Rahasia Kampung Setan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Joko Sableng Dalam Episode Rahasia Kampung Setan

Cerita silat serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131


BAB 1

LAKSANA kesetanan, Setan Liang Makam terus berkelebat. Dia tidak pedulikan teriakan Lasmini. Namun bagaimanapun dia kerahkan segenap Ilmu peringan tubuh serta tenaga yang dimiliki, tetap saja tak mampu mengejar Datuk Wahing. Apalagi suara bersinan yang terus terdengar pantul-memantul membuat Setan Liang Makam sulit menentukan arah yang diambil Datuk Wahing. Hingga pada satu tempat, Setan Liang Makam hentikan larinya. Suara bersinan memang masih terdengar di sekitar tempat di mana dia berada, namun sosok Datuk Wahing tidak kelihatan laksana ditelan bumi.

"Pantulan Tabir!" desis Setan Liang Makam. "Manusia tadi memiliki Ilmu 'Pantulan Tabir'! Berarti dialah orang yang bisa memberi keterangan padaku!"

"Kenapa kau mengejarnya?!" satu suara terdengar. Ternyata Lasmini telah tegak di belakang Setan Liang Makam dengan mulut megap-megap.

Setan Liang Makam kancingkan mulut. Malah gerakkan kepala berpaling pun tidak. Dia tegak dengan kepala sedikit ditengadahkan dan mata setengah memejam. Manusia ini seolah masih tenggelam dalam rasa kecewa!

Seperti dituturkan dalam episode Geger Topeng Sang Pendekar, begitu dapat membunuh Dadaka yang ternyata adalah salah seorang yang mengubur Setan Liang Makam di makam batu, Setan Liang Makam teruskan perjalanan ke Jurang Tatah Perak tempat kediaman Pendeta Sinting, Eyang Guru Pendekar 131 dengan maksud mencari tahu di mana gerangan Joko Sableng yang diyakininya telah mengambil Kembang Darah Setan.

Namun begitu sampai di Jurang Tlatah Perak, bukannya Pendeta Sinting yang ditemui, melainkan Lasmini. Lasmini sendiri muncul ke Jurang Tlatah Perak atas anjuran Kiai Lidah Wetan, kekasihnya di masa muda. Entah karena apa Lasmini tiba-tiba mengambil keputusan menemui Kiai Lidah Wetan yang pada masa mudanya pernah dikhianati.

Dan entah karena apa pula, meski pernah disakiti dan muncul dengan sikap bungkam serta acuh tak acuh, Kiai Lidah Wetan menerima kembali kehadiran Lasmini yang pernah mengkhianati cintanya di masa lalu. Malah Kiai Lidah Wetan bersedia membantu Lasmini menuntaskan dendamnya setelah gagal dengan penyamarannya sebagai Tengkorak Berdarah.

Antara Setan Liang Makam dan Lasmini pada akhirnya terjalin persahabatan karena sama-sama mencari Pendeta Sinting. Dan karena mereka tidak menemukan Pendeta Sinting di Jurang Tlatah Perak, kedua orang ini akhirnya memutuskan untuk mencari Pendeta Sinting di luar. Namun begitu mereka muncul di Jurang Tlatah Perak, mereka berdua jumpa dengan Datuk Wahing.

Setan Liang Makam dan Lasmini merasa curiga dengan kemunculan Datuk Wahing di atas Jurang Tlatah Perak. Tapi baik Lasmini maupun Setan Liang Makam tidak berhasil mengorek keterangan siapa sebenarnya Datuk Wahing sebelum akhirnya Datuk Wahing tinggalkan tempat itu sambil bersin-bersin.

Setan Liang Makam pada mulanya tidak mau mengejar Datuk Wahing, namun begitu mengetahui suara bersinan Datuk Wahing bisa memantul terus menerus di delapan penjuru mata angin, buru-buru Setan Liang Makam sadar. Dia lantas mengejar Datuk Wahing. Tapi pada akhirnya kehilangan jejak orang yang dikejar. Di lain pihak, melihat perubahan pada Setan Liang Makam, Lasmini jadi penasaran. Dia ikut mengejar di belakang Setan Liang Makam.

"Lasmini! Kau bilang banyak mengenal tokoh-tokoh rimba persilatan. Mengapa kau tidak mengenal siapa adanya manusia tadi?!" Berkata Setan Liang Makam masih tanpa membuat gerakan.

Untuk beberapa lama Lasmini bungkam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Karena selama ini dia memang sama sekali belum mengenal Datuk Wahing. Sementara Setan Liang Makam mau menerima persahabatan Lasmini karena Lasmini sendiri mengatakan banyak tahu beberapa tokoh dunia persilatan yang untuk saat ini diperlukan sekali oleh Setan Liang Makam. Sebab terkubur selama tiga puluh enam tahun membuat orang ini tidak tahu lagi perkembangan yang terjadi dalam rimba persilatan.

"Kau tidak menjawab! Berarti percuma kau dan aku jalan bersama! Karena ternyata kau tidak lebih dariku dalam mengenali tokoh-tokoh dunia persilatan!"

"Harap kau tidak terlalu tergesa-gesa!" ucap Lasmini. "Mengenal laki-laki tadi, terus terang aku baru kali ini jumpa!"

"Hem… Itu cukup bagiku untuk mengatakan bahwa kau bukan orang yang banyak tahu tentang tokoh dunia persilatan!"

"Tidak mengenali satu orang bukan alasan yang bisa dijadikan dugaan! Dan karena baru kali ini aku jumpa dengan laki-laki tadi, pasti dia bukan tokoh rimba persilatan yang perlu diperhitungkan! Karena hampir lima tahun aku malang melintang!"

Setan Liang Makam mendengus. "Kau mengatakan manusia tadi bukan tokoh yang perlu diperhitungkan?!" Setan Liang Makam gerakkan kepala berpaling. "Telingamu tadi dengar suara bersinannya?!"

Lasmini tidak menjawab. Kepalanya pun tidak bergerak memberi isyarat jawaban. Setan Liang Makam tertawa pendek sebelum akhirnya lanjutkan ucapan. "Dengar, Perempuan! Dia tadi telah keluarkan satu Ilmu langka. Itulah ilmu yang dikenal dengan nama 'Pantulan Tabir'! Kalau ilmu yang dimilikinya adalah Ilmu langka, apakah kau masih mengatakan dia manusia yang tidak perlu diperhitungkan?!"

Setan Liang Makam hentikan ucapannya sejenak. Tanpa menunggu jawaban Lasmini, orang yang tubuhnya hanya merupakan kerangka tanpa daging ini telah lanjutkan lagi. "Setinggi apa pun Ilmu yang dimiliki orang, bakalan sulit menghadapi Ilmu 'Pantulan Tabir!"

Walau belum percaya ucapan Setan Liang Makam, tapi melihat bagaimana tadi bersinan orang mampu menghadang langkahnya bahkan membuatnya tersentak karena suara bersinan itu pantul memantul ke segenap penjuru angin, mau tak mau membuat perempuan yang pernah menyamar sebagai Tengkorak Berdarah palsu ini mulai mempercayai keterangan Setan Liang Makam. Namun kali ini bukan keterangan Setan Liang Makam yang membuncah benak Lasmini. Justru dia penasaran, mengapa Setan Liang Makam mengatakan bahwa si orang tua yang bersin-bersin itu adalah orang yang dicari!

"Perempuan! Kau telah dengar ucapanku! Mengapa kau tidak segera angkat kaki?!" Setan Liang Makam telah buka mulut lagi. Suaranya agak keras.

"Jadi kau masih menganggapku tidak banyak tahu tokoh-tokoh rimba persilatan gara-gara tidak mengenali laki-laki jahanam tadi?!"

"Kalau pada manusia berilmu langka saja kau tidak kenal, bagaimana mungkin kau mengenal tokoh-tokoh hebat lainnya?!"

Lasmini tertawa. "Kau boleh mengatakan laki-laki tadi manusia langka. Tapi di mataku, dia bukan apa-apa! Makanya jangan heran kalau aku tidak mengenalnya!"

Setan Liang Makam balik tertawa mendengar ucapan Lasmini. "Seberapa tinggi bekal yang kau miliki hingga bicaramu menembus langit. Perempuan?! Apa kau kira aku tak tahu jika kau sengaja mengajakku sama-sama mencari Pendeta Sinting karena bekalmu sangat rendah?!"

Dada Lasmini mulai panas mendengar ucapan Setan Liang Makam. Sambil angkat tangannya, Lasmini berkata setengah berteriak. "Aku punya kekuatan! Kalau tidak, mana mungkin aku mendatangi tempat Pendeta Sinting?!"

Setan Liang Makam gerakkan kepala menggeleng. "Meski aku telah berpuluh tahun tidak tahu dunia luar, aku tetap yakin kalau perangai seorang perempuan tidak akan berubah! Dia tidak akan mengandalkan bekal ilmunya, tapi tubuh dan mulutnya!"

Paras wajah Lasmini seketika berubah. Sepasang matanya mendelik besar dengan dada bergerak turun naik keras. Kalau saja tidak sadar siapa orang yang kini dihadapi, pasti sepasang tangannya sudah berkelebat lepaskan gebukan ke mulut orang.

"Kau terlalu rendah memandangku!" ujar Lasmini dengan suara bergetar.

"Kalau kau merasa membekal ilmu tinggi, mau tunjukkan padaku?!" tanya Setan Liang Makam seraya alihkan pandangan ke jurusan lain. Sikapnya jelas memandang sebelah mata pada orang.

Dada Lasmini makin menggelegak. Sebenarnya dia ingin menjajal sampai di mana ilmu yang dimiliki Setan Liang Makam. Namun karena dia tidak mau menanam permusuhan yang pada akhirnya akan menghambat langkahnya di kemudian hari, maka perempuan ini harus menindih perasaan geram. Mendapati Lasmini tidak menyahut atau membuat gerakan untuk menyambut tantangannya, Setan Liang Makam tertawa bergelak. Puas tertawa dia berkata.

"Apakah ucapanku tadi belum membuatmu mengerti untuk segera angkat kaki?! Atau kau ingin kuusir dengan tanganku, hah?!"

Lasmini memandang tajam pada Setan Liang Makam. Masih dengan kancingkan mulut, perempuan ini putar diri. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu diiringi gelakan tawa Setan Liang Makam.

********************

Lasmini tidak tahu sampai seberapa jauh dia berlari. Dia juga tidak tahu ke mana dia kini melangkah. Dia hanya berlari dan berlari untuk melampiaskan serta melupakan kegeraman hatinya pada Setan Liang Makam. Dia baru memperlambat larinya ketika sepasang matanya menangkap satu sosok tubuh berjalan perlahan-lahan di depan sana.

Sesaat Lasmini memperhatikan dengan seksama. Mendadak matanya terpentang besar. Saat lain kedua kakinya menjejak tanah. Laksana dikejar setan, perempuan ini melesat ke depan. Dalam beberapa saat dia telah berada di belakang orang yang berjalan perlahan.

"Berhenti!" teriak Lasmini.

Seolah tidak mendengar teriakan orang, orang yang berjalan di depan, yang ternyata seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian putih lusuh yang di tangannya memegang sebuah tongkat butut, teruskan langkah.

"Keparat!" maki Lasmini. Sekali lagi berkelebat, sosoknya telah tegak menghadang jalan orang. Sepasang matanya langsung membeliak mengawasi orang di hadapannya. Yang dipandang angkat kepala. Bukan untuk balas memandang, melainkan untuk ditarik sedikit lagi ke belakang, lalu didorong ke depan. Saat lain orang ini telah pulang balikkan kepalanya ke depan ke belakang dengan mimik meringis. Bukan untuk mengejek orang, melainkan orang ini ingin bersin!

"Jahanam ini yang membuatku dipandang remeh orang!" desis Lasmini dengan mendelik angker menatap pada orang di hadapannya yang bukan lain ternyata Datuk Wahing. Mengingat semua ucapan Setan Liang Makam, Lasmini jadi ingin membuktikan. Maka dia cepat buka mulut dengan suara membentak.

"Sebutkan siapa dirimu kalau kau tak ingin tanganku merobek mulutmu!"

"Brusss! Bruss! Brusss!"

"Heran... Sudah demikian mahalkah harga namaku?!"

"Keparat! Namamu tidak ada harganya di hadapanku!"

"Hem... Kalau begitu mengherankan sekali kalau sampai kau harus turun tangan merobek mulutku gara-gara aku tidak sebutkan nama. Brusss! Brusss!"

"Kau terlalu banyak mulut! Atau kau..."

Belum sampai ucapan Lasmini selesai, Datuk Wahing telah memotong sambil tahan gerakan kepalanya tengadah. Mengherankan. Sejak lahir kurasa mulutku cuma satu. Atau barangkali aku tidak merasa kalau mulutku bertambah...?!"

Seolah ingin membuktikan, Datuk Wahing angkat tangan kirinya lalu diusap-usapnya pada seluruh wajahnya. "Masih tidak ada tambahan mulut. Adalah mengherankan kalau ada orang yang mengatakan mulutku banyak..." Datuk Wahing lalu tertawa.

Tampang Lasmini mengetam. Sikap yang ditunjukkan orang membuat dadanya dibungkus kemarahan luar biasa. Hingga tanpa buka suara lagi, dia melompat ke depan dan langsung kelebatan tangan kanan kirinya lepaskan pukulan ke arah kepala orang.

"Bruss! Bruss! Brusss!"

Datuk Wahing tidak membuat gerakan untuk menangkis kelebatan kedua tangan orang. Sebaliknya dia bersin tiga kali dengan kepala bergerak. Walau gerakan kepala itu hanya karena bersinan, hebatnya gerakan kepalanya itu mampu membuat kelebatan kedua tangan Lasmini menghantam tempat kosong.

Mendapati hantaman kedua tangannya tidak mengenai sasaran, malah dihindari orang secara bersin, Lasmini tidak dapat kuasai diri lagi. Namun perempuan ini tidak mau bertindak ayal. Dari gerakan orang yang begitu mudah selamatkan diri dari hantamannya, dia maklum kalau orang dihadapannya bukanlah orang yang bisa dianggap enteng.

Lasmini kerahkan setengah tenaga dalam. Lalu hantamkan tangan kanan ke arah perut, sedangkan tangan kiri ke arah dada. Bersamaan dengan itu kaki kanannya di angkat siap lepaskan tendangan jika pukulan lurus kedua tangannya gagal menghantam sasaran.

"Bruss!"

Datuk Wahing bersin sekali. Tangan kanannya yang memegang tongkat butut diangkat lalu di putar di depan dada.

Trakkk! Trakkk!

Terdengar benturan keras tatkala hantaman kedua tangan Lasmini menghantam tongkat butut Datuk Wahing yang diputar di depan dada.

Lasmini tersentak. Hantaman kedua tangannya tadi dengan kerahkan tenaga dalam yang seandainya dihantamkan pada batu besar, maka tak ayal lagi batu besar itu akan hancur berkeping-keping! Namun tongkat butut di tangan kanan Datuk Wahing yang baru saja bentrok dengan kedua tangannya tidak patah! Malah kedua tangannya laksana membentur tembok kokoh. Hingga saat itu juga Lasmini cepat-cepat tarik pulang kedua tangannya! Mungkin hanyut dalam kekagetannya, Lasmini sampai lupa untuk lepaskan tendan-gan kaki kanan yang telah disiapkan untuk susuli hantaman kedua tangannya.

Datuk Wahing mengusap-usap tongkatnya yang baru saja menghadang pukulan lurus kedua tangan Lasmini. Saat lain kakek ini bersin tiga kali sebelum akhirnya angkat bicara. "Heran... Kau membuat hatiku heran, Sahabat! Kau tadi mendustai ku dengan mengatakan mulutku banyak. Lalu tiba-tiba kau hendak memukulku! Tidak keberatan menghilangkan rasa heran ku dengan mengatakan ada apa sebenarnya?!"

Lasmini katupkan rahang tidak jawab pertanyaan orang. Kejap lain perempuan ini mundur tiga langkah. Tangannya diangkat tinggi-tinggi. Sosoknya bergetar, tanda dia telah kerahkan hampir segenap tenaga dalamnya.

"Aku telah tanya dengan baik-baik, tapi rupanya kau inginkan jalan keras!" kata Lasmini.

"Bruss! Brusss!"

"Ah... Kau ini mengherankan! Bukankah namaku tidak ada harganya dihadapanmu? Lalu kenapa kau marah-marah saat aku tidak mau turuti ucapanmu?!"

Lasmini tidak menyahut dengan ucapan. Sebaliknya dia sentakkan kedua tangannya lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi!

BAB 2

DUA gelombang luar biasa dahsyat berkiblat ganas ke arah Datuk Wahing. Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya.

"Tamat riwayatmu, Keparat!" desis Lasmini dengan senyum dingin tatkala mengetahui Datuk Wahing tidak membuat gerakan apa-apa meski dua gelombang pukulan orang setengah tombak lagi menghantam tubuhnya.

Tapi dua jengkal lagi pukulan Lasmini melabrak, tiba-tiba Datuk Wahing melompat ke belakang. Saat bersamaan kepalanya bergerak ke depan. Dari hidungnya terdengar bersinan dua kali.

"Brusss! Brusss!"

Dua gelombang dahsyat yang dilepas Lasmini laksana ditahan tembok besar dan kokoh. Hingga untuk beberapa lama dua gelombang dahsyat itu tertahan di udara. Datuk Wahing tak sia-siakan kesempatan. Begitu gelombang angin tertahan di udara. Dia bergerak satu kali. Sosoknya melesat ke sebelah kanan.

Saat yang sama, dua gelombang yang tertahan berhasil menembus benteng pertahanan hingga menghampar ke depan. Tapi karena sosok Datuk Wahing telah berkelebat ke samping kanan, dua gelombang hantaman kedua tangan Lasmini melabrak hamparan tanah dan bongkahan sebuah batu. Tanah yang terkena sasaran muncrat ke udara. Bongkahan batu langsung pecah berantakan.

Lasmini pentang mata hampir saja tidak percaya. Namun dadanya makin panas melihat bagaimana orang dengan mudah menghindar selamatkan diri serta menghadang pukulannya. Dengan lipat gandakan tenaga dalam, Lasmini bergerak setengah lingkaran menghadap Datuk Wahing. Namun perempuan ini terkesiap. Sosok Datuk Wahing yang tadi berkelebat ke samping kanan ternyata sudah tidak kelihatan lagi!

"Jahanam! Ke mana lolosnya keparat itu?!" desis Lasmini dengan sosok bergetar.

Baru saja Lasmini membatin begitu dan belum sampai membuat gerakan apa-apa, dia dikejutkan dengan sambaran angin di sebelah kirinya. Menangkap gelagat membahayakan, Lasmini cepat rundukkan kepala seraya tarik tubuh atasnya ke bawah. Saat bersamaan sikunya membuat gerakan menyentak. Sementara tangan kanannya ikut pula lepaskan satu pukulan lewat depan dadanya.

Sambaran angin yang melesat dari samping kiri Lasmini menghantam udara beberapa jengkal di atas kepalanya. Namun sentakan siku serta susupan tangan kanan Lasmini juga melesat menghantam sasaran. Namun perempuan ini tidak menunggu lama. Begitu hantaman kedua tangannya melesat, dia cepat putar tubuh setengah lingkaran. Dengan bertumpu pada kaki kiri, kaki kanannya diangkat membuat satu tendangan.

Bukkk!

Sosok Datuk Wahing yang berada dibelakangnya tersambar tendangan kaki kanan Lasmini hingga mencelat dan jatuh berlutut sejarak satu setengah tombak. Tangan kanannya memegangi tongkat bututnya. Sementara tangan kiri bertelekan pada paha kakinya. Kepalanya bergerak pulang balik ke depan ke belakang lalu terdengar suara bersinan dua kali.

Melihat lawan telah jatuh berlutut, Lasmini tak sabaran lagi. Dia cepat angkat kedua tangannya. Kejengkelan rupanya sudah mendidihkan dadanya, hingga perempuan ini serta-merta hantamkan kedua tangannya lepas pukulan bertenaga dalam tinggi!

"Sekali ini kau tak akan lolos, Keparat!" teriak Lasmini dengan seringai dingin dan mata mementang angker.

Di seberang sana, mendadak Datuk Wahing tarik kepalanya sedikit tengadah dengan mimik meringis. Saat lain kepalanya bergerak empat kali.

"Bruss! Bruss! Bruss! Bruss!"

Dari hidung Datuk Wahing melesat angin deras empat kali berturut-turut. Dua gelombang dahsyat yang berkiblat dari kedua tangan Lasmini tiba-tiba membubung keudara. Lalu melesat balik ke arah Lasmini. Lasmini tidak membuat gerakan menghindar, karena jelas dua gelombang pukulannya berada jauh di atas tubuhnya. Tapi bukan karena pukulannya yang membalik berada jauh di atasnya yang membuat Lasmini tegak diam tidak membuat gerakan apa-apa.

Sebaliknya perempuan ini terpaku tegang melihat bagaimana tiba-tiba dua gelombang pukulannya laksana membentur kekuatan dahsyat di atas tubuhnya hingga dua gelombang itu mental balik dan kini melesat di atas sosok Datuk Wahing.

Di atas sosok Datuk Wahing, kembali dua gelombang pukulan Lasmini membentur kekuatan dahsyat hingga mental lagi. Begitu terus menerus bahkan kini mentalan dua gelombang itu berpindah-pindah ke delapan penjuru mata angin. Hebatnya, meski kepala Datuk Wahing sudah berhenti bergerak, suara bersinan terus saja terdengar dan ikut mantul memantul ke delapan penjuru mata angin!

"Bruss!"

Datuk Wahing perdengarkan bersinan sekali. Bersamaan itu sosok Lasmini laksana disentak, hingga karena tegang melihat apa yang terjadi, perempuan ini terkesiap. Namun sudah sangat terlambat untuk imbangi diri. Sosok Lasmini tersapu ke belakang dan jatuh terduduk dengan tubuh bergoyang-goyang.

Dalam keadaan seperti itu, Lasmini cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu kedua tangannya diangkat. Tapi perempuan ini melengak. Suara bersinan yang masih memantul terdengar makin lama makin keras. Hingga bagaimanapun Lasmini kerahkan tenaga untuk menutup jalan pendengaran, namun gendang telinganya laksana ditusuk-tusuk.

Lasmini pejamkan sepasang matanya. Kedua tangannya yang sejak tadi hendak bergerak lepaskan pukulan serta-merta ditarik untuk menutupi kedua telinganya. Perempuan ini coba membendung suara bersinan dengan segenap tenaga yang dimiliki.

"Sahabat... Semuanya sudah berakhir! Mengherankan kalau kau masih duduk begitu rupa..." Datuk Wahing berkata.

Lasmini terlengak. Dari suara yang baru saja terdengar, dia jelas dapat menentukan kalau orang yang bersuara tidak jauh dari sampingnya. Perempuan ini cepat buka kelopak sepasang matanya dengan kepala digerakkan sedikit ke samping kanan. Memandang ke depan, Lasmini tegang sendiri.

Datuk Wahing tampak duduk berlutut hanya tiga langkah di sebelahnya dengan bibir sunggingkan senyum. Kalau saja Datuk Wahing berniat jahat, tentu tidak sulit baginya menggebuk Lasmini! Apalagi dalam keadaan tegang begitu rupa, kedua tangan Lasmini yang masih menutupi kedua telinganya tentu sudah sangat terlambat untuk membendung pukulan orang!

"Jangan membuatku heran dengan tegang begitu... Kita bisa bicara baik-baik bukan?!" tanya Datuk Wahing.

Lasmini kini sadar, bahwa orang disampingnya masih bukan tandingannya. Namun Lasmini tidak mau dianggap remeh orang. Dengan raut merah padam dan turunkan kedua tangannya, perempuan ini berkata dengan suara keras.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara kita! Dan jangan kira aku tak bisa lakukan sesuatu untuk membunuhmu!"

Datuk Wahing gelengkan kepala. Tanpa berkata lagi, orang tua ini bangkit lalu balikkan tubuh dan melangkah. "Siapa manusia itu sebenarnya? Mengapa Setan Liang Makam mencarinya?!" Lasmini bergumam.

"Hai, tunggu!" teriak Lasmini seraya bergerak bangkit.

Datuk Wahing hentikan tindakan. Bersin tiga kali seraya berkata pelan. "Sikap perempuan di mana-mana selalu mengherankan. Di depan orang tidak mau berkata-kata, tapi begitu hendak ditinggal berteriak-teriak..."

"Ada yang hendak kau utarakan, Sahabat?" tanya Datuk Wahing seraya putar tubuh.

"Siapa kau sebenarnya?!" Lasmini langsung bertanya dengan pandangi sosok sang Datuk seolah baru pertama kali jumpa.

"Sahabat... Di antara kita aku yakin tak ada hubungan apa-apa! Bukankah mengherankan kalau kau harus penasaran dengan diriku! Jangan membuatku curiga dan makin heran..."

Paras muka Lasmini sedikit tegang. Mulutnya membuka lagi ajukan tanya. "Lalu apa hubunganmu dengan Setan Liang Makam?!"

Dahi Datuk Wahing berkerut "Kurasa... Aku tak punya kerabat bernama Setan Liang Makam! Aku pun merasa belum pernah..."

Belum sampai Datuk Wahing lanjutkan ucapannya, Lasmini telah menukas. "Kau jangan berpura-pura. Setan Liang Makam mengatakan kau adalah orang yang dicari!"

"Aku?!" ujar Datuk Wahing seraya tertawa mengekeh. "Mengherankan! Bagaimana kau bisa berkata begitu? Sementara orangnya saja aku belum tahu..."

Lasmini tertawa pendek. "Setan Liang Makam adalah orang yang bersamaku ketika keluar dari Jurang Tlatah Perak!"

Datuk Wahing angguk-anggukkan kepala. "Agar aku tidak makin heran, mau katakan mengapa sahabatmu itu mencariku?!"

"Aku yang tanya padamu!" kata Lasmini dengan suara agak keras mulai jengkel.

Datuk Wahing garuk-garuk kepalanya dengan ujung tongkat bututnya. "Dengar, Sahabat. Mendengar keteranganmu aku jadi tak habis heran. Sudah kukatakan aku tidak mengenalnya. Sementara kau adalah sahabatnya! Bagaimana bisa kau balik bertanya padaku?! Bukankah seharusnya kau yang memberi keterangan padaku?!"

Merasa tak mungkin lagi orang mau memberi keterangan, Lasmini alihkan pembicaraan dengan berkata. "Kemunculanmu di sekitar Jurang Tlatah Perak pasti bukan satu kebetulan! Kau punya urusan dengan Pendeta Sinting?!"

"Ini baru pertanyaan yang tidak mengherankan," ujar Datuk Wahing. "Dugaanmu tidak salah. Aku memang hendak berkunjung pada sahabatku..."

"Pendeta Sinting?!" tanya Lasmini seolah tidak sabar.

Datuk Wahing menjawab dengan anggukan kepala lalu berkata. "Sudah berbilang tahun aku tidak jumpa sahabatku itu. Mumpung ada waktu dan masih dikaruniai umur, tidak mengherankan bukan kalau aku ingin bertemu?!"

"Hanya ingin bertemu? Tidak ada urusan lain?!" tanya Lasmini menyelidik.

"Aku tidak ingin membuat heran orang-orang muda dengan membuat urusan antar sahabat. Apalagi usia sudah bau tanah begini..."

"Hem... Membuka mulut manusia macam begini hanya akan membuat dada pecah!" kata Lasmini dalam hati mendengar jawaban-jawaban yang diucapkan Datuk Wahing.

"Masih ada pertanyaan lagi?! tanya Datuk Wahing begitu agak lama Lasmini tidak lagi buka suara.

Yang ditanya kancingkan mulut. Malah saat itu juga hendak bergerak langkahkan kaki. Tapi sebelum Lasmini bergerak lebih jauh, Datuk Wahing telah berkata.

"Tidak merasa heran kalau aku sekarang yang bertanya, Sahabat?"

Lasmini urungkan niat. Sebelum perempuan ini menyahut, Datuk Wahing sudah mendahului. "Aku tidak sempat bertemu dengan sahabatku di Jurang Tlatah Perak, sementara kau sudah muncul dari tempat kediamannya. Bisa mengatakan bagaimana keadaan sahabatku itu?!"

"Sahabatmu itu beruntung!"

"Ah... Aku senang mendengarnya! Yang masih membuatku heran, untung bagaimana? Apa dia mendapat rezeki besar? Kudengar-dengar dia kawin lagi dengan seorang gadis cantik..."

Lasmini tertawa. "Sahabatmu itu beruntung karena dia tidak ada di tempatnya!"

"Jawabanmu membuat aku jadi heran..."

"Seandainya dia berada di tempatnya, saat itu juga nyawanya pasti putus!"

"Kau dan sahabatmu itu hendak membunuhnya?! Mengherankan sekali! Padahal menurut yang ku tahu, sahabatku itu tidak pernah membuat urusan meski kadangkala ucapan-ucapannya membuat orang jengkel dan kelakuannya gila-gilaan..."

"Aku tak heran mendengar ucapanmu! Siapa lagi yang akan membelanya kalau bukan sobatnya sepertimu?!"

"Justru aku kini jadi heran mendengar ucapanmu, Sahabat. Mau katakan apa sebenarnya yang dilakukan sahabatku itu?!"

"Akhir-akhir ini dia telah membunuh banyak orang! Bukan itu saja. Perbuatan murid tunggalnya juga dikabarkan atas perintah Pendeta Sinting!"

"Heran... Heran... Bagaimana bisa begitu?! Bruss! Bruss!"

"Kau tak perlu heran! Manusia setiap kali bisa berubah pikiran! Maka jangan coba-coba mendekati Pendeta Sinting!"

"Meski aku masih heran, tapi aku mengucapkan terima kasih atas keterangan dan peringatanmu! Sekarang aku harus segera pergi..."

"Kau masih tidak mau terangkan siapa dirimu?!" ujar Lasmini membuat gerakan Datuk Wahing yang akan putar tubuh tertahan.

"Aku hanya orang tua bau tanah! Dan kurasa tidak ada artinya sekalipun kau mengetahuinya! Jadi cukuplah jika kau mengenalku sebagai sahabat lama Pendeta Sinting!"

"Kau juga tak mau mengatakan apa hubunganmu dengan Setan Liang Makam?!"

"Jangan heran. Bukannya aku tak mau. Tapi aku tidak mau membuatmu nantinya makin heran..."

"Aku telah lama malang melintang beberapa puluh tahun dalam dunia persilatan. Tidak ada satu hal pun yang membuatku jadi heran! Katakan saja...!"

"Sayang sekali, Sahabat! Aku tak bisa memberi keterangan apa-apa! Harap tidak heran. Tapi meski begitu aku punya saran untukmu. Kalau kau terima syukur, jika tidak, itu akan membuatku heran..."

Walau Lasmini merasa jengkel dengan ucapan Datuk Wahing, namun perempuan ini pasang telinga baik-baik. Sementara Datuk Wahing alihkan pandangan ke jurusan lain seraya lanjutkan ucapan.

"Jangan kau terlalu percaya pada kabar berita yang belum terbukti kebenarannya. Dan hati-hati dengan orang yang baru kau kenali. Satu hal lagi, jangan mudah percaya pada orang yang berbuat baik padamu padahal kau pernah menyakitinya!"

Lasmini simak ucapan orang dengan dahi berkerut. Datuk Wahing tersenyum seraya teruskan ucapan. "Jangan merasa tersinggung. Aku bicara begini karena terus terang aku pernah mendengar kabarmu di masa lalu..."

"Jahanam! Apa manusia ini tahu hubungan ku dengan Kiai Lidah Wetan?!" Lasmini membatin dengan dada gelisah. Lasmini sebenarnya ingin langsung bertanya. Namun setelah ditimbang-timbang, perempuan ini akhirnya memutuskan untuk diam.

"Terima kasih kau tidak merasa tersinggung juga tidak merasa heran! Syukur-syukur juga kalau kau mau sedikit membuka hati untuk turuti saran ku..."

Habis berkata begitu, Datuk Wahing putar diri. Bersin dua kali sebelum akhirnya melangkah perlahan-lahan dengan ketukan-ketukan tongkat butut di tangan kanannya.

"Aku makin penasaran dengan manusia itu! Dia seolah-olah tahu hubungan ku dengan Kiai Lidah Wetan! Bagaimana dia bisa tahu...?! Kalau benar dia dengar kisah ku masa lalu, aku masih maklum. Tapi ucapannya tadi sepertinya bukan mengarah ke sana! Apa dia sempat jumpa dengan Kiai Lidah Wetan? Lantas... Ah. Itu tidak mungkin! Kiai Lidah Wetan mengatakan urusan besar ini adalah rahasia. Aku akan mengikuti orang itu..."

Lasmini memandang pada sosok Datuk Wahing yang telah berada di depan sana. Sebelum sosok Datuk Wahing belok dan lenyap dari pandangannya, Lasmini cepat berkelebat lalu secara diam-diam mengikuti langkah Datuk Wahing.

BAB 3

TIDAK jauh melangkah, Datuk Wahing hentikan tindakannya. Kepalanya mendongak. Saat bersamaan terdengar orang tua ini perdengarkan bersinan beberapa kali. Lalu berucap tanpa membuat gerakan.

"Sahabat... Jangan membuatku jadi heran dengan mengikuti ke mana aku pergi!"

Sejarak tujuh tombak di belakang Datuk Wahing, Lasmini yang mendekam sembunyi tampak terkesiap kaget. Wajahnya berubah. Sesaat perempuan ini tampak bimbang. Namun sebelum dia dapat memutuskan apa yang hendak diperbuat, dari arah depan kembali terdengar suara Datuk Wahing.

"Sahabat... Sekalipun kau ikut ke mana aku pergi, adalah mengherankan kalau kau nanti akan mendapat keterangan dariku! Harap kau pikir masak-masak sebelum kau kelak jadi heran..."

Lasmini menggerendeng panjang pendek dalam hati. Tanpa menyahut ucapan Datuk Wahing, perempuan ini bergerak melangkah keluar dari persembunyiannya. Memandang sejenak pada sosok Datuk Wahing yang masih tegak membelakangi. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

"Bruss! Bruss! Bruss!"

"Kau mengambil keputusan bagus, Sahabat! Karena percuma saja kau..." Laksana direnggut setan, Datuk Wahing putus gumamannya. Saat lain orang tua ini melangkah tiga tindak. Mendadak dia bergerak cepat. Sosoknya saat itu juga melesat dan lenyap dari tempat itu.

Baru saja sosok Datuk Wahing melesat lenyap, satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu tidak jauh dari tempat di mana tadi Datuk Wahing berada, satu sosok tubuh telah berdiri tegak. Orang yang baru muncul putar kepalanya dengan mata dipentang besar-besar.

"Aneh... Baru saja kudengar suara bersinannya di sini! Tapi batang hidungnya sudah tidak kelihatan! Ke mana lenyapnya?!" Orang yang baru muncul menggumam. Lalu kembali gerakkan kepalanya berputar dengan mata makin dibeliakkan. Namun orang ini tetap tidak melihat siapa-siapa!

"Hem... Pada akhirnya lain yang dikejar, lain pula yang ku dapati. Yang kukejar gadis cantik, tapi yang akan kutemui pasti orang lain. Tapi... Bagaimana tahu-tahu orang tua itu berkeliaran di sekitar tempat ini?! Atau selama ini dia secara diam-diam selalu mengikuti langkahku! Aku harus tahu apa maksudnya..."

Berpikir begitu dan merasa yakin orang masih berada di sekitar tempat itu, orang yang baru muncul buka mulut berteriak. "Kek! Aku tahu kau berada di sini! Mengapa takut unjuk diri?! Jangan membuatku heran!"

Selesai berteriak, orang ini memandang berkeliling dengan telinga dipasang baik-baik. Namun tidak terdengar suara sahutan atau terlihatnya orang.

"Kek! Harap tak usah malu-malu unjuk diri!" Kembali orang yang baru muncul berteriak. Tubuhnya bergerak berputar setengah lingkaran.

Bruss! Bruss! Mengherankan kalau aku merasa malu unjuk diri di hadapanmu. Anak Muda!" tiba-tiba terdengar suara.

Orang yang tadi berteriak cepat balikkan tubuh, karana jelas suara yang baru saja terdengar bersumber dari arah belakangnya. Namun orang ini tersentak sendiri. Dia tidak melihat siapa-siapa!

"Telingaku jelas mendengar dari arah belakang. Tapi orangnya tidak juga kelihatan!"

Baru saja orang ini membatin, orang ini mendadak putar diri membalik, karena dia mendengar langkah-langkah dari arah belakangnya. Memandang ke depan, orang ini tertengak. Sejarak lima tombak di depan sana, terlihat Datuk Wahing duduk berlutut di atas tanah dengan kepala bergerak ke depan ke belakang. Tangan kanan memegang tongkat yang ditancapkan di sampingnya sementara tangan kirinya diletakkan di atas pahanya.

"Hem... Bagaimana dia bisa membuat telingaku seperti mendengar langkah-langkah? Padahal orangnya enak-enakan duduk?!"

"Bruss! Bruss! Anak muda... Wajahmu membuatku heran. Apa kau tidak menemukan gadis yang kau kejar?!" Datuk Wahing buka mulut bertanya.

Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya dia melangkah mendekati Datuk Wahing dengan mata memandang tak berkesip. "Kek! Apa yang sedang kau lakukan disini?!"

Orang yang baru muncul balik ajukan tanya. "Bruss! Bruss! Anak muda... Sekarang ucapanmu yang membuatku heran! Kau sepertinya menaruh curiga padaku..."

Orang di hadapan Datuk Wahing yang ternyata adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih berambut agak panjang sedikit acak-acakan yang diikat dengan ikat kepala warna putih, berparas tampan dan bermata tajam dan bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng tertawa pendek lalu berkata.

"Kek! Sejak kita bertemu, dua kali kau muncul tidak jauh dariku! Aku tidak curiga padamu. Tapi setidaknya keberadaanmu punya maksud tertentu. Harap kau mau katakan terus terang!"

"Bruss! Bruss! Anak muda... Kalau boleh kukatakan, berarti kau merasa heran kita harus jumpa berkali-kali. Tapi kali ini aku tidak merasa heran! Yang Maha Kuasa mungkin telah menyiratkan demikian..."

Pendekar 131 gelengkan kepala. "Kek! Ini bukan semata-mata suratan! Ini juga bukan satu kebetulan. Kau sepertinya sengaja muncul di mana aku berada! Harap kau tidak keberatan mengatakan maksudmu!"

Seperti diketahui, sejak Pendekar 131 jumpa pertama kali dengan Datuk Wahing, orang tua ini tiba-tiba muncul ketika sedang terjadi adu mulut dan hampir saja terjadi adu pukulan antara Joko dengan Dewi Seribu Bunga. Saat itu pada akhirnya Dewi Seribu Bunga berkelebat. Joko mengejar. Tapi murid Pendeta Sinting kehilangan jejak Dewi Seribu Bunga. Joko lantas teruskan perjalanan. Pada satu tempat mendadak dia mendengar suara bersinan. Joko dengan cepat dapat menebak siapa adanya orang yang bersin-bersin.

"Bruss! Bruss! Aku tak punya maksud apa-apa, Anak Muda! Aku baru saja mengunjungi tempat seorang sahabat! Sayang... Aku harus menerima keheranan!"

"Siapa sahabat yang kau kunjungi?! Dan keheranan apa yang kau terima?!"

"Aku heran dengan pertanyaanmu. Apa maksud dibalik ucapan tanyamu itu?!" kata Datuk Wahing.

"Menurut Kiai Laras, orang ini bukan orang baik-baik! Sementara Jurang Tlatah Perak tidak jauh dari sini. Apa yang dimaksud sahabatnya adalah Eyang Guru...?!" Joko membatin. Lalu berkata.

"Seperti halnya dirimu, aku juga tak punya maksud apa-apa! Hanya saja aku punya seorang sahabat tidak jauh dari sini! Siapa tahu sahabat yang kau kunjungi adalah juga sahabatku..."

"Hem... Dia hanya sahabatmu? Tidak lebih, Anak Muda?!" Datuk Wahing balik ajukan tanya membuat Joko terdiam sesaat.

"Anak muda!" ucap Datuk Wahing sebelum Pendekar 131 perdengarkan suara. "Bisa katakan siapa sahabatmu itu?!"

"Pendeta Sinting!"

"Bruss! Bruss! Heran... Sahabatku itu ternyata benar-benar berubah! Para sahabatnya kini orang-orang muda. Hem... Pasti ada apa-apa!" gumam Datuk Wahing.

"Kek! Berarti yang hendak kau kunjungi Pendeta Sinting! Betul?!"

"Aku tidak bisa jawab pertanyaanmu yang mengherankan itu, Anak Muda! Karena sahabatku itu tak mungkin punya sahabat orang-orang muda sepertimu!"

"Kek! Aku murid Pendeta Sinting!" kata Joko berterus terang mendapati Datuk Wahing sepertinya menaruh curiga.

Datuk Wahing angkat kepalanya dengan mata sedikit dibesarkan. Untuk beberapa lama orang tua ini memperhatikan sosok murid Pendeta Sinting dengan seksama.

"Kek! Kau belum katakan keheranan mu tadi! Apa sebenarnya yang telah terjadi?! Kau bertemu dengan eyang guruku itu?!"

Datuk Wahing gerakkan kepalanya menggeleng. "Anak Muda! Itulah yang membuatku merasa heran. Apa sebenarnya yang telah terjadi?! Karena bukan saja aku tak menemukan sahabatku itu, tapi..." Datuk Wahing tidak lanjutkan ucapannya. Sepasang matanya melirik ke kanan kiri.

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi lalu ikut-ikutan melirik. Yakin tak ada orang lain, dia berkata. "Kek! Di sini tak ada orang lain! Teruskan ucapanmu tadi!"

"Bruss! Bruss! Aku justru bertemu dengan dua orang yang muncul dari kediaman eyang gurumu. Yang mengherankan lagi, menurut salah seorang dari mereka, justru aku termasuk manusia yang dia cari-cari!"

"Kau mengenal mereka?!" tanya Joko dengan maju satu tindak.

"Aku hanya mengenali yang satu, satunya lagi kurasa aku baru melihatnya! Herannya, orang yang baru pertama kulihat itulah yang katanya mencari-cariku..."

"Kau bisa katakan ciri-ciri orang itu?!"

"Satunya perempuan. Ini yang kukenal. Satunya lagi seorang laki-laki. Kalau kau sempat melihatnya, pasti kau akan merasa heran! Laki-laki ini hampir saja tidak bisa dikatakan sosok manusia. Tubuhnya hanya merupakan kerangka tanpa daging..."

"Setan Liang Makam!" desis murid Pendeta Sinting.

"Bruss! Bruss! Betul! Itulah nama yang disebut-sebut! Setan Liang Makam. Kau mengenalnya, Anak Muda...?!"

Pendekar 131 tidak jawab pertanyaan Datuk Wahing. Sebaliknya dia cepat ajukan tanya. "Apa yang terjadi di sana?!"

"Aku belum sempat jumpa dengan eyang gurumu. Tapi dari percakapan dua orang itu, aku bisa menduga kalau mereka juga tidak bertemu dengan eyang gurumu..."

Murid Pendeta Sinting menarik napas lega. Sejenak tadi perasaannya gelisah, ia sangat mengkhawatirkan keselamatan eyang gurunya, apalagi sejak peristiwa di Kedung Ombo, dia belum berhasil menemukan Pendeta Sinting.

"Kek! Menurutmu, apakah kedua orang itu juga sahabat eyang guruku?!"

"Bruss! Bruss! Anak muda! Aku memang bukan orang baik-baik! Tapi adalah mengherankan kalau aku mengatakan mereka orang baik-baik! Kau tentu bisa menebak sendiri apa ucapanku...!"

"Hem... Pasti mereka menduga akulah yang membawa barang aneh itu! Lalu mereka membuka sengketa dengan Eyang Guru. Heran! Dewi Seribu Bunga juga menuduhku hendak memperkosanya. Lalu ada lagi orang-orang yang menuduhku melarikan barangnya..."

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. Lalu memandang ke arah Datuk Wahing sambil bertanya. "Kek! Kau sungguh tak tahu tentang sebuah benda bernama Kembang Darah Setan?!"

Yang ditanya kancingkan mulut tidak menjawab. Joko berpikir sejenak, lalu berkata lagi. "Kek! Aku pernah jumpa dengan Setan Liang Makam, Dia sebut-sebut Kembang Darah Setan. Sementara kau tadi mengatakan Setan Liang Makam mencarimu! Aku dapat menebak kalau kau tahu tentang urusan Kembang Darah Setan itu! Setidaknya kau ada hubungan dengan Setan Liang Makam! Harap kau mau memberi keterangan!"

Datuk Wahing belum juga menyahut. Joko mulai agak jengkel. Dia segera buka mulut lagi. "Kek! Jangan-jangan kau ini masih kambratnya Setan Liang Makam!"

"Bruss! Brusss!"

Datuk Wahing perdengarkan bersinan. Namun sejauh ini orang tua berambut tipis ini belum juga mau bersuara. Malah dia alihkan pandangannya ke jurusan lain!

"Kek! Berarti kemunculanmu selama ini memang kau sengaja! Kau selalu ikuti ke mana aku melangkah! Katakan saja terus terang apa maumu! Aku tahu, kau berilmu sangat tinggi! Tapi seperti halnya diriku, kau tak mungkin punya nyawa rangkap!"

"Bruss! Bruss! Anak muda... Kau sudah selesai bicara?!" tanya Datuk Wahing tanpa berpaling.

Kali ini Joko yang tidak menjawab. Dia hanya memandang pada Datuk Wahing dengan sikap tidak sabar.

"Anak muda… Perlu kau ketahui dan harap jangan heran. Aku bukan kambratnya Setan Liang Makam! Aku juga tidak mengikuti langkahmu! Aku pun bukan orang yang berilmu tinggi apalagi punya nyawa rangkap!"

"Hem... Kau menyangkal semua ucapanku. Tapi kau tidak menyangkal ucapanku tentang Kembang Darah Setan! Berarti kau tahu urusan benda itu!"

Datuk Wahing tidak sambuti ucapan murid Pendeta Sinting. Sebaliknya orang ini beranjak bangkit. Dan tanpa berkata apa-apa dia melangkah. Murid Pendeta Sinting melompat dan tegak menghadang di depan Datuk Wahing.

"Kek! Kurasa dugaanku tidak meleset! Harap kau mau beri keterangan! Kalau tidak, terpaksa aku..."

"Bruss! Brusss! Kau terlalu berprasangka buruk, Anak Muda! Jangan heran kalau aku tidak mau jawab pertanyaanmu di sini!" Datuk Wahing arahkan pan-dangan matanya berkeliling. Lalu lanjutkan ucapannya. "Apa kau kira di sini aman untuk bicara?!"

Habis berkata begitu, Datuk Wahing teruskan langkah menyisi di sebelah kanan murid Pendeta Sinting.

"Kek! Jadi..."

"Bruss! Kalau kau ingin tahu, jangan banyak bicara!"

Pendekar 131 angkat bahu. Lalu balikkan tubuh. Memandang ke depan, dia tersentak. Datuk Wahing yang baru saja melangkah di sisi samping kanannya sudah berada jauh di depan sana. Dia tetap melangkah perlahan-lahan dengan kepala ditarik pulang balik ke depan ke belakang meski tidak perdengarkan bersinan.

Tanpa pikir panjang lagi, murid Pendeta Sinting segera berkelebat menyusul. Dia sempat menggerendeng. Karena begitu dia berkelebat, si kakek di depan sana tiba-tiba ikut berkelebat tidak lagi melangkah! Hingga mau tak mau Joko harus kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya agar tidak kehilangan jejak.

********************

BAB 4

SEBELUM kita ikuti ke mana Datuk Wahing dan Pendekar 131 Joko Sableng pergi serta mengetahui apa yang hendak dibicarakan Datuk Wahing, kita kembali dahulu pada satu peristiwa yang kejadiannya berlangsung pada tiga puluhan tahun yang lalu. Pada satu tempat di sebelah hutan belantara lebat tidak jauh dari sebuah pesisir pantai, tepatnya pada satu tempat terbuka yang dikelilingi beberapa julangan batu karang tampak duduk bersila seorang laki-laki setengah baya.

