Neraka Bumi - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Neraka Bumi
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

Dibawah siraman terik sinar matahari tampak serombongan orang berkuda bergerak memasuki perbatasan Desa Kendal. Melihat pakaian mereka, agaknya rombongan itu adalah prajurit-prajurit kerajaan.

Penunggang kuda terdepan seorang lelaki bertubuh gemuk. Wajahnya yang bulat terhias kumis tipis. Sorot matanya demikian angkuh dan memandang rendah orang lain. Dan, bibirnya membentuk senyum sinis penuh ejekan. Penampilannya menunjukkan perangai buruk lelaki gemuk yang menyandang jabatan perwira itu.

Dua penunggang kuda di kiri-kanan lelaki gemuk memiliki penampilan yang tidak jauh berbeda. Kendati sosok keduanya yang juga menjabat sebagai perwira, berperawakan tegap, namun sorot mata mereka terlihat begitu garang. Bahkan kalau diamati lebih teliti, sorot mata itu menyembunyikan kekejaman serta kelicikan. Jelas, kedua perwira itu pun mempunyai sifat yang buruk.

Di belakang ketiga perwira itu, tampak dua belas orang prajurit berkuda. Sebagaimana sifat ketiga pimpinannya, wajah mereka pun tidak menampilkan kesan baik. Sikap duduk mereka terlihat demikian angkuh. Seolah mereka bukan rombongan prajurit. Tapi, pembesar-pembesar kerajaan yang seharusnya dipandang tinggi serta dihormati. Pemandangan itu terlihat sangat aneh. Mereka tidak menunjukkan sikap terpuji sebagaimana abdi-abdi kerajaan pelindung rakyat. Penampilan prajurit-prajurit itu justru membuat orang merasa takut dan tidak suka.

Diiringi pandangan heran dan takut dari para penduduk, rombongan itu terus bergerak menyusuri jalan utama desa. Karena mereka prajurit-prajurit kerajaan, para penduduk bergerak menepi saat rombongan lewat. Penduduk desa semua membungkukkan tubuh dengan sikap hormat. Orang-orang desa memang memandang tinggi abdi-abdi kerajaan. Selain mereka terdiri dari orang-orang pilihan, juga memang sudah sepatutnya untuk dihormati.

Rombongan itu sendiri terus bergerak tanpa membalas sikap hormat penduduk Desa Kendal. Jangankan balas mengangguk, melirik pun tidak. Mereka malah semakin menunjukkan sikap angkuh, agar penduduk lebih takut dan semakin menaruh hormat. Sikap para prajurit kerajaan itu tentu saja memancing berbagai pendapat di kalangan penduduk. Seorang pemuda yang rupanya berdarah panas merasa tersinggung dengan sikap para prajurit. Pemuda itu mengutarakan kekesalannya.

“Tidak kusangka prajurit-prajurit kerajaan mempunyai sikap demikian angkuh! Melihat penampilannya, aku lebih condong mengatakan mereka tak ubahnya serombongan perampok kasar!” demikian yang dikatakan pemuda berwajah kehitaman itu seraya mencibirkan bibir.

Penduduk di sebelah pemuda itu menjadi cemas. Sadar kalau ucapan kawannya bisa mendatangkan celaka, cepat ia menyodok tubuh pemuda itu dengan sikutnya. Ia bermaksud mengingatkan kawannya supaya menjaga sikap di hadapan rombongan prajurit yang sedang lewat itu.

“Ukhhh!”

Pemuda berwajah kehitaman, karena terlalu sering terpanggang terik matahari, mengeluh pendek. Pukulan sikut kawannya agak terlalu keras mengenai lambungnya. Dan, keluhan pendek itu sempat tertangkap salah seorang prajurit yang berada di barisan terakhir.

Dengan sorot mata garang, prajurit berbibir tebal itu menoleh dan menatap kedua pemuda itu beberapa saat. Kelihatan sekali ia tidak senang, meski yang didengarnya sama sekali tidak mengganggu. Pemuda bertubuh kurus, agaknya tahu diri. Ia segera membungkuk hormat dan menundukkan kepala dalam-dalam. Karena sorot mata prajurit berbibir tebal menyiratkan ancaman.

Tapi, tidak demikian dengan pemuda berwajah kehitaman yang berperawakan tegap dan tinggi. Ketika melihat sorot mata yang demikian angkuh dan menghina, ia sedikit pun tidak mengangguk. Apalagi menundukkan kepala. Ditentangnya pandang mata prajurit berbibir tebal dengan sangat berani. Sehingga, kawan di sebelahnya menjadi pucat. Dan hanya bisa berharap agar pemuda itu tidak mendapat marah prajurit berbibir tebal. Tapi, harapan petani muda bertubuh kurus itu tidak terkabul. Prajurit berbibir tebal sudah merasa tersinggung dan marah.

“Petani Keparat! Kau berani menentangku, hah!” bentak prajurit berbibir tebal. Kawan-kawannya serempak menoleh. Ingin tahu apa yang terjadi dengan rekannya.

Petani muda bertubuh kekar itu tidak menjawab. Sinar matanya terlihat semakin tajam. Kelihatannya, ia tidak merasa gentar dengan prajurit berbibir tebal. Karuan saja prajurit itu naik pitam!

“Kurang ajar! Rupanya kau merasa lebih kuat dariku, hah!” kembali prajurit berbibir tebal itu membentak. Kali ini disusul dengan ayunan sebatang pecut yang dicabutnya dari pelana kuda. Dan...

Ctarrr...!

Ujung pecut meledak menimbulkan suara nyaring memekakkan telinga. Dan dengan telak mencambuk tubuh petani muda berwajah kehitaman, hingga baju bagian bahunya robek. Namun kendati cambukan itu cukup menyakitkan, petani muda itu tidak mengeluh. Tubuhnya yang tehuyung kembali tegak. Dan sinar matanya masih juga menyorot tajam tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun!

“Hei, ada apa...?!”

Ledakan cambuk itu rupanya mengundang perhatian tiga orang perwira di barisan depan. Perwira bertubuh gemuk yang menjadi pimpinan rombongan langsung bertanya. Nada suaranya terdengar menyiratkan ketidak-senangan. Karena perjalanannya merasa terganggu.

“Ada seorang penduduk yang kurang ajar, Kakang Lagawe...!” salah seorang prajurit memberi tahu.

“Hm.... Apa yang diperbuatnya...?” tanya perwira gemuk itu lagi dengan nada tetap tinggi.

“Kelihatannya ia tidak menyukai kehadiran kita di desa ini!” terdengar sahutan dari salah seorang prajuritnya.

“Kalau memang demikian, beri petani dungu dan sombong itu sedikit pelajaran. Agar lain kali lebih mengerti bagaimana harus bersikap terhadap tentara kerajaan!” lanjut perwira gemuk itu. Ia menghentikan langkah binatang tunggangannya dan ikut menatap petani muda bertubuh tinggi kokoh itu.

“Baik, Kakang Lagawe...!” yang menyahuti adalah prajurit berbibir tebal. Wajah prajurit itu kelihatan semakin cerah setelah mendapat dukungan pimpinannya. Tindakannya pun semakin menjadi-jadi. Pecutnya meledak berkali-kali merobek pakaian dan menimbulkan bilur-bilur merah di tubuh petani muda, yang jatuh bangun tersengat ujung pecut. Sampai akhirnya....

Tappp!

Secara kebetulan, petani muda itu berhasil menangkap ujung pecut ketika untuk kesekian kali menyambar tubuhnya. Kemudian, pecut itu dilibatkan ke lengannya. Dan....

“Heahhh!”

Sambil membentak keras, petani muda yang tidak mengenal takut itu menyentakkan ujung pecut. Kendati luka-luka di tubuhnya cukup banyak dan menyakitkan, tapi tenaga petani muda itu masih sangat kuat. Terbukti, sentakannya membuat prajurit berbibir tebal tertarik dan jatuh dari atas punggung kuda.

“Heiii...!” Karena tidak menyangka tenaga petani muda itu sangat kuat, prajurit berbibir tebal menjerit kaget saat tubuhnya meluncur ke tanah dengan kepala lebih dulu. Dan....

Jrooottt!

“Ughhh...!” Wajah prajurit berbibir tebal menghantam sebuah batu sebesar kepalan orang dewasa. Akibatnya, wajah yang jelek itu mengalirkan darah. Bibirnya yang tebal semakin bertambah besar.

“Kuhrangh... ahjarrrh...!” seraya mengerang kesakitan, prajurit berbibir tebal memaki murka. Sepasang matanya mendelik seperti hendak melompat dari tempatnya. Perbuatan petani muda itu benar-benar membangkitkan kemaranannya.

“Jangan bunuh! Beri saja dia pelajaran seperlunya! Kita membutuhkan tenaganya...!” perwira gemuk pimpinan rombongan berseru mencegah. Karena ia melihat anggota rombongannya yang terjatuh itu sudah meraba gagang pedang. Siap untuk menggunakan senjatanya.

“Tapi, Kakang. Petani itu telah melukai kawan kita!” salah seorang prajurit yang juga merasa geram, heran dengan ucapan pimpinannya. Ia berusaha membela temannya itu.

“Meskipun begitu, ia sangat kita perlukan. Ingat, harganya pasti cukup mahal. Ia memiliki tenaga yang kuat,” bantah perwira gemuk itu menekankan. Sehingga semua prajurit terdiam. Tak satu pun yang berani membantah lagi.

Karena tidak diperbolehkan menggunakan senjata, terpaksalah prajurit berbibir tebal mempergunakan tangan dan kakinya untuk menghajar petani muda itu.

“Mamphusss, khauuu...!” bentak prajurit berbibir tebal tidak jelas. Karena bibirnya yang tebal membengkak dan berdarah. Kendati demikian, luka itu tidak menghambat tenaga dan gerakannya. Bahkan, ia melompat maju dengan ganasnya. Seolah petani muda itu musuh bebuyutan yang sangat dibencinya.

Petani muda itu boleh jadi memiliki tenaga alam yang kuat. Tapi, sayangnya ia tidak bisa menandingi kecepatan gerak lawan. Sehingga, satu dua pukulan mulai mengenai wajah dan tubuhnya.

Bukkk, desss...!

“Uuuhhh...!”

Kalau sengatan ujung cambuk tidak membuatnya mengeluh, kini pukulan dan tendangan yang menerpa wajah dan tubuhnya membuat petani muda itu mulai mengeluh. Tubuh kekarnya jatuh bangun dihajar prajurit berbibir tebal yang memiliki ilmu silat cukup baik. Terlebih ia prajurit kerajaan yang tentunya telah cukup terlatih dengan baik. Maka, habislah petani muda itu menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangannya, yang dilancarkan dengan sekuat tenaga.

Para penduduk yang menyaksikan kejadian itu tidak berani ikut campur. Mereka menyeret langkah menjauhi tempat itu. Tak seorang pun ingin terlibat dan menerima siksaan prajurit-prajurit sombong dan kejam itu.

“Mamphusss...!”

Desss...!

Lagi-lagi tubuh petani muda itu terpental deras. Tubuhnya terbanting ke tanah. Kendati tidak berusaha menangkis pukulan dan tendangan lawan, petani muda itu bukan seseorang yang sulit dirobohkan. Dan meskipun sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit, petani itu rupanya masih belum mau menyerah. Wajahnya yang biru sembab dan mengucurkan darah tidak membuatnya takut. Dengan susah payah ia merangkak bangkit dengan sinar mata penuh kebencian!

“Hih!”

Lagi prajurit berbibir tebal melayangkan tendangannya saat lawan tengah berusaha bangkit berdiri. Tanpa ampun lagi, tubuh petani muda itu kembali terhempas ke tanah. Ia mengerang dan bergulungan menahan rasa sakit di perutnya yang terkena tendangan keras itu. Kali ini prajurit berbibir tebal tidak sampai menunggu lawannya bangkit. Dengan langkah lebar dihampirinya petani itu. kemudian, diangkat naik dengan mencekal leher bajunya. Dan...

Jrooottt!

Kepalannya melayang deras menghajar wajah yang sudah membengkak itu. Sehingga pecah dan mengucurkan darah segar. Hal itu dilakukan berkali-kali sampai akhirnya tubuh petani yang malang itu terkulai pingsan. Kemudian, tubuh itu didorongnya dengan keras hingga terbanting dengan keras ke tanah.

“Biarkan tubuh petani kurang ajar ini tetap tergeletak di tengah jalan sampai kami kembali! Siapa yang berani menyentuhnya atau menolongnya, aku tidak akan segan-segan memberi hukuman. Pedangku ini yang akan memutuskan hukuman bagi si pembangkang!” ucapan itu keluar dari mulut perwira gemuk yang menjadi pimpinan rombongan tersebut.

Usai berkata demikian, ia memerintahkan prajuritnya untuk melanjutkan perjalanan mereka kembali. Setelah rombongan prajurit bergerak cukup jauh, barulah para penduduk berani mendekat. Meskipun demikian, mereka tidak berani maju lebih dari satu tombak dari tubuh petani muda yang tak sadarkan diri itu. Mereka hanya bisa memandang dengan hati iba. Peringatan perwira gemuk tadi tampaknya masih terngiang di telinga mereka.

********************

Tiba di halaman sebuah rumah besar perwira gemuk itu menghentikan rombongannya. Kemudian melompat turun dari atas punggung kuda. Dua perwira lain mengikuti perbuatannya. Demikian pula kedua belas prajurit yang menjadi anggota rombongan kecil itu.

“Selamat datang di desa kami yang kecil ini, Tuan-tuan yang gagah,” seorang lelaki tua yang menjadi Kepala Desa Kendal menyambut dengan wajah cerah dan sikap hormat. Kendati demikian, terlihat sirat kecemasan pada sorot matanya. Tapi, perasaan itu berusaha ditutupinya dengan menunjukkan sikap ramah dan hormat terhadap tamu-tamunya itu.

Dua orang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dan empat puluh tahun yang mengapit kepala desa itu membungkuk hormat. Kelihatan sekali kalau sikap itu dilakukannya dengan sangat terpaksa. Sepertinya kedua sesepuh Desa Kendal itu merasa tidak suka dengan kehadiran prajurit-prajurit kerajaan itu. Namun, mereka berusaha bersikap wajar dengan memendam perasaan tidak sukanya dalam-dalam. Karena mereka sadar dengan siapa saat ini berhadapan.

“Hm.... Kaukah yang menjadi Kepala Desa Kendal ini, Orang Tua?” tanpa menyambut sikap hormat lelaki tua itu, Legawa melontarkan pertanyaan dengan sikap angkuh seraya menegakkan kepala. Seolah ia ingin menunjukkan bahwa dirinya jauh lebih tinggi dan terhormat daripada kepala desa itu.

“Benar, Tuan. Aku Ki Sugali, yang mendapat kepercayaan penduduk untuk memimpin desa ini,” jawab Ki Sugali cepat sambil membungkukkan tubuh. “Sedangkan kedua orang ini adalah pembantu-pembantuku. Mereka bertugas memberikan pelayanan kepada warga desa,” lanjutnya memperkenalkan kedua sesepuh desa yang berdiri di kanan-kirinya.

“Hm.... Mengapa kalian tidak segera memperkenalkan diri...?” tegur Legawa menunjukkan rasa tak sukanya kepada kedua pembantu Ki Sugali.

“Hamba bernama Ki Luganta,” sahut lelaki gagah berusia lima puluh tahun, menyembunyikan kejengkelannya mendengar nada suara yang demikian menyebalkan itu.

“Hamba, Sujanta...,” sahut lelaki tegap berusia empat puluh tahun yang berdiri di sebelah kiri Ki Sugali. Seperti halnya Ki Luganta, Sujanta pun tampak menyimpan rapat-rapat kedongkolan hatinya. Sehingga, suara maupun sikapnya terlihat wajar dan tidak mencurigakan.

Tapi, meskipun ketiga sesepuh desa itu memperlihatkan sikap hormat yang wajar, Legawa tidak bisa dikibuli. Perwira gemuk yang bertubuh agak pendek itu memang memiliki mata yang tajam. Ia dapat membaca sikap yang disembunyikan ketiga sesepuh Desa Kendal. Namun, hal itu tidak diutarakannya. Legawa mengambil sikap diam dan tidak peduli. Padahal, tentu saja dalam hatinya timbul ancaman.

“Nah, Ki Sugali. Aku tidak ingin berpanjang kata lagi. Kami membawa amanat dari kerajaan,” ujar Legawa. Lalu, membuka sebuah gulungan surat yang diterima dari rekannya.

Ki Sugali yang tahu surat itu datang dari penguasa negeri langsung menjatuhkan diri berlutut di depan Legawa. Perbuatan itu diikuti oleh Ki Luganta dan Sujanta.

Ditujukan kepala seluruh rakyat Kerajaan Tampak Serang. Sehubungan akan dibangunnya sebuah istana untuk tempat peristirahatan Prabu Pungga Dewa, maka dengan ini diminta kesediaan rakyat untuk menyumbangkan tenaga. Bagi siapa yang berani membantah akan mendapat hukuman berat. Dan bagi yang berani menentang akan dihukum mati di tempat!

Tertanda Prabu Pungga Dewa


Legawa kembali menggulung surat itu setelah membacakannya dengan terang dan jelas. Kemudian, diserah-kan kepada salah seorang dari kedua perwira di kiri-kanannya. Ditatapnya lekat-lekat wajah Ki Sugali serta kedua sesepuh Desa Kendal yang sudah bergerak bangkit.

“Nah, sekarang aku ingin agar selekasnya kau mengumpulkan penduduk di balai desa...,” ujar Legawa dengan tegas bernada perintah kepada kepala desa itu.

“Maaf, Tuan Perwira. Kalau diperkenankan aku mempunyai sedikit pertanyaan...?” Ki Luganta yang menjadi tangan kanan Kepala Desa Kendal berkata sambil membungkuk hormat.

“Hm.... Sejauh tidak menentang sabda Gusti Prabu Pungga Dewa tentu boleh-boleh saja, Ki Luganta...,” sahut Legawa dengan angkuh dan sinis.

“Kami memang sudah mendengar selentingan kabar itu, Tuan Perwira. Yang hendak kami tanyakan, bagaimana bagi mereka yang sudah berkeluarga atau yang orangtuanya sudah tak sanggup mencari nafkah. Sedangkan ia hanya mempunyai seorang putra? Harap Tuan Perwira tidak keberatan dengan pertanyaan kami...,” ujar Ki Luganta mengutarakan ganjalan hatinya.

“Hm.... Untuk hal itu tentu saja Gusti Prabu Pungga Dewa mempunyai suatu kebijaksanaan, Ki Luganta. Kau tidak perlu khawatir. Kami akan memberikan tunjangan sekadarnya kepada orang-orang tersebut,” jawab Legawa dengan tersenyum sinis. Sepertinya ia tidak merasa aneh dengan pertanyaan itu.

“Terima kasih atas kebijaksanaan Gusti Prabu. Dengan begitu legalah hati kami, Tuan Perwira,” lanjut Ki Luganta dengan wajah berseri. Meski tetap tidak melenyapkan bayangan kecemasan yang tersirat di wajahnya.

“Kalau begitu, kami tunggu di balai desa...,” Legawa kemudian melompat ke atas punggung kuda dan bergerak bersama rombongannya menuju balai desa.

DUA

Tidak terlalu sulit bagi Ki Sugali untuk melaksanakan permintaan perwira gemuk itu. Dengan mengerahkan seluruh keamanan desa, sebentar saja para penduduk telah memadati balai desa. Termasuk para petani yang tengah bekerja di sawah dan di ladang.

“Saudara-saudara sekalian!” Legawa membuka suara setelah seluruh warga Desa Kendal berkumpul. “Saat ini negara membutuhkan sumbangan tenaga dari rakyatnya. Untuk itu, kepada laki-laki di Desa Kendal yang merasa dirinya kuat segera saja mendaftarkan diri! Bagi mereka yang telah berkeluarga atau harus meninggalkan orang-tuanya yang sudah tidak mampu bekerja akan men-dapatkan tunjangan dari kerajaan. Nah, bagi yang merasa masih kuat bekerja keras, silakan maju satu persatu...!”

Ucapan perwira gemuk itu mendapat tanggapan yang tidak begitu menyenangkan. Para penduduk kelihatan enggan dan tidak berminat untuk mendaftarkan diri. Melihat sikap enggan penduduk, wajah Legawa berubah kelam.

Ki Sugali yang menyadari kegusaran Legawa segera tampil di depan. Lelaki tua itu maklum akan sikap warga desanya. Ia sudah mendengar tentang kejadian yang menimpa salah seorang warganya. Meskipun sebenarnya merasa marah akan tindakan para prajurit itu, Ki Sugali tetap tampil untuk membujuk warganya. Karena bila mereka membantah, pastilah penduduk Desa Kendal akan dituduh sebagai sarang pemberontak. Hal itu tidak diinginkan Ki Sugali.

“Saudara-saudaraku sekalian, warga Desa Kendal yang tercinta. Apa yang disampaikan Tuan Perwira Legawa merupakan panggilan negeri! Aku telah mendengar sendiri bunyi surat perintah dari Prabu Pungga Dewa. Kalau kalian ingin menunjukkan bahwa kalian seorang anak negeri yang baik, sekaranglah saatnya untuk berbakti. Jangan membuat malu nama Desa Kendal! Tunjukkan bahwa kalian pun sanggup berbakti kepada negeri ini!” Ki Sugali demikian bersemangat menyampaikan ucapannya.

Dan tampaknya ia mampu membangkitkan semangat mereka. Begitu ucapan Ki Sugali selesai, satu persatu laki-laki warga Desa Kendal bergerak maju untuk mendaftarkan diri. Tapi Legawa tidak merasa puas. Warga yang men-daftar hanya lima belas orang. Dan kebanyakan dari mereka sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Seketika itu juga amarahnya meledak.

Ctarrr! Ctarrr...!

Suara ledakan pecut yang digerakkan dengan tenaga dalam kuat membuat semua penduduk terkejut. Wajah mereka mendadak berubah pucat. Banyak di antaranya yang menutup kedua telinga. Suara lecutan pecut itu terasa menyakitltan dan membuat telinga mereka berdengung.

“Ini benar-benar penghinaan bagi pihak kerajaan! Kalian semua telah memaksaku untuk bertindak keras. Kalau cuma laki-laki jompo yang mendaftarkan diri, kami semua akan mendapat hukuman dari Prabu Pungga Dewa. Sekarang kuberi peringatan terakhir. Segera daftarkan diri, atau terpaksa aku bertindak keras dan memaksa kalian ikut bersama kami!” keras dan lantang ucapan Legawa, membuat terkejut dan kesal puluhan warga desa itu. Tapi, Legawa cukup pintar dengan membawa-bawa nama Gusti Prabu Pungga Dewa. Sehingga, jika mereka melawan akan dituduh sebagai pemberontak. Dan hukuman berat akan mereka terima.

Ki Sugali sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki tua yang masih gagah itu hanya berdiri dengan wajah agak pucat. Ia tidak menentang ucapan Legawa. Tapi, juga tidak berusaha membujuk warga desanya untuk ikut mendaftar. Dan sikap kepala desa itu membuat Legawa tak bisa lagi mengekang kemarahannya.

Dengan langkah lebar Legawa menghampiri kerumunan penduduk. Tanpa banyak tanya, lelaki gemuk itu mencengkeram leher baju seorang pemuda tanggung yang berusia sekitar lima belas tahun. Dengan sekali sentak tubuh pemuda itu terlempar keluar dari kerumunan. Dan jatuh terjerembab di tanah.

“Bangun kau pemalas!” salah seorang dari dua perwira yang berdiri tak jauh dari tempat jatuhnya pemuda tanggung itu segera menarik bangkit dengan kasar. Kemudian dilemparkannya ke arah barisan penduduk yang telah mendaftarkan diri.

“Tuan Perwira, harap jangan bertindak kasar!” Ki Sugali bergegas menyambut tubuh pemuda tanggung itu. Tapi sebelum kedua lengannya sempat menangkap tubuh pemuda itu, sebuah tendangan keras membuatnya terhempas sejauh setengah tombak!

“Kau hendak berontak kepada kerajaan, Ki Sugali...!” bentak perwira bertubuh tegap seraya memasang wajah garang. Sepasang alisnya yang tebal nyaring terpaut. Ditatapnya tajam-tajam Ki Sugali yang sudah bangkit berdiri.

“Aku tidak bermaksud memberontak, Tuan Perwira! Tapi pemuda itu masih terlalu kecil untuk bekerja berat. Harap Tuan Perwira sedikit bijaksana!” Ki Sugali berkata dengan wajah berkerut menahan perasaan. Ia merasa tidak berdaya untuk membela warga desanya. Karena yang dihadapinya prajurit-prajurit kerajaan. Kalau ia berani melawan, niscaya Desa Kendal akan disapu bersih oleh tentara kerajaan.

“Hm.... Semua ini karena kebandelan wargamu, Ki Sugali! Mereka sendiri yang meminta kami bertindak keras. Jadi, jangan menyalahkan kami!” tukas perwira tegap itu keras dengan sikap mengancam.

Sementara itu, Ki Luganta dan Sujanta yang merupakan orang-orang kepercayaan Ki Sugali bergerak maju melihat kepala desanya diperlakukan dengan kasar. Mereka siap melindungi lelaki tua itu. Keduanya berdiri menghadang perwira tegap itu lengan sorot mata tajam.

“Keparat! Kalian rupanya ingin melawan, hah!” bentak perwira tegap beralis tebal. Jari-jari tangannya meraba gagang pedang yang terselip di pinggangnya.

“Tunggu...!” Ki Sugali yang tidak menginginkan desanya tertimpa musibah bergegas mencegah. Lelaki tua itu melesat menghadapi perwira tegap beralis tebal, terlambat sedikit saja, kemungkinan besar darah akan mengalir di bumi Desa Kendal yang telah dipimpinnya selama belasan tahun.

“Hm...,” perwira tegap itu menggeram gusar. Jemari tangannya yang sudah siap meloloskan pedang bergeser menjauh dari senjata maut itu. Sehingga, Ki Sugali menarik napas lega.

“Tuan Perwira, berikanlah waktu kepada kami untuk membujuk mereka agar mau ikut membangun istana peristirahatan itu. Tapi, kuharap Tuan Perwira tidak membawa pemuda-pemuda tanggung. Mereka masih terlalu muda untuk melakukan pekerjaan itu,” Ki Sugali masih berusaha membela warga desanya.

“Ki Sugali!” tukas perwira tegap dengan nada tinggi, “Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa pekerjaan yang akan mereka lakukan sangat berat? Padahal, mereka hanya membangun sebuah istana peristirahatan? Apakah itu kau anggap pekerjaan berat?” lanjutnya tidak senang.

“Benar, mereka hanya bekerja untuk membangun sebuah istana peristirahatan. Tapi, bukankah sebelum itu mereka harus merobohkan bukit padas? Dan tempat mereka bekerja adalah daerah yang panas? Harap Tuan Perwira dapat mempertimbangkannya baik-baik...,” Ki Sugali akhirnya mengutarakan berita yang tersebar luas di luaran. Karena sudah belasan desa yang didatangi pasukan kerajaan, dan membawa laki-laki untuk ikut bekerja di tempat yang disebutkan Ki Sugali. Semula Ki Sugali tidak ingin membeberkan berita itu. Tapi ketika pasukan kerajaan memaksa pemuda-pemuda tanggung, ia menjadi keberatan dan mencoba meminta kebijaksanaan.

“Hm.... Dari mana kau mendapatkan berita tidak benar itu, Ki Sugali?” tanya perwira tegap. Tampak jelas betapa perwira itu menyembunyikan kekagetannya. Rupanya, ia sedikit pun tidak menduga Ki Sugali akan berkata demikian.

“Guranta! Tidak usah banyak cakap lagi. Lakukan saja semuanya seperti biasa. Jika diberi hati mereka akan semakin kurang ajar..!” bentakan keras itu berasal dari mulut Legawa yang masih saja menyeret penduduk, yang menurutnya cukup memenuhi syarat.

Mendengar ucapan itu, perwira tegap beralis tebal tidak membantah. Tanpa mempedulikan Ki Sugali dan sesepuh Desa Kendal, ia kembali menerima dan meleparkan pemuda-pemuda dan laki-laki yang dilemparkan Legawa kepadanya.

Melihat tindakan kasar dan bisa dikatakan kejam itu, Ki Sugali merasa sedih sekali. Apalagi, ketika melihat semua lelaki muda desa itu dipaksa mengikuti kemauan Legawa dan pasukannya. Menggigil tubuh Kepala Desa Kendal. Bahkan, hampir seluruh aparat keamanan desa juga dipaksa ikut.

Lepaslah pertahanan lelaki tua yang sangat mencintai warga desanya itu. Kepercayaan yang diberikan penduduk kepadanya memang tidak berlebihan. Ki Sugali adalah seorang kepala desa yang bijaksana dan tidak ada duanya. Ia bersedia mempertaruhkan nyawa demi keselamatan warganya. Gambaran seorang pemimpin sejati tercermin pada diri lelaki tua itu.

Semula Ki Sugali memang tidak mau bertindak menentang, yang akan membuat dirinya dituduh sebagai pemberontak. Kepala desa yang sangat mencintai tanah kelahiran serta penduduknya itu khawatir Desa Kendal akan dihancurkan kerajaan. Dan kekhawatiran itu bukan cuma sekadar dugaan belaka. Sudah ada beberapa desa yang diratakan dengan tanah. Mereka adalah orang-orang yang menentang keputusan Prabu Pungga Dewa, penguasa Kerajaan Tampak Serang.

Tapi melihat warga desanya dipaksa dengan kekerasan, pikiran Ki Sugali pun berubah. Karena pemaksaan dengan kekerasan sama artinya dengan menghancurkan masa depan Desa Kendal. Semua itu membuat Ki Sugali tidak lagi mempedulikan hukuman yang menantinya.

“Hentikan! Kalian bukan lagi abdi kerajaan yang membela kepentingan dan keamanan rakyat. Lebih tepat bila dikatakan kalian adalah perampok-perampok kejam. Tindakan kalian menunjukkan ke arah itu!” bentak Ki Sugali menggelegar.

Lelaki tua itu berteriak dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Jerit kesakitan dan suara cambukan membuat Ki Sugali tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya. Terlebih, ketika menyaksikan tubuh warganya yang berkelojotan di tanah karena cambukan pecut ketiga perwira kejam itu. Amarahnya tidak bisa ditahan lagi.

Bentakan Ki Sugali seketika menghentikan penyiksaan itu. Legawa dan anggota rombongannya berpaling dengan pandangan mengancam. Bahkan, dua belas orang prajuritnya sudah menghunus senjata. Siap digunakan demi tugas yang mereka emban.

“Hm.... Kau hendak memberontak, Ki Sugali...?” tegur Legawa.

“Jangan mengancam aku dengan kata-kata itu, Perwira Biadab! Tindakan kalian sudah melewati batas-batas perikemanusiaan. Aku tidak peduli dengan segala macam sebutan itu. Pemberontak atau anjing sekalipun!” tukas Ki Sugali yang sudah mencabut pedang. Sikap lelaki tua itu tampak garang, seperti induk harimau yang tengah melindungi induknya.

“Kurang ajar! Kau akan dihukum gantung, Ki Sugali!” bentak Legawa tidak kalah garang. Pecut di tangannya terlihat bergetar.

“Tidak peduli!” bentak Ki Sugali. Sepasang matanya mencorong tajam. Pedangnya melintang di depan dada. Siap menyabung nyawa demi jabatan yang dipercayakan kepadanya.

“Keparat! Bunuh orang tua gila itu...!” Legawa segera memerintahkan pasukannya untuk menyerang Ki Sugali.

“Yeaaa...!”

“Haaattt...!”

Dua belas orang prajurit Legawa meluruk dengan senjata di tangan. Tapi, Ki Sugali dan dua orang kepercayaannya telah siap menyambut mereka. Bahkan, belasan orang keamanan desa ikut meloloskan senjata. Mereka siap mempertaruhkan nyawa demi keadilan.

Sebentar saja perang kecil pun berlangsung. Suara dentang senjata dan teriakan mewarnai pertempuran. Semua terjadi begitu cepat dan tanpa direncanakan. Legawa bersama dua orang perwira lainnya ikut turun ke arena. Dengan menggunakan pecutnya, perwira gemuk itu mengamuk hebat merobohkan siapa saja yang berada di dekatnya.

Para keamanan desa yang kebetulan menghadapi perwira gemuk itu menjadi kalang kabut. Dalam beberapa jurus enam orang tersungkur roboh tak sadarkan diri. Itu memang disengaja oleh Legawa. Karena ia masih memerlukan tenaga mereka.

Guranta dan perwira lainnya juga tidak tinggal diam. Mereka menggunakan senjata untuk menghadapi amukan warga Desa Kendal. Tampak, penduduk desa tidak rela kepala desanya menghadapi pasukan kerajaan dan mengalami kematian. Rasa cinta mereka membuat Ki Sugali terharu. Hingga serangannya kian bertambah ganas.

Para prajurit kerajaan yang menghadapi orang tua itu sempat dibuat kalang kabut. Mereka terpaksa bergerak mundur. Karena kepandaian Ki Sugali memang tidak bisa diremehkan. Juga Ki Luganta dan Sujanta yang bahu-membahu bersama kepala desanya.

“Haaattt...!”

Melihat anggota pasukannya dibuat kocar-kacir, Legawa menjadi berang. Perwira gemuk itu melayang diiringi teriakan yang membahana. Kemudian, meluncur turun di dekat ketiga sesepuh Desa Kendal. Dan langsung melancarkan serangan.

Bwettt, bwettt, bwettt...!

Kali ini Legawa membuang pecutnya. Ia ketiga pemuka desa itu dengan pedang di tangan. Sekali menyerang Legawa melepaskan serangkaian sambaran dan tusukan. Tentu saja Ki Sugali dan dua orang pembantunya tidak ingin mendapat celaka. Ketiganya berlompatan mundur menyiapkan jurus-jurus barunya.

Tapi, Legawa tidak mau memberi kesempatan. Sebelum mereka bersiap, tubuh lelaki gemuk itu udah melayang dengan kecepatan yang mengagumkan. Memang tidak percuma Legawa dikirim untuk melaksanakan tugas yang berbahaya. Ia telah disiapkan dengan matang untuk menghadapi berbagai rintangan. Dan Legawa membuktikan kalau dirinya memang patut mengemban tugas berat itu.

“Haaattt...!”

Whuuuttt...!

Sambaran mata pedang Legawa mengaung keras mengancam Ki Luganta. Tapi orang tua itu dapat mengatasinya dengan serangkaian tangkisan. Sehingga, benturan keras pun tidak dapat dihindarkan.

Trangngng! Trangngng!

Legawa ternyata sangat licik. Tenaga tangkisan lawan digunakan untuk menyusuli serangannya. Sengaja ia mengendurkan tenaganya saat senjata lawan membentur pedangnya. Kemudian memutarnya dengan secepat kilat. Dan terus meluncur deras mengancam tenggorokan Ki Luganta. Hingga....

Brettt!

“Hekkkh!”

Ki Luganta tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Sambaran mata pedang lawan merobek tenggorokannya. Diiringi menyemburnya darah segar dari luka menganga di lehernya Ki Luganta, tubuh sesepuh Desa Kendal itu tersungkur tewas seketika itu juga.

“Yiaaattt...!”

Legawa tidak berhenti sampai di situ. Saat Sujanta terpaku melihat kematian rekannya, pedang di tangan perwira gemuk itu kembali melesat mencari sasaran.

Whuttt, brettt...!

“Aaakh…!”

Sujanta berusaha menghindar. Namun gerakannya kalah cepat. Mata pedang Legawa keburu datang merobek dada kanannya. Darah segar menyembur deras dari luka yang cukup dalam itu. Dan sebelum Sujanta sempat menyadarinya, kembali pedang Legawa berkelebat dua kali! Tanpa ampun lagi, tubuh Sujanta tersungkur roboh. Darah membasahi di sekujur tubuhnya. Lelaki gagah itu tewas dengan tiga luka memanjang di bagian dadanya.

“Keparat! Kubunuh kauuu...!”

Ki Sugali kalap bukan main melihat kematian pembantu-pembantu setianya. Dengan kemarahan yang menggelegak lelaki tua itu menerjang maju. Pedang di tangannya berputaran menimbulkan suara mengaung keras.

Bwettt, bwettt, bwettt!

Serangan Ki Sugali menemui tempat kosong. Legawa ternyata pandai membaca serangan lawan. Perwira gemuk itu telah bergeser mundur sebelum mata pedang Ki Sugali melukainya. Kemudian, membalas dengan tusukan ujung pedang yang bergetar mengaburkan pandangan lawan.

“Yaaattt...!”

Pekikan keras Legawa yang disertai suara berkesiutan angin pedang membuat Ki Sugali sedikit gugup. Kendati demikian, lelaki tua itu masih sempat menghindari. Bahkan, dapat menyabetkan pedangnya ke pangkal lengan lawan.

Brettt!

“Aaakhhh...!?”

Legawa memekik kesakitan. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah. Saat itu Ki Sugali menyusuli serangannya dengan tusukan maut yang mematikan. Tapi....

Blesss!

“Aaakh...!”

Ki Sugali meraung keras. Tubuhnya tertembus ujung pedang hingga ke perut. Rupanya, pada saat yang gawat itu Guranta dengan licik membokong Kepala Desa Kendal. Sehingga Ki Sugali yang sangat bernafsu merobohkan Legawa tidak sempat menyadarinya.

“Mampusss...!” desis Guranta seraya mencabut pedang yang menyate tubuh lelaki tua itu.

Darah segar membanjir membasahi bumi Desa Kendal. Tubuh lelaki tua yang gagah itu ambruk dengan nyawa melayang meninggalkan raga. Kematian ketiga sesepuh Desa Kendal membuat perlawanan penduduk kocar-kacir. Dalam waktu singkat mereka dapat didesak. Beberapa di antaranya berusaha mencari selamat.

Tapi, Legawa dan pasukannya tidak tinggal diam. Mereka segera mencegah dengan sambaran pedang. Sehingga, orang-orang malang itu roboh dengan tubuh luka. Kecuali yang muda-muda dan kuat, semua lelaki penduduk Desa Kendal dibantai habis. Tidak peduli lelaki itu sudah berusia tua sekalipun! Tidak berapa lama setelah kematian Ki Sugali dan dua orang kepercayaannya perlawanan penduduk pun berakhir. Mereka menyerah dan melemparkan senjatanya. Kemudian, berlutut di hadapan Legawa.

“Bagus. Kalian ternyata masih berpikiran waras. Kalau sejak semula kalian bersikap seperti ini, tentu warga desa ini tidak akan binasa,” Legawa tampak puas dengan keberhasilan tugasnya. Meski, pangkal lengannya terluka oleh sayatan pedang Ki Sugali.

Legawa kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengumpulkan orang-orang yang diperlukan. Tanpa kasihan para prajurit itu mengguyur mereka yang masih tak sadarkan diri. Sehingga, orang-orang desa yang memang sengaja dibuat pingsan tersadar.

Karena saat itu matahari sudah bergeser jauh ke barat, Legawa memerintahkan pasukannya untuk bermalam di desa itu dan mengumpulkan tawanan yang berjumlah tiga puluh orang di balai desa dengan dijaga anggota pasukannya. Walau kehilangan dua orang prajuritnya, Legawa tidak kecewa. Ia cukup banyak mendapat tawanan untuk dipekerjakan membangun istana peristirahatan Prabu Pungga Dewa.

