Titisan Pamungkas - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Joko Sableng Episode Titisan Pamungkas

Cerita silat serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131

SATU

JUBAH hitam tanpa kelihatan sosok si pemakainya itu perdengarkan deruan angker saat berkelebat melewati sebuah kawasan yang menuju bukit. Jubah hitam yang tidak lain adalah Jubah Tanpa Jasad yang dikenakan oleh Kiai Laras baru berhenti di bagian lamping bukit sebelah timur, di mana terdapat sebuah mulut goa yang di kanan kirinya diranggasi semak belukar dan rindangnya dedaunan hingga kalau orang tidak perhatikan dengan seksama, maka dia tak akan bisa melihat jika di antara kerapatan semak dan rindangnya dedaunan terdapat sebuah mulut goa.

Mulut goa itu sebagian tampak ambrol longsor. Sementara agak jauh dari mulut goa, terlihat beberapa tumbangan batangan pohon. Jelas menunjukkan kalau di tempat itu pernah terjadi bentrok antara orang- orang yang berilmu tinggi.

“Hem.... Tempat ini akan kubuat sebagai tempat yang disegani layaknya Kampung Setan pada beberapa puluh tahun yang silam! Bahkan akan kujadikan tempat yang namanya saja sudah membikin orang ketakutan!”

Kiai Laras arahkan pandang matanya pada sekitar mulut goa. Lalu mulai langkahkan kaki. Kepala Kiai Laras berpaling sesaat ketika sosoknya yang tidak bisa dipandang dengan mata biasa tegak di mulut goa. Bibirnya sunggingkan seringai. Lalu teruskan langkah masuk ke dalam goa. Dia menuju pojok ruangan goa di mana terlihat bekas perapian yang telah padam.

Kaki kanan Kiai Laras bergerak masuk ke dalam perapian. Saat lain terdengar suara berderit. Bagian pojok goa tiba-tiba bergerak. Dan tampaklah sebuah lobang menyerupai pintu. Di belakang lobang terlihat tangga naik dari batu cadas. Kiai Laras membuat gerakan satu kali. Serta-merta jubah hitam yang dikenakan melesat dan tahu-tahu telah tegak di bagian atas tangga batu di mana berjarak lima langkah di hadapannya terdapat sebuah lobang menganga besar membentuk lingkaran.

Bersamaan melesat masuknya Jubah Tanpa Jasad, lobang di bagian pojok ruangan goa berderit menutup. Kiai Laras melangkah ke pinggiran lobang menganga di hadapannya. Memandang ke bawah terlihat dua sosok tubuh duduk bersila bersandar pada lamping lobang. Di sebelah kanan tampak seorang perempuan lanjut usia mengenakan kain panjang berwarna coklat. Rambutnya putih dengan kulit di sekujur tubuh mengeriput. Di pangkuan nenek ini terlihat sebuah tusuk konde besar berwarna hitam.

Berjarak tujuh langkah dari tempat si nenek, duduk bersandar seorang perempuan setengah baya yang paras wajahnya masih kelihatan cantik. Kedua orang perempuan di bawah lobang menganga yang bukan lain adalah si nenek Ni Luh Padmi dan Lasmini sama rangkapkan kedua tangan masing- masing di depan dada. Mata mereka sama terpejam rapat. Mereka hanya sesekali menghela napas.

Seperti diceritakan, Ni Luh Padmi yang tengah mencari jejak Pendeta Sinting berjumpa dengan Kiai Laras yang saat itu masih mengenakan samaran sebagai Pendekar 131 Joko Sableng. Kiai Laras mengelabui Ni Luh Padmi hingga si nenek akhirnya muncul di Bukit Kalingga, tempat yang dikatakan Kiai Laras sebagai tempat persembunyiannya Pendeta Sinting. Kiai Laras yang masih menyamar sebagai murid Pendeta Sinting menyambut kedatangan Ni Luh Padmi. Akhirnya terjadi bentrok. Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, Kiai Laras dapat membekuk Ni Luh Padmi dan dimasukkan ke dalam lobang di balik ruangan goa.

Selang beberapa saat kemudian muncul pula Lasmini yang bukan lain adalah ibu dari Saraswati, istri pertama Panjer Wengi yang lebih dikenal dengan Tengkorak Berdarah. Seperti halnya Ni Luh Padmi, Lasmini juga dapat ditipu hingga akhirnya muncul di Bukit Kalingga. Kiai Laras pada akhirnya dapat menaklukkan Lasmini dan diseretnya masuk ke dalam lobang di balik ruangan goa. Baik Ni Luh Padmi dan Lasmini tidak tahu sudah berapa lama mereka berdua berada di dalam lobang itu.

Selain tidak bisa melihat peredaran matahari, yang terpikir oleh mereka berdua adalah bagaimana caranya bisa keluar selamatkan diri. Lobang di mana mereka berdua berada memang tidak terlalu dalam. Seandainya mereka kerahkan tenaga dalam dan berkelebat meloncat, tentu mereka tidak merasa kesulitan. Namun mereka tidak berani melakukannya. Karena ternyata lobang di mana mereka berada telah ditaburi ra- cun. Sekali mereka kerahkan tenaga dalam, racun itu akan masuk ke dalam jalan darah. Hingga meski mereka nantinya bisa selamat keluar, namun nyawanya tidak bisa ditolong lagi!

“Bagus! Rupanya kalian bukan manusia-manusia tolol yang mau selamatkan diri dengan taruhan nyawa! Ha.... Ha.... Ha...!” Kiai Laras perdengarkan suara dari atas lobang. Ni Luh Padmi dan Lasmini sama buka kelopak mata masing-masing lalu tengadah. Serentak kedua perempuan ini sama pentangkan mata dengan tubuh gemetar. Saat lain keduanya saling berpandangan. Lalu mendongak lagi dengan mulut masih sama terkancing.

“Siapa manusia yang baru saja perdengarkan suara tadi?!” Diam-diam Ni Luh Padmi membatin dengan memperhatikan lebih seksama pada jubah hitam yang mengapung di atas sana. Di sebelahnya, diam-diam Lasmini juga bertanya-tanya dalam hati.

“Siapa kau?!” Ni Luh Padmi yang bisa kuasai diri terlebih dahulu angkat bicara.

“Aku adalah penguasa kolong jagat!” Kiai Laras menjawab masih dengan perdengarkan gelakan tawa membahana.

“Hem.... Suaranya jelas dari jubah hitam itu! Namun orangnya tidak bisa kulihat! Atau hanya mataku saja yang tidak bisa melihatnya?!” Lasmini bergumam sendiri lalu berpaling pada Ni Luh Padmi dan berbisik.

“Nek.... Aku melihat keanehan! Apa kau juga merasakannya?!”

Tanpa berpaling pada Lasmini, Ni Luh Padmi anggukkan kepala sembari menjawab. “Aku tak bisa melihat orang yang bersuara! Tapi aku masih bisa yakin kalau suara orang itu pernah kudengar?!”

“Maksudmu yang bersuara itu adalah pemuda jahanam Pendeta Sinting?!”

Rahang Ni Luh Padmi mendadak mengembang. “Jangan sebut-sebut nama itu di depanku!” desis si nenek dengan suara dingin. “Apa keanehan yang kau rasakan seperti apa yang baru kukatakan?!”

“Benar! Aku tidak melihat orang yang bersuara!” ujar Lasmini.

“Kita harus melakukan sesuatu. Persetan siapa dia adanya! Yang jelas kita harus bisa keluar dari tempat celaka ini! Jika tidak, kita akan mampus perlahan-lahan!” bisik Ni Luh Padmi masih dengan kepala ten- gadah.

“Tapi apa yang harus kita lakukan?!”

Ni Luh Padmi menoleh pada Lasmini. “Dia kita ajak bicara! Kalau dia tawarkan sesuatu, untuk sementara kita penuhi asal kita bisa keluar! Sesudah itu terserah padamu!”

Walau masih belum sepenuhnya bisa menerima usul Ni Luh Padmi, namun karena tidak ada jalan lain, akhirnya Lasmini anggukkan kepala. Lalu tengadah begitu melihat si nenek telah kembali mendongak dan buka mulut.

“Kau mengaku sebagai penguasa kolong jagat. Tapi apakah kau mampu mengeluarkan kami dari tempat ini?!”

Mendengar ucapan Ni Luh Padmi, Kiai Laras hentikan gelakan tawanya sesaat. Lalu kembali tertawa ngakak dan berkata. “Aku yang telah memasukkan kalian berdua! Adalah aneh pertanyaanmu tadi!”

“Jahanam keparat! Jadi orang yang bersuara itu adalah pemuda bajingan murid Pendeta Sinting! Celaka...! Tak mungkin dia mau mengeluarkan meski dengan tawaran apa pun!” Lasmini berkata dalam hati dengan air muka tegang.

Sementara Ni Luh Padmi sunggingkan senyum walau parasnya membayangkan keterkejutan. “Murid jahanam itu sungguh di luar dugaanku! Dia juga memiliki ilmu aneh! Sosoknya bisa tidak kelihatan! Hem.... Bagaimana sekarang?!” Ni Luh Padmi yang masih mengira jika sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad adalah Pendekar 131 berpikir keras.

“Sepertinya kita tak mungkin bisa keluar dari sini!” ujar Lasmini pelan tanpa berpaling. “Bagaimana kalau kita keluar dengan cara kita sendiri?! Kalaupun harus menemui ajal, kurasa tak ada bedanya! Di sini terus-terusan pun kita akan mampus!”

Ni Luh Padmi tertawa pendek. “Kau menginginkan cepat mampus?!”

"Kalau di sini akhirnya juga mampus, bukankah lebih baik kita berusaha meski taruhannya harus lebih cepat tewas?! Atau kau ingin mati perlahan-lahan dan percuma?!” Lasmini sambuti ucapan Ni Luh Padmi.

“Kita tak akan mampus percuma! Kau lihat, kemunculannya pasti membawa maksud! Kalau tidak, untuk apa dia datang?!” ujar Ni Luh Padmi. Lalu tanpa menunggu sahutan dari Lasmini, si nenek berucap lantang.

“Hai! Apa maumu sekarang?!”

“Kalian berdua manusia tidak berguna bagiku! Tidak ada yang ku mau dari kalian! Kalaupun sampai saat ini nyawa kalian belum Kukirim ke neraka, semata-mata karena aku menunggu saat yang tepat!”

Walau dalam hati memaki habis-habisan, Ni Luh Padmi masih juga coba angkat suara. “Boleh aku tahu. Saat apa yang kau tunggu?!”

“Begitu Pendeta Sinting kudapatkan, itulah saatnya nyawa kalian berakhir! Tapi jika sebelum itu kalian telah mampus dahulu, itu adalah takdir buruk bagi kalian!”

Lasmini dan Ni Luh Padmi sama kerutkan dahi. Mampir bersamaan mereka berpaling den saling pandang. “Jahanam betul! Jadi siapa sebenarnya makhluk itu?!” gumam Lasmini tak habis pikir. “Apakah mungkin dia akan menghabisi gurunya sendiri?!” Lasmini seperti halnya Ni Luh Padmi, masih menduga jika sosok di balik jubah hitam yang tidak kelihatan adalah murid Pendeta Sinting.

“Jangan percaya pada ucapannya! Mungkin ini hanya sandiwaranya saja! Dia punya maksud tertentu di balik ucapannya!”

“Lalu apa maksudnya?!” tanya Lasmini. “Aku sendiri belum bisa menduga!”

“Ah.... Mengapa sih bodoh? Dia murid jahanam Pendeta Sinting itu, mana mungkin dia akan berbuat yang tidak-tidak pada gurunya? Itu memberi isyarat kalau hal itu tidak akan terjadi selamanya! Dan itu berarti kita akan menunggu saat yang tidak mungkin terjadi! Kita akan terus berada di sini dan mampus secara pelan-pelan!”

“Lasmini hentikan ucapannya sesaat lalu mendongak dan teruskan ucapannya. “Kita jangan buang-buang waktu!” Habis berucap begitu, Lasmini buka rangkapan kedua tangannya. Lalu perlahan-lahan beranjak bangkit.

“Kau jangan bertindak bodoh!” kata Ni Luh Padmi begitu tahu Lasmini hendak kerahkan tenaga dalam.

“Lebih bodoh lagi kalau kita hanya diam menunggu kematian!”

Si nenek terdiam. Paras mukanya membayangkan kebimbangan. Di satu sisi dia sedikit banyak membenarkan ucapan Lasmini, namun di pihak lain dia belum berani kerahkan tenaga dalam karena khawatir racun di tempat mana dia berada akan memasuki aliran darahnya.

Sementara itu melihat gerakan Lasmini, Kiai Laras tampak sunggingkan senyum. Lalu berkata. “Rupanya kau sudah tidak sabar menunggu saat yang kukatakan! Terserah padamu. Bagiku, mampus sekarang atau nanti kau tidak ada gunanya!”

Habis berkata begitu, Kiai Laras perdengarkan tawa panjang. Kejap lain dia putar diri dan berkelebat menuruni anak tangga. Tangan kanannya menekan tonjolan batu di Samping dinding. Terdengar suara berderit. Lalu dihadapan Kiai Laras tampak gerakan pada dingin yang bergeser membuka Kiai Laras melompat dan tegak di depan kayu perapian. Kembali kaki kanannya dimasukkan ke dalam perapian yang telah padam itu. Saat bersamaan, dinding dibelakangnya yang terbuka bergerak menutup.

Di dalam lobang di balik ruangan goa, Ni Luh Padmi cepat melompat pada Lasmini dengan tangan mendorong. Lasmini tersentak. Sosoknya terjajar dan membentur dinding lobang.

“Jangan tolol!” bentak Ni Luh Padmi mendahului Lasmini yang sudah buka mulut. “Percuma kau lakukan itu! Kita cari cara lain!”

Lasmini yang sesaat tadi hendak kerahkan tenaga dalam, memandang tajam pada si nenek. Entah karena apa dia urungkan niat untuk angkat bicara, malah dia batalkan juga kerahkan tenaga dalam. Perempuan ibu Saraswati ini melangkah mendekati Ni Luh Padmi. Lalu berujar.

“Apa cara yang akan kau lakukan?!”

Ni Luh Padmi arahkan pandang matanya mengitari dinding lobang berkeliling. Lalu berkata. “Dinding ini tidak terlalu tinggi! Kita bisa membuat lobang untuk panjatan ke atas!”

“Membuat lobang pada batu atos begini, mana mungkin bisa kita lakukan tanpa kerahkan tenaga dalam?!”

Ni Luh Padmi angkat tangan kanannya yang menggenggam tusuk konde besar. “Hanya dengan kerahkan tenaga luar, kurasa tusuk konde ini bisa berbuat banyak!”

“Hem.... Mengapa hal itu tidak terpikir sejak semula?!” Lasmini menggumam dengan air muka berubah cerah. Dia yakin, tusuk konde besar berwarna hitam di tangan si nenek bukan tusuk konde sembarangan. Dan pasti dengan mudah bisa menjebol batu besar sekalipun!

“Aku sudah berpikir sejak lama! Hanya aku perlu menunggu sampai luka dalamku benar-benar sembuh! Walau membuat lobang pemanjatan tidak terlalu sulit, namun karena harus dilakukan tanpa pengerahan tenaga dalam, itu membutuhkan kesiapan tubuh! Lagi pula....”

“Lagi pula apa?!” tanya Lasmini saat si nenek tidak lanjutkan ucapannya.

“Aku ragu....” Ni Luh Padmi menjawab seraya membuat gerakan melompat dan tegak dua langkah di depan dinding lobang.

“Apakah dia ragu senjata tusuk konde itu tidak mampu membuat lobang untuk panjatan?!” kata Lasmini dalam hati lalu berkelebat dan tegak di samping Ni Luh Padmi.

Ni Luh Padmi angkat tangan kanannya yang menggenggam tusuk konde besar. Saat lain tangan kanannya berkelebat.

DUA

"TAKKK!" Tusuk konde besar berwarna hitam membentur dinding lobang. Ni Luh Padmi berseru tertahan dengan mata membeliak. Sosoknya tersurut satu langkah. Tangan kanannya mental balik ke belakang. Dan hampir saja tusuk konde lepas dari genggamannya. Untuk beberapa saat mata si nenek silih berganti pandangi dinding lobang dan tusuk kondenya. Di sebelahnya Lasmini tampak terkesiap lalu menghela napas dalam.

“Keraguanku jadi kenyataan!” ujar Ni Luh Padmi perlahan dengan mulut bergetar. “Dinding batu ini bukan batu sembarangan! Tusuk kondeku tak mampu membongkarnya! Seandainya saja aku bisa kerahkan tenaga dalam.... Tentu tidak sulit!”

“Coba di sebelahnya, Nek! Siapa tahu...,” saran Lasmini.

Ni Luh Padmi gelengkan kepala. “Dinding lobang ini tingginya tidak seberapa. Siapa saja yang bisa kerahkan tenaga dalam pasti tidak menemui kesukaran untuk meloncat ke atas. Tapi karena mengerahkan tenaga dalam berarti mampus, maka jalan satu-satunya adalah dengan membuat lobang panjatan! Namun tentu si pembuat tempat ini tidak bodoh. Dia sudah memperhitungkan segala kemungkinan. Kalau di sebelah sini tidak bisa ditembus, di tempat lainnya akan sama!”

“Tapi bukankah lebih baik dicoba?!” kata Lasmini.

Walau masih meragukan ucapan Lasmini, namun Ni Luh Padmi gerakkan kaki empat tindak ke samping. Saat bersamaan tangan kanannya yang menggenggam tusuk konde dihantamkan pada dingin lobang di hadapannya.

"Takkk!" Terdengar suara benturan. Tusuk konde laksana membentur tembok raksasa. Bukan saja tidak mampu membuat lobang, tapi tangan kanan si nenek mencelat balik ke belakang. Malah karena si nenek menghantam dengan seluruh tenaga luarnya, sosoknya jadi terputar dan terhuyung-huyung!

“Tak ada jalan lain...,” ujar Lasmini pada akhirnya setelah mengetahui tusuk konde milik Ni Luh Padmi tidak mampu membuat lobang untuk panjatan. “Kita harus segera kerahkan tenaga dalam! Daripada mampus sia-sia di tempat celaka ini!”

“Kalau kau ingin lakukan itu terserah! Tapi aku tidak akan bertindak bodoh. Kita masih punya waktu untuk berpikir! Dan siapa tahu ada orang yang menolong!”

“Jangan harapkan sesuatu yang mustahil terjadi, Nek!”

“Justru karena aku masih punya harapan, aku tidak akan berlaku tolol untuk cari mampus lebih cepat!”

“Lalu apakah kita hanya harus menunggu dan menunggu orang?! Sampai kapan?!”

“Seandainya aku tahu kapan datangnya orang yang menolong, aku tidak akan mati-matian mencari jalan keluar dari tempat jahanam ini!”

Lasmini tegak dengan kaki terkembang dan wajah tegang. Sesekali dia arahkan pandang matanya ke atas. Lalu menelusuri dinding lobang dari atas ke bawah seolah mengukur jarak. Saat lain sepasang matanya dipejamkan. Sikapnya jelas kalau perempuan ini hendak kerahkan tenaga dalam.

Mendapati sikap Lasmini, Ni Luh Padmi tersenyum dingin. Tanpa berkata apa-apa lagi si nenek melangkah ke samping kanan. Kejap lain dia telah duduk bersila dengan punggung disandarkan pada dingin lobang.

“Keparat jahanam!” Tiba-tiba terdengar makian dari mulut Lasmini. Sosoknya bergetar hebat. Sepasang matanya dipentangkan. Kaki kanannya diangkat lalu dibantingkan.

Ni Luh Padmi perhatikan Lasmini dengan tersenyum. “Jika saja aku tidak punya dendam, aku sudah lakukan apa yang hendak kau lakukan sebelum kau masuk ke tempat ini! Dendamku yang membuat aku bertahan! Dan aku percaya, pasti akan muncul orang yang akan mengeluarkan aku!”

“Saraswati anakku.... Bagaimana kau?! Mudah-mudahan kau tidak mengalami nasib seperti ibumu! Terpuruk dan terpuruk tanpa pernah mengalami kebahagiaan. Seandainya aku tidak memilikimu dan ingin hidupku berakhir di sampingmu, aku tak akan pikirkan lagi nyawa ini....”

Tanpa sadar Lasmini bergumam. Di pentangan matanya tergambar sosok Saraswati. Hal inilah yang membuat Lasmini urungkan niat untuk kerahkan tenaga dalam. Lasmini melangkah ke arah dinding lobang. Seperti halnya Ni Luh Padmi, perempuan yang parasnya masih cantik walau sudah berusia agak lanjut ini sandarkan punggung pada dinding lobang seraya duduk bersila. Tak lama kemudian dia tengadah dengan mata terpejam. Namun di antara lipatan kelopak matanya tampak merembes air mata!

“Tidak ada yang perlu ditangisi.... Nasib kita belum berakhir!” ujar Ni Luh Padmi pelan.

Lasmini berpaling pada si nenek. Namun dia hanya memandang tanpa buka suara. Dan saat lain dia telah pejamkan matanya kembali. Ni Luh Padmi tersenyum sinis lalu tengadah dengan dahi berkerut seolah berpikir keras.

********************

Di luar goa, saat sosoknya yang tidak kelihatan injakkan kaki di depan mulut goa, Kiai Laras urungkan niat teruskan kelebatannya. Pendengarannya yang meningkat tajam karena mengenakan Jubah Tanpa Jasad dan membekal Kembang Darah Setan, menang- kap akan kehadiran orang di sekitar tempat itu. Sepasang mata Kiai Laras yang kini juga tambah peka langsung memandang pada satu tempat. Sementara di balik semak di antara jajaran pohon, satu sosok tubuh tampak mengendap dan langsung ratakan tubuhnya di atas tanah begitu matanya menangkap jubah hitam tanpa sosok melesat keluar dari mulut goa.

“Hampir saja.... Ternyata dia memang berada di sini!” membatin sosok yang berada di balik semak di antara kerapatan pohon. “Aku harus menunggu sampai dia pergi! Saat ini bukan waktunya aku datang!”

Orang di balik semak makin rapatkan tubuh. Tidak berani membuat suara atau gerakan. Paras wajahnya tegang dan perlahan-lahan dia kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Di depan sana Kiai Laras sunggingkan senyum seringai. Perlahan dia melangkah. Matanya tak berkesip memandang pada semak di mana dia bisa menangkap kehadiran orang.

“Celaka! Apa dia tahu kedatanganku?!” Sosok di balik semak makin tegang. Dadanya berdegup kencang. Matanya memandang tajam pada Jubah Tanpa Jasad yang terus bergerak ke arahnya. Orang ini serba salah dan bingung. Karena dia hanya bisa melihat gerakan jubah tanpa bisa melihat ke mana pandangan mata orang! Namun setidaknya ia mulai bisa meraba ke mana gerakan Jubah Tanpa Jasad. Selagi orang di balik semak berusaha tenangkan diri, tiba-tiba Kiai Laras hentikan langkah. Kepalanya tengadah lalu terdengar suaranya.

“Hari ini kurasa aku tidak mengundang seorang tamu! Harap suka tunjukkan diri!”

Orang di balik semak rasakan darahnya langsung sirap. Sosoknya bergetar. Ucapan orang jelas menunjukkan kalau kehadirannya telah diketahui. Tapi orang ini belum juga membuat gerakan atau perdengarkan suara. Malah arahkan pandang matanya berkeliling seakan coba tenangkan diri dan berharap ucapan orang tadi ditujukan pada orang lain yang juga berada di sekitar tempat itu. Karena dia tidak bisa melihat gerakan pada sosok di balik Jubah Tanpa Jasad.

“Kau tak mau tunjuk tampang! Apa kau perlu diseret keluar, hah?!” Kiai Laras membentak begitu ucapannya tidak diacuhkan orang. Bersamaan dengan selesainya ucapan, tangan kanan Kiai Laras sudah berkelebat lepaskan pukulan jarak jauh.

"Wuuttt!" Satu gelombang angin menderu kencang ke arah semak belukar di antara jajaran pohon.

Terdengar gumaman tak jelas. Saat yang sama dari semak belukar melesat pula dua gelombang deras menghadang pukulan Kiai Laras. Terdengar letupan. Semak belukar yang ada di sekitar bentroknya puku-lan langsung semburat membubung keangkasa. Dari semak belukar di mana baru saja melesat dua gelombang angin yang menghadang pukulan Kiai Laras, satu sosok tubuh mencuat ke udara. Lalu melayang turun berjarak dua belas langkah di hadapan Jubah Tanpa Jasad.

Kepala Kiai Laras ikuti gerakan sosok yang mencuat ke udara hingga sosok itu tegak di atas tanah. Untuk beberapa saat sang Kiai pandangi sosok di depan sana dengan sedikit terbelalak. Saat lain mulutnya terbuka perdengarkan tawa bergelak!

Orang yang dipandang surutkan kaki satu tindak dengan kuduk dingin dan paras muka tegang kaku. Diam-diam orang ini membatin. “Apa boleh buat.... Dia telah tahu kehadiranku di sini! Percuma sembunyikan diri atau lari!”

Orang ini usapkan telapak tangannya pada wajah. Lalu alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Dia adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna merah. Sepasang matanya bulat tajam dengan hidung mancung. Rambutnya hitam lebat.

“Kau datang sebelum saat yang kukatakan! Pasti kedatanganmu membawa kabar baik!” Kiai Laras berkata lalu pandangi sosok di hadapannya mulai dari rambut sampai kaki.

“Aku.... Aku belum membawa kabar apa-apa...,” ujar si gadis dengan suara tersendat dan parau. Suaranya jelas membayangkan ketakutan.

“Hem.... Begitu?! Lalu untuk apa kau datang, Anak Cantik?!”

“Aku.... Aku hanya ingin buktikan apa kau benar-benar ada di Bukit Kalingga ini....”

“Hem.... Kau sekarang sudah bisa buktikan! Sekarang apa maumu?!”

Yang ditanya tergagu diam. Tapi beberapa saat kemudian telah berkata lagi. “Aku akan lakukan tugas yang kau perintahkan....”

Kiai Laras anggukkan kepala. Saat lain dia membuat satu gerakan. Jubah Tanpa Jasad berkelebat dan tahu-tahu telah tegak mengapung lima langkah di hadapan gadis berbaju merah. Si gadis tercekat. Buru-buru dia surutkan langkah dan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Walau gadis ini tidak bisa melihat gerakan sosok Kiai Laras namun sang gadis rupanya dapat menangkap gelagat tidak baik.

“Sebelum kau lakukan tugas yang kuperintahkan, jawab dulu pertanyaanku!” kata Kiai Laras, membuat ketegangan pada air muka si gadis baju merah sedikit reda.

“Apa hubunganmu dengan gadis berbaju merah yang wajahnya mirip sekali denganmu yang kita jumpa beberapa hari yang lalu?! Dan siapa di antara kalian berdua yang menyandang gelar Putri Kayangan?!”

“Dia adalah saudara kembarku. Dia bernama Beda Kumala. Dialah sebenarnya yang menyandang gelar Putri Kayangan!” Jawaban si gadis menunjukkan kalau dia bukan lain adalah Pitaloka, saudara kembar Beda Kumala alias Putri Kayangan.

Seperti diketahui, pada beberapa hari yang lalu terjadi pertemuan antara Pitaloka dan Putri Kayangan saudara kembarnya. Saat itu ada juga Kiai Laras, Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh, Datuk Wahing, Setan Liang Makam, Kiai Lidah Wetan, dan murid Pendeta Sinting. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Kutuk Sang Angkara).

“Hem.... Sekarang tugasmu hanya satu! Bawa saudara kembarmu ke sini dalam keadaan hidup atau mati! Waktumu hanya setengah purnama! Dan itu adalah batas akhir dari ketergantungan nyawamu! Jangan coba-coba berani melarikan diri dari tugasmu, karena hal itu tidak akan banyak menolong! Kau dengar?!”

Pitaloka menjawab dengan isyarat anggukkan kepalanya. Kejap lain dia putar diri dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Kau telah lakukan tindakan di luar perintah! Kau telah datang ke tempat ini belum pada saatnya. Jadi apa dengan enak begitu saja kau tinggalkan tempat ini?!” Kiai Laras berucap seraya berkelebat dan tegak menghadang di depan Pitaloka, membuat si gadis tercengang dan urungkan berkelebat.

“Harap kau mengerti.... Hal ini kulakukan karena aku ingin buktikan ucapanmu. Tidak ada niatan lain....”

“Aku tak peduli! Yang jelas kau telah bertindak di luar yang kukatakan! Kau boleh pergi, tapi....” Kiai Laras tidak lanjutkan ucapannya dengan perdengarkan suara melainkan perdengarkan tawa panjang.

Pitaloka tersentak. Ucapan dan suara tawa orang membuat dadanya berdebar dan kuduknya meremang. Dia sedikit banyak dapat menangkap ke mana arah ucapan Kiai Laras, namun gadis ini seolah ingin yakinkan dugaan. Hingga dia berkata. “Tapi apa...? Apa kau akan memberi tugas lain?!”

“Kau pandai menebak!” jawab Kiai Laras di sela suara tawanya.

“Katakan saja tugas apa itu!”

Kali ini Kiai Laras tidak menjawab. Sebaliknya melompat dan tahu-tahu Pitaloka merasakan kedua bahunya dicekal dua tangan kukuh. Pitaloka melengak kaget dan buru-buru gerakkan kedua tangannya menepis dua tangan tidak kelihatan yang mencekal bahunya. Namun Pitaloka hanya menepis udara kosong! Malah kedua tangan tidak kelihatan kini beralih memegang pinggangnya. Saat lain satu tangan terangkat dari pinggang dan Pitaloka merasakan dadanya disentuh!

Pitaloka berseru tegang. Parasnya berubah merah padam. Kedua tangannya segera berkelebat kian kemari karena dia tidak bisa melihat gerakan tangan orang. Namun lagi-lagi gerakan kedua tangan Pitaloka hanya menerpa tempat kosong meski bersamaan dengan itu tangan yang tadi berada di pinggang dan dadanya terangkat! Kiai Laras makin keraskan tawanya. Lalu kedua tangannya digerakkan.

Bukkk! Bukkk!

Kedua tangan Pitaloka membentur dua tangan yang tidak kelihatan. Pitaloka berteriak tertahan. Sosoknya tersurut dua langkah. Kedua tangannya mental ke belakang dan parasnya berubah pucat.

“Anak cantik!” kata Kiai Laras. “Kalau kau mau lakukan perintahku yang satu ini, kau tak usah melakukan apa yang kuperintahkan tadi! Kau cukup diam di sini bersamaku!”

Tindakan Kiai Laras dan ucapannya telah cukup membuat Pitaloka maklum apa kemauan orang. Hingga dadanya tambah berdebar dan wajahnya makin tegang.

“Lebih baik kau memerintahku untuk membunuh siapa saja termasuk saudara kembarku sendiri, daripada....”

“Jangan lupa ucapanku tempo hari!” ujar Kiai Laras menukas ucapan Pitaloka. “Kau dan teman-temanmu harus lakukan perintahku tanpa bertanya dan berdalih!”

“Tapi....”

“Jangan berdalih!” bentak Kiai Laras lagi-lagi memotong ucapan Pitaloka. “Aku tanya. Kau ingin kuperlakukan dengan halus atau kasar?! Dan ingat satu hal. Apa pun yang akan kau lakukan, itu tidak akan membuatmu bisa lolos dari tanganku! Maka jangan bertindak bodoh!"

“Apa yang harus kulakukan sekarang? Menuruti perintahnya?!” Pitaloka membatin dengan menggigit bibirnya. Pakaian yang dikenakan telah basah oleh keringat hingga dengan jelas Kiai Laras dapat melihat lekuk tubuhnya, membuat sepasang mata sang Kiai terpentang besar dan jakunnya turun naik.

Seolah tak sabar menunggu jawaban Pitaloka, Kiai Laras melompat ke depan. Pitaloka tak tinggal diam. Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam segera dikelebatkan ke depan menggebuk ke arah sosok tidak kelihatan di bagian tengah jubah. Kiai Laras tidak coba menghadang pukulan Pitaloka dengan gerakkan kedua tangannya. Sebaliknya dia busungkan dada sembari tertawa dan kedua tangannya diletakkan di atas pinggang kiri kanan!

Bukkk! Bukkk!

Kedua tangan Pitaloka menggebuk. Namun gadis ini merasakan kedua tangannya membentur tembok besar. Hingga kedua tangannya bukan saja mental balik, tapi dari mulutnya terdengar jeritan! Kaki Pitaloka terseret dan terhuyung. Kiai Laras tidak menunggu. Dia segera berkelebat ke depan. Tangan kanannya didorong. Pitaloka bisa menangkap gerakan orang dari bergeraknya Jubah Tanpa Jasad. Maka gadis ini cepat pula kelebatkan kedua tangannya kembali berusaha menghadang gerakan tangan orang meski tidak tahu ke mana gerakan itu akan mengarah. Namun bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan Pitaloka, gadis ini rasakan pundaknya dihantam. Namun Pitaloka teruskan juga kelebatan kedua tangannya.

Bukkk! Bukkk!

Lagi-lagi Pitaloka laksana menghantam tembok besar. Karena saat itu pundaknya telah terhantam dan sosoknya terhuyung karena kedua tangannya laksana menghantam tembok, maka tak ampun lagi sosok Pitaloka terputar sebelum akhirnya jatuh terduduk! Belum sampai Pitaloka membuat gerakan, Jubah Tanpa Jasad telah terapung satu langkah di sampingnya. Pitaloka tidak mau menyerah begitu saja. Laksana orang kalap sambil perdengarkan bentakan, kedua tangannya dihantam ke sana kemari.

Kiai Laras sambuti bentakan-bentakan Pitaloka dengan tertawa bergelak. Kedua tangannya bergerak. Karena dia tahu arah hantaman-hantaman Pitaloka sementara Pitaloka sendiri tidak tahu gerakan tangan orang, maka dengan mudah Kiai Laras dapat melihat mana ruang yang kosong!

Brettt! Brettt!

Terdengar kain robek dua kali. Pitaloka terus hantamkan kedua tangannya tidak pedulikan pakaian bagian pundak dan dadanya yang telah robek menganga hingga sebagian payudaranya yang putih kencang terlihat jelas. Kiai Laras makin jerengkan mata melihat bagian dada si gadis yang telah terbuka. Hal ini membuat dada sang Kiai makin dilanda gemuruh. Aliran darahnya laksana dipanggang.

Di lain pihak, Pitaloka makin kalap. Kini bukan saja kedua tangannya yang bergerak. Kedua kakinya ikut pula membuat gerakan menendang kian kemari! Kiai Laras mundur satu langkah. Saat lain kedua tangannya berkelebat. Pitaloka menjerit. Karena satu kakinya tertangkap tangan. Belum sempat Pitaloka tendangkan kaki satunya, tangan sebelah Kiai Laras telah bergerak.

"Brettt!" Kain bawah Pitaloka robek. Dada Kiai Laras berdesir kala matanya dapat menangkap paha mulus dan padat. Hal ini membikin Kiai Laras lupa diri. Kain bagian bawah yang telah robek disambarlalu ditarik kencang!

"Brettttt!" Pitaloka berontak sekuat tenaga. Namun terlambat. Kain bagian bawahnya telah tanggal sebagian, hingga sebagian tubuhnya bagian bawah tidak tertutup sama sekali!

“Jahanam! Lebih baik kau bunuh aku!” teriak Pitaloka seraya terus hantamkan kedua tangannya dan tendangkan sebelah kakinya.

“Membunuhmu tidak sulit! Tapi sudah lama aku tidak merasakan hangatnya tubuh. Apalagi hangatnya gadis cantik sepertimu! Ha Ha Ha...!”

Pitaloka makin nekat, meski berkali-kali hantaman kedua tangannya laksana membentur tembok dia teruskan saja hantamannya. Malah kini dia lipat gandakan tenaga dalam. Namun Kiai Laras tidak mau menunggu lama. Begitu kedua tangan Pitaloka menghantam, dia lepaskan kaki si gadis. Saat lain kedua tangannya dihantamkan menghadang kedua tangan Pitaloka.

Bukkk! Bukkk!

Pitaloka tersentak. Sosoknya terbanting di atas tanah. Karena saat itu dia dalam posisi duduk, tak ampun kedua kakinya terangkat ke udara. Mata Kiai Laras makin membeliak. Dia cepat maju. Kedua tangannya dikelebatkan sarangkan satu totokan pada kedua kaki Pitaloka yang masih terangkat diudara. Pitaloka menjerit tinggi. Kakinya langsung kaku dan terhempas di atas tanah dengan kejang tak bisa digerakkan! Pitaloka cepat tarik kedua tangannya dan disentakkan ke arah Jubah Tanpa Jasad.

Namun Kiai Laras sudah tidak sabar. Dia cepat berkelebat dengan rundukkan kepala. Saat lain kedua tangannya kembali lancarkan totokan mendahului sentakan kedua tangan Pitaloka. Kembali dari mulut Pitaloka terdengar seruan tertahan. Kedua tangannya langsung terhempas kaku diatas tanah! Kiai Laras tertawa ngakak diseling hembusan napasnya yang bergemuruh. Masih dengan bergelak, Kiai Laras mengangkat tubuh Pitaloka ke atas pundaknya lalu melangkah ke arah mulut goa.

Karena tidak bisa lagi gerakkan anggota tubuh, Pitaloka hanya bisa berteriak memaki-maki. Sebentar Kiai Laras teruskan langkah dan tangannya sesekali mengusap bagian tubuh Pitaloka yang berada di pundaknya. Saat kaki kanan Kiai Laras melewati mulut goa dan sosoknya tepat tegak di sana, mendadak terdengar suara laksana terdengar dari tempat yang sangat dalam.

“Siapa pun kau adanya, kelak kau akan mengambil buah dari perbuatanmu! Kau boleh punya Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Tapi Sang Pencipta akan menciptakan pamungkasnya! Dan pamungkas itu akan hadir dari darah dagingmu sendiri!”

Sekonyong-konyong Kiai Laras hentikan gerakan kakinya. Dia cepat putar tubuh. Matanya liar memandang ke seantero tempat di hadapan mulut goa. Sesaat dia tercekat. “Suara Kala Marica. Jahanam betul! Apa dia belum mampus juga?! Tapi mustahil dia bisa hidup! Mungkin suara tadi hanya godaan pendengaranku saja. Lagi pula siapa takut?!” Kiai Laras sunggingkan senyum dingin. Lalu berkata lantang.

“Kala Marica! Kalau kau masih hidup, kutunggu kau di dalam goa! Kau nanti juga boleh menikmati tubuh sedap ini! Ha Ha Ha...!”

Kiai Laras balikkan tubuh lagi lalu teruskan langkah memasuki goa. Di lain pihak, Pitaloka sempat hentikan teriakannya kala telinganya juga mendengar suara orang yang datangnya laksana dari tempat yang jauh dan dalam meski suara itu masih jelas terdengar. Namun karena dia tengah memikirkan diri sendiri, gadis itu tak hiraukan suara tadi. Dia kembali berteriak memaki-maki saat Kiai Laras teruskan langkah memasuki goa.

********************

TIGA

SAAT itu matahari mulai naik dari celah gunung di bagian timur. Pada satu jalan yang menuju Dusun Lambang Kuning, di atas sebuah batu agak besar, seorang pemuda duduk uncang-uncang kaki dengan mata memandang jauh ke arah keramaian di depan sana. Beberapa penduduk dusun tampak menuju ke sebuah tempat terbuka. Hari ini adalah tepat hari di mana para pedagang luar kota akan menggelar dagangannya yang diadakan setiap setengah purnama sekali. Sepasang mata si pemuda tampak memperhatikan dengan seksama dan seolah-olah sedang mencari-cari. Tapi matanya tidak tertarik pada beberapa sosok laki-laki. Melainkan selalu liar mengawasi setiap perempuan. Anehnya, bukan paras wajah si perempuan yang selalu diperhatikan, melainkan perutnya!

“Hem.... Tidak satu pun perempuan yang hamil!” desis si pemuda lalu angkat tangan kirinya. Jari kelingking dimasukkan ke lobang telinganya dan digerak-gerakkan ke atas ke bawah. Saat bersamaan dia berjingkat-jingkat dengan wajah cengengesan!

“Tapi.... Apa gunanya aku memperhatikan perempuan hamil di sini?! Bukankah di tempat ini tidak ada perempuan yang kukenal? Padahal menurut petunjuk kakek bisu dan tuli itu, aku kenal dengan perempuan itu! Hm.... Siapa gerangan yang ditakdirkan hamil dari beberapa perempuan yang kukenal itu?!” Si pemuda terus mendesis seraya berjingkat-jingkat keenakan. Lalu kepalanya tengadah dengan kening mengernyit.

“Ada beberapa perempuan yang kukenal. Ratu Malam... Ah, yang ini tertutup kemungkinannya untuk masuk dalam hitungan perempuan yang masih bisa hamil! Usianya sudah terlalu tua untuk berbuat yang begitu-begitu! Lagi pula selama ini kudengar dia tidak punya suami. Bagaimana kalau nenek dari seberang yang bernama Ni Luh Padmi?! Ah.... Yang ini juga tak mungkin! Nenek ini lebih mementingkan balas dendam pada Eyang Guru daripada mencari gara-gara hamil!” Si pemuda bergumam lalu tertawa sendiri.

“Hem.... Yang masuk hitungan tentu yang masih muda-muda! Seperti Dewi Seribu Bunga, Saraswati, Puspa Ratri, Putri Kayangan, dan saudara kembarnya. Tapi yang mana di antara mereka itu?! Walau aku belum tahu persis, namun aku yakin mereka belum ada yang punya suami! Jadi bagaimana mungkin salah satu dari mereka bisa hamil?! Atau jangan-jangan aku salah menafsirkan petunjuk kakek bisu dan tuli itu! Sayang, kakek itu tidak bisa bicara. Seandainya tidak bisu, tentu aku akan lebih jelas menangkap maksudnya....”

Si pemuda parasnya berubah agak murung. Namun cuma sekejap. Saat lain dia kembali cengengesan. Jari kelingking di lobang telinganya makin digerakkan agak keras hingga jingkatan sosoknya makin keras.

“Waktunya tinggal dua purnama.... Tentu saat ini perut perempuan itu sudah kelihatan nongolnya! Susahnya.... Siapa perempuan itu?!”

Selagi si pemuda tengah bergumul dengan pikirannya sendiri, mendadak satu sosok tubuh melintas di jalan tidak seberapa jauh dari tempat si pemuda. Si pemuda berpaling. Mendadak sepasang matanya membesar tatkala melihat sosok yang tengah melintas adalah seorang perempuan dan perutnya membusung besar tanda jika si perempuan sedang mengandung. Tanpa melihat wajah orang, si pemuda langsung turun dari batu lalu berlari seraya berteriak.

“Hai.... Tunggu!”

Perempuan yang diteriaki seolah acuh dan teruskan langkah. Kembali si pemuda berteriak seraya terus berlari mendekat.

“Tunggu! Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu!”

Karena orang yang diteriaki terus melangkah malah makin percepat langkahnya, si pemuda berkelebat dan tahu-tahu telah tegak menghadang di depan si perempuan dengan mata bukannya melihat wajah orang melainkan pada busungan perutnya! Si perempuan hamil hentikan langkah. Matanya menatap tajam pada pemuda dihadapannya dari ujung rambut sampai kaki. Namun begitu melihat arah pandangan si pemuda, si perempuan segerata kupkan kedua tangannya pada perutnya yang membusung. Paras wajahnya berubah ketakutan. Perlahan-lahan kedua kakinya bergerak mundur. Saat lain dia balikkan tubuh.

“Hai.... Tunggu!” Kembali si pemuda berteriak kala melihat si perempuan hamil gerakkan kaki untuk melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Dan bersamaan itu si pemuda berkelebat dan kembali tegak menghadang di hadapan si perempuan!

“Orang gila tak dikenal! Apa maksudmu sebenarnya?!” Si perempuan perdengarkan bentakan keras.

Si pemuda tersentak. “Busyet! Bentakannya jelas bukan bentakan orang sembarangan! Apakah bayi orang ini yang kucari?!” Si pemuda membatin. Untuk pertama kalinya dia angkat kepala melihat wajah orang. Untuk kedua kalinya si pemuda terlengak. Matanya langsung mendelik dan mulutnya berdecak.

“Bagaimana mungkin?! Apa mataku tidak tertipu...?!” Si pemuda angkat kedua tangannya lalu digosok-gosokkan pada kedua matanya. Kemudian kepalanya digerakkan ke depan seakan ingin yakinkan penglihatannya.

Perempuan yang perutnya membusung besar ternyata adalah seorang perempuan berambut panjang digeraikan menutupi sebagian pundaknya. Dan ternyata rambut si perempuan telah berwarna putih! Satu petunjuk jika si perempuan telah berusia lanjut. Dan petunjuk itu ternyata benar. Karena paras wajah si perempuan telah mengeriput. Sepasang matanya agak melotot besar. Hidungnya besar.

Pada telinga sebelah kanan menggantung anting-anting besar. Dia mengenakan pakaian gombrong hampir menyapu tanah. Melihat gerakan kepala si pemuda, si perempuan berperut besar tarik sedikit tubuhnya ke belakang dengan kedua tangan ditakupkan di depan perutnya. Parasnya berubah cepat. Saat lain tangan kanannya menunjuk pada si pemuda seraya berkata.

“Kau pasti orang gila seperti mereka! Yang selalu dan selalu mengikuti ke mana aku pergi! Mereka selalu mengolok-olokku! Padahal aku tahu.... Mereka sebenarnya menginginkan bayi di perutku ini! Oh.... Betapa malang nasibku.... Berpuluh-puluh tahun aku menginginkan seorang anak. Tapi begitu hampir kesampaian sungguh tak kusangka kalau cobaannya begini berati Mereka mempermalukan aku! Mengatakan aku sudah tua tapi masih suka main begitu.... Padahal mereka inginkan anakku ini. Huk Huk Huk...!” Si perempuan berperut besar sesenggukan dengan terus mendekap perutnya.

“Boleh aku tahu siapa kau?!” tanya si pemuda dengan tersenyum.

Sekonyong-konyong si perempuan hentikan sesenggukannya. Matanya mendelik angker. “Kau juga sama dengan mereka! Pura-pura bertanya padahal sudah tahu!”

“Hem.... Siapa yang kau maksud mereka?!” Si pemuda kembali ajukan tanya.

“Dasar orang gila! Kau orang gila! Pergi! Pergi!” bentak si perempuan setengah menjerit.

Si pemuda surutkan langkah dua tindak seraya salurkan tenaga dalam untuk menutup pendengarannya. Karena suara jeritan si perempuan menyentak-nyentak gendang telinganya.

“Aku bukan dari mereka! Aku datang dari jauh.... Aku hanya kebetulan lewat si sini. Harap tidak berburuk sangka padaku...!” kata si pemuda coba tenangkan si perempuan.

“Kau bohong! Bagaimana aku tidak menaruh curiga kalau dari saat bertemu tadi kau selalu memperhatikan perutku!Apa ada yang aneh, hah?! Apa karena usiaku telah lanjut, kemudian aku hamil, ini kau anggap aneh?!”

Si pemuda gelengkan kepala sembari terus tersenyum. “Bagiku itu tidak aneh.... Yang aneh justru kalau yang mengandung itu seorang anak kecil dan belum bersuami!”

“Tapi mengapa dari tadi kau memperhatikan perutku?! Kau kira ini mainan atau kau duga aku main bohong-bohongan dengan perut besar ini?! Kau ingin bukti kalau ini hamil sungguhan?!” Tanpa menunggu sahutan si pemuda, si perempuan angkat bagian bawah pakaiannya yang gombrong.

“Tahan! Tahan!” seru si pemuda tatkala si perempuan tarik pakaiannya ke atas hingga pahanya mulai kelihatan. “Aku tidak mengira itu mainan, apalagi main bohong-bohongan!”

“Kalau begitu mengapa kau selalu memperhatikan perutku?!”

Si pemuda terdiam sesaat. Lalu berucap. “Aku tengah mencari saudaraku.... Dia pergi entah ke mana....”

“Itu tak ada hubungannya dengan perutku?!” Si perempuan membentak keras.

“Jangan meradang. Ucapanku belum selesai. Saudaraku itu tengah hamil sepertimu!”

“Benar?! Saudaramu laki-laki atau perempuan?!” tanya si perempuan membuat dahi si pemuda mengernyit. Lalu tawanya meledak. Bukan karena pertanyaan si perempuan melainkan karena sejak tadi si pemuda telah menahan tawanya. Hanya karena takut menyinggung, tawanya ditahan-tahan. Hingga begitu ada kesempatan untuk tertawa, maka si pemuda langsung tertawa bergelak.

“Mengapa kau tertawa?! Kau menertawai perutku?!”

“Kau ini aneh.... Mana ada laki-laki mengandung?!” ujar si pemuda.

Mendengar ucapan si pemuda tiba-tiba si perempuan ganti perdengarkan ledakan tawa ngakak hingga perut dan bahunya berguncang-guncang.

“Mengapa kau tertawa?! Kau menertawai ucapanku?!” Kali ini ganti si pemuda yang ajukan tanya dengan dada dibuncah keheranan.

“Kau rupanya belum juga bisa mengambil pelajaran. Saat seperti sekarang ini siapa pun bisa berperut besar sepertiku! Tidak peduli laki-laki atau perempuan! Kalau laki-laki pasti ada maksud di baliknya hingga berperut besar! Jadi jangan terkecoh dengan pandangan mata!”

“Busyet! Apa ucapannya memberi isyarat kalau orang ini adalah seorang laki-laki yang tengah menyamar sebagai nenek yang tengah hamil dengan maksud tertentu?!” Si pemuda membatin. Lalu perhatikan wajah orang dihadapannya dengan seksama.

“Sialan! Mengapa kau memandangku begitu rupa?! Kau kira aku ini manusia laki-laki?! Akan kutunjukkan padamu kalau aku seorang perempuan tulen!”

Habis berkata begitu, kembali kedua tangan si perempuan angkat bagian bawah pakaiannya.

