Warisan Laknat - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 Episode Warisan Laknat

Cersil online serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 episode warisan laknat


BAB 1

BOLA jagat belum sampai menapak kaki langit sebelah barat. Namun menjelang tengah hari tadi, puncak Bukit Selamangleng arah timur Dusun Sumbersuko perjalanan setengah hari dari Singasari, disaput kabut gelap mencekam. Gumpalan awan hitam menggantung tebal menutup lingkar terang lintasan bumi.

Warna langit pun berubah menjadi hitam kelam menggidikkan. Angin berhembus kencang seakan hendak meratakan kawasan mayapada. Sesaat kemudian tampak seberkas sinar berkiblat ditingkah suara gemuruh yang memecahkan bongkahan awan hitam. Kejap lain gelantungan awan porak-poranda taburkan curahan hujan badai!

Di puncak Bukit Selamangleng, di atas sebuah batu besar satu sosok tubuh tampak berdiri tegak menantang badai. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Seluruh raut wajahnya dipenuhi keriputan. Rambutnya yang panjang dibiarkan jatuh bergerai menutup sebagian wajah dan punggungnya. Sepasang matanya besar dan mendelik angker menatap hamparan langit yang menghitam. Kedua tangannya merangkap rapat di depan dada.

Laki-laki ini mengenakan jubah besar dan panjang sebatas mata kaki berwama hitam, membuat sosoknya laksana tonggak hitam yang terpacak di atas batu. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laki-laki di atas batu buka rangkapan kedua tangannya. Kepalanya tetap menengadah dengan sepasang mata masih tidak lepas pandangi kelamnya langit.

Kejap lain tangannya bergerak ke batik jubah hitamnya. Saat kedua tangannya keluar lagi, tampaklah sebuah kitab berwarna hitam. Sepasang mata laki-laki ini perlahan memejam. Kedua tangannya yang memegang kitab bergerak lurus ke atas. Bibirnya yang sedari tadi terkancing rapat membuka. Lalu terdengarlah suaranya.

"Wahai dunia dan penghuninya! Saksikan olehmu bahwa hari ini telah tercipta sebuah karya! Kalian semua kelak akan tahu. Barang siapa yang berhasil mempelajari karya ini, dia akan menjadi seorang maha sakti! Dan akulah orang pertama yang akan membuktikannya!"

Ada keanehan. Meski saat itu gemuruh badai laksana menyungkup keadaan, namun suara laki-laki ini terdengar jelas! Dan meski seluruh jubah dan anggota tubuhnya basah kuyup dari rambut sampai kaki, tapi kitab berwarna hitam itu tidak tersentuh curahan air hujan!

Laki-laki di atas batu buka sepasang matanya. Bersamaan dengan itu tiba-tiba kepalanya berpaling ke kiri. Saat lain kedua tangannya bergerak cepat ke bawah. Ketika kedua tangannya kembali merangkap di depan dada, kitab hitam sudah tidak terlihat lagi!

"Hem... Pembuktian maha karya dimulai. Orang yang datang adalah manusia bernasib buruk!" gumam si laki-laki di atas batu. Kepalanya kembali mendongak dengan sepasang mata memejam.

Baru saja kelopak mata si laki-laki di atas batu memejam, di antara suara gemuruh badai terdengar derap langkah-langkah kaki kuda berpacu. Namun laksana direnggut tangan setan, mendadak suara derapan kaki-kaki kuda lenyap. Di lain saat dua bayangan berkelebat mendaki bukit. Tahu-tahu di hadapan laki-laki di atas batu tegak dua orang sejarak dua tombak!

Orang di sebelah kanan mengenakan pakaian warna putih-putih. Sementara orang di sebelah kiri mengenakan pakaian hitam-hitam. Kedua orang ini tidak dapat dikenali raut mukanya karena masing-masing mengenakan topeng yang membungkus seluruh kepalanya. Untuk beberapa saat, kedua orang yang baru datang arahkan kepala masing-masing lurus pada laki-laki di atas batu. Kejap lain orang yang berpakaian hitam-hitam membuat gerakan. Kepalanya dipalingkan pada orang berpakaian putih-putih.

Pada saat yang sama, orang yang berpakaian putih-putih menoleh ke samping kanan. Orang berpakaian hitam-hitam anggukkan kepala. Sementara laki-laki di atas batu tetap tengadah seolah tak pedulikan pada kedatangan orang. Secara berbarengan, tangan kedua orang yang baru datang bergerak ke atas.

Settt! Settt!

Topeng penutup kepala masing-masing orang terbuka. Kini tampaklah wajah kedua orang itu. Orang berpakaian hitam-hitam ternyata adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh lima tahun. Berkumis tebal. Sepasang matanya tajam. Rambutnya panjang sebahu. Sedang orang di sampingnya ternyata adalah seorang perempuan berusia kira-kira tiga puluh tahunan. Raut wajahnya masih kelihatan cantik Hidungnya sedikit mancung. Sepasang matanya bulat tajam. Rambutnya panjang dikuncir tinggi. Setelah campakkan topeng masing-masing, kedua orang ini serta merta menjura hormat. Laki-laki berpakaian hitam-hitam buka mulut.

"Ageng Barada... maaf kalau kedatangan kami mengganggu. Kami datang membawa pesan!"

Laki-laki di atas batu tidak bergeming. Kepalanya tetap mendongak dengan mulut terkancing. Laki-laki berpakaian hitam-hitam lirikkan mata pada perempuan di sampingnya. Sementara yang dilirik luruskan pandangannya pada laki-laki di atas batu. Laki-laki berpakaian hitam-hitam menarik napas dalam. Lalu buka mulut lagi.

"Ageng Barada. Kami..."

"Katakan pesan apa yang kalian bawa!" Laki-laki di atas batu yang dipanggil Ageng Barada buka mulut me-motong ucapan laki-laki berpakaian hitam-hitam.

Ucapan Ageng Barada membuat laki-laki berpakaian hitam-hitam tersentak. Wajahnya berubah. Untuk beberapa lama dia terdiam dengan mulut sedikit ternganga. Sedang perempuan di samping si laki-laki sipitkan sedikit matanya. Namun meski perempuan ini coba menahan rasa terkejutnya, perubahan wajahnya tetap terlihat jelas.

"Kalian dengar ucapanku. Cepat katakan pesan itu atau segera angkat kaki dari hadapanku!" Ageng Barada berkata masih tanpa memandang.

"Ageng Barada... Aku adalah Bayumanik. Di sebelahku ini Sawitri. Kami berdua adalah utusan rahasia Panembahan Suro Agung..." kata laki-laki berpakaian hitam-hitam dengan suara bergetar.

Ageng Barada membuat gerakan. Perlahan kepalanya berpajing lurus. Sepasang matanya menatap pada masing-masing orang di hadapannya. Bibirnya menyeringai. Lalu angkat bicara. "Pesan yang kalian bawa. Lekas katakan!"

Laki-laki berpakaian hitam-hitam yang memperkenalkan diri sebagai Bayumanik bungkukkan sedikit tubuhnya yang basah kuyup. Dengan suara masih bergetar ia berkata. "Panembahan Suro Agung mengharapkan kedatanganmu besok malam di tempat biasanya. Dia hendak membicarakan perihal rencana pengambil alihan kekuasaan. Situasi daerah Singasari makin tidak karuan!"

Ageng Barada kernyitkan dahi. Sepasang matanya memandang tajam pada Bayumanik dari rambut hingga kaki. "Kau jangan membuat cerita bohong!"

Bayumanik dan Sawitri terkesiap. Sejenak kedua orang ini pandangi Ageng Barada. Lalu saling pandang. Raut wajah keduanya jelas makin ketakutan. Setelah dapat kuasai diri, Bayumanik kembali angkat bicara.

"Ageng Barada. Harap tidak berprasangka buruk pada kami. Kedatangan kami benar-benar atas suruhan Panembahan Suro Agung. Lagi pula tak ada untungnya bagi kami berkata bohong padamu! Kami tahu siapa kau sebenarnya!"

Ageng Barada menyeringai. Kepalanya bergerak arahkan pandangan ke jurusan lain. "Aku tahu kapan harus menemui Panembahan Suro Agung! Dan kalian salah ucap kalau mengatakan besok malam adalah waktu yang ditentukan!"

"Ah... Justru kedatangan kami kemari karena ada perubahan perihal waktu pertemuan itu!" Yang angkat bicara kali ini adalah Sawitri. Ketegangan pada raut wajah Bayumanik dan Sawitri sedikit mereda begitu mendengar apa yang menjadi pangkal sebab ucapan kasar Ageng Barada.

"Hem... Begitu? Lalu apa lagi pesannya?!" tanya Ageng Barada.

"Hanya tentang perubahan pertemuan itu. Tidak ada pesan lain," jawab Bayumanik.

Ageng Barada arahkan kembali pandangannya pada kedua orang di hadapannya. Namun cuma sekejap. Saat lain dia palingkan kepalanya pada jurusan lain seraya berucap. "Aku berada jauh dari Singasari. Aku ingin tahu apa yang kalian ketahui tentang situasi di sana!"

"Kami tidak dapat mengatakan bagaimana situasi sebenarnya karena suasana benar-benar kacau. Bahkan kini kami tidak dapat menentukan mana pihak kita dan mana pihak lawan!"

Ageng Barada angguk-anggukkan kepala. Bibir laki-laki ini sunggingkan senyum. Diam-diam laki-laki ini membatin. "Situasi beginilah yang kutunggu-tunggu. Gerakanku akan lebih leluasa..."

Bayumanik menoleh pada Sawitri lalu mengangguk. Sawitri membalas dengan anggukkan kepala.

"Ageng Barada..." kata Bayumanik. "Kami harus segera pergi!"

Ageng Barada berpaling. Namun sorot matanya kali ini menghujam tajam pada Sawitri, membuat perempuan ini tidak enak dan menjadi salah tingkah.

"Kalau memang tidak ada yang perlu Ageng Barada tanyakan lagi, kami mohon diri..." kata Sawitri dengan suara sedikit tersendat dan tidak berani membalas tatapan Ageng Barada.

Ageng Barada hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Sementara Bayumanik telah bungkukkan tubuh lalu putar diri yang kemudian diikuti oleh Sawitri.

Tunggu!" kata Ageng Barada menahan gerakan Bayumanik dan Sawitri. Sebelum kedua orang ini balikkan tubuh kembali, Ageng Barada telah lanjutkan ucapannya. "Aku titip pesan pada kalian!"

Bayumanik dan Sawitri putar diri menghadap Ageng Barada. Bayumanik menatap lurus. Tapi Sawitri tampak arahkan pandangannya pada jurusan lain meski kepalanya menghadap Ageng Barada.

"Harap Ageng Barada katakan pesan yang hendak disampaikan!"

Ageng Barada tampak sunggingkan senyum sebelum akhirnya berkata. "Pesan ini bukan untuk Panembahan Suro Agung. Tapi untuk semua anak manusia!"

Dahi Bayumanik dan Sawitri mengernyit.

"Maksud Ageng...?" tanya Bayumanik.

"Aku pesan kematian!"

Tanpa sadar, kaki Bayumanik dan Sawitri tampak tersurut. Mungkin masih belum mengerti arah ucapan Ageng Barada, Bayumanik berkata.

"Aku belum mengerti maksud Ageng. Harap Ageng suka menjelaskan!"

"Kematian adalah hal yang harus diterima tanpa membutuhkan penjelasan! Karena penjelasan apa pun tidak akan ada gunanya!"

Belum habis ucapan Ageng Barada, laki-laki ini telah buka rangkapan kedua tangannya. Kejap lain kedua tangannya bergerak membuat gerakan mendorong ke depan.

Wuuttt! Wuuuuttt!

Dua gelombang dahsyat melabrak ganas ke arah Bayumanik tanpa keluarkan suara. Menangkap gelagat tidak baik, meski sebelumnya tidak menduga sama sekali, Bayumanik cepat berkelebat ke samping sambil mendorongkan kedua tangannya. Sawitri tidak tinggal diam. Perempuan ini segera pula meloncat namun tanpa membuat gerakan apa-apa. Dari kedua tangan Bayumanik melesat dua rangkum angin laksana gelombang dahsyat.

"Hem... Panembahan Suro Agung rupanya pandai juga memilih utusan!" gumam Ageng Barada. Laki-laki ini putar tubuhnya setengah lingkaran. Tangan kirinya bergerak ke bawah.

Wesss! Bummm!

Gelombang angin yang melesat dari kedua tangan Bayumanik serta-merta buyar. Malah sosok Bayumanik tampak terjajar dua langkah! "Ageng Barada! Harap..."

"Sudah kukatakah, kematian tidak butuh penjelasan!" potong Ageng Barada. Tangan kanannya bergerak mendorong. Kejap lain tangan kirinya membuat gerakan mengayun, lalu ikut mendorong.

Meski Bayumanik masih sempat membuat gerakan, tapi sebelum kedua tangannya sempat mendorong, tubuhnya telah tersapu deras ke belakang. Belum sampai laki-laki ini bisa kuasai diri, gelombang susulan yang menggebrak dari tangan kiri Ageng Barada telah melabrak. Bayumanik keluarkan seruan tertahan. Namun laksana disentak setan, seruan Bayumanik terputus. Tubuhnya jatuh terjerembab di atas tanah becek dengan mulut dan hidung keluarkan darah!

Sawitri keluarkan jeritan ketika mengetahui apa yang menimpa Bayumanik. Perempuan ini sama sekali tidak menduga jika gebrakan Ageng Barada secepat itu bisa membuat nyawa Bayumanik melayang. Lebih dari itu, dia dibuat tidak mengerti dengan tingkah Ageng Barada. Karena yang diketahuinya selama ini, Ageng Barada adalah tangan kanan Panembahan Suro Agung meski dia lebih banyak bergerak secara diam-diam dan hanya beberapa orang tertentu yang mengetahuinya.

"Ageng Barada! Kenapa semua ini kau lakukan?! Kau mencurigai kami bukan orangnya Panembahan Suro Agung?" tanya Sawitri setelah dapat kuasai diri. Meski demikian, suara perempuan ini masih terdengar gemetar. Perempuan ini maklum kalau Bayumanik bisa dibuat tak berkutik dalam dua gebrakan maka dia sudah dapat memperhitungkan dirinya, karena dia sadar kalau kepandaiannya tidak berada di atas Bayumanik. Lebih dari itu dia tahu siapa sebenarnya orang yang kini ada di hadapannya.

Ageng Barada sunggingkan senyum. Sepasang matanya menatap tajam. "Saat ini bukan waktu yang baik untuk menjawab pertanyaanmu! Hujan telah reda. Kulihat kau basah kuyup kedinginan. Apa tidak lebih baik kita menghangatkan tubuh?"

Walau Sawitri tahu ke mana arah ucapan Ageng Barada, tapi perempuan ini tidak berani bertindak sembrono. Sebaliknya diam-diam dia berpikir cepat. "Apa pun yang hendak dilakukan, kalau keadaan terpaksa apa boleh buat. Yang penting aku bisa selamat dan dapat mengatakan semua ini pada Panembahan Suro Agung..."

Berpikir begitu, Sawitri maju satu tindak. Lalu berkata dengan sedikit sunggingkan senyum. "Ageng Barada. Terima kasih kalau kau masih memperhatikan diriku. Tapi aku harus segera pergi. Panembahan Suro Agung tentu sudah menunggu"

"Kau tak usah begitu mencemaskan Panembahan Suro Agung..."

"Tapi aku adalah utusannya. Bagaimanapun juga dia pasti menunggu kabar!"

Ageng Barada gelengkan kepala. "Dengar! Sejak hari ini, Panembahan Suro Agung tidak akan mendapat kabar apa-apa! Sejak saat ini pula, Ageng Barada bukanlah orangnya Panembahan Suro Agung!"

"Kau... Kau hendak berkhianat?!"

Ageng Barada tertawa bergelak. "Terserah hendak kau sebut apa! Yang jelas sejak hari ini, Ageng Barada tidak berada di pihak mana pun! Ageng Barada punya tangan untuk menggenggam lebih dari apa yang kini digenggam Panembahan Suro Agung!"

"Kau hendak mengambil..."

Ucapan Sawitri belum selesai, Ageng Barada telah menukas. "Urusan kerajaan bukanlah hal yang kuinginkan! Aku ingin lebih dari itu!"

"Maksudmu...?!"

"Aku ingin seluruh anak manusia berada di bawah kekuasaanku! Mulai hari ini, aku bukan lagi Ageng Barada. Tapi Datuk Kematian!"

Sepasang mata Sawitri terlihat membesar. Dada perempuan ini berdegup keras. Kedua lututnya goyah. Namun perempuan ini tidak hilang akal. Seraya tersenyum dia berkata. "Ah, kalau hal itu benar aku sungguh senang sekali. Sejak semula aku memang ingin lepas dari Panembahan Suro Agung! Di bawah genggaman Suro Agung aku tidak mendapatkan apa yang kuinginkan, padahal apa yang harus kulakukan membutuhkan taruhan nyawa!"

"Hem.... Kalau mau mengatakan, apa sebenarnya yang kau inginkan?!"

Sawitri melangkah dua tindak ke depan. Bibirnya kembali sunggingkan senyum. "Sebagai perempuan memang tak mungkin aku mengambil alih apa yang selama ini digenggam Panembahan Suro Agung. Apalagi dia bukanlah tandinganku. Tapi setidaknya sebagai manusia biasa, aku menginginkan kehidupan enak tanpa harus bersusah payah!"

Ageng Barada yang kini memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian tertawa panjang. "Dasar perempuan! Selamanya tidak akan mau menerirna apa adanya! Malah mungkin dia tak akan segan menyerahkan tubuhnya demi keinginannya tercapai!" kata Datuk Kematian dalam hati.

"Ageng Barada. Kalau..."

"Ageng Barada telah terkubur! Aku adalah Datuk Kematian!" potong Datuk Kematian membuat Sawitri putuskan ucapannya.

Sawitri anggukkan kepala. Lalu buka mulut lagi teruskan ucapannya. "Datuk Kematian. Kalau kau masih membutuhkan tenagaku, aku dengan suka rela akan ikut bergabung denganmu!"

Walau Sawitri berucap begitu, sebenarnya dalam hati perempuan ini berkata sendiri. "Kalau kulawan, aku bukanlah tandingannya! Padahal aku tidak ingin mengalami nasib sama seperti Bayumanik! Laki-laki ini pasti tidak akan membiarkan diriku hidup!"

Kalau diam-diam Sawitri membatin begitu, Datuk Kematian diam-diam juga membatin. "Aku tidak membutuhkan orang macam dia! Kalau dia mau berkhianat hanya karena melihat temannya menemui ajal, bukan tidak mungkin hal itu akan kembali dilakukan jika mengalami kejadian yang sama! Aku membutuhkan orang yang benar-benar dapat kupercaya! Tapi aku tidak akan melewatkan kesempatan ini! Sudah lama aku tidak merasakan hangatnya tubuh perempuan..."

Sepasang mata Datuk Kematian memandang aneh pada Sawitri. Karena saat itu pakaian yang dikenakan si perempuan basah kuyup, maka pakaian itu laksana melekat pada tubuhnya, membuat lekukan dan cuatan dadanya yang membusung kencang kelihatan jelas. "Aku memang membutuhkan tenaga. Kalau kau mau bergabung, itu sungguh suatu hal yang menyenangkan"

"Sekarang apa yang harus kulakukan?!"

Datuk Kematian tidak menjawab pertanyaan Sawitri. Sebaliknya laki-laki berjubah hitam panjang sebatas mata kaki ini melesat ke depan. Kejap lain sosoknya telah tegak satu tindak di depan si perempuan. Sawitri berseru kaget. Belum sempat perempuan ini bergerak mundur, tangan kanan si Datuk telah bergerak cepat ke arah bahunya. Saat Datuk Kematian tarik pulang tangan kanannya, Sawitri tercekat karena dia sudah tidak bisa lagi gerakkan tubuhnya! Tubuhnya tegang kaku. Hanya dadanya yang tampak bergerak turun naik, membuat sepasang mata Datuk Kematian makin membelalak.

"Datuk! Apa yang hendak kau lakukan?!" kata Sawitri dengan suara bergetar. Perempuan ini hanya dapat bicara tanpa bisa gerakkan tubuh. Sang Datuk tertawa panjang. "Bukankah tadi kau menanyakan apa yang harus kau lakukan? Untuk pertama kali inilah yang harus kau lakukan untukku!"

Belum selesai ucapannya, Datuk Kematian telah gerakkan kedua tangannya ke depan. Kedua tangan itu sejenak membelai kedua pipi si perempuan. Meski Sawitri tampak tersenyum, tapi jelas senyum itu dipaksakan. Bahkan dalam hati perempuan ini memaki panjang pendek.

"Kau tentu membutuhkan kehangatan saat ini! kata Datuk Kematian. Kedua tangannya perlahan turun ke dada si perempuan.

Sawitri kerutkan kening. Dadanya makin berdebar. Mulutnya kelihatan bergetar. Meski dia tahu apa yang hendak dilakukan Datuk Kematian, dan meskipun dia makin ketakutan karena tidak mungkin dapat menghindar. Tetapi perempuan ini masih juga mencoba berkata.

"Aku tidak akan menolak apa yang kau inginkan, Datuk. Tapi apa tidak sebaiknya kau biarkan diriku bisa bergerak? Bukankah itu akan membuatmu lebih enak karena aku bisa melayanimu?"

Datuk Kematian menyeringai. Lalu tertawa pendek dan berucap. "Aku lebih suka bercinta dengan perempuan yang tidak bisa bergerak! Dan kalau kau sudah pernah merasakan, tentu setiap bermain cinta kau akan minta ditotok terlebih dahulu!" Kedua tangan sang Datuk bergerak ke samping kiri kanan.

Brettt! Breettt!

Pakaian putih-putih bagian atas Sawitri terbuka menganga, membuat payudaranya tidak tertutup lagi. Sepasang mata Datuk Kematian membeliak besar. Sedangkan Sawitri kelihatan menggigit bibirnya dengan mata memejam rapat. Datuk Kematian kembali gerakkan kedua tangannya. Kali ini perlahan saja kedua tangannya bergerak ke bawah. Kejap lain, pakaian Sawitri melorot jatuh. Bersamaan itu Datuk Kematian menyergap ke depan. Diciuminya wajah si perempuan. Sawitri hanya bisa mengerang dengan hati menyumpah-nyumpah!

********************

BAB 2

Datuk Kematian rapikan jubah panjangnya. Lalu kepalanya mendongak ke atas. Hujan badai telah lama reda. Malah rembulan tampak menghiasi hamparan langit membuat lintasan bumi sedikit terang. Bibir Datuk Kematian tersenyum. Kepalanya lalu berpaling ke kiri. Tampak sosok polos Sawitri tak bergerak-gerak dengan telentang. Wajah cantik perempuan ini berubah kebiruan. Di hampir sekujur tubuhnya tampak memar. Malah pada mulut dan hidungnya terlihat gumpalan darah!

Sang Datuk alihkan pandangannya pada sosok satunya yang bukan lain adalah mayat Bayumanik. Namun hanya sekejap, di lain saat laki-laki ini arahkan pandangannya jauh kebawah bukit.

"Dengan tidak munculnya kedua utusannya, kuharap Panembahan Suro Agung akan jadi gusar. Aku tetap akan menemuinya sesuai perjanjian waktu lalu. Dan saat itu masih kurang sepuluh hari di muka! Selang waktu itu sudah cukup bagiku untuk membuat suasana makin kacau! Dan jika tiba saatnya, Panembahan Suro Agung akan tahu siapa sebenarnya Ageng Barada!"

Datuk Kematian tertawa bergelak. Kejap lain suara tawanya mendadak lenyap. Bersamaan dengan itu sosoknya sudah tidak kelihatan lagi di puncak Bukit Selamangleng! Saat hampir menjelang di penghujung malam, Datuk Kematian telah memasuki sebuah kawasan hutan kecil. Laki-laki ini terus berkelebat cepat.

Karena suasana masih dibungkus kegelapan sementara sang Datuk berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya, maka sosoknya laksana setan gentayangan yang sulit untuk ditangkap mata biasa. Sosoknya hanya menyerupai bayangan yang berkelebat melintasi semak belukar dan jajaran pohon. Melihat gerakannya jelas kalau laki-laki ini sudah tidak asing lagi dengan daerah yang kini dilaluinya.

Ketika cahaya kekuningan mulai menapak di lintasan langit sebelah timur, satu bayangan putih berkelebat. Kejap lain sosoknya melenting tinggi ke udara lalu duduk di atas satu ranting dengan sepasang mata menatap tak berkesip pada bayangan hitam yang berkelebat di bawah sana. Orang yang duduk di atas ranting adalah seorang laki-laki berambut putih. Rambutnya digelung tinggi ke atas. Dahinya sudah dihiasi kerutan. Meski demikian, laki-laki ini masih memancarkan ketampanan wajahnya.

Orang ini mengenakan jubah putih. Walau laki-laki berjubah putih ini duduk di atas sebuah ranting kecil, anehnya ranting itu tidak bergeming sama sekali apalagi patah. Menunjukkan bahwa siapa pun adanya laki-laki berjubah putih, pastilah dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Malah dia seolah tahu kalau saat itu ada seseorang hendak menuju tempatnya!

Sejarak sepuluh tombak dari pohon di mana laki-laki berjubah putih berada, mendadak bayangan hitam yang bukan lain adalah Datuk Kematian hentikan larinya. Lakilaki dari Bukit Selamangleng ini rupanya sadar saat itu ada orang lain di sekitarnya meski dia belum dapat mengetahui di mana beradanya orang itu. Laki-laki berjubah putih di atas ranting untuk beberapa saat pandangi orang berjubah hitam di bawah sana. Sepasang matanya menyipit lalu membesar.

"Ageng Barada... Hampir dua belas tahun aku tidak jumpa dengan dia sejak peristiwa berdarah di Lembah Ngurawan. Hanya akhir-akhir ini aku mendengar dia berada di belakang Panembahan Suro Agung. Ada apa dia datang kemari? Meneruskan urusan lama di Lembah Ngurawan? Hem... Sebenarnya aku sudah melupakan peristiwa berdarah itu. Lagi pula aku sudah memutuskan untuk menghindar dari dunia keramaian dan kancah persilatan..." Laki-laki berjubah putih menghela napas panjang.

Di bawah sana, Datuk Kematian putar kepalanya. Sepasang matanya liar mengawasi berkeliling. Mungkin tak sabar karena dia tidak dapat menangkap adanya orang sementara dirinya yakin kalau di tempat itu ada orang lain, dia buka mulut dan berteriak lantang.

"Tak usah berlaku pengecut sembunyikan diri! Keluarlah Resi Kamahayanan!"

Laki-laki berjubah putih di atas ranting kembali menarik napas dalam. "Dia mengetahui aku berada di sini. Tidak ada gunanya bagiku sembunyikan diri. Urusan ini harus segera selesai. Jika tidak kesalahpahaman ini akan berlanjut..."

"Dua belas tahun telah berlalu, Resi Kamahayanan! Aku datang melanjutkan urusan lama!" Datuk Kematian kembali berteriak setelah ditunggu agak lama belum juga ada tanda-tanda munculnya orang.

"Dugaanku tidak meleset...," gumam laki-laki berjubah putih. Tapi sejauh ini orang di atas ranting ini tidak juga membuat gerakan apa-apa.

"Resi Kamahayanan! Kalau kau tak mau unjuk diri, baiklah! Tapi jangan kira aku berhampa tangan jika meninggalkan tempat ini!" seru Datuk Kematian.

Tangan kiri kanannya bergerak ke belakang. Namun gerakannya tertahan tatkala mendadak saja semak belukar lima belas langkah dari samping kanan Datuk Kematian bergerak. Kejap lain satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu Satu sosok tubuh telah tegak berdiri tujuh langkah di hadapan sang Datuk! Sepasang mata Datuk Kematian mendelik angker memandang orang di hadapannya dari atas sampai bawah. Orang ini ternyata lakilaki berusia setengah baya mengenakan pakaian biru gelap. Rambutnya pendek kelimis. Rahangnya kokoh dengan sepasang mata tajam.

"Jahanam betul! Ternyata bukan Resi keparat itu! Siapa sebenarnya manusia ini? Sepertinya aku belum pernah bertemu dengannya. Tapi aku rasanya mengenali wajahnya! Adakah kemunculannya di sini punya tujuan sama denganku? Atau jangan-jangan manusia ini telah membuat Resi keparat itu tewas. Kalau demikian halnya, orang ini harus bertanggung jawab karena dia telah memutuskan dendamku pada Resi Kamahayanan!"

Datuk Kematian aiihkan pandangannya ke jurusan lain. Mulutnya membuka keluarkan bentakan. "Aku hanya berkata sekali. Katakan siapa dirimu! Apa yang sedang kau lakukan di sini!"

Laki-laki berpakaian biru gelap menyeringai. Tangan kanannya bergerak mengusap dada dan dagunya. Lalu berkata. "Lain yang dicari tapi lain yang didapat! Tapi kali ini aku mujur!"

Datuk Kematian berpaling. Sekali lagi ditatapnya orang yang tegak di hadapannya dengan lebih seksama. Namun mulut laki-laki berjubah hitam panjang ini terkancing rapat. Hanya hatinya yang terus bertanya-tanya siapa adanya orang. Laki-laki berpakaian biru gelap goyang-goyangkan kepala. Lalu sepasang matanya menatap dingin pada Datuk Kematian sebelum akhirnya berkata.

"Perjalanan waktu rupanya telah membuatmu jadi pelupa, Ageng Barada! Tapi aku tidak akan begitu saja melupakan apa yang pernah terjadi! Lebih dari itu, tidak akan kubiarkan tanganmu berlumur darah Resi Kamahayanan! Darah Resi itu adalah hakku! Kau dengar?!"

Walau Datuk Kematian sempat terkejut mendapati orang mengetahui siapa dirinya, namun laki-laki ini sunggingkan senyum seringai. Sementara laki-laki berjubah putih di atas ranting sesaat terkesiap melihat kemunculan orang berpakaian biru gelap. Sebenarnya dia tadi sudah memutuskan untuk turun menemui Datuk Kematian. Namun gerakannya tertahan tatkala mendadak saja ada orang muncul.

"Sepuh Panjalu!" desis laki-laki berjubah putih mengenali orang berpakaian biru gelap. "Tidak kusangka sama sekali kalau hari ini aku kedatangan dua orang tamu yang hendak meneruskan urusan lama!" Laki-laki ini gelengkan kepalanya.

"Kau tidak mau katakan siapa kau sebenarnya. Mungkin kau ingin mampus tanpa dikenali! Keinginanmu akan kuturuti!" Datuk Kematian berkata seraya dongakkan sedikit kepalanya.

"Kau salah ucap, Ageng Barada! Justru aku akan mengatakan siapa diriku. Kasihan kalau orang harus tewas tanpa mengetahui siapa orang yang membunuhnya!"

Laki-laki berpakaian biru gelap tertawa panjang, lalu lanjutkan ucapannya. "Sembilan tahun silam, kejadiannya di Jurang Kelampok..."

Datuk Kematian kerutkan kening. "Sepuh Panjalu!" gumamnya.

"Syukur kau masih mengingatnya, Ageng Barada!"

Tiba-tiba Datuk Kematian perdengarkan tawa bergelak. Tapi tiba-tiba ia putuskan gelakan tawanya. Tangan kirinya terangkat dan menunjuk lurus ke arah orang. "Rupanya nasib baik masih memihak padamu saat itu, Sepuh Panjalu! Tapi nyatanya nyawamu sudah ditakdirkan untukku! Lebih-lebih lagi kau telah berani menyatakan darah Resi keparat itu adalah hakmu!"

Mendengar kata-kata Datuk Kematian, Sepuh Panjalu ganti tertawa sambil ikutikutan dongakkan kepala. "Bicara besarmu tidak berubah dari dahulu, Ageng Barada! Tapi harus kau ingat. Sepuh Panjalu yang di hadapanmu kini bukanlah Sepuh Panjalu sembilan tahun silam!"

Datuk Kematian mendengus. "Kau juga perlu tahu. Ageng Barada telah berkubur. Yang ada dihadapanmu saat ini adalah Datuk Kematian!"

Sepuh Panjalu makin keraskan gelakan tawanya. Namun diam-diam laki-laki ini telah salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Di lain pihak Datuk Kematian rupanya tidak mau kecolongan. Secara diam-diam dia juga telah kerahkan tenaga dalamnya, hingga tatkala Sepuh Panjalu gerakkan kedua tangannya, Datuk Kematian serentak berkelebat tiga langkah ke samping seraya mendorong.

Dua gelombang angin dahsyat melesat laksana gelombang prahara dari masing-masing tangan orang. Kejap lain terdengar suara dentuman keras mengguncang tempat itu. Datuk Kematian tidak bergeser dari tempatnya meski sesaat tubuhnya kelihatan bergoyang. Hanya sepasang matanya yang tampak sedikit menyipit dan kedua tangannya bergetar. Di seberang sana, Sepuh Panjalu kelihatan hampir saja tersapu. Namun lakilaki ini cepat lipat gandakan tenaga dalamnya hingga hanya tubuh bagian atasnya yang sempat terdorong tapi kuda-kuda kakinya tidak bergeming!

"Hem... Kepandaian mereka ternyata maju begitu pesat!" Laki-laki berjubah putih di atas ranting bergumam. Sesaat laki-laki ini harus kerahkan tenaga dalamnya untuk mengatasi guncangan pada ranting yang diduduki akibat bias bentroknya pukulan Datuk Kematian dan Sepuh Panjalu.

Melihat kenyataan bahwa lawan tidak bergeming, sudah cukup bagi Datuk Kematian untuk mengetahui kalau lawan memang sudah bukan orang yang dihadapinya pada sembiian tahun yang lalu. Datuk Kematian segera kerahkan kembali tenaga dalamnya. Tanpa didahului ucapan, sosoknya melesat ke arah Sepuh Panjalu. Laki-laki berpakaian biru gelap ini tidak menangkap berkelebatnya lawan. Yang dilihatnya saat itu mendadak dua tangan telah melabrak ganas mengarah pada kepala dan perutnya! Sepuh Panjalu cepat mundur satu langkah. Bersamaan dengan itu kedua tangannya terangkat.

Bukkkk! Bukkkk!

Terdengar bentroknya dua tangan. Sosok Sepuh Panjalu terdorong sampai tiga langkah ke belakang. Kedua tangannya yang baru saja memangkas pukulan Datuk Kematian tampak menggembung merah dan bergetar keras. Malah dadanya terasa sesak dan raut wajahnya berubah pucat pasi. Di lain pihak, begitu terjadi bentrok, Datuk Kematian cepat tarik pulang kedua tangannya. Lalu melompat mundur dengan paras pias. Kedua tangannya pun kelihatan bergetar.

"Manusia satu ini harus cepat kusingkirkan! Jika tidak rencanaku bisa tertunda!" bisik Datuk Kematian dalam hati. Tangan kiri kanannya bergerak mengusap dadanya di mana tersimpan kitab berwarna hitam.

Sepuh Panjalu terkesiap. Sepasang matanya membelalak besar. Dari tempatnya berdiri, laki-laki ini melihat sosok Datuk Kematian bergetar keras. Kejap lain tiba-tiba seluruh anggota tubuh sang Datuk berubah menjadi hitam!

"Ilmu apa yang dimiliki manusia itu? Baru kali ini aku menyaksikannya! Jangan-jangan..."

Belum sampai Sepuh Panjalu teruskan membatin, kedua tangan Datuk Kematian yang mengusap dadanya diturunkan. Anehnya bersamaan dengan turunnya kedua tangan sang Datuk, dari dadanya terdengar suara deruan keras tanpa adanya sesuatu yang melesat. Sebagai tokoh yang pernah malang melintang dalam kancah persilatan, Sepuh Panjalu telah dapat menangkap adanya bahaya. Dia segera angkat kedua tangannya.

Namun gerakan kedua tangannya tiba-tiba tertahan. Kejap lain sosoknya mencelat mental sampai dua tombak dan jatuh bergedebukan di atas tanah! Darah hitam tampak mengucur dari mulutnya. Sepuh Panjalu kerahkan segenap tenaga dalamnya. Lalu terbungkuk-bungkuk dia bergerak bangkit.

"Hem... Hasil ciptaanku ternyata hebat! Tapi aku kurang puas kalau orang masih mampu tegak sehabis terhantam! Atau ini karena dia punya tenaga dalam luar biasa?" Datuk Kematian terus pandangi Sepuh Panjalu. Meski lawan terluka cukup parah begitu terhantam, tapi raut wajah orang tua ini jelas masih menunjukkan rasa kecewa.

Namun rasa kecewa sang Datuk ternyata hanya sekejap. Kejap lain bibirnya tersenyum tatkala melihat di seberang sana sosok Sepuh Panjalu kembali terhuyung-huyung sebelum akhirnya roboh kembali dan muntahkan darah kehitaman. Datuk Kematian tertawa pendek. Kaki kanannya menghentak tanah. Saat lain sosoknya melesat kearah robohnya Sepuh Panjalu. Tahu-tahu laki-laki berjubah hitam panjang ini telah tegak di samping Sepuh Panjalu dengan kepala mendongak.

"Ternyata kau sia-siakan waktumu yang sembilan tahun, Sepuh Panjalu!" seraya berkata, masih tetap mendongak Datuk Kematian jambak rambut Sepuh Panjalu. Saat bersamaan kaki kirinya bergerak ke belakang. Lalu diayun ke depan. Karena tendangan ini bukan tendangan biasa, maka sekali terhantam, pasti sosok Sepuh Panjalu akan mencelat mental dengan nyawa putus apalagi Sepuh Panjalu dalam keadaan luka dalam cukup parah.

Pada saat hantaman kaki kiri Datuk Kematian sejengkal lagi mendarat dan memutuskan nyawa Sepuh Panjalu, mendadak terdengar deruan pelan. Hebatnya Datuk Kematian merasakan adanya sebuah kekuatan dahsyat yang menghalangi hingga bukan saja hantaman kakinya tertahan namun sosoknya terdorong ke belakang!

BAB 3

Meski sudah dapat menduga kalau ada orang yang ikut campur urusannya, tapi Datuk Kematian seolah ingin segera menyelesaikan urusannya dengan Sepuh Panjalu. Hingga dia cepat kerahkan tenaga dalamnya. Lalu sekali lagi kaki kirinya lakukan tendangan. Tapi sang Datuk jadi terkesiap. Belum sampai kaki kirinya bergerak lakukan hantaman, deruan itu kembali terdengar. Kejap lain bukan saja kaki kirinya laksana kaku, tapi sosoknya tersurut sampai tiga langkah!

"Jahanam!" maki sang Datuk dengan suara bergetar keras. Cepat dia berpaling ke kanan dari mana suara deruan terdengar. Datuk Kematian tegak dengan sosok bergetar. Rahangnya menggembung, namun sesaat kemudian bibir laki-laki berjubah hitam panjang ini tersenyum.

"Akhirnya kau muncul juga Resi Kamahayanan! Dan berarti aku benar-benar akan tinggalkan tempat ini tanpa berhampa tangan! Malah aku telah dapat tambahan satu orang!"

Di hadapan Datuk Kematian tampak tegak bersedekap seorang laki-laki berusia lanjut dengan rambut putih digelung tinggi ke atas. Orang ini mengenakan jubah putih. Laki-laki ini tidak lain adalah orang yang sedari tadi duduk di atas ranting dan bukan lain adalah seorang tokoh dunia persilatan yang sudah tidak asing lagi bagi kalangan orang persilatan yakni Resi Kamahayanan.

Pada beberapa puluh tahun silam, nama Resi Kamahayanan sempat menjulang meski saat itu suasana dalam keadaan kacau akibat perang saudara di antara keturunan Raja-raja Singasari Hal ini karena Resi Kamahayanan selain tidak berpihak pada salah satu golongan yang sedang terlibat perang, dia juga tak segan-segan turut campur tangan jika ada kerusuhan yang merugikan rakyat jelata.

Salah satunya adalah peristiwa berdarah yang terjadi di Lembah Ngurawan. Saat itu seorang tokoh berilmu tinggi bernama Ageng Barada yang dikenal sebagai-tokoh hitam dan momok rimba persilatan mengundang beberapa tokoh persilatan dan di sana Ageng Barada mentasbihkan diri sebagai penguasa tunggal rimba persilatan dan memerintahkan semua tokoh yang hadir untuk mengangkat sumpah dan harus menjalankan semua perintahnya.

Karena di antara beberapa tokoh yang hadir ada yang tidak setuju dengan gagasan Ageng Barada maka terjadilah pembantaian besar-besaran. Malah karena ingin melampiaskan kemarahan dan ingin menunjukkan kekuasaannya, Ageng Barada tidak segan-segan menghabisi rakyat jelata yang tidak mengerti apa-apa. Saat itulah Resi Kamahayanan turun tangan. Ageng Barada dapat diatasi.

Lalu pada tahun berikutnya muncul pula tokoh bernama Sepuh Panjalu. Seperti halnya Ageng Barada, Sepuh Panjalu juga hendak memaklumkan diri sebagai raja rimba persilatan. Namun niatnya terhalang oleh Resi Kamahayanan lagi. Sejak peristiwa itu rimba persilatan mereda, meski keadaan masih kacau akibat perang saudara.

Dan sejak itu pula Resi Kamahayanan menghilang dari arena dunia persilatan. Tidak seorang pun yang tahu kabar tentang tokoh ini bahkan sampai nama Ageng Barada kembali muncul ke permukaan meski kali ini kemunculannya hanya diketahui oleh kalangan tertentu dan berada di belakang Panembahan Suro Agung yang diketahui ingin mengambil alih kerajaan.

"Ageng Barada... Harap maafkan diriku kalau kau tersinggung karena aku menghalangi niatmu..."

Datuk Kematian tersenyum sinis. Lalu berkata dengan sepasang mata menatap tajam. "Tanpa kusentuh pun anak manusia itu akan mampus! Dan kini tiba giliranmu!"

Resi Kamahayanan tersenyum seraya gelengkan kepala. "Ageng Barada. Meski terlambat mungkin tak ada salahnya kalau aku minta maaf atas kejadian pada dua belasntahun yang lalu. Percayalah. Hal itu sudah kulupakan dan aku sangat menyesal atas peristiwa itu!"

Datuk Kematian tertawa pendek. "Buka telingamu lebar-lebar! Yang ada di hadapanmu saat ini bukan Ageng Barada, tapi Datuk Kematian! Kau dengar?!"

Resi Kamahayanan anggukkan kepala. Dia hendak buka mulut berucap, namun sebelum suaranya terdengar, Datuk Kematian telah mendahului berkata.b"Kedatanganku yang tertunda selama dua belas tahun bukan untuk mendengarkan permintaan maafmu! Tanpa minta maaf pun aku akan melupakan peristiwa itu asal aku pulang dengan membawa penggalan kepalamu!"

"Datuk Kematian.. tidak adakah jalan lain selain kekerasan untuk melupakan kejadian itu? Kita sudah sama-sama tua. Terlalu lucu kalau kita yang sudah tua-tua ini harus menyelesaikan urusan dengan jalan kekerasan. Lebih-lebih lagi aku sudah lama undur diri dari dunia persilatan!"

Mendengar kata-kata Resi Kamahayanan, Datuk Kematian tertawa terbahak. "Kau rupanya lupa. Kejadian dua belas tahun yang lalu adalah kekerasan. Jadi tak ada yang dapat menyelesaikannya selain kekerasan! Aku tak peduli kau telah undur diri atau tidak. Bagiku urusan ini belum selesai kalau salah satu di antara kita belum berkalang tanah!"

"Menyesal sekali. Ternyata di antara kita ada perbedaan..."

Datuk Kematian mendengus keras. "Itu urusanmu! Urusanku membuatmu seperti anak manusia bernasib jelek itu!" seraya berkata tangan Datuk Kematian menunjuk pada sosok Sepuh Panjalu.

Resi Kamahayanan terkejut. Bukan karena ucapan sang Datuk melainkan karena melihat Sepuh Panjalu. Ternyata laki-laki berpakaian biru gelap ini telah kaku dengan sekujur tubuh menghitam laksana dipanggang bara api!

"Tak kuduga jika ucapannya akan jadi kenyataan. Orang ini benar-benar mengalami kemajuan pesat. Dua belas tahun silam dia belum memiliki ilmu yang bisa membuat orang terkapar dalam beberapa gebrakan dengan tubuh hangus. Dari mana dia mempelajari ilmu itu? Selama ini aku belum pernah mendengar ada seorang tokoh yang menciptakan ilmu seganas itu! Hem..." Resi Kamahayanan menarik napas panjang.

"Kau sudah siap menyusul?!" kata Datuk Kematian tanpa memandang.

"Perihal kematian aku sudah mempersiapkan diri sejak lama. Tapi perihal urusan di antara kita, aku sejak lama sudah melupakannya! Kuharap kau mengerti dan menghilangkan kesalahpahaman ini."

"Bagus kalau kau telah mempersiapkan diri soal kematianmu sejak lama. Hari ini persiapanmu berakhir!"

Habis berkata begitu, Datuk Kematian berkelebat ke depan. Mungkin untuk menjajaki kekuatan lawan yang pada beberapa puluh tahun silam dapat mengalahkannya, Datuk Kematian tidak segera keluarkan ilmu andalannya. Sebaliknya dia hanya kerahkan setengah tenaga dalamnya lalu menghantamkan kedua tangannya ke arah kepala Resi Kamahayanan dari arah samping kiri kanan.

Meski semula tidak ingin melayani Datuk Kematian, namun Resi Kamahayanan tidak begitu saja tinggal diam, apalagi dia menangkap adanya bahaya jika Ageng Barada yang kini memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian itu dibiarkan. Ketika sang Datuk belum memiliki ilmu andalan saja sudah menginginkan semua orang persilatan tunduk padanya, apalagi jika kini dia mempunyai ilmu andalan. Berpikir sampai di situ, niat Resi Kamahayanan akhirnya berubah. Laki-laki berjubah putih ini segera angkat kedua tangannya memangkas tangan Datuk Kematian.

Desss! Desssss!

Dua pasang tangan bertenaga dalam bentrok di udara. Kejap lain keduanya sama mundur dua tindak. Paras keduanya tampak berubah. Dari bentrokan tadi masing-masing orang sudah cukup mengetahui tingkat tenaga lawan. Mungkin sudah dapat menjajaki sampai di mana kemampuan lawan, Datuk Kematian angkat kedua tangannya. Laksana kilat kedua tangannya serta-merta didorong ke depan.

Wuuutt! Wuuutt!

