Senopati Pamungkas Bagian 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 20

Upasara mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa inilah akhir pengembaraannya. Batinnya telah berkelana begitu jauh, melewati puncak-puncak yang menegangkan, pertarungan mati-hidup. Inilah muara. Inilah rumah. Upasara mulai dalam kehidupan yang biasa, menemani Pak Toikromo. Menengok tegalan, melihat tanaman singkong, pepaya, mencari kayu bakar. Mencari air dari sungai untuk menyirami tanamannya. Memberi makan ayam-ayam. Tiba-tiba semua menjadi bermakna bagi Upasara. Jauh lebih berharga dari berbagai pengalaman hidupnya selama ini. Baik semasa di Keraton, ataupun pengembaraan sampai ke Perguruan Awan. Cara hidup yang sesungguhnya, kata Upasara dalam hati.

Di Perguruan Awan, ia bisa menikmati matahari terbit dan tenggelam. Akan tetapi itu dari sudut pandang yang berbeda dari sekarang ini. Betapa sesungguhnya perjalanan hidupnya selama ini kosong! Kelelahan malam membawa tidurnya pulas.

Embun dan sinar pagi membangunkan, membuatnya bergegas mencari air ke sungai, melihat tanaman di tegalan, mencari kayu bakar kembali, dan merebus ubi. Pergi ke kandang ayam sambil menghitung telur.

"Bapak ini sengaja memelihara ayam, karena percaya suatu hari kamu akan datang kemari, Nak Upa."

"Barangkali doa Bapak yang menuntun langkah saya."

"Juga tebat di dekat sungai. Di sana ada ikan yang sudah gemuk-gemuk. Bapakmu ini yang memelihara. Kalau mencari ikan di sungai, bapakmu ini akan menyimpan di tebat itu. Bisa untuk makan Nak Upa nanti. Ada saatnya banjir selalu datang, dan tebat itu tergenang. Ikan-ikan kembali ke sungai. Tebat itu kosong. Tapi bapakmu ini akan mencarinya lagi di saat air sungai surut. Beberapa ikan yang dulu, yang sekarang bertambah gemuk, masih bisa bapakmu kenali dengan baik. Meskipun pandangan mata mulai lamur, tapi bapakmu ini masih mengenali, Nak Upa. Akhirnya kamu datang juga, Nak Upa. Dewa yang Mahaagung sungguh murah dan maha welas asih. Baginda Raja sungguh melindungi doa penyembahnya. Kamu datang, Nak Upa."

Upasara makin tenteram, makin kerasan, makin bahagia. Serasa menemukan apa yang selama ini dicarinya. Rasa bersyukur yang dimiliki Pak Toikromo. Mengumpulkan ikan dari sungai yang setiap banjir lepas kembali. Rasa syukur kepada Dewa, dan juga kepada Raja, seolah kemuliaan dan kebajikan Rajalah yang membuat Upasara datang padanya.

Betapa remuk hati Upasara ketika suatu siang sepulang dari sungai, Upasara mengetahui rumah yang dihuni Pak Toikromo sudah rata dengan tanah! Pedati yang telah rongsokan itu pun dihancurkan. Hanya tinggal bulu ayam bertebaran.

Duka Pun Tak Tersisa

SESAAT Upasara seakan tanpa sukma. Pandangan bengong tak percaya. Dadanya seolah disodok dengan tonjokan yang membuat seluruh perasaannya tumpul seketika. Mimpi yang buruk pun tak terbayangkan seperti ini kejadiannya. Baru dalam napas berikutnya, Upasara sadar bahwa sesuatu yang mengerikan baru saja terjadi.

Sesaat berikutnya Upasara masih menduga bahwa ini semua ulah Nyai Demang untuk memancingnya. Seperti dulu juga. Akan tetapi kemudian sadar bahwa dugaannya adalah dosa yang sempurna. Sejahat apa pun, tak nanti Nyai Demang tega menghancurkan rumah Pak Toikromo rata dengan tanah. Tak nanti bakal memorakporandakan kandang ayam! Harapan Upasara hanyalah bahwa kejadian itu untuk mengagetkan jiwanya, akan tetapi bukan keselamatan Pak Toikromo. Nyatanya itu harapan yang sia-sia belaka.

Setelah pandangan Upasara bisa melihat lebih jelas, matanya menemukan tubuh yang sangat dihormati rebah di bawah roda yang hancur. Tangannya masih menggenggam erat bulu-bulu ayam, yang agaknya berusaha dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Bagian leher dan dada teriris dengan bekas luka yang dalam dan lebar. Tiga atau empat tulang iga tersayat putus.

Iblis laknat mana yang begitu kejam? Apa kesalahan Pak Toikromo sehingga harus dihancurkan secara begitu mengenaskan? Ini peristiwa macam apa lagi yang harus dihadapi?

Upasara jongkok. Memangku kepala Pak Toikromo seperti dulu memangku kepala Ngabehi Pandu. Dengan perasaan pilu yang pekat. Air matanya bahkan tak bisa menetes lagi. Tangannya yang gemetar dan dadanya bergerak-gerak terseret oleh getar emosi yang tak bisa dikuasai.

Ngabehi Pandu, guru dan yang dianggap pengganti ayahnya, gugur dalam pertarungan yang jujur. Pertarungan para ksatria. Sedangkan Pak Toikromo, meninggal karena perlakuan semena-mena. Kematian karena kekalahan dalam pertarungan yang tak seimbang! Kematian karena perbedaan kekuatan. Jelas lawan menggunakan senjata yang berat dan mempunyai kemampuan ilmu silat. Sedangkan Pak Toikromo hanyalah penduduk biasa. Upasara mengutuki dirinya!

Jarak antara rumah dan sungai tak begitu jauh. Ia datang dan pergi ke tegalan untuk mengairi. Tapi toh tetap tak bisa mendengar sesuatu yang mencurigakan. Sedikit pun tidak. Padahal robohnya rumah tua, hancurnya gerobak, serta jeritan terakhir Pak Toikromo pastilah cukup jelas terdengar. Dirinya patut dikutuk! Dirinya adalah manusia cacat! Tak bisa mendengar apa-apa lagi. Bahkan juga tak mendengar jeritan kematian ayah yang begitu dihormati.

Tiga hari tiga malam Upasara menunggui di pinggir makam Pak Toikromo. Tiga hari tiga malam Upasara mencoba merenungkan semua kejadian yang menghancurkan pribadinya. Sejumlah pertanyaan tak terjawab. Apa sebenarnya kesalahan Pak Toikromo? Apa sebabnya sampai dibunuh dengan begitu mengenaskan? Kalau karena perampokan, kenapa begitu keji? Kalau bukan perampokan, apakah kematian Pak Toikromo karena dirinya?

Upasara makin merasa sesak dadanya. Tumpat padat berdesakan berbagai macam perasaan. Apakah ia mendiamkan saja peristiwa ini? Ataukah membalas dendam? Kepada siapa? Apakah ia mampu? Betapa sengsaranya menjadi rakyat jelata. Di tangan perampok atau jago silat, ia hanyalah alat permainan belaka. Tanpa bisa membela diri sedikit pun.

Duka pun tak tersisa ketika Upasara terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu, setelah berdoa untuk terakhir kalinya. Di sekelilingnya tak ada tempat untuk bertanya. Kalaupun ada rumah-rumah lain, letaknya sangat jauh. Akan tetapi Upasara mencoba mendapatkan berita yang bisa dijadikan titik pangkal membalas dendam atau menyelesaikan perkara.

Sebab ini berbeda dari pertarungan para jago silat, berbeda dari ketika secara sengaja ia melepaskan tenaga dalamnya. Ini adalah kesewenang-wenangan yang tak bisa dimaafkan. Upasara tak akan mati tenteram sebelum mengetahui kejadian yang sebenarnya. Betapa kecewanya ia ketika mengetahui bahwa rumah terdekat pun mengalami hal yang sama. Rata dengan tanah, tak ada lagi yang ditemui selain mayat suami-istri dengan anak kecil, dengan bekas luka yang sama. Dan pada dua rumah berikutnya, kejadiannya persis sama.

Dengan penuh hormat, Upasara menguburkan semua jenazah yang ditemui. Walau kini tenaga dalamnya tak ada lagi, Upasara masih bisa mengetahui bahwa si pembunuh pastilah orang yang mempunyai tenaga dalam cukup kuat, dan mampu mengangkat senjata berat. Semua korban terkena satu kali sabetan!

Walau Pak Toikromo dan korban lain bukan jago silat, akan tetapi bukan tak mungkin mengadakan perlawanan seadanya. Akan tetapi dari bukti-bukti yang dilihatnya, perlawanan itu tak terlihat sedikit pun. Atau sebelum ada perlawanan mereka telah menjadi korban Pembunuh Bergolok Berat!

Dalam kobaran nafsu membalas dendam, Upasara mulai menyadari kembali kemampuannya untuk berlatih pernapasan. Dengan kemampuan yang tersisa, Upasara berusaha mengalirkan udara lewat hidung dalam satu tarikan kuat, menyalurkan udara ke atas ubun-ubun, ke bawah lewat tulang belakang, dan dikumpulkan sekuat mungkin dalam perut. Untuk diempaskan lewat lubang-lubang kulit tangannya yang mengentak ke depan.

Dengan cara seperti ini Upasara mulai berlatih dari awal lagi. Akan tetapi, setiap kali mencoba memusatkan pikiran, yang muncul dalam bayangannya adalah wajah Pak Toikromo. Yang begitu bersahaja. Yang memandang tanpa dendam, tanpa curiga. Yang pasrah tanpa perlawanan. Atau kadang berganti dengan wajah seorang lelaki yang berjanggut lebat, membawa golok, matanya merah dan siap membabat kepala Upasara. Atau tulang iga Upasara. Sehingga pemusatan pikiran Upasara menjadi buyar. Makin dipaksa, makin kacau.

Hingga napasnya menjadi tersengal-sengal, terbatuk-batuk, dan dadanya terasa sakit sekali. Akan tetapi Upasara tak mau menyerah. Semakin sakit, semakin dipaksanya. Semakin tersengal, semakin bengal ia mengulang kembali. Sampai peningnya sempurna, dan Upasara seperti terseret dalam lamunan tak menentu. Dan baru terbangun sendiri dengan pikiran dan raga yang letih.

Upasara memaksa terus. Baginya hanya ada satu cara. Mengembalikan tenaga dalam sebisanya dan membuat terang siapa Pembunuh Bergolok Berat atau dirinya menjadi korban karenanya. Jalan kedua ini dianggap lebih baik daripada jalan pertama! Mati pun tak percuma, karena sudah berusaha! Maka Upasara kembali berlatih.

"Betul-betul edan. Kalau tempayan sedang penuh air, bagaimana mungkin akan bisa mengisinya?"

Walau kini Upasara bagai orang cacat dan sedang linglung, akan tetapi jalan pikirannya masih bisa bekerja dengan baik. Apalagi yang berkaitan dengan dasar-dasar ilmu kanuragan. Bukan sesuatu hal yang luar biasa mengingat sepanjang hidupnya selalu bergumul dengan hal itu. Kalimat yang didengarnya adalah bagian dari dasar-dasar ilmu silat. Bagian dari cara mengosongkan pikiran kalau mau mempelajari ilmu silat.

Kalau tempayan penuh berisi air, tak ada gunanya menambah air ke dalamnya. Hanya akan tumpah belaka. Kalau tempayan itu perumpamaan tubuh Upasara, saat ini sedang penuh dendam dan panas oleh secepatnya mengembalikan tenaga dalam. Jadi tak ada gunanya kalau mencoba mempelajari pernapasan.

"Kalau cara seperti itu mau dipamerkan, aku sudah tahu sebelum kamu mengenal dunia."

Jawaban Upasara membuat tawa bergelak. Yang tertawa adalah seorang lelaki yang wajahnya tertutup caping. Hanya tangannya yang memegang tongkat, yang biasanya digunakan untuk menggiring itik, bergerak-gerak.

"Itu yang namanya edan. Sudah tahu tempayan penuh masih nekat dijejali air. Anak muda, siapa namamu dan apa maumu dengan berlatih cara pernapasan yang sudah tak diajarkan karena sudah kuno itu?"

Upasara mendongak. Ganti tertawa. "Orang tua, siapa namamu dan apa maumu sok pamer ilmu pernapasan, yang tak bisa dibedakan mana yang kuno dan mana yang baru? Selama masih mengisap udara dan mengatur tenaga di dalam tubuh, apakah itu bisa disebut kuno atau baru?"

"Edan, kamu tahu tentang cara-cara melatih pernapasan. Tapi tenagamu kalah kuat dibandingkan seekor itik."

"Seekor bebek bisa menggerakkan ekornya untuk mencari tenaga. Seekor kumbang bisa menggerakkan sayapnya untuk terbang. Itulah tenaga utama. Akan tetapi seribu ekor itik, seribu ekor kumbang, akan bergerak dengan cara yang sama sejak diciptakan pertama kali. Tak nanti seekor itik atau bebek bisa menarik seekor kuda."

Caping lelaki itu bergerak, berputar di kepalanya. Menimbulkan kesiuran angin tajam.

"Kerahkan tenaga memutar ke kanan."

Bik Suka Bintulu

CAPING yang tadinya berputar ke arah kiri serta-merta berubah ke arah kanan, sesuai permintaan Upasara. Hanya saja karena gerakannya mendadak, caping itu jadi terangkat ke atas. Namun Upasara tak bisa melihat dengan jelas, karena geseran angin dari tutup kepala itu membuat matanya pedih.

"Itu namanya tenaga separuh yang kamu gunakan," kata Upasara gagah. "Tempayan yang berisi air separuh, bisa digerakkan lebih mudah."

"Edan. Anak kemarin sore malah mengajari seorang bik suka."

Upasara membuka bajunya. "Aku tak tahu kalau Paman seorang bik suka. Maaf, terimalah pemberian milikku seadanya."

Upasara mengerti bahwa yang dihadapi adalah seorang bik suka, atau wiku, atau biksu, atau pendeta yang meminta-minta. Maka sebagai tanda penghormatan, Upasara memberikan bajunya, karena tak mempunyai sesuatu yang bisa diberikan.

Bik Suka sekali lagi memutar capingnya, dan baju Upasara tersangkut. Akan tetapi dengan sekali putaran, baju itu kembali menutupi wajah Upasara. Walau telah berusaha menangkis, akan tetapi tenaga dan kecepatan Bik Suka mengatasinya. Sehingga tubuh Upasara bergoyang.

"Apakah Paman Bik Suka Bintulu?"

"Aneh. Kamu ini aneh dan edan. Bagaimana mungkin pengetahuanmu begitu hebat, akan tetapi kemampuanmu begitu hina?"

Bik Suka Bintulu, atau Biksu Bintulu adalah istilah untuk menyebut seorang pendeta dari kelompok yang suka menyebut dirinya Bintulu. Istilah ini sebenarnya mempunyai arti poleng atau kotak-kotak seperti papan permainan catur berwarna biru dan putih. Kelompok ini memang sebagai pendeta, akan tetapi menolak pemberian. Tentu saja Upasara mengetahui, karena selama dalam Ksatria Pingitan, boleh dikatakan segala pengetahuan dan adat diajarkan.

"Maafkan saya, Paman Bintulu."

"Kamu sudah menghinaku sebagai peminta-minta, bagaimana mungkin aku memaafkan begitu saja? Kalau setiap kesalahan bisa diakhiri dengan maaf, untuk apa ada pembunuhan dan kebajikan?"

Upasara berdiri gagah. "Kalau memang ingin pamer kegagahan, untuk apa bicara soal maaf segala macam? Paman Bintulu, saya, Wulung, meminta maaf. Tetapi tidak berarti meminta ampunan soal pembalasan penghinaan."

"Anak ayam seperti kamu berani mengaku elang?"

Upasara menjadi gondok. Nama Upasara Wulung adalah namanya yang sebenarnya. Yang berarti Banteng Hitam. Wulung berarti hitam kebiru-biruan. Tapi wulung juga bisa berarti elang. Arti terakhir ini yang tertangkap oleh Bintulu.

"Sekali pengemis tetap pengemis. Mana ada di jagat ini pengemis memberikan sesuatu, walau hanya maaf? Edan!"

"Mana ada seorang mengaku wiku selalu mengeluarkan kata-kata kotor?"

"Edan. Eh, Wulung, siapa dirimu sebenarnya?"

"Saya adalah lelaki yang ingin membalas dendam kematian orangtua saya yang dibunuh secara kejam."

"Majulah. Akulah yang membunuh penduduk desa ini."

Tanpa pikir panjang, Upasara menggertak maju. Kedua tangannya terentang. Kedua kakinya membuka kuda-kuda. Akan tetapi Bintulu hanya menudingkan tongkat penggiring bebek. Ini saja sudah membuat Upasara menjadi ngilu. Kakinya yang terangkat seperti kaku. Tak bisa digerakkan. Karena nekat maju, tubuh Upasara jatuh ke tanah.