“Tunggu! Tunggu!” Buru-buru si pemuda menahan seraya pejamkan sepasang matanya. “Aku percaya kau adalah seorang perempuan. Tanpa harus kau tunjukkan padaku!”

Si perempuan berperut besar luruhkan pakaiannya yang tertarik ke atas seraya tertawa cekikikan. Lalu berkata. “Kau belum jawab pertanyaanku, Anak Muda! Saudaramu itu laki-laki atau perempuan?!”

“Perempuan...,” jawab si pemuda sambil perlahan-lahan buka kelopak matanya khawatir kalau si nenek belum turunkan pakaiannya.

“Kau yakin saudaramu yang kau cari itu bukan perempuan hamil yang saat ini tengah berdiri di hadapanmu?!”

Walau dalam hati merasa benar-benar yakin, namun tak urung si pemuda perhatikan sekali lagi paras muka perempuan di hadapannya sebelum akhirnya menjawab. “Aku yakin bukan kau orangnya....”

“Benar?!”

“Jangkrik! Apa maksud ucapan perempuan ini?!” tanya si pemuda dalam hati lalu berkata. “Aku sumpah bukan kau orangnya!”

“Bagus! Kalau begitu silakan teruskan perjalanan mencari saudaramu itu! Jangan seperti mereka! Selalu berpura-pura tapi secara sembunyi-sembunyi terus mengikuti ke mana aku pergi!”

“Dari tadi kau selalu menyebut mereka! Siapa yang kau maksud?!”

“Aku tak bisa memberi penjelasan! Karena penjelasan apa pun tak akan membuatmu mengerti!”

Habis berkata begitu, si perempuan tua berperut besar putar diri dan melangkah perlahan-lahan tinggalkan tempat itu.

“Orang ini aneh.... Apa bayi dalam perutnya yang dimaksud Raja Tua Segala Dewa?! Kalau bayinya kelak dapat untuk menghadapi Jubah Tanpa Jasad dan Kembang Darah Setan, biasanya bayi itu akan lahir dari orang aneh. Mungkin saja....” Si pemuda segera melangkah mengikuti si perempuan.

“Hem.... Mengapa kau ikuti langkahku?!” Tiba-tiba si perempuan tua berperut besar perdengarkan tanya tanpaberpaling.

“Kita sudah saling bicara. Rasanya ada yang kurang kalau kita tidak saling kenal. Aku....”

Belum sampai si pemuda lanjutkan ucapan, si perempuan telah menukas. “Terlambat kau hendak perkenalkan diri! Seharusnya hal itu kau lakukan saat kita pertama kali bicara. Bukan sekarang!”

“Ah.... Seharusnya memang demikian! Tapi apa bedanya?!”

“Bedanya kau tak akan memperoleh jawaban! Lain seandainya kau minta berkenalan saat pertama kali bicara tadi!”

“Ah.... Begitu mahalkah sebuah nama buatmu?!” tanya si pemuda acuh tak acuh seraya melangkah menjajari si perempuan tanpa memandang.

“Nama adalah harga sebuah kehidupan! Sekali nama tercoreng, perlu berpuluh tahun untuk memutihkannya! Kau saat ini tentu sudah dengar meski seandainya kau bukan dari kalangan orang persilatan....”

Si pemuda berpaling dari cepat menyahut. “Dengar apa, Nek...?”

“Kau tentunya pernah dengan seorang pendekar muda yang namanya mulai dikenal dan harum dalam kancah persilatan bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Ternyata sekarang tersiar kabar jika pendekar muda itu melakukan tindakan tidak terpuji pada beberapa orang gadis! Malah dikabarkan salah seorang di antara gadis itu telah hamil!”

Si pemuda serentak hentikan gerakan kakinya. Matanya mendelik memperhatikan nenek berperut besar di sampingnya. Wajahnya berubah merah padam. Namun sebelum si pemuda buka mulut, si nenek berperut besar yang seolah tidak merasa dirinya dipandangi telah lanjutkan ucapannya.

“Bagi pemuda itu sulit rasanya mengembalikan nama baik, kalau dia tidak bisa buktikan bahwa bukan dia yang melakukannya! Bahkan bukan nama pemuda itu saja yang jadi hitam, melainkan juga nama gurunya si tokoh yang dikenal dengan gelar Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak. Kau pernah dengar semua ini?!”

Karena tak ada sahutan, si perempuan berperut besar gerakkan kepala berpaling. Ternyata si pemuda berada delapan langkah di belakangnya!

“Ada apa?! Wajahmu berubah. Kau kecewa karena tak bisa berkenalan denganku?” tanya si perempuan.

Karena yang ditanya masih kancingkan mulut, si perempuan berperut besar kembali perdengarkan suara. “Hem.... Jangan-jangan saudara perempuanmu yang tengah kau cari itu salah satu gadis yang sempat diperlakukan tidak senonoh oleh pendekar muda itu! Betul?!”

“Orang ini tahu banyak... Aku curiga padanya! Hem.... Siapa dia sebenarnya?!” Si pemuda bertanya-tanya dalam hati lalu melangkah mendekati si perempuan yang tegak seolah menunggu di depan sana.

“Nek! Kau ini siapa sebenarnya?!” tanya si pemuda begitu berada di samping si perempuan berperut besar.

“Sialan! Kau masih juga berpura-pura seperti mereka!Bersikap seolah tidak kenal!” Si perempuan membentak. Lalu berpaling dan serta-merta membuat satu gerakan.

Si pemuda mendelik tak percaya. Si perempuan berperut besar melesat cepat ke depan malah sempat membuat gerakan jungkir balik di udara! Lalu melangkah perlahan-lahan. Namun dalam beberapa saat sosoknya sudah berada jauh!

“Busyet! Dia yang berpura-pura! Bukan aku!” gumam si pemuda. Lalu berteriak. “Nek! Tunggu!” seraya berteriak si pemuda berkelebat menyusul.

.
EMPAT

NENEK berperut besar tidak acuhkan teriakan orang. Malah dia kembali melesat ke depan dengan beberapa kali membuat gerakan jungkir balik dan berputar-putar di atas udara. Pakaian gombrang yang dikenakan tampak berkibar-kibar. Hebatnya kibaran pakaian si nenek mampu mencuatkan gelombang dan perdengarkan deruan-deruan dahsyat!

Hingga pemuda yang menyusul di belakangnya harus kerahkan tenaga dalam untuk membendung gelombang yang menderu-deru dari arah depan. Hal ini bukan saja membuat si pemuda tertinggal agak jauh, namun harus mencari ruang untuk menghindar selamatkan diri. Pada satu tempat si pemuda hentikan larinya. Memandang ke depan dan ke samping, dia tidak melihat siapa-siapa. Dia tajamkan pendengaran. Namun telinganya tidak mendengar apa-apa. Seolah habis kesabaran, si pemuda berteriak.

“Nenek! Di mana kau?!”

Tak ada suara sahutan. Tidak terlihat adanya gerakan. Namun begitu si pemuda hendak berteriak lagi, satu sosok tubuh melayang seraya jungkir balik beberapa kali sebelum akhirnya tegak berjarak tujuh langkah dihadapannya.

“Mau apa kau sebenarnya?!” Satu bentakan telah terdengar begitu si sosok injakkan kaki di atas tanah.

“Kek! Kau...!” Si pemuda buka mulut dengan mata membelalak. Yang tegak dhadapan si pemuda bukannya si nenek berperut besar, melainkan seorang kakek berambut putih panjang berwajah tirus. Kakek ini tidak memiliki leher hingga kepalanya seperti nongol diantara kedua pundaknya.Laki-laki berusia kira-kira tujuh puluh tahunan ini mendongak dengan mulut terbuka lebar seolah ingin menunjukkan rongga mulutnya. Padahal mulut itu tidak bergigi!

“Dasar murid manusia sinting! Berwajah tampan dan masih muda tapi yang dikejar-kejar seorang nenek! Apa tak ada lagi gadis cantik yang menarik hatimu, he?!”

Si kakek angkat suara. Namun begitu ucapannya selesai, si kakek tetap buka mulutnya lebar-lebar dengan sedikit mendongak! Karena dia tidak memiliki leher, dadanya jadi ikut tertarik sedikit ke belakang saat kepalanya bergerak tengadah.

“Kakek Iblis Ompong! Senang bisa jumpa denganmu lagi...,” kata si pemuda mengenali siapa adanya orang tua di hadapannya.

“Kau senang, tapi aku yang tak suka! Karena pasti kau hendak ajukan beberapa pertanyaan padaku!” sahut si kakek tak bergigi yang tidak lain adalah Iblis Ompong.

“Ah.... Cuma beberapa pertanyaan tak ada salahnya, bukan?! Lagi pula kita sudah bersahabat! Dan bahkan kau telah kuanggap sebagai guruku!”

Iblis Ompong mendengus. “Aku tak suka bersahabat dengan manusia yang tindakannya mengotori rimba persilatan!”

“Kek! Kau telah terbawa berita yang tidak benar! Itu semua fitnah!” kata si pemuda setengah berteriak.

Mendengar ucapan si pemuda, Iblis Ompong tertawa panjang. “Jangan kau kira aku bodoh! Bukan saja gadis-gadis yang kau buat korban. Tapi nenek-nenek pun hendak kau mangsa! Aku tanya padamu. Bukankah kau baru saja mengejar-ngejar seorang nenek?! Nenek yang sudah hamil lagi!”

“Aku mengejar seorang nenek hamil memang benar! Tapi kau salah jika menduga aku hendak memangsanya! Aku perlu penjelasan dari nenek itu!”

“Dari nenek hamil macam dia, penjelasan apa yang kau perlukan?!”

Si pemuda terdiam sesaat. Lalu menjawab. “Akhir-akhir ini ada seseorang yang menyamar sebagai diriku. Aku tak tahu pasti siapa dia sebenarnya dan apa maksudnya. Orang itulah yang sebenarnya melakukan tindakan tidak senonoh pada beberapa kenalanku....”

"Apa hubungannya dengan nenek hamil itu?!” tanya Iblis Ompong.

“Penjelasanku belum selesai, Kek...,” kata si pemuda yang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng.

“Hem.... Coba teruskan keteranganmu!”

“Orang yang menyamar sebagai diriku saat ini telah mendapatkan sebuah senjata dahsyat bernama Kembang Darah Setan. Bahkan kini telah memiliki Jubah Tanpa Jasad. Dua buah benda sakti yang berasal dari istana di Kampung Setan! Aku dan beberapa sahabat telah merasakan bagaimana dahsyatnya dua benda sakti tersebut. Menurut Kakek Raja Tua Segala Dewa, hanya seorang bayi yang bisa menghadang kedahsyatan benda dari Kampung Setan itu. Lalu aku sempat bertemu dengan seorang kakek yang bisu dan tuli. Dari kakek ini aku mendapat gambaran kapan bayi itu akan lahir!”

“Hem.... Lalu kau kira bayi di perut nenek tadi itu yang kelak dapat menghadang kedahsyatan Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad. Begitu?!”

“Nenek itu aneh.... Sudah tua masih juga mengandung. Lalu menurut perkiraanku, masa kelahirannya sesuai dengan apa yang dikatakan kakek bisu dan tuli. Kalau orang yang mengandung sudah aneh, biasanya bayinya akan lahir aneh juga! Dan tidak tertutup kemungkinan bayi itulah yang kucari!”

“Hem.... Kapan kira-kira bayi itu akan lahir?!” tanya Iblis Ompong.

“Dalam dua purnama ini!”

Tiba-tiba Iblis Ompong perdengarkan tawa bergelak. “Mau kau percaya pada ucapanku?!”

Pendekar 131 tidak menjawab. Iblis Ompong hentikan gelakan tawanya lalu berkata. “Jangan kau teruskan mengejar nenek itu! Bukan bayi dalam kandungannya yang kau cari!”

“Bagaimana kau bisa memastikan begitu?!”

“Karena ia tidak akan pernah melahirkan seorang bayi!”

“Jadi.... Dia hanya berpura-pura mengandung?”

Iblis Ompong tidak menyahut. Sebaliknya gerakkan kepala berpaling ke samping kanan. Bersamaan dengan gerakan kepala Iblis Ompong, dari balik sebatang pohon muncul satu sosok tubuh. Melangkah berlenggak-lenggok ke arah Iblis Ompong dengan bibir mengumbar senyum lebar.

Dia adalah seorang nenek berambut putih panjang mengenakan pakaian gombrong. Di atas kepalanya tampak kerudung berwarna hitam panjang hingga menjulai pada depan perutnya. Murid Pendeta Sinting yakin kalau si nenek adalah orang tua yang tadi berperut besar dan dikejarnya. Namun kali ini perut si nenek tidak lagi membusung besar!

“Siapa dia sebenarnya, Kek?!” Bertanya Pendekar 131 seraya perhatikan pada si nenek.

“Seorang sahabat.... Kau tertarik padanya?!”

“Bukan pada orangnya. Tapi pada keterangannya!”

“Kau tak akan mendapat keterangan yang kau inginkan!”

“Tapi sikapnya menunjukkan kalau dia tahu banyak tentang urusan yang saat ini tengah kuhadapi!”

“Nek! Aku adalah sahabat Kakek Iblis Ompong...,” kata murid Pendeta Sinting begitu si nenek berkerudung hitam tegak tidak jauh dari Iblis Ompong. “Sikapmu yang berpura-pura mengandung menunjukkan kau tahu persoalan yang kuhadapi! Harap kau sudi memberi keterangan padaku. Dari perempuan mana kelak bayi yang kucari itu akan lahir?!”

“Kudengar kau tadi mengatakan pernah bertemu dengan si tua bangka Dewa Uuk! Apa benar?!”

Joko Sableng kernyitkan kening. Iblis Ompong tampaknya bisa meraba. Hingga sebelum Joko sempat buka mulut, si kakek telah mendahului.

“Kakek bisu dan tuli yang pernah bertemu denganmu adalah Dewa Uuk! Adik kandung Dewi Ayu Lambada di sebelahku ini!”

Pendekar 131 sudah hendak tertawa mendengar keterangan Iblis Ompong. Namun ditahan melihat pelototan mata si kakek.

“Benar kau pernah bertemu dengan tua bangka itu?!” Untuk kedua kalinya si nenek yang diperkenalkan Iblis Ompong dengan Dewi Ayu Lambada ajukan tanya.

“Benar, Dewi Ayu.... Dan kalau benar ucapan Kakek Iblis Ompong, tentu Dewi Ayu bisa sedikit banyak membantu beberapa isyarat Dewa Uuk yang belum bisa kutangkap maksudnya!”

Dewi Ayu Lambada melirik pada Iblis Ompong. Yang dilirik angkat bahu lalu berkata. “Kau tadi telah mencobanya. Sekarang terserah padamu!”

“Perlihatkan isyarat yang diberikan tua bangka itu!” kata Dewi Ayu Lambada pada akhirnya.

Pendekar 131 jongkok. Telunjuk jarinya ditempelkan di atas tanah. Lalu dia mulai menggambar dua kepala yang di atasnya diberi angka satu dan dua. “Dua-duanya adalah seorang perempuan. Aku pernah bertemu dengan keduanya. Malah menurut Dewa Uuk mereka berdua tertarik padaku. Yang masih belum bisa kumengerti, Dewa Uuk anggukkan kepala pada gambar angka satu lalu gelengkan kepala pada angka dua. Yang aku tak habis pikir pula, mengapa Dewa Uuk menggambar dua perempuan?!”

“Kau sudah mengingat satu persatu siapa saja kenalanmu selama ini?!” tanya Dewi Ayu Lambada.

Joko anggukkan kepala. “Tapi rasanya tidak ada yang berhubungan dengan isyarat Dewa Uuk! Beberapa gadis yang kukenal selama ini kuyakin belum ada yang punya suami. Padahal kelahiran bayi itu tinggal dua purnama lagi! Jadi tentu saat ini kandungannya sudah besar!”

“Lupakan soal waktu kelahiran itu! Sekarang kau perhatikan sekali lagi gambar ditanah!” ujar Dewi Ayu, Lambada.

Murid Pendeta Sinting turuti ucapan si nenek. Sementara Iblis Ompong mendongak seraya buka mulut lebar-lebar.

“Dua kepala...,” gumam Dewi Ayu Lambada. “Berarti ada dua perempuan. Angka diatasnya memberi petunjuk kalau di antara keduanya ada hubungan darah!”

“Kau punya kenalan gadis yang punya hubungan darah?! Setidaknya kakak beradik?” tanya Dewi Ayu Lambada.

Pendekar 131 berpikir sejenak. “Aku punya kenalan dua gadis. Tapi bukan kakek beradik. Melainkan saudara kembar! Namun tak mungkin salah satu dari mereka! Beberapa waktu yang lalu, aku bertemu dengan keduanya. Mereka tidak ada yang mengandung....”

“Kau dapat menangkap kalau keduanya tertarik padamu?!” Dewi Ayu Lambada kembali ajukan tanya tanpa sambuti ucapan murid Pendeta Sinting.

“Aku tak tahu, Dewi....”

“Kalau kau masih tidak jujur dalam hal ini, janganbharap kau akan mendapatkan sesuatu! Jawab dengan terus terang! Kau dapat merasakan mereka tertarik padamu?!”

“Busyet! Bagaimana aku harus menjawab?!” membatin Joko. Entah karena tidak mau membuat si nenek marah, meski tidak yakin benar akhirnya murid Pendeta Sinting anggukkan kepala.

“Ah.... Kau pura-pura malu padaku!” Iblis Ompong nyeletuk. “Siapa kedua gadis itu?!”

“Pitaloka dan Putri Kayangan.... Tapi kurasa isyarat itu tidak ada hubungannya dengan kedua gadis itu! Keduanya....”

“Ah.... Pasti kau merasa takut kalau salah satu di antaranya mengandung!” kembali Iblis Ompong menyahut sebelum Joko lanjutkan ucapannya.

“Bukan begitu, Kek! Apakah mungkin mereka mengandung? Sementara belum lama kami bertemu dan keadaan mereka masih biasa-biasa saja! Padahal isyarat Dewa Uuk mengatakan bayi itu akan lahir dalam dua purnama mendatang! Kalau benar perempuan itu salah satu dari Pitaloka atau Putri Kayangan, pasti saat berjumpa itu perutnya sudah kelihatan besar!”

“Bayi yang kelak akan lahir bukan bayi biasa! Dan aku yakin salah satu di antara dua gadis itu yang akan mengandungnya!” Yang berucap kali ini adalah Dewi Ayu Lambada.

Paras wajah murid Pendeta Sinting mendadak berubah tegang. Kepalanya berulang kali menggeleng.

“Terserah padamu mau percaya atau tidak! yang jelas bayi itu akan lahir dari salah satu gadis itu!” ujar Dewi Ayu Lambada.

“Anak muda.... Aku sekarang tanya dan harap kau jawab dengan jujur. Apa kau dan keduanya pernah berbuat yang tidak-tidak?!”

“Aku pernah berada berdua-dua dengan Pitaloka ditempat sepi. Malah kalau tak salah aku pernah bermesraan dengannya. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi dan begitu siuman ternyata Pitaloka sudah tidak ada dan pedangku dibawanya! Apakah saat tidak sadar itu aku melakukan sesuatu di luar batas....” Pendekar 131 membatin mengingat pertemuannya dengan Pitaloka.

(Tentang pertemuan Joko dengan Pitaloka ini silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Liang Maut di Bukit Kalingga)

Mengingat akan hal itu, dada murid Pendeta Sinting berdebar keras. Parasnya makin tegang. Peluh mulai membasahi wajah dan lehernya.

“Gayamu memberi bayangan kau memang pernah melakukannya!” kata Dewi Ayu Lambada.

“Tidak, Nek! Aku yakin tidak pernah melukainya!”

“Hem.... Kalau kau mengatakan yakin, berarti hatimu masih bimbang!” Yang menyahut Iblis Ompong.

“Aku memang bermesraan dengan salah satu dari mereka!” Lalu Joko menceritakan peristiwa pertemuannya dengan Pitaloka sampai hilangnya Pedang Tumpul 131. “Tapi aku tetap merasa tidak melakukan sesuatu di luar batas walau aku tidak sadar!” kata murid Pendeta Sinting sambungi keterangan ceritanya.

“Ah.... Itu urusanmu! Yang jelas sekarang kau telah tahu dari perempuan mana bayi itu akan lahir!” ucap Dewi Ayu Lambada.

“Kakek ompong! Kurasa tidak ada gunanya lagi kita berada di sini!” Dewi Ayu Lambada sambungi ucapannya lalu putar diri.

“Anak muda! Sekarang kau tahu apa yang harus segera kau lakukan! Aku tak bisa membantu banyak. Hanya kalau nanti sang bayi itu tidak ada yang mengakui, aku dengan senang hati rela mengambil ibunya sebagai selir! Dua-duanya cantik bukan?!”

“Ah.... Kau salah, Kek! Keduanya tidak seperti yang kau katakan! Aku ucapkan terima kasih kalau kau punya niat untuk mengambil salah satunya kelak menjadi selir!”

“Itu tak masalah bagiku, Anak Muda! Yang penting dia gadis muda dan mau kuambil sebagai selir!”

Pendekar 131 akan berucap lagi, namun tangan kanan Dewi Ayu Lambada sudah menarik lengan Iblis Ompong hingga si kakek terputar. Lalu si nenek menyeretnya seraya berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Apa mungkin? Apa mungkin?!” Murid Pendeta Sinting berkali-kali menggumam seraya perlahan-lahan melangkah dengan dada masih dibuncah keheranan.

********************

LIMA

SATU purnama berlalu....

Satu sosok bayangan tampak melangkah perlahan di antara kerapatan jajaran pohon di sebuah hutan lebat. Dari gerakannya terlihat kalau bayangan ini sudah mengenal benar situasi kawasan yang dilewati. Pada satu tempat mendadak si bayangan ini hentikan langkah. Sosoknya berputar ke arah dari mana dia tadi melangkah.

“Hem.... Berpuluh-puluh tahun menghuni kawasan ini, baru hari ini telingaku mendengar suara isakan tangis. Ini isakan tangis sungguhan atau hanya pendengaranku saja yang seolah-olah mendengar?” terdengar gumaman pelan.

Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian warna putih lusuh. Rambutnya yang putih disanggul tinggi ke atas. Sepasang matanya sayu dengan paras telah dihiasi keriput. Untuk beberapa saat si laki-laki tegak dengan tajamkan pendengaran. Saat lain dia mendongak. Sosoknya tampak bergetar. Sepasang matanya yang sayu dipejamkan.

“Telingaku tidak menipu! Adalah aneh kalau di hutan lebat jarang dilewati manusia ada seseorang perdengarkan isakan tangis! Hem.... Dari isakannya jelas dia adalah seorang perempuan! Ah.... Tanda kalau ajalku sudah dekat akhirnya datang juga. Tapi mengapa aku harus takut?! Tanpa atau dengan tanda itu, ajal ini bagaimanapun juga pasti akan datang!”

Si laki-laki gerakkan kepalanya lurus ke depan. Sepasang matanya dibuka. Saat lain dia berkelebat. Sementara berjarak kira-kira tiga puluh tombak dari tempat di mana laki-laki berpakaian putih lusuh tadi tegak, satu sosok tubuh tampak tegak di lamping sebuah tanah ketinggian. Memandang ke bawah terlihat jurang yang sangatdalam. Sosok di lamping jurang tegak dengan kedua bahu berguncang dan kedua tangan menakup di depan wajah. Makin lama guncangan bahu sosok ini makin keras. Bersamaan dengan itu, suara isakannya yang sejak tadi terdengar makin bertambah keraspula.

Tiba-tiba laksana dirobek setan, isakan orang ini terputus. Guncangan bahunya terhenti. Kedua tangannya yang menakup di depan wajah diturunkan. Kini sepasang matanya mementang memandang ke bawah. Kejap lain sekonyong-konyong kedua kaki orang ini bergerak menjejak tanah. Sosoknya melesat amblas ke dalam jurang! Bersamaan dengan melesatnya orang masuk ke dalam jurang, satu bayangan putih berkelebat dan langsung melesat menyusul masuk ke dalam jurang.

Orang yang melesat terlebih dahulu dan tampak melayang, sesaat tersentak kaget tatkala merasakan tubuhnya disambar satu bayangan. Dia cepat berontak dengan kelebatkan kedua tangannya. Namun bayangan yang menyambar lebih dahulu bergerak. Tangan kanannya langsung sarangkan totokan pada kedua lengan orang. Saat lain seraya terus melayang dia putar arah ke lamping jurang. Kaki kiri kanannya menjejak. Lamping jurang jebol berantakan. Namun bersamaan dengan itu si bayangan putih melesat ke atas dengan kedua tangan membopong sosok orang.

Begitu injakkan kakinya tiba di atas jurang, bayangan putih yang ternyata adalah laki-laki berpakaian putih lusuh perlahan-lahan meletakkan orang di bopongannya ke atas tanah. Tangan kanannya bergerak bebaskan totokan pada lengan orang. Orang di atas tanah membuka kelopak matanya. Sesaat dia memandang ke langit. Lalu melirik ke samping kanan. Mendadak orang ini bergerak bangkit tatkala matanya melihat seorang laki-laki tegak tersenyum padanya.

“Kau kira aku akan mengucapkan terima kasih atas tindakanmu tadi?!” bentak orang yang baru bangkit. Dia ternyata adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya panjang dikuncir tinggi. Sepasang bola matanya yang bulat tampak sembab dan masih digenangi air mata.

Si laki-laki tua yang dibentak sunggingkan senyum lalu berkata pelan. “Aku tidak mengharapkan ucapan apa-apa. Hanya sayang jika nyawa pemberian Yang Maha Kuasa harus disia-siakan. Aku tahu, saat ini kau pasti tengah menghadapi urusan yang sangat berat. Namun bunuh diri bukanlah satu-satunya jalan penyelesaian!”

Si gadis pentang matanya memperhatikan orang dihadapannya. Sementara si laki-laki juga tengah mengawasi gadis di depannya. “Orang tua!” kata si gadis dengan suara keras dan bergetar. “Apa yang kulakukan adalah urusanku! Jangan berani ikut campur apalagi menghalangi!”

“Aku tahu.... Ini adalah urusanmu, Gadis Cantik. Aku juga tidak ingin ikut campur apalagi menghalangi. Kalaupun tadi aku bertindak, aku hanya ingin bicara. Siapa tahu kau bisa urungkan niat.”

“Buang keinginanmu itu, Orang Tua! Apa pun juga tak akan bisa urungkan niatku! Dan perlu kau tahu. Justru tindakanmu ini akan menambah panjang penderitaanku!”

Si orang tua gelengkan kepala. “Lalu apakah dengan jalan yang akan kau tempuh penderitaan itu akan berakhir?!”

Si orang tidak menjawab. Si orang tua sekali lagi memperhatikan. Lalu berkata seraya tengadahkan sedikit kepalanya. “Jika kau berpikir begitu, menurutku salah besar. Tindakanmu bukannya mengakhiri penderitaan, justru kau menciptakan penderitaan lain! Bahkan kau menciptakan penderitaan pada orang lain!”

Sesaat si orang tua hentikan ucapannya. Setelah menghela napas panjang dia kembali sambung ucapannya. “Kau tentu punya orang tua atau saudara. Seandainya mereka tahu apa yang kau lakukan, pasti mereka akan menderita....”

Tiba-tiba si gadis takupkan kedua tangannya pada wajahnya. Saat lain terdengar kembali isakannya. Si orang tua memandang sambil geleng-geleng kepala.

“Orang tua.... Kau tak tahu. Justru seandainya aku terus hidup, aku akan membuat penderitaan orang lain! Lebih dari itu pasti mereka akan mengucilkan diriku!”

“Itu hanya perasaanmu saja... Kau takut menghadapi sesuatu yang belum terjadi! Padahal kenyataan kadangkala jauh dari dugaan! Kau tahu.... Aku pernah mengalami hal yang sama denganmu. Aku pernah takut menghadapi masa depan. Dan apa akhirnya yang ku peroleh?! Hidup bertahun-tahun di hutan sunyi ini tanpa teman! Dan begitu aku sadar, semuanya sudah terlambat!”

“Orang tua.... Masalah yang tengah kuhadapi mungkin berbeda dengan masalahmu! Aku bukan hanya menduga kelak apa yang akan terjadi. Tapi aku sudah bisa pastikan! Jadi jangan halangi aku! Aku tak ingin membuat derita pada orang yang seharusnya tidak menderita!” Habis berkata begitu, si gadis melangkah terhuyung ke arah lamping jurang.

“Tunggu!” teriak si orang tua seraya berkelebat dan tegak menghadang. “Gadis cantik.... Kau benar-benar telah memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan jalan begini?! Kau telah berpikir bahwa inilah satu-satunya jalan mengakhiri derita?!”

“Aku telah berpikir seribu kali! Dan tidak satu pun keputusan terbaik selain ini!”

“Baiklah.... Kalau kau sudah memikirkan semuanya aku tidak akan menghalangi. Tapi sebelum kau lakukan ini, mau kau katakan apa sebenarnya masalahmu?!”

Si gadis gelengkan kepala. “Biar aku sendiri yang menyimpan urusan ini! Karena kukatakan pun tak ada gunanya!”

“Bagimu mungkin tidak ada gunanya. Tapi bagiku mungkin lain....”

Untuk pertama kalinya si orang tua melihat sunggingan senyum pada bibir si gadis. Meski dia tahu senyum itu dipaksakan. “Sebenarnya kau gadis yang menawan...,” entah sadar atau tidak si orang tua menggumam. “Sayang kalau gadis sepertimu harus mengakhiri hidup dengan jalan melawan kebiasaan! Sekarang katakanlah apa sebenarnya yang membuatmu memilih jalan ini....”

Senyum si gadis mendadak pupus. Saat bersamaan dia kembali terisak. Kedua tangan bergerak mengusap perutnya berulang kali.

Si orang tua kernyitkan kening. “Kau.... Kau mengandung?!”

Si gadis bukannya menjawab, melainkan makin keraskan isakan tangisnya. Hal ini sudah membuat si orang tua maklum. Entah karena ikut terharu dengan apa yang menimpa gadis di hadapannya, si orang tua melangkah mendekat. Kedua tangannya menjulur ke depan membelai rambut si gadis.

“Kalau hanya itu masalahnya, terjun masuk ke jurang bukan jawaban yang baik, Anakku.... Masih banyak cara untuk menyelesaikannya. Laki-laki itu mengkhianatimu, bukan?”

Si gadis angkat kepalanya lalu menggeleng. Namun mulutnya tidak membuka ucapan kata-kata.

“Dia lari atau terbunuh?!” tanya si orang tua.

Kembali si gadis berbaju merah gelengkan kepala. Tapi sejauh ini masih juga belum buka suara.

“Lalu...?!” tanya si orang tua pada akhirnya.

“Dia masih hidup! Tapi aku tak tahu siapa dia sebenarnya!”

Si orang tua tertawa pelan. “Kau ini aneh.... Kau tahu dia masih hidup, tapi kau tak tahu siapa dia sebenarnya! Bagaimana hal ini bisa terjadi?”

“Dia memperkosaku....”

Si orang tua tersentak. Lalu berucap dengan suara bergetar. “Tapi setidaknya kau masih bisa mengenali rupanya! Dan kau bisa minta tanggung jawab atas perbuatannya!”

“Tidak semudah itu, Orang Tua!”

“Ah.... Kau membuatku bingung....”

“Jahanam itu memiliki sebuah jubah yang membuat sosoknya tidak bisa dilihat! Seandainya aku mampu, saat itu juga jahanam itu pasti kubunuh! Tapi keparat itu bukan tandinganku! Selain itu di tangannya juga menggenggam sebuah kembang yang dikenal orang dengan Kembang Darah Setan!”

Si orang tua melengak kaget. “Senjata mustika dari Kampung Setan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Siapa gerangan yang berhasil membongkar makam batu itu? Dadaka...? Atau Galaga?! Atau mungkin Maladewa mampu keluar dari makam batu itu?!”

“Orang tua.... Apa maksud ucapanmu?!” tanya si gadis penuh keheranan.

Si orang tua menatap tajam pada gadis di hadapannya. “Anak cantik.... Ku mohon kau urungkan niatmu.... Percayalah, semuanya akan kita tangani bersama! Lebih dari itu aku memerlukan beberapa keterangan darimu....”

Si gadis gelengkan kepala. “Aku tak ingin melibatkanmu dalam urusanku, Orang Tua! Lagi pula jahanam bangsat itu terlalu tangguh untuk dihadapi!”

“Tidak, Anakku.... Bagaimanapun juga aku harus ikut terlibat! Karena semua ini masih ada kaitannya dengan urusanku!”

“Apa urusanmu?!”

“Kita cari tempat yang enak untuk bicara....” Seraya berkata, tanpa menunggu jawaban orang, si orang tua telah menggandeng tangan si gadis lalu mengajaknya melangkah tinggalkan lamping jurang.

Si gadis sesaat tampak enggan. Tapi entah karena apa, akhirnya dia turuti juga langkah si orang tua. Pada satu tempat, si orang tua hentikan langkahnya. Memandang sesaat pada gadis berbaju merah lalu berkata.

“Mau katakan siapa namamu...?”

“Pitaloka! Kau sendiri siapa?!” jawab si gadis sembari balik bertanya.

“Aku Kigali...,” kata si orang tua lalu sedikit tengadah dan lanjutkan ucapan. “Apakah benar orang yang kau sebut-sebut tadi telah mengenakan jubah yang membuat sosoknya tidak kelihatan dan membekal Kembang Darah Setan?”

“Kalau tidak, tentu aku bisa melihat tampang keparat itu sekaligus membunuhnya! Kalau kau mengatakan urusanmu masih ada kaitannya, apakah kau tahu siapa manusia jahanam itu?!”

“Memang sulit untuk menentukan! Namun setidaknya aku bisa menduga!”

“Katakanlah.... Siapa?!”

“Anakku.... Pada beberapa puluh tahun silam, rimba persilatan pernah dibuat gempar dengan munculnya orang-orang dari Kampung Setan. Tapi berkat bersatunya kaum persilatan, akhirnya orang-orang yang menamakan diri dari Kampung Setan dapat ditumpas. Namun ternyata masih ada dua orang dari Kampung Setan yang berhasil selamat. Dia adalah Maladewa dan seorang nenek bernama Nyai Suri Agung....”

Orang tua yang sebutkan diri sebagai Kigali sejenak hentikan keterangan. Memandang sesaat pada gadis berbaju merah yang ternyata bukan lain adalah Pitaloka, saudara kembar Putri Kayangan. Lalu sambung keterangan.

“Maladewa adalah seorang laki-laki yang punya ambisi besar untuk menegakkan kembali kejayaan Kampung Setan. Hingga menurut kabar, dia memaksa neneknya Nyai Suri Agung untuk menyerahkan seluruh warisan Kampung Setan. Terutama Kembang Darah Setan yang memang sudah dikenal sebagai senjata mustika yang sakti. Entah bagaimana ceritanya, yang jelas ku tahu, Maladewa akhirnya benar-benar menguasai Kembang Darah Setan.”

Untuk kedua kalinya Kigali hentikan keterangan. Sementara Pitaloka mendengarkan dengan seksama.

“Begitu Kembang Darah Setan berada ditangan Maladewa, orang ini segera pula melakukan apa yang menjadi cita-citanya. Yang aku herankan, Maladewa bukan saja inginkan nyawa beberapa orang yang pernah menumpas Kampung Setan, namun juga jiwa Nyai Suri Agung serta saudara seperguruannya Galaga yang berasal dari golongan orang di luar kerabat Kampung Setan.”

Kigali menarik napas. Lalu lanjutkan cerita. “Aku bersama seorang sahabat bernama Dadaka adalah dua orang kepercayaan Maladewa yang diberi tugas untuk mencari sekaligus membunuh Nyai Suri Agung dan Galaga. Maladewa tidak sadar, kalau sebe- narnya aku dan Dadaka adalah orang-orang yang berusaha menyusup di Kampung Setan. Tujuanku saat itu semata-mata memang menginginkan Kembang Darah Setan. Hingga sampai pada satu saat, aku dan Dadaka telah menentukan waktu untuk merebut Kembang Darah Setan. Tapi nyatanya pekerjaan itu tidaklah mudah. Aku dan Dadaka tidak berhasil merebut Kembang Darah Setan dari tangan Maladewa. Kami hanya bisa memasukkan Maladewa beserta Kembang Darah Setan pada sebuah makambatu!”

Kigali arahkan pandang matanya jauh ke depan dengan tatapan kosong. Setelah menghela napas berulang kali, orang tua ini melanjutkan.

“Setelah peristiwa masuknya Maladewa dan Kembang Darah Setan ke dalam makam batu, aku merasa menyesal. Ternyata semua usahaku bertahun-tahun tidak menghasilkan apa-apa! Padahal untuk itu aku telah lakukan apa saja yang diperintah Maladewa. Aku kecewa dan pada akhirnya memutuskan untuk menyendiri di hutan lebat ini! Kupikir tak ada gunanya hidup tanpa kesaktian. Sementara kesaktian itu telah sirna bersama lenyapnya Kembang Darah Setan ke dalam makam batu!”

“Kemudian aku baru sadar jika anggapanku salah. Tapi datangnya kesadaran ini telah terlambat. Di usiaku yang telah renta begini, tak mungkin aku bisa berbuat apa-apa lagi. Namun masih ada sedikit kebahagiaan hatiku. Karena bersamaan dengan masuknya Maladewa dan Kembang Darah Setan ke dalam makam batu, dunia persilatan kudengar aman. Tidak ada lagi pembunuhan besar-besaran dan terbunuhnya beberapa tokoh secara misterius....”

Untuk kesekian kalinya Kigali hentikan keterangan. Pandangannya lekat-lekat ke arah Pitaloka.

“Anakku.... Ternyata kebahagiaan ada batasnya. Dan batas kebahagiaanku adalah begitu kau katakan saat ini telah muncul seseorang yang menggenggam Kembang Darah Setan!”

“Orang tua! Kau menduga manusia jahanam itu Maladewa?!” tanya Pitaloka setelah Kigali terdiam agak lama.

Kigali gelengkan kepala. “Aku tak bisa menentukan siapa dia! Peristiwa masuknya Maladewa dan Kembang Darah Setan ke dalam makam batu itu telah berlalu selama kurang lebih tiga puluhan tahun. Aku tak bisa bayangkan, apakah mungkin seseorang bisa bertahan selama itu di dalam makam batu! Namun dunia selalu saja diliputi keanehan dan keganjilan. Bukan tidak mungkin jika Maladewa masih mampu hidup meski terkubur puluhan tahun dalam makam batu! Dan kalaupun orang itu bukan Maladewa, pasti tidak jauh dari Galaga dan Dadaka serta nenek Nyai Suri Agung sendiri! Karena hanya mereka yang tahu persis rahasia Kampung Setan....”

“Tentang jubah hitam itu?” tanya Pitaloka.

“Sebenarnya aku tidak paham benar dengan cerita jubah itu. Namun dari salah seorang yang pernah kutemui di hutan ini, aku pernah diberi tahu, jika Kampung Setan masih menyimpan sebuah senjata sakti selain Kembang Darah Setan. Senjata itu berupa sebuah jubah hitam yang disebut Jubah Tanpa Jasad. Barang siapa mengenakan jubah itu, maka sosoknya tidak akan bisa dilihat mata biasa! Dari cerita orang ini jelas kalau orang yang mengenakan jubah itu pasti sudah tahu benar rahasia Kampung Setan. Dan itu tidak akan jauh dari beberapa orang yang kukatakan tadi!”

“Orang tua.... Keteranganmu tidak membantu apa-apa padaku! Karena aku masih harus meraba-raba siapa sebenarnya jahanam pemakai jubah itu! Padahal aku telah bersumpah, lebih baik mati daripada tidak bisa membalas sakit hati ini! Dan sakit ini tidak mungkin terbalas selagi jahanam itu masih menggenggam Kembang Darah Setan!”

“Anakku.... Kau tidak boleh punya perasaan dendam. Bagaimanapun juga orang itu adalah ayah dari bayi yang saat ini tengah kau kandung! Bukankah sebaiknya kau berusaha berbaikan dan mengatakan terus terang apa yang telah terjadi?!”

Pitaloka geleng kepala. Rahangnya mengeras. Matanya yang masih tampak sembab mendelik. "Apakah masih pantas manusia jahanam itu disebut ayah?! Tidak! Aku tak ingin melahirkan darah daging manusia keparat itu!”

“Anakku.... Sadarlah. Ini kenyataan yang harus kau jalani! Siapa pun pasti tidak ingin mengalami nasib seperti yang kau alami. Tapi takdir telah menulis demikian. Bayi itu memang darah dagingnya, namun sebenarnya itu adalah pemberian Yang Maha Tinggi. Bayi itu tidak bersalah. Kau juga tidak...! Adalah satu kesalahan besar kalau seseorang menyia-nyiakan pemberian Yang Maha Agung! Meski pemberian itu terasa pahit....”

Pitaloka terdiam mendengar ucapan Kigali. Kigali menatap pada perut Pitaloka lalu berkata. “Anakku.... Kalau kau tetap tidak menginginkan bayi itu, kuharap kau rela menunggu sampai dia lahir. Aku bersedia mengambilnya. Setelah itu kau boleh pergi ke mana kau suka!”

Pitaloka kembali geleng kepala. “Tidak, Orang Tua! Hal itu akan menambah penderitaanku! Dan bayi itu harus mati! Aku tak ingin melihat tampang darah daging manusia jahanam keparat itu!”

“Kau jangan salahkan bayi tak berdosa itu, Anakku!”

Pitaloka memandang tajam pada Kigali. Kigali tersenyum lalu berkata. “Saat ini kau perlu istirahat. Dalam keadaan seperti sekarang ini, pasti hanya perasaan dendam yang menyelimuti hatimu. Dan keputusan yang kau ambil pasti tidak jauh dari apa yang tadi hendak kau lakukan! Tapi mungkin kau bisa mengambil jalan lain jika pikiranmu sudah tenang. Aku punya tempat berlindung tidak jauh dari sini. Di sana mungkin kau bisa istirahat dan tenangkan diri....”

“Tapi....”

“Jangan berprasangka yang tidak-tidak padaku, Anakku! Aku dahulu memang bukan orang baik-baik! Tapi lingkungan alam telah membuatku berubah!”

Setelah berkata begitu, Kigali mengambil tangan Pitaloka. Kigali sunggingkan senyum. Lalu melangkah seraya terus memegang tangan Pitaloka. Pitaloka sesaat ragu. Namun tak lama kemudian dia mengikuti langkah Kigali.

“Orang tua.... Apa yang kau lakukan di tempat sepi ini?!” tanya Pitaloka seraya terus melangkah.

“Merenung.... Menghitung apa yang telah kulakukan di masa lalu. Lalu mengambil pelajaran!”

“Jadi selama ini kau tidak pernah keluar?!”

“Kupikir, pergaulan di luar sana hanya akan membuatku berubah lagi! Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang pernah kulakukan!”

“Jadi selama ini kau juga tidak tahu bagaimana kabar temanmu bernama Dadaka serta orang yang kau sebut Galaga dalam ceritamu tadi?”

“Begitulah.... Bahkan aku sudah tidak tahu bagaimana dan apa yang terjadi dalam kancah rimba persilatan. Dunia yang pernah kudambakan saat aku masih muda!”

“Lalu apakah kau pikir nenek bernama Nyai Suri Agung itu masih hidup?!”

“Kalau menurut perhitungan manusia biasa, memang hal itu tak mungkin. Namun umur manusia hanya Yang Maha Tinggi yang tahu. Dan satu hal yang pasti, bukan Nyai Suri Agung yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad serta membawa Kembang Darah Setan itu! Terbukti dia bisa lakukan tindakan tidak senonoh padamu!”

“Jadi kemungkinannya tinggal tiga orang!” kata Pitaloka. “Maladewa, Galaga, dan sahabatmu Dadaka!”

“Menurut perhitungan memang seharusnya begitu. Tapi siapa tahu bersama berlalunya waktu ada sesuatu di luar perhitungan!”

“Maksudmu...?!”

“Siapa tahu di antara orang-orang yang tahu rahasia Kampung Setan membocorkan pada orang lain! Tapi hal itu tidak perlu terlalu kau pikirkan, Anakku... Percayalah! Bersama berlalunya masa, siapa pun adanya orang itu, pasti satu saat akan diketahui! Dan bagaimanapun dahsyat barang mustika yang ada di tangan orang, satu saat tentu akan ada barang mustika lain yang melebihinya!”

“Kurasa kali ini sulit, Orang Tua... Beberapa waktu yang lalu, jahanam itu berhadapan dengan beberapa tokoh yang saat ini namanya tersohor dalam dunia persilatan. Namun dikeroyok beberapa orang, si keparat itu mampu menghadangnya!”

“Hem.... Aku tertarik dengan keteranganmu. Siapa saja tokoh-tokoh itu?!”

“Datuk Wahing, Dayang Sepuh, dan seorang gemuk besar yang dipanggil dengan sebutan Gendeng Panuntun!”

“Astaga! Yang kau maksud tentu seorang kakek bermata buta!”

“Betul! Kau mengenalnya?!”

“Siapa tidak kenal dengan tokoh aneh itu! Selain memiliki ilmu yang sukar dijajaki, dia juga memiliki keahlian tertentu. Hem.... Apa saat itu Gendeng Panuntun tidak bisa menebak siapa adanya orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad?!”

Pitaloka gelengkan kepala. Kigali kerutkan dahi. “Aneh... Menurut yang pernah kudengar, tokoh itu bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang biasa!”

“Tapi nyatanya saat itu dia tidak bisa mengenali sosok di balik Jubah Tanpa Jasad. Bahkan orang di balik Jubah Tanpa Jasad tetap mampu menghadapi meski tak lama kemudian muncul seorang pemuda yang namanya juga sudah mulai terkenal. Yakni Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng! Kau mengenal pemuda itu?!”

Kali ini suara Pitaloka terdengar lain di telinga Kigali. Kigali menatap tajam pada Pitaloka. “Kalau dia seorang pemuda, tentu aku tidak mengenalnya. Dan baru saat ini aku mendengar gelarnya! Namun aku menangkap sesuatu yang lain pada pemuda itu....”

Mendengar ucapan Kigali, kali ini ganti Pitaloka yang sedikit merasa heran. Tapi belum sampai Pitaloka utarakan keheranannya, Kigali sudah berucap.

“Anakku.... Kau tertarik dengan pemuda itu?!”

Dada Pitaloka berdebar. Wajahnya berubah merah padam. Dia buru-buru alihkan pandang matanya ke jurusan lain.

“Anakku.... Perasaan cinta bisa tergambar dari pandangan dan getaran suara. Dan aku menangkap semua itu pada dirimu! Kau boleh berkata tidak, tapi gambaran itu tidak bisa berdusta! Kau menyukai pemuda itu!”

Dada Pitaloka makin berdebar. Perasaannya gelisah. Untuk beberapa saat dia kancingkan mulut tidak menyahut ucapan Kigali. Kigali sendiri tampak sunggingkan senyum lalu berkata lagi.

“Aku tahu sekarang.... Kau tadi hendak bunuh diri karena takut pemuda itu tahu apa yang kau alami....” Kigali geleng kepala. “Kau tak usah khawatir, Anakku... Sebagai seorang pendekar, kalau dia benar-benar menyayangimu pasti tidak akan melihat apa yang menimpa dirimu. Tentu dia bisa bertindak bijaksana!”

“Tapi hal itu tak mungkin terjadi, Orang Tua....”

“Bagaimana kau bisa mengatakan tidak mungkin?!”

“Selain diriku pernah berbuat curang padanya, saudara kembarku juga mencintainya! Seandainya disuruh memilih, pasti dia akan memilih saudaraku! Selain orangnya cantik, saudaraku lembut dan baik hati. Tidak seperti aku....”

“Perasaan cinta tidak bisa dilihat dari itu saja, Anakku! Tapi hal itu lupakan dahulu. Lihat! Gubuk reot itu adalah tempatku. Kuharap kau betah tinggal untuk beberapa lama!”

Kigali mempercepat langkah. Sementara Pitaloka melangkah perlahan-lahan dengan mata menerawang jauh. Anehnya yang muncul di pelupuk matanya adalah bayangan sosok Pendekar 131 Joko Sableng!

********************

ENAM

GADIS berparas luar biasa cantik itu melangkah dengan mata menatap kosong ke depan. Entah apa yang sedang menggelayuti dadanya, yang jelas dari sikapnya yang seolah tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya, menunjukkan kalau pikirannya sangat kalut. Mendadak saja dari arah samping kanan terdengar suara deruan dahsyat. Kejap lain satu gelombang ganas menggebrak ke arah si gadis yang tengah melangkah!

Kalau saja si gadis tidak segera melompat selamatkan diri, niscaya sosoknya akan terhantam gelombang yang nyata-nyata telah dialiri tenaga dalam cukup tinggi, terbukti gelombang yang gagal menghantam si gadis mampu memporak-porandakan batu agak besar di sebelah samping sana. Malah tanah di tempat itu sesaat jadi bergetar dan semburat keudara. Gadis berparas cantik berpaling ke samping kanan dengan mata mendelik. Namun matanya yang bulat tajam tidak melihat siapa-siapa.

“Aku yakin orang yang baru saja melepaskan pukulan ada di sekitar tempat ini!” gumam si gadis lalu angkat kedua tangannya. Saat lain kedua tangannya mendorong ke samping kanan, arah di mana pukulan yang tadi dilepas orang bersumber.

Dua gelombang angin menderu angker. Beberapa batangan pohon yang tegak di sebelah kanan tampak bergetar hebat. Tak lama kemudian dua batangan pohon perdengarkan suara berderak. Lalu tumbang dengan suara menggelegar. Bersamaan tumbangnya batangan pohon, satu sosok tubuh melesat keluar dan tegak di hadapan gadis berparas cantik berjarak sepuluh langkah. Gadis berparas cantik coba sunggingkan senyum walau dadanya mulai panas. Lalu buka suara dengan suara agak bergetar. Tanda dia agak geram mendapati dirinya dipukul orang secara sembunyi.

