Altar Setan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Altar Setan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih

SATU

PEMUDA tampan bertubuh sedang melangkah rin-gan melintasi jalan setapak. Jubah putihnya yang pan- jang tampak berkibar perlahan dipermainkan angin. Rambutnya yang panjang dan hitam, diikat sehelai kain putih. Saat itu cahaya matahari belum merata di seluruh permukaan bumi. Namun sinarnya terasa hangat menyegarkan tubuh. Sementara kicau burung di pepohonan menambah suasana nyaman di pagi yang bening dan sejuk itu.

Pemuda tampan berjubah putih itu tampak memasuki sebuah hutan. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Sepasang matanya yang tajam menyapu sekelilingnya. Seakan-akan ada sesuatu yang tidak wajar. Kendati hanya nalurinya yang berbicara. Hal itu memang tak terlalu berlebihan, karena dilihat dari gerak-geriknya, dapat diperkirakan kalau pemuda tampan itu bukan orang sembarangan. Sosoknya jelas menggambarkan seorang yang memiliki kemampuan tinggi. Atau setidak-tidaknya seorang ahli silat yang terlatih baik.

Setelah beberapa saat memperhatikan dan tak menemukan sesuatu yang mencurigakan, pemuda itu pun kembali mengayun langkahnya. Namun kelihatan jelas sekali kalau kewaspadaannya mulai ditingkatkan. Rupanya kecurigaan itu tidak begitu saja lenyap, tetap bergayut dihatinya. Namun baru saja kakinya melangkah sekitar dua tombak dari tempat berhenti, mendadak....

Bresss!

“Haits! Hih!”

Tanah yang dipijak tiba-tiba amblas. Namun, karena sebelumnya telah meningkatkan kewaspadaan, pemuda itu langsung menghentak cepat. Seketika tubuhnya melompat ke atas dan bersalto beberapa kali di udara. Namun....

Srat! Srat!

“Heh?! Haits!

Ketika tubuh pemuda itu tengah berputaran di udara, tiba-tiba dari lubang di bawahnya meluncur benda-benda panjang berujung runcing. Dengan suara desingannya yang menyakitkan telinga, benda-benda itu melesat memburu tubuhnya.

Sing! Sing!

“Hih!” Dengan sebuah dengusan jengkel, pemuda tampan itu mengibaskan kedua lengannya. Segumpal angin kencang seketika berhembus. Sehingga....

Trak, trak!

Delapan batang tombak yang memburu tubuhnya, patah dan berpentalan ke tanah. Empat lainnya berhasil ditangkapnya. Sebuah gerakan yang sulit diikuti penglihatan mata. Begitu berhasil mengatasi serangan rahasia itu tubuh berpakaian putih itu meluncur turun.

“Hai..., keluarlah, sebelum aku bertindak !” ancam pemuda itu sambil mengawasi sekelilingnya. Hatinya dapat mengetahui kalau ada orang yang tengah mengintai. Beberapa saat pemuda itu menunggu dengan berdiri tegak dan sorot mata tajam menggetarkan. Namun sejauh itu, sama sekali tak terdengar jawaban. Hingga hilanglah kesabaran hatinya.

“Rupanya kalian harus dipaksa...!” teriak pemuda itu dengan suara lantang. “Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan...”

Whuuut! Whuuut!

Sebuah gerakan yang sangat cepat dilakukan pemuda tampan berjubah putih itu. Keempat tombak di tangannya seketika melesat begitu cepat, hingga menimbulkan deru angin dan suara berdesing nyaring mematahkan kesunyian. Daya luncurnya demikian cepat. Bahkan melebihi kecepatan anak panah yang lepas dari busur. Dari sini dapat diperhitungkan betapa hebat kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu. Para pengintai yang bersembunyi di balik rimbun pepohonan, tampaknya tak mau menanggung bahaya yang datang mengancam itu.

“Haiiit!”

“Yeaaa...!”

Seketika itu pula terdengar teriakan-teriakan keras yang disusul sosok-sosok tubuh berlompatan keluar dari semak-semak dan pepohonan. Gerakan mereka yang demikian gesit dan cepat menandakan ketinggian ilmu meringankan tubuh masing-masing. Tampaknya mereka tak ingin menanggung ancaman bahaya yang dilancarkan pemuda berjubah putih itu. Tapi....

Ziiit! Ziiit!

“Kurang ajar...!” Pemuda tampan itu menggeram. Karena sosok-sosok bayangan merah yang berjumpalitan itu masih sempat melepaskan senjata rahasia untuk menyerangnya. Sadar kalau sosok-sosok bayangan merah itu menginginkan kematiannya, pemuda berjubah putih itu tak tinggal diam. Sambil menggeram jengkel, dengan cepat sepasang tangannya digerakkan, memasang kuda-kuda dengan merendahkan tubuh. Kemudian....

“Haaat!”

Disertai sebuah lengkingan panjang yang menggetarkan jantung, pemuda tampan itu melesat ke depan. Bukan bergerak menghindar, melainkan dengan sengaja menyambut datangnya serangan gelap lawan. Jelas apa yang dilakukan pemuda tampan itu merupakan perbuatan nekat. Namun, apa yang dilakukan ternyata telah diperhitungkan secara matang. Karena, saat melesatkan tubuh ke depan, sepasang tangannya dihentakkan keras dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam.

Whusss!

Sebentuk kekuatan tenaga dalam yang tak tertangkap dimata terlontar. Seketika kilatan cahaya kemerahan yang mengancam pemuda itu berbalik. Bahkan luncuran senjata-senjata itu dua kali lebih cepat dari semula. Sehingga....

Slats! Slatas!

Jrab! Jrab!

“Aaakh!”

“Hukh!”

Empat sosok bayangan merah yang masih melayang seketika berpentalan dan terbanting ke semak-semak diiringi jeritan kesakitan.

Srak! Bruk!

Rupanya senjata-senjata rahasia yang dilancarkan justru menghunjam di tubuh mereka. Melihat keempat penyerang gelap itu terjatuh, dengan cepat pemuda tampan berjubah putih itu bergerak mengejar. Hatinya merasa penasaran dan marah mendapat serangan gelap tanpa alasan yang jelas. Apalagi nyata-nyata mereka menghendaki nyawanya. Dan dia ingin mendapatkan jawaban dari semua itu. Namun....

“Haaat...!”

“Yeaaa...!”

Saat pemuda tampan itu hampir mencapai tempat keempat lawannya terjatuh, mendadak terdengar teriakan keras susul-menyusul. Sosok-sosok bayangan merah lain berlompatan dari kiri dan kanannya dengan senjata terhunus. Deru angin dari gerakan cepat pedang-pedang lawan terdengar, diiringi cahaya berkelebatan. Tampaknya mereka hendak mencegah apa yang akan dilakukan pemuda tampan itu.

Wut! Wut...!

Dua mata pedang dari kiri dan kanannya datang mengancam dengan kecepatan tinggi. Namun, dengan cepat pula pemuda tampan berambut gondrong itu bergerak mengelakkan serangan. Bahkan bersamaan dengan gerakan menghindar kedua tangannya sempat melancarkan serangan balasan. Kecepatan geraknya sulit diikuti mata.

“Hiaaa...!

Dukkk!

“Aaakh...!”

Kedua sosok berpakaian merah itu terpekik kesakitan. Kecepatan gerak pemuda itu membuat mereka tak sempat menghindar. Akibatnya, tubuh kedua penyerang itu terjungkal ke tanah. Pukulan telak yang berisi tenaga dalam kuat itu mendarat telak di dada dan perut.

“Hukh...!”

Tampak salah seorang dari kedua sosok berpakaian merah yang terjungkal itu muntah darah. Melihat kawan mereka terjungkal roboh, dua sosok berpakaian merah yang lain tak tinggal diam. Mereka tampak mengambil sesuatu dari balik pakaian. Kemudian....

“Heaaah...!”

Darrr! Darrr...!

Dua buah ledakan keras seketika terdengar meme- kakkan telinga.

“Heh...! Asap beracun...?!”

Pemuda tampan itu melompat mundur ketika melihat gumpalan asap merah menghalangi pandang matanya. Ketika mengetahui asap beracun itu sangat berbahaya, pemuda tampan itu bergegas menjauhi arena pertempuran. Kemudian dengan cepat kedua tangannya didorongkan dengan maksud untuk mengusir asap kemerahan itu.

Whuuusss...!

Apa yang dilakukan pemuda itu memang berhasil baik. Gumpalan asap kemerahan berhembus dan buyar akibat pukulan jarak jauhnya. Sehingga tempat itu pun kembali bersih seperti semula. Tapi....

“Heh! Kurang ajar! Pergi ke mana keparat-keparat itu?!” desisnya dengan wajah geram.

Ternyata sosok-sosok berpakaian merah yang menyerangnya telah lenyap dari tempat itu. Dengan cepat pemuda berpakaian putih itu melesat menuju semak-semak tempat keempat lawannya tadi terjatuh. Namun di tempat itu pun tak ditemukan apa-apa, kecuali bercak-bercak darah yang tercecer di rerumputan.

“Hhh! Siapa mereka? Tapi dilihat darigerakannya, jelas mereka bukan orang sembarangan. Kepandaian mereka cukup tinggi dan berbahaya. Terutama sekali kepandaian dalam hal racun. Sayang, aku tak berhasil menangkap salah seorang dari mereka. Sehingga, aku belum bisa mengetahui siapa mereka, dan mengapa menghendaki nyawaku tanpa alasan?” gumam pemuda tampan berjubah putih yang ternyata Panji atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih.

Pendekar Naga Putih masih berdiri termenung, kendati lawan-lawannya telah kabur secara licik. Mereka menggunakan kesempatan ketika dirinya sibuk mengusir asap beracun yang menggumpal pekat menyelimuti tempat itu. Meskipun memiliki ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’, Pendekar Naga Putih tak ingin bertindak ceroboh. Benar, asap beracun itu tak akan membuatnya tewas. Namun, jika telanjur merasuk ke tubuh, untuk memusnahkannya terlebih dahulu harus mengerahkan tenaga mukjizat jelmaan Pedang Naga Langit. Dan itu cukup memakan waktu. Apalagi dirinya belum bisa mengetahui secara pasti seberapa hebat pengaruh racun dari asap merah itu.

“Hm..., mungkinkah mereka sengaja menghalangiku agar tak meneruskan perjalanan ke Kadipaten Tumapel...?” gumam Panji menduga-duga. “Kalau benar demikian, berarti Kenanga tengah menghadapi lawan-lawan tangguh dan berbahaya? Hhh..., aku harus cepat sampai di kadipaten itu. Siapa tahu Kenanga sangat mengharapkan kedatanganku...”

Panji segera melesat dengan menggunakan ilmu lari cepatnya. Halangan yang baru saja dihadapi sama sekali tidak membuatnya gentar. Bahkan hatinya semakin terdorong untuk segera sampai di Kadipaten Tumapel. Pendekar Naga Putih sangat mengkhawatirkan keselamatan Kenanga, kekasihnya.

********************

Begitu tiba di Kota Kadipaten Tumapel, Pendekar Naga Putih langsung saja menemui penjaga gerbang istana. Kemudian mengutarakan keperluannya, untuk menemui Senapati Jata Logaya, yang menjadi panglima tinggi di kadipaten itu.

“Sampaikan kepada beliau kalau yang ingin menjumpainya bernama Panji...,” jelas Panji ketika penjaga gerbang istana kadipaten itu kelihatan ragu-ragu.

Sementara penjaga gerbang istana itu melaporkan, Panji berdiri menunggu. Dan itu tidak berlangsung lama. Sebuah panggilan bernada penuh kegembiraan, membuat pemuda berjubah putih itu menoleh dan tersenyum. Dilihatnya seorang dara jelita berpakaian serba hijau berlari menghampiri.

“Kakang...!” Dara jelita yang tak lain Kenanga itu langsung mengembangkan lengannya. Wajahnya yang jelita tampak demikian segar, kendati dari kedua matanya terlihat kelelahan yang sangat. Pendekar muda itu segera menduga kalau kekasihnya kurang tidur.

“Kenanga...!” desis Panji penuh kerinduan. Kalau saja tak melihat adanya penjaga-penjaga gerbang yang menyaksikan pertemuan itu, ingin rasanya Panji memeluk tubuh Kenanga. Akhirnya pemuda itu hanya menggenggam jemari tangan Kenanga seraya menekan kerinduan yang bergelora menyesakkan dada.

“Mengapa demikian lama, Kakang...?” tanya Kenanga yang mengerti mengapa Panji tidak memeluknya. Dara jelita itu pun berusaha menahan gejolak kerinduan yang telah cukup lama menyiksanya. Kalau saja pertemuan itu tak disaksikan orang lain, pasti Kenanga akan memeluk tubuh pemuda pujaannya. Namun, keadaan tak memungkinkan. Dan keduanya tahu, harus menjaga batas.

“Panjang sekali ceritanya, Kenanga. Tapi, yang penting aku sekarang telah berdiri di hadapanmu,” ujar Panji tersenyum seraya menatap wajah jelita yang dirindukannya itu.

“Mari kita temui paman dan bibiku. Mereka pasti sangat gembira melihat kedatanganmu...,” ajak Kenanga yang langsung saja membimbing tangan Panji memasuki pekarangan istana kadipaten yang luas itu.

“Kulihat kau seperti kurang istirahat, Kenanga? Apa ada sesuatu yang gawat tengah terjadi di Kadipaten Tumapel ini?” tanya Panji saat melangkah bersama kekasihnya.

“Kalau kuceritakan sekarang, tentu akan memakan waktu cukup lama, Kakang. Sebaiknya istirahatlah dulu! Setelah membersihkan tubuh, nanti kita menghadap paman dan bibiku...,” sahut Kenanga sambil menoleh dan tersenyum manis. Nampak jelas bias kebahagiaan di mata dara jelita itu.

Pendekar Naga Putih tidak menyahut. Pemuda itu hanya tersenyum menyadari besarnya perhatian dara jelita itu terhadapnya. Padahal Kenanga sendiri jelas kurang istirahat. Panji tahu itu. Tapi, Kenanga ternyata lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Semua itu semakin mempertebal kasih sayang Panji terhadapnya.

“Di sinilah aku tinggal selama berada di kadipaten, Kakang. Sedangkan paman dan bibiku tinggal di bangunan yang terletak di samping kanan bangunan kadipaten,” ujar Kenanga menjelaskan, setelah mereka tiba di sebuah bangunan yang cukup besar dan megah.

“Hm..., tempat yang cukup mewah dan menyenangkan...!” gumam Panji sembari menatap tempat tinggal kekasihnya.

Dua orang penjaga yang menyambut ke- datangan mereka serta-merta membungkukkan kepala dengan sikap hormat. Tiba di dalam bangunan, Pendekar Naga Putih segera minta diri kepada Kenanga untuk membersihkan tubuh. Dara jelita itu duduk menunggu di ruang tengah, setelah menyiapkan salinan pakaian kekasihnya. Tidak berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih muncul dengan wajah segar. Kenanga berdiri menyambutnya. Senyum manisnya seperti tak pernah meninggalkan wajah jelita dara itu.

“Sebaiknya kita langsung saja menghadap paman dan bibimu, Kenanga!” usul Panji sembari memegang kedua bahu dara jelita itu.

“Nanti saja, Kakang. Rinduku belum lagi terobati...,” kilah Kenanga yang langsung saja merebahkan kepalanya di dada bidang pemuda itu. Kali ini dara jelita itu tidak bisa menahan kerinduan hatinya. Karena di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua.

“Masih banyak waktu untuk kita berdua, Kenanga” Kendati mulutnya berkata demikian, tak urung Pendekar Naga Putih melingkarkan tangan merangkul tubuh indah Kenanga. Didekapnya Kenanga erat-erat. Seolah-olah ingin menyatukan tubuh dara itu ke dalam tubuhnya.

Kenanga tak menyahut lagi. Kepalanya ditengadahkan dengan bibir setengah terbuka. Sadar apa yang diinginkan kekasihnya, Pendekar Naga Putih membungkuk dan mengecup lembut bibir merah merekah itu.

“Kau tak merasa rindu kepadaku, Kakang ?” tanya Kenanga ketika merasakan pelukan kekasihnya merenggang.

“Hanya orang bodoh yang tak merasa rindu kepada wanita secantik kau, Kenanga. Aku hanya khawatir kalau paman dan bibimu sudah menunggu kedatangan kita. Dan aku tak ingin keburu ada utusan yang datang memanggil kita,” tukas Panji tersenyum melihat sepasang mata dara itu berbinar bagai bintang pagi.

“Baiklah...,” sahut Kenanga sambil menghela napas.

Kemudian mengajak Pendekar Naga Putih untuk menemui paman dan bibinya. Apa yang diperkirakan Pendekar Naga Putih tidak meleset. Dia dan Kenanga langsung disambut sepasang suami istri, ketika memasuki bangunan tempat tinggal Senapati Jata Logaya.

“Selamat datang di Kadipaten Tumapel, Pendekar Naga Putih!” sambut lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun yang berdiri di ambang pintu. Wajah lelaki tinggi tegap itu tampak cerah. Kelihatan sekali kalau sambutannya tak dibuat-buat.

“Terima kasih, Paman, Bibi...,” sambut Panji lalu membungkuk hormat kepada suami istri, paman dan bibi Kenanga. Pemuda tampan itu melangkah masuk mengikuti sepasang suami istri yang tampaknya sudah menunggu sejak tadi.

“Maaf, kalau kedatanganku agak terlambat! Karena sepanjang perjalanan banyak hambatan” Panji membuka percakapan saat mereka telah duduk di ruang tengah. Kemudian langsung menceritakan kejadian yang dialami di sepanjang perjalanan. Termasuk orang-orang berjubah merah yang hendak membunuhnya di dalam sebuah hutan.

“Orang-orang berseragam merah?” tanya Senapati Jata Logaya dengan kening berkerut. Ada perasaan keheranan di wajah lelaki gagah itu.

“Benar, Paman. Apa Paman tahu mereka dari perguruan mana?” tanya Panji yang melihat keheranan Senapati Jata Logaya. Bahkan dia melihat ketidakpercayaan dalam sinar mata lelaki setengah baya itu.

“Justru karena aku kenal siapa mereka, Panji. Dan kalau bukan kau yang menceritakannya, mungkin aku tak akan percaya,” tukas Senapati Jata Logaya yang membuat Panji semakin heran. Lalu melemparkan pandangan ke wajah Kenanga yang duduk di sampingnya.

“Sebentar paman akan menjelaskannya kepadamu, Kakang,” ujar Kenanga menyerahkan jawabannya kepada Senapati Jata Logaya.

“Jika yang menghadangmu orang-orang dari Perguruan Beruang Merah, tak mungkin mereka menggunakan racun. Karena sepanjang pengetahuanku, mereka sama sekali tak pernah mempelajari ilmu tentang racun. Bahkan Perguruan Beruang Merah telah banyak membantu kami. Mereka sebenarnya perkumpulan orang-orang gagah yang pantang berbuat curang, Panji,” jelas Senapati Jata Logaya.

“Maksud, Paman. Ada sekumpulan orang yang sengaja menyamar sebagai orang-orang Perguruan Beruang Merah...?” tanya Panji menegasi.

“Hm..., kurasa begitu. Karena aku percaya kalau orang-orang Perguruan Beruang Merah merupakan pendekar-pendekar yang berhati bersih. Jadi..., kurasa mereka orang-orang Darmanggala yang hendak mengadu domba antara pihak kadipaten dengan Perguruan Beruang Merah!” jelas Senapati Jata Logaya lagi yang membuat kening Pendekar Naga Putih semakin berkerut. Karena dia belum mendapat penjelasan tentang keadaan Kadipaten Tumapel saat itu.

Sadar bahwa Pendekar Naga Putih belum mengerti duduk persoalannya, Senapati Jata Logaya segera menjelaskan persoalan yang tengah melanda Kadipaten Tumapel. Semua diceritakan dengan jelas, sehingga Panji mulai mengerti apa yang tengah dihadapi paman Kenanga sebagai seorang yang menjabat senapati.

“Apa selama ini belum diperoleh keterangan tentang letak persembunyian para pemberontak yang dipimpin Darmanggala itu, Paman?” tanya Panji setelah mendapatkan keterangan tentang tokoh yang bernama Darmanggala.

“Orang itu sangat licik, Panji. Selain itu markas mereka selalu berpindah. Sehingga, pihak kami selalu dapat dikecoh dan hanya menemui bekas-bekas jejak mereka. Sehingga, aku menduga ada orang dalam yang berpihak kepada pemberontak Darmanggala itu. Karena setiap kali pasukanku bergerak, mereka telah lebih dulu menghindar. Rupanya ada yang memberitahukan kepada Darmanggala tentang penyergapan kami,” tutur Senapati Jata Logaya yang terdengar bernada geram.

“Untuk itulah kami bermaksud meminta bantuanmu, Panji,” kali ini yang berbicara istri Senapati Jata Logaya.

Pendekar Naga Putih mengalihkan perhatiannya kepada sosok perempuan cantik berusia sekitar empat puluh tahun. Ada sedikit persamaan antara perempuan itu dengan Kenanga. Hal itu tak mengherankan, karena istri Senapati Jata Logaya itu merupakan adik dari ibu Kenanga.

"Tentu saja aku siap membantu dengan sekuat tenaga, Bibi,” sahut Panji melegakan hati perempuan cantik itu.

“Gembira sekali mendengar ucapanmu, Panji. Dan karena kau baru saja tiba, sebaiknya persoalan ini kita tangguhkan dulu! Bibimu sudah menyiapkan hidangan untuk kita bersama. Kau tak perlu sungkan-sungkan. Anggaplah tempat ini sebagai rumahmu sendiri!” ujar Senapati Jata Logaya yang bergegas bangkit dari duduknya. Kemudian mempersilakan Pendekar Naga Putih dan Kenanga untuk mengikutinya.

Tanpa basa-basi lagi, pendekar muda itu segera bangkit menuju meja tempat hidangan disediakan. Kenanga sendiri telah lebih dulu melangkah, dan menarik kursi untuk kekasihnya. Sebentar kemudian, suasana berubah hening. Mereka menikmati hidangan tanpa berbicara sepatahpun.

********************

DUA

“Hiii...!”

Suara lengkingan panjang itu bergema membuat bulu kuduk berdiri. Sosok-sosok berjubah hitam tampak menari-nari dengan gerak berirama, mengelilingi sebuah batu besar berbentuk pipih. Kelihatannya mereka tengah melakukan suatu upacara di tengah malam di bawah sinar bulan purnama itu.

Di tengah-tengah batu besar pipih itu tampak terbaring sesosok tubuh wanita muda. Di bawah jilatan cahaya api obor yang ditancapkan di sekeliling batu itu, terlihat jelas betapa tubuh perempuan muda itu demikian polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya.

Setelah untuk kesekian kalinya sosok-sosok berjubah hitam itu mengelilingi batu pipih, gerakan mereka terhenti dengan tiba-tiba. Salah seorang dari mereka keluar dari lingkaran dan melangkah perlahan menghampiri perempuan muda yang terbaring di atas batu.

“Hiii...!”

Tampak sesosok tubuh tinggi kurus mengangkat kedua belah tangan, seiring dengan suara pekikan nyaring dari mulutnya. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat berkepala tengkorak manusia. Suara pekikannya disambut serentak sosok-sosok lain yang mengeliling batu pipih itu.

Setelah beberapa saat terdiam seperti tengah mengheningkan cipta, sosok lelaki tinggi kurus berjubah hitam itu memberikan isyarat dengan gerakan tangan kirinya. Salah seorang berjubah hitam melangkah ke depan menghampiri sosok tinggi kurus yang menjadi pemimpin upacara itu. Kemudian menyerahkan sebilah pisau pendek yang tampak berkilatan tertimpa cahaya obor.

Sosok tinggi kurus yang memimpin upacara memindahkan tongkat ke tangan kiri. Dan menyambut pisau tajam itu dengan tangan kanannya. Kemudian kakinya melangkah mendekati batu. Setelah menatapi tubuh perempuan muda itu dari ujung kaki sampai ke kepala, diangkatnya tinggi- tinggi pisau yang tergenggam di tangan kanan. Perempuan muda yang terbujur di atas batu pipih besar itu terbelalak lalu memejamkan matanya rapat-rapat. Dan....

Wut! Jrabs!

Tidak terdengar teriakan sedikit pun saat mata pisau menancap perut berkulit halus itu. Darah segar muncrat keluar, ketika sosok tinggi kurus itu mencabut pisaunya. Kemudian, dengan rakus mulutnya menghirup darah yang membanjir keluar dari luka di perut perempuan muda itu. Setelah puas menghirup darah perempuan muda itu, sosok tinggi kurus melangkah mundur beberapa tindak. Kemudian memberikan isyarat kepada anggotanya untuk maju satu persatu.

Mereka pun tampak melakukan hal serupa dengan yang diperbuat pimpinan mereka. Demikian rakus sosok- sosok berpakaian hitam itu menghirup darah dari dalam tubuh perempuan malang itu, tak ubahnya binatang buas yang haus darah. Upacara biadab itu kembali dilanjutkan setelah darah dalam tubuh perempuan yang menjadi korban itu telah kering. Pemimpin upacara maju ke depan. Sedangkan para anggotanya tampak duduk bersila mengelilingi tempat itu.

“Wahai Penguasa Alam Kegelapan...!” seru lelaki tinggi kurus itu dengan suara menggeletar penuh perbawa gaib. “Malam ini kami kembali mempersembahkan seorang gadis suci. Semoga persembahan ini tidak mengecewakan. Dan kekuatan kami semakin berlipat ganda...!”

Selesai mengucapkan kata-kata demikian, pemimpin upacara persembahan itu kembali memekik, yang kemudian disambut seluruh anggotanya. Lalu kakinya melangkah tenang menghampiri tubuh gadis yang terkapar di atas batu. Tongkat panjang yang di ujungnya terpancang tengkorak kepala digetarkan menyapu bagian atas tubuh polos yang telah pucat itu. Kemudian tangan kanannya mengusap luka di perut perempuan itu.

Dan..., luar biasa sekali apa yang terjadi kemudian! Luka akibat tikaman pisau itu lenyap tanpa bekas. Benar-benar aneh dan tidak masuk di akal! Sambil menatap bekas luka, lelaki tinggi kurus itu tampak tersenyum puas. Kemudian melangkah menghampiri para anak buahnya yang saat itu tengah berlutut.

“Untuk purnama ini, upacara selesai...!” ujar pemimpin upacara itu yang disusul suara lengkingan nyaring dari mulutnya.

Sesaat kemudian sosok tubuh kurus itu melangkah meninggalkan tempat upacara setelah memerintahkan para anak buahnya agar mencabut obor-obor yang terpancang di sekeliling tempat persembahan. Sebentar kemudian, suasana di tempat itu kembali dicekam keheningan dan kebisuan. Sosok-sosok berjubah hitam telah pergi meninggalkan mayat korban yang mereka persembahkan kepada Penguasa Alam Kegelapan.

Dari kegiatan yang mereka lakukan, gerombolan berjubah hitam itu merupakan penganut ilmu hitam. Dengan mengorbankan seorang gadis muda yang masih suci, mereka mengharapkan dapat memperoleh kekuatan. Dan menilik dari ucapan terakhir pimpinan upacara aneh itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka melakukan persembahan korban seperti itu setiap malam bulan purnama.

********************

Pada malam yang sama saat upacara berlangsung, di Kadipaten Tumapel terjadi kekacauan. Sebuah bangunan yang terletak di dalam lingkungan kadipaten, tahu-tahu terbakar tanpa sebab yang jelas. Untunglah Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang saat itu belum tidur sempat melihatnya. Sehingga, api segera dapat dipadamkan sebelum menjalar ke bangunan yang lain.

“Kejadian ini jelas sangat mengherankan,” ujar Panji ketika sudah berkumpul bersama Senapati Jata Logaya. Ucapan itu diutarakan, karena dia tak melihat adanya orang yang mencurigakan. Bahkan dari mana api berasal pun tak ada yang tahu.

“Kau tak perlu merasa heran, Kakang! Semenjak aku berada di sini, sudah dua kali terjadi hal seperti ini. Dan itu terjadi setiap bulan purnama...,” Kenanga menjelaskan, karena melihat pamannya hanya menghela napas tanpa tanggapan.

“Dan pasti pada keesokan harinya akan ditemukan seorang gadis muda terbujur kaku di atas Altar Setan...,” Senapati Jata Logaya menyambung ucapan Kenanga. Seolah dia ingin melengkapi penjelasan kemenakannya itu.

“Altar Setan...?” tanya Panji dengan suara bergumam. Hatinya tersentak mendengar ucapan Senapati Jata Logaya.

“Hhh...! Aku memang belum menceritakan hal ini kepadamu, Panji. Sebenarnya kejadian ini sudah berlangsung sejak empat purnama yang lalu. Dan, sampai saat ini semuanya masih merupakan teka-teki bagi kami,” lanjut Senapati Jata Logaya setelah menghela napas panjang dan berat.

“Apa Paman belum mencoba mengadakan penyelidikan terhadap kematian gadis-gadis muda itu?” tanya Panji yang tentu saja merasa heran mendengar peristiwa itu sudah berlangsung cukup lama.

“Itulah yang membuatku penasaran, Panji. Karena bersamaan dengan itu selalu saja timbul kekacauan di lingkungan kadipaten. Sehingga, terpaksa para prajurit diharuskan berada di tempat untuk berjaga-jaga. Tapi anehnya, selalu saja kecolongan. Bahkan aku pernah mengirim sepasukan prajurit untuk mencegah korban di Altar Setan itu. Hasilnya, pasukan yang kukirim tewas. Sampai sekarang korban terus saja berjatuhan tanpa bisa ku cegah...,” jawab Senapati Jata Logaya dengan suara rendah. Seakan mengandung penyesalan yang dalam.

“Di mana letak Altar Setan itu, Paman...?” tanya Panji yang ingin sekali membuktikan ucapan Senapati Jata Logaya. Karena dia merasa berkewajiban untuk menghentikan tindak keangkara murkaan itu.

“Kalau Paman mengizinkan, biar aku menyertai Kakang Panji ke tempat itu...,” pinta Kenanga seraya menatap wajah pamannya.

“Hm..., pergilah. Mudah-mudahan kalian berdua dapat menyingkap tabir gelap ini...!” ujar Senapati Jata Logaya. Dari ucapan dan raut wajahnya tersirat suatu harapan kepada Pendekar Naga Putih, untuk dapat menyingkap tabir gelap Altar Setan itu.

Tanpa membuang-buang waktu, malam itu juga Kenanga segera mengajak kekasihnya melihat korban Altar Setan. Keduanya bergerak dengan menggunakan ilmu lari cepat. Sehingga, tidak terlalu lama kedua pendekar muda itu telah berada di luar kota kadipaten.

“Hm..., rupanya tempat itu cukup jauh...,” gumam Panji tanpa menghentikan larinya.

“Altar Setan terletak di sebelah utara kota kadipaten, Kakang. Tepatnya di tengah Hutan Rawandaka...,” jelas Kenanga.

Perjalanan yang sebenarnya cukup jauh itu tidak memakan waktu terlalu lama bagi mereka. Menjelang fajar, Pendekar Naga Putih dan Kenanga telah tiba di mulut Hutan Rawandaka.

“Di sinilah pasukan yang dikirim Paman Jata Logaya menemui kematian. Menurut paman, mereka tewas tanpa segores luka pun di tubuh. Aku sendiri hanya mendengar ceritanya. Kejadian itu sudah dua purnama yang lalu...,” ujar Kenanga menunjukkan tempat mayat-mayat pasukan yang dikirim pamannya untuk mencegah korban Altar Setan.

“Hm..., apa kau pernah menyelidiki tempat itu...?” tanya Panji seraya menoleh kepada kekasihnya.

Kenanga balas menoleh lalu mengangguk. “Bahkan seluruh pelosok Hutan Rawandaka telah kujelajahi. Tapi, tak kutemukan adanya tempat yang kira-kira menjadi persembunyian penganut aliran sesat itu. Aku sendiri belum pernah melihat dengan mata kepala, korban di atas Altar Setan. Karena belum ada satu purnama aku tinggal di Kadipaten Tumapel. Padahal aku ingin sekali membuktikan kebenaran cerita pamanku itu,” jelas Kenanga yang membuat Panji menganggukkan kepalanya, memaklumi. Karena memang belum ada satu purnama kekasihnya tinggal di kadipaten itu.

Pembicaraan mereka terhenti saat memasuki kawasan Hutan Rawandaka. Keduanya pun segera memperlambat langkah. Kewaspadaan ditingkatkan. Sebab, bukan tak mungkin kalau dalam keremangan itu me- reka tengah diawasi lawan. Namun, sampai di dekat batu pipih tempat persembahan dilaksanakan, Pendekar Naga Putih tak menemui halangan sedikit pun. Hal itu membuat keduanya merasa agak lega, kendati tak melupakan kewaspadaan.

“Itulah yang dinamakan Altar Setan, Kakang,” bisik Kenanga mengarahkan jari telunjuk ke sebuah batu pipih, yang berjarak sekitar delapan tombak dari mereka.

“Hm..., kelihatannya memang ada sesosok tubuh terbaring di atas Altar Setan itu. Ada baiknya kalau kita berhati-hati. Siapa tahu mereka masih berada di sekitar tempat ini dan tengah mengawasi kita...,” ujar Panji seraya menghentikan larinya lalu mengawasi batu pipih tempat persembahan itu. Pendengarannya dikerahkan untuk menangkap suara-suara mencurigakan. Namun, hanya desau angin malam dan gemerisik dedaunan yang tertangkap pendengarannya.

“Kau mendengar sesuatu, Kakang...?” tanya Kenanga. Dia merasa kalau daya pendengaran Pendekar Naga Putih jauh lebih baik dari dirinya.

Pendekar Naga Putih hanya menggeleng perlahan. Kemudian mengajak Kenanga untuk menghampiri Altar Setan. Keduanya bergerak hati-hati sambil tetap memasang indera pendengaran.

“Sebaiknya kau jangan terlalu dekat, Kakang” Tiba-tiba saja Kenanga mencekal lengan kekasihnya. Karena dilihatnya sosok tubuh wanita dalam keadaan polos tanpa penutup, berada di atas batu itu. Sebagai seorang wanita, tentu saja dia tak ingin kekasihnya menyaksikan tubuh polos itu dari dekat.

Pendekar Naga Putih terpaksa berhenti. Kepalanya menoleh dan menatap tajam wajah kekasihnya. Karena baginya sangat penting untuk melihat bagaimana keadaan mayat korban persembahan itu. Dari situ dia baru dapat mengambil kesimpulan. Hal itulah yang membuat pendekar muda itu harus menolak maksud Kenanga.

“Kurasa tak ada salahnya kalau aku melihat lebih dekat, Kenanga. Hal itu sangat penting bagi penyelidikan kita. Karena untuk dapat menyingkap keanehan ini, kita harus tahu bagaimana cara korban itu tewas. ,” jelas Panji mengemukakan alasannya.

“Tapi... tubuh perempuan di atas Altar Setan itu tanpa pakaian, Kakang. itu sebabnya aku melarangmu melihatnya dari dekat,” sanggah Kenanga bersikeras. Karena dia merasa risih jika kekasihnya melihat keadaan korban yang terbujur tanpa pakaian itu.

“Kenanga, dalam hal ini kita harus bisa menjauhkan pikiran yang tidak-tidak. Selain itu, kalaupun aku ingin melihat tubuh wanita muda tanpa pakaian, rasanya tak perlu susah-susah. Tubuhmu sendiri jauh lebih sempurna ketimbang perempuan mana pun! Dan aku percaya akan dapat menikmati sepuas-puasnya. Bukankah kau sudah menyerahkan dirimu bulat-bulat kepadaku...?” kilah Panji yang membuat wajah Kenanga berubah kemerahan.

Terhadap bantahan itu, Kenanga tak memberi tanggapan. Dia merasa apa yang dikatakan Pendekar Naga Putih tidak berlebihan. Gadis itu memang sudah siap menyerahkan dirinya untuk kekasihnya. Mungkin, seandainya pendekar muda itu menginginkan dirinya, Kenanga tak akan mampu menolak. Mereka belum resmi menjadi suami istri, tapi Kenanga telah menganggap bahwa dirinya istri Panji. Dan setiap saat Kenanga siap untuk melayani pemuda pujaan hatinya itu.

“Baiklah, Kakang...,” akhirnya Kenanga mengalah. Tapi kau jangan terlalu lama melihatnya, ya...?”

“Akan ku usahakan secepat mungkin. Tapi, tentu saja harus memeriksanya dengan teliti. Dan untuk itu rasanya memang perlu waktu yang cukup...,” tukas Panji seraya tersenyum menggoda.

"Tuh, kan...,” gerutu Kenanga. Wajahnya langsung berubah cemberut dengan mata melotot menatap kekasihnya.

“Sudahlah! Hal itu tak perlu kita persoalkan. Kalau kau merasa cemburu, nanti kau boleh tunjukkan tubuh indahmu di hadapanku, bagaimana? Kau setuju...?” usul Panji dengan wajah sungguh-sungguh. Padahal tentu saja ucapan itu hanya sekadar menggoda.

“Huh, enak di Kakang tak enak bagiku!” tukas Kenanga seraya mencibir. Kemudian melangkah lebar menghampiri Altar Setan.

Panji tertawa kecil. Kemudian mengikuti langkah kekasihnya mendekati tempat mayat perempuan muda itu terbaring kaku. Kenanga melangkah lebih cepat. Sedangkan Panji perlahan saja tanpa terburu-buru. Tiba di dekat altar, Pendekar Naga Putih segera memeriksa dengan teliti sekujur tubuh telanjang yang tampak pucat itu. Hatinya merasa heran ketika tak menemukan luka sedikit pun di tubuh mayat itu. Bahkan tidak terdapat tanda-tanda bekas pukulan. Suatu kematian yang aneh dan sulit untuk diketahui penyebabnya.

“Cukup, Kakang!” sentak Kenanga seraya menarik lengan Panji menjauhi Altar Setan. Kemudian dimintanya Panji agar melepaskan jubah luarnya untuk menutupi tubuh mayat wanita muda itu.

“Sebaiknya langsung saja kita kuburkan di tempat ini, Kenanga! Kita tak perlu memperlihatkan mayat ini kepada Paman Jata Logaya! Beliau pasti sudah beberapa kali melihatnya...,” usul Panji setelah Kenanga membungkus mayat itu dengan jubah putih.

“Memang sebaiknya begitu, Kakang. Aku setuju dengan usulmu,” sahut Kenanga.

Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih segera mencari tempat yang kira-kira cukup baik untuk mengubur mayat itu. Dibuatnya sebuah lubang yang agak dalam. Kemudian dikuburkannya mayat itu.

“Aku masih belum percaya kalau di sekitar Hutan Rawandaka ini tidak ada tempat yang menjadi markas orang-orang sesat itu. Sebaiknya kita selidiki lagi secara lebih teliti...,” usul Panji setelah selesai mengubur mayat perempuan muda yang malang itu.

“Aku pun masih penasaran, Kakang. Kendati telah menyelidiki tiap jengkal wilayah hutan ini...,” timpal Kenanga yang langsung saja menyetujui usul kekasihnya.

Sebentar kemudian, pasangan pendekar muda itu sudah melangkah menyelusuri seluruh pelosok Hutan Rawandaka. Boleh dibilang hampir setiap jengkal tanah mereka teliti dengan cermat. Namun, sampai pagi menjelang, mereka tetap tak memperoleh hasil yang diinginkan. Sampai akhirnya mereka menghentikan pencarian itu.

“Aku tak yakin kalau mereka tinggal jauh dari Hutan Rawandaka ini...,” gumam Panji yang tampak masih penasaran. Karena nalurinya mengatakan bahwa markas penganut ilmu hitam itu berada di sekitar Hutan Rawandaka.

“Hm..., bagaimana kalau kita menyelidiki desa-desa di sekitar Kadipaten Tumapel ini, Kakang. Kita cari keterangan desa mana yang telah kehilangan warganya. Mungkin dengan begitu kita bisa memperoleh gambaran tentang para pelaku kebiadaban ini...,” usul Kenanga yang tampak bersikeras untuk mampu menyingkap rahasia Altar Setan itu.

“Begitu pun bagus!” sahut Panji. “Tapi, untuk itu kita harus berbicara dulu kepada paman dan bibimu. Aku tak ingin mereka menjadi khawatir, kalau kita bertindak tanpa sepengetahuan mereka”

“Memang sebaiknya begitu, Kakang. Dan kalau perlu hanya paman dan bibi saja yang tahu. Seperti apa yang pernah paman katakan, beliau curiga kalau-kalau ada orang dalam yang berpihak kepada pemberontak yang dipimpin Darmanggala. Dan kemungkinan penyelidikan kita akan menemui kegagalan, kalau sampai tersebar di lingkungan kadipaten...,” ujar Kenanga. Gadis berpakaian hijau itu memang sangat hati-hati dalam bertindak.

Pendekar Naga Putih tersenyum mendengar ucapan kekasihnya. Diam-diam dia merasa bangga. Kenanga sekarang tampak lebih matang dalam berpikir dan berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan.

“Hm, gagasanmu itu memperlihatkan sikap kematanganmu, Kenanga. Aku senang dengan orang yang lebih banyak berpikir sebelum bertindak. Artinya tidak gegabah. Hhh..., rupanya kau sudah belajar banyak dari pengalamanmu selama ini...,” ujar Panji seraya menatap kekasihnya tanpa menyembunyikan rasa kekagumannya.

"Terima kasih atas pujianmu, Kakang.” Hanya itu yang diucapkan Kenanga. Meskipun sesungguhnya di wajah cantik jelita itu tampak rasa bangga yang bergayut di hatinya. Gadis mana yang tak merasa bangga dipuji pemuda pujaannya. Kenanga pun tak terlepas dari perasaan itu.

********************

TIGA

Adanya sekelompok orang yang mengorbankan gadis-gadis muda pada setiap malam purnama di Altar Setan, ternyata tak hanya menjadi perhatian pihak penguasa Kadipaten Tumapel. Namun, telah mengusik pula hati kaum rimba persilatan. Banyak tokoh yang mengaku sebagai pendekar pembela keadilan, merasa berkewajiban untuk menghentikan upacara persembahan biadab itu.

Tidak hanya tokoh-tokoh perorangan yang tertarik untuk menghentikan kegiatan kelompok beraliran sesat itu. Beberapa perguruan yang mendengar berita itu pun mengutus murid-murid andalannya. Jelas persembahan terkutuk di Altar Setan telah membuat kaum persilatan merasa marah.

“Kegiatan biadab itu pasti didalangi seorang tokoh sesat yang berjiwa iblis. Entah apa yang diharapkannya dari persembahan itu. Yang pasti perbuatan mereka harus kita hentikan!”

Seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima tahun, berkata kepada kawannya dengan nada berapi-api. Sepasang matanya mencorong tajam saat mengucapkan kata-kata itu. Dari tatapan mata itu dapat ditebak kalau lelaki gagah ini merupakan tokoh rimba persilatan. Tatapan matanya yang tajam itu memperlihatkan bahwa tenaga dalam yang dimilikinya telah mencapai tingkat tinggi.

Lelaki bertubuh tinggi dan kurus yang berdiri disampingnya tampak mengangguk-anggukkan kepala, seakan-akan cocok dengan pikirannya. Saat itu keduanya hampir tiba di perbatasan sebuah desa. Dari langkahnya yang ringan dan mantap dapat diketahui kalau lelaki tinggi kurus ini pun bukan orang sembarangan. Setidak-tidaknya pasti menguasai ilmu silat yang tak dapat diremehkan.

“Sepak terjang kaum golongan sesat memang aneh-aneh saja. Tampaknya mereka sengaja membuat kekacauan selagi perhatian pihak Kadipaten Tumapel tengah terpusat kepada para pemberontak yang dipimpin Darmanggala. Dengan begitu, mereka dapat terlepas dari perhatian pihak Kadipaten Tumapel. Kekacauan ini mereka pergunakan sebaik-baiknya untuk suatu kepentingan yang merugikan orang banyak. Hhh..., sangat licik sekali manusia-manusia keji itu! Bagi kita, jelas ini merupakan suatu kewajiban yang harus dipi- kul. Kita harus menghentikan...!” sambut lelaki tinggi kurus tak kalah semangat dengan kawannya.