TIGA

Perbuatan Legawa dan pasukannya semakin menjadi-jadi. Setelah mengurung semua lelaki yang akan dibawanya, ia tidak melewatkan kesempatan selagi bermalam. Gadis-gadis desa dan janda-janda yang baru kehilangan suami dipaksa untuk menemaninya. Seolah Legawa hendak merayakan kemenangannya tadi siang.

Apalah daya wanita-wanita desa yang lemah itu melawan kekuatan dan keganasan pasukan Legawa. Mereka hanya bisa menangis mengutuki nasibnya yang buruk. Tapi semua itu tidak berani mereka tunjukkan di hadapan Legawa dan pasukannya. Karena mereka tidak segan-segan bertindak kasar kepada wanita-wanita. Dengan kejamnya mereka dipaksa melayani prajurit-prajurit itu secara bergiliran. Kelihatannya, pasukan Kerajaan Tampak Serang benar-benar telah berubah menjadi iblis keji!

“Hua ha ha...!”

Dalam salah satu ruangan balai desa yang telah dilengkapi pembaringan Legawa tertawa-tawa penuh kepuasan. Lelaki gemuk itu terbaring bertelanjang dada dengan ditemani dua orang gadis yang tentu saja berparas cantik. Dengan ganas Legawa memuaskan nafsu iblisnya. Sementara gadis-gadis malang itu hanya bisa menuruti kehendaknya. Sebab, bila mereka berani membantah Legawa tidak segan-segan memberikannya kepada anggota pasukannya untuk digilir. Dapat dibayangkan betapa malangnya nasib wanita-wanita Desa Kendal, yang tidak pernah membayangkan akan menerima nasib seburuk itu.

Pesta pora Legawa dan pasukannya berlangsung sampai jauh malam. Dan baru usai ketika mereka mabuk karena terlalu banyak minum arak dan, kelelahan. Tubuh mereka bergeletakan di sembarang tempat. Meskipun begitu, tak seorang pun yang mengganggu ketenangan tidur mereka. Selain kaum lelakinya telah dikurung dalam sebuah ruangan tertutup, wanitanya pun mereka buat mabuk dengan menjejalkan arak secara paksa. Sehingga, malam itu benar-benar sunyi dan sepi.

Saat sinar matahari menerobos masuk menggantikan tugas sang Rembulan, Legawa menggeliat dari tidurnya. Kemudian bergerak bangkit dan membangunkan pasukannya dengan kasar. Mereka segera diperintahkan untuk bersiap meninggalkan Desa Kendal. Tidak berapa lama kemudian terlihatlah serombongan orang berkuda keluar dari Desa Kendal. Di belakang pasukan berkuda tampak dua puluh lima orang lelaki. Tangan mereka terikat tali-tali kuat sebesar ibu jari, yang dikaitkan satu sama lain dan dihubungkan ke tubuh kuda-kuda para prajurit.

Sinar matahari naik semakin tinggi saat rombongan Legawa telah cukup jauh meninggalkan Desa Kendal. Mereka sedikit pun tidak mempedulikan orang-orang di belakangnya, yang melangkah terseret-seret mengikuti gerak kaki kuda. Karena betapa pun pelan langkah kaki kuda itu tetap saja masih terlalu cepat bagi mereka.

Perjalanan yang jauh dengan medan berat dan sorotan sinar matahari garang membuat orang-orang Desa Kendal tersiksa. Terlihat beberapa dari mereka sudah mulai payah dan hampir tidak sanggup melangkah lagi, Kerongkongan mereka terasa kering, kendati wajah dan tubuhnya basah oleh peluh yang tak hentinya mengalir.

“Aiiir...!” salah seorang warga Desa Kendal yang sudah tidak sanggup menahan dahaga berteriak parau. Lidah lelaki itu menjilati bibirnya yang kering dan mulai pecah-pecah.

Tapi, rintihan itu tidak dipedulikan prajurit-prajurit kerajaan. Bahkan mereka malah menambah kecepatan lari kudanya. Sehingga, mereka yang sudah tidak sanggup melangkah terjerembab jatuh dan terseret-seret di tanah. Tampaknya mereka memang hendak menyiksa tawanan-tawanan itu.

“Biadab! Kalian benar-benar tidak berperi-kemanusiaan!” salah seorang dari tawanan tidak dapat lagi mengendalikan diri. Sumpah-serapahnya segera meluncur.

“Salahmu sendiri, Orang-orang Tolol! Kalau saja tidak memberontak, tentu tidak akan begini nasib kalian. Sebab, biasanya kami membawa para pekerja dengan menggunakan pedati. Tapi karena kalian telah berani memberontak, kami tidak segan-segan lagi untuk berlaku kejam!” prajurit berbibir tebal yang menaruh dendam kepada warga Desa Kendal menyahuti dengan sorot mata puas. Kemudian kembali berpaling ke depan dan tidak peduli lagi.

“Kalian benar-benar, Iblis...!” lelaki bertubuh gagah yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu kembali memaki. Karena memang cuma itu yang bisa dilakukannya.

“Hm.... Mulutmu lancang sekali...!” geram prajurit berbibir tebal. Dicabutnya pecut dari punggung kuda. Dan ujung pecut itu langsung berbicara.

Cletarrr, ctarrr...!

Setelah meledak-ledak beberapa kali di udara, ujung pecut meluncur turun mengancam tubuh lelaki gagah yang barusan melontarkan makian. Tapi....

Taaappp!

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sesosok bayangan putih mengulurkan tangan menangkap ujung pecut. Hingga, ujung pecut yang meluncur deras itu langsung dijepit dengan dua jari. Gagallah cambukan prajurit berbibir tebal.

“Tindakan kalian sudah melebihi batas, Tuan Prajurit yang gagah!” ujar sosok berjubah putih, yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan. Dan pemuda itulah yang telah berhasil menangkap luncuran ujung pecut dari prajurit berbibir tebal tadi.

“Kurang ajar! Siapa kau? Rupanya kau pun ingin memberontak terhadap Kerajaan Tampak Serang!” geram prajurit berbibir tebal. Prajurit itu rupanya belum menyadari bahwa pemuda tampan berjubah putih itu bukanlah orang sembarangan. Ia mampu menangkap ujung cambuk hanya dengan menggunakan dua buah jari. Jelas, pemuda itu tidak bisa disamakan dengan tawanan-tawanan itu.

“Hm.... Mudah sekali kau menuduh orang dengan sebutan pemberontak, Tuan Prajurit yang gagah...,” tukas pemuda tampan berjubah putih. Pemuda itu sengaja memanggil dengan sebutan 'Tuan Prajurit yang gagah'. Sebutan yang tidak cocok itu memang sengaja diucapkannya agar prajurit itu malu.

Perdebatan di barisan belakang rupanya menarik perhatian anggota pasukan lainnya. Bahkan, Legawa yang berada di barisan depan menyempatkan diri menoleh ke belakang. Keningnya berkerut melihat salah seorang anggota pasukannya bersitegang dengan seorang pemuda tampan berjubah putih. Merasa perjalanannya terganggu, Legawa segera mengeluarkan perintahnya.

“Siksa dan tangkap pemberontak itu!” pekik Legawa. Perwira gemuk itu tampaknya ingin memanfaatkan tenaga pemuda tampan berjubah putih. Itu sebabnya, ia tidak memerintahkan anggota pasukannya untuk membunuh pemuda itu.

Tapi, sebelum perintah itu dilaksanakan pemuda tampan berjubah putih telah lebih dulu bertindak. Ujung pecut yang terjepit di antara kedua jarinya langsung disentakkan.

“Aaakh...!?”

Prajurit berbibir tebal yang masih memegang gagang cambuk memekik ngeri. Tubuhnya tersentak dari atas punggung kuda. Dan meluncur turun dengan deras. Tanah berbatu di bawahnya telah siap menanti tubuh prajurit naas itu. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh prajurit itu terbanting ke tanah. Untungnya ia sempat melindungi wajah dengan menekuk kedua siku lengannya. Sehingga, tidak sampai membentur bebatuan kecil yang bertebaran di jalan.

Pemuda tampan berjubah putih itu sendiri sudah tidak mempedulikan lawannya lagi. Ia sibuk memutuskan tali pengikat penduduk Desa Kendal yang dihubungkan ke tubuh kuda. Hanya dengan sekali sentak, tali-tali yang kuat itu langsung putus. Tampaknya, kemunculannya memang untuk menyelamatkan penduduk Desa Kendal.

“Keparat! Bunuh pemuda setan itu...!” Legawa berteriak kalap. Lelaki gemuk itu kelihatan sangat terkejut melihat pemuda itu dapat dengan mudah memutuskan tambang pengikat. Sadarlah Legawa kalau yang dihadapi-nya seorang tokoh persilatan.

“Kalian kembalilah ke desa. Aku yang akan menghadapi pasukan berhati iblis ini...,” ujar pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Pendekar Naga Putih.

“Tapi..., kami tidak ingin Kisanak celaka karena ingin menolong kami...!” lelaki gagah yang tadi memaki berkata penuh kekhawatiran. Ucapan itu jelas menggambarkan keluhuran hatinya. Karena ia mengkhawatirkan nasib pemuda tampan berjubah putih itu.

“Tidak perlu cemas, Kisanak. Aku bisa menjaga diri. Pergilah dan tenangkan pikiranmu...,” tukas pemuda itu seraya tersenyum cerah. Ucapan lelaki gagah itu membuat hatinya terharu. Meski hanya seorang petani, ternyata ia tidak mementingkan keselamatan dirinya sendiri.

“Tapi...,” lelaki gagah itu mencoba membantah.

“Pergilah, Kisanak yang gagah...,” ujar Pendekar Naga Putih. Kemudian didorongnya tubuh petani gagah itu. Karena saat itu sembilan orang prajurit kerajaan sudah berlompatan dengan senjata di tangan.

Tanpak banyak cakap, Pendekar Naga Putih segera bertindak. Sembilan orang prajurit yang bergerak maju tersentak kaget! Mereka mendapati sosok pemuda berjubah putih itu lenyap! Dan, senjata mereka yang semula tergenggam erat tahu-tahu sudah berpindah tangan. Tampak tangan kanan pemuda itu menggenggam senjata.

“Gila...?!” salah seorang prajurit berseru dengan wajah pucat. Ia tidak percaya dengan kejadian yang dialaminya.

“Senjata bukanlah barang mainan. Terlalu berbahaya jika menggunakannya secara sembarangan. Sebaiknya senjata-senjata ini dipergunakan dengan baik. Tapi, bukan membunuhi orang-orang tidak berdosa...,” ujar Pendekar Naga Putih yang kini telah berdiri tegak di hadapan sembilan orang prajurit Legawa. Wajahnya tetap tenang tanpa menyorotkan ancaman. Bahkan, senyumnya tak lepas dari bibir.

Legawa sampai terjingkat di atas punggung kuda. Kejadian itu seperti mimpi. Kendati ia tahu dunia persilatan banyak dihuni tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, tetap saja ia meragukan penglihatan. Tokoh itu demikian muda. Kalau saja yang melakukannya seorang kakek tentu ia masih bisa percaya. Tapi seorang pemuda! Benar-benar Legawa dibuat heran. Sehingga, untuk beberapa saat belum bisa mengeluarkan suara sepatah pun. Kenyataan yang terpampang di depan matanya membuat Legawa tidak habis pikir.

“Hei, mengapa berdiri saja seperti patung? Ayo, bunuh pemuda pemberontak itu...!” Legawa berteriak memberi perintah setelah tersadar dari kekagetannya. Cepat tubuhnya meluncur turun diikuti dua perwira pembantunya.

Teguran Legawa membuat para prajurit itu sadar dari keadaannya yang memalukan. Serentak mereka bergerak maju mengandalkan kaki dan tangannya. Karena senjata mereka telah direbut pemuda tampan itu.

“Hm....” Panji bergumam perlahan. Kamudian, tangannya digerakkan ke kiri-kanan saat serangan lawan tiba. Meskipun gerakan tangan pemuda itu kelihatan sederhana, tapi mengejutkan Legawa dan dua perwira lainnya. Tubuh sembilan orang prajuritnya terlempar ke kiri-kanan seperti dilontarkan tangan-tangan raksasa yang tak tampak. Sedikit pun tidak mereka sadari kalau Pendekar Naga Putih telah melemparkan mereka dengan sambaran angin pukulannya. Mereka jatuh tanpa sempat memperbaiki kuda-kudanya.

Kaget bukan main hati Legawa serta dua perwira lainnya menyaksikan kejadian itu. Bagaimana para prajuritnya dapat dibuat tunggang-langgang hanya dengan gerakan sederhana? Legawa segera meloloskan pedang. Lalu, memberi isyarat kepada dua perwira pendampingnya untuk mengeroyok pemuda itu. Dengan senjata di tangan, Legawa bergerak menghampiri Pendekar Naga Putih. Sepasang matanya menatap penuh selidik seolah hendak mengenali siapa pemuda itu. Namun, tetap saja ia tidak bisa mengenalinya.

“Kisanak,” ujar Legawa. Langkahnya berhenti satu tombak dihadapan sosok pemuda tampan itu. “Perbuatanmu ini bisa mengakibatkan dirimu terlihat dalam kesulitan besar. Kau bisa dituduh memberontak karena berani menghalangi tugas resmi dari Gusti Prabu Pungga Dewa. Karena itu, kuberi peringatan kepadamu! Berlututlah dan meminta ampunan. Mungkin aku bisa mempertimbangkan tindakanmu.”

Mendengar ucapan perwira gemuk itu, Pendekar Naga Putih malah tersenyum. Meski demikian, kilatan pada sepasang matanya tampak menyembunyikan kegusaran. Untuk beberapa saat pemuda itu hanya menatap ketiga perwira di depannya. Kemudian, berkata dengan suara halus dan tenang.

“Tuan-tuan Perwira yang gagah,” ujar pemuda itu perlahan namun jelas terdengar, “Mungkin benar kalian mendapat tugas resmi dari Gusti Prabu Pungga Dewa. Tapi, beginikah cara petugas pemerintah memperlakukan rakyat? Haruskah mereka diikat seperti binatang dan diseret sepanjang jala tanpa diberi setetes air penghilang dahaga mereka. Tidakkah tindakan itu terlalu berlebihan? Atau memang begitu bunyi surat perintah Gusti Prabu Pungga Dewa?” dengan beraninya pemuda itu bertanya penuh penasaran. Kelihatan sekali Panji tidak merasa gentar.

“Seharusnya memang tidak. Tapi karena mereka berani memberontak dan mengakibatkan dua prajurit kami tewas, terpaksa kami menyiksa mereka agar menjadi contoh bagi penduduk desa lainnya,” bantah Legawa. Perwira gemuk itu tampak mulai merasa geram karena Panji berani menyalahkan tindakannya.

“Hm... Pasti ada alasan kuat mengapa mereka melakukan perlawanan. Mana mungkin penduduk desa yang biasanya sangat ramah dan taat sampai mau menentang kalau tidak ditekan dan disakiti” tukas Panji, membuat wajah Legawa dan dua perwira lainnya merah terbakar.

“Kau semakin kurang ajar saja, Kisanak! Kalau kami berbuat kasar itu karena mereka berani membangkang. Semua ucapanmu membuktikan bahwa kau menyetujui tindakan mereka. Dengan demikian kau berarti hendak memberontak terhadap kerajaan!”

Merasa kalah bicara, Legawa tidak memperpanjang perdebatan itu. Tubuhnya bergerak maju beberapa langkah. Dan pedang di tangannya diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan deruan ingin keras. Dua orang perwira lainnya pun melakukan hal yang sama. Mereka bergerak dari kiri dan kanan. Tampaknya mereka hendak mengeroyok pemuda tampan itu.

“Hm..., begitu lebih baik...,” ujar Panji. Sedikit pun ia tidak merasa gentar menghadapi ketiga perwira yang jelas-jelas hendak mencelakainya.

“Haaattt...!”

Legawa membuka serangan dengan sebuah teriakan parau. Pedang di tangannya berkelebat mendatar. Rupanya, perwira gemuk itu menyadari bahwa lawannya cukup memiliki kemampuan. Dalam jurus pertama ia langsung mengerahkan seluruh tenaganya.

Pendekar Naga Putih tetap berdiri tegak tanpa merasa cemas. Ia menunggu sampai mata pedang tiba. Saat itu, dua perwira dari kiri-kanannya juga melancarkan tusukan dan sambaran pedang. Melihat jurus-jurus serangan itu, Pendekar Naga Putih tahu mereka hendak membunuhnya.

Bweeet, bweeet! Syuuuttt...!

Tiga batang mata pedang mengancam disertai desingan tajam menusuk telinga. Pendekar Naga Putih hanya perlu menarik mundur kaki depannya selangkah. Dengan memiringkan badan, serangan pedang Legawa lewat satu jengkal di depan tubuhnya. Sedangkan dua serangan dari kiri-kanannya disambut dengan mengembangkan kedua lengan. Kemudian, lengan itu berputar dan menggedor dada dua perwira itu.

Desss, desss!

“Hukhhh!”

“Uggghhh!”

Tanpa ampun lagi, tubuh kedua perwira itu terhempas deras ke belakang. Cairan merah meleleh keluar dari sudut bibir. Agaknya, bagian dalam tubuh kedua perwira itu terguncang oleh hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih. Mereka menggigil untuk beberapa saat. Karena tenaga pukulan Pendekar Naga Putih mengandung hawa sedingin es.

Dalam waktu yang hampir bersamaan Legawa memperoleh tendangan lurus kaki kanan Pendeka Naga Putih. Dengan telak tendangan itu bersaran di perutnya. Karuan saja lelaki gemuk itu terbungkuk menahan mual. Wajahnya seketika menjadi gelap. Dan sepasang matanya membelalak bagai hendak terlompat keluar.

“Hiaaahhh!”

Disertai bentakan keras Pendekar Naga Putih mengibaskan tamparannya ke wajah Legawa. Lelaki gemuk itu tidak sempat lagi menghindari. Hingga....

Prattt!

Tanpa dapat dicegah Legawa terpelanting dan jatuh berdebuk. Perwira gemuk itu tidak bisa segera bangkit. Karena kepalanya masih terasa berat. Dan kedua telinga nya berdenging.

EMPAT

“Bangsat...!” Legawa melompat bangkit dan melontarkan makian seraya menggoyang-goyangkan kepala. Kemudian, senjatanya mengibas ke kiri-kanan menerbitkan desingan tajam. Legawa siap melanjutkan pertarungan. Gumantara dan temannya pun telah bangkit. Keduanya kembali membuka jurus dengan putaran pedang. Mereka melompat maju dari samping dan belakang.

“Yeaaattt...!”

Dibarengi teriakanbkeras, Legawa menyabetkan pedangnya dengan gerak menyilang. Kilatan sinar putih berkilau seiring datangnya senjata maut itu. Dari dua jurusan lain, dua pengeroyok Pendekar Naga Putih juga telah maju menerjang. Pedang di tangan mereka siap merenggut nyawa Pendekar Naga Putih. Rupanya, pukulan-pukulan Pendekar Naga Putih yang singgah di tubuh mereka membuat keduanya mendendam. Itu terlihat dari semakin ganasnya serangan mereka.

Bwettt! Bwettt! Bweet!

Sambaran ketiga batang pedang itu sedikit pun tidak menyulitkan Pendekar Naga Putih. Dengan mengandalkan kegesitannya, tubuhnya berkelebatan di antara pedang lawan. Dan semua serangan itu kandas tanpa hasil.

“Haaaiiittt..!”

Sambil berseru keras Pendekar Naga Putih membalas serangan lawan. Telapak tangannya berkelebatan menerbitkan desiran angin dingin menusuk tulang. Kecepatan gerak pemuda itu membuat lawan-lawannya gugup. Terutama sambaran hawa dingin, yang menghambat gerak mereka. Hawa dingin itu sanggup membekukan otot-otot tubuh mereka. Sehingga gerakan mereka jadi tak beraturan.

Kali ini Panji memang tidak ingin memberi kesempatan kepada lawan untuk membangun serangan. Tamparan dan pukulannya datang bagai air bah. Tentu saja ketiga perwira itu semakin terdesak. Sampai akhirnya mereka tak sanggup lagi melindungi tubuhnya. Dan....

Bukkk!

“Aaakh...!”

Legawa mendapat bagian pertama. Perwira gemuk itu terjengkang ke belakang. Sebuah pukulan telah menyodok iganya. Tanpa ampun lagi tubuh perwira gemuk itu terbanting ke tanah. Dan ia tidak sanggup bangkit lagi. Kesadarannya telah lenyap. Legawa pingsan akibat pukulan lawan.

Dua orang perwira lainnya pun tidak dapat bertahan lebih lama. Tamparan dan tendangan Panji melemparkan tubuh keduanya sejauh dua tombak. Keduanya langsung menggeletak pingsan. Melihat lelehan darah dari sela-sela bibir mereka, kedua perwira itu tampaknya mengalami luka dalam. Seperti halnya Legawa.

Menyaksikan ketiga pimpinannya tak berdaya menghadapi pemuda itu, para prajurit menjadi pucat. Mereka bergerak mundur dengan wajah dibasahi keringat dingin. Jelas, mereka merasa gentar menghadapi Panji.

“Hm..., sebaiknya bawa pergi pimpinan kalian itu. Dan kuingatkan agar kalian tidak lagi melakukan pemaksaan terhadap rakyat yang tak berdosa. Kalau tenaga mereka kalian perlukan, mintalah dengan baik-baik. Aku yakin kalau demi kemajuan bangsa dan Kerajaan Tampak Serang rakyat akan bersedia menyumbangkan tenaga dan pikirannya. Camkan itu baik-baik!” ujar Panji pada sepuluh orang prajurit Kerajaan Tampak Serang yang hanya mengangguk dengan hati berdebar penuh rasa takut.

Setelah mengingatkan para prajurit itu, Pendekar Naga Putih bergerak menghampiri penduduk Desa Kendal. Mereka ternyata belum juga mau pergi meninggalkan tempat itu.

“Mengapa kalian masih berada di sini?” tegur Panji.

“Kami belum mengucapkan terima kasih kepada Tuan Pendekar. Selain itu, kami khawatir mereka akan datang lagi untuk menghukum dan menyeret kami secara paksa...,” petani bertubuh gagah yang kelihatan paling berani dan pandai berbicara segera menyahuti.

Mendengar ucapan itu, Panji tercenung sejenak. Dipandanginya wajah-wajah yang membayangkan kecemasan itu untuk beberapa saat. Dan, terhenti pada seraut wajah gagah yang barusan mengutarakan kekhawatirannya.

“Aku mengerti perasaan kalian. Tapi percayalah. Aku tidak akan tinggal diam. Kejadian ini membuatku ingin mencari tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi di Kerajaan Tampak Serang. Aku akan menuntaskan masalah ini secepatnya. Untuk itu, kuharap kalian tidak perlu merasa cemas,” ujar Panji yang tentu saja bukan cuma sekadar menghibur. Tapi, ia benar-benar hendak menyelidiki kejadian itu.

Janji pemuda tampan berjubah putih itu tampaknya melegakan hati penduduk Desa Kendal. Mereka memandang wajah Panji dengan pandangan terima kasih.

“Nah, sekarang sebaiknya kalian pulang. Biar porsoalan ini aku yang menyelesaikannya...,” lanjut Panji dengan nada tidak ingin dibantah, meski tetap sopan dan lembut.

“Tapi..., kami belum mengenal siapa Kisanak yang gagah?” tanya petani gagah mewakili pertanyaan yang tersimpan dalam hati kawan-kawannya

“Panggil saja aku Panji...,” sahut Panji tersenyum ramah. Kemudian, menganggukkan kepala mengiringi langkah orang-orang Desa Kendal yang bergerak meninggalkan tempat itu. Panji baru bergerak pergi setelah rombongan penduduk Desa Kendal lenyap di kejauhan. Demikian pula rombongan pasukan Kerajaan Tampa Serang. Tempat itu pun kembali sepi tanpa seorang pun terlihat.

********************

“Ini tidak bisa didiamkan. Kita harus meminta keadilan di kotaraja. Apa yang dilakukan pihak kerajaan jelas tidak adil, dan menyengsarakan rakyat yang memang kehidupannya sudah susah!” Ucapan penuh rasa penasaran dan tak puas itu keluar dari mulut seorang lelaki tegap. Saat itu tengah duduk di sebuah kedai bersama dua orang kawannya.

“Benar!” lelaki kedua yang sepasang matanya bersinar tajam dengan wajah terhias kumis lebat menimpali. “Kalau cuma karena sebuah istana untuk tempat peristirahatan Gusti Prabu Pungga Dewa, mengapa keringat rakyat harus diperas demikian kejam? Kalau pun pihak kerajaan memang memerlukan tenaga rakyat, semestinya mereka memberi imbalan yang pantas. Karena rakyat membutuhkan makan serta pakaian. Ini jelas harus kita tentang!” lanjutnya tak puas.

Sedang orang ketiga yang lebih tua dari kedua temannya hanya diam mendengarkan. Meski demikian, lelaki empat puluh lima tahun itu berpikir keras. Ia memang bukan tidak mendengarkan ucapan kedua kawannya. Tapi, tengah berusaha mencari jalan keluar yang baik.

“Bagaimana, Kakang Wiguna? Kalihatannya kau tidak begitu mendengarkan pembicaraan kami?” tegur lelaki tegap yang pertama kali berbicara. Ia merasa heran melihat tidak adanya tanggapan dari lelaki itu.

Ki Wiguna tidak segera memberikan jawaban. Ia menarik napas sebentar. Kemudian ditatapnya wajah kedua kawannya dengan tenang. Dan kembali menarik napas. Kali ini cukup panjang dan agak berat

“Adi Ranggala, Adi Gowanta,” ujar Ki Wiguna perlahan dan tenang, tanpa terburu-buru, “Semua yang kalian bicarakan tadi tentu saja aku dengar dengan jelas. Masalahnya, kita tidak bisa langsung bertindak dan melaporkan hal ini. Seperti kita semua tahu, para prajurit kerajaan memiliki surat resmi dari Gusti Prabu Pungga Dewa. Itu berarti pihak kerajaan memang benar-benar mengutus tentaranya untuk mencari tenaga guna membangun istana peristirahatan itu. Hanya cara kerja mereka yang tidak bisa kita terima. Jika kita mendatangi kotaraja dan mengadukan hal ini, kemungkinan besar kitalah yang dituduh menyebar fitnah. Sebab, bukan tidak mungkin semua ini merupakan kerja orang-orang yang duduk di pemerintahan. Aku khawatir mereka malah akan menjebloskan kita ke dalam penjara. Atau mungkin lebih buruk dari itu.”

Mendengar ucapan Ki Wiguna, Ranggala dan Gowanta saling bertukar pandang dengan kening berkerut. Tampaknya mereka tidak berpikir ke arah itu. Keduanya kaget mendengar perkataan Ki Wiguna.

“Kalau begitu apa yang sebaiknya kita lakukan untuk menghadapi hal ini, Kakang?” Ranggala, lelaki tegap itu membuka suara dengan agak putus asa. Apa yang baru saja dipaparkan Ki Wiguna memang cukup masuk akal.

“Itulah yang membuatku termenung, Adi Ranggala. Sayangnya sampai saat ini aku belum juga menemukan jalan keluar yang baik,” sahut Ki Wiguna dengan wajah menyesal.

Ranggala dan Gowanta menarik napas panjang. Jawaban Ki Wiguna membuat mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Untuk beberapa saat, mereka termenung mengikuti arus pikiran masing masing.

“Begini saja, Kakang,” tiba-tiba Gowanta memecahkan keheningan di antara mereka. Rupanya, ia mendapatkan sebuah pemikiran yang cukup baik.

“Bagaimana...?” tanya Ki Wiguna sungguh-sungguh.

“Katakanlah, Adi Gowanta. Siapa tahu jalan pikiranmu cukup baik bagi kita,” Ranggala kelihatan tak sabar ketika melihat Gowanta agak ragu untuk menyampaikannya.

“Menurutku sebaiknya kita berpura-pura ikut bekerja membangun istana peristirahatan itu. Saat para prajurit mencari pekerja ke desa, kita ikut mendaftar. Dengan begitu kita bisa melihat bagaimana nasib para penduduk yang bekerja di sana. Kalau memang benar para prajurit itu bertindak kejam, tinggal kita terobos dan membebaskan rakyat yang bernasib buruk itu. Bagaimana? Apakah kalian setuju?” tanya Gowanta setelah menjelaskan usulnya.

“Usul itu memang cukup bagus. Sayangnya mengandung resiko yang cukup besar,” tukas Ranggala kurang setuju dengan usul Gowanta.

“Benar. Selain itu, aku telah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh persilatan yang melakukan tindakan itu. Tapi, mereka tidak pernah dapat keluar dari tempat itu. Karena di sana terdapat jagoan-jagoan kerajaan yang berkepandaian tinggi. Jelas usul Adi Gowanta tidak mungkin dapat kita lakukan. Itu sama saja dengan memasuki sarang harimau!” jelas Ki Wiguna juga kurang setuju. Ia memang lebih banyak tahu ketimbang Ranggal dan Gowanta.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang. Rasanya aku tidak tega membiarkan hal ini berlarut-larut. Apalagi menurut selentingan kabar yang terdengar sudah cukup banyak korban berjatuhan di tempat itu. Rakyat bekerja dalam tekanan yang berat, tak ubahnya kerja paksa! Selain tidak diberi imbalan, makan dan tidur mereka pun tidak teratur. Bukankah ini sudah melewati batas?” Gowanta kembali mengungkapkan rasa tidak puasnya terhadap kerajaan.

Ki Wiguna dan Ranggala tidak menyahuti. Pembicaraan terputus karena mereka mendengar suara langkah kaki mendatangi meja mereka. Ada sedikit ketegangan tergambar di wajah mereka. Jelas, ketiga tokoh persilatan itu sangat berhati-hati. Mereka takut ada mata-mata yang mendengarkan pembicaraan itu, kendati ucapan mereka dilakukan dengan hati-hati.

“Maaf, kalau kehadiranku mengganggu pembicaraan Kisanak bertiga,” ucapan itu terdengar begitu sopan, menunjukkan kehalusan budi pemiliknya. Hingga, ketiga lelaki gagah itu menolehkan kepala dan menatap pemilik suara. “Aku sempat mendengarkan pembicaraan sanak bertiga. Dan rasanya aku tertarik untuk ikut bergabung. Tentu saja kalau Kisanak tidak keberatan menerimaku,” kembali orang itu menyambung ucapannya.

Ki Wiguna dan dua orang kawannya belum juga menyahut. Mereka meneliti orang yang berbicara itu. Ia adalah seorang pemuda tampan dengan air muka segar penuh senyum. Tubuhnya yang sedang namun kelihatan berisi terbungkus jubah putih sebatas lutut. Keseluruhan penampilan pemuda itu simpatik dan menimbulkan rasa suka bagi yang memandangnya.

Tapi yang lebih menarik ketiga lelaki gagah itu adalah tatapan mata-pemuda tampan berjubah putih. Sinar matanya terlihat demikian tajam dan penuh perbawa. Sebagai orang-orang persilatan, ketiganya tahu dan sekaligus terkejut. Sinar mata seperti itu hanya dimiliki tokoh-tokoh sakti, yang tenaga dalamnya telah mencapai taraf sempurna. Mereka menjadi heran dan tertegun beberapa saat.

“Kalian keberatan jika aku ikut bergabung...?” Pertanyaan yang diucapkan dengan perlahan itu ternyata mengejutkan Ki Wiguna dan kawan-kawannya. Serentak wajah ketiganya menjadi kemerahan. Sadar akan sikapnya yang kurang bijaksana dan seperti orang bodoh.

“Aaa.... Tidak... tidak.... Kami sama sekali tidak keberatan...,” cepat-cepat Ki Wiguna menukas seraya memperbaiki sikapnya yang kurang pantas.

“Benar, Kisanak. Kami sama sekali tidak keberatan. Silakan...,” Ranggala ikut menimpali kendati terlihat agak salah tingkah.

“Terima kasih...,” ujar pemuda tampan itu tersenyum dan menarik kursi yang masih kosong. Kemudian duduk dengan tenang sambil merayapi wajah ketiga lelaki gagah itu. Karena masih belum mengetahui dengan jelas maksud pemuda tampan itu bergabung dengan mereka, Ki Wiguna dan kawan-kawannya berdiam diri. Mereka tidak ada yang berbicara. Itu berlangsung beberapa saat.

“Maaf,” pemuda tampan itu akhirnya memulai percakapan. “Ada baiknya kalau aku memperkenalkan diri. Mudah-mudahan dengan begitu kita bisa saling terbuka. Namaku Panji. Seorang perantau miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap.”

“Panji...!?” Ki Wiguna kelihatan agak terkejut mendengar nama itu. Keningnya berkerut dalam seperti tengah memikirkan sesuatu. Ditatapnya pemuda yang duduk di depannya dengan penuh selidik dan dada berdebar. Sehingga, Ranggala dan Gowanta menjadi heran melihat sikap kawannya.

“Benar. Aku bernama Panji...,” jelas pemuda tampan berjubah putih menegaskan.

“Kisanak,” akhirnya Ki Wiguna mengeluarkankan suara setelah membisu beberapa saat. “Katakanlah dengan jujur. Apakah kau berjuluk Pendekar Naga Putih?” tanya Ki Wiguna, debaran dalam dadanya terasa semakin keras. Rupanya, lelaki tua itu pernah mendengar nama Panji. Meski lupa-lupa ingat tentang tempat dan waktunya.

“Begitulah orang-orang memberikan julukan kepadaku,” sahut Panji membenarkan dugaan Ki Wiguna. Ia merasa tak perlu menyembunyikan julukannya. Semua itu tentu saja berdasarkan beberapa pertimbangan.

“Pendekar Naga Putih...?!”

Ranggala dan Gowanta berdesis dengan wajah berubah tegang! Kedua lelaki gagah itu sedikit pun tidak menduga kalau pemuda tampan di depannya pendekar besar yang namanya telah menggetarkan jagat.

“Benar! Kau pastilah Pendekar Naga Putih...!” seru Ranggala dengan suara ditekan sekecil mungkin. Tampaknya, ia tidak ingin pengunjung kedai mendengar disebutnya nama pendekar besar itu.

Ki Wiguna tersenyum lebar tak sanggup menahan luapan kegembiraan. Lelaki gagah itu tertawa sebagai ungkapan rasa senangnya dapat berjumpa dengan tokoh muda yang sepak terjangnya telah merepotkan golongan sesat. Sama sekali tidak disangkanya hari ini dapat berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang tersohor itu.

“Maaf kalau sambutan kami tadi sangat tidak layak, Pendekar Naga Putih. Kami benar-benar tidak menduga akan kehadiranmu di kedai ini...,” ucap Ki Wiguna yang segera bangkit dan menyalami Panji dengan penuh kehangatan.

“Tidak mengapa, Kisanak. Aku maklum...,” tukas Panji tersenyum menyambut uluran tangan Ki Wiguna.

Ranggala dan Gowanta pun bergegas bangkit dan menyalami Pendekar Naga Putih. Kelihatan sekali kegembiraan terpancar dari wajah-wajah mereka. Agaknya, Ki Wiguna dan kawan-kawannya benar-benar merasa senang dapat berjumpa dengan pendekar muda itu.

Panji menerima uluran tangan Ranggala dan Gowanta dengan tidak kalah hangat. Sikapnya tetap ramah dan sopan, tidak terkesan membanggakan julukannya. Sehingga, Ki Wiguna dan kawan-kawannya semakin menaruh rasa kagum dan hormat.

“Tentunya kau sudah mendengar semua pembicaraan kami, Panji? Nah, mungkin kau mempunyai rencana yang bisa dijadikan jalan keluar untuk masalah itu,” ujar Ki Wiguna kemudian setelah saling memperkenalkan diri.

“Rasanya aku cukup tertarik dengan usul yang diajukan Gowanta. Karena aku sendiri memang hendak melakukannya...,” sahut Panji segera mengutarakan pendapatnya.

“Hm... Sebenarnya, terus terang aku kurang begitu setuju. Tapi, dengan adanya kau, Panji, aku tidak lagi merasa khawatir. Aku ikut mendukung usul yang diajukan Adi Gowanta,” tandas Ki Wiguna, merubah pikirannya setelah adanya Pendekar Naga Putih di tengah-tengah mereka. Rarena Ki Wiguna telah cukup banyak men-dengar kehebatan Pendekar Naga Putih yang menggemparkan rimba persilatan.

“Ya. Aku pun setuju!” timpal Ranggala tidak mau ketinggalan. Seperti halnya Ki Wiguna, Ranggala pun berubah pikiran setelah adanya Pendekar Naga Putih bersama mereka.

“Terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku. Tapi, tentunya aku membutuhkan bantuan kalian bertiga. Aku baru saja tiba di daerah ini, dan belum tahu banyak tentang tempat-tempat di sini. Untuk itu aku minta petunjuk dari kalian. Kuharap kalian jangan sungkan-sungkan memberikan petunjuk kepadaku...,” ujar Panji merendah. Tapi, ucapan itu dikeluarkan dengan sungguh-sungguh. Sehingga, Ki Wiguna dan teman-temannya merasa tersanjung.

“Kita akan saling bantu, Pendekar Naga Putih...,” tukas Ki Wiguna tersenyum lebar dengan wajah cerah. “Mari kita minum untuk merayakan pertemuan ini...!” lanjutnya seraya mengangkat gelas bambu dan meminumnya tanpa ragu.

Pendekar Naga Putih, Ranggala, dan Gowanta mengikuti tindakannya. Pertemuan itu terasa semakin menggembirakan. Apalagi, ketika Ki Wiguna memanggil pelayan dan memesan hidangan. Pesta kecil itu jadi semakin hangat. Mereka bertambah akrab satu sama lain.

********************

LIMA

“Hayo, bekerja yang giat! Jangan bermalas-malasan...!” Lelaki berperawakan tinggi besar dengan cambang bauk lebat berteriak-teriak lantang. Sikapnya terlihat garang dan bengis. Ia berdiri dengan kaki terpentang mengawasi pekerja-pekerja yang tengah sibuk memecah batu padas, menggerogoti sebuah bukit. Kedua tangannya bertolak pinggang. Sebuah cambuk tergenggam di tangan kanan. Lelaki tinggi besar itu bagai seorang algojo yang siap menjatuhkan hukuman.

Sementara itu, tubuh-tubuh kotor bertelanjang baju di bawahnya tampak bercucuran peluh. Tubuh mereka kurus dan tidak terawat baik, dengan garis-garis bawah menggambarkan penderitaan yang tak berkesudahan. Jelas sekali mereka bekerja dengan sangat terpaksa. Karena takut mendapat hukuman dari lelaki tinggi besar yang selalu setia mengawasi mereka.

Saat itu matahari memancar garang, menambah beratnya pekerjaan yang harus dilakukan. Terik sinar matahari bagai hendak membakar tubuh-tubuh hitam dan kotor itu. Alam sedikit pun tidak menunjukkan sikap bersahabat kepada pekerja-pekerja.

Lelaki tinggi kekar yang mengawasi mereka tiba-tiba menoleh. Ia mendengar suara langkah kaki banyak orang menghampiri tempat itu. Keningnya tampak berkerut melihat serombongan orang berpakaian lengkap bergerak menghampiri dikawal delapan orang prajurit bersenjata.