“Tidak kusangka jika kau adanya! Mengapa kau hendak mencelakaiku?!”

Orang yang baru muncul bersamaan dengan tumbangnya batangan pohon sesaat perdengarkan tawa pendek. Dia adalah seorang gadis yang juga berparas cantik. Rambutnya hitam lebat digeraikan. Setelah menatap sejenak gadis ini berkata.

“Putri Kayangan! Seandainya aku mau, kau pasti sudah kubuat mampus! Apa yang baru saja kulakukan adalah satu peringatan padamu!”

Gadis cantik yang tadi dipukul yang ternyata tidak lain adalah Beda Kumala alias Putri Kayangan, saudara kembar Pitaloka ganti tertawa pendek lalu berkata.

“Saraswati! Aku merasa heran dengan ucapanmu! Pasti ini masih ada hubungannya dengan Pendekar 131 Joko Sableng! Kau cemburu!”

Tampang gadis yang baru muncul dan ternyata adalah Saraswati berubah merah padam. “Dengar, Putri Kayangan! Ini tidak ada kaitannya dengan cemburu! Hanya aku tidak ingin melihatmu terlibat terlalu jauh! Biarkan pemuda itu buktikan dirinya dahulu kalau memang bukan dia manusianya yang bertindak menjijikkan!”

“Hem.... Jadi kau kira aku....”

“Jangan banyak bicara!” tukas Saraswati. “Yang jelas aku tidak mau melihatmu terlibat dalam urusan ini!”

“Aku tidak bodoh, Saraswati! Aku punya urusan sendiri dan tidak ada hubungannya dengan Pendekar 131 Joko Sableng!”

“Bagus! Tapi jika kulihat kau masih juga ikut-ikutan, aku tidak akan memberi peringatan lagi!” Habis berkata begitu, Saraswati balikkan tubuh tinggalkan tempat itu.

“Dengar, Saraswati! Aku memang tidak mau terlibat. Tapi kalau aku berada bersama Pendekar 131, kuharap kau jangan menduga yang tidak-tidak!”

Saraswati tidak menyahut. Dia teruskan langkah. Sementara Putri Kayangan memandang sesaat lalu putar diri. Belum sampai Putri Kayangan gerakkan kaki, satu sosok tubuh berkelebat. Putri Kayangan terkesiap. Belum sempat sang Putri mengenali wajah orang, sudah terdengar suara.

“Jadi pendekar muda berwajah tampan memang asyik.... Di mana-mana selalu jadi bahan omong dan rebutan! Tidak seperti diriku.... Ditawar-tawarkan pun tidak ada yang mau! Hik Hik Hik...!”

“Memangnya siapa yang mau dengan tua bangka karatan sepertimu?!” Satu suara mendadak menyahut. Bersamaan itu satu bayangan berkelebat dan yang ini langsung tegak tidak jauh dari Saraswati.

Saraswati yang sudah terkejut mendengar suara orang yang pertama, makin melengak kaget. Dia cepat putar diri lagi. Saat yang sama Putri Kayangan juga balikkan tubuh. Untuk beberapa lama Saraswati dan Putri Kayangan saling pandang. Saat lain Saraswati alihkan pandang matanya ke samping kanan. Sementara Putri Kayan- gan ke samping kiri.

Saraswati melihat seorang perempuan berusia lanjut mengenakan pakaian gombrong. Anak gadis Lasmini itu tidak bisa dengan jelas melihat raut wajah si nenek. Selain dari arah samping, ternyata si nenek mengenakan kerudung hitam panjang di kepalanya. Di pihak lain, Putri Kayangan melihat seorang kakek berambut putih. Karena si kakek menghadap lurus pada sang Putri, saudara kembar Pitaloka ini dengan jelas dapat menangkap paras muka orang.

Kakek ini mengenakan pakaian agak lusuh. Wajahnya agak tirus. Kakek ini tidak memiliki leher dan meski tidak berkata-kata lagi, mulutnya terus menganga! Seolah ingin menunjukkan kalau mulutnya tidak bergigi alias ompong! Putri Kayangan segera alihkan pandangannya pada si nenek. Sementara di seberang sana, Saraswati ganti arahkan pandangannya pada si kakek.

Tiba-tiba dahi Saraswati mengernyit. “Kalau tak salah aku pernah melihat kakek itu. Ah, benar! Aku pernah melihatnya di depan Istana Hantu! Dia adalah sahabat Pendekar 131! Jika tak salah dia adalah Iblis Ompong. Hem.... Tapi si nenek itu, aku tak mengenalinya!”

Kalau Saraswati membatin begitu, Putri Kayangan tampaknya tidak bisa menduga-duga siapa gerangan adanya kakek dan nenek yang tiba-tiba muncul di hadapannya Hingga untuk beberapa lama dia hanya memandang silih berganti pada nenek dan kakek yang bukan lain memang Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lambada adanya. Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya. Lalu memberi isyarat pada Iblis Ompong untuk mendekat.

“Ah.... Di hadapan gadis-gadis cantik begini kau selalu pasang aksi berlagak mesra! Berarti kau masih punya cemburu padaku! Takut kalau aku tertarik dan digaet perempuan lain!” Iblis Ompong berucap. Lalu sedikit dongakkan kepala dan melangkah ke arah Dewi Ayu Lambada dengan mulut terbuka lebar-lebar!

“Dasar tua karatan! Mana mungkin aku cemburu pada gadis-gadis ini?! Tak mungkin mereka mau dengan manusia karatan sepertimu!”

“Ah.... Kau hanya memandang dari apa yang terlihat di luar. Rambut memang sudah beruban. Kulit sudah mengeriput dan mata telah kabur! Tapi bagian dalamnya masih mampu menandingi pemuda belasan tahun!”

“Ah.... Kau akan selalu berkoar-koar begitu jika di hadapan gadis cantik! Kenyataannya....” Si nenek cekikikan dahulu sebelum akhirnya melanjutkan. “Besar di mulut kurang di tenaga!”

Mendengar ucapan Dewi Ayu Lambada, paras muka Saraswati dan Putri Kayangan berubah merah. Namun sejauh ini baik Saraswati maupun Putri Kayangan belum ada yang buka mulut.

“Hai.... Kau kenal dua gadis yang tengah berebut pemuda ini?!” Dewi Ayu Lambada berbisik pada Iblis Ompong begitu si kakek berada di sampingnya.

Iblis Ompong gerakkan kepala ke arah Saraswati. Dewi Ayu Lambada ikut hadapkan wajah pada Saraswati hingga si gadis kini dapat melihat jelas paras muka nenek berkerudung hitam itu.

“Yang itu rasa-rasanya aku pernah bertemu! Hanya saja aku lupa kapan dan di mana! Yang jelas saat itu di sana ada pula pemuda geblek murid manusia sinting itu!” kata Iblis Ompong. Lalu gerakkan kepala menghadap Putri Kayangan. Dewi Ayu Lambada kembali ikut gerakan kepala Iblis Ompong.

“Yang itu dalam mimpi pun aku belum pernah bertemu! Tapi soal berkenalan serahkan saja pada...,” ujar Iblis Ompong lalu tengadah dengan mulut dibuka lebar.

Dewi Ayu Lambada memberengut lalu berucap. “Yang kita hadapi adalah perempuan. Biar aku yang maju!”

“Ah.... Nyatanya kau masih juga khawatir padaku! Kau tahu.... Perempuan biasanya lebih senang berkenalan dengan laki-laki! Bukan dengan sesama perempuan! Namamu memang yahud dan meyakinkan, tapi tampangmu tidak bisa dijadikan modal meskipun hanya dalam berkenalan!”

Dewi Ayu Lambada mendengus. “Dasar tua bangka tidak tahu diri! Sekarang kau bisa berkata begitu. Tapi dahulu kala kau selalu memuja-muja dan terus mengikuti ke mana aku pergi! Apa kau lupa peristiwa saat kau mencium kakiku hanya demi agar aku menerima cintamu?!”

“Ah.... Kau selalu mengungkit masa yang telah terkubur!”

“Diam, Tua Bangka!” hardik Dewi Ayu Lambada. “Kuperingatkan kau agar tidak ikut bicara! Kalau tidak, mulutmu akan kubuat tidak bisa terbuka lagi!”

Iblis Ompong tertawa bergelak sambil usap-usap mulutnya yang terus terbuka. Sementara Dewi Ayu Lambada melangkah maju tiga tindak. Saat lain perempuan berkerudung hitam ini putar diri setengah lingkaran menghadap Saraswati. Bibirnya sunggingkan senyum. Pinggulnya digoyang dua kali lalu dia menjura dengan kedua tangan ditakupkan di depan kening. Saraswati tampak salah tingkah dan bingung harus berbuat apa. Hingga dia hanya diam dan memandang dengan menahan tawa.

Dewi Ayu Lambada buka takupan kedua tangannya. Sosoknya berputar dan kini menghadap ke arah Putri Kayangan. Kembali si nenek goyang pinggulnya dua kali seraya menjura hormat. Kedua tangannya lagi-lagi ditakupkan dan dipasang di depan kening. Putri Kayangan sunggingkan senyum lalu anggukkan kepala. Dewi Ayu Lambada luruskan tubuh. Lalu melompat ke samping Iblis Ompong. Begitu injakkan kaki, kepalanya segera berpaling ke arah Saraswati lalu pada Putri Kayangan yang ada di seberang.

“Gadis-gadis cantik...,” kata Dewi Ayu Lambada. “Kalau tidak merasa keberatan, sudi sebutkan diri pada kami siapa kalian adanya?!”

Untuk beberapa saat baik Saraswati maupun Putri Kayangan belum ada yang memberi jawaban. Malah kedua gadis ini saling bentrok pandang beberapa lama.

“Harap tidak punya dugaan yang bukan-bukan! Kami berdua memang tua-tua bangka yang usil hendak tahu nama orang. Namun kami tidak punya niat apa-apa! Cuma sekadar ingin berkenalan....”

Dewi Ayu Lambada kembali angkat suara setelah sekian lama ditunggu tidak juga ada yang buka mulut di antara kedua gadis yang ditanya.

“Nek...!” Iblis Ompong berbisik. “Caramu berkenalan sudah ketinggalan zaman! Aku berani bertaruh satu tangan kalau di antara mereka ada yang mau menjawab!”

Dewi Ayu Lambada melirik pada Iblis Ompong. “Kita lihat saja nanti! Kalau benar, tanganmu akan kupotong betulan!”

Habis berkata begitu, Dewi Ayu Lambada berpaling silih berganti pada Saraswati dan Putri Kayangan. Si nenek coba sunggingkan senyum dan pasang tampang ramah. Namun sejauh ini Saraswati dan Putri Kayangan belum juga ada yang buka mulut.

“Gadis-gadis cantik.... Kalian merasa keberatan sebutkan diri?!” Kembali Dewi Ayu Lambada angkat bicara begitu mendapati belum juga ada yang buka suara.

Baik Saraswati maupun Putri Kayangan sebenarnya tidak merasa keberatan untuk sebutkan diri. Namun mereka berdua tampaknya menunggu sampai ada yang mendahului. Hingga karena sama saling menunggu, keduanya tidak ada yang buka suara.

Dewi Ayu Lambada terlihat agak jengkel dengan sikap Saraswati dan Putri Kayangan. Dia melirik pada Iblis Ompong dan berujar pelan. “Tampaknya mereka bukan gadis yang kita cari meski kudengar tadi tengah berebut pemuda geblek itu! Atau jangan-jangan keduanya tidak bisa mendengar?!”

“Nek.... Seperti kukatakan tadi, cara berkenalanmu sudah ketinggalan masa! Cara seperti itu mungkin cocok pada saat mudamu. Tapi untuk saat sekarang apalagi dalam situasi seperti saat ini, caramu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kecurigaan!”

“Baik! Sekarang aku ingin tahu bagaimana caranya berkenalan model sekarang!” kata Dewi Ayu Lambada dengan mata mendelik.

“Hem.... Jadi acara ini kau serahkan padaku?!” tanya Iblis Ompong.

“Tapi kalau kau bicara yang tidak-tidak, kau akan tahu rasa nanti!”

Iblis Ompong tertawa panjang. Lalu melangkah dua tindak ke depan. Tanpa memandang pada Saraswati dan Putri Kayangan, si kakek langsung angkat bicara. “Aku tahu... Kalian berdua jatuh cinta pada Pendekar 131 Joko Sableng!”

“Enak saja bicara! Siapa yang jatuh cinta?!” Tiba- tiba Saraswati menyahut dengan suara keras. “Dia yang jatuh cinta, bukan aku!” Telunjuk tangan kanan Saraswati lurus mengarah pada Putri Kayangan.

Putri Kayangan rupanya tidak mau ditunjuk-tunjuk begitu rupa apalagi langsung dituduh dihadapan orang. Gadis berpakaian merah ini segera pula arahkan telunjuknya pada Saraswati seraya berucap dengan suara tak kalah kerasnya. “Dia yang cemburu padaku! Padahal aku tidak merasa punya hubungan apa-apa!”

“Siapa percaya pada ucapan kalian!” kata Iblis Ompong dengan suara keras pula. “Yang jelas dari perdebatan kalian tadi, aku bisa katakan kalian berdua sama jatuh cinta pada Pendekar 131 Joko Sableng!”

“Orang tua! Jangan bicara sembarangan! Katakan terus terang apa maumu sebenarnya!” bentak Saraswati yang mulai jengkel.

Iblis Ompong berpaling pada Saraswati. “Gadis cantik... Kau tentu tak akan mungkir bila kukatakan kita pernah bertemu! Jadi jangan kira aku tak tahu siapa dirimu dan apa hubunganmu dengan Pendekar 131!”

Saraswati perhatikan Iblis Ompong dengan mata melotot besar. Dadanya bergemuruh. Bibirnya tampak bergetar saat dia berkata. “Kita memang pernah bertemu! Tapi kau tahu apa hubunganku dengan pemuda keparat itu, hah?! Jangan berani bicara mengarang cerita!”

Iblis Ompong geleng kepala. “Aku tak akan mengarang cerita. Aku juga akan menyimpan rapat-rapat apa yang ku tahu antara kau dan pemuda yang kau katakan keparat itu. Aku hanya perlu memberi tahu padamu. Pemuda keparat itu sekarang sedang sekarat!”

Laksana terbang Saraswati melompat kedepan. Wajahnya berubah tegang. Untuk beberapa lama dia pandangi Iblis Ompong. Lalu seolah ingin meyakinkan, dia berpaling pada Dewi Ayu Lambada. Mungkin masih merasa jengkel dengan sikap Saraswati tadi, si nenek segera buang muka ke jurusan lain ketika Saraswati berpaling padanya.

“Orang tua! Kau....”

Belum sampai Saraswati teruskan ucapan, Iblis Ompong angkat tangan kanannya. Lalu jari telunjuknya dilintangkan di depan mulutnya memberi isyarat agar Saraswati tidak lanjutkan ucapan.

“Aku tak akan bicara apa-apa lagi padamu, Anak Cantik! Kau cukup kuberi tahu apa yang tengah terjadi! Kalau kau ingin bicara, bicaralah! Aku akan sampaikan padanya!"

Di lain pihak mendengar keterangan Iblis Ompong, Putri Kayangan sesaat terkesiap. Seperti halnya Saraswati, dia memandang berlama-lama pada Iblis Ompong seolah ingin meyakinkan. Bahkan dia pun sempat arahkan pandang matanya pada Dewi Ayu Lambada. Namun lagi-lagi Dewi Ayu Lambada segera buang muka dengan tampang ketus.

“Apa benar ucapan kakek itu...? Siapa yang telah membuatnya begitu?! Saat berpisah tempo hari... Ah!” Putri Kayangan tidak dapat lanjutkan kata hatinya. Matanya mulai berkaca-kaca. Namun setelah sadar di mana saat berada dan siapa yang ada dihadapannya, Putri Kayangan cepat usap genangan air matanya lalu melangkah ke arah Iblis Ompong.

Iblis Ompong berpaling pada Putri Kayangan. Setelah menghela napas panjang dan unjuk mimik menyesal, kakek ini berkata. “Sebenarnya aku tak mau membuat kalian kecewa dengan kabar tidak enak ini. Tapi aku akan merasa berdosa jika tidak menyampaikan amanat orang!”

“Jadi kau sungguh-sungguh?!” Yang bertanya adalah Putri Kayangan.

“Terserah bagaimana kau memandangnya! Yang jelas aku telah memberi tahu pada kalian!”

“Di mana sekarang dia berada?!” hampir bersamaan Saraswati dan Putri Kayangan berkata.

Iblis Ompong geleng kepala. “Aku tak bisa memberi keterangan! Saat ini dia tengah dirawat seseorang. Namun kecil kemungkinannya dia dapat hidup! Cuma saja kalau di antara kalian ada yang hendak memberi pesan terakhir, aku akan sampaikan!”

Saraswati dan Putri Kayangan kembali saling pandang. Iblis Ompong tampaknya maklum. Maka dia segera berucap. “Kurasa mulai saat ini tidak perlu di antara kalian ada silang sengketa karena cinta!”

Iblis Ompong berpaling pada Saraswati. “Anak cantik... Aku tahu, mungkin kau malu ucapanmu didengar sahabatmu ini. Kalau kau masih ingin mengutarakan sesuatu, mendekatlah! Berbisiklah ditelingaku!”

Saraswati sesaat pandangi Putri Kayangan. Putri Kayangan menghela napas lalu tersenyum dan putar diri sambil melangkah tiga tindak dan berkata. “Aku tak akan mendengarkan... Silakan bicara!”

Saraswati bimbang. Namun akhirnya melangkah juga. Kepalanya segera disorongkan ke dekat telinga Iblis Ompong lalu mulutnya berkemik. Iblis Ompong mendengarkan dengan seksama. Lalu mengangguk. Saraswati tarik pulang kepalanya dengan mata berkaca-kaca.

Iblis Ompong berpaling lalu bergumam lirih. “Anak cantik... Pesanmu akan kusampaikan. Tapi kalau dia nanti bertanya siapa yang memberi pesan?!”

Saraswati kembali dekatkan kepalanya lalu sebutkan diri. Iblis Ompong kembali anggukkan kepala. Lalu berpaling pada Putri Kayangan. “Gadis baju merah... Kau tidak ingin titip sesuatu?!”

Putri Kayangan balikkan tubuh. Ketika dilihatnya Saraswati telah berbalik dan melangkah menjauh, Putri Kayangan mendekat pada Iblis Ompong dan berkata. “Kek... Sampaikan saja permintaan maafku padanya!”

“Hanya itu?!” tanya Iblis Ompong.

Putri Kayangan anggukkan kepala dengan mata kembali telah digenangi air mata. “Aku... Aku Beda Kumala. Tapi orang sering memanggilku Putri Kayangan....”

Iblis Ompong sesaat tersentak. Namun buru-buru sadar dan segera anggukkan kepala. Saat lain dia berkelebat dan tegak di samping Dewi Ayu Lambada.

“Bagaimana?!” tanya si nenek.

“Rezeki kita besar!”

“Besar bagaimana?!”

“Nanti saja kuceritakan! Sekarang kita harus cepat tinggalkan tempat ini!” bisik Iblis Ompong. Lalu memandang silih berganti pada Saraswati dan Putri Kayangan.

“Kuharap kalian berdua tidak larut dalam kesedihan! Setiap manusia hidup pasti akan mengalami kematian! Kalau takdir nanti menentukan lain, tentu pemuda itu masih bisa disembuhkan....”

Habis berkata begitu, Iblis Ompong berkelebat diikuti oleh Dewi Ayu Lambada. Saraswati teruskan langkah tanpa berpaling lagi. Sementara Putri Kayangan balikkan tubuh lalu melangkah dengan pipi dibasahi air mata!

TUJUH

"BAGAIMANA?! Bagaimana?!" tanya Dewi Ayu Lambada dengan tangan menarik-narik lengan Iblis Ompong.

Iblis Ompong pasang tampang angker lalu berbisik. “Jangan keras-keras bicara! Dan lepaskan tanganmu!”

“Dasar tua sialan!” maki Dewi Ayu Lambada seraya sentakkan tangannya dari lengan Iblis Ompong.

Dua orang ini ternyata tidak berkelebat jauh. Sesaat tadi keduanya memang seakan-akan tinggalkan tempat di mana mereka bertemu dengan Saraswati dan Putri Kayangan. Namun begitu agak jauh, keduanya memutar jalan lalu kembali ke tempat di mana Saraswati dan Putri Kayangan berada. Namun kali ini mereka berdua tampak mengendap-endap dan sembunyikan diri dibalik batangan pohon agak besar. Iblis Ompong sesaat memperhatikan Saraswati yang teruskan langkah dengan kepala menunduk. Lalu berpaling pada Putri Kayangan yang juga melangkah berlawanan arah dengan Saraswati.

“Kita ikuti yang berbaju merah...,” ujar Iblis Ompong ketika dilihatnya Putri Kayangan telah melangkah agak jauh. Dia luruskan tubuh lalu keluar dari balik pohon. Saat lain dia berkelebat. Tapi tiba-tiba gerakannya ditahan tatkala mendapati si nenek belum juga beranjak dari balik pohon.

“Hai! Ada apa denganmu?! Kita ikuti si baju merah itu!”

Dewi Ayu Lambada mendengus dengan tampang cemberut. “Kau belum katakan mengapa hendak kau ikuti si baju merah itu!”

“Astaga!” Iblis Ompong tepuk jidatnya. Lalu mendekati si nenek dan berkata. “Dialah gadis yang kita cari! Dia Putri Kayangan!”

“Apa?!” Laksana disentak setan, Dewi Ayu Lambada meloncat. Mau tak mau Iblis Ompong harus segera melompat ke samping untuk hindarkan tubrukan.

“Apa katamu? Dia Putri Kayangan?! Gadis yang hamil itu?!”

Iblis Ompong pegangi dadanya sambil memaki dalam hati. “Setan.... Kalau saja aku tidak menghindar, tentu dadaku sudah terhantam tubuhnya! Rupanya dia sengaja akan memelukku. Hik Hik Hik...! Siapa sudi dipeluk nenek macam dia!”

“Hai! Apa benar dia gadis hamil itu?!” kembali Dewi Ayu Lambada perdengarkan tanya saat Iblis Ompong tidak juga memberi jawaban.

“Yang dapat kupastikan, dia adalah Putri Kayangan! Soal dia yang hamil atau bukan, masih harus kita selidiki! Karena kita belum menemukan satunya lagi!” Habis berkata begitu, Iblis Ompong segera berkelebat. Dewi Ayu Lambada segera berkelebat pula menyusul di belakangnya.

“Lalu bagaimana kita harus mengetahui dia hamil atau tidak?!” tanya Dewi Ayu Lambada seraya terus mengikuti kelebatan Iblis Ompong.

“Itulah yang tengah kupikirkan! Kalau sekarang kita menemuinya dan berbasa-basi, pasti dia curiga dengan karangan ceritaku tadi! Dan itu akan membuat rencana jadi berantakan!”

“Model kau berkenalan memang meyakinkan! Tapi akibatnya kita akan terjebak! Belum lagi kalau....”

Dewi Ayu Lambada putuskan ucapannya. Dia cepat tarik pundak Iblis Ompong dan diseretnya merunduk ke balik semak. Iblis Ompong sudah buka mulut hendak memaki, tapi dia segera kancingkan mulutnya lalu dibuka lagi tanpa perdengarkan suara. Sebaliknya matanya dibeliakkan memandang tak berkesip jauh ke depan. Di sampingnya si nenek mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya pentangkan mata.

Di depan sana, Putri Kayangan yang tengah melangkah dengan berurai air mata tampak tersentak ketika ekor matanya menangkap kelebatan satu bayangan. Dia segera angkat kepala. Memandang ke depan, gadis cantik ini melihat satu sosok tubuh.

“Setan Liang Makam!” gumam Putri Kayangan mengenai siapa adanya sosok yang telah tegak dengan sikap menghadang dihadapannya.

Orang yang baru muncul adalah seorang laki-laki yang sekujur tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka tanpa daging sama sekali dan tidak lain memang Setan Liang Makam adanya. Cucu Nyai Suri Agung generasi terakhir dari keluarga Kampung Setan.

“Di antara kita tidak ada permusuhan! Harap tidak menghalangi langkahku!” Berkata Putri Kayangan sebelum Setan Liang Makam buka mulut.

Setan Liang Makam gerakkan kepala menggeleng-geleng. “Kau adalah tebusan nyawaku! Dengan kepalamu aku akan mendapatkan kembali benda-benda milikku! Tapi aku masih memberimu kesempatan! Kau ikut denganku secara baik-baik atau terpaksa aku menyeretmu dengan tubuh tanpa nyawa!”

“Kau jangan berlaku bodoh! Kau ditipu orang! Meski kau bawa kepalaku, tak mungkin apa yang kau inginkan akan kau dapat!”

“Setan alas! Beraninya mulutmu mengajariku! Aku tahu apa yang harus kulakukan!”

“Kalau begitu, aku pun tak akan tinggal diam!”

“Kau telah memutuskan jalanmu!” Setan Liang Makam angkat kedua tangannya. Sementara Putri Kayangan cepat pula takupkan kedua tangannya di depan kening.

“Bagaimana sekarang?!” ujar Dewi Ayu Lambada dari tempat persembunyiannya dengan mata terus menatap ke arah Putri Kayangan.

“Kau terus-terusan bertanya bagaimana!” kata Iblis Ompong. “Kita lihat dahulu sambil mencari jalan terbaik! Yang jelas kita harus selamatkan gadis itu walau kita belum bisa memastikan dia yang hamil atau bukan!”

“Kau mengenal manusia jerangkong itu?!” tanya Dewi Ayu Lambada.

“Kali ini tugasmu untuk melakukannya. Siapa pun dia yang pasti dia adalah laki-laki. Dan dia akan lebih senang jika berkenalan dengan perempuan! Untuk yang satu ini, aku tak peduli kau hendak menggunakan cara bagaimana untuk berkenalan!”

Dewi Ayu Lambada sudah hendak memaki. Tapi mendadak terdengar gelegar dahsyat. Saking terkejutnya, si nenek hendak melompat. Tapi buru-buru sadar dia tengah mengikuti orang. Namun dia sudah telanjur bergerak. Hingga untuk menghindari agar tidak diketahui keberadaannya, terpaksa si nenek arahkan gerakannya pada Iblis Ompong. Sialnya Iblis Ompong tengah berpaling ke arah suara gelegar. Hingga meski dia sempat menghindar, tapi sudah terlambat.

"Bukkk!" Sosok Dewi Ayu Lambada menumbuk tubuh Iblis Ompong. Iblis Ompong terjengkang di atas tanah. Sementara si nenek cekikikan telungkup di sampingnya! Di seberang sana, terlihat muncratan tanah ke udara. Lalu tampak dua sosok terpental. Yang pertama adalah Putri Kayangan. Gadis ini perdengarkan seruan tertahan sebelum akhirnya terjerembab jatuh dengan mulut kucurkan darah.

Sosok kedua adalah Setan Liang Makam. Cucu Nyai Suri Agung dari Kampung Setan ini terhempas ke belakang sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan mulut megap-megap. Walau dari mulutnya tidak keluarkan darah, namun jelas kalau luka dalam yang dideritanya tidak lebih ringan dari Putri Kayangan.

“Ompong.... Kita harus segera turun tangan! Kalau benar dia hamil, terlalu bahaya jika terjadi benturan pukulan lagi! Bayi dalam kandungannya bisa gugur! Itu akan membuat penantian makin panjang!” kata Dewi Ayu Lambada.

“Tapi.... Bagaimana kalau karangan ceritaku tadi ketahuan?!”

“Peduli setan dengan semua itu! Kau nanti bisa mengatur bagaimana caranya!”

Selagi Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong bergerak bangkit, di depan sana Setan Liang Makam dan Putri Kayangan telah tegak. Tanpa perdengarkan suara, Setan Liang Makam angkat kembali kedua tangannya. Putri Kayangan tidak berdiam diri. Kedua tangannya diangkat ke atas kepala lalu ditakupkan. Saat bersamaan sosok tubuh gadis cantik ini laksana dikobari sinar berwarna merah. Setan Liang Makam mendengus. Lalu didahului bentakan garang, kedua tangannya bergerak melepas pukulan.

Wuutt! Wuuttt!

Dua gelombang disertai hamparan warna hitam melesat menggidikkan ke arah Putri Kayangan. Putri Kayangan perdengarkan pula bentakan. Sinar merah yang mengobari dirinya mencuat menghadang gelombang yang datang dari Setan Liang Makam. Bersamaan dengan mencuatnya sinar merah dari tubuh Putri Kayangan, dari arah semak belukar melesat dua gulungan awan putih yang bergerak turun naik makin lama makin besar. Saat yang sama terlihat benda panjang berwarna hitam melesat deras ke arah Setan Liang Makam.

Setan Liang Makam tersentak. Sembari perdengarkan makian keras dia kembali akan lepaskan pukulan. Dia rupanya maklum ada orang lain di sekitar tempat itu. Namun belum sempat kedua tangan Setan Liang Makam bergerak, benda hitam telah berkelebat dan laksana ular benda hitam tadi meliuk deras lalu melilit kedua tangan Setan Liang Makam. Setan Liang Makam jadi kalap. Dia kerahkan segenap tenaga dalamnya. Namun baru saja hendak bergerak, lilitan benda hitam pada kedua tangannya telah menyentak! Sosok Setan Liang Makam terdorong keras ke belakang. Saat itulah gulungan awan putih melabrak! Terlambat bagi Setan Liang Makam untuk membuat gerakan membendung. Tanpa ampun lagi gulungan awan putih menghantam tubuhnya!

Dessss!

Setan Liang Makam perdengarkan seruan tertahan. Saat bersamaan terdengar gelegar keras bertemunya pukulan Setan Liang Makam dengan kobaran sinar merah yang melesat dari tubuh Putri Kayangan. Untuk kedua kalinya Setan Liang Makam perdengarkan suara. Namun kali ini bersamaan dengan mentalnya tubuh lima tombak ke belakang! Setan Liang Makam terkapar di antara ranggasan semak belukar. Dadanya berguncang keras. Sosoknya bergeletar. Mulutnya terbuka namun tak perdengarkan suara. Sepasang matanya terpejam lalu terbuka. Kedua tangannya yang hanya merupakan kerangka tampak menghitam membentuk lilitan!

Di seberang sana, sosok Putri Kayangan tampak jatuh terduduk di atas tanah. Kobaran sinar merah pada tubuhnya lenyap. Raut wajahnya berubah pucat laksana tidak berdarah. Darah makin banyak mengucur dari mulutnya. Namun tak berapa lama kemudian, saudara kembar Pitaloka ini bergerak bangkit.

“Ada orang yang menolongku...,” bisik sang Putri seraya arahkan pandangannya kesamping dari mana tadi ekor matanya masih bisa menangkap kelebatan benda hitam dan melesatnya gulungan awan putih.

Di balik semak belukar, Dewi Ayu Lambada tarik pulang kerudung hitamnya lalu dikenakan di atas kepala. Kerudung panjang berwarna hitam inilah yang tadi membuat Setan Liang Makam tersentak ke belakang.

“Kita keluar sekarang!” bisik si nenek seraya memperhatikan Iblis Ompong yang tampak tegak membelakangi dengan kedua tangan masih di depan pantat.

Iblis Ompong baru saja melepas pukulan yang langsung menghantam sosok Setan Liang Makam hingga membuatnya jatuh. Iblis Ompong balikkan tubuh. “Belum sekarang saatnya keluar! Aku belum menemukan cara bagaimana agar gadis cantik itu tidak merasa curiga dengan karangan ceritaku tadi!”

“Ah.... Itu urusan nanti! Kalaupun nanti dia curiga, apa hendak dikata! Kita katakan saja terus terang!”

“Mana bisa begitu?!”

Dewi Ayu Lambada tidak pedulikan ucapan Iblis Ompong. Nenek ini sudah hendak melompat keluar. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba Iblis Ompong melompat dan langsung menyergap. Dewi Ayu Lambada menjerit. Kedua kakinya goyah. Saat lain sosoknya jatuh bergulingan. Ketika gulingannya terhenti, si nenek langsung mendelik! Sosok Iblis Ompong ternyata nangkring di atas tubuhnya!

“Sialan!” maki si nenek. Kedua tangannya cepat bergerak menghantam ke atas. Namun Iblis Ompong tidak tinggal diam. Dia cepat pula menghadang hantaman si nenek dengan palangkan kedua tangannya ke depan.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar dua benturan. Saat yang sama sosok Iblis Ompong mencelat ke udara. Lalu melayang turun dan tahu-tahu telah duduk menjeplok di antara semak belukar seraya usap-usap kedua tangannya. Kepalanya tengadah dengan mulut terbuka lebar. Tidak jauh di sebelah Iblis Ompong, Dewi Ayu Lambada berguling-guling sebelum akhirnya membuat gerakan satu kali. Tahu-tahu dia telah duduk bersila dengan kedua tangan memegangi kerudung hitam. Sepasang matanya tak berkesip pandangi Iblis Ompong. Tanpa berucap sepatah kata, kedua tangan si nenek putar kerudung hitam.

“Tahan, Nek!” bisik Iblis Ompong. “Lihat ke depan!”

Walau masih geram, tak urung juga Dewi Ayu Lambada lirikkan matanya ke depan. Dia buru-buru urungkan niat gerakkan kerudung hitamnya. Di depan sana, ternyata Setan Liang Makam telah tegak berdiri dengan kedua tangan terangkat. Cucu Nyai Suri Agung ini tampaknya sudah tidak pedulikan keadaan dirinya yang telah terluka. Sementara mendapati hal demikian, Putri Kayangan yang masih menduga-duga siapa adanya orang di balik semak belukar cepat pula kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Namun belum sampai ada yang membuat gerakan, satu bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu berjarak sepuluh langkah di samping Putri Kayangan telah tegak satu sosok tubuh.

Setan Liang Makam berpaling. Matanya makin membeliak. “Kau!” desisnya dengan suara bergetar.

Di lain pihak, Putri Kayangan tersentak. Matanya memperhatikan orang dari atas hingga bawah. Dahinya mengernyit. Dan seolah belum percaya dengan pandang matanya gadis cantik ini melangkah dua tindak dengan mata makin dibelalakkan. Orang yang dipandangi senyum-senyum. Dia memandang silih berganti pada Setan Liang Makam dan Putri Kayangan. Di balik semak belukar, Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong sama terkesiap dengan mulut masing-masing terkancing rapat. Saat bersamaan keduanya saling berpandangan.

“Gawat... Hancur sudah rencana kita!” ujar Iblis Ompong. “Sebaiknya kita segera angkat kaki!”

“Telanjur basah.... Angkat kaki pun tak ada gunanya lagi!” sahut Dewi Ayu Lambada. “Lebih baik kita bicara terus terang agar tak jadi urusan di kemudian hari!”

Iblis Ompong gelengkan kepala. “Kau bisa bicara demikian karena bukan kau tadi yang mengarang cerita! Seandainya kau, pasti kau sudah terbirit-birit! Kita pergi saja. Urusan nanti jadi masalah atau tidak, kita urus belakangan!”

Namun si nenek tampaknya tidak acuhkan ucapan Iblis Ompong. Dia segera melompat keluar dari balik semak belukar! Iblis Ompong sempat hendak menahan, tapi terlambat. Hingga akhirnya kakek ompong ini hanya bisa tegak dengan mulut dibuka lebar-lebar.

DELAPAN

"DEWI Ayu Lambada!” seru orang yang baru muncul yang masih dipandangi Putri Kayangan dengan keheranan. Ternyata dia adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih. Rambutnya panjang sebahu dililit ikat kepala warna putih. Parasnya tampan.

“Nenek itu!” gumam Putri Kayangan melihat siapa adanya orang yang muncul dari balik semak belukar. “Bagaimana ini?! Bukankah kakek yang bersama nenek itu tadi mengatakan Pendekar 131 tengah terluka parah?! Tapi dia muncul di sini. Jadi mereka berdusta!”

Selagi Putri Kayangan membatin begitu, dari belakang Dewi Ayu Lambada muncul Iblis Ompong melangkah dengan kepala mendongak dan mulut terbuka lebar.

“Kakek Iblis Ompong!” Lagi-lagi si pemuda berseru. “Hem.... Rupanya mereka saling kenal! Mungkin mereka tengah bersandiwara. Apa maksud mereka sebenarnya?! Hanya ingin tahu kalau aku tertarik pada pemuda itu?!”

Membatin Putri Kayangan dengan paras merah padam. Antara jengkel dan malu. Jengkel karena tindakan Iblis Ompong dan malu karena merasa si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng kini telah tahu perasaannya. Seandainya tidak tengah berurusan dengan Setan Liang Makam, ingin rasanya dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

Setelah Joko menjura pada Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong, Pendekar 131 putar tubuh menghadap Setan Liang Makam lalu berkata. “Sekarang kau telah tahu bahwa bukan aku orangnya yang mengambil Kembang Darah Setan. Dengan ini kurasa di antara kita tidak ada lagi silang sengketa!”

“Ucapanmu salah! Silang sengketa itu baru kuanggap habis kalau kau dan gadis itu mau ikut denganku!” sahut Setan Liang Makam.

“Boleh aku tahu, kau hendak mengajakku ke mana bersama gadis cantik itu?!” tanya Joko seraya melirik pada Putri Kayangan.

Putri Kayangan berdebar dan makin tak enak mendengar pujian Pendekar 131. Wajahnya cepat dipalingkan ke jurusan lain.

“Kau tak usah bertanya!” bentak Setan Liang Makam.

“Baiklah... Aku setuju saja dengan ajakanmu. Tapi akan kutanya dahulu gadis cantik itu! Kalau dia setu-ju, aku ikut. Jika tidak, mana enaknya berjalan-jalan sesama laki-laki?!”

Habis berkata begitu, Joko arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan seraya bertanya. “Bagaimana Putri?! Kau setuju dengan ajakan sahabat itu?!”

“Aku masih punya urusan lain!” kata Putri Kayangan tanpa berani memandang.

“Nah, kau dengar sendiri jawabannya!” kata Pendekar 131 sembari menghadap ke arah Setan Liang Makam. “Dia masih punya urusan lain! Berarti urusan jalan-jalan terpaksa kita tunda dahulu! Lain waktu mungkin urusan jalan-jalan ini bisa kita bicarakan lagi!”

“Bagaimana kalau aku saja yang ikut menggantikan gadis itu?!” Yang berkata adalah Dewi Ayu Lambada seraya melangkah dengan pinggul digoyang dan kedua tangannya merapikan kerudung hitam di atas kepalanya.

“Aku juga ikut menggantikan pemuda itu!” sahut Iblis Ompong lalu ikut melangkah ke belakang Dewi Ayu Lambada.

“Aku Dewi Ayu Lambada, dia Iblis Ompong...,” ujar Dewi Ayu Lambada. “Kurasa kami berdua cukup memadai sebagai ganti!”

“Aku tidak butuh kalian!” sentak Setan Liang Makam.

“Hem.... Begitu? Apa gayaku kurang menarik?!” tanya Dewi Ayu Lambada dan sekali lagi merapikan kerudung hitamnya. Bibirnya sunggingkan senyum lebar. Langkahnya makin diliuk-liukkan. Malah kedua tangannya segera diangkat lurus ke atas dan digerakkan seolah orang sedang menari.

“Apa tampangku juga kurang meyakinkan?!” Iblis Ompong menyahut. Dia letakkan tangan kiri kanannya di atas pinggang lalu teruskan langkah seraya kepala mendongak dan mulut terbuka lebar-lebar!

Setan Liang Makam mendengus. Kedua tangannya kembali diangkat. Tapi tiba-tiba dia luruhkan kembali kedua tangannya tatkala merasakan getaran keras pada kedua tangannya dan dadanya terasa nyeri. Tampaknya cucu Nyai Suri Agung ini maklum jika luka dalam yang dideritanya tidak memungkinkan untuk kerahkan tenaga dalam dan lepaskan pukulan. Apalagi jika menghadapi beberapa orang.

Setan Liang Makam menatap tajam pada Pendekar 131 dan Putri Kayangan. Telunjuk jari tangannya bergerak lurus ke arah Joko lalu beralih pada sang Putri. Saat yang sama terdengar ucapannya. “Kelak aku akan menjemput kalian!” Mata Setan Liang Makam beralih pada Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong. “Kalian berdua telah berani lancang ikut-ikutan urusanku! Kelak nyawa kalian berdua akan kucabut!” Habis berkata begitu, Setan Liang Makam balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Hai! Kau benar-benar tidak mau mengajak aku?!” teriak Dewi Ayu Lambada seraya melepas kerudung hitamnya.

“Tahan, Nek...! Biarkan dia pergi tanpamu. Juga tanpaku! Dia telah berjanji kelak hendak menjemput. Berarti kita kelak masih akan bertemu lagi!” kata Iblis Ompong tahu jika si nenek hendak lepas kerudung hitamnya menghantam pada Setan Liang Makam.

Dewi Ayu Lambada mencibir. Lalu pasang kembali kerudung hitamnya di atas kepala. Saat lain dia menghadap pada Putri Kayangan. Namun kali ini bukannya memandang pada wajah cantik milik si gadis tapi pada perutnya. Di lain pihak, Iblis Ompong juga berbuat sama. Di lain pihak, Pendekar 131 segera melangkah mendekati Putri Kayangan.

“Putri.... Senang bisa jumpa lagi denganmu! Mereka berdua adalah sahabatku!”

“Aku sudah tahu...,” jawab Putri Kayangan dengan suara ketus.

“Hem... Rupanya kalian sudah berkenalan...”

“Aku masih banyak urusan. Aku harus segera pergi!” Tiba-tiba Putri Kayangan berkata lalu hendak berkelebat.

“Putri. Tunggu!” tahan murid Pendeta Sinting lalu melompat dan tegak di samping si gadis.

“Pendekar 131! Tidak ada yang perlu kita bicarakan! Lagi pula jangan berharap aku percaya dengan semua kata-kata atau tindakanmu!”

“Hai... Ada apa ini?!”

“Kau masih juga berpura-pura! Apa belum cukup cara kalian mempermainkan aku?! Apa maksud kalian sebenarnya?! Apa?!” kata Putri Kayangan setengah berteriak dengan dada berguncang.

Pendekar 131 melirik pada Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong. Kakek dan nenek ini terlihat saling pandang dan sama angkat bahu. Namun tangan masing-masing saling tunjuk.

“Hem.... Pasti mereka berdua baru saja mempermainkan gadis ini! Jika tidak, mana mungkin dia jadi berubah?!” Pendekar 131 arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan. “Mungkinkah gadis ini yang kelak akan melahirkan bayi itu?! Siapa ayah dari bayi itu?! Sayang... Berarti gadis ini telah...”

Belum sampai Joko lanjutkan kata hatinya, Putri Kayangan telah berputar dan menatap tajam pada murid Pendeta Sinting. Kali ini tatapannya lain.

“Pendekar 131! Cepat selesaikan urusanmu! Ada seseorang yang menunggu penyelesaian ini! Aku tak mau terus-terusan dituduh gara-gara urusanmu!”

“Dia cemburu pada gadis bernama Saraswati itu!” bisik Iblis Ompong.

“Hem... Gadis yang satunya itu?!” tanya Dewi Ayu Lambada.

Selagi kakek dan nenek ini saling berbisik, tiba-tiba Putri Kayangan berkata dengan suara keras.

“Orang tua! Cukup sekali ini saja kalian mempermainkan orang! Harap kalian tidak mengulanginya lagi pada gadis lain!”

“Harap kau memaklumi, Putri...” ujar Iblis Ompong. “Itu semua harus kulakukan! Bukan maksud hati mempermainkan. Tapi di balik semua itu ada sesuatu!”

“Sesuatu apa?!”

“Anak muda!” kata Iblis Ompong pada murid Pendeta Sinting. “Sekarang giliranmu buka mulut!”

Pendekar 131 maklum akan maksud Iblis Ompong. Namun dia tampak canggung untuk memulai. Selain takut menyinggung perasaan Putri Kayangan, selebihnya dia sebenarnya merasa khawatir kalau Putri Kayangan benar-benar tengah mengandung! Hingga untuk beberapa lama dia hanya tegak termangu tidak tahu harus bicara bagaimana.

Putri Kayangan tampak heran dengan sikap orang-orang dihadapannya. Namun karena tidak bisa menduga, akhirnya dia kembali berkata. “Aku tidak punya waktu banyak! Katakan sesuatu itu atau aku akan tinggalkan tempat ini!”

Pendekar 131, Dewi Ayu Lambada, dan Iblis Ompong sama saling pandang satu sama lain. Karena tidak juga ada yang buka suara, akhirnya Iblis Ompong berbisik pada Dewi Ayu Lambada.

“Lebih baik kau saja yang bertanya! Kau dan dia sama-sama perempuan!”

Meski dengan cemberut pada akhirnya Dewi Ayu Lambada melangkah mendekati Putri Kayangan. Setelah tersenyum dan rapikan kerudung hitamnya, si nenek bertanya. “Putri... Sebelum kukatakan apa sesuatu itu, harap kau mau jawab dengan jujur pertanyaanku.”

Putri Kayangan hanya memandang tanpa buka mulut menyahut. Tapi dalam hati gadis ini diam-diam berdebar. Apalagi tatkala dilihatnya baik Pendekar 131, Iblis Ompong, dan Dewi Ayu Lambada sendiri dari tadi selalu melirik ke arah perutnya.

“Putri... Apakah kau telah punya kekasih?! Eh... Maksudku punya suami?!”

Raut wajah Putri Kayangan seketika berubah. “Apa maksud pertanyaan nenek ini? Apa hubungannya sandiwara yang mereka lakukan dengan pertanyaan tadi?!"

“Putri.... Harap tidak ragu-ragu! Dan harap tidak menyembunyikan sesuatu! Ini demi tenangnya rimba persilatan!” kata Dewi Ayu Lambada membuat Putri Kayangan makin heran dan merasa aneh.

Setelah berpikir agak lama pada akhirnya Putri Kayangan buka mulut menjawab. “Aku belum bersuami...”

“Lihat... Pemuda sableng itu tersenyum gembira!” bisik si nenek pada Iblis Ompong ketika dilihatnya murid Pendeta Sinting menghela napas lalu tersenyum.

Ketika Putri Kayangan belum menjawab, dada murid Pendeta Sinting memang berdebar-debar dilanda perasaan takut dan khawatir.

“Lalu apakah selama ini kau punya sahabat dekat seorang pemuda?! Eh... Maksudku pokoknya seorang laki-laki?!” kembali Dewi Ayu Lambada ajukan tanya.

Untuk kedua kalinya Putri Kayangan berubah paras. Dia sempat melirik pada murid Pendeta Sinting sebelum akhirnya menjawab pertanyaan si nenek dengan isyarat gelengan kepalanya.

“Benar?!” Yang ajukan tanya kali ini adalah Iblis Ompong. “Jawabanmu jangan hanya karena adanya pemuda di sampingmu itu! Untuk sementara ini anggap saja dia tidak ada! Yang ada hanya aku, kau, dan nenek cantik ini!”

“Tidak ada untungnya aku berkata dusta!” kata Putri Kayangan. “Dan harap segera katakan apa hubungan antara pertanyaan kalian dengan....”

“Nanti akan sampai ke sana!” potong Dewi Ayu Lambada. Lalu si nenek kembali ajukan tanya. “Apa benar kau memiliki saudara kembar?!”

“Benar!”

“Laki-laki atau perempuan?!” tanya Iblis Ompong. “Sama seperti aku!”

“Hem.... Apa saudara kembarmu juga belum punya suami?!” tanya si nenek.

“Belum...!”

“Di mana dia sekarang?!”

“Aku tak tahu di mana dia sekarang berada! Selang kira-kira satu purnama yang lalu, kami memang sempat bertemu. Tapi kami terpaksa harus berpisah karena keadaan tidak memungkinkan! Kalian tahu di mana saudaraku itu?!” Putri Kayangan balik bertanya.

“Kita akan segera mencarinya!” Yang menyahut adalah murid Pendeta Sinting. “Menurut dugaanku, dia pasti bersama manusia yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad! Seharusnya Setan Liang Makam tadi kita cegah dahulu kepergiannya. Tempo hari dia bersatu dengan Setan Liang Makam. Kemungkinan setan tadi itu tahu di mana Pitaloka berada!”

“Aku tidak mau merepotkan. Mencari saudara kembarku sudah menjadi tugas yang harus kulakukan!”

“Tujuan kita sama.... Tapi maksud kita mungkin lain!” ujar Joko.

“Apakah kau masih sakit hati karena Pitaloka mengambil pedangmu?!” tanya Putri Kayangan.

“Pedang itu kini telah berada di tanganku lagi. Urusan itu kurasa sudah selesai....”

“Lalu mengapa kau hendak mencarinya? Apa ada masalah lain?!”

“Putri.... Kau sekarang pasti sudah tahu. Dunia persilatan sedang terancam dengan munculnya orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad dan tangannya menggenggam Kembang Darah Setan. Orang ini sangat berbahaya jika dibiarkan! Kau sendiri telah menyaksikan bagaimana beberapa tokoh seperti Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, serta Dayang Sepuh tidak mampu membendung! Menurut seorang sahabat, sosok yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad bisa dihadapi dengan seorang bayi....”

“Seperti ucapan Kakek Raja Tua Segala Dewa itu?! Apa mungkin?! Lagi pula aku tidak mengerti maksud ucapannya!” kata Putri Kayangan memotong ucapan Joko.

Seperti diketahui, saat munculnya Raja Tua Segala Dewa, Putri Kayangan saat itu ada dan mendengarkan ucapan-ucapan Raja Tua Segala Dewa. Namun karena ucapan kakek ini hanya merupakan isyarat, Putri Kayangan yang belum mengenal betul Raja Tua Segala Dewa tidak bisa mengerti ucapan-ucapan si kakek.

“Putri.... Ucapan Raja Tua Segala Dewa banyak benarnya! Dan aku yakin bahwa hanya dengan bayi itu si pemakai Jubah Tanpa Jasad bisa dihadapi!”

