Titah Dari Liang Lahat - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 Episode Titah Dari Liang Lahat

Cerita silat serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131


BAB 1

MALAIKAT Penggali Kubur tersurut satu tindak dengan sepasang mata mendelik tak berkesip dan mulut menganga namun tak perdengarkan suara. Parasnya berubah dengan tengkuk dingin. Untuk beberapa saat dia hanya dapat pandangi sosok berjubah hitam yang kini melingkar tak bergerakgerak dua langkah di hadapannya. Dadanya berdebar keras. Sekujur tubuhnya bergetar.

"Siapa manusia ini?!" tanya Malaikat Penggali Kubur dalam hati setelah dapat kuasai rasa kejutnya. "Berjubah hitam panjang. Jangan-jangan manusia ini yang dilihat dalam mimpi Guru. Tapi... dia sudah tewas!" sekali lagi Malaikat Penggali Kubur pandangi sosok berjubah hitam yang tadi duduk bersila di atas batu dan kini melingkar di atas tanah.

"Ada keanehan..." desis Malaikat Penggali Kubur dengan kepala berputar dan sepasang mata pandangi berkeliling sebelum akhirnya kembali ke sosok tak bergerak di hadapannya. "Jubah dan sekujur tubuhnya sudah berlumut. Berarti dia sudah lama mati! Tapi aku tidak membaui bau bangkai. Anggota tubuhnya pun tidak rusak. Mimpi Guru benar-benar bukan hanya kembang tidur! Dan petunjuk orang yang menamakan Iblis Rangkap Jiwa benar adanya. Jadi manusia inilah yang kucari!"

Malaikat Penggali Kubur dongakkan kepala dengan bibir tersenyum. "Guru mengatakan orang ini membuka jubahnya di bagian dada. Lalu tampak sebuah kitab.!"

Pemuda murid Bayu Bajra Ingat akan ucapan gurunya beberapa saat yang lalu. Ingat akan hal Itu, cepat Malaikat Penggali Kubur melangkah satu tindak lalu Jongkok dengan kedua tangan bergerak ka arah Jubah bagian atas orang tua yang melingkar tak bergerak. Namun gerakan kedua tangan Malaikat Penggali Kubur tertahan. Dahinya berkerut dengan mata menatap tajam. Bukan memandang pada sosok dl hadapannya melainkan pada bagian samping batu di mana tadi orang tua berjubah duduk.

Waktu orang tua berjubah hitam panjang tadi duduk di atas batu, bagian samping batu memang tidak kelihatan karena tertutup jubah hitamnya yang panjang. Setelah orang tua itu jatuh, kini tampaklah bagian samping batu itu. Ternyata di bagian samping batu itu ada rangkaian tulisan.

Sesaat Malaikat Penggali Kubur perhatikan rangkaian tulisan itu dengan mata menyipit. Karena ternyata rangkaian tulisan itu ditulis dengan darah! Malaikat Penggali Kubur pandangi rangkaian tulisan lalu beralih pada sosok dihadapannya. Kejap lain dia arahkan kembali pandangannya pada rangkaian, tulisan lalu membaca dengan mulut bergetar.

Pesan bagi anak manusia yang menemukan diriku. Kau akan mendapatkan sebuah karya luar biasa dahsyat dalam tubuhku. Setelah kau dapatkan karya itu, angkat mayatku dua belas langkah dari tempat ini ke jurusan kanan.

“Karya... Pasti yang dimaksud adalah..."

Malaikat Penggali Kubur tidak lanjutkan gumaman nya. Sebaliknya dia segera arahkan pandangannya pada sosok orang tua berjubah. Kedua tangannya segera bergerak membuka kancing bagian atas jubah orang. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur membesar. Di balik jubah hitam orang yang telah tersingkap, tampaklah sebuah kitab berwarna hitam. Namun sang pemuda tidak segera gerakkan tangan untuk mengambil. Sebaliknya memperhatikan sekitar Kitab Hitam yang terikat di dada orang. Di sekitar dada orang tua itu terlihat bercak-bercak darah mengering. Malah sebagian ada di sampul kitab.

"Heran... Mulut dan hidungnya tidak mengucurkan darah. Demikian pula telinganya. Dari mana darah itu?” Malaikat Penggali Kubur sibakkan Jubah hitam orang ke bawah. Namun dia tidak menemukan luka yang mengucurkan darah.

"Ah... itu urusan nanti. Yang penting aku telah menemukan kitab itu. Dan aku harus lakukan apa yang tertera di batu itu. Pasti orang tua ini yang menulis!"

Kedua tangan Malaikat Penggali Kubur menyentuh kitab yang terikat di dada orang. Ada hawa dingin tatkala kedua tangannya menyentuh sampul kitab. Dengan kedua tangan bergetar. Malaikat Penggali Kubur segera tarik kitab Itu. Dengan tangan masih bergetar murid Bayu Bajra ini segera memeriksa kitab bersampul hitam. Pada sampulnya tidak ada tulisan. Dia coba membuka. Namun dia tersentak kaget. Ternyata bagaimanapun dia berusaha membuka, lembaran kitab itu laksana lengket dan tidak bisa dibuka.

"Bagaimana aku mempelajari isinya kalau tidak bisa dibuka? Jangan-jangan ini kitab palsu! Tapi..."

Malaikat Penggali Kubur perhatikan lebih seksama lagi. Karena pada sampulnya ada bercak-bercak darah dan menduga di balik bercak darah ada tulisan, tangan kanannya segera mengusap-usap sampul kitab hilangkan bercak-bercak darah. Bersamaan dengan itu tiba-tiba terdengar deruan perlahan. Malaikat Penggali Kubur tersentak. Menduga ada orang lain yang lancarkan pukulan, dia cepat selinapkan Kitab Hitam ke balik pakaiannya.

Karena sewaktu mengusap sampul kitab menghadap ke atas, mendadak saat itu juga ranggasan daun dan ranting-ranting yang banyak tumbuh di bagian lamping jurang laksana dilanda gelombang dahsyat. Kejap lain Malaikat Penggali Kubur menyaksikan lamping Jurang bersih rata. Yang terlihat kini adalah serpihan-serpihan daun dan ranting yang sejenak bertabur sebelum akhirnya tersapu angin.

"Aneh... Apa yang terjadi? Jelas tidak ada orang yang lancarkan pukulan. Sewaktu aku mengusap sampul kitab ini tiba-tiba terdengar deruan, lalu ada gelombang tidak terlihat yang menyapu rata daun dan ranting di atas sana! Jangan-jangan inilah kedahsyatan kitab yang kutemukan! Tapi aku belum percaya kalau tidak membuktikannya sendiri!"

Malaikat Penggali Kubur putar diri setengah lingkaran. Kedua tangannya bergerak mengusap sampul kitab di balik pakaiannya. Saat itu juga terdengar deruan pelan. Tidak ada gelombang angin yang terlihat. Namun, bersamaan dengan itu batu-batu di hadapannya serta jajaran pohon yang ada laksana disapu kekuatan luar biasa dahsyat. Batu-batu itu langsung pecah berantakan. Jajaran pohon berderak tumbang dan langsung menghitam laksana dipanggang bara api. Malaikat Penggali Kubur tegak dengan mata seolah tak percaya dengan apa yang disaksikan. Namun sesaat kemudian dia menyeringai seraya bergumam pelan.

"Hem... Jadi aku hanya perlu mengusap tanpa harus mempelajari isinya. Benar-benar luar biasa! Rimba persilatan akan segera guncang. Dan cita-citaku menjadi tokoh sakti akan terwujud! Sejengkal lagi dunia persilatan akan berada di genggamanku!"

Malaikat Penggali Kubur tengadah. Terbayang wajah Pendekar 131 di pelupuk matanya. Mulutnya menyunggingkan senyum aneh. Lalu berseru. "Langkah mu tidak akan panjang lagi, Pendekar! Kau hanya tinggal tunggu saat-saat kematian!"

Malaikat Penggali Kubur rapikan letak Kitab Hitam di balik pakaiannya. Lalu putar diri lagi menghadap sosok orang tua berjubah hitam yang masih melingkar di atas tanah. Saat itulah sepasang matanya melihat sesuatu menyembul di bawah mana tadi Kitab hitam berada di dada orang. Malaikat Penggali Kubur jongkok seraya memperhatikan. Dia ulurkan tangan mengusap sesuatu yang menyembul karena di bagian dada orang banyak bercak darah.

"Ujung senjata!" desis Malaikat Penggali Kubur seraya tarik pulang tangannya. "Jadi darah itu karena senjata yang melukai dadanya..."

Malaikat Penggali Kubur lepas jubah hitam orang. Lalu membalikkan tubuhnya. Dia tersentak kaget. Pada bagian punggung orang tua itu tampak menancap sebuah gagang pedang. Melihat hanya gagangnya yang kelihatan sementara di bagian dada orang hanya menyembul sedikit jelas kalau pedang itu merupakan pedang kecil.

"Pedang ini menancap dari belakang, pasti ini dilakukan orang lain. Jadi orang tua itu tewas terbunuh! Hem,.. Aku harus segera lakukan apa yang tertulis di batu itu. Bagaimanapun juga orang tua ini telah mewariskan sesuatu luar biasa padaku!"

Malaikat Penggali Kubur kenakan kembali jubah sosok orang tua itu. Lalu perlahan-lahan dia angkat dan melangkah menghadap ke kanan lalu melangkah dengan menghitung. Saat hitungan langkahnya sampai dua belas, dia berhenti. Di hadapannya kini tampak sebuah tanah berlobang sedalam satu setengah tombak berbentuk persegi panjang sepanjang dua tombak dan lebarnya satu tombak. Di samping tanah berlobang terlihat gundukan tanah.

"Benar-benar luar biasa orang ini. Dia telah siapkan liang lahat untuk dirinya!"

Seakan tahu apa yang harus dilakukan, Malaikat Penggali Kubur perlahan-lahan melompat turun memasuki lobang persegi panjang. Perlahan-lahan pula diletakkan sosok orang tua di atas tanah berbentuk liang lahat itu. Sejenak dia pandangi tubuh si orang tua. Lalu memandang sekeliling. Saat itulah matanya melihat dinding tanah di bagian samping laksana ditekan-tekan tangan hingga membentuk sebuah tulisan! Dengan sedikit belalakkan sepasang matanya, Malaikat Penggali Kubur mulai membaca tulisan di dinding tanah.

Terima kasih kau telah lakukan apa yang kuinginkan, Siapa pun kau adanya, kau kini bukanlah manusia seperti sebelum kau berhasil menemukanku. Kau telah menemukan kitab luar biasa sakti. Tapi ada beberapa hal yang harus kau lakukan. Kau harus memusnahkan seluruh anak keturunan bekas seorang permaisuri bernama Ken Rakasiwi. Kau harus singkirkan tokoh-tokoh rimba persilatan hingga kau menjadi manusia tanpa tanding seperti cita-citaku! Untuk mengetahui seluruh anak turunan Ken Rakasiwi, pergilah ke sebuah kuil di pantai timur. Sementara ini kau harus menyamar. Kalau semuanya sudah jelas, tiba saatnya bagimu lakukan tugas!

Datuk Kematian


Malaikat Penggali Kubur mengulang dua kali tulisan di dinding tanah Liang lahat Lalu berpaling pada wajah orang tua di hadapannya. "Datuk Kematian... Aku akan laksanakan tugasmu! Sosok Malaikat Penggali Kubur sedikit membungkuk. Kejap lain dia mendongak. Sekali membuat gerakan, sosoknya telah berada di atas Liang Lahat.

Sejurus dia arahkan pandangannya berkeliling. “Aku merasakan perubahan pada diriku. Gerakanku amat ringan. Hem... ini pasti karena kitab ini!" gumamnya sambil kedua tangan menyentuh kitab di balik pakaiannya. Saat lain kedua tangannya bergerak menimbun lobang Liang Lahat dengan tanah yang menggunduk di sekitar liang lahat. Begitu lobang liang lahat tertutup Malaikat Penggali Kubur menarik napas panjang. Lalu putar diri dan melangkah ke tempat di mana dia tadi terjatuh. Kepala Malaikat Penggali Kubur mendongak.

"Jurang ini tidak terlalu dalam. Tapi karena di sampingnya tidak ada lagi tumbuhan yang bisa dibuat pegangan terpaksa aku harus naik dengan caraku sendiri..."

Malaikat Penggali Kubur melangkah ke arah samping jurang. Kembali kepalanya tengadah. Kejap lain dia sentakkan kedua kakinya ke tanah. Sosoknya melenting ke atas sampai dua tombak. Sebelum tubuhnya melayang turun lagi, kedua tangan dan kakinya bergerak menghantam tanah di samping jurang.

Sebenarnya semula Malaikat Penggali Kubur merasa bimbang akan apa yang hendak dilakukan. Namun karena percaya pada kitab di balik pakaiannya dia lalu mencoba. Bagian lamping jurang adalah tanah gembur karena hanya ditumbuhi pohon-pohon kecil. Sekali sentuh tanahnya pasti longsor. Hal inilah yang semula menjadikan Malaikat Penggali Kubur merasa was-was.

Namun begitu kedua tangan dan kaki Malaikat Penggali Kubur bergerak menghantam tanah di lamping jurang untuk menahan agar tubuhnya tidak jatuh, pemuda ini jadi terkejut sendiri. Meski kedua tangan dan kakinya kini masuk ke dalam tanah di lamping jurang hingga tubuhnya menggantung, tanah di lamping jurang tidak longsor!

Malaikat Penggali Kubur tidak menunggu terlalu lama. Dia segera tarik pulang kedua tangannya. Sementara kedua kakinya masih masuk ke tanah lamping jurang. Kedua tangannya lalu diangkat ke atas dan kembali di hujamkan masuk ke tanah. Kejap lain sepasang kakinya ditarik. Lalu diangkat ke atas. Dengan cara begitu, pada akhirnya Malaikat Penggali Kubur sampai di bibir jurang. Ketika bibir jurang telah terlihat, Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan dan kakinya bersamaan. Sosoknya melenting ke udara melalui bibir jurang.

Wuuuutt

Malaikat Penggali Kubur terkesiap kaget. Begitu sosoknya melampaui bibir jurang ada satu gelombang angin menyambar deras ke arahnya. Kalau murid Bayu Bajra yang kini telah mendapat Kitab Hitam ciptaan Ageng Barada alias Datuk Kematian tidak segera gerakkan bahunya, niscaya tubuhnya akan terhantam gelombang yang tiba-tiba menyambar.

Sebagai pemuda yang bertahun-tahun digembleng Bayu Bajra, seorang tokoh rimba persilatan yang cukup disegani, Malaikat Penggali Kubur sadar kalau ada orang lain di tempat itu. Lebih-lebih kini daya pendengarannya makin tajam karena kitab di balik pakaiannya.

Gelombang yang lolos menghantam Malaikat Penggali Kubur terus menerabas sebelum akhirnya menghantam bibir jurang di seberang sana. Di lain pihak, Malaikat Penggali Kubur cepat putar diri dan berpaling. Sepasang matanya mendelik angker. Rahangnya mengembung dengan pelipis bergerak-gerak. Namun rasa kaget lebih tampak di wajah si pemuda dari pada rasa geram karena diserang mendadak!

BAB 2

Di hadapan Malaikat Penggali Kubur sejarak sepuluh langkah tegak seorang laki-laki yang raut wajahnya hampir tidak tertutup daging. Kepalanya tidak ditumbuhi rambut. Sepasang matanya besar menjorok keluar. Laki-laki ini mengenakan pakaian compangcamping yang dibercaki tanah. Laki-laki yang bukan lain adalah Iblis Rangkap Jiwa ini sunggingkan senyum seringai. Saat lain kepalanya mendongak. Tangan kanannya bergerak ke depan membuat sikap seperti orang meminta. Lalu terdengar suaranya membentak keras.

"Serahkan Kitab Hitam itu padaku!"

Sesaat Malaikat Penggali Kubur tercekat. Namun ingat akan kitab di balik pakaiannya, pemuda murid Bayu Bajra ini tertawa pendek. Dalam hati dia berkata.

"Aneh. Dia yang menunjukkan di mana tempat beradanya kitab ini, tapi kenapa dia tiba-tiba hendak meminta dariku? Dia memiliki kepandaian sangat tinggi. Tentunya tidak sulit baginya untuk mengambilnya sendiri ke dalam jurang. Apalagi dia telah tahu tempatnya..."

Seperti diketahui, Gumara alias Malaikat Penggali Kubur dibangunkan gurunya dari semadi. Gurunya lalu menceritakan tentang mimpinya. Malaikat Penggali Kubur lalu melakukan perjalanan. Di puncak Bukit Selamangleng, Malaikat Penggali Kubur berjumpa dengan seorang laki-laki yang sebutkan diri sebagai Iblis Rangkap Jiwa. Dari laki-laki inilah Malaikat Penggali Kubur mendapat petunjuk di mana adanya Kitab Hitam. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode Warisan Laknat)

Selagi Malaikat Penggali Kubur membatin, Iblis Rangkap Jiwa perdengarkan suara tawa panjang. Lalu dia berkata. "Kau kuberi waktu menimbang. Namun kau hanya. punya dua pilihan! Pertama. Serahkan Kitab Hitam dan kau bisa pulang dengan membawa nyawa. Kedua. Aku mengambil sendiri kitab itu dengan caraku namun sekalian dengan nyawamu!"

Mendengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat Penggali Kubur balik perdengarkan tawa panjang. Malah kini kedua tangannya berkacak pinggang. Waktu jumpa di puncak Bukit Selamangleng, Malaikat Penggali Kubur memang kecut menghadapi Iblis Rangkap Jiwa. Malah murid Bayu Bajra ini sempat pasrah tewas di tangan Iblis Rangkap Jiwa.

Namun kini Malaikat Penggali Kubur telah membekal kitab dahsyat. Dia yakin, bagaimanapun kehebatan ilmu Iblis Rangkap Jiwa, dia pasti akan tersapu pukulan tak terlihat dari Kitab Hitam. Kepercayaan inilah yang membuat Malaikat Penggali Kubur tidak merasa jera dengan ancaman orang.

Di lain pihak, meski Iblis Rangkap Jiwa belum mengetahui benar bagaimana kedahsyatan Kitab Hitam, namun dari gerakan Malaikat Penggali Kubur yang telah dapat meloloskan diri dari pukulannya saat keluar dari bibir jurang membuat laki-laki ini tidak mau bertindak ayal. Dia jelas telah menangkap adanya perubahan pada pemuda di hadapannya.

Apalagi kini Malaikat Penggali Kubur berani tertawa panjang sambil berkacak pinggang. Padahal beberapa saat yang lalu, pemuda dapat dibuat jatuh bergedebukan hanya dengan sentakan kedua kakinya! Malaikat Penggali Kubur luruskan kepalanya memandang tajam ke dalam bola mata besar Iblis Rangkap Jiwa. Setelah menyeringai dia berkata.

"Kau telah menimbang ucapanmu, Manusia Iblis?! Dengar baik-baik! Kalau kau tawarkan dua pilihan padaku, aku hanya punya satu jalan untukmu!. Ikut bergabung denganku atau mampus saat ini juga!"

Walau merasa terkejut dengan ucapan Malaikat Penggali Kubur namun Iblis Rangkap Jiwa malah perkeras suara tawanya. Kejap lain dia berkata. "Jangan membuat aku berubah pikiran! Atau kau lebih suka serahkan kitab itu beserta nyawamu sekalian?!"

"Kau tahu siapa yang tengah kau hadapi?!" tanya Malaikat Penggali Kubur seraya palingkan kepala memandang pada jurusan lain.

Iblis Rangkap Jiwa puaskan tertawa dahulu sebelum berujar. "Kalau tidak tahu siapa kau, tidak mungkin aku tunjukkan di mana kitab itu berada!"

"Hem... Rupanya pengetahuanmu luas juga!" sahut Malaikat Penggali Kubur masih tanpa berpaling.

"Aku tahu banyak siapa kau lebih dari dirimu! Kau murid tunggal seorang anak manusia bernama Bayu Bajra! Kau mempunyai dendam berkarat pada anak manusia bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng dan kawan-kawannya! Lebih dari itu kau punya lima pusaran rambut di kepala!"

Laksana disentak setan, kepala Malaikat Penggali Kubur berpaling. Matanya tetapi Iblis Rangkap Jiwa dari atas hingga bawah. Diam-diam dalam hati ia berkata heran. "Bagaimana dia tahu aku memiliki lima pusaran rambut di kepala? Padahal..."

Belum sampai Malaikat Penggali Kubur lanjutkan kata hatinya, Iblis Rangkap Jiwa telah buka mulut lagi. "Kau terkejut. Pertanda ucapanku benar!"

Malaikat Penggali Kubur tidak menyahut. "Orang ini aneh. Dia punya ilmu tinggi dan tahu di mana kitab berada. Namun dia tidak berusaha mengambil sendiri, malah menunjukkan padaku. Dia juga tahu aku punya lima pusaran rambut di kepala padahal aku baru mengenalnya!. Aku harus tahu semua keanehan ini!"

Berpikir begitu Malaikat Penggali Kubur lalu berkata. "Aku akan berikan apa yang kau minta. Tapi jawab dulu pertanyaanku!"

Iblis Rangkap Jiwa tertawa ngakak sambil geleng-gelengkan kepala. "Dengan atau tanpa syarat pun kitab itu harus kau berikan padaku! Tapi aku masih berbaik hati padamu. Kau mau tanya apa?!"

"Kau punya kepandaian tinggi. Kau juga tahu di mana Kitab Hitam berada. Kenapa kau tidak mengambilnya sendiri? Lalu dari mana kau tahu aku memiliki pusaran rambut sebanyak lima buah?!"

"Sebenarnya pertanyaan orang bodoh! Tapi tak apalah, apa yang menjadi pertanyaanmu akan kujawab!" kata Iblis Rangkap Jiwa sambil tertawa pendek membuat paras wajah Malaikat Penggali Kubur merah padam. Namun pemuda ini coba menindih perasaannya.

"Sebuah kitab sakti diciptakan hanya ditentukan untuk satu orang meski banyak orang berusaha merebutnya! Dari semadi yang kulakukan beberapa tahun, kuketahui bahwa anak manusia yang memiliki pusaran rambut berjumlah lima buah yang dapat mengambil Kitab Hitam itu. Aku juga tahu bahwa anak manusia bernama Gumara yang memiliki pusaran rambut berjumlah lima!"

Sejenak Iblis Rangkap Jiwa hentikan keterangannya. Sementara di hadapannya Malaikat Penggali Kubur dengarkan dengan saksama.

"Aku memang memiliki kepandaian tinggi dan tahu di mana beradanya Kitab Hitam itu. Tapi aku bukan manusia bodoh. Karena bagaimanapun ketinggian ilmu orang, selain anak manusia yang memiliki pusaran rambut lima buah maka segala usahanya untuk mengambil kitab itu akan sia-sia! Malah dia akan mendapat celaka!"

"Mengapa kau percaya saat aku mengatakan namaku Gumara padahal kita baru pertama kali bertemu?!" tanya Malaikat Penggali Kubur setelah Iblis Rangkap Jiwa hentikan keterangannya.

"Saat mengatakan kau dalam keadaan terjepit akan mampus!. Dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin orang berkata dusta! Lebih dari pada itu, kau datang tepat seperti perhitunganku! Jelas?!"

Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. "Kau masih inginkan kitab itu?!"

"Lagi-lagi pertanyaan bodoh yang kau ucapkan!" sahut Iblis Rangkap Jiwa. "Ratusan tahun aku menunggu! Hanya manusia kerdil otak yang sia-siakan kesempatan yang ditunggu selama itu!"

Ucapan Iblis Rangkap Jiwa memang benar adanya. Karena sebenarnya orang ini adalah seorang dedengkot rimba persilatan yang sudah dikenal kalangan dunia persilatan pada ratusan tahun yang silam.

Mendengar kata-kata Iblis Rangkap Jiwa, mungkin karena menduga ucapan Iblis Rangkap Jiwa hanya mengada-ada, Malaikat Penggali Kubur bukannya naik pitam meski dadanya bergemuruh. Sebaliknya dia tertawa pendek dan berkata.

"Kalau kau menginginkannya, harap kau suka mengambilnya sendiri! Kitab Hitam memang berada padaku! Tapi harus kau ingat. Seperti ucapanmu, sebuah kitab sakti diciptakan hanya untuk satu orang! Dan kau telah tahu bahwa aku, Malaikat Penggali Kubur yang ditentukan berjodoh memilikinya!"

"Hem... Jadi kau telah bergelar Malaikat Penggali Kubur! Bagus, itu satu isyarat bahwa kau telah menggali kuburmu sendiri!"

"Dengar, Manusia Iblis!" hardik Malaikat Penggali Kubur. "Gumara telah lama menyandang gelar Malaikat Penggali Kubur!"

"Kau boleh menyandang gelar apa pun dan sejak kapan pun! Tapi jangan harap Iblis Rangkap Jiwa akan takut mendengarnya!" Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak.

"Terserah kau takut apa tidak dengan gelaranku. Yang pasti kau kini sedang berhadapan dengan manusia yang telah berjodoh dengan Kitab Hitam!"

"Ternyata kau bukan hanya tolol tapi juga tuli. Aku tadi berkata, anak manusia yang memiliki lima buah pusaran rambut yang dapat mengambil kitab itu! Jadi kau hanya dapat mengambil kitab itu dan bukan berarti kau yang ditentukan mewarisi kitab itu!"

Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa kembali gerakkan tangan kanan membuat sikap meminta. "Kitab itu! Serahkan baik-baik padaku!"

"Tuanmu ini telah menyuruhmu mengambilnya sendiri! Perlu ku ulangi lagi?!"

"Baik! Akan kuambil beserta nyawamu sekalian!" sentak Iblis Rangkap Jiwa. Bersamaan dengan itu sosoknya laksana kilat berkelebat ke arah Malaikat Penggali Kubur.

Belum sempat Malaikat Penggali Kubur membuat gerakan, kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa telah menyambar ke arah kepalanya dengan keluarkan suara berdesir keras! Pertanda sambaran itu telah dialiri tenaga dalam kuat.

Sesaat Malaikat Penggali Kubur tampak terkesiap, namun pemuda ini tidak tinggal diam. Dia cepat angkat kedua tangannya. Karena sadar siapa adanya orang yang dihadapi. meski dia telah membekal Kitab Hitam namun dia tidak berani bertindak ayal. Hampir segenap tenaga dalamnya dikerahkan.

Desss!

Dua pasang tangan beradu keras. Sosok Malaikat Penggali Kubur laksana tersapu gelombang luar biasa dahsyat hingga tubuhnya terdorong deras ke belakang. Kedua tangannya bergetar dan tampak menggembung merah. Paras wajahnya berubah pucat. Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa tidak bergeming sama sekali malah bibirnya tersenyum menyeringai lalu tertawa bergelak.

"Kau hanya ditakdirkan sebagai manusia yang dapat mengambil kitab itu. Dan akulah orang yang berjodoh memilikinya! Tapi semuanya sudah terlambat! Aku bukan hanya inginkan kitab itu, namun sekalian dengan nyawamu!"

Malaikat Penggali Kubur katupkan rahang. Mulutnya terkancing rapat. Sejurus dia perhatikan kedua tangannya. Kejap lain sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya diangkat tinggi. Iblis Rangkap Jiwa hadapi serangan dengan kedua tangan berkacak pinggang. Dia hanya pandangi lawan tanpa membuat gerakan apa-apa. Malah bersamaan dengan itu dia perdengarkan suara tawa ngakak!

Bukkkk! Bukkkk!

Kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telak menghantam kepala Iblis Rangkap Jiwa. Kepala gundul laki-laki ini hanya tersentak ke atas. Sementara Malaikat Penggali Kubur cepat tarik pulang kedua tangannya dengan kaki mundur dua tindak.

"Jahanam! Manusia ini ternyata kebal terhadap pukulan!" kata Malaikat Penggali Kubur dengan rahang mengembung.

Tanpa menunggu lama dia kepalkan kedua tangannya dan sekonyong-konyong dipukulkan ke depan. Dari kedua tangan Malaikat Penggali Kubur tampak melesat cahaya terang sekejap. Kejap lain terdengar deruan dahsyat lalu menggebrak gelombang angin luar biasa dahsyat. Inilah pertanda kalau murid Bayu Bajra ini telah lepaskan pukulan sakti 'Telaga Surya'.

Melihat ganasnya pukulan yang kini menggebrak ke arahnya, Iblis Rangkap Jiwa bukannya mundur dan membuat gerakan memangkas serangan lawan. Sebaliknya dia perkeras gelakan tawanya, lalu menyongsong pukulan lawan dengan maju satu tindak dan tangan masih kacak pinggang!

Desssss!

Pukulan sakti Telaga Surya' yang dilepas Malaikat Penggali Kubur telak menggebrak sosok Iblis Rangkap Jiwa. Sesaat tubuh laki-laki berkepala gundul ini goyah, saat lain sosoknya laksana dihempas gelombang dan terdorong ke belakang sampai satu tombak. Tubuh laki-laki ini terhuyung-huyung lalu doyong hendak roboh.

Malaikat Penggali Kubur sunggingkan senyum. Malah dia hendak perdengarkan suara tawa. Namun belum sampai suara tawanya terdengar, senyumnya putus laksana direnggut setan! Sepasang matanya mendelik besar dengan mulut menganga. Dihadapannya Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan aneh. Begitu sosoknya yang terhantam pukulan sakti 'Telaga Surya' hendak jatuh terjerembab, Iblis Rangkap Jiwa angkat kaki kanannya lalu diputar.

Laksana ditahan satu kekuatan, mendadak tubuh Iblis Rangkap Jiwa terhenti. Kaki kanannya yang diangkat sertamerta dihentakkan di atas tanah. Tanah di tempat itu bergetar keras. Namun bukan hal itu yang membuat Malaikat Penggali Kubur belalakkan sepasang matanya. Bersamaan dengan bergeraknya kaki Iblis Rangkap Jiwa, sosoknya melesat ke depan dengan tangan dan kaki bergerak masingmasing lakukan pukulan!