"Aku bilang maju, bukan tiduran!"

"Kalau menyalurkan tenaga lewat tongkat, masih harus mengerahkan tenaga di pusar, kenapa berlagak?"

"Dari mana kamu tahu, Wulung?"

"Karena dada Paman Bintulu digerakkan lebih dulu. Tenaga yang disalurkan ke tongkat akan menjadi lebih cepat jika disalurkan dari telunjuk. Tongkat itu bagian dari telunjuk, yang tidak ditentukan keuntungannya dari panjangnya."

Kaki Bintulu mengentak tanah. Hebat tenaganya. Getarannya membuat Upasara bangkit kembali, seolah dilontarkan tenaga tak terlihat.

"Nah, ini baru namanya tenaga kaki yang sesungguhnya. Padahal kalau jari dilatih, kekuatannya tidak kalah dari telunjuk. Tetapi dasar pendeta gunung, lebih bisa menggerakkan kaki daripada tangan."

Apa yang dikatakan Upasara membuat Bintulu mendehem kecil. Apa yang dikatakan Upasara memang benar. Tenaga kaki lebih bisa digerakkan dari tenaga jari. Kekuatan memainkan kaki memang menjadi ciri utama para pendekar dari daerah pegunungan. Karena keadaan medan yang tidak rata, dengan sendirinya latihan gerakan kaki menjadi lebih terlatih. Dengan salah satu cirinya, tubuh bisa bergerak lebih enteng dan permainan kuda-kuda juga kokoh.

"Setan mana yang mengajarimu, Wulung?"

"Apakah Paman Bintulu hanya bisa menyebut setan dan edan saja?"

"Sudahlah, jangan banyak ngomong. Kalau mau menuntut balas, cepatlah."

"Paman Bintulu, kenapa Paman membunuh Pak Toikromo?"

"Sudah menjadi adat dunia. Yang kuat membunuh yang lemah. Untuk apa menanyakan alasan?"

"Bapakku tak bersalah."

"Memang tidak. Aku hanya ingin membunuh saja. Sekali sabet, selesailah sudah. Kalau kamu ingin menyusul, majulah. Aku tak akan membedakan cara membunuh."

"Coba saja. Apakah Paman Bintulu bisa merontokkan tulang iga dengan meninggalkan luka menganga."

Upasara menerjang. Dengan jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka. Kedua tangannya terkepal dan menyeruduk maju. Tanpa menggerakkan tubuh, Bintulu menggerakkan capingnya. Angin berputar yang muncul melibat tubuh Upasara dan membantingnya ke tanah dengan putaran. Pandangan mata Upasara berkunang-kunang. Tapi segera berdiri.

"Saya ingin dada saya dibelah, bukan dibanting dengan ilmu gasing anak-anak seperti ini."

Gertakan Upasara hanya untuk meyakinkan bahwa Bintulu pembunuh Pak Toikromo atau bukan. Melihat bahwa Bintulu tetap termangu, Upasara jadi kurang yakin.

"Kenapa Paman mengaku sebagai pembunuh?"

"Apa bedanya aku yang membunuh orangtuamu atau bukan? Aku sudah banyak membunuh orang tanpa mengetahui nama dan anak-anaknya. Kenapa itu kau risaukan benar? Majulah lagi, kalau ingin kubelah dadamu."

Upasara berputar. Tubuhnya berbalik menjauh. Tiga langkah kakinya menjadi berat, dan tubuhnya terseret. Kembali terbanting.

"Wulung, jawab yang benar. Siapa nama gurumu?"

"Baik, Paman dengar baik-baik." Upasara berdiri dengan gagah. Walau seluruh tubuhnya ngilu-ngilu tapi digigitnya bibirnya untuk menahan rasa sakit.

"Guruku adalah Ngabehi Pandu."

"Siapa itu?"

Upasara mengentakkan kaki ke tanah. "Bagaimana mungkin Bintulu yang berilmu tinggi ini tak mengenal Ngabehi Pandu? Kalau tak kenal nama besar guruku, buat apa bertanya?"

"Segala macam Ngabehi saja diunggulkan. Tapi... edan... memang sebenarnya Ngabehi Pandu membekalimu dengan ilmu yang benar, akan tetapi ternyata kamu anak ayam yang kerdil."

"Seorang senopati agung dari Keraton Singasari lebih pantas dikagumi."

"O, Ngabehi-mu itu wong Keraton? Siapa lagi yang jadi wong Keraton yang bisa main silat?"

"Mpu Raganata."

Upasara mulai bisa menebak-nebak bahwa tokoh yang dihadapi ini adalah seorang tokoh yang belum begitu lama muncul dari pengasingan yang cukup lama. Maka ia menyebutkan nama Mpu Raganata.

"Apakah ia prajurit baru?"

"Paman Bintulu, Paman sangat keterlaluan!"

Upasara bergerak kembali, akan tetapi sekali ini terasa udara panas membeset tubuhnya! Dan darah mengucur dari dadanya. Luka melintang! Seperti yang dialami Pak Toikromo dan beberapa korban yang lain. Dengan geram Upasara berdiri kembali. Akan tetapi kakinya makin sempoyongan.

"Ayo majulah. Akan kususul bapakku. Akan kutemani di alam sana."

"Edan!" Sekali ini tongkat kecil penggiring bebek bergerak cepat.

Bejujag, Tokoh Paling Kurang Ajar

UPASARA berkeringat dingin. Dalam detik-detik terakhir, tubuhnya meringkuk dengan kedua tangan berusaha melindungi. Kesiuran angin sangat tajam merobek. Gerakan Upasara adalah gerakan seadanya, sebisanya seperti perlindungan diri terakhir. Bahkan kedua matanya tertutup. Terdengar suara keras, dan pohon mangga di sebelahnya roboh, terpotong melintang dari satu sisi kanan ke kiri bawah! Pohon mangga saja terbelah terkena kesiuran angin tongkat penggiring bebek Bintulu!

"Ilmu iblis apa yang kamu mainkan, Wulung?" Dalam nada geram, terdengar juga kesan kagum.

Upasara sendiri tak bisa menjawab segera. Tak bisa menerangkan dengan jelas. Bahwa dari tubuhnya masih bisa keluar tenaga murni Bantala Parwa. Tenaga dalam yang sudah dimusnahkan itu ternyata masih tersimpan, dan secara tiba-tiba muncrat keluar, berhasil menangkis kesiuran angin maut Bintulu. Bahwa inti tenaga murni Penolak Bumi adalah bersifat tenaga tumbal, tenaga yang muncul untuk mementahkan dan mengenyahkan serangan yang mengancam, Upasara sadar. Akan tetapi ternyata tenaga itu sekarang ini tak sepenuhnya bisa dikuasai. Tenaga murni itu mengalir dengan sendirinya!

Karena sebelum keluar, Upasara telah sungsang-sumbel dan hampir saja binasa. Toh tak bisa keluar. Upasara bercekat. Tubuhnya basah oleh keringat. Sesaat tadi, ia merasa kematian telah datang menjemput secara paksa. Untuk pertama kalinya, Upasara merasa enggan menerima kematian. Saat ini berbeda dari saat ia membuang tenaga dalamnya, berbeda dari ketika Nyai Demang mengamuk. Upasara merasa masih ada ganjalan untuk meninggal.

Masih ingin membalas dendam kematian Pak Toikromo! Ataukah perasaan ini yang membuat tenaga murni muncul tak terduga? Rasanya tak mungkin juga. Karena kini, ketika Upasara mencoba mengerahkan kembali, malah dadanya yang terasa sakit. Kalau tenaga murni macet, kematiannya hanyalah soal waktu. Maka Upasara menjadi bercekat, tubuhnya berkeringat, seolah sedang menghadapi malaikat maut.

"Ilmu bisa menjadi iblis bisa menjadi dewa, tak perlu ditanyakan."

"Siapa gurumu?"

"Sudah saya katakan, saya adalah murid Ngabehi Pandu yang terhormat, senopati Keraton Singasari. Teman baik yang terhormat Mpu Raganata, sahabat erat Eyang Sepuh."

Upasara sengaja menyebut nama tokoh-tokoh besar, agar Bintulu tak menjadi ganas karenanya. Karena dengan mendengar nama-nama besar itu, bisa mengingatkan akan sesuatu. Perhitungan Upasara, sekali lagi, berdasarkan dugaan bahwa Bintulu adalah tokoh sakti angkatan tua yang kembali. Dugaan itu benar, akan tetapi Bintulu tetap menggelengkan kepala.

"Mana aku kenal nama cecunguk-cecunguk itu? Tapi aku bisa memaksamu mengatakan siapa sebenarnya." Bintulu menggenggam tongkat kurusnya.

"Begitu sombong Paman Bintulu menyebut dengan kata kotor pada pendiri Nirada Manggala!"

Kali ini upaya Upasara menemukan hasilnya. Kalau nama Eyang Sepuh, Mpu Raganata maupun Ngabehi Pandu tak dikenali, nama Perguruan Awan ternyata membuat Bintulu menahan napas sejenak.

"Apa hubunganmu dengan si Bejujag itu?"

Upasara tak tahu siapa yang dimaksudkan dengan si Bejujag, yang bisa diartikan sebagai seorang yang kurang ajar. Jangan-jangan salah satu nama yang bisa dihubungkan dengan pendiri Perguruan Awan. Dan itu bisa berarti...

"Kalau memang kamu murid si Bejujag dan sengaja mau mengintip ilmu Tongkat Penggiring Bebek, inilah kesempatan terbaik. Aku akan membunuhmu dalam satu gerakan." Ternyata tetap saja niat Bintulu untuk membunuh!

"Tak perlu main sembunyi."

Belum Upasara mengerti sepenuhnya, sesosok bayangan telah muncul sambil mengertakkan gigi dan mengayunkan tongkatnya secara keras.

"Kakang Galih!"

Teriakan Upasara lebih mencerminkan nada kuatir dibandingkan kegembiraan. Karena Upasara menyadari bahwa Galih Kaliki yang suka menyerang secara sembrono bisa menghadapi bahaya melawan Bintulu yang mampu memainkan tongkat kurusnya. Gebukan tongkat galih asam ke arah caping Bintulu tak dihiraukan. Hanya tongkat penggiring bebek disebatkan untuk menangkis. Tongkat kurus bagai bambu yang sedang tumbuh menghadapi tongkat perkasa dari hati pohon asam. Luar biasa!

Upasara seakan tak percaya pada matanya. Bahkan Galih Kaliki melongo. Tongkat galih asam terpotong di bagian ujungnya. Terpotong dengan goresan miring! Inilah yang tak dinyana tak disangka. Tongkat galih asam sudah lama malang melintang di dunia persilatan. Puluhan atau ratusan kali diadu dengan segala senjata tajam pilihan. Akan tetapi selama ini tak pernah mengalami lecet sekali pun. Maka sungguh tak terbayangkan, hanya dengan sekali sabetan, tongkat perkasa itu somplak! Tenaga ajaib macam apa yang dimiliki dalam diri Bintulu dengan tongkat penggiring bebek, yang kelihatannya terayun-ayun terguncang angin?

"Kakang Galih... tahan..."

Jeritan Upasara terlambat. Galih Kaliki telah mengeprukkan tongkat ke arah caping Bintulu untuk kedua kalinya. Kali ini dengan tenaga penuh. Bintulu menggenggam tongkat penggiring bebek dengan dua tangan dan tubuhnya berputar keras. Cepat sekali. Upasara sampai mundur terdesak oleh angin. Tongkat galih asam membentur tongkat penggiring bebek untuk kedua kalinya. Upasara menahan getaran dalam tubuhnya.

Tongkat galih asam somplak, terlempar ke udara dan jatuh di dekat tubuh Galih Kaliki yang juga ambruk. Pada sebelah kanan dadanya terlihat goresan yang dalam hingga ke pangkal paha sebelah kiri. Luka menganga dan seakan terlihat tulang-tulang tubuh Galih Kaliki yang dilewati sabetan tongkat kurus itu terputus. Ajal Galih Kaliki telah sampai sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Sebelum sempat bertegur sapa dengan Upasara!

Alis mata Upasara bersatu. Seluruh darahnya seakan mengalir ke wajah. Darah dendam kesumat membahana. Tangannya gemetar meraih tongkat galih asam yang telah somplak.

"Hmmm, jadi si Bejujag itu menyembunyikan kangkam dalam galih?"

Baru sekarang Upasara sadar bahwa tongkat yang selama ini dipergunakan oleh Galih Kaliki adalah sarung pedang! Pedang hitam yang tipis. Kangkam Galih yang agaknya dikenali oleh Bintulu! Seumur hidupnya Galih Kaliki tak pernah mengetahui hal ini. Bahkan tak akan percaya andai diberitahu bahwa tongkat andalannya ini sebenarnya hanyalah sarung pedang! Warangka. Upasara tak banyak berpikir. Kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih dengan pandangan bulat.

"Apa pun yang kamu katakan, aku siap menuntut balas kematian orangtua dan kakangku."

"Edan. Hari ini aku membunuh dengan perasaan senang."

Bintulu bergerak. Upasara tak melihat gerakan, hanya merasakan angin tajam menerjang keras ke arahnya. Dengan sepenuh tenaga, Upasara mengangkat tongkat Kangkam Galih, pedang yang tersimpan dalam galih untuk menangkis dan menerjang. Akan tetapi karena tenaganya kurang tersalur sempurna, di samping pedang tipis hitam itu sangat berat, Upasara menjadi sempoyongan. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya justru terbanting sebelum langkah ketiga!

Bintulu mengeluarkan teriakan dingin sambil meloncat tinggi! Agaknya tak menduga bahwa Upasara melakukan gerakan yang tak sepenuhnya dikuasai dan disadarinya. Nyatanya memang begitu. Sewaktu menangkis tadi, Upasara menggerakkan pedang dengan serangan yang masih bisa dihafal dan diketahui. Hanya karena tenaga dalamnya tak terkuasai, tenaga membawa pedang hitam itu membuatnya terhuyung jatuh. Akan tetapi di luar dugaannya, justru sewaktu tubuhnya akan menyentuh tanah ada tenaga menolak yang membuat Upasara tegak.

Begitu tegak, Upasara berniat menyerang kembali. Akan tetapi kejadian berulang. Tubuhnya terseret oleh tenaga Kangkam Galih. Sehingga makin limbung. Agaknya justru ini yang membuat Bintulu kaget dan meloncat tinggi. Kalau tadi bisa membunuh Galih Kaliki tanpa mengubah posisi kaki dari tempatnya berdiri, sekarang perlu menghindar!

7
Dodot, Kain Panjang untuk Hamba Sahaya

MENGETAHUI ada tenaga yang memberontak dari tubuhnya, Upasara tak mau menahannya. Ia memusatkan pikirannya, dan membiarkan tenaganya tersalur ke arah Kangkam Galih. Dalam sekejap, Upasara telah memainkan jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika secara lengkap dan sempurna. Angin berkesiuran memancar dari tubuhnya, mengepung Bintulu yang berloncatan. Karena agaknya Bintulu tak ingin tongkat penggiring bebek bersentuhan dengan Kangkam Galih. Ini yang membuat dalam sekejap Upasara bisa mendesak mundur.

Bintulu meloncat mundur sekali lagi, akan tetapi kali ini Upasara menyabet dengan ganas. Caping Bintulu terayun ke atas! Barulah Upasara bisa melihat Bintulu. Dan cemas dengan sendirinya. Yang berada di depannya ternyata lelaki yang sudah tua, dengan rambut putih beberapa helai. Selebihnya adalah wajah yang tanpa bentuk sama sekali! Hanya ada semacam lubang untuk hidung ataukah mulut? Selebihnya gumpalan daging. Bahkan Upasara tak bisa menemukan mana bagian matanya.

Begitu banyak peristiwa ditemui Upasara, akan tetapi sekali ini tak terjangkau oleh akal sehatnya. Bintulu, jelas tokoh sakti mandraguna dari suatu masa yang telah lewat. Dilihat dari usianya, bukan tidak mungkin lebih tua dari Mpu Raganata. Kemampuan dan ilmu silatnya sungguh tiada tara. Galih Kaliki saja bisa disabet dalam dua gerakan!

Hati kecil Upasara terusik rasa iba. Bintulu pastilah mengalami sesuatu yang sangat kejam di masa lalu. Sehingga wajahnya hancur lumat. Tak tersisa mata atau mulut! Neraka iblis macam apa yang telah terjadi? Kalau dilihat dari sisi ini, Bintulu perlu dikasihani. Akan tetapi Bintulu pula yang telah menewaskan orangtuanya, Pak Toikromo! Dan juga Galih Kaliki! Dan Upasara telah bersumpah untuk membalas dendam.