“Lalu apa hubungannya dengan Pitaloka?! Apa kau menduga Pitaloka yang akan melahirkan bayi itu?!” Putri Kayangan tertawa. “Seperti halnya diriku, meski sudah lama Pitaloka meninggalkan lereng Semeru dan tidak pernah bertemu, aku bisa memastikan kalau Pitaloka belum bersuami! Dan walau dia sering berlaku sembrono, tapi kurasa dia tidak akan berlaku bodoh mau berhubungan dengan laki-laki sampai mengandung! Aku saudara kembarnya. Aku tahu bagaimana sifatnya!”

“Semula bisa berubah bersama berlalunya waktu, Anak Cantik!” sahut Iblis Ompong. “Dan kadang-kadang lingkungan juga berpengaruh besar!”

Putri Kayangan gelengkan kepala. “Tapi aku tetap yakin Pitaloka tak akan melakukan tindakan konyol itu! Sekarang aku ingin tahu, kapan kira-kira bayi itu akan lahir?!”

“Satu purnama mendatang!” jawab Pendekar 131.

Mendengar jawaban Pendekar 131 kembali Putri Kayangan tertawa. “Ini menambah keyakinanku kalau dugaanmu salah, Pendekar 131! Bukan Pitaloka orangnya! Kau tentu tahu sendiri. Satu purnama yang lalu kita bertemu dengan Pitaloka. Apa kau melihat perutnya besar?! Kalau menurutmu bayi itu akan lahir satu purnama mendatang, berarti saat ini perut itu sudah membesar! Setidak-tidaknya orang bisa menduga jika perempuan itu tengah hamil! Tapi aku tidak melihat semua itu pada Pitaloka!”

“Atau jangan-jangan dia sendiri yang tengah hamil...,” bisik Dewi Ayu Lambada pada Iblis Ompong seraya perhatikan perut Putri Kayangan.

Iblis Ompong mau tak mau perhatikan juga perut Putri Kayangan. Mendapati hal demikian, murid Pendeta Sinting jadi ikut-ikutan arahkan pandangannya pada perut si gadis.

“Jangan bicara seenak perutmu sendiri, Nek!” jawab Iblis Ompong dengan berbisik pula. “Perutnya kempes!”

Sementara itu melihat semua orang memandang ke arahnya, Putri Kayangan jadi tak enak dan buru-buru berkata. “Kuharap kalian juga tidak menduga yang bukan-bukan padaku! Aku bukannya berlagak suci. Tapi selama ini aku belum pernah disentuh laki-laki! Jadi percuma kalian terus menerus mengawasiku!”

Murid Pendeta Sinting buru-buru alihkan pandangannya. Sementara Iblis Ompong cepat-cepat mendongak. Hanya Dewi Ayu Lambada yang masih memperhatikan si gadis walau kini beralih pada wajahnya.

“Boleh aku tahu?!” tanya Putri Kayangan setelah agak lama tidak ada yang buka suara. “Mengapa kalian mencurigai bayi itu akan lahir dari kami bersaudara?!”

“Itu adalah petunjuk...” Yang menjawab Pendekar 131.

“Siapa yang memberi petunjuk?! Raja Tua Segala Dewa itu?!”

“Sebagian... Sebagian lainnya dari seorang sahabat!”

“Lupakan petunjuk itu, Pendekar 131! Orang yang memberi petunjuk itu salah ucap dan kau salah alamat!”

“Tapi...”

Belum sampai Joko teruskan ucapan, Putri Kayangan telah menyahut. “Petunjuk dan bukti, bagaimanapun juga masih kuat bukti! Dan bukti itu telah kau ketahui sendiri! Aku dan Pitaloka tidak ada yang mengandung!”

“Ah.... Jangan-jangan pemuda geblek itu salah tangkap ucapan Dewa Uuk! Eh, maksudku salah tangkap isyarat tua bangka bisu itu!” bisik Dewi Ayu Lambada.

“Rasa-rasanya begitu... Sialan betul! Kerja kita tampaknya sia-sia! Kita harus mulai lagi...,” sahut Iblis Ompong setengah mengeluh.

“Sialnya lagi, kita sekarang bingung. Dari mana kita harus mulia? Eh, maksudku dari mana kita harus mulai...?! Tak mungkin kita nongkrongi setiap perempuan yang tengah hamil!”

“Kalau soal nongkrongi perempuan hamil, tak masalah bagiku! Yang jadi masalah justru....”

“Ukkkk! Uuuukkk! Uuuuuukkk!”

Tiba-tiba terdengar suara. Iblis Ompong putuskan ucapan. Lalu tengadah dengan mulut terbuka. Dewi Ayu Lambada merapikan kerudungnya. Pendekar 131 berpaling ke arah terdengarnya suara uuukk! Ukkk! Putri Kayangan kerutkan dahi lalu melirik.

SEMBILAN

DARI arah seberang samping sana, terlihat seorang laki-laki berusia lanjut melangkah dengan kepala bergerak-gerak ke samping kiri kanan. Sepasang matanya selalu jelalatan seolah tengah menikmati pemandan- gan di sekitar tempat itu. Mulutnya terus terusan perdengarkan suara ukk! Uuk! Uuukk! Berulang kali sea- kan mengagumi keindahan tempat yang dilewati. Entah karena begitu kagumnya dengan pemandangan di sekitar tempat itu, kakek ini bahkan tidak acuhkan keberadaan Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong yang tegak hanya berjarak lima langkah dari tempat si kakek melangkah.

“Dasar manusia edan! Pada kakak pun sampai tidak ingat lagi! Manusia begini ini biasanya tidak berumur panjang lagi!” Dewi Ayu Lambada berkata seraya terus perhatikan orang yang lewat didepannya.

“Menurut Kakek Iblis Ompong, kakek yang tengah melangkah ini adalah adik kandung nenek itu. Tapi mengapa mereka tidak saling sapa? Malah pada Kakek Iblis Ompong juga diam saja?! Hem.... Barangkali Kakek Iblis Ompong berkata dusta padaku!” kata Joko dalam hati. Lalu dia pasang tampang begitu dilihatnya kakek yang melangkah hendak lewat di hadapannya. Sementara Putri Kayangan hanya memandang dengan terus dibuncah berbagai tanya.

“Jangan-jangan dia sedang kesurupan! Lihat matanya terus melotot!” Iblis Ompong sambuti ucapan Dewi Ayu Lambada. Lalu tengadah dengan mulut terbuka.

Di depan sana, murid Pendeta Sinting sedikit merasa heran begitu si kakek yang melangkah tidak melihat ke arahnya! Dia terus saja melangkah dengan kepala bergerak ke samping kiri kanan.

“Kek!” Joko yang seolah tidak sabar melihat sikap si kakek cepat menegur.

Orang yang ditegur sesaat hentikan langkah. Namun dia bukannya memandang ke arah murid Pendeta Sinting melainkan pada Putri Kayangan yang tegak tidak jauh dari tempat tegaknya Pendekar 131.

“Busyet! Aku lupa.... Dia tuli! Mana mungkin mendengar teguranku!” gumam murid Pendeta Sinting lalu kerahkan sedikit tenaga dalamnya dan berteriak. “Kek!”

Putri Kayangan terkejut dan buru-buru berpaling pada Pendekar 131. Selain ingin tahu juga karena merasa tak enak dipandangi kakek yang baru saja muncul. Si kakek angkat kedua tangannya ditadangkan di belakang kedua telinganya. Namun dia belum juga hadapkan wajahnya pada murid Pendeta Sinting.

“Kek! Kau lupa padaku?! Aku Joko!” kembali murid Pendeta Sinting berteriak dengan suara keras.

Putri Kayangan kembali terkejut dan tutup telinganya dengan tangan. Si kakek yang baru saja muncul bergerak menghadap ke arah Joko. Tiba-tiba tubuhnya diluruskan membuat gerakan seperti orang terkejut. Saat bersamaan tangan kanannya menunjuk-nunjuk pada Joko. Lalu menunjuk pada matanya dan kembali menunjuk pada Joko.

“Betul! Kita pernah bertemu dan saling berpandangan!” Joko kembali berteriak seolah mengartikan isyarat orang. “Putri.... Harap maklumi” ujar Joko dengan suara dipelankan. “Kakek sahabatku ini pendengarannya tidak normal! Begitu juga bicaranya!”

Putri Kayangan menghela napas panjang. Dalam hati dia berkata sendiri. “Para sahabatnya banyak yang aneh-aneh....”

“Kek! Kau kenal dengan dua temanku yang tegak di sana itu?!” kata Joko kembali dengan suara keras seraya menunjuk pada Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong.

Kepala si kakek bergerak mengikuti arah tangan murid Pendeta Sinting. Sesaat kakek ini kernyitkan dahi. Namun tak lama kemudian dia kembali luruskan tubuh dengan perdengarkan suara ukk! Uuuk! berulang kali. Kepalanya bergerak mengangguk lalu tertawa ngakak! Puas tertawa si kakek menunjuk pada Dewi Ayu Lambada. Lalu menunjuk pada dirinya sendiri. Lalu jari telunjuknya diangkat. Tangan satunya membuat bundaran besar pada perutnya.

“Jadi benar dia saudaramu?!” tanya Joko.

Si kakek acungkan ibu jarinya pada murid Pendeta Sinting. Memberi tanda kalau ucapan Joko benar. Saat kemudian si kakek menunjuk pada Iblis Ompong. Lalu kedua jari telunjuknya saling dipalangkan satu sama lain dan ditekuk sedikit.

“Hem.... Dia memberi isyarat kalau Kakek Iblis Ompong adalah sahabatnya...” Joko bergumam mengerti akan isyarat telunjuk orang.

“Dewa Uuk! Apa kabarmu?!” Dari arah sana tiba-tiba Iblis Ompong berteriak.

Sesaat si kakek yang dipanggil Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di belakang telinga. Kejap lain dia angkat ibu jarinya sambil tertawa. “Uukk! Uuukk! Uuukk!” Dewa Uuk menunjuk pada Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong. Lalu kedua telunjuk tangan kiri kanannya disejajarkan dan digerakkan perlahan-lahan ke depan.

“Edan! Siapa kawin sama dia?!” Tiba-tiba Dewi Ayu Lambada membentak.

“Eh.... Jadi adikmu itu memberi isyarat bertanya apakah kita berdua sudah kawin?!” tanya Iblis Ompong.

Si nenek tidak menyahut melainkan mendengus. Sementara di depan sana Pendekar 131 melangkah mendekati Dewa Uuk lalu berbisik.

“Kek.... Kau dibohongi! Mereka berdua baru saja jadi suami-istri!”

“Ukkk! Ukkk! Ukkk!” Dewa Uuk buka mulut sambil membuat isyarat gerak-gerakkan tangan membuka menutup. Sementara tangan satunya berada di belakang telinga.

“Busyet! Dia tidak bisa dibisiki! Susah kalau begini...!” kata Joko dalam hati. Tapi dia dekatkan juga mulutnya ke arah telinga orang lalu berbisik agak keras.

Tiba-tiba Dewa Uuk tertawa panjang. Padahal Joko belum sampai berbisik, membuat Joko cepat-cepat tarik pulang kepalanya agar tidak tertumbuk guncangan pundak orang. “Kau dengar apa yang dibisikkan pemuda sableng itu?!” tanya Dewi Ayu Lambada.

“Untuk apa terlalu pikirkan ulah anak itu!” sahut Iblis Ompong.

“Aku khawatir dia bicara yang tidak-tidak!”

“Hem.... Kau takut anak itu mengatakan kalau kita sudah jadi suami-istri?!”

“Benar! Jika hal itu sampai tersiar....” Si nenek sejenak hentikan ucapannya. Lalu melanjutkan. “Pasti tidak akan ada yang memperhatikan aku lagi!” seraya berucap begitu si nenek rapikan pakaian dan kerudungnya.

Mendengar ucapan Dewi Ayu Lambada, tawa Iblis Ompong meledak. Saat yang sama, tiba-tiba Dewa Uuk juga perdengarkan tawa ngakak!

“Anak sinting!” Dewi Ayu Lambada berteriak pada murid Pendeta Sinting. “Kau bicara apa, hah?!”

“Aku tidak bicara apa-apa, Nek!”

“Tidak mungkin dia tertawa begitu rupa kalau kau tidak bicara yang tak karuan!”

“Nek.... Kalau tak percaya, tanya saja pada Dewa Uuk!”

Dewi Ayu Lambada arahkan pandang matanya pada Dewa Uuk lalu bertanya. “Uuk! Apa yang dikatakan pemuda itu?!”

Dewa Uuk putuskan gelakan tawanya. Lalu kedua telunjuknya disatukan dan menunjuk pada murid Pendeta Sinting.

“Busyet! Aku tadi berbisik pelan dan baru hendak bicara keras. Nyatanya dia sudah dengar!” batin murid Pendeta Sinting dengan salah tingkah. Sementara si nenek sudah mendelik angker.

Mungkin untuk alihkan perhatian Dewi Ayu Lambada juga Dewa Uuk, murid Pendeta Sinting segera menggaet lengan Dewa Uuk. Ketika Dewa Uuk berpaling, Joko tunjukkan jarinya pada Putri Kayangan seraya tersenyum.

“Gadis cantik ini sahabatku. Namanya Putri Kayangan!” kata Joko sambil melirik ke arah Dewi Ayu Lambada.

Dewa Uuk usap-usap jenggotnya sembari manggut-manggut. Mendadak si kakek hentikan usapan dan anggukkan kepalanya. Kepalanya disorongkan ke depan lalu perhatikan Putri Kayangan seolah baru pertama kali melihat.

“Kau pernah bertemu dengannya?!” tanya murid Pendeta Sinting.

Dewa Uuk tidak memberi isyarat sebagai sambutan pertanyaan orang. Dia terus pandangi si gadis. Di lain pihak Putri Kayangan memandang tajam pada Pendekar 131! Saat lain tiba-tiba Dewa Uuk tekuk kedua lututnya lalu duduk bersila di atas tanah. Sekali lagi dia memandang pada Putri Kayangan. Lalu jari telunjuknya membuat gambar di atas tanah.

Di seberang sana, Dewa Ayu Lambada cepat menggandeng lengan Iblis Ompong. Tanpa berkata apa-apa lagi, si nenek cepat melangkah dengan menyeret lengan si kakek ke arah Dewa Uuk. Ketika kakek dan nenek ini tegak di sebelah Dewa Uuk, keduanya melihat gambar dua kepala di atas tanah. Pada bagian atas gambar diberi angka satu dan dua.

“Uukk! Uuukk! Uuukk!” Dewa Uuk arahkan telunjuknya pada Putri Kayangan lalu menunjuk pada gambar nomor satu. Saat bersamaan dia memberi tanda silang pada gambar dengan kepala menggeleng.

“Uuukk! Uuukk! Uuukk!” Dewa Uuk buka mulut lagi. Kali ini telunjuknya menekan-nekan pada gambar berangka dua. Kepalanya mengangguk. Lalu kedua tangannya disatukan dan diangkat di depan perutnya. Lalu kedua tangan itu membentuk bundaran di depan perut.

Pendekar 131 dan Putri Kayangan saling pandang. Sementara Dewi Ayu Lambada sudah berbisik pada Iblis Ompong. “Jadi saudara gadis itu yang kelak melahirkan bayi!”

Pendekar 131 mendekati Putri Kayangan. Memandang sesaat seraya tersenyum lalu berkata pelan. “Putri.... Kau tentu paham bukan isyarat kakek itu tadi?!”

Walau sebenarnya bisa meraba akan isyarat yang dibuat Dewa Uuk, namun Putri Kayangan pura-pura tak mengerti dan berkata. “Aku tak tahu duduk urusannya! Harap kau suka memberi tahu....”

“Dua gambar itu menunjukkan kau dan saudara kembarmu Pitaloka. Tanda silang berarti bukan kau karena baru saja menunjuk ke arahmu! Sekarang kau pasti tahu lanjutannya....”

“Jadi kalian tetap menganggap bayi itu akan lahir dari Pitaloka?!” tanya Putri Kayangan lalu gelengkan kepala. “Aku masih tidak bisa percaya dengan semua ini! Tidak mungkin Pitaloka mengandung! Tidak mungkin itu terjadi padanya!”

“Semuanya memang masih perlu dibuktikan, Putri....”

“Buktinya sudah kau lihat sendiri! Satu purnama yang lalu perutnya masih biasa-biasa saja! Kalau memang dia, apalagi menurutmu kelahiran itu tinggal satu purnama lagi, tentu saat itu perut Pitaloka sudah kelihatan besar!”

“Aku pun sebenarnya berpendapat demikian, Putri! Namun siapa tahu....”

“Gadis cantik.... Dunia kadang-kadang memunculkan keanehan yang menurut hitungan manusia tak mungkin!” kata Iblis Ompong.

“Tapi aku tetap belum bisa percaya! Dan aku harus segera mencarinya!”

“Kita cari bersama-sama, Putri...,” kata murid Pendeta Sinting.

Putri Kayangan geleng kepala. “Pendekar 131! Dia adalah saudaraku. Biar aku yang mengurusnya!”

“Aku tahu.... Tapi aku juga memerlukan dia! Lagi pula kau tahu sendiri. Saat itu dia bersama orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad. Terlalu berbahaya kalau kau bertindak sendiri!”

“Aku meninggalkan lereng Semeru dengan mengemban tugas mencari Pitaloka sekaligus membawanya ke hadapan Eyang Guru. Mati bukan persoalan bagiku jika menjalankan apa yang diperintahkan Eyang Guru!”

“Kau tahu di mana sekarang Pitaloka berada?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Aku memang tak tahu. Tapi itu bukan halangan bagiku untuk mendapatkannya!”

“Putri.... Di sini ada Dewa Uuk. Mungkin dia bisa memberi petunjuk! Walau mungkin kau tidak percaya, tapi setidaknya kau bisa mendapat gambaran!”

Habis berkata begitu, tanpa menunggu sambutan Putri Kayangan, murid Pendeta Sinting segera berjongkok lalu berkata pada Dewa Uuk. “Kek! Kau bisa memberi gambaran di mana sekarang gadis saudara kembar Putri Kayangan?!”

Sesaat Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di belakang telinganya. Saat lain tanpa berkata-kata lagi dia membuat coretan-coretan di atas tanah. Walau tidak begitu percaya, namun tak urung Putri Kayangan perhatikan juga coretan Dewa Uuk. Sementara Joko, Dewi Ayu Lambada, dan Iblis Ompong melihat dengan seksama. Pendekar 131 tampak gelengkan kepala. Iblis Ompong mendongak dengan mulut terbuka lebat.

“Aku tak bisa mengartikan apa maksudnya! Kakek iblis Ompong pun tampaknya kesulitan menjabarkan! Hem.... Mungkin nenek itu yang tahu...,” kata Joko dalam hati.

“Nek.... Kau tahu apa maksudnya?!”

Dewi Ayu Lambada tersenyum mengejek. Lalu berkata. “Hutan lebat!”

“Hem.... Di dunia ini banyak hutan lebat!”

“Jangan tolol! Kau bisa tanyakan arahnya!” ujar Dewi Ayu Lambada. “Dan berapa jauh perjalanannya dari tempat ini!”

Pendekar 131 tersenyum sambil tepuk keningnya. Lalu berjongkok lagi dan berteriak. “Kek! Harap tunjuk arahnya dan berapa lama perjalanannya dari sini!”

Dewa Uuk bergerak bangkit. Tangan kanannya lurus menunjuk ke arah utara. Lalu tangan satunya diambangkan. Ibu jari dan kelingkingnya ditekuk.

“Perjalanannya tiga hari dari tempat ini. Arahnya utara!” gumam murid Pendeta Sinting.

“Putri Kayangan.... Kau telah tahu ke mana harus mencari dan mendapatkan Pitaloka. Kau memang tidak harus percaya. Tapi kalau tidak ingin sia-sia mencari, lebih baik kau ikuti dahulu petunjuknya!”

“Terima kasih! Aku harus pergi sekarang!” kata Putri Kayangan lalu setelah memandang pada murid Pendeta Sinting, gadis cantik ini berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Putri.... Tunggu! Aku ikut!” teriak Pendekar 131 lalu berkelebat menyusul.

“Dasar murid manusia sinting! Begitu mendapat apa yang diminta, ngeloyor tanpa basa-basi!” Dewi Ayu Lambada mengomel.

“Ah.... Kau seperti tidak pernah ketiban cinta saja. Seharusnya kau maklum!” ujar Iblis Ompong seraya pandangi sosok murid Pendeta Sinting yang terus berkelebat sambil teriak-teriak karena Putri Kayangan seakan tidak mendengar dan malah mempercepat kelebatannya.

“Bagaimana sekarang?!” tanya si nenek.

“Kita lanjutkan perjalanan!” jawab Iblis Ompong.

“Bagaimana dengan manusia satu ini?!” tanya si nenek seraya menunjuk pada Dewa Uuk.

“Dia banyak tahu daripada kita! Kita membutuhkannya!”

“Jadi kita bawa sekalian?!”

“Kau takut mengganggu acara kita?!” Iblis Ompong balik bertanya.

“Sialan! Tanpa atau dengan dia, tak ada acara di antara kita!”

Habis berkata begitu, Dewi Ayu Lambada menggaet lengan Dewa Uuk. “Kau harus ikut bersama kami!”

Tanpa menunggu isyarat jawaban, Dewi Ayu Lambada sudah berkelebat dengan menggandeng tangan Dewa Uuk. Iblis Ompong angkat bahu lalu ikut berkelebat di belakangnya.

********************

SEPULUH

KITA tinggalkan dahulu Pendekar 131 dan Putri Kayangan yang tengah mencari Pitaloka, saudara kembar Beda Kumala alias Putri Kayangan. Kita tinggalkan pula Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, serta Dewa Uuk yang diam-diam juga tengah mencari Pitaloka. Perempuan yang menurut isyarat Raja Tua Segala Dewa serta Dewa Uuk adalah perempuan yang kelak melahirkan bayi.

Kita menuju ke satu tempat tidak jauh dari perbatasan sebuah hutan. Matahari sudah beranjak dari titik tengahnya. Sinarnya masih menyengat hamparan bumi. Namun sengatan itu tampaknya tidak begitu diacuhkan oleh satu sosok tubuh yang duduk di atas sebuah tanah agak tinggi dengan kedua tangan menopang dagunya.

Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian putih. Rambutnya yang telah memutih dan panjang dibiarkan bergerai berkibar-kibar ditiup angin. Laki-laki ini bermata agak sayu dengan salah satu cuping hidungnya dilingkari sebuah anting-anting. Beberapa kali laki-laki ini menghela napas panjang dengan memandang jauh. Tatapannya kosong. Tiba-tiba dia bergumam.

“Lasmini.... Ke mana gerangan perempuan itu?! Seharusnya saat ini dia telah berada di sini. Persetan dengan berhasil atau tidak apa yang dilakukannya! Namun, hingga saat ini dia tak ada kabar beritanya!”

Lagi-lagi si laki-laki menghela napas. Lalu kepalanya bergerak menggeleng. Saat lain terdengar lagi gumamannya. “Semua rencanaku tampaknya akan mengalami kegagalan! Bukan saja Lasmini yang tidak ada beritanya, Kiai Laras pun tak kuketahui di mana beradanya! Padahal saat perjanjian bertemu sudah lewat. Ke mana sebenarnya Kiai Laras?! Dan siapa gerangan manusia yang mengenakan jubah hitam tidak kelihatan sosoknya itu?! Dan juga menggenggam Kembang Darah Setan! Padahal aku tahu benar, Kembang Darah Setan telah diberikan Kiai Laras pada Setan Liang Makam di teluk dekat pesisir utara. Anehnya, saat berjumpa lagi, Setan Liang Makam tidak lagi membawa Kembang Darah Setan, sebaliknya digenggam sosok di balik jubah hitam itu!”

Si laki-laki menyisir geraian rambutnya dengan jari-jari kedua tangannya. “Apa yang harus kulakukan sekarang?! Menuruti perintah sosok berjubah hitam untuk menghadapi sekaligus membunuh Pendekar 131?! Tak mungkin.... Tak mungkin itu kulakukan! Dia terlalu tangguh untukku! Tapi kalau tak kulakukan, nyawaku pun pasti tidak ada artinya berhadapan dengan manusia tanpa sosok itu! Hem...” Si laki-laki menggumam lalu bangkit.

“Kedua pilihan itu sama saja bagiku! Apa boleh buat! Yang jelas aku sekarang harus mendapatkan kabar di mana Lasmini dan Kiai Laras. Mungkin keduanya bisamembantu!”

Setelah bergumam begitu, si laki-laki langkahkan kaki tinggalkan perbatasan hutan. Namun belum begitu jauh melangkah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. Tidak ada kesempatan bagi si laki-laki untuk berkelebat menyelinap hingga pada akhirnya dia palingkan kepala seraya membatin.

“Tidak ada yang tahu tempat ini selain Kiai Laras dan Lasmini. Mudah-mudahan salah satunya yang muncul!”

Begitu berpaling, mendadak kedua kaki si laki-laki langsung bergerak menyurut. Wajahnya berubah tegang. Sepasang matanya yang sayu membesar tak berkesip menatap pada sebuah jubah hitam yang tegak mengapung di udara tanpa terlihat sosok pemakainya!

“Dia!” desis si laki-laki dengan bibir bergetar.

“Kiai Lidah Wetan! Kau terkejut dengan kehadiranku?!” Terdengar ucapan disusul dengan suara tawa panjang dari sosok tidak terlihat di balik jubah hitam yang tidak lain adalah Jubah Tanpa Jasad.

“Dari mana dia tahu tempat ini?! Padahal...”

Belum sampai laki-laki yang hidungnya beranting-anting dan bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan teruskan kata hatinya, sosok di balik Jubah Tanpa Jasad yang tidak lain adalah Kiai Laras telah perdengarkan suara lagi.

“Kiai Lidah Wetan! Jangan mimpi kau bisa lari dari jangkauan mataku! Dunia ini sudah berada di tanganku! Ke mana pun kakimu melangkah, kau tak bakal punya tempat untuk sembunyikan diri! Ha Ha Ha...! Sekarang aku perlu jawabanmu! Mengapa kau tidak ke tempat yang kukatakan pada waktunya, hah?!”

“Percuma aku datang kalau tidak berhasil melakukan apa yang kau perintahkan!” jawab Kiai Lidah Wetan dengan suara bergetar parau.

“Hem.... Jadi kau gagal melakukannya?!”

Kiai Lidah Wetan tidak menjawab. Sebaliknya laki-laki kakak kandung dari Kiai Laras ini tengadahkan sedikit kepalanya dengan sosok bergetar. “Kau tahu apa imbalan bagi manusia yang gagal sepertimu?!” kembali Kiai Laras yang tidak bisa dikenali sosoknya karena mengenakan Jubah Tanpa Jasad ajukan tanya.

Lagi-lagi Kiai Lidah Wetan tidak memberi jawaban. Sebaliknya dalam keadaan tidak ada pilihan lain dan tahu apa arti pertanyaan orang, diam-diam Kiai Lidah Wetan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Dia sadar kalau itu tidak ada gunanya. Tapi dia tidak mau tinggal diam dan mampus tanpa membuat perlawanan.

Mendapati orang tidak menjawab, Kiai Laras bukannya naik pitam, melainkan tertawa bergelak. Lalu berkata. “Kiai Lidah Wetan! Manusia dilahirkan telah mendapat jaminan untuk mati. Dan jaminan itu telah tiba saatnya bagimu! Tapi aku tidak mau membuat orang mampus dengan penasaran dan hati bertanya-tanya!” Sesaat Kiai Laras hentikan ucapannya. Tertawa pendek sebelum akhirnya berucap lagi.

“Kau tentu ingin tahu siapa aku sebenarnya, bukan?!”

Kiai Lidah Wetan menatap tak berkesip pada jubah hitam dihadapannya. “Katakan siapa kau sebenarnya!”

“Kau akan segera tahu...,” kata Kiai Laras. Kedua tangannya segera bergerak lepaskan Jubah Tanpa Jasad. Begitu Jubah Tanpa Jasad jatuh di atas tanah, laksana hendak terbang, Kiai Lidah Wetan melompat ke depan dengan mata mendelik.

“Laras.... Jadi kau!” desis Kiai Lidah Wetan begitu matanya melihat sosok laki-laki berusia lanjut yang sangat dikenalnya. Karena dia adalah adiknya sendiri, Kiai Laras!

Kiai Laras kembali tertawa panjang seraya mendongak. Sementara Kiai Lidah Wetan terus menatap seolah masih belum percaya.

“Bagaimana ini bisa terjadi?!” gumam Kiai Lidah Wetan.

“Kau tak usah heran. Hal ini terjadi karena aku bukan manusia bodoh sepertimu! Dan agar kau tidak penasaran, kau akan mendengar ceritanya....”

Kiai Laras melangkah mondar-mandir di sekitar Jubah Tanpa Jasad. Lalu buka mulut. “Kembang Darah Setan yang kuberikan pada Setan Liang Makam di teluk itu adalah Kembang Darah Setan palsu! Hal itu kulakukan agar aku tahu ke mana gerangan manusia setan itu akan pergi setelah mendapatkan Kembang Darah Setan. Untuk itulah mengapa aku mengajakmu mengikuti jejak Setan Liang Makam yang ternyata menuju Kampung Setan. Begitu kita tinggalkan Kampung Setan dan kita berpisah di tengah jalan, aku kembali lagi ke Kampung Setan! Dan ternyata apa yang kuimpikan jadi kenyataan! Jubah Tanpa Jasad telah kumiliki! Begitu juga Kembang Darah Setan yang asli!”

“Jahanam! Aku tertipu. Tapi memang ini kebodohanku! Seandainya sejak semula aku tidak menceritakan tentang Kampung Setan, pasti Kembang Darah Setan itu kini menjadi milikku!” diam-diam Kiai Lidah Wetan memaki diri dalam hati.

Seperti diketahui, sebenarnya yang tahu persis tentang masuknya Maladewa alias Setan Liang Makam ke dalam makam batu adalah Kiai Lidah Wetan. Dia pula yang mendengar ucapan Nyai Suri Agung bagaimana dan kapan Maladewa bisa keluar dari makam batu. Namun karena saat itu Kiai Lidah Wetan dihantui perasaan takut, dia akhirnya menceritakan semuanya pada adiknya Kiai Laras, dengan harapan begitu Kiai Laras berhasil mendapatkan Kembang Darah Setan, dia akan lebih mudah untuk merebutnya.

(Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Rahasia Kampung Setan)

“Laras...,” kata Kiai Lidah Wetan setelah agak lama berdiam diri. “Kita adalah saudara. Lagi pula dengan petunjukku kau berhasil mendapatkan Kembang Darah Setan. Apakah kau akan melupakan semua ini?!”

“Ucapanmu benar! Tapi aku tahu apa yang ada dalam benakmu! Kau menginginkan Kembang Darah Setan itu bukan?!”

“Kalau aku menginginkannya, aku tidak akan menceritakan padamu! Aku akan mengambilnya sendiri! Bukankah aku tahu bagaimana cara dan kapan saatnya Setan Liang Makam bisa keluar dari makam batu di Kampung Setan?!”

“Itu juga benar! Tapi kau tak punya nyali untuk mengambilnya! Lalu kau menceritakan padaku agar aku mengambilnya! Dengan Kembang Darah Setan di tanganku, kau berpikir akan mudah memilikinya! Ha Ha Ha...! Aku tidak setolol yang kau kira, Lidah Wetan...!”

Kiai Lidah Wetan terdiam. Kiai Laras kenakan kembali Jubah Tanpa Jasad hingga tak lama kemudian sosoknya tidak kelihatan. “Sebelum kuucapkan selamat jalan, perlu juga kuberi tahu tentang kekasih lamamu....”

“Lasmini...,” gumam Kiai Lidah Wetan tanpa sadar.

“Bagus! Kau betul-betul sangat memperhatikannya!”

“Laras! Kau boleh membunuhku! Tapi jangan kau berbuat macam-macam dengan dia! Dia tidak tahu apa-apa dalam urusan ini!”

“Dia tahu banyak! Dan tak lama lagi tentu akan segera menyusulmu!”

Tampang Kiai Lidah Wetan berubah beringas. Dia kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki pada kedua tangannya.

Kiai Laras tertawa. “Kau kuberi kesempatan untuk lakukan apa yang kau mau, sebelum kuantar ke dunia lain!”

Meski sudah tahu kalau apa yang akan dilakukannya tidak bisa merubah keadaan, tapi Kiai Lidah Wetan sudah nekat. Didahului bentakan garang, dia melompat ke depan. Kedua tangannya serta-merta disentakkan melepas pukulan dari jarak empat langkah.

Wuutt! Wuuttt!

Dua gelombang dahsyat menerjang ganas ke arah Jubah Tanpa Jasad. Kiai Laras tidak membuat gerakan. Malah menyongsong gelombang yang datang dengan berkacak pinggang dan perdengarkan tawa bergelak!

Desss! Desss!

Dua gelombang dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan menghantam Jubah Tanpa Jasad. Namun jubah hitam itu laksana dilapis tembok raksasa. Hingga bukan saja gelombang yang datang tidak mampu membuat sosok Kiai Laras jatuh terjengkang, namun gelombang dahsyat itu segera mental balik dan kini melesat ke arah Kiai Lidah Wetan! Kiai Lidah Wetan sesaat terkesiap. Namun cepat dia selamatkan diri dengan jatuhkan diri bergulingan seraya kelebatkan kedua tangannya.

"Bummmm!" Terdengar gelegar keras ketika gelombang yang mental dari Jubah Tanpa Jasad bentrok dengan gelombang yang baru saja melesat dari kelebatan kedua tangan Kiai Lidah Wetan.

Bersamaan dengan terdengarnya gelegar, kedua tangan Kiai Laras tampak membuat gerakan. Saat lain terdengar deruan. Kiai Lidah Wetan tersentak. Buru-buru dia kelebatkan kembali kedua tangannya tatkala menyadari Kiai Laras telah lepaskan pukulan ke arahnya.

"Bummmm!" Untuk kedua kalinya terdengar lagi gelegar tatkala pukulan yang dilepas Kiai Laras bertemu dengan pukulan hadangan Kiai Lidah Wetan.

Sosok Kiai Lidah Wetan bergulingan lagi karena harus menahan bentroknya beberapa kali pukulan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Kiai Laras yang tampaknya sudah tak sabar. Hingga begitu mendapati Kiai Lidah Wetan bergulingan, Kiai Laras cepat ambil Kembang Darah Setan dari balik pakaiannya. Saat lain tangannya yang tiba-tiba pancarkan sinar tiga warna, merah, hitam, dan putih telah berkelebat.

Pancaran sinar tiga warna yang tidak lain mencuat dari Kembang Darah Setan berkiblat angker ke arah Kiai Lidah Wetan. Begitu derasnya kiblatan sinar tiga warna, terlambat bagi Kiai Lidah Wetan untuk bergerak selamatkan diri atau membuat gerakan menghadang.

Desss! Desss! Desss!

Kiai Lidah Wetan melolong tinggi. Namun lolongannya terputus mendadak. Kejap lain sosok kakak kandung Kiai Laras ini mengejang lalu diam tak bergerak-gerak lagi dengan sekujur tubuh menghitam laksana dipanggang!

Kiai Laras tersenyum dingin. Kembang Darah Setan dimasukkan lagi ke balik pakaiannya. Tanpa melihat lagi pada sosok mayat Kiai Lidah Wetan, Kiai Laras berkelebat tinggalkan perbatasan hutan yang tebarkan hawa kematian!

********************

SEBELAS

EMPAT sosok tubuh bertelanjang dada tampak berkelebat memasuki kawasan lereng Gunung Semeru. Dua berlari di sebelah depan, dua lainnya berada di belakang. Ketika berjarak lima belas langkah di depan sana terlihat sebuah batu besar yang membentuk bangunan, keempat sosok ini sama saling pandang. Lalu salah seorang yang berada di bagian depan angkat tangan kirinya memberi isyarat. Keempatnya serentak hentikan lari masing-masing.

Keempat orang ini ternyata adalah laki-laki berkepala gundul. Mereka hanya mengenakan celana kolor. Orang bagian depan sebelah kanan mengenakan celana kolor warna merah. Sementara di sebelahnya mengenakan celana kolor warna hitam. Orang di bagian belakang sebelah kanan memakai celana kolor warna kuning, sedang di sebelahnya memakai celana kolor warna hijau.

Keempat laki-laki ini memiliki paras wajah hampir sama. Yakni kepalanya membentuk lonjong ke bawah. Mata masing-masing orang tidak membelah ke samping melainkan membelah ke bawah. Begitu pula bibir masing-masing orang. Bukannya membelah ke samping, melainkan ke bawah. Laki-laki yang mengenakan celana kolor warna merah yang tadi angkat tangannya dan tampaknya merupakan pimpinan, gerakkan kepala berpaling pada laki-laki di sebelahnya. Lalu terdengar ucapannya.

“Apa kita langsung menemui Eyang...?!” Laki-laki di samping si celana kolor warna merah segera buka mulut menjawab.

“Kalau kita menunggu, beban ini rasanya bertambah berati Apa pun yang nanti terjadi, kita terima! Kita sudah berusaha....”

Si celana kolor warna merah menoleh ke belakang. Kedua laki-laki yang tegak di bagian belakang sama anggukkan kepala masing-masing tanpa buka suara.

“Baik.... Biar aku nanti yang bicara!” kata laki-laki bercelana kolor warna merah lalu mulai gerakkan kaki melangkah diikuti oleh ketiga laki-laki lainnya.

Kira-kira berjarak sepuluh langkah dari batu besar yang membentuk bangunan, tiba-tiba satu bayangan putih melesat keluar dari batu besar dan tahu-tahu telah tegak lima langkah di hadapan keempat laki-laki. Sesaat keempat laki-laki sama angkat kepala masing-masing. Saat lain hampir bersamaan mereka menjura hormat.

Orang di hadapan keempat laki-laki ternyata adalah seorang perempuan setengah baya. Rambutnya hitam lebat dan disanggul di belakang. Perempuan ini masih tampak cantik walau sudah tidak muda lagi. Dia mengenakan pakaian putih sebatas dada mirip pakaian yang dikenakan para penari. Pada rambutnya yang hitam terlihat beberapa bunga. Di sela jari telunjuk dan jari tengah kedua tangannya terlihat pula menyelinap sekuntum bunga.

“Tokoh-tokoh Penghela Tandu....” Si perempuan berkata. “Kalian pulang tanpa Beda Kumala. Apa yang terjadi?!”

Keempat laki-laki yang memang bukan lain adalah Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama angkat kepalanya. Laki-laki yang bercelana kolor merah melirik sesaat pada ketiga laki-laki lainnya. Saat lain dia angkat bicara.

“Eyang.... Putri Kayangan menghendaki agar kami pulang terlebih dahulu! Sebenarnya kami tak mau melakukannya, tapi Putri Kayangan memaksa....”

“Hem.... Lalu apakah kalian telah berkunjung ke Jurang Tlatah Perak?!”

“Kami sudah sampai ke sana. Tapi Pendeta Sinting tidak ada di tempatnya! Hanya saja kami sempat bertemu dengan muridnya, Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng..."

“Bagaimana dengan Pitaloka?!”

“Kami belum sampai bertemu dengan Pitaloka. Namun menurut murid Pendeta Sinting, Pitaloka telah membawa lari Pedang Tumpul 131 milik pendekar muda itu! Dan menurut berita yang tersiar, Kembang Darah Setan telah berada di tangan pendekar muda itu. Hanya saja Putri Kayangan belum percaya....”

Si perempuan menghela napas dalam. “Pitaloka.... Kau banyak membuat persoalan. Dengan tindakanmu ini secara tak langsung kau telah mengadu aku dengan beberapa sahabat baikku!”

“Lalu siapa lagi yang sempat kalian jumpai?!” tanya si perempuan setelah terdiam beberapa lama.

“Kami sempat berjumpa dengan seseorang yang bergelar Datuk Wahing. Lalu Setan Liang Makam serta seorang gadis cantik bernama Saraswati....”

“Datuk Wahing aku telah mengenalnya. Tapi Setan Liang Makam baru kali ini aku mendengar gelar itu...,” gumam si perempuan. “Kembang Darah Setan telah berada di tangan murid Pendeta Sinting... Hem.... Apa benar berita ini?! Apa Beda Kumala mengatakan pada kalian hendak pergi ke mana?!” Perempuan itu bertanya lagi.

“Tidak, Eyang.... Putri Kayangan cuma mengatakan hendak terus mencari Pitaloka dan menyuruh kami pulang terlebih dahulu untuk menyampaikan apa yang terjadi!”

“Baik! Sekarang kalian tetap tinggal di sini sampai aku pulang! Ingat jangan sampai ada yang meninggalkan tempat ini sebelum kedatanganku nanti!”

Habis berkata begitu, si perempuan balikkan tubuh lalu berkelebat kembali masuk ke dalam batu besar yang membentuk bangunan. Tak lama kemudian terdengar derap langkah kaki kuda. Lalu dari bagian samping batu besar, muncul seekor kuda dan ternyata penunggangnya adalah si perempuan yang tadi dipanggil Eyang oleh Tokoh-tokoh Penghela Tandu.

“Jika Beda Kumala datang mendahului aku, cegah dia agar menunggu sampai aku kembali!” kata si perempuan lalu tanpa menunggu jawaban Tokoh-tokoh Penghela Tandu, si perempuan sudah hentakkan kedua kakinya pada lambung kuda tunggangannya. Binatang itu meringkij keras lalu berlari tinggalkan lereng Gunung Semeru.

********************

Setelah berkuda selama dua hari dua malam, si perempuan berpakaian putih sebatas dada sampai pada satu kawasan yang dari tempat itu terlihat hutan lebat. Si perempuan menarik napas dalam-dalam. Kepalanya didongakkan lalu menghirup udara berlama-lama.

“Aku bisa mencium keberadaan Pitaloka dan Beda Kumala di sekitar tempat ini! Aneh.... Mengapa mereka berdua berada di hutan lebat itu? Tapi aku juga dapat mencium aroma beberapa orang lagi.... Hem.... Di dalam hutan lebat dan sunyi ada beberapa orang. Pasti ada sesuatu di sana.... Tapi mengapa Pitaloka dan Beda Kumala ikut berada disana?!”

Selagi si perempuan tengah membatin dan bertanya-tanya sendiri mendadak dia dikejutkan dengan terdengarnya suara cekikikan.

“Perempuan...,” si perempuan di atas kuda menggumam. Lalu melompat turun dari atas kuda tunggangannya dan cepat putar diri menghadap sumber terdengarnya suara cekikikan.

Untuk beberapa lama si perempuan dari lereng Semeru memperhatikan ke depan. Dia melihat seorang perempuan berusia lanjut melangkah sendiri sambil tertawa-tawa.

“Siapa nenek itu? Dandanannya mirip anak gadis saja...,” kembali si perempuan dari lereng Semeru menggumam dan memperhatikan lebih seksama pada sosok perempuan berusia lanjut yang tertawa cekikikan sendiri.

Perempuan itu ternyata membedaki wajahnya tebal-tebal. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kiri kanannya juga diberi pewarna merah muda. Rambutnya yang putih dan panjang serta lebat dikelabang jadi dua. Pada ujung kelabangan rambutnya diberi pita warna merah. Sama warnanya dengan pakaian yang dikenakannya. Sementara rambut bagian depannya diponi dan digeraikan pada keningnya.

Nenek ini mengenakan pakaian atas berupa baju tanpa lengan dan sangat cingkrang hingga bukan saja ketiaknya yang kelihatan, namun pusarnya yang hitam tampak jelas. Sementara pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut. Hingga pahanya yang berkulit hitam terpampang nyata. Sambil melangkah dengan tertawa sendiri, tangan kiri nenek ini memainkan ujung kelabang rambutnya sementara tangan satunya sesekali merapikan poni pada keningnya. Si nenek berambut poni mendadak hentikan lang- kah. Tawanya diputus dan melonjak kaget tatkala matanya menangkap adanya orang yang tegak di depan sana.

“Setan! Bikin orang kaget saja! Siapa kau?!” Tiba-tiba si nenek berambut poni membentak.

Si perempuan dari lereng Semeru sunggingkan senyum walau sedikit merasa heran dengan sikap si nenek. Lalu anggukkan kepala dan buka mulut. “Aku hanya orang tersesat jalan, Nek...”

Si nenek berambut poni memandang tajam pada orang. Lalu edarkan pandang matanya berkeliling. Saat lain kembali dia sudah perdengarkan bentakan keras. “Jangan berani berkata dusta! Kau tersesat atau menyesatkan diri?!”

“Aku benar-benar tersesat jalan, Nek...!”

“Setan! Aku bukan nenekmu!” hardik si nenek berambut poni. “Dari mana asalmu hingga sampai tersesat di sini?!”

Sambil terus sunggingkan senyum si perempuan menjawab. “Aku datang dari jauh. Tepatnya dari lereng Gunung Semeru....”

“Jangan senyam-senyum!” bentak si nenek berponi. “Lalu ke mana kau hendak pergi?!”

“Aku tak tahu akan ke mana. Karena tengah mencari dua cucuku....”

Mendengar jawaban orang, sekonyong-konyong si nenek berambut poni meledak tawanya. “Semuda itu kau sudah punya cucu. Dua lagi! Setan sekalipun jarang semuda kau yang memiliki dua cucu! Apa kau kawin masih kanak-kanak?!”

“Tidak juga.... Tapi yang jelas aku memang sudah punya cucu....”

“Sudah seberapa besar cucumu yang kau cari?!” tanya nenek berambut poni.

“Umur mereka kira-kira tujuh belas tahunan....”

Si nenek berambut poni kerutkan dahi dan pasang tampang seolah tengah berpikir keras. “Cucumu laki-laki atau perempuan...?!”

“Boleh aku tahu, mengapa kau menanyakan itu?!” Si perempuan dari lereng Semeru balik ajukan tanya.

“Setan! Itu urusanku! Jawab saja laki-laki atau perempuan!”

“Keduanya perempuan....”

“Apa mereka lari dibawa laki-laki?!”

Yang ditanya gelengkan kepala. “Mereka kusuruh menemui seorang sahabatku. Dan mungkin karena baru turun gunung, mereka tersesat....”

“Ucapanmu tidak dusta?!” tanya nenek berponi.

“Aku tidak terbiasa bohong....”

“Siapa nama kedua cucumu itu?!”

“Nek... Pertanyaanmu sudah terlalu banyak! Harap kau tidak kecewa kalau kali ini aku tidak bisa menjawab tanyamu....”

“Setan! Berarti kau tidak punya cucu! Terbukti kau tidak bisa katakan siapa nama cucumu! Dan itu tandanya semua ucapanmu tadi dusta!”

“Nek.... Aku bicara apa adanya. Terserah padamu mau percaya atau tidak... aku sekarang harus pergi....”

“Setelah mendustaiku, kau kira enak saja bisa pergi, hah?! Kau tak akan tinggalkan tempat ini sebelum mengatakan siapa nama kedua cucumu!”

“Nek.... Ada apa sebenarnya?! Mengapa kau begitu bersikeras hendak tahu nama kedua cucuku?!”

“Bukan saatnya kau bertanya! Tapi waktunya kau menjawab!”

“Aku tak akan mengatakannya sebelum kau katakan ada apa ini!”

“Hem.... Kau mau aku bertindak sedikit keras, he?”

“Aku tidak menginginkannya! Yang kuinginkan kedua cucuku!”

“Simpan keinginanmu! Kau tidak punya cucu!” bentak nenek berponi.

“Hem.... Tak ada gunanya meladeni nenek aneh ini. Aku tak mau membuat urusan. Apalagi aku dapat mencium aroma orang tidak jauh dari tempat ini. Mungkin teman nenek ini. Lebih baik aku segera pergi....”

Berpikir begitu, akhirnya tanpa berkata-kata lagi si perempuan dari lereng Gunung Semeru putar diri setengah lingkaran dan melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Namun baru saja si perempuan gerakkan kaki, tiba-tiba terdengar suara deruan. Saat bersamaan satu gelombang angin berkiblat ke arah si perempuan dari lereng Gunung Semeru.

Si perempuan cepat jejakkan kedua kakinya, sosoknya mental ke udara. Gelombang angin lewat setengah tombak di bawahnya lalu menerabas rimbun dedaunan di seberang sana hingga bertaburan ke udara. Mendapati orang dapat menghindar selamatkan diri, si nenek berambut poni tertawa. Namun pada saat yang sama kedua tangannya diangkat lalu disentakkan.

“Brusss! Brusss! Brusss!” Tiba-tiba terdengar orang bersin-bersin. Satu desiran angin menderu. Hebatnya mampu membuat gerakan si nenek berambut poni tertahan.

Si nenek memaki lalu perdengarkan bentakan garang. “Setan Wahing! Beraninya kau berulah!”

Bersamaan dengan terdengarnya bentakan si nenek, desiran angin menyibak hingga kedua tangan si nenek kembali leluasa bergerak. Namun belum sampai si nenek benar-benar gerakkan kedua tangannya, kembali terdengar bersinan disusul dengan terdengarnya suara.

“Nenek cantik! Tahan dulu hatimu! Lihat dengan teliti siapa yang kini ada dihadapanmu!”

Belum lenyap suara orang, satu sosok berkelebat dan tegak di hadapan si nenek. Dia adalah seorang kakek berpakaian agak lusuh. Tangan kanannya memegang tongkat. Kepalanya selalu bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan paras wajah seperti orang hendak bersin.

“Datuk Wahing... Aku sudah menduganya!” gumam si perempuan dari lereng Gunung Semeru begitu melihat siapa adanya kakek bertongkat yang kepalanya terus bergerak dengan mimik seperti orang akan bersin.

“Sudah lama kita tak saling jumpa.... Apa kabarmu, Nyai?!” kata si kakek yang tidak lain adalah Datuk Wahing.

“Setan! Jadi kau sudah kenal dia?! Siapa dia, he?! Gendakmu?!” bentak si nenek berambut poni.

Datuk Wahing tidak segera menjawab, melainkan bersin berkali-kali...!

