Petualangan Di Alam Roh - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Petualangan Di Alam Roh
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

MALAM baru saja berganti pagi. Cahaya kemerahan matahari pagi sudah tampak menyemburat di kaki langit sebelah Timur. Kicau burung saling bersahutan, seiring makin terbukanya mata sang raja siang. Perlahan sinar kuning keemasan menyirami tubuh bumi. Tanda kehidupan kembali dimulai.

Di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat menyentuh kulit, tampak sesosok lelaki gagah tengah melangkah ringan. Kaki-kakinya tampak kokoh, menyibak ilalang agak tergesa-gesa. Kelihatannya, tengah terburu-buru. Lelaki gagah berperawakan gemuk itu tampaknya bukan orang sembarangan.

Dalam kalangan persilatan, ia termasuk salah seorang tokoh tingkat menengah. Namanya, Gala Campa. Dia adalah murid tertua Ki Raksa Mala. Malah lelaki gagah itu kini telah mewarisi Perguruan Cakar Besi, karena Ki Raksa Mala sendiri telah tewas di tangan pembunuh yang masih terselimut kabut kegelapan. (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Badai Rimba Persilatan)

Gala Campa memang habis dari Hutan Grambang bersama para tokoh lain. Dia kini tengah bergegas menuju perguruan yang didirikan Ki Raksa Mala. Setelah berpisah dengan para tokoh lain, termasuk Pendekar Naga Putih, timbul rasa khawatir di hati lelaki gemuk itu terhadap perguruan yang telah cukup lama ditinggalkannya. Itu sebabnya, mengapa sepagi itu ia terlihat demikian tergesa-gesa melakukan perjalanan.

Tidak berapa lama, tibalah Gala Campa di tepi sebuah sungai lebar yang memisahkan dua desa. Cepat tangannya diulapkan ke arah tukang perahu yang saat itu di tengah sungai. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gala Campa langsung melompat ke atasnya, begitu perahu telah dekat dengan jangkauan lompatannya.

"Tuan tampaknya sangat tergesa-gesa. Apakah hendak mengunjungi kerabat yang sakit di Desa Kemang?" tanya tukang perahu berusia setengah baya itu. Rupanya, dia melihat kegelisahan di wajah Gala Campa. Meski hanya bermaksud untuk melenyapkan kesunyian di antara mereka, tapi sepertinya Gala Campa tidak begitu suka dengan pertanyaan itu.

"Ya! Percepatlah sedikit laju perahumu...," sahut Gala Campa singkat dan cepat. Seolah-olah dengan jawaban itu ia ingin menunjukkan keengganan untuk melanjutkan pembicaraan.

Namun sayangnya, tukang perahu itu seperti tidak peduli dengan jawaban ketus Gala Campa. Setelah mengangguk-angukkan kepala sejenak, lelaki tua itu mempercepat laju perahunya.

"Siapa yang hendak Tuan jenguk? Saudara kandung, ataukah hanya seorang kerabat jauh...?"

"Hhh..." Gala Campa menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sepasang matanya yang berkilat dengan wajah siap mendamprat, langsung sirna begitu terbentur seraut wajah tua yang tampak penuh penderitaan. Hingga, Gala Campa terpaksa hanya bisa menyabarkan diri.

"Tidak. Aku tidak hendak menjenguk siapa-siapa. Aku hanya ingin mengunjungi Perguruan Cakar Besi, karena telah cukup lama kutinggalkan...," kata Gala Campa, mengatakan hal yang sebenarnya. Selain tidak biasa berbohong, wajah tukang perahu itu mendatangkan perasaan iba di hatinya. Hal itulah yang membuatnya seperti harus berkata jujur.

"Perguruan Cakar Besi...!?" tukang perahu itu seperti agak terkejut mendengar Gala Campa menyebut nama perguruannya, "Kemarin sore, ada delapan orang lelaki berpakaian kembang-kembang penuh tambalan yang juga memiliki tujuan sama dengan Tuan. Hm..., Ada keramaian apa sebenarnya di tempat itu...?"

"Apa...?! Delapan orang berpakaian kembang-kembang penuh tambalan hendak menuju ke Perguruan Cakar Besi...?!" sentak Gala Campa, sehingga tanpa sadar mencengkeram erat pangkal lengan tukang perahu. Karuan saja, lelaki setengah baya yang tidak mengerti ilmu silat itu menjerit kesakitan.

"Aku mengatakan yang sebenarnya, mengapa Tuan kelihatan begitu ketakutan,..? Apakah ucapanku salah...?" ujar tukang perahu itu sambil memijat-mijat pangkal lengan yang terasa remuk tulang-tulangnya.

Untunglah Gala Campa keburu sadar. Kalau tidak, bukan tidak mungkin lengan orang tua itu benar-benar remuk dibuatnya. "Maaf, Paman. Maaf.... aku jadi benar-benar terkejut mendengar cerita Paman. Sekarang, katakanlah kepadaku. Apakah tambal-tambalan yang kau maksud seperti pengemis...? Benar begitu, Paman...?" tanya Gala Campa, sambil berusaha menenangkan diri.

"Ya, ya. Kira-kira begitulah, meskipun pakaian mereka tampak masih bagus. Sepertinya hal itu disengaja, agar orang-orang mengira mereka sebagai pengemis sungguhan. Aaahhh..., dasar orang-orang itu saja yang kurang waras. Aku saja ingin memiliki pakaian yang bagus tidak tambal-tambalan seperti yang kupakai ini. Eh, orang-orang itu malah sengaja menambal-nambal pakaiannya. Dasar dunia memang sudah terbalik...," kata tukang perahu itu, sambil sedikit mengomel.

Tapi, Gala Campa sudah tidak mendengar ucapan tukang perahu selanjutnya. Begitu mendengar kepastian kalau delapan orang berpakaian kembang-kembang benar pengemis, langsung saja dayung di tangan lelaki setengah baya itu disambarnya. Dan tanpa memperdulikan tukang perahu yang membelalak dengan wajah pucat karena mengira perahunya hendak dicuri, lelaki gagah yang merebut dayung perahu itu segera mendayung dengan menggunakan tenaga dalam. Hasilnya tentu saja sangat mengejutkan tukang perahu. Hampir napas lelaki tua itu putus seketika merasakan perahu yang dinaikinya meluncur demikian cepat.

Bahkan hembusan angin terasa demikian keras menerpa tubuhnya. Akhirnya, orang tua itu terpaksa memejamkan mata dengan mulut komat-kamit memanjatkan doa. Sepasang kaki yang sudah tidak sanggup menahan berat tubuhnya, terpaksa harus di tekuk. Sehingga, dia berdiri hanya menggunakan kedua lututnya.

Sedangkan Gala Campa sendiri yang tengah dalam kecemasan luar biasa, mendayung perahu bagaikan orang kesetanan. Seluruh tenaganya dikerahkan agar segera tiba di seberang sungai. Memang dia seperti mendapat firasat buruk kalau akan terjadi sesuatu di perguruannya.

"Heaaah...!"

Ketika jarak antara perahu dengan tepian sungai tinggal kira- kira tiga tombak lagi, Gala Campa kembali mengerahkan tenaganya. Kemudian, dia membentak keras disusul lesatan tubuhnya yang melayang di atas permukaan air sungai. Namun Gala Campa telah meninggalkan kepingan uang di atas perahu.

Jelg!

Begitu kedua kakinya menginjak permukaan tanah, tubuh Gala Campa kembali melenting dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Kemudian, tubuhnya langsung melesat mengerahkan ilmu lari cepatnya begitu kakinya mendarat di atas tanah. Bagaikan dikejar setan, lelaki gagah itu berlari menuju perguruannya yang terletak di luar perbatasan Desa Kemang. Rasa khawatir akan nasib murid-murid perguruannya, membuatnya seperti memiliki tenaga cadangan yang berlipat-lipat.

Gala Campa terus melesat dengan mengambil jalan pintas. Bagaikan bayangan setan, tubuhnya berkelebat di antara pepohonan. Hingga, terkadang tubuhnya lenyap di balik sebatang pohon, kemudian tahu-tahu muncul di balik pohon lain yang terpisah beberapa tombak. Dari sini saja dapat diukur tingkat ilmu kepandaiannya, betapa hebatnya ilmu lari cepat yang dimilikinya.

"Eh...!?" Meskipun dalam keadaan berlari, namun sepasang mata Gala Campa ternyata cukup awas. Ternyata kelebatan empat sosok tubuh di depannya, membuat langkahnya terhenti seketika. Dengan wajah tegang, tubuhnya cepat menyelinap di balik sebatang pohon besar.

Tapi, begitu keempat sosok tubuh yang berlari dari arah berlawanan itu dekat, Gala Campa segera melesat dari tempat persembunyiannya. Melihat pakaian keempat orang yang serba coklat tua, segera saja lelaki gagah itu mengenali. Keempat orang itu ternyata murid perguruannya juga.

"Berhenti...!"

Bentakan keras yang disusul berkelebatnya sesosok bayangan dari balik pohon besar, membuat keempat lelaki yang tengah berlari tersentak kaget. Wajah mereka nampak pucat bagaikan tak dialiri darah. Senjata-senjata yang masih tergenggam erat di tangan, langsung saja disilangkan di depan dada, siap menghadapi perkelahian mati-matian. Tapi, wajah-wajah pucat itu segera saja berseri menampakkan kelegaan hatinya. Memang setelah melihat jelas, mereka segera dapat mengenali sosok lelaki gagah berpakaian coklat yang berdiri menghadang jalan.

"Kakang Gala Campa...?!" Seruan itu serentak terucap dari mulut keempat orang lelaki yang dihadang Gala Campa. Mereka menghembuskan napas kuat-kuat penuh kelegaan.

"Surangga, apa yang telah terjadi terhadap saudara-saudara kita yang lain? Dan, kalian hendak pergi ke mana...?" tegur Gala Campa. Suaranya tegas dan menuntut jawaban sejujurnya dari lelaki bertubuh kurus yang bernama Surangga.

"Hhh.... Maaf, Kakang. Kalau tindakan kami salah, kami siap menerima hukuman...," kata Surangga, sambil menjatuhkan tubuhnya di depan Gala Campa. Demikian pula halnya tiga orang temannya.

"Aku hanya tanya, dan bukan ingin menghukum kalian! Jelaskan sikap kalian ini...?!" bentak Gala Campa, jengkel melihat sikap murid-muridnya. Memang, dia masih merasa cemas terhadap nasib murid-murid yang lain.

"Semua habis, Kakang. Delapan orang pengemis berpakaian kembang-kembang, begitu datang langsung mengamuk dan membunuhi murid-murid perguruan kita. Apalagi, kepandaian mereka ternyata rata-rata sangat tinggi. Sehingga, banyak saudara kita yang tewas di tangan mereka. Maka, kami terpaksa memutuskan melarikan diri dengan jalan berpencar. Sampai akhirnya, aku dan kawan-kawan berjumpa Kakang di sini...," tutur Surangga. Memang, tingkat kepandaian Surangga paling tinggi di antara ketiga orang rekannya. Makanya, dia merasa paling bertanggung jawab dalam masalah itu.

"Apakah mereka menggunakan senjata rahasia beracun...?" tanya Gala Campa ingin memastikan lebih dalam lagi Gala Campa menduga, pengemis berpakaian kembang-kembang yang mengacau perguruannya ada hubungannya dengan orang-orang yang hampir menewaskannya di tempat pertemuan, di luar Desa Lintang beberapa waktu lalu.

"Benar, Kakang.... Bagaimana Kakang bisa menduga demikian? Dan, mengapa Kakang tidak bersama guru, serta Kakang Sentaji...?" tanya Surangga sambil mengedarkan pandangannya. Seolah-olah, ia mengharapkan dapat berjumpa orang-orang yang disebutkannya.

"Aku hanya tinggal seorang diri, Adi Surangga. Guru dan Sentaji tidak akan pernah kembali lagi. Mereka sudah tewas di tangan orang-orang jahat. Dan ada kemungkinan, pembunuh-pembunuh itu juga orang-orang yang mengacau di rumah perguruan kita...," jawab Gala Campa dengan wajah menengadah dan tatapan mata kosong jauh ke depan. Tampaknya jelas lelaki gagah itu tidak ingin melanjutkan percakapan tentang guru dan adik seperguruannya.

"Aaahhh...!?"

Surangga dan ketiga rekannya sama-sama menundukkan wajah duka disertai desahan napas panjang dan berat. Mereka juga mengerti kalau Gala Campa tidak ingin percakapan itu diteruskan lagi. Dan kini Surangga dan tiga orang lainnya tidak lagi membuka suara. Cukup lama keheningan itu melingkupi lima orang murid Perguruan Cakar Besi. Mereka tertunduk lesu dengan jalan pikiran masing-masing.

"Kakang...," Setelah agak lama dicekam keheningan, Surangga memberanikan diri membuka suara. Meskipun hanya perlahan, namun cukup merubah suasana.

"Hm...," sahut Gala Campa menggumam malas. Sebenarnya, laki gagah itu tengah mencari cara terbaik untuk kembali ke perguruan. Dengan terpaksa, ia menoleh juga ke arah Surangga.

"Apa yang harus kita perbuat sekarang, Kakang. Aku khawatir, pengemis-pengemis berhati iblis itu masih terus mencari-cari kami. Sebab salah seorang dari mereka sempat mengucapkan kata-kata kalau tidak seorang pun murid Cakar Besi yang dibiarkan hidup," ujar Surangga.

Wajah Gala Campa terlihat agak tegang ketika mendengar penjelasan Surangga. Memang disadari betul kalau ia dan keempat orang saudara seperguruannya tidak akan mampu menghadapi pengemis-pengemis baju kembang itu.

"Lebih baik kita cari tempat persembunyian yang aman untuk sementara waktu. Saat hari gelap nanti, kita baru mendatangi perguruan secara diam-diam. Mudah-mudahan saja masih ada saudara kita yang selamat...," ujar Gala Campa.

Surangga dan yang lain menjawab dengan anggukan kepala saja. Tampaknya keempat orang murid itu memiliki pikiran yang sama dengan kakak seperguruannya.

"Ayolah...!" ajak Gala Campa, segera saja memutar rubuhnya. Mereka kini telah siap bergerak ke arah Selatan. Tapi...,

"Hua ha ha...!"

Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa nyaring saling bersambungan. Seketika suasana yang semula sunyi, berubah bising oleh suara tawa yang jelas berasal dari banyak orang.

"Keparat! Rupanya mereka telah tiba di tempat ini. Tidak ada waktu lagi untuk menghindari, Kakang. Sebaiknya kita hadapi saja iblis-iblis itu sampai titik darah penghabisan!" geram Surangga yang segera saja menghunus senjatanya. Demikian pula halnya keempat orang lainnya. Mereka tampaknya siap menghadapi pertarungan mati-matian dengan lawan-lawannya.

"Keluar kalian, iblis-iblis pengecut! Kami orang-orang Cakar Besi tidak akan gentar menghadapi kalian...!" Sambil berkata demikian, Gala Campa mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Satu persatu, ditelitinya pohon besar yang banyak tumbuh di tempat itu. Namun, tidak ditemukannya tanda-tanda kalau lawan berada di sekitar tempat itu. Tiba-tiba...

Seeerrr! Seeerrr!

Berbarengan desiran lembut, terlihatlah kilatan-kilatan benda halus yang berpijaran mengancam kelima orang murid Perguruan Cakar Besi.

"Jarum-jarum beracun...!" Surangga mendesis ngeri melihat senjata-senjata rahasia mengincar mereka.

"Awaaasss...!" Gala Campa yang sadar akan keganasan jarum-jarum beracun itu, segera saja mengingatkan kawan-kawannya. Sedangkan dia sendiri telah melompat ke samping sambil memutar senjata untuk melindungi tubuhnya.

"Yeaaattt..!"

Surangga dan ketiga orang murid lain segera saja berseru nyaring, seraya memutar pedang. Dengan berlindung di balik gundukan sinar pedang, mereka bergerak ke samping untuk menghindari jarum-jarum beracun lawan.

"Bedebah curang...!" maki Gala Campa. Gala Campa merasa geram bukan main, karena tanpa menampakkan diri lawan-lawan telah dapat membuat kalang kabut dengan senjata-senjata rahasia.

"Hua ha ha...!"

Baru saja ucapan Gala Campa selesai, suara tawa yang susul-menyusul kembali berkumandang. Belum lagi keterkejutan lenyap, dari sekeliling tempat itu bermunculan pengemis-pengemis berpakaian kembang-kembang yang langsung mengurung kelima orang murid Ki Raksa Mala itu.

"Hua ha ha...! Senang rasanya melihat kalian melompat- lompat seperti monyet kelaparan. Bukankah begitu, kawan- kawan...?" ejek seorang pengemis bertubuh jangkung yang pada pipi kirinya terdapat bekas koreng berkata penuh ejekan.

"Betul... Betul.... Aku pun suka menyaksikan pertunjukan itu. Bagaimana kalau kita buat pertunjukan yang lebih menarik lagi, Kakang Benggala...?" sahut pengemis lain yang juga bertubuh kurus. Tawanya kembali terdengar menyakitkan telinga Gala Campa dan kawan-kawannya.

"Hm..." Gala Campa sendiri bagai mendidih darahnya mendengar ejekan pengemis-pengemis berbaju kembang itu. Dengan wajah merah padam, lelaki gagah itu menudingkan pedangnya ke wajah para pengemis itu.

"Dasar kalian manusia-manusia pengecut yang bisanya hanya main sembunyi dalam bertindak! Beberapa waktu yang lalu, kalian telah mengeroyok aku dan kawan-kawanku dari Perguruan Ular Emas! Kali ini, kalian muncul dengan pakaian lain agar tidak bisa dikenali orang. Begitu maksud kalian, bukan? Dan itu suatu tanda kalau kalian sebenarnya hanya anjing-anjing penakut!" dengus Gala Campa dengan kemarahan hampir-hampir membakar tubuhnya.

"He he he...! Ternyata kau bisa marah juga, Kisanak. Lalu, kalau kami sengaja menyembunyikan diri, kau mau apa? Apakah hanya ingin memaki-maki seperti barusan itu? Kalau begitu, lanjutkanlah. Kami suka sekali mendengarnya...," sahut pengemis tinggi kurus yang dipanggil Benggala. Kelihatannya, dia tidak merasa marah mendengar makian tadi, sehingga membuat Gala Campa semakin bertambah dongkol.

"Setan...! Kubeset bacotmu...!" Karena tidak bisa menahan kemarahannya lagi, Gala Campa langsung saja melesat disertai sambaran pedang ke tubuh lawan!

Bweeettt!

"Haitt...!"

Pengemis tinggi kurus bernama Benggala itu sepertinya semakin sengaja memancing kemarahan lawan. Ketika mata pedang Gala Campa hampir mengenai tubuhnya, ia cepat berputar dengan langkah terhuyung. Padahal, jelas-jelas serangan Gala Campa bisa dihindari dengan baik. Tentu saja hal itu semakin mengobarkan api kemarahan di hati Gala Campa.

"Yeaaattt...!"

Beeettt! Beeettt! Beeettt!

Dalam kemarahannya yang tidak bisa ditakar lagi, Gala Campa langsung melancarkan serangkaian serangan maut ke arah Benggala. Sayangnya, serangannya selalu kandas di tangan lawan. Tampaknya kepandaian pengemis tinggi kurus itu memang tidak di bawah Gala Campa. Bahkan mungkin masih lebih tinggi.

"Awaaasss...!"

Ketika pertempuran memasuki jurus yang kesepuluh, tiba- tiba Benggala membentak keras mengejutkan. Seiring bentakannya, tongkat hitam di tangannya menyambar mengancam lambung Gala Campa!

Whuuukkk!

Terkejut bukan main hati Gala Campa merasakan sambaran angin keras dari hantaman tongkat hitam itu. Hal itu membuatnya tidak berani memandang enteng lagi. Cepat langkahnya bergeser dan terus bergerak ke belakang secara bersilangan. Guna menjaga kemungkinan serangan susulan lawan, pedangnya dikibaskan membentuk lingkaran yang melindungi sekujur tubuh.

"Hua ha ha...!"

Benggala rupanya sama sekali tidak mengejar. Dan sebenarnya, serangan tadi sengaja dilakukan hanya untuk melihat tanggapan Gala Campa. Pengemis tinggi kurus itu tertawa puas melihat lawan kelabakan setengah mati.

"Bangsat...!" maki Gala Campa dengan hati jengkel. karena telah kena dipermainkan lawan.

"Hm...," Benggala melemparkan senyum tipis mendengar makian lawan. Kelihatan sekali kalau ia seperti menganggap enteng murid utama Ki Raksa Mala. Sedangkan Gala Campa sudah kembali bersiap melanjutkan pertarungan.

DUA

"Kang Benggala...," sebut salah seorang dari pengemis- pengemis seraya datang menghampiri Benggala, yang memang menjadi ketua rombongan. "Sebaiknya segera habisi saja mereka. Dengan begitu, bukankah tugas kita yang satu ini selesai. Kalau terlalu lama mengulur waktu, aku khawatir guru akan marah nanti"

Benggala yang semula masih ingin mempermainkan Gala Campa dam lawan-lawannya, menoleh sejenak. Ditatapnya wajah pengemis muda bertubuh kurus yang mengingatkannya tadi. Sebentar kemudian, sepasang mata tajamnya berubah lunak.

"Hm.... Sebenarnya aku masih ingin mempermainkan orang- orang bodoh dan tolol ini, tapi mengingat tugas-tugas kita masih banyak, tidak ada salahnya kalau nasihatmu kuturuti, Adi Wungga." Usai berkata demikian, Benggala kali ini mendahului melangkah ke arah Gala Campa dan kawan-kawannya. Tongkat hitamnya ditimang-timang, seolah sengaja hendak menakut-nakuti lawan-lawan.

Sedangkan tujuh orang pengemis lain termasuk yang bernama Wungga, ikut pula bergerak merapat. Hingga, keadaan para murid Perguruan Cakar Besi semakin terjepit. Ruang gerak mereka juga semakin terbatas.

"Hm.,." Gala Campa menoleh ke arah kawan-kawannya dengan sorot mata tajam.

Sepertinya, lelaki gagah itu ingin menunjukkan kalau ia sama sekali tidak takut menghadapi keroyokan lawan. Hal itu sengaja dilakukan untuk membangkitkan semangat Sunggara dan yang lain. Pancingan Gala Campa memang tidak sia-sia. Tatapan penuh semangat Gala Campa memang membangkitakan keberanian Surangga kembali. Mereka kemudian bergerak mendekati kakak seperguruannya, dan siap bertarung sampai mati.

"Hua ha ha...! Bagus..., bagus.... Rupanya murid Cakar Baja memang gagah-gagah dan tidak mengenal takut. Mari..., mari anak manis. Majulah...," ejek Benggala sehingga benar-benar membuat telinga menjadi merah.

Untungnya baik Gala Campa maupun kawan-kawannya telah menyadari kalau tidak boleh terpancing oleh ejekan lawan. Memang, kemarahan hanya akan mendatangkan kerugian serta membuat mereka lengah.

"Hm. Tertawa dan mengejeklah sepuasmu, gembel-gembel bau! Sampai berbusa mulut kalian, kami tidak akan memperdulikannya lagi," sambut Gala Campa disertai senyum sinis mengandung kecerdikan. Sehingga, Benggalalah yang kini menjadi jengkel karenanya.

"Kalau begitu, terimalah kematianmu.!" Usai berkata demikian, tubuh Benggala melayang sambil membabatkan tongkat hitamnya dengan kecepatan tinggi. Sasarannya, kepala Gala Campa.

Whuuukkk!

Untungnya Gala Campa cepat sadar akan datangnya serangan maut itu. Dengan menarik kaki kanannya ke belakang, selamatlah kepalanya dari kehancuran. Kemudian cepat bagai kilat, senjata di tangannya langsung berkeredep membeset tubuh lawan!

Beuuuttt!

Menilik kuatnya desingan dari angin pedang, dapat ditebak kalau Gala Campa telah mengerahkan seluruh kekuatan dalam serangannya. Tapi, Benggala ternyata tidak berusaha menghindari. Pengemis tinggi kurus itu cepat menyilangkan tongkat hitamnya untuk memapak sambaran pedang lawan.

Traaang!

Benturan keras terjadi, sehingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Bunga api juga berpijar ketika kedua senjata yang dialiri tenaga dalam itu saling bertemu di satu titik tadi.

"Uuuhhh...!" Gala Campa mengeluh pendek. Benturan keras tadi ternyata telah membuat kuda-kudanya tergempur. Bahkan selain langkahnya terjajar mundur, lengan kanannya juga terasa bergetar kuat, hingga tulang-tulangnya terasa linu. Jelas, itu menandakan kekuatan Gala Campa masih di bawah lawannya.

"Mampusss...!"

Benggala rupanya benar-benar tidak ingin mengulur waktu lagi. Terbukti, ujung tongkatnya langsung ditusukkan pada saat Gala Campa masih belum dapat menguasai keseimbangan. Melihat serangan susulan lawan, Gala Campa tentu saja terkejut bukan main. Karena untuk menyelamatkan diri jelas tidak keburu, lelaki gemuk itu pun nekat menggerakkan bahu untuk menyambut datangnya ujung tongkat, demi menye- lamatkan tenggorokannya. Karena yang jelas, dia tidak akan sanggup menerima totokan ujung tongkat itu. Dan....

Tuuuggg.!

"Aaakhhh.!"

Totokan ujung tongkat itu telak menghantam bahu Gala Campa yang ternyata telah dilindungi tenaga dalam. Meskipun demikian, masih juga ia tidak mampu menahan akibatnya. Tubuhnya kontan terhuyung disertai semburan darah segar dari mulut. Meskipun darah yang keluar tidak terlalu banyak, tapi pukulan ujung tongkat tadi telah menimbulkan luka dalam di tubuhnya. Belum lagi Gala Campa sempat memperbaiki keadaannya, sambaran tongkat hitam lawan kembali datang berdesing-desing!

Deeerrr...!

Debu mengepul disertai pecahan batu yang beterbangan. Rupanya, hantaman tongkat lawan yang berikut masih sempat dielakkan Gala Campa. Sehingga, bumi tempatnya berpijak tadi menjadi sasaran.

"Aaa...!"

Saat tubuh Gala Campa tengah bergulingan, terdengarlah jerit kematian yang membuat jantung bagaikan terhenti berdetak untuk beberapa saat. Memang, jeritan itu disusul terbangnya dua sosok berpakaian coklat.

Pucat selebar wajah murid tertua Perguruan Cakar Besi begitu melihat kematian saudara-saudara seperguruannya. Harinya benar-benar sedih dan terpukul. Dia memang tidak mampu berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka dari kematian, karena juga dalam keadaan diserang.

"Bedebah..!" geram Gala Campa sambil terus bergulingan dengan wajah berduka. Sepasang matanya merah menyala penuh api dendam dan penasaran. Maka bagaikan orang yang kehilangan ingatan. Gala Campa bangkit dan langsung menerjang Benggala dengan serangkaian serangan maut. Sayangnya, serangannya tidak lagi dengan jurus-jurus miliknya. Memang, gerakan Gala Campa sudah ngawur dan tidak beraturan.

"Eit.., eit... Monyet gendut ini ternyata bisa juga bersikap galak. Benar-benar menakjubkan..." Sambil berlompatan menghindari sambaran pedang lawan, mulut Benggala tak henti-hentinya mengejek.

Tentu saja semua itu semakin membuat Gala Campa kalap. "Makan ini..!"

Lewat beberapa jurus kemudian, tiba-tiba Benggala membentak keras! Seiring bentakan itu, ujung tongkatnya meluncur ke arah dada kiri lawan. Dan...

Duuuggg!

"Huuukkkh.!"

Tanpa ampun lagi. Gala Campa yang tidak sempat mengelak, langsung terjungkal ke belakang. Darah segar kembali mengucur dari sudut bibirnya. Meski demikian dia segera melompat bangkit. Seperti tidak merasakan akibat hantaman tongkat lawan, kembali diterjangnya lawan dengan putaran pedangnya. Belum lagi lima jurus Gala Campa melancarkan serangan, kembali jerit kematian terdengar susul menyusul.

"Surangga!"

Teriakan Gala Campa yang seharusnya melengking nyaring, itu terdengar parau dan tercekat di tenggorokan. Wajah lelaki gemuk itu berkerut-kerut menahan pukulan pada batinnya. Hingga ia hanya berdiri bengong tanpa kata, saat melihat tubuh kedua orang saudaranya kembali ambruk dan tidak bergerak- gerak lagi untuk selamanya.

"Ooohhh..."

"Makan ini...!"

Seiring bentakan itu, ujung tongkat Benggala meluncur ke arah dada kiri Gala Campa. Dan....

Duuuggg...!

"Huuukkkh...!"

Tanpa sempat mengelak lagi, Ga- la Campa terkena sodokan tongkat itu. Gala Campa merasakan seluruh tubuhnya lemas bagaikan tidak bertulang. Kematian demi kematian yang disaksikannya membuatnya terguncang. Belum lagi kematian gurunya terbalaskan, kini harus menyaksikan kematian saudara-saudaranya dengan mata kepala sendiri. Dan yang lebih mengguncangkan jiwanya, ia sama sekali tidak mampu mencegah.

Sedangkan Benggala sama sekali tak peduli terhadap keadaan lawan. Tanpa rasa iba sedikit pun, tongkat hitamnya meluncur ke punggung Gala Campa!

Buuukkk!

"Huaaakhhh...!"

Darah segar langsung menyembur ketika batang tongkat itu menghajar telak punggungnya! Tubuh lelaki gemuk itu terguling-guling menggilas rerumputan kering. Wajah dan pakaiannya juga telah dipenuhi noda darahnya sendiri.

"Bangun...!" bentak Benggala sambil mengayunkan kaki ke tubuh Gala Campa yang tengah berusaha merangkak bangkit. Sementara senjata lelaki gagah itu sendiri sudah terlepas dari genggaman.

Deeesss...!

Untuk kesekian kalinya, tubuh Gala Campa kembali harus menerima tendangan keras! Tubuhnya kontan tersentak, untuk kemudian kembali terbanting ke atas tanah dengan lelehan darah yang semakin banyak membasahi pakaian. Namun demikian, Gala Campa tetap berusaha berdiri, walaupun agak sempoyongan.

"Rasakan...!"

Plaaaggg! "Ouuughhh...!

Kali ini telapak tangan Benggala yang berbicara. Tamparan yang dikerahkan lewat tenaga dalam kuat itu telak menghajar wajah Gala Campa. Akibatnya, tubuh lelaki itu kembali terlempar disertai lelehan darah segar. Wajahnya tampak membengkak, bahkan bagian sudut bibir sobek! Tubuhnya sudah menggeloso, terduduk di tanah berumput.

"Eeekhhh...!" Gala Campa yang rupanya sudah sulit dikenali, meludahkan darah kental yang bercumpur beberapa buah giginya yang tanggal. Jelas tamparan barusan memang begitu keras, sehingga membuat beberapa buah giginya rontok.

"Jangan dibunuh orang itu, Benggala."

Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat, mengandung perbawa kuat Benggala yang sedianya hendak melanjutkan penyiksaan, terpaksa menunda langkahnya.

"Ketua.."

Baik Benggala maupun pengemis berbaju kembang-kembang lain segera saja berlutut di depan sosok tinggi besar itu.

"Hm..."

Sosok tinggi besar brewokan yang hanya mengenakan rompi coklat itu mendengus perlahan. Pada sepasang lengannya tampak beberapa buah gelang menghias pergelangan. Telinga kirinya terdapat anting-anting bulat yang besarnya separuh gelang di tangannya. Tampak juga sebuah ikat kepala dari tengkorak kepala yang berukuran kecil. Satu agak besar di tengah keningnya, sedangkan yang empat tersusun di kiri kanannya.

Sosok tinggi besar berpenampilan angker itu memang bukan tokoh baru dalam kalangan persilatan. Pada dua puluh tahun yang lalu, sepak terjangnya pernah membuat gempar rimba persilatan. Namun pada sepuluh tahun belakangan, namanya lenyap dan tidak pernah terdengar lagi. Sehingga, orang-orang pun mulai melupakannya, ia adalah Setan Tenaga Gajah.

"Tinggalkan saja dia. Kelihatannya kita tidak perlu lagi membunuhnya. Tekanan batin dalam dirinya demikian parah. Tanpa membunuh pun, perlahan-lahan akan mati sengsara..." ujar Setan Tenaga Gajah berkata dengan suara penuh kepuasan.

"Baik, Ketua. ," sahut Benggala.

Setelah berkata demikian. Setan Tenaga Gajah segera saja angkat kaki dan lenyap, sebelum pengikutnya sempat menoleh. Hal itu menandakan betapa tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.

"Ayo kita pergi...,"

Setelah ketuanya lenyap, Benggala segera mengajak kawan- kawannya meninggalkan tempat itu. Sedangkan tubuh Gala Campa dibiarkannya terbaring pingsan di atas rerumputan kering.

********************

Hembusan angin silir-silir lembut mengiringi langkah dua sosok tubuh. Menilik buntalan pakaian di bahu kanan sosok berjubah putih, jelas mereka adalah pengembara yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Sosok bertubuh sedang namun padat itu ternyata masih muda usianya.

Melihat dari raut wajahnya yang bersih, tampan, dan menampilkan keramahan, paling jauh usianya baru dua puluh satu tahun. Namun apabila orang melihat sinar matanya, pasti tidak akan sanggup beradu pandang berlama-lama dengannya. Sorot matanya demikian tajam, dan memancarkan perbawa amat kuat. Jelas, pemuda tampan berjubah putih itu bukan orang sembarangan.

Sedangkan sosok ramping berpakaian serba hijau yang melangkah di samping kirinya, juga tidak kalah menarik. Raut wajahnya yang berbentuk bulat telur itu nampak demikian halus kulitnya. Hidungnya kecil mancung, dengan sepasang bibir indah yang merah basah. Sepasang alis matanya yang tebal, tampak melindungi dua bola mata hitam nan cemerlang. Benar-benar luar biasa pasangan muda itu.

Satu tampan dan gagah, satunya lagi cantik jelita bagaikan bidadari dari kayangan. Sepasang anak muda itu terus mengayun langkahnya di bawah siraman cahaya matahari yang mulai beranjak naik. Setelah melewati sebuah padang rumput yang cukup luas, tibalah mereka di tepian sungai. Pandangan mereka dilayangkan ke sekitar sungai seperti tengah mencari sesuatu.

"Hm..., aneh. Mengapa perahu itu dibiarkan terapung-apung di tengah sungai...? Apa yang dilakukan tukang perahu itu di sana...?" gumam gadis berpakaian serba hijau.

Sambil melindungi matanya dari sinar matahari, gadis itu memandang ke tengah sungai. Memang, di sana ada perahu yang biasa digunakan untuk menyeberang, dan di dalamnya ada orang yang tengah terapung-apung. Pemuda tampan berjubah putih itu pun segera saja melayangkan pandangannya ke tengah sungai. Tampak, sesosok tubuh tengah rebah di lantai perahu.

"Mungkinkah ia tertidur demikian lelap di pagi seperti ini?" desah pemuda tampan itu ketika melihat si tukang perahu tidak bergerak-gerak.

Mendengar ucapan tadi, gadis berpakaian hijau itu menoleh ke arah kawannya. Kemudian, kembali dia memandang ke tengah sungai.

"Hoooiii.... Tukang perahu..., bangunlah! Tolong antarkan kami ke seberang...!" teriak dara jelita itu disertai pangerahan sedikit tenaga dalam.

Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdiri tegak menanti perahu itu datang mendekat. Tapi jangankan bangkit. Malah, sepertinya si tukang perahu tidak mendengar. Tentu saja hal itu membuat si gadis jengkel.

"Hm.... Orang malas seperti dia harus diberi pelajaran...," desis dara jelita itu mengancam. Setelah berkata demikian, ditariknya napas dalam-dalam. Kemudian...,

"Hoooiii.... Tukang perahu pemalas, bangunlah! Atau perahumu ingin kutenggelamkan!"

Hebat sekali teriakan dara jelita itu kali ini. Hembusan angin bertiup keras seiring terdengarnya teriakannya. Bahkan beberapa ekor burung yang sedang terbang dalam jarak yang cukup jauh, langsung berjatuhan. Memang getaran suara yang mengandung tenaga dalam tadi telah melemahkan sayap-sayap binatang kecil itu. Tapi teriakan yang begitu hebatnya, ternyata masih belum mampu juga untuk membangunkan tukang perahu. Orang itu tetap saja rebah miring di atas lantai perahunya tanpa merasa terganggu sedikitpun.

"Tunggu, Kenanga...," kata pemuda tampan itu, mencegah ketika kawannya hendak mengulang perbuatannya barusan.

"Tukang perahu itu benar-benar kurang ajar dan membinggungkan, Kakang. Padahal, suaraku tadi kukira sanggup membuatnya terlompat bangkit dari tidur yang bagaimana pulas sekalipun...," kata dara jelita itu tak puas.

"Sabar, Kenanga. Sepertinya ada sesuatu yang tidak wajar pada tukang perahu itu. Tidak mungkin ia masih bisa terlelap setelah mendapat tekanan suara yang mengandung tenaga dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya...," ujar pemuda tampan itu.

Pemuda itu segera mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Kemudian, dia melangkah dan mengambil beberapa batang ranting pohon yang cukup besar.

"Untuk apa kayu-kayu itu, Kakang...?! tanya gadis itu, yang memang Kenanga.

Sementara, pemuda tampan berjubah putih itu tak lain dari Panji, yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Rupanya, Kenanga masih belum mengerti melihat apa yang diperbuat Pendekar Naga Putih. Sehingga, ia hanya dapat memandang bingung.

"Tunggulah di sini sebentar. Aku hendak melihat, apakah dugaanku benar...," sahut Panji sambil melemparkan sebuah ranting di tangannya ke tengah sungai. Dan sebelum ranting itu jatuh ke air, tiba-tiba....

"Haaaiiittt.!"

Pendekar Naga Putih berseru nyaring. Seketika tubuhnya melambung. Lalu, digunakannya ranting yang jatuh ke air itu sebagai landasannya. Demikian pula ranting lain di tangannya. Begitu kakinya menyentuh ranting, tubuhnya kembali melambung. Kali ini kedua kakinya langsung mendarat di lantai perahu. Hebatnya, sedikit pun perahu itu sama sekali tidak bergoyang, pada saat tubuh Pendekar Naga Putih meluncur turun di atasnya. Jelas, hal itu menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah sangat tinggi.

"Bagaimana, Kakang...? Apa yang terjadi dengan tukang perahu itu?" tanya Kenanga dari seberang. Dia sepertinya tidak dapat menahan sabar untuk segera mengetahui apa yang ditemukan Panji.

Sedangkan Pendekar Naga Putih yang kini berada di atas perahu itu sama sekali tidak segera menyahut. Dikayuhnya perahu itu ke tepian, mendekati Kenanga.

"Aaah?! Siapa yang telah melakukan kekejaman ini terhadap seorang tukang perahu seperti dia...? Apa kesalahannya ?" desis Kenanga ketika melihat apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap tukang perahu.

"Hm.... Kalau melihat dari pakaian yang dikenakan, ia memang tukang perahu. Tapi..., apa yang menyebabkannya? Hm.... Pasti ada sebab lain yang membuatnya tewas...," gumam Panji sambil menatap sosok mayat lelaki setengah baya berpakaian lusuh, dan ada beberapa tambalan pada pakaiannya itu.

Lelaki malang itu mati dengan sebuah tusukan senjata tajam tepat di jantungnya. Hal itu bisa dilihat dari adanya sebuah lubang yang cukup besar di tubuhnya.

"Bagaimana kalau orang yang membunuhnya sama sekali tidak mempunyai alasan, Kakang. Bukankah sifat kaum sesat banyak yang tidak lumrah. Mereka bisa saja membunuh tanpa alasan jeias! Bahkan ada beberapa di antaranya yang melakukannya hanya untuk kesenangan. Sekarang, apa yang akan kita lakukan terhadap tukang perahu itu?" kata dara jelita berpakaian hijau itu.

"Yah..., sebaiknya kita kuburkan saja mayat orang tua malang ini. Baru setelah itu kita gunakan perahunya untuk menyeberang...," usul Pendekar Naga Putih.

Sementara itu Kenanga hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui. Sepertinya, ia pun enggan berpikir lama-lama tentang pembunuhan yang jelas-jelas masih sangat gelap. Usai menguburkan mayat tukang perahu itu sebagaimana layaknya seorang manusia, Panji dan Kenanga berdiri tegak menatap gundukan tanah merah itu.

"Orang tua! Siapa pun kau adanya, semoga dapat tenang kembali ke alam yang kekal sana. Selain itu, kami pun mengucapkan terima kasih, karena perahumu akan kami gunakan untuk menyeberang. Selamat tinggal, Orang tua...," Setelah berkata demikian, Panji dan Kenanga mengangguk hormat, lalu bergegas menyeberangi sungai.

Kematian penuh teka-teki dari tukang perahu itu sepertinya masih juga membayangi sepasang anak muda ini. Terbukti, mereka masih tetap bungkam selama menyeberangi sungai. Jelas, pikiran mereka masih melayang kepada kejadian barusan. Tidak berapa lama kemudian, perahu itu pun merapat di sebuah jembatan kayu yang sepertinya sengaja dipasang untuk merapatnya perahu. Setelah menambatkan perahu. Panji dan Kenanga bergerak menaiki tangga-tangga tanah. Memang tanah tepian sungai itu agak tinggi.

"Hm.... Nampaknya di depan sana ada sebuah desa, Kakang...," kata Kenanga ketika sepasang matanya sempat menangkap adanya atap-atap rumah penduduk.

"Sepertinya begitu. Dan mungkin juga, sungai ini merupakan pemisah dengan desa seberang sana yang kemarin kita lewati...," sahut Panji sambil mengayun langkahnya tanpa terburu-buru.