Paras laki-laki ini tidak begitu tampan. Bagian depan hidungnya besar. Rambutnya tipis telah berwarna dua. Kedua tangannya merangkap di depan dada. Sepasang matanya terpejam rapat. Laki-laki ini tidak sedang pusatkan pikiran bersemadi. Karena sesekali mulutnya membuka. Dan yang lebih menunjukkan kalau laki-laki setengah baya tidak sedang bersemadi, dihadapannya hanya sejarak sepuluh langkah, tampak tegak berdiri seorang laki-laki yang meski usianya tidak muda lagi, tapi masih lebih muda dibanding laki-laki yang tengah duduk bersila.

Orang yang tegak berdiri berparas agak tampan. Dagunya kokoh dengan sosok kekar. Sepasang matanya tajam dengan rambut panjang sebatas bahu. Laki-laki ini tegak dengan mata memandang tak berkedip pada laki-laki yang duduk bersila. Sesekali bibirnya sunggingkan senyum dingin. Dan kadangkala kepalanya bergerak tengadah meski sepasang matanya terus menghujam pada laki-laki di hadapannya.

Untuk beberapa saat lamanya kedua laki-laki ini tidak ada yang buka mulut. Laki-laki yang satu duduk dengan mata terpejam sementara satunya lagi memandang tajam. Namun tak berapa lama kemudian, laki-laki yang tegak buka mulut perdengarkan suara.

"Galaga! Rasanya penantian ku sudah lama. Aku sudah tidak sabar lagi! Kalau kau tetap kukuh pada pendirianmu, apa boleh buat. Kita lupakan semua pertalian di antara kita!"

Laki-laki yang duduk bersila dan dipanggil dengan Galaga buka sepasang matanya. Sejurus dia meman-dang orang yang tegak. Lalu mulutnya bergerak membuka. "Maladewa! Kau jangan memojokkan aku dengan begitu rupa! Dan apakah kau tega memutus semua pertalian ini hanya gara-gara barang sepele?! Apalagi kita tahu, Eyang Guru masih hidup! Kita harus sabar menunggu. Percayalah! Apa yang kau inginkan pasti kau dapatkan! Kepada siapa lagi barang itu akan diberikan kalau tidak pada kita sebagai muridnya?!"

Laki-laki yang tegak dan dipanggil dengan Maladewa sunggingkan senyum seringai. Lalu tertawa pendek sebelum akhirnya berkata. "Galaga! Lalu sampai kapan kita menunggu?! Lagi pula belum tentu barang itu diberikan pada kita! Kita tahu bagaimana watak Eyang Guru!"

Galaga gelengkan kepala. "Eyang Guru memang kadangkala sikapnya aneh! Namun dalam hal barang pusaka, aku yakin dia tidak akan berani memberikan pada orang lain!"

"Aku tidak percaya semua itu, Galaga!"

"Hem... Bagaimana kau sampai tidak percaya?!"

Maladewa tertawa lagi, lalu berkata. "Kau ingin salah satu bukti?!"

Untuk pertama kalinya paras wajah Galaga tampak berubah. Namun laki-laki ini coba tutupi perubahan wajahnya dengan sunggingkan senyum. "Maladewa! Sebaiknya kita tidak usah membicarakan benda itu. Selama ini kita hanya mendengar bahwa benda itu di tangan Eyang Guru. Tapi bertahun-tahun kita jadi muridnya, apakah kita pernah melihatnya?!"

"Itu kita bicarakan nanti, Galaga! Aku tadi bilang, apakah kau ingin salah satu bukti hingga mengapa aku tidak percaya pada Eyang Guru?!"

Diam-diam Galaga tampak gelisah. Dadanya berdebar keras. Dan perlahan-lahan laki-laki setengah baya ini palingkan wajahnya menghadap jurusan lain. Mulutnya terkancing tidak menyahut ucapan Maladewa. Maladewa maju dua tindak. Kepalanya didongakkan sedikit ke atas. Namun sepasang matanya tetap melirik ke arah orang di hadapannya. Lalu dia berkata.

"Galaga! Apa kau kira aku tak tahu kalau selama ini Eyang Guru telah turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' padamu?!"

Galaga tidak bisa lagi sembunyikan rasa kejutnya. Kepalanya cepat bergerak berpaling. Mulutnya membuka namun tidak perdengarkan suara. Maladewa tertawa panjang. "Kau tak usah berucap, Galaga! Sikapmu sudah menjawab! Sekarang aku tanya, apakah itu bukan salah satu bukti bahwa benda itu kelak tidak akan diberikan pada kita?! Kau mungkin masih bisa berharap! Tapi aku?! Dari cara Eyang Guru yang menurunkan ilmu padamu sementara padaku tidak, apakah aku masih punya harapan?!"

Galaga tetap tidak menyahut. Bagaimanapun dia coba sembunyikan rasa kagetnya, namun siapa pun yang melihat, pasti dapat melihat bayang kegelisahan pada raut muka laki-laki ini. Sementara melihat hal ini, Maladewa kembali buka mulut.

"Kita memang tidak pernah melihat benda itu ditangan Eyang Guru! Dan kita pun boleh kesampingkan kabar yang tersebar dalam dunia persilatan! Tapi apakah munculnya beberapa orang di tempat ini dengan berani pertaruhkan nyawa, belum bisa dijadikan satu tanda kalau benda itu benar-benar di tangan Eyang Guru?!" Maladewa hentikan ucapannya sambil tertawa. Lalu lanjutkan kata-katanya.

"Galaga! Seandainya aku jadi kau, pasti aku juga akan bertindak sepertimu! Dan kau pasti akan berbuat sepertiku seandainya kau jadi aku! Dan..."

Belum sampai Maladewa teruskan ucapannya, Galaga sudah memotong. "Maladewa! Aku..."

"Galaga!" kali ini ganti Maladewa yang memotong ucapan Galaga sebelum laki-laki ini lanjutkan ucapannya. "Aku belum selesai bicara! Jangan memotong!"

Galaga tidak hiraukan kata-kata Maladewa. Laki-laki ini buka mulut teruskan ucapannya yang sejenak tadi terputus. "Maladewa! Kau jangan terlalu berprasangka yang bukan-bukan! Kalau saat ini Eyang Guru menurunkan ilmu 'Pantulan Tabir', semata-mata hanya karena aku adalah saudara tuamu! Dan tak lama lagi, kau pun pasti akan mendapatkan ilmu itu!"

Maladewa gelengkan kepala. Wajahnya sudah merah padam. Tanda dia sudah tak bisa lagi menahan hawa amarah. "Galaga! Usia bukanlah satu alasan yang tepat untuk persoalan ini! Yang jelas, Eyang Guru tidak menyukaiku! Dan dia sengaja turunkan ilmu itu padamu untuk berjaga-jaga!"

Maladewa menyela dengan tertawa pendek, lalu lanjutkan ucapan. "Tapi apakah dengan membekal ilmu 'Pantulan Tabir' kau dapat menghadangku?!" Maladewa geleng-gelengkan kepala menjawab pertanyaannya sendiri.

"Maladewa! Kau masih saja punya dugaan buruk!"

"Dengar, Galaga! Ini bukan dugaan! Ini adalah kenyataan! Tapi... Aku masih bisa menerima semua ini kalau kau mau membantuku!"

"Maladewa! Apakah kita hendak membalas semua yang telah diberikan Eyang Guru dengan tindakan yang tidak pantas?!"

"Belum, Galaga! Eyang Guru belum memberikan semuanya pada kita! Bahkan dia telah memberimu lebih dibanding apa yang telah diberikan padaku! Dan aku ingin jatah kita sama! Tapi bukan ilmu 'Pantulan Tabir' yang kuminta!"

Walau Galaga mulai jengkel dengan ucapan Maladewa namun laki-laki ini masih coba menahannya karena sebenarnya dia sendiri merasa tidak enak begitu mengetahui kalau adik seperguruannya itu telah tahu kalau dirinya telah diberi ilmu 'Pantulan Tabir' oleh eyang gurunya. Dan dia pun dapat memaklumi kalau Maladewa merasa kecewa dan marah. Namun dia masih coba menyadarkan dengan berkata.

"Maladewa... Walau ucapanmu sedikit ada benarnya, tapi seharusnya kita harus bersyukur karena selama ini Eyang Guru telah berikan pada kita beberapa ilmu. Kalaupun Eyang Guru belum memberikan semuanya, mungkin dia punya pertimbangan sendiri. Dan percayalah, Eyang Guru akan memberikan semuanya pada kita..."

Maladewa gelengkan kepala. "Pertimbangan apa?! Kurasa usia kita telah cukup. Usia Eyang Guru pun sudah lanjut! Kalau dalam usia demikian lanjut dia tidak juga memberikan apa yang dimiliki pada muridnya, apakah mungkin dia akan memberikan itu?!"

"Aku tak bisa jawab pertanyaanmu, Maladewa! Yang pasti aku masih punya keyakinan jika Eyang Guru akan memberikan pada kita! Untuk itu bersabarlah..."

"Hem... Sampai kapan?! Kau bisa menghitungnya?!" tanya Maladewa.

"Aku memang tidak bisa menghitung! Tapi aku yakin!"

Maladewa tertawa pendek. "Kau bisa merasa yakin, karena kau masih punya harapan! Dan aku sebaliknya! Maka dari itu, Galaga. Aku sekali lagi tawarkan rencana ini padamu! Jika kau tidak setuju, kau telah tahu apa akibatnya!"

"Bukannya aku tidak setuju. Tapi kalau menimbang, apa yang telah diberikan Eyang Guru selama ini, kurasa itu sudah lebih daripada cukup! Kita jangan serakah meminta lebih!"

"Hem... Apa ucapanmu itu jawaban penolakan atas rencanaku?!"

Galaga tidak segera menjawab Dia pandangi Mala-dewa dengan seksama seakan ingin yakinkan kalau ucapan itu benar-benar diucapkan oleh Maladewa. Di lain pihak, Maladewa sudah tidak sabar melihat sikap Galaga. Maka dia segera buka mulut lagi.

"Galaga! Aku butuh ketegasan mu!"

"Maladewa! Kau memberi ku tawaran yang siapapun juga akan sulit untuk memilihnya!"

"Itu urusanmu! Dan aku menunggu keputusanmu!"

Glaga menarik napas panjang. Laki-laki ini jelas bimbang. Di satu pihak dia tak ingin hubungan saudara seperguruan terputus, di sisi lain dia tak mungkin berkhianat pada eyang gurunya yang selama ini dirasa telah memberikan segala ilmu. Hingga pada akhirnya dia berkata.

"Maladewa! Sebenarnya aku dalam situasi sulit! Dan kau tahu apa sebabnya..."

Mendengar ucapan Galaga, Maladewa mendengus lalu berkata dengan suara membentak. "Galaga! Aku butuh jawaban tegas! Mau apa tidak!"

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Galaga menjawab. "Maladewa! Untuk persoalan ini, semuanya kuserahkan padamu!"

"Maksudmu?!"

"Aku tak bisa ikut serta melakukan rencanamu. Aku pun tak akan mencegah semua rencanamu!"

"Hem... Begitu?! Kau telah pikirkan akibatnya?!"

"Aku tidak ikut apa-apa. Jadi kurasa aku tidak menanggung akibat apa-apa pula! Semua kuserahkan padamu..."

"Tidak semudah itu, Galaga! Meski kau tidak ikut serta dalam rencanaku ini, tapi kau adalah satu-satunya orang yang tahu! Dan kau dengar, aku tak mau seorang pun tahu apa rencanaku!"

Galaga kerutkan kening. "Apa maksud ucapanmu, Maladewa?!"

Yang ditanya tertawa. "Sebuah rencana akan berbuntut panjang kalau ada salah seorang yang tahu! Dan aku tidak mau hal itu terjadi! Apalagi kau tidak memberikan jawaban pasti! Jadi... Aku inginkan nyawamu saat ini juga! Tapi itu masih bisa ku tunda jika kau setuju dengan rencanaku!"

"Kau memaksaku, Maladewa!"

"Terserah kau katakan apa. Yang jelas kau tinggal memutuskan sekarang juga!"

"Sebenarnya aku telah memilih jalan tengah, Maladewa! Tapi kau rupanya hendak memaksakan kehendak padaku! Sayang sekali, aku tidak suka dipaksa..."

"Kalau itu kau katakan sejak tadi-tadi, tak perlu kita bicara panjang lebar! Dan berarti kau siap menerima kenyataan!"

"Sebenarnya aku tak mau hal ini terjadi antara kita! Tapi kalau kau terlalu memaksaku, aku bukannya melawan namun aku juga tidak akan tinggal diam!"

"Bagus! Kau telah memutuskan! Aku pun telah mengambil sikap!"

Habis berkata begitu, Maladewa angkat kedua tangannya. Sekali bergerak sosoknya telah tegak hanya sejarak empat langkah dari tempat Galaga duduk bersila.

"Maladewa! Tunggu!" tahan Galaga sambil beranjak bangkit. "Akankah persahabatan ini harus berakhir dengan pertumpahan darah?! Akankah tali persaudaraan ini berakhir di ujung kekerasan hanya gara-gara yang belum jelas benar ada tidaknya?!"

"Manusia tidak tahu harus mati karena apa? Demikian juga persahabatan dan ikatan persaudaraan! Tidak seorang pun tahu akan berujung dengan apa! Hanya untuk kita, kau tahu bagaimana jalan akhirnya!"

Galaga pandangi Maladewa sejenak. Meski tadi telah berkata tidak akan tinggal diam, tapi entah karena apa, akhirnya laki-laki ini gerakkan kaki melangkah hendak tinggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa.

Maladewa melirik sejurus. Saat lain tiba-tiba laki-laki ini telah melompat dan tegak menghadang jalan Galaga sambil berkata. "Kau telah dengar ucapanku! Tidak seorang pun akan kubiarkan lolos kalau dia tahu urusan ini!"

"Maladewa! Kau tak usah khawatir! Aku tetap merahasiakan urusan ini meski dengan berat hati... Yang kuminta darimu, jika nantinya Eyang Guru tidak memberikan apa yang kau minta, kau harus menerima dengan lapang dada dan jangan bertindak lebih jauh!"

Habis berkata begitu, Galaga berkelebat. Namun bersamaan itu Maladewa telah merangsek dengan hantamkan tangan kanannya. Galaga yang masih punya keyakinan kalau Maladewa tak akan bertindak jauh meski telah keluarkan ancaman, hanya diam tanpa membuat gerakan menangkis atau menghindar selamatkan diri.

Bukkk!

Galaga tersentak. Bukan saja karena pukulan tangan kanan Maladewa yang menghantam bahunya, namun juga karena keyakinannya meleset! Sosok Galaga terhuyung tiga langkah ke samping. Laki-laki ini segera berpaling dengan mata berkilat. Dilihatnya Maladewa sunggingkan senyum seringai.

"Galaga! Kau salah duga kalau mengira ancaman ku hanya ucapan mulut saja!"

Belum sampai ucapan Maladewa selesai, laki-laki ini telah berkelebat. Kedua tangannya segera melepaskan pukulan.

"Kau yang memaksaku, Maladewa!" ujar Galaga lalu angkat kedua tangannya membendung kelebatan kedua tangan Maladewa yang mengarah pada kepala dan dadanya.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras. Baik sosok Galaga maupun sosok Maladewa tampak tersurut tiga langkah ke belakang. Wajah keduanya sama berubah. Tangan masing-masing yang baru saja berbenturan sama bergetar keras. Maladewa tekuk sedikit lututnya. Tenaga dalamnya dilipat gandakan. Saat lain dia telah sentakkan kedua tangannya lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya melesat dua gelombang angin dahsyat perdengarkan suara gemuruh keras.

Kalau dalam benturan tangan tadi Galaga masih belum percaya benar akan niat Maladewa, kini melihat pukulan Maladewa, perlahan-lahan Galaga mulai menangkap isyarat kalau ucapan Maladewa tidak main-main! Hingga tanpa pikir panjang lagi dia segera pula angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke depan.

Blammm!

Tanah di tempat ini dibuncah dengan suara ledakan keras. Julangan-julangan batu karang bergetar. Sosok Galaga mencelat mental sampai dua tombak. Paras mukanya pias dengan tubuh bergetar keras. Malah kalau laki-laki ini tidak segera kerahkan tenaga dalam, niscaya sosoknya akan roboh terkapar.

Sementara di depan sana, sosok Maladewa juga terpelanting lalu tegak dengan kedua kaki goyah. Wajahnya pucat pasi. Namun laki-laki ini cepat kerahkan tenaga dalamnya kembali. Dan sekali berkelebat, dia telah tegak dua belas langkah di depan Galaga.

"Maladewa! Mungkinkah kenyataan ini benar-benar akan terjadi?!"

Maladewa tertawa panjang! "Pertanyaanmu akan segera terjawab, Galaga!"

"Aku tak pernah membayangkan kalau hal ini akan terjadi, Maladewa!"

"Itulah ketololan mu! Dan kau terlambat untuk menyadarinya! Bahkan kau mungkin tidak tahu apa yang telah terjadi!" kata Maladewa sambil tersenyum. Senyumnya kali ini agak aneh. "Kau tahu, Galaga! Aku tadi cuma ingin tahu bagaimana pendirianmu! Aku juga ingin tahu apakah benar Ilmu 'Pantulan Tabir' telah kau miliki! Aku pun ingin tahu, seberapa jauh pengetahuanmu tentang benda yang ada di tangan Eyang Guru!"

Galaga merasa tak enak mendengar ucapan Maladewa. Dahinya berkerut. "Apa sebenarnya yang telah dilakukannya?! Dan apa pula yang telah terjadi?!"

Karena tidak juga menemukan jawaban, pada akhirnya Galaga buka mulut. "Maladewa! Apa maksud ucapanmu?!"

Maladewa tertawa dahulu sebelum akhirnya berkata menjawab. "Kau boleh memiliki ilmu 'Pantulan Tabir' meski seratus buah! Dan kau boleh bangga karena telah mendapat Ilmu itu! Tapi bagiku... Semua itu tidak ada artinya apa-apa bagiku! Karena aku telah mendapatkan yang lebih daripada yang kau miliki!"

Galaga makin tak enak. Namun sejauh ini dia belum dapat menduga-duga ke mana arah ucapan Maladewa. Hingga dia ajukan tanya lagi. "Aku belum mengerti apa arti ucapanmu!"

"Tak usah khawatir, Galaga! Kau akan segera mengerti! Namun sayang, hal itu adalah pengertian terakhir bagimu! Begitu kau mengerti, saat itu juga nyawamu harus melayang!"

Galaga tambah gelisah. Dia hanya dapat menduga, kalau pengertiannya harus ditebus dengan nyawa, pasti hal itu adalah satu rahasia besar. Sementara rahasia besar itu tentu tidak jauh dengan urusan Maladewa dan eyang gurunya.

"Hem... Jangan-jangan dia telah lakukan rencananya tanpa sepengetahuanku! Dan dia telah berhasil. Celaka!" gumam Galaga dalam hati, lalu buru-buru berkata. "Maladewa! Apa yang telah kau lakukan pada Eyang Guru?!"

Maladewa tidak segera menjawab. Sebaliknya dia tertawa panjang. Puas tertawa, Maladewa angkat bicara. "Aku tak bisa menerangkan di sini, Galaga! Tapi kau akan segera mengerti kalau kau tahu apa yang kuperlihatkan padamu! Tapi perlu kau tahu, itulah saat tibanya kematianmu!"

Habis berkata begitu, Maladewa tenang saja masukkan tangan kanannya ke balik pakaian yang dike-nakannya. Sepasang matanya memandang tajam pada Galaga. Sementara bibirnya sunggingkan senyum. Di sebelah depan, dada Galaga tampak berdebar keras. Sepasang matanya mendelik tak berkesip memandang ke arah gerakan tangan kanan Maladewa.

Seraya tertawa perlahan, Maladewa keluarkan tangan kanannya dari balik pakaiannya. Laksana dipentang setan, sepasang mata Galaga tampak makin membeliak seperti hendak loncat dari rongganya antara terkejut dan tidak percaya!

BAB 5

"Kembang Darah Setan!" desis Galaga dengan suara bergetar berat. Tubuhnya ikut gemetar. Sementara sepasang matanya mementang besar.

Di seberang depan, Maladewa masih saja tersenyum sebelum akhirnya angkat bicara. "Galaga! Dengan beradanya benda ini di tanganku, rasanya kau tak perlu lagi tanya padaku apa yang telah terjadi! Dan seperti kataku tadi, begitu kau mengerti, maka itulah saat tibanya kematianmu!"

Habis berkata begitu, Maladewa angkat tangannya yang ternyata memegang setangkai bunga yang pancarkan sinar. Bunga itu memiliki kuncup berwarna merah. Pada bagian tangkainya terdapat tiga daun berwarna hitam, putih, dan merah.

Begitu dapat kuasai diri, Galaga segera buka suara. "Maladewa! Aku tidak akan tanyakan bagaimana kau memperolehnya. Yang ingin ku tahu, bagaimana keadaan Eyang Guru!"

"Kau terlambat untuk bertanya, Galaga! hanya ada satu hal yang perlu kau tahu sebelum ajal menjemput mu! Dengar baik-baik! Sebenarnya aku adalah cucu dari Eyang Guru! Dan akulah generasi terakhir dari penghuni Kampung Setan ini!"

Galaga tampak terkesiap. Dia pandangi sosok Maladewa dengan teliti. Bertahun-tahun dia diangkat murid oleh eyang gurunya, serta bertahun-tahun pula dia bersahabat dengan Maladewa yang juga sebagai adik seperguruannya, dia sama sekali tidak mengetahui rahasia kalau Maladewa adalah cucu dari eyang gurunya sendiri! Yang dia tahu, pada masa mudanya dulu dia dengar dan tahu kalau rimba persilatan pernah dibuat geger dengan munculnya tokoh-tokoh berilmu tinggi yang sebutkan diri Kampung Setan.

Sebuah kampung yang pada akhirnya menjadi momok, bukan saja bagi kalangan orang biasa, melainkan juga bagi kalangan orang-orang rimba persilatan. Karena beberapa tokoh dari Kampung Setan merajalela membunuhi beberapa tokoh rimba persilatan tanpa pandang bulu dari golongan hitam maupun dari golongan putih. Namun keangkeran Kampung Setan pada akhirnya tenggelam setelah beberapa tokoh dari golongan putih dan golongan hitam bersatu membasmi dengan memporak-porandakan Kampung Setan.

Hanya saja kalangan orang-orang rimba persilatan tidak tahu kalau dari generasi Kampung Setan masih ada seorang yang selamat. Orang inilah yang pada akhirnya mengangkat Galaga sebagai murid juga sebagai sahabat dari muridnya yang dahulu yakni Maladewa. Meski Maladewa sudah menjadi murid sebelum datangnya Galaga, namun karena Galaga lebih tua, maka Maladewa menganggap Galaga sebagai kakak seperguruannya.

Tapi keangkeran Kampung Setan ternyata hanya tenggelam sesaat. Karena begitu Kampung Setan porak-poranda, tersiar kabar bahwa sebuah senjata dahsyat bernama Kembang Darah Setan berada di Kampung Setan. Malah tersiar pula berita, kalau sebenarnya Kembang Darah Setan itu masih memiliki rahasia lagi di dalamnya!

Tersiarnya berita ini membuat para tokoh-tokoh rimba persilatan mulai berlomba memburu. Kalau pada awalnya para golongan putih dan golongan hitam saling bersatu dalam memporak-porandakan Kampung Setan, maka dalam hal pemburuan senjata itu, para tokoh mulai saling bersaing untuk mendahului. Hal ini menimbulkan terjadinya kacau balau. Terjadi saling tuduh dan saling hasut! Belum lagi ditambah dengan tidak pernah kembalinya beberapa orang yang coba-coba menyelidik ke Kampung Setan!

Galaga arahkan pandangannya ke jurusan lain. Sebenarnya dia belum percaya benar dengan ucapan Maladewa yang mengatakan dirinya adalah cucu eyang gurunya. Namun melihat Kembang Darah Setan yang sesekali pernah didengar ceritanya dan yakin yang di tangan Maladewa adalah Kembang Darah Setan, sedikit banyak Galaga mulai bimbang akan ketidakpercayaannya. Yang membuatnya makin gelisah, mengapa Maladewa menginginkan nyawanya?

Alasan Maladewa karena Galaga telah tahu rencananya bukanlah satu alasan yang kuat. Ada hal lain mengapa Maladewa inginkan nyawanya! Namun pada saat seperti sekarang ini adalah sudah sangat terlambat untuk menanyakannya. Berpikir begitu, akhirnya Galaga ambil keputusan.

"Aku harus dapat menghindar dahulu! Aku perlu menyelidiki tentang keberadaan Eyang Guru! Setelah itu baru aku bisa tentukan langkah..."

"Maladewa!" ujar Galaga setelah kedua orang ini sama-sama berdiam diri untuk beberapa lama. "Kembang Darah Setan telah berada di tanganmu! Berarti apa yang kau inginkan tercapai! Kuharap dengan..."

"Belum, Galaga!" tukas Maladewa memotong ucapan Galaga. "Keinginanku belum semuanya tercapai! Dan salah satunya adalah mencabut nyawamu!"

"Kau ini aneh! Kembang Darah Setan telah berada di tanganmu. Apa artinya nyawaku bagimu?!"

"Saat ini bukan saat yang baik untuk bertanya! Seharusnya kau sudah berpikir jauh-jauh sebelum ini!"

"Hem... Jadi selama ini kau telah memendam rencana tidak baik!"

Maladewa tertawa panjang sebelum akhirnya berkata. "Tadi sudah kukatakan kau sangat terlambat mengetahuinya! Bahkan tak mungkin tahu apa yang telah terjadi!"

"Aku tidak menduga sama sekali, Maladewa..." gumam Galaga. Lalu tanpa sambut! ucapan Maladewa, Galaga balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

Galaga sudah siap menghadapi apa yang akan terjadi seandainya Maladewa menghadang dan paksakan niatnya. Hingga sambil berkelebat, Galaga kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Namun dugaan Galaga kali ini meleset. Meski dia telah berkelebat, Maladewa tidak membuat gerakan untuk menghadang atau lepaskan pukulan untuk menahan gerakannya. Hingga Galaga bisa terus berkelebat. Begitu memasuki kawasan hutan belantara lebat, Galaga sengaja memperlambat larinya sambil terus berpikir.

"Tak mungkin aku memasuki Kampung Setan dan melihat keadaan Eyang Guru kalau Maladewa masih berada di sana! Aku harus menunggu sampai Maladewa pergi. Hem... Apa yang telah dilakukan Maladewa pada Eyang Guru?! Mengapa pula Eyang Guru tidak pernah cerita kalau Maladewa adalah cucunya sendiri? Kembang Darah Setan... Ternyata benda itu benar-benar ada! Dan selama ini pasti berada di tangan Eyang Guru... Apakah kabar yang selama ini tersebar bahwa di dalam benda itu masih tersimpan rahasia, benar juga adanya?! Mudah-mudahan Eyang Guru tidak mengalami apa-apa. Dengan begitu aku bisa menanyakan urusan ini! Selama ini aku tidak berani mengatakannya! Herannya... Mengapa Eyang Guru sengaja turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' padaku?! Sementara tidak pada Maladewa?! Apakah hal ini dilakukan Eyang Guru agar aku tidak kecewa dengan diberikannya Kembang Darah Setan pada Maladewa?! Seharusnya Eyang Guru tahu... Aku tidak begitu tertarik dengan segala macam benda pusaka kalau benda itu memang harus diberikan pada cucunya! Dan..."

Mendadak Galaga putuskan gumamannya sendiri. Bersamaan itu laksana disentak setan, langkah kakinya terhenti. Sepasang matanya memandang tajam ke depan dengan dada berdebar. Karena hanya sejarak delapan tombak di depan sana, terlihat tegak satu sosok tubuh dengan kedua tangan merangkap di depan dada. Kepalanya sedikit didongakkan.

"Maladewa!" desis Galaga mengenali siapa adanya sosok yang tegak seolah menghadang jalannya. "Bagaimana dia tahu-tahu sudah muncul di situ?!"

"Galaga! Jangan mimpi kalau bisa teruskan langkah!"

"Aku benar-benar tak mengerti maksudmu, Maladewa!"

"Sudah kukatakan berulang kali. Itulah satu ketololan mu! Dan kau telah ditakdirkan untuk tewas tanpa mengerti!"

Habis berkata begitu, Maladewa telah melesat ke depan. Kedua tangannya sudah berkelebat lepaskan pukulan jarak jauh selagi sosoknya berada di atas udara sejarak dua tombak dari tempat Galaga. Galaga tidak tinggal diam. Kalau tadi hanya setengah hati dalam menghadapi Maladewa, kali ini dia langsung melompat ke depan menyongsong pukulan Maladewa dengan kedua tangan disentakkan.

Blammm! Blammm!

Hutan belantara lebat itu seketika disentak dengan ledakan keras dan getaran hebat. Beberapa jajaran pohon tampak doyong lalu tumbang. Rangasan semak belukar terbabat sebelum akhirnya tersapu amblas!

Sosok Maladewa terhuyung-huyung kebelakang. Sementara Galaga tampak terseret lima langkah. Namun kedua orang ini cepat lipat gandakan tenaga dalam masing-masing. Saat lain keduanya telah sama sentakkan tangan ke depan. Empat gelombang dahsyat menderu dari dua jurusan. Dua gelombang melesat dari kedua tangan Maladewa, dua lagi berkiblat dari kedua tangan Galaga.

Namun tiba-tiba Maladewa tersentak. Dua gelombang pukulannya laksana menghantam kekuatan dahsyat. Hingga sebelum dua gelombang pukulannya bentrok dengan dua gelombang pukulan Galaga, dua gelombang pukulannya mental balik. Bersamaan dengan itu secara aneh dua gelombang pukulan Galaga menyusul. Empat gelombang ini saling menyatu di udara.

Maladewa makin besarkan beliakan matanya. Karena begitu empat gelombang bersatu, gelombang itu membubung ke angkasa. Lalu melesat dari satu arah ke arah lainnya saling memantul di delapan penjuru mata angin! Hebatnya, begitu gelombang itu memantul dari satu arah hendak menuju lain arah, Maladewa rasakan tubuhnya tersentak-sentak! Hingga untuk beberapa kali orang ini harus kerahkan tenaga dalam untuk kuasai diri dari sentakan tubuhnya yang mengikuti pantulan gelombang.

"Ilmu 'Pantulan Tabir!’" desis Maladewa dengan suara bergetar. Dia lipat gandakan tenaga dalam untuk kuasai diri. Begitu gelombang berada di atas udara dan akan memantul, dia segera saja lepaskan pukulan.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang kembali melesat ke arah gelombang yang tadi memantul-mantul di atas udara. Namun Maladewa harus terkesiap. Belum sampai dua gelombang pukulannya menghantam gelombang yang memantul, Galaga telah sentakkan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu gelombang yang tadi pantul-memantul ke delapan penjuru mata angin perdengarkan ledakan dahsyat dan ambyar berkeping-keping! Pukulan gelombang yang melesat dari kedua tangan Maladewa terus amblas ke atas melabrak tempat kosong!

Dan pada saat gelombang yang tadi memantul ambyar, sosok Maladewa terjengkang roboh di atas tanah! Dari mulutnya mengucur darah. Tanda orang ini telah terluka dalam. Sementara di seberang sana, Galaga tampak terhuyung-huyung, tapi laki-laki ini cepat dapat kuasai diri. Maladewa perlahan-lahan bergerak bangkit. Sepasang matanya langsung menyengat angker ke arah Galaga. Namun sesaat kemudian Maladewa tiba-tiba perdengarkan suara tawa bergerak panjang. Bersamaan itu tangan kanannya menyelinap masuk ke balik pakaiannya.

"Dia akan pergunakan Kembang Darah Setan! Meski aku belum pernah tahu kehebatan benda itu, aku harus berhati-hati. Sebagai benda pusaka sakti pasti memiliki kehebatan luar biasa!"

Memikir sampai di situ, Galaga cepat kerahkan segenap tenaga yang dimiliki. Di sebelah depan, Maladewa telah genggam tangkai Kembang Darah Setan yang pancarkan sinar. Maladewa menyeringai dingin. Tanpa berkata-kata lagi dia segera melompat ke depan. Tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan segera digerakkan ke depan.

Wuutt!

Dari tangan kanan Maladewa berkiblat sinar cahaya berwarna merah, hitam serta putih. Galaga sempat melengah melihat dahsyatnya sinar dari Kembang Darah Setan. Namun dia segera sadar. Cepat-cepat dia sentakkan kedua tangannya dengan andalkan ilmu 'Pantulan Tabir'. Hingga saat itu juga dua gelombang dahsyat melesat dari kedua tangannya. Hebatnya dua gelombang itu bukannya langsung menyongsong tiga sinar yang kini menggebubu. Namun melesat ke samping. Saat lain dua gelombang itu telah melesat dan memantul kian kemari menghadang tiga sinar!

Namun kali ini Galaga harus waspada. Karena meski gelombang dari kedua tangannya mampu menghadang lesatan tiga sinar yang melesat, tiga sinar itu tidak mampu disapunya hingga mengikuti pantulan gelombang! Hingga tiga sinar itu tampak terapung di udara!

Maladewa tidak menunggu lama. Mendapati Galaga tidak menyapu tiga sinar yang keluar dari Kembang Darah Setan, laki-laki ini untuk kedua kalinya sentakkan Kembang Darah Setan. Hingga saat itu juga kembali melesat tiga sinar berwarna merah, putih, dan hitam!

"Celaka!" gumam Galaga mengetahui bagaimana tiga sinar kini melesat kembali dari arah depan. Laki-laki ini pejamkan sepasang matanya. Lalu dengan kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam, kedua tangannya disentakkan.

Wuutt! Wuuutt!

Dari kedua tangannya menghampar gelombang dahsyat yang tak lama kemudian bergabung dengan gelombang yang pantul memantul di udara menghadang sinar dari Kembang Darah Setan. Di lain pihak tiga sinar yang baru melesat dari Kembang Darah Setan mendorong tiga sinar yang terhadang gelombang. Begitu terdorong, mendadak tiga sinar itu melesat deras ke depan!

Galaga tersentak. Tak ada jalan baginya untuk selamat selain harus menghadang dari arah depan. Maka dengan membentak garang, laki-laki ini sentakkan tangannya ke belakang. Bersamaan itu gelombang yang memantul tertarik. Saat Galaga mendorong ke depan, gelombang yang tadi memantul di udara melesat deras menyongsong sinar yang datang.

Blaarr! Blarrr!

Hutan belantara itu laksana diterjang gelombang dahsyat hingga bergetar keras. Beberapa pohon basar langsung tumbang. Tanah di mana terjadi benturan pukulan muncrat sambil lima tombak ke udara. Sosok Galaga langsung mencelat dan jatuh terbanting dengan punggung menghantam batangan pohon yang tumbang melintang. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Galaga rasakan sekujur tubuhnya panas luar biasa laksana dipanggang dalam bara. Pakaian yang dikenakan tampak hangus di bagian depan.

"Rasanya sulit bagiku kalau harus berhadapan dengan Kembang Darah Setan. Lagi pula aku harus tahu bagaimana keadaan Eyang Guru! Aku harus lakukan sesuatu agar bisa selamatkan diri!"

Galaga bergerak duduk. Sepasang matanya mengedar berkeliling. Saat itu suasana masih agak gelap karena terbungkus muncratan tanah serta banyaknya tumbangan pohon. Dan ketika dia memandang ke depan, samar-samar terlihat sosok Maladewa tegak berdiri dengan tangan kanan mengangkat Kembang Darah Setan. Galaga tidak tunggu lama. Dia kerahkan sisa tenaga dalamnya. Serta-merta kedua tangannya disentakkan ke depan.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang dahsyat menderu deras ke depan. Beberapa batangan pohon yang melintang tersapu. Saat yang sama, Galaga bergerak bangkit. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Maladewa tampak tersenyum dingin mendapati beberapa batangan pohon menyapu ke arahnya. Dia hanya gerakkan tangan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Setan.

Wuutt!

Tiga sinar merah, hitam, dan putih berkiblat. Brakk! Brakkk!

Terdengar beberapa kali derakan. Beberapa batangan pohon yang menghampar ke arah Maladewa langsung porak-poranda dan hancur berkeping-keping! Maladewa seakan tahu apa yang diperbuat Galaga. Hingga hampir berbarengan dengan gerakan tangan kanannya yang berkelebat, sosoknya langsung melesat ke depan. Meski dia terlambat, tapi sepasang matanya masih dapat menangkap kelebatan sosok Galaga, hingga sambil berkelebat mengejar, tangan kanannya bergerak.

Kembali hutan belantara itu dibuncah tiga kiblatan sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih. Di depan sana, Galaga rupanya sudah pula mengatur siasat. Hingga dia tidak berkelebat lurus. Tapi sengaja mengambil arah berbelok-belok. Hingga kesulitan bagi Maladewa untuk arahkan hantaman tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan.

Namun laki-laki ini tidak ambil peduli. Tangan kanannya terus menerus menghantam, hingga saat itu juga hutan belantara itu dibuncah suara derakan tumbangnya beberapa pohon serta terbabatnya ranggasan semak belukar. Udara di atas hutan pun tampak berubah karena sesekali tampak hamburan tanah dan daun-daun yang membubung ke angkasa.

Pada satu tempat, tiba-tiba Maladewa hentikan kelebatan tubuhnya. Tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan ditarik ke bawah. Sepasang matanya berkilat-kilat memandang berkeliling.

"Meski saat ini kau lolos, namun bukan berarti kau akan mendapat tempat untuk sembunyikan diri, Galaga!" teriak Maladewa begitu dia tidak lagi melihat sosok Galaga.

Kehilangan jejak orang yang dikejar rupanya membuat Maladewa marah besar. Karena yang ada di hadapannya hanya jajaran pohon, maka semua kemara-hannya ditumpahkan pada apa saja yang terlihat matanya. Tangan kanan yang memegang Kembang Darah Setan dan tangan kirinya serta-merta bergerak.

Wuutt! Wuutt!

Beberapa jajaran pohon dan semak belukar kembali berderak dan bertaburan ke angkasa. Saat derakan dan hamburan semak belukar sirap, sosok Maladewa sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu. Begitu suasana kembali tenang, perlahan-lahan semak belukar tidak jauh dari tempat di mana tadi Maladewa berdiri kalap hantamkan kedua tangannya karena marah, tiba-tiba bergerak menyibak. Lalu tampaklah, satu sosok tubuh keluar dengan kepala bergerak ke samping kanan kiri dan mata liar menyelidik. Orang ini ternyata bukan lain adalah Galaga.

"Hem... Aku harus mencari kesempatan! Pada beberapa hari ini mungkin Maladewa masih berada di Kampung Setan. Aku akan menyingkir dahulu..."

Habis bergumam begitu, Galaga putar kepalanya. Saat kakinya bergerak, sosoknya melesat tinggalkan tempat itu.

*********************

BAB 6

SEBELUM kita ketahui ke mana Maladewa berkelebat pergi dan ke mana pula Galaga sembunyikan diri setelah berhasil lolos dari tangan maut Maladewa, kita ikuti dahulu peristiwa yang terjadi tiga hari sebelum Maladewa dan Galaga bertemu.

Saat itu malam hampir saja menjelang. Keadaan samar-samar sudah gelap. Namun hutan belantara berbatasan dengan pesisir itu sudah tenggelam dalam kepekatan. Hujan rintik-rintik yang turun sejak petang membuat suasana hutan kelam menggidikkan. Apalagi samar-samar jauh di dalam hutan terdengar lolongan anjing yang bersahut-sahutan.

Dalam kelamnya suasana, laksana hantu gentayangan, satu sosok tubuh tampak berkelebat cepat melintasi kekelaman hutan belantara. Melihat gerakannya, jelas sekali kalau sosok ini telah tahu benar seluk beluk tempat yang dilalui. Hingga dalam beberapa saat saja sosoknya telah melewati hutan belantara tanpa halangan suatu apa.

Sosok ini baru hentikan larinya tatkala di hadapannya tampak julangan-julangan batu karang yang berjajar melingkar seakan membentuk pagar. Di tengah julangan-julangan batu karang terlihat sebuah tanah terbuka yang pada tengahnya tampak sebuah altar batu. Tidak jauh dari altar batu tampak menggugus satu gundukan batu yang di bagian kedua ujungnya terdapat batu pipih mirip batu nisan.

Batu menggugus ini panjangnya kira-kira dua tombak. Karana di bagian kedua ujungnya terdapat batu pipih, sementara gugusan batu itu menggunduk, sepintas saja orang yang melihat pasti sudah dapat menduga kalau gugusan batu itu adalah sebuah makam.

Dalam beberapa tahun silam, tempat yang dikelilingi julangan-julangan batu karang yang seakan memagari makam batu inilah yang sempat membuat geger dunia persilatan dan sempat menjadi tempat angker dan dijuluki orang dengan Kampung Setan. Beberapa tokoh rimba persilatan yang coba-coba menyelidik ke tempat ini banyak yang tidak terdengar lagi kabar beritanya.

Sejenak sosok tubuh yang tegak memandang julangan-julangan batu karang edarkan pandangannya berkeliling. Dia adalah seorang laki-laki bermata tajam. Rambutnya panjang sebahu, paras wajahnya agak tampan. Sosoknya kekar.

Setelah edarkan mata berkeliling, laki-laki ini membuat satu gerakan. Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di antara salah satu julangan batu karang. Kepala laki-laki ini kembali berputar. Saat lain dia melangkah mendekati julangan batu karang di hadapannya. Dengan mata melirik ke samping kiri kanan, tangan kanannya bergerak menjulur ke depan. Laki-laki ini tampak menekan pada permukaan batu karang di depannya. Pada saat yang sama, terdengar suara berderit gesekan batu.

Laki-laki di hadapan batu karang tidak menunggu lama. Julangan batu karang di hadapannya tiba-tiba menguak terbuka. Kepala si laki-laki sesaat berputar sekali lagi. Jelas kalau laki-laki ini waspada dan tak mau diketahui orang. Saat dirasa aman, laki-laki ini melangkah panjang-panjang memasuki julangan batu karang yang ternyata memiliki pintu rahasia.

Begitu sosok si laki-laki lenyap masuk, batu karang yang terbuka menutup lagi. Si laki-laki cepat edarkan pandangan. Tempat itu ternyata mirip sebuah ruangan. Dan tempat itu terang benderang karena di bagian pojok tampak sebuah obor yang menyala. Di bawah obor, tampak sebuah ruangan kecil yang pada bagian tengahnya terdapat tempat datar dari batu karang ber-bentuk persegi panjang sebesar satu tombak berkeliling.

Si laki-laki yang baru masuk langsung arahkan pandangan matanya ke ruangan di bawah obor. Bukan pada batu karang persegi panjang, namun pada satu sosok tubuh yang duduk bersila di atas batu karang persegi panjang. Sosok ini adalah seorang perempuan berusia amat lanjut. Seluruh wajahnya sudah mengeriput. Rambutnya yang telah putih tampak sangat tipis sekali hingga batok kepalanya terlihat jelas. Kelopak sepasang matanya yang menjorok masuk tampak terpejam rapat. Kedua tangannya yang ringkih bersedekap merangkap di dada. Nenek ini mengenakan pakaian warna putih bersih.

Si laki-laki bergerak melangkah. Dan berhenti hanya sejarak delapan langkah di depan ruangan mana si nenek berada. Untuk beberapa lama si laki-laki memandang pada si nenek dengan seksama. Namun sejauh ini mulutnya masih terkancing tidak perdengarkan suara meski jelas kalau si laki-laki sudah tidak sabaran.

"Maladewa..." Mendadak si nenek perdengarkan suara. Meski sosoknya terlihat ringkih dan mulutnya membuka sedikit, namun suara yang diperdengarkan sangat berat dan menggema ke Seantero ruangan!

Si laki-laki yang dipanggil Maladewa sejurus tampak tersentak kaget. Tapi dia belum juga buka mulut. Dia hanya memandang dengan sikap makin gelisah.

"Maladewa! Kau tahu, saat ini bukan waktunya kau datang!" Si nenek kembali buka mulut. Namun sepasang matanya tetap terpejam rapat.

"Aku tahu!" Maladewa menyahut. "Tapi ada sesuatu yang mengharuskan ku datang!"

Si nenek buka kelopak matanya. Memandang sejenak pada obor di atasnya lalu mulutnya meniup dengan kepala sedikit didongakkan. Terdengar siuran angin. Di lain saat, tiba-tiba obor yang menyala padam! Ruangan di dalam julangan batu karang itu hitam pekat.

"Katakan padaku, Maladewa! Apa yang membuatmu datang bukan pada waktunya!" Si nenek perdengarkan suara lagi. Namun suaranya kali ini tidak bisa ditentukan bersumber dari mana. Karena suara itu laksana diperdengarkan dari delapan jurusan mata angin!

Maladewa tidak segera menjawab. Sebaliknya laki-laki ini pentang mata besar-besar memandang ke arah batu persegi panjang di mana tadi si nenek duduk bersila. Laki-laki ini sejenak terkesiap. Karena matanya tidak lagi melihat sosok si nenek di atas batu! Mendapati hal demikian, Maladewa tampak geram. Dia cepat balikkan tubuh lalu melompat dan tegak di tengah ruangan dengan kepala mendongak. Saat lain tanpa gerakan kepala berpaling, dia bersuara.

"Nek! Bertahun-tahun aku merahasiakan siapa diriku pada Galaga! Hingga yang dia tahu sampai sekarang adalah bahwa di antara kita berdua hanya hubungan sebagai guru dan murid!"

"Hem... Hanya itu yang membuatmu datang, Cucuku...?!" Terdengar suara si nenek namun tidak jelas di mana dia beradanya. Suaranya masih menggema dari delapan arah.

"Nek! Rasanya usiaku telah cukup. Usiamu juga telah lanjut! Sudah saatnya kau serahkan semua warisan leluhur penguasa Kampung Setan ini padaku! Aku khawatir kalau Galaga mencium siapa adanya kita berdua!"

"Maladewa cucuku... Kau tidak usah khawatir dengan Galaga! Aku percaya penuh padanya! Dia tidak mungkin membocorkan keadaan Kampung Setan ini di luaran sana! Dia murid baik! Tak mungkin berani berkhianat, apalagi dia telah bersumpah sebelum kuangkat sebagai muridku!"

Si nenek hentikan ucapannya sejenak. Tak lama kemudian terdengar lagi ucapannya. "Tentang permintaanmu, Cucuku. Kau harus bersabar. Saat itu pasti akan tiba! Tapi bukan sekarang!"

"Hem.... Lalu sampai kapan? Kau bisa tentukan waktunya?!" tanya Maladewa masih dengan tegak di tengah ruangan dan kepala mendongak.

"Seperti pendahulu ku. Aku tidak boleh mengatakan saat tibanya waktu itu! Tapi pasti akan datang! Dan semua permintaanmu akan terpenuhi meski kau tidak memintanya! Dan karena kau adalah generasi terakhir, maka kau akan mendapat tugas penting yang sebelumnya tidak pernah kulakukan!"

"Tugas apa itu?!"

"Kau nanti akan mengetahuinya bila upacara penyerahan berlangsung!"

Beberapa saat antara kedua orang ini tidak ada yang perdengarkan suara. Namun tak lama kemudian, Maladewa tampak buka mulut lagi.

"Nek! Kau tidak mengada-ada dengan keterangan yang kau ucapkan?!"

Terdengar suara tawa berat menggema. Lalu disusul dengan suara si nenek. "Untuk apa aku mengada-ada keterangan, Cucuku! Kau adalah generasi terakhir dari Kampung Setan yang harus mengemban tugas! Jadi kelak tidak ada lagi yang perlu disembunyikan lagi!"

"Begitu?! Lalu mengapa kau masih sembunyikan sesuatu dariku?!"

Sesaat tak ada sahutan. Maladewa ganti perdengarkan suara tawa sebelum akhirnya berkata. "Nek! Mengapa kau diam saja?!"

"Coba katakan apa yang katamu kusembunyikan!"

"Mengapa kau turunkan Ilmu 'Pantulan Tabir' pada Galaga?! Sementara aku sebagai generasi terakhir dan cucumu kau abaikan?! Padahal sudah beberapa kali aku meminta padamu untuk turunkan ilmu itu!"

"Maladewa! Galaga sengaja kuambil murid untuk mendampingimu kelak dalam melaksanakan tugas! Dan sengaja ilmu itu kuturunkan dahulu padanya agar dapat menjaga diri. Karana selama ini dialah yang sering keluar! Lebih dari itu, kau tak usah khawatir. Kau juga akan segera menerima ilmu itu begitu saatnya dekat dengan upacara penyerahan!"

