Darah Perawan Suci - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Darah Perawan Suci
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

SESOSOK tubuh berjubah putih mengayun langkahnya lambat-lambat. Hembusan angin pagi yang lembut mengiringinya menelusuri jalan berumput tebal yang masih basah oleh butiran embun. Kicauan burung masih ramai menghiasi pagi itu. Beberapa saat kemudian, tampaklah wajah sang matahari yang baru saja bangkit dari peraduannya.

Dengan tubuh tegak dan wajah penuh senyum, sosok yang ternyata seorang pemuda itu terus membelokkan langkahnya saat tiba di persimpangan jalan. Dipilihnya jalan lebar di sebelah kanan. Beberapa tombak di depannya, tampak sebuah tiang batu setinggi bahu laki-laki dewasa. Tulisan besar-besar yang berbunyi “Desa Pegatan” terlihat jelas tertera.

“Hem...” Sosok pemuda gagah berwajah bersih dan tampan itu bergumam perlahan. Langkahnya terhenti ketika tiba di dekat tiang batu perbatasan desa. Alisnya yang tebal hitam dengan bentuk melengkung tampak berkerut, seolah tengah membayangkan sesuatu yang pernah dialaminya. Tidak berapa lama kemudian, terlihat pemuda gagah dan tampan itu kembali melanjutkan perjalanannya. Diikutinya jalan lebar yang akan membawanya ke Desa Pegatan.

Pemuda tampan berjubah putih itu menyapa para petani yang kebetulan berpapasan dengannya di jalan. Para petani itu pun tampak merasa senang melihat pemuda tampan yang ramah itu. Malah, terlihat pula mereka membungkukkan badan dalam-dalam sebagai tanda hormat mereka kepada pemuda itu.

Tidak berapa lama kemudian, tibalah pemuda itu di mulut Desa Pegatan. Keadaan desa yang saat itu kebetulan sedang ramai membuat kehadirannya tidak begitu menarik perhatian orang. Pekan yang kebetulan tengah berlangsung di Desa Pegatan itu tampak sangat ramai. Pekan seperti itu memang hanya diadakan sekali dalam seminggu. Jadi, wajar saja kalau hampir seluruh warga Desa Pegatan datang mengunjunginya.

Pemuda tampan berjubah putih melangkah lambat di antara keramaian. Senyumnya tampak mengembang saat melihat hampir semua pedagang sibuk melayani pembeli. Tapi, ia terus melangkah, seolah-olah pekan itu sama sekali tidak menarik perhatiannya.

Tidak berapa lama kemudian, setelah terbebas dari keramaian pekan di mulut desa itu, tibalah pemuda tampan berjubah putih di sebuah bangunan besar yang berhalaman luas. Sejenak ia berdiri ragu, seperti hendak membatalkan niatnya memasuki rumah besar di hadapannya ini.

Bangunan besar itu tidak terlalu megah, bahkan sepertinya sudah cukup tua. Di sana-sini terlihat atap- atap yang menghitam dan rusak. Meskipun demikian, halamannya tampak bersih dan terawat dengan baik. Jelas, penghuni bangunan besar itu sangat memperhatikan kebersihan.

“Hm..., pohon bambu kuning itu masih tetap seperti dulu, sama sekali tidak terlihat berubah kecuali beberapa di antaranya mulai tua...”

Pemuda tampan berjubah putih bergumam, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri. Sambil bergumam demikian, tangannya menyentuh ujung dedaunan bambu kuning di depan wajahnya.

“Tuan..., ada perlu apakah?”

Tiba-tiba saja datang seorang lelaki berpakaian seperti tukang kebun, yang langsung menegur pemuda itu. Herannya pemuda tampan berjubah putih sama sekali tidak kelihatan terkejut. Meskipun tidak melihat, sepertinya pemuda itu telah tahu kalau ada orang yang datang menghampirinya. Tampak jelas sekali, sikapnya tetap tenang dan ramah.

“Hm..., maaf kalau aku telah mengejutkanmu, Kisanak,” ujar pemuda tampan berjubah putih kemudian, sambil menatap penuh selidik ke arah tukang kebun yang usianya tampak hanya sedikit lebih tua darinya.

Tentu saja, lelaki yang wajah dan pakaiannya memang tampak dikotori tanah itu menjadi risih. Padahal, pemuda tampan berjubah putih tentu saja tidak bermaksud menilai pakaian yang dikenakan orang di depannya ini. Hanya saja, tampaknya ia merasa heran, bagaikan melihat seseorang yang pernah dikenalnya.

“Ada yang bisa kubantu..., Tuan...?” ujar lelaki berusia kira-kira sekitar dua puluh lima tahun itu. Tubuhnya yang terlihat agak tegap tampak selalu membungkuk. Sepertinya sikap seperti itu memang sudah menjadi bagian dari dirinya.

“Mmm..., sebenarnya kedatanganku kemari ingin berjumpa dengan pemilik rumah ini, yaitu Ki Ganda Buana. Apakah kau bekerja untuknya...?” tanya pemuda tampan berjubah putih dengan nada bersahabat dan sama sekali tidak terlihat menunjukkan dirinya lebih tinggi dan terhormat daripada tukang kebun itu.

“Benar. Aku memang bekerja untuk Tuan Besar Ganda Buana. Kalau Tuan ingin bertemu, biar kupanggilkan...,” sahut tukang kebun itu.

Kelihatan sekali, tukang kebun itu menyukai pemuda tampan berjubah putih di depannya ini, walaupun mereka baru bercakap-cakap sebentar. Tampaknya sikap ramah dan tidak sombong yang diperlihatkan pemuda tampan berjubah putih membuatnya merasa senang dan lebih menaruh hormat.

“Kalau kau tidak keberatan, bolehlah...,” jawab pemuda tampan berjubah putih sambil tersenyum dan menepuk bahu tukang kebun muda itu.

Tukang kebun itu pun masuk ke dalam rumah memberitahukan kedatangan pemuda tampan berjubah putih. Sedangkan pemuda tampan berjubah putih melangkah memasuki halaman depan rumah besar itu. Halaman ini dihiasi oleh bunga-bunga yang sedang mekar dan terawat baik. Sehingga, siapa pun yang memandangnya tentu akan merasa tertarik.

Karena terlalu asyik memperhatikan bunga-bunga cantik yang bermekaran, tanpa sadar kaki pemuda tampan berjubah putih memasuki sebuah taman kecil yang ditata dengan sangat indah. Bahkan, bunga-bunga di taman itu lebih banyak dan beraneka warna.

“Bukan main...,” decak pemuda tampan berjubah putih, kagum. “Siapakah yang telah membentuk taman seindah ini...? Rasanya tidak mungkin kalau tukang kebun itu yang melakukannya. Sebab, tangannya terlalu kasar untuk dapat menata seindah ini. Pasti yang memiliki kebun ini seorang wanita. Mungkinkah Adik Wulandari yang mengerjakan dan memiliki kebun mungil ini..?”

Pemuda tampan berjubah putih terus menatapi bunga-bunga yang bermekaran. Tampak ia terkagum-kagum melihat kebun cantik yang teratur rapi itu.

“Hei, siapa kau...? Sedang apa di situ...?” Tiba-tiba saja terdengar teriakan merdu yang membuat pemuda berjubah putih menolehkan kepalanya.

Seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun terlihat berlari-lari kecil menghampiri pemuda tampan itu. Rambutnya yang panjang dan dikepang dua bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan mengikuti irama langkah kakinya. Meskipun suaranya barusan terdengar agak ketus, tampaknya wajah gadis itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia merasa marah melihat kehadiran pemuda tampan berjubah putih.

Gadis cantik yang tampaknya bersifat periang itu berdiri menatap wajah pemuda tampan berjubah putih dengan berani. Sikapnya yang kelihatan bebas tanpa terikat peraturan tentu saja membuat pemuda itu ter- senyum-senyum. “Hm..., kau sudah semakin besar dan bertambah cantik, Adik Wulandari. Bagaimana keadaan kakakmu? Apakah baik-baik saja...?” sapa pemuda tampan berubah putih dengan nada akrab.

Gadis cantik yang dipanggilnya dengan nama Wulandari itu terkejut keheranan. Sebab, ia sendiri tidak mengenali pemuda tampan di depannya ini. Wulandari menatap wajah tampan itu dengan penuh selidik. Semakin lama ia meneliti wajah dan sosok pemuda di depannya, semakin membulatlah sepasang matanya. Hingga akhirnya, ia berteriak dan langsung memeluk tubuh pemuda tampan itu.

“Kau... Kakang Panjiii...!” jerit Wulandari begitu mengenali pemuda tampan di depannya ini.

Memang, pemuda tampan berjubah putih tak lain adalah saudara sepupu Wulandari. Tentu saja, tanpa ragu, Wulandari langsung memeluk tubuh pemuda yang pernah menyelamatkan nyawa keluarganya itu. (Baca Serial Pendekar Naga Putih dalam kisah Kelabang Hitam)

“Wulandari..., kau tidak berubah sama sekali. Kau masih tampak lincah dan nakal....”

Pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain dari Panji itu menyambut pelukan saudara sepupunya tanpa ragu. Meskipun pertemuan mereka yang pertama dulu tidak terlalu lama, keduanya telah saling menyukai satu sama lain. Itulah sebabnya Wulandari tidak merasa malu untuk memeluk Panji. Pemuda itu memang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri.

“Kakang Panji sengaja berkunjung kemari atau sekedar singgah?” tanya Wulandari setelah melepaskan pelukannya pada tubuh pemuda itu.

Dari binar-binar yang terpancar di matanya, jelas sekali bahwa Wulandari sangat gembira dengan kedatangan Panji. Sehingga, Panji sendiri merasa senang melihat kegembiraan gadis itu.

“Aku sengaja hendak bertemu dengan kalian. Dan, aku berniat tinggal beberapa hari, untuk melepaskan rasa rindu kepada kalian semua...,” jawab Panji sambil tersenyum dan meletakkan tangannya ke bahu Wulandari.

“Betul, Kakang...?” tanya Wulandari, seolah-olah belum percaya penuh akan ucapan pemuda itu, karena dia memang sadar bahwa saudaranya ini adalah seorang pendekar yang selalu mengembara tanpa tujuan. “Kalau begitu, aku akan meminta Kakang untuk mengajariku ilmu silat. Aku ingin menjadi pandai seperti Kakak Kenanga.... Eh, mengapa aku tidak melihatnya, Kakang? Apa kau tidak mengajak Kakak Kenanga kemari?” Wulandari melepaskan rangkulan Panji dan menatap wajah pemuda itu lekat-lekat

“Hm... sayang sekali ia tidak bisa ikut bersamaku. Sebenarnya dia ingin sekali bertemu denganmu. Tapi ada suatu urusan yang tidak bisa ditinggalkannya....”

Jawaban Panji sempat membuat Wulandari agak kecewa. Tapi, sebentar kemudian wajah gadis itu kembali cerah setelah Panji menghiburnya dan memberi pengertian. Dan, ketika keduanya tengah bertukar cerita sambil menatapi bunga-bunga yang bermekaran, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Cepat-cepat keduanya menoleh ke belakang.

“Ayah, Ibu...!” Wulandari langsung berlari menyambut sepasang suami istri yang tengah menghampiri.

Panji sendiri sudah bergerak bangkit dan menyongsong kedatangan paman dan bibinya, yang tak lain adalah Ki Ganda Buana dan istrinya.

“Paman, Bibi...,” sapa Panji sambil membungkuk hormat kepada saudara satu-satunya dari ayahnya itu.

“Panji...”

Sepasang suami istri yang masing-masing berusia sekitar lima puluh tahun dan empat puluh tahun itu bergantian menepuk bahu Panji dengan penuh kasih. Keduanya memang telah menganggap pemuda itu seperti putra kandungnya sendiri.

“Ayo, mari kita ke dalam...,” ajak Ki Ganda Buana, setelah mereka bertukar sapa mengenai keadaan masing-masing.

Panji segera mengikuti langkah pamannya. Sedangkan Wulandari terus saja menempel padanya. Gadis cantik itu tampaknya sangat menyukai Panji. Dan sikapnya yang bebas dan tidak malu-malu itu membuat Ki Ganda Buana dan istrinya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Mereka tahu, hubungan antara Panji dan Wulandari memang tidak lebih dari kasih sayang sesama saudara.

********************

Malam sudah cukup lama jatuh. Panji, yang kini menginap di rumah Ki Ganda Buana, semenjak tadi telah memasuki kamar yang disediakan untuknya. Letak kamar itu berada di ruang belakang sesuai dengan permintaan Panji sendiri, yang tidak bisa ditolak oleh Ki Ganda Buana. Padahal, Ki Ganda Buana telah meminta keponakannya itu untuk tidur di kamar yang terletak di ruang utama.

Di luar rumah, suasana agak gelap. Rembulan yang muncul hanya sepotong tak mampu menebarkan cahaya redupnya yang tertutup oleh gumpalan awan kehitaman. Namun, tampak bias rembulan yang samar-samar cukup mampu juga membuat suasana tidak terlalu gelap.

Dalam suasana seperti itu, tampak dari sebelah Selatan desa, datang sesosok bayangan putih yang berkelebat cepat. Begitu cepat gerakannya. Sehingga, siapapun akan merasa sangat sulit untuk menangkap bayangan putih itu, apalagi untuk melihat bentuk tubuh dan raut wajah pemiliknya.

Sosok bayangan putih itu terus bergerak memasuki Desa Pegatan, lalu langsung menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dengan gerakan yang sangat cepat Kemudian, dengan sangat cepat pula bayangan putih itu lenyap di balik sebuah bangunan yang agak besar.

“Aaa...!” Tidak berapa lama setelah sosok tubuh bayangan putih itu lenyap, tiba-tiba terdengar jerit kematian yang melengking merobek keheningan malam.

Tentu saja teriakan itu membuat para penduduk desa serta para peronda berlarian mencari sumber suara. Dan, sebentar saja daerah sebelah Selatan Desa Pegatan menjadi ramai seketika. Obor-obor bermunculan satu per satu hingga kemudian berpuluh-puluh jumlahnya. Dengan berbagai macam senjata di tangan, para penduduk memutuskan untuk berpencar. Karena, tidak seorang pun yang mengetahui dari mana jeritan itu berasal.

Sementara itu di dalam bangunan tempat berasalnya jerit kematian tadi, empat orang centeng yang juga mendengarnya segera berlompatan ke arah belakang bangunan. Karena, suara itu mereka kenali sebagai jeritan majikan wanita mereka, yang disebut dengan nyonya besar.

Begitu tiba di belakang bangunan, keempat centeng yang sudah menggenggam senjata telanjang segera saja berindap-indap untuk menyelidiki, apa yang sebenarnya terjadi dengan nyonya besar mereka. Sebab, selama ini mereka tidak pernah mendengar majikan mereka itu bertengkar dengan suaminya.

Salah seorang dari keempat centeng yang tampaknya merupakan pemimpinnya, segera saja memberi isyarat kepada ketiga orang kawannya. Setelah itu, ujung goloknya digunakan untuk mengungkit daun jendela yang tertutup. Semua itu dilakukannya untuk mengetahui, apa sebenarnya yang terjadi di dalam kamar majikannya. Tapi gerakan golok lelaki tegap berkumis jarang itu terhenti ketika tangannya dipegang oleh salah seorang kawannya. Jelas, kawannya itu tidak setuju dengan cara yang akan diperbuatnya.

“Kita harus tahu, apakah kedua majikan kita baik-baik saja...,” desis lelaki tegap berkumis jarang itu, yang kelihatan tidak senang dengan perbuatan kawannya yang mencegahnya.

“Kita panggil saja. Kalau tidak menyahut, langsung kita dobrak jendela ini. Kurasa hal itu jauh lebih baik dan kita tidak bisa dipersalahkan...,” usul lelaki yang bertubuh sedang yang rupanya mempunyai pikiran lebih cemerlang. Dan langsung saja usul itu dijawab oleh anggukan ketiga orang kawannya.

“Tuan Besar...!” lelaki tegap berkumis jarang itu mulai memanggil majikannya dari dekat jendela samping. Suaranya yang besar dan berat terdengar cukup mengejutkan. Bahkan, kalau saja di tempat itu ada seekor kucing yang sedang bengong, kucing itu pasti akan terlonjak kaget.

Tapi, suara yang bisa mengagetkan kucing bengong itu ternyata sama sekali tidak membuat majikannya terbangun. Sehingga, lelaki tegap itu berdiri bingung sambil menatap daun jendela yang tidak juga terbuka.

“Lebih keras lagi, Kakang...,” ketiga orang kawannya yang lain memberi semangat agar pemimpinnya tidak berputus asa.

Lelaki bertubuh tegap dan berkumis jarang tapi terlihat agak bodoh itu segera menarik napas panjang-panjang, hingga dadanya membusung. Dan.... “Tuan Besoooaaarrr...!”

Lelaki tegap itu memang benar-benar berotak udang. Usulan kawannya tadi ternyata ditanggapi sungguh-sungguh. Bahkan, bukan hanya sekedar lebih keras dari semula, teriakannya kali ini pun tak ubahnya sebuah raungan binatang buas yang tengah marah. Tentu saja ketiga kawannya terlonjak bangkit dengan wajah pucat. Mereka tampak sangat terkejut begitu mendengar teriakan lelaki tegap berkumis jarang itu.

Tapi, sayang sekali. Meskipun teriakan lelaki bertubuh tegap itu sanggup membuat gajah bunting lari terbirit-birit, majikannya tidak juga keluar. Rupanya sang majikan tidak bisa disamakan dengan gajah bunting. Dia sama sekali tidak terlihat lari terbirit-birit akibat teriakan keras itu.

“Dasar tolol...!” umpat lelaki kurus yang tadi mencegah lelaki tegap mencongkel daun jendela.

Jelas sekali, lelaki kurus itu jengkel melihat kebodohan pemimpinnya. Memang, pemimpin centeng itu dipilih berdasarkan kepandaian silatnya bukan kepintaran otaknya. Dan, kepandaian silat lelaki tegap berkumis jarang itu memang jauh lebih hebat dibanding ketiga centeng lainnya. Begitu teriakan kerasnya dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tidak juga mendapat sahutan, langsung saja lelaki bertubuh tegap itu melesat dan mendobrak daun jendela setinggi setengah tombak diatasnya.

“Yeeaatt...!”

Braakkk...!

Daun jendela kamar langsung jebol. Serpihan kayu tampak berhamburan. Sedangkan tubuh lelaki tegap itu sendiri telah lenyap ke dalam kamar majikannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga centeng lainnya segera menyusul. Tubuh mereka bergerak ke arah daun jendela.

“Huppp!”

Sekali menjejak tanah, tubuh ketiganya melambung bergantian dan langsung lenyap di balik jendela kamar yang telah hancur itu.

DUA

“Hahhh...!?”

Begitu menjejakkan kakinya di lantai kamar, mulut ketiga centeng itu langsung menganga lebar. Mereka sangat terkejut melihat keadaan kamar yang berentakan. Karena tidak menjumpai lelaki bertubuh tegap di dalam kamar itu, tentu saja ketiganya bertambah heran dan saling tatap tak mengerti.

“Ke mana perginya Kakang Junara...?” desis salah seorang dari ketiga centeng itu sambil menatap sekeliling kamar.

“Iya, ke mana pula perginya majikan kita...?” sambung yang lain sambil juga menatapi sekeliling kamar, seperti masih berharap dapat menemukan kedua majikannya yang lenyap.

“Lebih baik kita cari di tempat lain. Atau... siapa tahu nona muda kita juga tidak ada. Ayo, kita periksa”

Setelah berkata demikian, centeng bertubuh kurus itu segera saja melangkah keluar dari kamar majikannya. Dengan senjata di tangan, ia terus bergerak diikuti centeng lainnya memeriksa seluruh ruangan di rumah besar itu.

“Aaahhh!?”

Ketika centeng-centeng itu tiba di ruangan dekat kamar nona muda mereka, ketiganya terjingkat berbarengan dan langsung melompat mundur dengan wajah pucat. Beberapa langkah di depan pintu kamar putri majikan mereka, tergeletak tiga sosok tubuh berlumuran darah, yaitu kedua orang pemilik rumah beserta centeng bertubuh tegap yang dijadikan kepala penjaga rumah besaritu. Semuanya tewas dengan usus memburai. Langsung saja ketiga centeng itu menekap mulut yang hendak menumpahkan isinya ke luar.

“Hmhhhrrr...!”

Belum lagi centeng-centeng itu sempat menguasai rasa mualnya, tiba-tiba terdengar gerungan lirih dan serak yang menggetarkan jantung. Tentu saja jantung ketiga centeng yang memang tengah berdetak keras semakin bertambah terguncang. Dan, rasa takut ketiganya semakin bertambah saat melihat kelebatan sesosok bayangan di dinding dekat pintu kamar majikan mereka.

“Aaahhh!”

Dengan wajah yang semakin bertambah pucat, ketiga orang yang biasanya sangat galak itu langsung kehilangan seluruh keberaniannya. Apalagi, mereka pun melihat adanya tangan yang memiliki cakar-cakar aneh yang runcing sepanjang satu jengkal.

“Hhmmmrrr!”

Belum lagi rasa takut mereka sempat berkurang, tahu-tahu muncullah sesosok tubuh berpakaian serba putih dengan rambut panjang riap-riapan. Dan, di bahu kirinya terlihat sesosok tubuh ramping yang tak berdaya. Sepertinya sosok yang tampak pingsan dalam pondongan di bahunya ini adalah putri majikan ketiga centeng itu. Karena didesak oleh rasa takut yang sudah tidak bisa ditahan lagi, tubuh ketiga orang itu pun melorot jatuh. Tapi, sebelum mereka sempat pingsan, sosok bayangan putih tadi dengan cepat berkelebat lewat di depan ketiga centeng itu.

Breettt! Breettt!

“Aakkhhh...!”

Bagai orang yang kerongkongannya tercekik, ketiga centeng itu hanya bisa mengeluh pendek. Darah segar tampak menyembur keluar dari leher menganga yang hampir putus terkena sambaran cakar sosok bayangan putih tadi. Seketika itu juga, tewaslah ketiga orang itu menyusul yang lainnya.

Tanpa mempedulikan korban-korbannya, sosok bayangan putih tadi langsung saja bergerak meninggalkan rumah besar ini sambil tetap memondong seorang gadis cantik di bahu kirinya. Namun, baru saja sosok bayangan putih itu sampai di luar rumah, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan dari belasan orang lelaki yang rupanya tengah meronda desa. Dengan obor-obor di tangan, mereka langsung menghadang begitu melihat sesosok bayangan putih melesat dari dalam bangunan di dekat tempat peronda lewat.

“Berhenti...!”

Dengan diterangi sinar obor dan senjata di tangan, tiga belas orang peronda Desa Pegatan langsung menghadang jalan. Meskipun hati mereka sempat bergetar melihat sepasang cakar mengerikan milik sosok bayangan putih, para peronda desa itu tetap menghadang.

“Hmmm...”

Sosok berpakaian serba putih hanya bergumam perlahan. Wajahnya yang tersembunyi di balik rambut yang berjuntai ke sebagian wajahnya tampak menyunggingkan senyum dingin. Para peronda desa segera menyebar dan langsung mengurung sosok berpakaian putih itu.

"Kisanak, siapakah kau? Mengapa kau malam-malam begini keluyuran? Dan, siapa pula yang ada dalam pondonganmu itu? Jawablah, sebelum kami terpaksa harus bertindak keras”

Seorang lelaki gagah berdada bidang berkata dengan nada memperingatkan. Sedangkan pedang di tangan kanannya telah siap untuk membuktikan ucapannya barusan. Tapi, sosok berpakaian serba putih sama sekali tidak menyahut. Dengan tenang, kakinya melangkah melewati lelaki gagah itu. Jelas, sikap itu merupakan sebuah tantangan halus.

“Diam di tempatmu...! Selangkah lagi kau maju, jangan salahkan aku kalau senjata ini terpaksa melukai tubuhmu...,” bentak lelaki gagah berdada bidang itu sambil melintangkan senjatanya di depan dada.

Jelas, ancaman lelaki gagah itu bukan sekedar gertakan kosong. Dan, sosok tubuh berpakaian putih pun tampaknya tahu akan kesungguhan ancaman itu. Meskipun demikian, sosok berpakaian serba putih berambut panjang riap-riapan itu tetap saja tidak peduli. Setelah mengeluarkan dengusan kasar, kakinya kembali melangkah dengan tenang. Tentu saja sikap ini membuat hati kepala ronda itu semakin panas.

“Heaaattt...!”

Merasa sudah cukup memberikan peringatan, kini lelaki gagah berdada bidang tidak lagi sungkan-sungkan. Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, ia langsung melesat dengan putaran pedangnya yang langsung menusuk ke arah punggung sosok berpakaian serba putih.

Wuuuettt...!

Bukan main jengkelnya hati lelaki gagah berdada bidang. Ternyata tanpa kesulitan sedikit pun, sosok berpakaian serba putih itu menggeser kaki kanannya ke samping. Dan, begitu tusukan lelaki gagah itu lewat, tiba-tiba cakarnya yang panjang dan runcing langsung bergerak menjambret lengan lawannya. Dan....

Kreeppp!

“Aaahhh. !”

Hebat dan sangat cepat gerakan tangan sosok berpakaian putih itu. Terbukti, tangan lawannya yang menggenggam pedang langsung dapat dijambretnya hanya dengan sekali menggerakkan tangan. Benar-benar sebuah kepandaian yang mengagumkan.

“Hmhhh...!” Dibarengi dengan sebuah dengusan kasar, sosok berpakaian serba putih menarik cakarnya dari tangan lawan.

Brrolll...!”

“Aaaa...!” Lelaki gagah berdada bidang meraung kesakitan ketika lengannya tercabut oleh cakar lawan hingga sebatas siku. Rupanya, selain bisa digunakan untuk cakar, jari-jari runcing itu pun dapat dijadikan pisau yang bisa mencelakakan lawan-lawannya. Dan, lelaki gagah berdada bidang sudah menjadi salah satu korbannya.

Tubuh lelaki gagah berdada bidang terjajar limbung sambil memegangi tangannya yang mengalirkan darah tanpa henti. Wajahnya tampak berkerut-kerut menahan rasa sakit yang luar biasa pada lukanya. Sedangkan sosok berpakaian serba putih hanya tertawa dingin, kemudian melangkah meninggalkan lawannya.

“Bunuh...!”

Ternyata, meskipun pemimpin peronda malam itu sudah tak dapat berbuat apa-apa karena sibuk merasakan sakit, ada salah seorang anggota yang bertindak mengambil alih pimpinan. Dan, langsung diteriakkannya perintah membunuh sosok bayangan putih itu.

Tanpa diperintah dua kali, dua belas orang anggota peronda malam itu langsung bergerak menerjang dari segala arah. Sedangkan sosok berambut riap-riapan itu hanya mengeluarkan suara tawa dingin yang berkepanjangan.

“Heeaaahhh...!”

Dibarengi bentakan nyaring, sosok berpakaian serba putih merunduk. Dibiarkannya beberapa batang senjata lewat di atas kepalanya. Kemudian, tangan kanannya yang berkuku runcing dan sangat tajam itu langsung berkelebat ke arah empat orang penyerang yang berada paling dekat dengannya.

Wuuuttt...! Brreettt!

“Aakkhh...!”

Terdengar jerit kematian susul-menyusul manakala cakar-cakar maut sosok berpakaian serba putih merobek tubuh empat orang peronda. Tanpa ampun lagi, tubuh keempat peronda malang itu langsung terjungkal dengan usus memburai. Dan, tampak darah segar membasahi permukaan tanah yang menjadi basah seketika.

Kek kek kek...!”

Terdengar tawa yang mendirikan bulu roma. Kepala sosok berpakaian serba putih terangkat ke atas. Ditatapnya rembulan redup. Kemudian, ditatapinya sisa-sisa lawannya yang saat itu telah berloncatan mundur karena dicekam kengerian.

Sosok berpakaian serba putih tampaknya memang sengaja hendak menunjukkan dirinya kepada penduduk Desa Pegatan. Buktinya, dia sama sekali tidak mengganggu para peronda yang hanya dapat menatap kepergian pembunuh keji itu dengan wajah pucat. Setelah sosok mengerikan itu lenyap, baru mereka dapat bergerak kembali untuk mengurus mayat kawan-kawannya.

********************

“Hm..., kejadian ini tidak bisa kita diamkan!” Seorang lelaki gagah berusia kira-kira enam puluh tahun berkata geram sambil mengepalkan tinjunya. Jelas sekali, lelaki tua itu tengah marah besar.

Terdengar teriakan-teriakan riuh-rendah menyambut suara lelaki gagah itu. Mereka adalah penduduk Desa Pegatan yang merasa marah dengan peristiwa semalam. Sebab, Desa Pegatan yang selama ini tentram dan damai tiba-tiba ditimpa musibah yang menggegerkan. Kematian Juragan Wanaba beserta istri dan keempat centengnya benar-benar memukul hati warga desa. Belum lagi, beberapa peronda malam yang sempat menangkap basah pembunuh keji itu telah tewas pula dengan cara yang mengerikan. Sudah pasti peristiwa ini membuat penduduk Desa Pegatan menjadi marah besar.

“Mulai hari ini, kita akan tingkatkan perondaan. Siapa saja yang memiliki anak gadis harap berhati-hati. Karena, putri Juragan Wanaba telah lenyap. Dan menurut keterangan para peronda, dia diculik oleh si pembunuh biadab itu.” Kembali lelaki gagah berusia enam puluh tahun itu memperingatkan warga desanya.

Sementara itu, di antara kerumunan warga Desa Pegatan, tampak seorang pemuda berjubah putih berdiri menyaksikan lelaki gagah itu menceritakan kejadian semalam. Di samping pemuda tampan berjubah putih itu, tampak seorang gadis cantik yang lincah dan manja. Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Pendekar Naga Putih dan Wulandari. Rupanya merekapun ingin mendengar cerita tentang kejadian yang menggemparkan semalam.

“Lelaki tua itu Ki Sangaji. Beliaulah yang memimpin Desa Pegatan dengan bijaksana dan penuh perhatian pada warganya.” Wulandari menjelaskan perihal laki-laki gagah itu kepada Panji. Panji hanya mengangguk mengiyakan.

“Hmmm...” Panji, yang matanya selalu bergerak melihat orang-orang di sekelilingnya, tertegun melihat sepasang bola mata berapi yang sedang menatap tajam ke arahnya. Tentu saja kening pemuda itu berkerut keheranan. Namun, Panji segera berpura-pura bodoh dan mengalihkan perhatian. Diam-diam, otak pemuda tampan mencatat wajah dan bentuk tubuh sosok yang menatap dengan mata terbakar itu.

Tidak berapa lama kemudian, Ki Sangaji segera membubarkan warganya untuk melanjutkan tugas masing-masing. Tanpa diperintah dua kali, warga Desa Pegatan pun beranjak meninggalkan balai desa. Demikian pula halnya dengan Panji. Pemuda tampan itu melangkah mengikuti Wulandari yang menuntunnya mengitari desa. Wulandari tampak sangat suka menemani Panji berjalan-jalan. Karena, di saat istirahat, selalu saja Panji menyempatkan diri untuk mengajarkan gadis itu beberapa jurus silat, atau membenarkan gerakan-gerakannya yang masih terlalu lemah dan mudah diserang.

Pada hari ini pun, setelah meninggalkan balai desa, Wulandari mengajak Panji ke sebuah tempat yang sunyi. Dan, di sebuah lapangan rumput yang cukup luas, gadis cantik itu menghentikan langkahnya, lalu memandang ke arah Panji.bMelihat sinar mata Wulandari, Panji pun tahu, apa yang diinginkan gadis ini. Pemuda itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya mengiyakan. Langsung saja Wulandari berseri gembira.

“Haaiittt...!”

Diawali dengan sebuah seruan nyaring, Wulandari mulai melakukan gerakan yang diajarkan Panji. Kaki kanannya bergeser ke belakang dengan dibarengi sebuah tusukan jari-jari tangan setinggi leher. Jelas, tujuannya adalah tenggorokan lawan. Kemudian, dengan gerakan pinggang yang luwes, gadis itu merunduk sambil melakukan putaran cepat, lalu terus menyembul sembari melontarkan sebuah cengkeraman ke pelipis. Setelah itu, Wulandari melompat panjang dengan kedua lutut menekuk ke dada. Sedangkan sepasang tangannya yang membentuk cakar harimau bergerak susul menyusul menimbulkan sambaran angin yang cukup kuat. Kekuatan tenaga Wulandari tampaknya telah bisa diandalkan.

“Heyyaahhh...!”

Setelah menyelesaikan jurusnya, Wulandari kembali berseru sambil melesatkan tubuhnya dan berjumpalitan di udara beberapa kali, lalu mendarat ringan beberapa langkah di belakang Panji yang langsung tersenyum sambil bertepuk tangan keras. Pemuda itu tampak sangat puas melihat kemajuan yang diperoleh gadis cantik ini.

“Bagus sekali, Wulandari. Tampaknya kau memang sangat berbakat. Gerakanmu demikian luwes dan teratur baik. Kalau kau sering berlatih, dalam waktu singkat siapapun akan kesulitan mencari lawan yang cocok untukmu...” puji Panji dengan wajah berseri.

Gerakan-gerakan silat yang dilakukan Wulandari tadi memang sangat mengagumkan. Sehingga, mau tidak mau Panji harus mengakui, betapa berbakatnya gadis cantik saudara sepupunya ini.

“Ah, Kakang tidak bersungguh-sungguh. Gerakanku tadi tentunya masih jelek dan kasar, tidak seperti kalau Kakang yang memainkannya. Kalau memang kurang bagus, mengapa harus disembunyikan, Kakang? Katakan saja terus terang, aku tidak akan marah...,” ujar Wulandari yang masih saja tampak ti-dak mempercayai pujian Panji.

Memang, Wulandari selalu tidak suka jika ada orang lain menyembunyikan hal yang sebenarnya. Tapi, terhadap Panji, gadis itu bukannya tidak percaya. Sesungguhnya ia terlalu manja dan selalu ingin mendengar pujian Panji.

Panji hanya tersenyum mendengar bantahan Wulandari. Gadis cantik itu, memang sangat manja kepadanya. Tapi, ada satu hal yang sangat disukai Panji dari Wulandari, yaitu gadis ini tidak pernah membantah suatu kebenaran, juga selalu mau mengikuti nasihatnya. Sifat itulah yang membuat Panji semakin bertambah sayang kepada Wulandari. Apalagi, pemuda tampan ini memang tidak mempunyai seorang pun adik.

Tentu saja kehadiran Wulandari dalam hidupnya membuat Panji menganggap gadis cantik putri pamannya itu sebagai adik kandungnya sendiri. Hal ini pun sering kali diungkapkannya kepada Wulandari dalam kesempatan mereka bercerita. Demikian pula halnya dengan Wulandari. Gadis ini juga menganggap Panji sebagai kakak kandungnya.

Wulandari memang mempunyai kakak kandung yang bernama Wira Buana, tapi kakak kandungnya itu telah tiada semenjak setahun yang lalu, sebelum kedatangan Panji yang sekarang ini. Itulah sebabnya, mengapa semenjak Panji tinggal di tempat kediaman pamannya hanya Wulandari yang menemaninya bermain silat dan melihat keindahan alam pedesaan.

Panji mengulurkan tangannya. Diacak-acaknya rambut Wulandari. Bibirnya terlihat tersenyum melihat mimik tidak puas di wajah gadis itu.

“Mengapa aku harus berbohong kepadamu, Adikku? Kalau itu kulakukan, tentunya aku sendirilah yang akan rugi. Sebab, apabila aku memuji gerakanmu, padahal sebenarnya gerakanmu buruk, bagaimana nanti bila kau bertemu dengan seorang lawan untuk kemudian kalah? Selain aku sendiri yang merasa malu, tentunya kau pun tidak luput dari celaka. Nah, dengan alasan ini kau masih menyangka aku akan berbohong...?”

Panji menarik tubuh gadis cantik itu ke dalam pelukannya. Sedangkan Wulandari sama sekali tidak berusaha untuk menghindar, tapi malah menyurukkan kepalanya ke dalam pelukan pemuda itu.

“Kakang...” panggil Wulandari yang masih menyembunyikan wajahnya di dada Panji.

“Hmmm...,” gumam Panji sambil menatap langit yang masih cerah.

“Kalau Kakang mempunyai seorang sahabat yang berwajah tampan, berhati lembut, dan penuh perhatian seperti Kakang, tolong kenalkan aku, ya...?” pinta gadis itu dengan wajah kemerahan. Terlihat Wulandari merasa malu juga untuk menyampaikan hal seperti ini, seberapa dekatnya pun dia dengan Panji.

Panji terdiam sejenak. Bibirnya mengulas senyum. Diketatkan pelukannya dengan penuh kasih. Lalu dia menyahuti ucapan Wulandari dengan suara berbisik lembut.

“Mengapa, Wulandari...?”

“Aku ingin mempunyai seorang pelindung seperti Kakang...,” desah Wulandari yang kini berani mengangkat kepalanya menatap wajah pemuda itu.

“Hush...” tukas Panji, bergurau. Keduanya terdiam sesaat. Panji menatap bola mata gadis di depannya.

“Kelak kau akan menemukan orang yang kau cintai tanpa harus membandingkannya denganku. Jika kau bertemu dengannya kelak, terimalah ia apa adanya dan jangan terlalu banyak menuntut. Dengan begitu, ia akan semakin sayang dan menaruh perhatian yang besar kepadamu...” jelas Panji,menasihati.

“Betul, Kakang...?” Wulandari masih belum percaya.

“Tentu saja betul. Sekarang, ayo kita pulang. Sebentar lagi hari akan senja...” ajak Panji sambil menarik tangan gadis itu agar tidak semakin terseret dalam lamunannya.

Wulandari tidak membantah. Gadis cantik ini mengikuti Panji dengan menggunakan ilmu larinya yang semakin tinggi setelah diajarkan pemuda itu.”

********************

TIGA

Suatu iring-iringan kereta kuda bergerak lambat menyusuri jalan lebar. Dilihat dari bentuknya yang cukup besar, jelas kereta-kereta itu merupakan kereta barang.

“Heyyys...!”

Kusir kereta terdepan yang berusia sekitar lima puluh tahun memecuti kuda-kudanya ketika roda kereta terjeblos dalam sebuah ceruk tanah yang cukup dalam. Namun, kedua ekor kuda yang menariknya hanya meringkik keras, karena tak mampu mengeluarkan roda. kereta yang terjeblos itu.

“Hayo, kuda-kuda tolol! Makan saja kalian kuat! Baru terjeblos ke lubang kecil saja, kereta ini tidak mampu kalian tarik! Apalagi terjeblos ke dalam jurang! Pasti tidak mungkin lagi kalian bisa menariknya...” Kusir kereta terdepan itu mengomel panjang pendek. Sedangkan tiga kereta yang berada di belakangnya segera berhenti, karena tidak bisa lewat. Selain itu, kereta terdepan memang merupakan pemimpin iring-iringan kecil itu.

“Sudahlah, tidak perlu ribut-ribut. Percuma saja kuda-kuda itu dimaki-maki.”

Terdengar suara lembut seorang lelaki empat puluh tahunan. Wajahnya bersih dan penampilannya tampak gagah. Sedangkan pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang pendeta agama. Pantaslah kalau nada bicaranya pun lembut. Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu melangkah turun. Rupanya ia berada di bagian belakang kereta yang tertutup rapat oleh kain lebar itu. Bersama dengannya, tampak masih ada beberapa orang lelaki, berusia tiga puluh sampai lima puluh tahun. Wajah mereka rata-rata menunjukkan kesabaran dan penuh pancaran kasih.

“Hayo, Paman, siap-siaplah menjalankan kereta...,” ujar lelaki gagah berpakaian pendeta itu sambil memegang bagian samping kereta.

“Satu... dua... ti... ga!”

Seiring dengan hitungan ketiga yang diserukan pendeta muda itu, kereta pun terangkat pada bagian yang terperosok. Sedangkan tubuh pendeta muda itu tampak bergetar dengan otot-otot lengan mengembung. Pendeta muda itu rupanya telah mengerahkan tenaga sakti dalam usaha mengangkat roda kereta dari dalam lubang.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, kusir kereta segera melecutkan cambuknya berkali-kali ke punggung kedua ekor kudanya pada waktu mendengar hitungan ketiga. Sebentar kemudian, roda kereta itu pun telah terbebas dari lubang yang menjeratnya.

“Wah..., tenagamu semakin hebat saja, Adi Walung. Rupanya kau telah memperoleh kemajuan yang pesat...,” puji salah seorang pendeta yang ada di dalam kereta itu.

Pujian yang diucapkan salah seorang pendeta itu memang tidak terlalu berlebihan. Sebab, selain menanggung beban barang, kereta itu pun masih mengangkut sekitar enam orang penumpang lagi. Tentu saja, terangkatnya roda kereta dengan beban seberat itu bukan merupakan hasil pekerjaan yang ringan.

“Ah..., kau terlalu memuji, Kakang Kalpa Wira. Kalau dibandingkan denganmu, tentu saja aku tidak ada apa-apanya,” sahut pendeta muda yang dipanggil dengan nama Adi Walung itu,merendah.

Pendeta yang dipanggil dengan nama Kalpa Wira hanya tertawa terkekeh. Tampaknya ia tidak mau membantah pujian yang dilontarkan terhadap dirinya. Tanpa banyak bicara lagi, Walung segera naik kembali ke atas kereta, yang terus bergerak menyusuri jalan lebar. Tiga kereta lainnya pun mulai bergerak mengikuti kereta terdepan. Tidak lama kemudian, rombongan itu pun tibalah di mulut Desa Pegatan.

Tapi, iring-iringan itu tidak diperbolehkan masuk ke dalam desa. Tampak di mulut desa telah berjaga-jaga belasan orang dalam keadaan waspada semenjak kejadian menggemparkan yang menimpa desa itu baru-baru ini. Ki Sangajilah yang telah memberi perintah untuk memperketat penjagaan. Dan, tanpa diperintah pun para penduduk sesungguhnya telah bertekad memperketat keamanan Desa Pegatan.

“Hm..., dapatkah kami berjumpa dengan kepala desa ini? Tolonglah, ada sesuatu yang sangat penting yang ingin kami sampaikan. Harap Kisanak berkenan mempertemukan kami dengan beliau...,” ujar Walung dengan sopan.

Tampaknya karena tidak diperbolehkan memasuki desa, Walung memutuskan untuk bertemu langsung dengan kepala desa. Dengan demikian, ia bisa membicarakan keperluannya dengan penguasa Desa Pegatan itu.

“Baiklah, satu orang saja. Yang lain tinggal di sini. Kalau tidak, terpaksa kami tidak akan memberikan izin kepada siapa pun untuk menemuinya...,” ujar seorang lelaki gagah yang menjadi pemimpin di batas desa itu. Kekerasan hatinya sama sekali tidak berubah, meskipun orang-orang yang dihadapinya adalah para pendeta.

Akhirnya Walung menganggukkan kepala dan melangkah mengikuti laki-laki anggota penjaga perbatasan. Pendeta muda itu segera dihadapkan kepada Kepala Desa Pegatan.

“Maaf, kalau kedatangan kami mengganggu ketenangan Ki Sangaji. Tapi, kami sangat memerlukan bantuan kepala desa. Jadi, kami datang menghadap untuk membicarakan hal itu...,” ujar Walung begitu bertemu dengan seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang masih terlihat gagah.

“Hm..., apa yang bisa aku bantu untuk kalian...?” tanya Ki Sangaji setelah memperhatikan pendeta muda itu sejenak.

“Kami ingin membuat tempat ibadah di sekitar daerah ini. Untuk itu, tentu saja kami memerlukan bantuanmu, Ki Sangaji. Sebab, tanpa izin darimu, sukar rasanya untuk mencari daerah yang baru. Untuk itu, kami mohon dengan sangat...”