Dugaan dara jelita itu memang tidak salah. Tidak jauh dari sungai memang ada perkampungan penduduk yang bernama Desa Kemang. Mulut desa itu baru dijumpai, tidak lama setelah beberapa waktu menyusuri jalan lebar.

"Uhhh..., tidak tahu diri. Siapa pula yang memanggang ayam di siang hari begini. Membuat orang lapar saja...," omel Kenanga, tiba-tiba.

Bau harum dan gurih yang menyerang hidung saat ini memang membuat perut gadis itu berkeruyuk. Karuan saja hal itu membuatnya merutuk. Sementara, Panji hanya menoleh dan tersenyum.

"Hm.... Karena kita sama-sama orang-orang kelaparan, tidak ada salahnya kalau memesan dua ekor ayam panggang, bukan...?" Setelah berkata demikian, Panji segera saja memasuki desa dan langsung mencari kedai makan.

"Kakang, tunggu...!" seru Kenanga, segera berlari menyusul Pendekar Naga Putih.

TIGA

Tapi, baru saja Pendekar Naga Putih dan Kenanga memasuki mulut kedai, tampak para penduduk yang kebanyakan wanita tengah berduyun-duyun menuju balai desa. Tentu saja hal itu membuat mereka saling bertukar pandang sesaat. Seperti telah mendapat kata sepakat, bergegas arus penduduk Desa Kemang itu diikuti.

"Maaf, Paman...," tegur pemuda tampan berjubah putih itu menyentuh lengan seorang lelaki berusia enam puluh tahun. "Kalau boleh tahu, ada apakah sebenarnya?"

Orang tua itu bukannya menjawab, tapi malah sebaliknya menatap sosok pemuda itu dengan kening berkerut. Namun, Pendekar Naga Putih tetap bersikap tenang meski jelas-jelas tatapan orang tua itu menyiratkan kecurigaan. "Kau siapa, Kisanak? Aku baru kali ini melihatmu. Apa kerjamu di desa ini..?"

Pertanyaan yang tidak menyenangkan meluncur begitu saja dari mulut orang tua itu. Ternyata bukan hanya tatapannya saja yang menyiratkan kecurigaan. Bahkan suaranya pun jelas- jelas mencerminkan ketidaksenangan.

Tampak pemuda tampan itu menghela napas sejenak. Ditundanya niat untuk meninggalkan orang tua itu begitu saja, karena mungkin akan lebih menimbulkan rasa curiga. Hanya saja, dia tidak mengerti apa yang membuat orang tua itu menaruh kecurigaan kepadanya? Lalu, apa sebenarnya yang tengah terjadi di desa itu?

"Paman, aku bernama Panji. Ini temanku Kenanga. Kami berdua memang bukan orang desa ini. Kami hanyalah pengembara. Apakah ada larangan untuk singgah atau menginap di desa ini bagi para pengembara...?" tanya Panji setelah menjawab semua pertanyaan yang barusan diajukan kepadanya.

Sepertinya, pertanyaan Pendekar Naga Putih membuat lelaki tua itu merasa sedikit tidak enak hati. Semua itu kelihatan dari sikapnya yang agak berubah, dan tatapan matanya yang juga menyiratkan sedikit keramahan.

"Tentu saja tidak, Nak... Panji. Maaf kalau pertanyaanku barusan kurang menyenangkanmu. Masalahnya, kudengar ada beberapa orang desa kami telah menemukan empat sosok mayat dan satu orang lelaki yang menderita luka parah. Lelaki bertubuh gemuk itu kedapatan masih hidup, dan dalam keadaan pingsan, itulah sebabnya, mengapa aku langsung merasa curiga ketika melihatmu...," jelas orang tua itu yang kembali mengayun langkahnya menuju balai desa.

"Tidak mengapa, Paman. Kecurigaan Paman itu tentu saja cukup beralasan. Apalagi, kedatanganku sangat bertepatan dengan adanya kejadiaan itu...," kata Panji.

Pendekar Naga Putih sengaja juga tidak menceritakan tentang mayat tukang perahu di sungai. Dia khawatir, kalau-kalau sikap lelaki tua itu akan berubah lagi kalau hal itu diceritakannya. Hanya saja, diam-diam Panji mencoba menghubungkannya dengan apa yang ditemukan di sungai.

Setelah mendengar keterangan orang tua itu, Panji dan Kenanga semakin lebih tertarik untuk mengikuti rombongan orang-orang desa. Sayangnya, pada saat keduanya tiba di balai desa, sekeliling tempat itu telah dipenuhi penduduk desa. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang masih dilumuri lumpur atau pun tanah merah. Kelihatan, mereka memang habis dari sawah dan ladang, dan merasa tertarik dengan keja- dian itu. Menyadari kesukaran untuk ikut melihat apa yang telah diceritakan orang tua tadi kepadanya, Panji melangkah mendekati keamanan-keamanan desa yang berbaris membentuk pagar.

"Kisanak. Tolong sampaikan kepada kepala desamu kalau aku mungkin mengenali mayat-mayat itu. Tolong beri kami kesempatan untuk melihatnya...," pinta Panji kepada salah seorang keamanan Desa Kentang yang secara kebetulan juga salah seorang pimpinannya.

"Hm.... Kau siapa, Kisanak? Benarkah apa yang kau katakan barusan? Tahukan kau, siapa orang-orang yang tewas dan yang terluka parah itu...?" tanya kepala keamanan berperut gendut dengan sebaris kumis tebal melintang menghias wajahnya. Orang itu berbicara sambil mempermainkan kumisnya. Jelas, hal itu dimaksudkan agar orang yang berbicara kepadanya merasa takut.

"Aku Panji. Benar tidaknya perkataanku, tergantung jawabanku setelah melihat mereka. Sekarang, tentu saja aku belum tahu siapa mereka, karena belum melihatnya sedikit pun...," sahut Panji tetap tenang tanpa memperlihatkan rasa tersinggung atau jengkel oleh sikap kepala keamanan desa itu.

"Hm…, Perlu kau tahu, Anak Muda...," Bicara lelaki berperut gendut dan berkumis tebal ini terhenti seketika, ketika sepasang matanya sempat menatap sesuatu yang mengejutkan di belakang tubuh pemuda berjubah putih itu. Segera saja kepalanya berusaha untuk melihat secara jelas lewat bahu Panji.

"Hm..." Panji yang langsung tahu penyebab kelakuan aneh itu, sengaja berpura-pura bodoh. Kepalanya ikut bergerak-gerak mengikuti gerakan kepala lelaki gendut itu. Sehingga, pandangan keamanan desa itu tetap saja terhalang kepala Panji.

"Hei, minggir kau...!" Masih tetap tidak menyadari kesengajaan pemuda tampan itu, lelaki berperut gendut ini menggeram sambil mengulurkan tangannya. Maksudnya, untuk menyingkirkan tubuh Panji agar pandangannya tidak terhalang. Tapi.,

"Ehhh?!" Keamanan desa itu tersentak kaget ketika tubuhnya hampir terjerunuk ke depan. Tatapan matanya segera beralih ke wajah Panji. Memang, tarikan tangannya tadi sama sekali tidak membuat tubuh pemuda itu bergeser sedikit pun. Bahkan tubuhnya sendiri nyaris terjatuh ke depan.

"Kurang ajar! Apa maksudmu sebenarnya, Kisanak...?" hardik kepala keamanan desa itu dengan wajah gelap. Jelas ia merasa marah kepada pemuda itu. Tapi meskipun dalam keadaan marah, sepasang matanya sempat melirik ke belakang Pendekar Naga Putih. Sekilas, kembali terlihat apa yang membuatnya penasaran untuk menegasi.

"Paman ini bagaimana?" tukas Panji dengan wajah berpura- pura tak tahu. "Bukankah sejak pertama tadi sudah kukatakan. Apa Paman sudah lupa keinginanku tadi?"

"Apa..., apa yang kau minta kepadaku tadi...?" tanya lelaki gendut itu yang sepertinya benar-benar lupa kata-kata Panji. Memang otaknya jelas dipenuhi sesosok bayangan penuh pesona yang belum juga sempat jelas dilihatnya.

"Aku ingin bertemu kepala desa, dan melihat mayat-mayat itu. Bagaimana? Apakah Paman mengizinkannya...? tanya Panji dengan tubuh tetap bergerak-gerak menghalangi pandangan lelaki gendut yang masih juga mencari-cari sosok di belakangnya.

"Ya..., ya. Pergilah. Aku memperbolehkanmu melihat mayat- mayat itu dan menemui kepala desa. Cepatlah pergi."

Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki gendut itu langsung saja mengizinkan Panji. Hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk dapat melihat sosok yang sejak tadi membuatnya penasaran. Dan satu-satunya jalan untuk dapat melihat jelas, hanyalah dengan menyuruh pemuda berjubah putih itu cepat-cepat pergi.

"Eh.!?" Untuk kesekian kalinya, lelaki gendut itu kembali terperangah dengan wajah ketololan. Ternyata sosok yang dicarinya tidak bisa ditemukannya. Tentu saja ia menjadi keheranan setengah mati. Padahal, jelas-jelas tadi ia melihatnya di belakang pemuda berjubah putih itu.

"Mungkinkah yang kulihat tadi sebangsa peri? Kalau memang manusia..., mengapa bisa menghilang begitu cepat...?" gumam lelaki gendut itu dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalanya meski tidak gatal. Kemudian, tubuhnya berbalik ke arah pemuda berjubah putih yang barusan diberi jalan untuk lewat.

"Hah...?!" Hampir copot jantung lelaki gendut itu ketika melihat sosok ramping terbungkus pakaian serba hijau, tampak tengah melangkah tenang di samping pemuda berjubah putih yang diizinkan masuk barusan. Tentu saja ia terkejut bukan main, karena sosok berpakaian hijau itulah yang sejak tadi membuatnya penasaran.

"Aneh.... Bagaimana tahu-tahu ia bisa berjalan bersama pemuda itu? Ataukah semua ini hanya pandanganku saja...?" desis lelaki berperut gendut itu ragu-ragu. Rasa penasaran membuatnya menggosok kedua mata dengan punggung tangan. Namun meski telah beberapa kali menggosok, sosok ramping berpakaian serba hijau itu tetap saja terlihat. Baru disadari kalau semua itu bukan permainan lamunannya belaka. Tapi, memang benar-benar nyata.

"Hei, tunggu...!" Begitu tersadar, lelaki berperut gendut itu segera saja berseru mencegah langkah Panji dan Kenanga yang hendak memasuki pintu balai desa.

"Kita sudah terlanjur. Lebih baik terus saja masuk...," bisik Panji, seraya segera menarik lengan kekasihnya memasuki bangunan itu.

"Hei, siapa kalian?! Siapa yang menyuruh kalian masuk ke ruangan ini?!"

Terdengar teguran ketika Panji dan Kenanga telah melewati pintu depan. Bahkan teguran itu langsung disusul berlompatannya beberapa sosok tubuh, dan langsung mengurung dengan senjata terhunus!

"Tahan...! Kami sama sekali tidak bermaksud jahat. Lagi pula, kami sudah mendapatkan izin untuk memasuki tempat ini dari kepala keamanan yang berjaga di luar...," jelas Panji.

Baru saja ucapan Panji selesai, dari belakang melesat sosok tubuh berperut gendut yang tak lain kepala keamanan desa yang bermaksud mengejar Kenanga. Karena memang, gadis jelita itulah yang membuatnya penasaran dan tergila-gila. Padahal, wajah dara jelita itu, belum terlihat jelas.

"Bohong! Pemuda sialan itu bohong! Dia menerobos masuk ketika aku lengah berjaga tadi...," sanggah lelaki berperut gendut itu, begitu tiba. Rupanya, ia takut disalahkan. Sehingga tanpa ragu-ragu lagi, dilemparkannya kesalahan itu kepada Panji dan Kenanga.

"Hm.... Betulkah itu, Kisanak...?" tegur Panji dengan sepasang mata berkilat tajam menggetarkan jantung. Hati Pendekar Naga Putih benar-benar muak melihat lelaki berperut gendut yang sepertinya hanya merupakan seorang penjilat dan penggoda wanita. Bukan tidak mungkin kalau sudah banyak gadis Desa Kemang yang dijadikan istrinya.

"Eh..., aaa... anuuu...," Lelaki berperut gendut itu mendadak gagap melihat sinar mata Panji serasa membetot-betot sukmanya. Sehingga, ia tidak tahu lagi apa yang harus diucapkannya. Tentu saja sikapnya membuat yang lain menjadi keheranan. Termasuk juga, Kepala Desa Kemang dan pembantu utamanya.

"Kenapa kau, Sungga...? Mengapa tidak menjawab pertanyaan pemuda itu?" tanya Kepala Desa Kemang yang bernama Ki Senta Raga disertai kerutan di kening. Dia memang tak senang melihat sikap bawahannya, sehingga terpaksa menegurnya.

"Anu, Ki. Aku...,"

"Sudahlah! Lebih baik kembali berjaga di luar sana. Biar pemuda dan gadis ini aku yang urus...," potong Ki Senta Raga, tak sabar menunggu jawaban lelaki gendut bernama Sungga.

"Baik..., baik..," Tanpa banyak membantah lagi, kepala keamanan bernama Sungga itu bergegas meninggalkan ruangan untuk kembali berjaga-jaga di luar.

Sepeninggal Sungga, Ki Senta Raga mengalihkan perhatian kepada kedua orang muda di depannya. Sekali melihat saja, lelaki tua bertubuh tegap itu dapat menilai kalau Panji dan Kenanga bukanlah orang-orang yang pantas dicurigai.

"Hm..., siapakah kalian sebenarnya...? Dan, apa tujuan kalian memasuki tempat ini...?" tanya Ki Senta Raga. Meskipun tidak menaruh kecurigaan terhadap sepasang anak muda itu, tapi jelas sekali kalau kewaspadaannya tetap tidak ditinggalkan.

"Maaf kalau kedatangan kami teiah membuat terkejut. Namaku Panji. Dan kawanku Kenanga. Kedatangan kami ke tempat ini untuk melihat mayat-mayat dan korban lain yang tengah menderita luka. Karena, mungkin saja kami bisa mengenali orang-orang itu...," jelas Panji, sehingga membuat Ki Senta Raga mengangguk-anggukkan kepala.

"Kalau kalian benar mengenalnya, lalu bagaimana? Apakah kau bisa memastikan pembunuh mereka, Anak Muda?" tanya Ki Senta Raga tanpa maksud menyindir. Sepertinya, orang tua itu mulai menduga kalau pemuda tampan berjubah putih itu bukan orang sembarangan. Penilaian Ki Senta Raga, memang berdasarkan sikap tenang dan tutur kata halus pemuda itu.

"Kami memang tidak bisa memastikannya, Ki. Yang jelas, kami pun menemukan korban lain yang mungkin ada hubungannya dengan kejadian di desa ini...," sahut Panji. Pendekar Naga Putih segera saja menyinggung sedikit tentang apa yang diketahui. Sehingga, Ki Senta Raga dan dua belas orang keamanan desa sama-sama mengerutkan kening mendengar ucapan pemuda itu.

"Apa maksudmu, Panji...? Mengapa kau menduga demikian...?" tanya Ki Senta Raga lagi dengan nada menuntut jawaban segera. Kaki lelaki gagah itu bahkan sudah melangkah mendekat.

"Ketika menyeberangi sungai yang merupakan pemisah Desa Kemang dengan desa sebelah, kami menemukan mayat tukang perahu yang biasa menyeberangkan orang. Karena tidak bisa mengetahui penyebab serta pembunuhnya, mayatnya kami kuburkan di seberang sungai. Kemudian, kami menyeberang ke desa ini dan mendengar adanya kejadian di balai desa...," jelas Panji secara singkat, namun cukup dimengerti Ki Senta Raga dan para bawahannya.

Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di dalam ruangan itu mendadak senyap. Masing-masing dari mereka sama terbawa pikiran sendiri-sendiri.

"Hm..., Panji. Kalau memang ingin mengetahuinya, mari ke dalam. Aku sudah tahu, siapa mayat-mayat itu. Juga, dengan lelaki gemuk yang menderita luka parah dan tengah dalam perawatan kami. Kalau memang kalian benar orang-orang persilatan, tentu akan mengenal mereka...," ujar Ki Senta Raga membuyarkan keheningan, seraya mengajak Panji dan Kenanga ke sebuah ruangan lain.

"Terima kasih, atas kepercayaan kalian...," ucap Panji segera mengikuti langkah kaki orang tua bertubuh tegap itu.

Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di sebuah ruangan lain yang cukup luas. Di tengah-tengah ruangan tampak terdapat empat sosok mayat yang ditutupi tikar pandan.

"Periksalah...," Ki Senta Raga mempersilakan pemuda tampan itu untuk memeriksanya.

"Hm..." Panji melangkah mundur setelah melihat sosok mayat yang terdekat dengannya. "Meskipun tidak mengenal namanya, tapi aku tahu kalau mereka adalah murid-murid Perguruan Cakar Besi yang dipimpin Ki Raksa Mala. Salah seorang murid utamanya yang bernama Gala Campa adalah sahabat kami. Aaahhh..., betapa akan terpukul hatinya jika mengetahui hal ini...," desah Panji setelah menjelaskan siapa adanya mayat-mayat itu.

Sementara, Ki Senta Raga terangguk-angguk semakin menaruh kepercayaan kepada pemuda yang senantiasa tenang dan halus tutur katanya.

"Aku pun telah tahu siapa dan berasal dari mana mereka. Apalagi, hampir semua penduduk desa ini dan juga desa-desa lain di sekitar wilayah ini, mengenal perguruan itu dengan baik. Secara tidak langsung, merekalah pelindung desa-desa di sekitar wilayah ini dari gangguan orang-orang jahat. Satu hal yang mungkin akan mengejutkan bagi kalian berdua, orang yang menderita luka parah dan tengah kami rawat, tak lain dari Gala Campa, murid tertua Ki Raksa Mala...," jelas Ki Senta Raga yang membuat Panji dan Kenanga terkesiap mendengarnya.

"Bagaimana keadaannya, Ki? Apakah masih bisa diselamatkan? Boleh kami melihatnya...?" Kenanga yang sejak tadi hanya ikut mendengarkan, langsung memberondong Ki Senta Raga dengan serangkaian pertanyaan. Sehingga, orang tua itu tersenyum dibuatnya.

"Tentu saja boleh. Sekarang, aku sudah percaya penuh kepada kalian. Mari...," ajak Ki Senta Raga membawa kedua pasangan pendekar muda itu ke tempat lainnya.

Tanpa banyak bicara lagi, Panji dan Kenanga segera saja bergerak mengikuti Kepala Desa Kemang. Bermacam pertanyaan memenuhi benak Pendekar Naga Putih. Karena, setelah berpisah dengan Gala Campa dan para tokoh lainnya di dalam Hutan Grambang, sampai saat itu Panji sama sekali belum bisa menemukan orang yang telah mengadu domba Perguruan Ular Emas dan Perguruan Cakar Besi dengan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.

Usaha adu domba itu berhasil baik, karena perkumpulan kaum gembel itu telah kehilangan beberapa orang tokohnya. Sedangkan kedua perguruan golongan putih itu telah kehilangan guru-guru mereka, (baca episode Badai Rimba Persilatan)

"Nah. Saudara Gala Campa tengah terbaring di dalam. Maaf, hanya sampai sebatas itu saja yang dapat kami lakukan terhadapnya. Karena, di desa kami tidak ada tabib." ujar Ki Senta Raga, sehingga membuyarkan lamunan Panji.

Segera saja Pendekar Naga Putih dan Kepala Desa mendorong daun pintu kamar tempat Gala Campa dirawat. Dengan langkah perlahan, pasangan pendekar itu bergerak mendekati pembaringan Gala Campa. Hati Pendekar Naga Putih langsung merasa iba terhadap murid tertua Ki Raksa Mala yang wajahnya sukar dikenali, karena bengkak dan luka di sana-sini. Sebagai seorang yang juga ahli pengobatan, pemuda itu segera saja mengetahui sampai di mana parahnya keadaan Gala Campa.

Tanpa berkata sepatah pun, Panji menurunkan buntalan pakaiannya. Dikeluarkannya jenis obat yang sekiranya diperlukan untuk mengobati luka-luka Gala Campa. Juga, dikeluarkannya sejenis minyak gosok, karena pada tubuh telanjang itu terlihat ada luka memar yang juga agak membengkak. Panji menduga, kemungkinan tulang-tulang iga lelaki itu ada yang retak atau patah.

Kenanga cukup teliti memperhatikan ketika kekasihnya tengah mengobati luka-luka Gala Campa. Karena pemuda itu melakukannya dengan cekatan dan sangat ahli, maka sebentar saja pengobatan telah dapat diselesaikan.

"Untuk satu dua hari, kita terpaksa harus tinggal di sini, Kenanga. Setelah Gala Campa sehat seperti sediakala, barulah kita bisa mendapat keterangan darinya. Memang agak sulit, karena selain luka-luka luar, dia juga mengalami guncangan batin yang cukup parah...," jelas Panji. Rupanya Pendekar Naga Putih juga dapat mengetahui keadaan Gala Campa secara keseluruhan.

"Maksudmu.., Gala Campa menjadi gila...!?" seru Kenanga, perlahan.

"Tidak sampai seperti itu. tapi, tingkahnya mungkin agak aneh dan ngawur. Yahhh..., kita lihat saja nanti. Mudah- mudahan saja ia bisa sembuh seperti yang diharapkan." desah Panji.

Pendekar Naga Putih kemudian segera melangkah ke luar kamar, setelah memasukkan kembali semua obat-obatan ke dalam buntalan pakaiannya. Ki Senta Raga menyambut kemunculan pasangan pendekar muda itu dengan senyum. Dan Pendekar Naga Putih kemudian langsung saja menyampaikan keinginannya kepada orang tua itu. Memang, Ki Senta Raga-lah yang paling berkuasa di Desa Kemang.

"Aaah.... Syukurlah, Panji. Sekarang, lega rasanya hatiku. Kalau begitu, selama kalian tinggal di desa ini, aku akan menyediakan tempat beristirahat di sebelah rumahku untuk kalian...," desah Ki Senta Raga.

Kepala Desa Kemang itu tentu saja menjadi gembira ketika mendengar Panji ternyata juga pandai mengobati dan telah mengurus luka-luka Gala Campa. Bahkan orang tua itu menyambut gembira usul pasangan muda itu untuk menginap. Maka Ki Senta Raga langsung menyediakan tempat beristirahat.

"Waaah...! Kami terlalu merepotkan...," desah Panji.

Tentu saja Pendekar Naga Putih agak risih mendapat tanggapan serta sambutan Ki Senta Raga yang terlihat benar-benar tulus. Tapi, pemuda itu tidak dapat menolaknya. Maka, terpaksa menerima segala kebaikan Kepala Desa Kemang serta para pengikutnya yang juga menaruh hormat kepadanya.

********************

"Kami harus pergi sekarang, Ki.... Karena masih banyak persoalan yang harus diurus. Selain itu. Gala Campa juga kelihatan sudah mulai pulih. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Ki Senta Raga serta semua warga Desa Kemang ini...," Panji dan Kenanga berpamitan setelah beberapa hari menginap di Desa Kemang.

Sedangkan lelaki gemuk yang berada di dekat pemuda itu tampak hanya terpaku dengan tatapan mata kosong. Ia tak lain dari Gala Campa, yang telah sembuh dari luka-lukanya. Sayangnya, guncangan batin yang diterima, membuatnya agak goyah pikirannya, ia jarang sekali bicara kalau tidak ditanya lebih dahulu.

"Baiklah, kalau memang keputusanmu sudah tidak bisa diundur lagi. Dan kami hanya bisa mendoakan semoga kau berhasil membekuk orang-orang kejam itu, Panji. Menyesal sekali baru kemarin aku mengetahui siapa kau sebenarnya. Tapi meskipun demikian, aku tetap merasa bangga. Kuharap lain kali kau bersedia singgah jika kebetulan lewat di dekat Desa Kemang...," ucap Ki Senta Raga.

Memang, baru kemarin ini Ki Senta Raga mengetahui kalau Panji sebenarnya adalah Pendekar Naga Putih. Kakagumannya yang selama ini hanya mendengar namanya saja, semakin bertambah-tambah setelah mengenal pendekar muda itu lebih dekat. Sehingga, tidak heran kalau orang tua itu kelihatan sekali merasa berat atas kepergian Pendekar Naga Putih.

Selesai berpamitan, Panji, Kenanga, dan Gala Campa melangkah menyusuri jalan lebar yang membelah Desa Kemang menjadi dua bagian. Kemudian, mereka terus ke sebelah Barat menuju matahari terbenam. Saat itu, hari masih pagi. Udara yang masuk melalui pernapasan terasa sejuk dan melegakan dada sehingga menyegarkan tubuh. Langit nampak cerah dengan warna biru yang terang. Cahaya matahari pagi terasa demikian hangat, menyirami ketiga sosok tubuh manusia yang tengah melintasi daerah bebatuan.

"Gala Campa, dapatkah perjalanan ini dipersingkat? Aku khawatir, kita keduluan pengemis-pengemis laknat itu. Menurut dugaanku, mereka pasti juga akan menyerang dan membinasakan murid-murid Perguruan Ular Emas, seperti halnya yang terjadi dengan perguruanmu. Untuk itu, kita tidak boleh terlambat tiba di sana. Sedikit saja terlambat, rasanya nasib Perguruan Ular Emas pun tidak akan berlanjut lagi...," kata Panji. Menilik dari pembicaraannya, dapat diduga, ke mana tujuan ketiga orang pendekar itu kali ini.

"Pengemis-pengemis laknat... Ya, benar. Kita harus mempercepat perjalanan. Pembunuh-pembunuh itu tidak bisa dibiarkan berkeliaran bebas semaunya...," sahut Gala Campa dengan suara mendesah, seolah-olah bicara kepada diri sendiri dan bukan menjawab ucapan Panji.

Kemudian tanpa berbicara sepatah pun, laki-laki gemuk itu langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sebentar saja, bayangan Gala Campa telah berada beberapa tombak di depan Panji dan Kenanga.

Bagaikan diberi aba-aba, sepasang pendekar muda itu segera saja menggenjot tubuhnya mengejar Gala Campa. Karena kepandaian mereka memang sangat tinggi, dalam waktu yang tidak terlalu lama saja Gala Campa telah dapat dibarengi. Secara bersamaan, ketiganya bergerak bagaikan bayang-bayang hantu yang tengahberkeliaran. Selama perjalanan itu, Gala Campa hampir tidak pernah berbicara. Dia lebih banyak termenung dengan sepasang mata kosong. Untungnya, kedua orang pendekar itu telah mengetahui penyebabnya.

********************

"Gala Campa, masih berapa jauh lagikah letak Perguruan Ular Emas?" tanya Panji suatu malam ketika melihat Gala Campa duduk termenung menatapi bintang yang bertaburan di angkasa raya. Langit memang nampak cerah, meski bulan muncul hanya sepotong.

"Tidak lama. Besok siang kita sudah bisa tiba di sana. Hm..., akan kuhajar habis-habisan pengemis-pengemis laknat itu dengan tanganku sendiri...!"

Terdengar desisan geram keluar dari mulut Gala Campa setelah menjawab pertanyaan Panji. Begitulah yang selalu diucapkan Gala Campa, yang selalu diakhiri dengan kata-kata yang menyiratkan dendam. Selalu begitu, meski ucapan pertamanya tidak bisa dibilang sebagai jawaban orang gila. Jelas, dendam itu tetap membayangi ke mana saja Gala Campa pergi.

"Hm. Kalau begitu, tidurlah. Biar aku yang jaga malam ini," ujar Panji sambil menepuk perlahan bahu lelaki gemuk itu.

Dan tanpa berkata sepatah pun, Gala Campa bangkit terus merebahkan dirinya di rerumputan yang beralaskan selembar kain. Sebentar saja, terdengar dengkurnya yang cukup keras. Panji hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Gala Campa. Pemuda itu bertekad memulihkan kesehatan dan pikiran lelaki gagah itu kelak, karena memang tidak bisa dilaksanakan sekaligus. Dan untuk mengembalikannya secara utuh seperti sediakala, Panji harus melakukannya secaraperlahan-lahan.

EMPAT

"Heeeaaattt...!"

"Yiaaattt..!"

Keheningan pagi yang indah tiba-tiba saja dirusak teriakan-teriakan yang diselingi jerit kematian. Suara denting senjata yang meningkahi teriakan serta jerit kematian, jelas menandakan telah terjadi pertempuran berdarah pagi ini.

Dugaan itu memang tidak berlebihan. Di balik sebuah bangunan perguruan, tampak pertarungan tengah berlangsung sengit. Sebenarnya, keadaan itu tidak bisa disebut pertempuran, dan lebih tepat kalau dikatakan sebagai pembantaian. Memang orang-orang berpakaian kembang-kembang dan penuh tambalan itu sepertinya sama sekali tidak mendapat perlawanan berarti. Lawannya yang mengenakan pakaian kuning cerah, satu persatu bertumbangan dan bermandikan darah!

"Hua ha ha...! Sebentar lagi, nama Perguruan Ular Emas akan hilang dari dunia persilatan, seperti halnya Perguruan Cakar Besi yang telah musnah...,"

Terdengar tawa membahana di sela-sela jeritan dan dentang senjata. Kemudian, kembali diperintahkannya pengemis- pengemis berbaju kembang-kembang itu untuk segera mempercepat pekerjaannya.

Untuk kesekian kalinya, jerit kematian pun kembali bergema susul-menyusul. Darah segar kembali menyirami bumi yang sudah lembab, dan basah oleh darah. Tapi, para pengemis berpakaian kembang itu sepertinya tidak pernah mengenal puas. Mereka terus saja membantai murid-murid Perguruan Ular Emas tanpa ampun!

"Heaaattt..!"

Pada saat nyawa murid-murid Perguruan Ular Emas sudah tidak mungkin dapat terselamatkan lagi, tiba-tiba saja terdengar teriakan keras susul-menyusul. Berbarengan teriakan itu, lima sosok bayangan tiba-tiba berkelebat cepat memasuki arena pertempuran. Begitu tiba, mereka langsung menyabetkan pedang ke arah para pengemis berpakaian kembang yang berjumlah sekitar belasan orang.

Kehadiran kelima sosok bayangan itu rupanya mampu merubah suasana. Buktinya sebentar saja, tampak belasan orang pengemis sama-sama bergerak mundur, melihat permainan pedang kelima sosok bayangan yang benar-benar mengagumkan.

Terutama sekali, permainan pedang seorang lelaki setengah baya yang berkumis tebal. Gerakannya menunjukkan kalau ia merupakan seorang ahli pedang pilih tanding. Bahkan angin sambaran pedangnya saja mampu merobek pakaian lawan. Tentu saja tenaga dalam yang terkandung dalam permainan pedangnya tidak bisa dipandang remeh. Dan sebagai bukti kehebatannya, lelaki gagah bertubuh agak kurus itu telah membenamkan senjata di tubuh salah seorang lawan!

Cappp!

"Aaakhhh...!"

Jeritan kematian langsung saja bergema seiring ujung pedang yang menancap tepat di jantung lawan. Darah segar langsung memercik membasahi tanah! Tubuh seorang pengemis kurus tampak terjerembab tewas dengan tubuh mandi darah!

"Mundur...!"

Tiba-tiba saja, terdengar perintah menggelegar yang membuat para pengemis berbaju kembang-kembang serentak bergerak mundur. Tak seorang pun yang berani membantah perintah itu. Jelas, lelaki tinggi besar brewokan yang mengenakan rompi coklat dan dengan sepasang lengan terhias gelang itu merupakan pemimpin para pengemis. Dia tak lain dari Setan Tenaga Gajah. Rupanya, kali ini dia sendiri yang langsung memimpin pengikutnya untuk membantai Perguruan Ular Emas.

Mundurnya para pengemis berbaju kembang-kembang itu tentu saja juga membuat kelima sosok bayangan tadi segera bergerak mundur. Termasuk juga, lelaki setengah baya yang masih tampak gagah itu.

"Hm..., kau pasti orang yang bernama Ki Damang, bukan? Ilmu pedangmu ternyata tidak mengecewakan. Sayangnya, masih banyak sekali kelemahan di dalamnya...," kata Setan Tenaga Gajah memberi tanggapan tentang permainan pedang lelaki berkumis tebal yang ternyata Ki Damang itu.

Tapi, orang tua itu sama sekali tidak kelihatan tersinggung atau marah. Sikapnya malah nampak agak tegang sambil meneliti sosok tinggi besar berbulu-bulu di depannya. "Siapa kau, Kisanak?! Dan mengapa demikian kejam membantai orang-orang tak berdosa...?" tanya Ki Damang tanpa mempedulikan pendapat Setan Tenaga Gajah.

Setan Tenaga Gajah hanya tertawa gelak mendengar pertanyaan Ki Damang. Tanpa mempedulikan orang tua itu, pandangannya diedarkan kepada empat orang lelaki gagah lainnya. Kelihatan sekali kalau sinar mata lelaki tinggi besar menakutkan itu sangat memandang remeh.

"Hua ha ha... Bagus..., bagus. Ternyata kedua orang murid Ki Jasminta juga telah ada di sini. Demikian juga dengan murid-muridmu, Ki Damang. Nah! Karena kalian sekarang sudah lengkap, maka sudah waktunya nyawa kalian kucabut satu-persatu...," ancam Setan Tenaga Gajah.

Tentu saja ancaman ini membuat kelima orang lelaki gagah menjadi geram bukan main. Karena, lelaki tinggi besar menakutkan itu jelas-jelas tidak memandang sebelah mata pun kepada mereka.

"Tunggu dulu...!" seru Ki Damang seraya mengangkat tangan kirinya. Jelas, lelaki tua yang masih nampak gagah itu tengah memedam rasa penasaran.

"Hm.... Kau ingin mengatakan sesuatu sebelum kematianmu, Orang Tua...?" ejek Setan Tenaga Gajah dengan sunggingan senyum sinis.

Ki Damang menarik napas berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya yang bergemuruh. Sikap Setan Tenaga Gajah memang benar-benar keterlaluan sekali. Akibatnya, orang seperti Ki Damang hampir-hampir terpancing amarahnya.

"Kisanak. Tanpa sebab yang berarti, kau tega membunuh murid-murid Perguruan Ular Emas. Seolah-olah, nyawa mereka sama sekali tidak ada artinya bagimu. Nah! Kalau memang bukan seorang pengecut, katakanlah terus terang. Mengapa kau memusuhi dan ingin melenyapkan kami?" tanya Ki Damang, seperti mewakili pertanyaan kawan-kawannya yang lain.

Setan Tenaga Gajah kembali memperdengarkan tawanya yang berkepanjangan. Setelah berhenti sejenak, lelaki tinggi besar menakutkan itu segera mengeluarkan suitan panjang disertai kekuatan tenaga dalam tinggi.

"Kau...?!" Dua orang lelaki gagah yang datang bersama Ki Damang, sama-sama melangkah maju dengan wajah pucat! Mereka tak lain Wira Yudha dan Waluja, dua orang murid utama Ki Jasminta.

"Hua ha ha..! Ya! Akulah yang memiliki suitan itu. Mengapa kalian terkejut..?" bernada mengejek sahutan Setan Tenaga Gajah. Kelihatan sekali kalau lelaki tinggi besar itu berpura-pura bodoh, padahal memang sengaja hendak mempermainkan lawan-lawannya.

Sedangkan tubuh Wira Yudha dan Waluja sama-sama menggigil mendengar suitan itu. Memang, hal itu mengingatkan mereka pada kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala yang penuh teka-taki. Dan munculnya suitan, memang sangat bertepatan dengan kematian kedua tokoh sakti itu. (Untuk lebih jelas mengenai kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala, silakan baca Badai Rimba Persilatan)

"Setan Tenaga Gajah...?! Ya. Kau pastilah manusia laknat yang telah membunuh guru kami dan memfitnah Ki Parewang sebagai pelakunya! Bangsat keji! Rupanya kau memang manusia biadab yang tidak mengenal puas! Setelah tidak berhasil mengadu domba kami, lalu kau datang hendak membantai murid-murid perguruan kami!Biadab...!"

Karena tidak bisa lagi menahan dendam dan kemarahan di dalam dadanya. Wira Yudha, murid tertua Perguruan Ular Emas, langsung saja menerjang maju disertai putaran pedang.

Swiiittt...! Cwiiittt...!

Sambaran angin pedang yang bergulung-gulung itu benar- benar mengagumkan. Kilatan-kilatan cahaya putih berkeredep mengincar tubuh Setan Tenaga Gajah yang masih tetap tegak seperti memandang remeh serangan lawan.

Waluja murid kedua Ki Jasminta yang berjuluk si Pendekar Ular Emas, rupanya tidak mau ketinggalan. Sesaat setelah tubuh kakak seperguruannya melesat menerjang pembunuh gurunya, dia juga berseru keras menyusuli. Bahkan putaran senjatanya terlihat lebih indah dan menyembunyikan kekuatan mengagumkan!

"Yeaaattt...!"

Wueeettt! Cwiiittt...!

Dibarengi pekikan nyaring, Wira Yudha membabatkan senjatanya dua kali berturut-turut. Namun kaki dan tubuh lawan yang menjadi sasaran, ternyata mampu menghindar. Padahal, saat itu ujung pedangnya hampir menyentuh sasaran. Tentu saja ia terkejut, karena cara menghindar lawan sama sekali tidak tertangkap mata!

Rupanya, Setan Tenaga Gajah tidak hanya menghindar. Tahu-tahu saja, kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi telah meluncur ke arah kepala Wira Yudha yang memang belum terbebas dari keheranannya. Sehingga, nyaris kepalan itu meremukkan kepalanya.

Untunglah pada saat yang sangat gawat, Waluja telah datang dengan serangannya yang menderu-deru. Akibatnya Setan Tenaga Gajah terpaksa harus menarik pulang kepalannya. Bahkan malah berbalik mengincar pergelangan tangan Waluja dengan cengkraman mautnya!

Wira Yudha yang tersadar dari keterpakuannya, segera saja mengibaskan senjata di tangannya. Pedang itu langsung meluncur dengan kecepatan kilat menuju bagian tengah dada Setan Tenaga Gajah!

Traaang...!

"Aaahhh...!"

Meskipun berhasil membebaskan Waluja dari ancaman cengkeraman lawannya, namun tak urung Wira Yudha harus menerima kenyataan akan kehebatan lawannya. Tubuh lelaki gagah itu terjajar mundur, dan hampir jatuh terlentang akibat sentilan jari-jari tangan lawan pada badan pedangnya. Tentu saja tindakan Setan Tenaga Gajah membuatnya terkejut, sekaligus juga menyadari kesaktian lawan.

Memang, kalau Setan Tenaga Gajah mau, mudah saja kedua orang itu dilumpuhkannya. Hanya saja, dia ingin memanas- manasi lebih dahulu. Begitulah sifatnya. Dia ingin agar lawan semakin terumbar hawa amarahnya. Dengan demikian, lawan secara tak langsung telah mendapat serangan batin, sehingga jiwanya goyah.

"Gila...!" desis Wira Yudha.

Segera laki-laki gagah itu mengulurkan tangan kirinya, sehingga menggenggam pedang dengan kedua tangan. Sebab, meskipun telah agak lama, tapi getaran akibat sentilan jari tangan tokoh menyeramkan itu masih tetap terasa hingga ke pangkal lengan. Akibatnya untuk beberapa saat, lelaki gagah itu hanya berdiri terpaku sambil berusaha menenangkan getaran pada lengannya.

"Baiklah. Batin kalian berdua yang akan kuhancurkan lebih dahulu..." Setelah berkata demikian. Setan Tenaga Gajah melangkah mendekati Wira Yudha dan Waluja yang saling berdampingan. Cepat keduanya mengelebatkan pedang di depan dada, siap menghadapi perkelahian maut!

Sedangkan Ki Damang dan kedua orang muridnya, segera saja bergerak maju untuk melindungi kedua orang murid sahabatnya. Mereka kini berhadapan dengan Setan Tenaga Gajah yang terus melanjutkan langkah, tanpa perduli kalau akan dikeroyok. Majunya kelima orang lelaki gagah itu, membuat Benggala dan Wungga, melangkah maju bersama dua belas orang pengemis lain. Maka suasana pun semakin memanas.

"Yeaaattt...!"

Setan Tenaga Gajah membuka serangan dengan teriakan parau yang mengejutkan. Saat itu juga, kedua tangannya bergerak susul-menyusul membawa serangan-serangan maut! Kuku-kuku jari tangannya yang panjang dan hitam, meluncur ke arah Wira Yudha dan Waluja.

Tapi baik Wira Yudha maupun Waluja bukanlah orang-orang pengecut yang takut mati. Sebagai orang-orang gagah yang telah terdidik sejak kecil, mereka sama sekali tidak gentar dalam menghadapi serangan lawan. Maka begitu cengkeraman lawan datang mendekat, keduanya bergerak memecah. Dengan kibasan senjatanya, dipapaknya cengkeraman cakar-cakar maut itu!

Whuuuttt! Whuuuttt...!

Pedang di tangan Wira Yudha dan Waluja menyambar- nyambar hendak menebas putus lengan yang berbulu itu. Namun dengan kecepatan dan keluwesan mengagumkan, lengan Setan Tenaga Gajah meliuk menghindari sambaran kedua batang pedang lawan. Kemudian, dia kembali meluncur mengancam tubuh Wira Yudha dan Waluja. Tentu saja kedua orang lelaki itu menjadi terkejut setengah mati! Cepat-cepat tubuh mereka dilempar ke belakang untuk menghindari cengkeraman cakar-cakar maut lawan.

Tapi Setan Tenaga Gajah sepertinya memang tidak ingin melepaskan kedua orang lawannya. Buktinya, ia terus saja mengejar Wira Yudha dan Waluja dengan cakar-cakar mautnya. Sehingga, keduanya mati-matian menyelamatkan diri. Untunglah, baik Wira Yudha maupun Waluja dapat bekerja sama dengan baik. Sehingga meskipun pertarungan telah lewat dari jurus kedua puluh, kedua orang murid Ki Jasminta itu masih tetap dapat bertahan. Sebenarnya, hal itu memang disengaja Setan Tenaga Gajah. Dia memang ingin membuat lawan terpecah jiwanya. Dan ketika dirasakan telah cukup, maka keputusannya adalah mencabut nyawa kedua orang lawannya.