“Hm.... Ada orang-orang baru rupanya...?” tegur lelaki tinggi kekar dengan suara parau dan berat. Ia ber-gerak menyambut dengan senyum di bibir. Kelihatannya ia sangat gembira. Datangnya orang-orang baru, berarti tenaga-tenaga baru dan kuat.

“Ini kami membawa lima belas orang pekerja yang akan diperbantukan untuk memecah batu padas, Jonggala...!” ujar salah satu dari delapan prajurit yang berada di barisan depan.

“Bagus! Aku memang sudah bosan melihat pekerja-pekerja dungu yang malas itu...,” sahut lelaki tinggi kekar bernama Jonggala sambil melemparkan pandang ke arah pekerja-pekerjanya. Keningnya berkerut tak senang. Ketika melihat seorang pekerja tampak berhenti dan memperhatikan rombongan yang baru datang.

“Kurang ajar! Hei, apa yang kau lihat, Pemalas...!” Jonggala kelihatan marah sekali. Dengan wajah bengis, lelaki kekar itu melangkah menghampiri. Kemudian...

Ctarrr! Ctarrr...!

“Aaakhhh...!” Lelaki berusia empat puluh tahun yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpelanting jatuh. Terus menggelinding ke bawah dan terbanting di tanah keras.

“Oooh...!” Lelaki yang sebenarnya tegap itu menggeliat kesakitan. Pada punggungnya terdapat garis merah bekas lecutan cambuk. Ia berusaha bergerak bangkit dengan wajahnya berkerut-kerut menahan sakit.

“Manusia pemalas...!” lagi-lagi Jonggala memaki marah. Cambuk di tangannya kembali meluncur. Tidak ada rasa iba sedikit pun di hatinya. Padahal, lelaki itu tengah susah-payah hendak bangkit.

Terdengar jeritan kesakitan ketika ujung cambuk Jonggala menyengat tubuh kurus itu. Sehingga, untuk kedua kalinya pekerja itu menggeliat dan terjerembab jatuh. Kali ini ia tidak mampu segera bangkit. Dari mulutnya yang mengalirkan darah segar terdengar erang kesakitan.

Peristiwa itu sedikit pun tidak membuat pekerja yang lainnya berhenti. Mereka berpura-pura tidak melihat penderitaan kawannya, dan terus bekerja. Karena sekali saja mereka lengah, bukan mustahil ujung cambuk itu akan singgah di tubuh mereka. Hal itu sudah sering kali terjadi.

Sementara itu, sepasang mata milik seorang lelaki tegap yang berada di antara rombongan menyorot tajam penuh kebencian. Kelihatannya ia sudah tidak sabar lagi menyaksikan kekejaman yang berlangsung di depan matanya. Tapi, saat kakinya hendak melangkah sebuah jari-jari tangan kokoh mencegahnya.

“Sabar, Ranggala. Biarlah untuk kali ini kita hanya menyaksikan. Kita belum tahu jelas keadaan tempat ini,” bisik pemuda tampan bertubuh sedang yang mengenakan jubah putih. Ia tidak lain Panji.

Ranggala terpaksa menarik napas panjang. Kemudian berpaling menatap dua orang kawannya, Ki Wiguna dan Gowanta. Rupanya, keempat tokoh itu telah berhasil menyelusup dalam rombongan pekerja yang didapat dari desa-desa. Kini mereka telah berada di sebuah tempat yang dikelilingi pagar kayu bulat setinggi dua tombak. Tempat itu luas sekali.

Panji menghela napas lega melihat Ranggala mau menuruti anjurannya. Ia sendiri sebenarnya tidak tahan melihat tindakan Jonggala. Tapi karena belum tahu bagaimana keadaan di tempat itu, Panji tidak segera bertindak. Ia menahan perasaan marahnya sekuat tenaga. Semula Panji agak khawatir untuk memasuki tempat itu. Ia pernah menghajar rombongan prajurit kerajaan saat membawa penduduk Desa Kendal. Pemuda itu akan bertemu dengan prajurit yang pernah dipecundanginya. Tapi, ternyata dugaannya meleset.

Legawa dan pasukannya tidak berada di tempat itu. Rupanya, masing-masing pasukan mempunyai tugas yang berbeda. Dan, pasukan yang dipimpin Legawa hanya bertugas untuk mencari pekerja-pekerja. Kemudian mengirimkannya ke tempat yang telah disediakan. Dan pergi lagi untuk mencari tenaga kerja lainnya. Yang mengantar para pekerja ke tempat itu adalah pasukan yang berada di tempat penampungan terakhir. Mereka diantarkan ke tempat yang bernama Cadas Hantu.

Di tempat itulah para pekerja diperas tenaganya siang dan malam. Hampir tidak pernah beristirahat. Karena waktu untuk beristirahat hanya sempit sekali. Saat itu, Jonggala telah puas menyiksa pekerjanya. Ia pergi meninggalkannya dan kembali menghampiri rombongan pekerja yang baru tiba.

“Kalian boleh pergi...,” ujar Jonggala pada delapan orang prajurit yang mengantarkan rombongan Panji. “Dan kalian tanggalkan pakaian. Kerjalah yang baik dan jangan sampai cambukku berbicara!” perintahnya kepada rombongan yang baru tiba.

Tanpa banyak membantah, anggota rombongan yang diantaranya Panji melepaskan pakaiannya. Tak seorang pun yang membawa senjata. Karena di pintu gerbang pertama senjata mereka telah dilucuti. Itu pun kalau ada. Kalau tidak, mereka hanya diperiksa sebelum diantarkan ke tempat mereka bekerja.

Ranggala, Ki Wiguna, dan Gowanta memang telah mengetahui hal itu sebelumnya. Mereka telah membuang senjatanya sebelum menyelusup ke dalam rombongan. Mereka pun menyadari tempat itu sulit ditembus. Penjaganya demikian ketat. Semua itu mereka lihat sepanjang jalan menuju tempat mereka akan bekerja. Mereka pun menjadi maklum mengapa tokoh-tokoh persilatan yang menyelusup masuk tidak dapat keluar dengan nyawa masih melekat di badan. Untuk melarikan diri dari tempat itu memang pekerjaan yang hampir mustahil!

Setelah melolos pakaiannya, Panji dan anggota rombongan langsung diberi tugas. Mulailah mereka bekerja dengan alat yang telah disediakan. Melihat pekerjaan yang harus dilakukannya, Panji maklum mengapa pekerjaan itu terasa sangat berat. Bukit yang harus mereka ratakan merupakan batu cadas yang sangat keras, tak ubahnya benda logam. Untuk memecahkan memang bukan pekerjaan yang ringan. Pantaslah kalau banyak orang tak sanggup bertahan lama. Panji baru mengerti mengapa mereka tidak pernah berhenti dalam usaha mencari tenaga-tenaga baru. Untuk meratakan bukit itu diperlukan banyak tenaga serta waktu yang lama.

“Hm... Gusti Prabu Pungga Dewa benar-benar keterlaluan! Menurutku, agak mustahil kalau beliau hendak membangun istana peristirahatan di daerah Cadas Hantu ini. Benar pemandangan di tempat ini memang sangat indah. Tapi, untuk meratakan bukit ini akan memerlukan waktu tahunan. Celaka, kalau begini. Bisa habis rakyat Tampak Serang...,” gumam Panji yang mulai mengayunkan alat pemecah batu dengan menggunakan tenaga dalam.

Crakkk!“

Hasil pekerjaan Panji tentu saja tidak bisa disamakan dengan pekerja-pekerja lainnya. Hanya dengan menambah sedikit tenaganya, batu padas yang hitam seperti besi itu dapat dipecah dengan dua kali hantam. Sehingga, pekerjaannya lebih cepat dari pekerja-pekerja lainnya. Demikian pula dengan Ki Wiguna, Ranggala, Gowanta. Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan, sehingga dapat melakukan pekerjaan itu dengan lebih baik dari pekerja-pekerja lainnya. Jonggala agak terkejut menyaksikan hasil pekerjaan keempat pekerja baru itu.

“Hm.... Tampaknya mereka memiliki tenaga yang besar. Bukan tidak mungkin keempat orang itu kaum rimba persilatan yang kebetulan tertangkap oleh pasukan...,” gumam Jonggala yang kelihatan tidak menaruh curiga.

Sebelumnya memang telah ada tokoh-tokoh persilatan yang dibawa oleh pasukan untuk dipekerjakan. Beberapa orang yang mencoba hendak memberontak telah dibunuh tanpa ampun. Sehingga, Jonggala tidak merasa khawatir meski keempat pekerja baru itu diduganya sebagai orang-orang persilatan. Penjagaan di tempat itu sangat ketat. Tidak mungkin mereka berani memberontak, kecuali memang sengaja hendak mencari mati.

********************

Malam telah menyelimuti persada. Kegelapan yang hanya diterangi sinar bulan sabit tidak mengganggu kegiatan di Cadas Hantu. Obor-obor yang banyak dipasang untuk penerangan membantu para pekerja agar dapat meneruskan pekerjaannya. Sehingga, bagi para pekerja tidak ada bedanya antara siang dan malam. Mereka tetap bekerja sampai jauh malam.

Udara di Cadas Hantu itu ternyata sangat dingin bila malam hari. Kalau pada siang hari pancaran sinar matahari sangat panas menyengat kulit, malam harinya mereka menggigil kedinginan. Pergantian udara yang sangat jauh berbeda itu membuat para pekerja tidak sanggup bertahan. Terlebih mereka bekerja dengan perut kosong.

Para pekerja itu hanya mendapat makan satu kali, pada waktu fajar terbit. Dan kalau tidak datang tepat pada waktunya, terpaksalah mereka berpuasa sepanjang hari. Sebab, terlambat sedikit saja, mereka tidak mendapat makanan. Sampai demikian keras dan kejamnya peraturan di tempat itu.

“Sudah tiga hari kita berada di neraka ini, Panji. Rasanya aku sudah tidak tahan tinggal lebih lama lagi. Aku pun merasa kasihan dengan rakyat yang terlihat demikian sengsara. Kita harus segera bertindak, Panji...,” Ranggala mengutarakan perasaannya saat mereka beristirahat, setelah bekerja sampai jauh malam. Mereka baru berhenti pada waktu tengah malam.

“Jangan tergesa-gesa dulu, Ranggala. Selama dua malam ini aku telah menyelidiki seluruh tempat ini. Aku menemukan sesuatu yang cukup mengejutkan!” tukas Panji menyabarkan Ranggala. Karena Panji masih belum menemukan cara untuk mengeluarkan pekerja-pekerja itu.

“Apa yang kau temukan, Panji?” tanya Ki Wiguna menatap wajah tampan itu lekat-lekat.

“Tempat ini ternyata dijaga oleh sekitar tiga ratusan orang prajurit. Belum ditambah dengan jagoan-jagoan istana, termasuk Jonggala di dalamnya. Kalau hanya kita berempat yang lolos tentu tidak terlalu sulit. Tapi bagaimana dengan pekerja-pekerja itu? Aku khawatir jika kita gagal nasib mereka akan semakin buruk. Karena Jonggala tidak segan-segan melakukan siksaan...,” ujar Panji membuat ketiga lelaki gagah itu terperanjat. Di sekitar daerah itu mereka tidak melihat tempat yang dapat menampung sekian banyak prajurit.

“Kau yakin...?” tanya Gowanta belum bisa percaya dengan keterangan Panji.

“Tentu saja, Gowanta. Aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Prajurit-prajurit itu sengaja ditempatkan tersembunyi dan tak terlihat oleh kita. Tapi, sewaktu-waktu mereka dapat muncul dan menggasak habis bagi siapa saja yang mencoba lari dari tempat celaka ini...,” jawab Panji bersungguh-sungguh, membuat dada ketiga orang gagah ihi berdebar tegang.

“Hm.... Kalau harus menghadapi tiga ratus orang prajurit dan masih ditambah dengan jagoan-jagoan istana, jelas sulit sekali bagi kita untuk membebaskan rakyat. Mendengar keteranganmu, aku jadi sangsi dengan keberhasilan rencana kita...,” Ranggala terdengar meng-hembuskan napas berat. Wajahnya menyembunyikan kecemasan. Apa yang mereka rencanakan ternyata sulit untuk dilaksanakan.

“Itu sebabnya kita harus bersabar, Ranggala. Aku tengah memikirkan jalan keluar untuk dapat pergi dan membebaskan pekerja-pekerja itu, yang jumlahnya mencapai ratusan orang,” tukas Panji tetap tenang. Kendati jiwanya tak lepas dari incaran maut.

“Kau punya rencana, Panji...?” Ki Wiguna yang juga mulai ragu mengajukan pertanyaan. Ia melihat sikap pemuda itu tetap tenang tanpa kecemasan sedikit pun.

“Beri aku waktu satu malam lagi untuk berpikir, Ki Wiguna. Kalau belum juga menemukan jalan keluarnya aku akan mendatangi Gusti Prabu Pungga Dewa. Kalau perlu mengancamnya agar membatalkan rencana membuat istana peristirahatan di tempat ini, yang jelas agak mustahil. Kalaupun berhasil harus banyak nyawa rakyat dikorbankan sebagai tumbalnya. Kau tahu sendiri, bukan? Bagaimana kuatnya batu cadas yang mesti kita pecahkan itu?” Panji mengutarakan rencananya.

“Baiklah. Kami tunggu keputusanmu...,” ujar Ki Wiguna yang tentu saja tahu bagaimana beratnya pekerjaan yang harus mereka lakukan.

Ranggala dan Gowanta hanya menganggukkan kepala. Kemudian percakapan terhenti. Keempat orang itu mencoba beristirahat, meski fajar tak lama lagi akan terbit. Pertanda mereka harus kembali menjalani siksaan yang disebut sebagai pekerjaan itu.

********************

ENAM

“Bangun kau pemalas...!” Jonggala, lelaki bertubuh tinggi kekar dengan wajah dipenuhi cambang bauk memasuki barak pekerja dengan cambuk di tangan. Sesekali terdengar ledakan ketika cambuk itu diayunkan ke udara. Percikan bunga api berpendar menandakan kekuatan tenaga pemiliknya.

Ctarrr! Ctarrr!

Ledakan cambuk yang menulikan telinga terdengar mengejutkan. Para penghuni barak yang tengah terbuai mimpi tersentak dari tidurnya. Mereka bergerak bangkit dan berlarian keluar. Jelas terlihat betapa mereka sangat takut kepada Jonggala, yang memang tidak segan-segan bertindak kejam pada siapa saja yang berani membangkang.

“Hei, kau! Ayo bangun...!”

Sepasang alis Jonggala yang tebal nyaris bertemu di tengah kening. Sorot matanya yang bengis tertuju ke sosok tubuh yang masih saja terbaring. Jonggala segera menghampiri dan menendang pembaringan.

Brakkk!

Terdengar suara keras disusul robohnya pembaringan kayu. Tubuh di atasnya pun terbanting jatuh. Terdengar suara rintih dari mulut lelaki kurus yang meringkuk di tanah. Jonggala kelihatan tidak ambil pusing. Kendati ia tahu orang itu tengah menderita sakit, tetap saja ia menginginkan agar lelaki itu bekerja seperti biasa. Jonggala melangkah lebar dan mengulurkan tangannya siap mengangkat bangkit sosok kurus yang tengah menggigil itu. Pada saat jari-jari kokoh Jonggala siap mencengkeram leher baju lelaki itu mendadak berkelebat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu pergelangan Jonggala tercekal ketat.

“Kisanak, harap jangan terlalu kejam...,” terdengar suara halus menegur perbuatan Jonggala.

Jonggala tentu saja menjadi gusar ketika pergelangan tangannya dicekal demikian kuat. Tapi, lelaki tinggi kekar itu terlihat kaget. Karena meski telah mengerahkan tenaga, cekalan itu tidak mampu dilepaskan. Kenyataan itu membuat Jonggala memaksa diri melihat siapa yang berani berbuat demikian kepadanya.

“Kisanak. Orang ini jelas sedang sakit. Menurut penglihatanku ia tidak akan mampu bekerja. Kuharap kau sedikit mengerti dan membiarkannya beristirahat untuk satu dua hari...,” ucap sosok yang mencekal pergelangan Jonggala.

Jengkel bukan main hati Jonggala. Selama ini belum pernah ada seorang pun yang berani mengucapkan kata-kata demikian kepadanya. Jangankan menasihatinya, menentang pandang matanya saja belum pernah ada yang berani. Tentu saja teguran yang baru pertama kali itu membuatnya berang.

Tapi, sosok pemuda tampan berjubah putih itu kelihatan tetap tenang. Sepasang matanya yang tajam berpengaruh menentang pandang mata Jonggala. Siapa lagi pemuda tampan itu kalau bukan Panji. Rupanya, secara kebetulan Jonggala bertugas membangunkan para pekerja di mana Panji ditempatkan. Perbuatan Jonggala yang melewati batas membuat Panji terpaksa bertindak.

“Hm... Kau rupanya...!” geram Jonggala yang rupanya sempat memperhatikan saat pemuda itu datang bersama rombongan. “Orang ini cuma berpura-pura sakit, ia jelas tidak ingin bekerja!”

“Tidak, Kisanak. Coba kau lihat baik-baik benar-benar sakit dan membutuhkan perawatan...” sanggah Panji bersikeras tanpa melepaskan pandang matanya. Diam-diam Panji mengerahkan kekuatan tenaga batin untuk melumpuhkan Jonggala.

Kekuatan pandang mata Panji mulai mempelihatkan hasil. Jonggala tampak mengerjap beberapa kali. Kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia tidak sanggup melawan perbawa yang timbul dari sepasang mata pemuda itu.

Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta yang semula tegang melihat kejadian itu menghela napas lega. Mereka maklum apa yang dilakukan Panji sangatlah berbahaya. Tapi, mereka juga tidak menyalahkan. Tindakan Jonggala memang sangat keterlaluan. Sehingga, ketiga tokoh itu telah bersiap-siap kalau kejadian itu akan berbuntut panjang. Tapi, ternyata tidak.

“Hm...,” Jonggala hanya bergumam tak jelas. Kelihatannya ia agak gentar juga. Terbukti ia kemudian melangkah keluar setelah menoleh sekilas ke arah pekerja yang masih merintih dengan tubuh menggigil.

Gowanta dan Ranggala buru-buru mengangkat pekerja itu ke pembaringan lainnya. Sedangkan Ki Wiguna menghampiri Panji yang masih tegak di tempatnya.

“Untung tidak sampai berkepanjangan. Kalau tidak, kita pasti akan celaka…,” ujar Ki Wiguna seraya menepuk bahu Pendekar Naga Putih, yang juga sempat dilanda ketegangan. Karena perbuatannya bisa membahayakan jiwa ratusan pekerja yang berada di tempat penampungan itu.

“Kelihatannya algojo itu agak gentar kepadamu, Panji...,” Gowanta ikut bergabung dan memuji Panji. Tampaknya, ia cukup puas dengan apa yang baru saja dilakukan pemuda tampan itu.

“Tapi sekarang kita harus lebih waspada. Aku khawatir Jonggala menaruh dendam dan mulai mencurigai kita...,” ujar Panji mengingatkan. Kemudian melangkah lebar meninggalkan barak, diikuti tiga tokoh persilatan itu. Mereka menuju tempat biasa bekerja.

********************

Saat itu matahari belum lagi muncul. Namun di sekitar Bukit Cadas Hantu telah terjadi kesibukan. Suara benda runcing yang dipergunakan untuk mengikis cadas terdengar saling bersahutan. Mereka bekerja di bawah sinar obor. Di bagian lain terlihat kesibukan puluhan pekerja yang mengangkut batu-batu untuk dikumpulkan di satu tempat.

Tubuh mereka terbungkuk-bungkuk membawa beban berat di kepalanya. Mereka melangkah tersaruk-saruk. Meskipun perut mereka telah terisi, namun apa yang mereka makan terlalu sedikit. Hingga wajar saja bila tenaga mereka semakin surut dan cepat lelah. Selain kurang makan, mereka pun kurang beristirahat di waktu malam.

“Aaahhh...!”

Seorang pekerja yang tengah memikul keranjang dengan sebuah kayu pemikul tiba-tiba terjerembab jatuh. Sehingga, batu yang dipikulnya berserakan di tanah. Kesalahan yang hanya sedikit itu telah membuat seorang pengawas melangkah lebar mendatanginya dengan wajah bengis. Kemudian...

“Bodoh kau...!”

Seiring dengan suara bentakannya, melayanglah ujung cambuk di tangan pengawas bertubuh tinggi tegap itu. Sengatan ujung cambuk membuat tubuh di bawahnya mengeliat kesakitan. Bilur merah bekas cambukan yang panas terlihat mengalirkan darah.

“Ampun..., Tuan...,” lelaki tiga puluh tahunan itu merintih meminta belas kasihan. Sepasang matanya tampak basah. Rasa sakit akibat cambukan itu agaknya demikian menyiksa. Tubuh yang nyaris tinggal kulit pembungkus tulang itu tentu sangat tersiksa.

Tapi, lelaki tegap itu sedikit pun tidak mempedulikan rintihan korbannya. Cambuknya kembali meledak berkali-kali. Sehingga, pekerja yang malang itu menjerit-jerit bergulingan di tanah berbatu. Belum lagi selesai persoalan yang satu, persoalan lain datang menyusul. Lagi seorang pekerja jatuh terjerembab ke tanah. Kawan-kawannya yang melihat berusaha menolong. Tapi....

“Hei...!”

Malang.... Sebelum para pekerja itu sempat mengangkat bangkit, pengawas tinggi tegap itu telah melihatnya. Dan, segera melompat disertai lecutan cambuknya yang merobek udara.

“Keparat..!”

Ctarrr! Ctarrr...!

Tentu saja mustahil pekerja-pekerja bertubuh kurus itu mampu mengelak. Tanpa ampun lagi, tubuh mereka terlempar ke kiri-kanan. Tubuh yang terhias garis merah memanjang, bekas lecutan cambuk itu, mengalirkan darah segar. Tapi, pengawas tinggi tegap itu belum puas. Cambuknya kembali meledak-ledak di udara.

“Haaattt..!”

Saat ujung cambuk meliuk-liuk siap menyengat korbannya, tiba-tiba terdengar pekikan keras. Disusul melayangnya sesosok tubuh yang langsung mengulurkan tangan memapaki ujung cambuk.

Prattt!

“Heiii...!”

Pengawas bertubuh tinggi tegap terlihat kaget. Ujung cambuk itu berbalik dan mengancam dirinya. Cepat lelaki itu menambah tenaganya dan memutar cambuknya sedemikian rupa di atas kepala. Sehingga, ujung cambuk tidak sampai mengenai dirinya.

“Kurang ajar! Rupanya kalian mulai berani membangkang, hah!” bentak pengawas tinggi tegap dengan sepasang mata memancarkan kemarahan.

“Hm....” Lelaki tegap yang memapaki serangan cambuk itu bergumam tak kalah gusarnya. Ia adalah Gowanta. Rupanya, kekajaman pengawas itu telah membuatnya khilaf dan tidak lagi mempedulikan bahaya yang bakal dihadapinya.

“Perbuatan kalian sudah melewati batas. Aku sudah tidak bisa menahan sabar lebih lama lagi...!” geram Gowanta dengan mata menyorot tajam. Seolah ingin menelan pengawas itu bulat-bulat.

Perbuatan Gowanta yang melawan petugas menarik perhatian pekerja lainnya. Apalagi ketika Panji, Ki Wiguna dan Ranggala telah berada di belakang Gowanta. Pengawas itu melangkah mundur. Ia melihat gelagat tak baik yang merugikan dirinya.

Tanpa banyak cakap, pengawas tinggi tegap segera bersuit nyaring. Agaknya, ia hendak memberi tanda kepada kawan-kawannya. Sebentar kemudian terdengar langkah berderap mendatangi tempat itu. Beberapa sosok tubuh sudah berlompatan dengan gerakan yang ringan dan mantap. Salah satu di antaranya adalah Jonggala, pengawas bertubuh tinggi kekar dengan wajah dipenuhi cambang bauk.

“Kita sudah terlanjur basah...!” bisik Panji kepada kawan-kawannya. Panji bergegas memberi perintah pada para pekerja agar berkumpul di belakang. Sementara Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta berada di kiri-kanan Panji. Mereka berempat siap mempertaruhkan nyawa demi keselamatan orang banyak.

“Keparat...!” Jonggala yang melihat biang keladi semua itu adalah pemuda yang pernah menentangnya menjadi geram bukan main. Perintahnya pun segera berkumandang.

“Tangkap pemuda pemberontak itu. Dan masukkan semua pekerja ke dalam baraknya masing-masing...!” Suara perintah Jonggala yang dikerahkan dengan kekuatan tenaga dalam langsung dipatuhi puluhan prajurit bersenjata yang berada di belakangnya. Serentak mereka meluruk ke arah Panji dan kawan-kawannya.

“Heaaattt..!”

“Yeaaa...!”

Kilatan benda-benda tajam berkelebat mengancam Panji dan ketiga kawannya. Tapi mereka sedikit pun tidak merasa gentar. Bukannya mundur, mereka malah bergerak maju menyambut hujan serangan.

“Haaaiiit...!”

Sekali mengibaskan tangan Pendekar Naga Putih memukul roboh enam prajurit terdepan. Mereka terlempar dan jatuh menggeletak pingsan.

Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta juga tidak mau ketinggalan. Masing-masing merobohkan seorang lawan dan langsung merebut senjatanya. Kemudian mengibaskan senjata itu dengan mengerahkan tenaga dalam.

Breeet, breettt...!

“Aaa...!”

Jerit kematian berkumandang susul-menyusul. sebentar saja senjata di tangan ketiga tokoh itu membuat enam orang prajurit tersungkur mandi darah! Karuan saja amukan keempat pendekar itu mengejutkan Jonggala dan pasukannya. Sedarlah mereka bahwa keempat pekerja itu tokoh-tokoh persilatan yang menyelinap masuk.

“Kalian akan mendapat hukuman berat!” geram Jonggala segera memberi isyarat kepada delapan orang pengawas untuk mengeroyok para pengacau.

“Haaattt...!”

Dengan teriakan parau Jonggala meluncur datang. Kali ini ia tidak hanya menggunakan cambuk, tapi juga menggenggam sebatang pedang di tangan kanannya. Kelihatannya Jonggala tidak puas hanya dengan satu senjata saja. Belum lagi serangan Jonggala tiba, delapan pengawas lainnya telah menyusul dengan pedang di tangan. Mereka bergerak menyebar membentuk setengah lingkaran untuk menjepit Panji dan kawan-kawannya.

“Kalian bertiga cegah musuh yang datang dari belakang. Biar serangan dari depan aku yang menghadapi...!” Panji berseru kepada Ki Wiguna dan kawan-kawannya.

Ki Wiguna terlihat agak ragu sejenak. Namun ketika teringat siapa pemuda tampan berjubah putih itu, ia segera mengajak Ranggala dan Gowanta untuk mengikuti saran Panji. Ketiganya langsung bergerak ke belakang. Apa yang diperkirakan Panji memang benar-benar terjadi. Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowan menggeram gusar. Dari pihak pekerja telah jadi korban belasan orang.

Penyerang dari belakang yang terdiri dari perwira-perwira kerajaan bersama seratus lebih prajurit, tentu tidak mungkin mampu ditahan oleh pekerja yang terdiri dari penduduk desa. Untung di antara sekian banyak pekerja terdapat tokoh-tokoh persilatan yang menyelinap dan menyamar. Mereka inilah yang berusaha membendung serangan. Sehingga, korban tidak terlalu banyak yang jatuh.

“Yeaaattt...!”

Ki Wiguna yang melihat kejadian itu segera melayang dengan kecepatan tinggi. Pedang rampasannya berputaran cepat bagai baling-baling. Lelaki itu mengamuk dengan hebatnya. Tindakan Ki Wiguna segera diikuti Ranggala dan Gowanta. Kedua orang itu langsung menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran. Pedang mereka berkelebatan disertai suara mengaung tajam, membuat para prajurit terkejut! Amukan mereka tak ubahnya banteng luka.

Brettt! Brettt!

“Aaa...!”

Jeritan ngeri terdengar silih berganti. Tubuh beberapa orang prajurit yang terkena amukan pedang Ranggala dan Gowanta terguling roboh mandi darah. Hingga, pasukan kerajaan terpaksa bergerak mundur untuk beberapa saat

“Maju...!” Salah seorang perwira berteriak memerintah. Pedangnya teracung menuding Ki Wiguna dan para tokoh persilatan lainnya. Sebentar kemudian, pertempuran pun kembali pecah!

“Haaattt…!”

Pendekar Naga Putih yang menghadapi Jonggala bersama delapan orang pengawas, yang merupakan jagoan-jagoan kerajaan, tidak mau bertindak kepalang tanggung. Sadar bahwa keselamatan pekerja berada di tangannya, maka begitu serangan lawan datang Pendekar Naga Putih mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Dengan 'Ilmu Silat Naga Sakti' Panji menerjang maju.

“Aaahhh…?!”

Jonggala dan kawan-kawannya terkejut bukan main. Pancaran kabut bersinar putih keperakan dan serbuan hawa dingin menggigit menyebar dari pukulan-pukulan Panji, membuat mereka sadar siapa pemuda tampan itu sebenarnya. Dan, kenyataan itu benar-benar mengejutkan mereka.

“Pendekar Naga Putih...?!”

Jonggala dan kawan-kawannya berseru hampir bersamaan. Mereka benar-benar tidak menyangka Pendekar Naga Putih telah menyelundup ke dalam tempat yang tenaga ketat itu. Tentu saja kenyataan itu membuat mereka harus bersungguh-sungguh dalam menyiapkan serangan. Sedapat mungkin mereka hendak meringkus pendekar muda itu.

Tapi, Panji yang sangat mengkhawatirkan nasib para pekerja sudah membagi-bagikan pukulan dan tendangan. Kecepatan geraknya yang sukar diikuti mata membuat Jonggala dan jagoan-jagoan Kerajaan Tampak Serang kelabakan! Terutama tekanan hawa dingin yang menyelimuti sekitar arena. Sehingga, mereka harus memecahkan pikiran. Membangun dan membalas serangan, sekaligus mengerahkan tenaga dalam untuk menahan serbuan hawa dingin. Jelas, hal itu sangat merepotkan dan tidak mudah!

Panji mempergunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Melihat lawan-lawannya kesulitan mengatasi serbuan hawa dingin serangannya, maka tidak terlalu sulit bagi Panji untuk memilih sasaran. Dan....

Bukkk! Desss!

“Aaarghhh...!”

Dua orang pengeroyoknya terpelanting muntah darah. Sambaran tangan Pendekar Naga Putih yang dialiri tenaga dahsyat telah menewaskan mereka dengan kulit kebiruan. Terpaksa Pendekar Naga Putih menewaskan lawan-lawannya. Kalau tidak, sulit baginya untuk menyelamatkan nyawa pekerja yang berada di belakangnya.

“Yeaaattt..!”

Lagi Pendekar Naga Putih melepaskan pukulan dahsyat dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga mukjizatnya. Tentu saja kehebatannya sulit diukur.

Blaaarrr...!

Ledakan keras menggema saat lontaran pukulan Pendekar Naga Putih menghantam batu cadas sebesar kerbau. Batu itu hancur berkeping-keping. Untunglah Jonggala dan kawan-kawannya cepat menghindar. Jika tidak, pastilah tubuh mereka yang menjadi sasarannya. Serangan Pendekar Naga Putih tidak berhenti sampai di situ. Begitu pukulan pertamanya gagal, ia segera menyusuli dengan pukulan-pukulan berikutnya. Maksudnya jelas hendak mendesak jagoan-jagoan kerajaan.

“Yeeeaaattt...!”

“Aaa...!”

Empat orang jagoan yang terlambat menghindari menjerit ngeri. Tubuh mereka terpental deras sejauh dua tombak leoih. Mereka langsung tewas seketika dengan tubuh bagian dalam hancur. Bahkan tulang-tulang mereka berpatahan atau lepas dari sambungan. Sehingga, saat keempat sosok mayat itu jatuh ke tanah tak ubahnya sehelai kain basah. Saat tempat di sekitarnya masih diselimuti debu tebal, Panji melayang ke belakang. Gerakannya demikian cepat laksana sambaran kilat. Orang-orang hanya melihat sesosok bayangan samar melayang di atas kepalanya.

“Ki Wiguna! Kita harus membawa mereka keluar. Mereka bisa terbantai habis di tempat ini...!” begitu kedua kakinya menginjak tanah, Panji langsung berkata kepada Ki Wiguna yang saat itu tengah mengamuk dengan pedangnya.

“Arah mana yang harus kita ambil, Panji...?” tanya Ki Wiguna masih sempat menyahuti, sambil tetap melepaskan sambaran pedangnya.

“Tunggulah, aku akan menjebol pagar di bagian selatan...!” sahut Panji. Pukulan mautnya meluncur ke arah serombongan pasukan yang banyak memadati tempat itu.

Whusss...! Duaaarrr...!

Hebat sekali akibat lontaran pukulan jarak jauh Panji. Puluhan prajurit melayang bagai diterpa angin topan. Teriakan-teriakan ngeri terdengar mengiringi terpental-nya puluhan sosok tubuh prajurit-prajurit yang jatuh dalam keadaan tewas.

Panji tak mempedulikan bagaimana nasib korban pukulannya. Setelah melepaskan pukulan, tubuhnya langsung melayang menuju arah selatan. Hanya dengan beberapa kali loncatan, ia telah tiba di depan pagar kayu bulat yang membentengi sekeliling tempat itu. Kemudian....

“Heaaahhh...!”

Dibarengi sebuah bentakan keras, Panji melepaskan pukulan kanannya dengan kekuatan penuh.

Blarrr...!

Pagar kayu bulat setinggi dua tombak itu pecah berhamburan. Seketika itu juga, terciptalah sebuah pintu keluar selebar dua tombak lebih. Setelah menjebol dinding kayu, Panji kembali melesat ke arah pertempuran. Kemudian melayang turun di tengah kancah pertarungan.

“Aku akan cegah mereka, Ki Wiguna! Kau bawalah para pekerja keluar dari tempat ini...!” seru Panji di tengah deruan senjata dan jerit kematian.

“Bagaimana kalau mereka mengejar...?” Ki Wiguna masih memperhitungkan kemungkinan itu.

“Jangan khawatir, semuanya telah kuperhitungkan...!” sahut Panji seraya membagi-bagikan pukulan dan tendangan, yang tentu saja mendapatkan korban yang tidak sedikit. Sehingga, banyak perwira dan prajurit kerajaan menghindari pemuda itu.

Dengan jalan yang dibuka Panji, Ki Wiguna dan rombongan pekerja bergerak menuju dinding yang telah dijebol. Ranggala, Gowanta, dan tokoh-tokoh persilatan lainnya ikut membantu usaha pelarian itu dengan menghalau siapa saja yang menghalangi mereka. Sampai akhirnya, para pekerja keluar dengan berdesakan.

TUJUH

Seperti apa yang diperhitungkan Panji, untuk melarikan diri dari tempat itu memang bukanlah suatu pekerjaan mudah. Terbukti kini Panji harus menghadapi ratusan prajurit di bawah pimpinan belasan orang perwira dengan ditambah jagoan-jagoan istana. Untuk itu Panji harus menguras tenaganya. Dan terpaksa bertindak kejam. Jika tidak, dirinyalah yang akan menjadi korban kekejaman lawan. Kali ini Panji harus mempertaruhkan nyawanya. Ratusan lawan harus dihadapinya seorang diri. Sedangkan tokoh-tokoh lain bertugas membawa para pekerja meninggalkan tempat yang bagai neraka itu.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, memang tidak sulit bagi Panji untuk menghindari sambaran pedang maupun tombak yang mengancam tubuhnya. Bahkan, masih bisa membalas dengan pukulan dan tendangan mematikan. Itu yang membuatnya dapat bertahan. Karena lawan-lawannya agak gentar untuk menyerang dalam jarak dekat. Setiap lawan maju mendekat selalu terpental balik dalam keadaan tak bernyawa. Kendati demikian, Panji harus tetap waspada. Lengah sedikit saja bisa mengakibatkan dirinya celaka.

“Jangan takut. Maju...!”

Jonggala yang kelihatannya lebih berperan dan mempunyai pengaruh besar selalu memberi semangat. Di bawah perintahnya, para prajurit itu tidak ada yang berani membantah. Mereka kembali maju menggempur Pendekar Naga Putih dengan senjata di tangan.

“Serbuuu...!”

Seiring dengan teriakan menggegap, ratusan prajurit kembali meluruk ke arah Pendekar Naga Putih. Meski sebenarnya mereka merasa gentar, namun perintah Jonggala tidak berani mereka bantah.

Panji berdiri tegak menunggu lawan tiba dekat. Sepasang matanya mencorong tajam menggetarkan jantung. Serbuan hawa dingin yang keluar dari tubuhnya membuat penampilan pemuda itu sungguh menggiriskan. Terlebih pada tubuhnya telah banyak dinodai darah lawan. Sehingga, sosok Pendekar Naga Putih terlihat seperti iblis peminum darah!

“Siapa yang masih ingin hidup segera tinggalkan tempat ini! Jika tidak, terpaksa aku akan mengirim kalian ke neraka...!” seru Pendekar Naga Putih memperingatkan dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Suaranya menggema dan terdengar sampai belasan tombak jauhnya.

“Jangan takut! Lama kelamaan tenaganya pasti habis!” Jonggala yang tidak ingin pasukannya menjadi gentar kembali berteriak memberi semangat

Para prajurit yang semula merandek pun bergerak maju seraya berteriak-teriak. Jelas, mereka lebih takut kepada Jonggala ketimbang terhadap Panji yang telah siap menanti kedatangan mereka dengan pukulan-pukulan mautnya.

“Haaattt...!”

Melihat para prajurit itu tidak mempedulikan peringatannya, Panji berteriak keras memekakkan telinga. Telapak tangannya didorong bergantian melontarkan pukulan jarak jauh.

Whuuusss.... Duaaarrr...!

Ledakan keras terdengar susul-menyusul. Tubuh-tubuh prajurit Kerajaan Tampak Serang beterbangan bagai dilanda angin topan. Dan terbanting jatuh dalam keadaan tak bernyawa.

Jonggala dan beberapa orang jagoan yang masih selamat menjadi geram melihat sepak-terjang Pendekar Naga Putih yang menggiriskan. Mereka sadar kalau didiamkan terus para prajurit bisa terbantai habis oleh pemuda tampan itu. Maka, mereka pun berlompatan maju menerjang Pendekar Naga Putih.

“Haaattt..!”

“Yeaaattt..!”

Dibarengi teriakan-teriakan melengking, tubuh jagoan-jagoan kerajaan melayang melewati kepala para prajurit. Dan langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan serangan-serangan maut.

Bweeettt! Whuuuttt...!

Panji yang sebelumnya memang telah siap siaga, segera menggeser tubuhnya menghindari serangan lawan. Kemudian membalas dengan pukulan-pukulan mautnya. Namun, kali ini Jonggala dan kawan-kawannya bertindak lebih hati-hati. Mereka tidak berani sembarangan menyambut atau menangkis serangan pemuda itu. Dan, mereka bertempur dengan menggunakan siasat licik. Menyerang kemudian berlompatan mundur saat Pendekar Naga Putih melepaskan serangan balasan. Agaknya, mereka hendak menguras tenaga Pendekar Naga Putih dan baru akan melumpuhkan bila tenaga pendekar muda itu semakin lemah.

