraman terjadi, Senopati Agung malah menyembunyikan diri. Apakah bukannya justru menunggu saat di mana Baginda disingkirkan, dan dirinya yang kemudian tampil? Bukankah kalau sampai ada apa-apa dengan Baginda, sebelum Putra Mahkota naik takhta, Senopati Agung yang akan menjalankan roda pemerintahan Keraton setiap hari?”
“Perhitungan masuk akal. Aku tak pernah menduga sejauh itu.”
“Duh, Permaisuri… Kalau tidak begitu, kenapa sejak semula Pangeran Anom mempelajari ilmu penangkis bubuk pagebluk? Dan menyembunyikan secara rahasia? Kenapa yang dibantu secara terang-terangan justru orang-orang yang memusuhi Baginda? Bukankah Gendhuk Tri, Maha Singanada, apalagi Upasara Wulung adalah abdi-abdi yang melakukan kraman? Kenapa dibantu secara diam-diam? Bahkan Singanada dibebaskan dari tahanan? Bahkan Pangeran Anom melakukan tarian bersama Gendhuk Tri secara tak senonoh?”
“Agak masuk akal. Tapi kenapa Kakang Senopati Agung melakukan itu? Bukankah selama ini mereka hidup enak, tenteram, tak kurang suatu apa?”
“Tidak semua orang bisa mensyukuri hidup, duh, Permaisuri yang Mulia. Senopati Agung tidak mau bersyukur bahwa semua pangkat, derajat, kemewahan, dan kekuasaannya selama ini karena kemurahan hati Permaisuri yang Mulia. Bukan lagi kemewahan yang dicari, melainkan kekuasaan. Kekuasaan yang tunggal.”
“Sejahat itukah?”
“Yang ditunggangi setan, tak sadar apa yang diperbuat.”
“Kenapa kamu tak mengatakan ini sebelumnya?”
“Duh, Gusti… Sekarang ini, setelah ada bukti nyata, rasanya hamba masih tak pantas melaporkan hal ini…”
Suara Halayudha terdengar menggeletar karena cemas, takut, dan ragu-ragu. Kemampuan berpura-pura yang tak dimiliki dan tak diduga oleh lawan bicaranya. Siapa pun dia ini! Bagi Halayudha persoalannya memang sederhana. Kini musuh utamanya yang dianggap paling kuat dan sulit ditaklukkan, yaitu Upasara Wulung, sudah selesai perlawanannya. Yang tersisa hanya dua kekuatan.
Yang pertama adalah kekuatan dari kelompok pendeta Syangka yang dipimpin oleh Manmathaba. Bukan kebetulan kalau Manmathaba sangat sakti dan penuh tipu daya. Kekuatannya yang utama, bisa langsung dekat dengan Permaisuri dan Baginda. Namun kelemahan yang utama adalah bahwa Manmathaba tak mungkin bisa menjabat mahapatih atau lebih tinggi dari itu.
JILID 13 | BUKU PERTAMA | JILID 15 |
---|