Di tempat lain, Ki Damang bersama kedua orang muridnya telah pula bertempur melawan Benggala dan Wungga. Kedua orang pengemis berbaju kembang-kembang itu memimpin enam orang rekannya untuk menggempur lawan. Maka, pertarungan sengit pun tak terhindari lagi.

Sedangkan murid-murid Perguruan Ular Emas yang hanya tersisa beberapa belas orang, telah pula bertarung mati-matian menghadapi gempuran enam orang pengemis yang mengamuk dengan tongkat hitamnya. Meskipun mereka jelas-jelas bukan lawan para pengemis, tapi tetap gigih dalam melakukan perlawanan. Sepertinya, mereka lebih baik mati di tangan musuh ketimbang menyerah, atau mati sebagai pengecut. Pikiran itulah yang membuat para murid Perguruan Ular Emas tetap gigih mengadakan perlawanan.

Sementara, pertarungan antara Setan Tenaga Gajah yang melawan Wira Yudha dan Waluja telah lewat dari dua puluh jurus. Dan rupanya, tokoh sesat itu kini jadi tidak sabar. Maka, serangan-serangannya pun semakin dipercepat. Akibatnya, tentu saja membuat Wira Yudha maupun Waluja semakin kelabakan. Mati-matian kedua orang lelaki gagah itu menyelamatkan diri sebisa-bisanya. Meskipun mereka telah mengeluarkan seluruh kemampuan, tapi terap saja serangan Setan Tenaga Gajah, bagaikan bayangan yang selalu menyertai ke mana tubuh mereka berkelebat.

"Yeaaattt...!"

Dua puluh dua jurus telah lewat. Dan, tiba-tiba saja, Setan Tenaga Gajah mengeluarkan bentakan menggelegar! Seiring teriakan itu, sepasang tangannya bergerak ke depan dengan pukulan jarak jauh!

Whuuusss...!

Serangkum angin yang amat kuat berhembus ke arah tubuh Wira Yudha dan Waluja. Kontan, kedua orang lelaki gagah itu terkejut setengah mati. Padahal, saat itu mereka tengah berjumpalitan di udara. Jadi, untuk menghindari diri dari pukulan jarak jauh itu jelas suatu perbuatan mustahil!

Sadar kalau nyawa sudah tidak mungkin dapat selamat dari pukulan maut lawan, mereka pun berbuat nekat! Dibarengi bentakan keras, mereka langsung melemparkan senjata masing-masing ke arah Setan Tenaga Gajah. Jelas, maksudnya untuk mengadu nyawa.

Tapi, pada saat yang sangat menentukan bagi keselamatan nyawa kedua orang murid Ki Jasminta, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring yang semakin lama semakin meninggi. Dan sebelum orang-orang itu sempat mengetahui apa dan dari mana suara aneh itu berasal, tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat langsung memapak pukulan jarak jauh Setan Tenaga Gajah! Akibatnya...,

Blaaarrr...!

Hebat luar biasa akibat pertemuan dua gelombang tenaga dahsyat itu! Sinar putih keperakan berpendar seiring suara benturan yang memekakkan telinga dan mengguncangkan isi dada.

"Gila...?!" Setan Tenaga Gajah sendiri sampai terkejut dan mengeluarkan suara geram, begitu merasakan tubuhnya bergetar akibat tangkisan yang dilakukan sosok bayangan putih tadi.

Sedangkan bayangan putih yang telah menyelamatkan Wira Yudha dan Waluja, berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum mendaratkan kaki di tanah.

LIMA

"Pendekar Naga Putih...?!"

Wira Yudha dan Waluja serentak berseru terkejut, sekaligus lega. Munculnya pemuda sakti itu tentu saja membuat harapan mereka untuk selamat bangkit seketika. Panji tersenyum, lalu mendatangi kedua lelaki gagah itu. Langsung disalami Wira Yudha dan Waluja.

Pendekar Naga Putih kelihatan sangat gembira atas pertemuan itu. Bahkan, Ki Damang beserta kedua orang muridnya telah pula meninggalkan lawan-lawannya begitu mendengar kedatangan Pendekar Naga Putih. Orang tua itu segera saja menyalami Panji dengan wajah berseri. Tapi, suasana gembira itu tiba-tiba saja dikejutkan teriakan keras yang mengejutkan!

"Heaaattt...!"

Bersamaan pekikan keras, sesosok tubuh melesat disertai ancaman pedangnya. Langsung digempurnya para pengemis berbaju kembang-kembang. Serangan mendadak itu tentu saja membuat Benggala dan Wungga memerintahkan kawan- kawannya untuk mundur. Sedangkan kedua orang pimpinan pengemis itu sudah melesat menyambut serangan sosok bayangan gemuk yang ternyata Gala Campa.

"Haaaiiittt..!"

Dibarengi teriakan yang tidak kalah kerasnya, Benggala dan Wungga melesat seraya menyodokkan ujung tongkat ke tubuh Gala Campa. Dan....

Traaakkk! Duuukkk!

"Aaakhhh...!" Gala Campa kontan memekik kesakitan! Tongkat di tangan Wungga memang berhasil ditangkis pedangnya. Tapi, tongkat di tangan Benggala luput dari pengawasannya. Akibatnya, langsung menyodok ke lambung kirinya. Akibatnya, sosok bayangan gemuk itu terlempar balik dan terbanting jatuh berdebuk keras di atas tanah!

Benggala maupun Wungga rupanya tidak sudi menyia- nyiakan kesempatan baik itu. Maka selagi tubuh lawan belum sempat bangkit mereka segera menyabetkan tongkat dengan pengerahan tenaga dalam. Sepertinya, tubuh sosok gemuk itu hendak dihancur lumatkan dengan sekali hajar!

Beuuuttt! Whuuukkk!

Dua batang tongkat hitam itu terus meluncur deras ke arah kepala dan dada lawan yang tengah terbaring di tanah! Sedangkan Gala Campa hanya bisa terpaku tanpa berusaha menghindari hantaman kedua batang tongkat lawan.

Tapi pada saat yang gawat bagi keselamatan nyawanya tiba- tiba terdengar pekikan nyaring yang menggetarkan jantung! Berbarengan dengan itu, tampaklah sesosok bayangan hijau meluruk ke arah Benggala dan Wungga. Gulungan sinar putih keperakan yang menyilaukan mata tampak menyertai lesatannya. Sehingga...,

Traaakkk! Craaasss! Breeetttt...!

"Arrrkhhh...?!"

"Aaa...!"

Hebat sekali gerakan pedang sosok bayangan hijau yang ternyata Kenanga. Sinar putih keperakan yang berasal dari pedang di tangannya, langsung berputaran mengibas dengan kecepatan sangat mengagumkan! Sehingga, bukan saja kedua batang tongkat itu dapat dihalaunya. Bahkan si pemegang tongkat pun ikut pula termakan senjata Kenanga.

Tanpa ampun lagi, kedua orang pengemis pengikut Setan Tenaga Gajah itu tertolak balik ke belakang! Darah segar kontan menyembur keluar dari luka di tubuh mereka. Meskipun tidak terlalu dalam dan tidak bisa mengakibatkan kematian, namun merupakan suatu bukti kalau kepandaian mereka masih di bawah Kenanga.

"Hmh...!" Kenanga mendengus ke arah Benggala dan Wungga. Kemudian, tubuhnya berbalik menatap ke arah Gala Campa.

Gala Campa yang jelas-jelas sangat mendendam terhadap komplotan pengemis berbaju kembang-kembang, kembali menyilangkan senjata di depan dada. Lelaki bertubuh gemuk yang murid Ki Raksa Mala nampaknya telah siap bertarung kembali.

"Gala Campa, sabarlah.... Jangan terlalu bernafsu. Percayalah. Hari ini persoalan akan segera selesai. Kau lihat gembong biang kerok itu sudah menampakkan diri di tempat ini..," cegah Kenanga memegang lengan lelaki gemuk itu, berusaha untuk menahan amarah dan dendamnya.

Meskipun pikirannya agak terganggu, rupanya Gala Campa masih bisa menangkap pembicaraan orang. Maka, begitu mendengar disebutnya biang kerok, langsung diikutinya pandangan mata gadis jelita itu.

"Bangsat..! Orang hutan itukah yang telah menghancurkan dan juga mengadu domba kita...? Kalau begitu, ia harus menerima akibat perbuatannya...!" desis Gala Campa sambil menggeram bagaikan singa luka. Tanpa memperdulikan teriakan Kenanga, lelaki gemuk itu bergerak maju mendekati sosok Setan Tenaga Gajah yang hanya tertawa gelak melihat kemarahan Gala Campa.

"Gala Campa, tahan...!" cegah Panji. Jelas Pendekar Naga Putih tidak ingin Gala Campa mendapatkan celaka lagi. Maka, langsung dicengkeramnya pergelangan tangan lelaki gemuk itu. Mau tidak mau, Gala Campa menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Panji dengan sepasang mata menuntut jawaban.

"Sabarlah. Kita semua berkumpul untuk menyelesaikan masalah ini. Kau akan rugi apabila bertindak tanpa perhitungan, Gala Campa...," bujuk Panji dengan suara tegas dan mengandung perbawa kuat. Hal itu memang diperlukan untuk melumerkan amarah dan dendam Gala Campa yang telah bergolak dalam hati dan kepalanya.

"Benar, Gala Campa," timpal Wira Yudha. "Sebaiknya kita serahkan saja persoalan ini pada Pendekar Naga Putih. Kita sendiri pun tentu tidak tinggal diam, dan siap mempertaruhkan nyawa demi membalaskan dendam guru-guru kita."

Gala Campa menoleh ke arah Wira Yudha. Bagaikan orang yang baru sadar kalau tengah berada di antara teman- temannya, lelaki gemuk itu menggoyang-goyangkan kepala seperti hendak menghilangkan pikiran-pikiran yang menyumbat batok kepala.

"Kalian pun sudah berada di sini rupanya...?" sapa Gala Campa yang membuat Wira Yudha serta yang lain tersenyum. Memang, pertanyaan itu tentu saja merupakan pertanyaan bodoh.

"Tentu saja. Bukankah tempat ini merupakan pusat Perguruan Ular Emas. Jadi, tempat ini juga merupakan rumah kami..," jawab Waluja sambil menepuk-nepuk bahu lelaki gemuk itu. Sehingga, Gala Campa hanya bisa mengangguk- anggukkan kepala seperti burung pelatuk.

Perbincangan sesama sahabat itu rupanya membuat Setan Tenaga Gajah menjadi tersinggung. Tampak lelaki tinggi besar bercambang bauk dengan lengan-lengan besar dan berbulu itu, menggeram keras. Tentu saja erangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi, membuat para tokoh golongan putih berlompatan mundur. Cepat mereka mengerahkan hawa murni untuk menenangkan isi dada yang terguncang.

Kecuali Panji, hanya Kenanga seorang yang kelihatan hanya perlu memejamkan mata sekejap untuk melawan pengaruh geraman dahsyat barusan. Kemudian, kembali matanya dibuka. Bahkan kini nampak menyiratkan sinar berkilat tajam. Jelas, dara jelita itu telah mempersiapkan tenaga saktinya untuk menghadapi serangan mendadak, seperti geraman barusan.

"Pendekar Naga Putih...!" Apakah kedatanganmu ke tempat ini hanya untuk berbincang dengan teman-temanmu? Atau sengaja memancing kemarahanku, agar aku mencopot kepalamu...?" Bentakan menggelegar seketika membuat daerah di sekitar tempat itu bagaikan digoncang gempa kecil.

"Gila...!" umpat Kl Damang takjub. Hati laki-laki tua itu benar-benar dilanda ketegangan kali ini, melihat kesaktian tokoh sesat berjuluk Setan Tenaga Gajah yang luar biasa sekali. Seketika timbul keraguan dalam hatinya akan kehebatan Pendekar Naga Putih. Apalagi, sosok pemuda itu terlihat demikian lemah bila dibanding sosok Setan Tenaga Gajah yang tampak gagah dan menakutkan.

Rupanya bukan hanya Ki Damang saja yang meragukan kepandaian Panji. Bahkan, Kenanga yang sudah lebih sering menyaksikan keperkasaan kekasihnya, terlihat agak khawatir. Diakui, dia sendiri merasakan betapa dahsyatnya kekuatan tenaga sakti tokoh yang berjuluk Setan Tenaga Gajah itu. Meskipun perasaannya berusaha ditenangkan. Tetap saja merasa khawatir dan cemas.

Lain halnya Panji. Pendekar Naga Putih bukannya tidak tahu akan kesaktian Setan Tenaga Gajah. Dari beberapa kali tokoh sesat itu menunjukkan kekuatan dahsyatnya, sudah bisa diukur kalau kepandaiannya sangat tinggi. Tapi, memang sulit dipastikan apakah tenaga saktinya masih lebih kuat daripada tenaga lawan. Kenyataan itu membuatnya senantiasa siaga. Dikhawatirkan, kalau-kalau Setan Tenaga Gajah akan melakukan kelicikan, dan menyerang secara tiba-tiba.

"Setan Tenaga Gajah...," tegur Panji dengan wajah dan nada suara tetap tenang. Sama sekali tidak diduga kalau sebenarnya Panji sendiri merasa tegang berhadapan dengan tokoh yang menggiriskan itu. "Kau telah melakukan beberapa kejahatan yang benar-benar sangat keterlaluan. Pertama, kau mengadu domba Perguruan Ular Emas dan Perguruan Cakar Besi dengan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Dan kedua, kau membantai habis seluruh murid Perguruan Cakar Besi. Apa sebenarnya tujuanmu hingga sampai tega berlaku sekeji itu..?" Panji menatap tajam wajah Setan Tenaga Gajah yang brewokan itu.

"Hua ha ha...!" Bukannya berpikir untuk menjawab pertanyaan Panji, sebaliknya Setan Tenaga Gajah malah tertawa berkakakan.

Hanya saja, Panji tetap menahan sabar menanti jawaban yang bakal keluar dari mulut yang tersembunyi di balik brewok itu.

"Pendekar Naga Putih, dan sekalian tokoh perguruan- perguruan yang pernah kurugikan! Dengarlah! Seharusnya kalian tidak mendendam kepadaku. Tapi, kepada Ki Parewang-lah kalian harus meminta pertanggungjawaban. Karena, orang tua itulah yang yang telah membuatku melakukan kejahatan. Tapi, rupanya kalian ternyata merasa takut kepadanya, lalu mencariku untuk meminta pertanggungjawaban itu. Ha ha ha...! Lucu...!" kata Setan Tenaga Gajah, yang diakhiri dengan tawa bergema panjang.

"Hm..., Setan Tenaga Gajah! Apapun urusanmu dengan Ki Parewang, kami tidak ingin ikut campur. Kalian berdualah yang harus menyelesaikannya. Sekarang, aku minta pertanggungjawabanmu atas segala kejahatan yang telah dilakukan selama ini," tegas Panji.

"Heeemmm.... Kalau begitu, apa yang kau inginkan sekarang? Nyawaku, atau nyawa pengikut-pengikutku? Silakan kau memilih, dan cabutlah sendiri jika sanggup...," sahut Setan Tenaga Gajah bersikap menantang. Kali ini jelas-jelas tokoh sesat itu hendak bertarung melawan Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih.

"Hm. Tidak perlu sampai begitu jika kau benar-benar sadar akan perbuatanmu. Cukup aku membawamu dan mengadili di depan orang-orang yang telah kau rugikan. Apapun yang menjadi keputusan mereka, kau tidak berhak membantahnya...," ujar Panji lagi, tetap mengawasi sosok tokoh brewok itu dengan tatapan tajam.

Memang Pendekar Naga Putih tidak percaya kalau seorang tokoh sesat seperti Setan Tenaga Gajah akan sudi menyerahkan diri untuk diadili. Kalau pun tokoh sesat itu tadi menawarkan, itu hanya sekedar memancing tanggapan lawan. Panji sadar sepenuhnya akan hal itu.

"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo, tangkaplah aku. Mengapa masih ragu-ragu...?" sahut Setan Tenaga Gajah tetap mengejek. Tentu saja Panji tidak ingin begitu saja mengabulkan permintaan lawan.

"Setan Tenaga Gajah!" Wira Yudha yang merasa dongkol melihat lagak tokoh sesat itu, melangkah maju sambil menudingkan telunjuknya. "Kau tidak perlu lagi diadili! Sebaiknya, manusia jahat sepertimu langsung saja dikirim ke neraka jahanam!" bentak lelaki gagah itu dengan lengan bergetar karena marah.

Meskipun begitu, Wira Yudha tidak berani bertindak. Disadari kalau kepandaian lawan sangat tinggi, dan jauh berada di atasnya. Menyerang tokoh itu sama saja mengantarkan nyawa.

"Apa yang dikatakan Wira Yudha memang benar, Panji...," timpal Ki Damang. "Manusia sesat seperti Setan Tenaga Gajah sudah tidak mungkin lagi disadarkan. Sebaiknya, kita lenyapkannya saja untuk selamanya."

Panji sendiri mengangguk-angguk ketika yang lainnya sama-sama menyetujui usul Ki Damang. "Nah! Kau dengar sendiri, Setan Tenaga Gajah. Mereka telah memutuskan untuk melenyapkanmu. Untuk itu, bersiap-siaplah. Karena melawan atau tidak, aku akan menjalankan permintaan sahabat-sahabatku ini...," tegas Panji seraya melangkah maju beberapa tindak, siap melepaskan pukulan maut yang mematikan.

Melihat sikap Panji yang jelas tidak main-main lagi, Setan Tenaga Gajah menggeram gusar. Lelaki tinggi besar berpenampilan menyeramkan itu bergerak ke kanan, seolah oleh ingin mengintip celah kelemahan lawan. Kini, baik Pendekar Naga Putih maupun Setan Tenaga Gajah telah saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Mereka saling menatap tajam bagaikan hendak menjenguk isi kepala masing-masing.

Sedangkan Kenanga, Ki Damang, beserta yang lain segera saja bergerak menjauh. Sepertinya, mereka sadar kalau pertarungan yang bakal terjadi pastilah sangat mengerikan dan berbahaya.

Demikian pula halnya Benggala, Wungga, dan pengemis berbaju kembang-kembang lainnya. Mereka sepertinya juga menyadari adanya bahaya. Maka bagai diperintah, para pengemis berbaju kembang-kembang bergerak menjauh, dan bersembunyi di balik pepohonan. Angin bertiup keras menerbangkan daun-daun kering. Sepertinya, alam pun ikut menjadi saksi dari pertarungan terdahsyat yang bakal terjadi....

"Heaaattt...!"

"Yeaaattt...!"

Dibarengi pekikan dahsyat yang bagaikan hendak mengguncang jagat, tubuh kedua tokoh maha dahsyat itu sama-sama melenting ke udara. Kemudian, secara bersamaan mereka mendarat setelah berjumpalitan beberapa kali di udara.

Bweeettt.!

Begitu mereka saling mendarat dalam jarak yang cukup dekat, Setan Tenaga Gajah langsung melontarkan pukulan tangan kanan. Terdengarlah suara angin berdesing dan bercuitan. Dari sini bisa terlihat kalau tenaga yang terkandung di dalam kepalan sebesar kepala bayi itu sangat hebat.

Pendekar Naga Putih bukan tidak tahu akan kedahsyatan pukulan lawan. Maka dengan gerak cepat, tubuhnya berkelit sambil melepaskan tusukan jari-jari tangan kiri yang membentuk paruh ular. Rupanya, pada jurus-jurus awal ini Pendekar Naga Putih masih belum ingin mempergunakan ilmu andalan.

Syuuuttt..!

Lontaran tusukan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih mencicit tajam merobek udara! Untunglah sasarannya yang diarahkan ke pelipis, lawan cepat memutar kepala dengan gerakan jurus 'Harimau Keluar Goa'. Sehingga, serangan itu luput dari sasaran.

Gerakan Setan Tenaga Gajah rupanya tidak berhenti sampai di situ saja. Terbukti, tubuh gemuk itu masih terus meliuk seperti tubuh seekor ular yang tengah menari-nari. Itu pun masih dibarengi sebuah tebasan yang menusuk dari bawah ke atas. Rupanya, tokoh sesat itu hendak menjepit dan menggunting batang leher lawan dengan sepasang tangannya yang kekar berbulu.

"Haiiittt...!"

Panji yang sadar akan bahaya maut itu, cepat bertindak tepat. Dengan teriakan nyaring, cepat-cepat kaki kanannya bergeser ke belakang dengan tubuh doyong. Pada saat yang sama, sepasang telapak tangannya mendorong ke depan memapak serangan lawan. Dan....

Plaaaggghhh!

Akibatnya, kedua pasang telapak tangan itu kontan saling berbenturan! Ledakan dahsyat yang memekakkan telinga pun menggelegar keras! Bumi di sekitar tempat itu bergetar, membuat pepohonan berderak ribut!

"Haiiittt...!"

"Yeaaahhh...!"

Dengan gerak cepat, tubuh Pendekar Naga Putih berkelit sambil melepaskan tusukan jari-jari uang membentuk paruh ular.

Syuuuttt...!

Lontaran tusukan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih mencicit tajam merobek udara mengancam pelipis Setan Tenaga Gajah. Kedua tokoh sakti itu membentak keras. Seketika itu juga, tubuh mereka melambung dan berjumpalitan ke belakang hingga lima kali putaran. Kemudian, sama-sama menjejakkan kaki di tanah dalam waktu yang hampir bersamaan.

"Hm.... Nama Pendekar Naga Putih ternyata bukan hanya bualan kosong belaka. Aku harus lebih berhati-hati untuk menghadapi serangan-serangan berikut...," gumam Setan Tenaga Gajah. Rupanya, matanya baru terbuka setelah merasakan kekuatan serta kehebatan pemuda tampan yang berjuluk Pendekar Naga Putih.

Demikian pula halnya Panji. Pendekar perkasa yang telah banyak menghadapi lawan berat itu kini kembali harus mengerahkan seluruh kesaktian untuk menundukkan Setan Tenaga Gajah. Disadari, kesaktian tokoh sesat itu benar-benar luar biasa. Jarang ditemui lawan sehebat dan sedahsyat Setan Tenaga Gajah!

Kini mereka kembali saling berhadapan dalam jarak tiga tombak lebih. Masing-masing melangkah perlahan sambil mengintip celah-celah kelemahan lawan. Keduanya terus bergerak mendekat sambil memainkan jurusnya yang menimbulkan angin menderu-deru.

ENAM

"Yeaaattt...!"

"Haaattt...!"

Untuk kesekian kalinya, kedua tokoh maha dahsyat itu kembali saling gempur. Kali ini ilmu-ilmu silat tingkat tinggi mulai digunakan. Sehingga dapat dibayangkan betapa dahsyat dan mengerikannya pertarungan yang terjadi kali ini.

Pendekar Naga Putih yang sudah menggunakan 'Ilmu Silat Naga Sakti' berkelebatan bagaikan seekor naga raksasa. Tubuhnya meliuk-liuk lincah. Lapisan kabut putih keperakan yang menyelimuti seluruh tubuhnya, dan berpendar hingga sejauh tiga jengkal dari tubuhnya, benar-benar menampilkan sosok yang mengagumkan sekaligus menggetarkan!

Belum lagi sambaran cakarnya yang menebarkan hawa dingin luar biasa. Dalam jarak lima tombak pun, hawa dingin itu masih sanggup menewaskan seorang tokoh tingkat rendah. Dari sini saja sudah dapat dibayangkan, betapa mengerikannya pertarungan itu.

Setan Tenaga Gajah pun tidak kalah mengerikan. Tubuh lelaki tinggi besar berusia sekitar lima puluh lima tahun itu bergerak gesit dengan kuda-kuda kokoh. Jejakan kakinya yang sanggup menggetarkan bumi, melangkah berganti-ganti diselingi suara mencicit tajam dari kepalan-kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi.

Bueeettt! Whuuukkk...!

Sambaran kepalan yang mengerikan itu membuat dedaunan terpaksa harus rela meninggalkan ranting pohonnya, akibat sambaran angin pukulan Setan Tenaga Gajah. Bahkan beberapa batang pohon yang tumbuh dekat dengan tokoh tinggi besar itu tampak sudah rebah ketanah. Kibasan lengannya yang berbulu bagaikan golok besar yang mampu menumbangkan batang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa. Benar-benar dahsyat kekuatan yang dimiliki lelaki tinggi besar itu. Dia memang patut dijuluki Setan Tenaga Gajah!

"Haaaiiittt...!"

Ketika pertarungan yang mengerikan telah berlangsung selama seratus jurus, tiba-tiba saja Pendekar Naga Putih memekik nyaring. Saat itu juga, tubuhnya langsung melenting ke udara menghindari kepalan lawan yang menuju dada kirinya. Kemudian dengan kecepatan mengagumkan, tubuh pemuda tampan itu menukik sambil menjulurkan cakar-cakar mautnya ke ubun-ubun lawan!

Whuuusss...!

Angin dingin menusuk tulang berhembus keras, meniup rambut kepala Setan Tenaga Gajah. Sepertinya, Panji hendak meremas hancur batok kapala lawan. Tapi, Setan Tenaga Gajah tentu saja tidak sudi batok kepalanya diremas begitu saja oleh Pendekar Naga Putih. Maka ketika jari-jari tangan berbentuk cakar naga itu siap meremukkan kepalanya, Setan Tenaga Gajah cepat merendahkan tubuhnya. Kemudian, kaki kanannya digeser ke kanan. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya mengibas sepenuh tenaga!

Bweeettt...!

Sergapan Panji ternyata masih bisa ditarik pulang. Terbukti, ketika pemuda itu melihat lawan sengaja hendak mengadu tenaga, cepat kedua lengannya dikembangkan ke kiri dan kanan. Kemudian, kedua tangan itu kembali disatukan dengan kecepatan dan kekuatan sangat hebat!

Baaaannnggg...!

"Aaahhh...!"

Bukan main terkejutnya hati Setan Tenaga Gajah merasakan getaran yang memekakkan telinganya. Kedua telapak tangan Panji yang ditepukkan menggunakan tenaga dalam, sempat membuat tubuh tokoh sesat itu terhuyung hingga beberapa langkah dari tempat semula.

Pendekar Naga Putih tentu saja tidak sudi menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Cepat bagai kilat, tubuhnya kembali menukik dengan kedua tangan didorongkan ke depan.

"Whuuusss...!"

"Aaahhh...!"

Setan Tenaga Gajah memekik kaget! Sama sekali tidak disangka, kalau lawan akan nekat melanjutkan serangannya. Karena tidak mempunyai waktu menghindar, maka tokoh sesat itu bergegas memantek kuda-kudanya. Sepasang tangannya didorong ke depan, menyambut dorongan sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih.

Blaaarrr...!

Benar-benar mengerikan akibat benturan dua gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu! Debu mengepul tinggi seiring ledakan seperti letusan gunung berapi! Beberapa batang pohon berjarak dua tombak dari tempat terjadinya benturan, berderak-derak ribut bagaikan hendak roboh. Arena pertarungan pun gelap seketika, karena kepulan debu masih menghalangi pandangan mata.

Sementara itu Pendekar Naga Putih terpental balik dengan derasnya. Bahkan masih terus meluncur deras, meskipun telah menumbangkan dua batang pohon besar! Kemudian, tubuhnya terus amblas ke dalam sebongkah batu sebesar rumah hingga beberapa jengkal dalamnya. Melihat adanya cairan merah yang meleleh di sudut bibirnya, bisa ditebak kalau Pendekar Naga Putih mengalami luka dalam yang sangat parah!

Sedangkan Setan Tenaga Gajah lebih hebat lagi. Tubuh tokoh sesat yang tinggi besar itu tertolak ke belakang. Tubuh yang beratnya sama dengan seekor sapi muda itu meluncur deras tanpa dapat dicegah lagi.

Deeerrr...!

Sebongkah batu sebesar perut kerbau bunting, langsung pecah-pecah akibat terlanggar tubuh tokoh raksasa itu.

Akibat benturan dahsyat itu ternyata juga dirasakan oleh para pengemis berbaju kembang-kembang dan juga murid- murid Ular Emas tingkat rendahan. Mereka yang belum begitu kuat tenaga dalamnya, langsung terpental hingga satu tombak lebih jauhnya. Wajah mereka tampak pucat dan tidak mampu buru-buru bangkit. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang langsung tewas setelah memuntahkan darah segar! Benar-benar mengerikan akibat benturan dahsyat tadi.

"Gila...!" desis Ki Damang yang tingkat kepandaiannya di bawah Kenanga. Orang tua itu tampak agak pucat wajahnya. Deru napasnya pun terlihat masih memburu. Jelas, Ki Damang telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi bagian dalam tubuhnya dari pengaruh getaran benturan dahsyat tadi.

Sedangkan yang lain tampak terengah-engah bagaikan orang yang habis berlari jauh. Keringat dingin pun tampak membasahi wajah dan sebagian tubuh mereka. Hanya Kenanga saja yang tampak tidak terlalu menderita oleh akibat benturan maha dahsyat tadi. Dara jelita berpakaian serba hijau itu tampak menghela napasnya panjang-panjang secara perlahan. Meskipun demikian, wajahnya tampak agak pucat. Rupanya, isi dadanya sempat terguncang oleh suara menggelegar tadi.

Semua apa yang dirasakan dan dialamai para tokoh persilatan dari dua golongan itu, rasanya masih belum apa-apa bila dibandingkan Pendekar Naga Putih dan Setan Tenaga Gajah. Kedua orang sakti yang berhubungan langsung dengan benturan mengerikan tadi, lebih parah lagi keadaannya.

"Ketua...!"

Benggala, Wungga dan empat orang pengemis berbaju kembang-kembang langsung berlarian ke arah tubuh Setan Tenaga Gajah yang sudah tak bergerak-gerak lagi. Tanpa banyak cakap lagi, pria pengemis itu langsung membersihkan serpihan batu dari tubuh ketuanya.

"Ooohhh...," Benggala menghela napas sedih ketika melihat batok kepala Setan Tenaga Gajah telah retak akibat menghantam batu sebesar kerbau bunting itu.

"Bagaimana, Kakang...?" tanya Wungga yang berada di belakang pengemis jangkung kurus itu. Jelas, sudah bisa diduga, apa yang telah menimpa ketuanya.

"Ketua telah tewas, Wungga...," desah Benggala. Nada suara laki-laki itu lebih mirip keluhan ketimbang sebuah jawaban. Kemudian, diusapnya darah yang membasahi kening serta belakang kepala Setan Tenaga Gajah.

"Mari kita tinggalkan tempat ini...," ajak Benggala. Diakui semangat laki-laki itu, seperti patah atas kematian ketuanya. Kemudian, sambil membawa mayat Setan Tenaga Gajah, para pengemis berbaju kembang-kembang itu bergerak meninggalkan Perguruan Ular Emas.

Akhir dari pertempuran itu rupanya membuat mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Kenanga yang dibantu Ki Damang serta kawan-kawan lain, saat ini tengah berusaha mengeluarkan tubuh Pendekar Naga Putih dari dalam batu besar itu. Tak seorang pun yang memperdulikan kepergian para pengemis berbaju kembang-kembang yang membawa mayat Setan Tenaga Gajah. Padahal, sebelumnya mereka saling bernafsu untuk membunuh.

Gadis berpakaian serba hijau itu tampak menitikkan air mata melihat keadaan kekasihnya yang sudah tak ubahnya orang mati. Satu keuntungan yang dimiliki Pendekar Naga Putih, hanya karena 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang melindungi sekujur tubuhnya. Sehingga meskipun berbenturan dengan beberapa batang pohon hingga akhirnya melesak ke dalam batu besar, tapi sama sekali tidak menderita luka. Hanya saja, wajah Panji terlihat pucat. Bahkan detak jantung serta aliran napasnya seperti terhenti.

"Kakang..." Kenanga menjatuhkan kepalanya di atas dada pemuda kekasihnya. Dara jelita itu sudah tidak bisa lagi membedung kesedihannya. Sama sekali gadis itu tidak peduli meskipun saat ini ada orang lain yang menyaksikan tingkah lakunya.

"Kami yang salah, Nisanak...," terdengar suara kering dan mengandung penyesalan yang sangat dalam. Kata-kata itu terucap dari bibir Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Rupanya ketiga orang lelaki gagah itu merasa bertanggung jawab atas kematian Panji.

"Yaaahhh.... Tidak seharusnya kami menyerahkan persoalan perguruan ke tangan orang lain, meskipun orang itu memang membantu dengan tulus...," sambung Wira Yudha. Nadanya, terdengar penuh penyesalan. Sepertinya, mereka merasa tersentuh mendengar isak tangis Kenanga yang demikian memilukan. Sehingga, mereka merasa kalau akibat ulah merekalah Kenanga jadi sengsara.

Mendengar kata-kata tadi. Kenanga menoleh ke arah ketiga orang lelaki gagah itu. Dara jelita yang wajahnya tampak dibasahi air mata menggelengkan kepala perlahan. "Tidak. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa-siapa dalam masalah ini. Jadi..., kuharap kalian jangan merasa bersalah. Kakang Panji belum mati. Aku yakin, ia akan bangkit lagi setelah sembuh dari luka-lukanya...," sahut Kenanga.

Gadis itu memang merasa yakin kalau kekasihnya belum tewas. Telah diperiksanya kalau tubuh pemuda itu masih terasa hangat. Menurutnya, itu suatu bukti kalau Panji belum mati. Dan kalau pemuda itu benar sudah tewas, tubuhnya tentu dingin dan kaku sebagaimana mayat layaknya.

Tapi, ucapan Kenanga tadi tentu saja dianggap sebagai ucapan dari orang yang terguncang hatinya. Mereka tentu saja memastikan kalau Panji telah tewas. Selain detak jantung pemuda itu sudah tidak terdengar lagi, aliran napasnya pun sudah berhenti. Itu sebabnya, mengapa Ki Damang dan yang lain menganggap Pendekar Naga Putih telah tewas, sebagaimana halnya Setan Tenaga Gajah. Karena Kenanga tetap bersikeras kalau kekasihnya belum tewas, akhirnya Ki Damang membujuk agar tubuh pemuda itu dibawa ke dalam bangunan perguruan.

"Di sana lebih aman dan lebih enak tempatnya...," bujuk Ki Damang, meminta izin untuk mengangkat tubuh Panji. Kenanga akhirnya mengangguk, kemudian ikut bersama yang lain menuju bangunan utama Perguruan Ular Emas.

"Kakang...," Dara Jelita itu tidak henti-hentinya merintih, memanggil-manggil pemuda yang tengah rebah di atas pembaringan bambu. Dara jelita yang tak lain Kenanga itu berkeras melarang tubuh Panji yang dianggap mati oleh Ki Damang serta yang lain di makamkan. Dia tetap yakin, kekasihnya masih hidup.

"Kenanga...," panggil Ki Damang dengan suara lebih mirip desahan, "Saudara Panji mungkin memang tidak mati di hatimu. Tapi menurut hukum alam, ia telah mati. Detak jantung maupun aliran napasnya sudah tidak ada lagi. Dalam keyakinan kita, hal seperti itu disebut mati. Relakanlah kepergiannya, agar arwahnya dapat tenang dan tidak terhalang isak tangismu...," bujuk Ki Damang, agar Kenanga sudi menyerahkan tubuh Panji untuk segera dimakamkan.

"Tidak, Ki. Kalian salah. Pegang dan rasakanlah. Tubuh Kakang Panji masih tetap hangat seperti pertama kali kita temukan. Jika dia telah mati, bukankah tubuhnya sedingin es? Tapi ini tidak...," bantah Kenanga, tetap bertahan pada pendiriannya. Dara jelita itu tetap berkeyakinan kalau kekasihnya masih hidup.

Sehingga, baik Ki Damang maupun yang lain hanya bisa menghela napas tanpa berani memaksakan keinginannya. Dengan penuh kesabaran. Kenanga menunggui tubuh Pendekar Naga Putih. Entah sudah berapa banyak air matanya yang tertumpah. Sehingga, baju yang dikenakan Panji sampai basah oleh air mata dara yang sangat dicintainya. Bahkan meskipun kedua matanya telah bengkak, tangisnya tetap tak berhenti.

Diam-diam, baik Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, serta yang lain merasa iri dengan keberuntungan Pendekar Naga Putih. Memang, selain jelita parasnya, hati dan kesetiaan Kenanga juga jarang dimiliki gadis kebanyakan.

"Hhh.... Sayang, ia harus tewas dalam usia yang masih sedemikian muda. Entah apa jadinya dunia persilatan apabila golongan hitam sampai mendengar berita ini. Yang pasti, mereka akan berpesta pora menyambut kematian Pendekar Naga Putih...," desah Ki Damang, yang mau-tidak mau merasa menyesal juga atas kepergian pemuda sakti itu.

"Yahhh.... Meskipun ia mati dalam usia sangat muda, tapi baktinya sudah jauh lebih banyak daripada aku yang dua kali lebih tua," timpal Wira Yudha dengan kepala menengadah. Saat itu, mereka tengah duduk di ruangan tengah, mengitari sebuah meja bulat.

"Hm.... Sebaiknya kita jaga agar kematian Pendekar Naga Putih tidak sampai tersiar. Bukankah para pengemis berbaju kembang-kembang itu tidak mengetahui kematiannya...?" sambung Waluja. Lelaki bertubuh tegap itu memandangi wajah yang lain seperti tengah meminta tanggapan.

"Bisa jadi mereka juga menduga kalau Pendekar Naga Putih ikut tewas dalam benturan dahsyat itu. Buktinya, kulihat Setan Tenaga Gajah telah tewas dengan tengkorak kepala retak. Hm..., sebaiknya kita lihat saja nanti. Mudah-mudahan naluri Kenanga tidak meleset, dan juga bukan sekedar orang yang kehilangan pikiran..," cetus Laung, murid tertua Ki Damang, disertai desahan penuh harap.

"Kelihatannya, gadis itu memang tidak kehilangan akal sehatnya. Hm.... Ada baiknya kita ikut berdoa agar Pendekar Naga Putih tidak mati sungguh-sungguh," ujar Ki Damang juga, penuh harap.

"Maksud Ki Damang, pemuda itu tengah antara hidup dan mati...?" tanya Wira Yudha meminta ketegasan. Dan dia baru terdiam ketika melihat orang tua itu mengangguk pelan. Sebentar kemudian, suasana hening. Masing-masing terbawa alam pikiran menerawang jauh entah ke mana.

********************

TUJUH

Pendekar Naga Putih merasakan tubuhnya terlempar, dan melayang di angkasa. Satu hal yang membuatnya heran, tubuhnya terasa seperti segumpal kapas yang tengah diombang-ambingkan angin. Anehnya, Panji sendiri sama sekali tidak merasakan adanya hembusan angin. Bahkan pada saat terlempar, jubahnya sama sekali tidak berkibar.

"Ouuughhh...!" keluh Panji lirih ketika merasakan tubuhnya bagai terjeblos ke dalam sebuah lubang yang asing dan gelap. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya, untuk dapat membiasakan melihat di tempat itu.

"Hai.... Di manakah aku...?" desis Panji.

Saat itu Pendekar Naga Putih melihat keadaan di sekelilingnya. Suasananya demikian lengang dan hening. Lapisan-lapisan kabut menghalangi pandang matanya. Sepertinya, hal itu memang sudah menjadi bagian dari tempat Panji sekarang berada. Panji melangkah perlahan sambil tetap mengawasi sekeliling. Ia tidak tahu, perasaan apa yang saat itu tengah berkecamuk dalam hatinya. Yang jelas, ia merasa sangat asing dan juga ngeri. Bahkan lebih ngeri ketimbang menghadapi lawan-lawan berat yang pernah dirasakan. Hanya saja, semua perasaan itu kini seperti menjadi satu, hingga sukar sekali dikatakan.

"Aneh...? Mengapa di tempat ini aku tidak melihat matahari? Lalu, dari mana asalnya cahaya yang remang-remang ini...? Apakah lapisan-lapisan kabut itu yang memantulkan cahaya...?" benak Panji terus mencari jawaban dari semua keanehan yang saat itu disaksikan dan dirasakan.

Dengan kepala dipenuhi berbagai macam tanda tanya, Pendekar Naga Putih terus melangkah perlahan. Sama sekali tidak dimengerti, kenapa dirinya sampai bisa berada di tempat asing yang menyeramkan itu. Hati Pendekar Naga Putih semakin bergetar ketika sepanjang matanya memandang, yang terlihat hanyalah tanah lapang luas, tanpa pohon atau pebukitan. Seolah-olah, dirinya seperti berada di tengah-tengah padang pasir yang bagaikan tidak bertepian.

"Gila…! Apakah aku sudah gila...? Di mana sebenarnya aku? Mengapa tidak nampak tanda-tanda kehidupan di tempat ini...?" desis Panji dengan wajah gelisah.

Bagaikan orang yang kehilangan akal sehat, tiba-tiba saja Panji menghentakkan kakinya. Lalu, dia berlari cepat menembus lapisan-lapisan kabut yang bagaikan tidak pernah lenyap. Namun, meskipun telah merasakan cukup jauh berlari, tetap saja keadaan tempat itu tidak berubah. Bahkan yang membuat Pendekar Naga Putih semakin ketakutan adalah, tidak dirasakan adanya hembusan angin sejak tadi. Padahal, ia baru saja berlari sekuat tenaga.

"Ouuuhhh...!" Pemuda tampan berjuluk Pendekar Naga Putih yang biasanya selalu tenang dalam menghadapi segala sesuatu, kini menjatuhkan lututnya di atas tanah berpasir lembut itu. Rambutnya diremas-remas kuat-kuat. Suara erangan lirih sesekali terdengar dari kerongkongannya. Jelas, pemuda itu merasa ngeri dengan segala apa yang dilihatnya di tempat itu. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada cahaya matahari, hembusan angin, apalagi sosok manusia yang memang sangat diharapkannya. Semua itu tentu saja bisa membuat gila seseorang yang bagaimanapun tabah dan kuat hatinya.