"Rasanya itu bukan satu alasan yang masuk akal, Nek! Tidak ada salahnya bukan kalau ilmu itu kau turunkan jauh sebelum upacara penyerahan?! Kau sepertinya mendahulukan orang lain daripada cucumu sendiri! Aku menduga ada apa-apa di balik semua ini!"

"Maladewa! Jangan berprasangka buruk padaku! Adalah tindakan bodoh jika seorang nenek mendahulukan kepentingan orang lain daripada cucunya!"

"Aku tidak bisa percaya dengan ucapanmu, Nek!"

"Dengar, Maladewa! Aku tak suka dengan sikapmu yang kurang ajar berani berkata begitu padaku! Kau juga datang bukan pada saatnya! Kuperintahkan kau agar segera keluar dari sini!"

"Kau jangan lupa, Nek! Kita sama-sama berhak atas warisan leluhur! Dan aku minta saat ini juga warisan itu diberikan padaku!"

"Ucapanmu benar, Maladewa! Tapi aku tak berani melanggar pesan! Semua warisan boleh kau miliki setelah upacara penyerahan berlangsung! Lain dari saat itu, kau tidak akan memperoleh apa-apa. Aku pun tak berani memberikan padamu!"

"Kalau begitu aku akan mengambil dengan caraku sendiri!"

"Jangan bicara sembarangan, Maladewa! Kau menyalahi peraturan yang berlaku di Kampung Setan ini!"

"Aku tak peduli! Karena kau juga telah bertindak ceroboh turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' pada orang selain keturunan dari Kampung Setan!"

Habis berkata begitu, Maladewa gerakkan tubuh berputar. Sepasang matanya terpentang besar coba tembusi kepekatan suasana. Namun sejauh ini matanya tak bisa menangkap di mana beradanya si nenek.

"Nek! Kau kira aku tak bisa berbuat sesuatu meski aku tak bisa melihat kau berada di mana?!"

Tak ada suara sahutan. Maladewa angkat kedua tangannya. Saat lain laki-laki ini sentakkan tangannya sambil berputar. Terdengar suara melesatnya beberapa gelombang yang datang susul menyusul. Lalu terdengar suara gemuruh dahsyat tiada hentinya. Ruangan dalam julangan batu karang itu bergetar keras. Keadaannya makin pekat karena hamburan beberapa pecahan batu karang.

"Hentikan, Maladewa!" tiba-tiba terdengar teriakan si nenek.

Maladewa hentikan gerakan kedua tangannya serta putaran tubuhnya. "Berikan warisan itu padaku! Atau kau ingin tempat ini porak-poranda!"

"Maladewa..." Terdengar suara si nenek. Kali ini nadanya lembut meski suaranya berat. "Bersabarlah! Saatnya pasti akan tiba!"

"Aku tak akan menunggu saat yang belum pasti kapan datangnya! Aku minta saat ini juga!"

Habis berkata begitu, Maladewa kembali angkat kedua tangannya. Namun sebelum kedua tangannya sempat bergerak, terdengar suara si nenek. Namun kali ini suaranya keras.

"Maladewa! Aku telah memperingatkanmu! Tapi rupanya kau keras kepala! Sekarang katakan apa yang kau minta!"

"Kembang Darah Setan!" jawab Maladewa dengan suara tak kalah kerasnya.

"Benda itu harus kau terima saat penyerahan, Maladewa!"

"Persetan dengan upacara penyerahan! itu hanya omong kosong belaka! Buktinya sudah berapa tahun aku menunggu! Tapi apa yang ku dapati?! Hanya tunggu dan tunggu! Sementara orang lain telah mendapatkannya meski tidak meminta!"

"Hem... Jadi kau tidak sabar menunggu upacara penyerahan itu?! Dan memintanya sekarang?!"

"Nek! Kau telah dengar ucapanku!"

"Baik! Ini permintaanmu! Aku pun tak akan menolak apa yang kau minta karena itu memang hak mu!"

Suasana ruangan di dalam julangan batu karang sejenak hening. Maladewa tegak menunggu dengan dada berdebar. Tiba-tiba laki-laki ini tersentak tatkala matanya menangkap cahaya sinar. Dia cepat balikkan tubuh menghadap sumber berpencarnya cahaya. Namun dia tersentak tatkala melihat cahaya sinar berwarna merah, hitam serta putih itu melesat ke arahnya! Maladewa cepat rundukkan tubuh dengan lutut sedikit ditekuk. Saat bersamaan kedua tangannya bergerak berkelebat ke atas menyahut cahaya yang menuju arahnya.

Tappp!

Cahaya tiga warna tersahut kedua tangan Maladewa. Laki-laki ini merasakan hawa hangat merasuki sekujur tubuhnya. "Kembang Darah Setan!" desis Maladewa dengan mata membeliak besar perhatikan apa yang kini berada dalam tangannya. Perlahan-lahan dia turunkan tangannya.

"Maladewa! Kau telah mendapatkan apa yang jadi hakmu! Tapi ingat, hal itu kau peroleh tanpa upacara penyerahan! Aku tak bisa berbuat apa-apa karena itu adalah kemauanmu! Sekarang segeralah angkat kaki dari ruangan ini!"

Maladewa angkat kepalanya. "Kembang Darah Setan telah berada di tanganku! Siapa pun juga tak berhak memberi perintah! Justru akulah sekarang yang buat aturan dan keluarkan perintah!"

"Maladewa! Kau jangan..."

"Kuperintahkan kau agar unjuk diri, Nek!" potong Maladewa.

"Maladewa! Kau..."

Lagi-lagi Maladewa sudah memotong ucapan si nenek sebelum suaranya selesai. "Nek! Kau dengar ucapanku! Lekas unjuk diri!"

Selesai berucap begitu, Maladewa angkat Kembang Darah Setan yang ada di tangan kanannya. Karena ditunggu agak lama si nenek tidak juga turuti ucapan Maladewa, laki-laki ini habis kesabaran. Kedua tangannya serta-merta bergerak. Tangan kanan hantamkan Kembang Darah Setan sementara tangan kiri lepas pukulan bertenaga dalam tinggi.

Ruangan dalam julangan batu karang ini dibuncah dengan menderunya gelombang dahsyat dan berkiblatnya beberapa sinar tiga warna. Sambil lepaskan pukulan tangan kiri kanan, Maladewa putar tubuh. Terdengar suara bergemuruh luar biasa. Karena ruangan itu diterangi sinar terang tiga warna, maka tampaklah jika ruangan itu telah porak-poranda. Bahkan di sana-sini tampak longsoran batu karang. Malah batu persegi panjang di mana tadi si nenek duduk bersila telah hancur berantakan! Tiba-tiba dari arah sudut sebelah timur terdengar suara bentakan keras membahana.

"Maladewa! Kau telah hancurkan tempat persemadian leluhur mu! Kau kelak akan menerima akibat dari ulah mu ini!"

Maladewa tidak menyahut. Sebaliknya cepat putar tubuh menghadang suara yang baru terdengar. Begitu tubuhnya bergerak memutar, kedua tangannya bergerak menyentak.

Blaarr!

Ruangan sebelah timur langsung longsor. Namun satu bayangan putih sudah melesat terlebih dahulu sebelum gelombang dan sinar tiga warna menghantam. Kepala Maladewa cepat bergerak mengikuti melesatnya bayangan putih yang bukan lain adalah sosok si nenek. Saat bersamaan, Maladewa hantamkan tangan kanan kirinya.

Wusss!

Bayangan putih mencelat mental lalu menghantam langit-langit ruangan. Anehnya bayangan putih itu tidak langsung meluncur ke bawah meski baru saja terhantam. Sebaliknya menempel erat pada langit-langit ruangan!

"Maladewa! Kau boleh memiliki Kembang Darah Setan. Tapi bukan berarti kau dapat membunuh dengan benda itu!"

Maladewa terkesiap. Suara itu tidak terdengar dari langit-langit ruangan. Melainkan dari sudut ruangan sebelah barat! Memandang ke sebelah barat, samar-samar Maladewa menangkap satu sosok bayangan putih. Maladewa sesaat ingin meyakinkan. Lalu sekonyong-konyong kedua tangannya bergerak menghantam!

Sosok bayangan putih tidak membuat gerakan menghindar, hingga tak ampun lagi gelombang dahsyat dan sinar tiga warna yang melesat dari Kembang Darah Setan menghantam telak! Bayangan putih mencelat menghantam dinding ruangan di belakangnya. Anehnya Maladewa tidak mendengar suara pekik atau seruan. Sebaliknya laki-laki ini mendengar suara berderit jauh di belakangnya. Maladewa sadar. Dia buru-buru putar tubuh. Ternyata bagian mana tadi Maladewa masuk telah terbuka. Saat bersamaan, satu sosok bayangan putih berkelebat keluar!

"Bangsat! Aku tertipu! Dia tadi telah peragakan ilmu 'Pantulan Tabir'!" desis Maladewa. Dia cepat mengejar.

Namun begitu keluar dari ruangan dalam julangan batu karang, sosok si nenek sudah lenyap! Dan bersamaan keluarnya sosok Maladewa, pintu batu karang menutup kembali. Maladewa pandangi Kembang Darah Setan yang tergenggam di tangannya. Bibirnya sunggingkan senyum.

"Galaga! Saatnya kau harus mampus! Aku tak ingin Kampung Setan dimasuki manusia selain dari keturunan penguasa Kampung Setan! Setelah itu... Aku akan mencari di mana jejaknya tua bangka itu!"

Maladewa masukkan Kembang Darah Setan ke balik pakaiannya. Kepalanya berputar dua kali dengan mata menembusi kegelapan malam yang semakin larut. Saat lain laki-laki ini membuat gerakan satu kali. Gerakannya ini serta-merta melesatkan tubuhnya meninggalkan pelataran Kampung Setan.

*********************

BAB 7

DUA orang sama berpacu cepat menuju sebelah timur hutan belantara di mana Kampung Setan berada. Orang di sebelah depan memanggul satu sosok tubuh yang dari mulut dan hidungnya tampak kucurkan darah. Sosok yang dipanggul orang tampak tidak bergerak-gerak. Sementara orang yang di sebelah belakang berlari sambil sesekali putar kepala dan memperhatikan sosok yang ada di panggulan orang di depannya.

Begitu memasuki kawasan yang dipagari julangan-julangan batu karang, orang di sebelah depan yang memanggul sosok tubuh berlumuran darah hentikan larinya. Orang ini memandang berkeliling sebentar, lalu dengan enaknya bahunya bergerak. Sosok tubuh yang berada di panggulnya serta-merta jatuh bergedebukan di atas hamparan batu tidak jauh dari gundukan makam batu yang ada ditengah-tengah beberapa julangan batu karang.

Orang yang berlari di sebelah belakang ikut hentikan larinya tidak jauh dari orang yang baru saja jatuhkan sosok tubuh dipanggulannya. Kedua orang ini sejenak saling pandang. Orang yang tadi berlari di sebelah depan sambil membawa sosok tubuh di pundaknya adalah seorang laki-laki berperawakan kekar. Rambutnya panjang menutupi bahu dan sebagian wajahnya. Parasnya tampan. Matanya tajam. Dagunya kokoh. Laki-laki ini mengenakan pakaian warna putih.

Sementara orang yang tadi berlari di sebelah belakang adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Raut wajahnya juga tampan. Sepasang matanya juga tajam. Orang yang tadi berlari di sebelah depan angkat kepalanya, lalu berteriak.

"Maladewa! Kami berdua datang!"

Gema suara orang belum lenyap, mendadak dari salah satu lamping julangan batu karang yang berjajar memagari makam batu melesat satu sosok tubuh. Ternyata dia adalah juga seorang laki-laki dan bukan lain adalah Maladewa. Maladewa tegak dihadapan dua laki-laki yang baru datang. Sejurus mata Maladewa perhatikan dua laki-laki dihadapannya. Lalu melirik pada orang yang terbujur diam berlumuran darah di bawah.

"Kami hanya berhasil membawa mayat Nyai Randu Abang!" berkata laki-laki yang tadi berlari di sebelah depan.

"Dadaka!" kata Maladewa menyebut nama laki-laki yang tadi berlari di sebelah depan. "Satu purnama kau dan Kigali kuberi waktu untuk laksanakan tugas ini. Nyatanya yang kalian bawa hanya mayat perempuan tak berguna ini!"

Dadaka berpaling pada laki-laki yang tadi berlari di sebelah belakang yang disebut Maladewa dengan nama Kigali. Kedua orang ini sejurus saling pandang. Setelah Dadaka anggukkan kepala, Kigali buka mulut angkat bicara.

"Maladewa! Satu purnama waktu yang kau berikan ternyata terlalu pendek untuk mencari jejak manusia macam Galaga! Kuharap kau mengerti! Dan untuk sementara ini kami berdua hanya mampu membawa mayat Nyai Randu Abang, salah satu orang yang nyawanya kau inginkan!"

"Betul!" timpal Dadaka. "Lagi pula, dengan tewasnya Nyai Randu Abang, Galaga pasti akan segera unjuk tampang keluar dari persembunyiannya! Karena kau tahu sendiri, Nyai Randu Abang adalah kekasih Galaga!"

Maladewa memandang silih berganti pada Dadaka dan Kigali. Lalu beralih pada sosok berlumur darah di bawah yang ternyata adalah seorang perempuan. Raut wajahnya hampir tidak bisa dikenali karena di sana-sini banyak dibercaki darah.

"Bagaimana dengan jejak si nenek tua bangka itu?!" tanya Maladewa.

"Sejauh ini kami belum mendapatkan jejaknya! Kau tahu sendiri, nenek itu hanya kami kenali ciri-cirinya saja tanpa kami kenali wajahnya. Itu salah satu kesulitan kami dalam mencari jejaknya!" Yang angkat bicara menyahut adalah Dadaka.

"Tapi kau tak usah cemas! Kami berdua akan tetap mencari di mana jejak si nenek itu sekaligus jejak Galaga! Aku menduga kedua orang ini bersatu dan sembunyi pada satu tempat!" sahut Kigali.

"Berapa lama waktu yang kalian butuhkan untuk membawa kedua orang itu mati atau hidup ke hadapanku?!"

"Yang kami hadapi bukan orang sembarangan! Jadi kami tak bisa tentukan batas waktunya!" ujar Dadaka.

"Benar Maladewa! Apalagi saat ini rimba persilatan sedang geger dengan banyaknya tokoh yang terbunuh secara misterius! Kami harus bertindak hati-hati agar tidak sampai dicurigai!" sahut Kigali seraya memandang berkeliling.

Maladewa untuk kesekian kalinya memandang satu persatu pada kedua laki-laki dihadapannya. "Kalian telah katakan bisa membawa orang-orang yang kuinginkan dalam waktu tidak lama. Kini ucapan kalian berbalik! Katakan saja kalau kalian tidak mampu!" kata Maladewa dengan suara agak keras.

Dadaka dan Kigali tampak sama gelengkan kepala. "Kami berdua telah ambil risiko dengan berani lakukan apa yang kau ucapkan! Bagi kami itu adalah taruhan nyawa! Kalau kami merasa tidak mampu, apa mungkin kami berani lakukan ini?!" kata Dadaka.

“Benar..." sahut Kigali. "Apalagi kini mulai tercium bahwa terbunuhnya tokoh-tokoh rimba persilatan ada kaitannya dengan penghuni Kampung Setan ini! Dan tersiar pula kalau Maladewa adalah salah seorang yang tersisa dari penghuni Kampung Setan! Maka dari itu kami harus selalu waspada agar tidak sampai diketahui kalau kami berdua adalah orang-orang suruhanmu!"

Sesaat Maladewa tampak terdiam. Diam-diam laki-laki ini membatin dalam hati. "Jika benar bahwa apa yang kulakukan telah tercium beberapa orang, maka kedua orang ini pun harus segera mampus! Jika tidak, aku khawatir keduanya akan berkhianat dengan sebarkan berita! Jika itu terjadi, Kampung Setan akan menjadi bulan-bulanan kalangan rimba persilatan seperti yang pernah terjadi pada beberapa puluh tahun silam! Dan itu berarti kebangkitan Kampung Setan tidak akan terwujud! Kembang Darah Setan memang telah ku genggam. Dan dengan Kembang Darah Setan di tanganku, rasanya tidak sulit menghadapi manusia-manusia yang hendak menghalangi bangkitnya penguasa Kampung Setan, tapi aku tidak menginginkan hal itu terjadi saat ini! Setidaknya sebelum tua bangka itu dan Galaga tewas!"

Berpikir begitu, pada akhirnya Maladewa berkata. "Dadaka, Kigali! Sesuai dengan kesepakatan, sebenarnya kalian saat ini harus sudah membawa dua orang yang kuinginkan. Aku masih berbaik hati pada kalian! Tapi aku tak mau kalau kalian tidak bisa memberi batasan waktu padaku untuk membawa dua orang itu!"

"Maksudmu?!" tanya Dadaka seraya lempar kerlingan pada Kigali.

"Kalian kuberi waktu sampai delapan hari di muka! Jika sampai hari itu kali in tidak juga berhasil, kalian tahu bukan apa yang harus kalian lakukan?!"

"Maladewa! Rasanya waktu yang kau berikan terlalu sempit jika harus membawa dua orang itu! Dengan tersebarnya berita di kalangan dunia persilatan tentang siapa sebenarnya Galaga, pasti Galaga akan coba sembunyi sejauh mungkin!" ucap Kigali.

"Persetan sembunyi sejauh mana jahanam itu! Yang jelas kalian berdua telah menerima imbalan dalam laksanakan hal ini! Dan seharusnya kalian bersyukur aku telah memperpanjang dari waktu yang kalian janjikan!"

Maladewa pandangi satu persatu orang di hadapannya dengan tatapan angker. Lalu teruskan ucapan. "Delapan hari di muka itulah waktu untuk kailan berdua! Dan kalian ingat, delapan hari adalah sisa umur kalian berdua kalau kalian tidak berhasil membawa dua orang yang kuinginkan!"

Kigali melangkah mendekat pada Dadaka lalu berbisik. "Perkiraan kita meleset! Berarti kita harus laksanakan rencana sekarang juga! Jika tidak, nyawa kita pasti melayang terlebih dahulu! Kita tidak mungkin menemukan dua orang yang diinginkannya dalam waktu delapan hari!"

Dadaka anggukkan kepala. Lalu melangkah mendekat ke arah Maladewa dengan bibir sunggingkan senyum. "Maladewa! Kami telah berani lakukan keinginanmu yang berarti kami juga telah siap serahkan nyawa! Maka dari itu, dalam waktu delapan hari ini kami akan mencari dua orang itu! Jika tidak berhasil, kami dengan suka rela akan serahkan nyawa masing-masing padamu!"

Habis berkata begitu, tanpa diduga sama sekali oleh Maladewa, kedua tangan Dadaka bergerak lepas satu pukulan ke arah Maladewa yang berdiri hanya dua langkah dihadapannya. Maladewa tersentak. Dia masih coba mengelak selamatkan diri dengan tarik kepalanya. Namun tak urung dadanya terhantam tangan kanan Dadaka.

Bukkk!

Sosok Maladewa terjajar dua langkah. Belum sempat orang ini membuka gerakan, Kigali telah berkelebat dan hantamkan tangan kiri kanan. "Jahanam!" maki Maladewa. Kedua tangannya diangkat menghadang pukulan yang datang. Namun bersamaan dengan itu Dadaka sudah merangsek maju sambil kirimkan satu tendangan.

Bukk! Bukkk! Desss!

Maladewa masih sanggup menghadang kedua tangan Kigali. Namun tendangan yang dilepas Dadaka tak bisa dielakkan, hingga tanpa ampun lagi sosoknya terjengkang di atas hamparan batu.

"Jangan beri kesempatan tangannya mengambil Kembang Darah Setan!" bisik Kigali.

Belum sampai ucapan Kigali selesai, Dadaka sudah sentakkan kedua tangannya ke depan. Dua gelombang dahsyat saat itu juga menggebrak deras ke arah Maladewa. Kigali tidak tinggal diam. Kedua tangannya serentak juga lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi ke arah Maladewa.

Maladewa sejenak hendak selinapkan tangan kanannya ke balik pakaiannya di mana tersimpan Kembang Darah Setan. Namun gelombang yang menggebrak sudah berada setengah depa di depannya. Hingga mau tak mau Maladewa harus segera urungkan niatnya untuk mengambil Kembang Darah Setan. Sebaliknya dia segera menghadang gelombang yang datang dengan sentakkan kedua tangannya.

Blammm! Blammm!

Terdengar ledakan keras. Sosok Maladewa yang terhantam di batu mencelat jauh ke belakang. Sementara sosok Dadaka dan Kigali hanya terhuyung-huyung sejenak. Namun kedua orang ini rupanya tidak mau memberi kesempatan pada Maladewa. Begitu sosok Maladewa mencelat, keduanya cepat lipat gandakan tenaga dalam lalu hampir berbarengan keduanya berkelebat mengejar sosok Maladewa. Kedua orang ini sengaja berpencar. Datang menyongsong Maladewa dari sebelah kanan dan kiri.

Maladewa tampak gertakkan rahang. Dia segera bangkit dengan tangan sudah menyelinap ke balik pakaiannya. Namun belum sampai tangannya mengeluarkan Kembang Darah Setan, sosok Dadaka dan Kigali telah tegak di sebelah kanan kirinya! Seolah tidak mau didahului tangan kanan Maladewa yang hendak keluarkan Kembang Darah Setan, Dadaka dan Kigali langsung lepaskan tendangan kaki masing-masing.

Maladewa sesaat bimbang. Kalau dia teruskan niat ambil Kembang Darah Setan, maka tak ampun lagi tendangan orang akan menghantam tubuhnya. Di satu sisi, kalau dia urungkan niat ambil Kembang Darah Setan, mungkin masih dapat menghadang datangnya tendangan. Karena berpikir bahwa masih dapat membendung tendangan orang dan dengan demikian masih punya kesempatan mengambil Kembang Darah Setan, pada akhirnya Maladewa urungkan niat ambil Kembang Darah Setan. Sebaliknya segera sentakkan tangan kanan kirinya ke samping kanan dan kiri menghadang tendangan orang.

Bukkk! Bukkk!

Perhitungan Maladewa tidak meleset. Kedua ten-dangan yang datang dari samping kanan kiri berhasil dihadang meski sosoknya harus terseret ke belakang dengan kedua tangan mental balik. Namun perhitungan Maladewa tidak seluruhnya benar. Karena bersamaan dengan mentalnya kaki Dadaka dan Kigali terhadang kedua tangan Maladewa, Dadaka dan Kigali serta-merta sentakkan tangan masing-masing lepas pukulan!

Maladewa terkesiap. Kalau datangnya pukulan dari satu arah mungkin masih bisa dihadang. Namun datangnya pukulan kali ini justru dari dua jurusan. Ini membuat Maladewa sedikit kebingungan. Menghadang keduanya pasti akan membuat dirinya cedera parah, menghadang salah satunya, pasti pukulan satunya dengan telak akan menghantam tanpa bisa dielakkan lagi! Pada puncak kebingungannya, akhirnya Maladewa mengambil keputusan menghadang kedua pukulan dengan sentakkan kedua tangannya ke samping kanan kiri.

Blaar! Blarr!

Terdengar dentuman hebat tatkala pukulan Dadaka dan Kigali bertemu dengan pukulan Maladewa. Karena harus mengimbangi dua pukulan, maka begitu terdengar ledakan, sosok Maladewa mencelat sebelum akhirnya terkapar dengan menghantam gundukan batu makam di tengah tempat terbuka itu. Darah tampak mengucur deras dari mulutnya yang megap-megap.

Sementara sosok Dadaka dan Kigali sama jatuh terduduk. Karena masih khawatir Maladewa hendak keluarkan Kembang Darah Setan, kedua orang ini cepat beranjak bangkit. Kigali memberi isyarat. Lalu berkelebat ke arah altar batu tidak jauh dari makam itu. Di lain pihak, Dadaka cepat hantamkan kedua tangannya. Hingga saat itu juga dua gelombang dahsyat menghampar deras ke arah Maladewa yang coba bangkis. Tangan kanan Maladewa ternyata telah berhasil keluarkan Kembang Darah Setan, hingga sambil bergerak bangkit, tangan kanannya diangkat. Lalu disentakkan begitu telinganya mendengar deruan gelombang datang ke arahnya.

Wuuutt!

Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih berkiblat. Gelombang yang keluar dari kedua tangan Dadaka serta-merta ambyar di tengah jalan. Malah saat itu juga sosok Dadaka mencelat dan jatuh terjengkang. Namun bersamaan dengan bergeraknya tangan kanan Maladewa, Kigali yang berada di atas batu altar jejakkan kakinya pada bagian tengah batu altar. Bersamaan itu, kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh. Terjadi satu keanehan. Begitu kaki Kigali menjejak bagian tengah batu altar, tiba-tiba makam batu di belakang Maladewa bergerak-gerak. Saat lain makam batu itu secara aneh membuka! Hingga tepat di belakang Maladewa tampak lobang menganga besar!

"Keparat! Dia tahu rahasia makam batu ini!" desis Maladewa dengan mata melirik pada Kigali. Maladewa hendak sentakkan Kembang Darah Setan kembali. Namun karana baru saja menghadang pukulan Dadaka, maka gerakannya sudah sangat terlambat. Hingga belum sampai tangannya bergerak, gelombang yang datang dari pukulan Kigali telah melabrak!

Sesaat sosok Maladewa tampak bergoyang-goyang. Namun saat lain sosoknya mental ke belakang. Karena di belakangnya adalah lobang makam yang telah terbuka, maka tak ampun lagi sosok Maladewa terjerambab masuk ke dalam lobang makam! Dalam keadaan seperti itu, dengan luar biasa Maladewa masih mampu bertahan. Hingga meski sosoknya terbanting menghantam dinding lobang sebelah dalam, tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan masih mampu menggapai ke bagian samping atas lobang.

Kesempatan ini tak disia-siakan Dadaka yang telah berhasil kuasai diri serta sudah tegak kerahkan tenaga dalam. Hingga begitu melihat tangan kanan Maladewa berusaha menggapai bagian atas lobang, Dadaka cepat berkelebat. Kigali tidak tinggal diam. Dia cepat pula membuat gerakan. Sosoknya serta-merta melesat ke arah makam batu yang telah terbuka. Hampir bersamaan, tangan Dadaka dan Kigali tampak berkelebat menyambar Kembang Darah Setan yang berada di tangan kanan Maladewa yang berusaha mencari pegangan.

Wuutt! Wuuutt!

Maladewa rupanya masih merasa apa yang hendak dilakukan kedua orang di luar makam batu. Hingga dengan gerakan kilat, dia segera tarik tangan kanannya ke bawah. Hal ini membuat sambaran tangan Dadaka dan Kigali hanya menyambar udara kosong, namun tindakan Maladewa ini berakibat amblas masuknya sosok Maladewa ke dalam makam batu!

"Terlambat!" desis Dadaka seraya cepat tarik pulang tangan dan tubuhnya.

Di sebelahnya, Kigali cepat pula membuat gerakan tarik pulang tangan dan tubuhnya karena bersamaan masuknya sosok Maladewa, secara aneh makam batu yang terbuka menutup kembali.

Blammm!

Terdengar debuman dahsyat saat lobang makam tertutup kembali. Satu sambaran angin luar biasa keras menghampar. Hingga tubuh Dadaka dan Kigali mental beberapa tombak ke belakang dan jatuh berlutut. Dari mulut Dadaka dan Kigali tampak bercakan darah. Tubuh masing-masing orang tampak bergetar keras. Wajah keduanya pias. Jelas kalau kedua orang ini telah terluka bagian dalam. Selain akibat bentrok pukulan dengan Maladewa, juga karena sambaran angin dahsyat yang mencuat dari menutupnya lobang makam batu.

Beberapa saat berlalu. Perlahan-lahan Dadaka yang sejenak tadi coba himpun tenaga dalam berpaling pada Kigali. Terlihat Kigali juga masih coba kuasai diri namun telah buka kelopak matanya.

"Kigali!" kata Dadaka dengan suara agak tersendat dan bergetar. Tanda dia sepenuhnya dapat kuasai diri. "Bagaimana sekarang?! Apa kita hancurkan makam batu itu?!"

Kigali gelengkan kepala. "Percuma, Dadaka! Kalaupun kita berhasil membongkar makam itu, kita hanya akan serahkan nyawa. Karena Kembang Darah Setan masih berada di tangan Maladewa!"

"Hem... Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?!"

"Menyingkir dari tempat ini!"

"Hem... Hanya begitu saja?!"

"Apa boleh buat, Dadaka! Nyawa kita selamat saja sudah untung! Dan aku yakin, Maladewa tidak akan selamat!"

Dadaka menyeringai. "Aku akan bongkar makam batu itu! Kita sudah mati-matian berusaha! Kalau pada akhirnya hanya begini saja, usaha kita percuma!"

"Jangan bertindak gegabah, Dadaka! Kau tahu sendiri. Makam batu itu bukan makam biasa! Sambaran menutupnya saja sudah bisa membuat kita terluka! Aku hanya memberi peringatan. Kalau kau hendak lakukan silakan! Tapi aku tidak akan ikut-ikutan! Aku harus segera tinggalkan tempat ini!"

Habis berkata begitu, Kigali bergerak bangkit. Dan perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu. Dadaka sejurus pandangi makam batu di depan sana. Laki-laki ini bergerak bangkit. Ada kebimbangan pada raut wajahnya. Dan entah karena percaya pada ucapan Kigali, pada akhirnya perlahan-lahan Dadaka putar diri lalu melangkah mengikuti Kigali.

BAB 8

BEBERAPA saat setelah Dadaka dan Kigali tinggalkan tempat yang dalam rimba persilatan dikenal dengan Kampung Setan, satu sosok putih tiba-tiba berkelebat dan tegak hanya dua langkah dari makam batu di mana Maladewa baru saja amblas masuk. Sosok putih ini ternyata adalah seorang perempuan berusia amat lanjut mengenakan pakaian putih. Seluruh wajahnya telah mengeriput. Rambutnya putih dan jarang. Sesaat nenek ini buka kelopak matanya tetapi makam batu dihadapannya. Namun bersamaan dengan itu tiba-tiba terdengar suara membentak.

"Dadaka! Kigali! Kalian manusia-manusia jahanam yang berani bertindak bodoh! Nyawa kalian berdua akan kukejar dan ku cabut perlahan-lahan! Tapi hal itu tak akan kalian alami asal kalian mau keluarkan aku dari sini!"

Suara itu terdengar seperti dari tempat yang sangat jauh dan dalam. Suara itu terdengar terbata-bata dan bergetar. Karena tak ada sahutan, sesaat kemudian terdengar lagi suara.

"Dadaka! Kigali! Kalian berdua adalah sahabat-sahabatku! Kalau kalian inginkan Kembang Darah Setan, benda ini akan kuberikan pada kalian! Lekas keluarkan aku dari tempat celaka ini!"

"Maladewa! Percuma kau berteriak. Sahabat-sahabatmu itu telah pergi dari sini!" Yang buka mulut perdengarkan suara adalah si nenek yang berada di sebelah makam batu. Suara nenek ini berat parau dan seolah diperdengarkan dari setiap celah julangan-julangan batu karang yang berjajar memagari makam batu.

Sesaat tidak ada sahutan. Yang terdengar justru suara dengusan keras. Namun tak lama kemudian, terdengar suara dari dalam makam batu. "Nek! Kaukah yang di luar?!"

"Betul, Maladewa!"

"Nek! Kuharap kau mau keluarkan aku dari tempat jahanam ini!"

Si nenek gelengkan kepala seolah orang yang diajak bicara berada di hadapannya serta dapat melihat gerakan tubuhnya. "Menyesal sekali, Maladewa! Aku tidak bisa berbuat banyak! Kau tahu sendiri. Makam ini baru terbuka jika julangan batu nomor satu, nomor tiga, dan nomor tiga belas dihancurkan! Dan aku tak bisa lakukan itu!"

"Tapi setidaknya kau bisa memberi udara padaku..."

"Itu baru bisa jika julangan batu karang nomor satu dihancurkan! Dan aku sekali lagi tak bisa lakukan itu!"

"Jahanam! Lalu mengapa kau datang?!"

"Maladewa... Sebenarnya aku hendak menyadarkan dirimu! Tapi melihat apa yang terjadi, kurasa kedatanganku akan percuma!"

"Nek... Sekarang aku sadar! Aku telah berbuat kurang ajar padamu! Kembang Darah Setan akan kuberikan padamu lagi! Tapi keluarkan aku dari tempat ini!"

"Kau telah dengar ucapanku, Maladewa! Aku tidak bisa melakukannya!"

"Nek! Apa susahnya kalau hanya menghancurkan batu karang itu?!"

"Memang tidak susah... Tapi seberapa tinggi ilmu yang dimiliki orang, tidak mungkin bisa hancurkan batu karang itu!"

"Omong kosong! Mengapa kau memberi alasan yang tak masuk akal?!"

"Terserah padamu untuk percaya apa tidak, Maladewa! Yang jelas, julangan batu karang itu baru bisa hancur pada tiga belas ribu tiga puluh tiga hari mendatangi itu pun harus dilakukan pada malam ketiga belas purnama ketiga!"

"Setan! Aku tidak percaya dengan semua itu!"

Si nenek tertawa. "Sudah kukatakan. Terserah padamu untuk percaya atau tidak. Yang jelas aku tidak bisa melakukan itu saat ini! Karena meski kulakukan, aku merasa yakin tidak akan berhasil!"

Sesaat tidak lagi terdengar suara dari dalam makam batu. Tapi beberapa saat kemudian, Maladewa sudah perdengarkan suara lagi. Kali ini suaranya sangat rendah, hingga kalau bukan orang yang memiliki tingkat pendengaran yang tajam, tentu tidak akan mendengarnya.

"Nek... Carilah jalan lain... Ku mohon padamu agar kau keluarkan aku dari sini! Aku akan sabar menunggu sampai datangnya saat upacara penyerahan! Malah kalau kau masih kecewa dengan sikapku tempo hari, aku rela seluruh warisan leluhur Kampung Setan kau miliki!"

"Maladewa! Usiaku sudah lanjut. Warisan leluhur ini sudah tidak ada artinya bagiku! Dan aku juga menyesal tidak bisa menolongmu! Jadi kuharap kau bersabar menerima kenyataan ini. Kau telah berlaku kurang waspada pada orang! Dan kau harus siap menerima buahnya!"

"Nek! Dengan terkuburnya diriku, bukankah kebangkitan Kampung Setan tidak akan terjadi?! Apa kau tidak merasa kecewa?!"

Si nenek sesaat menarik napas panjang. Lalu berkata. "Maladewa! Sebenarnya aku ikut menyesal. Tapi apa boleh buat. Semuanya sudah terjadi. Tentang kebangkitan Kampung Setan, sebenarnya itu adalah tugas yang harus kau lakukan! Tapi karena kau telah terjerumus, kurasa kecewa setinggi langit pun tak ada gunanya!"

"Nek... Kau tega melihat cucumu mati terpendam di tempat terkutuk ini?!"

"Ini bukan masalah tega atau tidak, Maladewa! Seandainya aku bisa, aku akan menolongmu meski aku tidak percaya benar dengan janji ucapanmu!"

"Nek..."

"Maladewa!" potong si nenek sebelum Maladewa teruskan ucapannya. "Percuma kau terus memohon! Yang kuharap sekarang, bersabarlah! Percayalah bahwa kau akan bertahan sampai ada orang yang kelak menolongmu dari sini! Karena tempat itu dibuat khusus. Orang tak mungkin mati begitu saja meski terpendam di dalamnya berpuluh-puluh tahun! Malah kalau kau bisa memanfaatkan keadaan, kelak kau akan jadi manusia disegani begitu bisa keluar!"

"Nek! Tiga belas ribu hari bukan waktu pendek! Kalaupun aku bisa bertahan hidup, siapa kelak yang akan mengeluarkan aku?! Kau mungkin sudah tidak ada!"

"Kau tidak boleh kecil hati, Maladewa! Ingat, kau adalah generasi dari Kampung Setan! Kalau nasibmu baik, pasti ada seseorang yang kelak menolongmu!"

"Nek...! Rasanya aku tidak bisa tahan hidup di tempat ini! Kuharap kau bisa lakukan sesuatu untukku!"

Tidak ada sahutan. Maladewa kembali perdengarkan suara. "Nek! Kau masih berada di luar bukan?!"

Meski sebenarnya si nenek masih tegak di samping makam batu, namun nenek ini tidak buka suara menyahut. Malah begitu Maladewa ajukan tanya, perlahan-lahan si nenek melangkah mundur.

"Nek! Kau masih berada di luar?!" Maladewa berteriak keras.

Si nenek tetap tidak menyahut. Dia terus melangkah mundur. Sejarak kira-kira lima tombak, si nenek balikkan tubuh, lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Mendapati suaranya tidak ada yang menyahut, Maladewa berteriak keras-keras. Namun setelah agak lama dan tidak ada suara yang menyahut, akhirnya Maladewa hentikan teriakannya sambil memaki panjang pendek.

Hanya sesaat setelah si nenek berkelebat pergi dan Maladewa hentikan teriakannya, dari balik salah satu lamping julangan batu karang, tampak keluar satu kepala! Kepala ini bergerak mengikuti arah berkelebatnya si nenek. Begitu sosok si nenek tidak kelihatan lagi, kepala ini bergerak menghadap makam batu. Ternyata kepala ini milik seorang laki-laki. Usianya masih muda. Rambutnya panjang hitam dan lebat. Sepasang matanya tajam. Pada kedua cuping hidungnya tampak melingkar anting-anting dari benang berwarna merah.

"Hem... Apa ucapan nenek tadi bisa dipercaya?! Tiga belas ribu hari. Hem... Waktu yang terlalu lama untuk menunggui. Rasanya percuma kalau menunggu sampai saat itu datang! Aku jadi tidak berminat lagi dengan Kembang Darah Setan yang selama ini banyak dibicarakan orang! Tapi hal ini akan kubicarakan dengan adikku Kiai Laras. Siapa tahu dia sabar menanti..."

Habis bergumam begitu, laki-laki ini perlahan-lahan keluar dari lamping julangan batu karang. Kepalanya berputar menyiasati keadaan. "Kiai Laras pasti akan sabar menunggu saat itu! Dan jika dia nanti memang berhasil, saat itulah aku baru bertindak! Ha Ha Ha...! Aku tidak mau berlaku ceroboh. Kalau orang bernama Maladewa itu bertahan hidup, pasti akan menjelma sebagai manusia sakti. Aku tak mau ambil risiko! Biar Kiai Laras yang lakukan semua ini! Aku nanti tinggal menangguk hasilnya..."

Laki-laki yang kedua cuping hidungnya dihias dengan anting-anting dari benang warna merah ini sekali lagi arahkan pandang matanya pada makam batu. Saat lain dia balikkan tubuh lalu berkelebat pergi mengambil arah berlawanan dengan si nenek.

********************

BAB 9

KITA kembali pada Datuk Wahing dan Pendekar 131. Berlari kira-kira seratus tombak, Datuk Wahing berhenti. Lalu enak saja kakek ini duduk menjeplok di atas tanah dengan punggung bersandar pada batangan pohon randu yang baru tumbuh dan banyak bertebaran di tempat itu. Pendekar 131 Joko Sableng ikut-ikutan duduk bersandar tidak jauh dari tempat Datuk Wahing. Dan seolah tidak sabar, begitu duduk bersandar, Joko segera buka mulut.

"Kek! Harap kau segera memberi keterangan padaku tentang Kembang Darah Setan dan hubunganmu dengan makhluk yang sebutkan diri sebagai Setan Liang Makam itu!"

"Bruss! Bruss! Sabar, Anak Muda! Beri kesempatan padaku untuk menarik napas! Aku sudah tua. Berlari jauh membutuhkan tenaga yang tidak sedikit buat manusia tua macam aku ini!" ujar Datuk Wahing meski wajah kakek ini sama sekali tidak membayangkan kelelahan. Justru murid Pendeta sinting yang sekujur tubuhnya telah basah oleh keringat dan dadanya bergerak turun naik dengan keras. Datuk Wahing memandang berkeliling. Lalu tak lama kemudian dia mulai perdengarkan suara.

"Anak muda! Kuharap kau nanti tidak memotong keteranganku..."

Murid Pendeta Sinting tidak memberi sahutan. Dia hanya memandang seraya angkat bahu. Datuk Wahing melirik. Setelah bersih dua kali. Kakek ini mulai menceritakan kejadian tiga puluhan tahun silam di Kampung Setan yang telah dituturkan sebelum ini. Habis bercerita panjang lebar, Datuk Wahing bersin beberapa kali dan diam untuk beberapa lama. Pada akhirnya Datuk Wahing berpaling pada murid Pendeta Sinting sambil berkata.

"Anak muda! Hanya sekelumit itulah yang kuketahui tentang Kampung Setan serta Kembang Darah Setan!"

"Kek! Mendengar penuturanmu serta menghubungkannya dengan apa yang saat ini tengah terjadi, apa tidak salah dugaanku jika Setan Liang Makam itu adalah Maladewa?!"

'Bruss! Brusss! Kau boleh saja menduga, Anak Muda! Tapi aku tidak berani memberikan kepastian salah benarnya dugaanmu! Kau tentu bisa menentukannya sendiri..."

"Kek! Menurut yang pernah kudengar, kau berada di balik pembunuhan beberapa tokoh rimba persilatan saat itu! Berarti kalau dihubungkan dengan keteranganmu, kau adalah salah satu orang yang disuruh Maladewa untuk mencari jejak Galaga dan neneknya. Apa hal itu benar?!" tanya Pendekar 131 tatkala teringat akan keterangan Kiai Laras pada pertemuannya beberapa saat lalu.

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting yang terus terang menuduh, bukan membuat Datuk Wahing menjadi berang. Sebaliknya kakek ini tertawa panjang lalu berkata. "Aku tidak membela pada diri sendiri, Anak Muda! Dan kau jangan heran. Dunia yang kita hadapi adalah dunia persilatan. Fitnah dan saling hasut bukan barang baru lagi! Jadi terserah padamu bagaimana penilaianmu padaku..."

Murid Pendeta Sinting sesaat terdiam mendengar jawaban Datuk Wahing. Tak lama kemudian dia berkata lagi. "Kek! Apa selama ini antara kau dan Kiai Laras punya silang sengketa...?!"

"Bruss! Bruss! Sekali lagi, aku tidak membela diri apalagi membuat aku baik di matamu. Tapi adalah mengherankan kalau sampai aku membuat permusuhan apalagi silang sengketa dengan orang lain..."

Murid Pendeta Sinting pandangi orang di hadapannya dengan seksama. Kini kembali dia teringat akan peristiwa yang tengah dialaminya. Hingga tak lama kemudian dia angkat bicara.

"Kek! Sekarang katakanlah aku tak ambil peduli siapa sebenarnya manusia yang sebutkan diri Setan Liang Makam itu. Yang ku herankan, mengapa dia meminta Kembang Darah Setan padaku!"

"Bruss! Bruss! Anak muda! Kau tak akan merasa heran jika simak ucapanku tadi! Bukankah sudah kubilang. Fitnah dan saling hasut bukan barang baru lagi dalam rimba persilatan! Dan kalau kau merasa difitnah, inilah saatnya kau menyelidik!"

"Kek! Menurutmu bagaimana dengan nenek yang sebutkan diri Dayang Sepuh?!"

"Bruss! Bruss! Kau akan tambah heran kalau minta pertimbangan padaku, Anak Muda! Karena dihadapanku, semua orang adalah baik!"

"Hem... Jika demikian, aku sependapat denganmu seperti yang kau ucapkan beberapa hari lalu. Bahwa ada orang yang melakonkan diriku!"

"Jangan membuat kepastian. Anak Muda! Itu akan menimbulkan hal-hal yang lebih mengherankan! Jalan terbaik bagimu adalah menyelidiki"

Habis berkata begitu, Datuk Warung bergerak bangkit. Murid Pendeta Sinting ikut beranjak berdiri. Sebelum Joko angkat bicara, Datuk Wahing telah mendahului. "Anak muda! Kiranya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan..." Datuk Wahing putar diri. Kakinya hendak bergerak melangkah. Tapi tiba-tiba kakek ini urungkan gerakan kakinya. Sebaliknya angkat bicara.

"Anak muda... Waktu kau muncul tadi, aku heran melihat tampangmu. Apa memang kau tidak menemukan gadis cantik itu?!"

Joko menghela napas sebelum akhirnya berkata. "Benar, Kek! Aku kehilangan gadis itu! Padahal masih banyak yang hendak kutanyakan padanya!"

"Bruss! Bruss! Anak muda. Kalau mau ikut saran ku, jangan kau banyak bertanya untuk menghadapi urusan ini! Semakin banyak tanya, kau akan makin heran! Dan itu akan membuatmu salah langkah!"

Pendekar 131 hendak angkat bicara. Namun diurungkan tatkala melihat si kakek telah berkelebat dan tahu-tahu sosoknya telah berada jauh di depan sana.

"Orang tua aneh... Dari penuturan keterangannya, dia kurasa masih sembunyikan sesuatu padaku! Sayang aku tak dapat menebak apa yang disembunyikan itu. Hanya saja kalau benar Setan Liang Makam adalah Maladewa, aku bisa menduga kalau dia sebenarnya adalah murid si nenek itu! Hem... Tapi kalau Setan Liang Makam bukan si Maladewa...?!"

Murid Pendeta Sinting tidak bisa jawab pertanyaannya senderi. Dia mendongak. "Aku memang harus segera menyelidik! Aku juga harus segera menemukan jejak Eyang Guru! Urusan ini rupanya tidak hanya terhenti sampai pada diriku semata. Karena Setan Liang Makam telah coba mencari Eyang Guru..."

Murid Pendeta Sinting perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu. Namun baru saja kakinya bergerak lima tindak, dia dikejutkan dengan terdengarnya suara orang batuk-batuk beberapa kali. Laksana disentak tangan setan, kepala Joko cepat berpaling. Memandang ke arah depan, sepasang mata Joko sempat membeliak besar. Enam tombak dari tempatnya berdiri terlihat satu sosok tubuh tegak dengan kedua tangan merangkap di depan dada. Orang ini tidak hadapkan wajahnya ke arah murid Pendeta Sinting meski jelas dari isyarat batuknya menandakan agar orang menghadap dan memandang ke arahnya.

BAB 10

ORANG yang tegak dengan kedua tangan merangkap di muka dada adalah seorang perempuan. Rambutnya sangat tipis bahkan hampir bisa dikatakan plontos. Nenek ini mengenakan pakaian putih. Meski Joko tidak bisa dengan jelas melihat raut wajahnya, karena orang ini tetap hadapkan wajah ke jurusan lain, namun murid Pendeta Sinting sedikit banyak bisa menduga kalau wajah nenek ini telah mengeriput.

Karena kedua tangannya yang merangkap di depan dada tampak ringkih. Hanya Pendekar 131 sedikit merasa heran. Suara batukan tadi yang jelas diperdengarkan oleh si nenek sangat berat dan menggetarkan! Satu tanda siapa pun orang yang perdengarkan, tentu memiliki tenaga dalam luar biasa. Belum sampai murid Pendeta Sinting dapat menduga siapa gerangan adanya si nenek, orang ini telah angkat bicara.

"Manusia Muda! Benarkah kau pemuda yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131?!"

Joko terkesiap. Bukan hanya karena pertanyaan orang, namun suara yang diperdengarkan si perempuan amat berat! Dan seolah-olah diperdengarkan dari segala jurusan!

"Dari pertanyaannya, mungkin ini masih ada hubungannya dengan urusan yang tengah kuhadapi! Hem... Inilah saatnya aku mulai menyelidiki" Joko membatin dalam hati. Lalu setelah kuasa diri murid Pendeta Sinting buka suara.

"Bukan satu kali ini orang salah menduga padaku! Kalau aku boleh tanya, apakah wajahku memang sama dengan orang yang baru kau tanyakan?!"

Jawaban Joko membuat orang di seberang depan mau tak mau harus gerakkan kepala menghadap murid Pendeta Sinting. Dan ternyata dugaan Joko tidak meleset. Paras wajah si perempuan ternyata memang telah dihias dengan keributan. Masih ditambah dengan sepasang matanya yang menjorok masuk ke dalam rongga yang sangat dalam. Hingga raut wajah nenek ini menakutkan! Dilingkari kepalanya yang hampir tidak ditumbuhi rambut membuat sosok si nenek bukan hanya menakutkan namun juga angker!