Penuturan Walung terdengar cukup singkat dan jelas. Tapi Ki Sangaji tidak bisa memberi jawaban segera. Lelaki gagah itu termenung. Tampaknya ia tengah mencari keputusan yang tepat.

Walung duduk tenang menunggu. Lelaki muda berwajah bersih itu terlihat agak termenung memikir- kan jawaban yang bakal diterimanya. Ia hanya terus duduk menunggu tanpa berani mengganggu keasyikan Ki Sangaji yang tengah mencari jawaban bagi permohonannya tadi.

“Hm..., apa maksud kalian hendak membangun tempat ibadah di sekitar desa ini? Sedangkan didesa ini kalian tidak mempunyai seorang penganut pun. Lalu, di mana kalian hendak mendirikannya kira-kira. Kalian pasti sudah mengira-ngiranya, kan?” tanya Ki Sangaji, yang ingin mengetahui secara pasti tujuan orang-orang itu datang ke tempatnya.

“Sudah pasti untuk beribadah, Ki. Dan, kami berniat membuatnya agak ke ujung desa, agar tidak mengganggu Ki Sangaji dengan persoalan-persoalan kami. Untuk itu, kami mohon Ki Sangaji mau mengabulkannya...,” jelas Walung, berusaha membujuk Ki Sangaji.

Ki Sangaji kembali terdiam. Untuk kedua kalinya, Walung pun harus diam menunggu.

“Baiklah. Kami akan memberikan izin. Tapi ingat, aku akan selalu memeriksanya setiap hari. Untuk itu, kalian harus melaksanakannya dengan sungguh-sungguh,” tegas Ki Sangaji kemudian mengajukan persyaratan yang dianggap tidak terlalu berat

“Terima kasih, Ki. Semoga kau diberkahi...”

Dengan wajah cerah, Walung melangkah lebar ke arah mulut desa, tempat kawan-kawannya masih tinggal. Kemudian dia memberitahukan pada mereka untuk siap berangkat. Begitu pintu batas desa dibuka atas perintah Ki Sangaji, kereta-kereta itu pun bergerak menyusuri jalan utama Desa Pegatan, lalu melangkah pelan ke ujung desa.

“Sebentar, aku akan memeriksa kalian!”

Ki Sangaji yang sengaja menunggu di pinggir jalan, mengingatkan bahwa ia belum memeriksa semua isi kereta. Walung menganggukkan kepalanya sambil membungkukkan tubuh.

********************

Suasana malam yang hening, kembali mencekam Desa Pegatan. Meskipun di dalam keheningan itu Ki Sangaji dan para penduduk telah bersiap untuk mencegah terulangnya malapetaka, ternyata sosok berpakaian serba putih tetap muncul mencari korban. Kali ini sosok bayangan putih itu bergerak ke sebelah timur Desa Pegatan, tempat Ki Ganda Buana tinggal.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, sosok berpakaian serba putih berkelebatan cepat menuju Timur desa. Bahkan para peronda malam tidak melihat atau pun mendengarnya saat sosok bayangan putih itu melintas di atas mereka. Dari sini saja dapat diukur betapa hebat ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sebentar kemudian, tubuh pembunuh biadab itu lenyap di balik rumah salah seorang petani.

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba sosoknya telah berada di dalam sebuah kamar yang cukup luas. Di atas pembaringan dalam kamar itu tampak seraut wajah manis tengah terlelap. Sosok berpakaian serba putih itu tersenyum dingin. Kemudian, dia mengulurkan tangannya untuk memberikan sebuah totokan pelumpuh. Setelah itu, tubuhnya kembali berkelebat lenyap tanpa diketahui oleh seorang pun penghuni rumah.

Rupanya sosok berpakaian serba putih itu tidak segera meninggalkan desa, meskipun ia telah mendapatkan korbannya. Ia masih terus berkeliling memasuki rumah-rumah penduduk lainnya sambil memondong tubuh gadis tawanannya.

Sementara itu, tanpa setahu sosok berpakaian serba putih yang tengah berkelebatan sambil memondong gadis itu, ada sesosok bayangan putih lain yang membayanginya. Sosok bayangan putih kedua ini tampaknya sengaja menjaga jarak dan tidak segera menangkap ataupun memergoki penculik perawan itu. Dia terlihat terus membayangi, meskipun sesungguhnya dirinya merasa aneh melihat sosok berpakaian serba putih yang keluar masuk rumah-rumah penduduk dengan membawa-bawa tubuh gadis yang tertotok pingsan dibahunya.

Baru ketika sosok berpakaian serba putih melesat hendak meninggalkan desa, sosok berpakaian putih yang berada di belakangnya segera bergerak menambah kecepatan larinya. Kemudian, tampak tubuhnya berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum kakinya menjejakkan tanah di depan pencuri perawan yang memiliki cakar runcing mengerikan itu.

Sosok rambut panjang riap-riapan yang sebelah bahunya menyandang tubuh seorang gadis itu tampak terkejut. Dan, ia berusaha meloloskan diri dari kejaran sosok berjubah putih yang gerakannya demikian cepat bagaikan sambaran kilat di angkasa.

“Berhenti...!”

Disertai bentakan keras, sosok berjubah putih itu kembali melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. Kemudian, tubuhnya dijatuhkan tepat di depan sosok berpakaian serba putih yang menculik gadis desa itu.

“Bangsat! Mau apa kau? Siapa kau yang begitu berani menghalangiku? Menyingkirlah sebelum menyesal...!”

Sosok penculik putri petani itu mengancam dengan nada geram. Rupanya ia benar-benar jengkel melihat sosok berjubah putih yang ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak kalah dengan dirinya sendiri. Bahkan, sosok berpakaian serba putih mau tidak mau harus mengakui bahwa ilmu meringankan tubuh pengejarnya itu masih lebih tinggi beberapa tingkat. Tentu saja kenyataan ini membuatnya hampir tak percaya.

“Dengar, Kisanak. Siapa pun kau di balik penampilanmu yang seram ini, lebih baik menyerahlah atau hentikan kejahatanmu. Lebih baik kau pergunakan ilmu kepandaianmu untuk kebaikan. Percayalah, kau pasti akan merasa lebih tenteram ketimbang melakukan kebiadaban seperti sekarang ini...”

Sosok berjubah putih yang ternyata seorang pemuda tampan itu mencoba menasihati lawannya. Namun, yang didapat hanyalah tawa dingin dan dengusan kasar.

“Hm..., tidak perlu mengguruiku, Bocah! Sebaiknya kau memang harus diberi pelajaran biar kapok!” Baru saja ucapannya itu selesai, sosok yang memiliki sepasang cakar maut itu langsung mengulurkan cakar-cakarnya ke arah pemuda tampan itu.

Wuuuttt! Wuuuttt!

“Maaf, aku tidak memerlukan pelajaranmu” Sambil berkata demikian, pemuda tampan itu bergerak menghindar seraya menepiskan telapak tangannya. Sehingga, cakar maut lawan pun melenceng kearahnya.

“Hiaahhh...!

Zzeebbb!

Sebuah serangan balasan yang berupa tendangan kilat terlontar cepat mengancam perut lawannya. Tentu saja sosok berpakaian serba putih terkejut bukan main. Cepat ia bergerak mundur ke belakang dengan lompatan panjang. Tapi, pemuda berjubah putih itu tidak tinggal diam. Begitu tendangannya luput, tubuhnya terus meluncur melakukan pengejaran. Telapak tangannya yang juga membentuk cakar berkelebatan cepat susul-menyusul. Tentu saja serangan yang bagaikan gelombang badai di lautan itu membuat lawannya terdesak. Dan....

Plakkk!

“Uuuhhh...!”

Ternyata serangan itu hanya mengenai pangkal lengan lawannya. Dan, pada saat yang tepat cengkeraman cakar pemuda itu terlihat berubah menjadi hantaman telapak tangan, sehingga akibatnya tidaklah terlalu parah. Sosok tubuh berpakaian serba putih yang bertangan cakar runcing mengerikan itu hanya terjajar mundur beberapa langkah. Meskipun, ia sempat meringis merasakan kenyerian yang mengigit tulang.

“Bedebah! Kau... kau Pendekar Naga Putih...!?” seru sosok bercakar maut itu dengan suara terkejut. Rupanya ia baru dapat mengenali siapa lawannya setelah melihat gerakan pemuda itu, yang memang telah menggunakan jurus-jurus ‘Naga Sakti’nya.

“Benar. Untuk itulah petualanganmu harus diakhiri. Karena, orang sepertimu tidak akan pernah mengenal kata tobat,” desis sosok berjubah putih yang ternyata memang Panji itu. Panji kemudian melangkah perlahan-lahan dan bersiap melanjutkan pertarungan.

“Tunggu...!” cegah sosok berpakaian serba putih yang masih memondong gadis desa itu seraya melangkah mundur dan menatap Panji dengan sepasang ma- tanya yang tajam.

“Hm..., apa lagi yang hendak kau sampaikan, manusia licik. Atau kau ingin menyerahkan diri...?” tanya Panji menatap sorot mata lawannya dengan tidak kalah tajam.

“Hm..., bagaimana kalau kita adakan pertaruhan...?” Tiba-tiba saja terdengar ucapan aneh dari mulut sosok berpakaian serba putih.

Tentu saja kening Panji berkerut mendengarnya. “Pertaruhan...? Apa maksudnya, Kisanak...? Jangan bertele-tele. Aku tidak mempunyai banyak waktu untukmu...,” ujar Panji, yang kelihatan berpikir keras mencari tahu maksud ataupun arah pikiran lawannya.

“Benar. Aku bersedia bertarung denganmu dengan syarat yang ku ajukan ini. Jika kau menang, ambillah gadis ini, dan aku tidak akan pernah lagi kembali ke desa ini. Tapi, jika aku menang, kau harus pergi dari desa ini, Pendekar Naga Putih, dan tidak boleh kembali lagi. Bagaimana? Kalau kau takut, tak apalah. Segeralah kau pergi dari sini. Aku akan tetap merajai daerah sekitar Desa Pegatan. Dengan tidak menyambut tantanganku, berarti kau telah kalah, Pendekar Naga Putih!” ujar sosok berpakaian serba putih, mengajukan syarat seenaknya.

“Aku tidak menerima persyaratanmu dan tidak akan pernah bertaruh denganmu. Ingat, kita berada di tempat yang berbeda. Kau selalu mengumbar kejahatan dengan membunuhi dan mencelakai orang-orang yang tidak berdosa. Sedangkan aku berada di pihak yang mempunyai kewajiban mencegahmu. Dengan begitu, tanpa taruhan pun aku akan tetap mengusir atau bahkan membunuhmu. Peduli kau terima atau tidak. Nah, bersiaplah...,” desis Panji sambil melangkahkan kaki mengitari lawannya.

“Bangsat! Manusia Sombong! Apa kau kira aku takut kepadamu, Bocah Tengik! Berani-beraninya kau menantang si Cakar Setan! Lihatlah, akan kurobek-robek tubuhmu dengan cakarku...!” Cakar Setan segera menurunkan tubuh gadis yang dibawanya. Kemudian, kakinya melangkah maju dengan sepasang tangan runcingnya bergerak ke depan. Terdengar suara berdecitan saat dia memutar tangannya yang kini telah siap merencah tubuh lawannya.

“Hemmhhh...!” Sambil menggeram lirih, Cakar Setan mulai bergerak maju dengan langkah-langkah yang cepat dan bersilangan, sepasang tangannya yang meruncing dan berkilat tertimpa cahaya rembulan bergerak kian kemari menimbulkan decitan angin yang menulikan telinga. Jelas, sosok berpakaian serba putih itu telah siap mengerahkan tenaga dalamnya setelah mengetahui siapa lawannya.

Demikian pula halnya dengan Panji. Pemuda itu pun sudah bergerak maju dengan sekujur tubuh yang terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Sepasang tangannya yang sudah membentuk cakar naga tampak berkelabatan menimbulkan sambaran angin mencicit tajam. Rupanya Pendekar Naga Putih pun tidak ingin menganggap enteng lawannya. Sebab, biar pun belum mengenal betul si Cakar Setan. Panji sadar bahwa lawannya ini sebenarnya memang memiliki kepandaian yang tinggi, yang terlihat dari gerak-gerik ataupun serangannya ketika bertarung beberapa jurus tadi. Untuk itu, Pendekar Naga Putih harus berhati-hati. Apalagi, di pihak lawannya masih ada seorang gadis tawanan. Mungkin saja, dalam keadaan terdesak, Cakar Setan akan menggunakan gadis itu sebagai sandera.

“Yiiaaat...!”

“Haaiiittt...!”

Sebentar kemudian, kedua sosok tubuh yang sama-sama berupa bayangan putih itu pun saling menggempur dengan hebatnya. Ilmu meringankan tubuh mereka yang hampir seimbang membuat kelebatan-kelebatan tubuh keduanya bagaikan kilatan cahaya putih. Apalagi, tubuh Panji memang mengeluarkan pendaran sinar putih keperakan. Tentu saja, dilihat secara sepintas, pertarungan itu merupakan sebuah pertunjukan yang sangat menarik. Tapi, bagi tokoh-tokoh berpengalaman, pandangannya tentu akan lain lagi.

“Heeaattt...!”

Untuk kesekian kalinya, kembali Cakar Setan membentak nyaring. Sepasang cakar bajanya bergerak kian kemari mengincar tubuh Pendekar Naga Putih. Namun, pemuda tampan itu selalu dapat menghindari serangan lawan dan bahkan membalasnya pada waktu yang tepat Sehingga, meskipun Panji kelihatan agak terdesak, justru Cakar Setan lah yang selalu kelabakan setiap kali menerima serangan balasan dari Pendekar Naga Putih.

“Heeaaahhh...!”

Hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih yang mengancam dada lawannya berhasil dielakkan. Tapi, Panji tidak berhenti sampai di situ. Sepasang cakar naganya yang terkadang berubah bentuk itu terus mencecar Cakar Setan hingga makin terdesak.

Breettt!

“Aakkhhh...!” Cakar Setan memekik kesakitan. Tubuhnya melintir ketika ia tidak dapat lagi menghindari sambaran cakar naga Panji. Namun, lagi-lagi tokoh sesat itu tidak kehabisan akal. Dengan tubuh yang pura-pura limbung, Cakar Setan segera mengangkat tubuh gadis yang tadi diletakkannya begitu saja. Kemudian, dengan pengerahan tenaga dalamnya, dilemparkannya tubuh gadis itu keudara.

“Huak hak hak...! Kau tangkaplah aku, Pendekar Naga Putih, dan tubuh gadis tak berdosa itu akan hancur berantakan” Sambil berkata demikian, Cakar Setan melangkah meninggalkan tempat itu. Kemudian sosoknya langsung berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.

“Keparat licik...!”

Panji hanya bisa memaki karena ia tidak mungkin membiarkan tubuh gadis itu terbanting hancur. Akhirnya, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk menolongnya. Sekali menjejak tanah, tubuh Panji langsung melambung ke udara. Kemudian ditangkapnya tubuh gadis yang masih pingsan itu dan dibawanya melayang turun.

EMPAT

Tepat pada saat tubuh Panji meluncur turun dengan tubuh gadis dalam pondonganya, sejarak dua tombak dari dirinya tampak sinar terang yang disusul dengan munculnya para peronda desa. Rupanya mereka mendengar suara ribut-ribut dan segera langsung bergegas mencari sumber suara itu. Kemunculan mereka yang bertepatan dengan sosok Panji yang menggendong seorang gadis tentu saja menimbulkan prasangka yang tidak pernah terduga oleh Panji sebelumnya.

“Kepung manusia iblis itu...!”

Terdengar suara perintah yang bergaung. Sebentar kemudian, tubuh Panji telah terkurung dalam lingkaran puluhan orang peronda Desa Pegatan. Tentu saja kenyataan ini membuat Panji terkejut.

“Tahan...! Kalian salah mengenali orang. Aku bukanlah orang yang kalian maksudkan...!” ujar Panji, berusaha menjelaskan persoalan yang sebenarnya.

Tapi, para peronda desa yang pernah melihat sosok berjubah putih tentu saja tidak mau mendengarkan omongan pemuda itu. Segalanya sudah tampak jelas bagi orang-orang itu. Di depan mereka kini berdiri sosok berjubah putih bersama seorang gadis dalam pondongannya. Bahkan, pada saat itu rambut Panji tampak agak berantakan. Sehingga, para peronda Desa Pegatan itu tak mau mengerti walaupun Panji berusaha menerangkan keadaan yang sebenarnya.

“Ayo, tangkap iblis keji itu...!”

Seorang lelaki bertubuh sedang yang memiliki sepasang mata tajam bagai mata elang segera saja memberi perintah. Dan, tanpa diperintah dua kali, para peronda Desa Pegatan pun serentak menghambur dengan senjata terhunus ke arah Pendekar Naga Putih. Sedangkan Panji menjadi semakin bertambah geram terhadap Cakar Setan. Jelas, iblis licik itulah yang telah membuatnya susah.

“Yeeaaa...!”

Diiringi teriakan-teriakan yang membahana, hujan senjata pun tidak lagi dapat dicegah oleh Panji. Belasan batang pedang para peronda desa datang dengan suara berdesing-desing. Panji, yang khawatir kalau gadis dalam pondongannya terluka, segera berlompatan menghindari serangan senjata-senjata itu. Sayang, ke mana pun Panji mengelak, selalu saja ada sambaran senjata tajam yang mengancam tubuhnya.

Pemuda itu pun terpaksa mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk melindungi kulit tubuhnya dari luka bacokan pedang. Dan, munculnya kabut putih keperakan yang berpendar menyelubungi tubuh Pendekar Naga Putih dan gadis dalam pondongannya sempat memancing berbagai seruan dari orang-orang desa yang mengeroyoknya.

“Aaahhh...!?” Beberapa pengeroyok terdekat yang berada dalam jarak setengah tombak dari Panji langsung berlarian mundur. Mereka tampak ketakutan melihat lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menebarkan hawa dingin menggigit tulang. Sedangkan para pengeroyok yang sempat menghindarkan diri terlihat berja- tuhan dengan tubuh menggigil.

“Mundur...! Iblis itu mulai menggunakan ilmu sihirnya...!”

Lelaki bertubuh sedang bermata setajam elang rupanya menjadi pemimpin para peronda Desa Pegatan segera berteriak memerintahkan kawan-kawannya untuk mundur. Karena, lapisan kabut berhawa dingin yang muncul dari dalam tubuh Pendekar Naga Putih telah membuat para pengepungnya porak poranda. Sedangkan lelaki bermata elang itu sendiri bergerak maju dengan ditemani beberapa peronda lainnya. Tampak, mereka yang memiliki tenaga dalam cukup tinggi untuk melawan pengaruh hawa dingin itu mem- beranikan diri menghadapi Panji yang dianggap seba- gai pembunuh keji.

“Sahabat, tahan senjata kalian! Dengarkanlah dahulu kata-kataku. Setelah itu, barulah kalian boleh menyerangku ”

Panji kembali mencoba menyadarkan para peronda desa dengan menyuruh mereka mendengarkan penjelasannya lebih dulu. Tapi, tak seorang pun yang mau mendengarkan kata-kata Pendekar Naga Putih. Sebab, pada saat mereka menemukan Panji, penampilan pemuda itu memang sangat mirip dengan Cakar Setan yang telah banyak memakan korban. Kalaupun ada beberapa perbedaan, mana mau orang-orang desa itu memusingkannya.

“Tidak perlu banyak cakap lagi, Iblis Keji! Sebaiknya kau serahkan wanita itu pada kami. Setelah itu, mungkin aku akan mendengarkan kata-katamu”

Lelaki bermata elang yang menjadi pemimpin para peronda Desa Pegatan mencoba membujuk Panji yang disangkanya sebagai iblis jahat. Tentu saja lelaki gagah ini mengharapkan pemuda itu dapat terbujuk dan menyerahkan gadis dalam pondongannya.

“Jangan khawatir, Kisanak. Gadis yang kutolong dari cengkeraman pembunuh keji ini sama sekali tidak terluka. Ia hanya pingsan terkena totokan. Nah, kau sambutlah tubuh gadis ini...”

Panji yang sedikit lega mendengar janji lelaki gagah bermata elang itu segera saja menuruti perintah tadi. Dilemparkannya tubuh gadis yang tengah tak sadarkan diri itu kepada para peronda Desa Pegatan.

“Huuppp!”

Dengan gerakan yang tangkas, lelaki gagah bermata elang segera menyambut tubuh gadis itu. Kemudian, tubuhnya kembali melayang turun dengan gerakan yang ringan. Wajah lelaki gagah bermata elang itu tampak berbinar gembira, karena ia dapat membujuk pemuda yang dianggapnya sebagai iblis keji itu untuk menyerahkan wanita yang ditawannya.

“Nah, sekarang kuharap kalian mau percaya dan mendengarkan keteranganku”

Tapi, baru saja Panji hendak menerangkan persoalan yang sebenarnya, tiba-tiba lelaki gagah bermata elang itu menukas cepat,

“Ayo, bunuh pemuda iblis itu. Jangan biarkan dia lolos!” Setelah berseru demikian, lelaki bermata elang itu sendiri langsung mencabut kembali senjata yang sempat disimpannya saat menangkap gadis yang dilemparkan Panji.

“Kurang ajar! Apa artinya ini, Kisanak? Mengapa kau mengingkari kata-katamu? Keparat! Ternyata kau bukanlah orang gagah yang lebih bersedia mati daripada harus menjilat ludahnya sendiri,” umpat Panji. Pendekar Naga Putih tampak geram karena merasa dibohongi oleh lelaki gagah bermata elang. Benar-benar ia tidak mengerti, kenapa orang itu sampai berbuat demikian.

“Cuhh! Jangan menyebut-nyebut orang gagah, Iblis Keji! Kami orang-orang gagah memang patut di- percaya. Tapi, kami tidak akan pernah mau mempercayai iblis terkutuk sepertimu. Kami pun tidak bodoh untuk kau tipu mentah-mentah...,” sahut lelaki gagah bermata elang, yang memang belum mempercayai Panji, atau bahkan mungkin tidak akan pernah percaya pada keterangan pemuda itu.

Panji tersentak mendengar ejekan lelaki itu. Namun, ia segera menyadari kedudukannya saat ini. Ucapan lelaki gagah bermata elang memang tidak salah. Jangankan lelaki itu yang hanya seorang kepala peronda desa. Panji sendiri, kalau berada di pihak lelaki dihadapannya ini, tidak akan mau percaya pada keterangannya sendiri, sebab sama sekali tidak ada bukti yang mendukungnya.

“Yeeaaat..! Mampus kau, Iblis Terkutuk...!” Lelaki gagah bermata elang memulai serangan dengan kelebatan pedangnya. Senjata di tangan lelaki gagah itu berdesing mengancam beberapa bagian tubuh Panji dengan gerakan yang cepat dan kuat

Beuuuttt! Wuueett..!

Namun, serangan yang sebenarnya sangat berbahaya itu, ternyata belum apa-apa bagi Pendekar Naga Putih. Bagi Panji, gerakan lelaki itu masih terlalu lambat dan tidak terlalu sulit untuk diatasi. Tapi, bukan itu yang tengah dipikirkannya. Ia hendak mencari jalan untuk meloloskan diri tanpa harus melukai para peronda desa itu. Sebab, biar bagaimanapun, menurut Panji, orang-orang itu sama sekali tidak bersalah. Mereka hanya tidak tahu. Dan, Panji pun harus memaafkannya.

“Heeaatt..!”

Wuuut! Beeet! Beeet!

Belasan senjata kembali berkeredepan dari segala penjuru mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi, Panji sama sekali tidak merasa gentar. Cepat bagaikan kilat, tubuh pemuda itu berkelebatan di antara sambaran belasan batang pedang pengeroyoknya. Dan, ternyata tak satu pun senjata yang mampu melukai tubuhnya. Jangankan mengenai, menyerempet pun tidak. Tentu saja semua itu tidak aneh. Sebab, ilmu meringankan tubuh Pendekar Naga Putih memang tidak ada bandingannya dalam dunia persilatan.

Setelah merasa terbebas dari kurungan sinar pedang, Panji terus melompat jauh dan langsung melarikan diri menerobos kegelapan malam. Maka para pengeroyoknya hanya bisa berdiri bengong, menatap tempat yang kosong ditinggalkan pemuda itu.

“Aku kenal pemuda itu. Kalau tidak salah, ia tinggal di kediaman Ki Ganda Buana. Dan, kegemparan ini terjadi semenjak pemuda itu tinggal di Desa Pegatan. Jelas, dialah pelaku dari semua kejadian yang menimpa desa kita...” kata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun yang bertubuh tegap kepada lelaki gagah bermata elang, yang tampak lega mendengar keterangan pemuda itu.

“Jadi, Tuan Muda Gutawa pernah melihatnya...?” tanya lelaki gagah bermata elang sambil menatap tajam wajah pemuda yang ternyata adalah putra Ki Sangaji, Kepala Desa Pegatan.

“Benar. Aku pernah melihatnya setelah peristiwa terbantainya Juragan Wanaba. Saat itu dia ada bersama putri Ki Ganda Buana yang bernama Wulandari,” jelas Gutawa lagi dengan sorot mata memancarkan kebencian.

“Hm..., kalau begitu, besok pagi kita geledah tempat kediaman Ki Ganda Buana. Biarpun orang tua itu merupakan orang terpandang di desa kita, kita tetap harus bertindak...” ujar lelaki gagah bermata elang yang dikenal dengan nama Ki Bawung Sati. Setelah berkata demikian, Ki Bawung Sati segera mengajak kawannya kembali meronda Desa Pegatan.

********************

Matahari pagi baru saja muncul menampakkan kekuasaannya. Cahayanya masih redup dan belum menyinari bumi secara merata. Dalam suasana seperti itu, serombongan lelaki bergerak menuju tempat kediaman Ki Ganda Buana. Mereka dipimpin oleh seorang lelaki gagah yang merupakan kepala keamanan Desa Pegatan. Di sebelah kanan lelaki gagah itu, terlihat seorang pemuda bertubuh tegap yang melangkah agak terburu-buru. Tampaknya pemuda itulah yang paling berkepentingan dalam masalah ini. Sorot matanya tajam dengan kilatan kebencian dan dendam.

Tidak berapa lama kemudian, tibalah rombongan yang terdiri dari sekitar lima puluh orang itu di depan rumah Ki Ganda Buana. Bawung Sati, lelaki gagah bermata elang yang bertindak sebagai pemimpin orang-orang itu segera saja mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat untuk berhenti. Ia sendiri kemudian melangkah beberapa tindak mendekati pintu utama rumah besar itu.

“Ki Ganda Buana, keluar kau...! Kami utusan Ki Sangaji ingin bertemu...!” Teriakan lelaki gagah bermata elang itu bergaung, karena disertai dengan pengerahan tenaga dalamnya. Dan, gaung suara Bawung Sati ini tentu saja terdengar hingga ke dalam rumah.

Tidak lama kemudian, muncullah Ki Ganda Buana, Wulandari dan Panji. Ketiganya tampak melangkah tenang menghampiri rombongan keamanan desa yangdisertai beberapa belas orang penduduk yang ikut bergabung. Ki Ganda Buana melangkah maju beberapa tindak mendekati Bawung Sati. Sedangkan Panji dan Wulandari dicegah oleh orang tua itu agar tidak mengikutinya. Sehingga, baik Panji maupun Wulandari hanya dapat menatap dari jarak dua tombak.

“Ah, Ki Bawung Sati, selamat datang. Ada keperluan apakah hingga sepagi ini kau sudah datang berkunjung? Dan, mengapa membawa orang begitu banyak? Apakah keperluanmu itu begitu penting hingga melibatkan banyak orang...?” tanya Ki Ganda Buana setelah menyapa lelaki gagah itu dengan sedikit menghormat. Padahal sesungguhnya Ki Ganda Buana telah mengetahui, apa keinginan Ki Bawung Sati dan orang-orangnya. Karena, Panji telah menceritakan semua peristiwa yang dialaminya semalam kepada ayah Wulandari ini.

“Hm..., maaf kalau kedatanganku sepagi ini membuatmu terkejut, Ki Ganda Buana. Baiklah, langsung saja ku utarakan maksud kedatanganku. Aku ingin agar kau menyerahkan pemuda berjubah putih itu kepadaku! Karena, semua kejadian yang menimpa Desa Pegatan adalah akibat ulahnya. Kau tidak perlu mungkir lagi. Aku telah menangkap basah pemuda iblis itu semalam...” Ki Bawung Sati langsung saja menyatakan keperluannya tanpa basa-basi. Sehingga, Ki Ganda Buana mengerutkan keningnya dalam-dalam. Jelas, orang tua itu tentu berpihak kepada Panji.

“Ki Bawung Sati, harap kau teliti dulu sebelum menjatuhkan tuduhanmu. Sebab, keponakanku sama sekali tidak melakukan segala perbuatan yang kau tuduhkan itu. Dan, tahukah kau, siapa adanya pemuda yang kau tuduh sebagai orang jahat ini...?” ujar Ki Ganda Buana dengan nada yang tetap tenang.

“Kami tidak peduli siapa pun adanya pemuda itu! Yang jelas, ia telah bersalah dan patut dihukum gantung! Kalau kau tidak bersedia menyerahkannya, kami terpaksa akan menggunakan kekerasan...!” Gutawa, yang semenjak tadi menatap sosok Panji dengan penuh kebencian, berkata dengan nada penuh emosi. Tentu saja ucapan ini membuat Ki Ganda Buana agak tersinggung.

“Ki Bawung Sati dan para sahabat sekalian, kalian ingin tahu, siapa adanya pemuda yang kalian tuduh sebagai penjahat keji ini? Dia adalah seorang pendekar besar yang namanya telah menggetarkan rimba persilatan. Adakah di antara kalian yang belum mengenal nama Pendekar Naga Putih...?” ujar Ki Ganda Buana lagi tanpa memperdulikan ucapan Gutawa, bahkan sama sekali tidak memandangnya.

“Hahh...?” Ki Ganda Buana, maksudmu pemuda itu adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?” desah Ki Bawung Sati dengan wajah agak pucat.

Tentu saja lelaki gagah bermata elang itu telah mendengar nama Pendekar Naga Putih. Semalam pun sebenarnya ia telah merasa curiga ketika melihat kabut bersinar putih keperakan yang menyelubungi tubuh pemuda itu. Tapi, karena suasananya tidak tepat, tentu saja Ki Bawung Sati segera mengusir dugaannya sendiri. Dan, kali ini Ki Bawung Sati benar-benar terkejut. Ditatapinya wajah dan penampilan pemuda yang berdiri tenang di belakang Ki Ganda Buana. Lelaki gagah bermata elang itu yakin, semua ciri-ciri Pendekar Naga Putih memang ada pada pemuda tampan berjubah putih itu.

“Tapi... tapi...” Ki Bawung Sati sampai tidak bisa berbicara lagi. Ia tampaknya benar-benar terpukul oleh kejadian semalam. Ia telah menuduh pendekar besar itu, bahkan sempat pula memaki-makinya dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Teringat kesabaran yang diperlihatkannya semalam, sadarlah Ki Bawung Sati bahwa pemuda yang berdiri dengan tenang agak jauh di hadapannya ini adalah Pendekar Naga Putih.

“Tidak bisa!” Tiba-tiba Gutawa membentak keras hingga mengejutkan semua orang yang berada di tempat itu. Secara serempak semua mata menoleh dan langsung memandang Gutawa dengan sinar mata penuh pertanyaan.

“Apa maksudmu Gutawa...?” tanya Ki Bawung Sati, dengan sorot mata yang menunjukkan rasa heran.

“Siapa pun pemuda itu adanya, dia tetap merupakan seorang manusia keji yang berlindung di balik kependekarannya. Dan aku sama sekali tidak takut! Kita harus tetap membawa dia untuk dihukum, Ki. Jangan kau terpengaruh hanya karena pemuda itu merupakan seorang pendekar besar yang disanjung banyak orang. Biar bagaimanapun, kita telah melihat buktinya sendiri semalam. Lalu, apa lagi yang kita ragukan...?” ujar Gutawa, yang masih berkeras tidak mau menarik tuduhannya terhadap Panji. Sesungguhnya semua itu diucapkan Gutawa karena ia memang merasa benci kepada Panji semenjak pertama kali melihatnya.

Namun, terlihat Panji sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-kata penuh emosi tadi. Dan, Panji pun langsung teringat pada sepasang mata penuh kebencian yang disaksikannya ketika Kepala Desa Pegatan tengah berbicara tentang kejadian yang menimpa keluarga Juragan Wanaba. Setelah mengenali pemuda yang berkata keras tadi, Panji melangkahkan kakinya dengan sikap yang tetap tenang mendekati pemuda itu. Sehingga, Gutawa segera mencabut pedang di pinggangnya. Rupanya ia mengira Panji akan menyerangnya.

“Sabar, Gutawa...,” cegah Panji sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Pendekar Naga Putih rupanya ingin menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud untuk berkelahi. Meskipun demikian, Gutawa tetap menggenggam pedangnya erat-erat dengan sorot mata tajam menikam jantung.

“Hm..., meskipun kau adalah seorang pendekar besar yang berjuluk Pendekar Naga Putih, aku tidak takut menghadapimu! Menurutku, kau tetap manusia keji yang bersembunyi di balik nama besarmu. Dengan nama besar itu, tentu tak seorang pun yang akan pernah menduga kalau penjahat keji yang selama beberapa hari ini berkeliaran di Desa Pegatan adalah Pendekar Naga Putih...,” desis Gutawa.

“Gutawa! Jagamulutmu...!” Karena merasa terkejut, Ki Bawung Sati sampai membentak Gutawa begitu saja. Tampaknya orang tua itu khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Putih menjadi marah dan menghajar putra kepala desanya.

“Paman, kalau memang gentar menghadapi Pendekar Naga Putih, tidak mengapa. Tapi, jangan coba kau mempengaruhiku. Aku tetap berkeyakinan bahwa pemuda inilah yang menjadi biang keladi semua kegemparan di Desa Pegatan...,” tegas Gutawa.

Entah, masalah apa yang membuat Gutawa demikian membenci Panji. Sementara itu, Panji tetap tersenyum sabar menatap pemuda itu. Sebagai orang yang banyak pengalaman, Pendekar Naga Putih sadar bahwa kebencian Gutawa bukan semata-mata disebabkan oleh peristiwa yang terjadi di Desa Pegatan, tapi oleh suatu masalah pribadi yang mulai bisa teraba.

“Gutawa, semua apa yang kau ucapkan sama sekali tidak salah. Tapi, tentu saja kalau kau memang berdiri pada jalan kebenaran,” ujar Panji dengan wajah tetap tenang dan bibir tersenyum.

Gutawa tampak menjadi salah tingkah melihat tatapan Panji yang seperti bisa membaca isi hatinya. “Apa maksudmu, Pendekar Naga Putih...?” Dalam kegugupannya, Gutawa sampai terlupa hingga ia menyebut nama julukan Panji. Tentu saja ucapan itu membuat senyum Panji semakin merekah.

“Maksudku, janganlah kau membenciku karena persoalan pribadi,” jawab Panji dengan tenang. “Aku tidak ingin menjelaskannya di tempat ini. Tapi, kalau kau ingin berbicara secara pribadi denganku, tentu saja aku tidak akan menolak”

Gutawa merasa ditelanjangi isi hatinya menjadi merah padam wajahnya karena malu. Jelas Panji telah tahu, apa sebabnya putra kepala desa itu membencinya. Maka, tanpa banyak cakap lagi, Gutawa bergegas meninggalkan kediaman Ki Ganda Buana tanpa pamit kepada siapa pun. Tapi, meski hanya sekilas, Panji sempat melihat pemuda itu melirik khawatir ke arah Wulandari.

“Kami mohon maaf, Ki, Pendekar Naga Putih.... Mungkin malam nanti aku akan berkunjung lagi dalam suasana yang lebih baik ,” kata Ki Bawung Sati. Lelaki gagah bermata elang itu pun segera saja berpamitan begitu melihat putra kepala desanya telah bergegas tanpa diketahui sebabnya.

Ki Ganda Buana dan Panji menganggukkan kepala ketika Ki Bawung Sati berpamitan. Mereka menatapi kepergian rombongan itu dengan perasaan lega karena masalahnya telah bisa diselesaikan.

********************

LIMA

Matahari siang itu memancar terik. Sinarnya yang kuning keemasan menerobos dedaunan memanggang permukaan bumi. Namun, dua orang lelaki gagah yang tengah melangkah tegap sama sekali tidak merasa terganggu oleh teriknya sang Mentari. Mereka terlihat begitu terburu-buru menuju sebelah Timur Desa Pegatan. Tidak berapa lama kemudian, langkah kedua orang itu pun mulai memasuki sebuah rumah besar yang halaman sebelah kirinya dipenuhi pepohonan bambu kuning.

“Selamat datang, Ki Sangaji, Ki Bawung Sati,” sambut seorang lelaki gagah kira-kira berusia lima puluh tahunan, dengan nada bersahabat. “Mari, silakan masuk”

Dua orang lelaki gagah yang ternyata memang Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati itu membalas penghormatan tuan rumah yang tidak lain dari Ki Ganda Buana. Segera saja keduanya bergegas mengikuti Ki Ganda Buana memasuki ruang tengah.

“Maaf mengenai kejadian pagi tadi yang mungkin telah mengganggu ketenanganmu, Ganda Buana. Hm...., kalau kau tidak keberatan, aku ingin bertemu dengan keponakanmu yang kabarnya berjuluk Pendekar Naga Putih...,” Ki Sangaji langsung saja mengutarakan maksud kedatangannya setelah basa-basi sebentar.

“Ah, tidak perlu terlalu dipikirkan, Kakang Sangaji. Kesalahpahaman itu tentu saja merupakan hal yang wajar. Tapi, kalau Kakang hendak berjumpa dengan Pendekar Naga Putih sendiri, tunggulah sebentar. Dia sedang melatih adiknya, Wulandari. Mungkin sebentar lagi selesai...,” ujar Ki Ganda Buana.

“Kalau begitu, biarlah kami tunggu..,” sahut Ki Sangaji. Baru beberapa saat Ki Sangaji memutuskan untuk menunggu, terdengarlah langkah-langkah dua orang mendatangi ruang tengah, tempat ketiga tokoh itu berkumpul.

Panji dan Wulandari muncul di ambang pintu dengan wajah cerah. Keduanya mengangguk hormat ke arah Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati yang segera berdiri menyambut kedatangan pemuda tampan itu. Panji pun segera mengambil tempat di antara ketiga lelaki gagah itu.

“Maaf kalau kedatangan kami telah membuatmu terganggu, Pendekar Naga Putih.... Dan, harap engkau tidak sakit hati dengan sikap kasar orang-orangku dalam beberapa hari ini...,” kata Ki Sangaji sambil menatap sosok di hadapannya dengan penuh kekaguman. Ki Sangaji yang semula merasa ragu mendengar keterangan Ki Bawung Sati, kini benar-benar gembira begitu melihat sosok Pendekar Naga Putih. Sebab, penampilan pemuda itu memang mengingatkan Ki Sangaji akan ciri-ciri Pendekar Naga Putih.

“Ah, jangan terlalu dipikirkan, Ki. Aku pun tidak menyalahkan Ki Bawung Sati dan yang lainnya. Sebab, mereka menemukan aku memang persis di malam kejadian itu. Dan, pada saat itu ada seorang gadis dalam pondonganku. Apalagi, warna pakaian dan potongan tubuhku tidak jauh berbeda dengan Cakar Setan. Wajar kalau mereka melemparkan tuduhan itu kepadaku...,” jelas Panji yang memang sama sekali tidak merasa kecewa ataupun dendam terhadap Ki Bawung Sati dan orang-orang Desa Pegatan lainnya.

“Terima kasih atas pengertianmu, Panji. Selain itu, aku ingin juga memberitahukan bahwa ternyata tidak hanya sekedar penculikan terhadap gadis yang kau tolong itu. Tapi, tadi pagi, setelah kepergian Ki Bawung Sati dan yang lainnya ke tempat ini, aku menerima laporan empat orang wargaku. Putri mereka yang rata-rata berusia sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun telah tewas dalam keadaan yang benar-benar mengerikan. Aah..., malang sekali nasib gadis-gadis yang tak berdosa itu. Mereka tewas tanpa setetes pun darah yang masih tersisa di tubuhnya. Semuanya habis terhisap oleh makhluk biadab yang sempat kau pergoki itu...! Benar-benar keji!” desis Ki Sangaji.

Kepala Desa Pegatan itu menundukkan wajahnya yang terlihat jelas menggambarkan kedukaan. Sedangkan Panji tampak terkejut begitu mendengarnya.

“Hm...,” Gumam lirih Panji menatap kedepan. Pendekar Naga Putih teringat ketika membayangi pembunuh keji itu semalam. Saat itu, meskipun dalam pondongan sosok berpakaian putih itu telah ada tubuh gadis yang dibawanya, terlihat ia masih memasuki rumah-rumah penduduk dan keluar lagi tanpa membawa gadis lain. Rupanya manusia licik itu telah membunuh korbannya dengan cara menghisap seluruh darah di tubuh mereka.

“Kurang ajar....!” desis Panji tanpa sadar bahwa saat itu ia berada bersama Ki Sangaji, Ki Bawung Sati, dan Ki Ganda Buana. Tentu saja desis kemarahan Pendekar Naga Putih membuat ketiga tokoh itu tersentak kaget.

“Ada apa, Panji...?” Ki Ganda Buana langsung mencekal lengan Panji ketika melihat pemuda itu seperti merenung.

“Ah, tidak ada apa-apa, Paman. Aku hanya teringat kejadian semalam. Betapa iblis keji itu telah mengecohku, hingga aku tertangkap basah seperti pencuri oleh Ki Bawung Sati dan para penduduk desa lainnya, sahut Panji seraya tersenyum. Kemudian Pendekar Naga Putih menoleh ke arah Ki Sangaji.

“Kata Ki Sangaji tadi, gadis-gadis tewas tanpa setetes pun darah yang tersisa di dalam tubuhnya. Lalu, adakah tanda-tanda luka di tubuh gadis-gadis yang tewas itu...?”

“Hm..., ya. Aku menemukan luka yang kau maksudkan itu. Tapi, hanya berupa dua buah tanda kecil seperti bekas tusukan jarum pada bagian lehernya. Mungkinkah makhluk yang kau temukan itu merupakan iblis peminum darah...?” Ki Sangaji balas bertanya, karena ia memang merasa sangat bingung dalam menghadapi kejadian beberapa hari ini yang telah meminta korban beberapa nyawa gadis desanya.

“Aneh...,” desah Panji setelah mendengar penjelasan Ki Sangaji tentang tanda-tanda luka yang terdapat pada leher korban. Pendekar Naga Putih menduga, tidak mungkin kalau pembunuh yang dipergokinya semalam merupakan iblis peminum darah. Kalau memang betul, mengapa gadis itu tidak dibunuhnya? Ataukah ada pembunuh lain yang menghisap darah korbannya?

Melihat Pendekar Naga Putih kembali termenung setelah mendengar keterangan Ki Sangaji, ketiga tokoh itu tampak berpandangan dengan wajah bodoh. Tentu saja mereka tidak tahu, apa yang tengah dipikirkan Panji saat itu.

“Hm..., Pendekar Naga Putih...,” panggil Ki Sangaji hati-hati, seperti enggan mengganggu lamunan pemuda itu. Sebab, mungkin saja Panji tengah berusaha menyingkap rahasia pembunuhan keempat gadis yang baru diceritakannya itu.

“Ya..,” sahut Panji sambil menolehkan kepalanya ke arah Ki Sangaji. Ketenangan wajah dan sorot mata Pendekar Naga Putih membuat Kepala Desa Pegatan semakin bertambah kagum. Pemuda tampan berjubah putih itu sama sekali tidak tampak terpengaruh, meskipun Ki Sangaji dan dua tokoh lainnya terlihat berwajah tegang karena sama-sama menduga ada seorang pembunuh baru lagi yang berkeliaran di Desa Pegatan.