"Hhh.... Ke mana perginya Kenanga dan para tokoh lain? Mengapa mereka begitu tega meninggalkan aku sendirian di tempat asing dan aneh seperti ini...?" desah Panji sambil menghela napas berulang-ulang dan memijat-mijat keningnya. Seolah-olah dia berharap kalau semua apa yang dialaminya hanyalah sebuah mimpi buruk. Dan Panji tentu saja ingin agar mimpi itu segera berakhir.

"Hua ha ha...!"

Tiba-tiba, saat Panji tengah kebingungan, terdengar tawa panjang menggema, bagaikan datang dari segala penjuru. Suara yang semestinya menakutkan itu, justru disambut Panji dengan senyum senang. Dengan adanya tawa itu, merupakan tanda adanya kehidupan di tempat ini.

"Aaahhh..." Cepat bagai kilat, pemuda itu bergerak bangkit dan mengawasi sekitarnya. Pada wajahnya tergambar kegembiraan yang amat sangat. Tingkahnya saat itu tak ubahnya seorang pengelana yang tersesat dan kehabisan bekal air di tengah lautan padang pasir.

Tapi sirat gembira di wajah pemuda itu lenyap seketika, dan berganti keheranan besar. Di depannya, dalam jarak beberapa langkah, tahu-tahu saja muncul sesosok tubuh yang raut wajahnya sudah dikenalnya. Yang membuat Panji terbeliak mundur, ternyata kemunculan sosok itu begitu mengejutkan! Seolah-olah dia langsung muncul dari dalam lapisan kabut tipis yang mewarnai daerah sekiiar tempat itu.

"Raja Iblis Utara...?!" desis Pendekar Naga Putih, seperti sebuah bisikan kering. Panji kenal betul sosok tinggi besar bercambang bauk itu. Memang, Raja Iblis Utara adalah salah seorang tokoh sesat yang pernah dibunuhnya beberapa waktu yang lalu. Tentu saja kemunculan datuk sesat itu membuat kepala Panji semakin pening memikirkannya.

"Hua ha ha...! Tidak salah! Akulah Raja Iblis Utara, Pendekar Naga Putih! Kuucapkan selamat datang kepadamu di Alam Roh...!" ucap sosok tinggi besar bercambung bauk itu memperdengarkan suara tawanya yang menggema dan panjang.

"Alam Roh...?! Apa maksudmu, Raja Iblis Utara...? Dan, bagaimana kau bisa bangkit dari kematianmu...?" tanya Panji bagai orang linglung. Karena, ia memang masih belum mengerti dengan keadaan yang kini dialaminya.

"Ha ha ha...! Aku bukan bangkit dari kematian, Pendekar Naga Putih. Tapi, justru kaulah yang datang ke alam kematian. Tapi, menurutku kau belum mati sempurna. Dan aku masih mencium adanya hawa kehidupan dalam tubuhmu," jawab Raja Iblis Utara kembali menertawakan sikap ketololan lawannya. Tapi, sepasang mata iblis itu tampak menyiratkan dendam kesumat yang sangat dalam.

Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika mendengar jawaban yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya. Kini baru dimengerti, mengapa tempat itu terasa asing dan menyeramkan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sepera yang biasa ditemuinya.

"Kalau aku memang benar sudah mati, lalu ke mana jasadku? Mengapa aku tidak melihatnya? Apa pula maksud Raja Iblis Utara yang mengatakan kalau kematianku belum sempurna? Juga, apa maksudnya dengan bau kehidupan di tubuhku? Hhh..., benar-benar sebuah pengalaman yang aneh sekaligus mengerikan...," desis Pendekar Naga Putih. Dan mau tidak mau, Panji jadi bergidik ngeri, mengingat keberadaannya sekarang.

"Sekarang..," kata Raja Iblis Utara lagi sambil melangkah maju mendekati Panji. "Aku akan menyempurnakan kematianmu. Sehingga, kau tidak bisa lagi kembali ke alam nyata. Nah, bersiaplah...,"

Pendekar Naga Putih melangkah surut ke belakang, mendengar ucapan Raja Iblis Utara yang jelas-jelas menyiratkan dendam. "Hm...," gumam Panji lirih.

Kini Pendekar Naga Putih menghadapi serangan datuk sesat itu. Mengingat kepandaiannya yang sudah meningkat jauh Panji pun tidak menjadi gentar. Diyakini, dirinya akan bisa mengalahkan lawannya seperti semasa Raja Iblis Utara masih hidup di alam nyata.

Raja Iblis Utara tergelak ketika melihat Panji siap melakukan perlawanan. Menyakitkan sekali tawa yang bernada penuh ejekan itu. "Pendekar Naga Putih! Percuma saja mengadakan perlawanan. Di alamku yang sekarang, tak ada lagi kematian, dan tidak ada lagi darah. Alam roh itu kekal selama-lamanya. Tapi, sebaliknya aku bisa menyakitimu. Ingatlah! Kau belum mati sempurna. Rohmu masih memiliki hubungan erat dengan jasadmu di dunia. Dan setiap rasa sakit ataupun luka, jelas akan terasa seperti halnya kau berada di dunia nyata. Hua ha ha...!" Raja Iblis Utara tergelak di akhir ucapannya.

Jelas sekali kalau datuk sesat itu sangat senang, karena sebentar lagi akan dapat melenyapkan musuh besar yang tidak pernah dibayangkan akan berjumpa lagi dengannya di sini.

"Aaahhh...?!" Panji tersentak kaget mendengar ucapan lawannya itu. Sadarlah Pendekar Naga Putih kalau saat ini benar-benar dalam cengkeraman bahaya. Apa yang dialami dalam pertarungan itu, akan berakibat pada jasadnya di alam nyata sana. Tentu saja, pikiran itu membuatnya tegang. Apalagi, lawannya tidak mungkin bisa dilukai atau dibunuh, karena hanya roh belaka.

"Hua haha...!" Raja Iblis Utara semakin tergelak saat melihat Pendekar Naga Putih nampak kebingungan. Dengan langkah ringan, datuk sesat itu bergerak maju menghampiri. Karena tidak ada melihat jalan lain, Pendekar Naga Putih segera bersiap menghadapinya.

"Yeaaahhh...!"

Dengan sebuah seman nyaring, Raja Iblis Utara melompat dengan kedua lengan terkembang, siap mencekik lehar lawan. Tentu saja Panji yang tidak ingin jasadnya tersiksa segera melompat menghindar ke belakang. Sebuah tendangan kilat dilontarkan, mengiringi lompatan mundurnya.

Bukkk!

Tendangan Pendekar Naga Putih memang sangat tepat. Entah karena Raja Iblis Utara sengaja tidak mengelak, atau memang tendangan pemuda itu terlalu cepat datangnya. Tapi yang jelas, tubuh tinggi besar itu terlempar deras ke belakang. Meskipun demikian, separah pun tak ada pekik kesakitan yang terlontar dari mulut Raja Iblis Utara. Bahkan sosok itu kembali meluncur ke arah Panji. Seolah-olah tendangan yang dilakukan pemuda itu hanya mengenai segumpal kapas.

"Gila...!" desis Pendekar Naga Putih. Panji merasakan betapa telapak kakinya barusan bagaikan menghantam segumpal benda lunak yang membuat kakinya seperti amblas. Jelas, hal itu merupakan bukti dari apa yang diucapkan Raja Iblis Utara sebelum bertarung.

"Sudah kukatakan, di alam ini kepandaian yang kau miliki sama sekali tidak berguna. Lain halnya jika kau telah mati sempurna. Maka, aku dan musuh-musuhmu yang lain, tidak akan mengganggu. Tapi karena hawa kehidupan di dalam rohmu ini, maka aku pun berniat menyempurnakan kematianmu. Dan setelah itu, kau juga akan menjadi penghuni tetap alam kematian yang kekal ini. Hua ha ha...!" sebuah tawa panjang dan bergema kembali menutup ucapan Raja Iblis Utara.

Semua ucapan tokoh itu tidak lagi sempat dikaji Pendekar Naga Putih. Memang saat itu juga Raja Iblis Utara menggempurnya dengan serangan-serangan hebat dan berbahaya. Rupanya, dalam alam kematian pun tokoh itu masih tetap memiliki kepandaian dahsyat. Semua itu dapat dirasakan Pendekar Naga Putih melalui sambaran angin pukulan yang bersliweran di sekitar tubuhnya.

Deeesss...!

"Aaakhhh...!" Tubuh Pendekar Naga Putih terjengkang ke belakang akibat hantaman telapak tangan lawan yang singgah di dada kirinya. Pemuda itu kontan meringis menahan rasa sakit pada bagian dalam tubuhnya. Bahkan napasnya terasa seperti tersumbat akibat pukulan telak lawan. Meskipun begitu, karena tidak ada jalan lain, terpaksa Panji kembali menghadapi lawan. Meskipun, ia tahu hal itu tidak ada gunanya. Dan kini, pertarungan kembali berlangsung.

********************

"Huaaakhhh...!"

Darah mengental berwarna kebiruan, menyembur keluar dari mulut pemuda tampan yang tengah terbaring di atas dipan bambu itu. Tubuh yang tersentak bangkit untuk memuntahkan gumpalan darah itu, kembali rebah dengan wajah semakin pucat!

"Kakang...!" Kenanga, yang masih setia menjaga tubuh kekasihnya yang dianggap belum mati itu menjerit tertahan. Air matanya kembali mengalir menuruni pipinya yang putih dan halus. Sepasang mata sembab yang semula sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi, kembali menerawang dan meneteskan butir-butir air bening.

"Ada apa...?"

Sesosok tubuh sedang dari seorang lelaki berusia lima puluh tahun, tahu-tahu saja melompat ke dalam ruangan diiringi suara yang menandakan keterkejutan dan juga kecemasan. Lelaki tua yang tak lain dari Ki Damang itu melangkah ketika tidak mendengar jawaban Kenanga. Mata tua itu terbeliak, bagai tidak memepercayai penglihatannya sendiri.

"Dari mana darah kental kebiruan itu, Kenanga...?" tanya Ki Damang begitu melihat Kenanga tengah membersihkan darah di atas perut Panji yang terbaring di balai bambu. Pertanyaan itu terlontar, karena Ki Damang melihat darah itu masih sangat baru. Selain itu, ia juga mendengar ada suara orang muntah barusan. Itu sebabnya, ia kontan melompat masuk.

"Kalau Ki Damang percaya, darah ini baru saja termuntah dari mulut Kakang Panji. Entah apa yang tengah dirasakannya saat ini. Dan, apa pula yang menyebabkan darah itu termuntah dari mulutnya...," sahut Kenanga dengan suara bergetar.

Hati dara jelita itu tentu saja merasa pedih bukan main, karena tidak tahu apa yang dirasakan kekasihnya saat ini. Yang jelas, Kenanga hanya ikut merasakan penderitaan yang tengah dialami Pendekar Naga Putih, apapun bentuknya.

Jawaban Kenanga bukan saja membuat Ki Damang terbelalak. Bahkan Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, serta dua orang murid Ki Damang, sama-sama tertegun mendengar jawaban yang sepertinya tidak masuk akal. Betapa tidak? Mana ada sesosok mayat yang sudah cukup lama terbaring, bisa memuntahkan darah. Tentu saja hal itu sangat mustahil! Tapi, baik Ki Damang maupun tokoh lain sama-sama terdiam sambil menundukkan kepala. Suara dara jelita itu jelas-jelas sangat yakin. Dan sepasang matanya yang masih bening, sama sekali tidak menunjukkan gejala hilang ingatan.

"Aneh...? bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa sebenarnya yang terjadi terhadap Pendekar Naga Putih...? Mengapa tubuhnya yang dianggap tewas dan telah terbaring cukup lama masih bisa memuntahkan darah dari mulutnya?" gumam Ki Damang seorang diri sambil melangkah hilir-mudik di dalam ruangan yang cukup lebar itu.

"Mungkin Pendekar Naga Putih memang belum tewas, Ki. Akupun mulai meragukan hal itu. Coba saja Ki Damang bayangkan. Bagaimana mungkin orang yang sudah mati hampir seharian, jasadnya tetap hangat. Padahal, seharusnya sebentar lagi tubuhnya sudah berbau. Tapi kalau melihat raut wajahnya, Pendekar Naga Putih tak ubahnya seperti orang yang tertidur lelap...," sambar Wira Yudha yang mendengar ucapan Ki Damang. Rupanya lelaki gagah itu tidak tahan juga sewaktu mendengar Ki Damang berkata-kata seorang diri.

"Hhh ... Kejadian ini memang sangat aneh. Atau mungkin hangatnya tubuh pemuda itu karena memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Apalagi aku pernah mendengar cerita tentang seorang tokoh sakti yang telah tewas bertahun-tahun, tapi jasadnya tetap utuh dan tidak berbau busuk. Siapa tahu saja hal itu terjadi pula dengan Pendekar Naga Putih. Bukankah ia juga memiliki kesaktian yang sukar dijajagi...?" sanggah Ki Damang.

Rupanya laki-laki tua itu masih ingin berpikiran wajar dalam menanggapi. Semuanya tentu saja dimaksudkan untuk tujuan baik. Ki Damang tidak ingin kalau Kenanga kelak hanya akan mendapatkan kekecewaan dalam penantiannya. Kalau Panji tidak bangkit lagi seperti yang diharapkan, bukan tidak mungkin gadis itu akan terguncang dan terganggu pikirannya. Itu sebabnya, orang tua itu masih juga membantah keyakinan Kenanga.

"Tidak..., tidak... Aku yakin Kakang Panji masih hidup. Hanya saja, aku tidak tahu apa yang saat ini tengah terjadi dengannya. Ah, andai saja aku bisa berjumpa dengan...," kata- kata gadis itu terputus ketika tiba-tiba saja ada seorang murid Perguruan Ular Emas datang tergopoh-gopoh melapor kepada Wira Yudha.

"Ada apa...?" tanya Wira Yudha, singkat kepada lelaki bertubuh tegap yang duduk beralaskan kedua lututnya.

"Maaf, Kakang. Di luar ada seorang kakek tua yang katanya ingin menemui Pendekar Naga Putih. Aku terpaksa tidak berani menjawabnya, karena sesuai pesan Kakang, keadaan Pendekar Naga Putih harus disembunyikan dan jangan sampai tersiar keluar...," jawab lelaki muda bertubuh tegap itu.

"Bagaimana..., bagaimana ciri-cirinya...?"

Sebelum Wira Yudha sempat memberikan keputusan, Kenanga yang sejak tadi menatap dengan wajah tegang dan penuh harap langsung saja melesat dan mencengkeram bahu murid Perguruan Ular Emas itu.

"Kenanga, sabarlah! Lihatlah, cengkeramanmu membuatnya kesakitan," Wira Yudha bertindak cepat menyadarkan dara jelita itu. Kalau tidak mungkin lelaki tegap itu tulang pangkal lengannya bisa patah akibat cengkeraman Kenanga.

"Aaahhh..., maafkan aku...," desah Kenanga, segera sadar atas kesalahannya. Cepat cekalan tangannya dikendurkan, kemudian dilepaskannya dari bahu lelaki tegap itu.

Setelah meringis beberapa saat sambil memijat-mijat kedua bahunya, lelaki tegap itu segera menceritakan tentang ciri-ciri kakek yang menanyakan tentang kekasihnya.

"Aaahhh.... Ia membawa-bawa sebatang tongkat. Dan..., usianya sudah hampir delapan puluh tahun. Tidak salah lagi...!" Bagaikan kemasukan setan, Kenanga berbicara terburu-buru penuh ketegangan. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia langsung saja melesat keluar.

Tentu saja tindakan aneh Kenanga membuat yang lain terkejut. Untuk beberapa saat lamanya, mereka saling bertukar pandang, baru kemudian bergerak mengejar. Ada pancaran rasa kasihan dalam raut wajah tokoh-tokoh itu. Mereka menduga, Kenanga mulai terguncang pikirannya karena terlalu memikirkan Panji. Kenanga sendiri sama sekali tidak peduli. Ia terus saja berlari ke luar bangunan ulama, hingga ke pintu gerbang depan.

"Eyang...!" teriak Kenanga dengan ledakan kegembiraan saat melihat sesosok tubuh kurus dan sangat tua tengah duduk di atas sebuah batu sambil menggenggam tongkat kayu di tangan. Sepertinya, kakek itu tengah sabar menunggu keputusan dari dalam.

Mendengar jeritan yang jelas-jelas mengandung berbagai macam, perasaan, segera saja kakek tinggi kurus itu bangkit berdiri. Lalu tangannya dikembangkan saat melihat Kenanga meluncur cepat dengan tangan terkembang. Butir-butir air mata kembali berjatuhan seiring langkah kaki dara jelita yang tampak agak goyah.

"Eyang...!" Begitu terjatuh ke dalam pelukan kakek tinggi kurus yang tak lain dari Raja Obat, tubuh Kenanga langsung lemas. Gadis itu jatuh pingsan dalam pelukan Raja Obat yang juga jadi terharu. Dengan penuh kelembutan, diangkatnya tubuh Kenanga, dan dibawanya masuk.

"Ahhh…! Kasihan sekali kau, Cucuku. Apa gerangan yang membuatmu demikian lemah dan menderita...?" desah Raja Obat sambil melangkah memasuki bangunan Perguruan Ular Emas.

"Berhenti...! Lepaskan gadis itu, atau kami terpaksa akan mengambil dengan jalankekerasan...!"

Langkah laki-laki tua segera terhenti ketika mendengar bentakan keras yang disusul bermunculannya enam orang lelaki gagah dengan raut wajah mengancam. Bentakan itu keluar dari mulut Wira Yudha yang tentu saja merasa cemas sewaktu tiba di luar. Mereka saat itu memang melihat Kenanga telah berada di atas bahu seorang kakek tinggi kurus. Dan tampaknya, Kenanga dalam keadaan tak sadarkan diri. Tentu saja hal itu mendatangkan kecurigaan di hati mereka.

"Hhh.... Jangan salah sangka dulu, sahabat-sahabat yang gagah. Aku adalah guru dari Pendekar Naga Putih, dan Kenanga. Jadi, kita masih segolongan." Raja Obat terpaksa mengakui sebagai guru Panji dan Kenanga, meskipun hal itu ada benarnya. Semua itu dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin saja menimbulkan perkelahian. Sedangkan orang yang menjadi saksi tengah pingsan di atas bahu kanannya.

"Hm.... Bisa saja kau mengaku demikian. Tapi kalau kau memang bermaksud baik, coba serahkan gadis itu kepada kami. Setelah itu, mungkin kami dapat mempertimbangkannya...," timpal Ki Damang, seraya maju beberapa tindak. Jelas, mereka masih belum mempercayai kakek itu.

"Sikap kalian memang sangat baik. Sayang, cucuku ini sedang tidak sadarkan diri. Selain itu, sepertinya ia tengah mengalami guncangan dalam jiwanya. Untungnya, ia seorang wanita kuat. Kalau orang lain, mungkin telah menjadi gila. Mmm.... Kalau boleh kutahu, ke manakah Pendekar Naga Putih? Mengapa aku tidak melihatnya? Apakah dia yang membuat cucuku ini menderita...?" tanya Raja Obat dengan kening berkerut, ketika tidak melihat Panji di tempat itu.

"Dari mana kau tahu kalau Pendekar Naga Putih ada di tempat ini. ?" tanya Ki Damang lagi. Sikap laki-laki tua itu tetap waspada. Hal itu karena melihat Kenanga telah jatuh pingsan di tangan kakek di depannya. Sedangkan, kepandaiannya sendiri masih berada di bawah Kenanga. Maka, wajar saja kalau Ki Damang bersikap waspada.

"Hm.... Itu karena kebetulan saja. Ketika aku tengah menyusuri sebuah jalan di dekat hutan karet, lewat enam orang pengemis berbaju kembang-kembang yang tengah membawa sesosok mayat lelaki brewok. Pembicaraan mereka kudengar. Mereka telah seperti menyebut-nyebut Pendekar Naga Putih dan Perguruan Ular Emas. Karena sudah cukup lama tidak berjumpa kedua orang cucuku ini, maka kusampaikan diri untuk singgah di tempat ini...,"

Setelah berkata demikian, Raja Obat menurunkan tubuh Kenanga dari atas bahunya. Kemudian, langsung dioleskannya cairan berbau harum ke hidung dara jelita itu.

Ki Damang serta yang lain hanya bisa memandang dengan sikap cemas. Mereka tidak sempat mencegah perbuatan kakek tinggi kurus itu. Tapi sebentar kemudian, wajah mereka tampak lega, karena Kenanga telah siuman dari pingsannya.

"Eyang..." Kenanga kembali meledak tangisnya. Dara jelita itu berlutut di dekat Raja Obat yang tengah duduk bersila. Sementara, Raja Obat mengelus rambut kepala dara jelita itu penuh kasih sayang.

"Tumpahkanlah semua kesedihanmu, Cucuku. Biar dadamu lapang," ujar Raja Obat dengan suara lembut.

Sementara itu Ki Damang serta yang lainnya hanya bisa bertukar pandang melihat pemandangan di depannya.

DELAPAN

Cukup lama Kenanga menumpahkan kesedihannya dalam belaian lembut Raja Obat. Gadis itu tidak merasa malu untuk menangis di hadapan orang tua itu, karena telah dianggap sebagai kakeknya sendiri.

"Eyang..., Kakang Panji...," desah dara jelita itu di antara isaknya yang masih terdengar sesekali. Wajah yang basah oleh air mata itu tengadah, membuat hati Raja Obat tersentuh.

"Mengapa dengan Kakang Panji mu, Cucuku...? Kalau ia terluka, rasanya kau pun pasti sanggup mengobatinya. Apalagi, Pedang Naga Langit tidak pernah terpisah dari tangannya. Jadi, apa sebenarnya yang membuatmu demikian sedih...?" tanya Raja Obat sambil mengelus rambut dara jelita itu penuh kasih sayang.

"Kakang Panji jauh lebih parah dari luka biasa, Eyang...," lapor Kenanga yang kembali terisak mengingat keadaan Panji.

"Jauh lebih parah dari luka biasa? Apa maksudmu, Cucuku? Sampai demikian parahkah luka-lukanya, sehingga kau hampir putus asa...?" desak Raja Obat yang masih menduga-duga, karena Kenanga belum juga menjelaskan.

Kenanga yang merasa sulit berkata-kata, segera saja bangkit berdiri. Langsung dibawanya Raja Obat ke tempat Panji dibaringkan. Sepertinya, dara jelita itu tidak tega mengatakan kalau kekasihnya telah tewas. Sebaliknya untuk mengatakan masih hidup pun, tidak berani. Karena, ia sendiri tidak tahu keadaan kekasihnya yang sebenarnya.

Raja Obat sama sekali tidak membantah. Diturutinya saja ketika Kenanga menarik lengannya. Kening kakek itu berkerut, begitu masuk ke ruangan tempat Pendekar Naga Putih dibaringkan, tampak Panji tengah terbaring dengan wajah pucat. Tanpa banyak cakap lagi, Raja Obat langsung saja memeriksa tubuh Pendekar Naga Putih. Cukup lama dia memijat serta menotok di beberapa bagian tubuh Panji. Sejauh itu, sedikit pun belum nampak terlihat adanya perubahan. Tentu saja Kenanga yang ikut menyaksikannya menjadi bertambah cemas.

"Hhh..." Tidak berapa lama kemudian. Raja Obat bangkit dari tepi pembaringan. Dengan helaan napas beratnya, kakinya melangkah menuju luar ruangan.

Ki Damang serta para tokoh lain sama-sama melemparkan pandangan ke pintu, saat tubuh Raja Obat muncul. Mata para tokoh itu tampak menyiratkan pertanyaan yang sama. Hanya saja, tak seorang pun yang berani mengutarakannya. Setelah sesaat lamanya berdiri di ambang pintu, Raja Obat kembali melangkah masuk, dan duduk di tepi pembaringan tempat Panji tengah tak berdaya. Sepasang mata tuanya menatap Kenanga dengan sorot sukar dilukiskan.

"Bagaimana, Eyang? Parahkan luka Kakang Panji...? Apakah masih ada harapan sembuh...?" Kenanga langsung saja memberondong Raja Obat dengan pertanyaan yang semenjak tadi siap meluncur.

"Hm.... Panji tengah dalam keadaan gawat, Kenanga. Sebagai seorang pendekar, kau harus memiliki ketabahan melebihi ukuran orang-orang biasa. Dia memang tidak bisa dibilang mati, juga tidak bisa dikatakan hidup. Semua itu tergantung dari apa yang dialaminya dalam alam roh...," jawab Raja Obat, sehingga membuat kening dara jelita itu berkerut.

"Alam Roh...? Apa maksud Eyang...?" tanya Kenanga meminta penjelasan lebih lanjut.

"Hm.... Ketahuilah, Cucuku. Saat ini, Kakangmu tengah bertualang di alam yang penuh rahasia. Dia bisa saja mati atau menemui kembali kehidupannya, setelah berpetualang di alam itu. Apa yang dialaminya di sana, kita sama sekali tidak tahu. Berdoalah, semoga Kakang Panji-mu bisa kembali ke alam nyata dengan selamat. Aku sendiri tidak bisa menjabarkan tentang alam roh, karena belum pernah pergi ke sana...," jelas Raja Obat mencoba berkelakar untuk menghilangkan ketegangan yang jelas-jelas terpancar di wajah, Kenanga.

"Jadi..., Berdoalah, Cucuku...," potong Raja Obat. Kakek itu kemudian segera menurunkan tubuh Panji dari atas balai-balai, kemudian membaringkannya di lantai beralaskan tikar pandan. Lalu, dia duduk bersila di samping tubuh Panji. Demikian pula halnya Kenanga yang ikut duduk bersila di samping Raja Obat. Mereka duduk menunggu akhir dari petualangan Pendekar Naga Pulih di alam roh.

********************

Sementara itu, Panji yang saat ini tengah bertarung melawan Raja Iblis Utara tengah terdesak hebat. Meskipun pukulan serta tendangan pemuda itu lebih banyak singgah di tubuh lawan, tapi semua itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Raja Iblis Utara. Sedangkan apabila pukulan lawan yang mengenai tubuhnya, pasti Panji yang akan terjungkal dan merasakan sakit.

"Ha ha ha...! Kali ini kau benar-benar tidak berdaya, Pendekar Naga Putih. Sekarang, terimalah kematianmu yang sebenarnya!" Raja Iblis Utara langsung melesat cepat sambil melontarkan serangkaian pukulan berbau maut!

Bweeettt! Wueeettt!

"Haiiittt...!"

Dalam keadaan yang hampir-hampir mematahkan semangat itu, Panji segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan diri. Memang ia merasa percuma bertarung dengan lawan yang sama sekali tidak bisa dibunuh. Dibarengi teriakan nyaring, Pendekar Naga Putih melenting ke udara menghindari pukulan maut lawan. Begitu kakinya mendarat setelah berjumpalitan sebanyak empat kali, langsung saja tubuhnya melesat meninggalkan Raja Iblis Utara.

Panji mengerahkan seluruh kekuatan ilmu lari cepatnya agar bisa menghindar sejauh mungkin dari lawan. Kali ini, hatinya semakin ditumbuhi rasa was-was. Sebab setelah kemunculan Raja Iblis Utara, bukan tidak mungkin ada tokoh-tokoh sesat lain yang pernah tewas di tangannya yang akan bermunculan mengeroyoknya. Ngeri juga hati Panji ketika membayangkan hal itu.

Tapi, apa yang diduga memang sama sekali tidak meleset. Memang benar Raja Iblis Utara tidak berusaha mengejarnya. Sepertinya, roh datuk sesat itu merasa pasti akan menemukan ke manapun pemuda itu pergi. Itu sebabnya, mengapa Raja Iblis Utara hanya tertawa gelak waktu melihat Panji melarikan diri.

"Aaahhh...!?" Pendekar Naga Putih kaget bukan kepalang. Belum lagi merasa bebas dari ancaman Raja Iblis Utara, tiba-tiba saja tokoh-tokoh sesat lain bermunculan satu persatu. Roh mereka bagaikan keluar dari balik gumpalan kabut tipis di sekitarnya. Dan memang seolah-olah gumpalan kabut tipis itu merupakan pintu keluar bagi mereka.

Dengan wajah tegang, Pendekar Naga Putih bergerak mundur menjauhi roh tokoh-tokoh sesat itu. Pemuda itu merasa harapannya sangat tipis untuk dapat lolos, begitu melihat adanya roh Malaikat Gerbang Neraka, Hantu Kematian, Penggembala Mayat, dan masih banyak lagi roh tokoh sesat yang kini mengepungnya dari delapan penjuru.

"Hua ha ha...! Hari ini adalah hari baik untuk kematianmu, Pendekar Naga Putih! Siapa sangka kau datang menemui kami di alam roh. Sepertinya, iblis-iblis penghuni alam ini sengaja mendatangkanmu untuk kami..,"

Terdengar gaung suara yang diketahui Panji datang dari roh Malaikat Gerbang Neraka. Melihat mereka semakin mendekat, Panji memejamkan mata menghimpun seluruh kekuatan yang dimilikinya. Kemudian, kembali matanya dibuka dan siap bertarung mati matian!

"Haaattt...!"

"Yeaaattt...!"

Dibarengi seruan nyaring, roh para tokoh sesat itu bergerak menyerbu Pendekar Naga Putih. Keadaan Panji saat itu benar-benar gawat, dan tak ubahnya makanan yang siap disantap orang-orang lapar!

Beeettt..! Wuuueeettt...!

Tamparan yang menimbulkan angin berkesiutan datang mengancam kepala Pendekar Naga Putih. Seiring dengan itu, sebuah tendangan yang siap menghantam dadanya datang tiba-tiba. Tentu saja menghadapi serbuan itu, Panji menjadi kalang kabut! Dengan merendahkan kuda-kuda sambil menggeser langkahnya, Panji mencoba lolos dari serangan yang datangnya bagaikan air bah itu. Kemudian, tubuhnya terus melenting ke udara dan berjumpalitan beberapa kali. Maksudnya, jelas untuk keluar dari kepungan.

"Heaaattt..!"

Sambil meluncur turun, Panji yang sempat melihat salah seorang pengeroyok yang tengah melontarkan serangan, segera saja memutar kakinya. Langsung dilepaskannya tendangan dengan kedua kakinya. Kemudian, digunakannya tubuh lawan sebagai batu loncatan untuk menjauh.

Deeesss...!

Meskipun serangannya sama sekali tidak mengakibatkan luka di tubuh lawan, namun Pendekar Naga Putih dapat meloloskan diri dari dalam kepungan. Lawan yang terkena tendangan itu terpental, bagaikan selembar daun kering yang tertiup angin.

Namun walau bagaimana pun kerasnya usaha Panji untuk dapat melepaskan diri dari kepungan, tetap saja sia-sia. Terbukti setelah dapat menendang salah seorang lawan. Pendekar Naga Putih kembali masuk dalam lingkaran para pengepung. Sebagai roh tokoh-tokoh sakti, tentu saja mereka dapat bergerak secepat angin. Sehingga, ke mana pun Panji bergerak, tetap saja tidak bisa lolos dari kepungan.

Pertempuran yang jelas-jelas tidak seimbang itu terus berlangsung. Pendekar Naga Putih sebisa mungkin menggunakan 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya. Namun tetap saja dia terdesak hebat. Beberapa kali pukulan lawan singgah di tubuh maupun wajahnya. Meskipun begitu, dia berusaha mati-matian untuk mempertahankan diri.

"Yaaattt..!"

Buuuggg!

"Aaakhhh...!" Pendekar Naga Putih kembali memekik kesakitan ketika untuk yang kesekian kalinya terkena hantaman telapak tangan lawan pada bagian dada. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya langsung terpental diiringi jerit kesakitannya.

"Tibalah saat kematianmu yang sebenarnya. Pendekar Naga Putih!"

Terdengar sebuah bentakan yang disusul berkelebatnya tiga sosok tubuh yang masing-masing siap melepaskan pukulan maut. Meskipun dalam keadaan bergulingan, Pendekar Naga Putih seperti masih belum sudi menyerah begitu saja. Nyatanya, ia masih saja berusaha menyelamatkan diri dari sergapan roh tokoh-tokoh sesat itu.

Tapi, daya tahan pemuda itu tentu saja sangat terbatas. Pada suatu ketika, Pendekar Naga Putih tidak sempat lagi menghindar. Tubuhnya yang rebah telentang, kini siap menerima hantaman beberapa roh yang mengeroyoknya!

Blaaarrr...!

Serangan Malaikat Gerbang Neraka, Hantu Kematian, Penggembala Mayat, tiba secara bersamaan. Terdengarlah ledakan keras yang bagaikan mengguncangkan alam roh! Anehnya, Panji sendiri berhasil selamat dari bencana, begitu tahu-tahu saja ada yang menarik tubuhnya ke belakang. Padahal, serangan roh-roh itu hampir pasti akan merajam dirinya. Merasakan pegangan pada kedua bahunya, Panji segera menoleh ingin memastikan pertolongan itu.

"Eyang...?!" Tiba-tiba saja Panji merasakan hatinya lapang sekali. Sebab, orang yang menarik tubuhnya itu tak lain gurunya sendiri, yaitu Eyang Tirta Yasa si Malaikat Petir. Tentu saja hati Panji menjadi gembira.

"Cucuku. Kau memang belum saatnya menjadi penghuni alam roh. Maka, kau harus kembali ke dunia nyata. Di sana, masih banyak tugas yang harus dijalankan. Eyang tidak tahu, apa yang membuatmu tersesat hingga ke alam roh. Yang jelas, selama kau masih bisa kembali, kembalilah. Mereka akan lenyap dengan sendirinya setelah kau memasuki jasadmu...," ujar Eyang Tirta Yasa sambil mengelus kepala muridnya.

Panji bergerak bangkit perlahan. Hatinya sempat merasa heran sewaktu melihat roh-roh tokoh sesat itu sama sekali tidak berani mengganggunya. Kelihatannya, mereka merasa gentar terhadap Malaikat Petir yang memang siap melindungi muridnya.

"Mengapa mereka tidak berani menyerang kita, Eyang...?" rasa penasaran membuat Pendekar Naga Putih tak kuasa menahan keingin tahuannya.

"Jelas, mereka tidak berani, Cucuku. Tapi, bukan aku yang ditakuti. Justru kita berdualah yang membuat mereka tidak berani menyerang," jelas Eyang Tirta Yasa, tersenyum lembut.

"Mengapa kita berdua yang mereka takuti? Apa sebabnya, Eyang?" desak Panji lagi, penasaran.

"Mereka adalah roh halus. Demikian pula aku," jawab Eyang Tirta Yasa, "Tapi, apabila roh halus bergabung dengan jasad, meskipun hanya berupa bayang-bayang semu seperti halnya denganmu, maka mereka tidak akan bisa mendekat. Apalagi menyakiti. Sebab setiap kali mereka menyentuh salah satu dari kita, itu sama dengan manusia yang memasukkan tangannya ke kobaran api."

"Lalu, bagaimana caranya aku kembali ke jasadku, Eyang? Sedangkan aku sama sekali tidak tahu, di mana saat ini jasadku berada? Apakah sudah dikuburkan atau belum, aku juga sama sekali tidak tahu...?" tanya Panji lagi, ketika teringat kalau gurunya menyuruhnya untuk kembali ke alam nyata.

"Hal itu tidak sulit bagi roh-roh tanpa jasad seperti aku misalnya. Bagi kami, tidak ada pembatas baik ruangan maupun waktu. Semuanya dapat dicapai dalam waktu yang sangat singkat. Dan biar di dalan tanah pun, aku dapat melihat apa yang disembunyikan manusia di alam nyata sana. Kau tentu saja tidak bisa menemukan jasadmu, karena rohmu masih berbau kehidupan. Bukan roh yang memang datang dari jasad mati. Nah, sekarang marilah kira menjumpai jasadmu," ajak Eyang Tirta Yasa seraya memegang tangan muridnya.

Apa yang kini dirasakan Pendekar Naga Putih sama sekali tidak berbeda dengan saat pertama terlempar ke alam roh itu. Tubuhnya mengapung tanpa beban. Hal itu berlangsung hanya sekejap mata, meskipun bagi Panji merasa agak lama.

"Sekarang bukalah matamu...," perintah Eyang Tirta Yasa.

Tanpa banyak cakap lagi, segera saja Pendekar Naga Putih membuka kelopak matanya. "Aaahhh..."

Pendekar Naga Putih terbelalak ketika di hadapannya terlihat jasadnya yang terbaring di lantai. Dia juga melihat Raja Obat beserta Kenanga kekasihnya yang matanya telah sembab karena terlalu banyak menangis.

"Percuma, mereka tidak akan mendengarmu," kata Eyang Tirta Yasa seperti tahu akan isi hati muridnya. "Sebaiknya, masuklah kembali ke dalam jasadmu. Setelah kau tersadar sedikit saja, maka tenaga ciptaan Pedang Naga Langit akan segera bekerja untuk menyembuhkan luka-lukamu"

Tentu saja Panji terkejut mendengar gurunya mengetahui tentang Pedang Naga Langit. Padahal, pedang mukjizat itu didapatkan saat gurunya sudah meninggal. "Jangan heran. Sudah kukatakan, bagi penghuni alam roh tidak ada batas ruang dan waktu...," jelas Eyang Tirta Yasa, sebelum Panji sempat bertanya.

"Lalu, bagaimana dengan Eyang? Roh-roh tokoh sesat itu apakah tidak akan mengeroyok Eyang...?" tanya Panji agak cemas, mengingat roh para tokoh sesat itu masih mengikutinya. Dan sepertinya, mereka tengah mencari kesempatan untuk melenyapkan Pendekar Naga Putih.

"Tidak perlu khawatir, muridku. Di alam roh, tidak pernah ada perkelahian. Jadi, tenangkanlah hatimu...," sahut Eyang Tirta Yasa tersenyum lembut.

Kini tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Naga Putih segera merasuk kembali ke dalam jasadnya. Begitu rohnya kembali menyatu, tidak ditemukannya lagi guru serta roh para tokoh sesat yang diketahuinya masih berada di dekatnya. Sesaat setelah rohnya bersatu dengan jasad, 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' pun bangkit. Bahkan langsung membakar seluruh luka dalam yang ada di tubuh Pendekar Naga Putih.

"Aaahhh...?!" Kenanga tersentak bangkit ketika tahu-tahu saja tubuh kekasihnya terkurung kobaran api yang panasnya terasa menyengat kulit.

"Tenanglah, Cucuku. Itu suatu pertanda, kekasihmu mulai tersadar. Dan kini ia telah kembali dari alam roh. Kobaran api itu adalah kekuatan yang berasal dari Pedang Naga Langit. Gunanya, tentu saja untuk membakar semua luka dalam yang dideritanya," jelas Raja Obat sambil menepuk bahu Kenanga.

Seketika, gadis itu menjadi tenang, dan kembali duduk memandangi sosok Pendekar Naga Putih. Tidak berapa lama kemudian, kobaran api itu pun padam. Wajah Pendekar Naga Putih yang semula pucat, terlihat mulai dijalari warna merah. Jelas, kesehatannya telah pulih seperti sedia kala.

"Kakang...!" Begitu mendengar Pendekar Naga Putih mengeluh, Kenanga langsung memeluk dan menghujani wajah kekasihnya dengan ciuman kebahagiaan. Sedang Raja Obat hanya tersenyum-senyum melihat kejadian itu.

"Kenanga...," panggil Panji membalas pelukan dara jelita itu dengan eratnya. "Aaah...! Maafkan aku. Kenanga. Kau telah susah karena ulahku." Panji tampak terharu melihat wajah kekasihnya nampak demikian letih dan terlihat agak kurus. Jelas, dara jelita itu selalu memikirkannya.

"Saudara Panji, selamat..."

Satu persatu mulai dari Ki Damang, menyalami Pendekar Naga Putih dengan wajah penuh rasa syukur. Para tokoh itu benar-benar gembira melihat Panji telah bangkit dari kematian semunya. Suasana suka cita itu mendadak hening seketika. Seorang murid Perguruan Ular Emas datang membawa gulungan surat yang menurutnya datang dari Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.

"Hmmm...," gumam Panji ketika teringat tantangan Ki Parewang yang hendak bertarung mati-matian dengannya. Cepat Pendekar Naga Putih membuka gulungan surat itu Namun, wajahnya segera terhias senyum seusai membaca habis isi surat Ki Parewang, Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.

"Ki Parewang telah menangkap dan menghukum pancung para pengemis berbaju kembang-kembang. Orang tua itu sempat berpapasan dengan mereka yang tengah membawa mayat Setan Tenaga Gajah, adik seperguruannya. Berarti, tugas kita semua telah diselesaikan oleh Ki Parewang. Satu hal yang menggembirakan ku, ia menarik kembali tantangannya. Bahkan menyatakan takluk, sebab Setan Tenaga Gajah merupakan satu-satunya pewaris yang paling berbakat. Sedangkan kepandaian Ki Parewang sendiri masih di bawah Setan Tenaga Gajah...," jelas Panji sewaktu melihat semua mata tertuju ke arahnya, seperti memohon agar menerangkan isi surat.

Terdengar helaan napas lega di sana-sini. Wira Yudha sebagai tuan rumah, segera mengajak untuk merayakan kesembuhan dan kemenangan Pendekar Naga Putih. Bukan hanya Panji dan Kenanga saja yang menyambut gembira ajakan itu. Bahkan Raja Obat sendiri pun langsung bangkit dengan wajah gembira.

"Ah, dasar nasibku sedang mujur. Sudah sejak kemarin perutku belum diisi. Kini, siapa sangka sekarang ada orang berbaik hati hendak mengundangku makan…," kata Raja Obat, sehingga para tokoh itu tergelak mendengarnya.