Dua gelombang angin dahsyat melabrak ganas dengan keluarkan suara menggidikkan. Sesaat Resi Kamahayanan tampak agak terkejut. Tapi di lain kejap ia sudah gerakkan kedua tangannya. Dua pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi betemu di udara. Tempat itu laksana dilanda gempa hebat. Disusul dengan terdengarnya dua seruan lalu tampak dua sosok tubuh sama mental.

Sosok Datuk Kematian tersapu satu tombak. Punggung laki-laki berjubah panjang hitam itu sempat menghantam sebatang pohon lalu jatuh terduduk dengan sekujur tubuh bergetar keras. Dia merasakan dadanya berdenyut nyeri. Namun ia cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain sosoknya bergerak bangkit.

Di seberang, Resi Kamahayanan terlihat terjengkang. Meski sejenak tadi dia berusaha bertahan agar tidak terjengkang jatuh, namun rupanya sia-sia. Raut muka laki-laki itu berubah pucat pasi. Namun begitu dilihatnya Datuk Kematian telah bangkit, dia cepat pula sentakkan kedua tangannya ke atas tanah. Sosoknya tegak kembali dengan sepasang mata menatap tajam ke depan.

Di depan sana, Datuk Kematian mendongak. Kedua tangannya terangkat ke arah dada. Lalu mengusap dada di mana Kitab Hitam tersimpan di baliknya. Bersamaan dengan itu sekujur kulit tubuh sang Datuk berubah warna menjadi hitam!

Tahu bagaimana kedahsyatan ilmu yang hendak dilancarkan Datuk Kematian, Resi Kamahayanan cepat berkelebat ke samping. Saat kedua kakinya menginjak tanah, laki-laki ini membuat gerakan berputar. Sebongkah kabut tebal tampak melindungi Resi Kamahayanan hingga sosoknya lenyap tidak kelihatan. Di lain kejap dua sinar putih melesat dari dalam bongkahan kabut keluarkan deruan dahsyat memekak telinga.

Datuk Kematian sejenak beliakkan sepasang matanya dengan kepala diluruskan. Karena pada dua belas tahun silam pernah bentrok dengan Resi Kamahayanan menjadikan dirinya tahu bagaimana keganasan pukulan lawan yang kini telah menggebrak ke arahnya. Namun Datuk Kematian sekarang bukanlah Ageng Barada pada dua belas tahun lampau yang tidak berani menyambuti pukulan lawan malah harus terluka karenanya. Datuk Kematian kini bukan saja tenang-tenang menyambuti pukulan lawan bahkan sambil terus mengusap-usap dadanya, dia tertawa bergelak.

"Kau salah besar kalau menganggap pukulanmu masih ampuh seperti dua belas tahun silam, Resi Jahanam!"

Selesai berucap, kedua tangan Datuk Kematian luruh ke bawah. Bersamaan dengan itu terdengar suara deruan pelan. Tidak ada sinar yang terlihat. Namun hebatnya dua sinar putih yang melabraknya laksana terhantam kekuatan luar biasa dahsyat. Saat lain dua sinar putih yang dilancarkan Resi Kamahayanan dari dalam bongkahan kabut bertabur ke udara keluarkan suara meletup keras. Bukan hanya sampai di situ, sesaat setelah dua sinar hancur berantakan, bongkahan kabut yang melindungi sang Resi tampak terdorong keras laksana tersapu gelombang besar.

Datuk Kematian kembali tertawa bergelak. Sementara bongkahan kabut yang membungkus sosok Resi Kamahayanan terus tersapu ke belakang. Namun sejauh ini bongkahan kabut itu belum juga dapat terbongkar. Melihat hal ini, Datuk Kematian putuskan gelakan tawahya. Kedua tangannya kembali mengusap dadanya. Kejap lain kembali terdengar deruan pelan takkala kedua tangan sang Datuk telah luruh ke bawah.

Di depan sana, tiba-tiba bongkahan kabut tersibak. Samar-samar sosok Resi Kamahayanan terlihat. Kedua tangannya yang tampak merangkap di depan dada terbuka. Lalu bergerak tertarik ke belakang. Tapi sebelum kedua tangan itu lakukan gerakan berikutnya, mendadak orang tua berjubah putih ini tersentak. Kabut yang sudah tersibak sekonyong-konyong meletup ambyar. Kejap lain sosok sang Resi tersapu keras dan terjatuh dua tombak dari tempatnya semula!

Darah kehitaman tampak keluar dari mulut dan hidung Resi Kamahayanan. Gelungan rambutnya lepas dan sebagian kelihatan terpangkas laksana tersambar kobaran api. Jubah putihnya hangus. Sosoknya bergetar hebat. Sepasang matanya memejam rapat dengan mulut keluarkan erangan panjang.

Datuk Kematian mendongak. Suara tawanya kembali menggetarkan tempat itu. Puas tertawa, laki-laki ini melangkah ke arah jatuhnya sang Resi. Satu langkah di samping Resi Kamahayanan, Datuk Kematian hentikan langkah. Sepasang matanya sesaat perhatikan sosok sang Resi. Meski Resi Kamahayanan sudah tidak bergerak-gerak lagi karena nyaris pingsan, namun sang Datuk rupanya masih bersikap waspada. Dia tidak berani langsung jongkok. Sebaliknya dia angkat kaki kanannya. Lalu diletakkan di atas dada sang Resi.

"Hem... Hanya tinggal nunggu sang pencabut nyawa!" kata Datuk Kematian seraya tersenyum. "Sebenarnya bisa saja aku langsung membuat nyawanya terputus. Tapi aku ingin dia merasakan bagaimana nikmatnya sekarat!"

Selesai bergumam begitu, Datuk Kematian tarik pulang kaki kanannya. Menatap sejurus pada sosok sang Resi yang perlahan-lahan berubah warna kehitaman. Saat lain sosoknya berputar lalu seraya tertawa terbahak sosok sang Datuk berkelebat tinggalkan tempat itu.

Hanya beberapa saat setelah berlalunya Datuk Kematian, satu bayangan berkelebat. Tahu-tahu bayangan ini telah tegak enam langkah dari tempat terkaparnya Resi Kamahayanan. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian putih. Rambutnya hitam tebal dibiarkan bergerai. Sepasang matanya tajam dengan dada bidang. Sejurus pemuda ini arahkan pandangannya pada sosok yang tergeletak. Sepasang matanya menyipit membesar. Kejap lain pemuda ini melangkah satu tindak dengan pandangan tak berkesip. Namun sekonyong-konyong dia menghambur dengan berseru keras.

"Eyang Guru!"

Si pemuda memeluk sosok Resi Kamahayanan dan mengguncangnya seraya berteriak memanggil. Namun Resi Kamahayanan tidak membuat gerakan apa-apa. Malah sepasang matanya tetap memejam rapat dan darah hitam makin banyak mengucur dari mulut dan hidungnya. Sang pemuda tempelkan telinganya pada dada sang Resi. Lalu dia cepat tarik pulang kepalanya.

Saat lain kedua tapak tangannya telah diletakkan pada dada sang Resi. Sepasang matanya memejam. Usaha sang pemuda rupanya tidak sia-sia. Setelah beberapa saat, mendadak Resi Kamahayanan membuat gerakan. Kedua tangannya terangkat. Bersamaan dengan itu sepasang kelopak matanya membuka.

"Eyang Guru! Siapa yang berbuat ini?"

Resi Kamahayanan gelengkan kepalanya pelan. Mulutnya membuka hendak berkata. Si pemuda menunggu. Tapi setelah sekian lama tidak juga terdengar suara.

"Eyang... Eyang harus katakan siapa yang berbuat ini!" kata si pemuda.

Untuk kedua kalinya Resi Kamahayanan gelengkan kepala. Lalu terdengarlah ucapannya. "Mara Sakti... Ada yang lebih... daripada... pertanyaanmu..." suara Resi Kamahayanan tersendat. "Salurkan... tenaga murnimu... pada telapak tangan kiriku..."

Meski tidak mengerti apa maksud ucapan gurunya, si pemuda yang dipanggil Mara Sakti turuti ucapan sang Resi. Begitu hawa murni Mara Sakti telah tersalurkan lewat tapak tangan kirinya, Resi Kamahayanan tampak sunggingkan senyum lalu buka mulut.

"Pecahkan batu putih sepuluh langkah dari pohon di sebelah utara gubuk kita. Selamatkan apa yang nanti kau temukan di sana. Jangan kau potong ucapanku, Mara Sakti..." kata sang Resi begitu melihat sang murid hendak buka mulut. "Waktuku mungkin tinggal sedikit. Kau hanya perlu mendengarkan..."

Mara Sakti akhirnya urungkan niat untuk buka suara. Kepala pemuda ini lantas mengangguk. Sesaat kemudian Resi Kamahayanan buka mulut lagi.

"Ingat, Mara Sakti... Kau hanya boleh menyelamatkan apa yang nanti kau temukan. Meski kau adalah satu-satunya muridku, namun kau harus dapat menerima kenyataan ini. Apa yang nanti kau temukan bukanlah sesuatu yang boleh kau miliki. Kau hanya bertugas untuk menjaganya sampai suatu waktu kelak ada orang yang ditakdirkan untuk memilikinya..."

Untuk beberapa lama Resi Kamahayanan hentikan ucapannya. Setelah menarik napas panjang dia melanjutkan. "Kalau kau nanti merasa sudah waktunya menghadap Yang Maha Kuasa dan orang yang ditentukan memiliki apa yang nanti kau temukan belum muncul, kau harus serahkan sesuatu itu pada orang yang kau percaya. Namun di balik semua itu, kau tetap bertugas menjaganya sampai nanti jatuh pada orang yang berhak. Jika semua itu sudah kau laksanakan, berarti tugasmu selesai..."

Kembali Resi Kamahayanan hentikan ucapannya. Mungkin karena tidak kuasa menahan keingintahuannya, apalagi setelah itu sang guru tidak berkata lagi, Mara Sakti beranikan diri angkat bicara.

"Semua pesan Eyang Guru akan kulakukan. Tapi harap Eyang ceritakan apa yang sebenarnya terjadi biar aku tidak merasa gelap dengan semua ini. Apalagi Eyang telah menugaskanku menjaga sesuatu itu sampai pada orang yang nanti berhak..."

"Saat ini telah muncul seorang tokoh yang tanpa kuduga sama sekali memiliki ilmu luar biasa. Sebenarnya aku mungkin dapat bertahan seandainya tenagaku tidak terkuras masuk pada sesuatu yang nanti kau temukan. Itulah sebabnya mengapa aku tidak bisa bertahan. Namun mungkin inilah takdir yang harus kuterima..."

"Harap Eyang mau mengatakan siapa orang itu dan mengapa sampai berbuat keji pada Eyang..."

"Soal siapa orangnya biarlah aku sendiri yang tahu. Aku tak mau urusan ini berlanjut. Cukup sampai aku saja! Untuk hal-hal lainnya nanti bisa kau temukan di tempat yang kusebut tadi..."

Mara Sakti menarik napas dalam. Pemuda ini kelihatan sedikit kecewa dengan jawaban eyang gurunya. Namun sebagai murid dia tidak berani mendesak apalagi melihat keadaan sang guru.

"Mara Sakti... Pesan terakhirku. Kau harus segera mencari tempat baru. Dan hindari bentrok dengan siapa pun. Tugasmu adalah menjaga apa yang nanti kau temukan..."

"Semua ucapan Eyang akan kukerjakan. Sekarang apa yang harus kulakukan untuk menyembuhkan luka-luka Eyang."

Resi Kamahayanan tersenyum seraya gelengkan kepala. "Tidak ada yang perlu kau lakukan, Mara Sakti. Jika kau laksanakan apa yang kukatakan itu sudah lebih dari cukup..."

Habis berkata begitu, Resi Kamahayanan tarik tapak tangannya dari tangan Mara Sakti. Bersamaan dengan itu sepasang matanya memejam. Kejap lain hembusan napasnya terputus! Mara Sakti yang tidak menyangka terkesiap. Dia buru-burutempelkan lagi tapak tangannya pada telapak tangan kiri sang Resi. Namun terlambat.

"Eyang... Eyang... Eyang...!" seru Mara Sakti seraya guncang-guncang tubuh eyang gurunya.

Tapi sosok itu tidak lagi bergerak-gerak. Malah sekujur tubuhnya kini telah menghitam! Seakan masih tidak percaya, pemuda ini telungkupkan tubuh eyang gurunya lalu kedua tangannya ditempelkan di punggungnya dan salurkan hawa murni. Namun hingga keringat membasahi sekujur tubuhnya, sosok Resi Kamahayanan tidak juga mengalami perubahan. Tetap tegang kaku! Mara Sakti tarik pulang kedua tangannya dengan menarik napas panjang dan dalam. Lalu perlahan-lahan dia balikkan kembali tubuh eyang gurunya. Sesaat kemudian dia telah tegak dengan membopong sosok sang Resi.

"Eyang Guru... Segala yang kau ucapkan akan kulaksanakan meski sebenarnya aku ingin membalas pada orang yang berbuat keji itu!" gumam Mara Sakti lalu melangkah dengan tabahkan hati dan menahan agar air matanya tidak menetes. Sejarak dua tombak, Mara Sakti hentikan langkah. Sepasang matanya memperhatikan pada sosok yang menggeletak yang bukan lain adalah mayat Sepuh Panjalu.

"Jangan-jangan orang ini yang..." Mara Sakti tidak lanjutkan gumamannya. Sekali lagi dia perhatikan pada mayat Sepuh Panjalu.

"Ah... Tidak mungkin dia! Apa yang dialami orang ini hampir sama dengan yang menimpa Eyang Guru. Berarti dia juga korban orang yang berbuat pada Guru. Hem... Seandainya Eyang memberitahukan padaku siapa orangnya..."

Mara Sakti pandangi sosok mayat Resi Kamahayanan yang berada di bopongannya. Lalu gelengkan kepala sambil menarik napas dalam. "Aku akan mengurus jenazah Eyang dahulu, baru orang itu..." Mara Sakti putar diri setengah lingkaran lalu teruskan langkah.

********************

BAB 4

MARA Sakti tegak di samping pohon di dekat gubuk dengan sepasang mata memandang lurus ke utara pada beberapa batu putih yang tampak berjajar rapi. "Hem... Aku tidak menyangka kalau Eyang Guru menyimpan sesuatu di salah satu batu itu. Lebih tidak menyangka lagi kalau Eyang harus secepat itu pergi. Tapi apa harus dikata... Semuanya sudah terjadi. Yang pasti aku harus segera laksanakan pesan Eyang Guru..."

Mara Sakti palingkan kepala kekanan. Kini sepasang matanya menatap pada dua gundukan tanah merah. Setelah mengerjap beberapa kali menahan gejolak dadanya, pemuda ini melangkah ke arah utara pada beberapa batu putih. Seraya melangkah pemuda ini menghitung. Tepat pada langkah kesepuluh, Mara Sakti hentikan langkahnya. Di hadapannya tampak satu batu putih agak besar. Mara Sakti ulurkan kedua tangannya meraba permukaan batu putih.

"Heran. Bagaimana mungkin Eyang mengatakan sesuatu itu berada di dalam batu ini. Padahal batu itu tidak tampak rengkahan!"

Sekali lagi Mara Sakti meraba-raba seraya perhatikan lebih saksama. Tapi sejauh ini sang pemuda memang tidak menemukan adanya lobang atau rengkahan.

"Apa aku harus memecahnya?" pikir Mara Sakti. Setelah sekian lama tidak mendapatkan jalan keluar, akhirnya dia memutuskan untuk memecah batu putih itu. Dia angkat kedua tangannya.

Prakkkk!

Karena pukulan itu bukan pukulan biasa, maka sekali pukul batu itu langsung pecah. Tapi ada keanehan, walau batu putih itu pecah namun langsung membelah. Tidak ada pecahan kecil-kecil. Mara Sakti tidak pedulikan keanehan itu karena sepasang matanya membentur pada dua benda berwarna kuning dan biru yang saling bertumpuk. Di sebelahnya terdapat sebuah daun lontar yang menggulung.

"Kitab!" seru Mara Sakti begitu dapat mengenali dua benda kuning dan biru yang bertumpuk.

Untuk beberapa lama Mara Sakti mengawasi kedua benda yang bertumpuk yang tidak lain memang dua kitab adanya. Dada pemuda ini berdebar. Kedua tangannya bergetar. Mara Sakti maju mendekat. Namun pemuda ini tidak berani bertindak sembarangan. Rupanya dia maklum bahwa bahaya bisa timbul dengan tidak terduga. Setelah kerahkan segenap tenaga dalamnya, dia mengawasi keadaan di muka.

Saat lain kepalanya berputar dengan mata mengawasi berkeliling. Begitu merasa tidak ada orang lain, dia ulurkan kedua tangannya mengambil daun lontar yang tergulung di sebelah dua kitab yang bertumpuk. Dengan tangan masih bergetar, daun lontar diambil. Perlahan-lahan daun lontar dibuka. Ternyata di dalamnya terdapat satu butiran sebesar ibu jari berwarna merah. Sesaat diperhatikannya butiran merah itu. Lalu disimpannya ke balik pakaiannya. Kemudian dia perhatikan daun lontar. Di situ terdapat tulisan.

Kelak hanya anak manusia yang memiliki Pedang Tumpul 131 yang berhak memiliki Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra ini. Anak manusia itu memiliki tanda angka 131 pada telapak tangan kirinya serta gambar seorang tua mengenakan sorban putih. Kelak jika anak manusia itu muncul, terlebih dahulu serahkan butiran merah ini.

Pada bagian bawah daun lontar juga terdapat tulisan.

Siapa pun yang tidak berhak, jangan coba-coba membuka. Dan sampaikan pesan ini pada orang yang dipercaya kalau anak manusia yang ditentukan belum juga muncul.

Setelah membaca berulang kali, Mara Sakti masukkan daun lontar ke balik pakaiannya. Lalu perlahan-lahan kedua tangannya menjulur mengambil dua tumpukan kitab berwarna kuning dan biru, Sepasang mata Mara Sakti tak berkesip perhatikan dua kitab yang dipegangnya dengan tangan bergetar.

Sesaat dada pemuda ini dirasuki kebimbangan antara menuruti pesan dan melanggarnya. Malah sejurus tangan kanannya sudah bergerak hendak membuka kitab. Namun tiba-tiba seakan-akan ada kekuatan dahsyat yang menghalangi. Bukan saja membuat tangan kanannya tertahan, tapi tubuhnya berguncang! Sadar akan apa yang hendak terjadi, Mara Sakti urungkan niat.

"Maafkan aku Eyang..." gumamnya seraya menoleh pada gundukan tanah merah di sebelah kanan.

Setelah dapat kuasai diri, Mara Sakti putar kepalanya kembali. Kejap lain kedua kitab dimasukkan ke balik pakaiannya. Lalu melangkah kearah gundukan tanah merah.

"Eyang Guru... Semoga arwahmu tenang. Aku akan laksanakan tugas yang kau berikan..." Mara Sakti bungkukkan tubuh. Lalu putar diri dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

********************

Kita tinggalkan dahulu Mara Sakti yang mengemban tugas dari eyang gurunya. Kita ikuti lagi perjalanan dedengkot rimba persilatan Ageng Barada yang kini telah memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian. Saat ini adalah hari kesembilan setelah terbunuhnya Resi Kamahayanan di tangan Datuk Kematian.

Matahari baru saja merambat dari titik tengahnya. Pada lamping jurang sebelah selatan Dusun Udan Awu, seorang laki-laki berusia setengah baya berwajah garang mengenakan pakaian lusuh tampak berulang kali menghela napas panjang dan sesekali mengusap wajahnya yang kelimis dengan kedua telapak tangannya. Lalu sepasang matanya yang tajam berputar liar ke sana kemari dan acap kali terpentang besar perhatikan ke arah luar goa, di dalam mana saat itu dia berada.

Mungkin karena suasana di luar goa tidak begitu jelas, laki-laki ini beranjak melangkah ke arah mulut goa. Kepalanya lalu disorongkan melampaui mulut goa. Teriknya sinar matahari segera menyambut, namun orang ini tidak segera menarik pulang kepalanya. Sebaliknya sepasang matanya dipentangkan besar perhatikan keadaan di luar.

Setelah agak lama baru laki-laki ini tarik kembali kepalanya masuk. Lalu putar diri dan melangkah ke ba-gian tengah dalam goa. Kedua bahunya tampak digerak-gerakkan. Kedua telapak tangannya kembali mengusap wajahnya. Sesaat kemudian dia melangkah mondar-mandir dengan kedua tangan saling meremas. Dari gerak-gerik laki-laki ini jelas memberi isyarat bahwa dia sedang menunggu sesuatu atau setidaknya menanti kedatangan orang.

"Bayumanik dan Sawitri tidak ada kabar beritanya. Lalu dua utusan yang menyusul juga tak menemukannya. Ada apa gerangan? Dan ke mana dia menghilang? Saat ini adalah hari perjanjian. Tapi mengapa dia belum juga muncul?!" gumamnya seraya mengerling ke arah mulut goa.

"Akan kutunggu hingga matahari tenggelam. Kalau dia tidak muncul hari ini pasti telah terjadi sesuatu! Hem..."

Laki-laki ini goyangkan kepala. Lalu melangkah menuju bagian samping dinding goa. Dia telah memutuskan untuk menunggu seraya bersemadi. Laki-laki ini duduk bersila menghadap mulut goa. Perlahan sepasang matanya memejam. Namun baru saja kelopak matanya mengatup, tiba-tiba saja dia membuka kembali.

"Hem... Ada orang menuju kemari. Mudah-mudahan bukan orang lain!" desisnya sambil pentangkan mata mengawasi keluar goa. Laki-laki ini tidak menunggu lama untuk buktikan ucapannya. Karena di lain kejap satu bayangan hitam berkelebat di depan mulut goa. Tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak di dalam goa!

Rasa tegang dan cemas yang sejenak tadi terbayang di wajah laki-laki di dalam goa mengendor. Sejarak enam langkah dari tempatnya, seorang laki-iaki berusia lanjut tampak tegak dengan sedikit dongakkan kepala. Laki-laki ini mengenakan jubah panjang berwarna hitam sampai kedua mata kakinya. Laki-laki setengah baya beranjak bangkit. Memperhatikan pada orang yang baru datang dan tidak lain adalah Datuk Kematian lalu berkata.

"Syukur kau datang, Ageng Barada. Aku sudah Cemas dan khawatir kau mendapat halangan!"

"Panembahan Suro Agung!" kepala Datuk Kematian bergerak menghadap laki-laki di hadapannya. "Aku selalu menepati janji!"

"Benar! Tapi sebenarnya aku telah merubah hari perjanjian kita...!"

Dahi Dewa Kematian berkerut. "Apa maksudmu...?!"

"Apa sebelum ini kau tidak kedatangan orang?!"

Sepasang mata Datuk Kematian menyipit. "Selama aku menyendiri dan menunggu hari perjanjian, tidak seorang pun menemuiku!"

"Hem... Rupanya ada yang tidak beres!"

"Aku tidak mengerti dengan ucapanmu!"

Laki-laki yang dipanggil dengan Panembahan Suro Agung arahkan pandangan ke jurusan lain lalu berucap. "Setengah purnama yang lalu aku mengutus dua orang untuk menemuimu! Aku bermaksud mengajukan hari pertemuan kita. Namun kedua orang utusan itu tidak ada kabar beritanya. Malah orang yang kusuruh menyusul ke tempatmu mengatakan kau tidak ada di tempat!"

Datuk Kematian tertawa perlahan. "Aku sengaja pergi dari tempatku sebelum hari yang ditentukan. Tapi kepergianku tiga hari yang lalu. Jadi kalau benar dua utusanmu berangkat setengah bulan yang lalu, pasti dia masih sempat menemuiku! Nyatanya tidak seorang pun yang muncul di tempatku!"

"Hem... Itulah yang membuatku gusar, Ageng Barada! Jangan-jangan utusan itu berkhianat!"

Datuk Kematian gelengkan kepala. "Itu tidak mungkin, Panembahan Suro!"

"Bagaimana kau bisa berkata begitu?!"

"Kalau mereka berkhianat, mungkin tempat ini telah dikepung musuh kita. Padahal aku tidak melihat adanya orang di luar sana!"

"Lalu ke mana mereka?!"

"Tiga hari aku berkeliaran di luar. Tapi itu sudah cukup bagiku menarik kesimpulan kalau saat ini suasana benar-benar kacau! Bukan tidak mungkin kedua orang itu tersandung halangan Tapi kau tidak usah cemas, dengan tidak adanya orang yang mengetahui pertemuan ini, berarti kedua orang itu masih dapat menyimpan rahasia!"

Panembahan Suro Agung anggukkan kepala. "Tapi aku masih belum tenang, Ageng Barada! Mungkin saja mereka bisa menyimpan rahasia pertemuan ini, tapi tidak mustahil dia membuka rahasia yang lain!"

"Hem... Itukah sebabnya kau menyamar dengan mengenakan pakaian dekil?!" tanya Datuk Kematian seraya perhatikan pakaian yang dikenakan Panembahan Suro Agung.

"Seperti ucapanmu, keadaan saat ini benar-benar kacau. Untuk menghindari hal-hal yang tidak kuinginan, terpaksa aku harus menyamar begini rupa!"

"Hem... Sekarang katakan apa rencanamu!"

"Ageng Barada. Saat inilah waktu yang kita tunggu-tunggu! Enam hari di muka kita bergerak!"

"Secepat itu? Apakah semuanya sudah siap?!"

"Sebenarnya waktu yang kita tentukan semula bukan enam hari di muka. Tapi dengan tidak munculnya kedua utusan yang menemuimu, aku khawatir rencana ini bocor. Jadi harinya kita rubah. Ini untuk menjaga hal di luar dugaan kita! Mengenai persiapan, semuanya beres. Dan kau yang nanti memimpin orang-orang kalangan persilatan!"

"Soal pembagian kalau kita berhasil?!"

"Tetap seperti semula. Kau akan mendapat jabatan tinggi! Lebih dari itu kau nanti berhak mengurus tokoh-tokoh rimba persilatan!"

Datuk Kematian tersenyum. Diam-diam dalam hati laki-laki ini berkata. "Jangan kira aku tidak mengetahui niat busukmu, Panembahan Geblek! Kau hanya membutuhkan tenagaku saat genting begini. Begitu kekuasaan telah kau genggam, kau akan singkirkan diriku, Hem... Jangan kira aku dapat kau langkahi!"

Kalau Datuk Kematian diam-diam membatin begitu, ternyata Panembahan Suro Agung juga berkata sendiri dalam hati. "Ageng Barada! Saat ini bisa saja kau mabuk kepayang dengan angan-anganmu! Tapi begitu kekuasaan berada ditanganku, kau akan mendapat imbalan setimpal. Kematian!"

"Apa ada hal-hal yang belum jelas?!" tanya Panembahan Suro Agung setelah keduanya sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing.

Datuk Kematian gelengkan kepala. "Kurasa semuanya cukup jelas. Dan hal itu nanti bisa kita bicarakan lagi, karena aku akan datang sebelum enam hari di muka!"

"Baiklah! Aku harus segera pergi..." Panembahan Suro Agung menatap sejurus pada Ageng Barada alias Datuk Kematian. Kejap lain laki-laki setengah baya ini telah melangkah ke arah mulut goa.

Belum sampai Panembahan Suro Agung berkelebat keluar goa, mendadak terdengar suara desiran dahsyat. Laksana kilat Panembahan Suro Agung balikkan tubuh. Laki-laki ini terkesiap. Memandang ke depan, satu gelombang angin luar biasa kencang telah menggebrak kearahnya! Sementara di depan sana Datuk Kematian tampak tegak dengan perdengarkan suara tawa mengekeh panjang.

"Jahanam! Apa yang kau lakukan?!" seru Panembahan Suro Agung dengan suara keras. Sepasang mata laki-laki ini mendelik angker. Rahangnya mengembung besar. Pelipis kanan kirinya bergerak-gerak.

Datuk Kematian tidak menjawab. Sebaliknya dia perkeras tawanya. Di lain pihak, Panembahan Suro Agung segera berkelebat menghindar.

Brakkkk!

Goa itu bergetar. Dinding di samping mulut goa berderak ambrol akibat pukulan yang dilancarkan Datuk Kematian berhasil dihindari Panembahan Suro Agung. Panembahan Suro Agung angkat kedua tangannya. "Ageng Barada! Kenapa kau menginginkan kematianku, hah?!"

"Dengar Panembahan Suro Agung! Ageng Barada telah tiada! Saat ini kau sedang berhadapan dengan calon penguasa tunggal rimba persilatan dan kerajaan! Aku adalah Datuk Kematian!"

"Jahanam pengkhianat! Jangan-jangan kau telah berbuat keji pada kedua utusanku!"

Datuk Kematian tertawa bergelak lebih keras. "Lucu! Kau menyebutku pengkhianat! Padahal bukankah kau yang merencanakan pengkhianatan ini, hah?! Kau inginkan kekuasan dan menarik beberapa orang untuk membantumu mencapai tujuan! Orang macam kau pantas menerima nasib seperti utusanmu!"

"Keparat! Tidak kusangka kalau kau berani menggunting lipatanku!"

"Aku bukan orang bodoh seperti yang selama ini kau duga, Suro Agung! Aku tahu niat busukmu! Aku tahu siapa kau sebenarnya dan apa rencanamu setelah tujuanmu tercapai!"

Mendengar ucapan Datuk Kematian, sesaat Panembahan Suro Agung terdiam. Tapi kejap lain laki-laki ini tertawa terbahak. "Bagus kalau kau telah tahu rencanaku. Dan itu berarti kau harus mampus sebelum waktunya!" Habis berkata begitu, Panembahan Suro Agung dorong kedua tangannya yang sedari tadi sudah terangkat.

Datuk Kematian menyeringai. Laki-laki berjubah hitam panjang ini tidak tinggai diam. Kedua tangannya serentak diangkat lalu dihantamkan memangkas. Dua gelombang dahsyat bentrok. Untuk kedua kalinya goa itu bergetar. Langit-langitnya bertabur. Baik Datuk Kematian maupun Panembahan Suro Agung sama tersurut satu langkah ke belakang. Paras keduanya berubah.

Mungkin karena tahu siapa yang dihadapi, juga karena ingin segera selesaikan urusan, begitu dapat kuasai diri Panembahan Suro Agung selinapkan tangan kanannya ke balik pakaiannya. Saat tangannya ditarik keluar, tampak sebuah pedang bersarung berwarna kuning keemasan. Melihat Panembahan Suro Agung keluarkan pedang, bukan membuat Datuk Kematian terkejut. Sebaliknya laki-laki ini tertawa seraya kacak pinggang.

"Kau boleh memiliki pedang mustika beberapa biji, Suro Agung! Tapi sebelum kau sempat menggunakannya, aku akan terlebih dahulu memutus selembar nyawamu!"

"Kita lihat, apakah ucapanmu benar!" sentak Panembahan Suro Agung. Laki-laki ini sebenarnya tahu sampai di mana kekuatan sang Datuk karena selama ini keduanya saling bersahabat. Selain itu sebenarnya Panembahan Suro Agung bukanlah orang sembarangan. Hanya karena selama ini dia selalu tidak menunjukkan kepandaiannya, orang menduga dia hanya orang terpelajar yang mengabdi pada salah seorang keturunan Raja Singasari yang sedang berperang. Namun sebagai sahabat, Datuk Kematian tahu siapa adanya Panembahan Suro Agung. Kalau dahulu Datuk Kematian masih harus berhitung untuk menghadapi sang Panembahan, tidak halnya dengan saat ini.

"Kau salah omong, Suro Agung! Kau tidak akan dapat melihat! Karena kau akan mampus terlebih dahulu!"

Panembahan Suro Agung menggereng marah. Gagang pedang ditarik. Tampaklah sebuah pedang berwarna putih keperakan pancarkan cahaya berkilat-kilat. Panembahan Suro Agung angkat pedangnya. Di seberang sana Datuk Kematian angkat kedua tangannya sejajar dada. Lalu secepat kilat ditarik ke belakang mengusap dadanya di mana tersimpan kitab hitam yang baru selesai diciptakan dan telah merenggut beberapa korban.

Bersamaan dengan merangseknya sosok Panembahan Suro Agung yang hendak babatkan pedangnya, terdengar suara deruan pelan. Panembahan Suro Agung tidak melihat adanya gelombang satu sinar. Namun laki-laki ini terkesiap. Sosoknya laksana dihantam gelombang luar biasa dahsyat hingga bukan saja sosoknya mental balik, tapi genggaman pada pedangnya bergetar keras.

Kejap lain pedang di tangan Panembahan Suro Agung terlepas, sementara sosoknya membentur dinding ruangan goa sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan darah mengucur dari lobang hidung dan mulutnya!

Datuk Kematian tertawa mengekeh. "Ternyata ucapanku yang jadi kenyataan, Suro Agung!"

Panembahan Suro Agung seakan tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Bahkan dia seakan juga belum mempercayai apa yang didengarnya dari mulut Datuk Kematian, hingga laki-laki ini segera kerahkan segenap tenaga dalamnya lalu bergerak bangkit. Tahu apa yang pasti dialami Panembahan Suro Agung, Datuk Kematian hanya memandang tanpa membuat gerakan apa-apa.

Sementara di depan sana, sang Panembahan tampak terhuyung. Untung di belakangnya dinding goa. Jika tidak niscaya tubuhnya pasti akan roboh. Dengan pegangi dadanya, Panembahan Suro Agung sandarkan punggungnya pada dinding goa. Lalu menatap pada Datuk Kematian. Dengan bersusah payah, laki-laki ini angkat tangan kirinya menunjuk.

"Kau..." Ternyata hanya itu suara yang bisa terdengar dari mulut Panembahan Suro Agung. Saat bersamaan, tangan kirinya laksana disentak dan luruh ke bawah. Kejap lain sosoknya ikut melorot jatuh dengan sekujur tubuh berubah menjadi kehitaman! Rupanya Panembahan Suro Agung tidak mau begitu saja putus asa. Dia kembali hendak kerahkan tenaga dalam. Namun sia-sia. Dia mengerang. Tapi erang-annya mendadak terputus! Bersamaan dengan itu terdengar suara tawa bergelak.

********************

Sejak peristiwa hilangnya Panembahan Suro Agung tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya, suasana disekitar daerah Singasari makin tidak karuan. Bukan saja peperangan makin berkobar tapi beberapa tokoh dunia persilatan satu persatu hilang atau kalau ditemukan sudah tidak bernapas lagi dengan sekujur tubuh berubah laksana dipanggang bara api hingga tak dapat dikenali lagi. Di lain pihak, Ageng Barada alias Datuk Kematian terus menebar kematian di mana-mana.

Kalau pada awalnya laki-laki ini juga menginginkan kekuasaan di kerajaan, bersama berlalunya waktu dia rupanya merubah niat. Menjadikan dirinya sebagai penguasa tunggal rimba persilatan nyatanya lebih menarik hatinya, karena dia berpikir dengan berhasil menjadi penguasa dunia persilatan mau tidak mau pihak kerajaan pun nanti pasti akan tunduk padanya!

Setidaknya dia akan bisa mengatur jalannya kerajaan walau berada di belakang. Karena Datuk Kematian memiliki kitab hitam yang luar biasa hebat, dalam waktu singkat apa yang menjadi keinginannya tercapai. Dia menjadi seorang tokoh yang bukan saja berpengaruh di dalam lingkungan para keturunan Raja-raja Singasari yang masih berebut kekuasaan, dia juga muncul sebagai tokoh rimba persilatan yang ditakuti.

Namun sebagai manusia biasa, Datuk Kematian punya kelemahan. Yang paling tidak bisa dia hilangkan adalah kesukaannya pada perempuan. Karena dia tokoh yang ditakuti, perempuan apa pun yang dikehendaki dapat direngkuhnya. Bahkan dia tidak segan-segan merampas istri orang dan memperkosanya. Hingga pada satu saat dia benar-benar bertemu dengan seorang perempuan muda yang selain sulit ditaklukkan juga punya ambisi.

Sebenarnya bisa saja Datuk Kematian berbuat kasar pada perempuan ini yang dikenal dengan nama Ken Rakasiwi. Namun menghadapi Ken Rakasiwi, Datuk Kematian tidak bisa berbuat banyak, karena sang Datuk benar-benar menyintai Ken Rakasiwi. Di lain pihak, meski Ken Rakasiwi tidak punya hati pada Datuk Kematian namun karena dia berambisi menjadi permaisuri salah seorang keturunan Raja-raja Singasari, dia seolah memberi harapan pada sang Datuk. Namun secara diam-diam dia juga menjalin hubungan dengan salah seorang keturunan Raja Singasari.

Ken Rakasiwi tahu kehebatan Datuk Kematian. Dan sebagai perempuan muda yang ambisi, dia tidak menyia-nyiakan sang Datuk. Dia berencana mengambil kehebatan Datuk Kematian. Mungkin karena begitu cintanya pada Ken Rakasiwi, Datuk Kematian tidak sembunyikan pada perempuan yang berwajah cantik dan bertubuh bahenol ini apa yang menjadikannya sebagai tokoh luar biasa. Sejak saat itulah Ken Rakasiwi mengatur siasat bagaimana dapat merebut kitab hitam yang ada di tangan Datuk Kematian.

Hingga pada suatu hari Ken Rakasiwi mengajak sang Datuk ke satu tempat yang hanya mereka berdua yang tahu. Ken Rakasiwi telah atur siasat dengan matang. Karena Ken Rakasiwi tahu kelemahan sang Datuk, perempuan ini memanfaatkannya. Mereka berdua bercumbu. Saat sang Datuk berada pada puncak gelora, Ken Rakasiwi hujamkan sebuah pedang kecil tepat pada punggungnya yang langsung tembus pada ulu hatinya.

Datuk Kematian terperanjat. Meski dia adalah seorang tokoh rimba persilatan yang sukar dicari tandingannya, namun karena yang menancap di punggungnya bukan pedang biasa tapi sudah dibubuhi racun. maka laki-laki ini tidak dapat berbuat banyak. Namun Ken Rakasiwi akhirnya harus pulang dengan kecewa, karena meski sudah terluka parah, Datuk Kematian masih sempat menyambar jubah hitam panjangnya di mana dia simpan kitab hitam sebelum dia berlari masuk ke sebuah jurang.

Pada tahun-tahun berikutnya akhirnya ambisi Ken Rakasiwi tercapai. Dia dipersunting oleh salah seorang keturunan Raja Singasari yang pada akhirnya menjadi penguasa. Ken Rakasiwi pun menjadi seorang permaisuri. Meski demikian Ken Rakasiwi tidak mengendurkan pencariannya pada Datuk Kematian.


  • Secara diam-diam perempuan yang telah menjadi seorang permaisuri ini melakukan pencarian di mana Datuk Kematian menghilang ceburkan diri. Namun sejauh ini segala usahanya tidak berhasil. Selain dia hanya mengerti sedikit ilmu silat, dia juga tidak berani memberitahukan urusannya pada orang lain. Hingga hanya dialah satu-satunya orang yang mengetahui di mana sebenarnya menghilangnya Datuk Kematian.


********************

BAB 5

Matahari baru saja merambat dari samping gunung. Di bawah sebuah pohon besar seorang pemuda tampak menggeliat bangun. Usap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu memandang berkeliling sambil tersenyum sendiri. Saat lain dia menghirup udara dalamdalam. Bersamaan dengan itu tangan kanannya bergerak terangkat lagi. Bukan mengusap wajahnya kembali namun memasukkan jari kelingkingnya ke lobang telinga kanannya! Kali ini senyumnya berubah menjadi ringisan karena kegelian.

"Ke mana lagi aku harus bertanya? Sudah beberapa purnama kulalui, namun tidak satu pun orang yang tahu perihal yang kutanyakan! Di lain pihak Orang Tua yang sebutkan diri sebagai penjaga kitab tidak jelas mengatakan di mana aku harus mendapatkan barang yang dikatakannya! Dia hanya mengatakan bahwa sebelum Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra dibuat, telah muncul terlebih dahulu sebuah kitab lain. Sialnya tanpa adanya pemberitahuan yang jelas aku diberi tugas untuk mencari dan sekaligus memusnahkannya! Hm... Apakah ilmu yang kuperoleh dari Kitab Sundrik Cakra nantinya dapat memusnahkan kitab itu?! Mungkin di sana nanti dapat kulihat bagaimana dahsyatnya ilmu dari Kitab Sundrik Cakra...! Lalu apa sebaiknya aku menemui Eyang Guru Pendeta Sinting dahulu untuk memberitahukan urusan ini? Ah... Memang itu satu-satunya jalan. Siapa tahu dia mengetahui apa yang kini harus kulakukan!" gumam si pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng.

Seperti diketahui, sewaktu membuka Kitab Sundrik Cakra, Orang Tua yang dahulu muncul sewaktu murid Pendeta Sinting membuka Kitab Serat Biru menampakkan diri lagi. Orang Tua ini lalu menceritakan bahwa sebenarnya selain Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra masih ada lagi sebuah kitab yang kini menjadi tugas Joko untuk mencari dan memusnahkannya. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Misteri Tengkorak Berdarah)

Karena si Orang Tua tidak dapat menjelaskan di mana kitab satunya itu berada, terpaksa Joko mencari tahu dengan bertanya ke sana kemari. Namun sampai saat ini tidak satu pun orang yang mengetahuinya, malah sebagian besar dari yang ditanya mengatakan baru pertama kali ini mendengar. Setelah memutuskan hendak menemui eyang gurunya Pendeta Sinting yang bertempat tinggai di Jurang Tlatah Perak, akhirnya Joko Sableng beranjak berdiri. Lalu melangkah hendak tinggalkan tempat itu.

Namun baru melangkah lima belas tindak, murid Pendeta Sinting hentikan langkah. Sepasang alis matanya terangkat dengan mata sedikit membeliak. Laksana dipantek, kepalanya lurus menghadap ke arah timur. Dari tempatnya berdiri, Joko melihat kain putih panjang menggelantung di bawah sebuah pohon yang tidak begitu besar. Kain itu melambai-lambai ditiup angin. Bersamaan itu terdengar deruan keras!

Murid Pendeta Sinting angkat kepalanya ke atas. Dia terbeliak makin besar. Di atas pohon tampak menggelantung dua sosok tubuh. Dua sosok tubuh ini saling tindih. Orang yang sebelah atas lingkarkan sepasang kakinya pada pinggang orang di bawahnya. Kedua tangannya lurus ke atas berpegangan pada sebuah dahan. Sedangkan orang yang di sebelah bawah hanya memegangi kedua kaki orang yang melingkari pinggangnya. Orang sebelah bawah ini laksana menggendong orang yang berpegangan pada dahan pohon.

Karena kedua orang yang saling menggantung ini membelakangi, murid Pendeta Sinting hanya bisa melihat bagian belakang tubuh masing-masing orang. Orang yang sebelah atas mengenakan pakaian putih panjang. Begitu panjangnya pakaian yang dikenakan orang, hingga pakaian bagian belakangnya menjulur ke bawah dan melambai-lambai ditiup angin. Orang ini memiliki rambut putih jarang sampai yang kelihatan jelas hanya batok kepalanya! Sementara orang yang menggendong di sebelah bawah mengenakan pakaian warna biru. Rambutnya juga sudah memutih. Perawakannya tinggi kurus.

"Pakaian yang dikenakan serta sikapnya..." gumam Joko seraya memandang tak berkesip. "Sayang mereka membelakangi. Tapi kalau melihat keadaan dan pakaiannya, aku hampir bisa memastikan siapa mereka adanya..."

Murid Pendeta Sinting hendak berkelebat ke depan untuk dapat memastikan dugaannya. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba orang di sebelah atas gerakkan bahunya. Kain panjang bagian belakangnya berkelebat angker keluarkan suara menderu keras. Kejap lain dua sosok tubuh itu melayang turun seraya hadapkan wajah pada Joko Sableng. Kini Joko dapat melihat jelas wajah kedua orang yang masih bergendongan itu.

Orang yang digendong ternyata adalah seorang laki-laki berusia amat lanjut. Paras mukanya hampir tidak ditutup daging sama sekali. Demikian juga anggota tubuh lainnya. Sepasang matanya terpejam rapat, namun bibirnya kelihatan bergerak-gerak ucapkan sesuatu yang tidak dapat ditangkap dengan jelas. Sementara orang yang menggendong adalah seorang lakilaki setengah baya berwajah cekung.

"Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!" Orang yang menggendong buka mulut. Sementara orang tua yang digendong tetap komat-kamit tanpa membuka matanya.

"Raja Tua Segala Dewa! Gulurawa!" seru Joko lalu bungkukkan tubuh menjura hormat.

"Selamat bertemu lagi, Anak Muda..." kata laki-laki yang menggendong. Orang ini hendak lanjutkan ucapannya, namun orang tua yang digendong gerakkan tangan kanannya mengetuk punggungnya membuat orang yang menggendong urungkan niat.

Orang tua yang digendong buka kelopak matanya yang sedari tadi terpejam rapat. Mulutnya yang komat-kamit berhenti. Sejurus orang tua ini menatap tak berkesip pada murid Pendeta Sinting sebelum akhirnya berkata.

"Rupanya Yang Maha Tinggi masih menentukan kita untuk bersua lagi, Anak Muda. Mau mengatakan hendak ke mana?"

"Aku bersyukur bisa bertemu lagi denganmu, Raja Tua Segala Dewa. Aku dalam perjalanan ke tempat Eyang Guruku Pendeta Sinting..."

Orang tua yang dipanggil dengan Raja Tua Segala Dewa dongakkan sedikit kepalanya. "Kalau seorang murid hendak menghadap gurunya hanya ada dua urusan yang pasti akan dikemukakan. Pertama dia bertemu dengan seorang gadis cantik dan minta sang guru untuk melamarnya. Kedua, memiliki urusan pelik yang tidak dapat diatasi. Aku berharap yang pertamalah urusanmu hingga kau hendak menemui Eyang Gurumu..."

Orang yang menggendong yang dipanggil oleh Joko dengan Gulurawa tersenyum. Sedangkan murid Pendeta Sinting gelengkan kepala lalu berucap.

"Menyesal, Raja Tua Segala Dewa. Justru urusan kedualah yang kini kuhadapi!"

"Hem... Terpaksa aku urungkan niat untuk ucapkan selamat padamu, Pendekar 131..." Raja Tua Segala Dewa tersenyum lalu lanjutkan ucapannya. "Setiap manusia memang tidak akan lepas dari kesulitan, Anak Muda. Apalagi kau sebagai orang persilatan!"

"Tapi urusan yang kuhadapi saat ini rasanya begitu sulit!"

