Kelabang Hitam

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih episode Kelabang Hitam karya T Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Episode Kelabang Hitam
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih


SATU

HARI baru mulai beran jak sore ketika belasan sosok tubuh berjalan tergesa-gesa. Di punggung pakaian mereka yang serba merah terdapat sulaman benang hitam bergambar seekor kelabang. Belasan orang itu menghentikan langkahnya tepat di depan bangunan kokoh yang di atas pintu gerbangnya terpampang papan tebal bertuliskan 'Perguruan Cakar Elang'.

Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang berada paling depan memalingkan wajah ke arah kawan-kawannya. Sesaat kemudian, mengangguk kepada seorang anggota gerombolan yang bertubuh tinggi kekar dan berkepala botak. Dan tanpa banyak cakap lagi si botak langsung melangkah ke depan pintu gerbang.

“Hm...!” Sambil menggeram lirih, si botak mengangkat kedua tangannya ke atas kepala, untuk kemudian di turunkan di sisi pinggang. Dan sesaat kemudian kedua tangannya didorong kedepan dengan telapak tangan terbuka.

“Hiahhh!”

Brakkk!

Pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati tebal kontan pecah berantakan aki bat hantaman sepasang telapak tangan si botak. Serpihan-serpihan kayu beterbangan ke segala arah. Belasan sosok serba merah serta-merta berlompatan menerobos serpihan-serpihan kayu. Gerakannya rata-rata gesit dan terlatih baik.

“Ada pengacau...!” salah seorang dari dua penjaga pintu gerbang berteriak keras kepada kawan-kawannya. Sedangkan penjaga yang satu lagi bergegas menghadang belasan tamu tak diundang sambil menodongkan ujung tombak.

“Siapa kalian? Mengapa kalian rusakkan pintu gerbang perguruan kami?” bentak penjaga itu sambil menggerak-gerakkan tombak. Sorot matanya berputar liar mengawasi wajah belasan orang itu.

Mendengar pertanyaan penjaga pintu gerbang, si tinggi kekar berkepala botak segera melangkah maju. “Hm.... Aku adalah Tapak Baja! Kedatanganku kemari untuk mencari gurumu. Cepat laporkan!” bentak laki-laki tinggi kekar berkepala botak yang mengaku berjuluk Tapak Baja itu galak.

Saat itu puluhan orang murid Perguruan Cakar Elang berlarian datang. Rupanya keributan di depan pintu gerbang telah mengundang perhatian mereka.

“Kakang..!” tegur si penjaga kepada salah seorang kawannya yang juga adalah kakak seperguruannya.

“Hm.... Ada apa ini? Siapa mereka? Dan apa maksud mereka merusak pintu gerbang segala?” tanya orang itu sambil memandang wajah si penjaga. Suaranya terdengar tegas dan berwibawa.

“Kakang Sadewa, orang itu mengaku berjuluk Tapak Baja. Dan kedatangan mereka bermaksud untuk mencari guru,” jawab si penjaga sambil menunjuk orang tinggi kekar berkepala botak.

“Benarkan begitu, Kisanak?” tanya Sadewa yang mengalihkan pandangan kepada Tapak Baja. Kemudian sepasang matanya berputar merayapi belasan sosok serba merah lainnya.

“Tidak perlu banyak tanya lagi! Cepat panggil gurumu! Aku tidak ada waktu meladeni cecunguk macam kalian!” bentak si botak sambil melotot penuh ancaman. Seraya mengepal ngepalkan tinjunya sampai menimbulkan bunyi gemeretak nyaring.

“Hm.... Tidak semudah itu, Kisanak. Semua urusan yang menyangkut perguruan kami telah di percayakan kepadaku. Dan kalau kau tidak mau memberitahukan kepentinganmu, lebih baik kau tinggalkan perguruan kami!” tegas Sadewa tenang.

“Ha h a ha...!” Tapak Baja tertawa tergelak mendengar ucapan Sadewa. Sesaat kemudian suara tawanya lenyap dan wajahnya pun berubah bengis. Dari buku-buku jari tangannya kembali terdengar suara gemeretak. Sekilas terlihat sepasang tangannya bergetar, ia seolah-olah siap melancarkan pukulan maut kepada Sadewa.

“Adi Tapak Baja! Kau mundurlah!” kata lelaki tinggi kurus, yang merupakan pimpinan belasan orang berpakaian serba merah seraya melangkah perlahan. Sang pemimpin yang sejak tadi hanya memandangi angkuh, mendekati Sadewa.

Tapak Baja yang semula kelihatan garang merasa gentar kepada si tinggi kurus. Lelaki berkepala botak itu menyingkir memberi jalan kepada pemimpin yang diseganinya. Sejenak hati Sadewa bergetar ketika bertemu pandang dengan lelaki tinggi kurus itu . Dari sorot mata orang itu, Sadewa sadar kalau saat ini dia tengah berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi.

“Hm...” Tanpa berkata sepatah pun, tahu-tahu lelaki tinggi kurus itu mengulurkan tangan ke depan. Gerakannya begitu cepat, dan hampir tak dapat diikuti mata orang awam.

“Aaah...!”

Gerakan yang seperti terlihat sembarang, ternyata telah mengejutkan Sadewa. Dengan cepat dia melemparkan tubuh kebelakang, menghindari cengkeraman tangan si tinggi kurus yang nyaris mengancam leher.

“Aaah...!”

Lagi-lagi terdengar seruan kaget dari mulut Sadewa! Meski pun telah mundur sejauh tiga tombak, namun cengkeraman lelaki tinggi kurus itu tetap saja membayangi dirinya. Sadewa yang sadar kalau dia tak akan dapat melepaskan diri dari serangan lawan, segera mengangkat tangan kanan untuk menangkis.

Plakkk!

“Aaakh!” Sadewa berteriak kesakitan ketika lengannya bertumbukan dengan lengan lawan . Seketika itu juga tubuhnya terlempar dan jatuh terduduk! Dari sela-sela bibirnya meleleh cairan merah. Sungguh tidak disangkanya kalau tenaga dalam lelaki tinggi kurus itu demikian hebat!

“Hm... Hanya segitu sajakah kepandaian murid utama Pendekar Elang Sakti?” ejek laki-laki tinggi kurus itu dengan nada menghina. Si tinggi kurus tidak lagi melanjutkan serangan . Dia hanya berdiri tegak sejauh tiga tombak. Padahal kalau dia mau, batok kepala Sadewa dapat saja di cengkeram pada saat berusaha untuk bangkit tadi.

“Siapa kau, Orang Tua? Ada keperluan apa kau mencari guruku?” tanya Sadewa, kepada laki-laki tinggi kurus, yang berusia sekitar lima puluh lima tahun. Sepasang matanya menatap penuh selidik, seolah-olah ia berusaha mengingat-ingat barangkali orang itu pernah datang sebelumnya. Tapi sampai sekian lama meneliti, Sadewa tetap tak mengenal orang itu.

“Hm... Katakan kepada gurumu, Jari Penembus Tulang ingin berjumpa!” ujar laki-laki tinggi kurus itu dengan suara yang dalam dan berat. “Cepatlah! Sebelum habis kesabaranku!” ancam laki-laki tinggi kurus yang mengaku berjuluk Jari Penembus Tulang.

Sadewa yang sadar kalau lelaki tinggi kurus itu bukan tandingannya, cepat berpaling kepada salah seorang kawannya. “Laporkan kepada guru, ada tamu yang berjuluk Jari Penembus Tulang ingin bertemu! Cepat!” perintah Sadewa kepada salah seorang murid yang berkerumun di belakangnya.

Sedangkan dia sendiri tetap diam di tempatnya untuk men jaga segala kemungkinan. Meskipun tahu kalau dirinya tidak mungkin menang menghadapi Jari Penembus Tulang, tapi rasa tanggung jawab yang besar membuatnya tetap mengawasi tamu-tamu tak diundang. Sebelum murid yang di perintah Sadewa beran jak, tiba-tiba terdengar suara berat dan berwibawa.

“Siapa yang mencari ku, Sadewa...?”

Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan putih berkelebat, mendatangi halaman depan Perguruan Cakar Elang. Dalam sekejap saja, laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun itu telah berdiri di samping Sadewa. Dua orang laki-laki gagah lain telah pula berada di belakangnya.

“Hm .... Kiranya Jari Penembus Tulang yang datang! Angin apa yang membawa langkahmu sampai ke tempatku ini, Jari Penembus Tulang?” sapa laki-laki berjenggot putih.

“He he he...! Pendekar Elang Sakti! Kedatangan ku kemari membawa angin baik untukmu. Tapi semua itu tergantung sikapmu!” sahut Jari Penembus Tulang tak jelas, sehingga membuat kening kakek itu berkerut.

“Tidak perlu berbelit-belit. Katakan saja apa keperluanmu menemuiku ,” ujar kakek itu yang ternyata adalah Ketua Perguruan Cakar Elang. Meski pun cara berbicaranya tetap ramah, namun mencerminkan ketegasan sikap seorang guru persilatan besar.

“Pendekar Elang Sakti, kedatanganku kemari untuk mengajakmu bergabung dengan kami. Dan sebagaimana yang kukatakan tadi, nasibmu tergantung pada sikapmu. Kalau kau bersedia, kutunggu di Hutan Warangan tujuh hari setelah kedatanganku ini. Di sana ketua kami menunggumu!” ucap Jari Penembus Tulang sambil menatap tajam lawan bicaranya.

“Apa tujuanmu mengajakku bergabung? Dan siapa ketuamu?” tanya Pendekar Elang Sakti.

“Kau tidak perlu tahu siapa ketua kami. Pokoknya kau harus menjawab ajakan kami sekarang juga. Dan ingat! Nasibmu dan seluruh murid Perguruan Cakar Elang tergantung dari jawabanmu!” sahut Jari Penembus Tulang, kembali mengingatkan ancamannya. Melihat dari sikap dan sinar matanya, sepertinya laki-laki tinggi kurus ini tidak main-main.

“Dengar, Kisanak!” ujar Pendekar Elang Sakti, sambil menatap lawan bicaranya tajam-tajam. Perasaan orang tua itu benar-benar tersinggung mendengar ancaman Jari Penembus Tulang.

“Bagaimana aku dapat bergabung dengan ketuamu, kalau kau tidak mengatakan tujuan kelompokmu? Dan untuk apa aku datang kalau nama orang yang mengundangku pun tidak pula kau beri tahu?”

“Jadi...,” ucap Jari Penembus Tulang meminta ketegasan.

“Yah, aku menolak bergabung dengan ketuamu! Lain halnya kalau kau memberi tahu tujuan kelompokmu dan siapa nama ketuamu? Mungkin aku dapat mempertimbangkannya,” sahut Pendekar Elang Sakti tegas.

“Tidak usah bertele-tele, Pendekar Elang Sakti. Katakan saja kau menolak! Apa kau takut mengucapkan kata-kata itu?” ejek Jari Penembus Tulang, sinis. Sekilas sorot matanya terlihat penuh ancaman.

“Ya! Aku menolak!” sahut Pendekar Elang Sakti, menentang.

“Bagus! Itu baru ucapan laki-laki sejati! Nah, sekarang bersiaplah kau menerima hukuman!” tantang Jari Penembus Tulang, dengan wajah bengis. Setelah berkata begitu, kedua tangannya dikibaskan sebagai isyarat kepada tiga belas orang berseragam merah yang berdiri dibelakangnya.

Begitu mendapat isyarat, ketiga belas orang berseragam merah pun segera menyebar sambil mencabut senjata masing-masing. Sementara lima puluh murid Perguruan Cakar Elang siap menunggu perintah guru mereka. Tak seorang pun di antara puluhan orang murid itu berani bertindak sendiri sebelum dapat aba-aba dari sang Ketua.

“Tunggu...!” tiba-tiba sebelum pertempuran terjadi, Pendekar Elang Sakti berseru lantang. Tentu saja teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu mengejutkan semua orang. Sesaat semua yang hadir terdiam.

“Apakah kau berubah pikiran, Pendekar Elang Sakti?” ujar Jari Penembus Tulang, sambil memperlihatkan senyum kemenangan.

“Tidak! Tapi aku ingin mengusulkan sesuatu padamu!” Pendekar Elang Sakti, tetap tenang.

“Katakan! Apa usulmu?” pinta lelaki tinggi kurus itu, sambil mengerutkan kerung. Sikapnya tetap sombong dan menganggap remeh lawan.

“Aku ingin persoalan ini tidak disangkut-pautkan dengan murid-muridku. Aku menantangmu berkelahi satu lawan satu. Tentu saja kalau kau berani,” sindir Ketua Perguruan Cakar Elang sengaja melontarkan ucapan yang menyinggung harga diri lelaki tinggi kurus itu.

“Apa maksudmu, Pendekar Elang Sakti?” tanya Jari Penembus Tulang.

“Maksudku, aku siap menantangmu bertarung. Apabila kau kalah, kau harus meninggalkan tempat ini dan jangan mengganggu kami lagi!” sahut Pendekar Elang Sakti, dengan suara dikeraskan agar belasan anak buah Jari Penembus Tulang ikut mendengar.

“Bagaimana kalau kau yang kalah?” tanya lelaki tinggi kurus itu lagi.

“Kalau aku yang kalah, terserah apa yang akan kau perbuat pada perguruanku ini!” tegas Ketua Perguruan Cakar Elang, tetap tenang.

“He he he... Baik! Ku terima tantanganmu!” sambut Jari Penembus Tulang, sambil melangkah ke tengah-tengah pelataran Perguruan Cakar Elang. Sepasang matanya menyorot tajam, seolah-olah tak ingin lepas dari wajah lawan.

“Mulailah, Ki sanak!” ucap Pendekar Elang Sakti memasang kuda-kuda. Kedua kakinya bersilangan rendah. Sedangkan sepasang tangannya mengembang ke samping. Inilah jurus pembukaan ‘Elang Sakti ’ yang membuat namanya terkenal dirimba persilatan.

“Hmh...!” Jari Penembus Tulang menggeram. Telapak kakinya digeser berlawanan membentuk kuda-kuda seperti posi si orang menunggang kuda. Sementara sepasang telapak tangannya bersilangan di atas kepala. Sepasang telapak itu bergetar sesaat sebelum di turunkan perlahan-lahan ke depan dada.

“Heaaat...!” Diiringi teriakan nyaring, tiba-tiba Jari Penembus Tulang meluncur ke arah lawan. Jari-jari tangannya menusuk berganti gantian.

Wuttt! Wuttt!

Suara sambaran jari-jari tangan si tinggi kurus berdesing tajam membelah udara.

Pendekar Elang Sakti yang memang sudah pernah mendengar kehebatan Jari Pen embus Tulang, segera menggeser kaki kanan dengan posisi kuda-kuda direndahkan. Begitu jari-jari tangan lawan lewat, tangan kanannya menyambar dengan kecepatan kilat.

Wukkk!

Jari Penembus Tulang bergegas mengangkat kaki kiri yang menjadi sasaran serangan Pen dekar Elang Sakti. Secepat kilat pula tubuhnya berputar sambil melepaskan tendangan ke arah leher. Gerakan tendangan kilat berputar ini nyaris mengenai leher Ketua Perguruan Elang Sakti.

“Aaah...!” Bukan main terkejutnya pendekar tua itu ketika melihat tendangan kilat lawan. Untunglah dia cepat menghindar ke belakang. Sehingga tendangan itu hanya mengenai angin kosong.

“Heaaat...!”

Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Pendekar Elang Sakti langsung melambung ke arah lawan. Sepasang tangannya yang membentuk cakar elang menyambar-nyambar tak ubahnya burung elang mencecar mangsa.

“Hmh!” Di sertai dengusan kasar, Jari Penembus Tulang menyambut serangan lawan. Pertempuran kembali berlangsung. Kedua tokoh sakti yang sama-sama menggunakan kekuatan jari saling serang dengan hebatnya! Namun sampai sedemikian jauh, belum ada tanda-tanda salah seorang di antara mereka akan kalah.

Tak Terasa adu tanding antara dua tokoh sakti berlangsung alot dan lama. Tapi keadaan pertempuran sama sekali belum berubah. Kedua orang tokoh sakti masih sama-sama kuat, sehingga keduanya menjadi semakin penasaran! Tanpa di sangka-sangka Jari Penembus Tulang melompat mundur meninggalkan Pendekar Elang Sakti. Tubuhnya mendarat ringan sejauh empat tombak setelah melakukan dua kali salto diudara.

“Hiaaah ...!”

Jari Penembus Tulang membentak keras sambil memutar-mutar sepasang tangan. Rupanya masih ada lagi ilmu paling ampuh yang belum di keluarkannya. Melihat lawannya ternyata sangat kuat, maka dia pun segera mengeluarkan ilmu andalan yang selama ini jarang di pakai kalau tidak terpaksa. Pendekar Elang Sakti terkejut melihat perubahan gerakan lawan. Diam-diam hatinya mulai diliputi kecemasan melihat Jari Penembus Tulang masih punya ilmu andalan yang belum dikeluarkan.

“Yeaaat..!”

Dengan disertai teriakan nyaring, tubuh Jari Penembus Tulang melesat menyerang. Serangan kali ini terlihat lebih cepat dan ganas! Dua buah jari tangan yang berbentuk totokan, menderu mengancam Pencakar Elang Sakti!

Cuittt! Cuittt!

“Aaah...!” Pendekar Elang Sakti berseru tertahan. Untunglah dia masih sempat bergulingan menjauhkan diri. Kalau tidak, niscaya tubuhnya pasti akan tertembus jari lawan yang sekeras besi! Setelah bergulingan sejauh lima tombak, Ketua Perguruan Cakar Elang bergegas melenting bangkit. Kedua tangannya bergerak cepat menjaga segala kemungkinan. Wajah orang tua itu terlihat agak pucat, membayangkan apa yang bakal terjadi kalau jari tangan lawan menusuk tubuhnya.

“He he he...! Mengapa kau hanya lari-lari saja seperti anjing takut digebuk?” ejek lelaki tinggi kurus itu sambil memperdengarkan suara tawanya yang serak dan menyebalkan.

Sadar kalau lawan berusaha memancing amarahnya, Pendekar Elang Sakti sengaja tidak menjawab. Sejenak dia terdiam sambil meneliti langkah Jari Penembus Tulang. Otaknya terus berputar mencari jalan bagaimana mengimbangi kepandaian lawan yang ternyata memiliki kepandaian sukar diukur.

“Ayo, majulah! Mengapa diam saja? Apakah keberanianmu sudah lenyap?” orang tinggi kurus itu terus-menerus mengejek sambil melangkah mendekati lawannya. Dia tidak hanya mempunyai kepandaian yang tinggi, tapi sifat liciknya pun patut diperhitungkan. Tanpa kenal putus asa, dia terus berusaha mengalihkan perhatian Ketua Perguruan Cakar Elang.

Ocehan dan ejekan si tinggi kurus tidak digubris Pendekar Elang Sakti! Ia berdiam diri, matanya menyorot tajam gerak-gerik lawan. Jari Penembus Tulang penasaran. Hatinya mulai panas sampai ke ubun-ubun. Maka, ia pun membentak keras-keras agar lawannya bergerak. Melalui tenaga sakti, ben takan keras itu dapat mengaburkan pandangan lawan.

“Heaaah!”

Betapa terkejut hati Pendekar Elang Sakti melihati gerakan lawan. Sepasang matanya tak dapat menangkap jelas bayangan Jari Penembus Tulang yang tahu-tahu sudah berkelebat!

“Langkah Dua Belas Naga...!” desis Pendekar Elang Sakti, terkejut. Sama sekali tidak disangkanya kalau lawan memiliki ilmu langkah-langkah ajaib yang amat langka itu. Peristiwa yang dialaminya tentu saja membuat dia semakin bingung!

“Yeaaat...!”

Wuttt! Brettt!

“Aaakh...!” Pendekar Elang Sakti menjerit kesakitan ketika merasakan jari tangan lawan telah menancap di lambungnya. Tubuhnya terjajar delapan langkah ke belakang. Seketika darah segar merembes dari luka di lam bung yang terasa panas dan menyakitkan itu.

Wuttt! Cuittt!

Sesaat kemudian Jari Penembus Tulang kembali menerjang dengan serangan-serangan mematikan! Jari-jari tangannya berkelebatan cepat mengancam berbagai bagian tubuh lawan. Cepat Pendekar Elang Sakti mengelebatkan pedang, yang sejak tadi menggantung di pinggangnya memapak serangan lawan.

DUA

Wukkk!

Jari Penembus Tulang merendahkan kuda-kuda dengan kepala menunduk, sehingga sambaran pedang lewat setengah jengkal diatas kepalanya. Secepat sambaran pedang lewat, secepat itu pula jari-jari tangannya meluncur ke dua arah. Jari-jari tangan kiri menusuk kening, sedangkan jari kanan mematuk pergelangan tangan lawan, yang memegang pedang. Dan....