S E L E S A I

Petualangan Di Alam Roh

Serial Pendekar Naga Putih
Episode Petualangan Di Alam Roh
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

MALAM baru saja berganti pagi. Cahaya kemerahan matahari pagi sudah tampak menyemburat di kaki langit sebelah Timur. Kicau burung saling bersahutan, seiring makin terbukanya mata sang raja siang. Perlahan sinar kuning keemasan menyirami tubuh bumi. Tanda kehidupan kembali dimulai.

Di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat menyentuh kulit, tampak sesosok lelaki gagah tengah melangkah ringan. Kaki-kakinya tampak kokoh, menyibak ilalang agak tergesa-gesa. Kelihatannya, tengah terburu-buru. Lelaki gagah berperawakan gemuk itu tampaknya bukan orang sembarangan.

Dalam kalangan persilatan, ia termasuk salah seorang tokoh tingkat menengah. Namanya, Gala Campa. Dia adalah murid tertua Ki Raksa Mala. Malah lelaki gagah itu kini telah mewarisi Perguruan Cakar Besi, karena Ki Raksa Mala sendiri telah tewas di tangan pembunuh yang masih terselimut kabut kegelapan. (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Badai Rimba Persilatan)

Gala Campa memang habis dari Hutan Grambang bersama para tokoh lain. Dia kini tengah bergegas menuju perguruan yang didirikan Ki Raksa Mala. Setelah berpisah dengan para tokoh lain, termasuk Pendekar Naga Putih, timbul rasa khawatir di hati lelaki gemuk itu terhadap perguruan yang telah cukup lama ditinggalkannya. Itu sebabnya, mengapa sepagi itu ia terlihat demikian tergesa-gesa melakukan perjalanan.

Tidak berapa lama, tibalah Gala Campa di tepi sebuah sungai lebar yang memisahkan dua desa. Cepat tangannya diulapkan ke arah tukang perahu yang saat itu di tengah sungai. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gala Campa langsung melompat ke atasnya, begitu perahu telah dekat dengan jangkauan lompatannya.

"Tuan tampaknya sangat tergesa-gesa. Apakah hendak mengunjungi kerabat yang sakit di Desa Kemang?" tanya tukang perahu berusia setengah baya itu. Rupanya, dia melihat kegelisahan di wajah Gala Campa. Meski hanya bermaksud untuk melenyapkan kesunyian di antara mereka, tapi sepertinya Gala Campa tidak begitu suka dengan pertanyaan itu.

"Ya! Percepatlah sedikit laju perahumu...," sahut Gala Campa singkat dan cepat. Seolah-olah dengan jawaban itu ia ingin menunjukkan keengganan untuk melanjutkan pembicaraan.

Namun sayangnya, tukang perahu itu seperti tidak peduli dengan jawaban ketus Gala Campa. Setelah mengangguk-angukkan kepala sejenak, lelaki tua itu mempercepat laju perahunya.

"Siapa yang hendak Tuan jenguk? Saudara kandung, ataukah hanya seorang kerabat jauh...?"

"Hhh..." Gala Campa menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sepasang matanya yang berkilat dengan wajah siap mendamprat, langsung sirna begitu terbentur seraut wajah tua yang tampak penuh penderitaan. Hingga, Gala Campa terpaksa hanya bisa menyabarkan diri.

"Tidak. Aku tidak hendak menjenguk siapa-siapa. Aku hanya ingin mengunjungi Perguruan Cakar Besi, karena telah cukup lama kutinggalkan...," kata Gala Campa, mengatakan hal yang sebenarnya. Selain tidak biasa berbohong, wajah tukang perahu itu mendatangkan perasaan iba di hatinya. Hal itulah yang membuatnya seperti harus berkata jujur.

"Perguruan Cakar Besi...!?" tukang perahu itu seperti agak terkejut mendengar Gala Campa menyebut nama perguruannya, "Kemarin sore, ada delapan orang lelaki berpakaian kembang-kembang penuh tambalan yang juga memiliki tujuan sama dengan Tuan. Hm..., Ada keramaian apa sebenarnya di tempat itu...?"

"Apa...?! Delapan orang berpakaian kembang-kembang penuh tambalan hendak menuju ke Perguruan Cakar Besi...?!" sentak Gala Campa, sehingga tanpa sadar mencengkeram erat pangkal lengan tukang perahu. Karuan saja, lelaki setengah baya yang tidak mengerti ilmu silat itu menjerit kesakitan.

"Aku mengatakan yang sebenarnya, mengapa Tuan kelihatan begitu ketakutan,..? Apakah ucapanku salah...?" ujar tukang perahu itu sambil memijat-mijat pangkal lengan yang terasa remuk tulang-tulangnya.

Untunglah Gala Campa keburu sadar. Kalau tidak, bukan tidak mungkin lengan orang tua itu benar-benar remuk dibuatnya. "Maaf, Paman. Maaf.... aku jadi benar-benar terkejut mendengar cerita Paman. Sekarang, katakanlah kepadaku. Apakah tambal-tambalan yang kau maksud seperti pengemis...? Benar begitu, Paman...?" tanya Gala Campa, sambil berusaha menenangkan diri.

"Ya, ya. Kira-kira begitulah, meskipun pakaian mereka tampak masih bagus. Sepertinya hal itu disengaja, agar orang-orang mengira mereka sebagai pengemis sungguhan. Aaahhh..., dasar orang-orang itu saja yang kurang waras. Aku saja ingin memiliki pakaian yang bagus tidak tambal-tambalan seperti yang kupakai ini. Eh, orang-orang itu malah sengaja menambal-nambal pakaiannya. Dasar dunia memang sudah terbalik...," kata tukang perahu itu, sambil sedikit mengomel.

Tapi, Gala Campa sudah tidak mendengar ucapan tukang perahu selanjutnya. Begitu mendengar kepastian kalau delapan orang berpakaian kembang-kembang benar pengemis, langsung saja dayung di tangan lelaki setengah baya itu disambarnya. Dan tanpa memperdulikan tukang perahu yang membelalak dengan wajah pucat karena mengira perahunya hendak dicuri, lelaki gagah yang merebut dayung perahu itu segera mendayung dengan menggunakan tenaga dalam. Hasilnya tentu saja sangat mengejutkan tukang perahu. Hampir napas lelaki tua itu putus seketika merasakan perahu yang dinaikinya meluncur demikian cepat.

Bahkan hembusan angin terasa demikian keras menerpa tubuhnya. Akhirnya, orang tua itu terpaksa memejamkan mata dengan mulut komat-kamit memanjatkan doa. Sepasang kaki yang sudah tidak sanggup menahan berat tubuhnya, terpaksa harus di tekuk. Sehingga, dia berdiri hanya menggunakan kedua lututnya.

Sedangkan Gala Campa sendiri yang tengah dalam kecemasan luar biasa, mendayung perahu bagaikan orang kesetanan. Seluruh tenaganya dikerahkan agar segera tiba di seberang sungai. Memang dia seperti mendapat firasat buruk kalau akan terjadi sesuatu di perguruannya.

"Heaaah...!"

Ketika jarak antara perahu dengan tepian sungai tinggal kira- kira tiga tombak lagi, Gala Campa kembali mengerahkan tenaganya. Kemudian, dia membentak keras disusul lesatan tubuhnya yang melayang di atas permukaan air sungai. Namun Gala Campa telah meninggalkan kepingan uang di atas perahu.

Jelg!

Begitu kedua kakinya menginjak permukaan tanah, tubuh Gala Campa kembali melenting dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Kemudian, tubuhnya langsung melesat mengerahkan ilmu lari cepatnya begitu kakinya mendarat di atas tanah. Bagaikan dikejar setan, lelaki gagah itu berlari menuju perguruannya yang terletak di luar perbatasan Desa Kemang. Rasa khawatir akan nasib murid-murid perguruannya, membuatnya seperti memiliki tenaga cadangan yang berlipat-lipat.

Gala Campa terus melesat dengan mengambil jalan pintas. Bagaikan bayangan setan, tubuhnya berkelebat di antara pepohonan. Hingga, terkadang tubuhnya lenyap di balik sebatang pohon, kemudian tahu-tahu muncul di balik pohon lain yang terpisah beberapa tombak. Dari sini saja dapat diukur tingkat ilmu kepandaiannya, betapa hebatnya ilmu lari cepat yang dimilikinya.

"Eh...!?" Meskipun dalam keadaan berlari, namun sepasang mata Gala Campa ternyata cukup awas. Ternyata kelebatan empat sosok tubuh di depannya, membuat langkahnya terhenti seketika. Dengan wajah tegang, tubuhnya cepat menyelinap di balik sebatang pohon besar.

Tapi, begitu keempat sosok tubuh yang berlari dari arah berlawanan itu dekat, Gala Campa segera melesat dari tempat persembunyiannya. Melihat pakaian keempat orang yang serba coklat tua, segera saja lelaki gagah itu mengenali. Keempat orang itu ternyata murid perguruannya juga.

"Berhenti...!"

Bentakan keras yang disusul berkelebatnya sesosok bayangan dari balik pohon besar, membuat keempat lelaki yang tengah berlari tersentak kaget. Wajah mereka nampak pucat bagaikan tak dialiri darah. Senjata-senjata yang masih tergenggam erat di tangan, langsung saja disilangkan di depan dada, siap menghadapi perkelahian mati-matian. Tapi, wajah-wajah pucat itu segera saja berseri menampakkan kelegaan hatinya. Memang setelah melihat jelas, mereka segera dapat mengenali sosok lelaki gagah berpakaian coklat yang berdiri menghadang jalan.

"Kakang Gala Campa...?!" Seruan itu serentak terucap dari mulut keempat orang lelaki yang dihadang Gala Campa. Mereka menghembuskan napas kuat-kuat penuh kelegaan.

"Surangga, apa yang telah terjadi terhadap saudara-saudara kita yang lain? Dan, kalian hendak pergi ke mana...?" tegur Gala Campa. Suaranya tegas dan menuntut jawaban sejujurnya dari lelaki bertubuh kurus yang bernama Surangga.

"Hhh.... Maaf, Kakang. Kalau tindakan kami salah, kami siap menerima hukuman...," kata Surangga, sambil menjatuhkan tubuhnya di depan Gala Campa. Demikian pula halnya tiga orang temannya.

"Aku hanya tanya, dan bukan ingin menghukum kalian! Jelaskan sikap kalian ini...?!" bentak Gala Campa, jengkel melihat sikap murid-muridnya. Memang, dia masih merasa cemas terhadap nasib murid-murid yang lain.

"Semua habis, Kakang. Delapan orang pengemis berpakaian kembang-kembang, begitu datang langsung mengamuk dan membunuhi murid-murid perguruan kita. Apalagi, kepandaian mereka ternyata rata-rata sangat tinggi. Sehingga, banyak saudara kita yang tewas di tangan mereka. Maka, kami terpaksa memutuskan melarikan diri dengan jalan berpencar. Sampai akhirnya, aku dan kawan-kawan berjumpa Kakang di sini...," tutur Surangga. Memang, tingkat kepandaian Surangga paling tinggi di antara ketiga orang rekannya. Makanya, dia merasa paling bertanggung jawab dalam masalah itu.

"Apakah mereka menggunakan senjata rahasia beracun...?" tanya Gala Campa ingin memastikan lebih dalam lagi Gala Campa menduga, pengemis berpakaian kembang-kembang yang mengacau perguruannya ada hubungannya dengan orang-orang yang hampir menewaskannya di tempat pertemuan, di luar Desa Lintang beberapa waktu lalu.

"Benar, Kakang.... Bagaimana Kakang bisa menduga demikian? Dan, mengapa Kakang tidak bersama guru, serta Kakang Sentaji...?" tanya Surangga sambil mengedarkan pandangannya. Seolah-olah, ia mengharapkan dapat berjumpa orang-orang yang disebutkannya.

"Aku hanya tinggal seorang diri, Adi Surangga. Guru dan Sentaji tidak akan pernah kembali lagi. Mereka sudah tewas di tangan orang-orang jahat. Dan ada kemungkinan, pembunuh-pembunuh itu juga orang-orang yang mengacau di rumah perguruan kita...," jawab Gala Campa dengan wajah menengadah dan tatapan mata kosong jauh ke depan. Tampaknya jelas lelaki gagah itu tidak ingin melanjutkan percakapan tentang guru dan adik seperguruannya.

"Aaahhh...!?"

Surangga dan ketiga rekannya sama-sama menundukkan wajah duka disertai desahan napas panjang dan berat. Mereka juga mengerti kalau Gala Campa tidak ingin percakapan itu diteruskan lagi. Dan kini Surangga dan tiga orang lainnya tidak lagi membuka suara. Cukup lama keheningan itu melingkupi lima orang murid Perguruan Cakar Besi. Mereka tertunduk lesu dengan jalan pikiran masing-masing.

"Kakang...," Setelah agak lama dicekam keheningan, Surangga memberanikan diri membuka suara. Meskipun hanya perlahan, namun cukup merubah suasana.

"Hm...," sahut Gala Campa menggumam malas. Sebenarnya, laki gagah itu tengah mencari cara terbaik untuk kembali ke perguruan. Dengan terpaksa, ia menoleh juga ke arah Surangga.

"Apa yang harus kita perbuat sekarang, Kakang. Aku khawatir, pengemis-pengemis berhati iblis itu masih terus mencari-cari kami. Sebab salah seorang dari mereka sempat mengucapkan kata-kata kalau tidak seorang pun murid Cakar Besi yang dibiarkan hidup," ujar Surangga.

Wajah Gala Campa terlihat agak tegang ketika mendengar penjelasan Surangga. Memang disadari betul kalau ia dan keempat orang saudara seperguruannya tidak akan mampu menghadapi pengemis-pengemis baju kembang itu.

"Lebih baik kita cari tempat persembunyian yang aman untuk sementara waktu. Saat hari gelap nanti, kita baru mendatangi perguruan secara diam-diam. Mudah-mudahan saja masih ada saudara kita yang selamat...," ujar Gala Campa.

Surangga dan yang lain menjawab dengan anggukan kepala saja. Tampaknya keempat orang murid itu memiliki pikiran yang sama dengan kakak seperguruannya.

"Ayolah...!" ajak Gala Campa, segera saja memutar rubuhnya. Mereka kini telah siap bergerak ke arah Selatan. Tapi...,

"Hua ha ha...!"

Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa nyaring saling bersambungan. Seketika suasana yang semula sunyi, berubah bising oleh suara tawa yang jelas berasal dari banyak orang.

"Keparat! Rupanya mereka telah tiba di tempat ini. Tidak ada waktu lagi untuk menghindari, Kakang. Sebaiknya kita hadapi saja iblis-iblis itu sampai titik darah penghabisan!" geram Surangga yang segera saja menghunus senjatanya. Demikian pula halnya keempat orang lainnya. Mereka tampaknya siap menghadapi pertarungan mati-matian dengan lawan-lawannya.

"Keluar kalian, iblis-iblis pengecut! Kami orang-orang Cakar Besi tidak akan gentar menghadapi kalian...!" Sambil berkata demikian, Gala Campa mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Satu persatu, ditelitinya pohon besar yang banyak tumbuh di tempat itu. Namun, tidak ditemukannya tanda-tanda kalau lawan berada di sekitar tempat itu. Tiba-tiba...

Seeerrr! Seeerrr!

Berbarengan desiran lembut, terlihatlah kilatan-kilatan benda halus yang berpijaran mengancam kelima orang murid Perguruan Cakar Besi.

"Jarum-jarum beracun...!" Surangga mendesis ngeri melihat senjata-senjata rahasia mengincar mereka.

"Awaaasss...!" Gala Campa yang sadar akan keganasan jarum-jarum beracun itu, segera saja mengingatkan kawan-kawannya. Sedangkan dia sendiri telah melompat ke samping sambil memutar senjata untuk melindungi tubuhnya.

"Yeaaattt..!"

Surangga dan ketiga orang murid lain segera saja berseru nyaring, seraya memutar pedang. Dengan berlindung di balik gundukan sinar pedang, mereka bergerak ke samping untuk menghindari jarum-jarum beracun lawan.

"Bedebah curang...!" maki Gala Campa. Gala Campa merasa geram bukan main, karena tanpa menampakkan diri lawan-lawan telah dapat membuat kalang kabut dengan senjata-senjata rahasia.

"Hua ha ha...!"

Baru saja ucapan Gala Campa selesai, suara tawa yang susul-menyusul kembali berkumandang. Belum lagi keterkejutan lenyap, dari sekeliling tempat itu bermunculan pengemis-pengemis berpakaian kembang-kembang yang langsung mengurung kelima orang murid Ki Raksa Mala itu.

"Hua ha ha...! Senang rasanya melihat kalian melompat- lompat seperti monyet kelaparan. Bukankah begitu, kawan- kawan...?" ejek seorang pengemis bertubuh jangkung yang pada pipi kirinya terdapat bekas koreng berkata penuh ejekan.

"Betul... Betul.... Aku pun suka menyaksikan pertunjukan itu. Bagaimana kalau kita buat pertunjukan yang lebih menarik lagi, Kakang Benggala...?" sahut pengemis lain yang juga bertubuh kurus. Tawanya kembali terdengar menyakitkan telinga Gala Campa dan kawan-kawannya.

"Hm..." Gala Campa sendiri bagai mendidih darahnya mendengar ejekan pengemis-pengemis berbaju kembang itu. Dengan wajah merah padam, lelaki gagah itu menudingkan pedangnya ke wajah para pengemis itu.

"Dasar kalian manusia-manusia pengecut yang bisanya hanya main sembunyi dalam bertindak! Beberapa waktu yang lalu, kalian telah mengeroyok aku dan kawan-kawanku dari Perguruan Ular Emas! Kali ini, kalian muncul dengan pakaian lain agar tidak bisa dikenali orang. Begitu maksud kalian, bukan? Dan itu suatu tanda kalau kalian sebenarnya hanya anjing-anjing penakut!" dengus Gala Campa dengan kemarahan hampir-hampir membakar tubuhnya.

"He he he...! Ternyata kau bisa marah juga, Kisanak. Lalu, kalau kami sengaja menyembunyikan diri, kau mau apa? Apakah hanya ingin memaki-maki seperti barusan itu? Kalau begitu, lanjutkanlah. Kami suka sekali mendengarnya...," sahut pengemis tinggi kurus yang dipanggil Benggala. Kelihatannya, dia tidak merasa marah mendengar makian tadi, sehingga membuat Gala Campa semakin bertambah dongkol.

"Setan...! Kubeset bacotmu...!" Karena tidak bisa menahan kemarahannya lagi, Gala Campa langsung saja melesat disertai sambaran pedang ke tubuh lawan!

Bweeettt!

"Haitt...!"

Pengemis tinggi kurus bernama Benggala itu sepertinya semakin sengaja memancing kemarahan lawan. Ketika mata pedang Gala Campa hampir mengenai tubuhnya, ia cepat berputar dengan langkah terhuyung. Padahal, jelas-jelas serangan Gala Campa bisa dihindari dengan baik. Tentu saja hal itu semakin mengobarkan api kemarahan di hati Gala Campa.

"Yeaaattt...!"

Beeettt! Beeettt! Beeettt!

Dalam kemarahannya yang tidak bisa ditakar lagi, Gala Campa langsung melancarkan serangkaian serangan maut ke arah Benggala. Sayangnya, serangannya selalu kandas di tangan lawan. Tampaknya kepandaian pengemis tinggi kurus itu memang tidak di bawah Gala Campa. Bahkan mungkin masih lebih tinggi.

"Awaaasss...!"

Ketika pertempuran memasuki jurus yang kesepuluh, tiba- tiba Benggala membentak keras mengejutkan. Seiring bentakannya, tongkat hitam di tangannya menyambar mengancam lambung Gala Campa!

Whuuukkk!

Terkejut bukan main hati Gala Campa merasakan sambaran angin keras dari hantaman tongkat hitam itu. Hal itu membuatnya tidak berani memandang enteng lagi. Cepat langkahnya bergeser dan terus bergerak ke belakang secara bersilangan. Guna menjaga kemungkinan serangan susulan lawan, pedangnya dikibaskan membentuk lingkaran yang melindungi sekujur tubuh.

"Hua ha ha...!"

Benggala rupanya sama sekali tidak mengejar. Dan sebenarnya, serangan tadi sengaja dilakukan hanya untuk melihat tanggapan Gala Campa. Pengemis tinggi kurus itu tertawa puas melihat lawan kelabakan setengah mati.

"Bangsat...!" maki Gala Campa dengan hati jengkel. karena telah kena dipermainkan lawan.

"Hm...," Benggala melemparkan senyum tipis mendengar makian lawan. Kelihatan sekali kalau ia seperti menganggap enteng murid utama Ki Raksa Mala. Sedangkan Gala Campa sudah kembali bersiap melanjutkan pertarungan.

DUA

"Kang Benggala...," sebut salah seorang dari pengemis- pengemis seraya datang menghampiri Benggala, yang memang menjadi ketua rombongan. "Sebaiknya segera habisi saja mereka. Dengan begitu, bukankah tugas kita yang satu ini selesai. Kalau terlalu lama mengulur waktu, aku khawatir guru akan marah nanti"

Benggala yang semula masih ingin mempermainkan Gala Campa dam lawan-lawannya, menoleh sejenak. Ditatapnya wajah pengemis muda bertubuh kurus yang mengingatkannya tadi. Sebentar kemudian, sepasang mata tajamnya berubah lunak.

"Hm.... Sebenarnya aku masih ingin mempermainkan orang- orang bodoh dan tolol ini, tapi mengingat tugas-tugas kita masih banyak, tidak ada salahnya kalau nasihatmu kuturuti, Adi Wungga." Usai berkata demikian, Benggala kali ini mendahului melangkah ke arah Gala Campa dan kawan-kawannya. Tongkat hitamnya ditimang-timang, seolah sengaja hendak menakut-nakuti lawan-lawan.

Sedangkan tujuh orang pengemis lain termasuk yang bernama Wungga, ikut pula bergerak merapat. Hingga, keadaan para murid Perguruan Cakar Besi semakin terjepit. Ruang gerak mereka juga semakin terbatas.

"Hm.,." Gala Campa menoleh ke arah kawan-kawannya dengan sorot mata tajam.

Sepertinya, lelaki gagah itu ingin menunjukkan kalau ia sama sekali tidak takut menghadapi keroyokan lawan. Hal itu sengaja dilakukan untuk membangkitkan semangat Sunggara dan yang lain. Pancingan Gala Campa memang tidak sia-sia. Tatapan penuh semangat Gala Campa memang membangkitakan keberanian Surangga kembali. Mereka kemudian bergerak mendekati kakak seperguruannya, dan siap bertarung sampai mati.

"Hua ha ha...! Bagus..., bagus.... Rupanya murid Cakar Baja memang gagah-gagah dan tidak mengenal takut. Mari..., mari anak manis. Majulah...," ejek Benggala sehingga benar-benar membuat telinga menjadi merah.

Untungnya baik Gala Campa maupun kawan-kawannya telah menyadari kalau tidak boleh terpancing oleh ejekan lawan. Memang, kemarahan hanya akan mendatangkan kerugian serta membuat mereka lengah.

"Hm. Tertawa dan mengejeklah sepuasmu, gembel-gembel bau! Sampai berbusa mulut kalian, kami tidak akan memperdulikannya lagi," sambut Gala Campa disertai senyum sinis mengandung kecerdikan. Sehingga, Benggalalah yang kini menjadi jengkel karenanya.

"Kalau begitu, terimalah kematianmu.!" Usai berkata demikian, tubuh Benggala melayang sambil membabatkan tongkat hitamnya dengan kecepatan tinggi. Sasarannya, kepala Gala Campa.

Whuuukkk!

Untungnya Gala Campa cepat sadar akan datangnya serangan maut itu. Dengan menarik kaki kanannya ke belakang, selamatlah kepalanya dari kehancuran. Kemudian cepat bagai kilat, senjata di tangannya langsung berkeredep membeset tubuh lawan!

Beuuuttt!

Menilik kuatnya desingan dari angin pedang, dapat ditebak kalau Gala Campa telah mengerahkan seluruh kekuatan dalam serangannya. Tapi, Benggala ternyata tidak berusaha menghindari. Pengemis tinggi kurus itu cepat menyilangkan tongkat hitamnya untuk memapak sambaran pedang lawan.

Traaang!

Benturan keras terjadi, sehingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Bunga api juga berpijar ketika kedua senjata yang dialiri tenaga dalam itu saling bertemu di satu titik tadi.

"Uuuhhh...!" Gala Campa mengeluh pendek. Benturan keras tadi ternyata telah membuat kuda-kudanya tergempur. Bahkan selain langkahnya terjajar mundur, lengan kanannya juga terasa bergetar kuat, hingga tulang-tulangnya terasa linu. Jelas, itu menandakan kekuatan Gala Campa masih di bawah lawannya.

"Mampusss...!"

Benggala rupanya benar-benar tidak ingin mengulur waktu lagi. Terbukti, ujung tongkatnya langsung ditusukkan pada saat Gala Campa masih belum dapat menguasai keseimbangan. Melihat serangan susulan lawan, Gala Campa tentu saja terkejut bukan main. Karena untuk menyelamatkan diri jelas tidak keburu, lelaki gemuk itu pun nekat menggerakkan bahu untuk menyambut datangnya ujung tongkat, demi menye- lamatkan tenggorokannya. Karena yang jelas, dia tidak akan sanggup menerima totokan ujung tongkat itu. Dan....

Tuuuggg.!

"Aaakhhh.!"

Totokan ujung tongkat itu telak menghantam bahu Gala Campa yang ternyata telah dilindungi tenaga dalam. Meskipun demikian, masih juga ia tidak mampu menahan akibatnya. Tubuhnya kontan terhuyung disertai semburan darah segar dari mulut. Meskipun darah yang keluar tidak terlalu banyak, tapi pukulan ujung tongkat tadi telah menimbulkan luka dalam di tubuhnya. Belum lagi Gala Campa sempat memperbaiki keadaannya, sambaran tongkat hitam lawan kembali datang berdesing-desing!

Deeerrr...!

Debu mengepul disertai pecahan batu yang beterbangan. Rupanya, hantaman tongkat lawan yang berikut masih sempat dielakkan Gala Campa. Sehingga, bumi tempatnya berpijak tadi menjadi sasaran.

"Aaa...!"

Saat tubuh Gala Campa tengah bergulingan, terdengarlah jerit kematian yang membuat jantung bagaikan terhenti berdetak untuk beberapa saat. Memang, jeritan itu disusul terbangnya dua sosok berpakaian coklat.

Pucat selebar wajah murid tertua Perguruan Cakar Besi begitu melihat kematian saudara-saudara seperguruannya. Harinya benar-benar sedih dan terpukul. Dia memang tidak mampu berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka dari kematian, karena juga dalam keadaan diserang.

"Bedebah..!" geram Gala Campa sambil terus bergulingan dengan wajah berduka. Sepasang matanya merah menyala penuh api dendam dan penasaran. Maka bagaikan orang yang kehilangan ingatan. Gala Campa bangkit dan langsung menerjang Benggala dengan serangkaian serangan maut. Sayangnya, serangannya tidak lagi dengan jurus-jurus miliknya. Memang, gerakan Gala Campa sudah ngawur dan tidak beraturan.

"Eit.., eit... Monyet gendut ini ternyata bisa juga bersikap galak. Benar-benar menakjubkan..." Sambil berlompatan menghindari sambaran pedang lawan, mulut Benggala tak henti-hentinya mengejek.

Tentu saja semua itu semakin membuat Gala Campa kalap. "Makan ini..!"

Lewat beberapa jurus kemudian, tiba-tiba Benggala membentak keras! Seiring bentakan itu, ujung tongkatnya meluncur ke arah dada kiri lawan. Dan...

Duuuggg!

"Huuukkkh.!"

Tanpa ampun lagi. Gala Campa yang tidak sempat mengelak, langsung terjungkal ke belakang. Darah segar kembali mengucur dari sudut bibirnya. Meski demikian dia segera melompat bangkit. Seperti tidak merasakan akibat hantaman tongkat lawan, kembali diterjangnya lawan dengan putaran pedangnya. Belum lagi lima jurus Gala Campa melancarkan serangan, kembali jerit kematian terdengar susul menyusul.

"Surangga!"

Teriakan Gala Campa yang seharusnya melengking nyaring, itu terdengar parau dan tercekat di tenggorokan. Wajah lelaki gemuk itu berkerut-kerut menahan pukulan pada batinnya. Hingga ia hanya berdiri bengong tanpa kata, saat melihat tubuh kedua orang saudaranya kembali ambruk dan tidak bergerak- gerak lagi untuk selamanya.

"Ooohhh..."

"Makan ini...!"

Seiring bentakan itu, ujung tongkat Benggala meluncur ke arah dada kiri Gala Campa. Dan....

Duuuggg...!

"Huuukkkh...!"

Tanpa sempat mengelak lagi, Ga- la Campa terkena sodokan tongkat itu. Gala Campa merasakan seluruh tubuhnya lemas bagaikan tidak bertulang. Kematian demi kematian yang disaksikannya membuatnya terguncang. Belum lagi kematian gurunya terbalaskan, kini harus menyaksikan kematian saudara-saudaranya dengan mata kepala sendiri. Dan yang lebih mengguncangkan jiwanya, ia sama sekali tidak mampu mencegah.

Sedangkan Benggala sama sekali tak peduli terhadap keadaan lawan. Tanpa rasa iba sedikit pun, tongkat hitamnya meluncur ke punggung Gala Campa!

Buuukkk!

"Huaaakhhh...!"

Darah segar langsung menyembur ketika batang tongkat itu menghajar telak punggungnya! Tubuh lelaki gemuk itu terguling-guling menggilas rerumputan kering. Wajah dan pakaiannya juga telah dipenuhi noda darahnya sendiri.

"Bangun...!" bentak Benggala sambil mengayunkan kaki ke tubuh Gala Campa yang tengah berusaha merangkak bangkit. Sementara senjata lelaki gagah itu sendiri sudah terlepas dari genggaman.

Deeesss...!

Untuk kesekian kalinya, tubuh Gala Campa kembali harus menerima tendangan keras! Tubuhnya kontan tersentak, untuk kemudian kembali terbanting ke atas tanah dengan lelehan darah yang semakin banyak membasahi pakaian. Namun demikian, Gala Campa tetap berusaha berdiri, walaupun agak sempoyongan.

"Rasakan...!"

Plaaaggg! "Ouuughhh...!

Kali ini telapak tangan Benggala yang berbicara. Tamparan yang dikerahkan lewat tenaga dalam kuat itu telak menghajar wajah Gala Campa. Akibatnya, tubuh lelaki itu kembali terlempar disertai lelehan darah segar. Wajahnya tampak membengkak, bahkan bagian sudut bibir sobek! Tubuhnya sudah menggeloso, terduduk di tanah berumput.

"Eeekhhh...!" Gala Campa yang rupanya sudah sulit dikenali, meludahkan darah kental yang bercumpur beberapa buah giginya yang tanggal. Jelas tamparan barusan memang begitu keras, sehingga membuat beberapa buah giginya rontok.

"Jangan dibunuh orang itu, Benggala."

Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat, mengandung perbawa kuat Benggala yang sedianya hendak melanjutkan penyiksaan, terpaksa menunda langkahnya.

"Ketua.."

Baik Benggala maupun pengemis berbaju kembang-kembang lain segera saja berlutut di depan sosok tinggi besar itu.

"Hm..."

Sosok tinggi besar brewokan yang hanya mengenakan rompi coklat itu mendengus perlahan. Pada sepasang lengannya tampak beberapa buah gelang menghias pergelangan. Telinga kirinya terdapat anting-anting bulat yang besarnya separuh gelang di tangannya. Tampak juga sebuah ikat kepala dari tengkorak kepala yang berukuran kecil. Satu agak besar di tengah keningnya, sedangkan yang empat tersusun di kiri kanannya.

Sosok tinggi besar berpenampilan angker itu memang bukan tokoh baru dalam kalangan persilatan. Pada dua puluh tahun yang lalu, sepak terjangnya pernah membuat gempar rimba persilatan. Namun pada sepuluh tahun belakangan, namanya lenyap dan tidak pernah terdengar lagi. Sehingga, orang-orang pun mulai melupakannya, ia adalah Setan Tenaga Gajah.

"Tinggalkan saja dia. Kelihatannya kita tidak perlu lagi membunuhnya. Tekanan batin dalam dirinya demikian parah. Tanpa membunuh pun, perlahan-lahan akan mati sengsara..." ujar Setan Tenaga Gajah berkata dengan suara penuh kepuasan.

"Baik, Ketua. ," sahut Benggala.

Setelah berkata demikian. Setan Tenaga Gajah segera saja angkat kaki dan lenyap, sebelum pengikutnya sempat menoleh. Hal itu menandakan betapa tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.

"Ayo kita pergi...,"

Setelah ketuanya lenyap, Benggala segera mengajak kawan- kawannya meninggalkan tempat itu. Sedangkan tubuh Gala Campa dibiarkannya terbaring pingsan di atas rerumputan kering.

********************

Hembusan angin silir-silir lembut mengiringi langkah dua sosok tubuh. Menilik buntalan pakaian di bahu kanan sosok berjubah putih, jelas mereka adalah pengembara yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Sosok bertubuh sedang namun padat itu ternyata masih muda usianya.

Melihat dari raut wajahnya yang bersih, tampan, dan menampilkan keramahan, paling jauh usianya baru dua puluh satu tahun. Namun apabila orang melihat sinar matanya, pasti tidak akan sanggup beradu pandang berlama-lama dengannya. Sorot matanya demikian tajam, dan memancarkan perbawa amat kuat. Jelas, pemuda tampan berjubah putih itu bukan orang sembarangan.

Sedangkan sosok ramping berpakaian serba hijau yang melangkah di samping kirinya, juga tidak kalah menarik. Raut wajahnya yang berbentuk bulat telur itu nampak demikian halus kulitnya. Hidungnya kecil mancung, dengan sepasang bibir indah yang merah basah. Sepasang alis matanya yang tebal, tampak melindungi dua bola mata hitam nan cemerlang. Benar-benar luar biasa pasangan muda itu.

Satu tampan dan gagah, satunya lagi cantik jelita bagaikan bidadari dari kayangan. Sepasang anak muda itu terus mengayun langkahnya di bawah siraman cahaya matahari yang mulai beranjak naik. Setelah melewati sebuah padang rumput yang cukup luas, tibalah mereka di tepian sungai. Pandangan mereka dilayangkan ke sekitar sungai seperti tengah mencari sesuatu.

"Hm..., aneh. Mengapa perahu itu dibiarkan terapung-apung di tengah sungai...? Apa yang dilakukan tukang perahu itu di sana...?" gumam gadis berpakaian serba hijau.

Sambil melindungi matanya dari sinar matahari, gadis itu memandang ke tengah sungai. Memang, di sana ada perahu yang biasa digunakan untuk menyeberang, dan di dalamnya ada orang yang tengah terapung-apung. Pemuda tampan berjubah putih itu pun segera saja melayangkan pandangannya ke tengah sungai. Tampak, sesosok tubuh tengah rebah di lantai perahu.

"Mungkinkah ia tertidur demikian lelap di pagi seperti ini?" desah pemuda tampan itu ketika melihat si tukang perahu tidak bergerak-gerak.

Mendengar ucapan tadi, gadis berpakaian hijau itu menoleh ke arah kawannya. Kemudian, kembali dia memandang ke tengah sungai.

"Hoooiii.... Tukang perahu..., bangunlah! Tolong antarkan kami ke seberang...!" teriak dara jelita itu disertai pangerahan sedikit tenaga dalam.

Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdiri tegak menanti perahu itu datang mendekat. Tapi jangankan bangkit. Malah, sepertinya si tukang perahu tidak mendengar. Tentu saja hal itu membuat si gadis jengkel.

"Hm.... Orang malas seperti dia harus diberi pelajaran...," desis dara jelita itu mengancam. Setelah berkata demikian, ditariknya napas dalam-dalam. Kemudian...,

"Hoooiii.... Tukang perahu pemalas, bangunlah! Atau perahumu ingin kutenggelamkan!"

Hebat sekali teriakan dara jelita itu kali ini. Hembusan angin bertiup keras seiring terdengarnya teriakannya. Bahkan beberapa ekor burung yang sedang terbang dalam jarak yang cukup jauh, langsung berjatuhan. Memang getaran suara yang mengandung tenaga dalam tadi telah melemahkan sayap-sayap binatang kecil itu. Tapi teriakan yang begitu hebatnya, ternyata masih belum mampu juga untuk membangunkan tukang perahu. Orang itu tetap saja rebah miring di atas lantai perahunya tanpa merasa terganggu sedikitpun.

"Tunggu, Kenanga...," kata pemuda tampan itu, mencegah ketika kawannya hendak mengulang perbuatannya barusan.

"Tukang perahu itu benar-benar kurang ajar dan membinggungkan, Kakang. Padahal, suaraku tadi kukira sanggup membuatnya terlompat bangkit dari tidur yang bagaimana pulas sekalipun...," kata dara jelita itu tak puas.

"Sabar, Kenanga. Sepertinya ada sesuatu yang tidak wajar pada tukang perahu itu. Tidak mungkin ia masih bisa terlelap setelah mendapat tekanan suara yang mengandung tenaga dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya...," ujar pemuda tampan itu.

Pemuda itu segera mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Kemudian, dia melangkah dan mengambil beberapa batang ranting pohon yang cukup besar.

"Untuk apa kayu-kayu itu, Kakang...?! tanya gadis itu, yang memang Kenanga.

Sementara, pemuda tampan berjubah putih itu tak lain dari Panji, yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Rupanya, Kenanga masih belum mengerti melihat apa yang diperbuat Pendekar Naga Putih. Sehingga, ia hanya dapat memandang bingung.

"Tunggulah di sini sebentar. Aku hendak melihat, apakah dugaanku benar...," sahut Panji sambil melemparkan sebuah ranting di tangannya ke tengah sungai. Dan sebelum ranting itu jatuh ke air, tiba-tiba....

"Haaaiiittt.!"

Pendekar Naga Putih berseru nyaring. Seketika tubuhnya melambung. Lalu, digunakannya ranting yang jatuh ke air itu sebagai landasannya. Demikian pula ranting lain di tangannya. Begitu kakinya menyentuh ranting, tubuhnya kembali melambung. Kali ini kedua kakinya langsung mendarat di lantai perahu. Hebatnya, sedikit pun perahu itu sama sekali tidak bergoyang, pada saat tubuh Pendekar Naga Putih meluncur turun di atasnya. Jelas, hal itu menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah sangat tinggi.

"Bagaimana, Kakang...? Apa yang terjadi dengan tukang perahu itu?" tanya Kenanga dari seberang. Dia sepertinya tidak dapat menahan sabar untuk segera mengetahui apa yang ditemukan Panji.

Sedangkan Pendekar Naga Putih yang kini berada di atas perahu itu sama sekali tidak segera menyahut. Dikayuhnya perahu itu ke tepian, mendekati Kenanga.

"Aaah?! Siapa yang telah melakukan kekejaman ini terhadap seorang tukang perahu seperti dia...? Apa kesalahannya ?" desis Kenanga ketika melihat apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap tukang perahu.

"Hm.... Kalau melihat dari pakaian yang dikenakan, ia memang tukang perahu. Tapi..., apa yang menyebabkannya? Hm.... Pasti ada sebab lain yang membuatnya tewas...," gumam Panji sambil menatap sosok mayat lelaki setengah baya berpakaian lusuh, dan ada beberapa tambalan pada pakaiannya itu.

Lelaki malang itu mati dengan sebuah tusukan senjata tajam tepat di jantungnya. Hal itu bisa dilihat dari adanya sebuah lubang yang cukup besar di tubuhnya.

"Bagaimana kalau orang yang membunuhnya sama sekali tidak mempunyai alasan, Kakang. Bukankah sifat kaum sesat banyak yang tidak lumrah. Mereka bisa saja membunuh tanpa alasan jeias! Bahkan ada beberapa di antaranya yang melakukannya hanya untuk kesenangan. Sekarang, apa yang akan kita lakukan terhadap tukang perahu itu?" kata dara jelita berpakaian hijau itu.

"Yah..., sebaiknya kita kuburkan saja mayat orang tua malang ini. Baru setelah itu kita gunakan perahunya untuk menyeberang...," usul Pendekar Naga Putih.

Sementara itu Kenanga hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui. Sepertinya, ia pun enggan berpikir lama-lama tentang pembunuhan yang jelas-jelas masih sangat gelap. Usai menguburkan mayat tukang perahu itu sebagaimana layaknya seorang manusia, Panji dan Kenanga berdiri tegak menatap gundukan tanah merah itu.

"Orang tua! Siapa pun kau adanya, semoga dapat tenang kembali ke alam yang kekal sana. Selain itu, kami pun mengucapkan terima kasih, karena perahumu akan kami gunakan untuk menyeberang. Selamat tinggal, Orang tua...," Setelah berkata demikian, Panji dan Kenanga mengangguk hormat, lalu bergegas menyeberangi sungai.

Kematian penuh teka-teki dari tukang perahu itu sepertinya masih juga membayangi sepasang anak muda ini. Terbukti, mereka masih tetap bungkam selama menyeberangi sungai. Jelas, pikiran mereka masih melayang kepada kejadian barusan. Tidak berapa lama kemudian, perahu itu pun merapat di sebuah jembatan kayu yang sepertinya sengaja dipasang untuk merapatnya perahu. Setelah menambatkan perahu. Panji dan Kenanga bergerak menaiki tangga-tangga tanah. Memang tanah tepian sungai itu agak tinggi.

"Hm.... Nampaknya di depan sana ada sebuah desa, Kakang...," kata Kenanga ketika sepasang matanya sempat menangkap adanya atap-atap rumah penduduk.

"Sepertinya begitu. Dan mungkin juga, sungai ini merupakan pemisah dengan desa seberang sana yang kemarin kita lewati...," sahut Panji sambil mengayun langkahnya tanpa terburu-buru.