"Kau bisa berkata begitu karena kau belum menemukan jalan keluarnya. Jika jalan itu nanti kau temukan, kurasa tidak ada yang tidak bisa diselesaikan."

Untuk kedua kalinya Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku sudah mencari jalan keluar itu. Namun rasanya di mana-mana aku menemui jalan buntu!"

"Kau keliru, Anak Muda. Bukan jalan buntu, hanya kau belum menemukan jalan yang benar!"

"Sepertinya jalan itu tak mungkin kudapatkan. Segalanya serba gelap!"

Raja Tua Segala Dewa tersenyum sambil gelengkan kepalanya perlahan. "Tidak baik patah arang berputus asa, Anak Muda. Percayalah jalan itu ada!"

"Tapi di mana? Aku telah beberapa purnama mencari tahu. Hasilnya hanya sia-sia! Hingga aku berpikir mungkin apa yang sedang kucari tidak ada dan orang yang memberi tahu padaku hanya mengarang cerita. Tapi apa mungkin?!"

"Mau kau ceritakan apa urusanmu...?"

Murid Pendeta Sinting tidak berpikir panjang lagi. Dia lalu menceritakan pertemuannya dengan Orang Tua sewaktu membuka kitab bersampul kuning Sundrik Cakra. Dia tak segan menceritakan urusan itu pada Raja Tua Segala Dewa karena selain dia telah tahu siapa adanya orang tua itu, juga karena dia mengharap bantuannya. (Mengenai siapa Gulurawa dan Raja Tua Segala Dewa silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Gerbang Istana Hantu)

"Harap kau suka memberi sedikit penerangan agar aku bisa segera selesaikan urusan ini!" kata Joko setelah menuturkan ceritanya.

"Kalau yang berkata begitu adalah Orang Tua yang menyebut diri sebagai penjaga kitab, aku menduga apa yang dikatakannya adalah benar. Selain itu aku juga pernah mendengar perihal itu..."

Paras wajah Pendekar 131 seketika berubah. Dia segera melangkah mendekat lalu berkata. "Raja Tua Segala Dewa. Harap sudi beri tahu di mana kitab hitam itu!"

Sesaat Raja Tua Segala Dewa tidak segera menjawab ucapan Joko. Sebaliknya dia memandang sejurus pada murid Pendeta Sinting. Lalu arahkan pandangannya ke arah jurusan lain seraya berkata pelan. "Kau jangan girang dahulu, Pendekar 131. Aku hanya pernah mendengar saja. Soal di mana beradanya Kitab Hitam itu sama sekali aku tidak mengetahuinya!"

Kembali paras Joko berubah murung. Malah kali ini terdengar dia mengeluh. "Ah... Lagi-lagi aku harus menemui kegelapan..."

"Masalahnya sekarang bukan kau menemui kegelapan atau tidak, Anak Muda. Tapi ada pepatah yang mengatakan barang hitam akan lebih banyak diketahui oleh orang golongan hitam pula!"

"Maksudmu...?!"

"Menilik nama kitab ini, jelas kitab itu diciptakan oleh seorang beraliran hitam. Jadi yang tahu jelas perihal kitab itu pasti seorang tokoh beraliran hitam pula!"

"Lalu siapa kira-kira tokoh hitam yang harus kutemui dan kira-kira mengetahui perihal kitab itu?"

"Aku pernah mendengar nama seorang tokoh hitam luar biasa jahat dan punya kepandaian sangat tinggi. Dia hidup pada beberapa ratus tahun silam...."

"Raja Tua...!" potong Joko. "Bagaimana aku harus menemui orang yang hidup pada ratusan tahun yang lalu. Apa mungkin dia masih punya nyawa?!"

"Kau tidak boleh mencampuri urusan nyawa orang, Anak Muda. Urusan satu itu mutlak urusan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang kuasa untuk memanjangkan usia makhluknya seberapa Dia mau! Dan semua itu pasti ada tujuannya. Yang Maha Kuasa tidak mungkin berbuat tanpa ada tujuan... Setidaknya di dalamnya tersimpan hikmah meski kelihatannya sepele..."

Mendengar ucapan Raja Tua Segala Dewa, murid Pendeta Sinting terdiam. Raja Tua Segala Dewa lanjutkan ucapannya. "Tokoh hitam itu memang tidak lagi kedengaran kabar beritanya. Namun tidak ada salahnya kalau kau coba menemuinya. Siapa tahu apa yang diduga orang selama ini meleset dan dia masih hidup."

"Di mana aku harus menemuinya? Dan siapa nama tokoh itu?"

"Kalangan rimba persilatan mengenalinya dengan gelar Iblis Rangkap Jiwa. Hanya tempatnya yang sulit ditemukan di mana..."

Pendekar 131 kerutkan dahi. "Mendengar namanya, apakah dia benar-benar memiliki jiwa rangkap?" "Gelaran orang biasanya memang mengisyaratkan tindak tanduk dan keadaannya. Iblis Rangkap Jiwa memang bukan hanya sakti, namun juga kebal terhadap segala pukulan! Itulah makanya dia bergelar Iblis Rangkap Jiwa. Dia seolah-olah memiliki nyawa rangkap..."

"Sebagai orang golongan hitam, pasti dia tidak akan begitu saja mau mengatakan di mana Kitab Hitam itu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan aku harus mengadu jiwa dengannya. Apakah mungkin aku dapat menghadapinya?"

Raja Tua Segala Dewa tersenyum. "Dia memang berilmu sangat tinggi serta tidak mempan segala pukulan. Namun bukan berarti dia tidak dapat dikalahkan! Asal kita mengetahui kelemahannya!"

"Hem... Lantas apakah kau tahu kelemahannya?" tanya Joko dengan menatap tajam. Murid Pendeta Sinting ini seolah tidak sabar.

Untuk beberapa lama Raja Tua Segala Dewa terdiam. Setelah menarik napas panjang dia berkata. "Tadi sudah kukatakan, barang hitam akan lebih banyak diketahui oleh orang golongan hitam pula..."

"Jadi aku harus menemui orang beraliran hitam lain lagi yang mengetahui kelemahan Iblis Rangkap Jiwa itu? Lalu yang ini siapa lagi orangnya?!"

"Untuk menaiki tangga memang harus dimulai dari bawah, Anak Muda. Maka yang baru saja kau ucapkan adalah benar!"

"Lalu siapa orangnya yang mengetahui kelemahan iblis itu?"

"Carilah seorang tokoh berjuluk Cucu Dewa. Hanya tokoh satu ini lain. Meski dia beraliran hitam, tapi tak jarang dia berpihak pada orang golongan putih. Pikirannya sulit ditebak. Hanya seperti halnya Iblis Rangkap Jiwa, tempatnya tak bisa ditentukan di mana..."

Sekian kalinya murid Pendeta Sinting mengeluh. Bukan karena apa yang akan dihadapi adalah urusan besar, namun dia khawatir ada orang yang mendahului. Karena Orang Tua yang menemuinya itu mengisyaratkan demikian. Setelah terdiam untuk beberapa lama, Joko berkata.

"Aku baru pertama kali dengar manusia berjuluk Cucu Dewa. Agar memudahkan untuk mencari, harap kau jelaskan bagaimana orang itu!"

"Sayang, Anak Muda. Seperti halnya dirimu. Aku hanya pernah dengar namanya dan belum pernah berjumpa. Harap kau tidak berputus asa untuk mencarinya. Karena hanya dengan diketemukannya orang itu, jalan yang kau lalui bisa berubah terang..."

Habis berkata begitu, Raja Tua Segala Dewa gerakkan tangan kanan mengetuk punggung Gulurawa. Seakan tahu isyarat yang diberi tahu orang, tanpa berkata apa-apa lagi Gulurawa anggukkan kepala lalu berkelebat.

"Kelak kalau kita jumpa lagi, kuharap hal pertama yang kau hadapi, Anak Muda. Untuk soal itu aku tentu akan banyak mengetahuinya..." Suara Raja Tua Segala Dewa masih terdengar. Namun sosoknya yang digendong sudah tidak kelihatan lagi!

"Cucu Dewa... Hem... Mencari orang yang tidak tentu tempat dan bagaimana ciri-ciri rupanya. Apakah mungkin bisa kutemukan? Tapi hal ini harus kulakukan! Ah... Apa tidak sebaiknya aku mencari Dewa Orok dahulu? Bukankah menurut Orang Tua itu, rahasia beradanya Kitab Hitam ada pada mahkota bersusun tiga yang dikatakan milik nenek moyangnya? Tapi harus ke mana kucari orang itu? Aduh... Kedua-duanya sulit! Baru kali ini aku harus menemui urusan yang begini rumit."

Murid Pendeta Sinting melangkah seraya terus bergumam sendiri dan tidak jarang geleng-geleng kepala sambil hembuskan napas panjang.

BAB 6

Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng hentikan kelebatannya. Kepalanya menghadap lurus ke samping kanan. Telinganya ditajamkan. "Sudah beberapa hari tubuhku tidak tersentuh air. Di arah sana kudengar suara air mengucur..."

Joko melangkah ke arah mana telinganya menangkap suara air. Namun begitu suara pancuran air agak jelas sekonyongkonyong murid Pendeta Sinting ini hentikan langkahnya. Kali ini bukan hanya suara pancuran air yang tertangkap pendengarannya. Namun juga suara orang menyanyi. Kalau suara itu suara nyanyian seorang laki-laki, tentu Joko tidak terkejut. Tapi yang didengar kali ini adalah suara nyanyian seorang perempuan! Dan datangnya berasal dari arah pancuran air!

"Hem... Mungkin aku akan melihat pemandangan mengasyikkan! Siapa tahu perempuan itu sedang mandi, tidak berpakaian dan orangnya berwajah cantik serta bertubuh..."

Joko tidak lanjutkan gumamannya. Dia segera melangkah dengan berjingkat-jingkat. Ternyata pancuran air itu berada di sebuah dataran yang agak landai. Sambil berpaling kiri kanan murid Pendeta Sinting sibakkan sebagian semak yang menghalangi pandangannya. Sepasang matanya lurus memandang ke bawah di mana pancuran air berada. Begitu semak belukar tersibak, murid Pendeta Sinting ini hampir saja keluarkan seruan tertahan. Joko cepat tekap mulutnya rapat-rapat meski bersamaan dengan itu sepasang matanya membelalak besar tak berkesip.

"Benar-benar nasib mujur! Seorang perempuan muda dan tentu berwajah cantik..." ucap Joko dalam hati lalu sibakkan semak lebih lebar. Sepasang matanya makin membelalak dengan dada mulai berdebar.

Di bawah sana, di samping sebuah pancuran berair jernih tampak seorang gadis tegak seraya bersenandung lantunkan nyanyian. Bersamaan dengan itu tangan kanan kirinya bergerak terangkat membuka rambutnya yang dikuncir. Sesaat kemudian rambut si gadis luruh bergerai. Rambut itu panjangnya sebatas pinggang.

"Walau aku belum bisa melihat raut wajahnya. Aku dapat menduga jika gadis itu berwajah..."

Murid Pendeta Sinting putuskan gumamannya. Sepasang matanya makin membesar. Dadanya berdegup lebih keras. Si gadis di samping air pancuran perlahan-lahan mulai membuka pakaiannya yang berupa jubah berwarna merah menyala. Masih sambil terus bersenandung, si gadis letak-kan jubah merahnya tidak jauh dari tempatnya berdiri. Kini tampak pakaian ringkas berwarna putih tipis membungkus tubuhnya. Kejap lain kedua tangannya bergerak. Dari tempatnya mengintai Joko sorongkan kepalanya ke depan. Mulutnya sedikit terbuka menganga. Di bawah sana si gadis telah buka seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya.

"Busyet! Benar-benar aduhai... Putih mulus dan padat, sayang masih membelakangi..."

Masih tidak sadar kalau dirinya diintip orang, si gadis tenang-tenang saja bersenanduhg dan kini membasahi tubuh dengan jongkok di bawah pancuran.

"Hem... Tak lama lagi pasti akan menghadap ke depan! Dan aku tak akan sia-siakan pemandangan luar biasa ini!"

Apa yang dipikir murid Pendeta Sinting nyatanya tidak meleset. Si gadis perlahan-lahan putar tubuhnya. Pendekar 131 menarik napas dalam. Pijakan sepasang kakinya goyah. Saat si gadis benar-benar telah putar tubuh, mungkin tak kuasa lagi menahan pemandangan yang membuat dadanya berdebar, murid Pendeta Sinting tanpa sadar keluarkan seruan tertahan!

"Busyet!" gumam Joko masih tidak sadar. Dia cepat tekap mulutnya setelah menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Namun terlambat, Seruan sempat didengar oleh si gadis. Laksana kilat si gadis sambar pakaiannya lalu mengenakan jubah merahnya. Kejap lain dia lakukan gerakan mendorong ke arah mana Joko mengintai! Satu gelombang luar biasa keras menyambar ke atas.

"Celaka! Nasibku jelek! Belum sempat melihat pemandangan lebih bagus sudah ketahuan!" desis Joko lalu cepat bergerak hindarkan diri.

Meski murid Pendeta Sinting berhasil menghindari pukulan si gadis namun nyatanya dia harus bernasib sial. Karena serangan si gadis menghantam tanah di bawahnya, membuat tanah itu langsung berantakan. Pijakan kedua kaki Pendekar 131 goyah. Dia cepat gerakkan kedua tangannya menggapai semak belukar. Tapi gerakannya terlambat. Sebelum kedua tangannya berhasil menggapai semak belukar untuk imbangi tubuh, tanah di mana dia berpijak ikut berantakan. Hingga tak ampun lagi sosoknya melorot.

Murid Pendeta Sinting tidak hilang akal. Tahu bahwa dirinya akan terperosok jatuh ke bawah, dia cepat hantamkan kedua tangannya ke lamping tanah. Dengan begitu dia berpikir tubuhnya akan tertahan meski harus bergelantungan. Namun di bawah sana si gadis berjubah merah rupanya tidak tinggai diam, gadis ini rupanya tahu apa yang terpikir dalam benak Joko. Bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan Joko menghantam tanah bagian lamping, si gadis kembali dorong kedua tangannya ke atas.

Tanah di mana Joko hendak coba menggelantung dengan hantamkan kedua tangannya serta-merta buyar berantakan. Saat bersamaan sosok murid Pendeta Sinting meluncur ke bawah! Pendekar 131 mengaduh lalu bergerak bangkit. Namun satu kaki putih mulus telah menekan dadanya membuat dia tidak mampu bergerak lebih jauh. Dia hanya bisa kernyitkan dahi sambil memandang ke atas! Bukan pada wajah si orang yang menekankan kaki ke dadanya, melainkan ke arah selonjoran kaki yang menekan dadanya!

"Busyet! Benar-benar mulus...!" desisnya dalam hati.

Orang yang menekankan kaki di dada sang Pendekar kernyitkan kening seraya sipitkan sepasang matanya. Namun cuma sekejap. Di lain saat sepasang mata yang tidak lain milik gadis berjubah merah menyala mendelik angker. Saat berikutnya kedua tangan si gadis cepat bergerak kelebatkan jubahnya untuk menutupi pahanya yang terbuka!

"Pemuda gila! Kau cari petaka berani mengintip orang mandi!" Seraya berteriak, kaki si gadis menekan lebih keras, membuat Joko megap-megap sulit bernapas.

"Tunggu! Jangan... salah duga dahulu..." ucap Joko dengan suara tersendat.

Si gadis menyeringai. Sepasang matanya menatap lekat-lekat pada pemuda di bawahnya. Sejenak sepasang mata itu membesar lalu menyipit. Kedua alis matanya yang hitam bergerak naik. Dahinya mengernyit. Di lain pihak murid Pendeta Sinting belalakkan sepasang matanya. Ternyata gadis berjubah merah itu memiliki wajah cantik jelita. Hidungnya mancung. Sepasang matanya bulat tajam dengan kulit putih kekuningan. Hanya murid Pendeta Sinting sedikit heran. Meski tidak berkata-kata, mulut gadis ini kelihatan bergerak-gerak laksana mengunyah sesuatu!

Si gadis renggangkan sedikit kakinya yang menekan dada Pendekar 131 membuat Joko bernapas lega. Tapi kelegaan murid Pendeta Sinting ini tidak lama, karena saat lain si gadis tekankan lagi kakinya malah kali ini lebih keras seraya membentak.

"Setan! Siapa kau?!"

Joko tidak segera menjawab pertanyaan si gadis. Sebaliknya dia hanya gapai-gapaikan tangannya menunjuk nunjuk pada kaki si gadis. Seakan sadar akan isyarat orang, si gadis kembali renggangkan tekanan kakinya. Lalu kembali membentak.

"Kau dengar pertanyaanku, Setan! Lekas jawab atau kubuat jebol dadamu!"

"Baik,Akan kujawab pertanyaanmu..," kata Joko seraya menghela napas panjang.

"Lekas buka mulut jawab!" hardik si gadis begitu mendapati Joko tidak segera buka mulut menjawab.

"Galak benar!" gumam Joko dalam hati lalu buka mulut. "Sabar. Semua apa yang nanti kau tanyakan pasti kujawab dengan senang hati. Tapi beri aku kesempatan untuk bernapas dahulu. Tekanan kakimu membuat dadaku sesak. Dan akan lebih baik jika kau angkat kakimu dari dadaku ini..."

"Pemuda Setan macam kau terlalu enak jika tidak diberi pelajaran! Lekas jawab!" bentak si gadis tanpa angkat kaki kanannya dari dada Joko meski kaki itu sekarang tidak menekan. Anehnya hal itu tidak membuat Joko menjadi lega. Sebaliknya membuat murid Pendeta Sinting terkesiap kaget. Betapa tidak, ternyata Joko kini tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya! Sekujur tubuhnya tegang kaku tak bisa digerakkan!

"Siapa gadis ini?! Dia melakukan totokan tanpa aku menyadari kapan dia melakukannya! Benar-benar sial nasibku! Belum sampai benar-benar melihat barang indah sudah harus menerima hal seperti ini!"

Si gadis angkat kaki kanannya ditarik pulang. Lalu mendongak arahkan pandangannya ke jurusan lain sambil berucap. "Kau tidak mau jawab pertanyaanku Baiklah, tidak ada untungnya bagiku mengetahui nama pemuda setan sepertimu. Selamat tinggal!"

Si gadis berjubah merah rapikan rambutnya yang hitam panjang dan dikuncir. Lalu tenang-tenang saja dia melangkah menjauh tinggalkan tempat itu.

"Celaka! Aku bisa mati kaku di sini. Tempat begini sepi tak mungkin ada orang lewat yang bisa menolongku membebaskan dari totokan ini! Lagi pula totokan itu totokan gila. Aku akan berusaha membuyarkan totokan ini!" gumam Joko seraya pandangi langkah-langkah si gadis.

Murid Pendeta Sinting diam-diam kerahkan tenaga dalamnya untuk bebaskan diri dari totokan yang dilakukan si gadis. Mendadak Pendekar 131 terlengak. Meski dia baru saja kerahkan tenaga dalam, dari tangan kanannya terasa mengalir hawa hangat. Lalu anggota tubuhnya membuat gerakan-gerakan halus. Kejap lain dia telah dapat buyarkan totokan si gadis.

"Hem... Ada hawa yang mengalir dari tangan kanan, jangan-jangan ini masih ada kaitannya dengan ilmu yang kudapat dari Kitab Sundrik Cakra..."

Joko pandangi punggung si gadis, "Akan kukerjai dia..." Murid Pendeta Sinting buka mulut. "Hai! Tunggu...!" Joko berteriak tanpa menggerakkan tubuhnya. Dia berpura-pura masih dalam keadaan tertotok.

Si gadis hentikan langkah tanpa berpaling. Lalu terdengar suaranya. "Aku butuh jawaban! Sekali lagi kau buka mulut selain jawab pertanyaanku tadi, jangan harap aku akan berhenti melangkah!"

Mendengar ancaman orang, Joko cepat buka mulut menjawab. "Aku Joko! Joko Sableng!"

Si gadis berjubah merah balikkan tubuh. Sepasang matanya memandang, bukan pada murid Pendeta Sinting namun ke arah jurusan lain. Lalu berucap. "Pemuda Setan! Mengapa kau berada di sini? Kau mengikuti perjalananku? Siapa orang yang menyuruhmu untuk menguntitku? Lekas jawab!"

"Gawat! Urusannya mengapa jadi begini? Benar-benar sial aku hari ini!"

Karena Joko tidak segera menjawab, gadis berjubah merah menyala putar diri. Namun sebelum kakinya melangkah, murid Pendeta Sinting telah berteriak.

"Tunggu! Aku.. aku tidak mengikuti perjalananmu! Aku hanya kebetulan lewat sini! Semula aku ingin mandi. Tapi secara tidak sengaja aku memergokimu sedang..." Joko tidak lanjutkan ucapannya.

"Teruskan keteranganmu!" sentak si gadis.

"Walah... Bagaimana ini? Apa aku harus menceritakan apa yang dia sendiri lakukan?"

Mungkin khawatir si gadis berjubah merah pergi kalau tidak dituruti kemauannya, akhirnya Joko angkat bicara. "Aku melihatmu sedang melepas rambut, lalu melepas jubah..." Kembali Joko hentikan ucapannya, berharap sang gadis akan menghentikan ucapannya. Namun dugaan Joko salah. Si gadis buka mulut.

"Teruskan!"

"Apa hendak dikata..." gumam Joko lalu lanjutkan keterangannya. "Kau kulihat membuka pakaian bagian dalam yang kau kenakan. Setelah itu aku tidak melihatmu lagi. Aku berpaling..."

Gadis berjubah merah luruskan kepala menghadap murid Pendeta Sinting. "Pemuda Setan sepertimu, mana mungkin melakukan hal demikian?! Matamu melotot melihatku. Betul?!"

"Sumpah! Aku menoleh pada arah lain!" sambut Joko.

Di depan sana si gadis perdengarkan suara tawa pendek. "Sumpah pemuda setan macammu mana bisa dipercaya! Kau memelototi tubuhku! Jawab dengan jujur atau..." Si gadis hendak putar diri.

Buru-buru murid Pendeta Sinting bicara. "Maaf. Memang benar. Tapi aku tidak melotot. Mataku menyipit! Jadi aku hanya samar-samar melihatmu!"

"Bagus! Kau harus menerima bayaran atas kekurangajaranmu!"

"Tunggu! Aku tidak bermaksud berlaku kurang ajar! Sebenarnya kau yang salah. Mandi di tempat terbuka. Siapa pun orangnya pasti tidak akan menyia-nyiakan. Untung aku sipitkan mata, kalau orang lain tentu sudah melotot!"

"Hem... Kau pandai mengkambing hitamkan orang! Pintar bersilat lidah!"

Habis berkata begitu, si gadis lakukan gerakan. Tiba-tiba sosoknya melesat ke depan. Kejap lain kakinya bergerak lakukan tendangan. Meski murid Pendeta Sinting sudah bisa bebaskan diri dari totokan, namun dia tidak berusaha mengelak dari tendangan orang. Malah dia pejamkan sepasang mata seraya buka mulut bersiap perdengarkan seruan! Namun yang terdengar selanjutnya bukannya suara tubuh yang kena tendangan melainkan suara tawa merdu, membuat Joko buka kelopak matanya dan katupkan mulutnya.

Di sampingnya gadis berjubah merah tertawa panjang, kaki kirinya tetap mengapung di atas udara seolah siap lancarkan tendangan. Sepasang matanya mendelik. Anehnya, di mata murid Pendeta Sinting sikap si gadis kelihatan makin membuat wajahnya tampak cantik. Mungkin menduga si gadis tak tega lakukan tendangan, Joko sunggingkan senyum. Lalu berkata.

"Kuharap kita hapus kesalahpahaman ini! Kita bisa menjadi..." Ucapan Joko hanya sampai di situ. Laksana dipenggal setan, ucapannya terputus tatkala mendadak kaki kiri si gadis yang mengapung di udara bergerak.

Bukkkkk!

Sosok murid Pendeta Sinting mencelat mental sampai dua tombak lalu jatuh bergulingan dan berhenti di bawah pancuran air! Hingga tanpa ampun lagi sekujur tubuhnya basah kuyup. Joko pura-pura kerahkan tenaga dalamnya, saat lain dia gerak-gerakkan anggota tubuhnya. Lalu, memandang sekilas pada gadis berjubah merah. Melihat si gadis bisa lancarkan totokan tanpa diketahui, Joko merasa yakin si gadis bukanlah orang sembarangan. Dengan berpura-pura terhuyung huyung, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. Seraya pegangi lambungnya yang baru saja terkena tendangan dia melangkah mendekati si gadis.

"Kalau merasa bayarannya belum lunas, aku siap menerima tambahan..." kata Joko sambil hentikan langkah tiga tombak di hadapan gadis berjubah merah.

"Dasar, Pemuda Setan! Kau pantas jadi muridnya orang sinting!"

"Hem... Selain berkepandaian tinggi, cantik, juga sepertinya dia pandai menduga orang! Jangan-jangan dia tahu kalau aku muridnya Pendeta Sinting... Tapi ah... Itu mungkin hanya kebetulan. Namun tidak ada salahnya jika aku mengajukan pertanyaan pada gadis ini perihal urusanku..."

Joko buka mulut hendak ajukan pertanyaan. Namun sebelum suaranya terdengar, gadis berjubah merah telah balikkan tubuh lalu melangkah tanpa ucapkan sepatah kata.

"Tunggu! Sebenarnya kau hendak kemana?" tanya Joko sambil melangkah satu tindak mendekat.

"Apa pedulimu dengan kepergianku?! Jangan-jangan kau memang disuruh orang untuk mengikuti perjalananku!"

"Jangan terus menduga yang bukan-bukan! Aku bukan suruhan orang! Aku bertanya siapa tahu kita searah. Bukankah kita bisa jalan bersama?"

"Aku tidak butuh teman! Apalagi teman pemuda setan sepertimu!"

Joko hanya bisa angkat bahu sambil gelengkan kepala. Lalu berkata. "Hem... Kalau kau tidak mau ditemani, bagaimana kalau kau sebutkan siapa dirimu?"

Masih tidak berpaling, si gadis menjawab. "Sebenarnya aku enggan memberitahukan padamu. Tapi... baiklah. Dengar baik-baik. Namaku Putri Sableng...!"

Murid Pendeta Sinting surutkan langkah saking tidak menduga. Keningnya berkerut dengan sepasang mata tak berkesip perhatikan bagian belakang tubuh si gadis. Joko tidak tahu kalau sehabis menjawab, gadis berjubah merah yang sebutkan diri Putri Sableng menahan tawa!

"Hampir tak kupercaya. Dia bercanda atau..."

"Ada lagi yang hendak kau tanyakan?!" tanya Putri Sableng tetap membelakangi.

"Benar. Kalau kau tahu, pernahkah kau mendengar seseorang yang berjuluk Cucu Dewa?"

Laksana disentak tangan setan, Putri Sableng cepat putar tubuh menghadap murid Pendeta Sinting. Sepasang matanya menatap tajam pada Joko yang masih basah kuyup dari rambut sampai kaki. "Apa hubunganmu dengan orang yang baru kau sebut?!"

"Ah. Rupanya kau kenal dengan orang itu! Aku tidak heran, kau berilmu tinggi pasti mengenalnya..." ucap Joko dengan paras cerah. Tapi murid Pendeta Sinting harus segera menerima rasa kecewa.

BAB 7

Di depannya Putri Sableng gelengkan kepala. "Kau keliru. Jangankan kenal. Dengar namanya pun baru kali ini!"

Murid Pendeta Sinting sisir rambutnya yang basah dengan jari-jari tangannya. Lalu mempererat ikatan kepalanya sambil menghela napas dalam. Setelah agak lama terdiam Joko angkat bicara lagi.

"Kau tidak berdusta? Nada ucapanmu sekilas tadi seperti memberi isyarat bahwa kau kenal dengan Cucu Dewa..."

"Aku bukan Pemuda Setan sepertimu yang suka bicara dusta!" kata Putri Sableng lalu tertawa membuat murid Pendeta Sinting sedikit dongkol.

"Sudah...? Tidak ada yang perlu kau ucapkan lagi?!"

Saking dongkolnya meski sudah menduga tidak akan tahu, Joko ajukan juga pertanyaan. "Apakah kau juga pertama ini dengar seseorang yang bergelar Iblis Rangkap Jiwa?!"

"Kau salah lagi. Yang baru kau sebut justru aku pernah mendengarnya dan tahu di mana tempat tinggalnya!"

Jawaban Putri Sableng membuat untuk kedua kalinya Joko tersurut. Wajahnya berubah seketika. Tanpa sadar dia melompat ke depan lalu berkata. "Harap kau katakan di mana aku dapat menemuinya!"

"Hem... Itu soal mudah asal kau bisa menjawab pertanyaanku!"

"Baik. Katakan apa yang hendak kau tanyakan!"

"Apa perlumu menemui Iblis Rangkap Jiwa?!"

Untuk beberapa Sama murid Pendeta Sinting tidak segera menjawab pertanyaan si gadis. Hatinya dibuncah kebimbangan. Dia baru saja mengenal orang serta belum mengetahui benar siapa adanya si gadis. Di lain pihak dia membutuhkan keterangan.

"Masih ingin menemui Iblis Rangkap Jiwa apa tidak?!" tanya Putri Sableng.

"Aku... Aku mendapat pesan dari seseorang untuk menyampaikan padanya!"

"Pesannya...?!" Putri Sableng mengejar.

"Aku tidak bisa mengatakannya padamu..."

"Hem... Begitu? Berarti aku juga tidak dapat memberi keterangan padamu!"

"Sialan betul! Bagaimana sekarang? Apa aku harus menerangkan padanya...?"

Setelah menimbang-nimbang pada akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan mengatakan apa tujuannya menemui Iblis Rangkap Jiwa meski dia berusaha tidak menerangkan dengan secara gamblang.

"Orang itu mengetahui tempat penyimpanan benda pusaka yang dipesankan orang padaku..."

"Benda pusaka. Hem... Berupa apa benda pusaka itu? Peta harta karun? Pedang atau kitab?!"

Pendekar 131 tidak menduga kalau Putri Sableng akan terus mengejar dengan pertanyaan begitu rupa hingga untuk beberapa lama dia terdiam. "Hem... Sebuah kitab. Namun aku kurang yakin akan hal itu. Karena orang yeng berpesan padaku adalah seorang saudagar kaya. Justru aku punya keyakinan benda pusaka itu berupa peta harta karun!"

"Hem... Begitu? Satu lagi pertanyaanku. Siapa orang yang menyuruhmu? Bukankah kau tadi mengatakan atas suruhan orang?!"

"Waduh. Pertanyaanmu terlalu banyak! Jangan-jangan kau tidak tahu akan orang yang kucari dan hanya berniat mengorek keteranganku!" kata Joko dengan nada agak tinggi karena makin jengkel dengan pertanyaan si gadis.

Putri Sableng tertawa panjang, membuat murid Pendeta Sinting tambah geram. Namun dia tidak bisa berbuat banyak karena saat itu dia benar-benar membutuhkan keterangan orang. "Aku tidak akan menarik ucapanku. Aku tetap akan memberitahukan di mana orang yang kau cari! Tapi jawab dulu pertanyaan terakhirku tadi!"

"Terus terang aku sendiri tidak tahu siapa nama orang yang menyuruhku! Aku hanya tahu rupanya. Dia tidak sebutkan siapa dirinya!" kata Joko berterus terang.

Mendengar jawaban Pendekar 131, Putri Sableng makin perkeras suara tawanya. Puas tertawa dia berkata. "Rupanya kau laki-laki bodoh. Menurut saja perintah orang meski tidak mengenal siapa orang itu! Meski aku tidak yakin benar dengan jawabanmu namun karena aku telah berjanji, aku akan tetap mengatakan padamu!" Putri Sableng hentikan ucapannya. Lalu meneruskan.

"Buka telinga baik-baik karena aku tidak akan mengulangi apa yang kuucapkan!"

Tanpa buka mulut, Joko pasang telinga baik-baik. Sepasang matanya menatap tajam ke dalam bola mata gadis di hadapannya. Yang dipandang menahan tawa sebelum akhirnya buka mulut berkata.

"Menurut apa yang kudengar, Iblis Rangkap Jiwa bertempat tinggai tidak jauh dari sini. Kau cukup berjalan kira-kira seribu langkah. Di sana kau akan menemukan gundukan tanah!" sambil berkata tangan Putri Sableng menunjuk ke satu arah.

Murid Pendeta Sinting tidak mengikuti tangan si gadis yang menunjuk arah. Sebaliknya dia kerutkan dahi dengan pelipis bergerak-gerak jelas menahan hawa marah. "Kesabaran ada batasnya. Jangan terus bercanda!"

"Hem... Kau mengancam?!" tanya Putri Sableng dengan mimik berubah.

"Tidak mengancam. Namun harap kau bersungguh-sungguh. Aku telah mengatakan padamu apa adanya!"

"Apa kau kira aku tidak mengatakan apa adanya, hah?!"

"Tapi jawabanmu tadi..."

"Memang itulah kenyataannya! Orang yang kau cari sudah lama mati!"

"Sialan! Kenapa kau tidak mengatakannya sedari tadi? Hem... Aku kini makin yakin kau hanya mengorek keteranganku! Karena menurut sebagian orang Iblis Rangkap Jiwa masih hidup!"

"Terserah. Yang kuketahui orang yang kau cari telah lama mati! Kalau menurut sebagian orang masih hidup, itu hak orang yang mengatakannya!"

"Busyet! Jangan-jangan kau hanya mengarang cerita"

Putri Sableng tidak angkat bicara lagi. Sebaliknya gadis berjubah merah ini balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. "Jangan harap kau bisa lari sebelum mengatakan siapa dirimu sebenarnya! Kau telah mengarang cerita dusta padaku!" seru Joko lalu ikut berkelebat mengejar, Namun terlambat. Sosok Putri Sableng telah lenyap laksana ditelan bumi. Anehnya meski sosoknya telah tidak kelihatan, namun murid Pendeta Sinting masih mendengar suaranya.

"Pemuda Setan! Aku telah mendapat keterangan Itulah sebenarnya yang kucari-cari selama ini! Hik Hik Hik...!"

"Sialan betul! Ini pelajaran bagiku. Aku tidak akan ulangi lagi tindakan konyol ini. Dan aku harus cepat cari keterangan! Karena sekarang bukan hanya aku saja yang mengetahui urusan besar ini!"

*******************

Kita tinggalkan dahulu Pendekar 131. Kita menuju ke satu tempat di kawasan Gunung Semeru. Saat itu malam telah merambat jauh. Namun karena bulan sedang purnama, lintasan bumi terlihat terang benderang. Satu sosok bayangan sulit ditangkap pandangan mata biasa terlihat berkelebat cepat menuju arah kawasan Gunung Semeru. Bayangan itu menerabas jajaran pohon dan semak belukar tinggi yang banyak tumbuh di sekitar kawasan yang menuju gunung. Jajaran pohon serta semak belukar itu sangat rimbun malah hampir tidak ada jalan setapak yang bisa dilalui.

Namun sosok yang berkelebat laksana tidak terhalang sama sekali. Sosoknya menerabas seolah berlari di jalanan biasa. Jelas siapa pun adanya sosok ini menunjukkan dia memiliki kepandaian tinggi. Ketika memasuki lamping gunung yang hanya dihiasi bongkahan-bongkahan batu besar, bayangan tadi hentikan kelebatannya. Dia tegak seraya rangkapkan kedua tangan di atas salah satu bongkahan batu.

Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih, raut wajahnya pucat. Mengenakan pakaian putih panjang. Sepasang mata orang tua ini sejurus memandang berkeliling tanpa memutar kepala. Saat lain sepasang matanya tak berkesip menatap pada satu bongkahan batu di mana di atasnya terlihat satu sosok tubuh sedang duduk bersila. Meski tidak berkata-kata, raut wajah orang tua ini sesaat tampak menunjukkan kegembiraan. Mulutnya yang terkancing sunggingkan senyum dengan kepala sedikit mengangguk.

"Hem... Nyatanya dia pantang putus asa. Hampir lima purnama dia lalui dengan tabah. Sebenarnya bukan sekarang saatnya aku berada di sini. Tapi mimpiku selama tiga hari berturut-turut kurasa bukan kembang tidur dan impian biasa..."

Orang tua yang rangkapkan kedua tangan di atas dada berucap dalam hati dengan mata masih tak berkesip pandangi sosok yang duduk di atas bongkahan batu. Namun tiba-tiba paras wajah si orang tua berubah.

"Kalau mimpiku hanya impian biasa, maka apa yang telah dia lakukan selama lima purnama ini akan sia-sia. Tapi apa boleh buat. Aku harus memutus semadinya. Aku yakin mimpiku ada artinya..."

Setelah menarik napas panjang, si orang tua buka mulut. "Gumara... Kita harus bicara. Ada sesuatu yang harus kau ketahui. Kuharap kau putuskan semadimu..."

Orang yang duduk bersila di atas bongkahan batu yang ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan, berdagu kokoh bertubuh kekar tidak bergeming. Sepasang matanya memejam rapat. Meski demikian suara si orang tua yang berdiri tegak sedikit banyak mengganggu kekhusukan semadinya. Malah daun telinga sang pemuda di atas batu yang dipanggil Gumara terlihat bergerak terangkat. Mulutnya menggerimit bergetar. Sepasang matanya yang terpejam bergerak-gerak meski tetap tidak membuka. Saat lain gerakan-gerakan halus pada anggota sang pemuda kembali terhenti, pertanda dia telah dapat atasi gangguan yang sejenak tadi sempat mengganggu. Tapi hal itu tidak berlangsung lama karena orang tua yang tegak di atas batu sejarak tujuh tombak dari tempat si pemuda bersila kembali angkat bicara.

"Gumara... Harap kau hentikan dahulu semadimu! Ada sesuatu yang harus kita bicarakan!"

Gumara tidak bergeming sedikit pun. Sepasang matanya tetap memejam rapat. Jelas kalau pemuda ini tenggelam dalam semadinya meski hal itu baru dapat dilakukan setelah menutup jalan pendengarannya. Orang tua di atas batu kerahkan tenaga dalam pada tenggorokan. Dia seakan tahu kalau Gumara menutup jalan pendengarannya. Sesaat kemudian dia buka mulut lagi. Kali ini suara si orang tua terdengar lain. Tinggi melengking jelas jika suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam untuk membongkar jalan pendengaran orang.

"Gumara! Aku datang membawa kabar baik bagimu! Kita harus bicarakan hal ini!"

Bersamaan dengan terdengarnya suara si orang tua, tubuh Gumara kelihatan bergetar. Dagunya mengembung dengan pelipis bergerak-gerak pertanda apa yang dilakukan si orang tua berhasil membongkar jalan pendengaran Gumara. Malah pemuda ini merasakan kedua telinganya laksana ditusuk dan mengiang keras! Namun Gumara tidak begitu saja segera putuskan semadinya. Si pemuda mengira apa yang didengarnya adalah gangguan yang biasa menggoda.

Namun bagaimanapun dia mencoba menutup pendengaran dan pusatkan jalan pikiran, dia tidak kuasa mengatasi. Gumara sadar bahwa kali ini dia jelas tidak mungkin bisa teruskan semadinya. Seraya menggereng marah, Gumara buka kelopak matanya. Kedua tangannya ditarik ke belakang. Bersamaan dengan berputarnya tubuh menghadap suara yang didengarnya, kedua tangannya menghantam lepaskan pukulan!

Wuutt! Wuuutt!

Dua gelombang angin deras melesat ke arah si orang tua yang tegak di atas bongkahan batu. Namun orang tua yang diserang sudah tidak kelihatan lagi di tempatnya semula hingga dua gelombang angin itu menghantam bongkahan batu di mana tadi si orang tua berdiri tegak.

Byaaaarr!

Bongkahan batu itu langsung hancur berantakan semburatkan kepingan kecil-kecil. Melihat pukulannya hanya menghantam bongkahan batu, lebih-lebih tidak ada seorang pun yang terlihat, Gumara naik pitam. Sekali lagi dia kerahkan tenaga dalamnya. Kedua telinganya dipertajam. Meski dia tidak melihat orang namun dia sadar kalau di tempat itu dia tidak berada sendirian. Tiba-tiba bibir Gumara sunggingkan senyum seringai, lalu membuka.

"Kau berani mengusikku. Kau akan tahu akibatnya!"

Belum habis suara Gumara, tubuhnya yang tetap dalam sikap duduk bersila berputar laksana baling-baling. Kejap lain sosoknya berhenti. Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam diangkat, siap menghantam ke satu arah.

"Gumara. Tahan pukulanmu!"

Gumara pentangkan sepasang matanya. Mulutnya yang terbuka hendak ucapkan kata-kata serta merta mengancing. Kedua tangannya terangkat diluruhkan. Di lain saat pemuda ini berdiri lalu melesat dan tahu-tahu telah tegak di atas bongkahan batu berseberangan sejarak tiga langkah di hadapan orang tua berpakaian putih. Pemuda ini bungkukkan sedikit tubuhnya.

"Harap Guru katakan mengapa datang sebelum waktu yang Guru tentukan!"

Meski dari nada bicaranya jelas kalau orang tua di hadapan Gumara adalah gurunya, namun nada ucapan itu seolah menegur. Si orang tua tersenyum dan seolah mengerti kenapa muridnya berucap begitu.

"Gumara... Hal ini kulakukan karena ada satu hal yang harus kita bicarakan! Aku bermimpi..."

Belum selesai si orang tua lanjutkan ucapannya, Gumara telah memotong. "Guru. Adakah kerjaku selama lima purnama harus sia-sia hanya karena sebuah mimpi?"

Lagi-lagi si orang tua tersenyum. "Muridku... Kurasa apa yang kau lakukan tidak sia-sia. Kulihat pukulanmu bertambah cepat. Daya pendengaranmu makin tajam..."

"Guru!" lagi-lagi Gumara memotong ucapan gurunya. "Dengan buyarnya semadiku sebelum waktu yang ditentukan berarti aku gagal memiliki ilmu 'Pelebur Urat" yang kau katakan itu! Itu juga berarti ilmuku tidak bertambah dan aku tetap akan jadi pecundang dalam dunia persilatan! Sementara pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 telah mendapatkan Kitab Serat Biru!"

Si orang tua gelengkan kepala. "Rupanya kau masih terpacak memikirkan pemuda berjuluk Pedang Tumpul 131 yang mengalahkanmu di Pulau Biru! Kau mungkin lupa, Gumara. Sebelum keberangkatanmu dahulu aku sudah berpesan. Kau harus dapat menerima kenyataan karena sebuah kitab diciptakan kelak hanya diperuntukkan untuk satu orang! Kau harus belajar menerima takdir bahwa bukan kau yang ditentukan untuk memiliki Kitab Serat Biru. Dan kuharap apa yang kau pelajari juga tidak untuk merebut kitab itu! Kitab Serat Biru tidak diperuntukkan bagimu, namun mungkin kau masih berjodoh dengan kitab satunya..."

Ketegangan wajah Gumara yang sedari tadi terlihat mendadak berubah. Seraya bungkukkan sedikit tubuhnya dia berkata. "Jadi itukah hal penting yang hendak kau bicarakan sampai harus membuyarkan semadiku?"

Si orang tua menjawab dengan anggukkan kepalanya. Seakan tidak sabaran, Gumara lanjutkan ucapannya. "Harap Guru terangkan kitab apa itu dan di mana beradanya!"

"Tentang kitab apa, aku sendiri tidak jelas mengetahuinya!"

Paras wajah Gumara kembali menegang. "Adalah aneh kalau Guru mengatakan tahu tentang sebuah kitab tapi tidak tahu kitab apa! Jangan-jangan Guru hanya mendengar kabar yang belum tentu kebenarannya!"

Si orang tua untuk kesekian kalinya gelengkan kepala. "Gumara. Persoalan kitab itu aku tidak mendengar dari mulut orang! Itulah sebabnya aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu!"

"Lalu apakah dari mimpi yang kau katakan tadi?" tanya Gumara menebak. Lalu lanjutkan ucapannya dengan tertawa pendek. "Barang pusaka yang didengar dari seorang tokoh dunia persilatan saja masih disangsikan kebenarannya, bagaimana mungkin hanya dari sebuah mimpi hal itu bisa dibuktikan kebenarannya?"

"Gumara. Menurutku, keterangan dari orang, siapa pun dia adanya memang kadangkala masih disangsikan kebenarannya. Tapi keterangan dalam mimpi adalah sesuatu yang gaib. Dan sering kali keterangan dalam mimpi lebih dipercaya dari keterangan orang! Apalagi mimpi itu tidak hanya sekali melainkan berkali-kali! Kukira itu sebuah isyarat kebenaran! Jika tidak, tidak sampai aku datang ke sini sebelum waktu yang kutentukan!"

Seolah masih tidak percaya dengan yang dikatakan gurunya, Gumara angkat bicara lagi. Namun kali ini dia seolah bicara pada dirinya sendiri. "Mimpi... Yang kualami, aku hanya memimpikan sesuatu yang selalu kupikirkan sebelum tidur..."

"Kau jangan menganggap segala sesuatu sama dengan apa yang kau alami, Gumara... Dan juga perlu kau ketahui, pada terakhir kalinya, aku dalam keadaan terjaga! Hal ini terjadi mungkin karena aku semula beranggapan sepertimu. Tapi... Kalau kau tidak tertarik sebaiknya aku tidak menceritakan padamu. Hanya..."

"Guru. Semadiku telah sia-sia hanya karena persoalan mimpi ini. Bagaimanapun mimpimu, harap kau katakan padaku!" sahut Gumara.

Untuk beberapa saat si orang tua terdiam. Pandangan matanya menerawang jauh. Sesaat kemudian dia berkata. "Aku merasa didatangi seseorang yang tidak jelas raut wajahnya. Yang kulihat dia mengenakan jubah panjang hitam sebatas mata kaki. Dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya menggerakkan kedua tangannya menyibakkan jubah panjangnya. Saat itulah aku melihat sebuah kitab berwarna hitam di dadanya. Setelah itu dia balikkan tubuh dan seolah-olah mencebur ke dalam sebuah tempat yang curam. Tiga hari berturut-turut dia datang dengan sikap yang sama. Pada yang terakhir kali aku dalam keadaan terjaga. Orang itu menampakkan diri lagi. Pada saat itu sebelum dia balikkan tubuh aku beranikan diri bertanya di mana dia berada. Dia tidak menjawab. Hanya setelah sosoknya tidak kelihatan, aku mendengar dia sebut-sebut namamu dan menyebut Bukit Selamangleng..."