"Edan! Sungguh edan. Apakah si Bejujag itu mampu menyimpan dan mengembalikan nyawa manusia? Apakah ia telah menjadi Maha wiku seperti yang diinginkan? Edan. Wulung, apakah yang kamu mainkan barusan ilmu Menyimpan Nyawa si Bejujag?"

Biar bagaimanapun, Upasara masih mempunyai jiwa ksatria. Hatinya tergetar melihat penderitaan Bintulu. Maka dengan hormat, Upasara melakukan sembah. Setelah mengembalikan caping untuk menutupi wajah Bintulu, barulah Upasara mundur dan menjawab.

"Paman Sepuh Bintulu, yang baru saja saya mainkan adalah jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika, atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Yang kalau diteruskan dengan Delapan Jurus Penolak Bumi, dikenal sebagai ajaran Kitab Bumi. Apakah Paman Sepuh mengenali?"

"Edan. Bagaimana mungkin kamu tanyakan aku mengenali atau tidak, kalau aku yang menciptakan?"

Ganti Upasara yang menjublak. Berbagai perasaan datang-pergi silih berganti.

"Aku tidak tanya nama jurus mainan anak-anak. Yang kutanyakan apakah si Bejujag itu telah mampu melatih tenaga dalam Menyimpan Nyawa!"

"Maaf, Paman Sepuh, yang saya latih adalah pernapasan seperti yang diajarkan dalam Bantala Parwa."

"Ngawur! Aku tidak menciptakan cara berlatih napas semacam itu. Itu pasti akal-akalan si Bejujag yang suka main gila. Wulung, kamu ini manusia macam apa sehingga begitu beruntung dalam hidupmu?"

Kembali Upasara terguncang. Apa maksud omongan Bintulu yang seperti berusaha menjelaskan sesuatu ini?

"Kamu beruntung mempelajari cara pernapasan Menyimpan Nyawa. Itulah latihan pernapasan yang dikembangkan oleh si Bejujag, padahal ilmu yang murni, akulah yang menemukan. Akulah yang menciptakan apa yang kamu sebut sebagai Bantala Parwa atau Kitab Bumi. Tapi Bejujag itu memang nasibnya selalu lebih baik. Kami bertiga sama-sama manusia berkain dodot, kain panjang dan lebar, sebagai tanda hamba sahaya. Tanda pengenal kaum paminggir, kaum yang tak diperhitungkan secara resmi. Kaum pinggiran, kaum dodot. Edan... Bejujag percaya bahwa cara berlatih napas Menyimpan Nyawa adalah cara berlatih yang sempurna. Karena tenaga murni latihan ini adalah tenaga yang tak akan pernah bisa hilang. Tenaga yang kekal abadi. Aku tak percaya di jagat raya ini ada cara berlatih pernapasan seperti itu. Tapi baru saja kurasakan bahwa Bejujag kampungan itu berhasil."

Terdengar helaan napas berat. Upasara seperti tersadar. Bahwa Paman Sepuh Bintulu mengatakan apa adanya tentang cara pernapasan yang disebut Menyimpan Nyawa. Semacam latihan pernapasan, di mana setiap kali dilakukan dua kali dari biasanya. Dalam Bantala Parwa yang dipelajari, hal inilah justru yang membuatnya bingung dan putus asa. Karena seolah latihan pernapasan mengulang, dan selalu dimulai dengan penolakan! Ternyata justru inilah intisarinya!

Tenaga murni Upasara telah dikeluarkan hingga habis tuntas. Akan tetapi, sebenarnya dalam dirinya masih tersimpan penuh tenaga murni itu. Hanya saja, tenaga murni semacam ini tak bisa dipergunakan secara langsung. Harus diubah lebih dulu. Diubah menjadi tenaga murni yang bukan cadangan. Tenaga murni yang bukan simpanan. Itu pula sebabnya, seakan tenaga murni itu hanya bisa keluar pada saat maut nyaris merenggut! Karena pada saat seperti itu, secara tidak sadar tenaga dalam Menyimpan Nyawa bisa keluar. Dan mengetahui bahwa tenaga murni itu harus diubah lebih dulu, membuat Upasara sadar sepenuhnya. Bahkan kini tenaga dalamnya yang dulu bisa dihadirkan kembali!

Tenaga murni yang tersimpan itu diubah menjadi tenaga murni yang bisa digunakan sewaktu-waktu. Dengan demikian tenaga murni yang sebenarnya tetap terjaga utuh. Ini yang disebut Paman Sepuh Bintulu sebagai cara melatih pernapasan Menyimpan Nyawa. Satu kata kunci saja, membuat Upasara bisa menemukan kembali tenaga dalamnya. Dan yang memberitahu, justru musuh besarnya.

"Terima kasih atas penjelasan Paman Sepuh."

"Edan. Selama ini aku mempelajari, menciptakan, ternyata sia-sia belaka. Bejujag itu masih bisa mengatasi."

Upasara menyembah dengan hormat dan tulus. "Maafkan saya, Paman Sepuh, siapakah tokoh sakti yang selalu Paman Sepuh sebut sebagai Manusia Kurang Ajar?"

"Siapa lagi kalau bukan Bejujag yang paling kurang ajar?"

"Apakah... apakah... yang Paman Sepuh maksudkan Eyang Sepuh yang mendirikan Perguruan Awan?"

Caping Bintulu bergoyang-goyang. "Bejujag itu menyukai nama kosong. Untuk apa kalian begitu menghormatinya dengan memakai sebutan Eyang Sepuh dengan nada begitu hormat? Ia tak lebih dari si Kurang Ajar yang tak tahu malu, mengakali ilmuku."

Kali ini Upasara yang menghela napas berat. Seluruh tokoh di tanah Jawa begitu menghormati nama agung Eyang Sepuh, mulai dari penduduk biasa, para ksatria, pendeta, sampai dengan Raja, akan tetapi kini dengan enteng saja disebut Bejujag yang mencuri ilmu!

"Paman Sepuh, tadi Paman Sepuh menyebut bertiga. Siapa tokoh yang bertiga?"

"Edan... Wulung, kenapa kamu memaksa aku mengingat nama manusia yang tak berbakat itu? Manusia yang lebih mementingkan duniawi daripada yang rohani. Manusia yang lebih mementingkan raga dibandingkan nyawa? Manusia yang lebih mementingkan nata atau kebangsawanan daripada dodot sebagai asal-usulnya sendiri?"

Bagi Upasara, kini segalanya lebih jelas. Pada masa yang telah lama, ada tiga kaum dodot yang menjadi ksatria. Mereka bertiga ini kelak kemudian hari terkenal dengan nama yang harum. Yang paling kurang ajar, kemudian menjadi Eyang Sepuh, tokoh yang paling dihormati. Yang dianggap mementingkan keragaan, menjadi Mpu Raganata. Yang ketiga, atau yang pertama, adalah yang tak pernah dikenal selama ini. Yang sekarang dipanggil Upasara sebagai Paman Sepuh Bintulu.

Ada benarnya, kalau diingat bahwa Eyang Sepuh yang kemudian mendirikan Perguruan Awan, dan Mpu Raganata yang mengabdi kepada Baginda Raja Sri Kertanegara. Agaknya Paman Sepuh Bintulu yang terus-menerus mempelajari dan menciptakan ilmu. Kalau benar begitu, kenapa sekarang muncul dari pertapaannya? Apa yang mampu menggerakkan?

Janji di Tepi Kali Brantas
Upasara gegetun sekali. Menyesal karena kini berhadapan dengan Paman Sepuh Bintulu, yang dalam sesaat membuatnya berada dalam posisi yang berlawanan. Sebagai tokoh tua yang dihormati, yang ternyata adalah tokoh seangkatan dengan Eyang Sepuh. Akan tetapi juga seorang tokoh ganas yang telah menewaskan Pak Toikromo serta Galih Kaliki. Upasara gegetun karena mau tidak mau ia akan berhadapan dengan Paman Sepuh. Namun agaknya Paman Sepuh seperti tak memedulikan itu semua.

"Wulung, aku ingin menjajal ilmu Menyimpan Nyawa."

"Maaf, Paman Sepuh."

"Cuma aku sudah berjanji kepada si Bejujag dan kepada orang Keraton yang sebenarnya lebih pantas memakai dodot. Kami bertiga berjanji akan bertemu di tepi Kali Brantas sambil menunggu datangnya tetamu yang akan meramaikan pertemuan. Edan... Kalau murid Bejujag seperti kamu, apa murid-muridku bisa menghadapimu?"

Upasara berpikir cepat. "Paman Sepuh juga mempunyai murid-murid?"

"Bukan murid," suara Paman Sepuh menyesak. "Mereka orang edan tujuh turunan yang akan kusabet wajahnya!"

"Maaf, bolehkah saya lancang bertanya, siapa murid dan sebutan Paman Sepuh?"

Caping Paman Sepuh Bintulu bergoyang kembali. "Tadi kamu sudah memanggil Bintulu. Itu juga namaku. Kamu panggil Paman Sepuh, itu juga namaku. Kenapa kamu meributkan nama? Murid, aku tak tahu namanya. Aku cuma ingat kumisnya licik."

"Apakah yang mempunyai gelar Ugrawe?"

"Edan... Bisa jadi."

Sangat pantas sekali. Ugrawe sakti mandraguna dengan ilmu dan jurus-jurus Banjir Bandang Segara Asat, atau Banjir Bah Laut Kering. Ilmu yang menyedot tenaga dalam lawan. Selama ini asal-usul Ugrawe sangat gelap. Ternyata ia murid Paman Sepuh. Akan tetapi kalau disebutkan murid-murid, berarti ada yang lain.

"Siapa murid Paman Sepuh yang lain?"

"Edan... Mana pernah aku mengingat nama?"

Upasara menggigit bibirnya. Lalu dengan satu tarikan napas berat, Upasara berusaha menerangkan. Bahwa Eyang Sepuh kini telah tidak ketahuan kabar beritanya sejak menghilangkan diri. Bahwa Mpu Raganata telah gugur sewaktu pasukan Gelang-Gelang yang dipimpin Ugrawe dan Raja Muda Jayakatwang menyerbu Keraton Singasari. Dan Ugrawe sendiri telah gugur.

"Tak mungkin. Bejujag itu pasti akan muncul. Raga itu sudah jadi bangsawan, tapi masih akan datang. Kami sudah saling berjanji. Lagi pula akan datang ksatria lain. Mana mungkin mereka ingkar atau mati lebih dulu? Wulung, kamu pikir kami belajar dan melatih diri untuk apa kalau tidak untuk pamer?"

Berkelebat gambaran masa lampau tentang tiga pemuda, tiga ksatria yang sangat gandrung ilmu kanuragan. Masing-masing kemudian menciptakan ilmu yang menjadi tonggak seluruh ilmu silat yang ada.

Paman Sepuh Bintulu menciptakan apa yang kemudian dikenal sebagai Bantala Parwa. Sementara Eyang Sepuh lewat Perguruan Awan mengembangkan sebuah perguruan yang tetap memperlihatkan ciri-ciri kaum dodot, kaum hamba sahaya yang hidup larut bersama alam. Tonggak yang ditancapkan Eyang Sepuh adalah cara melatih pernapasan yang disebut oleh Paman Sepuh sebagai Menyimpan Nyawa. Ada banyak persamaan antara ilmu Bantala Parwa dan ilmu Menyimpan Nyawa.

Sementara itu, Mpu Raganata lain lagi. Jalan hidupnya menjadi pengabdi raja, dan tetap mempunyai jarak dengan kekuasaan Keraton. Tonggak ciptaannya dalam ilmu kanuragan ialah ilmu Weruh Sadurunging Winarah. Dibandingkan dengan ilmu Bantala Parwa, memang dasar-dasar ilmu Weruh Sadurunging Winarah mempunyai perbedaan. Barangkali karena memang perjalanan nasib tokoh-tokoh yang menciptakan berlainan.

Mestinya pada suatu hari mereka saling berjanji akan bertemu di tepi Kali Brantas. Untuk saling menguji. Dan di samping itu juga akan diundang datang para ksatria dari negeri seberang. Kalau Mpu Raganata secara jelas terlihat kehadirannya, dan Eyang Sepuh terasakan kehadirannya lewat Perguruan Awan, Paman Sepuh Bintulu mengasingkan diri dan terus melatih ilmu secara murni. Dan tak cukup tahu apa yang telah terjadi.

Kalau dipikir-pikir, ketiga ksatria ini sangat aneh. Ilmu mereka begitu tinggi, pencarian mereka begitu mendalam, akan tetapi perjalanan hidup mereka sangat berbeda satu dari yang lain. Toh begitu akan saling bertemu. Upasara yakin, jika Eyang Sepuh masih ada, entah di mana, pasti akan muncul lagi!

Apa pun keadaan dan tingkat keresiannya sekarang ini, Eyang Sepuh tak akan ingkar janji kepada sahabatnya di masa lalu. Upasara bisa mengerti kalau Paman Sepuh Bintulu menjadi orang yang mempunyai perangai aneh. Wajahnya yang hancur menjadi satu petunjuk hidupnya yang sengsara. Ditambah sekian puluh tahun tak pernah bergaul dan mungkin sekali malah dikhianati oleh muridnya yang bernama Ugrawe. Paman Sepuh Bintulu menjadi tak begitu pedulian. Apa atau kenapa main bunuh saja. Kebetulan dua di antara korbannya adalah Pak Toikromo dan Galih Kaliki!

Hal ini yang tak bisa dibiarkan oleh Upasara. Upasara tak meragukan sedikit pun bahwa Bantala Parwa adalah ciptaan Paman Sepuh Bintulu. Sekurangnya beliaulah yang menyusun dan menuliskan dalam klika. Dan kitab itu yang dicuri begitu saja oleh Ugrawe! Karena dunia luar mengetahui Kitab Bumi itu dari Ugrawe.

Upasara sendiri mengenal Kitab Bumi dari Kawung Sen, yang mencuri dari Ugrawe. Sangat mungkin sekali Kitab Bumi ciptaan Paman Sepuh Bintulu mirip dengan yang dikembangkan Eyang Sepuh yang kemudian dikenal dengan jurus-jurus Tepukan Satu Tangan. Dengan perbedaan pokok pada cara pengaturan napas yang disebut Menyimpan Nyawa.

Upasara juga gegetun karena sebab lain. Ilmu membuka tempat Menyimpan Nyawa diketahui justru setelah korban berjatuhan. Bukan sebelumnya! Inilah yang membuat gegetun. Nyawa Pak Toikromo tak bisa kembali lagi. Galih Kaliki tak mungkin hidup kembali. Upasara tenggelam dalam renungannya. Siapa yang mengatur ini semua? Siapa yang meletakkan pada situasi yang menyayat ini? Apa sebenarnya yang dikehendaki Dewa Segala Dewa dengan jalan hidupnya sekarang ini?

Ini masih harus ditambah dengan sejumlah pertanyaan lain. Siapa murid Paman Sepuh Bintulu yang setara dengan Ugrawe, yang selama ini tak dikenali? Apakah ia sama jahatnya dan malang melintang di dunia persilatan, ataukah masih menyembunyikan diri? Apa yang akan terjadi di tepi Kali Brantas jika ternyata yang muncul ksatria-ksatria dari tanah seberang? Menjadi pertarungan terakhir?

Satu hal yang membuat Upasara terusik. Paman Sepuh Bintulu, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata mengatakan berasal dari kaum dodot. Dari kelompok paminggir, yang juga berarti bukan anak-cucu langsung para raja. Sebenarnya dalam hal ini bisa disamakan dengan dirinya, dengan Paman Jaghana!

Sekilas ingatan Upasara kembali ke Perguruan Awan. Dengan peraturan yang tegas, tak ada anak buah Perguruan Awan yang direstui menjadi prajurit atau senopati. Paman Wilanda adalah contoh utama. Ketika masuk sebagai prajurit, tidak dianggap sebagai warga Perguruan Awan lagi. Hanya karena suatu peristiwa yang memperlihatkan jiwa luhurnya dan keinginannya menjadi warga Perguruan Awan, Paman Wilanda bisa diterima kembali.

Upasara sendiri bisa melihat dirinya berada dalam posisi yang berada di sisi sana dan di sisi sini sekaligus. Ia dibesarkan dalam lingkungan Keraton sejak lahir. Akan tetapi ia tetap dianggap kaum dodot, kaum hamba sahaya. Seumur-umur berada di Keraton, darahnya tetap tak bisa menjadi biru. Dan ini salah satu kegagalannya untuk mempersunting Gayatri yang sekarang menjadi permaisuri Raja Majapahit.