“Kurang ajar...!” Pendekar Naga Putih memaki dalam hati melihat tindakan licik lawan-lawannya. Tahu akan siasat lawan, Panji mengurangi lontaran serangan balasannya. Dan baru membalas jika benar-benar memiliki peluang yang sangat baik. Saat Pendekar Naga Putih tengah berusaha melumpuhkan jagoan-jagoan kerajaan yang mengeroyoknya, tiba-tiba....

“Aaa...!”

Jerit kematian terdengar dari arah belakang Panji. Disusul dengan suara beradunya senjata tajam. Kenyataan itu membuat Panji menjadi cemas. Suara itu datang dari tempat Ki Wiguna dan para pekerja melarikan diri.

“Celaka...!” seru Panji terkejut. Apa yang didengar itu jelas merupakan pertanda tidak baik. Panji langsung dapat menduga Ki Wiguna dan kawan-kawannya mendapat hambatan untuk meninggalkan tempat celaka itu.

Tanpa pikir panjang lagi, Panji segera menggabungkan dua kekuatan mukjizat dalam tubuhnya. Seketika itu juga tubuhnya memancarkan dua sinar yang memiliki sifat berlawanan. Panji telah menggunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' pada bagian sebelah kiri tubuhnya, dan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' pada bagian kanan. Itu berarti Pendekar Naga Putih telah merasa benar-benar sangat memerlukan. Kalau tidak, Panji tidak akan menggunakan dua kekuatan mukjizat itu secara bersamaan. Dan kali ini ia melakukannya.

“Yeaaattt...!”

Blaaang...!

Dua sinar merah dan putih memancar membawa hawa panas dan dingin secara bersamaan. Terjadilah ledakan mengguntur saat pukulan Pendekar Naga Putih menghantam kerumunan prajurit, kendati sebenarnya pukulan itu ditujukan untuk Jonggala dan kawan-kawannya. Sehingga, bangkai-bangkai pun semakin banyak berserakan. Darah membanjiri bumi. Tampaknya, Bukit Cadas Hantu benar-benar menjadi sebuah neraka. Tempat pembantaian dan penyiksaan manusia.

“Gila...?!”

Jonggala yang merasakan betapa dahsyatnya pukulan yang dilepaskan Panji menjadi pucat wajahnya. Untunglah ia sempat menghindar, meski merasakan juga hawa dingin dan panas menyengat kulitnya. Jonggala ngeri mem-bayangkan pukulan itu melanggar tubuhnya. Ia percaya tubuhnya akan hancur berkeping-keping bila terkena pukulan maut itu.

Panji sendiri tidak mempedulikan akibat pukulan dahsyatnya. Karena begitu melepas pukulan, tubuhnya melayang menerobos pagar kayu bulat yang telah dirobohkannya. Hatinya berdebar tegang menyaksikan Ki Wiguna beserta para tokoh persilatan dan para pekerja menghadapi serbuan pasukan berkuda yang berjumlah tidak kurang dari seratus orang. Pasukan itu dilengkapi dengan senjata. Sehingga, Ki Wiguna dan kawan-kawannya mengalami kesulitan untuk menerobosnya.

Panji meluncur turun di luar pagar yang telah jebol. Kemudian, membalikkan tubuh dan berdiri tegak menatap Jonggala dan pasukannya yang berlarian mengejar keluar. Tanpa pikir panjang lagi Pendekar Naga Putih memusatkan tenaga gabungannya. Dan...

“Heaaattt...!”

Dibarengi pekikan mengguntur, Pendekar Naga Putih mendorongkan sepasang telapak tangannya ke tanah tempat pagar-pagar kayu yang jebol itu berdiri.

Whusss...!

Serangkum angin pukulan berhawa panas dan dingin berhembus kuat. Hingga...

Blaaang!

Debu mengepul tinggi membawa bongkahan tanah besar dan kecil beterbangan ke udara. Tanah di sekitar tempat itu bergetar kuat seperti diguncang gempa. Kejadian itu membuat Jonggala dan pasukannya berlarian mundur. Dan ketika kepulan debu semakin tipis, di depan Jonggala dan pasukannya telah tercipta sebuah lubang besar yang sangat dalam dan lebar. Sehingga, mereka tidak mungkin dapat menyeberanginya.

Yakin kalau Jonggala dan pasukannya tidak mungkin dapat mengejar melalui tempat itu, Panji memutar tubuhnya dan melayang ke arah pertempuran yang masih berlangsung. Kemudian terjun ke tengah-tengah pertempuran dan membagi-bagikan pukulan serta tendangan. Sehingga, tidak sedikit tubuh-tubuh prajurit kerajaan yang terpental ke udara kemudian jatuh dengan nyawa putus!

“Lari! Biar aku yang menghadang mereka...!” seru Panji kepada Ki Wiguna yang berada tak jauh dari tempatnya bertempur. Sambil berteriak, Panji meningkatkan kecepatan dan kekuatan serangannya. Hingga dirinya menjadi pusat perhatian lawan.

“Yeaaattt...!”

Dengan pekikan mengguntur Pendekar Naga Putih melayang ke udara. Dari atas kedua tangannya melepaskan pukulan susul-menyusul. Lalu, berjungkir balik beberapa kali dan meluncur turun di tengah-tengah pasukan lawan. Sebelum kakinya menginjak tanah, pukulan-pukulannya datang menderu membuat lawan kalang-kabut!

Kesempatan itu tentu saja dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Wiguna. Ia berteriak mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya agar para tokoh persilatan dan pekerja mengikuti perintahnya. Beberapa belas prajurit yang mencoba menghalangi langsung dirobohkan dengan sambaran pedang.

Melihat Ki Wiguna dan yang lainnya mulai bergerak meninggalkan medan pertempuran, Panji segera membantu dengan menewaskan lawan yang coba menghalangi. Dan berusaha agar pasukan Kerajaan Tampak Serang lebih tertarik kepadanya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai titik kesempumaan, Panji bergerak cepat. Sehingga, pasukan kerajaan seperti tengah berhadapan dengan banyak orang. Padahal, lawannya cuma Panji seorang. Yang berusaha menggiring prajurit-prajurit itu agar berkumpul dalam satu arah.

Tentu saja Panji harus berkelebat ke sana kemari sambil membagi-bagikan pukulan dan tendangan. Sehingga, lawan-lawannya terdesak mundur dan tidak lagi menyebar seperti semula. Setelah pasukan prajurit di bawah pimpinan belasan perwira itu terpisah dari Ki Wiguna dan kawan-kawannya, Pendekar Naga Putih melenting ke udara. Dan, meluncur turun dalam jarak tiga tombak di depan tentara Kerajaan Tampak Serang.

“Hmmm...!” Panji berdiri tegak menyatukan pikiran. Dua kekuatan mukjizat dalam tubuhnya segera digabungkan. Kemudian....

“Heaaattt...!”

Diiringi teriakan membahana, Panji melepaskan pukulan gabungan dua tenaga sakti yang berkekuatan luar biasa. Hawa dingin dan panas menyebar saat sinar putih dan merah meluncur menghantam tanah.

Blarrr...!

Sebuah lubang besar yang dalam kembali tercipta menghalangi pasukan Kerajaan Tampak Serang. Beberapa puluh prajurit di barisan terdepan terpental dan jatuh ke dalam lubang. Tentu saja perbuatan pendekar muda itu sangat mengejutkan lawan-lawannya. Kegentaran mulai merambati hati mereka. Sehingga, tak seorang pun yang melakukan pengejaran.

Panji menunggu sampai Ki Wiguna dan yang lainnya lari jauh dari tempat itu. Beberapa lubang masih dibuatnya dengan melontarkan pukulan-pukulan hasil gabungan dua kekuatan mukjizat dalam tubuhnya. Sehingga, pasukan lawan benar-benar merasa gentar terhadap pendekar muda yang digdaya itu. Cukup lama Panji berdiri menunggu di tempat itu. Baru kemudian bergerak pergi setelah yakin Ki Wiguna dan yang lainnya telah pergi jauh dan tidak mungkin dapat dikejar lagi.

Dengan ilmu lari cepatnya yang tinggi Pendekar Naga Putih menyusul rombongan Ki Wiguna. Ia menemukan mereka tengah beristirahat di sebuah sungai yang berair jernih. Panji segera menghampiri Ki Wiguna dan tokoh-tokoh persilatan yang tengah melepas lelah. Sementara para pekerja yang selamat membersihkan diri sambil melepas dahaga sepuas-puasnya.

“Apa yang selanjutnya harus kita perbuat, Panji? Bukan mustahil prajurit kerajaan akan kembali mendatangi desa-desa untuk membawa pekerja-pekerja baru. Sedangkan kita tidak mungkin terus-menerus menghadapi mereka. Lambat atau cepat kita pasti akan kalah. Karena pihak kerajaan memiliki banyak prajurit terlatih,” Ki Wiguna langsung mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya.

Panji tidak segera menjawab. Ditatapnya lima belas tokoh persilatan yang berada di sekelilingnya. Terdengar helaan napas beratnya yang berkepanjangan. Dari kerutan pada keningnya, terlihat jelas betapa Panji tengah berpikir untuk menjawab pertanyaan Ki Wiguna, yang juga menjadi pertanyaan bagi dirinya.

“Apakah di antara kalian ada yang mempunyai usul...?” tanya Panji kepada tokoh-tokoh persilatan.

Ki Wiguna menggeleng. Kemudian merayapi wajah tokoh-tokoh lainnya satu persatu. Tapi, semuanya menggelengkan kepala. Masalah itu memang sulit untuk dipecahkan.

“Jika demikian, terpaksa aku akan mendatangi kotaraja untuk menemui Gusti Prabu Pungga Dewa. Hal ini tidak bisa didiamkan berlarut-larut. Kita harus mengakhiri penderitaan rakyat! Kalau bisa, aku akan mengingatkan Gusti Prabu Pungga Dewa. Dan meminta kebijaksanaan-nya untuk menghentikan perbuatan gila ini!” ujar Panji kemudian.

“Gila! Itu sama saja dengan bunuh diri, Panji. Untuk menemui Gusti Prabu Pungga Dewa bukanlah pekerjaan yang mudah. Terlebih di sana banyak jagoan-jagoan istana yang berkepandaian tinggi. Kau bisa ditangkap dan dihukum mati!” Ki Wiguna yang terkejut mendengar ucapan Panji langsung menukas. Jelas ia tidak setuju dengan tindakan yang sangat berbahaya itu. Apalagi, sekarang mereka merupakan buronan pemerintah. Memasuki kotaraja sama saja dengan bunuh diri.

“Tidak ada jalan lain yang bisa kita lakukan. Biarlah aku mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan orang banyak. Kuharap kalian ikut berdoa agar usahaku berhasil demi kebaikan dan ketenteraman rakyat banyak,” ujar Panji bersikeras dengan usulnya. Karena memang tidak ada jalan lain kecuali menghadap Gusti Prabu Pungga Dewa.

Mendengar keputusan Panji yang kelihatannya tidak bisa dirubah lagi, Ki Wiguna dan para tokoh persilatan tidak ada yang angkat bicara. Mereka terdiam. Terharu akan pengorbanan pemuda tampan itu, yang rela mempertaruhkan nyawanya meski harus memasuki sarang macan.

“Sebaiknya kalian mencari tempat persembunyian yang baik. Penduduk tidak bisa kembali ke desanya masing-masing sebelum persoalan ini selesai. Kelak aku akan datang untuk memberi kabar. Jika dalam tujuh hari aku belum menemui kalian, itu berarti usahaku menemui jalan buntu. Kemungkinan aku tewas atau tertawan pihak kerajaan,” ujar Panji memberikan saran.

“Baiklah, Panji. Kami akan menuruti saranmu. Kau sendiri ajaklah beberapa orang untuk menemanimu. Aku akan membawa penduduk ke Hutan Panawangan. Di sana kami akan menunggu kedatanganmu,” ucap Ki Wiguna yang akhirnya terpaksa menyetujui usul Panji. Walau demikian, ia menawarkan agar Panji membawa beberapa orang tokoh.

“Maaf, kawan-kawan. Bukannya aku meremehkan kepandaian kalian. Tapi, menurut hematku akan lebih baik jika aku datang sendiri. Selain tidak akan menarik perhatian, juga bisa mudah menyelinap ke dalam istana. Harap kalian tidak berkecil hati dan memaklumi ucapanku,” Panji menukas dan tidak bisa menerima usul Ki Wiguna.

Apa yang dikatakan Panji memang bukan mengada-ada. Ki Wiguna maupun tokoh-tokoh persilatan lainnya maklum bahwa perkataan itu memang benar adanya. Mereka tidak merasa tersinggung, apalagi diremehkan.

“Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, kami tidak bisa berkata apa-apa. Kami harap kau berhati-hati. Bukan tidak mungkin prajurit-prajurit dan pembesar kotaraja telah mendengar peristiwa ini, dan tengah membicarakan dirimu. Begitu kau masuk ke dalam kotaraja, mungkin mereka akan menyergapmu,” akhirnya Ki Wiguna mengalah dan hanya berpesan kepada Panji.

“Terima kasih. Percayalah, aku tidak akan bertindak gegabah. Nah, aku pergi dulu...,” usai berkata demikian, Panji segera melesat menuju arah barat Karena pusat pemerintahan Kerajaan Tampak Serang terletak di sebelah barat tempat itu.

Ki Wiguna dan tokoh persilatan lainnya hanya bisa memandang kepergian Pendekar Naga Putih dengan wajah penuh harapan. Tentu saja mereka berharap usaha Panji berhasil. Dengan demikian, rakyat akan kembali hidup tenang.

********************

DELAPAN

“Mudah-mudahan Kenanga tidak kecewa karena aku terlalu lama menyusulnya. Dia pasti mengerti dengan keadaan ini. Hambatan ini bukan semata-mata karena aku sengaja tidak ingin segera menemuinya. Ia pasti maklum. Apa yang kulakukan ini adalah tugasku sebagai penegak keadilan...,” gumam Panji seraya berlari dengan menggunakan ilmu lari cepatnya. Sebab, ia harus segera tiba di Kotaraja Tampak Serang.

Sebagaimana diketahui, saat ini Panji tengah dalam perjalanan menuju Kadipaten Tumapel. Di sana Kenanga berharap agar Panji segera menyusulnya. Tapi, perjalanan Panji kembali terhambat. Ia menemukan sebuah persoalan yang tidak bisa ditinggalkannya begitu saja. Sebagai seorang pendekar, ia berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan memberantas segala bentuk kejahatan. Dan ia harus mengenyampingkan persoalan pribadi demi kepentingan orang banyak.

Untuk mengetahui mengenai perpisahan Panji dengan Kenanga dapat dibaca dalam episode Rase Perak

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya Panji tiba di Kotaraja Tampak Serang. Saat itu matahari tengah memancarkan sinarnya yang hangat ke bumi. Udara tidak begitu panas. Apalagi, tiupan angin masih terasa segarmembelai wajah. Panji melangkah lebar memasuki gerbang kotaraja. Pemuda itu menekan ketegangan hatinya saat hendak melewati pintu gerbang yang terjaga ketat.

Dengan tenang dilangkahkan kakinya perlahan melewati gerbang bersama beberapa orang pedagang. Hatinya baru merasa lega ketika para penjaga pintu gerbang tidak menahannya. Hingga, Panji berpendapat kabar tentang kekacauan di Bukit Cadas Hantu kemungkinan besar belum sampai ke kotaraja. Itu berarti ia masih bisa bergerak leluasa tanpa khawatir dicurigai. Karena saat itu hari masih pagi, Panji memutuskan untuk langsung menuju istana. Ia berharap dapat bertemu Prabu Pungga Dewa yang menjadi penguasa tertinggi di Kerajaan Tampak Serang.

“Berhenti...!”

Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana, segera menyilangkan tombaknya menghadang pintu masuk. Padahal, saat itu Panji masih berada sekitar dua tombak dari pintu gerbang. Hal itu menandakan bahwa penjaga-penjaga pintu gerbang istana sangat sigap dan cekatan. Panji menghentikan langkahnya dalam jarak satu tombak. Kemudian, mengangguk sopan kepada dua penjaga yang menghadangnya. Panji tidak peduli walau penjaga-penjaga itu sedikit pun tidak membalas anggukannya.

“Hamba hendak menghadap Gusti Prabu Pungga Dewa. Ada sesuatu kepentingan yang sangat mendesak dan harus segera dilaporkan. Harap Tuan-tuan melaporkan tentang kedatangan hamba...” ujar Panji dengan penuh sopan dan bibir tersenyum. Tentu saja ia berharap mendapat izin untuk menghadap Prabu Pungga Dewa.

“Hm... Kau benar-benar lancang, Kisanak!” tukas salah satu dari kedua penjaga itu sinis. “Untuk menghadap Gusti Prabu Pungga Dewa bukanlah suatu hal yang mudah dan bisa dilakukan sembarang waktu. Kalau kau mempunyai kepentingan, harus melaporkannya terlebih dulu kepada kepala jaga. Nanti kepala jaga yang memutuskan apakah kau bisa menghadap atau tidak. Andaikata bisa pun masih harus ditentukan waktunya. Juga belum tentu Gusti Prabu yang langsung menangani. Semua ada peraturannya, Kisanak.”

Mendengar penjelasan penjaga, Panji menjadi bingung. Ia memang sedikit mengerti tentang peraturan yang berlaku di istana. Meski ia tidak suka dengan segala peraturan yang bertele-tele, tetap saja semua itu harus diturutinya. Dan ia pun menghargai peraturan itu.

“Kalau begitu, hadapkanlah aku pada kepala jaga kalian. Mudah-mudahan beliau bisa mengerti betapa pentingnya urusanku ini,” ujar Panji masih dengan sopan.

Meskipun sinis, penjaga itu mau juga menghadapkan Panji kepada pimpinannya. Dan Panji segera mengutarakan maksud kedatangannya kepada seorang perwira pendek gemuk yang wajahnya berminyak. Kendati perwira itu terlihat angkuh, Panji tidak ambil peduli. Dengan jujur ia menerangkan maksud kedatangannya.

“Jadi persoalan itu yang membawamu kemari?” tanya perwira gendut setelah mendengar penjelasan Panji. Sambil berkata demikian, sepasang matanya meneliti sosok Panji dengan seksama. Ada kilatan aneh pada sepasang mata perwira itu. Bahkan, ia terlihat menyembunyikan senyum licik. Dan Panji tahu semua itu.

“Sebelum menemui Gusti Prabu, kau terlebih dahulu harus bertemu dengan Senapati Godamarta. Mari ikut aku...,” ujar perwira gendut. Lalu, bangkit berdiri dan melangkah menuju sebuah bangunan megah tempat kediaman Senapati Godamarta.

Tanpa membantah Panji mengikuti langkah kepala jaga. Kewaspadaannya tentu saja tidak dilupakan. Sebab, sikap dan cara memandang perwira gendut itu menimbulkan kesan tidak enak di hatinya. Di sebuah ruangan yang cukup luas Panji diperintahkan untuk menunggu. Sedangkan kepala jaga itu bergegas meninggalkannya. Ia harus segera kembali ke pos. Tinggallah Panji seorang diri di dalam ruangan itu. Tidak berapa lama setelah perwira gendut itu lenyap, tiba-tiba dari empat pintu di kiri-kanan ruangan bermunculan delapan orang bersenjata. Sinar mata mereka menunjukkan gelagat tidak baik. Cepat Panji bergerak bangkit.

“Tangkap pemuda itu! Kalau perlu bunuh...!” terdengar suara parau yang mengejutkan.

Dari balik daun pintu depan Panji, agak ke kiri, muncul seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk. Lelaki itulah yang bernama Godamarta dan menjabat sebagai senapati di Kerajaan Tampak Serang. Anehnya, ia terlihat sangat membenci dan memusuhi Panji.

Melihat keadaan di sekelilingnya, sadarlah Panji kalau ia telah masuk perangkap. Tapi Panji tidak menjadi gentar. Ia hanya merasa penasaran dengan tindakan tidak adil Senapati Godamarta.

“Tuan Senapati. Kedatangan hamba adalah membawa maksud baik. Hamba datang dengan membawa suara rakyat yang menderita. Harap Tuan Senapati suka menghadapkan hamba kepada Gusti Prabu Pungga Dewa,” ujar Panji hendak memastikan kalau-kalau Senapati Godamarta telah salah menafsirkan maksud kedatangannya.

“Karena itulah kau harus dilenyapkan, Pendekar Naga Putih! Aku sudah tahu begitu melihatmu. Di tempat ini kau jangan menganggap dirimu paling hebat sejagat. Kau telah membuat susah dengan ulahmu itu. Sekarang, terimalah ganjarannya...!” tukas Senapati Godamarta kembali mengulang perintahnya.

Delapan orang bersenjata di kiri kanan Panji bergerak maju. Mereka sepertinya cukup mengenal siapa yang harus dihadapi. Terbukti, sikap mereka demikian hati-hati dan tidak berani memandang rendah. Kendati belum mengerti mengapa Senapati Godamarta memusuhinya, Panji tidak mau pasrah diperlakukan seperti itu. Melihat delapan orang jagoan andalan Senapati Godamarta sudah bergerak maju, Panji menggeser langkahnya ke tengah ruangan. Ia memang tidak perlu banyak bicara lagi. Sikap dan ucapan Senapati Godamarta telah menjelaskan segalanya.

“Haaattt...!”

Empat jagoan di sebelah kanan Panji bergerak menerjang dengan senjata di tangan. Serangan mereka yang kuat dan mematikan menyadarkan Panji bahwa nyawanya hendak diambil. Tentu saja Panji tidak sudi!

“Haiiittt...!”

Begitu serangan lawan tiba, Panji melenting ke udara. Dari atas ia melepaskan pukulan-pukulan cepat dan kuat ke arah empat orang lawannya. Namun, mereka ternyata cukup gesit dan sanggup menghindar dari serangan Panji yang agak tak terduga. Dan sebelum Panji melanjutkan serangannya, empat orang di sebelah kirinya datang mengeroyok. Sehingga, Panji terpaksa menunda serangannya. Dan dengan mengandalkan kegesitannya menghindari sambaran pedang lawan yang berkesiutan di sekitar tubuhnya.

“Hahhh...?!”

Beeeddd!

Gagal dengan serangan pedang, salah seorang pengeroyok melepaskan pukulan lurus ke dada Panji. Namun dengan gerakan yang sukar diikuti mata, Panji dapat mengelak. Bahkan langsung mengirim serangkaian serangan balasan.

Whuuukkk...!

Cakar naga Panji meluncur siap menghantam tubuh penyerangnya. Pengeroyok lainnya tidak tinggal diam. Mereka serentak menerjang melindungi kawannya.

Plakkk! Plakkk!

Panji merasakan lengannya agak tergetar saat bertemu dengan lengan dua orang lawan. Meski kedua lawannya sempat tergetar mundur. Namun, Panji segera maklum mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Apalagi Senapati Godamarta telah mengetahui siapa dirinya. Tentunya delapan orang itu telah diperhitungkan kepandaiannya. Dan mereka memang tangguh. Panji baru tahu setelah lengannya bergetar saat berbenturan tadi.

“Mampusss...!”

Whuuuettt..!

Dua batang pedang datang menjepit Panji dari kiri-kanan. Desing tajam yang menusuk telinga membuat Panji menekuk kedua lututnya dengan kuda-kuda silang. Kemudian, menggeser kaki kanannya dari dalam keluar. Tubuhnya meliuk menghindari dua mata pedang yang siap menghunjam sasaran. Pedang-pedang itu hanya sejengkal lewat di atas punggungnya. Dan Panji mengangkat kedua tangannya. Lalu, diputar begitu lengan lawan terlibat.

“Haaahhh!”

Dibarengi sebuah bentakan keras Panji menghajar kedua lawannya dengan gedoran punggung tangan. Saat melakukan gerakan itu ia masih mengunci tangan mereka di ketiak. Dan ...

Bukkk, bukkk!

Kuat bukan main pukulan yang dikerahkan Panji. Tubuh mereka terlempar ke belakang sejauh dua tombak. Bahkan, sampai membentur dinding ruangan. Dan, jatuh menggeloso di lantai. Wajah mereka pucat dengan kulit agak kebiruan. Untuk sesaat mereka menggigil. Kemudian roboh tak sadarkan diri setelah memuntahkan darah kental.

“Keparat...!” Senapati Godamarta geram bukan main melihat jagoan andalannya dapat dirobohkan. Ia sudah siap untuk terjun ke gelanggang pertempuran.

“Haaaiiittt...!”

Panji melenting ke udara seiring teriakannya. Empat batang pedang yang datang mengancam mengenai angin kosong di bawahnya. Dari atas Pendekar Naga Putih mengirimkan serangkaian pukulan yang amat kuat dan menerbitkan hawa dingin menusuk tulang.

“Aaakkkh...!”

Dua orang lawan terpekik kaget. Tubuh mereka terjungkal ke lantai. Dan menggeletak tewas dengan batok kepala retak terkena cengkeraman cakar naga Pendekar Naga Putih. Dua lainnya berhasil menangkis. Meski untuk itu mereka harus jatuh bergulingan. Karena tenaga mereka kalah kuat. Selain harus mengusir hawa dingin yang merasuk ke dalam tubuh. Sehingga, untuk beberapa saat mereka tidak mampu melanjutkan pertarungan. Tapi, pada saat yang bersamaan, Senapati Godamarta bertindak curang. Tubuhnya melayang dengan sebuah tendangan mengarah ke tubuh Pendekar Naga Putih. Sedangkan saat itu Panji tengah melepaskan pukulannya dari udara. Sehingga....

Deeesss...!

“Hukkkh...!”

Tendangan keras itu tidak sanggup dielakkan Pendekar Naga Putih. Tubuh pemuda itu terlempar sampai menjebol dinding ruangan, dan terus bergulingan di ruangan lain. Sadar bahwa dirinya berada dalam sarang harimau, Pendekar Naga Putih bergegas melenting bangkit dengan dadanya terasa nyeri. Pemuda itu menjebol dinding ruangan dengan pukulannya. Terus melesat pergi meninggalkan tempat itu.

“Kepung! Tangkap! Jangan biarkan penjahat itu lolos...!” Senapati Godamarta berteriak-teriak memerintahkan para prajuritnya.

Panji sendiri sempat kaget melihat bagian luar bangunan. Ia telah dikurung oleh prajurit-prajurit kerajaan. Tapi, ia tidak ambil peduli. Dengan mengerahkan tenaga gabungan untuk melindungi tubuhnya dari hujan anak panah, Panji menerobos barisan prajurit.

Syuuuttt, suuuttt...!

Trakkk! Trakk! Trakkk!

Belasan anak panah berpatahan runtuh ke tanah. Pendekar Naga Putih terus melesat sambil tetap mengibaskan kedua tangannya untuk merobohkan enam prajurit di depannya. Kemudian, melesat pergi tanpa mempedulikan teriakan Senapati Godamarta yang sangat berang.

“Keparat!” Senapati Godamarta hanya bisa membanting kaki. Pendekar Naga Putih berhasil lolos dari jebakannya.

********************

Saat itu kegelapan telah menyelimuti persada. Suara binatang malam saling bersahutan menyemaraki suasana. Langit yang hanya diterangi sinar bulan sabit, tampak kelam. Gemintang pun tidak begitu banyak bergantungan menemani malam. Di sebuah bangunan tua yang terletak di luar kotaraja Panji tengah duduk bersemadi. Luka dalam akibat tendangan Senapati Godamarta sudah hilang, dan dadanya tidak lagi terasa nyeri. Kesehatannya telah pulih seperti sediakala.

Beberapa saat kemudian, Panji menyelesaikan semadinya. Pemuda itu bergerak bangkit dan menatap langit kelam sesaat. Terus melesat dengan kecepatan tinggi menuju kotaraja. Sebentar kemudian, bayangannya telah lenyap ditelan kegelapan malam. Dengan kepandaian yang dimiliki Panji memasuki kotaraja dengah sembunyi-sembunyi. Ia berniat menemui Gusti Prabu Pungga Dewa di dalam istananya. Hatinya masih belum puas kalau belum berhadapan langsung dengan penguasa negeri itu.

Ia ingin mendapat kepastian bagaimana sikap Prabu Pungga Dewa dalam masalah itu. Karena selain penguasa tertinggi Kerajaan Tampak Serang, tidak ada lagi yang dipercayainya. Pengalaman itu diperolehnya tadi pagi ketika menemui Senapati Godamarta. Panji tidak ingin tertipu untuk kedua kali.

Bagai hantu keluar mencari mangsa, Panji berkelebat menyusup ke dalam bangunan induk. Dari pengalaman-pengalamannya berpetualang Panji cukup tahu di mana ia bisa menemui penguasa negeri. Tentu saja ia tidak bertindak ceroboh untuk memasuki istana yang terjaga ketat itu.

Tidak sulit bagi Panji menyelinap masuk ke dalam istana, tanpa sepengetahuan para penjaga. Setelah melewati beberapa buah kamar, Panji dapat memastikan di mana tempat peraduan Prabu Pungga Dewa. Hanya dengan tekanan telapak tangan, pintu kamar itu terbuka tanpa mengeluarkan suara yang berarti. Bergegas Panji menyelinap masuk ke dalam kamar.

Dengan hati-hati disingkapnya penutup pembaringan yang berbau harum semerbak. Perlahan Panji menyentuh sesosok tubuh yang memiliki raut wajah menyinarkan keagungan. Tubuh itu tersentak dan membuka mata. Prabu Pungga Dewa kaget melihat seorang pemuda tanpan berjubah putih berada di dalam kamarnya. Tapi ketika ia hendak membentak marah, jemari tangan Panji bergerak cepat melakukan totokan. Sehingga, Prabu Pungga Dewa seketika tidak bisa berbicara.

“Maafkan kelancangan hamba, Gusti Prabu...,” ujar Panji segera berlutut menyembah lelaki berwajah agung itu. Sikapnya menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud jahat. Panji menengadahkan wajah untuk melihat tanggapan Prabu Pungga Dewa. “Hamba hanya ingin menyampaikan suatu berita yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Hamba sudah mencoba untuk menghadap secara baik-baik, namun malah terancam bahaya. Terpaksa hamba melakukan kelancangan ini...,” ujar Panji lagi. Dilihatnya sinar kemarahan pada sepasang mata itu lenyap. Panji lalu bergegas membebaskan pengaruh totokannya.

“Apa sebenarnya yang kau inginkan, Pemuda gagah?” tanya Prabu Pungga Dewa setelah menarik napas beberapa kali. Ditatapnya wajah tampan di depannya dengan sinar mata penuh keheranan.

Tanpa banyak cakap Panji menceritakan keperluannya. Juga tentang perlakuan Senapati Godamarta yang telah menjebak dan hampir mencelakakan dirinya. Semua itu diucapkan Panji dengan perlahan dan jelas, membuat kening Prabu Pungga Dewa berkerut. Kelihatan sekali penguasa negeri itu tak percaya dengan keterangan Panji. Tapi, melihat sikap dan tindakan Panji yang nekat menemuinya, Prabu Pungga Dewa mulai percaya.

“Hm...,” Prabu Pungga Dewa mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar uraian Panji. Terlihat kilatan marah pada sepasang matanya. Tapi, jelas bukan ditujukan kepada Panji. “Kau siapa, Pemuda gagah? Mengapa berani mempertaruhkan nyawa demi kepentingan orang banyak?” tanya Prabu Pungga Dewa dengan lembut, mencerminkan sifat bijaksana dan penuh kasih.

“Hamba bernama Panji, Gusti Prabu. Hamba sedikit pun tidak mengharapkan apa-apa dalam melakukan kebajikan. Menurut hamba, semua ini memang sudah menjadi kewajiban bagi setiap manusia yang menginginkan keadilan dan ketenteraman,” sahut Panji dengan heran. Sikap Prabu Pungga Dewa sama sekali tidak menunjukkan ketamakan maupun kebengisan. Bahkan, terkesan bijaksana dan penuh keadilan. Sikap itu membuat Panji tidak habis mengerti.

“Kau pastilah termasuk kaum persilatan. Apakah kau mempunyai julukan?” tanya Prabu Pungga Dewa yang kelihatan semakin tertarik dengan pemuda tampan yang sopan dan manis budi bahasanya itu.

“Benar, hamba adalah orang persilatan yang kasar dan kurang memiliki kesopanan, Gusti Prabu. Orang-orang menjuluki hamba Pendekar Naga Putih....”

“Aaahhh...?! Jadi kaulah rupanya yang dijuluki Pendekar Naga Putih. Sungguh gembira aku dapat berjumpa denganmu, Pendekar Naga Putih. Namamu demikian harum dipuja banyak orang,” Prabu Pungga Dewa rupanya pernah mendengar julukan Panji. Dan itu membuat Panji merasa lega, berarti ia akan lebih dipercaya lagi.

“Terima kasih Gusti Prabu...,” ucap Panji tetap merendah. Kendati Prabu Pungga Dewa jelas-jelas telah memujinya.

“Mengenai istana peristirahatan, sebenarnya sudah lama kubatalkan. Karena setelah kutinjau, tempat itu terdiri dari batu-batu padas yang keras dan sulit dihancurkan. Kalau sekarang ada orang yang mengumpulkan pekerja dan hendak mengikis bukit itu dengan alasan untuk membangun istana peristirahatan, jelas tidak benar. Rupanya, desas-desus yang kudengar di kalangan pembesar istana ada benarnya,” ujar Prabu Pungga Dewa mengejutkan Panji. Ternyata niat untuk membangun istana peristirahatan di Bukit Cadas Hantu telah dibatalkan.

“Tapi orang-orang yang mempekerjakan penduduk secara paksa adalah orang-orang kerajaan, Gusti Prabu. Bahkan, kabarnya mereka memiliki surat resmi bercap kerajaan?” Panji kembali menegasi penjelasannya. Karena Prabu Pungga Dewa membantah apa yang diceritakannya tadi.

“Kurang ajar! Mereka jelas telah mencemarkan nama baik Kerajaan Tampak Serang. Untuk perbuatan itu mereka harus mendapat hukuman berat!” Prabu Pungga Dewa kelihatan marah besar mendengar perkataan Panji.

“Apakah mereka pihak luar yang sengaja mencemarkan nama Kerajaan Tampak Serang, Gusti?” tanya Panji belum bisa menebak apa sebenarnya yang terjadi di dalam Kerajaan Tampak Serang.

“Seperti yang kukatakan tadi, ada selentingan kabar tentang pejabat yang hendak memberontak. Kemungkinan besar di Bukit Cadas Hantu hendak didirikan benteng bagi kelompok pemberontak itu. Karena, istana peristirahatan yang pernah hendak kubuat sudah kubatalkan. Sekarang aku yakin siapa yang menjadi biang keladi semua ini!” tegas Prabu Pungga Dewa menyimpan kemurkaan.

“Maksud Tuanku Gusti yang berkhianat adalah Senapati Godamarta...?” terka Panji. Karena Senapati itulah yang telah menjebak dan menghalanginya berjumpa dengan Gusti Prabu Pungga Dewa.

“Tepat! Memang Senapati Godamarta-lah yang menjadi biang keladi semua ini. Aku akan segera memerintahkan prajurit-prajuritku untuk meringkusnya. Untuk ke Bukit Cadas Hantu sendiri akan kukirim pasukan guna meringkus para pemberontak itu. Mereka harus ditumpas habis sampai ke akar-akarnya!” tegas Prabu Pungga Dewa.

“Jika demikian, berarti persoalan ini telah selesai. Karena untuk menumpas para pemberontak itu tentunya Gusti Prabu tidak memerlukan tenaga hamba. Sebab, di istana ini banyak terdapat orang pandai yang sanggup melakukannya...,” ujar Panji dengan perasaan lega. Tidak disangkanya kalau persoalan itu demikian sederhana. Ia tidak perlu bersusah-payah lagi.

“Kurang lebih begitulah, Panji. Dan untuk penderitaan serta kerugian rakyat akan segera kukirimkan penggantinya. Kupercayakan kepadamu untuk menyerahkan pengganti kerugian kepada mereka. Juga sampaikan permintaan maafku...,” ujar Prabu Pungga Dewa, membuat Panji semakin kagum dan tunduk kepada raja yang ternyata adil dan bijaksana itu.

Malam itu juga Prabu Pungga Dewa memanggil Senapati Godamarta. Dan memerintahkan dua orang senapati lainnya untuk membawa seribu prajurit-prajurit pilihan guna menumpas para pemberontak di Bukit Cadas Hantu. Panji sendiri tetap berada di samping Prabu Pungga Dewa. Itu atas permintaan Prabu Pungga Dewa. Dengan tujuan agar Pendekar Naga Putih merasa puas.

Senapati Godamarta serta pengikut-pengikutnya dijebloskan ke dalam tahanan dan menanti hukuman gantung. Pagi harinya, Panji yang terpaksa tidak beristirahat semalaman suntuk ditugaskan Prabu Pungga Dewa untuk membawa pengganti kerugian bagi rakyat. Gusti Prabu mengirimkan makanan serta ribuan keping uang. Sekaligus permintaan maaf dari Gusti Prabu Kerajaan Tampak Serang.

“Setelah tugasmu selesai, kalau kau tidak mempunyai kepentingan lain singgahlah ke istanaku, Pendekar Naga Putih. Tentu saja ini merupakan undangan resmi. Kapan saja kau sempat, pintu istanaku selalu terbuka untukmu...,” pesan Prabu Pungga Dewa sesaat sebelum kereta kuda yang dibawa Panji bergerak meninggalkan halaman istana.

“Terima kasih, Gusti. Hamba akan ingat hal itu...,” sahut Panji penuh hormat. Kemudian menghela empat ekor kuda yang menarik kereta. Dan bergerak meninggalkan kotaraja. Diiringi pandang mata Prabu Pungga Dewa yang terkesan dan kagum terhadap pendekar muda itu.

********************

Kedatangan Panji di Hutan Panawangan disambut dengan suka-cita. Apalagi, kabar yang dibawa pendekar muda itu benar-benar melegakan hati. Terutama para penduduk yang mendapatkan makanan serta kepingan uang dari Prabu Pungga Dewa. Langsung saja mereka yang semula mengutuk, berbalik memuji tak habis-habisnya.

Ki Wiguna dan tokoh-tokoh persilatan lainnya menyalami Panji dengan wajah berseri. Mereka benar-benar kagum atas tindakan Panji yang demikian berani mempertaruhkan nyawa. Mereka merasa mendapat contoh yang baik dari sosok pendekar muda itu. Tindakan Pendekar Naga Putih telah menanamkan semangat serta jiwa kependekaran yang semakin tebal dalam hati mereka.

“Sahabat-sahabat sekalian. Maaf, kalau aku tidak bisa menemani kalian lebih lama. Ada sesuatu keperluan yang agak mendesak. Karena itu, aku mohon pamit...,” ucap Panji kepada tokoh-tokoh persilatan yang mengelilinginya.

Ki Wiguna dan kawan-kawannya tentu saja maklum akan banyaknya tugas-tugas Panji. Mereka tidak berusaha mencegah kepergian pemuda itu. Dan melepaskannya dengan tatapan mata penuh kebanggaan dan juga haru. Bangga bahwa dalam golongan mereka telah muncul seorang tokoh muda yang dapat diandalkan, baik dalam kepandaian maupun budi pekertinya. Dan terharu atas perbuatan pemuda itu yang berani mempertaruhkan nyawa demi kepentingan orang banyak.

Panji sendiri telah melesat pergi dengan menggunakan ilmu lari cepatnya. Tujuannya tentu saja hendak menyusul Kenanga ke Kadipaten Tumapel, di sana kekasihnya sudah cukup lama menunggu.