Gumara dengarkan penuturan gurunya dengan saksama. Sementara si orang tua palingkan kepala memandang pada sang murid lalu berkata. "Aku tidak memaksamu menyelidik. Tapi adalah tindakan bodoh kalau kau menyianyiakan hal ini!"

"Guru. Aku akan tetap berangkat menyelidik. Bukan untuk mencari kitab itu, namun semata-mata ingin buktikan bahwa mimpi adalah bunga tidur!"

Mendengar ucapan muridnya, sang guru bukannya marah melainkan sunggingkan senyum dan berkata pelan. "Hati seseorang tidak mudah diduga, Gumara. Tapi aku berharap kau nanti akan menemui kenyataan! Aku harus pergi sekarang!"

"Tunggu! Apa kau tahu di mana letak Bukit Selamangleng?"

Gerakan sang guru tertahan. Masih dengan tersenyum dia menjawab. "Pergilah ke Dusun Sumbersuko. Tidak jauh dari dusun itu kau akan melihat sebuah bukit. Itulah Bukit Selamangleng. Gumara! Aku berpesan padamu kalau kau nanti menemukan kenyataan, harap kau gunakan kitab itu untuk kebaikan. Lupakan peristiwa di Pulau Biru...!"

Habis berkata begitu, si orang tua balikkan tubuh lalu sosoknya berkelebat, Gumara tengadahkan kepala. Mulutnya menyeringai. "Peristiwa Pulau Biru selamanya tidak akan kulupakan. Pendekar Pedang Tumpul 131 serta kawan-kawannya harus mampus ditanganku! Aku hampir yakin, apa yang dialami oleh Bayu Bajra adalah sebuah isyarat benar!"

Gumara tertawa panjang. "Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng! Saat kematianmu hanya tinggal tunggu waktu! Malaikat Penggali Kubur akan datang menjemputmu!"

Gumara melesat tinggalkan kawasan lamping Gunung Semeru masih dengan suara bergelak keras. Pemuda ini bukan lain adalah pemuda yang tidak berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru malah sempat dikalahkan Pendekar 131 di Pulau Biru, yakni pemuda yang bergelar Malaikat Penggali Kubur murid seorang tokoh bernama Bayu Bajra. (Lebih jelasnya tentang Gumara alias Malaikat Penggali Kubur serta gurunya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Malaikat Penggali Kubur)

********************

BAB 8

Pendekar 131 Joko Sableng melangkah dengan benak dibuncah berbagai persoalan. Di satu sisi dia mendapat keterangan dari Raja Tua Segala Dewa harus mencari orang yang berjuluk Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa yang tidak jelas di mana beradanya. Padahal dari orang itulah Kitab Hitam dapat ditemukan. Di lain pihak menurut keterangan Orang Tua yang sebutkan diri sebagai penjaga Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra, rahasia di mana beradanya Kitab Hitam berada di mahkota bersusun tiga yang kini diketahui berada di tangan Dewa Orok.

Padahal mencari Dewa Orok mungkin sama halnya dengan mencari satu jenis ikan tertentu di laut bebas. Kalaupun dapat bertemu Dewa Orok belum tentu pemuda bertangan buntung berwajah tampan itu mau memberikan mahkota yang dikatakan sebagai milik nenek moyangnya. Belum lagi dia telah telanjur mengatakan urusannya pada gadis berwajah cantik berjubah merah menyala yang sebutkan diri sebagai Putri Sableng.

Pada satu tempat murid Pendeta Sinting hentikan langkah. Mungkin karena telah, enak saja dia selonjorkan kaki seraya bersandar punggung pada sebuah gundukan tanah agak tinggi. Tangan kirinya terangkat lalu jari kelingkingnya dimasukkan ke tobang telinga. Kejap lain dia telah meringis sendiri seakan-akan melupakan urusan rumit yang dihadapi.

Namun ringisan geli murid Pendeta Sinting mendadak terputus. Sepasang matanya membeliak besar tak berkesip. Dadanya berdegup keras. Jakunnya bergerak tak teratur turun naik. Sejarak sepuluh langkah dari tempatnya duduk menggelosoh tegak seorang perempuan berwajah cantik meski usianya tidak muda. Sosoknya bahenol dengan kulit putih. Sepasang matanya bersinar. Hidungnya mencuat mancung dengan bibir merah ranum. Dia mengenakan pakaian tipis berwarna biru membuat cuatan kedua payudaranya yang membusung besar terlihat jelas. Pinggulnya padat ditingkah paha yang terpampang karena pakaian bawahnya sengaja disibakkan.

"Kapan munculnya perempuan itu? Ataukah karena aku terlalu tenggelam dengan urusanku hingga tidak mengetahui kedatangannya? Tapi sepertinya aku pernah bertemu dengan perempuan ini. Tapi di mana...?"

"Sepertinya kau sedang galau..." Si perempuan. berpakaian biru menyapa seraya sunggingkan bibirnya yang merah. Dia melangkah mendekat. Pinggulnya kelihatan bergoyang-goyang membuat mata Joko makin terbelalak.

"Sepertinya aku mengenalmu..." gumam Joko lalu bergerak bangkit.

Si perempuan terus melangkah. Tiga langkah di hadapan murid Pendeta Sinting, dia hentikan langkah. Sepasang matanya memandang pada Joko dari rambut hingga kaki. Mulutnya membuka perdengarkan suara.

"Benar, Pendekar 131. Kita sudah saling kenal. Kau ingat peristiwa di Pulau Biru beberapa waktu yang silam?"

Murid Pendeta Sinting serentak surutkan langkah. Namun sosoknya tertahan gundukan tanah di mana dia tadi bersandar.

"Kau...! Ratu Pemikat!" seru Joko. Paras wajah Pendekar 131 berubah seketika. Dadanya bergemuruh. Teringat lagi bagaimana pada beberapa tahun yang lalu perempuan dihadapannya yang tidak lain adalah seorang perempuan berparas cantik yang dikenal dengan Ratu Pemikat mengejar dirinya hingga masuk ke dalam Jurang Tlatah Perak. Namun gejolak marah di dada murid Pendeta Sinting perlahanlahan sirna ketika Ratu Pemikat tunjukkan wajah murung sembari berkata.

"Pendekar 131. Aku memang telah berbuat kesalahan padamu. Untuk itulah aku sengaja mencarimu. Aku ingin menebus dosa yang pernah kulakukanl. Hari ini aku bisa jumpa. Sekarang aku pasrah. Lakukanlah apa yang kau mau..." Ratu Pemikat tundukkan kepala. Kedua tangannya saling meremas. Joko menarik napas panjang. Mulutnya terkancing tidak ucapkan sepatah kata.

"Aku telah berjanji. Kalau kau tidak bersedia melakukan hukuman padaku, aku akan melakukannya sendiri di hadapanmu!"

Bersamaan dengan itu kedua tangan Ratu Pemikat terangkat ke atas. Kejap lain kedua tangan itu menghantam kearah kepalanya sendiri! Karena hantaman itu bukan hantaman biasa, pasti sekali hantam kepala itu akan retak. Apalagi Ratu Pemikat diketahui adalah seorang yang punya kepandaian. Sejengkal lagi kepala Ratu Pemikat terhantam sendiri oleh kedua tangannya, dua tangan lain tampak berkelebat membuat gerakan kedua tangan Ratu Pemikat tertahan.

"Sudahlah... Aku telah melupakan peristiwa itu!"

Ratu Pemikat angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang tajam ke dalam bola mata murid Pendeta Sinting yang baru saja menahan gerakan kedua tangannya. "Benar ucapanmu? Jangan hanya di mulut tapi di hati masih menyimpan dendam padaku..." kata Ratu Pemikat dengan suara lirih.

Pendekar 131 tersenyum seraya gelengkan kepala. "Kau memang berbuat kesalahan, tapi tanpa hal itu mungkin aku tidak jadi begini!"

"Terima kasih kalau kau mau memaafkan diriku. Kini hatiku tenteram..."

Habis berkata begitu, Ratu Pemikat pandang sekali lagi pada murid Pendeta Sinting. Tanpa berkata apa-apa lagi perempuan bertubuh bahenol ini putar diri. "Aku harus segera pergi..."

Sesaat Pendekar 131 terdiam. Sepasang matanya mendelik memandang pada pinggul Ratu Pemikat yang kencang menantang. "Hendak ke mana kau?" akhirnya Joko bertanya setelah Ratu Pemikat melangkah lima tindak. Namun matanya tidak juga beranjak dari pinggul si perempuan.

"Berbulan-bulan aku mencarimu. Tujuanku kau telah tahu. Sekarang semuanya sudah selesai. Aku ingin mencari tempat untuk tenangkan diri."

Ratu Pemikat balikkan tubuh lalu lanjutkan ucapannya. "Kau sendiri mau ke mana? Kulihat wajahmu seperti cemas dan bingung!"

Mungkin karena tidak mau bertindak ceroboh seperti saat bertemu dengan gadis berjubah merah, murid Pendeta Sinting gelengkan kepala seraya tertawa. "Aku bingung memikirkan bagaimana kita mendadak bisa berjumpa lagi! Padahal sebelumnya tidak terlintas hal ini akan terjadi..."

Ratu Pemikat tersenyum. Dia lalu melangkah kembali mendekat ke arah Joko. Kali ini tampak Ratu Pemikat busungkan dadanya yang besar, hingga sesaat membuat murid Pendeta Sinting membeliak. "Sebentar lagi matahari akan terbenam. Apa kau masih akan tetap berada di sini?" sambil berkata, kepala Ratu Pemikat mendongak. Saat itu hamparan langit memang mulai menguning pertanda sebentar lagi matahari akan tenggelam.

Melihat Joko tidak menjawab pertanyaannya, Ratu Pemikat arahkan kepala pada murid Pendeta Sinting. "Sebagai tanda persahabatan kita kembali, bagaimana kalau kita jalan bersama mencari tempat yang lebih baik?"

Bersamaan dengan selesainya ucapan Ratu Pemikat, Joko merasakan dadanya sesak. Sekilas pandangannya berubah menghitam laksana ada kabut tipis yang menghalangi pandangan matanya. Tapi cuma sekejap. Kejap lain kembali seperti sediakala. Pendekar 131 kerutkan kening. Belum selesai berpikir apa yang baru saja terjadi, Ratu Pemikat telah pegang lengannya.

"Kau tampak sangat letih. Kalau kau tidak mau berjalan bersama, bagaimana kalau kau kutemani di sini? Kau tak keberatan bukan?" Bibir Ratu Pemikat sunggingkan senyum. Matanya mengerling. Entah sengaja atau tidak perempuan ini lalu tempelkan dadanya pada lengan Joko membuat murid Pendeta Sinting merasakan hangatnya dada sang Ratu.

Entah karena apa meski dalam hatinya telah bermaksud menolak apa yang dikatakan Ratu Pemikat tapi kepalanya sebaliknya mengangguk. Malah kedua tangannya segera bergerak merengkuh tubuh bahenol di sampingnya dan kepalanya serentak menyorong ke depan. Kejap lain diciuminya wajah Ratu Pemikat.

Ratu Pemikat sejenak mengeluh perlahan. Kedua tangannya merangkul tubuh Pendekar 131 yang terus menciumi wajah dan lehernya. Tapi tiba-tiba Ratu Pemikat tarik kepalanya menjauh. Bersamaan dengan itu dia berbisik. "Ke mana sebenarnya tujuanmu, Pendekar?"

Walau hatinya tidak mau menjawab, anehnya laksana ada satu kekuatan hebat yang membuatnya buka mulut meski kepalanya terus menyusup ke leher Ratu Pemikat. "Aku harus menemui orang berjuluk Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa."

"Kalau kau terlihat cemas dan tegang tentu kau punya urusan sangat pehting dengan manusia bergelar Cucu Dewa. dan Iblis Rangkap Jiwa..." ujar Ratu Pemikat lalu dekatkan wajahnya ke depan. Tangannya perlahan-lahan meraba bagian perut murid Pendeta Sinting.

"Lebih dari penting!" kata Joko seolah tidak sadar. Malah dia seakan tidak merasa bagaimana kedua tangan Ratu Pemikat merabaraba bagian perutnya. Yang dirasakan saat itu adalah getaran-getaran halus kedua tangan Ratu Pemikat yang membuat dadanya makin berdebar dan gejolaknya makin menggelegak.

"Hem... Urusan apakah sebenarnya?" tanya Ratu Pemikat. Wajah perempuan ini tampak berubah. Bukan karena Joko terus menciuminya melainkan karena dia tidak menemukan apa-apa di balik pakaian murid Pendeta Sinting.

"Heran. Di mana dia menyimpan kitab itu? Apa mungkin kitab sakti disimpan di satu tempat? Yang terasa cuma senjata pedangnya..."

Masih laksana didorong kekuatan luar biasa, Joko jawab pertanyaan Ratu Pemikat. "Menurut seseorang ada sebuah Kitab Hitam yang berisi ilmu luar biasa. Aku harus menemukan dan memusnahkan kitab itu. Sementara orang yang tahu beradanya Kitab Hitam itu adalah orang yang bergelar Iblis Rangkap Jiwa..."

Ratu Pemikat lingkarkan kembali kedua tangannya ke pinggang murid Pendeta Sinting. Lalu membelai punggungnya seraya berbisik. "Lalu apa hubungannya dengan orang yang kau sebut Cucu Dewa?"

"Iblis Rangkap Jiwa adalah seorang manusia sakti. Dia tidak mungkin begitu saja mengatakan di mana beradanya Kitab Hitam. Malah tidak mustahil dia akan membunuh siapa saja yang menanyakan kitab itu. Hanya ada satu orang yang mengetahui kelemahannya. Dia adalah Cucu Dewa..."

Sepasang mata Ratu Pemikat membelalak. Bibirnya tersenyum. "Kalau dia ditugaskan mencari sekaligus memusnahkan kitab itu, pasti kitab itu lebih hebat dari Kitab Serat Biru. Hem... Tak dapat Kitab Serat Biru tidak apa-apa... Tentu yang ini lebih dahsyat... Aku harus terus mengorek. Ilmu 'Penyalur Suara' dan rangsangan itu masih cukup sebelum dia sadar..."

"Kau tahu di mana orang yang berjuluk Cucu Dewa serta Iblis Rangkap Jiwa itu?" tanya Ratu Pemikat Seraya angkat kedua tangannya lalu sibakkan pakaian bagian atasnya hingga sepasang payudaranya terlihat jelas tanpa penutup.

Sepasang mata murid Pendeta Sinting mendelik seperti silau melihat payudara putih besar dan padat. Kepala Joko turun ke bawah. Namun begitu sampai di belahan dada Ratu Pemikat, perempuan ini tarik tubuhnya seraya berbisik pelan.

"Katakan dahulu di mana tempat Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa...!"

Seakan tidak sabaran, murid Pendeta Sinting tarik kedua tangannya yang merangkul pinggang Ratu Pemikat, hingga tak ampun lagi tubuh Ratu Pemikat terdorong ke depan. Dadanya tepat ke wajah murid Pendeta Sinting!

"Aku tidak tahu di mana adanya dua orang itu! Justru itulah yang selama ini menjadi pikiranku..." ujar Joko tekapkan wajahnya ke dada Ratu Pemikat.

"Kau tidak berdusta?" tanya Ratu Pemikat meski dia yakin Joko tidak bisa berkata dusta sebab dia telah terbius ilmu 'Penyalur Suara'.

"Aku bicara apa adanya!" jawab Joko lalu kembali benamkan wajahnya.

"Hem... Sebenarnya aku bisa saja membunuhnya saat ini. Tapi aku tidak akan melakukan hal itu. Aku akan membunuhnya setelah dia berhasil mendapatkan Kitab Hitam itu karena siapa tahu aku gagal menemukan Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa..." kata Ratu Pemikat dalam hati.

Perempuan ini angkat tangan kirinya. Kejap lain tangan itu bergerak mengelus tengkuk murid Pendeta Sinting. Bersamaan dengan itu Pendekar 131 rasakan kedua lututnya goyah. Kepalanya laksana diputar-putar. Saat lain pemandangannya menghitam. Ketika Ratu Pemikat tarik pulang tangan kirinya, sosok Joko melorot jatuh. Ratu Pemikat tertawa panjang. Dengan cepat dia bergerak jongkok. Lantas memeriksa jalan pernapasan Joko. Setelah merasa pasti bahwa Joko dalam keadaan tidak sadar maka kedua tangannya membuka pakaian yang dikenakan murid Pendeta Sinting.

Perempuan berwajah cantik bertubuh bahenol itu menarik napas panjang. "Kitab itu memang tidak dibawa. Tentu disimpan di satu tempat. Hem... Tapi aku tidak begitu kecewa. Kitab Hitam pasti lebih hebat dari Kitab Serat Biru..." kata Ratu Pemikat berujar pada diri sendiri. Sepasang matanya memandangi sekujur tubuh murid Pendeta Sinting. Matanya lalu menumbuk pada Pedang Tumpul 131. Tangannya bergerak menjulur, tapi tiba-tiba diurungkan. "Sementara ini aku harus menunjukkan sikap baik padanya. Lagi pula dia tidak akan ingat apa yang dilakukan dan diucapkan..."

Sekali lagi Ratu Pemikat menghela napas. Lalu kedua tangannya kembali menjulur ke arah sosok murid Pendeta Sinting. Bukan untuk mengambil Pedang Tumpul 131 melainkan membuka pakaiannya!

"Sebenarnya sayang menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Dia seorang pemuda tampan dan berotot. Tapi ilmu 'Penyalur Suara' dan bius rangsangsn itu akan buyar kalau aku ikut terangsang... Sial betul nasibku. Aku bisa membuat orang terangsang dan mengucapkan apa yang kutanya tanpa sadar tapi pantangannya aku harus tidak boleh hanyut dalam rangsangan itu! Gila betul! Padahal aku sudah hampir gila menahan keinginan itu! Tapi ah... Semuanya akan segera selesai kalau aku telah mendapatkan apa yang kuinginkan..."

Habis berkata begitu, Ratu Pemikat dekatkan wajahnya ke wajah murid Pendeta Sinting. Bibir Joko diciumnya namun tubuh perempuan cantik ini terlihat bergetar keras coba menahan agar dirinya tidak terangsang! Ratu Pemikat bergerak bangkit seraya rapikan pakaiannya. Memandang sejurus pada sosok murid Pendeta Sinting, lalu sembari menarik napas panjang dia meninggalkan tempat itu.

********************

BAB 8

Ketika malam hampir berujung dan udara dini hari dingin menusuk tulang, sosok murid Pendeta Sinting yang tampak basah tersiram embun dini hari terlihat bergerak menggeliat Dari mulutnya terdengar keluhan pendek. Perlahan-lahan sepasang kelopak matanya membuka. Sejenak dia mengerjap. Setelah terbiasa dengan suasana dia edarkan pandangannya berkeliling. Tidak ada orang lain di situ.

"Apa yang terjadi dengan diriku?" desis Joko dengan kening berkerut seolah hendak mengingat apa yang dialaminya. "Aku jumpa dengan Ratu Pemikat lalu sepertinya aku menciumi wajahnya. Setelah itu... Aku tidak ingat lagi!"

Murid Pendeta Sinting sekali lagi arahkan pandangannya berkeliling. "Kemana dia? Jangan-jangan dia sembunyi..." Joko bergerak bangkit. Namun mendadak dia tercekat dan buru-buru urungkan niat untuk bangkit berdiri. Wajahnya kontan berubah merah padam. Dadanya berdebar.

"Apa yang kulakukan? Aku... aku telanjang!" Dengan dada masih dipenuhi berbagai tanya dia cepat mengenakan pakaiannya. Kejap lain dia berkelebat berkeliling di sekitar tempat itu. Namun dia tidak menemukan Ratu Pemikat.

"Astaga! Kenapa aku sampai berbuat..." Joko tidak lanjutkan ucapannya. Dia duduk terpekur seraya mengingat-ingat. Namun bagaimanapun dia coba pusatkan pikiran untuk mengingat, dia gagal.

"Ah... Apa yang harus kukatakan jika suatu saat kelak jumpa dengannya? Namun tampaknya dia benar-benar telah berubah. Seandainya mau dia mudah saja mengambil pedangku bahkan membunuhku! Tapi anehnya mengapa aku tidak ingat apa-apa lagi? Apakah karena..."

Sekonyong-konyong di tempat itu terdengar suara orang tertawa bergelak. Joko putuskan membatinnya. Laksana disentak setan kepalanya berpaling ke arah datangnya suara tawa.

"Jangan-jangan perbuatanku tadi diintip orang! Wah, bisa celaka! Di mana mukaku mau kutaruh? Sialan betul!"

Sejarak tiga tombak dari tempatnya duduk, tampak satu sosok besar duduk memunggungi. Kepalanya tidak kelihatan karena orang ini sengaja sembunyikan kepalanya dengan merunduk. Murid Pendeta Sinting beranjak bangkit lalu melangkah dengan sikap waspada. Karena keadaan masih agak gelap, Joko tidak bisa melihat warna pakaian orang. Yang jelas terlihat orang itu bertubuh besar hingga kalau tidak perdengarkan suara tawa, orang pasti akan menduga sosok itu adalah bongkahan batu. Mungkin karena khawatir, Joko hentikan langkah agak jauh lalu berkata.

"Dini hari begini, apa yang kau lakukan di situ?" Pertanyaan murid Pendeta Sinting jelas ingin menyelidik keberadaan orang. Dia agaknya masih merasa was-was kalau orang itu mengetahui apa yang diperbuatnya dengan Ratu Pemikat.

Orang yang ditanya tidak segera menjawab, sebaliknya tertawa panjang membuat Joko tidak enak. Paras wajahnya sudah berubah merah padam dan tegang. "Kau manusia atau sebangsa hantu?" tanya Joko karena sudah merasa kebingungan tak tahu apa yang harus ditanyakan.

Kembali orang yang ditanya hanya menjawab dengan kekehan tawa. Tapi sesaat kemudian terdengar suaranya. Meski begitu kepalanya masih dibenamkan.

"Mana ada hantu yang bisa tertawa cekakakan? Dan biasanya hantu yang menampakkan diri pada seorang pemuda adalah hantu wanita cantik bertubuh sintal. Aku memang sintal, tapi jauh dari cantik!" Habis berkata, kembali orang ini tertawa bergelak.

Kaki murid Pendeta Sinting tersurut. Sepasang matanya memandang tak berkesip. Wajahnya makin me-negang. "Jangan-jangan dia tahu apa yang baru saja kulakukan! Benar-benar sial!" ujarnya dalam hati lalu berkata. "Kalau kau sebangsa manusia mengapa takut tampakkan wajah?"

"Aku bukannya takut, tapi terus terang aku merasa malu! Apa kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?"

Pertanyaan orang membuat Joko makin penasaran. Cepat dia balik bertanya. "Kau tahu aku melakukan pekerjaan apa?!"

"Aku malu mengatakannya! Jawab saja selesai apa belum?!"

Mungkin untuk mempercepat urusan, Joko buka mulut menjawab. "Aku sudah selesai! Apa sekarang kau masih merasa malu menunjukkan muka?"

Joko tidak tahu kapan orang itu baiikkan tubuh. Yang jelas orang itu telah menghadap ke arahnya dengan kepala sedikit didongakkan. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih di-sanggul ke atas. Sepasang matanya hanya kelihatan putih, pertanda jika orang tua ini buta. Pada pinggangnya yang besar tampak melilit sebuah ikat pinggang besar yang di tengahnya terlihat sebuah benda berkilat berbentuk bundar.

"Gendeng Panuntun!' seru Joko dengan suara bergetar. Kakinya serentak tersurut satu tindak. Raut mukanya makin tegang. Mulutnya seketika mengancing rapat. Sepasang matanya mendelik besar.

Orang bertubuh besar berikat pinggang besar yang di bawah perutnya tampak sebuah benda bundar berkilat yang tidak lain adalah sebuah cermin gerakkan kedua tangannya mengusap cerminnya lalu berkata. "Syukur kau masih mengenaliku, Anak Muda! Aku khawatir kau tidak ingat lagi..."

Setelah agak lama terdiam dan dapat kuasai diri, murid Pendeta Sinting melangkah maju. Meski dia coba sembunyikan ketegangan raut wajahnya namun jelas wajahnya masih menunjukkan rasa khawatir. Apalagi selama ini dia mengetahui kehebatan orang di hadapannya yang bukan lain memang Gendeng Panuntun seorang tokoh rimba persilatan yang memiliki ilmu aneh. Dia seakan bisa melihat dan menebak orang meski matanya buta.

"Kek! Aku membutuhkan keteranganmu" kata Joko sengaja alihkan pembicaraan.

Gendeng Panuntun usap cerminnya. Sepasang matanya yang putih mengerjap. Lalu berkata. "Urusanmu adalah urusan besar, Joko. Terus terang dalam hal ini aku tidak bisa memberi keterangan apa-apa! Kalaupun bisa, keteranganku pasti sama dengan apa yang pernah kau dengar!" Pendekar 131 sedikit merasa lega karena Gendeng Panuntun segera menyambuti pertanyaannya. Dia terus mendekat lalu berkata lagi.

"Tapi mungkin kau bisa menambah sedikit keterangan yang kuperoleh!"

Gendeng Panuntun gelengkan kepalanya. "Barang hitam layaknya kau tanyakan pada orang hitam. Padahal aku bukan orang hitam meski tidak putih mulus!"

"Tapi setidaknya kau tahu di mana orang yang kini sedang kucari!"

"Hem... Orang perempuan apa laki-laki?"

"Tidak jelas bagiku. Yang kutahu dia bernama Cucu Dewa. Menurut keterangan yang kuperoleh, meski dia dari golongan hitam namun kadangkala berpihak pada orang putih. Jadi pasti kau dapat mengetahuinya!"

Gendeng Panuntun usap cerminnya sebelum akhirnya berkata. "Aku melihat kuil di arah matahari muncul. Di hadapannya terbentang hamparan air bergelombang besar..." Gendeng Panuntun hentikan ucapannya lalu hadapkan kepalanya lurus ke arah Pendekar 131.

"Arah matahari muncul... berarti arah timur. Bentangan air bergelombang besar... Jangan-jangan aku harus menuju pantai sebelah timur! Hem..." Joko berpikir apa yang baru saja diucapkan Gendeng Panuntun.

"Hanya itu mungkin yang bisa kukatakan padamu, Anak Muda! Soal apa maknanya tentu kau sendiri yang mengartikannya!"

Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun bangkit. "Kalau kau sudah bisa menebak, lebih cepat bergerak kukira lebih baik. Karena kurasa saat ini bukan hanya kau saja yang sedang menyelidik. Gadis cantik berjubah merah serta perempuan bertubuh sintal juga sedang mencari keterangan untuk ke sana. Lalu ada seorang lagi..."

Wajah Joko kembali merah padam. "Bagaimana mungkin Ratu Pemikat tahu urusan ini? Padahal aku tidak mengatakan apa-apa padanya!" kata Joko dalam hati seraya pandangi lekat-lekat paras Gendeng Panuntun.

Gendeng Panuntun tersenyum. "Kau harus waspada pada setiap orang! Di sebelah barat sana kurasa ada sebuah sungai. Cepatlah kau ke sana! Basuh mukamu berulang kali..."

"Kek! Aku tidak mengerti maksudmu..."

"Mendekatlah kemari..."

Meski dengan benak masih bertanya-tanya, Joko lakukan apa yang dikatakan Gendeng Panuntun. "Bungkukkan sedikit tubuhmu dan hadapkan wajahmu di cermin ini!" kata Gendeng Panuntun begitu murid Pendeta Sinting telah tegak di hadapannya.

Meski masih tidak mengerti dengan maksud si orang tua, Joko bungkukkan tubuh dan hadapkan wajahnya berkaca pada cermin yang berada di perut Gendeng Panuntun. Meski saat itu matahari belum muncul, anehnya Joko dengan jelas dapat berkaca. Begitu kaca bundar itu pantulkan wajahnya, serentak Joko tercekat. Tampangnya berubah. Laksana kilat kedua tangannya bergerak mengusap beberapa warna merah yang belepotan di wajahnya.

"Sial! Ini pasti pewarna di bibir Ratu Pemikat!" gumam Joko seraya menarik wajahnya dari hadapan cermin Gendeng Panuntun.

Gendeng Panuntun tertawa panjang. "Kurasa masih belum cukup, Anak Muda. Tubuhmu masih bau perempuan!"

Selesai berucap begitu kembali Gendeng Panuntun tertawa panjang. Murid Pendeta Sinting tarik bagian bawah pakaian atasnya lalu diusap-usapkan pada wajahnya. Mendadak suara tawa Gendeng Panuntun terputus laksana direnggut setan. Pendekar Pedang Tumpul 131 palingkan kepala. Ternyata sosok Gendeng Panuntun tak ada lagi di tempat itu. Joko arahkan kepalanya jauh ke sebelah kanan. Samar-samar terlihat sosok Gendeng Panuntun melangkah perlahan jauh di sebelah depan sana. Murid Pendeta Sinting mendongak. Di ufuk sebelah timur cahaya kekuningan telah menyemaraki hamparan langit.

"Daripada ditertawai orang, memang lebih baik aku mencari sungai dan mandi! Syukur-syukur kalau di sana kutemui lagi gadis sedang mandi!"

********************

BAB 10

Hanya memerlukan perjalanan dua hari dua malam Gumara alias Malaikat Penggali Kubur sampai di Dusun Sumbersuko. Pemuda murid Bayu Bajra ini segera teruskan perjalanan ke arah timur, di mana dari Dusun Sumbersuko julangan bukit yang diyakininya adalah Bukit Selamangleng telah terlihat. Namun begitu, Malaikat Penggali Kubur tidak segera langsung menuju ke arah bukit. Dia sadar, dalam urusan besar ini dia harus bertindak waspada. Setiap langkah telah diperhitungkan dengan matang. Dia sengaja menempuh jalan berputar. Begitu berada di sebelah utara bukit dan setelah menyiasati keadaan, pemuda ini segera bergerak cepat mendaki bukit.

Saat mendaki pun Malaikat Penggali Kubur tetap waspada. Sesekali dia menyelinap ke balik pohon dan ranggasan semak belukar. Sepasang matanya liar memandang berkeliling dan ke bawah. Setelah merasa aman baru dia teruskan perjalanan mendaki. Ketika sepasang kakinya menginjak puncak bukit, dia cepat edarkan pandangannya berkeliling. Kedua tangannya digerak-gerakkan siap lakukan pukulan. Namun kedua tangannya segera diluruhkan saat menyadari di puncak bukit tidak ada orang lain.

Malaikat Penggali Kubur tidak begitu langsung percaya dengan perasaannya. Dia berkelebat mengitari puncak bukit. Sesekali kepalanya mendongak menembusi rindang daun pohon yang ada di situ. Setelah agak lama dia memang tidak menemukan orang, pemuda ini mondar-mandir di puncak bukit dengan wajah membesi. Rahangnya menggembung. Urat-urat lehernya bersembulan keluar pertanda dadanya dirasuki hawa amarah.

"Keparat betul! Jangan-jangan ucapan guru omong kosong belaka! Jangankan orang, bekasnya pun tidak ada di tempat ini! Padahal aku yakin ini Bukit Selamangleng! Dasar tua bangka yang percaya pada mimpi!"

Meski dia menyumpah-nyumpah begitu, namun sepasang matanya terus mengawasi keadaan sekeliling. Malah tak jarang sepasang kakinya menghentak-hentak di atas tanah dengan harapan siapa tahu orang yang dicari memiliki tindak tanduk aneh dengan bertempat di dalam tanah. Namun sejauh ini apa yang dilakukan tidak membawa hasil, membuat wajahnya makin membesi.

"Jahanam! Gara-gara menuruti mimpi gila, semadiku selama lima purnama sia-sia! Atau jangan-jangan Guru hanya mengarang cerita padahal sebenarnya dia tidak ingin aku menguasai ilmu 'Pelebur Urat'! Sialan benar! Aku telah ditipu! Akan ku..."

Laksana dicabut setan, Malaikat Penggali Kubur putuskan gumamannya. Sepasang matanya mendelik angker. Mulutnya menganga. Sejarak tujuh langkah dari tempatnya berdiri, sebuah batu agak besar terlihat bergerak-gerak keluarkan suara berkeretakan. Saat lain batu itu terangkat. Lalu tampaklah sebuah tangan hitam. Namun bukan tangan itu yang membuat Maiaikat Penggali Kubur makin terbeliak. Ternyata terangkatnya batu besar itu hanya dengan telunjuk! Belum lenyap rasa kejutnya, telunjuk yang menopang batu bergerak.

Blaarrr!

Batu itu serta merta hancur berantakan. Sosok Malaikat Penggali Kubur tersurut satu tindak. Tubuhnya bergetar. Belum sempat dia kuasai diri, tanah pijakan-nya bergetar keras.

Byaarrr!

Tanah di bawah mana tadi batu berada muncrat ke udara. Puncak Bukit Selamangleng laksana dilanda gempa dahsyat. Sosok Malaikat Penggali Kubur ter-jengkang. Namun pemuda ini tetap waspada. Dia tidak berani pejamkan mata. Malah cepat salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya lalu bergerak bangkit. Bersamaan dengan muncratnya tanah, satu sosok tubuh melesat dari dalam tanah. Kejap lain di hadapan Malaikat Penggali Kubur telah tegak satu sosok tubuh seraya perdengarkan tawa bergelak keras.

Tahu isyarat bahaya, Malaikat Penggali Kubur cepat tutup pendengarannya dengan salurkan hawa murni. Anehnya suara tawa orang yang kini tegak di hadapannya tetap terngiang keras menusuk gendang telinga! Pertanda siapa pun adanya orang itu pasti memiliki tenaga dalam luar biasa. Mungkin tak dapat kuasai rasa sakit pada pendengarannya, Malaikat Penggali Kubur angkat kedua tangannya untuk menutup kedua telinganya. Dan dengan beranikan diri, dia menatap lekat-lekat pada orang yang tertawa.

Dia adalah seorang laki-laki berwajah amat cekung. Malah raut wajahnya hanya terdiri dari tulang-tulang tanpa daging. Sepasang matanya besar menjorok keluar. Mulutnya lebar dengan kepala tanpa ditumbuhi rambut. Pakaiannya compang-camping dan dilumuri bercak-bercak tanah.

"Apakah... Siapakah kau?!" tanya Malaikat Penggali Kubur dengan suara laksana tercekat di tenggorokan. Orang di hadapan Malaikat Penggali Kubur putuskan tawanya. Sepasang matanya yang besar berputar liar. Mulutnya membuka. Suara keras.

"Tak ada jawaban yang bakal kau peroleh kecuali kematian!"

Habis berkata begitu, laki-laki yang keluar dari dalam tanah bantingkan kaki kanannya. Malaikat Penggali Kubur tersentak. Sosoknya langsung mencelat ke udara! Lalu jatuh bergedebukan di atas tanah puncak bukit dengart perdengarkan erangan pelan.

"Mimpi Bayu Bajra benar-benar terbukti! Tapi kalau begini kenyataan yang kudapat lebih baik aku tidak kemari! Ancaman manusia ini tampaknya tidak main-main! Daripada mati konyol, padahal dendamku pada Pendekar 131 belum lunas. Lebih baik...." Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur memandang berkeliling. Diam-diam dia kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnnya. Kejap lain dia bergerak bangkit lalu berkelebat menuruni bukit.

"Kau kira dapat lolos dari kematian, hah?!" kata laki-laki dari dalam tanah. Tangan kanannya bergerak ke belakang. Di depan sana sosok Malaikat Penggali Kubur yang berkelebat hendak menuruni bukit laksana ditarik kekuatan dahsyat. Sosoknya kini berkelebat lebih cepat. Bukan turun ke bawah melainkan ke tempat mana laki-laki dari dalam tanah tegak berdiri.

Bukkkk!

Tubuh Malaikat Penggali Kubur terkapar tepat di kaki laki-laki dari dalam tanah. Tangan kiri laki-laki terangkat ke atas. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur terbelalak. Kalau bantingan kakinya mampu membuat tubuhnya mencelat, Malaikat Penggali Kubur bisa membayangkan bagaimana kalau tangan laki-laki ini menghantam. Berpikir sampai di situ akhirnya Malaikat Penggali Kubur hanya bisa berteriak seraya silangkan kedua tangannya di atas kepala meski dia tidak percaya apa yang dilakukan dapat menyelamatkan nyawanya.

"Aku kecewa menuruti mimpi gila itu!" kata Malaikat Penggali Kubur dengan beliakkan sepasang matanya menunggu kematian.

Mendadak laki-laki di atasnya tarik pulang tangan kirinya yang tadi siap lancarkan pukulan. Dari balik kedua tangannya yang menyilang, Malaikat Penggali Kubur kernyitkan kening. Kalau tadi dia sudah merasa darahnya laksana sirap dan nyawanya sudah pulang, kini wajah si pemuda tampak berubah meski ketegangan masih tergurat.

"Mengapa dia urungkan niat membunuhku? Apa karena ucapanku tadi? Atau jangan-jangan dia hanya menunda kematianku..."

"Katakan padaku, bagaimana mimpimu!" Tiba-tiba laki-laki dari dalam tanah ajukan tanya. Sepasang matanya yang besar tak berkesip menatap. Sesaat Malaikat Penggali Kubur tertegun. Seakan tidak percaya akan apa yang didengar, untuk beberapa lama dia terdiam tidak segera menjawab.

"Kau tidak tuli. Lekas jawab pertanyaanku!" hardik si laki-laki.

"Aku.... Bukan aku yang bermimpi. Tapi guruku!"

"Aku tanya bagaimana mimpi itu! Tidak peduli setan atau manusia yang bermimpi!"

Malaikat Penggali Kubur perlahan-lahan bergerak duduk. Lalu berkata. Suaranya bergetar. Malah dia tidak berani membalas pandangan orang. "Dia bermimpi didatangi seorang berjubah panjang sebatas mata kaki. Orang itu sebutsebut namaku dan sebut Bukit Selamangleng. Setelah itu dia laksana mencebur ke satu tempat yang dalam..."

"Hem... Siapa namamu?!"

"Malaikat Penggali Kubur!" Tulang laki-laki dari dalam tanah di seluruh wajahnya bergerak-gerak. Sepasang matanya makin melotot. "Kau jangan berkata dusta!"

Seakan tahu apa yang dimaksud orang, buru-buru Malaikat Penggali Kubur menyahut. "Namaku sebenarnya Gumara..."

"Berdiri! Cepat!" sentak si laki-laki.

Gumara alias Malaikat Penggali Kubur beringsut bangkit dengan tubuh masih bergetar. Dadanya dibuncah dengan berbagai tanya akan keanehan si laki-laki.

"Dengar, Gumara! Kau manusia beruntung. Kaulah manusia yang dinantikan! Turunlah ke bawah. Di sebelah utara bukit ini ada sebuah jurang. Lakukan seperti yang terlihat dalam mimpi!"

Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur terbelalak. Hampir tak percaya dengan apa yang didengar dia bergumam. "Aku...?!"

"Kalau kau bertanya lagi, jawabanmu adalah kematian! Kau mengerti?!"

Malaikat Penggali Kubur anggukkan kepala. Sebenarnya dia hendak bertanya siapa adanya laki-laki di hadapannya. Namun ingat akan ancaman orang pada akhirnya dia hanya bisa pandangi laki-laki di depannya dengan mulut terkancing.

"Kau tunggu apa lagi?!"

"Boleh aku tahu siapa kau...?!" akhirnya Malaikat Penggali Kubur beranikan diri ajukan tanya setelah ta-bahkan hati. Dia sengaja ajukan tanya karena sebenarnya dia masih sangsi dengan ucapan orang. Dia khawatir kalau laki-laki itu hanya hendak menjerumuskan dirinya. Karena ucapannya mengisyaratkan bahwa dirinya harus terjun masuk ke dalam jurang.

Sesaat sepasang mata laki-laki dari dalam tanah mendelik. Namun saat lain mulutnya membuka. "Rimba persilatan menggelariku iblis Rangkap Jiwa. Akulah gerbang yang harus dilalui bagi orang yang ditentukan untuk mewarisi Kitab Hitam itu! Mimpi dan namamu telah menunjukkan bahwa kaulah orang yang ditunggu!"

Mendengar ucapan laki-laki yang sebutkan diri sebagai Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat Penggali Kubur bungkukkan tubuh. Bibirnya sunggingkan senyum. Sepasang matanya berbinar. "Aku akan menuju tempat yang kau tunjuk..." ucap Malaikat Penggaii Kubur lalu pemuda murid Bayu Bajra ini melangkah menuruni bukit.

Iblis Rangkap Jiwa pandangi sosok Malaikat Penggali Kubur dengan senyum seringai. Kepalanya mengangguk. Saat lain sosoknya melesat dan hinggap di sebuah cabang pohon dengan mata tak berkesip mengikuti sosok Malaikat Penggali Kubur.

********************

BAB 11

Malaikat Penggali Kubur tidak kesulitan ke tempat yang ditunjuk Iblis Rangkap Jiwa. Dia menemukan sebuah jurang di sebelah utara Bukit Selamangleng.

"Hem... Kalau benar apa yang dikatakan Iblis Rangkap Jiwa dan aku benar-benar berhasil mendapatkan Kitab Hitam yang dikatakannya, tak ada salahnya kelak dia kujadikan sebagai pembantuku. Dia memiliki kesaktian luar biasa. Kalau dia memiliki kesaktian begitu dahsyat, pasti Kitab Hitam itu lebih luar biasa lagi. Aku akan jadi raja dunia persilatan!" gumam Malaikat Penggali Kubur seraya hentikan langkah di bibir jurang. Kepalanya memandang berkeliling. Lalu melongok ke bawah. Mendadak dia bergidik seraya tarik pulang kepalanya.

"Gila! Jurang ini bukan hanya dalam namun juga banyak pohon merambat di samping kanan kirinya. Apa mungkin aku bisa selamat sampai di bawah? Atau apakah mungkin Kitab Hitam itu tersimpan di bawah sana...?"

Sesaat Malaikat Penggali Kubur dilanda kebimbangan. Namun mengingat mimpi gurunya serta ucapan Iblis Rangkap Jiwa, kembali keberaniannya muncul. Namun ketika kepalanya melongok lagi ke bawah, kembali kebimbangan menyelimuti dadanya.

"Bagaimana sekarang? Ah... Mimpi Guru sedikit banyak telah jadi kenyataan. Jadi tidak mungkin aku salah jalan... Hanya inilah satu-satunya jalan aku dapat menggapai cita-citaku. Lebih dari itu hanya dengan ini aku dapat melampiaskan dendam pada Pendekar Pedang Tumpul 131!"

Ingat begitu tanpa berpikir panjang lagi Gumara pejamkan sepasang matanya. Dia kerahkan segenap tenaga dalamnya. Sekali sentakkan kedua kakinya, sosoknya melayang deras masuk ke dalam jurang! Malaikat Penggali Kubur merasakan tubuhnya menerabas ranting-ranting pohon yang banyak tumbuh di lamping jurang. Tiba-tiba tubuhnya menghantam benda keras dan bersamaan itu luncuran tubuhnya terhenti. Pertanda bahwa sebenarnya jurang itu tidak terlalu dalam. Hanya karena tertutup ranggasan ranting serta pohon di lamping jurang membuat jurang itu gelap laksana sangat curam.

Sambil mengeluh pendek, Malaikat Penggali Kubur beranjak bangkit. Kalau dari bagian atas jurang itu tampak gelap, tidak demikian halnya dari bawah. Matahari masih mampu menerabas rimbun dedaunan di lamping jurang meski keadaan di bawah hanya samarsamar namun ke mana mata memandang masih terlihat jelas. Di bagian bawah jurang itu ternyata hamparan tanah lembab dan di sana-sini banyak gundukan batu. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur segera mencari-cari.

Baru saja kepalanya berpaling. Langkahnya tersurut mundur. Di atas salah satu batu terlihat satu sosok tubuh. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur makin membeliak. Karena ternyata orang yang duduk itu mengenakan jubah hitam! Sebagian jubah itu menutup batu yang diduduki, pertanda jelas seandainya orang itu berdiri, maka jubah itu akan sampai betis atau mata kakinya.

"Ah... Impianku benar-benar akan jadi kenyataan!" desis Malaikat Penggali Kubur.

Lalu perhatikan orang berjubah hitam di atas batu dengan lebih saksama. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Sepasang matanya terpejam rapat. Malaikat Penggali Kubur melangkah mendekat dengan dada berdebar dan mata tak berkesip. Sejarak lima langkah dia hentikan tindakannya. Dia menunggu beberapa saat berharap orang berjubah hitam di atas batu mengetahui kedatangannya dan membuka kelopak matanya.

Namun harapan Malaikat Penggali Kubur tidak jadi kenyataan. Orang di atas batu tak bergeming. Sepasang matanya tetap terpejam rapat. Malaikat Penggali Kubur berdehem. Namun tetap saja orang di atas batu tak bergeming atau buka kelopak matanya yang terpejam. Malaikat Penggali Kubur kembali mendehem. Kali ini sengaja dikeraskan dan berulang kali. Namun jangankan bergeming, buka kelopak matanya pun tidak! Mungkin tidak sabar, Malaikat Penggali Kubur buka mulut.

"Kek...!"

Tak ada jawaban. Sekali lagi murid Bayu Bajra ini buka mulut memanggil. Tapi tetap tidak ada sambutan berupa gerakan atau jawaban.

"Heran. Dia tuli atau bagaimana...?"

Malaikat Penggali Kubur melangkah mendekat. Lalu dengan suara sedikit dikeraskan dia memanggil Lagi-lagi orang berjubah hitam di atas batu tidak membuat gerakan apa-apa apalagi buka mulut menjawab. Malaikat Penggali Kubur melangkah makin dekat. Ketika berada satu tindak dihadapan orang, tangan kanannya menjulur memegang kaki orang yang bersila. Serentak Malaikat Penggali Kubur tarik pulang tangannya. Ada hawa dingin menjalar ke tangannya saat tangannya bersentuhan dengan kaki orang.

Malaikat Penggali Kubur menunggu sesaat. Namun orang di atas bahu tetap tak bergeming sedikit pun. Dengan tengkuk muiai merinding, kembaii tangan Malaikat Penggali Kubur menjulur ke kaki orang. Lalu menggoyang-goyang. Karena tetap tidak ada sambutan, Malaikat Penggali Kubur keraskan goyangan tangannya di kaki orang. Sesaat sosok tubuh orang di atas batu bergoyang-goyang. Namun tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur berseru tegang. Sosok orang itu doyong ke kanan. Kejap lain sosoknya jatuh ke bawah...

