Badai Rimba Persilatan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Badai Rimba Persilatan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

MALAM baru saja berganti pagi. Kegelapan yang semula menyelimuti permukaan bumi, telah sirna oleh kehangatan cahaya sang mentari. Kicauan burung yang bercanda di dahan-dahan pohon, semakin menambah keindahan dan keceriaan suasana pagi. Namun, suasana indah itu tiba-tiba saja dirusak oleh derap kaki kuda yang bergemuruh.

“Heyyyaaa...! Heyyyaaa...!”

Suara derap kaki kuda itu masih diiringi pula oleh bentakan sesekali. Bahkan tidak jarang terdengar lecutan ke tubuh binatang itu, Kelihatannya, penunggang kuda itu ingin cepat-cepat sampai. Debu mengepul mengotori udara pagi yang segar. Tiga ekor kuda yang masing-masing ditunggangi seorang bertubuh tegap itu terus saja melaju membelah jalan berdebu.

Suara gemuruh yang disertai bentakan serta lecutan, tentu saja membuat binatang-binatang yang tengah bercengkerama menyambut pagi merasa terganggu. Terbukti, suara-suara yang semula semarak langsung sirna. Bahkan dari beberapa batang pohon rindang, tampak belasan ekor burung beterbangan meninggalkan pohon-pohon tempat bersenda-gurau.

Tapi, keadaan seperti ini tentu saja tidak diperdulikan ketiga orang penunggang kuda itu. Mereka terus memacu binatang tunggangannya melewati jalan berdebu. Matahari sudah mulai naik tinggi. Sedang ketiga orang penunggang kuda yang semuanya mengenakan pakaian berwarna kuning, saat itu mulai melintasi sebuah hutan kecil. Dari sulaman bergambar seekor ular dari benang emas di bagian belakang pakaian, bisa ditebak kalau ketiga orang penunggang kuda itu berasal dari Perguruan Ular Emas.

Dalam kalangan rimba persilatan, nama Perguruan Ular Emas bukanlah nama baru lagi. Malah, nama itu bukan saja terkenal sekadipaten, tapi sudah terdengar sampai ke separuh negeri. Dari sini saja sudah dapat diukur, sampai di mana kehebatan orang-orang perguruan itu.

Ketenaran nama Perguruan Ular Emas sebenarnya tidaklah aneh, melihat sang pendiri perguruan itu sendiri adalah tokoh yang berjuluk Pendekar Ular Emas. Bahkan julukan itu tidak asing lagi bagi kaum persilatan. Dan karena nama perguruan itu memang diambil dari julukannya, maka sudah barang tentu cepat dikenal orang.

Sementara itu, tiga orang penunggang kuda yang terdiri dari murid-murid Perguruan Ular Emas sudah keluar dari daerah hutan kecil. Kini, mereka menyusuri jalan yang terdiri dari hamparan padang rumput hijau. Meskipun sejauh mata memandang hanya bentangan rumput, namun ketiga orang itu sama sekali tidak perduli.

Mereka terus membedal kuda melintasi padang rumput itu. Tidak berapa lama kemudian, setelah melewati hamparan padang rumput hijau itu, ketiga penunggang kuda itu tiba pada jalan yang bersimpang tiga. Mereka sama-sama menolehkan kepala ketika mendengar suara derap lain yang datangnya dari arah kiri.

“Hm..., tampaknya orang-orang dari Perguruan Cakar Besi pun baru muncul...,” gumam penunggang kuda terdepan ketika dari jalan sebelah kirinya muncul tiga penunggang kuda berseragam coklat tua.

Melihat adanya senyum kelegaan di wajah penunggang kuda ini, jelas kalau tiga orang berseragam coklat tua itu segolongan dengan mereka. Hal itu pun tampak jelas dari keceriaan wajah mereka.

“Hoooppp...!”

Ketika tiba di dekat ketiga orang penunggang kuda berseragam kuning cerah, para penunggang kuda berseragam coklat tua serentak menarik tali kekang kudanya. Diiringi suara ringkikan panjang, kuda-kuda itu terpaksa menghentikan larinya.

“Ha ha ha...! Kupikir kau sudah tiba di tempat tujuan lebih dulu, Jasminta. Rupanya kau sedikit terlambat, heh? Atau memang sengaja datang terlambat? Sebab, biasanya Pendekar Ular Emas selalu tepat waktu apabila berjanji...,” terdengar teguran lelaki gagah berjubah coklat, kepada penunggang kuda berjubah kuning yang berada paling depan.

Dari teguran itu, jelas kalau lelaki penunggang kuda terdepan yang berusia sekitar lima puluh lima tahun itu adalah Pendekar Ular Emas. Pendiri, dan sekaligus ketua perguruan yang tersohor itu. Lelaki tua berjubah kuning yang bernama Ki Jasminta atau Pendekar Ular Emas tertawa pelan ketika mendengar teguran sahabatnya.

Wajah yang masih nampak segar dengan sepasang mata yang setajam burung elang, membuat penampilan Ki Jasminta semakin bertambah angker dan penuh perbawa. Bahkan wajahnya yang masih nampak gagah, masih pula terhias sebaris kumis tebal melintang. Meskipun telah berwarna dua, namun kumis tebal itu membuat wajah Ki Jasminta semakin berwibawa.

“Ha ha ha...! Kita sudah semakin tua, Raksa Mala. Jadi, wajar saja kalau semakin lama bertambah lamban dalam menanggapi segala sesuatu. Kulihat kau pun sudah terlambat dari waktu yang ditentukan, bukan? Nah, apakah kau juga telah malas, atau sengaja terlambat?” Ki Jasminta balik menegur penunggang kuda terdepan yang berjubah coklat.

Tapi, orang tua yang usianya sedikit lebih tua dari Ki Jasminta itu hanya tertawa saja. Wajahnya yang sudah mulai dipenuhi garis ketuaan, terlihat berlipat ketika lelaki tua yang bernama Ki Raksa Mala tertawa. Dari keramahan yang diperlihatkan, dapat diduga kalau orang tua itu merupakan sahabat lama.

Ki Raksa Mala atau lebih dikenal dengan julukan Cakar Penghancur Tulang, memang bukan orang baru dalam rimba persilatan. Meskipun tidak setenar dan seharum Pendekar Ular Emas, namun Cakar Penghancur Tulang telah cukup terkenal dan ditakuti. Dan seperti halnya Pendekar Ular Emas, Cakar Penghancur Tulang juga telah mengundurkan diri setelah merasa terlalu tua untuk bertualang.

Beberapa tahun setelah nama tokoh itu lenyap, lalu muncullah Perguruan Cakar Besi yang didirikannya. Pamor Perguruan itu pun langsung naik ke permukaan, dan dikenal orang banyak. Semua itu tentu saja tidak terlepas dari ketenaran nama ketuanya, Ki Raksa Mala. Meskipun tinggal berjauhan, namun antara Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala selalu mengadakan pertemuan. Kadang, mereka sama-sama menguji kepandaian murid masing-masing, Kadang pula saling bertandang agar persahabatan tetap terjalin baik.

Demikian pula dengan pagi itu. Mereka kembali mengadakan pertemuan dengan beberapa ketua persilatan. Seperti biasa, masalah yang dibicarakan adalah tentang kaum golongan sesat yang sering membuat ulah. Setelah saling tukar sapa, kedua tokoh persilatan yang masing-masing memiliki sebuah perguruan itu menyusuri jalan lebar secara berdampingan. Sedangkan empat orang murid dari dua perguruan itu masing-masing mengiringi dari belakang.

********************

Saat itu, matahari sudah berada di atas kepala. Rombongan Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala sudah memasuki daerah perbukitan di luar Desa Lintang. Salah satu dari bukit itulah yang menjadi tujuan mereka. Di sana, tampak sebuah bangunan besar, mirip sebuah perguruan.

“Hm..., tampaknya Adi Pasa Alam belum datang...?” desah Ki Jasminta bernada agak heran. Kening lelaki gagah itu terlihat agak berkerut, seperti mencium sesuatu yang tak wajar.

Ki Raksa Mala yang juga merasa heran melihat bangunan di salah satu bukit itu masih nampak sunyi, ikut mengerutkan kening. Meskipun demikian, mereka terus bergerak maju mendekati gerbang bangunan kuno itu. Hanya saja, langkah kaki kuda mereka terlihat agak perlahan. Bahkan terkesan sangat lambat Semua itu tentu saja didasari oleh rasa curiga dalam pikiran mereka. Ketika kedua rombongan itu tiba di depan gerbang, Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala sama-sama bertukar pandang.

Seperti telah memperoleh kata sepakat, tiba-tiba saja kedua orang tokoh kawakan itu sama melompat turun dari atas panggung kuda masing-masing. Setelah memberi isyarat kepada dua orang murid masing-masing, Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala melesat meninggalkan mereka. Rupanya, dua tokoh persilatan itu hendak memasuki bangunan ini dari bagian belakang.

Sepeninggal Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala, keempat orang lelaki gagah murid utama dari dua perguruan berbeda itu, sama-sama melompat turun dari atas panggung kuda. Kemudian melangkah ke dekat gerbang yang masihtertutup. Setelah untuk yang kesekian kalinya saling bertukar pandangan, salah seorang yang berpakaian kuning mengulurkan tangannya dan mendorong pintu gerbang bangunan itu.

Gggrrrggg...!

Lelaki gagah berusia empat puluh tahun yang merupakan murid ke dua dari Ki Jasminta itu bergerak mundur ketika pintu gerbang yang didorongnya ternyata tidak terkunci. Keempatnya bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Hhh...,” Terdengar helaan napas lega dari keempat orang murid Perguruan Cakar Besi dan Perguruan Ular Emas itu. Ternyata, apa yang dikhawatirkan sama sekali tidak beralasan.

“Hm..., mungkin kita hanya terbawa oleh rasa curiga guru kita...,” kata lelaki gagah berpakaian kuning, disertai helaan napas panjang.

Dia merupakan murid pertama Ki Jasminta. Sementara yang lainnya hanya menganggukkan kepala. Sepertinya, mereka pun merasa sependapat dengan lelaki gagah itu. Setelah merasa yakin kalau tidak ada yang patut dicurigai, maka keempat murid dua perguruan itu pun melangkah masuk. Tapi baru saja sebelah kaki menginjak halaman gedung, tiba-tiba terdengar suara berdesingan yang menuju ke arah mereka.

“Awaaasss...!” Lelaki gagah murid pertama Ki Jasminta itu langsung saja berseru memperingatkan yang lain. Sedangkan ia sendiri sudah melenting ke udara dan berputaran beberapa kali sambil memutar pedang yang sudah di cabut saat melompat.

Demikian pula dengan ketiga orang lainnya. Meski tanpa diperingatkan, mereka sudah tahu. Dan sedikit banyak, seruan itu telah membuat mereka langsung bertindak sigap. Dua orang murid Ki Raksa Mala yang berpakaian coklat tua saling berlompatan jauh ke belakang. Sehingga, tanpa sadar mereka telah kembali ke luar bangunan kuno itu.

Lain halnya tindakan murid Ki Jasminta. Lelaki bertubuh tegap berusia sekitar tiga puluh tahun itu mengambil keputusan sendiri, yang justru benar-benar berbahaya. Bahkan bisa dibilang terlalu berani. Justru sambaran pisau-pisau terbang itu dihindarinya dengan cara melompat ke depan. Sekilas, kelihatannya dia nekad menyambut datangnya pisau-pisau terbang yang siap merenggut nyawa. Tapi bagi seorang ahli, perbuatannya bisa mendatangkan penilaian yang benar-benar mengagumkan!

“Haaaiiittt...!”

Dibarengi sebuah pekikan nyaring, tubuh lelaki tegap itu melenting ketika jarak antara pisau-pisau terbang dengan tubuhnya hanya tinggal dua langkah lagi. Meski untuk melakukan itu tidak terlalu sulit, namun keberanian dan ketepatan perhitungannya benar-benar sangat langka.

Begitu pisau terbang yang berjumlah belasan itu lewat di bawahnya, tubuh lelaki muda itu meluncur turun di halaman dalam bangunan. Tepat ketika menginjak tanah, tubuhnya kembali melejit ke samping kanan, sejauh setengah tombak. Ini dilakukannya untuk berjaga-jaga dari kemungkinan serangan gelap susulan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu.

Wajah tegang lelaki muda itu perlahan mulai tenang ketika serangan gelap tidak muncul lagi. Dengan tetap berdiri tegak mengawasi sekitarnya, dia menanti ketiga orang kawannya yang masih di luar bangunan. Tidak berapa lama kemudian, ketiga orang lainnyapun berloncatan masuk susul-menyusul. Begitu tiba dihalaman dalam, lelaki gagah murid pertama Ki Jasminta itu langsung menghampiri adik seperguruannya.

“Kau tidak apa-apa, Adi? Tindakanmu tadi terlalu berani. Tapi, aku benar-benar kagum. Rasanya, apa yang guru katakan selama ini baru bisa ku mengerti sekarang. Dengan keberanian dan perhitungan cermat yang kau miliki, memang pantas kalau guru meramalkan kelak dirimu akan menjadi seorang pendekar yang sulit dicari bandingnya...,” puji lelaki gagah itu sambil menepuk bahu adik seperguruannya dengan tangan kanan. Sedangkan sepasang matanya tetap berputar mengawasi sekelilingnya. Dia sadar serangan susulan masih tetap mengintai. Makanya, walaupun sambil berbicara, kewaspadaannya tidak luntur.

“Ah, Kau terlalu berlebihan, Kakang. Apa yang kulakukan tadi sebenarnya hanya untung-untungan. Karena tidak sempat menghindar ke belakang, terpaksa aku nekat menyambut senjata-senjata maut itu. Dan tentu saja aku juga ketakutan setengah mati...,” jawab lelaki bertubuh tegap itu merendah. Sebenarnya, kakak seperguruannya tahu betul kalau ucapan itu hanyalah sebagai tanda kerendahan hati adik seperguruannya saja.

“Hm.... Mudah-mudahan, apa yang guru ramalkan menjadi kenyataan. Sebagai kakak seperguruan, tentu hatiku akan sangat bangga apabila ramalan guru terbukti, Adi Waluja...,” kata lelaki gagah itu lagi dengan nada lebih rendah.

Sedangkan, lelaki tegap yang dipanggil Waluja hanya tersenyum tanpa berkesan sombong sedikit pun. Ternyata bukan hanya kakak seperguruannya saja yang merasa kagum terhadap cara Waluja mematahkan pisau-pisau terbang tadi. Bahkan, kedua orang murid Ki Raksa Mala juga sama-sama memuji apa yang dilakukan Waluja. Tapi pujian itu justru membuat bangga kakak seperguruan Waluja. Karena dengan memuji Waluja, sama artinya dengan memuji dirinya dan juga Pendekar Ular Emas.

“Sebaiknya kita terus memeriksa bagian dalam bangunan ini, Kakang. Siapa tahu saja mereka sudah keburu melarikan diri ketika melihat pisau-pisau terbangnya tidak berguna...”

Waluja yang merasa tidak enak karena pujian-pujian kedua orang itu segera saja mengalihkan percakapan. Wajahnya langsung berseri ketika melihat ketiga temannya sama-sama menganggukkan kepala tanda setuju.

“Saudara Wira Yudha, biarlah aku dan Adi Sentaji memeriksa bagian samping kanan. Sedangkan kau dan Waluja bergerak dari samping kiri. Bagaimana?” usul salah seorang dari murid Ki Raksa Mala terdengar mengajukan usul.

Kakak seperguruan Waluja yang bernama Wira Yudha itu terlihat mengangguk-anggukkan kepala. Rupanya, usul itu tidak ditolaknya. Kemudian, setelah saling memberikan isyarat dengan anggukan kepala, keempat lelaki gagah itu serentak melesat ke arah yang berbeda. Wira Yudha dan Waluja ke sebelah kiri. Sedangkan kedua orang murid Ki Raksa Mala yang bernama Gala Campa dan Sentaji bergerak dari sebelah kanan bangunan.

Seeerrr! Seeerrr!

Baru saja keempat orang lelaki gagah itu melenting menuju arah masing-masing, mendadak terdengar suara berdesiran halus menyambut tubuh mereka.

“Keparat licik...!”

Wira Yudha tentu saja menjadi jengkel mengetahui kalau dirinya diserang puluhan batang jarum halus berwarna putih keperakan. Senjata-senjata rahasia itu berkilatan tertimpa cahaya sinar matahari, sehingga membuat Wira Yudha menjadi silau.

“Heeeaaahhh...!

Kesal dan jengkel yang menggumpal di dadanya, membuat Wira Yudha nekat menghantamkan telapak tangannya ke depan dengan pukulan jarak jauh.

Whuuut..! Praaasss! Praaasss!

Sambaran angin kuat yang keluar dari telapak tangan Wira Yudha langsung meruntuhkan jarum-jarum yang meluncur ke arahnya. Sehingga, lelaki gagah itu pun terhindar dari bahaya.

Demikian pula halnya Waluja dan Gala Campa. Keduanya berhasil menyelamatkan diri dengan melenting ke udara, untuk kemudian mendarat dalam kedudukan siap bertarung. Tapi, murid kedua Ki Raksa Mala yang bernama Sentaji ternyata kurang sigap. Meski telah berusaha menghindari serangan gelap itu, namun tak urung beberapa batang jarum sempat mengenai tubuhnya.

“Aaakkkh...!” Teriakan Sentaji yang disusul suara berdebuk keras, tentu saja membuat yang lainnya terkejut Serentak mereka sama-sama menolehkan kepala ke arah asal jeritan itu.

“Adi Sentaji...!” Gala Campa yang melihat adik seperguruannya terbanting ke tanah, langsung menduga kalau Sentaji telah kecolongan. Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki bertubuh gemuk itu langsung meleset menolong Sentaji.

“Kakang Gala Campa, jangaaan...!” seru Waluja yang khawatir kalau Gala Campa kehilangan kendali karena rasa cemasnya.

Merasa seruannya tidak diperdulikan, Waluja segera saja mencabut pedangnya. Tubuhnya langsung melesat, seperti hendak melindungi Gala Campa. Dia khawatir kalau-kalau lelaki gemuk itu mendapat serangan gelap selagi hendak menghampiri adik seperguruannya.

Apa yang dikhawatirkan Waluja, ternyata sama sekali tidak meleset. Tepat pada waktu tubuh Gala Campa tengah mendekati adik seperguruannya, tiba-tiba kembali terdengar suara berdesingan yang datang dari dua arah. Karena tidak siap dalam menghadapi serangan gelap itu, tentu saja Gala Campa agak gugup menghadapinya.

Seeeng! Seeeng!

Belasan kilatan cahaya putih yang bentuknya sepanjang telapak tangan, berkeredepan susul-menyusul dari dua arah berbeda menuju Gala Campa yang terlihat tegang!

“Haaaiiittt..!”

Meski keadaannya benar-benar sulit, tapi sebagai seorang ahli silat yang telah terlatih secara baik, seketika timbul gerakan tanpa sadar. Lelaki gemuk itu memang bisa menghindari delapan batang pisau terbang yang mengincar dada dan kedua lambungnya. Tapi...,

“Aaahhh?!” Gala Campa terbelalak dengan wajah pucat. Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, enam batang pisau terbang yang datang dari arah lain telah tiba dekat, siap menembus tenggorokan dan kepalanya!

DUA

Waluja yang memang cekatan dan memiliki ketajaman naluri, tiba-tiba bertindak cepat, menyelamatkan Gala Campa dari bahaya maut. Dengan pedang yang memang telah dipersiapkan sejak semula, dia memekik nyaring!

“Heeeaaattt..!”

Traaang! Traaang!

Hebat dan memang patut mendapat acungan jempol murid kedua Ki Jasminta itu! Dengan putaran senjatanya, keenam pisau terbang yang mengancam murid tertua Ki Raksa Mala berhasil dipukul runtuh. Sehingga, lelaki gemuk itu pun selamat dari bahaya maut. Dengan sepasang mata liar mengawasi sekitar, Waluja berdiri tegak di depan Gala Campa. Jelas, apabila serangan-serangan gelap masih juga mengincar Gala Campa telah siap disambutnya.

“Terima kasih, Waluja.... Aku berhutang nyawa kepadamu...,” ucap Gala Campa dengan napas masih memburu. Hampir ia tidak percaya kalau nyawanya yang di ujung tanduk masih dapat terselamatkan.

“Jangan terlalu dipikirkan, Kakang. Sebaiknya, cepat periksa luka Sentaji. Aku akan melindungimu...,” kata Waluja tanpa merasa telah melepas jasa.

“Ohhh...” Bagai baru tersadar dari mimpi, Gala Campa tersentak menghela napas panjang. Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja kakinya melangkah ke arah Sentaji yang masih tertelungkup di tanah.

“Aaahhh?!” Gala Campa yang baru saja membalikkan tubuh adik seperguruannya, tiba-tiba memekik dan terhuyung mundur. Ternyata, ketika tubuh Sentaji dibalikkan, lelaki gagah itu telah tewas dengan wajah berubah hitam!

“Gila...! Racun keji...!”

Wira Yudha yang saat itu juga telah bergerak ke tempat Waluja dan Gala Campa, mendesis geram. Wajah lelaki gagah itu memerah menyaksikan kematian Sentaji yang mengenaskan. Bahkan Wira Yudha sampai membanting kakinya dengan wajah terpukul.

“Bedebah...!” Waluja yang juga menyempatkan dirinya menoleh ketika mendengar seruan kaget Gala Campa, menggeram sambil mengepalkan tinju kirinya. Sehingga terdengarlah suara berkerotokan. Urat-urat wajahnya tampak menyembul. Jelas, amarahnya telah terbakar hebat ke puncak ubun-ubun.

“Ini tidak bisa dibiarkan! Mereka harus dipaksa keluar dari persembunyiannya...!” geram Gala Campa. Laki-laki gemuk itu segera saja bangkit sambil menghunuskan senjatanya. Sepasang pedang yang telah tergenggam erat di tangannya, diputar sedemikian rupa sehingga menimbulkan gulungan sinar yang membungkus tubuhnya.

“Yeeeaaat...!”

Tanpa memperdulikan Waluja dan Wira Yudha yang memandang bingung, Gala Campa segera melesat ke arah gerombolan semak yang terpisah sekitar tiga tombak lebih dari tempatnya berpijak. Rupanya, nalurinya yang tajam telah melihat sesuatu yang menjadi penyebabnya. Dengan cara bergerak cepat ke kiri-kanan, lelaki gemuk itu pun berhasil mencapai tempat yang dituju. Tapi, sebenarnya bukan hal yang mudah untuk bisa mencapai tempat itu. Setelah sebelumnya berhasil memukul runtuh belasan pisau terbang yang menyambut kedatangannya, barulah Gala Campa sampai di semak-semak itu.

“Heeeaaahhh...!”

Disertai bentakan nyaring, Gala Campa membabatkan sepasang pedangnya memapas semak yang diduga menjadi tempat persembunyian musuh-musuh gelapnya.

Craaasss! Craaasss!

“Aaa...!”

Seiring terpapasnya semak belukar itu, terdengar satu jerit kematian yang merobek angkasa! Darah segar kontan memercik, karena salah satu pedang di tangan Gala Campa telah memakan korban! Sosok tubuh yang termakan senjata Gala Campa itu langsung terlempar bermandikan darahnya sendiri. Sedangkan sosok-sosok lainnya mulai bermunculan, bahkan langsung mengurung dan menyerbu lelaki gemuk itu dengan tongkat di tangan.

Wukkk! Whuuuk!

“Haiiittt...!” Gala Campa tentu saja tidak tinggal diam. Disertai pekikan nyaring, lelaki gemuk itu menyambut keroyokan lawan dengan putaran pedangnya!

Whuuung!

Empat orang lawan yang terancam serangan ujung pedang mendatar, langsung berlompatan mundur. Sedang pengeroyok yang dari sebelah kiri Gala Campa, menghantamkan tongkatnya berturut-turut. Tiga batang tongkat yang terlihat berat itu mengaung mengancam tubuh dan kepala lelaki gemuk ini.

Waluja dan Wira Yudha sendiri bukan tidak mau menolong Gala Campa. Tapi, saat itu pun mereka telah dikeroyok delapan orang lawan. Sehingga, masing-masing tengah sibuk dengan lawan-lawannya.

Tapi, Gala Campa juga bukan murid kemarin sore. Meskipun tidak terlalu berbakat dalam ilmu silat, namun dia sangat tekun dalam mempelajari ilmu yang diturunkan gurunya. Sehingga, meskipun belum bisa menyamai kepandaian Ki Raksa Mala, Gala Campa tidak mudah begitu saja dapat ditundukkan sembarang orang.

Kini, datang ancaman tiga batang tongkat yang hampir bersamaan waktunya dengan serangan Gala Campa terhadap pengeroyok di sebelah kanan. Meskipun waktu untuk mengelak hanya sedikit, tapi dia tidak kehilangan akal. Putaran pedang cepat-cepat diikutinya. Dengan demikian, tubuhnya ikut berputar mengikuti ujung pedang. Gerakan itu tentu saja sekaligus merupakan serangan sangat berbahaya. Ujung pedangnya tampak menuju ke perut para pengeroyoknya. Sedangkan tubuhnya sendiri terus berputar ke belakang. Dengan demikian, tubuhnya sekaligus terhindar dari ancaman ujung tongkat lawan.

Sayangnya, ketiga orang pengeroyok di sebelah kiri Gala Campa ternyata memiliki kegesitan yang mengagumkan! Sepertinya, mereka benar-benar telah dipersiapkan untuk menghadapi murid-murid utama perguruan-perguruan terkenal. Tidak heran bila sambaran ujung pedang Gala Campa dapat dihindari.

“Hebat...!” desis Gala Campa. Mau tidak mau, di terpaksa harus mengeluarkan pujian ketika melihat cara lawan-lawannya menyelamatkan diri.

Tubuh ketiga pengeroyoknya itu melayang ke belakang. Seolah-olah, tubuh mereka tak ubahnya seperti segumpal kapas yang bergerak karena tertiup angin pedang Gala Campa. Hal itu tentu saja menunjukkan kalau para pengeroyok memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup hebat.

Pertarungan pun kembali berlanjut sengit. Ketujuh orang pengeroyok Gala Campa mencoba mendesak lelaki gemuk itu dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang memang sudah cukup tinggi. Tapi tanpa merasa gugup, Gala Campa melawan dengan mengandalkan kekuatan serta kehebatan ilmu sepasang pedangnya. Sehingga, pertempuran terlihat semakin seru!

Di lain tempat, Waluja pun tengah bertarung sengit melawan delapan orang pengeroyok. Waluja yang memiliki perhitungan matang dan kecerdikan, terlihat cukup mampu membuat para pengeroyok tidak berani bertempur terlalu dekat. Selain gerakannya bisa berubah secara mendadak, lelaki tegap itu pun sangat cekatan dalam menilai setiap serangan lawan. Bahkan dalam soal ilmu meringankan tubuh, boleh dibilang Waluja masih menang dari lawan-lawannya, meskipun hanya selisih sedikit.

Kelebihan yang sedikit itulah cepat dimanfaatkan, untuk mengecoh para pengeroyoknya dengan serangan-serangan tipuan. Cara yang digunakannya tampaknya membawa hasil yang cukup baik. Buktinya, para pengeroyok tidak mampu terlalu menekan. Jelasnya, pertempuran terlihat seru dan seimbang!

Lain halnya pertarungan Wira Yudha. Lelaki gagah yang memiliki tenaga dalam paling tinggi di antara mereka bertiga, telah mempergunakan kelebihannya itu. Akibatnya, para pengeroyok menjadi kocar-kacir dalam menghadapi murid utama Ki Jasminta itu. Serangan- serangan pedang lelaki gagah itu tak ubahnya seperti tangan maut yang siap merenggut nyawa lawan setiap saat Tentu saja hal itu membuat lawan-lawannya harus lebih berhati-hati.

“Mampus kalian manusia curang...!”

Terdengar bentakan geram Wira Yudha sambil menusukkan ujung pedangnya lurus-lurus ke jantung salah seorang pengeroyok di depannya. Suara sambaran angin pedang dan bentakan Wira Yudha semakin memperhebat serangannya yang membawa perbawa itu. Sehingga, lawan terlihat agak gugup untuk menghindari diri. Dan...,

Cappp!

“Aaakh...!”

Tanpa ampun lagi, salah seorang pengeroyok tertembus ujung pedang Wira Yudha. Belum lagi kawannya yang lain menyadari, Wira Yudha kembali berseru sambil menyentakkan pedangnya ke atas!

“Heeeaaah...!”

Terdengar raungan kematian yang memilukan! Tubuh orang itu terbelah sebagian, akibat sentakan pedang Wira Yudha. Darah segera kontan menyembur seiring terlontarnya tubuh pengeroyok bernasib sial itu.

“Hm.... Tidak lama lagi kalian pun pasti akan mendapat bagian yang sama...!” desis Wira Yudha menatap tajam wajah kotor lawan-lawannya.

Namun, ketujuh orang lawannya sama sekali tidak kelihatan gentar. Bahkan membalas tatapan mata lelaki gagah itu tidak kalah tajamnya, Kenyataan itu membuat Wira Yudha sadar kalau lawan-lawannya ini memang pembunuh yang telah dipersiapkan secara matang. Hanya sekilas saja, lelaki gagah itu langsung bisa menilai kalau mereka tak ubahnya binatang buas yang hanya memiliki naluri membunuh! Selagi kedua belah pihak saling bertatapan dan siap saling gempur, tiba-tiba terdengar siulan nyaring yang panjang dan melengking tinggi.

“Eh...?!”

Baik Gala Campa, Waluja, maupun Wira Yudha sama menarik wajah dengan kening berkerut. Ternyata begitu siulan itu terdengar, lawan-lawannya langsung bergerak mundur teratur. Jelas, siulan itu merupakan isyarat dari pimpinan orang-orang berwajah kotor itu.

“Kakang, tahan...!”

Waluja cepat berseru memperingatkan Wira Yudha ketika melihat kakak seperguruannya hendak mengejar para pengeroyok yang terus mundur. Tentu saja peringatan adik seperguruannya membuat kening lelaki gagah itu berkerut Jelas, ia merasa tak enak. Apalagi hal itu terjadi di depan Gala Campa yang jelas-jelas merupakan orang luar.

“Mengapa, Adi? Kau takut..?” tukas Wira Yudha bernada tidak senang atas teguran Waluja.

“Maaf, Kakang. Bukan maksudku menasihati mu, tapi perbuatanmu berbahaya sekali. Apa kau tak sadar kalau sambil bergerak mundur, mereka telah menyebarkan bubuk-bubuk beracun agar kita tidak bisa mengejarnya...,” jawab Waluja dengan wajah agak menunduk, seolah-olah ingin agar Wira Yudha melihat tanah di depan mereka. Dia tadi memang sempat melihat gerakan tangan para pengeroyok yang menyebarkan racun ke tanah.

“Hm..., dasar iblis-iblis licik! Sayang kita tidak tahu, siapa dan apa keinginan mereka? Lalu, siapa pula orang yang mengeluarkan siulan itu? Kalau mereka ingin membunuh kita, mengapa orang yang mengeluarkan siulan tidak langsung ikut bertindak? Mengapa ia malah menarik mundur pengikut-pengikutnya...?” tanya Wira Yudha seperti bicara sendiri. Jelas-jelas, hatinya merasa penasaran terhadap orang-orang itu.

“Entahlah, Kakang. Tapi, aku mengkhawatirkan keadaan guru, dan Ki Raksa Mala. Mengapa mereka sejak tadi tidak muncul-muncul? Mustahil suara pertempuran yang begini bising tidak terdengar sejak tadi...,” Waluja yang berpikiran lain, tentu saja membuat Wira Yudha dan Gala Campa tersentak kaget. Baru mereka sadar akan keganjilan itu.

“Ah...! Mengapa kita tidak pernah berpikir sejak tadi? Ayo, kita cari mereka...!” Sambil berkata demikian, Wira Yudha segera saja berlari menuju bagian dalam gedung. Sedangkan Waluja dan Gala Campa bergegas mengikutinya.

“Aaahhh...?”

Ketiga orang lelaki gagah itu kontan membelalakkan mata dengan wajah seputih kertas! Tanpa sadar, mereka bergerak mundur. Mereka seperti belum percaya sepenuhnya akan apa yang disaksikan di dalam salah satu kamar bangunan itu.

“Guru...!” Waluja yang lebih dulu menguasai perasaan segera saja bergerak maju. Dia langsung bersimpuh di dekat dua sosok tubuh bermandikan darah.

Wira Yudha dan Gala Campa bergerak perlahan menghampiri. Mereka sama-sama menjatuhkan lututnya di lantai kamar. Wajah keduanya tampak masih menggambarkan ketidakpercayaan akan apa yang terlihat di dalam kamar.

“Mengapa..., dan siapa yang telah melakukan kekejian ini...?” Terdengar suara parau Wira Yudha. Dia akhirnya dapat juga berbicara setelah beberapa saat lamanya.

Namun, tak seorang pun yang mampu menjawab pertanyaan Wira Yudha. Mereka memang sama-sama tidak tahu terhadap kejadian yang telah menimpa kedua guru mereka. Setelah beberapa saat lamanya, ketiga orang lelaki gagah itu sama tercekam kebisuan, Waluja tiba-tiba bangkit Dengan agak gontai, kakinya melangkah menuju jendela yang tampak terbuka. Beberapa bagian tembok kamar tampak terdapat lubang-lubang baru. Rupanya, di dalam kamar itu telah terjadi pertarungan sengit sebelumnya.

“Mungkin orang yang mengeluarkan suitan melengking itulah yang telah membunuh kedua orang Guru kita...,” Suara lirih itu terdengar keluar dari mulut Waluja. Kemudian lelaki tegap itu mengayunkan tinjunya menghajar tembok dekat jendela di depannya.

Brooolll...!

Terdengar suara berderak ribut ketika kepalan Waluja menjebol dinding, hingga menimbulkan sebuah lubang baru sebesar kepalannya. Perbuatannya adalah sebagai ungkapan kedukaan yang mendalam di hatinya.

“Hm.... Kalau begitu, aku akan cari manusia terkutuk itu! Biar sampai ke ujung langit sekalipun, akan kukejar...!”

Wira Yudha bangkit tegak dengan sorot mata menyala tajam. Pancaran rasa dendam, sakit hati, dan penasaran, membuat lelaki gagah itu demikian menyeramkan pada saat ini.

“Tapi, ke mana kita harus mencarinya, Kakang? Sedangkan kita sendiri tidak tahu, siapa orang yang mengeroyok kita? Bahkan, kita sama sekali tidak bisa mengenali mereka. Apalagi orang yang mengeluarkan suitan melengking tinggi itu. Kita sama sekali tidak melihat sedikitpun...,” kata Waluja, mengingatkan Wira Yudha akan keterbatasan mereka yang memang buta terhadap orang yang telah mencelakakan Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala. Hingga, kedua orang pendekar kawakan itu tewas dengan kepala pecah.

“Hm.... Mengenai orang-orang aneh itu, bisa kita kenali dari pakaian atau tanda-tanda di tubuh pengeroyok yang menjadi korban senjata kita tadi. Dengan demikian kita bisa mengetahui golongan apa mereka sebenarnya. Dan, dari daerah mana asalnya...?” usul Gala Campa, yang sejak tadi hanya diam saja.

Karena apa yang diusulkan lelaki gemuk itu memang sangat tepat, maka kedua orang murid Ki Jasminta pun mengangguk setuju. Tanpa diperintah lagi, mereka bergerak melesat ke luar bangunan untuk memeriksa mayat para pengeroyok yang berhasil dibunuh. Namun, begitu ketiganya tiba di luar, untuk kesekian kalinya mereka kembali terkejut! Ternyata apa yang ditemukan di luar, benar-benar di luar dugaan!

“Ki Damang...?!”

Hampir berbarengan, Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa menyerukan satu nama. Sedangkan lelaki setengah baya yang juga seperti terkejut melihat kemunculan ketiga orang itu, segera saja melebarkan senyumnya.

“Aaahhh.... Bukankah kalian murid-murid Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala? Mana guru-guru kalian...? Apakah orang-orang tua itu telah demikian sombong hingga tidak ingin berjumpa denganku...?” tegur laki-laki setengah baya yang bernama Ki Damang.

Dia langsung saja menghampiri ketiga orang lelaki gagah yang dikenali sebagai murid-murid Perguruan Ular Emas dan Cakar Besi. Semua itu dapat dikenali dari warna pakaian yang dikenakan Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Sedangkan ketiga orang lelaki gagah itu tampak menatap Ki Damang penuh curiga.

Wira Yudha yang merasa paling bertanggung jawab terhadap perguruan setelah ketiadaan Ki Jasminta, segera saja melangkah maju mendekati Ki Damang. Sehingga, laki-laki setengah baya tinggi kurus berwajah lonjong itu menelengkan kepala melihat sikap tidak menyenangkan yang ditunjukkan murid sahabatnya.

“Ki Damang, apa yang kau lakukan di tempat ini...?” Pertanyaan itu jelas mengandung ketidak senangan.

Meskipun demikian, Ki Damang merasa perlu lebih bersabar. “Hm.... Kau benar-benar lucu sekali. Mmm... Kalau tidak salah, kau, kau yang bernama Wira Yudha, bukan...?” tanya Ki Damang setelah mengerutkan keningnya sesaat.

“Benar,” jawab Wira Yudha singkat dan tegas.

“Tahukah kau, siapa yang mengundang gurumu datang ke tempat ini? Lalu, tahukah kalian bertiga, apa maksudku datang ke tempat ini? Apakah Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala merahasiakannya kepada kalian...?” Ki Damang bukannya menjawab, tapi malah melemparkan pertanyaan kepada Wira Yudha, Waluja, serta Gala Campa. Sehingga, ketiganya kembali mengerutkan kening.

Untuk beberapa saat lamanya, Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa saling bertukar pandangan. Kemudian, mereka kembali menolehkan kepalanya ke arah Ki Damang.

“Ki Damang! Kami semua tahu, apa yang akan berlangsung di tempat ini. Tapi yang kumaksudkan, apa yang Ki Damang lakukan terhadap mayat-mayat yang tadi bergeletakan di tempat ini...?” kejar Wira Yudha yang semakin mempertegas, ke mana sebenarnya arah pertanyaannya tadi.

Hua ha ha...!” Ki Damang tertawa berkakakan. Sehingga, baik Wira Yudha, Waluja, maupun Gala Campa sama-sama melangkah mundur seraya meraba gagang pedang masing-masing.

TIGA

Ki Damang menghentikan tawanya beberapa saat kemudian, lalu, menatapi wajah ketiga orang murid sahabatnya dengan bibir masih menyunggingkan senyum tipis. “Jadi, itu yang ingin kau ketahui, Wira Yudha? Aku memang melihat dua mayat bermuka kotor, dan satu mayat lagi mengenakan pakaian berwarna coklat tua seperti yang biasa dikenakan murid-murid Ki Raksa Mala. Lalu, dua orang muridku kusuruh untuk melemparkannya ke sungai terdekat. Sebab, kupikir” mayat itu ditinggalkan begitu saja oleh kawan-kawannya...,” jelas Ki Damang, panjang lebar.

Meskipun demikian, Wira Yudha dan yang lain tetap menaruh kecurigaan, terhadap orang tua itu. Boleh jadi Ki Damang merupakan seorang kawakan berkepan- daian tinggi yang juga mempunyai perguruan. Tapi, kedatangan Ki Damang yang baru muncul setelah kejadian selesai, benar-benar tidak bisa diterima ketiga orang murid yang baru saja mengalami pukulan berat akibat kematian gurunya. Dan mereka tidak bisa menerima begitu saja keterangan Ki Damang.