Mungkin untuk memperjelas pandang matanya, begitu kepalanya bergerak menghadap ke arah Joko, si nenek membuat gerakan satu kali. Sosoknya tiba-tiba melesat dan tegak enam langkah di depan murid Pendeta Sinting yang tergagu diam. Begitu injakkan sepasang kakinya di depan Joko, sepasang mata si nenek cepat perhatikan sosok pemuda di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Meski agak ngeri dengan pandangan mata si nenek, Joko tersenyum-senyum dengan mata melirik memperhatikan keadaan si nenek. Hingga untuk beberapa saat kedua orang ini saling memperhatikan satu sama lain. Bedanya kalau si nenek memandang dengan sepasang mata melotot angker, Joko mengawasi dengan mata melirik.

"Bagaimana, Nek?!" tanya Joko setelah agak lama. "Apa tampangku memang mirip dengan orang yang kau tanyakan tadi?!"

Yang ditanya tidak menyahut. Kalaupun tak lama kemudian buka suara, bukannya menjawab pertanyaan orang, melainkan balik ajukan tanya.

"Manusia Muda! Kau murid Pendeta Sinting, bukan?"

"Hem... Nek! Bukan kau saja yang menduga demikian padaku! Kalau kau bisa memberi jawaban atas pertanyaanku yang pertama tadi, tentu kau pun akan mendapat jawaban pasti dari pertanyaanmu yang kedua...! Agar kau tidak lupa. Ku ulangi pertanyaanku yang pertama tadi. Apakah tampangku mirip Pendekar Pedang Tumpul 131?!"

"Manusia Muda! Aku tak tahu apa wajahmu mirip atau tidak! Yang jelas dari ciri-cirinya aku hampir yakin kau adalah Pendekar 131!"

Murid Pendeta Sinting tersenyum dengan gelengan kepala. "Nek... Jangan lupa. Ciri orang bisa sama, tapi beda manusianya! Dan kadang-kadang, ciri orang berbeda, tapi sama manusianya!"

Ucapan Joko rupanya membuat si nenek agak jengkel. Hingga begitu Joko selesai berucap, si nenek telah menyambut dengan suara keras. "Persetan dengan ucapanmu yang terbalik-balik itu! Yang pasti aku yakin kau adalah Pendekar 131!"

"Baiklah kalau demikian dugaanmu. Kalau seandainya aku Pendekar 131, ada sesuatu yang hendak kau utarakan?!" tanya Joko.

"Hanya ada satu pertanyaan, Manusia Muda! Jawablah dengan jujur dan jangan banyak berprasangka! Apakah benar kau yang berhasil mendapatkan Kembang Darah Setan?!"

Joko tertawa panjang sebelum akhirnya angkat suara. "Seandainya pun aku Pendekar 131, maka aku akan menjawab bahwa tidak benar kalau Kembang Darah Setan berhasil kudapatkan! Jangankan mendapatkan, melihat pun belum pernah!"

"Kau tidak berdusta?!"

"Kalau berdusta tidak ada untungnya, mengapa harus kulakukan?!"

"Baik! Aku pegang ucapanmu. Tapi ingat, Manusia Muda! Kelak jika kau berkata dusta, saat itulah ajalmu sampai!"

Habis berkata begitu, si nenek balikkan tubuh. Tapi Joko cepat berkelebat dan tegak menghadang, "Nek! Aku telah jawab pertanyaanmu. Sekarang aku juga ingin kau jawab satu pertanyaanku! Harap kau juga berkata jujur dan tidak menaruh prasangka! Siapa kau sebenarnya?!"

Si nenek pentangkan matanya. Namun tampaknya dia enggan jawab pertanyaan Joko karena sejauh ini dia hanya memandang dengan mulut terkancing rapat.

"Nek! Kalau kau tidak mau jawab pertanyaanku, maka kau tidak bisa pegang ucapanku tadi! Jadi seandainya kelak ternyata ucapanku tadi dusta, kau tidak bisa seenaknya saja menentukan saat tibanya ajal ku!"

"Hem... Begitu?! Baik. Dengar, Manusia Muda! Aku adalah Nyai Suri Agung!"

"Nek! Bukan itu yang kumaksud! Yang kutanyakan siapa kau sebenarnya! Bukan siapa namamu!"

Si nenek yang baru katakan namanya Nyai Suri Agung tertawa pendek. Lalu berkata. "Siapa pun manusianya yang tanya begitu, maka dia tidak akan mendapat jawaban apa-apa! Malah kalau memaksa, itu adalah takdir buruk baginya! Kau dengar?!"

"Hem... Berarti aku masih punya pertanyaan satu lagi! Karana kau membatalkan pertanyaanku tadi! Dari raut wajahmu, aku menduga kau masih ada hubungannya dengan Setan Liang Makam. Harap kau mau katakan apa hubunganmu dengan Setan Liang Makam!" kata Joko meski dalam hati dia berkata sendiri. "Kau tadi merasa yakin kalau aku adalah Pendekar 131. Sekarang aku pun balas mengatakan kau mirip dengan Setan Liang Makam!"

Sejenak Nyai Suri Agung mengernyit. Lalu berkata. "Manusia Muda! Meski kau duga demikian, perlu kau tahu! Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan manusia yang namanya baru kau sebut! Malah aku belum pernah bertemu dengannya!"

"Hem... Kau berkata jujur?!"

Nyai Suri Agung melotot angker. "Kalau aku tidak sedang menyelidik dan melibatkan dirimu, sudah kugebuk mulutmu!" bentak si nenek lalu membuat satu gerakan. Sosoknya tiba-tiba telah melesat dan di lain saat telah lenyap jauh di depan sana!

"Satu lagi orang aneh yang muncul!" gumam murid Pendeta Sinting. Entah merasa ragu masih ada orang lagi, sebelum melangkah pergi, Pendekar 131 putar pandangannya berkeliling. Dan merasa tidak ada orang lagi, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

********************

Pendekar 131 Joko Sableng celingukan sebentar. Lalu arahkan pandangan matanya pada sebuah kedai di depan sana. Setelah mendapat keterangan dari Datuk Wahing dan menimbang-nimbang, akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan untuk penyelidikan dari kedai. Seperti diketahui, di kedai itulah Joko sempat jumpa dengan seorang nenek yang sebutkan diri sebagai Dayang Sepuh. Dan menurut Dewi Seribu Bunga di kedai ini pula si gadis berjumpa dengan Joko. Padahal murid Pendeta Sinting merasa tidak pernah bertemu dengan Dewi Seribu Bunga di kedai.

Karena hal itulah pada akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan mulai penyelidikan dari kedai. Setelah lakukan perjalanan semalam dua hari, murid Pendeta Sinting sampai di tempat tidak jauh dari kedai di mana beberapa saat yang lalu dia bertemu dengan Dayang Sepuh. Pendekar 131 sengaja menunggu sampai suasana kedai agak sepi seraya memperhatikan dengan seksama beberapa orang yang keluar masuk kedai.

"Meski aku tidak bisa dengan jelas membedakan raut wajahku dengan orang, tapi rasanya belum ada orang yang mirip denganku. Anehnya bagaimana Dewi Seribu Bunga bisa mengatakan bertemu aku di kedai itu?! Malah hendak memperkosanya...?! Sialan betul! Menyentuh saja tidak, malah dituduh hendak memperkosa! Hem... Keterangan orang tua pemilik kedai itu mungkin bisa membuka benar tidaknya ucapan Dewi Seribu Bunga!"

Setelah dilihat keadaan kedai agak sepi, perlahan-lahan Pendekar 131 melangkah ke arah kedai. Dia sejenak hentikan langkah di pintu kedai dengan mata memperhatikan ke dalam. Hanya ada beberapa orang. Namun tak ada yang dikenal apalagi wajahnya mirip dengannya.

Sementara itu melihat ada orang hendak masuk ke dalam kedai, orang tua pemilik kedai yang wajahnya dikenali murid Pendeta Sinting buru-buru melangkah mendekat. Namun tiba-tiba orang tua ini hentikan langkahnya. Sepasang matanya memandang tak berkedip. Saat lain mulutnya telah membuka perdengarkan suara seraya tertawa.

"Aku... Aku tidak lupa... Kau pasti anak muda yang beruntung itu..."

Yang disapa tidak menyahut. Dia hanya memandang lalu sebelum si orang tua pemilik kedai mempersilakan, Joko sudah melangkah. Bukan mencari tempat duduk, melainkan mendekati si pemilik kedai dan berbisik sambil pegangi lengan orang.

"Orang tua! Terima kasih kau tidak lupa padaku! Aku datang tidak perlu untuk makan atau minum! Aku..."

Si orang tua pemilik kedai sesaat tampak tersentak kaget. Dia buru-buru berkata memotong ucapan Joko. "Anak muda... Silakan makan dan minum. Aku tidak akan menarik bayaran..."

"Harap dengar ucapanku dulu. Orang Tua! Aku datang tidak perlu makan atau minum! Aku butuh keterangan darimu!"

Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting menarik pemilik kedai ke bangku di sebelah pojok. Orang tua itu tampak gugup. Wajahnya berubah tegang malah tubuhnya bergetar.

"Orang tua! Harap kau jujur memberi keterangan padaku!" kata Joko begitu mereka berdua duduk di bangku paling pojok.

Si pemilik kedai memandang takut-takut sambil anggukkan kepala. Dari keningnya keringat sudah mengalir deras. Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil gelengkan kepala.

"Orang tua! Tak usah takut... Aku hanya minta kau memberi keterangan apa adanya!"

Walau si orang tua anggukkan kepala, tapi jelas sekali kalau wajahnya masih membayangkan rasa ketakutan. Bahkan untuk imbangi getaran tubuhnya, orang tua ini sengaja berpegangan pada bangku di bawahnya.

"Orang tua... Setelah kepergianku bersama nenek berdandan menor tempo hari itu, apakah ada seorang gadis cantik mengenakan pakaian warna merah muncul di sini? Rambutnya dikuncir, kulitnya putih...!"

Si orang tua yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya dia menatap pada orang yang bertanya dengan dahi berkerut. Diam-diam dalam hati orang tua ini berkata. "Aneh... Bagaimana dia bertanya begitu? Apa dia lupa? Atau anak ini bercanda? Atau jangan-jangan dia punya penyakit pikun..."

Karena agak lama yang ditanya tidak memberi ja-waban, Joko buka suara lagi. "Orang tua! Aku telah bertanya. Harap kau menjawab! Dan jangan lupa, jawab dengan apa adanya!"

"Anak muda... Setelah kepergianmu, memang ada gadis yang cirinya seperti kau katakan itu..."

"Hem... Lalu apakah ada pemuda yang muncul setelah itu?! "

Si pemilik kedai pandangi murid Pendeta Sinting dengan tatapan heran. Namun buru-buru anggukkan kepala saat dilihatnya Joko hendak buka mulut lagi menegur karena yang ditanya belum juga memberi jawaban.

"Kau bisa terangkan ciri-ciri pemuda yang muncul setelah kedatangan gadis berbaju merah itu?!"

Mendengar ucapan Joko, perlahan-lahan ketegangan di wajah orang tua pemilik kedai sirna. Malah tak lama kemudian, orang tua ini sudah tersenyum. Tapi sejauh ini belum memberi jawaban. Orang tua ini rupanya menduga jika si pemuda sedang mengajaknya bercanda. Karena dia tahu betul, pemuda yang muncul setelah kedatangan si gadis baju merah adalah pemuda yang kini ada di hadapannya dan sedang bertanya!

"Orang tua! Aku bertanya. Mengapa kau tersenyum?!" tanya Joko.

"Anak muda... Kau tidak sedang mengajakku bercanda, bukan?!"

"Orang tua! Dengar, aku tidak sedang bercanda! Aku bertanya, bagaimana ciri-ciri pemuda yang muncul setelah kedatangan gadis berbaju merah itu!"

Meski masih merasa heran dengan pertanyaan orang, tapi pada akhirnya si orang tua menjawab juga. "Anak muda... Aku tak bisa menerangkan panjang lebar bagaimana ciri-ciri pemuda itu. Karena pemuda itu adalah kau sendiri!"

Murid Pendeta Sinting tersentak. Sepasang matanya mendelik pandangi orang tua di hadapannya. "Orang tua! Harap kau mengatakan dengan jujur!"

"Aneh... Kau ini aneh, Anak Muda! Untuk apa aku mendustaimu?! Kau telah berjasa menolongku membawa nenek itu dari sini! Lalu kau datang lagi tidak berapa lama. Karena kita sudah sepakat tentang imbalan. Dan menurutku, saat itu kaulah anak manusia yang punya rezeki besar. Selain mendapat imbalan, kau juga pergi membawa gadis cantik itu..."

"Orang tua! Kau tidak salah melihat orang?!" tanya murid Pendeta Sinting seolah ingin yakinkan ucapan orang.

"Anak muda... Usia kadangkala memang mengurangi ketajaman penglihatan orang. Tapi dalam hal ini aku tak mungkin salah lihat! Apalagi kau muncul tidak berapa lama setelah kepergianmu membawa si nenek yang berdandan mencolok itu!"

"Apa kau mendengar percakapan antara si gadis dengan pemuda itu?!"

"Sayang sekali, Anak Muda. Aku tidak terbiasa mencuri dengar perbincangan orang! Apalagi yang sedang bercakap-cakap adalah seorang gadis dan seorang pemuda! itu hanya akan membuatku ingin kawin lagi..." Si orang tua pemilik kedai sudah berani tertawa keras dan panjang.

Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa lama. Dia arahkan pandangan matanya ke halaman kedai dengan sesekali menarik napas panjang.

"Anak muda... Wajahmu berubah! Boleh tahu apa yang terjadi?!"

Murid Pendeta Sinting tidak menjawab pertanyaan orang. Bahkan berpaling pun tidak. Si pemilik kedai tersenyum. "Anak muda... Aku sudah pernah kawin tujuh kali. Kau tahu... Jika aku tertarik lagi dengan seorang perempuan, kadang-kadang aku lupa pada diriku sendiri! Dan aku juga lupa apa yang pernah kulakukan! Jatuh cinta memang bisa membuat orang lupa segalanya!"

"Orang tua! Apa setelah itu pemuda yang bersama gadis baju merah pernah muncul lagi di sini?!"

"Pernah...!"

"Kapan?! Dia datang bersama siapa?!" sahut Joko dengan cepat.

"Dia datang sendirian! Munculnya waktu kau bertanya ini!"

"Busyet!" maki Pendekar 131 dalam hati. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia beranjak bangkit. Lalu melangkah tinggalkan ruangan kedai.

"Tunggu, Anak Muda!" tahan si pemilik kedai. "Aku merasa ada yang tak beres dengan pertanyaan-pertanyaanmu! Kau bisa menjelaskan?! Siapa tahu aku bisa membantu! Kau telah pernah menolongku. Tak ada salahnya kalau sekarang aku membantumu."

Joko hentikan langkah. Lalu balikkan tubuh menghadap si orang tua. Sepasang matanya memandang tajam. "Orang tua! Kalau kau memang mau membantu, tolong jawab sekali lagi pertanyaanku. Kau benar-benar melihat bahwa aku yang datang saat itu?!"

"Aku tak mungkin salah!"

Murid Pendeta Sinting sejurus masih menatap pada si orang tua. Lalu balikkan tubuh dan teruskan langkah meninggalkan kedai. Si orang tua pemilik kedai pandangi sosok murid Pendeta Sinting hingga lenyap di luar sana. Kepalanya menggeleng. "Kasihan... Jangan-jangan pemuda itu akan hilang ingatan! Dia sudah tidak ingat lagi pada apa yang pernah dilakukan. Pada dirinya sendiri! Hem... Nyatanya penyakit asmara lebih berbahaya dari penyakit lainnya... Mudah-mudahan aku tidak jatuh cinta lagi..."

Tidak jauh dari kedai, pada tempat agak sepi, murid Pendeta Sinting hentikan langkah. "Berarti ucapan Dewi Seribu Bunga benar! Dan ini berarti pula memang ada manusia yang memerankan sebagai diriku! Kalau Setan Liang Makam tiba-tiba meminta Kembang Darah Setan padaku, berarti jelas jika manusia yang memerankan sebagai diriku itulah yang telah mendapatkan Kembang Darah Setan! Yang sekarang jadi pertanyaan, siapa dia?! Bagaimana mungkin rupanya tidak beda dengan rupa ku?!"

Benak Pendekar 131 terus didera pertanyaan. Hingga dia sampai tidak ingat berapa lama dia berada di tempat itu. Dia baru sadar tatkala perlahan-lahan suasana berubah temaram. Ketika dia memandang ke jurusan barat, ternyata matahari sudah satu tombak di atas bentangan kaki langit.

********************

BAB 11

SUDAH berapa lama Lasmini duduk di atas hamparan rumput itu sambil memikirkan apa yang baru saja dialami. Dia sekarang dalam keadaan bimbang tentang apa sebaiknya yang harus dilakukan. Dia tidak berhasil menemukan Pendeta Sinting di Jurang Tlatah Perak. Sementara mencari orang macam Pendeta Sinting bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kini dia telah berjumpa dengan Setan Liang Makam dan Datuk Wahing. Walau belum benar-benar bentrok, tapi Lasmini cukup maklum kalau kedua orang itu memiliki tingkat ilmu yang lebih tinggi.

Dan melihat kemunculan keduanya di Jurang Tlatah Perak, jelas keduanya punya urusan penting meski sejauh ini Lasmini tidak tahu urusan sebenarnya. Dan hal itu sudah cukup bagi Lasmini untuk tidak ingin terlibat lagi dengan ikut serta mencari Pendeta Sinting. Karena akan membuatnya secara tidak langsung akan terlibat bentrok dengan Setan Liang Makam dan Datuk Wahing.

"Sementara waktu lebih baik aku menemui Saraswati..." Akhirnya Lasmini memutuskan.

Seperti diketahui, Saraswati adalah anak perempuan Lasmini dengan Panjer Wengi. (Lebih jelasnya tentang hubungan antara Lasmini dengan Saraswati dan Panjer Wengi, si-lakan baca serial Joko Sableng dalam episode Misteri Tengkorak Berdarah)

Belum sampai Lasmini bergerak bangkit, mendadak perempuan ini sadar kalau di tempat itu dia tidak sendirian. Lasmini cepat palingkan kepala ke samping kanan. Dugaannya tidak meleset. Matanya menangkap satu sosok berkelebat ke jurusan timur. Tanpa menunggu lama, Lasmini segera beranjak bangkit lalu sekali membuat gerakan, sosoknya telah melesat ke arah berkelebatnya sosok yang baru saja ditangkap pandangan mata Lasmini.

"Tunggu!" teriak Lasmini begitu sosok yang dikejar telah terlihat di depan sana.

Orang di depan tidak pedulikan teriakan Lasmini. Dia terus saja berkelebat. Lasmini jadi curiga. Seraya mengejar perempuan ini berteriak.

"Kalau kau terus lari, jangan menyesal kalau kakimu kupatahkan!"

Mendengar ancaman orang, orang di depan sana tiba-tiba hentikan larinya. Orang ini membuat gerakan berputar hingga sosoknya menghadap Lasmini yang buru-buru hentikan larinya meski jaraknya dengan orang yang dikejar kira-kira lima belas langkah. Begitu orang di depan balikkan tubuh, Lasmini tampak tersentak kaget. Kalau saja dia tidak segera sadar, tentu dia akan segera menghambur ke depan. Malah saat itu juga mulutnya sudah menyebut sebuah nama. Untung Lasmini segera maklum dan cepat-cepat katupkan mulutnya dengan mata dipentang besar-besar.

Lasmini tidak tahu jelas siapa adanya orang itu. Yang pasti dia adalah seorang laki-laki berusia agak lanjut. Dan yang lebih pasti lagi, seandainya pada cuping kedua hidung orang itu mengenakan anting-anting dari benang warna merah, tentu saja Lasmini dengan tepat dapat menebak siapa adanya si laki-laki. Anehnya, orang di depan sana hanya putar sebentar tanpa buka suara. Dia seolah hanya ingin unjuk tampang pada orang. Setelah itu dia putar tubuh lagi dan enak saja melangkah teruskan jalan.

"Wajahnya persis dengan Kiai Lidah Wetan! Siapa dia?! Sikapnya mencurigakan! Di sana tadi pasti dia selalu memperhatikan tingkah ku. Dan tidak... Dia sengaja balikkan tubuh hanya untuk agar aku melihatnya..."

Merasa penasaran, Lasmini akhirnya mengejar. Orang di depan sana tampaknya sengaja melangkah perlahan-tahan dan seakan-akan tidak merasa sedang dikejar orang. Malah ketika Lasmini berkelebat dan tiba-tiba telah tegak menghadang dihadapannya, laki-laki ini tidak unjukkan sikap kaget. Bahkan bibirnya sunggingkan senyum lalu berkata mendahului.

"Ada yang membuatmu heran, Sobat?!"

Lasmini kancingkan mulut dengan mata membeliak besar pandangi orang di hadapannya dengan seksama. Dia kini percaya, kalau seandainya orang di hadapannya mengenakan anting-anting dari benang pada kedua cuping hidungnya, pasti dia tak bisa membedakan mana yang Kiai Lidah Wetan sesungguhnya!

"Kiai Lidah Wetan tidak pernah cerita padaku kalau punya saudara! Jadi mungkin ini satu kebetulan aku bertemu dengan orang yang wajahnya mirip dengan Kiai Lidah Wetan..." Lasmini diam-diam membatin dalam hati. "Tapi mengapa dia tadi berada di..."

Belum sampai Lasmini teruskan kata hatinya, orang di hadapannya telah buka suara lagi. "Sobat! Apa yang membuatmu memandangku begitu rupa?! Ada yang salah dengan diriku?!"

Tanpa sadar, Lasmini buka mulut menggumam. "Wajahmu..."

Laki-laki di hadapan Lasmini tertawa. "Kenapa wajahku?! Mengingatkan kau pada seseorang?! Atau wajahku menakutkan?!"

"Kau kenal dengan seorang bernama Kiai Lidah Wetan?!"

"Namanya saja baru kudengar sekarang..." jawab orang yang ditanya.

Lasmini terdiam. Laki-laki di hadapannya melirik, lalu angkat bicara.

"Harap kau tidak menaruh dugaan buruk padaku. Aku tadi kebetulan lewat di sana. Kulihat kau sedang tenggelam berpikir, hingga aku urungkan niat untuk menyapamu. Aku menunggu agak lama, tapi rupanya kau sedang terlibat dalam urusan penting hingga tak menghiraukan kehadiranku di sekitar tempat kau tadi berada. Aku tadi sebenarnya hendak tanyakan sesuatu padamu. Tapi takut mengagetkan mu dan mungkin akan menambah keruwetan pikiranmu, aku putuskan untuk pergi..."

Entah karena apa, tiba-tiba Lasmini ajukan tanya. "Apa yang hendak kau tanyakan padaku?!"

Orang yang ditanya gelengkan kepala. "Aku tidak mau menambah keruwetan pikiranmu! Sebaiknya aku akan membantumu kalau kau bersedia mengatakan apa yang kini jadi urusanmu..."

Karena memang sedang dilanda kebimbangan, Lasmini segera saja utarakan apa yang kini sedang di-alaminya. Dia buka mulut berkata. "Beberapa saat yang lalu aku jumpa dengan seorang laki-laki tua. Tangan kanannya memegang tongkat. Dia sering bersin-bersin. Kau tahu siapa adanya orang itu?!"

"Ah... Kau beruntung. Karena aku mengenali orang yang baru saja kau katakan! Kalau tidak salah, dia adalah seorang tokoh rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Datuk Wahing...!"

"Hem.... Berarti orang ini juga salah seorang tokoh. Buktinya dia mengetahui siapa adanya orang tua yang baru saja disebutnya dengan Datuk Wahing!" Lasmini diam-diam membatin.

"Kau tahu hubungan antara Datuk Wahing dengan seorang yang sebutkan diri sebagai Setan Liang Makam?!" Lasmini ajukan tanya lagi.

Kali ini yang ditanya gelengkan kepala. Malah keningnya tampak berkerut. Dan tak lama kemudian dia balik bertanya pada Lasmini. "Mengapa kau tanyakan hubungan antara Datuk Wahing dengan Setan Liang Makam?"

"Aku hanya ingin tahu..." ujar Lasmini tidak mau berterus terang.

"Kalau kau menanyakan Setan Liang Makam, aku dapat menduga jika kau pernah bertemu dengan ma-usia itu. Betul?!"

Mungkin agar tidak dipandang sebelah mata oleh orang, Lasmini berkata. "Dia adalah sahabatku..."

"Kalau dia sahabatmu, aku makin bisa menebak apa yang tengah kalian lakukan! Setidaknya apa yang dilakukan oleh sahabatmu itu!"

"Hem... Rupanya orang ini tahu banyak tentang urusan orang!" kata Lasmini dalam hati. Lalu berkata. "Aku ingin tahu apa tebakanmu tepat!"

"Pasti saat ini tengah mencari Pendeta Sinting atau muridnya! Pemuda yang dikenal dengan Pendekar Pedang Tumpul 131!"

Lasmini tampak tak bisa sembunyikan rasa kejutnya mendengar ucapan laki-laki di hadapannya. Sementara laki-laki di hadapan Lasmini yang bukan lain adalah Kiai Laras alihkan pandang matanya ke jurusan lain dengan bibir sunggingkan senyum.

"Boleh aku tahu?!" tanya Kiai Laras. Pandangannya masih ke arah lain. "Apakah kalian berhasil jumpa dengan orang yang kalian cari?!"

Dari raut muka Lasmini rupanya Kiai Laras sudah bisa membaca kalau tebakannya tidak meleset. Malah dia pun seakan sudah tahu jawaban apa yang akan didengar dari mulut Lasmini. Karena sikap Lasmini yang tenggelam dalam pikirannya sendiri saat dilihatnya di padang rumput tadi, sudah cukup bagi Kiai Laras untuk menduga-duga.

"Aku belum menemukan Pendeta Sinting atau muridnya!" kata Lasmini setelah agak lama terdiam.

Kiai Laras tertawa perlahan. "Sobat! Untuk saat-saat sekarang ini percuma kau mencari Pendeta Sinting!"

"Bagaimana bisa begitu?!"

"Kau tentu telah mendengar peristiwa besar di Kedung Ombo! Saat peristiwa itu terjadi, Pendeta Sinting terluka parah. Saat ini dia tengah dirawat untuk pulihkan keadaannya!"

"Kau tahu di mana dia sekarang berada?!" tanya Lasmini seraya melompat dan tegak lima langkah di hadapan Kiai Laras.

Kiai Laras gelengkan kepalanya. "Aku tahu di mana. Tapi Jangan tanya padaku di mana tempat itu! Aku tak mau nantinya ikut terlibat dalam urusan sesama orang persilatan!"

"Kau tak usah khawatir terlibat dalam urusan ini! Ini urusanku dengan Pendeta Sinting dan si jahanam muridnya itu! Harap katakan padaku di mana orang itu berada!"

Kiai Laras gelengkan kepala. "Lebih baik kau tanya seribu hal, asal jangan kau tanyakan tempat di mana Pendeta Sinting berada!"

"Hem... Kalau begitu berarti kau akan terlibat urusan denganku!" ujar Lasmini seraya tertawa pendek.

Kiai Laras pasang tampang terkejut. "Sobat! Aku tak mau terlibat urusan dengan siapa pun!"

Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh. Tapi pada saat bersama Lasmini sudah melompat dan tegak menghadang di depan Kiai Laras.

"Urusanku dengan Pendeta Sinting begitu besar! Aku tidak mau orang lain mendahuluiku! Jadi apa pun akan kulakukan untuk mendapatkannya! Kuharap kau mengerti maksudku!"

"Ah... Tahu begini akhirnya, aku tadi menyesal berbicara denganmu!" ujar Kiai Laras dengan nada rendah. Meski kepala orang ini menghadang ke jurusan lain namun sepasang matanya melirik pada Lasmini yang tegak di hadapannya.

Lasmini tersenyum. Lalu bertanya. "Kau ada hubungan apa dengan Pendeta Sinting? Saudara seperguruan? Saudara pertalian darah?!"

Kiai Laras untuk kesekian kalinya gerakkan kepala menggeleng. "Aku dengannya hanya sebatas sebagai sahabat!"

"Apa kau merasa kehilangan kalau pendeta sialan itu mampus?!"

"Sobat! Persoalannya bukan merasa kehilangan atau tidak! Tapi terus terang aku merasa tidak enak! Apalagi jika nantinya tersiar kabar bahwa akulah yang menunjukkan tempat di mana dia berada!"

"Hem... Begitu? Sekarang kau tinggal pilih dua jalan! Kau tunjukkan di mana beradanya jahanam itu dan aku akan merahasiakan semua ini, atau kau tetap bungkam namun saat ini juga kau akan berurusan denganku!"

Kiai Laras terdiam beberapa lama. Sementara Lasmini dongakkan kepala menunggu jawaban. "Bagaimana?!" tanya Lasmini setelah agak lama menunggu.

"Sobat! Kau mau berjanji untuk merahasiakan pertemuan ini?!"

Lasmini tertawa panjang. "Aku bukan orang baik-baik. Tapi janji adalah gantungan nyawa bagiku! Aku bersumpah akan merahasiakan pertemuan ini!"

Kiai Laras pandangi orang seakan ingin yakinkan ucapan yang baru diperdengarkan orang. Setelah menghela napas dalam dan putar kepala, dia berkata. "Pergilah ke utara. Carilah sebuah bukit bernama Kalingga. Pada ramping bukit itu ada sebuah goa! Di sanalah Pendeta Sinting dirawat..."

Selesai berkata, Kiai Laras kembali putar kepala. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun sebelum sosok Kiai Laras benar-benar berkelebat, Lasmini telah rentangkan kedua tangannya, membuat Kiai Laras tahan gerakannya. Sebelum Kiai Laras berucap, Lasmini telah buka suara.

"Aku tak mau pencarian ku sia-sia! Dan aku pun tak mau ditipu orang!"

"Aku tidak menipumu! Bahkan sebenarnya aku merasa menyesal katakan semua ini!"

Lasmini tersenyum. "Bagaimana aku bisa percaya kau tidak menipuku?!"

"Lalu apa maumu?!" tanya Kiai Laras dengan suara agak keras.

"Aku belum pernah mendengar nama Bukit Kalingga! Untuk membuktikan bahwa kau tidak menipuku, kau harus ikut bersamaku!"

"Gila! Kau terlalu banyak permintaan, Sobat! Seharusnya kau sudah berterima kasih padaku!"

"Siapa pun bisa mengarang cerita seperti yang baru kau katakan! Apakah untuk hal begitu dan belum tentu benarnya, aku harus berucap terima kasih?!" Lasmini tertawa.

"Kau telah telanjur tunjuk tempat! Kau harus bisa buktikan padaku! Kalau kau tidak mau, jelas ucapanmu tadi dusta! Dan itu harus mendapatkan ganjaran!"

Kiai Laras tergagu diam mendengar kata-kata Lasmini. Saat lain kepala laki-laki ini menggeleng. "Tidak kuduga kalau urusan ini akan jadi panjang! Dan tahukah kau, bahwa dengan ikut serta bersamamu berarti malapetaka bagiku?!"

"Kau tak usah khawatir! Kau hanya perlu tunjukkan tempatnya! Kau tidak usah ikut masuk!"

"itu masih membahayakan bagiku! Kalau sampai..."

"Kau membuatku habis kesabaran!" sergah Lasmini memotong ucapan Kiai Laras. "Aku sekarang tanya padamu. Kau mau ikut serta atau tidak?!"

"Kau memberi pilihan sulit padaku! Padahal aku telah memberikan keterangan berharga..."

"Keterangan tidak ada harganya kalau belum dibuktikan benar tidaknya!"

"Baiklah... Aku akan ikut bersamamu! Tapi aku hanya bisa mengantarmu sampai samping bukit. Dan harap jangan minta yang lebih dari itu! Karena kau tadi telah berbalik lidah!"

Lasmini lagi-lagi tertawa mendengar ucapan Kiai Laras. "Aku bukannya berbalik lidah! Aku hanya tidak mau ditipu orang!"

"Kau pandai bicara..." gumam Kiai Laras sambil alihkan pandangan.

"Rimba persilatan dipenuhi dengan ucapan-ucapan dusta dan kebohongan! Kalau kita tak pandai-pandai bicara, kita akan tertelan ucapan dusta orang! Sekarang kita berangkat!"

Kiai Laras tidak segera penuhi ucapan Lasmini. Laki-laki ini tetap tegak tidak membuat gerakan apa-apa.

"Kau dengar ucapanku, bukan?!" tanya Lasmini mulai geram.

"Aku bukan hanya dengar ucapanmu, tapi juga melihat adanya orang lain di sekitar tempat ini!"

Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh setengah lingkaran. Kepala lurus menghadap ke satu arah. Saat bersamaan mulutnya perdengarkan suara.

"Siapa pun kau adanya, harap keluar!" Ucapan Kiai Laras belum selesai, satu sosok tubuh melesat keluar dari balik tanah agak tinggi dan tegak tujuh langkah di hadapan Kiai Laras.

BAB 12

ORANG yang baru muncul ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian hitam-hitam. Rambutnya panjang lebat diikat. Sepasang matanya bulat tajam. Hidungnya mancung dengan kumis tipis. Lasmini tampak tercekat. Sesaat sepasang mata perempuan ini membelalak besar. Saat lain tangan kanannya bergerak menunjuk pada pemuda berkumis tipis yang baru saja muncul. Saat yang sama mulutnya membuka.

"Kau..." Hanya ucapan itu yang bisa diucapkan Lasmini. Kejap lain sosoknya telah melompat ke depan dan tegak dua langkah di hadapan si pemuda berkumis tipis.

"Saraswati..." desis Lasmini. Kedua tangannya merentang.

Pemuda berkumis tipis yang dipanggil Saraswati tidak menyahut. Sebaliknya menubruk Lasmini lalu memeluknya erat-erat. Untuk beberapa lama kedua orang ini saling peluk cium tanpa ada yang buka suara. Di sebelah samping, Kiai Laras memperhatikan dengan dahi berkerut.

"Aku gembira bisa bertemu denganmu di sini, Saraswati... ibu sudah lama ingin mencari dan bertemu denganmu..."

"Aku pun sudah lama mencari kabar di mana ibu berada.." ujar Saraswati. Lalu pemuda berkumis tipis ini tarik kepalanya dari dekapan Lasmini yang bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri. (Tentang hubun-gan antara Saraswati dan Lasmini harap baca serial Joko Sableng dalam episode Misteri Tengkorak Berdarah)

Saraswati melirik sejenak pada Kiai Laras. Lalu perlahan-lahan menarik lengan ibunya untuk menjauh. Meski merasa sedikit heran, namun Lasmini tidak mencegah tindakan Saraswati. Dia menurut saja ditarik menjauh.

"Ibu... Aku tadi sempat mendengar percakapan dengan orang tua itu. Siapa dia sebenarnya?!" tanya Saraswati yang seperti masa lalu, tetap menyamar sebagai seorang pemuda berkumis tipis dan mengenakan pakaian hitam-hitam, pakaian yang biasanya dipakai oleh seorang laki-laki.

Lasmini sesaat bingung. Dia belum mengenal benar siapa Kiai Laras. Bahkan dia tadi belum sempat tanya siapa nama Kiai Laras. Namun karena tak mau mengecewakan anaknya, Lasmini menjawab.

"Kau tak usah curiga, Anakku... Dia adalah sahabat Ibu...!"

"Mengapa Ibu mengajaknya mencari tempat Pendeta Sinting?!" tanya Saraswati dengan berbisik.

"Saraswati... Kau tak usah ikut campur urusan Ibu!"

"Aku tidak ikut campur... Aku hanya curiga..."

"Saraswati... Lupakan itu semua! Sekarang katakan pada ibu. Di mana kau berdiam selama ini?!"

"Aku tinggal tidak jauh dari istana Hantu. Kira-kira lima puluh tombak dari Istana Hantu ke jurusan selatan. Pada sebuah rumah tua..."

"Kau tinggal dengan siapa?!"

"Selama ini sendirian. Tapi kadang-kadang Ayah berkunjung..."

Wajah Lasmini tampak berubah. Dadanya berdebar keras. Saraswati rupanya dapat menangkap apa yang membuat paras ibunya berubah.

"Ibu... Kuharap Ibu bisa melupakan peristiwa yang telah berlalu. Lebih dari itu, aku ingin hidup bersama dengan Ibu. Untuk itulah selama ini aku mencari kabar di mana Ibu berada..."

"Saraswati... Telah bertahun-tahun kita hidup berpisah! Seperti halnya dirimu, aku pun ingin bersatu denganmu. Tapi..."

"Ibu... Demi anakmu, kuharap Ibu melupakan apa yang pernah terjadi! Dan saat ini juga kuharap Ibu mau ikut serta denganku..."

Lasmini gelengkan kepalanya perlahan. "Saraswati... Mengucapkan memang lebih mudah daripada melakukan! Kau tahu, Anakku… Selama ini Ibu sudah mencoba untuk melupakan apa yang pernah terjadi! Tapi yang terjadi justru sebaliknya! Setiap kali aku mencoba, setiap kali pula wajah jahanam-jahanam itu terbayang di mataku!"

Saraswati memeluk kembali ibunya erat-erat. "Kalau Ibu masih memendam dendam, kapan akan berakhir semua ini? Kapan kita akan bisa berkumpul?!"

Lasmini menghela napas dalam. "Aku tak tahu, Anakku... Aku bahkan kadang-kadang menyesali hidup ini! Mengapa nasib kita begitu buruk? Mengapa kita harus hidup di tengah manusia-manusia yang pernah memporak-porandakan kebahagiaan kita! Mengapa kita harus hidup di samping orang-orang yang pernah menyebabkan kita berpisah bahkan tidak saling mengenal?! Mengapa?! Mengapa?!"

Suara Lasmini terdengar tersendat dan bergetar. "Ini gara-gara manusia jahanam-jahanam itu! Rasanya mati pun aku belum lega kalau belum bisa selesaikan urusan ini sampai tuntas!"

"Ibu... Ibu hanya akan memperdalam jurang pemisah ini! Semua sudah selesai..."

Lasmini gelengkan kepala. "Bagi mereka memang sudah selesai. Tapi bagi Ibu... Semua belum berakhir!"

"Ibu...." Sebelum Saraswati lanjutkan ucapannya, Lasmini telah menukas.

"Saraswati... Kita nanti bisa bicara panjang lebar! Sekarang kuharap kau pulang dan menungguku. Ibu masih harus selesaikan satu urusan! Tidak lama lagi Ibu akan menyusulmu..."

"Ibu... Kuharap Ibu mau urungkan niat untuk pergi bersama kakek itu..."

Lasmini tertawa perlahan. "Kau masih menaruh curiga pada orang... Dia adalah sahabat baik Ibu!"

"Ibu jangan berdusta padaku! Aku tadi sempat mendengar percakapan Ibu dengan kakek itu! Ibu mau mengajaknya mencari Pendeta Sinting bukan?!"

"Dia tahu di mana orang yang Ibu cari! Karena Ibu tak mau ditipu orang, apa salahnya Ibu mengajaknya ikut serta?!"

"Ibu terlalu percaya pada orang yang belum dikenal dengan baik!"

"Kalau dia menipu, nyawanya tidak akan lama!"

"Baiklah... Tapi kurasa Ibu tidak ada gunanya lagi mencari Pendeta Sinting! Itu hanya akan membuka urusan baru. Dan itu akan membawa kita untuk berpisah lagi! Apa Ibu tidak merasa kasihan dengan anakmu...?!"

"Saraswati... Ibu tidak membuka urusan baru! Ini urusan lama! Justru kalau urusan ini tidak diselesaikan, kelak di kemudian hari akan bisa memisahkan kita!"

"Mengapa Ibu berpikir demikian?! Apa karena pemuda murid Pendeta sinting itu?"

"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Saraswati... Dan kuharap kau melupakan pemuda jahanam itu!"

Kini paras wajah Saraswati yang tampak berubah. Lasmini rupanya dapat menangkap perubahan pada wajah anaknya. Lasmini sebenarnya hendak berkata. Namun sebelum ucapannya terdengar, dari seberang sana terdengar Kiai Laras telah berkata.

"Sobatku... Aku harus pergi sekarang. Aku tidak bisa menunggumu..."

"Tunggu!" tahan Lasmini. Perempuan ini lalu berbisik pada Saraswati. "Anakku. Kau pulang dahulu dan Ibu pasti akan menyusulmu..."

"Ibu... Untuk kali ini harap Ibu urungkan niat!"

"Hem... Kau takut karena Pendeta Sinting guru pemuda keparat itu?!"

Meski parasnya berubah, tapi Saraswati gelengkan kepala. "Persoalannya bukan itu, Ibu... Tapi aku merasa kakek itu berkata dusta!"

"Kau jangan menghalang-halangi karena kau tertarik dengan murid Pendeta Sinting! Ibu tahu itu, Saraswati. Jadi kuperingatkan sekali lagi, lupakan pemuda bangsat itu!"

Saraswati menarik napas panjang. "Persoalannya bukan itu, Ibu. Tapi..."

"Tapi apa...?!"

Saraswati tampak mengerling pada Kiai Laras sebelum berkata dengan suara amat pelan. "Aku tahu di mana Pendeta Sinting berada! Dan aku yakin bukan di bukit yang dikatakan orang tua itu!"

Mendengar ucapan Saraswati, Lasmini tertawa agak keras. "Kau jangan mengada-ada, Saraswati! Dan jangan kira aku tak tahu. Kau berdusta padaku hanya agar aku urungkan niat! Tidak, Anakku! Urusan ini harus selesai. Setelah itu kita hidup dengan bahagia. Tentunya setelah urusan dengan yang lainnya juga tuntas!"

"Ibu... Aku tidak berdusta padamu! Aku sempat jumpa dengan Pendeta Sinting. Dia memang dalam keadaan terluka! Tapi tempatnya bukan yang dikatakan orang tua itu! Aku akan tunjukkan padamu. Tapi dengan syarat..."

"Aku tidak bisa kau dustai, Anakku..." ujar Lasmini seraya mencium kening Saraswati. "Jaga dirimu baik-baik..."

Habis berkata begitu, Lasmini lepaskan pelukannya pada Saraswati. Perlahan-lahan perempuan ini melangkah mendekati Kiai Laras yang saat itu tengah memandang tajam pada Saraswati.

"Ibu...!"

Lasmini berpaling. Sepasang matanya mendelik tatkala melihat Saraswati hendak melangkah ke arahnya. Hingga Saraswati urungkan niat.

"Sobatku... Kalau anakmu masih merasa curiga, apa tidak sebaiknya dia diajak ikut serta?!" tanya Kiai Laras seraya memandang pada Lasmini yang sudah berada dihadapannya.

"Ini urusanku! Sekarang kita berangkat!" Lasmini sudah melangkah ke jurusan utara.

Tak lama kemudian Kiai Laras melompat dan sudah melangkah disamping Lasmini. "Aku tidak mendengar apa yang kalian perbincangkan! Tapi dari sikapnya, anakmu tadi punya prasangka jelek padaku. Hem... Nasibku hari ini tidak baik!"

"Manusia akan selamat jika berlaku hati-hati! Dan nasibmu akan lebih tidak baik kalau kau berani mendustai ku!"

Kiai Laras tidak menyahut. Sebaliknya laki-laki ini menyeringai dingin. Saat lain tiba-tiba Kiai Laras berkelebat seraya berkata. "Aku masih ada yang harus kulakukan! Kita harus cepat sampai!"

Lasmini tidak menunggu lama. Perempuan ini segera pula berkelebat mengikuti Kiai Laras yang berlari cepat menuju ke arah utara. Sementara jauh di belakang sana, Saraswati tampak pandangi sosok ibunya dengan dada turun naik.

"Ibu... Mengapa kau masih juga tak bisa lenyapkan perasaan dendam?! Dan mengapa kau cari urusan dengan Pendeta Sinting?! Bukankah kalau memang ingin selesaikan urusan harus dengan Pendekar 131?!"

Mengingat sampai di situ, tiba-tiba pemuda yang benarnya adalah seorang gadis ini menghela napas. "Pendekar 131. Mengapa aku tidak bisa melupakannya?! Di mana dia sekarang berada...?! Hem... Ibu tengah mencari jejak Pendeta Sinting. Aku harus mengikutinya. Siapa tahu di sana aku bisa jumpa dengannya..." Saraswati tidak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya cepat berkelebat karena dilihatnya sosok Ibunya dan Kiai Laras sudah hampir tidak kelihatan lagi.

Setelah menempuh perjalanan hampir setengah hari, Kiai Laras dan Lasmini sampai pada satu tempat yang banyak ditumbuhi jajaran pohon dan semak belukar. Memandang jauh ke depan, tampak sebuah bukit.

"Sobatku... Aku hanya bisa mengantarmu sampai di tempat ini!! ucap Kiai Laras.

Lasmini berpaling pada Kiai Laras. Namun cuma sejurus. Di lain saat dia arahkan pandangannya pada bukit di depan sana. "Apakah bukit itu yang kau maksud tempat persembunyiannya Pendeta Sinting?!"

"Benar! itulah Bukit Kalingga. Kau jalan memutar dari sebelah timur. Dari arah sana kau nanti akan menemukan sebuah goa!"

Entah termakan oleh ucapan Saraswati, tanpa berpaling hadapkan wajah pada Kiai Laras, Lasmini berucap. "Sebelum aku pergi ke sana, aku tanya sekali lagi padamu. Kau tidak berdusta?"

"Aku telah berani mengantarmu sampai di sini! Apakah itu masih belum cukup untuk membuatmu percaya?!"

"Hem... Bagaimana kalau kau ikut bersamaku?!"

"Sobatku! Kuharap kau pegang janjimu! Kita tadi telah sepakat. Bahkan kau telah mengatakan sendiri jika kau yang akan masuk sendirian!"

"Sebenarnya apa yang membuatmu takut?!"

"Ini bukan masalah takut, Sobat! Tapi urusan perasaan! Aku kenal baik dengan Pendeta Sinting. Sementara secara diam-diam aku menunjukkan di mana dia berada pada orang yang punya urusan maut! Kau tentu bisa merasakan bagaimana rasanya jika kau jadi aku!"

Lasmini tertawa pendek. "Baik! Aku akan pergi ke sana sendirian! Tapi ingat, kau jangan ke mana-mana sebelum aku kembali!"

Kiai Laras tampak terkesiap. "Urusanmu adalah hidup dan mati! Sementara orang tidak tahu kapan matinya! Aku khawatir..."

"Kau khawatir aku akan mati di sana dan tidak akan kembali?!" tanya Lasmini seraya tertawa. "Aku masih punya kekuatan kalau hanya membekuk jahanam Pendeta Sinting itu! Tunggulah di sini sampai aku kembali! Dan jangan coba-coba angkat kaki dari sini sebelum aku datangi"

Habis berkata begitu, Lasmini berkelebat menuju arah bukit di depan sana. Dan seperti ucapan Kiai Laras, Lasmini berkelebat memutar dari arah timur. Setelah agak lama mencari, pada satu tempat tiba-tiba Lasmini hentikan langkahnya tatkala sepasang matanya samar-samar menangkap sebuah lobang di lamping bukit. Lobang itu tidak begitu kelihatan karena di kanan kirinya diranggasi semak belukar. Sementara tidak jauh dari situ banyak berjajar pohon-pohon besar, hingga keadaannya agak temaram.

"Hem... Mungkin ini goa yang dimaksud..." desis Lasmini dengan mata dipentang besar-besar dan mulai melangkah mendekat

Dia melangkah dengan hati-hati dan mata melirik kian kemari. Tenaga dalamnya telah dikerahkan pada kedua tangannya. Lasmini hentikan langkah enam tindak ke depan mulut goa. Sejenak perempuan ini terlihat bimbang antara langsung menerobos masuk atau berteriak memberitahukan kedatangannya.

Belum sampai Lasmini memutuskan apa yangharus dilakukan, tiba-tiba semak belukar di sebelah kanan bergerak-gerak. Lasmini angkat kedua tangannya seraya berpaling. Memandang ke depan, dada Lasmini laksana disentak. Sepasang matanya mementang angker berkilat-kilat. Kedua tangannya yang terangkat bergetar keras. Saat bersamaan mulutnya mendesis.

"Kau...!"

Di seberang depan, di antara semak belukar, tegak seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan dilingkari ikat kepala warna putih. Lasmini tahu benar, bahwa pemuda yang tegak di seberang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng...!