S E L E S A I

Warisan Laknat

Serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 Episode Warisan Laknat

Cersil online serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 episode warisan laknat


BAB 1

BOLA jagat belum sampai menapak kaki langit sebelah barat. Namun menjelang tengah hari tadi, puncak Bukit Selamangleng arah timur Dusun Sumbersuko perjalanan setengah hari dari Singasari, disaput kabut gelap mencekam. Gumpalan awan hitam menggantung tebal menutup lingkar terang lintasan bumi.

Warna langit pun berubah menjadi hitam kelam menggidikkan. Angin berhembus kencang seakan hendak meratakan kawasan mayapada. Sesaat kemudian tampak seberkas sinar berkiblat ditingkah suara gemuruh yang memecahkan bongkahan awan hitam. Kejap lain gelantungan awan porak-poranda taburkan curahan hujan badai!

Di puncak Bukit Selamangleng, di atas sebuah batu besar satu sosok tubuh tampak berdiri tegak menantang badai. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Seluruh raut wajahnya dipenuhi keriputan. Rambutnya yang panjang dibiarkan jatuh bergerai menutup sebagian wajah dan punggungnya. Sepasang matanya besar dan mendelik angker menatap hamparan langit yang menghitam. Kedua tangannya merangkap rapat di depan dada.

Laki-laki ini mengenakan jubah besar dan panjang sebatas mata kaki berwama hitam, membuat sosoknya laksana tonggak hitam yang terpacak di atas batu. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laki-laki di atas batu buka rangkapan kedua tangannya. Kepalanya tetap menengadah dengan sepasang mata masih tidak lepas pandangi kelamnya langit.

Kejap lain tangannya bergerak ke batik jubah hitamnya. Saat kedua tangannya keluar lagi, tampaklah sebuah kitab berwarna hitam. Sepasang mata laki-laki ini perlahan memejam. Kedua tangannya yang memegang kitab bergerak lurus ke atas. Bibirnya yang sedari tadi terkancing rapat membuka. Lalu terdengarlah suaranya.

"Wahai dunia dan penghuninya! Saksikan olehmu bahwa hari ini telah tercipta sebuah karya! Kalian semua kelak akan tahu. Barang siapa yang berhasil mempelajari karya ini, dia akan menjadi seorang maha sakti! Dan akulah orang pertama yang akan membuktikannya!"

Ada keanehan. Meski saat itu gemuruh badai laksana menyungkup keadaan, namun suara laki-laki ini terdengar jelas! Dan meski seluruh jubah dan anggota tubuhnya basah kuyup dari rambut sampai kaki, tapi kitab berwarna hitam itu tidak tersentuh curahan air hujan!

Laki-laki di atas batu buka sepasang matanya. Bersamaan dengan itu tiba-tiba kepalanya berpaling ke kiri. Saat lain kedua tangannya bergerak cepat ke bawah. Ketika kedua tangannya kembali merangkap di depan dada, kitab hitam sudah tidak terlihat lagi!

"Hem... Pembuktian maha karya dimulai. Orang yang datang adalah manusia bernasib buruk!" gumam si laki-laki di atas batu. Kepalanya kembali mendongak dengan sepasang mata memejam.

Baru saja kelopak mata si laki-laki di atas batu memejam, di antara suara gemuruh badai terdengar derap langkah-langkah kaki kuda berpacu. Namun laksana direnggut tangan setan, mendadak suara derapan kaki-kaki kuda lenyap. Di lain saat dua bayangan berkelebat mendaki bukit. Tahu-tahu di hadapan laki-laki di atas batu tegak dua orang sejarak dua tombak!

Orang di sebelah kanan mengenakan pakaian warna putih-putih. Sementara orang di sebelah kiri mengenakan pakaian hitam-hitam. Kedua orang ini tidak dapat dikenali raut mukanya karena masing-masing mengenakan topeng yang membungkus seluruh kepalanya. Untuk beberapa saat, kedua orang yang baru datang arahkan kepala masing-masing lurus pada laki-laki di atas batu. Kejap lain orang yang berpakaian hitam-hitam membuat gerakan. Kepalanya dipalingkan pada orang berpakaian putih-putih.

Pada saat yang sama, orang yang berpakaian putih-putih menoleh ke samping kanan. Orang berpakaian hitam-hitam anggukkan kepala. Sementara laki-laki di atas batu tetap tengadah seolah tak pedulikan pada kedatangan orang. Secara berbarengan, tangan kedua orang yang baru datang bergerak ke atas.

Settt! Settt!

Topeng penutup kepala masing-masing orang terbuka. Kini tampaklah wajah kedua orang itu. Orang berpakaian hitam-hitam ternyata adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh lima tahun. Berkumis tebal. Sepasang matanya tajam. Rambutnya panjang sebahu. Sedang orang di sampingnya ternyata adalah seorang perempuan berusia kira-kira tiga puluh tahunan. Raut wajahnya masih kelihatan cantik Hidungnya sedikit mancung. Sepasang matanya bulat tajam. Rambutnya panjang dikuncir tinggi. Setelah campakkan topeng masing-masing, kedua orang ini serta merta menjura hormat. Laki-laki berpakaian hitam-hitam buka mulut.

"Ageng Barada... maaf kalau kedatangan kami mengganggu. Kami datang membawa pesan!"

Laki-laki di atas batu tidak bergeming. Kepalanya tetap mendongak dengan mulut terkancing. Laki-laki berpakaian hitam-hitam lirikkan mata pada perempuan di sampingnya. Sementara yang dilirik luruskan pandangannya pada laki-laki di atas batu. Laki-laki berpakaian hitam-hitam menarik napas dalam. Lalu buka mulut lagi.

"Ageng Barada. Kami..."

"Katakan pesan apa yang kalian bawa!" Laki-laki di atas batu yang dipanggil Ageng Barada buka mulut me-motong ucapan laki-laki berpakaian hitam-hitam.

Ucapan Ageng Barada membuat laki-laki berpakaian hitam-hitam tersentak. Wajahnya berubah. Untuk beberapa lama dia terdiam dengan mulut sedikit ternganga. Sedang perempuan di samping si laki-laki sipitkan sedikit matanya. Namun meski perempuan ini coba menahan rasa terkejutnya, perubahan wajahnya tetap terlihat jelas.

"Kalian dengar ucapanku. Cepat katakan pesan itu atau segera angkat kaki dari hadapanku!" Ageng Barada berkata masih tanpa memandang.

"Ageng Barada... Aku adalah Bayumanik. Di sebelahku ini Sawitri. Kami berdua adalah utusan rahasia Panembahan Suro Agung..." kata laki-laki berpakaian hitam-hitam dengan suara bergetar.

Ageng Barada membuat gerakan. Perlahan kepalanya berpajing lurus. Sepasang matanya menatap pada masing-masing orang di hadapannya. Bibirnya menyeringai. Lalu angkat bicara. "Pesan yang kalian bawa. Lekas katakan!"

Laki-laki berpakaian hitam-hitam yang memperkenalkan diri sebagai Bayumanik bungkukkan sedikit tubuhnya yang basah kuyup. Dengan suara masih bergetar ia berkata. "Panembahan Suro Agung mengharapkan kedatanganmu besok malam di tempat biasanya. Dia hendak membicarakan perihal rencana pengambil alihan kekuasaan. Situasi daerah Singasari makin tidak karuan!"

Ageng Barada kernyitkan dahi. Sepasang matanya memandang tajam pada Bayumanik dari rambut hingga kaki. "Kau jangan membuat cerita bohong!"

Bayumanik dan Sawitri terkesiap. Sejenak kedua orang ini pandangi Ageng Barada. Lalu saling pandang. Raut wajah keduanya jelas makin ketakutan. Setelah dapat kuasai diri, Bayumanik kembali angkat bicara.

"Ageng Barada. Harap tidak berprasangka buruk pada kami. Kedatangan kami benar-benar atas suruhan Panembahan Suro Agung. Lagi pula tak ada untungnya bagi kami berkata bohong padamu! Kami tahu siapa kau sebenarnya!"

Ageng Barada menyeringai. Kepalanya bergerak arahkan pandangan ke jurusan lain. "Aku tahu kapan harus menemui Panembahan Suro Agung! Dan kalian salah ucap kalau mengatakan besok malam adalah waktu yang ditentukan!"

"Ah... Justru kedatangan kami kemari karena ada perubahan perihal waktu pertemuan itu!" Yang angkat bicara kali ini adalah Sawitri. Ketegangan pada raut wajah Bayumanik dan Sawitri sedikit mereda begitu mendengar apa yang menjadi pangkal sebab ucapan kasar Ageng Barada.

"Hem... Begitu? Lalu apa lagi pesannya?!" tanya Ageng Barada.

"Hanya tentang perubahan pertemuan itu. Tidak ada pesan lain," jawab Bayumanik.

Ageng Barada arahkan kembali pandangannya pada kedua orang di hadapannya. Namun cuma sekejap. Saat lain dia palingkan kepalanya pada jurusan lain seraya berucap. "Aku berada jauh dari Singasari. Aku ingin tahu apa yang kalian ketahui tentang situasi di sana!"

"Kami tidak dapat mengatakan bagaimana situasi sebenarnya karena suasana benar-benar kacau. Bahkan kini kami tidak dapat menentukan mana pihak kita dan mana pihak lawan!"

Ageng Barada angguk-anggukkan kepala. Bibir laki-laki ini sunggingkan senyum. Diam-diam laki-laki ini membatin. "Situasi beginilah yang kutunggu-tunggu. Gerakanku akan lebih leluasa..."

Bayumanik menoleh pada Sawitri lalu mengangguk. Sawitri membalas dengan anggukkan kepala.

"Ageng Barada..." kata Bayumanik. "Kami harus segera pergi!"

Ageng Barada berpaling. Namun sorot matanya kali ini menghujam tajam pada Sawitri, membuat perempuan ini tidak enak dan menjadi salah tingkah.

"Kalau memang tidak ada yang perlu Ageng Barada tanyakan lagi, kami mohon diri..." kata Sawitri dengan suara sedikit tersendat dan tidak berani membalas tatapan Ageng Barada.

Ageng Barada hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Sementara Bayumanik telah bungkukkan tubuh lalu putar diri yang kemudian diikuti oleh Sawitri.

Tunggu!" kata Ageng Barada menahan gerakan Bayumanik dan Sawitri. Sebelum kedua orang ini balikkan tubuh kembali, Ageng Barada telah lanjutkan ucapannya. "Aku titip pesan pada kalian!"

Bayumanik dan Sawitri putar diri menghadap Ageng Barada. Bayumanik menatap lurus. Tapi Sawitri tampak arahkan pandangannya pada jurusan lain meski kepalanya menghadap Ageng Barada.

"Harap Ageng Barada katakan pesan yang hendak disampaikan!"

Ageng Barada tampak sunggingkan senyum sebelum akhirnya berkata. "Pesan ini bukan untuk Panembahan Suro Agung. Tapi untuk semua anak manusia!"

Dahi Bayumanik dan Sawitri mengernyit.

"Maksud Ageng...?" tanya Bayumanik.

"Aku pesan kematian!"

Tanpa sadar, kaki Bayumanik dan Sawitri tampak tersurut. Mungkin masih belum mengerti arah ucapan Ageng Barada, Bayumanik berkata.

"Aku belum mengerti maksud Ageng. Harap Ageng suka menjelaskan!"

"Kematian adalah hal yang harus diterima tanpa membutuhkan penjelasan! Karena penjelasan apa pun tidak akan ada gunanya!"

Belum habis ucapan Ageng Barada, laki-laki ini telah buka rangkapan kedua tangannya. Kejap lain kedua tangannya bergerak membuat gerakan mendorong ke depan.

Wuuttt! Wuuuuttt!

Dua gelombang dahsyat melabrak ganas ke arah Bayumanik tanpa keluarkan suara. Menangkap gelagat tidak baik, meski sebelumnya tidak menduga sama sekali, Bayumanik cepat berkelebat ke samping sambil mendorongkan kedua tangannya. Sawitri tidak tinggal diam. Perempuan ini segera pula meloncat namun tanpa membuat gerakan apa-apa. Dari kedua tangan Bayumanik melesat dua rangkum angin laksana gelombang dahsyat.

"Hem... Panembahan Suro Agung rupanya pandai juga memilih utusan!" gumam Ageng Barada. Laki-laki ini putar tubuhnya setengah lingkaran. Tangan kirinya bergerak ke bawah.

Wesss! Bummm!

Gelombang angin yang melesat dari kedua tangan Bayumanik serta-merta buyar. Malah sosok Bayumanik tampak terjajar dua langkah! "Ageng Barada! Harap..."

"Sudah kukatakah, kematian tidak butuh penjelasan!" potong Ageng Barada. Tangan kanannya bergerak mendorong. Kejap lain tangan kirinya membuat gerakan mengayun, lalu ikut mendorong.

Meski Bayumanik masih sempat membuat gerakan, tapi sebelum kedua tangannya sempat mendorong, tubuhnya telah tersapu deras ke belakang. Belum sampai laki-laki ini bisa kuasai diri, gelombang susulan yang menggebrak dari tangan kiri Ageng Barada telah melabrak. Bayumanik keluarkan seruan tertahan. Namun laksana disentak setan, seruan Bayumanik terputus. Tubuhnya jatuh terjerembab di atas tanah becek dengan mulut dan hidung keluarkan darah!

Sawitri keluarkan jeritan ketika mengetahui apa yang menimpa Bayumanik. Perempuan ini sama sekali tidak menduga jika gebrakan Ageng Barada secepat itu bisa membuat nyawa Bayumanik melayang. Lebih dari itu, dia dibuat tidak mengerti dengan tingkah Ageng Barada. Karena yang diketahuinya selama ini, Ageng Barada adalah tangan kanan Panembahan Suro Agung meski dia lebih banyak bergerak secara diam-diam dan hanya beberapa orang tertentu yang mengetahuinya.

"Ageng Barada! Kenapa semua ini kau lakukan?! Kau mencurigai kami bukan orangnya Panembahan Suro Agung?" tanya Sawitri setelah dapat kuasai diri. Meski demikian, suara perempuan ini masih terdengar gemetar. Perempuan ini maklum kalau Bayumanik bisa dibuat tak berkutik dalam dua gebrakan maka dia sudah dapat memperhitungkan dirinya, karena dia sadar kalau kepandaiannya tidak berada di atas Bayumanik. Lebih dari itu dia tahu siapa sebenarnya orang yang kini ada di hadapannya.

Ageng Barada sunggingkan senyum. Sepasang matanya menatap tajam. "Saat ini bukan waktu yang baik untuk menjawab pertanyaanmu! Hujan telah reda. Kulihat kau basah kuyup kedinginan. Apa tidak lebih baik kita menghangatkan tubuh?"

Walau Sawitri tahu ke mana arah ucapan Ageng Barada, tapi perempuan ini tidak berani bertindak sembrono. Sebaliknya diam-diam dia berpikir cepat. "Apa pun yang hendak dilakukan, kalau keadaan terpaksa apa boleh buat. Yang penting aku bisa selamat dan dapat mengatakan semua ini pada Panembahan Suro Agung..."

Berpikir begitu, Sawitri maju satu tindak. Lalu berkata dengan sedikit sunggingkan senyum. "Ageng Barada. Terima kasih kalau kau masih memperhatikan diriku. Tapi aku harus segera pergi. Panembahan Suro Agung tentu sudah menunggu"

"Kau tak usah begitu mencemaskan Panembahan Suro Agung..."

"Tapi aku adalah utusannya. Bagaimanapun juga dia pasti menunggu kabar!"

Ageng Barada gelengkan kepala. "Dengar! Sejak hari ini, Panembahan Suro Agung tidak akan mendapat kabar apa-apa! Sejak saat ini pula, Ageng Barada bukanlah orangnya Panembahan Suro Agung!"

"Kau... Kau hendak berkhianat?!"

Ageng Barada tertawa bergelak. "Terserah hendak kau sebut apa! Yang jelas sejak hari ini, Ageng Barada tidak berada di pihak mana pun! Ageng Barada punya tangan untuk menggenggam lebih dari apa yang kini digenggam Panembahan Suro Agung!"

"Kau hendak mengambil..."

Ucapan Sawitri belum selesai, Ageng Barada telah menukas. "Urusan kerajaan bukanlah hal yang kuinginkan! Aku ingin lebih dari itu!"

"Maksudmu...?!"

"Aku ingin seluruh anak manusia berada di bawah kekuasaanku! Mulai hari ini, aku bukan lagi Ageng Barada. Tapi Datuk Kematian!"

Sepasang mata Sawitri terlihat membesar. Dada perempuan ini berdegup keras. Kedua lututnya goyah. Namun perempuan ini tidak hilang akal. Seraya tersenyum dia berkata. "Ah, kalau hal itu benar aku sungguh senang sekali. Sejak semula aku memang ingin lepas dari Panembahan Suro Agung! Di bawah genggaman Suro Agung aku tidak mendapatkan apa yang kuinginkan, padahal apa yang harus kulakukan membutuhkan taruhan nyawa!"

"Hem.... Kalau mau mengatakan, apa sebenarnya yang kau inginkan?!"

Sawitri melangkah dua tindak ke depan. Bibirnya kembali sunggingkan senyum. "Sebagai perempuan memang tak mungkin aku mengambil alih apa yang selama ini digenggam Panembahan Suro Agung. Apalagi dia bukanlah tandinganku. Tapi setidaknya sebagai manusia biasa, aku menginginkan kehidupan enak tanpa harus bersusah payah!"

Ageng Barada yang kini memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian tertawa panjang. "Dasar perempuan! Selamanya tidak akan mau menerirna apa adanya! Malah mungkin dia tak akan segan menyerahkan tubuhnya demi keinginannya tercapai!" kata Datuk Kematian dalam hati.

"Ageng Barada. Kalau..."

"Ageng Barada telah terkubur! Aku adalah Datuk Kematian!" potong Datuk Kematian membuat Sawitri putuskan ucapannya.

Sawitri anggukkan kepala. Lalu buka mulut lagi teruskan ucapannya. "Datuk Kematian. Kalau kau masih membutuhkan tenagaku, aku dengan suka rela akan ikut bergabung denganmu!"

Walau Sawitri berucap begitu, sebenarnya dalam hati perempuan ini berkata sendiri. "Kalau kulawan, aku bukanlah tandingannya! Padahal aku tidak ingin mengalami nasib sama seperti Bayumanik! Laki-laki ini pasti tidak akan membiarkan diriku hidup!"

Kalau diam-diam Sawitri membatin begitu, Datuk Kematian diam-diam juga membatin. "Aku tidak membutuhkan orang macam dia! Kalau dia mau berkhianat hanya karena melihat temannya menemui ajal, bukan tidak mungkin hal itu akan kembali dilakukan jika mengalami kejadian yang sama! Aku membutuhkan orang yang benar-benar dapat kupercaya! Tapi aku tidak akan melewatkan kesempatan ini! Sudah lama aku tidak merasakan hangatnya tubuh perempuan..."

Sepasang mata Datuk Kematian memandang aneh pada Sawitri. Karena saat itu pakaian yang dikenakan si perempuan basah kuyup, maka pakaian itu laksana melekat pada tubuhnya, membuat lekukan dan cuatan dadanya yang membusung kencang kelihatan jelas. "Aku memang membutuhkan tenaga. Kalau kau mau bergabung, itu sungguh suatu hal yang menyenangkan"

"Sekarang apa yang harus kulakukan?!"

Datuk Kematian tidak menjawab pertanyaan Sawitri. Sebaliknya laki-laki berjubah hitam panjang sebatas mata kaki ini melesat ke depan. Kejap lain sosoknya telah tegak satu tindak di depan si perempuan. Sawitri berseru kaget. Belum sempat perempuan ini bergerak mundur, tangan kanan si Datuk telah bergerak cepat ke arah bahunya. Saat Datuk Kematian tarik pulang tangan kanannya, Sawitri tercekat karena dia sudah tidak bisa lagi gerakkan tubuhnya! Tubuhnya tegang kaku. Hanya dadanya yang tampak bergerak turun naik, membuat sepasang mata Datuk Kematian makin membelalak.

"Datuk! Apa yang hendak kau lakukan?!" kata Sawitri dengan suara bergetar. Perempuan ini hanya dapat bicara tanpa bisa gerakkan tubuh. Sang Datuk tertawa panjang. "Bukankah tadi kau menanyakan apa yang harus kau lakukan? Untuk pertama kali inilah yang harus kau lakukan untukku!"

Belum selesai ucapannya, Datuk Kematian telah gerakkan kedua tangannya ke depan. Kedua tangan itu sejenak membelai kedua pipi si perempuan. Meski Sawitri tampak tersenyum, tapi jelas senyum itu dipaksakan. Bahkan dalam hati perempuan ini memaki panjang pendek.

"Kau tentu membutuhkan kehangatan saat ini! kata Datuk Kematian. Kedua tangannya perlahan turun ke dada si perempuan.

Sawitri kerutkan kening. Dadanya makin berdebar. Mulutnya kelihatan bergetar. Meski dia tahu apa yang hendak dilakukan Datuk Kematian, dan meskipun dia makin ketakutan karena tidak mungkin dapat menghindar. Tetapi perempuan ini masih juga mencoba berkata.

"Aku tidak akan menolak apa yang kau inginkan, Datuk. Tapi apa tidak sebaiknya kau biarkan diriku bisa bergerak? Bukankah itu akan membuatmu lebih enak karena aku bisa melayanimu?"

Datuk Kematian menyeringai. Lalu tertawa pendek dan berucap. "Aku lebih suka bercinta dengan perempuan yang tidak bisa bergerak! Dan kalau kau sudah pernah merasakan, tentu setiap bermain cinta kau akan minta ditotok terlebih dahulu!" Kedua tangan sang Datuk bergerak ke samping kiri kanan.

Brettt! Breettt!

Pakaian putih-putih bagian atas Sawitri terbuka menganga, membuat payudaranya tidak tertutup lagi. Sepasang mata Datuk Kematian membeliak besar. Sedangkan Sawitri kelihatan menggigit bibirnya dengan mata memejam rapat. Datuk Kematian kembali gerakkan kedua tangannya. Kali ini perlahan saja kedua tangannya bergerak ke bawah. Kejap lain, pakaian Sawitri melorot jatuh. Bersamaan itu Datuk Kematian menyergap ke depan. Diciuminya wajah si perempuan. Sawitri hanya bisa mengerang dengan hati menyumpah-nyumpah!

********************

BAB 2

Datuk Kematian rapikan jubah panjangnya. Lalu kepalanya mendongak ke atas. Hujan badai telah lama reda. Malah rembulan tampak menghiasi hamparan langit membuat lintasan bumi sedikit terang. Bibir Datuk Kematian tersenyum. Kepalanya lalu berpaling ke kiri. Tampak sosok polos Sawitri tak bergerak-gerak dengan telentang. Wajah cantik perempuan ini berubah kebiruan. Di hampir sekujur tubuhnya tampak memar. Malah pada mulut dan hidungnya terlihat gumpalan darah!

Sang Datuk alihkan pandangannya pada sosok satunya yang bukan lain adalah mayat Bayumanik. Namun hanya sekejap, di lain saat laki-laki ini arahkan pandangannya jauh kebawah bukit.

"Dengan tidak munculnya kedua utusannya, kuharap Panembahan Suro Agung akan jadi gusar. Aku tetap akan menemuinya sesuai perjanjian waktu lalu. Dan saat itu masih kurang sepuluh hari di muka! Selang waktu itu sudah cukup bagiku untuk membuat suasana makin kacau! Dan jika tiba saatnya, Panembahan Suro Agung akan tahu siapa sebenarnya Ageng Barada!"

Datuk Kematian tertawa bergelak. Kejap lain suara tawanya mendadak lenyap. Bersamaan dengan itu sosoknya sudah tidak kelihatan lagi di puncak Bukit Selamangleng! Saat hampir menjelang di penghujung malam, Datuk Kematian telah memasuki sebuah kawasan hutan kecil. Laki-laki ini terus berkelebat cepat.

Karena suasana masih dibungkus kegelapan sementara sang Datuk berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya, maka sosoknya laksana setan gentayangan yang sulit untuk ditangkap mata biasa. Sosoknya hanya menyerupai bayangan yang berkelebat melintasi semak belukar dan jajaran pohon. Melihat gerakannya jelas kalau laki-laki ini sudah tidak asing lagi dengan daerah yang kini dilaluinya.

Ketika cahaya kekuningan mulai menapak di lintasan langit sebelah timur, satu bayangan putih berkelebat. Kejap lain sosoknya melenting tinggi ke udara lalu duduk di atas satu ranting dengan sepasang mata menatap tak berkesip pada bayangan hitam yang berkelebat di bawah sana. Orang yang duduk di atas ranting adalah seorang laki-laki berambut putih. Rambutnya digelung tinggi ke atas. Dahinya sudah dihiasi kerutan. Meski demikian, laki-laki ini masih memancarkan ketampanan wajahnya.

Orang ini mengenakan jubah putih. Walau laki-laki berjubah putih ini duduk di atas sebuah ranting kecil, anehnya ranting itu tidak bergeming sama sekali apalagi patah. Menunjukkan bahwa siapa pun adanya laki-laki berjubah putih, pastilah dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Malah dia seolah tahu kalau saat itu ada seseorang hendak menuju tempatnya!

Sejarak sepuluh tombak dari pohon di mana laki-laki berjubah putih berada, mendadak bayangan hitam yang bukan lain adalah Datuk Kematian hentikan larinya. Lakilaki dari Bukit Selamangleng ini rupanya sadar saat itu ada orang lain di sekitarnya meski dia belum dapat mengetahui di mana beradanya orang itu. Laki-laki berjubah putih di atas ranting untuk beberapa saat pandangi orang berjubah hitam di bawah sana. Sepasang matanya menyipit lalu membesar.

"Ageng Barada... Hampir dua belas tahun aku tidak jumpa dengan dia sejak peristiwa berdarah di Lembah Ngurawan. Hanya akhir-akhir ini aku mendengar dia berada di belakang Panembahan Suro Agung. Ada apa dia datang kemari? Meneruskan urusan lama di Lembah Ngurawan? Hem... Sebenarnya aku sudah melupakan peristiwa berdarah itu. Lagi pula aku sudah memutuskan untuk menghindar dari dunia keramaian dan kancah persilatan..." Laki-laki berjubah putih menghela napas panjang.

Di bawah sana, Datuk Kematian putar kepalanya. Sepasang matanya liar mengawasi berkeliling. Mungkin tak sabar karena dia tidak dapat menangkap adanya orang sementara dirinya yakin kalau di tempat itu ada orang lain, dia buka mulut dan berteriak lantang.

"Tak usah berlaku pengecut sembunyikan diri! Keluarlah Resi Kamahayanan!"

Laki-laki berjubah putih di atas ranting kembali menarik napas dalam. "Dia mengetahui aku berada di sini. Tidak ada gunanya bagiku sembunyikan diri. Urusan ini harus segera selesai. Jika tidak kesalahpahaman ini akan berlanjut..."

"Dua belas tahun telah berlalu, Resi Kamahayanan! Aku datang melanjutkan urusan lama!" Datuk Kematian kembali berteriak setelah ditunggu agak lama belum juga ada tanda-tanda munculnya orang.

"Dugaanku tidak meleset...," gumam laki-laki berjubah putih. Tapi sejauh ini orang di atas ranting ini tidak juga membuat gerakan apa-apa.

"Resi Kamahayanan! Kalau kau tak mau unjuk diri, baiklah! Tapi jangan kira aku berhampa tangan jika meninggalkan tempat ini!" seru Datuk Kematian.

Tangan kiri kanannya bergerak ke belakang. Namun gerakannya tertahan tatkala mendadak saja semak belukar lima belas langkah dari samping kanan Datuk Kematian bergerak. Kejap lain satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu Satu sosok tubuh telah tegak berdiri tujuh langkah di hadapan sang Datuk! Sepasang mata Datuk Kematian mendelik angker memandang orang di hadapannya dari atas sampai bawah. Orang ini ternyata lakilaki berusia setengah baya mengenakan pakaian biru gelap. Rambutnya pendek kelimis. Rahangnya kokoh dengan sepasang mata tajam.

"Jahanam betul! Ternyata bukan Resi keparat itu! Siapa sebenarnya manusia ini? Sepertinya aku belum pernah bertemu dengannya. Tapi aku rasanya mengenali wajahnya! Adakah kemunculannya di sini punya tujuan sama denganku? Atau jangan-jangan manusia ini telah membuat Resi keparat itu tewas. Kalau demikian halnya, orang ini harus bertanggung jawab karena dia telah memutuskan dendamku pada Resi Kamahayanan!"

Datuk Kematian aiihkan pandangannya ke jurusan lain. Mulutnya membuka keluarkan bentakan. "Aku hanya berkata sekali. Katakan siapa dirimu! Apa yang sedang kau lakukan di sini!"

Laki-laki berpakaian biru gelap menyeringai. Tangan kanannya bergerak mengusap dada dan dagunya. Lalu berkata. "Lain yang dicari tapi lain yang didapat! Tapi kali ini aku mujur!"

Datuk Kematian berpaling. Sekali lagi ditatapnya orang yang tegak di hadapannya dengan lebih seksama. Namun mulut laki-laki berjubah hitam panjang ini terkancing rapat. Hanya hatinya yang terus bertanya-tanya siapa adanya orang. Laki-laki berpakaian biru gelap goyang-goyangkan kepala. Lalu sepasang matanya menatap dingin pada Datuk Kematian sebelum akhirnya berkata.

"Perjalanan waktu rupanya telah membuatmu jadi pelupa, Ageng Barada! Tapi aku tidak akan begitu saja melupakan apa yang pernah terjadi! Lebih dari itu, tidak akan kubiarkan tanganmu berlumur darah Resi Kamahayanan! Darah Resi itu adalah hakku! Kau dengar?!"

Walau Datuk Kematian sempat terkejut mendapati orang mengetahui siapa dirinya, namun laki-laki ini sunggingkan senyum seringai. Sementara laki-laki berjubah putih di atas ranting sesaat terkesiap melihat kemunculan orang berpakaian biru gelap. Sebenarnya dia tadi sudah memutuskan untuk turun menemui Datuk Kematian. Namun gerakannya tertahan tatkala mendadak saja ada orang muncul.

"Sepuh Panjalu!" desis laki-laki berjubah putih mengenali orang berpakaian biru gelap. "Tidak kusangka sama sekali kalau hari ini aku kedatangan dua orang tamu yang hendak meneruskan urusan lama!" Laki-laki ini gelengkan kepalanya.

"Kau tidak mau katakan siapa kau sebenarnya. Mungkin kau ingin mampus tanpa dikenali! Keinginanmu akan kuturuti!" Datuk Kematian berkata seraya dongakkan sedikit kepalanya.

"Kau salah ucap, Ageng Barada! Justru aku akan mengatakan siapa diriku. Kasihan kalau orang harus tewas tanpa mengetahui siapa orang yang membunuhnya!"

Laki-laki berpakaian biru gelap tertawa panjang, lalu lanjutkan ucapannya. "Sembilan tahun silam, kejadiannya di Jurang Kelampok..."

Datuk Kematian kerutkan kening. "Sepuh Panjalu!" gumamnya.

"Syukur kau masih mengingatnya, Ageng Barada!"

Tiba-tiba Datuk Kematian perdengarkan tawa bergelak. Tapi tiba-tiba ia putuskan gelakan tawanya. Tangan kirinya terangkat dan menunjuk lurus ke arah orang. "Rupanya nasib baik masih memihak padamu saat itu, Sepuh Panjalu! Tapi nyatanya nyawamu sudah ditakdirkan untukku! Lebih-lebih lagi kau telah berani menyatakan darah Resi keparat itu adalah hakmu!"

Mendengar kata-kata Datuk Kematian, Sepuh Panjalu ganti tertawa sambil ikutikutan dongakkan kepala. "Bicara besarmu tidak berubah dari dahulu, Ageng Barada! Tapi harus kau ingat. Sepuh Panjalu yang di hadapanmu kini bukanlah Sepuh Panjalu sembilan tahun silam!"

Datuk Kematian mendengus. "Kau juga perlu tahu. Ageng Barada telah berkubur. Yang ada dihadapanmu saat ini adalah Datuk Kematian!"

Sepuh Panjalu makin keraskan gelakan tawanya. Namun diam-diam laki-laki ini telah salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Di lain pihak Datuk Kematian rupanya tidak mau kecolongan. Secara diam-diam dia juga telah kerahkan tenaga dalamnya, hingga tatkala Sepuh Panjalu gerakkan kedua tangannya, Datuk Kematian serentak berkelebat tiga langkah ke samping seraya mendorong.

Dua gelombang angin dahsyat melesat laksana gelombang prahara dari masing-masing tangan orang. Kejap lain terdengar suara dentuman keras mengguncang tempat itu. Datuk Kematian tidak bergeser dari tempatnya meski sesaat tubuhnya kelihatan bergoyang. Hanya sepasang matanya yang tampak sedikit menyipit dan kedua tangannya bergetar. Di seberang sana, Sepuh Panjalu kelihatan hampir saja tersapu. Namun lakilaki ini cepat lipat gandakan tenaga dalamnya hingga hanya tubuh bagian atasnya yang sempat terdorong tapi kuda-kuda kakinya tidak bergeming!

"Hem... Kepandaian mereka ternyata maju begitu pesat!" Laki-laki berjubah putih di atas ranting bergumam. Sesaat laki-laki ini harus kerahkan tenaga dalamnya untuk mengatasi guncangan pada ranting yang diduduki akibat bias bentroknya pukulan Datuk Kematian dan Sepuh Panjalu.

Melihat kenyataan bahwa lawan tidak bergeming, sudah cukup bagi Datuk Kematian untuk mengetahui kalau lawan memang sudah bukan orang yang dihadapinya pada sembiian tahun yang lalu. Datuk Kematian segera kerahkan kembali tenaga dalamnya. Tanpa didahului ucapan, sosoknya melesat ke arah Sepuh Panjalu. Laki-laki berpakaian biru gelap ini tidak menangkap berkelebatnya lawan. Yang dilihatnya saat itu mendadak dua tangan telah melabrak ganas mengarah pada kepala dan perutnya! Sepuh Panjalu cepat mundur satu langkah. Bersamaan dengan itu kedua tangannya terangkat.

Bukkkk! Bukkkk!

Terdengar bentroknya dua tangan. Sosok Sepuh Panjalu terdorong sampai tiga langkah ke belakang. Kedua tangannya yang baru saja memangkas pukulan Datuk Kematian tampak menggembung merah dan bergetar keras. Malah dadanya terasa sesak dan raut wajahnya berubah pucat pasi. Di lain pihak, begitu terjadi bentrok, Datuk Kematian cepat tarik pulang kedua tangannya. Lalu melompat mundur dengan paras pias. Kedua tangannya pun kelihatan bergetar.

"Manusia satu ini harus cepat kusingkirkan! Jika tidak rencanaku bisa tertunda!" bisik Datuk Kematian dalam hati. Tangan kiri kanannya bergerak mengusap dadanya di mana tersimpan kitab berwarna hitam.

Sepuh Panjalu terkesiap. Sepasang matanya membelalak besar. Dari tempatnya berdiri, laki-laki ini melihat sosok Datuk Kematian bergetar keras. Kejap lain tiba-tiba seluruh anggota tubuh sang Datuk berubah menjadi hitam!

"Ilmu apa yang dimiliki manusia itu? Baru kali ini aku menyaksikannya! Jangan-jangan..."

Belum sampai Sepuh Panjalu teruskan membatin, kedua tangan Datuk Kematian yang mengusap dadanya diturunkan. Anehnya bersamaan dengan turunnya kedua tangan sang Datuk, dari dadanya terdengar suara deruan keras tanpa adanya sesuatu yang melesat. Sebagai tokoh yang pernah malang melintang dalam kancah persilatan, Sepuh Panjalu telah dapat menangkap adanya bahaya. Dia segera angkat kedua tangannya.

Namun gerakan kedua tangannya tiba-tiba tertahan. Kejap lain sosoknya mencelat mental sampai dua tombak dan jatuh bergedebukan di atas tanah! Darah hitam tampak mengucur dari mulutnya. Sepuh Panjalu kerahkan segenap tenaga dalamnya. Lalu terbungkuk-bungkuk dia bergerak bangkit.

"Hem... Hasil ciptaanku ternyata hebat! Tapi aku kurang puas kalau orang masih mampu tegak sehabis terhantam! Atau ini karena dia punya tenaga dalam luar biasa?" Datuk Kematian terus pandangi Sepuh Panjalu. Meski lawan terluka cukup parah begitu terhantam, tapi raut wajah orang tua ini jelas masih menunjukkan rasa kecewa.

Namun rasa kecewa sang Datuk ternyata hanya sekejap. Kejap lain bibirnya tersenyum tatkala melihat di seberang sana sosok Sepuh Panjalu kembali terhuyung-huyung sebelum akhirnya roboh kembali dan muntahkan darah kehitaman. Datuk Kematian tertawa pendek. Kaki kanannya menghentak tanah. Saat lain sosoknya melesat kearah robohnya Sepuh Panjalu. Tahu-tahu laki-laki berjubah hitam panjang ini telah tegak di samping Sepuh Panjalu dengan kepala mendongak.

"Ternyata kau sia-siakan waktumu yang sembilan tahun, Sepuh Panjalu!" seraya berkata, masih tetap mendongak Datuk Kematian jambak rambut Sepuh Panjalu. Saat bersamaan kaki kirinya bergerak ke belakang. Lalu diayun ke depan. Karena tendangan ini bukan tendangan biasa, maka sekali terhantam, pasti sosok Sepuh Panjalu akan mencelat mental dengan nyawa putus apalagi Sepuh Panjalu dalam keadaan luka dalam cukup parah.

Pada saat hantaman kaki kiri Datuk Kematian sejengkal lagi mendarat dan memutuskan nyawa Sepuh Panjalu, mendadak terdengar deruan pelan. Hebatnya Datuk Kematian merasakan adanya sebuah kekuatan dahsyat yang menghalangi hingga bukan saja hantaman kakinya tertahan namun sosoknya terdorong ke belakang!

BAB 3

Meski sudah dapat menduga kalau ada orang yang ikut campur urusannya, tapi Datuk Kematian seolah ingin segera menyelesaikan urusannya dengan Sepuh Panjalu. Hingga dia cepat kerahkan tenaga dalamnya. Lalu sekali lagi kaki kirinya lakukan tendangan. Tapi sang Datuk jadi terkesiap. Belum sampai kaki kirinya bergerak lakukan hantaman, deruan itu kembali terdengar. Kejap lain bukan saja kaki kirinya laksana kaku, tapi sosoknya tersurut sampai tiga langkah!

"Jahanam!" maki sang Datuk dengan suara bergetar keras. Cepat dia berpaling ke kanan dari mana suara deruan terdengar. Datuk Kematian tegak dengan sosok bergetar. Rahangnya menggembung, namun sesaat kemudian bibir laki-laki berjubah hitam panjang ini tersenyum.

"Akhirnya kau muncul juga Resi Kamahayanan! Dan berarti aku benar-benar akan tinggalkan tempat ini tanpa berhampa tangan! Malah aku telah dapat tambahan satu orang!"

Di hadapan Datuk Kematian tampak tegak bersedekap seorang laki-laki berusia lanjut dengan rambut putih digelung tinggi ke atas. Orang ini mengenakan jubah putih. Laki-laki ini tidak lain adalah orang yang sedari tadi duduk di atas ranting dan bukan lain adalah seorang tokoh dunia persilatan yang sudah tidak asing lagi bagi kalangan orang persilatan yakni Resi Kamahayanan.

Pada beberapa puluh tahun silam, nama Resi Kamahayanan sempat menjulang meski saat itu suasana dalam keadaan kacau akibat perang saudara di antara keturunan Raja-raja Singasari Hal ini karena Resi Kamahayanan selain tidak berpihak pada salah satu golongan yang sedang terlibat perang, dia juga tak segan-segan turut campur tangan jika ada kerusuhan yang merugikan rakyat jelata.

Salah satunya adalah peristiwa berdarah yang terjadi di Lembah Ngurawan. Saat itu seorang tokoh berilmu tinggi bernama Ageng Barada yang dikenal sebagai-tokoh hitam dan momok rimba persilatan mengundang beberapa tokoh persilatan dan di sana Ageng Barada mentasbihkan diri sebagai penguasa tunggal rimba persilatan dan memerintahkan semua tokoh yang hadir untuk mengangkat sumpah dan harus menjalankan semua perintahnya.

Karena di antara beberapa tokoh yang hadir ada yang tidak setuju dengan gagasan Ageng Barada maka terjadilah pembantaian besar-besaran. Malah karena ingin melampiaskan kemarahan dan ingin menunjukkan kekuasaannya, Ageng Barada tidak segan-segan menghabisi rakyat jelata yang tidak mengerti apa-apa. Saat itulah Resi Kamahayanan turun tangan. Ageng Barada dapat diatasi.

Lalu pada tahun berikutnya muncul pula tokoh bernama Sepuh Panjalu. Seperti halnya Ageng Barada, Sepuh Panjalu juga hendak memaklumkan diri sebagai raja rimba persilatan. Namun niatnya terhalang oleh Resi Kamahayanan lagi. Sejak peristiwa itu rimba persilatan mereda, meski keadaan masih kacau akibat perang saudara.

Dan sejak itu pula Resi Kamahayanan menghilang dari arena dunia persilatan. Tidak seorang pun yang tahu kabar tentang tokoh ini bahkan sampai nama Ageng Barada kembali muncul ke permukaan meski kali ini kemunculannya hanya diketahui oleh kalangan tertentu dan berada di belakang Panembahan Suro Agung yang diketahui ingin mengambil alih kerajaan.

"Ageng Barada... Harap maafkan diriku kalau kau tersinggung karena aku menghalangi niatmu..."

Datuk Kematian tersenyum sinis. Lalu berkata dengan sepasang mata menatap tajam. "Tanpa kusentuh pun anak manusia itu akan mampus! Dan kini tiba giliranmu!"

Resi Kamahayanan tersenyum seraya gelengkan kepala. "Ageng Barada. Meski terlambat mungkin tak ada salahnya kalau aku minta maaf atas kejadian pada dua belasntahun yang lalu. Percayalah. Hal itu sudah kulupakan dan aku sangat menyesal atas peristiwa itu!"

Datuk Kematian tertawa pendek. "Buka telingamu lebar-lebar! Yang ada di hadapanmu saat ini bukan Ageng Barada, tapi Datuk Kematian! Kau dengar?!"

Resi Kamahayanan anggukkan kepala. Dia hendak buka mulut berucap, namun sebelum suaranya terdengar, Datuk Kematian telah mendahului berkata.b"Kedatanganku yang tertunda selama dua belas tahun bukan untuk mendengarkan permintaan maafmu! Tanpa minta maaf pun aku akan melupakan peristiwa itu asal aku pulang dengan membawa penggalan kepalamu!"

"Datuk Kematian.. tidak adakah jalan lain selain kekerasan untuk melupakan kejadian itu? Kita sudah sama-sama tua. Terlalu lucu kalau kita yang sudah tua-tua ini harus menyelesaikan urusan dengan jalan kekerasan. Lebih-lebih lagi aku sudah lama undur diri dari dunia persilatan!"

Mendengar kata-kata Resi Kamahayanan, Datuk Kematian tertawa terbahak. "Kau rupanya lupa. Kejadian dua belas tahun yang lalu adalah kekerasan. Jadi tak ada yang dapat menyelesaikannya selain kekerasan! Aku tak peduli kau telah undur diri atau tidak. Bagiku urusan ini belum selesai kalau salah satu di antara kita belum berkalang tanah!"

"Menyesal sekali. Ternyata di antara kita ada perbedaan..."

Datuk Kematian mendengus keras. "Itu urusanmu! Urusanku membuatmu seperti anak manusia bernasib jelek itu!" seraya berkata tangan Datuk Kematian menunjuk pada sosok Sepuh Panjalu.

Resi Kamahayanan terkejut. Bukan karena ucapan sang Datuk melainkan karena melihat Sepuh Panjalu. Ternyata laki-laki berpakaian biru gelap ini telah kaku dengan sekujur tubuh menghitam laksana dipanggang bara api!

"Tak kuduga jika ucapannya akan jadi kenyataan. Orang ini benar-benar mengalami kemajuan pesat. Dua belas tahun silam dia belum memiliki ilmu yang bisa membuat orang terkapar dalam beberapa gebrakan dengan tubuh hangus. Dari mana dia mempelajari ilmu itu? Selama ini aku belum pernah mendengar ada seorang tokoh yang menciptakan ilmu seganas itu! Hem..." Resi Kamahayanan menarik napas panjang.

"Kau sudah siap menyusul?!" kata Datuk Kematian tanpa memandang.

"Perihal kematian aku sudah mempersiapkan diri sejak lama. Tapi perihal urusan di antara kita, aku sejak lama sudah melupakannya! Kuharap kau mengerti dan menghilangkan kesalahpahaman ini."

"Bagus kalau kau telah mempersiapkan diri soal kematianmu sejak lama. Hari ini persiapanmu berakhir!"

Habis berkata begitu, Datuk Kematian berkelebat ke depan. Mungkin untuk menjajaki kekuatan lawan yang pada beberapa puluh tahun silam dapat mengalahkannya, Datuk Kematian tidak segera keluarkan ilmu andalannya. Sebaliknya dia hanya kerahkan setengah tenaga dalamnya lalu menghantamkan kedua tangannya ke arah kepala Resi Kamahayanan dari arah samping kiri kanan.

Meski semula tidak ingin melayani Datuk Kematian, namun Resi Kamahayanan tidak begitu saja tinggal diam, apalagi dia menangkap adanya bahaya jika Ageng Barada yang kini memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian itu dibiarkan. Ketika sang Datuk belum memiliki ilmu andalan saja sudah menginginkan semua orang persilatan tunduk padanya, apalagi jika kini dia mempunyai ilmu andalan. Berpikir sampai di situ, niat Resi Kamahayanan akhirnya berubah. Laki-laki berjubah putih ini segera angkat kedua tangannya memangkas tangan Datuk Kematian.

Desss! Desssss!

Dua pasang tangan bertenaga dalam bentrok di udara. Kejap lain keduanya sama mundur dua tindak. Paras keduanya tampak berubah. Dari bentrokan tadi masing-masing orang sudah cukup mengetahui tingkat tenaga lawan. Mungkin sudah dapat menjajaki sampai di mana kemampuan lawan, Datuk Kematian angkat kedua tangannya. Laksana kilat kedua tangannya serta-merta didorong ke depan.

Wuuutt! Wuuutt!