“Hm...” Lelaki gagah di sebelahnya bergumam perlahan. Keningnya tampak berkerut setelah mendengar ucapan kawannya. Kelihatannya dia tengah berpikir keras.

“Gontara...,” ujarnya memanggil kawan di sampingnya. Matanya yang tajam menatap lelaki bernama Gontara yang berusia lebih muda sepuluh tahun darinya.

“Kau sepertinya hendak menyampaikan sesuatu, Kakang Pegantar? Katakanlah!” sahut Gontara ketika melihat kerutan pada kening kawannya.

“Menurutmu, mungkinkah kedua kelompok itu mempunyai hubungan satu sama lain...?” tanya Ki Pegantar sebelum mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya saat itu.

“Maksudmu...?” Gontara balik bertanya. Kendati sudah mulai menduga, dia ingin ketegasan lebih dulu dari Ki Pegantar.

“Begini, Gontara,” ujar Ki Pegantar kembali mengalihkan perhatiannya ke depan. “Setelah mendengar keteranganmu tadi, timbul kecurigaan dalam hatiku. Sebab, antara pemberontak Darmanggala dan kelompok sesat itu seakan-akan ada kesepakatan. Secara tak langsung mereka telah sama-sama membuat kewalahan Penguasa Kadipaten Tumapel. Jadi, bukan tak mungkin kalau di antara kedua kelompok itu ada hubungan satu sama lain. Dan kalau aku boleh menduga..., kelompok sesat itu merupakan orang-orang suruhan Darmanggala. Tujuannya jelas untuk mengacaukan perhatian penguasa kadipaten.”

“Wah, kalau benar demikian, tugas kita jelas tak ringan, Kang. Hhh...!” tukas Gontara yang kemudian menghela napas berat. Tapi, ucapan itu tentu saja bukan karena dia merasa gentar. Ki Pegantar tahu hal itu.

“Karena itu, kupikir kita mesti lebih berhati-hati dan selalu berwaspada. Jangan gegabah dalam bertindak!” Ki Pegantar mengingatkan.

“Ya...,” desah Gontara singkat. Kepalanya tampak mengangguk-angguk pelan.

Pembicaraan kedua lelaki itu sementara terhenti. Karena saat itu keduanya sudah memasuki perbatasan Desa Gending. Khawatir kalau-kalau pihak lawan memiliki banyak mata-mata, mereka mulai bertindak hati-hati. Dan tidak sembarangan berbicara.

Saat itu matahari sudah tinggi. Perjalanan yang cukup jauh, membuat perut mereka terasa perih. Sehingga, begitu memasuki Desa Gending, keduanya langsung bersepakat untuk singgah di sebuah kedai makan yang tak jauh dari mulut desa itu.

Ki Pegantar dan Gontara langsung mengambil tempat kosong setelah memasuki kedai. Siang itu pengunjung tampak tak terlalu ramai. Sehingga mereka bisa memilih tempat duduk yang agak terpisah dari pengunjung lain. Ki Pegantar langsung memesan makanan kepada pelayan yang menghampiri mereka: Kemudian duduk menunggu sambil sesekali mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kedai.

“Ah, kiranya sahabat-sahabat dari Perguruan Tangan Kilat telah tiba di desa ini...!”

Seruan lantang dan berat itu membuat Ki Pegantar dan Gontara tersentak kaget. Keduanya langsung saja mencari pemilik suara yang mengenali mereka berdua. Kening keduanya yang semula berkerut, dan hati berdebar tegang, kembali tenang ketika melihat seorang lelaki tinggi besar berpakaian serba merah melangkah menghampiri mereka.

“Orang Perguruan Beruang Merah...,” desis Ki Pegantar dan Gontara hampir bersamaan, seraya bangkit berdiri menyambut kedatangan lelaki berpakaian serba merah yang menyapa mereka.

“Orang-orang Perguruan Beruang Merah memang hebat sekali. Begitu melihat langsung dapat mengenali kami berdua. Benar-benar mengagumkan...!” ujar Ki Pegantar sembari membungkukkan tubuh kepada lelaki tinggi besar itu.

Hal serupa dilakukan Gontara. Kendati tahu siapa sebenarnya lelaki tinggi besar itu, Gontara merasa sedikit kurang senang, karena ucapan lelaki berpakaian serba merah itu seolah-olah hendak memperkenalkan mereka berdua kepada semua pengunjung kedai. Akibatnya mereka berdua jadi perhatian, meski hanya untuk beberapa saat.

“Kisanak terlalu memuji,” tukas lelaki tinggi besar itu tanpa mengurangi tekanan suaranya. “Siapa orang yang tak kenal dengan pendekar-pendekar dari Perguruan Tangan Kilat? Sungguh merupakan suatu kehormatan besar dapat bertemu dengan pendekar- pendekar gagah seperti kalian berdua...”

Ki Pegantar yang lebih tua dari Gontara dan lebih berpengalaman, dapat menyembunyikan perasaan tak sukanya terhadap lelaki tinggi besar itu. Senyumnya tetap mengembang. Dan sinar matanya tetap ramah menyambut ucapan lelaki berpakaian serba merah itu.

“Kalau aku tak salah, bukankah Kisanak yang berjuluk Beruang Cakar Baja dan merupakan orang kedua di Perguruan Beruang Merah? Sungguh suatu kehormatan besar dapat berkenalan dengan tokoh besar seperti Kisanak!” sambut Ki Pegantar yang segera dapat mengenali lelaki tinggi besar itu.

"Tidak salah , tidak salah! Tapi nama itu hanya sekadar julukan tak berarti. Mana bisa disejajarkan dengan orang-orang Perguruan Tangan Kilat yang telah terkenal kegagahannya?” tukas lelaki yang mengakui julukannya sebagai Beruang Cakar Baja. Ucapannya seakan-akan merendahkan diri. Namun, sikap dan pandangannya sungguh bertolak belakang. Tekanan suaranya pun terkesan menyombongkan diri.

Ki Pegantar sama sekali tidak peduli dengan sikap sombong Beruang Cakar Baja. Bahkan dengan ramah segera mempersilakan tokoh kedua dalam Perguruan Beruang Merah itu untuk bergabung. Lain halnya dengan Gontara yang merasa panas hatinya. Lelaki tinggi kurus ini mendengus sambil memalingkan wajahnya. Takut kalau-kalau tidak mampu menahan diri melihat sikap Beruang Cakar Baja yang terlalu sombong dan meremehkan mereka berdua.

“Rasanya aku sudah bisa menebak apa maksud dan tujuan kalian berdua berada di desa ini,” Beruang Cakar Baja kembali berkata, setelah menarik kursi dan duduk berhadapan dengan kedua tokoh Perguruan Tangan Kilat itu. "Tentu kalian berdua ingin menyelidiki tentang korban Altar Setan, bukan?”

Mendengar ucapan itu, Ki Pegantar dan Gontara tersentak kaget. Wajah keduanya berubah pucat, kemudian berganti merah. Mereka merasa bahwa Beruang Cakar Baja sepertinya sengaja mencari-cari perkara. Kalau tidak, mana mungkin dia akan mengumbar ucapan di depan orang banyak seperti itu. Dan ucapan itu membuat Gontara menggereng. Karena sikap Beruang Cakar Baja dianggapnya sudah keterlaluan.

“Hm..., tak kusangka kalau tokoh Perguruan Beruang Merah yang terkenal begitu sombong dan kasar! Tidak sepantasnya sikap seperti itu dimiliki seorang tokoh besar yang kesohor! Benar-benar membuat kecewa...!” desis Gontara kehilangan kesabaran. Sepa- sang matanya menatap tajam wajah Beruang Cakar Baja tanpa rasa gentar sedikit pun, kendati nama besar Beruang Cakar Baja telah didengarnya.

Ki Pegantar sendiri tak berusaha mencegah Gontara, karena dia pun sudah merasa jengkel melihat sikap sombong dan keterlaluan lelaki tinggi besar itu. Ki Pegantar ingin melihat bagaimana tanggapan Beruang Cakar Baja terhadap ucapan Gontara yang jelas telah kehilangan kesabarannya.

“Ha ha ha...!” Beruang Cakar Baja malah tertawa terbahak-bahak demi mendengar sindiran Gontara. Membuat kedua orang lelaki gagah itu saling bertukar pandang dengan wajah heran.

“Kisanak,” ujar Beruang Cakar Baja, setelah menghentikan tawanya. Matanya menatap tajam wajah Gontara. “Apa yang kukatakan tadi sudah bukan rahasia lagi. Sebelum kalian datang, sudah cukup banyak tokoh persilatan singgah di desa ini. Dan mereka pun punya tujuan sama dengan kalian berdua. Mengapa kalian masih hendak berpura-pura? Apa merasa takut, kalau maksud kalian sampai terdengar kelompok yang hendak kalian basmi itu? Kalau takut, mengapa harus susah-susah datang ke tempat ini?”

Brakkk!

“Beruang Cakar Baja! Rupanya kau tak memandang sebelah mata pun terhadap kami berdua!” geram Gontara dengan tubuh bergetar menahan marah. “Nama besarmu itu telah membuat kau sombong dan memandang rendah orang lain! Perlu kau ketahui kalau aku, Gontara tak pernah merasa gentar mendengar julukan-julukan kosong sepertimu! Dan aku tidak bisa terima hinaan ini!” tandas Gontara yang sudah bangkit sambil menggebrak meja.

Gelagat tidak baik itu membuat pengunjung kedai merasa cemas. Satu persatu mereka bangkit dan bergegas meninggalkan ruangan kedai. Takut kalau-kalau terjadi keributan yang dapat mencelakakan mereka.

Apa yang ditakutkan pengunjung kedai itu ternyata tidak berlebihan. Karena Beruang Cakar Baja sudah bangkit dari kursinya ketika mendengar ucapan Gontara. Wajah lelaki tinggi besar yang dipenuhi brewok itu tampak merah padam. Sepasang matanya menatap bengis wajah Gontara.

“Hm.... Lalu apa maumu, Cacing Kurus?!” tantang Beruang Cakar Baja yang sepertinya sengaja menghendaki keributan.

“Manusia sombong!” bentak Gontara tak dapat mengendalikan dirinya lagi. “Sambut pukulanku! Hih!”

Whuuut!

“Hm...!” Sambil mengucapkan makian itu Gontara langsung melancarkan sebuah pukulan keras ke wajah lawan. Namun serangan itu disambut dengusan dari mulut Beruang Cakar Baja. Seakan-akan mengejek kemampuan lawan. Meskipun tak urung lelaki brewok itu memiringkan kepala menghindarkan pukulan cepat Gontara.

Pukulan keras Gontara dapat dihindarkan. Bahkan dengan tak kalah cepat, Beruang Cakar Baja langsung mengirimkan serangan balasan.

“Heaaa...!”

Whuuut!

Jari-jari tangan kokoh yang membentuk cakar beruang itu meluncur deras hendak menyambar tenggorokan Gontara. Dari angin sambaran yangmenderukeras dapat diperkirakan betapa hebatnya kekuatan yang tersembunyi dalam cakar maut itu. Sehingga,Gontara sendiri sempat tersentak kaget merasakannya. Mengetahui kalau serangan itu mengancam nyawa Gontara, tentu saja Ki Pegantar tak tinggal diam. Lelaki gagah itu dengan cepat mengayunkan tangan guna memapak serangan Beruang Cakar Baja.

“Hih!”

Plak!

Dua kekuatan yang sama-sama tersalur lewat tangan saling beradu. Untung Ki Pegantar mengetahui kehebatan serangan Beruang Cakar Baja. Sehingga, lelaki gagah itu mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya untuk menangkis sambaran cakar maut itu. Kendati tubuhnya terdorong mundur dua langkah, jiwa Gontara berhasil diselamatkan.

Beruang Cakar Baja kelihatan tidak terlalu kaget ketika merasakan tangannya bergetar. Seakan dia cukup maklum kemampuan yang dimiliki Ki Pegantar. Kendati cengkeramannya gagal terpapak tangan lawan, Beruang Cakar Baja tak kehabisan akal. Tangkisan tenaga lawan dipergunakan untuk menyusuli dengan serangan berikutnya. Lengan yang besar dan kuat itu berputar dengan kecepatan tinggi. Bahkan kali ini tangan kirinya ikut bergerak disertai sambaran angin keras.

“Heaaa...!”

Wuttt! Wuttt!

Serangan Beruang Cakar Baja datang dengan kecepatan yang lebih hebat. Kali ini sasarannya Ki Pegantar. Dan ternyata lelaki gagah itu sudah siap menyambutnya dengan jurus kebanggaan Perguruan Tangan Kilat.

“Heaaa...!”

Bwettt! Bwettt...!

“Haits...!”

Dengan gerakan kaki yang lincah dan mantap, Ki Pegantar berhasil menghindari serangkaian cakaran jemari lawan yang datang begitu cepat dan beruntun. Dan langsung mengirimkan serangan balasan dengan jurus ‘Tangan Kilat Membelah Gunung’.

Tidak percuma Ki Pegantar menjadi orang kepercayaan Ketua Perguruan Tangan Kilat Serangan balasannya demikian cepat dan kuat. Terlebih perubahan gerak jemari tangannya yang sulit ditebak. Terkadang jari-jari tangan lelaki gagah itu meluncur datang dengan bentuk kepalan. Di saat yang lain telah berubah menusuk-nusuk dengan telapak terbuka. Bahkan, tak jarang serangannya menyerupai cengkeraman-cengkeraman kuat yang mendatangkan angin berkesiutan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja pertarungan itu telah berubah seru dan sangat menegangkan.

Beruang Cakar Baja agak kaget juga, ketika merasakan kehebatan serangan balasan lawan. Beberapa kali terdengar mulutnya mendengus gusar, ketika sepasang tangan Ki Pegantar mencecar dengan kecepatan yang luar biasa. Walaupun sampai sejauh itu tubuhnya belum tersentuh pukulan lawan, Beruang Cakar Baja tampak telah terdesak dengan jurus-jurus awal. Hal itu, karena Ki Pegantar seolah-olah tak ingin memberi kesempatan lawannya untuk menyerang. Didesaknya terus kedudukan lawan dengan jurus-jurus ampuh yang dimiliki.

“Heaaa...!”

Lewat sepuluh jurus kemudian, Beruang Cakar Baja terdengar membentak keras. Tubuhnya melompat ke belakang dengan lesatan panjang. Maksudnya untuk menjauhi lawan agar dapat mempersiapkan jurus-jurus baru untuk mengimbangi kehebatan jurus Ki Pegantar. Jurus ‘Tangan Kilat Membelah Gunung’ yang merupakan salah satu jurus ampuh dari Perguruan Tangan Kilat, dirasakan cukup hebat.

Tapi Ki Pegantar tampaknya tak mau memberi kesempatan sedikit pun bagi lawannya untuk mempersiapkan serangan balasan. Ketika tubuh Beruang Cakar Baja melesat ke belakang, lelaki gagah itu membentak keras. Dan tubuhnya meluncur dengan kecepatan tinggi mengejar lawannya seraya melancarkan hantaman telapak tangannya yang mendatangkan sambaran angin menderu.

“Heaaat...!” Wuttt...!

Bukkk!

“Hukh...!”

Suara keluhan tertahan terdengar dari mulut Beruang Cakar Baja ketika serangan cepat Ki Pegantar mendarat telak di dadanya. Tak ampun lagi tubuhnya yang gagah dan besar terdorong ke belakang. Hantaman telapak tangan Ki Pegantar tampaknya dilancarkan dengan tenaga dalam yang kuat Tubuh Beruang Cakar Baja akhirnya menerjang sebuah meja kedai yang ada di belakangnya.

Brakkk!

“Hukh! Huh..., Keparat!”

Beruang Cakar Baja ternyata memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa. Kendati serangan itu demikian keras menghantam dadanya, hingga terbanting dan menabrak meja, dengan cepat tubuhnya langsung melompat bangkit. Wajahnya tampak memerah dengan sorot mata tajam penuh kemarahan. Seakan-akan lelaki bertubuh besar ini tak merasakan sakit akibat pukulan tenaga dalam lawan. Buktinya pukulan Ki Pegantar tak membuat luka dalam di tubuhnya. Bahkan justru membuatnya semakin berbahaya.

“Hmh...!” Disertai sebuah dengusan panjang, Beruang Cakar Baja mempersiapkan jurus andalan. Sepasang tangannya bergerak dengan jemari membentuk cakar. Terdengar suara angin berkesiutan menandakan betapa kuatnya tenaga yang kali ini dikerahkan lelaki bertubuh besar bagaikan raksasa itu.

Ki Pegantar menunda serangan lanjutan, ketika tahu lawan telah siap dengan jurus andalannya. Lelaki gagah itu pun sadar akan kehebatan jurus ‘Cakar Beruang’ yang dipergunakan lawannya. Dengan cepat segera dipersiapkannya jurus andalan, disertai mengatur gerak langkahnya ke kanan. Bersiap untuk menghadapi pertarungan selanjutnya.

“Yeaaat.”

Dibarengi pekikan keras menggelegar, Beruang Cakar Baja bergerak melakukan serangan. Suara telapak kakinya yang menginjak tanah, membuat kedai makan itu bergetar bagai diguncang gempa. Jari-jari tangannya yang membentuk cakar beruang, bergerak susul-menyusul dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa.

“Hih...!”

Whuuut! Whuuut...!

“Heaaa...!”

Ki Pegantar sama sekali tidak merasa gentar. Sepasang tangannya berputaran di depan dada dengan kecepatan tinggi. Dan diiringi teriakan yang nyaring, lelaki gagah itu bergerak cepat menyambut serbuan lawan. Pertempuran kali ini terlihat jauh lebih hebat dan seru dari sebelumnya. Kedua tokoh sakti itu sama-sama mengeluarkan seluruh kepandaian yang dimiliki. Sehingga, ruangan kedai yang semula tertata rapi berubah porak-poranda bagaikan diamuk gajah liar. Meja dan kursi beterbangan terkena tendangan ataupun angin pukulan yang nyasar. Sehingga, hampir semua benda di dalam ruangan itu dibuat hancur berantakan.

Setelah lewat dua puluh jurus, terlihat Beruang Cakar Baja mulai dapat menekan lawannya. Gerakannya yang jauh lebih kuat membuat Ki Pegantar tampak kewalahan. Tubuhnya terhuyung mundur setiap kali lengan mereka berbenturan. Bahkan kedua lengan tokoh Perguruan Tangan Kilat itu mulai terlihat memar dan bengkak di beberapa bagian. Jelas dalam hal kekuatan tenaga dalam Ki Pegantar harus mengakui keunggulan lawannya. Sampai akhirnya....

“Hiaaa!”

Breeet! Desss!

“Aaakh!” Ki Pegantar terpekik kesakitan. Tubuhnya terlempar ketika sambaran cakar dan tendangan lawan mendarat telak di dada dan perutnya. Lelaki gagah itu tak mampu mempertahankan kuda-kudanya. Sehingga terlempar menjebol dinding papan di belakangnya.

Brakkk!

Melihat tubuh lawannya terlempar menjebol dinding kedai, Beruang Cakar Baja melesat mengejar. Wajahnya kian beringas menggambarkan nafsu membunuh. Jelas dia hendak menghabisi nyawa Ki Pegantar.

“Bangsat...!” geram Gontara yang melihat kakak seperguruannya terancam maut. Tangannya langsung melolos pedang di pinggang. Kemudian melesat dengan sebuah bentakan keras. Pedang di tangannya meluncur cepat dengan tusukan maut mengancam perut Beruang Cakar Baja yang saat itu tengah melesat mengejar Ki Pegantar di luar kedai.

EMPAT

“Heaaat...!”

Whuuut!

Ujung pedang Gontara berkelebat cepat disertai deru angin keras. Sebuah serangan yang tak kepalang tanggung. Tampaknya Gontara telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun, Beruang Cakar Baja hanya mendengus penuh ejekan. Kemudian, menyampok pedang Gontara dengan tangan kanannya yang telah terlindung tenaga dalam. Tampaknya lelaki tinggi besar itu demikian yakin akan kekebalan tangannya. Terbukti tanpa ragu-ragu disampoknya pedang itu hanya dengan tangan telanjang! Dan....

Whuuut! Trakkk!

Suara keras mirip benturan dua buah logam terdengar, ketika tangan kanan Beruang Cakar Baja berhasil menyampok pedang lawan. Melihat kejadian ini, jelas kalau julukan yang disandangnya sebagai Beruang Cakar Baja bukan sekadar nama kosong. Terbukti sekali sampok saja pedang Gontara langsung patah menjadi dua bagian. Bahkan tubuh lelaki kurus bermata sipit itu terhuyung mundur dengan wajah menyeringai menahan sakit. Gontara merasakan pergelangan tangannya bagaikan remuk akibat kekuatan tenaga di tangan lelaki tinggi besar itu.

“Mampuslah kau! Hih!”

Dengan wajah beringas penuh amarah, Beruang Cakar Baja melesat memburu tubuh Gontara yang masih terhuyung-huyung. Sehingga....

Breeet! Breeet!

Gontara tak sempat melihat serangan jari-jari tangan sekuat baja itu telah merobek tenggorokan dan dadanya. Darah segar menyembur seiring robohnya tubuh lelaki kurus bermata sipit itu. Sesaat tubuhnya berkelojotan, tapi kemudian tak berkutik lagi. Kematian Gontara tampaknya belum membuat Beruang Cakar Baja puas.

Setelah melihat tubuh lawannya tewas terkapar berlumuran darah, lelaki tinggi besar itu melesat menghampiri Ki Pegantar yang saat itu sudah bangkit dengan gerakan limbung. Pakaiannya tampak telah basah berlumur darah yang mengalir dari luka di dadanya akibat cakaran lawan.

Kendati keadaannya cukup parah, Ki Pegantar sempat melihat tubuh adik seperguruannya yang terkapar tewas. Wajahnya memucat. Dirasakan sekujur tubuhnya gemetaran sehingga terhuyung beberapa langkah ke belakang. Kematian Gontara telah membuat jiwanya terguncang hebat. Itu terlihat dari kerut-kerut di wajahnya.

“He he he...! Itulah akibatnya bagi orang yang berani sesumbar di hadapan Beruang Cakar Baja...!” ujar lelaki tinggi besar itu mengejek sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Mengapa kau memusuhi kami, Beruang Cakar Baja? Bukankah di antara kita tak pernah ada persoalan? Kau..., kau telah menanam bibit permusuhan dengan Perguruan Tangan Kilat...,” desis Ki Pegantar yang belum mengerti mengapa Beruang Cakar Baja memusuhi mereka berdua.

Selama ini Ki Pegantar mendengar bahwa Beruang Cakar Baja merupakan tokoh yang memiliki kegagahan. Bahkan dia tahu persis kalau Perguruan Beruang Merah merupakan sebuah perkumpulan beraliran putih. Mengapa sekarang menyimpang jauh dari kebenaran? Bahkan membunuh rekan segolongan? Ki Pegantar benar-benar merasa tak habis pikir.

“Benar, di antara kita tak ada persoalan secara pribadi, Ki Pegantar. Tapi, karena kalian melakukan tindakan bodoh, ingin menyelidiki korban Altar Setan, maka beginilah akibatnya. Siapa pun yang hendak mencoba menyelidikinya, akan menemui kematian! Nah, sekarang bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut..!” ujar Beruang Cakar Raja mempersiapkan serangan mautnya untuk menghabisi Ki Pegantar.

“Mengapa..., mengapa kau bertindak demikian, Beruang Cakar Baja...?” Ki Pegantar masih belum mengerti secara keseluruhan, dan meminta keterangan dari tokoh bertubuh tinggi besar itu.

“Kau tak perlu tahu. Karena aku memang ingin membuatmu mati penasaran...!” Setelah berkata demikian, Beruang Cakar Baja tertawa terbahak-bahak. Kemudian tubuhnya melesat cepat disertai ayunan cakar mautnya.

“Hiaaa...!”

Whuuut!

Kendati keadaannya sudah cukup parah, Ki Pegantar masih berusaha untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan. Sebisa mungkin lelaki gagah itu mengelak dan masih berusaha membalas serangan lawan. Namun, jangankan dalam keadaan terluka seperti itu. Dalam keadaan biasa pun Ki Pegantar bukan tandingan Beruang Cakar Baja. Dan perlawanannya kali ini tidak berarti bagi tokoh tinggi besar itu. Terbukti dalam tiga jurus saja tubuh Ki Pegantar telah terkena cakar sekeras baja lawannya.

“Hiaaa...!”

Whuuut! Bret! Bret!

“Aaakh...!”

Serangan cakar maut yang secepat kilat mendarat di beberapa bagian tubuh Ki Pegantar. Seketika darah muncrat dari tenggorokan, mulut, dan dadanya yang tercabik cakar lawan. Setelah mengerang keras dan berkelojotan, Ki Pegantar tewas terkapar di depan kedai.

“Ha ha ha...!”

Tawa keras menggelegar terdengar dari mulut Beruang Cakar Baja yang merasa bangga atas kemenangannya. Lelaki brewok bertubuh besar itu lalu melesat masuk ke kedai, memanggil pemilik kedai dan para pelayan. Mereka tadi bersembunyi, ketika pertarungan itu berlangsung.

“Bereskan mayat mereka...!”

********************

Pendekar Naga Putih mengayunkan langkahnya memasuki batas Desa Gending. Di sebelahnya berjalan seorang dara jelita berpakaian serba hijau. Siapa lagi dara jelita itu kalau bukan Kenanga, kekasihnya. Hari telah senja ketika langkah pasangan pendekar muda itu memasuki mulut desa. Cuaca mulai terselimut keremangan. Semburat merah di kaki langit sebelah barat sebagai pertanda matahari telah merasuk ke peraduannya. Sebentar lagi malam akan datang menggantikan tugas sang Mentari. Tampak pula bulan pucat mulai menggantung di langit temaram.

“Hm..., malam sudah mulai jatuh. Sebaiknya kita bergegas untuk mencari tempat bermalam...!” ujar Panji seraya menoleh kepada Kenanga di sebelahnya. Langkahnya dipercepat melintasi jalan utama Desa Gending yang kering dan berdebu.

Kenanga hanya mengangguk perlahan seraya terus mengikuti langkah Panji untuk mencari penginapan. Keduanya bergerak memasuki sebuah kedai yang di depannya mulai diterangi lampu minyak. Di dalam ruangan kedai itu hanya ada beberapa orang yang sepertinya merupakan pendatang-pendatang seperti mereka berdua. Baik Pendekar Naga Putih maupun Kenanga mengetahui hal itu dari wajah-wajah lelah yang tengah menikmati hidangan di meja makan. Panji menganggukkan kepala ketika beberapa pasang mata serentak menoleh saat mereka memasuki kedai. Kemudian bergerak masuk menghampiri pemilik kedai.

“Paman, kami berdua pelancong. Karena kebetulan sampai di desa ini kemalaman, kami ingin bermalam di Desa Ganding ini. Apa kedai Paman juga menyediakan kamar untuk menginap...?” tanya Panji dengan suara rendah penuh keramahan.

“Wah, sayang sekali, Kisanak! Kamar yang kami sediakan sudah diisi orang. Harap Kisanak berdua mencari tempat lain. Kami benar-benar menyesal tidak bisa memenuhi permintaan Kisanak berdua,” jawab pemilik kedai dengan wajah menyesal.

“Tidak adakah persediaan kamar lain, Paman? Tidak perlu bagus, yang penting kami dapat beristirahat untuk malam ini saja,” ujar Panji agak memaksa. Karena saat itu hari sudah mulai gelap. Dan untuk mencari penginapan lain tentu agak sukar.

“Kami benar-benar mohon maaf, Kisanak. Kalau saja masih ada tempat, tentu kami akan suka sekali untuk menolong. Tapi, dengan sangat menyesal sekali kami tidak bisa menyediakannya. Harap Kisanak berdua tidak merasa kecewa...,” jawab pemilik kedai dengan memperlihatkan wajah sungguh-sungguh menyesal karena tidak bisa menolong kedua orang tamunya.

“Tolonglah, Paman! Berapa pun harga yang Paman minta akan kami bayar sekarang juga...,” timpal Kenanga. Seperti halnya Panji, dia pun tak ingin mencari tempat lain yang tentu tidak mudah. Karena biasanya di sebuah desa hanya ada satu penginapan. Maka, Kenanga mencoba dengan cara seperti itu untuk mendapatkan tempat bermalam.

“Menyesal sekali, Nisanak...,” jawab pemilik kedai bertubuh kurus itu sambil membungkuk-bungkukkan tubuhnya sebagai ungkapan menyesal tak dapat memenuhi permintaan Kenanga.

“Baiklah, Paman. Kalau memang tidak ada, kami tak bisa memaksa. Terima kasih atas keramahan Paman...,” ujar Panji, yang mulai menyadari tidak baik memaksa. Kalau masih ada kamar, tentu pemilik kedai tak mungkin menolaknya. Sebab, mana ada orang yang tidak ingin mendapatkan keuntungan besar. Sedangkan tawaran Kenanga jelas sangat menggiurkan.

Pendekar Naga Putih meminta maaf telah mengganggu pemilik kedai itu. Kemudian melangkah keluar diikuti Kenanga. Terpaksa mereka harus menyusuri keremangan malam yang diterangi sinar pelita yang bergantungan di depan rumah penduduk. Keduanya melangkah di jalan utama Desa Gending. Jalan dan desa itu tampak sepi sekali, karena penduduk Desa Gending kebanyakan telah masuk dan menutup pintu rumahnya. Padahal malam belum lama jatuh.

“Mudah-mudahan kita mendapatkan penginapan lain yang belum terisi penuh...,” gumam Kenanga penuh harap. “Rupanya desa ini cukup banyak disinggahi pendatang dari luar...”

“Hal itu tidak aneh, Kenanga. Kurasa, kabar tentang persembahan korban di Altar Setan itu telah memancing rasa penasaran dan marah di hati para tokoh persilatan. Bukankah selama perjalanan kita telah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh persilatan yang hendak menghentikan upacara biadab itu? Bahkan tak sedikit perguruan-perguruan di sekitar wilayah Kadipaten Tumapel yang mengutus muridnya untuk menyelidiki secara lebih jelas. Itu sebabnya mengapa penginapan tadi telah terisi penuh, tidak seperti biasanya,” ujar Panji mengingatkan kekasihnya tentang apa yang membuat penginapan tadi tidak dapat menampung mereka.

“Hm.... Kalau begitu, bagaimana jika kita menginap di rumah penduduk? Kita beri mereka imbalan yang pantas,” usul Kenanga, karena khawatir kalau tak ada lagi penginapan lain di Desa Gending itu.

“Kita lihat saja dulu! Desa ini cukup besar dan banyak disinggahi pedagang. Jadi ada kemungkinan terdapat beberapa penginapan ataupun kedai makan. Kalau memang tidak ada, nanti kita cari rumah penduduk yang kira-kira mau menampung kita untuk bermalam,” ujar Panji, mencoba menyabarkan hati Kenanga.

Pendekar Naga Putih sebenarnya merasa enggan kalau harus mengganggu penduduk. Dilihatnya sepanjang jalan yang dilalui, rumah-rumah tampak sudah tertutup rapat. Kenanga menyetujui ucapan kekasihnya. Keduanya terus berjalan menyusuri keremangan malam. Namun, tiba-tiba ada seorang lelaki bertubuh kurus dengan wajah terhias kumis jarang, menghadang perjalanan mereka.

“Kisanak berdua membutuhkan tempat untuk menginap?” tanya lelaki itu dengan sikap ragu-ragu dan penuh hormat. Pandangan matanya terlihat agak sayu menatap pasangan pendekar muda itu dengan penuhi harap.

Pendekar Naga Putih maupun Kenanga tak langsung menjawab. Mereka saling bertukar pandang sejenak. Kemudian meneliti sosok lelaki kurus yang kelihatannya sangat miskin itu. Karena pakaian yang dikenakannya kelihatan penuh tambalan. Dan wajahnya tampak seperti orang kurang makan. Pendekar muda itu menduga orang yang menghadangnya hendak menawarkan jasa dengan mengharapkan sedikit imbalan.

“Hm.... Kisanak dapat menunjukkan tempat penginapan untuk kami berdua?” tanya Panji yang sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan lelaki kurus berku-mis jarang itu.

“Di desa ini hanya ada satu penginapan yang letaknya di dekat mulut desa. Selain penginapan itu, tak ada penginapan yang lain,” jawab lelaki kurus itu seraya menatap wajah pemuda berjubah putih di hadapannya.

“Lalu, penginapan mana yang hendak kau tawarkan kepada kami?” tanya Kenanga.

“Kalau kisanak berdua benar-benar memerlukannya, aku bisa mencarikan. Tapi..., tempatnya tidak bagus dan besar. Lagi pula hanya ada satu kamar...,” jawab orang itu. Wajahnya kelihatan gelisah dan malu-malu.

“Besar atau kecil bukan soal bagi kami. Lagi pula kami hanya membutuhkan untuk satu malam. Kalau begitu, antarkan kami ke tempat yang kau sebutkan itu...!” ajak Kenanga tak sabar.

“Baik... baik...,” sahut lelaki kurus itu, lalu melangkah mendahului.

Pendekar Naga Putih dan Kenanga saling bertukar pandang, ketika lelaki yang belum dikenal itu membawa mereka melewati jalan di samping rumah penduduk yang terletak di tepi jalan. Kemudian melintasi kebun yang gelap. Setelah itu baru mereka tiba di depan se- buah rumah atau lebih tepat kalau dikatakan sebuah gubuk keluarga miskin. Letaknya pun agak terpencil dan dikelilingi pepohonan liar.

“Hm..., apakah rumah ini tempat tinggalmu...?” tanya Panji yang langsung dapat menduga karena lelaki itu kelihatan malu-malu dan takut.

“Be... benar, Kisanak...,” sahut lelaki kurus itu mengangguk namun tak berani menatap wajah pemuda tampan berjubah putih di sampingnya.

“Kalau kau hanya memiliki satu kamar, lalu di mana anak dan istrimu tidur jika kami menginap?” tanya Panji yang tentu saja hanya menduga-duga kalau orang itu punya keluarga.

“Kami bisa tidur di ruang depan. Dan aku akan menyediakan dua tempat tidur. Karena di dalam kamar hanya ada satu tempat tidur. Maklumlah kami orang miskin...!” sahut lelaki kurus itu semakin dalam menyembunyikan wajahnya.

Iba juga hati Kenanga maupun Panji melihat kehidupan lelaki kurus berkumis jarang itu. Kalau tadi keduanya berharap benar dapat memperoleh sebuah kamar penginapan, kini hatinya jatuh kasihan ingin menolong lelaki itu. Terlebih melihat wajah lelaki itu tampak menggambarkan harapan yang besar agar mereka berdua menerima tawarannya.

“Kami terima tawaranmu, Kisanak. Dan ini sekadar imbalan untuk kami berdua menginap” Kenanga langsung memberikan beberapa keping uang perak kepada lelaki kurus itu.

Namun mata lelaki itu terbelalak kaget dan seakan tidak percaya dengan penglihatannya.

“Ambillah...,” ujar Panji tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

“Tapi... tapi uang ini terlalu banyak...” Kendati mulutnya berkata demikian, kepingan uang perak itu diterimanya, lalu digenggamnya erat-erat. Kelihatan sekali betapa lelaki kurus itu merasa bingung. Matanya menatap Kenanga dan Panji berganti-ganti, masih memperlihatkan perasaan tak percaya.

Panji hanya tersenyum. Kemudian memerintahkan lelaki kurus itu untuk membawa mereka berdua ke dalam rumah. Sambil terbungkuk-bungkuk, lelaki kurus itu mempersilakan kedua tamunya agar masuk. Kemudian dia terburu-buru memasuki kamar yang hanya sebuah itu, lalu segera membenahi barang-barang di dalam dengan napas terengah-engah. Tampaknya lelaki kurus itu ingin memberikan pelayanan kepada Panji dan Kenanga dengan sebaik-baiknya.

Sebenarnya Panji tak tega ketika melihat lelaki kurus itu membangunkan istri dan anaknya yang masih kecil, dan memindahkan mereka ke ruang tengah. Ketika lelaki itu hendak membawa balai-balai yang ada di ruangan itu, Panji mencegahnya. Dan dikatakannya, bahwa satu pembaringan pun sudah cukup untuk mereka berdua menginap. Sehingga, lelaki kurus itu tak perlu menyuruh anak dan istrinya tidur di atas sehelai tikar butut.

“Terima kasih... terima kasih!” Berkali-kali lelaki kurus itu mengucapkan terima kasih sambil terbungkuk-bungkuk.

Panji sendiri hanya tersenyum dan membawa Kenanga masuk ke kamar yang sempit itu. "Tidak perlu bingung, Kisanak. Kami berdua cukup merasa senang dapat bermalam dirumahmu. Dan kau tak perlu ragu-ragu untuk menggunakan uang itu. Karena uang itu sebagai tanda terima kasih kami berdua,” ujar Panji ketika melihat lelaki kurus itu seperti kebingungan. Takut kalau-kalau kedua tamunya membatalkan untuk menginap.

Mata lelaki kurus itu berbinar-binar. Tubuhnya kembali terbungkuk-bungkuk kepada Panji. Sedangkan Kenanga sendiri sudah memasuki kamar yang sempit itu, bahkan merebahkan tubuhnya di atas balai-balai bambu yang sudah tua. Itulah yang dikatakan lelaki kurus itu sebagai tempat tidur. Namun, Kenanga sama sekali tidak mencela.

Panji pun tidak berkata apa-apa, ketika melihat keadaan kamar itu. Dan segera merebahkan tubuh di samping Kenanga. Panji tak merasa khawatir akan tergoda, kendati mereka berdua harus tidur satu pembaringan. Tentu saja pemuda berjubah putih itu terlebih dahulu berpesan kepada kekasihnya agar jangan berpikir yang bukan-bukan.

“Hi hi hi...! Kau takut tergoda ya, Kakang...?” tukas Kenanga seraya tersenyum ketika mendengar ucapan kekasihnya.

Panji hanya tersenyum. Kemudian merebahkan tubuhnya menghadap langit-langit. Kedua matanya langsung terpejam dan memusatkan pikirannya dengan menekan segala bayangan yang menari-nari di benaknya. Kenanga pun tampaknya tak ingin menggodanya. Dara jelita itu ikut memejamkan mata. Tak lama kemudian, terdengarlah dengkur yang halus, pertanda mereka telah terlelap.

Malam semakin larut. Tiupan angin di luar semakin dingin. Suara binatang-binatang malam bagai tak pernah lelah menemani kegelapan yang hanya diterangi bulan pucat.

LIMA

“Hhh...!”

Pendekar Naga Putih yang semula telah terlelap tiba-tiba menggeliat resah. Dinginnya udara malam bagaikan tak dirasa. Tubuhnya berpeluh. Kegelisahan aneh yang mengganggu tidurnya, memaksanya terbangun. Hatinya merasa heran sekali, ketika merasakan panas sekujur tubuhnya. Bahkan peluh terus saja mengalir tanpa diketahui apa penyebabnya. Keheranan itu semakin meningkat ketika dirasakannya ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya.

“Aneh? Mengapa ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ tiba-tiba bangkit tanpa sebab...?” gumam Panji yang baru menyadari apa penyebab hawa panas yang dirasakannya. Semua itu ternyata berasal dari kekuatan mukjizat yang ada dalam tubuhnya. Namun, hal itu tetap saja sangat mengherankan baginya. Karena kekuatan mukjizat itu tidak pernah bangkit, kecuali dipanggilnya.

Dengan penuh keheranan Pendekar Naga Putih menatap sekujur tubuhnya. Dan hatinya semakin terkejut ketika mendapat sinar kuning keemasan telah membungkus sekujur tubuh. Keadaan itu membuatnya menarik suatu kesimpulan bahwa ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ tengah bekerja melindungi dirinya. Itu berarti ada sesuatu yang mengancam dirinya. Namun Panji tak tahu apa yang membuat tenaga mukjizat itu bangkit untuk melindunginya.

Setelah memutar otak tapi tidak juga mendapatkan jawaban, Panji menoleh ke samping. Keningnya berkerut ketika melihat Kenanga sama sekali tak terganggu hawa panas yang keluar dari tubuhnya. Padahal gadis jelita itu berada di sebelahnya. Kenanga tetap terlelap. Seolah hawa panas itu sama sekali tak mempengaruhinya. Anehnya, pakaian dara jelita itu tampak telah dibasahi peluh? Jelas hawa panas yang keluar dari tubuh Pendekar Naga Putih juga dialami Kenanga. Namun, Kenanga tetap saja tertidur lelap? Tentu saja Panji semakin tak mengerti.

“Hm..., ini jelas ada yang tak beres...!” gumam Panji seraya melompat turun dari pembaringan. Gejolak hawa mukjizat itu tiba-tiba membuat dirinya tanpa sadar mulai menggerak-gerakkan kedua tangan. Keanehan pun semakin terasa. Tenaga mukjizatnya langsung mengalir deras seolah hendak menolakkan sesuatu.

Setelah beberapa saat hal itu dialaminya, tiba-tiba Kenanga menggeliat bangkit. Dara jelita itu tentu saja merasa bingung melihat pakaiannya telah dibasahi peluh. Dan lebih heran lagi ketika melihat Panji tengah melakukan gerakan-gerakan tangannya secara perlahan. Namun kelihatan jelas betapa gerakan itu mengandung kekuatan tersembunyi yang sangat hebat.

“Kakang..., ada apa...?” tanya Kenanga keheranan dengan keadaan yang dirasakannya. Terlebih melihat kekasihnya yang seperti tengah bertempur dengan sesuatu.

Pendekar Naga Putih tak menjawab. Hanya wajahnya yang menoleh dan tersenyum kepada Kenanga. Saat itu dia merasa ada sesuatu kekuatan aneh yang menyerangnya. Panji menyadari mengapa tenaga mukjizatnya bergerak melindungi dirinya tanpa dipanggil.

“Ada orang yang menyerang kita dengan menggunakan kekuatan gaib...,” jelas Panji setelah merasakan serangan itu mengendor untuk kemudian hilang sama sekali. Dan itu suatu tanda kalau si penyerang kalah olehnya.

“Apa yang dikehendaki manusia usil itu, Kakang...?” tanya Kenanga tak mengerti. Kendati barusan dirasakannya ada suatu hawa ganjil yang membuat pelupuk matanya terasa berat. Seolah dipaksa menutup.

“Mereka hendak membuat kita tertidur pulas,” sahut Panji yang segera dapat menebak, setelah memutar otak mengingat segala apa yang barusan menimpa mereka berdua. “Jelas ada orang yang bermaksud tidak baik terhadap kita berdua”

Sebelum Kenanga bertanya lagi, Panji sudah bergerak keluar dari dalam kamar. Ingatannya kepada pemilik rumah, membuat hatinya cemas. Tentu saja dia khawatir kalau-kalau tuan rumah pun mengalami hal seperti yang mereka berdua rasakan. Tapi....

“Hei, ke mana lelaki kurus tadi...?” desis Panji terkejut ketika melihat ruangan depan sudah kosong. Padahal sebelumnya pemilik rumah itu tidur bersama keluarganya di ruang depan. Kini ruangan itu ternyata telah kosong.

“Celaka! Jangan-jangan mereka dibawa pergi atau dibunuh orang jahat yang menyerang kita secara gaib, Kakang!” sahut Kenanga yang juga terkejut melihat ruang depan yang telah kosong itu.

Kenyataan itu tentu saja membuat Pendekar Naga Putih cemas. Hatinya khawatir kalau lelaki kurus pemilik rumah itu telah tertimpa musibah gara-gara memberi tempat menginap untuk mereka berdua. Dan Panji merasa bertanggung jawab atas keselamatan keluarga pemilik rumah yang miskin dan baik hati itu.