Tukkk! Crokkk!

“Aaargh ...!” Pendekar Elang Sakti menjerit kesakitan ketika kening dan pergelangan tangannya dipatuk jari tangan lawan. Tubuhnya terdorong limbung ke belakang. Dari keningnya menyembur darah segar sementara tangan kanan terkulai lumpuh. Tulang pergelangan tangannya seketika lepas dari sambungan. Bertepatan pada saat tubuh Ketua Perguruan Cakar Elang terjajar limbung, tubuh si tinggi kurus kem bali meluncur.

Crabbb! Desss!

Tendangan Jari Penembus Tulang langsung mengenai tubuh Pendekar Elang Sakti. Seketika itu juga tubuh orang tua ini ambruk dengan napas tersengal-sengal. Darah mengalir semakin deras dari kening dan dadanya.

“Guru...!” Sadewa dan dua orang murid utama lain langsung menghambur ke arah guru mereka. Sementara murid-murid yang lain hanya dapat memandang dengan wajah haru, dan seakan tak percaya melihat peristiwa yang baru saja terjadi.

“Guru... Ahhh... guru....”

Ketiga orang murid utama terisak sedih dan menyesali keadaan sang guru yang terluka parah dan tidak akan ada harapan untuk hidup lebih lama lagi.

“Wi... se... sa.... Jaga... a.... dik... seperguruanmu baik... ba... ikkk.... Ahhh...,” setelah berpesan demikian, kepala Pendekar Elang Sakti langsung terkulai di atas pangkuan Wisesa. Murid tertua itu sangat terharu mengetahui sang guru telah tiada.

“Guru ...!” Sadewa memanggil-manggil nama gurunya sambil mengguncang-guncangkan tubuh orang tua itu. Sedangkan Wisesa hanya dapat memandang dengan perasaan remuk-redam.

“Adi, beliau ... telah tiada...,” ujar Wisesa, setelah dapat menenangkan perasaan hatinya. Murid tertua itu kembali menundukkan kepala karena merasa tak tahan melihat wajah adik seperguruannya yang terlihat sangat berduka. Wisesa dapat memaklumi karena Sadewa memang merupakan murid tersayang sang guru. Dia tak dapat berbuat apa-apa saat Sadewa masih juga mengguncang-guncangkan tubuh Pendekar Elang Sakti yang mulai terbujur kaku.

“He he he...! Mengharukan sekali!” Jari Penembus Tulang tertawa mengejek melihat kesedihan dan penyesalan murid-murid Perguruan Cakar Elang.

Seketika tiga murid utama yang sedang diselimuti rasa duka itu mengalihkan pandangan begitu tersadar kalau pembunuh itu masih berada di depan mereka. Kemudian ketiganya bangkit dengan raut wajah mencerminkan rasa dendam yang amat sangat.

“Keparat kau, Cacing Kurus! Kau harus menebus kematian guruku dengan nyawamu dan nyawa orang-orangmu!” bentak Sadewa, seraya mencabut pedang. Dengan kemarahan yang meluap-luap, pemuda itu langsung melompat dan mengayunkan pedang ke leher si tinggi kurus.

Wuttt! Sabetan pedang Sadewa mengenai angin kosong karena Jari Penembus Tulang telah menggeser tubuh ke belakang. Nampaknya dia sengaja tidak ingin melayani amukan pemuda itu .

“Hm .... Rupanya kalian lebih suka mampus! Anak-anak, habisi orang-orang tak tahu diuntung ini!” perintah Jari Penembus Tulang kepada belasan orang anak buahnya yang berseragam merah.

Tanpa banyak cakap lagi, belasan orang berseragam merah langsung menyerbu murid-murid Perguruan Cakar Elang. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang amat seru di halaman depan Perguruan Cakar Elang. Puluhan murid Perguruan Cakar Elang yang di pimpin tiga orang muri d utama Perguruan Cakar Elang menerjang dengan ganas. Mereka yang merasa marah akibat kematian sang Guru, menerjang tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri.

Tiga belas orang berseragam merah sama sekali tidak merasa gentar meski pun masing-masing harus menghadapi keroyokan tiga atau empat orang lawan. Gerakan mereka rata-rata terlihat cepat, sehingga tidak heran kalau dalam beberapa jurus saja banyak murid-murid Perguruan Elang Sakti terkapar tewas!

Wisesa dan dua orang saudaranya tak dapat berbuat banyak. Karena pada saat itu ketiganya pun harus mempertahankan selembar nyawa mereka dari gempuran lelaki berkepala gundul yang berjuluk Tapak Baja. Tiga orang murid utama Pendekar Elang Sakti benar-benar kewalahan mengimbangi kepandaian lawan.

“Heaaah ...!” Ketika Tapak Baja berseru keras sambil mendorongkan telapak tangan ke dada Sadewa, pemuda itu cepat menangkis serangan dengan mengayunkan pedangnya. Namun alangkah terkejutnya pemuda itu ketika lawan membabat pedangnya hanya dengan tangan kosong, sedangkan tangan yang satu lagi tetap meluncur ke arah dada.

Takkk! Bukkk!

“Ughhh...!” Pedang di tangan Sadewa langsung patah terbabat telapak tangan Tapak Baja. Dan sebelum dia sempat tersadar, tahu-tahu telapak tangan lelaki berkepala gundul telah menghantam dadanya. Seketika darah segar bermuncratan dari mulut murid utama Pendekar Elang Sakti itu. Tubuhnya terbanting keras dan tewas seketika akibat hantaman tangan lawan yang telah menghantam isi dadanya.

“Keparat! Ku bunuh kau...!” bukan main marahnya Wisesa melihat kematian adik seperguruannya. Secepat kilat senjatanya diayunkan menebas leher Tapak Baja.

Pletakkk!

“Aaah...!” Wisesa terkejut setengah mati! Senjata di tangannya langsung patah akibat sabetan tangan lawan sedangkan dia sendiri terjajar mundur sejauh empat langkah. Dan belum lagi sempat memperbaiki kuda-kudanya, tahu-tahu telapak tangan Tapak Baja telah meluncur menghantam dada. Wisesa yang sudah tidak berdaya hanya memejamkan mata menunggu maut datang menjemput!

Plakkk! Desss!

“Ughhh...!” Terdengar teriakan menyayat hati yang disusul terl emparnya sesosok tubuh berpakaian serba merah beberapa tombak kebelakang. Seketika darah segar bermuncratan dari mulutnya.

Wisesa yang sedang memejamkan mata menjadi heran karena serangan orang yang mengaku berjuluk Tapak Baja tak juga datang. Rasa heran semakin bertambah saat didengarnya jeritan orang kesakitan. Perlahan-lahan kedua kel opak matanya di buka untuk melihat apa yang terjadi. Murid tertua Perguruan Cakar Elang melihat tubuh Tapak Baja telah terkapar tak berdaya. Kini di depannya tampak sesosok tubuh berpakaian serba putih tengah berdiri tegak. Di punggung orang asing itu terselip sebatang pedang panjang dan besar.

“Siapakah Kisanak?” sapa Wisesa kepada orang berpakaian serba putih. Matanya menatap tajam, seakan-akan ingin mengetahui dengan jelas sosok tubuh berbaju putih yang membelakanginya! Dan sebelum pertanyaannya di jawab, tiba-tiba terdengar lagi jeritan kematian yang berasal dari arena pertempuran di sebelah kiri Wisesa. Segera Wisesa mengalihkan pandangan ke asal suara jeritan. Terlihat olehnya seorang gadis cantik tengah bertempur di keroyok beberapa orang berpakaian serba merah.

“Eh, siapa pula wanita jelita itu?” desis murid tertua Perguruan Cakar Elang, semakin heran. Sepasang matanya membelalak lebar-lebar menyaksikan dua orang berbaju merah terjungkal bersimbah darah! Pedang yang bersinar putih di tangan gadis itu terlihat berlumuran darah.

“Uruslah kawan-kawanmu. Biar aku yang menghadapi orang itu,” ujar sosok tubuh berjubah putih itu sambil tersenyum. Wajahnya yang tampan terlihat semakin menarik saat tersenyum. Rambutnya yang panjang bergoyang-goyang tertiup angin. Sehelai kain yang juga berwarna putih menghiasi kepalanya.

Sejenak Wisesa terpana ketika mengetahui kalau orang serba putih yang telah menolongnya ternyata masih sangat muda. “Baik.... Baik, Tuan Pendekar...!” sahut Wisesa, terbata-bata.

Dengan wajah masih diliputi tanda tanya, dia pun bergegas membantu murid-murid lain bersama adik seperguruannya. Sementara itu, Tapak Baja berusaha bangkit sambil menekap dada dengan tangan kiri. Sedang tangan kanannya terkulai lumpuh. Dari sudut bibirnya keluar darah segar.

“Bangsat! Siapa kau? Mengapa kau campuri urusanku?” geram Tapak Baja, sambil meringis menahan rasa sakit di dada akibat hantaman telapak tangan pemuda berjubah putih itu.

“Hm.... Siapa pun yang melihat kejadian ini tidak akan bisa berpangku tangan! Dan sudah menjadi kewajiban setiap pendekar pembela kebenaran untuk membasmi orang sekeji kau!” sahut pemuda tampan itu dengan tenang.

“Sebutlah namamu! Atau kau akan menjadi mayat tanpa nama!” ancam Tapak Baja, semakin geram, mendengar jawaban yang tak diharapkan.

“Mundur kau, Tapak Baja! Aku telah dapat menduga siapa pemuda usilan ini! Nah, sambutlah seranganku, Kisanak! Haiiit...!” didahului bentakan nyaring, tubuh tinggi kurus yang tidak lain adalah Jari Penembus Tulang segera melancarkan serangan.

Wettt! Wuttt!

“Hm...” Pemuda tampan berjubah putih hanya menggeser kaki kebelakang, sehingga serangan itu pun hanya mengenai tempat kosong. Secepat kilat kaki kanan telah digeser ke belakang, kembali terlontar ke depan melepaskan tendangan ke ulu hati lawan. Tendangan itu demikian cepat, sehingga mengejutkan Jari Penembus Tulang!

Bettt!

“Aaah...!” Lelaki tinggi kurus itu cepat melempar tubuh kebelakang dan langsung berputaran di udara. Kedua kakinya mendarat ringan beberapa tombak di depan lawan. Untunglah tadi dia bertindak cepat. Sesaat saja terlambat, ulu hatinya pasti terkena tendangan pemuda berjubah putih. Jari Penembus Tulang berusaha berdiri tegak dengan wajah sedikit pucat, karena tak mengira akan berhasil lolos dari tendangan kilatnya. Sepasang mata lelaki tinggi kurus menyorot tajam meneliti sekujur tubuh pemuda tampan berbaju putih. Keningnya berkerut, karena sebelumnya tak pernah melihat ciri ciri manusia yang di duganya adalah pemuda itu. Tentu saja hal itu menimbulkan keraguan dalam hatinya.

“Siapa kau sebenarnya, Anak Muda? Apakah kau sedemikian pengecutnya, sehingga tidak berani memperkenalkan diri?” ujar Jari Penembus Tulang, memancing kemarahan dan harga diri pemuda itu.

“Ha ha ha...! Orang Tua. Kalau kau memang ingin tahu namaku, baiklah! Nama panggilanku adalah Panji. Aku hanya seorang perantau yang kebetulan lewat. Dan sebagai orang yang memiliki sedikit kepandaian, aku tidak bisa tinggal diam melihat perbuatan anak buahmu yang berlaku keji terhadap murid-murid Perguruan Cakar Elang. Nah, sekarang kau sudah puas?” tegas pemuda tampan yang tidak lain adalah Panji alias Pendekar Naga Putih dengan sikap tenang.

“Hm... Mengapa kau tidak menyebutkan julukanmu, agar dapat ku pertimbangkan apakah aku pantas menghukum atau memaafkan tindakanmu?” Jari Penembus Tulang masih juga penasaran karena pemuda berjubah putih tidak menyebutkan julukannya.

“Ah, untuk apa segala julukan kosong itu, Orang Tua? Sudahlah! Sekarang kau boleh pilih. Sekarang juga pergi dari tempat ini dengan membawa pengikutmu, atau terpaksa aku menghukummu!” ancam Panji tanpa bersedia menyebutkan julukannya.

“Keparat kau, Anak Muda! Kau kira kami takut melihat kepandaianmu?! Huh! Jangan takabur! Aku masih belum kalah!” bentak Jari Penembus Tulang yang merasa marah mendengar perkataan Pendekar Naga Putih. Kedua tangannya tahu-tahu sudah kembali bergerak dan siap melanjutkan pertempuran.

“Baiklah kalau itu sudah jadi keputusanmu, Orang Tua!” sahut Panji, tetap bersikap tenang, namun penuh waspada.

“Hmh!” geram Jari Penembus Tulang, membuka jurus gaya burung rajawali. Kaki kanan agak rendah ke belakang dan kaki kiri di tekuk di depan. Jari tangan kanan yang berada di atas kepala menunjuk ke langit. Sedangkan tangan kiri terjulur lurus menunjuk ke arah lawan. Itulah pembukaan jurus kelima ilmu ‘Jari Sakti’ yang telah dipelajari dengan sempurna.

Sepasang mata Panji menatap tajam meneliti gerakan lelaki tinggi kurus di depannya. Dia memang pernah mendengar kehebatan ilmu ‘Jari Sakti’ yang kini sedang digunakan lawan. Dan dia pun tahu kalau kekuatan ilmu ‘Jari Sakti’ hanya terletak pada jari-jari tangan yang keras seperti besi dan dapat menembus tubuh manusia.

“Yeaaat...!” Diawali bentakan nyaring, Jari Penembus Tulang meluncur cepat secara bersilangan. Rupanya laki-laki tinggi kurus sudah mengeluarkan langkah ajaibnya.

Panji mengerutkan kening melihat lawan bergerak maju dengan langkah-langkah aneh. Pemuda itu makin terkejut melihat tubuh Jari Penembus Tulang hampir tak tampak oleh mata. Diam-diam Panji memuji kehebatan lawan yang ternyata memiliki kepandaian beraneka ragam.

Bettt! Bettt!

“Aihhh...!” Pendekar Naga Putih berseru tertahan Tiba-tiba saja jari-jari tangan lawan menyambar secara tak terduga. Untunglah pemuda itu sempat membuang tubuh ke samping, sehingga serangan dua jari tangan laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berhasil dihindarkan. Sedikit saja terlambat, mungkin jari-jari tangan sekeras besi lawan akan menembus lambung dan leher. Kini Panji harus lebih berhati-hati menghadapi Jari Penembus Tulang dengan langkah-langkah ajaibnya.

Jari Penembus Tulang terus mencecar Panji dengan gerakangerakan yang membingungkan. Sepasang tangannya menyambar-nyambar ganas menimbulkan deru angin tajam.

Wettt! Bettt!

Dua serangan jari tangan lawan dapat dielakkan Panji, elakan dengan membuang tubuh ke kiri dan kanan. Selama dalam beberapa jurus, Pendekar Naga Putih hanya menghindar tanpa sekalipun berusaha membalas. Sepasang matanya yang tajam terus mengi kuti langkah lawan yang aneh dan mem bingungkan itu. Pemuda itu memang sengaja tidak membalas serangan lawan karena tengah mencari titik kelemahan ilmu ‘Langkah Ajaib’ lawan yang dihadapinya.

Pertarungan terus berlangsung hingga m enginjak jurus ke tigapuluh lima. Dan sampai sejauh itu, Panji belum juga dapat menemukan titi kkelemahan ilmu ‘Langkah Ajaib’ Jari Penembus Tulang. Sampai pada jurus ke tigapuluh lima ini pun ia sama sekali belum melakukan serangan balasan.

“Setan! Apakah kau hanya bisa berlari-lari seperti tikus, Anak Muda?!” Jari Penembus Tulang berteriak marah melihat Panji hanya menghindar tanpa sekalipun balas menyerang.

Pendekar Naga Putih sama sekali tidak menggubris ejekan lawan. Dia terus memperhatikan langkah-langkah aneh Jari Penembus Tulang. Sebenarnya dapat saja dia mematahkan serangan lawan dengan mengandalkan kehebatan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’nya. Tapi hal itu tidak dilakukan, karena merasa tertarik dengan ilmu ‘Langkah Ajaib’ lawan. Ilmu itu baru pertama kali ia temui setelah sekian lama malang-melintang didalam dunia persilatan

Setelah kurang lebih selama empat puluh jurus memperhatikan gerak langkah Jari Penembus Tulang, tampak senyum gembira menghias wajahnya. Rupanya Pendekar Naga Putih sudah dapat menemukan titik kelemahan ilmu ‘Langkah Ajaib’ gaya serang burung rajawali lawan.

Bettt! Brettt!

“Aaah...!” Kegembiraan karena telah menemukan kunci kelemahan ilmu ‘Langkah Ajaib’ lawan membuat Pendekar Naga Putih lengah. Untunglah dia masih sempat memiringkan tubuh, sehingga tusukan jari tangan lelaki tinggi kurus itu hanya sempat merobek baju di bagian dada. Cepat pemuda ini menghindar ke belakang dan dua kali bersalto di udara. Kedua kakinya mendarat ringan empat tombak dari tempat lawan.

“He he he...! Sebentar lagi bukan hanya bajumu yang bolong. Tapi tubuhmulah yang akan menjadi sasaran jari-jariku ini!” Jari Penembus Tulang tertawa gembira meskipun tusukan jarinya hanya sempat merobek baju Panji. Kejadian itu membuat dirinya semakin yakin, mampu mengalahkan lawan sekalipun harus mengerahkan segenap kemampuannya.

“Hm... Tertawalah sepuasmu, Orang Tua. Sebentar lagi ilmu ‘Langkah Ajaib’ yang kau banggakan akan kubuat takluk!” sahut Pendekar Naga Putih, seraya tersenyum lebar.

“Keparat sombong! Buktikan ucapanmu!” teriak Jari Penembus Tulang agak terkejut Hatinya yang semula yakin mendadak ragu ketika mendengar ucapan Panji. Tapi dia berusaha menyembunyikan keraguannya. Sebab siapa tahu pemuda itu hanya sekadar gertak sambal agar perhatiannya buyar.

“Heaaat...!” Sambil berteriak keras Jari Penembus Tulang kembali bergerak dengan langkah-langkah ajaib. Kedua kakinya melangkah bersilangan, terkadang diselingi gerakan mundur dan maju secara cepat dan aneh.

Melihat lawan sudah mulai bergerak, Panji pun mulai menggeser telapak kaki perlahan. Makin lama gerakan kaki pemuda itu semakin cepat, mirip dengan apa yang dilakukan laki laki bertubuh tinggi kurus itu. Apabila lawan bergerak mundur, maka pemuda itu pula melangkah mundur. Tentu saja gerakan Panji membuat lawan menjadi terheran-heran.

Wuttt! Wuttt!

Tiba-tiba saja Jari Penembus Tulang bergerak maju secara tak terduga. Saat itu pun Panji melakukan hal yang sama, sehingga dua pasang tangan keduanya saling dorong dan hampir bertumbukan. Sebelum kedua pasang lengan kekar itu salingnbertemu, mendadak laki-laki tinggi kurus itu mendoyongkan tubuh ke samping kiri sambil melontarkan tusukan jari ke lambung.

Cuittt!

Tusukan jari tangan yang mampu menembus batu karang, lolos tak mengenai sasaran! Rupanya saat itu pun Panji telah mendoyongkan tubuhnya, persis seperti yang dilakukan lawan. Sekali lagi tusukan Jari Penembus Tulang luput, karena posisi mereka yang saling berhadapan, membuat keduanya mendoyongkan tubuh ke arah berlawanan.

Wuttt! Blakkk!

“Aaakh...!” Sebelum Jari Penembus Tulang menyadari keadaannya, tahu-tahu tangan kanan Pendekar Naga Putih terayun disertai dengan putaran tubuhnya. Tak pelak lagi hantaman sisi telapak tangan Pendekar Naga Putih tepat mengenai lambungnya. Disertai lengking kesakitan, tubuh tinggi kurus itu terjajar mundur hingga beberapa tombak ke belakang. Darah segar mulai merembes di sudut bibirnya. Dan sebelum Jari Penembus Tulang sempat mengatur kuda-kuda, tahu-tahu Panji sudah melayang disertai tendangan yang merobek udara.

Bettt! Desss!

“Hukhhh...!” Darah segar langsung muncrat begitu telapak kaki Panji mampir di dada Jari Penembus Tulang. Tubuh laki-laki tinggi kurus itu pun terjengkang dan terbanting keras di tanah.

“Kakang...!” Tapak Baja menghambur ke arah pemimpinnya yang tengah berusaha bangkit.