“Kedatanganku kemari sebenarnya hendak meminta bantuanmu untuk menangani masalah ini. Kami harap, kau tidak keberatan. Dan semoga kau juga tidak sakit hati dengan kejadian yang tidak mengenakkan di antara kita sebelum ini...” Ki Sangaji akhirnya menyampaikan juga, apa tujuan kedatangannya ke tempat Ki Ganda Buana.

“Tentu saja aku bersedia, Ki. Menurutku, persoalan ini bukan saja merupakan tanggung jawab kepala desa ataupun tetua desa lainnya. Tapi, justru merupakan kewajiban kita semua yang merasa terganggu dengan kejadian-kejadian seperti ini. Aku akan berusaha semampu ku. Mudah-mudahan saja semua kejadian ini dapat kita selesaikan bersama-sama...,” jawab Pendekar Naga Putih tanpa nada kesombongan sedikit pun.

Ucapan Pendekar Naga Putih terdengar agak merendah. Sehingga, baik Ki Sangaji maupun Ki Bawung Sati semakin bertambah kagum terhadap kebesaran hati pemuda itu. Semakin lama berbicara dengan Pendekar Naga Putih, semakin yakinlah mereka bahwa pemuda itu memang pantas dikagumi dan disanjung oleh tokoh-tokoh rimba persilatan.

Selain sikapnya selalu tenang, Panji pun memiliki kesabaran yang tinggi dan pandangan yang luas. Lega hati Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati setelah mendengar jawaban Panji. Mereka pun berpamitan pada saat hari menjelang sore. Tentu saja semua rencana telah mereka atur bersama-sama. Terlihat tadi, Ki Ganda Buana pun begitu bersemangat ingin membantu menyelesaikan masalah ini.

********************

Ketika malam telah datang dan kegelapan merata menyelimuti permukaan bumi Desa Pegatan, Panji keluar dari tempat kediaman pamannya. Pemuda itu berharap, pembunuh yang pernah dipergokinya itu muncul kembali. Meskipun harapan itu sangat tipis, Panji tidak berkecil hati. Memang, bukan tidak mungkin pembunuh keji itu menghentikan tindakan jahatnya setelah dipergokinya semalam.

Panji berputar-putar meronda desa. Hatinya sedikit lega ketika pada sudut-sudut yang dianggap rawan, pemuda itu banyak melihat peronda yang berjaga-jaga. Bahkan, tampak lebih banyak peronda desa yang berkeliling malam ini dibanding hari-hari sebelumnya. Mereka bergerombol dalam jumlah cukup banyak dengan membawa kentongan yang akan dibunyikan sebagai tanda apabila bertemu dengan orang-orang yang mencurigakan.

Rupanya, Pendekar Naga Putih yang ikut menangani persoalan ini membuat para keamanan desa semakin bertambah berani. Sebab, mereka telah merasakan sendiri betapa hebatnya kepandaian pemuda itu. Mereka tidak perlu merasa takut apabila bertemu dengan pembunuh yang berkeliaran di Desa Pegatan.

Pendekar Naga Putih berputar hingga ke ujung Selatan desa. Dalam kegelapan yang semakin pekat karena cahaya rembulan terhalang awan hitam, Panji terus bergerak tanpa merasa bosan. Ketika hampir tiba di ujung Desa Pegatan sebelah Selatan, pemuda itu bergerak merunduk di semak-semak. Sepasang mtanya yang tajam memandang lurus ke arah depannya.

“Hm..., iblis itu rupanya kali ini membawa kawan-kawannya. Mungkinkah kedua temannya itu melakukan pembunuhan dengan cara menghisap darah korban...?” desah Panji saat pandangannya menangkap tiga sosok bayangan yang bergerak menuju tengah desa.

Tubuh Pendekar Naga Putih kemudian bergerak cepat memotong jalan tiga sosok berjubah putih yang dilihatnya. Dan, ketiga sosok bayangan putih yang bergerak menuju ke tengah Desa Pegatan sama-sama menahan langkahnya saat melihat sosok bayangan putih lain berdiri tegak menghadang jalan mereka. Jelas, pemuda tampan berjubah putih itu memang sengaja menghadang.

“Hm.., selamat bertemu lagi Cakar Setan. Rupanya kali ini kau membawa serta dua orang rekanmu. Kau takut untuk melakukan kejahatan sendirian, bukan...?” sapa Panji saat ketiga sosok bayangan putih menghentikan langkah dalam jarak sekitar dua tombak dari dirinya. Sinar bulan yang tampaknya tidak lagi terhalang awan hitam menyoroti wajah ketiga sosok bayangan putih. Meskipun tidak terlalu jelas, rupanya Panji dapat melihat sosok mereka.

Lelaki tegap yang bercakar baja runcing sepanjang satu jengkal pada kedua jari tangannya itu tampak menatap Panji dengan sorot mata penuh dendam. Jelas bahwa kejadian semalam yang membuat dirinya hampir dipecundangi pemuda itu menjadikannya sakit hati dan ingin segera membalas.

Sementara itu dua sosok bayangan putih di kiri kanan Cakar Setan ikut pula menatap Panji dengan sorot mata tajam. Wajah keduanya hampir tidak jauh berbeda dengan Cakar Setan. Panji menduga, usia keduanya sekitar empat puluh tahun. Rambut mereka yang hitam tampak tergerai jatuh di atas bahu. Rupanya ketiga orang pembunuh itu memang sengaja berdandan mirip satu sama lain. Hal ini membuat Panji menduga, adanya kelompok orang sesat yang bersembunyi di sekitar daerah Desa Pegatan.

“Pendekar Naga Putih, desis Cakar Setan dengan suara menggetar penuh kegeraman, “Namamu boleh jadi ditakuti oleh tokoh-tokoh persilatan. Tapi, kami akan menamatkan petualanganmu malam ini”

Cakar Setan segera bergerak mendekati Panji. Dan, kedua orang berpakaian putih lainnya ikut bergerak menyebar ke kiri kanan. Di tangan mereka masing-masing telah menggenggam senjata berbentuk aneh. Orang kedua Cakar Setan berwajah putih. Jelas sekali kalau orang itu menggunakan cat agar wajahnya tidak begitu dikenali. Di tangan kanannya, tergenggam sebuah senjata berupa golok bergerigi tajam. Sedangkan wajah orang ketiga memakai cat merah. Senjata yang tergenggam di tangan kanannya berupa sebuah bola berduri yang diikat dengan tali. Kini ketiganya telah mengepung Panji dari tiga penjuru.

“Hm...” Panji hanya bergumam melihat lawannya mengepung dan siap menggempurnya. Pemuda itu terlihat sama sekali tidak menyentuh senjatanya. Hal ini bukan dikarenakan ia menganggap lawannya enteng. Tapi, selama ini Pendekar Naga Putih memang jarang sekali menggunakan pedangnya kalau tidak betul-betul merasa perlu. Kali ini pun, Panji memutuskan untuk menghadapi lawannya dengan tangan kosong.

Whuuuk! Whuuuk!

Bandul besi berduri di tangan sosok berwajah merah berputar di atas kepalanya hingga menimbulkan suara mengaung-ngaung bising. Orang sesat itu bergerak dengan langkah-langkah menyilang mendekati Pendekar Naga Putih. Sedangkan Cakar Setan bergerak dari sebelah depan. Cakar baja di tangannya menimbulkan suara ribut ketika tokoh itu menggerakkan jarinya membuka dan menutup. Jelas, hal itu dimaksudkan untuk membuyarkan pikiran lawan, karena bisa dipastikan siapa pun akan terpana melihat bentuk senjata yang mengerikan itu.

“Yeeaatt...!”

Pembunuh bermuka putih bergerak melesat sambil memutar-mutar golok bergeriginya sedemikian rupa. Suara mengaung tajam mengiringi datangnya serangan orang sesat itu. Pada saat yang hampir bersamaan, pembunuh bermuka merah telah pula membuka serangan dengan bandul berduri di tangannya. Senjata itu siap meluncur ke arah batok kepala Pendekar Naga Putih. Kalau saja senjata itu sampai mengenai sasarannya, otak Panji pasti akan berceceran ditanah.

Demikian pula halnya dengan Cakar Setan. Senjata cakar baja di tangannya berdecit-decit saat tokoh sesat itu bergerak maju dari arah depan Panji. Senjata itu terus bergerak kian kemari dengan kecepatan yang sulit ditangkap dengan mata biasa. Kilatan cahayanya yang tertimpa sinar rembulan membuat pandangan lawan akan sulit untuk menangkap dari mana datangnya serangan sepasang cakar baja itu.

“Hm...” Sambil bergumam dengan sepasang mata yang tak lepas menatap ketiga lawannya, Panji menarik mundur kaki kanannya dengan kuda-kuda rendah. Tangan kanannya bergerak melewati wajahnya dalam bentuk cakar. Sedangkan tangan kirinya yang juga berbentuk cakar bergerak turun secara bersamaan. Itulah jurus pembukaan yang keenam dari ‘Ilmu Silat Naga Sakti’ yang menjadi andalan Pendekar Naga Putih.

Wuuut! Wuuut! Wuuut!

Dengan langkah pendek dalam kedudukan telapak kaki menjinjit, Pendekar Naga Putih melangkah maju diiringi sambaran cakarnya yang menyelubungi tubuh pemuda itu, membentuk sebuah benteng hawa dingin yang kokoh.

Swiinggg!

Panji menarik tubuhnya ke samping kanan saat serangan golok bergerigi datang menyambar tubuhnya dari sebelah kiri. Lolos dari ancaman golok pembunuh bermuka putih, bandul berduri dari sebelah kanan datang mengincar batok kepala pemuda itu. Dan, pada saat yang hampir bersamaan, Cakar Setan melontarkan sambaran cakar bajanya dengan suara mengaung.

“Heeaahhh!”

Sikap Panji dalam menyambut kedua serangan pengeroyoknya itu sempat membuat kening lawan-lawannya berkerut. Sebab, biasanya lawan akan bergerak menghindar apabila datang serangan. Dan, pasti lawan akan melakukannya dengan mundur ke belakang atau menggeser tubuhnya ke samping. Tapi, yang dilakukan Pendekar Naga Putih justru sangat berlawanan. Tubuh pemuda itu malah bergerak ke depan menyongsong sambaran cakar baja lawannya.

Tentu saja gerakan pemuda itu membuat Cakar Setan terkejut. Sebab, pada saat cakar bajanya hampir menyentuh lawan, Pendekar Naga Putih mengegos secara tiba-tiba, yang tentu saja di luar dugaan. Belum lagi Cakar Setan menyadari serangannya yang luput, tubuh Panji sudah melenting ke atas menekuk kedua kakinya hingga melekat di dada.

“Yiiaahhh...!”

Dari sebelah atas, panji mengarahkan cakar kanannya ke batok kepala Cakar Setan. Lelaki bertubuh sedang itu menjadi terkejut. Sebab, dari suara sambaran cakar pemuda itu, Cakar Setan bisa menduga, pasti batok kepalanya akan remuk apabila ia tidak segera menyelamatkan diri.

Wuueettt...!

Rupanya nasib Cakar Setan masih beruntung. Dengan menggulingkan tubuhnya ke tanah, serangan lawan pun luput dan hanya mengenai angin kosong. Panji sendiri, yang masih hendak melanjutkan serangannya, terpaksa menahan langkah ketika bola berduri dari pembunuh bermuka merah datang meluncur mengancam dadanya.

“Haaiittt...!”

Tubuh Pendekar Naga Putih melenting dan berjumpalitan melampaui luncuran bandul berduri yang mengerikan itu. Dan, baru saja kedua kakinya menyentuh permukaan tanah, sambaran golok bergerigi dari pembunuh bermuka putih datang mengaung membabat ke arah kedua kakinya. Panji pun harus kembali melenting ke udara guna menghindari ancaman maut itu.

Pertarungan terlihat semakin seru dan mendebarkan. Ketiga pembunuh itu kelihatannya sangat bernafsu untuk membunuh Pendekar Naga Putih. Panji sendiri tentu saja tidak sudi jika tubuhnya dijadikan sasaran senjata lawan-lawannya. Pemuda itu bergerak cepat dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang memang sukar dicari bandingannya.

Meskipun hanya menggunakan tangan kosong, Panji sama sekali tidak kelihatan terdesak. Malah, ia sudah mulai membagi-bagikan serangannya yang disertai suara mencicit tajam. Jelas bahwa pemuda itu telah mengerahkan tenaga saktinya untuk mengimbangi ketiga orang lawannya yang memang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Ketiga pengeroyoknya pun tampak tidak berani menganggap remeh setiap serangan yang dilontarkan Pendekar Naga Putih.

ENAM

“Haiiit...!”

Pertarungan seru yang telah berlangsung dari lima puluh jurus itu tampaknya membuat Cakar Setan semakin penasaran. Maka, seiring dengan teriakannya, tubuh tokoh sesat itu meluncur deras disertai sambaran cakar bajanya yang susul menyusul.

Bwettt! Bwettt!

“Hm...” Panji menggumam lirih melihat serangan maut itu. Segera saja pemuda itu menarik kedua tangannya dalam keadaan menyilang di depan dada. Dan, begitu serangan lawan datang, Pendekar Naga Putih langsung menyambut dengan dorongan kedua telapak tangannya.

Whuttt! Bressshhh...!

“Aaahhh...!”

Hebat sekali benturan keras yang terjadi ketika sepasang tangan Panji tepat menyambut datangnya serangan lawan. Cakar Setan langsung memekik tertahan dengan tubuh terdorong ke belakang hingga sejauh dua tombak lebih. Wajahnya tampak pucat dan berkerut-kerut menahan sakit pada bagian dalam tubuhnya

“Huaakkhhh...!”

Segumpal darah segar yang kental menyembur keluar dari mulut Cakar Setan. Rupanya hal inilah yang menyebabkan wajahnya tampak berkerut-kerut Jelas bahwa tokoh sesat itu telah mengalami luka parah akibat dorongan telapak tangan lawannya. Bahkan, tubuhnya terlihat masih menggigil, karena hawa dingin yang menusuk tulang telah menyerap masuk.

Untungnya saat itu Cakar Setan tidak sendirian menghadapi Panji. Kalau tidak, mungkin nyawanya tidak akan berumur panjang. Sebab, Panji yang saat itu siap melontarkan pukulan mautnya untuk mengakhiri riwayat Cakar Setan terpaksa menunda serangannya. Sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang semula siap merenggut nyawa Cakar Setan segera beralih begitu melihat sambaran golok bergerigi dan bandul berduri telah mengancam dari dua arah.

Whuttt...! Whunggg...!

“Yeahhh...!”

Kedua senjata maut itu berhasil dielakkan Panji dengan menggeser tubuhnya dalam kuda-kuda rendah. Sesaat setelah kedua senjata itu lewat, tubuh pemuda itu langsung bergerak dengan geseran langkah cepat yang mengejutkan. Pembunuh bermuka putih yang melihat tubuh Pendekar Naga Putih bergerak ke arahnya segera menyambut dengan tebasan golok.

Namun, Panji telah memperhitungkan hal itu masak-masak. Begitu serangan golok lawan datang menyam- butnya, dengan cepat Panji merendahkan tubuh. Kemudian, tangan kirinya dikibaskan menepis pergelangan tangan pembunuh bermuka putih. Lalu, hantaman telapak tangan kanannya langsung dilontarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Plakkk! Deesss...!

“Aaakkhhh...!”

Terdengar teriakan parau ketika telapak tangan Panji telak menggedor dada pembunuh itu. Akibatnya, tubuh tokoh sesat itu terlempar diiringi jerit kematian, lalu terbanting jatuh ke tanah dengan suara berdebum. Untuk beberapa saat lamanya, tubuh pembunuh bermuka putih tampak berselimut lapisan kabut putih keperakan. Itulah suatu tanda hantaman telapak tangan Panji mengandung ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ tingkat tinggi, yang bisa menewaskan lawan.

“Aahhh...!?”

Pembunuh bermuka merah terkejut bukan main melihat kawannya tewas dengan tubuh kaku terselimut kabut Kenyataan seperti ini tentu saja tidak pernah terbayang di benaknya.

“Bangsat! Kau harus membayar mahal kematian kawanku, Pendekar Naga Putih...!” teriak pembunuh bermuka merah sambil memutar-mutar bandul berdurinya di atas kepala.

“Heaattt...!”

Dibarengi teriakan yang menggelegar, pembunuh bermuka merah melontarkan bandul berdurinya ke arah Pendekar Naga Putih.

Whuuung!

Senjata mengerikan itu terdengar mengaung bagaikan suara sekelompok lebah yang sedang marah, kemudian meluncur turun ke arah Panji.

Buuummm...!

Debu mengepul tinggi seiring dengan debumam jatuhnya senjata maut itu. Ternyata Panji telah lebih dulu lompat ke samping. Sehingga, bola berduri itu hanya menghantam tanah tempat Panji berpijak tadi.

“Bedebah...! Kali ini kau tidak akan luput lagi dari kematian...!”ujar pembunuh bermuka merah, kesal. Diawali teriakan nyaring, pembunuh bermuka merah kembali memutar bandulnya.

“Hm...” Panji menggumam lirih melihat datangnya kembali serangan lawan. Kali ini pemuda itu tampak sama sekali tidak berniat menghindarkan diri. Dengan tatapan tajam, Panji menanti datangnya bandul berduri yang berderu mengancam tubuhnya.

Whuuunng!

Senjata maut itu kembali mengaung menuju sasarannya. Panji tetap tenang. Ditunggunya kedatangan senjata maut itu dengan tatapan tajam.

“Heaattt!”

Pada saat bandul tinggal sejengkal di depan kepalanya, Panji merunduk dengan gerakan secepat kilat. Kemudian, dengan hentakan keras, tangan kanannya menangkap rantai yang mengikat senjata maut itu.

Wrrttt...!

Begitu rantai bandul berduri melibat di dalam lengannya, Panji menyentakkannya sambil berteriak nyaring.

“Heaaahhh...!”

“Hekkk...!”

Pembunuh bermuka merah tampak terkejut bukan main menyaksikan perbuatan pemuda itu. Segera ia memaku kuda-kudanya di atas tanah begitu merasakan ada sentakan yang membetot tubuhnya.

“Aaahhh...!?”

Bukan main kagetnya tokoh sesat itu ketika tubuhnya masih juga tertarik ke depan. Meskipun ia telah menggunakan ilmu untuk memberatkan tubuh, ternyata Panji tetap dapat menariknya ke depan. Tubuh tokoh sesat itu terus bergerak ke depan tanpa mampu dicegah. Guratan-guratan sedalam satu jengkal tampak jelas di atas tanah karena pembunuh bermuka merah itu berusaha menanamkan kaki- kakinya ke dalam bumi. Kekuatan tenaganya memang masih berada jauh di bawah Panji. Sehingga, tetap saja ia tidak mampu mempertahankan diri.

Namun nasib pembunuh bermuka merah rupanya masih lebih beruntung ketimbang pembunuh bermuka putih. Sebab, pada saat yang gawat itu, Cakar Setan telah bangkit kembali langsung menerjang dengan cakar-cakar bajanya untuk menyelamatkan rekannya.

“Yeaaattt...!”

Diiringi teriakan panjang, tubuh Cakar Setan meluncur dengan cakar-cakar mautnya ke arah Pendekar Naga Putih. Panji pun bukan tidak sadar akan keadaannya yang cukup sulit ini. Dengan disertai sebuah bentakan mengguntur, pemuda itu menyentakkan rantai yang melibat tangannya dengan sekuat tenaga.

“Yeaaahhh...!”

Bukan main hebatnya akibat yang terjadi dari hentakan keras Pendekar Naga Putih kali ini. Tubuh pembunuh bermuka merah yang semula masih mencoba bertahan langsung terangkat naik dan meluncur deras ke arah Cakar Setan. Rupanya Pendekar Naga Putih hendak menggunakan tubuh lawannya itu untuk menghadang serangan Cakar Setan.

“Aaaa...!” Pembunuh bermuka merah berteriak ngeri sambil memejamkan kedua matanya. Jelas, ia merasa ketakutan melihat tubuhnya meluncur deras tanpa dapat dicegah lagi.

Bukan hanya pembunuh bermuka merah yang merasa ketakutan. Cakar Setan pun membelalak begitu melihat tubuh kawannya meluncur menyambut cakar-cakar bajanya. Karena tidak mungkin menarik kembali serangannya, Cakar Setan segera menekuk cakar bajanya kedalam.

Blaggg...!

Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh pembunuh bermuka merah membentur punggung tangan Cakar Setan. Keduanya telah menarik kembali serangannya, tentu saja benturan itu tidak membuat keduanya terluka dalam. Sehingga, begitu terjatuh, mereka kembali segera bangkit dengan cepat.

“Lari...!” Sadar bahwa mereka tidak mungkin menang menghadapi Pendekar Naga Putih, Cakar Setan segera mengajak pembunuh bermuka merah untuk meninggalkan lawannya. Tubuh keduanya pun langsung melesat meninggalkan tempat itu. Sebelumnya, terlihat Cakar Setan menaburkan bubuk berwarna hijau ke tubuh mayat pembunuh bermuka putih.

“Berhenti...! Mau lari ke mana kalian, Bangsat- bangsat Keji...!” Pendekar Naga Putih yang tidak ingin melihat pembunuh-pembunuh itu lolos, segera berlari melakukan pengejaran. Tubuhnya melesat bagai melebihi sambaran kilat.

Karena tingkat ilmu lari Pendekar Naga Putih itu memang masih berada di atas lawan-lawannya. Maka, dalam waktu yang tidak terlalu lama, jarak di antara mereka pun sudah semakin dekat. Sekali lompatan lagi, Pendekar Naga Putih berhasil menghadang kedua lawannya. Cakar Setan pun bukan tidak tahu akan hal itu. Secepat kilat, tiba-tiba tubuhnya membalik dan tangannya langsung mengibas ke arah Panji.

Whuuusss...!

Terkejut juga Panji begitu melihat bubuk berwarna hijau bagaikan gumpalan kabut telah menghadang larinya.

“Aaahhh...!?” Panji menahan langkahnya ketika dadanya terasa sesak akibat bubuk berwarna hijau itu terhisap melalui hidungnya. Pendekar Naga Putih pun terpaksa menghentikan pengejaran terhadap lawan-lawannya.

********************

Sementara itu, tidak jauh dari tempat Panji menahan sakit dalam dadanya, terdengar derap langkah bergemuruh mendatangi tempat pertarungan maut tadi. Rupanya pertempuran itu sempat terdengar oleh orang-orang yang tengah meronda desa. Sebentar kemudian, terlihat cahaya obor yang terang benderang mengusir kegelapan di tempat bekas pertarungan. Tiga orang lelaki gagah yang tidak lain adalah Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati tampak memimpin para penjaga keamanan desa mendatangi tempat itu.

“Hm..., Pendekar Naga Putih rupanya berhasil memergoki pembunuh itu. Tapi, ke mana perginya pemuda itu sekarang...?” desah Ki Sangaji sambil menatap sesosok tubuh berpakaian putih yang tergeletak tak bernyawa.

Namun, ketika tubuh mayat berpakaian putih itu hendak diperiksa oleh Ki Bawung Sati, tiba-tiba saja Ki Ganda Buana berteriak mencegah. Sebab, orang tua gagah itu sempat melihat adanya lapisan asap tipis yang mengepul dari tubuh mayat.

“Jangan mendekat...!” Sambil berkata demikian, Ki Ganda Buana cepat-cepat menarik tubuh Ki Bawung Sati agar menjauhi mayat berpakaian serba putih itu.

Dan, semua orang yang berada di tempat itu sama-sama membelalakkan mata saat melihat kepulan asap yang berasal dari tubuh mayat itu semakin menebal dan menebarkan bau busuk yang menyengat.

“Mundur...!” Ki Ganda Buana kembali berseru memperingatkan yang lainnya agar menjauhi mayat itu.

Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati sama-sama membelalakkan mata begitu menyaksikan apa yang tengah terjadi dengan sosok mayat itu. Kepulan asap yang semakin menebal kini diiringi bunyi seperti air mendidih. Kemudian, tubuh mayat itu sendiri tampak mulai basah berlendir. Lendir-lendir itu lalu membentuk gelembung-gelembung seperti air yang tengah masak.

“Awaaass...!” Untuk ketiga kalinya, Ki Ganda Buana berteriak. Orang tua itu mengembangkan tangannya dan langsung bergerak mundur. Orang-orang lainnya pun terdorong mundur semakin menjauhi mayat yang sangat mengerikan itu.

Gelembung-gelembung lendir itu kemudian meletup-letup menimbulkan ledakan-ledakan kecil. Untunglah Ki Ganda Buana telah menarik mundur semua orang yang berada di belakangnya. Kalau tidak, mungkin akan ada di antara mereka yang terkena lendir kehijauan yang berpercikan ke segala arah itu.

“Gila...!” desis Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati hampir bersamaan.

Tubuh mayat yang semula utuh itu kini hanya tinggal seonggok tulang yang tidak mungkin bisa dikenali lagi. Rupanya bubuk yang ditebarkan Cakar Setan sebelum melarikan diri tadi memang dimaksudkan untuk menghapus jejak agar mereka tidak bisa dikenali lagi. Mayat pembunuh bermuka putih benar-benar lenyap dan kini berganti dengan cairan hijau berbau busuk dan seonggok tulang. Baik kulit daging maupun pakaian pembunuh bermuka putih telah mencair akibat terkena racun ganas si Cakar Setan.

“Aahhh...!” Teriakan parau yang jelas keluar dari mulut seseorang yang sedang merasa kesakitan tiba-tiba terdengar menggetarkan keheningan malan.

Ki Ganda Buana dan orang-orang yang lainnya terkejut dengan dada berdebar tegang. Baik Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, maupun Ki Bawung Sati rupanya tahu teriakan itu adalah suara Pendekar Naga Putih. Ketiganya tampak saling bertukar pandang dengan hati berdebar tegang. Seperti mendapat perintah, ketiga tokoh itu segera melesat ke arah sumber jeritan memilukan itu. Dan, tanpa diperintah lagi para peronda yang lainnya pun segera mengikuti ketiga orang pemimpin mereka.

“Panji...!?” Ki Ganda Buana, yang melihat tubuh Panji bergerak limbung bagaikan orang mabuk, bergegas menghampiri. Jelas bahwa orang tua itu sangat cemas melihat keadaan keponakan yang telah dianggapnya sebagai putra kandung sendiri itu.

“Pendekar Naga Putih!?”

Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati pun tidak kalah terkejutnya begitu melihat keadaan Panji yang seperti orang kesetanan itu. Segera saja mereka mengiringi Ki Ganda Buana yang tengah bergerak mendekat.

“Jangan mendekat!”

Ketika jarak ketiga tokoh Desa Pegatan itu tinggal dua tombak lagi dari Panji tiba-tiba pendekar muda itu berseru mencegah. Kedua tangannya tampak dikibas- kibaskan menyuruh mereka segera menjauhinya. Tentu saja ketiga orang itu menjadi semakin bingung. Apa lagi, saat itu tubuh Panji tampak merah membara, dengan hawa panas menebar hingga sejarak satu setengah tombak. Bahkan, kedua tangan pemuda itu mengibas dengan maksud mencegah mereka mendekatinya, ada sambaran angin panas yang membuat ketiganya tersentak kaget.

Tanpa diperintahkan dua kali, Ki Ganda Buana dan yang lainnya segera saja bergerak mundur menjauhi pemuda itu. Untung saja yang maju mendekat tadi hanya ketiga orang yang memiliki tenaga sakti untuk menahan hawa panas kibasan tangan Panji. Kalau saja tenaga dalam mereka belum kuat betul, ketiganya tentu akan tewas terkena hawa panas yang luar biasa itu.

Ki Ganda Buana dan yang lainnya memandang sosok Panji dengan hati tegang. Mereka hanya dapat menatap bingung tanpa tahu harus berbuat apa. Dan, mereka pun tidak tahu, apa yang saat itu tengah dialami Pendekar Naga Putih. Bahkan, mereka merasa ngeri melihat tubuh Pendekar Naga Putih yang berkobaran api itu.

“Kakang Panji...!”

Tiba-tiba saja terdengar suara nyaring yang mengejutkan semua orang yang berada di tempat itu. Secara serentak, mereka berpaling ke arah asal suara nyaring itu.

“Wulandari...!?” Ki Ganda Buana, yang mengenali sosok putrinya, langsung menghambur menyambut kedatangan seorang gadis cantik yang ternyata adalah putrinya sendiri. Tentu saja orang tua itu menjadi heran melihat kehadiran Wulandari.

“Ayah..., apa yang terjadi dengan Kakang Panji...? Mengapa Ayah tidak berusaha menolongnya...?”

Wulandari meronta hendak melepaskan diri dari ayahnya. Hatinya cemas bukan main melihat tubuh Panji seperti terbakar itu. Tapi yang membuat Wulandari heran, api itu justru tidak membakar Panji. Api itu terlihat hanya berkobar di luar tubuh Pendekar Naga Putih.

“Tenanglah, Wulandari. Ayah pun tidak tahu, apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan kakangmu itu. Kami semua pun baru saja tiba dan melihat keadaannya sudah demikian. Ketika Ayah dan yang lainnya hendak mendekat, Panji malah menyuruh agar kami menjauh. Ah, mudah-mudahan saja ia selamat. Berdoalah, Anakku...,” ujar Ki Ganda Buana dengan perasaan yang juga sangat cemas.

“Ayah..., aku takut Kakang Panji akan mati...” Wulandari menangis sambil menyandarkan kepalanya di dada Ki Ganda Buana. Orang tua itu pun sibuk menghibur anaknya yang tinggal seorang ini.

“Aarrrkkhhh...!”

Untuk kesekian kalinya, terdengar Panji meraung dahsyat. Ki Ganda Buana dan tokoh lainnya terjajar limbung. Bahkan, Wulandari sampai jatuh terduduk dengan wajah pucat. Sedangkan para keamanan desa lainnya terbanting pingsan akibat mendengar teriakan dahsyat tadi. Seiring dengan teriakan dahsyat itu, api yang mengelilingi tubuh Pendekar Naga Putih kian berkobar, untuk kemudian mengecil dan lenyap. Panji sendiri jatuh terduduk bagai orang yang tidak lagi mempunyai tulang.

“Kakang...!” Tanpa dapat dicegah lagi, Wulandari berlari menghambur ke arah Panji. Gadis itu sama sekali tidak merasa takut. Rasa takut akan kehilangan Panji tampaknya jauh lebih besar daripada rasa takutnya akan kematiannya sendiri.

Panji mengangkat kepalanya dan mencoba tersenyum ketika mengenali Wulandari. Pemuda itu membiarkan saja ketika Wulandari menubruk dan menangis di dadanya. “Tenanglah, Adikku. Bahaya sudah lewat. Aku tidak apa-apa,” bisik Panji seraya membelai rambut gadis itu dengan penuh kasih. Hatinya sempat merasa terharu melihat kekhawatiran Wulandari terhadap keselamatannya.

“Aku takut kehilanganmu, Kakang...” sahut Wulandari di sela-sela isak tangisnya yang terputus-putus.

“Apa sebenarnya yang sudah terjadi, Panji? Kami sungguh tidak mengerti dengan kejadian barusan...?” Ki Ganda Buana yang sudah duduk di dekat putri dan keponakannya itu menatap Panji dengan mata menuntut jawaban.

Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati juga telah duduk di dekat pemuda itu. Mereka sama-sama memandang dan menunggu keterangan Pendekar Naga Putih sehubungan dengan peristiwa yang baru mereka saksikan tadi.

“Tidak perlu cemas, Paman. Ketika aku tengah mengejar Cakar Setan dan kawannya, tiba-tiba saja manusia licik itu berbalik dan langsung menaburkan bubuk beracun yang sangat ganas ke tubuhku. Tenaga saktiku yang biasanya mampu memusnahkan segala jenis racun rupanya belum terbiasa dengan racun yang amat ganas itu. Sehingga, untuk memusnahkannya, aku membutuhkan waktu yang cukup lama. Aku pun sedikit tersiksa tadi. Hehh... untunglah bahaya sudah lewat...” desah Panji lega.

Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar keterangan Pendekar Naga Putih. Meskipun tidak begitu paham akan keterangan Panji, setidaknya mereka telah dapat meraba, apa yang telah menimpa pemuda itu.

“Panji, tadi aku melihat mayat orang berpakaian putih meleleh hancur hingga tubuhnya hanya tinggal berupa cairan hijau berbau busuk dan seonggok tulang. Kami pun tidak mengerti dengan kejadian itu,” ujar Ki Ganda Buana.

“Yahhh...,” racun itu pulalah yang telah ditebarkan ke tubuhku oleh si Cakar Setan...,” desah Panji, agak kecewa.

“Lebih baik kita kembali saja ke desa sekarang. Kita pikirkan langkah berikutnya...”

Akhirnya Ki Sangaji, yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan, membuka suara dengan nada mengingatkan. Semua orang yang berada di tempat itu langsung saja menyetujuinya. Mereka tentu saja ingin menghilangkan rasa tegang setelah mengetahui kejadian yang mengerikan itu.

Panji merangkul tubuh Wulandari yang masih saja tidak mau melepaskan pelukannya. Keduanya pun melangkah sambil berangkulan. Sebentar kemudian, tempat itu pun kembali sunyi.

********************

TUJUJ

Seorang pemuda bertubuh tegap melangkah lambat menyusuri tanah berumput tebal. Kepalanya tampak tertunduk dengan ayunan langkah lesu. Sesekali tangannya mengambil batu-batu kecil di bawah kakinya. Dengan hentakan napas berat, dilontarkannya batu itu sejauh-jauhnya. Ia seolah-olah ingin melontarkan perasaan gundah di hatinya.

Setibanya di tepian sungai, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di bawah pohon rindang. Beberapa orang gadis yang tengah mencuci menoleh ke arahnya sambil tersenyum-senyum genit. Jelas bahwa mereka telah mengenal baik pemuda itu. Bahkan, beberapa di antara gadis itu tampak saling berbisik membicarakannya.

Ketika matahari sudah beranjak naik, gadis-gadis yang telah menyelesaikan pekerjaannya segera bergegas naik ke atas sungai. Rupanya mereka hendak pulang. Pada saat lewat di dekat pemuda tampan bertubuh tegap itu, mereka menoleh dan mengangguk hormat, kemudian berlalu cepat-cepat seraya tertawa-tawa genit. Tapi, tampaknya pemuda itu sama sekali tidak peduli. Setelah membalas anggukan gadis-gadis yang hendak kembali ke desa itu, pandangannya kembali beralih ke sungai.

Di pinggiran sungai masih ada empat gadis lagi yang tengah mencuci. Dua di antaranya kemudian bergerak bangkit dan meninggalkan sungai. Tidak berapa lama setelah itu, dua gadis yang lainnya bergegas pula hendak meninggalkan sungai. Pemuda tegap berwajah tampan itu bergerak bangkit ketika melihat dua gadis terakhir hendak berangkat pulang.

“Sumi...,” panggil pemuda itu kepada salah seorang dari kedua gadis yang lewat dan mengangguk hormat kepadanya. Gadis berwajah manis berkulit kuning langsat yang dipanggil dengan nama Sumi menoleh tersipu.

“Aku duluan, Sumi. Mari, Kakang Gutawa...” Gadis yang satunya lagi, yang merasa tidak diperlukan, segera berpamitan kepada keduanya. Kemudian Kakinya berlari-lari kecil agar dapat menyusul teman-temannya.

“Kau takut tinggal di sini bersamaku, Sumi?” tanya pemuda tegap yang ternyata adalah Gutawa, putra Kepala Desa Pegatan.

Pertanyaan Gutawa terlontar ketika melihat gadis itu tampak tertunduk malu. Sumi mengangkat wajahnya agak pucat, sehingga senyumnya terlihat agak hambar. Rupanya Sumi dilanda ketegangan. Gutawa pun sesungguhnya tidak tahu akan perasaan gadis manis itu. Sebab, tidak sedikit gadis Desa Pegatan yang mengincarnya dan mencari kesempatan berdekatan dengan pemuda tampan yang gagah itu. Namun, selama ini Gutawa tidak pernah meladeni tawa genit atau pun senyum menggoda dari gadis yang diam-diam menyukainya.

Kini, entah kenapa Gutawa tiba-tiba saja ingin mendekati gadis yang diam-diam menaruh hati kepadanya. Dan salah satunya adalah Sumi, gadis berwajah manis dan berkulit kuning langsat yang sekarang berdiri di hadapannya. Tapi, Gutawa berpura-pura bodoh ketika melihat wajah gadis desa manis itu tertunduk. Rupanya ia mencoba untuk mengetahui isi hati gadis manis itu yang sesungguhnya.

Sumi hanya menjawab pertanyaan Gutawa dengan gelengan kepala perlahan. Kemudian wajahnya kembali menunduk sambil menyembunyikan senyum malu.

“Apa artinya gelenganmu itu, Sumi? Kalau kau memang takut berada berdua di tempat sepi ini bersamaku, ayo, aku antar kau pulang,” ujar Gutawa, memancing perasaan hati gadis manis itu.

Sumi mengangkat kepalanya dengan tatapan cemas. Tampaknya ia takut kalau pemuda itu sampai membuktikan ucapannya. “Tidak, Kakang. Aku tidak takut. Aku percaya kepada Kakang...,” tukas Sumi, yang tanpa sadar menunjukkan rasa khawatirnya kalau-kalau pemuda itu akan mengantarkannya pulang. Tentu saja Sumi lebih suka tinggal bersama Gutawa di tempat yang paling sepi sekalipun.

“Benar kau tidak takut..? tanya Gutawa lagi, meminta ketegasan.

“Tidak, Kakang...,” sahut gadis itu, yang kini tidak lagi menundukkan kepalanya. Sumi bahkan mulai berani membalas tatapan mata pemuda itu. Sebab, hal seperti ini memang sudah lama diimpikan oleh Sumi ataupun gadis-gadis lainnya. Tentu saja ia tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini.

Gutawa tersenyum mendengar jawaban tegas gadis manis itu. Tanpa ragu lagi, tangannya segera terulur. Digenggamnya jemari tangan Sumi yang terasa agak bergetar karena hatinya memang sedang berdebar diliputi perasaan bangga dan bahagia. Dengan perlahan, Gutawa membimbing Sumi, gadis desa yang lugu dan menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda itu.

Sumi tidak takut kalau-kalau Gutawa akan berbuat macam-macam. Karena, pemuda itu telah dikenalnya semenjak kecil. Dan, selama dikenalnya, tidak pernah sekalipun Sumi melihat atau mendengar Gutawa mempermainkan gadis-gadis yang menaruh hati padanya. Meskipun, kalau pemuda itu mau, akan banyak kesempatan baginya. Pemuda itu selama ini tetap tenang dan ramah. Semua itulah yang membuat Sumi tidak merasa khawatir.

Sumi sama sekali tidak menolak ketika Gutawa mengajaknya duduk di bawah pohon rindang di tepi sungai, yang agak tersembunyi dan tidak mudah terlihat orang lain. Bahkan, ketika pemuda itu merebahkan kepala Sumi ke dalam pelukannya, gadis manis itu malah merangkulkan tangannya. Dia tampaknya takut kalau pemuda itu sampai berubah pikiran dan melepaskan pelukannya.

Gutawa semakin mengembangkan senyumnya melihat betapa gadis manis itu menyambutnya dengan hangat Ketika pemuda itu mencoba mencium bibir Sumi, gadis itu pun membalas dengan tidak kalah hangatnya. Baru ketika hari semakin bergeser, Gutawa mengajak Sumi meninggalkan tempat itu.

“Nanti ayah dan ibumu mencari-cari...,” kata Gutawa ketika melihat Sumi seperti masih enggan meninggalkan tempat itu.

Gadis manis itu tampaknya khawatir kalau-kalau pertemuan ini tidak berlanjut lagi. “Tentu, setelah hari ini, Kakang akan melupakanku. Sebab, masih banyak gadis yang lebih cantik dari aku. Mereka pun akan menyambut apabila Kakang mengajak...,” ujar Sumi, mengungkapkan perasaan khawatirnya.

Gutawa tersenyum mendengar kekhawatiran Sumi. Dipeluknya tubuh sintal itu, lalu dikecupnya bibir yang cemberut itu lembut-lembut. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Sumi. Semua itu hanya membuat hatiku sakit. Sebaiknya kita pulang sekarang. Hari esok masih banyak waktu untuk kita...,” bujuk Gutawa sambil memeluk erat tubuh sintal berkulit kuning langsat itu.

Sumi pun tersenyum manis. Tampaknya ia termakan rayuan Gutawa. Kemudian, sambil berangkulan, keduanya meninggalkan tepian sungai.

********************

“Gutawa, dari mana saja, kau...? Beberapa hari ini kulihat kau selalu bepergian tanpa pamit. Apa sebenarnya yang terjadi denganmu?” Ki Sangaji langsung menegur putranya ketika pemuda itu datang dengan wajah kuyu.

“Aku sudah besar, Ayah. Apakah masih perlu pamit hanya untuk bermain dengan kawan-kawanku?” bantah Gutawa sambil bergegas hendak memasuki kamarnya.

“Tunggu dulu, aku belum selesai bicara...! ujar orang tua itu dengan hati jengkel melihat Gutawa hendak memasuki kamarnya pada saat ia masih hendak berbicara.

“Aku ingin beristirahat, Ayah. Apa lagi yang hendak ayah bicarakan...?” tukas Gutawa, yang telah membalikkan tubuhnya menatap wajah Ki Sangaji dengan kilatan aneh.

“Hm..., beginikah sikapmu apabila berhadapan dengan orang” tua? Ke mana saja kau seharian, hingga sepagi ini baru pulang...?” tanya Ki Sangaji sambil menarik tubuh pemuda itu dan mendudukannya ke kursi.

Gutawa sama sekali tidak menjawab. Pemuda itu membisu seraya menantang tatapan ayahnya. Tentu saja sikap ini membuat Ki Sangaji semakin marah. Sehingga, tanpa berpikir panjang, orang tua gagah itu langsung mengayunkan tangannya. Dan....

Plakkk!

“Uuuhhh...!” Tubuh Gutawa langsung terjungkal terkena tamparan keras Ki Sangaji. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Gutawa bangkit dan menghapus darah itu dengan sepasang mata yang tak lepas menatap wajah ayahnya. Kemudian, tanpa berkata sepatah pun, pemuda itu langsung melarikan diri.

“Gutawa, kembali!” Ki Sangaji membentak keras untuk mencegah kepergian putranya. Namun, pemuda itu tidak mempedulikan lagi panggilan ayahnya. Gutawa terus berlari, hingga bayangannya lenyap di kejauhan.

Ki Sangaji berdiri bengong melihat kelakuan Gutawa. Orang tua itu tidak mengerti, mengapa sikap putranya tahu-tahu berubah. Padahal, selama ini Gutawa sangat penurut dan tidak pernah berani melawannya. Ki Sangaji sendiri memang tidak pernah mengatur kehidupan pemuda itu. Tapi, sekarang....

“Ki...” Teguran halus membuyarkan lamunan Ki Sangaji.

Lelaki gagah itu menoleh ke arah asal suara. Dilihatnya Ki Bawung Sati, Ki Ganda Buana, Panji, dan Wulandari tengah berdiri di halaman depan rumahnya. Ki Sangaji merasa agak malu. Karena, mungkin saja keempat orang itu melihatnya tadi dan mungkin juga telah lama berdiri menyaksikan tingkahnya.

“Tadi aku melihat Tuan Muda Gutawa berlari bagaikan orang kesetanan. Apa yang terjadi dengannya, Ki? Akhir-akhir ini kulihat sikapnya tampak aneh,” kata Ki Bawung Sati.