“Ayo kita cari...!” ujar Panji yang sudah bergerak dan mengulurkan tangannya untuk membuka pintu. Namun, tiba-tiba Panji menarik tangannya, tak jadi menyentuh daun pintu. Bahkan bergegas melompat mundur, karena saat itu telinganya menangkap suara desingan dari luar gubuk. Kenanga semula merasa heran melihat sikap kekasihnya. Tapi, ketika dia membuka mulut hendak bertanya....

Sing, sing, sing!

Krakkk! Krakkk!

Brakkk!

Daun pintu yang semula tertutup rapat itu mendadak patah dan cerai-berai. Disusul kemudian dengan meluncurnya benda-benda berkilat tertimpa cahaya lampu minyak.

“Kurang ajar...!”

Bukan main marahnya hati Kenanga melihat serangan gelap itu. Dengan cepat pedangnya dicabut. Seketika tampak cahaya keperakan dari pedang tipis itu. Kemudian mengelebatkannya menyambut senjata-senjata gelap itu.

Trang! Trang! Trang!

Dalam beberapa kali putaran pedang Kenanga berhasil memapak senjata-senjata rahasia yang mengancamnya. Seketika suara berdentangan terdengar memecah keheningan malam, diikuti terpentalnya senjata-senjata rahasia itu. Beberapa di antaranya membalik dan menancap tiang di depan rumah.

Hal serupa juga dilakukan Panji. Namun, tentu saja hanya menggunakan tangan kosong. Sekali mengibaskan tangan kanannya, benda-benda berkilat itu mencelat balik keluar pintu dengan kecepatan berlipat ganda.

Sing! Sing!

“Aaa...!”

Terdengar pekik kematian memecah keheningan malam. Rupanya penyerang-penyerang gelap itu termakan senjata yang berbalik menyerangnya.

“Kenanga, tinggalkan tempat ini...!” seru Panji ketika menyadari bahwa tempat mereka berada sangat mudah untuk dijadikan sasaran gelap ataupun jebakan-jebakan lainnya. Dengan cepat tubuhnya melesat menerobos kepingan pintu dan terus berlari ke luar.

Kenanga tentu saja maklum mengapa Panji mengajaknya keluar dari tempat itu. Maka, tanpa banyak membantah lagi, tubuhnya langsung melesat mengikuti kekasihnya. Pedang tetap tergenggam di tangan untuk menghalau serangan gelap yang mungkin akan menyerbu tubuhnya. Namun, bukan main kagetnya hati dara jelita itu ketika melihat sekelilingnya telah terkepung puluhan orang. Bahkan mungkin mencapai seratus orang lebih. Dan kelihatannya para pengepung itu merupakan orang-orang terlatih.

Pendekar Naga Putih dan Kenanga terkurung dalam lingkaran yang cukup luas. Puluhan pasang mata itu menatap penuh kebencian terhadap mereka berdua. Sekilas saja Kenanga langsung dapat menebak siapa adanya orang-orang itu.

“Mereka merupakan kaum pemberontak di bawah pimpinan Darmanggala yang hendak merebut Kadipaten Tumapel dari tangan penguasa yang sah!” bisik Kenanga di telinga kekasihnya. Sedangkan Pedang Sinar Bulan tetap melintang di depan dada. Siap menghadapi serbuan para pengepung.

Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Namun kepalanya mengangguk sebagai isyarat bahwa bisikan dara jelita itu didengarnya. Karena saat itu sepasang matanya tengah menyapu sosok-sosok pengepung. Hatinya tersentak ketika dilihatnya orang-orang berpakaian merah di antara mereka. Jumlahnya pun cukup banyak. Hampir sepertiga dari para pengepung itu.

“Hm..., coba kau perhatikan baik-baik, Kenanga! Bukankah di antara mereka banyak orang-orang berpakaian serba merah? Apa mereka anggota Perguruan Beruang Merah, atau sengaja hendak memfitnah perguruan itu...?” ujar Panji, memberitahukan Kenanga yang juga tengah menatap orang-orang berseragam serba merah itu.

“Hhh...! Mereka pasti hendak memfitnah orang-orang Perguruan Beruang Merah. Karena pamanku kenal baik dengan tokoh-tokohnya. Bahkan tak sedikit jago-jago dari perguruan itu yang mengabdikan dirinya di kadipaten...!” ujar Kenanga, terdengar menahan kegeraman hatinya. Karena dianggapnya para pemberontak itu sengaja hendak mengadu domba pihak kadipaten dengan Perguruan Beruang Merah.

“He he he...! Dengarlah, Pendekar Naga Putih! Malam ini kau dan kekasihmu akan menemui kematian di sini...! Aku tahu, sebenarnya di antara kita tak pernah ada permusuhan, tapi karena kau berpihak pada Kadipaten Tumapel, maka kami dengan sangat terpaksa harus melenyapkan kalian berdua! Tapi, tentu saja kami tak menutup kemungkinan untuk berdamai...!” Seorang lelaki tua berusia sekitar lima puluh tahun tampil ke depan. Dan mencoba berbicara dengan Panji yang telah mereka kenal sebagai Pendekar Naga Putih.

“Hm...! Apa maksudmu dengan jalan damai itu, Ki? Coba kau jelaskan secara lebih rinci...?” ujar Panji menimpali ucapan lelaki tua itu. Sambil berkata demikian, matanya menatap tajam wajah lawan bicaranya. Dia mencoba untuk mengenali siapa sebenarnya tokoh tua itu.

“He he he...! Sebuah pertanyaan yang bagus, Pendekar Naga Putih,” ujar orang tua itu seraya tertawa perlahan. "Tinggalkan Kadipaten Tumapel dan jangan campuri urusan kami!”

“Hm..., bagaimana jika aku tak mau...?” tanya Panji dengan sikap yang tetap tenang. Kendati tak mampu mengenali lawan bicaranya, dia tahu kalau lelaki tua itu bukan orang sembarangan.

“Jika itu sudah menjadi keputusanmu, kematianlah yang akan kau dapatkan!” tandas lelaki tua itu dengan sorot mata mengancam. Bahkan jari-jari tangannya mulai meraba gagang pedang yang tersampir di pinggang.

Pendekar Naga Putih tidak menyahuti lagi. Dia tetap diam, walaupun lelaki tua itu telah mengisyaratkan pengikut-pengikutnya untuk maju. Pemuda berjubah putih itu menyapu gerak langkah pengepungnya dengan pandang mata. Kenanga pun tetap berdiri tegak kendati pihak lawan sudah semakin dekat.

“Serbuuu...!”

“Heaaa...!”

“Yeaaat...!”

Seiring dengan seruan keras lelaki tua itu, para pengepung terdepan langsung merangsek maju. Mereka berteriak-teriak dengan senjata teracung. Siap merencah tubuh kedua pendekar muda itu.

Ketika jarak di antara mereka tinggal satu setengah tombak, dengan cepat Pendekar Naga Putih mempersiapkan tenaga saktinya. Kemudian, dengan kedua tangan telanjang dihalaunya setiap senjata yang meluncur menyerang.

“Heaaa...!”

Wusss!

“Aaakh...!”

Seketika hawa dingin yang menggigilkan tulang berhembus kencang dari tangan Pendekar Naga Putih. Dalam sekali kibas saja delapan orang penyerangnya terpental karena tak mampu menahan hawa dingin yang menjalar di tubuh mereka.

Kenanga pun tak tinggal diam. Pedang Sinar Bulan di tangannya bergerak cepat menyambut senjata-senjata lawan yang meluncur ke tubuhnya. Sekali dikibaskan, senjata-senjata lawan langsung terpapas putus. Sedangkan para pemiliknya terlempar ke kiri dan kanan, tak sanggup menghadapi kekuatan sambaran pedang dara jelita itu.

Para pengeroyok tersentak kaget melihat kecepatan serangan dara jelita itu. Hanya dalam dua atau tiga gebrakan saja belasan pengepung telah terjungkal dan pingsan. Mereka sama sekali tak menduga kemampuan kedua pendekar muda itu. Namun tetap saja para pengepung tak merasa gentar. Dengan teriakan-teriakan keras mereka terus merangsek lawan. Sehingga, sebentar saja Panji dan Kenanga telah menghadapi serbuan puluhan orang.

“Heaaa...!”

“Hiaaa...!”

“Kenanga, jangan sembarangan membunuh orang...!” teriak Panji memperingatkan kekasihnya, ketika gadis itu tampak demikian marah dan mengamuk bagaikan singa betina luka. Hati kecilnya tak setuju kalau Kenanga harus melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang hanya mengikuti perintah pimpinannya itu.

“Baik, Kakang...!” Kenanga tak ingin membantah, meskipun sebenarnya dia sangat ingin menghabisi lawan-lawannya. Karena mereka inilah yang menurutnya telah membuat susah paman dan bibinya. Pikiran itu yang membuat Kenanga demikian ganas dalam meng- hadapi lawan-lawannya.

Setelah mendengar peringatan kekasihnya, gerakan pedang Kenanga tidak seganas semula. Kalau tadi dia membabat habis setiap lawan yang maju mendekat, kini hanya melukainya. Namun, itu pun membuat lawan-lawannya tak berani lagi maju terlalu dekat. Bahkan setiap kali gagal dalam melancarkan serangan langsung melompat mundur.

Mereka takut menghadapi serangan balasan pedang Kenanga yang kecepatan sambarannya hampir-hampir tak tertangkap penglihatan mereka. Meskipun demikian kepungan mereka tetap tidak kendor. Sehingga Kenanga tetap terkurung puluhan orang lawan.

Dalam menghadapi keroyokan puluhan orang, Pendekar Naga Putih berusaha untuk tidak menewaskan lawan-lawannya. Sementara itu tak satu pun senjata lawan yang dapat menyentuh tubuhnya. Setiap kali senjata lawan berkelebat memburunya, selalu saja terpental balik. Tentu saja hal itu tidak aneh, karena tenaga dalam yang dimiliki Panji telah mencapai tingkat yang sulit diukur.

Itu sebabnya mengapa pedang lawan selalu terpental balik sebelum menyentuh tubuh yang terlindung lapisan kabut tipis berwarna keperakan itu. Bahkan dorongan kedua tangannya mampu membuat tubuh lawannya terhumbalang bagaikan dilanda angin topan salju. Itu sebabnya mengapa kepungan mereka terpecah. Di samping itu, mereka tampak mulai mera- sa gentar setelah melihat kehebatan pemuda tampan berjubah putih itu.

“Hmh...!” Melihat keadaan pengikutnya, lelaki tua pimpinan pemberontak itu menggeram gusar. Sejauh ini dia memang belum turun ke arena, masih menyaksikan pertarungan dari luar. Kini perasaan marah menggelegak di hatinya, menyaksikan keadaan yang tak menguntungkan pihaknya.

“Kalian berdua hadapi perempuan liar itu...,” perintah lelaki tua itu kepada dua orang lelaki botak yang semenjak tadi berdiri di kiri dan kanannya. “Aku sendiri akan menghadapi Pendekar Naga Putih”

Setelah kedua orang tangan kanannya itu melesat memburu Kenanga, lelaki tua itu menjejak tanah. Seketika tubuhnya melesat cepat memburu Pendekar Naga Putih yang tengah sibuk menghadapi lawan-lawannya. Secepat kilat lelaki tua itu melancarkan serangan. Kedahsyatan serangannya dapat dilihat dari angin keras yang ditimbulkan.

“Haaat...!”

Meskipun tengah sibuk menghadapi keroyokan dan desingan-desingan senjata, Pendekar Naga Putih sempat menangkap adanya suara sambaran angin yang jauh lebih kuat berada di belakangnya. Dia segera tahu kalau penyerangnya kali ini jelas memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Dengan cepat wajahnya menoleh sambil menggeser tubuhnya setelah melepaskan do- rongan telapak tangan kanan yang mampu menghem- paskan tubuh para pengeroyoknya.

“Heaaa!”

Bweeet! Bweeet!

Dua buah pukulan yang mengandung tenaga dalam kuat datang mengancam kepala dan badan Pendekar Naga Putih. Dengan cepat pemuda berjubah putih itu menggeser kaki kanannya ke belakang sambil memutar tubuh. Bersamaan dengan itu kedua tangannya dikibaskan cepat ke atas dan ke bawah.

“Hiaaa!”

Plakkk! Plakkk!

“Hah...?!” Lelaki tua pemimpin gerombolan itu tersentak ka- get. Kedua matanya terbelalak lebar, menatap kedua belah tangannya yang terasa bagaikan lumpuh setelah berbenturan dengan tangan lawan. Hawa dingin yang berasal dari tenaga mukjizat Pendekar Naga Putih menjalar hingga sebatas sikunya.

“Hih...!”

Wuttt!

Seakan-akan tak ingin memberi kesempatan pada lawan, Pendekar Naga Putih langsung menghentakkan kedua telapak tangan lurus ke dada lelaki tua itu.

“Celaka...!” pekik pemimpin gerombolan itu dalam hati. Seketika wajahnya berubah pucat ketika melihat datangnya serangan lawan. Hal itu karena disadari kalau kedudukannya sangat tidak memungkinkan untuk mengelak. Sedangkan kedua telapak tangan lawan sudah semakin dekat dengan sasaran. Sehingga....

“Hiaaa!”

Deggg!

“Hukkkh!”

Tak ampun lagi! Pemimpin gerombolan itu terpekik keras, ketika telapak tangan Panji mendarat telak di dadanya. Meskipun sebelumnya telah dikerahkan tenaga dalam untuk menahan serangan itu, tak urung tubuhnya terpental deras ke belakang. Dari mulutnya tersembur darah kental, sebelum tubuhnya terbanting keras ditanah.

Pukulan Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang dilan- carkan Pendekar Naga Putih ternyata lebih hebat dari kekuatan tenaga dalam lawan. Tampaknya pemuda berjubah putih itu tepat dalam perhitungannya. Dengan pengerahan setengah dari kemampuan tenaga dalamnya, lawan sudah tak mampu mengatasinya.

“Serbuuu...!”

“Hiaaa...!”

Meskipun lawannya terluka dalam, Pendekar Naga Putih tidak mempunyai kesempatan untuk melumpuhkannya. Karena tiba-tiba pengeroyoknya telah menerjang maju. Maksud mereka jelas, hendak mencegah apa yang hendak dilakukan pemuda tampan berjubah putih itu. Dan mereka memang berhasil. Karena pendekar muda itu memutar tubuh untuk menghalau serangan para pengikut lelaki tua itu.

Melihat tindakan para pengeroyok itu, Pendekar Naga Putih dilanda kejengkelan. Terbukti pemuda itu tak lagi mempedulikan tajamnya ujung senjata lawan, kemudian dengan tamparan serta tendangannya, menggebrak lawan yang datang mendekat. Seketika, belasan lawan terjungkal tanpa ampun. Tubuh-tubuh berpakaian hitam dan merah itu terkapar pingsan akibat amukannya. Kenyataan itu membuat lawan-lawannya berlompatan mundur. Tampaknya mereka merasa takut untuk mendekati pemuda itu.

Ketika lawan-lawannya tampak bingung, digunakan Pendekar Naga Putih untuk melesat mendekati Kenanga. Tubuhnya melenting ke udara dengan tiga kali putaran. Kemudian melayang turun ke tempat Kenanga yang tengah sibuk menghadapi puluhan orang pengeroyoknya. Di antara mereka tampak dua orang lelaki botak yang memiliki kepandaian cukup tinggi.

Meskipun tidak terdesak, kelihatan jelas betapa dara jelita itu kewalahan dalam menghadapi serbuan lawan-lawannya. Hal itu karena tenaga sabetan pedangnya harus dikurangi agar tak menewaskan lawan. Kalau tidak, belum tentu Kenanga akan serepot itu.

Sementara itu Pendekar Naga Putih yang melenting di udara langsung melancarkan serangan sebelum kedua kakinya menginjak tanah. Sehingga, dua orang lelaki botak yang tengah berusaha mendesak Kenanga terkejut dengan adanya sambaran angin dingin yang berkesiutan. Lebih kaget lagi ketika menoleh dan melihat sesosok bayangan putih yang melancarkan serangan terhadap mereka berdua.

“Heaaa!”

Wuttt! Wuttt!

“Aaah!”

Sadar bahwa serangan angin berhawa dingin menggigit itu sangat kuat, kedua lelaki botak itu tak berani bertindak ceroboh untuk memapakinya. Mereka dengan cepat berlompatan mundur menghindari serangan lawan. Tentu saja keadaan kedua orang itu membuat Kenanga sedikit lega. Karena tekanan terhadap dirinya seketika berkurang.

Pendekar Naga Putih yang melihat kedua orang lelaki botak itu berlompatan menghindar, segera menahan gerakannya, kemudian mencekal pergelangan Kenanga. Sebelum Kenanga sadar, pemuda berjubah putih itu segera membawa Kenanga pergi meninggalkan tempat itu.

“Kita harus meninggalkan tempat ini...!” ujar Panji ketika sempat menangkap gambaran keheranan di wajah kekasihnya. Sambil berkata demikian, tubuhnya melesat cepat di atas kepala lawan-lawannya yang terkesima. Mereka hanya merasakan sambaran angin dingin dan sosok bayangan putih yang samar-samar melintas di atas kepala mereka.

“Mengapa harus pergi, Kakang? Aku yakin kita mampu melumpuhkan mereka...?” tanya Kenanga karena merasa penasaran.

“Kita tak perlu melayani mereka. Yang harus kita cari adalah pimpinannya. Mereka hanya menuruti perintah, Kenanga. Kalau pimpinannya sudah dilumpuhkan, tentu para pengikutnya tak bisa berbuat apa-apa lagi...!” jawab Panji tanpa menghentikan larinya. Dan karena ilmu lari cepatnya sulit dicari tandingan, sebentar saja tempat itu telah tertinggal jauh. Sehingga, gerombolan itu tidak dapat menyusulnya. Apalagi mereka tak tahu ke arah mana pasangan pendekar muda itu berlari. Keduanya begitu cepat menghilang ditelan kegelapan malam.

“Keparat! Pendekar Naga Putih ternyata jauh lebih lihai dari perkiraanku! Kita harus melaporkan hal ini kepada Ki Darmanggala...!” geram lelaki tua pimpinan pemberontak itu dengan penuh rasa penasaran. Sedangkan dua lelaki botak yang mengapitnya tak menanggapi dengan kata-kata. Keduanya terdiam. Namun tampak kepala mereka mengangguk-angguk.

Setelah menyadari tak mungkin dapat menyusul Pendekar Naga Putih dan Kenanga, lelaki tua itu segera memerintahkan para anak buahnya agar segera meninggalkan tempat itu. Semuanya berpencar ke segala arah dengan membawa tubuh kawan mereka yang belum sadarkan diri. Sebentar saja tempat itu kembali sepi. Hanya desau angin dan gemerisik dedaunan yang terdengar.

ENAM

Sambil tetap mencekal lengan kekasihnya Pendekar Naga Putih terus berlari menembus kegelapan malam. Ketika telah berada jauh dari perbatasan Desa Gending, baru tangan Kenanga dilepaskan. Kendati demikian, mereka tetap mengerahkan ilmu lari cepat.

“Kita harus segera kembali ke kadipaten...,” ujar Panji sambil terus berlari.

“Mengapa, Kakang? Bukankah mereka tak mungkin dapat mengejar kita?” tanya Kenanga agak heran mendengar ucapan kekasihnya. Karena untuk dapat mencapai kota kadipaten mereka memerlukan waktu yang cukup lama. Paling tidak saat pagi menjelang mereka baru bisa tiba di Kadipaten Tumapel. Dan menurut Kenanga hal itu tak perlu dilakukan.

“Kejadian tadi membuatku curiga. Apalagi aku merasa yakin kalau lelaki tua pimpinan gerombolan tadi pasti bukan Ki Darmanggala. Selain itu, pasukan tadi tak terlalu besar jumlahnya...,” tukas Panji menggantung ucapannya yang jelas memang belum selesai.

“Maksud Kakang...?” tanya Kenanga seraya mengerutkan kening dan menatap wajah kekasihnya. Kebetulan saat itu Panji pun tengah menoleh. Sehingga, mereka saling bertukar pandang untuk sesaat.

“Aku khawatir kalau-kalau Ki Darmanggala saat ini tengah menggempur kota kadipaten bersama pasukan yang lebih besar jumlahnya...,” jawab Panji mengutarakan kecurigaannya.

Karuan saja Kenanga terkejut, karena tidak berpikir sampai sejauh itu. Sehingga kekhawatirannya seketika mencuat dalam hati. Bahkan seketika wajahnya berubah merah padam, tak mampu menyembunyikan kecemasannya. “Kalau begitu, kita harus bergegas, Kakang”

Tanpa menunggu jawaban Pendekar Naga Putih, Kenanga langsung saja menambah kecepatan larinya. Tubuhnya melesat mendahului Panji. Rasa cemas akan nasib paman dan bibinya, membuat Kenanga ingin segera tiba di kota kadipaten.

Melihat Kenanga sudah melesat mendahului, Pendekar Naga Putih segera menyusulnya dengan tak kalah cepat. Bagaikan seekor burung raksasa, tubuh pemuda berjubah putih itu melayang di udara mengejar kekasihnya. Dengan dua kali lesatan saja dia sudah menjajari langkah Kenanga. Dan melihat betapa wajah dara jelita itu tampak membayangkan kegelisahan, dia tidak berkata apa-apa. Kedua pendekar muda itu terus melesat cepat, tak mempedulikan suasana malam yang dingin mencekam.

Menjelang pagi, mereka telah sampai di depan gerbang selatan kota kadipaten. Tanpa mempedulikan penjaga gerbang istana, keduanya berkelebat cepat melewati gardu penjagaan. Penjaga-penjaga itu sempat tertegun sesaat ketika merasakan sambaran angin dingin yang cukup keras, dan seperti melihat ada bayangan yang melewati gerbang istana. Namun, karena gerakan Kenanga dan Pendekar Naga Putih terlalu cepat, sebentar saja bayangan keduanya lenyap. Para penjaga itu hanya bisa menggeleng dan menganggap semua itu merupakan tipuan mata saja.

Ketika sampai di dalam lingkungan kadipaten, Pendekar Naga Putih dan Kenanga sama-sama tersentak kaget. Mereka menemukan bekas-bekas pertempuran sengit. Bau amis yang semerbak menusuk hidung serta lumuran darah di beberapa tempat, menunjukkan bahwa pertempuran itu belum lama berselang. Selain itu di sekitar tempat itu tampak beberapa bangunan yang sepertinya baru saja dirusak orang. Meskipun melihat beberapa orang prajurit yang tengah membereskan tempat yang tampak berserakan itu, Pendekar Naga Putih dan Kenanga tak peduli. Keduanya langsung menemui Senapati JataLogaya.

“Paman...!” Kenanga langsung berseru ketika melihat seorang lelaki gagah berpakaian senapati tengah mengawasi para prajurit yang membereskan semua bekas-bekas pertempuran, termasuk mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman kadipaten.

Lelaki setengah baya yang terlihat masih gagah dan penuh wibawa itu langsung menoleh, ketika mendengar panggilan yang dikenalnya. Wajahnya terhias senyum begitu melihat Panji dan Kenanga berlari menghampirinya.

“Apa yang telah terjadi, Paman...?”tanya Kenanga sebelum Senapati Jata Logaya sempat membuka mulut.

Senapati Jata Logaya tidak segera menjawab. Setelah menghela napas panjang yang menggambarkan rasa penasaran di hatinya, lelaki separo baya itu melangkah meninggalkan tempat itu. Pendekar Naga Putih dan Kenanga bergegas mengikuti dari belakang.

“Saat menjelang tengah malam tadi, keparat Darmanggala bersama pasukannya datang menyerbu. Mereka mendobrak gerbang di sebelah utara, setelah melumpuhkan semua penjaga yang berada di tempat itu. Kemudian menyerbu masuk. Maksudnya sudah pasti hendak menguasai kadipaten. Untung saja para penjaga di dalam lingkungan kadipaten bertindak sigap dan memukul tanda bahaya. Sehingga, meskipun harus kehilangan banyak prajurit, mereka dapat kami usir meninggalkan tempat ini. Padahal sebenarnya mereka belum kelihatan terdesak. Sehingga, aku menduga kalau mereka tengah bersiasat. Tapi, biar bagaimanapun, hal ini membuat aku merasa lega dan bisa mempersiapkan pasukan, apabila mereka kembali datang menyerbu...,” jelas Senapati Jata Logaya sambil melangkah menuju bangunan tempat tinggalnya.

"Tapi..., seharusnya penjaga-penjaga di gerbang utara sudah memberi tanda sebelum Darmanggala beserta pasukannya dapat menjebol pintu? Apakah tak ada yang mendengar tanda dari mereka?” tanya Panji karena merasa ada kejanggalan dalam cerita yang dipaparkan Senapati Jata Logaya.

Mendengar pertanyaan itu, Senapati Jata Logaya kelihatan berpikir keras. Seakan-akan dirinya baru menyadari hal itu. Dan memang terasa agak aneh kalau sampai tanda dari gerbang utara tak terdengar. Padahal, seharusnya mereka sudah memberi tanda sebelum pihak musuh memasuki kota.

“Suranggala...!” Senapati Jata Logaya mengulapkan tangan seraya memanggil seorang perwira bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk. Perwira itulah yang ditugaskan menjadi komandan jaga semalam. Dan dia ingin bertanya sehubungan dengan pertanyaan Panji.

“Hamba, Kanjeng Senapati...,” ujar Suranggala seraya menghaturkan sembah kepada atasannya. Lelaki gagah itu berdiri tegak menunggu perintah dari atasannya.

“Suranggala, saat pasukan pemberontak belum menjebol gerbang utara, apakah kau tidak mendengar bunyi tanda bahaya dari penjaga di tempat itu?” tanya Senapati Jata Logaya seraya menatap tajam wajah perwira gagah di depannya.

“Hamba tidak mendengarnya, Kanjeng Senapati. Mungkin penjaga gerbang utara tak sempat membunyikannya. Kalau mereka sempat, sudah pasti para pemberontak itu tak akan bisa menjebol gerbang,” jelas perwira gagah itu tanpa pikir panjang lagi. Dan kelihatannya Suranggala begitu yakin dengan jawabannya.

“Kau yakin...?” tanya Senapati Jata Logaya menegasi

"Yakin sekali, Kanjeng Senapati!” sahut Suranggala tanpa keraguan sedikit pun. Bahkan dia berani menentang tatapan mata Senapati Jata Logaya. Sehingga senapati itu tidak meragukannya.

Setelah mendengar jawaban Suranggala, Senapati Jata Logaya kembali memerintah perwira itu untuk melanjutkan pekerjaannya. Kemudian melemparkan pandang pada Pendekar Naga Putih. Kelihatannya senapati Kadipaten Tumapel itu ingin melihat tanggapan Panji setelah mendengar jawaban yang tak diragukan lagi kebenarannya itu.

Tanpa banyak membuang waktu, Pendekar Naga Putih langsung saja menceritakan apa yang telah dialami ketika dirinya dan Kenanga menginap di Desa Gending. Juga mengutarakan kecurigaannya terhadap Perguruan Beruang Merah, yang muncul di antara pengeroyoknya.

“Hm...,” Senapati Jata Logaya bergumam dan berpikir keras setelah mendengar penjelasan Panji. Tampaknya senapati Kadipaten Tumapel itu tak bisa menerima kecurigaan Pendekar Naga Putih terha-dap perguruan yang sudah dikenalnya itu. Namun, hatinya pun berjanji akan mempertimbangkannya.

“Kalau perlu aku sendiri yang akan menemui Ki Kala Herang dan menceritakan hal ini,” ujar Senapati Jata Logaya yang tak ingin mengecilkan laporan Panji. Karena diketahuinya kalau pemuda itu tak mungkin berdusta.

“Menurutku, sebaiknya Paman jangan melakukan hal itu dulu. Awasi saja murid-murid Perguruan Beruang Merah yang mengabdi di kadipaten ini. Penyerbuan semalam membuatku curiga kalau di dalam lingkungan kadipaten ada pihak musuh. Untuk itu kita harus lebih berhati-hati. Mengenai Perguruan Beruang Merah, biarlah aku dan Kenanga yang mencari tahu,” ujar Panji mengutarakan pendapatnya.

Dan Senapati Jata Logaya menerima usul itu dengan senang hati. Karena batuan Pendekar Naga Putih tentu akan sangat banyak sekali gunanya. Setelah menyetujui usul itu, Senapati Jata Logaya berpamitan kepada pasangan pendekar muda itu. Demikian pula dengan Panji dan Kenanga yang meninggalkan tempat itu menuju gedung yang menjadi tempat tinggal Kenanga selama beradadi Kadipaten Tumapel.

********************

Malam bulan purnama. Sebelum menjelang tengah malam, Pendekar Naga Putih sudah bergerak meninggalkan kota kadipaten. Dia sengaja tidak mengambil jalan melewati gerbang, melainkan melompati pagar tembok setinggi satu setengah tombak. Kemudian melesat dengan menggunakan ilmu lari cepat menuju sebelah utara kota. Tidak berapa lama kemudian, pendekar muda itutelah tiba di mulut Hutan Rawandaka. Tanpa ragu-ragu lagi dia langsung memasuki hutan itu. kebetulan bulan bersinar terang.

Maksud Pendekar Naga Putihmendatangi tempat persembahan yang bernama Altar Setan. Dia tahu pada malam purnama seperti itu persembahan korban berlangsung. Hatinya telah bertekad akan menggagalkan persembahan malam purnama ini.Karena sudah pernah mendatangi tempat itu, tak ada kesulitan lagi bagi Pendekar Naga Putih menemukan Altar Setan. Dengan menyembunyikan diri dibalik semak belukar, matanya mengawasi Altar Setan dalam jarak sekitar lima belas tombak.

Malam semakin larut. Pendekar Naga Putih tetap bersabar menunggu waktu tengah malam. Pendengarannya yang tajam tiba-tiba menangkap ada gerakan di sekeliling tempat itu. Semula Panji mengira kalau suara langkah itu pastilah berasal dari para pengikut aliran sesat yang hendak melakukan upacara persembahan. Namun, kecurigaannya bangkit ketika menyadari bahwa suara langkah itu seperti mengepung tempatnya berada.

“Hm..., mungkinkah mereka sudah mengetahui kehadiranku...?” gumam Panji dalam hati. Mendadak sekujur tubuhnya mengejang. Dan sepasang matanya menyapu sekeliling tempat itu. Mendadak....

Siiing! Siiing!

Suara berdesingan nyaring terdengar. Pendekar Naga Putih terkejut, karena suara berdesingan itu datang dari segala penjuru, seakan-akan hendak menutup semua jalan.

“Kurang ajar!” geram Panji.

Sadar kalau dirinya berada dalam incaran maut, dengan cepat Pendekar Naga Putih mengerahkan tenaga mukjizatnya untuk melindungi seluruh tubuh. Seketika itu juga kabut bersinar putih keperakan menyelimuti sekujur tubuhnya. Sambil mengibaskan kedua tangannya dengan gerak berputar, pemuda berjubah putih itu melesat ke udara. Setelah bersalto beberapa kali putaran, tubuhnya mendarat ringan di atas tanah. Tampak tempat persembunyiannya tadi telah porak poranda terhantam puluhan batang anak panah.

Siiing! Siiing!

Baru saja Panji menjejakkan kedua kakinya di tanah, telinganya kembali menangkap suara desingan yang jauh lebih tajam. Kilatan sinar kemerahan tampak meluncur ke tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Pendekar Naga Putih tampaknya tahu kalau dirinya diserang secara curang dengan menggunakan pisau-pisau terbang beracun. Karena hal seperti itu pernah dialami sebelumnya. Semua itu semakin membuat hatinya geram.

“Heaaat...!”

Teriakan keras menggelegar yang diliputi kegeraman seketika terdengar dari mulut Pendekar Naga Putih. Dengan cepat diputarnya kedua belah tangan dengan pengerahan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’.

Wusss!

Sambaran angin dingin laksana topan salju, membuat pisau-pisau terbang yang meluncur memburu tubuh Pendekar Naga Putih langsung terpental balik. Dengan mengatur tenaganya, pemuda berjubah putih itu mampu membalikkan serangan gelap itu kepada pemiliknya. Dan....

“Aaa...!”

“Aaakh...!”

Sesaat kemudian, terdengar jerit kematian susul-menyusul dari sekeliling tempat itu. Kalau didengar dari suara pekikannya, Pendekar Naga Putih berhasil merobohkan lebih dari sepuluh orang. Lesatan pisau-pisau beracun itu ternyata beberapa kali lipat dari kecepatan semula. Sehingga sulit untuk dapat dihindari.

“Itulah hukuman bagi manusia-manusia curang dan pengecut!” seru Pendekar Naga Putih dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Sehingga, gema suaranya bergaung memenuhi tempat itu. “Keluarlah ! Ayo,hadapi aku secara ksatria...!”

Panji tidak perlu menunggu lama untuk melihat para penyerang gelap itu. Namun dia terkejut bukan main, ketika dilihatnya hutan yang semula gelap itu mendadak terang-benderang tak ubahnya di waktu siang. Obor-obor bermunculan di sekeliling tempat itu. Dan diperkirakan kurang lebih seratus obor. Belum lagi mereka yang muncul tanpa memegang obor. Sedikitnya orang yang mengepung tempat itu berjumlah tiga ratus orang. Tentu saja Panji terperanjat menyaksikan kejadian yang sungguh di luar dugaannya itu.

“Gila...! Kalau begitu mereka sudah menunggu kedatanganku! Keparat...!” geram Panji yang meskipun tak merasa gentar, hatinya sempat bergetar. Karena jumlah lawan demikian banyak. Jelas tidak mungkin dirinya sanggup menghadapi lawan sebanyak itu. Belum lagi kemungkinan adanya orang-orang berkepandaian tinggi di antara mereka. Satu-satunya jalan, dia harus berusaha untuk lolos dan pergi meninggalkan Hutan Rawandaka. Untuk itu dirinya harus membuka jalan darah.

Setelah pasukan yang jumlahnya ratusan orang itu bergerak semakin dekat, Pendekar Naga Putih segera mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Hatinya yang sempat kaget sudah mulai tenang. Karena dia teringat akan rencana yang telah diatur bersama Senapati Jata Logaya, Kenanga, dan juga Perwira Suranggala. Ingatan itu membuatnya merubah maksud semula. Kalau tadi Panji sudah mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar, kini justru hendak berusaha untuk mengulur waktu, dengan melakukan perlawanan terhadap gerombolan itu.

“Ha ha ha...! Kali ini kau tak mungkin dapat lolos dari kematian, Pendekar Naga Putih! Meskipun kesaktianmu sangat tinggi, sebagai manusia tenagamu pasti terbatas. Dan itulah saatnya kematianmu...!”

Seorang lelaki tua berusia sekitar lima puluh tahun tampil ke depan menghadapi Panji. Kelihatannya dia begitu yakin kalau malam ini akan berhasil melenyapkan Pendekar Naga Putih yang dianggapnya merupakan penghalang besar bagi cita-citanya. Itulah sebabnya mengapa dia tidak berputus asa dan berusaha keras untuk melenyapkan Pendekar Naga Putih.

Pendekar Naga Putih menatap tajam lelaki tua yang pernah dirobohkannya di Desa Gending itu. Kali ini lelaki tua itu bukan hanya ditemani dua orang berkepala botak Masih ada seorang lelaki tinggi besar berpakaian merah, yang tak lain Beruang Cakar Baja, serta seorang lelaki kurus yang membuat wajah Panji merah menyimpan kemarahan. Karena lelaki kurus itu adalah orang yang pernah menawarkan rumahnya untuk dipakai bermalam oleh Panji dan Kenanga. Baru disadari sekarang, bahwa peristiwa di Desa Gending telah diatur sebelumnya.

“He he he...! Kau masih ingat padaku, Pendekar Naga Putih?!” tegur lelaki kurus itu menyiratkan ejekan yang membuat Pendekar Naga Putih semakin geram.

“Hm.... Rupanya waktu itu kau memang sengaja hendak mencelakakan kami berdua. Keparat! Dasar manusia licik yang tak kenal budi!” desis Panji penuh kemarahan. Sama sekali tak disangka kalau lelaki yang saat pertama kali bertemu mendatangkan perasaan kasihan itu ternyata menjebaknya. Tentu saja kalau ingat peristiwa itu dia menjadi geram.

“He he he...! Makilah sepuasmu sebelum kematian datang menjemputmu, Pendekar Naga Putih...!” ejek lelaki kurus itu yang ternyata termasuk salah seorang pentolan pemberontak. Bahkan lelaki kurus itu pasti berkepandaian tinggi. Hal itu bisa dilihat dari orang-orang di kiri dan kanannya, yang merupakan pentolan-pentolan pemberontak. Mereka berlima memang merupakan kaki tangan utama Darmanggala, pimpinan pemberontak.

Pendekar Naga Putih menggertakkan gigi menahan kemarahannya. Ditekannya segala kejengkelan dan kegeraman dalam hati. Karena disadari perasaan itu hanya akan membuatnya lengah. Tentu saja hal itu akan sangat berbahaya mengingat banyaknya jumlah lawan. Dia berusaha untuk tidak mempedulikan lelaki kurus itu. Dan siap untuk menghadapi serbuan lawan.

“Hmh...!” Beruang Cakar Baja melompat maju, setelah mendapat isyarat dari lelaki tua yang menjadi pimpinannya. Demikian pula dengan lelaki kurus yang berjuluk Ular Hitam, serta dua orang berkepala botak yang menjadi pembantunya.

Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya ketika melihat empat orang lawan sudah berlompatan mengepungnya. Sepasang matanya bergerak mengikuti langkah kaki keempat pengepungnya. Sekali pandang saja dia langsung dapat menilai kalau lelaki tinggi besar dan lelaki kurus itulah yang lebih berbahaya. Sedang dua orang berkepala botak itu tak begitu diperhatikan. Karena pendekar muda itu sudah tahu sampai di mana kehebatan kedua orang lelaki botak.

“Heaaah...!”

Teriakan keras menggelegar terdengar ketika Beruang Cakar Baja melompat seraya mengayunkan kedua cakarnya yang siap mencabik tubuh lawan. Tokoh tinggi besar itu sudah mengerahkan seluruh kekuatannya. Karena disadari bahwa lawannya kali ini seorang pendekar besar yang berkepandaian sangat tinggi. Dan Beruang Cakar Baja tak ingin bertindak gegabah.

“Heaaa...!”

Ular Hitam menyusul gerak kawannya. Tubuhnya yang kurus melesat ringan ke depan. Kedua tangannya membentuk paruh ular. Gerakannya demikian gesit. Terutama kedua telapak tangannya yang meliuk lincah dan memagut-magut disertai sambaran angin berkesiutan. Jelas serangan lelaki kurus itu tak kalah hebat dengan serangan Beruang Cakar Baja.

“Hiaaa...!”

Ketika serangan kedua lawannya mendekat, Pendekar Naga Putih melompat ke samping sambil mengibaskan tangan kanan untuk memapaki sambaran cakar Beruang Cakar Baja. Kemudian segera melontarkan serangan balasan dengan tak kalah hebatnya.

“Yeaaah...!”

Wret! Wuuut...!

Dengan cakar naganya, Pendekar Naga Putih sengaja mencecar Ular Hitam. Karena hatinya sangat geram terhadap lelaki kurus yang pernah menjebaknya itu. Tentu saja Ular Hitam kelabakan, lalu berusaha menghindari serangan lawan sambil sesekali mengirimkan serangan balasan.

“Heaaa...!”

Wret!

“Heaaah...!”

Dua orang lelaki botak yang semula masih menunggu kesempatan, langsung menerjang maju ketika melihat Ular Hitam terdesak dan beberapa kali hampir tersambar cakar lawan. Pendekar Naga Putih terpaksa menunda serangan dan menarik mundur tubuhnya. Kemudian mengirimkan bacokan sisi telapak tangannya ke salah seorang lelaki botak itu.

“Heaaa...!”

Kreeekh...!

“Akh!”

Terdengar bunyi seperti tulang patah ketika tebasan tangan Pendekar Naga Putih menghajar tengkuk lawannya. Karuan saja lelaki berkepala botak itu tersungkur, dan tewas seketika.

TUJUH

“Kurang ajar...!” geram lelaki tua, pemimpin rombongan itu. Hatinya marah ketika melihat salah seorang tangan kanannya tewas di tangan Pendekar Naga Putih.

“Mundur...! Mundur kalian semua...!”

Serentak para tangan kanannya yang tengah melakukan serangan terhadap Pendekar Naga Putih segera berhamburan mundur, menjauhi lawan.

“Hujani dengan anak panah...!” perintahnya dengan suara menggelegar. Sesaat kemudian....

Wuuung! Wuuung!

Seketika itu juga terdengarlah suara mengaung tajam laksana ribuan lebah marah. Dan ratusan anak panah meluncur begitu cepat memburu tubuh Pendekar Naga Putih.

“Haits...! Heaaa!”

Sadar bahwa ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ tak mungkin dapat menahan anak panah sebanyak itu, bergegas Pendekar Naga Putih mengerahkan tenaga gabungannya. Sehingga, tubuhnya terselimut sinar kuning keemasan dan sinar putih keperakan.

Hawa dingin dan panas menyebar sejauh dua tombak lebih dari tempat pendekar muda itu berdiri. Gembong-gembong pemberontak itu berlompatan mundur dengan wajah pucat. Mereka terkejut bukan main ketika melihat keadaan tubuh lawan yang dengan hawa gabungannya mampu menggetarkan kekuatan tenaga dalam lawan. Dengan kekuatan tenaga gabungan yang luar biasa itu, Pendekar Naga Putih tidak gentar untuk menerima serbuan hujan anak panah. Sedikit pun tubuhnya tak bergeser dari tempatnya.

Wuing! Wuing...!

Trak! Trak...!

Puluhan anak panah yang hampir mendarat pada sasaran tiba-tiba berpentalan jatuh ke tanah. Belasan anak panah patah. Ada pula yang melesat berbalik. Benda-benda tajam itu seakan tertahan oleh dinding baja yang tak tampak. Bahkan hampir separo di antaranya runtuh dalam keadaan hangus bagaikan terbakar. Gelombang cahaya yang membungkus tubuh Pendekar Naga Putih, seakan tak mampu ditembus senjata apa pun.

“Gila!? Sepantasnya pemuda itu adalah jelmaan iblis neraka!” desis lelaki tua pimpinan pasukan itu. Dia benar-benar hampir tak percaya dengan apa yang terjadi di depan mata. Bahkan sempat tertegun untuk sesaat lamanya.

“Serbuuu...!” Begitu sadar, lelaki tua itu kembali memberikan perintah agar menyerbu Pendekar Naga Putih. Tapi....

“Hiii...!”

Sebelum ratusan pasukan itu menyerbu Pendekar Naga Putih, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang menggetarkan jantung. Disusul dengan munculnya sosok-sosok tubuh berjubah dan berselubung kepala hitam. Mereka langsung melayang turun di dekat pendekar muda itu dan melontarkan serangan hebat secara beramai-ramai.

“Hiii...!”

Whuuut! Whuuut!

“Hah...?!”

Sosok tinggi kurus yang tiba lebih dulu, langsung melepaskan serangkaian serangan maut. Terdengar deru angin yang keras dan tajam, pertanda bahwa penyerangnya memiliki tenaga dalam yang tinggi dan sulit diukur. Pendekar Naga Putih pun sempat terkejut dengan serangan dahsyat yang begitu cepat dan tiba-tiba itu. Pendekar Naga Putih mengangkat tangannya memapaki.

Sadar kalau kekuatan tenaga serangan itu sangat hebat, dia pun telah mengerahkan separo lebih dari tenaga gabungannya. Namun, rupanya serangan itu menebarkan hawa aneh yang membuat dirinya sempat tersihir. Hatinya segera menyadari kalau serangan itu juga menggunakan kekuatan gaib, yang bisa membuat lawan merasa tak sadar akan datangnya ancaman maut. Namun, hal itu tak berlaku bagi Panji.

Glarrr...!