TIGA

Sementara itu, pertempuran yang berlangsung di tempat lain pun sudah mulai berakhir. Para pengikut Jari Penembus Tulang yang sebelumnya berjumlah dua belas kini hanya tinggal empat orang. Itu pun keadaannya benar-benar tengah terancam maut!

“Hiaaa...!” Sambil berteriak keras, gadis jelita berpakaian serba hijau membabatkan pedang secara mendatar. Siapa lagi gadis jelita itu kalau bukan Kenanga.

Dua orang berseragam merah yang memang sudah terdesak berusaha mempertahankan selembar nyawanya mati-matian. Bergegas keduanya mengayunkan pedang menangkis sambaran pedang Kenanga.

Trangngng! Tringngng!

Brettt! Brettt!

“Aaakh ...!”

Terdengar suara berdentangan nyaring, ketika tiga batang pedang saling berbenturan keras. Dua orang berseragam merah membelalak, dengan wajah pucat ketika pedang mereka terlepas dari genggaman. Dan sebelum sempat menyadari apa yang mereka alami, tahu-tahu pedang bersinar putih keperakan berkelebat menyambar tubuh mereka. Kedua orang itu pun jatuh bergulingan sambil menekap dada yang terdapat tanda bergaris merah sepanjang satu jengkal. Keduanya terus bergulingan menjauhi gadis berpakaian serba hijau itu.

Kenanga sama sekali tidak berusaha mengejar lawannya. Gadis jelita itu hanya berdiri tegak memandang kedua lawannya yang tengah berusaha bangkit. Gerakan mereka terlihat agak limbung, menahan rasa sakit pada luka pada bagian atas dada masing-masing.

Sementara itu, pertarungan satu lawan satu antara dua murid utama Perguruan Cakar Elang dan dua orang berseragam merah tampak akan segera berakhir.

Brettt!

“Uhhh...!” Orang berpakaian serba merah yang menjadi lawan Wisesa langsung ambruk. Luka di lambungnya bersimbah darah segar. Dan sebelum orang itu dapat berdiri tegak, pedang di tangan Wisesa kembali menyambar ganas! Dendam yang membara dalam dadanya membuat murid tertua Pendekar Elang Sakti ini bertindak kejam!

Crokkk!

“Hukhhh!” Kepala musuh langsung putus disam barpedang Wisesa. Seketika darah menyembur dari leher yang terpotong, disusul tendangan keras hingga tubuh tanpa kepala itu tersungkur mencium tanah! Setelah berkelojotan sesaat, tubuh itu pun tak bergerak untuk selamanya.

Berbarengan dengan kejadian itu, terdengar teriakan kematian yang keluar dari mulut lawan adik seperguruan Wisesa. Suara berdebuk keras terdengar, ketika sosok berpakaian serba merah terbanting di tanah dengan usus terburai.

“Mampus kau, bangsat!” maki adik seperguruan Wisesa yang bernama Humbala geram sambil menyarungkan pedang.

“Kau tidak apa-apa, Adi Humbala?” tanya Wisesa menghampiri adik seperguruannya yang tengah menyarungkan pedang ke pinggang.

“Tidak, Kakang!” sahut Humbala seraya tersenyum getir.

Sementara itu dua lawan Kenanga yang menderita luka telah bergabung dengan Tapak Baja dan Jari Penembus Tulang. Empat orang yang semula garang kini memandang pucat, menanti apa yang bakal dilakukan Wisesa dan kawan-kawannya terhadap mereka.

“Bunuh saja mereka, Tuan Pendekar!” seru Wisesa yang menaruh dendam kepada orang-orang itu. Teriakan Wisesa disambut teriakan-teriakan murid-muri dPerguruan Cakar Elang lain yang masih selamat.

Keempat orang berpakaian serba merah telah bersimbah peluh karena ngeri dan ketakutan, melihat orang-orang Perguruan Cakar Elang menatap penuh dendam. Meski pun Tapak Baja hanya menderita luka ringan, namun dia sudah kehilangan keberanian menghadapi kesaktian pemuda berjubah putih.

“Hm... seorang pendekar tidak akan membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. Perbuatan itu akan di tertawakan tokoh tokoh persilatan apabila mereka dengar. Kurasa guru kalian pun akan sependapat dengan ku apabila beliau masih hidup,” ujar Panji sambil memandang murid-murid Perguruan Cakar Elang, yang tertunduk lesu. Pemuda berjubah putih baru tahu , kalau Ketua Perguruan Cakar Elang tewas, ketika melihat mayat seorang laki-laki tua, terbujur kaku dengan luka di kening dan ulu hatinya.

Begitu diingatkan tentang gurunya, Wisesa tertunduk sedih. Apa yang dikatakan pemuda berjubah putih yang menolong mereka memang benar. Wisesa sudah sering mendengar kata-kata yang sama dari mulut sang Guru. Setelah berusaha menekan api dendam yang membara dalam dada, Wisesa pun mengangguk lemah ke arah Panji.

“Nah, kalian sudah lihat sendiri kalau kalian telah diampuni. Sekarang, pergilah dari tempat ini, sebelum mereka berubah pikiran!” ujar Panji kepada keempat orang berseragam merah yang hampir-hampir tak mempercayai pendengarannya.

Dengan wajah masih diliputi tanda tanya besar, keempat orang berseragam merah pun bergegas meninggalkan halaman depan Perguruan Cakar Elang. Mereka terus berlari tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun! Sampai-sampai mereka tidak sempat mengetahui nama pendekar yang welas asih itu.

“Nah, sekarang giliran kami yang harus pergi. Ayo, Adik Kenanga!” ujar Panji sambil menarik lengan kekasihnya. Sekelebatan saja tubuh kedua muda-mudi itu sudah lenyap di balik tembok perguruan ini.

“Tuan Pendekar...!” Wisesa yang belum sempat mengetahui, siapa penolong mereka berusaha mencegah. Tapi sayang kedua pendekar muda itu telah jauh meninggalkan tempat mereka.

“Ah, selain kita tidak tahu siapa pendekar muda tadi, kita juga belum mengucapkan terima kasih kepada mereka,” desah Wisesa kecewa.

“Rasanya orang-orang seperti mereka tidak memerlukan ucapan terima kasih, Kakang. Mereka adalah pendekar-pendekar pembela kebenaran, yang menolong tanpa pamrih!” ujar Humbala mengingatkan.

“Dapatkah engkau mengetahui siapa mereka, Adi Humbala?” tanya Wisesa kepada adik seperguruannya, yang sering keluar untuk melakukan tugas dari guru mereka.

“Hm .... Menurut dugaan ku sementara, pemuda itu adalah Pendekar Naga Putih. Tapi aku tidak tahu, siapa gadis jelita yang bersama dia. Dugaan ku belum pasti, Kakang. Karena aku tidak melihat lapisan kabut putih yang menyelimuti tubuhnya. Demikian juga dengan pedang yang biasanya selalu melingkar dipinggangnya,” jawab Humbala tak yakin.

“Kalau begitu bisa jadi, pemuda itulah yang di juluki Pendekar Naga Putih. Siapa lagi orang seusia dia yang memiliki kepandaian begitu tinggi. Bahkan dapat menundukkan Jari Penembus Tulang yang telah membunuh guru kita,” ujar Wisesa, memastikan.

“Yah, sudahlah. Siapa pun pemuda itu yang jelas dia telah berjasa besar kepada kita. Kalau tidak, mungkin kita semua sudah habis di bantai gerombolan tadi. Sekarang lebih baik kita bereskan tempat ini, Kakang!” usul Humbala sambil memandang kakak seperguruannya.

“Marilah!” sahut Wisesa, seraya menghampiri mayat yang berserakan diiringi murid-murid Perguruan Cakar Elang lain.

********************

“Adik Kenanga, bagaimana kalau kita singgah dulu di desa kelahiranku?” ujar Panji kepada Kenanga ketika mereka berdua berjalan berdam pingan di sebuah hutan. Tiba-tiba hatinya terus k rasa rindu, ingin menjenguk kampung kelahirannya di Desa Karang Jati. Memang letak desa itu tidak terlalu jauh lagi dari tempat mereka berada sekarang.

“Aku setuju, Kakang. Bukankah desa kelahiranmu tidak jauh dari sini?” ucap Kenanga, tersenyum. Kenanga sudah dapat menduga, mengapa tiba-tiba saja kekasihnya teringat pada desa kelahirannya.

“Eh, dari mana kau tahu, Adik Kenanga?” tanya Panji heran. Memang, selama ini dia sama sekali belum pernah menceritakan perihal Desa Karang Jati kepada Kenanga.

“Ah, mudah sekali, Kakang. Tidakkah Kakang sadar, kalau keinginan Kakang yang datang begitu tiba-tiba itulah jawabannya. Selama ini Kakang tidak pernah bercerita perihal desa kelahiran Kakang kepadaku. Nah, kalau tiba-tiba saja Kakang sangat ingin menjenguknya, itu berarti desa kelahiran Kakang tidak jauh dari tempat di mana Kakang teringat untuk menjenguk. Bukankah begitu, Kakang?” jelas Kenanga, tersenyum manis.

Meskipun Panji sudah sering kali melihat kekasihnya tersenyum, tapi senyum di bibir Kenanga masih saja mempesona. Berapa saat lamanya, pendekar berjubah putih ini terpaku menatap senyum manis, yang tersungging di bibir indah sang kekasih.

“Kau... Kau cantik sekali, Adik Kenanga...,” desah Panji dengan suara bergetar. Sepasang tangannya terulur hendak menyentuh bahu gadis jelita itu.

Kenanga semakin melebarkan senyum, ketika melihat Panji terpaku menatapnya. “Ihhh, Kakang sekarang pintar merayu!” ucap Kenanga, menggoda. Dan sebelum kedua tangan Panji menyentuh bahu, Kenanga berlari menghindar.

“Ah, kau nakal sekali, Adik Kenanga. Kau sengaja menggodaku,” ujar Panji, seraya menghampiri kekasihnya, yang tertawa-tawa melihatnya kebingungan.

“Hi hi hi...! Habis Kakang, genit sih!” kilah Kenanga, sambil mencibirkan bibir yang membuat Panji semakin gemas. Gadis i tu berlari meninggalkan kekasihnya, karena tahu apa yang akan dilakukan Panji.

“Awas kau! Kalau tertangkap, kau tidak akan kuampuni!” seru Panji seraya mengejar sang Kekasih yang terus berlari semakin menjauh.

“Hi hi hi...! Tangkaplah aku kalau kau memang bisa, Kakang!” tantang Kenanga semakin mempercepat larinya.

Hati pemuda berju bah putih semakin gemas melihat kekasihnya malah semakin mempercepat lari. Sekilas terlihat senyum kemenangan di bibir pemuda itu ketika melihat di depan mereka terbentang rerimbunan pepohonan lebat. Kenanga terus berlari memasuki rerimbunan pepohonan lebat itu. Tubuhnya bergerak lincah menyelinap di antara semak-semak dan pepohonan. Beberapa saat kemudian, tubuh ramping terbalut pakaian serba hijau itu telah lenyap, ditelan keremangan hutan.

Setelah agak jauh memasuki wilayah hutan, Kenanga mengerutkan kening. Sepasang telinganya di pasang tajam-tajam untuk mendengar langkah kaki Panji. Kerut di kening gadis berpakaian serba hijau itu semakin dalam, ketika sepasangntelinganya tak juga menangkap gerak langkah di belakang.

“Eh, ke mana perginya, Kakang Panji...?” kata gadis jelita itu dalam hati. Bergegas dia menyelinap di balik sebatang pohon agak besar, menanti kedatangan kekasihnya. Sepasang mata gadis jelita itu berputar merayapi sekitar hutan. Hatinya semakin heran setelah beberapa lama menanti, ternyata kekasihnya tak juga muncul-muncul.

“Kakang! Di mana kau...? Keluarlah! Aku menyerah!” seru gadis jelita itu, yang mulai mencemaskan Panji. Meski pun tahu tingkat kepandaian sang kekasih, namun kecemasan tetap saja membayang di wajahnya. Karena tak juga mendapat jawaban, Kenanga pun keluar dari persembunyian. Kedua kakinya melangkah perlahan, menyusuri jalan yang semula dia lewati.

“Aku menyerah, Kakang! Aku janji tidak akan menggodamu lagi!” seru Kenanga, dengan nada menyesal dan cemas. Pikirannya mulai di penuhi berbagai dugaan. Sepasang mata indah Kenanga membelalak lebar! Beberapa tombak di depannya tergeletak sesosok tubuh tak bergerak. Darah segar tampak berceceran, sampai beberapa jengkal dari tubuhnya. Bukan main terkejutnya Kenanga, begitu mengenali kalau sosok itu tidak lain adalah Panji. Tanpa berpikir panjang, gadis jelita itu segera berlari mendapatkan kekasihnya.

“Kakang...!” teriak gadis berpakaian serba hijau itu lemah. Air bening tampak menggenang di pelupuk matanya. Kedua tangan gadis itu bergetar ketika membalikkan tubuh Panji yang tak bergerak. Kenanga hampar menjerit, ketika tahu-tahu saja tangan pemuda itu bergerak menangkap pergelangan tangannya.

“Hayo...! Mau lari ke mana, kau sekarang!” teriak Panji mengejutkan. Seraya langsung menarik tangan Kenanga, hingga terjatuh ke dalam pelukannya. Tubuh muda-mudi itu langsung bergulingan di atas rerumputan hijau. Tanpa banyak cakap lagi, Panji menghujani bibir dan wajah kekasihnya dengan ciuman hangat. Tentu saja perbuatan Panji membuat Kenanga gelagapan. Meskipun demikian, Kenanga sama sekali tidak berusaha melepaskan pelukan kasihnya. Malah dia pun membalas ciuman tak kalah hangat.

“Kakang jahat...! Padahal tadi aku mengira Kakang benar-benar terluka parah!” teriak gadis jelita itu sambil memukul dada pendekar berjubah serba putih perlahan. Saat itu keduanya masih rebah di atas rerumputan. Wajah Kenanga tampak memerah menerima perlakuan kekasihnya.

“Habis kau membuatku gemas sih!” sahut Panji sambil bangkit. Tangannya diulurkannya membantu Kenanga bangkit. Begitu sudah berdiri, kembali tubuh kekasihnya di peluk erat-erat. Rupanya pendekar berjubah putih masih belum mau melepaskan Kenanga dari pelukan.

“Darah itu...?” tunjuk Kenanga, menuntut jawaban.

“Hm.... Aku terpaksa harus mengorbankan seekor kelinci untuk menangkapmu,” jawab Panji kembali mengecup bibir gadis jelita ini perlahan . “Kau selalu membuat hatiku terpesona dan tergoda, Adik Kenanga.”

“Ah, dasar Kakang saja yang genit! Ayolah, apakah Kakang tidak jadi menjenguk desa kelahiran Kakang?” ujar Kenanga, sambil mengajak kekasihnya meninggalkan hutan, karena sebentar lagi hari mulai gelap.

“Tentu saja jadi! Ayolah, mumpung hari belum gelap!” ajak Panji, sambil menarik tangan kekasihnya. Di temani hembusan angin sore, sepasang muda-mudi itu bergegas meninggalkan hutan kecil.

********************

Matahari pagi mulai memperlihatkan kekuasaan. Sinarnya yang kuning keemasan perlahan menghangatkan permukaan bumi. Sang embun pun menguap tanpa meninggalkan bekas. Di depan halaman sebuah bangunan tua yang hitam dan kotor, tampak sepasang muda-mudi tengah berdiri tegak. Lama mereka menatap bangunan tua yang kotor itu. Sesaat kemudian terdengar hempasan napas berat pemuda berjubah serba putih.

“Inikah tempat kediaman orang tuamu dulu, Kakang?” tanya gadis berpakaian serba hijau yang tidak lain adalah Kenanga. Di tatapnya wajah pemuda berjubah putih yang bukan lain adalah Panji dengan rasa haru.

“Yahhh, di tempat inilah aku dibesarkan kedua orang tuaku,” tutur Panji agak serak. Setelah berkata demikian, kakinya dilangkahkan ke dalam bangunan tua. Panji berdiri tertegun memandang bangunan tua itu, ketika sampai di halaman bangunan dia melihat banyak kuburan. Padahal seingatnya, di sana sama sekali tidak ada pekuburan.

“Eh, makam siapa sajakah ini, Kakang?” tanya Kenanga yang juga merasa heran melihat di halaman bangunan terdapat pekuburan.

Pekuburan itu tidak terlalu besar, hanya terdapat beberapa puluh makam. Itu pun tidak semuanya memakai batu nisan. Pemuda itu melangkah perlahan, mendekati dua buah nisan paling besar di antara yang lain. Hati pendekar berjubah putih itu bergetar, begitu membaca nama kedua orang tuanya tertera dibatu nisan. (Bagi pembaca yang belum mengetahui, silakan ikuti kisah Pendekar Naga Putih dalam episode Tiga Iblis Bukit Tandur)

“Ayah.... Ibu ...!” Pendekar Naga Putih langsung menjatuhkan kedua lututnya di sisi kedua gundukan tanah, yang letaknya berdampingan. Hatinya agak sedikit terhibur melihat kedua makam terawat baik. Siapakah yang telah begitu baik merawat kedua makam ini? Pikirnya heran.

“Paksi Buana, Rara Ampel...,” desah suara lirih yang keluar dari mulut Kenanga. Gadis jelita itu pun sudah pula bersimpuh disamping kekasihnya. “Itukah nama kedua orang tuamu, Kakang?”

“Benar, Adikku. Merekalah kedua orang tuaku. Entah siapa yang telah begitu baik hati menguburkan jenazah orang tuaku dan merawat kedua makam ini?” sahut Panji, dengan suara lirih.

Panji dan Kenanga serentak menoleh begitu mendengar langkah kaki mendekati mereka. Keduanya bergegas bangkit ketika melihat beberapa orang laki-laki berjalan ke arah mereka.

“Siapakah Kisanak? Dan ada keperluan apa datang ke tempat ini?” tanya seorang laki-laki yang berjalan paling depan. Orang itu berusia sekitar empat puluh tahun. Sebaris kumis tebal yang menghias wajahnya semakin membuat angker. Sikapnya terlihat sopan dan ramah. Namun di balik kata-kata orang itu tersembunyi kesan tegas.

“Paman, namaku Panji. Dan temanku ini Kenanga. Kedatangan kami kemari untuk menjenguk kediaman orang tuaku, yang bernama Paksi Buana. Kalau boleh kutahu, siapakah Paman?” sahut Panji ramah dan sopan, sehingga membuat orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil tersenyum lebar.

EMPAT

“Hm... Panji...,” gumam laki-laki berkumis tebal itu, seolah-olah sedang berusaha mengingat-ingat nama itu. “Beberapa hari yang lalu pun ada laki-laki setengah baya menanyakan nama itu. Kalau tidak salah namanya Ganda Buana. Kedatangannya ke tempat ini pun sama tujuannya dengan kalian. Sebelum pergi, dia sempat menanyakan anak laki-laki Paksi Buana yang bernama Panji. Tapi aku tidak bisa menjawab karena aku sendiri tidak tahu-menahu perihal anak Paksi Buana.”

“Ganda Buana...,” desah Pendekar Naga Putih dengan kening berkerut. Sepertinya ia memang pernah mendengar nama itu.

“Apakah ayahmu pernah menceritakan perihal orang yang bernama Ganda Buana, Kakang?” tanya Kenanga.

“Hm... Kalau tidak salah, orang yang bernama Ganda Buana mengaku sebagai adik Paksi Buana,” laki-laki berkumis tebal itu berusaha untuk membantu menyegarkan ingatan Panji.

“Ya.... Ya, aku ingat sekarang! Ganda Buana memang benar pamanku. Waktu aku masih sekitar berusia sembilan tahun, beliau pernah berkunjung ke tempat ini bersama keluarganya. Apakah Paman Ganda Buana memberi tahukan tempat tinggalnya?” tanya Panji kepada orang berkumis tebal itu. Wajahnya kelihatan berseri-seri, karena ternyata dia masih punya seorang paman yang masih hidup.

“Mmm... Menurut pengakuan pamanmu, dia tinggal di Desa Pegatan,” jawab orang itu lagi. “Ah, apakah tidak sebaiknya kita ngobrol di rumah saja, Panji, Kenanga? Ayolah, singgah di rumahku barang sebentar.”

“Ah, terima kasih. Mmm.... Paman, bolehkah aku tahu, siapa yang telah berbaik hati mengurus kedua makam orang tuaku ini?” tanya Panji sambil melangkah berdampingan dengan laki-laki berkumis tebal.

“Ah, itu sudah menjadi kewajiban kami, Panji. Paksi Buana adalah orang yang sangat dihormati di desa ini . Sudah sepatutnya kalau kami menjaga batik-baik makam beliau,” jawab si kumis tebal tanpa merasa berjasa sedikit pun.