S E L E S A I

Neraka Bumi

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Neraka Bumi
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

Dibawah siraman terik sinar matahari tampak serombongan orang berkuda bergerak memasuki perbatasan Desa Kendal. Melihat pakaian mereka, agaknya rombongan itu adalah prajurit-prajurit kerajaan.

Penunggang kuda terdepan seorang lelaki bertubuh gemuk. Wajahnya yang bulat terhias kumis tipis. Sorot matanya demikian angkuh dan memandang rendah orang lain. Dan, bibirnya membentuk senyum sinis penuh ejekan. Penampilannya menunjukkan perangai buruk lelaki gemuk yang menyandang jabatan perwira itu.

Dua penunggang kuda di kiri-kanan lelaki gemuk memiliki penampilan yang tidak jauh berbeda. Kendati sosok keduanya yang juga menjabat sebagai perwira, berperawakan tegap, namun sorot mata mereka terlihat begitu garang. Bahkan kalau diamati lebih teliti, sorot mata itu menyembunyikan kekejaman serta kelicikan. Jelas, kedua perwira itu pun mempunyai sifat yang buruk.

Di belakang ketiga perwira itu, tampak dua belas orang prajurit berkuda. Sebagaimana sifat ketiga pimpinannya, wajah mereka pun tidak menampilkan kesan baik. Sikap duduk mereka terlihat demikian angkuh. Seolah mereka bukan rombongan prajurit. Tapi, pembesar-pembesar kerajaan yang seharusnya dipandang tinggi serta dihormati. Pemandangan itu terlihat sangat aneh. Mereka tidak menunjukkan sikap terpuji sebagaimana abdi-abdi kerajaan pelindung rakyat. Penampilan prajurit-prajurit itu justru membuat orang merasa takut dan tidak suka.

Diiringi pandangan heran dan takut dari para penduduk, rombongan itu terus bergerak menyusuri jalan utama desa. Karena mereka prajurit-prajurit kerajaan, para penduduk bergerak menepi saat rombongan lewat. Penduduk desa semua membungkukkan tubuh dengan sikap hormat. Orang-orang desa memang memandang tinggi abdi-abdi kerajaan. Selain mereka terdiri dari orang-orang pilihan, juga memang sudah sepatutnya untuk dihormati.

Rombongan itu sendiri terus bergerak tanpa membalas sikap hormat penduduk Desa Kendal. Jangankan balas mengangguk, melirik pun tidak. Mereka malah semakin menunjukkan sikap angkuh, agar penduduk lebih takut dan semakin menaruh hormat. Sikap para prajurit kerajaan itu tentu saja memancing berbagai pendapat di kalangan penduduk. Seorang pemuda yang rupanya berdarah panas merasa tersinggung dengan sikap para prajurit. Pemuda itu mengutarakan kekesalannya.

“Tidak kusangka prajurit-prajurit kerajaan mempunyai sikap demikian angkuh! Melihat penampilannya, aku lebih condong mengatakan mereka tak ubahnya serombongan perampok kasar!” demikian yang dikatakan pemuda berwajah kehitaman itu seraya mencibirkan bibir.

Penduduk di sebelah pemuda itu menjadi cemas. Sadar kalau ucapan kawannya bisa mendatangkan celaka, cepat ia menyodok tubuh pemuda itu dengan sikutnya. Ia bermaksud mengingatkan kawannya supaya menjaga sikap di hadapan rombongan prajurit yang sedang lewat itu.

“Ukhhh!”

Pemuda berwajah kehitaman, karena terlalu sering terpanggang terik matahari, mengeluh pendek. Pukulan sikut kawannya agak terlalu keras mengenai lambungnya. Dan, keluhan pendek itu sempat tertangkap salah seorang prajurit yang berada di barisan terakhir.

Dengan sorot mata garang, prajurit berbibir tebal itu menoleh dan menatap kedua pemuda itu beberapa saat. Kelihatan sekali ia tidak senang, meski yang didengarnya sama sekali tidak mengganggu. Pemuda bertubuh kurus, agaknya tahu diri. Ia segera membungkuk hormat dan menundukkan kepala dalam-dalam. Karena sorot mata prajurit berbibir tebal menyiratkan ancaman.

Tapi, tidak demikian dengan pemuda berwajah kehitaman yang berperawakan tegap dan tinggi. Ketika melihat sorot mata yang demikian angkuh dan menghina, ia sedikit pun tidak mengangguk. Apalagi menundukkan kepala. Ditentangnya pandang mata prajurit berbibir tebal dengan sangat berani. Sehingga, kawan di sebelahnya menjadi pucat. Dan hanya bisa berharap agar pemuda itu tidak mendapat marah prajurit berbibir tebal. Tapi, harapan petani muda bertubuh kurus itu tidak terkabul. Prajurit berbibir tebal sudah merasa tersinggung dan marah.

“Petani Keparat! Kau berani menentangku, hah!” bentak prajurit berbibir tebal. Kawan-kawannya serempak menoleh. Ingin tahu apa yang terjadi dengan rekannya.

Petani muda bertubuh kekar itu tidak menjawab. Sinar matanya terlihat semakin tajam. Kelihatannya, ia tidak merasa gentar dengan prajurit berbibir tebal. Karuan saja prajurit itu naik pitam!

“Kurang ajar! Rupanya kau merasa lebih kuat dariku, hah!” kembali prajurit berbibir tebal itu membentak. Kali ini disusul dengan ayunan sebatang pecut yang dicabutnya dari pelana kuda. Dan...

Ctarrr...!

Ujung pecut meledak menimbulkan suara nyaring memekakkan telinga. Dan dengan telak mencambuk tubuh petani muda berwajah kehitaman, hingga baju bagian bahunya robek. Namun kendati cambukan itu cukup menyakitkan, petani muda itu tidak mengeluh. Tubuhnya yang tehuyung kembali tegak. Dan sinar matanya masih juga menyorot tajam tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun!

“Hei, ada apa...?!”

Ledakan cambuk itu rupanya mengundang perhatian tiga orang perwira di barisan depan. Perwira bertubuh gemuk yang menjadi pimpinan rombongan langsung bertanya. Nada suaranya terdengar menyiratkan ketidak-senangan. Karena perjalanannya merasa terganggu.

“Ada seorang penduduk yang kurang ajar, Kakang Lagawe...!” salah seorang prajurit memberi tahu.

“Hm.... Apa yang diperbuatnya...?” tanya perwira gemuk itu lagi dengan nada tetap tinggi.

“Kelihatannya ia tidak menyukai kehadiran kita di desa ini!” terdengar sahutan dari salah seorang prajuritnya.

“Kalau memang demikian, beri petani dungu dan sombong itu sedikit pelajaran. Agar lain kali lebih mengerti bagaimana harus bersikap terhadap tentara kerajaan!” lanjut perwira gemuk itu. Ia menghentikan langkah binatang tunggangannya dan ikut menatap petani muda bertubuh tinggi kokoh itu.

“Baik, Kakang Lagawe...!” yang menyahuti adalah prajurit berbibir tebal. Wajah prajurit itu kelihatan semakin cerah setelah mendapat dukungan pimpinannya. Tindakannya pun semakin menjadi-jadi. Pecutnya meledak berkali-kali merobek pakaian dan menimbulkan bilur-bilur merah di tubuh petani muda, yang jatuh bangun tersengat ujung pecut. Sampai akhirnya....

Tappp!

Secara kebetulan, petani muda itu berhasil menangkap ujung pecut ketika untuk kesekian kali menyambar tubuhnya. Kemudian, pecut itu dilibatkan ke lengannya. Dan....

“Heahhh!”

Sambil membentak keras, petani muda yang tidak mengenal takut itu menyentakkan ujung pecut. Kendati luka-luka di tubuhnya cukup banyak dan menyakitkan, tapi tenaga petani muda itu masih sangat kuat. Terbukti, sentakannya membuat prajurit berbibir tebal tertarik dan jatuh dari atas punggung kuda.

“Heiii...!” Karena tidak menyangka tenaga petani muda itu sangat kuat, prajurit berbibir tebal menjerit kaget saat tubuhnya meluncur ke tanah dengan kepala lebih dulu. Dan....

Jrooottt!

“Ughhh...!” Wajah prajurit berbibir tebal menghantam sebuah batu sebesar kepalan orang dewasa. Akibatnya, wajah yang jelek itu mengalirkan darah. Bibirnya yang tebal semakin bertambah besar.

“Kuhrangh... ahjarrrh...!” seraya mengerang kesakitan, prajurit berbibir tebal memaki murka. Sepasang matanya mendelik seperti hendak melompat dari tempatnya. Perbuatan petani muda itu benar-benar membangkitkan kemaranannya.

“Jangan bunuh! Beri saja dia pelajaran seperlunya! Kita membutuhkan tenaganya...!” perwira gemuk pimpinan rombongan berseru mencegah. Karena ia melihat anggota rombongannya yang terjatuh itu sudah meraba gagang pedang. Siap untuk menggunakan senjatanya.

“Tapi, Kakang. Petani itu telah melukai kawan kita!” salah seorang prajurit yang juga merasa geram, heran dengan ucapan pimpinannya. Ia berusaha membela temannya itu.

“Meskipun begitu, ia sangat kita perlukan. Ingat, harganya pasti cukup mahal. Ia memiliki tenaga yang kuat,” bantah perwira gemuk itu menekankan. Sehingga semua prajurit terdiam. Tak satu pun yang berani membantah lagi.

Karena tidak diperbolehkan menggunakan senjata, terpaksalah prajurit berbibir tebal mempergunakan tangan dan kakinya untuk menghajar petani muda itu.

“Mamphusss, khauuu...!” bentak prajurit berbibir tebal tidak jelas. Karena bibirnya yang tebal membengkak dan berdarah. Kendati demikian, luka itu tidak menghambat tenaga dan gerakannya. Bahkan, ia melompat maju dengan ganasnya. Seolah petani muda itu musuh bebuyutan yang sangat dibencinya.

Petani muda itu boleh jadi memiliki tenaga alam yang kuat. Tapi, sayangnya ia tidak bisa menandingi kecepatan gerak lawan. Sehingga, satu dua pukulan mulai mengenai wajah dan tubuhnya.

Bukkk, desss...!

“Uuuhhh...!”

Kalau sengatan ujung cambuk tidak membuatnya mengeluh, kini pukulan dan tendangan yang menerpa wajah dan tubuhnya membuat petani muda itu mulai mengeluh. Tubuh kekarnya jatuh bangun dihajar prajurit berbibir tebal yang memiliki ilmu silat cukup baik. Terlebih ia prajurit kerajaan yang tentunya telah cukup terlatih dengan baik. Maka, habislah petani muda itu menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangannya, yang dilancarkan dengan sekuat tenaga.

Para penduduk yang menyaksikan kejadian itu tidak berani ikut campur. Mereka menyeret langkah menjauhi tempat itu. Tak seorang pun ingin terlibat dan menerima siksaan prajurit-prajurit sombong dan kejam itu.

“Mamphusss...!”

Desss...!

Lagi-lagi tubuh petani muda itu terpental deras. Tubuhnya terbanting ke tanah. Kendati tidak berusaha menangkis pukulan dan tendangan lawan, petani muda itu bukan seseorang yang sulit dirobohkan. Dan meskipun sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit, petani itu rupanya masih belum mau menyerah. Wajahnya yang biru sembab dan mengucurkan darah tidak membuatnya takut. Dengan susah payah ia merangkak bangkit dengan sinar mata penuh kebencian!

“Hih!”

Lagi prajurit berbibir tebal melayangkan tendangannya saat lawan tengah berusaha bangkit berdiri. Tanpa ampun lagi, tubuh petani muda itu kembali terhempas ke tanah. Ia mengerang dan bergulungan menahan rasa sakit di perutnya yang terkena tendangan keras itu. Kali ini prajurit berbibir tebal tidak sampai menunggu lawannya bangkit. Dengan langkah lebar dihampirinya petani itu. kemudian, diangkat naik dengan mencekal leher bajunya. Dan...

Jrooottt!

Kepalannya melayang deras menghajar wajah yang sudah membengkak itu. Sehingga pecah dan mengucurkan darah segar. Hal itu dilakukan berkali-kali sampai akhirnya tubuh petani yang malang itu terkulai pingsan. Kemudian, tubuh itu didorongnya dengan keras hingga terbanting dengan keras ke tanah.

“Biarkan tubuh petani kurang ajar ini tetap tergeletak di tengah jalan sampai kami kembali! Siapa yang berani menyentuhnya atau menolongnya, aku tidak akan segan-segan memberi hukuman. Pedangku ini yang akan memutuskan hukuman bagi si pembangkang!” ucapan itu keluar dari mulut perwira gemuk yang menjadi pimpinan rombongan tersebut.

Usai berkata demikian, ia memerintahkan prajuritnya untuk melanjutkan perjalanan mereka kembali. Setelah rombongan prajurit bergerak cukup jauh, barulah para penduduk berani mendekat. Meskipun demikian, mereka tidak berani maju lebih dari satu tombak dari tubuh petani muda yang tak sadarkan diri itu. Mereka hanya bisa memandang dengan hati iba. Peringatan perwira gemuk tadi tampaknya masih terngiang di telinga mereka.

********************

Tiba di halaman sebuah rumah besar perwira gemuk itu menghentikan rombongannya. Kemudian melompat turun dari atas punggung kuda. Dua perwira lain mengikuti perbuatannya. Demikian pula kedua belas prajurit yang menjadi anggota rombongan kecil itu.

“Selamat datang di desa kami yang kecil ini, Tuan-tuan yang gagah,” seorang lelaki tua yang menjadi Kepala Desa Kendal menyambut dengan wajah cerah dan sikap hormat. Kendati demikian, terlihat sirat kecemasan pada sorot matanya. Tapi, perasaan itu berusaha ditutupinya dengan menunjukkan sikap ramah dan hormat terhadap tamu-tamunya itu.

Dua orang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dan empat puluh tahun yang mengapit kepala desa itu membungkuk hormat. Kelihatan sekali kalau sikap itu dilakukannya dengan sangat terpaksa. Sepertinya kedua sesepuh Desa Kendal itu merasa tidak suka dengan kehadiran prajurit-prajurit kerajaan itu. Namun, mereka berusaha bersikap wajar dengan memendam perasaan tidak sukanya dalam-dalam. Karena mereka sadar dengan siapa saat ini berhadapan.

“Hm.... Kaukah yang menjadi Kepala Desa Kendal ini, Orang Tua?” tanpa menyambut sikap hormat lelaki tua itu, Legawa melontarkan pertanyaan dengan sikap angkuh seraya menegakkan kepala. Seolah ia ingin menunjukkan bahwa dirinya jauh lebih tinggi dan terhormat daripada kepala desa itu.

“Benar, Tuan. Aku Ki Sugali, yang mendapat kepercayaan penduduk untuk memimpin desa ini,” jawab Ki Sugali cepat sambil membungkukkan tubuh. “Sedangkan kedua orang ini adalah pembantu-pembantuku. Mereka bertugas memberikan pelayanan kepada warga desa,” lanjutnya memperkenalkan kedua sesepuh desa yang berdiri di kanan-kirinya.

“Hm.... Mengapa kalian tidak segera memperkenalkan diri...?” tegur Legawa menunjukkan rasa tak sukanya kepada kedua pembantu Ki Sugali.

“Hamba bernama Ki Luganta,” sahut lelaki gagah berusia lima puluh tahun, menyembunyikan kejengkelannya mendengar nada suara yang demikian menyebalkan itu.

“Hamba, Sujanta...,” sahut lelaki tegap berusia empat puluh tahun yang berdiri di sebelah kiri Ki Sugali. Seperti halnya Ki Luganta, Sujanta pun tampak menyimpan rapat-rapat kedongkolan hatinya. Sehingga, suara maupun sikapnya terlihat wajar dan tidak mencurigakan.

Tapi, meskipun ketiga sesepuh desa itu memperlihatkan sikap hormat yang wajar, Legawa tidak bisa dikibuli. Perwira gemuk yang bertubuh agak pendek itu memang memiliki mata yang tajam. Ia dapat membaca sikap yang disembunyikan ketiga sesepuh Desa Kendal. Namun, hal itu tidak diutarakannya. Legawa mengambil sikap diam dan tidak peduli. Padahal, tentu saja dalam hatinya timbul ancaman.

“Nah, Ki Sugali. Aku tidak ingin berpanjang kata lagi. Kami membawa amanat dari kerajaan,” ujar Legawa. Lalu, membuka sebuah gulungan surat yang diterima dari rekannya.

Ki Sugali yang tahu surat itu datang dari penguasa negeri langsung menjatuhkan diri berlutut di depan Legawa. Perbuatan itu diikuti oleh Ki Luganta dan Sujanta.

Ditujukan kepala seluruh rakyat Kerajaan Tampak Serang. Sehubungan akan dibangunnya sebuah istana untuk tempat peristirahatan Prabu Pungga Dewa, maka dengan ini diminta kesediaan rakyat untuk menyumbangkan tenaga. Bagi siapa yang berani membantah akan mendapat hukuman berat. Dan bagi yang berani menentang akan dihukum mati di tempat!

Tertanda Prabu Pungga Dewa


Legawa kembali menggulung surat itu setelah membacakannya dengan terang dan jelas. Kemudian, diserah-kan kepada salah seorang dari kedua perwira di kiri-kanannya. Ditatapnya lekat-lekat wajah Ki Sugali serta kedua sesepuh Desa Kendal yang sudah bergerak bangkit.

“Nah, sekarang aku ingin agar selekasnya kau mengumpulkan penduduk di balai desa...,” ujar Legawa dengan tegas bernada perintah kepada kepala desa itu.

“Maaf, Tuan Perwira. Kalau diperkenankan aku mempunyai sedikit pertanyaan...?” Ki Luganta yang menjadi tangan kanan Kepala Desa Kendal berkata sambil membungkuk hormat.

“Hm.... Sejauh tidak menentang sabda Gusti Prabu Pungga Dewa tentu boleh-boleh saja, Ki Luganta...,” sahut Legawa dengan angkuh dan sinis.

“Kami memang sudah mendengar selentingan kabar itu, Tuan Perwira. Yang hendak kami tanyakan, bagaimana bagi mereka yang sudah berkeluarga atau yang orangtuanya sudah tak sanggup mencari nafkah. Sedangkan ia hanya mempunyai seorang putra? Harap Tuan Perwira tidak keberatan dengan pertanyaan kami...,” ujar Ki Luganta mengutarakan ganjalan hatinya.

“Hm.... Untuk hal itu tentu saja Gusti Prabu Pungga Dewa mempunyai suatu kebijaksanaan, Ki Luganta. Kau tidak perlu khawatir. Kami akan memberikan tunjangan sekadarnya kepada orang-orang tersebut,” jawab Legawa dengan tersenyum sinis. Sepertinya ia tidak merasa aneh dengan pertanyaan itu.

“Terima kasih atas kebijaksanaan Gusti Prabu. Dengan begitu legalah hati kami, Tuan Perwira,” lanjut Ki Luganta dengan wajah berseri. Meski tetap tidak melenyapkan bayangan kecemasan yang tersirat di wajahnya.

“Kalau begitu, kami tunggu di balai desa...,” Legawa kemudian melompat ke atas punggung kuda dan bergerak bersama rombongannya menuju balai desa.

DUA

Tidak terlalu sulit bagi Ki Sugali untuk melaksanakan permintaan perwira gemuk itu. Dengan mengerahkan seluruh keamanan desa, sebentar saja para penduduk telah memadati balai desa. Termasuk para petani yang tengah bekerja di sawah dan di ladang.

“Saudara-saudara sekalian!” Legawa membuka suara setelah seluruh warga Desa Kendal berkumpul. “Saat ini negara membutuhkan sumbangan tenaga dari rakyatnya. Untuk itu, kepada laki-laki di Desa Kendal yang merasa dirinya kuat segera saja mendaftarkan diri! Bagi mereka yang telah berkeluarga atau harus meninggalkan orang-tuanya yang sudah tidak mampu bekerja akan men-dapatkan tunjangan dari kerajaan. Nah, bagi yang merasa masih kuat bekerja keras, silakan maju satu persatu...!”

Ucapan perwira gemuk itu mendapat tanggapan yang tidak begitu menyenangkan. Para penduduk kelihatan enggan dan tidak berminat untuk mendaftarkan diri. Melihat sikap enggan penduduk, wajah Legawa berubah kelam.

Ki Sugali yang menyadari kegusaran Legawa segera tampil di depan. Lelaki tua itu maklum akan sikap warga desanya. Ia sudah mendengar tentang kejadian yang menimpa salah seorang warganya. Meskipun sebenarnya merasa marah akan tindakan para prajurit itu, Ki Sugali tetap tampil untuk membujuk warganya. Karena bila mereka membantah, pastilah penduduk Desa Kendal akan dituduh sebagai sarang pemberontak. Hal itu tidak diinginkan Ki Sugali.

“Saudara-saudaraku sekalian, warga Desa Kendal yang tercinta. Apa yang disampaikan Tuan Perwira Legawa merupakan panggilan negeri! Aku telah mendengar sendiri bunyi surat perintah dari Prabu Pungga Dewa. Kalau kalian ingin menunjukkan bahwa kalian seorang anak negeri yang baik, sekaranglah saatnya untuk berbakti. Jangan membuat malu nama Desa Kendal! Tunjukkan bahwa kalian pun sanggup berbakti kepada negeri ini!” Ki Sugali demikian bersemangat menyampaikan ucapannya.

Dan tampaknya ia mampu membangkitkan semangat mereka. Begitu ucapan Ki Sugali selesai, satu persatu laki-laki warga Desa Kendal bergerak maju untuk mendaftarkan diri. Tapi Legawa tidak merasa puas. Warga yang men-daftar hanya lima belas orang. Dan kebanyakan dari mereka sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Seketika itu juga amarahnya meledak.

Ctarrr! Ctarrr...!

Suara ledakan pecut yang digerakkan dengan tenaga dalam kuat membuat semua penduduk terkejut. Wajah mereka mendadak berubah pucat. Banyak di antaranya yang menutup kedua telinga. Suara lecutan pecut itu terasa menyakitltan dan membuat telinga mereka berdengung.

“Ini benar-benar penghinaan bagi pihak kerajaan! Kalian semua telah memaksaku untuk bertindak keras. Kalau cuma laki-laki jompo yang mendaftarkan diri, kami semua akan mendapat hukuman dari Prabu Pungga Dewa. Sekarang kuberi peringatan terakhir. Segera daftarkan diri, atau terpaksa aku bertindak keras dan memaksa kalian ikut bersama kami!” keras dan lantang ucapan Legawa, membuat terkejut dan kesal puluhan warga desa itu. Tapi, Legawa cukup pintar dengan membawa-bawa nama Gusti Prabu Pungga Dewa. Sehingga, jika mereka melawan akan dituduh sebagai pemberontak. Dan hukuman berat akan mereka terima.

Ki Sugali sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki tua yang masih gagah itu hanya berdiri dengan wajah agak pucat. Ia tidak menentang ucapan Legawa. Tapi, juga tidak berusaha membujuk warga desanya untuk ikut mendaftar. Dan sikap kepala desa itu membuat Legawa tak bisa lagi mengekang kemarahannya.

Dengan langkah lebar Legawa menghampiri kerumunan penduduk. Tanpa banyak tanya, lelaki gemuk itu mencengkeram leher baju seorang pemuda tanggung yang berusia sekitar lima belas tahun. Dengan sekali sentak tubuh pemuda itu terlempar keluar dari kerumunan. Dan jatuh terjerembab di tanah.

“Bangun kau pemalas!” salah seorang dari dua perwira yang berdiri tak jauh dari tempat jatuhnya pemuda tanggung itu segera menarik bangkit dengan kasar. Kemudian dilemparkannya ke arah barisan penduduk yang telah mendaftarkan diri.

“Tuan Perwira, harap jangan bertindak kasar!” Ki Sugali bergegas menyambut tubuh pemuda tanggung itu. Tapi sebelum kedua lengannya sempat menangkap tubuh pemuda itu, sebuah tendangan keras membuatnya terhempas sejauh setengah tombak!

“Kau hendak berontak kepada kerajaan, Ki Sugali...!” bentak perwira bertubuh tegap seraya memasang wajah garang. Sepasang alisnya yang tebal nyaring terpaut. Ditatapnya tajam-tajam Ki Sugali yang sudah bangkit berdiri.

“Aku tidak bermaksud memberontak, Tuan Perwira! Tapi pemuda itu masih terlalu kecil untuk bekerja berat. Harap Tuan Perwira sedikit bijaksana!” Ki Sugali berkata dengan wajah berkerut menahan perasaan. Ia merasa tidak berdaya untuk membela warga desanya. Karena yang dihadapinya prajurit-prajurit kerajaan. Kalau ia berani melawan, niscaya Desa Kendal akan disapu bersih oleh tentara kerajaan.

“Hm.... Semua ini karena kebandelan wargamu, Ki Sugali! Mereka sendiri yang meminta kami bertindak keras. Jadi, jangan menyalahkan kami!” tukas perwira tegap itu keras dengan sikap mengancam.

Sementara itu, Ki Luganta dan Sujanta yang merupakan orang-orang kepercayaan Ki Sugali bergerak maju melihat kepala desanya diperlakukan dengan kasar. Mereka siap melindungi lelaki tua itu. Keduanya berdiri menghadang perwira tegap itu lengan sorot mata tajam.

“Keparat! Kalian rupanya ingin melawan, hah!” bentak perwira tegap beralis tebal. Jari-jari tangannya meraba gagang pedang yang terselip di pinggangnya.

“Tunggu...!” Ki Sugali yang tidak menginginkan desanya tertimpa musibah bergegas mencegah. Lelaki tua itu melesat menghadapi perwira tegap beralis tebal, terlambat sedikit saja, kemungkinan besar darah akan mengalir di bumi Desa Kendal yang telah dipimpinnya selama belasan tahun.

“Hm...,” perwira tegap itu menggeram gusar. Jemari tangannya yang sudah siap meloloskan pedang bergeser menjauh dari senjata maut itu. Sehingga, Ki Sugali menarik napas lega.

“Tuan Perwira, berikanlah waktu kepada kami untuk membujuk mereka agar mau ikut membangun istana peristirahatan itu. Tapi, kuharap Tuan Perwira tidak membawa pemuda-pemuda tanggung. Mereka masih terlalu muda untuk melakukan pekerjaan itu,” Ki Sugali masih berusaha membela warga desanya.

“Ki Sugali!” tukas perwira tegap dengan nada tinggi, “Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa pekerjaan yang akan mereka lakukan sangat berat? Padahal, mereka hanya membangun sebuah istana peristirahatan? Apakah itu kau anggap pekerjaan berat?” lanjutnya tidak senang.

“Benar, mereka hanya bekerja untuk membangun sebuah istana peristirahatan. Tapi, bukankah sebelum itu mereka harus merobohkan bukit padas? Dan tempat mereka bekerja adalah daerah yang panas? Harap Tuan Perwira dapat mempertimbangkannya baik-baik...,” Ki Sugali akhirnya mengutarakan berita yang tersebar luas di luaran. Karena sudah belasan desa yang didatangi pasukan kerajaan, dan membawa laki-laki untuk ikut bekerja di tempat yang disebutkan Ki Sugali. Semula Ki Sugali tidak ingin membeberkan berita itu. Tapi ketika pasukan kerajaan memaksa pemuda-pemuda tanggung, ia menjadi keberatan dan mencoba meminta kebijaksanaan.

“Hm.... Dari mana kau mendapatkan berita tidak benar itu, Ki Sugali?” tanya perwira tegap. Tampak jelas betapa perwira itu menyembunyikan kekagetannya. Rupanya, ia sedikit pun tidak menduga Ki Sugali akan berkata demikian.

“Guranta! Tidak usah banyak cakap lagi. Lakukan saja semuanya seperti biasa. Jika diberi hati mereka akan semakin kurang ajar..!” bentakan keras itu berasal dari mulut Legawa yang masih saja menyeret penduduk, yang menurutnya cukup memenuhi syarat.

Mendengar ucapan itu, perwira tegap beralis tebal tidak membantah. Tanpa mempedulikan Ki Sugali dan sesepuh Desa Kendal, ia kembali menerima dan meleparkan pemuda-pemuda dan laki-laki yang dilemparkan Legawa kepadanya.

Melihat tindakan kasar dan bisa dikatakan kejam itu, Ki Sugali merasa sedih sekali. Apalagi, ketika melihat semua lelaki muda desa itu dipaksa mengikuti kemauan Legawa dan pasukannya. Menggigil tubuh Kepala Desa Kendal. Bahkan, hampir seluruh aparat keamanan desa juga dipaksa ikut.

Lepaslah pertahanan lelaki tua yang sangat mencintai warga desanya itu. Kepercayaan yang diberikan penduduk kepadanya memang tidak berlebihan. Ki Sugali adalah seorang kepala desa yang bijaksana dan tidak ada duanya. Ia bersedia mempertaruhkan nyawa demi keselamatan warganya. Gambaran seorang pemimpin sejati tercermin pada diri lelaki tua itu.

Semula Ki Sugali memang tidak mau bertindak menentang, yang akan membuat dirinya dituduh sebagai pemberontak. Kepala desa yang sangat mencintai tanah kelahiran serta penduduknya itu khawatir Desa Kendal akan dihancurkan kerajaan. Dan kekhawatiran itu bukan cuma sekadar dugaan belaka. Sudah ada beberapa desa yang diratakan dengan tanah. Mereka adalah orang-orang yang menentang keputusan Prabu Pungga Dewa, penguasa Kerajaan Tampak Serang.

Tapi melihat warga desanya dipaksa dengan kekerasan, pikiran Ki Sugali pun berubah. Karena pemaksaan dengan kekerasan sama artinya dengan menghancurkan masa depan Desa Kendal. Semua itu membuat Ki Sugali tidak lagi mempedulikan hukuman yang menantinya.

“Hentikan! Kalian bukan lagi abdi kerajaan yang membela kepentingan dan keamanan rakyat. Lebih tepat bila dikatakan kalian adalah perampok-perampok kejam. Tindakan kalian menunjukkan ke arah itu!” bentak Ki Sugali menggelegar.

Lelaki tua itu berteriak dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Jerit kesakitan dan suara cambukan membuat Ki Sugali tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya. Terlebih, ketika menyaksikan tubuh warganya yang berkelojotan di tanah karena cambukan pecut ketiga perwira kejam itu. Amarahnya tidak bisa ditahan lagi.

Bentakan Ki Sugali seketika menghentikan penyiksaan itu. Legawa dan anggota rombongannya berpaling dengan pandangan mengancam. Bahkan, dua belas orang prajuritnya sudah menghunus senjata. Siap digunakan demi tugas yang mereka emban.

“Hm.... Kau hendak memberontak, Ki Sugali...?” tegur Legawa.

“Jangan mengancam aku dengan kata-kata itu, Perwira Biadab! Tindakan kalian sudah melewati batas-batas perikemanusiaan. Aku tidak peduli dengan segala macam sebutan itu. Pemberontak atau anjing sekalipun!” tukas Ki Sugali yang sudah mencabut pedang. Sikap lelaki tua itu tampak garang, seperti induk harimau yang tengah melindungi induknya.

“Kurang ajar! Kau akan dihukum gantung, Ki Sugali!” bentak Legawa tidak kalah garang. Pecut di tangannya terlihat bergetar.

“Tidak peduli!” bentak Ki Sugali. Sepasang matanya mencorong tajam. Pedangnya melintang di depan dada. Siap menyabung nyawa demi jabatan yang dipercayakan kepadanya.

“Keparat! Bunuh orang tua gila itu...!” Legawa segera memerintahkan pasukannya untuk menyerang Ki Sugali.

“Yeaaa...!”

“Haaattt...!”

Dua belas orang prajurit Legawa meluruk dengan senjata di tangan. Tapi, Ki Sugali dan dua orang kepercayaannya telah siap menyambut mereka. Bahkan, belasan orang keamanan desa ikut meloloskan senjata. Mereka siap mempertaruhkan nyawa demi keadilan.

Sebentar saja perang kecil pun berlangsung. Suara dentang senjata dan teriakan mewarnai pertempuran. Semua terjadi begitu cepat dan tanpa direncanakan. Legawa bersama dua orang perwira lainnya ikut turun ke arena. Dengan menggunakan pecutnya, perwira gemuk itu mengamuk hebat merobohkan siapa saja yang berada di dekatnya.

Para keamanan desa yang kebetulan menghadapi perwira gemuk itu menjadi kalang kabut. Dalam beberapa jurus enam orang tersungkur roboh tak sadarkan diri. Itu memang disengaja oleh Legawa. Karena ia masih memerlukan tenaga mereka.

Guranta dan perwira lainnya juga tidak tinggal diam. Mereka menggunakan senjata untuk menghadapi amukan warga Desa Kendal. Tampak, penduduk desa tidak rela kepala desanya menghadapi pasukan kerajaan dan mengalami kematian. Rasa cinta mereka membuat Ki Sugali terharu. Hingga serangannya kian bertambah ganas.

Para prajurit kerajaan yang menghadapi orang tua itu sempat dibuat kalang kabut. Mereka terpaksa bergerak mundur. Karena kepandaian Ki Sugali memang tidak bisa diremehkan. Juga Ki Luganta dan Sujanta yang bahu-membahu bersama kepala desanya.

“Haaattt...!”

Melihat anggota pasukannya dibuat kocar-kacir, Legawa menjadi berang. Perwira gemuk itu melayang diiringi teriakan yang membahana. Kemudian, meluncur turun di dekat ketiga sesepuh Desa Kendal. Dan langsung melancarkan serangan.

Bwettt, bwettt, bwettt...!

Kali ini Legawa membuang pecutnya. Ia ketiga pemuka desa itu dengan pedang di tangan. Sekali menyerang Legawa melepaskan serangkaian sambaran dan tusukan. Tentu saja Ki Sugali dan dua orang pembantunya tidak ingin mendapat celaka. Ketiganya berlompatan mundur menyiapkan jurus-jurus barunya.

Tapi, Legawa tidak mau memberi kesempatan. Sebelum mereka bersiap, tubuh lelaki gemuk itu udah melayang dengan kecepatan yang mengagumkan. Memang tidak percuma Legawa dikirim untuk melaksanakan tugas yang berbahaya. Ia telah disiapkan dengan matang untuk menghadapi berbagai rintangan. Dan Legawa membuktikan kalau dirinya memang patut mengemban tugas berat itu.

“Haaattt...!”

Whuuuttt...!

Sambaran mata pedang Legawa mengaung keras mengancam Ki Luganta. Tapi orang tua itu dapat mengatasinya dengan serangkaian tangkisan. Sehingga, benturan keras pun tidak dapat dihindarkan.

Trangngng! Trangngng!

Legawa ternyata sangat licik. Tenaga tangkisan lawan digunakan untuk menyusuli serangannya. Sengaja ia mengendurkan tenaganya saat senjata lawan membentur pedangnya. Kemudian memutarnya dengan secepat kilat. Dan terus meluncur deras mengancam tenggorokan Ki Luganta. Hingga....

Brettt!

“Hekkkh!”

Ki Luganta tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Sambaran mata pedang lawan merobek tenggorokannya. Diiringi menyemburnya darah segar dari luka menganga di lehernya Ki Luganta, tubuh sesepuh Desa Kendal itu tersungkur tewas seketika itu juga.

“Yiaaattt...!”

Legawa tidak berhenti sampai di situ. Saat Sujanta terpaku melihat kematian rekannya, pedang di tangan perwira gemuk itu kembali melesat mencari sasaran.

Whuttt, brettt...!

“Aaakh…!”

Sujanta berusaha menghindar. Namun gerakannya kalah cepat. Mata pedang Legawa keburu datang merobek dada kanannya. Darah segar menyembur deras dari luka yang cukup dalam itu. Dan sebelum Sujanta sempat menyadarinya, kembali pedang Legawa berkelebat dua kali! Tanpa ampun lagi, tubuh Sujanta tersungkur roboh. Darah membasahi di sekujur tubuhnya. Lelaki gagah itu tewas dengan tiga luka memanjang di bagian dadanya.

“Keparat! Kubunuh kauuu...!”

Ki Sugali kalap bukan main melihat kematian pembantu-pembantu setianya. Dengan kemarahan yang menggelegak lelaki tua itu menerjang maju. Pedang di tangannya berputaran menimbulkan suara mengaung keras.

Bwettt, bwettt, bwettt!

Serangan Ki Sugali menemui tempat kosong. Legawa ternyata pandai membaca serangan lawan. Perwira gemuk itu telah bergeser mundur sebelum mata pedang Ki Sugali melukainya. Kemudian, membalas dengan tusukan ujung pedang yang bergetar mengaburkan pandangan lawan.

“Yaaattt...!”

Pekikan keras Legawa yang disertai suara berkesiutan angin pedang membuat Ki Sugali sedikit gugup. Kendati demikian, lelaki tua itu masih sempat menghindari. Bahkan, dapat menyabetkan pedangnya ke pangkal lengan lawan.

Brettt!

“Aaakhhh...!?”

Legawa memekik kesakitan. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah. Saat itu Ki Sugali menyusuli serangannya dengan tusukan maut yang mematikan. Tapi....

Blesss!

“Aaakh...!”

Ki Sugali meraung keras. Tubuhnya tertembus ujung pedang hingga ke perut. Rupanya, pada saat yang gawat itu Guranta dengan licik membokong Kepala Desa Kendal. Sehingga Ki Sugali yang sangat bernafsu merobohkan Legawa tidak sempat menyadarinya.

“Mampusss...!” desis Guranta seraya mencabut pedang yang menyate tubuh lelaki tua itu.

Darah segar membanjir membasahi bumi Desa Kendal. Tubuh lelaki tua yang gagah itu ambruk dengan nyawa melayang meninggalkan raga. Kematian ketiga sesepuh Desa Kendal membuat perlawanan penduduk kocar-kacir. Dalam waktu singkat mereka dapat didesak. Beberapa di antaranya berusaha mencari selamat.

Tapi, Legawa dan pasukannya tidak tinggal diam. Mereka segera mencegah dengan sambaran pedang. Sehingga, orang-orang malang itu roboh dengan tubuh luka. Kecuali yang muda-muda dan kuat, semua lelaki penduduk Desa Kendal dibantai habis. Tidak peduli lelaki itu sudah berusia tua sekalipun! Tidak berapa lama setelah kematian Ki Sugali dan dua orang kepercayaannya perlawanan penduduk pun berakhir. Mereka menyerah dan melemparkan senjatanya. Kemudian, berlutut di hadapan Legawa.

“Bagus. Kalian ternyata masih berpikiran waras. Kalau sejak semula kalian bersikap seperti ini, tentu warga desa ini tidak akan binasa,” Legawa tampak puas dengan keberhasilan tugasnya. Meski, pangkal lengannya terluka oleh sayatan pedang Ki Sugali.

Legawa kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengumpulkan orang-orang yang diperlukan. Tanpa kasihan para prajurit itu mengguyur mereka yang masih tak sadarkan diri. Sehingga, orang-orang desa yang memang sengaja dibuat pingsan tersadar.

Karena saat itu matahari sudah bergeser jauh ke barat, Legawa memerintahkan pasukannya untuk bermalam di desa itu dan mengumpulkan tawanan yang berjumlah tiga puluh orang di balai desa dengan dijaga anggota pasukannya. Walau kehilangan dua orang prajuritnya, Legawa tidak kecewa. Ia cukup banyak mendapat tawanan untuk dipekerjakan membangun istana peristirahatan Prabu Pungga Dewa.