Rupanya Malaikat Penggali Kubur maklum bahaya sedang mengancam jiwanya. Secepat kilat dia melompat ke belakang. Bersamaan dengan menjejaknya kaki di atas tanah, kedua tangannya bergerak mengusap ke bagian perut di mana tersimpan Kitab Hitam. Terdengar suara deruan perlahan. Mungkin belum mengetahui bagaimana kedahsyatan kitab ciptaan Datuk Kematian apalagi hanya terdengar deruan perlahan tanpa terlihatnya cahaya atau gelombang yang menyambar, Iblis Rangkap Jiwa teruskan gerakannya.

Namun mendadak Iblis Rangkap Jiwa berseru tertahan. Sosoknya laksana ditahan gelombang luar biasa dahsyat. Belum tahu apa yang terjadi, sosoknya tersapu deras sebelum akhirnya jatuh menekuk di atas tanah dengan mulut kucurkan darah kehitaman. Jelas kalau laki-laki ini telah terluka dalam. Untuk beberapa lama Iblis Rangkap Jiwa pandangi sekujur tubuhnya. Dia serasa masih tak percaya dengan apa yang dialaminya. Karena selama malang melintang dalam rimba persilatan sampai dirinya mengasingkan diri, hanya beberapa orang yang dapat membuat dirinya jatuh di atas tanah.

Kini menghadapi seorang pemuda yang beberapa saat yang lalu sudah pasrah menunggu kematian di tangannya, dirinya bukan hanya dibuat jatuh menekuk di atas tanah namun juga telah melukai bagian dalam tubuhnya! Namun laki-laki ini segera sadar. Hal ini mungkin masih ada hubungannya dengan kitab yang ada di tangan si pemuda. Merasa yakin akan hal itu, keinginannya untuk merebut kitab itu semakin menggebu. Dia segera kerahkan tenaga dalamnya untuk cepat bergerak bangkit.

Namun Iblis Rangkap Jiwa jadi tercekat sendiri. Belum sampai dia kerahkan kembali tenaga dalamnya untuk lakukan serangan, tiba-tiba kedua kakinya goyah. Meski Iblis Rangkap Jiwa telah kerahkan tenaga luar dalamnya, namun sia-sia. Kini bukan hanya sepasang kakinya yang goyah, namun sekujur tubuhnya bergetar keras. Kejap lain sosoknya limbung sebelum akhirnya jatuh lagi di atas tanah dengan mulut keluarkan seruan tertahan.

Malaikat Penggali Kubur yang sejurus tadi sempat terlengak melihat lawan masih bisa bergerak bangkit, buka mulut perdengarkan tawa mengekeh panjang. Dengan tangan berkacak pinggang dia melangkah ke arah jatuhnya Iblis Rangkap Jiwa.

Iblis Rangkap Jiwa sekuat tenaga kerahkan tenaga dalamnya. Baru saja kedua tangannya teraliri tenaga dalam. Tiba-tiba orang ini berseru dengan mata mendelik. Kedua tangannya bergetar keras. Bukan siap lakukan pukulan, melainkan orang ini rasakan kedua tangannya laksana dipanggang bara api!

Malaikat Penggali Kubur hentikan langkah dua tindak di hadapan Iblis Rangkap Jiwa. "Hem... Manusia Iblis ini kurasa memiliki tenaga luar biasa kuat. Kalau tidak, mungkin tubuhnya sudah tak berkutik lagi! Aku tak ingin dia mampus. Aku butuh tenaga orang macam dia! Meski Kitab Hitam telah berada di tanganku, tapi yang kuhadapi di depan sana bukan satu orang. Aku percaya kitab ini mampu membuat musuhku tewas termasuk Pendekar 131, namun kalau tangan orang lain bisa, kenapa aku bersusah payah?!"

Berpikir sampai di situ, Malaikat Penggali Kubur maju lagi satu tindak. Tengkuk Iblis Rangkap Jiwa terasa dingin. Laki-laki ini buka mulut dengan kepala diangkat. Namun sebelum suaranya terdengar, kaki Malaikat Penggali Kubur telah bergerak lakukan tendangan!

Bukkkk!

Sosok iblis Rangkap Jiwa mencelat mental sejauh satu tombak dan terjengkang di atas tanah dengan mulut makin banyak kucurkan darah. Malah kini dari lobang hidungnya juga keluar darah kehitaman! Iblis Rangkap Jiwa bertahan sekuat tenaga. Perlahan-lahan dia bergerak bangkit. Namun belum sampai duduk, satu kaki telah mendorong tubuhnya hingga sosoknya kembali terjengkang! Kejap lain Malaikat Penggali Kubur telah gerakkan tubuh sedikit membungkuk. Tangan kanannya bergerak.

Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa terkesiap. Dia masih coba menghindar namun gerakan tangan Malaikat Penggali Kubur lebih cepat. Hingga saat itu juga Iblis Rangkap Jiwa rasakan sekujur anggota tubuhnya tegang kaku tidak bisa digerakkan!

"Membuat nyawamu putus, bagiku semudah kedipkan mata! Tapi aku ingin melihat bagaimana orang sekarat! Ha ha ha...!" ujar Malaikat Penggali Kubur dengan dongakkan kepala tanpa memandang.

"Kitab itu sungguh luar biasa dahsyat! Aku harus tetap hidup dan merebut kitab itu!" Diam-diam Iblis Rangkap Jiwa membatin. Laki-laki ini buka mulut meski tanpa bisa gerakkan tubuh karena telah ditotok.

"Harap bebaskan diriku! Apa pun yang kau perintahkan, aku akan melakukannya!"

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Kepalanya berpaling mendelik angker menatap pada iblis Rangkap Jiwa. Ucapan manusia iblis sepertimu mana bisa dipercaya! Kau dengar tadi ucapanku? Aku ingin melihat bagaimana manusia sekarat!"

“Kau telah memiliki kitab sakti. Kau lihat sendiri, aku pun tak sanggup melawanmu! Kalau aku tidak melakukan apa yang kau perintahkan, bukankah tidak sulit bagimu membunuhku? Lagi pula, kau memendam dendam pada beberapa orang. Dengan bantuanku, mungkin semuanya akan lebih cepat selesai!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak mendengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa. "Aku kini memiliki kekuatan untuk melampiaskan dendam ku!"

"Ucapanmu benar! Tapi kau jangan lupa. Kurasa di antara musuhmu terdapat beberapa orang yang mungkin tidak bisa kau kalahkan!"

Rahang Malaikat Penggali Kubur mengembung besar. Urat lehernya terlihat menggurat Jelas. Sepasang matanya mendelik makin angker. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Saat lain terdengar suaranya membentak keras.

"Kau tahu apa tentang musuh-musuhku, hah?! Dan siapa orang yang tidak dapat kukalahkan?! Kitab sakti telah ada di tanganku! Kau yang memiliki ilmu kepandaian tinggi saja dapat kubuat sekarat!"

Meski sudah tidak bisa membuat gerakan dan hanya dapat buka mulut bersuara, Iblis Rangkap Jiwa perdengarkan tawa pelan lalu berkata. "Segala sesuatu ada kelemahannya! Kudengar musuh besarmu Pendekar Pedang Tumpul 131 bukan hanya memiliki kitab sakti, namun juga dikelilingi beberapa orang yang bukan saja memiliki kepandaian tinggi namun juga memiliki ilmu aneh! Aku tak dapat mengatakan siapa dia orangnya tapi aku merasakan hal itu!"

Untuk beberapa saat lamanya Malaikat Penggali Kubur terdiam. Namun saat lain dia telah tertawa bergelak dan berujar. "Kau tak dapat mengatakan siapa orangnya. Bagaimana mungkin kau tahu orang itu memiliki Ilmu aneh bahkan tak bisa kukalahkan?!"

"Dunia kita adalah dunia persilatan. Dunia yang kadang kala tidak masuk di akal namun terjadi. Sekarang coba kau terka berapa kira-kira umurku?"

Meski sejenak Malaikat Penggali Kubur enggan menjawab, namun akhirnya dia angkat bicara. "Delapan puluh tahun! Dan itu usia manusia yang pantas masuk Liang kubur!"

Mendengar jawaban Malaikat Penggali Kubur, Iblis Rangkap Jiwa tidak menampakkan raut marah. Sebaliknya dia tertawa perlahan lalu berkata. "Perkiraanmu salah jauh. Aku berumur tiga kali lipat dari yang kau katakan! Dan nyatanya aku belum pantas masuk Liang kubur! Inilah salah satu kalau dunia kita adalah dunia yang kadang kala tidak masuk akal!"

Malaikat Penggali Kubur pandangi sosok tak bergerak di hadapannya. Sebelum pemuda ini buka mulut, Iblis Rangkap Jiwa telah lanjutkan ucapannya.

"Aku telah malang melintang dalam dunia persilatan pada sezaman nenekmu. Jadi aku lebih banyak tahu dunia persilatan lebih dari yang kau ketahui!"

"Hem... Lalu apakah kau merasa mampu menghadapi orang yang kau kira memiliki ilmu aneh itu?!"

Mendengar pertanyaan Malaikat Penggali Kubur, Iblis Rangkap Jiwa tidak segera menjawab. Namun jelas wajahnya berubah. Dia merasa Malaikat Penggali Kubur tidak akan teruskan niat membunuhnya. Setelah agak lama, baru Iblis Rangkap Jiwa buka mulut lagi.

"Aku telah pengalaman menghadapi beberapa orang tokoh. Jadi sedikit banyak aku dapat memperhitungkan orang yang kuhadapi!”

“Ucapanmu bisa dipercaya?!"

"Semua akan kau lihat nanti. Aku memang dari golongan sesat, dan aku memiliki tugas memusnahkan semua orang golongan putih. Bukankah musuh-musuhmu juga dari golongan itu? Jadi sebenarnya kita memiliki musuh yang sama!"

"Hem... Begitu? Baiklah. Kau akan kubebaskan. Tapi ingat! Sekali kau bertindak di luar yang kuperintahkan, nyawamu tidak kuampuni lagi!"

Habis berkata begitu, tangan kanan Malaikat Penggali Kubur bergerak bebaskan totokan yang disarangkan pada Iblis Rangkap Jiwa. Saat itu Iblis Rangkap Jiwa telah dapat gerakkan anggota tubuhnya meski sangat lemah karena banyaknya darah yang keluar dari mulut dan hidungnya.

Seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa bukan hanya dikenal sebagai dedengkot rimba persilatan yang telah berusia ratusan tahun. Namun dia juga dikenal sebagai tokoh yang berkepandaian sangat tinggi dan kebal segala pukulan. Hingga meski gelombang dahsyat tidak kelihatan yang keluar dari kitab di balik dada Malaikat Penggali Kubur menghantamnya, Iblis Rangkap Jiwa masih bisa bertahan dan tidak berubah hitam kulit tubuhnya meski mengalami luka agak parah. Dari sini pun bisa diduga betapa kuat sesungguhnya pertahanan tubuh iblis Rangkap Jiwa.

"Kau kuperintahkan untuk kembali ke puncak Bukit Selamangleng! Tetaplah di sana sampai aku datang! Ingat! Bunuh semua manusia yang datang ke bukit itu!"

Sejenak Iblis Rangkap Jiwa pandangi Malaikat Penggali Kubur dengan wajah tidak mengerti. Rupanya Malaikat Penggali Kubur dapat menangkap apa yang ada di benak iblis Rangkap Jiwa. Seraya sunggingkan senyum seringai dia berkata,

"Nyawamu ada di tanganku! Kau hanya perlu jalankan perintahku tanpa harus bertanya! Kau dengar?!"

Meski dalam hati menyumpah-nyumpah, akhirnya Iblis Rangkap Jiwa hanya anggukkan kepala. Sementara Malaikat Penggali Kubur tertawa perlahan dan diam-diam dalam hati berkata.

"Lambat laun kabar tentang kitab ini pasti akan tersiar! Dan akan banyak manusia yang menuju Bukit Selamangleng. Tugas manusia Iblis inilah yang mengurusnya!"

Kalau Malaikat Penggali Kubur diam-diam membatin begitu, diam-diam Iblis Rangkap Jiwa juga berkata sendiri dalam hati. "Sebenarnya aku lebih suka mengikuti ke mana anak manusia itu pergi. Dengan demikian aku lebih banyak punya kesempatan untuk merebut kitab itu! Tapi apa boleh buat. Sementara ini aku harus lakukan apa yang diucapkan! Kabar kitab itu sebentar lagi pasti akan tersiar! Dan akan banyak manusia yang menuju puncak Bukit Selamangleng. Dengan membunuh mereka satu persatu, orang yang menginginkan kitab itu akan berkurang! Dan akan tiba saatnya bagiku merebutnya!"

Malaikat Penggali Kubur putar diri. "Satu hal yang harus kau ingat! Kalau Pendekar 131 menuju puncak bukit, jangan buat mampus! Tunda nyawanya sampai aku datang!"

Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur tertawa panjang. Ketika suara tawanya sirna, Iblis Rangkap Jiwa sudah tidak melihat lagi sosok si pemuda. Iblis Rangkap Jiwa menoleh ke arah selatan. Samarsamar terlihat Malaikat Penggali Kubur telah berada di tikungan kaki bukit dan sekejap kemudian lenyap.

"Hem... Bukan hanya berubah menjadi manusia sakti, tapi gerakan tubuhnya sudah hampir sulit diikuti pandangan mata biasa! Aku harus mencari akal untuk merebut kitab sakti itu!” Iblis Rangkap Jiwa bergerak bangkit. Terbungkuk-bungkuk dia melangkah menuju puncak Bukit Selamangleng.

********************

BAB 3

PENDEKAR 131 tegak di balik sebatang pohon kelapa dengan sepasang mata tak berkesip memandang ke depan. Sudah agak lama murid Pendeta Sinting ini berada di situ. Namun sejauh ini dia hanya memandang tanpa membuat gerakan apa-apa.

"Jangan-jangan kuil itu tidak berpenghuni! Tidak kulihat batang hidungnya orang di sana! Padahal aku yakin kuil itulah yang dikatakan Gendeng Panuntun... Hem... Tak ada kepastian sebelum aku menyaksikan sendiri ke sana!"

Walau telah berkata begitu, namun Joko tidak segera beranjak keluar dari balik pohon kelapa. Sebaliknya memandang lebih seksama. Sejarak sepuluh tombak dari tempatnya, terlihat sebuah kuil agak besar yang menghadap hamparan laut. Setelah berpikir, akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan untuk keluar dari tempatnya mengintai.

Namun gerakannya tertahan. Dan buru-buru dia rapatkan tubuhnya ke batangan pohon kelapa dengan sepasang mata makin mendelik ke arah kuil. Meski saat itu suasana sudah agak gelap karena matahari sudah berada di bentangan kaki langit sebelah barat dan hendak tenggelam, namun dari arah tempatnya tegak, murid Pendeta Sinting meski samar-samar masih menangkap adanya satu sosok berkelebat keluar dari kuil.

"Aku harus tahu siapa adanya sosok itu!"

Pendekar 131 segera berkelebat keluar dan berlari menyusul orang yang baru saja keluar dari kuil. Namun terlambat. Bayangan yang baru saja keluar dari kuil telah lenyap laksana ditelan bumi. Murid Pendeta Sinting hanya dapat mengenali bayangan itu mengenakan pakaian berupa Jubah merah menyala.

"Astaga!" Joko tegak dengan tubuh bergetar. "Jangan-Jangan orang tadi adalah gadis berjubah merah yang kutemui sedang mandi beberapa hari yang lalu! Celaka kalau dia telah memperoleh keterangan!"

Seperti dituturkan dalam episode Warisan Laknat, Joko sempat berjumpa dengan seorang gadis berjubah merah dan sempat mengatakan apa yang jadi urusannya pada gadis itu.

"Dari mana dia tahu kuil itu tempat tinggal Cucu Dewa?! Apa dia juga pernah jumpa dengan Gendeng Panuntun dan menanyakan tempat tinggalnya Cucu Dewa?!"

Seperti yang dituturkan dalam episode Warisan Laknat, murid Pendeta Sinting sempat bertemu dengan Gendeng Panuntun. Dari orang yang memiliki kepandaian aneh ini, Joko mengetahui tempat tinggalnya Cucu Dewa yang menurut Raja Tua Segala Dewa adalah orang yang tahu kelemahan Iblis Rangkap Jiwa yang dikatakannya mengetahui di mana beradanya Kitab Hitam.

Pendekar 131 cepat putar diri. Lalu berkelebat kembali menuju arah kuil. Dia tegak sepuluh langkah di depan kuil dengan mata tak berkesip memperhatikan sekeliling, Saat lain mulutnya telah terbuka. Namun belum sampai ada suara yang terdengar, satu bayangan berkelebat dari dalam kuil dan tahu-tahu sejarak lima langkah dart tempatnya telah berdiri satu sosok tubuh!

Pendekar 131 pentangkan sepasang matanya. Orang di hadapannya ternyata adalah seorang laki-laki bertubuh pendek. Sosoknya gempal. Kepalanya besar ditumbuhi rambut lebat hitam dikelabang dua. Sepasang matanya sipit dengan hidung besar. Dia mengenakan pakaian berwarna hitam. Tangan kanannya bergerak-gerak mainkan dua butiran batu hitam yang dilempar-lemparkan ke atas. Meski tahu ada orang tegak di hadapannya, namun dia seolah acuh malah tidak memandang!

Murid Pendeta Sinting mendehem berharap agar orang berpaling. Tapi walau dia telah berkali-kali mendehem malah sempat agak dikeraskan, orang bertubuh pendek di hadapannya tetap mainkan batu hitam sebesar ibu jarl tanpa pedulikan kehadiran orang! Pendekar 131 jerengkan sepasang matanya. Siap angkat bicara. Tapi mendadak orang di hadapannya telah mendahului buka mulut.

"Siapa kau?!" Orang ini perdengarkan suara tanpa memandang. Dia tetap mainkan dua butiran batu hitam, malah sejenak kemudian dia putar tubuh setengah lingkaran!

"Bukankah yang berdiri dihadapanku ini adalah Cucu Dewa?" tanya Joko lalu ikut-ikutan putar diri setengah lingkaran hingga keduanya saling memunggungi.

Orang bertubuh pendek tidak segera menjawab, membuat Joko melirik ke belakang. Saat itulah tiba-tiba orang di belakangnya membuat gerakan dengan gelengkan kepalanya.

Wuuutt!

Rambut hitam yang dikelabang dua berkelebat angker keluarkan suara menderu keras. Pendekar 131 kancingkan mulut rapat-rapat. Secepat kilat dia merunduk lalu melompat dan putar diri menghadap orang.

"Aku tanya siapa kau!" Orang bertubuh pendek kembali perdengarkan suara membentak. Bersamaan dengan itu sosoknya berputar. Sepasang matanya yang sipit mementang besar. Tangan kanannya tetap memainkan batu hitam dilempar-lemparkan ke atas setinggi dadanya saling bersimpangan dengan batu satunya.

"Aku Joko...!”

"Hem... Joko apa? Joko Kendil? Joko Loro? Joko Tingkir?!”

"Joko Sableng!"

"Nama buruk!" sahut orang bertubuh pendek sambil tertawa pelan. "Apa tujuanmu berada di sekitar rumahku? Sejak tadi kau sembunyi-sembunyi mengintai! Apa yang kau cari, hah?!"

"Hem... Dia telah tahu kalau aku berada di sini sudah agak lama!" kata Joko dalam hati lalu berkata. "Apa benar kau yang disebut orang Cucu Dewa?!"

"Aku tanya apa yang kau cari di sini!" sentak orang bertubuh pendek dengan mata makin dlpentangkan besar.

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala lalu buka mulut. "Aku mencari orang bernama Cucu Dewa!"

Orang di hadapan Joko sipitkan sepasang matanya, Diam-diam orang ini berkata sendiri dalam hati. "Sudah dua orang tak diundang mendadak muncul!"

"Apa tujuanmu mencari Cucu Dewa?!"

Karena tak mau dijebak orang yang baru dikenal apalagi orang itu belum katakan siapa dirinya, Joko gelengkan kepala seraya berkata pelan. "Aku tak bisa mengatakan sebelum aku jumpa dengan orang yang kucari!"

"Hem... Begitu? Kalau demikian, lekas angkat kaki dari hadapanku!"

"Aku tak akan pergi dari sini sebelum aku bertemu dengan orang yang kucari!" jawab Joko sambil menatap orang di hadapannya lekat-lekat.

Yang dipandang balas memandang hingga untuk beberapa saat kedua orang ini saling bentrok mata. Saat lain orang bertubuh pendek berpaling lalu berkata. "Siapa yang menyuruhmu datang ke sini?!"

"Gendeng Panuntun!"

Orang di hadapan Pendekar 131 telengkan kepalanya. Parasnya berubah.

"Kau mengenalnya?!" tanya murid Pendeta Sinting begitu melihat perubahan pada raut wajah orang.

"Aku tidak kenal! Hanya aku pernah dengar namanya! Apa hubunganmu dengan Gendeng Panuntun?!"

"Dia sahabatku!"

"Kenapa dia menunjukkan tempat ini padamu?!"

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Aku tak bisa mengatakan pada orang yang belum kuketahui siapa namanya! Harap maafkan!"

Orang bertubuh pendek di hadapan Joko bergumam tak jelas. Kejap lain dia buka mulut. "Akulah orang yang kau cari! Katakan apa tujuanmu sekarang!"

Pendekar 131 tidak segera menjawab. Sebaliknya memandang orang dengan tatapan menyelidik. "Sayang aku tak mengetahui apa ciri-ciri orang yang kucari. Namun kalau dia berada di sini, bukan tak mungkin memang dia orang yang kucari..."

"Kau tak mau jawab pertanyaanku...?" hanya itu yang diucapkan orang. Sesaat lain orang pendek ini telah putar tubuh lalu melangkah.

"Tunggu!"

Orang bertubuh pendek yang menyatakan diri sebagai orang yang dicari Joko yang berarti adalah Cucu Dewa hentikan langkah tanpa berkata.

Joko melangkah mendekat. Lalu angkat bicara. "Dalam dunia persilatan ada seorang tokoh bergelar Iblis Rangkap Jiwa. Menurut yang kudengar dia memiliki kesaktian luar biasa..."

"Pasti pertanyaanmu sama dengan pertanyaan orang yang datang mendahuluimu! Tapi teruskan!" tukas Cucu Dewa.

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. "Pasti yang dimaksud adalah gadis berjubah merah yang sebutkan diri bernama Putri Sableng itu! Benar-benar celaka kalau orang ini telah memberi petunjuk pada gadis itu!" pikir Joko dalam hati lalu teruskan ucapannya.

"Turut penjelasan orang yang kupercaya, hanya kaulah satu-satunya orang yang tahu kelemahan Iblis Rangkap Jiwa! Harap kau mau katakan kelemahan orang itu!"

"Kalau kau ingin tahu kelemahan orang, berarti kau punya niat jahat!"

"Jangan salah sangka! Aku tidak punya maksud buruk! Ini semata-mata hanya untuk berjaga-jaga!"

"Kenapa kau ingin mengetahui kelemahannya?!"

"Dia mengetahui tentang beradanya sebuah kitab sakti. Padahal kalau kitab itu sampai berada di tangan orang yang tidak bertanggung jawab, maka rimba persilatan akan celaka! Iblis Rangkap Jiwa mungkin saja tidak mau mengatakan di mana beradanya kitab sakti, malah mungkin akan berbuat yang tidak-tidak! Aku hanya menginginkan keterangan darinya di mana beradanya kitab itu!"

"Kau ingin mewarisi kitab itu?!" tanya Cucu Dewa.

Murid Pendeta Sinting tertawa pendek seraya gelengkan kepala. "Justru sebaliknya. Aku akan memusnahkan kitab itu!"

"Hem... Kalau tujuanmu begitu, baiklah! Tapi jika nantinya kau bertindak lebih dari sekadar mencari keterangan tentang beradanya kitab itu, dosanya kau tanggung sendiri! Setuju?!"

Murid Pendeta Sinting hanya anggukkan kepala. Sementara Cucu Dewa balikkan tubuh lalu berkata. "Mendekatlah kemari!"

Pendekar 131 terlihat bimbang. Seakan tahu apa yang ada dalam benak Joko, Cucu Dewa berujar.

"Hal ini adalah urusan pribadi orang yang hanya kalangan tertentu boleh mengetahuinya! Aku tak mau menanggung dosa jika ada orang lain yang mendengarnya!"

Murid Pendeta Sinting putar kepalanya dengan mata mendelik memandang sekitar. Belum sampai dia berkata, Cucu Dewa telah berkata mendahului.

"Di sekitar sini memang tidak ada orang! Tapi bagaimanapun juga aku harus berhati-hati! Ini menyangkut hidup mati seseorang!"

Mendengar ucapan Cucu Dewa, Joko segera melangkah mendekat. "Dekatkan telingamu ke mulutku!" kata Cucu Dewa.

"Busyet! Jangan-jangan orang ini..."

Belum sampai Joko teruskan kata hatinya, Cucu Dewa telah berujar. "Jangan bikin aku merubah niat!"

Mendengar ancaman orang, murid Pendeta Sinting cepat lakukan apa yang dikatakan Cucu Dewa. Telinganya didekatkan pada mulut orang. Cucu Dewa bergumam pelan. Kejap lain orang bertubuh cebol ini tarik pulang kepalanya dari telinga Joko. Bersamaan dengan itu murid Pendeta Sinting tampak melengak. Sepasang matanya membelalak dengan mulut menganga.

"Apakah dia tidak bercanda?!" bisik Joko lalu angkat kepalanya dengan senyum ditahan. Kejap lain dia luruskan kepalanya menghadap Cucu Dewa.

"Kedengarannya tak mungkin! Tapi kenyataannya memang demikian!" ujar Cucu Dewa sambil tersenyum.

Habis berkata begitu, Cucu Dewa gerakkan kedua kakinya memutar. Namun gerakan orang ini tertahan tatkala Joko menahan dengan berseru.

"Masih ada yang perlu kutanyakan padamu!"

Cucu Dewa kernyitkan dahi. "Kalau tidak mengingat kau sahabatnya Gendeng Panuntun, sudah ku usir kau sejak tadi! Lekas katakan!"

"Aku tadi melihat seorang gadis keluar dari kuil. Apakah dia muridmu? Atau barangkali Istrimu?!"

"Kau jangan berpura-pura!" kata Cucu Dewa masih tetap membelakangi.

"Aku tidak mengerti maksudmu!"

"Bagaimana ini? Dia tadi bilang kau adalah kekasihnya! Malah dia sempat titip salam untukmu! Dia sudah memastikan bahwa kau akan ke sini!"

Pendekar 131 tercengang mendengar ucapan Cucu Dewa. "Celaka!" gumamnya lalu melompat ke hadapan Cucu Dewa dan berkata. "Apakah dia tadi juga menanyakan seperti yang kutanyakan padamu? Apakah kau juga memberi keterangan padanya?!"

"Aku tidak bisa menolak permintaan orang. Apalagi yang meminta keterangan adalah seorang gadis berwajah cantik!"

"Benar-benar celaka!"

"Hai! Kau ini bicara apa?! Apa yang celaka? Apa gadismu itu kecelakaan? Kau memang harus bertanggung jawab jika itu terjadi! Tapi tak ada ruginya mengawini gadis cantik macam dia!"

"Ini bukan masalah untung atau rugi! Aku bukan kekasih gadis itu! Aku baru saja mengenalnya! Aku harus segera menyusul!"

"Terserah. Itu urusanmu! Kau susul boleh, tidak juga silakan! Kau katakan dia bukan kekasihmu, tak ada yang melarang! Kau akui dia kekasihmu, aku juga tidak akan merebut! Hanya..." Cucu Dewa tidak lanjutkan ucapannya membuat Joko langsung menyahut.

“Hanya apa?!"

"Kalau kau benar-benar tidak suka padanya, aku tidak keberatan mengambilnya sebagai kekasih!"

Murid Pendeta Sinting pentangkan sepasang matanya namun kejap lain dia perdengarkan tawa panjang. Begitu tawanya berhenti, Joko Jadi terkesiap sendiri. Sosok Cucu Dewa sudah tak kelihatan di tempat itu!

"Ke mana dia? Padahal aku masih perlu keterangan di mana beradanya Iblis Rangkap Jiwa... Aku akan masuk kuil. Pasti dia lenyap menuju ke sana!"

Murid Pendeta Sinting melangkah. Namun tiba-tiba dia hentikan langkahnya. Sepasang matanya tak berkesip memandang ke tempat di mana tadi Cucu Dewa tegak berdiri. Di atas tanah yang bercampur pasir, terlihat tulisan yang tidak begitu jelas namun masih bisa dibaca. Pergilah ke Bukit Selamangleng. Di sana akan kau temui orang yang kau cari.

"Hem... Dia seolah tahu apa yang hendak kutanyakan!" Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya ke arah kuil. Kejap lain dia balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu!

********************

BAB 4

MATAHARI baru saja tenggelam saat satu sosok bayangan berkelebat laksana dikejar setan mendaki Bukit Selamangleng. Dalam beberapa saat saja bayangan ini telah hampir mencapai puncak bukit yang saat itu tampak sunyi namun terang benderang karena cahaya sang rembulan telah memancar dari sebelah timur. Bayangan ini untuk sesaat hentikan larinya. Kepalanya bergerak berputar lalu tengadah lurus menghadap puncak bukit.

Ternyata dia adalah seorang gadis mengenakan jubah merah menyala. Paras wajahnya cantik. Sepasang matanya bulat dengan rambut hitam lebat dikuncir tinggi. Meski gadis ini tampak tidak buka mulut, namun mulutnya yang merah ranum terlihat bergerak-gerak seolah mengunyah sesuatu.