Ki Sangaji diam saja. Tampaknya kemarahan kepada putranya belum benar-benar reda. Kemudian ia memberi isyarat dengan tangan kepada tamu-tamunya untuk memasuki ruang dalam. Sedangkan Ki Bawung Sati masih menunggu beberapa saat sebelum menyatakan keperluan sebenarnya hingga mereka datang ke rumah ini.

“Aku mendapat laporan dari seseorang warga desa, Ki. Seorang anak gadisnya yang bernama Sumi belum kembali sejak kemarin. Teman-temanya mengatakan bahwa kemarin siang Sumi menemani Gutawa di tepian sungai. Tapi, ketika tadi pagi kutanyakan kepada Tuan Muda Gutawa, menurutnya gadis itu sudah diantarkan ke rumahnya. Katanya saat itu di rumah Sumi tidak ada orang, sehingga Tuan Muda Gutawa langsung pamit setelah mengantarkan Sumi sampai di depan pintu. Anehnya, tak seorang pun yang melihat gadis itu pulang sejak kemarin...” lapor Ki Bawung Sati.

Tentu saja Ki Sangaji terkejut mendengar keterangan itu. “Hhhh..., Gutawa sendiri baru saja kembali sejak kemarin. Entah ke mana saja anak itu pergi. Ketika kutanyakan, ia bungkam dan memilih kabur...,” jawab Ki Sangaji, tanpa mengatakan bahwa mereka sempat bertengkar dan bahkan Ki Sangaji sempat menampar wajah putranya. “Tapi, apakah mungkin tingkah anakku itu berhubungan dengan hilangnya Sumi? Aku rasa, gadis itu telah menjadi korban si Cakar Setan seperti yang sudah-sudah...”

“Hm..., aku baru saja kembali menyelidiki ke desa tetangga kita. Dan, menurut apa yang kudengar, mereka pun mengalami musibah yang serupa dengan kita. Bahkan, korbannya sudah banyak. Dan, persis dengan yang terjadi di sini, yang lenyap dan terbunuh adalah gadis-gadis muda...,” ujar Panji, menjelaskan apa yang diketahuinya. Sesungguhnya, kepergian Panji ke desa tetangga memang atas usul mereka bersama setelah terjadinya peristiwa itu.

“Lalu, apa yang mereka lakukan? Dan, keterangan apa lagi yang kau dapat dari Desa Kawung, Pendekar Naga Putih...?”

Ki Sangaji ingin tahu lebih jelas tentang penyelidikan Panji ke Desa Kawung, yang letaknya hanya sehari perjalanan dari Desa Pegatan. Tapi, tentu saja tidak selama itu ketika Panji yang melakukan perjalanan. Panji menempuh jarak sejauh itu hanya dalam waktu beberapa jam.

“Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, menurutnya, pembunuh keji itu sangat sakti dan tak ada seorang pun sanggup melawannya. Bahkan, Kepala Desa Kawung hampir tewas ketika sempat bertarung menghadapinya. Jadi, aku putuskan untuk singgah dan mencoba mengobati luka kepala desa itu. Syukurlah keadaannya masih belum terlalu parah, sehingga ada kemungkinania bisa sembuh...,” jelas Panji.

“Hm..., apakah di Desa Kawung pun terdapat gadis-gadis muda yang tewas dengan tubuh kering kehabisan darah...,” tanya Ki Sangaji, yang memang belum mendengar tentang kejadian di Desa tetangganya.

“Benar, Ki. Dan, satu hal lagi, putramu yang bernama Gutawa itu kabarnya juga pernah membawa beberapa orang gadis Desa Kawung. Dan, gadis-gadis itu pun lenyap tanpa jejak...,” ujar Panji. Pendekar Naga Putih tampak sedikit ragu saat menyampaikan berita itu. Sebab, dia tidak ingin hati Ki Sangaji terpukul mendengarnya.

“Apa...!? Ini pasti fitnah, Pendekar Naga Putih! Aku... aku tidak percaya...!” bentak Ki Sangaji benar-benar terpukul. Orang tua itu tidak segera mempercayai kata-kata Pendekar Naga Putih, bahkan kemarahannya sempat terbangkit.

“Lalu, ke mana gadis bernama Sumi yang kemarin bersama Gutawa seharian? Apakah kawan-kawan Sumi yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri itu juga telah menyebar fitnah? Dan, ke manakah Gutawa seharian kemarin? Mengapa ia tidak bicara, dan bahkan malah melarikan diri? Pikirkanlah dengan kepala dingin, Ki. Aku pun belum mempercayai hal ini sepenuhnya. Tapi aku berjanji akan menyelidikinya,” desak Panji sambil bangkit berdiri menatap pandang mata Ki Sangaji yang wajahnya kelihatan agak pucat. Panji dapat melihat bahwa Ki Sangaji sebenarnya mulai meragukan tingkah putranya. Tapi, karena merasa malu, orang tua itu masih mencoba membela putra tunggalnya.

“Hhhh...” Ki Sangaji terduduk lesu disertai helaan napas berat yang berkepanjangan. “Apa sebenarnya yang telah menimpa putraku? Mungkinkah dia tega mencoreng muka ayahnya? Mengapa beberapa hari belakangan ini dia begitu berubah...?” desah Ki Sangaji, seperti berkata pada dirinya sendiri.

“Bersabarlah, Ki. Aku berjanji akan menyelidiki hal ini. Aku pun tidak akan bertindak sebelum mengetahui keadaan sebenarnya secara jelas. Dan, ada satu hal yang belum kusampaikan kepada kalian. Meskipun hal ini hanya berupa dugaan, aku mencurigai pendeta-pendeta yang membangun tempat ibadat di ujung desa,” ujar Panji dengan suara yang agak pelan. Pendekar Naga Putih tampak terdiam beberapa saat, seolah-olah menanti pendapat dari ketiga lelaki tua gagah itu.

“Gila...!”

Hampir bersamaan, Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati berseru sampai terbangkit dari kursinya. Sedangkan Ki Ganda Buana hanya menatap Panji dengan kening berkerut. Hanya Wulandari yang tampak percaya sepenuhnya pada Panji.

“Itu memang sebuah pikiran gila. Tapi, tidak berarti bahwa kecurigaanku mustahil, bukan?” ujar Panji lagi dengan suara dan wajah tetap tenang. Sehingga, baik Ki Sangaji maupun Ki Bawung Sati kembali kekursinya masing-masing.

“Pendekar Naga Putih, mereka tinggal di desa ini hanya untuk sementara dan ingin menyebarkan agama. Untuk itulah mereka membangun sebuah rumah ibadat. Tujuan mereka sudah jelas. Penduduk Desa Pegatan tertarik dengan agama mereka bisa beribadah di tempat itu, kelak apabila mereka telah pergi. Jadi, maaf kalau aku tidak sependapat denganmu,” ujar Ki Sangaji dengan wajah agak kecewa, karena Pendekar Naga Putih telah menuduh pendeta-pendeta yang dianggapnya sebagai orang suci itu.

“Hm..., tahukah kalian dari mana mereka sebelum singgah dan membangun rumah ibadat di Desa Pegatan...?” tanya Panji.

Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Setelah menunggu beberapa saat tapi tak ada seorangpun yang berbicara, Panji segera melanjutkan kata-katanya.

“Ketahuilah. Sebelum pindah ke Desa Pegatan, mereka lebih dahulu menetap di Desa Kawung. Dan, peristiwanya pun persis. Mereka meminta izin untuk membuat rumah ibadat. Lalu pendeta-pendeta itu menetap beberapa lama di Desa Kawung, menyebarkan agama dan memberi nasihat yang baik-baik. Kemudian, pendeta-pendeta itu mengadakan upacara agama untuk mengusir setan yang menurut mereka telah melakukan perbuatan-perbuatan keji di Desa Kawung. Setelah itu, memang tidak ada kejadian lagi, karena orang-orang itu telah pindah ke desa lain, yaitu Desa Pegatan,” tandas Panji.

Sehingga, ketiga tokoh yang mendengarkan keterangannya sama-sama membelalakkan mata dengan wajah setengah tak percaya.

“Betulkah itu, Panji...?” tanya Ki Ganda Buana yang masih saja tampak terkejut mendengar penjelasan keponakannya.

“Mungkin dugaanmu ada benarnya, Pendekar Naga Putih. Sebab, pada bulan ketiga tepat di malam purnama nanti, mereka telah meminta izin kepadaku untuk membuat upacara agama besar-besaran. Dan, menurut kepala pendeta itu, gunanya untuk mengusir musibah yang dilakukan setan-setan jahat...,” ujar Ki Sangaji. Kepala Desa Pegatan akhirnya teringat bahwa utusan pendeta pernah menyampaikan hal itu kepadanya. Hal ini baru diingatnya setelah Panji menyinggung-nyinggung soal upacara agama.

“Hm..., kalau begitu, mereka telah bersiap-siap untuk pindah ke desa lain. Kita harus cepat bertindak mencegahnya. Kalau tidak, mereka akan terus melakukan kebiadaban di desa-desa yang akan mereka singgahi nanti..., usul Panji, yang kini mulai merasa semakin yakin setelah mendengar ucapan Ki Sangaji.

“Nanti dulu, Pendekar Naga Putih...,” tukas Ki Bawung Sati tiba-tiba, “Seingatku, peristiwa yang menimpa desa ini telah terjadi beberapa hari sebelum para pendeta itu datang. Jadi, mana mungkin mereka yang melakukannya jika mereka sendiri belum tiba di Desa Pegatan ini...?” lanjut Ki Bawung Sati.

Perkataan Ki Bawung Sati membuat Ki Ganda Buana dan Ki Sangaji menatap Panji dalam-dalam. Mereka ingin mendengar pendapat pemuda sakti itu.

“Menurutku, mereka sengaja menyamarkannya. Dengan demikian, tak akan ada seorang pun yang menduga kalau merekalah yang sesungguhnya telah membuat bencana ini. Untuk membuktikan hal itu, nanti malam aku akan menyelidiki tempat ibadah itu,” ujar Panji lagi.

Ketiga tokoh Desa Pegatan kembali bertukar pandang satu sama lain.

“Aku ikut, Kakang...!” Tiba-tiba Wulandari, yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan, langsung menyahuti ucapan Panji. Tentu saja Pendekar Naga Putih terkejut

“Tidak, Adikku. Kali ini aku akan melakukannya sendiri. Sebab, aku sama sekali belum tahu sampai seberapakah kekuatan lawan. Untuk itu, ku mohon agar kalian semua tetap bertindak seperti biasa. Dan, kalau sampai besok pagi aku belum kembali, itu tandanya aku menemui bahaya. Maka, kalian pun harus segera mendatangi tempat ibadat itu. Bagaimana...?” ujar Panji menahan niat Wulandari sekaligus meminta pendapat ketiga tokoh Desa Pegatan.

“Baiklah. Tapi, kau harus berhati-hati...,” ujar Ki Ganda Buana, setelah melihat Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati sama-sama menganggukkan kepala menyetujui usul Panji.

Tak berapa lama kemudian, Ki Ganda Buana, Panji, dan Wulandari pun berpamitan. Ketiganya beranjak meninggalkan tempat kediaman Kepala Desa Pegatan.

********************

DELAPAN

Rembulan telah cukup lama muncul saat Panji keluar dari dalam rumah kediaman Ki Ganda Buana. Begitu melesat keluar, kegelapan malam langsung menyergap tubuh pemuda tampan berjubah putih itu. Pendekar Naga Putih, yang berniat menyelidiki kuil di ujung Desa Pegatan, langsung saja bergerak melintasi kegelapan.

Jarak yang sebenarnya cukup jauh bagi orang biasa ternyata tidak begitu lama ditempuh pemuda itu. Dengan ilmu kepandaiannya yang telah mencapai titik kesempurnaan, Panji dapat melesat secepat terbang. Sehingga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, sosoknya pun sudah tiba di daerah yang ditujunya. Dengan menyembunyikan sosoknya di antara kegelapan bayang pepohonan, tubuh Panji bergerak menyelinap mendekati sebuah anak bukit. Di atas anak bukit itulah berdiri sebuah kuil yang belum lama dibangun.

Diam-diam hati pemuda itu merasa kagum melihat bangunan yang hampir sempurna itu. Rupanya tempat yang pada mulanya adalah sebuah bangunan kuno yang tak terpakai lagi itu hanya diperbaiki beberapa bagiannya. Pendekar Naga Putih melangkah hati-hati mendekati kuil yang cukup besar itu. Beberapa buah obor yang terpancang di hampir setiap sudut kuil dihindarinya, agar dirinya tidak tertangkap basah.

“Uuuhhh...!” Tiba-tiba tubuh Panji tersentak mundur saat hampir mendekati tembok kuil itu. Dengan perasaan heran, pemuda itu menatapi sekelilingnya dalam keadaan merunduk.

“Aneh...? Sepertinya ada yang mendorongku barusan...?” desis panji yang menjadi heran bukan main ketika tidak menemukan satu makhluk pun di sekeliling dirinya. Setelah beberapa saat memperhatikan, pemuda itu kembali bergerak maju. Dan....

“Aaakkhhh...!” Untuk kedua kalinya, tubuh Panji tersentak ke belakang. Bahkan, kali ini dorongnya jauh lebih kuat. Sehingga, tubuh pemuda itu hampir terguling dibuatnya. Untunglah Panji bertindak sigap dengan menanamkan kuda-kudanya ke tanah. Meskipun demikian, pemuda itu merasakan adanya suatu keanehan pada tubuhnya. Ya, dadanya memang agak terasa sesak akibat dorongan itu.

Dengan keheranan yang semakin memuncak, Pendekar Naga Putih akhirnya berdiri tegak tanpa takut akan ada yang melihatnya. Ditatapinya daerah sekeliling dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Sehingga, sepasang mata pemuda itu menyala kemerahan bagaikan sorot mata naga di kegelapan. Lagi-lagi pemuda itu harus kecewa dan geram. Karena, di sekelilingnya tetap tak tampak satu makhluk pun.

“Kurang ajar...! Mungkinkah ada orang yang mempermainkan aku?” batin Pendekar Naga Putih. Hati Panji benar-benar jengkel setelah dua kali dibuat hampir terbanting, tanpa tahu siapa yang melakukannya. Terbawa oleh rasa penasaran, akhirnya pemuda itu melangkah lambat-lambat mendekati dinding kuil yang berjarak kira-kira dua tombak di depannya.

“Uuuhh...!?” Panji kembali terkejut. Heran benar hati pemuda itu ketika ia merasakan adanya sebuah dinding yang tak tampak oleh mata. Dan, baru sekaranglah hal itu baru dirasakannya. Semua itu dapat diketahuinya karena Pendekar Naga Putih maju dengan langkah perlahan-lahan, sehingga keberadaan dinding yang seperti membentengi daerah di sekitar kuil benar-benar tera- sa.

“Gila! Apa yang telah mereka lakukan hingga mampu membuat dinding gaib seperti ini...?” desis Panji sambil meraba-raba dengan tangannya. Pemuda itu semakin terkejut ketika mengetahui bahwa dinding itu ternyata mengitari bangunan kuil.

Panji terpaksa melangkah mundur. Otaknya bekerja keras agar bisa masuk melewati dinding gaib itu. Namun, semuanya sia-sia belaka. Sebab, Panji sama sekali tidak berpengalaman dalam masalah ilmu gaib ataupun ilmu sihir. Pemuda itu pun hanya bisa merenung tanpa tahu apa yang harus dilakukannya untuk dapat menembus dinding gaib itu.

“Cucuku, dalam dunia ini banyak terdapat ilmu gaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Kebanyakan ilmu seperti itu dimiliki oleh para pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai, ataupun para pendeta, baik yang sesat maupun yang berjalan di jalur putih”

Tiba-tiba saja di telinga Panji terngiang kembali wejangan gurunya, si Malaikat Petir Eyang Tirta Yasa. Cepat-cepat pemuda itu mencoba untuk mengingat semua wejangan tentang ilmu yang pernah dikatakan olehgurunya.

“Untuk mendapatkan ilmu-ilmu seperti itu, para pertapa maupun pendeta-pendeta suci melakukannya dengan jalan bersemadi selama bertahun-tahun. Dan, kadang-kadang mereka menjalaninya dengan jalan berpuasa untuk menguatkan batin. Sedangkan para pendeta-pendeta sesat melakukannya dengan berbagai cara. Kebanyakan dari mereka menggunakan darah dan mantera-mantera suci. Tapi, ilmu-ilmu mereka memiliki kelemahan, karena digunakan pada jalur yang salah”

“Darah perawan suci...,” desis Panji, teringat akan kejadian-kejadian yang menimpa gadis-gadis muda yang mati tanpa setitik pun darah yang tersisa di tubuhnya. Jelas sekarang bagi Panji bahwa para pendeta itulah yang telah melakukan perbuatan-perbuatan biadab selama ini. Pemuda itu berdiri tegak dengan kening berkerut. Kini ia mulai mengerti, apa yang telah menghalanginya mendekati bangunan kuil itu.

“Hm..., sekeliling kuil ini pasti disirami darah yang telah dimanterai. Rupanya inilah salah satu kegunaan darah-darah perawan suci itu...,” desah Panji, bergumam seorang diri.

“Hhh..., sayang Eyang tidak pernah menjelaskan, bagaimana cara memusnahkan ilmu-ilmu gaib yang sesat itu...,” desah Panji, agak kecewa.

Namun, sesaat kemudian, Pendekar Naga Putih tiba-tiba teringat akan tenaga gaib yang tersimpan di dalam tubuhnya. “Ya, mengapa aku tidak mencobanya,” gumam Panji dengan penuh harap.

Begitu teringat akan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang memang gaib itu, segera saja Pendekar Naga Putih mengerahkan ilmu tenaga dalamnya. Sebentar kemudian, Panji pun mulai merasakan adanya hawa panas di sekujur tubuhnya, lalu, muncullah sinar kuning keemasan yang menyelimuti tubuhnya. Kini, sambil terus mengerahkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’, Panji bergerak maju melewati dinding gaib itu. Dan... betapa leganya hati pemuda itu ketika ia tidak merasakan ada dinding yang menghalanginya lagi. Segera saja ditariknya tenaga sakti itu setelah dirinya berada di dalam lingkaran dinding gaib.

Cepat bagaikan kilat, Panji melenting melewati tembok batu kuno, lalu mendaratkan kakinya di sebelah bangunan tanpa ada yang melihatnya. Panji terus bergerak menyelinap ke dalam bangunan kuil. Pendekar muda itu memeriksa ruangan demi ruangan dengan hati-hati dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang mencurigakan.

“Gutawa...!” Panji mendesah terkejut melihat Gutawa, putra Ki Sangaji, berada di salah satu ruangan yang cukup besar. Ruangan itu mengingatkan Panji akan upacara-upacara pemujaan seperti yang pernah didengar dan disaksikannya selama bertualang. Cepat pemuda itu menahan napasnya saat melihat seorang kakek tua berjubah merah tengah bersila di depan Gutawa.

Kakek yang kira-kira berusia sekitar delapan puluh tahun itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya saat mendengarkan kata-kata Gutawa. Rupanya putra kepala Desa Pegatan itu telah tersesat jauh, karena merasa telah tersaingi oleh Panji dalam merebut hati Wulandari. Panji tahu akan perasaan pemuda itu. Namun, ia menyayangkan bahwa hanya karena cemburu, Gutawa membencinya dan bahkan berpaling dari kebenaran.

“Hm..., kalau memang ingin masuk, mengapa harus bersembunyi di luar? Masuklah. Aku tahu akan kedatanganmu...”

Suara itu terdengar jelas di telinga Panji. Dada Pendekar Naga Putih pun berdebar keras. Ditatapnya kakek itu. Dan, yakinlah dia bahwa pendeta tua itulah yang mengirimkan suara untuknya.

“Pendeta palsu, jangan kau kira aku tidak mengetahui kebusukan mu! Rahasiamu sudah terbongkar. Jadi, tidak perlu lagi kau berpura-pura baik. Malam ini, aku akan mengakhiri kebiadaban pendeta-pendeta palsu di kuil mesum ini...!” ujar Panji dengan suara dingin sambil melangkah memasuki ruangan lebar itu. Tak sedikit pun terlihat kegentaran pada wajah Pendekar Naga Putih. Jelas, hati Panji sudah mantap untuk menghentikan kejahatan pendeta-pendeta sesat itu.

“Pendekar Naga Putih...!?” Gutawa bangkit dengan penuh kebencian. Dicabutnya pedang yang tergantung dipinggangnya. Lalu, diterjangnya Panji dengan serangan-serangan ganas.

Beeet! Beeet! Beeet!

Panji bergerak ke kiri dan ke kanan dengan te- nang. Dihindarinya serangan Gutawa yang bertubi-tubi. Pendekar muda itu tetap tidak berusaha membalas meskipun serangan Gutawa terlihat semakin ganas. Dan, setelah melewati sepuluh jurus, baru Panji memberikan pelajaran kepada pemuda itu.

“Sadarlah dari kesesatan mu, Gutawa...,” ujar Panji sambil menghantamkan telapak tangannya ke bahu pemuda itu.

Plakkk...!

“Aakkhhh...!” Gutawa langsung jatuh terguling terkena tamparan keras Pendekar Naga Putih. Pemuda tegap putra kepala desa itu bergerak bangkit meskipun tangan kanannya terasa lumpuh. Seringai di wajahnya menandakan bahwa pemuda itu menderita rasa nyeri yang menyakitkan.

Hampir bersamaan dengan jatuhnya tubuh Gutawa, di ruangan itu bermunculan belasan orang berpakaian merah. Dua di antaranya berdiri tidak jauh dari Panji. Salah satu dari kedua pendeta itu menggunakan cakar baja pada jari-jarinya. Tahulah Panji, pendeta itulah yang selama ini melakukan pembantaian terhadap gadis-gadis muda yang tak berdosa. Sedangkan yang seorang lagi pastilah pembunuh bermuka merah, pikir Panji sambil menatap tajam pada kedua orang yang berdiri paling dekat dihadapannya.

“Hm..., rupanya kau telah tersasar hingga kemari, Pendekar Naga Putih. Bagus. Jadi, kau sengaja datang untuk mengantarkan nyawa...!” geram Cakar Setan dengan tatapan penuh dendam.

“Kalpa Wira, Walung, minggirlah. Pemuda ini bukan lawan kalian. Dari cara ia melewati ‘Benteng Gaib’ kita, aku sudah dapat menilai kemampuannya...,” ujar kakek yang rupanya pemimpin para pendeta di kuil itu ketika Cakar Setan dan Walung hendak menggempur Panji.

“Mari kita keluar...,” lanjut kakek itu seraya menoleh ke arah Panji.

Tanpa merasa ragu sedikit pun, Panji segera mengikuti langkah para pendeta berjubah merah itu keluar dari bangunan kuil. Pemuda itu berdiri tegak di halaman depan dengan kedua kaki terpentang. Jelas bahwa Pendekar Naga Putih telah siap bertarung mati-matian menegakkan kebenaran di atas bumi ini.

“Hm...” Pendeta tua berjubah merah itu bergumam menatap sosok Pendekar Naga Putih.

“Sudah kuduga, akhirnya kau pasti akan mengetahui rahasia ini. Semenjak Kalpa Wira mengatakan tentang adanya Pendekar Naga Putih di desa ini, aku sudah dapat merabanya bahwa kau pasti akan dapat menyingkap rahasia pembunuhan gadis-gadis di desa ini,” lanjut kakek itu, tenang. Dari sorot mata pendeta tua berjubah merah yang tajam mencorong, Panji pun dapat mengetahui, betapa hebatnya tenaga dalam yang dimilikinya.

“Tidak perlu banyak bicara lagi! Aku datang bukan untuk berbincang denganmu. Tapi, justru ingin melenyapkan manusia-manusia sesat sepertimu, Pendeta Palsu. Bersiaplah!” desis Panji. Pendekar Naga Putih memejamkan matanya untuk memusatkan kekuatan batin. Sebentar kemudian, tampaklah sebilah pedang tergenggam ditangannya.

“Pedang Naga Langit...!?” Pendeta tua berjubah merah berseru kaget dengan wajah agak pucat. Jelas bahwa kakek itu telah mengetahui keampuhan Pedang Naga Langit. Hal ini dapat terbaca pada wajahnya yang kelihatan cemas.

“Benar, inilah Pedang Naga Langit. Jadi, percuma saja kalau kau menggunakan racun ataupun ilmu sihir mu menghadapiku,” sahut Panji sambil mengibaskan pedangnya dengan kekuatan penuh. Kilatan sinar kuning keemasan pun tampak bergulung-gulung menyilaukan mata.

“Bunuh pemuda itu! Rebut pedang di tangannya!” perintah pendeta tua berjubah merah dengan suara yang sangat keras. Tampaknya ia gentar melihat pedang mukjizat yang tergenggam di tangan Pendekar Naga Putih.

Tanpa diperintah dua kali, Kalpa Wira, Walung, Gutawa, dan belasan pendeta berjubah merah lainnya langsung bergerak mengepung Panji. Mereka yang memang merasa geram dan menunggu-nunggu perintah itu tentu saja tak ragu-ragu lagi untuk menyerang begitu mendengar perintah pendeta berjubah merah. Dengan disertai seruan-seruan marah, para pengepung itu pun bergerak menyerbu Pendekar Naga Putih.

Panji sendiri memang sudah memperhitungkan semua itu. Sehingga, ia tidak terkejut lagi ketika mendengar pendeta tua berjubah merah menyuruh para pengikutnya untuk mengeroyok dirinya. Maka dengan Pedang Naga Langit di tangannya, Panji pun bergerak menyambut serbuan lawan. Belasan batang pedang yang datang mengancam dari segala penjuru sama sekali tak membuat Panji gugup. Dengan tenang, pemuda itu menggerakkan pedang sambil mengerahkan ‘Ilmu Pedang Naga Sakti’.

“Heeaattt...!”

Trannng! Trakkk!

Enam bilah pedang yang tiba lebih dulu langsung terpental dalam keadaan patah. Sedangkan pedang Panji terus bergerak melingkar menyambar tubuh para pengeroyoknya. Akibatnya....

“Aaaa...!”

“Wuuaaa...!”

Delapan orang pendeta berjubah merah langsung terguling roboh tersambar pedang di tangan Pendekar Naga Putih. Mereka langsung tewas dengan tubuh bermandikan darah. Tentu saja kenyataan itu membuat pendeta yang lainnya bergerak mundur.

“Haaiittt...!”

“Yiiaattt...!”

Kalpa Wira atau yang dikenal Panji sebagai Cakar Setan berseru nyaring sambil menggerakkan cakar-cakar bajanya ke tubuh Pendekar Naga Putih. Berbarengan dengan itu, Walung juga telah menggunakan bandul berdurinya datang menerjang. Begitu serangan datang, cepat bagaikan sambaran kilat, tubuh Panji menyelinap di antara kedua senjata lawan-lawannya. Kemudian, pendekar muda itu membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.

“Hiiaattt...!”

Tranggg! Tranggg!

Cakar Setan, yang menyambut serangan pedang Panji dengan sambaran cakar bajanya, merasa terkejut bukan main. Upaya penyelamatan dirinya dengan menangkis pedang Pendekar Naga Putih tentu saja berakibat cukup parah. Tubuh lelaki tegap itu langsung terpental hingga sejauh dua batang tombak. Wajahnya tampak menyeringai merasakan linu pada jari-jari tan-gannya.

Sementara itu Gutawa, yang sadar akan kepandaiannya masih kalah jauh dibanding Panji, hanya sesekali menyerang di saat pendekar muda itu menghadapi Kalpa Wira dan Walung. Sayangnya, usaha putra kepala desa itu selalu saja gagal. Sebab, untuk mengikuti gerakan Panji memang jelas sangat sulit baginya, sehingga dia terpaksa menelan kejengkelannya.

“Heeaaattt...!”

Pada saat Panji telah kembali bertarung dengan Kalpa Wira, Walung, Gutawa, dan belasan orang pendeta, terdengar teriakan nyaring yang menggetarkan jantung. Seiring dengan teriakan itu, tampak sosok bayangan merah melesat cepat dengan sepasang tangan terulur lurus ke aras Pendekar Naga Putih. Dan....

Blakkk!

“Huukkhhh...!”

Seketika itu juga, tubuh Panji langsung terpental ke belakang sejauh dua batang tombak lebih. Untunglah hantaman telak dari sosok bayangan merah itu sanggup diredam oleh lapisan kabut putih yang membentengi tubuh Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, mungkin Panji bisa lumpuh seketika. Atau paling tidak, pemuda itu akan mengalami luka dalam yang sangat parah.

“Licik..!” Geram Panji ketika mengetahui bahwa penyerangnya adalah pendeta berjubah merah. Tentu saja terjunnya tokoh sesat yang sakti itu membuat keadaan berbalik. Kini Panjilah yang terdesak oleh keroyokan lawan-lawannya.

“Heeaaattt...!”

Pada saat Pendekar Naga Putih sedang dalam keadaan terdesak hebat, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring melengking tinggi. Seiring dengan teriakan itu, muncullah sesosok bayangan hijau yang langsung menerjunkan dirinya ke kancah pertempuran. Tentu saja kehadiran sosok bayangan hijau itu membuat para pengeroyok Panji terkejut setengah mati.

Breettt! Breettt!

Begitu tiba dalam kancah pertempuran, sosok berpakaian hijau langsung mengibaskan pedangnya ke kiri dan ke kanan. Terdengar jeritan kematian yang disusul dengan robohnya beberapa orang pengeroyok dengan tubuh bermandikan darah. Tentu saja perbuatan sosok bayangan hijau membuat pertempuran tampak kacau. Cakar Setan dan Walung, yang semula mengeroyok Panji, segera saja melesat untuk mencegah sosok bayangan hijau agar tak menjatuhkan lebih banyak korban lagi. Keduanya langsung menghadapi sosok bayangan hijau dengan serangan-serangan yang ganas.

Namun, kepandaian sosok bayangan hijau ternyata tidak bisa dipandang ringan. Dengan pedang yang mengeluarkan sinar putih keperakan, sosok bayangan hijau ternyata mampu melayani kedua lawannya dengan baik. Pertarungan terpecah menjadi dua. Dan para pengikut pendeta berjubah merah menjadi bingung, tidak tahu harus membantu yang mana. Panji sendiri merasa lega melihat kehadiran sosok bayangan hijau yang membantunya itu. Meskipun ia tidak dapat melihat wajahnya, Pendekar Naga Putih dapat mengetahui, siapa sosok bayangan hijau yang membantunya itu.

“Hm..., kini tinggal kita berdua, Pendeta Palsu. Jangan harap kau dapat lolos lagi dariku...!” geram Panji seraya memutar pedangnya sedemikian rupa.

“Keparat...! Kau pikir Pendeta Jubah Merah takut menghadapimu, hah!” desis pendeta berjubah merah yang segera melompat mundur jauh ke belakang. Sekejap kemudian, di tangannya telah tergenggam sebatang tongkat hitam berkepala ular.

Whuukkk! Whuukkk!

Tongkat hitam berkepala ular itu langsung diputarnya di depan dada hingga menimbulkan angin menderu. Orang-orang yang bertempur di dekatnya pun langsung menjauhkan diri. Karena, putaran tongkat itu membuat daerah sekitarnya bagaikan terkena angin ribut.

“Heeaaattt...!”

Disertai putaran pedangnya yang mengaung tajam, Panji segera melesat menerjang lawannya. Tampak gulungan sinar kuning bergerak turun-naik dengan cepatnya bagaikan tubuh seekor naga yang tengah mengamuk. Tentu saja serangan itu langsung disambut Pendeta Jubah Merah dengan sambaran tongkatnya. Sebentar saja pertempuran pun berlangsung dengan dahsyatnya.

Sebenarnya, kalau saja Panji tidak memiliki Pedang Naga Langit, pemuda itu belum tentu mampu menghadapi Pendeta Jubah Merah lebih dari seratus jurus. Tapi, dengan adanya pedang mukjizat itu, tentu saja Pendeta Jubah Merah yang lebih banyak memiliki ilmu gaib itu bagaikan mati kutu. karena, Pedang Naga Langit dapat memusnahkan seluruh ilmu gaib yang dimiliki pendeta tua itu. Dengan demikian, baik kekebalan yang dimilikinya maupun ilmu sihirnya yang tinggi, benar-benar tidak bisa digunakan untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.

“Hiaaahhh...!”

Pertarungan kedua tokoh sakti itu semakin bertambah sengit. Jurus demi jurus mereka lewati dengan kekuatan yang tampak berimbang. Dan, ketika memasuki jurus ketujuh puluh, Pendeta Jubah Merah membentak nyaring disertai tenaga sihirnya. Tentu saja pengaruh itu sangat luar biasa. Sampai-sampai sosok bayangan hijau yang datang membantu Panji untuk menghadapi keroyokan tadi terjajar limbung agak di kejauhan sambil memegangi kepalanya yang terasa hendak pecah. Panji tampak sangat cemas melihat keadaan sosok bayangan hijau.

“Yeaaa...!”

Pendekar Naga Putih membentak nyaring sambil memutar pedangnya dengan sekuat tenaga. Suara mengaung yang laksana dengungan ratusan lebah merah langsung melenyapkan kekuatan sihir yang digunakan Pendeta Jubah Merah. Sehingga, Panji dapat menarik napas lega melihat sosok bayangan hijau sudah bisa menghadapi lawan-lawannya lagi. Namun, pada saat itu juga, ujung tongkat Pendeta Jubah Merah terlihat meluncur deras dari atas mengancam batok kepala Pendekar Naga Putih.

Whuuukkk!

Panji yang memang tidak pernah meninggalkan kewaspadaannya segera bergerak ke samping, lalu langsung melakukan serangan balas dengan tusukan lurus ke jantung lawan.

Whuuttt...!

Pendeta tua itu ternyata sangat gesit Tusukan ujung pedang yang menimbulkan sinar menyilaukan itu dapat dihindarinya dengan lompatan panjang ke samping. Kemudian, ujung tongkatnya ditudingkan kearah Panji. Dan....

Seerrr...! Seerrr...!

Seketika itu juga, meluncurlah jarum-jarum halus menebarkan bau wangi memabukkan.

“Licik...!” desis Panji begitu melihat ratusan jarum halus mengancam sekujur tubuhnya.

Pendekar Naga Putih segera menambah kekuatan putaran pedangnya. Dan, jarum-jarum halus itu pun langsung terserap melekat di badan Pedang Naga Langit Semua ini dilakukan Panji agar jarum-jarum itu tidak melukai orang lain yang berada di sekitarnya. Tapi, bukan keselamatan pengikut pendeta sesat itu tentunya yang dikhawatirkan Panji. Karena, menurut dugaannya, para pengikut pendeta sesat sudah kebal terhadap racun-racun mereka. Keselamatan bayangan hijaulah yang dicemaskan oleh pendekar muda itu.

Setelah gagal melakukan penyerangan dengan jarum-jarum beracunnya, Pendeta Jubah Merah terlihat berdiri tegak dengan mulut berkomat-kamit. Sebentar kemudian, terdengarlah suaranya yang bergetar dan mengandung kekuatan gaib yang sangat mengerikan.

“Pendekar Naga Putih! Kau adalah seekor anjing yang setia! Maka menyalaklah seperti seekor anjing kelaparan...!”

Suara menggetarkan yang mengandung kekuatan sihir tingkat tinggi itu bergema, hingga mempengaruhi semua orang yang berada di sekitar lingkungan kuil. Panji sendiri sempat tergoyah kuda-kudanya begitu mendengar suara Pendeta Jubah Merah. Ada sesuatu kekuatan aneh yang memaksa kedua kakinya untuk menekuk dan merangkak serta menyalak seperti seekor anjing. Tapi, tidak percuma Pedang Naga Langit berada di tangannya. Sebab, seketika itu juga, sinar kuning keemasan yang semula berpendar di badan pedang langsung menebar dan menyelimuti sekujur tubuh Panji. Semua itu membuat Pendekar Naga Putih kembali tersadar dari pengaruh jahat.

“Hhhh...,” benar-benar keji iblis itu...” desis Panji saat melihat sosok bayangan hijau serta orang-orang lainnya tengah merangkak sambil menyalak sekeras- kerasnya. Jelas, semua orang itu telah terkena pengaruh sihir jahat Pendeta Jubah Merah.

Dalam kemarahannya, Panji segera menarik pedangnya menyilang dengan kuda-kuda rendah. Pemuda itu siap melontarkan jurus terampuhnya, ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’.

“Yeaattt..!”

Seiring dengan suara Pendekar Naga Putih yang menggetarkan, lenyaplah pengaruh sihir pendeta sesat itu. Sedangkan tubuh Panji sendiri telah meluncur ke arah lawannya.

Whuukkk! Whuukkk!

Pedang Naga Langit di tangan Pendekar Naga Putih berdesing mencicit dan mengaung-ngaung tajam. Sebuah lingkaran pendaran sinar kekuningan yang menyilaukan mata membuat Pendeta Jubah Merah terkejut menyaksikannya. Kilatan-kilatan ujung pedang yang sesekali muncul dari dalam lingkaran sinar kekuningan itu membuatnya terdesak hebat. Sibuklah dia menahan serbuan pedang lawannya.

Panji sendiri tidak sekalipun menghentikan serangannya kali ini. Pedang di tangannya yang seakan-akan menimbulkan badai angin ribut benar-benar membuat Pendeta Jubah Merah harus mengakui kehebatan pendekar muda itu. Maka, setelah melewati seratus lima puluh jurus, pendeta sesat itu pun tidak mampu lagi untuk menyelamatkan dirinya dari kedahsyatan ‘Ilmu Naga Sakti’ Panji.

“Yeaattt..!”

“Aaahhh...!” Pendeta Jubah Merah terpekik kaget ketika tahu-tahu saja ujung pedang lawan telah muncul di depan tubuhnya. Pendaran sinar keemasan yang menyilaukan mata itu membuat Pendeta Jubah Merah harus bertekuk lutut di hadapan lawannya. Dan....

Craattt! Craattt!

“Aarrrkkhhh !”

Pendeta Jubah Merah yang selama ini kebal terhadap segala jenis senjata akibat kehebatan ilmu-ilmu hitamnya ternyata tak mampu melindungi tubuhnya dari ketajaman Pedang Naga Langit. Ketika ujung pedang lawan merobek-robek tubuhnya, pendeta sesat itu pun langsung meraung dahsyat. Darah segar menyembur keluar dari luka-lukanya. Sedangkan tubuhnya yang tengah limbung, langsung jatuh terjungkal mencium tanah ketika Panji melontarkan sebuah tendangan keras yang menyusuli sambaran Pedang Naga Langit.

Deesss. !

“Huaakkhhh!”

Diiringi semburan darah segar yang memercik mengotori tanah, tubuh kakek itu terbanting hingga menjebol dinding kuno yang menjadi pagar kuil. Tanpa ampun lagi, tubuh Pendeta Jubah Merah ambruk dengan sekujur tubuh dipenuhi darah segar. Kepala botak kakek itu tampak retak akibat benturan keras dengan dinding batu kuno tadi. Rupanya kekebalannya benar-benar musnah terkena pedang mukjizat di tangan Panji. Pendeta Jubah Merah akhirnya tewas di tangan Pendekar Naga Putih.

“Kenanga..., jangan !”

Panji berseru ketika melihat sosok bayangan hijau hendak membunuh pemuda tegap yang telah tak berdaya. Pemuda tegap itu sendiri tengah rebah menelentang di atas tanah, seolah-olah menunggu ujung pedang gadis berpakaian hijau itu menembus dadanya. Bersamaan dengan itu, terdengarlah suara ribut-ribut agak jauh di luar kuil. Sebentar kemudian, tampaklah Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, Ki Bawung Sati dan para penjaga keamanan desa datang memasuki halaman kuil.

Panji sendiri telah mengangkat bangkit tubuh Gutawa, pemuda tegap yang hendak dibunuh Kenanga, sosok berpakaian hijau itu. Kemudian dibawanya tubuh putra kepala desa itu menghadap Ki Sangaji. Sedangkan Cakar Setan dan Walung sudah sejak tadi menggeletak dengan tubuh bermandi darah. Keduanya telah tewas di tangan Kenanga.

“Gutawa...!” seru Ki Sangaji yang merasa terkejut melihat putranya berada di tempat itu. Wajah orang tua itu berkerut saat melihat wajah Gutawa yang tampak dipenuhi luka bekas pukulan.

“Lebih baik kita kembali ke desa. Rupanya Gutawa masih terkena pengaruh sihir. Mudah-mudahan aku masih bisa mengobatinya...,” ujar Panji dengan suara merendah.

Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sangaji langsung memerintahkan orang-orangnya untuk segera menangkap sisa pendeta yang tinggal sepuluh orang. Kemudian rombongan, itu pun berangkat meninggalkan kuil.

“Kenanga, bagaimana kau bisa berada di tempat ini? Apakah kau sudah pamit kepada bibimu?” tanya Panji saat keduanya berjalan di barisan paling belakang.

“Aku bosan hidup dalam lingkungan Kadipaten, Kakang. Lagi pula, Kakang terlalu lama pergi. Jadi, aku putuskan untuk menyusul. Ketika tiba di tempat Ki Ganda Buana, Pamanmu itu mengatakan bahwa kau pergi menyelidik ke sebuah kuil di ujung desa ini. Ya..., langsung saja aku menyusul..., jawab Kenanga sambil tersenyum dengan sinar mata penuh kerinduan.

Panji tersenyum seraya merangkul kekasihnya. Ia memang telah berjanji kepada Kenanga untuk kembali menemui gadis itu, yang tinggal bersama bibinya, istri seorang perwira kadipaten. Beberapa hari lalu Kenanga memang diminta oleh bibinya, yang telah lama tidak berjumpa dengannya, untuk tinggal sementara waktu di kadipaten.

Panji, yang tidak ingin mengganggu pertemuan itu, pamit untuk mengunjungi pamannya di Desa Pegatan dan berjanji akan kembali dalam waktu dekat. Rupanya Kenanga tidak sabar, karena Panji terlalu lama pergi. Gadis jelita itu nekat menyusul, meskipun ia harus tiba di Desa Pegatan saat hari telah lewat tengah malam. Kedatangan gadis jelita itu sendiri, justru tepat pada saat Panji sangat memerlukan bantuannya.

“Kakang sendiri kapan hendak melanjutkan petualangan...?” tanya Kenanga, memecah kesunyian di antara mereka.

“Setelah Gutawa sembuh, kita langsung berpamitan dan melakukan petualangan bersama-sama seperti biasa...,” jawab Panji seraya tersenyum, membuat wajah gadis jelita itu terlihat lega.

Beberapa hari kemudian, Gutawa telah pulih kesehatannya. Putra kepala desa itu menceritakan bahwa sebelum masuk menjadi pengikut, ia diperbolehkan untuk menyaksikan upacara-upacara para pendeta itu, yang antara lain mengorbankan wanita muda sebagai persembahan. Beberapa di antara wanita-wanita muda itu ada pula yang dijadikan sebagai pelampiasan nafsu binatang mereka, untuk kemudian dibunuh setelah mereka bosan.

“Apakah Sumi telah mereka bunuh juga...?” Ki Sangaji langsung menanyakan warga desanya yang pernah dibawa oleh putranya itu.

“Sumi... Sumi...,” bibir Gutawa menggerimit mengucapkan nama itu, “Ya..., ada samar-samar kuingat nama itu. Sayang..., semua gadis itu telah dibunuh, termasuk juga Sumi”

Ki Sangaji dan orang-orang lainnya yang mendengar keterangan Gutawa hanya bisa menghela napas berat. Tidak berapa lama kemudian, suasana pun hening. Semua orang yang berada di tempat itu seperti sengaja membiarkan diri terbawa alam pikiran masing-masing. Sementara itu, Pendekar Naga Putih dan Kenanga tampak telah siap melanjutkan petualangan mereka.