“Hhh.... Lenyap sudah harapan untuk menemukan ciri-ciri orang-orang licik itu. Semua ini karena kecerobohan mu, Ki Damang! Mayat-mayat yang bermuka kotor pada mulanya hendak digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui, dari mana asal mereka, dan dari golongan apa mereka itu sebenarnya...? Sayang, sekarang semuanya kembali menjadi gelap...,” keluh Wira Yudha. Jelas, laki-laki itu menampakkan penyesalan yang amat sangat atas tindakan Ki Damang yang dianggapnya salah besar.

“Hm.... Kalian sepertinya ingin menyimpan rahasia kepadaku. Baiklah. Kalau kalian memang tidak ingin aku mengetahuinya, ya sudah. Yang terpenting sekarang, bawa aku menemui guru-gurumu. Aku yakin, mereka telah datang ke tempat ini dan bukan mewakilkannya kepada kalian. Kulihat, ada enam ekor kuda di depan bangunan ini. Itu artinya masih ada dua orang lagi yang belum kulihat, aku yakin, kedua orang itu pastilah Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala...,” potong Ki Damang.

“Hm...” Wira Yudha bergumam tak jelas menanggapi ucapan Ki Damang. Bukan hanya Wira Yudha saja yang bersikap tidak menyenangkan. Bahkan Waluja dan Gala Campa terlihat menampakkan wajah yang tidak sedap dipandang mata.

“Ki Damang.... benarkah kau tidak tahu, apa yang baru saja terjadi di tempat ini? Benarkah kau baru tiba setelah kami?”

Gala Campa yang sejak tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan antara Ki Damang dan Wira Yudha ikut angkat bicara. Nadanya benar-benar tidak enak. Bahkan lebih menjurus ke arah kecurigaan terhadap Ki Damang. Sehingga, wajah orang tua itu terlihat agak gelap. Jelas, kalau tokoh kawakan itu mulai tersinggung diperlakukan secara demikian oleh ketiga orang murid sahabatnya.

“Hm..., kau murid Ki Raksa Mala! Ketahuilah! Ki Damang tidak suka diperlakukan seperti orang pesakitan! Sikapku yang mengalah ternyata telah membuat kalian semakin kurang ajar dan semakin berani menginjak-injak kepalaku! Rasanya, sudah cukup kesabaran yang kuperlihatkan semenjak tadi. Jadi, sekarang terserah kalian! Apa yang kalian inginkan, aku tidak menolak...!” terdengar jawaban Ki Damang. Jelas laki-laki setengah baya itu terlihat menekan amarahnya sekuat tenaga. Suaranya yang mungkin akan menggelegar kalau tidak ditahan, terdengar bergetar. Tentu saja jawaban itu merupakan tantangan secara terang-terangan!

“Ki Damang! Meskipun kau termasuk angkatan tua yang sepatutnya dihormati, tapi terpaksa hari ini rasa hormat kami lenyap karena kelicikanmu!”

“Heeeaaattt...!”

Begitu ucapannya selesai, Wira Yudha langsung mencabut senjatanya. Dan dia langsung melesat menerjang Ki Damang dengan serangan mematikan! Padahal permasalahan yang terjadi belum dijelaskan oleh Wira Yudha yang dilanda amarah menggelegak. Ki Damang yang merasa bingung juga, mau tak mau melayani serangan ini.

Beeet! Beeet! Beeet!

Kilatan cahaya pedang yang berkilauan tertimpa cahaya matahari, mengancam tubuh Ki Damang. Orang tua itu mendengus tajam sambil menggeser kakinya satu persatu ke belakang. Sabetan-sabetan pedang itu lewat di samping tubuhnya, Hal itu menandakan betapa matang dan terlatihnya ilmu-ilmunya.

“Yeeeaaat..!”

Tapi, Gala Campa kelihatannya juga tidak tinggal diam. Terbukti, lelaki gemuk itu langsung saja menyusuli, tepat setelah serangan Wira Yudha berhasil dikandaskan Ki Damang.

Whuuukkk!

“Hm...!” Untuk kedua kalinya, Ki Damang mendengus tajam. Kedua kakinya kembali bergerak lincah dan kelihatan sembarangan. Hebatnya, setiap serangan ujung pedang Gala Campa dengan mudah dapat dielakkannya. Sehingga, baik Wira Yudha maupun Gala Campa semakin bertambah nafsu untuk melukai lawannya.

“Yeeeaaattt...!”

“Haaattt...!”

Dengan amarah yang semakin menggelegak, Wira Yudha dan Gala Campa kembali melesat disertai teriakan-teriakan saling susul. Pedang di tangan mereka berputaran, menimbulkan deru angin keras! Dari sini bisa ditebak, serangan kedua orang murid tokoh kawakan itu bukan serangan main-main!

“Kurang ajar! Mereka memang perlu dikasih adat!” dengus Ki Damang, gusar melihat kedua orang murid sahabatnya sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang diketahuinya sangat berbahaya dan jarang digunakan Ki Jasminta maupun Ki Raksa Mala. Dan tentu saja kenyataan itu membuatnya gusar bukan main!

Sementara itu, Waluja masih tetap berdiri bimbang di tepi arena pertempuran. Ada sedikit keraguan dalam hatinya terhadap tuduhan yang ditimpakan kepada Ki Damang. Tapi ketika memikirkan kemunculan orang tua itu dan juga sikap-sikapnya yang agak mencurigakan, akhirnya Waluja mengambil keputusan untuk membantu kedua orang temannya.

“Yeeeaaattt...!”

Diiringi seruan nyaring, tubuh Waluja segera meluncur ke arena pertempuran. Saat itu, Ki Damang yang sudah kehilangan kesabaran tengah menggempur Wira Yudha dan Gala Campa dengan serangan-serangan hebat Dari sini kelihatan kalau laki-laki setengah baya itu telah pula menggunakan ilmu-ilmu andalannya untuk menundukkan kedua orang murid sahabatnya.

Saat serangan Waluja datang, Gala Campa tengah didesak sambaran-sambaran kepalan tangan Ki Damang yang menimbulkan angin berkesiutan. Tentu saja tibanya pedang Waluja membuat lelaki gemuk itu bisa bernapas lega. Kini dia terbebas dari desakan Ki Damang yang bagai tidak memberi peluang sedikit pun.

“Hmmm!” Ki Damang kembali mendengus ketika melihat Waluja ikut menggempurnya pula. Sebagai seorang ahli silat kawakan, sekali lihat saja Ki Demang langsung dapat melihat bakat besar yang terpendam dalam diri Waluja. Menyadari hal itu, langsung saja perhatiannya lebih dipusatkan kepada serangan lelaki bertubuh tegap itu.

“Jiaaahhh...!”

Bweeet! Bweeet!

“Bagus...!” puji Ki Damang ketika melihat serangan pedang Waluja.

Serangan pedang itu tampak melingkar-lingkar dengan indahnya. Bahkan terkadang sambaran bisa bergetar hingga sulit dibedakan, mana pedang yang asli dan mana bayangannya. Ki Damang tahu betul kalau Ki Jasminta tidak memiliki gerakan itu. Makanya, hatinya kini menjadi semakin kagum. Dugaannya, semua itu pasti hanya berdasarkan naluri yang diciptakan ketekunan dan kecintaan pemuda tegap itu dalam bermain pedang. Sehingga tanpa sadar, terciptalah gerakan-gerakan yang merupakan pengisi kekosongan ilmu pedang aslinya.

Sambaran pedang Waluja yang melingkar-lingkar, dihindari Ki Damang dengan menarik tubuhnya ke belakang dan terus bergerak memutar mengikuti ayunan pedang. Sehingga kalau dilihat secara sepintas, tubuh Ki Damang tak ubahnya segumpal kapas. Sedangkan pedang di tangan Waluja seperti hembusan angin yang terus mendorong terbang kapas itu. Ini berarti, pedang Waluja tidak akan bisa mencapai sasaran. Maka Waluja pun segera sadar akan hal itu.

“Awaaasss...!”

Ketika telah lewat dari lima jurus, tahu-tahu laki-laki gagah setengah baya itu membentak mengejutkan! Dan berbarengan dengan bentakan itu, tubuh Ki Damang meluncur tegak lurus ke depan. Sepasang tangannya yang membentuk kepalan meluncur cepat saling susul. Bahkan kecepatannya tidak tertangkap mata biasa!

Tapi Ki Damang tidak bisa melanjutkan serangannya untuk mendesak Waluja, karena pada saat itu juga datang dua sambaran pedang dari kiri dan kanannya. Rupanya, Wira Yudha dan Gala Campa sudah kembali memasuki arena pertarungan. Bahkan begitu tiba, mereka langsung mengancam tubuh Ki Damang dengan tusukan pedang!

Whuuuttt! Whuuuttt!

“Haaaiiittt..!”

Untuk menghindari serangan kedua batang pedang yang mengancam tubuhnya, terpaksa Ki Damang melenting ke udara disertai teriakan nyaring! Dari atas, kakinya bergerak berputar sambil melontarkan tendangan ke arah Gala Campa yang ada di bawahnya. Dan...,

Deeesss...!

“Aaakh...!”

Tanpa dapat dicegah lagi, telapak kaki orang tua itu langsung hinggap pada sasarannya! Gala Campa yang terkena tendangan pada punggungnya, langsung terjerunuk mencium tanah! Darah segar tampak mengalir dari sela-sela bibirnya setelah mendapat tendangan Ki Damang yang cukup kuat untuk menghasilkan luka dalam. Dan hal itu dialami Gala Campa, yang seketika merasakan dadanya sesak.

Sedangkan tubuh Ki Damang sendiri telah melenting dan berputaran beberapa kali menjauhi lawan-lawannya, begitu pada saat yang sama Waluja telah menusukkan ujung pedangnya ke arah perutnya.

Tapi baik Waluja maupun Wira Yudha rupanya sudah terlanjur penasaran terhadap Ki Damang. Buktinya, mereka kembali meluruk ke arah lawan tanpa memperdulikan Gala Campa yang tampak tengah terbatuk sambil mengurut dadanya.

“Hm...” Diiringi gumaman gusar, Ki Damang kembali meladeni lawan-lawannya. Meskipun sebenarnya sudah tidak berminat bertempur, namun karena kedua orang murid Ki Jasminta memaksanya, Ki Damang juga harus membela diri. Sehingga, pertarungan pun kembali berlangsung sengit!

Wira Yudha dan Waluja benar-benar penasaran terhadap kehebatan lawannya. Sehebat apapun menggempur, laki-laki setengah baya itu selalu saja dapat mematahkan. Meskipun hal itu tidak mudah dilakukan, namun selalu saja terbukti kalau pada akhirnya merekalah yang kembali terdesak oleh Ki Damang!

“Setan alas...!” saking geramnya karena sukar menundukkan lawan, Wira Yudha berkali-kali mengeluarkan makian tanda kejengkelan hatinya.

“Hm.... Bisanya hanya memaki saja, manusia berangasan! Tunjukkan kemampuanmu kalau memang ingin mengalahkanku!” dengus Ki Damang. Laki-laki setengah baya itu sangat gusar terhadap keuletan lawannya.

Pertarungan yang terkadang kelihatan berimbang itu memang benar-benar menjemukan untuk disaksikan. Hal itu sebenarnya wajar saja. Sebagai murid-murid utama, tentu saja kepandaian mereka tidak berselisih jauh dari Ki Jasminta, gurunya. Dan meskipun untuk mengalahkan Ki Damang jelas tidak mampu, tapi bagi Ki Damang sendiri tidak begitu mudah merobohkan murid-murid Ki Jasminta. Keadaan seperti inilah yang membuat orang bosan untuk menyaksikannya. Untunglah, tak seorang pun yang menyaksikan pertarungan mati-matian itu.

Sudah lebih dari tujuh puluh lima jurus berlangsung, namun keadaan tetap masih berimbang. Tidak terlihat, siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Lamanya pertarungan berlangsung, membuat tenaga kedua belah pihak sudah mulai mengendur. Sehingga, baik pukulan maupun sambaran pedang tidak lagi sehebat semula. Pertempuran kian berjalan lambat.

Saat kedua belah pihak sudah semakin mengendur, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda mendatangi tempat itu. Tentu saja, hal itu membuat Waluja dan Wira Yudha tersentak kaget. Mereka menyangka yang datang itu pastilah pihak lawan. Sehingga, kecemasan pun mulai membayang di wajah mereka.

Bukan hanya Waluja dan Wira Yudha saja yang merasa terkejut Gala Campa pun yang sejak tadi sibuk bersemedi untuk mengobati lukanya, ikut terjengat dan bangkit dari duduknya. Sama seperti halnya Waluja dan Wira Yudha, wajah lelaki gemuk itu pun tampak dilanda kecemasan. Dan kalau benar yang datang pihak lawan, sudah dapat dipastikan mereka akan tewas. Atau, paling tidak akan tertangkap.

“Guru...!”

Seruan itu benar-benar semakin melemaskan semangat tempur Waluja dan Wira Yudha. Jelas, panggilan itu ditujukan kepada Ki Damang. Dan itu, artinya yang datang adalah pihak musuh!

Hadirnya dua orang lelaki gagah yang langsung menghambur ke arah pertempuran, membuat kedua belah pihak sama-sama melompat mundur dan menghentikan pertarungan untuk sementara. Gala Campa sudah bergerak dengan pedang terhunus menghampiri Waluja dan Wira Yudha. Tampaknya, lelaki gagah bertubuh gemuk itupun siap berkorban nyawa.

“Guru..., apa yang terjadi...? Mengapa bisa terjadi pertempuran? Bukankah mereka murid-murid Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala?” Salah seorang murid Ki Damang langsung saja mengungkapkan perasaan herannya melihat kejadian itu. Jelas, lelaki gagah berwajah bersih dengan bulu-bulu halus menghias wajahnya itu telah mengenal murid-murid Perguruan Ular Emas, dan Cakar Besi. Hal ini bisa dilihat dari pakaian yang melekat di tubuh ketiga orang lelaki gagah itu.

“Hhh... Aku pun tidak mengerti, Laung. Mereka datang-datang langsung memojokkan dan mencurigaiku. Karena mereka terlalu menekan, akhirnya terpaksa kulayani keinginan mereka...,” jelas Ki Damang dengan napas masih memburu. Meskipun sebagai tokoh kawakan, tapi karena jarang bertempur hingga seratus jurus lebih, tentu saja Ki Damang merasa lelah. Dan hal itu bukan sesuatu yang aneh.

Setelah mendengar jawaban gurunya, lelaki gagah bernama Laung itu membalikkan tubuhnya. Langsung menatap wajah ketiga lelaki gagah itu satu persatu. “Hm..., Tuduhan apa yang telah kalian lemparkan kepada guruku? Sebagai murid-murid orang sakti, tentunya kalian bukan hanya diajar ilmu silat. Kalian tentu juga diajari tata kesopanan, bukan?” tegur Laung, bagaikan seorang penguasa yang tengah mengadili seorang pesakitan. Suara laki-laki itu terdengar sangat berwibawa. Ucapan-ucapannya terdengar tegas dan tandas. Sehingga mau tidak mau, Waluja, Wira Yudha, dan Gala Campa memandang dengan penilaian lebih kepada lelaki gagah bernama Laung itu.

“Kedatangan gurumu bukan pada waktu yang tepat. Sekarang coba kau bayangkan, kau baru saja mengalami kejadian-kejadian dan musibah yang memukul batinmu. Lalu, tiba-tiba muncul seorang dengan lagak mencurigakan. Tidakkah kesalahan itu akan kau timpakan kepada sosok yang baru muncul itu? Apalagi orang-orang yang membuat musibah itu sama sekali tidak kau kenali. Hm..., sekarang aku ingin mendengar pendapatmu ” Wira Yudha yang paling merasa penasaran, langsung saja angkat bicara.

“Ya.... Mungkin akupun akan bertindak sama denganmu. Tapi, tentu saja setelah terlebih dahulu mendengar penjelasannya. Karena, orang itu pun memiliki hak membela diri. Meskipun yang kau lakukan tidak salah, tapi juga tidak benar,” jawab Laung, mengungkapkan pendapatnya.

Tentu saja jawaban yang tidak memuaskan bagi Wira Yudha itu membuat lelaki gagah itu merasa tersinggung. Wajahnya kembali terlihat gelap menandakan kalau murid pertama Ki Jasminta itu kembali terbangkit kemarahannya. “Hm.... Bagaimana kalau gurumu tahu-tahu terbunuh secara aneh, kemudian aku dan kedua kawanku ini muncul. Apa kau tidak akan menyalahkan kami bertiga?” desah Wira Yudha kembali.

“Apa...?! Maksudmu..., Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala telah terbunuh...? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Siapa yang melakukan...?”

Pertanyaan-pertanyaan itu langsung saja terlontar dari mulut Ki Damang. Sebagai seorang yang telah memiliki banyak pengalaman, tentu saja kejadian yang telah menimpa Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala segera dapat disimpulkannya. Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja Ki Damang menghambur ke dalam bangunan. Perbuatan orang tua sakti itu tentu saja membuat yang lain menjadi bingung. Setelah saling melepaskan pandangan satu sama lain, kelima orang lelaki gagah itu segera saja menyusul Ki Damang menuju ke dalam bangunan.

EMPAT

“Bedebah...!” Ki Damang membanting kaki kanannya dengan wajah duka. Hati laki-laki setengah baya itu jelas sangat terpukul oleh kematian kedua sahabatnya. Wajahnya yang biasa tenang, berubah merah dengan sepasang mata menyala tajam.

Laung dan yang lain tidak berani mengeluarkan suara melihat keadaan Ki Damang. Kelihatannya lelaki setengah baya itu merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala.

“Akulah yang salah dalam kejadian ini. Menurut janji kami, akulah orang pertama yang harus tiba di tempat ini. Tapi, karena ada suatu hal yang sangat penting, tanpa ku sengaja aku terlambat. Itulah sebabnya, mengapa aku baru tiba ketika kalian bertiga keluar dari dalam bangunan. Tapi..., biarpun tidak melihat orang yang telah membunuh Jasminta dan Raksa Mala, aku tahu kalau pembunuh itu memiliki kekebalan ilmu tongkat” jelas Ki Damang, sambil menatap wajah ketiga orang murid sahabatnya berganti-ganti.

“Kalau begitu, katakanlah kepada kami, Ki Kami akan mencari pembunuh itu walau apapun yang terjadi!” tegas Wira Yudha langsung, penuh hawa marah. Sehingga, laki-laki separoh baya itu jadi tersenyum pahit melihat semangat yang terpancar pada wajah dan sikap Wira Yudha.

“Hhh.... Meski kuberitahu sekalipun, kalian tidak akan sanggup melawannya. Jangankan hanya kalian. Kita berenam sekalipun belum tentu sanggup menghadapinya. Buktinya dapat kalian lihat sendiri, bukan? Kehebatan guru-guru kalian tidak pernah ku ragukan. Tapi, mereka telah tewas di tangan pembunuh itu. Dan itu sama artinya kalau dia seorang tokoh yang sulit diukur kepandaiannya,” desah laki-laki setengah baya itu. Ki Damang menarik napas berat tanda kegundahan hatinya. Keningnya terlihat berkerut-kerut. Jelas otaknya tengah berpikir keras untuk mencari penyelesaian masalah itu.

“Katakan saja, siapa pembunuh itu, Ki...,” desak Waluja, ikut angkat bicara.

Desakan itu membuat Ki Damang semakin tidak tahu harus berbuat apa. Karena dengan mengatakan siapa pembunuhnya kepada ketiga orang lelaki gagah itu, sama saja mendorong mereka ke dalam jurang kematian. Itulah yang membuatnya kebingungan.

“Tapi, semua ini baru hanya dugaan saja. Belum tentu orang itu yang melakukannya. Sebagai orang-orang yang selama belasan tahun dididik oleh orang-orang pandai, kuharap kalian bisa menahan diri. Jangan bertindak gegabah...,” kembali Ki Damang memberi nasihat kepada Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa.

"Menurut dugaanmu, siapa orang itu, Ki...?” Gala Campa ikut mendesak. Suaranya terdengar lebih tenang dan tidak langsung bernada tuduhan, tapi hanya dugaan. Hal itu membuat Ki Damang mengangguk-anggukkan kepala.

“Berjanjilah untuk bertindak dengan pikiran. Bukan dengan kemarahan...,” Dengan tarikan napas berat, akhirnya Ki Damang bersedia juga mengutarakan dugaannya.

“Baik, kami akan mencobanya...,”

Secara serempak, ketiga orang lelaki gagah itu langsung saja menyetujui. Sementara Ki Damang kembali tersenyum mendengar sahutan ketiga orang murid sahabatnya.

“Setahuku, kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala disebabkan pukulan benda tumpul yang mengandung kekuatan luar biasa. Dan senjata itu mungkin berbentuk tongkat...”

“Benar... ya..., aku baru ingat sekarang...!” tiba-tiba saja Wira Yudha memekik memutuskan keterangan Ki Damang. Sehingga, laki-laki setengah baya itu menghentikan ucapannya.

“Benar, Ki. Bukan hanya mungkin, tapi memang tongkat. Buktinya, orang-orang yang mengeroyok kami bertiga juga bersenjatakan tongkat. Lalu, siapa pembunuh itu, Ki...?” timpal Gala Campa yang juga teringat akan hal itu.

“Ingat! Ini baru dugaan! Belum pasti kalau orang itu yang telah membunuh guru kalian. Pukulan dahsyat yang menghantam kepala Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala adalah sejenis ilmu tongkat yang dimiliki Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Dan kalau benar pelakunya dari pihak mereka, hanya yang berilmu tinggi-lah yang mampu membunuh guru kalian...,”

Setelah berkata demikian, Ki Damang memandang wajah ketiga orang murid sahabatnya berganti-ganti. Sepertinya, ia ingin melihat apa yang tergambar dalam wajah mereka setelah mendengar keterangannya.

“Perkumpulan Pengemis Baju Hitam...?!” gumam Wira Yudha, dengan kening berkerut Sepertinya, ia tengah berpikir keras untuk mengingat nama itu. “Setahuku, perkumpulan pengemis itu tidak berpihak ke mana-mana, Ki. Mereka bisa disebut golongan sesat, bisa juga disebut golongan putih. Selain itu, menurut pengetahuanku, mereka jarang sekali mau mencampuri urusan orang lain. Biar kejahatan berlangsung di depan mata mereka, belum tentu mereka akan menindaknya. Kecuali hal itu bisa mendatangkan untung bagi mereka...,”

“Kau benar, Wira Yudha. Itulah yang membuatku tidak habis pikir, mengapa Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala harus tewas oleh pukulan kalangan pengemis itu? Kalaupun ada orang yang hendak mengadu domba kita dengan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam, mana mungkin ilmu pukulan yang demikian sempurna dimilikinya? Padahal, ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’ hanya diturunkan kepada beberapa orang, sebelum ketuanya yang lama meninggal karena usia tua. Tapi kesempurnaan pukulan yang menewaskan guru kalian, tidak ku ragukan lagi. Untuk itu kalian kuminta pergi menyelidiki keanehan ini Tapi, ingat! Apabila menemukan sesuatu, laporkan kepadaku. Dan, jangan bertindak ceroboh. Sebab, kalau kalian sampai bertindak ceroboh, lalu tertangkap, aku tidak bisa menjamin keutuhan perguruan kalian...,” urai Ki Damang yang mengakhirinya dengan sebuah pesan yang ditekankan dalam-dalam.

“Baiklah, Ki. Pesan itu akan kami ingat baik- baik...,” jawab Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa berbarengan.

Sepertinya ketiga lelaki gagah itu merasa khawatir juga. Sebab jika bertindak salah, jaminannya adalah perguruan mereka. Tentu saja mereka tidak ingin perguruan mereka hancur hanya karena kesalahan yang telah diperbuat.

“Nah, Kalau begitu, kita berpisah sekarang. Ingat, kalau ada sesuatu yang mencurigakan, laporkan padaku...,” ujar Ki Damang kembali mengingatkan ketiga orang lelaki gagah itu. Kemudian, merekapun berpisah untuk mencari pembunuh Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala.

********************

Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa melangkah tegap menyusuri jalan lebar yang berbatu-batu. Dalam melaksanakan tugas mencari pembunuh Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala, mereka tidak lagi menggunakan kuda. Binatang tunggangan mereka telah dijual di sebuah desa yang disinggahi. Hal ini dilakukan dengan alasan, kalau melakukan penyelidikan dengan menggunakan kuda, tentu akan menyulitkan gerak mereka. Sehingga, ketiganya memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan dengan berjalan kaki, disertai penggunaan ilmu meringankan tubuh.

Saat ini hari sudah siang. Sinar matahari yang memancar terik, membuat udara terasa panas menyengat. Sehingga, ketiga orang lelaki gagah itu memutuskan untuk mempercepat perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepat. Sebentar kemudian, terlihatlah tiga sosok bayangan bergerak melintasi jalan yang ditumbuhi rumput tebal.

Padang rumput yang cukup luas itu tentu saja dapat ditempuh lebih cepat, daripada orang-orang biasa. Sehingga, sebentar saja ketiganya telah menemukan sebuah jalanan lebar. Sampai di situ, mereka menghentikan lari. Dan perjalanan kini dilanjutkan dengan langkah biasa, karena sesekali berpapasan dengan orang-orang yang menggunakan jalan umum itu.

Tidak beberapa lama kemudian, Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa tiba di mulut sebuah desa yang cukup ramai dan agak besar. Kedai makan yang biasanya hanya terdapat satu dalam sebuah desa, bisa ditemukan lebih dari dua di sini. Hal ini menunjukkan kalau desa itu sangat ramai.

“Kita singgah sebentar sambil mencari keterangan di desa ini. Tapi, ingat jangan terlalu menyolok..,” Wira Yudha mengingatkan kedua orang temannya, kemudian melangkah memasuki sebuah kedai makan yang dipilihnya. Sementara Waluja dan Gala Campa, ikut masuk ke dalam kedai makan yang cukup besar itu.

Tiga orang pengemis berwajah kotor dan berpakaian berwarna hitam yang sengaja ditambal-tambal, tampak berdiri di dekat pintu kedai. Sikap mereka sama sekali tidak pantas disebut pengemis. Malah, lebih tepat ka- lau dikatakan perampok.

“Berilah kami makan, Tuan. Cepatlah, kami sudah lapar...,” seorang pengemis yang bertubuh kurus dengan sepasang mata liar menadahkan sebuah mangkuk kaleng kepada seorang lelaki gemuk yang berdiri dengan wajah agak pucat. Tampak sekali kalau lelaki gemuk itu ketakutan.

“Kisanak! Mengertilah sedikit. Baru beberapa saat yang lalu, empat orang temanmu datang meminta-minta. Kini setelah mereka pergi, kau dan tiga orang kawanmu datang meminta-minta lagi. Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa jatuh pailit..,” jawab lelaki gemuk itu dengan agak memelas. Tapi ucapan maupun wajah lelaki gemuk yang ternyata adalah pemilik kedai, sama sekali tidak mendatangkan rasa pengertian bagi pengemis muda itu.

“Hm..., dasar gendut pelit! Rupanya kau lebih suka kehilangan kedaimu ketimbang empat mangkuk nasi dan beberapa keping uang! Kalau memang itu maumu, baiklah...,”

Setelah berkata dengan nada mengancam, pengemis berwajah kurus itu membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan kedai. Sementara ketiga orang kawannya bergerak mengikuti. Tinggallah si pemilik kedai terbengong-bengong dengan wajah semakin bertambah pucat.

“Hei...! Hei..., tunggulah...! Biar ku ambilkan...,” Akhirnya karena takut oleh ancaman itu, si pemilik kedai segera saja berteriak memanggil keempat pengemis berbaju hitam.

Seketika pengemis itu segera menahan langkahnya. Pengemis bertubuh kurus yang usianya kira-kira tiga puluh tahun itu memutar tubuhnya dengan tatapan sinis. Kemudian, dengan lagak sombong, dia maju beberapa tindak.

“Maaf! Karena kau sudah menolak permintaan kami barusan, maka aku tidak bisa menerima sedekahmu. Lebih baik simpan saja semua hartamu agar tidak ikut musnah nanti...,” ujar pengemis muda itu dengan wajah dingin. Setelah berkata demikian, ia kembali memutar tubuhnya meninggalkan kedai.

Semua kejadian itu tentu saja tidak lepas dari pandangan dan pendengaran Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa. Ketiga lelaki gagah itu tentu saja menjadi geram melihat tingkah laku pengemis bermuka kurus tadi. Apalagi, ucapannya terdengar demikian angkuh dan penuh ancaman. Sampai-sampai si pemilik kedai berlari mengejar dan berlutut sambil menangis minta maaf kepada keempat pengemis berbaju hitam itu.

Inilah yang membuat Wira Yudha dan kawan-kawannya merasa heran. Meskipun kejadian itu disaksikan puluhan pasang mata, namun tak satu pun yang ambil perduli. Rata-rata, mereka langsung memalingkan wajah begitu melihat kejadian itu. Bahkan ketika si pemilik kedai bersimpuh sambil meratap mohon maaf, tak seorang pun yang mau peduli.

Wira Yudha pun sebelumnya agak ragu juga untuk ambil tindakan. Pikiran tentang kehancuran perguruannya, membuat lelaki gagah itu berpikir dua kali untuk mencampuri urusan pengemis berbaju hitam yang diduga dari Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Namun, jiwa kependekarannya seketika bergolak. Dan dia tak bisa menerima ketidakadilan yang berlangsung di depan matanya. Jiwa pendekar itulah yang memaksa Wira Yudha dan kawan-kawannya untuk mengam-bil tindakan. Kalaupun mereka nanti harus kehilangan perguruan atau nyawa, itu akan lebih baik daripada hidup sebagai pengecut! Maka...,

“Kisanak! Rasanya tindakan kalian sudah keterlaluan. Sikap yang kalian tunjukkan tidak lagi mencerminkan seorang pengemis, tapi sudah menjurus ke arah perampok. Dan, pekerjaan itu rasanya lebih tepat bagi kalian...,” tegur Wira Yudha, lantang. Kemudian, dia melangkah menghampiri keempat pengemis itu berada.

Mendengar teguran itu, si pemilik kedai bukannya menjadi lega, karena ada orang yang sudi membelanya. Tapi, dia malah kembali menyembah-menyembah keempat pengemis itu. Bahkan meminta agar lelaki gagah yang melontarkan penghinaan itu agar diampuni.

“Maafkanlah dia, Kisanak. Dia seorang pendatang yang tidak tahu, siapa Kisanak berempat. Aku akan memberikan apa saja yang kalian inginkan, sebagai rasa terima kasihku...,” bujuk si lelaki gemuk pemilik kedai sambil membentur-benturkan keningnya ke tanah berkali-kali. Tapi, ternyata semua itu malah membuat pengemis bermuka kurus itu semakin bertingkah. Dengan lagak seorang jagoan, ia bertolak pinggang.

“Hei, kau orang tua! Dengarlah! kau tadi sudah menghina kami. Dan itu tidak bisa dimaafkan! Kemudian, ada lagi orang yang menghina kami secara lebih kasar. Dan kau pun memintakan ampun untuk mereka dengan janji akan memberi apa yang kami minta. Sekarang, aku minta ketegasan darimu. Sungguh-sungguhkah ucapanmu barusan?” tanya pengemis muda berwajah kurus itu dengan suara lantang.

“Benar.... Benar...,” sahut pemilik kedai makan itu cepat, sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah agak berseri. Pemilik kedai itu sengaja mengucapkannya jelas-jelas, dengan harapan permintaannya tadi dikabulkan.

“Kau akan memberikan semua milikmu yang kami minta...?” Kembali pengemis muda berwajah kurus itu menegasi.

“Betul! Aku akan menyerahkan semuanya yang kalian minta, asalkan kesalahanku dan kesalahan orang itu dimaafkan...,” jawab pemilik kedai itu tanpa ragu-ragu lagi, seraya menunjuk Wira Yudha.

Tentu saja pembelaan pemilik kedai itu membuat Wira Yudha dan kawan-kawannya merasa terharu. Sebab dalam kesulitannya, lelaki gemuk itu masih sudi juga memikirkan keselamatan orang lain. Sikap itu semakin membulatkan tekad Wira Yudha dan yang lain untuk menolong si pemilik kedai.

“Hm..., bagus. Kalau begitu, sekarang juga kami akan memenggal kepalamu. Karena, kepalamulah yang akan kami minta,” Permintaan itu meluncur demikian enteng. Seolah- olah, harga kepala manusia tidak ubahnya seperti kepala ayam!

“Haaa...?!” Karuan saja permintaan pengemis itu membuat si pemilik kedai terkejut setengah mati. Sama sekali tidak disangka kalau pengemis itu akan meminta kepalanya sebagai tanda kalau semua kesalahannya dimaafkan. Karuan saja, lelaki gemuk itu bungkam. Dan dia memang telah berjanji untuk memberi apa saja, yang diminta para pengemis itu.

Tapi, tidak demikian halnya Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa. Ketiga orang lelaki gagah itu bergerak maju dengan langkah tenang. Terdengar suara Waluja mengejutkan empat orang pengemis itu.

“Hm.... Kalau ku tahu Perkumpulan Pengemis Baju Hitam adalah perkumpulan anjing geladak yang rakus, sudah sejak dulu batang leher mereka kutebas putus dengan pedangku ini!” kata Waluja sambil meraba gagang pedang yang tersembul di balik pakaiannya.

Karuan saja, ucapan itu membuat wajah keempat anggota Pengemis Baju Hitam menjadi pucat bagai kertas. “Bangsat! Kalian rupanya memang sengaja mencari gara-gara!” Sambil berkata demikian, pengemis muda berwajah kurus itu mengangkat tongkat hitamnya melintang di atas kepala. Dengan menggunakan isyarat kepala, kawan-kawannya diperintahkan untuk mengepung.

“Hm...” Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa hanya bergumam pelan melihat lawannya mengepung. Dengan sikap tenang, ketiga orang murid perguruan-perguruan terkenal itu menanti apa yang akan dilakukan kawanan pengemis yang sudah mengepung.

“Haaattt...!”

Tiba-tiba, dibarengi teriakan keras, pengemis muda berwajah kurus itu menghantamkan tongkatnya sekuat tenaga ke kepala Waluja yang paling dekat dengannya!

Buuuttt...!

Waluja sama sekali tidak gugup melihat serangan itu. Sekali pandang saja, segera diketahui kalau keempat orang pengemis itu hanyalah kelompok tingkat rendahan. Sehingga, untuk menghadapi serangan itu tampaknya tidak terlalu sulit.

Plaaakkk!

Dengan mengulurkan tangan kanan Waluja telah berhasil menangkap tongkat lawannya. Kemudian dengan sebuah bentakan keras, ujung tongkat yang ditangkapnya cepat dihentakkan.

“Heaaahhh!”

“Aaa...!“ Karuan saja pengemis muda berwajah kurus itu melolong panjang. Karena, tahu-tahu saja tubuhnya telah terlempar ke udara, dan terus menghantam sebatang pohon besar yang tumbuh di tepi jalan!

Bruuukkk!

“Ngggekkk!” Setelah membentur batang pohon hingga menimbulkan suara berderak keras, tubuh pengemis muda itu terbanting jatuh ke tanah. Terdengar rintihnya yang memilukan, karena beberapa tulang tubuhnya berpatahan! Bahkan sambungan bahu kanannya terlepas akibat berbenturan keras dengan pohon besar tadi.

Kesialan itu rupanya bukan hanya dirasakan pengemis bertubuh kurus yang telah rubuh di tanah tadi. Ketiga orang temannya yang lain pun mendapat bagian yang tidak kalah berbahaya. Bahkan dua di antaranya terpaksa menerima kematian di tangan Wira Yudha yang seperti sangat mendendam dan sangat membenci pengemis berbaju hitam ini. Sedangkan Gala Campa hanya mematahkan tulang kaki dan lengan seorang pengemis lainya.

Anehnya, semua kejadian itu bukannya membuat lelaki pemilik kedai dan para penduduk desa ini merasa senang. Malah, beberapa di antara mereka langsung meninggalkan tempat itu. Sementara yang lain segera berlari pulang dan mengunci pintu rumah rapat-rapat Jelas, perbuatan Wira Yudha dan kawan-kawannya telah menimbulkan rasa takut yang semakin dalam di hati para penduduk desa.

Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa menarik napas panjang sebagai tanda kegundahan hati. Ketiganya menatap kedai yang tidak terlihat seorang pun, kecuali seorang pemuda tampan berpakaian putih dan seorang dara jelita berpakaian hijau yang masih duduk tenang di dalamnya.

Untuk beberapa saat lamanya, ketiga lelaki gagah itu seperti terpaku menatap wajah jelita dara berpakaian serba hijau yang tampak sangat menyolok itu. Namun, mereka cepat menguasai diri, dan melangkah ke arah kedai. Sedangkan si pemilik kedai sudah sejak tadi lenyap, karena ketakutan.

LIMA

“Hm..., mengapa kalian berdua tidak ikut bersembunyi? Apakah kalian bukan orang desa ini, dan belum mengenal pengemis-pengemis yang lebih pantas disebut perampok tadi?” tanya Wira Yudha begitu memasuki kedai.

Sedangkan Waluja dan Gala Campa, menatap dengan sorot mata curiga. Hati mereka sedikit tegang ketika melihat gagang pedang di pinggang kanan dara jelita berpakaian hijau itu.

“Hm Rupanya kalian orang-orang persilatan juga. Kalau boleh tahu, siapakah kalian? Dan, dari perguruan mana...?” Gala Campa ikut bertanya, karena didorong rasa penasaran pada gagang pedang di pinggang gadis berbaju hijau itu.

“Atau..., jangan-jangan kalian adalah mata-mata dari perkumpulan pengemis jahat itu...?” dugaan terakhir keluar dari mulut Waluja, namun nadanya kurang enak didengar. Dan tentu saja, pertanyaan- pertanyaan yang dilontarkan beruntun itu membuat pemuda berjubah putih ini tertawa lembut.

“Kisanak sekalian...,” panggil pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara dan wajah tenang, tidak mencerminkan rasa takut, “Maaf kalau aku jadi bingung oleh pertanyaan-pertanyaan kalian bertiga. Tolong sebutkan, pertanyaan mana yang harus kujawab lebih dulu...”

Wira Yudha dan kawan-kawannya saling bertukar pandang sejenak. Mereka segera menyadari kesulitan pemuda itu dalam menjawab pertanyaan yang memberondong tadi. Hanya saja kecurigaan mereka menjadi lebih besar ketika melihat sikap tenang pemuda berjubah putih itu. Bahkan dara jelita yang bersamanya tampak seperti tidak perduli terhadap keadaan sekitarnya. Dan dia masih saja menikmati hidangannya tanpa merasa terganggu sedikitpun.

“Kau boleh memulainya dari pertanyaanku...,” ujar Wira Yudha setelah terdiam beberapa saat lamanya.

“Baiklah, desah pemuda tampan berjubah putih itu tersenyum, dan tetap tenang, “Kami tidak ikut bersembunyi, karena merasa tidak bersalah. Meskipun bukan orang desa ini, tapi sedikit banyak kami cukup tahu tentang pengemis-pengemis itu”

“Hmmmm...” Wira Yudha bergumam sambil mengangguk-angguk, merasa cukup puas dengan jawaban pemuda itu. “Apakah kau orang persilatan?” tanya Wira Yudha, mengulang pertanyaan Gala Campa. Nadanya kini lebih lunak dari semula. Memang entah mengapa, ia seperti merasa percaya sepenuhnya terhadap jawaban pemuda berjubah putih itu.