Ledakan keras menggelegar terdengar ketika dua gelombang kekuatan saling beradu. Pendekar muda itu pun sempat tergetar. Tubuhnya terdorong beberapa langkah. Sedang wajahnya berubah seketika. Sama sekali tidak disangka kalau sosok berjubah hitam itu ternyata mampu mengimbangi kedahsyatan tenaga ga- bungannya. Padahal jarang tokoh yang akan mampu menghadapi gabungan tenaga mukjizatnya itu. Bahkan meski sempat terdorong mundur, sosok berjubah hitam itu masih mampu melancarkan serangan berikutnya. Mengetahui gerak cepat lawan, Pendekar Naga Putih segera melompat mundur menghindari serangan lawan.

Plak! Glarrr...!

Kedua pasang tangan yang berisikan hawa mukjizat itu saling bentur, menimbulkan ledakan yang memekakkan telinga. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah. Kemudian saling meneliti gerak langkah masing-masing. Seperti dua ekor ayam jago yang tengah mengukur kekuatan lawan.

“Hiii...!”

Kembali Panji dikejutkan lengkingan panjang yang memekakkan telinga. Cepat langkahnya digeser ketika melihat belasan orang yang mengenakan jubah hitam berlompatan ke tengah arena, dan langsung menyerangnya dengan pukulan-pukulan berhawa maut.

“Gila...! Baru seorang saja sudah sedemikian saktinya? Sekarang malah belasan orang yang datang menyerang! Mungkinkah malam ini akhir dari hidupku...?” desis Panji yang tentu saja sempat tergetar hatinya melihat datangnya belasan orang memakai jubah hitam sepanjang mata kaki.

Whuuut! Whuuut...!

Meski tidak sedahsyat tokoh yang pertama kali dihadapi, bagi Pendekar Naga Putih serangan belasan orang lawan itu tetap sangat berbahaya. Sehingga, untuk beberapa saat Panji dibuat sibuk oleh serangan yang datang laksana air bah itu. Tubuhnya melompat ke sana kemari untuk menghindar sambil sesekali melepaskan serangan balasan.

“Haaat...!”

Suara pekikan keras menggelegar terdengar memekakkan telinga ketika Pendekar Naga Putih tiba-tiba berteriak dengan ilmu ‘Pekikan Naga Marah’. Kemudian beberapa kali kedua lengannya yang telah terisi tenaga gabungan, dikibaskan dan didorongkan untuk menyerang lawan-lawannya.

Bukkk! Desss...!

Dua orang pengeroyok tak sempat menghindarkan pukulan maut yang dilancarkan Pendekar Naga Putih. Akibatnya tubuh mereka terlempar deras sampai beberapa tombak jauhnya. Darah segar seketika muncrat dari mulut mereka. Keduanya terbanting jatuh ke tanah dengan keras. Kemudian diam tak bergerak setelah kembali memuntahkan darah segar.

Sedangkan pengeroyok yang lainnya berloncatan mundur. Karena dalam kemarahannya, Pendekar Naga Putih mengerahkan hampir seluruh tenaga gabungannya. Dan tentu saja tak ada yang sanggup menahan gempuran dahsyat itu. Sehingga Pendekar Naga Putih dapat menarik napas lega kendati hanya untuk sesaat lamanya.

“Bedebah...!” geram sosok tinggi kurus yang pertama kali menggempur Pendekar Naga Putih. Wajahnya tampak murka sekali. Rupanya orang inilah pimpinan sosok-sosok berjubah hitam. Karena kepandaiannya memang paling tinggi di antara sosok-sosok berjubah hitam lainnya.

Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya dengan menyiapkan jurus andalannya. Sekarang dia baru dapat menduga siapa sebenarnya sosok-sosok berjubah hitam itu. Karena dari bentuk dan warna pakaiannya, mereka memang tak ubahnya kaum pemuja setan.

“Hm..., mereka inilah rupanya yang selalu mempersembahkan gadis-gadis di atas Altar Setan pada setiap purnama. Sudah kuduga kalau mereka mempunyai hubungan dengan gerombolan pemberontak yang dipimpin Darmanggala...,” gumam Panji sambil tetap menatap sosok-sosok berjubah hitam yang mengelilinginya. Dan kembali menggeser langkah ketika para pengepungnya mulai bergerak merapat.

Baru saja sosok-sosok berjubah hitam itu siap menerjang Pendekar Naga Putih, tiba-tiba terdengar suara terompet dari kejauhan. Ditingkahi suara derap kaki kuda yang bergemuruh. Tentu saja hal itu membuat lawan-lawan Panji mengurungkan serangan. Bahkan pimpinan pasukan pemberontak itu tampak berubah parasnya. Jelas sekali kalau lelaki tua bertubuh gagah itu sangat terkejut.

Lain halnya dengan Pendekar Naga Putih. Mendengar suara terompet di kejauhan, wajahnya berubah cerah. Dia memang telah berpesan kepada Senapati Jata Logaya agar mengirim pasukan ke Hutan Rawandaka untuk menyusulnya. Karena pendekar muda itu telah bertekad ingin menangkap penyebab korban Altar Setan. Sama sekali tidak disangka kalau akhirnya terjebak ke dalam perangkap gerombolan Darmanggala. Untung saja Pendekar Naga Putih telah menyuruh pasukan untuk menyusul. Kalau tidak, kemungkinan besar dirinya akan terbunuh. Setidaknya tertawan musuh.

Jumlah pasukan yang dikirim Senapati Jata Logaya jauh dari perkiraan Panji. Semula dia menyangka pasukan yang dikirim paling banyak sekitar seratus orang, ternyata pasukan yang dipimpin Perwira Suranggala berjumlah seribu orang. Rupanya Senapati Jata Logaya khawatir kalau Pendekar Naga Putih akan menghadapi halangan dari pihak pemberontak, seperti pada waktu menyelidik di Desa Gending. Itu sebabnya Senapati Jata Logaya mengirim pasukan tidak kurang dari seribu orang untuk menyusul ke Hutan Rawandaka.

“Celaka, Ki Lawaleng! Kali ini kita sendiri yang terjebak!” desis Beruang Cakar Baja yang wajahnya kelihatan pucat.

Tidak berapa lama kemudian, dari sekeliling tempat itu telah bermunculan prajurit-prajurit Kadipaten Tumapel. Rupanya mereka datang dengan jalan menyebar. Sehingga, pasukan pemberontak terkepung dari segala penjuru.

“Serbuuu...!” Suranggala sendiri tidak banyak cakap lagi. Melihat banyaknya pasukan pemberontak yang berada di hutan itu, dia langsung memerintahkan pasukannya agar menyerbu.

Ki Lawaleng, lelaki tua bertubuh gagah yang menjadi pimpinan gerombolan pun tak tinggal diam. Karena sudah tak ada jalan untuk lolos, dia pun memberikan perintah untuk menyambut serbuan pasukan pemerintah. Dan perang besar pun tak terhindari lagi.

Hutan Rawandaka yang biasanya sunyi dan menyeramkan, malam itu berubah ramai oleh dentang senjata dan jerit kematian. Pasukan Kadipaten Tumapel yang jumlahnya hampir empat kali lipat dari pasukan pemberontak, menggasak musuh-musuhnya tanpa ampun. Darah pun mengalir membasahi tanah berumput. Mayat-mayat bergelimpangan tumpang tindih dengan tubuh bersimbah darah segar. Hutan Rawandaka berubah menjadi lautan darah.

“Hei, mau lari ke mana kalian...?! Heaaa...!” Pendekar Naga Putih yang melihat sosok-sosok berjubah hitam itu berlompatan pergi meninggalkan arena, bergegas menghadang. Tubuhnya langsung berkelebat menyambar dua orang yang berlari paling belakang. Sekali mengibaskan tangan, tubuh kedua orang itu terjungkal mencium tanah. Meskipun mereka berusaha mengelak dan menangkis, tak urung sambaran tangan pendekar berjubah putih itu mendarat di tubuh mereka. Tanpa ampun lagi, nyawa kedua orang itu pun langsung melayang.

“Hiii...!”

Tiba-tiba pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu mengeluarkan suara melengking yang keras dan memekakkan telinga. Seketika itu pula tubuhnya lenyap menjadi gumpalan asap putih yang kemudian sirna ditiup angin malam.

“Hah...! Kurang ajar...!” Panji menggeram marah melihat hal itu. Dia tidak bisa mencegah, karena saat itu sisa gerombolan manusia sesat telah mengeroyoknya. Sehingga pemuda berjubah putih itu terpaksa melayani dengan mengamuk agar dapat merobohkan lawan.

Sementara itu, pasukan kadipaten pun sudah berhasil mendesak lawan mereka. Karena jumlah pasukan Suranggala jauh lebih banyak, dalam waktu yang singkat, gerombolan pemberontak sudah lebih dari separonya yang tewas. Dan dapat dipastikan kalau pihak Kadipaten Tumapel segera memperoleh kemenangan.

Di tempat lain, Perwira Suranggala tengah berjuang untuk merobohkan Ki Lawaleng dan pembantu-pembantunya. Bersama delapan orang perwira dan puluhan prajurit, Suranggala mendesak gembong-gembong pemberontak itu. Kendati telah kehilangan belasan orang prajurit dan dua orang perwira, perwira tinggi itu tidak mundur setapak pun. Dengan sikap ksatria, Suranggala memimpin kawan-kawannya untuk menghabisi pentolan-pentolan pemberontak itu.

Namun, Ki Lawaleng, Beruang Cakar Baja, Ular Hitam, dan laki-laki berkepala botak yang berperawakan kekar itu tak mau menyerah begitu saja. Mereka mengamuk dengan mengerahkan seluruh kemampuan untuk dapat melepaskan diri dari kepungan lawan. Tentu saja menghadapi lawan yang berkemampuan tinggi, pihak Kadipaten Tumapel tidak sedikit yang menemui kematian. Namun dengan gigih dan semangat membela kadipaten para pasukan yang dipimpin Suranggala terus berusaha menggempur pertahanan lawan.

Sementara itu Pendekar Naga Putih yang telah menyelesaikan pertarungan terhadap belasan gerombolan yang hendak kabur, segera menoleh ke pertarungan pihak Suranggala. Menyadari keadaan yang mengkhawatirkan dari amukan lawan yang hebat, pendekar muda itu langsung melesat untuk membantu. Dengan cepat langsung dilancarkannya serangan dahsyat ke tubuh Ki Lawaleng yang merupakan pimpinan gerombolan itu.

“Pendekar Naga Putih, harap orang tua itu ditangkap hidup-hidup! Kita masih memerlukannya untuk mengetahui persembunyian Darmanggala dan pasukannya yang lain...!” Suranggala langsung saja berseru, ketika melihat Pendekar Naga Putih telah memasuki arena pertempuran.

“Baik, Paman Suranggala...!” sahut Panji yang tentu saja maklum betapa pentingnya lelaki tua yang bernama Ki Lawaleng itu. Karena pihak Kadipaten Tumapel belum menemukan di mana markas pemberontak Darmanggala.

Ki Lawaleng sendiri merasa geram bukan main ketika mendengar ucapan perwira bertubuh tinggi dan gagah itu. Dan amukannya semakin bertambah hebat. Seolah dia lebih baik mati di medan pertempuran daripada tertawan musuh. Namun tampaknya Pendekar Naga Putih tak ingin membiarkan amukan Ki Lawaleng semakin merajalela.

“Heaaa...!”

“Hiaaa...!”

Wuttt!

Dengan serangan cepat dan beruntun, Pendekar Naga Putih terus melancarkan serangan guna mencegah jatuhnya korban yang terlalu banyak pada pihak Kadipaten Tumapel. Sehingga pada jurus kedua belas lelaki tua yang memimpin gerombolan berpakaian hitam itu tampak mulai terdesak. Bahkan akhirnya....

“Hih!”

Tuk! Tuk!

“Akh!” Ki Lawaleng terpekik pelan ketika totokan Pendekar Naga Putih mendarat di beberapa bagian tubuhnya. Lelaki tua kurus itu tampaknya tak sempat melihat gerakan cepat lawan. Tubuhnya yang tinggi dan berjubah hitam seketika terkulai lemas.

“Heaaat!”

Teriakan keras menggelegar terdengar ketika sesosok tubuh berpakaian merah melesat cepat memburu Pendekar Naga Putih. Sosok itu ternyata Beruang Cakar Baja, yang murka melihat kawannya roboh tertotok serangan lawan. Sesaat kemudian Ular Hitam pun menyusul dengan serangan dahsyat. Kedua pentolan gerombolan itu dengan cepat dan ganas menggempur Pendekar Naga Putih.

“Hih! Ini untukmu, Bajingan Busuk!” dengus Panji seraya melancarkan serangan, mendahului kecepatan kedua lawannya.

Wuttt! Wuttt!

“Hah!”

Gerakan yang sangat cepat dilakukan pendekar berjubah putih itu tak mampu dielakkan kedua lawannya. Beruang Cakar Baja dan Ular Hitam tersentak kaget. Mata keduanya terbelalak heran. Akhirnya mereka hanya mampu menggerakkan tangan untuk menangkis serangan secepat kilat Pendekar Naga Putih.

Plakkk!

“Aaakh...!” Ular Hitam terpekik kesakitan ketika tangannya membentur cengkeraman tangan kanan Pendekar Naga Putih. Hawa panas yang mengalir dari cakar naga Panji membuat kulit lengannya langsung melepuh bagaikan tersentuh api. Tubuhnya terjengkang dan terbanting ke tanah.

Brukkk!

Gerakan Pendekar Naga Putih tak berhenti sampai di situ. Tangan kirinya sudah berputar dan meluncur dengan kecepatan tinggi memburu tubuh Beruang Cakar Baja, yang merupakan tokoh kedua di Perguruan Beruang Merah.

Wuttt!

“Ahhh...?!” Lelaki tinggi besar itu terpekik kaget ketika melihat cengkeraman lawan mengejarnya. Dengan cepat tokoh bertubuh tinggi besar itu melemparkan tubuhnya ke belakang, lalu bergulingan menyelamatkan diri di tanah. Namun....

“Hiaaa!”

Deggg!

“Aaakh...!”

Baru saja Beruang Cakar Baja melompat bangkit, hantaman telapak tangan Panji melesat dan mendarat telak di tubuhnya. Akibatnya, tokoh tinggi besar yang tangguh itu terlempar deras sejauh dua tombak lebih. Darah segar seketika muncrat dari mulutnya. Tubuhnya terbanting ke tanah dan menggigil hebat bagaikan terserang demam tinggi. Sebentar kemudian diam tak bergerak. Tubuhnya yang terbungkus pakaian merah terkapar kaku. Beruang Cakar Baja menghembuskan napas terakhir, tak sanggup menahan hantaman tangan kiri Pendekar Naga Putih yang berisikan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’.

Melihat Beruang Cakar Baja tewas, Ular Hitam melompat mendekati Ki Lawaleng yang rebah tak bergerak karena masih dalam pengaruh totokan Pendekar Naga Putih. Kemudian mengayunkan telapak tangannya ke batok kepala lelaki tua itu.

“Hih!”

Prakkk!

“Aaakh...!” Ki Lawaleng mengeluh tertahan. Batok kepalanya langsung retak terkena hantaman Ular Hitam. Nafasnya pun langsung putus saat itu juga. Rupanya Ular Hitam tak rela kalau pimpinannya sampai tertawan musuh.

“Heh! Keparat!” dengus Suranggala yang marah bukan main melihat tindakan Ular Hitam. Kemudian dengan geram perwira itu mengayunkan pedang memburu tubuh lelaki berjubah hitam itu.

“Heaaa...!”

Crakkk!

Pedang Suranggala menebas leher Ular Hitam yang tak sempat menghindar. Kepala lelaki berpakaian hitam itu terpental dan menggelinding di samping tubuhnya yang ambruk berlumuran darah. Rupanya setelah merobohkan lelaki botak yang menjadi pembantu Ki Lawaleng, Suranggala sempat melihat perbuatan Ular Hitam. Sehingga dia lupa kalau tokoh kurus itu pun sama pentingnya dengan Ki Lawaleng. Perwira bertubuh gagah itu baru menyesal setelah melihat Ular Hitam tewas dengan kepala terpisah dari badan.

“Sudahlah, Paman. Semua ini tidak perlu disesali...,” ujar Panji ketika melihat Suranggala masih terpaku menatapi mayat Ular Hitam dan Ki Lawaleng.

“Hhh.... Aku benar-benar lupa diri, Pendekar Naga Putih...,” ujar Suranggala dengan disertai helaan napas beratnya. Disesali dirinya yang telah membunuh tokoh penting. Hal itu karena sampai saat ini tempat sembunyi gembong pemberontak belum diketahui pihak kadipaten.

“Kita bisa menyelidikinya lewat Perguruan Beruang Merah. Karena kalau tak salah lelaki berpakaian merah itu salah seorang tokoh Perguruan Beruang Merah...,” ujar Panji seraya menunjuk mayat Beruang Cakar Baja. Pendekar Naga Putih mengetahui ciri-ciri Beruang Cakar Baja dari Senapati Jata Logaya. Bahkan juga mengenal nama ketua perguruan itu berikut ciri-cirinya.

“Benar, Pendekar Naga Putih. Dia Beruang Cakar Baja yang dikenal sebagai tokoh kedua di Perguruan Beruang Merah. Dia pula yang diserahi tugas untuk mengurus perguruan. Karena Ki Kala Herang jarang menampakkan diri. Dia lebih banyak mengurung diri di kamar semadinya. Maklumlah usianya sudah tujuh puluh tahun lebih...,” tutur Suranggala yang kemudian mengalihkan perhatiannya ke sekitar tempat itu. Ternyata pertempuran telah usai. Kemenangan berada di pihaknya.

“Jadi, ada kemungkinan Ki Kala Herang tak mengetahui tindakan murid utamanya itu...!” tukas Panji setelah mendengar ucapan perwira bertubuh tinggi besar itu.

"Ya..., kemungkinan besar begitu. Apalagi belakangan ini dia nyaris tidak pernah keluar dari ruang semadinya...,” jelas Suranggala, menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih.

“Kalau begitu, Beruang Cakar Baja mengajak murid-muridnya untuk berpihak kepada pemberontak, tanpa setahu Ki Kala Herang?” tanya Panji lagi meminta ketegasan.

“Kemungkinan besar begitu. Tapi aku tidak bisa memastikannya,” jawab Suranggala ragu.

Panji tak berkata apa-apa lagi. Dia tahu Suranggala tidak berbohong. Kemudian melangkah mengikuti perwira bertubuh tinggi besar itu yang tengah mengumpulkan seluruh pasukannya. Dalam pertempuran besar itu, pihaknya kehilangan tak kurang dari seratus lima puluh orang prajurit. Meskipun demikian, Suranggala merasa puas. Karena pihak pemberontak yang berada di Hutan Rawandaka dapat disapu habis, tidak terkecuali semua pimpinannya. Jelas, kemenangan itu cukup besar artinya bagi Suranggala.

“Paman, sebaiknya kita segera kembali ke kadipaten...,” usul Panji setelah seluruh prajurit berkumpul.

Suranggala hanya mengangguk tanpa kata. Kemudian perwira itu segera memberikan perintah kepada pasukannya untuk meninggalkan Hutan Rawandaka yang telah bau amis darah itu. Setelah itu dengan cepat tubuhnya melompat ke atas punggung kuda. Ketika Suranggala menoleh pada Pendekar Naga Putih untuk menawarkan seekor kuda, hatinya terperanjat. Pendekar berjubah putih itu sudah tak berada di tempatnya, sudah lebih dahulu melesat menuju Kadipaten Tumapel.

********************

DELAPAN

Setelah peristiwa di Hutan Rawandaka, yang telah menewaskan ratusan pasukan pemberontak berikut beberapa gembongnya, keadaan mulai agak tenang. Tidak terdengar lagi adanya gangguan di desa-desa di wilayah Kadipaten Tumapel. Kenyataan itu sempat membuat Senapati Jata Logaya menduga kalau kepala pemberontak yang bernama Darmanggala telah patah semangat sehingga membubarkan pasukannya. Terlebih setelah orang-orang Perguruan Beruang Merah yang mengabdi pada Kadipaten Tumapel ditangkap. Semua itu atas usul Panji yang telah menyelidiki Perguruan Beruang Merah, dan mendapati bangunan perguruan itu telah kosong. Bahkan menemukan ruang rahasia yang menembus ke tengah Hutan Rawandaka. Semua itu merupakan bukti kuat bahwa Perguruan Beruang Merah bukanlah perkumpulan beraliran lurus.

“Padahal selama ini mereka menunjukkan sikap sebagaimana layaknya para pendekar pembela keadilan. Sungguh tak kusangka kalau mereka ternyata sama dengan sekumpulan serigala berbulu domba! Jelas kalau mereka orang-orang golongan sesat yang selalu menyerahkan korban pada setiap malam purnama. Benar-benar tak masuk di akal!” ujar Senapati Jata Logaya setelah mendengar keterangan Panji yang baru kembali dari penyelidikannya. Sehingga, semua murid Perguruan Beruang Merah yang berada di lingkungan kadipaten ditangkapi.

Hasil penyelidikan Pendekar Naga Putih membuat semua rahasia nyaris terbongkar. Siapa lagi yang melakukan pembakaran di dalam lingkungan kadipaten saat upacara di Altar Setan berlangsung? Dan siapa lagi yang membukakan gerbang utara saat pasukan Darmanggala datang menyerbu. Semua itu ternyata perbuatan murid-murid Perguruan Beruang Merah yang membantu dari dalam. Sehingga Senapati Jata Logaya menjatuhkan hukum gantung kepada para pemberontak yang berhasil menyelundup.

“Sudah berapa lama perguruan itu berada di dalam kota kadipaten ini, Paman?” tanya Panji ketika bersama Kenanga diundang ke tempat kediaman senapati gagah itu.

“Belum terlalu lama. Ada kira-kira tiga tahun. Sedangkan peristiwa Altar Setan baru sekitar satu setengah tahun. Mengapa kau bertanya demikian, Panji?” Senapati Jata Logaya balik bertanya.

“Hanya ingin tahu saja, Paman,” sahut Panji seraya tersenyum. “Apa Paman tahu dari mana mereka sebelumnya...?”

“Aku tak tahu secara jelas. Tapi, kalau tak salah dengar, mereka berasal dari selatan. Sebuah wilayah terpencil yang bisa memakan waktu setengah purnama dari tempat ini...,” jelas Senapati Jata Logaya. Hatinya merasa heran mendengar pertanyaan Pendekar Naga Putih, tapi tetap memberikan penjelasan seperti yang diketahuinya.

Setelah mendengar jawaban dari Senapati Jata Logaya, Pendekar Naga Putih tak berkata apa-apa lagi. Pemuda itu melanjutkan makan dan minumnya dengan tenang. Namun, suasana gembira itu tiba-tiba terganggu oleh datangnya seorang prajurit yang minta bertemu dengan Senapati Jata Logaya.

“Ada apa...?” tanya Senapati Jata Logaya kelihatan kurang senang, karena merasa terganggu ketenangannya. Sementara Panji dan Kenanga yang berdiri mengapit Senapati Jata Logaya hanya mendengarkan.

“Ampun, Kanjeng Senapati,” ujar prajurit itu setelah menjura hormat.

“Hm...!” sambut Senapati Jata Logaya seraya mengangguk. Matanya menatap tajam pada prajurit itu.

“Kami melihat pasukan dalam jumlah besar tengah bergerak dari segala penjuru. Mereka menuju kota kadipaten...”

“Apa...?!” Senapati Jata Logaya tersentak kaget mendengar laporan prajuritnya. Wajahnya seketika berubah merah padam.

Tampak Pendekar Naga Putih dan Kenanga pun terperanjat mendengar laporan itu.

“Hm.... Apakah Perwira Suranggala sudah mengetahuinya?” tanya Senapati Jata Logaya setengah membentak.

“Sudah, Kanjeng. Bahkan beliau telah mengerahkan seluruh prajurit untuk bersiaga. Dan hamba diperintah agar melapor kepada Kanjeng Senapati,” jawab prajurit itu terbata-bata dengan wajah berubah pucat.

Tanpa banyak bicara lagi, Senapati Jata Logaya memerintahkan prajurit itu untuk kembali ke induk pasukannya. Setelah itu tampak panglima perang Tumapel itu mengenakan pakaian kebesarannya, lalu menyambar pedangnya. Kemudian bersama Pendekar Naga Putih dan Kenanga, bergegas pergi untuk memimpin pasukannya dalam menghadapi serbuan musuh, yang kali ini sepertinya mengadakan serangan besar-besaran.

Tiba di alun-alun kadipaten, Senapati Jata Logaya melihat pasukannya telah berbaris rapi. Dia segera memerintahkan para prajurit menyebar memperkuat penjagaan di empat gerbang kota. Senapati Jata Logaya sendiri memimpin lima ratus prajurit menuju gerbang timur. Karena tempat itulah yang paling mudah dimasuki musuh.

Kenanga mendampingi pasukan yang dipimpin empat orang perwira gagah, menuju gerbang sebelah barat. Suranggala bersama tiga orang perwira lainnya menuju gerbang selatan. Masing-masing membawa lima ratus orang prajurit. Pendekar Naga Putih pun tidak ketinggalan. Bersama dua orang perwira yang membawa lima ratus orang prajurit, bergerak untuk memperkuat pertahanan di gerbang utara.

Genderang perang tak henti-hentinya ditabuh guna membakar semangat pasukan. Seluruh tentara Kadipaten Tumapel telah siap menghadapi musuh yang menyerbu kota.

Sementara itu, pihak musuh semakin mendekati kota kadipaten. Mereka langsung berada di bawah pimpinan Darmanggala. Lelaki tinggi besar berusia empat puluh tahun itu tampak gagah duduk di atas punggung kuda hitamnya. Di belakangnya berbaris rapi sekitar lima ratus orang. Kendati mereka tak mengenakan seragam, namun terlihat gagah dan penuh semangat. Tampaknya mereka telah benar-benar siap untuk menghadapi pertempuran besar. Seperti telah diatur sebelumnya, Darmanggala membawa tentara menuju gerbang timur. Tentu saja mereka akan bertemu dengan pasukan yang dipimpin langsung Senapati Jata Logaya.

“Serbu...!”

“Heaaa...!”

Dalam jarak tiga tombak dari gerbang timur, Darmanggala, lelaki tinggi besar berwajah tampan itu, langsung memberi perintah kepada pasukannya untuk menyerbu. Bagaikan sekumpulan hewan lapar yang menemukan mangsa, ratusan orang bersenjata itu meluruk maju. Namun, Senapati Jata Logaya telah siap bersama pasukannya. Ketika pihak lawan bergerak, panglima bertubuh gagah itu langsung memerintahkan pasukan panahnya untuk menyerang.

“Seraaang...!”

Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika ratusan batang anak panah meluncur dan merenggut nyawa puluhan orang pasukan Darmanggala. Sehingga, pemimpin pemberontakan itu memerintah pasukannya untuk mundur.

“Hujani dengan panah api...!” teriaknya lantang dan penuh wibawa.

Seketika itu juga, meluncurlah panah-panah berapi yang membuat pasukan Senapati Jata Logaya kalang kabut. Apalagi ketika panah-panah itu jatuh di atas rumah-rumah penduduk. Kebakaran pun mulai menjalar. Sang Jago Merah dengan perkasanya melahap segala yang ada di dekatnya. Dan, pada saat itu juga, Darmanggala memerintahkan pasukannya untuk menyerbu kota.

“Heaaa...!”

“Yeaaat...!”

Disertai pekikan-pekikan gegap-gempita, ratusan tentara Darmanggala berlarian dengan senjata di tangan. Kali ini tak ada lagi anak panah yang menghalangi gerak mereka. Sehingga, pasukan Darmanggala berhasil mendekati gerbang. Pertempuran pun pecah! Suara denting senjata dan jerit kematian meningkahi pertempuran besar itu. Mayat-mayat mulai berjatuhan dari kedua belah pihak. Sedangkan kedua orang pemimpin pasukan masih berdiri di atas punggung kuda menyaksikan jalannya pertarungan.

Darmanggala yang masih tegak di atas punggung kuda, tampak mengerutkan keningnya. Prajurit-prajurit kadipaten yang memang terlatih baik, tampak mulai mendesak pasukannya. Hal itu tidak aneh, karena pasukan Darmanggala terdiri dari orang-orang liar yang tak terlatih dalam berperang. Menyaksikan itu Darmanggala tak tinggal diam.

“Heaaa...!”

Dengan pedang terhunus, Darmanggala menggebah kudanya memasuki kancah pertempuran. Dengan gerakan yang cepat dan kuat, pedang di tangannya mulai memangsa korban. Sebentar saja, belasan orang prajurit terpental roboh tersambar pedang lelaki gagah itu. Amukannya benar-benar mengiriskan. Sehingga, dalam waktu singkat, telah dua puluh orang lebih yang menjadi korban sambaran pedangnya.

“Hmh...!” Senapati Jata Logaya menggeram gusar. Panglima Perang Kadipaten Tumapel ini pun tidak tinggal diam. Melihat pasukannya banyak yang roboh di tangan Darmanggala, langsung saja kudanya digebah memasuki kancah pertempuran. Seperti berlomba, Senapati Jata Logaya pun mengamuk hebat. Pedang di tangannya laksana tangan malaikat maut yang merenggut nyawa lawannya. Sampai akhirnya dia langsung berhadapan dengan Darmanggala.

“Terimalah kematianmu, Pemberontak Keparat...!” Dengan sebuah teriakan keras, Senapati Jata Logaya menyabetkan pedangnya mengancam tubuh lawan. Diiringi suara berdesing tajam, senjata di tangannya meluncur secepat kilat. Darmanggala tentu saja tidak sudi dijadikan sasaran pedang lawan. Cepat dipapaknya serangan itu dengan tebasan dan ayunan kuat

“Heaaa...!”

Trang! Trang...!

“Hiaaat...!”

Bunga api berpijar saat kedua batang pedang itu saling berbenturan. Keduanya sama-sama terkejut ketika merasakan telapak tangan mereka panas. Dan sama-sama mengagumi kekuatan masing-masing.

“Yeaaat...!”

Kali ini Darmanggala yang lebih dulu membuka serangan. Pedang di tangannya lenyap membentuk segunduk sinar putih yang berkeredepan menyilaukan mata. Jelas, kalau kali ini Darmanggala telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk merobohkan lawan.

Namun Senapati Jata Logaya pun bukan orang sembarangan. Dengan tak kalah ganas, pedang di tangannya diputar sedemikian rupa mengimbangi serangan lawan. Sebentar saja kedua pemimpin itu saling terjang dengan sengitnya. Masing-masing berusaha keras untuk dapat merobohkan lawan secepatnya.

Di gerbang barat, utara, dan selatan pun telah pula terjadi peperangan. Nampaknya kali ini Darmanggala melakukan penyerbuan besar-besaran. Sepertinya ingin membalas apa yang telah di lakukan pasukan kadipaten terhadap pengikut-pengikutnya pada beberapa hari lalu di Hutan Rawandaka. Namun, tentu saja hal itu tidaklah semudah apa yang dibayangkan, karena pihak kadipaten demikian gigih dan bertempur dengan penuh semangat. Terlebih di bawah pimpinan perwira-perwira gagah berani, yang masih dibantu pasangan tokoh muda, Pendekar Naga Putih dan Kenanga.

Pasukan kadipaten yang menghadang musuh di gerbang utara, bertempur bagaikan singa terluka. Adanya Pendekar Naga Putih di antara mereka, jelas berpengaruh besar. Namun, pendekar muda itu sendiri tak dapat berbuat banyak. Karena di pihak musuh terdapat seorang tokoh sakti bertubuh tinggi kurus yang sangat mengiriskan. Sehingga, Panji tak tinggal diam ketika melihat amukan tokoh itu. Tubuhnya langsung melesat ke tempat tokoh tinggi besar itu mengamuk membantai prajurit-prajurit kadipaten.

Ketika tiba di dekat tokoh tinggi kurus itu, Pendekar Naga Putih langsung mengirimkan serangan kilat. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga berkelebatan cepat disertai suara angin mencicit tajam. Sehingga, tokoh tinggi kurus itu mengalihkan perhatiannya pada pendekar muda itu. Dengan cepat langsung dipapaknya serangan Pendekar Naga Putih.

Plak! Plak...!

Benturan sepasang lengan kedua tokoh itu menimbulkan ledakan keras yang memekakkan telinga. Keduanya sama-sama terdorong mundur. Karena dalam pertemuan pertama itu kekuatan mereka berimbang! Pendekar Naga Putih menatap wajah lawan dengan kening berkerut. Sepasang matanya mencorong tajam meneliti sosok dan wajah tokoh tinggi kurus itu. Seakan-akan dia tengah menduga siapa sebenarnya tokoh itu.

“Orang tua,” ujar Panji tetap tak melepaskan pandang dari wajah lawan. “Kalau aku tak salah menerka, kau pastilah Ketua Perguruan Beruang Merah yang bernama Ki Kala Herang...”

Tokoh tinggi kurus berusia sekitar tujuh puluh tahun itu tampak sedikit kaget. Namun, akhirnya menjawab juga pertanyaan pemuda berjubah putih itu. “Matamu sungguh tajam, Pendekar Naga Putih”

“Dan kau jugalah tokoh berjubah hitam yang menjadi pimpinan upacara biadab di Hutan Rawandaka. Aku mengenali gerakanmu...,” desak Panji lagi dengan sorot mata tajam menusuk jantung.

“Ha ha ha...! Kau benar-benar hebat, Pendekar Naga Putih! Sayang, hari ini kau harus menerima kematian ditanganku...!” ujar lelaki tinggi kurus itu seraya tertawa, ketika mendengar ucapan Pendekar Naga Putih. Dia benar-benar merasa kagum atas ketajaman mata pemuda tampan berjubah putih itu.

“Hm.... Kepandaianmu memang sangat tinggi, Ki. Aku tak akan menyesal jika sampai tewas di tanganmu. Tapi, sebelum kau membunuhku, katakanlah, mengapa kau begitu merendahkan diri dengan menjadi antek pemberontak seperti Darmanggala. Padahal kalau kau menginginkan jabatan, rasanya Kadipaten Tumapel akan menerimamu dengan tangan terbuka...,” tanya Panji yang ingin mengetahui alasan tokoh sakti itu membantu pemberontak.

“Agar kau mati tanpa membawa rasa penasaran, baiklah ku jelaskan,” sahut kakek itu. seraya tersenyum mengejek. “Darmanggala adalah adik seperguruanku. Selain itu, kami masih ada hubungan keluarga, meskipun cukup jauh. Dan pemberontakan ini sudah lama kami rencanakan, jauh sebelum aku datang dan membuka perguruan di Kadipaten Tumapel ini. Setelah berhasil menarik simpati pihak kadipaten yang mengira Perguruan Beruang Merah sebagai perkumpulan beraliran lurus, maka tak sulit untuk memasukkan murid-muridku ke kadipaten dengan berpura-pura mengabdi. Selain itu, aku pun mulai menciptakan kekacuan dengan mengadakan persembahan pada setiap malam purnama. Dengan berbagai cara aku berusaha merongrong pihak kadipaten. Sayang, usaha yang nyaris berhasil dengan baik mulai mendapat tantangan dengan kehadiranmu, Pendekar Naga Putih. Itu sebabnya kami berusaha keras untuk melenyapkan dirimu. Nah, apa kau sudah puas...?” Kakek bertubuh tinggi kurus itu menutup penjelasannya, dan bersiap untuk menggempur Pendekar Naga Putih.

“Tunggu dulu, Ki Kala Herang...!” cegah Panji seraya mengangkat kedua tangannya. Sehingga kakek itu menunda gerakannya.

“Hm..., apa kau masih menyimpan pertanyaan? Katakanlah!” tukas Ki Kala Herang mulai tak sabar.

“Satu pertanyaan lagi, Ki. Apa keuntungan yang kau dapatkan dari persembahan gila itu?” tanya Panji.

“Selain untuk membuat pusing pihak kadipaten, darah perawan membuat kekuatanku semakin bertambah!” jawab Ki Kala Herang agak jengkel.

“Rasanya tak ada lagi yang perlu ku jelaskan kepadamu, Pendekar Naga Putih! Nah, bersiaplah...!”

Belum lagi gema suara kakek itu lenyap, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang memburu Pendekar Naga Putih dengan serangkaian serangan maut. Sepasang tangannya berputaran cepat sekali hingga menimbulkan deruan angin keras laksana amukan badai. Bahkan serangan itu masih dicampur dengan pengerahan ilmu sihir yang membuat kecepatan dan kedahsyatan serangannya berlipat ganda.

Namun, Ki Kala Herang salah alamat kalau hendak mempergunakan sihirnya untuk merobohkan pemuda berjubah putih itu. Pendekar Naga Putih yang sadar akan kesaktian lawan, telah mengerahkan tenaga ga- bungannya. Sehingga, hawa menggetarkan jantung yang mengiringi datangnya serangan sama sekali tidak tampak di matanya.

“Heaaa...!”

Plak! Plak! Plak!

Tiga serangan beruntun berhasil digagalkan Pendekar Naga Putih. Meskipun kuda-kudanya sempat tergempur, tubuh pemuda itu sudah melesat dengan serangkaian serangan maut.

“Haaat...!”

“Hih!”

Ki Kala Herang bergeser ke kiri saat cengkeraman cakar naga lawan hampir menyambar tubuhnya. Bersamaan dengan itu langsung jari-jari tangannya mengeluarkan asap tipis kemerahan. Bau harum memabukkan tercium, tanda bahwa asap tipis itu mengandung racun yang mematikan. Namun, semua itu sama sekali tidak membuat Pendekar Naga Putih gentar. Dengan pengerahan tenaga gabungannya, hawa beracun itu sama sekali tak berarti baginya. Tanpa ragu-ragu segera disambutnya tusukan jari-jari tangan lawan yang mengeluarkan asap beracun itu. Bahkan masih sanggup melancarkan serangan balasan kendati tidak terlalu gencar.

Merasakan kehebatan lawannya yang masih sangat muda itu, Ki Kala Herang tampak sangat cemas. Serangan yang dilakukannya semakin ganas dan dah- syat. Bahkan telah dikerahkan seluruh kecepatannya. Sehingga, sepasang tangannya berputaran laksana baling-baling dan sukar menentukan arah mana yang menjadi sasaran serangannya. Dan serangan tokoh mengiriskan itu ternyata tak sia-sia. Pendekar Naga Putih yang sempat terdesak oleh gencarnya serangan lawan, tak sempat menghindari sebuah tusukan jari-jari tangan lawan yang mengincar dadanya.

“Hih...!”

Bukkk!

Pada saat terakhir Pendekar Naga Putih masih sempat memiringkan tubuh hingga tusukan itu tak terlalu telak menghantam dada. Tetap saja kuda-kudanya tergempur. Dan tubuhnya terhuyung sampai enam langkah ke belakang. Pemuda tampan itu merasakan dadanya panas. Bahkan pada sudut bibirnya tampak cairan merah merembes ke luar. Jelas serangan itu sempat membuat bagian dalam dadanya terguncang.

“Yeaaah...!”

Ki Kala Herang tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Tubuhnya langsung melesat dengan serangan maut, siap menghabisi nyawa Pendekar Naga Putih. Tapi...,

“Haiiit...!”

Disertai ‘Pekikan Naga Marah’, tiba-tiba tubuh Pendekar Naga Putih melenting ke udara. Dengan jurus ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’, tubuhnya meluncur turun menyambar secepat kilat. Sinar putih keperakan dan kuning keemasan berpendar menyelimuti tubuhnya. Sehingga sukar bagi Ki Kala Herang untuk menentukan arah serangan lawannya. Dan...

Breeet! Desss!

“Aaarghhh...!”

Ki Kala Herang terpekik parau. Sambaran cakar naga dan hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih membuat tubuh tinggi kurus itu terlempar bagaikan terhempas badai. Darah segar membanjir keluar dari luka menganga di bagian lambungnya, yang tercabik cakar naga pendekar muda berjubah putih. Pendekar Naga Putih tak berhenti sampai di situ. Sadar kalau dibiarkan hidup kakek itu merupakan an- caman bagi orang banyak, pemuda itu pun menyusuli dengan tendangan maut untuk menghabisi lawannya.

Blukkk!

“Aaa...!”

Bagai dihantam palu godam, tubuh yang tengah melayang di udara itu kembali terhempas dengan keras, lalu membentur dinding hingga menimbulkan suara berderak, tanda bahwa tulang-tulang di tubuh kakek itu remuk. Setelah menewaskan Ki Kala Herang, Pendekar Naga Putih memandang pertempuran. Setelah melihat pihak pemberontak tampak mulai terdesak oleh pasukan kadipaten, tubuhnya melesat menuju gerbang timur. Hatinya menduga kalau Darmanggala pasti memimpin penyerbuan dari gerbang utama kota.

Ketika sampai di dekat gerbang timur, Pendekar Naga Putih melihat Senapati Jata Logaya tengah bertarung sengit melawan seorang lelaki bertubuh gagah. Sekilas saja dia tahu kalau Senapati Jata Logaya dapat mengatasi lawannya. Lalu kepalanya berpaling menatap pertempuran kedua pasukan. Hatinya merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa pihak kadipaten berada di atas angin.

“Aaa...!”

Ketika mendengar lengking kematian yang panjang merobek suasana tegang itu, Pendekar Naga Putih menoleh. Dilihatnya tubuh lelaki gagah, lawan Senapati Jata Logaya terbanting roboh bermandikan darah. Dugaannya tidak meleset. Senapati Jata Logaya berhasil membunuh Darmanggala yang menjadi pemimpin pemberontakan.

Kematian Darmanggala, membuat semangat pasukannya kian mengendur. Mereka semakin kacau dan terdesak hebat dari pihak kadipaten. Bahkan tak sedikit yang kabur meninggalkan medan pertempuran, menyelamatkan diri. Sehingga tak lama kemudian, pemberontakan besar itu dapat dilumpuhkan. Karena sisanya yang masih hidup langsung membuang senjata dan menyatakan menyerah kalah.

“Ampun..., ampun Kanjeng Senapati! Ampunkanlah perbuatan kami...!”

“Ampun, Kanjeng Adipati! Ampunkan hamba, Kanjeng Adipati...!”

Teriakan-teriakan memohon ampunan terdengar bersahutan dari segala arah. Para pasukan pemberontak itu serta-merta berlutut dan membuang senjata mereka ke tanah. Di antara para pemberontak, ternyata ada pula yang tak tahu kalau Adipati Tumapel tidak berada di tempat itu, sehingga Jata Logaya dikira sang Adipati.

Bukan hanya di gerbang utama saja musuh dapat dilumpuhkan. Di tiga gerbang lainnya pun pihak kadipaten memperoleh kemenangan yang gemilang. Pemberontakan dapat dipatahkan. Dan Senapati Jata Logaya benar-benar merasa puas. Saat itu, tampak dari arah utara, selatan, dan barat berdatangan Pendekar Naga Putih, Kenanga, Suranggala dan pasukannya.

“Rasanya selama berada di sini aku belum pernah melihat Kanjeng Adipati? Ke manakah beliau, Paman...?” tanya Panji saat melangkah bersama Senapati Jata Logaya dan Kenanga, meninggalkan prajurit-prajurit kadipaten yang tengah membereskan bekas-bekas pertempuran.

“Beliau sedang mengalami sakit yang cukup parah, Panji. Keadaan Kanjeng Adipati sengaja ku rahasiakan, agar pasukanku tak kehilangan semangat. Marilah kita jenguk beliau! Aku sudah mendengar kalau kau pun memiliki ilmu pengobatan yang tinggi...,” ujar Senapati Jata Logaya yang langsung membawa pasangan pendekar muda itu untuk menjenguk Adipati Tumapel yang tengah menderita sakit.

Pendekar Naga Putih sama sekali tak berusaha menolak. Karena tugas menyembuhkan orang sakit, juga merupakan kewajibannya. Bersama dengan Kenanga, pemuda berjubah putih itu melangkah mengikuti Senapati Jata Logaya menuju bangunan utama Kadipa- ten Tumapel.