S E L E S A I

Titisan Pamungkas

Serial Joko Sableng Episode Titisan Pamungkas

Cerita silat serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131

SATU

JUBAH hitam tanpa kelihatan sosok si pemakainya itu perdengarkan deruan angker saat berkelebat melewati sebuah kawasan yang menuju bukit. Jubah hitam yang tidak lain adalah Jubah Tanpa Jasad yang dikenakan oleh Kiai Laras baru berhenti di bagian lamping bukit sebelah timur, di mana terdapat sebuah mulut goa yang di kanan kirinya diranggasi semak belukar dan rindangnya dedaunan hingga kalau orang tidak perhatikan dengan seksama, maka dia tak akan bisa melihat jika di antara kerapatan semak dan rindangnya dedaunan terdapat sebuah mulut goa.

Mulut goa itu sebagian tampak ambrol longsor. Sementara agak jauh dari mulut goa, terlihat beberapa tumbangan batangan pohon. Jelas menunjukkan kalau di tempat itu pernah terjadi bentrok antara orang- orang yang berilmu tinggi.

“Hem.... Tempat ini akan kubuat sebagai tempat yang disegani layaknya Kampung Setan pada beberapa puluh tahun yang silam! Bahkan akan kujadikan tempat yang namanya saja sudah membikin orang ketakutan!”

Kiai Laras arahkan pandang matanya pada sekitar mulut goa. Lalu mulai langkahkan kaki. Kepala Kiai Laras berpaling sesaat ketika sosoknya yang tidak bisa dipandang dengan mata biasa tegak di mulut goa. Bibirnya sunggingkan seringai. Lalu teruskan langkah masuk ke dalam goa. Dia menuju pojok ruangan goa di mana terlihat bekas perapian yang telah padam.

Kaki kanan Kiai Laras bergerak masuk ke dalam perapian. Saat lain terdengar suara berderit. Bagian pojok goa tiba-tiba bergerak. Dan tampaklah sebuah lobang menyerupai pintu. Di belakang lobang terlihat tangga naik dari batu cadas. Kiai Laras membuat gerakan satu kali. Serta-merta jubah hitam yang dikenakan melesat dan tahu-tahu telah tegak di bagian atas tangga batu di mana berjarak lima langkah di hadapannya terdapat sebuah lobang menganga besar membentuk lingkaran.

Bersamaan melesat masuknya Jubah Tanpa Jasad, lobang di bagian pojok ruangan goa berderit menutup. Kiai Laras melangkah ke pinggiran lobang menganga di hadapannya. Memandang ke bawah terlihat dua sosok tubuh duduk bersila bersandar pada lamping lobang. Di sebelah kanan tampak seorang perempuan lanjut usia mengenakan kain panjang berwarna coklat. Rambutnya putih dengan kulit di sekujur tubuh mengeriput. Di pangkuan nenek ini terlihat sebuah tusuk konde besar berwarna hitam.

Berjarak tujuh langkah dari tempat si nenek, duduk bersandar seorang perempuan setengah baya yang paras wajahnya masih kelihatan cantik. Kedua orang perempuan di bawah lobang menganga yang bukan lain adalah si nenek Ni Luh Padmi dan Lasmini sama rangkapkan kedua tangan masing- masing di depan dada. Mata mereka sama terpejam rapat. Mereka hanya sesekali menghela napas.

Seperti diceritakan, Ni Luh Padmi yang tengah mencari jejak Pendeta Sinting berjumpa dengan Kiai Laras yang saat itu masih mengenakan samaran sebagai Pendekar 131 Joko Sableng. Kiai Laras mengelabui Ni Luh Padmi hingga si nenek akhirnya muncul di Bukit Kalingga, tempat yang dikatakan Kiai Laras sebagai tempat persembunyiannya Pendeta Sinting. Kiai Laras yang masih menyamar sebagai murid Pendeta Sinting menyambut kedatangan Ni Luh Padmi. Akhirnya terjadi bentrok. Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, Kiai Laras dapat membekuk Ni Luh Padmi dan dimasukkan ke dalam lobang di balik ruangan goa.

Selang beberapa saat kemudian muncul pula Lasmini yang bukan lain adalah ibu dari Saraswati, istri pertama Panjer Wengi yang lebih dikenal dengan Tengkorak Berdarah. Seperti halnya Ni Luh Padmi, Lasmini juga dapat ditipu hingga akhirnya muncul di Bukit Kalingga. Kiai Laras pada akhirnya dapat menaklukkan Lasmini dan diseretnya masuk ke dalam lobang di balik ruangan goa. Baik Ni Luh Padmi dan Lasmini tidak tahu sudah berapa lama mereka berdua berada di dalam lobang itu.

Selain tidak bisa melihat peredaran matahari, yang terpikir oleh mereka berdua adalah bagaimana caranya bisa keluar selamatkan diri. Lobang di mana mereka berdua berada memang tidak terlalu dalam. Seandainya mereka kerahkan tenaga dalam dan berkelebat meloncat, tentu mereka tidak merasa kesulitan. Namun mereka tidak berani melakukannya. Karena ternyata lobang di mana mereka berada telah ditaburi ra- cun. Sekali mereka kerahkan tenaga dalam, racun itu akan masuk ke dalam jalan darah. Hingga meski mereka nantinya bisa selamat keluar, namun nyawanya tidak bisa ditolong lagi!

“Bagus! Rupanya kalian bukan manusia-manusia tolol yang mau selamatkan diri dengan taruhan nyawa! Ha.... Ha.... Ha...!” Kiai Laras perdengarkan suara dari atas lobang. Ni Luh Padmi dan Lasmini sama buka kelopak mata masing-masing lalu tengadah. Serentak kedua perempuan ini sama pentangkan mata dengan tubuh gemetar. Saat lain keduanya saling berpandangan. Lalu mendongak lagi dengan mulut masih sama terkancing.

“Siapa manusia yang baru saja perdengarkan suara tadi?!” Diam-diam Ni Luh Padmi membatin dengan memperhatikan lebih seksama pada jubah hitam yang mengapung di atas sana. Di sebelahnya, diam-diam Lasmini juga bertanya-tanya dalam hati.

“Siapa kau?!” Ni Luh Padmi yang bisa kuasai diri terlebih dahulu angkat bicara.

“Aku adalah penguasa kolong jagat!” Kiai Laras menjawab masih dengan perdengarkan gelakan tawa membahana.

“Hem.... Suaranya jelas dari jubah hitam itu! Namun orangnya tidak bisa kulihat! Atau hanya mataku saja yang tidak bisa melihatnya?!” Lasmini bergumam sendiri lalu berpaling pada Ni Luh Padmi dan berbisik.

“Nek.... Aku melihat keanehan! Apa kau juga merasakannya?!”

Tanpa berpaling pada Lasmini, Ni Luh Padmi anggukkan kepala sembari menjawab. “Aku tak bisa melihat orang yang bersuara! Tapi aku masih bisa yakin kalau suara orang itu pernah kudengar?!”

“Maksudmu yang bersuara itu adalah pemuda jahanam Pendeta Sinting?!”

Rahang Ni Luh Padmi mendadak mengembang. “Jangan sebut-sebut nama itu di depanku!” desis si nenek dengan suara dingin. “Apa keanehan yang kau rasakan seperti apa yang baru kukatakan?!”

“Benar! Aku tidak melihat orang yang bersuara!” ujar Lasmini.

“Kita harus melakukan sesuatu. Persetan siapa dia adanya! Yang jelas kita harus bisa keluar dari tempat celaka ini! Jika tidak, kita akan mampus perlahan-lahan!” bisik Ni Luh Padmi masih dengan kepala ten- gadah.

“Tapi apa yang harus kita lakukan?!”

Ni Luh Padmi menoleh pada Lasmini. “Dia kita ajak bicara! Kalau dia tawarkan sesuatu, untuk sementara kita penuhi asal kita bisa keluar! Sesudah itu terserah padamu!”

Walau masih belum sepenuhnya bisa menerima usul Ni Luh Padmi, namun karena tidak ada jalan lain, akhirnya Lasmini anggukkan kepala. Lalu tengadah begitu melihat si nenek telah kembali mendongak dan buka mulut.

“Kau mengaku sebagai penguasa kolong jagat. Tapi apakah kau mampu mengeluarkan kami dari tempat ini?!”

Mendengar ucapan Ni Luh Padmi, Kiai Laras hentikan gelakan tawanya sesaat. Lalu kembali tertawa ngakak dan berkata. “Aku yang telah memasukkan kalian berdua! Adalah aneh pertanyaanmu tadi!”

“Jahanam keparat! Jadi orang yang bersuara itu adalah pemuda bajingan murid Pendeta Sinting! Celaka...! Tak mungkin dia mau mengeluarkan meski dengan tawaran apa pun!” Lasmini berkata dalam hati dengan air muka tegang.

Sementara Ni Luh Padmi sunggingkan senyum walau parasnya membayangkan keterkejutan. “Murid jahanam itu sungguh di luar dugaanku! Dia juga memiliki ilmu aneh! Sosoknya bisa tidak kelihatan! Hem.... Bagaimana sekarang?!” Ni Luh Padmi yang masih mengira jika sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad adalah Pendekar 131 berpikir keras.

“Sepertinya kita tak mungkin bisa keluar dari sini!” ujar Lasmini pelan tanpa berpaling. “Bagaimana kalau kita keluar dengan cara kita sendiri?! Kalaupun harus menemui ajal, kurasa tak ada bedanya! Di sini terus-terusan pun kita akan mampus!”

Ni Luh Padmi tertawa pendek. “Kau menginginkan cepat mampus?!”

"Kalau di sini akhirnya juga mampus, bukankah lebih baik kita berusaha meski taruhannya harus lebih cepat tewas?! Atau kau ingin mati perlahan-lahan dan percuma?!” Lasmini sambuti ucapan Ni Luh Padmi.

“Kita tak akan mampus percuma! Kau lihat, kemunculannya pasti membawa maksud! Kalau tidak, untuk apa dia datang?!” ujar Ni Luh Padmi. Lalu tanpa menunggu sahutan dari Lasmini, si nenek berucap lantang.

“Hai! Apa maumu sekarang?!”

“Kalian berdua manusia tidak berguna bagiku! Tidak ada yang ku mau dari kalian! Kalaupun sampai saat ini nyawa kalian belum Kukirim ke neraka, semata-mata karena aku menunggu saat yang tepat!”

Walau dalam hati memaki habis-habisan, Ni Luh Padmi masih juga coba angkat suara. “Boleh aku tahu. Saat apa yang kau tunggu?!”

“Begitu Pendeta Sinting kudapatkan, itulah saatnya nyawa kalian berakhir! Tapi jika sebelum itu kalian telah mampus dahulu, itu adalah takdir buruk bagi kalian!”

Lasmini dan Ni Luh Padmi sama kerutkan dahi. Mampir bersamaan mereka berpaling den saling pandang. “Jahanam betul! Jadi siapa sebenarnya makhluk itu?!” gumam Lasmini tak habis pikir. “Apakah mungkin dia akan menghabisi gurunya sendiri?!” Lasmini seperti halnya Ni Luh Padmi, masih menduga jika sosok di balik jubah hitam yang tidak kelihatan adalah murid Pendeta Sinting.

“Jangan percaya pada ucapannya! Mungkin ini hanya sandiwaranya saja! Dia punya maksud tertentu di balik ucapannya!”

“Lalu apa maksudnya?!” tanya Lasmini. “Aku sendiri belum bisa menduga!”

“Ah.... Mengapa sih bodoh? Dia murid jahanam Pendeta Sinting itu, mana mungkin dia akan berbuat yang tidak-tidak pada gurunya? Itu memberi isyarat kalau hal itu tidak akan terjadi selamanya! Dan itu berarti kita akan menunggu saat yang tidak mungkin terjadi! Kita akan terus berada di sini dan mampus secara pelan-pelan!”

“Lasmini hentikan ucapannya sesaat lalu mendongak dan teruskan ucapannya. “Kita jangan buang-buang waktu!” Habis berucap begitu, Lasmini buka rangkapan kedua tangannya. Lalu perlahan-lahan beranjak bangkit.

“Kau jangan bertindak bodoh!” kata Ni Luh Padmi begitu tahu Lasmini hendak kerahkan tenaga dalam.

“Lebih bodoh lagi kalau kita hanya diam menunggu kematian!”

Si nenek terdiam. Paras mukanya membayangkan kebimbangan. Di satu sisi dia sedikit banyak membenarkan ucapan Lasmini, namun di pihak lain dia belum berani kerahkan tenaga dalam karena khawatir racun di tempat mana dia berada akan memasuki aliran darahnya.

Sementara itu melihat gerakan Lasmini, Kiai Laras tampak sunggingkan senyum. Lalu berkata. “Rupanya kau sudah tidak sabar menunggu saat yang kukatakan! Terserah padamu. Bagiku, mampus sekarang atau nanti kau tidak ada gunanya!”

Habis berkata begitu, Kiai Laras perdengarkan tawa panjang. Kejap lain dia putar diri dan berkelebat menuruni anak tangga. Tangan kanannya menekan tonjolan batu di Samping dinding. Terdengar suara berderit. Lalu dihadapan Kiai Laras tampak gerakan pada dingin yang bergeser membuka Kiai Laras melompat dan tegak di depan kayu perapian. Kembali kaki kanannya dimasukkan ke dalam perapian yang telah padam itu. Saat bersamaan, dinding dibelakangnya yang terbuka bergerak menutup.

Di dalam lobang di balik ruangan goa, Ni Luh Padmi cepat melompat pada Lasmini dengan tangan mendorong. Lasmini tersentak. Sosoknya terjajar dan membentur dinding lobang.

“Jangan tolol!” bentak Ni Luh Padmi mendahului Lasmini yang sudah buka mulut. “Percuma kau lakukan itu! Kita cari cara lain!”

Lasmini yang sesaat tadi hendak kerahkan tenaga dalam, memandang tajam pada si nenek. Entah karena apa dia urungkan niat untuk angkat bicara, malah dia batalkan juga kerahkan tenaga dalam. Perempuan ibu Saraswati ini melangkah mendekati Ni Luh Padmi. Lalu berujar.

“Apa cara yang akan kau lakukan?!”

Ni Luh Padmi arahkan pandang matanya mengitari dinding lobang berkeliling. Lalu berkata. “Dinding ini tidak terlalu tinggi! Kita bisa membuat lobang untuk panjatan ke atas!”

“Membuat lobang pada batu atos begini, mana mungkin bisa kita lakukan tanpa kerahkan tenaga dalam?!”

Ni Luh Padmi angkat tangan kanannya yang menggenggam tusuk konde besar. “Hanya dengan kerahkan tenaga luar, kurasa tusuk konde ini bisa berbuat banyak!”

“Hem.... Mengapa hal itu tidak terpikir sejak semula?!” Lasmini menggumam dengan air muka berubah cerah. Dia yakin, tusuk konde besar berwarna hitam di tangan si nenek bukan tusuk konde sembarangan. Dan pasti dengan mudah bisa menjebol batu besar sekalipun!

“Aku sudah berpikir sejak lama! Hanya aku perlu menunggu sampai luka dalamku benar-benar sembuh! Walau membuat lobang pemanjatan tidak terlalu sulit, namun karena harus dilakukan tanpa pengerahan tenaga dalam, itu membutuhkan kesiapan tubuh! Lagi pula....”

“Lagi pula apa?!” tanya Lasmini saat si nenek tidak lanjutkan ucapannya.

“Aku ragu....” Ni Luh Padmi menjawab seraya membuat gerakan melompat dan tegak dua langkah di depan dinding lobang.

“Apakah dia ragu senjata tusuk konde itu tidak mampu membuat lobang untuk panjatan?!” kata Lasmini dalam hati lalu berkelebat dan tegak di samping Ni Luh Padmi.

Ni Luh Padmi angkat tangan kanannya yang menggenggam tusuk konde besar. Saat lain tangan kanannya berkelebat.

DUA

"TAKKK!" Tusuk konde besar berwarna hitam membentur dinding lobang. Ni Luh Padmi berseru tertahan dengan mata membeliak. Sosoknya tersurut satu langkah. Tangan kanannya mental balik ke belakang. Dan hampir saja tusuk konde lepas dari genggamannya. Untuk beberapa saat mata si nenek silih berganti pandangi dinding lobang dan tusuk kondenya. Di sebelahnya Lasmini tampak terkesiap lalu menghela napas dalam.

“Keraguanku jadi kenyataan!” ujar Ni Luh Padmi perlahan dengan mulut bergetar. “Dinding batu ini bukan batu sembarangan! Tusuk kondeku tak mampu membongkarnya! Seandainya saja aku bisa kerahkan tenaga dalam.... Tentu tidak sulit!”

“Coba di sebelahnya, Nek! Siapa tahu...,” saran Lasmini.

Ni Luh Padmi gelengkan kepala. “Dinding lobang ini tingginya tidak seberapa. Siapa saja yang bisa kerahkan tenaga dalam pasti tidak menemui kesukaran untuk meloncat ke atas. Tapi karena mengerahkan tenaga dalam berarti mampus, maka jalan satu-satunya adalah dengan membuat lobang panjatan! Namun tentu si pembuat tempat ini tidak bodoh. Dia sudah memperhitungkan segala kemungkinan. Kalau di sebelah sini tidak bisa ditembus, di tempat lainnya akan sama!”

“Tapi bukankah lebih baik dicoba?!” kata Lasmini.

Walau masih meragukan ucapan Lasmini, namun Ni Luh Padmi gerakkan kaki empat tindak ke samping. Saat bersamaan tangan kanannya yang menggenggam tusuk konde dihantamkan pada dingin lobang di hadapannya.

"Takkk!" Terdengar suara benturan. Tusuk konde laksana membentur tembok raksasa. Bukan saja tidak mampu membuat lobang, tapi tangan kanan si nenek mencelat balik ke belakang. Malah karena si nenek menghantam dengan seluruh tenaga luarnya, sosoknya jadi terputar dan terhuyung-huyung!

“Tak ada jalan lain...,” ujar Lasmini pada akhirnya setelah mengetahui tusuk konde milik Ni Luh Padmi tidak mampu membuat lobang untuk panjatan. “Kita harus segera kerahkan tenaga dalam! Daripada mampus sia-sia di tempat celaka ini!”

“Kalau kau ingin lakukan itu terserah! Tapi aku tidak akan bertindak bodoh. Kita masih punya waktu untuk berpikir! Dan siapa tahu ada orang yang menolong!”

“Jangan harapkan sesuatu yang mustahil terjadi, Nek!”

“Justru karena aku masih punya harapan, aku tidak akan berlaku tolol untuk cari mampus lebih cepat!”

“Lalu apakah kita hanya harus menunggu dan menunggu orang?! Sampai kapan?!”

“Seandainya aku tahu kapan datangnya orang yang menolong, aku tidak akan mati-matian mencari jalan keluar dari tempat jahanam ini!”

Lasmini tegak dengan kaki terkembang dan wajah tegang. Sesekali dia arahkan pandang matanya ke atas. Lalu menelusuri dinding lobang dari atas ke bawah seolah mengukur jarak. Saat lain sepasang matanya dipejamkan. Sikapnya jelas kalau perempuan ini hendak kerahkan tenaga dalam.

Mendapati sikap Lasmini, Ni Luh Padmi tersenyum dingin. Tanpa berkata apa-apa lagi si nenek melangkah ke samping kanan. Kejap lain dia telah duduk bersila dengan punggung disandarkan pada dingin lobang.

“Keparat jahanam!” Tiba-tiba terdengar makian dari mulut Lasmini. Sosoknya bergetar hebat. Sepasang matanya dipentangkan. Kaki kanannya diangkat lalu dibantingkan.

Ni Luh Padmi perhatikan Lasmini dengan tersenyum. “Jika saja aku tidak punya dendam, aku sudah lakukan apa yang hendak kau lakukan sebelum kau masuk ke tempat ini! Dendamku yang membuat aku bertahan! Dan aku percaya, pasti akan muncul orang yang akan mengeluarkan aku!”

“Saraswati anakku.... Bagaimana kau?! Mudah-mudahan kau tidak mengalami nasib seperti ibumu! Terpuruk dan terpuruk tanpa pernah mengalami kebahagiaan. Seandainya aku tidak memilikimu dan ingin hidupku berakhir di sampingmu, aku tak akan pikirkan lagi nyawa ini....”

Tanpa sadar Lasmini bergumam. Di pentangan matanya tergambar sosok Saraswati. Hal inilah yang membuat Lasmini urungkan niat untuk kerahkan tenaga dalam. Lasmini melangkah ke arah dinding lobang. Seperti halnya Ni Luh Padmi, perempuan yang parasnya masih cantik walau sudah berusia agak lanjut ini sandarkan punggung pada dinding lobang seraya duduk bersila. Tak lama kemudian dia tengadah dengan mata terpejam. Namun di antara lipatan kelopak matanya tampak merembes air mata!

“Tidak ada yang perlu ditangisi.... Nasib kita belum berakhir!” ujar Ni Luh Padmi pelan.

Lasmini berpaling pada si nenek. Namun dia hanya memandang tanpa buka suara. Dan saat lain dia telah pejamkan matanya kembali. Ni Luh Padmi tersenyum sinis lalu tengadah dengan dahi berkerut seolah berpikir keras.

********************

Di luar goa, saat sosoknya yang tidak kelihatan injakkan kaki di depan mulut goa, Kiai Laras urungkan niat teruskan kelebatannya. Pendengarannya yang meningkat tajam karena mengenakan Jubah Tanpa Jasad dan membekal Kembang Darah Setan, menang- kap akan kehadiran orang di sekitar tempat itu. Sepasang mata Kiai Laras yang kini juga tambah peka langsung memandang pada satu tempat. Sementara di balik semak di antara jajaran pohon, satu sosok tubuh tampak mengendap dan langsung ratakan tubuhnya di atas tanah begitu matanya menangkap jubah hitam tanpa sosok melesat keluar dari mulut goa.

“Hampir saja.... Ternyata dia memang berada di sini!” membatin sosok yang berada di balik semak di antara kerapatan pohon. “Aku harus menunggu sampai dia pergi! Saat ini bukan waktunya aku datang!”

Orang di balik semak makin rapatkan tubuh. Tidak berani membuat suara atau gerakan. Paras wajahnya tegang dan perlahan-lahan dia kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Di depan sana Kiai Laras sunggingkan senyum seringai. Perlahan dia melangkah. Matanya tak berkesip memandang pada semak di mana dia bisa menangkap kehadiran orang.

“Celaka! Apa dia tahu kedatanganku?!” Sosok di balik semak makin tegang. Dadanya berdegup kencang. Matanya memandang tajam pada Jubah Tanpa Jasad yang terus bergerak ke arahnya. Orang ini serba salah dan bingung. Karena dia hanya bisa melihat gerakan jubah tanpa bisa melihat ke mana pandangan mata orang! Namun setidaknya ia mulai bisa meraba ke mana gerakan Jubah Tanpa Jasad. Selagi orang di balik semak berusaha tenangkan diri, tiba-tiba Kiai Laras hentikan langkah. Kepalanya tengadah lalu terdengar suaranya.

“Hari ini kurasa aku tidak mengundang seorang tamu! Harap suka tunjukkan diri!”

Orang di balik semak rasakan darahnya langsung sirap. Sosoknya bergetar. Ucapan orang jelas menunjukkan kalau kehadirannya telah diketahui. Tapi orang ini belum juga membuat gerakan atau perdengarkan suara. Malah arahkan pandang matanya berkeliling seakan coba tenangkan diri dan berharap ucapan orang tadi ditujukan pada orang lain yang juga berada di sekitar tempat itu. Karena dia tidak bisa melihat gerakan pada sosok di balik Jubah Tanpa Jasad.

“Kau tak mau tunjuk tampang! Apa kau perlu diseret keluar, hah?!” Kiai Laras membentak begitu ucapannya tidak diacuhkan orang. Bersamaan dengan selesainya ucapan, tangan kanan Kiai Laras sudah berkelebat lepaskan pukulan jarak jauh.

"Wuuttt!" Satu gelombang angin menderu kencang ke arah semak belukar di antara jajaran pohon.

Terdengar gumaman tak jelas. Saat yang sama dari semak belukar melesat pula dua gelombang deras menghadang pukulan Kiai Laras. Terdengar letupan. Semak belukar yang ada di sekitar bentroknya puku-lan langsung semburat membubung keangkasa. Dari semak belukar di mana baru saja melesat dua gelombang angin yang menghadang pukulan Kiai Laras, satu sosok tubuh mencuat ke udara. Lalu melayang turun berjarak dua belas langkah di hadapan Jubah Tanpa Jasad.

Kepala Kiai Laras ikuti gerakan sosok yang mencuat ke udara hingga sosok itu tegak di atas tanah. Untuk beberapa saat sang Kiai pandangi sosok di depan sana dengan sedikit terbelalak. Saat lain mulutnya terbuka perdengarkan tawa bergelak!

Orang yang dipandang surutkan kaki satu tindak dengan kuduk dingin dan paras muka tegang kaku. Diam-diam orang ini membatin. “Apa boleh buat.... Dia telah tahu kehadiranku di sini! Percuma sembunyikan diri atau lari!”

Orang ini usapkan telapak tangannya pada wajah. Lalu alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Dia adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna merah. Sepasang matanya bulat tajam dengan hidung mancung. Rambutnya hitam lebat.

“Kau datang sebelum saat yang kukatakan! Pasti kedatanganmu membawa kabar baik!” Kiai Laras berkata lalu pandangi sosok di hadapannya mulai dari rambut sampai kaki.

“Aku.... Aku belum membawa kabar apa-apa...,” ujar si gadis dengan suara tersendat dan parau. Suaranya jelas membayangkan ketakutan.

“Hem.... Begitu?! Lalu untuk apa kau datang, Anak Cantik?!”

“Aku.... Aku hanya ingin buktikan apa kau benar-benar ada di Bukit Kalingga ini....”

“Hem.... Kau sekarang sudah bisa buktikan! Sekarang apa maumu?!”

Yang ditanya tergagu diam. Tapi beberapa saat kemudian telah berkata lagi. “Aku akan lakukan tugas yang kau perintahkan....”

Kiai Laras anggukkan kepala. Saat lain dia membuat satu gerakan. Jubah Tanpa Jasad berkelebat dan tahu-tahu telah tegak mengapung lima langkah di hadapan gadis berbaju merah. Si gadis tercekat. Buru-buru dia surutkan langkah dan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Walau gadis ini tidak bisa melihat gerakan sosok Kiai Laras namun sang gadis rupanya dapat menangkap gelagat tidak baik.

“Sebelum kau lakukan tugas yang kuperintahkan, jawab dulu pertanyaanku!” kata Kiai Laras, membuat ketegangan pada air muka si gadis baju merah sedikit reda.

“Apa hubunganmu dengan gadis berbaju merah yang wajahnya mirip sekali denganmu yang kita jumpa beberapa hari yang lalu?! Dan siapa di antara kalian berdua yang menyandang gelar Putri Kayangan?!”

“Dia adalah saudara kembarku. Dia bernama Beda Kumala. Dialah sebenarnya yang menyandang gelar Putri Kayangan!” Jawaban si gadis menunjukkan kalau dia bukan lain adalah Pitaloka, saudara kembar Beda Kumala alias Putri Kayangan.

Seperti diketahui, pada beberapa hari yang lalu terjadi pertemuan antara Pitaloka dan Putri Kayangan saudara kembarnya. Saat itu ada juga Kiai Laras, Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh, Datuk Wahing, Setan Liang Makam, Kiai Lidah Wetan, dan murid Pendeta Sinting. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Kutuk Sang Angkara).

“Hem.... Sekarang tugasmu hanya satu! Bawa saudara kembarmu ke sini dalam keadaan hidup atau mati! Waktumu hanya setengah purnama! Dan itu adalah batas akhir dari ketergantungan nyawamu! Jangan coba-coba berani melarikan diri dari tugasmu, karena hal itu tidak akan banyak menolong! Kau dengar?!”

Pitaloka menjawab dengan isyarat anggukkan kepalanya. Kejap lain dia putar diri dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Kau telah lakukan tindakan di luar perintah! Kau telah datang ke tempat ini belum pada saatnya. Jadi apa dengan enak begitu saja kau tinggalkan tempat ini?!” Kiai Laras berucap seraya berkelebat dan tegak menghadang di depan Pitaloka, membuat si gadis tercengang dan urungkan berkelebat.

“Harap kau mengerti.... Hal ini kulakukan karena aku ingin buktikan ucapanmu. Tidak ada niatan lain....”

“Aku tak peduli! Yang jelas kau telah bertindak di luar yang kukatakan! Kau boleh pergi, tapi....” Kiai Laras tidak lanjutkan ucapannya dengan perdengarkan suara melainkan perdengarkan tawa panjang.

Pitaloka tersentak. Ucapan dan suara tawa orang membuat dadanya berdebar dan kuduknya meremang. Dia sedikit banyak dapat menangkap ke mana arah ucapan Kiai Laras, namun gadis ini seolah ingin yakinkan dugaan. Hingga dia berkata. “Tapi apa...? Apa kau akan memberi tugas lain?!”

“Kau pandai menebak!” jawab Kiai Laras di sela suara tawanya.

“Katakan saja tugas apa itu!”

Kali ini Kiai Laras tidak menjawab. Sebaliknya melompat dan tahu-tahu Pitaloka merasakan kedua bahunya dicekal dua tangan kukuh. Pitaloka melengak kaget dan buru-buru gerakkan kedua tangannya menepis dua tangan tidak kelihatan yang mencekal bahunya. Namun Pitaloka hanya menepis udara kosong! Malah kedua tangan tidak kelihatan kini beralih memegang pinggangnya. Saat lain satu tangan terangkat dari pinggang dan Pitaloka merasakan dadanya disentuh!

Pitaloka berseru tegang. Parasnya berubah merah padam. Kedua tangannya segera berkelebat kian kemari karena dia tidak bisa melihat gerakan tangan orang. Namun lagi-lagi gerakan kedua tangan Pitaloka hanya menerpa tempat kosong meski bersamaan dengan itu tangan yang tadi berada di pinggang dan dadanya terangkat! Kiai Laras makin keraskan tawanya. Lalu kedua tangannya digerakkan.

Bukkk! Bukkk!

Kedua tangan Pitaloka membentur dua tangan yang tidak kelihatan. Pitaloka berteriak tertahan. Sosoknya tersurut dua langkah. Kedua tangannya mental ke belakang dan parasnya berubah pucat.

“Anak cantik!” kata Kiai Laras. “Kalau kau mau lakukan perintahku yang satu ini, kau tak usah melakukan apa yang kuperintahkan tadi! Kau cukup diam di sini bersamaku!”

Tindakan Kiai Laras dan ucapannya telah cukup membuat Pitaloka maklum apa kemauan orang. Hingga dadanya tambah berdebar dan wajahnya makin tegang.

“Lebih baik kau memerintahku untuk membunuh siapa saja termasuk saudara kembarku sendiri, daripada....”

“Jangan lupa ucapanku tempo hari!” ujar Kiai Laras menukas ucapan Pitaloka. “Kau dan teman-temanmu harus lakukan perintahku tanpa bertanya dan berdalih!”

“Tapi....”

“Jangan berdalih!” bentak Kiai Laras lagi-lagi memotong ucapan Pitaloka. “Aku tanya. Kau ingin kuperlakukan dengan halus atau kasar?! Dan ingat satu hal. Apa pun yang akan kau lakukan, itu tidak akan membuatmu bisa lolos dari tanganku! Maka jangan bertindak bodoh!"

“Apa yang harus kulakukan sekarang? Menuruti perintahnya?!” Pitaloka membatin dengan menggigit bibirnya. Pakaian yang dikenakan telah basah oleh keringat hingga dengan jelas Kiai Laras dapat melihat lekuk tubuhnya, membuat sepasang mata sang Kiai terpentang besar dan jakunnya turun naik.

Seolah tak sabar menunggu jawaban Pitaloka, Kiai Laras melompat ke depan. Pitaloka tak tinggal diam. Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam segera dikelebatkan ke depan menggebuk ke arah sosok tidak kelihatan di bagian tengah jubah. Kiai Laras tidak coba menghadang pukulan Pitaloka dengan gerakkan kedua tangannya. Sebaliknya dia busungkan dada sembari tertawa dan kedua tangannya diletakkan di atas pinggang kiri kanan!

Bukkk! Bukkk!

Kedua tangan Pitaloka menggebuk. Namun gadis ini merasakan kedua tangannya membentur tembok besar. Hingga kedua tangannya bukan saja mental balik, tapi dari mulutnya terdengar jeritan! Kaki Pitaloka terseret dan terhuyung. Kiai Laras tidak menunggu. Dia segera berkelebat ke depan. Tangan kanannya didorong. Pitaloka bisa menangkap gerakan orang dari bergeraknya Jubah Tanpa Jasad. Maka gadis ini cepat pula kelebatkan kedua tangannya kembali berusaha menghadang gerakan tangan orang meski tidak tahu ke mana gerakan itu akan mengarah. Namun bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan Pitaloka, gadis ini rasakan pundaknya dihantam. Namun Pitaloka teruskan juga kelebatan kedua tangannya.

Bukkk! Bukkk!

Lagi-lagi Pitaloka laksana menghantam tembok besar. Karena saat itu pundaknya telah terhantam dan sosoknya terhuyung karena kedua tangannya laksana menghantam tembok, maka tak ampun lagi sosok Pitaloka terputar sebelum akhirnya jatuh terduduk! Belum sampai Pitaloka membuat gerakan, Jubah Tanpa Jasad telah terapung satu langkah di sampingnya. Pitaloka tidak mau menyerah begitu saja. Laksana orang kalap sambil perdengarkan bentakan, kedua tangannya dihantam ke sana kemari.

Kiai Laras sambuti bentakan-bentakan Pitaloka dengan tertawa bergelak. Kedua tangannya bergerak. Karena dia tahu arah hantaman-hantaman Pitaloka sementara Pitaloka sendiri tidak tahu gerakan tangan orang, maka dengan mudah Kiai Laras dapat melihat mana ruang yang kosong!

Brettt! Brettt!

Terdengar kain robek dua kali. Pitaloka terus hantamkan kedua tangannya tidak pedulikan pakaian bagian pundak dan dadanya yang telah robek menganga hingga sebagian payudaranya yang putih kencang terlihat jelas. Kiai Laras makin jerengkan mata melihat bagian dada si gadis yang telah terbuka. Hal ini membuat dada sang Kiai makin dilanda gemuruh. Aliran darahnya laksana dipanggang.

Di lain pihak, Pitaloka makin kalap. Kini bukan saja kedua tangannya yang bergerak. Kedua kakinya ikut pula membuat gerakan menendang kian kemari! Kiai Laras mundur satu langkah. Saat lain kedua tangannya berkelebat. Pitaloka menjerit. Karena satu kakinya tertangkap tangan. Belum sempat Pitaloka tendangkan kaki satunya, tangan sebelah Kiai Laras telah bergerak.

"Brettt!" Kain bawah Pitaloka robek. Dada Kiai Laras berdesir kala matanya dapat menangkap paha mulus dan padat. Hal ini membikin Kiai Laras lupa diri. Kain bagian bawah yang telah robek disambarlalu ditarik kencang!

"Brettttt!" Pitaloka berontak sekuat tenaga. Namun terlambat. Kain bagian bawahnya telah tanggal sebagian, hingga sebagian tubuhnya bagian bawah tidak tertutup sama sekali!

“Jahanam! Lebih baik kau bunuh aku!” teriak Pitaloka seraya terus hantamkan kedua tangannya dan tendangkan sebelah kakinya.

“Membunuhmu tidak sulit! Tapi sudah lama aku tidak merasakan hangatnya tubuh. Apalagi hangatnya gadis cantik sepertimu! Ha Ha Ha...!”

Pitaloka makin nekat, meski berkali-kali hantaman kedua tangannya laksana membentur tembok dia teruskan saja hantamannya. Malah kini dia lipat gandakan tenaga dalam. Namun Kiai Laras tidak mau menunggu lama. Begitu kedua tangan Pitaloka menghantam, dia lepaskan kaki si gadis. Saat lain kedua tangannya dihantamkan menghadang kedua tangan Pitaloka.

Bukkk! Bukkk!

Pitaloka tersentak. Sosoknya terbanting di atas tanah. Karena saat itu dia dalam posisi duduk, tak ampun kedua kakinya terangkat ke udara. Mata Kiai Laras makin membeliak. Dia cepat maju. Kedua tangannya dikelebatkan sarangkan satu totokan pada kedua kaki Pitaloka yang masih terangkat diudara. Pitaloka menjerit tinggi. Kakinya langsung kaku dan terhempas di atas tanah dengan kejang tak bisa digerakkan! Pitaloka cepat tarik kedua tangannya dan disentakkan ke arah Jubah Tanpa Jasad.

Namun Kiai Laras sudah tidak sabar. Dia cepat berkelebat dengan rundukkan kepala. Saat lain kedua tangannya kembali lancarkan totokan mendahului sentakan kedua tangan Pitaloka. Kembali dari mulut Pitaloka terdengar seruan tertahan. Kedua tangannya langsung terhempas kaku diatas tanah! Kiai Laras tertawa ngakak diseling hembusan napasnya yang bergemuruh. Masih dengan bergelak, Kiai Laras mengangkat tubuh Pitaloka ke atas pundaknya lalu melangkah ke arah mulut goa.

Karena tidak bisa lagi gerakkan anggota tubuh, Pitaloka hanya bisa berteriak memaki-maki. Sebentar Kiai Laras teruskan langkah dan tangannya sesekali mengusap bagian tubuh Pitaloka yang berada di pundaknya. Saat kaki kanan Kiai Laras melewati mulut goa dan sosoknya tepat tegak di sana, mendadak terdengar suara laksana terdengar dari tempat yang sangat dalam.

“Siapa pun kau adanya, kelak kau akan mengambil buah dari perbuatanmu! Kau boleh punya Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Tapi Sang Pencipta akan menciptakan pamungkasnya! Dan pamungkas itu akan hadir dari darah dagingmu sendiri!”

Sekonyong-konyong Kiai Laras hentikan gerakan kakinya. Dia cepat putar tubuh. Matanya liar memandang ke seantero tempat di hadapan mulut goa. Sesaat dia tercekat. “Suara Kala Marica. Jahanam betul! Apa dia belum mampus juga?! Tapi mustahil dia bisa hidup! Mungkin suara tadi hanya godaan pendengaranku saja. Lagi pula siapa takut?!” Kiai Laras sunggingkan senyum dingin. Lalu berkata lantang.

“Kala Marica! Kalau kau masih hidup, kutunggu kau di dalam goa! Kau nanti juga boleh menikmati tubuh sedap ini! Ha Ha Ha...!”

Kiai Laras balikkan tubuh lagi lalu teruskan langkah memasuki goa. Di lain pihak, Pitaloka sempat hentikan teriakannya kala telinganya juga mendengar suara orang yang datangnya laksana dari tempat yang jauh dan dalam meski suara itu masih jelas terdengar. Namun karena dia tengah memikirkan diri sendiri, gadis itu tak hiraukan suara tadi. Dia kembali berteriak memaki-maki saat Kiai Laras teruskan langkah memasuki goa.

********************

TIGA

SAAT itu matahari mulai naik dari celah gunung di bagian timur. Pada satu jalan yang menuju Dusun Lambang Kuning, di atas sebuah batu agak besar, seorang pemuda duduk uncang-uncang kaki dengan mata memandang jauh ke arah keramaian di depan sana. Beberapa penduduk dusun tampak menuju ke sebuah tempat terbuka. Hari ini adalah tepat hari di mana para pedagang luar kota akan menggelar dagangannya yang diadakan setiap setengah purnama sekali. Sepasang mata si pemuda tampak memperhatikan dengan seksama dan seolah-olah sedang mencari-cari. Tapi matanya tidak tertarik pada beberapa sosok laki-laki. Melainkan selalu liar mengawasi setiap perempuan. Anehnya, bukan paras wajah si perempuan yang selalu diperhatikan, melainkan perutnya!

“Hem.... Tidak satu pun perempuan yang hamil!” desis si pemuda lalu angkat tangan kirinya. Jari kelingking dimasukkan ke lobang telinganya dan digerak-gerakkan ke atas ke bawah. Saat bersamaan dia berjingkat-jingkat dengan wajah cengengesan!

“Tapi.... Apa gunanya aku memperhatikan perempuan hamil di sini?! Bukankah di tempat ini tidak ada perempuan yang kukenal? Padahal menurut petunjuk kakek bisu dan tuli itu, aku kenal dengan perempuan itu! Hm.... Siapa gerangan yang ditakdirkan hamil dari beberapa perempuan yang kukenal itu?!” Si pemuda terus mendesis seraya berjingkat-jingkat keenakan. Lalu kepalanya tengadah dengan kening mengernyit.

“Ada beberapa perempuan yang kukenal. Ratu Malam... Ah, yang ini tertutup kemungkinannya untuk masuk dalam hitungan perempuan yang masih bisa hamil! Usianya sudah terlalu tua untuk berbuat yang begitu-begitu! Lagi pula selama ini kudengar dia tidak punya suami. Bagaimana kalau nenek dari seberang yang bernama Ni Luh Padmi?! Ah.... Yang ini juga tak mungkin! Nenek ini lebih mementingkan balas dendam pada Eyang Guru daripada mencari gara-gara hamil!” Si pemuda bergumam lalu tertawa sendiri.

“Hem.... Yang masuk hitungan tentu yang masih muda-muda! Seperti Dewi Seribu Bunga, Saraswati, Puspa Ratri, Putri Kayangan, dan saudara kembarnya. Tapi yang mana di antara mereka itu?! Walau aku belum tahu persis, namun aku yakin mereka belum ada yang punya suami! Jadi bagaimana mungkin salah satu dari mereka bisa hamil?! Atau jangan-jangan aku salah menafsirkan petunjuk kakek bisu dan tuli itu! Sayang, kakek itu tidak bisa bicara. Seandainya tidak bisu, tentu aku akan lebih jelas menangkap maksudnya....”

Si pemuda parasnya berubah agak murung. Namun cuma sekejap. Saat lain dia kembali cengengesan. Jari kelingking di lobang telinganya makin digerakkan agak keras hingga jingkatan sosoknya makin keras.

“Waktunya tinggal dua purnama.... Tentu saat ini perut perempuan itu sudah kelihatan nongolnya! Susahnya.... Siapa perempuan itu?!”

Selagi si pemuda tengah bergumul dengan pikirannya sendiri, mendadak satu sosok tubuh melintas di jalan tidak seberapa jauh dari tempat si pemuda. Si pemuda berpaling. Mendadak sepasang matanya membesar tatkala melihat sosok yang tengah melintas adalah seorang perempuan dan perutnya membusung besar tanda jika si perempuan sedang mengandung. Tanpa melihat wajah orang, si pemuda langsung turun dari batu lalu berlari seraya berteriak.

“Hai.... Tunggu!”

Perempuan yang diteriaki seolah acuh dan teruskan langkah. Kembali si pemuda berteriak seraya terus berlari mendekat.

“Tunggu! Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu!”

Karena orang yang diteriaki terus melangkah malah makin percepat langkahnya, si pemuda berkelebat dan tahu-tahu telah tegak menghadang di depan si perempuan dengan mata bukannya melihat wajah orang melainkan pada busungan perutnya! Si perempuan hamil hentikan langkah. Matanya menatap tajam pada pemuda dihadapannya dari ujung rambut sampai kaki. Namun begitu melihat arah pandangan si pemuda, si perempuan segerata kupkan kedua tangannya pada perutnya yang membusung. Paras wajahnya berubah ketakutan. Perlahan-lahan kedua kakinya bergerak mundur. Saat lain dia balikkan tubuh.

“Hai.... Tunggu!” Kembali si pemuda berteriak kala melihat si perempuan hamil gerakkan kaki untuk melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Dan bersamaan itu si pemuda berkelebat dan kembali tegak menghadang di hadapan si perempuan!

“Orang gila tak dikenal! Apa maksudmu sebenarnya?!” Si perempuan perdengarkan bentakan keras.

Si pemuda tersentak. “Busyet! Bentakannya jelas bukan bentakan orang sembarangan! Apakah bayi orang ini yang kucari?!” Si pemuda membatin. Untuk pertama kalinya dia angkat kepala melihat wajah orang. Untuk kedua kalinya si pemuda terlengak. Matanya langsung mendelik dan mulutnya berdecak.

“Bagaimana mungkin?! Apa mataku tidak tertipu...?!” Si pemuda angkat kedua tangannya lalu digosok-gosokkan pada kedua matanya. Kemudian kepalanya digerakkan ke depan seakan ingin yakinkan penglihatannya.

Perempuan yang perutnya membusung besar ternyata adalah seorang perempuan berambut panjang digeraikan menutupi sebagian pundaknya. Dan ternyata rambut si perempuan telah berwarna putih! Satu petunjuk jika si perempuan telah berusia lanjut. Dan petunjuk itu ternyata benar. Karena paras wajah si perempuan telah mengeriput. Sepasang matanya agak melotot besar. Hidungnya besar.

Pada telinga sebelah kanan menggantung anting-anting besar. Dia mengenakan pakaian gombrong hampir menyapu tanah. Melihat gerakan kepala si pemuda, si perempuan berperut besar tarik sedikit tubuhnya ke belakang dengan kedua tangan ditakupkan di depan perutnya. Parasnya berubah cepat. Saat lain tangan kanannya menunjuk pada si pemuda seraya berkata.

“Kau pasti orang gila seperti mereka! Yang selalu dan selalu mengikuti ke mana aku pergi! Mereka selalu mengolok-olokku! Padahal aku tahu.... Mereka sebenarnya menginginkan bayi di perutku ini! Oh.... Betapa malang nasibku.... Berpuluh-puluh tahun aku menginginkan seorang anak. Tapi begitu hampir kesampaian sungguh tak kusangka kalau cobaannya begini berati Mereka mempermalukan aku! Mengatakan aku sudah tua tapi masih suka main begitu.... Padahal mereka inginkan anakku ini. Huk Huk Huk...!” Si perempuan berperut besar sesenggukan dengan terus mendekap perutnya.

“Boleh aku tahu siapa kau?!” tanya si pemuda dengan tersenyum.

Sekonyong-konyong si perempuan hentikan sesenggukannya. Matanya mendelik angker. “Kau juga sama dengan mereka! Pura-pura bertanya padahal sudah tahu!”

“Hem.... Siapa yang kau maksud mereka?!” Si pemuda kembali ajukan tanya.

“Dasar orang gila! Kau orang gila! Pergi! Pergi!” bentak si perempuan setengah menjerit.

Si pemuda surutkan langkah dua tindak seraya salurkan tenaga dalam untuk menutup pendengarannya. Karena suara jeritan si perempuan menyentak-nyentak gendang telinganya.

“Aku bukan dari mereka! Aku datang dari jauh.... Aku hanya kebetulan lewat si sini. Harap tidak berburuk sangka padaku...!” kata si pemuda coba tenangkan si perempuan.

“Kau bohong! Bagaimana aku tidak menaruh curiga kalau dari saat bertemu tadi kau selalu memperhatikan perutku!Apa ada yang aneh, hah?! Apa karena usiaku telah lanjut, kemudian aku hamil, ini kau anggap aneh?!”

Si pemuda gelengkan kepala sembari terus tersenyum. “Bagiku itu tidak aneh.... Yang aneh justru kalau yang mengandung itu seorang anak kecil dan belum bersuami!”

“Tapi mengapa dari tadi kau memperhatikan perutku?! Kau kira ini mainan atau kau duga aku main bohong-bohongan dengan perut besar ini?! Kau ingin bukti kalau ini hamil sungguhan?!” Tanpa menunggu sahutan si pemuda, si perempuan angkat bagian bawah pakaiannya yang gombrong.

“Tahan! Tahan!” seru si pemuda tatkala si perempuan tarik pakaiannya ke atas hingga pahanya mulai kelihatan. “Aku tidak mengira itu mainan, apalagi main bohong-bohongan!”

“Kalau begitu mengapa kau selalu memperhatikan perutku?!”

Si pemuda terdiam sesaat. Lalu berucap. “Aku tengah mencari saudaraku.... Dia pergi entah ke mana....”

“Itu tak ada hubungannya dengan perutku?!” Si perempuan membentak keras.

“Jangan meradang. Ucapanku belum selesai. Saudaraku itu tengah hamil sepertimu!”

“Benar?! Saudaramu laki-laki atau perempuan?!” tanya si perempuan membuat dahi si pemuda mengernyit. Lalu tawanya meledak. Bukan karena pertanyaan si perempuan melainkan karena sejak tadi si pemuda telah menahan tawanya. Hanya karena takut menyinggung, tawanya ditahan-tahan. Hingga begitu ada kesempatan untuk tertawa, maka si pemuda langsung tertawa bergelak.

“Mengapa kau tertawa?! Kau menertawai perutku?!”

“Kau ini aneh.... Mana ada laki-laki mengandung?!” ujar si pemuda.

Mendengar ucapan si pemuda tiba-tiba si perempuan ganti perdengarkan ledakan tawa ngakak hingga perut dan bahunya berguncang-guncang.

“Mengapa kau tertawa?! Kau menertawai ucapanku?!” Kali ini ganti si pemuda yang ajukan tanya dengan dada dibuncah keheranan.

“Kau rupanya belum juga bisa mengambil pelajaran. Saat seperti sekarang ini siapa pun bisa berperut besar sepertiku! Tidak peduli laki-laki atau perempuan! Kalau laki-laki pasti ada maksud di baliknya hingga berperut besar! Jadi jangan terkecoh dengan pandangan mata!”

“Busyet! Apa ucapannya memberi isyarat kalau orang ini adalah seorang laki-laki yang tengah menyamar sebagai nenek yang tengah hamil dengan maksud tertentu?!” Si pemuda membatin. Lalu perhatikan wajah orang dihadapannya dengan seksama.

“Sialan! Mengapa kau memandangku begitu rupa?! Kau kira aku ini manusia laki-laki?! Akan kutunjukkan padamu kalau aku seorang perempuan tulen!”

Habis berkata begitu, kembali kedua tangan si perempuan angkat bagian bawah pakaiannya.