“Bisa dibilang, kami orang-orang persilatan. Tapi, bisa juga tidak. Namaku Panji. Sedangkan kawanku bernama Kenanga. Kami berdua tidak mempunyai perguruan, dan hanyalah perantau-perantau yang ingin memperluas pengalaman,” sahut pemuda tampan berjubah putih itu.

Kini tampak ketiga tokoh itu mengangguk-angguk puas atas jawaban pemuda yang mengaku bernama Panji, "Lalu, apa hubunganmu dengan pengemis-pengemis tadi? Apakah kalian mata-mata mereka?” selak Waluja dengan nada agak keras. Sepertinya lelaki tegap itu selain ingin mengukur kesabaran Panji juga ingin mendengar bantahannya. Karena, pertanyaan Waluja memang lebih tepat sebuah tuduhan.

“Huh! benar-benar menjemukan! Kalian ini tidak ubahnya nenek-nenek nyinyir!” Tiba-tiba, dara jelita berpakaian serba hijau yang bernama Kenanga menukas ketus dan tandas. Sehingga, Wira Yudha dan kawan-kawan jadi saling berpandangan dengan wajah agak memerah. Jelas telinga mereka merasa cukup tersentil mendengar ucapan gadis jelita itu.

“Maaf..., maaf. Kawanku ini memang terkadang mudah sekali tersinggung. Mungkin merasa jengkel karena pertanyaan Kisanak yang gagah ini lebih bersifat menuduh, daripada bertanya.”

Untungnya, pemuda berjubah putih itu buru-buru meredakan suasana yang sedikit mulai hangat Dan rupanya, Kenanga nampaknya tidak berani membantah ketika melihat isyarat Panji agar tidak mencampuri.

“Hm...,” Waluja hanya bergumam tak jelas, kemudian kembali menatap wajah pemuda tampan itu lekat-lekat Sepertinya, ia masih menunggu jawaban Panji.

“Kalau kalian percaya, kami sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan pengemis-pengemis itu. Dan kalau sudah tidak ada pertanyaan lagi, maaf, kami harus melanjutkan perjalanan...,” pamit Panji seraya membungkuk hormat kepada ketiga orang lelaki gagah itu.

Sementara, Kenanga sama sekali tidak perduli. Bahkan sepasang matanya yang indah sempat mengerling tajam. Rupanya Kenanga masih merasa tidak puas oleh perlakuan ketiga orang lelaki gagah yang dianggapnya kurang sopan dan agak sombong. Tapi. karena Panji sendiri tidak merasa tersinggung, gadis jelita itupun tidak bisa berbuat apa-apa.

Demikian pula halnya Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Mereka tidak bisa menahan kepergian sepasang pendekar muda yang memang Pendekar Naga Putih dan kekasihnya. Selain pertanyaan-pertanyaan mereka sudah terjawab dengan baik, mereka pun tidak mempunyai hak mencegah kepergian Panji dan Kenanga.

“Kisanak, tunggu dulu...!” tiba-tiba saja Wira Yudha berseru ketika Panji dan Kenanga baru sampai di ambang pintu kedai. Bergegas lelaki gagah itu menghampiri ketika melihat pasangan muda itu menunda langkah dan memutar balik tubuhnya.

“Ada apa lagi, Kisanak...?” tanya Panji, tetap dengan nada dan raut wajah tidak berubah. Pemuda tampan itu masih saja ramah dan tenang.

Sehingga, Wira Yudha sendiri menjadi agak rikuh, karena lelaki itu merasa adanya pancaran perbawa pada wajah maupun sikap pemuda tampan bernama Panji itu. “Hm... Kami bertiga merasa khawatir sekali pada keselamatan kalian berdua. Dengan adanya kejadian tadi, rasa-rasanya para pengemis itu pasti akan mengamuk dan mencelakai apa yang ditemukannya. Dan jika kalian pergi dari desa ini, aku khawatir akan jadi sasaran mereka...,” jelas Wira Yudha. Sebenarnya, dia memang merasa khawatir atas keselamatan pasangan muda itu.

“Mengapa kau menduga demikian? Bukankah kami tidak punya kesalahan terhadap mereka? Maka tidak ada alasan bagi pengemis-pengemis itu untuk mencelakai kami. Tapi biar bagaimanapun, aku merasa sangat berterima kasih atas perhatian kalian yang mau mencemaskan nasib kami. Maaf, aku harus pergi...,” Setelah berkata demikian, Panji kembali memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan kedai bersama kekasihnya.

“Hhh.... Mudah-mudahan saja merekatidak menjadi sasaran kemarahan pengemis-pengemis keparatitu...,” Wira Yudha lirih disertai helaan napas beratnya.

Apa yang dikhawatirkan oleh Wira Yudha ternyata tidak berlebihan. Saat Panji dan Kenanga baru beberapa tombak meninggalkan kedai, terlihat puluhan orang pengemis berlarian mendatangi tempat terjadinya awal perkelahian.

“Berhenti...!”

Terdengar hardikan salah seorang dari puluhan pengemis terhadap Panji dan Kenanga yang tengah menyusuri jalan utama desa. Tapi, kedua orang muda itu terus saja mengayun langkah, bagai tidak mendengar hardikan tadi. Karuan saja, sikap itu memancing kemarahan si pengemis.

“Bedebah! Rupanya, kalian lebih suka pada tongkat ini...!”

Sambil menggeram gusar, pengemis berbaju hitam yang usianya sekitar empat puluh tahun itu mengayunkan tongkat hitamnya ke arah kepala Panji. Maksudnya jelas, bukan sekedar memberikan hajaran, tapi memang ingin menamatkan riwayat pemuda tampan berjubah putih itu dengan sekali pukul.

“Hei...!” Wira Yudha yang sempat melihat kejadian itu berseru mencegah. Tangannya hanya menggapai tanpa berani mendekat, karena bisa berbahaya baginya. Masalahnya, sebagian besar dari kelompok para pengemis telah berada di sekitar kedai. Sehingga, Wira Yudha dan kawan-kawan hanya bisa mengharap agar pemuda itu bisa menyelamatkan diri.

Panji sama sekali tidak berusaha menghindari sambaran tongkat pengemis itu. Bahkan Kenanga yang semula sudah hendak bergerak, terpaksa diam ketika jemari tangannya agak sedikit ditekan oleh kekasihnya. Terpaksa gadis jelita itu mengambil sikap tak perduli, dan terus mengayun langkah mengikuti kekasihnya.

Whuuukkk!

Tongkat hitam sebesar lengan yang terbuat dari kayu besi itu menderu tajam, mengancam kepala Panji. Sementara pemuda itu terlihat hanya menarik napas agak panjang, dan...,

Deeebbb!

“Aaakkkh...!” Tongkat pengemis itu telak dan keras sekali menghantam batok kepala Pendekar Naga Putih. Tapi anehnya, bunyi yang ditimbulkan pukulan tongkat seperti bunyi sebuah benda kenyal yang dihantam oleh pukulan keras. Dan yang dialami pengemis itu tubuhnya kontan terjajar ke belakang hingga beberapa langkah jauhnya. Sedangkan tongkat hitamnya entah terbang ke mana, karena ia sendiri tidak melihatnya.

“Uuuhhh...?!” Sambil merintih kesakitan, pengemis bertubuh sedang itu memijat-mijat kedua tangannya bergantian. Jelas, ia merasa kesakitan setelah melancarkan pukulan ke arah Panji tadi. Kegentaran mulai terbayang pada sepasang matanya. Sehingga ketika pemuda itu melanjutkan langkah, ia hanya memandang tanpa berani mencegah.

Ternyata, bukan hanya pengemis bertubuh sedang itu saja yang berusaha menyerang terhadap Panji. Sedangkan Kenanga sama sekali tidak pernah diganggu. Hal itu bisa saja, karena kecantikannya. Tidak heran bila berkali-kali pemuda itu menjadi sasaran pukulan tongkat para pengemis. Dan tentu saja Panji sadar akan maksud orang-orang itu.

Tapi, para pengemis yang melontarkan pukulan tongkatnya ke arah Panji satu-persatu minggir menjauh. Betapa tidak? Meskipun melihat jelas-jelas kalau tongkat mereka mengenai sasaran, tapi pemuda itu tetap saja melangkah tenang tanpa mengalami cidera. Bahkan justru merekalah yang kesakitan.

“Pemuda itu pasti jelmaan malaikat! Bayangkan saja, dia sama sekali tidak merasa sakit meskipun kepalanya telah dipukul berkali-kali dengan tongkat..!” kata salah seorang yang telah merasakan akibatnya, dengan suara bergetar.

“Mungkin juga ia orang sakti yang memiliki tenaga dalam tidak terukur. Aku merasakan sendiri, betapa kuat tenaga dalamnya sehingga pukulanku berbalik. Bahkan telapak tanganku, sampai berdarah...,” timpal pengemis lain yang tubuhnya tampak kokoh bagai batu karang.

Sambil berkata demikian, ia memperlihatkan telapak tangannya yang pecah-pecah dan mengeluarkan darah. Hal itu terjadi karena kekuatan yang digunakannya untuk memukul jauh lebih kuat dari pada kawan-kawannya. Tentu saja, akibatnya pun lebih buruk lagi.

Akhirnya, satu-persatu pengemis-pengemis itu bergerak meninggalkan Panji dan Kenanga. Sehingga, tidak ada lagi yang mengganggu perjalanan mereka. Keduanya melangkah tenang, menyusuri jalan utama desa. Sayangnya, saat itu Wira Yudha dan yang lain tidak sempat menyaksikan keanehan yang dialami para penyerang pemuda berjubah putih tadi. Karena, para pengemis berbaju hitam sudah bergerak mengurung kedai. Tentu saja, ketiga lelaki gagah yang tidak ingin isi kedai porak-poranda, segera melesat keluar untuk menghadapi mereka.

Sementara di lain hal, para pengemis berbaju hitam tampaknya sangat marah terhadap Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa yang telah mencelakai kawan-kawan mereka. Entah, dari mana datangnya para pengemis itu. Tak seorang pun yang tahu. Hal-hal seperti itulah yang ditakuti para penduduk desa.

“Kau boleh pilih, manusia lancang. Menyerah secara suka rela, atau terpaksa kami menggunakan kekerasan untuk menyeret tubuh kalian ke hadapan pimpinan kami...?!”

Terdengar suara menggelegar dari seorang pengemis berkepala gundul yang selebar wajahnya dipenuhi brewok. Nadanya terdengar demikian sombong. Seolah-olah, dirinya .adalah seorang penguasa yang tengah berbicara kepada rakyatnya.

“Hm aku tidak perduli cara apa yang akan kalian pergunakan! Kalau memang ingin dengan kekerasan, silakan lakukan. Jangan bisanya hanya mengumbar bacot yang tak berguna! Aku pun memang mempunyai urusan dengan kalian, pengemis-pengemis kurap!” tantang Wira Yudha sambil melolos pedang dari sarungnya.

Memang, saat itu mereka bertiga telah dikepung oleh paling sedikit tujuh puluh orang pengemis. Merasa sudah terlanjur, Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa memutuskan untuk melawan sampai titik darah yang terakhir.

“Serbuuu...!”

Setelah mendengar tantangan Wira Yudha, lelaki berkepala botak yang selebar wajahnya ditumbuhi brewok langsung saja memberi aba-aba kepada kawan-kawannya untuk menyerbu ketiga orang lelaki gagah itu. Bagaikan semut-semut menemukan manisan, puluhan pengemis berbaju hitam itu meluruk ke arah Wira Yudha dan kawan-kawannya. Sebentar saja, lenyaplah tubuh ketiga orang lelaki gagah itu ditelan kerumunan sosok hitam. Sedangkan pengemis brewok berkepala botak itu tidak ikut maju mengeroyok. Ia hanya tertawa-tawa menyaksikan amukan ketiga lawan yang tengah membendung serangan puluhan orang pengemis, anak buahnya.

“Heaaattt...!”

Waluja berteriak mengguntur sambil memutar sekuat tenaga pedang di tangannya. Maka terbentuklah gulungan sinar memanjang yang bergerak turun naik membendung tusukan serta hantaman puluhan batang tongkat yang meluruk ke arahnya!

Terdengar teriakan-teriakan ngeri yang dibarengi percikan darah segar, saat pedang di tangan Waluja mulai meminta korban. Meskipun begitu, para pengemis berbaju hitam sama sekali tidak bergerak mundur. Mereka terus menggempur maju, tanpa takut terkena sambaran pedang lelaki tegap itu. Maka tentu saja Waluja agak terdesak karenanya.

Wira Yudha pun tidak ketinggalan. Pedang di tangannya dikelebatkan dengan kekuatan menggetarkan. Setiap kali pedangnya berkelebat, selalu saja ada darah memercik disertai robohnya lawan. Tapi karena jumlah lawan sangat banyak dan terus menggempur maju, lama-kelamaan Wira Yudha terpaksa bermain mundur sambil tetap mengelebatkan pedangnya.

Begitu juga Gala Campa. Lelaki gemuk murid tertua Perguruan Cakar Basi itu juga hanya bermain mundur. Meskipun pedang di tangannya telah berlumuran darah segar, tapi jumlah lawan yang seperti tidak pernah habis itu membuatnya agak terdesak. Padahal sambaran pedangnya terus meminta korban.

Serbuan para pengemis berbaju hitam itu memang benar-benar hebat. Tanpa perduli terhadap kawan-kawannya yang berjatuhan mandi darah, mereka terus menggusur ketiga orang lelaki gagah itu dengan hantaman-hantaman tongkat. Dan ketika lawan-lawan telah dapat dikepung, barulah serbuan para pengemis itu berkurang. Bahkan mereka terlihat bergerak mundur meninggalkan Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Maka, kontan benak mereka dipenuhi bermacam pertanyaan.

Belum lagi ketiga orang lelaki gagah itu dapat menemukan jawaban atas sikap aneh para pengeroyok, para pengemis berbaju hitam telah bergerak dan membentuk barisan berlapis-lapis. Semua itu tentu saja atas perintah pengemis brewok berkepala gundul, yang sepertinya hanya mendapat tugas untuk berteriak-teriak mengatur kawan-kawannya.

“Mulai...!”

Begitu mendapat perintah dari pengemis gundul, serentak saja barisan pengemis yang berlapis-lapis itu bergerak maju. Gerakan mereka benar-benar mengejutkan hati Wira Yudha dan kawan-kawannya.

“Gila...! Sepertinya mereka hendak menguras tenaga kita agar dapat di tangkap hidup-hidup...!” desis Wira Yudha.

Tampak barisan pengemis itu bergerak maju dengan tetap membentuk barisan. Tentu saja serangan seperti itu memang bisa membuat tenaga lawan terkuras habis.

“Hm.... Tidak perduli apa yang akan mereka lakukan! Yang penting, mereka kita babat habis...!” geram Gala Campa dengan semangat tinggi. Sehingga, kedua temannya merasa terbakar semangatnya.

“Kau benar, Kakang Gala Campa. Meskipun harus mati di tangan pengemis-pengemis biadab itu, tapi kita harus habisi mereka sebanyak mungkin!” Sahut Waluja, tidak kalah bersemangatnya. Setelah berkata demikian, lelaki tegap itu segera saja memutar senjatanya. Seketika, tubuhnya melesat menyambut kedatangan lawan.

“Heaaattt..!”

Beuuuttt..!

Selarik sinar putih berkeredep ketika pedang di tangan Waluja bergerak mendatar, membabat perut lima orang pengeroyok di barisan depan.

“Haaaiiittt..!”

Barisan pengemis berbaju hitam di bagian depan itu berseru serentak sambil menarik tumbuhnya ke belakang. Berbarengan dengan itu, para pengemis di barisan belakang berlompatan ke atas disertai babatan tongkat yang menderu tajam, mengancam kepala dan beberapa bagian tubuh Waluja.

Whuuuk! Whuuuk! Whuuuk!

“Hm... Rupanya lelaki tegap itu sudah cermat memperhitungkan serangannya. Maka, begitu melihat sasarannya sama-sama bergerak mundur, Waluja sudah memutar senjatanya dari bawah ke atas dengan kuda-kuda rendah. Akibatnya ,

Traaakkk!Traaakkk! Craaasss! Breeettt!

“Aaaakkk...!”

Terdengar benturan yang diselingi suara mata pedang mengenai sasaran! Terdengar jerit kematian saling susul disertai semburan darah segar yang sebagian menodai pakaian dan pedang Waluja. Tiga orang pengemis berbaju hitam kontan ambruk mandi darah! Sedangkan tiga lainnya terpental balik, akibat tangkisan lelaki tegap itu.

“Hm.... Majulah kalian, manusia-manusia busuk! Hari ini aku akan menghirup darah kalian satu persatu dengan senjataku...!” desis Waluja, semakin bertambah semangat begitu melihat gebrakannya telah memakan korban di pihak lawan.

Namun, pengemis berbaju hitam itu sama sekali tidak menjadi gentar. Diiringi teriakan-teriakan ribut, mereka kembali menerjang lelaki gagah itu dengan tongkat-tongkat di tangan. Pertempuran pun kembali berlanjut dengan sengit!

ENAM

Perlawanan Wira Yudha dan kawan-kawannya membuat kening pengemis brewok berkepala gundul itu berkerut-kerut. Meskipun anak buahnya telah banyak yang menjadi korban, tapi belum juga terlihat ada keinginan di hatinya untuk maju. Ia masih saja berdiri tegak, menyaksikan anak buahnya menggempur ketiga orang lelaki gagah itu.

“Hm.... Jadi mereka orang-orang Perguruan Cakar Besi dan Ular Emas...,” gumam lelaki gundul itu seorang diri. Kepalanya tampak terangguk-angguk sambil mengelus jenggot yang meranggas di dagunya.

Saat itu, Wira Yudha , Waluja, dan Gala Campa terlihat telah bermandikan darah dan keringat. Meskipun darah itu bukan dari tubuh mereka, namun penampilan ketiga orang tokoh persilatan itu benar-benar menyeramkan. Mereka tak ubahnya manusia-manusia haus darah yang tidak pernah puas dengan korbannya. Korban-korban lain yang masih hidup terus diburu.

Meskipun saat itu jumlah pengemis berbaju hitam sudah separuh lebih yang menjadi korban, namun sisanya tetap saja menerjang maju tanpa rasa ngeri. Para pengemis itu tetap melancarkan gempuran-gempuran yang bagaikan gelombang di lautan. Selalu bersambungan dan tidak pernah putus!

Deeesss!

“Aaakkkh...!”

Suatu ketika, Gala Campa yang gerakannya terlihat mulai melambat karena lelah, terpaksa harus menerima hantaman sebatang tongkat. Akibatnya, punggungnya terasa panas. Dan belum lagi lelaki gemuk itu sempat membalasnya, sebuah tongkat lain datang menubruk dada kanannya.

Duuuggg!

“Ughhh...!” Tubuh Gala Campa terjajar limbung! Dari sudut bibirnya tampak lelehan darah segar. Jelas, hantaman dua batang tongkat yang sangat keras itu membuatnya tersiksa. Dadanya terasa sesak, dan napasnya jadi tersengal.

“Bangsat..!” Sambil memaki kalang kabut, Gala Campa menyabetkan pedangnya ke depan secara serampangan. Hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk membendung serangan lain yang kemungkinan menyusul. Tapi, hasilnya sungguh membuat hati lelaki gemuk bersorak!

Ternyata sambaran pedang yang dilakukannya secara serampangan telah merobek tubuh dua orang pengemis yang memang tengah menyodokkan ujung tongkatnya ke tubuh Gala Campa! Tanpa ampun lagi, kedua orang pengemis itu ambruk bermandikan darah!

“Mampus kalian...!” dengus Gala Campa yang kemudian tertawa berkakakan. Lega hati lelaki gemuk itu, karena telah dapat membalas apa yang barusan dilakukan lawan terhadap dirinya.

“Gelombang surut...!” Tiba-tiba saja terdengar seruan keras yang meningkahi ramainya teriakan-teriakan dan denting senjata di arena pertempuran.

Sesaat setelah teriakan itu berkumandang, barisan pengemis itu serentak bergerak mundur bagaikan gelombang yang surut. Hal itu tentu saja membuat Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa menarik napas lega. Meskipun belum merasa terbebas, namun waktu yang sedikit itu rasanya dapat dipergunakan untuk menghimpun tenaga yang telah menyusut jauh.

“Hei, orang-orang Perguruan Cakar Besi dan Ular Emas! Kali ini kalian kuberi napas. Tapi kuperingatkan, setelah kejadian ini harap kalian berhati-hati. Karena, kami selalu siap mencabut nyawa kalian setiap saat...!”

Setelah ucapan itu selesai, pengemis berkepala gundul ini mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Kemudian dia bergerak meninggalkan tempat itu diiringi para pengikutnya. Tentu saja hal itu membuat Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa menjadi setengah tak percaya. Padahal kalau saja pertarungan dilanjutkan, bisa-bisa mereka akan tewas di tangan para pengemis itu. Tapi tanpa disangka-sangka, para pengemis itu justru bergerak mundur dan meninggalkan lawan-lawannya yang telah kepayahan.

“Hhh... Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang...?” tanya Waluja seraya menghempaskan tubuhnya ke atas tanah. Tanpa memperdulikan sekeliling, tubuhnya yang terasa lelah luar biasa langsung saja direbahkan.

Wira Yudha tidak menanggapi pertanyaan adik seperguruannya, karena juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Lelaki gagah itu ikut menjatuhkan tubuhnya, dan rebah terlentang kelelahan. Gala Campa juga melakukan hal serupa. Sehingga, tubuh mereka terjajar tak bergerak-gerak seperti tiga sosok mayat.

“Ada sesuatu yang aneh terhadap para pengemis berbaju hitam itu...” tiba-tiba saja terdengar suara Waluja yang memecah keheningan di antara mereka.

“Apa maksud ucapanmu itu, Adi Waluja...? Apakah sikap mereka yang tiba-tiba meninggalkan kita secara tiba-tiba yang kau anggap aneh...?” timpal Gala Campa.

Lelaki gemuk itu pun masih belum mengerti, mengapa serangan para pengemis itu harus berhenti, dan kemudian meninggalkan mereka. Padahal kalau pertarungan dilanjutkan, pasti para pengemis itu dapat menawan atau membunuh mereka. Maka tentu saja hal itu membuat benak ketiganya bertanya-tanya.

“Bukan, bukan itu maksudku. Tapi, rasanya ada kelainan antara pengemis berbaju hitam yang kita hadapi, dengan pengemis yang menggempur kita beberapa waktu yang lalu. Padahal saat itu, jumlah mereka jauh lebih sedikit. Tapi, kita harus mengerahkan kemampuan sepenuhnya untuk dapat melawan. Selain itu, pengemis yang pernah mengeroyok kita dulu banyak menggunakan senjata beracun. Lalu, mengapa sekarang mereka tidak menggunakannya...?” Bukankah itu aneh...?” desah Waluja yang segera bangkit duduk. Hal itu baru terpikir saat tubuhnya dibiarkan beristirahat tenang di atas rerumputan kering.

“Ah, benar! Mengapa aku tidak pernah berpikir ke arah itu. Jadi, apa kita telah salah menuduh? Jangan-jangan penyelidikan kita selama ini sia-sia...,” Gala Campa menepuk keningnya ketika Waluja mengingatkan tentang pengemis-pengemis yang pernah hampir membunuh mereka di tempat pertemuan beberapa waktu yang lalu.

“Hm.... Menurutku tidak begitu, Gala Campa. Mungkin saja pengemis-pengemis yang dikirim ke tempat pertemuan guru-guru kita merupakan orang pilihan yang memang bertugas untuk melakukan hal-hal seperti itu. Masalahnya kalau semua anggota pengemis berbaju hitam sehebat pengemis-pengemis yang pernah mengeroyok kita di tempat pertemuan, wah...! Rasa-rasanya, Perkumpulan Pengemis Baju Hitam bisa menjadi sebuah perkumpulan nomor satu di seluruh negeri. Bahkan bukan tidak mungkin kalau ketuanya menjadi jago nomor satu yang tak tertandingi. Jadi menurutku, penyelidikan kita belum bisa dibilang sia-sia. Hanya saja, kita sama sekali belum jelas tentang tokoh yang telah membunuh guru-guru kita itu. Nah! Setelah kejadian barusan, apalagi yang harus kita lakukan...?” tanya Wira Yudha, setelah menguraikan pendapatnya secara panjang lebar. Dan penjelasan itu memang bisa diterima Waluja dan juga Gala Campa. Terbukti, kedua lelaki gagah itu sama-sama mengangguk-anggukkan kepala.

“Hhh.... Setelah mengalami pertempuran barusan, aku menjadi ragu. Apakah mungkin kita bisa membalas kematian guru-guru kita? Sebab, jumlah yang mengeroyok tadi masih belum sepersepuluhnya dari anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Sedangkan untuk mencari pembunuh itu, sudah pasti harus mendatangi pusat perkumpulan itu. Bukankah itu sama saja memasuki mulut harimau lapar...?” desah Waluja, yang meluncur begitu saja dari mulutnya. Sehingga, baik Wira Yudha maupun Gala Campa jadi termenung dengan wajah keruh. Jelas, mereka pun merasakan kesulitan itu.

“Hm..., sebaiknya kita temui saja Ki Damang. Mungkin dia bisa memberi jalan keluar. Kita memang butuh keterangannya, karena setelah kejadian barusan, untuk mendatangi markas pengemis itu sudah tidak mungkin. Kita telah dianggap sebagai musuh oleh mereka. Apabila kita muncul, mungkin tanpa banyak tanya lagi mereka langsung akan menggempur habis-habisan. Bagaimana? Apakah kalian setuju dengan usulku itu...?” tanya Wira Yudha, meminta pendapat kedua orang itu.

“Yah.... Memang tidak ada jalan lain lagi. Satu-satunya yang terbaik saat ini adalah usulmu itu. Wira Yudha. Aku jelas setuju sekali...,” sahut Gala Campa dengan wajah berseri.

“Kalau begitu, mengapa kita tidak berangkat sekarang saja?” kata Waluja seraya bangkit dan siap meninggalkan tempat itu.

“Bagaimana dengan mayat-mayat pengemis itu...?” Gala Campa merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpah tindih itu. Diam-diam hatinya bergidik menyaksikan korban mereka bertiga.

“Biarkan saja. Nanti pun ada orang yang mengurusnya,” jawab Wira Yudha cepat. Kemudian, ketiganya pun berangkat meninggalkan tempat itu untuk menemui Ki Damang.

********************

Sinar matahari pagi merambah permukaan bumi, menghangatkan enam sosok tubuh gagah yang melangkah ringan memasuki wilayah Hutan Grambang. Langkah mereka tampak begitu bergegas, seperti tengah memburu sesuatu. Ranting-ranting pohon dan dedaunan yang menghalangi jalan dikibaskan dengan tangan-tangan, mereka terus bergerak menuju hutan sebelah Barat.

Tidak berapa lama kemudian, keenam orang lelaki gagah itu mulai melintasi jalan yang agak rata dan lebih mudah dilewati. Di depan mereka, sudah tampak sebuah bangunan besar yang lebih mirip sebuah perguruan. Tampaknya tujuan mereka adalah Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Namun, langkah mereka segera tertunda ketika terdengar bentakan mengejutkan!

“Berhenti...!”

Melihat dari gerakan yang nampak sigap saat melakukan langkah mundur, jelas kalau keenam orang itu merupakan tokoh-tokoh persilatan. Bahkan kelihatannya kepandaian yang dimiliki tidak bisa dipandang ringan. Sosok terdepan adalah lelaki setengah baya bertubuh kurus. Dia segera saja melangkah maju dan memberi hormat kepada seorang lelaki gemuk berkepala botak yang memegang senjata tongkat yang matanya berbentuk bulan sabit. Di kiri kanan lelaki gemuk berpakaian hitam itu, tampak belasan orang pengemis siap dengan tongkat ditangan.

“Hm.... Kalau aku tidak salah lihat, kau pasti Ki Damang yang mempunyai perguruan Elang Putih?” tegur lelaki botak yang juga berpakaian hitam dan penuh tambalan dengan suara parau. Anehnya, meskipun dipenuhi tambalan, namun tampak jelas kalau pakaian itu masih baru. Bahkan tambalannya seperti sengaja diatur sedemikian rupa. Sekali lihat saja, orang akan tahu kalau kain-kain penambal itu bukan dijahit, melainkan dilekatkan saja.

“Dugaanmu tidak meleset sama sekali, Kisanak. Dan kau pasti tokoh pengemis Tongkat Bulan Sabit. Julukanmu memang sangat dikenal oleh kalangan persilatan, karena permainan tongkatmu yang mengagumkan. Sungguh beruntung aku dapat berjumpa denganmu, Kisanak...,” balas lelaki kurus yang memang tak lain dari Ki Damang, Ketua Perguruan Elang Putih yang sudah cukup tersohor di kalangan rimba persilatan.

“Hm.... Bagus kalau kau sudah mengenalku, Ki Damang. Sekarang, katakan apa tujuanmu datang ke wilayah kami ini? Ingat! Bila jawabanmu tidak jujur, tahu sendiri akibatnya...,” lanjut Tongkat Bulan Sabit setengah mengancam.

Nada bicara laki-laki botak itu tidak lagi seramah semula. Sehingga, orang-orang di belakang Ki Damang tampak tegang. Mereka tentu saja dapat melihat gela- gat tidak baik dari sorot mata lelaki gemuk berjuluk Tongkat Bulan Sabit itu.

“Kedatanganku ke wilayah kalian ini, sudah pasti mempunyai tujuan yang sangat penting. Sahabat-sahabat baikku telah tewas terbunuh secara gelap pada beberapa waktu yang lalu. Dan...,”

“Langsung saja Ki Damang, tidak perlu bertele-tele...!” potong Tongkat Bulan Sabit cepat dengan wajah menunjukkan keangkuhan. Sehingga, Ki Damang terpaksa harus menelan kedongkolannya.

“Baik! kedatanganku hendak meminta tanggung jawab Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam,” tandas Ki Damang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya.

“Gila! Hati-hati bicaramu, Ki Damang! Tanpa hujan tanpa angin, tahu-tahu ingin meminta tanggung jawab ketua kami. Apa yang telah ketua atau anggota kami lakukan?” tanya Tongkat Bulan Sabit dengan wajah merah karena merasa geram mendengar tuduhan Ki Damang.

“Hm..., Kau sendiri yang meminta ku untuk mengatakan langsung maksud kedatanganku ke sini, bukan? Nah, mengapa ketika kusampaikan kau malah bertanya? Apa kau ingin agar aku bertele-tele?” tukas Ki Damang tidak mau kalah gertak.

Hasilnya, Tongkat Bulan Sabit langsung bungkam, karena merasa kalah dalam berbicara.

“Seperti yang kukatakan tadi, dua orang sahabat baikku yang berjuluk Pendekar Ular Emas dan Cakar Penghancur Tulang, terbunuh secara gelap. Mereka tewas dengan kepala pecah, karena ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’ yang hanya dimiliki Pengemis Berbaju Hitam. Itulah sebabnya aku datang ke tempat ini,” jelas Ki Damang, sambil menandaskan ucapannya pada kalimat terakhir.

Tentu saja, keterangan itu membuat Tongkat Bulan Sabit terperangah dengan wajah pucat! Jelas, hatinya sangat terkejut oleh penjelasan itu. “Mustahil! Kau pasti salah, Ki Damang. Tidak mungkin!” sentak Tongkat Bulan Sabit sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya, dia tidak mau menerima tuduhan itu.

“Tidak ada yang mustahil, dan aku tidak salah menilai. Aku tahu betul tanda akibat pukulan ilmu tongkat itu. Nah! Karena ciri itulah, maka aku berani datang ke tempat ini. Sekarang, bawa aku menghadap Ki Parewang, agar bisa menanyakan langsung kepada beliau,” bantah Ki Damang yang memang merasa yakin akan penilaiannya.

“Kubilang mustahil!” Tongkat Bulan Sabit pun tidak mau kalah. “Apa kau tahu apa sebabnya kubilang mustahil, orang tua goblok?! Sebab, yang memiliki ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’ hanya Ketua Pengemis Baju Hitam yaitu Ki Parewang. Sedangkan selama ini, aku tahu kalau ketua kami tidak pergi kemana-mana. Nah, sekarang kau mengerti, bukan?” sergah lelaki gemuk itu lagi.

Tapi, Ki Damang tetap tidak mengerti. “Justru itulah bawa aku menghadap beliau untuk mendapat keterangan secara langsung dan lebih jelas. Kau tahu, kedua sahabatku itu bukan orang sembarangan. Dan hanya orang-orang tertentu sajalah yang sanggup membunuh mereka sekaligus!” Ki Damang tidak mau mengalah dan tetap pada keputusannya.

“Kau menuduh ketua kami yang melakukan pembunuhan itu, Ki Damang...?” tanya Tongkat Bulan Sabit yang segera mengerti, ke mana arah pembicaraan orang tua itu.

“Ya! Terus terang, aku merasa curiga. Mengingat kepandaian ketuamu memang pantas kalau kedua sahabatku sampai terbunuh. Untuk itu, aku harus berbicara dengan Ki Parewang agar permasalahan ini menjadi lebih jelas lagi,” desak Ki Damang yang berkeras hendak menemui Ketua Pengemis Baju Hitam.

“Hm Karena kau keras kepala aku terpaksa mengatakannya. Sebenarnya, hal ini tidak boleh diketahui orang luar. Tapi karena masalah ini kuanggap sangat penting, biarlah kukatakan terus terang padamu. Sejak beberapa bulan yang lalu, ketua kami telah bertapa membersihkan hati dan pikirannya. Itu sebabnya, kubilang mustahil kalau beliau melakukan pembunuhan. Dan semenjak memasuki ruang pertapaan, Ki Parewang belum muncul sampai sekarang. Maka, sebaiknya kau kaji kembali dari awal. Siapa tahu, kau akan menemukan petunjuk lain...,” jelas Tongkat Bulan Sabit menghela napas panjang. Sepertinya, apa yang disampaikan Tongkat Bulan Sabit barusan memang merupakan rahasia yang tidak boleh dibocorkan.

“Pembohong! Kau pikir aku akan percaya dengan keterangan palsumu itu! Kau sengaja mengarang cerita bohong itu agar kami segera angkat kaki dari tempat ini. Hm.... Tidak semudah itu babi gendut! Aku tetap akan memaksa untuk memenuhi Ki Parewang. Setelah itu, baru aku merasa puas setelah mendapat keterangan darinya!”

Tiba-tiba sebuah bentakan dan ucapan berapi-api memotong pembicaraan Tongkat Bulan Sabit. Dan rupanya, bentakan itu datangnya dari Wira Yudha. Lelaki gagah berusia empat puluh lima tahun itu kemudian melangkah sambil menatap tajam Tongkat Bulan Sabit. Sementara, Ki Damang diam saja tidak berusaha mencegah. Sepertinya, dia memiliki dugaan yang sama dengan Wira Yudha.

“Bedebah! Siapa kau?! Tutup bacotmu yang sembarangan bicara itu! Meskipun kami bukan golongan bersih seperti kalian, tapi untuk berdusta tak akan pernah kami lakukan! Buat kami, itu menandakan sikap seorang pengecut!” bentak Tongkat Bulan Sabit dengan tidak kalah kerasnya. Sehingga, suasana pun semakin bertambah runyam.

“Siapa yang percaya mulut pengemis busuk seperti kalian! Aku tetap akan menemui Ki Parewang, apapun yang terjadi...!” tegas Wira Yudha seraya melangkah hendak menuju bangunan besar yang merupakan tempat tinggal Pengemis Baju Hitam.

“Berhenti! Selangkah lagi kau menindak, jangan salahkan kalau kepalamu akan terpisah dari badan...!” ancam Tongkat Bulan Sabit sambil melintangkan tongkat di depan dada. Jelas, lelaki gemuk itu tidak main-main dengan ucapannya.

“Hm...!” Tapi, ancaman itu disambut dengan kejantanan oleh Wira Yudha. Dengan sigapnya, lelaki gagah itu menarik gagang pedang yang tergantung dipinggang.

Sriiiing!

“Begitu lebih baik...!” jawab Wira Yudha yang langsung memutar senjatanya secara bersilangan.

Suasana panas semakin memuncak. Sepertinya, perkelahian tidak mungkin dapat dihindari lagi. Bahkan kedua belah pihak sudah melangkah saling berputar, siap saling terjang!

TUJUH

“Heaaattt...!”

Wira Yudha yang sudah tidak bisa menahan sabar, segera saja melesat disertai putaran pedangnya yang menderu-deru. Ki Damang sama sekali tidak mencegah, karena sudah bisa menilai kepandaian murid tertua Ki Jasminta. Dan ia yakin, Wira Yudha belum tentu kalah oleh lawannya.

“Hmmmhhh...!” Tongkat Bulan Sabit mendengus kasar melihat serangan maut lawannya. Sesaat lamanya, ia masih tetap tidak bergeming dari tempatnya. Hanya sepasang matanya saja yang menyorot tajam, meneliti kelemahan ilmu pedang lawannya.

“Yaaattt...!”

Tepat pada saat pedang di tangan Wira Yudha menusuk dengan kecepatan kilat mengancam dada, Tongkat Bulan Sabit berseru nyaring. Tubuhnya langsung melenting ke udara dan melakukan pukulan dengan tongkat mengancam punggung Wira Yudha. Benar-benar sebuah perhitungan yang sangat cermat dan tepat. Sehingga, Ki Damang sempat mencemaskan nasib Wira Yudha. Tapi Wira Yudha tentu saja tidak begitu mudah dikalahkan lawan dalam segebrakan saja. Cepat bagai kilat, tubuhnya digulingkan, menjauhi tempat itu. Sehingga, tongkat lawan hanya menghantam angin kosong.

“Hm Ternyata permainanmu lumayan juga, orang gagah,” puji Tongkat Bulan Sabit. Kelihatannya, laki-laki botak itu sangat senang mendapat lawan seperti Wira Yudha. Maka semangatnya pun berpendar dari sepasang matanya. Jelas lelaki gemuk itu merupakan seorang pecandu ilmu silat. Sesaat kemudian, keduanya kembali saling bergerak mendekati. Mereka saling menatap tajam, dalam meneliti gerak langkah maupun gerak tangan satu sama lain.

“Haaattt...!”

“Yaaattt...!”

Seiring pekikan-pekikan membahana, kedua tokoh itu kembali saling menerjang hebat. Maka pertarungan pun kembali berlanjut lebih seru dan menegangkan! Sementara itu, belasan anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam yang semula memang telah siap menghadapi perkelahian, menatap curiga ketika melihat Ki Damang dan empat orang lainnya bergerak hendak melewati mereka. Serentak, belasan pengemis itu menggenggam erat tongkat hitam masing-masing. Salah seorang dari mereka menengadah sambil memperdengarkan suara melengking sebagai panggilan kepada kawan-kawannya yang lain.

“Uuu...!” Ki Damang yang sadar kalau siulan itu sangat berbahaya artinya bagi keselamatan mereka, segera saja melesat dan melontarkan pukulan ke arah belasan orang pengemis yang telah siap tempur.

Deeesss! Bugggg!

Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika pukulan Ki Damang yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi menghantam tubuh beberapa orang pengemis. Maka langsung saja korban pukulan maut berjatuhan dengan nyawa melayang.

“Heeeaaattt...!”

Melihat kawan-kawannya telah menjadi korban pukulan maut lawan, para pengemis yang lain segera saja berlompatan melayangkan pukulan tongkat ke arah lelaki setengah baya bertubuh kurus itu!

Wuuukkk! Whuuukkk!

Enam batang tongkat berkelebatan mengancam tubuh Ki Damang. Tapi, Ketua Perguruan Elang Putih sama sekali tidak gugup. Dengan tenang, dinantinya sambaran tongkat lawannya. Kemudian cepat bagai kilat, tubuhnya yang kurus merendah sambil mengangkat kedua tangannya secara menyilang.