“Paman, kalau tidak salah, dulu yang menjadi kepala desa disini adalah Ki Aji Sena. Apakah sekarang beliau masih memegang jabatan itu?” tanya Panji ketika teringat nama Kepala Desa Karang Jati sewaktu dia masih kecil.

“Hm.... Lima tahun setelah terbunuhnya keluarga Paksi Buana, Ki Aji Sena pun wafat. Setelah mendapat persetujuan para tetua-tetua desa, aku di beri kepercayaan memimpin desa ini ,” jawab orang berkumis tebal itu yang ternyata adalah Kepala Desa Karang Jati.

“Ah, kalau begitu aku minta maaf, Paman. Aku telah bersikap kurang hormat kepada Paman,” ucap Panji, terkejut. Cepat-cepat dia membungkukkan tubuh memberi hormat kepada orang itu.

“Ha ha ha...! Kurasa sejak tadi sikapmu sudah cukup menghormat, Anak Muda,” ujar laki-laki berkumis tebal itu tertawa keras.

“Eh, ke mana, Sogara? Rasanya aku tidak melihat dia sejak kita meninggalkan bekas kediaman Paksi Buana,” tanya Kepala Desa Karang Jati, sambil melepaskan pandang ke arah para pembantunya. Dan dia memang tidak menemukan Sogara di antara mereka.

“Ah, maaf Ki, aku lupa menyampaikannya. Tadi sewaktu Aki menawarkan Saudara Panji dan Kenanga singgah, Kakang Sogara bergegas mendahului kita. Dan ketika kutanyakan, dia bilang ingin mengunjungi salah seorang famili di desa tetangga,” jawab orang itu menunduk hormat.

“Hm... Aneh! Tidak biasanya dia pergi begitu saja tanpa pamit padaku. Sudahlah, mungkin dia memang terburu-buru,” ujar lelaki berkumis tebal itu, yang juga Kepala Desa Karang Jati, kepada para pembantunya yang mengikuti di belakang.

Panji, Kenanga bersama kepala desa, dan para pembantunya ke rumah kepala desa. Tidak berapa lama kemudian, rombongan kecil itu pun tiba dihalaman sebuah rumah besar. Rumah itu terlihat paling besar, di antara rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Itulah rumah kediaman Kepala Desa Karang Jati.

“Mari, silakan, Saudara Panji, Kenanga!” ujar lelaki berkumis tebal itu mempersilakan kedua tamunya masuk. Sedangkan dia sendiri masuk lebih dahulu.

Panji dan Kenanga segera melangkah ke ruang tengah yang cukup luas. Beberapa buah kursi dan meja yang terbuat dari kayu jati teratur rapi di ruang tengah. Keduanya lalu duduk ketika dipersilakan tuan rumah.

“Sebenarnya aku belum pernah berjumpa langsung dengan orang tuamu, Panji. Aku datang ke desa ini, tiga tahun setelah musibah yang menimpa keluarga Paksi Buana,” ujar sang Kepala Desa memulai pembicaraan.

“Kalau begitu, siapa yang telah menguburkan jenazah kedua orang tuaku, Paman?” tanya Panji ingin tahu ikhwal orang tuanya.

“Siapa lagi kalau bukan Ki Aji Sena. Pamanku itulah yang menguburkan jenazah kedua orang tuamu. Ayahmu ditemukan tewas di sekitar halaman pekuburan yang sekarang. Sedangkan ibumu ditemukan tewas di dalam rumah, dalam keadaan hangus terbakar dan sulit di kenali lagi. Pamanku pernah bilang dia yakin kalau mayat itu adalah ibumu. Karena beliau menemukan gelang emas yang telah menghitam di pergelangan kirinya,” tutur laki laki berkumis tebal itu menerangkan.

“Paman, kira-kira berapa lama perjalanan dari sini ke Desa Pegatan?” tanya Panji yang sudah tidak sabar ingin bertemu dengan pamannya yang bernama Ganda Buana.

“Hm... Kurang lebih makan waktu sekitar dua hari, kalau kita mengendarai kuda. Mengapa kau tanyakan hal itu, Panji ?” tanya Kepala Desa Karang Jati heran.

“Maaf, Paman. Aku terpaksa tidak bisa lama-lama disini. Selama ini aku benar-benar belum tahu, kalau aku masih punya paman. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk berjumpa dengan beliau,” ujar Panji, yang memang ingin cepat-cepat menjumpai orang yang bernama Ganda Buana.

“Baiklah kalau begitu, berhati-hatilah kalian di jalan. Belum lama ini kudengar ada gerombolan penjahat berpakaian serba merah sedang mengganas. Mereka mendatangi beberapa perguruan, atau membunuh orang yang memiliki kepandaian silat. Entah apa tujuan mereka. Memaksa orang atau pun perguruan bergabung dengan gerombolannya. Kalau korbannya menolak, mereka tidak segan-segan membunuh!” kata laki-laki berkumis tebal itu menerangkan panjang lebar kepada Panji dan Kenanga.

“Terima kasih atas keterangan Paman. Dan kami akan selalu mengingatnya. Permisi dulu, Paman,” pamit Panji dan Kenanga. Keduanya bergegas meninggalkan rumah sang Kepala Desa.

“Hati-hatilah...!” seru Kepala Desa Karang Jati ketika kedua muda-mudi itu melangkah agak jauh.

Panji dan Kenanga menoleh dan melemparkan senyum sambil menganggukkan kepala.

********************

“Berhenti...!”

Panji dan Kenanga menghentikan langkahnya ketika dikejutkan suara bentakan. Keduanya mengedarkan pandangan ke sekitar tempat mereka berdiri. Namun yang terlihat hanyalah semak-semak dan pepohonan.

“Ha ha ha...!” terdengar suara tawa yang berkumandang nyaring memenuhi tempat itu. Dari gema suaranya, dapat di tebak kalau orang itu memiliki kekuatan tenaga dalam tinggi.

Panji dan Kenanga menoleh ke arah asal suara. Mereka berdua tersentak kaget melihat sesosok manusia berpakaian serba merah, sedang duduk mencangkung di atas sebatang dahan pohon. Jarak antara mereka dan orang asing itu sekitar enam tombak. Setelah memperhatikan keadaan di sekeliling sejenak, kedua sejoli melangkah hati-hati mendekati pohon. Indra pendengaran keduanya terpusat pada keadaan sekeliling, sehingga suara sekecil apapun bisa tertangkap telinga mereka saat ini.

Laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, di atas pohon menatap tajam ke arah Panji dan Kenanga. Jenggotnya yang panjang dan berwarna putih melambai-lambai tertiup angin. Dan sampai sejauh ini, dia sama sekali tidak memperlihatkan gerakan gerakan mencurigakan.

“He he he... Anak Muda! Kau pasti yang di juluki Pendekar Naga Putih?” ujar orang tua itu dari atas pohon seolah ingin memastikan kalau dia tidak salah terka.

Panji tidak menjawab ucapan orang tua itu. Dia sadar kalau laki-laki tua itu bermaksud jahat kepada mereka. Dari pakaiannya saja sudah dapat diduga, kalau laki-laki tua itu ada hubungan dengan gerombolan berseragam merah yang pernah dia pecundangi di Perguruan Cakar Elang tempo hari. Setelah jarak di antara mereka hanya terpisah sekitar empat tombak lagi, tiba-tiba....

Rrrttt!

“Aaah...!”

Kedua pendekar muda berseru kaget! Sebelah kaki mereka tiba-tiba terangkat naik. Tubuh keduanya tersentak ke atas, karena pergelangan kaki mereka telah terikat seutas tali yang sengaja di pasang untuk menjebak. Sebagai pendekar-pendekar yang berpengalaman, secepat kilat Panji dan Kenanga mencabut pedang dan langsung membabat tali yang mengikat kaki mereka.

Tasss! Tasss!

Tali yang mengikat kaki mereka itu langsung putus oleh tebasan pedang. Keduanya berjumpalitan turun dengan gerakan yang indah! Dan selagi tubuh Panji dan Kenanga melayang turun, tiba-ti ba terdengar suara berdesingan, bagai suara ratusan lebah marah!

Singngng! Singngng!

Suara berdesingan tajam, menyertai puluhan batang senjata rahasia yang mengancam tubuh Panji dan Kenanga. Kedua muda-mudi itu sudah dapat menebak, kalau saat ini mereka dihujani dengan senjata rahasia. Seketika pedang ditangan keduanya diputar cepat, membentuk gulungan sinar yang menyelimuti seluruh tubuh mereka.

Trangngng! Tringngng! Trangngng!

Puluhan batang senjata rahasia langsung menyebar ke segala penjuru disusul jeritan-jeritan mengerikan. Rupanya beberapa senjata rahasia yang terkena tangkisan pedang Panji dan Kenanga telah memakan korban! Enam orang sosok manusia berseragam merah bermunculan dari balik semak-semak. Sosok-sosok itu bergerak limbung, dengan tubuh bersimbah darah ditembus senjata mereka sendiri.

“Keparat licik!” maki Kenanga, setelah mendarat di atas tanah berumput. Gadis jelita itu marah sekali melihat kecurangan gerombolan berseragam merah.

“Tenanglah, Adik Kenanga. Jangan kau mengikuti amarahmu. Aku rasa mereka hanya orang-orang suruhan saja,” ujar Panji menasihati kekasihnya. Dia tahu Kenanga cepat naik darah bila dicurangi. Ada kalanya gadis itu lemah lembut, dan tidak jarang berubah jadi macan betina, kalau merasa dicurangi. Itulah yang dikhawatirkan Panji.

“Hm... Sepertinya mereka kawanan pen jahat berseragam merah yang pernah membuat keributan di Perguruan Cakar Elang, Kakang. Rupanya mereka menaruh dendam, setelah kita menggagalkan rencana mereka,” ucap Kenanga masih terbawa kemarahan.

“Yah, aku rasa juga begitu,” jawab Panji, yang sudah menyarungkan pedangnya kembali. Pendekar Naga Putih hampir tidak pernah menggunakan pedang pusakanya, kecuali dalam keadaan terdesak.

Saat itu juga, laki-laki tua di atas pohon itu telah melayang turun. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, puluhan orang berseragam merah lain bermunculan dari balik semak-semak. Rata-rata gerakannya gesit, menandakan kalau mereka adalah orang-orang yang terlatih baik.

“Hm.... Tidak salah apa yang diceritakan Sogara, Ki. Mereka itu orang yang telah menggagalkan tugas Jari Penembus Tulang beberapa hari yang lalu. Kalau pemuda itu memang benar Pendekar Naga Putih, rencana ketua bisa berantakan!” bisik seorang laki-laki brewok kepada orang tua berjenggot putih.

“Ya! Kalau memang anak muda itu Pendekar Naga Putih, kita akan mengalami kesulitan besar. Tapi kita harus membuktikan terlebih dahulu. Sebab menurut keterangan Jari Penembus Tulang, tubuh pemuda itu tak berselimut lapisan kabut putih keperakan. Inilah yang masih kuragukan. Siapa tahu dia hanya pemuda biasa yang memiliki beberapa persamaan dengan Pendekar Naga Putih,” bisik kakek itu perlahan.

“Hm... Kita memang harus membuktikan terlebih dulu! Anak-anak, kepung kedua orang itu!” perintah si brewok yang rupanya pimpinan rombongan penghadang.

“Hati-hati, Adik Kenanga. Nampaknya laki-laki brewok dan kakek itu bukan orang sembarangan!” bisik Panji, di telinga kekasihnya yang hanya mengangguk mengiyakan.

“Hei, Anak Muda! Karena kau telah berani mencampuri urusan kami, maka terimalah hukumanmu! Hiaaat...!” sambil berteriak keras, laki-laki brewok melompat disertai ayunan golok besarnya.

Wuttt!

Golok besar yang diayunkan ke arah Pendekar Naga Putih menderu-deru, sehingga jubahnya berkibar-kibaran. Dari angin ayunan golok sudah kelihatan kalau tenaga dalam si brewok amat kuat!

Panji menggeser kaki kiri ke belakang, sehingga bacokan golok besar lewat di depan tubuhnya. Begitu serangan pertama lolos, si brewok cepat memutar golok bersilangan. Golok besar kembali menderu-deru, mengancam kaki kanan Pendekar Naga Putih yang berada di depan.

Wukkk!

Laki-laki brewok semakin penasaran ketika serangan kedua juga gagal. Lalu menyusul sabetan goloknya dengan tiga kali tendangan beruntun. Panji merunduk mengelak tendangan berputar si brewok. Secepat kilat tangan kanannya menusuk, dengan jari-jari terbuka ke lambung kiri lawan. Laki-laki brewok terkejut bukan main mendapat serangan balasan yang tak terduga-duga. Tanpa dapat di cegah lagi jari-jari yang sekeras baja itu mendarat telak di lambungnya.

Desss!

“Hukhhh...!” Laki-laki brewok jatuh terduduk sejauh enam langkah kebelakang. Meski pun tusukan tangan Pendekar Naga Putih tidak terlalu keras, tapi cukup menyakitkan. Wajahnya menyeringai menahan sakit. Sesekali diusapnya lambung yang terkena tamparan jari tangan pemuda berjubah putih.

“Bangsat kau, Anak Muda! Kau betul-betul mencari mampus! Awas! Ku cincang tubuhmu nanti!” kutuk laki-laki brewok itu berang.

Tiba-tiba sebuah tangan kurus, namun menyimpan tenaga dalam kuat menahan langkah si brewok. Terpaksa si brewok menahan gerakan, sekalipun dengan perasaan tak puas.

“Mun durlah, Adi, biar aku yang menghadapi,” ucap laki -laki tua berjenggot putih itu tenang.

“Tapi... Tapi aku belum kalah, Ki!” kilah laki-laki brewok itu dengan nada lunak. Tampaknya dia merasa segan kepada orang tua itu.

“Siapa bilang kau kalah. Aku bilang, biar aku yang akan mencobanya,” sahut laki-laki tua itu yang merasa kesal mendengar bantahan si brewok.

“Hm ... bersiaplah, Anak Muda. Kali ini kau berhadapan dengan Ki Tapak Jagad. Bila kau tidak hati-hati, jangan salahkan kalau aku yang tua ini terpaksa melukaimu. Atau mungkin menewaskanmu,” ujar kakek itu yang mengaku berjuluk Ki Tapak Jagad lembut. Tapi di balik ucapannya tersembunyi keangkuhan.

“Hiaaah !”

Wettt! Wettt!

Ki Tapak Jagad membentak keras membuka jurus. Sepasang telapak tangannya diputar bersilangan. Gerakan yang terlihat perlahan itu ternyata telah menimbulkan suara bergemuruh! Rupanya jurus itulah yang membuat dia di juluki Ki Tapak Jagad.

“Jaga seranganku, Anak Muda!” Setelah berkata demikian, tubuh kakek yang tinggi dan agak kurus itu melesat, sambil memutar kedua telapak tangannya. Angin keras berkesiutan menyertai serangannya yang dahsyat.

Bettt! Bettt!

“Aihhh...!” Panji berteriak sekuat-kuatnya, menahan kekuatan yang tersembunyi di dalam telapak tangan itu. Meskipun dua kali serangan dapat di elakkan, namun tak urung tubuhnya sempat terdorong, akibat sambaran angin kuat, yang keluar dari sepasang telapak tangan lawan. Begitu merasakan tenaga dalam si kakek, Panji segera melompat ke belakang. Dan sadar kalau Ki Tapak Jagad bukanlah orang sembarangan, dia tidak ingin berbuat setengah-tengah lagi.

Beberapa saat kemudian, selapis kabut bersinar putih keperakan mulai terlihat menyelimuti tubuhnya. Angin dingin berhembus keras sebagai ciri ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang dahsyat mulai bekerja. Meskipun kekuatan tenaga saktinya tidak lagi sedahsyat sewaktu dia masih menderita sakit, namun berkat latihan-latihan yang selama ini dia lakukan, telah membuat tenaga sakti dalam tubuhnya semakin bertambah. (Untuk mengetahui bagaimana Panji dapat sembuh dari sakitnya, harap pembaca mengikuti serial Pendekar Naga Putih dalam episode Bunga Abadi di Gunung Kembaran)

“Pendekar Naga Putih...” desis Ki Tapak Jagad terkejut. Sejak semula sudah menduga kalau pemuda di hadapannya adalah Pendekar Naga Putih, ternyata dia masih juga terkejut. Apalagi ketika menyaksikan sendiri bagaimana tubuh pemuda tampan itu terbungkus lapisan kabut bersinar pu tih keperakan. Mau tidak mau Ki Tapak Jagad membelalakkan matanya dengan takjub!

“Hm... Mengapa hanya berdiri mematung, Orang Tua? Apakah kau sudah tidak ingin melanjutkan pertarungan?” tantang Panji ketika melihat kakek berjenggot putih itu hanya terpaku menatapnya.

“Eh, tentu.... Tentu, Pendekar Naga Putih. Mari kita lanjutkan pertempuran!” balas Ki Tapak Jagad agak gugup seraya membuka kembali serangan. Kedua tangannya yang diputar bersilangan didepan dada kembali menimbulkan angin tajam.

“Hiaaat..!” Di sertai teriakan nyaring, Ki Tapak Jagad meluncur ke arah Pendekar Naga Putih. Sepasang tangan si kakek terus berputar-putar cepat disusul serangan bertubi-tubi.

Panji yang kali ini tidak mau bertindak main-main lagi, cepat menyambut serangan. Sambaran-sambaran tangannya susul menyusul dengan gerakan gesit dan lincah, tak ubahnya seekor naga sakti yang tengah bermain-main di angkasa.

Bettt! Bettt!

“Uhhh...!” Kali ini giliran Ki Tapak Jagad yang terkejut. Dua kali sambaran tangan pemuda berjubah putih itu hampir membesetbkakek itu. Untunglah dia cepat melempar tubuh ke belakang. Kalau tidak, niscaya tubuh kakek sudah terlempar, dalam keadaan tak bernyawa.

“Brrr...!”

Ki Tapak Jagad bergegas mengibaskan sepasang lengannya ketika merasakan hawa yang amat dingin yang merasuk ke dalam tubuhnya. Diam-diam kakek itu merasa gentar! Baru terkena sambaran angin pukulan saja tubuhnya hampir beku. Apalagi kalau terkena pukulan telak, pikir Ki Tapak Jagad agak jerih.

LIMA

Setelah berhasil membebaskan diri dari pengaruh hawa dingin, Ki Tapak Jagad kembali memasang kuda-kuda. Dihelanya napas perlahan-lahan di sertai dorongan kedua tangan ke depan. Sepasang kakinya bergerak membentuk kuda-kuda.

“Hahhh!” Diiringi bentakan menggeledek, kedua tangannya di tarik ke sisi pinggang. Kemudian kedua tangan itu digerakkan turun-naik berlawanan. Desiran angin tajam bertiup keras menandakan kuatnya tenaga sakti yang terhimpun di dalam gerakan itu. Itulah jurus andalan Ki Tapak Jagad yang bernama ‘Tapak Sakti Penggetar Sukma’. Gerakan ini merupakan jurus kesebelas dari ilmu ‘Tapak Jagad’ yang telah lama disempurnakannya.

Pendekar Naga Putih semakin kagum melihat kehebatan ilmu si kakek ketika merasakan sebuah gelombang tenaga yang amat kuat menerpa dadanya. Untunglah tubuhnya telah dilindungi lapisan kabut yang memancarkan hawa dingin. Kalau orang lain, mungkin sudah akan terpengaruh oleh gerakan Ki Tapak Jagad.

“Yeaaat...!” Ki Tapak Jagad membentak nyaring. Tubuhnya segera melesat seraya mendorong kedua telapak dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Seketika angin berkesiutan keras menyambar-nyambar kearah Pendekar Naga Putih. Pendekar Naga Putih berkelit ke samping disertai dengan pukulan gencar ke wajah. Tapak Jagad hanya merendahkan kuda-kuda dan menarik wajahnya ke belakang. Begitu serangan luput, kaki kanan si kakek melontarkan tendangan kilat!

Prattt!

“Aaah...!” Tubuh si kakek terpelintir ketika tangan kanan Pendekar Naga Putih menepis pergelangan kaki. Walau pun pergelangan kakinya terasa ngilu, namun tubuh Ki Tapak Jagad kembali berputar cepat untuk melancarkan serangan beruntun.

Pertempuran pun kembali berlangsung seru! Kedua tokoh sakti itu saling serang dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa. Tubuh mereka hanya kelihatan berupa bayangan merah dan putih, yang saling libat dan saling desak.

Sementara itu, Kenanga pun telah berhadapan dengan si brewok yang di bantu dua puluh anak buahnya. Tentu saja gadis jelita itu terdesak hebat! Untunglah Pedang Sinar Rembulan yang diberikan Panji banyak membantu. Sinar putih keperakan yang dipantulkan sebilah pedang membuat lawan tidak berani maju terlalu dekat. Murid Raja Pedang Pemutus Urat ini memutar Pedang Sinar Rembulan hingga membentuk gulungan sinar yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Dinding pertahanan yang dibuat Kenanga sudah barang tentu membuat lawan sulit menembus.