Upasara baru menyadari bahwa Paman Sepuh Bintulu sudah lenyap entah sejak kapan. Ia menghela napas, bersemadi. Mengubah tenaga murni yang tersimpan menjadi tenaga murni yang bisa digunakan. Agar semua tenaga murni cadangan bisa semuanya secara leluasa dipergunakan. Dan ini berkat jasa petunjuk Paman Sepuh Bintulu, yang akan dilawannya!

Mbalela, Dosa Utama

PENGEMBALIAN tenaga murni Upasara tak mengalami kesulitan sedikit pun. Dengan memusatkan pikiran, Upasara mulai menjalin tenaga murni yang tersimpan. Semua urat tubuh dan lubang kulitnya meregang, seakan mengeluarkan asap putih. Mula-mula seperti dog amun-amun atau uap air di kejauhan, seperti fatamorgana. Makin lama makin tebal, menyelimuti tubuh Upasara. Dari jidat, seakan terlihat cahaya menurun ke sepanjang hidung, melebar ke arah samping. Pipinya merona, kemudian daun telinga, bibir, dan akhirnya seluruh wajah.

Sementara dadanya tetap naik-turun dengan teratur. Semburat warna itu terus menurun dan menyebar ke seluruh anggota tubuh, hingga ke ujung jari tangan serta kaki. Kembali menggumpal, terpusat di pusar. Dan dengan mengendalikan jalan pikiran, tenaga itu bisa dikendalikan. Ke arah tangan, kaki, tersimpan di punggung. Aliran tenaga itu mengikuti kemauan Upasara. Ke mana pikirannya ditujukan, ke arah itulah tenaga tersalurkan.

Selesai bersemadi, Upasara merasa rongga dadanya sangat lega. Perasaan segar seakan kembali dilahirkan dari kegelapan yang mengimpit. Apa yang dilakukan kemudian ialah menguburkan Galih Kaliki dengan rasa hormat, berdoa di depan gundukan tanahnya.

"Kakang Galih... harap Kakang bisa tenang, untuk sementara Dewa yang Maha Menentukan. Saya akan selalu mengenang jiwa Kakang yang luhur dan jujur. Saya tak akan hidup tenteram sebelum membalas sakit hati Kakang. Maafkan, saya akan meninggalkan Kakang untuk sementara. Untuk menyusuri Kali Brantas. Di sana semua dendam akan tuntas."

Baru kemudian dengan perasaan sedikit lega, Upasara melanjutkan perjalanan. Agar tidak terlalu menarik perhatian, Upasara membungkus Kangkam Galih dengan tongkat yang telah pecah. Disatukan kembali dengan getah pohon. Meskipun tidak sempurna, akan tetapi untuk sementara terlihat seperti tongkat biasa. Dalam perjalanan kali ini, Upasara merasakan betapa bedanya sebagai manusia biasa dan sebagai pendekar silat. Jarak jauh tidak terlalu menjadi masalah. Perjalanan bukan sesuatu yang melelahkan. Bisa sekaligus melatih dan memperlancar tenaga pernapasan.

Lebih dari itu semua, keadaan sekitar seperti dengan mudah bisa terjaga, bisa diawasi dengan sempurna. Dengan mudah Upasara bisa mengetahui pada jarak tertentu ada sepasukan prajurit atau setidaknya beberapa ksatria sedang melakukan perjalanan. Langkah dan tarikan napas mereka bisa dirasakan Upasara. Sungguh berbeda ketika tenaga simpanannya belum diubah.

Saat itu bahkan tak mengetahui pertempuran, tak bisa disebut pertempuran, lebih tepat pembunuhan atas diri Pak Toikromo. Upasara menyadari bahwa Paman Sepuh Bintulu bisa melakukan satu gerakan untuk menghancurkan rumah, pedati, dan menyobek tubuh Pak Toikromo. Jarak kemampuan dalam kanuragan antara Pak Toikromo dan Paman Sepuh Bintulu kelewat jauh. Kalau saja semua pemulihan tenaganya terjadi lebih awal! Kalau saja Paman Sepuh Bintulu bertemu dengannya lebih dulu!

Akan tetapi dalam kehidupan ini, ada yang tak bisa bersandarkan kepada kalau saja. Justru karena sejak awalnya serba tak terjadi tanpa kalau saja. Bukankah Paman Sepuh Bintulu bisa bersikap manis kepada Pak Toikromo, misalnya meminta makanan? Kalau saja perjalanan hidup Paman Sepuh Bintulu tak begitu pahit, ia tak akan main bunuh seenaknya.

Tak lebih dua puluh kali tarikan napas, Upasara merasakan bahwa suara prajurit makin terdengar jelas. Upasara berusaha menghindar. Mencari jalan lain, karena tak ingin mengganggu dan terganggu. Pikirannya hanyalah mencari tepi Kali Brantas untuk mengadakan perhitungan, dan barangkali bisa lebih terbuka mengenai siapa-siapa yang akan datang. Akan tetapi, langkahnya tertahan. Karena telinganya mendengar suara Mpu Sora yang menyayat.

"Sejak lahir, aku dialiri darah prajurit. Bagiku, pengabdian adalah yang terutama. Kalau memang Baginda ingin menghukumku, kenapa harus ditunda? Bagi seorang prajurit, pengabdi negara, menerima hukuman dan atau menerima hadiah dari Raja adalah hal yang biasa. Tolong Senopati Halayudha menyampaikan hal ini kepada Baginda."

Halayudha menunduk. "Duh, Senopati Sora yang perkasa. Jiwa besar merupakan semangat keprajuritan yang tak bisa diubah. Gunung karang bisa hancur, akan tetapi jiwa yang mulia akan abadi selamanya. Saya hanyalah pesuruh. Saya hanya menyampaikan titah Baginda, bahwa Senopati Sora dititahkan memangku tugas di Tulembang. Bukan hukuman mati seperti tertulis dalam kitab Kutara Manama."

Suara Mpu Sora makin menyayat. "Kematian adalah kebahagiaan, bila itu diperintahkan seorang raja. Senopati Halayudha... sekarang ini semua orang menganggap saya wajib terkena hukuman mati karena telah membunuh Senopati Anabrang dari belakang. Dan saya akan menerima hukuman itu. Kalau Baginda menghendaki keris Mahisa Taruna bersarung di dada saya yang tua ini, saya akan menerima dengan bahagia, sebagai penerima titah."

"Duh, Senopati Sora, bagaimana mungkin saya menyampaikan hal ini?"

Mpu Sora bergerak pelan. Tangannya menarik kain putih dengan satu sentakan terobek rapi. Lalu dengan satu sentakan memotes ranting pohon, dan dengan getah yang menetes mulai menuliskan. Baik caranya menyobek kain, memotes ranting, dan memencet agar getahnya terus mengalir, memperlihatkan kemampuannya yang tinggi.

"Mohon Senopati Halayudha menyampaikan hal ini kepada Baginda."

Halayudha menerima dengan hormat.

"Agar tidak terlalu memberatkan Senopati Halayudha, setelah selesai keramas, saya akan sowan kepada Baginda."

Halayudha bergerak cepat. Karena tak ingin membuang waktu sedikit pun, agar semua rencananya tidak kedaluwarsa. Semenjak meninggalkan gua kurungan bawah tanah, Halayudha merasa bahwa cepat atau lambat tokoh-tokoh tangguh kelas dunia akan bermunculan. Jika ia tak bisa memanfaatkan, berarti semua rencana yang diatur dengan saksama akan sia-sia. Maka kini Halayudha langsung menemui Mahapatih Nambi, dan menceritakan apa yang telah terjadi, menurut pandangannya sendiri.

"Senopati Sora malah berani menulis nawala langsung kepada Baginda. Mahapatih Nambi yang paling berkuasa bisa membacanya. Akan tetapi secara terang-terangan Senopati Sora menolak hukuman menjadi penguasa di Tulembang. Baginya lebih baik menerima hukuman mati."

"Kenapa itu yang ditempuh?"

"Ini hanya gertakan Senopati Sora, dengan mempergunakan keluhuran dan kebaikan hati Baginda. Karena merasa berjasa, Senopati Sora yakin Baginda tak akan menghukum mati. Senopati Sora lupa, bahwa Baginda bisa menjadi iba, tetapi di Keraton masih ada Mahapatih Nambi yang setia kepada Baginda dan tidak mau melihat anak buahnya mbalela?"

Mahapatih Nambi tersulut. Dengan memakai istilah mbalela, Halayudha berhasil membakar Mahapatih. Mbalela adalah ungkapan untuk prajurit yang melawan kepada atasan, ungkapan bagi pemberontak! Bagi prajurit sejati, dosa yang utama dan satu-satunya ialah mbalela.

"Aku akan turun tangan langsung."

"Semua prajurit, para senopati Keraton, akan berada di belakang Mahapatih. Sikap Senopati Sora sudah melewati batas yang ada. Bersama dengan seluruh pengikutnya yang setia ia akan datang ke Keraton untuk menentang titah Baginda yang begitu baik dan luhur."

Mahapatih Nambi tegang rahangnya. "Senopati Halayudha, mohonkan kepada Baginda, saya yang akan menjemput Senopati Sora bila ia datang bersenjata nanti, atau kapan pun ia datang."

Dengan bahasa yang lain lagi, Halayudha berhasil mengutarakan langsung kepada Baginda. "Hamba mengetahui betapa risaunya Baginda Raja yang luhur dan agung jiwanya, yang ingin mengayomi, melindungi seluruh warga Majapahit. Akan tetapi alangkah pahit kenyataan yang sesungguhnya. Karena Sora ternyata menentang kebaikan Baginda, dan lebih suka bermandikan darah di Keraton. Kalau Baginda menanyai hamba yang picik, hamba tetap tak berani mengusulkan. Biarlah Mahapatih yang menemui Sora. Sehingga tangan Baginda tak perlu menjadi kotor karenanya."

Baginda tak menjawab. Tangannya bergerak, mengusir Halayudha. Yang ketika keluar dan menemui Mahapatih, mengatakan bahwa Baginda menyerahkan persoalan Senopati Sora ke tangan Mahapatih Nambi. Mahapatih-lah atasan langsung yang harus menangani.

Dua Cundhuk dari Dua Putri

UPASARA sendiri sebenarnya ingin segera meninggalkan tempat persembunyian dan melanjutkan perjalanan begitu Halayudha pergi. Akan tetapi sekali lagi, langkahnya tertahan. Karena Mpu Sora mengeluarkan dua cundhuk, dua hiasan rambut yang mengingatkan Upasara kepada putri yang pernah menghiasi mimpinya. Siapa lagi kalau bukan Gayatri atau Permaisuri Rajapatni! Hiasan cundhuk itu pernah dipakai Gayatri! Mpu Sora memandang dua cundhuk sambil menghela napas berat. Berat sekali.

"Juru Demung dan Gajah Biru, kalianlah prajuritku yang paling mengetahui isi hatiku. Majulah mendekat kemari."

Juru Demung dan Gajah Biru menunduk. Mereka tidak mendekat. Dan memang tak perlu. Karena apa yang dimaksudkan Mpu Sora bukanlah pengertian yang wadag, yang lahiriah sifatnya.

"Hari ini aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Daha lebih dahulu. Aku akan menghadap langsung ke Keraton Majapahit. Sowan untuk pasrah seluruh jiwa-ragaku. Pembuangan, hukuman mati, atau apa pun, akan lebih melegakan hatiku daripada suasana menggantung tak menentu. Kalian berdua yang paling mengetahui, bahwa bagiku pengabdian adalah nilai utama dan satu-satunya. Demung dan Gajah Biru, aku tak bisa memaksa kalian ikut ke Keraton. Aku juga tak bisa menahan kalian turut serta. Semua kuserahkan kembali kepada pilihan hati kalian. Sebab apa yang terjadi di Keraton masih tak bisa diketahui. Begitu banyak senopati yang menghendaki nyawaku yang tak berharga ini."

Juru Demung dan Gajah Biru menyembah secara bersamaan. Keduanya mengeluarkan suara bersamaan, dengan nada menggeletar.

"Senopati Sora, sesembahan hamba, tempat pertama dan terakhir hamba mengabdi. Betapa sedih hamba mendengar pertanyaan Senopati Sora, seakan menanyakan apakah hamba masih setia atau tidak."

Mpu Sora menggeleng. Menghela napas berat. "Demung dan Gajah Biru, jangan sampai kita salah paham karenanya. Sebenarnya aku lebih berharap kalian berdua tidak mengikuti ke Keraton. Karena aku ingin menitipkan barang ini kepada kalian."

Untuk beberapa jenak, suasana menjadi sunyi.

"Aku tak tahu apakah aku bisa menyampaikan titipan ini kepada yang bersangkutan atau tidak, mengingat hari esok tak bisa diperhitungkan. Demung dan Biru, prajuritku yang sejati. Dua cundhuk ini adalah titipan Permaisuri Rajapatni yang mulia. Titipan untuk disampaikan kepada seorang ksatria sejati di jagat raya ini, Upasara Wulung."

Mata Upasara bersinar. Dadanya terguncang. Hanya karena penguasaan cara mengatur napas yang sempurna, sehingga Mpu Sora tak mengetahui ada yang mencuri dengar pembicaraannya.

"Aku dan Mpu Renteng, yang telah tenang di dunia tanpa kerisauan, pernah mengawal Permaisuri Rajapatni. Barangkali karena itulah Permaisuri menaruh kepercayaan kepadaku. Menitipkan dua barang ini. Yang pertama diberikan kepadaku ketika putri pertama Permaisuri, yaitu Putri Tribhuana Tunggadewi, lahir ke dunia. Cundhuk pertama ini minta disampaikan kepada Upasara Wulung. Cundhuk kedua diberikan lagi ketika putri kedua, yaitu Putri Dyah Wijah Rajadewi, lahir. Aku sedih karena tak bisa menyampaikan titipan ini. Pada saat Permaisuri Rajapatni menitipkan cundhuk kedua, aku sudah menghaturkan bahwa yang pertama pun belum bisa disampaikan, karena tak tahu di mana adanya Upasara Wulung. Akan tetapi Permaisuri Rajapatni tersenyum dan bersabda, 'Paman Sora lebih mungkin menyampaikan daripada saya. Kalau Kakang Upasara telah meninggal, tancapkan di kuburannya. Tanpa Paman Sora katakan, sukma Kakang Upasara sudah tahu bahwa cundhuk ini dariku.' Betapa ringan tugas ini. Betapa berat melaksanakan. Demung dan Biru, itu sebabnya aku menginginkan kalian menyimpan dengan baik-baik kedua barang berharga ini. Kalau aku tak bisa melaksanakan tugas Permaisuri Rajapatni, kalian berdua yang berkewajiban menyampaikan. Aku tidak meminta kalian berdua merawat anak-istriku. Aku tak meminta kalian berdua merawat pusara atau menjaga abu mayatku. Aku minta kalian melaksanakan tugas ini, karena ini sesuatu yang berarti bagi Permaisuri Rajapatni, dan tugas yang diberikan adalah kepercayaan."

Upasara berusaha menenteramkan dirinya. Guncangan dalam dadanya makin riuh berdebur. Tak bisa dihindari lagi, munculnya bayangan seorang putri yang mampu mengguncangkan dunianya. Mampu menjungkirbalikkan perasaan-perasaan paling dalam. Pengalaman yang tak akan terlupakan. Itu adalah saat pertama Upasara tertarik kepada wanita.

Kebetulan wanita itu adalah Gayatri, putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang menjadi penunjuk perjalanan ketika Upasara ingin menyusup ke Keraton Daha. Jadilah perjalanan yang menumbuhkan daya asmara paling hebat melanda Upasara. Puncak dari daya asmara yang membahana itu adalah ketika justru Gayatri yang mengatakan bersedia bersanding dengan Upasara selamanya.

Dalam pertempuran mati-hidup, Upasara berusaha membebaskan Gayatri yang ditawan. Ia bahkan mengukir kidung asmara di dinding Keraton yang terjal. Akan tetapi, perjalanan daya asmara kandas. Karena Gayatri dan Raden Sanggrama Wijaya, dalam perhitungan ramalan para pendeta, adalah pasangan Dewi Uma dengan Dewa Syiwa. Yang di kelak kemudian hari akan menurunkan raja yang paling besar dari semua raja yang pernah memerintah. Saat itulah Upasara mengundurkan diri.

Bahkan ketika semua pengikut Sanggrama Wijaya memperoleh pangkat dan derajat yang tinggi, Upasara menolak. Bahkan jabatan sebagai mahapatih pun ditolaknya. Baik secara langsung atau tidak, penolakan ini ditafsirkan sebagai pertanda kekecewaan yang tak bisa ditawar. Bahkan Baginda juga mengetahui hal ini. Karena dengan terbuka Baginda mengatakan: Hadiah apa pun bisa diminta Upasara, kecuali Putri Gayatri, karena ia sudah ditakdirkan bersanding dengan Baginda...