"Sepi! Tidak kulihat adanya gerakan orang! Di mana manusia yang katanya bergelar Iblis Rangkap Jiwa itu? Jangan-jangan Setan Jelek pemuda sedeng itu hanya mengarang cerita! Tapi keterangan Cucu Dewa..."

Gadis berjubah merah mendadak sunggingkan senyum. Ketegangan yang sejenak tadi terlihat di wajahnya lenyap. "Hampir tidak ku percaya ucapan Cucu Dewa. Tapi mungkinkah seorang tokoh macam dia memberi keterangan dusta? Hem... Aku ingin segera buktikan keterangan orang itu!"

Gadis berjubah merah yang saat berjumpa dengan Pendekar Pedang Tumpul 131 beberapa waktu yang lalu sebutkan diri dengan Putri Sableng teruskan kelebatannya ke puncak bukit. (Tentang pertemuan gadis ini dengan murid Pendeta Sinting baca serial Joko Sableng dalam episode Warisan Laknat).

Baru saja Putri Sableng injakkan sepasang kakinya di puncak bukit, tiba-tiba terdengar deruan dahsyat. Kejap lain satu gelombang luar biasa ganas menyambar ke arah si gadis. Karena telah waspada, Putri Sableng cepat bergerak menghindar dengan sentakkan kedua kakinya. Sosoknya berkelebat ke samping. Sambaran angin yang melabrak lewat satu jengkal di samping pundaknya!

Lolos dari serangan gelap, Putri Sableng cepat putar diri dengan kedua tangan diangkat dan sepasang mata terpentang besar. Namun gadis ini terkesiap sendiri. Dia tidak melihat siapa-siapa! Mungkin karena tidak sabar dan maklum kalau dia tidak berada sendirian di tempat itu, gadis ini buka mulut membentak.

"Mengapa tidak perlihatkan diri?!"

Belum lenyap suara Putri Sableng mendadak dari sebuah tanah yang agak menggunduk terdengar suara orang tertawa panjang. Namun laksana direnggut setan, suara tawa itu tiba-tiba terputus. Bersamaan dengan itu tanah yang menggunduk bergerak-gerak. Kejap lain tanah itu muncrat ke udara lalu tampaklah satu sosok tubuh!

Putri Sableng jerengkan sepasang matanya makin besar. Gerakan-gerakan mulutnya makin keras Namun sejauh ini dia tidak buka mulut bicara. Dia hanya perhatikan orang yang baru muncul. Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki berkepala gundul dengan mata besar menjorok keluar. Dia mengenakan pakaian compang-camping yang dibercaki tanah. Paras wajahnya hampir tidak tertutup daging. Laki-laki yang muncul dan bukan lain adalah Iblis Rangkap Jiwa adanya pentangkan mata besar-besar. Lalu tersenyum dan buka mulut.

"Tidak kuduga kalau malam-malam dingin begini aku kedatangan seorang bidadari! Sungguh sebuah rejeki besar! Gadis cantik nan jelita. Siapa namamu?"

"Melihat tampangnya. pasti inilah manusia bergelar Iblis Rangkap Jiwa itu! Tampangnya boleh juga, hik hik hik...!" Gadis berjubah merah tertawa sendiri dalam hati. Lalu angkat bicara sambil tersenyum.

"Kalau tidak salah lihat, bukankah orang yang tegak di hadapanku ini adalah seorang tokoh besar yang dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelar angker Iblis Rangkap Jiwa?"

Cuping hidung Iblis Rangkap Jiwa tampak mengembang. Bibirnya makin lebar perlihatkan senyum. Seraya melangkah mendekat dia berkata. "Apa yang kau katakan tidak salah, Anak Cantik! Sekarang aku tanya padamu, siapa namamu? Dan bukankah kau datang ke tempat ini tidak karena tersesat?"

Gadis berjubah merah balas tersenyum. Seraya bungkukkan sedikit tubuhnya dia berujar pelan. "Aku diberi nama orang tuaku Putri Sableng! Padahal aku tidak sableng! Hik Hik Hik... Aku sampai ke tempat ini memang tidak tersesat!"

Iblis Rangkap Jiwa sudah menebak apa jawaban sang gadis. Dari gerakan si gadis yang dapat hindarkan diri dari pukulannya, malah iblis Rangkap Jiwa sudah dapat meraba apa tujuan si gadis. Meski begitu, laki-laki berkepala gundul ini ajukan tanya.

"Kalau tidak tersesat, barangkali kau punya maksud?!"

"Jauh berjalan tentu punya maksud! Hik Hik Hik...!"

"Mau katakan apa maksudmu, Anak Cantik?!"

"Bertahun-tahun aku mendengar nama besarmu. Hal itu membuatku ingin jumpa!"

"Hanya itu tujuanmu datang ke sini?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa dengan kening yang hampir tak terbungkus daging bergerak mengernyit meski bibirnya masih sunggingkan senyum.

Yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala. "Aku selalu penasaran jika mendengar cerita orang. Hal itulah mungkin yang menyebabkan orang tuaku memberikan nama Sableng! Aku jarang pulang hanya karena ingin jumpa dengan orang yang ceritanya pernah kudengar!”

"Kau sekarang telah jumpa denganku. Apa yang sekarang akan kau lakukan?”

Putri Sableng putar tubuhnya sedikit. Lalu enak saja dia menjawab. "Pulang!"

Habis berkata begitu, gadis berjubah merah ini teruskan putaran tubuhnya lalu melangkah sambil teruskan ucapannya, "Selamat malam! Mudah-mudahan kalau ada saat yang baik aku ingin berkunjung ke sini lagi!"

Sesaat Iblis Rangkap Jiwa perhatikan gerakan tubuh si gadis. Kejap lain sosoknya berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Putri Sableng dengan sikap menghadang.

"Suasana telah gelap! Jalanan tentu sunyi! Apa tidak sebaiknya kalau pulang menunggu hari terang?!"

Gadis berjubah merah tertawa cekikikan. "Kau ini lucu! Suasana terang benderang begini kau katakan gelap! Atau kau memang suka bercanda!"

Iblis Rangkap Jiwa dongakkan kepala. "Ah... Mungkin karena kedatanganmu aku jadi salah ucap!" ujarnya lalu luruskan kepalanya dengan mata memandang tak berkesip.

Putri Sableng tertawa lalu menyisi dan teruskan langkahnya tanpa berkata. Namun langkah gadis ini tertahan. Karena mendadak Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan sekali lagi dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dua tindak dihadapan Putri Sableng dengan mata membeliak ke arah dadanya. Dipandangi begitu rupa, gadis berjubah merah tidak merasa Jengah, sebaliknya malah tertawa cekikikan hingga dadanya yang membusung bergerak-gerak turun naik membuat sepasang mata Iblis Rangkap Jiwa makin terpentang.

"Aku melihat sikapmu berubah! Apa sebenarnya yang kau inginkan?!"

Iblis Rangkap Jiwa tertawa pelan lalu berkata dengan suara bergetar. "Baru saat ini aku melihat gadis cantik sepertimu! Bagaimana kalau malam ini kita habiskan berdua di sini?!"

"Sebenarnya tawaran bagus..."

Paras wajah Iblis Rangkap Jiwa berubah. Namun cuma sekejap, saat lain raut wajahnya jelas membayangkan perasaan kecewa ketika Putri Sableng berkata.

"Jangan bergembira dahulu. Tawaranmu memang bagus. Namun karena saat ini masih ada yang harus kulakukan, dengan menyesal aku tak dapat memenuhi permintaanmu! Mungkin lain kali kita bisa bersenang-senang..."

"Apa kau ingin menemui seseorang?"

"Dari mana kau tahu?" Putri Sableng balik ajukan tanya dengan bibir tersenyum. Malah sepasang matanya tampak mengerling.

"Bukankah kau tadi mengatakan selalu penasaran dengan cerita orang?"

"Ah..." Putri Sableng mengeluh pendek lalu berkata. "Tebakanmu benar. Aku memang hendak menemui seseorang!"

"Mau katakan padaku siapa orang yang hendak kau temui?!"

"Aku tak dapat mengatakannya padamu! Ini urusan yang hanya orang tertentu yang mengetahuinya! Karena..."

Ucapan Putri Sableng terputus tatkala tiba-tiba Iblis Rangkap Jiwa gelengkan kepalanya sambil berkata menukas.

"Tidak ada urusan di dunia ini yang luput dari mata Iblis Rangkap Jiwa!"

Gadis berjubah merah unjukkan tampang terkejut. Belum sampai gadis ini buka mulut dan rasa kejutnya lenyap, Iblis Rangkap Jiwa telah buka mulut.

"Coba katakan siapa orang yang hendak kau temui! Aku pasti sudah dapat menebak apa urusannya!"

Putri Sableng gelengkan kepalanya. "Aku tetap tak bisa mengatakan padamu. Hanya mungkin kau nanti bisa menebak siapa orangnya kalau kau mengetahui apa urusannya..."

"Hem... Coba katakan apa urusan itu!"

Untuk beberapa saat Putri Sableng terdiam. Sepasang matanya memandang tajam pada laki-laki di hadapannya. Sejenak kemudian dia alihkan pandangannya kejurusan lain. Sementara Iblis Rangkap Jiwa menunggu. Sepasang matanya tak beranjak turun naik memandang ke arah leher, bibir, dan dada si gadis.

"Menurut cerita yang sempat kudengar, dalam rimba persilatan ada sebuah kitab sakti! Aku tak tahu apa nama kitab itu! Yang pasti sampai sekarang kitab itu ada..." Putri Sableng tak meneruskan keterangannya.

Sebaliknya dia memandang iblis Rangkap Jiwa. Di hadapannya, kening Iblis Rangkap Jiwa mengernyit. Namun wajahnya sama sekali tidak membayangkan rasa terkejut. Malah seraya terus pandangi dada Putri Sableng, dia berujar.

"Teruskan keteranganmu”

"Di mana beradanya kitab sakti itu, hanya orang yang hendak kutemui yang tahu... Terus terang, aku tidak punya niat apa-apa pada kitab itu. Aku hanya ingin buktikan benar tidaknya cerita yang kudengar!”

Iblis Rangkap Jiwa angkat kepalanya. Memandang tajam pada kedua bola mata si gadis. Seraya tersenyum dia berkata. "Hem... Apa yang kau maksud Kitab Hitam?!"

Putri Sableng kembali unjukkan tampang terkejut. Malah sepasang kakinya tersurut dua tindak ke belakang. Di hadapannya Iblis Rangkap Jiwa tertawa keras.

"Sudah kukatakan, tidak ada urusan di dunia yang luput dari mataku! Melihat perubahan sikapmu, aku bisa menebak kalau apa yang kukatakan benar!"

"Aku tidak menduga kalau kau tahu urusan ini! Padahal menurut cerita yang kudengar, hanya orang yang akan kutemui yang tahu urusan kitab itu!"

"Sekarang kau tahu bahwa aku mengetahui urusan kitab itu. Apakah kau masih ingin menemui orang yang kau katakan itu?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa sambil gerakkan tangan kanannya memegang tangan Putri Sableng.

Putri Sableng tidak coba menghindar, Malah dia diam saja tatkala tangan Iblis Rangkap Jiwa meremas tangannya. Hal ini membuat laki-laki berkepala gundul ini makin berani. Dia gerakkan tangan kirinya. Namun sebelum tangannya sempat menyentuh, Putri Sableng tepiskan tangan kanan Iblis Rangkap Jiwa lalu mundur sambil berkata.

"Meski kau tahu urusan kitab itu, aku tetap akan menemui orang yang kukatakan. Kecuali jika kau..."

"Aku akan mengatakan di mana beradanya kitab itu!" potong Iblis Rangkap Jiwa. Sambil berkata begitu tangan kanannya kembali bergerak. Namun terlambat. Karena Putri Sableng telah bergerak mundur.

"Aku masih sangsi apakah ucapanmu benar! Dan apakah kitab yang kau katakan itu kitab yang ku maksud!"

Mendengar ucapan Putri Sableng, Iblis Rangkap Jiwa dongakkan kepala. "Dengar, Anak Cantik! Di dunia ini hanya ada satu kitab sakti. Kitab itu adalah peninggalan seorang tokoh besar masa Kerajaan Singasari..."

"Kalau kitab itu benar-benar ada dan memang sebuah kitab sakti, mengapa kau tidak tertarik dengan kitab itu? Padahal kau tahu di mana beradanya kitab itu!"

"Kau jangan menduga aku mengarang cerita bohong, kata Iblis Rangkap Jiwa menangkap nada ucapan si gadis yang sepertinya tidak percaya. "Kitab itu betul-betul ada! Kalau aku tidak berusaha memilikinya padahal aku tahu di mana kitab itu, karena aku merasa sudah tua! Aku sudah tidak tertarik dengan segala macam kitab! Kalau kau menginginkan kitab itu, aku akan tunjukkan padamu! Tapi...!”

"Kau minta imbalan? Berapa kau minta?!" tanya Putri Sableng begitu Iblis Rangkap Jiwa tidak lanjutkan ucapannya.

"Bukan imbalan harta yang kuinginkan, Anak Cantik!!”

"Lalu imbalan apa yang kau inginkan?!" tanya Putri Sableng meski dia tahu apa sebenarnya yang menjadi keinginan laki-laki berkepala gundul itu.

Iblis Rangkap Jiwa luruskan kepala dengan sepasang mata memandang tajam. Lalu tanpa buka mulut lagi tangan kanannya menunjuk tepat ke arah tubuh Putri Sableng. Walau sudah menduga apa kehendak Iblis Rangkap Jiwa, namun begitu si laki-laki benar-benar menunjuk, gadis berjubah merah itu sempat membelalakkan sepasang matanya. Dan belum sempat Putri Sableng lakukan apa-apa, Iblis Rangkap Jiwa sudah gerakkan bahunya. Kejap lain sosoknya telah tepat di hadapan si gadis dengan kedua tangan mengembang siap memeluk. Namun Iblis Rangkap Jiwa jadi tersentak. Ketika kedua tangannya bergerak memeluk, gadis berjubah merah sudah tidak ada di hadapannya lagi!

"Hik Hik Hik...! Urusan bersenang-senang soal mudah! Tapi aku tidak mau kau bohongi!" terdengar suara Putri Sableng. Gadis ini telah tegak sejarak lima langkah di samping Iblis Rangkap Jiwa.

Dengan mata mendelik angker, Iblis Rangkap Jiwa berpaling. "Aku tidak berbohong padamu! Kitab itu benar-benar ada!"

"Bagaimana aku bisa percaya kalau tidak melihatnya sendiri?! Hik Hik Hik...! Kau baru memperoleh yang kau inginkan kalau aku benar-benar sudah membuktikan benar tidaknya keteranganmu!"

"Keparat! Gadis ini cerdik juga! Tapi jangan harap bisa lolos dari tanganku!" maki Iblis Rangkap Jiwa dalam hati. Lalu berkata.

"Kitab itu adalah sebuah kitab sakti! Dan sebenarnya terlalu murah jika hanya ditukar dengan tubuhmu!"

"Terserah! Yang pasti aku baru menuruti keinginanmu bersenang-senang jika aku sudah buktikan keteranganmu! Kalau kau tidak mau, masih ada orang lain yang mau memberitahukan padaku! Hik Hik Hik…!" Masih dengan tertawa cekikikan, gadis berjubah merah melangkah seakan hendak tinggalkan puncak Bukit Selamangleng.

"Tunggu!" tahan Iblis Rangkap Jiwa.

Putri Sableng hentikan langkahnya. "Waktu ku sangat terbatas. Harap segera beri keputusan!" katanya saat ditunggu agak lama Iblis Rangkap Jiwa belum juga buka suara.

"Kalau waktumu terbatas, sebaliknya aku sudah tak sabar!"

"Hai! Apa maksudmu?!" tanya Putri Sableng.

Iblis Rangkap Jiwa tertawa ngakak membuat gadis berjubah merah harus kerahkan tenaga dalamnya untuk menutup jalan pendengarannya. "Aku tak peduli kau ingin buktikan keteranganku lebih dahulu atau tidak. Yang pasti, sekarang juga kau harus melayaniku! Sudah puluhan tahun aku tidak menikmati dekapan seorang perempuan!"

Merasa gadis berjubah merah tidak mungkin menyerah begitu saja, Iblis Rangkap Jiwa berkelebat lalu dengan kerahkan sedikit tenaga dalamnya, kedua tangannya bergerak hendak merengkuh tubuh Putri Sableng. Namun Iblis Rangkap Jiwa terlengak. Putri Sableng bukannya bergerak selamatkan diri melainkan tetap tegak tanpa membuat gerakan apa-apa malah tersenyum dan pejamkan sepasang matanya!

Iblis Rangkap Jiwa tertegun. Tapi cuma sesaat. Saat lain kedua tangannya teruskan gerakannya. Seakan tak sabar, begitu tubuh si gadis telah masuk dalam rengkuhannya, kepalanya cepat didorong ke depan mencium wajah Putri Sableng. Namun gerakan kepala Iblis Rangkap Jiwa tertahan. Karena sesaat lagi kepalanya menyentuh wajah si gadis, gadis ini gerakkan kedua tangannya.

Buukkk!

Kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa yang memeluk tubuh Putri Sableng terlepas. Kejap lain sosoknya mencelat sampai dua tombak. Putri Sableng tidak sia-siakan kesempatan. Begitu tubuh Iblis Rangkap Jiwa terhuyung hendak roboh, si gadis melesat ke depan. Kaki kanannya terangkat membuat satu tendangan ke arah dada.

Sejengkal lagi tendangan gadis berjubah merah telak menghantam dada Iblis Rangkap Jiwa, tiba-tiba Iblis Rangkap Jiwa gerakkan kedua tangannya seolah hendak lindungi kepala dan dadanya dari tendangan orang. Bersamaan dengan itu mendadak Putri Sableng keluarkan seruan tertahan karena terjadi hal yang sungguh di luar dugaannya!

BAB 5

WALAU gerakan kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa seolah hanya untuk lindungi dada dan kepala dari tendangan kaki gadis berjubah merah, namun saat itu juga Putri Sableng rasakan ada satu gelombang luar biasa dahsyat yang bukan saja mampu membuat tendangannya tertahan, namun juga dapat membuat tubuhnya terdorong deras sampai satu tombak ke belakang! Putri Sableng tegak dengan sepasang kaki bergetar dan mata terpentang besar tak berkesip. Mulutnya yang bergerak-gerak terhenti seketika.

"Melihat begitu dahsyat kepandaiannya, mungkinkah keterangan Cucu Dewa akan terbukti? Kalau tidak, benar-benar celaka nasibku!" diam-diam si gadis merasa bimbang.

Di seberang sana, begitu sosok Putri Sableng mencelat karena bisa gerakan kedua tangannya, Iblis Rangkap Jiwa segera bergerak bangkit. Seakan tidak rasakan pukulan yang baru saja bersarang di dadanya, laki-laki ini melangkah ke arah Putri Sableng dengan bibir sunggingkan senyum seringai dingin.

"Aku berniat baik padamu! Tapi nyatanya kau yang membuat urusan!" Iblis Rangkap Jiwa hentikan ucapannya sejenak. Memandang lurus ke arah si gadis sebelum akhirnya melanjutkan. "Namun aku masih berbaik hati padamu! Kau bersedia melayaniku dengan baik-baik, maka aku masih akan tunjukkan di mana beradanya kitab itu padamu! Jika tidak, bukan saja kau tidak akan mengetahui beradanya kitab itu, tapi juga kau tidak akan turun dari puncak bukit Ini untuk selama-lamanya!"

Untuk beberapa saat Putri Sableng terdiam. Sementara Iblis Rangkap Jiwa hentikan langkah dua tindak di hadapannya.

"Aku menunggu keputusanmu!"

Karena Putri Sableng tidak juga buka suara, Iblis Rangkap Jiwa palingkan kepala seraya berkata. "Hem... Mungkin kau menunggu aku yang memberi keputusan?!"

Gadis berjubah merah tidak mengangguk atau menggeleng juga tidak buka mulut, membuat Iblis Rangkap Jiwa anggukkan kepalanya.

"Baiklah. Aku kini yang memutuskan! Dengar baik-baik! Kau harus melayaniku dan tidak akan mendapat imbalan apa-apa dariku!" Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa bergerak. Tangan kanannya merentang dengan kaki kiri menghentak tanah. Namun sebelum tangan dan kaki Iblis Rangkap Jiwa bergerak, Putri Sableng telah dorong kedua tangannya.

Wuuuuttt!

Tidak terdengar deruan suara gelombang, Tapi saat itu juga satu gelombang dahsyat melabrak ganas dengan membawa angin berputar-putar! Iblis Rangkap Jiwa tidak berusaha membuat gerakan menghindar meski tahu si gadis telah mendahului lancarkan pukulan, Laki-laki ini teruskan gerakannya hingga bersamaan dengan itu terdengar suara berdebam. Kejap lain puncak Bukit Selamangleng bergetar hebat. Lalu dari tangan kanannya melesat satu gelombang dahsyat memangkas gelombang yang keluar dari kedua tangan si gadis.

Bummmmm!

Terdengar ledakan dahsyat. Angin berputar-putar dari dorongan kedua tangan Putri Sableng seketika hancur ambyar dan semburat ke udara. Sosok gadis ini terlempar deras sampai dua tombak sebelum akhirnya jatuh terjengkang dengan tubuh bergetar keras dan kedua tangan kaku laksana tak bisa digerakkan!

Di seberang sana, sosok Iblis Rangkap Jiwa hanya bergoyang-goyang sebentar lalu laksana didorong kekuatan luar biasa, sosoknya melesat ke arah Putri Sableng dengan perdengarkan suara tawa ngakak. Maklum bahaya yang sedang mengancam, gadis berjubah merah tidak tinggal diam. Dia cepat kerahkan segenap tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Lalu berguling di atas tanah. Kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan. Iblis Rangkap Jiwa putuskan tawanya. Namun laki-laki ini tidak urungkan kelebatan tubuhnya. Hanya bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak lakukan pukulan.

Wuuuusss

Gelombang yang datang ke arah Iblis Rangkap Jiwa tersapu amblas. Putri Sableng berseru tertahan. Gadis ini cepat rapatkan tubuhnya di atas tanah untuk menghindar dari gelombang yang kini menggebrak dari kelebatan tangan Iblis Rangkap Jiwa. Namun tak urung sosok gadis berjubah merah masih tersapu hingga mencelat mental dan kembali jatuh terjengkang dengan mulut keluarkan darah!

"Celaka! Bagaimana kalau dia benar-benar laksanakan niatnya? Apa boleh buat. Satu-satunya jalan selamatkan diri adalah lakukan keterangan Cucu Dewa, meski aku sendiri tidak yakin benar!" gumam si gadis lalu dengan cepat dia kerahkan sisa tenaga dalamnya. Terhuyung-huyung dia bangkit. Lalu balikkan tubuh.

Di seberang Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan sepasang mata mendelik perhatikan gerakan gadis berjubah merah. Tulang keningnya bergerak-gerak dan bola matanya berputar liar tatkala mengetahui apa yang dilakukan si gadis. Dengan gigit bibirnya, Putri Sableng perlahan-lahan menarik bagian bawah jubah merahnya. Iblis Rangkap Jiwa makin mendelik saat Putri Sableng terus menarik bagian bawah jubahnya ke atas hingga kini betisnya yang putih mulus dan kencang terlihat jelas.

Ha Ha Ha...! Rupanya kau menginginkan permainan asyik!" ujar Iblis Rangkap Jiwa membuat Putri Sableng sesaat hentikan gerakan tangannya.

Putri Sableng mendongak. "Sialan benar! Apa aku akan teruskan hal ini? Tapi... Tidak ada jalan lain!" Putri Sableng gerakkan kembali tangannya yang menarik jubah bagian bawahnya hingga kini pahanya yang putih mulus dan padat terpampang jelas! Membuat Iblis Rangkap Jiwa makin perkeras suara tawanya.

"Benar-benar luar biasa! Putih mulus dan padat!" seru Iblis Rangkap Jiwa. Putri Sableng tidak hiraukan ucapan orang. Dia terus tarik bagian bawah jubahnya. Namun gadis ini menjadi bimbang.

"Sialan! Mengapa dia masih terus tertawa ngakak? Padahal seharusnya dia sudah terkejut dan..."

"Diintip marah-marah, tapi kini dipertontonkan pada orang! Dasar gadis sableng!"

Satu suara tiba-tiba terdengar membuat gadis berjubah merah putuskan membatin dan cepat-cepat lepaskan jubahnya yang sudah tersingkap hampir sampai pantatnya! Dia maklum jika suara yang baru terdengar bukan suara Iblis Rangkap Jiwa. Dengan wajah merah padam dia segera berputar.

Iblis Rangkap Jiwa sendiri tampak terkesiap. Dia sadar, kalau tiba-tiba ada orang lain muncul tanpa dia bisa mengetahuinya, jelas siapa pun adanya orang pasti memiliki tingkat kepandaian yang tidak rendah. Dengan sepasang mata mendelik angker, laki-laki berkepala gundul ini cepat putar diri menghadap sumber suara yang baru terdengar.

"Jahanam! Siapa kau?!" bentak iblis Rangkap Jiwa. Orang yang dibentak tengadahkan kepala lalu tertawa panjang. Puas tertawa dia berujar tanpa memandang pada orang yang membentak atau pada gadis berjubah merah yang tegak dengan sepasang mata membesar dan mulut komat-kamit.

"Kau hari ini bernasib mujur, Orang Tua! Bisa melihat paha putih mulus milik seorang gadis cantik! Bagaimana kalau nasib mujur itu kita bagi sama?"

"Keparat! Kalau kau tidak lekas sebutkan diri, tidak sulit bagiku membuat tubuhmu terlempar ke dasar bukit!” iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kirinya.

Orang yang diancam luruskan kepala menghadap Iblis Rangkap Jiwa. Ternyata dia adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih. Rambutnya gondrong sedikit acak-acakan? dengan Ikat kepala berwarna putih. Si pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 menatap sejurus pada Iblis Rangkap Jiwa, lalu berpaling pada gadis berjubah merah. Mulut murid Pendeta Sinting tersenyum. Putri Sableng buang muka dengan muka merah padam.

"Hem... Pasti ini manusianya yang berjuluk Iblis Rangkap Jiwa! Dan gadis itu telah lakukan apa yang diucapkan Cucu Dewa, tapi kenapa tidak ada pengaruhnya? Jangan-jangan Cucu Dewa memang bercanda!" membatin Pendekar 131.

"Keparat! Kau benar-benar tidak bias dikasih hati!" hardik Iblis Rangkap Jiwa.

"Sabar, Orang Tua! Aku datang ke sini tidak mencari urusan denganmu... Kedatanganku kemari untuk menyusul kekasihku itu! Harap maafkan kalau kekasihku itu bertindak kurang ajar padamu! Dia itu anak sableng!"

Sepasang mata besar milik Iblis Rangkap Jiwa menyipit. "Siapa percaya kalau gadis itu kekasihmu! Kalaupun benar, perlu kau ketahui, Bocah! Sejak malam ini rela tidak rela dia harus kau serahkan padaku! Dan lekas menyingkir dari sini!"

Mungkin untuk meyakinkan, murid Pendeta Sinting menyahut. "Kalau hanya itu permintaanmu, aku tidak keberatan! Kurasa aku masih bisa mencari gadis lain yang cantik dan tidak sableng! Namun sebelumnya aku harus tahu dahulu siapa nama orang yang meminta kekasihku! Kau tidak keberatan bukan sebutkan nama?!"

"Yang bicara ini adalah Iblis Rangkap Jiwa!"

Pendekar 131 perdengarkan tawa pendek. Sementara Putri Sableng terlihat pasang tampang cemberut dan menggumam tak jelas.

"Orang tua! Jangan mengada-ada! Nama Iblis Rangkap Jiwa memang pernah kudengar namun menurut kabar, orang itu telah mati pada ratusan tahun yang lalu! Jadi harap Jangan berkata dusta padaku karena..."

Kini ganti Iblis Rangkap Jiwa yang perdengarkan tawa hingga Joko putuskan ucapannya. "Dalam rimba persilatan, kabar burung memang tidak asing lagi, Bocah...! Sekarang terserah padamu mau percaya atau tidak! Yang jelas akulah manusianya yang bergelar Iblis Rangkap Jiwa!"

"Masalahnya sekarang bukan percaya atau tidak! Yang jelas manusia bergelar Iblis Rangkap Jiwa mengetahui sebuah rahasia!" kata Joko dengan mata mengerling pada Putri Sableng.

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, Iblis Rangkap Jiwa sunggingkan senyum seringai. Diamdiam lelaki itu berkata dalam hati. "Hem... Rupanya saat ini kabar tentang kitab itu sudah tersiar luas! Jahanam betul! Kalau aku tidak bisa segera merebut dari tangan keparat yang menggelari diri dengan Malaikat Penggali Kubur itu, hidupku hanya akan menjadi bahan tanya jawab orang!"

"Anak muda! Aku tahu apa yang kau maksud dengan rahasia! Tapi sebelum kusebutkan rahasia itu, katakan dahulu siapa kau?"

"Aku Joko... Joko Sableng!"

Iblis Rangkap Jiwa sedikit tersentak dengan mata terpentang "Hm... Jadi ini manusianya yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng..." Iblis Rangkap Jiwa luruskan pandangan pada Putri Sableng.

"Hem... Yang gadis Putri Sableng yang pemuda Joko Sableng. Jangan-jangan dua orang ini bukan sepasang kekasih, melainkan saudara seperguruan. Tapi apa peduliku? Aku memang punya tugas untuk meringkus Pendekar 131, tapi itu bisa ditunda. Sekarang aku menginginkan gadis itu malam ini!"

Habis membatin begitu, Iblis Rangkap Jiwa berujar. "Bukankah yang kau maksud rahasia adalah sebuah kitab sakti?!"