S E L E S A I

Rahasia Kampung Setan

Serial Joko Sableng Dalam Episode Rahasia Kampung Setan

Cerita silat serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131


BAB 1

LAKSANA kesetanan, Setan Liang Makam terus berkelebat. Dia tidak pedulikan teriakan Lasmini. Namun bagaimanapun dia kerahkan segenap Ilmu peringan tubuh serta tenaga yang dimiliki, tetap saja tak mampu mengejar Datuk Wahing. Apalagi suara bersinan yang terus terdengar pantul-memantul membuat Setan Liang Makam sulit menentukan arah yang diambil Datuk Wahing. Hingga pada satu tempat, Setan Liang Makam hentikan larinya. Suara bersinan memang masih terdengar di sekitar tempat di mana dia berada, namun sosok Datuk Wahing tidak kelihatan laksana ditelan bumi.

"Pantulan Tabir!" desis Setan Liang Makam. "Manusia tadi memiliki Ilmu 'Pantulan Tabir'! Berarti dialah orang yang bisa memberi keterangan padaku!"

"Kenapa kau mengejarnya?!" satu suara terdengar. Ternyata Lasmini telah tegak di belakang Setan Liang Makam dengan mulut megap-megap.

Setan Liang Makam kancingkan mulut. Malah gerakkan kepala berpaling pun tidak. Dia tegak dengan kepala sedikit ditengadahkan dan mata setengah memejam. Manusia ini seolah masih tenggelam dalam rasa kecewa!

Seperti dituturkan dalam episode Geger Topeng Sang Pendekar, begitu dapat membunuh Dadaka yang ternyata adalah salah seorang yang mengubur Setan Liang Makam di makam batu, Setan Liang Makam teruskan perjalanan ke Jurang Tatah Perak tempat kediaman Pendeta Sinting, Eyang Guru Pendekar 131 dengan maksud mencari tahu di mana gerangan Joko Sableng yang diyakininya telah mengambil Kembang Darah Setan.

Namun begitu sampai di Jurang Tlatah Perak, bukannya Pendeta Sinting yang ditemui, melainkan Lasmini. Lasmini sendiri muncul ke Jurang Tlatah Perak atas anjuran Kiai Lidah Wetan, kekasihnya di masa muda. Entah karena apa Lasmini tiba-tiba mengambil keputusan menemui Kiai Lidah Wetan yang pada masa mudanya pernah dikhianati.

Dan entah karena apa pula, meski pernah disakiti dan muncul dengan sikap bungkam serta acuh tak acuh, Kiai Lidah Wetan menerima kembali kehadiran Lasmini yang pernah mengkhianati cintanya di masa lalu. Malah Kiai Lidah Wetan bersedia membantu Lasmini menuntaskan dendamnya setelah gagal dengan penyamarannya sebagai Tengkorak Berdarah.

Antara Setan Liang Makam dan Lasmini pada akhirnya terjalin persahabatan karena sama-sama mencari Pendeta Sinting. Dan karena mereka tidak menemukan Pendeta Sinting di Jurang Tlatah Perak, kedua orang ini akhirnya memutuskan untuk mencari Pendeta Sinting di luar. Namun begitu mereka muncul di Jurang Tlatah Perak, mereka berdua jumpa dengan Datuk Wahing.

Setan Liang Makam dan Lasmini merasa curiga dengan kemunculan Datuk Wahing di atas Jurang Tlatah Perak. Tapi baik Lasmini maupun Setan Liang Makam tidak berhasil mengorek keterangan siapa sebenarnya Datuk Wahing sebelum akhirnya Datuk Wahing tinggalkan tempat itu sambil bersin-bersin.

Setan Liang Makam pada mulanya tidak mau mengejar Datuk Wahing, namun begitu mengetahui suara bersinan Datuk Wahing bisa memantul terus menerus di delapan penjuru mata angin, buru-buru Setan Liang Makam sadar. Dia lantas mengejar Datuk Wahing. Tapi pada akhirnya kehilangan jejak orang yang dikejar. Di lain pihak, melihat perubahan pada Setan Liang Makam, Lasmini jadi penasaran. Dia ikut mengejar di belakang Setan Liang Makam.

"Lasmini! Kau bilang banyak mengenal tokoh-tokoh rimba persilatan. Mengapa kau tidak mengenal siapa adanya manusia tadi?!" Berkata Setan Liang Makam masih tanpa membuat gerakan.

Untuk beberapa lama Lasmini bungkam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Karena selama ini dia memang sama sekali belum mengenal Datuk Wahing. Sementara Setan Liang Makam mau menerima persahabatan Lasmini karena Lasmini sendiri mengatakan banyak tahu beberapa tokoh dunia persilatan yang untuk saat ini diperlukan sekali oleh Setan Liang Makam. Sebab terkubur selama tiga puluh enam tahun membuat orang ini tidak tahu lagi perkembangan yang terjadi dalam rimba persilatan.

"Kau tidak menjawab! Berarti percuma kau dan aku jalan bersama! Karena ternyata kau tidak lebih dariku dalam mengenali tokoh-tokoh dunia persilatan!"

"Harap kau tidak terlalu tergesa-gesa!" ucap Lasmini. "Mengenal laki-laki tadi, terus terang aku baru kali ini jumpa!"

"Hem… Itu cukup bagiku untuk mengatakan bahwa kau bukan orang yang banyak tahu tentang tokoh dunia persilatan!"

"Tidak mengenali satu orang bukan alasan yang bisa dijadikan dugaan! Dan karena baru kali ini aku jumpa dengan laki-laki tadi, pasti dia bukan tokoh rimba persilatan yang perlu diperhitungkan! Karena hampir lima tahun aku malang melintang!"

Setan Liang Makam mendengus. "Kau mengatakan manusia tadi bukan tokoh yang perlu diperhitungkan?!" Setan Liang Makam gerakkan kepala berpaling. "Telingamu tadi dengar suara bersinannya?!"

Lasmini tidak menjawab. Kepalanya pun tidak bergerak memberi isyarat jawaban. Setan Liang Makam tertawa pendek sebelum akhirnya lanjutkan ucapan. "Dengar, Perempuan! Dia tadi telah keluarkan satu Ilmu langka. Itulah ilmu yang dikenal dengan nama 'Pantulan Tabir'! Kalau ilmu yang dimilikinya adalah Ilmu langka, apakah kau masih mengatakan dia manusia yang tidak perlu diperhitungkan?!"

Setan Liang Makam hentikan ucapannya sejenak. Tanpa menunggu jawaban Lasmini, orang yang tubuhnya hanya merupakan kerangka tanpa daging ini telah lanjutkan lagi. "Setinggi apa pun Ilmu yang dimiliki orang, bakalan sulit menghadapi Ilmu 'Pantulan Tabir!"

Walau belum percaya ucapan Setan Liang Makam, tapi melihat bagaimana tadi bersinan orang mampu menghadang langkahnya bahkan membuatnya tersentak karena suara bersinan itu pantul memantul ke segenap penjuru angin, mau tak mau membuat perempuan yang pernah menyamar sebagai Tengkorak Berdarah palsu ini mulai mempercayai keterangan Setan Liang Makam. Namun kali ini bukan keterangan Setan Liang Makam yang membuncah benak Lasmini. Justru dia penasaran, mengapa Setan Liang Makam mengatakan bahwa si orang tua yang bersin-bersin itu adalah orang yang dicari!

"Perempuan! Kau telah dengar ucapanku! Mengapa kau tidak segera angkat kaki?!" Setan Liang Makam telah buka mulut lagi. Suaranya agak keras.

"Jadi kau masih menganggapku tidak banyak tahu tokoh-tokoh rimba persilatan gara-gara tidak mengenali laki-laki jahanam tadi?!"

"Kalau pada manusia berilmu langka saja kau tidak kenal, bagaimana mungkin kau mengenal tokoh-tokoh hebat lainnya?!"

Lasmini tertawa. "Kau boleh mengatakan laki-laki tadi manusia langka. Tapi di mataku, dia bukan apa-apa! Makanya jangan heran kalau aku tidak mengenalnya!"

Setan Liang Makam balik tertawa mendengar ucapan Lasmini. "Seberapa tinggi bekal yang kau miliki hingga bicaramu menembus langit. Perempuan?! Apa kau kira aku tak tahu jika kau sengaja mengajakku sama-sama mencari Pendeta Sinting karena bekalmu sangat rendah?!"

Dada Lasmini mulai panas mendengar ucapan Setan Liang Makam. Sambil angkat tangannya, Lasmini berkata setengah berteriak. "Aku punya kekuatan! Kalau tidak, mana mungkin aku mendatangi tempat Pendeta Sinting?!"

Setan Liang Makam gerakkan kepala menggeleng. "Meski aku telah berpuluh tahun tidak tahu dunia luar, aku tetap yakin kalau perangai seorang perempuan tidak akan berubah! Dia tidak akan mengandalkan bekal ilmunya, tapi tubuh dan mulutnya!"

Paras wajah Lasmini seketika berubah. Sepasang matanya mendelik besar dengan dada bergerak turun naik keras. Kalau saja tidak sadar siapa orang yang kini dihadapi, pasti sepasang tangannya sudah berkelebat lepaskan gebukan ke mulut orang.

"Kau terlalu rendah memandangku!" ujar Lasmini dengan suara bergetar.

"Kalau kau merasa membekal ilmu tinggi, mau tunjukkan padaku?!" tanya Setan Liang Makam seraya alihkan pandangan ke jurusan lain. Sikapnya jelas memandang sebelah mata pada orang.

Dada Lasmini makin menggelegak. Sebenarnya dia ingin menjajal sampai di mana ilmu yang dimiliki Setan Liang Makam. Namun karena dia tidak mau menanam permusuhan yang pada akhirnya akan menghambat langkahnya di kemudian hari, maka perempuan ini harus menindih perasaan geram. Mendapati Lasmini tidak menyahut atau membuat gerakan untuk menyambut tantangannya, Setan Liang Makam tertawa bergelak. Puas tertawa dia berkata.

"Apakah ucapanku tadi belum membuatmu mengerti untuk segera angkat kaki?! Atau kau ingin kuusir dengan tanganku, hah?!"

Lasmini memandang tajam pada Setan Liang Makam. Masih dengan kancingkan mulut, perempuan ini putar diri. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu diiringi gelakan tawa Setan Liang Makam.

********************

Lasmini tidak tahu sampai seberapa jauh dia berlari. Dia juga tidak tahu ke mana dia kini melangkah. Dia hanya berlari dan berlari untuk melampiaskan serta melupakan kegeraman hatinya pada Setan Liang Makam. Dia baru memperlambat larinya ketika sepasang matanya menangkap satu sosok tubuh berjalan perlahan-lahan di depan sana.

Sesaat Lasmini memperhatikan dengan seksama. Mendadak matanya terpentang besar. Saat lain kedua kakinya menjejak tanah. Laksana dikejar setan, perempuan ini melesat ke depan. Dalam beberapa saat dia telah berada di belakang orang yang berjalan perlahan.

"Berhenti!" teriak Lasmini.

Seolah tidak mendengar teriakan orang, orang yang berjalan di depan, yang ternyata seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian putih lusuh yang di tangannya memegang sebuah tongkat butut, teruskan langkah.

"Keparat!" maki Lasmini. Sekali lagi berkelebat, sosoknya telah tegak menghadang jalan orang. Sepasang matanya langsung membeliak mengawasi orang di hadapannya. Yang dipandang angkat kepala. Bukan untuk balas memandang, melainkan untuk ditarik sedikit lagi ke belakang, lalu didorong ke depan. Saat lain orang ini telah pulang balikkan kepalanya ke depan ke belakang dengan mimik meringis. Bukan untuk mengejek orang, melainkan orang ini ingin bersin!

"Jahanam ini yang membuatku dipandang remeh orang!" desis Lasmini dengan mendelik angker menatap pada orang di hadapannya yang bukan lain ternyata Datuk Wahing. Mengingat semua ucapan Setan Liang Makam, Lasmini jadi ingin membuktikan. Maka dia cepat buka mulut dengan suara membentak.

"Sebutkan siapa dirimu kalau kau tak ingin tanganku merobek mulutmu!"

"Brusss! Bruss! Brusss!"

"Heran... Sudah demikian mahalkah harga namaku?!"

"Keparat! Namamu tidak ada harganya di hadapanku!"

"Hem... Kalau begitu mengherankan sekali kalau sampai kau harus turun tangan merobek mulutku gara-gara aku tidak sebutkan nama. Brusss! Brusss!"

"Kau terlalu banyak mulut! Atau kau..."

Belum sampai ucapan Lasmini selesai, Datuk Wahing telah memotong sambil tahan gerakan kepalanya tengadah. Mengherankan. Sejak lahir kurasa mulutku cuma satu. Atau barangkali aku tidak merasa kalau mulutku bertambah...?!"

Seolah ingin membuktikan, Datuk Wahing angkat tangan kirinya lalu diusap-usapnya pada seluruh wajahnya. "Masih tidak ada tambahan mulut. Adalah mengherankan kalau ada orang yang mengatakan mulutku banyak..." Datuk Wahing lalu tertawa.

Tampang Lasmini mengetam. Sikap yang ditunjukkan orang membuat dadanya dibungkus kemarahan luar biasa. Hingga tanpa buka suara lagi, dia melompat ke depan dan langsung kelebatan tangan kanan kirinya lepaskan pukulan ke arah kepala orang.

"Bruss! Bruss! Brusss!"

Datuk Wahing tidak membuat gerakan untuk menangkis kelebatan kedua tangan orang. Sebaliknya dia bersin tiga kali dengan kepala bergerak. Walau gerakan kepala itu hanya karena bersinan, hebatnya gerakan kepalanya itu mampu membuat kelebatan kedua tangan Lasmini menghantam tempat kosong.

Mendapati hantaman kedua tangannya tidak mengenai sasaran, malah dihindari orang secara bersin, Lasmini tidak dapat kuasai diri lagi. Namun perempuan ini tidak mau bertindak ayal. Dari gerakan orang yang begitu mudah selamatkan diri dari hantamannya, dia maklum kalau orang dihadapannya bukanlah orang yang bisa dianggap enteng.

Lasmini kerahkan setengah tenaga dalam. Lalu hantamkan tangan kanan ke arah perut, sedangkan tangan kiri ke arah dada. Bersamaan dengan itu kaki kanannya di angkat siap lepaskan tendangan jika pukulan lurus kedua tangannya gagal menghantam sasaran.

"Bruss!"

Datuk Wahing bersin sekali. Tangan kanannya yang memegang tongkat butut diangkat lalu di putar di depan dada.

Trakkk! Trakkk!

Terdengar benturan keras tatkala hantaman kedua tangan Lasmini menghantam tongkat butut Datuk Wahing yang diputar di depan dada.

Lasmini tersentak. Hantaman kedua tangannya tadi dengan kerahkan tenaga dalam yang seandainya dihantamkan pada batu besar, maka tak ayal lagi batu besar itu akan hancur berkeping-keping! Namun tongkat butut di tangan kanan Datuk Wahing yang baru saja bentrok dengan kedua tangannya tidak patah! Malah kedua tangannya laksana membentur tembok kokoh. Hingga saat itu juga Lasmini cepat-cepat tarik pulang kedua tangannya! Mungkin hanyut dalam kekagetannya, Lasmini sampai lupa untuk lepaskan tendan-gan kaki kanan yang telah disiapkan untuk susuli hantaman kedua tangannya.

Datuk Wahing mengusap-usap tongkatnya yang baru saja menghadang pukulan lurus kedua tangan Lasmini. Saat lain kakek ini bersin tiga kali sebelum akhirnya angkat bicara. "Heran... Kau membuat hatiku heran, Sahabat! Kau tadi mendustai ku dengan mengatakan mulutku banyak. Lalu tiba-tiba kau hendak memukulku! Tidak keberatan menghilangkan rasa heran ku dengan mengatakan ada apa sebenarnya?!"

Lasmini katupkan rahang tidak jawab pertanyaan orang. Kejap lain perempuan ini mundur tiga langkah. Tangannya diangkat tinggi-tinggi. Sosoknya bergetar, tanda dia telah kerahkan hampir segenap tenaga dalamnya.

"Aku telah tanya dengan baik-baik, tapi rupanya kau inginkan jalan keras!" kata Lasmini.

"Bruss! Brusss!"

"Ah... Kau ini mengherankan! Bukankah namaku tidak ada harganya dihadapanmu? Lalu kenapa kau marah-marah saat aku tidak mau turuti ucapanmu?!"

Lasmini tidak menyahut dengan ucapan. Sebaliknya dia sentakkan kedua tangannya lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi!

BAB 2

DUA gelombang luar biasa dahsyat berkiblat ganas ke arah Datuk Wahing. Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya.

"Tamat riwayatmu, Keparat!" desis Lasmini dengan senyum dingin tatkala mengetahui Datuk Wahing tidak membuat gerakan apa-apa meski dua gelombang pukulan orang setengah tombak lagi menghantam tubuhnya.

Tapi dua jengkal lagi pukulan Lasmini melabrak, tiba-tiba Datuk Wahing melompat ke belakang. Saat bersamaan kepalanya bergerak ke depan. Dari hidungnya terdengar bersinan dua kali.

"Brusss! Brusss!"

Dua gelombang dahsyat yang dilepas Lasmini laksana ditahan tembok besar dan kokoh. Hingga untuk beberapa lama dua gelombang dahsyat itu tertahan di udara. Datuk Wahing tak sia-siakan kesempatan. Begitu gelombang angin tertahan di udara. Dia bergerak satu kali. Sosoknya melesat ke sebelah kanan.

Saat yang sama, dua gelombang yang tertahan berhasil menembus benteng pertahanan hingga menghampar ke depan. Tapi karena sosok Datuk Wahing telah berkelebat ke samping kanan, dua gelombang hantaman kedua tangan Lasmini melabrak hamparan tanah dan bongkahan sebuah batu. Tanah yang terkena sasaran muncrat ke udara. Bongkahan batu langsung pecah berantakan.

Lasmini pentang mata hampir saja tidak percaya. Namun dadanya makin panas melihat bagaimana orang dengan mudah menghindar selamatkan diri serta menghadang pukulannya. Dengan lipat gandakan tenaga dalam, Lasmini bergerak setengah lingkaran menghadap Datuk Wahing. Namun perempuan ini terkesiap. Sosok Datuk Wahing yang tadi berkelebat ke samping kanan ternyata sudah tidak kelihatan lagi!

"Jahanam! Ke mana lolosnya keparat itu?!" desis Lasmini dengan sosok bergetar.

Baru saja Lasmini membatin begitu dan belum sampai membuat gerakan apa-apa, dia dikejutkan dengan sambaran angin di sebelah kirinya. Menangkap gelagat membahayakan, Lasmini cepat rundukkan kepala seraya tarik tubuh atasnya ke bawah. Saat bersamaan sikunya membuat gerakan menyentak. Sementara tangan kanannya ikut pula lepaskan satu pukulan lewat depan dadanya.

Sambaran angin yang melesat dari samping kiri Lasmini menghantam udara beberapa jengkal di atas kepalanya. Namun sentakan siku serta susupan tangan kanan Lasmini juga melesat menghantam sasaran. Namun perempuan ini tidak menunggu lama. Begitu hantaman kedua tangannya melesat, dia cepat putar tubuh setengah lingkaran. Dengan bertumpu pada kaki kiri, kaki kanannya diangkat membuat satu tendangan.

Bukkk!

Sosok Datuk Wahing yang berada dibelakangnya tersambar tendangan kaki kanan Lasmini hingga mencelat dan jatuh berlutut sejarak satu setengah tombak. Tangan kanannya memegangi tongkat bututnya. Sementara tangan kiri bertelekan pada paha kakinya. Kepalanya bergerak pulang balik ke depan ke belakang lalu terdengar suara bersinan dua kali.

Melihat lawan telah jatuh berlutut, Lasmini tak sabaran lagi. Dia cepat angkat kedua tangannya. Kejengkelan rupanya sudah mendidihkan dadanya, hingga perempuan ini serta-merta hantamkan kedua tangannya lepas pukulan bertenaga dalam tinggi!

"Sekali ini kau tak akan lolos, Keparat!" teriak Lasmini dengan seringai dingin dan mata mementang angker.

Di seberang sana, mendadak Datuk Wahing tarik kepalanya sedikit tengadah dengan mimik meringis. Saat lain kepalanya bergerak empat kali.

"Bruss! Bruss! Bruss! Bruss!"

Dari hidung Datuk Wahing melesat angin deras empat kali berturut-turut. Dua gelombang dahsyat yang berkiblat dari kedua tangan Lasmini tiba-tiba membubung keudara. Lalu melesat balik ke arah Lasmini. Lasmini tidak membuat gerakan menghindar, karena jelas dua gelombang pukulannya berada jauh di atas tubuhnya. Tapi bukan karena pukulannya yang membalik berada jauh di atasnya yang membuat Lasmini tegak diam tidak membuat gerakan apa-apa.

Sebaliknya perempuan ini terpaku tegang melihat bagaimana tiba-tiba dua gelombang pukulannya laksana membentur kekuatan dahsyat di atas tubuhnya hingga dua gelombang itu mental balik dan kini melesat di atas sosok Datuk Wahing.

Di atas sosok Datuk Wahing, kembali dua gelombang pukulan Lasmini membentur kekuatan dahsyat hingga mental lagi. Begitu terus menerus bahkan kini mentalan dua gelombang itu berpindah-pindah ke delapan penjuru mata angin. Hebatnya, meski kepala Datuk Wahing sudah berhenti bergerak, suara bersinan terus saja terdengar dan ikut mantul memantul ke delapan penjuru mata angin!

"Bruss!"

Datuk Wahing perdengarkan bersinan sekali. Bersamaan itu sosok Lasmini laksana disentak, hingga karena tegang melihat apa yang terjadi, perempuan ini terkesiap. Namun sudah sangat terlambat untuk imbangi diri. Sosok Lasmini tersapu ke belakang dan jatuh terduduk dengan tubuh bergoyang-goyang.

Dalam keadaan seperti itu, Lasmini cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu kedua tangannya diangkat. Tapi perempuan ini melengak. Suara bersinan yang masih memantul terdengar makin lama makin keras. Hingga bagaimanapun Lasmini kerahkan tenaga untuk menutup jalan pendengaran, namun gendang telinganya laksana ditusuk-tusuk.

Lasmini pejamkan sepasang matanya. Kedua tangannya yang sejak tadi hendak bergerak lepaskan pukulan serta-merta ditarik untuk menutupi kedua telinganya. Perempuan ini coba membendung suara bersinan dengan segenap tenaga yang dimiliki.

"Sahabat... Semuanya sudah berakhir! Mengherankan kalau kau masih duduk begitu rupa..." Datuk Wahing berkata.

Lasmini terlengak. Dari suara yang baru saja terdengar, dia jelas dapat menentukan kalau orang yang bersuara tidak jauh dari sampingnya. Perempuan ini cepat buka kelopak sepasang matanya dengan kepala digerakkan sedikit ke samping kanan. Memandang ke depan, Lasmini tegang sendiri.

Datuk Wahing tampak duduk berlutut hanya tiga langkah di sebelahnya dengan bibir sunggingkan senyum. Kalau saja Datuk Wahing berniat jahat, tentu tidak sulit baginya menggebuk Lasmini! Apalagi dalam keadaan tegang begitu rupa, kedua tangan Lasmini yang masih menutupi kedua telinganya tentu sudah sangat terlambat untuk membendung pukulan orang!

"Jangan membuatku heran dengan tegang begitu... Kita bisa bicara baik-baik bukan?!" tanya Datuk Wahing.

Lasmini kini sadar, bahwa orang disampingnya masih bukan tandingannya. Namun Lasmini tidak mau dianggap remeh orang. Dengan raut merah padam dan turunkan kedua tangannya, perempuan ini berkata dengan suara keras.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara kita! Dan jangan kira aku tak bisa lakukan sesuatu untuk membunuhmu!"

Datuk Wahing gelengkan kepala. Tanpa berkata lagi, orang tua ini bangkit lalu balikkan tubuh dan melangkah. "Siapa manusia itu sebenarnya? Mengapa Setan Liang Makam mencarinya?!" Lasmini bergumam.

"Hai, tunggu!" teriak Lasmini seraya bergerak bangkit.

Datuk Wahing hentikan tindakan. Bersin tiga kali seraya berkata pelan. "Sikap perempuan di mana-mana selalu mengherankan. Di depan orang tidak mau berkata-kata, tapi begitu hendak ditinggal berteriak-teriak..."

"Ada yang hendak kau utarakan, Sahabat?" tanya Datuk Wahing seraya putar tubuh.

"Siapa kau sebenarnya?!" Lasmini langsung bertanya dengan pandangi sosok sang Datuk seolah baru pertama kali jumpa.

"Sahabat... Di antara kita aku yakin tak ada hubungan apa-apa! Bukankah mengherankan kalau kau harus penasaran dengan diriku! Jangan membuatku curiga dan makin heran..."

Paras muka Lasmini sedikit tegang. Mulutnya membuka lagi ajukan tanya. "Lalu apa hubunganmu dengan Setan Liang Makam?!"

Dahi Datuk Wahing berkerut "Kurasa... Aku tak punya kerabat bernama Setan Liang Makam! Aku pun merasa belum pernah..."

Belum sampai Datuk Wahing lanjutkan ucapannya, Lasmini telah menukas. "Kau jangan berpura-pura. Setan Liang Makam mengatakan kau adalah orang yang dicari!"

"Aku?!" ujar Datuk Wahing seraya tertawa mengekeh. "Mengherankan! Bagaimana kau bisa berkata begitu? Sementara orangnya saja aku belum tahu..."

Lasmini tertawa pendek. "Setan Liang Makam adalah orang yang bersamaku ketika keluar dari Jurang Tlatah Perak!"

Datuk Wahing angguk-anggukkan kepala. "Agar aku tidak makin heran, mau katakan mengapa sahabatmu itu mencariku?!"

"Aku yang tanya padamu!" kata Lasmini dengan suara agak keras mulai jengkel.

Datuk Wahing garuk-garuk kepalanya dengan ujung tongkat bututnya. "Dengar, Sahabat. Mendengar keteranganmu aku jadi tak habis heran. Sudah kukatakan aku tidak mengenalnya. Sementara kau adalah sahabatnya! Bagaimana bisa kau balik bertanya padaku?! Bukankah seharusnya kau yang memberi keterangan padaku?!"

Merasa tak mungkin lagi orang mau memberi keterangan, Lasmini alihkan pembicaraan dengan berkata. "Kemunculanmu di sekitar Jurang Tlatah Perak pasti bukan satu kebetulan! Kau punya urusan dengan Pendeta Sinting?!"

"Ini baru pertanyaan yang tidak mengherankan," ujar Datuk Wahing. "Dugaanmu tidak salah. Aku memang hendak berkunjung pada sahabatku..."

"Pendeta Sinting?!" tanya Lasmini seolah tidak sabar.

Datuk Wahing menjawab dengan anggukan kepala lalu berkata. "Sudah berbilang tahun aku tidak jumpa sahabatku itu. Mumpung ada waktu dan masih dikaruniai umur, tidak mengherankan bukan kalau aku ingin bertemu?!"

"Hanya ingin bertemu? Tidak ada urusan lain?!" tanya Lasmini menyelidik.

"Aku tidak ingin membuat heran orang-orang muda dengan membuat urusan antar sahabat. Apalagi usia sudah bau tanah begini..."

"Hem... Membuka mulut manusia macam begini hanya akan membuat dada pecah!" kata Lasmini dalam hati mendengar jawaban-jawaban yang diucapkan Datuk Wahing.

"Masih ada pertanyaan lagi?! tanya Datuk Wahing begitu agak lama Lasmini tidak lagi buka suara.

Yang ditanya kancingkan mulut. Malah saat itu juga hendak bergerak langkahkan kaki. Tapi sebelum Lasmini bergerak lebih jauh, Datuk Wahing telah berkata.

"Tidak merasa heran kalau aku sekarang yang bertanya, Sahabat?"

Lasmini urungkan niat. Sebelum perempuan ini menyahut, Datuk Wahing sudah mendahului. "Aku tidak sempat bertemu dengan sahabatku di Jurang Tlatah Perak, sementara kau sudah muncul dari tempat kediamannya. Bisa mengatakan bagaimana keadaan sahabatku itu?!"

"Sahabatmu itu beruntung!"

"Ah... Aku senang mendengarnya! Yang masih membuatku heran, untung bagaimana? Apa dia mendapat rezeki besar? Kudengar-dengar dia kawin lagi dengan seorang gadis cantik..."

Lasmini tertawa. "Sahabatmu itu beruntung karena dia tidak ada di tempatnya!"

"Jawabanmu membuat aku jadi heran..."

"Seandainya dia berada di tempatnya, saat itu juga nyawanya pasti putus!"

"Kau dan sahabatmu itu hendak membunuhnya?! Mengherankan sekali! Padahal menurut yang ku tahu, sahabatku itu tidak pernah membuat urusan meski kadangkala ucapan-ucapannya membuat orang jengkel dan kelakuannya gila-gilaan..."

"Aku tak heran mendengar ucapanmu! Siapa lagi yang akan membelanya kalau bukan sobatnya sepertimu?!"

"Justru aku kini jadi heran mendengar ucapanmu, Sahabat. Mau katakan apa sebenarnya yang dilakukan sahabatku itu?!"

"Akhir-akhir ini dia telah membunuh banyak orang! Bukan itu saja. Perbuatan murid tunggalnya juga dikabarkan atas perintah Pendeta Sinting!"

"Heran... Heran... Bagaimana bisa begitu?! Bruss! Bruss!"

"Kau tak perlu heran! Manusia setiap kali bisa berubah pikiran! Maka jangan coba-coba mendekati Pendeta Sinting!"

"Meski aku masih heran, tapi aku mengucapkan terima kasih atas keterangan dan peringatanmu! Sekarang aku harus segera pergi..."

"Kau masih tidak mau terangkan siapa dirimu?!" ujar Lasmini membuat gerakan Datuk Wahing yang akan putar tubuh tertahan.

"Aku hanya orang tua bau tanah! Dan kurasa tidak ada artinya sekalipun kau mengetahuinya! Jadi cukuplah jika kau mengenalku sebagai sahabat lama Pendeta Sinting!"

"Kau juga tak mau mengatakan apa hubunganmu dengan Setan Liang Makam?!"

"Jangan heran. Bukannya aku tak mau. Tapi aku tidak mau membuatmu nantinya makin heran..."

"Aku telah lama malang melintang beberapa puluh tahun dalam dunia persilatan. Tidak ada satu hal pun yang membuatku jadi heran! Katakan saja...!"

"Sayang sekali, Sahabat! Aku tak bisa memberi keterangan apa-apa! Harap tidak heran. Tapi meski begitu aku punya saran untukmu. Kalau kau terima syukur, jika tidak, itu akan membuatku heran..."

Walau Lasmini merasa jengkel dengan ucapan Datuk Wahing, namun perempuan ini pasang telinga baik-baik. Sementara Datuk Wahing alihkan pandangan ke jurusan lain seraya lanjutkan ucapan.

"Jangan kau terlalu percaya pada kabar berita yang belum terbukti kebenarannya. Dan hati-hati dengan orang yang baru kau kenali. Satu hal lagi, jangan mudah percaya pada orang yang berbuat baik padamu padahal kau pernah menyakitinya!"

Lasmini simak ucapan orang dengan dahi berkerut. Datuk Wahing tersenyum seraya teruskan ucapan. "Jangan merasa tersinggung. Aku bicara begini karena terus terang aku pernah mendengar kabarmu di masa lalu..."

"Jahanam! Apa manusia ini tahu hubungan ku dengan Kiai Lidah Wetan?!" Lasmini membatin dengan dada gelisah. Lasmini sebenarnya ingin langsung bertanya. Namun setelah ditimbang-timbang, perempuan ini akhirnya memutuskan untuk diam.

"Terima kasih kau tidak merasa tersinggung juga tidak merasa heran! Syukur-syukur juga kalau kau mau sedikit membuka hati untuk turuti saran ku..."

Habis berkata begitu, Datuk Wahing putar diri. Bersin dua kali sebelum akhirnya melangkah perlahan-lahan dengan ketukan-ketukan tongkat butut di tangan kanannya.

"Aku makin penasaran dengan manusia itu! Dia seolah-olah tahu hubungan ku dengan Kiai Lidah Wetan! Bagaimana dia bisa tahu...?! Kalau benar dia dengar kisah ku masa lalu, aku masih maklum. Tapi ucapannya tadi sepertinya bukan mengarah ke sana! Apa dia sempat jumpa dengan Kiai Lidah Wetan? Lantas... Ah. Itu tidak mungkin! Kiai Lidah Wetan mengatakan urusan besar ini adalah rahasia. Aku akan mengikuti orang itu..."

Lasmini memandang pada sosok Datuk Wahing yang telah berada di depan sana. Sebelum sosok Datuk Wahing belok dan lenyap dari pandangannya, Lasmini cepat berkelebat lalu secara diam-diam mengikuti langkah Datuk Wahing.

BAB 3

TIDAK jauh melangkah, Datuk Wahing hentikan tindakannya. Kepalanya mendongak. Saat bersamaan terdengar orang tua ini perdengarkan bersinan beberapa kali. Lalu berucap tanpa membuat gerakan.

"Sahabat... Jangan membuatku jadi heran dengan mengikuti ke mana aku pergi!"

Sejarak tujuh tombak di belakang Datuk Wahing, Lasmini yang mendekam sembunyi tampak terkesiap kaget. Wajahnya berubah. Sesaat perempuan ini tampak bimbang. Namun sebelum dia dapat memutuskan apa yang hendak diperbuat, dari arah depan kembali terdengar suara Datuk Wahing.

"Sahabat... Sekalipun kau ikut ke mana aku pergi, adalah mengherankan kalau kau nanti akan mendapat keterangan dariku! Harap kau pikir masak-masak sebelum kau kelak jadi heran..."

Lasmini menggerendeng panjang pendek dalam hati. Tanpa menyahut ucapan Datuk Wahing, perempuan ini bergerak melangkah keluar dari persembunyiannya. Memandang sejenak pada sosok Datuk Wahing yang masih tegak membelakangi. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

"Bruss! Bruss! Bruss!"

"Kau mengambil keputusan bagus, Sahabat! Karena percuma saja kau..." Laksana direnggut setan, Datuk Wahing putus gumamannya. Saat lain orang tua ini melangkah tiga tindak. Mendadak dia bergerak cepat. Sosoknya saat itu juga melesat dan lenyap dari tempat itu.

Baru saja sosok Datuk Wahing melesat lenyap, satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu tidak jauh dari tempat di mana tadi Datuk Wahing berada, satu sosok tubuh telah berdiri tegak. Orang yang baru muncul putar kepalanya dengan mata dipentang besar-besar.

"Aneh... Baru saja kudengar suara bersinannya di sini! Tapi batang hidungnya sudah tidak kelihatan! Ke mana lenyapnya?!" Orang yang baru muncul menggumam. Lalu kembali gerakkan kepalanya berputar dengan mata makin dibeliakkan. Namun orang ini tetap tidak melihat siapa-siapa!

"Hem... Pada akhirnya lain yang dikejar, lain pula yang ku dapati. Yang kukejar gadis cantik, tapi yang akan kutemui pasti orang lain. Tapi... Bagaimana tahu-tahu orang tua itu berkeliaran di sekitar tempat ini?! Atau selama ini dia secara diam-diam selalu mengikuti langkahku! Aku harus tahu apa maksudnya..."

Berpikir begitu dan merasa yakin orang masih berada di sekitar tempat itu, orang yang baru muncul buka mulut berteriak. "Kek! Aku tahu kau berada di sini! Mengapa takut unjuk diri?! Jangan membuatku heran!"

Selesai berteriak, orang ini memandang berkeliling dengan telinga dipasang baik-baik. Namun tidak terdengar suara sahutan atau terlihatnya orang.

"Kek! Harap tak usah malu-malu unjuk diri!" Kembali orang yang baru muncul berteriak. Tubuhnya bergerak berputar setengah lingkaran.

Bruss! Bruss! Mengherankan kalau aku merasa malu unjuk diri di hadapanmu. Anak Muda!" tiba-tiba terdengar suara.

Orang yang tadi berteriak cepat balikkan tubuh, karana jelas suara yang baru saja terdengar bersumber dari arah belakangnya. Namun orang ini tersentak sendiri. Dia tidak melihat siapa-siapa!

"Telingaku jelas mendengar dari arah belakang. Tapi orangnya tidak juga kelihatan!"

Baru saja orang ini membatin, orang ini mendadak putar diri membalik, karena dia mendengar langkah-langkah dari arah belakangnya. Memandang ke depan, orang ini tertengak. Sejarak lima tombak di depan sana, terlihat Datuk Wahing duduk berlutut di atas tanah dengan kepala bergerak ke depan ke belakang. Tangan kanan memegang tongkat yang ditancapkan di sampingnya sementara tangan kirinya diletakkan di atas pahanya.

"Hem... Bagaimana dia bisa membuat telingaku seperti mendengar langkah-langkah? Padahal orangnya enak-enakan duduk?!"

"Bruss! Bruss! Anak muda... Wajahmu membuatku heran. Apa kau tidak menemukan gadis yang kau kejar?!" Datuk Wahing buka mulut bertanya.

Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya dia melangkah mendekati Datuk Wahing dengan mata memandang tak berkesip. "Kek! Apa yang sedang kau lakukan disini?!"

Orang yang baru muncul balik ajukan tanya. "Bruss! Bruss! Anak muda... Sekarang ucapanmu yang membuatku heran! Kau sepertinya menaruh curiga padaku..."

Orang di hadapan Datuk Wahing yang ternyata adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih berambut agak panjang sedikit acak-acakan yang diikat dengan ikat kepala warna putih, berparas tampan dan bermata tajam dan bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng tertawa pendek lalu berkata.

"Kek! Sejak kita bertemu, dua kali kau muncul tidak jauh dariku! Aku tidak curiga padamu. Tapi setidaknya keberadaanmu punya maksud tertentu. Harap kau mau katakan terus terang!"

"Bruss! Bruss! Anak muda... Kalau boleh kukatakan, berarti kau merasa heran kita harus jumpa berkali-kali. Tapi kali ini aku tidak merasa heran! Yang Maha Kuasa mungkin telah menyiratkan demikian..."

Pendekar 131 gelengkan kepala. "Kek! Ini bukan semata-mata suratan! Ini juga bukan satu kebetulan. Kau sepertinya sengaja muncul di mana aku berada! Harap kau tidak keberatan mengatakan maksudmu!"

Seperti diketahui, sejak Pendekar 131 jumpa pertama kali dengan Datuk Wahing, orang tua ini tiba-tiba muncul ketika sedang terjadi adu mulut dan hampir saja terjadi adu pukulan antara Joko dengan Dewi Seribu Bunga. Saat itu pada akhirnya Dewi Seribu Bunga berkelebat. Joko mengejar. Tapi murid Pendeta Sinting kehilangan jejak Dewi Seribu Bunga. Joko lantas teruskan perjalanan. Pada satu tempat mendadak dia mendengar suara bersinan. Joko dengan cepat dapat menebak siapa adanya orang yang bersin-bersin.

"Bruss! Bruss! Aku tak punya maksud apa-apa, Anak Muda! Aku baru saja mengunjungi tempat seorang sahabat! Sayang... Aku harus menerima keheranan!"

"Siapa sahabat yang kau kunjungi?! Dan keheranan apa yang kau terima?!"

"Aku heran dengan pertanyaanmu. Apa maksud dibalik ucapan tanyamu itu?!" kata Datuk Wahing.

"Menurut Kiai Laras, orang ini bukan orang baik-baik! Sementara Jurang Tlatah Perak tidak jauh dari sini. Apa yang dimaksud sahabatnya adalah Eyang Guru...?!" Joko membatin. Lalu berkata.

"Seperti halnya dirimu, aku juga tak punya maksud apa-apa! Hanya saja aku punya seorang sahabat tidak jauh dari sini! Siapa tahu sahabat yang kau kunjungi adalah juga sahabatku..."

"Hem... Dia hanya sahabatmu? Tidak lebih, Anak Muda?!" Datuk Wahing balik ajukan tanya membuat Joko terdiam sesaat.

"Anak muda!" ucap Datuk Wahing sebelum Pendekar 131 perdengarkan suara. "Bisa katakan siapa sahabatmu itu?!"

"Pendeta Sinting!"

"Bruss! Bruss! Heran... Sahabatku itu ternyata benar-benar berubah! Para sahabatnya kini orang-orang muda. Hem... Pasti ada apa-apa!" gumam Datuk Wahing.

"Kek! Berarti yang hendak kau kunjungi Pendeta Sinting! Betul?!"

"Aku tidak bisa jawab pertanyaanmu yang mengherankan itu, Anak Muda! Karena sahabatku itu tak mungkin punya sahabat orang-orang muda sepertimu!"

"Kek! Aku murid Pendeta Sinting!" kata Joko berterus terang mendapati Datuk Wahing sepertinya menaruh curiga.

Datuk Wahing angkat kepalanya dengan mata sedikit dibesarkan. Untuk beberapa lama orang tua ini memperhatikan sosok murid Pendeta Sinting dengan seksama.

"Kek! Kau belum katakan keheranan mu tadi! Apa sebenarnya yang telah terjadi?! Kau bertemu dengan eyang guruku itu?!"

Datuk Wahing gerakkan kepalanya menggeleng. "Anak Muda! Itulah yang membuatku merasa heran. Apa sebenarnya yang telah terjadi?! Karena bukan saja aku tak menemukan sahabatku itu, tapi..." Datuk Wahing tidak lanjutkan ucapannya. Sepasang matanya melirik ke kanan kiri.

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi lalu ikut-ikutan melirik. Yakin tak ada orang lain, dia berkata. "Kek! Di sini tak ada orang lain! Teruskan ucapanmu tadi!"

"Bruss! Bruss! Aku justru bertemu dengan dua orang yang muncul dari kediaman eyang gurumu. Yang mengherankan lagi, menurut salah seorang dari mereka, justru aku termasuk manusia yang dia cari-cari!"

"Kau mengenal mereka?!" tanya Joko dengan maju satu tindak.

"Aku hanya mengenali yang satu, satunya lagi kurasa aku baru melihatnya! Herannya, orang yang baru pertama kulihat itulah yang katanya mencari-cariku..."

"Kau bisa katakan ciri-ciri orang itu?!"

"Satunya perempuan. Ini yang kukenal. Satunya lagi seorang laki-laki. Kalau kau sempat melihatnya, pasti kau akan merasa heran! Laki-laki ini hampir saja tidak bisa dikatakan sosok manusia. Tubuhnya hanya merupakan kerangka tanpa daging..."

"Setan Liang Makam!" desis murid Pendeta Sinting.

"Bruss! Bruss! Betul! Itulah nama yang disebut-sebut! Setan Liang Makam. Kau mengenalnya, Anak Muda...?!"

Pendekar 131 tidak jawab pertanyaan Datuk Wahing. Sebaliknya dia cepat ajukan tanya. "Apa yang terjadi di sana?!"

"Aku belum sempat jumpa dengan eyang gurumu. Tapi dari percakapan dua orang itu, aku bisa menduga kalau mereka juga tidak bertemu dengan eyang gurumu..."

Murid Pendeta Sinting menarik napas lega. Sejenak tadi perasaannya gelisah, ia sangat mengkhawatirkan keselamatan eyang gurunya, apalagi sejak peristiwa di Kedung Ombo, dia belum berhasil menemukan Pendeta Sinting.

"Kek! Menurutmu, apakah kedua orang itu juga sahabat eyang guruku?!"

"Bruss! Bruss! Anak muda! Aku memang bukan orang baik-baik! Tapi adalah mengherankan kalau aku mengatakan mereka orang baik-baik! Kau tentu bisa menebak sendiri apa ucapanku...!"

"Hem... Pasti mereka menduga akulah yang membawa barang aneh itu! Lalu mereka membuka sengketa dengan Eyang Guru. Heran! Dewi Seribu Bunga juga menuduhku hendak memperkosanya. Lalu ada lagi orang-orang yang menuduhku melarikan barangnya..."

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. Lalu memandang ke arah Datuk Wahing sambil bertanya. "Kek! Kau sungguh tak tahu tentang sebuah benda bernama Kembang Darah Setan?!"

Yang ditanya kancingkan mulut tidak menjawab. Joko berpikir sejenak, lalu berkata lagi. "Kek! Aku pernah jumpa dengan Setan Liang Makam, Dia sebut-sebut Kembang Darah Setan. Sementara kau tadi mengatakan Setan Liang Makam mencarimu! Aku dapat menebak kalau kau tahu tentang urusan Kembang Darah Setan itu! Setidaknya kau ada hubungan dengan Setan Liang Makam! Harap kau mau memberi keterangan!"

Datuk Wahing belum juga menyahut. Joko mulai agak jengkel. Dia segera buka mulut lagi. "Kek! Jangan-jangan kau ini masih kambratnya Setan Liang Makam!"

"Bruss! Brusss!"

Datuk Wahing perdengarkan bersinan. Namun sejauh ini orang tua berambut tipis ini belum juga mau bersuara. Malah dia alihkan pandangannya ke jurusan lain!

"Kek! Berarti kemunculanmu selama ini memang kau sengaja! Kau selalu ikuti ke mana aku melangkah! Katakan saja terus terang apa maumu! Aku tahu, kau berilmu sangat tinggi! Tapi seperti halnya diriku, kau tak mungkin punya nyawa rangkap!"

"Bruss! Bruss! Anak muda... Kau sudah selesai bicara?!" tanya Datuk Wahing tanpa berpaling.

Kali ini Joko yang tidak menjawab. Dia hanya memandang pada Datuk Wahing dengan sikap tidak sabar.

"Anak muda… Perlu kau ketahui dan harap jangan heran. Aku bukan kambratnya Setan Liang Makam! Aku juga tidak mengikuti langkahmu! Aku pun bukan orang yang berilmu tinggi apalagi punya nyawa rangkap!"

"Hem... Kau menyangkal semua ucapanku. Tapi kau tidak menyangkal ucapanku tentang Kembang Darah Setan! Berarti kau tahu urusan benda itu!"

Datuk Wahing tidak sambuti ucapan murid Pendeta Sinting. Sebaliknya orang ini beranjak bangkit. Dan tanpa berkata apa-apa dia melangkah. Murid Pendeta Sinting melompat dan tegak menghadang di depan Datuk Wahing.

"Kek! Kurasa dugaanku tidak meleset! Harap kau mau beri keterangan! Kalau tidak, terpaksa aku..."

"Bruss! Brusss! Kau terlalu berprasangka buruk, Anak Muda! Jangan heran kalau aku tidak mau jawab pertanyaanmu di sini!" Datuk Wahing arahkan pan-dangan matanya berkeliling. Lalu lanjutkan ucapannya. "Apa kau kira di sini aman untuk bicara?!"

Habis berkata begitu, Datuk Wahing teruskan langkah menyisi di sebelah kanan murid Pendeta Sinting.

"Kek! Jadi..."

"Bruss! Kalau kau ingin tahu, jangan banyak bicara!"

Pendekar 131 angkat bahu. Lalu balikkan tubuh. Memandang ke depan, dia tersentak. Datuk Wahing yang baru saja melangkah di sisi samping kanannya sudah berada jauh di depan sana. Dia tetap melangkah perlahan-lahan dengan kepala ditarik pulang balik ke depan ke belakang meski tidak perdengarkan bersinan.

Tanpa pikir panjang lagi, murid Pendeta Sinting segera berkelebat menyusul. Dia sempat menggerendeng. Karena begitu dia berkelebat, si kakek di depan sana tiba-tiba ikut berkelebat tidak lagi melangkah! Hingga mau tak mau Joko harus kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya agar tidak kehilangan jejak.

********************

BAB 4

SEBELUM kita ikuti ke mana Datuk Wahing dan Pendekar 131 Joko Sableng pergi serta mengetahui apa yang hendak dibicarakan Datuk Wahing, kita kembali dahulu pada satu peristiwa yang kejadiannya berlangsung pada tiga puluhan tahun yang lalu. Pada satu tempat di sebelah hutan belantara lebat tidak jauh dari sebuah pesisir pantai, tepatnya pada satu tempat terbuka yang dikelilingi beberapa julangan batu karang tampak duduk bersila seorang laki-laki setengah baya.