BAGIAN 19CERSIL LAINNYABAGIAN 21

Senopati Pamungkas Bagian 20

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 20

Upasara mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa inilah akhir pengembaraannya. Batinnya telah berkelana begitu jauh, melewati puncak-puncak yang menegangkan, pertarungan mati-hidup. Inilah muara. Inilah rumah. Upasara mulai dalam kehidupan yang biasa, menemani Pak Toikromo. Menengok tegalan, melihat tanaman singkong, pepaya, mencari kayu bakar. Mencari air dari sungai untuk menyirami tanamannya. Memberi makan ayam-ayam. Tiba-tiba semua menjadi bermakna bagi Upasara. Jauh lebih berharga dari berbagai pengalaman hidupnya selama ini. Baik semasa di Keraton, ataupun pengembaraan sampai ke Perguruan Awan. Cara hidup yang sesungguhnya, kata Upasara dalam hati.

Di Perguruan Awan, ia bisa menikmati matahari terbit dan tenggelam. Akan tetapi itu dari sudut pandang yang berbeda dari sekarang ini. Betapa sesungguhnya perjalanan hidupnya selama ini kosong! Kelelahan malam membawa tidurnya pulas.

Embun dan sinar pagi membangunkan, membuatnya bergegas mencari air ke sungai, melihat tanaman di tegalan, mencari kayu bakar kembali, dan merebus ubi. Pergi ke kandang ayam sambil menghitung telur.

"Bapak ini sengaja memelihara ayam, karena percaya suatu hari kamu akan datang kemari, Nak Upa."

"Barangkali doa Bapak yang menuntun langkah saya."

"Juga tebat di dekat sungai. Di sana ada ikan yang sudah gemuk-gemuk. Bapakmu ini yang memelihara. Kalau mencari ikan di sungai, bapakmu ini akan menyimpan di tebat itu. Bisa untuk makan Nak Upa nanti. Ada saatnya banjir selalu datang, dan tebat itu tergenang. Ikan-ikan kembali ke sungai. Tebat itu kosong. Tapi bapakmu ini akan mencarinya lagi di saat air sungai surut. Beberapa ikan yang dulu, yang sekarang bertambah gemuk, masih bisa bapakmu kenali dengan baik. Meskipun pandangan mata mulai lamur, tapi bapakmu ini masih mengenali, Nak Upa. Akhirnya kamu datang juga, Nak Upa. Dewa yang Mahaagung sungguh murah dan maha welas asih. Baginda Raja sungguh melindungi doa penyembahnya. Kamu datang, Nak Upa."

Upasara makin tenteram, makin kerasan, makin bahagia. Serasa menemukan apa yang selama ini dicarinya. Rasa bersyukur yang dimiliki Pak Toikromo. Mengumpulkan ikan dari sungai yang setiap banjir lepas kembali. Rasa syukur kepada Dewa, dan juga kepada Raja, seolah kemuliaan dan kebajikan Rajalah yang membuat Upasara datang padanya.

Betapa remuk hati Upasara ketika suatu siang sepulang dari sungai, Upasara mengetahui rumah yang dihuni Pak Toikromo sudah rata dengan tanah! Pedati yang telah rongsokan itu pun dihancurkan. Hanya tinggal bulu ayam bertebaran.

Duka Pun Tak Tersisa

SESAAT Upasara seakan tanpa sukma. Pandangan bengong tak percaya. Dadanya seolah disodok dengan tonjokan yang membuat seluruh perasaannya tumpul seketika. Mimpi yang buruk pun tak terbayangkan seperti ini kejadiannya. Baru dalam napas berikutnya, Upasara sadar bahwa sesuatu yang mengerikan baru saja terjadi.

Sesaat berikutnya Upasara masih menduga bahwa ini semua ulah Nyai Demang untuk memancingnya. Seperti dulu juga. Akan tetapi kemudian sadar bahwa dugaannya adalah dosa yang sempurna. Sejahat apa pun, tak nanti Nyai Demang tega menghancurkan rumah Pak Toikromo rata dengan tanah. Tak nanti bakal memorakporandakan kandang ayam! Harapan Upasara hanyalah bahwa kejadian itu untuk mengagetkan jiwanya, akan tetapi bukan keselamatan Pak Toikromo. Nyatanya itu harapan yang sia-sia belaka.

Setelah pandangan Upasara bisa melihat lebih jelas, matanya menemukan tubuh yang sangat dihormati rebah di bawah roda yang hancur. Tangannya masih menggenggam erat bulu-bulu ayam, yang agaknya berusaha dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Bagian leher dan dada teriris dengan bekas luka yang dalam dan lebar. Tiga atau empat tulang iga tersayat putus.

Iblis laknat mana yang begitu kejam? Apa kesalahan Pak Toikromo sehingga harus dihancurkan secara begitu mengenaskan? Ini peristiwa macam apa lagi yang harus dihadapi?

Upasara jongkok. Memangku kepala Pak Toikromo seperti dulu memangku kepala Ngabehi Pandu. Dengan perasaan pilu yang pekat. Air matanya bahkan tak bisa menetes lagi. Tangannya yang gemetar dan dadanya bergerak-gerak terseret oleh getar emosi yang tak bisa dikuasai.

Ngabehi Pandu, guru dan yang dianggap pengganti ayahnya, gugur dalam pertarungan yang jujur. Pertarungan para ksatria. Sedangkan Pak Toikromo, meninggal karena perlakuan semena-mena. Kematian karena kekalahan dalam pertarungan yang tak seimbang! Kematian karena perbedaan kekuatan. Jelas lawan menggunakan senjata yang berat dan mempunyai kemampuan ilmu silat. Sedangkan Pak Toikromo hanyalah penduduk biasa. Upasara mengutuki dirinya!

Jarak antara rumah dan sungai tak begitu jauh. Ia datang dan pergi ke tegalan untuk mengairi. Tapi toh tetap tak bisa mendengar sesuatu yang mencurigakan. Sedikit pun tidak. Padahal robohnya rumah tua, hancurnya gerobak, serta jeritan terakhir Pak Toikromo pastilah cukup jelas terdengar. Dirinya patut dikutuk! Dirinya adalah manusia cacat! Tak bisa mendengar apa-apa lagi. Bahkan juga tak mendengar jeritan kematian ayah yang begitu dihormati.

Tiga hari tiga malam Upasara menunggui di pinggir makam Pak Toikromo. Tiga hari tiga malam Upasara mencoba merenungkan semua kejadian yang menghancurkan pribadinya. Sejumlah pertanyaan tak terjawab. Apa sebenarnya kesalahan Pak Toikromo? Apa sebabnya sampai dibunuh dengan begitu mengenaskan? Kalau karena perampokan, kenapa begitu keji? Kalau bukan perampokan, apakah kematian Pak Toikromo karena dirinya?

Upasara makin merasa sesak dadanya. Tumpat padat berdesakan berbagai macam perasaan. Apakah ia mendiamkan saja peristiwa ini? Ataukah membalas dendam? Kepada siapa? Apakah ia mampu? Betapa sengsaranya menjadi rakyat jelata. Di tangan perampok atau jago silat, ia hanyalah alat permainan belaka. Tanpa bisa membela diri sedikit pun.

Duka pun tak tersisa ketika Upasara terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu, setelah berdoa untuk terakhir kalinya. Di sekelilingnya tak ada tempat untuk bertanya. Kalaupun ada rumah-rumah lain, letaknya sangat jauh. Akan tetapi Upasara mencoba mendapatkan berita yang bisa dijadikan titik pangkal membalas dendam atau menyelesaikan perkara.

Sebab ini berbeda dari pertarungan para jago silat, berbeda dari ketika secara sengaja ia melepaskan tenaga dalamnya. Ini adalah kesewenang-wenangan yang tak bisa dimaafkan. Upasara tak akan mati tenteram sebelum mengetahui kejadian yang sebenarnya. Betapa kecewanya ia ketika mengetahui bahwa rumah terdekat pun mengalami hal yang sama. Rata dengan tanah, tak ada lagi yang ditemui selain mayat suami-istri dengan anak kecil, dengan bekas luka yang sama. Dan pada dua rumah berikutnya, kejadiannya persis sama.

Dengan penuh hormat, Upasara menguburkan semua jenazah yang ditemui. Walau kini tenaga dalamnya tak ada lagi, Upasara masih bisa mengetahui bahwa si pembunuh pastilah orang yang mempunyai tenaga dalam cukup kuat, dan mampu mengangkat senjata berat. Semua korban terkena satu kali sabetan!

Walau Pak Toikromo dan korban lain bukan jago silat, akan tetapi bukan tak mungkin mengadakan perlawanan seadanya. Akan tetapi dari bukti-bukti yang dilihatnya, perlawanan itu tak terlihat sedikit pun. Atau sebelum ada perlawanan mereka telah menjadi korban Pembunuh Bergolok Berat!

Dalam kobaran nafsu membalas dendam, Upasara mulai menyadari kembali kemampuannya untuk berlatih pernapasan. Dengan kemampuan yang tersisa, Upasara berusaha mengalirkan udara lewat hidung dalam satu tarikan kuat, menyalurkan udara ke atas ubun-ubun, ke bawah lewat tulang belakang, dan dikumpulkan sekuat mungkin dalam perut. Untuk diempaskan lewat lubang-lubang kulit tangannya yang mengentak ke depan.

Dengan cara seperti ini Upasara mulai berlatih dari awal lagi. Akan tetapi, setiap kali mencoba memusatkan pikiran, yang muncul dalam bayangannya adalah wajah Pak Toikromo. Yang begitu bersahaja. Yang memandang tanpa dendam, tanpa curiga. Yang pasrah tanpa perlawanan. Atau kadang berganti dengan wajah seorang lelaki yang berjanggut lebat, membawa golok, matanya merah dan siap membabat kepala Upasara. Atau tulang iga Upasara. Sehingga pemusatan pikiran Upasara menjadi buyar. Makin dipaksa, makin kacau.

Hingga napasnya menjadi tersengal-sengal, terbatuk-batuk, dan dadanya terasa sakit sekali. Akan tetapi Upasara tak mau menyerah. Semakin sakit, semakin dipaksanya. Semakin tersengal, semakin bengal ia mengulang kembali. Sampai peningnya sempurna, dan Upasara seperti terseret dalam lamunan tak menentu. Dan baru terbangun sendiri dengan pikiran dan raga yang letih.

Upasara memaksa terus. Baginya hanya ada satu cara. Mengembalikan tenaga dalam sebisanya dan membuat terang siapa Pembunuh Bergolok Berat atau dirinya menjadi korban karenanya. Jalan kedua ini dianggap lebih baik daripada jalan pertama! Mati pun tak percuma, karena sudah berusaha! Maka Upasara kembali berlatih.

"Betul-betul edan. Kalau tempayan sedang penuh air, bagaimana mungkin akan bisa mengisinya?"

Walau kini Upasara bagai orang cacat dan sedang linglung, akan tetapi jalan pikirannya masih bisa bekerja dengan baik. Apalagi yang berkaitan dengan dasar-dasar ilmu kanuragan. Bukan sesuatu hal yang luar biasa mengingat sepanjang hidupnya selalu bergumul dengan hal itu. Kalimat yang didengarnya adalah bagian dari dasar-dasar ilmu silat. Bagian dari cara mengosongkan pikiran kalau mau mempelajari ilmu silat.

Kalau tempayan penuh berisi air, tak ada gunanya menambah air ke dalamnya. Hanya akan tumpah belaka. Kalau tempayan itu perumpamaan tubuh Upasara, saat ini sedang penuh dendam dan panas oleh secepatnya mengembalikan tenaga dalam. Jadi tak ada gunanya kalau mencoba mempelajari pernapasan.

"Kalau cara seperti itu mau dipamerkan, aku sudah tahu sebelum kamu mengenal dunia."

Jawaban Upasara membuat tawa bergelak. Yang tertawa adalah seorang lelaki yang wajahnya tertutup caping. Hanya tangannya yang memegang tongkat, yang biasanya digunakan untuk menggiring itik, bergerak-gerak.

"Itu yang namanya edan. Sudah tahu tempayan penuh masih nekat dijejali air. Anak muda, siapa namamu dan apa maumu dengan berlatih cara pernapasan yang sudah tak diajarkan karena sudah kuno itu?"

Upasara mendongak. Ganti tertawa. "Orang tua, siapa namamu dan apa maumu sok pamer ilmu pernapasan, yang tak bisa dibedakan mana yang kuno dan mana yang baru? Selama masih mengisap udara dan mengatur tenaga di dalam tubuh, apakah itu bisa disebut kuno atau baru?"

"Edan, kamu tahu tentang cara-cara melatih pernapasan. Tapi tenagamu kalah kuat dibandingkan seekor itik."

"Seekor bebek bisa menggerakkan ekornya untuk mencari tenaga. Seekor kumbang bisa menggerakkan sayapnya untuk terbang. Itulah tenaga utama. Akan tetapi seribu ekor itik, seribu ekor kumbang, akan bergerak dengan cara yang sama sejak diciptakan pertama kali. Tak nanti seekor itik atau bebek bisa menarik seekor kuda."

Caping lelaki itu bergerak, berputar di kepalanya. Menimbulkan kesiuran angin tajam.

"Kerahkan tenaga memutar ke kanan."

Bik Suka Bintulu

CAPING yang tadinya berputar ke arah kiri serta-merta berubah ke arah kanan, sesuai permintaan Upasara. Hanya saja karena gerakannya mendadak, caping itu jadi terangkat ke atas. Namun Upasara tak bisa melihat dengan jelas, karena geseran angin dari tutup kepala itu membuat matanya pedih.

"Itu namanya tenaga separuh yang kamu gunakan," kata Upasara gagah. "Tempayan yang berisi air separuh, bisa digerakkan lebih mudah."

"Edan. Anak kemarin sore malah mengajari seorang bik suka."

Upasara membuka bajunya. "Aku tak tahu kalau Paman seorang bik suka. Maaf, terimalah pemberian milikku seadanya."

Upasara mengerti bahwa yang dihadapi adalah seorang bik suka, atau wiku, atau biksu, atau pendeta yang meminta-minta. Maka sebagai tanda penghormatan, Upasara memberikan bajunya, karena tak mempunyai sesuatu yang bisa diberikan.

Bik Suka sekali lagi memutar capingnya, dan baju Upasara tersangkut. Akan tetapi dengan sekali putaran, baju itu kembali menutupi wajah Upasara. Walau telah berusaha menangkis, akan tetapi tenaga dan kecepatan Bik Suka mengatasinya. Sehingga tubuh Upasara bergoyang.

"Apakah Paman Bik Suka Bintulu?"

"Aneh. Kamu ini aneh dan edan. Bagaimana mungkin pengetahuanmu begitu hebat, akan tetapi kemampuanmu begitu hina?"

Bik Suka Bintulu, atau Biksu Bintulu adalah istilah untuk menyebut seorang pendeta dari kelompok yang suka menyebut dirinya Bintulu. Istilah ini sebenarnya mempunyai arti poleng atau kotak-kotak seperti papan permainan catur berwarna biru dan putih. Kelompok ini memang sebagai pendeta, akan tetapi menolak pemberian. Tentu saja Upasara mengetahui, karena selama dalam Ksatria Pingitan, boleh dikatakan segala pengetahuan dan adat diajarkan.

"Maafkan saya, Paman Bintulu."

"Kamu sudah menghinaku sebagai peminta-minta, bagaimana mungkin aku memaafkan begitu saja? Kalau setiap kesalahan bisa diakhiri dengan maaf, untuk apa ada pembunuhan dan kebajikan?"

Upasara berdiri gagah. "Kalau memang ingin pamer kegagahan, untuk apa bicara soal maaf segala macam? Paman Bintulu, saya, Wulung, meminta maaf. Tetapi tidak berarti meminta ampunan soal pembalasan penghinaan."

"Anak ayam seperti kamu berani mengaku elang?"

Upasara menjadi gondok. Nama Upasara Wulung adalah namanya yang sebenarnya. Yang berarti Banteng Hitam. Wulung berarti hitam kebiru-biruan. Tapi wulung juga bisa berarti elang. Arti terakhir ini yang tertangkap oleh Bintulu.

"Sekali pengemis tetap pengemis. Mana ada di jagat ini pengemis memberikan sesuatu, walau hanya maaf? Edan!"

"Mana ada seorang mengaku wiku selalu mengeluarkan kata-kata kotor?"

"Edan. Eh, Wulung, siapa dirimu sebenarnya?"

"Saya adalah lelaki yang ingin membalas dendam kematian orangtua saya yang dibunuh secara kejam."

"Majulah. Akulah yang membunuh penduduk desa ini."

Tanpa pikir panjang, Upasara menggertak maju. Kedua tangannya terentang. Kedua kakinya membuka kuda-kuda. Akan tetapi Bintulu hanya menudingkan tongkat penggiring bebek. Ini saja sudah membuat Upasara menjadi ngilu. Kakinya yang terangkat seperti kaku. Tak bisa digerakkan. Karena nekat maju, tubuh Upasara jatuh ke tanah.