Kraaakkk!

Enam batang tongkat yang terbuat dari kayu besi langsung berpatahan ketika bertemu lengan Ketua Perguruan Elang Putih.

“Heaaahhh!” Sambil mengeluarkan bentakan keras, Ki Damang membuka kedua lengannya bagaikan kepak sayap elang jantan. Akibatnya...,

“Aaa...!”

Enam orang pengemis berbaju hitam terpelanting ke segala arah, dan jatuh dengan suara berdebuk keras. Namun, wajah-wajah cemas para pengemis itu berubah lega ketika mendengar suara orang berlarian mendatangi tempat itu. Dan tak berapa lama kemudian, muncullah puluhan orang pengemis berbaju hitam yang langsung mengurung tempat pertarungan.

Cepat-cepat Ki Damang melompat mundur dan bersatu dengan yang lain. Sedangkan pertempuran antara Wira Yudha dan Tongkat Bulan Sabit masih terus berlangsung sengit.

“Hua ha ha...! Ternyata kita kedatangan tamu yang tak diundang. Benar-benar menggembirakan. Selamat datang Ketua Perguruan Elang Putih...!”

Terdengar suara yang melengking tinggi bagaikan suara seorang wanita. Sedangkan orang yang mengucapkannya sangat berlawanan dengan suaranya. Orang itu adalah lelaki pendek gemuk, hampir menyerupai bulatan. Pada wajah dan lehernya tampak lemak bergelantungan. Sehingga apabila tertawa sepasang matanya menjadi dua buah garis kecil yang terhimpit lemak-lemak diwajahnya.

“Tongkat Malaikat...?” seru Ki Damang dengan wajah tegang. Ketua Perguruan Elang Putih itu kenal betul dengan tokoh pengemis berbaju hitam yang satu ini. Tapi sekelebatan tadi, ia hampir-hampir tidak bisa mengenalinya lagi. Sebab beberapa tahun yang lalu, Tongkat Malaikat tidak sampai segemuk sekarang. Maka tentu saja Ki Damang pangling karenanya.

“Hm...,” gumam lelaki pendek gemuk berjuluk Tongkat Malaikat. Wajah bulat yang semula cerah, tampak berubah gelap ketika menerima laporan dari salah seorang pengemis yang menyampaikan keperluan Ki Damang.

“Setan kurang ajar kau, Ki Damang! Berani benar menghina ketua kami dengan fitnah kejimu itu! Kalau begitu, kesalahanmu tidak bisa dimaafkan...!” dengus Tongkat Malaikat, langsung melesat dengan sambaran tongkat hitamnya yang mengaung tajam!

Luar biasa! Sungguh mengherankan kalau tubuh gemuk bagai bola itu dapat bergerak demikian cepat. Bahkan Ki Damang sendiri sempat terkejut dibuatnya. Sehingga, terlambat sedikit saja menyadari bahaya, belum tentu nyawanya masih selamat!

Bweeeettt!

“Haaahhh!”

Disertai bentakan keras, Ki Damang melenting jauh ke belakang. Tubuhnya berputaran di udara sebelum mendarat di tanah! Tapi...,

Buuuggg!

“Huaaakh...!” Darah segar langsung saja menyembur dari mulut Ki Damang! Tubuh orang tua itu terjerunuk deras ke depan. Untunglah, keseimbangan tubuhnya masih bisa terjaga. Sehingga dia tidak sampai terbanting jatuh!

“Tongkat Setan Hitam...?!” seru Ki Damang kembali terperangah dengan wajah semakin tegang melihat hadirnya tokoh-tokoh puncak Pengemis Baju Hitam.

Tokoh yang satu itu adalah kepala cabang di wilayah Selatan. Ki Damang menduga, tokoh itu mungkin datang ke pusat untuk melaporkan keadaan wilayah kekuasaanya. Maka semakin cemaslah Ki Damang akan keselamatan kawan-kawannya.

“Bunuh orang-orang kurang ajar itu...!” Tiba-tiba terdengar perintah Tongkat Malaikat yang menggeletar dan melengking bagai memenuhi seluruh pelosok hutan.

Tapi sebelum semuanya terjadi, tiba-tiba saja terdengar suara tawa berkepanjangan bagaikan menyambut perintah Tongkat Malaikat Karuan saja, suara tawa yang didorong tenaga dalam maha dahsyat itu membuat semua orang yang berada di tempat ini menjadi terkejut setengah mati. Bahkan yang sedang bertarung, langsung menghentikan pertarungannya, dan kembali ke barisan masing-masing.

Namun sebelum mereka sempat mengerahkan tenaga untuk menolak gelombang tenaga dahsyat itu, tiba-tiba saja suara tawa itu lenyap secara mendadak. Sehingga, orang-orang yang hanya memiliki tenaga dalam rendah menjadi lega. Dada mereka yang semula bagikan terhimpit batu besar, kini kembali terasa lapang. Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di arena menjadi hening. Seorang pun tak ada yang mengeluarkan suara. Sepertinya, mereka masih merasa belum terbebas dari pengaruh suara tawa yang maha dahsyat tadi.

Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, dan orang lainnya merasa sangat tersiksa oleh keheningan itu. Ketegangan dan kecemasan kian memuncak menggeluti perasaan mereka. Sebab mereka tidak tahu, apakah yang datang itu masih dari pihak lawan, atau kawan.

“Menurut Ki Damang, siapakah orang yang mengeluarkan suara tawa mengerikan itu...?” Seperti tak tahan dengan suasana yang demikian mencekam, Wira Yudha berbisik lirih bagai tercekat di kerongkongan. Nyata sekali ketegangan hati lelaki gagah itu dari suaranya.

“Entahlah. Tapi kemungkinan besar orang itu pasti dari pihak lawan. Karena, aku sendiri belum pernah mendengar ada seorang tokoh golongan putih yang memiliki tenaga sakti sedahsyat itu...,” sahut Ki Damang, juga berupa bisikan. .

“Tapi.... Bukankah Pendekar Naga Putih kabarnya juga memiliki kesaktian dahsyat yang menggiriskan? Apa tidak mungkin kalau yang mengeluarkan suara tawa adalah pendekar besar itu, Ki...?” tanya Wira Yudha. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja Wira Yudha teringat pendekar muda yang menggemparkan hampir seluruh pelosok negeri itu.

“Sulit untuk menjawab pertanyaanmu itu, Wira. Tapi sebaiknya, kita berdoa saja. Mudah-mudahan, suara itu memang milik Pendekar Naga Putih...,” ujar Ki Damang yang akhirnya mengharapkan kehadiran pendekar muda yang khabarnya memiliki kesaktian sangat tinggi dan sulit dijajaki.

Kesunyian itu masih saja berlangsung bagai tak berkesudahan. Baru saja tokoh yang berjuluk Tongkat Malaikat hendak membuka suara, tiba-tiba semua mata menoleh ke arah dua sosok tubuh yang tampak tengah menghampiri tempat itu. Sayang, kegelapan bayang pepohonan menyembunyikan bayang-bayang keduanya. Sehingga, tidak seorangpun yang bisa menduga, siapa kedua sosok tubuh itu.

“Hei...?!”

Hampir berbarengan suara itu keluar dari mulut Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Wajah mereka sama-sama tertegun, begitu kedua sosok tubuh itu sudah tidak terlindung bayang pohon. Mereka tentu saja segera dapat mengenali kedua sosok bayangan itu dengan baik.

“Bukankah pemuda itu yang pernah kita temui di kedai tempat pengemis-pengemis brengsek itu mencari perkara? Bagaimana dia bisa sampai ke tempat ini? Ada keperluan apa pemuda itu dengan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam? Atau..., jangan-jangan ia benar mata-mata mereka...?” desis Gala Campa. Dia tentu saja menjadi heran ketika mengenali kedua sosok tubuh pasangan muda itu.

Apa yang dikatakan Gala Campa memang tidak salah. Kedua sosok tubuh itu tak lain Panji dan Kenanga. Pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian hijau itu melangkah tenang, tanpa mempedulikan tatapan mata orang-orang yang berada di tempat itu. Yang mengandung arti berlainan.

“Ah...! Sepertinya harapanmu terkabul, Wira Yudha...,” ucap Ki Damang dengan helaan napas lega. Wajah laki-laki setengah baya yang semula cemas, kini nampak berseri. Dengan langkah bergegas, segera disambutnya kedatangan Pendekar Naga Putih dan Kenanga, yang memang sangat diharapkan.

“Ki, apa maksudmu...?” Wira Yudha yang merasa heran melihat tingkah Ki Damang, segera saja menyambar tangan orang tua itu. Hingga, langkah Ki Damang tertahan karenanya.

“Ah...! Dasar kau yang bodoh, Wira Yudha. Kau katakan tadi sudah pernah bertemu dan berkenalan dengan pemuda itu. Lalu, sekarang malah bertanya. Jangan katakan kalau kau tidak tahu tentang pemuda tampan berjubah putih itu...,” ujar Ki Damang cepat.

Begitu ucapannya selesai, lelaki setengah baya itu melepaskan cekalan tangan Wira Yudha. Kemudian, dia bergegas mendekati Panji dan Kenanga. “Aku pasti tidak akan salah terka. Kau pastilah Pendekar Naga Putih yang tersohor itu, Anak muda...,” kata Ki Damang ketika telah dekat, seraya menjabat tangan Panji erat-erat. Ucapannya meluncur deras, menunjukkan betapa gembiranya perasaan Ki Damang saat itu.

“Dugaanmu tidak salah, Ki. Orang-orang memberi julukan itu kepadaku...,” sahut Pendekar Naga Putih tersenyum melihat wajah orang tua itu tampak berseri-seri. Meskipun saat itu tidak tengah mengunjungi sebuah gedung megah, hangatnya sambutan Ki Damang benar-benar membuat Panji merasa senang.

“Jadi..., kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?” tanya Wira Yudha seperti meminta kepastian.

Sedangkan Waluja, Gala Campa, dan dua orang murid Ki Damang menatap wajah pemuda tampan itu penuh selidik.

“Benar, Kisanak...,” sahut Pendekar Naga Putih. Panji tersenyum melihat wajah kelima lelaki gagah itu tampak demikian ketololan ketika mengangguk-anggukkan kepala.

Terlebih, ketiga orang yang pernah berjumpa dengan Panji dan Kenanga. Tentu saja mereka merasa sangat tolol. Sebab meski sudah berjumpa dan saling bertegur sapa, ternyata mereka masih juga belum mengenali. Padahal, orang yang ditegur dan diajak bicara itu sesungguhnya seorang pendekar besar yang sangat mereka kagumi sepak terjangnya. Mengingat akan hal itu, baik Wira Yudha, Waluja, maupun Gala Campa merasa malu hati terhadap Panji.

“Tapi..., mengapa kau tidak memperkenalkan diri kepada kami saat itu, Panji...?” Karena tidak tahu harus berkata apa, akhirnya hanya pertanyaan bodoh itulah yang keluar dari mulut Gala Campa.

“Hei? Bukankah aku sudah memperkenalkan diri kepada kalian. Bahkan kawanku ini juga telah ku perkenalkan kepada kalian, bukan? Jangan katakan kalau kalian lupa...,” tukas Panji,

Hal ini jelas membuat Gala Campa bertambah kebingungan. Karena, baru dirasakan kalau pertanyaannya sangat bodoh. “Maksudku..., mengapa kau tidak memperkenalkan julukanmu kepada kami? Bukankah kalau hal itu kau katakan, ceritanya tidak akan jadi sekacau ini?” tanya Gala Campa seperti hendak membela diri. Sayangnya, pertanyaan itu masih juga merupakan pengulangan kebodohannya.

“Tentu saja tidak, Kisanak. Apakah aku harus memperkenalkan julukanku kepada setiap orang yang bertanya tentang namaku? Lalu, apakah orang akan percaya dengan pengakuan ku? Aku khawatir orang-orang akan menuduhku sebagai pemuda gila...,” Panji tertawa perlahan setelah menjawab pertanyaan Gala Campa.

“Ooo...,” Gala Campa sendiri hanya memonyongkan mulutnya, membentuk bulatan. Kepalanya terangguk- angguk menyadari betapa pertanyaannya ini pun terdengar sangat bodoh.

Sementara itu, Tongkat Malaikat, Tongkat Setan Hitam, Tongkat Bulan Sabit, serta hampir dua ratus anggota Pengemis Baju Hitam, seperti sengaja memberi kesempatan kepada orang-orang yang menamakan diri golongan putih itu untuk saling bertukar sapa. Ketiga orang pentolan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam hanya tertawa saja melihat kemunculan pemuda tampan berjubah putih itu.

Meskipun mereka pernah mendengar julukan Pendekar Naga Putih diributkan orang, tapi karena belum menyaksikan kepandaian pemuda itu dengan tangan sendiri, tentu saja mereka belum percaya. Apalagi, penampilan Panji memang tidak menunjukkan kekuatan hebat ada dalam dirinya. Sehingga, tokoh-tokoh berpakaian jembel itu hanya memandang remeh.

“Hua ha ha...! Kalau kalian sudah cukup puas saling bertegur sapa, minggirlah!” kata Tongkat Malaikat tiba-tiba dengan suara melengking tinggi. Sengaja suaranya disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga menyakitkan telinga.

“Aaahhh...!”

Orang-orang yang tidak kuat tenaga dalamnya kontan mengeluh dengan wajah berkerut-kerut. Bahkan beberapa anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam ada yang langsung terjatuh akibat suara yang dikeluarkan Tongkat Malaikat. Sehingga tawanya semakin menjadi-jadi, seolah-olah ingin membalas suara tawa yang mungkin berasal dari pemuda berjubah putih tadi.

“Hm.... kau sungguh keterlaluan, Tongkat Malaikat. Untuk apa menunjukkan tenaga dalammu di depanku? Sampai perutmu kempes pun, aku tidak akan terpengaruh,” Pendekar Naga Putih sengaja mengucapkan kata-kata yang sedikit sombong, dengan maksud agar Tongkat Malaikat tidak melanjutkan perbuatannya.

“Bedebah! Kau sombong sekali, Pendekar Naga Putih! Apa dikira hanya kau yang memiliki tenaga dalam tinggi?! Huh! dasar pemuda ingusan yang tidak tahu luasnya dunia...!” maki Tongkat Malaikat. Rupanya dia merasa jengkel, karena kekuatan tenaga saktinya diremehkan pemuda yang pantas menjadi muridnya.

“Tongkat Malaikat,” sebut Panji dengan wajah dan sikap tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda permusuhan. “Ki Damang menceritakan padaku, kalau ingin berjumpa Ki Parewang yang menjadi ketua perkumpulan pengemis. Lalu, mengapa kau dan kawan-kawanmu tidak mengijinkannya?”

“Dengar Pendekar Naga Putih, apapun keperluan kalian, aku tidak akan ijinkan guruku diganggu keroco-keroco macam kalian!” tegas Tongkat Malaikat dengan wajah gelap. Tokoh itu sama sekali tidak tahu kalau Tongkat Bulan Sabit telah menyampaikan kepada Ki Damang tentang keadaan Ki Parewang.

“Hm... Mengapa, Tongkat Malaikat? Padahal menurut Ki Damang, persoalan ini sangat berat. Bahkan bisa membuat tokoh-tokoh golongan putih marah, dan mungkin akan meratakan pusat perkumpulan pengemis. Jelas persoalan ini kupandang penting...,” desak Pendekar Naga Putih lagi, yang memang sudah diceritakan tentang keperluan Ki Damang dan kawan-kawannya datang ke tempat itu.

“Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai kiamat pun tetap tidak! Dan apapun akibatnya akan kuhadapi!” tegas Tongkat Malaikat yang berkeras hati tidak ingin mengatakan tentang keadaan Ki Parewang.

Jelas Tongkat Malaikat bukan mempertahankan keadaan itu karena dirinya, tapi karena telah mendapat pesan dari Ki Parewang yang tidak ingin diganggu. Itulah sebabnya, mengapa Tongkat Malaikat tetap berkeras, meski untuk itu harus mengorbankan nyawanya. Dan memang, Tongkat Malaikat mendapat pesan langsung dari gurunya.

DELAPAN

Sikap keras kepala Tongkat Malaikat tentu saja membuat jengkel Pendekar Naga Putih. Apapun alasan yang mungkin menyebabkan Tongkat Malaikat bersikap demikian, Panji tidak bisa lagi memakluminya. Karena yang didengarnya dari Ki Damang, persoalan itu sangat berat dan penting!

“Baiklah, Tongkat Malaikat. Karena kau tetap keras kepala, terpaksa harus kulakukan dengan jalan kekerasan...,” tegas Pendekar Naga Putih yang segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Seiring terdengarnya suara bercuitan yang ditimbulkan gerakan tangannya, muncullah lapisan sinar putih keperakan menyelimuti sekujur tubuh Pendekar Naga Putih. Ciri itulah yang membuat Ki Damang dan tokoh-tokoh Perkumpulan Pengemis Baju Hitam semakin bertambah yakin kalau pemuda itu memang berjuluk Pendekar Naga Putih.

“Heaaahhh...!”

Seperti tidak mau kalah gertak, Tongkat Malaikat memutar senjata di tangan sekuat tenaga. Setelah melihat adanya lapisan kabut yang menyelimuti sekujur tubuh calon lawannya, Tongkat Malaikat terlihat mulai ada penilaian lain terhadap Panji. Itu sebabnya, tenaga saktinya langsung saja dikerahkan.

Weeerrr! Weeerrr!

Tidak percuma tokoh gemuk bulat itu dijuluki Tongkat Malaikat. Putaran senjatanya memang benar-benar menggetarkan! Hal itu tergambar jelas pada gerakan-gerakan pembuka yang dilakukannya. Selain bentuk tongkat jadi tak terlihat mata biasa, deru angin yang ditimbulkannya pun bukan main hebatnya.

Sehingga, orang-orang yang berada dalam jarak satu tombak lebih harus bergerak mundur. Bahkan putaran angin yang ditimbulkannya membuat debu dan dedaunan beterbangan. Jangankan daun-daun yang di tanah, bahkan yang masih di atas pohon pun ikut terbetot rontok dari rantingnya.

Menyaksikan kedua orang tokoh sakti itu sudah siap saling gempur, Ki Damang, segera memerintahkan kawan-kawan dan muridnya untuk mundur menjauh. Dan dia sendiri juga terlihat sudah menghunus senjata, siap menghadapi pertempuran. Sepertinya, Ki Damang sadar kalau pertempuran pasti akan segera pecah!

Begitu pula halnya Kenanga. Dara jelita itu terlihat sudah menggenggam erat gagang Pedang Sinar Bulan-nya. Sekali lihat saja, sudah dapat dipilih, siapa yang harus dihadapinya. Kenanga sudah mengincar Setan Tongkat Hitam! Menurutnya, lelaki gemuk brewok berkepala botak itulah yang paling berbahaya di antara tokoh Pengemis Baju Hitam, selain Tongkat Malaikat yang telah siap tempur dengan Pendekar Naga Putih.

“Yeaaattt...!”

Mendadak saja, suasana yang semakin tegang, seketika pecah oleh teriakan melengking tinggi dari Tongkat Malaikat. Tubuh tokoh itu sendiri telah meluruk ke arah Panji dengan kecepatan mengagumkan. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mungkin Panji sukar mempercayainya! Sebab, tubuh pendek gemuk yang bulat seperti sebuah bola ternyata dapat bergerak cepat. Sungguh berlawanan dengan bentuk tubuhnya yang terlihat berat bila dibawa berjalan. Apalagi, untuk berlari. Tapi, nyatanya gerakan Tongkat Malaikat sama sekali tidak lamban!

Beuuuttt...!

Pendekar Naga Putih menarik mundur kaki kanannya ke belakang dengan kuda-kuda jinjit pada kaki kiri. Sedangkan tubuhnya agak doyong ke belakang. Sepasang tangannya tampak bergerak berputar secara menyilang. Kemudian begitu sambaran tongkat lawan lewat di depan tubuhnya, Panji langsung bergerak ke depan. Seketika sepasang telapak tangannya didorongkan ke tubuh lawan!

Whuuusss...!

Serangkum angin dingin menusuk tulang langsung berhembus keras, menerpa tubuh Tongkat Malaikat. Untunglah tokoh pengemis yang merupakan orang kedua dalam perkumpulannya, memiliki kegesitan dan perhitungan matang. Sehingga meskipun hantaman lawan meluncur siap menghajar tubuhnya, dia dapat bertindak cepat dengan lompatan pendek ke samping. Kemudian dengan gerakan sangat cepat, tongkat di tangannya diputar setengah lingkaran, untuk kemudian bergerak menyodok perut Pendekar Naga Putih!

“Bagus...!” Panji yang, melihat serangan lawan memang sangat mengagumkan, tanpa ragu langsung saja mengeluarkan pujian. Memang, apa yang dilakukan Tongkat Malaikat merupakan sebuah gerakan bagus. Bahkan menunjukkan kejelian mata tokoh bertubuh pendek gemuk itu.

Kali ini, Pendekar Naga Putih sepertinya tidak berniat menghindar. Tampak sikapnya tetap tenang menanti datangnya sambaran tongkat yang meluncur lurus ke arah perutnya. Desingan yang bagaikan membelah udara itu, sama sekali tidak mengganggu pemusatan pikirannya. Dan begitu ujung tongkat telah tiba dekat...,

Plaaak!

Tiba-tiba saja, Pendekar Naga Putih mengangkat telapak tangannya dengan tubuh merendah. Karuan saja, terdengar ledakan keras yang bagai gelegar petir membelah angkasa!

“Aaahhh?!”

Tangkisan itu benar-benar mengejutkan bagi Tongkat Malaikat. Tokoh pendek gemuk yang selama ini selalu mengagungkan kepandaiannya, hampir tidak percaya kalau serangannya sampai tertangkis lawan. Bahkan kuda-kudanya pun sampai tergempur, hingga tubuhnya harus terhuyung limbung sampai satu tombak lebih.

“Gila...! Bagaimana mungkin pemuda seusianya bisa memiliki tenaga sakti yang demikian tinggi?! Rasa- rasanya, tenaga sakti guru pun belum tentu di atas pemuda itu?! Benar-benar sukar dipercaya! Entah, bagaimana caranya ia dapat menghimpun tenaga sakti yang sedemikian hebat dalam waktu singkat..?” desis Tongkat Malaikat dengan mata terbelalak, menatap sosok Pendekar Naga Putih. Kini baru dipercayainya kalau cerita tentang pendekar muda itu memang tidak berlebihan.

Tapi, Tongkat Malaikat tidak bisa berpikir panjang tentang lawannya. Panji yang memang ingin segera bertemu Ki Parewang untuk menyelesaikan masalah Ki Damang, sudah melesat dan menerjangnya dengan jurus-jurus cepat dan berbahaya. Tanpa banyak berpikir lagi, Tongkat Malaikat pun menyambut terjangan lawan. Bedanya, kali ini tokoh bertubuh pendek itu terlihat bertindak lebih hati-hati. Bahkan kelihatannya malah terlalu berhati-hati. Sehingga jarang sekali serangannya terlontar, kecuali mencoba bertahan selama mungkin.

Tanpa disadari keduanya, arena pertempuran sudah bergeser jauh dari tempat semula. Sehingga, tidak ada lagi yang merasa khawatir oleh angin pukulan nyasar dari kedua tokoh sakti itu. Di samping itu pertempuran-pertempuran lain juga telah terpisah, beberapa tombak dari pertarungan semula

Sementara itu, Kenanga juga telah mendapat lawanyang cukup seimbang. Setan Tongkat Hitam ternyata memiliki ilmu tongkat yang cukup mengejutkan. Maka mau tak mau Kenanga harus mengerahkan jurus-jurus andalan dalam mengimbangi permainan tongkat lawan.

“Yeaaattt..!”

Whuuukkk! Whuuukkk!

Dengan jurus-jurus pedang andalan, barulah Kenanga dapat mengimbangi permainan lawan. Bahkan pada jurus-jurus selanjutnya, dara jelita itu terlihat mulai berada di atas angin. Kini Tongkat Setan Hitam-lah yang merasa kalang-kabut menyelamatkan diri dari sambaran pedang lawan.

“Keparat! Ilmu pedang gadis gila ini ternyata sangat tinggi! Entah murid siapa dia...?” maki Tongkat Setan Hitam panjang-pendek dalam hati Sebagai tokoh kawakan nomor tiga dalam perkumpulannya, tentu saja Tongkat Setan Hitam belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Apalagi hanya menghadapi seorang dara muda yang patut menjadi putrinya. Padahal, dia sudah malang-melintang dalam rimba persilatan, tapi dapat dibuat kalang-kabut Tentu saja kenyataan itu terlalu mengejutkan baginya.

“Heaaahhh!”

Ketika pertarungan mereka telah menginjak jurus keenam puluh, Tongkat Setan Hitam yang sudah tidak tahan akan tekanan-tekanan berat lawan tiba-tiba memekik keras mengejutkan. Berbarengan dengan itu, tubuhnya bergerak naik menghindari sebuah tusukan pedang yang mengancam jantungnya. Sambil melenting ke udara, senjatanya diayunkan dengan kecepatan kilat ke arah batok kepala lawan. Sayang, gerakan lawan jauh lebih cepat dan tidak pernah diduga. Ternyata pedang yang luput menusuk tubuhnya, langsung berputar ke atas dalam gerak membelah. Karuan saja, wajah Tongkat Setan Hitam pucat pasi seketika! Dan...,

Whuuukkk! Breeettt!

“Arggghhh...!” Tongkat Setan Hitam meraung setinggi langit! Mata pedang gadis jelita itu kontan membeset tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya yang tersayat memanjang di bagian depan, kontan mengeluarkan darah segar. Bahkan sampai membasahi pakaian Kenanga, karena saat itu memang tepat berada di bawah lawannya. Dengan suara berdebuk nyaring, tubuh Tongkat Setan Hitam langsung ambruk ke tanah dan langsung tewas dengan mata mendelik. Kelihatannya tokoh itu mati penasaran!

Di pihak lain, Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, dan dua orang murid Elang Putih tengah mempertaruhkan nyawa menghadapi keroyokan pengemis-pengemis yang bagaikan orang kemasukan setan! Sehingga, keenam lelaki gagah itu harus mempertahankan diri mati-matian. Memang, sehebat apapun kepandaian yang mereka miliki, tentu saja mempunyai keterbatasan. Apabila hal itu sampai terjadi, rasanya mereka sukar selamat dari keroyokan Pengemis Baju Hitam itu.

Buuukkk! Deeesss!

“Aaakhhh...!” Salah seorang murid Ki Damang tersungkur akibat hantaman dua batang tongkat pengeroyoknya. Lelaki muda berusia tiga puluh lima tahun itu sepertinya telah kelelahan, sehingga tidak sempat lagi menghindari datangnya dua batang tongkat yang mengancam punggung dan dada kirinya!

“Mampuuus kau, bangsat..!” Terdengar teriakan-teriakan sumpah serapah dari pengemis-pengemis yang siap merejam hancur tubuh musuhnya. Puluhan batang tongkat meluncur seperti saling berebutan untuk menghantam tubuh lelaki muda itu.

“Heaaattt...!”

Breeet! Breeet!

“Aaa...!”

Tiba-tiba saja, terdengar jerit kematian susul-menyusul berbarengan dengan beterbangannya tubuh pengemis-pengemis yang tengah siap merejam murid termuda Ki Damang. Darah segar kontan berhamburan menyertai kilatan pedang bersinar putih keperakan yang tergenggam di tangan seorang gadis jelita berpakaian hijau. Rupanya dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, Kenanga yang sudah menyelesaikan pertarungannya dengan Tongkat Setan Hitam cepat datang membaurkan dirinya ke dalam kancah pertempuran.

Perbuatan gadis jelita itu tentu saja membuat lega Ki Damang. Memang ia sendiri jelas tidak mungkin mampu menyelamatkan nyawa muridnya, karena tengah sibuk menghadapi keroyokanlawan-lawannya. Hadirnya Kenanga ke dalam kancah pertempuran berdarah itu, membuat yang lain merasa sedikit lega. Buktinya amukan gadis jelita itu benar-benar mengerikan!

Setiap kali Pedang Sinar Bulan di tangannya berkelebat, paling sedikitnya dua atau tiga orang lawan akan roboh mandi darah. Tentu saja, hal itu membuat para pengemis enggan mengeroyoknya. Sepertinya, amukan Kenanga yang menggiriskan itu telah membangkitkan kegentaran di hati para anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.

Sementara itu, pertempuran antara Panji melawan Tongkat Malaikat telah mencapai puncaknya. Setelah bertarung selama enam puluh jurus, Tongkat Malaikat semakin sadar kalau kesaktian Pendekar Naga Putih ternyata memang bukan hanya kabar burung belaka. Sayangnya, pada saat tubuhnya telah dibuat jatuh bangun, kesadarannya baru bangkit. Sehingga, untuk memperbaiki kesalahannya tentu sudah terlambat.

“Haaaiiit...!”

Tiba-tiba Pendekar Naga Putih yang terus mencecar lawan dengan jurus-jurus andalan, mengeluarkan pekikan nyaring mengejutkan! Karuan saja, Tongkat Malaikat terhuyung limbung dengan wajah berkerut-kerut. Jelas, pekikan keras itu telah membuat gerakannya semakin kacau. Akibatnya...,

Plaaag! Breeettt!

“Aaakhhh...!”

Tanpa dapat menghindar lagi, Tongkat Malaikat terpaksa harus menerima sebuah hantaman pada dada, dan sambaran cakar pada lambungnya! Kontan saja tubuh gendut itu terbanting menggelinding di atas tanah!

Pendekar Naga Putih yang ingin segera menyelesaikan pertempuran, cepat melesat hendak menyusuli serangannya. Namun pada saat itu juga, tampak sesosok bayangan hitam melesat dari arah berlawanan. Langsung saja serangan Pendekar Naga Putih dipapaknya. Dan...,

Bressshhh...!

“Uuuhhh...!?”

“Aaahhh...!?”

Luar biasa sekali benturan yang terjadi kali ini! Dua gelombang tenaga raksasa yang bertemu pada satu titik itu, membuat tanah di sekitar Hutan Grambang laksana dilanda gempa! Sehingga, pertempuran berdarah yang tengah berlangsung beberapa belas tombak di sebelah kanannya, langsung kocar-kacir! Puluhan anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam berjatuhan saling tumpang tindih. Untunglah, pihak Ki Damang bertindak cepat. Mereka dapat menguasai diri, sehingga tidak sampai terjatuh akibat getaran itu.

Kejadian yang tidak disangka-sangka itu tentu saja membuat pertempuran berhenti mendadak. Tongkat Bulan Sabit yang merupakan satu-satunya tokoh dibarisan pengemis, mengedarkan pandangan seperti ingin mencari penyebab semua kejadian itu. Dan wajah pengemis bertubuh gemuk itu kontan berseri begitu sepasang matanya menangkap sosok tinggi kurus berpakaian hitam penuh tambalan.

“Guru...,” desis Tongkat Bulan Sabit perlahan. Kemudian, ia menoleh ke belakang, ke arah seratus lebih anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam yang tersisa.

“Mundur...!”

Terdengar perintah Tongkat Bulan Sabit yang membuat seratus lebih pengemis menjadi heran. Namun, mereka sama sekali tidak membantah perintah tokoh itu.

Melihat para pengeroyok telah bergerak mundur tanpa sebab yang dimengerti, Ki Damang dan Kenanga segera bergerak mundur bersama yang lain. Kening para tokoh itu agak berkerut ketika melihat ke arah pertempuran Pendekar Naga Putih yang juga telah terhenti. Tampak Tongkat Malaikat juga tengah melangkah tertatih-tatih ke arah seorang lelaki tua bertubuh tinggi kurus yang wajahnya kehitaman. Sedang orang tua itu tengah saling bertatapan dengan Pendekar Naga Putih.

“Tongkat Sakti Tanpa Tanding...?!” Ucapan terkejut penuh getaran keluar dari bibir Ki Damang. Jelas, dia mengenali sosok tinggi kurus itu.

“Apa maksudmu, Ki Damang...?” tanya Kenanga yang belum mengerti arti ucapan Ki Damang. Gadis jelita itu memandang ke arah sosok tinggi kurus yang tengah berhadapan dengan kekasihnya. Lalu, dia kembali menatap Ki Damang dengan sinar mata menuntut jawaban.

“Orang tua itu adalah Ki Parewang yang berjuluk Tongkat Sakti Tanpa Tanding. Dialah Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam,” sahut Ki Damang.

Mendengar jawaban itu, Kenanga mengangguk-anggukkan kepala. Kini baru dimengerti mengapa to- koh pengemis bertubuh gemuk itu menarik mundur anggotanya dari arena pertempuran.

“Hm.... Aku ingin melihat lebih dekat..., kata Kenanga. Tanpa menunggu jawaban lagi, gadis itu segera saja melesat ke arah kekasihnya. Memang, jarak antara tempatnya dengan pertarungan Panji terpisah sekitar enam tombak.

Saat itu, Ki Parewang atau yang terkenal sebagai Tongkat Sakti Tanpa Tanding tengah berdiri mengawasi pemuda tampan berjubah putih di depannya. Lelaki tinggi kurus berusia sekitar delapan puluh tahun itu tampak menatap penuh selidik sosok Pendekar Naga Putih. Dan dia memang hampir tidak percaya kalau pemuda yang pantas menjadi cucunya itu ternyata sanggup membuat tubuhnya terdorong pada pertemuan tenaga dalam tadi. Kalau tidak merasakannya sendiri, sulit bagi kakek itu untuk dapat mempercayainya.

“Hm.... Pantas dalam waktu singkat namamu menjulang mengalahkan tokoh-tokoh tua seperti aku. Ternyata, kepandaian yang kau miliki memang sangat luar biasa. Meskipun aku baru merasakan segebrakan, tapi aku yakin kau masih menyimpan kejutan-kejutan lain yang belum kulihat. Sekarang, terangkanlah kepadaku tentang kelakuanmu yang tidak menghormati tempatku ini? Apabila alasanmu tidak masuk akal, aku tidak akan ragu-ragu memotes batang lehermu...!” ujar Ki Parewang dengan wajah dingin dan tanpa perasaan. Wajahnya yang berkulit kehitaman tetap kaku.

Pendekar Naga Putih menatap tenang wajah kakek tinggi kurus yang telah menyambut serangannya barusan. Diam-diam, hatinya juga sangat terkejut saat merasakan kehebatan tenaga sakti yang dimiliki kakek itu. Meskipun Panji yakin tenaganya tidak akan kalah, tapi jarang sekali ada orang yang mampu membuatnya terdorong meski beberapa langkah. Dan, kakek itu bisa melakukannya.

“Orang tua! Kalau tidak salah, kau pasti Ki Parewang yang menjadi Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam di negeri ini. Kau boleh dengar alasan kedatanganku dan menggempur perguruanmu. Semula, aku sudah meminta secara baik-baik untuk berjumpa denganmu. Tapi karena Tongkat Malaikat lebih suka bertarung daripada mengijinkannya, kami terpaksa bertempur. Ketahuilah, Ki Parewang. Dua orang ketua perguruan terkenal telah tewas oleh pukulan ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’ yang hanya dimiliki olehmu. Maka tidak heran bila Ki Damang yang merupakan sahabat kedua ketua perguruan silat yang tewas itu datang untuk meminta pertanggungjawaban mu. Karena, hanya kaulah yang dinilai mampu membunuh kedua tokoh itu sekaligus.” jelas Pendekar Naga Putih.

Panji terdiam sebentar menunggu tanggapan dari Ki Parewang. Tapi, kakek itu tetap saja terpaku bagai sebatang tonggak yang ditancapkan ke dalam tanah. Wajahnya pun tetap dingin tanpa hawa amarah.

“Nah! Karena Tongkat Malaikat tidak mengijinkan Ki Damang dan yang lain untuk dapat berjumpa denganmu, kami menjadi lebih curiga. Kemudian, terjadilah pertempuran berdarah ini...,” jelas Pendekar Naga Putih melanjutkan ceritanya yang barusan terhenti sejenak.

“Hm...,” Ki Parewang bergumam lirih sambil mengelus jenggotnya yang menjuntai hingga ke dada. Setelah penjelasan Panji memang benar-benar telah selesai, baru kakek itu terlihat akan membuka suara yang disertai rasa penasaran.

“Pendekar Naga Putih! Meskipun aku bukan golongan putih, tapi tidak akan pernah melakukan kejahatan seperti layaknya tokoh sesat. Darahku sendiri bukan golongan sesat. Apabila aku memang harus membunuh, tentu ada alasan yang lebih tepat. Tapi untuk membunuh kedua orang yang kau sebutkan barusan, rasanya aku tidak mempunyai alasan. Hanya karena terbunuhnya dua orang tokoh itulah maka kau dan kawan-kawanmu yang telah merusak tempat ini ku maafkan. Sayang bukan aku yang melakukan pembunuhan itu...,” desak kakek itu sambil menundukkan wajah seperti hendak mengingat sesuatu.

“Tapi hanya kaulah satu-satunya yang memiliki ilmu itu, Ki, kalau bukan kau yang membunuh, lalu kepada siapa tuduhan itu hendak kulemparkan?” tanya Pendekar Naga Putih. Panji tentu saja tidak percaya dengan jawaban tadi, karena Ki Parewang tidak ubahnya seorang tokoh sesat. Tidak bisa dipercaya!

“Sudah kukatakan, bukan aku yang membunuhnya! Selain aku, masih ada seorang lagi yang memiliki ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’. Bahkan lebih sempurna dari yang kumiliki. Orang itu adalah Setan Tenaga Gajah yang tak lain adalah adik seperguruanku sendiri. Dia adalah seorang tokoh sesat dan bertentangan denganku. Entah, di mana dia sekarang?” jawab Ki Parewang seraya melepaskan napas panjang seperti menyesali sesuatu.

“Jadi, bagaimana kau mempertanggung-jawabkan hal ini, Ki?” desak Panji lagi.

“Bukan tanggung jawabku! Carilah setan sesat itu sendiri, Pendekar Naga Putih! Sekarang, tinggalkan tempat ini. Suatu hari kelak, setelah kau dapat menemukan dan menundukkan Setan Tenaga Gajah, aku akan menentangmu bertarung,”

Setelah berkata demikian, Ki Parewang mengajak Tongkat Malaikat kembali ke markasnya. Demikian pula Tongkat Bulan Sabit dan seluruh anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Semuanya bergerak me- ninggalkan Panji dan kawan-kawannya.

“Pendekar Naga Putih, apakah ucapan orang tua itu dapat dipercaya? Lalu, apa tindakan kita selanjutnya...?” tanya Ki Damang yang sepertinya belum percaya penuh akan ucapan Ki Parewang.

“Kali ini, aku melihat kesungguhan dalam matanya. Tindakan kita selanjutnya, mencari Setan Tenaga Gajah. Dialah biang keladi semua kejadian ini. Dan sepertinya, Ki Parewang mempunyai masa lalu yang pahit dengan adik seperguruan itu. Ayolah kita segera mencari tempat persembunyian manusia keji itu...,” ajak Pendekar Naga Putih.

Kemudian Panji segera melangkah meninggalkan Hutan Grambang. Sementara, Kenanga segera saja mengiringi langkah kekasihnya. Sedangkan Ki Damang dan para tokoh lain berjalan di belakang sepasang pendekar muda itu.