Dugaan dara jelita itu memang tidak salah. Tidak jauh dari sungai memang ada perkampungan penduduk yang bernama Desa Kemang. Mulut desa itu baru dijumpai, tidak lama setelah beberapa waktu menyusuri jalan lebar.

"Uhhh..., tidak tahu diri. Siapa pula yang memanggang ayam di siang hari begini. Membuat orang lapar saja...," omel Kenanga, tiba-tiba.

Bau harum dan gurih yang menyerang hidung saat ini memang membuat perut gadis itu berkeruyuk. Karuan saja hal itu membuatnya merutuk. Sementara, Panji hanya menoleh dan tersenyum.

"Hm.... Karena kita sama-sama orang-orang kelaparan, tidak ada salahnya kalau memesan dua ekor ayam panggang, bukan...?" Setelah berkata demikian, Panji segera saja memasuki desa dan langsung mencari kedai makan.

"Kakang, tunggu...!" seru Kenanga, segera berlari menyusul Pendekar Naga Putih.

TIGA

Tapi, baru saja Pendekar Naga Putih dan Kenanga memasuki mulut kedai, tampak para penduduk yang kebanyakan wanita tengah berduyun-duyun menuju balai desa. Tentu saja hal itu membuat mereka saling bertukar pandang sesaat. Seperti telah mendapat kata sepakat, bergegas arus penduduk Desa Kemang itu diikuti.

"Maaf, Paman...," tegur pemuda tampan berjubah putih itu menyentuh lengan seorang lelaki berusia enam puluh tahun. "Kalau boleh tahu, ada apakah sebenarnya?"

Orang tua itu bukannya menjawab, tapi malah sebaliknya menatap sosok pemuda itu dengan kening berkerut. Namun, Pendekar Naga Putih tetap bersikap tenang meski jelas-jelas tatapan orang tua itu menyiratkan kecurigaan. "Kau siapa, Kisanak? Aku baru kali ini melihatmu. Apa kerjamu di desa ini..?"

Pertanyaan yang tidak menyenangkan meluncur begitu saja dari mulut orang tua itu. Ternyata bukan hanya tatapannya saja yang menyiratkan kecurigaan. Bahkan suaranya pun jelas- jelas mencerminkan ketidaksenangan.

Tampak pemuda tampan itu menghela napas sejenak. Ditundanya niat untuk meninggalkan orang tua itu begitu saja, karena mungkin akan lebih menimbulkan rasa curiga. Hanya saja, dia tidak mengerti apa yang membuat orang tua itu menaruh kecurigaan kepadanya? Lalu, apa sebenarnya yang tengah terjadi di desa itu?

"Paman, aku bernama Panji. Ini temanku Kenanga. Kami berdua memang bukan orang desa ini. Kami hanyalah pengembara. Apakah ada larangan untuk singgah atau menginap di desa ini bagi para pengembara...?" tanya Panji setelah menjawab semua pertanyaan yang barusan diajukan kepadanya.

Sepertinya, pertanyaan Pendekar Naga Putih membuat lelaki tua itu merasa sedikit tidak enak hati. Semua itu kelihatan dari sikapnya yang agak berubah, dan tatapan matanya yang juga menyiratkan sedikit keramahan.

"Tentu saja tidak, Nak... Panji. Maaf kalau pertanyaanku barusan kurang menyenangkanmu. Masalahnya, kudengar ada beberapa orang desa kami telah menemukan empat sosok mayat dan satu orang lelaki yang menderita luka parah. Lelaki bertubuh gemuk itu kedapatan masih hidup, dan dalam keadaan pingsan, itulah sebabnya, mengapa aku langsung merasa curiga ketika melihatmu...," jelas orang tua itu yang kembali mengayun langkahnya menuju balai desa.

"Tidak mengapa, Paman. Kecurigaan Paman itu tentu saja cukup beralasan. Apalagi, kedatanganku sangat bertepatan dengan adanya kejadiaan itu...," kata Panji.

Pendekar Naga Putih sengaja juga tidak menceritakan tentang mayat tukang perahu di sungai. Dia khawatir, kalau-kalau sikap lelaki tua itu akan berubah lagi kalau hal itu diceritakannya. Hanya saja, diam-diam Panji mencoba menghubungkannya dengan apa yang ditemukan di sungai.

Setelah mendengar keterangan orang tua itu, Panji dan Kenanga semakin lebih tertarik untuk mengikuti rombongan orang-orang desa. Sayangnya, pada saat keduanya tiba di balai desa, sekeliling tempat itu telah dipenuhi penduduk desa. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang masih dilumuri lumpur atau pun tanah merah. Kelihatan, mereka memang habis dari sawah dan ladang, dan merasa tertarik dengan keja- dian itu. Menyadari kesukaran untuk ikut melihat apa yang telah diceritakan orang tua tadi kepadanya, Panji melangkah mendekati keamanan-keamanan desa yang berbaris membentuk pagar.

"Kisanak. Tolong sampaikan kepada kepala desamu kalau aku mungkin mengenali mayat-mayat itu. Tolong beri kami kesempatan untuk melihatnya...," pinta Panji kepada salah seorang keamanan Desa Kentang yang secara kebetulan juga salah seorang pimpinannya.

"Hm.... Kau siapa, Kisanak? Benarkah apa yang kau katakan barusan? Tahukan kau, siapa orang-orang yang tewas dan yang terluka parah itu...?" tanya kepala keamanan berperut gendut dengan sebaris kumis tebal melintang menghias wajahnya. Orang itu berbicara sambil mempermainkan kumisnya. Jelas, hal itu dimaksudkan agar orang yang berbicara kepadanya merasa takut.

"Aku Panji. Benar tidaknya perkataanku, tergantung jawabanku setelah melihat mereka. Sekarang, tentu saja aku belum tahu siapa mereka, karena belum melihatnya sedikit pun...," sahut Panji tetap tenang tanpa memperlihatkan rasa tersinggung atau jengkel oleh sikap kepala keamanan desa itu.

"Hm…, Perlu kau tahu, Anak Muda...," Bicara lelaki berperut gendut dan berkumis tebal ini terhenti seketika, ketika sepasang matanya sempat menatap sesuatu yang mengejutkan di belakang tubuh pemuda berjubah putih itu. Segera saja kepalanya berusaha untuk melihat secara jelas lewat bahu Panji.

"Hm..." Panji yang langsung tahu penyebab kelakuan aneh itu, sengaja berpura-pura bodoh. Kepalanya ikut bergerak-gerak mengikuti gerakan kepala lelaki gendut itu. Sehingga, pandangan keamanan desa itu tetap saja terhalang kepala Panji.

"Hei, minggir kau...!" Masih tetap tidak menyadari kesengajaan pemuda tampan itu, lelaki berperut gendut ini menggeram sambil mengulurkan tangannya. Maksudnya, untuk menyingkirkan tubuh Panji agar pandangannya tidak terhalang. Tapi.,

"Ehhh?!" Keamanan desa itu tersentak kaget ketika tubuhnya hampir terjerunuk ke depan. Tatapan matanya segera beralih ke wajah Panji. Memang, tarikan tangannya tadi sama sekali tidak membuat tubuh pemuda itu bergeser sedikit pun. Bahkan tubuhnya sendiri nyaris terjatuh ke depan.

"Kurang ajar! Apa maksudmu sebenarnya, Kisanak...?" hardik kepala keamanan desa itu dengan wajah gelap. Jelas ia merasa marah kepada pemuda itu. Tapi meskipun dalam keadaan marah, sepasang matanya sempat melirik ke belakang Pendekar Naga Putih. Sekilas, kembali terlihat apa yang membuatnya penasaran untuk menegasi.

"Paman ini bagaimana?" tukas Panji dengan wajah berpura- pura tak tahu. "Bukankah sejak pertama tadi sudah kukatakan. Apa Paman sudah lupa keinginanku tadi?"

"Apa..., apa yang kau minta kepadaku tadi...?" tanya lelaki gendut itu yang sepertinya benar-benar lupa kata-kata Panji. Memang otaknya jelas dipenuhi sesosok bayangan penuh pesona yang belum juga sempat jelas dilihatnya.

"Aku ingin bertemu kepala desa, dan melihat mayat-mayat itu. Bagaimana? Apakah Paman mengizinkannya...? tanya Panji dengan tubuh tetap bergerak-gerak menghalangi pandangan lelaki gendut yang masih juga mencari-cari sosok di belakangnya.

"Ya..., ya. Pergilah. Aku memperbolehkanmu melihat mayat- mayat itu dan menemui kepala desa. Cepatlah pergi."

Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki gendut itu langsung saja mengizinkan Panji. Hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk dapat melihat sosok yang sejak tadi membuatnya penasaran. Dan satu-satunya jalan untuk dapat melihat jelas, hanyalah dengan menyuruh pemuda berjubah putih itu cepat-cepat pergi.

"Eh.!?" Untuk kesekian kalinya, lelaki gendut itu kembali terperangah dengan wajah ketololan. Ternyata sosok yang dicarinya tidak bisa ditemukannya. Tentu saja ia menjadi keheranan setengah mati. Padahal, jelas-jelas tadi ia melihatnya di belakang pemuda berjubah putih itu.

"Mungkinkah yang kulihat tadi sebangsa peri? Kalau memang manusia..., mengapa bisa menghilang begitu cepat...?" gumam lelaki gendut itu dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalanya meski tidak gatal. Kemudian, tubuhnya berbalik ke arah pemuda berjubah putih yang barusan diberi jalan untuk lewat.

"Hah...?!" Hampir copot jantung lelaki gendut itu ketika melihat sosok ramping terbungkus pakaian serba hijau, tampak tengah melangkah tenang di samping pemuda berjubah putih yang diizinkan masuk barusan. Tentu saja ia terkejut bukan main, karena sosok berpakaian hijau itulah yang sejak tadi membuatnya penasaran.

"Aneh.... Bagaimana tahu-tahu ia bisa berjalan bersama pemuda itu? Ataukah semua ini hanya pandanganku saja...?" desis lelaki berperut gendut itu ragu-ragu. Rasa penasaran membuatnya menggosok kedua mata dengan punggung tangan. Namun meski telah beberapa kali menggosok, sosok ramping berpakaian serba hijau itu tetap saja terlihat. Baru disadari kalau semua itu bukan permainan lamunannya belaka. Tapi, memang benar-benar nyata.

"Hei, tunggu...!" Begitu tersadar, lelaki berperut gendut itu segera saja berseru mencegah langkah Panji dan Kenanga yang hendak memasuki pintu balai desa.

"Kita sudah terlanjur. Lebih baik terus saja masuk...," bisik Panji, seraya segera menarik lengan kekasihnya memasuki bangunan itu.

"Hei, siapa kalian?! Siapa yang menyuruh kalian masuk ke ruangan ini?!"

Terdengar teguran ketika Panji dan Kenanga telah melewati pintu depan. Bahkan teguran itu langsung disusul berlompatannya beberapa sosok tubuh, dan langsung mengurung dengan senjata terhunus!

"Tahan...! Kami sama sekali tidak bermaksud jahat. Lagi pula, kami sudah mendapatkan izin untuk memasuki tempat ini dari kepala keamanan yang berjaga di luar...," jelas Panji.

Baru saja ucapan Panji selesai, dari belakang melesat sosok tubuh berperut gendut yang tak lain kepala keamanan desa yang bermaksud mengejar Kenanga. Karena memang, gadis jelita itulah yang membuatnya penasaran dan tergila-gila. Padahal, wajah dara jelita itu, belum terlihat jelas.

"Bohong! Pemuda sialan itu bohong! Dia menerobos masuk ketika aku lengah berjaga tadi...," sanggah lelaki berperut gendut itu, begitu tiba. Rupanya, ia takut disalahkan. Sehingga tanpa ragu-ragu lagi, dilemparkannya kesalahan itu kepada Panji dan Kenanga.

"Hm.... Betulkah itu, Kisanak...?" tegur Panji dengan sepasang mata berkilat tajam menggetarkan jantung. Hati Pendekar Naga Putih benar-benar muak melihat lelaki berperut gendut yang sepertinya hanya merupakan seorang penjilat dan penggoda wanita. Bukan tidak mungkin kalau sudah banyak gadis Desa Kemang yang dijadikan istrinya.

"Eh..., aaa... anuuu...," Lelaki berperut gendut itu mendadak gagap melihat sinar mata Panji serasa membetot-betot sukmanya. Sehingga, ia tidak tahu lagi apa yang harus diucapkannya. Tentu saja sikapnya membuat yang lain menjadi keheranan. Termasuk juga, Kepala Desa Kemang dan pembantu utamanya.

"Kenapa kau, Sungga...? Mengapa tidak menjawab pertanyaan pemuda itu?" tanya Kepala Desa Kemang yang bernama Ki Senta Raga disertai kerutan di kening. Dia memang tak senang melihat sikap bawahannya, sehingga terpaksa menegurnya.

"Anu, Ki. Aku...,"

"Sudahlah! Lebih baik kembali berjaga di luar sana. Biar pemuda dan gadis ini aku yang urus...," potong Ki Senta Raga, tak sabar menunggu jawaban lelaki gendut bernama Sungga.

"Baik..., baik..," Tanpa banyak membantah lagi, kepala keamanan bernama Sungga itu bergegas meninggalkan ruangan untuk kembali berjaga-jaga di luar.

Sepeninggal Sungga, Ki Senta Raga mengalihkan perhatian kepada kedua orang muda di depannya. Sekali melihat saja, lelaki tua bertubuh tegap itu dapat menilai kalau Panji dan Kenanga bukanlah orang-orang yang pantas dicurigai.

"Hm..., siapakah kalian sebenarnya...? Dan, apa tujuan kalian memasuki tempat ini...?" tanya Ki Senta Raga. Meskipun tidak menaruh kecurigaan terhadap sepasang anak muda itu, tapi jelas sekali kalau kewaspadaannya tetap tidak ditinggalkan.

"Maaf kalau kedatangan kami teiah membuat terkejut. Namaku Panji. Dan kawanku Kenanga. Kedatangan kami ke tempat ini untuk melihat mayat-mayat dan korban lain yang tengah menderita luka. Karena, mungkin saja kami bisa mengenali orang-orang itu...," jelas Panji, sehingga membuat Ki Senta Raga mengangguk-anggukkan kepala.

"Kalau kalian benar mengenalnya, lalu bagaimana? Apakah kau bisa memastikan pembunuh mereka, Anak Muda?" tanya Ki Senta Raga tanpa maksud menyindir. Sepertinya, orang tua itu mulai menduga kalau pemuda tampan berjubah putih itu bukan orang sembarangan. Penilaian Ki Senta Raga, memang berdasarkan sikap tenang dan tutur kata halus pemuda itu.

"Kami memang tidak bisa memastikannya, Ki. Yang jelas, kami pun menemukan korban lain yang mungkin ada hubungannya dengan kejadian di desa ini...," sahut Panji. Pendekar Naga Putih segera saja menyinggung sedikit tentang apa yang diketahui. Sehingga, Ki Senta Raga dan dua belas orang keamanan desa sama-sama mengerutkan kening mendengar ucapan pemuda itu.

"Apa maksudmu, Panji...? Mengapa kau menduga demikian...?" tanya Ki Senta Raga lagi dengan nada menuntut jawaban segera. Kaki lelaki gagah itu bahkan sudah melangkah mendekat.

"Ketika menyeberangi sungai yang merupakan pemisah Desa Kemang dengan desa sebelah, kami menemukan mayat tukang perahu yang biasa menyeberangkan orang. Karena tidak bisa mengetahui penyebab serta pembunuhnya, mayatnya kami kuburkan di seberang sungai. Kemudian, kami menyeberang ke desa ini dan mendengar adanya kejadian di balai desa...," jelas Panji secara singkat, namun cukup dimengerti Ki Senta Raga dan para bawahannya.

Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di dalam ruangan itu mendadak senyap. Masing-masing dari mereka sama terbawa pikiran sendiri-sendiri.

"Hm..., Panji. Kalau memang ingin mengetahuinya, mari ke dalam. Aku sudah tahu, siapa mayat-mayat itu. Juga, dengan lelaki gemuk yang menderita luka parah dan tengah dalam perawatan kami. Kalau memang kalian benar orang-orang persilatan, tentu akan mengenal mereka...," ujar Ki Senta Raga membuyarkan keheningan, seraya mengajak Panji dan Kenanga ke sebuah ruangan lain.

"Terima kasih, atas kepercayaan kalian...," ucap Panji segera mengikuti langkah kaki orang tua bertubuh tegap itu.

Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di sebuah ruangan lain yang cukup luas. Di tengah-tengah ruangan tampak terdapat empat sosok mayat yang ditutupi tikar pandan.

"Periksalah...," Ki Senta Raga mempersilakan pemuda tampan itu untuk memeriksanya.

"Hm..." Panji melangkah mundur setelah melihat sosok mayat yang terdekat dengannya. "Meskipun tidak mengenal namanya, tapi aku tahu kalau mereka adalah murid-murid Perguruan Cakar Besi yang dipimpin Ki Raksa Mala. Salah seorang murid utamanya yang bernama Gala Campa adalah sahabat kami. Aaahhh..., betapa akan terpukul hatinya jika mengetahui hal ini...," desah Panji setelah menjelaskan siapa adanya mayat-mayat itu.

Sementara, Ki Senta Raga terangguk-angguk semakin menaruh kepercayaan kepada pemuda yang senantiasa tenang dan halus tutur katanya.

"Aku pun telah tahu siapa dan berasal dari mana mereka. Apalagi, hampir semua penduduk desa ini dan juga desa-desa lain di sekitar wilayah ini, mengenal perguruan itu dengan baik. Secara tidak langsung, merekalah pelindung desa-desa di sekitar wilayah ini dari gangguan orang-orang jahat. Satu hal yang mungkin akan mengejutkan bagi kalian berdua, orang yang menderita luka parah dan tengah kami rawat, tak lain dari Gala Campa, murid tertua Ki Raksa Mala...," jelas Ki Senta Raga yang membuat Panji dan Kenanga terkesiap mendengarnya.

"Bagaimana keadaannya, Ki? Apakah masih bisa diselamatkan? Boleh kami melihatnya...?" Kenanga yang sejak tadi hanya ikut mendengarkan, langsung memberondong Ki Senta Raga dengan serangkaian pertanyaan. Sehingga, orang tua itu tersenyum dibuatnya.

"Tentu saja boleh. Sekarang, aku sudah percaya penuh kepada kalian. Mari...," ajak Ki Senta Raga membawa kedua pasangan pendekar muda itu ke tempat lainnya.

Tanpa banyak bicara lagi, Panji dan Kenanga segera saja bergerak mengikuti Kepala Desa Kemang. Bermacam pertanyaan memenuhi benak Pendekar Naga Putih. Karena, setelah berpisah dengan Gala Campa dan para tokoh lainnya di dalam Hutan Grambang, sampai saat itu Panji sama sekali belum bisa menemukan orang yang telah mengadu domba Perguruan Ular Emas dan Perguruan Cakar Besi dengan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.

Usaha adu domba itu berhasil baik, karena perkumpulan kaum gembel itu telah kehilangan beberapa orang tokohnya. Sedangkan kedua perguruan golongan putih itu telah kehilangan guru-guru mereka, (baca episode Badai Rimba Persilatan)

"Nah. Saudara Gala Campa tengah terbaring di dalam. Maaf, hanya sampai sebatas itu saja yang dapat kami lakukan terhadapnya. Karena, di desa kami tidak ada tabib." ujar Ki Senta Raga, sehingga membuyarkan lamunan Panji.

Segera saja Pendekar Naga Putih dan Kepala Desa mendorong daun pintu kamar tempat Gala Campa dirawat. Dengan langkah perlahan, pasangan pendekar itu bergerak mendekati pembaringan Gala Campa. Hati Pendekar Naga Putih langsung merasa iba terhadap murid tertua Ki Raksa Mala yang wajahnya sukar dikenali, karena bengkak dan luka di sana-sini. Sebagai seorang yang juga ahli pengobatan, pemuda itu segera saja mengetahui sampai di mana parahnya keadaan Gala Campa.

Tanpa berkata sepatah pun, Panji menurunkan buntalan pakaiannya. Dikeluarkannya jenis obat yang sekiranya diperlukan untuk mengobati luka-luka Gala Campa. Juga, dikeluarkannya sejenis minyak gosok, karena pada tubuh telanjang itu terlihat ada luka memar yang juga agak membengkak. Panji menduga, kemungkinan tulang-tulang iga lelaki itu ada yang retak atau patah.

Kenanga cukup teliti memperhatikan ketika kekasihnya tengah mengobati luka-luka Gala Campa. Karena pemuda itu melakukannya dengan cekatan dan sangat ahli, maka sebentar saja pengobatan telah dapat diselesaikan.

"Untuk satu dua hari, kita terpaksa harus tinggal di sini, Kenanga. Setelah Gala Campa sehat seperti sediakala, barulah kita bisa mendapat keterangan darinya. Memang agak sulit, karena selain luka-luka luar, dia juga mengalami guncangan batin yang cukup parah...," jelas Panji. Rupanya Pendekar Naga Putih juga dapat mengetahui keadaan Gala Campa secara keseluruhan.

"Maksudmu.., Gala Campa menjadi gila...!?" seru Kenanga, perlahan.

"Tidak sampai seperti itu. tapi, tingkahnya mungkin agak aneh dan ngawur. Yahhh..., kita lihat saja nanti. Mudah- mudahan saja ia bisa sembuh seperti yang diharapkan." desah Panji.

Pendekar Naga Putih kemudian segera melangkah ke luar kamar, setelah memasukkan kembali semua obat-obatan ke dalam buntalan pakaiannya. Ki Senta Raga menyambut kemunculan pasangan pendekar muda itu dengan senyum. Dan Pendekar Naga Putih kemudian langsung saja menyampaikan keinginannya kepada orang tua itu. Memang, Ki Senta Raga-lah yang paling berkuasa di Desa Kemang.

"Aaah.... Syukurlah, Panji. Sekarang, lega rasanya hatiku. Kalau begitu, selama kalian tinggal di desa ini, aku akan menyediakan tempat beristirahat di sebelah rumahku untuk kalian...," desah Ki Senta Raga.

Kepala Desa Kemang itu tentu saja menjadi gembira ketika mendengar Panji ternyata juga pandai mengobati dan telah mengurus luka-luka Gala Campa. Bahkan orang tua itu menyambut gembira usul pasangan muda itu untuk menginap. Maka Ki Senta Raga langsung menyediakan tempat beristirahat.

"Waaah...! Kami terlalu merepotkan...," desah Panji.

Tentu saja Pendekar Naga Putih agak risih mendapat tanggapan serta sambutan Ki Senta Raga yang terlihat benar-benar tulus. Tapi, pemuda itu tidak dapat menolaknya. Maka, terpaksa menerima segala kebaikan Kepala Desa Kemang serta para pengikutnya yang juga menaruh hormat kepadanya.

********************

"Kami harus pergi sekarang, Ki.... Karena masih banyak persoalan yang harus diurus. Selain itu. Gala Campa juga kelihatan sudah mulai pulih. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Ki Senta Raga serta semua warga Desa Kemang ini...," Panji dan Kenanga berpamitan setelah beberapa hari menginap di Desa Kemang.

Sedangkan lelaki gemuk yang berada di dekat pemuda itu tampak hanya terpaku dengan tatapan mata kosong. Ia tak lain dari Gala Campa, yang telah sembuh dari luka-lukanya. Sayangnya, guncangan batin yang diterima, membuatnya agak goyah pikirannya, ia jarang sekali bicara kalau tidak ditanya lebih dahulu.

"Baiklah, kalau memang keputusanmu sudah tidak bisa diundur lagi. Dan kami hanya bisa mendoakan semoga kau berhasil membekuk orang-orang kejam itu, Panji. Menyesal sekali baru kemarin aku mengetahui siapa kau sebenarnya. Tapi meskipun demikian, aku tetap merasa bangga. Kuharap lain kali kau bersedia singgah jika kebetulan lewat di dekat Desa Kemang...," ucap Ki Senta Raga.

Memang, baru kemarin ini Ki Senta Raga mengetahui kalau Panji sebenarnya adalah Pendekar Naga Putih. Kakagumannya yang selama ini hanya mendengar namanya saja, semakin bertambah-tambah setelah mengenal pendekar muda itu lebih dekat. Sehingga, tidak heran kalau orang tua itu kelihatan sekali merasa berat atas kepergian Pendekar Naga Putih.

Selesai berpamitan, Panji, Kenanga, dan Gala Campa melangkah menyusuri jalan lebar yang membelah Desa Kemang menjadi dua bagian. Kemudian, mereka terus ke sebelah Barat menuju matahari terbenam. Saat itu, hari masih pagi. Udara yang masuk melalui pernapasan terasa sejuk dan melegakan dada sehingga menyegarkan tubuh. Langit nampak cerah dengan warna biru yang terang. Cahaya matahari pagi terasa demikian hangat, menyirami ketiga sosok tubuh manusia yang tengah melintasi daerah bebatuan.

"Gala Campa, dapatkah perjalanan ini dipersingkat? Aku khawatir, kita keduluan pengemis-pengemis laknat itu. Menurut dugaanku, mereka pasti juga akan menyerang dan membinasakan murid-murid Perguruan Ular Emas, seperti halnya yang terjadi dengan perguruanmu. Untuk itu, kita tidak boleh terlambat tiba di sana. Sedikit saja terlambat, rasanya nasib Perguruan Ular Emas pun tidak akan berlanjut lagi...," kata Panji. Menilik dari pembicaraannya, dapat diduga, ke mana tujuan ketiga orang pendekar itu kali ini.

"Pengemis-pengemis laknat... Ya, benar. Kita harus mempercepat perjalanan. Pembunuh-pembunuh itu tidak bisa dibiarkan berkeliaran bebas semaunya...," sahut Gala Campa dengan suara mendesah, seolah-olah bicara kepada diri sendiri dan bukan menjawab ucapan Panji.

Kemudian tanpa berbicara sepatah pun, laki-laki gemuk itu langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sebentar saja, bayangan Gala Campa telah berada beberapa tombak di depan Panji dan Kenanga.

Bagaikan diberi aba-aba, sepasang pendekar muda itu segera saja menggenjot tubuhnya mengejar Gala Campa. Karena kepandaian mereka memang sangat tinggi, dalam waktu yang tidak terlalu lama saja Gala Campa telah dapat dibarengi. Secara bersamaan, ketiganya bergerak bagaikan bayang-bayang hantu yang tengahberkeliaran. Selama perjalanan itu, Gala Campa hampir tidak pernah berbicara. Dia lebih banyak termenung dengan sepasang mata kosong. Untungnya, kedua orang pendekar itu telah mengetahui penyebabnya.

********************

"Gala Campa, masih berapa jauh lagikah letak Perguruan Ular Emas?" tanya Panji suatu malam ketika melihat Gala Campa duduk termenung menatapi bintang yang bertaburan di angkasa raya. Langit memang nampak cerah, meski bulan muncul hanya sepotong.

"Tidak lama. Besok siang kita sudah bisa tiba di sana. Hm..., akan kuhajar habis-habisan pengemis-pengemis laknat itu dengan tanganku sendiri...!"

Terdengar desisan geram keluar dari mulut Gala Campa setelah menjawab pertanyaan Panji. Begitulah yang selalu diucapkan Gala Campa, yang selalu diakhiri dengan kata-kata yang menyiratkan dendam. Selalu begitu, meski ucapan pertamanya tidak bisa dibilang sebagai jawaban orang gila. Jelas, dendam itu tetap membayangi ke mana saja Gala Campa pergi.

"Hm. Kalau begitu, tidurlah. Biar aku yang jaga malam ini," ujar Panji sambil menepuk perlahan bahu lelaki gemuk itu.

Dan tanpa berkata sepatah pun, Gala Campa bangkit terus merebahkan dirinya di rerumputan yang beralaskan selembar kain. Sebentar saja, terdengar dengkurnya yang cukup keras. Panji hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Gala Campa. Pemuda itu bertekad memulihkan kesehatan dan pikiran lelaki gagah itu kelak, karena memang tidak bisa dilaksanakan sekaligus. Dan untuk mengembalikannya secara utuh seperti sediakala, Panji harus melakukannya secaraperlahan-lahan.

EMPAT

"Heeeaaattt...!"

"Yiaaattt..!"

Keheningan pagi yang indah tiba-tiba saja dirusak teriakan-teriakan yang diselingi jerit kematian. Suara denting senjata yang meningkahi teriakan serta jerit kematian, jelas menandakan telah terjadi pertempuran berdarah pagi ini.

Dugaan itu memang tidak berlebihan. Di balik sebuah bangunan perguruan, tampak pertarungan tengah berlangsung sengit. Sebenarnya, keadaan itu tidak bisa disebut pertempuran, dan lebih tepat kalau dikatakan sebagai pembantaian. Memang orang-orang berpakaian kembang-kembang dan penuh tambalan itu sepertinya sama sekali tidak mendapat perlawanan berarti. Lawannya yang mengenakan pakaian kuning cerah, satu persatu bertumbangan dan bermandikan darah!

"Hua ha ha...! Sebentar lagi, nama Perguruan Ular Emas akan hilang dari dunia persilatan, seperti halnya Perguruan Cakar Besi yang telah musnah...,"

Terdengar tawa membahana di sela-sela jeritan dan dentang senjata. Kemudian, kembali diperintahkannya pengemis- pengemis berbaju kembang-kembang itu untuk segera mempercepat pekerjaannya.

Untuk kesekian kalinya, jerit kematian pun kembali bergema susul-menyusul. Darah segar kembali menyirami bumi yang sudah lembab, dan basah oleh darah. Tapi, para pengemis berpakaian kembang itu sepertinya tidak pernah mengenal puas. Mereka terus saja membantai murid-murid Perguruan Ular Emas tanpa ampun!

"Heaaattt..!"

Pada saat nyawa murid-murid Perguruan Ular Emas sudah tidak mungkin dapat terselamatkan lagi, tiba-tiba saja terdengar teriakan keras susul-menyusul. Berbarengan teriakan itu, lima sosok bayangan tiba-tiba berkelebat cepat memasuki arena pertempuran. Begitu tiba, mereka langsung menyabetkan pedang ke arah para pengemis berpakaian kembang yang berjumlah sekitar belasan orang.

Kehadiran kelima sosok bayangan itu rupanya mampu merubah suasana. Buktinya sebentar saja, tampak belasan orang pengemis sama-sama bergerak mundur, melihat permainan pedang kelima sosok bayangan yang benar-benar mengagumkan.

Terutama sekali, permainan pedang seorang lelaki setengah baya yang berkumis tebal. Gerakannya menunjukkan kalau ia merupakan seorang ahli pedang pilih tanding. Bahkan angin sambaran pedangnya saja mampu merobek pakaian lawan. Tentu saja tenaga dalam yang terkandung dalam permainan pedangnya tidak bisa dipandang remeh. Dan sebagai bukti kehebatannya, lelaki gagah bertubuh agak kurus itu telah membenamkan senjata di tubuh salah seorang lawan!

Cappp!

"Aaakhhh...!"

Jeritan kematian langsung saja bergema seiring ujung pedang yang menancap tepat di jantung lawan. Darah segar langsung memercik membasahi tanah! Tubuh seorang pengemis kurus tampak terjerembab tewas dengan tubuh mandi darah!

"Mundur...!"

Tiba-tiba saja, terdengar perintah menggelegar yang membuat para pengemis berbaju kembang-kembang serentak bergerak mundur. Tak seorang pun yang berani membantah perintah itu. Jelas, lelaki tinggi besar brewokan yang mengenakan rompi coklat dan dengan sepasang lengan terhias gelang itu merupakan pemimpin para pengemis. Dia tak lain dari Setan Tenaga Gajah. Rupanya, kali ini dia sendiri yang langsung memimpin pengikutnya untuk membantai Perguruan Ular Emas.

Mundurnya para pengemis berbaju kembang-kembang itu tentu saja juga membuat kelima sosok bayangan tadi segera bergerak mundur. Termasuk juga, lelaki setengah baya yang masih tampak gagah itu.

"Hm..., kau pasti orang yang bernama Ki Damang, bukan? Ilmu pedangmu ternyata tidak mengecewakan. Sayangnya, masih banyak sekali kelemahan di dalamnya...," kata Setan Tenaga Gajah memberi tanggapan tentang permainan pedang lelaki berkumis tebal yang ternyata Ki Damang itu.

Tapi, orang tua itu sama sekali tidak kelihatan tersinggung atau marah. Sikapnya malah nampak agak tegang sambil meneliti sosok tinggi besar berbulu-bulu di depannya. "Siapa kau, Kisanak?! Dan mengapa demikian kejam membantai orang-orang tak berdosa...?" tanya Ki Damang tanpa mempedulikan pendapat Setan Tenaga Gajah.

Setan Tenaga Gajah hanya tertawa gelak mendengar pertanyaan Ki Damang. Tanpa mempedulikan orang tua itu, pandangannya diedarkan kepada empat orang lelaki gagah lainnya. Kelihatan sekali kalau sinar mata lelaki tinggi besar menakutkan itu sangat memandang remeh.

"Hua ha ha... Bagus..., bagus. Ternyata kedua orang murid Ki Jasminta juga telah ada di sini. Demikian juga dengan murid-muridmu, Ki Damang. Nah! Karena kalian sekarang sudah lengkap, maka sudah waktunya nyawa kalian kucabut satu-persatu...," ancam Setan Tenaga Gajah.

Tentu saja ancaman ini membuat kelima orang lelaki gagah menjadi geram bukan main. Karena, lelaki tinggi besar menakutkan itu jelas-jelas tidak memandang sebelah mata pun kepada mereka.

"Tunggu dulu...!" seru Ki Damang seraya mengangkat tangan kirinya. Jelas, lelaki tua yang masih nampak gagah itu tengah memedam rasa penasaran.

"Hm.... Kau ingin mengatakan sesuatu sebelum kematianmu, Orang Tua...?" ejek Setan Tenaga Gajah dengan sunggingan senyum sinis.

Ki Damang menarik napas berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya yang bergemuruh. Sikap Setan Tenaga Gajah memang benar-benar keterlaluan sekali. Akibatnya, orang seperti Ki Damang hampir-hampir terpancing amarahnya.

"Kisanak. Tanpa sebab yang berarti, kau tega membunuh murid-murid Perguruan Ular Emas. Seolah-olah, nyawa mereka sama sekali tidak ada artinya bagimu. Nah! Kalau memang bukan seorang pengecut, katakanlah terus terang. Mengapa kau memusuhi dan ingin melenyapkan kami?" tanya Ki Damang, seperti mewakili pertanyaan kawan-kawannya yang lain.

Setan Tenaga Gajah kembali memperdengarkan tawanya yang berkepanjangan. Setelah berhenti sejenak, lelaki tinggi besar menakutkan itu segera mengeluarkan suitan panjang disertai kekuatan tenaga dalam tinggi.

"Kau...?!" Dua orang lelaki gagah yang datang bersama Ki Damang, sama-sama melangkah maju dengan wajah pucat! Mereka tak lain Wira Yudha dan Waluja, dua orang murid utama Ki Jasminta.

"Hua ha ha..! Ya! Akulah yang memiliki suitan itu. Mengapa kalian terkejut..?" bernada mengejek sahutan Setan Tenaga Gajah. Kelihatan sekali kalau lelaki tinggi besar itu berpura-pura bodoh, padahal memang sengaja hendak mempermainkan lawan-lawannya.

Sedangkan tubuh Wira Yudha dan Waluja sama-sama menggigil mendengar suitan itu. Memang, hal itu mengingatkan mereka pada kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala yang penuh teka-taki. Dan munculnya suitan, memang sangat bertepatan dengan kematian kedua tokoh sakti itu. (Untuk lebih jelas mengenai kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala, silakan baca Badai Rimba Persilatan)

"Setan Tenaga Gajah...?! Ya. Kau pastilah manusia laknat yang telah membunuh guru kami dan memfitnah Ki Parewang sebagai pelakunya! Bangsat keji! Rupanya kau memang manusia biadab yang tidak mengenal puas! Setelah tidak berhasil mengadu domba kami, lalu kau datang hendak membantai murid-murid perguruan kami!Biadab...!"

Karena tidak bisa lagi menahan dendam dan kemarahan di dalam dadanya. Wira Yudha, murid tertua Perguruan Ular Emas, langsung saja menerjang maju disertai putaran pedang.

Swiiittt...! Cwiiittt...!

Sambaran angin pedang yang bergulung-gulung itu benar- benar mengagumkan. Kilatan-kilatan cahaya putih berkeredep mengincar tubuh Setan Tenaga Gajah yang masih tetap tegak seperti memandang remeh serangan lawan.

Waluja murid kedua Ki Jasminta yang berjuluk si Pendekar Ular Emas, rupanya tidak mau ketinggalan. Sesaat setelah tubuh kakak seperguruannya melesat menerjang pembunuh gurunya, dia juga berseru keras menyusuli. Bahkan putaran senjatanya terlihat lebih indah dan menyembunyikan kekuatan mengagumkan!

"Yeaaattt...!"

Wueeettt! Cwiiittt...!

Dibarengi pekikan nyaring, Wira Yudha membabatkan senjatanya dua kali berturut-turut. Namun kaki dan tubuh lawan yang menjadi sasaran, ternyata mampu menghindar. Padahal, saat itu ujung pedangnya hampir menyentuh sasaran. Tentu saja ia terkejut, karena cara menghindar lawan sama sekali tidak tertangkap mata!

Rupanya, Setan Tenaga Gajah tidak hanya menghindar. Tahu-tahu saja, kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi telah meluncur ke arah kepala Wira Yudha yang memang belum terbebas dari keheranannya. Sehingga, nyaris kepalan itu meremukkan kepalanya.

Untunglah pada saat yang sangat gawat, Waluja telah datang dengan serangannya yang menderu-deru. Akibatnya Setan Tenaga Gajah terpaksa harus menarik pulang kepalannya. Bahkan malah berbalik mengincar pergelangan tangan Waluja dengan cengkraman mautnya!

Wira Yudha yang tersadar dari keterpakuannya, segera saja mengibaskan senjata di tangannya. Pedang itu langsung meluncur dengan kecepatan kilat menuju bagian tengah dada Setan Tenaga Gajah!

Traaang...!

"Aaahhh...!"

Meskipun berhasil membebaskan Waluja dari ancaman cengkeraman lawannya, namun tak urung Wira Yudha harus menerima kenyataan akan kehebatan lawannya. Tubuh lelaki gagah itu terjajar mundur, dan hampir jatuh terlentang akibat sentilan jari-jari tangan lawan pada badan pedangnya. Tentu saja tindakan Setan Tenaga Gajah membuatnya terkejut, sekaligus juga menyadari kesaktian lawan.

Memang, kalau Setan Tenaga Gajah mau, mudah saja kedua orang itu dilumpuhkannya. Hanya saja, dia ingin memanas- manasi lebih dahulu. Begitulah sifatnya. Dia ingin agar lawan semakin terumbar hawa amarahnya. Dengan demikian, lawan secara tak langsung telah mendapat serangan batin, sehingga jiwanya goyah.

"Gila...!" desis Wira Yudha.

Segera laki-laki gagah itu mengulurkan tangan kirinya, sehingga menggenggam pedang dengan kedua tangan. Sebab, meskipun telah agak lama, tapi getaran akibat sentilan jari tangan tokoh menyeramkan itu masih tetap terasa hingga ke pangkal lengan. Akibatnya untuk beberapa saat, lelaki gagah itu hanya berdiri terpaku sambil berusaha menenangkan getaran pada lengannya.

"Baiklah. Batin kalian berdua yang akan kuhancurkan lebih dahulu..." Setelah berkata demikian. Setan Tenaga Gajah melangkah mendekati Wira Yudha dan Waluja yang saling berdampingan. Cepat keduanya mengelebatkan pedang di depan dada, siap menghadapi perkelahian maut!

Sedangkan Ki Damang dan kedua orang muridnya, segera saja bergerak maju untuk melindungi kedua orang murid sahabatnya. Mereka kini berhadapan dengan Setan Tenaga Gajah yang terus melanjutkan langkah, tanpa perduli kalau akan dikeroyok. Majunya kelima orang lelaki gagah itu, membuat Benggala dan Wungga, melangkah maju bersama dua belas orang pengemis lain. Maka suasana pun semakin memanas.

"Yeaaattt...!"

Setan Tenaga Gajah membuka serangan dengan teriakan parau yang mengejutkan. Saat itu juga, kedua tangannya bergerak susul-menyusul membawa serangan-serangan maut! Kuku-kuku jari tangannya yang panjang dan hitam, meluncur ke arah Wira Yudha dan Waluja.

Tapi baik Wira Yudha maupun Waluja bukanlah orang-orang pengecut yang takut mati. Sebagai orang-orang gagah yang telah terdidik sejak kecil, mereka sama sekali tidak gentar dalam menghadapi serangan lawan. Maka begitu cengkeraman lawan datang mendekat, keduanya bergerak memecah. Dengan kibasan senjatanya, dipapaknya cengkeraman cakar-cakar maut itu!

Whuuuttt! Whuuuttt...!

Pedang di tangan Wira Yudha dan Waluja menyambar- nyambar hendak menebas putus lengan yang berbulu itu. Namun dengan kecepatan dan keluwesan mengagumkan, lengan Setan Tenaga Gajah meliuk menghindari sambaran kedua batang pedang lawan. Kemudian, dia kembali meluncur mengancam tubuh Wira Yudha dan Waluja. Tentu saja kedua orang lelaki itu menjadi terkejut setengah mati! Cepat-cepat tubuh mereka dilempar ke belakang untuk menghindari cengkeraman cakar-cakar maut lawan.

Tapi Setan Tenaga Gajah sepertinya memang tidak ingin melepaskan kedua orang lawannya. Buktinya, ia terus saja mengejar Wira Yudha dan Waluja dengan cakar-cakar mautnya. Sehingga, keduanya mati-matian menyelamatkan diri. Untunglah, baik Wira Yudha maupun Waluja dapat bekerja sama dengan baik. Sehingga meskipun pertarungan telah lewat dari jurus kedua puluh, kedua orang murid Ki Jasminta itu masih tetap dapat bertahan. Sebenarnya, hal itu memang disengaja Setan Tenaga Gajah. Dia memang ingin membuat lawan terpecah jiwanya. Dan ketika dirasakan telah cukup, maka keputusannya adalah mencabut nyawa kedua orang lawannya.