Murid Pendeta Sinting tidak menjawab ucapan orang, sebaliknya dia bungkukkan tubuh menjura seraya berkata. "Sungguh tak kuduga kalau aku dapat jumpa dengan seorang tokoh rimba persilatan yang namanya tetap dikenang orang meski sudah berlalu beberapa ratus yang lalu..."

Melihat tingkah Joko, Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak. Namun mendadak suara tawanya diputus. Kejap lain dia perdengarkan bentakan keras. "Kau telah tahu siapa yang kau hadapi saat ini! Jangan bertindak bodoh tidak turuti ucapanku! Lekas minggat dari hadapanku!"

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala, "Keteranganmu belum cukup kuat membuktikan kalau kau adalah Iblis Rangkap Jiwa. Karena iblis Rangkap Jiwa bukan hanya mengetahui rahasia tentang kitab itu melainkan juga mengetahui dimana beradanya kitab itu! Bagaimana? Apa kau tahu di mana beradanya kitab itu?!"

Sepasang mata Iblis Rangkap Jiwa kontan mendelik besar. Melihat gelagat tidak baik, murid Pendeta Sinting segera tersenyum lalu berkata.

"Jangan salah menduga! Aku hanya ingin buktikan kalau aku benar-benar jumpa dengan tokoh Iblis Rangkap Jiwa! Tidak ada maksud lain! Lagi pula imbalan yang kuberikan padamu seorang gadis yang bukan hanya berwajah cantik, tapi juga bertubuh bagus berkulit mulus! Jika kau benar-benar Iblis Rangkap Jiwa, rasanya aku tidak punya beban apa-apa menyerahkannya padamu!"

Mendengar ucapan Pendekar 131, Putri Sableng menyumpah-nyumpah dalam hati. Malah seolah tak sabar, gadis berjubah merah ini segera angkat bicara. "Jaga ucapanmu, Pemuda Setan!"

Joko tidak hiraukan ucapan Putri Sableng, sebaliknya memandang pada Iblis Rangkap Jiwa dan berkata. "Bagaimana? Kau mau buktikan padaku?!"

Iblis Rangkap Jiwa kancingkan mulut tidak menjawab. Namun begitu Joko hendak ajukan tanya lagi, dia buka mulut membentak. "Aku akan menunjukkan di mana beradanya kitab itu, tapi kau harus rasakan dahulu bagaimana enaknya mati muda!"

Murid Pendeta Sinting unjukkan tampang terkesiap. "Walah, bagaimana bisa begini? Bukankah aku telah relakan gadisku untuk kau miliki? Mengapa sekarang sepertinya kau inginkan nyawaku? Kau tidak sedang bercanda?"

"Aku tahu kapan saat bercanda! Lagi pula tidak ada gunanya bercanda dengan manusia macam kau!"

"Tunggu! Kalau begitu aku juga menarik gadisku!" Tanpa hiraukan orang yang saat itu memandang angker padanya, murid Pendeta Sinting melangkah ke arah Putri Sableng yang saat itu memandang dengan mulut bergerak-gerak.

"Jangan bergerak dari tempatmu! Sekali kau melangkah, selembar nyawamu putus!" hardik Iblis Rangkap Jiwa seraya acungkan tangan kanannya.

Pendekar 131 hentikan langkah. Kepalanya berpaling. Mendadak sepasang kakinya tersurut mundur. Laksana kilat, sosok Iblis Rangkap Jiwa bergerak satu kali. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan hidungnya dengan kedua tangan lakukan pukulan ke arah kepala!

Wuuuutt!

Dua gelombang dahsyat telah menyambar mendahului kedua tangan. Kalau Joko tidak cepat melompat selamatkan diri, niscaya kepalanya akan langsung retak terkena hantaman kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa yang mendadak saja sudah berkelebat laksana saling susul menyusul dengan gelombang yang menyambar.

Mendapati hantaman kedua tangannya tidak mengenai sasaran, tulang rahang Iblis Rangkap Jiwa tampak mengembung. Tulang pelipisnya bergerak-gerak. Sementara Joko cepat kerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangannya.

"Ucapan Raja Tua Segala Dewa benar! Manusia satu ini memiliki kepandaian luar biasa, Aku akan celaka sendiri kalau..."

Gumaman murid Pendeta Sinting terputus. Di depan sana Iblis Rangkap Jiwa hentakkan sepasang kakinya di atas tanah. Terdengar suara berdebam keras. Saat bersamaan puncak Bukit Selamangleng laksana dilanda gempa dahsyat. Joko dan gadis berjubah merah rasakan tubuh masing-masing laksana disentakkan kekuatan dari bawah hingga saat itu juga tubuh keduanya terlontar ke udara! Selagi tubuh kedua orang itu di atas udara, Iblis Rangkap Jiwa ayunkan kedua tangannya lalu didorong ke atas.

Melihat gerakan orang, Joko cepat gerakkan kedua tangannya lancarkan pukulan. Saat itu juga tampak menyambar seberkas sinar semburat kan warna kuning dengan membawa gelombang berhawa luar biasa panas. Tanda murid Pendeta Sinting telah lepaskan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.

Melihat Joko lepaskan pukulan, Putri Sableng yang meski tidak mendapat serangan kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa cepat pula dorong kedua tangannya ke bawah. Hingga saat itu juga dari tangannya melesat dua gelombang membawa angin berputar-putar dahsyat.

Mendapati dua serangan dari dua jurusan, tidak membuat Iblis Rangkap Jiwa terkejut. Sebaliknya dia hadapi serangan orang dengan senyum seringai. lalu tarik tangan kirinya. Kini tangan kanan didorong ke arah murid Pendeta Sinting sementara tangan kiri ke arah Putri Sableng.

Terdengar dua kali dentuman keras. Sinar kuning dari kedua tangan Pendekar 131 dan gelombang dahsyat berputar-putar dari kedua tangan Putri Sableng bertabur di udara ciptakan lidah api. Bersamaan dengan itu sosok murid Pendeta Sinting tersapu dan balik terlontar lebih tinggi ke udara. Begitu juga sosok gadis berjubah merah.

Di bawah sana, Iblis Rangkap Jiwa terdengar berseru tertahan. Sosoknya terhuyung-huyung. Namun belum sampai jatuh terjerembab di atas tanah laki-laki ini gerakkan bahunya dua kali berturut-turut. Kejap lain sosoknya terhenti. Meski bentrok nya pukulan Iblis Rangkap Jiwa dengan pukulan Joko dan Putri Sableng sempat membuat sosok laki-laki berkepala gundul ini terhuyunghuyung, namun wajahnya hanya berubah sejenak. Saat lain dia perdengarkan tawa bergelak seraya arahkan pandangannya pada sosok murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng yang baru saja injakkan kaki di atas tanah.

Baik paras Joko maupun Putri Sableng tampak berubah. Malah kedua tangan masing-masing orang terlihat bergetar keras. Murid Pendeta Sinting melirik pada Putri Sableng. Lalu mata kirinya mengerdip. Joko memberi isyarat agar keduanya bergabung untuk hadapi Iblis Rangkap Jiwa karena Joko sadar, orang yang dihadapi saat ini bukan lawan sembarangan. Namun isyarat mata Joko ditangkap lain oleh si gadis. Gadis berjubah merah ini mendelik sambil buang muka dan bergumam,

"Dasar Setan Jelek! Keadaan sudah begini masih juga bermain mata!"

Murid Pendeta Sinting menarik napas panjang tatkala melihat isyaratnya ditangkap lain oleh Putri Sableng. "Apa boleh buat! Aku harus pergunakan ilmu yang baru saja ku peroleh..."

Tanpa menunggu lama, murid Pendeta Sinting kerahkan tenaga dalamnya pada tangan kirinya. Saat itu juga tangan kirinya berubah warna menjadi biru, Inilah tanda kalau dia telah siap hendak lancarkan Ilmu pukulan 'Serai Biru’.

"Hem... Keluarkan semua ilmu milikmu, bocah!” ujar Iblis Rangkap Jiwa lalu melangkah dua tindak ke depan seakan hendak menyongsong pukulan yang akan dilepas murid Pendeta Sinting.

"Menurut Raja Tua Segala Dewa manusia ini kebal pukulan! Apa dia tidak mempan dengan pukulan 'Serat Biru'?!" Pendekar 131 cepat tarik tangan kirinya. Lalu didorong ke depan.

Wuuutt! Wuuutt!

Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat serat-serat laksana benang berwarna biru terang. Sepasang mata Iblis Rangkap Jiwa sesaat terbeliak. Laki-laki ini rupanya maklum kalau pukulan yang kini menggebrak ke arahnya tidak boleh dianggap remeh. Laki-laki yang semula hendak menyongsong pukulan lawan dengan unjukkan dadanya ini mundur dua tindak. Lalu kedua tangannya bergerak.

Wuuutt! Wuuutt!

Terdengar deruan keras. Lalu dua gelombang luar biasa dahsyat melesat ke arah murid Pendeta Sinting memangkas serat-serat biru. Melihat hal itu, Putri Sableng tak sia-siakan kesempatan. Gadis berjubah merah ini cepat kerahkan tenaga dalamnya lalu lepaskan pukulan ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Iblis Rangkap Jiwa berseru keras.

"Jahanam! Beraninya kau bertindak pengecut hendak membokongku!"

Putri Sableng tanggapi seruan orang dengan tertawa cekikikan. Malah dia lipat gandakan tenaga dalamnya lalu dorong tangannya sambil menyusuli pukulannya. Iblis Rangkap Jiwa tersentak. Karena begitu akan lepaskan pukulan memangkas serangan Putri Sableng, gelombang yang dilepaskan ke arah Joko laksana dibungkus dan dililit benang hingga bukan saja dalam waktu sekejap tertahan di udara namun juga segera ambyar semburat kian kemari! Malah dengan aneh, serat-serat yang baru saja membuyarkan pukulannya menerabas melabrak ke arahnya!

Iblis Rangkap Jiwa terlihat bimbang. Kalau dia memangkas pukulan Putri Sableng, jelas serat-serat biru terang akan melabrak dirinya. Kalau dia memangkas serat-serat biru, pukulan yang dilancarkan Putri Sableng pasti akan telak menghantam tubuhnya. Meski Iblis Rangkap Jiwa merasa segala pukulan yang mengenal dirinya tidak akan terasa, namun lambat laun pertahanannya akan jebol apalagi pukulan yang melabraknya bukan lagi pukulan yang bisa dianggap sepele.

Belum sampai iblis Rangkap Jiwa membuat putusan, serat-serat biru laksana benang telah dua langkah di depannya, sementara gelombang pukulan Putri Sableng satu tombak di belakangnya. Iblis Rangkap Jiwa kerahkan tenaga dalamnya lalu cepat pukulkan kedua tangannya ke depan tepat saat serat-serat biru di depannya.

Desss! Desss! Dessss! Desssss!

Serat-serat biru laksana benang terputus lalu bertabur ke udara. Di depan sana sosok murid Pendeta Sinting terhuyunghuyung lalu jatuh terduduk dengan muka pias. Iblis Rangkap Jiwa sendiri langsung terdorong ke belakang. Namun gerakan tubuh laki-laki ini tertahan karena bersamaan dengan terdorongnya tubuh ke belakang, pukulan Putri Sableng datang menggebrak dari belakang.

Bukkk! Desss!

Tak pelak lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa terdorong ke depan. Kejap lain sosoknya tersungkur jatuh telungkup! Melihat Iblis Rangkap Jiwa roboh, meski masih merasakan sakit pada sekujur tubuhnya, Joko cepat bangkit lalu hendak berkelebat. Namun Putri Sableng angkat tangan kanannya memberi isyarat agar Joko urungkan niat.

Mungkin masih merasa jengkel dengan isyaratnya tadi yang ditangkap lain oleh Putri Sableng, Joko tidak hiraukan isyarat si gadis. Dia teruskan langkahnya ke arah robohnya Iblis Rangkap Jiwa. Baru saja murid Pendeta Sinting melangkah tiga tindak, tiba-tiba Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan dengan gulingkan tubuhnya. Saat bersamaan kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan. Meski murid Pendeta Sinting sudah waspada namun dia jadi terlengak. Karena baru saja kedua tangannya bergerak, gelombang yang menyambar keluar dari kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa telah melabrak ganas!

"Pemuda setan geblek!" terdengar seruan dari Putri Sableng. Bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan ke arah Iblis Rangkap Jiwa.

Desss!

Karena Iblis Rangkap Jiwa tidak hiraukan pukulan si gadis, maka dengan telak pukulan Putri Sableng menghantam tubuhnya. Meski Iblis Rangkap Jiwa hanya berseru tertahan tanpa bayangan rasa sakit, namun tak urung juga tubuhnya terlontar sampai satu tombak. Hal ini membuat pukulannya yang dilancarkan pada Pendekar 131 melenceng meski masih sempat menerabas pundak.

Pendekar 131 tersapu dan terhuyung-huyung. Pakaian bagian pundaknya robek menganga dan hangus. Belum sempat Joko membuat gerakan untuk menahan tubuhnya, satu sosok tubuh sudah tegak di belakangnya hingga huyungan tubuhnya terhenti. Menduga bahwa yang menahan gerakan tubuhnya Putri Sableng apalagi tatkala dilihatnya gadis berjubah merah Itu tidak ada lagi di tempatnya semula, tanpa berpaling lagi murid Pendeta Sinting berkata.

"Terima kasih kau selamatkan aku! Kita sekarang bersahabat! Kalau suatu saat aku mengintipmu mandi, kuharap kau tidak marah-marah lagi!"

Tidak terdengar sahutan. Namun karena sosok dibelakangnya masih tegak meski tidak terlalu rapat, Joko kembali berujar.

"Kita mendapat keterangan sama dari Cucu Dewa. Kulihat kau tadi telah coba lakukan, namun nyatanya tidak berpengaruh! Malah mata manusia iblis itu makin mendelik melihat pantatmu yang putih padat dan besar! Jangan-jangan Cucu Dewa membohongi kita... Dia bersekongkol dengan manusia Iblis itu agar memperlihatkan pantat bagusmu padanya!"

Belum terdengar sahutan. Malah bersamaan dengan itu terdengar suara orang tertawa cekikikan tertahan dari arah sebelahnya, membuat Joko terkesiap. Joko maklum kalau di tempat itu sekarang bukan hanya ada Putri Sableng namun ada orang lain lagi! Murid Pendeta Sinting cepat putar diri. Sepasang matanya kontan melotot besar dengan mulut menganga tanpa keluarkan suara!

BAB 6

SEJARAK lima langkah dari tempatnya berdiri, terlihat Putri Sableng tegak dengan tertawa tertahan. Kepala gadis berjubah merah ini mendongak dengan bahu berguncang-guncang. Sementara tepat di depannya terlihat tegak seorang laki-laki bertubuh pendek berambut panjang lebat hitam yang dikelabang dua. Orang ini tersenyum tanpa berkata apa-apa.

"Cucu Dewa!" seru Joko dengan suara seakan tercekat di tenggorokan.

Laki-laki bertubuh pendek dengan rambut dikelabang dua dan bukan lain adalah Cucu Dewa anggukkan kepala lalu berujar. "Kau masih ingin mengintipku mandi?"

Paras wajah Joko berubah merah padam. Dia berpaling pada Putri Sableng namun sebelum dia sempat buka mulut, si gadis telah mendahului.

"Mengapa tidak kau jawab pertanyaan orang?!"

Belum ada suara jawaban yang terdengar, mendadak dari arah depan terdengar deruan luar biasa dahsyat. Lalu terlihat gelombang kabut berwarna hitam pekat menyungkup tempat itu!

"Pejamkan mata. Cepat menyingkir!" terdengar Cucu Dewa berteriak.

Bersamaan itu Cucu Dewa gerakkan kedua tangannya mendorong tubuh murid Pendeta Sinting hingga terdorong sampai dua tombak. Kejap lain laki-laki ini berkelebat ke samping. Putri Sableng tidak tinggal diam. Tanpa berpikir panjang lagi dia cepat melompat. Kabut hitam yang datang bergelombang menyapu tanah di mana Joko, Cucu Dewa, dan Putri Sableng tadi berada. Lalu di depan sana tampak dua batang pohon berderak tumbang!

Iblis Rangkap Jiwa yang baru saja kirimkan pukulan tampak mendengus keras melihat pukulannya tidak mengenal sasaran. Orang ini cepat putar sepasang matanya. Di depan sana terlihat Cucu Dewa berbisik pada Joko. Kejap lain keduanya berkelebat ke arah tegaknya Putri Sableng. Baru saja ketiganya berkumpul dan belum sempat ada yang buka mulut, dari arah depan kembali menghampar gelombang kabut hitam pekat.

"Menyingkir berpencar! Tapi lekas bersatu lagi!" bisik Cucu Dewa lalu mendahului berkelebat.

Joko segera menyusul dengan berkelebat mengambil arah ke samping kanan. Saat bersamaan Putri Sableng melompat ke arah berlawanan dengan murid Pendeta Sinting. Untuk kedua kalinya puncak Bukit Selamangleng dilanggar gelombang luar biasa dahsyat. Pohon-pohon yang ada di puncak bukit itu rata tersapu tumbang. Tanahnya muncrat ke udara. Melihat hal itu, Joko angkat kedua tangannya. Dia berpikir kalau hal itu tidak dihentikan, bukan tak mungkin akan membahayakan. Namun baru saja kedua tangannya berubah warna, Cucu Dewa telah berteriak.

"Tahan seranganmu! Percuma kau buang-buang tenaga! Bagaimanapun kehebatan ilmu yang kau miliki, tetap saja tidak akan bisa melukainya!"

Joko berpaling. Karena saat itu dilihatnya Cucu Dewa melambai, murid Pendeta Sinting cepat berkelebat mendekat Pada saat bersamaan Putri Sableng juga berkelebat.

"Cepat lakukan apa yang pernah kukatakan pada kalian berdua!" kata Cucu Dewa.

Murid Pendeta Sinting pandangi Cucu Dewa den- gan kening mengernyit. Di sebelahnya Putri Sableng mendelik lalu bergumam. "Aku tak mau lakukan itu!"

"Terserah kalau kalian tak mau lakukan apa yang kukatakan! Tapi jangan harap kalian bisa lolos dari tempat ini dengan selamat!"

"Biar dia saja yang melakukan!" kata Putri Sableng.

Cucu Dewa gelengkan kepala. "Tidak bisa! Kalian berdua harus melakukannya sama-sama. Jika hanya, salah satu, tidak ada artinya!"

Mendengar ucapan Cucu Dewa, Putri Sableng terlengak. "Sialan! Mengapa dia tidak mengatakan hal itu waktu aku meminta keterangan beberapa waktu lalu? Kalau tahu begitu, tidak sudi aku datang ke tempat ini!"

Kalau Putri Sableng membatin begitu, Joko diam-diam juga berkata dalam hati. "Hem... makanya walau gadis itu telah lakukan apa yang dikatakan Cucu Dewa tapi tidak ada pengaruhnya! Tidak sangka kalau hal itu harus dilakukan bersama-sama..."

"Bagaimana kalau yang lakukan pemuda sedeng itu dengan kau?!" tanya Putri Sableng pada Cucu Dewa.

Kembali Cucu Dewa gelengkan kepalanya. "Selain aku tidak ikut punya kepentingan dengan urusan kalian, percuma kalau aku yang melakukannya! Karena hal itu harus dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan!"

"Aturan gendeng!" ujar Putri Sableng.

"Terserah kau katakan apa! Yang jelas kalau kalian ingin selamat hanya itu satu-satunya jalan!"

"Apa boleh buat! Kita harus melakukannya!" kata murid Pendeta Sinting.

"Enak saja bicara! Kau bicara begitu karena kau ingin lihat pantatku!" sahut Putri Sableng.

"Aku sudah lihat bukan hanya pantatmu! Tapi..."

"Sudah! Tidak ada gunanya saling tunjuk! Kalian harus cepat bertindak. Kalau tidak, bersiaplah menerima kematian!" tukas Cucu Dewa.

"Apa tidak ada cara lain? Atau kita gabungkan pukulan?!" Joko masih memberi usul.

"Sudah kukatakan, tak ada satu pun kekuatan yang dapat melukainya! Kalaupun ada itu mungkin hanya terdapat pada kitab yang kalian cari! Dan apa yang hendak kalian lakukan hanya membuat dirinya tak bisa kerahkan tenaga dalamnya selama setengah hari! Cepat lakukan! Lihat dia sudah gerakkan kedua tangannya!"

Murid Pendeta Sinting cepat berpaling. Di depan sana Iblis Rangkap Jiwa sudah angkat kedua tangannya Malah kini kaki kanannya ikut diangkat. Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh memunggungi Iblis Rangkap Jiwa. Kedua tangannya memegangi pinggang kiri kanan.

"Kuminta kau lakukan apa yang dikatakan orang tua ini!" kata Joko seraya memandang pada Putri Sableng.

Putri Sableng tak menyahut. Wajah gadis ini tampak merah padam. Dia memandang silih berganti pada Joko dan Cucu Dewa. Seakan tahu apa yang terpikir dalam hati orang, Cucu Dewa berkata.

"Jangan khawatir kalau aku akan melihat! Aku akan pejamkan mata dan berbalik!"

Bersamaan dengan itu Cucu Dewa pejamkan sepasang matanya lalu putar diri berbalik. Di depan sana Iblis Rangkap Jiwa telah hentakkan kaki kanannya hingga terdengar suara berdebam keras.

"Kau juga harus pejamkan mata!" kata Putri Sableng seraya mendelik pada murid Pendeta Sinting.

Tanpa buka mulut lagi, Pendekar 131 pejamkan sepasang matanya. Bersamaan dengan Itu, Putri Sableng angkat jubah merahnya bagian bawah. Di sebelahnya, Joko sudah tarik celananya sedikit ke bawah. Iblis Rangkap Jiwa pentangkan sepasang matanya besar-besar. Di hadapannya terlihat dua pantat milik murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng! Namun hal itu tidak membuat iblis Rangkap Jiwa urungkan niat untuk lakukan serangan. Malah kini seraya tertawa bergelak dia gerakkan kedua tangannya lepaskan pukulan.

Namun mendadak iblis Rangkap Jiwa tercekat. Dari kedua tangannya tidak terdengar gelombang yang menyambar. Malah kejap lain laki-laki ini rasakan sekujur tubuhnya lunglai! Seluruh kekuatannya laksana disedot kekuatan yang tidak tampak!

"Jahanam! Apa yang terjadi dengan diriku? Kekuatanku musnah!" seru Iblis Rangkap Jiwa. Bersamaan dengan itu sosoknya goyang. Kedua kakinya menekuk sebelum akhirnya roboh ke tanah.

"Bagaimana? Apa sudah selesai?!" tanya Putri Sableng.

"Mana aku tahu? Kau menyuruhku pejamkan mata!" sahut Joko lalu buka sedikit matanya. Namun dia buru-buru pejamkan matanya lagi saat dilihatnya Putri Sableng mendelik ke arahnya!

"Tugas kalian selesai!" tiba-tiba terdengar suara Cucu Dewa.

Putri Sableng cepat lepaskan bagian bawah jubah merahnya yang diangkat. Saat bersamaan murid Pendeta Sinting tarik ke atas celananya. Serentak keduanya balikkan tubuh.

"Hampir tak kupercaya kalau tidak melihat sendiri!" gumam Joko dengan mata memandang ke arah Iblis Rangkap Jiwa yang menggelosor di atas tanah. Meski laki-laki ini terlihat coba kerahkan tenaga dalamnya, namun sia-sia!

"Cucu Dewa! Terima kasih...!" ujar Joko.

Cucu Dewa hanya memandang tanpa buka mulut. Laki-laki bertubuh cebol ini melangkah lalu berkata. "Selanjutnya urusan kalian! Tapi ingat. Jangan kalian bertindak di luar batas karena orang itu dalam keadaan tidak berdaya! Seluruh kekuatannya musnah! Kalau kalian bertindak di luar batas, aku tidak ikut tanggung jawab! Dan ingat. Kekuatannya akan pulih kembali dalam waktu kira-kira setengah hari..." Habis berkata begitu, Cucu Dewa lanjutkan melangkah. "Selamat malam..."

Baik murid Pendeta Sinting maupun Putri Sableng hendak menahan kepergian Cucu Dewa, namun terlambat. Cucu Dewa telah gerakkan tubuh. Kejap lain, sosoknya berkelebat menuruni bukit. Pendekar 131 berpaling pada Putri Sableng. Namun murid Pendeta Sinting tersentak. Belum sampai dia buka mulut, si gadis telah berkelebat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak di samping Iblis Rangkap Jiwa yang roboh di atas tanah.

"Apa gadis sableng itu menginginkan kitab itu? Celaka kalau tindakannya tidak dicegah!" Joko serentak berkelebat.

"Ini urusanku! Harap kau tidak ikut campur!" kata Joko begitu tegak di samping Putri Sableng.

Putri Sableng menoleh. Sepasang matanya mendelik. "Enak saja buka mulut! Tanpa aku, apa kau kira bisa lakukan ini, hah? Aku juga punya kepentingan! Aku telah ikut merasa andil!"

"Keparat! Jahanam! Apa yang kalian lakukan padaku?! Kalian akan menyesal seumur-umur berani membuat urusan dengan Iblis Rangkap Jiwa!" teriak Iblis Rangkap Jiwa dengan suara bergetar pertanda menindih hawa amarah.

Baik Joko maupun Putri Sableng tidak hiraukan teriakan Iblis Rangkap Jiwa. Sebaliknya kedua orang ini untuk beberapa saat saling adu pandang tanpa ada yang buka mulut.

"Gadis sableng! Kuperingatkan padamu! Jangan berani melangkahi urusan ini!" kata Joko sambil maju satu tindak.

Putri Sableng tertawa pelan. Lalu sambil berkacak pinggang dia berkata. "Kalau aku berani, kau mau apa?!"

Mendapat tantangan begitu rupa, murid Pendeta Sinting tampak terlengak. Rahangnya sedikit mengembang. Namun dia coba menahan lalu berkata. Suaranya terdengar parau keras. "Kau akan menyesal dan kecewa!"

Mendengar ucapan Joko, gadis berjubah merah bukannya takut. Gadis ini malah perkeras tawanya. "Semua telah kuperhitungkan! Jadi harap kau buang jauh-jauh dugaanmu itu, Pemuda Setan!"

Habis berkata begitu, tenang-tenang saja Putri Sableng maju satu tindak. Sesaat ditatapnya sosok Iblis Rangkap Jiwa. Lalu berkata. "Hidup matimu ada di tanganku! Kalau kau menjawab jujur pertanyaanku, selembar nyawamu utuh! Kalau tidak..." Putri Sableng tidak lanjutkan ucapannya. Sebaliknya gadis Ini tertawa cekikikan sambil bolak-balikkan telapak tangannya.

"Jahanam! Jangan harap kau mendapat keterangan apa-apa dariku!"

"Hem... Begitu? Aku ingin lihat sampai di mana kebenaran ucapanmu!"

"Tahan!" teriak murid Pendeta Sinting saat melihat Putri Sableng angkat tangan kanannya seolah hendak lakukan pukulan.

Putri Sableng melirik. "Kau mau apa?!"

"Jangan bertindak di luar batas! Aku membutuhkan orang itu! Aku tidak main-main!"

"Sialan! Apa kau kira aku tidak membutuhkannya?! Dan apa kau kira aku ini main-main? Hah...?!"

"Kau benar-benar tidak bisa diberi hati!"

"Hik Hik Hik...! Jangan bicara ngaco! Siapa minta hati?!"

"Kalau saja bukan seorang gadis, sudah sejak tadi ku bungkam mulutnya...!" kata Joko dalam hati. Lalu berkata. "Kau tahu perihal kitab itu dari mulutku, jadi harap kau..."

Ucapan murid Pendeta Sinting belum selesai, Putri Sableng telah menukas. "Jangan merasa pandai, pemuda Geblek! Sebelum kau mengatakan perihal kitab itu padaku, jauh sebelumnya aku sudah tahu!"

"Siapa percaya pada ucapanmu! Kau pintar membalik masalah!"

"Aku tak butuh kepercayaanmu! Yang jelas aku telah sampai di sini dan jumpa dengan manusia iblis ini! Apa itu belum cukup sebagai bukti kalau aku juga tahu urusan kitab itu?!"

"Tapi itu karena kau mendengar dariku!" sahut Joko dengan suara makin keras.

"Aku tak peduli dari mana aku tahu! Sekarang aku tanya padamu. Apa maumu?!" kata Putri Sableng seraya mendongakkan sedikit kepalanya.

"Aku membutuhkan keterangan dari orang itu!"

"Apa kau kira jauh-jauh aku datang kemari tidak membutuhkan keterangannya?! Kau kira aku pergi ke sini hanya untuk memperlihatkan pantat?!"

"Hem... Kalau ku ladeni, urusan ini tidak akan segera selesai! Lebih baik aku menunggu saja! Begitu manusia Iblis itu memberi keterangan, aku akan mendahuluinya!" ujar Joko dalam hati. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi murid Pendeta Sinting mundur dua langkah.

"Bagus! Berarti kau tahu siapa yang kau hadapi! Hik Hik Hik...!"

Mendengar ucapan Putri Sableng sebenarnya murid Pendeta Sinting sudah tidak bisa menahan sabar. Tapi setelah memikir panjang akhirnya dia hanya memandang dengan mulut terkancing. Melihat sikap Joko, Putri Sableng arahkan pandangannya pada Iblis Rangkap Jiwa. Lalu berkata membentak.

"Keselamatan jiwamu hanya tergantung pada satu pertanyaanku!"

Iblis Rangkap Jiwa merasa tengkuknya dingin. Namun laki-laki ini coba sembunyikan rasa takutnya dengan menyeringai lalu berkata. "Kau tetap tidak akan mendapat jawaban apa-apa dariku!”

"Hik Hik Hik...! Berarti kau telah menginginkan tanah kuburan!"

"Itu lebih baik bagiku daripada menjawab pertanyaanmu!”