Siapakah Setan Tenaga Gajah sesungguhnya? Apa maksudnya dia membantai Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala? Berhasilkah Panji, Kenanga, Ki Damang, dan yang lain dalam menyelesaikan kemelut ini? Untuk jawabannya, silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih dalam episode Petualangan di Alam Roh

S E L E S A I

Badai Rimba Persilatan

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Badai Rimba Persilatan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

MALAM baru saja berganti pagi. Kegelapan yang semula menyelimuti permukaan bumi, telah sirna oleh kehangatan cahaya sang mentari. Kicauan burung yang bercanda di dahan-dahan pohon, semakin menambah keindahan dan keceriaan suasana pagi. Namun, suasana indah itu tiba-tiba saja dirusak oleh derap kaki kuda yang bergemuruh.

“Heyyyaaa...! Heyyyaaa...!”

Suara derap kaki kuda itu masih diiringi pula oleh bentakan sesekali. Bahkan tidak jarang terdengar lecutan ke tubuh binatang itu, Kelihatannya, penunggang kuda itu ingin cepat-cepat sampai. Debu mengepul mengotori udara pagi yang segar. Tiga ekor kuda yang masing-masing ditunggangi seorang bertubuh tegap itu terus saja melaju membelah jalan berdebu.

Suara gemuruh yang disertai bentakan serta lecutan, tentu saja membuat binatang-binatang yang tengah bercengkerama menyambut pagi merasa terganggu. Terbukti, suara-suara yang semula semarak langsung sirna. Bahkan dari beberapa batang pohon rindang, tampak belasan ekor burung beterbangan meninggalkan pohon-pohon tempat bersenda-gurau.

Tapi, keadaan seperti ini tentu saja tidak diperdulikan ketiga orang penunggang kuda itu. Mereka terus memacu binatang tunggangannya melewati jalan berdebu. Matahari sudah mulai naik tinggi. Sedang ketiga orang penunggang kuda yang semuanya mengenakan pakaian berwarna kuning, saat itu mulai melintasi sebuah hutan kecil. Dari sulaman bergambar seekor ular dari benang emas di bagian belakang pakaian, bisa ditebak kalau ketiga orang penunggang kuda itu berasal dari Perguruan Ular Emas.

Dalam kalangan rimba persilatan, nama Perguruan Ular Emas bukanlah nama baru lagi. Malah, nama itu bukan saja terkenal sekadipaten, tapi sudah terdengar sampai ke separuh negeri. Dari sini saja sudah dapat diukur, sampai di mana kehebatan orang-orang perguruan itu.

Ketenaran nama Perguruan Ular Emas sebenarnya tidaklah aneh, melihat sang pendiri perguruan itu sendiri adalah tokoh yang berjuluk Pendekar Ular Emas. Bahkan julukan itu tidak asing lagi bagi kaum persilatan. Dan karena nama perguruan itu memang diambil dari julukannya, maka sudah barang tentu cepat dikenal orang.

Sementara itu, tiga orang penunggang kuda yang terdiri dari murid-murid Perguruan Ular Emas sudah keluar dari daerah hutan kecil. Kini, mereka menyusuri jalan yang terdiri dari hamparan padang rumput hijau. Meskipun sejauh mata memandang hanya bentangan rumput, namun ketiga orang itu sama sekali tidak perduli.

Mereka terus membedal kuda melintasi padang rumput itu. Tidak berapa lama kemudian, setelah melewati hamparan padang rumput hijau itu, ketiga penunggang kuda itu tiba pada jalan yang bersimpang tiga. Mereka sama-sama menolehkan kepala ketika mendengar suara derap lain yang datangnya dari arah kiri.

“Hm..., tampaknya orang-orang dari Perguruan Cakar Besi pun baru muncul...,” gumam penunggang kuda terdepan ketika dari jalan sebelah kirinya muncul tiga penunggang kuda berseragam coklat tua.

Melihat adanya senyum kelegaan di wajah penunggang kuda ini, jelas kalau tiga orang berseragam coklat tua itu segolongan dengan mereka. Hal itu pun tampak jelas dari keceriaan wajah mereka.

“Hoooppp...!”

Ketika tiba di dekat ketiga orang penunggang kuda berseragam kuning cerah, para penunggang kuda berseragam coklat tua serentak menarik tali kekang kudanya. Diiringi suara ringkikan panjang, kuda-kuda itu terpaksa menghentikan larinya.

“Ha ha ha...! Kupikir kau sudah tiba di tempat tujuan lebih dulu, Jasminta. Rupanya kau sedikit terlambat, heh? Atau memang sengaja datang terlambat? Sebab, biasanya Pendekar Ular Emas selalu tepat waktu apabila berjanji...,” terdengar teguran lelaki gagah berjubah coklat, kepada penunggang kuda berjubah kuning yang berada paling depan.

Dari teguran itu, jelas kalau lelaki penunggang kuda terdepan yang berusia sekitar lima puluh lima tahun itu adalah Pendekar Ular Emas. Pendiri, dan sekaligus ketua perguruan yang tersohor itu. Lelaki tua berjubah kuning yang bernama Ki Jasminta atau Pendekar Ular Emas tertawa pelan ketika mendengar teguran sahabatnya.

Wajah yang masih nampak segar dengan sepasang mata yang setajam burung elang, membuat penampilan Ki Jasminta semakin bertambah angker dan penuh perbawa. Bahkan wajahnya yang masih nampak gagah, masih pula terhias sebaris kumis tebal melintang. Meskipun telah berwarna dua, namun kumis tebal itu membuat wajah Ki Jasminta semakin berwibawa.

“Ha ha ha...! Kita sudah semakin tua, Raksa Mala. Jadi, wajar saja kalau semakin lama bertambah lamban dalam menanggapi segala sesuatu. Kulihat kau pun sudah terlambat dari waktu yang ditentukan, bukan? Nah, apakah kau juga telah malas, atau sengaja terlambat?” Ki Jasminta balik menegur penunggang kuda terdepan yang berjubah coklat.

Tapi, orang tua yang usianya sedikit lebih tua dari Ki Jasminta itu hanya tertawa saja. Wajahnya yang sudah mulai dipenuhi garis ketuaan, terlihat berlipat ketika lelaki tua yang bernama Ki Raksa Mala tertawa. Dari keramahan yang diperlihatkan, dapat diduga kalau orang tua itu merupakan sahabat lama.

Ki Raksa Mala atau lebih dikenal dengan julukan Cakar Penghancur Tulang, memang bukan orang baru dalam rimba persilatan. Meskipun tidak setenar dan seharum Pendekar Ular Emas, namun Cakar Penghancur Tulang telah cukup terkenal dan ditakuti. Dan seperti halnya Pendekar Ular Emas, Cakar Penghancur Tulang juga telah mengundurkan diri setelah merasa terlalu tua untuk bertualang.

Beberapa tahun setelah nama tokoh itu lenyap, lalu muncullah Perguruan Cakar Besi yang didirikannya. Pamor Perguruan itu pun langsung naik ke permukaan, dan dikenal orang banyak. Semua itu tentu saja tidak terlepas dari ketenaran nama ketuanya, Ki Raksa Mala. Meskipun tinggal berjauhan, namun antara Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala selalu mengadakan pertemuan. Kadang, mereka sama-sama menguji kepandaian murid masing-masing, Kadang pula saling bertandang agar persahabatan tetap terjalin baik.

Demikian pula dengan pagi itu. Mereka kembali mengadakan pertemuan dengan beberapa ketua persilatan. Seperti biasa, masalah yang dibicarakan adalah tentang kaum golongan sesat yang sering membuat ulah. Setelah saling tukar sapa, kedua tokoh persilatan yang masing-masing memiliki sebuah perguruan itu menyusuri jalan lebar secara berdampingan. Sedangkan empat orang murid dari dua perguruan itu masing-masing mengiringi dari belakang.

********************

Saat itu, matahari sudah berada di atas kepala. Rombongan Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala sudah memasuki daerah perbukitan di luar Desa Lintang. Salah satu dari bukit itulah yang menjadi tujuan mereka. Di sana, tampak sebuah bangunan besar, mirip sebuah perguruan.

“Hm..., tampaknya Adi Pasa Alam belum datang...?” desah Ki Jasminta bernada agak heran. Kening lelaki gagah itu terlihat agak berkerut, seperti mencium sesuatu yang tak wajar.

Ki Raksa Mala yang juga merasa heran melihat bangunan di salah satu bukit itu masih nampak sunyi, ikut mengerutkan kening. Meskipun demikian, mereka terus bergerak maju mendekati gerbang bangunan kuno itu. Hanya saja, langkah kaki kuda mereka terlihat agak perlahan. Bahkan terkesan sangat lambat Semua itu tentu saja didasari oleh rasa curiga dalam pikiran mereka. Ketika kedua rombongan itu tiba di depan gerbang, Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala sama-sama bertukar pandang.

Seperti telah memperoleh kata sepakat, tiba-tiba saja kedua orang tokoh kawakan itu sama melompat turun dari atas panggung kuda masing-masing. Setelah memberi isyarat kepada dua orang murid masing-masing, Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala melesat meninggalkan mereka. Rupanya, dua tokoh persilatan itu hendak memasuki bangunan ini dari bagian belakang.

Sepeninggal Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala, keempat orang lelaki gagah murid utama dari dua perguruan berbeda itu, sama-sama melompat turun dari atas panggung kuda. Kemudian melangkah ke dekat gerbang yang masihtertutup. Setelah untuk yang kesekian kalinya saling bertukar pandangan, salah seorang yang berpakaian kuning mengulurkan tangannya dan mendorong pintu gerbang bangunan itu.

Gggrrrggg...!

Lelaki gagah berusia empat puluh tahun yang merupakan murid ke dua dari Ki Jasminta itu bergerak mundur ketika pintu gerbang yang didorongnya ternyata tidak terkunci. Keempatnya bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Hhh...,” Terdengar helaan napas lega dari keempat orang murid Perguruan Cakar Besi dan Perguruan Ular Emas itu. Ternyata, apa yang dikhawatirkan sama sekali tidak beralasan.

“Hm..., mungkin kita hanya terbawa oleh rasa curiga guru kita...,” kata lelaki gagah berpakaian kuning, disertai helaan napas panjang.

Dia merupakan murid pertama Ki Jasminta. Sementara yang lainnya hanya menganggukkan kepala. Sepertinya, mereka pun merasa sependapat dengan lelaki gagah itu. Setelah merasa yakin kalau tidak ada yang patut dicurigai, maka keempat murid dua perguruan itu pun melangkah masuk. Tapi baru saja sebelah kaki menginjak halaman gedung, tiba-tiba terdengar suara berdesingan yang menuju ke arah mereka.

“Awaaasss...!” Lelaki gagah murid pertama Ki Jasminta itu langsung saja berseru memperingatkan yang lain. Sedangkan ia sendiri sudah melenting ke udara dan berputaran beberapa kali sambil memutar pedang yang sudah di cabut saat melompat.

Demikian pula dengan ketiga orang lainnya. Meski tanpa diperingatkan, mereka sudah tahu. Dan sedikit banyak, seruan itu telah membuat mereka langsung bertindak sigap. Dua orang murid Ki Raksa Mala yang berpakaian coklat tua saling berlompatan jauh ke belakang. Sehingga, tanpa sadar mereka telah kembali ke luar bangunan kuno itu.

Lain halnya tindakan murid Ki Jasminta. Lelaki bertubuh tegap berusia sekitar tiga puluh tahun itu mengambil keputusan sendiri, yang justru benar-benar berbahaya. Bahkan bisa dibilang terlalu berani. Justru sambaran pisau-pisau terbang itu dihindarinya dengan cara melompat ke depan. Sekilas, kelihatannya dia nekad menyambut datangnya pisau-pisau terbang yang siap merenggut nyawa. Tapi bagi seorang ahli, perbuatannya bisa mendatangkan penilaian yang benar-benar mengagumkan!

“Haaaiiittt...!”

Dibarengi sebuah pekikan nyaring, tubuh lelaki tegap itu melenting ketika jarak antara pisau-pisau terbang dengan tubuhnya hanya tinggal dua langkah lagi. Meski untuk melakukan itu tidak terlalu sulit, namun keberanian dan ketepatan perhitungannya benar-benar sangat langka.

Begitu pisau terbang yang berjumlah belasan itu lewat di bawahnya, tubuh lelaki muda itu meluncur turun di halaman dalam bangunan. Tepat ketika menginjak tanah, tubuhnya kembali melejit ke samping kanan, sejauh setengah tombak. Ini dilakukannya untuk berjaga-jaga dari kemungkinan serangan gelap susulan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu.

Wajah tegang lelaki muda itu perlahan mulai tenang ketika serangan gelap tidak muncul lagi. Dengan tetap berdiri tegak mengawasi sekitarnya, dia menanti ketiga orang kawannya yang masih di luar bangunan. Tidak berapa lama kemudian, ketiga orang lainnyapun berloncatan masuk susul-menyusul. Begitu tiba dihalaman dalam, lelaki gagah murid pertama Ki Jasminta itu langsung menghampiri adik seperguruannya.

“Kau tidak apa-apa, Adi? Tindakanmu tadi terlalu berani. Tapi, aku benar-benar kagum. Rasanya, apa yang guru katakan selama ini baru bisa ku mengerti sekarang. Dengan keberanian dan perhitungan cermat yang kau miliki, memang pantas kalau guru meramalkan kelak dirimu akan menjadi seorang pendekar yang sulit dicari bandingnya...,” puji lelaki gagah itu sambil menepuk bahu adik seperguruannya dengan tangan kanan. Sedangkan sepasang matanya tetap berputar mengawasi sekelilingnya. Dia sadar serangan susulan masih tetap mengintai. Makanya, walaupun sambil berbicara, kewaspadaannya tidak luntur.

“Ah, Kau terlalu berlebihan, Kakang. Apa yang kulakukan tadi sebenarnya hanya untung-untungan. Karena tidak sempat menghindar ke belakang, terpaksa aku nekat menyambut senjata-senjata maut itu. Dan tentu saja aku juga ketakutan setengah mati...,” jawab lelaki bertubuh tegap itu merendah. Sebenarnya, kakak seperguruannya tahu betul kalau ucapan itu hanyalah sebagai tanda kerendahan hati adik seperguruannya saja.

“Hm.... Mudah-mudahan, apa yang guru ramalkan menjadi kenyataan. Sebagai kakak seperguruan, tentu hatiku akan sangat bangga apabila ramalan guru terbukti, Adi Waluja...,” kata lelaki gagah itu lagi dengan nada lebih rendah.

Sedangkan, lelaki tegap yang dipanggil Waluja hanya tersenyum tanpa berkesan sombong sedikit pun. Ternyata bukan hanya kakak seperguruannya saja yang merasa kagum terhadap cara Waluja mematahkan pisau-pisau terbang tadi. Bahkan, kedua orang murid Ki Raksa Mala juga sama-sama memuji apa yang dilakukan Waluja. Tapi pujian itu justru membuat bangga kakak seperguruan Waluja. Karena dengan memuji Waluja, sama artinya dengan memuji dirinya dan juga Pendekar Ular Emas.

“Sebaiknya kita terus memeriksa bagian dalam bangunan ini, Kakang. Siapa tahu saja mereka sudah keburu melarikan diri ketika melihat pisau-pisau terbangnya tidak berguna...”

Waluja yang merasa tidak enak karena pujian-pujian kedua orang itu segera saja mengalihkan percakapan. Wajahnya langsung berseri ketika melihat ketiga temannya sama-sama menganggukkan kepala tanda setuju.

“Saudara Wira Yudha, biarlah aku dan Adi Sentaji memeriksa bagian samping kanan. Sedangkan kau dan Waluja bergerak dari samping kiri. Bagaimana?” usul salah seorang dari murid Ki Raksa Mala terdengar mengajukan usul.

Kakak seperguruan Waluja yang bernama Wira Yudha itu terlihat mengangguk-anggukkan kepala. Rupanya, usul itu tidak ditolaknya. Kemudian, setelah saling memberikan isyarat dengan anggukan kepala, keempat lelaki gagah itu serentak melesat ke arah yang berbeda. Wira Yudha dan Waluja ke sebelah kiri. Sedangkan kedua orang murid Ki Raksa Mala yang bernama Gala Campa dan Sentaji bergerak dari sebelah kanan bangunan.

Seeerrr! Seeerrr!

Baru saja keempat orang lelaki gagah itu melenting menuju arah masing-masing, mendadak terdengar suara berdesiran halus menyambut tubuh mereka.

“Keparat licik...!”

Wira Yudha tentu saja menjadi jengkel mengetahui kalau dirinya diserang puluhan batang jarum halus berwarna putih keperakan. Senjata-senjata rahasia itu berkilatan tertimpa cahaya sinar matahari, sehingga membuat Wira Yudha menjadi silau.

“Heeeaaahhh...!

Kesal dan jengkel yang menggumpal di dadanya, membuat Wira Yudha nekat menghantamkan telapak tangannya ke depan dengan pukulan jarak jauh.

Whuuut..! Praaasss! Praaasss!

Sambaran angin kuat yang keluar dari telapak tangan Wira Yudha langsung meruntuhkan jarum-jarum yang meluncur ke arahnya. Sehingga, lelaki gagah itu pun terhindar dari bahaya.

Demikian pula halnya Waluja dan Gala Campa. Keduanya berhasil menyelamatkan diri dengan melenting ke udara, untuk kemudian mendarat dalam kedudukan siap bertarung. Tapi, murid kedua Ki Raksa Mala yang bernama Sentaji ternyata kurang sigap. Meski telah berusaha menghindari serangan gelap itu, namun tak urung beberapa batang jarum sempat mengenai tubuhnya.

“Aaakkkh...!” Teriakan Sentaji yang disusul suara berdebuk keras, tentu saja membuat yang lainnya terkejut Serentak mereka sama-sama menolehkan kepala ke arah asal jeritan itu.

“Adi Sentaji...!” Gala Campa yang melihat adik seperguruannya terbanting ke tanah, langsung menduga kalau Sentaji telah kecolongan. Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki bertubuh gemuk itu langsung meleset menolong Sentaji.

“Kakang Gala Campa, jangaaan...!” seru Waluja yang khawatir kalau Gala Campa kehilangan kendali karena rasa cemasnya.

Merasa seruannya tidak diperdulikan, Waluja segera saja mencabut pedangnya. Tubuhnya langsung melesat, seperti hendak melindungi Gala Campa. Dia khawatir kalau-kalau lelaki gemuk itu mendapat serangan gelap selagi hendak menghampiri adik seperguruannya.

Apa yang dikhawatirkan Waluja, ternyata sama sekali tidak meleset. Tepat pada waktu tubuh Gala Campa tengah mendekati adik seperguruannya, tiba-tiba kembali terdengar suara berdesingan yang datang dari dua arah. Karena tidak siap dalam menghadapi serangan gelap itu, tentu saja Gala Campa agak gugup menghadapinya.

Seeeng! Seeeng!

Belasan kilatan cahaya putih yang bentuknya sepanjang telapak tangan, berkeredepan susul-menyusul dari dua arah berbeda menuju Gala Campa yang terlihat tegang!

“Haaaiiittt..!”

Meski keadaannya benar-benar sulit, tapi sebagai seorang ahli silat yang telah terlatih secara baik, seketika timbul gerakan tanpa sadar. Lelaki gemuk itu memang bisa menghindari delapan batang pisau terbang yang mengincar dada dan kedua lambungnya. Tapi...,

“Aaahhh?!” Gala Campa terbelalak dengan wajah pucat. Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, enam batang pisau terbang yang datang dari arah lain telah tiba dekat, siap menembus tenggorokan dan kepalanya!

DUA

Waluja yang memang cekatan dan memiliki ketajaman naluri, tiba-tiba bertindak cepat, menyelamatkan Gala Campa dari bahaya maut. Dengan pedang yang memang telah dipersiapkan sejak semula, dia memekik nyaring!

“Heeeaaattt..!”

Traaang! Traaang!

Hebat dan memang patut mendapat acungan jempol murid kedua Ki Jasminta itu! Dengan putaran senjatanya, keenam pisau terbang yang mengancam murid tertua Ki Raksa Mala berhasil dipukul runtuh. Sehingga, lelaki gemuk itu pun selamat dari bahaya maut. Dengan sepasang mata liar mengawasi sekitar, Waluja berdiri tegak di depan Gala Campa. Jelas, apabila serangan-serangan gelap masih juga mengincar Gala Campa telah siap disambutnya.

“Terima kasih, Waluja.... Aku berhutang nyawa kepadamu...,” ucap Gala Campa dengan napas masih memburu. Hampir ia tidak percaya kalau nyawanya yang di ujung tanduk masih dapat terselamatkan.

“Jangan terlalu dipikirkan, Kakang. Sebaiknya, cepat periksa luka Sentaji. Aku akan melindungimu...,” kata Waluja tanpa merasa telah melepas jasa.

“Ohhh...” Bagai baru tersadar dari mimpi, Gala Campa tersentak menghela napas panjang. Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja kakinya melangkah ke arah Sentaji yang masih tertelungkup di tanah.

“Aaahhh?!” Gala Campa yang baru saja membalikkan tubuh adik seperguruannya, tiba-tiba memekik dan terhuyung mundur. Ternyata, ketika tubuh Sentaji dibalikkan, lelaki gagah itu telah tewas dengan wajah berubah hitam!

“Gila...! Racun keji...!”

Wira Yudha yang saat itu juga telah bergerak ke tempat Waluja dan Gala Campa, mendesis geram. Wajah lelaki gagah itu memerah menyaksikan kematian Sentaji yang mengenaskan. Bahkan Wira Yudha sampai membanting kakinya dengan wajah terpukul.

“Bedebah...!” Waluja yang juga menyempatkan dirinya menoleh ketika mendengar seruan kaget Gala Campa, menggeram sambil mengepalkan tinju kirinya. Sehingga terdengarlah suara berkerotokan. Urat-urat wajahnya tampak menyembul. Jelas, amarahnya telah terbakar hebat ke puncak ubun-ubun.

“Ini tidak bisa dibiarkan! Mereka harus dipaksa keluar dari persembunyiannya...!” geram Gala Campa. Laki-laki gemuk itu segera saja bangkit sambil menghunuskan senjatanya. Sepasang pedang yang telah tergenggam erat di tangannya, diputar sedemikian rupa sehingga menimbulkan gulungan sinar yang membungkus tubuhnya.

“Yeeeaaat...!”

Tanpa memperdulikan Waluja dan Wira Yudha yang memandang bingung, Gala Campa segera melesat ke arah gerombolan semak yang terpisah sekitar tiga tombak lebih dari tempatnya berpijak. Rupanya, nalurinya yang tajam telah melihat sesuatu yang menjadi penyebabnya. Dengan cara bergerak cepat ke kiri-kanan, lelaki gemuk itu pun berhasil mencapai tempat yang dituju. Tapi, sebenarnya bukan hal yang mudah untuk bisa mencapai tempat itu. Setelah sebelumnya berhasil memukul runtuh belasan pisau terbang yang menyambut kedatangannya, barulah Gala Campa sampai di semak-semak itu.

“Heeeaaahhh...!”

Disertai bentakan nyaring, Gala Campa membabatkan sepasang pedangnya memapas semak yang diduga menjadi tempat persembunyian musuh-musuh gelapnya.

Craaasss! Craaasss!

“Aaa...!”

Seiring terpapasnya semak belukar itu, terdengar satu jerit kematian yang merobek angkasa! Darah segar kontan memercik, karena salah satu pedang di tangan Gala Campa telah memakan korban! Sosok tubuh yang termakan senjata Gala Campa itu langsung terlempar bermandikan darahnya sendiri. Sedangkan sosok-sosok lainnya mulai bermunculan, bahkan langsung mengurung dan menyerbu lelaki gemuk itu dengan tongkat di tangan.

Wukkk! Whuuuk!

“Haiiittt...!” Gala Campa tentu saja tidak tinggal diam. Disertai pekikan nyaring, lelaki gemuk itu menyambut keroyokan lawan dengan putaran pedangnya!

Whuuung!

Empat orang lawan yang terancam serangan ujung pedang mendatar, langsung berlompatan mundur. Sedang pengeroyok yang dari sebelah kiri Gala Campa, menghantamkan tongkatnya berturut-turut. Tiga batang tongkat yang terlihat berat itu mengaung mengancam tubuh dan kepala lelaki gemuk ini.

Waluja dan Wira Yudha sendiri bukan tidak mau menolong Gala Campa. Tapi, saat itu pun mereka telah dikeroyok delapan orang lawan. Sehingga, masing-masing tengah sibuk dengan lawan-lawannya.

Tapi, Gala Campa juga bukan murid kemarin sore. Meskipun tidak terlalu berbakat dalam ilmu silat, namun dia sangat tekun dalam mempelajari ilmu yang diturunkan gurunya. Sehingga, meskipun belum bisa menyamai kepandaian Ki Raksa Mala, Gala Campa tidak mudah begitu saja dapat ditundukkan sembarang orang.

Kini, datang ancaman tiga batang tongkat yang hampir bersamaan waktunya dengan serangan Gala Campa terhadap pengeroyok di sebelah kanan. Meskipun waktu untuk mengelak hanya sedikit, tapi dia tidak kehilangan akal. Putaran pedang cepat-cepat diikutinya. Dengan demikian, tubuhnya ikut berputar mengikuti ujung pedang. Gerakan itu tentu saja sekaligus merupakan serangan sangat berbahaya. Ujung pedangnya tampak menuju ke perut para pengeroyoknya. Sedangkan tubuhnya sendiri terus berputar ke belakang. Dengan demikian, tubuhnya sekaligus terhindar dari ancaman ujung tongkat lawan.

Sayangnya, ketiga orang pengeroyok di sebelah kiri Gala Campa ternyata memiliki kegesitan yang mengagumkan! Sepertinya, mereka benar-benar telah dipersiapkan untuk menghadapi murid-murid utama perguruan-perguruan terkenal. Tidak heran bila sambaran ujung pedang Gala Campa dapat dihindari.

“Hebat...!” desis Gala Campa. Mau tidak mau, di terpaksa harus mengeluarkan pujian ketika melihat cara lawan-lawannya menyelamatkan diri.

Tubuh ketiga pengeroyoknya itu melayang ke belakang. Seolah-olah, tubuh mereka tak ubahnya seperti segumpal kapas yang bergerak karena tertiup angin pedang Gala Campa. Hal itu tentu saja menunjukkan kalau para pengeroyok memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup hebat.

Pertarungan pun kembali berlanjut sengit. Ketujuh orang pengeroyok Gala Campa mencoba mendesak lelaki gemuk itu dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang memang sudah cukup tinggi. Tapi tanpa merasa gugup, Gala Campa melawan dengan mengandalkan kekuatan serta kehebatan ilmu sepasang pedangnya. Sehingga, pertempuran terlihat semakin seru!

Di lain tempat, Waluja pun tengah bertarung sengit melawan delapan orang pengeroyok. Waluja yang memiliki perhitungan matang dan kecerdikan, terlihat cukup mampu membuat para pengeroyok tidak berani bertempur terlalu dekat. Selain gerakannya bisa berubah secara mendadak, lelaki tegap itu pun sangat cekatan dalam menilai setiap serangan lawan. Bahkan dalam soal ilmu meringankan tubuh, boleh dibilang Waluja masih menang dari lawan-lawannya, meskipun hanya selisih sedikit.

Kelebihan yang sedikit itulah cepat dimanfaatkan, untuk mengecoh para pengeroyoknya dengan serangan-serangan tipuan. Cara yang digunakannya tampaknya membawa hasil yang cukup baik. Buktinya, para pengeroyok tidak mampu terlalu menekan. Jelasnya, pertempuran terlihat seru dan seimbang!

Lain halnya pertarungan Wira Yudha. Lelaki gagah yang memiliki tenaga dalam paling tinggi di antara mereka bertiga, telah mempergunakan kelebihannya itu. Akibatnya, para pengeroyok menjadi kocar-kacir dalam menghadapi murid utama Ki Jasminta itu. Serangan- serangan pedang lelaki gagah itu tak ubahnya seperti tangan maut yang siap merenggut nyawa lawan setiap saat Tentu saja hal itu membuat lawan-lawannya harus lebih berhati-hati.

“Mampus kalian manusia curang...!”

Terdengar bentakan geram Wira Yudha sambil menusukkan ujung pedangnya lurus-lurus ke jantung salah seorang pengeroyok di depannya. Suara sambaran angin pedang dan bentakan Wira Yudha semakin memperhebat serangannya yang membawa perbawa itu. Sehingga, lawan terlihat agak gugup untuk menghindari diri. Dan...,

Cappp!

“Aaakh...!”

Tanpa ampun lagi, salah seorang pengeroyok tertembus ujung pedang Wira Yudha. Belum lagi kawannya yang lain menyadari, Wira Yudha kembali berseru sambil menyentakkan pedangnya ke atas!

“Heeeaaah...!”

Terdengar raungan kematian yang memilukan! Tubuh orang itu terbelah sebagian, akibat sentakan pedang Wira Yudha. Darah segera kontan menyembur seiring terlontarnya tubuh pengeroyok bernasib sial itu.

“Hm.... Tidak lama lagi kalian pun pasti akan mendapat bagian yang sama...!” desis Wira Yudha menatap tajam wajah kotor lawan-lawannya.

Namun, ketujuh orang lawannya sama sekali tidak kelihatan gentar. Bahkan membalas tatapan mata lelaki gagah itu tidak kalah tajamnya, Kenyataan itu membuat Wira Yudha sadar kalau lawan-lawannya ini memang pembunuh yang telah dipersiapkan secara matang. Hanya sekilas saja, lelaki gagah itu langsung bisa menilai kalau mereka tak ubahnya binatang buas yang hanya memiliki naluri membunuh! Selagi kedua belah pihak saling bertatapan dan siap saling gempur, tiba-tiba terdengar siulan nyaring yang panjang dan melengking tinggi.

“Eh...?!”

Baik Gala Campa, Waluja, maupun Wira Yudha sama menarik wajah dengan kening berkerut. Ternyata begitu siulan itu terdengar, lawan-lawannya langsung bergerak mundur teratur. Jelas, siulan itu merupakan isyarat dari pimpinan orang-orang berwajah kotor itu.

“Kakang, tahan...!”

Waluja cepat berseru memperingatkan Wira Yudha ketika melihat kakak seperguruannya hendak mengejar para pengeroyok yang terus mundur. Tentu saja peringatan adik seperguruannya membuat kening lelaki gagah itu berkerut Jelas, ia merasa tak enak. Apalagi hal itu terjadi di depan Gala Campa yang jelas-jelas merupakan orang luar.

“Mengapa, Adi? Kau takut..?” tukas Wira Yudha bernada tidak senang atas teguran Waluja.

“Maaf, Kakang. Bukan maksudku menasihati mu, tapi perbuatanmu berbahaya sekali. Apa kau tak sadar kalau sambil bergerak mundur, mereka telah menyebarkan bubuk-bubuk beracun agar kita tidak bisa mengejarnya...,” jawab Waluja dengan wajah agak menunduk, seolah-olah ingin agar Wira Yudha melihat tanah di depan mereka. Dia tadi memang sempat melihat gerakan tangan para pengeroyok yang menyebarkan racun ke tanah.

“Hm..., dasar iblis-iblis licik! Sayang kita tidak tahu, siapa dan apa keinginan mereka? Lalu, siapa pula orang yang mengeluarkan siulan itu? Kalau mereka ingin membunuh kita, mengapa orang yang mengeluarkan siulan tidak langsung ikut bertindak? Mengapa ia malah menarik mundur pengikut-pengikutnya...?” tanya Wira Yudha seperti bicara sendiri. Jelas-jelas, hatinya merasa penasaran terhadap orang-orang itu.

“Entahlah, Kakang. Tapi, aku mengkhawatirkan keadaan guru, dan Ki Raksa Mala. Mengapa mereka sejak tadi tidak muncul-muncul? Mustahil suara pertempuran yang begini bising tidak terdengar sejak tadi...,” Waluja yang berpikiran lain, tentu saja membuat Wira Yudha dan Gala Campa tersentak kaget. Baru mereka sadar akan keganjilan itu.

“Ah...! Mengapa kita tidak pernah berpikir sejak tadi? Ayo, kita cari mereka...!” Sambil berkata demikian, Wira Yudha segera saja berlari menuju bagian dalam gedung. Sedangkan Waluja dan Gala Campa bergegas mengikutinya.

“Aaahhh...?”

Ketiga orang lelaki gagah itu kontan membelalakkan mata dengan wajah seputih kertas! Tanpa sadar, mereka bergerak mundur. Mereka seperti belum percaya sepenuhnya akan apa yang disaksikan di dalam salah satu kamar bangunan itu.

“Guru...!” Waluja yang lebih dulu menguasai perasaan segera saja bergerak maju. Dia langsung bersimpuh di dekat dua sosok tubuh bermandikan darah.

Wira Yudha dan Gala Campa bergerak perlahan menghampiri. Mereka sama-sama menjatuhkan lututnya di lantai kamar. Wajah keduanya tampak masih menggambarkan ketidakpercayaan akan apa yang terlihat di dalam kamar.

“Mengapa..., dan siapa yang telah melakukan kekejian ini...?” Terdengar suara parau Wira Yudha. Dia akhirnya dapat juga berbicara setelah beberapa saat lamanya.

Namun, tak seorang pun yang mampu menjawab pertanyaan Wira Yudha. Mereka memang sama-sama tidak tahu terhadap kejadian yang telah menimpa kedua guru mereka. Setelah beberapa saat lamanya, ketiga orang lelaki gagah itu sama tercekam kebisuan, Waluja tiba-tiba bangkit Dengan agak gontai, kakinya melangkah menuju jendela yang tampak terbuka. Beberapa bagian tembok kamar tampak terdapat lubang-lubang baru. Rupanya, di dalam kamar itu telah terjadi pertarungan sengit sebelumnya.

“Mungkin orang yang mengeluarkan suitan melengking itulah yang telah membunuh kedua orang Guru kita...,” Suara lirih itu terdengar keluar dari mulut Waluja. Kemudian lelaki tegap itu mengayunkan tinjunya menghajar tembok dekat jendela di depannya.

Brooolll...!

Terdengar suara berderak ribut ketika kepalan Waluja menjebol dinding, hingga menimbulkan sebuah lubang baru sebesar kepalannya. Perbuatannya adalah sebagai ungkapan kedukaan yang mendalam di hatinya.

“Hm.... Kalau begitu, aku akan cari manusia terkutuk itu! Biar sampai ke ujung langit sekalipun, akan kukejar...!”

Wira Yudha bangkit tegak dengan sorot mata menyala tajam. Pancaran rasa dendam, sakit hati, dan penasaran, membuat lelaki gagah itu demikian menyeramkan pada saat ini.

“Tapi, ke mana kita harus mencarinya, Kakang? Sedangkan kita sendiri tidak tahu, siapa orang yang mengeroyok kita? Bahkan, kita sama sekali tidak bisa mengenali mereka. Apalagi orang yang mengeluarkan suitan melengking tinggi itu. Kita sama sekali tidak melihat sedikitpun...,” kata Waluja, mengingatkan Wira Yudha akan keterbatasan mereka yang memang buta terhadap orang yang telah mencelakakan Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala. Hingga, kedua orang pendekar kawakan itu tewas dengan kepala pecah.

“Hm.... Mengenai orang-orang aneh itu, bisa kita kenali dari pakaian atau tanda-tanda di tubuh pengeroyok yang menjadi korban senjata kita tadi. Dengan demikian kita bisa mengetahui golongan apa mereka sebenarnya. Dan, dari daerah mana asalnya...?” usul Gala Campa, yang sejak tadi hanya diam saja.

Karena apa yang diusulkan lelaki gemuk itu memang sangat tepat, maka kedua orang murid Ki Jasminta pun mengangguk setuju. Tanpa diperintah lagi, mereka bergerak melesat ke luar bangunan untuk memeriksa mayat para pengeroyok yang berhasil dibunuh. Namun, begitu ketiganya tiba di luar, untuk kesekian kalinya mereka kembali terkejut! Ternyata apa yang ditemukan di luar, benar-benar di luar dugaan!

“Ki Damang...?!”

Hampir berbarengan, Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa menyerukan satu nama. Sedangkan lelaki setengah baya yang juga seperti terkejut melihat kemunculan ketiga orang itu, segera saja melebarkan senyumnya.

“Aaahhh.... Bukankah kalian murid-murid Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala? Mana guru-guru kalian...? Apakah orang-orang tua itu telah demikian sombong hingga tidak ingin berjumpa denganku...?” tegur laki-laki setengah baya yang bernama Ki Damang.

Dia langsung saja menghampiri ketiga orang lelaki gagah yang dikenali sebagai murid-murid Perguruan Ular Emas dan Cakar Besi. Semua itu dapat dikenali dari warna pakaian yang dikenakan Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Sedangkan ketiga orang lelaki gagah itu tampak menatap Ki Damang penuh curiga.

Wira Yudha yang merasa paling bertanggung jawab terhadap perguruan setelah ketiadaan Ki Jasminta, segera saja melangkah maju mendekati Ki Damang. Sehingga, laki-laki setengah baya tinggi kurus berwajah lonjong itu menelengkan kepala melihat sikap tidak menyenangkan yang ditunjukkan murid sahabatnya.

“Ki Damang, apa yang kau lakukan di tempat ini...?” Pertanyaan itu jelas mengandung ketidak senangan.

Meskipun demikian, Ki Damang merasa perlu lebih bersabar. “Hm.... Kau benar-benar lucu sekali. Mmm... Kalau tidak salah, kau, kau yang bernama Wira Yudha, bukan...?” tanya Ki Damang setelah mengerutkan keningnya sesaat.

“Benar,” jawab Wira Yudha singkat dan tegas.

“Tahukah kau, siapa yang mengundang gurumu datang ke tempat ini? Lalu, tahukah kalian bertiga, apa maksudku datang ke tempat ini? Apakah Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala merahasiakannya kepada kalian...?” Ki Damang bukannya menjawab, tapi malah melemparkan pertanyaan kepada Wira Yudha, Waluja, serta Gala Campa. Sehingga, ketiganya kembali mengerutkan kening.

Untuk beberapa saat lamanya, Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa saling bertukar pandangan. Kemudian, mereka kembali menolehkan kepalanya ke arah Ki Damang.

“Ki Damang! Kami semua tahu, apa yang akan berlangsung di tempat ini. Tapi yang kumaksudkan, apa yang Ki Damang lakukan terhadap mayat-mayat yang tadi bergeletakan di tempat ini...?” kejar Wira Yudha yang semakin mempertegas, ke mana sebenarnya arah pertanyaannya tadi.

Hua ha ha...!” Ki Damang tertawa berkakakan. Sehingga, baik Wira Yudha, Waluja, maupun Gala Campa sama-sama melangkah mundur seraya meraba gagang pedang masing-masing.

TIGA

Ki Damang menghentikan tawanya beberapa saat kemudian, lalu, menatapi wajah ketiga orang murid sahabatnya dengan bibir masih menyunggingkan senyum tipis. “Jadi, itu yang ingin kau ketahui, Wira Yudha? Aku memang melihat dua mayat bermuka kotor, dan satu mayat lagi mengenakan pakaian berwarna coklat tua seperti yang biasa dikenakan murid-murid Ki Raksa Mala. Lalu, dua orang muridku kusuruh untuk melemparkannya ke sungai terdekat. Sebab, kupikir” mayat itu ditinggalkan begitu saja oleh kawan-kawannya...,” jelas Ki Damang, panjang lebar.

Meskipun demikian, Wira Yudha dan yang lain tetap menaruh kecurigaan, terhadap orang tua itu. Boleh jadi Ki Damang merupakan seorang kawakan berkepan- daian tinggi yang juga mempunyai perguruan. Tapi, kedatangan Ki Damang yang baru muncul setelah kejadian selesai, benar-benar tidak bisa diterima ketiga orang murid yang baru saja mengalami pukulan berat akibat kematian gurunya. Dan mereka tidak bisa menerima begitu saja keterangan Ki Damang.