“Hujani dia dengan senjata rahasia...!” perintah si brewok begitu melihat anak buahnya mulai putus asa. Selesai berkata begitu, tubuhnya bersalto beberapa kali ke belakang. Sepasang kakinya mendarat empuk di tanah berumput.

Singngng! Singngng!

Tiba-tiba belasan pisau putih beterbangan menghujani Kenanga.

“Haiiit...!”

Wrrr!

Sambil membentak keras, Kenanga semakin memperhebat putaran Pedang Sinar Rembulan. Suara putaran angin pedang mendengung-dengung mirip suara ribuan lebah yang keluar dari sarangnya. Gulungan sinar putih keperakan yang menyelimuti seluruh tubuh gadis jelita berpakaian serba hijau itu semakin menebal.

Trangngng! Trakkk! Tringngng!

“Aaakh...!”

Luar biasa! Beberapa buah pisau lawan berjatuhan ke tanah dalam keadaan patah! Bahkan tidak sedikit pisau lain yang berbalik menyerang tuannya. Tiga orang berpakaian serba merah yang lengah terjungkal roboh dengan dada tertancap belasan senjata rahasia

“Gila! Perempuan setan! Kuntilanak!” si brewok memaki kalang kabut ketika melihat anak buahnya tewas. Rasa marah dan penasaran membuatnya semakin kalap! Disertai bentakan nyaring, tubuh si brewok langsung menerjang Kenanga.

Wuttt! Wuttt!

Dua kali sambaran golok besar si brewok hanya menyambar angin ketika Kenanga keburu menghindar dengan menggeser tubuh ke belakang. Gadis jelita itu segera membalas dengan ayunan Pedang Sinar Re bulan dengan kecepatan yang menggetarkan.

Wukkk! Trangngng!

“Aaah...!”

Si brewok yang merasa terlambat untuk menghindar segera mengelebatkan golok besarnya. Terdengar suara nyaring ketika dua sen jata itu saling berben turan. Tubuh si brewok terjajar mundur sejauh enam langkah. Wajahnya menyeringai menahan sakit sambil memijat-mijat lengan kanan yang terasa linu, akibat berbenturan dengan pedang Kenanga.

Kenanga juga terkejut merasakan tenaga dalam pimpinan berseragam merah itu. Benturan yang keras membuat lengannya bergetar nyeri. Dalam batinnya dia mengakui kehebatan tenaga dalam si brewok yang ternyata kalah sedikit dengan tenaganya. Kenyataan ini tentu membuat Kenanga menjadi khawatir. Apalagi lelaki brewok masih di bantu anak buahnya.

“Heaaat..!”

Wuttt! Wukkk!

Saat itu empat anak buah si brewok mengayunkan pedang secara berbarengan. Sambil berteriak nyaring, Kenanga segera menggerakkan Pedang Sinar Rembulan menangkis empat batang pedang yang mengancam nyawanya.

Trangngng! Trangngng!

Wuttt!

Seketika empat orang berseragam merah terlempar mundur dengan muka pucat! Tangkisan Kenanga yang di dorong tenaga dalam kuat sempat menggetarkan isi dada mereka. Belum lagi keempat orang itu sempat berbuat sesuatu, Kenanga segera menyusuli serangannya. Dan....

Brettt! Brettt!

“Aaakh!”

Dua di antara empat orang berseragam merah menjerit kesakitan. Rupanya gerakan kedua orang itu masih kalah cepat dengan gerakan Kenanga, sehingga paha mereka robek cukup lebar. Bukan main gemasnya si brewok melihat kejadian itu. Dengan wajah gelap dia segera melompat dan langsung melakukan bacokan bertubi-tubi. Kembali bacokan-bacokan si brewok hanya mengenai tempat kosong. Serangan beruntun si brewok dapat di elakkan Kenanga dengan menggeser tubuh ke kiri-kanan! Baru saja gadis jelita itu berniat membalas, dari kiri-kanan datang senjata-senjata lain. Untunglah dia cepat melempar tubuhnya kebelakang. Kenanga memutar tubuh dengan menggunakan tenaga pinggang. Tubuh bagian atas gadis itu meliuk indah, karena pada saat kedua kakinya baru saja menyentuh tanah, dua pedang lawan menyambar kepala.

Wuttt! Wuttt!

Kembali gadis jelita itu harus bergulingan ketika dua pedang musuh nyaris membabat pinggang. Serangan itu pun kembali dapat di elakkan. Selagi tubuh Kenanga bergulingan, datang lagi desingan nyaring yang ditimbulkan kilatan empat batang senjata rahasia. Rupanya salah seorang musuh menggunakan kesempatan untuk membokong Kenanga.

Singngng! Singngng!

Tubuh murid Raja Pedang Pemutus Urat melenting ke udara disertai ayunan pedang yang menderu tajam! Sebaris sinar putih keperakan berkelebat memapak empat batang senjata rahasia.

Trangngng! Trangngng!

Pisau-pisau terbang itu langsung berbalik arah ketika di tangkis pedang Kenanga, dan melesat dengan kecepatan kilat ke arah duanorang berpakaian serba merah yang berada di depannya.

“Aihhh...!”

Untunglah dua orang berseragam merah cepat melempar tubuh ke belakang. Empat batang pisau terbang pun lolos dan menancap pada sebatang pohon besar yang berdiri kokoh dibelakang mereka.

“Fuhhh...!”

Dua orang yang terhindar dari maut menyusut keringat dingin yang membasahi kening di sertai helaan napas panjang. Wajah keduanya nampak agak pucat karena hampir saja tewas gara-gara kecerobohan kawannya.

Pertempuran berlangsung berat sebelah. Si brewok dan anak buahnya kembali mengeroyok Kenanga yang kelihatan sudah mulai kelelahan. Keringat bercucuran membasahi wajah gadis jelita itu. Kenanga merasa dirinya ti ldak mungkin dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus lagi.

Di arena yang lain, perang tanding antara Panji dan Ki Tapak Jagad berlangsung semakin seru! Setelah melewati jurus ke lima puluh, Pan ji mulai dapat mengatasi lawan.

Bettt! Bettt!

Plakkk!

“Uhhh...!”

Dua kali serangan Ki Tapak Jagad berhasil di elakkan Panji. Pemuda itu langsung melepaskan pukulan telapak tangan menghantam bahu si kakek. Tubuh orang tua itu terhuyung kebelakang disertai erangan kesakitan. Di sudut bibir si kakek keluar darah segar. Panji yang merasa khawatir akan nasib kekasihnya bergegas mengakhiri pertarungan.

“Yeaaat..!” Sambil memekik nyaring, Pendekar Naga Putih mencelat mengejar Ki Tapak Jagad yang tengah kehilangan keseimbangan. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar naga menyambar cepat menimbulkan angin yang mencicit tajam!

Ki Tapak Jagad membelalak pucat melihat sepasang tangan Pendekar Naga Putih tengah mengancam. Cepat tangannya digerakkan memapak sambaran cakar naga.

Plakkk! Brettt!

“Aaakh...!”

Sambaran tangan kiri Panji berhasil ditangkis. Tubuh Ki Tapak Jagad kembali terhuyung mundur karena kekuatannya masih kalah beberapa tingkat. Tapi sambaran tangan kanan Panji tak mampu lagi dielakkan. Tubuh Ki Tapak Jagad melambung bagai disentakkan tenaga raksasa yang tak tampak. Darah segar mengucur dari luka memanjang di bagian dada. Debu mengepul ketika tubuh kakek itu jatuh menimpa sebuah batu yang langsung hancur berantakan.

“Brrr...!” Tapak Jagad menggigil kedinginan menahan hawa dingin luar biasa yang merasuk sampai ke tulang. Dari giginya terdengar suara bergemeletuk keras! Dengan sekuat tenaga, dia berusaha bangkit dan mengerahkan hawa murni dalam dirinya untuk mengusir hawa dingin yang hebat.

Saat itu Panji sudah melesat meninggalkan lawannya yang sekarat. Ia langsung melayang ke arena pertempuran lain.

“Heaaat..!”

Bukkk! Desss! Desss!

Begitu tiba, Panji melontarkan beberapa kali pukulan ke arah kawanan penjahat yang sedang mengeroyok Kenanga. Empat orang pengeroyok kontan terbanting roboh dihantam tangan pemuda perkasa itu. Mereka semua pingsan seketika!

“Adik Kenanga! Kau.... Kau tidak apa-apa...?” tanya Panji cemas sambil memegang pergelangan lengan sang Kekasih. Hatinya terharu menyaksikan wajah Kenanga yang terlihat kelelahan.

“Tidak, Kakang. Hanya saja aku sangat lelah sekali. Hati-hati, Kakang. Mereka rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi” sahut Kenanga agak tersengal.

Melihat keadaan kekasihnya, Panji menjadi curiga. Rasanya dia tidak percaya kalau kelelahan gadis ini disebabkan kepandaian lawan. Dia tahu betul sampai di mana kepandaian Kenanga. Kalau baru menghadapi mereka saja, rasanya gadis jelita itu masih dapat menanggulanginya meskipun memang agak sulit untuk menang.

“Kau yakin dan tidak merasakan adanya kelainan dalam dirimu?” tanya Panji ingin tahu apa yang dirasakan kekasihnya.

“Entahlah, Kakang. Aku memang merasa agak kurang sehat,” akhirnya Kenanga berterus-terang kepada Panji.

“Hm.... Ini pasti ada yang tidak beres!” gumam Panji, berkata pada diri sendiri.

“Ha ha ha.... Tidak perlu khawatir, Pendekar Naga Putih! Pada saat matahari terbit besok, kekasihmu tidak akan kelelahan lagi,” ucap laki-laki brewok itu sambil tertawa terbahak-bahak.

“Ya! Karena pada saat itu tubuh kekasihmu akan berubah jadi mayat berkulit hitam! Ha ha ha...!” ucap yang lain sambil tertawa penuh kemenangan.

“Ketahuilah! Kekasihmu telah menghirup hawa beracun ‘Kelabang Tujuh Bintang’! Racun itu kami sebarkan perlahan lahan setiap kali kami menyerang. Tidak ada satu pun obat didunia ini yang dapat menyembuhkannya, kecuali kalau kau mau menerima tawaran kami untuk bergabung,” laki-laki brewok itu kembali berkata sambil menyeringai penuh kemenangan.

“Ya! Kalau kamu masih menginginkan kekasihmu hidup, kau harus menuruti kehendak kami!” kali ini yang berkata adalah Ki Tapak Jagad yang di papah dua orang berseragam merah. Wajah kakek itu masih menyeringai menahan sakit akibat luka didadanya.

“Hm... Jangan harap aku akan percaya pada omongan kalian begitu saja! Lebih baik kalian serahkan obat penawar sebelum aku bertindak kejam!” sergah pemuda itu dengan sinar mata penuh ancaman. Darah muda Panji mendidih melihat keadaan Kenanga makin lama makin lemah tak berdaya.

“Keparat! Kau memang manusia sombong, Pendekar Naga Putih! Apa kau kira kami takut dengan ancamanmuk? Huh! Kalau kamu masih keras kepala, kau tungguilah mayat kekasihmu!” bentak si brewok yang merasa geram melihat sikap keras kepala pemuda berjubah putih. “Mari kita pergi! Biarkan pemuda sombong itu menunggu kematian kekasihnya!”

Setelah berkata demikian, laki-laki brewok menggerakkan tangannya. Sebuah kantung kecil berisi bubuk beracun, pecah dan menebar ke arah Panji dan Kenanga.

“Bangsat keji!” teriak Panji marah. Sambil membentak marah, Pendekar Naga Putih mendorong sepasang telapak tangannya kedepan.

Wusss!

Serangkum angin dingin bertiup keras menerbangkan bubuk-bubuk beracun yang semula menebar ke arahnya. Sekejap saja bubuk-bubuk beracun itu lenyap akibat hembusan angin dingin yang amat kuat.

“Bedebah, mau lari ke mana kalian? Jangan harap kalian dapat lolos dari tanganku!” ancam Panji murka. Sesaat kemudian tubuh pemuda itu melesat mengejar lawan-lawannya yang bermaksud melarikan diri. Hanya dengan beberapa kali jungkir balik di udara, Panji telah berdiri tegak menghalang jalan mereka. Sorot tajam mata pemuda sakti itu membuat hati mereka menjadi ciut. Belasan orang berseragam merah bergetar mundur ketika beradu pandang dengan sepasang mata yang memancarkan wibawa amat kuat

“Kalian selamatkan Ki Tapak Jagad! Biar aku dan yang lainnya menghadapi pendekar sombong ini!” perintah si brewok kepada dua orang berseragam merah yang memapah Ki Tapak Jagad. Begitu mendengar perintah pemimpinnya, dua orang berseragam merah bergegas meninggalkan tempat itu. Sedangkan si brewok dan belasan orang lainnya maju menerjang Panji.

“Hm.... Kalian memang tak patut di beri hati!” geram Panji, seraya menggebrak mereka.

“Heaaat...!” Panji yang telah dikuasai amarah menerjang bagaikan seekor naga murka. Tubuhnya berkelebatan disertai lontaran pukulan pukulan mematikan!

Bukkk! Desss!

“Ughhh...!”

Empat pengeroyok terjungkal memuntahkan darah segar! Pukulan Pendekar Naga Putih yang mengandung kekuatan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ langsung menewaskan lawan! Empat orang pengeroyok tewas dengan kulit tubuh membiru.

Si brewok dan orang berseragam merah lain tersentak mundur! Wajah mereka pucat sekali l. Betapa tidak, sekali gebrak saja empat kawan mereka langsung tewas di tangan Pendekar Naga Putih. Kejadian itu tentu saja membuat keberanian mereka lenyap.

“Hm .... Cepat kau serahkan obat penawar! Atau kau ingin nasibmu seperti keempat orang itu?” geram Panji kepada laki-laki brewok itu. Sepasang matanya berkilat tajam penuh ancaman.

Walaupun kegentaran telah menyelimuti hatinya, namun laki-laki brewok masih saja membandel. “Obat penawar itu tidak ada padaku! Jadi jangan harap kau akan dapat menyembuhkan kekasihmu tanpa bantuan kami! Nah, sekarang tinggal pilih! Bergabung bersama kami, atau silakan tunggui kematian kekasihmu!” ancam si brewok tidak kalah gertak.

“Hm...! Jangan kau sangka aku takut membunuhmu, manusia licik! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan kekasihku, akan kucabut nyawa kalian semua, akan kuhancurkan juga markas ketuamu!” tegas Panji bersungguh-sungguh.

Ancaman Pendekar Naga Putih benar-benar menggetarkan mereka. Si brewok dan yang lainnya pucat seketika! “Buktikan ancamanmu, Pendekar Naga Putih! Tapi jangan harap kami akan menyerahkan obat penawar ini!” sahut si brewok sambil menggenggam sebuah botol sebesar ibu jari tangan. Perlahan-lahan tangannya yang terkepal menegang. Siap meremas hancur botol penawar racun Kelabang Tujuh Bintang.

Sadar kalau isi botol sangat berarti untuk menyambung nyawa kekasihnya, tubuh Pendekar Naga Putih segera melesat bagaikan sambaran kilat!

“Yeaaat...!”

Crakkk!

“Aaa...!”

Dengan tangan yang terlatih, secepat itu pula pedang yang tergantung di punggung telah tergenggam di tangan kanan Panji. Melalui gerakan yang luar biasa, pedang bersinar kuning keemasan itu membabat pergelangan si brewok. Berbarengan dengan gerakan itu, tangan kirinya terulur menangkap tangan si brewok yang buntung sebatas pergelangan.

Laki-laki brewok meraung-raung kesakitan! Darah segar menyembur dari pergelangan tangannya yang buntung. Tubuh laki-laki brewok berkelojotan di tanah. Seluruh kulitnya perlahan-lahan mengerut. Seolah-olah seluruh darahnya tersedot oleh sesuatu yang tak tampak. Beberapa saat kemudian, si brewok tewas dengan seluruh kulit berkeriput hingga tak ubahnya tubuh seorang kakek yang sudah sangat tua.

“Aaah...!” Mereka yang menyaksikan terperangah kaget. Tujuh laki-laki berseragam merah memandang tak percaya ke arah mayat pimpinan mereka yang berubah keriput. Panji saja tak kalah terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka kalau kematian lawannya akan sedemikian mengerikan. Padahal menurut perhitungannya, si brewok itu tidak akan mati, paling-paling hanya tangannya saja yang buntung.

“Eh...!” Panji makin terkejut melihat darah yang menodai Pedang Pusaka Naga Langit tiba-tiba menguap dan lenyap tanpa bekas! Pedang itu kembali berkilat-kilat memancarkan sinar keemasan. Sama sekali tidak ada bekas kalau pedang itu baru saja melukai orang!

ENAM

Pendekar Naga Putih mengalihkan pandang ke arah tujuh orang berseragam merah yang juga tengah menatapnya.

“Huh! Jangan harap kami akan menyerah begitu saja kepadamu, Pendekar Naga Putih! Kelak kau akan menyesal karena telah mencampuri urusan kami!” ujar salah seorang di antara ketujuh laki-laki berpakaian serba merah menakut-nakuti. Ketujuh orang berpakaian serba merah berusaha menyembunyikan rasa takut mereka dengan berpura-pura garang. Mereka melintangkan pedang didepan dada meski dengan tangan agak gemetar. Siapa orang yang tidak takut kalau kematian sudah membentang di depan mata?

“Hmm... Aku bukan orang yang haus darah! Pergilah kalian dan jangan coba-coba menggangguku lagi! Bawa mayat pemimpinmu sekalian,” ucap Panji yang sudah menyarungkan Pedang Pusaka Naga Langit kembali. Sambil berkata demikian, di kibaskan tangannya mengusir ketujuh orang itu.

Ucapan Pendekar Naga Putih tentu saja membuat lawanlawannya ragu-ragu. Mereka hampir tidak percaya kalau pendekar itu akan membebaskan mereka begitu saja. Mereka masih berdiri terpaku menatap pemuda itu tak percaya.

“Apa yang kalian tunggu? Pergilah!” teriak Panji lagi.

Tanpa banyak cakap lagi, ketujuh orang itu pun bergegas meninggalkan tempat ini dengan membawa mayat pemimpinnya. Tak seorang pun ada yang berani menolehkan kepalanya kebelakang, karena khawatir kalau pemuda itu memburu mereka lagi.

Setelah kawanan orang-orang berseragam merah pergi, Panji bergegas menghampiri kekasihnya. Hati pemuda itu semakin cemas ketika melihat Kenanga telah rebah pingsan. Rupanya daya kerja racun sudah semakin menyebar ke seluruh jalan darahnya.

“Ah, syukurlah dia hanya pingsan...,” desah Panji menarik napas lega setelah memeriksa sekujur tubuh Kenanga.

Meskipun bukan seorang tabib, namun sedikit banyak dia telah mewarisi ilmu pengobatan yang diturunkan gurunya. Sekali lihat saja dia sudah tahu cara menggunakan obat penawar yang berhasil dirampas dari tangan si brewok. Di bukanya penutup botol, lalu mengoleskan cairan yang berupa minyak ke bawah hidung Kenanga dengan jari-jari tangan. Seketika di tempat itu menyebar bau harum menyegarkan. Kemudian ditunggunya gadis jelita itu sampai siuman. Tak lama kemudian, terdengar erangan lirih dari bibir Kenanga. Perlahan-lahan pelupuk matanya mulai terbuka.

“Ngngngh...,” di sertai keluhan lirih gadis jelita itu menutup muka dengan kedua tangannya karena masih silau melihat keadaan di sekeliling.

“Ah, syukurlah kau sudah sadar,” ucap Panji sambil mengecup lembut kening kekasihnya.

“Kakang, di mana kita? Kemana orang-orang licik itu?” tanya Kenanga sambil berusaha bangkit.

Panji cepat memapah kekasihnya bangkit. “Mereka sudah pergi sejak tadi. Bagaimana perasaanmu sekarang, Adik Kenanga?” ujar Panji, menatapi wajah kekasihnya yang nampak sudah segar kembali.

“Rasanya tubuhku sudah segar. Eh, mengapa kau memandangiku seperti itu, Kakang? Apakah ada sesuatu yang aneh pada wajahku?” tanya Kenanga heran melihat sepasang mata kekasihnya tak lepas-lepas memandangnya.

“Kau.... Kau semakin cantik saja. Rasanya aku tidak pernah puas menatap wajahmu,” kata Panji, lirih dan tersendat-sendat karena terbawa perasaan.