Bersamaan selesainya ucapan Iblis Rangkap Jiwa, Putri Sableng angkat kedua tangannya. Saat lain dia gerakkan lurus menukik.

Bummm!

Puncak bukit bergetar. Tanah sejarak satu jengkal di samping Iblis Rangkap Jiwa bertabur ke udara membentuk lobang menganga! Putri Sableng memang arahkan pukulannya pada tanah di samping si laki-laki berkepala gundul ini.

"Jangan kau kira aku takut dengan gertakanmu! Aku yakin, kau tidak akan membunuhku! Ha Ha Ha...!"

Putri Sableng terkesiap mendengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa. Tanpa berkata lagi gadis berjubah merah ini angkat kaki kirinya lalu ditekankan pada kaki kanan Iblis Rangkap Jiwa.

"Kau salah ucap! Aku tak segan-segan mencabut nyawamu!"

"Itu tak akan kau lakukan!" jawab Iblis Rangkap Jiwa.

Putri Sableng perkeras tekanan kakinya. "Katakan. Di mana beradanya kitab itu!"

Iblis Rangkap Jiwa meringis sambil gelengkan kepala. "Kau tak akan mendengar jawaban dariku!"

Plaaakk! Plaaakk!

Dua tangan kiri kanan Putri Sableng bergerak. Kepala Iblis Rangkap Jiwa terlihat tersentak ke kiri lalu ke kanan dengan keras. "Katakan! Di mana kitab itu!" sentak Putri Sableng sambil angkat kedua tangannya kembali.

Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa kembali gelengkan kepala. "Seribu kali kau ulangi pertanyaanmu, kau tetap tidak akan mendapat jawaban!"

"Berarti kau benar-benar ingin mampus!"

"Kau tidak akan lakukan itu!" ujar Iblis Rangkap Jiwa sambil tertawa pendek.

"Hem... Kau salah duga! Dengar baik-baik! Sekarang aku tidak lagi membutuhkan kitab itu! Aku ingin selembar nyawamu!"

"Kau mudah melakukannya! Lekas lakukan keinginanmu!" kata Iblis Rangkap Jiwa tanpa tunjukkan rasa ngeri. Laki-laki ini merasa yakin jika kedua orang di hadapannya tidak akan lakukan ancamannya sebelum mendapatkan jawaban tentang di mana beradanya Kitab Hitam.

Sepasang mata Putri Sableng tampak berkilat-kilat. Mulutnya terkancing rapat. Mungkin karena tak sabar dengan sikap Iblis Rangkap Jiwa, gadis ini angkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Tubuhnya terlihat bergetar keras. Tanda dia telah kerahkan segenap tenaga dalamnya.

Dl bawahnya meski merasa ngeri, Iblis Rangkap Jiwa pandangi kedua tangan si gadis. Mendadak sepasang mata laki-laki ini memejam. Tanpa sadar, terdengar seruan dari mulutnya ketika tiba-tiba Putri Sableng gerakkan kedua tangannya.

Murid Pendeta Sinting yang sedari tadi hanya melihat, buka mulut. Namun belum sampai terdengar suaranya, Putri Sableng tiba-tiba tarik pulang kedua tangannya saat kedua tangan itu sejengkal hendak menghantam kepala Iblis Rangkap Jiwa. Kejap lain gadis berjubah merah ini berkelebat kebelakang dan tegak di samping murid Pendeta Sinting.

"Sekarang giliranmu membuat mulutnya terbuka!" kata Putri Sableng tanpa memandang pada Joko.

Murid Pendeta Sinting angkat bahunya lalu melangkah mendekati Iblis Rangkap Jiwa. "Hem... Menghadapi laki-laki begini, aku tahu bagaimana” kata Joko dalam hati. Begitu dekat dengan Iblis Rangkap Jiwa, tanpa berkata sepatah kata pun, Joko langsung gerakkan tangan kiri kanannya ke bagian bawah pakaian Iblis Rangkap Jiwa hingga pakaian compang-camping laki-laki berkepala gundul itu robek menganga di bawah pusar.

Iblis Rangkap Jiwa tersentak dan buru-buru gerakkan kedua tangannya untuk menutupi aurat bawahnya yang tidak tertutup lagi. Di seberang sana Putri Sableng terdengar berseru lalu cepat-cepat pejamkan sepasang matanya dan berbalik. Namun kejap kemudian terdengar cekikikan tawanya!

"Apa yang hendak dilakukan, Setan Jelek itu? Ingin menunjukkan padaku punya manusia iblis itu? Hik Hik Hik...!" ujar Putri Sableng dalam hati lalu tanpa balikkan tubuh dia berseru.

"Apa kau ingin beradu besar? Atau hanya ingin mencocokkan?!"

"Dasar sableng!" gumam Joko tanpa menjawab seruan Putri Sableng.

"Jahanam! Apa maumu?!" sentak Iblis Rangkap Jiwa.

Murid Pendeta Sinting tertawa dahulu sebelum menjawab, "Aku sekarang tidak menginginkan kitab itu! Menurut cerita yang kudengar, aurat bawahmu lebih memiliki daya kesaktian dibanding kitab itu! Jadi aku sekarang menginginkan milikmu!"

Murid Pendeta Sinting pandangi sejurus Iblis Rangkap Jiwa yang tercekat dan mengkerut seraya pegangi aurat bawahnya. Di belakang sana, kembali Putri Sableng berseru, tetap membelakangi Joko dan Iblis Rangkap Jiwa.

"Hai...! Dari mana kau tahu barangnya memiliki kesaktian lebih daripada kitab?!"

"Kau tak usah banyak tanya! Kalau kau suka, kau nanti akan kuberi separo! Terserah mau kau buat apa!" jawab murid Pendeta Sinting seenaknya.

Habis berkata begitu, Joko bergerak jongkok. Ke- dua tangannya diangkat. Iblis Rangkap Jiwa makin meringkuk. Mendadak laki-laki ini berseru tertahan tatkala tiba-tiba kedua tangan Joko sudah bergerak ke bahunya. Saat itu juga Iblis Rangkap Jiwa tersentak. Karena dia sudah tidak dapat lagi gerakkan anggota tubuhnya!

Murid Pendeta Sinting tidak pedulikan perubahan wajah orang yang makin membayangkan ketakutan. Sebaliknya dia teruskan gerakkan kedua tangannya ke arah bagian bawah perut Iblis Rangkap Jiwa. Sejengkal lagi kedua tangan murid Pendeta Sinting menyentuh kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa yang digunakan menutup bagian bawah auratnya, laki-laki berkepala gundul ini berteriak.

"Jahanam! Hentikan! Akan kukatakan di mana kitab itu!!”

"Hem... Manusia Iblis harus dimuslihati iblis!" kata Joko dalam hati lalu tarik pulang kedua tangannya. "Katakan! Di mana kitab itu berada!"

"Turunlah ke bawah. Di sebelah utara bukit ini ada sebuah jurang. Di dalam jurang itulah beradanya kitab itu!"

"Ucapanmu bisa dipercaya?!"

Iblis Rangkap Jiwa tidak menjawab. Dia hanya memandang dengan mata berkilat-kilat. Melihat sikap orang, murid Pendeta Sinting dapat menebak kalau ucapan Iblis Rangkap Jiwa tidak berdusta. Namun dia tidak berani bertindak sembrono. Sambil ulurkan kedua tangannya kembali ke depan, murid Pendeta Sinting ajukan tanya lagi.

"Di mana kitab itu?!"

"Kau tidak tuli! Aku telah jawab pertanyaanmu!"

Joko tidak tarik pulang kedua tangannya. Kedua tangannya terus bergerak. Kejap lain kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa terlihat bergerak ke samping mengikuti gerakan kedua tangan murid Pendeta Sinting, membuat aurat bawah laki-laki ini terbuka. Iblis Rangkap Jiwa berteriak menyumpah-nyumpah. Sementara Joko tertawa pelan lalu berkata.

"Ulangi lagi jawabanmu!"

Dengan suara keras bergetar Iblis Rangkap Jiwa ulangi lagi jawabannya. Bersamaan dengan itu, murid Pendeta Sinting gerakkan kedua tangannya ke atas tanah. Sosoknya bangkit. Kejap lain sosoknya berkelebat menuruni bukit. Karena sengaja berkelebat mengambil arah di sebelah belakang Putri Sableng, gadis berjubah merah ini tidak tahu. Gadis ini baru buka mulut setelah agak lama dia tidak lagi mendengar suara Joko atau Iblis Rangkap Jiwa.

"Hai...! Jangan percaya dahulu dengan jawabannya! Siapa tahu hendak menjerumuskan! Kalau memang barangnya lebih sakti, apakah tidak lebih baik kita urungkan mencari kitab itu?! Hik Hik Hik...! Meski mungkin aku merasa geli, tapi lama kelamaan juga terbiasa..."

Tidak ada suara yang menyahut, membuat hati Putri Sableng tidak enak. Namun dia tidak segera berani berpaling. Malah dia kembali bertanya. "Hai...! Apa kau masih di situ? Apakah barangnya sudah kau ambil?!"

Karena tidak ada jawaban, perlahan-lahan Putri Sableng angkat kedua tangannya menutupi wajahnya. Lalu seraya tertawa cekikikan dia putar tubuh. Dari balik kedua telapak tangannya, sepasang mata Putri Sableng perlahan-lahan membuka. Tawa cekikikannya mendadak terputus. Seakan tak sadar dia segera tarik kedua tangannya dari wajahnya.

"Sialan! Pemuda Setan itu telah mendahuluiku!" seru Putri Sableng. Lalu gadis ini cepat balikkan tubuh tidak tahan melihat aurat bawah Iblis Rangkap Jiwa yang terbuka. Di sebelah depan, Iblis Rangkap Jiwa memaki-maki tidak karuan. Namun begitu melihat Putri Sableng hendak berkelebat turun bukit, laki-laki itu berteriak.

"Harap kau suka membebaskan aku dari totokan jahanam ini!"

Putri Sableng hentikan langkah. Tanpa balikkan tubuh dia berujar. "Sebenarnya aku mau saja membebaskanmu. Tapi kau tutup dahulu barangmu! Aku silau karenanya! Hik Hik Hik...!"

"Bagaimana aku akan menutup, kalau bergerak saja tidak bisa?! Kau bisa lakukan dengan pejamkan mata..."

"Ah... Aku takut. Kalau aku pejamkan mata, jangan-jangan tanganku salah pegang! Kau yang enak, tapi aku... Hik Hik Hik...!"

"Aku mohon... Jika kau bebaskan aku, kau akan mendapat imbalan pantas!”

"Sayang aku tidak tertarik dengan imbalanmu! Harap kau suka bersabar menunggu Dewi Penolong... Siapa tahu malam purnama ini ada bidadari kayangan yang tertarik karena melihatmu tidak mengenakan celana? Hik Hik Hik...!" seraya terus tertawa cekikikan, Putri Sableng berkelebat menuruni bukit.

"Jahanam! Kalian akan menyesal tidak membunuhku saat ini!" teriak Iblis Rangkap Jiwa. Laki-laki ini lalu pejamkan sepasang matanya dan mengatur pernapasan.

********************

BAB 7

KITA tinggalkan Pendekar 131 dan Putri Sableng yang sedang menuju jurang menuruti keterangan Iblis Rangkap Jiwa. Kita kembali mengikuti perjalanan Malaikat Penggali Kubur setelah mendapatkan Kitab Hitam dari tubuh seorang tokoh hitam yang pernah hidup semasa Raja-raja Singasari yakni Ageng Barada alias Datuk Kematian.

Saat itu matahari baru saja naik dari kaki langit. Satu sosok tubuh terlihat melangkah pelan menuju arah pantai di sebelah timur. Orang ini sesekali hentikan langkah lalu kepalanya yang mengenakan caping lebar bergerak memutar. Karena caping yang dikenakan lebar dan dimasukkan dalam-dalam pada kepalanya, tidak jelas benar ke arah mana sepasang matanya memandang.

Orang ini adalah seorang laki-laki mengenakan pakaian hitam-hitam. Paras wajahnya kelihatan samar-samar, karena separonya hampir tertutup dengan caping lebarnya. Melihat cara jalannya yang sedikit terbungkuk-bungkuk dan sesekali berhenti, orang mungkin akan menduga jika laki-laki ini telah berusia lanjut. Apalagi di tangan kanannya terlihat sebuah tongkat kayu yang digunakan topangan tubuhnya saat melangkah.

Ketika matahari makin tinggi dan langkah kakinya memasuki kawasan pantai, laki-laki bercaping lebar ini kembali hentikan langkah. Kepalanya lurus menghadap ke timur. Lalu berpaling agak ke kanan. Untuk beberapa saat lamanya kepala laki-laki ini tidak bergerak. Hanya sesaat kemudian terdengar gumamannya yang tidak jelas.

Laki-laki bercaping ketukkan tongkatnya di atas tanah bercampur pasir. Lalu teruskan langkah. Dia baru hentikan langkah saat jaraknya kira-kira sepuluh tombak dari sebuah bangunan kuil yang menghadap hamparan laut. Untuk beberapa lama laki-laki bercaping tegak dengan kepala lurus menghadap kuil. Kejap lain kepalanya berputar. Setelah bergumam pelan dia lanjutkan langkah. Lalu berhenti sepuluh langkah di hadapan kuil.

Namun kali ini kepalanya tidak menghadap kuil, sebaliknya lurus ke arah hamparan laut. Malah tak lama kemudian dia bergerak duduk. Tongkat di tangan kanannya ditekankan masuk di atas tanah, Meski gerakan menekan tangan orang terlihat pelan, anehnya tongkat kayu itu kontan amblas masuk hampir setengahnya ke dalam tanah!

"Suasana panas menyengat. Kalau sudi silakan masuk ke tempatku..." satu suara tiba-tiba terdengar.

Laki-laki bercaping sedikit terkejut. Namun kejap lain terdengar dia tertawa mengekeh dan menjawab. "Terima kasih... Orang tua sepertiku ini memerlukan sinar matahari..." seraya berkata, laki-laki bercaping putar kepalanya sedikit ke arah datangnya suara yang mendadak terdengar.

Namun sejauh itu laki-laki ini tidak angkat kepalanya, hingga orang yang baru saja mempersilakan masuk dan kini tegak di belakang laki-laki bercaping tampak kerutkan dahi. Laki-laki bercaping menduga hanya akan melihat bagian bawah tubuh orang setidaknya hanya sampai pinggang karena terhalang oleh caping lebarnya yang dimasukkan terlalu dalam pada kepalanya. Namun untuk kedua kalinya laki-laki bercaping sedikit terkejut.

Meski terhalang oleh caping lebarnya, laki-laki ini dapat melihat sekujur tubuh orang dari kaki sampai rambut! Karena orang di hadapannya kini bertubuh cebol! Namun seperti halnya pertama kali mendapat teguran orang, meski merasa terkejut, tapi laki-laki bercaping lebar coba mengatasi dengan tertawa pelan. Di lain kejap kepalanya berputar lagi dan kini menghadap hamparan laut.

"Orang tua!" kata orang di belakang laki-laki bercaping yang tidak lain adalah Cucu Dewa. "Kalau boleh bertanya, apakah kau sengaja mencari sinar matahari atau ada punya maksud lain?"

Laki-laki bercaping lebar terdengar batuk-batuk beberapa kali sebelum akhirnya berkata. "Kalau juga boleh bertanya, kenapa kau tanya begitu?"

"Selama ini, orang yang berada di sekitar kuil bukannya datang tanpa punya maksud..."

Laki-laki bercaping lebar untuk kedua kalinya putar kepala menghadap Cucu Dewa. Untuk beberapa saat sepasang matanya yang terlindung memperhatikan sosok cebol di hadapannya. Saat lain kepala orang ini bergerak menggeleng. Bersamaan dengan itu terdengar gumamannya.

"Aku tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaanmu.!"

"Maksudmu...?!" tanya Cucu Dewa.

"Aku datang ke tempat ini memang punya tujuan. Tapi aku sekarang jadi ragu. Kalau orang tua sepertiku tidak tahu, bagaimana mungkin orang seusiamu tahu apa yang hendak kutanyakan...”

Cucu Dewa tampak sunggingkan senyum meski keningnya mengernyit. "Orang tua. Usia orang bukanlah ukuran bahwa orang yang lebih tua lebih tahu dari pada orang yang muda!"

"Ah... Benar juga kata-katamu. Tapi mungkin yang hendak kutanyakan urusannya lain. Orang yang lebih tua akan lebih tahu daripada yang muda... Tapi tidak ada salahnya aku bertanya. Siapa tahu kau dapat membantu..."

"Tunggu dulu! Sebelum kau ajukan tanya, boleh aku tahu siapa dirimu?"

Untuk sesaat laki-laki bercaping lebar tidak segera menjawab. Rupanya hal ini ditangkap oleh Cucu Dewa hingga laki-laki bertubuh pendek ini segera berkata.

"Kalau kau tak mau katakan siapa dirimu, aku tidak memaksa... Aku akan tetap membantumu sedapat yang bisa kulakukan..."

"Terima kasih... Aku tak mau mengatakan bukannya apa. Tentu namaku tidak ada artinya bagimu. Aku hanyalah laki-laki tua yang tinggal menunggu saat-saat kematian. Namun sebelum ajal menjemput, ada sesuatu yang masih menjadi ganjalan pikiranku. Seandainya kau nanti dapat menghilangkan ganjalan ini, rasanya aku mati sekarang pun tak apa..."

"Ah... Mendengar nada ucapanmu, rasanya aku bakal tidak dapat memberi keterangan yang akan kau minta..." ujar Cucu Dewa.

"Hem... Kalau kau merasa bimbang begitu, memang lebih baik aku tidak katakan padamu! Karena aku sendiri sebelumnya sudah menduga bahwa jawaban yang akan ku peroleh sama seperti jawaban orang-orang yang kutanya sebelumnya..."

"Jadi, selama ini kau telah bertanya pada beberapa orang...?"

"Hampir separo dari usiaku kuhabiskan untuk mencari jawaban..."

Kembali dahi Cucu Dewa berkerut. Setelah agak lama terdiam, akhirnya laki-laki bertubuh pendek ini berkata. "Aku jadi ingin tahu apa yang menjadi ganjalan pikiranmu. Tapi sebelumnya aku minta maaf kalau nanti tidak bisa memberi keterangan..."

"Aku sudah terbiasa tidak memperoleh jawaban. Jadi tidak usah minta maaf. Kau bersedia mendengar pertanyaanku saja, aku sudah berterima kasih..." kata laki-laki bercaping lebar dengan suara pelan.

Sebelum Cucu Dewa buka mulut lagi, laki-laki ini telah lanjutkan ucapannya. "Untuk mengenangmu, boleh aku tahu siapa kau adanya?"

Cucu Dewa gelengkan kepala, "Bukan aku membalas karena kau tadi tak sebutkan diri, Tapi bukankah lebih baik kita tidak saling tahu nama, asal sama saling mengerti?"

Laki-laki bercaping tertawa agak keras. Lain angguk-anggukkan kepalanya. Sesaat kemudian dia berkata. “Menurut cerita yang kudengar dari orang tuaku, sebenarnya keluargaku masih ada keturunan Raja-raja Singasari. Malah orang tuaku pernah sebutkan sebuah nama yang sampai sekarang tetap kuingat...”

Laki-laki bercaping hentikan ucapannya, Dia seolah sengaja memberi kesempatan pada Cucu Dewa untuk bicara. Namun Cucu Dewa tidak angkat bicara. Laki-laki ini justru sedikit pentangkan sepasang matanya yang sipit perhatikan laki-laki yang duduk di hadapannya. Laki-laki bercaping arahkan kepalanya sedikit ke samping, hingga meski raut wajahnya tidak jelas kelihatan, tapi Cucu Dewa masih bisa melihat bagian bawah paras orang.

"Aneh... Keadaan tubuhnya seperti orang tua betulan. Tapi kulit wajahnya tidak mengeriput. Giginya utuh... Rahangnya kokoh... Tapi apa peduliku? Urusan yang hendak ditanyakan rupanya bukan masalah nyawa orang seperti sepasang anak muda sableng itu... Hem... Dia katakan dirinya masih keturunan Raja-raja Singasari. Apa dia tahu kalau..." Cucu Dewa putuskan membatin saat laki-laki bercaping kembali angkat bicara.

"Orang tuaku pernah sebut-sebut nama Ken Rakasiwi!"

Cucu Dewa tak bisa lagi sembunyikan rasa kejutnya. Sepasang matanya membelalak. Laki-laki bercaping tertawa perlahan lalu teruskan bicara.

"Aku baru kali ini melihat orang yang kutanya sempat terkejut. Berarti apa yang selama ini menjadi ganjalan pikiranku akan terjawab..."

"Orang ini tidak memandang ke arahku. Bagaimana dia tahu kalau aku merasa terkejut?" kata Cucu Dewa dalam hati. Namun karena menduga urusan yang ditanyakan orang tidak ada hubungannya dengan nyawa orang, meski sedikit merasa tidak enak, laki-laki bertubuh pendek ini tidak berprasangka lebih jauh. Malah dia segera buka mulut.

"Lalu apa yang hendak kau tanyakan?"

"Aku bukannya ingin tunjukkan bahwa diriku masih ada hubungan darah dengan raja, tapi setidak-tidaknya aku ingin tahu bagaimana silsilah keluargaku. Karena selama ini orang tuaku tidak pernah memberi jawaban! Lebih dari itu, aku ingin menjalin hubungan dengan sanak familiku jika itu masih ada dan mereka mengakui. Tapi sekali lagi, jangan berprasangka. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari pihak keluargaku jika masih ada. Semata-mata hanya ingin menyambung darah yang terputus..."

Setelah merenung agak lama, akhirnya Cucu Dewa berkata. "Sebenarnya tidak banyak yang kuketahui tentang nama yang kau sebut..."

"Ah... Tidak banyak pun tak apa. Setidaknya aku sedikit mendapat keterangan. Karena orang yang kutanya selama ini, jangankan tahu sedikit. Dengar namanya pun baru saat aku ajukan tanya!"

"Menurut cerita yang kudengar..." Cucu Dewa mulai memberi keterangan. "Pada masa kekacauan keturunan Raja-raja Singasari, salah seorang keturunan raja memang memegang kekuasaan. Sri Baginda ini lalu mempersunting seorang gadis berparas cantik bernama Ken Rakasiwi. Tidak banyak orang yang tahu asal-usul Ken Rakasiwi. Kalangan keluarga Sri Baginda dan orang-orang baru mengenalnya setelah Ken Rakasiwi dipersunting dan pada akhirnya menjadi permaisuri. Ken Rakasiwi mempunyai beberapa orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Namun pada akhirnya diketahui kalau anak laki-laki itu diperoleh dari benih seorang abdi Sri Baginda. Ken Rakasiwi akhirnya diusir dari Istana. Dia pergi membawa serta anak laki-lakinya."

Sejenak Cucu Dewa hentikan keterangannya. Lalu setelah agak lama dia melanjutkan. "Setelah itu tidak diketahui lagi bagaimana kabar beritanya. Hanya kemudian terjadi huru-hara di istana yang ternyata didalangi oleh anak laki-laki Ken Rakasiwi. Huru-hara itu bukan untuk merebut kekuasaan, sebaliknya ternyata hanya untuk mengambil benda pusaka kerajaan. Huru-hara itu akhirnya dapat dipadamkan dan benda pusaka bisa diselamatkan. Setelah itu kabar berita tentang anak laki-laki Ken Rakasiwi tidak terdengar lagi..."

Lagi-lagi Cucu Dewa hentikan penuturan ceritanya. Malah laki-laki bertubuh cebol ini ikut-ikutan duduk dengan sepasang mata memandang lekat-lekat ke arah laki-laki bercaping. Melihat tingkah Cucu Dewa, laki-laki bercaping segera palingkan kepalanya. Mungkin tidak mau singgung perasaan orang, Cucu Dewa akhirnya juga alihkan pandangan pada jurusan lain seraya teruskan keterangannya.

"Namun barang pusaka kerajaan nyatanya masih menjadi incaran orang. Terbukti beberapa tahun kemudian, kembali terjadi huru-hara besar. Anehnya kali ini dilakukan oleh seorang gadis berwajah cantik yang kemudian dikenal dengan nama Maharani. Entah karena tingginya ilmu si gadis atau kurang ketatnya penjagaan. Maharani berhasil menerobos masuk bangunan tempat penyimpanan benda pusaka. Pada esok harinya terjadilah kegemparan. Benda pusaka kerajaan hilang lenyap! Demikian pula Maharani... Hanya itu yang kuketahui, Orang Tua..."

"Lalu bagaimana dengan keturunan Ken Rakasiwi dari beberapa anak perempuannya?" tanya laki-laki bercaping.

"Karena suasana saat itu kacau balau, apalagi setelah lenyapnya benda pusaka kerajaan, tidak ada orang yang tahu persis bagaimana akhirnya keturunan Ken Rakasiwi dari beberapa anak perempuannya. Hanya entah benar apa tidak, sekarang ini ada seorang yang masih anak keturunan Ken Rakasiwi dari salah seorang anak perempuannya..."

"Ah... Kalau begitu aku masih bisa sambung hubungan darah yang putus ini. Siapa orang itu?" tanya laki-laki bercaping.

"Tak tahu jelas siapa nama sebenarnya. Hanya dia dikenal dengan Dewa Orok!"

"Tempat tinggalnya?" tanya laki-laki bercaping masih tanpa memandang.

Cucu Dewa gelengkan kepala. "Tidak ada orang yang tahu di mana dia bertempat tinggal..."

Laki-laki bercaping anggukkan kepala. "Tak apa. Aku sudah berterima kasih banyak atas keteranganmu. Kalau sudah tahu namanya, mungkin tidak sulit untuk mencari. Hem... Satu lagi pertanyaanku..."

Sambil berkata, laki-laki bercaping arahkan kepalanya pada Cucu Dewa hingga untuk sesaat keduanya saling berpandangan. Kini agak jelas Cucu Dewa dapat melihat paras wajah orang meski hanya sebatas bagian bawah matanya.

"Benda pusaka apa yang lenyap bersama Maharani?"

"Dua buah kitab..."

Kening di balik caping si laki-laki bergerak mengernyit. Kejap lain mulutnya kembali membuka ajukan pertanyaan. "Kalau pusaka kerajaan, pasti berupa kitab sakti. Apa kau pernah dengar siapa pencipta dua kitab itu?"

"Entah betul apa tidak, dua kitab itu hasil karya seorang tokoh besar yang bernama Resi Kamahayanan!"

"Hem... Apa kau juga pernah dengar cerita tentang sebuah kitab yang juga diciptakan masa Ken Rakasiwi itu?"

"Aku tidak pernah mendengarnya..." jawab Cucu Dewa dengan tengadahkan sedikit kepalanya. Diam-diam dalam hati laki-laki bertubuh pendek Ini berkata. "Jangan-jangan pertanyaannya akan terus ngelantur dan menjurus pada orang di Bukit Selamangleng itu..."

Rupanya dugaan Cucu Dewa tidak jadi kenyataan. Karena bersamaan dengan itu, laki-laki bercaping bergerak bangkit.

"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas semua keteranganmu. Sayang untuk saat ini aku tidak membawa apa-apa. Lain kali pasti aku akan datang..."

Cucu Dewa ikut bangkit. Dia gelengkan kepala seraya tertawa dan berkata. "Seandainya kau datang lagi membawa segunung emas, maaf kalau aku tidak akan menerimanya. Yang kuminta, kau mau lakukan tidak lebih dari apa yang kau katakan!”

Laki-laki bercaping berpaling. "Maksudmu...?"

"Kau minta keterangan untuk menyambung darah yang terputus. Hal itulah yang membuatku mau bercerita padamu. Tapi jika nantinya kau bertindak di luar itu, aku..." Cucu Dewa tidak lanjutkan ucapannya. Hanya kepalanya yang bergerak menggeleng beberapa kali.

"Kau tidak usah meragukan kata-kataku..." kata laki-laki bercaping sambil sunggingkan senyum aneh.

"Kuharap hal itulah kenyataannya nanti...!” ujar Cucu Dewa.

Ucapan Cucu Dewa membuat langkah laki-laki bercaping yang hendak bergerak melangkah tertahan. Dia menyahut namun tanpa palingkan kepala.

"Nada ucapanmu sepertinya meragukan kata-kataku!"

Cucu Dewa tertawa pendek. "Aku selalu berprasangka baik pada setiap orang. Kalau tidak, mana mungkin aku memberi keterangan padamu?"

"Ah... Aku lupa. Apakah anak laki-laki Ken Rakasiwi tidak punya keturunan?"

Tidak terdengar suara jawaban. Laki-laki bercaping menunggu karena menduga orang yang ditanya masih mengingat. Namun begitu agak lama masih juga tidak terdengar suara jawaban, laki-laki bercaping berpaling. Laki-laki bercaping terkesiap. Laki-laki bertubuh pendek sudah tidak terlihat lagi dibelakangnya!

"Hem... Ternyata dia bukan orang sembarangan. Tapi kalau keterangannya lain dengan kenyataan, aku tidak peduli siapa dia adanya!" gumam laki-laki bercaping lalu melangkah.

Kira-kira lima belas langkah, laki-laki Ini berhenti. Kepalanya berputar pelan. Kejap lain dia gerakkan sepasang kakinya. Sosoknya melesat cepat laksana dikejar setan. Pada satu tempat sepi agak jauh dari kuil, laki-laki bercaping hentikan larinya. Setelah putar kepala, tangan kanannya bergerak ke atas. Caping lebar yang melindungi kepala dan sebagian atas wajahnya diangkat. Kini tampak jelaslah wajah laki-laki ini. Ternyata dia adalah seorang pemuda berwajah tampan bermata tajam. Rahangnya kokoh. Pemuda ini ternyata tidak lain adalah Gumara alias Malaikat Penggali Kubur.