TIGA

Perbuatan Legawa dan pasukannya semakin menjadi-jadi. Setelah mengurung semua lelaki yang akan dibawanya, ia tidak melewatkan kesempatan selagi bermalam. Gadis-gadis desa dan janda-janda yang baru kehilangan suami dipaksa untuk menemaninya. Seolah Legawa hendak merayakan kemenangannya tadi siang.

Apalah daya wanita-wanita desa yang lemah itu melawan kekuatan dan keganasan pasukan Legawa. Mereka hanya bisa menangis mengutuki nasibnya yang buruk. Tapi semua itu tidak berani mereka tunjukkan di hadapan Legawa dan pasukannya. Karena mereka tidak segan-segan bertindak kasar kepada wanita-wanita. Dengan kejamnya mereka dipaksa melayani prajurit-prajurit itu secara bergiliran. Kelihatannya, pasukan Kerajaan Tampak Serang benar-benar telah berubah menjadi iblis keji!

“Hua ha ha...!”

Dalam salah satu ruangan balai desa yang telah dilengkapi pembaringan Legawa tertawa-tawa penuh kepuasan. Lelaki gemuk itu terbaring bertelanjang dada dengan ditemani dua orang gadis yang tentu saja berparas cantik. Dengan ganas Legawa memuaskan nafsu iblisnya. Sementara gadis-gadis malang itu hanya bisa menuruti kehendaknya. Sebab, bila mereka berani membantah Legawa tidak segan-segan memberikannya kepada anggota pasukannya untuk digilir. Dapat dibayangkan betapa malangnya nasib wanita-wanita Desa Kendal, yang tidak pernah membayangkan akan menerima nasib seburuk itu.

Pesta pora Legawa dan pasukannya berlangsung sampai jauh malam. Dan baru usai ketika mereka mabuk karena terlalu banyak minum arak dan, kelelahan. Tubuh mereka bergeletakan di sembarang tempat. Meskipun begitu, tak seorang pun yang mengganggu ketenangan tidur mereka. Selain kaum lelakinya telah dikurung dalam sebuah ruangan tertutup, wanitanya pun mereka buat mabuk dengan menjejalkan arak secara paksa. Sehingga, malam itu benar-benar sunyi dan sepi.

Saat sinar matahari menerobos masuk menggantikan tugas sang Rembulan, Legawa menggeliat dari tidurnya. Kemudian bergerak bangkit dan membangunkan pasukannya dengan kasar. Mereka segera diperintahkan untuk bersiap meninggalkan Desa Kendal. Tidak berapa lama kemudian terlihatlah serombongan orang berkuda keluar dari Desa Kendal. Di belakang pasukan berkuda tampak dua puluh lima orang lelaki. Tangan mereka terikat tali-tali kuat sebesar ibu jari, yang dikaitkan satu sama lain dan dihubungkan ke tubuh kuda-kuda para prajurit.

Sinar matahari naik semakin tinggi saat rombongan Legawa telah cukup jauh meninggalkan Desa Kendal. Mereka sedikit pun tidak mempedulikan orang-orang di belakangnya, yang melangkah terseret-seret mengikuti gerak kaki kuda. Karena betapa pun pelan langkah kaki kuda itu tetap saja masih terlalu cepat bagi mereka.

Perjalanan yang jauh dengan medan berat dan sorotan sinar matahari garang membuat orang-orang Desa Kendal tersiksa. Terlihat beberapa dari mereka sudah mulai payah dan hampir tidak sanggup melangkah lagi, Kerongkongan mereka terasa kering, kendati wajah dan tubuhnya basah oleh peluh yang tak hentinya mengalir.

“Aiiir...!” salah seorang warga Desa Kendal yang sudah tidak sanggup menahan dahaga berteriak parau. Lidah lelaki itu menjilati bibirnya yang kering dan mulai pecah-pecah.

Tapi, rintihan itu tidak dipedulikan prajurit-prajurit kerajaan. Bahkan mereka malah menambah kecepatan lari kudanya. Sehingga, mereka yang sudah tidak sanggup melangkah terjerembab jatuh dan terseret-seret di tanah. Tampaknya mereka memang hendak menyiksa tawanan-tawanan itu.

“Biadab! Kalian benar-benar tidak berperi-kemanusiaan!” salah seorang dari tawanan tidak dapat lagi mengendalikan diri. Sumpah-serapahnya segera meluncur.

“Salahmu sendiri, Orang-orang Tolol! Kalau saja tidak memberontak, tentu tidak akan begini nasib kalian. Sebab, biasanya kami membawa para pekerja dengan menggunakan pedati. Tapi karena kalian telah berani memberontak, kami tidak segan-segan lagi untuk berlaku kejam!” prajurit berbibir tebal yang menaruh dendam kepada warga Desa Kendal menyahuti dengan sorot mata puas. Kemudian kembali berpaling ke depan dan tidak peduli lagi.

“Kalian benar-benar, Iblis...!” lelaki bertubuh gagah yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu kembali memaki. Karena memang cuma itu yang bisa dilakukannya.

“Hm.... Mulutmu lancang sekali...!” geram prajurit berbibir tebal. Dicabutnya pecut dari punggung kuda. Dan ujung pecut itu langsung berbicara.

Cletarrr, ctarrr...!

Setelah meledak-ledak beberapa kali di udara, ujung pecut meluncur turun mengancam tubuh lelaki gagah yang barusan melontarkan makian. Tapi....

Taaappp!

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sesosok bayangan putih mengulurkan tangan menangkap ujung pecut. Hingga, ujung pecut yang meluncur deras itu langsung dijepit dengan dua jari. Gagallah cambukan prajurit berbibir tebal.

“Tindakan kalian sudah melebihi batas, Tuan Prajurit yang gagah!” ujar sosok berjubah putih, yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan. Dan pemuda itulah yang telah berhasil menangkap luncuran ujung pecut dari prajurit berbibir tebal tadi.

“Kurang ajar! Siapa kau? Rupanya kau pun ingin memberontak terhadap Kerajaan Tampak Serang!” geram prajurit berbibir tebal. Prajurit itu rupanya belum menyadari bahwa pemuda tampan berjubah putih itu bukanlah orang sembarangan. Ia mampu menangkap ujung cambuk hanya dengan menggunakan dua buah jari. Jelas, pemuda itu tidak bisa disamakan dengan tawanan-tawanan itu.

“Hm.... Mudah sekali kau menuduh orang dengan sebutan pemberontak, Tuan Prajurit yang gagah...,” tukas pemuda tampan berjubah putih. Pemuda itu sengaja memanggil dengan sebutan 'Tuan Prajurit yang gagah'. Sebutan yang tidak cocok itu memang sengaja diucapkannya agar prajurit itu malu.

Perdebatan di barisan belakang rupanya menarik perhatian anggota pasukan lainnya. Bahkan, Legawa yang berada di barisan depan menyempatkan diri menoleh ke belakang. Keningnya berkerut melihat salah seorang anggota pasukannya bersitegang dengan seorang pemuda tampan berjubah putih. Merasa perjalanannya terganggu, Legawa segera mengeluarkan perintahnya.

“Siksa dan tangkap pemberontak itu!” pekik Legawa. Perwira gemuk itu tampaknya ingin memanfaatkan tenaga pemuda tampan berjubah putih. Itu sebabnya, ia tidak memerintahkan anggota pasukannya untuk membunuh pemuda itu.

Tapi, sebelum perintah itu dilaksanakan pemuda tampan berjubah putih telah lebih dulu bertindak. Ujung pecut yang terjepit di antara kedua jarinya langsung disentakkan.

“Aaakh...!?”

Prajurit berbibir tebal yang masih memegang gagang cambuk memekik ngeri. Tubuhnya tersentak dari atas punggung kuda. Dan meluncur turun dengan deras. Tanah berbatu di bawahnya telah siap menanti tubuh prajurit naas itu. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh prajurit itu terbanting ke tanah. Untungnya ia sempat melindungi wajah dengan menekuk kedua siku lengannya. Sehingga, tidak sampai membentur bebatuan kecil yang bertebaran di jalan.

Pemuda tampan berjubah putih itu sendiri sudah tidak mempedulikan lawannya lagi. Ia sibuk memutuskan tali pengikat penduduk Desa Kendal yang dihubungkan ke tubuh kuda. Hanya dengan sekali sentak, tali-tali yang kuat itu langsung putus. Tampaknya, kemunculannya memang untuk menyelamatkan penduduk Desa Kendal.

“Keparat! Bunuh pemuda setan itu...!” Legawa berteriak kalap. Lelaki gemuk itu kelihatan sangat terkejut melihat pemuda itu dapat dengan mudah memutuskan tambang pengikat. Sadarlah Legawa kalau yang dihadapi-nya seorang tokoh persilatan.

“Kalian kembalilah ke desa. Aku yang akan menghadapi pasukan berhati iblis ini...,” ujar pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Pendekar Naga Putih.

“Tapi..., kami tidak ingin Kisanak celaka karena ingin menolong kami...!” lelaki gagah yang tadi memaki berkata penuh kekhawatiran. Ucapan itu jelas menggambarkan keluhuran hatinya. Karena ia mengkhawatirkan nasib pemuda tampan berjubah putih itu.

“Tidak perlu cemas, Kisanak. Aku bisa menjaga diri. Pergilah dan tenangkan pikiranmu...,” tukas pemuda itu seraya tersenyum cerah. Ucapan lelaki gagah itu membuat hatinya terharu. Meski hanya seorang petani, ternyata ia tidak mementingkan keselamatan dirinya sendiri.

“Tapi...,” lelaki gagah itu mencoba membantah.

“Pergilah, Kisanak yang gagah...,” ujar Pendekar Naga Putih. Kemudian didorongnya tubuh petani gagah itu. Karena saat itu sembilan orang prajurit kerajaan sudah berlompatan dengan senjata di tangan.

Tanpak banyak cakap, Pendekar Naga Putih segera bertindak. Sembilan orang prajurit yang bergerak maju tersentak kaget! Mereka mendapati sosok pemuda berjubah putih itu lenyap! Dan, senjata mereka yang semula tergenggam erat tahu-tahu sudah berpindah tangan. Tampak tangan kanan pemuda itu menggenggam senjata.

“Gila...?!” salah seorang prajurit berseru dengan wajah pucat. Ia tidak percaya dengan kejadian yang dialaminya.

“Senjata bukanlah barang mainan. Terlalu berbahaya jika menggunakannya secara sembarangan. Sebaiknya senjata-senjata ini dipergunakan dengan baik. Tapi, bukan membunuhi orang-orang tidak berdosa...,” ujar Pendekar Naga Putih yang kini telah berdiri tegak di hadapan sembilan orang prajurit Legawa. Wajahnya tetap tenang tanpa menyorotkan ancaman. Bahkan, senyumnya tak lepas dari bibir.

Legawa sampai terjingkat di atas punggung kuda. Kejadian itu seperti mimpi. Kendati ia tahu dunia persilatan banyak dihuni tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, tetap saja ia meragukan penglihatan. Tokoh itu demikian muda. Kalau saja yang melakukannya seorang kakek tentu ia masih bisa percaya. Tapi seorang pemuda! Benar-benar Legawa dibuat heran. Sehingga, untuk beberapa saat belum bisa mengeluarkan suara sepatah pun. Kenyataan yang terpampang di depan matanya membuat Legawa tidak habis pikir.

“Hei, mengapa berdiri saja seperti patung? Ayo, bunuh pemuda pemberontak itu...!” Legawa berteriak memberi perintah setelah tersadar dari kekagetannya. Cepat tubuhnya meluncur turun diikuti dua perwira pembantunya.

Teguran Legawa membuat para prajurit itu sadar dari keadaannya yang memalukan. Serentak mereka bergerak maju mengandalkan kaki dan tangannya. Karena senjata mereka telah direbut pemuda tampan itu.

“Hm....” Panji bergumam perlahan. Kamudian, tangannya digerakkan ke kiri-kanan saat serangan lawan tiba. Meskipun gerakan tangan pemuda itu kelihatan sederhana, tapi mengejutkan Legawa dan dua perwira lainnya. Tubuh sembilan orang prajuritnya terlempar ke kiri-kanan seperti dilontarkan tangan-tangan raksasa yang tak tampak. Sedikit pun tidak mereka sadari kalau Pendekar Naga Putih telah melemparkan mereka dengan sambaran angin pukulannya. Mereka jatuh tanpa sempat memperbaiki kuda-kudanya.

Kaget bukan main hati Legawa serta dua perwira lainnya menyaksikan kejadian itu. Bagaimana para prajuritnya dapat dibuat tunggang-langgang hanya dengan gerakan sederhana? Legawa segera meloloskan pedang. Lalu, memberi isyarat kepada dua perwira pendampingnya untuk mengeroyok pemuda itu. Dengan senjata di tangan, Legawa bergerak menghampiri Pendekar Naga Putih. Sepasang matanya menatap penuh selidik seolah hendak mengenali siapa pemuda itu. Namun, tetap saja ia tidak bisa mengenalinya.

“Kisanak,” ujar Legawa. Langkahnya berhenti satu tombak dihadapan sosok pemuda tampan itu. “Perbuatanmu ini bisa mengakibatkan dirimu terlihat dalam kesulitan besar. Kau bisa dituduh memberontak karena berani menghalangi tugas resmi dari Gusti Prabu Pungga Dewa. Karena itu, kuberi peringatan kepadamu! Berlututlah dan meminta ampunan. Mungkin aku bisa mempertimbangkan tindakanmu.”

Mendengar ucapan perwira gemuk itu, Pendekar Naga Putih malah tersenyum. Meski demikian, kilatan pada sepasang matanya tampak menyembunyikan kegusaran. Untuk beberapa saat pemuda itu hanya menatap ketiga perwira di depannya. Kemudian, berkata dengan suara halus dan tenang.

“Tuan-tuan Perwira yang gagah,” ujar pemuda itu perlahan namun jelas terdengar, “Mungkin benar kalian mendapat tugas resmi dari Gusti Prabu Pungga Dewa. Tapi, beginikah cara petugas pemerintah memperlakukan rakyat? Haruskah mereka diikat seperti binatang dan diseret sepanjang jala tanpa diberi setetes air penghilang dahaga mereka. Tidakkah tindakan itu terlalu berlebihan? Atau memang begitu bunyi surat perintah Gusti Prabu Pungga Dewa?” dengan beraninya pemuda itu bertanya penuh penasaran. Kelihatan sekali Panji tidak merasa gentar.

“Seharusnya memang tidak. Tapi karena mereka berani memberontak dan mengakibatkan dua prajurit kami tewas, terpaksa kami menyiksa mereka agar menjadi contoh bagi penduduk desa lainnya,” bantah Legawa. Perwira gemuk itu tampak mulai merasa geram karena Panji berani menyalahkan tindakannya.

“Hm... Pasti ada alasan kuat mengapa mereka melakukan perlawanan. Mana mungkin penduduk desa yang biasanya sangat ramah dan taat sampai mau menentang kalau tidak ditekan dan disakiti” tukas Panji, membuat wajah Legawa dan dua perwira lainnya merah terbakar.

“Kau semakin kurang ajar saja, Kisanak! Kalau kami berbuat kasar itu karena mereka berani membangkang. Semua ucapanmu membuktikan bahwa kau menyetujui tindakan mereka. Dengan demikian kau berarti hendak memberontak terhadap kerajaan!”

Merasa kalah bicara, Legawa tidak memperpanjang perdebatan itu. Tubuhnya bergerak maju beberapa langkah. Dan pedang di tangannya diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan deruan ingin keras. Dua orang perwira lainnya pun melakukan hal yang sama. Mereka bergerak dari kiri dan kanan. Tampaknya mereka hendak mengeroyok pemuda tampan itu.

“Hm..., begitu lebih baik...,” ujar Panji. Sedikit pun ia tidak merasa gentar menghadapi ketiga perwira yang jelas-jelas hendak mencelakainya.

“Haaattt...!”

Legawa membuka serangan dengan sebuah teriakan parau. Pedang di tangannya berkelebat mendatar. Rupanya, perwira gemuk itu menyadari bahwa lawannya cukup memiliki kemampuan. Dalam jurus pertama ia langsung mengerahkan seluruh tenaganya.

Pendekar Naga Putih tetap berdiri tegak tanpa merasa cemas. Ia menunggu sampai mata pedang tiba. Saat itu, dua perwira dari kiri-kanannya juga melancarkan tusukan dan sambaran pedang. Melihat jurus-jurus serangan itu, Pendekar Naga Putih tahu mereka hendak membunuhnya.

Bweeet, bweeet! Syuuuttt...!

Tiga batang mata pedang mengancam disertai desingan tajam menusuk telinga. Pendekar Naga Putih hanya perlu menarik mundur kaki depannya selangkah. Dengan memiringkan badan, serangan pedang Legawa lewat satu jengkal di depan tubuhnya. Sedangkan dua serangan dari kiri-kanannya disambut dengan mengembangkan kedua lengan. Kemudian, lengan itu berputar dan menggedor dada dua perwira itu.

Desss, desss!

“Hukhhh!”

“Uggghhh!”

Tanpa ampun lagi, tubuh kedua perwira itu terhempas deras ke belakang. Cairan merah meleleh keluar dari sudut bibir. Agaknya, bagian dalam tubuh kedua perwira itu terguncang oleh hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih. Mereka menggigil untuk beberapa saat. Karena tenaga pukulan Pendekar Naga Putih mengandung hawa sedingin es.

Dalam waktu yang hampir bersamaan Legawa memperoleh tendangan lurus kaki kanan Pendeka Naga Putih. Dengan telak tendangan itu bersaran di perutnya. Karuan saja lelaki gemuk itu terbungkuk menahan mual. Wajahnya seketika menjadi gelap. Dan sepasang matanya membelalak bagai hendak terlompat keluar.

“Hiaaahhh!”

Disertai bentakan keras Pendekar Naga Putih mengibaskan tamparannya ke wajah Legawa. Lelaki gemuk itu tidak sempat lagi menghindari. Hingga....

Prattt!

Tanpa dapat dicegah Legawa terpelanting dan jatuh berdebuk. Perwira gemuk itu tidak bisa segera bangkit. Karena kepalanya masih terasa berat. Dan kedua telinga nya berdenging.

EMPAT

“Bangsat...!” Legawa melompat bangkit dan melontarkan makian seraya menggoyang-goyangkan kepala. Kemudian, senjatanya mengibas ke kiri-kanan menerbitkan desingan tajam. Legawa siap melanjutkan pertarungan. Gumantara dan temannya pun telah bangkit. Keduanya kembali membuka jurus dengan putaran pedang. Mereka melompat maju dari samping dan belakang.

“Yeaaattt...!”

Dibarengi teriakanbkeras, Legawa menyabetkan pedangnya dengan gerak menyilang. Kilatan sinar putih berkilau seiring datangnya senjata maut itu. Dari dua jurusan lain, dua pengeroyok Pendekar Naga Putih juga telah maju menerjang. Pedang di tangan mereka siap merenggut nyawa Pendekar Naga Putih. Rupanya, pukulan-pukulan Pendekar Naga Putih yang singgah di tubuh mereka membuat keduanya mendendam. Itu terlihat dari semakin ganasnya serangan mereka.

Bwettt! Bwettt! Bweet!

Sambaran ketiga batang pedang itu sedikit pun tidak menyulitkan Pendekar Naga Putih. Dengan mengandalkan kegesitannya, tubuhnya berkelebatan di antara pedang lawan. Dan semua serangan itu kandas tanpa hasil.

“Haaaiiittt..!”

Sambil berseru keras Pendekar Naga Putih membalas serangan lawan. Telapak tangannya berkelebatan menerbitkan desiran angin dingin menusuk tulang. Kecepatan gerak pemuda itu membuat lawan-lawannya gugup. Terutama sambaran hawa dingin, yang menghambat gerak mereka. Hawa dingin itu sanggup membekukan otot-otot tubuh mereka. Sehingga gerakan mereka jadi tak beraturan.

Kali ini Panji memang tidak ingin memberi kesempatan kepada lawan untuk membangun serangan. Tamparan dan pukulannya datang bagai air bah. Tentu saja ketiga perwira itu semakin terdesak. Sampai akhirnya mereka tak sanggup lagi melindungi tubuhnya. Dan....

Bukkk!

“Aaakh...!”

Legawa mendapat bagian pertama. Perwira gemuk itu terjengkang ke belakang. Sebuah pukulan telah menyodok iganya. Tanpa ampun lagi tubuh perwira gemuk itu terbanting ke tanah. Dan ia tidak sanggup bangkit lagi. Kesadarannya telah lenyap. Legawa pingsan akibat pukulan lawan.

Dua orang perwira lainnya pun tidak dapat bertahan lebih lama. Tamparan dan tendangan Panji melemparkan tubuh keduanya sejauh dua tombak. Keduanya langsung menggeletak pingsan. Melihat lelehan darah dari sela-sela bibir mereka, kedua perwira itu tampaknya mengalami luka dalam. Seperti halnya Legawa.

Menyaksikan ketiga pimpinannya tak berdaya menghadapi pemuda itu, para prajurit menjadi pucat. Mereka bergerak mundur dengan wajah dibasahi keringat dingin. Jelas, mereka merasa gentar menghadapi Panji.

“Hm..., sebaiknya bawa pergi pimpinan kalian itu. Dan kuingatkan agar kalian tidak lagi melakukan pemaksaan terhadap rakyat yang tak berdosa. Kalau tenaga mereka kalian perlukan, mintalah dengan baik-baik. Aku yakin kalau demi kemajuan bangsa dan Kerajaan Tampak Serang rakyat akan bersedia menyumbangkan tenaga dan pikirannya. Camkan itu baik-baik!” ujar Panji pada sepuluh orang prajurit Kerajaan Tampak Serang yang hanya mengangguk dengan hati berdebar penuh rasa takut.

Setelah mengingatkan para prajurit itu, Pendekar Naga Putih bergerak menghampiri penduduk Desa Kendal. Mereka ternyata belum juga mau pergi meninggalkan tempat itu.

“Mengapa kalian masih berada di sini?” tegur Panji.

“Kami belum mengucapkan terima kasih kepada Tuan Pendekar. Selain itu, kami khawatir mereka akan datang lagi untuk menghukum dan menyeret kami secara paksa...,” petani bertubuh gagah yang kelihatan paling berani dan pandai berbicara segera menyahuti.

Mendengar ucapan itu, Panji tercenung sejenak. Dipandanginya wajah-wajah yang membayangkan kecemasan itu untuk beberapa saat. Dan, terhenti pada seraut wajah gagah yang barusan mengutarakan kekhawatirannya.

“Aku mengerti perasaan kalian. Tapi percayalah. Aku tidak akan tinggal diam. Kejadian ini membuatku ingin mencari tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi di Kerajaan Tampak Serang. Aku akan menuntaskan masalah ini secepatnya. Untuk itu, kuharap kalian tidak perlu merasa cemas,” ujar Panji yang tentu saja bukan cuma sekadar menghibur. Tapi, ia benar-benar hendak menyelidiki kejadian itu.

Janji pemuda tampan berjubah putih itu tampaknya melegakan hati penduduk Desa Kendal. Mereka memandang wajah Panji dengan pandangan terima kasih.

“Nah, sekarang sebaiknya kalian pulang. Biar porsoalan ini aku yang menyelesaikannya...,” lanjut Panji dengan nada tidak ingin dibantah, meski tetap sopan dan lembut.

“Tapi..., kami belum mengenal siapa Kisanak yang gagah?” tanya petani gagah mewakili pertanyaan yang tersimpan dalam hati kawan-kawannya

“Panggil saja aku Panji...,” sahut Panji tersenyum ramah. Kemudian, menganggukkan kepala mengiringi langkah orang-orang Desa Kendal yang bergerak meninggalkan tempat itu. Panji baru bergerak pergi setelah rombongan penduduk Desa Kendal lenyap di kejauhan. Demikian pula rombongan pasukan Kerajaan Tampa Serang. Tempat itu pun kembali sepi tanpa seorang pun terlihat.

********************

“Ini tidak bisa didiamkan. Kita harus meminta keadilan di kotaraja. Apa yang dilakukan pihak kerajaan jelas tidak adil, dan menyengsarakan rakyat yang memang kehidupannya sudah susah!” Ucapan penuh rasa penasaran dan tak puas itu keluar dari mulut seorang lelaki tegap. Saat itu tengah duduk di sebuah kedai bersama dua orang kawannya.

“Benar!” lelaki kedua yang sepasang matanya bersinar tajam dengan wajah terhias kumis lebat menimpali. “Kalau cuma karena sebuah istana untuk tempat peristirahatan Gusti Prabu Pungga Dewa, mengapa keringat rakyat harus diperas demikian kejam? Kalau pun pihak kerajaan memang memerlukan tenaga rakyat, semestinya mereka memberi imbalan yang pantas. Karena rakyat membutuhkan makan serta pakaian. Ini jelas harus kita tentang!” lanjutnya tak puas.

Sedang orang ketiga yang lebih tua dari kedua temannya hanya diam mendengarkan. Meski demikian, lelaki empat puluh lima tahun itu berpikir keras. Ia memang bukan tidak mendengarkan ucapan kedua kawannya. Tapi, tengah berusaha mencari jalan keluar yang baik.

“Bagaimana, Kakang Wiguna? Kalihatannya kau tidak begitu mendengarkan pembicaraan kami?” tegur lelaki tegap yang pertama kali berbicara. Ia merasa heran melihat tidak adanya tanggapan dari lelaki itu.

Ki Wiguna tidak segera memberikan jawaban. Ia menarik napas sebentar. Kemudian ditatapnya wajah kedua kawannya dengan tenang. Dan kembali menarik napas. Kali ini cukup panjang dan agak berat

“Adi Ranggala, Adi Gowanta,” ujar Ki Wiguna perlahan dan tenang, tanpa terburu-buru, “Semua yang kalian bicarakan tadi tentu saja aku dengar dengan jelas. Masalahnya, kita tidak bisa langsung bertindak dan melaporkan hal ini. Seperti kita semua tahu, para prajurit kerajaan memiliki surat resmi dari Gusti Prabu Pungga Dewa. Itu berarti pihak kerajaan memang benar-benar mengutus tentaranya untuk mencari tenaga guna membangun istana peristirahatan itu. Hanya cara kerja mereka yang tidak bisa kita terima. Jika kita mendatangi kotaraja dan mengadukan hal ini, kemungkinan besar kitalah yang dituduh menyebar fitnah. Sebab, bukan tidak mungkin semua ini merupakan kerja orang-orang yang duduk di pemerintahan. Aku khawatir mereka malah akan menjebloskan kita ke dalam penjara. Atau mungkin lebih buruk dari itu.”

Mendengar ucapan Ki Wiguna, Ranggala dan Gowanta saling bertukar pandang dengan kening berkerut. Tampaknya mereka tidak berpikir ke arah itu. Keduanya kaget mendengar perkataan Ki Wiguna.

“Kalau begitu apa yang sebaiknya kita lakukan untuk menghadapi hal ini, Kakang?” Ranggala, lelaki tegap itu membuka suara dengan agak putus asa. Apa yang baru saja dipaparkan Ki Wiguna memang cukup masuk akal.

“Itulah yang membuatku termenung, Adi Ranggala. Sayangnya sampai saat ini aku belum juga menemukan jalan keluar yang baik,” sahut Ki Wiguna dengan wajah menyesal.

Ranggala dan Gowanta menarik napas panjang. Jawaban Ki Wiguna membuat mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Untuk beberapa saat, mereka termenung mengikuti arus pikiran masing masing.

“Begini saja, Kakang,” tiba-tiba Gowanta memecahkan keheningan di antara mereka. Rupanya, ia mendapatkan sebuah pemikiran yang cukup baik.

“Bagaimana...?” tanya Ki Wiguna sungguh-sungguh.

“Katakanlah, Adi Gowanta. Siapa tahu jalan pikiranmu cukup baik bagi kita,” Ranggala kelihatan tak sabar ketika melihat Gowanta agak ragu untuk menyampaikannya.

“Menurutku sebaiknya kita berpura-pura ikut bekerja membangun istana peristirahatan itu. Saat para prajurit mencari pekerja ke desa, kita ikut mendaftar. Dengan begitu kita bisa melihat bagaimana nasib para penduduk yang bekerja di sana. Kalau memang benar para prajurit itu bertindak kejam, tinggal kita terobos dan membebaskan rakyat yang bernasib buruk itu. Bagaimana? Apakah kalian setuju?” tanya Gowanta setelah menjelaskan usulnya.

“Usul itu memang cukup bagus. Sayangnya mengandung resiko yang cukup besar,” tukas Ranggala kurang setuju dengan usul Gowanta.

“Benar. Selain itu, aku telah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh persilatan yang melakukan tindakan itu. Tapi, mereka tidak pernah dapat keluar dari tempat itu. Karena di sana terdapat jagoan-jagoan kerajaan yang berkepandaian tinggi. Jelas usul Adi Gowanta tidak mungkin dapat kita lakukan. Itu sama saja dengan memasuki sarang harimau!” jelas Ki Wiguna juga kurang setuju. Ia memang lebih banyak tahu ketimbang Ranggal dan Gowanta.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang. Rasanya aku tidak tega membiarkan hal ini berlarut-larut. Apalagi menurut selentingan kabar yang terdengar sudah cukup banyak korban berjatuhan di tempat itu. Rakyat bekerja dalam tekanan yang berat, tak ubahnya kerja paksa! Selain tidak diberi imbalan, makan dan tidur mereka pun tidak teratur. Bukankah ini sudah melewati batas?” Gowanta kembali mengungkapkan rasa tidak puasnya terhadap kerajaan.

Ki Wiguna dan Ranggala tidak menyahuti. Pembicaraan terputus karena mereka mendengar suara langkah kaki mendatangi meja mereka. Ada sedikit ketegangan tergambar di wajah mereka. Jelas, ketiga tokoh persilatan itu sangat berhati-hati. Mereka takut ada mata-mata yang mendengarkan pembicaraan itu, kendati ucapan mereka dilakukan dengan hati-hati.

“Maaf, kalau kehadiranku mengganggu pembicaraan Kisanak bertiga,” ucapan itu terdengar begitu sopan, menunjukkan kehalusan budi pemiliknya. Hingga, ketiga lelaki gagah itu menolehkan kepala dan menatap pemilik suara. “Aku sempat mendengarkan pembicaraan sanak bertiga. Dan rasanya aku tertarik untuk ikut bergabung. Tentu saja kalau Kisanak tidak keberatan menerimaku,” kembali orang itu menyambung ucapannya.

Ki Wiguna dan dua orang kawannya belum juga menyahut. Mereka meneliti orang yang berbicara itu. Ia adalah seorang pemuda tampan dengan air muka segar penuh senyum. Tubuhnya yang sedang namun kelihatan berisi terbungkus jubah putih sebatas lutut. Keseluruhan penampilan pemuda itu simpatik dan menimbulkan rasa suka bagi yang memandangnya.

Tapi yang lebih menarik ketiga lelaki gagah itu adalah tatapan mata-pemuda tampan berjubah putih. Sinar matanya terlihat demikian tajam dan penuh perbawa. Sebagai orang-orang persilatan, ketiganya tahu dan sekaligus terkejut. Sinar mata seperti itu hanya dimiliki tokoh-tokoh sakti, yang tenaga dalamnya telah mencapai taraf sempurna. Mereka menjadi heran dan tertegun beberapa saat.

“Kalian keberatan jika aku ikut bergabung...?” Pertanyaan yang diucapkan dengan perlahan itu ternyata mengejutkan Ki Wiguna dan kawan-kawannya. Serentak wajah ketiganya menjadi kemerahan. Sadar akan sikapnya yang kurang bijaksana dan seperti orang bodoh.

“Aaa.... Tidak... tidak.... Kami sama sekali tidak keberatan...,” cepat-cepat Ki Wiguna menukas seraya memperbaiki sikapnya yang kurang pantas.

“Benar, Kisanak. Kami sama sekali tidak keberatan. Silakan...,” Ranggala ikut menimpali kendati terlihat agak salah tingkah.

“Terima kasih...,” ujar pemuda tampan itu tersenyum dan menarik kursi yang masih kosong. Kemudian duduk dengan tenang sambil merayapi wajah ketiga lelaki gagah itu. Karena masih belum mengetahui dengan jelas maksud pemuda tampan itu bergabung dengan mereka, Ki Wiguna dan kawan-kawannya berdiam diri. Mereka tidak ada yang berbicara. Itu berlangsung beberapa saat.

“Maaf,” pemuda tampan itu akhirnya memulai percakapan. “Ada baiknya kalau aku memperkenalkan diri. Mudah-mudahan dengan begitu kita bisa saling terbuka. Namaku Panji. Seorang perantau miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap.”

“Panji...!?” Ki Wiguna kelihatan agak terkejut mendengar nama itu. Keningnya berkerut dalam seperti tengah memikirkan sesuatu. Ditatapnya pemuda yang duduk di depannya dengan penuh selidik dan dada berdebar. Sehingga, Ranggala dan Gowanta menjadi heran melihat sikap kawannya.

“Benar. Aku bernama Panji...,” jelas pemuda tampan berjubah putih menegaskan.

“Kisanak,” akhirnya Ki Wiguna mengeluarkankan suara setelah membisu beberapa saat. “Katakanlah dengan jujur. Apakah kau berjuluk Pendekar Naga Putih?” tanya Ki Wiguna, debaran dalam dadanya terasa semakin keras. Rupanya, lelaki tua itu pernah mendengar nama Panji. Meski lupa-lupa ingat tentang tempat dan waktunya.

“Begitulah orang-orang memberikan julukan kepadaku,” sahut Panji membenarkan dugaan Ki Wiguna. Ia merasa tak perlu menyembunyikan julukannya. Semua itu tentu saja berdasarkan beberapa pertimbangan.

“Pendekar Naga Putih...?!”

Ranggala dan Gowanta berdesis dengan wajah berubah tegang! Kedua lelaki gagah itu sedikit pun tidak menduga kalau pemuda tampan di depannya pendekar besar yang namanya telah menggetarkan jagat.

“Benar! Kau pastilah Pendekar Naga Putih...!” seru Ranggala dengan suara ditekan sekecil mungkin. Tampaknya, ia tidak ingin pengunjung kedai mendengar disebutnya nama pendekar besar itu.

Ki Wiguna tersenyum lebar tak sanggup menahan luapan kegembiraan. Lelaki gagah itu tertawa sebagai ungkapan rasa senangnya dapat berjumpa dengan tokoh muda yang sepak terjangnya telah merepotkan golongan sesat. Sama sekali tidak disangkanya hari ini dapat berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang tersohor itu.

“Maaf kalau sambutan kami tadi sangat tidak layak, Pendekar Naga Putih. Kami benar-benar tidak menduga akan kehadiranmu di kedai ini...,” ucap Ki Wiguna yang segera bangkit dan menyalami Panji dengan penuh kehangatan.

“Tidak mengapa, Kisanak. Aku maklum...,” tukas Panji tersenyum menyambut uluran tangan Ki Wiguna.

Ranggala dan Gowanta pun bergegas bangkit dan menyalami Pendekar Naga Putih. Kelihatan sekali kegembiraan terpancar dari wajah-wajah mereka. Agaknya, Ki Wiguna dan kawan-kawannya benar-benar merasa senang dapat berjumpa dengan pendekar muda itu.

Panji menerima uluran tangan Ranggala dan Gowanta dengan tidak kalah hangat. Sikapnya tetap ramah dan sopan, tidak terkesan membanggakan julukannya. Sehingga, Ki Wiguna dan kawan-kawannya semakin menaruh rasa kagum dan hormat.

“Tentunya kau sudah mendengar semua pembicaraan kami, Panji? Nah, mungkin kau mempunyai rencana yang bisa dijadikan jalan keluar untuk masalah itu,” ujar Ki Wiguna kemudian setelah saling memperkenalkan diri.

“Rasanya aku cukup tertarik dengan usul yang diajukan Gowanta. Karena aku sendiri memang hendak melakukannya...,” sahut Panji segera mengutarakan pendapatnya.

“Hm... Sebenarnya, terus terang aku kurang begitu setuju. Tapi, dengan adanya kau, Panji, aku tidak lagi merasa khawatir. Aku ikut mendukung usul yang diajukan Adi Gowanta,” tandas Ki Wiguna, merubah pikirannya setelah adanya Pendekar Naga Putih di tengah-tengah mereka. Rarena Ki Wiguna telah cukup banyak men-dengar kehebatan Pendekar Naga Putih yang menggemparkan rimba persilatan.

“Ya. Aku pun setuju!” timpal Ranggala tidak mau ketinggalan. Seperti halnya Ki Wiguna, Ranggala pun berubah pikiran setelah adanya Pendekar Naga Putih bersama mereka.

“Terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku. Tapi, tentunya aku membutuhkan bantuan kalian bertiga. Aku baru saja tiba di daerah ini, dan belum tahu banyak tentang tempat-tempat di sini. Untuk itu aku minta petunjuk dari kalian. Kuharap kalian jangan sungkan-sungkan memberikan petunjuk kepadaku...,” ujar Panji merendah. Tapi, ucapan itu dikeluarkan dengan sungguh-sungguh. Sehingga, Ki Wiguna dan teman-temannya merasa tersanjung.

“Kita akan saling bantu, Pendekar Naga Putih...,” tukas Ki Wiguna tersenyum lebar dengan wajah cerah. “Mari kita minum untuk merayakan pertemuan ini...!” lanjutnya seraya mengangkat gelas bambu dan meminumnya tanpa ragu.

Pendekar Naga Putih, Ranggala, dan Gowanta mengikuti tindakannya. Pertemuan itu terasa semakin menggembirakan. Apalagi, ketika Ki Wiguna memanggil pelayan dan memesan hidangan. Pesta kecil itu jadi semakin hangat. Mereka bertambah akrab satu sama lain.

********************

LIMA

“Hayo, bekerja yang giat! Jangan bermalas-malasan...!” Lelaki berperawakan tinggi besar dengan cambang bauk lebat berteriak-teriak lantang. Sikapnya terlihat garang dan bengis. Ia berdiri dengan kaki terpentang mengawasi pekerja-pekerja yang tengah sibuk memecah batu padas, menggerogoti sebuah bukit. Kedua tangannya bertolak pinggang. Sebuah cambuk tergenggam di tangan kanan. Lelaki tinggi besar itu bagai seorang algojo yang siap menjatuhkan hukuman.

Sementara itu, tubuh-tubuh kotor bertelanjang baju di bawahnya tampak bercucuran peluh. Tubuh mereka kurus dan tidak terawat baik, dengan garis-garis bawah menggambarkan penderitaan yang tak berkesudahan. Jelas sekali mereka bekerja dengan sangat terpaksa. Karena takut mendapat hukuman dari lelaki tinggi besar yang selalu setia mengawasi mereka.

Saat itu matahari memancar garang, menambah beratnya pekerjaan yang harus dilakukan. Terik sinar matahari bagai hendak membakar tubuh-tubuh hitam dan kotor itu. Alam sedikit pun tidak menunjukkan sikap bersahabat kepada pekerja-pekerja.

Lelaki tinggi kekar yang mengawasi mereka tiba-tiba menoleh. Ia mendengar suara langkah kaki banyak orang menghampiri tempat itu. Keningnya tampak berkerut melihat serombongan orang berpakaian lengkap bergerak menghampiri dikawal delapan orang prajurit bersenjata.