Dua gelombang angin dahsyat melabrak ganas dengan keluarkan suara menggidikkan. Sesaat Resi Kamahayanan tampak agak terkejut. Tapi di lain kejap ia sudah gerakkan kedua tangannya. Dua pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi betemu di udara. Tempat itu laksana dilanda gempa hebat. Disusul dengan terdengarnya dua seruan lalu tampak dua sosok tubuh sama mental.

Sosok Datuk Kematian tersapu satu tombak. Punggung laki-laki berjubah panjang hitam itu sempat menghantam sebatang pohon lalu jatuh terduduk dengan sekujur tubuh bergetar keras. Dia merasakan dadanya berdenyut nyeri. Namun ia cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain sosoknya bergerak bangkit.

Di seberang, Resi Kamahayanan terlihat terjengkang. Meski sejenak tadi dia berusaha bertahan agar tidak terjengkang jatuh, namun rupanya sia-sia. Raut muka laki-laki itu berubah pucat pasi. Namun begitu dilihatnya Datuk Kematian telah bangkit, dia cepat pula sentakkan kedua tangannya ke atas tanah. Sosoknya tegak kembali dengan sepasang mata menatap tajam ke depan.

Di depan sana, Datuk Kematian mendongak. Kedua tangannya terangkat ke arah dada. Lalu mengusap dada di mana Kitab Hitam tersimpan di baliknya. Bersamaan dengan itu sekujur kulit tubuh sang Datuk berubah warna menjadi hitam!

Tahu bagaimana kedahsyatan ilmu yang hendak dilancarkan Datuk Kematian, Resi Kamahayanan cepat berkelebat ke samping. Saat kedua kakinya menginjak tanah, laki-laki ini membuat gerakan berputar. Sebongkah kabut tebal tampak melindungi Resi Kamahayanan hingga sosoknya lenyap tidak kelihatan. Di lain kejap dua sinar putih melesat dari dalam bongkahan kabut keluarkan deruan dahsyat memekak telinga.

Datuk Kematian sejenak beliakkan sepasang matanya dengan kepala diluruskan. Karena pada dua belas tahun silam pernah bentrok dengan Resi Kamahayanan menjadikan dirinya tahu bagaimana keganasan pukulan lawan yang kini telah menggebrak ke arahnya. Namun Datuk Kematian sekarang bukanlah Ageng Barada pada dua belas tahun lampau yang tidak berani menyambuti pukulan lawan malah harus terluka karenanya. Datuk Kematian kini bukan saja tenang-tenang menyambuti pukulan lawan bahkan sambil terus mengusap-usap dadanya, dia tertawa bergelak.

"Kau salah besar kalau menganggap pukulanmu masih ampuh seperti dua belas tahun silam, Resi Jahanam!"

Selesai berucap, kedua tangan Datuk Kematian luruh ke bawah. Bersamaan dengan itu terdengar suara deruan pelan. Tidak ada sinar yang terlihat. Namun hebatnya dua sinar putih yang melabraknya laksana terhantam kekuatan luar biasa dahsyat. Saat lain dua sinar putih yang dilancarkan Resi Kamahayanan dari dalam bongkahan kabut bertabur ke udara keluarkan suara meletup keras. Bukan hanya sampai di situ, sesaat setelah dua sinar hancur berantakan, bongkahan kabut yang melindungi sang Resi tampak terdorong keras laksana tersapu gelombang besar.

Datuk Kematian kembali tertawa bergelak. Sementara bongkahan kabut yang membungkus sosok Resi Kamahayanan terus tersapu ke belakang. Namun sejauh ini bongkahan kabut itu belum juga dapat terbongkar. Melihat hal ini, Datuk Kematian putuskan gelakan tawahya. Kedua tangannya kembali mengusap dadanya. Kejap lain kembali terdengar deruan pelan takkala kedua tangan sang Datuk telah luruh ke bawah.

Di depan sana, tiba-tiba bongkahan kabut tersibak. Samar-samar sosok Resi Kamahayanan terlihat. Kedua tangannya yang tampak merangkap di depan dada terbuka. Lalu bergerak tertarik ke belakang. Tapi sebelum kedua tangan itu lakukan gerakan berikutnya, mendadak orang tua berjubah putih ini tersentak. Kabut yang sudah tersibak sekonyong-konyong meletup ambyar. Kejap lain sosok sang Resi tersapu keras dan terjatuh dua tombak dari tempatnya semula!

Darah kehitaman tampak keluar dari mulut dan hidung Resi Kamahayanan. Gelungan rambutnya lepas dan sebagian kelihatan terpangkas laksana tersambar kobaran api. Jubah putihnya hangus. Sosoknya bergetar hebat. Sepasang matanya memejam rapat dengan mulut keluarkan erangan panjang.

Datuk Kematian mendongak. Suara tawanya kembali menggetarkan tempat itu. Puas tertawa, laki-laki ini melangkah ke arah jatuhnya sang Resi. Satu langkah di samping Resi Kamahayanan, Datuk Kematian hentikan langkah. Sepasang matanya sesaat perhatikan sosok sang Resi. Meski Resi Kamahayanan sudah tidak bergerak-gerak lagi karena nyaris pingsan, namun sang Datuk rupanya masih bersikap waspada. Dia tidak berani langsung jongkok. Sebaliknya dia angkat kaki kanannya. Lalu diletakkan di atas dada sang Resi.

"Hem... Hanya tinggal nunggu sang pencabut nyawa!" kata Datuk Kematian seraya tersenyum. "Sebenarnya bisa saja aku langsung membuat nyawanya terputus. Tapi aku ingin dia merasakan bagaimana nikmatnya sekarat!"

Selesai bergumam begitu, Datuk Kematian tarik pulang kaki kanannya. Menatap sejurus pada sosok sang Resi yang perlahan-lahan berubah warna kehitaman. Saat lain sosoknya berputar lalu seraya tertawa terbahak sosok sang Datuk berkelebat tinggalkan tempat itu.

Hanya beberapa saat setelah berlalunya Datuk Kematian, satu bayangan berkelebat. Tahu-tahu bayangan ini telah tegak enam langkah dari tempat terkaparnya Resi Kamahayanan. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian putih. Rambutnya hitam tebal dibiarkan bergerai. Sepasang matanya tajam dengan dada bidang. Sejurus pemuda ini arahkan pandangannya pada sosok yang tergeletak. Sepasang matanya menyipit membesar. Kejap lain pemuda ini melangkah satu tindak dengan pandangan tak berkesip. Namun sekonyong-konyong dia menghambur dengan berseru keras.

"Eyang Guru!"

Si pemuda memeluk sosok Resi Kamahayanan dan mengguncangnya seraya berteriak memanggil. Namun Resi Kamahayanan tidak membuat gerakan apa-apa. Malah sepasang matanya tetap memejam rapat dan darah hitam makin banyak mengucur dari mulut dan hidungnya. Sang pemuda tempelkan telinganya pada dada sang Resi. Lalu dia cepat tarik pulang kepalanya.

Saat lain kedua tapak tangannya telah diletakkan pada dada sang Resi. Sepasang matanya memejam. Usaha sang pemuda rupanya tidak sia-sia. Setelah beberapa saat, mendadak Resi Kamahayanan membuat gerakan. Kedua tangannya terangkat. Bersamaan dengan itu sepasang kelopak matanya membuka.

"Eyang Guru! Siapa yang berbuat ini?"

Resi Kamahayanan gelengkan kepalanya pelan. Mulutnya membuka hendak berkata. Si pemuda menunggu. Tapi setelah sekian lama tidak juga terdengar suara.

"Eyang... Eyang harus katakan siapa yang berbuat ini!" kata si pemuda.

Untuk kedua kalinya Resi Kamahayanan gelengkan kepala. Lalu terdengarlah ucapannya. "Mara Sakti... Ada yang lebih... daripada... pertanyaanmu..." suara Resi Kamahayanan tersendat. "Salurkan... tenaga murnimu... pada telapak tangan kiriku..."

Meski tidak mengerti apa maksud ucapan gurunya, si pemuda yang dipanggil Mara Sakti turuti ucapan sang Resi. Begitu hawa murni Mara Sakti telah tersalurkan lewat tapak tangan kirinya, Resi Kamahayanan tampak sunggingkan senyum lalu buka mulut.

"Pecahkan batu putih sepuluh langkah dari pohon di sebelah utara gubuk kita. Selamatkan apa yang nanti kau temukan di sana. Jangan kau potong ucapanku, Mara Sakti..." kata sang Resi begitu melihat sang murid hendak buka mulut. "Waktuku mungkin tinggal sedikit. Kau hanya perlu mendengarkan..."

Mara Sakti akhirnya urungkan niat untuk buka suara. Kepala pemuda ini lantas mengangguk. Sesaat kemudian Resi Kamahayanan buka mulut lagi.

"Ingat, Mara Sakti... Kau hanya boleh menyelamatkan apa yang nanti kau temukan. Meski kau adalah satu-satunya muridku, namun kau harus dapat menerima kenyataan ini. Apa yang nanti kau temukan bukanlah sesuatu yang boleh kau miliki. Kau hanya bertugas untuk menjaganya sampai suatu waktu kelak ada orang yang ditakdirkan untuk memilikinya..."

Untuk beberapa lama Resi Kamahayanan hentikan ucapannya. Setelah menarik napas panjang dia melanjutkan. "Kalau kau nanti merasa sudah waktunya menghadap Yang Maha Kuasa dan orang yang ditentukan memiliki apa yang nanti kau temukan belum muncul, kau harus serahkan sesuatu itu pada orang yang kau percaya. Namun di balik semua itu, kau tetap bertugas menjaganya sampai nanti jatuh pada orang yang berhak. Jika semua itu sudah kau laksanakan, berarti tugasmu selesai..."

Kembali Resi Kamahayanan hentikan ucapannya. Mungkin karena tidak kuasa menahan keingintahuannya, apalagi setelah itu sang guru tidak berkata lagi, Mara Sakti beranikan diri angkat bicara.

"Semua pesan Eyang Guru akan kulakukan. Tapi harap Eyang ceritakan apa yang sebenarnya terjadi biar aku tidak merasa gelap dengan semua ini. Apalagi Eyang telah menugaskanku menjaga sesuatu itu sampai pada orang yang nanti berhak..."

"Saat ini telah muncul seorang tokoh yang tanpa kuduga sama sekali memiliki ilmu luar biasa. Sebenarnya aku mungkin dapat bertahan seandainya tenagaku tidak terkuras masuk pada sesuatu yang nanti kau temukan. Itulah sebabnya mengapa aku tidak bisa bertahan. Namun mungkin inilah takdir yang harus kuterima..."

"Harap Eyang mau mengatakan siapa orang itu dan mengapa sampai berbuat keji pada Eyang..."

"Soal siapa orangnya biarlah aku sendiri yang tahu. Aku tak mau urusan ini berlanjut. Cukup sampai aku saja! Untuk hal-hal lainnya nanti bisa kau temukan di tempat yang kusebut tadi..."

Mara Sakti menarik napas dalam. Pemuda ini kelihatan sedikit kecewa dengan jawaban eyang gurunya. Namun sebagai murid dia tidak berani mendesak apalagi melihat keadaan sang guru.

"Mara Sakti... Pesan terakhirku. Kau harus segera mencari tempat baru. Dan hindari bentrok dengan siapa pun. Tugasmu adalah menjaga apa yang nanti kau temukan..."

"Semua ucapan Eyang akan kukerjakan. Sekarang apa yang harus kulakukan untuk menyembuhkan luka-luka Eyang."

Resi Kamahayanan tersenyum seraya gelengkan kepala. "Tidak ada yang perlu kau lakukan, Mara Sakti. Jika kau laksanakan apa yang kukatakan itu sudah lebih dari cukup..."

Habis berkata begitu, Resi Kamahayanan tarik tapak tangannya dari tangan Mara Sakti. Bersamaan dengan itu sepasang matanya memejam. Kejap lain hembusan napasnya terputus! Mara Sakti yang tidak menyangka terkesiap. Dia buru-burutempelkan lagi tapak tangannya pada telapak tangan kiri sang Resi. Namun terlambat.

"Eyang... Eyang... Eyang...!" seru Mara Sakti seraya guncang-guncang tubuh eyang gurunya.

Tapi sosok itu tidak lagi bergerak-gerak. Malah sekujur tubuhnya kini telah menghitam! Seakan masih tidak percaya, pemuda ini telungkupkan tubuh eyang gurunya lalu kedua tangannya ditempelkan di punggungnya dan salurkan hawa murni. Namun hingga keringat membasahi sekujur tubuhnya, sosok Resi Kamahayanan tidak juga mengalami perubahan. Tetap tegang kaku! Mara Sakti tarik pulang kedua tangannya dengan menarik napas panjang dan dalam. Lalu perlahan-lahan dia balikkan kembali tubuh eyang gurunya. Sesaat kemudian dia telah tegak dengan membopong sosok sang Resi.

"Eyang Guru... Segala yang kau ucapkan akan kulaksanakan meski sebenarnya aku ingin membalas pada orang yang berbuat keji itu!" gumam Mara Sakti lalu melangkah dengan tabahkan hati dan menahan agar air matanya tidak menetes. Sejarak dua tombak, Mara Sakti hentikan langkah. Sepasang matanya memperhatikan pada sosok yang menggeletak yang bukan lain adalah mayat Sepuh Panjalu.

"Jangan-jangan orang ini yang..." Mara Sakti tidak lanjutkan gumamannya. Sekali lagi dia perhatikan pada mayat Sepuh Panjalu.

"Ah... Tidak mungkin dia! Apa yang dialami orang ini hampir sama dengan yang menimpa Eyang Guru. Berarti dia juga korban orang yang berbuat pada Guru. Hem... Seandainya Eyang memberitahukan padaku siapa orangnya..."

Mara Sakti pandangi sosok mayat Resi Kamahayanan yang berada di bopongannya. Lalu gelengkan kepala sambil menarik napas dalam. "Aku akan mengurus jenazah Eyang dahulu, baru orang itu..." Mara Sakti putar diri setengah lingkaran lalu teruskan langkah.

********************

BAB 4

MARA Sakti tegak di samping pohon di dekat gubuk dengan sepasang mata memandang lurus ke utara pada beberapa batu putih yang tampak berjajar rapi. "Hem... Aku tidak menyangka kalau Eyang Guru menyimpan sesuatu di salah satu batu itu. Lebih tidak menyangka lagi kalau Eyang harus secepat itu pergi. Tapi apa harus dikata... Semuanya sudah terjadi. Yang pasti aku harus segera laksanakan pesan Eyang Guru..."

Mara Sakti palingkan kepala kekanan. Kini sepasang matanya menatap pada dua gundukan tanah merah. Setelah mengerjap beberapa kali menahan gejolak dadanya, pemuda ini melangkah ke arah utara pada beberapa batu putih. Seraya melangkah pemuda ini menghitung. Tepat pada langkah kesepuluh, Mara Sakti hentikan langkahnya. Di hadapannya tampak satu batu putih agak besar. Mara Sakti ulurkan kedua tangannya meraba permukaan batu putih.

"Heran. Bagaimana mungkin Eyang mengatakan sesuatu itu berada di dalam batu ini. Padahal batu itu tidak tampak rengkahan!"

Sekali lagi Mara Sakti meraba-raba seraya perhatikan lebih saksama. Tapi sejauh ini sang pemuda memang tidak menemukan adanya lobang atau rengkahan.

"Apa aku harus memecahnya?" pikir Mara Sakti. Setelah sekian lama tidak mendapatkan jalan keluar, akhirnya dia memutuskan untuk memecah batu putih itu. Dia angkat kedua tangannya.

Prakkkk!

Karena pukulan itu bukan pukulan biasa, maka sekali pukul batu itu langsung pecah. Tapi ada keanehan, walau batu putih itu pecah namun langsung membelah. Tidak ada pecahan kecil-kecil. Mara Sakti tidak pedulikan keanehan itu karena sepasang matanya membentur pada dua benda berwarna kuning dan biru yang saling bertumpuk. Di sebelahnya terdapat sebuah daun lontar yang menggulung.

"Kitab!" seru Mara Sakti begitu dapat mengenali dua benda kuning dan biru yang bertumpuk.

Untuk beberapa lama Mara Sakti mengawasi kedua benda yang bertumpuk yang tidak lain memang dua kitab adanya. Dada pemuda ini berdebar. Kedua tangannya bergetar. Mara Sakti maju mendekat. Namun pemuda ini tidak berani bertindak sembarangan. Rupanya dia maklum bahwa bahaya bisa timbul dengan tidak terduga. Setelah kerahkan segenap tenaga dalamnya, dia mengawasi keadaan di muka.

Saat lain kepalanya berputar dengan mata mengawasi berkeliling. Begitu merasa tidak ada orang lain, dia ulurkan kedua tangannya mengambil daun lontar yang tergulung di sebelah dua kitab yang bertumpuk. Dengan tangan masih bergetar, daun lontar diambil. Perlahan-lahan daun lontar dibuka. Ternyata di dalamnya terdapat satu butiran sebesar ibu jari berwarna merah. Sesaat diperhatikannya butiran merah itu. Lalu disimpannya ke balik pakaiannya. Kemudian dia perhatikan daun lontar. Di situ terdapat tulisan.

Kelak hanya anak manusia yang memiliki Pedang Tumpul 131 yang berhak memiliki Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra ini. Anak manusia itu memiliki tanda angka 131 pada telapak tangan kirinya serta gambar seorang tua mengenakan sorban putih. Kelak jika anak manusia itu muncul, terlebih dahulu serahkan butiran merah ini.

Pada bagian bawah daun lontar juga terdapat tulisan.

Siapa pun yang tidak berhak, jangan coba-coba membuka. Dan sampaikan pesan ini pada orang yang dipercaya kalau anak manusia yang ditentukan belum juga muncul.

Setelah membaca berulang kali, Mara Sakti masukkan daun lontar ke balik pakaiannya. Lalu perlahan-lahan kedua tangannya menjulur mengambil dua tumpukan kitab berwarna kuning dan biru, Sepasang mata Mara Sakti tak berkesip perhatikan dua kitab yang dipegangnya dengan tangan bergetar.

Sesaat dada pemuda ini dirasuki kebimbangan antara menuruti pesan dan melanggarnya. Malah sejurus tangan kanannya sudah bergerak hendak membuka kitab. Namun tiba-tiba seakan-akan ada kekuatan dahsyat yang menghalangi. Bukan saja membuat tangan kanannya tertahan, tapi tubuhnya berguncang! Sadar akan apa yang hendak terjadi, Mara Sakti urungkan niat.

"Maafkan aku Eyang..." gumamnya seraya menoleh pada gundukan tanah merah di sebelah kanan.

Setelah dapat kuasai diri, Mara Sakti putar kepalanya kembali. Kejap lain kedua kitab dimasukkan ke balik pakaiannya. Lalu melangkah kearah gundukan tanah merah.

"Eyang Guru... Semoga arwahmu tenang. Aku akan laksanakan tugas yang kau berikan..." Mara Sakti bungkukkan tubuh. Lalu putar diri dan berkelebat tinggalkan tempat itu.

********************

Kita tinggalkan dahulu Mara Sakti yang mengemban tugas dari eyang gurunya. Kita ikuti lagi perjalanan dedengkot rimba persilatan Ageng Barada yang kini telah memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian. Saat ini adalah hari kesembilan setelah terbunuhnya Resi Kamahayanan di tangan Datuk Kematian.

Matahari baru saja merambat dari titik tengahnya. Pada lamping jurang sebelah selatan Dusun Udan Awu, seorang laki-laki berusia setengah baya berwajah garang mengenakan pakaian lusuh tampak berulang kali menghela napas panjang dan sesekali mengusap wajahnya yang kelimis dengan kedua telapak tangannya. Lalu sepasang matanya yang tajam berputar liar ke sana kemari dan acap kali terpentang besar perhatikan ke arah luar goa, di dalam mana saat itu dia berada.

Mungkin karena suasana di luar goa tidak begitu jelas, laki-laki ini beranjak melangkah ke arah mulut goa. Kepalanya lalu disorongkan melampaui mulut goa. Teriknya sinar matahari segera menyambut, namun orang ini tidak segera menarik pulang kepalanya. Sebaliknya sepasang matanya dipentangkan besar perhatikan keadaan di luar.

Setelah agak lama baru laki-laki ini tarik kembali kepalanya masuk. Lalu putar diri dan melangkah ke ba-gian tengah dalam goa. Kedua bahunya tampak digerak-gerakkan. Kedua telapak tangannya kembali mengusap wajahnya. Sesaat kemudian dia melangkah mondar-mandir dengan kedua tangan saling meremas. Dari gerak-gerik laki-laki ini jelas memberi isyarat bahwa dia sedang menunggu sesuatu atau setidaknya menanti kedatangan orang.

"Bayumanik dan Sawitri tidak ada kabar beritanya. Lalu dua utusan yang menyusul juga tak menemukannya. Ada apa gerangan? Dan ke mana dia menghilang? Saat ini adalah hari perjanjian. Tapi mengapa dia belum juga muncul?!" gumamnya seraya mengerling ke arah mulut goa.

"Akan kutunggu hingga matahari tenggelam. Kalau dia tidak muncul hari ini pasti telah terjadi sesuatu! Hem..."

Laki-laki ini goyangkan kepala. Lalu melangkah menuju bagian samping dinding goa. Dia telah memutuskan untuk menunggu seraya bersemadi. Laki-laki ini duduk bersila menghadap mulut goa. Perlahan sepasang matanya memejam. Namun baru saja kelopak matanya mengatup, tiba-tiba saja dia membuka kembali.

"Hem... Ada orang menuju kemari. Mudah-mudahan bukan orang lain!" desisnya sambil pentangkan mata mengawasi keluar goa. Laki-laki ini tidak menunggu lama untuk buktikan ucapannya. Karena di lain kejap satu bayangan hitam berkelebat di depan mulut goa. Tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak di dalam goa!

Rasa tegang dan cemas yang sejenak tadi terbayang di wajah laki-laki di dalam goa mengendor. Sejarak enam langkah dari tempatnya, seorang laki-iaki berusia lanjut tampak tegak dengan sedikit dongakkan kepala. Laki-laki ini mengenakan jubah panjang berwarna hitam sampai kedua mata kakinya. Laki-laki setengah baya beranjak bangkit. Memperhatikan pada orang yang baru datang dan tidak lain adalah Datuk Kematian lalu berkata.

"Syukur kau datang, Ageng Barada. Aku sudah Cemas dan khawatir kau mendapat halangan!"

"Panembahan Suro Agung!" kepala Datuk Kematian bergerak menghadap laki-laki di hadapannya. "Aku selalu menepati janji!"

"Benar! Tapi sebenarnya aku telah merubah hari perjanjian kita...!"

Dahi Dewa Kematian berkerut. "Apa maksudmu...?!"

"Apa sebelum ini kau tidak kedatangan orang?!"

Sepasang mata Datuk Kematian menyipit. "Selama aku menyendiri dan menunggu hari perjanjian, tidak seorang pun menemuiku!"

"Hem... Rupanya ada yang tidak beres!"

"Aku tidak mengerti dengan ucapanmu!"

Laki-laki yang dipanggil dengan Panembahan Suro Agung arahkan pandangan ke jurusan lain lalu berucap. "Setengah purnama yang lalu aku mengutus dua orang untuk menemuimu! Aku bermaksud mengajukan hari pertemuan kita. Namun kedua orang utusan itu tidak ada kabar beritanya. Malah orang yang kusuruh menyusul ke tempatmu mengatakan kau tidak ada di tempat!"

Datuk Kematian tertawa perlahan. "Aku sengaja pergi dari tempatku sebelum hari yang ditentukan. Tapi kepergianku tiga hari yang lalu. Jadi kalau benar dua utusanmu berangkat setengah bulan yang lalu, pasti dia masih sempat menemuiku! Nyatanya tidak seorang pun yang muncul di tempatku!"

"Hem... Itulah yang membuatku gusar, Ageng Barada! Jangan-jangan utusan itu berkhianat!"

Datuk Kematian gelengkan kepala. "Itu tidak mungkin, Panembahan Suro!"

"Bagaimana kau bisa berkata begitu?!"

"Kalau mereka berkhianat, mungkin tempat ini telah dikepung musuh kita. Padahal aku tidak melihat adanya orang di luar sana!"

"Lalu ke mana mereka?!"

"Tiga hari aku berkeliaran di luar. Tapi itu sudah cukup bagiku menarik kesimpulan kalau saat ini suasana benar-benar kacau! Bukan tidak mungkin kedua orang itu tersandung halangan Tapi kau tidak usah cemas, dengan tidak adanya orang yang mengetahui pertemuan ini, berarti kedua orang itu masih dapat menyimpan rahasia!"

Panembahan Suro Agung anggukkan kepala. "Tapi aku masih belum tenang, Ageng Barada! Mungkin saja mereka bisa menyimpan rahasia pertemuan ini, tapi tidak mustahil dia membuka rahasia yang lain!"

"Hem... Itukah sebabnya kau menyamar dengan mengenakan pakaian dekil?!" tanya Datuk Kematian seraya perhatikan pakaian yang dikenakan Panembahan Suro Agung.

"Seperti ucapanmu, keadaan saat ini benar-benar kacau. Untuk menghindari hal-hal yang tidak kuinginan, terpaksa aku harus menyamar begini rupa!"

"Hem... Sekarang katakan apa rencanamu!"

"Ageng Barada. Saat inilah waktu yang kita tunggu-tunggu! Enam hari di muka kita bergerak!"

"Secepat itu? Apakah semuanya sudah siap?!"

"Sebenarnya waktu yang kita tentukan semula bukan enam hari di muka. Tapi dengan tidak munculnya kedua utusan yang menemuimu, aku khawatir rencana ini bocor. Jadi harinya kita rubah. Ini untuk menjaga hal di luar dugaan kita! Mengenai persiapan, semuanya beres. Dan kau yang nanti memimpin orang-orang kalangan persilatan!"

"Soal pembagian kalau kita berhasil?!"

"Tetap seperti semula. Kau akan mendapat jabatan tinggi! Lebih dari itu kau nanti berhak mengurus tokoh-tokoh rimba persilatan!"

Datuk Kematian tersenyum. Diam-diam dalam hati laki-laki ini berkata. "Jangan kira aku tidak mengetahui niat busukmu, Panembahan Geblek! Kau hanya membutuhkan tenagaku saat genting begini. Begitu kekuasaan telah kau genggam, kau akan singkirkan diriku, Hem... Jangan kira aku dapat kau langkahi!"

Kalau Datuk Kematian diam-diam membatin begitu, ternyata Panembahan Suro Agung juga berkata sendiri dalam hati. "Ageng Barada! Saat ini bisa saja kau mabuk kepayang dengan angan-anganmu! Tapi begitu kekuasaan berada ditanganku, kau akan mendapat imbalan setimpal. Kematian!"

"Apa ada hal-hal yang belum jelas?!" tanya Panembahan Suro Agung setelah keduanya sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing.

Datuk Kematian gelengkan kepala. "Kurasa semuanya cukup jelas. Dan hal itu nanti bisa kita bicarakan lagi, karena aku akan datang sebelum enam hari di muka!"

"Baiklah! Aku harus segera pergi..." Panembahan Suro Agung menatap sejurus pada Ageng Barada alias Datuk Kematian. Kejap lain laki-laki setengah baya ini telah melangkah ke arah mulut goa.

Belum sampai Panembahan Suro Agung berkelebat keluar goa, mendadak terdengar suara desiran dahsyat. Laksana kilat Panembahan Suro Agung balikkan tubuh. Laki-laki ini terkesiap. Memandang ke depan, satu gelombang angin luar biasa kencang telah menggebrak kearahnya! Sementara di depan sana Datuk Kematian tampak tegak dengan perdengarkan suara tawa mengekeh panjang.

"Jahanam! Apa yang kau lakukan?!" seru Panembahan Suro Agung dengan suara keras. Sepasang mata laki-laki ini mendelik angker. Rahangnya mengembung besar. Pelipis kanan kirinya bergerak-gerak.

Datuk Kematian tidak menjawab. Sebaliknya dia perkeras tawanya. Di lain pihak, Panembahan Suro Agung segera berkelebat menghindar.

Brakkkk!

Goa itu bergetar. Dinding di samping mulut goa berderak ambrol akibat pukulan yang dilancarkan Datuk Kematian berhasil dihindari Panembahan Suro Agung. Panembahan Suro Agung angkat kedua tangannya. "Ageng Barada! Kenapa kau menginginkan kematianku, hah?!"

"Dengar Panembahan Suro Agung! Ageng Barada telah tiada! Saat ini kau sedang berhadapan dengan calon penguasa tunggal rimba persilatan dan kerajaan! Aku adalah Datuk Kematian!"

"Jahanam pengkhianat! Jangan-jangan kau telah berbuat keji pada kedua utusanku!"

Datuk Kematian tertawa bergelak lebih keras. "Lucu! Kau menyebutku pengkhianat! Padahal bukankah kau yang merencanakan pengkhianatan ini, hah?! Kau inginkan kekuasan dan menarik beberapa orang untuk membantumu mencapai tujuan! Orang macam kau pantas menerima nasib seperti utusanmu!"

"Keparat! Tidak kusangka kalau kau berani menggunting lipatanku!"

"Aku bukan orang bodoh seperti yang selama ini kau duga, Suro Agung! Aku tahu niat busukmu! Aku tahu siapa kau sebenarnya dan apa rencanamu setelah tujuanmu tercapai!"

Mendengar ucapan Datuk Kematian, sesaat Panembahan Suro Agung terdiam. Tapi kejap lain laki-laki ini tertawa terbahak. "Bagus kalau kau telah tahu rencanaku. Dan itu berarti kau harus mampus sebelum waktunya!" Habis berkata begitu, Panembahan Suro Agung dorong kedua tangannya yang sedari tadi sudah terangkat.

Datuk Kematian menyeringai. Laki-laki berjubah hitam panjang ini tidak tinggai diam. Kedua tangannya serentak diangkat lalu dihantamkan memangkas. Dua gelombang dahsyat bentrok. Untuk kedua kalinya goa itu bergetar. Langit-langitnya bertabur. Baik Datuk Kematian maupun Panembahan Suro Agung sama tersurut satu langkah ke belakang. Paras keduanya berubah.

Mungkin karena tahu siapa yang dihadapi, juga karena ingin segera selesaikan urusan, begitu dapat kuasai diri Panembahan Suro Agung selinapkan tangan kanannya ke balik pakaiannya. Saat tangannya ditarik keluar, tampak sebuah pedang bersarung berwarna kuning keemasan. Melihat Panembahan Suro Agung keluarkan pedang, bukan membuat Datuk Kematian terkejut. Sebaliknya laki-laki ini tertawa seraya kacak pinggang.

"Kau boleh memiliki pedang mustika beberapa biji, Suro Agung! Tapi sebelum kau sempat menggunakannya, aku akan terlebih dahulu memutus selembar nyawamu!"

"Kita lihat, apakah ucapanmu benar!" sentak Panembahan Suro Agung. Laki-laki ini sebenarnya tahu sampai di mana kekuatan sang Datuk karena selama ini keduanya saling bersahabat. Selain itu sebenarnya Panembahan Suro Agung bukanlah orang sembarangan. Hanya karena selama ini dia selalu tidak menunjukkan kepandaiannya, orang menduga dia hanya orang terpelajar yang mengabdi pada salah seorang keturunan Raja Singasari yang sedang berperang. Namun sebagai sahabat, Datuk Kematian tahu siapa adanya Panembahan Suro Agung. Kalau dahulu Datuk Kematian masih harus berhitung untuk menghadapi sang Panembahan, tidak halnya dengan saat ini.

"Kau salah omong, Suro Agung! Kau tidak akan dapat melihat! Karena kau akan mampus terlebih dahulu!"

Panembahan Suro Agung menggereng marah. Gagang pedang ditarik. Tampaklah sebuah pedang berwarna putih keperakan pancarkan cahaya berkilat-kilat. Panembahan Suro Agung angkat pedangnya. Di seberang sana Datuk Kematian angkat kedua tangannya sejajar dada. Lalu secepat kilat ditarik ke belakang mengusap dadanya di mana tersimpan kitab hitam yang baru selesai diciptakan dan telah merenggut beberapa korban.

Bersamaan dengan merangseknya sosok Panembahan Suro Agung yang hendak babatkan pedangnya, terdengar suara deruan pelan. Panembahan Suro Agung tidak melihat adanya gelombang satu sinar. Namun laki-laki ini terkesiap. Sosoknya laksana dihantam gelombang luar biasa dahsyat hingga bukan saja sosoknya mental balik, tapi genggaman pada pedangnya bergetar keras.

Kejap lain pedang di tangan Panembahan Suro Agung terlepas, sementara sosoknya membentur dinding ruangan goa sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan darah mengucur dari lobang hidung dan mulutnya!

Datuk Kematian tertawa mengekeh. "Ternyata ucapanku yang jadi kenyataan, Suro Agung!"

Panembahan Suro Agung seakan tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Bahkan dia seakan juga belum mempercayai apa yang didengarnya dari mulut Datuk Kematian, hingga laki-laki ini segera kerahkan segenap tenaga dalamnya lalu bergerak bangkit. Tahu apa yang pasti dialami Panembahan Suro Agung, Datuk Kematian hanya memandang tanpa membuat gerakan apa-apa.

Sementara di depan sana, sang Panembahan tampak terhuyung. Untung di belakangnya dinding goa. Jika tidak niscaya tubuhnya pasti akan roboh. Dengan pegangi dadanya, Panembahan Suro Agung sandarkan punggungnya pada dinding goa. Lalu menatap pada Datuk Kematian. Dengan bersusah payah, laki-laki ini angkat tangan kirinya menunjuk.

"Kau..." Ternyata hanya itu suara yang bisa terdengar dari mulut Panembahan Suro Agung. Saat bersamaan, tangan kirinya laksana disentak dan luruh ke bawah. Kejap lain sosoknya ikut melorot jatuh dengan sekujur tubuh berubah menjadi kehitaman! Rupanya Panembahan Suro Agung tidak mau begitu saja putus asa. Dia kembali hendak kerahkan tenaga dalam. Namun sia-sia. Dia mengerang. Tapi erang-annya mendadak terputus! Bersamaan dengan itu terdengar suara tawa bergelak.

********************

Sejak peristiwa hilangnya Panembahan Suro Agung tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya, suasana disekitar daerah Singasari makin tidak karuan. Bukan saja peperangan makin berkobar tapi beberapa tokoh dunia persilatan satu persatu hilang atau kalau ditemukan sudah tidak bernapas lagi dengan sekujur tubuh berubah laksana dipanggang bara api hingga tak dapat dikenali lagi. Di lain pihak, Ageng Barada alias Datuk Kematian terus menebar kematian di mana-mana.

Kalau pada awalnya laki-laki ini juga menginginkan kekuasaan di kerajaan, bersama berlalunya waktu dia rupanya merubah niat. Menjadikan dirinya sebagai penguasa tunggal rimba persilatan nyatanya lebih menarik hatinya, karena dia berpikir dengan berhasil menjadi penguasa dunia persilatan mau tidak mau pihak kerajaan pun nanti pasti akan tunduk padanya!

Setidaknya dia akan bisa mengatur jalannya kerajaan walau berada di belakang. Karena Datuk Kematian memiliki kitab hitam yang luar biasa hebat, dalam waktu singkat apa yang menjadi keinginannya tercapai. Dia menjadi seorang tokoh yang bukan saja berpengaruh di dalam lingkungan para keturunan Raja-raja Singasari yang masih berebut kekuasaan, dia juga muncul sebagai tokoh rimba persilatan yang ditakuti.

Namun sebagai manusia biasa, Datuk Kematian punya kelemahan. Yang paling tidak bisa dia hilangkan adalah kesukaannya pada perempuan. Karena dia tokoh yang ditakuti, perempuan apa pun yang dikehendaki dapat direngkuhnya. Bahkan dia tidak segan-segan merampas istri orang dan memperkosanya. Hingga pada satu saat dia benar-benar bertemu dengan seorang perempuan muda yang selain sulit ditaklukkan juga punya ambisi.

Sebenarnya bisa saja Datuk Kematian berbuat kasar pada perempuan ini yang dikenal dengan nama Ken Rakasiwi. Namun menghadapi Ken Rakasiwi, Datuk Kematian tidak bisa berbuat banyak, karena sang Datuk benar-benar menyintai Ken Rakasiwi. Di lain pihak, meski Ken Rakasiwi tidak punya hati pada Datuk Kematian namun karena dia berambisi menjadi permaisuri salah seorang keturunan Raja-raja Singasari, dia seolah memberi harapan pada sang Datuk. Namun secara diam-diam dia juga menjalin hubungan dengan salah seorang keturunan Raja Singasari.

Ken Rakasiwi tahu kehebatan Datuk Kematian. Dan sebagai perempuan muda yang ambisi, dia tidak menyia-nyiakan sang Datuk. Dia berencana mengambil kehebatan Datuk Kematian. Mungkin karena begitu cintanya pada Ken Rakasiwi, Datuk Kematian tidak sembunyikan pada perempuan yang berwajah cantik dan bertubuh bahenol ini apa yang menjadikannya sebagai tokoh luar biasa. Sejak saat itulah Ken Rakasiwi mengatur siasat bagaimana dapat merebut kitab hitam yang ada di tangan Datuk Kematian.

Hingga pada suatu hari Ken Rakasiwi mengajak sang Datuk ke satu tempat yang hanya mereka berdua yang tahu. Ken Rakasiwi telah atur siasat dengan matang. Karena Ken Rakasiwi tahu kelemahan sang Datuk, perempuan ini memanfaatkannya. Mereka berdua bercumbu. Saat sang Datuk berada pada puncak gelora, Ken Rakasiwi hujamkan sebuah pedang kecil tepat pada punggungnya yang langsung tembus pada ulu hatinya.

Datuk Kematian terperanjat. Meski dia adalah seorang tokoh rimba persilatan yang sukar dicari tandingannya, namun karena yang menancap di punggungnya bukan pedang biasa tapi sudah dibubuhi racun. maka laki-laki ini tidak dapat berbuat banyak. Namun Ken Rakasiwi akhirnya harus pulang dengan kecewa, karena meski sudah terluka parah, Datuk Kematian masih sempat menyambar jubah hitam panjangnya di mana dia simpan kitab hitam sebelum dia berlari masuk ke sebuah jurang.

Pada tahun-tahun berikutnya akhirnya ambisi Ken Rakasiwi tercapai. Dia dipersunting oleh salah seorang keturunan Raja Singasari yang pada akhirnya menjadi penguasa. Ken Rakasiwi pun menjadi seorang permaisuri. Meski demikian Ken Rakasiwi tidak mengendurkan pencariannya pada Datuk Kematian.


  • Secara diam-diam perempuan yang telah menjadi seorang permaisuri ini melakukan pencarian di mana Datuk Kematian menghilang ceburkan diri. Namun sejauh ini segala usahanya tidak berhasil. Selain dia hanya mengerti sedikit ilmu silat, dia juga tidak berani memberitahukan urusannya pada orang lain. Hingga hanya dialah satu-satunya orang yang mengetahui di mana sebenarnya menghilangnya Datuk Kematian.


********************

BAB 5

Matahari baru saja merambat dari samping gunung. Di bawah sebuah pohon besar seorang pemuda tampak menggeliat bangun. Usap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu memandang berkeliling sambil tersenyum sendiri. Saat lain dia menghirup udara dalamdalam. Bersamaan dengan itu tangan kanannya bergerak terangkat lagi. Bukan mengusap wajahnya kembali namun memasukkan jari kelingkingnya ke lobang telinga kanannya! Kali ini senyumnya berubah menjadi ringisan karena kegelian.

"Ke mana lagi aku harus bertanya? Sudah beberapa purnama kulalui, namun tidak satu pun orang yang tahu perihal yang kutanyakan! Di lain pihak Orang Tua yang sebutkan diri sebagai penjaga kitab tidak jelas mengatakan di mana aku harus mendapatkan barang yang dikatakannya! Dia hanya mengatakan bahwa sebelum Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra dibuat, telah muncul terlebih dahulu sebuah kitab lain. Sialnya tanpa adanya pemberitahuan yang jelas aku diberi tugas untuk mencari dan sekaligus memusnahkannya! Hm... Apakah ilmu yang kuperoleh dari Kitab Sundrik Cakra nantinya dapat memusnahkan kitab itu?! Mungkin di sana nanti dapat kulihat bagaimana dahsyatnya ilmu dari Kitab Sundrik Cakra...! Lalu apa sebaiknya aku menemui Eyang Guru Pendeta Sinting dahulu untuk memberitahukan urusan ini? Ah... Memang itu satu-satunya jalan. Siapa tahu dia mengetahui apa yang kini harus kulakukan!" gumam si pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng.

Seperti diketahui, sewaktu membuka Kitab Sundrik Cakra, Orang Tua yang dahulu muncul sewaktu murid Pendeta Sinting membuka Kitab Serat Biru menampakkan diri lagi. Orang Tua ini lalu menceritakan bahwa sebenarnya selain Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra masih ada lagi sebuah kitab yang kini menjadi tugas Joko untuk mencari dan memusnahkannya. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Misteri Tengkorak Berdarah)

Karena si Orang Tua tidak dapat menjelaskan di mana kitab satunya itu berada, terpaksa Joko mencari tahu dengan bertanya ke sana kemari. Namun sampai saat ini tidak satu pun orang yang mengetahuinya, malah sebagian besar dari yang ditanya mengatakan baru pertama kali ini mendengar. Setelah memutuskan hendak menemui eyang gurunya Pendeta Sinting yang bertempat tinggai di Jurang Tlatah Perak, akhirnya Joko Sableng beranjak berdiri. Lalu melangkah hendak tinggalkan tempat itu.

Namun baru melangkah lima belas tindak, murid Pendeta Sinting hentikan langkah. Sepasang alis matanya terangkat dengan mata sedikit membeliak. Laksana dipantek, kepalanya lurus menghadap ke arah timur. Dari tempatnya berdiri, Joko melihat kain putih panjang menggelantung di bawah sebuah pohon yang tidak begitu besar. Kain itu melambai-lambai ditiup angin. Bersamaan itu terdengar deruan keras!

Murid Pendeta Sinting angkat kepalanya ke atas. Dia terbeliak makin besar. Di atas pohon tampak menggelantung dua sosok tubuh. Dua sosok tubuh ini saling tindih. Orang yang sebelah atas lingkarkan sepasang kakinya pada pinggang orang di bawahnya. Kedua tangannya lurus ke atas berpegangan pada sebuah dahan. Sedangkan orang yang di sebelah bawah hanya memegangi kedua kaki orang yang melingkari pinggangnya. Orang sebelah bawah ini laksana menggendong orang yang berpegangan pada dahan pohon.

Karena kedua orang yang saling menggantung ini membelakangi, murid Pendeta Sinting hanya bisa melihat bagian belakang tubuh masing-masing orang. Orang yang sebelah atas mengenakan pakaian putih panjang. Begitu panjangnya pakaian yang dikenakan orang, hingga pakaian bagian belakangnya menjulur ke bawah dan melambai-lambai ditiup angin. Orang ini memiliki rambut putih jarang sampai yang kelihatan jelas hanya batok kepalanya! Sementara orang yang menggendong di sebelah bawah mengenakan pakaian warna biru. Rambutnya juga sudah memutih. Perawakannya tinggi kurus.

"Pakaian yang dikenakan serta sikapnya..." gumam Joko seraya memandang tak berkesip. "Sayang mereka membelakangi. Tapi kalau melihat keadaan dan pakaiannya, aku hampir bisa memastikan siapa mereka adanya..."

Murid Pendeta Sinting hendak berkelebat ke depan untuk dapat memastikan dugaannya. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba orang di sebelah atas gerakkan bahunya. Kain panjang bagian belakangnya berkelebat angker keluarkan suara menderu keras. Kejap lain dua sosok tubuh itu melayang turun seraya hadapkan wajah pada Joko Sableng. Kini Joko dapat melihat jelas wajah kedua orang yang masih bergendongan itu.

Orang yang digendong ternyata adalah seorang laki-laki berusia amat lanjut. Paras mukanya hampir tidak ditutup daging sama sekali. Demikian juga anggota tubuh lainnya. Sepasang matanya terpejam rapat, namun bibirnya kelihatan bergerak-gerak ucapkan sesuatu yang tidak dapat ditangkap dengan jelas. Sementara orang yang menggendong adalah seorang lakilaki setengah baya berwajah cekung.

"Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!" Orang yang menggendong buka mulut. Sementara orang tua yang digendong tetap komat-kamit tanpa membuka matanya.

"Raja Tua Segala Dewa! Gulurawa!" seru Joko lalu bungkukkan tubuh menjura hormat.

"Selamat bertemu lagi, Anak Muda..." kata laki-laki yang menggendong. Orang ini hendak lanjutkan ucapannya, namun orang tua yang digendong gerakkan tangan kanannya mengetuk punggungnya membuat orang yang menggendong urungkan niat.

Orang tua yang digendong buka kelopak matanya yang sedari tadi terpejam rapat. Mulutnya yang komat-kamit berhenti. Sejurus orang tua ini menatap tak berkesip pada murid Pendeta Sinting sebelum akhirnya berkata.

"Rupanya Yang Maha Tinggi masih menentukan kita untuk bersua lagi, Anak Muda. Mau mengatakan hendak ke mana?"

"Aku bersyukur bisa bertemu lagi denganmu, Raja Tua Segala Dewa. Aku dalam perjalanan ke tempat Eyang Guruku Pendeta Sinting..."

Orang tua yang dipanggil dengan Raja Tua Segala Dewa dongakkan sedikit kepalanya. "Kalau seorang murid hendak menghadap gurunya hanya ada dua urusan yang pasti akan dikemukakan. Pertama dia bertemu dengan seorang gadis cantik dan minta sang guru untuk melamarnya. Kedua, memiliki urusan pelik yang tidak dapat diatasi. Aku berharap yang pertamalah urusanmu hingga kau hendak menemui Eyang Gurumu..."

Orang yang menggendong yang dipanggil oleh Joko dengan Gulurawa tersenyum. Sedangkan murid Pendeta Sinting gelengkan kepala lalu berucap.

"Menyesal, Raja Tua Segala Dewa. Justru urusan kedualah yang kini kuhadapi!"

"Hem... Terpaksa aku urungkan niat untuk ucapkan selamat padamu, Pendekar 131..." Raja Tua Segala Dewa tersenyum lalu lanjutkan ucapannya. "Setiap manusia memang tidak akan lepas dari kesulitan, Anak Muda. Apalagi kau sebagai orang persilatan!"

"Tapi urusan yang kuhadapi saat ini rasanya begitu sulit!"