“Hhh.... Lenyap sudah harapan untuk menemukan ciri-ciri orang-orang licik itu. Semua ini karena kecerobohan mu, Ki Damang! Mayat-mayat yang bermuka kotor pada mulanya hendak digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui, dari mana asal mereka, dan dari golongan apa mereka itu sebenarnya...? Sayang, sekarang semuanya kembali menjadi gelap...,” keluh Wira Yudha. Jelas, laki-laki itu menampakkan penyesalan yang amat sangat atas tindakan Ki Damang yang dianggapnya salah besar.

“Hm.... Kalian sepertinya ingin menyimpan rahasia kepadaku. Baiklah. Kalau kalian memang tidak ingin aku mengetahuinya, ya sudah. Yang terpenting sekarang, bawa aku menemui guru-gurumu. Aku yakin, mereka telah datang ke tempat ini dan bukan mewakilkannya kepada kalian. Kulihat, ada enam ekor kuda di depan bangunan ini. Itu artinya masih ada dua orang lagi yang belum kulihat, aku yakin, kedua orang itu pastilah Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala...,” potong Ki Damang.

“Hm...” Wira Yudha bergumam tak jelas menanggapi ucapan Ki Damang. Bukan hanya Wira Yudha saja yang bersikap tidak menyenangkan. Bahkan Waluja dan Gala Campa terlihat menampakkan wajah yang tidak sedap dipandang mata.

“Ki Damang.... benarkah kau tidak tahu, apa yang baru saja terjadi di tempat ini? Benarkah kau baru tiba setelah kami?”

Gala Campa yang sejak tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan antara Ki Damang dan Wira Yudha ikut angkat bicara. Nadanya benar-benar tidak enak. Bahkan lebih menjurus ke arah kecurigaan terhadap Ki Damang. Sehingga, wajah orang tua itu terlihat agak gelap. Jelas, kalau tokoh kawakan itu mulai tersinggung diperlakukan secara demikian oleh ketiga orang murid sahabatnya.

“Hm..., kau murid Ki Raksa Mala! Ketahuilah! Ki Damang tidak suka diperlakukan seperti orang pesakitan! Sikapku yang mengalah ternyata telah membuat kalian semakin kurang ajar dan semakin berani menginjak-injak kepalaku! Rasanya, sudah cukup kesabaran yang kuperlihatkan semenjak tadi. Jadi, sekarang terserah kalian! Apa yang kalian inginkan, aku tidak menolak...!” terdengar jawaban Ki Damang. Jelas laki-laki setengah baya itu terlihat menekan amarahnya sekuat tenaga. Suaranya yang mungkin akan menggelegar kalau tidak ditahan, terdengar bergetar. Tentu saja jawaban itu merupakan tantangan secara terang-terangan!

“Ki Damang! Meskipun kau termasuk angkatan tua yang sepatutnya dihormati, tapi terpaksa hari ini rasa hormat kami lenyap karena kelicikanmu!”

“Heeeaaattt...!”

Begitu ucapannya selesai, Wira Yudha langsung mencabut senjatanya. Dan dia langsung melesat menerjang Ki Damang dengan serangan mematikan! Padahal permasalahan yang terjadi belum dijelaskan oleh Wira Yudha yang dilanda amarah menggelegak. Ki Damang yang merasa bingung juga, mau tak mau melayani serangan ini.

Beeet! Beeet! Beeet!

Kilatan cahaya pedang yang berkilauan tertimpa cahaya matahari, mengancam tubuh Ki Damang. Orang tua itu mendengus tajam sambil menggeser kakinya satu persatu ke belakang. Sabetan-sabetan pedang itu lewat di samping tubuhnya, Hal itu menandakan betapa matang dan terlatihnya ilmu-ilmunya.

“Yeeeaaat..!”

Tapi, Gala Campa kelihatannya juga tidak tinggal diam. Terbukti, lelaki gemuk itu langsung saja menyusuli, tepat setelah serangan Wira Yudha berhasil dikandaskan Ki Damang.

Whuuukkk!

“Hm...!” Untuk kedua kalinya, Ki Damang mendengus tajam. Kedua kakinya kembali bergerak lincah dan kelihatan sembarangan. Hebatnya, setiap serangan ujung pedang Gala Campa dengan mudah dapat dielakkannya. Sehingga, baik Wira Yudha maupun Gala Campa semakin bertambah nafsu untuk melukai lawannya.

“Yeeeaaattt...!”

“Haaattt...!”

Dengan amarah yang semakin menggelegak, Wira Yudha dan Gala Campa kembali melesat disertai teriakan-teriakan saling susul. Pedang di tangan mereka berputaran, menimbulkan deru angin keras! Dari sini bisa ditebak, serangan kedua orang murid tokoh kawakan itu bukan serangan main-main!

“Kurang ajar! Mereka memang perlu dikasih adat!” dengus Ki Damang, gusar melihat kedua orang murid sahabatnya sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang diketahuinya sangat berbahaya dan jarang digunakan Ki Jasminta maupun Ki Raksa Mala. Dan tentu saja kenyataan itu membuatnya gusar bukan main!

Sementara itu, Waluja masih tetap berdiri bimbang di tepi arena pertempuran. Ada sedikit keraguan dalam hatinya terhadap tuduhan yang ditimpakan kepada Ki Damang. Tapi ketika memikirkan kemunculan orang tua itu dan juga sikap-sikapnya yang agak mencurigakan, akhirnya Waluja mengambil keputusan untuk membantu kedua orang temannya.

“Yeeeaaattt...!”

Diiringi seruan nyaring, tubuh Waluja segera meluncur ke arena pertempuran. Saat itu, Ki Damang yang sudah kehilangan kesabaran tengah menggempur Wira Yudha dan Gala Campa dengan serangan-serangan hebat Dari sini kelihatan kalau laki-laki setengah baya itu telah pula menggunakan ilmu-ilmu andalannya untuk menundukkan kedua orang murid sahabatnya.

Saat serangan Waluja datang, Gala Campa tengah didesak sambaran-sambaran kepalan tangan Ki Damang yang menimbulkan angin berkesiutan. Tentu saja tibanya pedang Waluja membuat lelaki gemuk itu bisa bernapas lega. Kini dia terbebas dari desakan Ki Damang yang bagai tidak memberi peluang sedikit pun.

“Hmmm!” Ki Damang kembali mendengus ketika melihat Waluja ikut menggempurnya pula. Sebagai seorang ahli silat kawakan, sekali lihat saja Ki Demang langsung dapat melihat bakat besar yang terpendam dalam diri Waluja. Menyadari hal itu, langsung saja perhatiannya lebih dipusatkan kepada serangan lelaki bertubuh tegap itu.

“Jiaaahhh...!”

Bweeet! Bweeet!

“Bagus...!” puji Ki Damang ketika melihat serangan pedang Waluja.

Serangan pedang itu tampak melingkar-lingkar dengan indahnya. Bahkan terkadang sambaran bisa bergetar hingga sulit dibedakan, mana pedang yang asli dan mana bayangannya. Ki Damang tahu betul kalau Ki Jasminta tidak memiliki gerakan itu. Makanya, hatinya kini menjadi semakin kagum. Dugaannya, semua itu pasti hanya berdasarkan naluri yang diciptakan ketekunan dan kecintaan pemuda tegap itu dalam bermain pedang. Sehingga tanpa sadar, terciptalah gerakan-gerakan yang merupakan pengisi kekosongan ilmu pedang aslinya.

Sambaran pedang Waluja yang melingkar-lingkar, dihindari Ki Damang dengan menarik tubuhnya ke belakang dan terus bergerak memutar mengikuti ayunan pedang. Sehingga kalau dilihat secara sepintas, tubuh Ki Damang tak ubahnya segumpal kapas. Sedangkan pedang di tangan Waluja seperti hembusan angin yang terus mendorong terbang kapas itu. Ini berarti, pedang Waluja tidak akan bisa mencapai sasaran. Maka Waluja pun segera sadar akan hal itu.

“Awaaasss...!”

Ketika telah lewat dari lima jurus, tahu-tahu laki-laki gagah setengah baya itu membentak mengejutkan! Dan berbarengan dengan bentakan itu, tubuh Ki Damang meluncur tegak lurus ke depan. Sepasang tangannya yang membentuk kepalan meluncur cepat saling susul. Bahkan kecepatannya tidak tertangkap mata biasa!

Tapi Ki Damang tidak bisa melanjutkan serangannya untuk mendesak Waluja, karena pada saat itu juga datang dua sambaran pedang dari kiri dan kanannya. Rupanya, Wira Yudha dan Gala Campa sudah kembali memasuki arena pertarungan. Bahkan begitu tiba, mereka langsung mengancam tubuh Ki Damang dengan tusukan pedang!

Whuuuttt! Whuuuttt!

“Haaaiiittt..!”

Untuk menghindari serangan kedua batang pedang yang mengancam tubuhnya, terpaksa Ki Damang melenting ke udara disertai teriakan nyaring! Dari atas, kakinya bergerak berputar sambil melontarkan tendangan ke arah Gala Campa yang ada di bawahnya. Dan...,

Deeesss...!

“Aaakh...!”

Tanpa dapat dicegah lagi, telapak kaki orang tua itu langsung hinggap pada sasarannya! Gala Campa yang terkena tendangan pada punggungnya, langsung terjerunuk mencium tanah! Darah segar tampak mengalir dari sela-sela bibirnya setelah mendapat tendangan Ki Damang yang cukup kuat untuk menghasilkan luka dalam. Dan hal itu dialami Gala Campa, yang seketika merasakan dadanya sesak.

Sedangkan tubuh Ki Damang sendiri telah melenting dan berputaran beberapa kali menjauhi lawan-lawannya, begitu pada saat yang sama Waluja telah menusukkan ujung pedangnya ke arah perutnya.

Tapi baik Waluja maupun Wira Yudha rupanya sudah terlanjur penasaran terhadap Ki Damang. Buktinya, mereka kembali meluruk ke arah lawan tanpa memperdulikan Gala Campa yang tampak tengah terbatuk sambil mengurut dadanya.

“Hm...” Diiringi gumaman gusar, Ki Damang kembali meladeni lawan-lawannya. Meskipun sebenarnya sudah tidak berminat bertempur, namun karena kedua orang murid Ki Jasminta memaksanya, Ki Damang juga harus membela diri. Sehingga, pertarungan pun kembali berlangsung sengit!

Wira Yudha dan Waluja benar-benar penasaran terhadap kehebatan lawannya. Sehebat apapun menggempur, laki-laki setengah baya itu selalu saja dapat mematahkan. Meskipun hal itu tidak mudah dilakukan, namun selalu saja terbukti kalau pada akhirnya merekalah yang kembali terdesak oleh Ki Damang!

“Setan alas...!” saking geramnya karena sukar menundukkan lawan, Wira Yudha berkali-kali mengeluarkan makian tanda kejengkelan hatinya.

“Hm.... Bisanya hanya memaki saja, manusia berangasan! Tunjukkan kemampuanmu kalau memang ingin mengalahkanku!” dengus Ki Damang. Laki-laki setengah baya itu sangat gusar terhadap keuletan lawannya.

Pertarungan yang terkadang kelihatan berimbang itu memang benar-benar menjemukan untuk disaksikan. Hal itu sebenarnya wajar saja. Sebagai murid-murid utama, tentu saja kepandaian mereka tidak berselisih jauh dari Ki Jasminta, gurunya. Dan meskipun untuk mengalahkan Ki Damang jelas tidak mampu, tapi bagi Ki Damang sendiri tidak begitu mudah merobohkan murid-murid Ki Jasminta. Keadaan seperti inilah yang membuat orang bosan untuk menyaksikannya. Untunglah, tak seorang pun yang menyaksikan pertarungan mati-matian itu.

Sudah lebih dari tujuh puluh lima jurus berlangsung, namun keadaan tetap masih berimbang. Tidak terlihat, siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Lamanya pertarungan berlangsung, membuat tenaga kedua belah pihak sudah mulai mengendur. Sehingga, baik pukulan maupun sambaran pedang tidak lagi sehebat semula. Pertempuran kian berjalan lambat.

Saat kedua belah pihak sudah semakin mengendur, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda mendatangi tempat itu. Tentu saja, hal itu membuat Waluja dan Wira Yudha tersentak kaget. Mereka menyangka yang datang itu pastilah pihak lawan. Sehingga, kecemasan pun mulai membayang di wajah mereka.

Bukan hanya Waluja dan Wira Yudha saja yang merasa terkejut Gala Campa pun yang sejak tadi sibuk bersemedi untuk mengobati lukanya, ikut terjengat dan bangkit dari duduknya. Sama seperti halnya Waluja dan Wira Yudha, wajah lelaki gemuk itu pun tampak dilanda kecemasan. Dan kalau benar yang datang pihak lawan, sudah dapat dipastikan mereka akan tewas. Atau, paling tidak akan tertangkap.

“Guru...!”

Seruan itu benar-benar semakin melemaskan semangat tempur Waluja dan Wira Yudha. Jelas, panggilan itu ditujukan kepada Ki Damang. Dan itu, artinya yang datang adalah pihak musuh!

Hadirnya dua orang lelaki gagah yang langsung menghambur ke arah pertempuran, membuat kedua belah pihak sama-sama melompat mundur dan menghentikan pertarungan untuk sementara. Gala Campa sudah bergerak dengan pedang terhunus menghampiri Waluja dan Wira Yudha. Tampaknya, lelaki gagah bertubuh gemuk itupun siap berkorban nyawa.

“Guru..., apa yang terjadi...? Mengapa bisa terjadi pertempuran? Bukankah mereka murid-murid Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala?” Salah seorang murid Ki Damang langsung saja mengungkapkan perasaan herannya melihat kejadian itu. Jelas, lelaki gagah berwajah bersih dengan bulu-bulu halus menghias wajahnya itu telah mengenal murid-murid Perguruan Ular Emas, dan Cakar Besi. Hal ini bisa dilihat dari pakaian yang melekat di tubuh ketiga orang lelaki gagah itu.

“Hhh... Aku pun tidak mengerti, Laung. Mereka datang-datang langsung memojokkan dan mencurigaiku. Karena mereka terlalu menekan, akhirnya terpaksa kulayani keinginan mereka...,” jelas Ki Damang dengan napas masih memburu. Meskipun sebagai tokoh kawakan, tapi karena jarang bertempur hingga seratus jurus lebih, tentu saja Ki Damang merasa lelah. Dan hal itu bukan sesuatu yang aneh.

Setelah mendengar jawaban gurunya, lelaki gagah bernama Laung itu membalikkan tubuhnya. Langsung menatap wajah ketiga lelaki gagah itu satu persatu. “Hm..., Tuduhan apa yang telah kalian lemparkan kepada guruku? Sebagai murid-murid orang sakti, tentunya kalian bukan hanya diajar ilmu silat. Kalian tentu juga diajari tata kesopanan, bukan?” tegur Laung, bagaikan seorang penguasa yang tengah mengadili seorang pesakitan. Suara laki-laki itu terdengar sangat berwibawa. Ucapan-ucapannya terdengar tegas dan tandas. Sehingga mau tidak mau, Waluja, Wira Yudha, dan Gala Campa memandang dengan penilaian lebih kepada lelaki gagah bernama Laung itu.

“Kedatangan gurumu bukan pada waktu yang tepat. Sekarang coba kau bayangkan, kau baru saja mengalami kejadian-kejadian dan musibah yang memukul batinmu. Lalu, tiba-tiba muncul seorang dengan lagak mencurigakan. Tidakkah kesalahan itu akan kau timpakan kepada sosok yang baru muncul itu? Apalagi orang-orang yang membuat musibah itu sama sekali tidak kau kenali. Hm..., sekarang aku ingin mendengar pendapatmu ” Wira Yudha yang paling merasa penasaran, langsung saja angkat bicara.

“Ya.... Mungkin akupun akan bertindak sama denganmu. Tapi, tentu saja setelah terlebih dahulu mendengar penjelasannya. Karena, orang itu pun memiliki hak membela diri. Meskipun yang kau lakukan tidak salah, tapi juga tidak benar,” jawab Laung, mengungkapkan pendapatnya.

Tentu saja jawaban yang tidak memuaskan bagi Wira Yudha itu membuat lelaki gagah itu merasa tersinggung. Wajahnya kembali terlihat gelap menandakan kalau murid pertama Ki Jasminta itu kembali terbangkit kemarahannya. “Hm.... Bagaimana kalau gurumu tahu-tahu terbunuh secara aneh, kemudian aku dan kedua kawanku ini muncul. Apa kau tidak akan menyalahkan kami bertiga?” desah Wira Yudha kembali.

“Apa...?! Maksudmu..., Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala telah terbunuh...? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Siapa yang melakukan...?”

Pertanyaan-pertanyaan itu langsung saja terlontar dari mulut Ki Damang. Sebagai seorang yang telah memiliki banyak pengalaman, tentu saja kejadian yang telah menimpa Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala segera dapat disimpulkannya. Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja Ki Damang menghambur ke dalam bangunan. Perbuatan orang tua sakti itu tentu saja membuat yang lain menjadi bingung. Setelah saling melepaskan pandangan satu sama lain, kelima orang lelaki gagah itu segera saja menyusul Ki Damang menuju ke dalam bangunan.

EMPAT

“Bedebah...!” Ki Damang membanting kaki kanannya dengan wajah duka. Hati laki-laki setengah baya itu jelas sangat terpukul oleh kematian kedua sahabatnya. Wajahnya yang biasa tenang, berubah merah dengan sepasang mata menyala tajam.

Laung dan yang lain tidak berani mengeluarkan suara melihat keadaan Ki Damang. Kelihatannya lelaki setengah baya itu merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala.

“Akulah yang salah dalam kejadian ini. Menurut janji kami, akulah orang pertama yang harus tiba di tempat ini. Tapi, karena ada suatu hal yang sangat penting, tanpa ku sengaja aku terlambat. Itulah sebabnya, mengapa aku baru tiba ketika kalian bertiga keluar dari dalam bangunan. Tapi..., biarpun tidak melihat orang yang telah membunuh Jasminta dan Raksa Mala, aku tahu kalau pembunuh itu memiliki kekebalan ilmu tongkat” jelas Ki Damang, sambil menatap wajah ketiga orang murid sahabatnya berganti-ganti.

“Kalau begitu, katakanlah kepada kami, Ki Kami akan mencari pembunuh itu walau apapun yang terjadi!” tegas Wira Yudha langsung, penuh hawa marah. Sehingga, laki-laki separoh baya itu jadi tersenyum pahit melihat semangat yang terpancar pada wajah dan sikap Wira Yudha.

“Hhh.... Meski kuberitahu sekalipun, kalian tidak akan sanggup melawannya. Jangankan hanya kalian. Kita berenam sekalipun belum tentu sanggup menghadapinya. Buktinya dapat kalian lihat sendiri, bukan? Kehebatan guru-guru kalian tidak pernah ku ragukan. Tapi, mereka telah tewas di tangan pembunuh itu. Dan itu sama artinya kalau dia seorang tokoh yang sulit diukur kepandaiannya,” desah laki-laki setengah baya itu. Ki Damang menarik napas berat tanda kegundahan hatinya. Keningnya terlihat berkerut-kerut. Jelas otaknya tengah berpikir keras untuk mencari penyelesaian masalah itu.

“Katakan saja, siapa pembunuh itu, Ki...,” desak Waluja, ikut angkat bicara.

Desakan itu membuat Ki Damang semakin tidak tahu harus berbuat apa. Karena dengan mengatakan siapa pembunuhnya kepada ketiga orang lelaki gagah itu, sama saja mendorong mereka ke dalam jurang kematian. Itulah yang membuatnya kebingungan.

“Tapi, semua ini baru hanya dugaan saja. Belum tentu orang itu yang melakukannya. Sebagai orang-orang yang selama belasan tahun dididik oleh orang-orang pandai, kuharap kalian bisa menahan diri. Jangan bertindak gegabah...,” kembali Ki Damang memberi nasihat kepada Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa.

"Menurut dugaanmu, siapa orang itu, Ki...?” Gala Campa ikut mendesak. Suaranya terdengar lebih tenang dan tidak langsung bernada tuduhan, tapi hanya dugaan. Hal itu membuat Ki Damang mengangguk-anggukkan kepala.

“Berjanjilah untuk bertindak dengan pikiran. Bukan dengan kemarahan...,” Dengan tarikan napas berat, akhirnya Ki Damang bersedia juga mengutarakan dugaannya.

“Baik, kami akan mencobanya...,”

Secara serempak, ketiga orang lelaki gagah itu langsung saja menyetujui. Sementara Ki Damang kembali tersenyum mendengar sahutan ketiga orang murid sahabatnya.

“Setahuku, kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala disebabkan pukulan benda tumpul yang mengandung kekuatan luar biasa. Dan senjata itu mungkin berbentuk tongkat...”

“Benar... ya..., aku baru ingat sekarang...!” tiba-tiba saja Wira Yudha memekik memutuskan keterangan Ki Damang. Sehingga, laki-laki setengah baya itu menghentikan ucapannya.

“Benar, Ki. Bukan hanya mungkin, tapi memang tongkat. Buktinya, orang-orang yang mengeroyok kami bertiga juga bersenjatakan tongkat. Lalu, siapa pembunuh itu, Ki...?” timpal Gala Campa yang juga teringat akan hal itu.

“Ingat! Ini baru dugaan! Belum pasti kalau orang itu yang telah membunuh guru kalian. Pukulan dahsyat yang menghantam kepala Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala adalah sejenis ilmu tongkat yang dimiliki Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Dan kalau benar pelakunya dari pihak mereka, hanya yang berilmu tinggi-lah yang mampu membunuh guru kalian...,”

Setelah berkata demikian, Ki Damang memandang wajah ketiga orang murid sahabatnya berganti-ganti. Sepertinya, ia ingin melihat apa yang tergambar dalam wajah mereka setelah mendengar keterangannya.

“Perkumpulan Pengemis Baju Hitam...?!” gumam Wira Yudha, dengan kening berkerut Sepertinya, ia tengah berpikir keras untuk mengingat nama itu. “Setahuku, perkumpulan pengemis itu tidak berpihak ke mana-mana, Ki. Mereka bisa disebut golongan sesat, bisa juga disebut golongan putih. Selain itu, menurut pengetahuanku, mereka jarang sekali mau mencampuri urusan orang lain. Biar kejahatan berlangsung di depan mata mereka, belum tentu mereka akan menindaknya. Kecuali hal itu bisa mendatangkan untung bagi mereka...,”

“Kau benar, Wira Yudha. Itulah yang membuatku tidak habis pikir, mengapa Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala harus tewas oleh pukulan kalangan pengemis itu? Kalaupun ada orang yang hendak mengadu domba kita dengan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam, mana mungkin ilmu pukulan yang demikian sempurna dimilikinya? Padahal, ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’ hanya diturunkan kepada beberapa orang, sebelum ketuanya yang lama meninggal karena usia tua. Tapi kesempurnaan pukulan yang menewaskan guru kalian, tidak ku ragukan lagi. Untuk itu kalian kuminta pergi menyelidiki keanehan ini Tapi, ingat! Apabila menemukan sesuatu, laporkan kepadaku. Dan, jangan bertindak ceroboh. Sebab, kalau kalian sampai bertindak ceroboh, lalu tertangkap, aku tidak bisa menjamin keutuhan perguruan kalian...,” urai Ki Damang yang mengakhirinya dengan sebuah pesan yang ditekankan dalam-dalam.

“Baiklah, Ki. Pesan itu akan kami ingat baik- baik...,” jawab Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa berbarengan.

Sepertinya ketiga lelaki gagah itu merasa khawatir juga. Sebab jika bertindak salah, jaminannya adalah perguruan mereka. Tentu saja mereka tidak ingin perguruan mereka hancur hanya karena kesalahan yang telah diperbuat.

“Nah, Kalau begitu, kita berpisah sekarang. Ingat, kalau ada sesuatu yang mencurigakan, laporkan padaku...,” ujar Ki Damang kembali mengingatkan ketiga orang lelaki gagah itu. Kemudian, merekapun berpisah untuk mencari pembunuh Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala.

********************

Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa melangkah tegap menyusuri jalan lebar yang berbatu-batu. Dalam melaksanakan tugas mencari pembunuh Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala, mereka tidak lagi menggunakan kuda. Binatang tunggangan mereka telah dijual di sebuah desa yang disinggahi. Hal ini dilakukan dengan alasan, kalau melakukan penyelidikan dengan menggunakan kuda, tentu akan menyulitkan gerak mereka. Sehingga, ketiganya memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan dengan berjalan kaki, disertai penggunaan ilmu meringankan tubuh.

Saat ini hari sudah siang. Sinar matahari yang memancar terik, membuat udara terasa panas menyengat. Sehingga, ketiga orang lelaki gagah itu memutuskan untuk mempercepat perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepat. Sebentar kemudian, terlihatlah tiga sosok bayangan bergerak melintasi jalan yang ditumbuhi rumput tebal.

Padang rumput yang cukup luas itu tentu saja dapat ditempuh lebih cepat, daripada orang-orang biasa. Sehingga, sebentar saja ketiganya telah menemukan sebuah jalanan lebar. Sampai di situ, mereka menghentikan lari. Dan perjalanan kini dilanjutkan dengan langkah biasa, karena sesekali berpapasan dengan orang-orang yang menggunakan jalan umum itu.

Tidak beberapa lama kemudian, Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa tiba di mulut sebuah desa yang cukup ramai dan agak besar. Kedai makan yang biasanya hanya terdapat satu dalam sebuah desa, bisa ditemukan lebih dari dua di sini. Hal ini menunjukkan kalau desa itu sangat ramai.

“Kita singgah sebentar sambil mencari keterangan di desa ini. Tapi, ingat jangan terlalu menyolok..,” Wira Yudha mengingatkan kedua orang temannya, kemudian melangkah memasuki sebuah kedai makan yang dipilihnya. Sementara Waluja dan Gala Campa, ikut masuk ke dalam kedai makan yang cukup besar itu.

Tiga orang pengemis berwajah kotor dan berpakaian berwarna hitam yang sengaja ditambal-tambal, tampak berdiri di dekat pintu kedai. Sikap mereka sama sekali tidak pantas disebut pengemis. Malah, lebih tepat ka- lau dikatakan perampok.

“Berilah kami makan, Tuan. Cepatlah, kami sudah lapar...,” seorang pengemis yang bertubuh kurus dengan sepasang mata liar menadahkan sebuah mangkuk kaleng kepada seorang lelaki gemuk yang berdiri dengan wajah agak pucat. Tampak sekali kalau lelaki gemuk itu ketakutan.

“Kisanak! Mengertilah sedikit. Baru beberapa saat yang lalu, empat orang temanmu datang meminta-minta. Kini setelah mereka pergi, kau dan tiga orang kawanmu datang meminta-minta lagi. Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa jatuh pailit..,” jawab lelaki gemuk itu dengan agak memelas. Tapi ucapan maupun wajah lelaki gemuk yang ternyata adalah pemilik kedai, sama sekali tidak mendatangkan rasa pengertian bagi pengemis muda itu.

“Hm..., dasar gendut pelit! Rupanya kau lebih suka kehilangan kedaimu ketimbang empat mangkuk nasi dan beberapa keping uang! Kalau memang itu maumu, baiklah...,”

Setelah berkata dengan nada mengancam, pengemis berwajah kurus itu membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan kedai. Sementara ketiga orang kawannya bergerak mengikuti. Tinggallah si pemilik kedai terbengong-bengong dengan wajah semakin bertambah pucat.

“Hei...! Hei..., tunggulah...! Biar ku ambilkan...,” Akhirnya karena takut oleh ancaman itu, si pemilik kedai segera saja berteriak memanggil keempat pengemis berbaju hitam.

Seketika pengemis itu segera menahan langkahnya. Pengemis bertubuh kurus yang usianya kira-kira tiga puluh tahun itu memutar tubuhnya dengan tatapan sinis. Kemudian, dengan lagak sombong, dia maju beberapa tindak.

“Maaf! Karena kau sudah menolak permintaan kami barusan, maka aku tidak bisa menerima sedekahmu. Lebih baik simpan saja semua hartamu agar tidak ikut musnah nanti...,” ujar pengemis muda itu dengan wajah dingin. Setelah berkata demikian, ia kembali memutar tubuhnya meninggalkan kedai.

Semua kejadian itu tentu saja tidak lepas dari pandangan dan pendengaran Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa. Ketiga lelaki gagah itu tentu saja menjadi geram melihat tingkah laku pengemis bermuka kurus tadi. Apalagi, ucapannya terdengar demikian angkuh dan penuh ancaman. Sampai-sampai si pemilik kedai berlari mengejar dan berlutut sambil menangis minta maaf kepada keempat pengemis berbaju hitam itu.

Inilah yang membuat Wira Yudha dan kawan-kawannya merasa heran. Meskipun kejadian itu disaksikan puluhan pasang mata, namun tak satu pun yang ambil perduli. Rata-rata, mereka langsung memalingkan wajah begitu melihat kejadian itu. Bahkan ketika si pemilik kedai bersimpuh sambil meratap mohon maaf, tak seorang pun yang mau peduli.

Wira Yudha pun sebelumnya agak ragu juga untuk ambil tindakan. Pikiran tentang kehancuran perguruannya, membuat lelaki gagah itu berpikir dua kali untuk mencampuri urusan pengemis berbaju hitam yang diduga dari Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Namun, jiwa kependekarannya seketika bergolak. Dan dia tak bisa menerima ketidakadilan yang berlangsung di depan matanya. Jiwa pendekar itulah yang memaksa Wira Yudha dan kawan-kawannya untuk mengam-bil tindakan. Kalaupun mereka nanti harus kehilangan perguruan atau nyawa, itu akan lebih baik daripada hidup sebagai pengecut! Maka...,

“Kisanak! Rasanya tindakan kalian sudah keterlaluan. Sikap yang kalian tunjukkan tidak lagi mencerminkan seorang pengemis, tapi sudah menjurus ke arah perampok. Dan, pekerjaan itu rasanya lebih tepat bagi kalian...,” tegur Wira Yudha, lantang. Kemudian, dia melangkah menghampiri keempat pengemis itu berada.

Mendengar teguran itu, si pemilik kedai bukannya menjadi lega, karena ada orang yang sudi membelanya. Tapi, dia malah kembali menyembah-menyembah keempat pengemis itu. Bahkan meminta agar lelaki gagah yang melontarkan penghinaan itu agar diampuni.

“Maafkanlah dia, Kisanak. Dia seorang pendatang yang tidak tahu, siapa Kisanak berempat. Aku akan memberikan apa saja yang kalian inginkan, sebagai rasa terima kasihku...,” bujuk si lelaki gemuk pemilik kedai sambil membentur-benturkan keningnya ke tanah berkali-kali. Tapi, ternyata semua itu malah membuat pengemis bermuka kurus itu semakin bertingkah. Dengan lagak seorang jagoan, ia bertolak pinggang.

“Hei, kau orang tua! Dengarlah! kau tadi sudah menghina kami. Dan itu tidak bisa dimaafkan! Kemudian, ada lagi orang yang menghina kami secara lebih kasar. Dan kau pun memintakan ampun untuk mereka dengan janji akan memberi apa yang kami minta. Sekarang, aku minta ketegasan darimu. Sungguh-sungguhkah ucapanmu barusan?” tanya pengemis muda berwajah kurus itu dengan suara lantang.

“Benar.... Benar...,” sahut pemilik kedai makan itu cepat, sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah agak berseri. Pemilik kedai itu sengaja mengucapkannya jelas-jelas, dengan harapan permintaannya tadi dikabulkan.

“Kau akan memberikan semua milikmu yang kami minta...?” Kembali pengemis muda berwajah kurus itu menegasi.

“Betul! Aku akan menyerahkan semuanya yang kalian minta, asalkan kesalahanku dan kesalahan orang itu dimaafkan...,” jawab pemilik kedai itu tanpa ragu-ragu lagi, seraya menunjuk Wira Yudha.

Tentu saja pembelaan pemilik kedai itu membuat Wira Yudha dan kawan-kawannya merasa terharu. Sebab dalam kesulitannya, lelaki gemuk itu masih sudi juga memikirkan keselamatan orang lain. Sikap itu semakin membulatkan tekad Wira Yudha dan yang lain untuk menolong si pemilik kedai.

“Hm..., bagus. Kalau begitu, sekarang juga kami akan memenggal kepalamu. Karena, kepalamulah yang akan kami minta,” Permintaan itu meluncur demikian enteng. Seolah- olah, harga kepala manusia tidak ubahnya seperti kepala ayam!

“Haaa...?!” Karuan saja permintaan pengemis itu membuat si pemilik kedai terkejut setengah mati. Sama sekali tidak disangka kalau pengemis itu akan meminta kepalanya sebagai tanda kalau semua kesalahannya dimaafkan. Karuan saja, lelaki gemuk itu bungkam. Dan dia memang telah berjanji untuk memberi apa saja, yang diminta para pengemis itu.

Tapi, tidak demikian halnya Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa. Ketiga orang lelaki gagah itu bergerak maju dengan langkah tenang. Terdengar suara Waluja mengejutkan empat orang pengemis itu.

“Hm.... Kalau ku tahu Perkumpulan Pengemis Baju Hitam adalah perkumpulan anjing geladak yang rakus, sudah sejak dulu batang leher mereka kutebas putus dengan pedangku ini!” kata Waluja sambil meraba gagang pedang yang tersembul di balik pakaiannya.

Karuan saja, ucapan itu membuat wajah keempat anggota Pengemis Baju Hitam menjadi pucat bagai kertas. “Bangsat! Kalian rupanya memang sengaja mencari gara-gara!” Sambil berkata demikian, pengemis muda berwajah kurus itu mengangkat tongkat hitamnya melintang di atas kepala. Dengan menggunakan isyarat kepala, kawan-kawannya diperintahkan untuk mengepung.

“Hm...” Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa hanya bergumam pelan melihat lawannya mengepung. Dengan sikap tenang, ketiga orang murid perguruan-perguruan terkenal itu menanti apa yang akan dilakukan kawanan pengemis yang sudah mengepung.

“Haaattt...!”

Tiba-tiba, dibarengi teriakan keras, pengemis muda berwajah kurus itu menghantamkan tongkatnya sekuat tenaga ke kepala Waluja yang paling dekat dengannya!

Buuuttt...!

Waluja sama sekali tidak gugup melihat serangan itu. Sekali pandang saja, segera diketahui kalau keempat orang pengemis itu hanyalah kelompok tingkat rendahan. Sehingga, untuk menghadapi serangan itu tampaknya tidak terlalu sulit.

Plaaakkk!

Dengan mengulurkan tangan kanan Waluja telah berhasil menangkap tongkat lawannya. Kemudian dengan sebuah bentakan keras, ujung tongkat yang ditangkapnya cepat dihentakkan.

“Heaaahhh!”

“Aaa...!“ Karuan saja pengemis muda berwajah kurus itu melolong panjang. Karena, tahu-tahu saja tubuhnya telah terlempar ke udara, dan terus menghantam sebatang pohon besar yang tumbuh di tepi jalan!

Bruuukkk!

“Ngggekkk!” Setelah membentur batang pohon hingga menimbulkan suara berderak keras, tubuh pengemis muda itu terbanting jatuh ke tanah. Terdengar rintihnya yang memilukan, karena beberapa tulang tubuhnya berpatahan! Bahkan sambungan bahu kanannya terlepas akibat berbenturan keras dengan pohon besar tadi.

Kesialan itu rupanya bukan hanya dirasakan pengemis bertubuh kurus yang telah rubuh di tanah tadi. Ketiga orang temannya yang lain pun mendapat bagian yang tidak kalah berbahaya. Bahkan dua di antaranya terpaksa menerima kematian di tangan Wira Yudha yang seperti sangat mendendam dan sangat membenci pengemis berbaju hitam ini. Sedangkan Gala Campa hanya mematahkan tulang kaki dan lengan seorang pengemis lainya.

Anehnya, semua kejadian itu bukannya membuat lelaki pemilik kedai dan para penduduk desa ini merasa senang. Malah, beberapa di antara mereka langsung meninggalkan tempat itu. Sementara yang lain segera berlari pulang dan mengunci pintu rumah rapat-rapat Jelas, perbuatan Wira Yudha dan kawan-kawannya telah menimbulkan rasa takut yang semakin dalam di hati para penduduk desa.

Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa menarik napas panjang sebagai tanda kegundahan hati. Ketiganya menatap kedai yang tidak terlihat seorang pun, kecuali seorang pemuda tampan berpakaian putih dan seorang dara jelita berpakaian hijau yang masih duduk tenang di dalamnya.

Untuk beberapa saat lamanya, ketiga lelaki gagah itu seperti terpaku menatap wajah jelita dara berpakaian serba hijau yang tampak sangat menyolok itu. Namun, mereka cepat menguasai diri, dan melangkah ke arah kedai. Sedangkan si pemilik kedai sudah sejak tadi lenyap, karena ketakutan.

LIMA

“Hm..., mengapa kalian berdua tidak ikut bersembunyi? Apakah kalian bukan orang desa ini, dan belum mengenal pengemis-pengemis yang lebih pantas disebut perampok tadi?” tanya Wira Yudha begitu memasuki kedai.

Sedangkan Waluja dan Gala Campa, menatap dengan sorot mata curiga. Hati mereka sedikit tegang ketika melihat gagang pedang di pinggang kanan dara jelita berpakaian hijau itu.

“Hm Rupanya kalian orang-orang persilatan juga. Kalau boleh tahu, siapakah kalian? Dan, dari perguruan mana...?” Gala Campa ikut bertanya, karena didorong rasa penasaran pada gagang pedang di pinggang gadis berbaju hijau itu.

“Atau..., jangan-jangan kalian adalah mata-mata dari perkumpulan pengemis jahat itu...?” dugaan terakhir keluar dari mulut Waluja, namun nadanya kurang enak didengar. Dan tentu saja, pertanyaan- pertanyaan yang dilontarkan beruntun itu membuat pemuda berjubah putih ini tertawa lembut.

“Kisanak sekalian...,” panggil pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara dan wajah tenang, tidak mencerminkan rasa takut, “Maaf kalau aku jadi bingung oleh pertanyaan-pertanyaan kalian bertiga. Tolong sebutkan, pertanyaan mana yang harus kujawab lebih dulu...”

Wira Yudha dan kawan-kawannya saling bertukar pandang sejenak. Mereka segera menyadari kesulitan pemuda itu dalam menjawab pertanyaan yang memberondong tadi. Hanya saja kecurigaan mereka menjadi lebih besar ketika melihat sikap tenang pemuda berjubah putih itu. Bahkan dara jelita yang bersamanya tampak seperti tidak perduli terhadap keadaan sekitarnya. Dan dia masih saja menikmati hidangannya tanpa merasa terganggu sedikitpun.

“Kau boleh memulainya dari pertanyaanku...,” ujar Wira Yudha setelah terdiam beberapa saat lamanya.

“Baiklah, desah pemuda tampan berjubah putih itu tersenyum, dan tetap tenang, “Kami tidak ikut bersembunyi, karena merasa tidak bersalah. Meskipun bukan orang desa ini, tapi sedikit banyak kami cukup tahu tentang pengemis-pengemis itu”

“Hmmmm...” Wira Yudha bergumam sambil mengangguk-angguk, merasa cukup puas dengan jawaban pemuda itu. “Apakah kau orang persilatan?” tanya Wira Yudha, mengulang pertanyaan Gala Campa. Nadanya kini lebih lunak dari semula. Memang entah mengapa, ia seperti merasa percaya sepenuhnya terhadap jawaban pemuda berjubah putih itu.