S E L E S A I

Altar Setan

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Altar Setan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih

SATU

PEMUDA tampan bertubuh sedang melangkah rin-gan melintasi jalan setapak. Jubah putihnya yang pan- jang tampak berkibar perlahan dipermainkan angin. Rambutnya yang panjang dan hitam, diikat sehelai kain putih. Saat itu cahaya matahari belum merata di seluruh permukaan bumi. Namun sinarnya terasa hangat menyegarkan tubuh. Sementara kicau burung di pepohonan menambah suasana nyaman di pagi yang bening dan sejuk itu.

Pemuda tampan berjubah putih itu tampak memasuki sebuah hutan. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Sepasang matanya yang tajam menyapu sekelilingnya. Seakan-akan ada sesuatu yang tidak wajar. Kendati hanya nalurinya yang berbicara. Hal itu memang tak terlalu berlebihan, karena dilihat dari gerak-geriknya, dapat diperkirakan kalau pemuda tampan itu bukan orang sembarangan. Sosoknya jelas menggambarkan seorang yang memiliki kemampuan tinggi. Atau setidak-tidaknya seorang ahli silat yang terlatih baik.

Setelah beberapa saat memperhatikan dan tak menemukan sesuatu yang mencurigakan, pemuda itu pun kembali mengayun langkahnya. Namun kelihatan jelas sekali kalau kewaspadaannya mulai ditingkatkan. Rupanya kecurigaan itu tidak begitu saja lenyap, tetap bergayut dihatinya. Namun baru saja kakinya melangkah sekitar dua tombak dari tempat berhenti, mendadak....

Bresss!

“Haits! Hih!”

Tanah yang dipijak tiba-tiba amblas. Namun, karena sebelumnya telah meningkatkan kewaspadaan, pemuda itu langsung menghentak cepat. Seketika tubuhnya melompat ke atas dan bersalto beberapa kali di udara. Namun....

Srat! Srat!

“Heh?! Haits!

Ketika tubuh pemuda itu tengah berputaran di udara, tiba-tiba dari lubang di bawahnya meluncur benda-benda panjang berujung runcing. Dengan suara desingannya yang menyakitkan telinga, benda-benda itu melesat memburu tubuhnya.

Sing! Sing!

“Hih!” Dengan sebuah dengusan jengkel, pemuda tampan itu mengibaskan kedua lengannya. Segumpal angin kencang seketika berhembus. Sehingga....

Trak, trak!

Delapan batang tombak yang memburu tubuhnya, patah dan berpentalan ke tanah. Empat lainnya berhasil ditangkapnya. Sebuah gerakan yang sulit diikuti penglihatan mata. Begitu berhasil mengatasi serangan rahasia itu tubuh berpakaian putih itu meluncur turun.

“Hai..., keluarlah, sebelum aku bertindak !” ancam pemuda itu sambil mengawasi sekelilingnya. Hatinya dapat mengetahui kalau ada orang yang tengah mengintai. Beberapa saat pemuda itu menunggu dengan berdiri tegak dan sorot mata tajam menggetarkan. Namun sejauh itu, sama sekali tak terdengar jawaban. Hingga hilanglah kesabaran hatinya.

“Rupanya kalian harus dipaksa...!” teriak pemuda itu dengan suara lantang. “Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan...”

Whuuut! Whuuut!

Sebuah gerakan yang sangat cepat dilakukan pemuda tampan berjubah putih itu. Keempat tombak di tangannya seketika melesat begitu cepat, hingga menimbulkan deru angin dan suara berdesing nyaring mematahkan kesunyian. Daya luncurnya demikian cepat. Bahkan melebihi kecepatan anak panah yang lepas dari busur. Dari sini dapat diperhitungkan betapa hebat kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu. Para pengintai yang bersembunyi di balik rimbun pepohonan, tampaknya tak mau menanggung bahaya yang datang mengancam itu.

“Haiiit!”

“Yeaaa...!”

Seketika itu pula terdengar teriakan-teriakan keras yang disusul sosok-sosok tubuh berlompatan keluar dari semak-semak dan pepohonan. Gerakan mereka yang demikian gesit dan cepat menandakan ketinggian ilmu meringankan tubuh masing-masing. Tampaknya mereka tak ingin menanggung ancaman bahaya yang dilancarkan pemuda berjubah putih itu. Tapi....

Ziiit! Ziiit!

“Kurang ajar...!” Pemuda tampan itu menggeram. Karena sosok-sosok bayangan merah yang berjumpalitan itu masih sempat melepaskan senjata rahasia untuk menyerangnya. Sadar kalau sosok-sosok bayangan merah itu menginginkan kematiannya, pemuda berjubah putih itu tak tinggal diam. Sambil menggeram jengkel, dengan cepat sepasang tangannya digerakkan, memasang kuda-kuda dengan merendahkan tubuh. Kemudian....

“Haaat!”

Disertai sebuah lengkingan panjang yang menggetarkan jantung, pemuda tampan itu melesat ke depan. Bukan bergerak menghindar, melainkan dengan sengaja menyambut datangnya serangan gelap lawan. Jelas apa yang dilakukan pemuda tampan itu merupakan perbuatan nekat. Namun, apa yang dilakukan ternyata telah diperhitungkan secara matang. Karena, saat melesatkan tubuh ke depan, sepasang tangannya dihentakkan keras dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam.

Whusss!

Sebentuk kekuatan tenaga dalam yang tak tertangkap dimata terlontar. Seketika kilatan cahaya kemerahan yang mengancam pemuda itu berbalik. Bahkan luncuran senjata-senjata itu dua kali lebih cepat dari semula. Sehingga....

Slats! Slatas!

Jrab! Jrab!

“Aaakh!”

“Hukh!”

Empat sosok bayangan merah yang masih melayang seketika berpentalan dan terbanting ke semak-semak diiringi jeritan kesakitan.

Srak! Bruk!

Rupanya senjata-senjata rahasia yang dilancarkan justru menghunjam di tubuh mereka. Melihat keempat penyerang gelap itu terjatuh, dengan cepat pemuda tampan berjubah putih itu bergerak mengejar. Hatinya merasa penasaran dan marah mendapat serangan gelap tanpa alasan yang jelas. Apalagi nyata-nyata mereka menghendaki nyawanya. Dan dia ingin mendapatkan jawaban dari semua itu. Namun....

“Haaat...!”

“Yeaaa...!”

Saat pemuda tampan itu hampir mencapai tempat keempat lawannya terjatuh, mendadak terdengar teriakan keras susul-menyusul. Sosok-sosok bayangan merah lain berlompatan dari kiri dan kanannya dengan senjata terhunus. Deru angin dari gerakan cepat pedang-pedang lawan terdengar, diiringi cahaya berkelebatan. Tampaknya mereka hendak mencegah apa yang akan dilakukan pemuda tampan itu.

Wut! Wut...!

Dua mata pedang dari kiri dan kanannya datang mengancam dengan kecepatan tinggi. Namun, dengan cepat pula pemuda tampan berambut gondrong itu bergerak mengelakkan serangan. Bahkan bersamaan dengan gerakan menghindar kedua tangannya sempat melancarkan serangan balasan. Kecepatan geraknya sulit diikuti mata.

“Hiaaa...!

Dukkk!

“Aaakh...!”

Kedua sosok berpakaian merah itu terpekik kesakitan. Kecepatan gerak pemuda itu membuat mereka tak sempat menghindar. Akibatnya, tubuh kedua penyerang itu terjungkal ke tanah. Pukulan telak yang berisi tenaga dalam kuat itu mendarat telak di dada dan perut.

“Hukh...!”

Tampak salah seorang dari kedua sosok berpakaian merah yang terjungkal itu muntah darah. Melihat kawan mereka terjungkal roboh, dua sosok berpakaian merah yang lain tak tinggal diam. Mereka tampak mengambil sesuatu dari balik pakaian. Kemudian....

“Heaaah...!”

Darrr! Darrr...!

Dua buah ledakan keras seketika terdengar meme- kakkan telinga.

“Heh...! Asap beracun...?!”

Pemuda tampan itu melompat mundur ketika melihat gumpalan asap merah menghalangi pandang matanya. Ketika mengetahui asap beracun itu sangat berbahaya, pemuda tampan itu bergegas menjauhi arena pertempuran. Kemudian dengan cepat kedua tangannya didorongkan dengan maksud untuk mengusir asap kemerahan itu.

Whuuusss...!

Apa yang dilakukan pemuda itu memang berhasil baik. Gumpalan asap kemerahan berhembus dan buyar akibat pukulan jarak jauhnya. Sehingga tempat itu pun kembali bersih seperti semula. Tapi....

“Heh! Kurang ajar! Pergi ke mana keparat-keparat itu?!” desisnya dengan wajah geram.

Ternyata sosok-sosok berpakaian merah yang menyerangnya telah lenyap dari tempat itu. Dengan cepat pemuda berpakaian putih itu melesat menuju semak-semak tempat keempat lawannya tadi terjatuh. Namun di tempat itu pun tak ditemukan apa-apa, kecuali bercak-bercak darah yang tercecer di rerumputan.

“Hhh! Siapa mereka? Tapi dilihat darigerakannya, jelas mereka bukan orang sembarangan. Kepandaian mereka cukup tinggi dan berbahaya. Terutama sekali kepandaian dalam hal racun. Sayang, aku tak berhasil menangkap salah seorang dari mereka. Sehingga, aku belum bisa mengetahui siapa mereka, dan mengapa menghendaki nyawaku tanpa alasan?” gumam pemuda tampan berjubah putih yang ternyata Panji atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih.

Pendekar Naga Putih masih berdiri termenung, kendati lawan-lawannya telah kabur secara licik. Mereka menggunakan kesempatan ketika dirinya sibuk mengusir asap beracun yang menggumpal pekat menyelimuti tempat itu. Meskipun memiliki ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’, Pendekar Naga Putih tak ingin bertindak ceroboh. Benar, asap beracun itu tak akan membuatnya tewas. Namun, jika telanjur merasuk ke tubuh, untuk memusnahkannya terlebih dahulu harus mengerahkan tenaga mukjizat jelmaan Pedang Naga Langit. Dan itu cukup memakan waktu. Apalagi dirinya belum bisa mengetahui secara pasti seberapa hebat pengaruh racun dari asap merah itu.

“Hm..., mungkinkah mereka sengaja menghalangiku agar tak meneruskan perjalanan ke Kadipaten Tumapel...?” gumam Panji menduga-duga. “Kalau benar demikian, berarti Kenanga tengah menghadapi lawan-lawan tangguh dan berbahaya? Hhh..., aku harus cepat sampai di kadipaten itu. Siapa tahu Kenanga sangat mengharapkan kedatanganku...”

Panji segera melesat dengan menggunakan ilmu lari cepatnya. Halangan yang baru saja dihadapi sama sekali tidak membuatnya gentar. Bahkan hatinya semakin terdorong untuk segera sampai di Kadipaten Tumapel. Pendekar Naga Putih sangat mengkhawatirkan keselamatan Kenanga, kekasihnya.

********************

Begitu tiba di Kota Kadipaten Tumapel, Pendekar Naga Putih langsung saja menemui penjaga gerbang istana. Kemudian mengutarakan keperluannya, untuk menemui Senapati Jata Logaya, yang menjadi panglima tinggi di kadipaten itu.

“Sampaikan kepada beliau kalau yang ingin menjumpainya bernama Panji...,” jelas Panji ketika penjaga gerbang istana kadipaten itu kelihatan ragu-ragu.

Sementara penjaga gerbang istana itu melaporkan, Panji berdiri menunggu. Dan itu tidak berlangsung lama. Sebuah panggilan bernada penuh kegembiraan, membuat pemuda berjubah putih itu menoleh dan tersenyum. Dilihatnya seorang dara jelita berpakaian serba hijau berlari menghampiri.

“Kakang...!” Dara jelita yang tak lain Kenanga itu langsung mengembangkan lengannya. Wajahnya yang jelita tampak demikian segar, kendati dari kedua matanya terlihat kelelahan yang sangat. Pendekar muda itu segera menduga kalau kekasihnya kurang tidur.

“Kenanga...!” desis Panji penuh kerinduan. Kalau saja tak melihat adanya penjaga-penjaga gerbang yang menyaksikan pertemuan itu, ingin rasanya Panji memeluk tubuh Kenanga. Akhirnya pemuda itu hanya menggenggam jemari tangan Kenanga seraya menekan kerinduan yang bergelora menyesakkan dada.

“Mengapa demikian lama, Kakang...?” tanya Kenanga yang mengerti mengapa Panji tidak memeluknya. Dara jelita itu pun berusaha menahan gejolak kerinduan yang telah cukup lama menyiksanya. Kalau saja pertemuan itu tak disaksikan orang lain, pasti Kenanga akan memeluk tubuh pemuda pujaannya. Namun, keadaan tak memungkinkan. Dan keduanya tahu, harus menjaga batas.

“Panjang sekali ceritanya, Kenanga. Tapi, yang penting aku sekarang telah berdiri di hadapanmu,” ujar Panji tersenyum seraya menatap wajah jelita yang dirindukannya itu.

“Mari kita temui paman dan bibiku. Mereka pasti sangat gembira melihat kedatanganmu...,” ajak Kenanga yang langsung saja membimbing tangan Panji memasuki pekarangan istana kadipaten yang luas itu.

“Kulihat kau seperti kurang istirahat, Kenanga? Apa ada sesuatu yang gawat tengah terjadi di Kadipaten Tumapel ini?” tanya Panji saat melangkah bersama kekasihnya.

“Kalau kuceritakan sekarang, tentu akan memakan waktu cukup lama, Kakang. Sebaiknya istirahatlah dulu! Setelah membersihkan tubuh, nanti kita menghadap paman dan bibiku...,” sahut Kenanga sambil menoleh dan tersenyum manis. Nampak jelas bias kebahagiaan di mata dara jelita itu.

Pendekar Naga Putih tidak menyahut. Pemuda itu hanya tersenyum menyadari besarnya perhatian dara jelita itu terhadapnya. Padahal Kenanga sendiri jelas kurang istirahat. Panji tahu itu. Tapi, Kenanga ternyata lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Semua itu semakin mempertebal kasih sayang Panji terhadapnya.

“Di sinilah aku tinggal selama berada di kadipaten, Kakang. Sedangkan paman dan bibiku tinggal di bangunan yang terletak di samping kanan bangunan kadipaten,” ujar Kenanga menjelaskan, setelah mereka tiba di sebuah bangunan yang cukup besar dan megah.

“Hm..., tempat yang cukup mewah dan menyenangkan...!” gumam Panji sembari menatap tempat tinggal kekasihnya.

Dua orang penjaga yang menyambut ke- datangan mereka serta-merta membungkukkan kepala dengan sikap hormat. Tiba di dalam bangunan, Pendekar Naga Putih segera minta diri kepada Kenanga untuk membersihkan tubuh. Dara jelita itu duduk menunggu di ruang tengah, setelah menyiapkan salinan pakaian kekasihnya. Tidak berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih muncul dengan wajah segar. Kenanga berdiri menyambutnya. Senyum manisnya seperti tak pernah meninggalkan wajah jelita dara itu.

“Sebaiknya kita langsung saja menghadap paman dan bibimu, Kenanga!” usul Panji sembari memegang kedua bahu dara jelita itu.

“Nanti saja, Kakang. Rinduku belum lagi terobati...,” kilah Kenanga yang langsung saja merebahkan kepalanya di dada bidang pemuda itu. Kali ini dara jelita itu tidak bisa menahan kerinduan hatinya. Karena di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua.

“Masih banyak waktu untuk kita berdua, Kenanga” Kendati mulutnya berkata demikian, tak urung Pendekar Naga Putih melingkarkan tangan merangkul tubuh indah Kenanga. Didekapnya Kenanga erat-erat. Seolah-olah ingin menyatukan tubuh dara itu ke dalam tubuhnya.

Kenanga tak menyahut lagi. Kepalanya ditengadahkan dengan bibir setengah terbuka. Sadar apa yang diinginkan kekasihnya, Pendekar Naga Putih membungkuk dan mengecup lembut bibir merah merekah itu.

“Kau tak merasa rindu kepadaku, Kakang ?” tanya Kenanga ketika merasakan pelukan kekasihnya merenggang.

“Hanya orang bodoh yang tak merasa rindu kepada wanita secantik kau, Kenanga. Aku hanya khawatir kalau paman dan bibimu sudah menunggu kedatangan kita. Dan aku tak ingin keburu ada utusan yang datang memanggil kita,” tukas Panji tersenyum melihat sepasang mata dara itu berbinar bagai bintang pagi.

“Baiklah...,” sahut Kenanga sambil menghela napas.

Kemudian mengajak Pendekar Naga Putih untuk menemui paman dan bibinya. Apa yang diperkirakan Pendekar Naga Putih tidak meleset. Dia dan Kenanga langsung disambut sepasang suami istri, ketika memasuki bangunan tempat tinggal Senapati Jata Logaya.

“Selamat datang di Kadipaten Tumapel, Pendekar Naga Putih!” sambut lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun yang berdiri di ambang pintu. Wajah lelaki tinggi tegap itu tampak cerah. Kelihatan sekali kalau sambutannya tak dibuat-buat.

“Terima kasih, Paman, Bibi...,” sambut Panji lalu membungkuk hormat kepada suami istri, paman dan bibi Kenanga. Pemuda tampan itu melangkah masuk mengikuti sepasang suami istri yang tampaknya sudah menunggu sejak tadi.

“Maaf, kalau kedatanganku agak terlambat! Karena sepanjang perjalanan banyak hambatan” Panji membuka percakapan saat mereka telah duduk di ruang tengah. Kemudian langsung menceritakan kejadian yang dialami di sepanjang perjalanan. Termasuk orang-orang berjubah merah yang hendak membunuhnya di dalam sebuah hutan.

“Orang-orang berseragam merah?” tanya Senapati Jata Logaya dengan kening berkerut. Ada perasaan keheranan di wajah lelaki gagah itu.

“Benar, Paman. Apa Paman tahu mereka dari perguruan mana?” tanya Panji yang melihat keheranan Senapati Jata Logaya. Bahkan dia melihat ketidakpercayaan dalam sinar mata lelaki setengah baya itu.

“Justru karena aku kenal siapa mereka, Panji. Dan kalau bukan kau yang menceritakannya, mungkin aku tak akan percaya,” tukas Senapati Jata Logaya yang membuat Panji semakin heran. Lalu melemparkan pandangan ke wajah Kenanga yang duduk di sampingnya.

“Sebentar paman akan menjelaskannya kepadamu, Kakang,” ujar Kenanga menyerahkan jawabannya kepada Senapati Jata Logaya.

“Jika yang menghadangmu orang-orang dari Perguruan Beruang Merah, tak mungkin mereka menggunakan racun. Karena sepanjang pengetahuanku, mereka sama sekali tak pernah mempelajari ilmu tentang racun. Bahkan Perguruan Beruang Merah telah banyak membantu kami. Mereka sebenarnya perkumpulan orang-orang gagah yang pantang berbuat curang, Panji,” jelas Senapati Jata Logaya.

“Maksud, Paman. Ada sekumpulan orang yang sengaja menyamar sebagai orang-orang Perguruan Beruang Merah...?” tanya Panji menegasi.

“Hm..., kurasa begitu. Karena aku percaya kalau orang-orang Perguruan Beruang Merah merupakan pendekar-pendekar yang berhati bersih. Jadi..., kurasa mereka orang-orang Darmanggala yang hendak mengadu domba antara pihak kadipaten dengan Perguruan Beruang Merah!” jelas Senapati Jata Logaya lagi yang membuat kening Pendekar Naga Putih semakin berkerut. Karena dia belum mendapat penjelasan tentang keadaan Kadipaten Tumapel saat itu.

Sadar bahwa Pendekar Naga Putih belum mengerti duduk persoalannya, Senapati Jata Logaya segera menjelaskan persoalan yang tengah melanda Kadipaten Tumapel. Semua diceritakan dengan jelas, sehingga Panji mulai mengerti apa yang tengah dihadapi paman Kenanga sebagai seorang yang menjabat senapati.

“Apa selama ini belum diperoleh keterangan tentang letak persembunyian para pemberontak yang dipimpin Darmanggala itu, Paman?” tanya Panji setelah mendapatkan keterangan tentang tokoh yang bernama Darmanggala.

“Orang itu sangat licik, Panji. Selain itu markas mereka selalu berpindah. Sehingga, pihak kami selalu dapat dikecoh dan hanya menemui bekas-bekas jejak mereka. Sehingga, aku menduga ada orang dalam yang berpihak kepada pemberontak Darmanggala itu. Karena setiap kali pasukanku bergerak, mereka telah lebih dulu menghindar. Rupanya ada yang memberitahukan kepada Darmanggala tentang penyergapan kami,” tutur Senapati Jata Logaya yang terdengar bernada geram.

“Untuk itulah kami bermaksud meminta bantuanmu, Panji,” kali ini yang berbicara istri Senapati Jata Logaya.

Pendekar Naga Putih mengalihkan perhatiannya kepada sosok perempuan cantik berusia sekitar empat puluh tahun. Ada sedikit persamaan antara perempuan itu dengan Kenanga. Hal itu tak mengherankan, karena istri Senapati Jata Logaya itu merupakan adik dari ibu Kenanga.

"Tentu saja aku siap membantu dengan sekuat tenaga, Bibi,” sahut Panji melegakan hati perempuan cantik itu.

“Gembira sekali mendengar ucapanmu, Panji. Dan karena kau baru saja tiba, sebaiknya persoalan ini kita tangguhkan dulu! Bibimu sudah menyiapkan hidangan untuk kita bersama. Kau tak perlu sungkan-sungkan. Anggaplah tempat ini sebagai rumahmu sendiri!” ujar Senapati Jata Logaya yang bergegas bangkit dari duduknya. Kemudian mempersilakan Pendekar Naga Putih dan Kenanga untuk mengikutinya.

Tanpa basa-basi lagi, pendekar muda itu segera bangkit menuju meja tempat hidangan disediakan. Kenanga sendiri telah lebih dulu melangkah, dan menarik kursi untuk kekasihnya. Sebentar kemudian, suasana berubah hening. Mereka menikmati hidangan tanpa berbicara sepatahpun.

********************

DUA

“Hiii...!”

Suara lengkingan panjang itu bergema membuat bulu kuduk berdiri. Sosok-sosok berjubah hitam tampak menari-nari dengan gerak berirama, mengelilingi sebuah batu besar berbentuk pipih. Kelihatannya mereka tengah melakukan suatu upacara di tengah malam di bawah sinar bulan purnama itu.

Di tengah-tengah batu besar pipih itu tampak terbaring sesosok tubuh wanita muda. Di bawah jilatan cahaya api obor yang ditancapkan di sekeliling batu itu, terlihat jelas betapa tubuh perempuan muda itu demikian polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya.

Setelah untuk kesekian kalinya sosok-sosok berjubah hitam itu mengelilingi batu pipih, gerakan mereka terhenti dengan tiba-tiba. Salah seorang dari mereka keluar dari lingkaran dan melangkah perlahan menghampiri perempuan muda yang terbaring di atas batu.

“Hiii...!”

Tampak sesosok tubuh tinggi kurus mengangkat kedua belah tangan, seiring dengan suara pekikan nyaring dari mulutnya. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat berkepala tengkorak manusia. Suara pekikannya disambut serentak sosok-sosok lain yang mengeliling batu pipih itu.

Setelah beberapa saat terdiam seperti tengah mengheningkan cipta, sosok lelaki tinggi kurus berjubah hitam itu memberikan isyarat dengan gerakan tangan kirinya. Salah seorang berjubah hitam melangkah ke depan menghampiri sosok tinggi kurus yang menjadi pemimpin upacara itu. Kemudian menyerahkan sebilah pisau pendek yang tampak berkilatan tertimpa cahaya obor.

Sosok tinggi kurus yang memimpin upacara memindahkan tongkat ke tangan kiri. Dan menyambut pisau tajam itu dengan tangan kanannya. Kemudian kakinya melangkah mendekati batu. Setelah menatapi tubuh perempuan muda itu dari ujung kaki sampai ke kepala, diangkatnya tinggi- tinggi pisau yang tergenggam di tangan kanan. Perempuan muda yang terbujur di atas batu pipih besar itu terbelalak lalu memejamkan matanya rapat-rapat. Dan....

Wut! Jrabs!

Tidak terdengar teriakan sedikit pun saat mata pisau menancap perut berkulit halus itu. Darah segar muncrat keluar, ketika sosok tinggi kurus itu mencabut pisaunya. Kemudian, dengan rakus mulutnya menghirup darah yang membanjir keluar dari luka di perut perempuan muda itu. Setelah puas menghirup darah perempuan muda itu, sosok tinggi kurus melangkah mundur beberapa tindak. Kemudian memberikan isyarat kepada anggotanya untuk maju satu persatu.

Mereka pun tampak melakukan hal serupa dengan yang diperbuat pimpinan mereka. Demikian rakus sosok- sosok berpakaian hitam itu menghirup darah dari dalam tubuh perempuan malang itu, tak ubahnya binatang buas yang haus darah. Upacara biadab itu kembali dilanjutkan setelah darah dalam tubuh perempuan yang menjadi korban itu telah kering. Pemimpin upacara maju ke depan. Sedangkan para anggotanya tampak duduk bersila mengelilingi tempat itu.

“Wahai Penguasa Alam Kegelapan...!” seru lelaki tinggi kurus itu dengan suara menggeletar penuh perbawa gaib. “Malam ini kami kembali mempersembahkan seorang gadis suci. Semoga persembahan ini tidak mengecewakan. Dan kekuatan kami semakin berlipat ganda...!”

Selesai mengucapkan kata-kata demikian, pemimpin upacara persembahan itu kembali memekik, yang kemudian disambut seluruh anggotanya. Lalu kakinya melangkah tenang menghampiri tubuh gadis yang terkapar di atas batu. Tongkat panjang yang di ujungnya terpancang tengkorak kepala digetarkan menyapu bagian atas tubuh polos yang telah pucat itu. Kemudian tangan kanannya mengusap luka di perut perempuan itu.

Dan..., luar biasa sekali apa yang terjadi kemudian! Luka akibat tikaman pisau itu lenyap tanpa bekas. Benar-benar aneh dan tidak masuk di akal! Sambil menatap bekas luka, lelaki tinggi kurus itu tampak tersenyum puas. Kemudian melangkah menghampiri para anak buahnya yang saat itu tengah berlutut.

“Untuk purnama ini, upacara selesai...!” ujar pemimpin upacara itu yang disusul suara lengkingan nyaring dari mulutnya.

Sesaat kemudian sosok tubuh kurus itu melangkah meninggalkan tempat upacara setelah memerintahkan para anak buahnya agar mencabut obor-obor yang terpancang di sekeliling tempat persembahan. Sebentar kemudian, suasana di tempat itu kembali dicekam keheningan dan kebisuan. Sosok-sosok berjubah hitam telah pergi meninggalkan mayat korban yang mereka persembahkan kepada Penguasa Alam Kegelapan.

Dari kegiatan yang mereka lakukan, gerombolan berjubah hitam itu merupakan penganut ilmu hitam. Dengan mengorbankan seorang gadis muda yang masih suci, mereka mengharapkan dapat memperoleh kekuatan. Dan menilik dari ucapan terakhir pimpinan upacara aneh itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka melakukan persembahan korban seperti itu setiap malam bulan purnama.

********************

Pada malam yang sama saat upacara berlangsung, di Kadipaten Tumapel terjadi kekacauan. Sebuah bangunan yang terletak di dalam lingkungan kadipaten, tahu-tahu terbakar tanpa sebab yang jelas. Untunglah Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang saat itu belum tidur sempat melihatnya. Sehingga, api segera dapat dipadamkan sebelum menjalar ke bangunan yang lain.

“Kejadian ini jelas sangat mengherankan,” ujar Panji ketika sudah berkumpul bersama Senapati Jata Logaya. Ucapan itu diutarakan, karena dia tak melihat adanya orang yang mencurigakan. Bahkan dari mana api berasal pun tak ada yang tahu.

“Kau tak perlu merasa heran, Kakang! Semenjak aku berada di sini, sudah dua kali terjadi hal seperti ini. Dan itu terjadi setiap bulan purnama...,” Kenanga menjelaskan, karena melihat pamannya hanya menghela napas tanpa tanggapan.

“Dan pasti pada keesokan harinya akan ditemukan seorang gadis muda terbujur kaku di atas Altar Setan...,” Senapati Jata Logaya menyambung ucapan Kenanga. Seolah dia ingin melengkapi penjelasan kemenakannya itu.

“Altar Setan...?” tanya Panji dengan suara bergumam. Hatinya tersentak mendengar ucapan Senapati Jata Logaya.

“Hhh...! Aku memang belum menceritakan hal ini kepadamu, Panji. Sebenarnya kejadian ini sudah berlangsung sejak empat purnama yang lalu. Dan, sampai saat ini semuanya masih merupakan teka-teki bagi kami,” lanjut Senapati Jata Logaya setelah menghela napas panjang dan berat.

“Apa Paman belum mencoba mengadakan penyelidikan terhadap kematian gadis-gadis muda itu?” tanya Panji yang tentu saja merasa heran mendengar peristiwa itu sudah berlangsung cukup lama.

“Itulah yang membuatku penasaran, Panji. Karena bersamaan dengan itu selalu saja timbul kekacauan di lingkungan kadipaten. Sehingga, terpaksa para prajurit diharuskan berada di tempat untuk berjaga-jaga. Tapi anehnya, selalu saja kecolongan. Bahkan aku pernah mengirim sepasukan prajurit untuk mencegah korban di Altar Setan itu. Hasilnya, pasukan yang kukirim tewas. Sampai sekarang korban terus saja berjatuhan tanpa bisa ku cegah...,” jawab Senapati Jata Logaya dengan suara rendah. Seakan mengandung penyesalan yang dalam.

“Di mana letak Altar Setan itu, Paman...?” tanya Panji yang ingin sekali membuktikan ucapan Senapati Jata Logaya. Karena dia merasa berkewajiban untuk menghentikan tindak keangkara murkaan itu.

“Kalau Paman mengizinkan, biar aku menyertai Kakang Panji ke tempat itu...,” pinta Kenanga seraya menatap wajah pamannya.

“Hm..., pergilah. Mudah-mudahan kalian berdua dapat menyingkap tabir gelap ini...!” ujar Senapati Jata Logaya. Dari ucapan dan raut wajahnya tersirat suatu harapan kepada Pendekar Naga Putih, untuk dapat menyingkap tabir gelap Altar Setan itu.

Tanpa membuang-buang waktu, malam itu juga Kenanga segera mengajak kekasihnya melihat korban Altar Setan. Keduanya bergerak dengan menggunakan ilmu lari cepat. Sehingga, tidak terlalu lama kedua pendekar muda itu telah berada di luar kota kadipaten.

“Hm..., rupanya tempat itu cukup jauh...,” gumam Panji tanpa menghentikan larinya.

“Altar Setan terletak di sebelah utara kota kadipaten, Kakang. Tepatnya di tengah Hutan Rawandaka...,” jelas Kenanga.

Perjalanan yang sebenarnya cukup jauh itu tidak memakan waktu terlalu lama bagi mereka. Menjelang fajar, Pendekar Naga Putih dan Kenanga telah tiba di mulut Hutan Rawandaka.

“Di sinilah pasukan yang dikirim Paman Jata Logaya menemui kematian. Menurut paman, mereka tewas tanpa segores luka pun di tubuh. Aku sendiri hanya mendengar ceritanya. Kejadian itu sudah dua purnama yang lalu...,” ujar Kenanga menunjukkan tempat mayat-mayat pasukan yang dikirim pamannya untuk mencegah korban Altar Setan.

“Hm..., apa kau pernah menyelidiki tempat itu...?” tanya Panji seraya menoleh kepada kekasihnya.

Kenanga balas menoleh lalu mengangguk. “Bahkan seluruh pelosok Hutan Rawandaka telah kujelajahi. Tapi, tak kutemukan adanya tempat yang kira-kira menjadi persembunyian penganut aliran sesat itu. Aku sendiri belum pernah melihat dengan mata kepala, korban di atas Altar Setan. Karena belum ada satu purnama aku tinggal di Kadipaten Tumapel. Padahal aku ingin sekali membuktikan kebenaran cerita pamanku itu,” jelas Kenanga yang membuat Panji menganggukkan kepalanya, memaklumi. Karena memang belum ada satu purnama kekasihnya tinggal di kadipaten itu.

Pembicaraan mereka terhenti saat memasuki kawasan Hutan Rawandaka. Keduanya pun segera memperlambat langkah. Kewaspadaan ditingkatkan. Sebab, bukan tak mungkin kalau dalam keremangan itu me- reka tengah diawasi lawan. Namun, sampai di dekat batu pipih tempat persembahan dilaksanakan, Pendekar Naga Putih tak menemui halangan sedikit pun. Hal itu membuat keduanya merasa agak lega, kendati tak melupakan kewaspadaan.

“Itulah yang dinamakan Altar Setan, Kakang,” bisik Kenanga mengarahkan jari telunjuk ke sebuah batu pipih, yang berjarak sekitar delapan tombak dari mereka.

“Hm..., kelihatannya memang ada sesosok tubuh terbaring di atas Altar Setan itu. Ada baiknya kalau kita berhati-hati. Siapa tahu mereka masih berada di sekitar tempat ini dan tengah mengawasi kita...,” ujar Panji seraya menghentikan larinya lalu mengawasi batu pipih tempat persembahan itu. Pendengarannya dikerahkan untuk menangkap suara-suara mencurigakan. Namun, hanya desau angin malam dan gemerisik dedaunan yang tertangkap pendengarannya.

“Kau mendengar sesuatu, Kakang...?” tanya Kenanga. Dia merasa kalau daya pendengaran Pendekar Naga Putih jauh lebih baik dari dirinya.

Pendekar Naga Putih hanya menggeleng perlahan. Kemudian mengajak Kenanga untuk menghampiri Altar Setan. Keduanya bergerak hati-hati sambil tetap memasang indera pendengaran.

“Sebaiknya kau jangan terlalu dekat, Kakang” Tiba-tiba saja Kenanga mencekal lengan kekasihnya. Karena dilihatnya sosok tubuh wanita dalam keadaan polos tanpa penutup, berada di atas batu itu. Sebagai seorang wanita, tentu saja dia tak ingin kekasihnya menyaksikan tubuh polos itu dari dekat.

Pendekar Naga Putih terpaksa berhenti. Kepalanya menoleh dan menatap tajam wajah kekasihnya. Karena baginya sangat penting untuk melihat bagaimana keadaan mayat korban persembahan itu. Dari situ dia baru dapat mengambil kesimpulan. Hal itulah yang membuat pendekar muda itu harus menolak maksud Kenanga.

“Kurasa tak ada salahnya kalau aku melihat lebih dekat, Kenanga. Hal itu sangat penting bagi penyelidikan kita. Karena untuk dapat menyingkap keanehan ini, kita harus tahu bagaimana cara korban itu tewas. ,” jelas Panji mengemukakan alasannya.

“Tapi... tubuh perempuan di atas Altar Setan itu tanpa pakaian, Kakang. itu sebabnya aku melarangmu melihatnya dari dekat,” sanggah Kenanga bersikeras. Karena dia merasa risih jika kekasihnya melihat keadaan korban yang terbujur tanpa pakaian itu.

“Kenanga, dalam hal ini kita harus bisa menjauhkan pikiran yang tidak-tidak. Selain itu, kalaupun aku ingin melihat tubuh wanita muda tanpa pakaian, rasanya tak perlu susah-susah. Tubuhmu sendiri jauh lebih sempurna ketimbang perempuan mana pun! Dan aku percaya akan dapat menikmati sepuas-puasnya. Bukankah kau sudah menyerahkan dirimu bulat-bulat kepadaku...?” kilah Panji yang membuat wajah Kenanga berubah kemerahan.

Terhadap bantahan itu, Kenanga tak memberi tanggapan. Dia merasa apa yang dikatakan Pendekar Naga Putih tidak berlebihan. Gadis itu memang sudah siap menyerahkan dirinya untuk kekasihnya. Mungkin, seandainya pendekar muda itu menginginkan dirinya, Kenanga tak akan mampu menolak. Mereka belum resmi menjadi suami istri, tapi Kenanga telah menganggap bahwa dirinya istri Panji. Dan setiap saat Kenanga siap untuk melayani pemuda pujaan hatinya itu.

“Baiklah, Kakang...,” akhirnya Kenanga mengalah. Tapi kau jangan terlalu lama melihatnya, ya...?”

“Akan ku usahakan secepat mungkin. Tapi, tentu saja harus memeriksanya dengan teliti. Dan untuk itu rasanya memang perlu waktu yang cukup...,” tukas Panji seraya tersenyum menggoda.

"Tuh, kan...,” gerutu Kenanga. Wajahnya langsung berubah cemberut dengan mata melotot menatap kekasihnya.

“Sudahlah! Hal itu tak perlu kita persoalkan. Kalau kau merasa cemburu, nanti kau boleh tunjukkan tubuh indahmu di hadapanku, bagaimana? Kau setuju...?” usul Panji dengan wajah sungguh-sungguh. Padahal tentu saja ucapan itu hanya sekadar menggoda.

“Huh, enak di Kakang tak enak bagiku!” tukas Kenanga seraya mencibir. Kemudian melangkah lebar menghampiri Altar Setan.

Panji tertawa kecil. Kemudian mengikuti langkah kekasihnya mendekati tempat mayat perempuan muda itu terbaring kaku. Kenanga melangkah lebih cepat. Sedangkan Panji perlahan saja tanpa terburu-buru. Tiba di dekat altar, Pendekar Naga Putih segera memeriksa dengan teliti sekujur tubuh telanjang yang tampak pucat itu. Hatinya merasa heran ketika tak menemukan luka sedikit pun di tubuh mayat itu. Bahkan tidak terdapat tanda-tanda bekas pukulan. Suatu kematian yang aneh dan sulit untuk diketahui penyebabnya.

“Cukup, Kakang!” sentak Kenanga seraya menarik lengan Panji menjauhi Altar Setan. Kemudian dimintanya Panji agar melepaskan jubah luarnya untuk menutupi tubuh mayat wanita muda itu.

“Sebaiknya langsung saja kita kuburkan di tempat ini, Kenanga! Kita tak perlu memperlihatkan mayat ini kepada Paman Jata Logaya! Beliau pasti sudah beberapa kali melihatnya...,” usul Panji setelah Kenanga membungkus mayat itu dengan jubah putih.

“Memang sebaiknya begitu, Kakang. Aku setuju dengan usulmu,” sahut Kenanga.

Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih segera mencari tempat yang kira-kira cukup baik untuk mengubur mayat itu. Dibuatnya sebuah lubang yang agak dalam. Kemudian dikuburkannya mayat itu.

“Aku masih belum percaya kalau di sekitar Hutan Rawandaka ini tidak ada tempat yang menjadi markas orang-orang sesat itu. Sebaiknya kita selidiki lagi secara lebih teliti...,” usul Panji setelah selesai mengubur mayat perempuan muda yang malang itu.

“Aku pun masih penasaran, Kakang. Kendati telah menyelidiki tiap jengkal wilayah hutan ini...,” timpal Kenanga yang langsung saja menyetujui usul kekasihnya.

Sebentar kemudian, pasangan pendekar muda itu sudah melangkah menyelusuri seluruh pelosok Hutan Rawandaka. Boleh dibilang hampir setiap jengkal tanah mereka teliti dengan cermat. Namun, sampai pagi menjelang, mereka tetap tak memperoleh hasil yang diinginkan. Sampai akhirnya mereka menghentikan pencarian itu.

“Aku tak yakin kalau mereka tinggal jauh dari Hutan Rawandaka ini...,” gumam Panji yang tampak masih penasaran. Karena nalurinya mengatakan bahwa markas penganut ilmu hitam itu berada di sekitar Hutan Rawandaka.

“Hm..., bagaimana kalau kita menyelidiki desa-desa di sekitar Kadipaten Tumapel ini, Kakang. Kita cari keterangan desa mana yang telah kehilangan warganya. Mungkin dengan begitu kita bisa memperoleh gambaran tentang para pelaku kebiadaban ini...,” usul Kenanga yang tampak bersikeras untuk mampu menyingkap rahasia Altar Setan itu.

“Begitu pun bagus!” sahut Panji. “Tapi, untuk itu kita harus berbicara dulu kepada paman dan bibimu. Aku tak ingin mereka menjadi khawatir, kalau kita bertindak tanpa sepengetahuan mereka”

“Memang sebaiknya begitu, Kakang. Dan kalau perlu hanya paman dan bibi saja yang tahu. Seperti apa yang pernah paman katakan, beliau curiga kalau-kalau ada orang dalam yang berpihak kepada pemberontak yang dipimpin Darmanggala. Dan kemungkinan penyelidikan kita akan menemui kegagalan, kalau sampai tersebar di lingkungan kadipaten...,” ujar Kenanga. Gadis berpakaian hijau itu memang sangat hati-hati dalam bertindak.

Pendekar Naga Putih tersenyum mendengar ucapan kekasihnya. Diam-diam dia merasa bangga. Kenanga sekarang tampak lebih matang dalam berpikir dan berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan.

“Hm, gagasanmu itu memperlihatkan sikap kematanganmu, Kenanga. Aku senang dengan orang yang lebih banyak berpikir sebelum bertindak. Artinya tidak gegabah. Hhh..., rupanya kau sudah belajar banyak dari pengalamanmu selama ini...,” ujar Panji seraya menatap kekasihnya tanpa menyembunyikan rasa kekagumannya.

"Terima kasih atas pujianmu, Kakang.” Hanya itu yang diucapkan Kenanga. Meskipun sesungguhnya di wajah cantik jelita itu tampak rasa bangga yang bergayut di hatinya. Gadis mana yang tak merasa bangga dipuji pemuda pujaannya. Kenanga pun tak terlepas dari perasaan itu.

********************

TIGA

Adanya sekelompok orang yang mengorbankan gadis-gadis muda pada setiap malam purnama di Altar Setan, ternyata tak hanya menjadi perhatian pihak penguasa Kadipaten Tumapel. Namun, telah mengusik pula hati kaum rimba persilatan. Banyak tokoh yang mengaku sebagai pendekar pembela keadilan, merasa berkewajiban untuk menghentikan upacara persembahan biadab itu.

Tidak hanya tokoh-tokoh perorangan yang tertarik untuk menghentikan kegiatan kelompok beraliran sesat itu. Beberapa perguruan yang mendengar berita itu pun mengutus murid-murid andalannya. Jelas persembahan terkutuk di Altar Setan telah membuat kaum persilatan merasa marah.

“Kegiatan biadab itu pasti didalangi seorang tokoh sesat yang berjiwa iblis. Entah apa yang diharapkannya dari persembahan itu. Yang pasti perbuatan mereka harus kita hentikan!”

Seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima tahun, berkata kepada kawannya dengan nada berapi-api. Sepasang matanya mencorong tajam saat mengucapkan kata-kata itu. Dari tatapan mata itu dapat ditebak kalau lelaki gagah ini merupakan tokoh rimba persilatan. Tatapan matanya yang tajam itu memperlihatkan bahwa tenaga dalam yang dimilikinya telah mencapai tingkat tinggi.

Lelaki bertubuh tinggi dan kurus yang berdiri disampingnya tampak mengangguk-anggukkan kepala, seakan-akan cocok dengan pikirannya. Saat itu keduanya hampir tiba di perbatasan sebuah desa. Dari langkahnya yang ringan dan mantap dapat diketahui kalau lelaki tinggi kurus ini pun bukan orang sembarangan. Setidak-tidaknya pasti menguasai ilmu silat yang tak dapat diremehkan.

“Sepak terjang kaum golongan sesat memang aneh-aneh saja. Tampaknya mereka sengaja membuat kekacauan selagi perhatian pihak Kadipaten Tumapel tengah terpusat kepada para pemberontak yang dipimpin Darmanggala. Dengan begitu, mereka dapat terlepas dari perhatian pihak Kadipaten Tumapel. Kekacauan ini mereka pergunakan sebaik-baiknya untuk suatu kepentingan yang merugikan orang banyak. Hhh..., sangat licik sekali manusia-manusia keji itu! Bagi kita, jelas ini merupakan suatu kewajiban yang harus dipi- kul. Kita harus menghentikan...!” sambut lelaki tinggi kurus tak kalah semangat dengan kawannya.