"Aku bilang maju, bukan tiduran!"

"Kalau menyalurkan tenaga lewat tongkat, masih harus mengerahkan tenaga di pusar, kenapa berlagak?"

"Dari mana kamu tahu, Wulung?"

"Karena dada Paman Bintulu digerakkan lebih dulu. Tenaga yang disalurkan ke tongkat akan menjadi lebih cepat jika disalurkan dari telunjuk. Tongkat itu bagian dari telunjuk, yang tidak ditentukan keuntungannya dari panjangnya."

Kaki Bintulu mengentak tanah. Hebat tenaganya. Getarannya membuat Upasara bangkit kembali, seolah dilontarkan tenaga tak terlihat.

"Nah, ini baru namanya tenaga kaki yang sesungguhnya. Padahal kalau jari dilatih, kekuatannya tidak kalah dari telunjuk. Tetapi dasar pendeta gunung, lebih bisa menggerakkan kaki daripada tangan."

Apa yang dikatakan Upasara membuat Bintulu mendehem kecil. Apa yang dikatakan Upasara memang benar. Tenaga kaki lebih bisa digerakkan dari tenaga jari. Kekuatan memainkan kaki memang menjadi ciri utama para pendekar dari daerah pegunungan. Karena keadaan medan yang tidak rata, dengan sendirinya latihan gerakan kaki menjadi lebih terlatih. Dengan salah satu cirinya, tubuh bisa bergerak lebih enteng dan permainan kuda-kuda juga kokoh.

"Setan mana yang mengajarimu, Wulung?"

"Apakah Paman Bintulu hanya bisa menyebut setan dan edan saja?"

"Sudahlah, jangan banyak ngomong. Kalau mau menuntut balas, cepatlah."

"Paman Bintulu, kenapa Paman membunuh Pak Toikromo?"

"Sudah menjadi adat dunia. Yang kuat membunuh yang lemah. Untuk apa menanyakan alasan?"

"Bapakku tak bersalah."

"Memang tidak. Aku hanya ingin membunuh saja. Sekali sabet, selesailah sudah. Kalau kamu ingin menyusul, majulah. Aku tak akan membedakan cara membunuh."

"Coba saja. Apakah Paman Bintulu bisa merontokkan tulang iga dengan meninggalkan luka menganga."

Upasara menerjang. Dengan jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka. Kedua tangannya terkepal dan menyeruduk maju. Tanpa menggerakkan tubuh, Bintulu menggerakkan capingnya. Angin berputar yang muncul melibat tubuh Upasara dan membantingnya ke tanah dengan putaran. Pandangan mata Upasara berkunang-kunang. Tapi segera berdiri.

"Saya ingin dada saya dibelah, bukan dibanting dengan ilmu gasing anak-anak seperti ini."

Gertakan Upasara hanya untuk meyakinkan bahwa Bintulu pembunuh Pak Toikromo atau bukan. Melihat bahwa Bintulu tetap termangu, Upasara jadi kurang yakin.

"Kenapa Paman mengaku sebagai pembunuh?"

"Apa bedanya aku yang membunuh orangtuamu atau bukan? Aku sudah banyak membunuh orang tanpa mengetahui nama dan anak-anaknya. Kenapa itu kau risaukan benar? Majulah lagi, kalau ingin kubelah dadamu."

Upasara berputar. Tubuhnya berbalik menjauh. Tiga langkah kakinya menjadi berat, dan tubuhnya terseret. Kembali terbanting.

"Wulung, jawab yang benar. Siapa nama gurumu?"

"Baik, Paman dengar baik-baik." Upasara berdiri dengan gagah. Walau seluruh tubuhnya ngilu-ngilu tapi digigitnya bibirnya untuk menahan rasa sakit.

"Guruku adalah Ngabehi Pandu."

"Siapa itu?"

Upasara mengentakkan kaki ke tanah. "Bagaimana mungkin Bintulu yang berilmu tinggi ini tak mengenal Ngabehi Pandu? Kalau tak kenal nama besar guruku, buat apa bertanya?"

"Segala macam Ngabehi saja diunggulkan. Tapi... edan... memang sebenarnya Ngabehi Pandu membekalimu dengan ilmu yang benar, akan tetapi ternyata kamu anak ayam yang kerdil."

"Seorang senopati agung dari Keraton Singasari lebih pantas dikagumi."

"O, Ngabehi-mu itu wong Keraton? Siapa lagi yang jadi wong Keraton yang bisa main silat?"

"Mpu Raganata."

Upasara mulai bisa menebak-nebak bahwa tokoh yang dihadapi ini adalah seorang tokoh yang belum begitu lama muncul dari pengasingan yang cukup lama. Maka ia menyebutkan nama Mpu Raganata.

"Apakah ia prajurit baru?"

"Paman Bintulu, Paman sangat keterlaluan!"

Upasara bergerak kembali, akan tetapi sekali ini terasa udara panas membeset tubuhnya! Dan darah mengucur dari dadanya. Luka melintang! Seperti yang dialami Pak Toikromo dan beberapa korban yang lain. Dengan geram Upasara berdiri kembali. Akan tetapi kakinya makin sempoyongan.

"Ayo majulah. Akan kususul bapakku. Akan kutemani di alam sana."

"Edan!" Sekali ini tongkat kecil penggiring bebek bergerak cepat.

Bejujag, Tokoh Paling Kurang Ajar

UPASARA berkeringat dingin. Dalam detik-detik terakhir, tubuhnya meringkuk dengan kedua tangan berusaha melindungi. Kesiuran angin sangat tajam merobek. Gerakan Upasara adalah gerakan seadanya, sebisanya seperti perlindungan diri terakhir. Bahkan kedua matanya tertutup. Terdengar suara keras, dan pohon mangga di sebelahnya roboh, terpotong melintang dari satu sisi kanan ke kiri bawah! Pohon mangga saja terbelah terkena kesiuran angin tongkat penggiring bebek Bintulu!

"Ilmu iblis apa yang kamu mainkan, Wulung?" Dalam nada geram, terdengar juga kesan kagum.

Upasara sendiri tak bisa menjawab segera. Tak bisa menerangkan dengan jelas. Bahwa dari tubuhnya masih bisa keluar tenaga murni Bantala Parwa. Tenaga dalam yang sudah dimusnahkan itu ternyata masih tersimpan, dan secara tiba-tiba muncrat keluar, berhasil menangkis kesiuran angin maut Bintulu. Bahwa inti tenaga murni Penolak Bumi adalah bersifat tenaga tumbal, tenaga yang muncul untuk mementahkan dan mengenyahkan serangan yang mengancam, Upasara sadar. Akan tetapi ternyata tenaga itu sekarang ini tak sepenuhnya bisa dikuasai. Tenaga murni itu mengalir dengan sendirinya!

Karena sebelum keluar, Upasara telah sungsang-sumbel dan hampir saja binasa. Toh tak bisa keluar. Upasara bercekat. Tubuhnya basah oleh keringat. Sesaat tadi, ia merasa kematian telah datang menjemput secara paksa. Untuk pertama kalinya, Upasara merasa enggan menerima kematian. Saat ini berbeda dari saat ia membuang tenaga dalamnya, berbeda dari ketika Nyai Demang mengamuk. Upasara merasa masih ada ganjalan untuk meninggal.

Masih ingin membalas dendam kematian Pak Toikromo! Ataukah perasaan ini yang membuat tenaga murni muncul tak terduga? Rasanya tak mungkin juga. Karena kini, ketika Upasara mencoba mengerahkan kembali, malah dadanya yang terasa sakit. Kalau tenaga murni macet, kematiannya hanyalah soal waktu. Maka Upasara menjadi bercekat, tubuhnya berkeringat, seolah sedang menghadapi malaikat maut.

"Ilmu bisa menjadi iblis bisa menjadi dewa, tak perlu ditanyakan."

"Siapa gurumu?"

"Sudah saya katakan, saya adalah murid Ngabehi Pandu yang terhormat, senopati Keraton Singasari. Teman baik yang terhormat Mpu Raganata, sahabat erat Eyang Sepuh."

Upasara sengaja menyebut nama tokoh-tokoh besar, agar Bintulu tak menjadi ganas karenanya. Karena dengan mendengar nama-nama besar itu, bisa mengingatkan akan sesuatu. Perhitungan Upasara, sekali lagi, berdasarkan dugaan bahwa Bintulu adalah tokoh sakti angkatan tua yang kembali. Dugaan itu benar, akan tetapi Bintulu tetap menggelengkan kepala.

"Mana aku kenal nama cecunguk-cecunguk itu? Tapi aku bisa memaksamu mengatakan siapa sebenarnya." Bintulu menggenggam tongkat kurusnya.

"Begitu sombong Paman Bintulu menyebut dengan kata kotor pada pendiri Nirada Manggala!"

Kali ini upaya Upasara menemukan hasilnya. Kalau nama Eyang Sepuh, Mpu Raganata maupun Ngabehi Pandu tak dikenali, nama Perguruan Awan ternyata membuat Bintulu menahan napas sejenak.

"Apa hubunganmu dengan si Bejujag itu?"

Upasara tak tahu siapa yang dimaksudkan dengan si Bejujag, yang bisa diartikan sebagai seorang yang kurang ajar. Jangan-jangan salah satu nama yang bisa dihubungkan dengan pendiri Perguruan Awan. Dan itu bisa berarti...

"Kalau memang kamu murid si Bejujag dan sengaja mau mengintip ilmu Tongkat Penggiring Bebek, inilah kesempatan terbaik. Aku akan membunuhmu dalam satu gerakan." Ternyata tetap saja niat Bintulu untuk membunuh!

"Tak perlu main sembunyi."

Belum Upasara mengerti sepenuhnya, sesosok bayangan telah muncul sambil mengertakkan gigi dan mengayunkan tongkatnya secara keras.

"Kakang Galih!"

Teriakan Upasara lebih mencerminkan nada kuatir dibandingkan kegembiraan. Karena Upasara menyadari bahwa Galih Kaliki yang suka menyerang secara sembrono bisa menghadapi bahaya melawan Bintulu yang mampu memainkan tongkat kurusnya. Gebukan tongkat galih asam ke arah caping Bintulu tak dihiraukan. Hanya tongkat penggiring bebek disebatkan untuk menangkis. Tongkat kurus bagai bambu yang sedang tumbuh menghadapi tongkat perkasa dari hati pohon asam. Luar biasa!

Upasara seakan tak percaya pada matanya. Bahkan Galih Kaliki melongo. Tongkat galih asam terpotong di bagian ujungnya. Terpotong dengan goresan miring! Inilah yang tak dinyana tak disangka. Tongkat galih asam sudah lama malang melintang di dunia persilatan. Puluhan atau ratusan kali diadu dengan segala senjata tajam pilihan. Akan tetapi selama ini tak pernah mengalami lecet sekali pun. Maka sungguh tak terbayangkan, hanya dengan sekali sabetan, tongkat perkasa itu somplak! Tenaga ajaib macam apa yang dimiliki dalam diri Bintulu dengan tongkat penggiring bebek, yang kelihatannya terayun-ayun terguncang angin?

"Kakang Galih... tahan..."

Jeritan Upasara terlambat. Galih Kaliki telah mengeprukkan tongkat ke arah caping Bintulu untuk kedua kalinya. Kali ini dengan tenaga penuh. Bintulu menggenggam tongkat penggiring bebek dengan dua tangan dan tubuhnya berputar keras. Cepat sekali. Upasara sampai mundur terdesak oleh angin. Tongkat galih asam membentur tongkat penggiring bebek untuk kedua kalinya. Upasara menahan getaran dalam tubuhnya.

Tongkat galih asam somplak, terlempar ke udara dan jatuh di dekat tubuh Galih Kaliki yang juga ambruk. Pada sebelah kanan dadanya terlihat goresan yang dalam hingga ke pangkal paha sebelah kiri. Luka menganga dan seakan terlihat tulang-tulang tubuh Galih Kaliki yang dilewati sabetan tongkat kurus itu terputus. Ajal Galih Kaliki telah sampai sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Sebelum sempat bertegur sapa dengan Upasara!

Alis mata Upasara bersatu. Seluruh darahnya seakan mengalir ke wajah. Darah dendam kesumat membahana. Tangannya gemetar meraih tongkat galih asam yang telah somplak.

"Hmmm, jadi si Bejujag itu menyembunyikan kangkam dalam galih?"

Baru sekarang Upasara sadar bahwa tongkat yang selama ini dipergunakan oleh Galih Kaliki adalah sarung pedang! Pedang hitam yang tipis. Kangkam Galih yang agaknya dikenali oleh Bintulu! Seumur hidupnya Galih Kaliki tak pernah mengetahui hal ini. Bahkan tak akan percaya andai diberitahu bahwa tongkat andalannya ini sebenarnya hanyalah sarung pedang! Warangka. Upasara tak banyak berpikir. Kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih dengan pandangan bulat.

"Apa pun yang kamu katakan, aku siap menuntut balas kematian orangtua dan kakangku."

"Edan. Hari ini aku membunuh dengan perasaan senang."

Bintulu bergerak. Upasara tak melihat gerakan, hanya merasakan angin tajam menerjang keras ke arahnya. Dengan sepenuh tenaga, Upasara mengangkat tongkat Kangkam Galih, pedang yang tersimpan dalam galih untuk menangkis dan menerjang. Akan tetapi karena tenaganya kurang tersalur sempurna, di samping pedang tipis hitam itu sangat berat, Upasara menjadi sempoyongan. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya justru terbanting sebelum langkah ketiga!

Bintulu mengeluarkan teriakan dingin sambil meloncat tinggi! Agaknya tak menduga bahwa Upasara melakukan gerakan yang tak sepenuhnya dikuasai dan disadarinya. Nyatanya memang begitu. Sewaktu menangkis tadi, Upasara menggerakkan pedang dengan serangan yang masih bisa dihafal dan diketahui. Hanya karena tenaga dalamnya tak terkuasai, tenaga membawa pedang hitam itu membuatnya terhuyung jatuh. Akan tetapi di luar dugaannya, justru sewaktu tubuhnya akan menyentuh tanah ada tenaga menolak yang membuat Upasara tegak.

Begitu tegak, Upasara berniat menyerang kembali. Akan tetapi kejadian berulang. Tubuhnya terseret oleh tenaga Kangkam Galih. Sehingga makin limbung. Agaknya justru ini yang membuat Bintulu kaget dan meloncat tinggi. Kalau tadi bisa membunuh Galih Kaliki tanpa mengubah posisi kaki dari tempatnya berdiri, sekarang perlu menghindar!

7
Dodot, Kain Panjang untuk Hamba Sahaya

MENGETAHUI ada tenaga yang memberontak dari tubuhnya, Upasara tak mau menahannya. Ia memusatkan pikirannya, dan membiarkan tenaganya tersalur ke arah Kangkam Galih. Dalam sekejap, Upasara telah memainkan jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika secara lengkap dan sempurna. Angin berkesiuran memancar dari tubuhnya, mengepung Bintulu yang berloncatan. Karena agaknya Bintulu tak ingin tongkat penggiring bebek bersentuhan dengan Kangkam Galih. Ini yang membuat dalam sekejap Upasara bisa mendesak mundur.

Bintulu meloncat mundur sekali lagi, akan tetapi kali ini Upasara menyabet dengan ganas. Caping Bintulu terayun ke atas! Barulah Upasara bisa melihat Bintulu. Dan cemas dengan sendirinya. Yang berada di depannya ternyata lelaki yang sudah tua, dengan rambut putih beberapa helai. Selebihnya adalah wajah yang tanpa bentuk sama sekali! Hanya ada semacam lubang untuk hidung ataukah mulut? Selebihnya gumpalan daging. Bahkan Upasara tak bisa menemukan mana bagian matanya.

Begitu banyak peristiwa ditemui Upasara, akan tetapi sekali ini tak terjangkau oleh akal sehatnya. Bintulu, jelas tokoh sakti mandraguna dari suatu masa yang telah lewat. Dilihat dari usianya, bukan tidak mungkin lebih tua dari Mpu Raganata. Kemampuan dan ilmu silatnya sungguh tiada tara. Galih Kaliki saja bisa disabet dalam dua gerakan!

Hati kecil Upasara terusik rasa iba. Bintulu pastilah mengalami sesuatu yang sangat kejam di masa lalu. Sehingga wajahnya hancur lumat. Tak tersisa mata atau mulut! Neraka iblis macam apa yang telah terjadi? Kalau dilihat dari sisi ini, Bintulu perlu dikasihani. Akan tetapi Bintulu pula yang telah menewaskan orangtuanya, Pak Toikromo! Dan juga Galih Kaliki! Dan Upasara telah bersumpah untuk membalas dendam.