“Bisa dibilang, kami orang-orang persilatan. Tapi, bisa juga tidak. Namaku Panji. Sedangkan kawanku bernama Kenanga. Kami berdua tidak mempunyai perguruan, dan hanyalah perantau-perantau yang ingin memperluas pengalaman,” sahut pemuda tampan berjubah putih itu.

Kini tampak ketiga tokoh itu mengangguk-angguk puas atas jawaban pemuda yang mengaku bernama Panji, "Lalu, apa hubunganmu dengan pengemis-pengemis tadi? Apakah kalian mata-mata mereka?” selak Waluja dengan nada agak keras. Sepertinya lelaki tegap itu selain ingin mengukur kesabaran Panji juga ingin mendengar bantahannya. Karena, pertanyaan Waluja memang lebih tepat sebuah tuduhan.

“Huh! benar-benar menjemukan! Kalian ini tidak ubahnya nenek-nenek nyinyir!” Tiba-tiba, dara jelita berpakaian serba hijau yang bernama Kenanga menukas ketus dan tandas. Sehingga, Wira Yudha dan kawan-kawan jadi saling berpandangan dengan wajah agak memerah. Jelas telinga mereka merasa cukup tersentil mendengar ucapan gadis jelita itu.

“Maaf..., maaf. Kawanku ini memang terkadang mudah sekali tersinggung. Mungkin merasa jengkel karena pertanyaan Kisanak yang gagah ini lebih bersifat menuduh, daripada bertanya.”

Untungnya, pemuda berjubah putih itu buru-buru meredakan suasana yang sedikit mulai hangat Dan rupanya, Kenanga nampaknya tidak berani membantah ketika melihat isyarat Panji agar tidak mencampuri.

“Hm...,” Waluja hanya bergumam tak jelas, kemudian kembali menatap wajah pemuda tampan itu lekat-lekat Sepertinya, ia masih menunggu jawaban Panji.

“Kalau kalian percaya, kami sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan pengemis-pengemis itu. Dan kalau sudah tidak ada pertanyaan lagi, maaf, kami harus melanjutkan perjalanan...,” pamit Panji seraya membungkuk hormat kepada ketiga orang lelaki gagah itu.

Sementara, Kenanga sama sekali tidak perduli. Bahkan sepasang matanya yang indah sempat mengerling tajam. Rupanya Kenanga masih merasa tidak puas oleh perlakuan ketiga orang lelaki gagah yang dianggapnya kurang sopan dan agak sombong. Tapi. karena Panji sendiri tidak merasa tersinggung, gadis jelita itupun tidak bisa berbuat apa-apa.

Demikian pula halnya Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Mereka tidak bisa menahan kepergian sepasang pendekar muda yang memang Pendekar Naga Putih dan kekasihnya. Selain pertanyaan-pertanyaan mereka sudah terjawab dengan baik, mereka pun tidak mempunyai hak mencegah kepergian Panji dan Kenanga.

“Kisanak, tunggu dulu...!” tiba-tiba saja Wira Yudha berseru ketika Panji dan Kenanga baru sampai di ambang pintu kedai. Bergegas lelaki gagah itu menghampiri ketika melihat pasangan muda itu menunda langkah dan memutar balik tubuhnya.

“Ada apa lagi, Kisanak...?” tanya Panji, tetap dengan nada dan raut wajah tidak berubah. Pemuda tampan itu masih saja ramah dan tenang.

Sehingga, Wira Yudha sendiri menjadi agak rikuh, karena lelaki itu merasa adanya pancaran perbawa pada wajah maupun sikap pemuda tampan bernama Panji itu. “Hm... Kami bertiga merasa khawatir sekali pada keselamatan kalian berdua. Dengan adanya kejadian tadi, rasa-rasanya para pengemis itu pasti akan mengamuk dan mencelakai apa yang ditemukannya. Dan jika kalian pergi dari desa ini, aku khawatir akan jadi sasaran mereka...,” jelas Wira Yudha. Sebenarnya, dia memang merasa khawatir atas keselamatan pasangan muda itu.

“Mengapa kau menduga demikian? Bukankah kami tidak punya kesalahan terhadap mereka? Maka tidak ada alasan bagi pengemis-pengemis itu untuk mencelakai kami. Tapi biar bagaimanapun, aku merasa sangat berterima kasih atas perhatian kalian yang mau mencemaskan nasib kami. Maaf, aku harus pergi...,” Setelah berkata demikian, Panji kembali memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan kedai bersama kekasihnya.

“Hhh.... Mudah-mudahan saja merekatidak menjadi sasaran kemarahan pengemis-pengemis keparatitu...,” Wira Yudha lirih disertai helaan napas beratnya.

Apa yang dikhawatirkan oleh Wira Yudha ternyata tidak berlebihan. Saat Panji dan Kenanga baru beberapa tombak meninggalkan kedai, terlihat puluhan orang pengemis berlarian mendatangi tempat terjadinya awal perkelahian.

“Berhenti...!”

Terdengar hardikan salah seorang dari puluhan pengemis terhadap Panji dan Kenanga yang tengah menyusuri jalan utama desa. Tapi, kedua orang muda itu terus saja mengayun langkah, bagai tidak mendengar hardikan tadi. Karuan saja, sikap itu memancing kemarahan si pengemis.

“Bedebah! Rupanya, kalian lebih suka pada tongkat ini...!”

Sambil menggeram gusar, pengemis berbaju hitam yang usianya sekitar empat puluh tahun itu mengayunkan tongkat hitamnya ke arah kepala Panji. Maksudnya jelas, bukan sekedar memberikan hajaran, tapi memang ingin menamatkan riwayat pemuda tampan berjubah putih itu dengan sekali pukul.

“Hei...!” Wira Yudha yang sempat melihat kejadian itu berseru mencegah. Tangannya hanya menggapai tanpa berani mendekat, karena bisa berbahaya baginya. Masalahnya, sebagian besar dari kelompok para pengemis telah berada di sekitar kedai. Sehingga, Wira Yudha dan kawan-kawan hanya bisa mengharap agar pemuda itu bisa menyelamatkan diri.

Panji sama sekali tidak berusaha menghindari sambaran tongkat pengemis itu. Bahkan Kenanga yang semula sudah hendak bergerak, terpaksa diam ketika jemari tangannya agak sedikit ditekan oleh kekasihnya. Terpaksa gadis jelita itu mengambil sikap tak perduli, dan terus mengayun langkah mengikuti kekasihnya.

Whuuukkk!

Tongkat hitam sebesar lengan yang terbuat dari kayu besi itu menderu tajam, mengancam kepala Panji. Sementara pemuda itu terlihat hanya menarik napas agak panjang, dan...,

Deeebbb!

“Aaakkkh...!” Tongkat pengemis itu telak dan keras sekali menghantam batok kepala Pendekar Naga Putih. Tapi anehnya, bunyi yang ditimbulkan pukulan tongkat seperti bunyi sebuah benda kenyal yang dihantam oleh pukulan keras. Dan yang dialami pengemis itu tubuhnya kontan terjajar ke belakang hingga beberapa langkah jauhnya. Sedangkan tongkat hitamnya entah terbang ke mana, karena ia sendiri tidak melihatnya.

“Uuuhhh...?!” Sambil merintih kesakitan, pengemis bertubuh sedang itu memijat-mijat kedua tangannya bergantian. Jelas, ia merasa kesakitan setelah melancarkan pukulan ke arah Panji tadi. Kegentaran mulai terbayang pada sepasang matanya. Sehingga ketika pemuda itu melanjutkan langkah, ia hanya memandang tanpa berani mencegah.

Ternyata, bukan hanya pengemis bertubuh sedang itu saja yang berusaha menyerang terhadap Panji. Sedangkan Kenanga sama sekali tidak pernah diganggu. Hal itu bisa saja, karena kecantikannya. Tidak heran bila berkali-kali pemuda itu menjadi sasaran pukulan tongkat para pengemis. Dan tentu saja Panji sadar akan maksud orang-orang itu.

Tapi, para pengemis yang melontarkan pukulan tongkatnya ke arah Panji satu-persatu minggir menjauh. Betapa tidak? Meskipun melihat jelas-jelas kalau tongkat mereka mengenai sasaran, tapi pemuda itu tetap saja melangkah tenang tanpa mengalami cidera. Bahkan justru merekalah yang kesakitan.

“Pemuda itu pasti jelmaan malaikat! Bayangkan saja, dia sama sekali tidak merasa sakit meskipun kepalanya telah dipukul berkali-kali dengan tongkat..!” kata salah seorang yang telah merasakan akibatnya, dengan suara bergetar.

“Mungkin juga ia orang sakti yang memiliki tenaga dalam tidak terukur. Aku merasakan sendiri, betapa kuat tenaga dalamnya sehingga pukulanku berbalik. Bahkan telapak tanganku, sampai berdarah...,” timpal pengemis lain yang tubuhnya tampak kokoh bagai batu karang.

Sambil berkata demikian, ia memperlihatkan telapak tangannya yang pecah-pecah dan mengeluarkan darah. Hal itu terjadi karena kekuatan yang digunakannya untuk memukul jauh lebih kuat dari pada kawan-kawannya. Tentu saja, akibatnya pun lebih buruk lagi.

Akhirnya, satu-persatu pengemis-pengemis itu bergerak meninggalkan Panji dan Kenanga. Sehingga, tidak ada lagi yang mengganggu perjalanan mereka. Keduanya melangkah tenang, menyusuri jalan utama desa. Sayangnya, saat itu Wira Yudha dan yang lain tidak sempat menyaksikan keanehan yang dialami para penyerang pemuda berjubah putih tadi. Karena, para pengemis berbaju hitam sudah bergerak mengurung kedai. Tentu saja, ketiga lelaki gagah yang tidak ingin isi kedai porak-poranda, segera melesat keluar untuk menghadapi mereka.

Sementara di lain hal, para pengemis berbaju hitam tampaknya sangat marah terhadap Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa yang telah mencelakai kawan-kawan mereka. Entah, dari mana datangnya para pengemis itu. Tak seorang pun yang tahu. Hal-hal seperti itulah yang ditakuti para penduduk desa.

“Kau boleh pilih, manusia lancang. Menyerah secara suka rela, atau terpaksa kami menggunakan kekerasan untuk menyeret tubuh kalian ke hadapan pimpinan kami...?!”

Terdengar suara menggelegar dari seorang pengemis berkepala gundul yang selebar wajahnya dipenuhi brewok. Nadanya terdengar demikian sombong. Seolah-olah, dirinya .adalah seorang penguasa yang tengah berbicara kepada rakyatnya.

“Hm aku tidak perduli cara apa yang akan kalian pergunakan! Kalau memang ingin dengan kekerasan, silakan lakukan. Jangan bisanya hanya mengumbar bacot yang tak berguna! Aku pun memang mempunyai urusan dengan kalian, pengemis-pengemis kurap!” tantang Wira Yudha sambil melolos pedang dari sarungnya.

Memang, saat itu mereka bertiga telah dikepung oleh paling sedikit tujuh puluh orang pengemis. Merasa sudah terlanjur, Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa memutuskan untuk melawan sampai titik darah yang terakhir.

“Serbuuu...!”

Setelah mendengar tantangan Wira Yudha, lelaki berkepala botak yang selebar wajahnya ditumbuhi brewok langsung saja memberi aba-aba kepada kawan-kawannya untuk menyerbu ketiga orang lelaki gagah itu. Bagaikan semut-semut menemukan manisan, puluhan pengemis berbaju hitam itu meluruk ke arah Wira Yudha dan kawan-kawannya. Sebentar saja, lenyaplah tubuh ketiga orang lelaki gagah itu ditelan kerumunan sosok hitam. Sedangkan pengemis brewok berkepala botak itu tidak ikut maju mengeroyok. Ia hanya tertawa-tawa menyaksikan amukan ketiga lawan yang tengah membendung serangan puluhan orang pengemis, anak buahnya.

“Heaaattt...!”

Waluja berteriak mengguntur sambil memutar sekuat tenaga pedang di tangannya. Maka terbentuklah gulungan sinar memanjang yang bergerak turun naik membendung tusukan serta hantaman puluhan batang tongkat yang meluruk ke arahnya!

Terdengar teriakan-teriakan ngeri yang dibarengi percikan darah segar, saat pedang di tangan Waluja mulai meminta korban. Meskipun begitu, para pengemis berbaju hitam sama sekali tidak bergerak mundur. Mereka terus menggempur maju, tanpa takut terkena sambaran pedang lelaki tegap itu. Maka tentu saja Waluja agak terdesak karenanya.

Wira Yudha pun tidak ketinggalan. Pedang di tangannya dikelebatkan dengan kekuatan menggetarkan. Setiap kali pedangnya berkelebat, selalu saja ada darah memercik disertai robohnya lawan. Tapi karena jumlah lawan sangat banyak dan terus menggempur maju, lama-kelamaan Wira Yudha terpaksa bermain mundur sambil tetap mengelebatkan pedangnya.

Begitu juga Gala Campa. Lelaki gemuk murid tertua Perguruan Cakar Basi itu juga hanya bermain mundur. Meskipun pedang di tangannya telah berlumuran darah segar, tapi jumlah lawan yang seperti tidak pernah habis itu membuatnya agak terdesak. Padahal sambaran pedangnya terus meminta korban.

Serbuan para pengemis berbaju hitam itu memang benar-benar hebat. Tanpa perduli terhadap kawan-kawannya yang berjatuhan mandi darah, mereka terus menggusur ketiga orang lelaki gagah itu dengan hantaman-hantaman tongkat. Dan ketika lawan-lawan telah dapat dikepung, barulah serbuan para pengemis itu berkurang. Bahkan mereka terlihat bergerak mundur meninggalkan Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Maka, kontan benak mereka dipenuhi bermacam pertanyaan.

Belum lagi ketiga orang lelaki gagah itu dapat menemukan jawaban atas sikap aneh para pengeroyok, para pengemis berbaju hitam telah bergerak dan membentuk barisan berlapis-lapis. Semua itu tentu saja atas perintah pengemis brewok berkepala gundul, yang sepertinya hanya mendapat tugas untuk berteriak-teriak mengatur kawan-kawannya.

“Mulai...!”

Begitu mendapat perintah dari pengemis gundul, serentak saja barisan pengemis yang berlapis-lapis itu bergerak maju. Gerakan mereka benar-benar mengejutkan hati Wira Yudha dan kawan-kawannya.

“Gila...! Sepertinya mereka hendak menguras tenaga kita agar dapat di tangkap hidup-hidup...!” desis Wira Yudha.

Tampak barisan pengemis itu bergerak maju dengan tetap membentuk barisan. Tentu saja serangan seperti itu memang bisa membuat tenaga lawan terkuras habis.

“Hm.... Tidak perduli apa yang akan mereka lakukan! Yang penting, mereka kita babat habis...!” geram Gala Campa dengan semangat tinggi. Sehingga, kedua temannya merasa terbakar semangatnya.

“Kau benar, Kakang Gala Campa. Meskipun harus mati di tangan pengemis-pengemis biadab itu, tapi kita harus habisi mereka sebanyak mungkin!” Sahut Waluja, tidak kalah bersemangatnya. Setelah berkata demikian, lelaki tegap itu segera saja memutar senjatanya. Seketika, tubuhnya melesat menyambut kedatangan lawan.

“Heaaattt..!”

Beuuuttt..!

Selarik sinar putih berkeredep ketika pedang di tangan Waluja bergerak mendatar, membabat perut lima orang pengeroyok di barisan depan.

“Haaaiiittt..!”

Barisan pengemis berbaju hitam di bagian depan itu berseru serentak sambil menarik tumbuhnya ke belakang. Berbarengan dengan itu, para pengemis di barisan belakang berlompatan ke atas disertai babatan tongkat yang menderu tajam, mengancam kepala dan beberapa bagian tubuh Waluja.

Whuuuk! Whuuuk! Whuuuk!

“Hm... Rupanya lelaki tegap itu sudah cermat memperhitungkan serangannya. Maka, begitu melihat sasarannya sama-sama bergerak mundur, Waluja sudah memutar senjatanya dari bawah ke atas dengan kuda-kuda rendah. Akibatnya ,

Traaakkk!Traaakkk! Craaasss! Breeettt!

“Aaaakkk...!”

Terdengar benturan yang diselingi suara mata pedang mengenai sasaran! Terdengar jerit kematian saling susul disertai semburan darah segar yang sebagian menodai pakaian dan pedang Waluja. Tiga orang pengemis berbaju hitam kontan ambruk mandi darah! Sedangkan tiga lainnya terpental balik, akibat tangkisan lelaki tegap itu.

“Hm.... Majulah kalian, manusia-manusia busuk! Hari ini aku akan menghirup darah kalian satu persatu dengan senjataku...!” desis Waluja, semakin bertambah semangat begitu melihat gebrakannya telah memakan korban di pihak lawan.

Namun, pengemis berbaju hitam itu sama sekali tidak menjadi gentar. Diiringi teriakan-teriakan ribut, mereka kembali menerjang lelaki gagah itu dengan tongkat-tongkat di tangan. Pertempuran pun kembali berlanjut dengan sengit!

ENAM

Perlawanan Wira Yudha dan kawan-kawannya membuat kening pengemis brewok berkepala gundul itu berkerut-kerut. Meskipun anak buahnya telah banyak yang menjadi korban, tapi belum juga terlihat ada keinginan di hatinya untuk maju. Ia masih saja berdiri tegak, menyaksikan anak buahnya menggempur ketiga orang lelaki gagah itu.

“Hm.... Jadi mereka orang-orang Perguruan Cakar Besi dan Ular Emas...,” gumam lelaki gundul itu seorang diri. Kepalanya tampak terangguk-angguk sambil mengelus jenggot yang meranggas di dagunya.

Saat itu, Wira Yudha , Waluja, dan Gala Campa terlihat telah bermandikan darah dan keringat. Meskipun darah itu bukan dari tubuh mereka, namun penampilan ketiga orang tokoh persilatan itu benar-benar menyeramkan. Mereka tak ubahnya manusia-manusia haus darah yang tidak pernah puas dengan korbannya. Korban-korban lain yang masih hidup terus diburu.

Meskipun saat itu jumlah pengemis berbaju hitam sudah separuh lebih yang menjadi korban, namun sisanya tetap saja menerjang maju tanpa rasa ngeri. Para pengemis itu tetap melancarkan gempuran-gempuran yang bagaikan gelombang di lautan. Selalu bersambungan dan tidak pernah putus!

Deeesss!

“Aaakkkh...!”

Suatu ketika, Gala Campa yang gerakannya terlihat mulai melambat karena lelah, terpaksa harus menerima hantaman sebatang tongkat. Akibatnya, punggungnya terasa panas. Dan belum lagi lelaki gemuk itu sempat membalasnya, sebuah tongkat lain datang menubruk dada kanannya.

Duuuggg!

“Ughhh...!” Tubuh Gala Campa terjajar limbung! Dari sudut bibirnya tampak lelehan darah segar. Jelas, hantaman dua batang tongkat yang sangat keras itu membuatnya tersiksa. Dadanya terasa sesak, dan napasnya jadi tersengal.

“Bangsat..!” Sambil memaki kalang kabut, Gala Campa menyabetkan pedangnya ke depan secara serampangan. Hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk membendung serangan lain yang kemungkinan menyusul. Tapi, hasilnya sungguh membuat hati lelaki gemuk bersorak!

Ternyata sambaran pedang yang dilakukannya secara serampangan telah merobek tubuh dua orang pengemis yang memang tengah menyodokkan ujung tongkatnya ke tubuh Gala Campa! Tanpa ampun lagi, kedua orang pengemis itu ambruk bermandikan darah!

“Mampus kalian...!” dengus Gala Campa yang kemudian tertawa berkakakan. Lega hati lelaki gemuk itu, karena telah dapat membalas apa yang barusan dilakukan lawan terhadap dirinya.

“Gelombang surut...!” Tiba-tiba saja terdengar seruan keras yang meningkahi ramainya teriakan-teriakan dan denting senjata di arena pertempuran.

Sesaat setelah teriakan itu berkumandang, barisan pengemis itu serentak bergerak mundur bagaikan gelombang yang surut. Hal itu tentu saja membuat Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa menarik napas lega. Meskipun belum merasa terbebas, namun waktu yang sedikit itu rasanya dapat dipergunakan untuk menghimpun tenaga yang telah menyusut jauh.

“Hei, orang-orang Perguruan Cakar Besi dan Ular Emas! Kali ini kalian kuberi napas. Tapi kuperingatkan, setelah kejadian ini harap kalian berhati-hati. Karena, kami selalu siap mencabut nyawa kalian setiap saat...!”

Setelah ucapan itu selesai, pengemis berkepala gundul ini mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Kemudian dia bergerak meninggalkan tempat itu diiringi para pengikutnya. Tentu saja hal itu membuat Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa menjadi setengah tak percaya. Padahal kalau saja pertarungan dilanjutkan, bisa-bisa mereka akan tewas di tangan para pengemis itu. Tapi tanpa disangka-sangka, para pengemis itu justru bergerak mundur dan meninggalkan lawan-lawannya yang telah kepayahan.

“Hhh... Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang...?” tanya Waluja seraya menghempaskan tubuhnya ke atas tanah. Tanpa memperdulikan sekeliling, tubuhnya yang terasa lelah luar biasa langsung saja direbahkan.

Wira Yudha tidak menanggapi pertanyaan adik seperguruannya, karena juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Lelaki gagah itu ikut menjatuhkan tubuhnya, dan rebah terlentang kelelahan. Gala Campa juga melakukan hal serupa. Sehingga, tubuh mereka terjajar tak bergerak-gerak seperti tiga sosok mayat.

“Ada sesuatu yang aneh terhadap para pengemis berbaju hitam itu...” tiba-tiba saja terdengar suara Waluja yang memecah keheningan di antara mereka.

“Apa maksud ucapanmu itu, Adi Waluja...? Apakah sikap mereka yang tiba-tiba meninggalkan kita secara tiba-tiba yang kau anggap aneh...?” timpal Gala Campa.

Lelaki gemuk itu pun masih belum mengerti, mengapa serangan para pengemis itu harus berhenti, dan kemudian meninggalkan mereka. Padahal kalau pertarungan dilanjutkan, pasti para pengemis itu dapat menawan atau membunuh mereka. Maka tentu saja hal itu membuat benak ketiganya bertanya-tanya.

“Bukan, bukan itu maksudku. Tapi, rasanya ada kelainan antara pengemis berbaju hitam yang kita hadapi, dengan pengemis yang menggempur kita beberapa waktu yang lalu. Padahal saat itu, jumlah mereka jauh lebih sedikit. Tapi, kita harus mengerahkan kemampuan sepenuhnya untuk dapat melawan. Selain itu, pengemis yang pernah mengeroyok kita dulu banyak menggunakan senjata beracun. Lalu, mengapa sekarang mereka tidak menggunakannya...?” Bukankah itu aneh...?” desah Waluja yang segera bangkit duduk. Hal itu baru terpikir saat tubuhnya dibiarkan beristirahat tenang di atas rerumputan kering.

“Ah, benar! Mengapa aku tidak pernah berpikir ke arah itu. Jadi, apa kita telah salah menuduh? Jangan-jangan penyelidikan kita selama ini sia-sia...,” Gala Campa menepuk keningnya ketika Waluja mengingatkan tentang pengemis-pengemis yang pernah hampir membunuh mereka di tempat pertemuan beberapa waktu yang lalu.

“Hm.... Menurutku tidak begitu, Gala Campa. Mungkin saja pengemis-pengemis yang dikirim ke tempat pertemuan guru-guru kita merupakan orang pilihan yang memang bertugas untuk melakukan hal-hal seperti itu. Masalahnya kalau semua anggota pengemis berbaju hitam sehebat pengemis-pengemis yang pernah mengeroyok kita di tempat pertemuan, wah...! Rasa-rasanya, Perkumpulan Pengemis Baju Hitam bisa menjadi sebuah perkumpulan nomor satu di seluruh negeri. Bahkan bukan tidak mungkin kalau ketuanya menjadi jago nomor satu yang tak tertandingi. Jadi menurutku, penyelidikan kita belum bisa dibilang sia-sia. Hanya saja, kita sama sekali belum jelas tentang tokoh yang telah membunuh guru-guru kita itu. Nah! Setelah kejadian barusan, apalagi yang harus kita lakukan...?” tanya Wira Yudha, setelah menguraikan pendapatnya secara panjang lebar. Dan penjelasan itu memang bisa diterima Waluja dan juga Gala Campa. Terbukti, kedua lelaki gagah itu sama-sama mengangguk-anggukkan kepala.

“Hhh.... Setelah mengalami pertempuran barusan, aku menjadi ragu. Apakah mungkin kita bisa membalas kematian guru-guru kita? Sebab, jumlah yang mengeroyok tadi masih belum sepersepuluhnya dari anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Sedangkan untuk mencari pembunuh itu, sudah pasti harus mendatangi pusat perkumpulan itu. Bukankah itu sama saja memasuki mulut harimau lapar...?” desah Waluja, yang meluncur begitu saja dari mulutnya. Sehingga, baik Wira Yudha maupun Gala Campa jadi termenung dengan wajah keruh. Jelas, mereka pun merasakan kesulitan itu.

“Hm..., sebaiknya kita temui saja Ki Damang. Mungkin dia bisa memberi jalan keluar. Kita memang butuh keterangannya, karena setelah kejadian barusan, untuk mendatangi markas pengemis itu sudah tidak mungkin. Kita telah dianggap sebagai musuh oleh mereka. Apabila kita muncul, mungkin tanpa banyak tanya lagi mereka langsung akan menggempur habis-habisan. Bagaimana? Apakah kalian setuju dengan usulku itu...?” tanya Wira Yudha, meminta pendapat kedua orang itu.

“Yah.... Memang tidak ada jalan lain lagi. Satu-satunya yang terbaik saat ini adalah usulmu itu. Wira Yudha. Aku jelas setuju sekali...,” sahut Gala Campa dengan wajah berseri.

“Kalau begitu, mengapa kita tidak berangkat sekarang saja?” kata Waluja seraya bangkit dan siap meninggalkan tempat itu.

“Bagaimana dengan mayat-mayat pengemis itu...?” Gala Campa merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpah tindih itu. Diam-diam hatinya bergidik menyaksikan korban mereka bertiga.

“Biarkan saja. Nanti pun ada orang yang mengurusnya,” jawab Wira Yudha cepat. Kemudian, ketiganya pun berangkat meninggalkan tempat itu untuk menemui Ki Damang.

********************

Sinar matahari pagi merambah permukaan bumi, menghangatkan enam sosok tubuh gagah yang melangkah ringan memasuki wilayah Hutan Grambang. Langkah mereka tampak begitu bergegas, seperti tengah memburu sesuatu. Ranting-ranting pohon dan dedaunan yang menghalangi jalan dikibaskan dengan tangan-tangan, mereka terus bergerak menuju hutan sebelah Barat.

Tidak berapa lama kemudian, keenam orang lelaki gagah itu mulai melintasi jalan yang agak rata dan lebih mudah dilewati. Di depan mereka, sudah tampak sebuah bangunan besar yang lebih mirip sebuah perguruan. Tampaknya tujuan mereka adalah Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Namun, langkah mereka segera tertunda ketika terdengar bentakan mengejutkan!

“Berhenti...!”

Melihat dari gerakan yang nampak sigap saat melakukan langkah mundur, jelas kalau keenam orang itu merupakan tokoh-tokoh persilatan. Bahkan kelihatannya kepandaian yang dimiliki tidak bisa dipandang ringan. Sosok terdepan adalah lelaki setengah baya bertubuh kurus. Dia segera saja melangkah maju dan memberi hormat kepada seorang lelaki gemuk berkepala botak yang memegang senjata tongkat yang matanya berbentuk bulan sabit. Di kiri kanan lelaki gemuk berpakaian hitam itu, tampak belasan orang pengemis siap dengan tongkat ditangan.

“Hm.... Kalau aku tidak salah lihat, kau pasti Ki Damang yang mempunyai perguruan Elang Putih?” tegur lelaki botak yang juga berpakaian hitam dan penuh tambalan dengan suara parau. Anehnya, meskipun dipenuhi tambalan, namun tampak jelas kalau pakaian itu masih baru. Bahkan tambalannya seperti sengaja diatur sedemikian rupa. Sekali lihat saja, orang akan tahu kalau kain-kain penambal itu bukan dijahit, melainkan dilekatkan saja.

“Dugaanmu tidak meleset sama sekali, Kisanak. Dan kau pasti tokoh pengemis Tongkat Bulan Sabit. Julukanmu memang sangat dikenal oleh kalangan persilatan, karena permainan tongkatmu yang mengagumkan. Sungguh beruntung aku dapat berjumpa denganmu, Kisanak...,” balas lelaki kurus yang memang tak lain dari Ki Damang, Ketua Perguruan Elang Putih yang sudah cukup tersohor di kalangan rimba persilatan.

“Hm.... Bagus kalau kau sudah mengenalku, Ki Damang. Sekarang, katakan apa tujuanmu datang ke wilayah kami ini? Ingat! Bila jawabanmu tidak jujur, tahu sendiri akibatnya...,” lanjut Tongkat Bulan Sabit setengah mengancam.

Nada bicara laki-laki botak itu tidak lagi seramah semula. Sehingga, orang-orang di belakang Ki Damang tampak tegang. Mereka tentu saja dapat melihat gela- gat tidak baik dari sorot mata lelaki gemuk berjuluk Tongkat Bulan Sabit itu.

“Kedatanganku ke wilayah kalian ini, sudah pasti mempunyai tujuan yang sangat penting. Sahabat-sahabat baikku telah tewas terbunuh secara gelap pada beberapa waktu yang lalu. Dan...,”

“Langsung saja Ki Damang, tidak perlu bertele-tele...!” potong Tongkat Bulan Sabit cepat dengan wajah menunjukkan keangkuhan. Sehingga, Ki Damang terpaksa harus menelan kedongkolannya.

“Baik! kedatanganku hendak meminta tanggung jawab Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam,” tandas Ki Damang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya.

“Gila! Hati-hati bicaramu, Ki Damang! Tanpa hujan tanpa angin, tahu-tahu ingin meminta tanggung jawab ketua kami. Apa yang telah ketua atau anggota kami lakukan?” tanya Tongkat Bulan Sabit dengan wajah merah karena merasa geram mendengar tuduhan Ki Damang.

“Hm..., Kau sendiri yang meminta ku untuk mengatakan langsung maksud kedatanganku ke sini, bukan? Nah, mengapa ketika kusampaikan kau malah bertanya? Apa kau ingin agar aku bertele-tele?” tukas Ki Damang tidak mau kalah gertak.

Hasilnya, Tongkat Bulan Sabit langsung bungkam, karena merasa kalah dalam berbicara.

“Seperti yang kukatakan tadi, dua orang sahabat baikku yang berjuluk Pendekar Ular Emas dan Cakar Penghancur Tulang, terbunuh secara gelap. Mereka tewas dengan kepala pecah, karena ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’ yang hanya dimiliki Pengemis Berbaju Hitam. Itulah sebabnya aku datang ke tempat ini,” jelas Ki Damang, sambil menandaskan ucapannya pada kalimat terakhir.

Tentu saja, keterangan itu membuat Tongkat Bulan Sabit terperangah dengan wajah pucat! Jelas, hatinya sangat terkejut oleh penjelasan itu. “Mustahil! Kau pasti salah, Ki Damang. Tidak mungkin!” sentak Tongkat Bulan Sabit sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya, dia tidak mau menerima tuduhan itu.

“Tidak ada yang mustahil, dan aku tidak salah menilai. Aku tahu betul tanda akibat pukulan ilmu tongkat itu. Nah! Karena ciri itulah, maka aku berani datang ke tempat ini. Sekarang, bawa aku menghadap Ki Parewang, agar bisa menanyakan langsung kepada beliau,” bantah Ki Damang yang memang merasa yakin akan penilaiannya.

“Kubilang mustahil!” Tongkat Bulan Sabit pun tidak mau kalah. “Apa kau tahu apa sebabnya kubilang mustahil, orang tua goblok?! Sebab, yang memiliki ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’ hanya Ketua Pengemis Baju Hitam yaitu Ki Parewang. Sedangkan selama ini, aku tahu kalau ketua kami tidak pergi kemana-mana. Nah, sekarang kau mengerti, bukan?” sergah lelaki gemuk itu lagi.

Tapi, Ki Damang tetap tidak mengerti. “Justru itulah bawa aku menghadap beliau untuk mendapat keterangan secara langsung dan lebih jelas. Kau tahu, kedua sahabatku itu bukan orang sembarangan. Dan hanya orang-orang tertentu sajalah yang sanggup membunuh mereka sekaligus!” Ki Damang tidak mau mengalah dan tetap pada keputusannya.

“Kau menuduh ketua kami yang melakukan pembunuhan itu, Ki Damang...?” tanya Tongkat Bulan Sabit yang segera mengerti, ke mana arah pembicaraan orang tua itu.

“Ya! Terus terang, aku merasa curiga. Mengingat kepandaian ketuamu memang pantas kalau kedua sahabatku sampai terbunuh. Untuk itu, aku harus berbicara dengan Ki Parewang agar permasalahan ini menjadi lebih jelas lagi,” desak Ki Damang yang berkeras hendak menemui Ketua Pengemis Baju Hitam.

“Hm Karena kau keras kepala aku terpaksa mengatakannya. Sebenarnya, hal ini tidak boleh diketahui orang luar. Tapi karena masalah ini kuanggap sangat penting, biarlah kukatakan terus terang padamu. Sejak beberapa bulan yang lalu, ketua kami telah bertapa membersihkan hati dan pikirannya. Itu sebabnya, kubilang mustahil kalau beliau melakukan pembunuhan. Dan semenjak memasuki ruang pertapaan, Ki Parewang belum muncul sampai sekarang. Maka, sebaiknya kau kaji kembali dari awal. Siapa tahu, kau akan menemukan petunjuk lain...,” jelas Tongkat Bulan Sabit menghela napas panjang. Sepertinya, apa yang disampaikan Tongkat Bulan Sabit barusan memang merupakan rahasia yang tidak boleh dibocorkan.

“Pembohong! Kau pikir aku akan percaya dengan keterangan palsumu itu! Kau sengaja mengarang cerita bohong itu agar kami segera angkat kaki dari tempat ini. Hm.... Tidak semudah itu babi gendut! Aku tetap akan memaksa untuk memenuhi Ki Parewang. Setelah itu, baru aku merasa puas setelah mendapat keterangan darinya!”

Tiba-tiba sebuah bentakan dan ucapan berapi-api memotong pembicaraan Tongkat Bulan Sabit. Dan rupanya, bentakan itu datangnya dari Wira Yudha. Lelaki gagah berusia empat puluh lima tahun itu kemudian melangkah sambil menatap tajam Tongkat Bulan Sabit. Sementara, Ki Damang diam saja tidak berusaha mencegah. Sepertinya, dia memiliki dugaan yang sama dengan Wira Yudha.

“Bedebah! Siapa kau?! Tutup bacotmu yang sembarangan bicara itu! Meskipun kami bukan golongan bersih seperti kalian, tapi untuk berdusta tak akan pernah kami lakukan! Buat kami, itu menandakan sikap seorang pengecut!” bentak Tongkat Bulan Sabit dengan tidak kalah kerasnya. Sehingga, suasana pun semakin bertambah runyam.

“Siapa yang percaya mulut pengemis busuk seperti kalian! Aku tetap akan menemui Ki Parewang, apapun yang terjadi...!” tegas Wira Yudha seraya melangkah hendak menuju bangunan besar yang merupakan tempat tinggal Pengemis Baju Hitam.

“Berhenti! Selangkah lagi kau menindak, jangan salahkan kalau kepalamu akan terpisah dari badan...!” ancam Tongkat Bulan Sabit sambil melintangkan tongkat di depan dada. Jelas, lelaki gemuk itu tidak main-main dengan ucapannya.

“Hm...!” Tapi, ancaman itu disambut dengan kejantanan oleh Wira Yudha. Dengan sigapnya, lelaki gagah itu menarik gagang pedang yang tergantung dipinggang.

Sriiiing!

“Begitu lebih baik...!” jawab Wira Yudha yang langsung memutar senjatanya secara bersilangan.

Suasana panas semakin memuncak. Sepertinya, perkelahian tidak mungkin dapat dihindari lagi. Bahkan kedua belah pihak sudah melangkah saling berputar, siap saling terjang!

TUJUH

“Heaaattt...!”

Wira Yudha yang sudah tidak bisa menahan sabar, segera saja melesat disertai putaran pedangnya yang menderu-deru. Ki Damang sama sekali tidak mencegah, karena sudah bisa menilai kepandaian murid tertua Ki Jasminta. Dan ia yakin, Wira Yudha belum tentu kalah oleh lawannya.

“Hmmmhhh...!” Tongkat Bulan Sabit mendengus kasar melihat serangan maut lawannya. Sesaat lamanya, ia masih tetap tidak bergeming dari tempatnya. Hanya sepasang matanya saja yang menyorot tajam, meneliti kelemahan ilmu pedang lawannya.

“Yaaattt...!”

Tepat pada saat pedang di tangan Wira Yudha menusuk dengan kecepatan kilat mengancam dada, Tongkat Bulan Sabit berseru nyaring. Tubuhnya langsung melenting ke udara dan melakukan pukulan dengan tongkat mengancam punggung Wira Yudha. Benar-benar sebuah perhitungan yang sangat cermat dan tepat. Sehingga, Ki Damang sempat mencemaskan nasib Wira Yudha. Tapi Wira Yudha tentu saja tidak begitu mudah dikalahkan lawan dalam segebrakan saja. Cepat bagai kilat, tubuhnya digulingkan, menjauhi tempat itu. Sehingga, tongkat lawan hanya menghantam angin kosong.

“Hm Ternyata permainanmu lumayan juga, orang gagah,” puji Tongkat Bulan Sabit. Kelihatannya, laki-laki botak itu sangat senang mendapat lawan seperti Wira Yudha. Maka semangatnya pun berpendar dari sepasang matanya. Jelas lelaki gemuk itu merupakan seorang pecandu ilmu silat. Sesaat kemudian, keduanya kembali saling bergerak mendekati. Mereka saling menatap tajam, dalam meneliti gerak langkah maupun gerak tangan satu sama lain.

“Haaattt...!”

“Yaaattt...!”

Seiring pekikan-pekikan membahana, kedua tokoh itu kembali saling menerjang hebat. Maka pertarungan pun kembali berlanjut lebih seru dan menegangkan! Sementara itu, belasan anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam yang semula memang telah siap menghadapi perkelahian, menatap curiga ketika melihat Ki Damang dan empat orang lainnya bergerak hendak melewati mereka. Serentak, belasan pengemis itu menggenggam erat tongkat hitam masing-masing. Salah seorang dari mereka menengadah sambil memperdengarkan suara melengking sebagai panggilan kepada kawan-kawannya yang lain.

“Uuu...!” Ki Damang yang sadar kalau siulan itu sangat berbahaya artinya bagi keselamatan mereka, segera saja melesat dan melontarkan pukulan ke arah belasan orang pengemis yang telah siap tempur.

Deeesss! Bugggg!

Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika pukulan Ki Damang yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi menghantam tubuh beberapa orang pengemis. Maka langsung saja korban pukulan maut berjatuhan dengan nyawa melayang.

“Heeeaaattt...!”

Melihat kawan-kawannya telah menjadi korban pukulan maut lawan, para pengemis yang lain segera saja berlompatan melayangkan pukulan tongkat ke arah lelaki setengah baya bertubuh kurus itu!

Wuuukkk! Whuuukkk!

Enam batang tongkat berkelebatan mengancam tubuh Ki Damang. Tapi, Ketua Perguruan Elang Putih sama sekali tidak gugup. Dengan tenang, dinantinya sambaran tongkat lawannya. Kemudian cepat bagai kilat, tubuhnya yang kurus merendah sambil mengangkat kedua tangannya secara menyilang.