S E L E S A I

Darah Perawan Suci

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Darah Perawan Suci
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

SESOSOK tubuh berjubah putih mengayun langkahnya lambat-lambat. Hembusan angin pagi yang lembut mengiringinya menelusuri jalan berumput tebal yang masih basah oleh butiran embun. Kicauan burung masih ramai menghiasi pagi itu. Beberapa saat kemudian, tampaklah wajah sang matahari yang baru saja bangkit dari peraduannya.

Dengan tubuh tegak dan wajah penuh senyum, sosok yang ternyata seorang pemuda itu terus membelokkan langkahnya saat tiba di persimpangan jalan. Dipilihnya jalan lebar di sebelah kanan. Beberapa tombak di depannya, tampak sebuah tiang batu setinggi bahu laki-laki dewasa. Tulisan besar-besar yang berbunyi “Desa Pegatan” terlihat jelas tertera.

“Hem...” Sosok pemuda gagah berwajah bersih dan tampan itu bergumam perlahan. Langkahnya terhenti ketika tiba di dekat tiang batu perbatasan desa. Alisnya yang tebal hitam dengan bentuk melengkung tampak berkerut, seolah tengah membayangkan sesuatu yang pernah dialaminya. Tidak berapa lama kemudian, terlihat pemuda gagah dan tampan itu kembali melanjutkan perjalanannya. Diikutinya jalan lebar yang akan membawanya ke Desa Pegatan.

Pemuda tampan berjubah putih itu menyapa para petani yang kebetulan berpapasan dengannya di jalan. Para petani itu pun tampak merasa senang melihat pemuda tampan yang ramah itu. Malah, terlihat pula mereka membungkukkan badan dalam-dalam sebagai tanda hormat mereka kepada pemuda itu.

Tidak berapa lama kemudian, tibalah pemuda itu di mulut Desa Pegatan. Keadaan desa yang saat itu kebetulan sedang ramai membuat kehadirannya tidak begitu menarik perhatian orang. Pekan yang kebetulan tengah berlangsung di Desa Pegatan itu tampak sangat ramai. Pekan seperti itu memang hanya diadakan sekali dalam seminggu. Jadi, wajar saja kalau hampir seluruh warga Desa Pegatan datang mengunjunginya.

Pemuda tampan berjubah putih melangkah lambat di antara keramaian. Senyumnya tampak mengembang saat melihat hampir semua pedagang sibuk melayani pembeli. Tapi, ia terus melangkah, seolah-olah pekan itu sama sekali tidak menarik perhatiannya.

Tidak berapa lama kemudian, setelah terbebas dari keramaian pekan di mulut desa itu, tibalah pemuda tampan berjubah putih di sebuah bangunan besar yang berhalaman luas. Sejenak ia berdiri ragu, seperti hendak membatalkan niatnya memasuki rumah besar di hadapannya ini.

Bangunan besar itu tidak terlalu megah, bahkan sepertinya sudah cukup tua. Di sana-sini terlihat atap- atap yang menghitam dan rusak. Meskipun demikian, halamannya tampak bersih dan terawat dengan baik. Jelas, penghuni bangunan besar itu sangat memperhatikan kebersihan.

“Hm..., pohon bambu kuning itu masih tetap seperti dulu, sama sekali tidak terlihat berubah kecuali beberapa di antaranya mulai tua...”

Pemuda tampan berjubah putih bergumam, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri. Sambil bergumam demikian, tangannya menyentuh ujung dedaunan bambu kuning di depan wajahnya.

“Tuan..., ada perlu apakah?”

Tiba-tiba saja datang seorang lelaki berpakaian seperti tukang kebun, yang langsung menegur pemuda itu. Herannya pemuda tampan berjubah putih sama sekali tidak kelihatan terkejut. Meskipun tidak melihat, sepertinya pemuda itu telah tahu kalau ada orang yang datang menghampirinya. Tampak jelas sekali, sikapnya tetap tenang dan ramah.

“Hm..., maaf kalau aku telah mengejutkanmu, Kisanak,” ujar pemuda tampan berjubah putih kemudian, sambil menatap penuh selidik ke arah tukang kebun yang usianya tampak hanya sedikit lebih tua darinya.

Tentu saja, lelaki yang wajah dan pakaiannya memang tampak dikotori tanah itu menjadi risih. Padahal, pemuda tampan berjubah putih tentu saja tidak bermaksud menilai pakaian yang dikenakan orang di depannya ini. Hanya saja, tampaknya ia merasa heran, bagaikan melihat seseorang yang pernah dikenalnya.

“Ada yang bisa kubantu..., Tuan...?” ujar lelaki berusia kira-kira sekitar dua puluh lima tahun itu. Tubuhnya yang terlihat agak tegap tampak selalu membungkuk. Sepertinya sikap seperti itu memang sudah menjadi bagian dari dirinya.

“Mmm..., sebenarnya kedatanganku kemari ingin berjumpa dengan pemilik rumah ini, yaitu Ki Ganda Buana. Apakah kau bekerja untuknya...?” tanya pemuda tampan berjubah putih dengan nada bersahabat dan sama sekali tidak terlihat menunjukkan dirinya lebih tinggi dan terhormat daripada tukang kebun itu.

“Benar. Aku memang bekerja untuk Tuan Besar Ganda Buana. Kalau Tuan ingin bertemu, biar kupanggilkan...,” sahut tukang kebun itu.

Kelihatan sekali, tukang kebun itu menyukai pemuda tampan berjubah putih di depannya ini, walaupun mereka baru bercakap-cakap sebentar. Tampaknya sikap ramah dan tidak sombong yang diperlihatkan pemuda tampan berjubah putih membuatnya merasa senang dan lebih menaruh hormat.

“Kalau kau tidak keberatan, bolehlah...,” jawab pemuda tampan berjubah putih sambil tersenyum dan menepuk bahu tukang kebun muda itu.

Tukang kebun itu pun masuk ke dalam rumah memberitahukan kedatangan pemuda tampan berjubah putih. Sedangkan pemuda tampan berjubah putih melangkah memasuki halaman depan rumah besar itu. Halaman ini dihiasi oleh bunga-bunga yang sedang mekar dan terawat baik. Sehingga, siapa pun yang memandangnya tentu akan merasa tertarik.

Karena terlalu asyik memperhatikan bunga-bunga cantik yang bermekaran, tanpa sadar kaki pemuda tampan berjubah putih memasuki sebuah taman kecil yang ditata dengan sangat indah. Bahkan, bunga-bunga di taman itu lebih banyak dan beraneka warna.

“Bukan main...,” decak pemuda tampan berjubah putih, kagum. “Siapakah yang telah membentuk taman seindah ini...? Rasanya tidak mungkin kalau tukang kebun itu yang melakukannya. Sebab, tangannya terlalu kasar untuk dapat menata seindah ini. Pasti yang memiliki kebun ini seorang wanita. Mungkinkah Adik Wulandari yang mengerjakan dan memiliki kebun mungil ini..?”

Pemuda tampan berjubah putih terus menatapi bunga-bunga yang bermekaran. Tampak ia terkagum-kagum melihat kebun cantik yang teratur rapi itu.

“Hei, siapa kau...? Sedang apa di situ...?” Tiba-tiba saja terdengar teriakan merdu yang membuat pemuda berjubah putih menolehkan kepalanya.

Seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun terlihat berlari-lari kecil menghampiri pemuda tampan itu. Rambutnya yang panjang dan dikepang dua bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan mengikuti irama langkah kakinya. Meskipun suaranya barusan terdengar agak ketus, tampaknya wajah gadis itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia merasa marah melihat kehadiran pemuda tampan berjubah putih.

Gadis cantik yang tampaknya bersifat periang itu berdiri menatap wajah pemuda tampan berjubah putih dengan berani. Sikapnya yang kelihatan bebas tanpa terikat peraturan tentu saja membuat pemuda itu ter- senyum-senyum. “Hm..., kau sudah semakin besar dan bertambah cantik, Adik Wulandari. Bagaimana keadaan kakakmu? Apakah baik-baik saja...?” sapa pemuda tampan berubah putih dengan nada akrab.

Gadis cantik yang dipanggilnya dengan nama Wulandari itu terkejut keheranan. Sebab, ia sendiri tidak mengenali pemuda tampan di depannya ini. Wulandari menatap wajah tampan itu dengan penuh selidik. Semakin lama ia meneliti wajah dan sosok pemuda di depannya, semakin membulatlah sepasang matanya. Hingga akhirnya, ia berteriak dan langsung memeluk tubuh pemuda tampan itu.

“Kau... Kakang Panjiii...!” jerit Wulandari begitu mengenali pemuda tampan di depannya ini.

Memang, pemuda tampan berjubah putih tak lain adalah saudara sepupu Wulandari. Tentu saja, tanpa ragu, Wulandari langsung memeluk tubuh pemuda yang pernah menyelamatkan nyawa keluarganya itu. (Baca Serial Pendekar Naga Putih dalam kisah Kelabang Hitam)

“Wulandari..., kau tidak berubah sama sekali. Kau masih tampak lincah dan nakal....”

Pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain dari Panji itu menyambut pelukan saudara sepupunya tanpa ragu. Meskipun pertemuan mereka yang pertama dulu tidak terlalu lama, keduanya telah saling menyukai satu sama lain. Itulah sebabnya Wulandari tidak merasa malu untuk memeluk Panji. Pemuda itu memang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri.

“Kakang Panji sengaja berkunjung kemari atau sekedar singgah?” tanya Wulandari setelah melepaskan pelukannya pada tubuh pemuda itu.

Dari binar-binar yang terpancar di matanya, jelas sekali bahwa Wulandari sangat gembira dengan kedatangan Panji. Sehingga, Panji sendiri merasa senang melihat kegembiraan gadis itu.

“Aku sengaja hendak bertemu dengan kalian. Dan, aku berniat tinggal beberapa hari, untuk melepaskan rasa rindu kepada kalian semua...,” jawab Panji sambil tersenyum dan meletakkan tangannya ke bahu Wulandari.

“Betul, Kakang...?” tanya Wulandari, seolah-olah belum percaya penuh akan ucapan pemuda itu, karena dia memang sadar bahwa saudaranya ini adalah seorang pendekar yang selalu mengembara tanpa tujuan. “Kalau begitu, aku akan meminta Kakang untuk mengajariku ilmu silat. Aku ingin menjadi pandai seperti Kakak Kenanga.... Eh, mengapa aku tidak melihatnya, Kakang? Apa kau tidak mengajak Kakak Kenanga kemari?” Wulandari melepaskan rangkulan Panji dan menatap wajah pemuda itu lekat-lekat

“Hm... sayang sekali ia tidak bisa ikut bersamaku. Sebenarnya dia ingin sekali bertemu denganmu. Tapi ada suatu urusan yang tidak bisa ditinggalkannya....”

Jawaban Panji sempat membuat Wulandari agak kecewa. Tapi, sebentar kemudian wajah gadis itu kembali cerah setelah Panji menghiburnya dan memberi pengertian. Dan, ketika keduanya tengah bertukar cerita sambil menatapi bunga-bunga yang bermekaran, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Cepat-cepat keduanya menoleh ke belakang.

“Ayah, Ibu...!” Wulandari langsung berlari menyambut sepasang suami istri yang tengah menghampiri.

Panji sendiri sudah bergerak bangkit dan menyongsong kedatangan paman dan bibinya, yang tak lain adalah Ki Ganda Buana dan istrinya.

“Paman, Bibi...,” sapa Panji sambil membungkuk hormat kepada saudara satu-satunya dari ayahnya itu.

“Panji...”

Sepasang suami istri yang masing-masing berusia sekitar lima puluh tahun dan empat puluh tahun itu bergantian menepuk bahu Panji dengan penuh kasih. Keduanya memang telah menganggap pemuda itu seperti putra kandungnya sendiri.

“Ayo, mari kita ke dalam...,” ajak Ki Ganda Buana, setelah mereka bertukar sapa mengenai keadaan masing-masing.

Panji segera mengikuti langkah pamannya. Sedangkan Wulandari terus saja menempel padanya. Gadis cantik itu tampaknya sangat menyukai Panji. Dan sikapnya yang bebas dan tidak malu-malu itu membuat Ki Ganda Buana dan istrinya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Mereka tahu, hubungan antara Panji dan Wulandari memang tidak lebih dari kasih sayang sesama saudara.

********************

Malam sudah cukup lama jatuh. Panji, yang kini menginap di rumah Ki Ganda Buana, semenjak tadi telah memasuki kamar yang disediakan untuknya. Letak kamar itu berada di ruang belakang sesuai dengan permintaan Panji sendiri, yang tidak bisa ditolak oleh Ki Ganda Buana. Padahal, Ki Ganda Buana telah meminta keponakannya itu untuk tidur di kamar yang terletak di ruang utama.

Di luar rumah, suasana agak gelap. Rembulan yang muncul hanya sepotong tak mampu menebarkan cahaya redupnya yang tertutup oleh gumpalan awan kehitaman. Namun, tampak bias rembulan yang samar-samar cukup mampu juga membuat suasana tidak terlalu gelap.

Dalam suasana seperti itu, tampak dari sebelah Selatan desa, datang sesosok bayangan putih yang berkelebat cepat. Begitu cepat gerakannya. Sehingga, siapapun akan merasa sangat sulit untuk menangkap bayangan putih itu, apalagi untuk melihat bentuk tubuh dan raut wajah pemiliknya.

Sosok bayangan putih itu terus bergerak memasuki Desa Pegatan, lalu langsung menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dengan gerakan yang sangat cepat Kemudian, dengan sangat cepat pula bayangan putih itu lenyap di balik sebuah bangunan yang agak besar.

“Aaa...!” Tidak berapa lama setelah sosok tubuh bayangan putih itu lenyap, tiba-tiba terdengar jerit kematian yang melengking merobek keheningan malam.

Tentu saja teriakan itu membuat para penduduk desa serta para peronda berlarian mencari sumber suara. Dan, sebentar saja daerah sebelah Selatan Desa Pegatan menjadi ramai seketika. Obor-obor bermunculan satu per satu hingga kemudian berpuluh-puluh jumlahnya. Dengan berbagai macam senjata di tangan, para penduduk memutuskan untuk berpencar. Karena, tidak seorang pun yang mengetahui dari mana jeritan itu berasal.

Sementara itu di dalam bangunan tempat berasalnya jerit kematian tadi, empat orang centeng yang juga mendengarnya segera berlompatan ke arah belakang bangunan. Karena, suara itu mereka kenali sebagai jeritan majikan wanita mereka, yang disebut dengan nyonya besar.

Begitu tiba di belakang bangunan, keempat centeng yang sudah menggenggam senjata telanjang segera saja berindap-indap untuk menyelidiki, apa yang sebenarnya terjadi dengan nyonya besar mereka. Sebab, selama ini mereka tidak pernah mendengar majikan mereka itu bertengkar dengan suaminya.

Salah seorang dari keempat centeng yang tampaknya merupakan pemimpinnya, segera saja memberi isyarat kepada ketiga orang kawannya. Setelah itu, ujung goloknya digunakan untuk mengungkit daun jendela yang tertutup. Semua itu dilakukannya untuk mengetahui, apa sebenarnya yang terjadi di dalam kamar majikannya. Tapi gerakan golok lelaki tegap berkumis jarang itu terhenti ketika tangannya dipegang oleh salah seorang kawannya. Jelas, kawannya itu tidak setuju dengan cara yang akan diperbuatnya.

“Kita harus tahu, apakah kedua majikan kita baik-baik saja...,” desis lelaki tegap berkumis jarang itu, yang kelihatan tidak senang dengan perbuatan kawannya yang mencegahnya.

“Kita panggil saja. Kalau tidak menyahut, langsung kita dobrak jendela ini. Kurasa hal itu jauh lebih baik dan kita tidak bisa dipersalahkan...,” usul lelaki yang bertubuh sedang yang rupanya mempunyai pikiran lebih cemerlang. Dan langsung saja usul itu dijawab oleh anggukan ketiga orang kawannya.

“Tuan Besar...!” lelaki tegap berkumis jarang itu mulai memanggil majikannya dari dekat jendela samping. Suaranya yang besar dan berat terdengar cukup mengejutkan. Bahkan, kalau saja di tempat itu ada seekor kucing yang sedang bengong, kucing itu pasti akan terlonjak kaget.

Tapi, suara yang bisa mengagetkan kucing bengong itu ternyata sama sekali tidak membuat majikannya terbangun. Sehingga, lelaki tegap itu berdiri bingung sambil menatap daun jendela yang tidak juga terbuka.

“Lebih keras lagi, Kakang...,” ketiga orang kawannya yang lain memberi semangat agar pemimpinnya tidak berputus asa.

Lelaki bertubuh tegap dan berkumis jarang tapi terlihat agak bodoh itu segera menarik napas panjang-panjang, hingga dadanya membusung. Dan.... “Tuan Besoooaaarrr...!”

Lelaki tegap itu memang benar-benar berotak udang. Usulan kawannya tadi ternyata ditanggapi sungguh-sungguh. Bahkan, bukan hanya sekedar lebih keras dari semula, teriakannya kali ini pun tak ubahnya sebuah raungan binatang buas yang tengah marah. Tentu saja ketiga kawannya terlonjak bangkit dengan wajah pucat. Mereka tampak sangat terkejut begitu mendengar teriakan lelaki tegap berkumis jarang itu.

Tapi, sayang sekali. Meskipun teriakan lelaki bertubuh tegap itu sanggup membuat gajah bunting lari terbirit-birit, majikannya tidak juga keluar. Rupanya sang majikan tidak bisa disamakan dengan gajah bunting. Dia sama sekali tidak terlihat lari terbirit-birit akibat teriakan keras itu.

“Dasar tolol...!” umpat lelaki kurus yang tadi mencegah lelaki tegap mencongkel daun jendela.

Jelas sekali, lelaki kurus itu jengkel melihat kebodohan pemimpinnya. Memang, pemimpin centeng itu dipilih berdasarkan kepandaian silatnya bukan kepintaran otaknya. Dan, kepandaian silat lelaki tegap berkumis jarang itu memang jauh lebih hebat dibanding ketiga centeng lainnya. Begitu teriakan kerasnya dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tidak juga mendapat sahutan, langsung saja lelaki bertubuh tegap itu melesat dan mendobrak daun jendela setinggi setengah tombak diatasnya.

“Yeeaatt...!”

Braakkk...!

Daun jendela kamar langsung jebol. Serpihan kayu tampak berhamburan. Sedangkan tubuh lelaki tegap itu sendiri telah lenyap ke dalam kamar majikannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga centeng lainnya segera menyusul. Tubuh mereka bergerak ke arah daun jendela.

“Huppp!”

Sekali menjejak tanah, tubuh ketiganya melambung bergantian dan langsung lenyap di balik jendela kamar yang telah hancur itu.

DUA

“Hahhh...!?”

Begitu menjejakkan kakinya di lantai kamar, mulut ketiga centeng itu langsung menganga lebar. Mereka sangat terkejut melihat keadaan kamar yang berentakan. Karena tidak menjumpai lelaki bertubuh tegap di dalam kamar itu, tentu saja ketiganya bertambah heran dan saling tatap tak mengerti.

“Ke mana perginya Kakang Junara...?” desis salah seorang dari ketiga centeng itu sambil menatap sekeliling kamar.

“Iya, ke mana pula perginya majikan kita...?” sambung yang lain sambil juga menatapi sekeliling kamar, seperti masih berharap dapat menemukan kedua majikannya yang lenyap.

“Lebih baik kita cari di tempat lain. Atau... siapa tahu nona muda kita juga tidak ada. Ayo, kita periksa”

Setelah berkata demikian, centeng bertubuh kurus itu segera saja melangkah keluar dari kamar majikannya. Dengan senjata di tangan, ia terus bergerak diikuti centeng lainnya memeriksa seluruh ruangan di rumah besar itu.

“Aaahhh!?”

Ketika centeng-centeng itu tiba di ruangan dekat kamar nona muda mereka, ketiganya terjingkat berbarengan dan langsung melompat mundur dengan wajah pucat. Beberapa langkah di depan pintu kamar putri majikan mereka, tergeletak tiga sosok tubuh berlumuran darah, yaitu kedua orang pemilik rumah beserta centeng bertubuh tegap yang dijadikan kepala penjaga rumah besaritu. Semuanya tewas dengan usus memburai. Langsung saja ketiga centeng itu menekap mulut yang hendak menumpahkan isinya ke luar.

“Hmhhhrrr...!”

Belum lagi centeng-centeng itu sempat menguasai rasa mualnya, tiba-tiba terdengar gerungan lirih dan serak yang menggetarkan jantung. Tentu saja jantung ketiga centeng yang memang tengah berdetak keras semakin bertambah terguncang. Dan, rasa takut ketiganya semakin bertambah saat melihat kelebatan sesosok bayangan di dinding dekat pintu kamar majikan mereka.

“Aaahhh!”

Dengan wajah yang semakin bertambah pucat, ketiga orang yang biasanya sangat galak itu langsung kehilangan seluruh keberaniannya. Apalagi, mereka pun melihat adanya tangan yang memiliki cakar-cakar aneh yang runcing sepanjang satu jengkal.

“Hhmmmrrr!”

Belum lagi rasa takut mereka sempat berkurang, tahu-tahu muncullah sesosok tubuh berpakaian serba putih dengan rambut panjang riap-riapan. Dan, di bahu kirinya terlihat sesosok tubuh ramping yang tak berdaya. Sepertinya sosok yang tampak pingsan dalam pondongan di bahunya ini adalah putri majikan ketiga centeng itu. Karena didesak oleh rasa takut yang sudah tidak bisa ditahan lagi, tubuh ketiga orang itu pun melorot jatuh. Tapi, sebelum mereka sempat pingsan, sosok bayangan putih tadi dengan cepat berkelebat lewat di depan ketiga centeng itu.

Breettt! Breettt!

“Aakkhhh...!”

Bagai orang yang kerongkongannya tercekik, ketiga centeng itu hanya bisa mengeluh pendek. Darah segar tampak menyembur keluar dari leher menganga yang hampir putus terkena sambaran cakar sosok bayangan putih tadi. Seketika itu juga, tewaslah ketiga orang itu menyusul yang lainnya.

Tanpa mempedulikan korban-korbannya, sosok bayangan putih tadi langsung saja bergerak meninggalkan rumah besar ini sambil tetap memondong seorang gadis cantik di bahu kirinya. Namun, baru saja sosok bayangan putih itu sampai di luar rumah, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan dari belasan orang lelaki yang rupanya tengah meronda desa. Dengan obor-obor di tangan, mereka langsung menghadang begitu melihat sesosok bayangan putih melesat dari dalam bangunan di dekat tempat peronda lewat.

“Berhenti...!”

Dengan diterangi sinar obor dan senjata di tangan, tiga belas orang peronda Desa Pegatan langsung menghadang jalan. Meskipun hati mereka sempat bergetar melihat sepasang cakar mengerikan milik sosok bayangan putih, para peronda desa itu tetap menghadang.

“Hmmm...”

Sosok berpakaian serba putih hanya bergumam perlahan. Wajahnya yang tersembunyi di balik rambut yang berjuntai ke sebagian wajahnya tampak menyunggingkan senyum dingin. Para peronda desa segera menyebar dan langsung mengurung sosok berpakaian putih itu.

"Kisanak, siapakah kau? Mengapa kau malam-malam begini keluyuran? Dan, siapa pula yang ada dalam pondonganmu itu? Jawablah, sebelum kami terpaksa harus bertindak keras”

Seorang lelaki gagah berdada bidang berkata dengan nada memperingatkan. Sedangkan pedang di tangan kanannya telah siap untuk membuktikan ucapannya barusan. Tapi, sosok berpakaian serba putih sama sekali tidak menyahut. Dengan tenang, kakinya melangkah melewati lelaki gagah itu. Jelas, sikap itu merupakan sebuah tantangan halus.

“Diam di tempatmu...! Selangkah lagi kau maju, jangan salahkan aku kalau senjata ini terpaksa melukai tubuhmu...,” bentak lelaki gagah berdada bidang itu sambil melintangkan senjatanya di depan dada.

Jelas, ancaman lelaki gagah itu bukan sekedar gertakan kosong. Dan, sosok tubuh berpakaian putih pun tampaknya tahu akan kesungguhan ancaman itu. Meskipun demikian, sosok berpakaian serba putih berambut panjang riap-riapan itu tetap saja tidak peduli. Setelah mengeluarkan dengusan kasar, kakinya kembali melangkah dengan tenang. Tentu saja sikap ini membuat hati kepala ronda itu semakin panas.

“Heaaattt...!”

Merasa sudah cukup memberikan peringatan, kini lelaki gagah berdada bidang tidak lagi sungkan-sungkan. Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, ia langsung melesat dengan putaran pedangnya yang langsung menusuk ke arah punggung sosok berpakaian serba putih.

Wuuuettt...!

Bukan main jengkelnya hati lelaki gagah berdada bidang. Ternyata tanpa kesulitan sedikit pun, sosok berpakaian serba putih itu menggeser kaki kanannya ke samping. Dan, begitu tusukan lelaki gagah itu lewat, tiba-tiba cakarnya yang panjang dan runcing langsung bergerak menjambret lengan lawannya. Dan....

Kreeppp!

“Aaahhh. !”

Hebat dan sangat cepat gerakan tangan sosok berpakaian putih itu. Terbukti, tangan lawannya yang menggenggam pedang langsung dapat dijambretnya hanya dengan sekali menggerakkan tangan. Benar-benar sebuah kepandaian yang mengagumkan.

“Hmhhh...!” Dibarengi dengan sebuah dengusan kasar, sosok berpakaian serba putih menarik cakarnya dari tangan lawan.

Brrolll...!”

“Aaaa...!” Lelaki gagah berdada bidang meraung kesakitan ketika lengannya tercabut oleh cakar lawan hingga sebatas siku. Rupanya, selain bisa digunakan untuk cakar, jari-jari runcing itu pun dapat dijadikan pisau yang bisa mencelakakan lawan-lawannya. Dan, lelaki gagah berdada bidang sudah menjadi salah satu korbannya.

Tubuh lelaki gagah berdada bidang terjajar limbung sambil memegangi tangannya yang mengalirkan darah tanpa henti. Wajahnya tampak berkerut-kerut menahan rasa sakit yang luar biasa pada lukanya. Sedangkan sosok berpakaian serba putih hanya tertawa dingin, kemudian melangkah meninggalkan lawannya.

“Bunuh...!”

Ternyata, meskipun pemimpin peronda malam itu sudah tak dapat berbuat apa-apa karena sibuk merasakan sakit, ada salah seorang anggota yang bertindak mengambil alih pimpinan. Dan, langsung diteriakkannya perintah membunuh sosok bayangan putih itu.

Tanpa diperintah dua kali, dua belas orang anggota peronda malam itu langsung bergerak menerjang dari segala arah. Sedangkan sosok berambut riap-riapan itu hanya mengeluarkan suara tawa dingin yang berkepanjangan.

“Heeaaahhh...!”

Dibarengi bentakan nyaring, sosok berpakaian serba putih merunduk. Dibiarkannya beberapa batang senjata lewat di atas kepalanya. Kemudian, tangan kanannya yang berkuku runcing dan sangat tajam itu langsung berkelebat ke arah empat orang penyerang yang berada paling dekat dengannya.

Wuuuttt...! Brreettt!

“Aakkhh...!”

Terdengar jerit kematian susul-menyusul manakala cakar-cakar maut sosok berpakaian serba putih merobek tubuh empat orang peronda. Tanpa ampun lagi, tubuh keempat peronda malang itu langsung terjungkal dengan usus memburai. Dan, tampak darah segar membasahi permukaan tanah yang menjadi basah seketika.

Kek kek kek...!”

Terdengar tawa yang mendirikan bulu roma. Kepala sosok berpakaian serba putih terangkat ke atas. Ditatapnya rembulan redup. Kemudian, ditatapinya sisa-sisa lawannya yang saat itu telah berloncatan mundur karena dicekam kengerian.

Sosok berpakaian serba putih tampaknya memang sengaja hendak menunjukkan dirinya kepada penduduk Desa Pegatan. Buktinya, dia sama sekali tidak mengganggu para peronda yang hanya dapat menatap kepergian pembunuh keji itu dengan wajah pucat. Setelah sosok mengerikan itu lenyap, baru mereka dapat bergerak kembali untuk mengurus mayat kawan-kawannya.

********************

“Hm..., kejadian ini tidak bisa kita diamkan!” Seorang lelaki gagah berusia kira-kira enam puluh tahun berkata geram sambil mengepalkan tinjunya. Jelas sekali, lelaki tua itu tengah marah besar.

Terdengar teriakan-teriakan riuh-rendah menyambut suara lelaki gagah itu. Mereka adalah penduduk Desa Pegatan yang merasa marah dengan peristiwa semalam. Sebab, Desa Pegatan yang selama ini tentram dan damai tiba-tiba ditimpa musibah yang menggegerkan. Kematian Juragan Wanaba beserta istri dan keempat centengnya benar-benar memukul hati warga desa. Belum lagi, beberapa peronda malam yang sempat menangkap basah pembunuh keji itu telah tewas pula dengan cara yang mengerikan. Sudah pasti peristiwa ini membuat penduduk Desa Pegatan menjadi marah besar.

“Mulai hari ini, kita akan tingkatkan perondaan. Siapa saja yang memiliki anak gadis harap berhati-hati. Karena, putri Juragan Wanaba telah lenyap. Dan menurut keterangan para peronda, dia diculik oleh si pembunuh biadab itu.” Kembali lelaki gagah berusia enam puluh tahun itu memperingatkan warga desanya.

Sementara itu, di antara kerumunan warga Desa Pegatan, tampak seorang pemuda berjubah putih berdiri menyaksikan lelaki gagah itu menceritakan kejadian semalam. Di samping pemuda tampan berjubah putih itu, tampak seorang gadis cantik yang lincah dan manja. Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Pendekar Naga Putih dan Wulandari. Rupanya merekapun ingin mendengar cerita tentang kejadian yang menggemparkan semalam.

“Lelaki tua itu Ki Sangaji. Beliaulah yang memimpin Desa Pegatan dengan bijaksana dan penuh perhatian pada warganya.” Wulandari menjelaskan perihal laki-laki gagah itu kepada Panji. Panji hanya mengangguk mengiyakan.

“Hmmm...” Panji, yang matanya selalu bergerak melihat orang-orang di sekelilingnya, tertegun melihat sepasang bola mata berapi yang sedang menatap tajam ke arahnya. Tentu saja kening pemuda itu berkerut keheranan. Namun, Panji segera berpura-pura bodoh dan mengalihkan perhatian. Diam-diam, otak pemuda tampan mencatat wajah dan bentuk tubuh sosok yang menatap dengan mata terbakar itu.

Tidak berapa lama kemudian, Ki Sangaji segera membubarkan warganya untuk melanjutkan tugas masing-masing. Tanpa diperintah dua kali, warga Desa Pegatan pun beranjak meninggalkan balai desa. Demikian pula halnya dengan Panji. Pemuda tampan itu melangkah mengikuti Wulandari yang menuntunnya mengitari desa. Wulandari tampak sangat suka menemani Panji berjalan-jalan. Karena, di saat istirahat, selalu saja Panji menyempatkan diri untuk mengajarkan gadis itu beberapa jurus silat, atau membenarkan gerakan-gerakannya yang masih terlalu lemah dan mudah diserang.

Pada hari ini pun, setelah meninggalkan balai desa, Wulandari mengajak Panji ke sebuah tempat yang sunyi. Dan, di sebuah lapangan rumput yang cukup luas, gadis cantik itu menghentikan langkahnya, lalu memandang ke arah Panji.bMelihat sinar mata Wulandari, Panji pun tahu, apa yang diinginkan gadis ini. Pemuda itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya mengiyakan. Langsung saja Wulandari berseri gembira.

“Haaiittt...!”

Diawali dengan sebuah seruan nyaring, Wulandari mulai melakukan gerakan yang diajarkan Panji. Kaki kanannya bergeser ke belakang dengan dibarengi sebuah tusukan jari-jari tangan setinggi leher. Jelas, tujuannya adalah tenggorokan lawan. Kemudian, dengan gerakan pinggang yang luwes, gadis itu merunduk sambil melakukan putaran cepat, lalu terus menyembul sembari melontarkan sebuah cengkeraman ke pelipis. Setelah itu, Wulandari melompat panjang dengan kedua lutut menekuk ke dada. Sedangkan sepasang tangannya yang membentuk cakar harimau bergerak susul menyusul menimbulkan sambaran angin yang cukup kuat. Kekuatan tenaga Wulandari tampaknya telah bisa diandalkan.

“Heyyaahhh...!”

Setelah menyelesaikan jurusnya, Wulandari kembali berseru sambil melesatkan tubuhnya dan berjumpalitan di udara beberapa kali, lalu mendarat ringan beberapa langkah di belakang Panji yang langsung tersenyum sambil bertepuk tangan keras. Pemuda itu tampak sangat puas melihat kemajuan yang diperoleh gadis cantik ini.

“Bagus sekali, Wulandari. Tampaknya kau memang sangat berbakat. Gerakanmu demikian luwes dan teratur baik. Kalau kau sering berlatih, dalam waktu singkat siapapun akan kesulitan mencari lawan yang cocok untukmu...” puji Panji dengan wajah berseri.

Gerakan-gerakan silat yang dilakukan Wulandari tadi memang sangat mengagumkan. Sehingga, mau tidak mau Panji harus mengakui, betapa berbakatnya gadis cantik saudara sepupunya ini.

“Ah, Kakang tidak bersungguh-sungguh. Gerakanku tadi tentunya masih jelek dan kasar, tidak seperti kalau Kakang yang memainkannya. Kalau memang kurang bagus, mengapa harus disembunyikan, Kakang? Katakan saja terus terang, aku tidak akan marah...,” ujar Wulandari yang masih saja tampak ti-dak mempercayai pujian Panji.

Memang, Wulandari selalu tidak suka jika ada orang lain menyembunyikan hal yang sebenarnya. Tapi, terhadap Panji, gadis itu bukannya tidak percaya. Sesungguhnya ia terlalu manja dan selalu ingin mendengar pujian Panji.

Panji hanya tersenyum mendengar bantahan Wulandari. Gadis cantik itu, memang sangat manja kepadanya. Tapi, ada satu hal yang sangat disukai Panji dari Wulandari, yaitu gadis ini tidak pernah membantah suatu kebenaran, juga selalu mau mengikuti nasihatnya. Sifat itulah yang membuat Panji semakin bertambah sayang kepada Wulandari. Apalagi, pemuda tampan ini memang tidak mempunyai seorang pun adik.

Tentu saja kehadiran Wulandari dalam hidupnya membuat Panji menganggap gadis cantik putri pamannya itu sebagai adik kandungnya sendiri. Hal ini pun sering kali diungkapkannya kepada Wulandari dalam kesempatan mereka bercerita. Demikian pula halnya dengan Wulandari. Gadis ini juga menganggap Panji sebagai kakak kandungnya.

Wulandari memang mempunyai kakak kandung yang bernama Wira Buana, tapi kakak kandungnya itu telah tiada semenjak setahun yang lalu, sebelum kedatangan Panji yang sekarang ini. Itulah sebabnya, mengapa semenjak Panji tinggal di tempat kediaman pamannya hanya Wulandari yang menemaninya bermain silat dan melihat keindahan alam pedesaan.

Panji mengulurkan tangannya. Diacak-acaknya rambut Wulandari. Bibirnya terlihat tersenyum melihat mimik tidak puas di wajah gadis itu.

“Mengapa aku harus berbohong kepadamu, Adikku? Kalau itu kulakukan, tentunya aku sendirilah yang akan rugi. Sebab, apabila aku memuji gerakanmu, padahal sebenarnya gerakanmu buruk, bagaimana nanti bila kau bertemu dengan seorang lawan untuk kemudian kalah? Selain aku sendiri yang merasa malu, tentunya kau pun tidak luput dari celaka. Nah, dengan alasan ini kau masih menyangka aku akan berbohong...?”

Panji menarik tubuh gadis cantik itu ke dalam pelukannya. Sedangkan Wulandari sama sekali tidak berusaha untuk menghindar, tapi malah menyurukkan kepalanya ke dalam pelukan pemuda itu.

“Kakang...” panggil Wulandari yang masih menyembunyikan wajahnya di dada Panji.

“Hmmm...,” gumam Panji sambil menatap langit yang masih cerah.

“Kalau Kakang mempunyai seorang sahabat yang berwajah tampan, berhati lembut, dan penuh perhatian seperti Kakang, tolong kenalkan aku, ya...?” pinta gadis itu dengan wajah kemerahan. Terlihat Wulandari merasa malu juga untuk menyampaikan hal seperti ini, seberapa dekatnya pun dia dengan Panji.

Panji terdiam sejenak. Bibirnya mengulas senyum. Diketatkan pelukannya dengan penuh kasih. Lalu dia menyahuti ucapan Wulandari dengan suara berbisik lembut.

“Mengapa, Wulandari...?”

“Aku ingin mempunyai seorang pelindung seperti Kakang...,” desah Wulandari yang kini berani mengangkat kepalanya menatap wajah pemuda itu.

“Hush...” tukas Panji, bergurau. Keduanya terdiam sesaat. Panji menatap bola mata gadis di depannya.

“Kelak kau akan menemukan orang yang kau cintai tanpa harus membandingkannya denganku. Jika kau bertemu dengannya kelak, terimalah ia apa adanya dan jangan terlalu banyak menuntut. Dengan begitu, ia akan semakin sayang dan menaruh perhatian yang besar kepadamu...” jelas Panji,menasihati.

“Betul, Kakang...?” Wulandari masih belum percaya.

“Tentu saja betul. Sekarang, ayo kita pulang. Sebentar lagi hari akan senja...” ajak Panji sambil menarik tangan gadis itu agar tidak semakin terseret dalam lamunannya.

Wulandari tidak membantah. Gadis cantik ini mengikuti Panji dengan menggunakan ilmu larinya yang semakin tinggi setelah diajarkan pemuda itu.”

********************

TIGA

Suatu iring-iringan kereta kuda bergerak lambat menyusuri jalan lebar. Dilihat dari bentuknya yang cukup besar, jelas kereta-kereta itu merupakan kereta barang.

“Heyyys...!”

Kusir kereta terdepan yang berusia sekitar lima puluh tahun memecuti kuda-kudanya ketika roda kereta terjeblos dalam sebuah ceruk tanah yang cukup dalam. Namun, kedua ekor kuda yang menariknya hanya meringkik keras, karena tak mampu mengeluarkan roda. kereta yang terjeblos itu.

“Hayo, kuda-kuda tolol! Makan saja kalian kuat! Baru terjeblos ke lubang kecil saja, kereta ini tidak mampu kalian tarik! Apalagi terjeblos ke dalam jurang! Pasti tidak mungkin lagi kalian bisa menariknya...” Kusir kereta terdepan itu mengomel panjang pendek. Sedangkan tiga kereta yang berada di belakangnya segera berhenti, karena tidak bisa lewat. Selain itu, kereta terdepan memang merupakan pemimpin iring-iringan kecil itu.

“Sudahlah, tidak perlu ribut-ribut. Percuma saja kuda-kuda itu dimaki-maki.”

Terdengar suara lembut seorang lelaki empat puluh tahunan. Wajahnya bersih dan penampilannya tampak gagah. Sedangkan pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang pendeta agama. Pantaslah kalau nada bicaranya pun lembut. Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu melangkah turun. Rupanya ia berada di bagian belakang kereta yang tertutup rapat oleh kain lebar itu. Bersama dengannya, tampak masih ada beberapa orang lelaki, berusia tiga puluh sampai lima puluh tahun. Wajah mereka rata-rata menunjukkan kesabaran dan penuh pancaran kasih.

“Hayo, Paman, siap-siaplah menjalankan kereta...,” ujar lelaki gagah berpakaian pendeta itu sambil memegang bagian samping kereta.

“Satu... dua... ti... ga!”

Seiring dengan hitungan ketiga yang diserukan pendeta muda itu, kereta pun terangkat pada bagian yang terperosok. Sedangkan tubuh pendeta muda itu tampak bergetar dengan otot-otot lengan mengembung. Pendeta muda itu rupanya telah mengerahkan tenaga sakti dalam usaha mengangkat roda kereta dari dalam lubang.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, kusir kereta segera melecutkan cambuknya berkali-kali ke punggung kedua ekor kudanya pada waktu mendengar hitungan ketiga. Sebentar kemudian, roda kereta itu pun telah terbebas dari lubang yang menjeratnya.

“Wah..., tenagamu semakin hebat saja, Adi Walung. Rupanya kau telah memperoleh kemajuan yang pesat...,” puji salah seorang pendeta yang ada di dalam kereta itu.

Pujian yang diucapkan salah seorang pendeta itu memang tidak terlalu berlebihan. Sebab, selain menanggung beban barang, kereta itu pun masih mengangkut sekitar enam orang penumpang lagi. Tentu saja, terangkatnya roda kereta dengan beban seberat itu bukan merupakan hasil pekerjaan yang ringan.

“Ah..., kau terlalu memuji, Kakang Kalpa Wira. Kalau dibandingkan denganmu, tentu saja aku tidak ada apa-apanya,” sahut pendeta muda yang dipanggil dengan nama Adi Walung itu,merendah.

Pendeta yang dipanggil dengan nama Kalpa Wira hanya tertawa terkekeh. Tampaknya ia tidak mau membantah pujian yang dilontarkan terhadap dirinya. Tanpa banyak bicara lagi, Walung segera naik kembali ke atas kereta, yang terus bergerak menyusuri jalan lebar. Tiga kereta lainnya pun mulai bergerak mengikuti kereta terdepan. Tidak lama kemudian, rombongan itu pun tibalah di mulut Desa Pegatan.

Tapi, iring-iringan itu tidak diperbolehkan masuk ke dalam desa. Tampak di mulut desa telah berjaga-jaga belasan orang dalam keadaan waspada semenjak kejadian menggemparkan yang menimpa desa itu baru-baru ini. Ki Sangajilah yang telah memberi perintah untuk memperketat penjagaan. Dan, tanpa diperintah pun para penduduk sesungguhnya telah bertekad memperketat keamanan Desa Pegatan.

“Hm..., dapatkah kami berjumpa dengan kepala desa ini? Tolonglah, ada sesuatu yang sangat penting yang ingin kami sampaikan. Harap Kisanak berkenan mempertemukan kami dengan beliau...,” ujar Walung dengan sopan.

Tampaknya karena tidak diperbolehkan memasuki desa, Walung memutuskan untuk bertemu langsung dengan kepala desa. Dengan demikian, ia bisa membicarakan keperluannya dengan penguasa Desa Pegatan itu.

“Baiklah, satu orang saja. Yang lain tinggal di sini. Kalau tidak, terpaksa kami tidak akan memberikan izin kepada siapa pun untuk menemuinya...,” ujar seorang lelaki gagah yang menjadi pemimpin di batas desa itu. Kekerasan hatinya sama sekali tidak berubah, meskipun orang-orang yang dihadapinya adalah para pendeta.

Akhirnya Walung menganggukkan kepala dan melangkah mengikuti laki-laki anggota penjaga perbatasan. Pendeta muda itu segera dihadapkan kepada Kepala Desa Pegatan.

“Maaf, kalau kedatangan kami mengganggu ketenangan Ki Sangaji. Tapi, kami sangat memerlukan bantuan kepala desa. Jadi, kami datang menghadap untuk membicarakan hal itu...,” ujar Walung begitu bertemu dengan seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang masih terlihat gagah.

“Hm..., apa yang bisa aku bantu untuk kalian...?” tanya Ki Sangaji setelah memperhatikan pendeta muda itu sejenak.

“Kami ingin membuat tempat ibadah di sekitar daerah ini. Untuk itu, tentu saja kami memerlukan bantuanmu, Ki Sangaji. Sebab, tanpa izin darimu, sukar rasanya untuk mencari daerah yang baru. Untuk itu, kami mohon dengan sangat...”