"Edan! Sungguh edan. Apakah si Bejujag itu mampu menyimpan dan mengembalikan nyawa manusia? Apakah ia telah menjadi Maha wiku seperti yang diinginkan? Edan. Wulung, apakah yang kamu mainkan barusan ilmu Menyimpan Nyawa si Bejujag?"

Biar bagaimanapun, Upasara masih mempunyai jiwa ksatria. Hatinya tergetar melihat penderitaan Bintulu. Maka dengan hormat, Upasara melakukan sembah. Setelah mengembalikan caping untuk menutupi wajah Bintulu, barulah Upasara mundur dan menjawab.

"Paman Sepuh Bintulu, yang baru saja saya mainkan adalah jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika, atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Yang kalau diteruskan dengan Delapan Jurus Penolak Bumi, dikenal sebagai ajaran Kitab Bumi. Apakah Paman Sepuh mengenali?"

"Edan. Bagaimana mungkin kamu tanyakan aku mengenali atau tidak, kalau aku yang menciptakan?"

Ganti Upasara yang menjublak. Berbagai perasaan datang-pergi silih berganti.

"Aku tidak tanya nama jurus mainan anak-anak. Yang kutanyakan apakah si Bejujag itu telah mampu melatih tenaga dalam Menyimpan Nyawa!"

"Maaf, Paman Sepuh, yang saya latih adalah pernapasan seperti yang diajarkan dalam Bantala Parwa."

"Ngawur! Aku tidak menciptakan cara berlatih napas semacam itu. Itu pasti akal-akalan si Bejujag yang suka main gila. Wulung, kamu ini manusia macam apa sehingga begitu beruntung dalam hidupmu?"

Kembali Upasara terguncang. Apa maksud omongan Bintulu yang seperti berusaha menjelaskan sesuatu ini?

"Kamu beruntung mempelajari cara pernapasan Menyimpan Nyawa. Itulah latihan pernapasan yang dikembangkan oleh si Bejujag, padahal ilmu yang murni, akulah yang menemukan. Akulah yang menciptakan apa yang kamu sebut sebagai Bantala Parwa atau Kitab Bumi. Tapi Bejujag itu memang nasibnya selalu lebih baik. Kami bertiga sama-sama manusia berkain dodot, kain panjang dan lebar, sebagai tanda hamba sahaya. Tanda pengenal kaum paminggir, kaum yang tak diperhitungkan secara resmi. Kaum pinggiran, kaum dodot. Edan... Bejujag percaya bahwa cara berlatih napas Menyimpan Nyawa adalah cara berlatih yang sempurna. Karena tenaga murni latihan ini adalah tenaga yang tak akan pernah bisa hilang. Tenaga yang kekal abadi. Aku tak percaya di jagat raya ini ada cara berlatih pernapasan seperti itu. Tapi baru saja kurasakan bahwa Bejujag kampungan itu berhasil."

Terdengar helaan napas berat. Upasara seperti tersadar. Bahwa Paman Sepuh Bintulu mengatakan apa adanya tentang cara pernapasan yang disebut Menyimpan Nyawa. Semacam latihan pernapasan, di mana setiap kali dilakukan dua kali dari biasanya. Dalam Bantala Parwa yang dipelajari, hal inilah justru yang membuatnya bingung dan putus asa. Karena seolah latihan pernapasan mengulang, dan selalu dimulai dengan penolakan! Ternyata justru inilah intisarinya!

Tenaga murni Upasara telah dikeluarkan hingga habis tuntas. Akan tetapi, sebenarnya dalam dirinya masih tersimpan penuh tenaga murni itu. Hanya saja, tenaga murni semacam ini tak bisa dipergunakan secara langsung. Harus diubah lebih dulu. Diubah menjadi tenaga murni yang bukan cadangan. Tenaga murni yang bukan simpanan. Itu pula sebabnya, seakan tenaga murni itu hanya bisa keluar pada saat maut nyaris merenggut! Karena pada saat seperti itu, secara tidak sadar tenaga dalam Menyimpan Nyawa bisa keluar. Dan mengetahui bahwa tenaga murni itu harus diubah lebih dulu, membuat Upasara sadar sepenuhnya. Bahkan kini tenaga dalamnya yang dulu bisa dihadirkan kembali!

Tenaga murni yang tersimpan itu diubah menjadi tenaga murni yang bisa digunakan sewaktu-waktu. Dengan demikian tenaga murni yang sebenarnya tetap terjaga utuh. Ini yang disebut Paman Sepuh Bintulu sebagai cara melatih pernapasan Menyimpan Nyawa. Satu kata kunci saja, membuat Upasara bisa menemukan kembali tenaga dalamnya. Dan yang memberitahu, justru musuh besarnya.

"Terima kasih atas penjelasan Paman Sepuh."

"Edan. Selama ini aku mempelajari, menciptakan, ternyata sia-sia belaka. Bejujag itu masih bisa mengatasi."

Upasara menyembah dengan hormat dan tulus. "Maafkan saya, Paman Sepuh, siapakah tokoh sakti yang selalu Paman Sepuh sebut sebagai Manusia Kurang Ajar?"

"Siapa lagi kalau bukan Bejujag yang paling kurang ajar?"

"Apakah... apakah... yang Paman Sepuh maksudkan Eyang Sepuh yang mendirikan Perguruan Awan?"

Caping Bintulu bergoyang-goyang. "Bejujag itu menyukai nama kosong. Untuk apa kalian begitu menghormatinya dengan memakai sebutan Eyang Sepuh dengan nada begitu hormat? Ia tak lebih dari si Kurang Ajar yang tak tahu malu, mengakali ilmuku."

Kali ini Upasara yang menghela napas berat. Seluruh tokoh di tanah Jawa begitu menghormati nama agung Eyang Sepuh, mulai dari penduduk biasa, para ksatria, pendeta, sampai dengan Raja, akan tetapi kini dengan enteng saja disebut Bejujag yang mencuri ilmu!

"Paman Sepuh, tadi Paman Sepuh menyebut bertiga. Siapa tokoh yang bertiga?"

"Edan... Wulung, kenapa kamu memaksa aku mengingat nama manusia yang tak berbakat itu? Manusia yang lebih mementingkan duniawi daripada yang rohani. Manusia yang lebih mementingkan raga dibandingkan nyawa? Manusia yang lebih mementingkan nata atau kebangsawanan daripada dodot sebagai asal-usulnya sendiri?"

Bagi Upasara, kini segalanya lebih jelas. Pada masa yang telah lama, ada tiga kaum dodot yang menjadi ksatria. Mereka bertiga ini kelak kemudian hari terkenal dengan nama yang harum. Yang paling kurang ajar, kemudian menjadi Eyang Sepuh, tokoh yang paling dihormati. Yang dianggap mementingkan keragaan, menjadi Mpu Raganata. Yang ketiga, atau yang pertama, adalah yang tak pernah dikenal selama ini. Yang sekarang dipanggil Upasara sebagai Paman Sepuh Bintulu.

Ada benarnya, kalau diingat bahwa Eyang Sepuh yang kemudian mendirikan Perguruan Awan, dan Mpu Raganata yang mengabdi kepada Baginda Raja Sri Kertanegara. Agaknya Paman Sepuh Bintulu yang terus-menerus mempelajari dan menciptakan ilmu. Kalau benar begitu, kenapa sekarang muncul dari pertapaannya? Apa yang mampu menggerakkan?

Janji di Tepi Kali Brantas
Upasara gegetun sekali. Menyesal karena kini berhadapan dengan Paman Sepuh Bintulu, yang dalam sesaat membuatnya berada dalam posisi yang berlawanan. Sebagai tokoh tua yang dihormati, yang ternyata adalah tokoh seangkatan dengan Eyang Sepuh. Akan tetapi juga seorang tokoh ganas yang telah menewaskan Pak Toikromo serta Galih Kaliki. Upasara gegetun karena mau tidak mau ia akan berhadapan dengan Paman Sepuh. Namun agaknya Paman Sepuh seperti tak memedulikan itu semua.

"Wulung, aku ingin menjajal ilmu Menyimpan Nyawa."

"Maaf, Paman Sepuh."

"Cuma aku sudah berjanji kepada si Bejujag dan kepada orang Keraton yang sebenarnya lebih pantas memakai dodot. Kami bertiga berjanji akan bertemu di tepi Kali Brantas sambil menunggu datangnya tetamu yang akan meramaikan pertemuan. Edan... Kalau murid Bejujag seperti kamu, apa murid-muridku bisa menghadapimu?"

Upasara berpikir cepat. "Paman Sepuh juga mempunyai murid-murid?"

"Bukan murid," suara Paman Sepuh menyesak. "Mereka orang edan tujuh turunan yang akan kusabet wajahnya!"

"Maaf, bolehkah saya lancang bertanya, siapa murid dan sebutan Paman Sepuh?"

Caping Paman Sepuh Bintulu bergoyang kembali. "Tadi kamu sudah memanggil Bintulu. Itu juga namaku. Kamu panggil Paman Sepuh, itu juga namaku. Kenapa kamu meributkan nama? Murid, aku tak tahu namanya. Aku cuma ingat kumisnya licik."

"Apakah yang mempunyai gelar Ugrawe?"

"Edan... Bisa jadi."

Sangat pantas sekali. Ugrawe sakti mandraguna dengan ilmu dan jurus-jurus Banjir Bandang Segara Asat, atau Banjir Bah Laut Kering. Ilmu yang menyedot tenaga dalam lawan. Selama ini asal-usul Ugrawe sangat gelap. Ternyata ia murid Paman Sepuh. Akan tetapi kalau disebutkan murid-murid, berarti ada yang lain.

"Siapa murid Paman Sepuh yang lain?"

"Edan... Mana pernah aku mengingat nama?"

Upasara menggigit bibirnya. Lalu dengan satu tarikan napas berat, Upasara berusaha menerangkan. Bahwa Eyang Sepuh kini telah tidak ketahuan kabar beritanya sejak menghilangkan diri. Bahwa Mpu Raganata telah gugur sewaktu pasukan Gelang-Gelang yang dipimpin Ugrawe dan Raja Muda Jayakatwang menyerbu Keraton Singasari. Dan Ugrawe sendiri telah gugur.

"Tak mungkin. Bejujag itu pasti akan muncul. Raga itu sudah jadi bangsawan, tapi masih akan datang. Kami sudah saling berjanji. Lagi pula akan datang ksatria lain. Mana mungkin mereka ingkar atau mati lebih dulu? Wulung, kamu pikir kami belajar dan melatih diri untuk apa kalau tidak untuk pamer?"

Berkelebat gambaran masa lampau tentang tiga pemuda, tiga ksatria yang sangat gandrung ilmu kanuragan. Masing-masing kemudian menciptakan ilmu yang menjadi tonggak seluruh ilmu silat yang ada.

Paman Sepuh Bintulu menciptakan apa yang kemudian dikenal sebagai Bantala Parwa. Sementara Eyang Sepuh lewat Perguruan Awan mengembangkan sebuah perguruan yang tetap memperlihatkan ciri-ciri kaum dodot, kaum hamba sahaya yang hidup larut bersama alam. Tonggak yang ditancapkan Eyang Sepuh adalah cara melatih pernapasan yang disebut oleh Paman Sepuh sebagai Menyimpan Nyawa. Ada banyak persamaan antara ilmu Bantala Parwa dan ilmu Menyimpan Nyawa.

Sementara itu, Mpu Raganata lain lagi. Jalan hidupnya menjadi pengabdi raja, dan tetap mempunyai jarak dengan kekuasaan Keraton. Tonggak ciptaannya dalam ilmu kanuragan ialah ilmu Weruh Sadurunging Winarah. Dibandingkan dengan ilmu Bantala Parwa, memang dasar-dasar ilmu Weruh Sadurunging Winarah mempunyai perbedaan. Barangkali karena memang perjalanan nasib tokoh-tokoh yang menciptakan berlainan.

Mestinya pada suatu hari mereka saling berjanji akan bertemu di tepi Kali Brantas. Untuk saling menguji. Dan di samping itu juga akan diundang datang para ksatria dari negeri seberang. Kalau Mpu Raganata secara jelas terlihat kehadirannya, dan Eyang Sepuh terasakan kehadirannya lewat Perguruan Awan, Paman Sepuh Bintulu mengasingkan diri dan terus melatih ilmu secara murni. Dan tak cukup tahu apa yang telah terjadi.

Kalau dipikir-pikir, ketiga ksatria ini sangat aneh. Ilmu mereka begitu tinggi, pencarian mereka begitu mendalam, akan tetapi perjalanan hidup mereka sangat berbeda satu dari yang lain. Toh begitu akan saling bertemu. Upasara yakin, jika Eyang Sepuh masih ada, entah di mana, pasti akan muncul lagi!

Apa pun keadaan dan tingkat keresiannya sekarang ini, Eyang Sepuh tak akan ingkar janji kepada sahabatnya di masa lalu. Upasara bisa mengerti kalau Paman Sepuh Bintulu menjadi orang yang mempunyai perangai aneh. Wajahnya yang hancur menjadi satu petunjuk hidupnya yang sengsara. Ditambah sekian puluh tahun tak pernah bergaul dan mungkin sekali malah dikhianati oleh muridnya yang bernama Ugrawe. Paman Sepuh Bintulu menjadi tak begitu pedulian. Apa atau kenapa main bunuh saja. Kebetulan dua di antara korbannya adalah Pak Toikromo dan Galih Kaliki!

Hal ini yang tak bisa dibiarkan oleh Upasara. Upasara tak meragukan sedikit pun bahwa Bantala Parwa adalah ciptaan Paman Sepuh Bintulu. Sekurangnya beliaulah yang menyusun dan menuliskan dalam klika. Dan kitab itu yang dicuri begitu saja oleh Ugrawe! Karena dunia luar mengetahui Kitab Bumi itu dari Ugrawe.

Upasara sendiri mengenal Kitab Bumi dari Kawung Sen, yang mencuri dari Ugrawe. Sangat mungkin sekali Kitab Bumi ciptaan Paman Sepuh Bintulu mirip dengan yang dikembangkan Eyang Sepuh yang kemudian dikenal dengan jurus-jurus Tepukan Satu Tangan. Dengan perbedaan pokok pada cara pengaturan napas yang disebut Menyimpan Nyawa.

Upasara juga gegetun karena sebab lain. Ilmu membuka tempat Menyimpan Nyawa diketahui justru setelah korban berjatuhan. Bukan sebelumnya! Inilah yang membuat gegetun. Nyawa Pak Toikromo tak bisa kembali lagi. Galih Kaliki tak mungkin hidup kembali. Upasara tenggelam dalam renungannya. Siapa yang mengatur ini semua? Siapa yang meletakkan pada situasi yang menyayat ini? Apa sebenarnya yang dikehendaki Dewa Segala Dewa dengan jalan hidupnya sekarang ini?

Ini masih harus ditambah dengan sejumlah pertanyaan lain. Siapa murid Paman Sepuh Bintulu yang setara dengan Ugrawe, yang selama ini tak dikenali? Apakah ia sama jahatnya dan malang melintang di dunia persilatan, ataukah masih menyembunyikan diri? Apa yang akan terjadi di tepi Kali Brantas jika ternyata yang muncul ksatria-ksatria dari tanah seberang? Menjadi pertarungan terakhir?

Satu hal yang membuat Upasara terusik. Paman Sepuh Bintulu, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata mengatakan berasal dari kaum dodot. Dari kelompok paminggir, yang juga berarti bukan anak-cucu langsung para raja. Sebenarnya dalam hal ini bisa disamakan dengan dirinya, dengan Paman Jaghana!

Sekilas ingatan Upasara kembali ke Perguruan Awan. Dengan peraturan yang tegas, tak ada anak buah Perguruan Awan yang direstui menjadi prajurit atau senopati. Paman Wilanda adalah contoh utama. Ketika masuk sebagai prajurit, tidak dianggap sebagai warga Perguruan Awan lagi. Hanya karena suatu peristiwa yang memperlihatkan jiwa luhurnya dan keinginannya menjadi warga Perguruan Awan, Paman Wilanda bisa diterima kembali.

Upasara sendiri bisa melihat dirinya berada dalam posisi yang berada di sisi sana dan di sisi sini sekaligus. Ia dibesarkan dalam lingkungan Keraton sejak lahir. Akan tetapi ia tetap dianggap kaum dodot, kaum hamba sahaya. Seumur-umur berada di Keraton, darahnya tetap tak bisa menjadi biru. Dan ini salah satu kegagalannya untuk mempersunting Gayatri yang sekarang menjadi permaisuri Raja Majapahit.