“Hm...” Lelaki gagah di sebelahnya bergumam perlahan. Keningnya tampak berkerut setelah mendengar ucapan kawannya. Kelihatannya dia tengah berpikir keras.

“Gontara...,” ujarnya memanggil kawan di sampingnya. Matanya yang tajam menatap lelaki bernama Gontara yang berusia lebih muda sepuluh tahun darinya.

“Kau sepertinya hendak menyampaikan sesuatu, Kakang Pegantar? Katakanlah!” sahut Gontara ketika melihat kerutan pada kening kawannya.

“Menurutmu, mungkinkah kedua kelompok itu mempunyai hubungan satu sama lain...?” tanya Ki Pegantar sebelum mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya saat itu.

“Maksudmu...?” Gontara balik bertanya. Kendati sudah mulai menduga, dia ingin ketegasan lebih dulu dari Ki Pegantar.

“Begini, Gontara,” ujar Ki Pegantar kembali mengalihkan perhatiannya ke depan. “Setelah mendengar keteranganmu tadi, timbul kecurigaan dalam hatiku. Sebab, antara pemberontak Darmanggala dan kelompok sesat itu seakan-akan ada kesepakatan. Secara tak langsung mereka telah sama-sama membuat kewalahan Penguasa Kadipaten Tumapel. Jadi, bukan tak mungkin kalau di antara kedua kelompok itu ada hubungan satu sama lain. Dan kalau aku boleh menduga..., kelompok sesat itu merupakan orang-orang suruhan Darmanggala. Tujuannya jelas untuk mengacaukan perhatian penguasa kadipaten.”

“Wah, kalau benar demikian, tugas kita jelas tak ringan, Kang. Hhh...!” tukas Gontara yang kemudian menghela napas berat. Tapi, ucapan itu tentu saja bukan karena dia merasa gentar. Ki Pegantar tahu hal itu.

“Karena itu, kupikir kita mesti lebih berhati-hati dan selalu berwaspada. Jangan gegabah dalam bertindak!” Ki Pegantar mengingatkan.

“Ya...,” desah Gontara singkat. Kepalanya tampak mengangguk-angguk pelan.

Pembicaraan kedua lelaki itu sementara terhenti. Karena saat itu keduanya sudah memasuki perbatasan Desa Gending. Khawatir kalau-kalau pihak lawan memiliki banyak mata-mata, mereka mulai bertindak hati-hati. Dan tidak sembarangan berbicara.

Saat itu matahari sudah tinggi. Perjalanan yang cukup jauh, membuat perut mereka terasa perih. Sehingga, begitu memasuki Desa Gending, keduanya langsung bersepakat untuk singgah di sebuah kedai makan yang tak jauh dari mulut desa itu.

Ki Pegantar dan Gontara langsung mengambil tempat kosong setelah memasuki kedai. Siang itu pengunjung tampak tak terlalu ramai. Sehingga mereka bisa memilih tempat duduk yang agak terpisah dari pengunjung lain. Ki Pegantar langsung memesan makanan kepada pelayan yang menghampiri mereka: Kemudian duduk menunggu sambil sesekali mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kedai.

“Ah, kiranya sahabat-sahabat dari Perguruan Tangan Kilat telah tiba di desa ini...!”

Seruan lantang dan berat itu membuat Ki Pegantar dan Gontara tersentak kaget. Keduanya langsung saja mencari pemilik suara yang mengenali mereka berdua. Kening keduanya yang semula berkerut, dan hati berdebar tegang, kembali tenang ketika melihat seorang lelaki tinggi besar berpakaian serba merah melangkah menghampiri mereka.

“Orang Perguruan Beruang Merah...,” desis Ki Pegantar dan Gontara hampir bersamaan, seraya bangkit berdiri menyambut kedatangan lelaki berpakaian serba merah yang menyapa mereka.

“Orang-orang Perguruan Beruang Merah memang hebat sekali. Begitu melihat langsung dapat mengenali kami berdua. Benar-benar mengagumkan...!” ujar Ki Pegantar sembari membungkukkan tubuh kepada lelaki tinggi besar itu.

Hal serupa dilakukan Gontara. Kendati tahu siapa sebenarnya lelaki tinggi besar itu, Gontara merasa sedikit kurang senang, karena ucapan lelaki berpakaian serba merah itu seolah-olah hendak memperkenalkan mereka berdua kepada semua pengunjung kedai. Akibatnya mereka berdua jadi perhatian, meski hanya untuk beberapa saat.

“Kisanak terlalu memuji,” tukas lelaki tinggi besar itu tanpa mengurangi tekanan suaranya. “Siapa orang yang tak kenal dengan pendekar-pendekar dari Perguruan Tangan Kilat? Sungguh merupakan suatu kehormatan besar dapat bertemu dengan pendekar- pendekar gagah seperti kalian berdua...”

Ki Pegantar yang lebih tua dari Gontara dan lebih berpengalaman, dapat menyembunyikan perasaan tak sukanya terhadap lelaki tinggi besar itu. Senyumnya tetap mengembang. Dan sinar matanya tetap ramah menyambut ucapan lelaki berpakaian serba merah itu.

“Kalau aku tak salah, bukankah Kisanak yang berjuluk Beruang Cakar Baja dan merupakan orang kedua di Perguruan Beruang Merah? Sungguh suatu kehormatan besar dapat berkenalan dengan tokoh besar seperti Kisanak!” sambut Ki Pegantar yang segera dapat mengenali lelaki tinggi besar itu.

"Tidak salah , tidak salah! Tapi nama itu hanya sekadar julukan tak berarti. Mana bisa disejajarkan dengan orang-orang Perguruan Tangan Kilat yang telah terkenal kegagahannya?” tukas lelaki yang mengakui julukannya sebagai Beruang Cakar Baja. Ucapannya seakan-akan merendahkan diri. Namun, sikap dan pandangannya sungguh bertolak belakang. Tekanan suaranya pun terkesan menyombongkan diri.

Ki Pegantar sama sekali tidak peduli dengan sikap sombong Beruang Cakar Baja. Bahkan dengan ramah segera mempersilakan tokoh kedua dalam Perguruan Beruang Merah itu untuk bergabung. Lain halnya dengan Gontara yang merasa panas hatinya. Lelaki tinggi kurus ini mendengus sambil memalingkan wajahnya. Takut kalau-kalau tidak mampu menahan diri melihat sikap Beruang Cakar Baja yang terlalu sombong dan meremehkan mereka berdua.

“Rasanya aku sudah bisa menebak apa maksud dan tujuan kalian berdua berada di desa ini,” Beruang Cakar Baja kembali berkata, setelah menarik kursi dan duduk berhadapan dengan kedua tokoh Perguruan Tangan Kilat itu. "Tentu kalian berdua ingin menyelidiki tentang korban Altar Setan, bukan?”

Mendengar ucapan itu, Ki Pegantar dan Gontara tersentak kaget. Wajah keduanya berubah pucat, kemudian berganti merah. Mereka merasa bahwa Beruang Cakar Baja sepertinya sengaja mencari-cari perkara. Kalau tidak, mana mungkin dia akan mengumbar ucapan di depan orang banyak seperti itu. Dan ucapan itu membuat Gontara menggereng. Karena sikap Beruang Cakar Baja dianggapnya sudah keterlaluan.

“Hm..., tak kusangka kalau tokoh Perguruan Beruang Merah yang terkenal begitu sombong dan kasar! Tidak sepantasnya sikap seperti itu dimiliki seorang tokoh besar yang kesohor! Benar-benar membuat kecewa...!” desis Gontara kehilangan kesabaran. Sepa- sang matanya menatap tajam wajah Beruang Cakar Baja tanpa rasa gentar sedikit pun, kendati nama besar Beruang Cakar Baja telah didengarnya.

Ki Pegantar sendiri tak berusaha mencegah Gontara, karena dia pun sudah merasa jengkel melihat sikap sombong dan keterlaluan lelaki tinggi besar itu. Ki Pegantar ingin melihat bagaimana tanggapan Beruang Cakar Baja terhadap ucapan Gontara yang jelas telah kehilangan kesabarannya.

“Ha ha ha...!” Beruang Cakar Baja malah tertawa terbahak-bahak demi mendengar sindiran Gontara. Membuat kedua orang lelaki gagah itu saling bertukar pandang dengan wajah heran.

“Kisanak,” ujar Beruang Cakar Baja, setelah menghentikan tawanya. Matanya menatap tajam wajah Gontara. “Apa yang kukatakan tadi sudah bukan rahasia lagi. Sebelum kalian datang, sudah cukup banyak tokoh persilatan singgah di desa ini. Dan mereka pun punya tujuan sama dengan kalian berdua. Mengapa kalian masih hendak berpura-pura? Apa merasa takut, kalau maksud kalian sampai terdengar kelompok yang hendak kalian basmi itu? Kalau takut, mengapa harus susah-susah datang ke tempat ini?”

Brakkk!

“Beruang Cakar Baja! Rupanya kau tak memandang sebelah mata pun terhadap kami berdua!” geram Gontara dengan tubuh bergetar menahan marah. “Nama besarmu itu telah membuat kau sombong dan memandang rendah orang lain! Perlu kau ketahui kalau aku, Gontara tak pernah merasa gentar mendengar julukan-julukan kosong sepertimu! Dan aku tidak bisa terima hinaan ini!” tandas Gontara yang sudah bangkit sambil menggebrak meja.

Gelagat tidak baik itu membuat pengunjung kedai merasa cemas. Satu persatu mereka bangkit dan bergegas meninggalkan ruangan kedai. Takut kalau-kalau terjadi keributan yang dapat mencelakakan mereka.

Apa yang ditakutkan pengunjung kedai itu ternyata tidak berlebihan. Karena Beruang Cakar Baja sudah bangkit dari kursinya ketika mendengar ucapan Gontara. Wajah lelaki tinggi besar yang dipenuhi brewok itu tampak merah padam. Sepasang matanya menatap bengis wajah Gontara.

“Hm.... Lalu apa maumu, Cacing Kurus?!” tantang Beruang Cakar Baja yang sepertinya sengaja menghendaki keributan.

“Manusia sombong!” bentak Gontara tak dapat mengendalikan dirinya lagi. “Sambut pukulanku! Hih!”

Whuuut!

“Hm...!” Sambil mengucapkan makian itu Gontara langsung melancarkan sebuah pukulan keras ke wajah lawan. Namun serangan itu disambut dengusan dari mulut Beruang Cakar Baja. Seakan-akan mengejek kemampuan lawan. Meskipun tak urung lelaki brewok itu memiringkan kepala menghindarkan pukulan cepat Gontara.

Pukulan keras Gontara dapat dihindarkan. Bahkan dengan tak kalah cepat, Beruang Cakar Baja langsung mengirimkan serangan balasan.

“Heaaa...!”

Whuuut!

Jari-jari tangan kokoh yang membentuk cakar beruang itu meluncur deras hendak menyambar tenggorokan Gontara. Dari angin sambaran yangmenderukeras dapat diperkirakan betapa hebatnya kekuatan yang tersembunyi dalam cakar maut itu. Sehingga,Gontara sendiri sempat tersentak kaget merasakannya. Mengetahui kalau serangan itu mengancam nyawa Gontara, tentu saja Ki Pegantar tak tinggal diam. Lelaki gagah itu dengan cepat mengayunkan tangan guna memapak serangan Beruang Cakar Baja.

“Hih!”

Plak!

Dua kekuatan yang sama-sama tersalur lewat tangan saling beradu. Untung Ki Pegantar mengetahui kehebatan serangan Beruang Cakar Baja. Sehingga, lelaki gagah itu mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya untuk menangkis sambaran cakar maut itu. Kendati tubuhnya terdorong mundur dua langkah, jiwa Gontara berhasil diselamatkan.

Beruang Cakar Baja kelihatan tidak terlalu kaget ketika merasakan tangannya bergetar. Seakan dia cukup maklum kemampuan yang dimiliki Ki Pegantar. Kendati cengkeramannya gagal terpapak tangan lawan, Beruang Cakar Baja tak kehabisan akal. Tangkisan tenaga lawan dipergunakan untuk menyusuli dengan serangan berikutnya. Lengan yang besar dan kuat itu berputar dengan kecepatan tinggi. Bahkan kali ini tangan kirinya ikut bergerak disertai sambaran angin keras.

“Heaaa...!”

Wuttt! Wuttt!

Serangan Beruang Cakar Baja datang dengan kecepatan yang lebih hebat. Kali ini sasarannya Ki Pegantar. Dan ternyata lelaki gagah itu sudah siap menyambutnya dengan jurus kebanggaan Perguruan Tangan Kilat.

“Heaaa...!”

Bwettt! Bwettt...!

“Haits...!”

Dengan gerakan kaki yang lincah dan mantap, Ki Pegantar berhasil menghindari serangkaian cakaran jemari lawan yang datang begitu cepat dan beruntun. Dan langsung mengirimkan serangan balasan dengan jurus ‘Tangan Kilat Membelah Gunung’.

Tidak percuma Ki Pegantar menjadi orang kepercayaan Ketua Perguruan Tangan Kilat Serangan balasannya demikian cepat dan kuat. Terlebih perubahan gerak jemari tangannya yang sulit ditebak. Terkadang jari-jari tangan lelaki gagah itu meluncur datang dengan bentuk kepalan. Di saat yang lain telah berubah menusuk-nusuk dengan telapak terbuka. Bahkan, tak jarang serangannya menyerupai cengkeraman-cengkeraman kuat yang mendatangkan angin berkesiutan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja pertarungan itu telah berubah seru dan sangat menegangkan.

Beruang Cakar Baja agak kaget juga, ketika merasakan kehebatan serangan balasan lawan. Beberapa kali terdengar mulutnya mendengus gusar, ketika sepasang tangan Ki Pegantar mencecar dengan kecepatan yang luar biasa. Walaupun sampai sejauh itu tubuhnya belum tersentuh pukulan lawan, Beruang Cakar Baja tampak telah terdesak dengan jurus-jurus awal. Hal itu, karena Ki Pegantar seolah-olah tak ingin memberi kesempatan lawannya untuk menyerang. Didesaknya terus kedudukan lawan dengan jurus-jurus ampuh yang dimiliki.

“Heaaa...!”

Lewat sepuluh jurus kemudian, Beruang Cakar Baja terdengar membentak keras. Tubuhnya melompat ke belakang dengan lesatan panjang. Maksudnya untuk menjauhi lawan agar dapat mempersiapkan jurus-jurus baru untuk mengimbangi kehebatan jurus Ki Pegantar. Jurus ‘Tangan Kilat Membelah Gunung’ yang merupakan salah satu jurus ampuh dari Perguruan Tangan Kilat, dirasakan cukup hebat.

Tapi Ki Pegantar tampaknya tak mau memberi kesempatan sedikit pun bagi lawannya untuk mempersiapkan serangan balasan. Ketika tubuh Beruang Cakar Baja melesat ke belakang, lelaki gagah itu membentak keras. Dan tubuhnya meluncur dengan kecepatan tinggi mengejar lawannya seraya melancarkan hantaman telapak tangannya yang mendatangkan sambaran angin menderu.

“Heaaat...!” Wuttt...!

Bukkk!

“Hukh...!”

Suara keluhan tertahan terdengar dari mulut Beruang Cakar Baja ketika serangan cepat Ki Pegantar mendarat telak di dadanya. Tak ampun lagi tubuhnya yang gagah dan besar terdorong ke belakang. Hantaman telapak tangan Ki Pegantar tampaknya dilancarkan dengan tenaga dalam yang kuat Tubuh Beruang Cakar Baja akhirnya menerjang sebuah meja kedai yang ada di belakangnya.

Brakkk!

“Hukh! Huh..., Keparat!”

Beruang Cakar Baja ternyata memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa. Kendati serangan itu demikian keras menghantam dadanya, hingga terbanting dan menabrak meja, dengan cepat tubuhnya langsung melompat bangkit. Wajahnya tampak memerah dengan sorot mata tajam penuh kemarahan. Seakan-akan lelaki bertubuh besar ini tak merasakan sakit akibat pukulan tenaga dalam lawan. Buktinya pukulan Ki Pegantar tak membuat luka dalam di tubuhnya. Bahkan justru membuatnya semakin berbahaya.

“Hmh...!” Disertai sebuah dengusan panjang, Beruang Cakar Baja mempersiapkan jurus andalan. Sepasang tangannya bergerak dengan jemari membentuk cakar. Terdengar suara angin berkesiutan menandakan betapa kuatnya tenaga yang kali ini dikerahkan lelaki bertubuh besar bagaikan raksasa itu.

Ki Pegantar menunda serangan lanjutan, ketika tahu lawan telah siap dengan jurus andalannya. Lelaki gagah itu pun sadar akan kehebatan jurus ‘Cakar Beruang’ yang dipergunakan lawannya. Dengan cepat segera dipersiapkannya jurus andalan, disertai mengatur gerak langkahnya ke kanan. Bersiap untuk menghadapi pertarungan selanjutnya.

“Yeaaat.”

Dibarengi pekikan keras menggelegar, Beruang Cakar Baja bergerak melakukan serangan. Suara telapak kakinya yang menginjak tanah, membuat kedai makan itu bergetar bagai diguncang gempa. Jari-jari tangannya yang membentuk cakar beruang, bergerak susul-menyusul dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa.

“Hih...!”

Whuuut! Whuuut...!

“Heaaa...!”

Ki Pegantar sama sekali tidak merasa gentar. Sepasang tangannya berputaran di depan dada dengan kecepatan tinggi. Dan diiringi teriakan yang nyaring, lelaki gagah itu bergerak cepat menyambut serbuan lawan. Pertempuran kali ini terlihat jauh lebih hebat dan seru dari sebelumnya. Kedua tokoh sakti itu sama-sama mengeluarkan seluruh kepandaian yang dimiliki. Sehingga, ruangan kedai yang semula tertata rapi berubah porak-poranda bagaikan diamuk gajah liar. Meja dan kursi beterbangan terkena tendangan ataupun angin pukulan yang nyasar. Sehingga, hampir semua benda di dalam ruangan itu dibuat hancur berantakan.

Setelah lewat dua puluh jurus, terlihat Beruang Cakar Baja mulai dapat menekan lawannya. Gerakannya yang jauh lebih kuat membuat Ki Pegantar tampak kewalahan. Tubuhnya terhuyung mundur setiap kali lengan mereka berbenturan. Bahkan kedua lengan tokoh Perguruan Tangan Kilat itu mulai terlihat memar dan bengkak di beberapa bagian. Jelas dalam hal kekuatan tenaga dalam Ki Pegantar harus mengakui keunggulan lawannya. Sampai akhirnya....

“Hiaaa!”

Breeet! Desss!

“Aaakh!” Ki Pegantar terpekik kesakitan. Tubuhnya terlempar ketika sambaran cakar dan tendangan lawan mendarat telak di dada dan perutnya. Lelaki gagah itu tak mampu mempertahankan kuda-kudanya. Sehingga terlempar menjebol dinding papan di belakangnya.

Brakkk!

Melihat tubuh lawannya terlempar menjebol dinding kedai, Beruang Cakar Baja melesat mengejar. Wajahnya kian beringas menggambarkan nafsu membunuh. Jelas dia hendak menghabisi nyawa Ki Pegantar.

“Bangsat...!” geram Gontara yang melihat kakak seperguruannya terancam maut. Tangannya langsung melolos pedang di pinggang. Kemudian melesat dengan sebuah bentakan keras. Pedang di tangannya meluncur cepat dengan tusukan maut mengancam perut Beruang Cakar Baja yang saat itu tengah melesat mengejar Ki Pegantar di luar kedai.

EMPAT

“Heaaat...!”

Whuuut!

Ujung pedang Gontara berkelebat cepat disertai deru angin keras. Sebuah serangan yang tak kepalang tanggung. Tampaknya Gontara telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun, Beruang Cakar Baja hanya mendengus penuh ejekan. Kemudian, menyampok pedang Gontara dengan tangan kanannya yang telah terlindung tenaga dalam. Tampaknya lelaki tinggi besar itu demikian yakin akan kekebalan tangannya. Terbukti tanpa ragu-ragu disampoknya pedang itu hanya dengan tangan telanjang! Dan....

Whuuut! Trakkk!

Suara keras mirip benturan dua buah logam terdengar, ketika tangan kanan Beruang Cakar Baja berhasil menyampok pedang lawan. Melihat kejadian ini, jelas kalau julukan yang disandangnya sebagai Beruang Cakar Baja bukan sekadar nama kosong. Terbukti sekali sampok saja pedang Gontara langsung patah menjadi dua bagian. Bahkan tubuh lelaki kurus bermata sipit itu terhuyung mundur dengan wajah menyeringai menahan sakit. Gontara merasakan pergelangan tangannya bagaikan remuk akibat kekuatan tenaga di tangan lelaki tinggi besar itu.

“Mampuslah kau! Hih!”

Dengan wajah beringas penuh amarah, Beruang Cakar Baja melesat memburu tubuh Gontara yang masih terhuyung-huyung. Sehingga....

Breeet! Breeet!

Gontara tak sempat melihat serangan jari-jari tangan sekuat baja itu telah merobek tenggorokan dan dadanya. Darah segar menyembur seiring robohnya tubuh lelaki kurus bermata sipit itu. Sesaat tubuhnya berkelojotan, tapi kemudian tak berkutik lagi. Kematian Gontara tampaknya belum membuat Beruang Cakar Baja puas.

Setelah melihat tubuh lawannya tewas terkapar berlumuran darah, lelaki tinggi besar itu melesat menghampiri Ki Pegantar yang saat itu sudah bangkit dengan gerakan limbung. Pakaiannya tampak telah basah berlumur darah yang mengalir dari luka di dadanya akibat cakaran lawan.

Kendati keadaannya cukup parah, Ki Pegantar sempat melihat tubuh adik seperguruannya yang terkapar tewas. Wajahnya memucat. Dirasakan sekujur tubuhnya gemetaran sehingga terhuyung beberapa langkah ke belakang. Kematian Gontara telah membuat jiwanya terguncang hebat. Itu terlihat dari kerut-kerut di wajahnya.

“He he he...! Itulah akibatnya bagi orang yang berani sesumbar di hadapan Beruang Cakar Baja...!” ujar lelaki tinggi besar itu mengejek sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Mengapa kau memusuhi kami, Beruang Cakar Baja? Bukankah di antara kita tak pernah ada persoalan? Kau..., kau telah menanam bibit permusuhan dengan Perguruan Tangan Kilat...,” desis Ki Pegantar yang belum mengerti mengapa Beruang Cakar Baja memusuhi mereka berdua.

Selama ini Ki Pegantar mendengar bahwa Beruang Cakar Baja merupakan tokoh yang memiliki kegagahan. Bahkan dia tahu persis kalau Perguruan Beruang Merah merupakan sebuah perkumpulan beraliran putih. Mengapa sekarang menyimpang jauh dari kebenaran? Bahkan membunuh rekan segolongan? Ki Pegantar benar-benar merasa tak habis pikir.

“Benar, di antara kita tak ada persoalan secara pribadi, Ki Pegantar. Tapi, karena kalian melakukan tindakan bodoh, ingin menyelidiki korban Altar Setan, maka beginilah akibatnya. Siapa pun yang hendak mencoba menyelidikinya, akan menemui kematian! Nah, sekarang bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut..!” ujar Beruang Cakar Raja mempersiapkan serangan mautnya untuk menghabisi Ki Pegantar.

“Mengapa..., mengapa kau bertindak demikian, Beruang Cakar Baja...?” Ki Pegantar masih belum mengerti secara keseluruhan, dan meminta keterangan dari tokoh bertubuh tinggi besar itu.

“Kau tak perlu tahu. Karena aku memang ingin membuatmu mati penasaran...!” Setelah berkata demikian, Beruang Cakar Baja tertawa terbahak-bahak. Kemudian tubuhnya melesat cepat disertai ayunan cakar mautnya.

“Hiaaa...!”

Whuuut!

Kendati keadaannya sudah cukup parah, Ki Pegantar masih berusaha untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan. Sebisa mungkin lelaki gagah itu mengelak dan masih berusaha membalas serangan lawan. Namun, jangankan dalam keadaan terluka seperti itu. Dalam keadaan biasa pun Ki Pegantar bukan tandingan Beruang Cakar Baja. Dan perlawanannya kali ini tidak berarti bagi tokoh tinggi besar itu. Terbukti dalam tiga jurus saja tubuh Ki Pegantar telah terkena cakar sekeras baja lawannya.

“Hiaaa...!”

Whuuut! Bret! Bret!

“Aaakh...!”

Serangan cakar maut yang secepat kilat mendarat di beberapa bagian tubuh Ki Pegantar. Seketika darah muncrat dari tenggorokan, mulut, dan dadanya yang tercabik cakar lawan. Setelah mengerang keras dan berkelojotan, Ki Pegantar tewas terkapar di depan kedai.

“Ha ha ha...!”

Tawa keras menggelegar terdengar dari mulut Beruang Cakar Baja yang merasa bangga atas kemenangannya. Lelaki brewok bertubuh besar itu lalu melesat masuk ke kedai, memanggil pemilik kedai dan para pelayan. Mereka tadi bersembunyi, ketika pertarungan itu berlangsung.

“Bereskan mayat mereka...!”

********************

Pendekar Naga Putih mengayunkan langkahnya memasuki batas Desa Gending. Di sebelahnya berjalan seorang dara jelita berpakaian serba hijau. Siapa lagi dara jelita itu kalau bukan Kenanga, kekasihnya. Hari telah senja ketika langkah pasangan pendekar muda itu memasuki mulut desa. Cuaca mulai terselimut keremangan. Semburat merah di kaki langit sebelah barat sebagai pertanda matahari telah merasuk ke peraduannya. Sebentar lagi malam akan datang menggantikan tugas sang Mentari. Tampak pula bulan pucat mulai menggantung di langit temaram.

“Hm..., malam sudah mulai jatuh. Sebaiknya kita bergegas untuk mencari tempat bermalam...!” ujar Panji seraya menoleh kepada Kenanga di sebelahnya. Langkahnya dipercepat melintasi jalan utama Desa Gending yang kering dan berdebu.

Kenanga hanya mengangguk perlahan seraya terus mengikuti langkah Panji untuk mencari penginapan. Keduanya bergerak memasuki sebuah kedai yang di depannya mulai diterangi lampu minyak. Di dalam ruangan kedai itu hanya ada beberapa orang yang sepertinya merupakan pendatang-pendatang seperti mereka berdua. Baik Pendekar Naga Putih maupun Kenanga mengetahui hal itu dari wajah-wajah lelah yang tengah menikmati hidangan di meja makan. Panji menganggukkan kepala ketika beberapa pasang mata serentak menoleh saat mereka memasuki kedai. Kemudian bergerak masuk menghampiri pemilik kedai.

“Paman, kami berdua pelancong. Karena kebetulan sampai di desa ini kemalaman, kami ingin bermalam di Desa Ganding ini. Apa kedai Paman juga menyediakan kamar untuk menginap...?” tanya Panji dengan suara rendah penuh keramahan.

“Wah, sayang sekali, Kisanak! Kamar yang kami sediakan sudah diisi orang. Harap Kisanak berdua mencari tempat lain. Kami benar-benar menyesal tidak bisa memenuhi permintaan Kisanak berdua,” jawab pemilik kedai dengan wajah menyesal.

“Tidak adakah persediaan kamar lain, Paman? Tidak perlu bagus, yang penting kami dapat beristirahat untuk malam ini saja,” ujar Panji agak memaksa. Karena saat itu hari sudah mulai gelap. Dan untuk mencari penginapan lain tentu agak sukar.

“Kami benar-benar mohon maaf, Kisanak. Kalau saja masih ada tempat, tentu kami akan suka sekali untuk menolong. Tapi, dengan sangat menyesal sekali kami tidak bisa menyediakannya. Harap Kisanak berdua tidak merasa kecewa...,” jawab pemilik kedai dengan memperlihatkan wajah sungguh-sungguh menyesal karena tidak bisa menolong kedua orang tamunya.

“Tolonglah, Paman! Berapa pun harga yang Paman minta akan kami bayar sekarang juga...,” timpal Kenanga. Seperti halnya Panji, dia pun tak ingin mencari tempat lain yang tentu tidak mudah. Karena biasanya di sebuah desa hanya ada satu penginapan. Maka, Kenanga mencoba dengan cara seperti itu untuk mendapatkan tempat bermalam.

“Menyesal sekali, Nisanak...,” jawab pemilik kedai bertubuh kurus itu sambil membungkuk-bungkukkan tubuhnya sebagai ungkapan menyesal tak dapat memenuhi permintaan Kenanga.

“Baiklah, Paman. Kalau memang tidak ada, kami tak bisa memaksa. Terima kasih atas keramahan Paman...,” ujar Panji, yang mulai menyadari tidak baik memaksa. Kalau masih ada kamar, tentu pemilik kedai tak mungkin menolaknya. Sebab, mana ada orang yang tidak ingin mendapatkan keuntungan besar. Sedangkan tawaran Kenanga jelas sangat menggiurkan.

Pendekar Naga Putih meminta maaf telah mengganggu pemilik kedai itu. Kemudian melangkah keluar diikuti Kenanga. Terpaksa mereka harus menyusuri keremangan malam yang diterangi sinar pelita yang bergantungan di depan rumah penduduk. Keduanya melangkah di jalan utama Desa Gending. Jalan dan desa itu tampak sepi sekali, karena penduduk Desa Gending kebanyakan telah masuk dan menutup pintu rumahnya. Padahal malam belum lama jatuh.

“Mudah-mudahan kita mendapatkan penginapan lain yang belum terisi penuh...,” gumam Kenanga penuh harap. “Rupanya desa ini cukup banyak disinggahi pendatang dari luar...”

“Hal itu tidak aneh, Kenanga. Kurasa, kabar tentang persembahan korban di Altar Setan itu telah memancing rasa penasaran dan marah di hati para tokoh persilatan. Bukankah selama perjalanan kita telah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh persilatan yang hendak menghentikan upacara biadab itu? Bahkan tak sedikit perguruan-perguruan di sekitar wilayah Kadipaten Tumapel yang mengutus muridnya untuk menyelidiki secara lebih jelas. Itu sebabnya mengapa penginapan tadi telah terisi penuh, tidak seperti biasanya,” ujar Panji mengingatkan kekasihnya tentang apa yang membuat penginapan tadi tidak dapat menampung mereka.

“Hm.... Kalau begitu, bagaimana jika kita menginap di rumah penduduk? Kita beri mereka imbalan yang pantas,” usul Kenanga, karena khawatir kalau tak ada lagi penginapan lain di Desa Gending itu.

“Kita lihat saja dulu! Desa ini cukup besar dan banyak disinggahi pedagang. Jadi ada kemungkinan terdapat beberapa penginapan ataupun kedai makan. Kalau memang tidak ada, nanti kita cari rumah penduduk yang kira-kira mau menampung kita untuk bermalam,” ujar Panji, mencoba menyabarkan hati Kenanga.

Pendekar Naga Putih sebenarnya merasa enggan kalau harus mengganggu penduduk. Dilihatnya sepanjang jalan yang dilalui, rumah-rumah tampak sudah tertutup rapat. Kenanga menyetujui ucapan kekasihnya. Keduanya terus berjalan menyusuri keremangan malam. Namun, tiba-tiba ada seorang lelaki bertubuh kurus dengan wajah terhias kumis jarang, menghadang perjalanan mereka.

“Kisanak berdua membutuhkan tempat untuk menginap?” tanya lelaki itu dengan sikap ragu-ragu dan penuh hormat. Pandangan matanya terlihat agak sayu menatap pasangan pendekar muda itu dengan penuhi harap.

Pendekar Naga Putih maupun Kenanga tak langsung menjawab. Mereka saling bertukar pandang sejenak. Kemudian meneliti sosok lelaki kurus yang kelihatannya sangat miskin itu. Karena pakaian yang dikenakannya kelihatan penuh tambalan. Dan wajahnya tampak seperti orang kurang makan. Pendekar muda itu menduga orang yang menghadangnya hendak menawarkan jasa dengan mengharapkan sedikit imbalan.

“Hm.... Kisanak dapat menunjukkan tempat penginapan untuk kami berdua?” tanya Panji yang sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan lelaki kurus berku-mis jarang itu.

“Di desa ini hanya ada satu penginapan yang letaknya di dekat mulut desa. Selain penginapan itu, tak ada penginapan yang lain,” jawab lelaki kurus itu seraya menatap wajah pemuda berjubah putih di hadapannya.

“Lalu, penginapan mana yang hendak kau tawarkan kepada kami?” tanya Kenanga.

“Kalau kisanak berdua benar-benar memerlukannya, aku bisa mencarikan. Tapi..., tempatnya tidak bagus dan besar. Lagi pula hanya ada satu kamar...,” jawab orang itu. Wajahnya kelihatan gelisah dan malu-malu.

“Besar atau kecil bukan soal bagi kami. Lagi pula kami hanya membutuhkan untuk satu malam. Kalau begitu, antarkan kami ke tempat yang kau sebutkan itu...!” ajak Kenanga tak sabar.

“Baik... baik...,” sahut lelaki kurus itu, lalu melangkah mendahului.

Pendekar Naga Putih dan Kenanga saling bertukar pandang, ketika lelaki yang belum dikenal itu membawa mereka melewati jalan di samping rumah penduduk yang terletak di tepi jalan. Kemudian melintasi kebun yang gelap. Setelah itu baru mereka tiba di depan se- buah rumah atau lebih tepat kalau dikatakan sebuah gubuk keluarga miskin. Letaknya pun agak terpencil dan dikelilingi pepohonan liar.

“Hm..., apakah rumah ini tempat tinggalmu...?” tanya Panji yang langsung dapat menduga karena lelaki itu kelihatan malu-malu dan takut.

“Be... benar, Kisanak...,” sahut lelaki kurus itu mengangguk namun tak berani menatap wajah pemuda tampan berjubah putih di sampingnya.

“Kalau kau hanya memiliki satu kamar, lalu di mana anak dan istrimu tidur jika kami menginap?” tanya Panji yang tentu saja hanya menduga-duga kalau orang itu punya keluarga.

“Kami bisa tidur di ruang depan. Dan aku akan menyediakan dua tempat tidur. Karena di dalam kamar hanya ada satu tempat tidur. Maklumlah kami orang miskin...!” sahut lelaki kurus itu semakin dalam menyembunyikan wajahnya.

Iba juga hati Kenanga maupun Panji melihat kehidupan lelaki kurus berkumis jarang itu. Kalau tadi keduanya berharap benar dapat memperoleh sebuah kamar penginapan, kini hatinya jatuh kasihan ingin menolong lelaki itu. Terlebih melihat wajah lelaki itu tampak menggambarkan harapan yang besar agar mereka berdua menerima tawarannya.

“Kami terima tawaranmu, Kisanak. Dan ini sekadar imbalan untuk kami berdua menginap” Kenanga langsung memberikan beberapa keping uang perak kepada lelaki kurus itu.

Namun mata lelaki itu terbelalak kaget dan seakan tidak percaya dengan penglihatannya.

“Ambillah...,” ujar Panji tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

“Tapi... tapi uang ini terlalu banyak...” Kendati mulutnya berkata demikian, kepingan uang perak itu diterimanya, lalu digenggamnya erat-erat. Kelihatan sekali betapa lelaki kurus itu merasa bingung. Matanya menatap Kenanga dan Panji berganti-ganti, masih memperlihatkan perasaan tak percaya.

Panji hanya tersenyum. Kemudian memerintahkan lelaki kurus itu untuk membawa mereka berdua ke dalam rumah. Sambil terbungkuk-bungkuk, lelaki kurus itu mempersilakan kedua tamunya agar masuk. Kemudian dia terburu-buru memasuki kamar yang hanya sebuah itu, lalu segera membenahi barang-barang di dalam dengan napas terengah-engah. Tampaknya lelaki kurus itu ingin memberikan pelayanan kepada Panji dan Kenanga dengan sebaik-baiknya.

Sebenarnya Panji tak tega ketika melihat lelaki kurus itu membangunkan istri dan anaknya yang masih kecil, dan memindahkan mereka ke ruang tengah. Ketika lelaki itu hendak membawa balai-balai yang ada di ruangan itu, Panji mencegahnya. Dan dikatakannya, bahwa satu pembaringan pun sudah cukup untuk mereka berdua menginap. Sehingga, lelaki kurus itu tak perlu menyuruh anak dan istrinya tidur di atas sehelai tikar butut.

“Terima kasih... terima kasih!” Berkali-kali lelaki kurus itu mengucapkan terima kasih sambil terbungkuk-bungkuk.

Panji sendiri hanya tersenyum dan membawa Kenanga masuk ke kamar yang sempit itu. "Tidak perlu bingung, Kisanak. Kami berdua cukup merasa senang dapat bermalam dirumahmu. Dan kau tak perlu ragu-ragu untuk menggunakan uang itu. Karena uang itu sebagai tanda terima kasih kami berdua,” ujar Panji ketika melihat lelaki kurus itu seperti kebingungan. Takut kalau-kalau kedua tamunya membatalkan untuk menginap.

Mata lelaki kurus itu berbinar-binar. Tubuhnya kembali terbungkuk-bungkuk kepada Panji. Sedangkan Kenanga sendiri sudah memasuki kamar yang sempit itu, bahkan merebahkan tubuhnya di atas balai-balai bambu yang sudah tua. Itulah yang dikatakan lelaki kurus itu sebagai tempat tidur. Namun, Kenanga sama sekali tidak mencela.

Panji pun tidak berkata apa-apa, ketika melihat keadaan kamar itu. Dan segera merebahkan tubuh di samping Kenanga. Panji tak merasa khawatir akan tergoda, kendati mereka berdua harus tidur satu pembaringan. Tentu saja pemuda berjubah putih itu terlebih dahulu berpesan kepada kekasihnya agar jangan berpikir yang bukan-bukan.

“Hi hi hi...! Kau takut tergoda ya, Kakang...?” tukas Kenanga seraya tersenyum ketika mendengar ucapan kekasihnya.

Panji hanya tersenyum. Kemudian merebahkan tubuhnya menghadap langit-langit. Kedua matanya langsung terpejam dan memusatkan pikirannya dengan menekan segala bayangan yang menari-nari di benaknya. Kenanga pun tampaknya tak ingin menggodanya. Dara jelita itu ikut memejamkan mata. Tak lama kemudian, terdengarlah dengkur yang halus, pertanda mereka telah terlelap.

Malam semakin larut. Tiupan angin di luar semakin dingin. Suara binatang-binatang malam bagai tak pernah lelah menemani kegelapan yang hanya diterangi bulan pucat.

LIMA

“Hhh...!”

Pendekar Naga Putih yang semula telah terlelap tiba-tiba menggeliat resah. Dinginnya udara malam bagaikan tak dirasa. Tubuhnya berpeluh. Kegelisahan aneh yang mengganggu tidurnya, memaksanya terbangun. Hatinya merasa heran sekali, ketika merasakan panas sekujur tubuhnya. Bahkan peluh terus saja mengalir tanpa diketahui apa penyebabnya. Keheranan itu semakin meningkat ketika dirasakannya ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya.

“Aneh? Mengapa ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ tiba-tiba bangkit tanpa sebab...?” gumam Panji yang baru menyadari apa penyebab hawa panas yang dirasakannya. Semua itu ternyata berasal dari kekuatan mukjizat yang ada dalam tubuhnya. Namun, hal itu tetap saja sangat mengherankan baginya. Karena kekuatan mukjizat itu tidak pernah bangkit, kecuali dipanggilnya.

Dengan penuh keheranan Pendekar Naga Putih menatap sekujur tubuhnya. Dan hatinya semakin terkejut ketika mendapat sinar kuning keemasan telah membungkus sekujur tubuh. Keadaan itu membuatnya menarik suatu kesimpulan bahwa ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ tengah bekerja melindungi dirinya. Itu berarti ada sesuatu yang mengancam dirinya. Namun Panji tak tahu apa yang membuat tenaga mukjizat itu bangkit untuk melindunginya.

Setelah memutar otak tapi tidak juga mendapatkan jawaban, Panji menoleh ke samping. Keningnya berkerut ketika melihat Kenanga sama sekali tak terganggu hawa panas yang keluar dari tubuhnya. Padahal gadis jelita itu berada di sebelahnya. Kenanga tetap terlelap. Seolah hawa panas itu sama sekali tak mempengaruhinya. Anehnya, pakaian dara jelita itu tampak telah dibasahi peluh? Jelas hawa panas yang keluar dari tubuh Pendekar Naga Putih juga dialami Kenanga. Namun, Kenanga tetap saja tertidur lelap? Tentu saja Panji semakin tak mengerti.

“Hm..., ini jelas ada yang tak beres...!” gumam Panji seraya melompat turun dari pembaringan. Gejolak hawa mukjizat itu tiba-tiba membuat dirinya tanpa sadar mulai menggerak-gerakkan kedua tangan. Keanehan pun semakin terasa. Tenaga mukjizatnya langsung mengalir deras seolah hendak menolakkan sesuatu.

Setelah beberapa saat hal itu dialaminya, tiba-tiba Kenanga menggeliat bangkit. Dara jelita itu tentu saja merasa bingung melihat pakaiannya telah dibasahi peluh. Dan lebih heran lagi ketika melihat Panji tengah melakukan gerakan-gerakan tangannya secara perlahan. Namun kelihatan jelas betapa gerakan itu mengandung kekuatan tersembunyi yang sangat hebat.

“Kakang..., ada apa...?” tanya Kenanga keheranan dengan keadaan yang dirasakannya. Terlebih melihat kekasihnya yang seperti tengah bertempur dengan sesuatu.

Pendekar Naga Putih tak menjawab. Hanya wajahnya yang menoleh dan tersenyum kepada Kenanga. Saat itu dia merasa ada sesuatu kekuatan aneh yang menyerangnya. Panji menyadari mengapa tenaga mukjizatnya bergerak melindungi dirinya tanpa dipanggil.

“Ada orang yang menyerang kita dengan menggunakan kekuatan gaib...,” jelas Panji setelah merasakan serangan itu mengendor untuk kemudian hilang sama sekali. Dan itu suatu tanda kalau si penyerang kalah olehnya.

“Apa yang dikehendaki manusia usil itu, Kakang...?” tanya Kenanga tak mengerti. Kendati barusan dirasakannya ada suatu hawa ganjil yang membuat pelupuk matanya terasa berat. Seolah dipaksa menutup.

“Mereka hendak membuat kita tertidur pulas,” sahut Panji yang segera dapat menebak, setelah memutar otak mengingat segala apa yang barusan menimpa mereka berdua. “Jelas ada orang yang bermaksud tidak baik terhadap kita berdua”

Sebelum Kenanga bertanya lagi, Panji sudah bergerak keluar dari dalam kamar. Ingatannya kepada pemilik rumah, membuat hatinya cemas. Tentu saja dia khawatir kalau-kalau tuan rumah pun mengalami hal seperti yang mereka berdua rasakan. Tapi....

“Hei, ke mana lelaki kurus tadi...?” desis Panji terkejut ketika melihat ruangan depan sudah kosong. Padahal sebelumnya pemilik rumah itu tidur bersama keluarganya di ruang depan. Kini ruangan itu ternyata telah kosong.

“Celaka! Jangan-jangan mereka dibawa pergi atau dibunuh orang jahat yang menyerang kita secara gaib, Kakang!” sahut Kenanga yang juga terkejut melihat ruang depan yang telah kosong itu.

Kenyataan itu tentu saja membuat Pendekar Naga Putih cemas. Hatinya khawatir kalau lelaki kurus pemilik rumah itu telah tertimpa musibah gara-gara memberi tempat menginap untuk mereka berdua. Dan Panji merasa bertanggung jawab atas keselamatan keluarga pemilik rumah yang miskin dan baik hati itu.