Penuturan Walung terdengar cukup singkat dan jelas. Tapi Ki Sangaji tidak bisa memberi jawaban segera. Lelaki gagah itu termenung. Tampaknya ia tengah mencari keputusan yang tepat.

Walung duduk tenang menunggu. Lelaki muda berwajah bersih itu terlihat agak termenung memikir- kan jawaban yang bakal diterimanya. Ia hanya terus duduk menunggu tanpa berani mengganggu keasyikan Ki Sangaji yang tengah mencari jawaban bagi permohonannya tadi.

“Hm..., apa maksud kalian hendak membangun tempat ibadah di sekitar desa ini? Sedangkan didesa ini kalian tidak mempunyai seorang penganut pun. Lalu, di mana kalian hendak mendirikannya kira-kira. Kalian pasti sudah mengira-ngiranya, kan?” tanya Ki Sangaji, yang ingin mengetahui secara pasti tujuan orang-orang itu datang ke tempatnya.

“Sudah pasti untuk beribadah, Ki. Dan, kami berniat membuatnya agak ke ujung desa, agar tidak mengganggu Ki Sangaji dengan persoalan-persoalan kami. Untuk itu, kami mohon Ki Sangaji mau mengabulkannya...,” jelas Walung, berusaha membujuk Ki Sangaji.

Ki Sangaji kembali terdiam. Untuk kedua kalinya, Walung pun harus diam menunggu.

“Baiklah. Kami akan memberikan izin. Tapi ingat, aku akan selalu memeriksanya setiap hari. Untuk itu, kalian harus melaksanakannya dengan sungguh-sungguh,” tegas Ki Sangaji kemudian mengajukan persyaratan yang dianggap tidak terlalu berat

“Terima kasih, Ki. Semoga kau diberkahi...”

Dengan wajah cerah, Walung melangkah lebar ke arah mulut desa, tempat kawan-kawannya masih tinggal. Kemudian dia memberitahukan pada mereka untuk siap berangkat. Begitu pintu batas desa dibuka atas perintah Ki Sangaji, kereta-kereta itu pun bergerak menyusuri jalan utama Desa Pegatan, lalu melangkah pelan ke ujung desa.

“Sebentar, aku akan memeriksa kalian!”

Ki Sangaji yang sengaja menunggu di pinggir jalan, mengingatkan bahwa ia belum memeriksa semua isi kereta. Walung menganggukkan kepalanya sambil membungkukkan tubuh.

********************

Suasana malam yang hening, kembali mencekam Desa Pegatan. Meskipun di dalam keheningan itu Ki Sangaji dan para penduduk telah bersiap untuk mencegah terulangnya malapetaka, ternyata sosok berpakaian serba putih tetap muncul mencari korban. Kali ini sosok bayangan putih itu bergerak ke sebelah timur Desa Pegatan, tempat Ki Ganda Buana tinggal.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, sosok berpakaian serba putih berkelebatan cepat menuju Timur desa. Bahkan para peronda malam tidak melihat atau pun mendengarnya saat sosok bayangan putih itu melintas di atas mereka. Dari sini saja dapat diukur betapa hebat ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sebentar kemudian, tubuh pembunuh biadab itu lenyap di balik rumah salah seorang petani.

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba sosoknya telah berada di dalam sebuah kamar yang cukup luas. Di atas pembaringan dalam kamar itu tampak seraut wajah manis tengah terlelap. Sosok berpakaian serba putih itu tersenyum dingin. Kemudian, dia mengulurkan tangannya untuk memberikan sebuah totokan pelumpuh. Setelah itu, tubuhnya kembali berkelebat lenyap tanpa diketahui oleh seorang pun penghuni rumah.

Rupanya sosok berpakaian serba putih itu tidak segera meninggalkan desa, meskipun ia telah mendapatkan korbannya. Ia masih terus berkeliling memasuki rumah-rumah penduduk lainnya sambil memondong tubuh gadis tawanannya.

Sementara itu, tanpa setahu sosok berpakaian serba putih yang tengah berkelebatan sambil memondong gadis itu, ada sesosok bayangan putih lain yang membayanginya. Sosok bayangan putih kedua ini tampaknya sengaja menjaga jarak dan tidak segera menangkap ataupun memergoki penculik perawan itu. Dia terlihat terus membayangi, meskipun sesungguhnya dirinya merasa aneh melihat sosok berpakaian serba putih yang keluar masuk rumah-rumah penduduk dengan membawa-bawa tubuh gadis yang tertotok pingsan dibahunya.

Baru ketika sosok berpakaian serba putih melesat hendak meninggalkan desa, sosok berpakaian putih yang berada di belakangnya segera bergerak menambah kecepatan larinya. Kemudian, tampak tubuhnya berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum kakinya menjejakkan tanah di depan pencuri perawan yang memiliki cakar runcing mengerikan itu.

Sosok rambut panjang riap-riapan yang sebelah bahunya menyandang tubuh seorang gadis itu tampak terkejut. Dan, ia berusaha meloloskan diri dari kejaran sosok berjubah putih yang gerakannya demikian cepat bagaikan sambaran kilat di angkasa.

“Berhenti...!”

Disertai bentakan keras, sosok berjubah putih itu kembali melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. Kemudian, tubuhnya dijatuhkan tepat di depan sosok berpakaian serba putih yang menculik gadis desa itu.

“Bangsat! Mau apa kau? Siapa kau yang begitu berani menghalangiku? Menyingkirlah sebelum menyesal...!”

Sosok penculik putri petani itu mengancam dengan nada geram. Rupanya ia benar-benar jengkel melihat sosok berjubah putih yang ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak kalah dengan dirinya sendiri. Bahkan, sosok berpakaian serba putih mau tidak mau harus mengakui bahwa ilmu meringankan tubuh pengejarnya itu masih lebih tinggi beberapa tingkat. Tentu saja kenyataan ini membuatnya hampir tak percaya.

“Dengar, Kisanak. Siapa pun kau di balik penampilanmu yang seram ini, lebih baik menyerahlah atau hentikan kejahatanmu. Lebih baik kau pergunakan ilmu kepandaianmu untuk kebaikan. Percayalah, kau pasti akan merasa lebih tenteram ketimbang melakukan kebiadaban seperti sekarang ini...”

Sosok berjubah putih yang ternyata seorang pemuda tampan itu mencoba menasihati lawannya. Namun, yang didapat hanyalah tawa dingin dan dengusan kasar.

“Hm..., tidak perlu mengguruiku, Bocah! Sebaiknya kau memang harus diberi pelajaran biar kapok!” Baru saja ucapannya itu selesai, sosok yang memiliki sepasang cakar maut itu langsung mengulurkan cakar-cakarnya ke arah pemuda tampan itu.

Wuuuttt! Wuuuttt!

“Maaf, aku tidak memerlukan pelajaranmu” Sambil berkata demikian, pemuda tampan itu bergerak menghindar seraya menepiskan telapak tangannya. Sehingga, cakar maut lawan pun melenceng kearahnya.

“Hiaahhh...!

Zzeebbb!

Sebuah serangan balasan yang berupa tendangan kilat terlontar cepat mengancam perut lawannya. Tentu saja sosok berpakaian serba putih terkejut bukan main. Cepat ia bergerak mundur ke belakang dengan lompatan panjang. Tapi, pemuda berjubah putih itu tidak tinggal diam. Begitu tendangannya luput, tubuhnya terus meluncur melakukan pengejaran. Telapak tangannya yang juga membentuk cakar berkelebatan cepat susul-menyusul. Tentu saja serangan yang bagaikan gelombang badai di lautan itu membuat lawannya terdesak. Dan....

Plakkk!

“Uuuhhh...!”

Ternyata serangan itu hanya mengenai pangkal lengan lawannya. Dan, pada saat yang tepat cengkeraman cakar pemuda itu terlihat berubah menjadi hantaman telapak tangan, sehingga akibatnya tidaklah terlalu parah. Sosok tubuh berpakaian serba putih yang bertangan cakar runcing mengerikan itu hanya terjajar mundur beberapa langkah. Meskipun, ia sempat meringis merasakan kenyerian yang mengigit tulang.

“Bedebah! Kau... kau Pendekar Naga Putih...!?” seru sosok bercakar maut itu dengan suara terkejut. Rupanya ia baru dapat mengenali siapa lawannya setelah melihat gerakan pemuda itu, yang memang telah menggunakan jurus-jurus ‘Naga Sakti’nya.

“Benar. Untuk itulah petualanganmu harus diakhiri. Karena, orang sepertimu tidak akan pernah mengenal kata tobat,” desis sosok berjubah putih yang ternyata memang Panji itu. Panji kemudian melangkah perlahan-lahan dan bersiap melanjutkan pertarungan.

“Tunggu...!” cegah sosok berpakaian serba putih yang masih memondong gadis desa itu seraya melangkah mundur dan menatap Panji dengan sepasang ma- tanya yang tajam.

“Hm..., apa lagi yang hendak kau sampaikan, manusia licik. Atau kau ingin menyerahkan diri...?” tanya Panji menatap sorot mata lawannya dengan tidak kalah tajam.

“Hm..., bagaimana kalau kita adakan pertaruhan...?” Tiba-tiba saja terdengar ucapan aneh dari mulut sosok berpakaian serba putih.

Tentu saja kening Panji berkerut mendengarnya. “Pertaruhan...? Apa maksudnya, Kisanak...? Jangan bertele-tele. Aku tidak mempunyai banyak waktu untukmu...,” ujar Panji, yang kelihatan berpikir keras mencari tahu maksud ataupun arah pikiran lawannya.

“Benar. Aku bersedia bertarung denganmu dengan syarat yang ku ajukan ini. Jika kau menang, ambillah gadis ini, dan aku tidak akan pernah lagi kembali ke desa ini. Tapi, jika aku menang, kau harus pergi dari desa ini, Pendekar Naga Putih, dan tidak boleh kembali lagi. Bagaimana? Kalau kau takut, tak apalah. Segeralah kau pergi dari sini. Aku akan tetap merajai daerah sekitar Desa Pegatan. Dengan tidak menyambut tantanganku, berarti kau telah kalah, Pendekar Naga Putih!” ujar sosok berpakaian serba putih, mengajukan syarat seenaknya.

“Aku tidak menerima persyaratanmu dan tidak akan pernah bertaruh denganmu. Ingat, kita berada di tempat yang berbeda. Kau selalu mengumbar kejahatan dengan membunuhi dan mencelakai orang-orang yang tidak berdosa. Sedangkan aku berada di pihak yang mempunyai kewajiban mencegahmu. Dengan begitu, tanpa taruhan pun aku akan tetap mengusir atau bahkan membunuhmu. Peduli kau terima atau tidak. Nah, bersiaplah...,” desis Panji sambil melangkahkan kaki mengitari lawannya.

“Bangsat! Manusia Sombong! Apa kau kira aku takut kepadamu, Bocah Tengik! Berani-beraninya kau menantang si Cakar Setan! Lihatlah, akan kurobek-robek tubuhmu dengan cakarku...!” Cakar Setan segera menurunkan tubuh gadis yang dibawanya. Kemudian, kakinya melangkah maju dengan sepasang tangan runcingnya bergerak ke depan. Terdengar suara berdecitan saat dia memutar tangannya yang kini telah siap merencah tubuh lawannya.

“Hemmhhh...!” Sambil menggeram lirih, Cakar Setan mulai bergerak maju dengan langkah-langkah yang cepat dan bersilangan, sepasang tangannya yang meruncing dan berkilat tertimpa cahaya rembulan bergerak kian kemari menimbulkan decitan angin yang menulikan telinga. Jelas, sosok berpakaian serba putih itu telah siap mengerahkan tenaga dalamnya setelah mengetahui siapa lawannya.

Demikian pula halnya dengan Panji. Pemuda itu pun sudah bergerak maju dengan sekujur tubuh yang terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Sepasang tangannya yang sudah membentuk cakar naga tampak berkelabatan menimbulkan sambaran angin mencicit tajam. Rupanya Pendekar Naga Putih pun tidak ingin menganggap enteng lawannya. Sebab, biar pun belum mengenal betul si Cakar Setan. Panji sadar bahwa lawannya ini sebenarnya memang memiliki kepandaian yang tinggi, yang terlihat dari gerak-gerik ataupun serangannya ketika bertarung beberapa jurus tadi. Untuk itu, Pendekar Naga Putih harus berhati-hati. Apalagi, di pihak lawannya masih ada seorang gadis tawanan. Mungkin saja, dalam keadaan terdesak, Cakar Setan akan menggunakan gadis itu sebagai sandera.

“Yiiaaat...!”

“Haaiiittt...!”

Sebentar kemudian, kedua sosok tubuh yang sama-sama berupa bayangan putih itu pun saling menggempur dengan hebatnya. Ilmu meringankan tubuh mereka yang hampir seimbang membuat kelebatan-kelebatan tubuh keduanya bagaikan kilatan cahaya putih. Apalagi, tubuh Panji memang mengeluarkan pendaran sinar putih keperakan. Tentu saja, dilihat secara sepintas, pertarungan itu merupakan sebuah pertunjukan yang sangat menarik. Tapi, bagi tokoh-tokoh berpengalaman, pandangannya tentu akan lain lagi.

“Heeaattt...!”

Untuk kesekian kalinya, kembali Cakar Setan membentak nyaring. Sepasang cakar bajanya bergerak kian kemari mengincar tubuh Pendekar Naga Putih. Namun, pemuda tampan itu selalu dapat menghindari serangan lawan dan bahkan membalasnya pada waktu yang tepat Sehingga, meskipun Panji kelihatan agak terdesak, justru Cakar Setan lah yang selalu kelabakan setiap kali menerima serangan balasan dari Pendekar Naga Putih.

“Heeaaahhh...!”

Hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih yang mengancam dada lawannya berhasil dielakkan. Tapi, Panji tidak berhenti sampai di situ. Sepasang cakar naganya yang terkadang berubah bentuk itu terus mencecar Cakar Setan hingga makin terdesak.

Breettt!

“Aakkhhh...!” Cakar Setan memekik kesakitan. Tubuhnya melintir ketika ia tidak dapat lagi menghindari sambaran cakar naga Panji. Namun, lagi-lagi tokoh sesat itu tidak kehabisan akal. Dengan tubuh yang pura-pura limbung, Cakar Setan segera mengangkat tubuh gadis yang tadi diletakkannya begitu saja. Kemudian, dengan pengerahan tenaga dalamnya, dilemparkannya tubuh gadis itu keudara.

“Huak hak hak...! Kau tangkaplah aku, Pendekar Naga Putih, dan tubuh gadis tak berdosa itu akan hancur berantakan” Sambil berkata demikian, Cakar Setan melangkah meninggalkan tempat itu. Kemudian sosoknya langsung berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.

“Keparat licik...!”

Panji hanya bisa memaki karena ia tidak mungkin membiarkan tubuh gadis itu terbanting hancur. Akhirnya, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk menolongnya. Sekali menjejak tanah, tubuh Panji langsung melambung ke udara. Kemudian ditangkapnya tubuh gadis yang masih pingsan itu dan dibawanya melayang turun.

EMPAT

Tepat pada saat tubuh Panji meluncur turun dengan tubuh gadis dalam pondonganya, sejarak dua tombak dari dirinya tampak sinar terang yang disusul dengan munculnya para peronda desa. Rupanya mereka mendengar suara ribut-ribut dan segera langsung bergegas mencari sumber suara itu. Kemunculan mereka yang bertepatan dengan sosok Panji yang menggendong seorang gadis tentu saja menimbulkan prasangka yang tidak pernah terduga oleh Panji sebelumnya.

“Kepung manusia iblis itu...!”

Terdengar suara perintah yang bergaung. Sebentar kemudian, tubuh Panji telah terkurung dalam lingkaran puluhan orang peronda Desa Pegatan. Tentu saja kenyataan ini membuat Panji terkejut.

“Tahan...! Kalian salah mengenali orang. Aku bukanlah orang yang kalian maksudkan...!” ujar Panji, berusaha menjelaskan persoalan yang sebenarnya.

Tapi, para peronda desa yang pernah melihat sosok berjubah putih tentu saja tidak mau mendengarkan omongan pemuda itu. Segalanya sudah tampak jelas bagi orang-orang itu. Di depan mereka kini berdiri sosok berjubah putih bersama seorang gadis dalam pondongannya. Bahkan, pada saat itu rambut Panji tampak agak berantakan. Sehingga, para peronda Desa Pegatan itu tak mau mengerti walaupun Panji berusaha menerangkan keadaan yang sebenarnya.

“Ayo, tangkap iblis keji itu...!”

Seorang lelaki bertubuh sedang yang memiliki sepasang mata tajam bagai mata elang segera saja memberi perintah. Dan, tanpa diperintah dua kali, para peronda Desa Pegatan pun serentak menghambur dengan senjata terhunus ke arah Pendekar Naga Putih. Sedangkan Panji menjadi semakin bertambah geram terhadap Cakar Setan. Jelas, iblis licik itulah yang telah membuatnya susah.

“Yeeaaa...!”

Diiringi teriakan-teriakan yang membahana, hujan senjata pun tidak lagi dapat dicegah oleh Panji. Belasan batang pedang para peronda desa datang dengan suara berdesing-desing. Panji, yang khawatir kalau gadis dalam pondongannya terluka, segera berlompatan menghindari serangan senjata-senjata itu. Sayang, ke mana pun Panji mengelak, selalu saja ada sambaran senjata tajam yang mengancam tubuhnya.

Pemuda itu pun terpaksa mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk melindungi kulit tubuhnya dari luka bacokan pedang. Dan, munculnya kabut putih keperakan yang berpendar menyelubungi tubuh Pendekar Naga Putih dan gadis dalam pondongannya sempat memancing berbagai seruan dari orang-orang desa yang mengeroyoknya.

“Aaahhh...!?” Beberapa pengeroyok terdekat yang berada dalam jarak setengah tombak dari Panji langsung berlarian mundur. Mereka tampak ketakutan melihat lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menebarkan hawa dingin menggigit tulang. Sedangkan para pengeroyok yang sempat menghindarkan diri terlihat berja- tuhan dengan tubuh menggigil.

“Mundur...! Iblis itu mulai menggunakan ilmu sihirnya...!”

Lelaki bertubuh sedang bermata setajam elang rupanya menjadi pemimpin para peronda Desa Pegatan segera berteriak memerintahkan kawan-kawannya untuk mundur. Karena, lapisan kabut berhawa dingin yang muncul dari dalam tubuh Pendekar Naga Putih telah membuat para pengepungnya porak poranda. Sedangkan lelaki bermata elang itu sendiri bergerak maju dengan ditemani beberapa peronda lainnya. Tampak, mereka yang memiliki tenaga dalam cukup tinggi untuk melawan pengaruh hawa dingin itu mem- beranikan diri menghadapi Panji yang dianggap seba- gai pembunuh keji.

“Sahabat, tahan senjata kalian! Dengarkanlah dahulu kata-kataku. Setelah itu, barulah kalian boleh menyerangku ”

Panji kembali mencoba menyadarkan para peronda desa dengan menyuruh mereka mendengarkan penjelasannya lebih dulu. Tapi, tak seorang pun yang mau mendengarkan kata-kata Pendekar Naga Putih. Sebab, pada saat mereka menemukan Panji, penampilan pemuda itu memang sangat mirip dengan Cakar Setan yang telah banyak memakan korban. Kalaupun ada beberapa perbedaan, mana mau orang-orang desa itu memusingkannya.

“Tidak perlu banyak cakap lagi, Iblis Keji! Sebaiknya kau serahkan wanita itu pada kami. Setelah itu, mungkin aku akan mendengarkan kata-katamu”

Lelaki bermata elang yang menjadi pemimpin para peronda Desa Pegatan mencoba membujuk Panji yang disangkanya sebagai iblis jahat. Tentu saja lelaki gagah ini mengharapkan pemuda itu dapat terbujuk dan menyerahkan gadis dalam pondongannya.

“Jangan khawatir, Kisanak. Gadis yang kutolong dari cengkeraman pembunuh keji ini sama sekali tidak terluka. Ia hanya pingsan terkena totokan. Nah, kau sambutlah tubuh gadis ini...”

Panji yang sedikit lega mendengar janji lelaki gagah bermata elang itu segera saja menuruti perintah tadi. Dilemparkannya tubuh gadis yang tengah tak sadarkan diri itu kepada para peronda Desa Pegatan.

“Huuppp!”

Dengan gerakan yang tangkas, lelaki gagah bermata elang segera menyambut tubuh gadis itu. Kemudian, tubuhnya kembali melayang turun dengan gerakan yang ringan. Wajah lelaki gagah bermata elang itu tampak berbinar gembira, karena ia dapat membujuk pemuda yang dianggapnya sebagai iblis keji itu untuk menyerahkan wanita yang ditawannya.

“Nah, sekarang kuharap kalian mau percaya dan mendengarkan keteranganku”

Tapi, baru saja Panji hendak menerangkan persoalan yang sebenarnya, tiba-tiba lelaki gagah bermata elang itu menukas cepat,

“Ayo, bunuh pemuda iblis itu. Jangan biarkan dia lolos!” Setelah berseru demikian, lelaki bermata elang itu sendiri langsung mencabut kembali senjata yang sempat disimpannya saat menangkap gadis yang dilemparkan Panji.

“Kurang ajar! Apa artinya ini, Kisanak? Mengapa kau mengingkari kata-katamu? Keparat! Ternyata kau bukanlah orang gagah yang lebih bersedia mati daripada harus menjilat ludahnya sendiri,” umpat Panji. Pendekar Naga Putih tampak geram karena merasa dibohongi oleh lelaki gagah bermata elang. Benar-benar ia tidak mengerti, kenapa orang itu sampai berbuat demikian.

“Cuhh! Jangan menyebut-nyebut orang gagah, Iblis Keji! Kami orang-orang gagah memang patut di- percaya. Tapi, kami tidak akan pernah mau mempercayai iblis terkutuk sepertimu. Kami pun tidak bodoh untuk kau tipu mentah-mentah...,” sahut lelaki gagah bermata elang, yang memang belum mempercayai Panji, atau bahkan mungkin tidak akan pernah percaya pada keterangan pemuda itu.

Panji tersentak mendengar ejekan lelaki itu. Namun, ia segera menyadari kedudukannya saat ini. Ucapan lelaki gagah bermata elang memang tidak salah. Jangankan lelaki itu yang hanya seorang kepala peronda desa. Panji sendiri, kalau berada di pihak lelaki dihadapannya ini, tidak akan mau percaya pada keterangannya sendiri, sebab sama sekali tidak ada bukti yang mendukungnya.

“Yeeaaat..! Mampus kau, Iblis Terkutuk...!” Lelaki gagah bermata elang memulai serangan dengan kelebatan pedangnya. Senjata di tangan lelaki gagah itu berdesing mengancam beberapa bagian tubuh Panji dengan gerakan yang cepat dan kuat

Beuuuttt! Wuueett..!

Namun, serangan yang sebenarnya sangat berbahaya itu, ternyata belum apa-apa bagi Pendekar Naga Putih. Bagi Panji, gerakan lelaki itu masih terlalu lambat dan tidak terlalu sulit untuk diatasi. Tapi, bukan itu yang tengah dipikirkannya. Ia hendak mencari jalan untuk meloloskan diri tanpa harus melukai para peronda desa itu. Sebab, biar bagaimanapun, menurut Panji, orang-orang itu sama sekali tidak bersalah. Mereka hanya tidak tahu. Dan, Panji pun harus memaafkannya.

“Heeaatt..!”

Wuuut! Beeet! Beeet!

Belasan senjata kembali berkeredepan dari segala penjuru mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi, Panji sama sekali tidak merasa gentar. Cepat bagaikan kilat, tubuh pemuda itu berkelebatan di antara sambaran belasan batang pedang pengeroyoknya. Dan, ternyata tak satu pun senjata yang mampu melukai tubuhnya. Jangankan mengenai, menyerempet pun tidak. Tentu saja semua itu tidak aneh. Sebab, ilmu meringankan tubuh Pendekar Naga Putih memang tidak ada bandingannya dalam dunia persilatan.

Setelah merasa terbebas dari kurungan sinar pedang, Panji terus melompat jauh dan langsung melarikan diri menerobos kegelapan malam. Maka para pengeroyoknya hanya bisa berdiri bengong, menatap tempat yang kosong ditinggalkan pemuda itu.

“Aku kenal pemuda itu. Kalau tidak salah, ia tinggal di kediaman Ki Ganda Buana. Dan, kegemparan ini terjadi semenjak pemuda itu tinggal di Desa Pegatan. Jelas, dialah pelaku dari semua kejadian yang menimpa desa kita...” kata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun yang bertubuh tegap kepada lelaki gagah bermata elang, yang tampak lega mendengar keterangan pemuda itu.

“Jadi, Tuan Muda Gutawa pernah melihatnya...?” tanya lelaki gagah bermata elang sambil menatap tajam wajah pemuda yang ternyata adalah putra Ki Sangaji, Kepala Desa Pegatan.

“Benar. Aku pernah melihatnya setelah peristiwa terbantainya Juragan Wanaba. Saat itu dia ada bersama putri Ki Ganda Buana yang bernama Wulandari,” jelas Gutawa lagi dengan sorot mata memancarkan kebencian.

“Hm..., kalau begitu, besok pagi kita geledah tempat kediaman Ki Ganda Buana. Biarpun orang tua itu merupakan orang terpandang di desa kita, kita tetap harus bertindak...” ujar lelaki gagah bermata elang yang dikenal dengan nama Ki Bawung Sati. Setelah berkata demikian, Ki Bawung Sati segera mengajak kawannya kembali meronda Desa Pegatan.

********************

Matahari pagi baru saja muncul menampakkan kekuasaannya. Cahayanya masih redup dan belum menyinari bumi secara merata. Dalam suasana seperti itu, serombongan lelaki bergerak menuju tempat kediaman Ki Ganda Buana. Mereka dipimpin oleh seorang lelaki gagah yang merupakan kepala keamanan Desa Pegatan. Di sebelah kanan lelaki gagah itu, terlihat seorang pemuda bertubuh tegap yang melangkah agak terburu-buru. Tampaknya pemuda itulah yang paling berkepentingan dalam masalah ini. Sorot matanya tajam dengan kilatan kebencian dan dendam.

Tidak berapa lama kemudian, tibalah rombongan yang terdiri dari sekitar lima puluh orang itu di depan rumah Ki Ganda Buana. Bawung Sati, lelaki gagah bermata elang yang bertindak sebagai pemimpin orang-orang itu segera saja mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat untuk berhenti. Ia sendiri kemudian melangkah beberapa tindak mendekati pintu utama rumah besar itu.

“Ki Ganda Buana, keluar kau...! Kami utusan Ki Sangaji ingin bertemu...!” Teriakan lelaki gagah bermata elang itu bergaung, karena disertai dengan pengerahan tenaga dalamnya. Dan, gaung suara Bawung Sati ini tentu saja terdengar hingga ke dalam rumah.

Tidak lama kemudian, muncullah Ki Ganda Buana, Wulandari dan Panji. Ketiganya tampak melangkah tenang menghampiri rombongan keamanan desa yangdisertai beberapa belas orang penduduk yang ikut bergabung. Ki Ganda Buana melangkah maju beberapa tindak mendekati Bawung Sati. Sedangkan Panji dan Wulandari dicegah oleh orang tua itu agar tidak mengikutinya. Sehingga, baik Panji maupun Wulandari hanya dapat menatap dari jarak dua tombak.

“Ah, Ki Bawung Sati, selamat datang. Ada keperluan apakah hingga sepagi ini kau sudah datang berkunjung? Dan, mengapa membawa orang begitu banyak? Apakah keperluanmu itu begitu penting hingga melibatkan banyak orang...?” tanya Ki Ganda Buana setelah menyapa lelaki gagah itu dengan sedikit menghormat. Padahal sesungguhnya Ki Ganda Buana telah mengetahui, apa keinginan Ki Bawung Sati dan orang-orangnya. Karena, Panji telah menceritakan semua peristiwa yang dialaminya semalam kepada ayah Wulandari ini.

“Hm..., maaf kalau kedatanganku sepagi ini membuatmu terkejut, Ki Ganda Buana. Baiklah, langsung saja ku utarakan maksud kedatanganku. Aku ingin agar kau menyerahkan pemuda berjubah putih itu kepadaku! Karena, semua kejadian yang menimpa Desa Pegatan adalah akibat ulahnya. Kau tidak perlu mungkir lagi. Aku telah menangkap basah pemuda iblis itu semalam...” Ki Bawung Sati langsung saja menyatakan keperluannya tanpa basa-basi. Sehingga, Ki Ganda Buana mengerutkan keningnya dalam-dalam. Jelas, orang tua itu tentu berpihak kepada Panji.

“Ki Bawung Sati, harap kau teliti dulu sebelum menjatuhkan tuduhanmu. Sebab, keponakanku sama sekali tidak melakukan segala perbuatan yang kau tuduhkan itu. Dan, tahukah kau, siapa adanya pemuda yang kau tuduh sebagai orang jahat ini...?” ujar Ki Ganda Buana dengan nada yang tetap tenang.

“Kami tidak peduli siapa pun adanya pemuda itu! Yang jelas, ia telah bersalah dan patut dihukum gantung! Kalau kau tidak bersedia menyerahkannya, kami terpaksa akan menggunakan kekerasan...!” Gutawa, yang semenjak tadi menatap sosok Panji dengan penuh kebencian, berkata dengan nada penuh emosi. Tentu saja ucapan ini membuat Ki Ganda Buana agak tersinggung.

“Ki Bawung Sati dan para sahabat sekalian, kalian ingin tahu, siapa adanya pemuda yang kalian tuduh sebagai penjahat keji ini? Dia adalah seorang pendekar besar yang namanya telah menggetarkan rimba persilatan. Adakah di antara kalian yang belum mengenal nama Pendekar Naga Putih...?” ujar Ki Ganda Buana lagi tanpa memperdulikan ucapan Gutawa, bahkan sama sekali tidak memandangnya.

“Hahh...?” Ki Ganda Buana, maksudmu pemuda itu adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?” desah Ki Bawung Sati dengan wajah agak pucat.

Tentu saja lelaki gagah bermata elang itu telah mendengar nama Pendekar Naga Putih. Semalam pun sebenarnya ia telah merasa curiga ketika melihat kabut bersinar putih keperakan yang menyelubungi tubuh pemuda itu. Tapi, karena suasananya tidak tepat, tentu saja Ki Bawung Sati segera mengusir dugaannya sendiri. Dan, kali ini Ki Bawung Sati benar-benar terkejut. Ditatapinya wajah dan penampilan pemuda yang berdiri tenang di belakang Ki Ganda Buana. Lelaki gagah bermata elang itu yakin, semua ciri-ciri Pendekar Naga Putih memang ada pada pemuda tampan berjubah putih itu.

“Tapi... tapi...” Ki Bawung Sati sampai tidak bisa berbicara lagi. Ia tampaknya benar-benar terpukul oleh kejadian semalam. Ia telah menuduh pendekar besar itu, bahkan sempat pula memaki-makinya dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Teringat kesabaran yang diperlihatkannya semalam, sadarlah Ki Bawung Sati bahwa pemuda yang berdiri dengan tenang agak jauh di hadapannya ini adalah Pendekar Naga Putih.

“Tidak bisa!” Tiba-tiba Gutawa membentak keras hingga mengejutkan semua orang yang berada di tempat itu. Secara serempak semua mata menoleh dan langsung memandang Gutawa dengan sinar mata penuh pertanyaan.

“Apa maksudmu Gutawa...?” tanya Ki Bawung Sati, dengan sorot mata yang menunjukkan rasa heran.

“Siapa pun pemuda itu adanya, dia tetap merupakan seorang manusia keji yang berlindung di balik kependekarannya. Dan aku sama sekali tidak takut! Kita harus tetap membawa dia untuk dihukum, Ki. Jangan kau terpengaruh hanya karena pemuda itu merupakan seorang pendekar besar yang disanjung banyak orang. Biar bagaimanapun, kita telah melihat buktinya sendiri semalam. Lalu, apa lagi yang kita ragukan...?” ujar Gutawa, yang masih berkeras tidak mau menarik tuduhannya terhadap Panji. Sesungguhnya semua itu diucapkan Gutawa karena ia memang merasa benci kepada Panji semenjak pertama kali melihatnya.

Namun, terlihat Panji sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-kata penuh emosi tadi. Dan, Panji pun langsung teringat pada sepasang mata penuh kebencian yang disaksikannya ketika Kepala Desa Pegatan tengah berbicara tentang kejadian yang menimpa keluarga Juragan Wanaba. Setelah mengenali pemuda yang berkata keras tadi, Panji melangkahkan kakinya dengan sikap yang tetap tenang mendekati pemuda itu. Sehingga, Gutawa segera mencabut pedang di pinggangnya. Rupanya ia mengira Panji akan menyerangnya.

“Sabar, Gutawa...,” cegah Panji sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Pendekar Naga Putih rupanya ingin menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud untuk berkelahi. Meskipun demikian, Gutawa tetap menggenggam pedangnya erat-erat dengan sorot mata tajam menikam jantung.

“Hm..., meskipun kau adalah seorang pendekar besar yang berjuluk Pendekar Naga Putih, aku tidak takut menghadapimu! Menurutku, kau tetap manusia keji yang bersembunyi di balik nama besarmu. Dengan nama besar itu, tentu tak seorang pun yang akan pernah menduga kalau penjahat keji yang selama beberapa hari ini berkeliaran di Desa Pegatan adalah Pendekar Naga Putih...,” desis Gutawa.

“Gutawa! Jagamulutmu...!” Karena merasa terkejut, Ki Bawung Sati sampai membentak Gutawa begitu saja. Tampaknya orang tua itu khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Putih menjadi marah dan menghajar putra kepala desanya.

“Paman, kalau memang gentar menghadapi Pendekar Naga Putih, tidak mengapa. Tapi, jangan coba kau mempengaruhiku. Aku tetap berkeyakinan bahwa pemuda inilah yang menjadi biang keladi semua kegemparan di Desa Pegatan...,” tegas Gutawa.

Entah, masalah apa yang membuat Gutawa demikian membenci Panji. Sementara itu, Panji tetap tersenyum sabar menatap pemuda itu. Sebagai orang yang banyak pengalaman, Pendekar Naga Putih sadar bahwa kebencian Gutawa bukan semata-mata disebabkan oleh peristiwa yang terjadi di Desa Pegatan, tapi oleh suatu masalah pribadi yang mulai bisa teraba.

“Gutawa, semua apa yang kau ucapkan sama sekali tidak salah. Tapi, tentu saja kalau kau memang berdiri pada jalan kebenaran,” ujar Panji dengan wajah tetap tenang dan bibir tersenyum.

Gutawa tampak menjadi salah tingkah melihat tatapan Panji yang seperti bisa membaca isi hatinya. “Apa maksudmu, Pendekar Naga Putih...?” Dalam kegugupannya, Gutawa sampai terlupa hingga ia menyebut nama julukan Panji. Tentu saja ucapan itu membuat senyum Panji semakin merekah.

“Maksudku, janganlah kau membenciku karena persoalan pribadi,” jawab Panji dengan tenang. “Aku tidak ingin menjelaskannya di tempat ini. Tapi, kalau kau ingin berbicara secara pribadi denganku, tentu saja aku tidak akan menolak”

Gutawa merasa ditelanjangi isi hatinya menjadi merah padam wajahnya karena malu. Jelas Panji telah tahu, apa sebabnya putra kepala desa itu membencinya. Maka, tanpa banyak cakap lagi, Gutawa bergegas meninggalkan kediaman Ki Ganda Buana tanpa pamit kepada siapa pun. Tapi, meski hanya sekilas, Panji sempat melihat pemuda itu melirik khawatir ke arah Wulandari.

“Kami mohon maaf, Ki, Pendekar Naga Putih.... Mungkin malam nanti aku akan berkunjung lagi dalam suasana yang lebih baik ,” kata Ki Bawung Sati. Lelaki gagah bermata elang itu pun segera saja berpamitan begitu melihat putra kepala desanya telah bergegas tanpa diketahui sebabnya.

Ki Ganda Buana dan Panji menganggukkan kepala ketika Ki Bawung Sati berpamitan. Mereka menatapi kepergian rombongan itu dengan perasaan lega karena masalahnya telah bisa diselesaikan.

********************

LIMA

Matahari siang itu memancar terik. Sinarnya yang kuning keemasan menerobos dedaunan memanggang permukaan bumi. Namun, dua orang lelaki gagah yang tengah melangkah tegap sama sekali tidak merasa terganggu oleh teriknya sang Mentari. Mereka terlihat begitu terburu-buru menuju sebelah Timur Desa Pegatan. Tidak berapa lama kemudian, langkah kedua orang itu pun mulai memasuki sebuah rumah besar yang halaman sebelah kirinya dipenuhi pepohonan bambu kuning.

“Selamat datang, Ki Sangaji, Ki Bawung Sati,” sambut seorang lelaki gagah kira-kira berusia lima puluh tahunan, dengan nada bersahabat. “Mari, silakan masuk”

Dua orang lelaki gagah yang ternyata memang Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati itu membalas penghormatan tuan rumah yang tidak lain dari Ki Ganda Buana. Segera saja keduanya bergegas mengikuti Ki Ganda Buana memasuki ruang tengah.

“Maaf mengenai kejadian pagi tadi yang mungkin telah mengganggu ketenanganmu, Ganda Buana. Hm...., kalau kau tidak keberatan, aku ingin bertemu dengan keponakanmu yang kabarnya berjuluk Pendekar Naga Putih...,” Ki Sangaji langsung saja mengutarakan maksud kedatangannya setelah basa-basi sebentar.

“Ah, tidak perlu terlalu dipikirkan, Kakang Sangaji. Kesalahpahaman itu tentu saja merupakan hal yang wajar. Tapi, kalau Kakang hendak berjumpa dengan Pendekar Naga Putih sendiri, tunggulah sebentar. Dia sedang melatih adiknya, Wulandari. Mungkin sebentar lagi selesai...,” ujar Ki Ganda Buana.

“Kalau begitu, biarlah kami tunggu..,” sahut Ki Sangaji. Baru beberapa saat Ki Sangaji memutuskan untuk menunggu, terdengarlah langkah-langkah dua orang mendatangi ruang tengah, tempat ketiga tokoh itu berkumpul.

Panji dan Wulandari muncul di ambang pintu dengan wajah cerah. Keduanya mengangguk hormat ke arah Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati yang segera berdiri menyambut kedatangan pemuda tampan itu. Panji pun segera mengambil tempat di antara ketiga lelaki gagah itu.

“Maaf kalau kedatangan kami telah membuatmu terganggu, Pendekar Naga Putih.... Dan, harap engkau tidak sakit hati dengan sikap kasar orang-orangku dalam beberapa hari ini...,” kata Ki Sangaji sambil menatap sosok di hadapannya dengan penuh kekaguman. Ki Sangaji yang semula merasa ragu mendengar keterangan Ki Bawung Sati, kini benar-benar gembira begitu melihat sosok Pendekar Naga Putih. Sebab, penampilan pemuda itu memang mengingatkan Ki Sangaji akan ciri-ciri Pendekar Naga Putih.

“Ah, jangan terlalu dipikirkan, Ki. Aku pun tidak menyalahkan Ki Bawung Sati dan yang lainnya. Sebab, mereka menemukan aku memang persis di malam kejadian itu. Dan, pada saat itu ada seorang gadis dalam pondonganku. Apalagi, warna pakaian dan potongan tubuhku tidak jauh berbeda dengan Cakar Setan. Wajar kalau mereka melemparkan tuduhan itu kepadaku...,” jelas Panji yang memang sama sekali tidak merasa kecewa ataupun dendam terhadap Ki Bawung Sati dan orang-orang Desa Pegatan lainnya.

“Terima kasih atas pengertianmu, Panji. Selain itu, aku ingin juga memberitahukan bahwa ternyata tidak hanya sekedar penculikan terhadap gadis yang kau tolong itu. Tapi, tadi pagi, setelah kepergian Ki Bawung Sati dan yang lainnya ke tempat ini, aku menerima laporan empat orang wargaku. Putri mereka yang rata-rata berusia sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun telah tewas dalam keadaan yang benar-benar mengerikan. Aah..., malang sekali nasib gadis-gadis yang tak berdosa itu. Mereka tewas tanpa setetes pun darah yang masih tersisa di tubuhnya. Semuanya habis terhisap oleh makhluk biadab yang sempat kau pergoki itu...! Benar-benar keji!” desis Ki Sangaji.

Kepala Desa Pegatan itu menundukkan wajahnya yang terlihat jelas menggambarkan kedukaan. Sedangkan Panji tampak terkejut begitu mendengarnya.

“Hm...,” Gumam lirih Panji menatap kedepan. Pendekar Naga Putih teringat ketika membayangi pembunuh keji itu semalam. Saat itu, meskipun dalam pondongan sosok berpakaian putih itu telah ada tubuh gadis yang dibawanya, terlihat ia masih memasuki rumah-rumah penduduk dan keluar lagi tanpa membawa gadis lain. Rupanya manusia licik itu telah membunuh korbannya dengan cara menghisap seluruh darah di tubuh mereka.

“Kurang ajar....!” desis Panji tanpa sadar bahwa saat itu ia berada bersama Ki Sangaji, Ki Bawung Sati, dan Ki Ganda Buana. Tentu saja desis kemarahan Pendekar Naga Putih membuat ketiga tokoh itu tersentak kaget.

“Ada apa, Panji...?” Ki Ganda Buana langsung mencekal lengan Panji ketika melihat pemuda itu seperti merenung.

“Ah, tidak ada apa-apa, Paman. Aku hanya teringat kejadian semalam. Betapa iblis keji itu telah mengecohku, hingga aku tertangkap basah seperti pencuri oleh Ki Bawung Sati dan para penduduk desa lainnya, sahut Panji seraya tersenyum. Kemudian Pendekar Naga Putih menoleh ke arah Ki Sangaji.

“Kata Ki Sangaji tadi, gadis-gadis tewas tanpa setetes pun darah yang tersisa di dalam tubuhnya. Lalu, adakah tanda-tanda luka di tubuh gadis-gadis yang tewas itu...?”

“Hm..., ya. Aku menemukan luka yang kau maksudkan itu. Tapi, hanya berupa dua buah tanda kecil seperti bekas tusukan jarum pada bagian lehernya. Mungkinkah makhluk yang kau temukan itu merupakan iblis peminum darah...?” Ki Sangaji balas bertanya, karena ia memang merasa sangat bingung dalam menghadapi kejadian beberapa hari ini yang telah meminta korban beberapa nyawa gadis desanya.

“Aneh...,” desah Panji setelah mendengar penjelasan Ki Sangaji tentang tanda-tanda luka yang terdapat pada leher korban. Pendekar Naga Putih menduga, tidak mungkin kalau pembunuh yang dipergokinya semalam merupakan iblis peminum darah. Kalau memang betul, mengapa gadis itu tidak dibunuhnya? Ataukah ada pembunuh lain yang menghisap darah korbannya?

Melihat Pendekar Naga Putih kembali termenung setelah mendengar keterangan Ki Sangaji, ketiga tokoh itu tampak berpandangan dengan wajah bodoh. Tentu saja mereka tidak tahu, apa yang tengah dipikirkan Panji saat itu.

“Hm..., Pendekar Naga Putih...,” panggil Ki Sangaji hati-hati, seperti enggan mengganggu lamunan pemuda itu. Sebab, mungkin saja Panji tengah berusaha menyingkap rahasia pembunuhan keempat gadis yang baru diceritakannya itu.

“Ya..,” sahut Panji sambil menolehkan kepalanya ke arah Ki Sangaji. Ketenangan wajah dan sorot mata Pendekar Naga Putih membuat Kepala Desa Pegatan semakin bertambah kagum. Pemuda tampan berjubah putih itu sama sekali tidak tampak terpengaruh, meskipun Ki Sangaji dan dua tokoh lainnya terlihat berwajah tegang karena sama-sama menduga ada seorang pembunuh baru lagi yang berkeliaran di Desa Pegatan.