Upasara baru menyadari bahwa Paman Sepuh Bintulu sudah lenyap entah sejak kapan. Ia menghela napas, bersemadi. Mengubah tenaga murni yang tersimpan menjadi tenaga murni yang bisa digunakan. Agar semua tenaga murni cadangan bisa semuanya secara leluasa dipergunakan. Dan ini berkat jasa petunjuk Paman Sepuh Bintulu, yang akan dilawannya!

Mbalela, Dosa Utama

PENGEMBALIAN tenaga murni Upasara tak mengalami kesulitan sedikit pun. Dengan memusatkan pikiran, Upasara mulai menjalin tenaga murni yang tersimpan. Semua urat tubuh dan lubang kulitnya meregang, seakan mengeluarkan asap putih. Mula-mula seperti dog amun-amun atau uap air di kejauhan, seperti fatamorgana. Makin lama makin tebal, menyelimuti tubuh Upasara. Dari jidat, seakan terlihat cahaya menurun ke sepanjang hidung, melebar ke arah samping. Pipinya merona, kemudian daun telinga, bibir, dan akhirnya seluruh wajah.

Sementara dadanya tetap naik-turun dengan teratur. Semburat warna itu terus menurun dan menyebar ke seluruh anggota tubuh, hingga ke ujung jari tangan serta kaki. Kembali menggumpal, terpusat di pusar. Dan dengan mengendalikan jalan pikiran, tenaga itu bisa dikendalikan. Ke arah tangan, kaki, tersimpan di punggung. Aliran tenaga itu mengikuti kemauan Upasara. Ke mana pikirannya ditujukan, ke arah itulah tenaga tersalurkan.

Selesai bersemadi, Upasara merasa rongga dadanya sangat lega. Perasaan segar seakan kembali dilahirkan dari kegelapan yang mengimpit. Apa yang dilakukan kemudian ialah menguburkan Galih Kaliki dengan rasa hormat, berdoa di depan gundukan tanahnya.

"Kakang Galih... harap Kakang bisa tenang, untuk sementara Dewa yang Maha Menentukan. Saya akan selalu mengenang jiwa Kakang yang luhur dan jujur. Saya tak akan hidup tenteram sebelum membalas sakit hati Kakang. Maafkan, saya akan meninggalkan Kakang untuk sementara. Untuk menyusuri Kali Brantas. Di sana semua dendam akan tuntas."

Baru kemudian dengan perasaan sedikit lega, Upasara melanjutkan perjalanan. Agar tidak terlalu menarik perhatian, Upasara membungkus Kangkam Galih dengan tongkat yang telah pecah. Disatukan kembali dengan getah pohon. Meskipun tidak sempurna, akan tetapi untuk sementara terlihat seperti tongkat biasa. Dalam perjalanan kali ini, Upasara merasakan betapa bedanya sebagai manusia biasa dan sebagai pendekar silat. Jarak jauh tidak terlalu menjadi masalah. Perjalanan bukan sesuatu yang melelahkan. Bisa sekaligus melatih dan memperlancar tenaga pernapasan.

Lebih dari itu semua, keadaan sekitar seperti dengan mudah bisa terjaga, bisa diawasi dengan sempurna. Dengan mudah Upasara bisa mengetahui pada jarak tertentu ada sepasukan prajurit atau setidaknya beberapa ksatria sedang melakukan perjalanan. Langkah dan tarikan napas mereka bisa dirasakan Upasara. Sungguh berbeda ketika tenaga simpanannya belum diubah.

Saat itu bahkan tak mengetahui pertempuran, tak bisa disebut pertempuran, lebih tepat pembunuhan atas diri Pak Toikromo. Upasara menyadari bahwa Paman Sepuh Bintulu bisa melakukan satu gerakan untuk menghancurkan rumah, pedati, dan menyobek tubuh Pak Toikromo. Jarak kemampuan dalam kanuragan antara Pak Toikromo dan Paman Sepuh Bintulu kelewat jauh. Kalau saja semua pemulihan tenaganya terjadi lebih awal! Kalau saja Paman Sepuh Bintulu bertemu dengannya lebih dulu!

Akan tetapi dalam kehidupan ini, ada yang tak bisa bersandarkan kepada kalau saja. Justru karena sejak awalnya serba tak terjadi tanpa kalau saja. Bukankah Paman Sepuh Bintulu bisa bersikap manis kepada Pak Toikromo, misalnya meminta makanan? Kalau saja perjalanan hidup Paman Sepuh Bintulu tak begitu pahit, ia tak akan main bunuh seenaknya.

Tak lebih dua puluh kali tarikan napas, Upasara merasakan bahwa suara prajurit makin terdengar jelas. Upasara berusaha menghindar. Mencari jalan lain, karena tak ingin mengganggu dan terganggu. Pikirannya hanyalah mencari tepi Kali Brantas untuk mengadakan perhitungan, dan barangkali bisa lebih terbuka mengenai siapa-siapa yang akan datang. Akan tetapi, langkahnya tertahan. Karena telinganya mendengar suara Mpu Sora yang menyayat.

"Sejak lahir, aku dialiri darah prajurit. Bagiku, pengabdian adalah yang terutama. Kalau memang Baginda ingin menghukumku, kenapa harus ditunda? Bagi seorang prajurit, pengabdi negara, menerima hukuman dan atau menerima hadiah dari Raja adalah hal yang biasa. Tolong Senopati Halayudha menyampaikan hal ini kepada Baginda."

Halayudha menunduk. "Duh, Senopati Sora yang perkasa. Jiwa besar merupakan semangat keprajuritan yang tak bisa diubah. Gunung karang bisa hancur, akan tetapi jiwa yang mulia akan abadi selamanya. Saya hanyalah pesuruh. Saya hanya menyampaikan titah Baginda, bahwa Senopati Sora dititahkan memangku tugas di Tulembang. Bukan hukuman mati seperti tertulis dalam kitab Kutara Manama."

Suara Mpu Sora makin menyayat. "Kematian adalah kebahagiaan, bila itu diperintahkan seorang raja. Senopati Halayudha... sekarang ini semua orang menganggap saya wajib terkena hukuman mati karena telah membunuh Senopati Anabrang dari belakang. Dan saya akan menerima hukuman itu. Kalau Baginda menghendaki keris Mahisa Taruna bersarung di dada saya yang tua ini, saya akan menerima dengan bahagia, sebagai penerima titah."

"Duh, Senopati Sora, bagaimana mungkin saya menyampaikan hal ini?"

Mpu Sora bergerak pelan. Tangannya menarik kain putih dengan satu sentakan terobek rapi. Lalu dengan satu sentakan memotes ranting pohon, dan dengan getah yang menetes mulai menuliskan. Baik caranya menyobek kain, memotes ranting, dan memencet agar getahnya terus mengalir, memperlihatkan kemampuannya yang tinggi.

"Mohon Senopati Halayudha menyampaikan hal ini kepada Baginda."

Halayudha menerima dengan hormat.

"Agar tidak terlalu memberatkan Senopati Halayudha, setelah selesai keramas, saya akan sowan kepada Baginda."

Halayudha bergerak cepat. Karena tak ingin membuang waktu sedikit pun, agar semua rencananya tidak kedaluwarsa. Semenjak meninggalkan gua kurungan bawah tanah, Halayudha merasa bahwa cepat atau lambat tokoh-tokoh tangguh kelas dunia akan bermunculan. Jika ia tak bisa memanfaatkan, berarti semua rencana yang diatur dengan saksama akan sia-sia. Maka kini Halayudha langsung menemui Mahapatih Nambi, dan menceritakan apa yang telah terjadi, menurut pandangannya sendiri.

"Senopati Sora malah berani menulis nawala langsung kepada Baginda. Mahapatih Nambi yang paling berkuasa bisa membacanya. Akan tetapi secara terang-terangan Senopati Sora menolak hukuman menjadi penguasa di Tulembang. Baginya lebih baik menerima hukuman mati."

"Kenapa itu yang ditempuh?"

"Ini hanya gertakan Senopati Sora, dengan mempergunakan keluhuran dan kebaikan hati Baginda. Karena merasa berjasa, Senopati Sora yakin Baginda tak akan menghukum mati. Senopati Sora lupa, bahwa Baginda bisa menjadi iba, tetapi di Keraton masih ada Mahapatih Nambi yang setia kepada Baginda dan tidak mau melihat anak buahnya mbalela?"

Mahapatih Nambi tersulut. Dengan memakai istilah mbalela, Halayudha berhasil membakar Mahapatih. Mbalela adalah ungkapan untuk prajurit yang melawan kepada atasan, ungkapan bagi pemberontak! Bagi prajurit sejati, dosa yang utama dan satu-satunya ialah mbalela.

"Aku akan turun tangan langsung."

"Semua prajurit, para senopati Keraton, akan berada di belakang Mahapatih. Sikap Senopati Sora sudah melewati batas yang ada. Bersama dengan seluruh pengikutnya yang setia ia akan datang ke Keraton untuk menentang titah Baginda yang begitu baik dan luhur."

Mahapatih Nambi tegang rahangnya. "Senopati Halayudha, mohonkan kepada Baginda, saya yang akan menjemput Senopati Sora bila ia datang bersenjata nanti, atau kapan pun ia datang."

Dengan bahasa yang lain lagi, Halayudha berhasil mengutarakan langsung kepada Baginda. "Hamba mengetahui betapa risaunya Baginda Raja yang luhur dan agung jiwanya, yang ingin mengayomi, melindungi seluruh warga Majapahit. Akan tetapi alangkah pahit kenyataan yang sesungguhnya. Karena Sora ternyata menentang kebaikan Baginda, dan lebih suka bermandikan darah di Keraton. Kalau Baginda menanyai hamba yang picik, hamba tetap tak berani mengusulkan. Biarlah Mahapatih yang menemui Sora. Sehingga tangan Baginda tak perlu menjadi kotor karenanya."

Baginda tak menjawab. Tangannya bergerak, mengusir Halayudha. Yang ketika keluar dan menemui Mahapatih, mengatakan bahwa Baginda menyerahkan persoalan Senopati Sora ke tangan Mahapatih Nambi. Mahapatih-lah atasan langsung yang harus menangani.

Dua Cundhuk dari Dua Putri

UPASARA sendiri sebenarnya ingin segera meninggalkan tempat persembunyian dan melanjutkan perjalanan begitu Halayudha pergi. Akan tetapi sekali lagi, langkahnya tertahan. Karena Mpu Sora mengeluarkan dua cundhuk, dua hiasan rambut yang mengingatkan Upasara kepada putri yang pernah menghiasi mimpinya. Siapa lagi kalau bukan Gayatri atau Permaisuri Rajapatni! Hiasan cundhuk itu pernah dipakai Gayatri! Mpu Sora memandang dua cundhuk sambil menghela napas berat. Berat sekali.

"Juru Demung dan Gajah Biru, kalianlah prajuritku yang paling mengetahui isi hatiku. Majulah mendekat kemari."

Juru Demung dan Gajah Biru menunduk. Mereka tidak mendekat. Dan memang tak perlu. Karena apa yang dimaksudkan Mpu Sora bukanlah pengertian yang wadag, yang lahiriah sifatnya.

"Hari ini aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Daha lebih dahulu. Aku akan menghadap langsung ke Keraton Majapahit. Sowan untuk pasrah seluruh jiwa-ragaku. Pembuangan, hukuman mati, atau apa pun, akan lebih melegakan hatiku daripada suasana menggantung tak menentu. Kalian berdua yang paling mengetahui, bahwa bagiku pengabdian adalah nilai utama dan satu-satunya. Demung dan Gajah Biru, aku tak bisa memaksa kalian ikut ke Keraton. Aku juga tak bisa menahan kalian turut serta. Semua kuserahkan kembali kepada pilihan hati kalian. Sebab apa yang terjadi di Keraton masih tak bisa diketahui. Begitu banyak senopati yang menghendaki nyawaku yang tak berharga ini."

Juru Demung dan Gajah Biru menyembah secara bersamaan. Keduanya mengeluarkan suara bersamaan, dengan nada menggeletar.

"Senopati Sora, sesembahan hamba, tempat pertama dan terakhir hamba mengabdi. Betapa sedih hamba mendengar pertanyaan Senopati Sora, seakan menanyakan apakah hamba masih setia atau tidak."

Mpu Sora menggeleng. Menghela napas berat. "Demung dan Gajah Biru, jangan sampai kita salah paham karenanya. Sebenarnya aku lebih berharap kalian berdua tidak mengikuti ke Keraton. Karena aku ingin menitipkan barang ini kepada kalian."

Untuk beberapa jenak, suasana menjadi sunyi.

"Aku tak tahu apakah aku bisa menyampaikan titipan ini kepada yang bersangkutan atau tidak, mengingat hari esok tak bisa diperhitungkan. Demung dan Biru, prajuritku yang sejati. Dua cundhuk ini adalah titipan Permaisuri Rajapatni yang mulia. Titipan untuk disampaikan kepada seorang ksatria sejati di jagat raya ini, Upasara Wulung."

Mata Upasara bersinar. Dadanya terguncang. Hanya karena penguasaan cara mengatur napas yang sempurna, sehingga Mpu Sora tak mengetahui ada yang mencuri dengar pembicaraannya.

"Aku dan Mpu Renteng, yang telah tenang di dunia tanpa kerisauan, pernah mengawal Permaisuri Rajapatni. Barangkali karena itulah Permaisuri menaruh kepercayaan kepadaku. Menitipkan dua barang ini. Yang pertama diberikan kepadaku ketika putri pertama Permaisuri, yaitu Putri Tribhuana Tunggadewi, lahir ke dunia. Cundhuk pertama ini minta disampaikan kepada Upasara Wulung. Cundhuk kedua diberikan lagi ketika putri kedua, yaitu Putri Dyah Wijah Rajadewi, lahir. Aku sedih karena tak bisa menyampaikan titipan ini. Pada saat Permaisuri Rajapatni menitipkan cundhuk kedua, aku sudah menghaturkan bahwa yang pertama pun belum bisa disampaikan, karena tak tahu di mana adanya Upasara Wulung. Akan tetapi Permaisuri Rajapatni tersenyum dan bersabda, 'Paman Sora lebih mungkin menyampaikan daripada saya. Kalau Kakang Upasara telah meninggal, tancapkan di kuburannya. Tanpa Paman Sora katakan, sukma Kakang Upasara sudah tahu bahwa cundhuk ini dariku.' Betapa ringan tugas ini. Betapa berat melaksanakan. Demung dan Biru, itu sebabnya aku menginginkan kalian menyimpan dengan baik-baik kedua barang berharga ini. Kalau aku tak bisa melaksanakan tugas Permaisuri Rajapatni, kalian berdua yang berkewajiban menyampaikan. Aku tidak meminta kalian berdua merawat anak-istriku. Aku tak meminta kalian berdua merawat pusara atau menjaga abu mayatku. Aku minta kalian melaksanakan tugas ini, karena ini sesuatu yang berarti bagi Permaisuri Rajapatni, dan tugas yang diberikan adalah kepercayaan."

Upasara berusaha menenteramkan dirinya. Guncangan dalam dadanya makin riuh berdebur. Tak bisa dihindari lagi, munculnya bayangan seorang putri yang mampu mengguncangkan dunianya. Mampu menjungkirbalikkan perasaan-perasaan paling dalam. Pengalaman yang tak akan terlupakan. Itu adalah saat pertama Upasara tertarik kepada wanita.

Kebetulan wanita itu adalah Gayatri, putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang menjadi penunjuk perjalanan ketika Upasara ingin menyusup ke Keraton Daha. Jadilah perjalanan yang menumbuhkan daya asmara paling hebat melanda Upasara. Puncak dari daya asmara yang membahana itu adalah ketika justru Gayatri yang mengatakan bersedia bersanding dengan Upasara selamanya.

Dalam pertempuran mati-hidup, Upasara berusaha membebaskan Gayatri yang ditawan. Ia bahkan mengukir kidung asmara di dinding Keraton yang terjal. Akan tetapi, perjalanan daya asmara kandas. Karena Gayatri dan Raden Sanggrama Wijaya, dalam perhitungan ramalan para pendeta, adalah pasangan Dewi Uma dengan Dewa Syiwa. Yang di kelak kemudian hari akan menurunkan raja yang paling besar dari semua raja yang pernah memerintah. Saat itulah Upasara mengundurkan diri.

Bahkan ketika semua pengikut Sanggrama Wijaya memperoleh pangkat dan derajat yang tinggi, Upasara menolak. Bahkan jabatan sebagai mahapatih pun ditolaknya. Baik secara langsung atau tidak, penolakan ini ditafsirkan sebagai pertanda kekecewaan yang tak bisa ditawar. Bahkan Baginda juga mengetahui hal ini. Karena dengan terbuka Baginda mengatakan: Hadiah apa pun bisa diminta Upasara, kecuali Putri Gayatri, karena ia sudah ditakdirkan bersanding dengan Baginda...

BAGIAN 19CERSIL LAINNYABAGIAN 21