Seperti diketahui, di dalam liang lahat, Malaikat Penggali Kubur menemukan tulisan yang mengharuskan dirinya mencari anak turunan Ken Rakasiwi untuk dimusnahkan. Menurut tulisan ini dia harus mencari seseorang di kuil pantai timur. Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur campakkan caping lebarnya. Namun baru saja caping lebar itu hancur menghantam tanah, kepala pemuda ini berpaling ke arah samping laksana disentak setan. Bahkan bersamaan dengan itu sosoknya berkelebat.

Rupanya pemuda murid Bayu Bajra yang telah membekal Kitab Hitam ini maklum kalau ada orang mengawasi gerak-geriknya. Namun gerakan Malaikat Penggali Kubur terlambat Dia hanya sekilas melihat satu sosok bayangan berkelebat keluar dari balik pohon lalu lenyap di depan sana. Meski hanya sempat melihat bayangan orang, namun Malaikat Penggali Kubur masih dapat mengenali.

'Hem... Manusia cebol itu berani menguntit langkahku! Tunggulah! Tanpa kau ikuti aku akan datang menjemputmu jika keteranganmu dusta!”

Malaikat Penggali Kubur awasi sejenak ke mana lenyapnya bayangan yang tak berhasil dikejar namun bisa dikenali tadi. Kejap lain pemuda ini tersenyum aneh lalu berkelebat teruskan larinya.

********************

BAB 8

PENDEKAR 131 tegak di bibir jurang dengan mata mengawasi berkeliling. Sepasang matanya mendadak menyipit. "Aku melihat bekas-bekas pukulan. Tanda di tempat ini telah terjadi sesuatu... Tanahnya Berantakan. Bibir jurang di seberang hancur berantakan. Lamping jurang terabas rata... Siapa yang baru saja bentrok di tempat ini?" Murid Pendeta Sinting terdiam untuk beberapa lama sementara sepasang matanya terus memeriksa lebih seksama.

"Melihat bekas-bekasnya, jelas siapa pun adanya orang yang baru bentrok, mereka memiliki kepandaian tinggi...!” gumam sang Pendekar. Mendadak parasnya berubah. "Jangan-jangan aku didahului orang dan kitab itu... Aku harus segera turun ke bawah jurang! Melihat hal ini rasanya ucapan manusia iblis itu tidak berdusta! Tapi... Dia tahu di mana kitab itu berada. Tempatnya tidak jauh lagi. Mengapa ia tidak mengambil kitab itu? Atau jangan-jangan dia telah mengambilnya?! Ah... Mengapa aku tidak memeriksanya tadi? Kembali ke sana jelas tidak mungkin! Tapi... Mana bisa semua itu terjawab kalau aku belum buktikan sendiri...?!!”

Murid Pendeta Sinting longokkan kepala ke bawah jurang. "Hem... Tidak terlalu dalam...!”

Tanpa berpikir panjang lagi, Joko segera kerahkan tenaga dalamnya. Saat lain sosoknya melesat masuk ke dalam Jurang. Setelah membuat gerakan berputar empat kali di lamping jurang, murid Pendeta Sinting mendarat di bagian bawah jurang.

"Hem... Di sini juga seperti telah terjadi bentrok... Hanya saja mungkin dilakukan satu orang... Ah. Jadi betul-betul telah ada orang mendahuluiku! Jangan-jangan manusia Iblis itu... Tapi aku harus menyelidik dahulu..."

Pendekar 131 melangkah berputar. Tiba-tiba dia hentikan langkahnya tatkala sepasang matanya melihat tulisan di bagian samping batu. Tulisan yang ditulis dengan darah itu dibacanya beberapa kali. Lalu tanpa pikir panjang lagi dia melangkah ke arah kanan dengan menghitung. Saat hitungan langkahnya sampai dua belas, murid Pendeta Sinting hentikan langkah.

"Sepertinya sebuah makam. Anehnya tampak seperti makam baru!"

Untuk beberapa lama Joko perhatikan gundukan tanah mirip sebuah makam itu. "Siapa orang yang menulis di samping batu itu? Mana orangnya? Karya... Apakah yang dimaksud dengan karya adalah kitab itu? Jelas. Orang yang mendahului datang di sini telah lakukan apa yang tertulis pada samping batu itu. Tapi siapa? Iblis Rangkap Jiwa? Orang lain...? Bagaimana sekarang...? Apa aku harus melihat siapa adanya orang yang seperti baru dikubur ini?"

Beberapa lama murid Pendeta Sinting tegak disamping makam dengan dada dibuncah berbagai pertanyaan. Sesaat kemudian dia jongkok perhatikan makam lebih seksama. Kedua tangannya bergerak. Namun kejap lain ditarik pulang lagi. Kebimbangan jelas terbayang di wajah dan sikapnya.

"Jangan-jangan ini perbuatan orang yang hendak menjerumuskan! Ah... Urusan ini ternyata tidak lebih mudah dari urusan Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra beberapa waktu yang lalu..."

Ketika terus merenung begitu, tiba-tiba telinganya menangkap ada suara desiran dari jurang. Cepat Joko bergerak bangkit. Belum sampai bergerak lebih jauh, mendadak satu sosok tubuh telah tegak lima langkah dari tempatnya berada.

"Anak sableng sialan!" maki Joko dalam hati begitu mengenali siapa adanya orang. Dia lantas berpaling kembali arahkan pandangannya ke makam, Orang yang baru datang dan bukan lain Putri Sableng tertawa tertahan lalu melangkah satu tindak dan berkata.

"Rupanya kau cerdik juga... Dengan caramu, akhirnya apa yang kau cari bisa kau temukan!"

"Bukan hanya itu. Kau juga dapat melihat pemandangan asyiiikk!" sahut Joko seenaknya namun jelas nada ucapannya bercampur jengkel.

Putri Sableng sahuti ucapan Joko dengan tertawa cekikikan. Tapi laksana direnggut setan mendadak suara tawa cekikikan si gadis terputus membuat Joko berpaling. Raut wajah murid Pendeta Sinting berubah. Di hadapannya terlihat Putri Sableng kancingkan mulut. Sepasang matanya mendelik angker. Dan tangan kanannya menjulur. Saat bersamaan tiba-tiba mulutnya terbuka.

"Mana kitab itu! Serahkan padaku!"

Karena beberapa kali sudah dibuat jengkel dengan tingkah gadis berjubah merah ini, mendengar dan melihat sikapnya kontan rahang Joko menggembung. Paras wajahnya membesi dengan sepasang mata balik mendelik.

"Jangan bicara sembarangan! Aku sudah lama menahan sabar!"

Putri Sableng rupanya tidak ambil peduli dengan nada bicara murid Pendeta Sinting yang mengancam. Sebaliknya dia tetap bersikap seperti semula dan berkata. "Kitab itu! Mana?!"

Mungkin sudah tidak dapat menindih hawa amarahnya, Joko angkat tangan kirinya. Di hadapannya Putri Sableng tidak membuat gerakan apa-apa. Hanya sepasang matanya yang menusuk tajam pada bola mata murid Pendeta Sinting. Pendekar 131 menghela napas dalam lalu perlahan-lahan turunkan tangan kirinya.

"Mengapa tidak jadi kau lakukan?!" tanya Putri Sableng seraya tersenyum mengejek.

Meski dadanya makin bergemuruh, namun Joko akhirnya hanya bisa menghela napas lalu melangkah dengan melewati sisi si gadis. Putri Sableng sejurus lamanya memandang namun begitu murid Pendeta Sinting sudah berada di belakangnya, gadis ini berkata.

"Kau dengar ucapanku! Serahkan kitab itu atau...?"

Ucapan Putri Sableng terputus tatkala dibelakangnya terdengar suara berdebam keras. Saat Putri Sableng berbalik, terlihat hamburan tanah Ke udara. Rupanya saking jengkelnya, kemarahan Joko dilampiaskan dengan hentakkan kaki kanannya ke atas tanah hingga tanahnya muncrat ke udara. Muncratan tanah belum sirna, Joko telah balikkan tubuh lalu berkata membentak.

"Aku tidak menemukan kitab itu! Kalaupun kutemukan jangan harap kau akan memilikinya!"

"Laki-laki yang marah di hadapan perempuan biasanya menyembunyikan sesuatu atau setidaknya menutupi sesuatu yang sesungguhnya terjadi. Hik Hik Hik...!"

"Kau benar-benar gadis menyebalkan! Lihat tulisan itu!" kata Joko sembari menunjuk ke arah batu yang bertulisan darah.

Putri Sableng arahkan kepala mengikuti arah yang ditunjuk tangan murid Pendeta Sinting. Karena gadis berjubah merah ini berada di dekat makam, dia tidak bisa melihat tulisan yang ada di bagian samping batu. "Tulisan? Tulisan apa?! Aku tidak melihat tulisan!"

"Kau memang tidak akan melihat tulisan kalau nongkrong di situ! Lihat dari sebelah sana!" kata Joko sambil menunjuk tempat di mana tadi dia bisa melihat tulisan di bagian samping batu.

Mungkin karena penasaran apalagi dilihatnya ucapan murid Pendeta Sinting tidak main-main, Putri Sableng segera berkelebat. Begitu tegak di depan batu, sepasang mata gadis ini mendelik. Seakan masih tidak percaya dengan pandangan matanya, dia melangkah makin mendekat. Mulutnya terlihat berkemik membaca. Saat lain sepasang matanya memandang pada murid Pendeta Sinting. Yang dipandang berpaling lalu berkata. Suaranya masih menunjukkan rasa geram.

"Kau masih meminta kitab dariku?!"

Putri Sableng tidak menjawab, Sebaliknya gadis ini segera melangkah seraya menghitung tindakannya. Ketika mulutnya berhenti menghitung, sosoknya tepat berada di sebelah gundukan tanah makam. "Ada yang tidak beres! Kita telah kedahuluan orang!" ujar Putri Sableng setelah agak lama terdiam.

"Bukan kita, tapi aku!" sahut Joko dengan suara dingin.

"Terserah padamu. Yang jelas bukan hanya kau saja yang menginginkan kitab itu dan ternyata telah kedahuluan orang!"

"Ini gara-gara kau!"

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting kini ganti Putri Sableng yang dadanya bergemuruh. Sepasang matanya terpentang. Saat lain dia membentak. "Jangan sembarangan menuduh orang!"

"Aku tidak menuduh. Tapi siapa tahu kau telah mengatakan urusan kitab ini pada orang lain?!" seraya berkata begitu, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh.

Putri Sableng pandangi sekujur tubuh murid Pendeta Sinting dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bibirnya tersenyum dingin lalu berkata. “Meski aku gadis sableng, aku tahu mana urusan penting mana urusan sepele! Atau jangan-jangan kau yang kelepasan omong bicara sama seorang gadis cantik bertubuh bagus misalnya?!"

Ucapan Putri Sableng membuat murid Pendeta Sinting sejurus terdiam. Malah dia terlihat tengadahkan kepala dengan kening berkerut. "Hem... Aku memang pernah jumpa dengan gadis bertubuh bagus berwajah cantik, Ratu Pemikat! Tapi aku rasanya tidak mengatakan urusan kitab ini padanya. Malah kalau tidak salah aku telah berbuat kurang ajar padanya! Tak mungkin dia yang mendahului datang ke tempat ini. Lalu siapa?!"

Selagi murid Pendeta Sinting mengingat begitu, Putri Sableng berujar. Namun kali ini suaranya agak merendah. "Melihat tulisan itu serta menghubungkannya dengan adanya makam ini, jelas kitab itu sudah di tangan orang! Apa yang sekarang kita lakukan?!"

"Sejak semula aku tidak mengajakmu ikut serta dalam urusan ini! Terserah apa yang akan kau lakukan! Aku akan lakukan apa yang ku mau! Tapi ingat. Aku tidak mau lagi melihat tampangmu!”

Putri Sableng bukannya tambah marah mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, gadis berjubah merah ini justru tertawa cekikikan lalu berujar. "Tampangku memang jelek, tapi aku juga tidak sudi selalu kau ikuti!"

"Setan! Siapa yang mengikutimu?!"

Kembali Putri Sableng tertawa cekikikan dahulu sebelum perdengarkan jawaban. "Jangan kau kira aku tidak tahu, kau selalu ada di bokongku! Bukankah kau berada di belakangku dan sempat mengejarku saat di kuil dekat pantai itu? Lalu... kau ikuti aku ke puncak ini! Hik Hik Hik...! Harap kau tidak merasa malu mengakuinya!”

Habis berkata begitu, tanpa menunggu sahutan dari mulut murid Pendeta Sinting, Putri Sableng berkelebat dan tahu-tahu sosoknya telah berada tepat di lamping jurang. Putri Sableng tengadahkan kepala. Tubuhnya bergerak hendak berkelebat naik, namun mendadak gadis ini tahan gerakannya. Kepalanya cepat berpaling. Mulutnya membuka perdengarkan bentakan.

"Dasar, Pemuda Setan! Sudah kukatakan, aku tak sudi kau ikuti!"

Murid Pendeta Sinting yang kini telah tegak tiga langkah di belakangnya terkejut. Belum hilang rasa kejutnya, si gadis telah membentak lagi.

"Awas kalau kau ikuti aku!"

"Aku juga akan ke sana!" kata Joko seraya menunjuk ke atas.

"Aku tak mau tahu kau hendak ke mana! Yang jelas, aku muak melihat kau berada di belakangku! Kau dengar?!"

"Gadis ini benar-benar memusingkan kepala! Sebenarnya aku senang mendapat teman cantik seperti dia. Tapi kalau dia juga menginginkan kitab itu apa artinya? Padahal aku harus memusnahkan kitab itu! Bagaimana baiknya...? Apa dia kuajak menyelidik kitab itu sambil kujelaskan duduk masalahnya. Siapa tahu dia mau mengerti malah bisa membantuku...?"

Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting berkata. "Apa kau tahu kitab apa sebenarnya yang sedang kau cari itu?!"

"Jawabannya kau sudah tahu! Tak perlu bertanya!" jawab Putri Sableng ketus.

"Yang ku maksud, sebenarnya kitab itu adalah sebuah kitab sakti yang sangat berbahaya kalau sampai jatuh pada orang yang tidak bertanggung jawab. Rimba persilatan akan mengalami bencana! Jadi tujuanku mencari kitab itu tidak untuk memilikinya namun untuk memusnahkannya!"

"Persetan kau hendak memilikinya atau memusnahkannya. Aku punya maksud lain dengan kitab Itu!" Jawaban Putri Sableng masih terdengar ketus.

"Maksudmu...?" tanya Joko pula.

"Jangan harap kau akan dengar Jawaban pertanyaanmu itu!"

Joko menghela napas panjang. Murid Pendeta Sinting ini coba menahan kemarahan yang kembali mendera dadanya mendengar Jawaban Putri Sableng. Di hadapannya, melihat sikap murid Pendeta Sinting, Putri Sableng menahan tawa.

"Pendekar 131! Kau pikirkan sesuatu?!"

Murid Pendeta Sinting tersentak kaget. Bukan karena pertanyaan Putri Sableng sebaliknya karena mendapati si gadis tahu siapa dirinya! "Bagaimana dia tahu? Apakah dari bentrokan dengan Iblis Rangkap Jiwa?"

Mendapati keterkejutan pada Joko, Putri Sableng perkeras tawanya. Lalu berkata dengan senyum-senyum. "Aku lebih tahu luar dalam dirimu daripada kau sendiri! Kau murid tunggal seorang kakek gendeng bergelar Pendeta Sinting. Sebelum ini kau terlibat urusan dengan gadis-gadis cantik di antaranya Dewi Seribu Bunga, Sitoresmi, Puspa Ratri, Saraswati Juga tokoh-tokoh edan seperti Iblis Ompong dan saudara-saudaranya! Kau juga pernah bercumbu dengan gadis bahenol bergelar Ratu Pemikat. Hik Hik Hik...! Kalau kau pernah mengintipku mandi, aku pernah melihat bagaimana kau ditelanjangi gadis bertubuh bahenol Ratu Pemikat itu. Hik Hik Hik...!"

Saking kagetnya, sepasang kaki murid Pendeta Sinting tersurut dua tindak! Mulutnya menganga dengan sepasang mata terpentang besar-besar! Ketika sadar dari rasa kejutnya, Putri Sableng sudah tidak tampak lagi di hadapannya!

"Busyet betul! Betul-betul busyet! Siapa sebenarnya gadis sableng itu? Dia benar-benar mengetahui luar dalam diriku! Aku masih bingung dengan urusan Kitab Hitam, kini ditambah lagi dengan pertanyaan edan mengenai gadis itu!"

Untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting mondar-mandir. "Ah... Peduli setan siapa sebenarnya gadis itu! Aku harus cepat balik ke puncak bukit. Siapa tahu sebenarnya manusia iblis itu yang telah mengambil kitab! Dia tahu beradanya kitab itu dan tidak sulit mendapatkannya!"

******************

BAB 9

Setelah ditinggal sendirian di puncak bukit oleh murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng dalam keadaan tertotok dan tubuh bagian bawah terbuka, Iblis Rangkap Jiwa memaki panjang pendek. Namun setelah sadar bahwa hal itu tidak ada artinya, kakek ini segera pejamkan mata dan mengatur jalan pernapasan.

Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa adalah seorang tokoh berilmu tinggi dan para kalangan persilatan pada zamannya telah mengetahui kalau kakek ini mampu menahan segala pukulan yang menghantam tubuhnya. Namun begitu, ada satu hal yang tidak diketahui oleh si kakek. Dia memiliki kelemahan yang selain jarang diketahui orang, juga mungkin orang tidak akan menduga. Kelemahan kakek ini jika melihat pantat seorang laki-laki dan perempuan secara bersamaan maka segenap kesaktiannya akan lenyap selama setengah hari.

"Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi menimpa diriku! Kesaktianku mendadak lenyap begitu melihat bokong! Padahal saat perempuan muda itu perlihatkan bokongnya pertama kali, aku tidak mengalami apa-apa. Tapi setelah melihat bokong dua orang, kesaktianku sirna. Benar-benar jahanam! Hem... Orang yang menyuruh dan memberi isyarat adalah seorang bertubuh cebol berambut kepang dua... Tak salah! Dia adalah Cucu Dewa! Mengapa si cebol itu bersekongkol dengan dua manusia itu? Bukankah selama ini si cebol itu berada di pihak golongan hitam...? Apakah ini muslihatnya karena berambisi memiliki Kitab Hitam itu? Dia sungkan padaku lalu mencari kelemahanku dan bersekongkol dengan orang! Hem... Dia telah membuat langkah keliru terhadap Iblis Rangkap Jiwa!"

Raut wajah angker Iblis Rangkap Jiwa tercenung. Namun begitu masih tersirat seberkas perasaan lega pada wajahnya. "Meski samar-samar, aku tadi masih sempat mendengar si cebol itu berkata kalau kesaktianku ini hanya lenyap selama setengah hari! Berarti kesaktianku masih bisa pulih kembali! Kalau hanya lenyap setengah hari, mungkin akan lebih cepat dari waktu itu kalau aku kerahkan tenaga..."

Berpikir begitu, perlahan-lahan Iblis Rangkap Jiwa kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Sebenarnya kesaktian Iblis Rangkap Jiwa tidak lenyap musnah. Kakek ini hanya tidak dapat pergunakan kesaktiannya selama setengah hari. Namun jika dia kerahkan tenaga dalamnya, sedikit banyak kesaktiannya akan muncul meski masih sangat jauh jika dibanding dengan keadaan biasanya.

Karena Iblis Rangkap Jiwa memiliki tingkat kepandaian tinggi, setelah agak tama pusatkan tenaga, perlahan-lahan kedua tangannya terlihat bergerak-gerak. Lalu kakinya melejang membujur. Jelas kalau kakek ini perlahan-lahan telah mampu buyarkan totokan yang disarangkan murid Pendeta Sinting.

"Hem... Aku berhasil..," gumam Iblis Rangkap Jiwa seraya buka kelopak matanya.

Lalu kembali pusatkan pikiran dan tenaga. Sesaat kemudian kakek ini telah dapat gerakkan sekujur anggota tubuhnya meski masih sangat lemah. Namun lama kelamaan, Iblis Rangkap Jiwa mulai dapat kuasai diri. Dan begitu merasa kuat, kakek ini bergerak bangkit. Dia coba mencari serpihan kainnya yang sempat tersabet tangan murid Pendeta Sinting hingga aurat bawahnya terbuka. Namun kakek ini memaki saat melihat kain serpihannya tidak mungkin lagi dapat digunakan untuk menutup auratnya.

"Anak manusia itu telah mempermalukan aku! Nyawanya akan kukejar meski ke ujung langit dan masuk ke Liang bumi!"

Iblis Rangkap Jiwa perlahan-lahan melangkah ke arah utara. Sepasang matanya memandang jauh ke bawah. "Hem... Mereka hanya akan menemukan angin! Tapi aku harus segera sembunyi! Mereka pasti akan segera kembali ke sini! Saat ini tidak mungkin bagiku melawan mereka! Selain kesaktianku belum kembali, mereka telah mengetahui bagaimana cara mengalahkanku! Setan betul! Tapi... Aku tetap akan membalas semua ini! Aku tahu bagaimana caranya! Aku punya seribu satu cara!"

Iblis Rangkap Jiwa balikkan tubuh. Namun tiba-tiba dia urungkan gerakan langkahnya. "Ke mana aku sekarang sembunyi? Lari dari bukit ini dan mencari tempat lain? Kalau sewaktu-waktu manusia bergelar Malaikat Penggali Kubur balik kemari bagaimana? Padahal aku harus merebut Kitab Hitam itu dari tangannya. Mencari sendiri di luaran sana tentu sangat sulit! Apalagi dia seorang pemuda! Hem... Kalau dia berkata hendak balik ke sini, mengapa aku harus mencari tempat lain? Sampai kapan pun aku akan menunggunya! Hanya untuk sementara ini aku akan menyingkir dahulu..."

Iblis Rangkap Jiwa gerakkan langkah kakinya. Tak berapa lama kemudian sosoknya terlihat menuruni bukit dan lenyap di kerapatan semak dan pohon.

********************

Begitu tubuhnya melewati bibir jurang, Putri Sableng tegak sebentar sambil tengadahkan kepala ke arah puncak bukit. "Iblis Rangkap Jiwa...!" desis si gadis. "Keteranganmu tentang di mana beradanya kitab itu betul. Manusia sepertimu tidak mungkin sia-siakan kesempatan! Jadi pasti kaulah yang telah mengambil kitab itu! Hem... Aku harus segera kembali ke puncak bukit. Menurut Cucu Dewa, orang itu akan kehilangan kesaktian selama setengah hari. Lagi pula dia masih tertotok. Pasti dia masih tergeletak tak bergerak di sana!"

Putri Sableng hendak berkelebat. Tapi mendadak gerakannya tertahan. Bahu gadis cantik ini berguncang menahan tawa. Namun tak urung suara cekikikannya masih terdengar. "Bagaimana aku harus memeriksanya? Barangnya tidak tertutup! Bagaimana kalau tanganku nanti salah ambil?" Suara cekikikannya makin keras.

"Ah... Peduli! Terpaksa aku tidak akan pejamkan mata daripada salah ambil dan menyentuh barang tidak karuan!"

Masih dengan perdengarkan tawa cekikikan, Putri Sableng berkelebat mendaki Bukit Selamangleng. Dalam waktu tidak lama, sosok Putri Sableng telah hampir mencapai puncak bukit. Sebelum tubuhnya benar-benar berada di puncak bukit, gadis ini putuskan cekikikannya lalu berseru keras.

“Iblis Rangkap Jiwa! Kali ini jangan kau kira dapat berkata dusta padaku lagi! Serahkan kitab itu padaku! Aku tahu, kau telah mengambil kitab itu! Jika tidak kau akan..."

Seruan Putri Sableng terputus. Sosoknya yang kini telah berada di puncak bukit tegak dengan sedikit bergetar. Mulutnya kontan terkancing. Setelah kuasai rasa terkejutnya, gadis berjubah merah ini silangkan sepasang matanya berkeliling.

“Ke mana minggatnya manusia itu? Bukankah waktunya belum sampai setengah hari? Apakah dia berhasil pulihkan kesaktiannya dan membuyarkan totokan Pemuda Setan itu? Hem... Keterangan Cucu Dewa tidak mungkin bohong. Kalaupun dia berhasil lepaskan totokan, kesaktiannya tentu belum bisa pulih benar. Hem... Dia pasti masih ada di sekitar sini!"

Tanpa menunggu lama, Putri Sableng berkelebat mengitari puncak bukit. Namun meski telah berputar dua kali dengan mata liar nyalang, sosok Iblis Rangkap Jiwa tidak ditemukan!

"Tidak kuduga kalau secepat itu dia bisa bebaskan diri… Tapi aku masih tidak percaya kalau dia mampu kembalikan kesaktiannya. Karena dia tidak menunggu di sini... Tentu dia belum jauh..."

Putri Sableng memandang sekali lagi dengan putar kepalanya berkeliling. Kejap lain sosoknya berkelebat menuruni bukit. Namun mendadak satu suara teguran menahan gerakannya.

"Mengapa kau lepaskan manusia itu?!"

Meski tanpa berpaling ke arah datangnya suara teguran, Putri Sableng sudah bisa menebak siapa adanya orang. Namun tak urung gadis ini putar kepalanya. Sejarak sepuluh langkah tegak Pendekar 131 dengan arahkan pandangannya pada jurusan lain.

"Ternyata kau masih mengikutiku!"

Murid Pendeta Sinting tidak berpaling. Mulutnya menyeringai. "Tanpa imbalan pantas, tak mungkin kau bebaskan manusia itu! Sekarang berikan imbalan itu padaku!"

"Kau bisa memintanya di liang akhirat!"

"Hem... Kau benar-benar ingin dikasari!" sentak murid Pendeta Sinting. "Atau sebenarnya kau berkomplot dengan manusia itu?!"

"Yang kutahu, manusia iblis hanya bersekongkol dengan yang namanya iblis! Apa kau kira aku ini Iblis, hah?!" Putri Sableng balas membentak.

"Keadaan tubuhmu memang cantik malah aku pernah melihatmu tidak mengenakan pakaian dan memang mirip manusia biasa. Tapi kadangkala manusia biasa berhati melebihi Iblis!"

Tampang Putri Sableng langsung berubah. "Ternyata bukan matamu saja yang bertindak tidak pada tempatnya! Mulutmu pun bisa bicara ngelantur tak karuan!"

"Hem... Sekarang tak usah banyak mulut. Kau mau serahkan kitab itu atau tidak?!" tanya Joko lalu memandang tajam.

"Buka telingamu lebar-lebar! Aku sampai di tempat ini sudah tidak menemukan manusia itu! Ini menunjukkan totokanmu tidak ada apa-apanya! Padahal kau telah digelari orang sebagai Pendekar! Belum lagi katanya kau sudah berhasil membekal Kitab Serat Biru dan kitab bersampul kuning! Jangan-jangan kau yang bersekongkol dengan manusia iblis itu! Kau hanya berpura-pura menotoknya lalu membuat perjanjian!"

"Gila! Gadis ini benar-benar mengetahui diriku..," kata Joko dalam hati. Belum sampai murid Pendeta Sinting ucapkan sepatah kata. Putri Sableng telah nyerocos lagi.

"Kau bertanggung jawab atas kejadian ini Jika sampai terjadi apa-apa di luaran sana!"

"Bagaimana bisa begitu? Kalaupun memang terjadi apa-apa, kita berdua yang bertanggung jawab!" sahut Pendekar 131.

"Hem... Kau mau libatkan orang lain yang tidak tahu apa-apa?!"

"Kau tahu segalanya! Termasuk tahu luar dalam diriku!"

"Kau Juga tahu diriku...!" Putri Sableng tak mau kalah.

Pendekar 131 gelengkan kepalanya. "Tidak. Aku memang tahu dirimu serta namamu. Tapi aku tidak tahu siapa kau sebenarnya! Kalau boleh tahu, siapa kau sebenarnya...?!" Pada nada ucapannya yang terakhir, Joko terdengar rendahkan suaranya.

"Mengapa hal itu baru kau tanyakan sekarang?"

"Karena sekarang kita harus bersahabat! Kita sama-sama punya tanggung jawab!"

"Hem... Begitu? Tidak ada hal lain?"

"Maksudmu...?!"

"Kau mengajak bersahabat hanya karena kau tertarik padaku?"

Pendekar 131 tertawa. "Kuakui kau memang cantik. Tapi untuk sekarang aku hanya sebatas mengagumi kecantikanmu. Tidak ada rasa tertarik sama sekali!"

"Kebetulan! Meski kau tampan, tapi aku merasa muak melihat tampangmu! Hik Hik Hik...! Kalau Sudah begini persahabatan bisa langgeng! Karena kadangkala persahabatan bisa rusak bila kedua orangnya sudah saling jatuh cinta apalagi cintanya karam di tengah jalan. Sekarang apa rencanamu?"

"Kita terus menyelidik! Aku masih ragu, jangan-jangan jurang yang dikatakan Iblis Rangkap Jiwa menyimpan kitab itu hanya buatannya manusia Iblis itu sendiri untuk mengelabui orang. Sementara dia sendiri tidak tahu di mana beradanya kitab itu! Kita harus menemui seseorang yang kuyakin punya rahasia di mana sebenarnya kitab itu berada!"

"Siapa orangnya?" tanya Putri Sableng.

"Nanti akan kuceritakan sambil jalan..."

"Ah, rupanya kau masih menaruh curiga padaku! Padahal kau telah mengajak bersahabat!" kata Putri Sableng pula.

"Bukan karena itu. Kita harus cepat bertindak. Siapa tahu, kalau memang melarikan diri manusia itu belum jauh dari sini!"

Habis berkata begitu, Joko anggukkan kepala memberi isyarat untuk segera turun bukit. Putri Sableng balas anggukkan kepala lalu mendahului melangkah menuruni bukit. Murid Pendeta Sinting jalan di belakangnya.