“Kedatanganku kemari sebenarnya hendak meminta bantuanmu untuk menangani masalah ini. Kami harap, kau tidak keberatan. Dan semoga kau juga tidak sakit hati dengan kejadian yang tidak mengenakkan di antara kita sebelum ini...” Ki Sangaji akhirnya menyampaikan juga, apa tujuan kedatangannya ke tempat Ki Ganda Buana.

“Tentu saja aku bersedia, Ki. Menurutku, persoalan ini bukan saja merupakan tanggung jawab kepala desa ataupun tetua desa lainnya. Tapi, justru merupakan kewajiban kita semua yang merasa terganggu dengan kejadian-kejadian seperti ini. Aku akan berusaha semampu ku. Mudah-mudahan saja semua kejadian ini dapat kita selesaikan bersama-sama...,” jawab Pendekar Naga Putih tanpa nada kesombongan sedikit pun.

Ucapan Pendekar Naga Putih terdengar agak merendah. Sehingga, baik Ki Sangaji maupun Ki Bawung Sati semakin bertambah kagum terhadap kebesaran hati pemuda itu. Semakin lama berbicara dengan Pendekar Naga Putih, semakin yakinlah mereka bahwa pemuda itu memang pantas dikagumi dan disanjung oleh tokoh-tokoh rimba persilatan.

Selain sikapnya selalu tenang, Panji pun memiliki kesabaran yang tinggi dan pandangan yang luas. Lega hati Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati setelah mendengar jawaban Panji. Mereka pun berpamitan pada saat hari menjelang sore. Tentu saja semua rencana telah mereka atur bersama-sama. Terlihat tadi, Ki Ganda Buana pun begitu bersemangat ingin membantu menyelesaikan masalah ini.

********************

Ketika malam telah datang dan kegelapan merata menyelimuti permukaan bumi Desa Pegatan, Panji keluar dari tempat kediaman pamannya. Pemuda itu berharap, pembunuh yang pernah dipergokinya itu muncul kembali. Meskipun harapan itu sangat tipis, Panji tidak berkecil hati. Memang, bukan tidak mungkin pembunuh keji itu menghentikan tindakan jahatnya setelah dipergokinya semalam.

Panji berputar-putar meronda desa. Hatinya sedikit lega ketika pada sudut-sudut yang dianggap rawan, pemuda itu banyak melihat peronda yang berjaga-jaga. Bahkan, tampak lebih banyak peronda desa yang berkeliling malam ini dibanding hari-hari sebelumnya. Mereka bergerombol dalam jumlah cukup banyak dengan membawa kentongan yang akan dibunyikan sebagai tanda apabila bertemu dengan orang-orang yang mencurigakan.

Rupanya, Pendekar Naga Putih yang ikut menangani persoalan ini membuat para keamanan desa semakin bertambah berani. Sebab, mereka telah merasakan sendiri betapa hebatnya kepandaian pemuda itu. Mereka tidak perlu merasa takut apabila bertemu dengan pembunuh yang berkeliaran di Desa Pegatan.

Pendekar Naga Putih berputar hingga ke ujung Selatan desa. Dalam kegelapan yang semakin pekat karena cahaya rembulan terhalang awan hitam, Panji terus bergerak tanpa merasa bosan. Ketika hampir tiba di ujung Desa Pegatan sebelah Selatan, pemuda itu bergerak merunduk di semak-semak. Sepasang mtanya yang tajam memandang lurus ke arah depannya.

“Hm..., iblis itu rupanya kali ini membawa kawan-kawannya. Mungkinkah kedua temannya itu melakukan pembunuhan dengan cara menghisap darah korban...?” desah Panji saat pandangannya menangkap tiga sosok bayangan yang bergerak menuju tengah desa.

Tubuh Pendekar Naga Putih kemudian bergerak cepat memotong jalan tiga sosok berjubah putih yang dilihatnya. Dan, ketiga sosok bayangan putih yang bergerak menuju ke tengah Desa Pegatan sama-sama menahan langkahnya saat melihat sosok bayangan putih lain berdiri tegak menghadang jalan mereka. Jelas, pemuda tampan berjubah putih itu memang sengaja menghadang.

“Hm.., selamat bertemu lagi Cakar Setan. Rupanya kali ini kau membawa serta dua orang rekanmu. Kau takut untuk melakukan kejahatan sendirian, bukan...?” sapa Panji saat ketiga sosok bayangan putih menghentikan langkah dalam jarak sekitar dua tombak dari dirinya. Sinar bulan yang tampaknya tidak lagi terhalang awan hitam menyoroti wajah ketiga sosok bayangan putih. Meskipun tidak terlalu jelas, rupanya Panji dapat melihat sosok mereka.

Lelaki tegap yang bercakar baja runcing sepanjang satu jengkal pada kedua jari tangannya itu tampak menatap Panji dengan sorot mata penuh dendam. Jelas bahwa kejadian semalam yang membuat dirinya hampir dipecundangi pemuda itu menjadikannya sakit hati dan ingin segera membalas.

Sementara itu dua sosok bayangan putih di kiri kanan Cakar Setan ikut pula menatap Panji dengan sorot mata tajam. Wajah keduanya hampir tidak jauh berbeda dengan Cakar Setan. Panji menduga, usia keduanya sekitar empat puluh tahun. Rambut mereka yang hitam tampak tergerai jatuh di atas bahu. Rupanya ketiga orang pembunuh itu memang sengaja berdandan mirip satu sama lain. Hal ini membuat Panji menduga, adanya kelompok orang sesat yang bersembunyi di sekitar daerah Desa Pegatan.

“Pendekar Naga Putih, desis Cakar Setan dengan suara menggetar penuh kegeraman, “Namamu boleh jadi ditakuti oleh tokoh-tokoh persilatan. Tapi, kami akan menamatkan petualanganmu malam ini”

Cakar Setan segera bergerak mendekati Panji. Dan, kedua orang berpakaian putih lainnya ikut bergerak menyebar ke kiri kanan. Di tangan mereka masing-masing telah menggenggam senjata berbentuk aneh. Orang kedua Cakar Setan berwajah putih. Jelas sekali kalau orang itu menggunakan cat agar wajahnya tidak begitu dikenali. Di tangan kanannya, tergenggam sebuah senjata berupa golok bergerigi tajam. Sedangkan wajah orang ketiga memakai cat merah. Senjata yang tergenggam di tangan kanannya berupa sebuah bola berduri yang diikat dengan tali. Kini ketiganya telah mengepung Panji dari tiga penjuru.

“Hm...” Panji hanya bergumam melihat lawannya mengepung dan siap menggempurnya. Pemuda itu terlihat sama sekali tidak menyentuh senjatanya. Hal ini bukan dikarenakan ia menganggap lawannya enteng. Tapi, selama ini Pendekar Naga Putih memang jarang sekali menggunakan pedangnya kalau tidak betul-betul merasa perlu. Kali ini pun, Panji memutuskan untuk menghadapi lawannya dengan tangan kosong.

Whuuuk! Whuuuk!

Bandul besi berduri di tangan sosok berwajah merah berputar di atas kepalanya hingga menimbulkan suara mengaung-ngaung bising. Orang sesat itu bergerak dengan langkah-langkah menyilang mendekati Pendekar Naga Putih. Sedangkan Cakar Setan bergerak dari sebelah depan. Cakar baja di tangannya menimbulkan suara ribut ketika tokoh itu menggerakkan jarinya membuka dan menutup. Jelas, hal itu dimaksudkan untuk membuyarkan pikiran lawan, karena bisa dipastikan siapa pun akan terpana melihat bentuk senjata yang mengerikan itu.

“Yeeaatt...!”

Pembunuh bermuka putih bergerak melesat sambil memutar-mutar golok bergeriginya sedemikian rupa. Suara mengaung tajam mengiringi datangnya serangan orang sesat itu. Pada saat yang hampir bersamaan, pembunuh bermuka merah telah pula membuka serangan dengan bandul berduri di tangannya. Senjata itu siap meluncur ke arah batok kepala Pendekar Naga Putih. Kalau saja senjata itu sampai mengenai sasarannya, otak Panji pasti akan berceceran ditanah.

Demikian pula halnya dengan Cakar Setan. Senjata cakar baja di tangannya berdecit-decit saat tokoh sesat itu bergerak maju dari arah depan Panji. Senjata itu terus bergerak kian kemari dengan kecepatan yang sulit ditangkap dengan mata biasa. Kilatan cahayanya yang tertimpa sinar rembulan membuat pandangan lawan akan sulit untuk menangkap dari mana datangnya serangan sepasang cakar baja itu.

“Hm...” Sambil bergumam dengan sepasang mata yang tak lepas menatap ketiga lawannya, Panji menarik mundur kaki kanannya dengan kuda-kuda rendah. Tangan kanannya bergerak melewati wajahnya dalam bentuk cakar. Sedangkan tangan kirinya yang juga berbentuk cakar bergerak turun secara bersamaan. Itulah jurus pembukaan yang keenam dari ‘Ilmu Silat Naga Sakti’ yang menjadi andalan Pendekar Naga Putih.

Wuuut! Wuuut! Wuuut!

Dengan langkah pendek dalam kedudukan telapak kaki menjinjit, Pendekar Naga Putih melangkah maju diiringi sambaran cakarnya yang menyelubungi tubuh pemuda itu, membentuk sebuah benteng hawa dingin yang kokoh.

Swiinggg!

Panji menarik tubuhnya ke samping kanan saat serangan golok bergerigi datang menyambar tubuhnya dari sebelah kiri. Lolos dari ancaman golok pembunuh bermuka putih, bandul berduri dari sebelah kanan datang mengincar batok kepala pemuda itu. Dan, pada saat yang hampir bersamaan, Cakar Setan melontarkan sambaran cakar bajanya dengan suara mengaung.

“Heeaahhh!”

Sikap Panji dalam menyambut kedua serangan pengeroyoknya itu sempat membuat kening lawan-lawannya berkerut. Sebab, biasanya lawan akan bergerak menghindar apabila datang serangan. Dan, pasti lawan akan melakukannya dengan mundur ke belakang atau menggeser tubuhnya ke samping. Tapi, yang dilakukan Pendekar Naga Putih justru sangat berlawanan. Tubuh pemuda itu malah bergerak ke depan menyongsong sambaran cakar baja lawannya.

Tentu saja gerakan pemuda itu membuat Cakar Setan terkejut. Sebab, pada saat cakar bajanya hampir menyentuh lawan, Pendekar Naga Putih mengegos secara tiba-tiba, yang tentu saja di luar dugaan. Belum lagi Cakar Setan menyadari serangannya yang luput, tubuh Panji sudah melenting ke atas menekuk kedua kakinya hingga melekat di dada.

“Yiiaahhh...!”

Dari sebelah atas, panji mengarahkan cakar kanannya ke batok kepala Cakar Setan. Lelaki bertubuh sedang itu menjadi terkejut. Sebab, dari suara sambaran cakar pemuda itu, Cakar Setan bisa menduga, pasti batok kepalanya akan remuk apabila ia tidak segera menyelamatkan diri.

Wuueettt...!

Rupanya nasib Cakar Setan masih beruntung. Dengan menggulingkan tubuhnya ke tanah, serangan lawan pun luput dan hanya mengenai angin kosong. Panji sendiri, yang masih hendak melanjutkan serangannya, terpaksa menahan langkah ketika bola berduri dari pembunuh bermuka merah datang meluncur mengancam dadanya.

“Haaiittt...!”

Tubuh Pendekar Naga Putih melenting dan berjumpalitan melampaui luncuran bandul berduri yang mengerikan itu. Dan, baru saja kedua kakinya menyentuh permukaan tanah, sambaran golok bergerigi dari pembunuh bermuka putih datang mengaung membabat ke arah kedua kakinya. Panji pun harus kembali melenting ke udara guna menghindari ancaman maut itu.

Pertarungan terlihat semakin seru dan mendebarkan. Ketiga pembunuh itu kelihatannya sangat bernafsu untuk membunuh Pendekar Naga Putih. Panji sendiri tentu saja tidak sudi jika tubuhnya dijadikan sasaran senjata lawan-lawannya. Pemuda itu bergerak cepat dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang memang sukar dicari bandingannya.

Meskipun hanya menggunakan tangan kosong, Panji sama sekali tidak kelihatan terdesak. Malah, ia sudah mulai membagi-bagikan serangannya yang disertai suara mencicit tajam. Jelas bahwa pemuda itu telah mengerahkan tenaga saktinya untuk mengimbangi ketiga orang lawannya yang memang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Ketiga pengeroyoknya pun tampak tidak berani menganggap remeh setiap serangan yang dilontarkan Pendekar Naga Putih.

ENAM

“Haiiit...!”

Pertarungan seru yang telah berlangsung dari lima puluh jurus itu tampaknya membuat Cakar Setan semakin penasaran. Maka, seiring dengan teriakannya, tubuh tokoh sesat itu meluncur deras disertai sambaran cakar bajanya yang susul menyusul.

Bwettt! Bwettt!

“Hm...” Panji menggumam lirih melihat serangan maut itu. Segera saja pemuda itu menarik kedua tangannya dalam keadaan menyilang di depan dada. Dan, begitu serangan lawan datang, Pendekar Naga Putih langsung menyambut dengan dorongan kedua telapak tangannya.

Whuttt! Bressshhh...!

“Aaahhh...!”

Hebat sekali benturan keras yang terjadi ketika sepasang tangan Panji tepat menyambut datangnya serangan lawan. Cakar Setan langsung memekik tertahan dengan tubuh terdorong ke belakang hingga sejauh dua tombak lebih. Wajahnya tampak pucat dan berkerut-kerut menahan sakit pada bagian dalam tubuhnya

“Huaakkhhh...!”

Segumpal darah segar yang kental menyembur keluar dari mulut Cakar Setan. Rupanya hal inilah yang menyebabkan wajahnya tampak berkerut-kerut Jelas bahwa tokoh sesat itu telah mengalami luka parah akibat dorongan telapak tangan lawannya. Bahkan, tubuhnya terlihat masih menggigil, karena hawa dingin yang menusuk tulang telah menyerap masuk.

Untungnya saat itu Cakar Setan tidak sendirian menghadapi Panji. Kalau tidak, mungkin nyawanya tidak akan berumur panjang. Sebab, Panji yang saat itu siap melontarkan pukulan mautnya untuk mengakhiri riwayat Cakar Setan terpaksa menunda serangannya. Sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang semula siap merenggut nyawa Cakar Setan segera beralih begitu melihat sambaran golok bergerigi dan bandul berduri telah mengancam dari dua arah.

Whuttt...! Whunggg...!

“Yeahhh...!”

Kedua senjata maut itu berhasil dielakkan Panji dengan menggeser tubuhnya dalam kuda-kuda rendah. Sesaat setelah kedua senjata itu lewat, tubuh pemuda itu langsung bergerak dengan geseran langkah cepat yang mengejutkan. Pembunuh bermuka putih yang melihat tubuh Pendekar Naga Putih bergerak ke arahnya segera menyambut dengan tebasan golok.

Namun, Panji telah memperhitungkan hal itu masak-masak. Begitu serangan golok lawan datang menyam- butnya, dengan cepat Panji merendahkan tubuh. Kemudian, tangan kirinya dikibaskan menepis pergelangan tangan pembunuh bermuka putih. Lalu, hantaman telapak tangan kanannya langsung dilontarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Plakkk! Deesss...!

“Aaakkhhh...!”

Terdengar teriakan parau ketika telapak tangan Panji telak menggedor dada pembunuh itu. Akibatnya, tubuh tokoh sesat itu terlempar diiringi jerit kematian, lalu terbanting jatuh ke tanah dengan suara berdebum. Untuk beberapa saat lamanya, tubuh pembunuh bermuka putih tampak berselimut lapisan kabut putih keperakan. Itulah suatu tanda hantaman telapak tangan Panji mengandung ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ tingkat tinggi, yang bisa menewaskan lawan.

“Aahhh...!?”

Pembunuh bermuka merah terkejut bukan main melihat kawannya tewas dengan tubuh kaku terselimut kabut Kenyataan seperti ini tentu saja tidak pernah terbayang di benaknya.

“Bangsat! Kau harus membayar mahal kematian kawanku, Pendekar Naga Putih...!” teriak pembunuh bermuka merah sambil memutar-mutar bandul berdurinya di atas kepala.

“Heaattt...!”

Dibarengi teriakan yang menggelegar, pembunuh bermuka merah melontarkan bandul berdurinya ke arah Pendekar Naga Putih.

Whuuung!

Senjata mengerikan itu terdengar mengaung bagaikan suara sekelompok lebah yang sedang marah, kemudian meluncur turun ke arah Panji.

Buuummm...!

Debu mengepul tinggi seiring dengan debumam jatuhnya senjata maut itu. Ternyata Panji telah lebih dulu lompat ke samping. Sehingga, bola berduri itu hanya menghantam tanah tempat Panji berpijak tadi.

“Bedebah...! Kali ini kau tidak akan luput lagi dari kematian...!”ujar pembunuh bermuka merah, kesal. Diawali teriakan nyaring, pembunuh bermuka merah kembali memutar bandulnya.

“Hm...” Panji menggumam lirih melihat datangnya kembali serangan lawan. Kali ini pemuda itu tampak sama sekali tidak berniat menghindarkan diri. Dengan tatapan tajam, Panji menanti datangnya bandul berduri yang berderu mengancam tubuhnya.

Whuuunng!

Senjata maut itu kembali mengaung menuju sasarannya. Panji tetap tenang. Ditunggunya kedatangan senjata maut itu dengan tatapan tajam.

“Heaattt!”

Pada saat bandul tinggal sejengkal di depan kepalanya, Panji merunduk dengan gerakan secepat kilat. Kemudian, dengan hentakan keras, tangan kanannya menangkap rantai yang mengikat senjata maut itu.

Wrrttt...!

Begitu rantai bandul berduri melibat di dalam lengannya, Panji menyentakkannya sambil berteriak nyaring.

“Heaaahhh...!”

“Hekkk...!”

Pembunuh bermuka merah tampak terkejut bukan main menyaksikan perbuatan pemuda itu. Segera ia memaku kuda-kudanya di atas tanah begitu merasakan ada sentakan yang membetot tubuhnya.

“Aaahhh...!?”

Bukan main kagetnya tokoh sesat itu ketika tubuhnya masih juga tertarik ke depan. Meskipun ia telah menggunakan ilmu untuk memberatkan tubuh, ternyata Panji tetap dapat menariknya ke depan. Tubuh tokoh sesat itu terus bergerak ke depan tanpa mampu dicegah. Guratan-guratan sedalam satu jengkal tampak jelas di atas tanah karena pembunuh bermuka merah itu berusaha menanamkan kaki- kakinya ke dalam bumi. Kekuatan tenaganya memang masih berada jauh di bawah Panji. Sehingga, tetap saja ia tidak mampu mempertahankan diri.

Namun nasib pembunuh bermuka merah rupanya masih lebih beruntung ketimbang pembunuh bermuka putih. Sebab, pada saat yang gawat itu, Cakar Setan telah bangkit kembali langsung menerjang dengan cakar-cakar bajanya untuk menyelamatkan rekannya.

“Yeaaattt...!”

Diiringi teriakan panjang, tubuh Cakar Setan meluncur dengan cakar-cakar mautnya ke arah Pendekar Naga Putih. Panji pun bukan tidak sadar akan keadaannya yang cukup sulit ini. Dengan disertai sebuah bentakan mengguntur, pemuda itu menyentakkan rantai yang melibat tangannya dengan sekuat tenaga.

“Yeaaahhh...!”

Bukan main hebatnya akibat yang terjadi dari hentakan keras Pendekar Naga Putih kali ini. Tubuh pembunuh bermuka merah yang semula masih mencoba bertahan langsung terangkat naik dan meluncur deras ke arah Cakar Setan. Rupanya Pendekar Naga Putih hendak menggunakan tubuh lawannya itu untuk menghadang serangan Cakar Setan.

“Aaaa...!” Pembunuh bermuka merah berteriak ngeri sambil memejamkan kedua matanya. Jelas, ia merasa ketakutan melihat tubuhnya meluncur deras tanpa dapat dicegah lagi.

Bukan hanya pembunuh bermuka merah yang merasa ketakutan. Cakar Setan pun membelalak begitu melihat tubuh kawannya meluncur menyambut cakar-cakar bajanya. Karena tidak mungkin menarik kembali serangannya, Cakar Setan segera menekuk cakar bajanya kedalam.

Blaggg...!

Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh pembunuh bermuka merah membentur punggung tangan Cakar Setan. Keduanya telah menarik kembali serangannya, tentu saja benturan itu tidak membuat keduanya terluka dalam. Sehingga, begitu terjatuh, mereka kembali segera bangkit dengan cepat.

“Lari...!” Sadar bahwa mereka tidak mungkin menang menghadapi Pendekar Naga Putih, Cakar Setan segera mengajak pembunuh bermuka merah untuk meninggalkan lawannya. Tubuh keduanya pun langsung melesat meninggalkan tempat itu. Sebelumnya, terlihat Cakar Setan menaburkan bubuk berwarna hijau ke tubuh mayat pembunuh bermuka putih.

“Berhenti...! Mau lari ke mana kalian, Bangsat- bangsat Keji...!” Pendekar Naga Putih yang tidak ingin melihat pembunuh-pembunuh itu lolos, segera berlari melakukan pengejaran. Tubuhnya melesat bagai melebihi sambaran kilat.

Karena tingkat ilmu lari Pendekar Naga Putih itu memang masih berada di atas lawan-lawannya. Maka, dalam waktu yang tidak terlalu lama, jarak di antara mereka pun sudah semakin dekat. Sekali lompatan lagi, Pendekar Naga Putih berhasil menghadang kedua lawannya. Cakar Setan pun bukan tidak tahu akan hal itu. Secepat kilat, tiba-tiba tubuhnya membalik dan tangannya langsung mengibas ke arah Panji.

Whuuusss...!

Terkejut juga Panji begitu melihat bubuk berwarna hijau bagaikan gumpalan kabut telah menghadang larinya.

“Aaahhh...!?” Panji menahan langkahnya ketika dadanya terasa sesak akibat bubuk berwarna hijau itu terhisap melalui hidungnya. Pendekar Naga Putih pun terpaksa menghentikan pengejaran terhadap lawan-lawannya.

********************

Sementara itu, tidak jauh dari tempat Panji menahan sakit dalam dadanya, terdengar derap langkah bergemuruh mendatangi tempat pertarungan maut tadi. Rupanya pertempuran itu sempat terdengar oleh orang-orang yang tengah meronda desa. Sebentar kemudian, terlihat cahaya obor yang terang benderang mengusir kegelapan di tempat bekas pertarungan. Tiga orang lelaki gagah yang tidak lain adalah Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati tampak memimpin para penjaga keamanan desa mendatangi tempat itu.

“Hm..., Pendekar Naga Putih rupanya berhasil memergoki pembunuh itu. Tapi, ke mana perginya pemuda itu sekarang...?” desah Ki Sangaji sambil menatap sesosok tubuh berpakaian putih yang tergeletak tak bernyawa.

Namun, ketika tubuh mayat berpakaian putih itu hendak diperiksa oleh Ki Bawung Sati, tiba-tiba saja Ki Ganda Buana berteriak mencegah. Sebab, orang tua gagah itu sempat melihat adanya lapisan asap tipis yang mengepul dari tubuh mayat.

“Jangan mendekat...!” Sambil berkata demikian, Ki Ganda Buana cepat-cepat menarik tubuh Ki Bawung Sati agar menjauhi mayat berpakaian serba putih itu.

Dan, semua orang yang berada di tempat itu sama-sama membelalakkan mata saat melihat kepulan asap yang berasal dari tubuh mayat itu semakin menebal dan menebarkan bau busuk yang menyengat.

“Mundur...!” Ki Ganda Buana kembali berseru memperingatkan yang lainnya agar menjauhi mayat itu.

Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati sama-sama membelalakkan mata begitu menyaksikan apa yang tengah terjadi dengan sosok mayat itu. Kepulan asap yang semakin menebal kini diiringi bunyi seperti air mendidih. Kemudian, tubuh mayat itu sendiri tampak mulai basah berlendir. Lendir-lendir itu lalu membentuk gelembung-gelembung seperti air yang tengah masak.

“Awaaass...!” Untuk ketiga kalinya, Ki Ganda Buana berteriak. Orang tua itu mengembangkan tangannya dan langsung bergerak mundur. Orang-orang lainnya pun terdorong mundur semakin menjauhi mayat yang sangat mengerikan itu.

Gelembung-gelembung lendir itu kemudian meletup-letup menimbulkan ledakan-ledakan kecil. Untunglah Ki Ganda Buana telah menarik mundur semua orang yang berada di belakangnya. Kalau tidak, mungkin akan ada di antara mereka yang terkena lendir kehijauan yang berpercikan ke segala arah itu.

“Gila...!” desis Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati hampir bersamaan.

Tubuh mayat yang semula utuh itu kini hanya tinggal seonggok tulang yang tidak mungkin bisa dikenali lagi. Rupanya bubuk yang ditebarkan Cakar Setan sebelum melarikan diri tadi memang dimaksudkan untuk menghapus jejak agar mereka tidak bisa dikenali lagi. Mayat pembunuh bermuka putih benar-benar lenyap dan kini berganti dengan cairan hijau berbau busuk dan seonggok tulang. Baik kulit daging maupun pakaian pembunuh bermuka putih telah mencair akibat terkena racun ganas si Cakar Setan.

“Aahhh...!” Teriakan parau yang jelas keluar dari mulut seseorang yang sedang merasa kesakitan tiba-tiba terdengar menggetarkan keheningan malan.

Ki Ganda Buana dan orang-orang yang lainnya terkejut dengan dada berdebar tegang. Baik Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, maupun Ki Bawung Sati rupanya tahu teriakan itu adalah suara Pendekar Naga Putih. Ketiganya tampak saling bertukar pandang dengan hati berdebar tegang. Seperti mendapat perintah, ketiga tokoh itu segera melesat ke arah sumber jeritan memilukan itu. Dan, tanpa diperintah lagi para peronda yang lainnya pun segera mengikuti ketiga orang pemimpin mereka.

“Panji...!?” Ki Ganda Buana, yang melihat tubuh Panji bergerak limbung bagaikan orang mabuk, bergegas menghampiri. Jelas bahwa orang tua itu sangat cemas melihat keadaan keponakan yang telah dianggapnya sebagai putra kandung sendiri itu.

“Pendekar Naga Putih!?”

Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati pun tidak kalah terkejutnya begitu melihat keadaan Panji yang seperti orang kesetanan itu. Segera saja mereka mengiringi Ki Ganda Buana yang tengah bergerak mendekat.

“Jangan mendekat!”

Ketika jarak ketiga tokoh Desa Pegatan itu tinggal dua tombak lagi dari Panji tiba-tiba pendekar muda itu berseru mencegah. Kedua tangannya tampak dikibas- kibaskan menyuruh mereka segera menjauhinya. Tentu saja ketiga orang itu menjadi semakin bingung. Apa lagi, saat itu tubuh Panji tampak merah membara, dengan hawa panas menebar hingga sejarak satu setengah tombak. Bahkan, kedua tangan pemuda itu mengibas dengan maksud mencegah mereka mendekatinya, ada sambaran angin panas yang membuat ketiganya tersentak kaget.

Tanpa diperintahkan dua kali, Ki Ganda Buana dan yang lainnya segera saja bergerak mundur menjauhi pemuda itu. Untung saja yang maju mendekat tadi hanya ketiga orang yang memiliki tenaga sakti untuk menahan hawa panas kibasan tangan Panji. Kalau saja tenaga dalam mereka belum kuat betul, ketiganya tentu akan tewas terkena hawa panas yang luar biasa itu.

Ki Ganda Buana dan yang lainnya memandang sosok Panji dengan hati tegang. Mereka hanya dapat menatap bingung tanpa tahu harus berbuat apa. Dan, mereka pun tidak tahu, apa yang saat itu tengah dialami Pendekar Naga Putih. Bahkan, mereka merasa ngeri melihat tubuh Pendekar Naga Putih yang berkobaran api itu.

“Kakang Panji...!”

Tiba-tiba saja terdengar suara nyaring yang mengejutkan semua orang yang berada di tempat itu. Secara serentak, mereka berpaling ke arah asal suara nyaring itu.

“Wulandari...!?” Ki Ganda Buana, yang mengenali sosok putrinya, langsung menghambur menyambut kedatangan seorang gadis cantik yang ternyata adalah putrinya sendiri. Tentu saja orang tua itu menjadi heran melihat kehadiran Wulandari.

“Ayah..., apa yang terjadi dengan Kakang Panji...? Mengapa Ayah tidak berusaha menolongnya...?”

Wulandari meronta hendak melepaskan diri dari ayahnya. Hatinya cemas bukan main melihat tubuh Panji seperti terbakar itu. Tapi yang membuat Wulandari heran, api itu justru tidak membakar Panji. Api itu terlihat hanya berkobar di luar tubuh Pendekar Naga Putih.

“Tenanglah, Wulandari. Ayah pun tidak tahu, apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan kakangmu itu. Kami semua pun baru saja tiba dan melihat keadaannya sudah demikian. Ketika Ayah dan yang lainnya hendak mendekat, Panji malah menyuruh agar kami menjauh. Ah, mudah-mudahan saja ia selamat. Berdoalah, Anakku...,” ujar Ki Ganda Buana dengan perasaan yang juga sangat cemas.

“Ayah..., aku takut Kakang Panji akan mati...” Wulandari menangis sambil menyandarkan kepalanya di dada Ki Ganda Buana. Orang tua itu pun sibuk menghibur anaknya yang tinggal seorang ini.

“Aarrrkkhhh...!”

Untuk kesekian kalinya, terdengar Panji meraung dahsyat. Ki Ganda Buana dan tokoh lainnya terjajar limbung. Bahkan, Wulandari sampai jatuh terduduk dengan wajah pucat. Sedangkan para keamanan desa lainnya terbanting pingsan akibat mendengar teriakan dahsyat tadi. Seiring dengan teriakan dahsyat itu, api yang mengelilingi tubuh Pendekar Naga Putih kian berkobar, untuk kemudian mengecil dan lenyap. Panji sendiri jatuh terduduk bagai orang yang tidak lagi mempunyai tulang.

“Kakang...!” Tanpa dapat dicegah lagi, Wulandari berlari menghambur ke arah Panji. Gadis itu sama sekali tidak merasa takut. Rasa takut akan kehilangan Panji tampaknya jauh lebih besar daripada rasa takutnya akan kematiannya sendiri.

Panji mengangkat kepalanya dan mencoba tersenyum ketika mengenali Wulandari. Pemuda itu membiarkan saja ketika Wulandari menubruk dan menangis di dadanya. “Tenanglah, Adikku. Bahaya sudah lewat. Aku tidak apa-apa,” bisik Panji seraya membelai rambut gadis itu dengan penuh kasih. Hatinya sempat merasa terharu melihat kekhawatiran Wulandari terhadap keselamatannya.

“Aku takut kehilanganmu, Kakang...” sahut Wulandari di sela-sela isak tangisnya yang terputus-putus.

“Apa sebenarnya yang sudah terjadi, Panji? Kami sungguh tidak mengerti dengan kejadian barusan...?” Ki Ganda Buana yang sudah duduk di dekat putri dan keponakannya itu menatap Panji dengan mata menuntut jawaban.

Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati juga telah duduk di dekat pemuda itu. Mereka sama-sama memandang dan menunggu keterangan Pendekar Naga Putih sehubungan dengan peristiwa yang baru mereka saksikan tadi.

“Tidak perlu cemas, Paman. Ketika aku tengah mengejar Cakar Setan dan kawannya, tiba-tiba saja manusia licik itu berbalik dan langsung menaburkan bubuk beracun yang sangat ganas ke tubuhku. Tenaga saktiku yang biasanya mampu memusnahkan segala jenis racun rupanya belum terbiasa dengan racun yang amat ganas itu. Sehingga, untuk memusnahkannya, aku membutuhkan waktu yang cukup lama. Aku pun sedikit tersiksa tadi. Hehh... untunglah bahaya sudah lewat...” desah Panji lega.

Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar keterangan Pendekar Naga Putih. Meskipun tidak begitu paham akan keterangan Panji, setidaknya mereka telah dapat meraba, apa yang telah menimpa pemuda itu.

“Panji, tadi aku melihat mayat orang berpakaian putih meleleh hancur hingga tubuhnya hanya tinggal berupa cairan hijau berbau busuk dan seonggok tulang. Kami pun tidak mengerti dengan kejadian itu,” ujar Ki Ganda Buana.

“Yahhh...,” racun itu pulalah yang telah ditebarkan ke tubuhku oleh si Cakar Setan...,” desah Panji, agak kecewa.

“Lebih baik kita kembali saja ke desa sekarang. Kita pikirkan langkah berikutnya...”

Akhirnya Ki Sangaji, yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan, membuka suara dengan nada mengingatkan. Semua orang yang berada di tempat itu langsung saja menyetujuinya. Mereka tentu saja ingin menghilangkan rasa tegang setelah mengetahui kejadian yang mengerikan itu.

Panji merangkul tubuh Wulandari yang masih saja tidak mau melepaskan pelukannya. Keduanya pun melangkah sambil berangkulan. Sebentar kemudian, tempat itu pun kembali sunyi.

********************

TUJUJ

Seorang pemuda bertubuh tegap melangkah lambat menyusuri tanah berumput tebal. Kepalanya tampak tertunduk dengan ayunan langkah lesu. Sesekali tangannya mengambil batu-batu kecil di bawah kakinya. Dengan hentakan napas berat, dilontarkannya batu itu sejauh-jauhnya. Ia seolah-olah ingin melontarkan perasaan gundah di hatinya.

Setibanya di tepian sungai, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di bawah pohon rindang. Beberapa orang gadis yang tengah mencuci menoleh ke arahnya sambil tersenyum-senyum genit. Jelas bahwa mereka telah mengenal baik pemuda itu. Bahkan, beberapa di antara gadis itu tampak saling berbisik membicarakannya.

Ketika matahari sudah beranjak naik, gadis-gadis yang telah menyelesaikan pekerjaannya segera bergegas naik ke atas sungai. Rupanya mereka hendak pulang. Pada saat lewat di dekat pemuda tampan bertubuh tegap itu, mereka menoleh dan mengangguk hormat, kemudian berlalu cepat-cepat seraya tertawa-tawa genit. Tapi, tampaknya pemuda itu sama sekali tidak peduli. Setelah membalas anggukan gadis-gadis yang hendak kembali ke desa itu, pandangannya kembali beralih ke sungai.

Di pinggiran sungai masih ada empat gadis lagi yang tengah mencuci. Dua di antaranya kemudian bergerak bangkit dan meninggalkan sungai. Tidak berapa lama setelah itu, dua gadis yang lainnya bergegas pula hendak meninggalkan sungai. Pemuda tegap berwajah tampan itu bergerak bangkit ketika melihat dua gadis terakhir hendak berangkat pulang.

“Sumi...,” panggil pemuda itu kepada salah seorang dari kedua gadis yang lewat dan mengangguk hormat kepadanya. Gadis berwajah manis berkulit kuning langsat yang dipanggil dengan nama Sumi menoleh tersipu.

“Aku duluan, Sumi. Mari, Kakang Gutawa...” Gadis yang satunya lagi, yang merasa tidak diperlukan, segera berpamitan kepada keduanya. Kemudian Kakinya berlari-lari kecil agar dapat menyusul teman-temannya.

“Kau takut tinggal di sini bersamaku, Sumi?” tanya pemuda tegap yang ternyata adalah Gutawa, putra Kepala Desa Pegatan.

Pertanyaan Gutawa terlontar ketika melihat gadis itu tampak tertunduk malu. Sumi mengangkat wajahnya agak pucat, sehingga senyumnya terlihat agak hambar. Rupanya Sumi dilanda ketegangan. Gutawa pun sesungguhnya tidak tahu akan perasaan gadis manis itu. Sebab, tidak sedikit gadis Desa Pegatan yang mengincarnya dan mencari kesempatan berdekatan dengan pemuda tampan yang gagah itu. Namun, selama ini Gutawa tidak pernah meladeni tawa genit atau pun senyum menggoda dari gadis yang diam-diam menyukainya.

Kini, entah kenapa Gutawa tiba-tiba saja ingin mendekati gadis yang diam-diam menaruh hati kepadanya. Dan salah satunya adalah Sumi, gadis berwajah manis dan berkulit kuning langsat yang sekarang berdiri di hadapannya. Tapi, Gutawa berpura-pura bodoh ketika melihat wajah gadis desa manis itu tertunduk. Rupanya ia mencoba untuk mengetahui isi hati gadis manis itu yang sesungguhnya.

Sumi hanya menjawab pertanyaan Gutawa dengan gelengan kepala perlahan. Kemudian wajahnya kembali menunduk sambil menyembunyikan senyum malu.

“Apa artinya gelenganmu itu, Sumi? Kalau kau memang takut berada berdua di tempat sepi ini bersamaku, ayo, aku antar kau pulang,” ujar Gutawa, memancing perasaan hati gadis manis itu.

Sumi mengangkat kepalanya dengan tatapan cemas. Tampaknya ia takut kalau pemuda itu sampai membuktikan ucapannya. “Tidak, Kakang. Aku tidak takut. Aku percaya kepada Kakang...,” tukas Sumi, yang tanpa sadar menunjukkan rasa khawatirnya kalau-kalau pemuda itu akan mengantarkannya pulang. Tentu saja Sumi lebih suka tinggal bersama Gutawa di tempat yang paling sepi sekalipun.

“Benar kau tidak takut..? tanya Gutawa lagi, meminta ketegasan.

“Tidak, Kakang...,” sahut gadis itu, yang kini tidak lagi menundukkan kepalanya. Sumi bahkan mulai berani membalas tatapan mata pemuda itu. Sebab, hal seperti ini memang sudah lama diimpikan oleh Sumi ataupun gadis-gadis lainnya. Tentu saja ia tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini.

Gutawa tersenyum mendengar jawaban tegas gadis manis itu. Tanpa ragu lagi, tangannya segera terulur. Digenggamnya jemari tangan Sumi yang terasa agak bergetar karena hatinya memang sedang berdebar diliputi perasaan bangga dan bahagia. Dengan perlahan, Gutawa membimbing Sumi, gadis desa yang lugu dan menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda itu.

Sumi tidak takut kalau-kalau Gutawa akan berbuat macam-macam. Karena, pemuda itu telah dikenalnya semenjak kecil. Dan, selama dikenalnya, tidak pernah sekalipun Sumi melihat atau mendengar Gutawa mempermainkan gadis-gadis yang menaruh hati padanya. Meskipun, kalau pemuda itu mau, akan banyak kesempatan baginya. Pemuda itu selama ini tetap tenang dan ramah. Semua itulah yang membuat Sumi tidak merasa khawatir.

Sumi sama sekali tidak menolak ketika Gutawa mengajaknya duduk di bawah pohon rindang di tepi sungai, yang agak tersembunyi dan tidak mudah terlihat orang lain. Bahkan, ketika pemuda itu merebahkan kepala Sumi ke dalam pelukannya, gadis manis itu malah merangkulkan tangannya. Dia tampaknya takut kalau pemuda itu sampai berubah pikiran dan melepaskan pelukannya.

Gutawa semakin mengembangkan senyumnya melihat betapa gadis manis itu menyambutnya dengan hangat Ketika pemuda itu mencoba mencium bibir Sumi, gadis itu pun membalas dengan tidak kalah hangatnya. Baru ketika hari semakin bergeser, Gutawa mengajak Sumi meninggalkan tempat itu.

“Nanti ayah dan ibumu mencari-cari...,” kata Gutawa ketika melihat Sumi seperti masih enggan meninggalkan tempat itu.

Gadis manis itu tampaknya khawatir kalau-kalau pertemuan ini tidak berlanjut lagi. “Tentu, setelah hari ini, Kakang akan melupakanku. Sebab, masih banyak gadis yang lebih cantik dari aku. Mereka pun akan menyambut apabila Kakang mengajak...,” ujar Sumi, mengungkapkan perasaan khawatirnya.

Gutawa tersenyum mendengar kekhawatiran Sumi. Dipeluknya tubuh sintal itu, lalu dikecupnya bibir yang cemberut itu lembut-lembut. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Sumi. Semua itu hanya membuat hatiku sakit. Sebaiknya kita pulang sekarang. Hari esok masih banyak waktu untuk kita...,” bujuk Gutawa sambil memeluk erat tubuh sintal berkulit kuning langsat itu.

Sumi pun tersenyum manis. Tampaknya ia termakan rayuan Gutawa. Kemudian, sambil berangkulan, keduanya meninggalkan tepian sungai.

********************

“Gutawa, dari mana saja, kau...? Beberapa hari ini kulihat kau selalu bepergian tanpa pamit. Apa sebenarnya yang terjadi denganmu?” Ki Sangaji langsung menegur putranya ketika pemuda itu datang dengan wajah kuyu.

“Aku sudah besar, Ayah. Apakah masih perlu pamit hanya untuk bermain dengan kawan-kawanku?” bantah Gutawa sambil bergegas hendak memasuki kamarnya.

“Tunggu dulu, aku belum selesai bicara...! ujar orang tua itu dengan hati jengkel melihat Gutawa hendak memasuki kamarnya pada saat ia masih hendak berbicara.

“Aku ingin beristirahat, Ayah. Apa lagi yang hendak ayah bicarakan...?” tukas Gutawa, yang telah membalikkan tubuhnya menatap wajah Ki Sangaji dengan kilatan aneh.

“Hm..., beginikah sikapmu apabila berhadapan dengan orang” tua? Ke mana saja kau seharian, hingga sepagi ini baru pulang...?” tanya Ki Sangaji sambil menarik tubuh pemuda itu dan mendudukannya ke kursi.

Gutawa sama sekali tidak menjawab. Pemuda itu membisu seraya menantang tatapan ayahnya. Tentu saja sikap ini membuat Ki Sangaji semakin marah. Sehingga, tanpa berpikir panjang, orang tua gagah itu langsung mengayunkan tangannya. Dan....

Plakkk!

“Uuuhhh...!” Tubuh Gutawa langsung terjungkal terkena tamparan keras Ki Sangaji. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Gutawa bangkit dan menghapus darah itu dengan sepasang mata yang tak lepas menatap wajah ayahnya. Kemudian, tanpa berkata sepatah pun, pemuda itu langsung melarikan diri.

“Gutawa, kembali!” Ki Sangaji membentak keras untuk mencegah kepergian putranya. Namun, pemuda itu tidak mempedulikan lagi panggilan ayahnya. Gutawa terus berlari, hingga bayangannya lenyap di kejauhan.

Ki Sangaji berdiri bengong melihat kelakuan Gutawa. Orang tua itu tidak mengerti, mengapa sikap putranya tahu-tahu berubah. Padahal, selama ini Gutawa sangat penurut dan tidak pernah berani melawannya. Ki Sangaji sendiri memang tidak pernah mengatur kehidupan pemuda itu. Tapi, sekarang....

“Ki...” Teguran halus membuyarkan lamunan Ki Sangaji.

Lelaki gagah itu menoleh ke arah asal suara. Dilihatnya Ki Bawung Sati, Ki Ganda Buana, Panji, dan Wulandari tengah berdiri di halaman depan rumahnya. Ki Sangaji merasa agak malu. Karena, mungkin saja keempat orang itu melihatnya tadi dan mungkin juga telah lama berdiri menyaksikan tingkahnya.

“Tadi aku melihat Tuan Muda Gutawa berlari bagaikan orang kesetanan. Apa yang terjadi dengannya, Ki? Akhir-akhir ini kulihat sikapnya tampak aneh,” kata Ki Bawung Sati.