“Ayo kita cari...!” ujar Panji yang sudah bergerak dan mengulurkan tangannya untuk membuka pintu. Namun, tiba-tiba Panji menarik tangannya, tak jadi menyentuh daun pintu. Bahkan bergegas melompat mundur, karena saat itu telinganya menangkap suara desingan dari luar gubuk. Kenanga semula merasa heran melihat sikap kekasihnya. Tapi, ketika dia membuka mulut hendak bertanya....

Sing, sing, sing!

Krakkk! Krakkk!

Brakkk!

Daun pintu yang semula tertutup rapat itu mendadak patah dan cerai-berai. Disusul kemudian dengan meluncurnya benda-benda berkilat tertimpa cahaya lampu minyak.

“Kurang ajar...!”

Bukan main marahnya hati Kenanga melihat serangan gelap itu. Dengan cepat pedangnya dicabut. Seketika tampak cahaya keperakan dari pedang tipis itu. Kemudian mengelebatkannya menyambut senjata-senjata gelap itu.

Trang! Trang! Trang!

Dalam beberapa kali putaran pedang Kenanga berhasil memapak senjata-senjata rahasia yang mengancamnya. Seketika suara berdentangan terdengar memecah keheningan malam, diikuti terpentalnya senjata-senjata rahasia itu. Beberapa di antaranya membalik dan menancap tiang di depan rumah.

Hal serupa juga dilakukan Panji. Namun, tentu saja hanya menggunakan tangan kosong. Sekali mengibaskan tangan kanannya, benda-benda berkilat itu mencelat balik keluar pintu dengan kecepatan berlipat ganda.

Sing! Sing!

“Aaa...!”

Terdengar pekik kematian memecah keheningan malam. Rupanya penyerang-penyerang gelap itu termakan senjata yang berbalik menyerangnya.

“Kenanga, tinggalkan tempat ini...!” seru Panji ketika menyadari bahwa tempat mereka berada sangat mudah untuk dijadikan sasaran gelap ataupun jebakan-jebakan lainnya. Dengan cepat tubuhnya melesat menerobos kepingan pintu dan terus berlari ke luar.

Kenanga tentu saja maklum mengapa Panji mengajaknya keluar dari tempat itu. Maka, tanpa banyak membantah lagi, tubuhnya langsung melesat mengikuti kekasihnya. Pedang tetap tergenggam di tangan untuk menghalau serangan gelap yang mungkin akan menyerbu tubuhnya. Namun, bukan main kagetnya hati dara jelita itu ketika melihat sekelilingnya telah terkepung puluhan orang. Bahkan mungkin mencapai seratus orang lebih. Dan kelihatannya para pengepung itu merupakan orang-orang terlatih.

Pendekar Naga Putih dan Kenanga terkurung dalam lingkaran yang cukup luas. Puluhan pasang mata itu menatap penuh kebencian terhadap mereka berdua. Sekilas saja Kenanga langsung dapat menebak siapa adanya orang-orang itu.

“Mereka merupakan kaum pemberontak di bawah pimpinan Darmanggala yang hendak merebut Kadipaten Tumapel dari tangan penguasa yang sah!” bisik Kenanga di telinga kekasihnya. Sedangkan Pedang Sinar Bulan tetap melintang di depan dada. Siap menghadapi serbuan para pengepung.

Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Namun kepalanya mengangguk sebagai isyarat bahwa bisikan dara jelita itu didengarnya. Karena saat itu sepasang matanya tengah menyapu sosok-sosok pengepung. Hatinya tersentak ketika dilihatnya orang-orang berpakaian merah di antara mereka. Jumlahnya pun cukup banyak. Hampir sepertiga dari para pengepung itu.

“Hm..., coba kau perhatikan baik-baik, Kenanga! Bukankah di antara mereka banyak orang-orang berpakaian serba merah? Apa mereka anggota Perguruan Beruang Merah, atau sengaja hendak memfitnah perguruan itu...?” ujar Panji, memberitahukan Kenanga yang juga tengah menatap orang-orang berseragam serba merah itu.

“Hhh...! Mereka pasti hendak memfitnah orang-orang Perguruan Beruang Merah. Karena pamanku kenal baik dengan tokoh-tokohnya. Bahkan tak sedikit jago-jago dari perguruan itu yang mengabdikan dirinya di kadipaten...!” ujar Kenanga, terdengar menahan kegeraman hatinya. Karena dianggapnya para pemberontak itu sengaja hendak mengadu domba pihak kadipaten dengan Perguruan Beruang Merah.

“He he he...! Dengarlah, Pendekar Naga Putih! Malam ini kau dan kekasihmu akan menemui kematian di sini...! Aku tahu, sebenarnya di antara kita tak pernah ada permusuhan, tapi karena kau berpihak pada Kadipaten Tumapel, maka kami dengan sangat terpaksa harus melenyapkan kalian berdua! Tapi, tentu saja kami tak menutup kemungkinan untuk berdamai...!” Seorang lelaki tua berusia sekitar lima puluh tahun tampil ke depan. Dan mencoba berbicara dengan Panji yang telah mereka kenal sebagai Pendekar Naga Putih.

“Hm...! Apa maksudmu dengan jalan damai itu, Ki? Coba kau jelaskan secara lebih rinci...?” ujar Panji menimpali ucapan lelaki tua itu. Sambil berkata demikian, matanya menatap tajam wajah lawan bicaranya. Dia mencoba untuk mengenali siapa sebenarnya tokoh tua itu.

“He he he...! Sebuah pertanyaan yang bagus, Pendekar Naga Putih,” ujar orang tua itu seraya tertawa perlahan. "Tinggalkan Kadipaten Tumapel dan jangan campuri urusan kami!”

“Hm..., bagaimana jika aku tak mau...?” tanya Panji dengan sikap yang tetap tenang. Kendati tak mampu mengenali lawan bicaranya, dia tahu kalau lelaki tua itu bukan orang sembarangan.

“Jika itu sudah menjadi keputusanmu, kematianlah yang akan kau dapatkan!” tandas lelaki tua itu dengan sorot mata mengancam. Bahkan jari-jari tangannya mulai meraba gagang pedang yang tersampir di pinggang.

Pendekar Naga Putih tidak menyahuti lagi. Dia tetap diam, walaupun lelaki tua itu telah mengisyaratkan pengikut-pengikutnya untuk maju. Pemuda berjubah putih itu menyapu gerak langkah pengepungnya dengan pandang mata. Kenanga pun tetap berdiri tegak kendati pihak lawan sudah semakin dekat.

“Serbuuu...!”

“Heaaa...!”

“Yeaaat...!”

Seiring dengan seruan keras lelaki tua itu, para pengepung terdepan langsung merangsek maju. Mereka berteriak-teriak dengan senjata teracung. Siap merencah tubuh kedua pendekar muda itu.

Ketika jarak di antara mereka tinggal satu setengah tombak, dengan cepat Pendekar Naga Putih mempersiapkan tenaga saktinya. Kemudian, dengan kedua tangan telanjang dihalaunya setiap senjata yang meluncur menyerang.

“Heaaa...!”

Wusss!

“Aaakh...!”

Seketika hawa dingin yang menggigilkan tulang berhembus kencang dari tangan Pendekar Naga Putih. Dalam sekali kibas saja delapan orang penyerangnya terpental karena tak mampu menahan hawa dingin yang menjalar di tubuh mereka.

Kenanga pun tak tinggal diam. Pedang Sinar Bulan di tangannya bergerak cepat menyambut senjata-senjata lawan yang meluncur ke tubuhnya. Sekali dikibaskan, senjata-senjata lawan langsung terpapas putus. Sedangkan para pemiliknya terlempar ke kiri dan kanan, tak sanggup menghadapi kekuatan sambaran pedang dara jelita itu.

Para pengeroyok tersentak kaget melihat kecepatan serangan dara jelita itu. Hanya dalam dua atau tiga gebrakan saja belasan pengepung telah terjungkal dan pingsan. Mereka sama sekali tak menduga kemampuan kedua pendekar muda itu. Namun tetap saja para pengepung tak merasa gentar. Dengan teriakan-teriakan keras mereka terus merangsek lawan. Sehingga, sebentar saja Panji dan Kenanga telah menghadapi serbuan puluhan orang.

“Heaaa...!”

“Hiaaa...!”

“Kenanga, jangan sembarangan membunuh orang...!” teriak Panji memperingatkan kekasihnya, ketika gadis itu tampak demikian marah dan mengamuk bagaikan singa betina luka. Hati kecilnya tak setuju kalau Kenanga harus melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang hanya mengikuti perintah pimpinannya itu.

“Baik, Kakang...!” Kenanga tak ingin membantah, meskipun sebenarnya dia sangat ingin menghabisi lawan-lawannya. Karena mereka inilah yang menurutnya telah membuat susah paman dan bibinya. Pikiran itu yang membuat Kenanga demikian ganas dalam meng- hadapi lawan-lawannya.

Setelah mendengar peringatan kekasihnya, gerakan pedang Kenanga tidak seganas semula. Kalau tadi dia membabat habis setiap lawan yang maju mendekat, kini hanya melukainya. Namun, itu pun membuat lawan-lawannya tak berani lagi maju terlalu dekat. Bahkan setiap kali gagal dalam melancarkan serangan langsung melompat mundur.

Mereka takut menghadapi serangan balasan pedang Kenanga yang kecepatan sambarannya hampir-hampir tak tertangkap penglihatan mereka. Meskipun demikian kepungan mereka tetap tidak kendor. Sehingga Kenanga tetap terkurung puluhan orang lawan.

Dalam menghadapi keroyokan puluhan orang, Pendekar Naga Putih berusaha untuk tidak menewaskan lawan-lawannya. Sementara itu tak satu pun senjata lawan yang dapat menyentuh tubuhnya. Setiap kali senjata lawan berkelebat memburunya, selalu saja terpental balik. Tentu saja hal itu tidak aneh, karena tenaga dalam yang dimiliki Panji telah mencapai tingkat yang sulit diukur.

Itu sebabnya mengapa pedang lawan selalu terpental balik sebelum menyentuh tubuh yang terlindung lapisan kabut tipis berwarna keperakan itu. Bahkan dorongan kedua tangannya mampu membuat tubuh lawannya terhumbalang bagaikan dilanda angin topan salju. Itu sebabnya mengapa kepungan mereka terpecah. Di samping itu, mereka tampak mulai mera- sa gentar setelah melihat kehebatan pemuda tampan berjubah putih itu.

“Hmh...!” Melihat keadaan pengikutnya, lelaki tua pimpinan pemberontak itu menggeram gusar. Sejauh ini dia memang belum turun ke arena, masih menyaksikan pertarungan dari luar. Kini perasaan marah menggelegak di hatinya, menyaksikan keadaan yang tak menguntungkan pihaknya.

“Kalian berdua hadapi perempuan liar itu...,” perintah lelaki tua itu kepada dua orang lelaki botak yang semenjak tadi berdiri di kiri dan kanannya. “Aku sendiri akan menghadapi Pendekar Naga Putih”

Setelah kedua orang tangan kanannya itu melesat memburu Kenanga, lelaki tua itu menjejak tanah. Seketika tubuhnya melesat cepat memburu Pendekar Naga Putih yang tengah sibuk menghadapi lawan-lawannya. Secepat kilat lelaki tua itu melancarkan serangan. Kedahsyatan serangannya dapat dilihat dari angin keras yang ditimbulkan.

“Haaat...!”

Meskipun tengah sibuk menghadapi keroyokan dan desingan-desingan senjata, Pendekar Naga Putih sempat menangkap adanya suara sambaran angin yang jauh lebih kuat berada di belakangnya. Dia segera tahu kalau penyerangnya kali ini jelas memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Dengan cepat wajahnya menoleh sambil menggeser tubuhnya setelah melepaskan do- rongan telapak tangan kanan yang mampu menghem- paskan tubuh para pengeroyoknya.

“Heaaa!”

Bweeet! Bweeet!

Dua buah pukulan yang mengandung tenaga dalam kuat datang mengancam kepala dan badan Pendekar Naga Putih. Dengan cepat pemuda berjubah putih itu menggeser kaki kanannya ke belakang sambil memutar tubuh. Bersamaan dengan itu kedua tangannya dikibaskan cepat ke atas dan ke bawah.

“Hiaaa!”

Plakkk! Plakkk!

“Hah...?!” Lelaki tua pemimpin gerombolan itu tersentak ka- get. Kedua matanya terbelalak lebar, menatap kedua belah tangannya yang terasa bagaikan lumpuh setelah berbenturan dengan tangan lawan. Hawa dingin yang berasal dari tenaga mukjizat Pendekar Naga Putih menjalar hingga sebatas sikunya.

“Hih...!”

Wuttt!

Seakan-akan tak ingin memberi kesempatan pada lawan, Pendekar Naga Putih langsung menghentakkan kedua telapak tangan lurus ke dada lelaki tua itu.

“Celaka...!” pekik pemimpin gerombolan itu dalam hati. Seketika wajahnya berubah pucat ketika melihat datangnya serangan lawan. Hal itu karena disadari kalau kedudukannya sangat tidak memungkinkan untuk mengelak. Sedangkan kedua telapak tangan lawan sudah semakin dekat dengan sasaran. Sehingga....

“Hiaaa!”

Deggg!

“Hukkkh!”

Tak ampun lagi! Pemimpin gerombolan itu terpekik keras, ketika telapak tangan Panji mendarat telak di dadanya. Meskipun sebelumnya telah dikerahkan tenaga dalam untuk menahan serangan itu, tak urung tubuhnya terpental deras ke belakang. Dari mulutnya tersembur darah kental, sebelum tubuhnya terbanting keras ditanah.

Pukulan Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang dilan- carkan Pendekar Naga Putih ternyata lebih hebat dari kekuatan tenaga dalam lawan. Tampaknya pemuda berjubah putih itu tepat dalam perhitungannya. Dengan pengerahan setengah dari kemampuan tenaga dalamnya, lawan sudah tak mampu mengatasinya.

“Serbuuu...!”

“Hiaaa...!”

Meskipun lawannya terluka dalam, Pendekar Naga Putih tidak mempunyai kesempatan untuk melumpuhkannya. Karena tiba-tiba pengeroyoknya telah menerjang maju. Maksud mereka jelas, hendak mencegah apa yang hendak dilakukan pemuda tampan berjubah putih itu. Dan mereka memang berhasil. Karena pendekar muda itu memutar tubuh untuk menghalau serangan para pengikut lelaki tua itu.

Melihat tindakan para pengeroyok itu, Pendekar Naga Putih dilanda kejengkelan. Terbukti pemuda itu tak lagi mempedulikan tajamnya ujung senjata lawan, kemudian dengan tamparan serta tendangannya, menggebrak lawan yang datang mendekat. Seketika, belasan lawan terjungkal tanpa ampun. Tubuh-tubuh berpakaian hitam dan merah itu terkapar pingsan akibat amukannya. Kenyataan itu membuat lawan-lawannya berlompatan mundur. Tampaknya mereka merasa takut untuk mendekati pemuda itu.

Ketika lawan-lawannya tampak bingung, digunakan Pendekar Naga Putih untuk melesat mendekati Kenanga. Tubuhnya melenting ke udara dengan tiga kali putaran. Kemudian melayang turun ke tempat Kenanga yang tengah sibuk menghadapi puluhan orang pengeroyoknya. Di antara mereka tampak dua orang lelaki botak yang memiliki kepandaian cukup tinggi.

Meskipun tidak terdesak, kelihatan jelas betapa dara jelita itu kewalahan dalam menghadapi serbuan lawan-lawannya. Hal itu karena tenaga sabetan pedangnya harus dikurangi agar tak menewaskan lawan. Kalau tidak, belum tentu Kenanga akan serepot itu.

Sementara itu Pendekar Naga Putih yang melenting di udara langsung melancarkan serangan sebelum kedua kakinya menginjak tanah. Sehingga, dua orang lelaki botak yang tengah berusaha mendesak Kenanga terkejut dengan adanya sambaran angin dingin yang berkesiutan. Lebih kaget lagi ketika menoleh dan melihat sesosok bayangan putih yang melancarkan serangan terhadap mereka berdua.

“Heaaa!”

Wuttt! Wuttt!

“Aaah!”

Sadar bahwa serangan angin berhawa dingin menggigit itu sangat kuat, kedua lelaki botak itu tak berani bertindak ceroboh untuk memapakinya. Mereka dengan cepat berlompatan mundur menghindari serangan lawan. Tentu saja keadaan kedua orang itu membuat Kenanga sedikit lega. Karena tekanan terhadap dirinya seketika berkurang.

Pendekar Naga Putih yang melihat kedua orang lelaki botak itu berlompatan menghindar, segera menahan gerakannya, kemudian mencekal pergelangan Kenanga. Sebelum Kenanga sadar, pemuda berjubah putih itu segera membawa Kenanga pergi meninggalkan tempat itu.

“Kita harus meninggalkan tempat ini...!” ujar Panji ketika sempat menangkap gambaran keheranan di wajah kekasihnya. Sambil berkata demikian, tubuhnya melesat cepat di atas kepala lawan-lawannya yang terkesima. Mereka hanya merasakan sambaran angin dingin dan sosok bayangan putih yang samar-samar melintas di atas kepala mereka.

“Mengapa harus pergi, Kakang? Aku yakin kita mampu melumpuhkan mereka...?” tanya Kenanga karena merasa penasaran.

“Kita tak perlu melayani mereka. Yang harus kita cari adalah pimpinannya. Mereka hanya menuruti perintah, Kenanga. Kalau pimpinannya sudah dilumpuhkan, tentu para pengikutnya tak bisa berbuat apa-apa lagi...!” jawab Panji tanpa menghentikan larinya. Dan karena ilmu lari cepatnya sulit dicari tandingan, sebentar saja tempat itu telah tertinggal jauh. Sehingga, gerombolan itu tidak dapat menyusulnya. Apalagi mereka tak tahu ke arah mana pasangan pendekar muda itu berlari. Keduanya begitu cepat menghilang ditelan kegelapan malam.

“Keparat! Pendekar Naga Putih ternyata jauh lebih lihai dari perkiraanku! Kita harus melaporkan hal ini kepada Ki Darmanggala...!” geram lelaki tua pimpinan pemberontak itu dengan penuh rasa penasaran. Sedangkan dua lelaki botak yang mengapitnya tak menanggapi dengan kata-kata. Keduanya terdiam. Namun tampak kepala mereka mengangguk-angguk.

Setelah menyadari tak mungkin dapat menyusul Pendekar Naga Putih dan Kenanga, lelaki tua itu segera memerintahkan para anak buahnya agar segera meninggalkan tempat itu. Semuanya berpencar ke segala arah dengan membawa tubuh kawan mereka yang belum sadarkan diri. Sebentar saja tempat itu kembali sepi. Hanya desau angin dan gemerisik dedaunan yang terdengar.

ENAM

Sambil tetap mencekal lengan kekasihnya Pendekar Naga Putih terus berlari menembus kegelapan malam. Ketika telah berada jauh dari perbatasan Desa Gending, baru tangan Kenanga dilepaskan. Kendati demikian, mereka tetap mengerahkan ilmu lari cepat.

“Kita harus segera kembali ke kadipaten...,” ujar Panji sambil terus berlari.

“Mengapa, Kakang? Bukankah mereka tak mungkin dapat mengejar kita?” tanya Kenanga agak heran mendengar ucapan kekasihnya. Karena untuk dapat mencapai kota kadipaten mereka memerlukan waktu yang cukup lama. Paling tidak saat pagi menjelang mereka baru bisa tiba di Kadipaten Tumapel. Dan menurut Kenanga hal itu tak perlu dilakukan.

“Kejadian tadi membuatku curiga. Apalagi aku merasa yakin kalau lelaki tua pimpinan gerombolan tadi pasti bukan Ki Darmanggala. Selain itu, pasukan tadi tak terlalu besar jumlahnya...,” tukas Panji menggantung ucapannya yang jelas memang belum selesai.

“Maksud Kakang...?” tanya Kenanga seraya mengerutkan kening dan menatap wajah kekasihnya. Kebetulan saat itu Panji pun tengah menoleh. Sehingga, mereka saling bertukar pandang untuk sesaat.

“Aku khawatir kalau-kalau Ki Darmanggala saat ini tengah menggempur kota kadipaten bersama pasukan yang lebih besar jumlahnya...,” jawab Panji mengutarakan kecurigaannya.

Karuan saja Kenanga terkejut, karena tidak berpikir sampai sejauh itu. Sehingga kekhawatirannya seketika mencuat dalam hati. Bahkan seketika wajahnya berubah merah padam, tak mampu menyembunyikan kecemasannya. “Kalau begitu, kita harus bergegas, Kakang”

Tanpa menunggu jawaban Pendekar Naga Putih, Kenanga langsung saja menambah kecepatan larinya. Tubuhnya melesat mendahului Panji. Rasa cemas akan nasib paman dan bibinya, membuat Kenanga ingin segera tiba di kota kadipaten.

Melihat Kenanga sudah melesat mendahului, Pendekar Naga Putih segera menyusulnya dengan tak kalah cepat. Bagaikan seekor burung raksasa, tubuh pemuda berjubah putih itu melayang di udara mengejar kekasihnya. Dengan dua kali lesatan saja dia sudah menjajari langkah Kenanga. Dan melihat betapa wajah dara jelita itu tampak membayangkan kegelisahan, dia tidak berkata apa-apa. Kedua pendekar muda itu terus melesat cepat, tak mempedulikan suasana malam yang dingin mencekam.

Menjelang pagi, mereka telah sampai di depan gerbang selatan kota kadipaten. Tanpa mempedulikan penjaga gerbang istana, keduanya berkelebat cepat melewati gardu penjagaan. Penjaga-penjaga itu sempat tertegun sesaat ketika merasakan sambaran angin dingin yang cukup keras, dan seperti melihat ada bayangan yang melewati gerbang istana. Namun, karena gerakan Kenanga dan Pendekar Naga Putih terlalu cepat, sebentar saja bayangan keduanya lenyap. Para penjaga itu hanya bisa menggeleng dan menganggap semua itu merupakan tipuan mata saja.

Ketika sampai di dalam lingkungan kadipaten, Pendekar Naga Putih dan Kenanga sama-sama tersentak kaget. Mereka menemukan bekas-bekas pertempuran sengit. Bau amis yang semerbak menusuk hidung serta lumuran darah di beberapa tempat, menunjukkan bahwa pertempuran itu belum lama berselang. Selain itu di sekitar tempat itu tampak beberapa bangunan yang sepertinya baru saja dirusak orang. Meskipun melihat beberapa orang prajurit yang tengah membereskan tempat yang tampak berserakan itu, Pendekar Naga Putih dan Kenanga tak peduli. Keduanya langsung menemui Senapati JataLogaya.

“Paman...!” Kenanga langsung berseru ketika melihat seorang lelaki gagah berpakaian senapati tengah mengawasi para prajurit yang membereskan semua bekas-bekas pertempuran, termasuk mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman kadipaten.

Lelaki setengah baya yang terlihat masih gagah dan penuh wibawa itu langsung menoleh, ketika mendengar panggilan yang dikenalnya. Wajahnya terhias senyum begitu melihat Panji dan Kenanga berlari menghampirinya.

“Apa yang telah terjadi, Paman...?”tanya Kenanga sebelum Senapati Jata Logaya sempat membuka mulut.

Senapati Jata Logaya tidak segera menjawab. Setelah menghela napas panjang yang menggambarkan rasa penasaran di hatinya, lelaki separo baya itu melangkah meninggalkan tempat itu. Pendekar Naga Putih dan Kenanga bergegas mengikuti dari belakang.

“Saat menjelang tengah malam tadi, keparat Darmanggala bersama pasukannya datang menyerbu. Mereka mendobrak gerbang di sebelah utara, setelah melumpuhkan semua penjaga yang berada di tempat itu. Kemudian menyerbu masuk. Maksudnya sudah pasti hendak menguasai kadipaten. Untung saja para penjaga di dalam lingkungan kadipaten bertindak sigap dan memukul tanda bahaya. Sehingga, meskipun harus kehilangan banyak prajurit, mereka dapat kami usir meninggalkan tempat ini. Padahal sebenarnya mereka belum kelihatan terdesak. Sehingga, aku menduga kalau mereka tengah bersiasat. Tapi, biar bagaimanapun, hal ini membuat aku merasa lega dan bisa mempersiapkan pasukan, apabila mereka kembali datang menyerbu...,” jelas Senapati Jata Logaya sambil melangkah menuju bangunan tempat tinggalnya.

"Tapi..., seharusnya penjaga-penjaga di gerbang utara sudah memberi tanda sebelum Darmanggala beserta pasukannya dapat menjebol pintu? Apakah tak ada yang mendengar tanda dari mereka?” tanya Panji karena merasa ada kejanggalan dalam cerita yang dipaparkan Senapati Jata Logaya.

Mendengar pertanyaan itu, Senapati Jata Logaya kelihatan berpikir keras. Seakan-akan dirinya baru menyadari hal itu. Dan memang terasa agak aneh kalau sampai tanda dari gerbang utara tak terdengar. Padahal, seharusnya mereka sudah memberi tanda sebelum pihak musuh memasuki kota.

“Suranggala...!” Senapati Jata Logaya mengulapkan tangan seraya memanggil seorang perwira bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk. Perwira itulah yang ditugaskan menjadi komandan jaga semalam. Dan dia ingin bertanya sehubungan dengan pertanyaan Panji.

“Hamba, Kanjeng Senapati...,” ujar Suranggala seraya menghaturkan sembah kepada atasannya. Lelaki gagah itu berdiri tegak menunggu perintah dari atasannya.

“Suranggala, saat pasukan pemberontak belum menjebol gerbang utara, apakah kau tidak mendengar bunyi tanda bahaya dari penjaga di tempat itu?” tanya Senapati Jata Logaya seraya menatap tajam wajah perwira gagah di depannya.

“Hamba tidak mendengarnya, Kanjeng Senapati. Mungkin penjaga gerbang utara tak sempat membunyikannya. Kalau mereka sempat, sudah pasti para pemberontak itu tak akan bisa menjebol gerbang,” jelas perwira gagah itu tanpa pikir panjang lagi. Dan kelihatannya Suranggala begitu yakin dengan jawabannya.

“Kau yakin...?” tanya Senapati Jata Logaya menegasi

"Yakin sekali, Kanjeng Senapati!” sahut Suranggala tanpa keraguan sedikit pun. Bahkan dia berani menentang tatapan mata Senapati Jata Logaya. Sehingga senapati itu tidak meragukannya.

Setelah mendengar jawaban Suranggala, Senapati Jata Logaya kembali memerintah perwira itu untuk melanjutkan pekerjaannya. Kemudian melemparkan pandang pada Pendekar Naga Putih. Kelihatannya senapati Kadipaten Tumapel itu ingin melihat tanggapan Panji setelah mendengar jawaban yang tak diragukan lagi kebenarannya itu.

Tanpa banyak membuang waktu, Pendekar Naga Putih langsung saja menceritakan apa yang telah dialami ketika dirinya dan Kenanga menginap di Desa Gending. Juga mengutarakan kecurigaannya terhadap Perguruan Beruang Merah, yang muncul di antara pengeroyoknya.

“Hm...,” Senapati Jata Logaya bergumam dan berpikir keras setelah mendengar penjelasan Panji. Tampaknya senapati Kadipaten Tumapel itu tak bisa menerima kecurigaan Pendekar Naga Putih terha-dap perguruan yang sudah dikenalnya itu. Namun, hatinya pun berjanji akan mempertimbangkannya.

“Kalau perlu aku sendiri yang akan menemui Ki Kala Herang dan menceritakan hal ini,” ujar Senapati Jata Logaya yang tak ingin mengecilkan laporan Panji. Karena diketahuinya kalau pemuda itu tak mungkin berdusta.

“Menurutku, sebaiknya Paman jangan melakukan hal itu dulu. Awasi saja murid-murid Perguruan Beruang Merah yang mengabdi di kadipaten ini. Penyerbuan semalam membuatku curiga kalau di dalam lingkungan kadipaten ada pihak musuh. Untuk itu kita harus lebih berhati-hati. Mengenai Perguruan Beruang Merah, biarlah aku dan Kenanga yang mencari tahu,” ujar Panji mengutarakan pendapatnya.

Dan Senapati Jata Logaya menerima usul itu dengan senang hati. Karena batuan Pendekar Naga Putih tentu akan sangat banyak sekali gunanya. Setelah menyetujui usul itu, Senapati Jata Logaya berpamitan kepada pasangan pendekar muda itu. Demikian pula dengan Panji dan Kenanga yang meninggalkan tempat itu menuju gedung yang menjadi tempat tinggal Kenanga selama beradadi Kadipaten Tumapel.

********************

Malam bulan purnama. Sebelum menjelang tengah malam, Pendekar Naga Putih sudah bergerak meninggalkan kota kadipaten. Dia sengaja tidak mengambil jalan melewati gerbang, melainkan melompati pagar tembok setinggi satu setengah tombak. Kemudian melesat dengan menggunakan ilmu lari cepat menuju sebelah utara kota. Tidak berapa lama kemudian, pendekar muda itutelah tiba di mulut Hutan Rawandaka. Tanpa ragu-ragu lagi dia langsung memasuki hutan itu. kebetulan bulan bersinar terang.

Maksud Pendekar Naga Putihmendatangi tempat persembahan yang bernama Altar Setan. Dia tahu pada malam purnama seperti itu persembahan korban berlangsung. Hatinya telah bertekad akan menggagalkan persembahan malam purnama ini.Karena sudah pernah mendatangi tempat itu, tak ada kesulitan lagi bagi Pendekar Naga Putih menemukan Altar Setan. Dengan menyembunyikan diri dibalik semak belukar, matanya mengawasi Altar Setan dalam jarak sekitar lima belas tombak.

Malam semakin larut. Pendekar Naga Putih tetap bersabar menunggu waktu tengah malam. Pendengarannya yang tajam tiba-tiba menangkap ada gerakan di sekeliling tempat itu. Semula Panji mengira kalau suara langkah itu pastilah berasal dari para pengikut aliran sesat yang hendak melakukan upacara persembahan. Namun, kecurigaannya bangkit ketika menyadari bahwa suara langkah itu seperti mengepung tempatnya berada.

“Hm..., mungkinkah mereka sudah mengetahui kehadiranku...?” gumam Panji dalam hati. Mendadak sekujur tubuhnya mengejang. Dan sepasang matanya menyapu sekeliling tempat itu. Mendadak....

Siiing! Siiing!

Suara berdesingan nyaring terdengar. Pendekar Naga Putih terkejut, karena suara berdesingan itu datang dari segala penjuru, seakan-akan hendak menutup semua jalan.

“Kurang ajar!” geram Panji.

Sadar kalau dirinya berada dalam incaran maut, dengan cepat Pendekar Naga Putih mengerahkan tenaga mukjizatnya untuk melindungi seluruh tubuh. Seketika itu juga kabut bersinar putih keperakan menyelimuti sekujur tubuhnya. Sambil mengibaskan kedua tangannya dengan gerak berputar, pemuda berjubah putih itu melesat ke udara. Setelah bersalto beberapa kali putaran, tubuhnya mendarat ringan di atas tanah. Tampak tempat persembunyiannya tadi telah porak poranda terhantam puluhan batang anak panah.

Siiing! Siiing!

Baru saja Panji menjejakkan kedua kakinya di tanah, telinganya kembali menangkap suara desingan yang jauh lebih tajam. Kilatan sinar kemerahan tampak meluncur ke tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Pendekar Naga Putih tampaknya tahu kalau dirinya diserang secara curang dengan menggunakan pisau-pisau terbang beracun. Karena hal seperti itu pernah dialami sebelumnya. Semua itu semakin membuat hatinya geram.

“Heaaat...!”

Teriakan keras menggelegar yang diliputi kegeraman seketika terdengar dari mulut Pendekar Naga Putih. Dengan cepat diputarnya kedua belah tangan dengan pengerahan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’.

Wusss!

Sambaran angin dingin laksana topan salju, membuat pisau-pisau terbang yang meluncur memburu tubuh Pendekar Naga Putih langsung terpental balik. Dengan mengatur tenaganya, pemuda berjubah putih itu mampu membalikkan serangan gelap itu kepada pemiliknya. Dan....

“Aaa...!”

“Aaakh...!”

Sesaat kemudian, terdengar jerit kematian susul-menyusul dari sekeliling tempat itu. Kalau didengar dari suara pekikannya, Pendekar Naga Putih berhasil merobohkan lebih dari sepuluh orang. Lesatan pisau-pisau beracun itu ternyata beberapa kali lipat dari kecepatan semula. Sehingga sulit untuk dapat dihindari.

“Itulah hukuman bagi manusia-manusia curang dan pengecut!” seru Pendekar Naga Putih dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Sehingga, gema suaranya bergaung memenuhi tempat itu. “Keluarlah ! Ayo,hadapi aku secara ksatria...!”

Panji tidak perlu menunggu lama untuk melihat para penyerang gelap itu. Namun dia terkejut bukan main, ketika dilihatnya hutan yang semula gelap itu mendadak terang-benderang tak ubahnya di waktu siang. Obor-obor bermunculan di sekeliling tempat itu. Dan diperkirakan kurang lebih seratus obor. Belum lagi mereka yang muncul tanpa memegang obor. Sedikitnya orang yang mengepung tempat itu berjumlah tiga ratus orang. Tentu saja Panji terperanjat menyaksikan kejadian yang sungguh di luar dugaannya itu.

“Gila...! Kalau begitu mereka sudah menunggu kedatanganku! Keparat...!” geram Panji yang meskipun tak merasa gentar, hatinya sempat bergetar. Karena jumlah lawan demikian banyak. Jelas tidak mungkin dirinya sanggup menghadapi lawan sebanyak itu. Belum lagi kemungkinan adanya orang-orang berkepandaian tinggi di antara mereka. Satu-satunya jalan, dia harus berusaha untuk lolos dan pergi meninggalkan Hutan Rawandaka. Untuk itu dirinya harus membuka jalan darah.

Setelah pasukan yang jumlahnya ratusan orang itu bergerak semakin dekat, Pendekar Naga Putih segera mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Hatinya yang sempat kaget sudah mulai tenang. Karena dia teringat akan rencana yang telah diatur bersama Senapati Jata Logaya, Kenanga, dan juga Perwira Suranggala. Ingatan itu membuatnya merubah maksud semula. Kalau tadi Panji sudah mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar, kini justru hendak berusaha untuk mengulur waktu, dengan melakukan perlawanan terhadap gerombolan itu.

“Ha ha ha...! Kali ini kau tak mungkin dapat lolos dari kematian, Pendekar Naga Putih! Meskipun kesaktianmu sangat tinggi, sebagai manusia tenagamu pasti terbatas. Dan itulah saatnya kematianmu...!”

Seorang lelaki tua berusia sekitar lima puluh tahun tampil ke depan menghadapi Panji. Kelihatannya dia begitu yakin kalau malam ini akan berhasil melenyapkan Pendekar Naga Putih yang dianggapnya merupakan penghalang besar bagi cita-citanya. Itulah sebabnya mengapa dia tidak berputus asa dan berusaha keras untuk melenyapkan Pendekar Naga Putih.

Pendekar Naga Putih menatap tajam lelaki tua yang pernah dirobohkannya di Desa Gending itu. Kali ini lelaki tua itu bukan hanya ditemani dua orang berkepala botak Masih ada seorang lelaki tinggi besar berpakaian merah, yang tak lain Beruang Cakar Baja, serta seorang lelaki kurus yang membuat wajah Panji merah menyimpan kemarahan. Karena lelaki kurus itu adalah orang yang pernah menawarkan rumahnya untuk dipakai bermalam oleh Panji dan Kenanga. Baru disadari sekarang, bahwa peristiwa di Desa Gending telah diatur sebelumnya.

“He he he...! Kau masih ingat padaku, Pendekar Naga Putih?!” tegur lelaki kurus itu menyiratkan ejekan yang membuat Pendekar Naga Putih semakin geram.

“Hm.... Rupanya waktu itu kau memang sengaja hendak mencelakakan kami berdua. Keparat! Dasar manusia licik yang tak kenal budi!” desis Panji penuh kemarahan. Sama sekali tak disangka kalau lelaki yang saat pertama kali bertemu mendatangkan perasaan kasihan itu ternyata menjebaknya. Tentu saja kalau ingat peristiwa itu dia menjadi geram.

“He he he...! Makilah sepuasmu sebelum kematian datang menjemputmu, Pendekar Naga Putih...!” ejek lelaki kurus itu yang ternyata termasuk salah seorang pentolan pemberontak. Bahkan lelaki kurus itu pasti berkepandaian tinggi. Hal itu bisa dilihat dari orang-orang di kiri dan kanannya, yang merupakan pentolan-pentolan pemberontak. Mereka berlima memang merupakan kaki tangan utama Darmanggala, pimpinan pemberontak.

Pendekar Naga Putih menggertakkan gigi menahan kemarahannya. Ditekannya segala kejengkelan dan kegeraman dalam hati. Karena disadari perasaan itu hanya akan membuatnya lengah. Tentu saja hal itu akan sangat berbahaya mengingat banyaknya jumlah lawan. Dia berusaha untuk tidak mempedulikan lelaki kurus itu. Dan siap untuk menghadapi serbuan lawan.

“Hmh...!” Beruang Cakar Baja melompat maju, setelah mendapat isyarat dari lelaki tua yang menjadi pimpinannya. Demikian pula dengan lelaki kurus yang berjuluk Ular Hitam, serta dua orang berkepala botak yang menjadi pembantunya.

Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya ketika melihat empat orang lawan sudah berlompatan mengepungnya. Sepasang matanya bergerak mengikuti langkah kaki keempat pengepungnya. Sekali pandang saja dia langsung dapat menilai kalau lelaki tinggi besar dan lelaki kurus itulah yang lebih berbahaya. Sedang dua orang berkepala botak itu tak begitu diperhatikan. Karena pendekar muda itu sudah tahu sampai di mana kehebatan kedua orang lelaki botak.

“Heaaah...!”

Teriakan keras menggelegar terdengar ketika Beruang Cakar Baja melompat seraya mengayunkan kedua cakarnya yang siap mencabik tubuh lawan. Tokoh tinggi besar itu sudah mengerahkan seluruh kekuatannya. Karena disadari bahwa lawannya kali ini seorang pendekar besar yang berkepandaian sangat tinggi. Dan Beruang Cakar Baja tak ingin bertindak gegabah.

“Heaaa...!”

Ular Hitam menyusul gerak kawannya. Tubuhnya yang kurus melesat ringan ke depan. Kedua tangannya membentuk paruh ular. Gerakannya demikian gesit. Terutama kedua telapak tangannya yang meliuk lincah dan memagut-magut disertai sambaran angin berkesiutan. Jelas serangan lelaki kurus itu tak kalah hebat dengan serangan Beruang Cakar Baja.

“Hiaaa...!”

Ketika serangan kedua lawannya mendekat, Pendekar Naga Putih melompat ke samping sambil mengibaskan tangan kanan untuk memapaki sambaran cakar Beruang Cakar Baja. Kemudian segera melontarkan serangan balasan dengan tak kalah hebatnya.

“Yeaaah...!”

Wret! Wuuut...!

Dengan cakar naganya, Pendekar Naga Putih sengaja mencecar Ular Hitam. Karena hatinya sangat geram terhadap lelaki kurus yang pernah menjebaknya itu. Tentu saja Ular Hitam kelabakan, lalu berusaha menghindari serangan lawan sambil sesekali mengirimkan serangan balasan.

“Heaaa...!”

Wret!

“Heaaah...!”

Dua orang lelaki botak yang semula masih menunggu kesempatan, langsung menerjang maju ketika melihat Ular Hitam terdesak dan beberapa kali hampir tersambar cakar lawan. Pendekar Naga Putih terpaksa menunda serangan dan menarik mundur tubuhnya. Kemudian mengirimkan bacokan sisi telapak tangannya ke salah seorang lelaki botak itu.

“Heaaa...!”

Kreeekh...!

“Akh!”

Terdengar bunyi seperti tulang patah ketika tebasan tangan Pendekar Naga Putih menghajar tengkuk lawannya. Karuan saja lelaki berkepala botak itu tersungkur, dan tewas seketika.

TUJUH

“Kurang ajar...!” geram lelaki tua, pemimpin rombongan itu. Hatinya marah ketika melihat salah seorang tangan kanannya tewas di tangan Pendekar Naga Putih.

“Mundur...! Mundur kalian semua...!”

Serentak para tangan kanannya yang tengah melakukan serangan terhadap Pendekar Naga Putih segera berhamburan mundur, menjauhi lawan.

“Hujani dengan anak panah...!” perintahnya dengan suara menggelegar. Sesaat kemudian....

Wuuung! Wuuung!

Seketika itu juga terdengarlah suara mengaung tajam laksana ribuan lebah marah. Dan ratusan anak panah meluncur begitu cepat memburu tubuh Pendekar Naga Putih.

“Haits...! Heaaa!”

Sadar bahwa ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ tak mungkin dapat menahan anak panah sebanyak itu, bergegas Pendekar Naga Putih mengerahkan tenaga gabungannya. Sehingga, tubuhnya terselimut sinar kuning keemasan dan sinar putih keperakan.

Hawa dingin dan panas menyebar sejauh dua tombak lebih dari tempat pendekar muda itu berdiri. Gembong-gembong pemberontak itu berlompatan mundur dengan wajah pucat. Mereka terkejut bukan main ketika melihat keadaan tubuh lawan yang dengan hawa gabungannya mampu menggetarkan kekuatan tenaga dalam lawan. Dengan kekuatan tenaga gabungan yang luar biasa itu, Pendekar Naga Putih tidak gentar untuk menerima serbuan hujan anak panah. Sedikit pun tubuhnya tak bergeser dari tempatnya.

Wuing! Wuing...!

Trak! Trak...!

Puluhan anak panah yang hampir mendarat pada sasaran tiba-tiba berpentalan jatuh ke tanah. Belasan anak panah patah. Ada pula yang melesat berbalik. Benda-benda tajam itu seakan tertahan oleh dinding baja yang tak tampak. Bahkan hampir separo di antaranya runtuh dalam keadaan hangus bagaikan terbakar. Gelombang cahaya yang membungkus tubuh Pendekar Naga Putih, seakan tak mampu ditembus senjata apa pun.

“Gila!? Sepantasnya pemuda itu adalah jelmaan iblis neraka!” desis lelaki tua pimpinan pasukan itu. Dia benar-benar hampir tak percaya dengan apa yang terjadi di depan mata. Bahkan sempat tertegun untuk sesaat lamanya.

“Serbuuu...!” Begitu sadar, lelaki tua itu kembali memberikan perintah agar menyerbu Pendekar Naga Putih. Tapi....

“Hiii...!”

Sebelum ratusan pasukan itu menyerbu Pendekar Naga Putih, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang menggetarkan jantung. Disusul dengan munculnya sosok-sosok tubuh berjubah dan berselubung kepala hitam. Mereka langsung melayang turun di dekat pendekar muda itu dan melontarkan serangan hebat secara beramai-ramai.

“Hiii...!”

Whuuut! Whuuut!

“Hah...?!”

Sosok tinggi kurus yang tiba lebih dulu, langsung melepaskan serangkaian serangan maut. Terdengar deru angin yang keras dan tajam, pertanda bahwa penyerangnya memiliki tenaga dalam yang tinggi dan sulit diukur. Pendekar Naga Putih pun sempat terkejut dengan serangan dahsyat yang begitu cepat dan tiba-tiba itu. Pendekar Naga Putih mengangkat tangannya memapaki.

Sadar kalau kekuatan tenaga serangan itu sangat hebat, dia pun telah mengerahkan separo lebih dari tenaga gabungannya. Namun, rupanya serangan itu menebarkan hawa aneh yang membuat dirinya sempat tersihir. Hatinya segera menyadari kalau serangan itu juga menggunakan kekuatan gaib, yang bisa membuat lawan merasa tak sadar akan datangnya ancaman maut. Namun, hal itu tak berlaku bagi Panji.

Glarrr...!