"Aku punya permintaan kalau benar-benar kau ajak menyelidiki" kata Putri Sableng seraya terus menurun!

“Katakan permintaanmu..."

"Kulitku termasuk kulit aneh. Kalau terkena sinar matahari akan mengelupas! Jadi aku hanya bisa menyertaimu menyelidik pada malam hari! Dan bisa siang hari tapi hanya waktu-waktu tertentu..."

"Aneh... Apa kau keturunan hantu? Hanya hantu yang keluar malam hari! Lalu kapan selesainya urusan ini kalau kita menyelidik menunggu malam tiba?"

"Kau tak usah ragu! Kau terus menyelidik. Kau hanya perlu memberitahukan di mana malam nanti berjumpa! Aku pasti sudah nongkrong di sana! Paham...?"

"Heran... Bagaimana bisa begin!?"

"Jangankan kau, aku sendiri heran dengan diriku sendiri! Maka dari itu... sambil menyelidik kita cari seorang tabib yang bisa sembuhkan penyakit anehku ini. Kau tidak keberatan bukan?"

"Selain itu, apa kau masih punya penyakit aneh lainnya?"

"Betul!"

Murid Pendeta Sinting hentikan larinya. Sepasang matanya memandang pada sosok bagian belakang orang di hadapannya. "Sayang. Cantik-cantik tapi banyak penyakit anehnya..." desis Joko lalu berkata. "Apa penyakit anehmu yang lain?"

"Aku tak suka mendengar laki-laki bicara dan bertanya terlalu banyak!" Habis berkata begitu, Putri Sableng terus berlari menuruni bukit.

"Dasar orang berpenyakitan aneh! Ucapannya pun aneh-aneh..." kata murid Pendeta Sinting lalu berlari kembali menyusul Putri Sableng yang telah jauh di depan sana.

*******************

BAB 10

SATU bayangan hitam berlari laksana angin. Dalam beberapa saat bayangan itu telah nampak berkelebat mendaki bukit. Padahal sejenak tadi bayangannya masih jauh di sekitar kaki bukit. Dan tidak sampai berapa lama, bayangan ini tahu-tahu sudah tegak di puncak Bukit Selamangleng. Bayangan ini ternyata seorang pemuda berparas tampan dan keras. Rahangnya kokoh dengan sepasang mata tajam. Rambutnya hitam lebat. Dia mengenakan pakaian berwarna hitam-hitam.

Begitu injakkan sepasang kakinya di tanah puncak bukit, kepala pemuda ini laksana disentak setan berputar dengan mata menyelidik. Saat itu dipenghujung malam dan samar-samar lintasan langit telah disemburati warna kekuningan bias sinar matahari yang sebentar lagi akan unjuk diri.

"Jahanam itu ke mana? Padahal belum lama aku tinggalkan puncak bukit ini! Jahanam itu telah ingkari ucapannya tidak lakukan perintahku! Dia mencari mampus berani berdusta pada Malaikat Penggali Kubur!"

Pemuda berpakaian hitam yang ternyata tidak lain adalah Malaikat Penggali Kubur rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Kelopak matanya perlahan memejam. Telinganya bergerak-gerak. Sikapnya jelas kalau pemuda ini tengah pusatkan pikiran. Tiba-tiba mulut Malaikat Penggali Kubur membuka. Bersamaan itu terdengar suara bentakannya.

"Cepat keluar dari tempatmu! Atau kau ingin mampus tanpa dikenali!" Malaikat Penggali Kubur lepaskan rangkapan kedua tangannya. Seraya putar tubuh kedua tangannya bergerak.

"Tahan!" satu suara tiba-tiba terdengar.

Malaikat Penggali Kubur buka matanya. Rahangnya mengembung besar dan terangkat. Dari balik salah satu pohon, muncul satu sosok tubuh dan perlahan-lahan melangkah ke arah Malaikat Penggali Kubur. Dia adalah seorang laki-laki berkepala gundul dengan sepasang mata besar menjorok keluar. Hampir seluruh raut wajahnya tidak tertutup daging. Laki-laki berkepala gundul yang bukan lain adalah Iblis Rangkap Jiwa hentikan langkah tujuh tindak dihadapan Malaikat Penggali Kubur.

"Hem... Pakaian yang dikenakan berganti. Mencuri di mana bangsat ini? Atau dia mengambil pakaian orang yang jadi korbannya?" Malaikat Penggali Kubur membatin seraya memperhatikan sosok Iblis Rangkap Jiwa. Iblis Rangkap Jiwa saat itu mengenakan pakaian berwarna putih bersih.

"Apakah kau telah mendapat korban?!" Malaikat Penggali Kubur ajukan tanya.

Iblis Rangkap Jiwa sejurus memandang pada Malaikat Penggali Kubur. Kepalanya bergerak menggeleng. "Selama sepeninggalmu belum ada manusia yang kesini! Aku mendapat pakaian ini di dusun terdekat..." ujar Iblis Rangkap Jiwa seolah tahu apa yang terpikir dalam benak Malaikat Penggali Kubur.

"Tidak kusangka kalau secepat ini dia kembali! Hem... Ada apa ini?!" Diam-diam Iblis Rangkap Jiwa merasakan satu keanehan. Dia menyangka masih lama waktunya Malaikat Penggali Kubur kembali ke puncak Bukit Selamangleng. Apalagi dia telah membekal kitab sakti..."

Sebenarnya Malaikat Penggali Kubur sendiri semula memutuskan untuk tidak kembali dulu ke puncak Bukit Selamangleng. Namun begitu menuruti pesan yang tertulis di dinding Liang lahat dan bertemu serta mendengar keterangan Cucu Dewa dia berubah pikiran. Dia kini harus mencari orang yang bergelar Dewa Orok. Sebagai orang yang belum lama terjun dalam kancah rimba persilatan, dia baru kali ini mendengar nama Dewa Orok. Padahal seperti keterangan Cucu Dewa, keturunan Ken Rakasiwi yang diketahuinya masih hidup adalah Dewa Orok.

Dan menuruti pesan dari Datuk Kematian yang sempat dibacanya di liang lahat, dia harus memusnahkan semua anak keturunan Ken Rakasiwi, Mau tak mau dia harus mencari Dewa Orok, Setelah berpikir panjang dia teringat pada Iblis Rangkap Jiwa. Dia ingat kalau Iblis Rangkap Jiwa pernah mengatakan kalau usianya tiga kali lipat delapan puluh tahun. Lebih dari itu, Iblis Rangkap Jiwa mengetahui banyak tentang dirinya juga dunia persilatan padahal menurut ucapannya, Iblis Rangkap Jiwa sudah ratusan tahun menunggu.

Menelusuri perangai Iblis Rangkap Jiwa begitu, Malaikat Penggali Kubur menduga mungkin manusia berkepala gundul itu tahu tentang Dewa Orok. Berpikir begitu, Malaikat Penggali Kubur lalu kembali ke puncak Bukit Selamangleng. Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya mengitari puncak bukit. Mendadak dahinya berkerut. Namun sebelum dia buka mulut ajukan tanya, Iblis Rangkap Jiwa telah mendahului buka suara.

"Lawan yang hendak kuhadapi sekarang mungkin ilmunya sudah meningkat. Aku tidak boleh berdiam diri. Aku harus berlatih. Jadi porak-porandanya tempat ini karena pukulanku waktu berlatih..."

Malaikat Penggali Kubur mengangguk. "Sejauh kau tidak bertindak mencelakai diriku, peduli setan apa yang kau lakukan!" katanya dalam hati. Lalu berkata.

"Aku gembira melihat kau masih berusaha berlatih diri. Aku memang butuh manusia sepertimu sebagai pembantu! Dan kedatanganku saat ini tidak lain adalah memberi perintah padamu...!"

"Aku telah berjanji untuk lakukan apa yang kau perintahkan..." ujar Iblis Rangkap Jiwa meski dalam hati dia memaki habis-habisan. "Manusia Jahanam ini telah berlaku melampaui batas! Sekarang dia boleh memerintahku! Tapi hanya sementara! Tak lama lagi, dia akan kujadikan tumbalku! Tunggulah...!"

"Aku tanya padamu. Dengar baik-baik! Karena aku hanya akan bicara sekali. Pernah kau dengar seseorang bernama Dewa Orok?!"

Tulang kening Iblis Rangkap Jiwa bergerak-gerak. Kepalanya yang gundul tengadah seakan berpikir. Malaikat Penggali Kubur perhatikan sikap Iblis Rangkap Jiwa dengan saksama.

"Apa yang ada dalam benak manusia bangsat ini...?!"

Iblis Rangkap jiwa diam-diam membatin. "Ada apa manusia jahanam itu mencari Dewa Orok? Kudengar selama ini makhluk bergelar Dewa Orok tidak ada keistimewaannya! Kalaupun ada itu hanyalah tingkahnya yang mirip bayi!"

"Telingamu sudah dengar pertanyaan. Kenapa tidak lekas jawab?!" Malaikat Penggali Kubur membentak karena Iblis Rangkap Jiwa tidak cepat buka suara.

"Aku memang pernah dengar nama orang yang kau sebut! Ada apa dengan dirinya?"

"Jahanam! Kau tidak layak ajukan tanya padaku! Dengar saja ucapanku dan lakukan perintahku! Kau dengar?!"

Iblis Rangkap Jiwa menjawab dengan anggukan kepala. Di hadapannya Malaikat Penggali Kubur menyeringai lalu tertawa bergelak sebelum akhirnya berkata. "Kau tahu di mana Dewa Orok bertempat tinggal?!"

"Sebagai orang persilatan, sulit menentukan di mana dia! Lagi pula aku tidak pernah tanya-tanya di mana tempat tinggalnya..."

"Kau pernah bertemu dengannya?!" Malaikat Penggali Kubur kembali ajukan tanya.

"Pernah. Tapi aku sudah lupa kapan dan di mana!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa panjang. "Bagus! Berarti kau tidak akan salah cabut nyawa orang! Sekarang pergilah ke pantai timur. Temui seorang bertubuh pendek berambut kelabang di kepang dua..."

"Cucu Dewa!" seru Iblis Rangkap Jiwa memotong ucapan Malaikat Penggali Kubur.

"Ah... Rupanya kau juga telah mengenal manusia cebol itu! Pengetahuanmu benar-benar luas. Untuk ini kelak kau akan mendapat hadiah dariku..." ujar Malaikat Penggali Kubur.

Mendengar kata-kata Malaikat Penggali Kubur, wajah Iblis Rangkap Jiwa bukannya membayangkan rasa gembira. Justru raut wajah laki-laki ini sulit dibayangkan.

"Kuteruskan ucapanku. Temui Cucu Dewa! Tanya padanya di mana tempat tinggalnya Dewa Orok. Tugas selanjutnya cabut satu-satunya nyawa milik Dewa Orok! Setelah itu kembali temui Cucu Dewa. Terserah mau kau apakan orang itu. Yang jelas, aku tak ingin lagi melihat tampangnya!"

Urusan dengan Cucu Dewa, tanpa mendapat tugas dari Malaikat Penggali Kubur sebenarnya sudah diperhitungkan oleh Iblis Rangkap Jiwa. Namun tidak demikian halnya dengan Dewa Orok. Iblis Rangkap Jiwa sebenarnya ingin tahu apa sebabnya Malaikat Penggali Kubur menginginkan nyawa orang itu. Namun keingintahuannya ditahan demi mengingat ucapan Malaikat Penggali Kubur tadi.

"Kau telah dengar perintahku. Sekarang lakukan!"

"Tapi..." ucapan Iblis Rangkap Jiwa laksana tercekat ditenggorokan.

"Ada yang hendak kau ucapkan?! Katakan cepat!" sentak Malaikat Penggali Kubur.

"Aku rasanya sulit menghadapi Cucu Dewa untuk saat sekarang ini..."

Mendengar pernyataan Iblis Rangkap Jiwa, meledaklah suara tawa Malaikat Penggali Kubur. "Aku tak mau tahu apa kesulitanmu! Kau manusia iblis! Tentu punya cara-cara seperti iblis! Yang jelas, kau harus temui orang itu karena kuduga dia satu-satunya orang yang tahu di mana Dewa Orok berada! Ingat, nyawamu ada dalam genggamanku. Aku hanya ingin nyawa Dewa Orok! Kalau kau gagal, gantinya adalah nyawamu sendiri!"

"Kalau saja aku tidak menginginkan kitab di tangannya, tidak akan kulakukan pekerjaan tolol ini. Cucu Dewa telah tahu kelemahanku. Hem... Apa boleh buat..." Iblis Rangkap Jiwa berkata pada diri sendiri.

"Hanya itu yang harus kulakukan?!" akhirnya Iblis Rangkap Jiwa ajukan tanya.

"Hem... Rupanya kau minta tugas tambahan? Tapi untuk sementara kau lakukan apa yang kukatakan tadi. Setelah itu tunggu aku di puncak bukit ini!"

"Hem... Inilah yang kutunggu! Sambil berjalan aku menyusun rencana!" ujar Iblis Rangkap Jiwa dalam hati. "Pertemuan nanti kuharap pertemuan terakhir dengannya! Aku harus berhasil merebut kitab itu!" Raut wajah Iblis Rangkap Jiwa sejenak cerah. Tapi cuma sekejap. Di lain kejap dia termenung. "Lalu sampai kapan aku menunggu di sini?"

Iblis Rangkap Jiwa lalu tanyakan hal itu pada Malaikat Penggali Kubur. Malaikat Penggali Kubur tertawa panjang mendengar pertanyaan Iblis Rangkap Jiwa.

“Kau tak perlu tahu kapan aku kembali ke sini. Kau harus tetap menunggu aku. Kalaupun aku tidak muncul di sini hingga tubuhmu lapuk, itu berarti nasib buruk bagimu! Ha Ha Ha…“

Suara tawa Malaikat Penggali Kubur menggema ke seantero Bukit Selamangleng. Tapi mendadak Malaikat Penggali Kubur putuskan tawanya. Saat lain terdengar bentakannya. "Apa lagi yang kau tunggu, hah?!"

Iblis Rangkap Jiwa memandang sejurus. Tanpa berkata-kata lagi dia lalu berkelebat menuruni bukit diiringi tawa ngakak Malaikat Penggali Kubur.

********************

BAB 11

RUANGAN tidak terlalu besar itu tampak redup. Selain saat itu sudah menjelang senja, ruangan itu tidak memiliki jendela. Dinding sekeliling berupa batu padas hitam. Demikian pula atap langit-langitnya. Di dalam ruangan redup itu, terlihat dua orang duduk berhadap-hadapan. Tapi ada keanehan pada kedua orang ini. Yang sebelah kanan tampak melemparlemparkan dua batu kecil dengan tangan kanannya di depan dada silih berganti.

Orang sebelah kiri tampak kembungkan mulut lalu meniup. Terdengar suara duutt! Duuutt! beberapa kali. Bersamaan itu sebuah benda bulat mencuat dari mulutnya dan berputarputar mengapung di udara. Tatkala orang Ini membuat gerakan menyedot, bundaran itu balik lagi melesat masuk ke dalam mulutnya!

Orang sebelah kanan yang mainkan batu dilempar-lemparkan silih berganti adalah seorang laki-laki berwajah bulat bermata sipit. Hidungnya besar. Rambutnya hitam lebat dikelabang dua. Laki-laki ini bukan lain adalah orang yang dikenal dengan Cucu Dewa.

Sementara di hadapan Cucu Dewa, adalah seorang laki-laki muda berwajah tampan. Tapi dia tidak memiliki kedua tangan. Pemuda ini terus mainkan bundaran keluar masuk dalam mulutnya. Bundaran itu adalah sebuah karet mirip dot bayi. Pemuda bertangan buntung ini tidak lain adalah pemuda yang dikenal dengan gelar Dewa Orok. (Untuk lebih jelasnya mengenal pemuda ini silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Tabir Asmara Hitam)

Untuk beberapa saat kedua orang ini sama tenggelam dalam mainannya sendiri-sendiri. Namun tak lama kemudian orang yang di sebelah kanan hentikan lemparan-lemparan batunya. Mulutnya yang sedari tadi terkancing membuka.

"Orok... Aku merasa gembira kau kembali dengan membawa mahkota bersusun tiga itu! Tapi sayangnya semua itu diiringi dengan kejadian yang membuat hatiku tidak enak..."

Dewa Orok kembungkan mulut lalu meniup. Bundaran karet di mulutnya mencuat keluar lalu mengapung di udara. Bersamaan dengan itu terdengar suaranya. "Guru... Mau katakan apa sebenarnya yang terjadi hingga membuat hatimu merasa tidak enak...?"

"Beberapa hari yang lalu datang ke sini seorang gadis yang sebutkan diri dengan Putri Sableng. Dia berwajah cantik jelita dan aku yakin dia bukan orang sembarangan. Lalu bersamaan dengan gadis itu muncul pula seorang pemuda berwajah tampan yang sebutkan nama Joko Sableng..."

"Ah... Kalau yang perempuan aku tidak mengenalinya. Yang pemuda kalau mendengar namanya pastilah pendekar muda yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131!" Dewa Orok memotong ucapan Cucu Dewa.

"Hem... Aku juga sudah menduga ke arah sana! Herannya kedua orang anak itu sepertinya mengetahui jelas tentang sebuah kitab yang pernah kuceritakan padamu!"

"Maksud Guru, Kitab Hitam itu?!"

Cucu Dewa anggukkan kepala. Lalu orang bertubuh pendek ini ceritakan peristiwa yang terjadi.

"Jadi kedua orang itu sekarang telah menemukan kitab itu?!" kata Dewa Orok dengan mata mendelik terkejut.

Cucu Dewa gelengkan kepala. "Aku belum bisa memastikan. Karena manusia bergelar Iblis Rangkap Jiwa itu bukan tidak mungkin telah mengambilnya terlebih dahulu! Hanya kalau betul, kenapa kedua orang itu masih mampu melawannya? Padahal Kitab Hitam memiliki keanehan luar biasa... Kalaupun Iblis Rangkap Jiwa hilang kesaktiannya, mungkin dengan Kitab Hitam itu masih bisa menundukkan kedua orang muda itu. Tapi kenyataannya tidak demikian. Itulah yang membuatku masih ragu!"

Sejenak Cucu Dewa hentikan ucapannya, lalu melanjutkan. "Kau harus tahu, aku menyuruhmu mencari mahkota itu selain karena mahkota itu milik nenek moyangmu. Juga di dalamnya ada sebuah rahasia... Tapi dengan munculnya peristiwa di Bukit Selamangleng, rahasia itu tidak ada gunanya lagi. Tapi kau tak perlu kecewa. Bagaimanapun juga kau telah dapatkan kembali barang warisan nenek moyangmu..."

"Jadi mahkota itu menyimpan rahasia tentang Kitab Hitam itu?"

Cucu Dewa anggukkan kepalanya lagi. Lalu angkat bicara. "Tapi sesungguhnya yang membuatku tak enak adalah datangnya seorang laki-laki yang kutahu dia menyamar sebagai orang tua. Dia menanyakan tentang asal-usul Ken Rakasiwi dan anak turunannya, Aku mengatakan terus terang padanya karena dia mengatakan masih keturunan Raja-raja Singasari dan berniat menyambung darah yang terputus. Tapi nada ucapan selanjutnya membuatku curiga. Dia punya maksud lain...”

Baru saja Dewa Orok hendak buka Mulut, tangan Cucu Dewa terangkat membuat Dewa Orok urungkan. "Rupanya kita akan kedatangan tamu lagi..." ujar Cucu Dewa setengah berbisik..”

Dewa Orok kempiskan mulut menyedot. Bundaran Karet yang terapung di udara melesat masuk ke dalam mulutnya. Bersamaan dengan itu mendadak terdengar suara keras membahana.

"Cucu Dewa! Kematian telah menunggumu di luar! Cepat keluarlah...!"

S E L E S A I

Titah Dari Liang Lahat

Serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 Episode Titah Dari Liang Lahat

Cerita silat serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131


BAB 1

MALAIKAT Penggali Kubur tersurut satu tindak dengan sepasang mata mendelik tak berkesip dan mulut menganga namun tak perdengarkan suara. Parasnya berubah dengan tengkuk dingin. Untuk beberapa saat dia hanya dapat pandangi sosok berjubah hitam yang kini melingkar tak bergerakgerak dua langkah di hadapannya. Dadanya berdebar keras. Sekujur tubuhnya bergetar.

"Siapa manusia ini?!" tanya Malaikat Penggali Kubur dalam hati setelah dapat kuasai rasa kejutnya. "Berjubah hitam panjang. Jangan-jangan manusia ini yang dilihat dalam mimpi Guru. Tapi... dia sudah tewas!" sekali lagi Malaikat Penggali Kubur pandangi sosok berjubah hitam yang tadi duduk bersila di atas batu dan kini melingkar di atas tanah.

"Ada keanehan..." desis Malaikat Penggali Kubur dengan kepala berputar dan sepasang mata pandangi berkeliling sebelum akhirnya kembali ke sosok tak bergerak di hadapannya. "Jubah dan sekujur tubuhnya sudah berlumut. Berarti dia sudah lama mati! Tapi aku tidak membaui bau bangkai. Anggota tubuhnya pun tidak rusak. Mimpi Guru benar-benar bukan hanya kembang tidur! Dan petunjuk orang yang menamakan Iblis Rangkap Jiwa benar adanya. Jadi manusia inilah yang kucari!"

Malaikat Penggali Kubur dongakkan kepala dengan bibir tersenyum. "Guru mengatakan orang ini membuka jubahnya di bagian dada. Lalu tampak sebuah kitab.!"

Pemuda murid Bayu Bajra Ingat akan ucapan gurunya beberapa saat yang lalu. Ingat akan hal Itu, cepat Malaikat Penggali Kubur melangkah satu tindak lalu Jongkok dengan kedua tangan bergerak ka arah Jubah bagian atas orang tua yang melingkar tak bergerak. Namun gerakan kedua tangan Malaikat Penggali Kubur tertahan. Dahinya berkerut dengan mata menatap tajam. Bukan memandang pada sosok dl hadapannya melainkan pada bagian samping batu di mana tadi orang tua berjubah duduk.

Waktu orang tua berjubah hitam panjang tadi duduk di atas batu, bagian samping batu memang tidak kelihatan karena tertutup jubah hitamnya yang panjang. Setelah orang tua itu jatuh, kini tampaklah bagian samping batu itu. Ternyata di bagian samping batu itu ada rangkaian tulisan.

Sesaat Malaikat Penggali Kubur perhatikan rangkaian tulisan itu dengan mata menyipit. Karena ternyata rangkaian tulisan itu ditulis dengan darah! Malaikat Penggali Kubur pandangi rangkaian tulisan lalu beralih pada sosok dihadapannya. Kejap lain dia arahkan kembali pandangannya pada rangkaian, tulisan lalu membaca dengan mulut bergetar.

Pesan bagi anak manusia yang menemukan diriku. Kau akan mendapatkan sebuah karya luar biasa dahsyat dalam tubuhku. Setelah kau dapatkan karya itu, angkat mayatku dua belas langkah dari tempat ini ke jurusan kanan.

“Karya... Pasti yang dimaksud adalah..."

Malaikat Penggali Kubur tidak lanjutkan gumaman nya. Sebaliknya dia segera arahkan pandangannya pada sosok orang tua berjubah. Kedua tangannya segera bergerak membuka kancing bagian atas jubah orang. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur membesar. Di balik jubah hitam orang yang telah tersingkap, tampaklah sebuah kitab berwarna hitam. Namun sang pemuda tidak segera gerakkan tangan untuk mengambil. Sebaliknya memperhatikan sekitar Kitab Hitam yang terikat di dada orang. Di sekitar dada orang tua itu terlihat bercak-bercak darah mengering. Malah sebagian ada di sampul kitab.

"Heran... Mulut dan hidungnya tidak mengucurkan darah. Demikian pula telinganya. Dari mana darah itu?” Malaikat Penggali Kubur sibakkan Jubah hitam orang ke bawah. Namun dia tidak menemukan luka yang mengucurkan darah.

"Ah... itu urusan nanti. Yang penting aku telah menemukan kitab itu. Dan aku harus lakukan apa yang tertera di batu itu. Pasti orang tua ini yang menulis!"

Kedua tangan Malaikat Penggali Kubur menyentuh kitab yang terikat di dada orang. Ada hawa dingin tatkala kedua tangannya menyentuh sampul kitab. Dengan kedua tangan bergetar. Malaikat Penggali Kubur segera tarik kitab Itu. Dengan tangan masih bergetar murid Bayu Bajra ini segera memeriksa kitab bersampul hitam. Pada sampulnya tidak ada tulisan. Dia coba membuka. Namun dia tersentak kaget. Ternyata bagaimanapun dia berusaha membuka, lembaran kitab itu laksana lengket dan tidak bisa dibuka.

"Bagaimana aku mempelajari isinya kalau tidak bisa dibuka? Jangan-jangan ini kitab palsu! Tapi..."

Malaikat Penggali Kubur perhatikan lebih seksama lagi. Karena pada sampulnya ada bercak-bercak darah dan menduga di balik bercak darah ada tulisan, tangan kanannya segera mengusap-usap sampul kitab hilangkan bercak-bercak darah. Bersamaan dengan itu tiba-tiba terdengar deruan perlahan. Malaikat Penggali Kubur tersentak. Menduga ada orang lain yang lancarkan pukulan, dia cepat selinapkan Kitab Hitam ke balik pakaiannya.

Karena sewaktu mengusap sampul kitab menghadap ke atas, mendadak saat itu juga ranggasan daun dan ranting-ranting yang banyak tumbuh di bagian lamping jurang laksana dilanda gelombang dahsyat. Kejap lain Malaikat Penggali Kubur menyaksikan lamping Jurang bersih rata. Yang terlihat kini adalah serpihan-serpihan daun dan ranting yang sejenak bertabur sebelum akhirnya tersapu angin.

"Aneh... Apa yang terjadi? Jelas tidak ada orang yang lancarkan pukulan. Sewaktu aku mengusap sampul kitab ini tiba-tiba terdengar deruan, lalu ada gelombang tidak terlihat yang menyapu rata daun dan ranting di atas sana! Jangan-jangan inilah kedahsyatan kitab yang kutemukan! Tapi aku belum percaya kalau tidak membuktikannya sendiri!"

Malaikat Penggali Kubur putar diri setengah lingkaran. Kedua tangannya bergerak mengusap sampul kitab di balik pakaiannya. Saat itu juga terdengar deruan pelan. Tidak ada gelombang angin yang terlihat. Namun, bersamaan dengan itu batu-batu di hadapannya serta jajaran pohon yang ada laksana disapu kekuatan luar biasa dahsyat. Batu-batu itu langsung pecah berantakan. Jajaran pohon berderak tumbang dan langsung menghitam laksana dipanggang bara api. Malaikat Penggali Kubur tegak dengan mata seolah tak percaya dengan apa yang disaksikan. Namun sesaat kemudian dia menyeringai seraya bergumam pelan.

"Hem... Jadi aku hanya perlu mengusap tanpa harus mempelajari isinya. Benar-benar luar biasa! Rimba persilatan akan segera guncang. Dan cita-citaku menjadi tokoh sakti akan terwujud! Sejengkal lagi dunia persilatan akan berada di genggamanku!"

Malaikat Penggali Kubur tengadah. Terbayang wajah Pendekar 131 di pelupuk matanya. Mulutnya menyunggingkan senyum aneh. Lalu berseru. "Langkah mu tidak akan panjang lagi, Pendekar! Kau hanya tinggal tunggu saat-saat kematian!"

Malaikat Penggali Kubur rapikan letak Kitab Hitam di balik pakaiannya. Lalu putar diri lagi menghadap sosok orang tua berjubah hitam yang masih melingkar di atas tanah. Saat itulah sepasang matanya melihat sesuatu menyembul di bawah mana tadi Kitab hitam berada di dada orang. Malaikat Penggali Kubur jongkok seraya memperhatikan. Dia ulurkan tangan mengusap sesuatu yang menyembul karena di bagian dada orang banyak bercak darah.

"Ujung senjata!" desis Malaikat Penggali Kubur seraya tarik pulang tangannya. "Jadi darah itu karena senjata yang melukai dadanya..."

Malaikat Penggali Kubur lepas jubah hitam orang. Lalu membalikkan tubuhnya. Dia tersentak kaget. Pada bagian punggung orang tua itu tampak menancap sebuah gagang pedang. Melihat hanya gagangnya yang kelihatan sementara di bagian dada orang hanya menyembul sedikit jelas kalau pedang itu merupakan pedang kecil.

"Pedang ini menancap dari belakang, pasti ini dilakukan orang lain. Jadi orang tua itu tewas terbunuh! Hem,.. Aku harus segera lakukan apa yang tertulis di batu itu. Bagaimanapun juga orang tua ini telah mewariskan sesuatu luar biasa padaku!"

Malaikat Penggali Kubur kenakan kembali jubah sosok orang tua itu. Lalu perlahan-lahan dia angkat dan melangkah menghadap ke kanan lalu melangkah dengan menghitung. Saat hitungan langkahnya sampai dua belas, dia berhenti. Di hadapannya kini tampak sebuah tanah berlobang sedalam satu setengah tombak berbentuk persegi panjang sepanjang dua tombak dan lebarnya satu tombak. Di samping tanah berlobang terlihat gundukan tanah.

"Benar-benar luar biasa orang ini. Dia telah siapkan liang lahat untuk dirinya!"

Seakan tahu apa yang harus dilakukan, Malaikat Penggali Kubur perlahan-lahan melompat turun memasuki lobang persegi panjang. Perlahan-lahan pula diletakkan sosok orang tua di atas tanah berbentuk liang lahat itu. Sejenak dia pandangi tubuh si orang tua. Lalu memandang sekeliling. Saat itulah matanya melihat dinding tanah di bagian samping laksana ditekan-tekan tangan hingga membentuk sebuah tulisan! Dengan sedikit belalakkan sepasang matanya, Malaikat Penggali Kubur mulai membaca tulisan di dinding tanah.