Paras laki-laki ini tidak begitu tampan. Bagian depan hidungnya besar. Rambutnya tipis telah berwarna dua. Kedua tangannya merangkap di depan dada. Sepasang matanya terpejam rapat. Laki-laki ini tidak sedang pusatkan pikiran bersemadi. Karena sesekali mulutnya membuka. Dan yang lebih menunjukkan kalau laki-laki setengah baya tidak sedang bersemadi, dihadapannya hanya sejarak sepuluh langkah, tampak tegak berdiri seorang laki-laki yang meski usianya tidak muda lagi, tapi masih lebih muda dibanding laki-laki yang tengah duduk bersila.

Orang yang tegak berdiri berparas agak tampan. Dagunya kokoh dengan sosok kekar. Sepasang matanya tajam dengan rambut panjang sebatas bahu. Laki-laki ini tegak dengan mata memandang tak berkedip pada laki-laki yang duduk bersila. Sesekali bibirnya sunggingkan senyum dingin. Dan kadangkala kepalanya bergerak tengadah meski sepasang matanya terus menghujam pada laki-laki di hadapannya.

Untuk beberapa saat lamanya kedua laki-laki ini tidak ada yang buka mulut. Laki-laki yang satu duduk dengan mata terpejam sementara satunya lagi memandang tajam. Namun tak berapa lama kemudian, laki-laki yang tegak buka mulut perdengarkan suara.

"Galaga! Rasanya penantian ku sudah lama. Aku sudah tidak sabar lagi! Kalau kau tetap kukuh pada pendirianmu, apa boleh buat. Kita lupakan semua pertalian di antara kita!"

Laki-laki yang duduk bersila dan dipanggil dengan Galaga buka sepasang matanya. Sejurus dia meman-dang orang yang tegak. Lalu mulutnya bergerak membuka. "Maladewa! Kau jangan memojokkan aku dengan begitu rupa! Dan apakah kau tega memutus semua pertalian ini hanya gara-gara barang sepele?! Apalagi kita tahu, Eyang Guru masih hidup! Kita harus sabar menunggu. Percayalah! Apa yang kau inginkan pasti kau dapatkan! Kepada siapa lagi barang itu akan diberikan kalau tidak pada kita sebagai muridnya?!"

Laki-laki yang tegak dan dipanggil dengan Maladewa sunggingkan senyum seringai. Lalu tertawa pendek sebelum akhirnya berkata. "Galaga! Lalu sampai kapan kita menunggu?! Lagi pula belum tentu barang itu diberikan pada kita! Kita tahu bagaimana watak Eyang Guru!"

Galaga gelengkan kepala. "Eyang Guru memang kadangkala sikapnya aneh! Namun dalam hal barang pusaka, aku yakin dia tidak akan berani memberikan pada orang lain!"

"Aku tidak percaya semua itu, Galaga!"

"Hem... Bagaimana kau sampai tidak percaya?!"

Maladewa tertawa lagi, lalu berkata. "Kau ingin salah satu bukti?!"

Untuk pertama kalinya paras wajah Galaga tampak berubah. Namun laki-laki ini coba tutupi perubahan wajahnya dengan sunggingkan senyum. "Maladewa! Sebaiknya kita tidak usah membicarakan benda itu. Selama ini kita hanya mendengar bahwa benda itu di tangan Eyang Guru. Tapi bertahun-tahun kita jadi muridnya, apakah kita pernah melihatnya?!"

"Itu kita bicarakan nanti, Galaga! Aku tadi bilang, apakah kau ingin salah satu bukti hingga mengapa aku tidak percaya pada Eyang Guru?!"

Diam-diam Galaga tampak gelisah. Dadanya berdebar keras. Dan perlahan-lahan laki-laki setengah baya ini palingkan wajahnya menghadap jurusan lain. Mulutnya terkancing tidak menyahut ucapan Maladewa. Maladewa maju dua tindak. Kepalanya didongakkan sedikit ke atas. Namun sepasang matanya tetap melirik ke arah orang di hadapannya. Lalu dia berkata.

"Galaga! Apa kau kira aku tak tahu kalau selama ini Eyang Guru telah turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' padamu?!"

Galaga tidak bisa lagi sembunyikan rasa kejutnya. Kepalanya cepat bergerak berpaling. Mulutnya membuka namun tidak perdengarkan suara. Maladewa tertawa panjang. "Kau tak usah berucap, Galaga! Sikapmu sudah menjawab! Sekarang aku tanya, apakah itu bukan salah satu bukti bahwa benda itu kelak tidak akan diberikan pada kita?! Kau mungkin masih bisa berharap! Tapi aku?! Dari cara Eyang Guru yang menurunkan ilmu padamu sementara padaku tidak, apakah aku masih punya harapan?!"

Galaga tetap tidak menyahut. Bagaimanapun dia coba sembunyikan rasa kagetnya, namun siapa pun yang melihat, pasti dapat melihat bayang kegelisahan pada raut muka laki-laki ini. Sementara melihat hal ini, Maladewa kembali buka mulut.

"Kita memang tidak pernah melihat benda itu ditangan Eyang Guru! Dan kita pun boleh kesampingkan kabar yang tersebar dalam dunia persilatan! Tapi apakah munculnya beberapa orang di tempat ini dengan berani pertaruhkan nyawa, belum bisa dijadikan satu tanda kalau benda itu benar-benar di tangan Eyang Guru?!" Maladewa hentikan ucapannya sambil tertawa. Lalu lanjutkan kata-katanya.

"Galaga! Seandainya aku jadi kau, pasti aku juga akan bertindak sepertimu! Dan kau pasti akan berbuat sepertiku seandainya kau jadi aku! Dan..."

Belum sampai Maladewa teruskan ucapannya, Galaga sudah memotong. "Maladewa! Aku..."

"Galaga!" kali ini ganti Maladewa yang memotong ucapan Galaga sebelum laki-laki ini lanjutkan ucapannya. "Aku belum selesai bicara! Jangan memotong!"

Galaga tidak hiraukan kata-kata Maladewa. Laki-laki ini buka mulut teruskan ucapannya yang sejenak tadi terputus. "Maladewa! Kau jangan terlalu berprasangka yang bukan-bukan! Kalau saat ini Eyang Guru menurunkan ilmu 'Pantulan Tabir', semata-mata hanya karena aku adalah saudara tuamu! Dan tak lama lagi, kau pun pasti akan mendapatkan ilmu itu!"

Maladewa gelengkan kepala. Wajahnya sudah merah padam. Tanda dia sudah tak bisa lagi menahan hawa amarah. "Galaga! Usia bukanlah satu alasan yang tepat untuk persoalan ini! Yang jelas, Eyang Guru tidak menyukaiku! Dan dia sengaja turunkan ilmu itu padamu untuk berjaga-jaga!"

Maladewa menyela dengan tertawa pendek, lalu lanjutkan ucapan. "Tapi apakah dengan membekal ilmu 'Pantulan Tabir' kau dapat menghadangku?!" Maladewa geleng-gelengkan kepala menjawab pertanyaannya sendiri.

"Maladewa! Kau masih saja punya dugaan buruk!"

"Dengar, Galaga! Ini bukan dugaan! Ini adalah kenyataan! Tapi... Aku masih bisa menerima semua ini kalau kau mau membantuku!"

"Maladewa! Apakah kita hendak membalas semua yang telah diberikan Eyang Guru dengan tindakan yang tidak pantas?!"

"Belum, Galaga! Eyang Guru belum memberikan semuanya pada kita! Bahkan dia telah memberimu lebih dibanding apa yang telah diberikan padaku! Dan aku ingin jatah kita sama! Tapi bukan ilmu 'Pantulan Tabir' yang kuminta!"

Walau Galaga mulai jengkel dengan ucapan Maladewa namun laki-laki ini masih coba menahannya karena sebenarnya dia sendiri merasa tidak enak begitu mengetahui kalau adik seperguruannya itu telah tahu kalau dirinya telah diberi ilmu 'Pantulan Tabir' oleh eyang gurunya. Dan dia pun dapat memaklumi kalau Maladewa merasa kecewa dan marah. Namun dia masih coba menyadarkan dengan berkata.

"Maladewa... Walau ucapanmu sedikit ada benarnya, tapi seharusnya kita harus bersyukur karena selama ini Eyang Guru telah berikan pada kita beberapa ilmu. Kalaupun Eyang Guru belum memberikan semuanya, mungkin dia punya pertimbangan sendiri. Dan percayalah, Eyang Guru akan memberikan semuanya pada kita..."

Maladewa gelengkan kepala. "Pertimbangan apa?! Kurasa usia kita telah cukup. Usia Eyang Guru pun sudah lanjut! Kalau dalam usia demikian lanjut dia tidak juga memberikan apa yang dimiliki pada muridnya, apakah mungkin dia akan memberikan itu?!"

"Aku tak bisa jawab pertanyaanmu, Maladewa! Yang pasti aku masih punya keyakinan jika Eyang Guru akan memberikan pada kita! Untuk itu bersabarlah..."

"Hem... Sampai kapan?! Kau bisa menghitungnya?!" tanya Maladewa.

"Aku memang tidak bisa menghitung! Tapi aku yakin!"

Maladewa tertawa pendek. "Kau bisa merasa yakin, karena kau masih punya harapan! Dan aku sebaliknya! Maka dari itu, Galaga. Aku sekali lagi tawarkan rencana ini padamu! Jika kau tidak setuju, kau telah tahu apa akibatnya!"

"Bukannya aku tidak setuju. Tapi kalau menimbang, apa yang telah diberikan Eyang Guru selama ini, kurasa itu sudah lebih daripada cukup! Kita jangan serakah meminta lebih!"

"Hem... Apa ucapanmu itu jawaban penolakan atas rencanaku?!"

Galaga tidak segera menjawab Dia pandangi Mala-dewa dengan seksama seakan ingin yakinkan kalau ucapan itu benar-benar diucapkan oleh Maladewa. Di lain pihak, Maladewa sudah tidak sabar melihat sikap Galaga. Maka dia segera buka mulut lagi.

"Galaga! Aku butuh ketegasan mu!"

"Maladewa! Kau memberi ku tawaran yang siapapun juga akan sulit untuk memilihnya!"

"Itu urusanmu! Dan aku menunggu keputusanmu!"

Glaga menarik napas panjang. Laki-laki ini jelas bimbang. Di satu pihak dia tak ingin hubungan saudara seperguruan terputus, di sisi lain dia tak mungkin berkhianat pada eyang gurunya yang selama ini dirasa telah memberikan segala ilmu. Hingga pada akhirnya dia berkata.

"Maladewa! Sebenarnya aku dalam situasi sulit! Dan kau tahu apa sebabnya..."

Mendengar ucapan Galaga, Maladewa mendengus lalu berkata dengan suara membentak. "Galaga! Aku butuh jawaban tegas! Mau apa tidak!"

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Galaga menjawab. "Maladewa! Untuk persoalan ini, semuanya kuserahkan padamu!"

"Maksudmu?!"

"Aku tak bisa ikut serta melakukan rencanamu. Aku pun tak akan mencegah semua rencanamu!"

"Hem... Begitu?! Kau telah pikirkan akibatnya?!"

"Aku tidak ikut apa-apa. Jadi kurasa aku tidak menanggung akibat apa-apa pula! Semua kuserahkan padamu..."

"Tidak semudah itu, Galaga! Meski kau tidak ikut serta dalam rencanaku ini, tapi kau adalah satu-satunya orang yang tahu! Dan kau dengar, aku tak mau seorang pun tahu apa rencanaku!"

Galaga kerutkan kening. "Apa maksud ucapanmu, Maladewa?!"

Yang ditanya tertawa. "Sebuah rencana akan berbuntut panjang kalau ada salah seorang yang tahu! Dan aku tidak mau hal itu terjadi! Apalagi kau tidak memberikan jawaban pasti! Jadi... Aku inginkan nyawamu saat ini juga! Tapi itu masih bisa ku tunda jika kau setuju dengan rencanaku!"

"Kau memaksaku, Maladewa!"

"Terserah kau katakan apa. Yang jelas kau tinggal memutuskan sekarang juga!"

"Sebenarnya aku telah memilih jalan tengah, Maladewa! Tapi kau rupanya hendak memaksakan kehendak padaku! Sayang sekali, aku tidak suka dipaksa..."

"Kalau itu kau katakan sejak tadi-tadi, tak perlu kita bicara panjang lebar! Dan berarti kau siap menerima kenyataan!"

"Sebenarnya aku tak mau hal ini terjadi antara kita! Tapi kalau kau terlalu memaksaku, aku bukannya melawan namun aku juga tidak akan tinggal diam!"

"Bagus! Kau telah memutuskan! Aku pun telah mengambil sikap!"

Habis berkata begitu, Maladewa angkat kedua tangannya. Sekali bergerak sosoknya telah tegak hanya sejarak empat langkah dari tempat Galaga duduk bersila.

"Maladewa! Tunggu!" tahan Galaga sambil beranjak bangkit. "Akankah persahabatan ini harus berakhir dengan pertumpahan darah?! Akankah tali persaudaraan ini berakhir di ujung kekerasan hanya gara-gara yang belum jelas benar ada tidaknya?!"

"Manusia tidak tahu harus mati karena apa? Demikian juga persahabatan dan ikatan persaudaraan! Tidak seorang pun tahu akan berujung dengan apa! Hanya untuk kita, kau tahu bagaimana jalan akhirnya!"

Galaga pandangi Maladewa sejenak. Meski tadi telah berkata tidak akan tinggal diam, tapi entah karena apa, akhirnya laki-laki ini gerakkan kaki melangkah hendak tinggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa.

Maladewa melirik sejurus. Saat lain tiba-tiba laki-laki ini telah melompat dan tegak menghadang jalan Galaga sambil berkata. "Kau telah dengar ucapanku! Tidak seorang pun akan kubiarkan lolos kalau dia tahu urusan ini!"

"Maladewa! Kau tak usah khawatir! Aku tetap merahasiakan urusan ini meski dengan berat hati... Yang kuminta darimu, jika nantinya Eyang Guru tidak memberikan apa yang kau minta, kau harus menerima dengan lapang dada dan jangan bertindak lebih jauh!"

Habis berkata begitu, Galaga berkelebat. Namun bersamaan itu Maladewa telah merangsek dengan hantamkan tangan kanannya. Galaga yang masih punya keyakinan kalau Maladewa tak akan bertindak jauh meski telah keluarkan ancaman, hanya diam tanpa membuat gerakan menangkis atau menghindar selamatkan diri.

Bukkk!

Galaga tersentak. Bukan saja karena pukulan tangan kanan Maladewa yang menghantam bahunya, namun juga karena keyakinannya meleset! Sosok Galaga terhuyung tiga langkah ke samping. Laki-laki ini segera berpaling dengan mata berkilat. Dilihatnya Maladewa sunggingkan senyum seringai.

"Galaga! Kau salah duga kalau mengira ancaman ku hanya ucapan mulut saja!"

Belum sampai ucapan Maladewa selesai, laki-laki ini telah berkelebat. Kedua tangannya segera melepaskan pukulan.

"Kau yang memaksaku, Maladewa!" ujar Galaga lalu angkat kedua tangannya membendung kelebatan kedua tangan Maladewa yang mengarah pada kepala dan dadanya.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras. Baik sosok Galaga maupun sosok Maladewa tampak tersurut tiga langkah ke belakang. Wajah keduanya sama berubah. Tangan masing-masing yang baru saja berbenturan sama bergetar keras. Maladewa tekuk sedikit lututnya. Tenaga dalamnya dilipat gandakan. Saat lain dia telah sentakkan kedua tangannya lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya melesat dua gelombang angin dahsyat perdengarkan suara gemuruh keras.

Kalau dalam benturan tangan tadi Galaga masih belum percaya benar akan niat Maladewa, kini melihat pukulan Maladewa, perlahan-lahan Galaga mulai menangkap isyarat kalau ucapan Maladewa tidak main-main! Hingga tanpa pikir panjang lagi dia segera pula angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke depan.

Blammm!

Tanah di tempat ini dibuncah dengan suara ledakan keras. Julangan-julangan batu karang bergetar. Sosok Galaga mencelat mental sampai dua tombak. Paras mukanya pias dengan tubuh bergetar keras. Malah kalau laki-laki ini tidak segera kerahkan tenaga dalam, niscaya sosoknya akan roboh terkapar.

Sementara di depan sana, sosok Maladewa juga terpelanting lalu tegak dengan kedua kaki goyah. Wajahnya pucat pasi. Namun laki-laki ini cepat kerahkan tenaga dalamnya kembali. Dan sekali berkelebat, dia telah tegak dua belas langkah di depan Galaga.

"Maladewa! Mungkinkah kenyataan ini benar-benar akan terjadi?!"

Maladewa tertawa panjang! "Pertanyaanmu akan segera terjawab, Galaga!"

"Aku tak pernah membayangkan kalau hal ini akan terjadi, Maladewa!"

"Itulah ketololan mu! Dan kau terlambat untuk menyadarinya! Bahkan kau mungkin tidak tahu apa yang telah terjadi!" kata Maladewa sambil tersenyum. Senyumnya kali ini agak aneh. "Kau tahu, Galaga! Aku tadi cuma ingin tahu bagaimana pendirianmu! Aku juga ingin tahu apakah benar Ilmu 'Pantulan Tabir' telah kau miliki! Aku pun ingin tahu, seberapa jauh pengetahuanmu tentang benda yang ada di tangan Eyang Guru!"

Galaga merasa tak enak mendengar ucapan Maladewa. Dahinya berkerut. "Apa sebenarnya yang telah dilakukannya?! Dan apa pula yang telah terjadi?!"

Karena tidak juga menemukan jawaban, pada akhirnya Galaga buka mulut. "Maladewa! Apa maksud ucapanmu?!"

Maladewa tertawa dahulu sebelum akhirnya berkata menjawab. "Kau boleh memiliki ilmu 'Pantulan Tabir' meski seratus buah! Dan kau boleh bangga karena telah mendapat Ilmu itu! Tapi bagiku... Semua itu tidak ada artinya apa-apa bagiku! Karena aku telah mendapatkan yang lebih daripada yang kau miliki!"

Galaga makin tak enak. Namun sejauh ini dia belum dapat menduga-duga ke mana arah ucapan Maladewa. Hingga dia ajukan tanya lagi. "Aku belum mengerti apa arti ucapanmu!"

"Tak usah khawatir, Galaga! Kau akan segera mengerti! Namun sayang, hal itu adalah pengertian terakhir bagimu! Begitu kau mengerti, saat itu juga nyawamu harus melayang!"

Galaga tambah gelisah. Dia hanya dapat menduga, kalau pengertiannya harus ditebus dengan nyawa, pasti hal itu adalah satu rahasia besar. Sementara rahasia besar itu tentu tidak jauh dengan urusan Maladewa dan eyang gurunya.

"Hem... Jangan-jangan dia telah lakukan rencananya tanpa sepengetahuanku! Dan dia telah berhasil. Celaka!" gumam Galaga dalam hati, lalu buru-buru berkata. "Maladewa! Apa yang telah kau lakukan pada Eyang Guru?!"

Maladewa tidak segera menjawab. Sebaliknya dia tertawa panjang. Puas tertawa, Maladewa angkat bicara. "Aku tak bisa menerangkan di sini, Galaga! Tapi kau akan segera mengerti kalau kau tahu apa yang kuperlihatkan padamu! Tapi perlu kau tahu, itulah saat tibanya kematianmu!"

Habis berkata begitu, Maladewa tenang saja masukkan tangan kanannya ke balik pakaian yang dike-nakannya. Sepasang matanya memandang tajam pada Galaga. Sementara bibirnya sunggingkan senyum. Di sebelah depan, dada Galaga tampak berdebar keras. Sepasang matanya mendelik tak berkesip memandang ke arah gerakan tangan kanan Maladewa.

Seraya tertawa perlahan, Maladewa keluarkan tangan kanannya dari balik pakaiannya. Laksana dipentang setan, sepasang mata Galaga tampak makin membeliak seperti hendak loncat dari rongganya antara terkejut dan tidak percaya!

BAB 5

"Kembang Darah Setan!" desis Galaga dengan suara bergetar berat. Tubuhnya ikut gemetar. Sementara sepasang matanya mementang besar.

Di seberang depan, Maladewa masih saja tersenyum sebelum akhirnya angkat bicara. "Galaga! Dengan beradanya benda ini di tanganku, rasanya kau tak perlu lagi tanya padaku apa yang telah terjadi! Dan seperti kataku tadi, begitu kau mengerti, maka itulah saat tibanya kematianmu!"

Habis berkata begitu, Maladewa angkat tangannya yang ternyata memegang setangkai bunga yang pancarkan sinar. Bunga itu memiliki kuncup berwarna merah. Pada bagian tangkainya terdapat tiga daun berwarna hitam, putih, dan merah.

Begitu dapat kuasai diri, Galaga segera buka suara. "Maladewa! Aku tidak akan tanyakan bagaimana kau memperolehnya. Yang ingin ku tahu, bagaimana keadaan Eyang Guru!"

"Kau terlambat untuk bertanya, Galaga! hanya ada satu hal yang perlu kau tahu sebelum ajal menjemput mu! Dengar baik-baik! Sebenarnya aku adalah cucu dari Eyang Guru! Dan akulah generasi terakhir dari penghuni Kampung Setan ini!"

Galaga tampak terkesiap. Dia pandangi sosok Maladewa dengan teliti. Bertahun-tahun dia diangkat murid oleh eyang gurunya, serta bertahun-tahun pula dia bersahabat dengan Maladewa yang juga sebagai adik seperguruannya, dia sama sekali tidak mengetahui rahasia kalau Maladewa adalah cucu dari eyang gurunya sendiri! Yang dia tahu, pada masa mudanya dulu dia dengar dan tahu kalau rimba persilatan pernah dibuat geger dengan munculnya tokoh-tokoh berilmu tinggi yang sebutkan diri Kampung Setan.

Sebuah kampung yang pada akhirnya menjadi momok, bukan saja bagi kalangan orang biasa, melainkan juga bagi kalangan orang-orang rimba persilatan. Karena beberapa tokoh dari Kampung Setan merajalela membunuhi beberapa tokoh rimba persilatan tanpa pandang bulu dari golongan hitam maupun dari golongan putih. Namun keangkeran Kampung Setan pada akhirnya tenggelam setelah beberapa tokoh dari golongan putih dan golongan hitam bersatu membasmi dengan memporak-porandakan Kampung Setan.

Hanya saja kalangan orang-orang rimba persilatan tidak tahu kalau dari generasi Kampung Setan masih ada seorang yang selamat. Orang inilah yang pada akhirnya mengangkat Galaga sebagai murid juga sebagai sahabat dari muridnya yang dahulu yakni Maladewa. Meski Maladewa sudah menjadi murid sebelum datangnya Galaga, namun karena Galaga lebih tua, maka Maladewa menganggap Galaga sebagai kakak seperguruannya.

Tapi keangkeran Kampung Setan ternyata hanya tenggelam sesaat. Karena begitu Kampung Setan porak-poranda, tersiar kabar bahwa sebuah senjata dahsyat bernama Kembang Darah Setan berada di Kampung Setan. Malah tersiar pula berita, kalau sebenarnya Kembang Darah Setan itu masih memiliki rahasia lagi di dalamnya!

Tersiarnya berita ini membuat para tokoh-tokoh rimba persilatan mulai berlomba memburu. Kalau pada awalnya para golongan putih dan golongan hitam saling bersatu dalam memporak-porandakan Kampung Setan, maka dalam hal pemburuan senjata itu, para tokoh mulai saling bersaing untuk mendahului. Hal ini menimbulkan terjadinya kacau balau. Terjadi saling tuduh dan saling hasut! Belum lagi ditambah dengan tidak pernah kembalinya beberapa orang yang coba-coba menyelidik ke Kampung Setan!

Galaga arahkan pandangannya ke jurusan lain. Sebenarnya dia belum percaya benar dengan ucapan Maladewa yang mengatakan dirinya adalah cucu eyang gurunya. Namun melihat Kembang Darah Setan yang sesekali pernah didengar ceritanya dan yakin yang di tangan Maladewa adalah Kembang Darah Setan, sedikit banyak Galaga mulai bimbang akan ketidakpercayaannya. Yang membuatnya makin gelisah, mengapa Maladewa menginginkan nyawanya?

Alasan Maladewa karena Galaga telah tahu rencananya bukanlah satu alasan yang kuat. Ada hal lain mengapa Maladewa inginkan nyawanya! Namun pada saat seperti sekarang ini adalah sudah sangat terlambat untuk menanyakannya. Berpikir begitu, akhirnya Galaga ambil keputusan.

"Aku harus dapat menghindar dahulu! Aku perlu menyelidiki tentang keberadaan Eyang Guru! Setelah itu baru aku bisa tentukan langkah..."

"Maladewa!" ujar Galaga setelah kedua orang ini sama-sama berdiam diri untuk beberapa lama. "Kembang Darah Setan telah berada di tanganmu! Berarti apa yang kau inginkan tercapai! Kuharap dengan..."

"Belum, Galaga!" tukas Maladewa memotong ucapan Galaga. "Keinginanku belum semuanya tercapai! Dan salah satunya adalah mencabut nyawamu!"

"Kau ini aneh! Kembang Darah Setan telah berada di tanganmu. Apa artinya nyawaku bagimu?!"

"Saat ini bukan saat yang baik untuk bertanya! Seharusnya kau sudah berpikir jauh-jauh sebelum ini!"

"Hem... Jadi selama ini kau telah memendam rencana tidak baik!"

Maladewa tertawa panjang sebelum akhirnya berkata. "Tadi sudah kukatakan kau sangat terlambat mengetahuinya! Bahkan tak mungkin tahu apa yang telah terjadi!"

"Aku tidak menduga sama sekali, Maladewa..." gumam Galaga. Lalu tanpa sambut! ucapan Maladewa, Galaga balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

Galaga sudah siap menghadapi apa yang akan terjadi seandainya Maladewa menghadang dan paksakan niatnya. Hingga sambil berkelebat, Galaga kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Namun dugaan Galaga kali ini meleset. Meski dia telah berkelebat, Maladewa tidak membuat gerakan untuk menghadang atau lepaskan pukulan untuk menahan gerakannya. Hingga Galaga bisa terus berkelebat. Begitu memasuki kawasan hutan belantara lebat, Galaga sengaja memperlambat larinya sambil terus berpikir.

"Tak mungkin aku memasuki Kampung Setan dan melihat keadaan Eyang Guru kalau Maladewa masih berada di sana! Aku harus menunggu sampai Maladewa pergi. Hem... Apa yang telah dilakukan Maladewa pada Eyang Guru?! Mengapa pula Eyang Guru tidak pernah cerita kalau Maladewa adalah cucunya sendiri? Kembang Darah Setan... Ternyata benda itu benar-benar ada! Dan selama ini pasti berada di tangan Eyang Guru... Apakah kabar yang selama ini tersebar bahwa di dalam benda itu masih tersimpan rahasia, benar juga adanya?! Mudah-mudahan Eyang Guru tidak mengalami apa-apa. Dengan begitu aku bisa menanyakan urusan ini! Selama ini aku tidak berani mengatakannya! Herannya... Mengapa Eyang Guru sengaja turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' padaku?! Sementara tidak pada Maladewa?! Apakah hal ini dilakukan Eyang Guru agar aku tidak kecewa dengan diberikannya Kembang Darah Setan pada Maladewa?! Seharusnya Eyang Guru tahu... Aku tidak begitu tertarik dengan segala macam benda pusaka kalau benda itu memang harus diberikan pada cucunya! Dan..."

Mendadak Galaga putuskan gumamannya sendiri. Bersamaan itu laksana disentak setan, langkah kakinya terhenti. Sepasang matanya memandang tajam ke depan dengan dada berdebar. Karena hanya sejarak delapan tombak di depan sana, terlihat tegak satu sosok tubuh dengan kedua tangan merangkap di depan dada. Kepalanya sedikit didongakkan.

"Maladewa!" desis Galaga mengenali siapa adanya sosok yang tegak seolah menghadang jalannya. "Bagaimana dia tahu-tahu sudah muncul di situ?!"

"Galaga! Jangan mimpi kalau bisa teruskan langkah!"

"Aku benar-benar tak mengerti maksudmu, Maladewa!"

"Sudah kukatakan berulang kali. Itulah satu ketololan mu! Dan kau telah ditakdirkan untuk tewas tanpa mengerti!"

Habis berkata begitu, Maladewa telah melesat ke depan. Kedua tangannya sudah berkelebat lepaskan pukulan jarak jauh selagi sosoknya berada di atas udara sejarak dua tombak dari tempat Galaga. Galaga tidak tinggal diam. Kalau tadi hanya setengah hati dalam menghadapi Maladewa, kali ini dia langsung melompat ke depan menyongsong pukulan Maladewa dengan kedua tangan disentakkan.

Blammm! Blammm!

Hutan belantara lebat itu seketika disentak dengan ledakan keras dan getaran hebat. Beberapa jajaran pohon tampak doyong lalu tumbang. Rangasan semak belukar terbabat sebelum akhirnya tersapu amblas!

Sosok Maladewa terhuyung-huyung kebelakang. Sementara Galaga tampak terseret lima langkah. Namun kedua orang ini cepat lipat gandakan tenaga dalam masing-masing. Saat lain keduanya telah sama sentakkan tangan ke depan. Empat gelombang dahsyat menderu dari dua jurusan. Dua gelombang melesat dari kedua tangan Maladewa, dua lagi berkiblat dari kedua tangan Galaga.

Namun tiba-tiba Maladewa tersentak. Dua gelombang pukulannya laksana menghantam kekuatan dahsyat. Hingga sebelum dua gelombang pukulannya bentrok dengan dua gelombang pukulan Galaga, dua gelombang pukulannya mental balik. Bersamaan dengan itu secara aneh dua gelombang pukulan Galaga menyusul. Empat gelombang ini saling menyatu di udara.

Maladewa makin besarkan beliakan matanya. Karena begitu empat gelombang bersatu, gelombang itu membubung ke angkasa. Lalu melesat dari satu arah ke arah lainnya saling memantul di delapan penjuru mata angin! Hebatnya, begitu gelombang itu memantul dari satu arah hendak menuju lain arah, Maladewa rasakan tubuhnya tersentak-sentak! Hingga untuk beberapa kali orang ini harus kerahkan tenaga dalam untuk kuasai diri dari sentakan tubuhnya yang mengikuti pantulan gelombang.

"Ilmu 'Pantulan Tabir!’" desis Maladewa dengan suara bergetar. Dia lipat gandakan tenaga dalam untuk kuasai diri. Begitu gelombang berada di atas udara dan akan memantul, dia segera saja lepaskan pukulan.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang kembali melesat ke arah gelombang yang tadi memantul-mantul di atas udara. Namun Maladewa harus terkesiap. Belum sampai dua gelombang pukulannya menghantam gelombang yang memantul, Galaga telah sentakkan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu gelombang yang tadi pantul-memantul ke delapan penjuru mata angin perdengarkan ledakan dahsyat dan ambyar berkeping-keping! Pukulan gelombang yang melesat dari kedua tangan Maladewa terus amblas ke atas melabrak tempat kosong!

Dan pada saat gelombang yang tadi memantul ambyar, sosok Maladewa terjengkang roboh di atas tanah! Dari mulutnya mengucur darah. Tanda orang ini telah terluka dalam. Sementara di seberang sana, Galaga tampak terhuyung-huyung, tapi laki-laki ini cepat dapat kuasai diri. Maladewa perlahan-lahan bergerak bangkit. Sepasang matanya langsung menyengat angker ke arah Galaga. Namun sesaat kemudian Maladewa tiba-tiba perdengarkan suara tawa bergerak panjang. Bersamaan itu tangan kanannya menyelinap masuk ke balik pakaiannya.

"Dia akan pergunakan Kembang Darah Setan! Meski aku belum pernah tahu kehebatan benda itu, aku harus berhati-hati. Sebagai benda pusaka sakti pasti memiliki kehebatan luar biasa!"

Memikir sampai di situ, Galaga cepat kerahkan segenap tenaga yang dimiliki. Di sebelah depan, Maladewa telah genggam tangkai Kembang Darah Setan yang pancarkan sinar. Maladewa menyeringai dingin. Tanpa berkata-kata lagi dia segera melompat ke depan. Tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan segera digerakkan ke depan.

Wuutt!

Dari tangan kanan Maladewa berkiblat sinar cahaya berwarna merah, hitam serta putih. Galaga sempat melengah melihat dahsyatnya sinar dari Kembang Darah Setan. Namun dia segera sadar. Cepat-cepat dia sentakkan kedua tangannya dengan andalkan ilmu 'Pantulan Tabir'. Hingga saat itu juga dua gelombang dahsyat melesat dari kedua tangannya. Hebatnya dua gelombang itu bukannya langsung menyongsong tiga sinar yang kini menggebubu. Namun melesat ke samping. Saat lain dua gelombang itu telah melesat dan memantul kian kemari menghadang tiga sinar!

Namun kali ini Galaga harus waspada. Karena meski gelombang dari kedua tangannya mampu menghadang lesatan tiga sinar yang melesat, tiga sinar itu tidak mampu disapunya hingga mengikuti pantulan gelombang! Hingga tiga sinar itu tampak terapung di udara!

Maladewa tidak menunggu lama. Mendapati Galaga tidak menyapu tiga sinar yang keluar dari Kembang Darah Setan, laki-laki ini untuk kedua kalinya sentakkan Kembang Darah Setan. Hingga saat itu juga kembali melesat tiga sinar berwarna merah, putih, dan hitam!

"Celaka!" gumam Galaga mengetahui bagaimana tiga sinar kini melesat kembali dari arah depan. Laki-laki ini pejamkan sepasang matanya. Lalu dengan kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam, kedua tangannya disentakkan.

Wuutt! Wuuutt!

Dari kedua tangannya menghampar gelombang dahsyat yang tak lama kemudian bergabung dengan gelombang yang pantul memantul di udara menghadang sinar dari Kembang Darah Setan. Di lain pihak tiga sinar yang baru melesat dari Kembang Darah Setan mendorong tiga sinar yang terhadang gelombang. Begitu terdorong, mendadak tiga sinar itu melesat deras ke depan!

Galaga tersentak. Tak ada jalan baginya untuk selamat selain harus menghadang dari arah depan. Maka dengan membentak garang, laki-laki ini sentakkan tangannya ke belakang. Bersamaan itu gelombang yang memantul tertarik. Saat Galaga mendorong ke depan, gelombang yang tadi memantul di udara melesat deras menyongsong sinar yang datang.

Blaarr! Blarrr!

Hutan belantara itu laksana diterjang gelombang dahsyat hingga bergetar keras. Beberapa pohon basar langsung tumbang. Tanah di mana terjadi benturan pukulan muncrat sambil lima tombak ke udara. Sosok Galaga langsung mencelat dan jatuh terbanting dengan punggung menghantam batangan pohon yang tumbang melintang. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Galaga rasakan sekujur tubuhnya panas luar biasa laksana dipanggang dalam bara. Pakaian yang dikenakan tampak hangus di bagian depan.

"Rasanya sulit bagiku kalau harus berhadapan dengan Kembang Darah Setan. Lagi pula aku harus tahu bagaimana keadaan Eyang Guru! Aku harus lakukan sesuatu agar bisa selamatkan diri!"

Galaga bergerak duduk. Sepasang matanya mengedar berkeliling. Saat itu suasana masih agak gelap karena terbungkus muncratan tanah serta banyaknya tumbangan pohon. Dan ketika dia memandang ke depan, samar-samar terlihat sosok Maladewa tegak berdiri dengan tangan kanan mengangkat Kembang Darah Setan. Galaga tidak tunggu lama. Dia kerahkan sisa tenaga dalamnya. Serta-merta kedua tangannya disentakkan ke depan.

Wuutt! Wuutt!

Dua gelombang dahsyat menderu deras ke depan. Beberapa batangan pohon yang melintang tersapu. Saat yang sama, Galaga bergerak bangkit. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Maladewa tampak tersenyum dingin mendapati beberapa batangan pohon menyapu ke arahnya. Dia hanya gerakkan tangan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Setan.

Wuutt!

Tiga sinar merah, hitam, dan putih berkiblat. Brakk! Brakkk!

Terdengar beberapa kali derakan. Beberapa batangan pohon yang menghampar ke arah Maladewa langsung porak-poranda dan hancur berkeping-keping! Maladewa seakan tahu apa yang diperbuat Galaga. Hingga hampir berbarengan dengan gerakan tangan kanannya yang berkelebat, sosoknya langsung melesat ke depan. Meski dia terlambat, tapi sepasang matanya masih dapat menangkap kelebatan sosok Galaga, hingga sambil berkelebat mengejar, tangan kanannya bergerak.

Kembali hutan belantara itu dibuncah tiga kiblatan sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih. Di depan sana, Galaga rupanya sudah pula mengatur siasat. Hingga dia tidak berkelebat lurus. Tapi sengaja mengambil arah berbelok-belok. Hingga kesulitan bagi Maladewa untuk arahkan hantaman tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan.

Namun laki-laki ini tidak ambil peduli. Tangan kanannya terus menerus menghantam, hingga saat itu juga hutan belantara itu dibuncah suara derakan tumbangnya beberapa pohon serta terbabatnya ranggasan semak belukar. Udara di atas hutan pun tampak berubah karena sesekali tampak hamburan tanah dan daun-daun yang membubung ke angkasa.

Pada satu tempat, tiba-tiba Maladewa hentikan kelebatan tubuhnya. Tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan ditarik ke bawah. Sepasang matanya berkilat-kilat memandang berkeliling.

"Meski saat ini kau lolos, namun bukan berarti kau akan mendapat tempat untuk sembunyikan diri, Galaga!" teriak Maladewa begitu dia tidak lagi melihat sosok Galaga.

Kehilangan jejak orang yang dikejar rupanya membuat Maladewa marah besar. Karena yang ada di hadapannya hanya jajaran pohon, maka semua kemara-hannya ditumpahkan pada apa saja yang terlihat matanya. Tangan kanan yang memegang Kembang Darah Setan dan tangan kirinya serta-merta bergerak.

Wuutt! Wuutt!

Beberapa jajaran pohon dan semak belukar kembali berderak dan bertaburan ke angkasa. Saat derakan dan hamburan semak belukar sirap, sosok Maladewa sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu. Begitu suasana kembali tenang, perlahan-lahan semak belukar tidak jauh dari tempat di mana tadi Maladewa berdiri kalap hantamkan kedua tangannya karena marah, tiba-tiba bergerak menyibak. Lalu tampaklah, satu sosok tubuh keluar dengan kepala bergerak ke samping kanan kiri dan mata liar menyelidik. Orang ini ternyata bukan lain adalah Galaga.

"Hem... Aku harus mencari kesempatan! Pada beberapa hari ini mungkin Maladewa masih berada di Kampung Setan. Aku akan menyingkir dahulu..."

Habis bergumam begitu, Galaga putar kepalanya. Saat kakinya bergerak, sosoknya melesat tinggalkan tempat itu.

*********************

BAB 6

SEBELUM kita ketahui ke mana Maladewa berkelebat pergi dan ke mana pula Galaga sembunyikan diri setelah berhasil lolos dari tangan maut Maladewa, kita ikuti dahulu peristiwa yang terjadi tiga hari sebelum Maladewa dan Galaga bertemu.

Saat itu malam hampir saja menjelang. Keadaan samar-samar sudah gelap. Namun hutan belantara berbatasan dengan pesisir itu sudah tenggelam dalam kepekatan. Hujan rintik-rintik yang turun sejak petang membuat suasana hutan kelam menggidikkan. Apalagi samar-samar jauh di dalam hutan terdengar lolongan anjing yang bersahut-sahutan.

Dalam kelamnya suasana, laksana hantu gentayangan, satu sosok tubuh tampak berkelebat cepat melintasi kekelaman hutan belantara. Melihat gerakannya, jelas sekali kalau sosok ini telah tahu benar seluk beluk tempat yang dilalui. Hingga dalam beberapa saat saja sosoknya telah melewati hutan belantara tanpa halangan suatu apa.

Sosok ini baru hentikan larinya tatkala di hadapannya tampak julangan-julangan batu karang yang berjajar melingkar seakan membentuk pagar. Di tengah julangan-julangan batu karang terlihat sebuah tanah terbuka yang pada tengahnya tampak sebuah altar batu. Tidak jauh dari altar batu tampak menggugus satu gundukan batu yang di bagian kedua ujungnya terdapat batu pipih mirip batu nisan.

Batu menggugus ini panjangnya kira-kira dua tombak. Karana di bagian kedua ujungnya terdapat batu pipih, sementara gugusan batu itu menggunduk, sepintas saja orang yang melihat pasti sudah dapat menduga kalau gugusan batu itu adalah sebuah makam.

Dalam beberapa tahun silam, tempat yang dikelilingi julangan-julangan batu karang yang seakan memagari makam batu inilah yang sempat membuat geger dunia persilatan dan sempat menjadi tempat angker dan dijuluki orang dengan Kampung Setan. Beberapa tokoh rimba persilatan yang coba-coba menyelidik ke tempat ini banyak yang tidak terdengar lagi kabar beritanya.

Sejenak sosok tubuh yang tegak memandang julangan-julangan batu karang edarkan pandangannya berkeliling. Dia adalah seorang laki-laki bermata tajam. Rambutnya panjang sebahu, paras wajahnya agak tampan. Sosoknya kekar.

Setelah edarkan mata berkeliling, laki-laki ini membuat satu gerakan. Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di antara salah satu julangan batu karang. Kepala laki-laki ini kembali berputar. Saat lain dia melangkah mendekati julangan batu karang di hadapannya. Dengan mata melirik ke samping kiri kanan, tangan kanannya bergerak menjulur ke depan. Laki-laki ini tampak menekan pada permukaan batu karang di depannya. Pada saat yang sama, terdengar suara berderit gesekan batu.

Laki-laki di hadapan batu karang tidak menunggu lama. Julangan batu karang di hadapannya tiba-tiba menguak terbuka. Kepala si laki-laki sesaat berputar sekali lagi. Jelas kalau laki-laki ini waspada dan tak mau diketahui orang. Saat dirasa aman, laki-laki ini melangkah panjang-panjang memasuki julangan batu karang yang ternyata memiliki pintu rahasia.

Begitu sosok si laki-laki lenyap masuk, batu karang yang terbuka menutup lagi. Si laki-laki cepat edarkan pandangan. Tempat itu ternyata mirip sebuah ruangan. Dan tempat itu terang benderang karena di bagian pojok tampak sebuah obor yang menyala. Di bawah obor, tampak sebuah ruangan kecil yang pada bagian tengahnya terdapat tempat datar dari batu karang ber-bentuk persegi panjang sebesar satu tombak berkeliling.

Si laki-laki yang baru masuk langsung arahkan pandangan matanya ke ruangan di bawah obor. Bukan pada batu karang persegi panjang, namun pada satu sosok tubuh yang duduk bersila di atas batu karang persegi panjang. Sosok ini adalah seorang perempuan berusia amat lanjut. Seluruh wajahnya sudah mengeriput. Rambutnya yang telah putih tampak sangat tipis sekali hingga batok kepalanya terlihat jelas. Kelopak sepasang matanya yang menjorok masuk tampak terpejam rapat. Kedua tangannya yang ringkih bersedekap merangkap di dada. Nenek ini mengenakan pakaian warna putih bersih.

Si laki-laki bergerak melangkah. Dan berhenti hanya sejarak delapan langkah di depan ruangan mana si nenek berada. Untuk beberapa lama si laki-laki memandang pada si nenek dengan seksama. Namun sejauh ini mulutnya masih terkancing tidak perdengarkan suara meski jelas kalau si laki-laki sudah tidak sabaran.

"Maladewa..." Mendadak si nenek perdengarkan suara. Meski sosoknya terlihat ringkih dan mulutnya membuka sedikit, namun suara yang diperdengarkan sangat berat dan menggema ke Seantero ruangan!

Si laki-laki yang dipanggil Maladewa sejurus tampak tersentak kaget. Tapi dia belum juga buka mulut. Dia hanya memandang dengan sikap makin gelisah.

"Maladewa! Kau tahu, saat ini bukan waktunya kau datang!" Si nenek kembali buka mulut. Namun sepasang matanya tetap terpejam rapat.

"Aku tahu!" Maladewa menyahut. "Tapi ada sesuatu yang mengharuskan ku datang!"

Si nenek buka kelopak matanya. Memandang sejenak pada obor di atasnya lalu mulutnya meniup dengan kepala sedikit didongakkan. Terdengar siuran angin. Di lain saat, tiba-tiba obor yang menyala padam! Ruangan di dalam julangan batu karang itu hitam pekat.

"Katakan padaku, Maladewa! Apa yang membuatmu datang bukan pada waktunya!" Si nenek perdengarkan suara lagi. Namun suaranya kali ini tidak bisa ditentukan bersumber dari mana. Karena suara itu laksana diperdengarkan dari delapan jurusan mata angin!

Maladewa tidak segera menjawab. Sebaliknya laki-laki ini pentang mata besar-besar memandang ke arah batu persegi panjang di mana tadi si nenek duduk bersila. Laki-laki ini sejenak terkesiap. Karena matanya tidak lagi melihat sosok si nenek di atas batu! Mendapati hal demikian, Maladewa tampak geram. Dia cepat balikkan tubuh lalu melompat dan tegak di tengah ruangan dengan kepala mendongak. Saat lain tanpa gerakan kepala berpaling, dia bersuara.

"Nek! Bertahun-tahun aku merahasiakan siapa diriku pada Galaga! Hingga yang dia tahu sampai sekarang adalah bahwa di antara kita berdua hanya hubungan sebagai guru dan murid!"

"Hem... Hanya itu yang membuatmu datang, Cucuku...?!" Terdengar suara si nenek namun tidak jelas di mana dia beradanya. Suaranya masih menggema dari delapan arah.

"Nek! Rasanya usiaku telah cukup. Usiamu juga telah lanjut! Sudah saatnya kau serahkan semua warisan leluhur penguasa Kampung Setan ini padaku! Aku khawatir kalau Galaga mencium siapa adanya kita berdua!"

"Maladewa cucuku... Kau tidak usah khawatir dengan Galaga! Aku percaya penuh padanya! Dia tidak mungkin membocorkan keadaan Kampung Setan ini di luaran sana! Dia murid baik! Tak mungkin berani berkhianat, apalagi dia telah bersumpah sebelum kuangkat sebagai muridku!"

Si nenek hentikan ucapannya sejenak. Tak lama kemudian terdengar lagi ucapannya. "Tentang permintaanmu, Cucuku. Kau harus bersabar. Saat itu pasti akan tiba! Tapi bukan sekarang!"

"Hem.... Lalu sampai kapan? Kau bisa tentukan waktunya?!" tanya Maladewa masih dengan tegak di tengah ruangan dan kepala mendongak.

"Seperti pendahulu ku. Aku tidak boleh mengatakan saat tibanya waktu itu! Tapi pasti akan datang! Dan semua permintaanmu akan terpenuhi meski kau tidak memintanya! Dan karena kau adalah generasi terakhir, maka kau akan mendapat tugas penting yang sebelumnya tidak pernah kulakukan!"

"Tugas apa itu?!"

"Kau nanti akan mengetahuinya bila upacara penyerahan berlangsung!"

Beberapa saat antara kedua orang ini tidak ada yang perdengarkan suara. Namun tak lama kemudian, Maladewa tampak buka mulut lagi.

"Nek! Kau tidak mengada-ada dengan keterangan yang kau ucapkan?!"

Terdengar suara tawa berat menggema. Lalu disusul dengan suara si nenek. "Untuk apa aku mengada-ada keterangan, Cucuku! Kau adalah generasi terakhir dari Kampung Setan yang harus mengemban tugas! Jadi kelak tidak ada lagi yang perlu disembunyikan lagi!"

"Begitu?! Lalu mengapa kau masih sembunyikan sesuatu dariku?!"

Sesaat tak ada sahutan. Maladewa ganti perdengarkan suara tawa sebelum akhirnya berkata. "Nek! Mengapa kau diam saja?!"

"Coba katakan apa yang katamu kusembunyikan!"

"Mengapa kau turunkan Ilmu 'Pantulan Tabir' pada Galaga?! Sementara aku sebagai generasi terakhir dan cucumu kau abaikan?! Padahal sudah beberapa kali aku meminta padamu untuk turunkan ilmu itu!"

"Maladewa! Galaga sengaja kuambil murid untuk mendampingimu kelak dalam melaksanakan tugas! Dan sengaja ilmu itu kuturunkan dahulu padanya agar dapat menjaga diri. Karana selama ini dialah yang sering keluar! Lebih dari itu, kau tak usah khawatir. Kau juga akan segera menerima ilmu itu begitu saatnya dekat dengan upacara penyerahan!"