Ledakan keras menggelegar terdengar ketika dua gelombang kekuatan saling beradu. Pendekar muda itu pun sempat tergetar. Tubuhnya terdorong beberapa langkah. Sedang wajahnya berubah seketika. Sama sekali tidak disangka kalau sosok berjubah hitam itu ternyata mampu mengimbangi kedahsyatan tenaga ga- bungannya. Padahal jarang tokoh yang akan mampu menghadapi gabungan tenaga mukjizatnya itu. Bahkan meski sempat terdorong mundur, sosok berjubah hitam itu masih mampu melancarkan serangan berikutnya. Mengetahui gerak cepat lawan, Pendekar Naga Putih segera melompat mundur menghindari serangan lawan.

Plak! Glarrr...!

Kedua pasang tangan yang berisikan hawa mukjizat itu saling bentur, menimbulkan ledakan yang memekakkan telinga. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah. Kemudian saling meneliti gerak langkah masing-masing. Seperti dua ekor ayam jago yang tengah mengukur kekuatan lawan.

“Hiii...!”

Kembali Panji dikejutkan lengkingan panjang yang memekakkan telinga. Cepat langkahnya digeser ketika melihat belasan orang yang mengenakan jubah hitam berlompatan ke tengah arena, dan langsung menyerangnya dengan pukulan-pukulan berhawa maut.

“Gila...! Baru seorang saja sudah sedemikian saktinya? Sekarang malah belasan orang yang datang menyerang! Mungkinkah malam ini akhir dari hidupku...?” desis Panji yang tentu saja sempat tergetar hatinya melihat datangnya belasan orang memakai jubah hitam sepanjang mata kaki.

Whuuut! Whuuut...!

Meski tidak sedahsyat tokoh yang pertama kali dihadapi, bagi Pendekar Naga Putih serangan belasan orang lawan itu tetap sangat berbahaya. Sehingga, untuk beberapa saat Panji dibuat sibuk oleh serangan yang datang laksana air bah itu. Tubuhnya melompat ke sana kemari untuk menghindar sambil sesekali melepaskan serangan balasan.

“Haaat...!”

Suara pekikan keras menggelegar terdengar memekakkan telinga ketika Pendekar Naga Putih tiba-tiba berteriak dengan ilmu ‘Pekikan Naga Marah’. Kemudian beberapa kali kedua lengannya yang telah terisi tenaga gabungan, dikibaskan dan didorongkan untuk menyerang lawan-lawannya.

Bukkk! Desss...!

Dua orang pengeroyok tak sempat menghindarkan pukulan maut yang dilancarkan Pendekar Naga Putih. Akibatnya tubuh mereka terlempar deras sampai beberapa tombak jauhnya. Darah segar seketika muncrat dari mulut mereka. Keduanya terbanting jatuh ke tanah dengan keras. Kemudian diam tak bergerak setelah kembali memuntahkan darah segar.

Sedangkan pengeroyok yang lainnya berloncatan mundur. Karena dalam kemarahannya, Pendekar Naga Putih mengerahkan hampir seluruh tenaga gabungannya. Dan tentu saja tak ada yang sanggup menahan gempuran dahsyat itu. Sehingga Pendekar Naga Putih dapat menarik napas lega kendati hanya untuk sesaat lamanya.

“Bedebah...!” geram sosok tinggi kurus yang pertama kali menggempur Pendekar Naga Putih. Wajahnya tampak murka sekali. Rupanya orang inilah pimpinan sosok-sosok berjubah hitam. Karena kepandaiannya memang paling tinggi di antara sosok-sosok berjubah hitam lainnya.

Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya dengan menyiapkan jurus andalannya. Sekarang dia baru dapat menduga siapa sebenarnya sosok-sosok berjubah hitam itu. Karena dari bentuk dan warna pakaiannya, mereka memang tak ubahnya kaum pemuja setan.

“Hm..., mereka inilah rupanya yang selalu mempersembahkan gadis-gadis di atas Altar Setan pada setiap purnama. Sudah kuduga kalau mereka mempunyai hubungan dengan gerombolan pemberontak yang dipimpin Darmanggala...,” gumam Panji sambil tetap menatap sosok-sosok berjubah hitam yang mengelilinginya. Dan kembali menggeser langkah ketika para pengepungnya mulai bergerak merapat.

Baru saja sosok-sosok berjubah hitam itu siap menerjang Pendekar Naga Putih, tiba-tiba terdengar suara terompet dari kejauhan. Ditingkahi suara derap kaki kuda yang bergemuruh. Tentu saja hal itu membuat lawan-lawan Panji mengurungkan serangan. Bahkan pimpinan pasukan pemberontak itu tampak berubah parasnya. Jelas sekali kalau lelaki tua bertubuh gagah itu sangat terkejut.

Lain halnya dengan Pendekar Naga Putih. Mendengar suara terompet di kejauhan, wajahnya berubah cerah. Dia memang telah berpesan kepada Senapati Jata Logaya agar mengirim pasukan ke Hutan Rawandaka untuk menyusulnya. Karena pendekar muda itu telah bertekad ingin menangkap penyebab korban Altar Setan. Sama sekali tidak disangka kalau akhirnya terjebak ke dalam perangkap gerombolan Darmanggala. Untung saja Pendekar Naga Putih telah menyuruh pasukan untuk menyusul. Kalau tidak, kemungkinan besar dirinya akan terbunuh. Setidaknya tertawan musuh.

Jumlah pasukan yang dikirim Senapati Jata Logaya jauh dari perkiraan Panji. Semula dia menyangka pasukan yang dikirim paling banyak sekitar seratus orang, ternyata pasukan yang dipimpin Perwira Suranggala berjumlah seribu orang. Rupanya Senapati Jata Logaya khawatir kalau Pendekar Naga Putih akan menghadapi halangan dari pihak pemberontak, seperti pada waktu menyelidik di Desa Gending. Itu sebabnya Senapati Jata Logaya mengirim pasukan tidak kurang dari seribu orang untuk menyusul ke Hutan Rawandaka.

“Celaka, Ki Lawaleng! Kali ini kita sendiri yang terjebak!” desis Beruang Cakar Baja yang wajahnya kelihatan pucat.

Tidak berapa lama kemudian, dari sekeliling tempat itu telah bermunculan prajurit-prajurit Kadipaten Tumapel. Rupanya mereka datang dengan jalan menyebar. Sehingga, pasukan pemberontak terkepung dari segala penjuru.

“Serbuuu...!” Suranggala sendiri tidak banyak cakap lagi. Melihat banyaknya pasukan pemberontak yang berada di hutan itu, dia langsung memerintahkan pasukannya agar menyerbu.

Ki Lawaleng, lelaki tua bertubuh gagah yang menjadi pimpinan gerombolan pun tak tinggal diam. Karena sudah tak ada jalan untuk lolos, dia pun memberikan perintah untuk menyambut serbuan pasukan pemerintah. Dan perang besar pun tak terhindari lagi.

Hutan Rawandaka yang biasanya sunyi dan menyeramkan, malam itu berubah ramai oleh dentang senjata dan jerit kematian. Pasukan Kadipaten Tumapel yang jumlahnya hampir empat kali lipat dari pasukan pemberontak, menggasak musuh-musuhnya tanpa ampun. Darah pun mengalir membasahi tanah berumput. Mayat-mayat bergelimpangan tumpang tindih dengan tubuh bersimbah darah segar. Hutan Rawandaka berubah menjadi lautan darah.

“Hei, mau lari ke mana kalian...?! Heaaa...!” Pendekar Naga Putih yang melihat sosok-sosok berjubah hitam itu berlompatan pergi meninggalkan arena, bergegas menghadang. Tubuhnya langsung berkelebat menyambar dua orang yang berlari paling belakang. Sekali mengibaskan tangan, tubuh kedua orang itu terjungkal mencium tanah. Meskipun mereka berusaha mengelak dan menangkis, tak urung sambaran tangan pendekar berjubah putih itu mendarat di tubuh mereka. Tanpa ampun lagi, nyawa kedua orang itu pun langsung melayang.

“Hiii...!”

Tiba-tiba pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu mengeluarkan suara melengking yang keras dan memekakkan telinga. Seketika itu pula tubuhnya lenyap menjadi gumpalan asap putih yang kemudian sirna ditiup angin malam.

“Hah...! Kurang ajar...!” Panji menggeram marah melihat hal itu. Dia tidak bisa mencegah, karena saat itu sisa gerombolan manusia sesat telah mengeroyoknya. Sehingga pemuda berjubah putih itu terpaksa melayani dengan mengamuk agar dapat merobohkan lawan.

Sementara itu, pasukan kadipaten pun sudah berhasil mendesak lawan mereka. Karena jumlah pasukan Suranggala jauh lebih banyak, dalam waktu yang singkat, gerombolan pemberontak sudah lebih dari separonya yang tewas. Dan dapat dipastikan kalau pihak Kadipaten Tumapel segera memperoleh kemenangan.

Di tempat lain, Perwira Suranggala tengah berjuang untuk merobohkan Ki Lawaleng dan pembantu-pembantunya. Bersama delapan orang perwira dan puluhan prajurit, Suranggala mendesak gembong-gembong pemberontak itu. Kendati telah kehilangan belasan orang prajurit dan dua orang perwira, perwira tinggi itu tidak mundur setapak pun. Dengan sikap ksatria, Suranggala memimpin kawan-kawannya untuk menghabisi pentolan-pentolan pemberontak itu.

Namun, Ki Lawaleng, Beruang Cakar Baja, Ular Hitam, dan laki-laki berkepala botak yang berperawakan kekar itu tak mau menyerah begitu saja. Mereka mengamuk dengan mengerahkan seluruh kemampuan untuk dapat melepaskan diri dari kepungan lawan. Tentu saja menghadapi lawan yang berkemampuan tinggi, pihak Kadipaten Tumapel tidak sedikit yang menemui kematian. Namun dengan gigih dan semangat membela kadipaten para pasukan yang dipimpin Suranggala terus berusaha menggempur pertahanan lawan.

Sementara itu Pendekar Naga Putih yang telah menyelesaikan pertarungan terhadap belasan gerombolan yang hendak kabur, segera menoleh ke pertarungan pihak Suranggala. Menyadari keadaan yang mengkhawatirkan dari amukan lawan yang hebat, pendekar muda itu langsung melesat untuk membantu. Dengan cepat langsung dilancarkannya serangan dahsyat ke tubuh Ki Lawaleng yang merupakan pimpinan gerombolan itu.

“Pendekar Naga Putih, harap orang tua itu ditangkap hidup-hidup! Kita masih memerlukannya untuk mengetahui persembunyian Darmanggala dan pasukannya yang lain...!” Suranggala langsung saja berseru, ketika melihat Pendekar Naga Putih telah memasuki arena pertempuran.

“Baik, Paman Suranggala...!” sahut Panji yang tentu saja maklum betapa pentingnya lelaki tua yang bernama Ki Lawaleng itu. Karena pihak Kadipaten Tumapel belum menemukan di mana markas pemberontak Darmanggala.

Ki Lawaleng sendiri merasa geram bukan main ketika mendengar ucapan perwira bertubuh tinggi dan gagah itu. Dan amukannya semakin bertambah hebat. Seolah dia lebih baik mati di medan pertempuran daripada tertawan musuh. Namun tampaknya Pendekar Naga Putih tak ingin membiarkan amukan Ki Lawaleng semakin merajalela.

“Heaaa...!”

“Hiaaa...!”

Wuttt!

Dengan serangan cepat dan beruntun, Pendekar Naga Putih terus melancarkan serangan guna mencegah jatuhnya korban yang terlalu banyak pada pihak Kadipaten Tumapel. Sehingga pada jurus kedua belas lelaki tua yang memimpin gerombolan berpakaian hitam itu tampak mulai terdesak. Bahkan akhirnya....

“Hih!”

Tuk! Tuk!

“Akh!” Ki Lawaleng terpekik pelan ketika totokan Pendekar Naga Putih mendarat di beberapa bagian tubuhnya. Lelaki tua kurus itu tampaknya tak sempat melihat gerakan cepat lawan. Tubuhnya yang tinggi dan berjubah hitam seketika terkulai lemas.

“Heaaat!”

Teriakan keras menggelegar terdengar ketika sesosok tubuh berpakaian merah melesat cepat memburu Pendekar Naga Putih. Sosok itu ternyata Beruang Cakar Baja, yang murka melihat kawannya roboh tertotok serangan lawan. Sesaat kemudian Ular Hitam pun menyusul dengan serangan dahsyat. Kedua pentolan gerombolan itu dengan cepat dan ganas menggempur Pendekar Naga Putih.

“Hih! Ini untukmu, Bajingan Busuk!” dengus Panji seraya melancarkan serangan, mendahului kecepatan kedua lawannya.

Wuttt! Wuttt!

“Hah!”

Gerakan yang sangat cepat dilakukan pendekar berjubah putih itu tak mampu dielakkan kedua lawannya. Beruang Cakar Baja dan Ular Hitam tersentak kaget. Mata keduanya terbelalak heran. Akhirnya mereka hanya mampu menggerakkan tangan untuk menangkis serangan secepat kilat Pendekar Naga Putih.

Plakkk!

“Aaakh...!” Ular Hitam terpekik kesakitan ketika tangannya membentur cengkeraman tangan kanan Pendekar Naga Putih. Hawa panas yang mengalir dari cakar naga Panji membuat kulit lengannya langsung melepuh bagaikan tersentuh api. Tubuhnya terjengkang dan terbanting ke tanah.

Brukkk!

Gerakan Pendekar Naga Putih tak berhenti sampai di situ. Tangan kirinya sudah berputar dan meluncur dengan kecepatan tinggi memburu tubuh Beruang Cakar Baja, yang merupakan tokoh kedua di Perguruan Beruang Merah.

Wuttt!

“Ahhh...?!” Lelaki tinggi besar itu terpekik kaget ketika melihat cengkeraman lawan mengejarnya. Dengan cepat tokoh bertubuh tinggi besar itu melemparkan tubuhnya ke belakang, lalu bergulingan menyelamatkan diri di tanah. Namun....

“Hiaaa!”

Deggg!

“Aaakh...!”

Baru saja Beruang Cakar Baja melompat bangkit, hantaman telapak tangan Panji melesat dan mendarat telak di tubuhnya. Akibatnya, tokoh tinggi besar yang tangguh itu terlempar deras sejauh dua tombak lebih. Darah segar seketika muncrat dari mulutnya. Tubuhnya terbanting ke tanah dan menggigil hebat bagaikan terserang demam tinggi. Sebentar kemudian diam tak bergerak. Tubuhnya yang terbungkus pakaian merah terkapar kaku. Beruang Cakar Baja menghembuskan napas terakhir, tak sanggup menahan hantaman tangan kiri Pendekar Naga Putih yang berisikan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’.

Melihat Beruang Cakar Baja tewas, Ular Hitam melompat mendekati Ki Lawaleng yang rebah tak bergerak karena masih dalam pengaruh totokan Pendekar Naga Putih. Kemudian mengayunkan telapak tangannya ke batok kepala lelaki tua itu.

“Hih!”

Prakkk!

“Aaakh...!” Ki Lawaleng mengeluh tertahan. Batok kepalanya langsung retak terkena hantaman Ular Hitam. Nafasnya pun langsung putus saat itu juga. Rupanya Ular Hitam tak rela kalau pimpinannya sampai tertawan musuh.

“Heh! Keparat!” dengus Suranggala yang marah bukan main melihat tindakan Ular Hitam. Kemudian dengan geram perwira itu mengayunkan pedang memburu tubuh lelaki berjubah hitam itu.

“Heaaa...!”

Crakkk!

Pedang Suranggala menebas leher Ular Hitam yang tak sempat menghindar. Kepala lelaki berpakaian hitam itu terpental dan menggelinding di samping tubuhnya yang ambruk berlumuran darah. Rupanya setelah merobohkan lelaki botak yang menjadi pembantu Ki Lawaleng, Suranggala sempat melihat perbuatan Ular Hitam. Sehingga dia lupa kalau tokoh kurus itu pun sama pentingnya dengan Ki Lawaleng. Perwira bertubuh gagah itu baru menyesal setelah melihat Ular Hitam tewas dengan kepala terpisah dari badan.

“Sudahlah, Paman. Semua ini tidak perlu disesali...,” ujar Panji ketika melihat Suranggala masih terpaku menatapi mayat Ular Hitam dan Ki Lawaleng.

“Hhh.... Aku benar-benar lupa diri, Pendekar Naga Putih...,” ujar Suranggala dengan disertai helaan napas beratnya. Disesali dirinya yang telah membunuh tokoh penting. Hal itu karena sampai saat ini tempat sembunyi gembong pemberontak belum diketahui pihak kadipaten.

“Kita bisa menyelidikinya lewat Perguruan Beruang Merah. Karena kalau tak salah lelaki berpakaian merah itu salah seorang tokoh Perguruan Beruang Merah...,” ujar Panji seraya menunjuk mayat Beruang Cakar Baja. Pendekar Naga Putih mengetahui ciri-ciri Beruang Cakar Baja dari Senapati Jata Logaya. Bahkan juga mengenal nama ketua perguruan itu berikut ciri-cirinya.

“Benar, Pendekar Naga Putih. Dia Beruang Cakar Baja yang dikenal sebagai tokoh kedua di Perguruan Beruang Merah. Dia pula yang diserahi tugas untuk mengurus perguruan. Karena Ki Kala Herang jarang menampakkan diri. Dia lebih banyak mengurung diri di kamar semadinya. Maklumlah usianya sudah tujuh puluh tahun lebih...,” tutur Suranggala yang kemudian mengalihkan perhatiannya ke sekitar tempat itu. Ternyata pertempuran telah usai. Kemenangan berada di pihaknya.

“Jadi, ada kemungkinan Ki Kala Herang tak mengetahui tindakan murid utamanya itu...!” tukas Panji setelah mendengar ucapan perwira bertubuh tinggi besar itu.

"Ya..., kemungkinan besar begitu. Apalagi belakangan ini dia nyaris tidak pernah keluar dari ruang semadinya...,” jelas Suranggala, menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih.

“Kalau begitu, Beruang Cakar Baja mengajak murid-muridnya untuk berpihak kepada pemberontak, tanpa setahu Ki Kala Herang?” tanya Panji lagi meminta ketegasan.

“Kemungkinan besar begitu. Tapi aku tidak bisa memastikannya,” jawab Suranggala ragu.

Panji tak berkata apa-apa lagi. Dia tahu Suranggala tidak berbohong. Kemudian melangkah mengikuti perwira bertubuh tinggi besar itu yang tengah mengumpulkan seluruh pasukannya. Dalam pertempuran besar itu, pihaknya kehilangan tak kurang dari seratus lima puluh orang prajurit. Meskipun demikian, Suranggala merasa puas. Karena pihak pemberontak yang berada di Hutan Rawandaka dapat disapu habis, tidak terkecuali semua pimpinannya. Jelas, kemenangan itu cukup besar artinya bagi Suranggala.

“Paman, sebaiknya kita segera kembali ke kadipaten...,” usul Panji setelah seluruh prajurit berkumpul.

Suranggala hanya mengangguk tanpa kata. Kemudian perwira itu segera memberikan perintah kepada pasukannya untuk meninggalkan Hutan Rawandaka yang telah bau amis darah itu. Setelah itu dengan cepat tubuhnya melompat ke atas punggung kuda. Ketika Suranggala menoleh pada Pendekar Naga Putih untuk menawarkan seekor kuda, hatinya terperanjat. Pendekar berjubah putih itu sudah tak berada di tempatnya, sudah lebih dahulu melesat menuju Kadipaten Tumapel.

********************

DELAPAN

Setelah peristiwa di Hutan Rawandaka, yang telah menewaskan ratusan pasukan pemberontak berikut beberapa gembongnya, keadaan mulai agak tenang. Tidak terdengar lagi adanya gangguan di desa-desa di wilayah Kadipaten Tumapel. Kenyataan itu sempat membuat Senapati Jata Logaya menduga kalau kepala pemberontak yang bernama Darmanggala telah patah semangat sehingga membubarkan pasukannya. Terlebih setelah orang-orang Perguruan Beruang Merah yang mengabdi pada Kadipaten Tumapel ditangkap. Semua itu atas usul Panji yang telah menyelidiki Perguruan Beruang Merah, dan mendapati bangunan perguruan itu telah kosong. Bahkan menemukan ruang rahasia yang menembus ke tengah Hutan Rawandaka. Semua itu merupakan bukti kuat bahwa Perguruan Beruang Merah bukanlah perkumpulan beraliran lurus.

“Padahal selama ini mereka menunjukkan sikap sebagaimana layaknya para pendekar pembela keadilan. Sungguh tak kusangka kalau mereka ternyata sama dengan sekumpulan serigala berbulu domba! Jelas kalau mereka orang-orang golongan sesat yang selalu menyerahkan korban pada setiap malam purnama. Benar-benar tak masuk di akal!” ujar Senapati Jata Logaya setelah mendengar keterangan Panji yang baru kembali dari penyelidikannya. Sehingga, semua murid Perguruan Beruang Merah yang berada di lingkungan kadipaten ditangkapi.

Hasil penyelidikan Pendekar Naga Putih membuat semua rahasia nyaris terbongkar. Siapa lagi yang melakukan pembakaran di dalam lingkungan kadipaten saat upacara di Altar Setan berlangsung? Dan siapa lagi yang membukakan gerbang utara saat pasukan Darmanggala datang menyerbu. Semua itu ternyata perbuatan murid-murid Perguruan Beruang Merah yang membantu dari dalam. Sehingga Senapati Jata Logaya menjatuhkan hukum gantung kepada para pemberontak yang berhasil menyelundup.

“Sudah berapa lama perguruan itu berada di dalam kota kadipaten ini, Paman?” tanya Panji ketika bersama Kenanga diundang ke tempat kediaman senapati gagah itu.

“Belum terlalu lama. Ada kira-kira tiga tahun. Sedangkan peristiwa Altar Setan baru sekitar satu setengah tahun. Mengapa kau bertanya demikian, Panji?” Senapati Jata Logaya balik bertanya.

“Hanya ingin tahu saja, Paman,” sahut Panji seraya tersenyum. “Apa Paman tahu dari mana mereka sebelumnya...?”

“Aku tak tahu secara jelas. Tapi, kalau tak salah dengar, mereka berasal dari selatan. Sebuah wilayah terpencil yang bisa memakan waktu setengah purnama dari tempat ini...,” jelas Senapati Jata Logaya. Hatinya merasa heran mendengar pertanyaan Pendekar Naga Putih, tapi tetap memberikan penjelasan seperti yang diketahuinya.

Setelah mendengar jawaban dari Senapati Jata Logaya, Pendekar Naga Putih tak berkata apa-apa lagi. Pemuda itu melanjutkan makan dan minumnya dengan tenang. Namun, suasana gembira itu tiba-tiba terganggu oleh datangnya seorang prajurit yang minta bertemu dengan Senapati Jata Logaya.

“Ada apa...?” tanya Senapati Jata Logaya kelihatan kurang senang, karena merasa terganggu ketenangannya. Sementara Panji dan Kenanga yang berdiri mengapit Senapati Jata Logaya hanya mendengarkan.

“Ampun, Kanjeng Senapati,” ujar prajurit itu setelah menjura hormat.

“Hm...!” sambut Senapati Jata Logaya seraya mengangguk. Matanya menatap tajam pada prajurit itu.

“Kami melihat pasukan dalam jumlah besar tengah bergerak dari segala penjuru. Mereka menuju kota kadipaten...”

“Apa...?!” Senapati Jata Logaya tersentak kaget mendengar laporan prajuritnya. Wajahnya seketika berubah merah padam.

Tampak Pendekar Naga Putih dan Kenanga pun terperanjat mendengar laporan itu.

“Hm.... Apakah Perwira Suranggala sudah mengetahuinya?” tanya Senapati Jata Logaya setengah membentak.

“Sudah, Kanjeng. Bahkan beliau telah mengerahkan seluruh prajurit untuk bersiaga. Dan hamba diperintah agar melapor kepada Kanjeng Senapati,” jawab prajurit itu terbata-bata dengan wajah berubah pucat.

Tanpa banyak bicara lagi, Senapati Jata Logaya memerintahkan prajurit itu untuk kembali ke induk pasukannya. Setelah itu tampak panglima perang Tumapel itu mengenakan pakaian kebesarannya, lalu menyambar pedangnya. Kemudian bersama Pendekar Naga Putih dan Kenanga, bergegas pergi untuk memimpin pasukannya dalam menghadapi serbuan musuh, yang kali ini sepertinya mengadakan serangan besar-besaran.

Tiba di alun-alun kadipaten, Senapati Jata Logaya melihat pasukannya telah berbaris rapi. Dia segera memerintahkan para prajurit menyebar memperkuat penjagaan di empat gerbang kota. Senapati Jata Logaya sendiri memimpin lima ratus prajurit menuju gerbang timur. Karena tempat itulah yang paling mudah dimasuki musuh.

Kenanga mendampingi pasukan yang dipimpin empat orang perwira gagah, menuju gerbang sebelah barat. Suranggala bersama tiga orang perwira lainnya menuju gerbang selatan. Masing-masing membawa lima ratus orang prajurit. Pendekar Naga Putih pun tidak ketinggalan. Bersama dua orang perwira yang membawa lima ratus orang prajurit, bergerak untuk memperkuat pertahanan di gerbang utara.

Genderang perang tak henti-hentinya ditabuh guna membakar semangat pasukan. Seluruh tentara Kadipaten Tumapel telah siap menghadapi musuh yang menyerbu kota.

Sementara itu, pihak musuh semakin mendekati kota kadipaten. Mereka langsung berada di bawah pimpinan Darmanggala. Lelaki tinggi besar berusia empat puluh tahun itu tampak gagah duduk di atas punggung kuda hitamnya. Di belakangnya berbaris rapi sekitar lima ratus orang. Kendati mereka tak mengenakan seragam, namun terlihat gagah dan penuh semangat. Tampaknya mereka telah benar-benar siap untuk menghadapi pertempuran besar. Seperti telah diatur sebelumnya, Darmanggala membawa tentara menuju gerbang timur. Tentu saja mereka akan bertemu dengan pasukan yang dipimpin langsung Senapati Jata Logaya.

“Serbu...!”

“Heaaa...!”

Dalam jarak tiga tombak dari gerbang timur, Darmanggala, lelaki tinggi besar berwajah tampan itu, langsung memberi perintah kepada pasukannya untuk menyerbu. Bagaikan sekumpulan hewan lapar yang menemukan mangsa, ratusan orang bersenjata itu meluruk maju. Namun, Senapati Jata Logaya telah siap bersama pasukannya. Ketika pihak lawan bergerak, panglima bertubuh gagah itu langsung memerintahkan pasukan panahnya untuk menyerang.

“Seraaang...!”

Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika ratusan batang anak panah meluncur dan merenggut nyawa puluhan orang pasukan Darmanggala. Sehingga, pemimpin pemberontakan itu memerintah pasukannya untuk mundur.

“Hujani dengan panah api...!” teriaknya lantang dan penuh wibawa.

Seketika itu juga, meluncurlah panah-panah berapi yang membuat pasukan Senapati Jata Logaya kalang kabut. Apalagi ketika panah-panah itu jatuh di atas rumah-rumah penduduk. Kebakaran pun mulai menjalar. Sang Jago Merah dengan perkasanya melahap segala yang ada di dekatnya. Dan, pada saat itu juga, Darmanggala memerintahkan pasukannya untuk menyerbu kota.

“Heaaa...!”

“Yeaaat...!”

Disertai pekikan-pekikan gegap-gempita, ratusan tentara Darmanggala berlarian dengan senjata di tangan. Kali ini tak ada lagi anak panah yang menghalangi gerak mereka. Sehingga, pasukan Darmanggala berhasil mendekati gerbang. Pertempuran pun pecah! Suara denting senjata dan jerit kematian meningkahi pertempuran besar itu. Mayat-mayat mulai berjatuhan dari kedua belah pihak. Sedangkan kedua orang pemimpin pasukan masih berdiri di atas punggung kuda menyaksikan jalannya pertarungan.

Darmanggala yang masih tegak di atas punggung kuda, tampak mengerutkan keningnya. Prajurit-prajurit kadipaten yang memang terlatih baik, tampak mulai mendesak pasukannya. Hal itu tidak aneh, karena pasukan Darmanggala terdiri dari orang-orang liar yang tak terlatih dalam berperang. Menyaksikan itu Darmanggala tak tinggal diam.

“Heaaa...!”

Dengan pedang terhunus, Darmanggala menggebah kudanya memasuki kancah pertempuran. Dengan gerakan yang cepat dan kuat, pedang di tangannya mulai memangsa korban. Sebentar saja, belasan orang prajurit terpental roboh tersambar pedang lelaki gagah itu. Amukannya benar-benar mengiriskan. Sehingga, dalam waktu singkat, telah dua puluh orang lebih yang menjadi korban sambaran pedangnya.

“Hmh...!” Senapati Jata Logaya menggeram gusar. Panglima Perang Kadipaten Tumapel ini pun tidak tinggal diam. Melihat pasukannya banyak yang roboh di tangan Darmanggala, langsung saja kudanya digebah memasuki kancah pertempuran. Seperti berlomba, Senapati Jata Logaya pun mengamuk hebat. Pedang di tangannya laksana tangan malaikat maut yang merenggut nyawa lawannya. Sampai akhirnya dia langsung berhadapan dengan Darmanggala.

“Terimalah kematianmu, Pemberontak Keparat...!” Dengan sebuah teriakan keras, Senapati Jata Logaya menyabetkan pedangnya mengancam tubuh lawan. Diiringi suara berdesing tajam, senjata di tangannya meluncur secepat kilat. Darmanggala tentu saja tidak sudi dijadikan sasaran pedang lawan. Cepat dipapaknya serangan itu dengan tebasan dan ayunan kuat

“Heaaa...!”

Trang! Trang...!

“Hiaaat...!”

Bunga api berpijar saat kedua batang pedang itu saling berbenturan. Keduanya sama-sama terkejut ketika merasakan telapak tangan mereka panas. Dan sama-sama mengagumi kekuatan masing-masing.

“Yeaaat...!”

Kali ini Darmanggala yang lebih dulu membuka serangan. Pedang di tangannya lenyap membentuk segunduk sinar putih yang berkeredepan menyilaukan mata. Jelas, kalau kali ini Darmanggala telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk merobohkan lawan.

Namun Senapati Jata Logaya pun bukan orang sembarangan. Dengan tak kalah ganas, pedang di tangannya diputar sedemikian rupa mengimbangi serangan lawan. Sebentar saja kedua pemimpin itu saling terjang dengan sengitnya. Masing-masing berusaha keras untuk dapat merobohkan lawan secepatnya.

Di gerbang barat, utara, dan selatan pun telah pula terjadi peperangan. Nampaknya kali ini Darmanggala melakukan penyerbuan besar-besaran. Sepertinya ingin membalas apa yang telah di lakukan pasukan kadipaten terhadap pengikut-pengikutnya pada beberapa hari lalu di Hutan Rawandaka. Namun, tentu saja hal itu tidaklah semudah apa yang dibayangkan, karena pihak kadipaten demikian gigih dan bertempur dengan penuh semangat. Terlebih di bawah pimpinan perwira-perwira gagah berani, yang masih dibantu pasangan tokoh muda, Pendekar Naga Putih dan Kenanga.

Pasukan kadipaten yang menghadang musuh di gerbang utara, bertempur bagaikan singa terluka. Adanya Pendekar Naga Putih di antara mereka, jelas berpengaruh besar. Namun, pendekar muda itu sendiri tak dapat berbuat banyak. Karena di pihak musuh terdapat seorang tokoh sakti bertubuh tinggi kurus yang sangat mengiriskan. Sehingga, Panji tak tinggal diam ketika melihat amukan tokoh itu. Tubuhnya langsung melesat ke tempat tokoh tinggi besar itu mengamuk membantai prajurit-prajurit kadipaten.

Ketika tiba di dekat tokoh tinggi kurus itu, Pendekar Naga Putih langsung mengirimkan serangan kilat. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga berkelebatan cepat disertai suara angin mencicit tajam. Sehingga, tokoh tinggi kurus itu mengalihkan perhatiannya pada pendekar muda itu. Dengan cepat langsung dipapaknya serangan Pendekar Naga Putih.

Plak! Plak...!

Benturan sepasang lengan kedua tokoh itu menimbulkan ledakan keras yang memekakkan telinga. Keduanya sama-sama terdorong mundur. Karena dalam pertemuan pertama itu kekuatan mereka berimbang! Pendekar Naga Putih menatap wajah lawan dengan kening berkerut. Sepasang matanya mencorong tajam meneliti sosok dan wajah tokoh tinggi kurus itu. Seakan-akan dia tengah menduga siapa sebenarnya tokoh itu.

“Orang tua,” ujar Panji tetap tak melepaskan pandang dari wajah lawan. “Kalau aku tak salah menerka, kau pastilah Ketua Perguruan Beruang Merah yang bernama Ki Kala Herang...”

Tokoh tinggi kurus berusia sekitar tujuh puluh tahun itu tampak sedikit kaget. Namun, akhirnya menjawab juga pertanyaan pemuda berjubah putih itu. “Matamu sungguh tajam, Pendekar Naga Putih”

“Dan kau jugalah tokoh berjubah hitam yang menjadi pimpinan upacara biadab di Hutan Rawandaka. Aku mengenali gerakanmu...,” desak Panji lagi dengan sorot mata tajam menusuk jantung.

“Ha ha ha...! Kau benar-benar hebat, Pendekar Naga Putih! Sayang, hari ini kau harus menerima kematian ditanganku...!” ujar lelaki tinggi kurus itu seraya tertawa, ketika mendengar ucapan Pendekar Naga Putih. Dia benar-benar merasa kagum atas ketajaman mata pemuda tampan berjubah putih itu.

“Hm.... Kepandaianmu memang sangat tinggi, Ki. Aku tak akan menyesal jika sampai tewas di tanganmu. Tapi, sebelum kau membunuhku, katakanlah, mengapa kau begitu merendahkan diri dengan menjadi antek pemberontak seperti Darmanggala. Padahal kalau kau menginginkan jabatan, rasanya Kadipaten Tumapel akan menerimamu dengan tangan terbuka...,” tanya Panji yang ingin mengetahui alasan tokoh sakti itu membantu pemberontak.

“Agar kau mati tanpa membawa rasa penasaran, baiklah ku jelaskan,” sahut kakek itu. seraya tersenyum mengejek. “Darmanggala adalah adik seperguruanku. Selain itu, kami masih ada hubungan keluarga, meskipun cukup jauh. Dan pemberontakan ini sudah lama kami rencanakan, jauh sebelum aku datang dan membuka perguruan di Kadipaten Tumapel ini. Setelah berhasil menarik simpati pihak kadipaten yang mengira Perguruan Beruang Merah sebagai perkumpulan beraliran lurus, maka tak sulit untuk memasukkan murid-muridku ke kadipaten dengan berpura-pura mengabdi. Selain itu, aku pun mulai menciptakan kekacuan dengan mengadakan persembahan pada setiap malam purnama. Dengan berbagai cara aku berusaha merongrong pihak kadipaten. Sayang, usaha yang nyaris berhasil dengan baik mulai mendapat tantangan dengan kehadiranmu, Pendekar Naga Putih. Itu sebabnya kami berusaha keras untuk melenyapkan dirimu. Nah, apa kau sudah puas...?” Kakek bertubuh tinggi kurus itu menutup penjelasannya, dan bersiap untuk menggempur Pendekar Naga Putih.

“Tunggu dulu, Ki Kala Herang...!” cegah Panji seraya mengangkat kedua tangannya. Sehingga kakek itu menunda gerakannya.

“Hm..., apa kau masih menyimpan pertanyaan? Katakanlah!” tukas Ki Kala Herang mulai tak sabar.

“Satu pertanyaan lagi, Ki. Apa keuntungan yang kau dapatkan dari persembahan gila itu?” tanya Panji.

“Selain untuk membuat pusing pihak kadipaten, darah perawan membuat kekuatanku semakin bertambah!” jawab Ki Kala Herang agak jengkel.

“Rasanya tak ada lagi yang perlu ku jelaskan kepadamu, Pendekar Naga Putih! Nah, bersiaplah...!”

Belum lagi gema suara kakek itu lenyap, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang memburu Pendekar Naga Putih dengan serangkaian serangan maut. Sepasang tangannya berputaran cepat sekali hingga menimbulkan deruan angin keras laksana amukan badai. Bahkan serangan itu masih dicampur dengan pengerahan ilmu sihir yang membuat kecepatan dan kedahsyatan serangannya berlipat ganda.

Namun, Ki Kala Herang salah alamat kalau hendak mempergunakan sihirnya untuk merobohkan pemuda berjubah putih itu. Pendekar Naga Putih yang sadar akan kesaktian lawan, telah mengerahkan tenaga ga- bungannya. Sehingga, hawa menggetarkan jantung yang mengiringi datangnya serangan sama sekali tidak tampak di matanya.

“Heaaa...!”

Plak! Plak! Plak!

Tiga serangan beruntun berhasil digagalkan Pendekar Naga Putih. Meskipun kuda-kudanya sempat tergempur, tubuh pemuda itu sudah melesat dengan serangkaian serangan maut.

“Haaat...!”

“Hih!”

Ki Kala Herang bergeser ke kiri saat cengkeraman cakar naga lawan hampir menyambar tubuhnya. Bersamaan dengan itu langsung jari-jari tangannya mengeluarkan asap tipis kemerahan. Bau harum memabukkan tercium, tanda bahwa asap tipis itu mengandung racun yang mematikan. Namun, semua itu sama sekali tidak membuat Pendekar Naga Putih gentar. Dengan pengerahan tenaga gabungannya, hawa beracun itu sama sekali tak berarti baginya. Tanpa ragu-ragu segera disambutnya tusukan jari-jari tangan lawan yang mengeluarkan asap beracun itu. Bahkan masih sanggup melancarkan serangan balasan kendati tidak terlalu gencar.

Merasakan kehebatan lawannya yang masih sangat muda itu, Ki Kala Herang tampak sangat cemas. Serangan yang dilakukannya semakin ganas dan dah- syat. Bahkan telah dikerahkan seluruh kecepatannya. Sehingga, sepasang tangannya berputaran laksana baling-baling dan sukar menentukan arah mana yang menjadi sasaran serangannya. Dan serangan tokoh mengiriskan itu ternyata tak sia-sia. Pendekar Naga Putih yang sempat terdesak oleh gencarnya serangan lawan, tak sempat menghindari sebuah tusukan jari-jari tangan lawan yang mengincar dadanya.

“Hih...!”

Bukkk!

Pada saat terakhir Pendekar Naga Putih masih sempat memiringkan tubuh hingga tusukan itu tak terlalu telak menghantam dada. Tetap saja kuda-kudanya tergempur. Dan tubuhnya terhuyung sampai enam langkah ke belakang. Pemuda tampan itu merasakan dadanya panas. Bahkan pada sudut bibirnya tampak cairan merah merembes ke luar. Jelas serangan itu sempat membuat bagian dalam dadanya terguncang.

“Yeaaah...!”

Ki Kala Herang tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Tubuhnya langsung melesat dengan serangan maut, siap menghabisi nyawa Pendekar Naga Putih. Tapi...,

“Haiiit...!”

Disertai ‘Pekikan Naga Marah’, tiba-tiba tubuh Pendekar Naga Putih melenting ke udara. Dengan jurus ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’, tubuhnya meluncur turun menyambar secepat kilat. Sinar putih keperakan dan kuning keemasan berpendar menyelimuti tubuhnya. Sehingga sukar bagi Ki Kala Herang untuk menentukan arah serangan lawannya. Dan...

Breeet! Desss!

“Aaarghhh...!”

Ki Kala Herang terpekik parau. Sambaran cakar naga dan hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih membuat tubuh tinggi kurus itu terlempar bagaikan terhempas badai. Darah segar membanjir keluar dari luka menganga di bagian lambungnya, yang tercabik cakar naga pendekar muda berjubah putih. Pendekar Naga Putih tak berhenti sampai di situ. Sadar kalau dibiarkan hidup kakek itu merupakan an- caman bagi orang banyak, pemuda itu pun menyusuli dengan tendangan maut untuk menghabisi lawannya.

Blukkk!

“Aaa...!”

Bagai dihantam palu godam, tubuh yang tengah melayang di udara itu kembali terhempas dengan keras, lalu membentur dinding hingga menimbulkan suara berderak, tanda bahwa tulang-tulang di tubuh kakek itu remuk. Setelah menewaskan Ki Kala Herang, Pendekar Naga Putih memandang pertempuran. Setelah melihat pihak pemberontak tampak mulai terdesak oleh pasukan kadipaten, tubuhnya melesat menuju gerbang timur. Hatinya menduga kalau Darmanggala pasti memimpin penyerbuan dari gerbang utama kota.

Ketika sampai di dekat gerbang timur, Pendekar Naga Putih melihat Senapati Jata Logaya tengah bertarung sengit melawan seorang lelaki bertubuh gagah. Sekilas saja dia tahu kalau Senapati Jata Logaya dapat mengatasi lawannya. Lalu kepalanya berpaling menatap pertempuran kedua pasukan. Hatinya merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa pihak kadipaten berada di atas angin.

“Aaa...!”

Ketika mendengar lengking kematian yang panjang merobek suasana tegang itu, Pendekar Naga Putih menoleh. Dilihatnya tubuh lelaki gagah, lawan Senapati Jata Logaya terbanting roboh bermandikan darah. Dugaannya tidak meleset. Senapati Jata Logaya berhasil membunuh Darmanggala yang menjadi pemimpin pemberontakan.

Kematian Darmanggala, membuat semangat pasukannya kian mengendur. Mereka semakin kacau dan terdesak hebat dari pihak kadipaten. Bahkan tak sedikit yang kabur meninggalkan medan pertempuran, menyelamatkan diri. Sehingga tak lama kemudian, pemberontakan besar itu dapat dilumpuhkan. Karena sisanya yang masih hidup langsung membuang senjata dan menyatakan menyerah kalah.

“Ampun..., ampun Kanjeng Senapati! Ampunkanlah perbuatan kami...!”

“Ampun, Kanjeng Adipati! Ampunkan hamba, Kanjeng Adipati...!”

Teriakan-teriakan memohon ampunan terdengar bersahutan dari segala arah. Para pasukan pemberontak itu serta-merta berlutut dan membuang senjata mereka ke tanah. Di antara para pemberontak, ternyata ada pula yang tak tahu kalau Adipati Tumapel tidak berada di tempat itu, sehingga Jata Logaya dikira sang Adipati.

Bukan hanya di gerbang utama saja musuh dapat dilumpuhkan. Di tiga gerbang lainnya pun pihak kadipaten memperoleh kemenangan yang gemilang. Pemberontakan dapat dipatahkan. Dan Senapati Jata Logaya benar-benar merasa puas. Saat itu, tampak dari arah utara, selatan, dan barat berdatangan Pendekar Naga Putih, Kenanga, Suranggala dan pasukannya.

“Rasanya selama berada di sini aku belum pernah melihat Kanjeng Adipati? Ke manakah beliau, Paman...?” tanya Panji saat melangkah bersama Senapati Jata Logaya dan Kenanga, meninggalkan prajurit-prajurit kadipaten yang tengah membereskan bekas-bekas pertempuran.

“Beliau sedang mengalami sakit yang cukup parah, Panji. Keadaan Kanjeng Adipati sengaja ku rahasiakan, agar pasukanku tak kehilangan semangat. Marilah kita jenguk beliau! Aku sudah mendengar kalau kau pun memiliki ilmu pengobatan yang tinggi...,” ujar Senapati Jata Logaya yang langsung membawa pasangan pendekar muda itu untuk menjenguk Adipati Tumapel yang tengah menderita sakit.

Pendekar Naga Putih sama sekali tak berusaha menolak. Karena tugas menyembuhkan orang sakit, juga merupakan kewajibannya. Bersama dengan Kenanga, pemuda berjubah putih itu melangkah mengikuti Senapati Jata Logaya menuju bangunan utama Kadipa- ten Tumapel.

S E L E S A I