“Hm.... Ada orang-orang baru rupanya...?” tegur lelaki tinggi kekar dengan suara parau dan berat. Ia ber-gerak menyambut dengan senyum di bibir. Kelihatannya ia sangat gembira. Datangnya orang-orang baru, berarti tenaga-tenaga baru dan kuat.

“Ini kami membawa lima belas orang pekerja yang akan diperbantukan untuk memecah batu padas, Jonggala...!” ujar salah satu dari delapan prajurit yang berada di barisan depan.

“Bagus! Aku memang sudah bosan melihat pekerja-pekerja dungu yang malas itu...,” sahut lelaki tinggi kekar bernama Jonggala sambil melemparkan pandang ke arah pekerja-pekerjanya. Keningnya berkerut tak senang. Ketika melihat seorang pekerja tampak berhenti dan memperhatikan rombongan yang baru datang.

“Kurang ajar! Hei, apa yang kau lihat, Pemalas...!” Jonggala kelihatan marah sekali. Dengan wajah bengis, lelaki kekar itu melangkah menghampiri. Kemudian...

Ctarrr! Ctarrr...!

“Aaakhhh...!” Lelaki berusia empat puluh tahun yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpelanting jatuh. Terus menggelinding ke bawah dan terbanting di tanah keras.

“Oooh...!” Lelaki yang sebenarnya tegap itu menggeliat kesakitan. Pada punggungnya terdapat garis merah bekas lecutan cambuk. Ia berusaha bergerak bangkit dengan wajahnya berkerut-kerut menahan sakit.

“Manusia pemalas...!” lagi-lagi Jonggala memaki marah. Cambuk di tangannya kembali meluncur. Tidak ada rasa iba sedikit pun di hatinya. Padahal, lelaki itu tengah susah-payah hendak bangkit.

Terdengar jeritan kesakitan ketika ujung cambuk Jonggala menyengat tubuh kurus itu. Sehingga, untuk kedua kalinya pekerja itu menggeliat dan terjerembab jatuh. Kali ini ia tidak mampu segera bangkit. Dari mulutnya yang mengalirkan darah segar terdengar erang kesakitan.

Peristiwa itu sedikit pun tidak membuat pekerja yang lainnya berhenti. Mereka berpura-pura tidak melihat penderitaan kawannya, dan terus bekerja. Karena sekali saja mereka lengah, bukan mustahil ujung cambuk itu akan singgah di tubuh mereka. Hal itu sudah sering kali terjadi.

Sementara itu, sepasang mata milik seorang lelaki tegap yang berada di antara rombongan menyorot tajam penuh kebencian. Kelihatannya ia sudah tidak sabar lagi menyaksikan kekejaman yang berlangsung di depan matanya. Tapi, saat kakinya hendak melangkah sebuah jari-jari tangan kokoh mencegahnya.

“Sabar, Ranggala. Biarlah untuk kali ini kita hanya menyaksikan. Kita belum tahu jelas keadaan tempat ini,” bisik pemuda tampan bertubuh sedang yang mengenakan jubah putih. Ia tidak lain Panji.

Ranggala terpaksa menarik napas panjang. Kemudian berpaling menatap dua orang kawannya, Ki Wiguna dan Gowanta. Rupanya, keempat tokoh itu telah berhasil menyelusup dalam rombongan pekerja yang didapat dari desa-desa. Kini mereka telah berada di sebuah tempat yang dikelilingi pagar kayu bulat setinggi dua tombak. Tempat itu luas sekali.

Panji menghela napas lega melihat Ranggala mau menuruti anjurannya. Ia sendiri sebenarnya tidak tahan melihat tindakan Jonggala. Tapi karena belum tahu bagaimana keadaan di tempat itu, Panji tidak segera bertindak. Ia menahan perasaan marahnya sekuat tenaga. Semula Panji agak khawatir untuk memasuki tempat itu. Ia pernah menghajar rombongan prajurit kerajaan saat membawa penduduk Desa Kendal. Pemuda itu akan bertemu dengan prajurit yang pernah dipecundanginya. Tapi, ternyata dugaannya meleset.

Legawa dan pasukannya tidak berada di tempat itu. Rupanya, masing-masing pasukan mempunyai tugas yang berbeda. Dan, pasukan yang dipimpin Legawa hanya bertugas untuk mencari pekerja-pekerja. Kemudian mengirimkannya ke tempat yang telah disediakan. Dan pergi lagi untuk mencari tenaga kerja lainnya. Yang mengantar para pekerja ke tempat itu adalah pasukan yang berada di tempat penampungan terakhir. Mereka diantarkan ke tempat yang bernama Cadas Hantu.

Di tempat itulah para pekerja diperas tenaganya siang dan malam. Hampir tidak pernah beristirahat. Karena waktu untuk beristirahat hanya sempit sekali. Saat itu, Jonggala telah puas menyiksa pekerjanya. Ia pergi meninggalkannya dan kembali menghampiri rombongan pekerja yang baru tiba.

“Kalian boleh pergi...,” ujar Jonggala pada delapan orang prajurit yang mengantarkan rombongan Panji. “Dan kalian tanggalkan pakaian. Kerjalah yang baik dan jangan sampai cambukku berbicara!” perintahnya kepada rombongan yang baru tiba.

Tanpa banyak membantah, anggota rombongan yang diantaranya Panji melepaskan pakaiannya. Tak seorang pun yang membawa senjata. Karena di pintu gerbang pertama senjata mereka telah dilucuti. Itu pun kalau ada. Kalau tidak, mereka hanya diperiksa sebelum diantarkan ke tempat mereka bekerja.

Ranggala, Ki Wiguna, dan Gowanta memang telah mengetahui hal itu sebelumnya. Mereka telah membuang senjatanya sebelum menyelusup ke dalam rombongan. Mereka pun menyadari tempat itu sulit ditembus. Penjaganya demikian ketat. Semua itu mereka lihat sepanjang jalan menuju tempat mereka akan bekerja. Mereka pun menjadi maklum mengapa tokoh-tokoh persilatan yang menyelusup masuk tidak dapat keluar dengan nyawa masih melekat di badan. Untuk melarikan diri dari tempat itu memang pekerjaan yang hampir mustahil!

Setelah melolos pakaiannya, Panji dan anggota rombongan langsung diberi tugas. Mulailah mereka bekerja dengan alat yang telah disediakan. Melihat pekerjaan yang harus dilakukannya, Panji maklum mengapa pekerjaan itu terasa sangat berat. Bukit yang harus mereka ratakan merupakan batu cadas yang sangat keras, tak ubahnya benda logam. Untuk memecahkan memang bukan pekerjaan yang ringan. Pantaslah kalau banyak orang tak sanggup bertahan lama. Panji baru mengerti mengapa mereka tidak pernah berhenti dalam usaha mencari tenaga-tenaga baru. Untuk meratakan bukit itu diperlukan banyak tenaga serta waktu yang lama.

“Hm... Gusti Prabu Pungga Dewa benar-benar keterlaluan! Menurutku, agak mustahil kalau beliau hendak membangun istana peristirahatan di daerah Cadas Hantu ini. Benar pemandangan di tempat ini memang sangat indah. Tapi, untuk meratakan bukit ini akan memerlukan waktu tahunan. Celaka, kalau begini. Bisa habis rakyat Tampak Serang...,” gumam Panji yang mulai mengayunkan alat pemecah batu dengan menggunakan tenaga dalam.

Crakkk!“

Hasil pekerjaan Panji tentu saja tidak bisa disamakan dengan pekerja-pekerja lainnya. Hanya dengan menambah sedikit tenaganya, batu padas yang hitam seperti besi itu dapat dipecah dengan dua kali hantam. Sehingga, pekerjaannya lebih cepat dari pekerja-pekerja lainnya. Demikian pula dengan Ki Wiguna, Ranggala, Gowanta. Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan, sehingga dapat melakukan pekerjaan itu dengan lebih baik dari pekerja-pekerja lainnya. Jonggala agak terkejut menyaksikan hasil pekerjaan keempat pekerja baru itu.

“Hm.... Tampaknya mereka memiliki tenaga yang besar. Bukan tidak mungkin keempat orang itu kaum rimba persilatan yang kebetulan tertangkap oleh pasukan...,” gumam Jonggala yang kelihatan tidak menaruh curiga.

Sebelumnya memang telah ada tokoh-tokoh persilatan yang dibawa oleh pasukan untuk dipekerjakan. Beberapa orang yang mencoba hendak memberontak telah dibunuh tanpa ampun. Sehingga, Jonggala tidak merasa khawatir meski keempat pekerja baru itu diduganya sebagai orang-orang persilatan. Penjagaan di tempat itu sangat ketat. Tidak mungkin mereka berani memberontak, kecuali memang sengaja hendak mencari mati.

********************

Malam telah menyelimuti persada. Kegelapan yang hanya diterangi sinar bulan sabit tidak mengganggu kegiatan di Cadas Hantu. Obor-obor yang banyak dipasang untuk penerangan membantu para pekerja agar dapat meneruskan pekerjaannya. Sehingga, bagi para pekerja tidak ada bedanya antara siang dan malam. Mereka tetap bekerja sampai jauh malam.

Udara di Cadas Hantu itu ternyata sangat dingin bila malam hari. Kalau pada siang hari pancaran sinar matahari sangat panas menyengat kulit, malam harinya mereka menggigil kedinginan. Pergantian udara yang sangat jauh berbeda itu membuat para pekerja tidak sanggup bertahan. Terlebih mereka bekerja dengan perut kosong.

Para pekerja itu hanya mendapat makan satu kali, pada waktu fajar terbit. Dan kalau tidak datang tepat pada waktunya, terpaksalah mereka berpuasa sepanjang hari. Sebab, terlambat sedikit saja, mereka tidak mendapat makanan. Sampai demikian keras dan kejamnya peraturan di tempat itu.

“Sudah tiga hari kita berada di neraka ini, Panji. Rasanya aku sudah tidak tahan tinggal lebih lama lagi. Aku pun merasa kasihan dengan rakyat yang terlihat demikian sengsara. Kita harus segera bertindak, Panji...,” Ranggala mengutarakan perasaannya saat mereka beristirahat, setelah bekerja sampai jauh malam. Mereka baru berhenti pada waktu tengah malam.

“Jangan tergesa-gesa dulu, Ranggala. Selama dua malam ini aku telah menyelidiki seluruh tempat ini. Aku menemukan sesuatu yang cukup mengejutkan!” tukas Panji menyabarkan Ranggala. Karena Panji masih belum menemukan cara untuk mengeluarkan pekerja-pekerja itu.

“Apa yang kau temukan, Panji?” tanya Ki Wiguna menatap wajah tampan itu lekat-lekat.

“Tempat ini ternyata dijaga oleh sekitar tiga ratusan orang prajurit. Belum ditambah dengan jagoan-jagoan istana, termasuk Jonggala di dalamnya. Kalau hanya kita berempat yang lolos tentu tidak terlalu sulit. Tapi bagaimana dengan pekerja-pekerja itu? Aku khawatir jika kita gagal nasib mereka akan semakin buruk. Karena Jonggala tidak segan-segan melakukan siksaan...,” ujar Panji membuat ketiga lelaki gagah itu terperanjat. Di sekitar daerah itu mereka tidak melihat tempat yang dapat menampung sekian banyak prajurit.

“Kau yakin...?” tanya Gowanta belum bisa percaya dengan keterangan Panji.

“Tentu saja, Gowanta. Aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Prajurit-prajurit itu sengaja ditempatkan tersembunyi dan tak terlihat oleh kita. Tapi, sewaktu-waktu mereka dapat muncul dan menggasak habis bagi siapa saja yang mencoba lari dari tempat celaka ini...,” jawab Panji bersungguh-sungguh, membuat dada ketiga orang gagah ihi berdebar tegang.

“Hm.... Kalau harus menghadapi tiga ratus orang prajurit dan masih ditambah dengan jagoan-jagoan istana, jelas sulit sekali bagi kita untuk membebaskan rakyat. Mendengar keteranganmu, aku jadi sangsi dengan keberhasilan rencana kita...,” Ranggala terdengar meng-hembuskan napas berat. Wajahnya menyembunyikan kecemasan. Apa yang mereka rencanakan ternyata sulit untuk dilaksanakan.

“Itu sebabnya kita harus bersabar, Ranggala. Aku tengah memikirkan jalan keluar untuk dapat pergi dan membebaskan pekerja-pekerja itu, yang jumlahnya mencapai ratusan orang,” tukas Panji tetap tenang. Kendati jiwanya tak lepas dari incaran maut.

“Kau punya rencana, Panji...?” Ki Wiguna yang juga mulai ragu mengajukan pertanyaan. Ia melihat sikap pemuda itu tetap tenang tanpa kecemasan sedikit pun.

“Beri aku waktu satu malam lagi untuk berpikir, Ki Wiguna. Kalau belum juga menemukan jalan keluarnya aku akan mendatangi Gusti Prabu Pungga Dewa. Kalau perlu mengancamnya agar membatalkan rencana membuat istana peristirahatan di tempat ini, yang jelas agak mustahil. Kalaupun berhasil harus banyak nyawa rakyat dikorbankan sebagai tumbalnya. Kau tahu sendiri, bukan? Bagaimana kuatnya batu cadas yang mesti kita pecahkan itu?” Panji mengutarakan rencananya.

“Baiklah. Kami tunggu keputusanmu...,” ujar Ki Wiguna yang tentu saja tahu bagaimana beratnya pekerjaan yang harus mereka lakukan.

Ranggala dan Gowanta hanya menganggukkan kepala. Kemudian percakapan terhenti. Keempat orang itu mencoba beristirahat, meski fajar tak lama lagi akan terbit. Pertanda mereka harus kembali menjalani siksaan yang disebut sebagai pekerjaan itu.

********************

ENAM

“Bangun kau pemalas...!” Jonggala, lelaki bertubuh tinggi kekar dengan wajah dipenuhi cambang bauk memasuki barak pekerja dengan cambuk di tangan. Sesekali terdengar ledakan ketika cambuk itu diayunkan ke udara. Percikan bunga api berpendar menandakan kekuatan tenaga pemiliknya.

Ctarrr! Ctarrr!

Ledakan cambuk yang menulikan telinga terdengar mengejutkan. Para penghuni barak yang tengah terbuai mimpi tersentak dari tidurnya. Mereka bergerak bangkit dan berlarian keluar. Jelas terlihat betapa mereka sangat takut kepada Jonggala, yang memang tidak segan-segan bertindak kejam pada siapa saja yang berani membangkang.

“Hei, kau! Ayo bangun...!”

Sepasang alis Jonggala yang tebal nyaris bertemu di tengah kening. Sorot matanya yang bengis tertuju ke sosok tubuh yang masih saja terbaring. Jonggala segera menghampiri dan menendang pembaringan.

Brakkk!

Terdengar suara keras disusul robohnya pembaringan kayu. Tubuh di atasnya pun terbanting jatuh. Terdengar suara rintih dari mulut lelaki kurus yang meringkuk di tanah. Jonggala kelihatan tidak ambil pusing. Kendati ia tahu orang itu tengah menderita sakit, tetap saja ia menginginkan agar lelaki itu bekerja seperti biasa. Jonggala melangkah lebar dan mengulurkan tangannya siap mengangkat bangkit sosok kurus yang tengah menggigil itu. Pada saat jari-jari kokoh Jonggala siap mencengkeram leher baju lelaki itu mendadak berkelebat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu pergelangan Jonggala tercekal ketat.

“Kisanak, harap jangan terlalu kejam...,” terdengar suara halus menegur perbuatan Jonggala.

Jonggala tentu saja menjadi gusar ketika pergelangan tangannya dicekal demikian kuat. Tapi, lelaki tinggi kekar itu terlihat kaget. Karena meski telah mengerahkan tenaga, cekalan itu tidak mampu dilepaskan. Kenyataan itu membuat Jonggala memaksa diri melihat siapa yang berani berbuat demikian kepadanya.

“Kisanak. Orang ini jelas sedang sakit. Menurut penglihatanku ia tidak akan mampu bekerja. Kuharap kau sedikit mengerti dan membiarkannya beristirahat untuk satu dua hari...,” ucap sosok yang mencekal pergelangan Jonggala.

Jengkel bukan main hati Jonggala. Selama ini belum pernah ada seorang pun yang berani mengucapkan kata-kata demikian kepadanya. Jangankan menasihatinya, menentang pandang matanya saja belum pernah ada yang berani. Tentu saja teguran yang baru pertama kali itu membuatnya berang.

Tapi, sosok pemuda tampan berjubah putih itu kelihatan tetap tenang. Sepasang matanya yang tajam berpengaruh menentang pandang mata Jonggala. Siapa lagi pemuda tampan itu kalau bukan Panji. Rupanya, secara kebetulan Jonggala bertugas membangunkan para pekerja di mana Panji ditempatkan. Perbuatan Jonggala yang melewati batas membuat Panji terpaksa bertindak.

“Hm... Kau rupanya...!” geram Jonggala yang rupanya sempat memperhatikan saat pemuda itu datang bersama rombongan. “Orang ini cuma berpura-pura sakit, ia jelas tidak ingin bekerja!”

“Tidak, Kisanak. Coba kau lihat baik-baik benar-benar sakit dan membutuhkan perawatan...” sanggah Panji bersikeras tanpa melepaskan pandang matanya. Diam-diam Panji mengerahkan kekuatan tenaga batin untuk melumpuhkan Jonggala.

Kekuatan pandang mata Panji mulai mempelihatkan hasil. Jonggala tampak mengerjap beberapa kali. Kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia tidak sanggup melawan perbawa yang timbul dari sepasang mata pemuda itu.

Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta yang semula tegang melihat kejadian itu menghela napas lega. Mereka maklum apa yang dilakukan Panji sangatlah berbahaya. Tapi, mereka juga tidak menyalahkan. Tindakan Jonggala memang sangat keterlaluan. Sehingga, ketiga tokoh itu telah bersiap-siap kalau kejadian itu akan berbuntut panjang. Tapi, ternyata tidak.

“Hm...,” Jonggala hanya bergumam tak jelas. Kelihatannya ia agak gentar juga. Terbukti ia kemudian melangkah keluar setelah menoleh sekilas ke arah pekerja yang masih merintih dengan tubuh menggigil.

Gowanta dan Ranggala buru-buru mengangkat pekerja itu ke pembaringan lainnya. Sedangkan Ki Wiguna menghampiri Panji yang masih tegak di tempatnya.

“Untung tidak sampai berkepanjangan. Kalau tidak, kita pasti akan celaka…,” ujar Ki Wiguna seraya menepuk bahu Pendekar Naga Putih, yang juga sempat dilanda ketegangan. Karena perbuatannya bisa membahayakan jiwa ratusan pekerja yang berada di tempat penampungan itu.

“Kelihatannya algojo itu agak gentar kepadamu, Panji...,” Gowanta ikut bergabung dan memuji Panji. Tampaknya, ia cukup puas dengan apa yang baru saja dilakukan pemuda tampan itu.

“Tapi sekarang kita harus lebih waspada. Aku khawatir Jonggala menaruh dendam dan mulai mencurigai kita...,” ujar Panji mengingatkan. Kemudian melangkah lebar meninggalkan barak, diikuti tiga tokoh persilatan itu. Mereka menuju tempat biasa bekerja.

********************

Saat itu matahari belum lagi muncul. Namun di sekitar Bukit Cadas Hantu telah terjadi kesibukan. Suara benda runcing yang dipergunakan untuk mengikis cadas terdengar saling bersahutan. Mereka bekerja di bawah sinar obor. Di bagian lain terlihat kesibukan puluhan pekerja yang mengangkut batu-batu untuk dikumpulkan di satu tempat.

Tubuh mereka terbungkuk-bungkuk membawa beban berat di kepalanya. Mereka melangkah tersaruk-saruk. Meskipun perut mereka telah terisi, namun apa yang mereka makan terlalu sedikit. Hingga wajar saja bila tenaga mereka semakin surut dan cepat lelah. Selain kurang makan, mereka pun kurang beristirahat di waktu malam.

“Aaahhh...!”

Seorang pekerja yang tengah memikul keranjang dengan sebuah kayu pemikul tiba-tiba terjerembab jatuh. Sehingga, batu yang dipikulnya berserakan di tanah. Kesalahan yang hanya sedikit itu telah membuat seorang pengawas melangkah lebar mendatanginya dengan wajah bengis. Kemudian...

“Bodoh kau...!”

Seiring dengan suara bentakannya, melayanglah ujung cambuk di tangan pengawas bertubuh tinggi tegap itu. Sengatan ujung cambuk membuat tubuh di bawahnya mengeliat kesakitan. Bilur merah bekas cambukan yang panas terlihat mengalirkan darah.

“Ampun..., Tuan...,” lelaki tiga puluh tahunan itu merintih meminta belas kasihan. Sepasang matanya tampak basah. Rasa sakit akibat cambukan itu agaknya demikian menyiksa. Tubuh yang nyaris tinggal kulit pembungkus tulang itu tentu sangat tersiksa.

Tapi, lelaki tegap itu sedikit pun tidak mempedulikan rintihan korbannya. Cambuknya kembali meledak berkali-kali. Sehingga, pekerja yang malang itu menjerit-jerit bergulingan di tanah berbatu. Belum lagi selesai persoalan yang satu, persoalan lain datang menyusul. Lagi seorang pekerja jatuh terjerembab ke tanah. Kawan-kawannya yang melihat berusaha menolong. Tapi....

“Hei...!”

Malang.... Sebelum para pekerja itu sempat mengangkat bangkit, pengawas tinggi tegap itu telah melihatnya. Dan, segera melompat disertai lecutan cambuknya yang merobek udara.

“Keparat..!”

Ctarrr! Ctarrr...!

Tentu saja mustahil pekerja-pekerja bertubuh kurus itu mampu mengelak. Tanpa ampun lagi, tubuh mereka terlempar ke kiri-kanan. Tubuh yang terhias garis merah memanjang, bekas lecutan cambuk itu, mengalirkan darah segar. Tapi, pengawas tinggi tegap itu belum puas. Cambuknya kembali meledak-ledak di udara.

“Haaattt..!”

Saat ujung cambuk meliuk-liuk siap menyengat korbannya, tiba-tiba terdengar pekikan keras. Disusul melayangnya sesosok tubuh yang langsung mengulurkan tangan memapaki ujung cambuk.

Prattt!

“Heiii...!”

Pengawas bertubuh tinggi tegap terlihat kaget. Ujung cambuk itu berbalik dan mengancam dirinya. Cepat lelaki itu menambah tenaganya dan memutar cambuknya sedemikian rupa di atas kepala. Sehingga, ujung cambuk tidak sampai mengenai dirinya.

“Kurang ajar! Rupanya kalian mulai berani membangkang, hah!” bentak pengawas tinggi tegap dengan sepasang mata memancarkan kemarahan.

“Hm....” Lelaki tegap yang memapaki serangan cambuk itu bergumam tak kalah gusarnya. Ia adalah Gowanta. Rupanya, kekajaman pengawas itu telah membuatnya khilaf dan tidak lagi mempedulikan bahaya yang bakal dihadapinya.

“Perbuatan kalian sudah melewati batas. Aku sudah tidak bisa menahan sabar lebih lama lagi...!” geram Gowanta dengan mata menyorot tajam. Seolah ingin menelan pengawas itu bulat-bulat.

Perbuatan Gowanta yang melawan petugas menarik perhatian pekerja lainnya. Apalagi ketika Panji, Ki Wiguna dan Ranggala telah berada di belakang Gowanta. Pengawas itu melangkah mundur. Ia melihat gelagat tak baik yang merugikan dirinya.

Tanpa banyak cakap, pengawas tinggi tegap segera bersuit nyaring. Agaknya, ia hendak memberi tanda kepada kawan-kawannya. Sebentar kemudian terdengar langkah berderap mendatangi tempat itu. Beberapa sosok tubuh sudah berlompatan dengan gerakan yang ringan dan mantap. Salah satu di antaranya adalah Jonggala, pengawas bertubuh tinggi kekar dengan wajah dipenuhi cambang bauk.

“Kita sudah terlanjur basah...!” bisik Panji kepada kawan-kawannya. Panji bergegas memberi perintah pada para pekerja agar berkumpul di belakang. Sementara Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta berada di kiri-kanan Panji. Mereka berempat siap mempertaruhkan nyawa demi keselamatan orang banyak.

“Keparat...!” Jonggala yang melihat biang keladi semua itu adalah pemuda yang pernah menentangnya menjadi geram bukan main. Perintahnya pun segera berkumandang.

“Tangkap pemuda pemberontak itu. Dan masukkan semua pekerja ke dalam baraknya masing-masing...!” Suara perintah Jonggala yang dikerahkan dengan kekuatan tenaga dalam langsung dipatuhi puluhan prajurit bersenjata yang berada di belakangnya. Serentak mereka meluruk ke arah Panji dan kawan-kawannya.

“Heaaattt..!”

“Yeaaa...!”

Kilatan benda-benda tajam berkelebat mengancam Panji dan ketiga kawannya. Tapi mereka sedikit pun tidak merasa gentar. Bukannya mundur, mereka malah bergerak maju menyambut hujan serangan.

“Haaaiiit...!”

Sekali mengibaskan tangan Pendekar Naga Putih memukul roboh enam prajurit terdepan. Mereka terlempar dan jatuh menggeletak pingsan.

Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta juga tidak mau ketinggalan. Masing-masing merobohkan seorang lawan dan langsung merebut senjatanya. Kemudian mengibaskan senjata itu dengan mengerahkan tenaga dalam.

Breeet, breettt...!

“Aaa...!”

Jerit kematian berkumandang susul-menyusul. sebentar saja senjata di tangan ketiga tokoh itu membuat enam orang prajurit tersungkur mandi darah! Karuan saja amukan keempat pendekar itu mengejutkan Jonggala dan pasukannya. Sedarlah mereka bahwa keempat pekerja itu tokoh-tokoh persilatan yang menyelinap masuk.

“Kalian akan mendapat hukuman berat!” geram Jonggala segera memberi isyarat kepada delapan orang pengawas untuk mengeroyok para pengacau.

“Haaattt...!”

Dengan teriakan parau Jonggala meluncur datang. Kali ini ia tidak hanya menggunakan cambuk, tapi juga menggenggam sebatang pedang di tangan kanannya. Kelihatannya Jonggala tidak puas hanya dengan satu senjata saja. Belum lagi serangan Jonggala tiba, delapan pengawas lainnya telah menyusul dengan pedang di tangan. Mereka bergerak menyebar membentuk setengah lingkaran untuk menjepit Panji dan kawan-kawannya.

“Kalian bertiga cegah musuh yang datang dari belakang. Biar serangan dari depan aku yang menghadapi...!” Panji berseru kepada Ki Wiguna dan kawan-kawannya.

Ki Wiguna terlihat agak ragu sejenak. Namun ketika teringat siapa pemuda tampan berjubah putih itu, ia segera mengajak Ranggala dan Gowanta untuk mengikuti saran Panji. Ketiganya langsung bergerak ke belakang. Apa yang diperkirakan Panji memang benar-benar terjadi. Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowan menggeram gusar. Dari pihak pekerja telah jadi korban belasan orang.

Penyerang dari belakang yang terdiri dari perwira-perwira kerajaan bersama seratus lebih prajurit, tentu tidak mungkin mampu ditahan oleh pekerja yang terdiri dari penduduk desa. Untung di antara sekian banyak pekerja terdapat tokoh-tokoh persilatan yang menyelinap dan menyamar. Mereka inilah yang berusaha membendung serangan. Sehingga, korban tidak terlalu banyak yang jatuh.

“Yeaaattt...!”

Ki Wiguna yang melihat kejadian itu segera melayang dengan kecepatan tinggi. Pedang rampasannya berputaran cepat bagai baling-baling. Lelaki itu mengamuk dengan hebatnya. Tindakan Ki Wiguna segera diikuti Ranggala dan Gowanta. Kedua orang itu langsung menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran. Pedang mereka berkelebatan disertai suara mengaung tajam, membuat para prajurit terkejut! Amukan mereka tak ubahnya banteng luka.

Brettt! Brettt!

“Aaa...!”

Jeritan ngeri terdengar silih berganti. Tubuh beberapa orang prajurit yang terkena amukan pedang Ranggala dan Gowanta terguling roboh mandi darah. Hingga, pasukan kerajaan terpaksa bergerak mundur untuk beberapa saat

“Maju...!” Salah seorang perwira berteriak memerintah. Pedangnya teracung menuding Ki Wiguna dan para tokoh persilatan lainnya. Sebentar kemudian, pertempuran pun kembali pecah!

“Haaattt…!”

Pendekar Naga Putih yang menghadapi Jonggala bersama delapan orang pengawas, yang merupakan jagoan-jagoan kerajaan, tidak mau bertindak kepalang tanggung. Sadar bahwa keselamatan pekerja berada di tangannya, maka begitu serangan lawan datang Pendekar Naga Putih mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Dengan 'Ilmu Silat Naga Sakti' Panji menerjang maju.

“Aaahhh…?!”

Jonggala dan kawan-kawannya terkejut bukan main. Pancaran kabut bersinar putih keperakan dan serbuan hawa dingin menggigit menyebar dari pukulan-pukulan Panji, membuat mereka sadar siapa pemuda tampan itu sebenarnya. Dan, kenyataan itu benar-benar mengejutkan mereka.

“Pendekar Naga Putih...?!”

Jonggala dan kawan-kawannya berseru hampir bersamaan. Mereka benar-benar tidak menyangka Pendekar Naga Putih telah menyelundup ke dalam tempat yang tenaga ketat itu. Tentu saja kenyataan itu membuat mereka harus bersungguh-sungguh dalam menyiapkan serangan. Sedapat mungkin mereka hendak meringkus pendekar muda itu.

Tapi, Panji yang sangat mengkhawatirkan nasib para pekerja sudah membagi-bagikan pukulan dan tendangan. Kecepatan geraknya yang sukar diikuti mata membuat Jonggala dan jagoan-jagoan Kerajaan Tampak Serang kelabakan! Terutama tekanan hawa dingin yang menyelimuti sekitar arena. Sehingga, mereka harus memecahkan pikiran. Membangun dan membalas serangan, sekaligus mengerahkan tenaga dalam untuk menahan serbuan hawa dingin. Jelas, hal itu sangat merepotkan dan tidak mudah!

Panji mempergunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Melihat lawan-lawannya kesulitan mengatasi serbuan hawa dingin serangannya, maka tidak terlalu sulit bagi Panji untuk memilih sasaran. Dan....

Bukkk! Desss!

“Aaarghhh...!”

Dua orang pengeroyoknya terpelanting muntah darah. Sambaran tangan Pendekar Naga Putih yang dialiri tenaga dahsyat telah menewaskan mereka dengan kulit kebiruan. Terpaksa Pendekar Naga Putih menewaskan lawan-lawannya. Kalau tidak, sulit baginya untuk menyelamatkan nyawa pekerja yang berada di belakangnya.

“Yeaaattt..!”

Lagi Pendekar Naga Putih melepaskan pukulan dahsyat dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga mukjizatnya. Tentu saja kehebatannya sulit diukur.

Blaaarrr...!

Ledakan keras menggema saat lontaran pukulan Pendekar Naga Putih menghantam batu cadas sebesar kerbau. Batu itu hancur berkeping-keping. Untunglah Jonggala dan kawan-kawannya cepat menghindar. Jika tidak, pastilah tubuh mereka yang menjadi sasarannya. Serangan Pendekar Naga Putih tidak berhenti sampai di situ. Begitu pukulan pertamanya gagal, ia segera menyusuli dengan pukulan-pukulan berikutnya. Maksudnya jelas hendak mendesak jagoan-jagoan kerajaan.

“Yeeeaaattt...!”

“Aaa...!”

Empat orang jagoan yang terlambat menghindari menjerit ngeri. Tubuh mereka terpental deras sejauh dua tombak leoih. Mereka langsung tewas seketika dengan tubuh bagian dalam hancur. Bahkan tulang-tulang mereka berpatahan atau lepas dari sambungan. Sehingga, saat keempat sosok mayat itu jatuh ke tanah tak ubahnya sehelai kain basah. Saat tempat di sekitarnya masih diselimuti debu tebal, Panji melayang ke belakang. Gerakannya demikian cepat laksana sambaran kilat. Orang-orang hanya melihat sesosok bayangan samar melayang di atas kepalanya.

“Ki Wiguna! Kita harus membawa mereka keluar. Mereka bisa terbantai habis di tempat ini...!” begitu kedua kakinya menginjak tanah, Panji langsung berkata kepada Ki Wiguna yang saat itu tengah mengamuk dengan pedangnya.

“Arah mana yang harus kita ambil, Panji...?” tanya Ki Wiguna masih sempat menyahuti, sambil tetap melepaskan sambaran pedangnya.

“Tunggulah, aku akan menjebol pagar di bagian selatan...!” sahut Panji. Pukulan mautnya meluncur ke arah serombongan pasukan yang banyak memadati tempat itu.

Whusss...! Duaaarrr...!

Hebat sekali akibat lontaran pukulan jarak jauh Panji. Puluhan prajurit melayang bagai diterpa angin topan. Teriakan-teriakan ngeri terdengar mengiringi terpental-nya puluhan sosok tubuh prajurit-prajurit yang jatuh dalam keadaan tewas.

Panji tak mempedulikan bagaimana nasib korban pukulannya. Setelah melepaskan pukulan, tubuhnya langsung melayang menuju arah selatan. Hanya dengan beberapa kali loncatan, ia telah tiba di depan pagar kayu bulat yang membentengi sekeliling tempat itu. Kemudian....

“Heaaahhh...!”

Dibarengi sebuah bentakan keras, Panji melepaskan pukulan kanannya dengan kekuatan penuh.

Blarrr...!

Pagar kayu bulat setinggi dua tombak itu pecah berhamburan. Seketika itu juga, terciptalah sebuah pintu keluar selebar dua tombak lebih. Setelah menjebol dinding kayu, Panji kembali melesat ke arah pertempuran. Kemudian melayang turun di tengah kancah pertarungan.

“Aku akan cegah mereka, Ki Wiguna! Kau bawalah para pekerja keluar dari tempat ini...!” seru Panji di tengah deruan senjata dan jerit kematian.

“Bagaimana kalau mereka mengejar...?” Ki Wiguna masih memperhitungkan kemungkinan itu.

“Jangan khawatir, semuanya telah kuperhitungkan...!” sahut Panji seraya membagi-bagikan pukulan dan tendangan, yang tentu saja mendapatkan korban yang tidak sedikit. Sehingga, banyak perwira dan prajurit kerajaan menghindari pemuda itu.

Dengan jalan yang dibuka Panji, Ki Wiguna dan rombongan pekerja bergerak menuju dinding yang telah dijebol. Ranggala, Gowanta, dan tokoh-tokoh persilatan lainnya ikut membantu usaha pelarian itu dengan menghalau siapa saja yang menghalangi mereka. Sampai akhirnya, para pekerja keluar dengan berdesakan.

TUJUH

Seperti apa yang diperhitungkan Panji, untuk melarikan diri dari tempat itu memang bukanlah suatu pekerjaan mudah. Terbukti kini Panji harus menghadapi ratusan prajurit di bawah pimpinan belasan orang perwira dengan ditambah jagoan-jagoan istana. Untuk itu Panji harus menguras tenaganya. Dan terpaksa bertindak kejam. Jika tidak, dirinyalah yang akan menjadi korban kekejaman lawan. Kali ini Panji harus mempertaruhkan nyawanya. Ratusan lawan harus dihadapinya seorang diri. Sedangkan tokoh-tokoh lain bertugas membawa para pekerja meninggalkan tempat yang bagai neraka itu.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, memang tidak sulit bagi Panji untuk menghindari sambaran pedang maupun tombak yang mengancam tubuhnya. Bahkan, masih bisa membalas dengan pukulan dan tendangan mematikan. Itu yang membuatnya dapat bertahan. Karena lawan-lawannya agak gentar untuk menyerang dalam jarak dekat. Setiap lawan maju mendekat selalu terpental balik dalam keadaan tak bernyawa. Kendati demikian, Panji harus tetap waspada. Lengah sedikit saja bisa mengakibatkan dirinya celaka.

“Jangan takut. Maju...!”

Jonggala yang kelihatannya lebih berperan dan mempunyai pengaruh besar selalu memberi semangat. Di bawah perintahnya, para prajurit itu tidak ada yang berani membantah. Mereka kembali maju menggempur Pendekar Naga Putih dengan senjata di tangan.

“Serbuuu...!”

Seiring dengan teriakan menggegap, ratusan prajurit kembali meluruk ke arah Pendekar Naga Putih. Meski sebenarnya mereka merasa gentar, namun perintah Jonggala tidak berani mereka bantah.

Panji berdiri tegak menunggu lawan tiba dekat. Sepasang matanya mencorong tajam menggetarkan jantung. Serbuan hawa dingin yang keluar dari tubuhnya membuat penampilan pemuda itu sungguh menggiriskan. Terlebih pada tubuhnya telah banyak dinodai darah lawan. Sehingga, sosok Pendekar Naga Putih terlihat seperti iblis peminum darah!

“Siapa yang masih ingin hidup segera tinggalkan tempat ini! Jika tidak, terpaksa aku akan mengirim kalian ke neraka...!” seru Pendekar Naga Putih memperingatkan dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Suaranya menggema dan terdengar sampai belasan tombak jauhnya.

“Jangan takut! Lama kelamaan tenaganya pasti habis!” Jonggala yang tidak ingin pasukannya menjadi gentar kembali berteriak memberi semangat

Para prajurit yang semula merandek pun bergerak maju seraya berteriak-teriak. Jelas, mereka lebih takut kepada Jonggala ketimbang terhadap Panji yang telah siap menanti kedatangan mereka dengan pukulan-pukulan mautnya.

“Haaattt...!”

Melihat para prajurit itu tidak mempedulikan peringatannya, Panji berteriak keras memekakkan telinga. Telapak tangannya didorong bergantian melontarkan pukulan jarak jauh.

Whuuusss.... Duaaarrr...!

Ledakan keras terdengar susul-menyusul. Tubuh-tubuh prajurit Kerajaan Tampak Serang beterbangan bagai dilanda angin topan. Dan terbanting jatuh dalam keadaan tak bernyawa.

Jonggala dan beberapa orang jagoan yang masih selamat menjadi geram melihat sepak-terjang Pendekar Naga Putih yang menggiriskan. Mereka sadar kalau didiamkan terus para prajurit bisa terbantai habis oleh pemuda tampan itu. Maka, mereka pun berlompatan maju menerjang Pendekar Naga Putih.

“Haaattt..!”

“Yeaaattt..!”

Dibarengi teriakan-teriakan melengking, tubuh jagoan-jagoan kerajaan melayang melewati kepala para prajurit. Dan langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan serangan-serangan maut.

Bweeettt! Whuuuttt...!

Panji yang sebelumnya memang telah siap siaga, segera menggeser tubuhnya menghindari serangan lawan. Kemudian membalas dengan pukulan-pukulan mautnya. Namun, kali ini Jonggala dan kawan-kawannya bertindak lebih hati-hati. Mereka tidak berani sembarangan menyambut atau menangkis serangan pemuda itu. Dan, mereka bertempur dengan menggunakan siasat licik. Menyerang kemudian berlompatan mundur saat Pendekar Naga Putih melepaskan serangan balasan. Agaknya, mereka hendak menguras tenaga Pendekar Naga Putih dan baru akan melumpuhkan bila tenaga pendekar muda itu semakin lemah.