"Rasanya itu bukan satu alasan yang masuk akal, Nek! Tidak ada salahnya bukan kalau ilmu itu kau turunkan jauh sebelum upacara penyerahan?! Kau sepertinya mendahulukan orang lain daripada cucumu sendiri! Aku menduga ada apa-apa di balik semua ini!"

"Maladewa! Jangan berprasangka buruk padaku! Adalah tindakan bodoh jika seorang nenek mendahulukan kepentingan orang lain daripada cucunya!"

"Aku tidak bisa percaya dengan ucapanmu, Nek!"

"Dengar, Maladewa! Aku tak suka dengan sikapmu yang kurang ajar berani berkata begitu padaku! Kau juga datang bukan pada saatnya! Kuperintahkan kau agar segera keluar dari sini!"

"Kau jangan lupa, Nek! Kita sama-sama berhak atas warisan leluhur! Dan aku minta saat ini juga warisan itu diberikan padaku!"

"Ucapanmu benar, Maladewa! Tapi aku tak berani melanggar pesan! Semua warisan boleh kau miliki setelah upacara penyerahan berlangsung! Lain dari saat itu, kau tidak akan memperoleh apa-apa. Aku pun tak berani memberikan padamu!"

"Kalau begitu aku akan mengambil dengan caraku sendiri!"

"Jangan bicara sembarangan, Maladewa! Kau menyalahi peraturan yang berlaku di Kampung Setan ini!"

"Aku tak peduli! Karena kau juga telah bertindak ceroboh turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' pada orang selain keturunan dari Kampung Setan!"

Habis berkata begitu, Maladewa gerakkan tubuh berputar. Sepasang matanya terpentang besar coba tembusi kepekatan suasana. Namun sejauh ini matanya tak bisa menangkap di mana beradanya si nenek.

"Nek! Kau kira aku tak bisa berbuat sesuatu meski aku tak bisa melihat kau berada di mana?!"

Tak ada suara sahutan. Maladewa angkat kedua tangannya. Saat lain laki-laki ini sentakkan tangannya sambil berputar. Terdengar suara melesatnya beberapa gelombang yang datang susul menyusul. Lalu terdengar suara gemuruh dahsyat tiada hentinya. Ruangan dalam julangan batu karang itu bergetar keras. Keadaannya makin pekat karena hamburan beberapa pecahan batu karang.

"Hentikan, Maladewa!" tiba-tiba terdengar teriakan si nenek.

Maladewa hentikan gerakan kedua tangannya serta putaran tubuhnya. "Berikan warisan itu padaku! Atau kau ingin tempat ini porak-poranda!"

"Maladewa..." Terdengar suara si nenek. Kali ini nadanya lembut meski suaranya berat. "Bersabarlah! Saatnya pasti akan tiba!"

"Aku tak akan menunggu saat yang belum pasti kapan datangnya! Aku minta saat ini juga!"

Habis berkata begitu, Maladewa kembali angkat kedua tangannya. Namun sebelum kedua tangannya sempat bergerak, terdengar suara si nenek. Namun kali ini suaranya keras.

"Maladewa! Aku telah memperingatkanmu! Tapi rupanya kau keras kepala! Sekarang katakan apa yang kau minta!"

"Kembang Darah Setan!" jawab Maladewa dengan suara tak kalah kerasnya.

"Benda itu harus kau terima saat penyerahan, Maladewa!"

"Persetan dengan upacara penyerahan! itu hanya omong kosong belaka! Buktinya sudah berapa tahun aku menunggu! Tapi apa yang ku dapati?! Hanya tunggu dan tunggu! Sementara orang lain telah mendapatkannya meski tidak meminta!"

"Hem... Jadi kau tidak sabar menunggu upacara penyerahan itu?! Dan memintanya sekarang?!"

"Nek! Kau telah dengar ucapanku!"

"Baik! Ini permintaanmu! Aku pun tak akan menolak apa yang kau minta karena itu memang hak mu!"

Suasana ruangan di dalam julangan batu karang sejenak hening. Maladewa tegak menunggu dengan dada berdebar. Tiba-tiba laki-laki ini tersentak tatkala matanya menangkap cahaya sinar. Dia cepat balikkan tubuh menghadap sumber berpencarnya cahaya. Namun dia tersentak tatkala melihat cahaya sinar berwarna merah, hitam serta putih itu melesat ke arahnya! Maladewa cepat rundukkan tubuh dengan lutut sedikit ditekuk. Saat bersamaan kedua tangannya bergerak berkelebat ke atas menyahut cahaya yang menuju arahnya.

Tappp!

Cahaya tiga warna tersahut kedua tangan Maladewa. Laki-laki ini merasakan hawa hangat merasuki sekujur tubuhnya. "Kembang Darah Setan!" desis Maladewa dengan mata membeliak besar perhatikan apa yang kini berada dalam tangannya. Perlahan-lahan dia turunkan tangannya.

"Maladewa! Kau telah mendapatkan apa yang jadi hakmu! Tapi ingat, hal itu kau peroleh tanpa upacara penyerahan! Aku tak bisa berbuat apa-apa karena itu adalah kemauanmu! Sekarang segeralah angkat kaki dari ruangan ini!"

Maladewa angkat kepalanya. "Kembang Darah Setan telah berada di tanganku! Siapa pun juga tak berhak memberi perintah! Justru akulah sekarang yang buat aturan dan keluarkan perintah!"

"Maladewa! Kau jangan..."

"Kuperintahkan kau agar unjuk diri, Nek!" potong Maladewa.

"Maladewa! Kau..."

Lagi-lagi Maladewa sudah memotong ucapan si nenek sebelum suaranya selesai. "Nek! Kau dengar ucapanku! Lekas unjuk diri!"

Selesai berucap begitu, Maladewa angkat Kembang Darah Setan yang ada di tangan kanannya. Karena ditunggu agak lama si nenek tidak juga turuti ucapan Maladewa, laki-laki ini habis kesabaran. Kedua tangannya serta-merta bergerak. Tangan kanan hantamkan Kembang Darah Setan sementara tangan kiri lepas pukulan bertenaga dalam tinggi.

Ruangan dalam julangan batu karang ini dibuncah dengan menderunya gelombang dahsyat dan berkiblatnya beberapa sinar tiga warna. Sambil lepaskan pukulan tangan kiri kanan, Maladewa putar tubuh. Terdengar suara bergemuruh luar biasa. Karena ruangan itu diterangi sinar terang tiga warna, maka tampaklah jika ruangan itu telah porak-poranda. Bahkan di sana-sini tampak longsoran batu karang. Malah batu persegi panjang di mana tadi si nenek duduk bersila telah hancur berantakan! Tiba-tiba dari arah sudut sebelah timur terdengar suara bentakan keras membahana.

"Maladewa! Kau telah hancurkan tempat persemadian leluhur mu! Kau kelak akan menerima akibat dari ulah mu ini!"

Maladewa tidak menyahut. Sebaliknya cepat putar tubuh menghadang suara yang baru terdengar. Begitu tubuhnya bergerak memutar, kedua tangannya bergerak menyentak.

Blaarr!

Ruangan sebelah timur langsung longsor. Namun satu bayangan putih sudah melesat terlebih dahulu sebelum gelombang dan sinar tiga warna menghantam. Kepala Maladewa cepat bergerak mengikuti melesatnya bayangan putih yang bukan lain adalah sosok si nenek. Saat bersamaan, Maladewa hantamkan tangan kanan kirinya.

Wusss!

Bayangan putih mencelat mental lalu menghantam langit-langit ruangan. Anehnya bayangan putih itu tidak langsung meluncur ke bawah meski baru saja terhantam. Sebaliknya menempel erat pada langit-langit ruangan!

"Maladewa! Kau boleh memiliki Kembang Darah Setan. Tapi bukan berarti kau dapat membunuh dengan benda itu!"

Maladewa terkesiap. Suara itu tidak terdengar dari langit-langit ruangan. Melainkan dari sudut ruangan sebelah barat! Memandang ke sebelah barat, samar-samar Maladewa menangkap satu sosok bayangan putih. Maladewa sesaat ingin meyakinkan. Lalu sekonyong-konyong kedua tangannya bergerak menghantam!

Sosok bayangan putih tidak membuat gerakan menghindar, hingga tak ampun lagi gelombang dahsyat dan sinar tiga warna yang melesat dari Kembang Darah Setan menghantam telak! Bayangan putih mencelat menghantam dinding ruangan di belakangnya. Anehnya Maladewa tidak mendengar suara pekik atau seruan. Sebaliknya laki-laki ini mendengar suara berderit jauh di belakangnya. Maladewa sadar. Dia buru-buru putar tubuh. Ternyata bagian mana tadi Maladewa masuk telah terbuka. Saat bersamaan, satu sosok bayangan putih berkelebat keluar!

"Bangsat! Aku tertipu! Dia tadi telah peragakan ilmu 'Pantulan Tabir'!" desis Maladewa. Dia cepat mengejar.

Namun begitu keluar dari ruangan dalam julangan batu karang, sosok si nenek sudah lenyap! Dan bersamaan keluarnya sosok Maladewa, pintu batu karang menutup kembali. Maladewa pandangi Kembang Darah Setan yang tergenggam di tangannya. Bibirnya sunggingkan senyum.

"Galaga! Saatnya kau harus mampus! Aku tak ingin Kampung Setan dimasuki manusia selain dari keturunan penguasa Kampung Setan! Setelah itu... Aku akan mencari di mana jejaknya tua bangka itu!"

Maladewa masukkan Kembang Darah Setan ke balik pakaiannya. Kepalanya berputar dua kali dengan mata menembusi kegelapan malam yang semakin larut. Saat lain laki-laki ini membuat gerakan satu kali. Gerakannya ini serta-merta melesatkan tubuhnya meninggalkan pelataran Kampung Setan.

*********************

BAB 7

DUA orang sama berpacu cepat menuju sebelah timur hutan belantara di mana Kampung Setan berada. Orang di sebelah depan memanggul satu sosok tubuh yang dari mulut dan hidungnya tampak kucurkan darah. Sosok yang dipanggul orang tampak tidak bergerak-gerak. Sementara orang yang di sebelah belakang berlari sambil sesekali putar kepala dan memperhatikan sosok yang ada di panggulan orang di depannya.

Begitu memasuki kawasan yang dipagari julangan-julangan batu karang, orang di sebelah depan yang memanggul sosok tubuh berlumuran darah hentikan larinya. Orang ini memandang berkeliling sebentar, lalu dengan enaknya bahunya bergerak. Sosok tubuh yang berada di panggulnya serta-merta jatuh bergedebukan di atas hamparan batu tidak jauh dari gundukan makam batu yang ada ditengah-tengah beberapa julangan batu karang.

Orang yang berlari di sebelah belakang ikut hentikan larinya tidak jauh dari orang yang baru saja jatuhkan sosok tubuh dipanggulannya. Kedua orang ini sejenak saling pandang. Orang yang tadi berlari di sebelah depan sambil membawa sosok tubuh di pundaknya adalah seorang laki-laki berperawakan kekar. Rambutnya panjang menutupi bahu dan sebagian wajahnya. Parasnya tampan. Matanya tajam. Dagunya kokoh. Laki-laki ini mengenakan pakaian warna putih.

Sementara orang yang tadi berlari di sebelah belakang adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Raut wajahnya juga tampan. Sepasang matanya juga tajam. Orang yang tadi berlari di sebelah depan angkat kepalanya, lalu berteriak.

"Maladewa! Kami berdua datang!"

Gema suara orang belum lenyap, mendadak dari salah satu lamping julangan batu karang yang berjajar memagari makam batu melesat satu sosok tubuh. Ternyata dia adalah juga seorang laki-laki dan bukan lain adalah Maladewa. Maladewa tegak dihadapan dua laki-laki yang baru datang. Sejurus mata Maladewa perhatikan dua laki-laki dihadapannya. Lalu melirik pada orang yang terbujur diam berlumuran darah di bawah.

"Kami hanya berhasil membawa mayat Nyai Randu Abang!" berkata laki-laki yang tadi berlari di sebelah depan.

"Dadaka!" kata Maladewa menyebut nama laki-laki yang tadi berlari di sebelah depan. "Satu purnama kau dan Kigali kuberi waktu untuk laksanakan tugas ini. Nyatanya yang kalian bawa hanya mayat perempuan tak berguna ini!"

Dadaka berpaling pada laki-laki yang tadi berlari di sebelah belakang yang disebut Maladewa dengan nama Kigali. Kedua orang ini sejurus saling pandang. Setelah Dadaka anggukkan kepala, Kigali buka mulut angkat bicara.

"Maladewa! Satu purnama waktu yang kau berikan ternyata terlalu pendek untuk mencari jejak manusia macam Galaga! Kuharap kau mengerti! Dan untuk sementara ini kami berdua hanya mampu membawa mayat Nyai Randu Abang, salah satu orang yang nyawanya kau inginkan!"

"Betul!" timpal Dadaka. "Lagi pula, dengan tewasnya Nyai Randu Abang, Galaga pasti akan segera unjuk tampang keluar dari persembunyiannya! Karena kau tahu sendiri, Nyai Randu Abang adalah kekasih Galaga!"

Maladewa memandang silih berganti pada Dadaka dan Kigali. Lalu beralih pada sosok berlumur darah di bawah yang ternyata adalah seorang perempuan. Raut wajahnya hampir tidak bisa dikenali karena di sana-sini banyak dibercaki darah.

"Bagaimana dengan jejak si nenek tua bangka itu?!" tanya Maladewa.

"Sejauh ini kami belum mendapatkan jejaknya! Kau tahu sendiri, nenek itu hanya kami kenali ciri-cirinya saja tanpa kami kenali wajahnya. Itu salah satu kesulitan kami dalam mencari jejaknya!" Yang angkat bicara menyahut adalah Dadaka.

"Tapi kau tak usah cemas! Kami berdua akan tetap mencari di mana jejak si nenek itu sekaligus jejak Galaga! Aku menduga kedua orang ini bersatu dan sembunyi pada satu tempat!" sahut Kigali.

"Berapa lama waktu yang kalian butuhkan untuk membawa kedua orang itu mati atau hidup ke hadapanku?!"

"Yang kami hadapi bukan orang sembarangan! Jadi kami tak bisa tentukan batas waktunya!" ujar Dadaka.

"Benar Maladewa! Apalagi saat ini rimba persilatan sedang geger dengan banyaknya tokoh yang terbunuh secara misterius! Kami harus bertindak hati-hati agar tidak sampai dicurigai!" sahut Kigali seraya memandang berkeliling.

Maladewa untuk kesekian kalinya memandang satu persatu pada kedua laki-laki dihadapannya. "Kalian telah katakan bisa membawa orang-orang yang kuinginkan dalam waktu tidak lama. Kini ucapan kalian berbalik! Katakan saja kalau kalian tidak mampu!" kata Maladewa dengan suara agak keras.

Dadaka dan Kigali tampak sama gelengkan kepala. "Kami berdua telah ambil risiko dengan berani lakukan apa yang kau ucapkan! Bagi kami itu adalah taruhan nyawa! Kalau kami merasa tidak mampu, apa mungkin kami berani lakukan ini?!" kata Dadaka.

“Benar..." sahut Kigali. "Apalagi kini mulai tercium bahwa terbunuhnya tokoh-tokoh rimba persilatan ada kaitannya dengan penghuni Kampung Setan ini! Dan tersiar pula kalau Maladewa adalah salah seorang yang tersisa dari penghuni Kampung Setan! Maka dari itu kami harus selalu waspada agar tidak sampai diketahui kalau kami berdua adalah orang-orang suruhanmu!"

Sesaat Maladewa tampak terdiam. Diam-diam laki-laki ini membatin dalam hati. "Jika benar bahwa apa yang kulakukan telah tercium beberapa orang, maka kedua orang ini pun harus segera mampus! Jika tidak, aku khawatir keduanya akan berkhianat dengan sebarkan berita! Jika itu terjadi, Kampung Setan akan menjadi bulan-bulanan kalangan rimba persilatan seperti yang pernah terjadi pada beberapa puluh tahun silam! Dan itu berarti kebangkitan Kampung Setan tidak akan terwujud! Kembang Darah Setan memang telah ku genggam. Dan dengan Kembang Darah Setan di tanganku, rasanya tidak sulit menghadapi manusia-manusia yang hendak menghalangi bangkitnya penguasa Kampung Setan, tapi aku tidak menginginkan hal itu terjadi saat ini! Setidaknya sebelum tua bangka itu dan Galaga tewas!"

Berpikir begitu, pada akhirnya Maladewa berkata. "Dadaka, Kigali! Sesuai dengan kesepakatan, sebenarnya kalian saat ini harus sudah membawa dua orang yang kuinginkan. Aku masih berbaik hati pada kalian! Tapi aku tak mau kalau kalian tidak bisa memberi batasan waktu padaku untuk membawa dua orang itu!"

"Maksudmu?!" tanya Dadaka seraya lempar kerlingan pada Kigali.

"Kalian kuberi waktu sampai delapan hari di muka! Jika sampai hari itu kali in tidak juga berhasil, kalian tahu bukan apa yang harus kalian lakukan?!"

"Maladewa! Rasanya waktu yang kau berikan terlalu sempit jika harus membawa dua orang itu! Dengan tersebarnya berita di kalangan dunia persilatan tentang siapa sebenarnya Galaga, pasti Galaga akan coba sembunyi sejauh mungkin!" ucap Kigali.

"Persetan sembunyi sejauh mana jahanam itu! Yang jelas kalian berdua telah menerima imbalan dalam laksanakan hal ini! Dan seharusnya kalian bersyukur aku telah memperpanjang dari waktu yang kalian janjikan!"

Maladewa pandangi satu persatu orang di hadapannya dengan tatapan angker. Lalu teruskan ucapan. "Delapan hari di muka itulah waktu untuk kailan berdua! Dan kalian ingat, delapan hari adalah sisa umur kalian berdua kalau kalian tidak berhasil membawa dua orang yang kuinginkan!"

Kigali melangkah mendekat pada Dadaka lalu berbisik. "Perkiraan kita meleset! Berarti kita harus laksanakan rencana sekarang juga! Jika tidak, nyawa kita pasti melayang terlebih dahulu! Kita tidak mungkin menemukan dua orang yang diinginkannya dalam waktu delapan hari!"

Dadaka anggukkan kepala. Lalu melangkah mendekat ke arah Maladewa dengan bibir sunggingkan senyum. "Maladewa! Kami telah berani lakukan keinginanmu yang berarti kami juga telah siap serahkan nyawa! Maka dari itu, dalam waktu delapan hari ini kami akan mencari dua orang itu! Jika tidak berhasil, kami dengan suka rela akan serahkan nyawa masing-masing padamu!"

Habis berkata begitu, tanpa diduga sama sekali oleh Maladewa, kedua tangan Dadaka bergerak lepas satu pukulan ke arah Maladewa yang berdiri hanya dua langkah dihadapannya. Maladewa tersentak. Dia masih coba mengelak selamatkan diri dengan tarik kepalanya. Namun tak urung dadanya terhantam tangan kanan Dadaka.

Bukkk!

Sosok Maladewa terjajar dua langkah. Belum sempat orang ini membuka gerakan, Kigali telah berkelebat dan hantamkan tangan kiri kanan. "Jahanam!" maki Maladewa. Kedua tangannya diangkat menghadang pukulan yang datang. Namun bersamaan dengan itu Dadaka sudah merangsek maju sambil kirimkan satu tendangan.

Bukk! Bukkk! Desss!

Maladewa masih sanggup menghadang kedua tangan Kigali. Namun tendangan yang dilepas Dadaka tak bisa dielakkan, hingga tanpa ampun lagi sosoknya terjengkang di atas hamparan batu.

"Jangan beri kesempatan tangannya mengambil Kembang Darah Setan!" bisik Kigali.

Belum sampai ucapan Kigali selesai, Dadaka sudah sentakkan kedua tangannya ke depan. Dua gelombang dahsyat saat itu juga menggebrak deras ke arah Maladewa. Kigali tidak tinggal diam. Kedua tangannya serentak juga lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi ke arah Maladewa.

Maladewa sejenak hendak selinapkan tangan kanannya ke balik pakaiannya di mana tersimpan Kembang Darah Setan. Namun gelombang yang menggebrak sudah berada setengah depa di depannya. Hingga mau tak mau Maladewa harus segera urungkan niatnya untuk mengambil Kembang Darah Setan. Sebaliknya dia segera menghadang gelombang yang datang dengan sentakkan kedua tangannya.

Blammm! Blammm!

Terdengar ledakan keras. Sosok Maladewa yang terhantam di batu mencelat jauh ke belakang. Sementara sosok Dadaka dan Kigali hanya terhuyung-huyung sejenak. Namun kedua orang ini rupanya tidak mau memberi kesempatan pada Maladewa. Begitu sosok Maladewa mencelat, keduanya cepat lipat gandakan tenaga dalam lalu hampir berbarengan keduanya berkelebat mengejar sosok Maladewa. Kedua orang ini sengaja berpencar. Datang menyongsong Maladewa dari sebelah kanan dan kiri.

Maladewa tampak gertakkan rahang. Dia segera bangkit dengan tangan sudah menyelinap ke balik pakaiannya. Namun belum sampai tangannya mengeluarkan Kembang Darah Setan, sosok Dadaka dan Kigali telah tegak di sebelah kanan kirinya! Seolah tidak mau didahului tangan kanan Maladewa yang hendak keluarkan Kembang Darah Setan, Dadaka dan Kigali langsung lepaskan tendangan kaki masing-masing.

Maladewa sesaat bimbang. Kalau dia teruskan niat ambil Kembang Darah Setan, maka tak ampun lagi tendangan orang akan menghantam tubuhnya. Di satu sisi, kalau dia urungkan niat ambil Kembang Darah Setan, mungkin masih dapat menghadang datangnya tendangan. Karena berpikir bahwa masih dapat membendung tendangan orang dan dengan demikian masih punya kesempatan mengambil Kembang Darah Setan, pada akhirnya Maladewa urungkan niat ambil Kembang Darah Setan. Sebaliknya segera sentakkan tangan kanan kirinya ke samping kanan dan kiri menghadang tendangan orang.

Bukkk! Bukkk!

Perhitungan Maladewa tidak meleset. Kedua ten-dangan yang datang dari samping kanan kiri berhasil dihadang meski sosoknya harus terseret ke belakang dengan kedua tangan mental balik. Namun perhitungan Maladewa tidak seluruhnya benar. Karena bersamaan dengan mentalnya kaki Dadaka dan Kigali terhadang kedua tangan Maladewa, Dadaka dan Kigali serta-merta sentakkan tangan masing-masing lepas pukulan!

Maladewa terkesiap. Kalau datangnya pukulan dari satu arah mungkin masih bisa dihadang. Namun datangnya pukulan kali ini justru dari dua jurusan. Ini membuat Maladewa sedikit kebingungan. Menghadang keduanya pasti akan membuat dirinya cedera parah, menghadang salah satunya, pasti pukulan satunya dengan telak akan menghantam tanpa bisa dielakkan lagi! Pada puncak kebingungannya, akhirnya Maladewa mengambil keputusan menghadang kedua pukulan dengan sentakkan kedua tangannya ke samping kanan kiri.

Blaar! Blarr!

Terdengar dentuman hebat tatkala pukulan Dadaka dan Kigali bertemu dengan pukulan Maladewa. Karena harus mengimbangi dua pukulan, maka begitu terdengar ledakan, sosok Maladewa mencelat sebelum akhirnya terkapar dengan menghantam gundukan batu makam di tengah tempat terbuka itu. Darah tampak mengucur deras dari mulutnya yang megap-megap.

Sementara sosok Dadaka dan Kigali sama jatuh terduduk. Karena masih khawatir Maladewa hendak keluarkan Kembang Darah Setan, kedua orang ini cepat beranjak bangkit. Kigali memberi isyarat. Lalu berkelebat ke arah altar batu tidak jauh dari makam itu. Di lain pihak, Dadaka cepat hantamkan kedua tangannya. Hingga saat itu juga dua gelombang dahsyat menghampar deras ke arah Maladewa yang coba bangkis. Tangan kanan Maladewa ternyata telah berhasil keluarkan Kembang Darah Setan, hingga sambil bergerak bangkit, tangan kanannya diangkat. Lalu disentakkan begitu telinganya mendengar deruan gelombang datang ke arahnya.

Wuuutt!

Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih berkiblat. Gelombang yang keluar dari kedua tangan Dadaka serta-merta ambyar di tengah jalan. Malah saat itu juga sosok Dadaka mencelat dan jatuh terjengkang. Namun bersamaan dengan bergeraknya tangan kanan Maladewa, Kigali yang berada di atas batu altar jejakkan kakinya pada bagian tengah batu altar. Bersamaan itu, kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh. Terjadi satu keanehan. Begitu kaki Kigali menjejak bagian tengah batu altar, tiba-tiba makam batu di belakang Maladewa bergerak-gerak. Saat lain makam batu itu secara aneh membuka! Hingga tepat di belakang Maladewa tampak lobang menganga besar!

"Keparat! Dia tahu rahasia makam batu ini!" desis Maladewa dengan mata melirik pada Kigali. Maladewa hendak sentakkan Kembang Darah Setan kembali. Namun karana baru saja menghadang pukulan Dadaka, maka gerakannya sudah sangat terlambat. Hingga belum sampai tangannya bergerak, gelombang yang datang dari pukulan Kigali telah melabrak!

Sesaat sosok Maladewa tampak bergoyang-goyang. Namun saat lain sosoknya mental ke belakang. Karena di belakangnya adalah lobang makam yang telah terbuka, maka tak ampun lagi sosok Maladewa terjerambab masuk ke dalam lobang makam! Dalam keadaan seperti itu, dengan luar biasa Maladewa masih mampu bertahan. Hingga meski sosoknya terbanting menghantam dinding lobang sebelah dalam, tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan masih mampu menggapai ke bagian samping atas lobang.

Kesempatan ini tak disia-siakan Dadaka yang telah berhasil kuasai diri serta sudah tegak kerahkan tenaga dalam. Hingga begitu melihat tangan kanan Maladewa berusaha menggapai bagian atas lobang, Dadaka cepat berkelebat. Kigali tidak tinggal diam. Dia cepat pula membuat gerakan. Sosoknya serta-merta melesat ke arah makam batu yang telah terbuka. Hampir bersamaan, tangan Dadaka dan Kigali tampak berkelebat menyambar Kembang Darah Setan yang berada di tangan kanan Maladewa yang berusaha mencari pegangan.

Wuutt! Wuuutt!

Maladewa rupanya masih merasa apa yang hendak dilakukan kedua orang di luar makam batu. Hingga dengan gerakan kilat, dia segera tarik tangan kanannya ke bawah. Hal ini membuat sambaran tangan Dadaka dan Kigali hanya menyambar udara kosong, namun tindakan Maladewa ini berakibat amblas masuknya sosok Maladewa ke dalam makam batu!

"Terlambat!" desis Dadaka seraya cepat tarik pulang tangan dan tubuhnya.

Di sebelahnya, Kigali cepat pula membuat gerakan tarik pulang tangan dan tubuhnya karena bersamaan masuknya sosok Maladewa, secara aneh makam batu yang terbuka menutup kembali.

Blammm!

Terdengar debuman dahsyat saat lobang makam tertutup kembali. Satu sambaran angin luar biasa keras menghampar. Hingga tubuh Dadaka dan Kigali mental beberapa tombak ke belakang dan jatuh berlutut. Dari mulut Dadaka dan Kigali tampak bercakan darah. Tubuh masing-masing orang tampak bergetar keras. Wajah keduanya pias. Jelas kalau kedua orang ini telah terluka bagian dalam. Selain akibat bentrok pukulan dengan Maladewa, juga karena sambaran angin dahsyat yang mencuat dari menutupnya lobang makam batu.

Beberapa saat berlalu. Perlahan-lahan Dadaka yang sejenak tadi coba himpun tenaga dalam berpaling pada Kigali. Terlihat Kigali juga masih coba kuasai diri namun telah buka kelopak matanya.

"Kigali!" kata Dadaka dengan suara agak tersendat dan bergetar. Tanda dia sepenuhnya dapat kuasai diri. "Bagaimana sekarang?! Apa kita hancurkan makam batu itu?!"

Kigali gelengkan kepala. "Percuma, Dadaka! Kalaupun kita berhasil membongkar makam itu, kita hanya akan serahkan nyawa. Karena Kembang Darah Setan masih berada di tangan Maladewa!"

"Hem... Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?!"

"Menyingkir dari tempat ini!"

"Hem... Hanya begitu saja?!"

"Apa boleh buat, Dadaka! Nyawa kita selamat saja sudah untung! Dan aku yakin, Maladewa tidak akan selamat!"

Dadaka menyeringai. "Aku akan bongkar makam batu itu! Kita sudah mati-matian berusaha! Kalau pada akhirnya hanya begini saja, usaha kita percuma!"

"Jangan bertindak gegabah, Dadaka! Kau tahu sendiri. Makam batu itu bukan makam biasa! Sambaran menutupnya saja sudah bisa membuat kita terluka! Aku hanya memberi peringatan. Kalau kau hendak lakukan silakan! Tapi aku tidak akan ikut-ikutan! Aku harus segera tinggalkan tempat ini!"

Habis berkata begitu, Kigali bergerak bangkit. Dan perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu. Dadaka sejurus pandangi makam batu di depan sana. Laki-laki ini bergerak bangkit. Ada kebimbangan pada raut wajahnya. Dan entah karena percaya pada ucapan Kigali, pada akhirnya perlahan-lahan Dadaka putar diri lalu melangkah mengikuti Kigali.

BAB 8

BEBERAPA saat setelah Dadaka dan Kigali tinggalkan tempat yang dalam rimba persilatan dikenal dengan Kampung Setan, satu sosok putih tiba-tiba berkelebat dan tegak hanya dua langkah dari makam batu di mana Maladewa baru saja amblas masuk. Sosok putih ini ternyata adalah seorang perempuan berusia amat lanjut mengenakan pakaian putih. Seluruh wajahnya telah mengeriput. Rambutnya putih dan jarang. Sesaat nenek ini buka kelopak matanya tetapi makam batu dihadapannya. Namun bersamaan dengan itu tiba-tiba terdengar suara membentak.

"Dadaka! Kigali! Kalian manusia-manusia jahanam yang berani bertindak bodoh! Nyawa kalian berdua akan kukejar dan ku cabut perlahan-lahan! Tapi hal itu tak akan kalian alami asal kalian mau keluarkan aku dari sini!"

Suara itu terdengar seperti dari tempat yang sangat jauh dan dalam. Suara itu terdengar terbata-bata dan bergetar. Karena tak ada sahutan, sesaat kemudian terdengar lagi suara.

"Dadaka! Kigali! Kalian berdua adalah sahabat-sahabatku! Kalau kalian inginkan Kembang Darah Setan, benda ini akan kuberikan pada kalian! Lekas keluarkan aku dari tempat celaka ini!"

"Maladewa! Percuma kau berteriak. Sahabat-sahabatmu itu telah pergi dari sini!" Yang buka mulut perdengarkan suara adalah si nenek yang berada di sebelah makam batu. Suara nenek ini berat parau dan seolah diperdengarkan dari setiap celah julangan-julangan batu karang yang berjajar memagari makam batu.

Sesaat tidak ada sahutan. Yang terdengar justru suara dengusan keras. Namun tak lama kemudian, terdengar suara dari dalam makam batu. "Nek! Kaukah yang di luar?!"

"Betul, Maladewa!"

"Nek! Kuharap kau mau keluarkan aku dari tempat jahanam ini!"

Si nenek gelengkan kepala seolah orang yang diajak bicara berada di hadapannya serta dapat melihat gerakan tubuhnya. "Menyesal sekali, Maladewa! Aku tidak bisa berbuat banyak! Kau tahu sendiri. Makam ini baru terbuka jika julangan batu nomor satu, nomor tiga, dan nomor tiga belas dihancurkan! Dan aku tak bisa lakukan itu!"

"Tapi setidaknya kau bisa memberi udara padaku..."

"Itu baru bisa jika julangan batu karang nomor satu dihancurkan! Dan aku sekali lagi tak bisa lakukan itu!"

"Jahanam! Lalu mengapa kau datang?!"

"Maladewa... Sebenarnya aku hendak menyadarkan dirimu! Tapi melihat apa yang terjadi, kurasa kedatanganku akan percuma!"

"Nek... Sekarang aku sadar! Aku telah berbuat kurang ajar padamu! Kembang Darah Setan akan kuberikan padamu lagi! Tapi keluarkan aku dari tempat ini!"

"Kau telah dengar ucapanku, Maladewa! Aku tidak bisa melakukannya!"

"Nek! Apa susahnya kalau hanya menghancurkan batu karang itu?!"

"Memang tidak susah... Tapi seberapa tinggi ilmu yang dimiliki orang, tidak mungkin bisa hancurkan batu karang itu!"

"Omong kosong! Mengapa kau memberi alasan yang tak masuk akal?!"

"Terserah padamu untuk percaya apa tidak, Maladewa! Yang jelas, julangan batu karang itu baru bisa hancur pada tiga belas ribu tiga puluh tiga hari mendatangi itu pun harus dilakukan pada malam ketiga belas purnama ketiga!"

"Setan! Aku tidak percaya dengan semua itu!"

Si nenek tertawa. "Sudah kukatakan. Terserah padamu untuk percaya atau tidak. Yang jelas aku tidak bisa melakukan itu saat ini! Karena meski kulakukan, aku merasa yakin tidak akan berhasil!"

Sesaat tidak lagi terdengar suara dari dalam makam batu. Tapi beberapa saat kemudian, Maladewa sudah perdengarkan suara lagi. Kali ini suaranya sangat rendah, hingga kalau bukan orang yang memiliki tingkat pendengaran yang tajam, tentu tidak akan mendengarnya.

"Nek... Carilah jalan lain... Ku mohon padamu agar kau keluarkan aku dari sini! Aku akan sabar menunggu sampai datangnya saat upacara penyerahan! Malah kalau kau masih kecewa dengan sikapku tempo hari, aku rela seluruh warisan leluhur Kampung Setan kau miliki!"

"Maladewa! Usiaku sudah lanjut. Warisan leluhur ini sudah tidak ada artinya bagiku! Dan aku juga menyesal tidak bisa menolongmu! Jadi kuharap kau bersabar menerima kenyataan ini. Kau telah berlaku kurang waspada pada orang! Dan kau harus siap menerima buahnya!"

"Nek! Dengan terkuburnya diriku, bukankah kebangkitan Kampung Setan tidak akan terjadi?! Apa kau tidak merasa kecewa?!"

Si nenek sesaat menarik napas panjang. Lalu berkata. "Maladewa! Sebenarnya aku ikut menyesal. Tapi apa boleh buat. Semuanya sudah terjadi. Tentang kebangkitan Kampung Setan, sebenarnya itu adalah tugas yang harus kau lakukan! Tapi karena kau telah terjerumus, kurasa kecewa setinggi langit pun tak ada gunanya!"

"Nek... Kau tega melihat cucumu mati terpendam di tempat terkutuk ini?!"

"Ini bukan masalah tega atau tidak, Maladewa! Seandainya aku bisa, aku akan menolongmu meski aku tidak percaya benar dengan janji ucapanmu!"

"Nek..."

"Maladewa!" potong si nenek sebelum Maladewa teruskan ucapannya. "Percuma kau terus memohon! Yang kuharap sekarang, bersabarlah! Percayalah bahwa kau akan bertahan sampai ada orang yang kelak menolongmu dari sini! Karena tempat itu dibuat khusus. Orang tak mungkin mati begitu saja meski terpendam di dalamnya berpuluh-puluh tahun! Malah kalau kau bisa memanfaatkan keadaan, kelak kau akan jadi manusia disegani begitu bisa keluar!"

"Nek! Tiga belas ribu hari bukan waktu pendek! Kalaupun aku bisa bertahan hidup, siapa kelak yang akan mengeluarkan aku?! Kau mungkin sudah tidak ada!"

"Kau tidak boleh kecil hati, Maladewa! Ingat, kau adalah generasi dari Kampung Setan! Kalau nasibmu baik, pasti ada seseorang yang kelak menolongmu!"

"Nek...! Rasanya aku tidak bisa tahan hidup di tempat ini! Kuharap kau bisa lakukan sesuatu untukku!"

Tidak ada sahutan. Maladewa kembali perdengarkan suara. "Nek! Kau masih berada di luar bukan?!"

Meski sebenarnya si nenek masih tegak di samping makam batu, namun nenek ini tidak buka suara menyahut. Malah begitu Maladewa ajukan tanya, perlahan-lahan si nenek melangkah mundur.

"Nek! Kau masih berada di luar?!" Maladewa berteriak keras.

Si nenek tetap tidak menyahut. Dia terus melangkah mundur. Sejarak kira-kira lima tombak, si nenek balikkan tubuh, lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Mendapati suaranya tidak ada yang menyahut, Maladewa berteriak keras-keras. Namun setelah agak lama dan tidak ada suara yang menyahut, akhirnya Maladewa hentikan teriakannya sambil memaki panjang pendek.

Hanya sesaat setelah si nenek berkelebat pergi dan Maladewa hentikan teriakannya, dari balik salah satu lamping julangan batu karang, tampak keluar satu kepala! Kepala ini bergerak mengikuti arah berkelebatnya si nenek. Begitu sosok si nenek tidak kelihatan lagi, kepala ini bergerak menghadap makam batu. Ternyata kepala ini milik seorang laki-laki. Usianya masih muda. Rambutnya panjang hitam dan lebat. Sepasang matanya tajam. Pada kedua cuping hidungnya tampak melingkar anting-anting dari benang berwarna merah.

"Hem... Apa ucapan nenek tadi bisa dipercaya?! Tiga belas ribu hari. Hem... Waktu yang terlalu lama untuk menunggui. Rasanya percuma kalau menunggu sampai saat itu datang! Aku jadi tidak berminat lagi dengan Kembang Darah Setan yang selama ini banyak dibicarakan orang! Tapi hal ini akan kubicarakan dengan adikku Kiai Laras. Siapa tahu dia sabar menanti..."

Habis bergumam begitu, laki-laki ini perlahan-lahan keluar dari lamping julangan batu karang. Kepalanya berputar menyiasati keadaan. "Kiai Laras pasti akan sabar menunggu saat itu! Dan jika dia nanti memang berhasil, saat itulah aku baru bertindak! Ha Ha Ha...! Aku tidak mau berlaku ceroboh. Kalau orang bernama Maladewa itu bertahan hidup, pasti akan menjelma sebagai manusia sakti. Aku tak mau ambil risiko! Biar Kiai Laras yang lakukan semua ini! Aku nanti tinggal menangguk hasilnya..."

Laki-laki yang kedua cuping hidungnya dihias dengan anting-anting dari benang warna merah ini sekali lagi arahkan pandang matanya pada makam batu. Saat lain dia balikkan tubuh lalu berkelebat pergi mengambil arah berlawanan dengan si nenek.

********************

BAB 9

KITA kembali pada Datuk Wahing dan Pendekar 131. Berlari kira-kira seratus tombak, Datuk Wahing berhenti. Lalu enak saja kakek ini duduk menjeplok di atas tanah dengan punggung bersandar pada batangan pohon randu yang baru tumbuh dan banyak bertebaran di tempat itu. Pendekar 131 Joko Sableng ikut-ikutan duduk bersandar tidak jauh dari tempat Datuk Wahing. Dan seolah tidak sabar, begitu duduk bersandar, Joko segera buka mulut.

"Kek! Harap kau segera memberi keterangan padaku tentang Kembang Darah Setan dan hubunganmu dengan makhluk yang sebutkan diri sebagai Setan Liang Makam itu!"

"Bruss! Bruss! Sabar, Anak Muda! Beri kesempatan padaku untuk menarik napas! Aku sudah tua. Berlari jauh membutuhkan tenaga yang tidak sedikit buat manusia tua macam aku ini!" ujar Datuk Wahing meski wajah kakek ini sama sekali tidak membayangkan kelelahan. Justru murid Pendeta sinting yang sekujur tubuhnya telah basah oleh keringat dan dadanya bergerak turun naik dengan keras. Datuk Wahing memandang berkeliling. Lalu tak lama kemudian dia mulai perdengarkan suara.

"Anak muda! Kuharap kau nanti tidak memotong keteranganku..."

Murid Pendeta Sinting tidak memberi sahutan. Dia hanya memandang seraya angkat bahu. Datuk Wahing melirik. Setelah bersih dua kali. Kakek ini mulai menceritakan kejadian tiga puluhan tahun silam di Kampung Setan yang telah dituturkan sebelum ini. Habis bercerita panjang lebar, Datuk Wahing bersin beberapa kali dan diam untuk beberapa lama. Pada akhirnya Datuk Wahing berpaling pada murid Pendeta Sinting sambil berkata.

"Anak muda! Hanya sekelumit itulah yang kuketahui tentang Kampung Setan serta Kembang Darah Setan!"

"Kek! Mendengar penuturanmu serta menghubungkannya dengan apa yang saat ini tengah terjadi, apa tidak salah dugaanku jika Setan Liang Makam itu adalah Maladewa?!"

'Bruss! Brusss! Kau boleh saja menduga, Anak Muda! Tapi aku tidak berani memberikan kepastian salah benarnya dugaanmu! Kau tentu bisa menentukannya sendiri..."

"Kek! Menurut yang pernah kudengar, kau berada di balik pembunuhan beberapa tokoh rimba persilatan saat itu! Berarti kalau dihubungkan dengan keteranganmu, kau adalah salah satu orang yang disuruh Maladewa untuk mencari jejak Galaga dan neneknya. Apa hal itu benar?!" tanya Pendekar 131 tatkala teringat akan keterangan Kiai Laras pada pertemuannya beberapa saat lalu.

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting yang terus terang menuduh, bukan membuat Datuk Wahing menjadi berang. Sebaliknya kakek ini tertawa panjang lalu berkata. "Aku tidak membela pada diri sendiri, Anak Muda! Dan kau jangan heran. Dunia yang kita hadapi adalah dunia persilatan. Fitnah dan saling hasut bukan barang baru lagi! Jadi terserah padamu bagaimana penilaianmu padaku..."

Murid Pendeta Sinting sesaat terdiam mendengar jawaban Datuk Wahing. Tak lama kemudian dia berkata lagi. "Kek! Apa selama ini antara kau dan Kiai Laras punya silang sengketa...?!"

"Bruss! Bruss! Sekali lagi, aku tidak membela diri apalagi membuat aku baik di matamu. Tapi adalah mengherankan kalau sampai aku membuat permusuhan apalagi silang sengketa dengan orang lain..."

Murid Pendeta Sinting pandangi orang di hadapannya dengan seksama. Kini kembali dia teringat akan peristiwa yang tengah dialaminya. Hingga tak lama kemudian dia angkat bicara.

"Kek! Sekarang katakanlah aku tak ambil peduli siapa sebenarnya manusia yang sebutkan diri Setan Liang Makam itu. Yang ku herankan, mengapa dia meminta Kembang Darah Setan padaku!"

"Bruss! Bruss! Anak muda! Kau tak akan merasa heran jika simak ucapanku tadi! Bukankah sudah kubilang. Fitnah dan saling hasut bukan barang baru lagi dalam rimba persilatan! Dan kalau kau merasa difitnah, inilah saatnya kau menyelidik!"

"Kek! Menurutmu bagaimana dengan nenek yang sebutkan diri Dayang Sepuh?!"

"Bruss! Bruss! Kau akan tambah heran kalau minta pertimbangan padaku, Anak Muda! Karena dihadapanku, semua orang adalah baik!"

"Hem... Jika demikian, aku sependapat denganmu seperti yang kau ucapkan beberapa hari lalu. Bahwa ada orang yang melakonkan diriku!"

"Jangan membuat kepastian. Anak Muda! Itu akan menimbulkan hal-hal yang lebih mengherankan! Jalan terbaik bagimu adalah menyelidiki"

Habis berkata begitu, Datuk Warung bergerak bangkit. Murid Pendeta Sinting ikut beranjak berdiri. Sebelum Joko angkat bicara, Datuk Wahing telah mendahului. "Anak muda! Kiranya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan..." Datuk Wahing putar diri. Kakinya hendak bergerak melangkah. Tapi tiba-tiba kakek ini urungkan gerakan kakinya. Sebaliknya angkat bicara.

"Anak muda... Waktu kau muncul tadi, aku heran melihat tampangmu. Apa memang kau tidak menemukan gadis cantik itu?!"

Joko menghela napas sebelum akhirnya berkata. "Benar, Kek! Aku kehilangan gadis itu! Padahal masih banyak yang hendak kutanyakan padanya!"

"Bruss! Bruss! Anak muda. Kalau mau ikut saran ku, jangan kau banyak bertanya untuk menghadapi urusan ini! Semakin banyak tanya, kau akan makin heran! Dan itu akan membuatmu salah langkah!"

Pendekar 131 hendak angkat bicara. Namun diurungkan tatkala melihat si kakek telah berkelebat dan tahu-tahu sosoknya telah berada jauh di depan sana.

"Orang tua aneh... Dari penuturan keterangannya, dia kurasa masih sembunyikan sesuatu padaku! Sayang aku tak dapat menebak apa yang disembunyikan itu. Hanya saja kalau benar Setan Liang Makam adalah Maladewa, aku bisa menduga kalau dia sebenarnya adalah murid si nenek itu! Hem... Tapi kalau Setan Liang Makam bukan si Maladewa...?!"

Murid Pendeta Sinting tidak bisa jawab pertanyaannya senderi. Dia mendongak. "Aku memang harus segera menyelidik! Aku juga harus segera menemukan jejak Eyang Guru! Urusan ini rupanya tidak hanya terhenti sampai pada diriku semata. Karena Setan Liang Makam telah coba mencari Eyang Guru..."

Murid Pendeta Sinting perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu. Namun baru saja kakinya bergerak lima tindak, dia dikejutkan dengan terdengarnya suara orang batuk-batuk beberapa kali. Laksana disentak tangan setan, kepala Joko cepat berpaling. Memandang ke arah depan, sepasang mata Joko sempat membeliak besar. Enam tombak dari tempatnya berdiri terlihat satu sosok tubuh tegak dengan kedua tangan merangkap di depan dada. Orang ini tidak hadapkan wajahnya ke arah murid Pendeta Sinting meski jelas dari isyarat batuknya menandakan agar orang menghadap dan memandang ke arahnya.

BAB 10

ORANG yang tegak dengan kedua tangan merangkap di muka dada adalah seorang perempuan. Rambutnya sangat tipis bahkan hampir bisa dikatakan plontos. Nenek ini mengenakan pakaian putih. Meski Joko tidak bisa dengan jelas melihat raut wajahnya, karena orang ini tetap hadapkan wajah ke jurusan lain, namun murid Pendeta Sinting sedikit banyak bisa menduga kalau wajah nenek ini telah mengeriput.

Karena kedua tangannya yang merangkap di depan dada tampak ringkih. Hanya Pendekar 131 sedikit merasa heran. Suara batukan tadi yang jelas diperdengarkan oleh si nenek sangat berat dan menggetarkan! Satu tanda siapa pun orang yang perdengarkan, tentu memiliki tenaga dalam luar biasa. Belum sampai murid Pendeta Sinting dapat menduga siapa gerangan adanya si nenek, orang ini telah angkat bicara.

"Manusia Muda! Benarkah kau pemuda yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131?!"

Joko terkesiap. Bukan hanya karena pertanyaan orang, namun suara yang diperdengarkan si perempuan amat berat! Dan seolah-olah diperdengarkan dari segala jurusan!

"Dari pertanyaannya, mungkin ini masih ada hubungannya dengan urusan yang tengah kuhadapi! Hem... Inilah saatnya aku mulai menyelidiki" Joko membatin dalam hati. Lalu setelah kuasa diri murid Pendeta Sinting buka suara.

"Bukan satu kali ini orang salah menduga padaku! Kalau aku boleh tanya, apakah wajahku memang sama dengan orang yang baru kau tanyakan?!"

Jawaban Joko membuat orang di seberang depan mau tak mau harus gerakkan kepala menghadap murid Pendeta Sinting. Dan ternyata dugaan Joko tidak meleset. Paras wajah si perempuan ternyata memang telah dihias dengan keributan. Masih ditambah dengan sepasang matanya yang menjorok masuk ke dalam rongga yang sangat dalam. Hingga raut wajah nenek ini menakutkan! Dilingkari kepalanya yang hampir tidak ditumbuhi rambut membuat sosok si nenek bukan hanya menakutkan namun juga angker!