"Kau bisa berkata begitu karena kau belum menemukan jalan keluarnya. Jika jalan itu nanti kau temukan, kurasa tidak ada yang tidak bisa diselesaikan."

Untuk kedua kalinya Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku sudah mencari jalan keluar itu. Namun rasanya di mana-mana aku menemui jalan buntu!"

"Kau keliru, Anak Muda. Bukan jalan buntu, hanya kau belum menemukan jalan yang benar!"

"Sepertinya jalan itu tak mungkin kudapatkan. Segalanya serba gelap!"

Raja Tua Segala Dewa tersenyum sambil gelengkan kepalanya perlahan. "Tidak baik patah arang berputus asa, Anak Muda. Percayalah jalan itu ada!"

"Tapi di mana? Aku telah beberapa purnama mencari tahu. Hasilnya hanya sia-sia! Hingga aku berpikir mungkin apa yang sedang kucari tidak ada dan orang yang memberi tahu padaku hanya mengarang cerita. Tapi apa mungkin?!"

"Mau kau ceritakan apa urusanmu...?"

Murid Pendeta Sinting tidak berpikir panjang lagi. Dia lalu menceritakan pertemuannya dengan Orang Tua sewaktu membuka kitab bersampul kuning Sundrik Cakra. Dia tak segan menceritakan urusan itu pada Raja Tua Segala Dewa karena selain dia telah tahu siapa adanya orang tua itu, juga karena dia mengharap bantuannya. (Mengenai siapa Gulurawa dan Raja Tua Segala Dewa silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Gerbang Istana Hantu)

"Harap kau suka memberi sedikit penerangan agar aku bisa segera selesaikan urusan ini!" kata Joko setelah menuturkan ceritanya.

"Kalau yang berkata begitu adalah Orang Tua yang menyebut diri sebagai penjaga kitab, aku menduga apa yang dikatakannya adalah benar. Selain itu aku juga pernah mendengar perihal itu..."

Paras wajah Pendekar 131 seketika berubah. Dia segera melangkah mendekat lalu berkata. "Raja Tua Segala Dewa. Harap sudi beri tahu di mana kitab hitam itu!"

Sesaat Raja Tua Segala Dewa tidak segera menjawab ucapan Joko. Sebaliknya dia memandang sejurus pada murid Pendeta Sinting. Lalu arahkan pandangannya ke arah jurusan lain seraya berkata pelan. "Kau jangan girang dahulu, Pendekar 131. Aku hanya pernah mendengar saja. Soal di mana beradanya Kitab Hitam itu sama sekali aku tidak mengetahuinya!"

Kembali paras Joko berubah murung. Malah kali ini terdengar dia mengeluh. "Ah... Lagi-lagi aku harus menemui kegelapan..."

"Masalahnya sekarang bukan kau menemui kegelapan atau tidak, Anak Muda. Tapi ada pepatah yang mengatakan barang hitam akan lebih banyak diketahui oleh orang golongan hitam pula!"

"Maksudmu...?!"

"Menilik nama kitab ini, jelas kitab itu diciptakan oleh seorang beraliran hitam. Jadi yang tahu jelas perihal kitab itu pasti seorang tokoh beraliran hitam pula!"

"Lalu siapa kira-kira tokoh hitam yang harus kutemui dan kira-kira mengetahui perihal kitab itu?"

"Aku pernah mendengar nama seorang tokoh hitam luar biasa jahat dan punya kepandaian sangat tinggi. Dia hidup pada beberapa ratus tahun silam...."

"Raja Tua...!" potong Joko. "Bagaimana aku harus menemui orang yang hidup pada ratusan tahun yang lalu. Apa mungkin dia masih punya nyawa?!"

"Kau tidak boleh mencampuri urusan nyawa orang, Anak Muda. Urusan satu itu mutlak urusan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang kuasa untuk memanjangkan usia makhluknya seberapa Dia mau! Dan semua itu pasti ada tujuannya. Yang Maha Kuasa tidak mungkin berbuat tanpa ada tujuan... Setidaknya di dalamnya tersimpan hikmah meski kelihatannya sepele..."

Mendengar ucapan Raja Tua Segala Dewa, murid Pendeta Sinting terdiam. Raja Tua Segala Dewa lanjutkan ucapannya. "Tokoh hitam itu memang tidak lagi kedengaran kabar beritanya. Namun tidak ada salahnya kalau kau coba menemuinya. Siapa tahu apa yang diduga orang selama ini meleset dan dia masih hidup."

"Di mana aku harus menemuinya? Dan siapa nama tokoh itu?"

"Kalangan rimba persilatan mengenalinya dengan gelar Iblis Rangkap Jiwa. Hanya tempatnya yang sulit ditemukan di mana..."

Pendekar 131 kerutkan dahi. "Mendengar namanya, apakah dia benar-benar memiliki jiwa rangkap?" "Gelaran orang biasanya memang mengisyaratkan tindak tanduk dan keadaannya. Iblis Rangkap Jiwa memang bukan hanya sakti, namun juga kebal terhadap segala pukulan! Itulah makanya dia bergelar Iblis Rangkap Jiwa. Dia seolah-olah memiliki nyawa rangkap..."

"Sebagai orang golongan hitam, pasti dia tidak akan begitu saja mau mengatakan di mana Kitab Hitam itu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan aku harus mengadu jiwa dengannya. Apakah mungkin aku dapat menghadapinya?"

Raja Tua Segala Dewa tersenyum. "Dia memang berilmu sangat tinggi serta tidak mempan segala pukulan. Namun bukan berarti dia tidak dapat dikalahkan! Asal kita mengetahui kelemahannya!"

"Hem... Lantas apakah kau tahu kelemahannya?" tanya Joko dengan menatap tajam. Murid Pendeta Sinting ini seolah tidak sabar.

Untuk beberapa lama Raja Tua Segala Dewa terdiam. Setelah menarik napas panjang dia berkata. "Tadi sudah kukatakan, barang hitam akan lebih banyak diketahui oleh orang golongan hitam pula..."

"Jadi aku harus menemui orang beraliran hitam lain lagi yang mengetahui kelemahan Iblis Rangkap Jiwa itu? Lalu yang ini siapa lagi orangnya?!"

"Untuk menaiki tangga memang harus dimulai dari bawah, Anak Muda. Maka yang baru saja kau ucapkan adalah benar!"

"Lalu siapa orangnya yang mengetahui kelemahan iblis itu?"

"Carilah seorang tokoh berjuluk Cucu Dewa. Hanya tokoh satu ini lain. Meski dia beraliran hitam, tapi tak jarang dia berpihak pada orang golongan putih. Pikirannya sulit ditebak. Hanya seperti halnya Iblis Rangkap Jiwa, tempatnya tak bisa ditentukan di mana..."

Sekian kalinya murid Pendeta Sinting mengeluh. Bukan karena apa yang akan dihadapi adalah urusan besar, namun dia khawatir ada orang yang mendahului. Karena Orang Tua yang menemuinya itu mengisyaratkan demikian. Setelah terdiam untuk beberapa lama, Joko berkata.

"Aku baru pertama kali dengar manusia berjuluk Cucu Dewa. Agar memudahkan untuk mencari, harap kau jelaskan bagaimana orang itu!"

"Sayang, Anak Muda. Seperti halnya dirimu. Aku hanya pernah dengar namanya dan belum pernah berjumpa. Harap kau tidak berputus asa untuk mencarinya. Karena hanya dengan diketemukannya orang itu, jalan yang kau lalui bisa berubah terang..."

Habis berkata begitu, Raja Tua Segala Dewa gerakkan tangan kanan mengetuk punggung Gulurawa. Seakan tahu isyarat yang diberi tahu orang, tanpa berkata apa-apa lagi Gulurawa anggukkan kepala lalu berkelebat.

"Kelak kalau kita jumpa lagi, kuharap hal pertama yang kau hadapi, Anak Muda. Untuk soal itu aku tentu akan banyak mengetahuinya..." Suara Raja Tua Segala Dewa masih terdengar. Namun sosoknya yang digendong sudah tidak kelihatan lagi!

"Cucu Dewa... Hem... Mencari orang yang tidak tentu tempat dan bagaimana ciri-ciri rupanya. Apakah mungkin bisa kutemukan? Tapi hal ini harus kulakukan! Ah... Apa tidak sebaiknya aku mencari Dewa Orok dahulu? Bukankah menurut Orang Tua itu, rahasia beradanya Kitab Hitam ada pada mahkota bersusun tiga yang dikatakan milik nenek moyangnya? Tapi harus ke mana kucari orang itu? Aduh... Kedua-duanya sulit! Baru kali ini aku harus menemui urusan yang begini rumit."

Murid Pendeta Sinting melangkah seraya terus bergumam sendiri dan tidak jarang geleng-geleng kepala sambil hembuskan napas panjang.

BAB 6

Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng hentikan kelebatannya. Kepalanya menghadap lurus ke samping kanan. Telinganya ditajamkan. "Sudah beberapa hari tubuhku tidak tersentuh air. Di arah sana kudengar suara air mengucur..."

Joko melangkah ke arah mana telinganya menangkap suara air. Namun begitu suara pancuran air agak jelas sekonyongkonyong murid Pendeta Sinting ini hentikan langkahnya. Kali ini bukan hanya suara pancuran air yang tertangkap pendengarannya. Namun juga suara orang menyanyi. Kalau suara itu suara nyanyian seorang laki-laki, tentu Joko tidak terkejut. Tapi yang didengar kali ini adalah suara nyanyian seorang perempuan! Dan datangnya berasal dari arah pancuran air!

"Hem... Mungkin aku akan melihat pemandangan mengasyikkan! Siapa tahu perempuan itu sedang mandi, tidak berpakaian dan orangnya berwajah cantik serta bertubuh..."

Joko tidak lanjutkan gumamannya. Dia segera melangkah dengan berjingkat-jingkat. Ternyata pancuran air itu berada di sebuah dataran yang agak landai. Sambil berpaling kiri kanan murid Pendeta Sinting sibakkan sebagian semak yang menghalangi pandangannya. Sepasang matanya lurus memandang ke bawah di mana pancuran air berada. Begitu semak belukar tersibak, murid Pendeta Sinting ini hampir saja keluarkan seruan tertahan. Joko cepat tekap mulutnya rapat-rapat meski bersamaan dengan itu sepasang matanya membelalak besar tak berkesip.

"Benar-benar nasib mujur! Seorang perempuan muda dan tentu berwajah cantik..." ucap Joko dalam hati lalu sibakkan semak lebih lebar. Sepasang matanya makin membelalak dengan dada mulai berdebar.

Di bawah sana, di samping sebuah pancuran berair jernih tampak seorang gadis tegak seraya bersenandung lantunkan nyanyian. Bersamaan dengan itu tangan kanan kirinya bergerak terangkat membuka rambutnya yang dikuncir. Sesaat kemudian rambut si gadis luruh bergerai. Rambut itu panjangnya sebatas pinggang.

"Walau aku belum bisa melihat raut wajahnya. Aku dapat menduga jika gadis itu berwajah..."

Murid Pendeta Sinting putuskan gumamannya. Sepasang matanya makin membesar. Dadanya berdegup lebih keras. Si gadis di samping air pancuran perlahan-lahan mulai membuka pakaiannya yang berupa jubah berwarna merah menyala. Masih sambil terus bersenandung, si gadis letak-kan jubah merahnya tidak jauh dari tempatnya berdiri. Kini tampak pakaian ringkas berwarna putih tipis membungkus tubuhnya. Kejap lain kedua tangannya bergerak. Dari tempatnya mengintai Joko sorongkan kepalanya ke depan. Mulutnya sedikit terbuka menganga. Di bawah sana si gadis telah buka seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya.

"Busyet! Benar-benar aduhai... Putih mulus dan padat, sayang masih membelakangi..."

Masih tidak sadar kalau dirinya diintip orang, si gadis tenang-tenang saja bersenanduhg dan kini membasahi tubuh dengan jongkok di bawah pancuran.

"Hem... Tak lama lagi pasti akan menghadap ke depan! Dan aku tak akan sia-siakan pemandangan luar biasa ini!"

Apa yang dipikir murid Pendeta Sinting nyatanya tidak meleset. Si gadis perlahan-lahan putar tubuhnya. Pendekar 131 menarik napas dalam. Pijakan sepasang kakinya goyah. Saat si gadis benar-benar telah putar tubuh, mungkin tak kuasa lagi menahan pemandangan yang membuat dadanya berdebar, murid Pendeta Sinting tanpa sadar keluarkan seruan tertahan!

"Busyet!" gumam Joko masih tidak sadar. Dia cepat tekap mulutnya setelah menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Namun terlambat, Seruan sempat didengar oleh si gadis. Laksana kilat si gadis sambar pakaiannya lalu mengenakan jubah merahnya. Kejap lain dia lakukan gerakan mendorong ke arah mana Joko mengintai! Satu gelombang luar biasa keras menyambar ke atas.

"Celaka! Nasibku jelek! Belum sempat melihat pemandangan lebih bagus sudah ketahuan!" desis Joko lalu cepat bergerak hindarkan diri.

Meski murid Pendeta Sinting berhasil menghindari pukulan si gadis namun nyatanya dia harus bernasib sial. Karena serangan si gadis menghantam tanah di bawahnya, membuat tanah itu langsung berantakan. Pijakan kedua kaki Pendekar 131 goyah. Dia cepat gerakkan kedua tangannya menggapai semak belukar. Tapi gerakannya terlambat. Sebelum kedua tangannya berhasil menggapai semak belukar untuk imbangi tubuh, tanah di mana dia berpijak ikut berantakan. Hingga tak ampun lagi sosoknya melorot.

Murid Pendeta Sinting tidak hilang akal. Tahu bahwa dirinya akan terperosok jatuh ke bawah, dia cepat hantamkan kedua tangannya ke lamping tanah. Dengan begitu dia berpikir tubuhnya akan tertahan meski harus bergelantungan. Namun di bawah sana si gadis berjubah merah rupanya tidak tinggai diam, gadis ini rupanya tahu apa yang terpikir dalam benak Joko. Bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan Joko menghantam tanah bagian lamping, si gadis kembali dorong kedua tangannya ke atas.

Tanah di mana Joko hendak coba menggelantung dengan hantamkan kedua tangannya serta-merta buyar berantakan. Saat bersamaan sosok murid Pendeta Sinting meluncur ke bawah! Pendekar 131 mengaduh lalu bergerak bangkit. Namun satu kaki putih mulus telah menekan dadanya membuat dia tidak mampu bergerak lebih jauh. Dia hanya bisa kernyitkan dahi sambil memandang ke atas! Bukan pada wajah si orang yang menekankan kaki ke dadanya, melainkan ke arah selonjoran kaki yang menekan dadanya!

"Busyet! Benar-benar mulus...!" desisnya dalam hati.

Orang yang menekankan kaki di dada sang Pendekar kernyitkan kening seraya sipitkan sepasang matanya. Namun cuma sekejap. Di lain saat sepasang mata yang tidak lain milik gadis berjubah merah menyala mendelik angker. Saat berikutnya kedua tangan si gadis cepat bergerak kelebatkan jubahnya untuk menutupi pahanya yang terbuka!

"Pemuda gila! Kau cari petaka berani mengintip orang mandi!" Seraya berteriak, kaki si gadis menekan lebih keras, membuat Joko megap-megap sulit bernapas.

"Tunggu! Jangan... salah duga dahulu..." ucap Joko dengan suara tersendat.

Si gadis menyeringai. Sepasang matanya menatap lekat-lekat pada pemuda di bawahnya. Sejenak sepasang mata itu membesar lalu menyipit. Kedua alis matanya yang hitam bergerak naik. Dahinya mengernyit. Di lain pihak murid Pendeta Sinting belalakkan sepasang matanya. Ternyata gadis berjubah merah itu memiliki wajah cantik jelita. Hidungnya mancung. Sepasang matanya bulat tajam dengan kulit putih kekuningan. Hanya murid Pendeta Sinting sedikit heran. Meski tidak berkata-kata, mulut gadis ini kelihatan bergerak-gerak laksana mengunyah sesuatu!

Si gadis renggangkan sedikit kakinya yang menekan dada Pendekar 131 membuat Joko bernapas lega. Tapi kelegaan murid Pendeta Sinting ini tidak lama, karena saat lain si gadis tekankan lagi kakinya malah kali ini lebih keras seraya membentak.

"Setan! Siapa kau?!"

Joko tidak segera menjawab pertanyaan si gadis. Sebaliknya dia hanya gapai-gapaikan tangannya menunjuk nunjuk pada kaki si gadis. Seakan sadar akan isyarat orang, si gadis kembali renggangkan tekanan kakinya. Lalu kembali membentak.

"Kau dengar pertanyaanku, Setan! Lekas jawab atau kubuat jebol dadamu!"

"Baik,Akan kujawab pertanyaanmu..," kata Joko seraya menghela napas panjang.

"Lekas buka mulut jawab!" hardik si gadis begitu mendapati Joko tidak segera buka mulut menjawab.

"Galak benar!" gumam Joko dalam hati lalu buka mulut. "Sabar. Semua apa yang nanti kau tanyakan pasti kujawab dengan senang hati. Tapi beri aku kesempatan untuk bernapas dahulu. Tekanan kakimu membuat dadaku sesak. Dan akan lebih baik jika kau angkat kakimu dari dadaku ini..."

"Pemuda Setan macam kau terlalu enak jika tidak diberi pelajaran! Lekas jawab!" bentak si gadis tanpa angkat kaki kanannya dari dada Joko meski kaki itu sekarang tidak menekan. Anehnya hal itu tidak membuat Joko menjadi lega. Sebaliknya membuat murid Pendeta Sinting terkesiap kaget. Betapa tidak, ternyata Joko kini tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya! Sekujur tubuhnya tegang kaku tak bisa digerakkan!

"Siapa gadis ini?! Dia melakukan totokan tanpa aku menyadari kapan dia melakukannya! Benar-benar sial nasibku! Belum sampai benar-benar melihat barang indah sudah harus menerima hal seperti ini!"

Si gadis angkat kaki kanannya ditarik pulang. Lalu mendongak arahkan pandangannya ke jurusan lain sambil berucap. "Kau tidak mau jawab pertanyaanku Baiklah, tidak ada untungnya bagiku mengetahui nama pemuda setan sepertimu. Selamat tinggal!"

Si gadis berjubah merah rapikan rambutnya yang hitam panjang dan dikuncir. Lalu tenang-tenang saja dia melangkah menjauh tinggalkan tempat itu.

"Celaka! Aku bisa mati kaku di sini. Tempat begini sepi tak mungkin ada orang lewat yang bisa menolongku membebaskan dari totokan ini! Lagi pula totokan itu totokan gila. Aku akan berusaha membuyarkan totokan ini!" gumam Joko seraya pandangi langkah-langkah si gadis.

Murid Pendeta Sinting diam-diam kerahkan tenaga dalamnya untuk bebaskan diri dari totokan yang dilakukan si gadis. Mendadak Pendekar 131 terlengak. Meski dia baru saja kerahkan tenaga dalam, dari tangan kanannya terasa mengalir hawa hangat. Lalu anggota tubuhnya membuat gerakan-gerakan halus. Kejap lain dia telah dapat buyarkan totokan si gadis.

"Hem... Ada hawa yang mengalir dari tangan kanan, jangan-jangan ini masih ada kaitannya dengan ilmu yang kudapat dari Kitab Sundrik Cakra..."

Joko pandangi punggung si gadis, "Akan kukerjai dia..." Murid Pendeta Sinting buka mulut. "Hai! Tunggu...!" Joko berteriak tanpa menggerakkan tubuhnya. Dia berpura-pura masih dalam keadaan tertotok.

Si gadis hentikan langkah tanpa berpaling. Lalu terdengar suaranya. "Aku butuh jawaban! Sekali lagi kau buka mulut selain jawab pertanyaanku tadi, jangan harap aku akan berhenti melangkah!"

Mendengar ancaman orang, Joko cepat buka mulut menjawab. "Aku Joko! Joko Sableng!"

Si gadis berjubah merah balikkan tubuh. Sepasang matanya memandang, bukan pada murid Pendeta Sinting namun ke arah jurusan lain. Lalu berucap. "Pemuda Setan! Mengapa kau berada di sini? Kau mengikuti perjalananku? Siapa orang yang menyuruhmu untuk menguntitku? Lekas jawab!"

"Gawat! Urusannya mengapa jadi begini? Benar-benar sial aku hari ini!"

Karena Joko tidak segera menjawab, gadis berjubah merah menyala putar diri. Namun sebelum kakinya melangkah, murid Pendeta Sinting telah berteriak.

"Tunggu! Aku.. aku tidak mengikuti perjalananmu! Aku hanya kebetulan lewat sini! Semula aku ingin mandi. Tapi secara tidak sengaja aku memergokimu sedang..." Joko tidak lanjutkan ucapannya.

"Teruskan keteranganmu!" sentak si gadis.

"Walah... Bagaimana ini? Apa aku harus menceritakan apa yang dia sendiri lakukan?"

Mungkin khawatir si gadis berjubah merah pergi kalau tidak dituruti kemauannya, akhirnya Joko angkat bicara. "Aku melihatmu sedang melepas rambut, lalu melepas jubah..." Kembali Joko hentikan ucapannya, berharap sang gadis akan menghentikan ucapannya. Namun dugaan Joko salah. Si gadis buka mulut.

"Teruskan!"

"Apa hendak dikata..." gumam Joko lalu lanjutkan keterangannya. "Kau kulihat membuka pakaian bagian dalam yang kau kenakan. Setelah itu aku tidak melihatmu lagi. Aku berpaling..."

Gadis berjubah merah luruskan kepala menghadap murid Pendeta Sinting. "Pemuda Setan sepertimu, mana mungkin melakukan hal demikian?! Matamu melotot melihatku. Betul?!"

"Sumpah! Aku menoleh pada arah lain!" sambut Joko.

Di depan sana si gadis perdengarkan suara tawa pendek. "Sumpah pemuda setan macammu mana bisa dipercaya! Kau memelototi tubuhku! Jawab dengan jujur atau..." Si gadis hendak putar diri.

Buru-buru murid Pendeta Sinting bicara. "Maaf. Memang benar. Tapi aku tidak melotot. Mataku menyipit! Jadi aku hanya samar-samar melihatmu!"

"Bagus! Kau harus menerima bayaran atas kekurangajaranmu!"

"Tunggu! Aku tidak bermaksud berlaku kurang ajar! Sebenarnya kau yang salah. Mandi di tempat terbuka. Siapa pun orangnya pasti tidak akan menyia-nyiakan. Untung aku sipitkan mata, kalau orang lain tentu sudah melotot!"

"Hem... Kau pandai mengkambing hitamkan orang! Pintar bersilat lidah!"

Habis berkata begitu, si gadis lakukan gerakan. Tiba-tiba sosoknya melesat ke depan. Kejap lain kakinya bergerak lakukan tendangan. Meski murid Pendeta Sinting sudah bisa bebaskan diri dari totokan, namun dia tidak berusaha mengelak dari tendangan orang. Malah dia pejamkan sepasang mata seraya buka mulut bersiap perdengarkan seruan! Namun yang terdengar selanjutnya bukannya suara tubuh yang kena tendangan melainkan suara tawa merdu, membuat Joko buka kelopak matanya dan katupkan mulutnya.

Di sampingnya gadis berjubah merah tertawa panjang, kaki kirinya tetap mengapung di atas udara seolah siap lancarkan tendangan. Sepasang matanya mendelik. Anehnya, di mata murid Pendeta Sinting sikap si gadis kelihatan makin membuat wajahnya tampak cantik. Mungkin menduga si gadis tak tega lakukan tendangan, Joko sunggingkan senyum. Lalu berkata.

"Kuharap kita hapus kesalahpahaman ini! Kita bisa menjadi..." Ucapan Joko hanya sampai di situ. Laksana dipenggal setan, ucapannya terputus tatkala mendadak kaki kiri si gadis yang mengapung di udara bergerak.

Bukkkkk!

Sosok murid Pendeta Sinting mencelat mental sampai dua tombak lalu jatuh bergulingan dan berhenti di bawah pancuran air! Hingga tanpa ampun lagi sekujur tubuhnya basah kuyup. Joko pura-pura kerahkan tenaga dalamnya, saat lain dia gerak-gerakkan anggota tubuhnya. Lalu, memandang sekilas pada gadis berjubah merah. Melihat si gadis bisa lancarkan totokan tanpa diketahui, Joko merasa yakin si gadis bukanlah orang sembarangan. Dengan berpura-pura terhuyung huyung, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. Seraya pegangi lambungnya yang baru saja terkena tendangan dia melangkah mendekati si gadis.

"Kalau merasa bayarannya belum lunas, aku siap menerima tambahan..." kata Joko sambil hentikan langkah tiga tombak di hadapan gadis berjubah merah.

"Dasar, Pemuda Setan! Kau pantas jadi muridnya orang sinting!"

"Hem... Selain berkepandaian tinggi, cantik, juga sepertinya dia pandai menduga orang! Jangan-jangan dia tahu kalau aku muridnya Pendeta Sinting... Tapi ah... Itu mungkin hanya kebetulan. Namun tidak ada salahnya jika aku mengajukan pertanyaan pada gadis ini perihal urusanku..."

Joko buka mulut hendak ajukan pertanyaan. Namun sebelum suaranya terdengar, gadis berjubah merah telah balikkan tubuh lalu melangkah tanpa ucapkan sepatah kata.

"Tunggu! Sebenarnya kau hendak kemana?" tanya Joko sambil melangkah satu tindak mendekat.

"Apa pedulimu dengan kepergianku?! Jangan-jangan kau memang disuruh orang untuk mengikuti perjalananku!"

"Jangan terus menduga yang bukan-bukan! Aku bukan suruhan orang! Aku bertanya siapa tahu kita searah. Bukankah kita bisa jalan bersama?"

"Aku tidak butuh teman! Apalagi teman pemuda setan sepertimu!"

Joko hanya bisa angkat bahu sambil gelengkan kepala. Lalu berkata. "Hem... Kalau kau tidak mau ditemani, bagaimana kalau kau sebutkan siapa dirimu?"

Masih tidak berpaling, si gadis menjawab. "Sebenarnya aku enggan memberitahukan padamu. Tapi... baiklah. Dengar baik-baik. Namaku Putri Sableng...!"

Murid Pendeta Sinting surutkan langkah saking tidak menduga. Keningnya berkerut dengan sepasang mata tak berkesip perhatikan bagian belakang tubuh si gadis. Joko tidak tahu kalau sehabis menjawab, gadis berjubah merah yang sebutkan diri Putri Sableng menahan tawa!

"Hampir tak kupercaya. Dia bercanda atau..."

"Ada lagi yang hendak kau tanyakan?!" tanya Putri Sableng tetap membelakangi.

"Benar. Kalau kau tahu, pernahkah kau mendengar seseorang yang berjuluk Cucu Dewa?"

Laksana disentak tangan setan, Putri Sableng cepat putar tubuh menghadap murid Pendeta Sinting. Sepasang matanya menatap tajam pada Joko yang masih basah kuyup dari rambut sampai kaki. "Apa hubunganmu dengan orang yang baru kau sebut?!"

"Ah. Rupanya kau kenal dengan orang itu! Aku tidak heran, kau berilmu tinggi pasti mengenalnya..." ucap Joko dengan paras cerah. Tapi murid Pendeta Sinting harus segera menerima rasa kecewa.

BAB 7

Di depannya Putri Sableng gelengkan kepala. "Kau keliru. Jangankan kenal. Dengar namanya pun baru kali ini!"

Murid Pendeta Sinting sisir rambutnya yang basah dengan jari-jari tangannya. Lalu mempererat ikatan kepalanya sambil menghela napas dalam. Setelah agak lama terdiam Joko angkat bicara lagi.

"Kau tidak berdusta? Nada ucapanmu sekilas tadi seperti memberi isyarat bahwa kau kenal dengan Cucu Dewa..."

"Aku bukan Pemuda Setan sepertimu yang suka bicara dusta!" kata Putri Sableng lalu tertawa membuat murid Pendeta Sinting sedikit dongkol.

"Sudah...? Tidak ada yang perlu kau ucapkan lagi?!"

Saking dongkolnya meski sudah menduga tidak akan tahu, Joko ajukan juga pertanyaan. "Apakah kau juga pertama ini dengar seseorang yang bergelar Iblis Rangkap Jiwa?!"

"Kau salah lagi. Yang baru kau sebut justru aku pernah mendengarnya dan tahu di mana tempat tinggalnya!"

Jawaban Putri Sableng membuat untuk kedua kalinya Joko tersurut. Wajahnya berubah seketika. Tanpa sadar dia melompat ke depan lalu berkata. "Harap kau katakan di mana aku dapat menemuinya!"

"Hem... Itu soal mudah asal kau bisa menjawab pertanyaanku!"

"Baik. Katakan apa yang hendak kau tanyakan!"

"Apa perlumu menemui Iblis Rangkap Jiwa?!"

Untuk beberapa Sama murid Pendeta Sinting tidak segera menjawab pertanyaan si gadis. Hatinya dibuncah kebimbangan. Dia baru saja mengenal orang serta belum mengetahui benar siapa adanya si gadis. Di lain pihak dia membutuhkan keterangan.

"Masih ingin menemui Iblis Rangkap Jiwa apa tidak?!" tanya Putri Sableng.

"Aku... Aku mendapat pesan dari seseorang untuk menyampaikan padanya!"

"Pesannya...?!" Putri Sableng mengejar.

"Aku tidak bisa mengatakannya padamu..."

"Hem... Begitu? Berarti aku juga tidak dapat memberi keterangan padamu!"

"Sialan betul! Bagaimana sekarang? Apa aku harus menerangkan padanya...?"

Setelah menimbang-nimbang pada akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan mengatakan apa tujuannya menemui Iblis Rangkap Jiwa meski dia berusaha tidak menerangkan dengan secara gamblang.

"Orang itu mengetahui tempat penyimpanan benda pusaka yang dipesankan orang padaku..."

"Benda pusaka. Hem... Berupa apa benda pusaka itu? Peta harta karun? Pedang atau kitab?!"

Pendekar 131 tidak menduga kalau Putri Sableng akan terus mengejar dengan pertanyaan begitu rupa hingga untuk beberapa lama dia terdiam. "Hem... Sebuah kitab. Namun aku kurang yakin akan hal itu. Karena orang yeng berpesan padaku adalah seorang saudagar kaya. Justru aku punya keyakinan benda pusaka itu berupa peta harta karun!"

"Hem... Begitu? Satu lagi pertanyaanku. Siapa orang yang menyuruhmu? Bukankah kau tadi mengatakan atas suruhan orang?!"

"Waduh. Pertanyaanmu terlalu banyak! Jangan-jangan kau tidak tahu akan orang yang kucari dan hanya berniat mengorek keteranganku!" kata Joko dengan nada agak tinggi karena makin jengkel dengan pertanyaan si gadis.

Putri Sableng tertawa panjang, membuat murid Pendeta Sinting tambah geram. Namun dia tidak bisa berbuat banyak karena saat itu dia benar-benar membutuhkan keterangan orang. "Aku tidak akan menarik ucapanku. Aku tetap akan memberitahukan di mana orang yang kau cari! Tapi jawab dulu pertanyaan terakhirku tadi!"

"Terus terang aku sendiri tidak tahu siapa nama orang yang menyuruhku! Aku hanya tahu rupanya. Dia tidak sebutkan siapa dirinya!" kata Joko berterus terang.

Mendengar jawaban Pendekar 131, Putri Sableng makin perkeras suara tawanya. Puas tertawa dia berkata. "Rupanya kau laki-laki bodoh. Menurut saja perintah orang meski tidak mengenal siapa orang itu! Meski aku tidak yakin benar dengan jawabanmu namun karena aku telah berjanji, aku akan tetap mengatakan padamu!" Putri Sableng hentikan ucapannya. Lalu meneruskan.

"Buka telinga baik-baik karena aku tidak akan mengulangi apa yang kuucapkan!"

Tanpa buka mulut, Joko pasang telinga baik-baik. Sepasang matanya menatap tajam ke dalam bola mata gadis di hadapannya. Yang dipandang menahan tawa sebelum akhirnya buka mulut berkata.

"Menurut apa yang kudengar, Iblis Rangkap Jiwa bertempat tinggai tidak jauh dari sini. Kau cukup berjalan kira-kira seribu langkah. Di sana kau akan menemukan gundukan tanah!" sambil berkata tangan Putri Sableng menunjuk ke satu arah.

Murid Pendeta Sinting tidak mengikuti tangan si gadis yang menunjuk arah. Sebaliknya dia kerutkan dahi dengan pelipis bergerak-gerak jelas menahan hawa marah. "Kesabaran ada batasnya. Jangan terus bercanda!"

"Hem... Kau mengancam?!" tanya Putri Sableng dengan mimik berubah.

"Tidak mengancam. Namun harap kau bersungguh-sungguh. Aku telah mengatakan padamu apa adanya!"

"Apa kau kira aku tidak mengatakan apa adanya, hah?!"

"Tapi jawabanmu tadi..."

"Memang itulah kenyataannya! Orang yang kau cari sudah lama mati!"

"Sialan! Kenapa kau tidak mengatakannya sedari tadi? Hem... Aku kini makin yakin kau hanya mengorek keteranganku! Karena menurut sebagian orang Iblis Rangkap Jiwa masih hidup!"

"Terserah. Yang kuketahui orang yang kau cari telah lama mati! Kalau menurut sebagian orang masih hidup, itu hak orang yang mengatakannya!"

"Busyet! Jangan-jangan kau hanya mengarang cerita"

Putri Sableng tidak angkat bicara lagi. Sebaliknya gadis berjubah merah ini balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. "Jangan harap kau bisa lari sebelum mengatakan siapa dirimu sebenarnya! Kau telah mengarang cerita dusta padaku!" seru Joko lalu ikut berkelebat mengejar, Namun terlambat. Sosok Putri Sableng telah lenyap laksana ditelan bumi. Anehnya meski sosoknya telah tidak kelihatan, namun murid Pendeta Sinting masih mendengar suaranya.

"Pemuda Setan! Aku telah mendapat keterangan Itulah sebenarnya yang kucari-cari selama ini! Hik Hik Hik...!"

"Sialan betul! Ini pelajaran bagiku. Aku tidak akan ulangi lagi tindakan konyol ini. Dan aku harus cepat cari keterangan! Karena sekarang bukan hanya aku saja yang mengetahui urusan besar ini!"

*******************

Kita tinggalkan dahulu Pendekar 131. Kita menuju ke satu tempat di kawasan Gunung Semeru. Saat itu malam telah merambat jauh. Namun karena bulan sedang purnama, lintasan bumi terlihat terang benderang. Satu sosok bayangan sulit ditangkap pandangan mata biasa terlihat berkelebat cepat menuju arah kawasan Gunung Semeru. Bayangan itu menerabas jajaran pohon dan semak belukar tinggi yang banyak tumbuh di sekitar kawasan yang menuju gunung. Jajaran pohon serta semak belukar itu sangat rimbun malah hampir tidak ada jalan setapak yang bisa dilalui.

Namun sosok yang berkelebat laksana tidak terhalang sama sekali. Sosoknya menerabas seolah berlari di jalanan biasa. Jelas siapa pun adanya sosok ini menunjukkan dia memiliki kepandaian tinggi. Ketika memasuki lamping gunung yang hanya dihiasi bongkahan-bongkahan batu besar, bayangan tadi hentikan kelebatannya. Dia tegak seraya rangkapkan kedua tangan di atas salah satu bongkahan batu.

Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih, raut wajahnya pucat. Mengenakan pakaian putih panjang. Sepasang mata orang tua ini sejurus memandang berkeliling tanpa memutar kepala. Saat lain sepasang matanya tak berkesip menatap pada satu bongkahan batu di mana di atasnya terlihat satu sosok tubuh sedang duduk bersila. Meski tidak berkata-kata, raut wajah orang tua ini sesaat tampak menunjukkan kegembiraan. Mulutnya yang terkancing sunggingkan senyum dengan kepala sedikit mengangguk.

"Hem... Nyatanya dia pantang putus asa. Hampir lima purnama dia lalui dengan tabah. Sebenarnya bukan sekarang saatnya aku berada di sini. Tapi mimpiku selama tiga hari berturut-turut kurasa bukan kembang tidur dan impian biasa..."

Orang tua yang rangkapkan kedua tangan di atas dada berucap dalam hati dengan mata masih tak berkesip pandangi sosok yang duduk di atas bongkahan batu. Namun tiba-tiba paras wajah si orang tua berubah.

"Kalau mimpiku hanya impian biasa, maka apa yang telah dia lakukan selama lima purnama ini akan sia-sia. Tapi apa boleh buat. Aku harus memutus semadinya. Aku yakin mimpiku ada artinya..."

Setelah menarik napas panjang, si orang tua buka mulut. "Gumara... Kita harus bicara. Ada sesuatu yang harus kau ketahui. Kuharap kau putuskan semadimu..."

Orang yang duduk bersila di atas bongkahan batu yang ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan, berdagu kokoh bertubuh kekar tidak bergeming. Sepasang matanya memejam rapat. Meski demikian suara si orang tua yang berdiri tegak sedikit banyak mengganggu kekhusukan semadinya. Malah daun telinga sang pemuda di atas batu yang dipanggil Gumara terlihat bergerak terangkat. Mulutnya menggerimit bergetar. Sepasang matanya yang terpejam bergerak-gerak meski tetap tidak membuka. Saat lain gerakan-gerakan halus pada anggota sang pemuda kembali terhenti, pertanda dia telah dapat atasi gangguan yang sejenak tadi sempat mengganggu. Tapi hal itu tidak berlangsung lama karena orang tua yang tegak di atas batu sejarak tujuh tombak dari tempat si pemuda bersila kembali angkat bicara.

"Gumara... Harap kau hentikan dahulu semadimu! Ada sesuatu yang harus kita bicarakan!"

Gumara tidak bergeming sedikit pun. Sepasang matanya tetap memejam rapat. Jelas kalau pemuda ini tenggelam dalam semadinya meski hal itu baru dapat dilakukan setelah menutup jalan pendengarannya. Orang tua di atas batu kerahkan tenaga dalam pada tenggorokan. Dia seakan tahu kalau Gumara menutup jalan pendengarannya. Sesaat kemudian dia buka mulut lagi. Kali ini suara si orang tua terdengar lain. Tinggi melengking jelas jika suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam untuk membongkar jalan pendengaran orang.

"Gumara! Aku datang membawa kabar baik bagimu! Kita harus bicarakan hal ini!"

Bersamaan dengan terdengarnya suara si orang tua, tubuh Gumara kelihatan bergetar. Dagunya mengembung dengan pelipis bergerak-gerak pertanda apa yang dilakukan si orang tua berhasil membongkar jalan pendengaran Gumara. Malah pemuda ini merasakan kedua telinganya laksana ditusuk dan mengiang keras! Namun Gumara tidak begitu saja segera putuskan semadinya. Si pemuda mengira apa yang didengarnya adalah gangguan yang biasa menggoda.

Namun bagaimanapun dia mencoba menutup pendengaran dan pusatkan jalan pikiran, dia tidak kuasa mengatasi. Gumara sadar bahwa kali ini dia jelas tidak mungkin bisa teruskan semadinya. Seraya menggereng marah, Gumara buka kelopak matanya. Kedua tangannya ditarik ke belakang. Bersamaan dengan berputarnya tubuh menghadap suara yang didengarnya, kedua tangannya menghantam lepaskan pukulan!

Wuutt! Wuuutt!

Dua gelombang angin deras melesat ke arah si orang tua yang tegak di atas bongkahan batu. Namun orang tua yang diserang sudah tidak kelihatan lagi di tempatnya semula hingga dua gelombang angin itu menghantam bongkahan batu di mana tadi si orang tua berdiri tegak.

Byaaaarr!

Bongkahan batu itu langsung hancur berantakan semburatkan kepingan kecil-kecil. Melihat pukulannya hanya menghantam bongkahan batu, lebih-lebih tidak ada seorang pun yang terlihat, Gumara naik pitam. Sekali lagi dia kerahkan tenaga dalamnya. Kedua telinganya dipertajam. Meski dia tidak melihat orang namun dia sadar kalau di tempat itu dia tidak berada sendirian. Tiba-tiba bibir Gumara sunggingkan senyum seringai, lalu membuka.

"Kau berani mengusikku. Kau akan tahu akibatnya!"

Belum habis suara Gumara, tubuhnya yang tetap dalam sikap duduk bersila berputar laksana baling-baling. Kejap lain sosoknya berhenti. Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam diangkat, siap menghantam ke satu arah.

"Gumara. Tahan pukulanmu!"

Gumara pentangkan sepasang matanya. Mulutnya yang terbuka hendak ucapkan kata-kata serta merta mengancing. Kedua tangannya terangkat diluruhkan. Di lain saat pemuda ini berdiri lalu melesat dan tahu-tahu telah tegak di atas bongkahan batu berseberangan sejarak tiga langkah di hadapan orang tua berpakaian putih. Pemuda ini bungkukkan sedikit tubuhnya.

"Harap Guru katakan mengapa datang sebelum waktu yang Guru tentukan!"

Meski dari nada bicaranya jelas kalau orang tua di hadapan Gumara adalah gurunya, namun nada ucapan itu seolah menegur. Si orang tua tersenyum dan seolah mengerti kenapa muridnya berucap begitu.

"Gumara... Hal ini kulakukan karena ada satu hal yang harus kita bicarakan! Aku bermimpi..."

Belum selesai si orang tua lanjutkan ucapannya, Gumara telah memotong. "Guru. Adakah kerjaku selama lima purnama harus sia-sia hanya karena sebuah mimpi?"

Lagi-lagi si orang tua tersenyum. "Muridku... Kurasa apa yang kau lakukan tidak sia-sia. Kulihat pukulanmu bertambah cepat. Daya pendengaranmu makin tajam..."

"Guru!" lagi-lagi Gumara memotong ucapan gurunya. "Dengan buyarnya semadiku sebelum waktu yang ditentukan berarti aku gagal memiliki ilmu 'Pelebur Urat" yang kau katakan itu! Itu juga berarti ilmuku tidak bertambah dan aku tetap akan jadi pecundang dalam dunia persilatan! Sementara pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 telah mendapatkan Kitab Serat Biru!"

Si orang tua gelengkan kepala. "Rupanya kau masih terpacak memikirkan pemuda berjuluk Pedang Tumpul 131 yang mengalahkanmu di Pulau Biru! Kau mungkin lupa, Gumara. Sebelum keberangkatanmu dahulu aku sudah berpesan. Kau harus dapat menerima kenyataan karena sebuah kitab diciptakan kelak hanya diperuntukkan untuk satu orang! Kau harus belajar menerima takdir bahwa bukan kau yang ditentukan untuk memiliki Kitab Serat Biru. Dan kuharap apa yang kau pelajari juga tidak untuk merebut kitab itu! Kitab Serat Biru tidak diperuntukkan bagimu, namun mungkin kau masih berjodoh dengan kitab satunya..."

Ketegangan wajah Gumara yang sedari tadi terlihat mendadak berubah. Seraya bungkukkan sedikit tubuhnya dia berkata. "Jadi itukah hal penting yang hendak kau bicarakan sampai harus membuyarkan semadiku?"

Si orang tua menjawab dengan anggukkan kepalanya. Seakan tidak sabaran, Gumara lanjutkan ucapannya. "Harap Guru terangkan kitab apa itu dan di mana beradanya!"

"Tentang kitab apa, aku sendiri tidak jelas mengetahuinya!"

Paras wajah Gumara kembali menegang. "Adalah aneh kalau Guru mengatakan tahu tentang sebuah kitab tapi tidak tahu kitab apa! Jangan-jangan Guru hanya mendengar kabar yang belum tentu kebenarannya!"

Si orang tua untuk kesekian kalinya gelengkan kepala. "Gumara. Persoalan kitab itu aku tidak mendengar dari mulut orang! Itulah sebabnya aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu!"

"Lalu apakah dari mimpi yang kau katakan tadi?" tanya Gumara menebak. Lalu lanjutkan ucapannya dengan tertawa pendek. "Barang pusaka yang didengar dari seorang tokoh dunia persilatan saja masih disangsikan kebenarannya, bagaimana mungkin hanya dari sebuah mimpi hal itu bisa dibuktikan kebenarannya?"

"Gumara. Menurutku, keterangan dari orang, siapa pun dia adanya memang kadangkala masih disangsikan kebenarannya. Tapi keterangan dalam mimpi adalah sesuatu yang gaib. Dan sering kali keterangan dalam mimpi lebih dipercaya dari keterangan orang! Apalagi mimpi itu tidak hanya sekali melainkan berkali-kali! Kukira itu sebuah isyarat kebenaran! Jika tidak, tidak sampai aku datang ke sini sebelum waktu yang kutentukan!"

Seolah masih tidak percaya dengan yang dikatakan gurunya, Gumara angkat bicara lagi. Namun kali ini dia seolah bicara pada dirinya sendiri. "Mimpi... Yang kualami, aku hanya memimpikan sesuatu yang selalu kupikirkan sebelum tidur..."

"Kau jangan menganggap segala sesuatu sama dengan apa yang kau alami, Gumara... Dan juga perlu kau ketahui, pada terakhir kalinya, aku dalam keadaan terjaga! Hal ini terjadi mungkin karena aku semula beranggapan sepertimu. Tapi... Kalau kau tidak tertarik sebaiknya aku tidak menceritakan padamu. Hanya..."

"Guru. Semadiku telah sia-sia hanya karena persoalan mimpi ini. Bagaimanapun mimpimu, harap kau katakan padaku!" sahut Gumara.

Untuk beberapa saat si orang tua terdiam. Pandangan matanya menerawang jauh. Sesaat kemudian dia berkata. "Aku merasa didatangi seseorang yang tidak jelas raut wajahnya. Yang kulihat dia mengenakan jubah panjang hitam sebatas mata kaki. Dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya menggerakkan kedua tangannya menyibakkan jubah panjangnya. Saat itulah aku melihat sebuah kitab berwarna hitam di dadanya. Setelah itu dia balikkan tubuh dan seolah-olah mencebur ke dalam sebuah tempat yang curam. Tiga hari berturut-turut dia datang dengan sikap yang sama. Pada yang terakhir kali aku dalam keadaan terjaga. Orang itu menampakkan diri lagi. Pada saat itu sebelum dia balikkan tubuh aku beranikan diri bertanya di mana dia berada. Dia tidak menjawab. Hanya setelah sosoknya tidak kelihatan, aku mendengar dia sebut-sebut namamu dan menyebut Bukit Selamangleng..."