Kraaakkk!

Enam batang tongkat yang terbuat dari kayu besi langsung berpatahan ketika bertemu lengan Ketua Perguruan Elang Putih.

“Heaaahhh!” Sambil mengeluarkan bentakan keras, Ki Damang membuka kedua lengannya bagaikan kepak sayap elang jantan. Akibatnya...,

“Aaa...!”

Enam orang pengemis berbaju hitam terpelanting ke segala arah, dan jatuh dengan suara berdebuk keras. Namun, wajah-wajah cemas para pengemis itu berubah lega ketika mendengar suara orang berlarian mendatangi tempat itu. Dan tak berapa lama kemudian, muncullah puluhan orang pengemis berbaju hitam yang langsung mengurung tempat pertarungan.

Cepat-cepat Ki Damang melompat mundur dan bersatu dengan yang lain. Sedangkan pertempuran antara Wira Yudha dan Tongkat Bulan Sabit masih terus berlangsung sengit.

“Hua ha ha...! Ternyata kita kedatangan tamu yang tak diundang. Benar-benar menggembirakan. Selamat datang Ketua Perguruan Elang Putih...!”

Terdengar suara yang melengking tinggi bagaikan suara seorang wanita. Sedangkan orang yang mengucapkannya sangat berlawanan dengan suaranya. Orang itu adalah lelaki pendek gemuk, hampir menyerupai bulatan. Pada wajah dan lehernya tampak lemak bergelantungan. Sehingga apabila tertawa sepasang matanya menjadi dua buah garis kecil yang terhimpit lemak-lemak diwajahnya.

“Tongkat Malaikat...?” seru Ki Damang dengan wajah tegang. Ketua Perguruan Elang Putih itu kenal betul dengan tokoh pengemis berbaju hitam yang satu ini. Tapi sekelebatan tadi, ia hampir-hampir tidak bisa mengenalinya lagi. Sebab beberapa tahun yang lalu, Tongkat Malaikat tidak sampai segemuk sekarang. Maka tentu saja Ki Damang pangling karenanya.

“Hm...,” gumam lelaki pendek gemuk berjuluk Tongkat Malaikat. Wajah bulat yang semula cerah, tampak berubah gelap ketika menerima laporan dari salah seorang pengemis yang menyampaikan keperluan Ki Damang.

“Setan kurang ajar kau, Ki Damang! Berani benar menghina ketua kami dengan fitnah kejimu itu! Kalau begitu, kesalahanmu tidak bisa dimaafkan...!” dengus Tongkat Malaikat, langsung melesat dengan sambaran tongkat hitamnya yang mengaung tajam!

Luar biasa! Sungguh mengherankan kalau tubuh gemuk bagai bola itu dapat bergerak demikian cepat. Bahkan Ki Damang sendiri sempat terkejut dibuatnya. Sehingga, terlambat sedikit saja menyadari bahaya, belum tentu nyawanya masih selamat!

Bweeeettt!

“Haaahhh!”

Disertai bentakan keras, Ki Damang melenting jauh ke belakang. Tubuhnya berputaran di udara sebelum mendarat di tanah! Tapi...,

Buuuggg!

“Huaaakh...!” Darah segar langsung saja menyembur dari mulut Ki Damang! Tubuh orang tua itu terjerunuk deras ke depan. Untunglah, keseimbangan tubuhnya masih bisa terjaga. Sehingga dia tidak sampai terbanting jatuh!

“Tongkat Setan Hitam...?!” seru Ki Damang kembali terperangah dengan wajah semakin tegang melihat hadirnya tokoh-tokoh puncak Pengemis Baju Hitam.

Tokoh yang satu itu adalah kepala cabang di wilayah Selatan. Ki Damang menduga, tokoh itu mungkin datang ke pusat untuk melaporkan keadaan wilayah kekuasaanya. Maka semakin cemaslah Ki Damang akan keselamatan kawan-kawannya.

“Bunuh orang-orang kurang ajar itu...!” Tiba-tiba terdengar perintah Tongkat Malaikat yang menggeletar dan melengking bagai memenuhi seluruh pelosok hutan.

Tapi sebelum semuanya terjadi, tiba-tiba saja terdengar suara tawa berkepanjangan bagaikan menyambut perintah Tongkat Malaikat Karuan saja, suara tawa yang didorong tenaga dalam maha dahsyat itu membuat semua orang yang berada di tempat ini menjadi terkejut setengah mati. Bahkan yang sedang bertarung, langsung menghentikan pertarungannya, dan kembali ke barisan masing-masing.

Namun sebelum mereka sempat mengerahkan tenaga untuk menolak gelombang tenaga dahsyat itu, tiba-tiba saja suara tawa itu lenyap secara mendadak. Sehingga, orang-orang yang hanya memiliki tenaga dalam rendah menjadi lega. Dada mereka yang semula bagikan terhimpit batu besar, kini kembali terasa lapang. Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di arena menjadi hening. Seorang pun tak ada yang mengeluarkan suara. Sepertinya, mereka masih merasa belum terbebas dari pengaruh suara tawa yang maha dahsyat tadi.

Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, dan orang lainnya merasa sangat tersiksa oleh keheningan itu. Ketegangan dan kecemasan kian memuncak menggeluti perasaan mereka. Sebab mereka tidak tahu, apakah yang datang itu masih dari pihak lawan, atau kawan.

“Menurut Ki Damang, siapakah orang yang mengeluarkan suara tawa mengerikan itu...?” Seperti tak tahan dengan suasana yang demikian mencekam, Wira Yudha berbisik lirih bagai tercekat di kerongkongan. Nyata sekali ketegangan hati lelaki gagah itu dari suaranya.

“Entahlah. Tapi kemungkinan besar orang itu pasti dari pihak lawan. Karena, aku sendiri belum pernah mendengar ada seorang tokoh golongan putih yang memiliki tenaga sakti sedahsyat itu...,” sahut Ki Damang, juga berupa bisikan. .

“Tapi.... Bukankah Pendekar Naga Putih kabarnya juga memiliki kesaktian dahsyat yang menggiriskan? Apa tidak mungkin kalau yang mengeluarkan suara tawa adalah pendekar besar itu, Ki...?” tanya Wira Yudha. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja Wira Yudha teringat pendekar muda yang menggemparkan hampir seluruh pelosok negeri itu.

“Sulit untuk menjawab pertanyaanmu itu, Wira. Tapi sebaiknya, kita berdoa saja. Mudah-mudahan, suara itu memang milik Pendekar Naga Putih...,” ujar Ki Damang yang akhirnya mengharapkan kehadiran pendekar muda yang khabarnya memiliki kesaktian sangat tinggi dan sulit dijajaki.

Kesunyian itu masih saja berlangsung bagai tak berkesudahan. Baru saja tokoh yang berjuluk Tongkat Malaikat hendak membuka suara, tiba-tiba semua mata menoleh ke arah dua sosok tubuh yang tampak tengah menghampiri tempat itu. Sayang, kegelapan bayang pepohonan menyembunyikan bayang-bayang keduanya. Sehingga, tidak seorangpun yang bisa menduga, siapa kedua sosok tubuh itu.

“Hei...?!”

Hampir berbarengan suara itu keluar dari mulut Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Wajah mereka sama-sama tertegun, begitu kedua sosok tubuh itu sudah tidak terlindung bayang pohon. Mereka tentu saja segera dapat mengenali kedua sosok bayangan itu dengan baik.

“Bukankah pemuda itu yang pernah kita temui di kedai tempat pengemis-pengemis brengsek itu mencari perkara? Bagaimana dia bisa sampai ke tempat ini? Ada keperluan apa pemuda itu dengan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam? Atau..., jangan-jangan ia benar mata-mata mereka...?” desis Gala Campa. Dia tentu saja menjadi heran ketika mengenali kedua sosok tubuh pasangan muda itu.

Apa yang dikatakan Gala Campa memang tidak salah. Kedua sosok tubuh itu tak lain Panji dan Kenanga. Pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian hijau itu melangkah tenang, tanpa mempedulikan tatapan mata orang-orang yang berada di tempat itu. Yang mengandung arti berlainan.

“Ah...! Sepertinya harapanmu terkabul, Wira Yudha...,” ucap Ki Damang dengan helaan napas lega. Wajah laki-laki setengah baya yang semula cemas, kini nampak berseri. Dengan langkah bergegas, segera disambutnya kedatangan Pendekar Naga Putih dan Kenanga, yang memang sangat diharapkan.

“Ki, apa maksudmu...?” Wira Yudha yang merasa heran melihat tingkah Ki Damang, segera saja menyambar tangan orang tua itu. Hingga, langkah Ki Damang tertahan karenanya.

“Ah...! Dasar kau yang bodoh, Wira Yudha. Kau katakan tadi sudah pernah bertemu dan berkenalan dengan pemuda itu. Lalu, sekarang malah bertanya. Jangan katakan kalau kau tidak tahu tentang pemuda tampan berjubah putih itu...,” ujar Ki Damang cepat.

Begitu ucapannya selesai, lelaki setengah baya itu melepaskan cekalan tangan Wira Yudha. Kemudian, dia bergegas mendekati Panji dan Kenanga. “Aku pasti tidak akan salah terka. Kau pastilah Pendekar Naga Putih yang tersohor itu, Anak muda...,” kata Ki Damang ketika telah dekat, seraya menjabat tangan Panji erat-erat. Ucapannya meluncur deras, menunjukkan betapa gembiranya perasaan Ki Damang saat itu.

“Dugaanmu tidak salah, Ki. Orang-orang memberi julukan itu kepadaku...,” sahut Pendekar Naga Putih tersenyum melihat wajah orang tua itu tampak berseri-seri. Meskipun saat itu tidak tengah mengunjungi sebuah gedung megah, hangatnya sambutan Ki Damang benar-benar membuat Panji merasa senang.

“Jadi..., kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?” tanya Wira Yudha seperti meminta kepastian.

Sedangkan Waluja, Gala Campa, dan dua orang murid Ki Damang menatap wajah pemuda tampan itu penuh selidik.

“Benar, Kisanak...,” sahut Pendekar Naga Putih. Panji tersenyum melihat wajah kelima lelaki gagah itu tampak demikian ketololan ketika mengangguk-anggukkan kepala.

Terlebih, ketiga orang yang pernah berjumpa dengan Panji dan Kenanga. Tentu saja mereka merasa sangat tolol. Sebab meski sudah berjumpa dan saling bertegur sapa, ternyata mereka masih juga belum mengenali. Padahal, orang yang ditegur dan diajak bicara itu sesungguhnya seorang pendekar besar yang sangat mereka kagumi sepak terjangnya. Mengingat akan hal itu, baik Wira Yudha, Waluja, maupun Gala Campa merasa malu hati terhadap Panji.

“Tapi..., mengapa kau tidak memperkenalkan diri kepada kami saat itu, Panji...?” Karena tidak tahu harus berkata apa, akhirnya hanya pertanyaan bodoh itulah yang keluar dari mulut Gala Campa.

“Hei? Bukankah aku sudah memperkenalkan diri kepada kalian. Bahkan kawanku ini juga telah ku perkenalkan kepada kalian, bukan? Jangan katakan kalau kalian lupa...,” tukas Panji,

Hal ini jelas membuat Gala Campa bertambah kebingungan. Karena, baru dirasakan kalau pertanyaannya sangat bodoh. “Maksudku..., mengapa kau tidak memperkenalkan julukanmu kepada kami? Bukankah kalau hal itu kau katakan, ceritanya tidak akan jadi sekacau ini?” tanya Gala Campa seperti hendak membela diri. Sayangnya, pertanyaan itu masih juga merupakan pengulangan kebodohannya.

“Tentu saja tidak, Kisanak. Apakah aku harus memperkenalkan julukanku kepada setiap orang yang bertanya tentang namaku? Lalu, apakah orang akan percaya dengan pengakuan ku? Aku khawatir orang-orang akan menuduhku sebagai pemuda gila...,” Panji tertawa perlahan setelah menjawab pertanyaan Gala Campa.

“Ooo...,” Gala Campa sendiri hanya memonyongkan mulutnya, membentuk bulatan. Kepalanya terangguk- angguk menyadari betapa pertanyaannya ini pun terdengar sangat bodoh.

Sementara itu, Tongkat Malaikat, Tongkat Setan Hitam, Tongkat Bulan Sabit, serta hampir dua ratus anggota Pengemis Baju Hitam, seperti sengaja memberi kesempatan kepada orang-orang yang menamakan diri golongan putih itu untuk saling bertukar sapa. Ketiga orang pentolan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam hanya tertawa saja melihat kemunculan pemuda tampan berjubah putih itu.

Meskipun mereka pernah mendengar julukan Pendekar Naga Putih diributkan orang, tapi karena belum menyaksikan kepandaian pemuda itu dengan tangan sendiri, tentu saja mereka belum percaya. Apalagi, penampilan Panji memang tidak menunjukkan kekuatan hebat ada dalam dirinya. Sehingga, tokoh-tokoh berpakaian jembel itu hanya memandang remeh.

“Hua ha ha...! Kalau kalian sudah cukup puas saling bertegur sapa, minggirlah!” kata Tongkat Malaikat tiba-tiba dengan suara melengking tinggi. Sengaja suaranya disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga menyakitkan telinga.

“Aaahhh...!”

Orang-orang yang tidak kuat tenaga dalamnya kontan mengeluh dengan wajah berkerut-kerut. Bahkan beberapa anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam ada yang langsung terjatuh akibat suara yang dikeluarkan Tongkat Malaikat. Sehingga tawanya semakin menjadi-jadi, seolah-olah ingin membalas suara tawa yang mungkin berasal dari pemuda berjubah putih tadi.

“Hm.... kau sungguh keterlaluan, Tongkat Malaikat. Untuk apa menunjukkan tenaga dalammu di depanku? Sampai perutmu kempes pun, aku tidak akan terpengaruh,” Pendekar Naga Putih sengaja mengucapkan kata-kata yang sedikit sombong, dengan maksud agar Tongkat Malaikat tidak melanjutkan perbuatannya.

“Bedebah! Kau sombong sekali, Pendekar Naga Putih! Apa dikira hanya kau yang memiliki tenaga dalam tinggi?! Huh! dasar pemuda ingusan yang tidak tahu luasnya dunia...!” maki Tongkat Malaikat. Rupanya dia merasa jengkel, karena kekuatan tenaga saktinya diremehkan pemuda yang pantas menjadi muridnya.

“Tongkat Malaikat,” sebut Panji dengan wajah dan sikap tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda permusuhan. “Ki Damang menceritakan padaku, kalau ingin berjumpa Ki Parewang yang menjadi ketua perkumpulan pengemis. Lalu, mengapa kau dan kawan-kawanmu tidak mengijinkannya?”

“Dengar Pendekar Naga Putih, apapun keperluan kalian, aku tidak akan ijinkan guruku diganggu keroco-keroco macam kalian!” tegas Tongkat Malaikat dengan wajah gelap. Tokoh itu sama sekali tidak tahu kalau Tongkat Bulan Sabit telah menyampaikan kepada Ki Damang tentang keadaan Ki Parewang.

“Hm... Mengapa, Tongkat Malaikat? Padahal menurut Ki Damang, persoalan ini sangat berat. Bahkan bisa membuat tokoh-tokoh golongan putih marah, dan mungkin akan meratakan pusat perkumpulan pengemis. Jelas persoalan ini kupandang penting...,” desak Pendekar Naga Putih lagi, yang memang sudah diceritakan tentang keperluan Ki Damang dan kawan-kawannya datang ke tempat itu.

“Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai kiamat pun tetap tidak! Dan apapun akibatnya akan kuhadapi!” tegas Tongkat Malaikat yang berkeras hati tidak ingin mengatakan tentang keadaan Ki Parewang.

Jelas Tongkat Malaikat bukan mempertahankan keadaan itu karena dirinya, tapi karena telah mendapat pesan dari Ki Parewang yang tidak ingin diganggu. Itulah sebabnya, mengapa Tongkat Malaikat tetap berkeras, meski untuk itu harus mengorbankan nyawanya. Dan memang, Tongkat Malaikat mendapat pesan langsung dari gurunya.

DELAPAN

Sikap keras kepala Tongkat Malaikat tentu saja membuat jengkel Pendekar Naga Putih. Apapun alasan yang mungkin menyebabkan Tongkat Malaikat bersikap demikian, Panji tidak bisa lagi memakluminya. Karena yang didengarnya dari Ki Damang, persoalan itu sangat berat dan penting!

“Baiklah, Tongkat Malaikat. Karena kau tetap keras kepala, terpaksa harus kulakukan dengan jalan kekerasan...,” tegas Pendekar Naga Putih yang segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Seiring terdengarnya suara bercuitan yang ditimbulkan gerakan tangannya, muncullah lapisan sinar putih keperakan menyelimuti sekujur tubuh Pendekar Naga Putih. Ciri itulah yang membuat Ki Damang dan tokoh-tokoh Perkumpulan Pengemis Baju Hitam semakin bertambah yakin kalau pemuda itu memang berjuluk Pendekar Naga Putih.

“Heaaahhh...!”

Seperti tidak mau kalah gertak, Tongkat Malaikat memutar senjata di tangan sekuat tenaga. Setelah melihat adanya lapisan kabut yang menyelimuti sekujur tubuh calon lawannya, Tongkat Malaikat terlihat mulai ada penilaian lain terhadap Panji. Itu sebabnya, tenaga saktinya langsung saja dikerahkan.

Weeerrr! Weeerrr!

Tidak percuma tokoh gemuk bulat itu dijuluki Tongkat Malaikat. Putaran senjatanya memang benar-benar menggetarkan! Hal itu tergambar jelas pada gerakan-gerakan pembuka yang dilakukannya. Selain bentuk tongkat jadi tak terlihat mata biasa, deru angin yang ditimbulkannya pun bukan main hebatnya.

Sehingga, orang-orang yang berada dalam jarak satu tombak lebih harus bergerak mundur. Bahkan putaran angin yang ditimbulkannya membuat debu dan dedaunan beterbangan. Jangankan daun-daun yang di tanah, bahkan yang masih di atas pohon pun ikut terbetot rontok dari rantingnya.

Menyaksikan kedua orang tokoh sakti itu sudah siap saling gempur, Ki Damang, segera memerintahkan kawan-kawan dan muridnya untuk mundur menjauh. Dan dia sendiri juga terlihat sudah menghunus senjata, siap menghadapi pertempuran. Sepertinya, Ki Damang sadar kalau pertempuran pasti akan segera pecah!

Begitu pula halnya Kenanga. Dara jelita itu terlihat sudah menggenggam erat gagang Pedang Sinar Bulan-nya. Sekali lihat saja, sudah dapat dipilih, siapa yang harus dihadapinya. Kenanga sudah mengincar Setan Tongkat Hitam! Menurutnya, lelaki gemuk brewok berkepala botak itulah yang paling berbahaya di antara tokoh Pengemis Baju Hitam, selain Tongkat Malaikat yang telah siap tempur dengan Pendekar Naga Putih.

“Yeaaattt...!”

Mendadak saja, suasana yang semakin tegang, seketika pecah oleh teriakan melengking tinggi dari Tongkat Malaikat. Tubuh tokoh itu sendiri telah meluruk ke arah Panji dengan kecepatan mengagumkan. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mungkin Panji sukar mempercayainya! Sebab, tubuh pendek gemuk yang bulat seperti sebuah bola ternyata dapat bergerak cepat. Sungguh berlawanan dengan bentuk tubuhnya yang terlihat berat bila dibawa berjalan. Apalagi, untuk berlari. Tapi, nyatanya gerakan Tongkat Malaikat sama sekali tidak lamban!

Beuuuttt...!

Pendekar Naga Putih menarik mundur kaki kanannya ke belakang dengan kuda-kuda jinjit pada kaki kiri. Sedangkan tubuhnya agak doyong ke belakang. Sepasang tangannya tampak bergerak berputar secara menyilang. Kemudian begitu sambaran tongkat lawan lewat di depan tubuhnya, Panji langsung bergerak ke depan. Seketika sepasang telapak tangannya didorongkan ke tubuh lawan!

Whuuusss...!

Serangkum angin dingin menusuk tulang langsung berhembus keras, menerpa tubuh Tongkat Malaikat. Untunglah tokoh pengemis yang merupakan orang kedua dalam perkumpulannya, memiliki kegesitan dan perhitungan matang. Sehingga meskipun hantaman lawan meluncur siap menghajar tubuhnya, dia dapat bertindak cepat dengan lompatan pendek ke samping. Kemudian dengan gerakan sangat cepat, tongkat di tangannya diputar setengah lingkaran, untuk kemudian bergerak menyodok perut Pendekar Naga Putih!

“Bagus...!” Panji yang, melihat serangan lawan memang sangat mengagumkan, tanpa ragu langsung saja mengeluarkan pujian. Memang, apa yang dilakukan Tongkat Malaikat merupakan sebuah gerakan bagus. Bahkan menunjukkan kejelian mata tokoh bertubuh pendek gemuk itu.

Kali ini, Pendekar Naga Putih sepertinya tidak berniat menghindar. Tampak sikapnya tetap tenang menanti datangnya sambaran tongkat yang meluncur lurus ke arah perutnya. Desingan yang bagaikan membelah udara itu, sama sekali tidak mengganggu pemusatan pikirannya. Dan begitu ujung tongkat telah tiba dekat...,

Plaaak!

Tiba-tiba saja, Pendekar Naga Putih mengangkat telapak tangannya dengan tubuh merendah. Karuan saja, terdengar ledakan keras yang bagai gelegar petir membelah angkasa!

“Aaahhh?!”

Tangkisan itu benar-benar mengejutkan bagi Tongkat Malaikat. Tokoh pendek gemuk yang selama ini selalu mengagungkan kepandaiannya, hampir tidak percaya kalau serangannya sampai tertangkis lawan. Bahkan kuda-kudanya pun sampai tergempur, hingga tubuhnya harus terhuyung limbung sampai satu tombak lebih.

“Gila...! Bagaimana mungkin pemuda seusianya bisa memiliki tenaga sakti yang demikian tinggi?! Rasa- rasanya, tenaga sakti guru pun belum tentu di atas pemuda itu?! Benar-benar sukar dipercaya! Entah, bagaimana caranya ia dapat menghimpun tenaga sakti yang sedemikian hebat dalam waktu singkat..?” desis Tongkat Malaikat dengan mata terbelalak, menatap sosok Pendekar Naga Putih. Kini baru dipercayainya kalau cerita tentang pendekar muda itu memang tidak berlebihan.

Tapi, Tongkat Malaikat tidak bisa berpikir panjang tentang lawannya. Panji yang memang ingin segera bertemu Ki Parewang untuk menyelesaikan masalah Ki Damang, sudah melesat dan menerjangnya dengan jurus-jurus cepat dan berbahaya. Tanpa banyak berpikir lagi, Tongkat Malaikat pun menyambut terjangan lawan. Bedanya, kali ini tokoh bertubuh pendek itu terlihat bertindak lebih hati-hati. Bahkan kelihatannya malah terlalu berhati-hati. Sehingga jarang sekali serangannya terlontar, kecuali mencoba bertahan selama mungkin.

Tanpa disadari keduanya, arena pertempuran sudah bergeser jauh dari tempat semula. Sehingga, tidak ada lagi yang merasa khawatir oleh angin pukulan nyasar dari kedua tokoh sakti itu. Di samping itu pertempuran-pertempuran lain juga telah terpisah, beberapa tombak dari pertarungan semula

Sementara itu, Kenanga juga telah mendapat lawanyang cukup seimbang. Setan Tongkat Hitam ternyata memiliki ilmu tongkat yang cukup mengejutkan. Maka mau tak mau Kenanga harus mengerahkan jurus-jurus andalan dalam mengimbangi permainan tongkat lawan.

“Yeaaattt..!”

Whuuukkk! Whuuukkk!

Dengan jurus-jurus pedang andalan, barulah Kenanga dapat mengimbangi permainan lawan. Bahkan pada jurus-jurus selanjutnya, dara jelita itu terlihat mulai berada di atas angin. Kini Tongkat Setan Hitam-lah yang merasa kalang-kabut menyelamatkan diri dari sambaran pedang lawan.

“Keparat! Ilmu pedang gadis gila ini ternyata sangat tinggi! Entah murid siapa dia...?” maki Tongkat Setan Hitam panjang-pendek dalam hati Sebagai tokoh kawakan nomor tiga dalam perkumpulannya, tentu saja Tongkat Setan Hitam belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Apalagi hanya menghadapi seorang dara muda yang patut menjadi putrinya. Padahal, dia sudah malang-melintang dalam rimba persilatan, tapi dapat dibuat kalang-kabut Tentu saja kenyataan itu terlalu mengejutkan baginya.

“Heaaahhh!”

Ketika pertarungan mereka telah menginjak jurus keenam puluh, Tongkat Setan Hitam yang sudah tidak tahan akan tekanan-tekanan berat lawan tiba-tiba memekik keras mengejutkan. Berbarengan dengan itu, tubuhnya bergerak naik menghindari sebuah tusukan pedang yang mengancam jantungnya. Sambil melenting ke udara, senjatanya diayunkan dengan kecepatan kilat ke arah batok kepala lawan. Sayang, gerakan lawan jauh lebih cepat dan tidak pernah diduga. Ternyata pedang yang luput menusuk tubuhnya, langsung berputar ke atas dalam gerak membelah. Karuan saja, wajah Tongkat Setan Hitam pucat pasi seketika! Dan...,

Whuuukkk! Breeettt!

“Arggghhh...!” Tongkat Setan Hitam meraung setinggi langit! Mata pedang gadis jelita itu kontan membeset tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya yang tersayat memanjang di bagian depan, kontan mengeluarkan darah segar. Bahkan sampai membasahi pakaian Kenanga, karena saat itu memang tepat berada di bawah lawannya. Dengan suara berdebuk nyaring, tubuh Tongkat Setan Hitam langsung ambruk ke tanah dan langsung tewas dengan mata mendelik. Kelihatannya tokoh itu mati penasaran!

Di pihak lain, Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, dan dua orang murid Elang Putih tengah mempertaruhkan nyawa menghadapi keroyokan pengemis-pengemis yang bagaikan orang kemasukan setan! Sehingga, keenam lelaki gagah itu harus mempertahankan diri mati-matian. Memang, sehebat apapun kepandaian yang mereka miliki, tentu saja mempunyai keterbatasan. Apabila hal itu sampai terjadi, rasanya mereka sukar selamat dari keroyokan Pengemis Baju Hitam itu.

Buuukkk! Deeesss!

“Aaakhhh...!” Salah seorang murid Ki Damang tersungkur akibat hantaman dua batang tongkat pengeroyoknya. Lelaki muda berusia tiga puluh lima tahun itu sepertinya telah kelelahan, sehingga tidak sempat lagi menghindari datangnya dua batang tongkat yang mengancam punggung dan dada kirinya!

“Mampuuus kau, bangsat..!” Terdengar teriakan-teriakan sumpah serapah dari pengemis-pengemis yang siap merejam hancur tubuh musuhnya. Puluhan batang tongkat meluncur seperti saling berebutan untuk menghantam tubuh lelaki muda itu.

“Heaaattt...!”

Breeet! Breeet!

“Aaa...!”

Tiba-tiba saja, terdengar jerit kematian susul-menyusul berbarengan dengan beterbangannya tubuh pengemis-pengemis yang tengah siap merejam murid termuda Ki Damang. Darah segar kontan berhamburan menyertai kilatan pedang bersinar putih keperakan yang tergenggam di tangan seorang gadis jelita berpakaian hijau. Rupanya dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, Kenanga yang sudah menyelesaikan pertarungannya dengan Tongkat Setan Hitam cepat datang membaurkan dirinya ke dalam kancah pertempuran.

Perbuatan gadis jelita itu tentu saja membuat lega Ki Damang. Memang ia sendiri jelas tidak mungkin mampu menyelamatkan nyawa muridnya, karena tengah sibuk menghadapi keroyokanlawan-lawannya. Hadirnya Kenanga ke dalam kancah pertempuran berdarah itu, membuat yang lain merasa sedikit lega. Buktinya amukan gadis jelita itu benar-benar mengerikan!

Setiap kali Pedang Sinar Bulan di tangannya berkelebat, paling sedikitnya dua atau tiga orang lawan akan roboh mandi darah. Tentu saja, hal itu membuat para pengemis enggan mengeroyoknya. Sepertinya, amukan Kenanga yang menggiriskan itu telah membangkitkan kegentaran di hati para anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.

Sementara itu, pertempuran antara Panji melawan Tongkat Malaikat telah mencapai puncaknya. Setelah bertarung selama enam puluh jurus, Tongkat Malaikat semakin sadar kalau kesaktian Pendekar Naga Putih ternyata memang bukan hanya kabar burung belaka. Sayangnya, pada saat tubuhnya telah dibuat jatuh bangun, kesadarannya baru bangkit. Sehingga, untuk memperbaiki kesalahannya tentu sudah terlambat.

“Haaaiiit...!”

Tiba-tiba Pendekar Naga Putih yang terus mencecar lawan dengan jurus-jurus andalan, mengeluarkan pekikan nyaring mengejutkan! Karuan saja, Tongkat Malaikat terhuyung limbung dengan wajah berkerut-kerut. Jelas, pekikan keras itu telah membuat gerakannya semakin kacau. Akibatnya...,

Plaaag! Breeettt!

“Aaakhhh...!”

Tanpa dapat menghindar lagi, Tongkat Malaikat terpaksa harus menerima sebuah hantaman pada dada, dan sambaran cakar pada lambungnya! Kontan saja tubuh gendut itu terbanting menggelinding di atas tanah!

Pendekar Naga Putih yang ingin segera menyelesaikan pertempuran, cepat melesat hendak menyusuli serangannya. Namun pada saat itu juga, tampak sesosok bayangan hitam melesat dari arah berlawanan. Langsung saja serangan Pendekar Naga Putih dipapaknya. Dan...,

Bressshhh...!

“Uuuhhh...!?”

“Aaahhh...!?”

Luar biasa sekali benturan yang terjadi kali ini! Dua gelombang tenaga raksasa yang bertemu pada satu titik itu, membuat tanah di sekitar Hutan Grambang laksana dilanda gempa! Sehingga, pertempuran berdarah yang tengah berlangsung beberapa belas tombak di sebelah kanannya, langsung kocar-kacir! Puluhan anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam berjatuhan saling tumpang tindih. Untunglah, pihak Ki Damang bertindak cepat. Mereka dapat menguasai diri, sehingga tidak sampai terjatuh akibat getaran itu.

Kejadian yang tidak disangka-sangka itu tentu saja membuat pertempuran berhenti mendadak. Tongkat Bulan Sabit yang merupakan satu-satunya tokoh dibarisan pengemis, mengedarkan pandangan seperti ingin mencari penyebab semua kejadian itu. Dan wajah pengemis bertubuh gemuk itu kontan berseri begitu sepasang matanya menangkap sosok tinggi kurus berpakaian hitam penuh tambalan.

“Guru...,” desis Tongkat Bulan Sabit perlahan. Kemudian, ia menoleh ke belakang, ke arah seratus lebih anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam yang tersisa.

“Mundur...!”

Terdengar perintah Tongkat Bulan Sabit yang membuat seratus lebih pengemis menjadi heran. Namun, mereka sama sekali tidak membantah perintah tokoh itu.

Melihat para pengeroyok telah bergerak mundur tanpa sebab yang dimengerti, Ki Damang dan Kenanga segera bergerak mundur bersama yang lain. Kening para tokoh itu agak berkerut ketika melihat ke arah pertempuran Pendekar Naga Putih yang juga telah terhenti. Tampak Tongkat Malaikat juga tengah melangkah tertatih-tatih ke arah seorang lelaki tua bertubuh tinggi kurus yang wajahnya kehitaman. Sedang orang tua itu tengah saling bertatapan dengan Pendekar Naga Putih.

“Tongkat Sakti Tanpa Tanding...?!” Ucapan terkejut penuh getaran keluar dari bibir Ki Damang. Jelas, dia mengenali sosok tinggi kurus itu.

“Apa maksudmu, Ki Damang...?” tanya Kenanga yang belum mengerti arti ucapan Ki Damang. Gadis jelita itu memandang ke arah sosok tinggi kurus yang tengah berhadapan dengan kekasihnya. Lalu, dia kembali menatap Ki Damang dengan sinar mata menuntut jawaban.

“Orang tua itu adalah Ki Parewang yang berjuluk Tongkat Sakti Tanpa Tanding. Dialah Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam,” sahut Ki Damang.

Mendengar jawaban itu, Kenanga mengangguk-anggukkan kepala. Kini baru dimengerti mengapa to- koh pengemis bertubuh gemuk itu menarik mundur anggotanya dari arena pertempuran.

“Hm.... Aku ingin melihat lebih dekat..., kata Kenanga. Tanpa menunggu jawaban lagi, gadis itu segera saja melesat ke arah kekasihnya. Memang, jarak antara tempatnya dengan pertarungan Panji terpisah sekitar enam tombak.

Saat itu, Ki Parewang atau yang terkenal sebagai Tongkat Sakti Tanpa Tanding tengah berdiri mengawasi pemuda tampan berjubah putih di depannya. Lelaki tinggi kurus berusia sekitar delapan puluh tahun itu tampak menatap penuh selidik sosok Pendekar Naga Putih. Dan dia memang hampir tidak percaya kalau pemuda yang pantas menjadi cucunya itu ternyata sanggup membuat tubuhnya terdorong pada pertemuan tenaga dalam tadi. Kalau tidak merasakannya sendiri, sulit bagi kakek itu untuk dapat mempercayainya.

“Hm.... Pantas dalam waktu singkat namamu menjulang mengalahkan tokoh-tokoh tua seperti aku. Ternyata, kepandaian yang kau miliki memang sangat luar biasa. Meskipun aku baru merasakan segebrakan, tapi aku yakin kau masih menyimpan kejutan-kejutan lain yang belum kulihat. Sekarang, terangkanlah kepadaku tentang kelakuanmu yang tidak menghormati tempatku ini? Apabila alasanmu tidak masuk akal, aku tidak akan ragu-ragu memotes batang lehermu...!” ujar Ki Parewang dengan wajah dingin dan tanpa perasaan. Wajahnya yang berkulit kehitaman tetap kaku.

Pendekar Naga Putih menatap tenang wajah kakek tinggi kurus yang telah menyambut serangannya barusan. Diam-diam, hatinya juga sangat terkejut saat merasakan kehebatan tenaga sakti yang dimiliki kakek itu. Meskipun Panji yakin tenaganya tidak akan kalah, tapi jarang sekali ada orang yang mampu membuatnya terdorong meski beberapa langkah. Dan, kakek itu bisa melakukannya.

“Orang tua! Kalau tidak salah, kau pasti Ki Parewang yang menjadi Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam di negeri ini. Kau boleh dengar alasan kedatanganku dan menggempur perguruanmu. Semula, aku sudah meminta secara baik-baik untuk berjumpa denganmu. Tapi karena Tongkat Malaikat lebih suka bertarung daripada mengijinkannya, kami terpaksa bertempur. Ketahuilah, Ki Parewang. Dua orang ketua perguruan terkenal telah tewas oleh pukulan ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’ yang hanya dimiliki olehmu. Maka tidak heran bila Ki Damang yang merupakan sahabat kedua ketua perguruan silat yang tewas itu datang untuk meminta pertanggungjawaban mu. Karena, hanya kaulah yang dinilai mampu membunuh kedua tokoh itu sekaligus.” jelas Pendekar Naga Putih.

Panji terdiam sebentar menunggu tanggapan dari Ki Parewang. Tapi, kakek itu tetap saja terpaku bagai sebatang tonggak yang ditancapkan ke dalam tanah. Wajahnya pun tetap dingin tanpa hawa amarah.

“Nah! Karena Tongkat Malaikat tidak mengijinkan Ki Damang dan yang lain untuk dapat berjumpa denganmu, kami menjadi lebih curiga. Kemudian, terjadilah pertempuran berdarah ini...,” jelas Pendekar Naga Putih melanjutkan ceritanya yang barusan terhenti sejenak.

“Hm...,” Ki Parewang bergumam lirih sambil mengelus jenggotnya yang menjuntai hingga ke dada. Setelah penjelasan Panji memang benar-benar telah selesai, baru kakek itu terlihat akan membuka suara yang disertai rasa penasaran.

“Pendekar Naga Putih! Meskipun aku bukan golongan putih, tapi tidak akan pernah melakukan kejahatan seperti layaknya tokoh sesat. Darahku sendiri bukan golongan sesat. Apabila aku memang harus membunuh, tentu ada alasan yang lebih tepat. Tapi untuk membunuh kedua orang yang kau sebutkan barusan, rasanya aku tidak mempunyai alasan. Hanya karena terbunuhnya dua orang tokoh itulah maka kau dan kawan-kawanmu yang telah merusak tempat ini ku maafkan. Sayang bukan aku yang melakukan pembunuhan itu...,” desak kakek itu sambil menundukkan wajah seperti hendak mengingat sesuatu.

“Tapi hanya kaulah satu-satunya yang memiliki ilmu itu, Ki, kalau bukan kau yang membunuh, lalu kepada siapa tuduhan itu hendak kulemparkan?” tanya Pendekar Naga Putih. Panji tentu saja tidak percaya dengan jawaban tadi, karena Ki Parewang tidak ubahnya seorang tokoh sesat. Tidak bisa dipercaya!

“Sudah kukatakan, bukan aku yang membunuhnya! Selain aku, masih ada seorang lagi yang memiliki ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’. Bahkan lebih sempurna dari yang kumiliki. Orang itu adalah Setan Tenaga Gajah yang tak lain adalah adik seperguruanku sendiri. Dia adalah seorang tokoh sesat dan bertentangan denganku. Entah, di mana dia sekarang?” jawab Ki Parewang seraya melepaskan napas panjang seperti menyesali sesuatu.

“Jadi, bagaimana kau mempertanggung-jawabkan hal ini, Ki?” desak Panji lagi.

“Bukan tanggung jawabku! Carilah setan sesat itu sendiri, Pendekar Naga Putih! Sekarang, tinggalkan tempat ini. Suatu hari kelak, setelah kau dapat menemukan dan menundukkan Setan Tenaga Gajah, aku akan menentangmu bertarung,”

Setelah berkata demikian, Ki Parewang mengajak Tongkat Malaikat kembali ke markasnya. Demikian pula Tongkat Bulan Sabit dan seluruh anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Semuanya bergerak me- ninggalkan Panji dan kawan-kawannya.

“Pendekar Naga Putih, apakah ucapan orang tua itu dapat dipercaya? Lalu, apa tindakan kita selanjutnya...?” tanya Ki Damang yang sepertinya belum percaya penuh akan ucapan Ki Parewang.

“Kali ini, aku melihat kesungguhan dalam matanya. Tindakan kita selanjutnya, mencari Setan Tenaga Gajah. Dialah biang keladi semua kejadian ini. Dan sepertinya, Ki Parewang mempunyai masa lalu yang pahit dengan adik seperguruan itu. Ayolah kita segera mencari tempat persembunyian manusia keji itu...,” ajak Pendekar Naga Putih.

Kemudian Panji segera melangkah meninggalkan Hutan Grambang. Sementara, Kenanga segera saja mengiringi langkah kekasihnya. Sedangkan Ki Damang dan para tokoh lain berjalan di belakang sepasang pendekar muda itu.

Siapakah Setan Tenaga Gajah sesungguhnya? Apa maksudnya dia membantai Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala? Berhasilkah Panji, Kenanga, Ki Damang, dan yang lain dalam menyelesaikan kemelut ini? Untuk jawabannya, silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih dalam episode Petualangan di Alam Roh

S E L E S A I