“Kurang ajar...!” Pendekar Naga Putih memaki dalam hati melihat tindakan licik lawan-lawannya. Tahu akan siasat lawan, Panji mengurangi lontaran serangan balasannya. Dan baru membalas jika benar-benar memiliki peluang yang sangat baik. Saat Pendekar Naga Putih tengah berusaha melumpuhkan jagoan-jagoan kerajaan yang mengeroyoknya, tiba-tiba....

“Aaa...!”

Jerit kematian terdengar dari arah belakang Panji. Disusul dengan suara beradunya senjata tajam. Kenyataan itu membuat Panji menjadi cemas. Suara itu datang dari tempat Ki Wiguna dan para pekerja melarikan diri.

“Celaka...!” seru Panji terkejut. Apa yang didengar itu jelas merupakan pertanda tidak baik. Panji langsung dapat menduga Ki Wiguna dan kawan-kawannya mendapat hambatan untuk meninggalkan tempat celaka itu.

Tanpa pikir panjang lagi, Panji segera menggabungkan dua kekuatan mukjizat dalam tubuhnya. Seketika itu juga tubuhnya memancarkan dua sinar yang memiliki sifat berlawanan. Panji telah menggunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' pada bagian sebelah kiri tubuhnya, dan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' pada bagian kanan. Itu berarti Pendekar Naga Putih telah merasa benar-benar sangat memerlukan. Kalau tidak, Panji tidak akan menggunakan dua kekuatan mukjizat itu secara bersamaan. Dan kali ini ia melakukannya.

“Yeaaattt...!”

Blaaang...!

Dua sinar merah dan putih memancar membawa hawa panas dan dingin secara bersamaan. Terjadilah ledakan mengguntur saat pukulan Pendekar Naga Putih menghantam kerumunan prajurit, kendati sebenarnya pukulan itu ditujukan untuk Jonggala dan kawan-kawannya. Sehingga, bangkai-bangkai pun semakin banyak berserakan. Darah membanjiri bumi. Tampaknya, Bukit Cadas Hantu benar-benar menjadi sebuah neraka. Tempat pembantaian dan penyiksaan manusia.

“Gila...?!”

Jonggala yang merasakan betapa dahsyatnya pukulan yang dilepaskan Panji menjadi pucat wajahnya. Untunglah ia sempat menghindar, meski merasakan juga hawa dingin dan panas menyengat kulitnya. Jonggala ngeri mem-bayangkan pukulan itu melanggar tubuhnya. Ia percaya tubuhnya akan hancur berkeping-keping bila terkena pukulan maut itu.

Panji sendiri tidak mempedulikan akibat pukulan dahsyatnya. Karena begitu melepas pukulan, tubuhnya melayang menerobos pagar kayu bulat yang telah dirobohkannya. Hatinya berdebar tegang menyaksikan Ki Wiguna beserta para tokoh persilatan dan para pekerja menghadapi serbuan pasukan berkuda yang berjumlah tidak kurang dari seratus orang. Pasukan itu dilengkapi dengan senjata. Sehingga, Ki Wiguna dan kawan-kawannya mengalami kesulitan untuk menerobosnya.

Panji meluncur turun di luar pagar yang telah jebol. Kemudian, membalikkan tubuh dan berdiri tegak menatap Jonggala dan pasukannya yang berlarian mengejar keluar. Tanpa pikir panjang lagi Pendekar Naga Putih memusatkan tenaga gabungannya. Dan...

“Heaaattt...!”

Dibarengi pekikan mengguntur, Pendekar Naga Putih mendorongkan sepasang telapak tangannya ke tanah tempat pagar-pagar kayu yang jebol itu berdiri.

Whusss...!

Serangkum angin pukulan berhawa panas dan dingin berhembus kuat. Hingga...

Blaaang!

Debu mengepul tinggi membawa bongkahan tanah besar dan kecil beterbangan ke udara. Tanah di sekitar tempat itu bergetar kuat seperti diguncang gempa. Kejadian itu membuat Jonggala dan pasukannya berlarian mundur. Dan ketika kepulan debu semakin tipis, di depan Jonggala dan pasukannya telah tercipta sebuah lubang besar yang sangat dalam dan lebar. Sehingga, mereka tidak mungkin dapat menyeberanginya.

Yakin kalau Jonggala dan pasukannya tidak mungkin dapat mengejar melalui tempat itu, Panji memutar tubuhnya dan melayang ke arah pertempuran yang masih berlangsung. Kemudian terjun ke tengah-tengah pertempuran dan membagi-bagikan pukulan serta tendangan. Sehingga, tidak sedikit tubuh-tubuh prajurit kerajaan yang terpental ke udara kemudian jatuh dengan nyawa putus!

“Lari! Biar aku yang menghadang mereka...!” seru Panji kepada Ki Wiguna yang berada tak jauh dari tempatnya bertempur. Sambil berteriak, Panji meningkatkan kecepatan dan kekuatan serangannya. Hingga dirinya menjadi pusat perhatian lawan.

“Yeaaattt...!”

Dengan pekikan mengguntur Pendekar Naga Putih melayang ke udara. Dari atas kedua tangannya melepaskan pukulan susul-menyusul. Lalu, berjungkir balik beberapa kali dan meluncur turun di tengah-tengah pasukan lawan. Sebelum kakinya menginjak tanah, pukulan-pukulannya datang menderu membuat lawan kalang-kabut!

Kesempatan itu tentu saja dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Wiguna. Ia berteriak mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya agar para tokoh persilatan dan pekerja mengikuti perintahnya. Beberapa belas prajurit yang mencoba menghalangi langsung dirobohkan dengan sambaran pedang.

Melihat Ki Wiguna dan yang lainnya mulai bergerak meninggalkan medan pertempuran, Panji segera membantu dengan menewaskan lawan yang coba menghalangi. Dan berusaha agar pasukan Kerajaan Tampak Serang lebih tertarik kepadanya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai titik kesempumaan, Panji bergerak cepat. Sehingga, pasukan kerajaan seperti tengah berhadapan dengan banyak orang. Padahal, lawannya cuma Panji seorang. Yang berusaha menggiring prajurit-prajurit itu agar berkumpul dalam satu arah.

Tentu saja Panji harus berkelebat ke sana kemari sambil membagi-bagikan pukulan dan tendangan. Sehingga, lawan-lawannya terdesak mundur dan tidak lagi menyebar seperti semula. Setelah pasukan prajurit di bawah pimpinan belasan perwira itu terpisah dari Ki Wiguna dan kawan-kawannya, Pendekar Naga Putih melenting ke udara. Dan, meluncur turun dalam jarak tiga tombak di depan tentara Kerajaan Tampak Serang.

“Hmmm...!” Panji berdiri tegak menyatukan pikiran. Dua kekuatan mukjizat dalam tubuhnya segera digabungkan. Kemudian....

“Heaaattt...!”

Diiringi teriakan membahana, Panji melepaskan pukulan gabungan dua tenaga sakti yang berkekuatan luar biasa. Hawa dingin dan panas menyebar saat sinar putih dan merah meluncur menghantam tanah.

Blarrr...!

Sebuah lubang besar yang dalam kembali tercipta menghalangi pasukan Kerajaan Tampak Serang. Beberapa puluh prajurit di barisan terdepan terpental dan jatuh ke dalam lubang. Tentu saja perbuatan pendekar muda itu sangat mengejutkan lawan-lawannya. Kegentaran mulai merambati hati mereka. Sehingga, tak seorang pun yang melakukan pengejaran.

Panji menunggu sampai Ki Wiguna dan yang lainnya lari jauh dari tempat itu. Beberapa lubang masih dibuatnya dengan melontarkan pukulan-pukulan hasil gabungan dua kekuatan mukjizat dalam tubuhnya. Sehingga, pasukan lawan benar-benar merasa gentar terhadap pendekar muda yang digdaya itu. Cukup lama Panji berdiri menunggu di tempat itu. Baru kemudian bergerak pergi setelah yakin Ki Wiguna dan yang lainnya telah pergi jauh dan tidak mungkin dapat dikejar lagi.

Dengan ilmu lari cepatnya yang tinggi Pendekar Naga Putih menyusul rombongan Ki Wiguna. Ia menemukan mereka tengah beristirahat di sebuah sungai yang berair jernih. Panji segera menghampiri Ki Wiguna dan tokoh-tokoh persilatan yang tengah melepas lelah. Sementara para pekerja yang selamat membersihkan diri sambil melepas dahaga sepuas-puasnya.

“Apa yang selanjutnya harus kita perbuat, Panji? Bukan mustahil prajurit kerajaan akan kembali mendatangi desa-desa untuk membawa pekerja-pekerja baru. Sedangkan kita tidak mungkin terus-menerus menghadapi mereka. Lambat atau cepat kita pasti akan kalah. Karena pihak kerajaan memiliki banyak prajurit terlatih,” Ki Wiguna langsung mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya.

Panji tidak segera menjawab. Ditatapnya lima belas tokoh persilatan yang berada di sekelilingnya. Terdengar helaan napas beratnya yang berkepanjangan. Dari kerutan pada keningnya, terlihat jelas betapa Panji tengah berpikir untuk menjawab pertanyaan Ki Wiguna, yang juga menjadi pertanyaan bagi dirinya.

“Apakah di antara kalian ada yang mempunyai usul...?” tanya Panji kepada tokoh-tokoh persilatan.

Ki Wiguna menggeleng. Kemudian merayapi wajah tokoh-tokoh lainnya satu persatu. Tapi, semuanya menggelengkan kepala. Masalah itu memang sulit untuk dipecahkan.

“Jika demikian, terpaksa aku akan mendatangi kotaraja untuk menemui Gusti Prabu Pungga Dewa. Hal ini tidak bisa didiamkan berlarut-larut. Kita harus mengakhiri penderitaan rakyat! Kalau bisa, aku akan mengingatkan Gusti Prabu Pungga Dewa. Dan meminta kebijaksanaan-nya untuk menghentikan perbuatan gila ini!” ujar Panji kemudian.

“Gila! Itu sama saja dengan bunuh diri, Panji. Untuk menemui Gusti Prabu Pungga Dewa bukanlah pekerjaan yang mudah. Terlebih di sana banyak jagoan-jagoan istana yang berkepandaian tinggi. Kau bisa ditangkap dan dihukum mati!” Ki Wiguna yang terkejut mendengar ucapan Panji langsung menukas. Jelas ia tidak setuju dengan tindakan yang sangat berbahaya itu. Apalagi, sekarang mereka merupakan buronan pemerintah. Memasuki kotaraja sama saja dengan bunuh diri.

“Tidak ada jalan lain yang bisa kita lakukan. Biarlah aku mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan orang banyak. Kuharap kalian ikut berdoa agar usahaku berhasil demi kebaikan dan ketenteraman rakyat banyak,” ujar Panji bersikeras dengan usulnya. Karena memang tidak ada jalan lain kecuali menghadap Gusti Prabu Pungga Dewa.

Mendengar keputusan Panji yang kelihatannya tidak bisa dirubah lagi, Ki Wiguna dan para tokoh persilatan tidak ada yang angkat bicara. Mereka terdiam. Terharu akan pengorbanan pemuda tampan itu, yang rela mempertaruhkan nyawanya meski harus memasuki sarang macan.

“Sebaiknya kalian mencari tempat persembunyian yang baik. Penduduk tidak bisa kembali ke desanya masing-masing sebelum persoalan ini selesai. Kelak aku akan datang untuk memberi kabar. Jika dalam tujuh hari aku belum menemui kalian, itu berarti usahaku menemui jalan buntu. Kemungkinan aku tewas atau tertawan pihak kerajaan,” ujar Panji memberikan saran.

“Baiklah, Panji. Kami akan menuruti saranmu. Kau sendiri ajaklah beberapa orang untuk menemanimu. Aku akan membawa penduduk ke Hutan Panawangan. Di sana kami akan menunggu kedatanganmu,” ucap Ki Wiguna yang akhirnya terpaksa menyetujui usul Panji. Walau demikian, ia menawarkan agar Panji membawa beberapa orang tokoh.

“Maaf, kawan-kawan. Bukannya aku meremehkan kepandaian kalian. Tapi, menurut hematku akan lebih baik jika aku datang sendiri. Selain tidak akan menarik perhatian, juga bisa mudah menyelinap ke dalam istana. Harap kalian tidak berkecil hati dan memaklumi ucapanku,” Panji menukas dan tidak bisa menerima usul Ki Wiguna.

Apa yang dikatakan Panji memang bukan mengada-ada. Ki Wiguna maupun tokoh-tokoh persilatan lainnya maklum bahwa perkataan itu memang benar adanya. Mereka tidak merasa tersinggung, apalagi diremehkan.

“Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, kami tidak bisa berkata apa-apa. Kami harap kau berhati-hati. Bukan tidak mungkin prajurit-prajurit dan pembesar kotaraja telah mendengar peristiwa ini, dan tengah membicarakan dirimu. Begitu kau masuk ke dalam kotaraja, mungkin mereka akan menyergapmu,” akhirnya Ki Wiguna mengalah dan hanya berpesan kepada Panji.

“Terima kasih. Percayalah, aku tidak akan bertindak gegabah. Nah, aku pergi dulu...,” usai berkata demikian, Panji segera melesat menuju arah barat Karena pusat pemerintahan Kerajaan Tampak Serang terletak di sebelah barat tempat itu.

Ki Wiguna dan tokoh persilatan lainnya hanya bisa memandang kepergian Pendekar Naga Putih dengan wajah penuh harapan. Tentu saja mereka berharap usaha Panji berhasil. Dengan demikian, rakyat akan kembali hidup tenang.

********************

DELAPAN

“Mudah-mudahan Kenanga tidak kecewa karena aku terlalu lama menyusulnya. Dia pasti mengerti dengan keadaan ini. Hambatan ini bukan semata-mata karena aku sengaja tidak ingin segera menemuinya. Ia pasti maklum. Apa yang kulakukan ini adalah tugasku sebagai penegak keadilan...,” gumam Panji seraya berlari dengan menggunakan ilmu lari cepatnya. Sebab, ia harus segera tiba di Kotaraja Tampak Serang.

Sebagaimana diketahui, saat ini Panji tengah dalam perjalanan menuju Kadipaten Tumapel. Di sana Kenanga berharap agar Panji segera menyusulnya. Tapi, perjalanan Panji kembali terhambat. Ia menemukan sebuah persoalan yang tidak bisa ditinggalkannya begitu saja. Sebagai seorang pendekar, ia berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan memberantas segala bentuk kejahatan. Dan ia harus mengenyampingkan persoalan pribadi demi kepentingan orang banyak.

Untuk mengetahui mengenai perpisahan Panji dengan Kenanga dapat dibaca dalam episode Rase Perak

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya Panji tiba di Kotaraja Tampak Serang. Saat itu matahari tengah memancarkan sinarnya yang hangat ke bumi. Udara tidak begitu panas. Apalagi, tiupan angin masih terasa segarmembelai wajah. Panji melangkah lebar memasuki gerbang kotaraja. Pemuda itu menekan ketegangan hatinya saat hendak melewati pintu gerbang yang terjaga ketat.

Dengan tenang dilangkahkan kakinya perlahan melewati gerbang bersama beberapa orang pedagang. Hatinya baru merasa lega ketika para penjaga pintu gerbang tidak menahannya. Hingga, Panji berpendapat kabar tentang kekacauan di Bukit Cadas Hantu kemungkinan besar belum sampai ke kotaraja. Itu berarti ia masih bisa bergerak leluasa tanpa khawatir dicurigai. Karena saat itu hari masih pagi, Panji memutuskan untuk langsung menuju istana. Ia berharap dapat bertemu Prabu Pungga Dewa yang menjadi penguasa tertinggi di Kerajaan Tampak Serang.

“Berhenti...!”

Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana, segera menyilangkan tombaknya menghadang pintu masuk. Padahal, saat itu Panji masih berada sekitar dua tombak dari pintu gerbang. Hal itu menandakan bahwa penjaga-penjaga pintu gerbang istana sangat sigap dan cekatan. Panji menghentikan langkahnya dalam jarak satu tombak. Kemudian, mengangguk sopan kepada dua penjaga yang menghadangnya. Panji tidak peduli walau penjaga-penjaga itu sedikit pun tidak membalas anggukannya.

“Hamba hendak menghadap Gusti Prabu Pungga Dewa. Ada sesuatu kepentingan yang sangat mendesak dan harus segera dilaporkan. Harap Tuan-tuan melaporkan tentang kedatangan hamba...” ujar Panji dengan penuh sopan dan bibir tersenyum. Tentu saja ia berharap mendapat izin untuk menghadap Prabu Pungga Dewa.

“Hm... Kau benar-benar lancang, Kisanak!” tukas salah satu dari kedua penjaga itu sinis. “Untuk menghadap Gusti Prabu Pungga Dewa bukanlah suatu hal yang mudah dan bisa dilakukan sembarang waktu. Kalau kau mempunyai kepentingan, harus melaporkannya terlebih dulu kepada kepala jaga. Nanti kepala jaga yang memutuskan apakah kau bisa menghadap atau tidak. Andaikata bisa pun masih harus ditentukan waktunya. Juga belum tentu Gusti Prabu yang langsung menangani. Semua ada peraturannya, Kisanak.”

Mendengar penjelasan penjaga, Panji menjadi bingung. Ia memang sedikit mengerti tentang peraturan yang berlaku di istana. Meski ia tidak suka dengan segala peraturan yang bertele-tele, tetap saja semua itu harus diturutinya. Dan ia pun menghargai peraturan itu.

“Kalau begitu, hadapkanlah aku pada kepala jaga kalian. Mudah-mudahan beliau bisa mengerti betapa pentingnya urusanku ini,” ujar Panji masih dengan sopan.

Meskipun sinis, penjaga itu mau juga menghadapkan Panji kepada pimpinannya. Dan Panji segera mengutarakan maksud kedatangannya kepada seorang perwira pendek gemuk yang wajahnya berminyak. Kendati perwira itu terlihat angkuh, Panji tidak ambil peduli. Dengan jujur ia menerangkan maksud kedatangannya.

“Jadi persoalan itu yang membawamu kemari?” tanya perwira gendut setelah mendengar penjelasan Panji. Sambil berkata demikian, sepasang matanya meneliti sosok Panji dengan seksama. Ada kilatan aneh pada sepasang mata perwira itu. Bahkan, ia terlihat menyembunyikan senyum licik. Dan Panji tahu semua itu.

“Sebelum menemui Gusti Prabu, kau terlebih dahulu harus bertemu dengan Senapati Godamarta. Mari ikut aku...,” ujar perwira gendut. Lalu, bangkit berdiri dan melangkah menuju sebuah bangunan megah tempat kediaman Senapati Godamarta.

Tanpa membantah Panji mengikuti langkah kepala jaga. Kewaspadaannya tentu saja tidak dilupakan. Sebab, sikap dan cara memandang perwira gendut itu menimbulkan kesan tidak enak di hatinya. Di sebuah ruangan yang cukup luas Panji diperintahkan untuk menunggu. Sedangkan kepala jaga itu bergegas meninggalkannya. Ia harus segera kembali ke pos. Tinggallah Panji seorang diri di dalam ruangan itu. Tidak berapa lama setelah perwira gendut itu lenyap, tiba-tiba dari empat pintu di kiri-kanan ruangan bermunculan delapan orang bersenjata. Sinar mata mereka menunjukkan gelagat tidak baik. Cepat Panji bergerak bangkit.

“Tangkap pemuda itu! Kalau perlu bunuh...!” terdengar suara parau yang mengejutkan.

Dari balik daun pintu depan Panji, agak ke kiri, muncul seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk. Lelaki itulah yang bernama Godamarta dan menjabat sebagai senapati di Kerajaan Tampak Serang. Anehnya, ia terlihat sangat membenci dan memusuhi Panji.

Melihat keadaan di sekelilingnya, sadarlah Panji kalau ia telah masuk perangkap. Tapi Panji tidak menjadi gentar. Ia hanya merasa penasaran dengan tindakan tidak adil Senapati Godamarta.

“Tuan Senapati. Kedatangan hamba adalah membawa maksud baik. Hamba datang dengan membawa suara rakyat yang menderita. Harap Tuan Senapati suka menghadapkan hamba kepada Gusti Prabu Pungga Dewa,” ujar Panji hendak memastikan kalau-kalau Senapati Godamarta telah salah menafsirkan maksud kedatangannya.

“Karena itulah kau harus dilenyapkan, Pendekar Naga Putih! Aku sudah tahu begitu melihatmu. Di tempat ini kau jangan menganggap dirimu paling hebat sejagat. Kau telah membuat susah dengan ulahmu itu. Sekarang, terimalah ganjarannya...!” tukas Senapati Godamarta kembali mengulang perintahnya.

Delapan orang bersenjata di kiri kanan Panji bergerak maju. Mereka sepertinya cukup mengenal siapa yang harus dihadapi. Terbukti, sikap mereka demikian hati-hati dan tidak berani memandang rendah. Kendati belum mengerti mengapa Senapati Godamarta memusuhinya, Panji tidak mau pasrah diperlakukan seperti itu. Melihat delapan orang jagoan andalan Senapati Godamarta sudah bergerak maju, Panji menggeser langkahnya ke tengah ruangan. Ia memang tidak perlu banyak bicara lagi. Sikap dan ucapan Senapati Godamarta telah menjelaskan segalanya.

“Haaattt...!”

Empat jagoan di sebelah kanan Panji bergerak menerjang dengan senjata di tangan. Serangan mereka yang kuat dan mematikan menyadarkan Panji bahwa nyawanya hendak diambil. Tentu saja Panji tidak sudi!

“Haiiittt...!”

Begitu serangan lawan tiba, Panji melenting ke udara. Dari atas ia melepaskan pukulan-pukulan cepat dan kuat ke arah empat orang lawannya. Namun, mereka ternyata cukup gesit dan sanggup menghindar dari serangan Panji yang agak tak terduga. Dan sebelum Panji melanjutkan serangannya, empat orang di sebelah kirinya datang mengeroyok. Sehingga, Panji terpaksa menunda serangannya. Dan dengan mengandalkan kegesitannya menghindari sambaran pedang lawan yang berkesiutan di sekitar tubuhnya.

“Hahhh...?!”

Beeeddd!

Gagal dengan serangan pedang, salah seorang pengeroyok melepaskan pukulan lurus ke dada Panji. Namun dengan gerakan yang sukar diikuti mata, Panji dapat mengelak. Bahkan langsung mengirim serangkaian serangan balasan.

Whuuukkk...!

Cakar naga Panji meluncur siap menghantam tubuh penyerangnya. Pengeroyok lainnya tidak tinggal diam. Mereka serentak menerjang melindungi kawannya.

Plakkk! Plakkk!

Panji merasakan lengannya agak tergetar saat bertemu dengan lengan dua orang lawan. Meski kedua lawannya sempat tergetar mundur. Namun, Panji segera maklum mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Apalagi Senapati Godamarta telah mengetahui siapa dirinya. Tentunya delapan orang itu telah diperhitungkan kepandaiannya. Dan mereka memang tangguh. Panji baru tahu setelah lengannya bergetar saat berbenturan tadi.

“Mampusss...!”

Whuuuettt..!

Dua batang pedang datang menjepit Panji dari kiri-kanan. Desing tajam yang menusuk telinga membuat Panji menekuk kedua lututnya dengan kuda-kuda silang. Kemudian, menggeser kaki kanannya dari dalam keluar. Tubuhnya meliuk menghindari dua mata pedang yang siap menghunjam sasaran. Pedang-pedang itu hanya sejengkal lewat di atas punggungnya. Dan Panji mengangkat kedua tangannya. Lalu, diputar begitu lengan lawan terlibat.

“Haaahhh!”

Dibarengi sebuah bentakan keras Panji menghajar kedua lawannya dengan gedoran punggung tangan. Saat melakukan gerakan itu ia masih mengunci tangan mereka di ketiak. Dan ...

Bukkk, bukkk!

Kuat bukan main pukulan yang dikerahkan Panji. Tubuh mereka terlempar ke belakang sejauh dua tombak. Bahkan, sampai membentur dinding ruangan. Dan, jatuh menggeloso di lantai. Wajah mereka pucat dengan kulit agak kebiruan. Untuk sesaat mereka menggigil. Kemudian roboh tak sadarkan diri setelah memuntahkan darah kental.

“Keparat...!” Senapati Godamarta geram bukan main melihat jagoan andalannya dapat dirobohkan. Ia sudah siap untuk terjun ke gelanggang pertempuran.

“Haaaiiittt...!”

Panji melenting ke udara seiring teriakannya. Empat batang pedang yang datang mengancam mengenai angin kosong di bawahnya. Dari atas Pendekar Naga Putih mengirimkan serangkaian pukulan yang amat kuat dan menerbitkan hawa dingin menusuk tulang.

“Aaakkkh...!”

Dua orang lawan terpekik kaget. Tubuh mereka terjungkal ke lantai. Dan menggeletak tewas dengan batok kepala retak terkena cengkeraman cakar naga Pendekar Naga Putih. Dua lainnya berhasil menangkis. Meski untuk itu mereka harus jatuh bergulingan. Karena tenaga mereka kalah kuat. Selain harus mengusir hawa dingin yang merasuk ke dalam tubuh. Sehingga, untuk beberapa saat mereka tidak mampu melanjutkan pertarungan. Tapi, pada saat yang bersamaan, Senapati Godamarta bertindak curang. Tubuhnya melayang dengan sebuah tendangan mengarah ke tubuh Pendekar Naga Putih. Sedangkan saat itu Panji tengah melepaskan pukulannya dari udara. Sehingga....

Deeesss...!

“Hukkkh...!”

Tendangan keras itu tidak sanggup dielakkan Pendekar Naga Putih. Tubuh pemuda itu terlempar sampai menjebol dinding ruangan, dan terus bergulingan di ruangan lain. Sadar bahwa dirinya berada dalam sarang harimau, Pendekar Naga Putih bergegas melenting bangkit dengan dadanya terasa nyeri. Pemuda itu menjebol dinding ruangan dengan pukulannya. Terus melesat pergi meninggalkan tempat itu.

“Kepung! Tangkap! Jangan biarkan penjahat itu lolos...!” Senapati Godamarta berteriak-teriak memerintahkan para prajuritnya.

Panji sendiri sempat kaget melihat bagian luar bangunan. Ia telah dikurung oleh prajurit-prajurit kerajaan. Tapi, ia tidak ambil peduli. Dengan mengerahkan tenaga gabungan untuk melindungi tubuhnya dari hujan anak panah, Panji menerobos barisan prajurit.

Syuuuttt, suuuttt...!

Trakkk! Trakk! Trakkk!

Belasan anak panah berpatahan runtuh ke tanah. Pendekar Naga Putih terus melesat sambil tetap mengibaskan kedua tangannya untuk merobohkan enam prajurit di depannya. Kemudian, melesat pergi tanpa mempedulikan teriakan Senapati Godamarta yang sangat berang.

“Keparat!” Senapati Godamarta hanya bisa membanting kaki. Pendekar Naga Putih berhasil lolos dari jebakannya.

********************

Saat itu kegelapan telah menyelimuti persada. Suara binatang malam saling bersahutan menyemaraki suasana. Langit yang hanya diterangi sinar bulan sabit, tampak kelam. Gemintang pun tidak begitu banyak bergantungan menemani malam. Di sebuah bangunan tua yang terletak di luar kotaraja Panji tengah duduk bersemadi. Luka dalam akibat tendangan Senapati Godamarta sudah hilang, dan dadanya tidak lagi terasa nyeri. Kesehatannya telah pulih seperti sediakala.

Beberapa saat kemudian, Panji menyelesaikan semadinya. Pemuda itu bergerak bangkit dan menatap langit kelam sesaat. Terus melesat dengan kecepatan tinggi menuju kotaraja. Sebentar kemudian, bayangannya telah lenyap ditelan kegelapan malam. Dengan kepandaian yang dimiliki Panji memasuki kotaraja dengah sembunyi-sembunyi. Ia berniat menemui Gusti Prabu Pungga Dewa di dalam istananya. Hatinya masih belum puas kalau belum berhadapan langsung dengan penguasa negeri itu.

Ia ingin mendapat kepastian bagaimana sikap Prabu Pungga Dewa dalam masalah itu. Karena selain penguasa tertinggi Kerajaan Tampak Serang, tidak ada lagi yang dipercayainya. Pengalaman itu diperolehnya tadi pagi ketika menemui Senapati Godamarta. Panji tidak ingin tertipu untuk kedua kali.

Bagai hantu keluar mencari mangsa, Panji berkelebat menyusup ke dalam bangunan induk. Dari pengalaman-pengalamannya berpetualang Panji cukup tahu di mana ia bisa menemui penguasa negeri. Tentu saja ia tidak bertindak ceroboh untuk memasuki istana yang terjaga ketat itu.

Tidak sulit bagi Panji menyelinap masuk ke dalam istana, tanpa sepengetahuan para penjaga. Setelah melewati beberapa buah kamar, Panji dapat memastikan di mana tempat peraduan Prabu Pungga Dewa. Hanya dengan tekanan telapak tangan, pintu kamar itu terbuka tanpa mengeluarkan suara yang berarti. Bergegas Panji menyelinap masuk ke dalam kamar.

Dengan hati-hati disingkapnya penutup pembaringan yang berbau harum semerbak. Perlahan Panji menyentuh sesosok tubuh yang memiliki raut wajah menyinarkan keagungan. Tubuh itu tersentak dan membuka mata. Prabu Pungga Dewa kaget melihat seorang pemuda tanpan berjubah putih berada di dalam kamarnya. Tapi ketika ia hendak membentak marah, jemari tangan Panji bergerak cepat melakukan totokan. Sehingga, Prabu Pungga Dewa seketika tidak bisa berbicara.

“Maafkan kelancangan hamba, Gusti Prabu...,” ujar Panji segera berlutut menyembah lelaki berwajah agung itu. Sikapnya menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud jahat. Panji menengadahkan wajah untuk melihat tanggapan Prabu Pungga Dewa. “Hamba hanya ingin menyampaikan suatu berita yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Hamba sudah mencoba untuk menghadap secara baik-baik, namun malah terancam bahaya. Terpaksa hamba melakukan kelancangan ini...,” ujar Panji lagi. Dilihatnya sinar kemarahan pada sepasang mata itu lenyap. Panji lalu bergegas membebaskan pengaruh totokannya.

“Apa sebenarnya yang kau inginkan, Pemuda gagah?” tanya Prabu Pungga Dewa setelah menarik napas beberapa kali. Ditatapnya wajah tampan di depannya dengan sinar mata penuh keheranan.

Tanpa banyak cakap Panji menceritakan keperluannya. Juga tentang perlakuan Senapati Godamarta yang telah menjebak dan hampir mencelakakan dirinya. Semua itu diucapkan Panji dengan perlahan dan jelas, membuat kening Prabu Pungga Dewa berkerut. Kelihatan sekali penguasa negeri itu tak percaya dengan keterangan Panji. Tapi, melihat sikap dan tindakan Panji yang nekat menemuinya, Prabu Pungga Dewa mulai percaya.

“Hm...,” Prabu Pungga Dewa mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar uraian Panji. Terlihat kilatan marah pada sepasang matanya. Tapi, jelas bukan ditujukan kepada Panji. “Kau siapa, Pemuda gagah? Mengapa berani mempertaruhkan nyawa demi kepentingan orang banyak?” tanya Prabu Pungga Dewa dengan lembut, mencerminkan sifat bijaksana dan penuh kasih.

“Hamba bernama Panji, Gusti Prabu. Hamba sedikit pun tidak mengharapkan apa-apa dalam melakukan kebajikan. Menurut hamba, semua ini memang sudah menjadi kewajiban bagi setiap manusia yang menginginkan keadilan dan ketenteraman,” sahut Panji dengan heran. Sikap Prabu Pungga Dewa sama sekali tidak menunjukkan ketamakan maupun kebengisan. Bahkan, terkesan bijaksana dan penuh keadilan. Sikap itu membuat Panji tidak habis mengerti.

“Kau pastilah termasuk kaum persilatan. Apakah kau mempunyai julukan?” tanya Prabu Pungga Dewa yang kelihatan semakin tertarik dengan pemuda tampan yang sopan dan manis budi bahasanya itu.

“Benar, hamba adalah orang persilatan yang kasar dan kurang memiliki kesopanan, Gusti Prabu. Orang-orang menjuluki hamba Pendekar Naga Putih....”

“Aaahhh...?! Jadi kaulah rupanya yang dijuluki Pendekar Naga Putih. Sungguh gembira aku dapat berjumpa denganmu, Pendekar Naga Putih. Namamu demikian harum dipuja banyak orang,” Prabu Pungga Dewa rupanya pernah mendengar julukan Panji. Dan itu membuat Panji merasa lega, berarti ia akan lebih dipercaya lagi.

“Terima kasih Gusti Prabu...,” ucap Panji tetap merendah. Kendati Prabu Pungga Dewa jelas-jelas telah memujinya.

“Mengenai istana peristirahatan, sebenarnya sudah lama kubatalkan. Karena setelah kutinjau, tempat itu terdiri dari batu-batu padas yang keras dan sulit dihancurkan. Kalau sekarang ada orang yang mengumpulkan pekerja dan hendak mengikis bukit itu dengan alasan untuk membangun istana peristirahatan, jelas tidak benar. Rupanya, desas-desus yang kudengar di kalangan pembesar istana ada benarnya,” ujar Prabu Pungga Dewa mengejutkan Panji. Ternyata niat untuk membangun istana peristirahatan di Bukit Cadas Hantu telah dibatalkan.

“Tapi orang-orang yang mempekerjakan penduduk secara paksa adalah orang-orang kerajaan, Gusti Prabu. Bahkan, kabarnya mereka memiliki surat resmi bercap kerajaan?” Panji kembali menegasi penjelasannya. Karena Prabu Pungga Dewa membantah apa yang diceritakannya tadi.

“Kurang ajar! Mereka jelas telah mencemarkan nama baik Kerajaan Tampak Serang. Untuk perbuatan itu mereka harus mendapat hukuman berat!” Prabu Pungga Dewa kelihatan marah besar mendengar perkataan Panji.

“Apakah mereka pihak luar yang sengaja mencemarkan nama Kerajaan Tampak Serang, Gusti?” tanya Panji belum bisa menebak apa sebenarnya yang terjadi di dalam Kerajaan Tampak Serang.

“Seperti yang kukatakan tadi, ada selentingan kabar tentang pejabat yang hendak memberontak. Kemungkinan besar di Bukit Cadas Hantu hendak didirikan benteng bagi kelompok pemberontak itu. Karena, istana peristirahatan yang pernah hendak kubuat sudah kubatalkan. Sekarang aku yakin siapa yang menjadi biang keladi semua ini!” tegas Prabu Pungga Dewa menyimpan kemurkaan.

“Maksud Tuanku Gusti yang berkhianat adalah Senapati Godamarta...?” terka Panji. Karena Senapati itulah yang telah menjebak dan menghalanginya berjumpa dengan Gusti Prabu Pungga Dewa.

“Tepat! Memang Senapati Godamarta-lah yang menjadi biang keladi semua ini. Aku akan segera memerintahkan prajurit-prajuritku untuk meringkusnya. Untuk ke Bukit Cadas Hantu sendiri akan kukirim pasukan guna meringkus para pemberontak itu. Mereka harus ditumpas habis sampai ke akar-akarnya!” tegas Prabu Pungga Dewa.

“Jika demikian, berarti persoalan ini telah selesai. Karena untuk menumpas para pemberontak itu tentunya Gusti Prabu tidak memerlukan tenaga hamba. Sebab, di istana ini banyak terdapat orang pandai yang sanggup melakukannya...,” ujar Panji dengan perasaan lega. Tidak disangkanya kalau persoalan itu demikian sederhana. Ia tidak perlu bersusah-payah lagi.

“Kurang lebih begitulah, Panji. Dan untuk penderitaan serta kerugian rakyat akan segera kukirimkan penggantinya. Kupercayakan kepadamu untuk menyerahkan pengganti kerugian kepada mereka. Juga sampaikan permintaan maafku...,” ujar Prabu Pungga Dewa, membuat Panji semakin kagum dan tunduk kepada raja yang ternyata adil dan bijaksana itu.

Malam itu juga Prabu Pungga Dewa memanggil Senapati Godamarta. Dan memerintahkan dua orang senapati lainnya untuk membawa seribu prajurit-prajurit pilihan guna menumpas para pemberontak di Bukit Cadas Hantu. Panji sendiri tetap berada di samping Prabu Pungga Dewa. Itu atas permintaan Prabu Pungga Dewa. Dengan tujuan agar Pendekar Naga Putih merasa puas.

Senapati Godamarta serta pengikut-pengikutnya dijebloskan ke dalam tahanan dan menanti hukuman gantung. Pagi harinya, Panji yang terpaksa tidak beristirahat semalaman suntuk ditugaskan Prabu Pungga Dewa untuk membawa pengganti kerugian bagi rakyat. Gusti Prabu mengirimkan makanan serta ribuan keping uang. Sekaligus permintaan maaf dari Gusti Prabu Kerajaan Tampak Serang.

“Setelah tugasmu selesai, kalau kau tidak mempunyai kepentingan lain singgahlah ke istanaku, Pendekar Naga Putih. Tentu saja ini merupakan undangan resmi. Kapan saja kau sempat, pintu istanaku selalu terbuka untukmu...,” pesan Prabu Pungga Dewa sesaat sebelum kereta kuda yang dibawa Panji bergerak meninggalkan halaman istana.

“Terima kasih, Gusti. Hamba akan ingat hal itu...,” sahut Panji penuh hormat. Kemudian menghela empat ekor kuda yang menarik kereta. Dan bergerak meninggalkan kotaraja. Diiringi pandang mata Prabu Pungga Dewa yang terkesan dan kagum terhadap pendekar muda itu.

********************

Kedatangan Panji di Hutan Panawangan disambut dengan suka-cita. Apalagi, kabar yang dibawa pendekar muda itu benar-benar melegakan hati. Terutama para penduduk yang mendapatkan makanan serta kepingan uang dari Prabu Pungga Dewa. Langsung saja mereka yang semula mengutuk, berbalik memuji tak habis-habisnya.

Ki Wiguna dan tokoh-tokoh persilatan lainnya menyalami Panji dengan wajah berseri. Mereka benar-benar kagum atas tindakan Panji yang demikian berani mempertaruhkan nyawa. Mereka merasa mendapat contoh yang baik dari sosok pendekar muda itu. Tindakan Pendekar Naga Putih telah menanamkan semangat serta jiwa kependekaran yang semakin tebal dalam hati mereka.

“Sahabat-sahabat sekalian. Maaf, kalau aku tidak bisa menemani kalian lebih lama. Ada sesuatu keperluan yang agak mendesak. Karena itu, aku mohon pamit...,” ucap Panji kepada tokoh-tokoh persilatan yang mengelilinginya.

Ki Wiguna dan kawan-kawannya tentu saja maklum akan banyaknya tugas-tugas Panji. Mereka tidak berusaha mencegah kepergian pemuda itu. Dan melepaskannya dengan tatapan mata penuh kebanggaan dan juga haru. Bangga bahwa dalam golongan mereka telah muncul seorang tokoh muda yang dapat diandalkan, baik dalam kepandaian maupun budi pekertinya. Dan terharu atas perbuatan pemuda itu yang berani mempertaruhkan nyawa demi kepentingan orang banyak.

Panji sendiri telah melesat pergi dengan menggunakan ilmu lari cepatnya. Tujuannya tentu saja hendak menyusul Kenanga ke Kadipaten Tumapel, di sana kekasihnya sudah cukup lama menunggu.

S E L E S A I