Gumara dengarkan penuturan gurunya dengan saksama. Sementara si orang tua palingkan kepala memandang pada sang murid lalu berkata. "Aku tidak memaksamu menyelidik. Tapi adalah tindakan bodoh kalau kau menyianyiakan hal ini!"

"Guru. Aku akan tetap berangkat menyelidik. Bukan untuk mencari kitab itu, namun semata-mata ingin buktikan bahwa mimpi adalah bunga tidur!"

Mendengar ucapan muridnya, sang guru bukannya marah melainkan sunggingkan senyum dan berkata pelan. "Hati seseorang tidak mudah diduga, Gumara. Tapi aku berharap kau nanti akan menemui kenyataan! Aku harus pergi sekarang!"

"Tunggu! Apa kau tahu di mana letak Bukit Selamangleng?"

Gerakan sang guru tertahan. Masih dengan tersenyum dia menjawab. "Pergilah ke Dusun Sumbersuko. Tidak jauh dari dusun itu kau akan melihat sebuah bukit. Itulah Bukit Selamangleng. Gumara! Aku berpesan padamu kalau kau nanti menemukan kenyataan, harap kau gunakan kitab itu untuk kebaikan. Lupakan peristiwa di Pulau Biru...!"

Habis berkata begitu, si orang tua balikkan tubuh lalu sosoknya berkelebat, Gumara tengadahkan kepala. Mulutnya menyeringai. "Peristiwa Pulau Biru selamanya tidak akan kulupakan. Pendekar Pedang Tumpul 131 serta kawan-kawannya harus mampus ditanganku! Aku hampir yakin, apa yang dialami oleh Bayu Bajra adalah sebuah isyarat benar!"

Gumara tertawa panjang. "Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng! Saat kematianmu hanya tinggal tunggu waktu! Malaikat Penggali Kubur akan datang menjemputmu!"

Gumara melesat tinggalkan kawasan lamping Gunung Semeru masih dengan suara bergelak keras. Pemuda ini bukan lain adalah pemuda yang tidak berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru malah sempat dikalahkan Pendekar 131 di Pulau Biru, yakni pemuda yang bergelar Malaikat Penggali Kubur murid seorang tokoh bernama Bayu Bajra. (Lebih jelasnya tentang Gumara alias Malaikat Penggali Kubur serta gurunya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Malaikat Penggali Kubur)

********************

BAB 8

Pendekar 131 Joko Sableng melangkah dengan benak dibuncah berbagai persoalan. Di satu sisi dia mendapat keterangan dari Raja Tua Segala Dewa harus mencari orang yang berjuluk Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa yang tidak jelas di mana beradanya. Padahal dari orang itulah Kitab Hitam dapat ditemukan. Di lain pihak menurut keterangan Orang Tua yang sebutkan diri sebagai penjaga Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra, rahasia di mana beradanya Kitab Hitam berada di mahkota bersusun tiga yang kini diketahui berada di tangan Dewa Orok.

Padahal mencari Dewa Orok mungkin sama halnya dengan mencari satu jenis ikan tertentu di laut bebas. Kalaupun dapat bertemu Dewa Orok belum tentu pemuda bertangan buntung berwajah tampan itu mau memberikan mahkota yang dikatakan sebagai milik nenek moyangnya. Belum lagi dia telah telanjur mengatakan urusannya pada gadis berwajah cantik berjubah merah menyala yang sebutkan diri sebagai Putri Sableng.

Pada satu tempat murid Pendeta Sinting hentikan langkah. Mungkin karena telah, enak saja dia selonjorkan kaki seraya bersandar punggung pada sebuah gundukan tanah agak tinggi. Tangan kirinya terangkat lalu jari kelingkingnya dimasukkan ke tobang telinga. Kejap lain dia telah meringis sendiri seakan-akan melupakan urusan rumit yang dihadapi.

Namun ringisan geli murid Pendeta Sinting mendadak terputus. Sepasang matanya membeliak besar tak berkesip. Dadanya berdegup keras. Jakunnya bergerak tak teratur turun naik. Sejarak sepuluh langkah dari tempatnya duduk menggelosoh tegak seorang perempuan berwajah cantik meski usianya tidak muda. Sosoknya bahenol dengan kulit putih. Sepasang matanya bersinar. Hidungnya mencuat mancung dengan bibir merah ranum. Dia mengenakan pakaian tipis berwarna biru membuat cuatan kedua payudaranya yang membusung besar terlihat jelas. Pinggulnya padat ditingkah paha yang terpampang karena pakaian bawahnya sengaja disibakkan.

"Kapan munculnya perempuan itu? Ataukah karena aku terlalu tenggelam dengan urusanku hingga tidak mengetahui kedatangannya? Tapi sepertinya aku pernah bertemu dengan perempuan ini. Tapi di mana...?"

"Sepertinya kau sedang galau..." Si perempuan. berpakaian biru menyapa seraya sunggingkan bibirnya yang merah. Dia melangkah mendekat. Pinggulnya kelihatan bergoyang-goyang membuat mata Joko makin terbelalak.

"Sepertinya aku mengenalmu..." gumam Joko lalu bergerak bangkit.

Si perempuan terus melangkah. Tiga langkah di hadapan murid Pendeta Sinting, dia hentikan langkah. Sepasang matanya memandang pada Joko dari rambut hingga kaki. Mulutnya membuka perdengarkan suara.

"Benar, Pendekar 131. Kita sudah saling kenal. Kau ingat peristiwa di Pulau Biru beberapa waktu yang silam?"

Murid Pendeta Sinting serentak surutkan langkah. Namun sosoknya tertahan gundukan tanah di mana dia tadi bersandar.

"Kau...! Ratu Pemikat!" seru Joko. Paras wajah Pendekar 131 berubah seketika. Dadanya bergemuruh. Teringat lagi bagaimana pada beberapa tahun yang lalu perempuan dihadapannya yang tidak lain adalah seorang perempuan berparas cantik yang dikenal dengan Ratu Pemikat mengejar dirinya hingga masuk ke dalam Jurang Tlatah Perak. Namun gejolak marah di dada murid Pendeta Sinting perlahanlahan sirna ketika Ratu Pemikat tunjukkan wajah murung sembari berkata.

"Pendekar 131. Aku memang telah berbuat kesalahan padamu. Untuk itulah aku sengaja mencarimu. Aku ingin menebus dosa yang pernah kulakukanl. Hari ini aku bisa jumpa. Sekarang aku pasrah. Lakukanlah apa yang kau mau..." Ratu Pemikat tundukkan kepala. Kedua tangannya saling meremas. Joko menarik napas panjang. Mulutnya terkancing tidak ucapkan sepatah kata.

"Aku telah berjanji. Kalau kau tidak bersedia melakukan hukuman padaku, aku akan melakukannya sendiri di hadapanmu!"

Bersamaan dengan itu kedua tangan Ratu Pemikat terangkat ke atas. Kejap lain kedua tangan itu menghantam kearah kepalanya sendiri! Karena hantaman itu bukan hantaman biasa, pasti sekali hantam kepala itu akan retak. Apalagi Ratu Pemikat diketahui adalah seorang yang punya kepandaian. Sejengkal lagi kepala Ratu Pemikat terhantam sendiri oleh kedua tangannya, dua tangan lain tampak berkelebat membuat gerakan kedua tangan Ratu Pemikat tertahan.

"Sudahlah... Aku telah melupakan peristiwa itu!"

Ratu Pemikat angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang tajam ke dalam bola mata murid Pendeta Sinting yang baru saja menahan gerakan kedua tangannya. "Benar ucapanmu? Jangan hanya di mulut tapi di hati masih menyimpan dendam padaku..." kata Ratu Pemikat dengan suara lirih.

Pendekar 131 tersenyum seraya gelengkan kepala. "Kau memang berbuat kesalahan, tapi tanpa hal itu mungkin aku tidak jadi begini!"

"Terima kasih kalau kau mau memaafkan diriku. Kini hatiku tenteram..."

Habis berkata begitu, Ratu Pemikat pandang sekali lagi pada murid Pendeta Sinting. Tanpa berkata apa-apa lagi perempuan bertubuh bahenol ini putar diri. "Aku harus segera pergi..."

Sesaat Pendekar 131 terdiam. Sepasang matanya mendelik memandang pada pinggul Ratu Pemikat yang kencang menantang. "Hendak ke mana kau?" akhirnya Joko bertanya setelah Ratu Pemikat melangkah lima tindak. Namun matanya tidak juga beranjak dari pinggul si perempuan.

"Berbulan-bulan aku mencarimu. Tujuanku kau telah tahu. Sekarang semuanya sudah selesai. Aku ingin mencari tempat untuk tenangkan diri."

Ratu Pemikat balikkan tubuh lalu lanjutkan ucapannya. "Kau sendiri mau ke mana? Kulihat wajahmu seperti cemas dan bingung!"

Mungkin karena tidak mau bertindak ceroboh seperti saat bertemu dengan gadis berjubah merah, murid Pendeta Sinting gelengkan kepala seraya tertawa. "Aku bingung memikirkan bagaimana kita mendadak bisa berjumpa lagi! Padahal sebelumnya tidak terlintas hal ini akan terjadi..."

Ratu Pemikat tersenyum. Dia lalu melangkah kembali mendekat ke arah Joko. Kali ini tampak Ratu Pemikat busungkan dadanya yang besar, hingga sesaat membuat murid Pendeta Sinting membeliak. "Sebentar lagi matahari akan terbenam. Apa kau masih akan tetap berada di sini?" sambil berkata, kepala Ratu Pemikat mendongak. Saat itu hamparan langit memang mulai menguning pertanda sebentar lagi matahari akan tenggelam.

Melihat Joko tidak menjawab pertanyaannya, Ratu Pemikat arahkan kepala pada murid Pendeta Sinting. "Sebagai tanda persahabatan kita kembali, bagaimana kalau kita jalan bersama mencari tempat yang lebih baik?"

Bersamaan dengan selesainya ucapan Ratu Pemikat, Joko merasakan dadanya sesak. Sekilas pandangannya berubah menghitam laksana ada kabut tipis yang menghalangi pandangan matanya. Tapi cuma sekejap. Kejap lain kembali seperti sediakala. Pendekar 131 kerutkan kening. Belum selesai berpikir apa yang baru saja terjadi, Ratu Pemikat telah pegang lengannya.

"Kau tampak sangat letih. Kalau kau tidak mau berjalan bersama, bagaimana kalau kau kutemani di sini? Kau tak keberatan bukan?" Bibir Ratu Pemikat sunggingkan senyum. Matanya mengerling. Entah sengaja atau tidak perempuan ini lalu tempelkan dadanya pada lengan Joko membuat murid Pendeta Sinting merasakan hangatnya dada sang Ratu.

Entah karena apa meski dalam hatinya telah bermaksud menolak apa yang dikatakan Ratu Pemikat tapi kepalanya sebaliknya mengangguk. Malah kedua tangannya segera bergerak merengkuh tubuh bahenol di sampingnya dan kepalanya serentak menyorong ke depan. Kejap lain diciuminya wajah Ratu Pemikat.

Ratu Pemikat sejenak mengeluh perlahan. Kedua tangannya merangkul tubuh Pendekar 131 yang terus menciumi wajah dan lehernya. Tapi tiba-tiba Ratu Pemikat tarik kepalanya menjauh. Bersamaan dengan itu dia berbisik. "Ke mana sebenarnya tujuanmu, Pendekar?"

Walau hatinya tidak mau menjawab, anehnya laksana ada satu kekuatan hebat yang membuatnya buka mulut meski kepalanya terus menyusup ke leher Ratu Pemikat. "Aku harus menemui orang berjuluk Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa."

"Kalau kau terlihat cemas dan tegang tentu kau punya urusan sangat pehting dengan manusia bergelar Cucu Dewa. dan Iblis Rangkap Jiwa..." ujar Ratu Pemikat lalu dekatkan wajahnya ke depan. Tangannya perlahan-lahan meraba bagian perut murid Pendeta Sinting.

"Lebih dari penting!" kata Joko seolah tidak sadar. Malah dia seakan tidak merasa bagaimana kedua tangan Ratu Pemikat merabaraba bagian perutnya. Yang dirasakan saat itu adalah getaran-getaran halus kedua tangan Ratu Pemikat yang membuat dadanya makin berdebar dan gejolaknya makin menggelegak.

"Hem... Urusan apakah sebenarnya?" tanya Ratu Pemikat. Wajah perempuan ini tampak berubah. Bukan karena Joko terus menciuminya melainkan karena dia tidak menemukan apa-apa di balik pakaian murid Pendeta Sinting.

"Heran. Di mana dia menyimpan kitab itu? Apa mungkin kitab sakti disimpan di satu tempat? Yang terasa cuma senjata pedangnya..."

Masih laksana didorong kekuatan luar biasa, Joko jawab pertanyaan Ratu Pemikat. "Menurut seseorang ada sebuah Kitab Hitam yang berisi ilmu luar biasa. Aku harus menemukan dan memusnahkan kitab itu. Sementara orang yang tahu beradanya Kitab Hitam itu adalah orang yang bergelar Iblis Rangkap Jiwa..."

Ratu Pemikat lingkarkan kembali kedua tangannya ke pinggang murid Pendeta Sinting. Lalu membelai punggungnya seraya berbisik. "Lalu apa hubungannya dengan orang yang kau sebut Cucu Dewa?"

"Iblis Rangkap Jiwa adalah seorang manusia sakti. Dia tidak mungkin begitu saja mengatakan di mana beradanya Kitab Hitam. Malah tidak mustahil dia akan membunuh siapa saja yang menanyakan kitab itu. Hanya ada satu orang yang mengetahui kelemahannya. Dia adalah Cucu Dewa..."

Sepasang mata Ratu Pemikat membelalak. Bibirnya tersenyum. "Kalau dia ditugaskan mencari sekaligus memusnahkan kitab itu, pasti kitab itu lebih hebat dari Kitab Serat Biru. Hem... Tak dapat Kitab Serat Biru tidak apa-apa... Tentu yang ini lebih dahsyat... Aku harus terus mengorek. Ilmu 'Penyalur Suara' dan rangsangan itu masih cukup sebelum dia sadar..."

"Kau tahu di mana orang yang berjuluk Cucu Dewa serta Iblis Rangkap Jiwa itu?" tanya Ratu Pemikat Seraya angkat kedua tangannya lalu sibakkan pakaian bagian atasnya hingga sepasang payudaranya terlihat jelas tanpa penutup.

Sepasang mata murid Pendeta Sinting mendelik seperti silau melihat payudara putih besar dan padat. Kepala Joko turun ke bawah. Namun begitu sampai di belahan dada Ratu Pemikat, perempuan ini tarik tubuhnya seraya berbisik pelan.

"Katakan dahulu di mana tempat Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa...!"

Seakan tidak sabaran, murid Pendeta Sinting tarik kedua tangannya yang merangkul pinggang Ratu Pemikat, hingga tak ampun lagi tubuh Ratu Pemikat terdorong ke depan. Dadanya tepat ke wajah murid Pendeta Sinting!

"Aku tidak tahu di mana adanya dua orang itu! Justru itulah yang selama ini menjadi pikiranku..." ujar Joko tekapkan wajahnya ke dada Ratu Pemikat.

"Kau tidak berdusta?" tanya Ratu Pemikat meski dia yakin Joko tidak bisa berkata dusta sebab dia telah terbius ilmu 'Penyalur Suara'.

"Aku bicara apa adanya!" jawab Joko lalu kembali benamkan wajahnya.

"Hem... Sebenarnya aku bisa saja membunuhnya saat ini. Tapi aku tidak akan melakukan hal itu. Aku akan membunuhnya setelah dia berhasil mendapatkan Kitab Hitam itu karena siapa tahu aku gagal menemukan Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa..." kata Ratu Pemikat dalam hati.

Perempuan ini angkat tangan kirinya. Kejap lain tangan itu bergerak mengelus tengkuk murid Pendeta Sinting. Bersamaan dengan itu Pendekar 131 rasakan kedua lututnya goyah. Kepalanya laksana diputar-putar. Saat lain pemandangannya menghitam. Ketika Ratu Pemikat tarik pulang tangan kirinya, sosok Joko melorot jatuh. Ratu Pemikat tertawa panjang. Dengan cepat dia bergerak jongkok. Lantas memeriksa jalan pernapasan Joko. Setelah merasa pasti bahwa Joko dalam keadaan tidak sadar maka kedua tangannya membuka pakaian yang dikenakan murid Pendeta Sinting.

Perempuan berwajah cantik bertubuh bahenol itu menarik napas panjang. "Kitab itu memang tidak dibawa. Tentu disimpan di satu tempat. Hem... Tapi aku tidak begitu kecewa. Kitab Hitam pasti lebih hebat dari Kitab Serat Biru..." kata Ratu Pemikat berujar pada diri sendiri. Sepasang matanya memandangi sekujur tubuh murid Pendeta Sinting. Matanya lalu menumbuk pada Pedang Tumpul 131. Tangannya bergerak menjulur, tapi tiba-tiba diurungkan. "Sementara ini aku harus menunjukkan sikap baik padanya. Lagi pula dia tidak akan ingat apa yang dilakukan dan diucapkan..."

Sekali lagi Ratu Pemikat menghela napas. Lalu kedua tangannya kembali menjulur ke arah sosok murid Pendeta Sinting. Bukan untuk mengambil Pedang Tumpul 131 melainkan membuka pakaiannya!

"Sebenarnya sayang menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Dia seorang pemuda tampan dan berotot. Tapi ilmu 'Penyalur Suara' dan bius rangsangsn itu akan buyar kalau aku ikut terangsang... Sial betul nasibku. Aku bisa membuat orang terangsang dan mengucapkan apa yang kutanya tanpa sadar tapi pantangannya aku harus tidak boleh hanyut dalam rangsangan itu! Gila betul! Padahal aku sudah hampir gila menahan keinginan itu! Tapi ah... Semuanya akan segera selesai kalau aku telah mendapatkan apa yang kuinginkan..."

Habis berkata begitu, Ratu Pemikat dekatkan wajahnya ke wajah murid Pendeta Sinting. Bibir Joko diciumnya namun tubuh perempuan cantik ini terlihat bergetar keras coba menahan agar dirinya tidak terangsang! Ratu Pemikat bergerak bangkit seraya rapikan pakaiannya. Memandang sejurus pada sosok murid Pendeta Sinting, lalu sembari menarik napas panjang dia meninggalkan tempat itu.

********************

BAB 8

Ketika malam hampir berujung dan udara dini hari dingin menusuk tulang, sosok murid Pendeta Sinting yang tampak basah tersiram embun dini hari terlihat bergerak menggeliat Dari mulutnya terdengar keluhan pendek. Perlahan-lahan sepasang kelopak matanya membuka. Sejenak dia mengerjap. Setelah terbiasa dengan suasana dia edarkan pandangannya berkeliling. Tidak ada orang lain di situ.

"Apa yang terjadi dengan diriku?" desis Joko dengan kening berkerut seolah hendak mengingat apa yang dialaminya. "Aku jumpa dengan Ratu Pemikat lalu sepertinya aku menciumi wajahnya. Setelah itu... Aku tidak ingat lagi!"

Murid Pendeta Sinting sekali lagi arahkan pandangannya berkeliling. "Kemana dia? Jangan-jangan dia sembunyi..." Joko bergerak bangkit. Namun mendadak dia tercekat dan buru-buru urungkan niat untuk bangkit berdiri. Wajahnya kontan berubah merah padam. Dadanya berdebar.

"Apa yang kulakukan? Aku... aku telanjang!" Dengan dada masih dipenuhi berbagai tanya dia cepat mengenakan pakaiannya. Kejap lain dia berkelebat berkeliling di sekitar tempat itu. Namun dia tidak menemukan Ratu Pemikat.

"Astaga! Kenapa aku sampai berbuat..." Joko tidak lanjutkan ucapannya. Dia duduk terpekur seraya mengingat-ingat. Namun bagaimanapun dia coba pusatkan pikiran untuk mengingat, dia gagal.

"Ah... Apa yang harus kukatakan jika suatu saat kelak jumpa dengannya? Namun tampaknya dia benar-benar telah berubah. Seandainya mau dia mudah saja mengambil pedangku bahkan membunuhku! Tapi anehnya mengapa aku tidak ingat apa-apa lagi? Apakah karena..."

Sekonyong-konyong di tempat itu terdengar suara orang tertawa bergelak. Joko putuskan membatinnya. Laksana disentak setan kepalanya berpaling ke arah datangnya suara tawa.

"Jangan-jangan perbuatanku tadi diintip orang! Wah, bisa celaka! Di mana mukaku mau kutaruh? Sialan betul!"

Sejarak tiga tombak dari tempatnya duduk, tampak satu sosok besar duduk memunggungi. Kepalanya tidak kelihatan karena orang ini sengaja sembunyikan kepalanya dengan merunduk. Murid Pendeta Sinting beranjak bangkit lalu melangkah dengan sikap waspada. Karena keadaan masih agak gelap, Joko tidak bisa melihat warna pakaian orang. Yang jelas terlihat orang itu bertubuh besar hingga kalau tidak perdengarkan suara tawa, orang pasti akan menduga sosok itu adalah bongkahan batu. Mungkin karena khawatir, Joko hentikan langkah agak jauh lalu berkata.

"Dini hari begini, apa yang kau lakukan di situ?" Pertanyaan murid Pendeta Sinting jelas ingin menyelidik keberadaan orang. Dia agaknya masih merasa was-was kalau orang itu mengetahui apa yang diperbuatnya dengan Ratu Pemikat.

Orang yang ditanya tidak segera menjawab, sebaliknya tertawa panjang membuat Joko tidak enak. Paras wajahnya sudah berubah merah padam dan tegang. "Kau manusia atau sebangsa hantu?" tanya Joko karena sudah merasa kebingungan tak tahu apa yang harus ditanyakan.

Kembali orang yang ditanya hanya menjawab dengan kekehan tawa. Tapi sesaat kemudian terdengar suaranya. Meski begitu kepalanya masih dibenamkan.

"Mana ada hantu yang bisa tertawa cekakakan? Dan biasanya hantu yang menampakkan diri pada seorang pemuda adalah hantu wanita cantik bertubuh sintal. Aku memang sintal, tapi jauh dari cantik!" Habis berkata, kembali orang ini tertawa bergelak.

Kaki murid Pendeta Sinting tersurut. Sepasang matanya memandang tak berkesip. Wajahnya makin me-negang. "Jangan-jangan dia tahu apa yang baru saja kulakukan! Benar-benar sial!" ujarnya dalam hati lalu berkata. "Kalau kau sebangsa manusia mengapa takut tampakkan wajah?"

"Aku bukannya takut, tapi terus terang aku merasa malu! Apa kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?"

Pertanyaan orang membuat Joko makin penasaran. Cepat dia balik bertanya. "Kau tahu aku melakukan pekerjaan apa?!"

"Aku malu mengatakannya! Jawab saja selesai apa belum?!"

Mungkin untuk mempercepat urusan, Joko buka mulut menjawab. "Aku sudah selesai! Apa sekarang kau masih merasa malu menunjukkan muka?"

Joko tidak tahu kapan orang itu baiikkan tubuh. Yang jelas orang itu telah menghadap ke arahnya dengan kepala sedikit didongakkan. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih di-sanggul ke atas. Sepasang matanya hanya kelihatan putih, pertanda jika orang tua ini buta. Pada pinggangnya yang besar tampak melilit sebuah ikat pinggang besar yang di tengahnya terlihat sebuah benda berkilat berbentuk bundar.

"Gendeng Panuntun!' seru Joko dengan suara bergetar. Kakinya serentak tersurut satu tindak. Raut mukanya makin tegang. Mulutnya seketika mengancing rapat. Sepasang matanya mendelik besar.

Orang bertubuh besar berikat pinggang besar yang di bawah perutnya tampak sebuah benda bundar berkilat yang tidak lain adalah sebuah cermin gerakkan kedua tangannya mengusap cerminnya lalu berkata. "Syukur kau masih mengenaliku, Anak Muda! Aku khawatir kau tidak ingat lagi..."

Setelah agak lama terdiam dan dapat kuasai diri, murid Pendeta Sinting melangkah maju. Meski dia coba sembunyikan ketegangan raut wajahnya namun jelas wajahnya masih menunjukkan rasa khawatir. Apalagi selama ini dia mengetahui kehebatan orang di hadapannya yang bukan lain memang Gendeng Panuntun seorang tokoh rimba persilatan yang memiliki ilmu aneh. Dia seakan bisa melihat dan menebak orang meski matanya buta.

"Kek! Aku membutuhkan keteranganmu" kata Joko sengaja alihkan pembicaraan.

Gendeng Panuntun usap cerminnya. Sepasang matanya yang putih mengerjap. Lalu berkata. "Urusanmu adalah urusan besar, Joko. Terus terang dalam hal ini aku tidak bisa memberi keterangan apa-apa! Kalaupun bisa, keteranganku pasti sama dengan apa yang pernah kau dengar!" Pendekar 131 sedikit merasa lega karena Gendeng Panuntun segera menyambuti pertanyaannya. Dia terus mendekat lalu berkata lagi.

"Tapi mungkin kau bisa menambah sedikit keterangan yang kuperoleh!"

Gendeng Panuntun gelengkan kepalanya. "Barang hitam layaknya kau tanyakan pada orang hitam. Padahal aku bukan orang hitam meski tidak putih mulus!"

"Tapi setidaknya kau tahu di mana orang yang kini sedang kucari!"

"Hem... Orang perempuan apa laki-laki?"

"Tidak jelas bagiku. Yang kutahu dia bernama Cucu Dewa. Menurut keterangan yang kuperoleh, meski dia dari golongan hitam namun kadangkala berpihak pada orang putih. Jadi pasti kau dapat mengetahuinya!"

Gendeng Panuntun usap cerminnya sebelum akhirnya berkata. "Aku melihat kuil di arah matahari muncul. Di hadapannya terbentang hamparan air bergelombang besar..." Gendeng Panuntun hentikan ucapannya lalu hadapkan kepalanya lurus ke arah Pendekar 131.

"Arah matahari muncul... berarti arah timur. Bentangan air bergelombang besar... Jangan-jangan aku harus menuju pantai sebelah timur! Hem..." Joko berpikir apa yang baru saja diucapkan Gendeng Panuntun.

"Hanya itu mungkin yang bisa kukatakan padamu, Anak Muda! Soal apa maknanya tentu kau sendiri yang mengartikannya!"

Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun bangkit. "Kalau kau sudah bisa menebak, lebih cepat bergerak kukira lebih baik. Karena kurasa saat ini bukan hanya kau saja yang sedang menyelidik. Gadis cantik berjubah merah serta perempuan bertubuh sintal juga sedang mencari keterangan untuk ke sana. Lalu ada seorang lagi..."

Wajah Joko kembali merah padam. "Bagaimana mungkin Ratu Pemikat tahu urusan ini? Padahal aku tidak mengatakan apa-apa padanya!" kata Joko dalam hati seraya pandangi lekat-lekat paras Gendeng Panuntun.

Gendeng Panuntun tersenyum. "Kau harus waspada pada setiap orang! Di sebelah barat sana kurasa ada sebuah sungai. Cepatlah kau ke sana! Basuh mukamu berulang kali..."

"Kek! Aku tidak mengerti maksudmu..."

"Mendekatlah kemari..."

Meski dengan benak masih bertanya-tanya, Joko lakukan apa yang dikatakan Gendeng Panuntun. "Bungkukkan sedikit tubuhmu dan hadapkan wajahmu di cermin ini!" kata Gendeng Panuntun begitu murid Pendeta Sinting telah tegak di hadapannya.

Meski masih tidak mengerti dengan maksud si orang tua, Joko bungkukkan tubuh dan hadapkan wajahnya berkaca pada cermin yang berada di perut Gendeng Panuntun. Meski saat itu matahari belum muncul, anehnya Joko dengan jelas dapat berkaca. Begitu kaca bundar itu pantulkan wajahnya, serentak Joko tercekat. Tampangnya berubah. Laksana kilat kedua tangannya bergerak mengusap beberapa warna merah yang belepotan di wajahnya.

"Sial! Ini pasti pewarna di bibir Ratu Pemikat!" gumam Joko seraya menarik wajahnya dari hadapan cermin Gendeng Panuntun.

Gendeng Panuntun tertawa panjang. "Kurasa masih belum cukup, Anak Muda. Tubuhmu masih bau perempuan!"

Selesai berucap begitu kembali Gendeng Panuntun tertawa panjang. Murid Pendeta Sinting tarik bagian bawah pakaian atasnya lalu diusap-usapkan pada wajahnya. Mendadak suara tawa Gendeng Panuntun terputus laksana direnggut setan. Pendekar Pedang Tumpul 131 palingkan kepala. Ternyata sosok Gendeng Panuntun tak ada lagi di tempat itu. Joko arahkan kepalanya jauh ke sebelah kanan. Samar-samar terlihat sosok Gendeng Panuntun melangkah perlahan jauh di sebelah depan sana. Murid Pendeta Sinting mendongak. Di ufuk sebelah timur cahaya kekuningan telah menyemaraki hamparan langit.

"Daripada ditertawai orang, memang lebih baik aku mencari sungai dan mandi! Syukur-syukur kalau di sana kutemui lagi gadis sedang mandi!"

********************

BAB 10

Hanya memerlukan perjalanan dua hari dua malam Gumara alias Malaikat Penggali Kubur sampai di Dusun Sumbersuko. Pemuda murid Bayu Bajra ini segera teruskan perjalanan ke arah timur, di mana dari Dusun Sumbersuko julangan bukit yang diyakininya adalah Bukit Selamangleng telah terlihat. Namun begitu, Malaikat Penggali Kubur tidak segera langsung menuju ke arah bukit. Dia sadar, dalam urusan besar ini dia harus bertindak waspada. Setiap langkah telah diperhitungkan dengan matang. Dia sengaja menempuh jalan berputar. Begitu berada di sebelah utara bukit dan setelah menyiasati keadaan, pemuda ini segera bergerak cepat mendaki bukit.

Saat mendaki pun Malaikat Penggali Kubur tetap waspada. Sesekali dia menyelinap ke balik pohon dan ranggasan semak belukar. Sepasang matanya liar memandang berkeliling dan ke bawah. Setelah merasa aman baru dia teruskan perjalanan mendaki. Ketika sepasang kakinya menginjak puncak bukit, dia cepat edarkan pandangannya berkeliling. Kedua tangannya digerak-gerakkan siap lakukan pukulan. Namun kedua tangannya segera diluruhkan saat menyadari di puncak bukit tidak ada orang lain.

Malaikat Penggali Kubur tidak begitu langsung percaya dengan perasaannya. Dia berkelebat mengitari puncak bukit. Sesekali kepalanya mendongak menembusi rindang daun pohon yang ada di situ. Setelah agak lama dia memang tidak menemukan orang, pemuda ini mondar-mandir di puncak bukit dengan wajah membesi. Rahangnya menggembung. Urat-urat lehernya bersembulan keluar pertanda dadanya dirasuki hawa amarah.

"Keparat betul! Jangan-jangan ucapan guru omong kosong belaka! Jangankan orang, bekasnya pun tidak ada di tempat ini! Padahal aku yakin ini Bukit Selamangleng! Dasar tua bangka yang percaya pada mimpi!"

Meski dia menyumpah-nyumpah begitu, namun sepasang matanya terus mengawasi keadaan sekeliling. Malah tak jarang sepasang kakinya menghentak-hentak di atas tanah dengan harapan siapa tahu orang yang dicari memiliki tindak tanduk aneh dengan bertempat di dalam tanah. Namun sejauh ini apa yang dilakukan tidak membawa hasil, membuat wajahnya makin membesi.

"Jahanam! Gara-gara menuruti mimpi gila, semadiku selama lima purnama sia-sia! Atau jangan-jangan Guru hanya mengarang cerita padahal sebenarnya dia tidak ingin aku menguasai ilmu 'Pelebur Urat'! Sialan benar! Aku telah ditipu! Akan ku..."

Laksana dicabut setan, Malaikat Penggali Kubur putuskan gumamannya. Sepasang matanya mendelik angker. Mulutnya menganga. Sejarak tujuh langkah dari tempatnya berdiri, sebuah batu agak besar terlihat bergerak-gerak keluarkan suara berkeretakan. Saat lain batu itu terangkat. Lalu tampaklah sebuah tangan hitam. Namun bukan tangan itu yang membuat Maiaikat Penggali Kubur makin terbeliak. Ternyata terangkatnya batu besar itu hanya dengan telunjuk! Belum lenyap rasa kejutnya, telunjuk yang menopang batu bergerak.

Blaarrr!

Batu itu serta merta hancur berantakan. Sosok Malaikat Penggali Kubur tersurut satu tindak. Tubuhnya bergetar. Belum sempat dia kuasai diri, tanah pijakan-nya bergetar keras.

Byaarrr!

Tanah di bawah mana tadi batu berada muncrat ke udara. Puncak Bukit Selamangleng laksana dilanda gempa dahsyat. Sosok Malaikat Penggali Kubur ter-jengkang. Namun pemuda ini tetap waspada. Dia tidak berani pejamkan mata. Malah cepat salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya lalu bergerak bangkit. Bersamaan dengan muncratnya tanah, satu sosok tubuh melesat dari dalam tanah. Kejap lain di hadapan Malaikat Penggali Kubur telah tegak satu sosok tubuh seraya perdengarkan tawa bergelak keras.

Tahu isyarat bahaya, Malaikat Penggali Kubur cepat tutup pendengarannya dengan salurkan hawa murni. Anehnya suara tawa orang yang kini tegak di hadapannya tetap terngiang keras menusuk gendang telinga! Pertanda siapa pun adanya orang itu pasti memiliki tenaga dalam luar biasa. Mungkin tak dapat kuasai rasa sakit pada pendengarannya, Malaikat Penggali Kubur angkat kedua tangannya untuk menutup kedua telinganya. Dan dengan beranikan diri, dia menatap lekat-lekat pada orang yang tertawa.

Dia adalah seorang laki-laki berwajah amat cekung. Malah raut wajahnya hanya terdiri dari tulang-tulang tanpa daging. Sepasang matanya besar menjorok keluar. Mulutnya lebar dengan kepala tanpa ditumbuhi rambut. Pakaiannya compang-camping dan dilumuri bercak-bercak tanah.

"Apakah... Siapakah kau?!" tanya Malaikat Penggali Kubur dengan suara laksana tercekat di tenggorokan. Orang di hadapan Malaikat Penggali Kubur putuskan tawanya. Sepasang matanya yang besar berputar liar. Mulutnya membuka. Suara keras.

"Tak ada jawaban yang bakal kau peroleh kecuali kematian!"

Habis berkata begitu, laki-laki yang keluar dari dalam tanah bantingkan kaki kanannya. Malaikat Penggali Kubur tersentak. Sosoknya langsung mencelat ke udara! Lalu jatuh bergedebukan di atas tanah puncak bukit dengart perdengarkan erangan pelan.

"Mimpi Bayu Bajra benar-benar terbukti! Tapi kalau begini kenyataan yang kudapat lebih baik aku tidak kemari! Ancaman manusia ini tampaknya tidak main-main! Daripada mati konyol, padahal dendamku pada Pendekar 131 belum lunas. Lebih baik...." Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur memandang berkeliling. Diam-diam dia kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnnya. Kejap lain dia bergerak bangkit lalu berkelebat menuruni bukit.

"Kau kira dapat lolos dari kematian, hah?!" kata laki-laki dari dalam tanah. Tangan kanannya bergerak ke belakang. Di depan sana sosok Malaikat Penggali Kubur yang berkelebat hendak menuruni bukit laksana ditarik kekuatan dahsyat. Sosoknya kini berkelebat lebih cepat. Bukan turun ke bawah melainkan ke tempat mana laki-laki dari dalam tanah tegak berdiri.

Bukkkk!

Tubuh Malaikat Penggali Kubur terkapar tepat di kaki laki-laki dari dalam tanah. Tangan kiri laki-laki terangkat ke atas. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur terbelalak. Kalau bantingan kakinya mampu membuat tubuhnya mencelat, Malaikat Penggali Kubur bisa membayangkan bagaimana kalau tangan laki-laki ini menghantam. Berpikir sampai di situ akhirnya Malaikat Penggali Kubur hanya bisa berteriak seraya silangkan kedua tangannya di atas kepala meski dia tidak percaya apa yang dilakukan dapat menyelamatkan nyawanya.

"Aku kecewa menuruti mimpi gila itu!" kata Malaikat Penggali Kubur dengan beliakkan sepasang matanya menunggu kematian.

Mendadak laki-laki di atasnya tarik pulang tangan kirinya yang tadi siap lancarkan pukulan. Dari balik kedua tangannya yang menyilang, Malaikat Penggali Kubur kernyitkan kening. Kalau tadi dia sudah merasa darahnya laksana sirap dan nyawanya sudah pulang, kini wajah si pemuda tampak berubah meski ketegangan masih tergurat.

"Mengapa dia urungkan niat membunuhku? Apa karena ucapanku tadi? Atau jangan-jangan dia hanya menunda kematianku..."

"Katakan padaku, bagaimana mimpimu!" Tiba-tiba laki-laki dari dalam tanah ajukan tanya. Sepasang matanya yang besar tak berkesip menatap. Sesaat Malaikat Penggali Kubur tertegun. Seakan tidak percaya akan apa yang didengar, untuk beberapa lama dia terdiam tidak segera menjawab.

"Kau tidak tuli. Lekas jawab pertanyaanku!" hardik si laki-laki.

"Aku.... Bukan aku yang bermimpi. Tapi guruku!"

"Aku tanya bagaimana mimpi itu! Tidak peduli setan atau manusia yang bermimpi!"

Malaikat Penggali Kubur perlahan-lahan bergerak duduk. Lalu berkata. Suaranya bergetar. Malah dia tidak berani membalas pandangan orang. "Dia bermimpi didatangi seorang berjubah panjang sebatas mata kaki. Orang itu sebutsebut namaku dan sebut Bukit Selamangleng. Setelah itu dia laksana mencebur ke satu tempat yang dalam..."

"Hem... Siapa namamu?!"

"Malaikat Penggali Kubur!" Tulang laki-laki dari dalam tanah di seluruh wajahnya bergerak-gerak. Sepasang matanya makin melotot. "Kau jangan berkata dusta!"

Seakan tahu apa yang dimaksud orang, buru-buru Malaikat Penggali Kubur menyahut. "Namaku sebenarnya Gumara..."

"Berdiri! Cepat!" sentak si laki-laki.

Gumara alias Malaikat Penggali Kubur beringsut bangkit dengan tubuh masih bergetar. Dadanya dibuncah dengan berbagai tanya akan keanehan si laki-laki.

"Dengar, Gumara! Kau manusia beruntung. Kaulah manusia yang dinantikan! Turunlah ke bawah. Di sebelah utara bukit ini ada sebuah jurang. Lakukan seperti yang terlihat dalam mimpi!"

Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur terbelalak. Hampir tak percaya dengan apa yang didengar dia bergumam. "Aku...?!"

"Kalau kau bertanya lagi, jawabanmu adalah kematian! Kau mengerti?!"

Malaikat Penggali Kubur anggukkan kepala. Sebenarnya dia hendak bertanya siapa adanya laki-laki di hadapannya. Namun ingat akan ancaman orang pada akhirnya dia hanya bisa pandangi laki-laki di depannya dengan mulut terkancing.

"Kau tunggu apa lagi?!"

"Boleh aku tahu siapa kau...?!" akhirnya Malaikat Penggali Kubur beranikan diri ajukan tanya setelah ta-bahkan hati. Dia sengaja ajukan tanya karena sebenarnya dia masih sangsi dengan ucapan orang. Dia khawatir kalau laki-laki itu hanya hendak menjerumuskan dirinya. Karena ucapannya mengisyaratkan bahwa dirinya harus terjun masuk ke dalam jurang.

Sesaat sepasang mata laki-laki dari dalam tanah mendelik. Namun saat lain mulutnya membuka. "Rimba persilatan menggelariku iblis Rangkap Jiwa. Akulah gerbang yang harus dilalui bagi orang yang ditentukan untuk mewarisi Kitab Hitam itu! Mimpi dan namamu telah menunjukkan bahwa kaulah orang yang ditunggu!"

Mendengar ucapan laki-laki yang sebutkan diri sebagai Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat Penggali Kubur bungkukkan tubuh. Bibirnya sunggingkan senyum. Sepasang matanya berbinar. "Aku akan menuju tempat yang kau tunjuk..." ucap Malaikat Penggaii Kubur lalu pemuda murid Bayu Bajra ini melangkah menuruni bukit.

Iblis Rangkap Jiwa pandangi sosok Malaikat Penggali Kubur dengan senyum seringai. Kepalanya mengangguk. Saat lain sosoknya melesat dan hinggap di sebuah cabang pohon dengan mata tak berkesip mengikuti sosok Malaikat Penggali Kubur.

********************

BAB 11

Malaikat Penggali Kubur tidak kesulitan ke tempat yang ditunjuk Iblis Rangkap Jiwa. Dia menemukan sebuah jurang di sebelah utara Bukit Selamangleng.

"Hem... Kalau benar apa yang dikatakan Iblis Rangkap Jiwa dan aku benar-benar berhasil mendapatkan Kitab Hitam yang dikatakannya, tak ada salahnya kelak dia kujadikan sebagai pembantuku. Dia memiliki kesaktian luar biasa. Kalau dia memiliki kesaktian begitu dahsyat, pasti Kitab Hitam itu lebih luar biasa lagi. Aku akan jadi raja dunia persilatan!" gumam Malaikat Penggali Kubur seraya hentikan langkah di bibir jurang. Kepalanya memandang berkeliling. Lalu melongok ke bawah. Mendadak dia bergidik seraya tarik pulang kepalanya.

"Gila! Jurang ini bukan hanya dalam namun juga banyak pohon merambat di samping kanan kirinya. Apa mungkin aku bisa selamat sampai di bawah? Atau apakah mungkin Kitab Hitam itu tersimpan di bawah sana...?"

Sesaat Malaikat Penggali Kubur dilanda kebimbangan. Namun mengingat mimpi gurunya serta ucapan Iblis Rangkap Jiwa, kembali keberaniannya muncul. Namun ketika kepalanya melongok lagi ke bawah, kembali kebimbangan menyelimuti dadanya.

"Bagaimana sekarang? Ah... Mimpi Guru sedikit banyak telah jadi kenyataan. Jadi tidak mungkin aku salah jalan... Hanya inilah satu-satunya jalan aku dapat menggapai cita-citaku. Lebih dari itu hanya dengan ini aku dapat melampiaskan dendam pada Pendekar Pedang Tumpul 131!"

Ingat begitu tanpa berpikir panjang lagi Gumara pejamkan sepasang matanya. Dia kerahkan segenap tenaga dalamnya. Sekali sentakkan kedua kakinya, sosoknya melayang deras masuk ke dalam jurang! Malaikat Penggali Kubur merasakan tubuhnya menerabas ranting-ranting pohon yang banyak tumbuh di lamping jurang. Tiba-tiba tubuhnya menghantam benda keras dan bersamaan itu luncuran tubuhnya terhenti. Pertanda bahwa sebenarnya jurang itu tidak terlalu dalam. Hanya karena tertutup ranggasan ranting serta pohon di lamping jurang membuat jurang itu gelap laksana sangat curam.

Sambil mengeluh pendek, Malaikat Penggali Kubur beranjak bangkit. Kalau dari bagian atas jurang itu tampak gelap, tidak demikian halnya dari bawah. Matahari masih mampu menerabas rimbun dedaunan di lamping jurang meski keadaan di bawah hanya samarsamar namun ke mana mata memandang masih terlihat jelas. Di bagian bawah jurang itu ternyata hamparan tanah lembab dan di sana-sini banyak gundukan batu. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur segera mencari-cari.

Baru saja kepalanya berpaling. Langkahnya tersurut mundur. Di atas salah satu batu terlihat satu sosok tubuh. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur makin membeliak. Karena ternyata orang yang duduk itu mengenakan jubah hitam! Sebagian jubah itu menutup batu yang diduduki, pertanda jelas seandainya orang itu berdiri, maka jubah itu akan sampai betis atau mata kakinya.

"Ah... Impianku benar-benar akan jadi kenyataan!" desis Malaikat Penggali Kubur.

Lalu perhatikan orang berjubah hitam di atas batu dengan lebih saksama. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Sepasang matanya terpejam rapat. Malaikat Penggali Kubur melangkah mendekat dengan dada berdebar dan mata tak berkesip. Sejarak lima langkah dia hentikan tindakannya. Dia menunggu beberapa saat berharap orang berjubah hitam di atas batu mengetahui kedatangannya dan membuka kelopak matanya.

Namun harapan Malaikat Penggali Kubur tidak jadi kenyataan. Orang di atas batu tak bergeming. Sepasang matanya tetap terpejam rapat. Malaikat Penggali Kubur berdehem. Namun tetap saja orang di atas batu tak bergeming atau buka kelopak matanya yang terpejam. Malaikat Penggali Kubur kembali mendehem. Kali ini sengaja dikeraskan dan berulang kali. Namun jangankan bergeming, buka kelopak matanya pun tidak! Mungkin tidak sabar, Malaikat Penggali Kubur buka mulut.

"Kek...!"

Tak ada jawaban. Sekali lagi murid Bayu Bajra ini buka mulut memanggil. Tapi tetap tidak ada sambutan berupa gerakan atau jawaban.

"Heran. Dia tuli atau bagaimana...?"

Malaikat Penggali Kubur melangkah mendekat. Lalu dengan suara sedikit dikeraskan dia memanggil Lagi-lagi orang berjubah hitam di atas batu tidak membuat gerakan apa-apa apalagi buka mulut menjawab. Malaikat Penggali Kubur melangkah makin dekat. Ketika berada satu tindak dihadapan orang, tangan kanannya menjulur memegang kaki orang yang bersila. Serentak Malaikat Penggali Kubur tarik pulang tangannya. Ada hawa dingin menjalar ke tangannya saat tangannya bersentuhan dengan kaki orang.

Malaikat Penggali Kubur menunggu sesaat. Namun orang di atas bahu tetap tak bergeming sedikit pun. Dengan tengkuk muiai merinding, kembaii tangan Malaikat Penggali Kubur menjulur ke kaki orang. Lalu menggoyang-goyang. Karena tetap tidak ada sambutan, Malaikat Penggali Kubur keraskan goyangan tangannya di kaki orang. Sesaat sosok tubuh orang di atas batu bergoyang-goyang. Namun tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur berseru tegang. Sosok orang itu doyong ke kanan. Kejap lain sosoknya jatuh ke bawah...

S E L E S A I