“Tunggu! Tunggu!” Buru-buru si pemuda menahan seraya pejamkan sepasang matanya. “Aku percaya kau adalah seorang perempuan. Tanpa harus kau tunjukkan padaku!”

Si perempuan berperut besar luruhkan pakaiannya yang tertarik ke atas seraya tertawa cekikikan. Lalu berkata. “Kau belum jawab pertanyaanku, Anak Muda! Saudaramu itu laki-laki atau perempuan?!”

“Perempuan...,” jawab si pemuda sambil perlahan-lahan buka kelopak matanya khawatir kalau si nenek belum turunkan pakaiannya.

“Kau yakin saudaramu yang kau cari itu bukan perempuan hamil yang saat ini tengah berdiri di hadapanmu?!”

Walau dalam hati merasa benar-benar yakin, namun tak urung si pemuda perhatikan sekali lagi paras muka perempuan di hadapannya sebelum akhirnya menjawab. “Aku yakin bukan kau orangnya....”

“Benar?!”

“Jangkrik! Apa maksud ucapan perempuan ini?!” tanya si pemuda dalam hati lalu berkata. “Aku sumpah bukan kau orangnya!”

“Bagus! Kalau begitu silakan teruskan perjalanan mencari saudaramu itu! Jangan seperti mereka! Selalu berpura-pura tapi secara sembunyi-sembunyi terus mengikuti ke mana aku pergi!”

“Dari tadi kau selalu menyebut mereka! Siapa yang kau maksud?!”

“Aku tak bisa memberi penjelasan! Karena penjelasan apa pun tak akan membuatmu mengerti!”

Habis berkata begitu, si perempuan tua berperut besar putar diri dan melangkah perlahan-lahan tinggalkan tempat itu.

“Orang ini aneh.... Apa bayi dalam perutnya yang dimaksud Raja Tua Segala Dewa?! Kalau bayinya kelak dapat untuk menghadapi Jubah Tanpa Jasad dan Kembang Darah Setan, biasanya bayi itu akan lahir dari orang aneh. Mungkin saja....” Si pemuda segera melangkah mengikuti si perempuan.

“Hem.... Mengapa kau ikuti langkahku?!” Tiba-tiba si perempuan tua berperut besar perdengarkan tanya tanpaberpaling.

“Kita sudah saling bicara. Rasanya ada yang kurang kalau kita tidak saling kenal. Aku....”

Belum sampai si pemuda lanjutkan ucapan, si perempuan telah menukas. “Terlambat kau hendak perkenalkan diri! Seharusnya hal itu kau lakukan saat kita pertama kali bicara. Bukan sekarang!”

“Ah.... Seharusnya memang demikian! Tapi apa bedanya?!”

“Bedanya kau tak akan memperoleh jawaban! Lain seandainya kau minta berkenalan saat pertama kali bicara tadi!”

“Ah.... Begitu mahalkah sebuah nama buatmu?!” tanya si pemuda acuh tak acuh seraya melangkah menjajari si perempuan tanpa memandang.

“Nama adalah harga sebuah kehidupan! Sekali nama tercoreng, perlu berpuluh tahun untuk memutihkannya! Kau saat ini tentu sudah dengar meski seandainya kau bukan dari kalangan orang persilatan....”

Si pemuda berpaling dari cepat menyahut. “Dengar apa, Nek...?”

“Kau tentunya pernah dengan seorang pendekar muda yang namanya mulai dikenal dan harum dalam kancah persilatan bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Ternyata sekarang tersiar kabar jika pendekar muda itu melakukan tindakan tidak terpuji pada beberapa orang gadis! Malah dikabarkan salah seorang di antara gadis itu telah hamil!”

Si pemuda serentak hentikan gerakan kakinya. Matanya mendelik memperhatikan nenek berperut besar di sampingnya. Wajahnya berubah merah padam. Namun sebelum si pemuda buka mulut, si nenek berperut besar yang seolah tidak merasa dirinya dipandangi telah lanjutkan ucapannya.

“Bagi pemuda itu sulit rasanya mengembalikan nama baik, kalau dia tidak bisa buktikan bahwa bukan dia yang melakukannya! Bahkan bukan nama pemuda itu saja yang jadi hitam, melainkan juga nama gurunya si tokoh yang dikenal dengan gelar Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak. Kau pernah dengar semua ini?!”

Karena tak ada sahutan, si perempuan berperut besar gerakkan kepala berpaling. Ternyata si pemuda berada delapan langkah di belakangnya!

“Ada apa?! Wajahmu berubah. Kau kecewa karena tak bisa berkenalan denganku?” tanya si perempuan.

Karena yang ditanya masih kancingkan mulut, si perempuan berperut besar kembali perdengarkan suara. “Hem.... Jangan-jangan saudara perempuanmu yang tengah kau cari itu salah satu gadis yang sempat diperlakukan tidak senonoh oleh pendekar muda itu! Betul?!”

“Orang ini tahu banyak... Aku curiga padanya! Hem.... Siapa dia sebenarnya?!” Si pemuda bertanya-tanya dalam hati lalu melangkah mendekati si perempuan yang tegak seolah menunggu di depan sana.

“Nek! Kau ini siapa sebenarnya?!” tanya si pemuda begitu berada di samping si perempuan berperut besar.

“Sialan! Kau masih juga berpura-pura seperti mereka!Bersikap seolah tidak kenal!” Si perempuan membentak. Lalu berpaling dan serta-merta membuat satu gerakan.

Si pemuda mendelik tak percaya. Si perempuan berperut besar melesat cepat ke depan malah sempat membuat gerakan jungkir balik di udara! Lalu melangkah perlahan-lahan. Namun dalam beberapa saat sosoknya sudah berada jauh!

“Busyet! Dia yang berpura-pura! Bukan aku!” gumam si pemuda. Lalu berteriak. “Nek! Tunggu!” seraya berteriak si pemuda berkelebat menyusul.

.
EMPAT

NENEK berperut besar tidak acuhkan teriakan orang. Malah dia kembali melesat ke depan dengan beberapa kali membuat gerakan jungkir balik dan berputar-putar di atas udara. Pakaian gombrang yang dikenakan tampak berkibar-kibar. Hebatnya kibaran pakaian si nenek mampu mencuatkan gelombang dan perdengarkan deruan-deruan dahsyat!

Hingga pemuda yang menyusul di belakangnya harus kerahkan tenaga dalam untuk membendung gelombang yang menderu-deru dari arah depan. Hal ini bukan saja membuat si pemuda tertinggal agak jauh, namun harus mencari ruang untuk menghindar selamatkan diri. Pada satu tempat si pemuda hentikan larinya. Memandang ke depan dan ke samping, dia tidak melihat siapa-siapa. Dia tajamkan pendengaran. Namun telinganya tidak mendengar apa-apa. Seolah habis kesabaran, si pemuda berteriak.

“Nenek! Di mana kau?!”

Tak ada suara sahutan. Tidak terlihat adanya gerakan. Namun begitu si pemuda hendak berteriak lagi, satu sosok tubuh melayang seraya jungkir balik beberapa kali sebelum akhirnya tegak berjarak tujuh langkah dihadapannya.

“Mau apa kau sebenarnya?!” Satu bentakan telah terdengar begitu si sosok injakkan kaki di atas tanah.

“Kek! Kau...!” Si pemuda buka mulut dengan mata membelalak. Yang tegak dhadapan si pemuda bukannya si nenek berperut besar, melainkan seorang kakek berambut putih panjang berwajah tirus. Kakek ini tidak memiliki leher hingga kepalanya seperti nongol diantara kedua pundaknya.Laki-laki berusia kira-kira tujuh puluh tahunan ini mendongak dengan mulut terbuka lebar seolah ingin menunjukkan rongga mulutnya. Padahal mulut itu tidak bergigi!

“Dasar murid manusia sinting! Berwajah tampan dan masih muda tapi yang dikejar-kejar seorang nenek! Apa tak ada lagi gadis cantik yang menarik hatimu, he?!”

Si kakek angkat suara. Namun begitu ucapannya selesai, si kakek tetap buka mulutnya lebar-lebar dengan sedikit mendongak! Karena dia tidak memiliki leher, dadanya jadi ikut tertarik sedikit ke belakang saat kepalanya bergerak tengadah.

“Kakek Iblis Ompong! Senang bisa jumpa denganmu lagi...,” kata si pemuda mengenali siapa adanya orang tua di hadapannya.

“Kau senang, tapi aku yang tak suka! Karena pasti kau hendak ajukan beberapa pertanyaan padaku!” sahut si kakek tak bergigi yang tidak lain adalah Iblis Ompong.

“Ah.... Cuma beberapa pertanyaan tak ada salahnya, bukan?! Lagi pula kita sudah bersahabat! Dan bahkan kau telah kuanggap sebagai guruku!”

Iblis Ompong mendengus. “Aku tak suka bersahabat dengan manusia yang tindakannya mengotori rimba persilatan!”

“Kek! Kau telah terbawa berita yang tidak benar! Itu semua fitnah!” kata si pemuda setengah berteriak.

Mendengar ucapan si pemuda, Iblis Ompong tertawa panjang. “Jangan kau kira aku bodoh! Bukan saja gadis-gadis yang kau buat korban. Tapi nenek-nenek pun hendak kau mangsa! Aku tanya padamu. Bukankah kau baru saja mengejar-ngejar seorang nenek?! Nenek yang sudah hamil lagi!”

“Aku mengejar seorang nenek hamil memang benar! Tapi kau salah jika menduga aku hendak memangsanya! Aku perlu penjelasan dari nenek itu!”

“Dari nenek hamil macam dia, penjelasan apa yang kau perlukan?!”

Si pemuda terdiam sesaat. Lalu menjawab. “Akhir-akhir ini ada seseorang yang menyamar sebagai diriku. Aku tak tahu pasti siapa dia sebenarnya dan apa maksudnya. Orang itulah yang sebenarnya melakukan tindakan tidak senonoh pada beberapa kenalanku....”

"Apa hubungannya dengan nenek hamil itu?!” tanya Iblis Ompong.

“Penjelasanku belum selesai, Kek...,” kata si pemuda yang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng.

“Hem.... Coba teruskan keteranganmu!”

“Orang yang menyamar sebagai diriku saat ini telah mendapatkan sebuah senjata dahsyat bernama Kembang Darah Setan. Bahkan kini telah memiliki Jubah Tanpa Jasad. Dua buah benda sakti yang berasal dari istana di Kampung Setan! Aku dan beberapa sahabat telah merasakan bagaimana dahsyatnya dua benda sakti tersebut. Menurut Kakek Raja Tua Segala Dewa, hanya seorang bayi yang bisa menghadang kedahsyatan benda dari Kampung Setan itu. Lalu aku sempat bertemu dengan seorang kakek yang bisu dan tuli. Dari kakek ini aku mendapat gambaran kapan bayi itu akan lahir!”

“Hem.... Lalu kau kira bayi di perut nenek tadi itu yang kelak dapat menghadang kedahsyatan Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad. Begitu?!”

“Nenek itu aneh.... Sudah tua masih juga mengandung. Lalu menurut perkiraanku, masa kelahirannya sesuai dengan apa yang dikatakan kakek bisu dan tuli. Kalau orang yang mengandung sudah aneh, biasanya bayinya akan lahir aneh juga! Dan tidak tertutup kemungkinan bayi itulah yang kucari!”

“Hem.... Kapan kira-kira bayi itu akan lahir?!” tanya Iblis Ompong.

“Dalam dua purnama ini!”

Tiba-tiba Iblis Ompong perdengarkan tawa bergelak. “Mau kau percaya pada ucapanku?!”

Pendekar 131 tidak menjawab. Iblis Ompong hentikan gelakan tawanya lalu berkata. “Jangan kau teruskan mengejar nenek itu! Bukan bayi dalam kandungannya yang kau cari!”

“Bagaimana kau bisa memastikan begitu?!”

“Karena ia tidak akan pernah melahirkan seorang bayi!”

“Jadi.... Dia hanya berpura-pura mengandung?”

Iblis Ompong tidak menyahut. Sebaliknya gerakkan kepala berpaling ke samping kanan. Bersamaan dengan gerakan kepala Iblis Ompong, dari balik sebatang pohon muncul satu sosok tubuh. Melangkah berlenggak-lenggok ke arah Iblis Ompong dengan bibir mengumbar senyum lebar.

Dia adalah seorang nenek berambut putih panjang mengenakan pakaian gombrong. Di atas kepalanya tampak kerudung berwarna hitam panjang hingga menjulai pada depan perutnya. Murid Pendeta Sinting yakin kalau si nenek adalah orang tua yang tadi berperut besar dan dikejarnya. Namun kali ini perut si nenek tidak lagi membusung besar!

“Siapa dia sebenarnya, Kek?!” Bertanya Pendekar 131 seraya perhatikan pada si nenek.

“Seorang sahabat.... Kau tertarik padanya?!”

“Bukan pada orangnya. Tapi pada keterangannya!”

“Kau tak akan mendapat keterangan yang kau inginkan!”

“Tapi sikapnya menunjukkan kalau dia tahu banyak tentang urusan yang saat ini tengah kuhadapi!”

“Nek! Aku adalah sahabat Kakek Iblis Ompong...,” kata murid Pendeta Sinting begitu si nenek berkerudung hitam tegak tidak jauh dari Iblis Ompong. “Sikapmu yang berpura-pura mengandung menunjukkan kau tahu persoalan yang kuhadapi! Harap kau sudi memberi keterangan padaku. Dari perempuan mana kelak bayi yang kucari itu akan lahir?!”

“Kudengar kau tadi mengatakan pernah bertemu dengan si tua bangka Dewa Uuk! Apa benar?!”

Joko Sableng kernyitkan kening. Iblis Ompong tampaknya bisa meraba. Hingga sebelum Joko sempat buka mulut, si kakek telah mendahului.

“Kakek bisu dan tuli yang pernah bertemu denganmu adalah Dewa Uuk! Adik kandung Dewi Ayu Lambada di sebelahku ini!”

Pendekar 131 sudah hendak tertawa mendengar keterangan Iblis Ompong. Namun ditahan melihat pelototan mata si kakek.

“Benar kau pernah bertemu dengan tua bangka itu?!” Untuk kedua kalinya si nenek yang diperkenalkan Iblis Ompong dengan Dewi Ayu Lambada ajukan tanya.

“Benar, Dewi Ayu.... Dan kalau benar ucapan Kakek Iblis Ompong, tentu Dewi Ayu bisa sedikit banyak membantu beberapa isyarat Dewa Uuk yang belum bisa kutangkap maksudnya!”

Dewi Ayu Lambada melirik pada Iblis Ompong. Yang dilirik angkat bahu lalu berkata. “Kau tadi telah mencobanya. Sekarang terserah padamu!”

“Perlihatkan isyarat yang diberikan tua bangka itu!” kata Dewi Ayu Lambada pada akhirnya.

Pendekar 131 jongkok. Telunjuk jarinya ditempelkan di atas tanah. Lalu dia mulai menggambar dua kepala yang di atasnya diberi angka satu dan dua. “Dua-duanya adalah seorang perempuan. Aku pernah bertemu dengan keduanya. Malah menurut Dewa Uuk mereka berdua tertarik padaku. Yang masih belum bisa kumengerti, Dewa Uuk anggukkan kepala pada gambar angka satu lalu gelengkan kepala pada angka dua. Yang aku tak habis pikir pula, mengapa Dewa Uuk menggambar dua perempuan?!”

“Kau sudah mengingat satu persatu siapa saja kenalanmu selama ini?!” tanya Dewi Ayu Lambada.

Joko anggukkan kepala. “Tapi rasanya tidak ada yang berhubungan dengan isyarat Dewa Uuk! Beberapa gadis yang kukenal selama ini kuyakin belum ada yang punya suami. Padahal kelahiran bayi itu tinggal dua purnama lagi! Jadi tentu saat ini kandungannya sudah besar!”

“Lupakan soal waktu kelahiran itu! Sekarang kau perhatikan sekali lagi gambar ditanah!” ujar Dewi Ayu, Lambada.

Murid Pendeta Sinting turuti ucapan si nenek. Sementara Iblis Ompong mendongak seraya buka mulut lebar-lebar.

“Dua kepala...,” gumam Dewi Ayu Lambada. “Berarti ada dua perempuan. Angka diatasnya memberi petunjuk kalau di antara keduanya ada hubungan darah!”

“Kau punya kenalan gadis yang punya hubungan darah?! Setidaknya kakak beradik?” tanya Dewi Ayu Lambada.

Pendekar 131 berpikir sejenak. “Aku punya kenalan dua gadis. Tapi bukan kakek beradik. Melainkan saudara kembar! Namun tak mungkin salah satu dari mereka! Beberapa waktu yang lalu, aku bertemu dengan keduanya. Mereka tidak ada yang mengandung....”

“Kau dapat menangkap kalau keduanya tertarik padamu?!” Dewi Ayu Lambada kembali ajukan tanya tanpa sambuti ucapan murid Pendeta Sinting.

“Aku tak tahu, Dewi....”

“Kalau kau masih tidak jujur dalam hal ini, janganbharap kau akan mendapatkan sesuatu! Jawab dengan terus terang! Kau dapat merasakan mereka tertarik padamu?!”

“Busyet! Bagaimana aku harus menjawab?!” membatin Joko. Entah karena tidak mau membuat si nenek marah, meski tidak yakin benar akhirnya murid Pendeta Sinting anggukkan kepala.

“Ah.... Kau pura-pura malu padaku!” Iblis Ompong nyeletuk. “Siapa kedua gadis itu?!”

“Pitaloka dan Putri Kayangan.... Tapi kurasa isyarat itu tidak ada hubungannya dengan kedua gadis itu! Keduanya....”

“Ah.... Pasti kau merasa takut kalau salah satu di antaranya mengandung!” kembali Iblis Ompong menyahut sebelum Joko lanjutkan ucapannya.

“Bukan begitu, Kek! Apakah mungkin mereka mengandung? Sementara belum lama kami bertemu dan keadaan mereka masih biasa-biasa saja! Padahal isyarat Dewa Uuk mengatakan bayi itu akan lahir dalam dua purnama mendatang! Kalau benar perempuan itu salah satu dari Pitaloka atau Putri Kayangan, pasti saat berjumpa itu perutnya sudah kelihatan besar!”

“Bayi yang kelak akan lahir bukan bayi biasa! Dan aku yakin salah satu di antara dua gadis itu yang akan mengandungnya!” Yang berucap kali ini adalah Dewi Ayu Lambada.

Paras wajah murid Pendeta Sinting mendadak berubah tegang. Kepalanya berulang kali menggeleng.

“Terserah padamu mau percaya atau tidak! yang jelas bayi itu akan lahir dari salah satu gadis itu!” ujar Dewi Ayu Lambada.

“Anak muda.... Aku sekarang tanya dan harap kau jawab dengan jujur. Apa kau dan keduanya pernah berbuat yang tidak-tidak?!”

“Aku pernah berada berdua-dua dengan Pitaloka ditempat sepi. Malah kalau tak salah aku pernah bermesraan dengannya. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi dan begitu siuman ternyata Pitaloka sudah tidak ada dan pedangku dibawanya! Apakah saat tidak sadar itu aku melakukan sesuatu di luar batas....” Pendekar 131 membatin mengingat pertemuannya dengan Pitaloka.

(Tentang pertemuan Joko dengan Pitaloka ini silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Liang Maut di Bukit Kalingga)

Mengingat akan hal itu, dada murid Pendeta Sinting berdebar keras. Parasnya makin tegang. Peluh mulai membasahi wajah dan lehernya.

“Gayamu memberi bayangan kau memang pernah melakukannya!” kata Dewi Ayu Lambada.

“Tidak, Nek! Aku yakin tidak pernah melukainya!”

“Hem.... Kalau kau mengatakan yakin, berarti hatimu masih bimbang!” Yang menyahut Iblis Ompong.

“Aku memang bermesraan dengan salah satu dari mereka!” Lalu Joko menceritakan peristiwa pertemuannya dengan Pitaloka sampai hilangnya Pedang Tumpul 131. “Tapi aku tetap merasa tidak melakukan sesuatu di luar batas walau aku tidak sadar!” kata murid Pendeta Sinting sambungi keterangan ceritanya.

“Ah.... Itu urusanmu! Yang jelas sekarang kau telah tahu dari perempuan mana bayi itu akan lahir!” ucap Dewi Ayu Lambada.

“Kakek ompong! Kurasa tidak ada gunanya lagi kita berada di sini!” Dewi Ayu Lambada sambungi ucapannya lalu putar diri.

“Anak muda! Sekarang kau tahu apa yang harus segera kau lakukan! Aku tak bisa membantu banyak. Hanya kalau nanti sang bayi itu tidak ada yang mengakui, aku dengan senang hati rela mengambil ibunya sebagai selir! Dua-duanya cantik bukan?!”

“Ah.... Kau salah, Kek! Keduanya tidak seperti yang kau katakan! Aku ucapkan terima kasih kalau kau punya niat untuk mengambil salah satunya kelak menjadi selir!”

“Itu tak masalah bagiku, Anak Muda! Yang penting dia gadis muda dan mau kuambil sebagai selir!”

Pendekar 131 akan berucap lagi, namun tangan kanan Dewi Ayu Lambada sudah menarik lengan Iblis Ompong hingga si kakek terputar. Lalu si nenek menyeretnya seraya berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Apa mungkin? Apa mungkin?!” Murid Pendeta Sinting berkali-kali menggumam seraya perlahan-lahan melangkah dengan dada masih dibuncah keheranan.

********************

LIMA

SATU purnama berlalu....

Satu sosok bayangan tampak melangkah perlahan di antara kerapatan jajaran pohon di sebuah hutan lebat. Dari gerakannya terlihat kalau bayangan ini sudah mengenal benar situasi kawasan yang dilewati. Pada satu tempat mendadak si bayangan ini hentikan langkah. Sosoknya berputar ke arah dari mana dia tadi melangkah.

“Hem.... Berpuluh-puluh tahun menghuni kawasan ini, baru hari ini telingaku mendengar suara isakan tangis. Ini isakan tangis sungguhan atau hanya pendengaranku saja yang seolah-olah mendengar?” terdengar gumaman pelan.

Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian warna putih lusuh. Rambutnya yang putih disanggul tinggi ke atas. Sepasang matanya sayu dengan paras telah dihiasi keriput. Untuk beberapa saat si laki-laki tegak dengan tajamkan pendengaran. Saat lain dia mendongak. Sosoknya tampak bergetar. Sepasang matanya yang sayu dipejamkan.

“Telingaku tidak menipu! Adalah aneh kalau di hutan lebat jarang dilewati manusia ada seseorang perdengarkan isakan tangis! Hem.... Dari isakannya jelas dia adalah seorang perempuan! Ah.... Tanda kalau ajalku sudah dekat akhirnya datang juga. Tapi mengapa aku harus takut?! Tanpa atau dengan tanda itu, ajal ini bagaimanapun juga pasti akan datang!”

Si laki-laki gerakkan kepalanya lurus ke depan. Sepasang matanya dibuka. Saat lain dia berkelebat. Sementara berjarak kira-kira tiga puluh tombak dari tempat di mana laki-laki berpakaian putih lusuh tadi tegak, satu sosok tubuh tampak tegak di lamping sebuah tanah ketinggian. Memandang ke bawah terlihat jurang yang sangatdalam. Sosok di lamping jurang tegak dengan kedua bahu berguncang dan kedua tangan menakup di depan wajah. Makin lama guncangan bahu sosok ini makin keras. Bersamaan dengan itu, suara isakannya yang sejak tadi terdengar makin bertambah keraspula.

Tiba-tiba laksana dirobek setan, isakan orang ini terputus. Guncangan bahunya terhenti. Kedua tangannya yang menakup di depan wajah diturunkan. Kini sepasang matanya mementang memandang ke bawah. Kejap lain sekonyong-konyong kedua kaki orang ini bergerak menjejak tanah. Sosoknya melesat amblas ke dalam jurang! Bersamaan dengan melesatnya orang masuk ke dalam jurang, satu bayangan putih berkelebat dan langsung melesat menyusul masuk ke dalam jurang.

Orang yang melesat terlebih dahulu dan tampak melayang, sesaat tersentak kaget tatkala merasakan tubuhnya disambar satu bayangan. Dia cepat berontak dengan kelebatkan kedua tangannya. Namun bayangan yang menyambar lebih dahulu bergerak. Tangan kanannya langsung sarangkan totokan pada kedua lengan orang. Saat lain seraya terus melayang dia putar arah ke lamping jurang. Kaki kiri kanannya menjejak. Lamping jurang jebol berantakan. Namun bersamaan dengan itu si bayangan putih melesat ke atas dengan kedua tangan membopong sosok orang.

Begitu injakkan kakinya tiba di atas jurang, bayangan putih yang ternyata adalah laki-laki berpakaian putih lusuh perlahan-lahan meletakkan orang di bopongannya ke atas tanah. Tangan kanannya bergerak bebaskan totokan pada lengan orang. Orang di atas tanah membuka kelopak matanya. Sesaat dia memandang ke langit. Lalu melirik ke samping kanan. Mendadak orang ini bergerak bangkit tatkala matanya melihat seorang laki-laki tegak tersenyum padanya.

“Kau kira aku akan mengucapkan terima kasih atas tindakanmu tadi?!” bentak orang yang baru bangkit. Dia ternyata adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya panjang dikuncir tinggi. Sepasang bola matanya yang bulat tampak sembab dan masih digenangi air mata.

Si laki-laki tua yang dibentak sunggingkan senyum lalu berkata pelan. “Aku tidak mengharapkan ucapan apa-apa. Hanya sayang jika nyawa pemberian Yang Maha Kuasa harus disia-siakan. Aku tahu, saat ini kau pasti tengah menghadapi urusan yang sangat berat. Namun bunuh diri bukanlah satu-satunya jalan penyelesaian!”

Si gadis pentang matanya memperhatikan orang dihadapannya. Sementara si laki-laki juga tengah mengawasi gadis di depannya. “Orang tua!” kata si gadis dengan suara keras dan bergetar. “Apa yang kulakukan adalah urusanku! Jangan berani ikut campur apalagi menghalangi!”

“Aku tahu.... Ini adalah urusanmu, Gadis Cantik. Aku juga tidak ingin ikut campur apalagi menghalangi. Kalaupun tadi aku bertindak, aku hanya ingin bicara. Siapa tahu kau bisa urungkan niat.”

“Buang keinginanmu itu, Orang Tua! Apa pun juga tak akan bisa urungkan niatku! Dan perlu kau tahu. Justru tindakanmu ini akan menambah panjang penderitaanku!”

Si orang tua gelengkan kepala. “Lalu apakah dengan jalan yang akan kau tempuh penderitaan itu akan berakhir?!”

Si orang tidak menjawab. Si orang tua sekali lagi memperhatikan. Lalu berkata seraya tengadahkan sedikit kepalanya. “Jika kau berpikir begitu, menurutku salah besar. Tindakanmu bukannya mengakhiri penderitaan, justru kau menciptakan penderitaan lain! Bahkan kau menciptakan penderitaan pada orang lain!”

Sesaat si orang tua hentikan ucapannya. Setelah menghela napas panjang dia kembali sambung ucapannya. “Kau tentu punya orang tua atau saudara. Seandainya mereka tahu apa yang kau lakukan, pasti mereka akan menderita....”

Tiba-tiba si gadis takupkan kedua tangannya pada wajahnya. Saat lain terdengar kembali isakannya. Si orang tua memandang sambil geleng-geleng kepala.

“Orang tua.... Kau tak tahu. Justru seandainya aku terus hidup, aku akan membuat penderitaan orang lain! Lebih dari itu pasti mereka akan mengucilkan diriku!”

“Itu hanya perasaanmu saja... Kau takut menghadapi sesuatu yang belum terjadi! Padahal kenyataan kadangkala jauh dari dugaan! Kau tahu.... Aku pernah mengalami hal yang sama denganmu. Aku pernah takut menghadapi masa depan. Dan apa akhirnya yang ku peroleh?! Hidup bertahun-tahun di hutan sunyi ini tanpa teman! Dan begitu aku sadar, semuanya sudah terlambat!”

“Orang tua.... Masalah yang tengah kuhadapi mungkin berbeda dengan masalahmu! Aku bukan hanya menduga kelak apa yang akan terjadi. Tapi aku sudah bisa pastikan! Jadi jangan halangi aku! Aku tak ingin membuat derita pada orang yang seharusnya tidak menderita!” Habis berkata begitu, si gadis melangkah terhuyung ke arah lamping jurang.

“Tunggu!” teriak si orang tua seraya berkelebat dan tegak menghadang. “Gadis cantik.... Kau benar-benar telah memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan jalan begini?! Kau telah berpikir bahwa inilah satu-satunya jalan mengakhiri derita?!”

“Aku telah berpikir seribu kali! Dan tidak satu pun keputusan terbaik selain ini!”

“Baiklah.... Kalau kau sudah memikirkan semuanya aku tidak akan menghalangi. Tapi sebelum kau lakukan ini, mau kau katakan apa sebenarnya masalahmu?!”

Si gadis gelengkan kepala. “Biar aku sendiri yang menyimpan urusan ini! Karena kukatakan pun tak ada gunanya!”

“Bagimu mungkin tidak ada gunanya. Tapi bagiku mungkin lain....”

Untuk pertama kalinya si orang tua melihat sunggingan senyum pada bibir si gadis. Meski dia tahu senyum itu dipaksakan. “Sebenarnya kau gadis yang menawan...,” entah sadar atau tidak si orang tua menggumam. “Sayang kalau gadis sepertimu harus mengakhiri hidup dengan jalan melawan kebiasaan! Sekarang katakanlah apa sebenarnya yang membuatmu memilih jalan ini....”

Senyum si gadis mendadak pupus. Saat bersamaan dia kembali terisak. Kedua tangan bergerak mengusap perutnya berulang kali.

Si orang tua kernyitkan kening. “Kau.... Kau mengandung?!”

Si gadis bukannya menjawab, melainkan makin keraskan isakan tangisnya. Hal ini sudah membuat si orang tua maklum. Entah karena ikut terharu dengan apa yang menimpa gadis di hadapannya, si orang tua melangkah mendekat. Kedua tangannya menjulur ke depan membelai rambut si gadis.

“Kalau hanya itu masalahnya, terjun masuk ke jurang bukan jawaban yang baik, Anakku.... Masih banyak cara untuk menyelesaikannya. Laki-laki itu mengkhianatimu, bukan?”

Si gadis angkat kepalanya lalu menggeleng. Namun mulutnya tidak membuka ucapan kata-kata.

“Dia lari atau terbunuh?!” tanya si orang tua.

Kembali si gadis berbaju merah gelengkan kepala. Tapi sejauh ini masih juga belum buka suara.

“Lalu...?!” tanya si orang tua pada akhirnya.

“Dia masih hidup! Tapi aku tak tahu siapa dia sebenarnya!”

Si orang tua tertawa pelan. “Kau ini aneh.... Kau tahu dia masih hidup, tapi kau tak tahu siapa dia sebenarnya! Bagaimana hal ini bisa terjadi?”

“Dia memperkosaku....”

Si orang tua tersentak. Lalu berucap dengan suara bergetar. “Tapi setidaknya kau masih bisa mengenali rupanya! Dan kau bisa minta tanggung jawab atas perbuatannya!”

“Tidak semudah itu, Orang Tua!”

“Ah.... Kau membuatku bingung....”

“Jahanam itu memiliki sebuah jubah yang membuat sosoknya tidak bisa dilihat! Seandainya aku mampu, saat itu juga jahanam itu pasti kubunuh! Tapi keparat itu bukan tandinganku! Selain itu di tangannya juga menggenggam sebuah kembang yang dikenal orang dengan Kembang Darah Setan!”

Si orang tua melengak kaget. “Senjata mustika dari Kampung Setan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Siapa gerangan yang berhasil membongkar makam batu itu? Dadaka...? Atau Galaga?! Atau mungkin Maladewa mampu keluar dari makam batu itu?!”

“Orang tua.... Apa maksud ucapanmu?!” tanya si gadis penuh keheranan.

Si orang tua menatap tajam pada gadis di hadapannya. “Anak cantik.... Ku mohon kau urungkan niatmu.... Percayalah, semuanya akan kita tangani bersama! Lebih dari itu aku memerlukan beberapa keterangan darimu....”

Si gadis gelengkan kepala. “Aku tak ingin melibatkanmu dalam urusanku, Orang Tua! Lagi pula jahanam bangsat itu terlalu tangguh untuk dihadapi!”

“Tidak, Anakku.... Bagaimanapun juga aku harus ikut terlibat! Karena semua ini masih ada kaitannya dengan urusanku!”

“Apa urusanmu?!”

“Kita cari tempat yang enak untuk bicara....” Seraya berkata, tanpa menunggu jawaban orang, si orang tua telah menggandeng tangan si gadis lalu mengajaknya melangkah tinggalkan lamping jurang.

Si gadis sesaat tampak enggan. Tapi entah karena apa, akhirnya dia turuti juga langkah si orang tua. Pada satu tempat, si orang tua hentikan langkahnya. Memandang sesaat pada gadis berbaju merah lalu berkata.

“Mau katakan siapa namamu...?”

“Pitaloka! Kau sendiri siapa?!” jawab si gadis sembari balik bertanya.

“Aku Kigali...,” kata si orang tua lalu sedikit tengadah dan lanjutkan ucapan. “Apakah benar orang yang kau sebut-sebut tadi telah mengenakan jubah yang membuat sosoknya tidak kelihatan dan membekal Kembang Darah Setan?”

“Kalau tidak, tentu aku bisa melihat tampang keparat itu sekaligus membunuhnya! Kalau kau mengatakan urusanmu masih ada kaitannya, apakah kau tahu siapa manusia jahanam itu?!”

“Memang sulit untuk menentukan! Namun setidaknya aku bisa menduga!”

“Katakanlah.... Siapa?!”

“Anakku.... Pada beberapa puluh tahun silam, rimba persilatan pernah dibuat gempar dengan munculnya orang-orang dari Kampung Setan. Tapi berkat bersatunya kaum persilatan, akhirnya orang-orang yang menamakan diri dari Kampung Setan dapat ditumpas. Namun ternyata masih ada dua orang dari Kampung Setan yang berhasil selamat. Dia adalah Maladewa dan seorang nenek bernama Nyai Suri Agung....”

Orang tua yang sebutkan diri sebagai Kigali sejenak hentikan keterangan. Memandang sesaat pada gadis berbaju merah yang ternyata bukan lain adalah Pitaloka, saudara kembar Putri Kayangan. Lalu sambung keterangan.

“Maladewa adalah seorang laki-laki yang punya ambisi besar untuk menegakkan kembali kejayaan Kampung Setan. Hingga menurut kabar, dia memaksa neneknya Nyai Suri Agung untuk menyerahkan seluruh warisan Kampung Setan. Terutama Kembang Darah Setan yang memang sudah dikenal sebagai senjata mustika yang sakti. Entah bagaimana ceritanya, yang jelas ku tahu, Maladewa akhirnya benar-benar menguasai Kembang Darah Setan.”

Untuk kedua kalinya Kigali hentikan keterangan. Sementara Pitaloka mendengarkan dengan seksama.

“Begitu Kembang Darah Setan berada ditangan Maladewa, orang ini segera pula melakukan apa yang menjadi cita-citanya. Yang aku herankan, Maladewa bukan saja inginkan nyawa beberapa orang yang pernah menumpas Kampung Setan, namun juga jiwa Nyai Suri Agung serta saudara seperguruannya Galaga yang berasal dari golongan orang di luar kerabat Kampung Setan.”

Kigali menarik napas. Lalu lanjutkan cerita. “Aku bersama seorang sahabat bernama Dadaka adalah dua orang kepercayaan Maladewa yang diberi tugas untuk mencari sekaligus membunuh Nyai Suri Agung dan Galaga. Maladewa tidak sadar, kalau sebe- narnya aku dan Dadaka adalah orang-orang yang berusaha menyusup di Kampung Setan. Tujuanku saat itu semata-mata memang menginginkan Kembang Darah Setan. Hingga sampai pada satu saat, aku dan Dadaka telah menentukan waktu untuk merebut Kembang Darah Setan. Tapi nyatanya pekerjaan itu tidaklah mudah. Aku dan Dadaka tidak berhasil merebut Kembang Darah Setan dari tangan Maladewa. Kami hanya bisa memasukkan Maladewa beserta Kembang Darah Setan pada sebuah makambatu!”

Kigali arahkan pandang matanya jauh ke depan dengan tatapan kosong. Setelah menghela napas berulang kali, orang tua ini melanjutkan.

“Setelah peristiwa masuknya Maladewa dan Kembang Darah Setan ke dalam makam batu, aku merasa menyesal. Ternyata semua usahaku bertahun-tahun tidak menghasilkan apa-apa! Padahal untuk itu aku telah lakukan apa saja yang diperintah Maladewa. Aku kecewa dan pada akhirnya memutuskan untuk menyendiri di hutan lebat ini! Kupikir tak ada gunanya hidup tanpa kesaktian. Sementara kesaktian itu telah sirna bersama lenyapnya Kembang Darah Setan ke dalam makam batu!”

“Kemudian aku baru sadar jika anggapanku salah. Tapi datangnya kesadaran ini telah terlambat. Di usiaku yang telah renta begini, tak mungkin aku bisa berbuat apa-apa lagi. Namun masih ada sedikit kebahagiaan hatiku. Karena bersamaan dengan masuknya Maladewa dan Kembang Darah Setan ke dalam makam batu, dunia persilatan kudengar aman. Tidak ada lagi pembunuhan besar-besaran dan terbunuhnya beberapa tokoh secara misterius....”

Untuk kesekian kalinya Kigali hentikan keterangan. Pandangannya lekat-lekat ke arah Pitaloka.

“Anakku.... Ternyata kebahagiaan ada batasnya. Dan batas kebahagiaanku adalah begitu kau katakan saat ini telah muncul seseorang yang menggenggam Kembang Darah Setan!”

“Orang tua! Kau menduga manusia jahanam itu Maladewa?!” tanya Pitaloka setelah Kigali terdiam agak lama.

Kigali gelengkan kepala. “Aku tak bisa menentukan siapa dia! Peristiwa masuknya Maladewa dan Kembang Darah Setan ke dalam makam batu itu telah berlalu selama kurang lebih tiga puluhan tahun. Aku tak bisa bayangkan, apakah mungkin seseorang bisa bertahan selama itu di dalam makam batu! Namun dunia selalu saja diliputi keanehan dan keganjilan. Bukan tidak mungkin jika Maladewa masih mampu hidup meski terkubur puluhan tahun dalam makam batu! Dan kalaupun orang itu bukan Maladewa, pasti tidak jauh dari Galaga dan Dadaka serta nenek Nyai Suri Agung sendiri! Karena hanya mereka yang tahu persis rahasia Kampung Setan....”

“Tentang jubah hitam itu?” tanya Pitaloka.

“Sebenarnya aku tidak paham benar dengan cerita jubah itu. Namun dari salah seorang yang pernah kutemui di hutan ini, aku pernah diberi tahu, jika Kampung Setan masih menyimpan sebuah senjata sakti selain Kembang Darah Setan. Senjata itu berupa sebuah jubah hitam yang disebut Jubah Tanpa Jasad. Barang siapa mengenakan jubah itu, maka sosoknya tidak akan bisa dilihat mata biasa! Dari cerita orang ini jelas kalau orang yang mengenakan jubah itu pasti sudah tahu benar rahasia Kampung Setan. Dan itu tidak akan jauh dari beberapa orang yang kukatakan tadi!”

“Orang tua.... Keteranganmu tidak membantu apa-apa padaku! Karena aku masih harus meraba-raba siapa sebenarnya jahanam pemakai jubah itu! Padahal aku telah bersumpah, lebih baik mati daripada tidak bisa membalas sakit hati ini! Dan sakit ini tidak mungkin terbalas selagi jahanam itu masih menggenggam Kembang Darah Setan!”

“Anakku.... Kau tidak boleh punya perasaan dendam. Bagaimanapun juga orang itu adalah ayah dari bayi yang saat ini tengah kau kandung! Bukankah sebaiknya kau berusaha berbaikan dan mengatakan terus terang apa yang telah terjadi?!”

Pitaloka geleng kepala. Rahangnya mengeras. Matanya yang masih tampak sembab mendelik. "Apakah masih pantas manusia jahanam itu disebut ayah?! Tidak! Aku tak ingin melahirkan darah daging manusia keparat itu!”

“Anakku.... Sadarlah. Ini kenyataan yang harus kau jalani! Siapa pun pasti tidak ingin mengalami nasib seperti yang kau alami. Tapi takdir telah menulis demikian. Bayi itu memang darah dagingnya, namun sebenarnya itu adalah pemberian Yang Maha Tinggi. Bayi itu tidak bersalah. Kau juga tidak...! Adalah satu kesalahan besar kalau seseorang menyia-nyiakan pemberian Yang Maha Agung! Meski pemberian itu terasa pahit....”

Pitaloka terdiam mendengar ucapan Kigali. Kigali menatap pada perut Pitaloka lalu berkata. “Anakku.... Kalau kau tetap tidak menginginkan bayi itu, kuharap kau rela menunggu sampai dia lahir. Aku bersedia mengambilnya. Setelah itu kau boleh pergi ke mana kau suka!”

Pitaloka kembali geleng kepala. “Tidak, Orang Tua! Hal itu akan menambah penderitaanku! Dan bayi itu harus mati! Aku tak ingin melihat tampang darah daging manusia jahanam keparat itu!”

“Kau jangan salahkan bayi tak berdosa itu, Anakku!”

Pitaloka memandang tajam pada Kigali. Kigali tersenyum lalu berkata. “Saat ini kau perlu istirahat. Dalam keadaan seperti sekarang ini, pasti hanya perasaan dendam yang menyelimuti hatimu. Dan keputusan yang kau ambil pasti tidak jauh dari apa yang tadi hendak kau lakukan! Tapi mungkin kau bisa mengambil jalan lain jika pikiranmu sudah tenang. Aku punya tempat berlindung tidak jauh dari sini. Di sana mungkin kau bisa istirahat dan tenangkan diri....”

“Tapi....”

“Jangan berprasangka yang tidak-tidak padaku, Anakku! Aku dahulu memang bukan orang baik-baik! Tapi lingkungan alam telah membuatku berubah!”

Setelah berkata begitu, Kigali mengambil tangan Pitaloka. Kigali sunggingkan senyum. Lalu melangkah seraya terus memegang tangan Pitaloka. Pitaloka sesaat ragu. Namun tak lama kemudian dia mengikuti langkah Kigali.

“Orang tua.... Apa yang kau lakukan di tempat sepi ini?!” tanya Pitaloka seraya terus melangkah.

“Merenung.... Menghitung apa yang telah kulakukan di masa lalu. Lalu mengambil pelajaran!”

“Jadi selama ini kau tidak pernah keluar?!”

“Kupikir, pergaulan di luar sana hanya akan membuatku berubah lagi! Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang pernah kulakukan!”

“Jadi selama ini kau juga tidak tahu bagaimana kabar temanmu bernama Dadaka serta orang yang kau sebut Galaga dalam ceritamu tadi?”

“Begitulah.... Bahkan aku sudah tidak tahu bagaimana dan apa yang terjadi dalam kancah rimba persilatan. Dunia yang pernah kudambakan saat aku masih muda!”

“Lalu apakah kau pikir nenek bernama Nyai Suri Agung itu masih hidup?!”

“Kalau menurut perhitungan manusia biasa, memang hal itu tak mungkin. Namun umur manusia hanya Yang Maha Tinggi yang tahu. Dan satu hal yang pasti, bukan Nyai Suri Agung yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad serta membawa Kembang Darah Setan itu! Terbukti dia bisa lakukan tindakan tidak senonoh padamu!”

“Jadi kemungkinannya tinggal tiga orang!” kata Pitaloka. “Maladewa, Galaga, dan sahabatmu Dadaka!”

“Menurut perhitungan memang seharusnya begitu. Tapi siapa tahu bersama berlalunya waktu ada sesuatu di luar perhitungan!”

“Maksudmu...?!”

“Siapa tahu di antara orang-orang yang tahu rahasia Kampung Setan membocorkan pada orang lain! Tapi hal itu tidak perlu terlalu kau pikirkan, Anakku... Percayalah! Bersama berlalunya masa, siapa pun adanya orang itu, pasti satu saat akan diketahui! Dan bagaimanapun dahsyat barang mustika yang ada di tangan orang, satu saat tentu akan ada barang mustika lain yang melebihinya!”

“Kurasa kali ini sulit, Orang Tua... Beberapa waktu yang lalu, jahanam itu berhadapan dengan beberapa tokoh yang saat ini namanya tersohor dalam dunia persilatan. Namun dikeroyok beberapa orang, si keparat itu mampu menghadangnya!”

“Hem.... Aku tertarik dengan keteranganmu. Siapa saja tokoh-tokoh itu?!”

“Datuk Wahing, Dayang Sepuh, dan seorang gemuk besar yang dipanggil dengan sebutan Gendeng Panuntun!”

“Astaga! Yang kau maksud tentu seorang kakek bermata buta!”

“Betul! Kau mengenalnya?!”

“Siapa tidak kenal dengan tokoh aneh itu! Selain memiliki ilmu yang sukar dijajaki, dia juga memiliki keahlian tertentu. Hem.... Apa saat itu Gendeng Panuntun tidak bisa menebak siapa adanya orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad?!”

Pitaloka gelengkan kepala. Kigali kerutkan dahi. “Aneh... Menurut yang pernah kudengar, tokoh itu bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang biasa!”

“Tapi nyatanya saat itu dia tidak bisa mengenali sosok di balik Jubah Tanpa Jasad. Bahkan orang di balik Jubah Tanpa Jasad tetap mampu menghadapi meski tak lama kemudian muncul seorang pemuda yang namanya juga sudah mulai terkenal. Yakni Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng! Kau mengenal pemuda itu?!”

Kali ini suara Pitaloka terdengar lain di telinga Kigali. Kigali menatap tajam pada Pitaloka. “Kalau dia seorang pemuda, tentu aku tidak mengenalnya. Dan baru saat ini aku mendengar gelarnya! Namun aku menangkap sesuatu yang lain pada pemuda itu....”

Mendengar ucapan Kigali, kali ini ganti Pitaloka yang sedikit merasa heran. Tapi belum sampai Pitaloka utarakan keheranannya, Kigali sudah berucap.

“Anakku.... Kau tertarik dengan pemuda itu?!”

Dada Pitaloka berdebar. Wajahnya berubah merah padam. Dia buru-buru alihkan pandang matanya ke jurusan lain.

“Anakku.... Perasaan cinta bisa tergambar dari pandangan dan getaran suara. Dan aku menangkap semua itu pada dirimu! Kau boleh berkata tidak, tapi gambaran itu tidak bisa berdusta! Kau menyukai pemuda itu!”

Dada Pitaloka makin berdebar. Perasaannya gelisah. Untuk beberapa saat dia kancingkan mulut tidak menyahut ucapan Kigali. Kigali sendiri tampak sunggingkan senyum lalu berkata lagi.

“Aku tahu sekarang.... Kau tadi hendak bunuh diri karena takut pemuda itu tahu apa yang kau alami....” Kigali geleng kepala. “Kau tak usah khawatir, Anakku... Sebagai seorang pendekar, kalau dia benar-benar menyayangimu pasti tidak akan melihat apa yang menimpa dirimu. Tentu dia bisa bertindak bijaksana!”

“Tapi hal itu tak mungkin terjadi, Orang Tua....”

“Bagaimana kau bisa mengatakan tidak mungkin?!”

“Selain diriku pernah berbuat curang padanya, saudara kembarku juga mencintainya! Seandainya disuruh memilih, pasti dia akan memilih saudaraku! Selain orangnya cantik, saudaraku lembut dan baik hati. Tidak seperti aku....”

“Perasaan cinta tidak bisa dilihat dari itu saja, Anakku! Tapi hal itu lupakan dahulu. Lihat! Gubuk reot itu adalah tempatku. Kuharap kau betah tinggal untuk beberapa lama!”

Kigali mempercepat langkah. Sementara Pitaloka melangkah perlahan-lahan dengan mata menerawang jauh. Anehnya yang muncul di pelupuk matanya adalah bayangan sosok Pendekar 131 Joko Sableng!

********************

ENAM

GADIS berparas luar biasa cantik itu melangkah dengan mata menatap kosong ke depan. Entah apa yang sedang menggelayuti dadanya, yang jelas dari sikapnya yang seolah tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya, menunjukkan kalau pikirannya sangat kalut. Mendadak saja dari arah samping kanan terdengar suara deruan dahsyat. Kejap lain satu gelombang ganas menggebrak ke arah si gadis yang tengah melangkah!

Kalau saja si gadis tidak segera melompat selamatkan diri, niscaya sosoknya akan terhantam gelombang yang nyata-nyata telah dialiri tenaga dalam cukup tinggi, terbukti gelombang yang gagal menghantam si gadis mampu memporak-porandakan batu agak besar di sebelah samping sana. Malah tanah di tempat itu sesaat jadi bergetar dan semburat keudara. Gadis berparas cantik berpaling ke samping kanan dengan mata mendelik. Namun matanya yang bulat tajam tidak melihat siapa-siapa.

“Aku yakin orang yang baru saja melepaskan pukulan ada di sekitar tempat ini!” gumam si gadis lalu angkat kedua tangannya. Saat lain kedua tangannya mendorong ke samping kanan, arah di mana pukulan yang tadi dilepas orang bersumber.

Dua gelombang angin menderu angker. Beberapa batangan pohon yang tegak di sebelah kanan tampak bergetar hebat. Tak lama kemudian dua batangan pohon perdengarkan suara berderak. Lalu tumbang dengan suara menggelegar. Bersamaan tumbangnya batangan pohon, satu sosok tubuh melesat keluar dan tegak di hadapan gadis berparas cantik berjarak sepuluh langkah. Gadis berparas cantik coba sunggingkan senyum walau dadanya mulai panas. Lalu buka suara dengan suara agak bergetar. Tanda dia agak geram mendapati dirinya dipukul orang secara sembunyi.