Ki Sangaji diam saja. Tampaknya kemarahan kepada putranya belum benar-benar reda. Kemudian ia memberi isyarat dengan tangan kepada tamu-tamunya untuk memasuki ruang dalam. Sedangkan Ki Bawung Sati masih menunggu beberapa saat sebelum menyatakan keperluan sebenarnya hingga mereka datang ke rumah ini.

“Aku mendapat laporan dari seseorang warga desa, Ki. Seorang anak gadisnya yang bernama Sumi belum kembali sejak kemarin. Teman-temanya mengatakan bahwa kemarin siang Sumi menemani Gutawa di tepian sungai. Tapi, ketika tadi pagi kutanyakan kepada Tuan Muda Gutawa, menurutnya gadis itu sudah diantarkan ke rumahnya. Katanya saat itu di rumah Sumi tidak ada orang, sehingga Tuan Muda Gutawa langsung pamit setelah mengantarkan Sumi sampai di depan pintu. Anehnya, tak seorang pun yang melihat gadis itu pulang sejak kemarin...” lapor Ki Bawung Sati.

Tentu saja Ki Sangaji terkejut mendengar keterangan itu. “Hhhh..., Gutawa sendiri baru saja kembali sejak kemarin. Entah ke mana saja anak itu pergi. Ketika kutanyakan, ia bungkam dan memilih kabur...,” jawab Ki Sangaji, tanpa mengatakan bahwa mereka sempat bertengkar dan bahkan Ki Sangaji sempat menampar wajah putranya. “Tapi, apakah mungkin tingkah anakku itu berhubungan dengan hilangnya Sumi? Aku rasa, gadis itu telah menjadi korban si Cakar Setan seperti yang sudah-sudah...”

“Hm..., aku baru saja kembali menyelidiki ke desa tetangga kita. Dan, menurut apa yang kudengar, mereka pun mengalami musibah yang serupa dengan kita. Bahkan, korbannya sudah banyak. Dan, persis dengan yang terjadi di sini, yang lenyap dan terbunuh adalah gadis-gadis muda...,” ujar Panji, menjelaskan apa yang diketahuinya. Sesungguhnya, kepergian Panji ke desa tetangga memang atas usul mereka bersama setelah terjadinya peristiwa itu.

“Lalu, apa yang mereka lakukan? Dan, keterangan apa lagi yang kau dapat dari Desa Kawung, Pendekar Naga Putih...?”

Ki Sangaji ingin tahu lebih jelas tentang penyelidikan Panji ke Desa Kawung, yang letaknya hanya sehari perjalanan dari Desa Pegatan. Tapi, tentu saja tidak selama itu ketika Panji yang melakukan perjalanan. Panji menempuh jarak sejauh itu hanya dalam waktu beberapa jam.

“Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, menurutnya, pembunuh keji itu sangat sakti dan tak ada seorang pun sanggup melawannya. Bahkan, Kepala Desa Kawung hampir tewas ketika sempat bertarung menghadapinya. Jadi, aku putuskan untuk singgah dan mencoba mengobati luka kepala desa itu. Syukurlah keadaannya masih belum terlalu parah, sehingga ada kemungkinania bisa sembuh...,” jelas Panji.

“Hm..., apakah di Desa Kawung pun terdapat gadis-gadis muda yang tewas dengan tubuh kering kehabisan darah...,” tanya Ki Sangaji, yang memang belum mendengar tentang kejadian di Desa tetangganya.

“Benar, Ki. Dan, satu hal lagi, putramu yang bernama Gutawa itu kabarnya juga pernah membawa beberapa orang gadis Desa Kawung. Dan, gadis-gadis itu pun lenyap tanpa jejak...,” ujar Panji. Pendekar Naga Putih tampak sedikit ragu saat menyampaikan berita itu. Sebab, dia tidak ingin hati Ki Sangaji terpukul mendengarnya.

“Apa...!? Ini pasti fitnah, Pendekar Naga Putih! Aku... aku tidak percaya...!” bentak Ki Sangaji benar-benar terpukul. Orang tua itu tidak segera mempercayai kata-kata Pendekar Naga Putih, bahkan kemarahannya sempat terbangkit.

“Lalu, ke mana gadis bernama Sumi yang kemarin bersama Gutawa seharian? Apakah kawan-kawan Sumi yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri itu juga telah menyebar fitnah? Dan, ke manakah Gutawa seharian kemarin? Mengapa ia tidak bicara, dan bahkan malah melarikan diri? Pikirkanlah dengan kepala dingin, Ki. Aku pun belum mempercayai hal ini sepenuhnya. Tapi aku berjanji akan menyelidikinya,” desak Panji sambil bangkit berdiri menatap pandang mata Ki Sangaji yang wajahnya kelihatan agak pucat. Panji dapat melihat bahwa Ki Sangaji sebenarnya mulai meragukan tingkah putranya. Tapi, karena merasa malu, orang tua itu masih mencoba membela putra tunggalnya.

“Hhhh...” Ki Sangaji terduduk lesu disertai helaan napas berat yang berkepanjangan. “Apa sebenarnya yang telah menimpa putraku? Mungkinkah dia tega mencoreng muka ayahnya? Mengapa beberapa hari belakangan ini dia begitu berubah...?” desah Ki Sangaji, seperti berkata pada dirinya sendiri.

“Bersabarlah, Ki. Aku berjanji akan menyelidiki hal ini. Aku pun tidak akan bertindak sebelum mengetahui keadaan sebenarnya secara jelas. Dan, ada satu hal yang belum kusampaikan kepada kalian. Meskipun hal ini hanya berupa dugaan, aku mencurigai pendeta-pendeta yang membangun tempat ibadat di ujung desa,” ujar Panji dengan suara yang agak pelan. Pendekar Naga Putih tampak terdiam beberapa saat, seolah-olah menanti pendapat dari ketiga lelaki tua gagah itu.

“Gila...!”

Hampir bersamaan, Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati berseru sampai terbangkit dari kursinya. Sedangkan Ki Ganda Buana hanya menatap Panji dengan kening berkerut. Hanya Wulandari yang tampak percaya sepenuhnya pada Panji.

“Itu memang sebuah pikiran gila. Tapi, tidak berarti bahwa kecurigaanku mustahil, bukan?” ujar Panji lagi dengan suara dan wajah tetap tenang. Sehingga, baik Ki Sangaji maupun Ki Bawung Sati kembali kekursinya masing-masing.

“Pendekar Naga Putih, mereka tinggal di desa ini hanya untuk sementara dan ingin menyebarkan agama. Untuk itulah mereka membangun sebuah rumah ibadat. Tujuan mereka sudah jelas. Penduduk Desa Pegatan tertarik dengan agama mereka bisa beribadah di tempat itu, kelak apabila mereka telah pergi. Jadi, maaf kalau aku tidak sependapat denganmu,” ujar Ki Sangaji dengan wajah agak kecewa, karena Pendekar Naga Putih telah menuduh pendeta-pendeta yang dianggapnya sebagai orang suci itu.

“Hm..., tahukah kalian dari mana mereka sebelum singgah dan membangun rumah ibadat di Desa Pegatan...?” tanya Panji.

Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Setelah menunggu beberapa saat tapi tak ada seorangpun yang berbicara, Panji segera melanjutkan kata-katanya.

“Ketahuilah. Sebelum pindah ke Desa Pegatan, mereka lebih dahulu menetap di Desa Kawung. Dan, peristiwanya pun persis. Mereka meminta izin untuk membuat rumah ibadat. Lalu pendeta-pendeta itu menetap beberapa lama di Desa Kawung, menyebarkan agama dan memberi nasihat yang baik-baik. Kemudian, pendeta-pendeta itu mengadakan upacara agama untuk mengusir setan yang menurut mereka telah melakukan perbuatan-perbuatan keji di Desa Kawung. Setelah itu, memang tidak ada kejadian lagi, karena orang-orang itu telah pindah ke desa lain, yaitu Desa Pegatan,” tandas Panji.

Sehingga, ketiga tokoh yang mendengarkan keterangannya sama-sama membelalakkan mata dengan wajah setengah tak percaya.

“Betulkah itu, Panji...?” tanya Ki Ganda Buana yang masih saja tampak terkejut mendengar penjelasan keponakannya.

“Mungkin dugaanmu ada benarnya, Pendekar Naga Putih. Sebab, pada bulan ketiga tepat di malam purnama nanti, mereka telah meminta izin kepadaku untuk membuat upacara agama besar-besaran. Dan, menurut kepala pendeta itu, gunanya untuk mengusir musibah yang dilakukan setan-setan jahat...,” ujar Ki Sangaji. Kepala Desa Pegatan akhirnya teringat bahwa utusan pendeta pernah menyampaikan hal itu kepadanya. Hal ini baru diingatnya setelah Panji menyinggung-nyinggung soal upacara agama.

“Hm..., kalau begitu, mereka telah bersiap-siap untuk pindah ke desa lain. Kita harus cepat bertindak mencegahnya. Kalau tidak, mereka akan terus melakukan kebiadaban di desa-desa yang akan mereka singgahi nanti..., usul Panji, yang kini mulai merasa semakin yakin setelah mendengar ucapan Ki Sangaji.

“Nanti dulu, Pendekar Naga Putih...,” tukas Ki Bawung Sati tiba-tiba, “Seingatku, peristiwa yang menimpa desa ini telah terjadi beberapa hari sebelum para pendeta itu datang. Jadi, mana mungkin mereka yang melakukannya jika mereka sendiri belum tiba di Desa Pegatan ini...?” lanjut Ki Bawung Sati.

Perkataan Ki Bawung Sati membuat Ki Ganda Buana dan Ki Sangaji menatap Panji dalam-dalam. Mereka ingin mendengar pendapat pemuda sakti itu.

“Menurutku, mereka sengaja menyamarkannya. Dengan demikian, tak akan ada seorang pun yang menduga kalau merekalah yang sesungguhnya telah membuat bencana ini. Untuk membuktikan hal itu, nanti malam aku akan menyelidiki tempat ibadah itu,” ujar Panji lagi.

Ketiga tokoh Desa Pegatan kembali bertukar pandang satu sama lain.

“Aku ikut, Kakang...!” Tiba-tiba Wulandari, yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan, langsung menyahuti ucapan Panji. Tentu saja Pendekar Naga Putih terkejut

“Tidak, Adikku. Kali ini aku akan melakukannya sendiri. Sebab, aku sama sekali belum tahu sampai seberapakah kekuatan lawan. Untuk itu, ku mohon agar kalian semua tetap bertindak seperti biasa. Dan, kalau sampai besok pagi aku belum kembali, itu tandanya aku menemui bahaya. Maka, kalian pun harus segera mendatangi tempat ibadat itu. Bagaimana...?” ujar Panji menahan niat Wulandari sekaligus meminta pendapat ketiga tokoh Desa Pegatan.

“Baiklah. Tapi, kau harus berhati-hati...,” ujar Ki Ganda Buana, setelah melihat Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati sama-sama menganggukkan kepala menyetujui usul Panji.

Tak berapa lama kemudian, Ki Ganda Buana, Panji, dan Wulandari pun berpamitan. Ketiganya beranjak meninggalkan tempat kediaman Kepala Desa Pegatan.

********************

DELAPAN

Rembulan telah cukup lama muncul saat Panji keluar dari dalam rumah kediaman Ki Ganda Buana. Begitu melesat keluar, kegelapan malam langsung menyergap tubuh pemuda tampan berjubah putih itu. Pendekar Naga Putih, yang berniat menyelidiki kuil di ujung Desa Pegatan, langsung saja bergerak melintasi kegelapan.

Jarak yang sebenarnya cukup jauh bagi orang biasa ternyata tidak begitu lama ditempuh pemuda itu. Dengan ilmu kepandaiannya yang telah mencapai titik kesempurnaan, Panji dapat melesat secepat terbang. Sehingga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, sosoknya pun sudah tiba di daerah yang ditujunya. Dengan menyembunyikan sosoknya di antara kegelapan bayang pepohonan, tubuh Panji bergerak menyelinap mendekati sebuah anak bukit. Di atas anak bukit itulah berdiri sebuah kuil yang belum lama dibangun.

Diam-diam hati pemuda itu merasa kagum melihat bangunan yang hampir sempurna itu. Rupanya tempat yang pada mulanya adalah sebuah bangunan kuno yang tak terpakai lagi itu hanya diperbaiki beberapa bagiannya. Pendekar Naga Putih melangkah hati-hati mendekati kuil yang cukup besar itu. Beberapa buah obor yang terpancang di hampir setiap sudut kuil dihindarinya, agar dirinya tidak tertangkap basah.

“Uuuhhh...!” Tiba-tiba tubuh Panji tersentak mundur saat hampir mendekati tembok kuil itu. Dengan perasaan heran, pemuda itu menatapi sekelilingnya dalam keadaan merunduk.

“Aneh...? Sepertinya ada yang mendorongku barusan...?” desis panji yang menjadi heran bukan main ketika tidak menemukan satu makhluk pun di sekeliling dirinya. Setelah beberapa saat memperhatikan, pemuda itu kembali bergerak maju. Dan....

“Aaakkhhh...!” Untuk kedua kalinya, tubuh Panji tersentak ke belakang. Bahkan, kali ini dorongnya jauh lebih kuat. Sehingga, tubuh pemuda itu hampir terguling dibuatnya. Untunglah Panji bertindak sigap dengan menanamkan kuda-kudanya ke tanah. Meskipun demikian, pemuda itu merasakan adanya suatu keanehan pada tubuhnya. Ya, dadanya memang agak terasa sesak akibat dorongan itu.

Dengan keheranan yang semakin memuncak, Pendekar Naga Putih akhirnya berdiri tegak tanpa takut akan ada yang melihatnya. Ditatapinya daerah sekeliling dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Sehingga, sepasang mata pemuda itu menyala kemerahan bagaikan sorot mata naga di kegelapan. Lagi-lagi pemuda itu harus kecewa dan geram. Karena, di sekelilingnya tetap tak tampak satu makhluk pun.

“Kurang ajar...! Mungkinkah ada orang yang mempermainkan aku?” batin Pendekar Naga Putih. Hati Panji benar-benar jengkel setelah dua kali dibuat hampir terbanting, tanpa tahu siapa yang melakukannya. Terbawa oleh rasa penasaran, akhirnya pemuda itu melangkah lambat-lambat mendekati dinding kuil yang berjarak kira-kira dua tombak di depannya.

“Uuuhh...!?” Panji kembali terkejut. Heran benar hati pemuda itu ketika ia merasakan adanya sebuah dinding yang tak tampak oleh mata. Dan, baru sekaranglah hal itu baru dirasakannya. Semua itu dapat diketahuinya karena Pendekar Naga Putih maju dengan langkah perlahan-lahan, sehingga keberadaan dinding yang seperti membentengi daerah di sekitar kuil benar-benar tera- sa.

“Gila! Apa yang telah mereka lakukan hingga mampu membuat dinding gaib seperti ini...?” desis Panji sambil meraba-raba dengan tangannya. Pemuda itu semakin terkejut ketika mengetahui bahwa dinding itu ternyata mengitari bangunan kuil.

Panji terpaksa melangkah mundur. Otaknya bekerja keras agar bisa masuk melewati dinding gaib itu. Namun, semuanya sia-sia belaka. Sebab, Panji sama sekali tidak berpengalaman dalam masalah ilmu gaib ataupun ilmu sihir. Pemuda itu pun hanya bisa merenung tanpa tahu apa yang harus dilakukannya untuk dapat menembus dinding gaib itu.

“Cucuku, dalam dunia ini banyak terdapat ilmu gaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Kebanyakan ilmu seperti itu dimiliki oleh para pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai, ataupun para pendeta, baik yang sesat maupun yang berjalan di jalur putih”

Tiba-tiba saja di telinga Panji terngiang kembali wejangan gurunya, si Malaikat Petir Eyang Tirta Yasa. Cepat-cepat pemuda itu mencoba untuk mengingat semua wejangan tentang ilmu yang pernah dikatakan olehgurunya.

“Untuk mendapatkan ilmu-ilmu seperti itu, para pertapa maupun pendeta-pendeta suci melakukannya dengan jalan bersemadi selama bertahun-tahun. Dan, kadang-kadang mereka menjalaninya dengan jalan berpuasa untuk menguatkan batin. Sedangkan para pendeta-pendeta sesat melakukannya dengan berbagai cara. Kebanyakan dari mereka menggunakan darah dan mantera-mantera suci. Tapi, ilmu-ilmu mereka memiliki kelemahan, karena digunakan pada jalur yang salah”

“Darah perawan suci...,” desis Panji, teringat akan kejadian-kejadian yang menimpa gadis-gadis muda yang mati tanpa setitik pun darah yang tersisa di tubuhnya. Jelas sekarang bagi Panji bahwa para pendeta itulah yang telah melakukan perbuatan-perbuatan biadab selama ini. Pemuda itu berdiri tegak dengan kening berkerut. Kini ia mulai mengerti, apa yang telah menghalanginya mendekati bangunan kuil itu.

“Hm..., sekeliling kuil ini pasti disirami darah yang telah dimanterai. Rupanya inilah salah satu kegunaan darah-darah perawan suci itu...,” desah Panji, bergumam seorang diri.

“Hhh..., sayang Eyang tidak pernah menjelaskan, bagaimana cara memusnahkan ilmu-ilmu gaib yang sesat itu...,” desah Panji, agak kecewa.

Namun, sesaat kemudian, Pendekar Naga Putih tiba-tiba teringat akan tenaga gaib yang tersimpan di dalam tubuhnya. “Ya, mengapa aku tidak mencobanya,” gumam Panji dengan penuh harap.

Begitu teringat akan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang memang gaib itu, segera saja Pendekar Naga Putih mengerahkan ilmu tenaga dalamnya. Sebentar kemudian, Panji pun mulai merasakan adanya hawa panas di sekujur tubuhnya, lalu, muncullah sinar kuning keemasan yang menyelimuti tubuhnya. Kini, sambil terus mengerahkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’, Panji bergerak maju melewati dinding gaib itu. Dan... betapa leganya hati pemuda itu ketika ia tidak merasakan ada dinding yang menghalanginya lagi. Segera saja ditariknya tenaga sakti itu setelah dirinya berada di dalam lingkaran dinding gaib.

Cepat bagaikan kilat, Panji melenting melewati tembok batu kuno, lalu mendaratkan kakinya di sebelah bangunan tanpa ada yang melihatnya. Panji terus bergerak menyelinap ke dalam bangunan kuil. Pendekar muda itu memeriksa ruangan demi ruangan dengan hati-hati dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang mencurigakan.

“Gutawa...!” Panji mendesah terkejut melihat Gutawa, putra Ki Sangaji, berada di salah satu ruangan yang cukup besar. Ruangan itu mengingatkan Panji akan upacara-upacara pemujaan seperti yang pernah didengar dan disaksikannya selama bertualang. Cepat pemuda itu menahan napasnya saat melihat seorang kakek tua berjubah merah tengah bersila di depan Gutawa.

Kakek yang kira-kira berusia sekitar delapan puluh tahun itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya saat mendengarkan kata-kata Gutawa. Rupanya putra kepala Desa Pegatan itu telah tersesat jauh, karena merasa telah tersaingi oleh Panji dalam merebut hati Wulandari. Panji tahu akan perasaan pemuda itu. Namun, ia menyayangkan bahwa hanya karena cemburu, Gutawa membencinya dan bahkan berpaling dari kebenaran.

“Hm..., kalau memang ingin masuk, mengapa harus bersembunyi di luar? Masuklah. Aku tahu akan kedatanganmu...”

Suara itu terdengar jelas di telinga Panji. Dada Pendekar Naga Putih pun berdebar keras. Ditatapnya kakek itu. Dan, yakinlah dia bahwa pendeta tua itulah yang mengirimkan suara untuknya.

“Pendeta palsu, jangan kau kira aku tidak mengetahui kebusukan mu! Rahasiamu sudah terbongkar. Jadi, tidak perlu lagi kau berpura-pura baik. Malam ini, aku akan mengakhiri kebiadaban pendeta-pendeta palsu di kuil mesum ini...!” ujar Panji dengan suara dingin sambil melangkah memasuki ruangan lebar itu. Tak sedikit pun terlihat kegentaran pada wajah Pendekar Naga Putih. Jelas, hati Panji sudah mantap untuk menghentikan kejahatan pendeta-pendeta sesat itu.

“Pendekar Naga Putih...!?” Gutawa bangkit dengan penuh kebencian. Dicabutnya pedang yang tergantung dipinggangnya. Lalu, diterjangnya Panji dengan serangan-serangan ganas.

Beeet! Beeet! Beeet!

Panji bergerak ke kiri dan ke kanan dengan te- nang. Dihindarinya serangan Gutawa yang bertubi-tubi. Pendekar muda itu tetap tidak berusaha membalas meskipun serangan Gutawa terlihat semakin ganas. Dan, setelah melewati sepuluh jurus, baru Panji memberikan pelajaran kepada pemuda itu.

“Sadarlah dari kesesatan mu, Gutawa...,” ujar Panji sambil menghantamkan telapak tangannya ke bahu pemuda itu.

Plakkk...!

“Aakkhhh...!” Gutawa langsung jatuh terguling terkena tamparan keras Pendekar Naga Putih. Pemuda tegap putra kepala desa itu bergerak bangkit meskipun tangan kanannya terasa lumpuh. Seringai di wajahnya menandakan bahwa pemuda itu menderita rasa nyeri yang menyakitkan.

Hampir bersamaan dengan jatuhnya tubuh Gutawa, di ruangan itu bermunculan belasan orang berpakaian merah. Dua di antaranya berdiri tidak jauh dari Panji. Salah satu dari kedua pendeta itu menggunakan cakar baja pada jari-jarinya. Tahulah Panji, pendeta itulah yang selama ini melakukan pembantaian terhadap gadis-gadis muda yang tak berdosa. Sedangkan yang seorang lagi pastilah pembunuh bermuka merah, pikir Panji sambil menatap tajam pada kedua orang yang berdiri paling dekat dihadapannya.

“Hm..., rupanya kau telah tersasar hingga kemari, Pendekar Naga Putih. Bagus. Jadi, kau sengaja datang untuk mengantarkan nyawa...!” geram Cakar Setan dengan tatapan penuh dendam.

“Kalpa Wira, Walung, minggirlah. Pemuda ini bukan lawan kalian. Dari cara ia melewati ‘Benteng Gaib’ kita, aku sudah dapat menilai kemampuannya...,” ujar kakek yang rupanya pemimpin para pendeta di kuil itu ketika Cakar Setan dan Walung hendak menggempur Panji.

“Mari kita keluar...,” lanjut kakek itu seraya menoleh ke arah Panji.

Tanpa merasa ragu sedikit pun, Panji segera mengikuti langkah para pendeta berjubah merah itu keluar dari bangunan kuil. Pemuda itu berdiri tegak di halaman depan dengan kedua kaki terpentang. Jelas bahwa Pendekar Naga Putih telah siap bertarung mati-matian menegakkan kebenaran di atas bumi ini.

“Hm...” Pendeta tua berjubah merah itu bergumam menatap sosok Pendekar Naga Putih.

“Sudah kuduga, akhirnya kau pasti akan mengetahui rahasia ini. Semenjak Kalpa Wira mengatakan tentang adanya Pendekar Naga Putih di desa ini, aku sudah dapat merabanya bahwa kau pasti akan dapat menyingkap rahasia pembunuhan gadis-gadis di desa ini,” lanjut kakek itu, tenang. Dari sorot mata pendeta tua berjubah merah yang tajam mencorong, Panji pun dapat mengetahui, betapa hebatnya tenaga dalam yang dimilikinya.

“Tidak perlu banyak bicara lagi! Aku datang bukan untuk berbincang denganmu. Tapi, justru ingin melenyapkan manusia-manusia sesat sepertimu, Pendeta Palsu. Bersiaplah!” desis Panji. Pendekar Naga Putih memejamkan matanya untuk memusatkan kekuatan batin. Sebentar kemudian, tampaklah sebilah pedang tergenggam ditangannya.

“Pedang Naga Langit...!?” Pendeta tua berjubah merah berseru kaget dengan wajah agak pucat. Jelas bahwa kakek itu telah mengetahui keampuhan Pedang Naga Langit. Hal ini dapat terbaca pada wajahnya yang kelihatan cemas.

“Benar, inilah Pedang Naga Langit. Jadi, percuma saja kalau kau menggunakan racun ataupun ilmu sihir mu menghadapiku,” sahut Panji sambil mengibaskan pedangnya dengan kekuatan penuh. Kilatan sinar kuning keemasan pun tampak bergulung-gulung menyilaukan mata.

“Bunuh pemuda itu! Rebut pedang di tangannya!” perintah pendeta tua berjubah merah dengan suara yang sangat keras. Tampaknya ia gentar melihat pedang mukjizat yang tergenggam di tangan Pendekar Naga Putih.

Tanpa diperintah dua kali, Kalpa Wira, Walung, Gutawa, dan belasan pendeta berjubah merah lainnya langsung bergerak mengepung Panji. Mereka yang memang merasa geram dan menunggu-nunggu perintah itu tentu saja tak ragu-ragu lagi untuk menyerang begitu mendengar perintah pendeta berjubah merah. Dengan disertai seruan-seruan marah, para pengepung itu pun bergerak menyerbu Pendekar Naga Putih.

Panji sendiri memang sudah memperhitungkan semua itu. Sehingga, ia tidak terkejut lagi ketika mendengar pendeta tua berjubah merah menyuruh para pengikutnya untuk mengeroyok dirinya. Maka dengan Pedang Naga Langit di tangannya, Panji pun bergerak menyambut serbuan lawan. Belasan batang pedang yang datang mengancam dari segala penjuru sama sekali tak membuat Panji gugup. Dengan tenang, pemuda itu menggerakkan pedang sambil mengerahkan ‘Ilmu Pedang Naga Sakti’.

“Heeaattt...!”

Trannng! Trakkk!

Enam bilah pedang yang tiba lebih dulu langsung terpental dalam keadaan patah. Sedangkan pedang Panji terus bergerak melingkar menyambar tubuh para pengeroyoknya. Akibatnya....

“Aaaa...!”

“Wuuaaa...!”

Delapan orang pendeta berjubah merah langsung terguling roboh tersambar pedang di tangan Pendekar Naga Putih. Mereka langsung tewas dengan tubuh bermandikan darah. Tentu saja kenyataan itu membuat pendeta yang lainnya bergerak mundur.

“Haaiittt...!”

“Yiiaattt...!”

Kalpa Wira atau yang dikenal Panji sebagai Cakar Setan berseru nyaring sambil menggerakkan cakar-cakar bajanya ke tubuh Pendekar Naga Putih. Berbarengan dengan itu, Walung juga telah menggunakan bandul berdurinya datang menerjang. Begitu serangan datang, cepat bagaikan sambaran kilat, tubuh Panji menyelinap di antara kedua senjata lawan-lawannya. Kemudian, pendekar muda itu membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.

“Hiiaattt...!”

Tranggg! Tranggg!

Cakar Setan, yang menyambut serangan pedang Panji dengan sambaran cakar bajanya, merasa terkejut bukan main. Upaya penyelamatan dirinya dengan menangkis pedang Pendekar Naga Putih tentu saja berakibat cukup parah. Tubuh lelaki tegap itu langsung terpental hingga sejauh dua batang tombak. Wajahnya tampak menyeringai merasakan linu pada jari-jari tan-gannya.

Sementara itu Gutawa, yang sadar akan kepandaiannya masih kalah jauh dibanding Panji, hanya sesekali menyerang di saat pendekar muda itu menghadapi Kalpa Wira dan Walung. Sayangnya, usaha putra kepala desa itu selalu saja gagal. Sebab, untuk mengikuti gerakan Panji memang jelas sangat sulit baginya, sehingga dia terpaksa menelan kejengkelannya.

“Heeaaattt...!”

Pada saat Panji telah kembali bertarung dengan Kalpa Wira, Walung, Gutawa, dan belasan orang pendeta, terdengar teriakan nyaring yang menggetarkan jantung. Seiring dengan teriakan itu, tampak sosok bayangan merah melesat cepat dengan sepasang tangan terulur lurus ke aras Pendekar Naga Putih. Dan....

Blakkk!

“Huukkhhh...!”

Seketika itu juga, tubuh Panji langsung terpental ke belakang sejauh dua batang tombak lebih. Untunglah hantaman telak dari sosok bayangan merah itu sanggup diredam oleh lapisan kabut putih yang membentengi tubuh Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, mungkin Panji bisa lumpuh seketika. Atau paling tidak, pemuda itu akan mengalami luka dalam yang sangat parah.

“Licik..!” Geram Panji ketika mengetahui bahwa penyerangnya adalah pendeta berjubah merah. Tentu saja terjunnya tokoh sesat yang sakti itu membuat keadaan berbalik. Kini Panjilah yang terdesak oleh keroyokan lawan-lawannya.

“Heeaaattt...!”

Pada saat Pendekar Naga Putih sedang dalam keadaan terdesak hebat, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring melengking tinggi. Seiring dengan teriakan itu, muncullah sesosok bayangan hijau yang langsung menerjunkan dirinya ke kancah pertempuran. Tentu saja kehadiran sosok bayangan hijau itu membuat para pengeroyok Panji terkejut setengah mati.

Breettt! Breettt!

Begitu tiba dalam kancah pertempuran, sosok berpakaian hijau langsung mengibaskan pedangnya ke kiri dan ke kanan. Terdengar jeritan kematian yang disusul dengan robohnya beberapa orang pengeroyok dengan tubuh bermandikan darah. Tentu saja perbuatan sosok bayangan hijau membuat pertempuran tampak kacau. Cakar Setan dan Walung, yang semula mengeroyok Panji, segera saja melesat untuk mencegah sosok bayangan hijau agar tak menjatuhkan lebih banyak korban lagi. Keduanya langsung menghadapi sosok bayangan hijau dengan serangan-serangan yang ganas.

Namun, kepandaian sosok bayangan hijau ternyata tidak bisa dipandang ringan. Dengan pedang yang mengeluarkan sinar putih keperakan, sosok bayangan hijau ternyata mampu melayani kedua lawannya dengan baik. Pertarungan terpecah menjadi dua. Dan para pengikut pendeta berjubah merah menjadi bingung, tidak tahu harus membantu yang mana. Panji sendiri merasa lega melihat kehadiran sosok bayangan hijau yang membantunya itu. Meskipun ia tidak dapat melihat wajahnya, Pendekar Naga Putih dapat mengetahui, siapa sosok bayangan hijau yang membantunya itu.

“Hm..., kini tinggal kita berdua, Pendeta Palsu. Jangan harap kau dapat lolos lagi dariku...!” geram Panji seraya memutar pedangnya sedemikian rupa.

“Keparat...! Kau pikir Pendeta Jubah Merah takut menghadapimu, hah!” desis pendeta berjubah merah yang segera melompat mundur jauh ke belakang. Sekejap kemudian, di tangannya telah tergenggam sebatang tongkat hitam berkepala ular.

Whuukkk! Whuukkk!

Tongkat hitam berkepala ular itu langsung diputarnya di depan dada hingga menimbulkan angin menderu. Orang-orang yang bertempur di dekatnya pun langsung menjauhkan diri. Karena, putaran tongkat itu membuat daerah sekitarnya bagaikan terkena angin ribut.

“Heeaaattt...!”

Disertai putaran pedangnya yang mengaung tajam, Panji segera melesat menerjang lawannya. Tampak gulungan sinar kuning bergerak turun-naik dengan cepatnya bagaikan tubuh seekor naga yang tengah mengamuk. Tentu saja serangan itu langsung disambut Pendeta Jubah Merah dengan sambaran tongkatnya. Sebentar saja pertempuran pun berlangsung dengan dahsyatnya.

Sebenarnya, kalau saja Panji tidak memiliki Pedang Naga Langit, pemuda itu belum tentu mampu menghadapi Pendeta Jubah Merah lebih dari seratus jurus. Tapi, dengan adanya pedang mukjizat itu, tentu saja Pendeta Jubah Merah yang lebih banyak memiliki ilmu gaib itu bagaikan mati kutu. karena, Pedang Naga Langit dapat memusnahkan seluruh ilmu gaib yang dimiliki pendeta tua itu. Dengan demikian, baik kekebalan yang dimilikinya maupun ilmu sihirnya yang tinggi, benar-benar tidak bisa digunakan untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.

“Hiaaahhh...!”

Pertarungan kedua tokoh sakti itu semakin bertambah sengit. Jurus demi jurus mereka lewati dengan kekuatan yang tampak berimbang. Dan, ketika memasuki jurus ketujuh puluh, Pendeta Jubah Merah membentak nyaring disertai tenaga sihirnya. Tentu saja pengaruh itu sangat luar biasa. Sampai-sampai sosok bayangan hijau yang datang membantu Panji untuk menghadapi keroyokan tadi terjajar limbung agak di kejauhan sambil memegangi kepalanya yang terasa hendak pecah. Panji tampak sangat cemas melihat keadaan sosok bayangan hijau.

“Yeaaa...!”

Pendekar Naga Putih membentak nyaring sambil memutar pedangnya dengan sekuat tenaga. Suara mengaung yang laksana dengungan ratusan lebah merah langsung melenyapkan kekuatan sihir yang digunakan Pendeta Jubah Merah. Sehingga, Panji dapat menarik napas lega melihat sosok bayangan hijau sudah bisa menghadapi lawan-lawannya lagi. Namun, pada saat itu juga, ujung tongkat Pendeta Jubah Merah terlihat meluncur deras dari atas mengancam batok kepala Pendekar Naga Putih.

Whuuukkk!

Panji yang memang tidak pernah meninggalkan kewaspadaannya segera bergerak ke samping, lalu langsung melakukan serangan balas dengan tusukan lurus ke jantung lawan.

Whuuttt...!

Pendeta tua itu ternyata sangat gesit Tusukan ujung pedang yang menimbulkan sinar menyilaukan itu dapat dihindarinya dengan lompatan panjang ke samping. Kemudian, ujung tongkatnya ditudingkan kearah Panji. Dan....

Seerrr...! Seerrr...!

Seketika itu juga, meluncurlah jarum-jarum halus menebarkan bau wangi memabukkan.

“Licik...!” desis Panji begitu melihat ratusan jarum halus mengancam sekujur tubuhnya.

Pendekar Naga Putih segera menambah kekuatan putaran pedangnya. Dan, jarum-jarum halus itu pun langsung terserap melekat di badan Pedang Naga Langit Semua ini dilakukan Panji agar jarum-jarum itu tidak melukai orang lain yang berada di sekitarnya. Tapi, bukan keselamatan pengikut pendeta sesat itu tentunya yang dikhawatirkan Panji. Karena, menurut dugaannya, para pengikut pendeta sesat sudah kebal terhadap racun-racun mereka. Keselamatan bayangan hijaulah yang dicemaskan oleh pendekar muda itu.

Setelah gagal melakukan penyerangan dengan jarum-jarum beracunnya, Pendeta Jubah Merah terlihat berdiri tegak dengan mulut berkomat-kamit. Sebentar kemudian, terdengarlah suaranya yang bergetar dan mengandung kekuatan gaib yang sangat mengerikan.

“Pendekar Naga Putih! Kau adalah seekor anjing yang setia! Maka menyalaklah seperti seekor anjing kelaparan...!”

Suara menggetarkan yang mengandung kekuatan sihir tingkat tinggi itu bergema, hingga mempengaruhi semua orang yang berada di sekitar lingkungan kuil. Panji sendiri sempat tergoyah kuda-kudanya begitu mendengar suara Pendeta Jubah Merah. Ada sesuatu kekuatan aneh yang memaksa kedua kakinya untuk menekuk dan merangkak serta menyalak seperti seekor anjing. Tapi, tidak percuma Pedang Naga Langit berada di tangannya. Sebab, seketika itu juga, sinar kuning keemasan yang semula berpendar di badan pedang langsung menebar dan menyelimuti sekujur tubuh Panji. Semua itu membuat Pendekar Naga Putih kembali tersadar dari pengaruh jahat.

“Hhhh...,” benar-benar keji iblis itu...” desis Panji saat melihat sosok bayangan hijau serta orang-orang lainnya tengah merangkak sambil menyalak sekeras- kerasnya. Jelas, semua orang itu telah terkena pengaruh sihir jahat Pendeta Jubah Merah.

Dalam kemarahannya, Panji segera menarik pedangnya menyilang dengan kuda-kuda rendah. Pemuda itu siap melontarkan jurus terampuhnya, ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’.

“Yeaattt..!”

Seiring dengan suara Pendekar Naga Putih yang menggetarkan, lenyaplah pengaruh sihir pendeta sesat itu. Sedangkan tubuh Panji sendiri telah meluncur ke arah lawannya.

Whuukkk! Whuukkk!

Pedang Naga Langit di tangan Pendekar Naga Putih berdesing mencicit dan mengaung-ngaung tajam. Sebuah lingkaran pendaran sinar kekuningan yang menyilaukan mata membuat Pendeta Jubah Merah terkejut menyaksikannya. Kilatan-kilatan ujung pedang yang sesekali muncul dari dalam lingkaran sinar kekuningan itu membuatnya terdesak hebat. Sibuklah dia menahan serbuan pedang lawannya.

Panji sendiri tidak sekalipun menghentikan serangannya kali ini. Pedang di tangannya yang seakan-akan menimbulkan badai angin ribut benar-benar membuat Pendeta Jubah Merah harus mengakui kehebatan pendekar muda itu. Maka, setelah melewati seratus lima puluh jurus, pendeta sesat itu pun tidak mampu lagi untuk menyelamatkan dirinya dari kedahsyatan ‘Ilmu Naga Sakti’ Panji.

“Yeaattt..!”

“Aaahhh...!” Pendeta Jubah Merah terpekik kaget ketika tahu-tahu saja ujung pedang lawan telah muncul di depan tubuhnya. Pendaran sinar keemasan yang menyilaukan mata itu membuat Pendeta Jubah Merah harus bertekuk lutut di hadapan lawannya. Dan....

Craattt! Craattt!

“Aarrrkkhhh !”

Pendeta Jubah Merah yang selama ini kebal terhadap segala jenis senjata akibat kehebatan ilmu-ilmu hitamnya ternyata tak mampu melindungi tubuhnya dari ketajaman Pedang Naga Langit. Ketika ujung pedang lawan merobek-robek tubuhnya, pendeta sesat itu pun langsung meraung dahsyat. Darah segar menyembur keluar dari luka-lukanya. Sedangkan tubuhnya yang tengah limbung, langsung jatuh terjungkal mencium tanah ketika Panji melontarkan sebuah tendangan keras yang menyusuli sambaran Pedang Naga Langit.

Deesss. !

“Huaakkhhh!”

Diiringi semburan darah segar yang memercik mengotori tanah, tubuh kakek itu terbanting hingga menjebol dinding kuno yang menjadi pagar kuil. Tanpa ampun lagi, tubuh Pendeta Jubah Merah ambruk dengan sekujur tubuh dipenuhi darah segar. Kepala botak kakek itu tampak retak akibat benturan keras dengan dinding batu kuno tadi. Rupanya kekebalannya benar-benar musnah terkena pedang mukjizat di tangan Panji. Pendeta Jubah Merah akhirnya tewas di tangan Pendekar Naga Putih.

“Kenanga..., jangan !”

Panji berseru ketika melihat sosok bayangan hijau hendak membunuh pemuda tegap yang telah tak berdaya. Pemuda tegap itu sendiri tengah rebah menelentang di atas tanah, seolah-olah menunggu ujung pedang gadis berpakaian hijau itu menembus dadanya. Bersamaan dengan itu, terdengarlah suara ribut-ribut agak jauh di luar kuil. Sebentar kemudian, tampaklah Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, Ki Bawung Sati dan para penjaga keamanan desa datang memasuki halaman kuil.

Panji sendiri telah mengangkat bangkit tubuh Gutawa, pemuda tegap yang hendak dibunuh Kenanga, sosok berpakaian hijau itu. Kemudian dibawanya tubuh putra kepala desa itu menghadap Ki Sangaji. Sedangkan Cakar Setan dan Walung sudah sejak tadi menggeletak dengan tubuh bermandi darah. Keduanya telah tewas di tangan Kenanga.

“Gutawa...!” seru Ki Sangaji yang merasa terkejut melihat putranya berada di tempat itu. Wajah orang tua itu berkerut saat melihat wajah Gutawa yang tampak dipenuhi luka bekas pukulan.

“Lebih baik kita kembali ke desa. Rupanya Gutawa masih terkena pengaruh sihir. Mudah-mudahan aku masih bisa mengobatinya...,” ujar Panji dengan suara merendah.

Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sangaji langsung memerintahkan orang-orangnya untuk segera menangkap sisa pendeta yang tinggal sepuluh orang. Kemudian rombongan, itu pun berangkat meninggalkan kuil.

“Kenanga, bagaimana kau bisa berada di tempat ini? Apakah kau sudah pamit kepada bibimu?” tanya Panji saat keduanya berjalan di barisan paling belakang.

“Aku bosan hidup dalam lingkungan Kadipaten, Kakang. Lagi pula, Kakang terlalu lama pergi. Jadi, aku putuskan untuk menyusul. Ketika tiba di tempat Ki Ganda Buana, Pamanmu itu mengatakan bahwa kau pergi menyelidik ke sebuah kuil di ujung desa ini. Ya..., langsung saja aku menyusul..., jawab Kenanga sambil tersenyum dengan sinar mata penuh kerinduan.

Panji tersenyum seraya merangkul kekasihnya. Ia memang telah berjanji kepada Kenanga untuk kembali menemui gadis itu, yang tinggal bersama bibinya, istri seorang perwira kadipaten. Beberapa hari lalu Kenanga memang diminta oleh bibinya, yang telah lama tidak berjumpa dengannya, untuk tinggal sementara waktu di kadipaten.

Panji, yang tidak ingin mengganggu pertemuan itu, pamit untuk mengunjungi pamannya di Desa Pegatan dan berjanji akan kembali dalam waktu dekat. Rupanya Kenanga tidak sabar, karena Panji terlalu lama pergi. Gadis jelita itu nekat menyusul, meskipun ia harus tiba di Desa Pegatan saat hari telah lewat tengah malam. Kedatangan gadis jelita itu sendiri, justru tepat pada saat Panji sangat memerlukan bantuannya.

“Kakang sendiri kapan hendak melanjutkan petualangan...?” tanya Kenanga, memecah kesunyian di antara mereka.

“Setelah Gutawa sembuh, kita langsung berpamitan dan melakukan petualangan bersama-sama seperti biasa...,” jawab Panji seraya tersenyum, membuat wajah gadis jelita itu terlihat lega.

Beberapa hari kemudian, Gutawa telah pulih kesehatannya. Putra kepala desa itu menceritakan bahwa sebelum masuk menjadi pengikut, ia diperbolehkan untuk menyaksikan upacara-upacara para pendeta itu, yang antara lain mengorbankan wanita muda sebagai persembahan. Beberapa di antara wanita-wanita muda itu ada pula yang dijadikan sebagai pelampiasan nafsu binatang mereka, untuk kemudian dibunuh setelah mereka bosan.

“Apakah Sumi telah mereka bunuh juga...?” Ki Sangaji langsung menanyakan warga desanya yang pernah dibawa oleh putranya itu.

“Sumi... Sumi...,” bibir Gutawa menggerimit mengucapkan nama itu, “Ya..., ada samar-samar kuingat nama itu. Sayang..., semua gadis itu telah dibunuh, termasuk juga Sumi”

Ki Sangaji dan orang-orang lainnya yang mendengar keterangan Gutawa hanya bisa menghela napas berat. Tidak berapa lama kemudian, suasana pun hening. Semua orang yang berada di tempat itu seperti sengaja membiarkan diri terbawa alam pikiran masing-masing. Sementara itu, Pendekar Naga Putih dan Kenanga tampak telah siap melanjutkan petualangan mereka.

S E L E S A I