“Ah, Kakang...,” desah Kenanga, tersipu-sipu menundukkan wajahnya yang kemerahan. “Tapi mengapa selama ini Kakang selalu meninggalkan aku? Apakah ucapan Kakang hanya sekadar rayuan saja?”

“Kuakui selama ini memang aku bodoh. Tapi aku berjanji, mulai saat ini aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” ujar Panji berjanji.

“Sungguh...?” tanya Kenanga manja. Seraya meremas-remas jari-jemari tangan kekasihnya.

“Sungguh!” sahut Panji, balas meremas mesra jari-jemari Kenanga yang hangat. Keduanya saling bertatapan penuh kebahagiaan.

“Ayolah, kita lanjutkan perjalanan kita!” ajak Panji, yang segera menarik bangkit tubuh Kenanga.

Gadis jelita itu tersenyum manis. Sambil berpegangan tangan, keduanya melangkah meninggalkan tempat itu. Sang mentari yang sudah bergulir ke ufuk barat tersenyum melihat kebahagiaan sepasang insan yang tengah melangkah sambil berpegangan tangan.

********************

Setelah kurang lebih dua hari menempuh perjalanan, Panji dan Kenanga akhirnya tiba di mulut Desa Pegatan. Mereka berdua bergegas menyusuri jalan utama desa yang ramai oleh orang berlalu-lalang. Beberapa warga desa yang berpapasan dengan mereka tersenyum senang, melihat pancaran kebahagiaan dari mata kedua muda-mudi yang tengah dimabuk asmara itu.

“Sungguh serasi sekali pasangan muda itu . Yang l elaki gagah dan tampan. Sedangkan wanitanya demikian cantik bagaikan bidadari. Sepasang mata keduanya berbinar penuh kebahagiaan. Sepertinya mereka sepasang pengantin baru yang bahagia,” bisik salah seorang penduduk desa kepada kawannya.

“Ya, tampaknya mereka berbahagia sekali,” sahut kawannya juga tersenyum melihat sepasang muda-mudi yang tengah menyusuri jalan desa.

“Huh! Memang kalau baru menikah mereka tampak rukun dan bahagia. Tapi lihat saja dua atau tiga bulan lagi. Mereka pasti akan bertengkar tiap hari tak ubahnya dua orang musuh bebuyutan!” celetuk orang ketiga dengan suara agak keras.

Karena suara orang itu agak keras, Panji dan Kenanga menoleh serentak. Keduanya tersenyum geli melihat tiga orang laki-laki yang saat itu tengah mem perhatikan mereka.

“Hi hi hi... mereka pasti mengira kita sepasang suami-istri yang tengah melancong, Kakang,” bisik Kenanga lirih sambil memperdengarkan tawa yang merdu.

“Hm.... Bukankah dugaan mereka memang benar?” sahut Panji, tersenyum menggoda.

“Ih, Kakang genit!” bisik Kenanga gemas. Dicubitnya tubuh kekasihnya hingga terdengar Panji mengaduh.

“Ha ha ha...!” terdengar suara tawa dari ketiga orang penduduk yang tadi membicarakan mereka Rupanya mereka mengikuti dari belakang.

“Nah, rasakan! Perbuatanmu dilihat mereka,” ujar Panji risih dengan wajah agak kemerahan.

“Biar! Biar mereka iri!” sahut Kenanga, acuh tak acuh ditonton orang. Panji hanya tersenyum. Ia maklum kalau saat ini kekasihnya sedang berbahagia. Wajar bila Kenanga merasakan kebahagiaannya bertemu dengan Panji. Sebelum itu, lama mereka berpisah.

Panji dan Kenanga tiba di sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah penduduk lainnya. Rumah itu adalah rumah Kepala Desa Pegatan. Di pintu masuk di jaga dua orang yang bersenjatakan tombak.

“Berhenti...!” seru salah seorang penjaga sambil menyilangkan tombak, menghalangi kedua orang muda itu masuk.

“Siapakah Kisanak? Dan ada keperluan apa datang ke tempat ini?” tanya salah seorang penjaga dengan ramah mendekati mereka.

“Maaf, aku ingin bertanya sedikit perihal orang yang bernama Ganda Buana, kalau tidak salah dia tinggal di Desa Pegatan ini.

Apakah Kisanak kenal dengan dia?” tanya Panji sopan. “Apakah usianya sekitar lima puluh tahunan?” si penjaga balik bertanya kepada Panji.

“Benar!” sahut Panji, karena menurut keterangan Kepala Desa Karang Jati, usia pamannya sekitar lima puluh tahunan.

“Dari sini berjalan lurus. Nanti apabila kalian sudah menemukan sebuah rumah yang pekarangannya cukup luas dan di sebelah kirinya terdapat pohon bambu kuning, kalian masuk saja. Itulah rumah Ki Ganda Buana,” jawab si penjaga menerangkan.

Setelah mengucapkan terima kasih, kedua sejoli itu bergegas meninggalkan halaman rumah kepala desa. Tak lama kemudian mereka pun menemukan rumah besar seperti yang ditunjukkan penjaga tadi. Rumah itu memang tidak sulit di cari karena terletak di tepi jalan utama Desa Pegatan.

“Aneh, mengapa rumah sebesar ini sepi? Apakah Paman Ganda Buana tidak membuka perguruan silat?” gumam Panji bertanya kepada dirinya sendiri. Kata-kata itu tidak terucap dari mulutnya sehingga Kenanga tidak mengetahui apa penyebab pemuda itu termangu di depan halaman rumah besar ini.

“Mengapa kita tidak langsung masuk saja, Kakang?” tanya Kenanga, memegang tangan Panji. “Apa yang Kakang pikirkan?”

“Tidak ada, Adik Kenanga. Hanya aku heran melihat rumah sebesar ini kelihatan sunyi sekali,” kata Panji, begitu tersadar dari lamunan.

Putra Paksi Buana melangkah perlahan memasuki halaman rumah besar diikuti Kenanga dari belakang. Mereka berdua memperhatikan sekeliling halaman rumah ini. Seorang laki-laki setengah baya keluar membukakan pintu ketika Panji mengetuk beberapa kali. Laki-laki tua itu terheran heran menyambut kedatangan tamunya. Sebab baru sekali ini didatangi dua tamu muda.

“Siapakah kau, Anak Muda? Dan siapa yang kau cari?” tanya laki-laki yang berpakaian pelayan. Kini sepasang matanya beralih kepada Kenanga. Pelayan tadi terpana kagum melihat seorang gadis cantik mendampingi Panji.

“Paman, namaku Panji. Kedatangan ku kemari ingin mencari pamanku yang bernama Ganda Buana. Benarkah beliau tinggal disini? Bisakah aku berjumpa dengan beliau?” tanya Panji setelah memperkenalkan namanya kepada pelayan tua itu.

“Anak Muda, aku sudah mengabdi pada keluarga ini sejak muda. Tapi rasanya aku belum pernah mendengar beliau punya keponakan. Apalagi sudah sebesar kau. Tapi.... Nanti dulu. Kalau memang majikanku pamanmu, bisakah kau memberi tahu nama ayahmu?” selidik pelayan tua yang masih ragu-ragu pada keterangan tamunya.

“Nama ayahku Paksi Buana, kakak kandung majikanmu. Apakah Paman mengenal beliau?” sela Kenanga menimpali karena sudah tak sabar lagi melihat pelayan tua itu mencurigai mereka berdua.

“Aaah... Paksi Buana! Tentu saja aku tahu, Nisanak. Mari, silakan masuk. Aku akan laporkan berita gembira itu kepada majikanku,” kata pelayan tua itu gembira. Dengan tergopoh-gopoh dia meninggalkan Panji dan Kenanga yang sudah duduk diruang tengah.

Tak lama kemudian pelayan tua itu muncul kembali mendampingi seorang laki-laki yang sebaya dengan usianya. Hanya bedanya wajah lelaki itu lebih bersih dan gagah.

“Anak Muda, benarkah kau bernama Panji, anak Kakang Paksi Buana?” tanya laki-laki gagah setengah baya itu begitu tiba didekat Panji.

Pemuda itu tidak langsung menjawab. Dia berdiri perlahan dari duduknya. Sepasang matanya menatap tajam penuh selidik ke wajah laki-laki setengah baya yang juga tengah menatapnya.

“Benar, Paman. Kau pastilah Paman Ganda Buana. Wajah Paman tidak terlalu jauh berbeda, sehingga aku masih dapat mengenali,” seru Panji, terharu dan bahagia. Kebahagiaan yang dalam karena selama ini dia menyangka kalau dia tidak mempunyai keluarga lagi.

“Panji..,” desis Ki Ganda Buana, juga sangat terharu dengan pertemuan yang tidak disangka-sangka ini. Dia langsung memeluk Panji. Di tepuk-tepuknya bahu keponakannya berkali kali. “Wah, kau sudah besar dan gagah. Betapa bangganya Kakang Paksi Buana, apabila dia masih hidup. Eh, apakah kau sudah menjenguk makam ayahmu?”

“Sudah, Paman. Justru dari sanalah aku mendapat berita perihal Paman,” jawab Panji cepat. “Mmm.... kenalkan, Paman. Ini Adik Kenanga, tunanganku.”

“Hm... Pintar sekali kau memilih, Panji,” puji Ki Ganda Buana polos. Di tatapnya sejenak wajah gadis jelita yang tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

“Paman, kemanakah bibi dan yang lainnya? Seingatku, Paman punya dua orang anak yang sebaya denganku?” tanya Panji ketika tidak melihat keluarga pamannya keluar menyambut.

“Oh, mmm... mereka... mereka tengah menjenguk famili bibimu di desa tetangga,” sahut Ki Ganda Buana agak gugup. “Ah, sebentar, Panji. Paman akan menyuruh menyiapkan kamar untukmu dan tunanganmu.”

Setelah kepergian Ki Ganda Buana, Panji dan Kenanga menjadi heran melihat perubahan wajah dan sikap pamannya, ketika menyinggung soal keluarganya.

“Aneh, mengapa sikap paman begitu gugup ketika kutanyakan perihal bibi dan sepupuku?” ucap Panji dalam hati. Tapi dia diam saja. Tidak mengungkapkan keheranannya kepada Kenanga.

Kenanga yang juga melihat keanehan sikap Ki Ganda Buana yang begitu tiba-tiba menjadi heran. Gadis jelita itu pun tidak mengatakan apa-apa. Kecurigaannya langsung timbul begitu melihat perubahan sikap paman kekasihnya.

“Panji, Kenanga, mari kita makan dulu. Rupanya pelayan ku langsung menyiapkan makanan, begitu tahu kalau kau keponakanku. Marilah... Marilah,” ajak Ki Ganda Buana tersenyum ramah.

Panji dan Kenanga mengangguk mengiyakan. Keduanya pun bergegas bangkit mengikuti langkah pamannya. Hati Panji semakin tidak enak melihat sikap Ki Ganda Buana yang sepertinya tidak wajar. Jelas sekali kalau orang tua itu berusaha menyembunyikan sesuatu. Tapi Panji tidak dapat menebak apa yang disembunyikan pamannya.

“Paman, maafkan aku kalau pertanyaan perihal bibi tadi membuat Paman murung. Apakah Paman dan bibi habis bertengkar?” tanya Panji, tanpa bermaksud mencampuri urusan keluarga Ki Ganda Buana.

“Ya! Ya.... Kami memang habis bertengkar. Dan bibimu marah padaku. Lalu pergi ke tempat orang tuanya,” jawab Ki Ganda Buana, masih gugup. Cepat dia menarik sebuah kursi. Lalu menghenyakkan tubuhnya disertai helaan napas berat. “Ay olah, silakan, Panji, Kenanga. Setelah itu kalian boleh beristirahat di kamar yang telah kusediakan. Sekarang kita lupakan dulu persoalan bibimu. Besok aku akan men coba menjemputnya. Siapa tahu setelah melihat kau marahnya jadi hilang,” ucap Ki Ganda Buana, mempersilakan mereka segera menikmati hidangan yang tertata rapi di atas meja bundar terbuat dari kayu jati. Tan pa berucap lagi, Panji alias Pendekar Naga Putih segera menyantap hidangan. Sesekali diliriknya wajah Ki Ganda Buana. Hati Panji semakin heran melihat wajah pamannya terlihat semakin tegang. Pemuda itu memutar otak, menduga-duga apa yang tengah dialami pamannya.

“Eh, Paman, makanan ini.... Makanan ini...,” Panji tersentak bangkit dan berkata terbata-bata. Belum lagi bicaranya selesai, tubuhnya kembali terjatuh di atas kursi. Wajah Panji nampak mulai pucat. Peluh pun mulai mengalir membasahi wajah.

“Gila, makanan ini beracun!” teriak Kenanga, sambil melemparkan hidangan di atas meja. Untunglah gadis jelita itu baru sedikit mencicipi, sehingga racun belum sampai mempengaruhinya. Bergegas dia bangkit sambil meloloskan Pedang Sinar Rembulan yang melingkar di pinggangnya.

Srettt!

Cahaya putih keperakan berkeredap ketika gadis jelita itu meloloskan Pedang Sinar Rembulan.

“Paman.... Mengapa Paman lakukan ini padaku? Mengapa, Paman...?” ucap Panji sambil menggeleng-gelengkan kepala karena pandangannya mulai kabur. Tangan pemuda berjubah putih meraba-raba hingga menumpahkan hidangan yang semula tersusun rapi di atas meja.

“Karena kau adalah Pendekar Naga Putih! Dan kedatanganmu telah membawa kesulitan buatku!” sahut Ki Ganda Buana setengah membentak. Tubuh orang tua itu tahu-tahu sudah melompat ke arah Panji dengan kedua tangan terkembang.

Wusss! Brakkk!

“Uhhh...!” Kursi yang semula diduduki Pendekar Naga Putih hancur berantakan terkena sambaran tangan Ki Ganda Buana. Untunglah pemuda itu cepat bergerak menghindari serangan pamannya. Meskipun pengaruh racun telah menyebar ke dalam aliran darah di tubuhnya, namun nalurinya sebagai ahli silat mengetahui adanya bahaya yang mengancam.

“Keparat kau, Ki Ganda Buana! Kau tega mencelakakan keponakanmu sendiri! Dasar manusia bejad!” maki Kenanga, yang menjadi marah melihat kelicikan orang tua yang mengaku sebagai paman kekasihnya. Sesaat kemudian, tubuh gadis jelita itu pun melayang disertai ayunan pedang membabat leher Ki Ganda Buana.

Wuttt!

“Aihhh...!” Ki Ganda Buana terkejut bukan main diserang gadis jelita itu. Dia sama sekali tidak menyangka kalau kepandaian Kenanga berada di atas kepandaiannya. Hampir saja tubuhnya terkena sambaran Pedang Sinar Rembulan kalau tidak cepat menghindar!

“Ha ha ha...! Bagus, Ganda Buana! Kali ini kami pasti berhasil menyeret Pendekar Naga Putih ke hadapan ketua kami,” bersamaan dengan terdengarnya suara itu tahu-tahu di ruang makan muncul belasan orang berpakaian serba merah.

“Bedebah! Rupanya kau telah bersekongkol dengan manusia-manusia jahat itu untuk mencelakakan kami!” teriak Kenanga semakin marah ketika melihat munculnya orang-orang berseragam merah.

“Kenanga! Cepat tinggalkan tempat ini! Biar aku yang akan menahan mereka!” teriak Panji kepada kekasihnya. Tubuh pemuda itu tampak semakin lemah. Dengus napasnya terdengar keras seperti orang habis berlari jauh. Rupanya pengaruh racun yang tidak berbau dan tidak berwarna itu demikian cepat bekerjanya.

“Tidak, Kakang! Mati hidup kita harus bersama! Aku tidak mau membiarkanmu menghadapi maut sendirian!” bantah Kenanga, sambil melompat mendekati kekasihnya. Panji yang pan dangannya semakin kabur meraba-raba hendak menyentuh tubuh Kenanga. Kenanga yang tak sampai hati melihat keadaan kekasihnya yang sudah seperti orang buta itu, bergegas mendekatkan tubuh hingga tubuhnya tersentuh tangan Panji.

“Pergilah, Kenanga! Jangan membantah! Kalau kita berdua yang tertangkap, lalu siapa yang akan menolong kita? Cepatlah, sebelum keadaan ku benar-benar parah!” bujuk Panji berusaha memberi pengertian.

TUJUH

Kenanga menatap kekasihnya dengan perasaan kacau. Dia sadar apa yang diucapkan Panji benar. Namun hatinya masih tak tega meninggalkan sang kekasih dalam keadaan seperti itu. Pertentangan itulah yang membuatnya masih juga tidak beranjak dari Panji.

Saat itu beberapa orang berseragam merah sudah melompat menyerbu. Tiga orang di antaranya adalah Jari Penembus Tulang, Tapak Baja dan Ki Tapak Jagad yang sudah pernah merasakan kelihaian ilmu kesaktian Panji. Kini mereka kembali mencoba untuk melumpuhkan pemuda itu dengan dibantu dua belas orang yang rata-rata mempunyai kepandaian setingkat dengan Tapak Baja. Tentu saja kehadiran mereka sangat berbahaya bagi keselamatan Panji dan Kenanga.

“Hiaaat..!” Di barengi teriakan keras, empat orang berseragam merah menerjang Pendekar Naga Putih dan Kenanga dari empat penjuru. Walau pun mereka hanya menggunakan tangan kosong, namun dari angin pukulannya dapat di ketahui kalau tenaga dalam mereka cukup kuat!

Wuttt! Wu ttt!

“Aaah...!” Panji yang saat itu keadaannya sudah semakin parah, tak mampu lagi menghindar. Pemuda itu terpaksa menangkis sekenanya dengan gerakan kacau.

Plakkk! Plakkk!

“Uhhh...!” Dua serangan lawan berhasil ditangkis. Tapi Pendekar Naga Putih terkejut merasakan lengannya nyeri akibat pertemuan tenaga dalam dengan dua orang lawannya. Pendekar Naga Putih semakin cemas merasakan hampir sebagian tenaga dalamnya lumpuh. Celaka, pengaruh racun itu hampir melumpuhkan seluruh urat-urat tubuhnya. Dan selagi tubuh pendekar muda itu terdorong akibat menangkis serangan dua orang lawannya, serangan dari dua orang berseragam merah lain meluncur datang!

Bukkk! Desss!

“Hukhhh...!” Pukulan mereka tepat menghantam lambung dan dada Panji hingga membuatnya terjungkal ke belakang menimpa meja makan. Darah segar mulai merembes di sudut bibirnya.

“Kakang...! Ohhh...,” Kenanga menjerit dan langsung menghambur ke arah Panji. Di peluknya tubuh sang kekasih yang tengah berusaha bangkit. Hati gadis jelita itu semakin tak karuan ketika melihat wajah kekasihnya semakin pucat.

“Kenanga... dengarkan kataku! Pergilah. Selamatkan dirimu sebelum semuanya terlambat! Jangan pikirkan aku. Aku yakin kalau mereka hanya ingin menangkapku,” pinta Panji dengan napas tersengal-sengal. Pemuda berjubah putih ini berusaha bangkit berdiri sekuat tenaga sambil menghunus Pedang Naga Langit.

Wuttt!

Sebias sinar kuning keemasan, berkilauan dari Pedang Naga Langit ketika digunakan Panji. Sambil menggoyang-goyangkan kepalanya yang terasa berat, pedangnya dilintangkan di depan dada, siap melindungi Kenanga.

“Kakang, jaga dirimu baik-baik...,” ucap Kenanga, sebelum meninggalkan Panji dengan napas terisak-isak. Air mata membasahi pipinya yang halus.

“Pergilah, Adikku...,” ujar Panji serak, terbawa keharuan yang dalam. Dia sadar belum tentu dapat berjumpa lagi dengan kekasihnya. Kalau tadi dia mengatakan orang-orang itu tidak akan membunuhnya, hanyalah untuk membujuk Kenanga agar segera pergi dari tempat ini. Padahal dia sendiri belum yakin betul apakah orang itu tidak akan membunuhnya. Karena sepertinya orang-orang jahat itu menaruh dendam kepadanya. Dan bukan tidak mungkin tubuhnya akan di cincang mereka.

Wuttt! Wuttt!

Panji mengayunkan Pedang Naga Langit sekuat tenaga. Alangkah kecewa dia karena ternyata tenaga sakti dalam tubuhnya sudah demikian lemah, sehingga gerakannya tak ubahnya seorang pemula yang baru belajar silat.

“Haiiit..!” Sambil membentak nyaring, tubuh salah seorang lawan melompat seraya menyerang Pendekar Naga Putih. Tapi pemuda itu bergerak lambat, sehingga lawan dengan mudah menyarangkan pukulan telak ke tubuh Panji.

Bukkk! Plakkk!