Di tempat lain, Ki Damang bersama kedua orang muridnya telah pula bertempur melawan Benggala dan Wungga. Kedua orang pengemis berbaju kembang-kembang itu memimpin enam orang rekannya untuk menggempur lawan. Maka, pertarungan sengit pun tak terhindari lagi.

Sedangkan murid-murid Perguruan Ular Emas yang hanya tersisa beberapa belas orang, telah pula bertarung mati-matian menghadapi gempuran enam orang pengemis yang mengamuk dengan tongkat hitamnya. Meskipun mereka jelas-jelas bukan lawan para pengemis, tapi tetap gigih dalam melakukan perlawanan. Sepertinya, mereka lebih baik mati di tangan musuh ketimbang menyerah, atau mati sebagai pengecut. Pikiran itulah yang membuat para murid Perguruan Ular Emas tetap gigih mengadakan perlawanan.

Sementara, pertarungan antara Setan Tenaga Gajah yang melawan Wira Yudha dan Waluja telah lewat dari dua puluh jurus. Dan rupanya, tokoh sesat itu kini jadi tidak sabar. Maka, serangan-serangannya pun semakin dipercepat. Akibatnya, tentu saja membuat Wira Yudha maupun Waluja semakin kelabakan. Mati-matian kedua orang lelaki gagah itu menyelamatkan diri sebisa-bisanya. Meskipun mereka telah mengeluarkan seluruh kemampuan, tapi terap saja serangan Setan Tenaga Gajah, bagaikan bayangan yang selalu menyertai ke mana tubuh mereka berkelebat.

"Yeaaattt...!"

Dua puluh dua jurus telah lewat. Dan, tiba-tiba saja, Setan Tenaga Gajah mengeluarkan bentakan menggelegar! Seiring teriakan itu, sepasang tangannya bergerak ke depan dengan pukulan jarak jauh!

Whuuusss...!

Serangkum angin yang amat kuat berhembus ke arah tubuh Wira Yudha dan Waluja. Kontan, kedua orang lelaki gagah itu terkejut setengah mati. Padahal, saat itu mereka tengah berjumpalitan di udara. Jadi, untuk menghindari diri dari pukulan jarak jauh itu jelas suatu perbuatan mustahil!

Sadar kalau nyawa sudah tidak mungkin dapat selamat dari pukulan maut lawan, mereka pun berbuat nekat! Dibarengi bentakan keras, mereka langsung melemparkan senjata masing-masing ke arah Setan Tenaga Gajah. Jelas, maksudnya untuk mengadu nyawa.

Tapi, pada saat yang sangat menentukan bagi keselamatan nyawa kedua orang murid Ki Jasminta, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring yang semakin lama semakin meninggi. Dan sebelum orang-orang itu sempat mengetahui apa dan dari mana suara aneh itu berasal, tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat langsung memapak pukulan jarak jauh Setan Tenaga Gajah! Akibatnya...,

Blaaarrr...!

Hebat luar biasa akibat pertemuan dua gelombang tenaga dahsyat itu! Sinar putih keperakan berpendar seiring suara benturan yang memekakkan telinga dan mengguncangkan isi dada.

"Gila...?!" Setan Tenaga Gajah sendiri sampai terkejut dan mengeluarkan suara geram, begitu merasakan tubuhnya bergetar akibat tangkisan yang dilakukan sosok bayangan putih tadi.

Sedangkan bayangan putih yang telah menyelamatkan Wira Yudha dan Waluja, berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum mendaratkan kaki di tanah.

LIMA

"Pendekar Naga Putih...?!"

Wira Yudha dan Waluja serentak berseru terkejut, sekaligus lega. Munculnya pemuda sakti itu tentu saja membuat harapan mereka untuk selamat bangkit seketika. Panji tersenyum, lalu mendatangi kedua lelaki gagah itu. Langsung disalami Wira Yudha dan Waluja.

Pendekar Naga Putih kelihatan sangat gembira atas pertemuan itu. Bahkan, Ki Damang beserta kedua orang muridnya telah pula meninggalkan lawan-lawannya begitu mendengar kedatangan Pendekar Naga Putih. Orang tua itu segera saja menyalami Panji dengan wajah berseri. Tapi, suasana gembira itu tiba-tiba saja dikejutkan teriakan keras yang mengejutkan!

"Heaaattt...!"

Bersamaan pekikan keras, sesosok tubuh melesat disertai ancaman pedangnya. Langsung digempurnya para pengemis berbaju kembang-kembang. Serangan mendadak itu tentu saja membuat Benggala dan Wungga memerintahkan kawan- kawannya untuk mundur. Sedangkan kedua orang pimpinan pengemis itu sudah melesat menyambut serangan sosok bayangan gemuk yang ternyata Gala Campa.

"Haaaiiittt..!"

Dibarengi teriakan yang tidak kalah kerasnya, Benggala dan Wungga melesat seraya menyodokkan ujung tongkat ke tubuh Gala Campa. Dan....

Traaakkk! Duuukkk!

"Aaakhhh...!" Gala Campa kontan memekik kesakitan! Tongkat di tangan Wungga memang berhasil ditangkis pedangnya. Tapi, tongkat di tangan Benggala luput dari pengawasannya. Akibatnya, langsung menyodok ke lambung kirinya. Akibatnya, sosok bayangan gemuk itu terlempar balik dan terbanting jatuh berdebuk keras di atas tanah!

Benggala maupun Wungga rupanya tidak sudi menyia- nyiakan kesempatan baik itu. Maka selagi tubuh lawan belum sempat bangkit mereka segera menyabetkan tongkat dengan pengerahan tenaga dalam. Sepertinya, tubuh sosok gemuk itu hendak dihancur lumatkan dengan sekali hajar!

Beuuuttt! Whuuukkk!

Dua batang tongkat hitam itu terus meluncur deras ke arah kepala dan dada lawan yang tengah terbaring di tanah! Sedangkan Gala Campa hanya bisa terpaku tanpa berusaha menghindari hantaman kedua batang tongkat lawan.

Tapi pada saat yang gawat bagi keselamatan nyawanya tiba- tiba terdengar pekikan nyaring yang menggetarkan jantung! Berbarengan dengan itu, tampaklah sesosok bayangan hijau meluruk ke arah Benggala dan Wungga. Gulungan sinar putih keperakan yang menyilaukan mata tampak menyertai lesatannya. Sehingga...,

Traaakkk! Craaasss! Breeetttt...!

"Arrrkhhh...?!"

"Aaa...!"

Hebat sekali gerakan pedang sosok bayangan hijau yang ternyata Kenanga. Sinar putih keperakan yang berasal dari pedang di tangannya, langsung berputaran mengibas dengan kecepatan sangat mengagumkan! Sehingga, bukan saja kedua batang tongkat itu dapat dihalaunya. Bahkan si pemegang tongkat pun ikut pula termakan senjata Kenanga.

Tanpa ampun lagi, kedua orang pengemis pengikut Setan Tenaga Gajah itu tertolak balik ke belakang! Darah segar kontan menyembur keluar dari luka di tubuh mereka. Meskipun tidak terlalu dalam dan tidak bisa mengakibatkan kematian, namun merupakan suatu bukti kalau kepandaian mereka masih di bawah Kenanga.

"Hmh...!" Kenanga mendengus ke arah Benggala dan Wungga. Kemudian, tubuhnya berbalik menatap ke arah Gala Campa.

Gala Campa yang jelas-jelas sangat mendendam terhadap komplotan pengemis berbaju kembang-kembang, kembali menyilangkan senjata di depan dada. Lelaki bertubuh gemuk yang murid Ki Raksa Mala nampaknya telah siap bertarung kembali.

"Gala Campa, sabarlah.... Jangan terlalu bernafsu. Percayalah. Hari ini persoalan akan segera selesai. Kau lihat gembong biang kerok itu sudah menampakkan diri di tempat ini..," cegah Kenanga memegang lengan lelaki gemuk itu, berusaha untuk menahan amarah dan dendamnya.

Meskipun pikirannya agak terganggu, rupanya Gala Campa masih bisa menangkap pembicaraan orang. Maka, begitu mendengar disebutnya biang kerok, langsung diikutinya pandangan mata gadis jelita itu.

"Bangsat..! Orang hutan itukah yang telah menghancurkan dan juga mengadu domba kita...? Kalau begitu, ia harus menerima akibat perbuatannya...!" desis Gala Campa sambil menggeram bagaikan singa luka. Tanpa memperdulikan teriakan Kenanga, lelaki gemuk itu bergerak maju mendekati sosok Setan Tenaga Gajah yang hanya tertawa gelak melihat kemarahan Gala Campa.

"Gala Campa, tahan...!" cegah Panji. Jelas Pendekar Naga Putih tidak ingin Gala Campa mendapatkan celaka lagi. Maka, langsung dicengkeramnya pergelangan tangan lelaki gemuk itu. Mau tidak mau, Gala Campa menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Panji dengan sepasang mata menuntut jawaban.

"Sabarlah. Kita semua berkumpul untuk menyelesaikan masalah ini. Kau akan rugi apabila bertindak tanpa perhitungan, Gala Campa...," bujuk Panji dengan suara tegas dan mengandung perbawa kuat. Hal itu memang diperlukan untuk melumerkan amarah dan dendam Gala Campa yang telah bergolak dalam hati dan kepalanya.

"Benar, Gala Campa," timpal Wira Yudha. "Sebaiknya kita serahkan saja persoalan ini pada Pendekar Naga Putih. Kita sendiri pun tentu tidak tinggal diam, dan siap mempertaruhkan nyawa demi membalaskan dendam guru-guru kita."

Gala Campa menoleh ke arah Wira Yudha. Bagaikan orang yang baru sadar kalau tengah berada di antara teman- temannya, lelaki gemuk itu menggoyang-goyangkan kepala seperti hendak menghilangkan pikiran-pikiran yang menyumbat batok kepala.

"Kalian pun sudah berada di sini rupanya...?" sapa Gala Campa yang membuat Wira Yudha serta yang lain tersenyum. Memang, pertanyaan itu tentu saja merupakan pertanyaan bodoh.

"Tentu saja. Bukankah tempat ini merupakan pusat Perguruan Ular Emas. Jadi, tempat ini juga merupakan rumah kami..," jawab Waluja sambil menepuk-nepuk bahu lelaki gemuk itu. Sehingga, Gala Campa hanya bisa mengangguk- anggukkan kepala seperti burung pelatuk.

Perbincangan sesama sahabat itu rupanya membuat Setan Tenaga Gajah menjadi tersinggung. Tampak lelaki tinggi besar bercambang bauk dengan lengan-lengan besar dan berbulu itu, menggeram keras. Tentu saja erangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi, membuat para tokoh golongan putih berlompatan mundur. Cepat mereka mengerahkan hawa murni untuk menenangkan isi dada yang terguncang.

Kecuali Panji, hanya Kenanga seorang yang kelihatan hanya perlu memejamkan mata sekejap untuk melawan pengaruh geraman dahsyat barusan. Kemudian, kembali matanya dibuka. Bahkan kini nampak menyiratkan sinar berkilat tajam. Jelas, dara jelita itu telah mempersiapkan tenaga saktinya untuk menghadapi serangan mendadak, seperti geraman barusan.

"Pendekar Naga Putih...!" Apakah kedatanganmu ke tempat ini hanya untuk berbincang dengan teman-temanmu? Atau sengaja memancing kemarahanku, agar aku mencopot kepalamu...?" Bentakan menggelegar seketika membuat daerah di sekitar tempat itu bagaikan digoncang gempa kecil.

"Gila...!" umpat Kl Damang takjub. Hati laki-laki tua itu benar-benar dilanda ketegangan kali ini, melihat kesaktian tokoh sesat berjuluk Setan Tenaga Gajah yang luar biasa sekali. Seketika timbul keraguan dalam hatinya akan kehebatan Pendekar Naga Putih. Apalagi, sosok pemuda itu terlihat demikian lemah bila dibanding sosok Setan Tenaga Gajah yang tampak gagah dan menakutkan.

Rupanya bukan hanya Ki Damang saja yang meragukan kepandaian Panji. Bahkan, Kenanga yang sudah lebih sering menyaksikan keperkasaan kekasihnya, terlihat agak khawatir. Diakui, dia sendiri merasakan betapa dahsyatnya kekuatan tenaga sakti tokoh yang berjuluk Setan Tenaga Gajah itu. Meskipun perasaannya berusaha ditenangkan. Tetap saja merasa khawatir dan cemas.

Lain halnya Panji. Pendekar Naga Putih bukannya tidak tahu akan kesaktian Setan Tenaga Gajah. Dari beberapa kali tokoh sesat itu menunjukkan kekuatan dahsyatnya, sudah bisa diukur kalau kepandaiannya sangat tinggi. Tapi, memang sulit dipastikan apakah tenaga saktinya masih lebih kuat daripada tenaga lawan. Kenyataan itu membuatnya senantiasa siaga. Dikhawatirkan, kalau-kalau Setan Tenaga Gajah akan melakukan kelicikan, dan menyerang secara tiba-tiba.

"Setan Tenaga Gajah...," tegur Panji dengan wajah dan nada suara tetap tenang. Sama sekali tidak diduga kalau sebenarnya Panji sendiri merasa tegang berhadapan dengan tokoh yang menggiriskan itu. "Kau telah melakukan beberapa kejahatan yang benar-benar sangat keterlaluan. Pertama, kau mengadu domba Perguruan Ular Emas dan Perguruan Cakar Besi dengan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Dan kedua, kau membantai habis seluruh murid Perguruan Cakar Besi. Apa sebenarnya tujuanmu hingga sampai tega berlaku sekeji itu..?" Panji menatap tajam wajah Setan Tenaga Gajah yang brewokan itu.

"Hua ha ha...!" Bukannya berpikir untuk menjawab pertanyaan Panji, sebaliknya Setan Tenaga Gajah malah tertawa berkakakan.

Hanya saja, Panji tetap menahan sabar menanti jawaban yang bakal keluar dari mulut yang tersembunyi di balik brewok itu.

"Pendekar Naga Putih, dan sekalian tokoh perguruan- perguruan yang pernah kurugikan! Dengarlah! Seharusnya kalian tidak mendendam kepadaku. Tapi, kepada Ki Parewang-lah kalian harus meminta pertanggungjawaban. Karena, orang tua itulah yang yang telah membuatku melakukan kejahatan. Tapi, rupanya kalian ternyata merasa takut kepadanya, lalu mencariku untuk meminta pertanggungjawaban itu. Ha ha ha...! Lucu...!" kata Setan Tenaga Gajah, yang diakhiri dengan tawa bergema panjang.

"Hm..., Setan Tenaga Gajah! Apapun urusanmu dengan Ki Parewang, kami tidak ingin ikut campur. Kalian berdualah yang harus menyelesaikannya. Sekarang, aku minta pertanggungjawabanmu atas segala kejahatan yang telah dilakukan selama ini," tegas Panji.

"Heeemmm.... Kalau begitu, apa yang kau inginkan sekarang? Nyawaku, atau nyawa pengikut-pengikutku? Silakan kau memilih, dan cabutlah sendiri jika sanggup...," sahut Setan Tenaga Gajah bersikap menantang. Kali ini jelas-jelas tokoh sesat itu hendak bertarung melawan Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih.

"Hm. Tidak perlu sampai begitu jika kau benar-benar sadar akan perbuatanmu. Cukup aku membawamu dan mengadili di depan orang-orang yang telah kau rugikan. Apapun yang menjadi keputusan mereka, kau tidak berhak membantahnya...," ujar Panji lagi, tetap mengawasi sosok tokoh brewok itu dengan tatapan tajam.

Memang Pendekar Naga Putih tidak percaya kalau seorang tokoh sesat seperti Setan Tenaga Gajah akan sudi menyerahkan diri untuk diadili. Kalau pun tokoh sesat itu tadi menawarkan, itu hanya sekedar memancing tanggapan lawan. Panji sadar sepenuhnya akan hal itu.

"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo, tangkaplah aku. Mengapa masih ragu-ragu...?" sahut Setan Tenaga Gajah tetap mengejek. Tentu saja Panji tidak ingin begitu saja mengabulkan permintaan lawan.

"Setan Tenaga Gajah!" Wira Yudha yang merasa dongkol melihat lagak tokoh sesat itu, melangkah maju sambil menudingkan telunjuknya. "Kau tidak perlu lagi diadili! Sebaiknya, manusia jahat sepertimu langsung saja dikirim ke neraka jahanam!" bentak lelaki gagah itu dengan lengan bergetar karena marah.

Meskipun begitu, Wira Yudha tidak berani bertindak. Disadari kalau kepandaian lawan sangat tinggi, dan jauh berada di atasnya. Menyerang tokoh itu sama saja mengantarkan nyawa.

"Apa yang dikatakan Wira Yudha memang benar, Panji...," timpal Ki Damang. "Manusia sesat seperti Setan Tenaga Gajah sudah tidak mungkin lagi disadarkan. Sebaiknya, kita lenyapkannya saja untuk selamanya."

Panji sendiri mengangguk-angguk ketika yang lainnya sama-sama menyetujui usul Ki Damang. "Nah! Kau dengar sendiri, Setan Tenaga Gajah. Mereka telah memutuskan untuk melenyapkanmu. Untuk itu, bersiap-siaplah. Karena melawan atau tidak, aku akan menjalankan permintaan sahabat-sahabatku ini...," tegas Panji seraya melangkah maju beberapa tindak, siap melepaskan pukulan maut yang mematikan.

Melihat sikap Panji yang jelas tidak main-main lagi, Setan Tenaga Gajah menggeram gusar. Lelaki tinggi besar berpenampilan menyeramkan itu bergerak ke kanan, seolah oleh ingin mengintip celah kelemahan lawan. Kini, baik Pendekar Naga Putih maupun Setan Tenaga Gajah telah saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Mereka saling menatap tajam bagaikan hendak menjenguk isi kepala masing-masing.

Sedangkan Kenanga, Ki Damang, beserta yang lain segera saja bergerak menjauh. Sepertinya, mereka sadar kalau pertarungan yang bakal terjadi pastilah sangat mengerikan dan berbahaya.

Demikian pula halnya Benggala, Wungga, dan pengemis berbaju kembang-kembang lainnya. Mereka sepertinya juga menyadari adanya bahaya. Maka bagai diperintah, para pengemis berbaju kembang-kembang bergerak menjauh, dan bersembunyi di balik pepohonan. Angin bertiup keras menerbangkan daun-daun kering. Sepertinya, alam pun ikut menjadi saksi dari pertarungan terdahsyat yang bakal terjadi....

"Heaaattt...!"

"Yeaaattt...!"

Dibarengi pekikan dahsyat yang bagaikan hendak mengguncang jagat, tubuh kedua tokoh maha dahsyat itu sama-sama melenting ke udara. Kemudian, secara bersamaan mereka mendarat setelah berjumpalitan beberapa kali di udara.

Bweeettt.!

Begitu mereka saling mendarat dalam jarak yang cukup dekat, Setan Tenaga Gajah langsung melontarkan pukulan tangan kanan. Terdengarlah suara angin berdesing dan bercuitan. Dari sini bisa terlihat kalau tenaga yang terkandung di dalam kepalan sebesar kepala bayi itu sangat hebat.

Pendekar Naga Putih bukan tidak tahu akan kedahsyatan pukulan lawan. Maka dengan gerak cepat, tubuhnya berkelit sambil melepaskan tusukan jari-jari tangan kiri yang membentuk paruh ular. Rupanya, pada jurus-jurus awal ini Pendekar Naga Putih masih belum ingin mempergunakan ilmu andalan.

Syuuuttt..!

Lontaran tusukan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih mencicit tajam merobek udara! Untunglah sasarannya yang diarahkan ke pelipis, lawan cepat memutar kepala dengan gerakan jurus 'Harimau Keluar Goa'. Sehingga, serangan itu luput dari sasaran.

Gerakan Setan Tenaga Gajah rupanya tidak berhenti sampai di situ saja. Terbukti, tubuh gemuk itu masih terus meliuk seperti tubuh seekor ular yang tengah menari-nari. Itu pun masih dibarengi sebuah tebasan yang menusuk dari bawah ke atas. Rupanya, tokoh sesat itu hendak menjepit dan menggunting batang leher lawan dengan sepasang tangannya yang kekar berbulu.

"Haiiittt...!"

Panji yang sadar akan bahaya maut itu, cepat bertindak tepat. Dengan teriakan nyaring, cepat-cepat kaki kanannya bergeser ke belakang dengan tubuh doyong. Pada saat yang sama, sepasang telapak tangannya mendorong ke depan memapak serangan lawan. Dan....

Plaaaggghhh!

Akibatnya, kedua pasang telapak tangan itu kontan saling berbenturan! Ledakan dahsyat yang memekakkan telinga pun menggelegar keras! Bumi di sekitar tempat itu bergetar, membuat pepohonan berderak ribut!

"Haiiittt...!"

"Yeaaahhh...!"

Dengan gerak cepat, tubuh Pendekar Naga Putih berkelit sambil melepaskan tusukan jari-jari uang membentuk paruh ular.

Syuuuttt...!

Lontaran tusukan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih mencicit tajam merobek udara mengancam pelipis Setan Tenaga Gajah. Kedua tokoh sakti itu membentak keras. Seketika itu juga, tubuh mereka melambung dan berjumpalitan ke belakang hingga lima kali putaran. Kemudian, sama-sama menjejakkan kaki di tanah dalam waktu yang hampir bersamaan.

"Hm.... Nama Pendekar Naga Putih ternyata bukan hanya bualan kosong belaka. Aku harus lebih berhati-hati untuk menghadapi serangan-serangan berikut...," gumam Setan Tenaga Gajah. Rupanya, matanya baru terbuka setelah merasakan kekuatan serta kehebatan pemuda tampan yang berjuluk Pendekar Naga Putih.

Demikian pula halnya Panji. Pendekar perkasa yang telah banyak menghadapi lawan berat itu kini kembali harus mengerahkan seluruh kesaktian untuk menundukkan Setan Tenaga Gajah. Disadari, kesaktian tokoh sesat itu benar-benar luar biasa. Jarang ditemui lawan sehebat dan sedahsyat Setan Tenaga Gajah!

Kini mereka kembali saling berhadapan dalam jarak tiga tombak lebih. Masing-masing melangkah perlahan sambil mengintip celah-celah kelemahan lawan. Keduanya terus bergerak mendekat sambil memainkan jurusnya yang menimbulkan angin menderu-deru.

ENAM

"Yeaaattt...!"

"Haaattt...!"

Untuk kesekian kalinya, kedua tokoh maha dahsyat itu kembali saling gempur. Kali ini ilmu-ilmu silat tingkat tinggi mulai digunakan. Sehingga dapat dibayangkan betapa dahsyat dan mengerikannya pertarungan yang terjadi kali ini.

Pendekar Naga Putih yang sudah menggunakan 'Ilmu Silat Naga Sakti' berkelebatan bagaikan seekor naga raksasa. Tubuhnya meliuk-liuk lincah. Lapisan kabut putih keperakan yang menyelimuti seluruh tubuhnya, dan berpendar hingga sejauh tiga jengkal dari tubuhnya, benar-benar menampilkan sosok yang mengagumkan sekaligus menggetarkan!

Belum lagi sambaran cakarnya yang menebarkan hawa dingin luar biasa. Dalam jarak lima tombak pun, hawa dingin itu masih sanggup menewaskan seorang tokoh tingkat rendah. Dari sini saja sudah dapat dibayangkan, betapa mengerikannya pertarungan itu.

Setan Tenaga Gajah pun tidak kalah mengerikan. Tubuh lelaki tinggi besar berusia sekitar lima puluh lima tahun itu bergerak gesit dengan kuda-kuda kokoh. Jejakan kakinya yang sanggup menggetarkan bumi, melangkah berganti-ganti diselingi suara mencicit tajam dari kepalan-kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi.

Bueeettt! Whuuukkk...!

Sambaran kepalan yang mengerikan itu membuat dedaunan terpaksa harus rela meninggalkan ranting pohonnya, akibat sambaran angin pukulan Setan Tenaga Gajah. Bahkan beberapa batang pohon yang tumbuh dekat dengan tokoh tinggi besar itu tampak sudah rebah ketanah. Kibasan lengannya yang berbulu bagaikan golok besar yang mampu menumbangkan batang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa. Benar-benar dahsyat kekuatan yang dimiliki lelaki tinggi besar itu. Dia memang patut dijuluki Setan Tenaga Gajah!

"Haaaiiittt...!"

Ketika pertarungan yang mengerikan telah berlangsung selama seratus jurus, tiba-tiba saja Pendekar Naga Putih memekik nyaring. Saat itu juga, tubuhnya langsung melenting ke udara menghindari kepalan lawan yang menuju dada kirinya. Kemudian dengan kecepatan mengagumkan, tubuh pemuda tampan itu menukik sambil menjulurkan cakar-cakar mautnya ke ubun-ubun lawan!

Whuuusss...!

Angin dingin menusuk tulang berhembus keras, meniup rambut kepala Setan Tenaga Gajah. Sepertinya, Panji hendak meremas hancur batok kapala lawan. Tapi, Setan Tenaga Gajah tentu saja tidak sudi batok kepalanya diremas begitu saja oleh Pendekar Naga Putih. Maka ketika jari-jari tangan berbentuk cakar naga itu siap meremukkan kepalanya, Setan Tenaga Gajah cepat merendahkan tubuhnya. Kemudian, kaki kanannya digeser ke kanan. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya mengibas sepenuh tenaga!

Bweeettt...!

Sergapan Panji ternyata masih bisa ditarik pulang. Terbukti, ketika pemuda itu melihat lawan sengaja hendak mengadu tenaga, cepat kedua lengannya dikembangkan ke kiri dan kanan. Kemudian, kedua tangan itu kembali disatukan dengan kecepatan dan kekuatan sangat hebat!

Baaaannnggg...!

"Aaahhh...!"

Bukan main terkejutnya hati Setan Tenaga Gajah merasakan getaran yang memekakkan telinganya. Kedua telapak tangan Panji yang ditepukkan menggunakan tenaga dalam, sempat membuat tubuh tokoh sesat itu terhuyung hingga beberapa langkah dari tempat semula.

Pendekar Naga Putih tentu saja tidak sudi menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Cepat bagai kilat, tubuhnya kembali menukik dengan kedua tangan didorongkan ke depan.

"Whuuusss...!"

"Aaahhh...!"

Setan Tenaga Gajah memekik kaget! Sama sekali tidak disangka, kalau lawan akan nekat melanjutkan serangannya. Karena tidak mempunyai waktu menghindar, maka tokoh sesat itu bergegas memantek kuda-kudanya. Sepasang tangannya didorong ke depan, menyambut dorongan sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih.

Blaaarrr...!

Benar-benar mengerikan akibat benturan dua gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu! Debu mengepul tinggi seiring ledakan seperti letusan gunung berapi! Beberapa batang pohon berjarak dua tombak dari tempat terjadinya benturan, berderak-derak ribut bagaikan hendak roboh. Arena pertarungan pun gelap seketika, karena kepulan debu masih menghalangi pandangan mata.

Sementara itu Pendekar Naga Putih terpental balik dengan derasnya. Bahkan masih terus meluncur deras, meskipun telah menumbangkan dua batang pohon besar! Kemudian, tubuhnya terus amblas ke dalam sebongkah batu sebesar rumah hingga beberapa jengkal dalamnya. Melihat adanya cairan merah yang meleleh di sudut bibirnya, bisa ditebak kalau Pendekar Naga Putih mengalami luka dalam yang sangat parah!

Sedangkan Setan Tenaga Gajah lebih hebat lagi. Tubuh tokoh sesat yang tinggi besar itu tertolak ke belakang. Tubuh yang beratnya sama dengan seekor sapi muda itu meluncur deras tanpa dapat dicegah lagi.

Deeerrr...!

Sebongkah batu sebesar perut kerbau bunting, langsung pecah-pecah akibat terlanggar tubuh tokoh raksasa itu.

Akibat benturan dahsyat itu ternyata juga dirasakan oleh para pengemis berbaju kembang-kembang dan juga murid- murid Ular Emas tingkat rendahan. Mereka yang belum begitu kuat tenaga dalamnya, langsung terpental hingga satu tombak lebih jauhnya. Wajah mereka tampak pucat dan tidak mampu buru-buru bangkit. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang langsung tewas setelah memuntahkan darah segar! Benar-benar mengerikan akibat benturan dahsyat tadi.

"Gila...!" desis Ki Damang yang tingkat kepandaiannya di bawah Kenanga. Orang tua itu tampak agak pucat wajahnya. Deru napasnya pun terlihat masih memburu. Jelas, Ki Damang telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi bagian dalam tubuhnya dari pengaruh getaran benturan dahsyat tadi.

Sedangkan yang lain tampak terengah-engah bagaikan orang yang habis berlari jauh. Keringat dingin pun tampak membasahi wajah dan sebagian tubuh mereka. Hanya Kenanga saja yang tampak tidak terlalu menderita oleh akibat benturan maha dahsyat tadi. Dara jelita berpakaian serba hijau itu tampak menghela napasnya panjang-panjang secara perlahan. Meskipun demikian, wajahnya tampak agak pucat. Rupanya, isi dadanya sempat terguncang oleh suara menggelegar tadi.

Semua apa yang dirasakan dan dialamai para tokoh persilatan dari dua golongan itu, rasanya masih belum apa-apa bila dibandingkan Pendekar Naga Putih dan Setan Tenaga Gajah. Kedua orang sakti yang berhubungan langsung dengan benturan mengerikan tadi, lebih parah lagi keadaannya.

"Ketua...!"

Benggala, Wungga dan empat orang pengemis berbaju kembang-kembang langsung berlarian ke arah tubuh Setan Tenaga Gajah yang sudah tak bergerak-gerak lagi. Tanpa banyak cakap lagi, pria pengemis itu langsung membersihkan serpihan batu dari tubuh ketuanya.

"Ooohhh...," Benggala menghela napas sedih ketika melihat batok kepala Setan Tenaga Gajah telah retak akibat menghantam batu sebesar kerbau bunting itu.

"Bagaimana, Kakang...?" tanya Wungga yang berada di belakang pengemis jangkung kurus itu. Jelas, sudah bisa diduga, apa yang telah menimpa ketuanya.

"Ketua telah tewas, Wungga...," desah Benggala. Nada suara laki-laki itu lebih mirip keluhan ketimbang sebuah jawaban. Kemudian, diusapnya darah yang membasahi kening serta belakang kepala Setan Tenaga Gajah.

"Mari kita tinggalkan tempat ini...," ajak Benggala. Diakui semangat laki-laki itu, seperti patah atas kematian ketuanya. Kemudian, sambil membawa mayat Setan Tenaga Gajah, para pengemis berbaju kembang-kembang itu bergerak meninggalkan Perguruan Ular Emas.

Akhir dari pertempuran itu rupanya membuat mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Kenanga yang dibantu Ki Damang serta kawan-kawan lain, saat ini tengah berusaha mengeluarkan tubuh Pendekar Naga Putih dari dalam batu besar itu. Tak seorang pun yang memperdulikan kepergian para pengemis berbaju kembang-kembang yang membawa mayat Setan Tenaga Gajah. Padahal, sebelumnya mereka saling bernafsu untuk membunuh.

Gadis berpakaian serba hijau itu tampak menitikkan air mata melihat keadaan kekasihnya yang sudah tak ubahnya orang mati. Satu keuntungan yang dimiliki Pendekar Naga Putih, hanya karena 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang melindungi sekujur tubuhnya. Sehingga meskipun berbenturan dengan beberapa batang pohon hingga akhirnya melesak ke dalam batu besar, tapi sama sekali tidak menderita luka. Hanya saja, wajah Panji terlihat pucat. Bahkan detak jantung serta aliran napasnya seperti terhenti.

"Kakang..." Kenanga menjatuhkan kepalanya di atas dada pemuda kekasihnya. Dara jelita itu sudah tidak bisa lagi membedung kesedihannya. Sama sekali gadis itu tidak peduli meskipun saat ini ada orang lain yang menyaksikan tingkah lakunya.

"Kami yang salah, Nisanak...," terdengar suara kering dan mengandung penyesalan yang sangat dalam. Kata-kata itu terucap dari bibir Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Rupanya ketiga orang lelaki gagah itu merasa bertanggung jawab atas kematian Panji.

"Yaaahhh.... Tidak seharusnya kami menyerahkan persoalan perguruan ke tangan orang lain, meskipun orang itu memang membantu dengan tulus...," sambung Wira Yudha. Nadanya, terdengar penuh penyesalan. Sepertinya, mereka merasa tersentuh mendengar isak tangis Kenanga yang demikian memilukan. Sehingga, mereka merasa kalau akibat ulah merekalah Kenanga jadi sengsara.

Mendengar kata-kata tadi. Kenanga menoleh ke arah ketiga orang lelaki gagah itu. Dara jelita yang wajahnya tampak dibasahi air mata menggelengkan kepala perlahan. "Tidak. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa-siapa dalam masalah ini. Jadi..., kuharap kalian jangan merasa bersalah. Kakang Panji belum mati. Aku yakin, ia akan bangkit lagi setelah sembuh dari luka-lukanya...," sahut Kenanga.

Gadis itu memang merasa yakin kalau kekasihnya belum tewas. Telah diperiksanya kalau tubuh pemuda itu masih terasa hangat. Menurutnya, itu suatu bukti kalau Panji belum mati. Dan kalau pemuda itu benar sudah tewas, tubuhnya tentu dingin dan kaku sebagaimana mayat layaknya.

Tapi, ucapan Kenanga tadi tentu saja dianggap sebagai ucapan dari orang yang terguncang hatinya. Mereka tentu saja memastikan kalau Panji telah tewas. Selain detak jantung pemuda itu sudah tidak terdengar lagi, aliran napasnya pun sudah berhenti. Itu sebabnya, mengapa Ki Damang dan yang lain menganggap Pendekar Naga Putih telah tewas, sebagaimana halnya Setan Tenaga Gajah. Karena Kenanga tetap bersikeras kalau kekasihnya belum tewas, akhirnya Ki Damang membujuk agar tubuh pemuda itu dibawa ke dalam bangunan perguruan.

"Di sana lebih aman dan lebih enak tempatnya...," bujuk Ki Damang, meminta izin untuk mengangkat tubuh Panji. Kenanga akhirnya mengangguk, kemudian ikut bersama yang lain menuju bangunan utama Perguruan Ular Emas.

"Kakang...," Dara Jelita itu tidak henti-hentinya merintih, memanggil-manggil pemuda yang tengah rebah di atas pembaringan bambu. Dara jelita yang tak lain Kenanga itu berkeras melarang tubuh Panji yang dianggap mati oleh Ki Damang serta yang lain di makamkan. Dia tetap yakin, kekasihnya masih hidup.

"Kenanga...," panggil Ki Damang dengan suara lebih mirip desahan, "Saudara Panji mungkin memang tidak mati di hatimu. Tapi menurut hukum alam, ia telah mati. Detak jantung maupun aliran napasnya sudah tidak ada lagi. Dalam keyakinan kita, hal seperti itu disebut mati. Relakanlah kepergiannya, agar arwahnya dapat tenang dan tidak terhalang isak tangismu...," bujuk Ki Damang, agar Kenanga sudi menyerahkan tubuh Panji untuk segera dimakamkan.

"Tidak, Ki. Kalian salah. Pegang dan rasakanlah. Tubuh Kakang Panji masih tetap hangat seperti pertama kali kita temukan. Jika dia telah mati, bukankah tubuhnya sedingin es? Tapi ini tidak...," bantah Kenanga, tetap bertahan pada pendiriannya. Dara jelita itu tetap berkeyakinan kalau kekasihnya masih hidup.

Sehingga, baik Ki Damang maupun yang lain hanya bisa menghela napas tanpa berani memaksakan keinginannya. Dengan penuh kesabaran. Kenanga menunggui tubuh Pendekar Naga Putih. Entah sudah berapa banyak air matanya yang tertumpah. Sehingga, baju yang dikenakan Panji sampai basah oleh air mata dara yang sangat dicintainya. Bahkan meskipun kedua matanya telah bengkak, tangisnya tetap tak berhenti.

Diam-diam, baik Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, serta yang lain merasa iri dengan keberuntungan Pendekar Naga Putih. Memang, selain jelita parasnya, hati dan kesetiaan Kenanga juga jarang dimiliki gadis kebanyakan.

"Hhh.... Sayang, ia harus tewas dalam usia yang masih sedemikian muda. Entah apa jadinya dunia persilatan apabila golongan hitam sampai mendengar berita ini. Yang pasti, mereka akan berpesta pora menyambut kematian Pendekar Naga Putih...," desah Ki Damang, yang mau-tidak mau merasa menyesal juga atas kepergian pemuda sakti itu.

"Yahhh.... Meskipun ia mati dalam usia sangat muda, tapi baktinya sudah jauh lebih banyak daripada aku yang dua kali lebih tua," timpal Wira Yudha dengan kepala menengadah. Saat itu, mereka tengah duduk di ruangan tengah, mengitari sebuah meja bulat.

"Hm.... Sebaiknya kita jaga agar kematian Pendekar Naga Putih tidak sampai tersiar. Bukankah para pengemis berbaju kembang-kembang itu tidak mengetahui kematiannya...?" sambung Waluja. Lelaki bertubuh tegap itu memandangi wajah yang lain seperti tengah meminta tanggapan.

"Bisa jadi mereka juga menduga kalau Pendekar Naga Putih ikut tewas dalam benturan dahsyat itu. Buktinya, kulihat Setan Tenaga Gajah telah tewas dengan tengkorak kepala retak. Hm..., sebaiknya kita lihat saja nanti. Mudah-mudahan naluri Kenanga tidak meleset, dan juga bukan sekedar orang yang kehilangan pikiran..," cetus Laung, murid tertua Ki Damang, disertai desahan penuh harap.

"Kelihatannya, gadis itu memang tidak kehilangan akal sehatnya. Hm.... Ada baiknya kita ikut berdoa agar Pendekar Naga Putih tidak mati sungguh-sungguh," ujar Ki Damang juga, penuh harap.

"Maksud Ki Damang, pemuda itu tengah antara hidup dan mati...?" tanya Wira Yudha meminta ketegasan. Dan dia baru terdiam ketika melihat orang tua itu mengangguk pelan. Sebentar kemudian, suasana hening. Masing-masing terbawa alam pikiran menerawang jauh entah ke mana.

********************

TUJUH

Pendekar Naga Putih merasakan tubuhnya terlempar, dan melayang di angkasa. Satu hal yang membuatnya heran, tubuhnya terasa seperti segumpal kapas yang tengah diombang-ambingkan angin. Anehnya, Panji sendiri sama sekali tidak merasakan adanya hembusan angin. Bahkan pada saat terlempar, jubahnya sama sekali tidak berkibar.

"Ouuughhh...!" keluh Panji lirih ketika merasakan tubuhnya bagai terjeblos ke dalam sebuah lubang yang asing dan gelap. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya, untuk dapat membiasakan melihat di tempat itu.

"Hai.... Di manakah aku...?" desis Panji.

Saat itu Pendekar Naga Putih melihat keadaan di sekelilingnya. Suasananya demikian lengang dan hening. Lapisan-lapisan kabut menghalangi pandang matanya. Sepertinya, hal itu memang sudah menjadi bagian dari tempat Panji sekarang berada. Panji melangkah perlahan sambil tetap mengawasi sekeliling. Ia tidak tahu, perasaan apa yang saat itu tengah berkecamuk dalam hatinya. Yang jelas, ia merasa sangat asing dan juga ngeri. Bahkan lebih ngeri ketimbang menghadapi lawan-lawan berat yang pernah dirasakan. Hanya saja, semua perasaan itu kini seperti menjadi satu, hingga sukar sekali dikatakan.

"Aneh...? Mengapa di tempat ini aku tidak melihat matahari? Lalu, dari mana asalnya cahaya yang remang-remang ini...? Apakah lapisan-lapisan kabut itu yang memantulkan cahaya...?" benak Panji terus mencari jawaban dari semua keanehan yang saat itu disaksikan dan dirasakan.

Dengan kepala dipenuhi berbagai macam tanda tanya, Pendekar Naga Putih terus melangkah perlahan. Sama sekali tidak dimengerti, kenapa dirinya sampai bisa berada di tempat asing yang menyeramkan itu. Hati Pendekar Naga Putih semakin bergetar ketika sepanjang matanya memandang, yang terlihat hanyalah tanah lapang luas, tanpa pohon atau pebukitan. Seolah-olah, dirinya seperti berada di tengah-tengah padang pasir yang bagaikan tidak bertepian.

"Gila…! Apakah aku sudah gila...? Di mana sebenarnya aku? Mengapa tidak nampak tanda-tanda kehidupan di tempat ini...?" desis Panji dengan wajah gelisah.

Bagaikan orang yang kehilangan akal sehat, tiba-tiba saja Panji menghentakkan kakinya. Lalu, dia berlari cepat menembus lapisan-lapisan kabut yang bagaikan tidak pernah lenyap. Namun, meskipun telah merasakan cukup jauh berlari, tetap saja keadaan tempat itu tidak berubah. Bahkan yang membuat Pendekar Naga Putih semakin ketakutan adalah, tidak dirasakan adanya hembusan angin sejak tadi. Padahal, ia baru saja berlari sekuat tenaga.

"Ouuuhhh...!" Pemuda tampan berjuluk Pendekar Naga Putih yang biasanya selalu tenang dalam menghadapi segala sesuatu, kini menjatuhkan lututnya di atas tanah berpasir lembut itu. Rambutnya diremas-remas kuat-kuat. Suara erangan lirih sesekali terdengar dari kerongkongannya. Jelas, pemuda itu merasa ngeri dengan segala apa yang dilihatnya di tempat itu. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada cahaya matahari, hembusan angin, apalagi sosok manusia yang memang sangat diharapkannya. Semua itu tentu saja bisa membuat gila seseorang yang bagaimanapun tabah dan kuat hatinya.