Mungkin untuk memperjelas pandang matanya, begitu kepalanya bergerak menghadap ke arah Joko, si nenek membuat gerakan satu kali. Sosoknya tiba-tiba melesat dan tegak enam langkah di depan murid Pendeta Sinting yang tergagu diam. Begitu injakkan sepasang kakinya di depan Joko, sepasang mata si nenek cepat perhatikan sosok pemuda di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Meski agak ngeri dengan pandangan mata si nenek, Joko tersenyum-senyum dengan mata melirik memperhatikan keadaan si nenek. Hingga untuk beberapa saat kedua orang ini saling memperhatikan satu sama lain. Bedanya kalau si nenek memandang dengan sepasang mata melotot angker, Joko mengawasi dengan mata melirik.

"Bagaimana, Nek?!" tanya Joko setelah agak lama. "Apa tampangku memang mirip dengan orang yang kau tanyakan tadi?!"

Yang ditanya tidak menyahut. Kalaupun tak lama kemudian buka suara, bukannya menjawab pertanyaan orang, melainkan balik ajukan tanya.

"Manusia Muda! Kau murid Pendeta Sinting, bukan?"

"Hem... Nek! Bukan kau saja yang menduga demikian padaku! Kalau kau bisa memberi jawaban atas pertanyaanku yang pertama tadi, tentu kau pun akan mendapat jawaban pasti dari pertanyaanmu yang kedua...! Agar kau tidak lupa. Ku ulangi pertanyaanku yang pertama tadi. Apakah tampangku mirip Pendekar Pedang Tumpul 131?!"

"Manusia Muda! Aku tak tahu apa wajahmu mirip atau tidak! Yang jelas dari ciri-cirinya aku hampir yakin kau adalah Pendekar 131!"

Murid Pendeta Sinting tersenyum dengan gelengan kepala. "Nek... Jangan lupa. Ciri orang bisa sama, tapi beda manusianya! Dan kadang-kadang, ciri orang berbeda, tapi sama manusianya!"

Ucapan Joko rupanya membuat si nenek agak jengkel. Hingga begitu Joko selesai berucap, si nenek telah menyambut dengan suara keras. "Persetan dengan ucapanmu yang terbalik-balik itu! Yang pasti aku yakin kau adalah Pendekar 131!"

"Baiklah kalau demikian dugaanmu. Kalau seandainya aku Pendekar 131, ada sesuatu yang hendak kau utarakan?!" tanya Joko.

"Hanya ada satu pertanyaan, Manusia Muda! Jawablah dengan jujur dan jangan banyak berprasangka! Apakah benar kau yang berhasil mendapatkan Kembang Darah Setan?!"

Joko tertawa panjang sebelum akhirnya angkat suara. "Seandainya pun aku Pendekar 131, maka aku akan menjawab bahwa tidak benar kalau Kembang Darah Setan berhasil kudapatkan! Jangankan mendapatkan, melihat pun belum pernah!"

"Kau tidak berdusta?!"

"Kalau berdusta tidak ada untungnya, mengapa harus kulakukan?!"

"Baik! Aku pegang ucapanmu. Tapi ingat, Manusia Muda! Kelak jika kau berkata dusta, saat itulah ajalmu sampai!"

Habis berkata begitu, si nenek balikkan tubuh. Tapi Joko cepat berkelebat dan tegak menghadang, "Nek! Aku telah jawab pertanyaanmu. Sekarang aku juga ingin kau jawab satu pertanyaanku! Harap kau juga berkata jujur dan tidak menaruh prasangka! Siapa kau sebenarnya?!"

Si nenek pentangkan matanya. Namun tampaknya dia enggan jawab pertanyaan Joko karena sejauh ini dia hanya memandang dengan mulut terkancing rapat.

"Nek! Kalau kau tidak mau jawab pertanyaanku, maka kau tidak bisa pegang ucapanku tadi! Jadi seandainya kelak ternyata ucapanku tadi dusta, kau tidak bisa seenaknya saja menentukan saat tibanya ajal ku!"

"Hem... Begitu?! Baik. Dengar, Manusia Muda! Aku adalah Nyai Suri Agung!"

"Nek! Bukan itu yang kumaksud! Yang kutanyakan siapa kau sebenarnya! Bukan siapa namamu!"

Si nenek yang baru katakan namanya Nyai Suri Agung tertawa pendek. Lalu berkata. "Siapa pun manusianya yang tanya begitu, maka dia tidak akan mendapat jawaban apa-apa! Malah kalau memaksa, itu adalah takdir buruk baginya! Kau dengar?!"

"Hem... Berarti aku masih punya pertanyaan satu lagi! Karana kau membatalkan pertanyaanku tadi! Dari raut wajahmu, aku menduga kau masih ada hubungannya dengan Setan Liang Makam. Harap kau mau katakan apa hubunganmu dengan Setan Liang Makam!" kata Joko meski dalam hati dia berkata sendiri. "Kau tadi merasa yakin kalau aku adalah Pendekar 131. Sekarang aku pun balas mengatakan kau mirip dengan Setan Liang Makam!"

Sejenak Nyai Suri Agung mengernyit. Lalu berkata. "Manusia Muda! Meski kau duga demikian, perlu kau tahu! Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan manusia yang namanya baru kau sebut! Malah aku belum pernah bertemu dengannya!"

"Hem... Kau berkata jujur?!"

Nyai Suri Agung melotot angker. "Kalau aku tidak sedang menyelidik dan melibatkan dirimu, sudah kugebuk mulutmu!" bentak si nenek lalu membuat satu gerakan. Sosoknya tiba-tiba telah melesat dan di lain saat telah lenyap jauh di depan sana!

"Satu lagi orang aneh yang muncul!" gumam murid Pendeta Sinting. Entah merasa ragu masih ada orang lagi, sebelum melangkah pergi, Pendekar 131 putar pandangannya berkeliling. Dan merasa tidak ada orang lagi, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

********************

Pendekar 131 Joko Sableng celingukan sebentar. Lalu arahkan pandangan matanya pada sebuah kedai di depan sana. Setelah mendapat keterangan dari Datuk Wahing dan menimbang-nimbang, akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan untuk penyelidikan dari kedai. Seperti diketahui, di kedai itulah Joko sempat jumpa dengan seorang nenek yang sebutkan diri sebagai Dayang Sepuh. Dan menurut Dewi Seribu Bunga di kedai ini pula si gadis berjumpa dengan Joko. Padahal murid Pendeta Sinting merasa tidak pernah bertemu dengan Dewi Seribu Bunga di kedai.

Karena hal itulah pada akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan mulai penyelidikan dari kedai. Setelah lakukan perjalanan semalam dua hari, murid Pendeta Sinting sampai di tempat tidak jauh dari kedai di mana beberapa saat yang lalu dia bertemu dengan Dayang Sepuh. Pendekar 131 sengaja menunggu sampai suasana kedai agak sepi seraya memperhatikan dengan seksama beberapa orang yang keluar masuk kedai.

"Meski aku tidak bisa dengan jelas membedakan raut wajahku dengan orang, tapi rasanya belum ada orang yang mirip denganku. Anehnya bagaimana Dewi Seribu Bunga bisa mengatakan bertemu aku di kedai itu?! Malah hendak memperkosanya...?! Sialan betul! Menyentuh saja tidak, malah dituduh hendak memperkosa! Hem... Keterangan orang tua pemilik kedai itu mungkin bisa membuka benar tidaknya ucapan Dewi Seribu Bunga!"

Setelah dilihat keadaan kedai agak sepi, perlahan-lahan Pendekar 131 melangkah ke arah kedai. Dia sejenak hentikan langkah di pintu kedai dengan mata memperhatikan ke dalam. Hanya ada beberapa orang. Namun tak ada yang dikenal apalagi wajahnya mirip dengannya.

Sementara itu melihat ada orang hendak masuk ke dalam kedai, orang tua pemilik kedai yang wajahnya dikenali murid Pendeta Sinting buru-buru melangkah mendekat. Namun tiba-tiba orang tua ini hentikan langkahnya. Sepasang matanya memandang tak berkedip. Saat lain mulutnya telah membuka perdengarkan suara seraya tertawa.

"Aku... Aku tidak lupa... Kau pasti anak muda yang beruntung itu..."

Yang disapa tidak menyahut. Dia hanya memandang lalu sebelum si orang tua pemilik kedai mempersilakan, Joko sudah melangkah. Bukan mencari tempat duduk, melainkan mendekati si pemilik kedai dan berbisik sambil pegangi lengan orang.

"Orang tua! Terima kasih kau tidak lupa padaku! Aku datang tidak perlu untuk makan atau minum! Aku..."

Si orang tua pemilik kedai sesaat tampak tersentak kaget. Dia buru-buru berkata memotong ucapan Joko. "Anak muda... Silakan makan dan minum. Aku tidak akan menarik bayaran..."

"Harap dengar ucapanku dulu. Orang Tua! Aku datang tidak perlu makan atau minum! Aku butuh keterangan darimu!"

Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting menarik pemilik kedai ke bangku di sebelah pojok. Orang tua itu tampak gugup. Wajahnya berubah tegang malah tubuhnya bergetar.

"Orang tua! Harap kau jujur memberi keterangan padaku!" kata Joko begitu mereka berdua duduk di bangku paling pojok.

Si pemilik kedai memandang takut-takut sambil anggukkan kepala. Dari keningnya keringat sudah mengalir deras. Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil gelengkan kepala.

"Orang tua! Tak usah takut... Aku hanya minta kau memberi keterangan apa adanya!"

Walau si orang tua anggukkan kepala, tapi jelas sekali kalau wajahnya masih membayangkan rasa ketakutan. Bahkan untuk imbangi getaran tubuhnya, orang tua ini sengaja berpegangan pada bangku di bawahnya.

"Orang tua... Setelah kepergianku bersama nenek berdandan menor tempo hari itu, apakah ada seorang gadis cantik mengenakan pakaian warna merah muncul di sini? Rambutnya dikuncir, kulitnya putih...!"

Si orang tua yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya dia menatap pada orang yang bertanya dengan dahi berkerut. Diam-diam dalam hati orang tua ini berkata. "Aneh... Bagaimana dia bertanya begitu? Apa dia lupa? Atau anak ini bercanda? Atau jangan-jangan dia punya penyakit pikun..."

Karena agak lama yang ditanya tidak memberi ja-waban, Joko buka suara lagi. "Orang tua! Aku telah bertanya. Harap kau menjawab! Dan jangan lupa, jawab dengan apa adanya!"

"Anak muda... Setelah kepergianmu, memang ada gadis yang cirinya seperti kau katakan itu..."

"Hem... Lalu apakah ada pemuda yang muncul setelah itu?! "

Si pemilik kedai pandangi murid Pendeta Sinting dengan tatapan heran. Namun buru-buru anggukkan kepala saat dilihatnya Joko hendak buka mulut lagi menegur karena yang ditanya belum juga memberi jawaban.

"Kau bisa terangkan ciri-ciri pemuda yang muncul setelah kedatangan gadis berbaju merah itu?!"

Mendengar ucapan Joko, perlahan-lahan ketegangan di wajah orang tua pemilik kedai sirna. Malah tak lama kemudian, orang tua ini sudah tersenyum. Tapi sejauh ini belum memberi jawaban. Orang tua ini rupanya menduga jika si pemuda sedang mengajaknya bercanda. Karena dia tahu betul, pemuda yang muncul setelah kedatangan si gadis baju merah adalah pemuda yang kini ada di hadapannya dan sedang bertanya!

"Orang tua! Aku bertanya. Mengapa kau tersenyum?!" tanya Joko.

"Anak muda... Kau tidak sedang mengajakku bercanda, bukan?!"

"Orang tua! Dengar, aku tidak sedang bercanda! Aku bertanya, bagaimana ciri-ciri pemuda yang muncul setelah kedatangan gadis berbaju merah itu!"

Meski masih merasa heran dengan pertanyaan orang, tapi pada akhirnya si orang tua menjawab juga. "Anak muda... Aku tak bisa menerangkan panjang lebar bagaimana ciri-ciri pemuda itu. Karena pemuda itu adalah kau sendiri!"

Murid Pendeta Sinting tersentak. Sepasang matanya mendelik pandangi orang tua di hadapannya. "Orang tua! Harap kau mengatakan dengan jujur!"

"Aneh... Kau ini aneh, Anak Muda! Untuk apa aku mendustaimu?! Kau telah berjasa menolongku membawa nenek itu dari sini! Lalu kau datang lagi tidak berapa lama. Karena kita sudah sepakat tentang imbalan. Dan menurutku, saat itu kaulah anak manusia yang punya rezeki besar. Selain mendapat imbalan, kau juga pergi membawa gadis cantik itu..."

"Orang tua! Kau tidak salah melihat orang?!" tanya murid Pendeta Sinting seolah ingin yakinkan ucapan orang.

"Anak muda... Usia kadangkala memang mengurangi ketajaman penglihatan orang. Tapi dalam hal ini aku tak mungkin salah lihat! Apalagi kau muncul tidak berapa lama setelah kepergianmu membawa si nenek yang berdandan mencolok itu!"

"Apa kau mendengar percakapan antara si gadis dengan pemuda itu?!"

"Sayang sekali, Anak Muda. Aku tidak terbiasa mencuri dengar perbincangan orang! Apalagi yang sedang bercakap-cakap adalah seorang gadis dan seorang pemuda! itu hanya akan membuatku ingin kawin lagi..." Si orang tua pemilik kedai sudah berani tertawa keras dan panjang.

Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa lama. Dia arahkan pandangan matanya ke halaman kedai dengan sesekali menarik napas panjang.

"Anak muda... Wajahmu berubah! Boleh tahu apa yang terjadi?!"

Murid Pendeta Sinting tidak menjawab pertanyaan orang. Bahkan berpaling pun tidak. Si pemilik kedai tersenyum. "Anak muda... Aku sudah pernah kawin tujuh kali. Kau tahu... Jika aku tertarik lagi dengan seorang perempuan, kadang-kadang aku lupa pada diriku sendiri! Dan aku juga lupa apa yang pernah kulakukan! Jatuh cinta memang bisa membuat orang lupa segalanya!"

"Orang tua! Apa setelah itu pemuda yang bersama gadis baju merah pernah muncul lagi di sini?!"

"Pernah...!"

"Kapan?! Dia datang bersama siapa?!" sahut Joko dengan cepat.

"Dia datang sendirian! Munculnya waktu kau bertanya ini!"

"Busyet!" maki Pendekar 131 dalam hati. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia beranjak bangkit. Lalu melangkah tinggalkan ruangan kedai.

"Tunggu, Anak Muda!" tahan si pemilik kedai. "Aku merasa ada yang tak beres dengan pertanyaan-pertanyaanmu! Kau bisa menjelaskan?! Siapa tahu aku bisa membantu! Kau telah pernah menolongku. Tak ada salahnya kalau sekarang aku membantumu."

Joko hentikan langkah. Lalu balikkan tubuh menghadap si orang tua. Sepasang matanya memandang tajam. "Orang tua! Kalau kau memang mau membantu, tolong jawab sekali lagi pertanyaanku. Kau benar-benar melihat bahwa aku yang datang saat itu?!"

"Aku tak mungkin salah!"

Murid Pendeta Sinting sejurus masih menatap pada si orang tua. Lalu balikkan tubuh dan teruskan langkah meninggalkan kedai. Si orang tua pemilik kedai pandangi sosok murid Pendeta Sinting hingga lenyap di luar sana. Kepalanya menggeleng. "Kasihan... Jangan-jangan pemuda itu akan hilang ingatan! Dia sudah tidak ingat lagi pada apa yang pernah dilakukan. Pada dirinya sendiri! Hem... Nyatanya penyakit asmara lebih berbahaya dari penyakit lainnya... Mudah-mudahan aku tidak jatuh cinta lagi..."

Tidak jauh dari kedai, pada tempat agak sepi, murid Pendeta Sinting hentikan langkah. "Berarti ucapan Dewi Seribu Bunga benar! Dan ini berarti pula memang ada manusia yang memerankan sebagai diriku! Kalau Setan Liang Makam tiba-tiba meminta Kembang Darah Setan padaku, berarti jelas jika manusia yang memerankan sebagai diriku itulah yang telah mendapatkan Kembang Darah Setan! Yang sekarang jadi pertanyaan, siapa dia?! Bagaimana mungkin rupanya tidak beda dengan rupa ku?!"

Benak Pendekar 131 terus didera pertanyaan. Hingga dia sampai tidak ingat berapa lama dia berada di tempat itu. Dia baru sadar tatkala perlahan-lahan suasana berubah temaram. Ketika dia memandang ke jurusan barat, ternyata matahari sudah satu tombak di atas bentangan kaki langit.

********************

BAB 11

SUDAH berapa lama Lasmini duduk di atas hamparan rumput itu sambil memikirkan apa yang baru saja dialami. Dia sekarang dalam keadaan bimbang tentang apa sebaiknya yang harus dilakukan. Dia tidak berhasil menemukan Pendeta Sinting di Jurang Tlatah Perak. Sementara mencari orang macam Pendeta Sinting bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kini dia telah berjumpa dengan Setan Liang Makam dan Datuk Wahing. Walau belum benar-benar bentrok, tapi Lasmini cukup maklum kalau kedua orang itu memiliki tingkat ilmu yang lebih tinggi.

Dan melihat kemunculan keduanya di Jurang Tlatah Perak, jelas keduanya punya urusan penting meski sejauh ini Lasmini tidak tahu urusan sebenarnya. Dan hal itu sudah cukup bagi Lasmini untuk tidak ingin terlibat lagi dengan ikut serta mencari Pendeta Sinting. Karena akan membuatnya secara tidak langsung akan terlibat bentrok dengan Setan Liang Makam dan Datuk Wahing.

"Sementara waktu lebih baik aku menemui Saraswati..." Akhirnya Lasmini memutuskan.

Seperti diketahui, Saraswati adalah anak perempuan Lasmini dengan Panjer Wengi. (Lebih jelasnya tentang hubungan antara Lasmini dengan Saraswati dan Panjer Wengi, si-lakan baca serial Joko Sableng dalam episode Misteri Tengkorak Berdarah)

Belum sampai Lasmini bergerak bangkit, mendadak perempuan ini sadar kalau di tempat itu dia tidak sendirian. Lasmini cepat palingkan kepala ke samping kanan. Dugaannya tidak meleset. Matanya menangkap satu sosok berkelebat ke jurusan timur. Tanpa menunggu lama, Lasmini segera beranjak bangkit lalu sekali membuat gerakan, sosoknya telah melesat ke arah berkelebatnya sosok yang baru saja ditangkap pandangan mata Lasmini.

"Tunggu!" teriak Lasmini begitu sosok yang dikejar telah terlihat di depan sana.

Orang di depan tidak pedulikan teriakan Lasmini. Dia terus saja berkelebat. Lasmini jadi curiga. Seraya mengejar perempuan ini berteriak.

"Kalau kau terus lari, jangan menyesal kalau kakimu kupatahkan!"

Mendengar ancaman orang, orang di depan sana tiba-tiba hentikan larinya. Orang ini membuat gerakan berputar hingga sosoknya menghadap Lasmini yang buru-buru hentikan larinya meski jaraknya dengan orang yang dikejar kira-kira lima belas langkah. Begitu orang di depan balikkan tubuh, Lasmini tampak tersentak kaget. Kalau saja dia tidak segera sadar, tentu dia akan segera menghambur ke depan. Malah saat itu juga mulutnya sudah menyebut sebuah nama. Untung Lasmini segera maklum dan cepat-cepat katupkan mulutnya dengan mata dipentang besar-besar.

Lasmini tidak tahu jelas siapa adanya orang itu. Yang pasti dia adalah seorang laki-laki berusia agak lanjut. Dan yang lebih pasti lagi, seandainya pada cuping kedua hidung orang itu mengenakan anting-anting dari benang warna merah, tentu saja Lasmini dengan tepat dapat menebak siapa adanya si laki-laki. Anehnya, orang di depan sana hanya putar sebentar tanpa buka suara. Dia seolah hanya ingin unjuk tampang pada orang. Setelah itu dia putar tubuh lagi dan enak saja melangkah teruskan jalan.

"Wajahnya persis dengan Kiai Lidah Wetan! Siapa dia?! Sikapnya mencurigakan! Di sana tadi pasti dia selalu memperhatikan tingkah ku. Dan tidak... Dia sengaja balikkan tubuh hanya untuk agar aku melihatnya..."

Merasa penasaran, Lasmini akhirnya mengejar. Orang di depan sana tampaknya sengaja melangkah perlahan-tahan dan seakan-akan tidak merasa sedang dikejar orang. Malah ketika Lasmini berkelebat dan tiba-tiba telah tegak menghadang dihadapannya, laki-laki ini tidak unjukkan sikap kaget. Bahkan bibirnya sunggingkan senyum lalu berkata mendahului.

"Ada yang membuatmu heran, Sobat?!"

Lasmini kancingkan mulut dengan mata membeliak besar pandangi orang di hadapannya dengan seksama. Dia kini percaya, kalau seandainya orang di hadapannya mengenakan anting-anting dari benang pada kedua cuping hidungnya, pasti dia tak bisa membedakan mana yang Kiai Lidah Wetan sesungguhnya!

"Kiai Lidah Wetan tidak pernah cerita padaku kalau punya saudara! Jadi mungkin ini satu kebetulan aku bertemu dengan orang yang wajahnya mirip dengan Kiai Lidah Wetan..." Lasmini diam-diam membatin dalam hati. "Tapi mengapa dia tadi berada di..."

Belum sampai Lasmini teruskan kata hatinya, orang di hadapannya telah buka suara lagi. "Sobat! Apa yang membuatmu memandangku begitu rupa?! Ada yang salah dengan diriku?!"

Tanpa sadar, Lasmini buka mulut menggumam. "Wajahmu..."

Laki-laki di hadapan Lasmini tertawa. "Kenapa wajahku?! Mengingatkan kau pada seseorang?! Atau wajahku menakutkan?!"

"Kau kenal dengan seorang bernama Kiai Lidah Wetan?!"

"Namanya saja baru kudengar sekarang..." jawab orang yang ditanya.

Lasmini terdiam. Laki-laki di hadapannya melirik, lalu angkat bicara.

"Harap kau tidak menaruh dugaan buruk padaku. Aku tadi kebetulan lewat di sana. Kulihat kau sedang tenggelam berpikir, hingga aku urungkan niat untuk menyapamu. Aku menunggu agak lama, tapi rupanya kau sedang terlibat dalam urusan penting hingga tak menghiraukan kehadiranku di sekitar tempat kau tadi berada. Aku tadi sebenarnya hendak tanyakan sesuatu padamu. Tapi takut mengagetkan mu dan mungkin akan menambah keruwetan pikiranmu, aku putuskan untuk pergi..."

Entah karena apa, tiba-tiba Lasmini ajukan tanya. "Apa yang hendak kau tanyakan padaku?!"

Orang yang ditanya gelengkan kepala. "Aku tidak mau menambah keruwetan pikiranmu! Sebaiknya aku akan membantumu kalau kau bersedia mengatakan apa yang kini jadi urusanmu..."

Karena memang sedang dilanda kebimbangan, Lasmini segera saja utarakan apa yang kini sedang di-alaminya. Dia buka mulut berkata. "Beberapa saat yang lalu aku jumpa dengan seorang laki-laki tua. Tangan kanannya memegang tongkat. Dia sering bersin-bersin. Kau tahu siapa adanya orang itu?!"

"Ah... Kau beruntung. Karena aku mengenali orang yang baru saja kau katakan! Kalau tidak salah, dia adalah seorang tokoh rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Datuk Wahing...!"

"Hem.... Berarti orang ini juga salah seorang tokoh. Buktinya dia mengetahui siapa adanya orang tua yang baru saja disebutnya dengan Datuk Wahing!" Lasmini diam-diam membatin.

"Kau tahu hubungan antara Datuk Wahing dengan seorang yang sebutkan diri sebagai Setan Liang Makam?!" Lasmini ajukan tanya lagi.

Kali ini yang ditanya gelengkan kepala. Malah keningnya tampak berkerut. Dan tak lama kemudian dia balik bertanya pada Lasmini. "Mengapa kau tanyakan hubungan antara Datuk Wahing dengan Setan Liang Makam?"

"Aku hanya ingin tahu..." ujar Lasmini tidak mau berterus terang.

"Kalau kau menanyakan Setan Liang Makam, aku dapat menduga jika kau pernah bertemu dengan ma-usia itu. Betul?!"

Mungkin agar tidak dipandang sebelah mata oleh orang, Lasmini berkata. "Dia adalah sahabatku..."

"Kalau dia sahabatmu, aku makin bisa menebak apa yang tengah kalian lakukan! Setidaknya apa yang dilakukan oleh sahabatmu itu!"

"Hem... Rupanya orang ini tahu banyak tentang urusan orang!" kata Lasmini dalam hati. Lalu berkata. "Aku ingin tahu apa tebakanmu tepat!"

"Pasti saat ini tengah mencari Pendeta Sinting atau muridnya! Pemuda yang dikenal dengan Pendekar Pedang Tumpul 131!"

Lasmini tampak tak bisa sembunyikan rasa kejutnya mendengar ucapan laki-laki di hadapannya. Sementara laki-laki di hadapan Lasmini yang bukan lain adalah Kiai Laras alihkan pandang matanya ke jurusan lain dengan bibir sunggingkan senyum.

"Boleh aku tahu?!" tanya Kiai Laras. Pandangannya masih ke arah lain. "Apakah kalian berhasil jumpa dengan orang yang kalian cari?!"

Dari raut muka Lasmini rupanya Kiai Laras sudah bisa membaca kalau tebakannya tidak meleset. Malah dia pun seakan sudah tahu jawaban apa yang akan didengar dari mulut Lasmini. Karena sikap Lasmini yang tenggelam dalam pikirannya sendiri saat dilihatnya di padang rumput tadi, sudah cukup bagi Kiai Laras untuk menduga-duga.

"Aku belum menemukan Pendeta Sinting atau muridnya!" kata Lasmini setelah agak lama terdiam.

Kiai Laras tertawa perlahan. "Sobat! Untuk saat-saat sekarang ini percuma kau mencari Pendeta Sinting!"

"Bagaimana bisa begitu?!"

"Kau tentu telah mendengar peristiwa besar di Kedung Ombo! Saat peristiwa itu terjadi, Pendeta Sinting terluka parah. Saat ini dia tengah dirawat untuk pulihkan keadaannya!"

"Kau tahu di mana dia sekarang berada?!" tanya Lasmini seraya melompat dan tegak lima langkah di hadapan Kiai Laras.

Kiai Laras gelengkan kepalanya. "Aku tahu di mana. Tapi Jangan tanya padaku di mana tempat itu! Aku tak mau nantinya ikut terlibat dalam urusan sesama orang persilatan!"

"Kau tak usah khawatir terlibat dalam urusan ini! Ini urusanku dengan Pendeta Sinting dan si jahanam muridnya itu! Harap katakan padaku di mana orang itu berada!"

Kiai Laras gelengkan kepala. "Lebih baik kau tanya seribu hal, asal jangan kau tanyakan tempat di mana Pendeta Sinting berada!"

"Hem... Kalau begitu berarti kau akan terlibat urusan denganku!" ujar Lasmini seraya tertawa pendek.

Kiai Laras pasang tampang terkejut. "Sobat! Aku tak mau terlibat urusan dengan siapa pun!"

Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh. Tapi pada saat bersama Lasmini sudah melompat dan tegak menghadang di depan Kiai Laras.

"Urusanku dengan Pendeta Sinting begitu besar! Aku tidak mau orang lain mendahuluiku! Jadi apa pun akan kulakukan untuk mendapatkannya! Kuharap kau mengerti maksudku!"

"Ah... Tahu begini akhirnya, aku tadi menyesal berbicara denganmu!" ujar Kiai Laras dengan nada rendah. Meski kepala orang ini menghadang ke jurusan lain namun sepasang matanya melirik pada Lasmini yang tegak di hadapannya.

Lasmini tersenyum. Lalu bertanya. "Kau ada hubungan apa dengan Pendeta Sinting? Saudara seperguruan? Saudara pertalian darah?!"

Kiai Laras untuk kesekian kalinya gerakkan kepala menggeleng. "Aku dengannya hanya sebatas sebagai sahabat!"

"Apa kau merasa kehilangan kalau pendeta sialan itu mampus?!"

"Sobat! Persoalannya bukan merasa kehilangan atau tidak! Tapi terus terang aku merasa tidak enak! Apalagi jika nantinya tersiar kabar bahwa akulah yang menunjukkan tempat di mana dia berada!"

"Hem... Begitu? Sekarang kau tinggal pilih dua jalan! Kau tunjukkan di mana beradanya jahanam itu dan aku akan merahasiakan semua ini, atau kau tetap bungkam namun saat ini juga kau akan berurusan denganku!"

Kiai Laras terdiam beberapa lama. Sementara Lasmini dongakkan kepala menunggu jawaban. "Bagaimana?!" tanya Lasmini setelah agak lama menunggu.

"Sobat! Kau mau berjanji untuk merahasiakan pertemuan ini?!"

Lasmini tertawa panjang. "Aku bukan orang baik-baik. Tapi janji adalah gantungan nyawa bagiku! Aku bersumpah akan merahasiakan pertemuan ini!"

Kiai Laras pandangi orang seakan ingin yakinkan ucapan yang baru diperdengarkan orang. Setelah menghela napas dalam dan putar kepala, dia berkata. "Pergilah ke utara. Carilah sebuah bukit bernama Kalingga. Pada ramping bukit itu ada sebuah goa! Di sanalah Pendeta Sinting dirawat..."

Selesai berkata, Kiai Laras kembali putar kepala. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun sebelum sosok Kiai Laras benar-benar berkelebat, Lasmini telah rentangkan kedua tangannya, membuat Kiai Laras tahan gerakannya. Sebelum Kiai Laras berucap, Lasmini telah buka suara.

"Aku tak mau pencarian ku sia-sia! Dan aku pun tak mau ditipu orang!"

"Aku tidak menipumu! Bahkan sebenarnya aku merasa menyesal katakan semua ini!"

Lasmini tersenyum. "Bagaimana aku bisa percaya kau tidak menipuku?!"

"Lalu apa maumu?!" tanya Kiai Laras dengan suara agak keras.

"Aku belum pernah mendengar nama Bukit Kalingga! Untuk membuktikan bahwa kau tidak menipuku, kau harus ikut bersamaku!"

"Gila! Kau terlalu banyak permintaan, Sobat! Seharusnya kau sudah berterima kasih padaku!"

"Siapa pun bisa mengarang cerita seperti yang baru kau katakan! Apakah untuk hal begitu dan belum tentu benarnya, aku harus berucap terima kasih?!" Lasmini tertawa.

"Kau telah telanjur tunjuk tempat! Kau harus bisa buktikan padaku! Kalau kau tidak mau, jelas ucapanmu tadi dusta! Dan itu harus mendapatkan ganjaran!"

Kiai Laras tergagu diam mendengar kata-kata Lasmini. Saat lain kepala laki-laki ini menggeleng. "Tidak kuduga kalau urusan ini akan jadi panjang! Dan tahukah kau, bahwa dengan ikut serta bersamamu berarti malapetaka bagiku?!"

"Kau tak usah khawatir! Kau hanya perlu tunjukkan tempatnya! Kau tidak usah ikut masuk!"

"itu masih membahayakan bagiku! Kalau sampai..."

"Kau membuatku habis kesabaran!" sergah Lasmini memotong ucapan Kiai Laras. "Aku sekarang tanya padamu. Kau mau ikut serta atau tidak?!"

"Kau memberi pilihan sulit padaku! Padahal aku telah memberikan keterangan berharga..."

"Keterangan tidak ada harganya kalau belum dibuktikan benar tidaknya!"

"Baiklah... Aku akan ikut bersamamu! Tapi aku hanya bisa mengantarmu sampai samping bukit. Dan harap jangan minta yang lebih dari itu! Karena kau tadi telah berbalik lidah!"

Lasmini lagi-lagi tertawa mendengar ucapan Kiai Laras. "Aku bukannya berbalik lidah! Aku hanya tidak mau ditipu orang!"

"Kau pandai bicara..." gumam Kiai Laras sambil alihkan pandangan.

"Rimba persilatan dipenuhi dengan ucapan-ucapan dusta dan kebohongan! Kalau kita tak pandai-pandai bicara, kita akan tertelan ucapan dusta orang! Sekarang kita berangkat!"

Kiai Laras tidak segera penuhi ucapan Lasmini. Laki-laki ini tetap tegak tidak membuat gerakan apa-apa.

"Kau dengar ucapanku, bukan?!" tanya Lasmini mulai geram.

"Aku bukan hanya dengar ucapanmu, tapi juga melihat adanya orang lain di sekitar tempat ini!"

Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh setengah lingkaran. Kepala lurus menghadap ke satu arah. Saat bersamaan mulutnya perdengarkan suara.

"Siapa pun kau adanya, harap keluar!" Ucapan Kiai Laras belum selesai, satu sosok tubuh melesat keluar dari balik tanah agak tinggi dan tegak tujuh langkah di hadapan Kiai Laras.

BAB 12

ORANG yang baru muncul ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian hitam-hitam. Rambutnya panjang lebat diikat. Sepasang matanya bulat tajam. Hidungnya mancung dengan kumis tipis. Lasmini tampak tercekat. Sesaat sepasang mata perempuan ini membelalak besar. Saat lain tangan kanannya bergerak menunjuk pada pemuda berkumis tipis yang baru saja muncul. Saat yang sama mulutnya membuka.

"Kau..." Hanya ucapan itu yang bisa diucapkan Lasmini. Kejap lain sosoknya telah melompat ke depan dan tegak dua langkah di hadapan si pemuda berkumis tipis.

"Saraswati..." desis Lasmini. Kedua tangannya merentang.

Pemuda berkumis tipis yang dipanggil Saraswati tidak menyahut. Sebaliknya menubruk Lasmini lalu memeluknya erat-erat. Untuk beberapa lama kedua orang ini saling peluk cium tanpa ada yang buka suara. Di sebelah samping, Kiai Laras memperhatikan dengan dahi berkerut.

"Aku gembira bisa bertemu denganmu di sini, Saraswati... ibu sudah lama ingin mencari dan bertemu denganmu..."

"Aku pun sudah lama mencari kabar di mana ibu berada.." ujar Saraswati. Lalu pemuda berkumis tipis ini tarik kepalanya dari dekapan Lasmini yang bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri. (Tentang hubun-gan antara Saraswati dan Lasmini harap baca serial Joko Sableng dalam episode Misteri Tengkorak Berdarah)

Saraswati melirik sejenak pada Kiai Laras. Lalu perlahan-lahan menarik lengan ibunya untuk menjauh. Meski merasa sedikit heran, namun Lasmini tidak mencegah tindakan Saraswati. Dia menurut saja ditarik menjauh.

"Ibu... Aku tadi sempat mendengar percakapan dengan orang tua itu. Siapa dia sebenarnya?!" tanya Saraswati yang seperti masa lalu, tetap menyamar sebagai seorang pemuda berkumis tipis dan mengenakan pakaian hitam-hitam, pakaian yang biasanya dipakai oleh seorang laki-laki.

Lasmini sesaat bingung. Dia belum mengenal benar siapa Kiai Laras. Bahkan dia tadi belum sempat tanya siapa nama Kiai Laras. Namun karena tak mau mengecewakan anaknya, Lasmini menjawab.

"Kau tak usah curiga, Anakku... Dia adalah sahabat Ibu...!"

"Mengapa Ibu mengajaknya mencari tempat Pendeta Sinting?!" tanya Saraswati dengan berbisik.

"Saraswati... Kau tak usah ikut campur urusan Ibu!"

"Aku tidak ikut campur... Aku hanya curiga..."

"Saraswati... Lupakan itu semua! Sekarang katakan pada ibu. Di mana kau berdiam selama ini?!"

"Aku tinggal tidak jauh dari istana Hantu. Kira-kira lima puluh tombak dari Istana Hantu ke jurusan selatan. Pada sebuah rumah tua..."

"Kau tinggal dengan siapa?!"

"Selama ini sendirian. Tapi kadang-kadang Ayah berkunjung..."

Wajah Lasmini tampak berubah. Dadanya berdebar keras. Saraswati rupanya dapat menangkap apa yang membuat paras ibunya berubah.

"Ibu... Kuharap Ibu bisa melupakan peristiwa yang telah berlalu. Lebih dari itu, aku ingin hidup bersama dengan Ibu. Untuk itulah selama ini aku mencari kabar di mana Ibu berada..."

"Saraswati... Telah bertahun-tahun kita hidup berpisah! Seperti halnya dirimu, aku pun ingin bersatu denganmu. Tapi..."

"Ibu... Demi anakmu, kuharap Ibu melupakan apa yang pernah terjadi! Dan saat ini juga kuharap Ibu mau ikut serta denganku..."

Lasmini gelengkan kepalanya perlahan. "Saraswati... Mengucapkan memang lebih mudah daripada melakukan! Kau tahu, Anakku… Selama ini Ibu sudah mencoba untuk melupakan apa yang pernah terjadi! Tapi yang terjadi justru sebaliknya! Setiap kali aku mencoba, setiap kali pula wajah jahanam-jahanam itu terbayang di mataku!"

Saraswati memeluk kembali ibunya erat-erat. "Kalau Ibu masih memendam dendam, kapan akan berakhir semua ini? Kapan kita akan bisa berkumpul?!"

Lasmini menghela napas dalam. "Aku tak tahu, Anakku... Aku bahkan kadang-kadang menyesali hidup ini! Mengapa nasib kita begitu buruk? Mengapa kita harus hidup di tengah manusia-manusia yang pernah memporak-porandakan kebahagiaan kita! Mengapa kita harus hidup di samping orang-orang yang pernah menyebabkan kita berpisah bahkan tidak saling mengenal?! Mengapa?! Mengapa?!"

Suara Lasmini terdengar tersendat dan bergetar. "Ini gara-gara manusia jahanam-jahanam itu! Rasanya mati pun aku belum lega kalau belum bisa selesaikan urusan ini sampai tuntas!"

"Ibu... Ibu hanya akan memperdalam jurang pemisah ini! Semua sudah selesai..."

Lasmini gelengkan kepala. "Bagi mereka memang sudah selesai. Tapi bagi Ibu... Semua belum berakhir!"

"Ibu...." Sebelum Saraswati lanjutkan ucapannya, Lasmini telah menukas.

"Saraswati... Kita nanti bisa bicara panjang lebar! Sekarang kuharap kau pulang dan menungguku. Ibu masih harus selesaikan satu urusan! Tidak lama lagi Ibu akan menyusulmu..."

"Ibu... Kuharap Ibu mau urungkan niat untuk pergi bersama kakek itu..."

Lasmini tertawa perlahan. "Kau masih menaruh curiga pada orang... Dia adalah sahabat baik Ibu!"

"Ibu jangan berdusta padaku! Aku tadi sempat mendengar percakapan Ibu dengan kakek itu! Ibu mau mengajaknya mencari Pendeta Sinting bukan?!"

"Dia tahu di mana orang yang Ibu cari! Karena Ibu tak mau ditipu orang, apa salahnya Ibu mengajaknya ikut serta?!"

"Ibu terlalu percaya pada orang yang belum dikenal dengan baik!"

"Kalau dia menipu, nyawanya tidak akan lama!"

"Baiklah... Tapi kurasa Ibu tidak ada gunanya lagi mencari Pendeta Sinting! Itu hanya akan membuka urusan baru. Dan itu akan membawa kita untuk berpisah lagi! Apa Ibu tidak merasa kasihan dengan anakmu...?!"

"Saraswati... Ibu tidak membuka urusan baru! Ini urusan lama! Justru kalau urusan ini tidak diselesaikan, kelak di kemudian hari akan bisa memisahkan kita!"

"Mengapa Ibu berpikir demikian?! Apa karena pemuda murid Pendeta sinting itu?"

"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Saraswati... Dan kuharap kau melupakan pemuda jahanam itu!"

Kini paras wajah Saraswati yang tampak berubah. Lasmini rupanya dapat menangkap perubahan pada wajah anaknya. Lasmini sebenarnya hendak berkata. Namun sebelum ucapannya terdengar, dari seberang sana terdengar Kiai Laras telah berkata.

"Sobatku... Aku harus pergi sekarang. Aku tidak bisa menunggumu..."

"Tunggu!" tahan Lasmini. Perempuan ini lalu berbisik pada Saraswati. "Anakku. Kau pulang dahulu dan Ibu pasti akan menyusulmu..."

"Ibu... Untuk kali ini harap Ibu urungkan niat!"

"Hem... Kau takut karena Pendeta Sinting guru pemuda keparat itu?!"

Meski parasnya berubah, tapi Saraswati gelengkan kepala. "Persoalannya bukan itu, Ibu... Tapi aku merasa kakek itu berkata dusta!"

"Kau jangan menghalang-halangi karena kau tertarik dengan murid Pendeta Sinting! Ibu tahu itu, Saraswati. Jadi kuperingatkan sekali lagi, lupakan pemuda bangsat itu!"

Saraswati menarik napas panjang. "Persoalannya bukan itu, Ibu. Tapi..."

"Tapi apa...?!"

Saraswati tampak mengerling pada Kiai Laras sebelum berkata dengan suara amat pelan. "Aku tahu di mana Pendeta Sinting berada! Dan aku yakin bukan di bukit yang dikatakan orang tua itu!"

Mendengar ucapan Saraswati, Lasmini tertawa agak keras. "Kau jangan mengada-ada, Saraswati! Dan jangan kira aku tak tahu. Kau berdusta padaku hanya agar aku urungkan niat! Tidak, Anakku! Urusan ini harus selesai. Setelah itu kita hidup dengan bahagia. Tentunya setelah urusan dengan yang lainnya juga tuntas!"

"Ibu... Aku tidak berdusta padamu! Aku sempat jumpa dengan Pendeta Sinting. Dia memang dalam keadaan terluka! Tapi tempatnya bukan yang dikatakan orang tua itu! Aku akan tunjukkan padamu. Tapi dengan syarat..."

"Aku tidak bisa kau dustai, Anakku..." ujar Lasmini seraya mencium kening Saraswati. "Jaga dirimu baik-baik..."

Habis berkata begitu, Lasmini lepaskan pelukannya pada Saraswati. Perlahan-lahan perempuan ini melangkah mendekati Kiai Laras yang saat itu tengah memandang tajam pada Saraswati.

"Ibu...!"

Lasmini berpaling. Sepasang matanya mendelik tatkala melihat Saraswati hendak melangkah ke arahnya. Hingga Saraswati urungkan niat.

"Sobatku... Kalau anakmu masih merasa curiga, apa tidak sebaiknya dia diajak ikut serta?!" tanya Kiai Laras seraya memandang pada Lasmini yang sudah berada dihadapannya.

"Ini urusanku! Sekarang kita berangkat!" Lasmini sudah melangkah ke jurusan utara.

Tak lama kemudian Kiai Laras melompat dan sudah melangkah disamping Lasmini. "Aku tidak mendengar apa yang kalian perbincangkan! Tapi dari sikapnya, anakmu tadi punya prasangka jelek padaku. Hem... Nasibku hari ini tidak baik!"

"Manusia akan selamat jika berlaku hati-hati! Dan nasibmu akan lebih tidak baik kalau kau berani mendustai ku!"

Kiai Laras tidak menyahut. Sebaliknya laki-laki ini menyeringai dingin. Saat lain tiba-tiba Kiai Laras berkelebat seraya berkata. "Aku masih ada yang harus kulakukan! Kita harus cepat sampai!"

Lasmini tidak menunggu lama. Perempuan ini segera pula berkelebat mengikuti Kiai Laras yang berlari cepat menuju ke arah utara. Sementara jauh di belakang sana, Saraswati tampak pandangi sosok ibunya dengan dada turun naik.

"Ibu... Mengapa kau masih juga tak bisa lenyapkan perasaan dendam?! Dan mengapa kau cari urusan dengan Pendeta Sinting?! Bukankah kalau memang ingin selesaikan urusan harus dengan Pendekar 131?!"

Mengingat sampai di situ, tiba-tiba pemuda yang benarnya adalah seorang gadis ini menghela napas. "Pendekar 131. Mengapa aku tidak bisa melupakannya?! Di mana dia sekarang berada...?! Hem... Ibu tengah mencari jejak Pendeta Sinting. Aku harus mengikutinya. Siapa tahu di sana aku bisa jumpa dengannya..." Saraswati tidak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya cepat berkelebat karena dilihatnya sosok Ibunya dan Kiai Laras sudah hampir tidak kelihatan lagi.

Setelah menempuh perjalanan hampir setengah hari, Kiai Laras dan Lasmini sampai pada satu tempat yang banyak ditumbuhi jajaran pohon dan semak belukar. Memandang jauh ke depan, tampak sebuah bukit.

"Sobatku... Aku hanya bisa mengantarmu sampai di tempat ini!! ucap Kiai Laras.

Lasmini berpaling pada Kiai Laras. Namun cuma sejurus. Di lain saat dia arahkan pandangannya pada bukit di depan sana. "Apakah bukit itu yang kau maksud tempat persembunyiannya Pendeta Sinting?!"

"Benar! itulah Bukit Kalingga. Kau jalan memutar dari sebelah timur. Dari arah sana kau nanti akan menemukan sebuah goa!"

Entah termakan oleh ucapan Saraswati, tanpa berpaling hadapkan wajah pada Kiai Laras, Lasmini berucap. "Sebelum aku pergi ke sana, aku tanya sekali lagi padamu. Kau tidak berdusta?"

"Aku telah berani mengantarmu sampai di sini! Apakah itu masih belum cukup untuk membuatmu percaya?!"

"Hem... Bagaimana kalau kau ikut bersamaku?!"

"Sobatku! Kuharap kau pegang janjimu! Kita tadi telah sepakat. Bahkan kau telah mengatakan sendiri jika kau yang akan masuk sendirian!"

"Sebenarnya apa yang membuatmu takut?!"

"Ini bukan masalah takut, Sobat! Tapi urusan perasaan! Aku kenal baik dengan Pendeta Sinting. Sementara secara diam-diam aku menunjukkan di mana dia berada pada orang yang punya urusan maut! Kau tentu bisa merasakan bagaimana rasanya jika kau jadi aku!"

Lasmini tertawa pendek. "Baik! Aku akan pergi ke sana sendirian! Tapi ingat, kau jangan ke mana-mana sebelum aku kembali!"

Kiai Laras tampak terkesiap. "Urusanmu adalah hidup dan mati! Sementara orang tidak tahu kapan matinya! Aku khawatir..."

"Kau khawatir aku akan mati di sana dan tidak akan kembali?!" tanya Lasmini seraya tertawa. "Aku masih punya kekuatan kalau hanya membekuk jahanam Pendeta Sinting itu! Tunggulah di sini sampai aku kembali! Dan jangan coba-coba angkat kaki dari sini sebelum aku datangi"

Habis berkata begitu, Lasmini berkelebat menuju arah bukit di depan sana. Dan seperti ucapan Kiai Laras, Lasmini berkelebat memutar dari arah timur. Setelah agak lama mencari, pada satu tempat tiba-tiba Lasmini hentikan langkahnya tatkala sepasang matanya samar-samar menangkap sebuah lobang di lamping bukit. Lobang itu tidak begitu kelihatan karena di kanan kirinya diranggasi semak belukar. Sementara tidak jauh dari situ banyak berjajar pohon-pohon besar, hingga keadaannya agak temaram.

"Hem... Mungkin ini goa yang dimaksud..." desis Lasmini dengan mata dipentang besar-besar dan mulai melangkah mendekat

Dia melangkah dengan hati-hati dan mata melirik kian kemari. Tenaga dalamnya telah dikerahkan pada kedua tangannya. Lasmini hentikan langkah enam tindak ke depan mulut goa. Sejenak perempuan ini terlihat bimbang antara langsung menerobos masuk atau berteriak memberitahukan kedatangannya.

Belum sampai Lasmini memutuskan apa yangharus dilakukan, tiba-tiba semak belukar di sebelah kanan bergerak-gerak. Lasmini angkat kedua tangannya seraya berpaling. Memandang ke depan, dada Lasmini laksana disentak. Sepasang matanya mementang angker berkilat-kilat. Kedua tangannya yang terangkat bergetar keras. Saat bersamaan mulutnya mendesis.

"Kau...!"

Di seberang depan, di antara semak belukar, tegak seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan dilingkari ikat kepala warna putih. Lasmini tahu benar, bahwa pemuda yang tegak di seberang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng...!

S E L E S A I