“Oughhh...!” Darah segar muncrat dari mulut Panji ketika dua kali pukulan orang itu telak mendarat di dada dan perutnya. Panji terlempar menabrak dinding ruangan dan langsung ambruk pingsan! Sedangkan pedangnya sudah berpindah ke tangan orang yang tidak lain adalah Tapak Baja.

“Ha ha ha...! Pendekar Naga Putih! Kali ini kau akan merasakan akibatnya karena berani mencampuri urusan kami!” sambil tertawa terbahak-bahak, orang berkepala gundul itu mendekati Panji yang tergolek tak berdaya.

“Mari kita pergi...,” perintah Jari Penembus Tulang sambil meninggalkan tempat kediaman Ki Ganda Buana. Sedangkan tubuh Panji dipondong Tapak Baja.

Ki Ganda Buana ikut bersama mereka meninggalkan tempat kediamannya. Wajah orang tua itu tampak tertunduk lesu tanpa gairah.

********************

Seorang gadis berpakaian serba hijau berlari-lari sambil terisak-isak sedih. Sepasang tangan yang ramping menutupi wajahnya. Dari sela-sela jari tangan mengalir butiran-butiran air bening.

“Kakang...,” keluhnya dengan kedua bahu tergun cang. Perlahan-lahan jari-jemari tangannya turun ke bawah. Ternyata gadis itu adalah Kenanga yang melarikan diri dari tempat kediaman Ki Ganda Buana. Wajahnya yang cantik jelita itu agak pucat. Sepasang matanya membengkak karena terlalu banyak menangis. Suka dan duka merupakan saudara.

Tangis dan tawa tak dapat dipisah. Tertawalah selagi suka. Menangislah selagi duka menimpa. Meskipun tangis melegakan dada, tapi.... dapatkah ia memecahkan masalah?

Kenanga menghentikan larinya ketika mendengar suara nyanyian yang menyentuh hati. Dia segera tahu kalau orang yang bernyanyi itu pasti bukan orang sembarangan, karena suaranya menggetar memenuhi sekitar tempat ini. Dan dia pun tahu kalau nyanyian itu sengaja di tujukan kepadanya. Karena saat itu hanya dialah yang berada di tempat sepi ini. Dan hanya dia sendiri yang sedang menangis. Gadis jelita itu mengedarkan pandangan mencari-cari asal suara dengan hati geram.

“Siapa pun adanya kau, hei orang yang bernyanyi! Keluarlah! Tunjukkan dirimu! Jangan hanya bisa menertawakan kesusahan orang lain!” teriak Kenanga sengit. Rasa duka yang dihadapi membuat Kenanga mudah tersinggung.

Tapi sampai sekian lama Kenanga menunggu, tak seorang pun menampakkan batang hidungnya. Tentu saja hal itu membuatnya semakin jengkel. Kenanga yang sudah memaki-maki orang yang bernyanyi itu menutup mulut, karena saat itu sesosok tubuh tinggi kurus mendatanginya. Mata gadis jelita itu menatap tajam ke arah sosok yang berjalan tertatih-tatih. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu yang digunakan untuk menyangga tubuhnya.

“Eyang...!” panggil Kenanga, berseru gembira begitu mengenali siapa sosok yang sedang menghampirinya. Kedukaannya hilang seketika. Bergegas dia berlari menghambur, menyambut kedatangan orang yang amat dikenalnya.

“He he he.... Cucuku. Teruskanlah tangismu. Biar dadamu menjadi lega, dan pikiranmu terbuka,” ucap sosok tinggi kurus itu yang ternyata adalah Raja Obat. Diusapnya rambut kepala gadis jelita itu yang bersimpuh di depannya dengan kepala tertunduk.

“Eyang, Kakang Panji... dia... dia...,” Kenanga tak mampu meneruskan ucapannya. Dadanya kembali terasa sesak begitu teringat pada Panji yang tidak diketahui nasibnya. Gadis jelita itu menarik napas dalam-dalam guna menghilangkan rasa sesak yang memenuhi dada.

“Apakah kalian berselisih?” tanya Raja Obat menduga. Si kakek meraba-raba kesedihan yang dialami sang cucu, pastilah disebabkan perselisihan di antara mereka.

“Bukan, Eyang. Kakang Panji ... Ah, entah bagaimana nasibnya?” Kenanga lalu menceri takan apa yang dialaminya. Dan bagaimana keadaan sang kekasih ketika di tinggalkan.

“Kalau mendengar dari apa yang kau ceritakan, pastilah dia sudah terbius racun jahat. Sangat sulit mengobatinya. Karena aku belum mengetahui jenis racun itu secara pasti. Tapi.... Eh, kau kenapa, Cucuku...?” ujar Raja Obat, terkejut ketika melihat Kenanga bangkit sambil memegang kepala. Gerakan gadis jelita itu terlihat goyah.

“Ah, apakah kau pun sudah memakan hidangan beracun...?” tanya Raja Obat terkejut dan juga gembira, karena dengan demikian berarti dia dapat mengetahui bagaimana cara memulihkan Panji.

“Ya, Eyang. Tapi... Tapi hanya sedikit..,” sahut Kenanga lemah. Keringat sebesar biji-biji jagung membasahi wajahnya yang mulai memucat.

“Hm .... Untunglah kau hanya makan sedikit hingga racun itu bekerja agak lambat,” ucap Raja Obat lagi. Tangannya bergerak cepat menangkap tubuh gadis jelita berpakaian serba hijau itu yang hendak roboh. Setelah memeriksa dan memijat beberapa bagian tubuh sang cucu, Raja Obat mengeluarkan obat pulung berwarna kehijauan dari dalam buntalannya.

Gadis jelita itu merintih lirih setelah mendapat pijatan dari Raja Obat. Dan perlahan-lahan sepasang kelopak matanya terbuka meski pun agak sayu dan kelihatan lelah.

“Telanlah obat ini, cucuku. Tariklah napas dalam-dalam agar obat ini cepat menyebar ke seluruh urat-urat tubuhmu,” ujar si kakek sambil menyerahkan obat sebesar kelereng kepada Kenanga.

Tanpa banyak tanya lagi, Kenanga segera menelan penawar racun pemberian Raja Obat. Beberapa saat kemudian, Kenanga merasakan hawa hangat bergolak di dalam pusat tenaganya. Sehingga membuat tubuhnya terasa segar kembali.

Raja Obat memperhatikan gadis jelita itu yang tengah bersemadi sambil bersila. Bibirnya menyunggingkan senyum begitu melihat wajah Kenanga telah berubah kemerahan, pertanda kalau obat yang diberikannya telah bekerja baik. Tak lama kemudian, Kenanga membuka kedua matanya. Gadis itu gembira merasakan penglihatannya sudah membaik seperti semula.

“Wah, obat yang Eyang berikan benar-benar hebat sekali! Apakah obat ini juga dapat menyembuhkan Kakang Panji, Eyang?” tanya Kenanga meminta kepastian.

“Kita lihat saja nanti, cucuku. Mari kita susul dia,” sahut Raja Obat sambil beranjak bangkit dari duduknya.

“Tapi, apakah Eyang tahu markas orang-orang berseragam merah?” tanya Kenanga. Karena dia sendiri pun belum tahu dimana markas orang-orang berseragam serba merah itu.

“Hm .... Aku pun tengah menyelidiki mereka. Mereka adalah orang-orang yang menamakan diri kelompok kelabang hitam. Aku ingin tahu apa sebenarnya yang mereka rencanakan. Sebelum hari pertemuan yang mereka tentukan, kita harus sudah menemukan kekasihmu,” jawab Raja Obat sambil melangkah meninggalkan tempat itu.

“Eyang, apakah bukan tidak mungkin kalau Kakang Panji sudah mereka bunuh?” tanya Kenanga ragu.

“Tidak, cucuku. Kalau memang mereka berniat membunuhnya, tentu mereka akan menggunakan racun yang mematikan dan bukan racun yang melumpuhkan,” sahut Raja Obat memberi alasan.

Mendengar alasan yang diberikan Raja Obat, Kenanga mengangguk-anggukkan kepala membenarkan. Gadis jelita itu melangkahkan kakinya mengikuti Raja Obat yang sudah mengetahui markas orang-orang berseragam serba merah.

********************

“Ha ha ha...! Pendekar Naga Putih! Akhirnya berhasil juga kami menundukkanmu!” ujar seorang laki-laki muda dan tampan sambil bertolak pinggang.

Panji yang sudah mulai sadar mencoba menatap orang itu. Keningnya berkerut ketika melihat pakaian yang dikenakan pria itu tampak demikian indah, mirip seorang pangeran istana saja. Wajahnya yang halus dan putih diberi bedak, sepintas dapat diduga kalau pemuda ganteng itu adalah seorang pesolek.

“Sss... siapa.... Kau...?” tanya Panji dengan suara hampir tak terdengar.

“Ha ha ha.... Ketahuilah, Pendekar Naga Putih! Saat ini kau tengah berhadapan dengan calon adipati. Sebentar lagi Adipati Kerta Sura akan kupaksa turun dari singgasananya! Ha ha ha...!” sahut pemuda pesolek terbahak.

“Lalu, apa maksudmu menawanku?” tanya Panji lagi yang masih belum mengerti apa yang diinginkan orang itu dari dirinya.

“Semula aku memang berniat membunuhmu, Pendekar Naga Putih! Karena kau telah berani mencampuri urusan orang-orang kelabang hitam dengan orang-orang Perguruan Cakar Elang. Tapi begitu aku tahu kalau kau Pendekar Naga Putih yang tersohor, maka aku bersedia mengampunimu apabila bergabung dengan kelompok kelabang hitam. Bagaimana? Apakah kau bersedia?” tanya pemuda pesolek membujuk.

Panji yang kesadarannya sudah mulai pulih tahu betul kalau saat itu dia menolak, maka saat itu juga mungkin dia akan dibunuh. Maka dia pun segera memutar otak agar dapat meloloskan diri dari tempat ini. “Beri aku waktu dua hari untuk berpikir,” sahut Panji memberi alasan.

“Baik! Ku beri kau waktu dua hari untuk mengambil keputusan. Tapi ingat! Jangan coba-coba meloloskan diri. Hal itu akan sia-sia! Sebab tenagamu tidak akan dapat pulih tanpa pertolonganku!” ancam pemuda pesolek, mengingatkan Panji pada keadaannya.

“Keparat licik!” maki Panji dalam hati. Diam-diam pemuda itu memaki kelicikan pemuda yang tampaknya adalah ketua Gerombolan Kelabang Hitam.

“Bawa dia ke kamar tahanan!” perintah pemuda pesolek kepada anak buahnya.

“Baik, Gusti!” sahut dua orang berseragam merah yang segera membawa Pendekar Naga Putih ke ruang tahanan.

Setibanya diruang tahanan, tubuh Panji langsung dilemparkan secara kasar keatas tumpukan jerami. Dan setelah mengunci pintu kamar tahanan, anggota gerombolan kelabang hitam bergegas meninggalkannya. Setelah memeriksa beberapa saat, Panji menyeringai gembira mendapati ruang tahanan hanya terbuat dari kayu yang tidak begitu tebal. Dirabanya dinding-dinding kayu itu seolah-olah ingin mengukur kekuatannya. Dia yakin dinding kamar tahanan ini akan hancur sekali pukul tanpa harus menggunakan banyak tenaga. Pendekar Naga Putih melangkah mundur dan siap melontarkan pukulan untuk menjebol dinding kayu.

“Hahhh?!” Bukan main terkejutnya Panji ketika menyadari kalau dirinya tidak mampu membangkitkan tenaga dalamnya. Tak ada sama sekali tenaga dalam yang mengalir melalui kedua tangannya. Mungkin tenaga saktinya telah lumpuh diserap racun yang mengeram dalam tubuhnya, pikir Pendekar Naga Putih.

“Bangsat! Pantas mereka berani mengurungku di tempat seperti ini! Rupanya mereka telah memperhitungkan segalanya dengan matang!” geram Panji, sambil memukul-mukul dinding kayu kamar tahanan sampai tangannya terasa sakit dan lecet.

Panji menjatuhkan tubuhnya di atas tumpukan jerami. Berkali-kali dia berusaha membangkitkan tenaga dalamnya. Namun semua usahanya hanya sia-sia belaka. Tenaga saktinya benar-benar lumpuh akibat racun yang di campurkan ke dalam makanan sewaktu di rumah pamannya. Begitu Panji mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruang tahanan, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesosok tubuh berusia lanjut.

“Paman...!? Kau.... Mengapa kau juga berada di sini?” tanya Panji heran, ketika melihat Ki Ganda Buana juga berada dalam ruang tahanan yang sama.

“Hhh.... Panjang sekali kalau ku ceritakan, Panji. Jelasnya mereka telah menipuku. Semula Anggada, pemuda pesolek, menyandera anak dan istri ku. Dia berjanji akan membebaskan keluargaku kalau aku dapat menangkapmu hidup-hidup. Tapi nyatanya mereka ingkar janji. Dan malah mengurungku di sini,” tutur Ganda Buana penuh sesal. “Maafkanlah pamanmu ini, Panji. Aku benar-benar terpaksa harus berbuat begitu!”

“Sudahlah, Paman. Aku pun sebenarnya tidak yakin kalau perbuatan Paman memang atas kehendak Paman sendiri,” ujar Panji sambil memeluk tubuh Ki Ganda Buana tanpa merasa sakit hati sedikit pun. “Lebih baik sekarang kita tidur agar besok pikiran kita menjadi jernih dan dapat mencari jalan untuk meloloskan diri...”

Tanpa berkata apa-apa lagi, keduanya merebahkan tubuh di atas tumpukan jerami yang memang disediakan untuk tidur.

********************

Malam semakin bertambah larut. Suara binatang malam saling bersahutan menyemarakkan suasana. Sang rembulan tak bersinar utuh, karena sebagian wajahnya tertutup gumpalan awan hitam. Di tengah kepekatan malam, dua sosok tubuh berloncatan lincah memasuki halaman sebuah bangunan besar yang menjadi markas gerombolan kelabang hitam.

Sepertinya kedua sosok bayangan itu adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi. Dengan mudah mereka melompati tembok bangunan yang setinggi tiga tombak. Bayangan kedua sosok itu seperti dua ekor rajawali besar yang tengah melayang di angkasa. Dalam waktu singkat bayangan itu sudah berada di halaman dalam, lalu berpindah ke halaman samping.

Dua penjaga malam yang sedang meronda terperanjat kaget, ketika tiba-tiba di hadapan mereka telah berdiri dua sosok tubuh . Sebelum keduanya sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba tubuh mereka melorot jatuh. Rupanya sosok bayangan tinggi kurus itu telah lebih dahulu melakukan totokan terhadap mereka hingga roboh. Sosok bayangan tinggi kurus itu bergegas mengajak kawannya masuk ke ruang dalam. Mereka mengendap-endap dengan merapatkan tubuhnya ke dinding, ketika melihat dua orang penjaga melewati mereka.

Tukkk! Tukkk!

“Uhhh...!”

Kedua penjaga melorot jatuh sebelum mengetahui apa yang tengah menimpa mereka. Sosok tinggi kurus itu menyeret tubuh keduanya ke tempat gelap. Penjaga yang satu dibiarkan pingsan, sementara penjaga yang satu lagi di bebaskan dari totokan yang membuatnya lumpuh.

“Kalau kau masih ingin hidup, cepat katakan di mana tempat Pendekar Naga Putih ditahan?” ancam si bayangan tinggi kurus berbisik kepada penjaga yang sudah tidak berkutik lagi. Sepasang matanya berkilat tajam sehingga membuat penjaga bergidik menatapnya.

Penjaga itu pun segera memberitahukan tempat di mana Panji ditahan, dengan menggunakan gerakan tangannya. Bayangan tinggi kurus itu mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Nah, sekarang kau boleh beristirahat!” ujar bayangan tinggi kurus yang segera kembali menotok jalan darah si penjaga itu. Lalu disembunyikan di dekat kawannya.

“Eyang, apakah kau yakin orang itu tidak menjebak kita?” tanya sosok bayangan yang berbentuk ramping itu. Suaranya terdengar merdu.

“Tidak. Aku sudah pernah menyelidiki tempat ini sebelumnya. Aku tahu pasti orang itu tidak berbohong,” jawab bayangan tinggi kurus itu yakin. Menilik dari wajah dan pakaian mereka, pastilah kedua sosok bayangan itu adalah Raja Obat dan Kenanga. Kedatangan mereka ke markas gerombolan kelabang hitam adalah untuk membebaskan Panji.

“Sssttt...!” Raja Obat menempelkan jari telunjuk kemulut. Memberi isyarat agar Kenanga diam dan bersikap lebih hati-hati . Rupanya telinga si kakek menangkap suara-suara orang berbicara di dalam ruang jaga yang letaknya berdekatan dengan tempat tahanan.

Kenanga tetap diam di tempatnya, sementara tubuh Raja Obat langsung berkelebat memasuki ruang jaga. Hebat sekali gerakan si kakek! Enam orang gerombolan kelabang hitam yang tengah berjaga-jaga tak sempat lagi berbuat sesuatu. Semuanya roboh ditotok tanpa ribut. Setelah aman, barulah Kenanga keluar dari tempat persembunyiannya, mengikuti si kakek menuju ruang tahanan Pendekar Naga Putih.

“Kakang Panji...,” tegur Kenanga setengah berbisik kepada kekasihnya melalui jeruji kamar tahanan. Untung Kenanga telah diberi isyarat Raja Obat. Kalau tidak, tentu gadis jelita itu tidak dapat menahan luapan kegembiraannya. Dan bila hal itu sampai terjadi, maka keadaan mereka akan menjadi sulit.

Panji yang tengah memikirkan bagaimana cara meloloskan diri dari tempat ini tersentak kaget. Hampir-hampir tidak percaya, ketika melihat wajah kekasihnya dari balik jeruji kamar tahanan. Kalau saja Raja Obat tidak ikut memperlihatkan wajah, Panji tentu akan menyangka kalau kekasihnya hanya khayalannya saja.

“Aku datang kemari hanya untuk memberi obat agar kekuatanmu pulih kembali. Setelah itu, tentu segalanya dapat kau selesaikan sendiri. Terimalah obat ini. Aku yakin kau telah mengetahui bagaimana cara menggunakan obat ini,” ujar Raja Obat sambil menyerahkan sebutir pil penawar racun.

DELAPAN

“Terima kasih, Eyang. Tapi kalau boleh aku minta dua butir. Karena pamanku yang berada di kamar ini juga menderita keracunan yang sama denganku,” pinta Panji, menerangkan alasannya.

“Eh ! Mengapa dia juga berada di tahanan, Kakang?” tanya Kenanga, mengerutkan kening tak senang.

“Nantilah kuceritakan, Adikku. Yang jelas, beliau tidak sejahat yang kita duga,” jawab Panji, menenangkan perasaan sang kekasih.

“Hm... baiklah, aku pergi dulu, Panji. Kutunggu kau di luar!” ujar Raja Obat setelah menyerahkan dua butir pil pemunah racun kepada Panji.

“Tunggu dulu, Eyang, Kenanga!” seru Panji, menahan langkah kedua orang itu. “Eyang, tolong bebaskan istri dan anak pamanku. Mereka di kamar sebelah...”

Raja Obat mengangguk menyanggupi. Dan tanpa banyak tanya lagi, Raja Obat sakti itu segera mengajak Kenanga memenuhi permintaan Panji.

Sepeninggal Raja Obat dan kekasihnya, Pendekar Naga Putih cepat menelan obat pemberian orang tua itu. Dan menyerahkan yang satunya lagi kepada pamannya yang tanpa banyak tanya lagi langsung menelannya. Panji yang sedikit banyak tahu ilmu pengobatan cepat membantu penyebaran obat ke seluruh aliran darah di tubuhnya. Tenaganya yang semula bergolak lemah, seketika terasa semakin kuat ketika ada hawa hangat yang berputar di bawah pusarnya.

Tidak berapa lama kemudian, Panji mulai merasakan kekuatannya semakin membaik. Wajahnya yang semula pucat berubah segar. Begitu juga yang dialami oleh Ki Ganda Buana. Setelah merasakan kekuatannya sudah pulih seperti sedia kala, Panji bergegas bangkit. Senyum di wajah pemuda itu melebar begitu merasakan lapisan kabut bersinar putih keperakan kembali menyelimuti tubuhnya.

Ki Ganda Buana berdecak kagum melihat kejadian itu. Keraguan di hatinya pun lenyap seketika. Kini dia benar-benar yakin kalau keponakannya memang orang yang di juluki Pendekar Naga Putih. Tentu saja hal itu membuatnya bangga. “Luar biasa! Betapa bangganya hati Kakang Paksi Buana kalau masih ada,” ucap Ki Ganda Buana dalam hati.

“Paman, sekarang mari kita keluar dari tempat ini!” ajak Pendekar Naga Putih sambil melangkah menghampiri pintu tahanan. Hanya dengan sekali dorong, pintu kamar tahanan ambrol dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk. Keduanya langsung melesat menerobos serpihan-serpihan kayu yang beterbangan.