"Hhh.... Ke mana perginya Kenanga dan para tokoh lain? Mengapa mereka begitu tega meninggalkan aku sendirian di tempat asing dan aneh seperti ini...?" desah Panji sambil menghela napas berulang-ulang dan memijat-mijat keningnya. Seolah-olah dia berharap kalau semua apa yang dialaminya hanyalah sebuah mimpi buruk. Dan Panji tentu saja ingin agar mimpi itu segera berakhir.

"Hua ha ha...!"

Tiba-tiba, saat Panji tengah kebingungan, terdengar tawa panjang menggema, bagaikan datang dari segala penjuru. Suara yang semestinya menakutkan itu, justru disambut Panji dengan senyum senang. Dengan adanya tawa itu, merupakan tanda adanya kehidupan di tempat ini.

"Aaahhh..." Cepat bagai kilat, pemuda itu bergerak bangkit dan mengawasi sekitarnya. Pada wajahnya tergambar kegembiraan yang amat sangat. Tingkahnya saat itu tak ubahnya seorang pengelana yang tersesat dan kehabisan bekal air di tengah lautan padang pasir.

Tapi sirat gembira di wajah pemuda itu lenyap seketika, dan berganti keheranan besar. Di depannya, dalam jarak beberapa langkah, tahu-tahu saja muncul sesosok tubuh yang raut wajahnya sudah dikenalnya. Yang membuat Panji terbeliak mundur, ternyata kemunculan sosok itu begitu mengejutkan! Seolah-olah dia langsung muncul dari dalam lapisan kabut tipis yang mewarnai daerah sekiiar tempat itu.

"Raja Iblis Utara...?!" desis Pendekar Naga Putih, seperti sebuah bisikan kering. Panji kenal betul sosok tinggi besar bercambang bauk itu. Memang, Raja Iblis Utara adalah salah seorang tokoh sesat yang pernah dibunuhnya beberapa waktu yang lalu. Tentu saja kemunculan datuk sesat itu membuat kepala Panji semakin pening memikirkannya.

"Hua ha ha...! Tidak salah! Akulah Raja Iblis Utara, Pendekar Naga Putih! Kuucapkan selamat datang kepadamu di Alam Roh...!" ucap sosok tinggi besar bercambung bauk itu memperdengarkan suara tawanya yang menggema dan panjang.

"Alam Roh...?! Apa maksudmu, Raja Iblis Utara...? Dan, bagaimana kau bisa bangkit dari kematianmu...?" tanya Panji bagai orang linglung. Karena, ia memang masih belum mengerti dengan keadaan yang kini dialaminya.

"Ha ha ha...! Aku bukan bangkit dari kematian, Pendekar Naga Putih. Tapi, justru kaulah yang datang ke alam kematian. Tapi, menurutku kau belum mati sempurna. Dan aku masih mencium adanya hawa kehidupan dalam tubuhmu," jawab Raja Iblis Utara kembali menertawakan sikap ketololan lawannya. Tapi, sepasang mata iblis itu tampak menyiratkan dendam kesumat yang sangat dalam.

Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika mendengar jawaban yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya. Kini baru dimengerti, mengapa tempat itu terasa asing dan menyeramkan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sepera yang biasa ditemuinya.

"Kalau aku memang benar sudah mati, lalu ke mana jasadku? Mengapa aku tidak melihatnya? Apa pula maksud Raja Iblis Utara yang mengatakan kalau kematianku belum sempurna? Juga, apa maksudnya dengan bau kehidupan di tubuhku? Hhh..., benar-benar sebuah pengalaman yang aneh sekaligus mengerikan...," desis Pendekar Naga Putih. Dan mau tidak mau, Panji jadi bergidik ngeri, mengingat keberadaannya sekarang.

"Sekarang..," kata Raja Iblis Utara lagi sambil melangkah maju mendekati Panji. "Aku akan menyempurnakan kematianmu. Sehingga, kau tidak bisa lagi kembali ke alam nyata. Nah, bersiaplah...,"

Pendekar Naga Putih melangkah surut ke belakang, mendengar ucapan Raja Iblis Utara yang jelas-jelas menyiratkan dendam. "Hm...," gumam Panji lirih.

Kini Pendekar Naga Putih menghadapi serangan datuk sesat itu. Mengingat kepandaiannya yang sudah meningkat jauh Panji pun tidak menjadi gentar. Diyakini, dirinya akan bisa mengalahkan lawannya seperti semasa Raja Iblis Utara masih hidup di alam nyata.

Raja Iblis Utara tergelak ketika melihat Panji siap melakukan perlawanan. Menyakitkan sekali tawa yang bernada penuh ejekan itu. "Pendekar Naga Putih! Percuma saja mengadakan perlawanan. Di alamku yang sekarang, tak ada lagi kematian, dan tidak ada lagi darah. Alam roh itu kekal selama-lamanya. Tapi, sebaliknya aku bisa menyakitimu. Ingatlah! Kau belum mati sempurna. Rohmu masih memiliki hubungan erat dengan jasadmu di dunia. Dan setiap rasa sakit ataupun luka, jelas akan terasa seperti halnya kau berada di dunia nyata. Hua ha ha...!" Raja Iblis Utara tergelak di akhir ucapannya.

Jelas sekali kalau datuk sesat itu sangat senang, karena sebentar lagi akan dapat melenyapkan musuh besar yang tidak pernah dibayangkan akan berjumpa lagi dengannya di sini.

"Aaahhh...?!" Panji tersentak kaget mendengar ucapan lawannya itu. Sadarlah Pendekar Naga Putih kalau saat ini benar-benar dalam cengkeraman bahaya. Apa yang dialami dalam pertarungan itu, akan berakibat pada jasadnya di alam nyata sana. Tentu saja, pikiran itu membuatnya tegang. Apalagi, lawannya tidak mungkin bisa dilukai atau dibunuh, karena hanya roh belaka.

"Hua haha...!" Raja Iblis Utara semakin tergelak saat melihat Pendekar Naga Putih nampak kebingungan. Dengan langkah ringan, datuk sesat itu bergerak maju menghampiri. Karena tidak ada melihat jalan lain, Pendekar Naga Putih segera bersiap menghadapinya.

"Yeaaahhh...!"

Dengan sebuah seman nyaring, Raja Iblis Utara melompat dengan kedua lengan terkembang, siap mencekik lehar lawan. Tentu saja Panji yang tidak ingin jasadnya tersiksa segera melompat menghindar ke belakang. Sebuah tendangan kilat dilontarkan, mengiringi lompatan mundurnya.

Bukkk!

Tendangan Pendekar Naga Putih memang sangat tepat. Entah karena Raja Iblis Utara sengaja tidak mengelak, atau memang tendangan pemuda itu terlalu cepat datangnya. Tapi yang jelas, tubuh tinggi besar itu terlempar deras ke belakang. Meskipun demikian, separah pun tak ada pekik kesakitan yang terlontar dari mulut Raja Iblis Utara. Bahkan sosok itu kembali meluncur ke arah Panji. Seolah-olah tendangan yang dilakukan pemuda itu hanya mengenai segumpal kapas.

"Gila...!" desis Pendekar Naga Putih. Panji merasakan betapa telapak kakinya barusan bagaikan menghantam segumpal benda lunak yang membuat kakinya seperti amblas. Jelas, hal itu merupakan bukti dari apa yang diucapkan Raja Iblis Utara sebelum bertarung.

"Sudah kukatakan, di alam ini kepandaian yang kau miliki sama sekali tidak berguna. Lain halnya jika kau telah mati sempurna. Maka, aku dan musuh-musuhmu yang lain, tidak akan mengganggu. Tapi karena hawa kehidupan di dalam rohmu ini, maka aku pun berniat menyempurnakan kematianmu. Dan setelah itu, kau juga akan menjadi penghuni tetap alam kematian yang kekal ini. Hua ha ha...!" sebuah tawa panjang dan bergema kembali menutup ucapan Raja Iblis Utara.

Semua ucapan tokoh itu tidak lagi sempat dikaji Pendekar Naga Putih. Memang saat itu juga Raja Iblis Utara menggempurnya dengan serangan-serangan hebat dan berbahaya. Rupanya, dalam alam kematian pun tokoh itu masih tetap memiliki kepandaian dahsyat. Semua itu dapat dirasakan Pendekar Naga Putih melalui sambaran angin pukulan yang bersliweran di sekitar tubuhnya.

Deeesss...!

"Aaakhhh...!" Tubuh Pendekar Naga Putih terjengkang ke belakang akibat hantaman telapak tangan lawan yang singgah di dada kirinya. Pemuda itu kontan meringis menahan rasa sakit pada bagian dalam tubuhnya. Bahkan napasnya terasa seperti tersumbat akibat pukulan telak lawan. Meskipun begitu, karena tidak ada jalan lain, terpaksa Panji kembali menghadapi lawan. Meskipun, ia tahu hal itu tidak ada gunanya. Dan kini, pertarungan kembali berlangsung.

********************

"Huaaakhhh...!"

Darah mengental berwarna kebiruan, menyembur keluar dari mulut pemuda tampan yang tengah terbaring di atas dipan bambu itu. Tubuh yang tersentak bangkit untuk memuntahkan gumpalan darah itu, kembali rebah dengan wajah semakin pucat!

"Kakang...!" Kenanga, yang masih setia menjaga tubuh kekasihnya yang dianggap belum mati itu menjerit tertahan. Air matanya kembali mengalir menuruni pipinya yang putih dan halus. Sepasang mata sembab yang semula sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi, kembali menerawang dan meneteskan butir-butir air bening.

"Ada apa...?"

Sesosok tubuh sedang dari seorang lelaki berusia lima puluh tahun, tahu-tahu saja melompat ke dalam ruangan diiringi suara yang menandakan keterkejutan dan juga kecemasan. Lelaki tua yang tak lain dari Ki Damang itu melangkah ketika tidak mendengar jawaban Kenanga. Mata tua itu terbeliak, bagai tidak memepercayai penglihatannya sendiri.

"Dari mana darah kental kebiruan itu, Kenanga...?" tanya Ki Damang begitu melihat Kenanga tengah membersihkan darah di atas perut Panji yang terbaring di balai bambu. Pertanyaan itu terlontar, karena Ki Damang melihat darah itu masih sangat baru. Selain itu, ia juga mendengar ada suara orang muntah barusan. Itu sebabnya, ia kontan melompat masuk.

"Kalau Ki Damang percaya, darah ini baru saja termuntah dari mulut Kakang Panji. Entah apa yang tengah dirasakannya saat ini. Dan, apa pula yang menyebabkan darah itu termuntah dari mulutnya...," sahut Kenanga dengan suara bergetar.

Hati dara jelita itu tentu saja merasa pedih bukan main, karena tidak tahu apa yang dirasakan kekasihnya saat ini. Yang jelas, Kenanga hanya ikut merasakan penderitaan yang tengah dialami Pendekar Naga Putih, apapun bentuknya.

Jawaban Kenanga bukan saja membuat Ki Damang terbelalak. Bahkan Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, serta dua orang murid Ki Damang, sama-sama tertegun mendengar jawaban yang sepertinya tidak masuk akal. Betapa tidak? Mana ada sesosok mayat yang sudah cukup lama terbaring, bisa memuntahkan darah. Tentu saja hal itu sangat mustahil! Tapi, baik Ki Damang maupun tokoh lain sama-sama terdiam sambil menundukkan kepala. Suara dara jelita itu jelas-jelas sangat yakin. Dan sepasang matanya yang masih bening, sama sekali tidak menunjukkan gejala hilang ingatan.

"Aneh...? bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa sebenarnya yang terjadi terhadap Pendekar Naga Putih...? Mengapa tubuhnya yang dianggap tewas dan telah terbaring cukup lama masih bisa memuntahkan darah dari mulutnya?" gumam Ki Damang seorang diri sambil melangkah hilir-mudik di dalam ruangan yang cukup lebar itu.

"Mungkin Pendekar Naga Putih memang belum tewas, Ki. Akupun mulai meragukan hal itu. Coba saja Ki Damang bayangkan. Bagaimana mungkin orang yang sudah mati hampir seharian, jasadnya tetap hangat. Padahal, seharusnya sebentar lagi tubuhnya sudah berbau. Tapi kalau melihat raut wajahnya, Pendekar Naga Putih tak ubahnya seperti orang yang tertidur lelap...," sambar Wira Yudha yang mendengar ucapan Ki Damang. Rupanya lelaki gagah itu tidak tahan juga sewaktu mendengar Ki Damang berkata-kata seorang diri.

"Hhh ... Kejadian ini memang sangat aneh. Atau mungkin hangatnya tubuh pemuda itu karena memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Apalagi aku pernah mendengar cerita tentang seorang tokoh sakti yang telah tewas bertahun-tahun, tapi jasadnya tetap utuh dan tidak berbau busuk. Siapa tahu saja hal itu terjadi pula dengan Pendekar Naga Putih. Bukankah ia juga memiliki kesaktian yang sukar dijajagi...?" sanggah Ki Damang.

Rupanya laki-laki tua itu masih ingin berpikiran wajar dalam menanggapi. Semuanya tentu saja dimaksudkan untuk tujuan baik. Ki Damang tidak ingin kalau Kenanga kelak hanya akan mendapatkan kekecewaan dalam penantiannya. Kalau Panji tidak bangkit lagi seperti yang diharapkan, bukan tidak mungkin gadis itu akan terguncang dan terganggu pikirannya. Itu sebabnya, orang tua itu masih juga membantah keyakinan Kenanga.

"Tidak..., tidak... Aku yakin Kakang Panji masih hidup. Hanya saja, aku tidak tahu apa yang saat ini tengah terjadi dengannya. Ah, andai saja aku bisa berjumpa dengan...," kata- kata gadis itu terputus ketika tiba-tiba saja ada seorang murid Perguruan Ular Emas datang tergopoh-gopoh melapor kepada Wira Yudha.

"Ada apa...?" tanya Wira Yudha, singkat kepada lelaki bertubuh tegap yang duduk beralaskan kedua lututnya.

"Maaf, Kakang. Di luar ada seorang kakek tua yang katanya ingin menemui Pendekar Naga Putih. Aku terpaksa tidak berani menjawabnya, karena sesuai pesan Kakang, keadaan Pendekar Naga Putih harus disembunyikan dan jangan sampai tersiar keluar...," jawab lelaki muda bertubuh tegap itu.

"Bagaimana..., bagaimana ciri-cirinya...?"

Sebelum Wira Yudha sempat memberikan keputusan, Kenanga yang sejak tadi menatap dengan wajah tegang dan penuh harap langsung saja melesat dan mencengkeram bahu murid Perguruan Ular Emas itu.

"Kenanga, sabarlah! Lihatlah, cengkeramanmu membuatnya kesakitan," Wira Yudha bertindak cepat menyadarkan dara jelita itu. Kalau tidak mungkin lelaki tegap itu tulang pangkal lengannya bisa patah akibat cengkeraman Kenanga.

"Aaahhh..., maafkan aku...," desah Kenanga, segera sadar atas kesalahannya. Cepat cekalan tangannya dikendurkan, kemudian dilepaskannya dari bahu lelaki tegap itu.

Setelah meringis beberapa saat sambil memijat-mijat kedua bahunya, lelaki tegap itu segera menceritakan tentang ciri-ciri kakek yang menanyakan tentang kekasihnya.

"Aaahhh.... Ia membawa-bawa sebatang tongkat. Dan..., usianya sudah hampir delapan puluh tahun. Tidak salah lagi...!" Bagaikan kemasukan setan, Kenanga berbicara terburu-buru penuh ketegangan. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia langsung saja melesat keluar.

Tentu saja tindakan aneh Kenanga membuat yang lain terkejut. Untuk beberapa saat lamanya, mereka saling bertukar pandang, baru kemudian bergerak mengejar. Ada pancaran rasa kasihan dalam raut wajah tokoh-tokoh itu. Mereka menduga, Kenanga mulai terguncang pikirannya karena terlalu memikirkan Panji. Kenanga sendiri sama sekali tidak peduli. Ia terus saja berlari ke luar bangunan ulama, hingga ke pintu gerbang depan.

"Eyang...!" teriak Kenanga dengan ledakan kegembiraan saat melihat sesosok tubuh kurus dan sangat tua tengah duduk di atas sebuah batu sambil menggenggam tongkat kayu di tangan. Sepertinya, kakek itu tengah sabar menunggu keputusan dari dalam.

Mendengar jeritan yang jelas-jelas mengandung berbagai macam, perasaan, segera saja kakek tinggi kurus itu bangkit berdiri. Lalu tangannya dikembangkan saat melihat Kenanga meluncur cepat dengan tangan terkembang. Butir-butir air mata kembali berjatuhan seiring langkah kaki dara jelita yang tampak agak goyah.

"Eyang...!" Begitu terjatuh ke dalam pelukan kakek tinggi kurus yang tak lain dari Raja Obat, tubuh Kenanga langsung lemas. Gadis itu jatuh pingsan dalam pelukan Raja Obat yang juga jadi terharu. Dengan penuh kelembutan, diangkatnya tubuh Kenanga, dan dibawanya masuk.

"Ahhh…! Kasihan sekali kau, Cucuku. Apa gerangan yang membuatmu demikian lemah dan menderita...?" desah Raja Obat sambil melangkah memasuki bangunan Perguruan Ular Emas.

"Berhenti...! Lepaskan gadis itu, atau kami terpaksa akan mengambil dengan jalankekerasan...!"

Langkah laki-laki tua segera terhenti ketika mendengar bentakan keras yang disusul bermunculannya enam orang lelaki gagah dengan raut wajah mengancam. Bentakan itu keluar dari mulut Wira Yudha yang tentu saja merasa cemas sewaktu tiba di luar. Mereka saat itu memang melihat Kenanga telah berada di atas bahu seorang kakek tinggi kurus. Dan tampaknya, Kenanga dalam keadaan tak sadarkan diri. Tentu saja hal itu mendatangkan kecurigaan di hati mereka.

"Hhh.... Jangan salah sangka dulu, sahabat-sahabat yang gagah. Aku adalah guru dari Pendekar Naga Putih, dan Kenanga. Jadi, kita masih segolongan." Raja Obat terpaksa mengakui sebagai guru Panji dan Kenanga, meskipun hal itu ada benarnya. Semua itu dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin saja menimbulkan perkelahian. Sedangkan orang yang menjadi saksi tengah pingsan di atas bahu kanannya.

"Hm.... Bisa saja kau mengaku demikian. Tapi kalau kau memang bermaksud baik, coba serahkan gadis itu kepada kami. Setelah itu, mungkin kami dapat mempertimbangkannya...," timpal Ki Damang, seraya maju beberapa tindak. Jelas, mereka masih belum mempercayai kakek itu.

"Sikap kalian memang sangat baik. Sayang, cucuku ini sedang tidak sadarkan diri. Selain itu, sepertinya ia tengah mengalami guncangan dalam jiwanya. Untungnya, ia seorang wanita kuat. Kalau orang lain, mungkin telah menjadi gila. Mmm.... Kalau boleh kutahu, ke manakah Pendekar Naga Putih? Mengapa aku tidak melihatnya? Apakah dia yang membuat cucuku ini menderita...?" tanya Raja Obat dengan kening berkerut, ketika tidak melihat Panji di tempat itu.

"Dari mana kau tahu kalau Pendekar Naga Putih ada di tempat ini. ?" tanya Ki Damang lagi. Sikap laki-laki tua itu tetap waspada. Hal itu karena melihat Kenanga telah jatuh pingsan di tangan kakek di depannya. Sedangkan, kepandaiannya sendiri masih berada di bawah Kenanga. Maka, wajar saja kalau Ki Damang bersikap waspada.

"Hm.... Itu karena kebetulan saja. Ketika aku tengah menyusuri sebuah jalan di dekat hutan karet, lewat enam orang pengemis berbaju kembang-kembang yang tengah membawa sesosok mayat lelaki brewok. Pembicaraan mereka kudengar. Mereka telah seperti menyebut-nyebut Pendekar Naga Putih dan Perguruan Ular Emas. Karena sudah cukup lama tidak berjumpa kedua orang cucuku ini, maka kusampaikan diri untuk singgah di tempat ini...,"

Setelah berkata demikian, Raja Obat menurunkan tubuh Kenanga dari atas bahunya. Kemudian, langsung dioleskannya cairan berbau harum ke hidung dara jelita itu.

Ki Damang serta yang lain hanya bisa memandang dengan sikap cemas. Mereka tidak sempat mencegah perbuatan kakek tinggi kurus itu. Tapi sebentar kemudian, wajah mereka tampak lega, karena Kenanga telah siuman dari pingsannya.

"Eyang..." Kenanga kembali meledak tangisnya. Dara jelita itu berlutut di dekat Raja Obat yang tengah duduk bersila. Sementara, Raja Obat mengelus rambut kepala dara jelita itu penuh kasih sayang.

"Tumpahkanlah semua kesedihanmu, Cucuku. Biar dadamu lapang," ujar Raja Obat dengan suara lembut.

Sementara itu Ki Damang serta yang lainnya hanya bisa bertukar pandang melihat pemandangan di depannya.

DELAPAN

Cukup lama Kenanga menumpahkan kesedihannya dalam belaian lembut Raja Obat. Gadis itu tidak merasa malu untuk menangis di hadapan orang tua itu, karena telah dianggap sebagai kakeknya sendiri.

"Eyang..., Kakang Panji...," desah dara jelita itu di antara isaknya yang masih terdengar sesekali. Wajah yang basah oleh air mata itu tengadah, membuat hati Raja Obat tersentuh.

"Mengapa dengan Kakang Panji mu, Cucuku...? Kalau ia terluka, rasanya kau pun pasti sanggup mengobatinya. Apalagi, Pedang Naga Langit tidak pernah terpisah dari tangannya. Jadi, apa sebenarnya yang membuatmu demikian sedih...?" tanya Raja Obat sambil mengelus rambut dara jelita itu penuh kasih sayang.

"Kakang Panji jauh lebih parah dari luka biasa, Eyang...," lapor Kenanga yang kembali terisak mengingat keadaan Panji.

"Jauh lebih parah dari luka biasa? Apa maksudmu, Cucuku? Sampai demikian parahkah luka-lukanya, sehingga kau hampir putus asa...?" desak Raja Obat yang masih menduga-duga, karena Kenanga belum juga menjelaskan.

Kenanga yang merasa sulit berkata-kata, segera saja bangkit berdiri. Langsung dibawanya Raja Obat ke tempat Panji dibaringkan. Sepertinya, dara jelita itu tidak tega mengatakan kalau kekasihnya telah tewas. Sebaliknya untuk mengatakan masih hidup pun, tidak berani. Karena, ia sendiri tidak tahu keadaan kekasihnya yang sebenarnya.

Raja Obat sama sekali tidak membantah. Diturutinya saja ketika Kenanga menarik lengannya. Kening kakek itu berkerut, begitu masuk ke ruangan tempat Pendekar Naga Putih dibaringkan, tampak Panji tengah terbaring dengan wajah pucat. Tanpa banyak cakap lagi, Raja Obat langsung saja memeriksa tubuh Pendekar Naga Putih. Cukup lama dia memijat serta menotok di beberapa bagian tubuh Panji. Sejauh itu, sedikit pun belum nampak terlihat adanya perubahan. Tentu saja Kenanga yang ikut menyaksikannya menjadi bertambah cemas.

"Hhh..." Tidak berapa lama kemudian. Raja Obat bangkit dari tepi pembaringan. Dengan helaan napas beratnya, kakinya melangkah menuju luar ruangan.

Ki Damang serta para tokoh lain sama-sama melemparkan pandangan ke pintu, saat tubuh Raja Obat muncul. Mata para tokoh itu tampak menyiratkan pertanyaan yang sama. Hanya saja, tak seorang pun yang berani mengutarakannya. Setelah sesaat lamanya berdiri di ambang pintu, Raja Obat kembali melangkah masuk, dan duduk di tepi pembaringan tempat Panji tengah tak berdaya. Sepasang mata tuanya menatap Kenanga dengan sorot sukar dilukiskan.

"Bagaimana, Eyang? Parahkan luka Kakang Panji...? Apakah masih ada harapan sembuh...?" Kenanga langsung saja memberondong Raja Obat dengan pertanyaan yang semenjak tadi siap meluncur.

"Hm.... Panji tengah dalam keadaan gawat, Kenanga. Sebagai seorang pendekar, kau harus memiliki ketabahan melebihi ukuran orang-orang biasa. Dia memang tidak bisa dibilang mati, juga tidak bisa dikatakan hidup. Semua itu tergantung dari apa yang dialaminya dalam alam roh...," jawab Raja Obat, sehingga membuat kening dara jelita itu berkerut.

"Alam Roh...? Apa maksud Eyang...?" tanya Kenanga meminta penjelasan lebih lanjut.

"Hm.... Ketahuilah, Cucuku. Saat ini, Kakangmu tengah bertualang di alam yang penuh rahasia. Dia bisa saja mati atau menemui kembali kehidupannya, setelah berpetualang di alam itu. Apa yang dialaminya di sana, kita sama sekali tidak tahu. Berdoalah, semoga Kakang Panji-mu bisa kembali ke alam nyata dengan selamat. Aku sendiri tidak bisa menjabarkan tentang alam roh, karena belum pernah pergi ke sana...," jelas Raja Obat mencoba berkelakar untuk menghilangkan ketegangan yang jelas-jelas terpancar di wajah, Kenanga.

"Jadi..., Berdoalah, Cucuku...," potong Raja Obat. Kakek itu kemudian segera menurunkan tubuh Panji dari atas balai-balai, kemudian membaringkannya di lantai beralaskan tikar pandan. Lalu, dia duduk bersila di samping tubuh Panji. Demikian pula halnya Kenanga yang ikut duduk bersila di samping Raja Obat. Mereka duduk menunggu akhir dari petualangan Pendekar Naga Pulih di alam roh.

********************

Sementara itu, Panji yang saat ini tengah bertarung melawan Raja Iblis Utara tengah terdesak hebat. Meskipun pukulan serta tendangan pemuda itu lebih banyak singgah di tubuh lawan, tapi semua itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Raja Iblis Utara. Sedangkan apabila pukulan lawan yang mengenai tubuhnya, pasti Panji yang akan terjungkal dan merasakan sakit.

"Ha ha ha...! Kali ini kau benar-benar tidak berdaya, Pendekar Naga Putih. Sekarang, terimalah kematianmu yang sebenarnya!" Raja Iblis Utara langsung melesat cepat sambil melontarkan serangkaian pukulan berbau maut!

Bweeettt! Wueeettt!

"Haiiittt...!"

Dalam keadaan yang hampir-hampir mematahkan semangat itu, Panji segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan diri. Memang ia merasa percuma bertarung dengan lawan yang sama sekali tidak bisa dibunuh. Dibarengi teriakan nyaring, Pendekar Naga Putih melenting ke udara menghindari pukulan maut lawan. Begitu kakinya mendarat setelah berjumpalitan sebanyak empat kali, langsung saja tubuhnya melesat meninggalkan Raja Iblis Utara.

Panji mengerahkan seluruh kekuatan ilmu lari cepatnya agar bisa menghindar sejauh mungkin dari lawan. Kali ini, hatinya semakin ditumbuhi rasa was-was. Sebab setelah kemunculan Raja Iblis Utara, bukan tidak mungkin ada tokoh-tokoh sesat lain yang pernah tewas di tangannya yang akan bermunculan mengeroyoknya. Ngeri juga hati Panji ketika membayangkan hal itu.

Tapi, apa yang diduga memang sama sekali tidak meleset. Memang benar Raja Iblis Utara tidak berusaha mengejarnya. Sepertinya, roh datuk sesat itu merasa pasti akan menemukan ke manapun pemuda itu pergi. Itu sebabnya, mengapa Raja Iblis Utara hanya tertawa gelak waktu melihat Panji melarikan diri.

"Aaahhh...!?" Pendekar Naga Putih kaget bukan kepalang. Belum lagi merasa bebas dari ancaman Raja Iblis Utara, tiba-tiba saja tokoh-tokoh sesat lain bermunculan satu persatu. Roh mereka bagaikan keluar dari balik gumpalan kabut tipis di sekitarnya. Dan memang seolah-olah gumpalan kabut tipis itu merupakan pintu keluar bagi mereka.

Dengan wajah tegang, Pendekar Naga Putih bergerak mundur menjauhi roh tokoh-tokoh sesat itu. Pemuda itu merasa harapannya sangat tipis untuk dapat lolos, begitu melihat adanya roh Malaikat Gerbang Neraka, Hantu Kematian, Penggembala Mayat, dan masih banyak lagi roh tokoh sesat yang kini mengepungnya dari delapan penjuru.

"Hua ha ha...! Hari ini adalah hari baik untuk kematianmu, Pendekar Naga Putih! Siapa sangka kau datang menemui kami di alam roh. Sepertinya, iblis-iblis penghuni alam ini sengaja mendatangkanmu untuk kami..,"

Terdengar gaung suara yang diketahui Panji datang dari roh Malaikat Gerbang Neraka. Melihat mereka semakin mendekat, Panji memejamkan mata menghimpun seluruh kekuatan yang dimilikinya. Kemudian, kembali matanya dibuka dan siap bertarung mati matian!

"Haaattt...!"

"Yeaaattt...!"

Dibarengi seruan nyaring, roh para tokoh sesat itu bergerak menyerbu Pendekar Naga Putih. Keadaan Panji saat itu benar-benar gawat, dan tak ubahnya makanan yang siap disantap orang-orang lapar!

Beeettt..! Wuuueeettt...!

Tamparan yang menimbulkan angin berkesiutan datang mengancam kepala Pendekar Naga Putih. Seiring dengan itu, sebuah tendangan yang siap menghantam dadanya datang tiba-tiba. Tentu saja menghadapi serbuan itu, Panji menjadi kalang kabut! Dengan merendahkan kuda-kuda sambil menggeser langkahnya, Panji mencoba lolos dari serangan yang datangnya bagaikan air bah itu. Kemudian, tubuhnya terus melenting ke udara dan berjumpalitan beberapa kali. Maksudnya, jelas untuk keluar dari kepungan.

"Heaaattt..!"

Sambil meluncur turun, Panji yang sempat melihat salah seorang pengeroyok yang tengah melontarkan serangan, segera saja memutar kakinya. Langsung dilepaskannya tendangan dengan kedua kakinya. Kemudian, digunakannya tubuh lawan sebagai batu loncatan untuk menjauh.

Deeesss...!

Meskipun serangannya sama sekali tidak mengakibatkan luka di tubuh lawan, namun Pendekar Naga Putih dapat meloloskan diri dari dalam kepungan. Lawan yang terkena tendangan itu terpental, bagaikan selembar daun kering yang tertiup angin.

Namun walau bagaimana pun kerasnya usaha Panji untuk dapat melepaskan diri dari kepungan, tetap saja sia-sia. Terbukti setelah dapat menendang salah seorang lawan. Pendekar Naga Putih kembali masuk dalam lingkaran para pengepung. Sebagai roh tokoh-tokoh sakti, tentu saja mereka dapat bergerak secepat angin. Sehingga, ke mana pun Panji bergerak, tetap saja tidak bisa lolos dari kepungan.

Pertempuran yang jelas-jelas tidak seimbang itu terus berlangsung. Pendekar Naga Putih sebisa mungkin menggunakan 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya. Namun tetap saja dia terdesak hebat. Beberapa kali pukulan lawan singgah di tubuh maupun wajahnya. Meskipun begitu, dia berusaha mati-matian untuk mempertahankan diri.

"Yaaattt..!"

Buuuggg!

"Aaakhhh...!" Pendekar Naga Putih kembali memekik kesakitan ketika untuk yang kesekian kalinya terkena hantaman telapak tangan lawan pada bagian dada. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya langsung terpental diiringi jerit kesakitannya.

"Tibalah saat kematianmu yang sebenarnya. Pendekar Naga Putih!"

Terdengar sebuah bentakan yang disusul berkelebatnya tiga sosok tubuh yang masing-masing siap melepaskan pukulan maut. Meskipun dalam keadaan bergulingan, Pendekar Naga Putih seperti masih belum sudi menyerah begitu saja. Nyatanya, ia masih saja berusaha menyelamatkan diri dari sergapan roh tokoh-tokoh sesat itu.

Tapi, daya tahan pemuda itu tentu saja sangat terbatas. Pada suatu ketika, Pendekar Naga Putih tidak sempat lagi menghindar. Tubuhnya yang rebah telentang, kini siap menerima hantaman beberapa roh yang mengeroyoknya!

Blaaarrr...!

Serangan Malaikat Gerbang Neraka, Hantu Kematian, Penggembala Mayat, tiba secara bersamaan. Terdengarlah ledakan keras yang bagaikan mengguncangkan alam roh! Anehnya, Panji sendiri berhasil selamat dari bencana, begitu tahu-tahu saja ada yang menarik tubuhnya ke belakang. Padahal, serangan roh-roh itu hampir pasti akan merajam dirinya. Merasakan pegangan pada kedua bahunya, Panji segera menoleh ingin memastikan pertolongan itu.

"Eyang...?!" Tiba-tiba saja Panji merasakan hatinya lapang sekali. Sebab, orang yang menarik tubuhnya itu tak lain gurunya sendiri, yaitu Eyang Tirta Yasa si Malaikat Petir. Tentu saja hati Panji menjadi gembira.

"Cucuku. Kau memang belum saatnya menjadi penghuni alam roh. Maka, kau harus kembali ke dunia nyata. Di sana, masih banyak tugas yang harus dijalankan. Eyang tidak tahu, apa yang membuatmu tersesat hingga ke alam roh. Yang jelas, selama kau masih bisa kembali, kembalilah. Mereka akan lenyap dengan sendirinya setelah kau memasuki jasadmu...," ujar Eyang Tirta Yasa sambil mengelus kepala muridnya.

Panji bergerak bangkit perlahan. Hatinya sempat merasa heran sewaktu melihat roh-roh tokoh sesat itu sama sekali tidak berani mengganggunya. Kelihatannya, mereka merasa gentar terhadap Malaikat Petir yang memang siap melindungi muridnya.

"Mengapa mereka tidak berani menyerang kita, Eyang...?" rasa penasaran membuat Pendekar Naga Putih tak kuasa menahan keingin tahuannya.

"Jelas, mereka tidak berani, Cucuku. Tapi, bukan aku yang ditakuti. Justru kita berdualah yang membuat mereka tidak berani menyerang," jelas Eyang Tirta Yasa, tersenyum lembut.

"Mengapa kita berdua yang mereka takuti? Apa sebabnya, Eyang?" desak Panji lagi, penasaran.

"Mereka adalah roh halus. Demikian pula aku," jawab Eyang Tirta Yasa, "Tapi, apabila roh halus bergabung dengan jasad, meskipun hanya berupa bayang-bayang semu seperti halnya denganmu, maka mereka tidak akan bisa mendekat. Apalagi menyakiti. Sebab setiap kali mereka menyentuh salah satu dari kita, itu sama dengan manusia yang memasukkan tangannya ke kobaran api."

"Lalu, bagaimana caranya aku kembali ke jasadku, Eyang? Sedangkan aku sama sekali tidak tahu, di mana saat ini jasadku berada? Apakah sudah dikuburkan atau belum, aku juga sama sekali tidak tahu...?" tanya Panji lagi, ketika teringat kalau gurunya menyuruhnya untuk kembali ke alam nyata.

"Hal itu tidak sulit bagi roh-roh tanpa jasad seperti aku misalnya. Bagi kami, tidak ada pembatas baik ruangan maupun waktu. Semuanya dapat dicapai dalam waktu yang sangat singkat. Dan biar di dalan tanah pun, aku dapat melihat apa yang disembunyikan manusia di alam nyata sana. Kau tentu saja tidak bisa menemukan jasadmu, karena rohmu masih berbau kehidupan. Bukan roh yang memang datang dari jasad mati. Nah, sekarang marilah kira menjumpai jasadmu," ajak Eyang Tirta Yasa seraya memegang tangan muridnya.

Apa yang kini dirasakan Pendekar Naga Putih sama sekali tidak berbeda dengan saat pertama terlempar ke alam roh itu. Tubuhnya mengapung tanpa beban. Hal itu berlangsung hanya sekejap mata, meskipun bagi Panji merasa agak lama.

"Sekarang bukalah matamu...," perintah Eyang Tirta Yasa.

Tanpa banyak cakap lagi, segera saja Pendekar Naga Putih membuka kelopak matanya. "Aaahhh..."

Pendekar Naga Putih terbelalak ketika di hadapannya terlihat jasadnya yang terbaring di lantai. Dia juga melihat Raja Obat beserta Kenanga kekasihnya yang matanya telah sembab karena terlalu banyak menangis.

"Percuma, mereka tidak akan mendengarmu," kata Eyang Tirta Yasa seperti tahu akan isi hati muridnya. "Sebaiknya, masuklah kembali ke dalam jasadmu. Setelah kau tersadar sedikit saja, maka tenaga ciptaan Pedang Naga Langit akan segera bekerja untuk menyembuhkan luka-lukamu"

Tentu saja Panji terkejut mendengar gurunya mengetahui tentang Pedang Naga Langit. Padahal, pedang mukjizat itu didapatkan saat gurunya sudah meninggal. "Jangan heran. Sudah kukatakan, bagi penghuni alam roh tidak ada batas ruang dan waktu...," jelas Eyang Tirta Yasa, sebelum Panji sempat bertanya.

"Lalu, bagaimana dengan Eyang? Roh-roh tokoh sesat itu apakah tidak akan mengeroyok Eyang...?" tanya Panji agak cemas, mengingat roh para tokoh sesat itu masih mengikutinya. Dan sepertinya, mereka tengah mencari kesempatan untuk melenyapkan Pendekar Naga Putih.

"Tidak perlu khawatir, muridku. Di alam roh, tidak pernah ada perkelahian. Jadi, tenangkanlah hatimu...," sahut Eyang Tirta Yasa tersenyum lembut.

Kini tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Naga Putih segera merasuk kembali ke dalam jasadnya. Begitu rohnya kembali menyatu, tidak ditemukannya lagi guru serta roh para tokoh sesat yang diketahuinya masih berada di dekatnya. Sesaat setelah rohnya bersatu dengan jasad, 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' pun bangkit. Bahkan langsung membakar seluruh luka dalam yang ada di tubuh Pendekar Naga Putih.

"Aaahhh...?!" Kenanga tersentak bangkit ketika tahu-tahu saja tubuh kekasihnya terkurung kobaran api yang panasnya terasa menyengat kulit.

"Tenanglah, Cucuku. Itu suatu pertanda, kekasihmu mulai tersadar. Dan kini ia telah kembali dari alam roh. Kobaran api itu adalah kekuatan yang berasal dari Pedang Naga Langit. Gunanya, tentu saja untuk membakar semua luka dalam yang dideritanya," jelas Raja Obat sambil menepuk bahu Kenanga.

Seketika, gadis itu menjadi tenang, dan kembali duduk memandangi sosok Pendekar Naga Putih. Tidak berapa lama kemudian, kobaran api itu pun padam. Wajah Pendekar Naga Putih yang semula pucat, terlihat mulai dijalari warna merah. Jelas, kesehatannya telah pulih seperti sedia kala.

"Kakang...!" Begitu mendengar Pendekar Naga Putih mengeluh, Kenanga langsung memeluk dan menghujani wajah kekasihnya dengan ciuman kebahagiaan. Sedang Raja Obat hanya tersenyum-senyum melihat kejadian itu.

"Kenanga...," panggil Panji membalas pelukan dara jelita itu dengan eratnya. "Aaah...! Maafkan aku. Kenanga. Kau telah susah karena ulahku." Panji tampak terharu melihat wajah kekasihnya nampak demikian letih dan terlihat agak kurus. Jelas, dara jelita itu selalu memikirkannya.

"Saudara Panji, selamat..."

Satu persatu mulai dari Ki Damang, menyalami Pendekar Naga Putih dengan wajah penuh rasa syukur. Para tokoh itu benar-benar gembira melihat Panji telah bangkit dari kematian semunya. Suasana suka cita itu mendadak hening seketika. Seorang murid Perguruan Ular Emas datang membawa gulungan surat yang menurutnya datang dari Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.

"Hmmm...," gumam Panji ketika teringat tantangan Ki Parewang yang hendak bertarung mati-matian dengannya. Cepat Pendekar Naga Putih membuka gulungan surat itu Namun, wajahnya segera terhias senyum seusai membaca habis isi surat Ki Parewang, Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.

"Ki Parewang telah menangkap dan menghukum pancung para pengemis berbaju kembang-kembang. Orang tua itu sempat berpapasan dengan mereka yang tengah membawa mayat Setan Tenaga Gajah, adik seperguruannya. Berarti, tugas kita semua telah diselesaikan oleh Ki Parewang. Satu hal yang menggembirakan ku, ia menarik kembali tantangannya. Bahkan menyatakan takluk, sebab Setan Tenaga Gajah merupakan satu-satunya pewaris yang paling berbakat. Sedangkan kepandaian Ki Parewang sendiri masih di bawah Setan Tenaga Gajah...," jelas Panji sewaktu melihat semua mata tertuju ke arahnya, seperti memohon agar menerangkan isi surat.

Terdengar helaan napas lega di sana-sini. Wira Yudha sebagai tuan rumah, segera mengajak untuk merayakan kesembuhan dan kemenangan Pendekar Naga Putih. Bukan hanya Panji dan Kenanga saja yang menyambut gembira ajakan itu. Bahkan Raja Obat sendiri pun langsung bangkit dengan wajah gembira.

"Ah, dasar nasibku sedang mujur. Sudah sejak kemarin perutku belum diisi. Kini, siapa sangka sekarang ada orang berbaik hati hendak mengundangku makan…," kata Raja Obat, sehingga para tokoh itu tergelak mendengarnya.

S E L E S A I