“Tidak kusangka jika kau adanya! Mengapa kau hendak mencelakaiku?!”

Orang yang baru muncul bersamaan dengan tumbangnya batangan pohon sesaat perdengarkan tawa pendek. Dia adalah seorang gadis yang juga berparas cantik. Rambutnya hitam lebat digeraikan. Setelah menatap sejenak gadis ini berkata.

“Putri Kayangan! Seandainya aku mau, kau pasti sudah kubuat mampus! Apa yang baru saja kulakukan adalah satu peringatan padamu!”

Gadis cantik yang tadi dipukul yang ternyata tidak lain adalah Beda Kumala alias Putri Kayangan, saudara kembar Pitaloka ganti tertawa pendek lalu berkata.

“Saraswati! Aku merasa heran dengan ucapanmu! Pasti ini masih ada hubungannya dengan Pendekar 131 Joko Sableng! Kau cemburu!”

Tampang gadis yang baru muncul dan ternyata adalah Saraswati berubah merah padam. “Dengar, Putri Kayangan! Ini tidak ada kaitannya dengan cemburu! Hanya aku tidak ingin melihatmu terlibat terlalu jauh! Biarkan pemuda itu buktikan dirinya dahulu kalau memang bukan dia manusianya yang bertindak menjijikkan!”

“Hem.... Jadi kau kira aku....”

“Jangan banyak bicara!” tukas Saraswati. “Yang jelas aku tidak mau melihatmu terlibat dalam urusan ini!”

“Aku tidak bodoh, Saraswati! Aku punya urusan sendiri dan tidak ada hubungannya dengan Pendekar 131 Joko Sableng!”

“Bagus! Tapi jika kulihat kau masih juga ikut-ikutan, aku tidak akan memberi peringatan lagi!” Habis berkata begitu, Saraswati balikkan tubuh tinggalkan tempat itu.

“Dengar, Saraswati! Aku memang tidak mau terlibat. Tapi kalau aku berada bersama Pendekar 131, kuharap kau jangan menduga yang tidak-tidak!”

Saraswati tidak menyahut. Dia teruskan langkah. Sementara Putri Kayangan memandang sesaat lalu putar diri. Belum sampai Putri Kayangan gerakkan kaki, satu sosok tubuh berkelebat. Putri Kayangan terkesiap. Belum sempat sang Putri mengenali wajah orang, sudah terdengar suara.

“Jadi pendekar muda berwajah tampan memang asyik.... Di mana-mana selalu jadi bahan omong dan rebutan! Tidak seperti diriku.... Ditawar-tawarkan pun tidak ada yang mau! Hik Hik Hik...!”

“Memangnya siapa yang mau dengan tua bangka karatan sepertimu?!” Satu suara mendadak menyahut. Bersamaan itu satu bayangan berkelebat dan yang ini langsung tegak tidak jauh dari Saraswati.

Saraswati yang sudah terkejut mendengar suara orang yang pertama, makin melengak kaget. Dia cepat putar diri lagi. Saat yang sama Putri Kayangan juga balikkan tubuh. Untuk beberapa lama Saraswati dan Putri Kayangan saling pandang. Saat lain Saraswati alihkan pandang matanya ke samping kanan. Sementara Putri Kayan- gan ke samping kiri.

Saraswati melihat seorang perempuan berusia lanjut mengenakan pakaian gombrong. Anak gadis Lasmini itu tidak bisa dengan jelas melihat raut wajah si nenek. Selain dari arah samping, ternyata si nenek mengenakan kerudung hitam panjang di kepalanya. Di pihak lain, Putri Kayangan melihat seorang kakek berambut putih. Karena si kakek menghadap lurus pada sang Putri, saudara kembar Pitaloka ini dengan jelas dapat menangkap paras muka orang.

Kakek ini mengenakan pakaian agak lusuh. Wajahnya agak tirus. Kakek ini tidak memiliki leher dan meski tidak berkata-kata lagi, mulutnya terus menganga! Seolah ingin menunjukkan kalau mulutnya tidak bergigi alias ompong! Putri Kayangan segera alihkan pandangannya pada si nenek. Sementara di seberang sana, Saraswati ganti arahkan pandangannya pada si kakek.

Tiba-tiba dahi Saraswati mengernyit. “Kalau tak salah aku pernah melihat kakek itu. Ah, benar! Aku pernah melihatnya di depan Istana Hantu! Dia adalah sahabat Pendekar 131! Jika tak salah dia adalah Iblis Ompong. Hem.... Tapi si nenek itu, aku tak mengenalinya!”

Kalau Saraswati membatin begitu, Putri Kayangan tampaknya tidak bisa menduga-duga siapa gerangan adanya kakek dan nenek yang tiba-tiba muncul di hadapannya Hingga untuk beberapa lama dia hanya memandang silih berganti pada nenek dan kakek yang bukan lain memang Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lambada adanya. Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya. Lalu memberi isyarat pada Iblis Ompong untuk mendekat.

“Ah.... Di hadapan gadis-gadis cantik begini kau selalu pasang aksi berlagak mesra! Berarti kau masih punya cemburu padaku! Takut kalau aku tertarik dan digaet perempuan lain!” Iblis Ompong berucap. Lalu sedikit dongakkan kepala dan melangkah ke arah Dewi Ayu Lambada dengan mulut terbuka lebar-lebar!

“Dasar tua karatan! Mana mungkin aku cemburu pada gadis-gadis ini?! Tak mungkin mereka mau dengan manusia karatan sepertimu!”

“Ah.... Kau hanya memandang dari apa yang terlihat di luar. Rambut memang sudah beruban. Kulit sudah mengeriput dan mata telah kabur! Tapi bagian dalamnya masih mampu menandingi pemuda belasan tahun!”

“Ah.... Kau akan selalu berkoar-koar begitu jika di hadapan gadis cantik! Kenyataannya....” Si nenek cekikikan dahulu sebelum akhirnya melanjutkan. “Besar di mulut kurang di tenaga!”

Mendengar ucapan Dewi Ayu Lambada, paras muka Saraswati dan Putri Kayangan berubah merah. Namun sejauh ini baik Saraswati maupun Putri Kayangan belum ada yang buka mulut.

“Hai.... Kau kenal dua gadis yang tengah berebut pemuda ini?!” Dewi Ayu Lambada berbisik pada Iblis Ompong begitu si kakek berada di sampingnya.

Iblis Ompong gerakkan kepala ke arah Saraswati. Dewi Ayu Lambada ikut hadapkan wajah pada Saraswati hingga si gadis kini dapat melihat jelas paras muka nenek berkerudung hitam itu.

“Yang itu rasa-rasanya aku pernah bertemu! Hanya saja aku lupa kapan dan di mana! Yang jelas saat itu di sana ada pula pemuda geblek murid manusia sinting itu!” kata Iblis Ompong. Lalu gerakkan kepala menghadap Putri Kayangan. Dewi Ayu Lambada kembali ikut gerakan kepala Iblis Ompong.

“Yang itu dalam mimpi pun aku belum pernah bertemu! Tapi soal berkenalan serahkan saja pada...,” ujar Iblis Ompong lalu tengadah dengan mulut dibuka lebar.

Dewi Ayu Lambada memberengut lalu berucap. “Yang kita hadapi adalah perempuan. Biar aku yang maju!”

“Ah.... Nyatanya kau masih juga khawatir padaku! Kau tahu.... Perempuan biasanya lebih senang berkenalan dengan laki-laki! Bukan dengan sesama perempuan! Namamu memang yahud dan meyakinkan, tapi tampangmu tidak bisa dijadikan modal meskipun hanya dalam berkenalan!”

Dewi Ayu Lambada mendengus. “Dasar tua bangka tidak tahu diri! Sekarang kau bisa berkata begitu. Tapi dahulu kala kau selalu memuja-muja dan terus mengikuti ke mana aku pergi! Apa kau lupa peristiwa saat kau mencium kakiku hanya demi agar aku menerima cintamu?!”

“Ah.... Kau selalu mengungkit masa yang telah terkubur!”

“Diam, Tua Bangka!” hardik Dewi Ayu Lambada. “Kuperingatkan kau agar tidak ikut bicara! Kalau tidak, mulutmu akan kubuat tidak bisa terbuka lagi!”

Iblis Ompong tertawa bergelak sambil usap-usap mulutnya yang terus terbuka. Sementara Dewi Ayu Lambada melangkah maju tiga tindak. Saat lain perempuan berkerudung hitam ini putar diri setengah lingkaran menghadap Saraswati. Bibirnya sunggingkan senyum. Pinggulnya digoyang dua kali lalu dia menjura dengan kedua tangan ditakupkan di depan kening. Saraswati tampak salah tingkah dan bingung harus berbuat apa. Hingga dia hanya diam dan memandang dengan menahan tawa.

Dewi Ayu Lambada buka takupan kedua tangannya. Sosoknya berputar dan kini menghadap ke arah Putri Kayangan. Kembali si nenek goyang pinggulnya dua kali seraya menjura hormat. Kedua tangannya lagi-lagi ditakupkan dan dipasang di depan kening. Putri Kayangan sunggingkan senyum lalu anggukkan kepala. Dewi Ayu Lambada luruskan tubuh. Lalu melompat ke samping Iblis Ompong. Begitu injakkan kaki, kepalanya segera berpaling ke arah Saraswati lalu pada Putri Kayangan yang ada di seberang.

“Gadis-gadis cantik...,” kata Dewi Ayu Lambada. “Kalau tidak merasa keberatan, sudi sebutkan diri pada kami siapa kalian adanya?!”

Untuk beberapa saat baik Saraswati maupun Putri Kayangan belum ada yang memberi jawaban. Malah kedua gadis ini saling bentrok pandang beberapa lama.

“Harap tidak punya dugaan yang bukan-bukan! Kami berdua memang tua-tua bangka yang usil hendak tahu nama orang. Namun kami tidak punya niat apa-apa! Cuma sekadar ingin berkenalan....”

Dewi Ayu Lambada kembali angkat suara setelah sekian lama ditunggu tidak juga ada yang buka mulut di antara kedua gadis yang ditanya.

“Nek...!” Iblis Ompong berbisik. “Caramu berkenalan sudah ketinggalan zaman! Aku berani bertaruh satu tangan kalau di antara mereka ada yang mau menjawab!”

Dewi Ayu Lambada melirik pada Iblis Ompong. “Kita lihat saja nanti! Kalau benar, tanganmu akan kupotong betulan!”

Habis berkata begitu, Dewi Ayu Lambada berpaling silih berganti pada Saraswati dan Putri Kayangan. Si nenek coba sunggingkan senyum dan pasang tampang ramah. Namun sejauh ini Saraswati dan Putri Kayangan belum juga ada yang buka mulut.

“Gadis-gadis cantik.... Kalian merasa keberatan sebutkan diri?!” Kembali Dewi Ayu Lambada angkat bicara begitu mendapati belum juga ada yang buka suara.

Baik Saraswati maupun Putri Kayangan sebenarnya tidak merasa keberatan untuk sebutkan diri. Namun mereka berdua tampaknya menunggu sampai ada yang mendahului. Hingga karena sama saling menunggu, keduanya tidak ada yang buka suara.

Dewi Ayu Lambada terlihat agak jengkel dengan sikap Saraswati dan Putri Kayangan. Dia melirik pada Iblis Ompong dan berujar pelan. “Tampaknya mereka bukan gadis yang kita cari meski kudengar tadi tengah berebut pemuda geblek itu! Atau jangan-jangan keduanya tidak bisa mendengar?!”

“Nek.... Seperti kukatakan tadi, cara berkenalanmu sudah ketinggalan masa! Cara seperti itu mungkin cocok pada saat mudamu. Tapi untuk saat sekarang apalagi dalam situasi seperti saat ini, caramu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kecurigaan!”

“Baik! Sekarang aku ingin tahu bagaimana caranya berkenalan model sekarang!” kata Dewi Ayu Lambada dengan mata mendelik.

“Hem.... Jadi acara ini kau serahkan padaku?!” tanya Iblis Ompong.

“Tapi kalau kau bicara yang tidak-tidak, kau akan tahu rasa nanti!”

Iblis Ompong tertawa panjang. Lalu melangkah dua tindak ke depan. Tanpa memandang pada Saraswati dan Putri Kayangan, si kakek langsung angkat bicara. “Aku tahu... Kalian berdua jatuh cinta pada Pendekar 131 Joko Sableng!”

“Enak saja bicara! Siapa yang jatuh cinta?!” Tiba- tiba Saraswati menyahut dengan suara keras. “Dia yang jatuh cinta, bukan aku!” Telunjuk tangan kanan Saraswati lurus mengarah pada Putri Kayangan.

Putri Kayangan rupanya tidak mau ditunjuk-tunjuk begitu rupa apalagi langsung dituduh dihadapan orang. Gadis berpakaian merah ini segera pula arahkan telunjuknya pada Saraswati seraya berucap dengan suara tak kalah kerasnya. “Dia yang cemburu padaku! Padahal aku tidak merasa punya hubungan apa-apa!”

“Siapa percaya pada ucapan kalian!” kata Iblis Ompong dengan suara keras pula. “Yang jelas dari perdebatan kalian tadi, aku bisa katakan kalian berdua sama jatuh cinta pada Pendekar 131 Joko Sableng!”

“Orang tua! Jangan bicara sembarangan! Katakan terus terang apa maumu sebenarnya!” bentak Saraswati yang mulai jengkel.

Iblis Ompong berpaling pada Saraswati. “Gadis cantik... Kau tentu tak akan mungkir bila kukatakan kita pernah bertemu! Jadi jangan kira aku tak tahu siapa dirimu dan apa hubunganmu dengan Pendekar 131!”

Saraswati perhatikan Iblis Ompong dengan mata melotot besar. Dadanya bergemuruh. Bibirnya tampak bergetar saat dia berkata. “Kita memang pernah bertemu! Tapi kau tahu apa hubunganku dengan pemuda keparat itu, hah?! Jangan berani bicara mengarang cerita!”

Iblis Ompong geleng kepala. “Aku tak akan mengarang cerita. Aku juga akan menyimpan rapat-rapat apa yang ku tahu antara kau dan pemuda yang kau katakan keparat itu. Aku hanya perlu memberi tahu padamu. Pemuda keparat itu sekarang sedang sekarat!”

Laksana terbang Saraswati melompat kedepan. Wajahnya berubah tegang. Untuk beberapa lama dia pandangi Iblis Ompong. Lalu seolah ingin meyakinkan, dia berpaling pada Dewi Ayu Lambada. Mungkin masih merasa jengkel dengan sikap Saraswati tadi, si nenek segera buang muka ke jurusan lain ketika Saraswati berpaling padanya.

“Orang tua! Kau....”

Belum sampai Saraswati teruskan ucapan, Iblis Ompong angkat tangan kanannya. Lalu jari telunjuknya dilintangkan di depan mulutnya memberi isyarat agar Saraswati tidak lanjutkan ucapan.

“Aku tak akan bicara apa-apa lagi padamu, Anak Cantik! Kau cukup kuberi tahu apa yang tengah terjadi! Kalau kau ingin bicara, bicaralah! Aku akan sampaikan padanya!"

Di lain pihak mendengar keterangan Iblis Ompong, Putri Kayangan sesaat terkesiap. Seperti halnya Saraswati, dia memandang berlama-lama pada Iblis Ompong seolah ingin meyakinkan. Bahkan dia pun sempat arahkan pandang matanya pada Dewi Ayu Lambada. Namun lagi-lagi Dewi Ayu Lambada segera buang muka dengan tampang ketus.

“Apa benar ucapan kakek itu...? Siapa yang telah membuatnya begitu?! Saat berpisah tempo hari... Ah!” Putri Kayangan tidak dapat lanjutkan kata hatinya. Matanya mulai berkaca-kaca. Namun setelah sadar di mana saat berada dan siapa yang ada dihadapannya, Putri Kayangan cepat usap genangan air matanya lalu melangkah ke arah Iblis Ompong.

Iblis Ompong berpaling pada Putri Kayangan. Setelah menghela napas panjang dan unjuk mimik menyesal, kakek ini berkata. “Sebenarnya aku tak mau membuat kalian kecewa dengan kabar tidak enak ini. Tapi aku akan merasa berdosa jika tidak menyampaikan amanat orang!”

“Jadi kau sungguh-sungguh?!” Yang bertanya adalah Putri Kayangan.

“Terserah bagaimana kau memandangnya! Yang jelas aku telah memberi tahu pada kalian!”

“Di mana sekarang dia berada?!” hampir bersamaan Saraswati dan Putri Kayangan berkata.

Iblis Ompong geleng kepala. “Aku tak bisa memberi keterangan! Saat ini dia tengah dirawat seseorang. Namun kecil kemungkinannya dia dapat hidup! Cuma saja kalau di antara kalian ada yang hendak memberi pesan terakhir, aku akan sampaikan!”

Saraswati dan Putri Kayangan kembali saling pandang. Iblis Ompong tampaknya maklum. Maka dia segera berucap. “Kurasa mulai saat ini tidak perlu di antara kalian ada silang sengketa karena cinta!”

Iblis Ompong berpaling pada Saraswati. “Anak cantik... Aku tahu, mungkin kau malu ucapanmu didengar sahabatmu ini. Kalau kau masih ingin mengutarakan sesuatu, mendekatlah! Berbisiklah ditelingaku!”

Saraswati sesaat pandangi Putri Kayangan. Putri Kayangan menghela napas lalu tersenyum dan putar diri sambil melangkah tiga tindak dan berkata. “Aku tak akan mendengarkan... Silakan bicara!”

Saraswati bimbang. Namun akhirnya melangkah juga. Kepalanya segera disorongkan ke dekat telinga Iblis Ompong lalu mulutnya berkemik. Iblis Ompong mendengarkan dengan seksama. Lalu mengangguk. Saraswati tarik pulang kepalanya dengan mata berkaca-kaca.

Iblis Ompong berpaling lalu bergumam lirih. “Anak cantik... Pesanmu akan kusampaikan. Tapi kalau dia nanti bertanya siapa yang memberi pesan?!”

Saraswati kembali dekatkan kepalanya lalu sebutkan diri. Iblis Ompong kembali anggukkan kepala. Lalu berpaling pada Putri Kayangan. “Gadis baju merah... Kau tidak ingin titip sesuatu?!”

Putri Kayangan balikkan tubuh. Ketika dilihatnya Saraswati telah berbalik dan melangkah menjauh, Putri Kayangan mendekat pada Iblis Ompong dan berkata. “Kek... Sampaikan saja permintaan maafku padanya!”

“Hanya itu?!” tanya Iblis Ompong.

Putri Kayangan anggukkan kepala dengan mata kembali telah digenangi air mata. “Aku... Aku Beda Kumala. Tapi orang sering memanggilku Putri Kayangan....”

Iblis Ompong sesaat tersentak. Namun buru-buru sadar dan segera anggukkan kepala. Saat lain dia berkelebat dan tegak di samping Dewi Ayu Lambada.

“Bagaimana?!” tanya si nenek.

“Rezeki kita besar!”

“Besar bagaimana?!”

“Nanti saja kuceritakan! Sekarang kita harus cepat tinggalkan tempat ini!” bisik Iblis Ompong. Lalu memandang silih berganti pada Saraswati dan Putri Kayangan.

“Kuharap kalian berdua tidak larut dalam kesedihan! Setiap manusia hidup pasti akan mengalami kematian! Kalau takdir nanti menentukan lain, tentu pemuda itu masih bisa disembuhkan....”

Habis berkata begitu, Iblis Ompong berkelebat diikuti oleh Dewi Ayu Lambada. Saraswati teruskan langkah tanpa berpaling lagi. Sementara Putri Kayangan balikkan tubuh lalu melangkah dengan pipi dibasahi air mata!

TUJUH

"BAGAIMANA?! Bagaimana?!" tanya Dewi Ayu Lambada dengan tangan menarik-narik lengan Iblis Ompong.

Iblis Ompong pasang tampang angker lalu berbisik. “Jangan keras-keras bicara! Dan lepaskan tanganmu!”

“Dasar tua sialan!” maki Dewi Ayu Lambada seraya sentakkan tangannya dari lengan Iblis Ompong.

Dua orang ini ternyata tidak berkelebat jauh. Sesaat tadi keduanya memang seakan-akan tinggalkan tempat di mana mereka bertemu dengan Saraswati dan Putri Kayangan. Namun begitu agak jauh, keduanya memutar jalan lalu kembali ke tempat di mana Saraswati dan Putri Kayangan berada. Namun kali ini mereka berdua tampak mengendap-endap dan sembunyikan diri dibalik batangan pohon agak besar. Iblis Ompong sesaat memperhatikan Saraswati yang teruskan langkah dengan kepala menunduk. Lalu berpaling pada Putri Kayangan yang juga melangkah berlawanan arah dengan Saraswati.

“Kita ikuti yang berbaju merah...,” ujar Iblis Ompong ketika dilihatnya Putri Kayangan telah melangkah agak jauh. Dia luruskan tubuh lalu keluar dari balik pohon. Saat lain dia berkelebat. Tapi tiba-tiba gerakannya ditahan tatkala mendapati si nenek belum juga beranjak dari balik pohon.

“Hai! Ada apa denganmu?! Kita ikuti si baju merah itu!”

Dewi Ayu Lambada mendengus dengan tampang cemberut. “Kau belum katakan mengapa hendak kau ikuti si baju merah itu!”

“Astaga!” Iblis Ompong tepuk jidatnya. Lalu mendekati si nenek dan berkata. “Dialah gadis yang kita cari! Dia Putri Kayangan!”

“Apa?!” Laksana disentak setan, Dewi Ayu Lambada meloncat. Mau tak mau Iblis Ompong harus segera melompat ke samping untuk hindarkan tubrukan.

“Apa katamu? Dia Putri Kayangan?! Gadis yang hamil itu?!”

Iblis Ompong pegangi dadanya sambil memaki dalam hati. “Setan.... Kalau saja aku tidak menghindar, tentu dadaku sudah terhantam tubuhnya! Rupanya dia sengaja akan memelukku. Hik Hik Hik...! Siapa sudi dipeluk nenek macam dia!”

“Hai! Apa benar dia gadis hamil itu?!” kembali Dewi Ayu Lambada perdengarkan tanya saat Iblis Ompong tidak juga memberi jawaban.

“Yang dapat kupastikan, dia adalah Putri Kayangan! Soal dia yang hamil atau bukan, masih harus kita selidiki! Karena kita belum menemukan satunya lagi!” Habis berkata begitu, Iblis Ompong segera berkelebat. Dewi Ayu Lambada segera berkelebat pula menyusul di belakangnya.

“Lalu bagaimana kita harus mengetahui dia hamil atau tidak?!” tanya Dewi Ayu Lambada seraya terus mengikuti kelebatan Iblis Ompong.

“Itulah yang tengah kupikirkan! Kalau sekarang kita menemuinya dan berbasa-basi, pasti dia curiga dengan karangan ceritaku tadi! Dan itu akan membuat rencana jadi berantakan!”

“Model kau berkenalan memang meyakinkan! Tapi akibatnya kita akan terjebak! Belum lagi kalau....”

Dewi Ayu Lambada putuskan ucapannya. Dia cepat tarik pundak Iblis Ompong dan diseretnya merunduk ke balik semak. Iblis Ompong sudah buka mulut hendak memaki, tapi dia segera kancingkan mulutnya lalu dibuka lagi tanpa perdengarkan suara. Sebaliknya matanya dibeliakkan memandang tak berkesip jauh ke depan. Di sampingnya si nenek mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya pentangkan mata.

Di depan sana, Putri Kayangan yang tengah melangkah dengan berurai air mata tampak tersentak ketika ekor matanya menangkap kelebatan satu bayangan. Dia segera angkat kepala. Memandang ke depan, gadis cantik ini melihat satu sosok tubuh.

“Setan Liang Makam!” gumam Putri Kayangan mengenai siapa adanya sosok yang telah tegak dengan sikap menghadang dihadapannya.

Orang yang baru muncul adalah seorang laki-laki yang sekujur tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka tanpa daging sama sekali dan tidak lain memang Setan Liang Makam adanya. Cucu Nyai Suri Agung generasi terakhir dari keluarga Kampung Setan.

“Di antara kita tidak ada permusuhan! Harap tidak menghalangi langkahku!” Berkata Putri Kayangan sebelum Setan Liang Makam buka mulut.

Setan Liang Makam gerakkan kepala menggeleng-geleng. “Kau adalah tebusan nyawaku! Dengan kepalamu aku akan mendapatkan kembali benda-benda milikku! Tapi aku masih memberimu kesempatan! Kau ikut denganku secara baik-baik atau terpaksa aku menyeretmu dengan tubuh tanpa nyawa!”

“Kau jangan berlaku bodoh! Kau ditipu orang! Meski kau bawa kepalaku, tak mungkin apa yang kau inginkan akan kau dapat!”

“Setan alas! Beraninya mulutmu mengajariku! Aku tahu apa yang harus kulakukan!”

“Kalau begitu, aku pun tak akan tinggal diam!”

“Kau telah memutuskan jalanmu!” Setan Liang Makam angkat kedua tangannya. Sementara Putri Kayangan cepat pula takupkan kedua tangannya di depan kening.

“Bagaimana sekarang?!” ujar Dewi Ayu Lambada dari tempat persembunyiannya dengan mata terus menatap ke arah Putri Kayangan.

“Kau terus-terusan bertanya bagaimana!” kata Iblis Ompong. “Kita lihat dahulu sambil mencari jalan terbaik! Yang jelas kita harus selamatkan gadis itu walau kita belum bisa memastikan dia yang hamil atau bukan!”

“Kau mengenal manusia jerangkong itu?!” tanya Dewi Ayu Lambada.

“Kali ini tugasmu untuk melakukannya. Siapa pun dia yang pasti dia adalah laki-laki. Dan dia akan lebih senang jika berkenalan dengan perempuan! Untuk yang satu ini, aku tak peduli kau hendak menggunakan cara bagaimana untuk berkenalan!”

Dewi Ayu Lambada sudah hendak memaki. Tapi mendadak terdengar gelegar dahsyat. Saking terkejutnya, si nenek hendak melompat. Tapi buru-buru sadar dia tengah mengikuti orang. Namun dia sudah telanjur bergerak. Hingga untuk menghindari agar tidak diketahui keberadaannya, terpaksa si nenek arahkan gerakannya pada Iblis Ompong. Sialnya Iblis Ompong tengah berpaling ke arah suara gelegar. Hingga meski dia sempat menghindar, tapi sudah terlambat.

"Bukkk!" Sosok Dewi Ayu Lambada menumbuk tubuh Iblis Ompong. Iblis Ompong terjengkang di atas tanah. Sementara si nenek cekikikan telungkup di sampingnya! Di seberang sana, terlihat muncratan tanah ke udara. Lalu tampak dua sosok terpental. Yang pertama adalah Putri Kayangan. Gadis ini perdengarkan seruan tertahan sebelum akhirnya terjerembab jatuh dengan mulut kucurkan darah.

Sosok kedua adalah Setan Liang Makam. Cucu Nyai Suri Agung dari Kampung Setan ini terhempas ke belakang sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan mulut megap-megap. Walau dari mulutnya tidak keluarkan darah, namun jelas kalau luka dalam yang dideritanya tidak lebih ringan dari Putri Kayangan.

“Ompong.... Kita harus segera turun tangan! Kalau benar dia hamil, terlalu bahaya jika terjadi benturan pukulan lagi! Bayi dalam kandungannya bisa gugur! Itu akan membuat penantian makin panjang!” kata Dewi Ayu Lambada.

“Tapi.... Bagaimana kalau karangan ceritaku tadi ketahuan?!”

“Peduli setan dengan semua itu! Kau nanti bisa mengatur bagaimana caranya!”

Selagi Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong bergerak bangkit, di depan sana Setan Liang Makam dan Putri Kayangan telah tegak. Tanpa perdengarkan suara, Setan Liang Makam angkat kembali kedua tangannya. Putri Kayangan tidak berdiam diri. Kedua tangannya diangkat ke atas kepala lalu ditakupkan. Saat bersamaan sosok tubuh gadis cantik ini laksana dikobari sinar berwarna merah. Setan Liang Makam mendengus. Lalu didahului bentakan garang, kedua tangannya bergerak melepas pukulan.

Wuutt! Wuuttt!

Dua gelombang disertai hamparan warna hitam melesat menggidikkan ke arah Putri Kayangan. Putri Kayangan perdengarkan pula bentakan. Sinar merah yang mengobari dirinya mencuat menghadang gelombang yang datang dari Setan Liang Makam. Bersamaan dengan mencuatnya sinar merah dari tubuh Putri Kayangan, dari arah semak belukar melesat dua gulungan awan putih yang bergerak turun naik makin lama makin besar. Saat yang sama terlihat benda panjang berwarna hitam melesat deras ke arah Setan Liang Makam.

Setan Liang Makam tersentak. Sembari perdengarkan makian keras dia kembali akan lepaskan pukulan. Dia rupanya maklum ada orang lain di sekitar tempat itu. Namun belum sempat kedua tangan Setan Liang Makam bergerak, benda hitam telah berkelebat dan laksana ular benda hitam tadi meliuk deras lalu melilit kedua tangan Setan Liang Makam. Setan Liang Makam jadi kalap. Dia kerahkan segenap tenaga dalamnya. Namun baru saja hendak bergerak, lilitan benda hitam pada kedua tangannya telah menyentak! Sosok Setan Liang Makam terdorong keras ke belakang. Saat itulah gulungan awan putih melabrak! Terlambat bagi Setan Liang Makam untuk membuat gerakan membendung. Tanpa ampun lagi gulungan awan putih menghantam tubuhnya!

Dessss!

Setan Liang Makam perdengarkan seruan tertahan. Saat bersamaan terdengar gelegar keras bertemunya pukulan Setan Liang Makam dengan kobaran sinar merah yang melesat dari tubuh Putri Kayangan. Untuk kedua kalinya Setan Liang Makam perdengarkan suara. Namun kali ini bersamaan dengan mentalnya tubuh lima tombak ke belakang! Setan Liang Makam terkapar di antara ranggasan semak belukar. Dadanya berguncang keras. Sosoknya bergeletar. Mulutnya terbuka namun tak perdengarkan suara. Sepasang matanya terpejam lalu terbuka. Kedua tangannya yang hanya merupakan kerangka tampak menghitam membentuk lilitan!

Di seberang sana, sosok Putri Kayangan tampak jatuh terduduk di atas tanah. Kobaran sinar merah pada tubuhnya lenyap. Raut wajahnya berubah pucat laksana tidak berdarah. Darah makin banyak mengucur dari mulutnya. Namun tak berapa lama kemudian, saudara kembar Pitaloka ini bergerak bangkit.

“Ada orang yang menolongku...,” bisik sang Putri seraya arahkan pandangannya kesamping dari mana tadi ekor matanya masih bisa menangkap kelebatan benda hitam dan melesatnya gulungan awan putih.

Di balik semak belukar, Dewi Ayu Lambada tarik pulang kerudung hitamnya lalu dikenakan di atas kepala. Kerudung panjang berwarna hitam inilah yang tadi membuat Setan Liang Makam tersentak ke belakang.

“Kita keluar sekarang!” bisik si nenek seraya memperhatikan Iblis Ompong yang tampak tegak membelakangi dengan kedua tangan masih di depan pantat.

Iblis Ompong baru saja melepas pukulan yang langsung menghantam sosok Setan Liang Makam hingga membuatnya jatuh. Iblis Ompong balikkan tubuh. “Belum sekarang saatnya keluar! Aku belum menemukan cara bagaimana agar gadis cantik itu tidak merasa curiga dengan karangan ceritaku tadi!”

“Ah.... Itu urusan nanti! Kalaupun nanti dia curiga, apa hendak dikata! Kita katakan saja terus terang!”

“Mana bisa begitu?!”

Dewi Ayu Lambada tidak pedulikan ucapan Iblis Ompong. Nenek ini sudah hendak melompat keluar. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba Iblis Ompong melompat dan langsung menyergap. Dewi Ayu Lambada menjerit. Kedua kakinya goyah. Saat lain sosoknya jatuh bergulingan. Ketika gulingannya terhenti, si nenek langsung mendelik! Sosok Iblis Ompong ternyata nangkring di atas tubuhnya!

“Sialan!” maki si nenek. Kedua tangannya cepat bergerak menghantam ke atas. Namun Iblis Ompong tidak tinggal diam. Dia cepat pula menghadang hantaman si nenek dengan palangkan kedua tangannya ke depan.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar dua benturan. Saat yang sama sosok Iblis Ompong mencelat ke udara. Lalu melayang turun dan tahu-tahu telah duduk menjeplok di antara semak belukar seraya usap-usap kedua tangannya. Kepalanya tengadah dengan mulut terbuka lebar. Tidak jauh di sebelah Iblis Ompong, Dewi Ayu Lambada berguling-guling sebelum akhirnya membuat gerakan satu kali. Tahu-tahu dia telah duduk bersila dengan kedua tangan memegangi kerudung hitam. Sepasang matanya tak berkesip pandangi Iblis Ompong. Tanpa berucap sepatah kata, kedua tangan si nenek putar kerudung hitam.

“Tahan, Nek!” bisik Iblis Ompong. “Lihat ke depan!”

Walau masih geram, tak urung juga Dewi Ayu Lambada lirikkan matanya ke depan. Dia buru-buru urungkan niat gerakkan kerudung hitamnya. Di depan sana, ternyata Setan Liang Makam telah tegak berdiri dengan kedua tangan terangkat. Cucu Nyai Suri Agung ini tampaknya sudah tidak pedulikan keadaan dirinya yang telah terluka. Sementara mendapati hal demikian, Putri Kayangan yang masih menduga-duga siapa adanya orang di balik semak belukar cepat pula kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Namun belum sampai ada yang membuat gerakan, satu bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu berjarak sepuluh langkah di samping Putri Kayangan telah tegak satu sosok tubuh.

Setan Liang Makam berpaling. Matanya makin membeliak. “Kau!” desisnya dengan suara bergetar.

Di lain pihak, Putri Kayangan tersentak. Matanya memperhatikan orang dari atas hingga bawah. Dahinya mengernyit. Dan seolah belum percaya dengan pandang matanya gadis cantik ini melangkah dua tindak dengan mata makin dibelalakkan. Orang yang dipandangi senyum-senyum. Dia memandang silih berganti pada Setan Liang Makam dan Putri Kayangan. Di balik semak belukar, Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong sama terkesiap dengan mulut masing-masing terkancing rapat. Saat bersamaan keduanya saling berpandangan.

“Gawat... Hancur sudah rencana kita!” ujar Iblis Ompong. “Sebaiknya kita segera angkat kaki!”

“Telanjur basah.... Angkat kaki pun tak ada gunanya lagi!” sahut Dewi Ayu Lambada. “Lebih baik kita bicara terus terang agar tak jadi urusan di kemudian hari!”

Iblis Ompong gelengkan kepala. “Kau bisa bicara demikian karena bukan kau tadi yang mengarang cerita! Seandainya kau, pasti kau sudah terbirit-birit! Kita pergi saja. Urusan nanti jadi masalah atau tidak, kita urus belakangan!”

Namun si nenek tampaknya tidak acuhkan ucapan Iblis Ompong. Dia segera melompat keluar dari balik semak belukar! Iblis Ompong sempat hendak menahan, tapi terlambat. Hingga akhirnya kakek ompong ini hanya bisa tegak dengan mulut dibuka lebar-lebar.

DELAPAN

"DEWI Ayu Lambada!” seru orang yang baru muncul yang masih dipandangi Putri Kayangan dengan keheranan. Ternyata dia adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih. Rambutnya panjang sebahu dililit ikat kepala warna putih. Parasnya tampan.

“Nenek itu!” gumam Putri Kayangan melihat siapa adanya orang yang muncul dari balik semak belukar. “Bagaimana ini?! Bukankah kakek yang bersama nenek itu tadi mengatakan Pendekar 131 tengah terluka parah?! Tapi dia muncul di sini. Jadi mereka berdusta!”

Selagi Putri Kayangan membatin begitu, dari belakang Dewi Ayu Lambada muncul Iblis Ompong melangkah dengan kepala mendongak dan mulut terbuka lebar.

“Kakek Iblis Ompong!” Lagi-lagi si pemuda berseru. “Hem.... Rupanya mereka saling kenal! Mungkin mereka tengah bersandiwara. Apa maksud mereka sebenarnya?! Hanya ingin tahu kalau aku tertarik pada pemuda itu?!”

Membatin Putri Kayangan dengan paras merah padam. Antara jengkel dan malu. Jengkel karena tindakan Iblis Ompong dan malu karena merasa si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng kini telah tahu perasaannya. Seandainya tidak tengah berurusan dengan Setan Liang Makam, ingin rasanya dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

Setelah Joko menjura pada Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong, Pendekar 131 putar tubuh menghadap Setan Liang Makam lalu berkata. “Sekarang kau telah tahu bahwa bukan aku orangnya yang mengambil Kembang Darah Setan. Dengan ini kurasa di antara kita tidak ada lagi silang sengketa!”

“Ucapanmu salah! Silang sengketa itu baru kuanggap habis kalau kau dan gadis itu mau ikut denganku!” sahut Setan Liang Makam.

“Boleh aku tahu, kau hendak mengajakku ke mana bersama gadis cantik itu?!” tanya Joko seraya melirik pada Putri Kayangan.

Putri Kayangan berdebar dan makin tak enak mendengar pujian Pendekar 131. Wajahnya cepat dipalingkan ke jurusan lain.

“Kau tak usah bertanya!” bentak Setan Liang Makam.

“Baiklah... Aku setuju saja dengan ajakanmu. Tapi akan kutanya dahulu gadis cantik itu! Kalau dia setu-ju, aku ikut. Jika tidak, mana enaknya berjalan-jalan sesama laki-laki?!”

Habis berkata begitu, Joko arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan seraya bertanya. “Bagaimana Putri?! Kau setuju dengan ajakan sahabat itu?!”

“Aku masih punya urusan lain!” kata Putri Kayangan tanpa berani memandang.

“Nah, kau dengar sendiri jawabannya!” kata Pendekar 131 sembari menghadap ke arah Setan Liang Makam. “Dia masih punya urusan lain! Berarti urusan jalan-jalan terpaksa kita tunda dahulu! Lain waktu mungkin urusan jalan-jalan ini bisa kita bicarakan lagi!”

“Bagaimana kalau aku saja yang ikut menggantikan gadis itu?!” Yang berkata adalah Dewi Ayu Lambada seraya melangkah dengan pinggul digoyang dan kedua tangannya merapikan kerudung hitam di atas kepalanya.

“Aku juga ikut menggantikan pemuda itu!” sahut Iblis Ompong lalu ikut melangkah ke belakang Dewi Ayu Lambada.

“Aku Dewi Ayu Lambada, dia Iblis Ompong...,” ujar Dewi Ayu Lambada. “Kurasa kami berdua cukup memadai sebagai ganti!”

“Aku tidak butuh kalian!” sentak Setan Liang Makam.

“Hem.... Begitu? Apa gayaku kurang menarik?!” tanya Dewi Ayu Lambada dan sekali lagi merapikan kerudung hitamnya. Bibirnya sunggingkan senyum lebar. Langkahnya makin diliuk-liukkan. Malah kedua tangannya segera diangkat lurus ke atas dan digerakkan seolah orang sedang menari.

“Apa tampangku juga kurang meyakinkan?!” Iblis Ompong menyahut. Dia letakkan tangan kiri kanannya di atas pinggang lalu teruskan langkah seraya kepala mendongak dan mulut terbuka lebar-lebar!

Setan Liang Makam mendengus. Kedua tangannya kembali diangkat. Tapi tiba-tiba dia luruhkan kembali kedua tangannya tatkala merasakan getaran keras pada kedua tangannya dan dadanya terasa nyeri. Tampaknya cucu Nyai Suri Agung ini maklum jika luka dalam yang dideritanya tidak memungkinkan untuk kerahkan tenaga dalam dan lepaskan pukulan. Apalagi jika menghadapi beberapa orang.

Setan Liang Makam menatap tajam pada Pendekar 131 dan Putri Kayangan. Telunjuk jari tangannya bergerak lurus ke arah Joko lalu beralih pada sang Putri. Saat yang sama terdengar ucapannya. “Kelak aku akan menjemput kalian!” Mata Setan Liang Makam beralih pada Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong. “Kalian berdua telah berani lancang ikut-ikutan urusanku! Kelak nyawa kalian berdua akan kucabut!” Habis berkata begitu, Setan Liang Makam balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Hai! Kau benar-benar tidak mau mengajak aku?!” teriak Dewi Ayu Lambada seraya melepas kerudung hitamnya.

“Tahan, Nek...! Biarkan dia pergi tanpamu. Juga tanpaku! Dia telah berjanji kelak hendak menjemput. Berarti kita kelak masih akan bertemu lagi!” kata Iblis Ompong tahu jika si nenek hendak lepas kerudung hitamnya menghantam pada Setan Liang Makam.

Dewi Ayu Lambada mencibir. Lalu pasang kembali kerudung hitamnya di atas kepala. Saat lain dia menghadap pada Putri Kayangan. Namun kali ini bukannya memandang pada wajah cantik milik si gadis tapi pada perutnya. Di lain pihak, Iblis Ompong juga berbuat sama. Di lain pihak, Pendekar 131 segera melangkah mendekati Putri Kayangan.

“Putri.... Senang bisa jumpa lagi denganmu! Mereka berdua adalah sahabatku!”

“Aku sudah tahu...,” jawab Putri Kayangan dengan suara ketus.

“Hem... Rupanya kalian sudah berkenalan...”

“Aku masih banyak urusan. Aku harus segera pergi!” Tiba-tiba Putri Kayangan berkata lalu hendak berkelebat.

“Putri. Tunggu!” tahan murid Pendeta Sinting lalu melompat dan tegak di samping si gadis.

“Pendekar 131! Tidak ada yang perlu kita bicarakan! Lagi pula jangan berharap aku percaya dengan semua kata-kata atau tindakanmu!”

“Hai... Ada apa ini?!”

“Kau masih juga berpura-pura! Apa belum cukup cara kalian mempermainkan aku?! Apa maksud kalian sebenarnya?! Apa?!” kata Putri Kayangan setengah berteriak dengan dada berguncang.

Pendekar 131 melirik pada Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong. Kakek dan nenek ini terlihat saling pandang dan sama angkat bahu. Namun tangan masing-masing saling tunjuk.

“Hem.... Pasti mereka berdua baru saja mempermainkan gadis ini! Jika tidak, mana mungkin dia jadi berubah?!” Pendekar 131 arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan. “Mungkinkah gadis ini yang kelak akan melahirkan bayi itu?! Siapa ayah dari bayi itu?! Sayang... Berarti gadis ini telah...”

Belum sampai Joko lanjutkan kata hatinya, Putri Kayangan telah berputar dan menatap tajam pada murid Pendeta Sinting. Kali ini tatapannya lain.

“Pendekar 131! Cepat selesaikan urusanmu! Ada seseorang yang menunggu penyelesaian ini! Aku tak mau terus-terusan dituduh gara-gara urusanmu!”

“Dia cemburu pada gadis bernama Saraswati itu!” bisik Iblis Ompong.

“Hem... Gadis yang satunya itu?!” tanya Dewi Ayu Lambada.

Selagi kakek dan nenek ini saling berbisik, tiba-tiba Putri Kayangan berkata dengan suara keras.

“Orang tua! Cukup sekali ini saja kalian mempermainkan orang! Harap kalian tidak mengulanginya lagi pada gadis lain!”

“Harap kau memaklumi, Putri...” ujar Iblis Ompong. “Itu semua harus kulakukan! Bukan maksud hati mempermainkan. Tapi di balik semua itu ada sesuatu!”

“Sesuatu apa?!”

“Anak muda!” kata Iblis Ompong pada murid Pendeta Sinting. “Sekarang giliranmu buka mulut!”

Pendekar 131 maklum akan maksud Iblis Ompong. Namun dia tampak canggung untuk memulai. Selain takut menyinggung perasaan Putri Kayangan, selebihnya dia sebenarnya merasa khawatir kalau Putri Kayangan benar-benar tengah mengandung! Hingga untuk beberapa lama dia hanya tegak termangu tidak tahu harus bicara bagaimana.

Putri Kayangan tampak heran dengan sikap orang-orang dihadapannya. Namun karena tidak bisa menduga, akhirnya dia kembali berkata. “Aku tidak punya waktu banyak! Katakan sesuatu itu atau aku akan tinggalkan tempat ini!”

Pendekar 131, Dewi Ayu Lambada, dan Iblis Ompong sama saling pandang satu sama lain. Karena tidak juga ada yang buka suara, akhirnya Iblis Ompong berbisik pada Dewi Ayu Lambada.

“Lebih baik kau saja yang bertanya! Kau dan dia sama-sama perempuan!”

Meski dengan cemberut pada akhirnya Dewi Ayu Lambada melangkah mendekati Putri Kayangan. Setelah tersenyum dan rapikan kerudung hitamnya, si nenek bertanya. “Putri... Sebelum kukatakan apa sesuatu itu, harap kau mau jawab dengan jujur pertanyaanku.”

Putri Kayangan hanya memandang tanpa buka mulut menyahut. Tapi dalam hati gadis ini diam-diam berdebar. Apalagi tatkala dilihatnya baik Pendekar 131, Iblis Ompong, dan Dewi Ayu Lambada sendiri dari tadi selalu melirik ke arah perutnya.

“Putri... Apakah kau telah punya kekasih?! Eh... Maksudku punya suami?!”

Raut wajah Putri Kayangan seketika berubah. “Apa maksud pertanyaan nenek ini? Apa hubungannya sandiwara yang mereka lakukan dengan pertanyaan tadi?!"

“Putri.... Harap tidak ragu-ragu! Dan harap tidak menyembunyikan sesuatu! Ini demi tenangnya rimba persilatan!” kata Dewi Ayu Lambada membuat Putri Kayangan makin heran dan merasa aneh.

Setelah berpikir agak lama pada akhirnya Putri Kayangan buka mulut menjawab. “Aku belum bersuami...”

“Lihat... Pemuda sableng itu tersenyum gembira!” bisik si nenek pada Iblis Ompong ketika dilihatnya murid Pendeta Sinting menghela napas lalu tersenyum.

Ketika Putri Kayangan belum menjawab, dada murid Pendeta Sinting memang berdebar-debar dilanda perasaan takut dan khawatir.

“Lalu apakah selama ini kau punya sahabat dekat seorang pemuda?! Eh... Maksudku pokoknya seorang laki-laki?!” kembali Dewi Ayu Lambada ajukan tanya.

Untuk kedua kalinya Putri Kayangan berubah paras. Dia sempat melirik pada murid Pendeta Sinting sebelum akhirnya menjawab pertanyaan si nenek dengan isyarat gelengan kepalanya.

“Benar?!” Yang ajukan tanya kali ini adalah Iblis Ompong. “Jawabanmu jangan hanya karena adanya pemuda di sampingmu itu! Untuk sementara ini anggap saja dia tidak ada! Yang ada hanya aku, kau, dan nenek cantik ini!”

“Tidak ada untungnya aku berkata dusta!” kata Putri Kayangan. “Dan harap segera katakan apa hubungan antara pertanyaan kalian dengan....”

“Nanti akan sampai ke sana!” potong Dewi Ayu Lambada. Lalu si nenek kembali ajukan tanya. “Apa benar kau memiliki saudara kembar?!”

“Benar!”

“Laki-laki atau perempuan?!” tanya Iblis Ompong. “Sama seperti aku!”

“Hem.... Apa saudara kembarmu juga belum punya suami?!” tanya si nenek.

“Belum...!”

“Di mana dia sekarang?!”

“Aku tak tahu di mana dia sekarang berada! Selang kira-kira satu purnama yang lalu, kami memang sempat bertemu. Tapi kami terpaksa harus berpisah karena keadaan tidak memungkinkan! Kalian tahu di mana saudaraku itu?!” Putri Kayangan balik bertanya.

“Kita akan segera mencarinya!” Yang menyahut adalah murid Pendeta Sinting. “Menurut dugaanku, dia pasti bersama manusia yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad! Seharusnya Setan Liang Makam tadi kita cegah dahulu kepergiannya. Tempo hari dia bersatu dengan Setan Liang Makam. Kemungkinan setan tadi itu tahu di mana Pitaloka berada!”

“Aku tidak mau merepotkan. Mencari saudara kembarku sudah menjadi tugas yang harus kulakukan!”

“Tujuan kita sama.... Tapi maksud kita mungkin lain!” ujar Joko.

“Apakah kau masih sakit hati karena Pitaloka mengambil pedangmu?!” tanya Putri Kayangan.

“Pedang itu kini telah berada di tanganku lagi. Urusan itu kurasa sudah selesai....”

“Lalu mengapa kau hendak mencarinya? Apa ada masalah lain?!”

“Putri.... Kau sekarang pasti sudah tahu. Dunia persilatan sedang terancam dengan munculnya orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad dan tangannya menggenggam Kembang Darah Setan. Orang ini sangat berbahaya jika dibiarkan! Kau sendiri telah menyaksikan bagaimana beberapa tokoh seperti Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, serta Dayang Sepuh tidak mampu membendung! Menurut seorang sahabat, sosok yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad bisa dihadapi dengan seorang bayi....”

“Seperti ucapan Kakek Raja Tua Segala Dewa itu?! Apa mungkin?! Lagi pula aku tidak mengerti maksud ucapannya!” kata Putri Kayangan memotong ucapan Joko.

Seperti diketahui, saat munculnya Raja Tua Segala Dewa, Putri Kayangan saat itu ada dan mendengarkan ucapan-ucapan Raja Tua Segala Dewa. Namun karena ucapan kakek ini hanya merupakan isyarat, Putri Kayangan yang belum mengenal betul Raja Tua Segala Dewa tidak bisa mengerti ucapan-ucapan si kakek.

“Putri.... Ucapan Raja Tua Segala Dewa banyak benarnya! Dan aku yakin bahwa hanya dengan bayi itu si pemakai Jubah Tanpa Jasad bisa dihadapi!”