Dua laki-laki yang tengah melintas di depan ruang tahanan menghentikan langkah ketika mendengar suara ribut. Tanpa membuang-buang waktu lagi, keduanya melesat ke ruang tahanan.

“Berhenti!” teriak salah seorang di antaranya begitu melihat dua sosok bayangan melesat meninggalkan ruang tahanan. Mereka langsung menghadang jalan Panji dan Ganda Buana. Tak ada jalan lain lagi selain harus merobohkan orang-orang itu. Panji dan Ki Ganda Buana langsung menyerang mereka.

Plakkk! Plakkk!

“Uhhh...!” Tubuh salah seorang penjaga terpental mundur ketika menangkis serangan Panji. Orang itu terkejut karena tiba-tiba tubuhnya di serang hawa dingin luar biasa. “Pendekar Naga Putih...!” desisnya kaget ketika mengetahui orang yang menjadi lawannya. “Bagaimana mungkin kau dapat menghilangkan pengaruh racun dalam tubuhmu?”

“Hm.... Jari Penembus Tulang! Kiranya kau masih belum jera juga?” tegur Pan ji dengan sorot mata penuh ancaman.

“Suiiit...!” sadar bahwa dirinya tidak mungkin dapat menghadapi pendekar muda itu sendirian, Jari Penembus Tulang bersuit nyaring memanggil anggota gerombolan kelabang hitam lain.

Panji terkejut mendengar suitan itu. Dan tanpa membuang- buang waktu lagi, dia segera menggasak Jari Penembus Tulang.

Bettt! Bettt!

“Haittt..!” Jari Pen embus Tulang yang tahu kalau kepandaiannya masih kalah jauh, bergegas melempar tubuh ke belakang. Dua kali hantaman telapak tangan Panji berhasil dihindari. Sebelum Pendekar Naga Putih sempat melanjutkan serangan berikut, tahu-tahu bermunculan puluhan orang berseragam merah yang langsung mengurungnya.

Begitu menyadari keadaannya semakin berbahaya, pemuda perkasa itu menyedot napas banyak-banyak.

Wusss!

Hawa dingin berhembus menderu-deru ketika Panji menambah kekuatan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’. Beberapa anggota gerombolan kelabang hitam berlompatan mundur. Mereka tak sanggup melindungi tubuh dari hembusan hawa dingin menusuk tulang yang dipancarkan dari tubuh pemuda itu.

“Serang...!” teriak Jari Penembus Tulang, memerintah para pengawal. Setelah berkata demikian, dia sendiri segera melesat mendahului kawan-kawannya.

Wuttt! Wuttt!

Panji alias Pendekar Naga Putih menggeser kaki sambil memiringkan tubuh sehingga dua kali tusukan jari tangan lawan meleset! Selesai menghindar, secepat kilat tangan kanannya bergerak melepaskan serangan balik. Serangkum angin yang dingin luar biasa mengiringi setiap sambaran cakar naga Panji.

Wukkk!

Jari Penembus Tulang mundur sejauh satu tombak menghindari sambaran cakar naga Panji. Dan belum lagi Panji sempat melanjutkan serangan, empat batang tombak meluncur mengancam tubuhnya. Cepat pemuda itu menunduk sambil menangkap senjata empat orang lawan yang datang dari dua arah.

Tappp! Tappp!

Semua tombak berhasil ditangkap Pendekar Naga Putih. Pemuda itu langsung mematahkan dengan mengerahkan tenaga dalam. Begitu empat orang lawan terjerembab ke depan, tangan pemuda itu langsung menghantam tubuh mereka.

Desss! Bukkk! Desss!

“Oughhh...!”

Tubuh keempat orang itu jatuh jungkir balik dengan keras. Dari mulut mereka menyembur darah segar. Keempat anggota gerombolan kelabang hitam tewas seketika dengan kulit tubuh kebiruan!

Setelah merobohkan keempat orang pengeroyok, Pendekar Naga Putih kembali mengamuk! Kedua tangannya menyambar-nyambar menebarkan hawa maut! Kekhawatiran akan nasib pamannya membuat Panji tak peduli lagi terhadap nasib para pengeroyok. Setiap kali sambaran cakar naganya menghantam tubuh lawan, korban pasti langsung tewas. Terjangan Pendekar Naga Putih yang laksana amukan seekor naga marah, benar-benar menggiris! Sehingga para pengeroyok tidak berani terlalu dekat dengan pemuda perkasa itu. Kadang-kadang para pengeroyok langsung melompat mundur begitu serangannya lolos!

Di arena yang lainm Ki Ganda Buana yang semula berhadapan dengan orang berkepala gundul yang bukan lain dari Tapak Baja, tampak berhasil mengimbangi. Bahkan dia mulai terlihat dapat mendesak. Tapi belum berhasil menguasai Tapak Baja, empat orang berseragam merah lain terjun membantu. Tentu saja hal itu membuat Ki Ganda Buana menjadi repot! Apalagi ketika mendapat kenyataan kalau empat orang yang datang membantu ternyata memiliki kepandaian yang hampir sama dengan Tapak Baja. Maka sibuklah orang tua itu dibuatnya!

Plakkk! Plakkk!

“Uhhh...!” Tubuh Ganda Buana terdorong mundur ketika menangkis serangan dari dua orang lawan sekaligus. Orang tua itu cepat melempar tubuh sejauh tiga tombak ke belakang, ketika serangan lawan yang lain meluncur datang! Namun sayang, begitu kedua kakinya menginjak tanah, salah seorang lawan berhasil menyarangkan sebuah tendangan keras ke perut.

Bukkk!

“Hukh...!” Orang tua itu terjengkang menerima tendangan di perutnya. Darah segar tampak mengalir melalui sudut bibirnya. Meski pun perutnya terasa mual, Ki Ganda Buana cepat melenting bangkit. Cepat kedua tangannya bergerak ke depan melindungi tubuh!

“Heaaat..!”

Diiringi teriakan nyaring, Tapak Baja dan dua pengawal lain melesat melakukan serangan dari arah depan. Sepasang tangan ketiga orang itu bergerak cepat susul-menyusul dan menyambar ganas. Ki Ganda Buana bergerak ke kiri-kanan menghindar. Meskipun telah menderita luka, rupanya orang tua itu masih sanggup mengelakkan serangan.

Bettt! Bettt!

Serangan Tapak Baja menghantam angin kosong karena Ki Ganda Buana telah keburu melempar tubuh sambil bersalto dua kali ke belakang. Begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya langsung melontarkan tendangan terbang ke arah Tapak Baja yang berada paling depan.

Dukkk!

“Aaah...!”

Tubuh Ki Ganda Buana dan Tapak Baja sama-sama terdorong ke belakang. Tapak Baja menyeringai menahan rasa nyeri pada lengannya yang di pakai menangkis tendangan. Sedangkan Ki Ganda Buana terpincang-pincang karena tulang kering kakinya terasa remuk.

“Heaaat...!”

Di sertai bentakan nyaring, empat orang berseragam merah yang mengurung Ki Ganda Buana menerjang berbarengan. Sambaran angin pukulan mereka yang menderu menandakan kuatnya tenaga dalam di dalam serangan itu. Tapi, sebelum serangan keempat gerombolan kelabang hitam mengenai sasaran, dua buah bayangan putih dan hijau melesat cepat memapaki serangan-serangan mereka. Dan....

Plakkk! Plakkk! Bukkk! Desss!

“Aaakh ...!”

“Hukh ...!”

Tubuh keempat orang berseragam merah terdorong mundur begitu serangan mereka ditangkis oleh dua bayangan tadi. Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, tahu-tahu tubuh mereka dihantam pukulan yang amat kuat! Tubuh gerombolan kelabang hitam terbanting keras disertai semburan darah segar. Beberapa saat kemudian, keempat orang itupun diam tak bergerak. Pingsan!

“Ah, terima kasih, Eyang, Kenanga. Untunglah kalian keburu datang. Kalau tidak, mungkin aku sudah tidak sempat lagi menatap matahari esok pagi,” ucap Ki Ganda Buana kepada dua penolongnya yang tidak lain adalah Raja Obat dan Kenanga.

“Hm.... Pantas kalian begitu lama. Rupanya kalian mengalami kesulitan!” ujar Raja Obat itu tanpa mempedulikan ucapan terima kasih Ki Ganda Buana.

Panji tersenyum lega melihat kedatangan Raja Obat bersama Kenanga. Kekhawatiran akan nasib pamannya pun lenyap seketika setelah melihat kedatangan kakek sakti dan kekasihnya.

“Eyang, Paman, kalian uruslah orang-orang ini! Aku ingin mencari pemuda pesolek yang menjadi pimpinan gerombolan kelabang hitam!” seru Panji kepada Ki Ganda Buana dan Raja Obat Sambil melemparkan senyum kepada kekasihnya, pemuda itu pun segera melesat meninggalkan arena pertarungan.

“Kakang, aku ikut!” tanpa menunggu jawaban lagi, Kenanga langsung melesat mengikuti kekasihnya. Pendekar Naga Putih yang tidak kuasa menolak keinginan Kenanga, mendiamkan saja. Pemuda itu berh enti sejenak untuk menunggu. Keduanya bersama-sama segera memeriksa seluruh markas gerombolan kelabang hitam untuk mencari pemuda pesolek yang dimaksudkan Panji.

“Heaaa...!” Tiba-tiba sesosok tubuh melompat ketika mereka baru saja menginjakkan kaki di ruang belakang.

Plakkk! Plakkk! Plakkk!

“Aaah...!” Orang itu berseru kaget! Tiga kali serangannya berhasil ditangkis Kenanga. Karena Kenanga berada paling depan, maka serangan orang itu pun tertuju kepadanya. Tubuh orang itu terjajar mundur sejauh satu setengah tombak. Meski Kenanga menyeringai, tapi jelas terlihat kalau tenaga dalam orang itu masih kalah setingkat dengannya.

“Ki Tapak Jagad...!” desis Panji begitu mengenali orang yang hampir saja mencelakakan kekasihnya.

“Biarkan mereka Ki Tapak Jagad, mereka adalah bagianku!”

Pendekar Naga Putih menahan langkah mendengar suara itu. Setelah menoleh ke arah datangnya suara, akhirnya dia bertemu dengan orang yang sedang dicarinya. Orang itu berdiri tegak sambil menggenggam sebatang pedang yang mengeluarkan sinar keemasan. Itulah Pedang Pusaka Naga Langit milik Panji yang telah dirampas Tapak Baja. Rupanya pedang itu telah di serahkan kepada ketuanya, yakni Anggada si pemuda pesolek.

“Hm... Rupanya kau punya kepandaian juga! Ku kira kau hanya bisa bersolek dan memerintah saja!” sindir Panji sinis.

“Ha ha ha...! Aku memang sudah lama mendengar nama besarmu, Pendekar Naga Putih! Dan aku pun sudah sangat lama ingin menjajal sampai di mana kepandaianmu! Aku ingin tahu, apakah julukan itu sesuai untukmu. Aku harus membuktikannya,” sahut Anggada tak kalah tajam dengan ucapan Panji. “Nah, bersiaplah!”

“Hm...!” Panji hanya bergumam sambil memperhatikan langkah kaki lawan.

“Yeaaat..!” Di barengi sebuah teriakan yang mengguntur, ketua gerombolan kelabang hitam melesat cepat memutar Pedang Naga Langit.

Wukkk! Wukkk!

Gulungan sinar keemasan yang menyilaukan mata bergulung-gulung disertai suara mengaung tajam. Dari suara sabetan pedang, sudah dapat di ketahui betapa tingginya tenaga dalam yang dimiliki Anggada.

Melihat lawannya sudah mulai membuka serangan, Pendekar Naga Putih bergegas menyedot udara sebanyak-banyaknya. Sesaat kemudian, lapisan kabut yang bersinar putih keperakan mulai menyelimuti sekujur tubuhnya. Dari lapisan kabut yang mulai menebal dapat di tebak kalau saat itu Panji telah mengerahkan hampir dari seluruh tenaga saktinya. Pemuda itu berbuat demikian karena tahu kehebatan dan kekuatan Pedang Naga Langit yang kini dipegang lawan.

Wuttt! Wukkk!

Panji menggeser tubuh menghindari dua kali sabetan pedang bersinar keemasan. Dia terkejut ketika merasakan hawa panas menyengat keluar dari mata pedang. Tentu saja dia terheran-heran karena selama ini dia memang hampir tidak pernah menggunakan Pedang Naga Langit. Dia tidak begitu memperhatikan kalau pedang pusaka yang ditemukannya di Lembah Gunung Kem baran ternyata dapat menimbulkan hawa panas menyengat. (Untuk mengetahui bagaimana Panji mendapatkan pedang pusaka itu, pembaca dapat melihat pada episode Bunga Abadi di Gunung Kembaran)

Pendekar Naga Putih terus menghindari serangan pedang Anggada sambil sesekali melepaskan pukulan. Hal itu bukan dikarenakan Panji tengah mempelajari gerakan lawan. Tapi memang pemuda pesolek itu sepertinya tidak memberikan peluang kepadanya untuk membangun serangan. Pada jurus kedua puluh delapan, Panji melompat jauh ke belakang menghindari sambaran pedang yang mencecar lambung.

Setelah beberapa kali berjumpalitan di udara, tubuhnya mendarat empuk di atas permukaan tanah. Bukan main terkejutnya hati Pendekar Naga Putih ketika baru saja kakinya menjejak tanah, tahu-tahu ujung pedang Anggada telah meluncur deras ke arah tenggorokan. Kembali untuk kedua kalinya Panji terpaksa melempar tubuhnya ke belakang menghindari sambaran pedang lawan. Rupanya mata ketua Gerombolan Kelabang Hitam itu cukup jeli. Begitu dilihatnya Panji melempar tubuh ke belakang,bpedangnya di putar hingga membentuk lingkaran dan terus mengejar.

Wuttt! Wukkk!

Brettt! Brettt!

“Aaah...!”

Putaran lingkaran pedang pemuda pesolek yang dahsyat nyaris menyerempet tubuh Pendekar Naga Putih. Untunglah pada saat yang berbahaya itu dia masih sempat memiringkan tubuh, sehingga sambaran ujung Pedang Pusaka Naga Langit hanya mengenai pakaian saja. Panji melompat jauh ke belakang menghindari sambaran pedang yang masih terus mengancamnya itu.

“Aaah...!” Pemuda berjubah putih itu berseru terkejut dengan wajah agak pucat! Dari sobekan pakaiannya dia melihat bilur bilur agak kehitaman pada kulit tubuhnya. Seperti tubuh Panji melepuh akibat terkena sambaran pedang lawan. Diam-diam pemuda itu semakin terkejut melihat kelihaian Anggada dalam memainkan jurus-jurus pedang.

“Kakang! Terimalah pedangmu! Orang itu tidak bisa dihadapi dengan tangan kosong!” Kenanga yang rupanya sempat menyaksikan kejadian itu menjadi khawatir. Gadis jelita itu bergegas melemparkan Pedang Sinar Rembulan dari tangannya. Sedangkan Kenanga sendiri telah memegang pedang lain yang mengeluarkan sinar kehitaman untuk menghadapi lawannya. Pedang hitam di tangan gadis itu tidak kalah ampuh dengan pedang pusaka lainnya.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera menangkap pedang yang dilemparkan kekasihnya. Si pemuda pesolek tetap berdiri tegak tanpa berusaha mencegah Panji menangkap senjata pemberian kekasihnya. Sepertinya ketua gerombolan kelabang hitam itu sangat yakin pada kepandaian yang dimilikinya, sehingga sama sekali tidak berusaha mencegah.

“Hm... Ku dengar ilmu pedang yang kau miliki cukup hebat, Pendekar Naga Putih! Nah, sekarang kau telah memegang pedang yang kelihatannya cukup baik. Mari kita buktikan, ilmu pedang siapa yang paling baik di antara kita,” tantang Anggada dengan lagak sombong.

“Hm... kalau memang begitu maumu, baiklah! Lihat pedang!” seru Pendekar Naga Putih sambil melompat memutar Pedang Sinar Rembulan. Angin berhawa dingin berkesiutan mengiringi ayunan pedangnya.

Wukkk! Wukkk!

Sinar putih keperakan bergulung-gulung menyelimuti tubuh Panji. Suara desingan Pedang Sinar Rembulan demikian tajam seolah menulikan telinga. Pendekar Naga Putih tidak lagi main-main dalam melancarkan serangannya.

“Yeaaat...!” Di barengi teriakan nyaring, Anggada melesat memapak serangan Panji. Sesaat kemudian, tampak dua gulungan sinar yang berlainan warna saling libat dan saling menindih. Sambaran hawa panas dan dingin menyambar silih berganti di sekitar arena pertarungan.

Tiga puluh jurus kembali berlalu cepat. Meski pun kedua tokoh muda sakti itu telah sama-sama mengeluarkan ilmu simpanannya masing-masing, namun sampai sebegitu jauh belum juga terlihat siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang!

Sementara itu, pertarungan antara Kenanga dan Ki Tapak Jagad mulai bergeser menjauhi pertarungan dua orang muda sakti itu. Karena mereka merasa tidak sanggup menahan hawa panas dan dingin yang berganti-ganti menerpa tubuh mereka.

“Heaaat...!” Panji yang merasa penasaran pada kehebatan ilmu pedang Anggada memekik nyaring. Berbarengan dengan itu, tubuhnya melompat beberapa tombak ke belakang. Secepat kakinya menjejak tanah, secepat itu pula dia kembali meluncur dengan mengeluarkan jurus ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’ yang merupakan jurus pamungkas Pendekar Naga Putih.

Wrrr!

Angin dingin yang menusuk tulang berputaran, ketika tubuh Panji berputar bagaikan baling-baling. Pedangnya yang teracung ke depan ikut pula berputar membentuk lingkaran lebar. Deruan angin dingin bertiup keras laksana angin topan yang bergemuruh menggetarkan bangunan tempat berlangsungnya pertarungan. Bukan main terperanjatnya hati ketua gerombolan kelabang hitam melihat kehebatan ilmu pedang Pendekar Naga Putih. Cepat dia memutar Pedang Naga Langit melindungi tubuh dari ancaman Pedang Sinar Rembulan.

Trangngng! Trangngng!

Terdengar suara berdentangan nyaring yang memekakkan telinga ketika kedua pedang pusaka saling berbenturan keras!

“Aaah...!” Pemuda pesolek itu berseru kaget ketika pedang di tangannya terlepas dari genggaman, dengan tubuh terhuyung-huyung kebelakang. Cairan merah merembes dari sudut bibirnya. Belum lagi dia sempat menyadari apa yang terjadi, mendadak putaran pedang Panji merobek tubuhnya!

“Aaa...!” Jerit kematian melengking tinggi merobek angkasa! Darah segar menyembur ke segala arah, ketika tubuh Anggada terpapas ujung Pedang Sinar Rembulan. Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda pesolek itu pun ambruk dan tewas seketika dengan usus terburai.

Berbarengan dengan tewasnya ketua gerombolan kelabang hitam, terdengar jerit kematian lain. Jeritan itu berasal dari mulut Ki Tapak Jagad. Pada saat yang bersamaan tubuhnya telah tertembus pedang hitam Kenanga. Tusukan pedang hitam Kenanga yang tepat mengenai jantung, membuat tokoh sesat itu menghembuskan napas yang terakhir.

“Kakang...!” Kenanga berlari dan langsung memeluk tubuh kekasihnya, yang masih berdiri menatap mayat Anggada.

Panji menoleh, setelah terlebih dahulu memungut Pedang Pusaka Naga Langit, yang tadi terlepas dari genggaman si pemuda pesolek. “Adik Kenanga, kau tidak apa-apa?” tanya Panji sambil merengkuh Kenanga.

“Seperti yang Kakang lihat. Aku sehat-sehat saja,” sahut gadis jelita itu tersenyum manis.

Panji dan Kenanga menoleh ke belakang, ketika mendengar suara langkah kaki mendekat.

“Eyang, Paman, Bibi...!” teriak Panji gembira begitu melihat siapa yang datang. Panji bergegas memeluk paman, bibi dan saudara sepupunya bergantian. Wajah pemuda itu berseri-seri penuh kebahagiaan.

“Marilah kita singgah di rumahku dulu,” ajak Ki Ganda Buana, sambil menatap Raja Obat. Karena mengharapkan kakek itu mau singgah di rumahnya.

“Ayolah, Eyang!” ajak Kenanga sambil menarik tangan Raja Obat.

“Yah, marilah! Hitung-hitung istirahat saja. Karena tubuh tuaku ini terpaksa harus bekerja keras tadi!” ucap Raja Obat, yang membuat semuanya tersenyum mendengar ucapan kakek sakti itu.

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.