“Lalu apa hubungannya dengan Pitaloka?! Apa kau menduga Pitaloka yang akan melahirkan bayi itu?!” Putri Kayangan tertawa. “Seperti halnya diriku, meski sudah lama Pitaloka meninggalkan lereng Semeru dan tidak pernah bertemu, aku bisa memastikan kalau Pitaloka belum bersuami! Dan walau dia sering berlaku sembrono, tapi kurasa dia tidak akan berlaku bodoh mau berhubungan dengan laki-laki sampai mengandung! Aku saudara kembarnya. Aku tahu bagaimana sifatnya!”

“Semula bisa berubah bersama berlalunya waktu, Anak Cantik!” sahut Iblis Ompong. “Dan kadang-kadang lingkungan juga berpengaruh besar!”

Putri Kayangan gelengkan kepala. “Tapi aku tetap yakin Pitaloka tak akan melakukan tindakan konyol itu! Sekarang aku ingin tahu, kapan kira-kira bayi itu akan lahir?!”

“Satu purnama mendatang!” jawab Pendekar 131.

Mendengar jawaban Pendekar 131 kembali Putri Kayangan tertawa. “Ini menambah keyakinanku kalau dugaanmu salah, Pendekar 131! Bukan Pitaloka orangnya! Kau tentu tahu sendiri. Satu purnama yang lalu kita bertemu dengan Pitaloka. Apa kau melihat perutnya besar?! Kalau menurutmu bayi itu akan lahir satu purnama mendatang, berarti saat ini perut itu sudah membesar! Setidak-tidaknya orang bisa menduga jika perempuan itu tengah hamil! Tapi aku tidak melihat semua itu pada Pitaloka!”

“Atau jangan-jangan dia sendiri yang tengah hamil...,” bisik Dewi Ayu Lambada pada Iblis Ompong seraya perhatikan perut Putri Kayangan.

Iblis Ompong mau tak mau perhatikan juga perut Putri Kayangan. Mendapati hal demikian, murid Pendeta Sinting jadi ikut-ikutan arahkan pandangannya pada perut si gadis.

“Jangan bicara seenak perutmu sendiri, Nek!” jawab Iblis Ompong dengan berbisik pula. “Perutnya kempes!”

Sementara itu melihat semua orang memandang ke arahnya, Putri Kayangan jadi tak enak dan buru-buru berkata. “Kuharap kalian juga tidak menduga yang bukan-bukan padaku! Aku bukannya berlagak suci. Tapi selama ini aku belum pernah disentuh laki-laki! Jadi percuma kalian terus menerus mengawasiku!”

Murid Pendeta Sinting buru-buru alihkan pandangannya. Sementara Iblis Ompong cepat-cepat mendongak. Hanya Dewi Ayu Lambada yang masih memperhatikan si gadis walau kini beralih pada wajahnya.

“Boleh aku tahu?!” tanya Putri Kayangan setelah agak lama tidak ada yang buka suara. “Mengapa kalian mencurigai bayi itu akan lahir dari kami bersaudara?!”

“Itu adalah petunjuk...” Yang menjawab Pendekar 131.

“Siapa yang memberi petunjuk?! Raja Tua Segala Dewa itu?!”

“Sebagian... Sebagian lainnya dari seorang sahabat!”

“Lupakan petunjuk itu, Pendekar 131! Orang yang memberi petunjuk itu salah ucap dan kau salah alamat!”

“Tapi...”

Belum sampai Joko teruskan ucapan, Putri Kayangan telah menyahut. “Petunjuk dan bukti, bagaimanapun juga masih kuat bukti! Dan bukti itu telah kau ketahui sendiri! Aku dan Pitaloka tidak ada yang mengandung!”

“Ah.... Jangan-jangan pemuda geblek itu salah tangkap ucapan Dewa Uuk! Eh, maksudku salah tangkap isyarat tua bangka bisu itu!” bisik Dewi Ayu Lambada.

“Rasa-rasanya begitu... Sialan betul! Kerja kita tampaknya sia-sia! Kita harus mulai lagi...,” sahut Iblis Ompong setengah mengeluh.

“Sialnya lagi, kita sekarang bingung. Dari mana kita harus mulia? Eh, maksudku dari mana kita harus mulai...?! Tak mungkin kita nongkrongi setiap perempuan yang tengah hamil!”

“Kalau soal nongkrongi perempuan hamil, tak masalah bagiku! Yang jadi masalah justru....”

“Ukkkk! Uuuukkk! Uuuuuukkk!”

Tiba-tiba terdengar suara. Iblis Ompong putuskan ucapan. Lalu tengadah dengan mulut terbuka. Dewi Ayu Lambada merapikan kerudungnya. Pendekar 131 berpaling ke arah terdengarnya suara uuukk! Ukkk! Putri Kayangan kerutkan dahi lalu melirik.

SEMBILAN

DARI arah seberang samping sana, terlihat seorang laki-laki berusia lanjut melangkah dengan kepala bergerak-gerak ke samping kiri kanan. Sepasang matanya selalu jelalatan seolah tengah menikmati pemandan- gan di sekitar tempat itu. Mulutnya terus terusan perdengarkan suara ukk! Uuk! Uuukk! Berulang kali sea- kan mengagumi keindahan tempat yang dilewati. Entah karena begitu kagumnya dengan pemandangan di sekitar tempat itu, kakek ini bahkan tidak acuhkan keberadaan Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong yang tegak hanya berjarak lima langkah dari tempat si kakek melangkah.

“Dasar manusia edan! Pada kakak pun sampai tidak ingat lagi! Manusia begini ini biasanya tidak berumur panjang lagi!” Dewi Ayu Lambada berkata seraya terus perhatikan orang yang lewat didepannya.

“Menurut Kakek Iblis Ompong, kakek yang tengah melangkah ini adalah adik kandung nenek itu. Tapi mengapa mereka tidak saling sapa? Malah pada Kakek Iblis Ompong juga diam saja?! Hem.... Barangkali Kakek Iblis Ompong berkata dusta padaku!” kata Joko dalam hati. Lalu dia pasang tampang begitu dilihatnya kakek yang melangkah hendak lewat di hadapannya. Sementara Putri Kayangan hanya memandang dengan terus dibuncah berbagai tanya.

“Jangan-jangan dia sedang kesurupan! Lihat matanya terus melotot!” Iblis Ompong sambuti ucapan Dewi Ayu Lambada. Lalu tengadah dengan mulut terbuka.

Di depan sana, murid Pendeta Sinting sedikit merasa heran begitu si kakek yang melangkah tidak melihat ke arahnya! Dia terus saja melangkah dengan kepala bergerak ke samping kiri kanan.

“Kek!” Joko yang seolah tidak sabar melihat sikap si kakek cepat menegur.

Orang yang ditegur sesaat hentikan langkah. Namun dia bukannya memandang ke arah murid Pendeta Sinting melainkan pada Putri Kayangan yang tegak tidak jauh dari tempat tegaknya Pendekar 131.

“Busyet! Aku lupa.... Dia tuli! Mana mungkin mendengar teguranku!” gumam murid Pendeta Sinting lalu kerahkan sedikit tenaga dalamnya dan berteriak. “Kek!”

Putri Kayangan terkejut dan buru-buru berpaling pada Pendekar 131. Selain ingin tahu juga karena merasa tak enak dipandangi kakek yang baru saja muncul. Si kakek angkat kedua tangannya ditadangkan di belakang kedua telinganya. Namun dia belum juga hadapkan wajahnya pada murid Pendeta Sinting.

“Kek! Kau lupa padaku?! Aku Joko!” kembali murid Pendeta Sinting berteriak dengan suara keras.

Putri Kayangan kembali terkejut dan tutup telinganya dengan tangan. Si kakek yang baru saja muncul bergerak menghadap ke arah Joko. Tiba-tiba tubuhnya diluruskan membuat gerakan seperti orang terkejut. Saat bersamaan tangan kanannya menunjuk-nunjuk pada Joko. Lalu menunjuk pada matanya dan kembali menunjuk pada Joko.

“Betul! Kita pernah bertemu dan saling berpandangan!” Joko kembali berteriak seolah mengartikan isyarat orang. “Putri.... Harap maklumi” ujar Joko dengan suara dipelankan. “Kakek sahabatku ini pendengarannya tidak normal! Begitu juga bicaranya!”

Putri Kayangan menghela napas panjang. Dalam hati dia berkata sendiri. “Para sahabatnya banyak yang aneh-aneh....”

“Kek! Kau kenal dengan dua temanku yang tegak di sana itu?!” kata Joko kembali dengan suara keras seraya menunjuk pada Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong.

Kepala si kakek bergerak mengikuti arah tangan murid Pendeta Sinting. Sesaat kakek ini kernyitkan dahi. Namun tak lama kemudian dia kembali luruskan tubuh dengan perdengarkan suara ukk! Uuuk! berulang kali. Kepalanya bergerak mengangguk lalu tertawa ngakak! Puas tertawa si kakek menunjuk pada Dewi Ayu Lambada. Lalu menunjuk pada dirinya sendiri. Lalu jari telunjuknya diangkat. Tangan satunya membuat bundaran besar pada perutnya.

“Jadi benar dia saudaramu?!” tanya Joko.

Si kakek acungkan ibu jarinya pada murid Pendeta Sinting. Memberi tanda kalau ucapan Joko benar. Saat kemudian si kakek menunjuk pada Iblis Ompong. Lalu kedua jari telunjuknya saling dipalangkan satu sama lain dan ditekuk sedikit.

“Hem.... Dia memberi isyarat kalau Kakek Iblis Ompong adalah sahabatnya...” Joko bergumam mengerti akan isyarat telunjuk orang.

“Dewa Uuk! Apa kabarmu?!” Dari arah sana tiba-tiba Iblis Ompong berteriak.

Sesaat si kakek yang dipanggil Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di belakang telinga. Kejap lain dia angkat ibu jarinya sambil tertawa. “Uukk! Uuukk! Uuukk!” Dewa Uuk menunjuk pada Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong. Lalu kedua telunjuk tangan kiri kanannya disejajarkan dan digerakkan perlahan-lahan ke depan.

“Edan! Siapa kawin sama dia?!” Tiba-tiba Dewi Ayu Lambada membentak.

“Eh.... Jadi adikmu itu memberi isyarat bertanya apakah kita berdua sudah kawin?!” tanya Iblis Ompong.

Si nenek tidak menyahut melainkan mendengus. Sementara di depan sana Pendekar 131 melangkah mendekati Dewa Uuk lalu berbisik.

“Kek.... Kau dibohongi! Mereka berdua baru saja jadi suami-istri!”

“Ukkk! Ukkk! Ukkk!” Dewa Uuk buka mulut sambil membuat isyarat gerak-gerakkan tangan membuka menutup. Sementara tangan satunya berada di belakang telinga.

“Busyet! Dia tidak bisa dibisiki! Susah kalau begini...!” kata Joko dalam hati. Tapi dia dekatkan juga mulutnya ke arah telinga orang lalu berbisik agak keras.

Tiba-tiba Dewa Uuk tertawa panjang. Padahal Joko belum sampai berbisik, membuat Joko cepat-cepat tarik pulang kepalanya agar tidak tertumbuk guncangan pundak orang. “Kau dengar apa yang dibisikkan pemuda sableng itu?!” tanya Dewi Ayu Lambada.

“Untuk apa terlalu pikirkan ulah anak itu!” sahut Iblis Ompong.

“Aku khawatir dia bicara yang tidak-tidak!”

“Hem.... Kau takut anak itu mengatakan kalau kita sudah jadi suami-istri?!”

“Benar! Jika hal itu sampai tersiar....” Si nenek sejenak hentikan ucapannya. Lalu melanjutkan. “Pasti tidak akan ada yang memperhatikan aku lagi!” seraya berucap begitu si nenek rapikan pakaian dan kerudungnya.

Mendengar ucapan Dewi Ayu Lambada, tawa Iblis Ompong meledak. Saat yang sama, tiba-tiba Dewa Uuk juga perdengarkan tawa ngakak!

“Anak sinting!” Dewi Ayu Lambada berteriak pada murid Pendeta Sinting. “Kau bicara apa, hah?!”

“Aku tidak bicara apa-apa, Nek!”

“Tidak mungkin dia tertawa begitu rupa kalau kau tidak bicara yang tak karuan!”

“Nek.... Kalau tak percaya, tanya saja pada Dewa Uuk!”

Dewi Ayu Lambada arahkan pandang matanya pada Dewa Uuk lalu bertanya. “Uuk! Apa yang dikatakan pemuda itu?!”

Dewa Uuk putuskan gelakan tawanya. Lalu kedua telunjuknya disatukan dan menunjuk pada murid Pendeta Sinting.

“Busyet! Aku tadi berbisik pelan dan baru hendak bicara keras. Nyatanya dia sudah dengar!” batin murid Pendeta Sinting dengan salah tingkah. Sementara si nenek sudah mendelik angker.

Mungkin untuk alihkan perhatian Dewi Ayu Lambada juga Dewa Uuk, murid Pendeta Sinting segera menggaet lengan Dewa Uuk. Ketika Dewa Uuk berpaling, Joko tunjukkan jarinya pada Putri Kayangan seraya tersenyum.

“Gadis cantik ini sahabatku. Namanya Putri Kayangan!” kata Joko sambil melirik ke arah Dewi Ayu Lambada.

Dewa Uuk usap-usap jenggotnya sembari manggut-manggut. Mendadak si kakek hentikan usapan dan anggukkan kepalanya. Kepalanya disorongkan ke depan lalu perhatikan Putri Kayangan seolah baru pertama kali melihat.

“Kau pernah bertemu dengannya?!” tanya murid Pendeta Sinting.

Dewa Uuk tidak memberi isyarat sebagai sambutan pertanyaan orang. Dia terus pandangi si gadis. Di lain pihak Putri Kayangan memandang tajam pada Pendekar 131! Saat lain tiba-tiba Dewa Uuk tekuk kedua lututnya lalu duduk bersila di atas tanah. Sekali lagi dia memandang pada Putri Kayangan. Lalu jari telunjuknya membuat gambar di atas tanah.

Di seberang sana, Dewa Ayu Lambada cepat menggandeng lengan Iblis Ompong. Tanpa berkata apa-apa lagi, si nenek cepat melangkah dengan menyeret lengan si kakek ke arah Dewa Uuk. Ketika kakek dan nenek ini tegak di sebelah Dewa Uuk, keduanya melihat gambar dua kepala di atas tanah. Pada bagian atas gambar diberi angka satu dan dua.

“Uukk! Uuukk! Uuukk!” Dewa Uuk arahkan telunjuknya pada Putri Kayangan lalu menunjuk pada gambar nomor satu. Saat bersamaan dia memberi tanda silang pada gambar dengan kepala menggeleng.

“Uuukk! Uuukk! Uuukk!” Dewa Uuk buka mulut lagi. Kali ini telunjuknya menekan-nekan pada gambar berangka dua. Kepalanya mengangguk. Lalu kedua tangannya disatukan dan diangkat di depan perutnya. Lalu kedua tangan itu membentuk bundaran di depan perut.

Pendekar 131 dan Putri Kayangan saling pandang. Sementara Dewi Ayu Lambada sudah berbisik pada Iblis Ompong. “Jadi saudara gadis itu yang kelak melahirkan bayi!”

Pendekar 131 mendekati Putri Kayangan. Memandang sesaat seraya tersenyum lalu berkata pelan. “Putri.... Kau tentu paham bukan isyarat kakek itu tadi?!”

Walau sebenarnya bisa meraba akan isyarat yang dibuat Dewa Uuk, namun Putri Kayangan pura-pura tak mengerti dan berkata. “Aku tak tahu duduk urusannya! Harap kau suka memberi tahu....”

“Dua gambar itu menunjukkan kau dan saudara kembarmu Pitaloka. Tanda silang berarti bukan kau karena baru saja menunjuk ke arahmu! Sekarang kau pasti tahu lanjutannya....”

“Jadi kalian tetap menganggap bayi itu akan lahir dari Pitaloka?!” tanya Putri Kayangan lalu gelengkan kepala. “Aku masih tidak bisa percaya dengan semua ini! Tidak mungkin Pitaloka mengandung! Tidak mungkin itu terjadi padanya!”

“Semuanya memang masih perlu dibuktikan, Putri....”

“Buktinya sudah kau lihat sendiri! Satu purnama yang lalu perutnya masih biasa-biasa saja! Kalau memang dia, apalagi menurutmu kelahiran itu tinggal satu purnama lagi, tentu saat itu perut Pitaloka sudah kelihatan besar!”

“Aku pun sebenarnya berpendapat demikian, Putri! Namun siapa tahu....”

“Gadis cantik.... Dunia kadang-kadang memunculkan keanehan yang menurut hitungan manusia tak mungkin!” kata Iblis Ompong.

“Tapi aku tetap belum bisa percaya! Dan aku harus segera mencarinya!”

“Kita cari bersama-sama, Putri...,” kata murid Pendeta Sinting.

Putri Kayangan geleng kepala. “Pendekar 131! Dia adalah saudaraku. Biar aku yang mengurusnya!”

“Aku tahu.... Tapi aku juga memerlukan dia! Lagi pula kau tahu sendiri. Saat itu dia bersama orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad. Terlalu berbahaya kalau kau bertindak sendiri!”

“Aku meninggalkan lereng Semeru dengan mengemban tugas mencari Pitaloka sekaligus membawanya ke hadapan Eyang Guru. Mati bukan persoalan bagiku jika menjalankan apa yang diperintahkan Eyang Guru!”

“Kau tahu di mana sekarang Pitaloka berada?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Aku memang tak tahu. Tapi itu bukan halangan bagiku untuk mendapatkannya!”

“Putri.... Di sini ada Dewa Uuk. Mungkin dia bisa memberi petunjuk! Walau mungkin kau tidak percaya, tapi setidaknya kau bisa mendapat gambaran!”

Habis berkata begitu, tanpa menunggu sambutan Putri Kayangan, murid Pendeta Sinting segera berjongkok lalu berkata pada Dewa Uuk. “Kek! Kau bisa memberi gambaran di mana sekarang gadis saudara kembar Putri Kayangan?!”

Sesaat Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di belakang telinganya. Saat lain tanpa berkata-kata lagi dia membuat coretan-coretan di atas tanah. Walau tidak begitu percaya, namun tak urung Putri Kayangan perhatikan juga coretan Dewa Uuk. Sementara Joko, Dewi Ayu Lambada, dan Iblis Ompong melihat dengan seksama. Pendekar 131 tampak gelengkan kepala. Iblis Ompong mendongak dengan mulut terbuka lebat.

“Aku tak bisa mengartikan apa maksudnya! Kakek iblis Ompong pun tampaknya kesulitan menjabarkan! Hem.... Mungkin nenek itu yang tahu...,” kata Joko dalam hati.

“Nek.... Kau tahu apa maksudnya?!”

Dewi Ayu Lambada tersenyum mengejek. Lalu berkata. “Hutan lebat!”

“Hem.... Di dunia ini banyak hutan lebat!”

“Jangan tolol! Kau bisa tanyakan arahnya!” ujar Dewi Ayu Lambada. “Dan berapa jauh perjalanannya dari tempat ini!”

Pendekar 131 tersenyum sambil tepuk keningnya. Lalu berjongkok lagi dan berteriak. “Kek! Harap tunjuk arahnya dan berapa lama perjalanannya dari sini!”

Dewa Uuk bergerak bangkit. Tangan kanannya lurus menunjuk ke arah utara. Lalu tangan satunya diambangkan. Ibu jari dan kelingkingnya ditekuk.

“Perjalanannya tiga hari dari tempat ini. Arahnya utara!” gumam murid Pendeta Sinting.

“Putri Kayangan.... Kau telah tahu ke mana harus mencari dan mendapatkan Pitaloka. Kau memang tidak harus percaya. Tapi kalau tidak ingin sia-sia mencari, lebih baik kau ikuti dahulu petunjuknya!”

“Terima kasih! Aku harus pergi sekarang!” kata Putri Kayangan lalu setelah memandang pada murid Pendeta Sinting, gadis cantik ini berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Putri.... Tunggu! Aku ikut!” teriak Pendekar 131 lalu berkelebat menyusul.

“Dasar murid manusia sinting! Begitu mendapat apa yang diminta, ngeloyor tanpa basa-basi!” Dewi Ayu Lambada mengomel.

“Ah.... Kau seperti tidak pernah ketiban cinta saja. Seharusnya kau maklum!” ujar Iblis Ompong seraya pandangi sosok murid Pendeta Sinting yang terus berkelebat sambil teriak-teriak karena Putri Kayangan seakan tidak mendengar dan malah mempercepat kelebatannya.

“Bagaimana sekarang?!” tanya si nenek.

“Kita lanjutkan perjalanan!” jawab Iblis Ompong.

“Bagaimana dengan manusia satu ini?!” tanya si nenek seraya menunjuk pada Dewa Uuk.

“Dia banyak tahu daripada kita! Kita membutuhkannya!”

“Jadi kita bawa sekalian?!”

“Kau takut mengganggu acara kita?!” Iblis Ompong balik bertanya.

“Sialan! Tanpa atau dengan dia, tak ada acara di antara kita!”

Habis berkata begitu, Dewi Ayu Lambada menggaet lengan Dewa Uuk. “Kau harus ikut bersama kami!”

Tanpa menunggu isyarat jawaban, Dewi Ayu Lambada sudah berkelebat dengan menggandeng tangan Dewa Uuk. Iblis Ompong angkat bahu lalu ikut berkelebat di belakangnya.

********************

SEPULUH

KITA tinggalkan dahulu Pendekar 131 dan Putri Kayangan yang tengah mencari Pitaloka, saudara kembar Beda Kumala alias Putri Kayangan. Kita tinggalkan pula Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, serta Dewa Uuk yang diam-diam juga tengah mencari Pitaloka. Perempuan yang menurut isyarat Raja Tua Segala Dewa serta Dewa Uuk adalah perempuan yang kelak melahirkan bayi.

Kita menuju ke satu tempat tidak jauh dari perbatasan sebuah hutan. Matahari sudah beranjak dari titik tengahnya. Sinarnya masih menyengat hamparan bumi. Namun sengatan itu tampaknya tidak begitu diacuhkan oleh satu sosok tubuh yang duduk di atas sebuah tanah agak tinggi dengan kedua tangan menopang dagunya.

Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian putih. Rambutnya yang telah memutih dan panjang dibiarkan bergerai berkibar-kibar ditiup angin. Laki-laki ini bermata agak sayu dengan salah satu cuping hidungnya dilingkari sebuah anting-anting. Beberapa kali laki-laki ini menghela napas panjang dengan memandang jauh. Tatapannya kosong. Tiba-tiba dia bergumam.

“Lasmini.... Ke mana gerangan perempuan itu?! Seharusnya saat ini dia telah berada di sini. Persetan dengan berhasil atau tidak apa yang dilakukannya! Namun, hingga saat ini dia tak ada kabar beritanya!”

Lagi-lagi si laki-laki menghela napas. Lalu kepalanya bergerak menggeleng. Saat lain terdengar lagi gumamannya. “Semua rencanaku tampaknya akan mengalami kegagalan! Bukan saja Lasmini yang tidak ada beritanya, Kiai Laras pun tak kuketahui di mana beradanya! Padahal saat perjanjian bertemu sudah lewat. Ke mana sebenarnya Kiai Laras?! Dan siapa gerangan manusia yang mengenakan jubah hitam tidak kelihatan sosoknya itu?! Dan juga menggenggam Kembang Darah Setan! Padahal aku tahu benar, Kembang Darah Setan telah diberikan Kiai Laras pada Setan Liang Makam di teluk dekat pesisir utara. Anehnya, saat berjumpa lagi, Setan Liang Makam tidak lagi membawa Kembang Darah Setan, sebaliknya digenggam sosok di balik jubah hitam itu!”

Si laki-laki menyisir geraian rambutnya dengan jari-jari kedua tangannya. “Apa yang harus kulakukan sekarang?! Menuruti perintah sosok berjubah hitam untuk menghadapi sekaligus membunuh Pendekar 131?! Tak mungkin.... Tak mungkin itu kulakukan! Dia terlalu tangguh untukku! Tapi kalau tak kulakukan, nyawaku pun pasti tidak ada artinya berhadapan dengan manusia tanpa sosok itu! Hem...” Si laki-laki menggumam lalu bangkit.

“Kedua pilihan itu sama saja bagiku! Apa boleh buat! Yang jelas aku sekarang harus mendapatkan kabar di mana Lasmini dan Kiai Laras. Mungkin keduanya bisamembantu!”

Setelah bergumam begitu, si laki-laki langkahkan kaki tinggalkan perbatasan hutan. Namun belum begitu jauh melangkah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. Tidak ada kesempatan bagi si laki-laki untuk berkelebat menyelinap hingga pada akhirnya dia palingkan kepala seraya membatin.

“Tidak ada yang tahu tempat ini selain Kiai Laras dan Lasmini. Mudah-mudahan salah satunya yang muncul!”

Begitu berpaling, mendadak kedua kaki si laki-laki langsung bergerak menyurut. Wajahnya berubah tegang. Sepasang matanya yang sayu membesar tak berkesip menatap pada sebuah jubah hitam yang tegak mengapung di udara tanpa terlihat sosok pemakainya!

“Dia!” desis si laki-laki dengan bibir bergetar.

“Kiai Lidah Wetan! Kau terkejut dengan kehadiranku?!” Terdengar ucapan disusul dengan suara tawa panjang dari sosok tidak terlihat di balik jubah hitam yang tidak lain adalah Jubah Tanpa Jasad.

“Dari mana dia tahu tempat ini?! Padahal...”

Belum sampai laki-laki yang hidungnya beranting-anting dan bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan teruskan kata hatinya, sosok di balik Jubah Tanpa Jasad yang tidak lain adalah Kiai Laras telah perdengarkan suara lagi.

“Kiai Lidah Wetan! Jangan mimpi kau bisa lari dari jangkauan mataku! Dunia ini sudah berada di tanganku! Ke mana pun kakimu melangkah, kau tak bakal punya tempat untuk sembunyikan diri! Ha Ha Ha...! Sekarang aku perlu jawabanmu! Mengapa kau tidak ke tempat yang kukatakan pada waktunya, hah?!”

“Percuma aku datang kalau tidak berhasil melakukan apa yang kau perintahkan!” jawab Kiai Lidah Wetan dengan suara bergetar parau.

“Hem.... Jadi kau gagal melakukannya?!”

Kiai Lidah Wetan tidak menjawab. Sebaliknya laki-laki kakak kandung dari Kiai Laras ini tengadahkan sedikit kepalanya dengan sosok bergetar. “Kau tahu apa imbalan bagi manusia yang gagal sepertimu?!” kembali Kiai Laras yang tidak bisa dikenali sosoknya karena mengenakan Jubah Tanpa Jasad ajukan tanya.

Lagi-lagi Kiai Lidah Wetan tidak memberi jawaban. Sebaliknya dalam keadaan tidak ada pilihan lain dan tahu apa arti pertanyaan orang, diam-diam Kiai Lidah Wetan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Dia sadar kalau itu tidak ada gunanya. Tapi dia tidak mau tinggal diam dan mampus tanpa membuat perlawanan.

Mendapati orang tidak menjawab, Kiai Laras bukannya naik pitam, melainkan tertawa bergelak. Lalu berkata. “Kiai Lidah Wetan! Manusia dilahirkan telah mendapat jaminan untuk mati. Dan jaminan itu telah tiba saatnya bagimu! Tapi aku tidak mau membuat orang mampus dengan penasaran dan hati bertanya-tanya!” Sesaat Kiai Laras hentikan ucapannya. Tertawa pendek sebelum akhirnya berucap lagi.

“Kau tentu ingin tahu siapa aku sebenarnya, bukan?!”

Kiai Lidah Wetan menatap tak berkesip pada jubah hitam dihadapannya. “Katakan siapa kau sebenarnya!”

“Kau akan segera tahu...,” kata Kiai Laras. Kedua tangannya segera bergerak lepaskan Jubah Tanpa Jasad. Begitu Jubah Tanpa Jasad jatuh di atas tanah, laksana hendak terbang, Kiai Lidah Wetan melompat ke depan dengan mata mendelik.

“Laras.... Jadi kau!” desis Kiai Lidah Wetan begitu matanya melihat sosok laki-laki berusia lanjut yang sangat dikenalnya. Karena dia adalah adiknya sendiri, Kiai Laras!

Kiai Laras kembali tertawa panjang seraya mendongak. Sementara Kiai Lidah Wetan terus menatap seolah masih belum percaya.

“Bagaimana ini bisa terjadi?!” gumam Kiai Lidah Wetan.

“Kau tak usah heran. Hal ini terjadi karena aku bukan manusia bodoh sepertimu! Dan agar kau tidak penasaran, kau akan mendengar ceritanya....”

Kiai Laras melangkah mondar-mandir di sekitar Jubah Tanpa Jasad. Lalu buka mulut. “Kembang Darah Setan yang kuberikan pada Setan Liang Makam di teluk itu adalah Kembang Darah Setan palsu! Hal itu kulakukan agar aku tahu ke mana gerangan manusia setan itu akan pergi setelah mendapatkan Kembang Darah Setan. Untuk itulah mengapa aku mengajakmu mengikuti jejak Setan Liang Makam yang ternyata menuju Kampung Setan. Begitu kita tinggalkan Kampung Setan dan kita berpisah di tengah jalan, aku kembali lagi ke Kampung Setan! Dan ternyata apa yang kuimpikan jadi kenyataan! Jubah Tanpa Jasad telah kumiliki! Begitu juga Kembang Darah Setan yang asli!”

“Jahanam! Aku tertipu. Tapi memang ini kebodohanku! Seandainya sejak semula aku tidak menceritakan tentang Kampung Setan, pasti Kembang Darah Setan itu kini menjadi milikku!” diam-diam Kiai Lidah Wetan memaki diri dalam hati.

Seperti diketahui, sebenarnya yang tahu persis tentang masuknya Maladewa alias Setan Liang Makam ke dalam makam batu adalah Kiai Lidah Wetan. Dia pula yang mendengar ucapan Nyai Suri Agung bagaimana dan kapan Maladewa bisa keluar dari makam batu. Namun karena saat itu Kiai Lidah Wetan dihantui perasaan takut, dia akhirnya menceritakan semuanya pada adiknya Kiai Laras, dengan harapan begitu Kiai Laras berhasil mendapatkan Kembang Darah Setan, dia akan lebih mudah untuk merebutnya.

(Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Rahasia Kampung Setan)

“Laras...,” kata Kiai Lidah Wetan setelah agak lama berdiam diri. “Kita adalah saudara. Lagi pula dengan petunjukku kau berhasil mendapatkan Kembang Darah Setan. Apakah kau akan melupakan semua ini?!”

“Ucapanmu benar! Tapi aku tahu apa yang ada dalam benakmu! Kau menginginkan Kembang Darah Setan itu bukan?!”

“Kalau aku menginginkannya, aku tidak akan menceritakan padamu! Aku akan mengambilnya sendiri! Bukankah aku tahu bagaimana cara dan kapan saatnya Setan Liang Makam bisa keluar dari makam batu di Kampung Setan?!”

“Itu juga benar! Tapi kau tak punya nyali untuk mengambilnya! Lalu kau menceritakan padaku agar aku mengambilnya! Dengan Kembang Darah Setan di tanganku, kau berpikir akan mudah memilikinya! Ha Ha Ha...! Aku tidak setolol yang kau kira, Lidah Wetan...!”

Kiai Lidah Wetan terdiam. Kiai Laras kenakan kembali Jubah Tanpa Jasad hingga tak lama kemudian sosoknya tidak kelihatan. “Sebelum kuucapkan selamat jalan, perlu juga kuberi tahu tentang kekasih lamamu....”

“Lasmini...,” gumam Kiai Lidah Wetan tanpa sadar.

“Bagus! Kau betul-betul sangat memperhatikannya!”

“Laras! Kau boleh membunuhku! Tapi jangan kau berbuat macam-macam dengan dia! Dia tidak tahu apa-apa dalam urusan ini!”

“Dia tahu banyak! Dan tak lama lagi tentu akan segera menyusulmu!”

Tampang Kiai Lidah Wetan berubah beringas. Dia kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki pada kedua tangannya.

Kiai Laras tertawa. “Kau kuberi kesempatan untuk lakukan apa yang kau mau, sebelum kuantar ke dunia lain!”

Meski sudah tahu kalau apa yang akan dilakukannya tidak bisa merubah keadaan, tapi Kiai Lidah Wetan sudah nekat. Didahului bentakan garang, dia melompat ke depan. Kedua tangannya serta-merta disentakkan melepas pukulan dari jarak empat langkah.

Wuutt! Wuuttt!

Dua gelombang dahsyat menerjang ganas ke arah Jubah Tanpa Jasad. Kiai Laras tidak membuat gerakan. Malah menyongsong gelombang yang datang dengan berkacak pinggang dan perdengarkan tawa bergelak!

Desss! Desss!

Dua gelombang dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan menghantam Jubah Tanpa Jasad. Namun jubah hitam itu laksana dilapis tembok raksasa. Hingga bukan saja gelombang yang datang tidak mampu membuat sosok Kiai Laras jatuh terjengkang, namun gelombang dahsyat itu segera mental balik dan kini melesat ke arah Kiai Lidah Wetan! Kiai Lidah Wetan sesaat terkesiap. Namun cepat dia selamatkan diri dengan jatuhkan diri bergulingan seraya kelebatkan kedua tangannya.

"Bummmm!" Terdengar gelegar keras ketika gelombang yang mental dari Jubah Tanpa Jasad bentrok dengan gelombang yang baru saja melesat dari kelebatan kedua tangan Kiai Lidah Wetan.

Bersamaan dengan terdengarnya gelegar, kedua tangan Kiai Laras tampak membuat gerakan. Saat lain terdengar deruan. Kiai Lidah Wetan tersentak. Buru-buru dia kelebatkan kembali kedua tangannya tatkala menyadari Kiai Laras telah lepaskan pukulan ke arahnya.

"Bummmm!" Untuk kedua kalinya terdengar lagi gelegar tatkala pukulan yang dilepas Kiai Laras bertemu dengan pukulan hadangan Kiai Lidah Wetan.

Sosok Kiai Lidah Wetan bergulingan lagi karena harus menahan bentroknya beberapa kali pukulan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Kiai Laras yang tampaknya sudah tak sabar. Hingga begitu mendapati Kiai Lidah Wetan bergulingan, Kiai Laras cepat ambil Kembang Darah Setan dari balik pakaiannya. Saat lain tangannya yang tiba-tiba pancarkan sinar tiga warna, merah, hitam, dan putih telah berkelebat.

Pancaran sinar tiga warna yang tidak lain mencuat dari Kembang Darah Setan berkiblat angker ke arah Kiai Lidah Wetan. Begitu derasnya kiblatan sinar tiga warna, terlambat bagi Kiai Lidah Wetan untuk bergerak selamatkan diri atau membuat gerakan menghadang.

Desss! Desss! Desss!

Kiai Lidah Wetan melolong tinggi. Namun lolongannya terputus mendadak. Kejap lain sosok kakak kandung Kiai Laras ini mengejang lalu diam tak bergerak-gerak lagi dengan sekujur tubuh menghitam laksana dipanggang!

Kiai Laras tersenyum dingin. Kembang Darah Setan dimasukkan lagi ke balik pakaiannya. Tanpa melihat lagi pada sosok mayat Kiai Lidah Wetan, Kiai Laras berkelebat tinggalkan perbatasan hutan yang tebarkan hawa kematian!

********************

SEBELAS

EMPAT sosok tubuh bertelanjang dada tampak berkelebat memasuki kawasan lereng Gunung Semeru. Dua berlari di sebelah depan, dua lainnya berada di belakang. Ketika berjarak lima belas langkah di depan sana terlihat sebuah batu besar yang membentuk bangunan, keempat sosok ini sama saling pandang. Lalu salah seorang yang berada di bagian depan angkat tangan kirinya memberi isyarat. Keempatnya serentak hentikan lari masing-masing.

Keempat orang ini ternyata adalah laki-laki berkepala gundul. Mereka hanya mengenakan celana kolor. Orang bagian depan sebelah kanan mengenakan celana kolor warna merah. Sementara di sebelahnya mengenakan celana kolor warna hitam. Orang di bagian belakang sebelah kanan memakai celana kolor warna kuning, sedang di sebelahnya memakai celana kolor warna hijau.

Keempat laki-laki ini memiliki paras wajah hampir sama. Yakni kepalanya membentuk lonjong ke bawah. Mata masing-masing orang tidak membelah ke samping melainkan membelah ke bawah. Begitu pula bibir masing-masing orang. Bukannya membelah ke samping, melainkan ke bawah. Laki-laki yang mengenakan celana kolor warna merah yang tadi angkat tangannya dan tampaknya merupakan pimpinan, gerakkan kepala berpaling pada laki-laki di sebelahnya. Lalu terdengar ucapannya.

“Apa kita langsung menemui Eyang...?!” Laki-laki di samping si celana kolor warna merah segera buka mulut menjawab.

“Kalau kita menunggu, beban ini rasanya bertambah berati Apa pun yang nanti terjadi, kita terima! Kita sudah berusaha....”

Si celana kolor warna merah menoleh ke belakang. Kedua laki-laki yang tegak di bagian belakang sama anggukkan kepala masing-masing tanpa buka suara.

“Baik.... Biar aku nanti yang bicara!” kata laki-laki bercelana kolor warna merah lalu mulai gerakkan kaki melangkah diikuti oleh ketiga laki-laki lainnya.

Kira-kira berjarak sepuluh langkah dari batu besar yang membentuk bangunan, tiba-tiba satu bayangan putih melesat keluar dari batu besar dan tahu-tahu telah tegak lima langkah di hadapan keempat laki-laki. Sesaat keempat laki-laki sama angkat kepala masing-masing. Saat lain hampir bersamaan mereka menjura hormat.

Orang di hadapan keempat laki-laki ternyata adalah seorang perempuan setengah baya. Rambutnya hitam lebat dan disanggul di belakang. Perempuan ini masih tampak cantik walau sudah tidak muda lagi. Dia mengenakan pakaian putih sebatas dada mirip pakaian yang dikenakan para penari. Pada rambutnya yang hitam terlihat beberapa bunga. Di sela jari telunjuk dan jari tengah kedua tangannya terlihat pula menyelinap sekuntum bunga.

“Tokoh-tokoh Penghela Tandu....” Si perempuan berkata. “Kalian pulang tanpa Beda Kumala. Apa yang terjadi?!”

Keempat laki-laki yang memang bukan lain adalah Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama angkat kepalanya. Laki-laki yang bercelana kolor merah melirik sesaat pada ketiga laki-laki lainnya. Saat lain dia angkat bicara.

“Eyang.... Putri Kayangan menghendaki agar kami pulang terlebih dahulu! Sebenarnya kami tak mau melakukannya, tapi Putri Kayangan memaksa....”

“Hem.... Lalu apakah kalian telah berkunjung ke Jurang Tlatah Perak?!”

“Kami sudah sampai ke sana. Tapi Pendeta Sinting tidak ada di tempatnya! Hanya saja kami sempat bertemu dengan muridnya, Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng..."

“Bagaimana dengan Pitaloka?!”

“Kami belum sampai bertemu dengan Pitaloka. Namun menurut murid Pendeta Sinting, Pitaloka telah membawa lari Pedang Tumpul 131 milik pendekar muda itu! Dan menurut berita yang tersiar, Kembang Darah Setan telah berada di tangan pendekar muda itu. Hanya saja Putri Kayangan belum percaya....”

Si perempuan menghela napas dalam. “Pitaloka.... Kau banyak membuat persoalan. Dengan tindakanmu ini secara tak langsung kau telah mengadu aku dengan beberapa sahabat baikku!”

“Lalu siapa lagi yang sempat kalian jumpai?!” tanya si perempuan setelah terdiam beberapa lama.

“Kami sempat berjumpa dengan seseorang yang bergelar Datuk Wahing. Lalu Setan Liang Makam serta seorang gadis cantik bernama Saraswati....”

“Datuk Wahing aku telah mengenalnya. Tapi Setan Liang Makam baru kali ini aku mendengar gelar itu...,” gumam si perempuan. “Kembang Darah Setan telah berada di tangan murid Pendeta Sinting... Hem.... Apa benar berita ini?! Apa Beda Kumala mengatakan pada kalian hendak pergi ke mana?!” Perempuan itu bertanya lagi.

“Tidak, Eyang.... Putri Kayangan cuma mengatakan hendak terus mencari Pitaloka dan menyuruh kami pulang terlebih dahulu untuk menyampaikan apa yang terjadi!”

“Baik! Sekarang kalian tetap tinggal di sini sampai aku pulang! Ingat jangan sampai ada yang meninggalkan tempat ini sebelum kedatanganku nanti!”

Habis berkata begitu, si perempuan balikkan tubuh lalu berkelebat kembali masuk ke dalam batu besar yang membentuk bangunan. Tak lama kemudian terdengar derap langkah kaki kuda. Lalu dari bagian samping batu besar, muncul seekor kuda dan ternyata penunggangnya adalah si perempuan yang tadi dipanggil Eyang oleh Tokoh-tokoh Penghela Tandu.

“Jika Beda Kumala datang mendahului aku, cegah dia agar menunggu sampai aku kembali!” kata si perempuan lalu tanpa menunggu jawaban Tokoh-tokoh Penghela Tandu, si perempuan sudah hentakkan kedua kakinya pada lambung kuda tunggangannya. Binatang itu meringkij keras lalu berlari tinggalkan lereng Gunung Semeru.

********************

Setelah berkuda selama dua hari dua malam, si perempuan berpakaian putih sebatas dada sampai pada satu kawasan yang dari tempat itu terlihat hutan lebat. Si perempuan menarik napas dalam-dalam. Kepalanya didongakkan lalu menghirup udara berlama-lama.

“Aku bisa mencium keberadaan Pitaloka dan Beda Kumala di sekitar tempat ini! Aneh.... Mengapa mereka berdua berada di hutan lebat itu? Tapi aku juga dapat mencium aroma beberapa orang lagi.... Hem.... Di dalam hutan lebat dan sunyi ada beberapa orang. Pasti ada sesuatu di sana.... Tapi mengapa Pitaloka dan Beda Kumala ikut berada disana?!”

Selagi si perempuan tengah membatin dan bertanya-tanya sendiri mendadak dia dikejutkan dengan terdengarnya suara cekikikan.

“Perempuan...,” si perempuan di atas kuda menggumam. Lalu melompat turun dari atas kuda tunggangannya dan cepat putar diri menghadap sumber terdengarnya suara cekikikan.

Untuk beberapa lama si perempuan dari lereng Semeru memperhatikan ke depan. Dia melihat seorang perempuan berusia lanjut melangkah sendiri sambil tertawa-tawa.

“Siapa nenek itu? Dandanannya mirip anak gadis saja...,” kembali si perempuan dari lereng Semeru menggumam dan memperhatikan lebih seksama pada sosok perempuan berusia lanjut yang tertawa cekikikan sendiri.

Perempuan itu ternyata membedaki wajahnya tebal-tebal. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kiri kanannya juga diberi pewarna merah muda. Rambutnya yang putih dan panjang serta lebat dikelabang jadi dua. Pada ujung kelabangan rambutnya diberi pita warna merah. Sama warnanya dengan pakaian yang dikenakannya. Sementara rambut bagian depannya diponi dan digeraikan pada keningnya.

Nenek ini mengenakan pakaian atas berupa baju tanpa lengan dan sangat cingkrang hingga bukan saja ketiaknya yang kelihatan, namun pusarnya yang hitam tampak jelas. Sementara pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut. Hingga pahanya yang berkulit hitam terpampang nyata. Sambil melangkah dengan tertawa sendiri, tangan kiri nenek ini memainkan ujung kelabang rambutnya sementara tangan satunya sesekali merapikan poni pada keningnya. Si nenek berambut poni mendadak hentikan lang- kah. Tawanya diputus dan melonjak kaget tatkala matanya menangkap adanya orang yang tegak di depan sana.

“Setan! Bikin orang kaget saja! Siapa kau?!” Tiba-tiba si nenek berambut poni membentak.

Si perempuan dari lereng Semeru sunggingkan senyum walau sedikit merasa heran dengan sikap si nenek. Lalu anggukkan kepala dan buka mulut. “Aku hanya orang tersesat jalan, Nek...”

Si nenek berambut poni memandang tajam pada orang. Lalu edarkan pandang matanya berkeliling. Saat lain kembali dia sudah perdengarkan bentakan keras. “Jangan berani berkata dusta! Kau tersesat atau menyesatkan diri?!”

“Aku benar-benar tersesat jalan, Nek...!”

“Setan! Aku bukan nenekmu!” hardik si nenek berambut poni. “Dari mana asalmu hingga sampai tersesat di sini?!”

Sambil terus sunggingkan senyum si perempuan menjawab. “Aku datang dari jauh. Tepatnya dari lereng Gunung Semeru....”

“Jangan senyam-senyum!” bentak si nenek berponi. “Lalu ke mana kau hendak pergi?!”

“Aku tak tahu akan ke mana. Karena tengah mencari dua cucuku....”

Mendengar jawaban orang, sekonyong-konyong si nenek berambut poni meledak tawanya. “Semuda itu kau sudah punya cucu. Dua lagi! Setan sekalipun jarang semuda kau yang memiliki dua cucu! Apa kau kawin masih kanak-kanak?!”

“Tidak juga.... Tapi yang jelas aku memang sudah punya cucu....”

“Sudah seberapa besar cucumu yang kau cari?!” tanya nenek berambut poni.

“Umur mereka kira-kira tujuh belas tahunan....”

Si nenek berambut poni kerutkan dahi dan pasang tampang seolah tengah berpikir keras. “Cucumu laki-laki atau perempuan...?!”

“Boleh aku tahu, mengapa kau menanyakan itu?!” Si perempuan dari lereng Semeru balik ajukan tanya.

“Setan! Itu urusanku! Jawab saja laki-laki atau perempuan!”

“Keduanya perempuan....”

“Apa mereka lari dibawa laki-laki?!”

Yang ditanya gelengkan kepala. “Mereka kusuruh menemui seorang sahabatku. Dan mungkin karena baru turun gunung, mereka tersesat....”

“Ucapanmu tidak dusta?!” tanya nenek berponi.

“Aku tidak terbiasa bohong....”

“Siapa nama kedua cucumu itu?!”

“Nek... Pertanyaanmu sudah terlalu banyak! Harap kau tidak kecewa kalau kali ini aku tidak bisa menjawab tanyamu....”

“Setan! Berarti kau tidak punya cucu! Terbukti kau tidak bisa katakan siapa nama cucumu! Dan itu tandanya semua ucapanmu tadi dusta!”

“Nek.... Aku bicara apa adanya. Terserah padamu mau percaya atau tidak... aku sekarang harus pergi....”

“Setelah mendustaiku, kau kira enak saja bisa pergi, hah?! Kau tak akan tinggalkan tempat ini sebelum mengatakan siapa nama kedua cucumu!”

“Nek.... Ada apa sebenarnya?! Mengapa kau begitu bersikeras hendak tahu nama kedua cucuku?!”

“Bukan saatnya kau bertanya! Tapi waktunya kau menjawab!”

“Aku tak akan mengatakannya sebelum kau katakan ada apa ini!”

“Hem.... Kau mau aku bertindak sedikit keras, he?”

“Aku tidak menginginkannya! Yang kuinginkan kedua cucuku!”

“Simpan keinginanmu! Kau tidak punya cucu!” bentak nenek berponi.

“Hem.... Tak ada gunanya meladeni nenek aneh ini. Aku tak mau membuat urusan. Apalagi aku dapat mencium aroma orang tidak jauh dari tempat ini. Mungkin teman nenek ini. Lebih baik aku segera pergi....”

Berpikir begitu, akhirnya tanpa berkata-kata lagi si perempuan dari lereng Gunung Semeru putar diri setengah lingkaran dan melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Namun baru saja si perempuan gerakkan kaki, tiba-tiba terdengar suara deruan. Saat bersamaan satu gelombang angin berkiblat ke arah si perempuan dari lereng Gunung Semeru.

Si perempuan cepat jejakkan kedua kakinya, sosoknya mental ke udara. Gelombang angin lewat setengah tombak di bawahnya lalu menerabas rimbun dedaunan di seberang sana hingga bertaburan ke udara. Mendapati orang dapat menghindar selamatkan diri, si nenek berambut poni tertawa. Namun pada saat yang sama kedua tangannya diangkat lalu disentakkan.

“Brusss! Brusss! Brusss!” Tiba-tiba terdengar orang bersin-bersin. Satu desiran angin menderu. Hebatnya mampu membuat gerakan si nenek berambut poni tertahan.

Si nenek memaki lalu perdengarkan bentakan garang. “Setan Wahing! Beraninya kau berulah!”

Bersamaan dengan terdengarnya bentakan si nenek, desiran angin menyibak hingga kedua tangan si nenek kembali leluasa bergerak. Namun belum sampai si nenek benar-benar gerakkan kedua tangannya, kembali terdengar bersinan disusul dengan terdengarnya suara.

“Nenek cantik! Tahan dulu hatimu! Lihat dengan teliti siapa yang kini ada dihadapanmu!”

Belum lenyap suara orang, satu sosok berkelebat dan tegak di hadapan si nenek. Dia adalah seorang kakek berpakaian agak lusuh. Tangan kanannya memegang tongkat. Kepalanya selalu bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan paras wajah seperti orang hendak bersin.

“Datuk Wahing... Aku sudah menduganya!” gumam si perempuan dari lereng Gunung Semeru begitu melihat siapa adanya kakek bertongkat yang kepalanya terus bergerak dengan mimik seperti orang akan bersin.

“Sudah lama kita tak saling jumpa.... Apa kabarmu, Nyai?!” kata si kakek yang tidak lain adalah Datuk Wahing.

“Setan! Jadi kau sudah kenal dia?! Siapa dia, he?! Gendakmu?!” bentak si nenek berambut poni.

Datuk Wahing tidak segera menjawab, melainkan bersin berkali-kali...!

S E L E S A I