Terima kasih kau telah lakukan apa yang kuinginkan, Siapa pun kau adanya, kau kini bukanlah manusia seperti sebelum kau berhasil menemukanku. Kau telah menemukan kitab luar biasa sakti. Tapi ada beberapa hal yang harus kau lakukan. Kau harus memusnahkan seluruh anak keturunan bekas seorang permaisuri bernama Ken Rakasiwi. Kau harus singkirkan tokoh-tokoh rimba persilatan hingga kau menjadi manusia tanpa tanding seperti cita-citaku! Untuk mengetahui seluruh anak turunan Ken Rakasiwi, pergilah ke sebuah kuil di pantai timur. Sementara ini kau harus menyamar. Kalau semuanya sudah jelas, tiba saatnya bagimu lakukan tugas!

Datuk Kematian


Malaikat Penggali Kubur mengulang dua kali tulisan di dinding tanah Liang lahat Lalu berpaling pada wajah orang tua di hadapannya. "Datuk Kematian... Aku akan laksanakan tugasmu! Sosok Malaikat Penggali Kubur sedikit membungkuk. Kejap lain dia mendongak. Sekali membuat gerakan, sosoknya telah berada di atas Liang Lahat.

Sejurus dia arahkan pandangannya berkeliling. “Aku merasakan perubahan pada diriku. Gerakanku amat ringan. Hem... ini pasti karena kitab ini!" gumamnya sambil kedua tangan menyentuh kitab di balik pakaiannya. Saat lain kedua tangannya bergerak menimbun lobang Liang Lahat dengan tanah yang menggunduk di sekitar liang lahat. Begitu lobang liang lahat tertutup Malaikat Penggali Kubur menarik napas panjang. Lalu putar diri dan melangkah ke tempat di mana dia tadi terjatuh. Kepala Malaikat Penggali Kubur mendongak.

"Jurang ini tidak terlalu dalam. Tapi karena di sampingnya tidak ada lagi tumbuhan yang bisa dibuat pegangan terpaksa aku harus naik dengan caraku sendiri..."

Malaikat Penggali Kubur melangkah ke arah samping jurang. Kembali kepalanya tengadah. Kejap lain dia sentakkan kedua kakinya ke tanah. Sosoknya melenting ke atas sampai dua tombak. Sebelum tubuhnya melayang turun lagi, kedua tangan dan kakinya bergerak menghantam tanah di samping jurang.

Sebenarnya semula Malaikat Penggali Kubur merasa bimbang akan apa yang hendak dilakukan. Namun karena percaya pada kitab di balik pakaiannya dia lalu mencoba. Bagian lamping jurang adalah tanah gembur karena hanya ditumbuhi pohon-pohon kecil. Sekali sentuh tanahnya pasti longsor. Hal inilah yang semula menjadikan Malaikat Penggali Kubur merasa was-was.

Namun begitu kedua tangan dan kaki Malaikat Penggali Kubur bergerak menghantam tanah di lamping jurang untuk menahan agar tubuhnya tidak jatuh, pemuda ini jadi terkejut sendiri. Meski kedua tangan dan kakinya kini masuk ke dalam tanah di lamping jurang hingga tubuhnya menggantung, tanah di lamping jurang tidak longsor!

Malaikat Penggali Kubur tidak menunggu terlalu lama. Dia segera tarik pulang kedua tangannya. Sementara kedua kakinya masih masuk ke tanah lamping jurang. Kedua tangannya lalu diangkat ke atas dan kembali di hujamkan masuk ke tanah. Kejap lain sepasang kakinya ditarik. Lalu diangkat ke atas. Dengan cara begitu, pada akhirnya Malaikat Penggali Kubur sampai di bibir jurang. Ketika bibir jurang telah terlihat, Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan dan kakinya bersamaan. Sosoknya melenting ke udara melalui bibir jurang.

Wuuuutt

Malaikat Penggali Kubur terkesiap kaget. Begitu sosoknya melampaui bibir jurang ada satu gelombang angin menyambar deras ke arahnya. Kalau murid Bayu Bajra yang kini telah mendapat Kitab Hitam ciptaan Ageng Barada alias Datuk Kematian tidak segera gerakkan bahunya, niscaya tubuhnya akan terhantam gelombang yang tiba-tiba menyambar.

Sebagai pemuda yang bertahun-tahun digembleng Bayu Bajra, seorang tokoh rimba persilatan yang cukup disegani, Malaikat Penggali Kubur sadar kalau ada orang lain di tempat itu. Lebih-lebih kini daya pendengarannya makin tajam karena kitab di balik pakaiannya.

Gelombang yang lolos menghantam Malaikat Penggali Kubur terus menerabas sebelum akhirnya menghantam bibir jurang di seberang sana. Di lain pihak, Malaikat Penggali Kubur cepat putar diri dan berpaling. Sepasang matanya mendelik angker. Rahangnya mengembung dengan pelipis bergerak-gerak. Namun rasa kaget lebih tampak di wajah si pemuda dari pada rasa geram karena diserang mendadak!

BAB 2

Di hadapan Malaikat Penggali Kubur sejarak sepuluh langkah tegak seorang laki-laki yang raut wajahnya hampir tidak tertutup daging. Kepalanya tidak ditumbuhi rambut. Sepasang matanya besar menjorok keluar. Laki-laki ini mengenakan pakaian compangcamping yang dibercaki tanah. Laki-laki yang bukan lain adalah Iblis Rangkap Jiwa ini sunggingkan senyum seringai. Saat lain kepalanya mendongak. Tangan kanannya bergerak ke depan membuat sikap seperti orang meminta. Lalu terdengar suaranya membentak keras.

"Serahkan Kitab Hitam itu padaku!"

Sesaat Malaikat Penggali Kubur tercekat. Namun ingat akan kitab di balik pakaiannya, pemuda murid Bayu Bajra ini tertawa pendek. Dalam hati dia berkata.

"Aneh. Dia yang menunjukkan di mana tempat beradanya kitab ini, tapi kenapa dia tiba-tiba hendak meminta dariku? Dia memiliki kepandaian sangat tinggi. Tentunya tidak sulit baginya untuk mengambilnya sendiri ke dalam jurang. Apalagi dia telah tahu tempatnya..."

Seperti diketahui, Gumara alias Malaikat Penggali Kubur dibangunkan gurunya dari semadi. Gurunya lalu menceritakan tentang mimpinya. Malaikat Penggali Kubur lalu melakukan perjalanan. Di puncak Bukit Selamangleng, Malaikat Penggali Kubur berjumpa dengan seorang laki-laki yang sebutkan diri sebagai Iblis Rangkap Jiwa. Dari laki-laki inilah Malaikat Penggali Kubur mendapat petunjuk di mana adanya Kitab Hitam. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode Warisan Laknat)

Selagi Malaikat Penggali Kubur membatin, Iblis Rangkap Jiwa perdengarkan suara tawa panjang. Lalu dia berkata. "Kau kuberi waktu menimbang. Namun kau hanya. punya dua pilihan! Pertama. Serahkan Kitab Hitam dan kau bisa pulang dengan membawa nyawa. Kedua. Aku mengambil sendiri kitab itu dengan caraku namun sekalian dengan nyawamu!"

Mendengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat Penggali Kubur balik perdengarkan tawa panjang. Malah kini kedua tangannya berkacak pinggang. Waktu jumpa di puncak Bukit Selamangleng, Malaikat Penggali Kubur memang kecut menghadapi Iblis Rangkap Jiwa. Malah murid Bayu Bajra ini sempat pasrah tewas di tangan Iblis Rangkap Jiwa.

Namun kini Malaikat Penggali Kubur telah membekal kitab dahsyat. Dia yakin, bagaimanapun kehebatan ilmu Iblis Rangkap Jiwa, dia pasti akan tersapu pukulan tak terlihat dari Kitab Hitam. Kepercayaan inilah yang membuat Malaikat Penggali Kubur tidak merasa jera dengan ancaman orang.

Di lain pihak, meski Iblis Rangkap Jiwa belum mengetahui benar bagaimana kedahsyatan Kitab Hitam, namun dari gerakan Malaikat Penggali Kubur yang telah dapat meloloskan diri dari pukulannya saat keluar dari bibir jurang membuat laki-laki ini tidak mau bertindak ayal. Dia jelas telah menangkap adanya perubahan pada pemuda di hadapannya.

Apalagi kini Malaikat Penggali Kubur berani tertawa panjang sambil berkacak pinggang. Padahal beberapa saat yang lalu, pemuda dapat dibuat jatuh bergedebukan hanya dengan sentakan kedua kakinya! Malaikat Penggali Kubur luruskan kepalanya memandang tajam ke dalam bola mata besar Iblis Rangkap Jiwa. Setelah menyeringai dia berkata.

"Kau telah menimbang ucapanmu, Manusia Iblis?! Dengar baik-baik! Kalau kau tawarkan dua pilihan padaku, aku hanya punya satu jalan untukmu!. Ikut bergabung denganku atau mampus saat ini juga!"

Walau merasa terkejut dengan ucapan Malaikat Penggali Kubur namun Iblis Rangkap Jiwa malah perkeras suara tawanya. Kejap lain dia berkata. "Jangan membuat aku berubah pikiran! Atau kau lebih suka serahkan kitab itu beserta nyawamu sekalian?!"

"Kau tahu siapa yang tengah kau hadapi?!" tanya Malaikat Penggali Kubur seraya palingkan kepala memandang pada jurusan lain.

Iblis Rangkap Jiwa puaskan tertawa dahulu sebelum berujar. "Kalau tidak tahu siapa kau, tidak mungkin aku tunjukkan di mana kitab itu berada!"

"Hem... Rupanya pengetahuanmu luas juga!" sahut Malaikat Penggali Kubur masih tanpa berpaling.

"Aku tahu banyak siapa kau lebih dari dirimu! Kau murid tunggal seorang anak manusia bernama Bayu Bajra! Kau mempunyai dendam berkarat pada anak manusia bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng dan kawan-kawannya! Lebih dari itu kau punya lima pusaran rambut di kepala!"

Laksana disentak setan, kepala Malaikat Penggali Kubur berpaling. Matanya tetapi Iblis Rangkap Jiwa dari atas hingga bawah. Diam-diam dalam hati ia berkata heran. "Bagaimana dia tahu aku memiliki lima pusaran rambut di kepala? Padahal..."

Belum sampai Malaikat Penggali Kubur lanjutkan kata hatinya, Iblis Rangkap Jiwa telah buka mulut lagi. "Kau terkejut. Pertanda ucapanku benar!"

Malaikat Penggali Kubur tidak menyahut. "Orang ini aneh. Dia punya ilmu tinggi dan tahu di mana kitab berada. Namun dia tidak berusaha mengambil sendiri, malah menunjukkan padaku. Dia juga tahu aku punya lima pusaran rambut di kepala padahal aku baru mengenalnya!. Aku harus tahu semua keanehan ini!"

Berpikir begitu Malaikat Penggali Kubur lalu berkata. "Aku akan berikan apa yang kau minta. Tapi jawab dulu pertanyaanku!"

Iblis Rangkap Jiwa tertawa ngakak sambil geleng-gelengkan kepala. "Dengan atau tanpa syarat pun kitab itu harus kau berikan padaku! Tapi aku masih berbaik hati padamu. Kau mau tanya apa?!"

"Kau punya kepandaian tinggi. Kau juga tahu di mana Kitab Hitam berada. Kenapa kau tidak mengambilnya sendiri? Lalu dari mana kau tahu aku memiliki pusaran rambut sebanyak lima buah?!"

"Sebenarnya pertanyaan orang bodoh! Tapi tak apalah, apa yang menjadi pertanyaanmu akan kujawab!" kata Iblis Rangkap Jiwa sambil tertawa pendek membuat paras wajah Malaikat Penggali Kubur merah padam. Namun pemuda ini coba menindih perasaannya.

"Sebuah kitab sakti diciptakan hanya ditentukan untuk satu orang meski banyak orang berusaha merebutnya! Dari semadi yang kulakukan beberapa tahun, kuketahui bahwa anak manusia yang memiliki pusaran rambut berjumlah lima buah yang dapat mengambil Kitab Hitam itu. Aku juga tahu bahwa anak manusia bernama Gumara yang memiliki pusaran rambut berjumlah lima!"

Sejenak Iblis Rangkap Jiwa hentikan keterangannya. Sementara di hadapannya Malaikat Penggali Kubur dengarkan dengan saksama.

"Aku memang memiliki kepandaian tinggi dan tahu di mana beradanya Kitab Hitam itu. Tapi aku bukan manusia bodoh. Karena bagaimanapun ketinggian ilmu orang, selain anak manusia yang memiliki pusaran rambut lima buah maka segala usahanya untuk mengambil kitab itu akan sia-sia! Malah dia akan mendapat celaka!"

"Mengapa kau percaya saat aku mengatakan namaku Gumara padahal kita baru pertama kali bertemu?!" tanya Malaikat Penggali Kubur setelah Iblis Rangkap Jiwa hentikan keterangannya.

"Saat mengatakan kau dalam keadaan terjepit akan mampus!. Dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin orang berkata dusta! Lebih dari pada itu, kau datang tepat seperti perhitunganku! Jelas?!"

Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. "Kau masih inginkan kitab itu?!"

"Lagi-lagi pertanyaan bodoh yang kau ucapkan!" sahut Iblis Rangkap Jiwa. "Ratusan tahun aku menunggu! Hanya manusia kerdil otak yang sia-siakan kesempatan yang ditunggu selama itu!"

Ucapan Iblis Rangkap Jiwa memang benar adanya. Karena sebenarnya orang ini adalah seorang dedengkot rimba persilatan yang sudah dikenal kalangan dunia persilatan pada ratusan tahun yang silam.

Mendengar kata-kata Iblis Rangkap Jiwa, mungkin karena menduga ucapan Iblis Rangkap Jiwa hanya mengada-ada, Malaikat Penggali Kubur bukannya naik pitam meski dadanya bergemuruh. Sebaliknya dia tertawa pendek dan berkata.

"Kalau kau menginginkannya, harap kau suka mengambilnya sendiri! Kitab Hitam memang berada padaku! Tapi harus kau ingat. Seperti ucapanmu, sebuah kitab sakti diciptakan hanya untuk satu orang! Dan kau telah tahu bahwa aku, Malaikat Penggali Kubur yang ditentukan berjodoh memilikinya!"

"Hem... Jadi kau telah bergelar Malaikat Penggali Kubur! Bagus, itu satu isyarat bahwa kau telah menggali kuburmu sendiri!"

"Dengar, Manusia Iblis!" hardik Malaikat Penggali Kubur. "Gumara telah lama menyandang gelar Malaikat Penggali Kubur!"

"Kau boleh menyandang gelar apa pun dan sejak kapan pun! Tapi jangan harap Iblis Rangkap Jiwa akan takut mendengarnya!" Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak.

"Terserah kau takut apa tidak dengan gelaranku. Yang pasti kau kini sedang berhadapan dengan manusia yang telah berjodoh dengan Kitab Hitam!"

"Ternyata kau bukan hanya tolol tapi juga tuli. Aku tadi berkata, anak manusia yang memiliki lima buah pusaran rambut yang dapat mengambil kitab itu! Jadi kau hanya dapat mengambil kitab itu dan bukan berarti kau yang ditentukan mewarisi kitab itu!"

Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa kembali gerakkan tangan kanan membuat sikap meminta. "Kitab itu! Serahkan baik-baik padaku!"

"Tuanmu ini telah menyuruhmu mengambilnya sendiri! Perlu ku ulangi lagi?!"

"Baik! Akan kuambil beserta nyawamu sekalian!" sentak Iblis Rangkap Jiwa. Bersamaan dengan itu sosoknya laksana kilat berkelebat ke arah Malaikat Penggali Kubur.

Belum sempat Malaikat Penggali Kubur membuat gerakan, kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa telah menyambar ke arah kepalanya dengan keluarkan suara berdesir keras! Pertanda sambaran itu telah dialiri tenaga dalam kuat.

Sesaat Malaikat Penggali Kubur tampak terkesiap, namun pemuda ini tidak tinggal diam. Dia cepat angkat kedua tangannya. Karena sadar siapa adanya orang yang dihadapi. meski dia telah membekal Kitab Hitam namun dia tidak berani bertindak ayal. Hampir segenap tenaga dalamnya dikerahkan.

Desss!

Dua pasang tangan beradu keras. Sosok Malaikat Penggali Kubur laksana tersapu gelombang luar biasa dahsyat hingga tubuhnya terdorong deras ke belakang. Kedua tangannya bergetar dan tampak menggembung merah. Paras wajahnya berubah pucat. Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa tidak bergeming sama sekali malah bibirnya tersenyum menyeringai lalu tertawa bergelak.

"Kau hanya ditakdirkan sebagai manusia yang dapat mengambil kitab itu. Dan akulah orang yang berjodoh memilikinya! Tapi semuanya sudah terlambat! Aku bukan hanya inginkan kitab itu, namun sekalian dengan nyawamu!"

Malaikat Penggali Kubur katupkan rahang. Mulutnya terkancing rapat. Sejurus dia perhatikan kedua tangannya. Kejap lain sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya diangkat tinggi. Iblis Rangkap Jiwa hadapi serangan dengan kedua tangan berkacak pinggang. Dia hanya pandangi lawan tanpa membuat gerakan apa-apa. Malah bersamaan dengan itu dia perdengarkan suara tawa ngakak!

Bukkkk! Bukkkk!

Kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telak menghantam kepala Iblis Rangkap Jiwa. Kepala gundul laki-laki ini hanya tersentak ke atas. Sementara Malaikat Penggali Kubur cepat tarik pulang kedua tangannya dengan kaki mundur dua tindak.

"Jahanam! Manusia ini ternyata kebal terhadap pukulan!" kata Malaikat Penggali Kubur dengan rahang mengembung.

Tanpa menunggu lama dia kepalkan kedua tangannya dan sekonyong-konyong dipukulkan ke depan. Dari kedua tangan Malaikat Penggali Kubur tampak melesat cahaya terang sekejap. Kejap lain terdengar deruan dahsyat lalu menggebrak gelombang angin luar biasa dahsyat. Inilah pertanda kalau murid Bayu Bajra ini telah lepaskan pukulan sakti 'Telaga Surya'.

Melihat ganasnya pukulan yang kini menggebrak ke arahnya, Iblis Rangkap Jiwa bukannya mundur dan membuat gerakan memangkas serangan lawan. Sebaliknya dia perkeras gelakan tawanya, lalu menyongsong pukulan lawan dengan maju satu tindak dan tangan masih kacak pinggang!

Desssss!

Pukulan sakti Telaga Surya' yang dilepas Malaikat Penggali Kubur telak menggebrak sosok Iblis Rangkap Jiwa. Sesaat tubuh laki-laki berkepala gundul ini goyah, saat lain sosoknya laksana dihempas gelombang dan terdorong ke belakang sampai satu tombak. Tubuh laki-laki ini terhuyung-huyung lalu doyong hendak roboh.

Malaikat Penggali Kubur sunggingkan senyum. Malah dia hendak perdengarkan suara tawa. Namun belum sampai suara tawanya terdengar, senyumnya putus laksana direnggut setan! Sepasang matanya mendelik besar dengan mulut menganga. Dihadapannya Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan aneh. Begitu sosoknya yang terhantam pukulan sakti 'Telaga Surya' hendak jatuh terjerembab, Iblis Rangkap Jiwa angkat kaki kanannya lalu diputar.

Laksana ditahan satu kekuatan, mendadak tubuh Iblis Rangkap Jiwa terhenti. Kaki kanannya yang diangkat sertamerta dihentakkan di atas tanah. Tanah di tempat itu bergetar keras. Namun bukan hal itu yang membuat Malaikat Penggali Kubur belalakkan sepasang matanya. Bersamaan dengan bergeraknya kaki Iblis Rangkap Jiwa, sosoknya melesat ke depan dengan tangan dan kaki bergerak masingmasing lakukan pukulan!

Rupanya Malaikat Penggali Kubur maklum bahaya sedang mengancam jiwanya. Secepat kilat dia melompat ke belakang. Bersamaan dengan menjejaknya kaki di atas tanah, kedua tangannya bergerak mengusap ke bagian perut di mana tersimpan Kitab Hitam. Terdengar suara deruan perlahan. Mungkin belum mengetahui bagaimana kedahsyatan kitab ciptaan Datuk Kematian apalagi hanya terdengar deruan perlahan tanpa terlihatnya cahaya atau gelombang yang menyambar, Iblis Rangkap Jiwa teruskan gerakannya.

Namun mendadak Iblis Rangkap Jiwa berseru tertahan. Sosoknya laksana ditahan gelombang luar biasa dahsyat. Belum tahu apa yang terjadi, sosoknya tersapu deras sebelum akhirnya jatuh menekuk di atas tanah dengan mulut kucurkan darah kehitaman. Jelas kalau laki-laki ini telah terluka dalam. Untuk beberapa lama Iblis Rangkap Jiwa pandangi sekujur tubuhnya. Dia serasa masih tak percaya dengan apa yang dialaminya. Karena selama malang melintang dalam rimba persilatan sampai dirinya mengasingkan diri, hanya beberapa orang yang dapat membuat dirinya jatuh di atas tanah.

Kini menghadapi seorang pemuda yang beberapa saat yang lalu sudah pasrah menunggu kematian di tangannya, dirinya bukan hanya dibuat jatuh menekuk di atas tanah namun juga telah melukai bagian dalam tubuhnya! Namun laki-laki ini segera sadar. Hal ini mungkin masih ada hubungannya dengan kitab yang ada di tangan si pemuda. Merasa yakin akan hal itu, keinginannya untuk merebut kitab itu semakin menggebu. Dia segera kerahkan tenaga dalamnya untuk cepat bergerak bangkit.

Namun Iblis Rangkap Jiwa jadi tercekat sendiri. Belum sampai dia kerahkan kembali tenaga dalamnya untuk lakukan serangan, tiba-tiba kedua kakinya goyah. Meski Iblis Rangkap Jiwa telah kerahkan tenaga luar dalamnya, namun sia-sia. Kini bukan hanya sepasang kakinya yang goyah, namun sekujur tubuhnya bergetar keras. Kejap lain sosoknya limbung sebelum akhirnya jatuh lagi di atas tanah dengan mulut keluarkan seruan tertahan.

Malaikat Penggali Kubur yang sejurus tadi sempat terlengak melihat lawan masih bisa bergerak bangkit, buka mulut perdengarkan tawa mengekeh panjang. Dengan tangan berkacak pinggang dia melangkah ke arah jatuhnya Iblis Rangkap Jiwa.

Iblis Rangkap Jiwa sekuat tenaga kerahkan tenaga dalamnya. Baru saja kedua tangannya teraliri tenaga dalam. Tiba-tiba orang ini berseru dengan mata mendelik. Kedua tangannya bergetar keras. Bukan siap lakukan pukulan, melainkan orang ini rasakan kedua tangannya laksana dipanggang bara api!

Malaikat Penggali Kubur hentikan langkah dua tindak di hadapan Iblis Rangkap Jiwa. "Hem... Manusia Iblis ini kurasa memiliki tenaga luar biasa kuat. Kalau tidak, mungkin tubuhnya sudah tak berkutik lagi! Aku tak ingin dia mampus. Aku butuh tenaga orang macam dia! Meski Kitab Hitam telah berada di tanganku, tapi yang kuhadapi di depan sana bukan satu orang. Aku percaya kitab ini mampu membuat musuhku tewas termasuk Pendekar 131, namun kalau tangan orang lain bisa, kenapa aku bersusah payah?!"

Berpikir sampai di situ, Malaikat Penggali Kubur maju lagi satu tindak. Tengkuk Iblis Rangkap Jiwa terasa dingin. Laki-laki ini buka mulut dengan kepala diangkat. Namun sebelum suaranya terdengar, kaki Malaikat Penggali Kubur telah bergerak lakukan tendangan!

Bukkkk!

Sosok iblis Rangkap Jiwa mencelat mental sejauh satu tombak dan terjengkang di atas tanah dengan mulut makin banyak kucurkan darah. Malah kini dari lobang hidungnya juga keluar darah kehitaman! Iblis Rangkap Jiwa bertahan sekuat tenaga. Perlahan-lahan dia bergerak bangkit. Namun belum sampai duduk, satu kaki telah mendorong tubuhnya hingga sosoknya kembali terjengkang! Kejap lain Malaikat Penggali Kubur telah gerakkan tubuh sedikit membungkuk. Tangan kanannya bergerak.

Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa terkesiap. Dia masih coba menghindar namun gerakan tangan Malaikat Penggali Kubur lebih cepat. Hingga saat itu juga Iblis Rangkap Jiwa rasakan sekujur anggota tubuhnya tegang kaku tidak bisa digerakkan!

"Membuat nyawamu putus, bagiku semudah kedipkan mata! Tapi aku ingin melihat bagaimana orang sekarat! Ha ha ha...!" ujar Malaikat Penggali Kubur dengan dongakkan kepala tanpa memandang.

"Kitab itu sungguh luar biasa dahsyat! Aku harus tetap hidup dan merebut kitab itu!" Diam-diam Iblis Rangkap Jiwa membatin. Laki-laki ini buka mulut meski tanpa bisa gerakkan tubuh karena telah ditotok.

"Harap bebaskan diriku! Apa pun yang kau perintahkan, aku akan melakukannya!"

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Kepalanya berpaling mendelik angker menatap pada iblis Rangkap Jiwa. Ucapan manusia iblis sepertimu mana bisa dipercaya! Kau dengar tadi ucapanku? Aku ingin melihat bagaimana manusia sekarat!"

“Kau telah memiliki kitab sakti. Kau lihat sendiri, aku pun tak sanggup melawanmu! Kalau aku tidak melakukan apa yang kau perintahkan, bukankah tidak sulit bagimu membunuhku? Lagi pula, kau memendam dendam pada beberapa orang. Dengan bantuanku, mungkin semuanya akan lebih cepat selesai!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak mendengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa. "Aku kini memiliki kekuatan untuk melampiaskan dendam ku!"

"Ucapanmu benar! Tapi kau jangan lupa. Kurasa di antara musuhmu terdapat beberapa orang yang mungkin tidak bisa kau kalahkan!"

Rahang Malaikat Penggali Kubur mengembung besar. Urat lehernya terlihat menggurat Jelas. Sepasang matanya mendelik makin angker. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Saat lain terdengar suaranya membentak keras.

"Kau tahu apa tentang musuh-musuhku, hah?! Dan siapa orang yang tidak dapat kukalahkan?! Kitab sakti telah ada di tanganku! Kau yang memiliki ilmu kepandaian tinggi saja dapat kubuat sekarat!"

Meski sudah tidak bisa membuat gerakan dan hanya dapat buka mulut bersuara, Iblis Rangkap Jiwa perdengarkan tawa pelan lalu berkata. "Segala sesuatu ada kelemahannya! Kudengar musuh besarmu Pendekar Pedang Tumpul 131 bukan hanya memiliki kitab sakti, namun juga dikelilingi beberapa orang yang bukan saja memiliki kepandaian tinggi namun juga memiliki ilmu aneh! Aku tak dapat mengatakan siapa dia orangnya tapi aku merasakan hal itu!"

Untuk beberapa saat lamanya Malaikat Penggali Kubur terdiam. Namun saat lain dia telah tertawa bergelak dan berujar. "Kau tak dapat mengatakan siapa orangnya. Bagaimana mungkin kau tahu orang itu memiliki Ilmu aneh bahkan tak bisa kukalahkan?!"

"Dunia kita adalah dunia persilatan. Dunia yang kadang kala tidak masuk di akal namun terjadi. Sekarang coba kau terka berapa kira-kira umurku?"

Meski sejenak Malaikat Penggali Kubur enggan menjawab, namun akhirnya dia angkat bicara. "Delapan puluh tahun! Dan itu usia manusia yang pantas masuk Liang kubur!"

Mendengar jawaban Malaikat Penggali Kubur, Iblis Rangkap Jiwa tidak menampakkan raut marah. Sebaliknya dia tertawa perlahan lalu berkata. "Perkiraanmu salah jauh. Aku berumur tiga kali lipat dari yang kau katakan! Dan nyatanya aku belum pantas masuk Liang kubur! Inilah salah satu kalau dunia kita adalah dunia yang kadang kala tidak masuk akal!"

Malaikat Penggali Kubur pandangi sosok tak bergerak di hadapannya. Sebelum pemuda ini buka mulut, Iblis Rangkap Jiwa telah lanjutkan ucapannya.

"Aku telah malang melintang dalam dunia persilatan pada sezaman nenekmu. Jadi aku lebih banyak tahu dunia persilatan lebih dari yang kau ketahui!"

"Hem... Lalu apakah kau merasa mampu menghadapi orang yang kau kira memiliki ilmu aneh itu?!"

Mendengar pertanyaan Malaikat Penggali Kubur, Iblis Rangkap Jiwa tidak segera menjawab. Namun jelas wajahnya berubah. Dia merasa Malaikat Penggali Kubur tidak akan teruskan niat membunuhnya. Setelah agak lama, baru Iblis Rangkap Jiwa buka mulut lagi.

"Aku telah pengalaman menghadapi beberapa orang tokoh. Jadi sedikit banyak aku dapat memperhitungkan orang yang kuhadapi!”

“Ucapanmu bisa dipercaya?!"

"Semua akan kau lihat nanti. Aku memang dari golongan sesat, dan aku memiliki tugas memusnahkan semua orang golongan putih. Bukankah musuh-musuhmu juga dari golongan itu? Jadi sebenarnya kita memiliki musuh yang sama!"

"Hem... Begitu? Baiklah. Kau akan kubebaskan. Tapi ingat! Sekali kau bertindak di luar yang kuperintahkan, nyawamu tidak kuampuni lagi!"

Habis berkata begitu, tangan kanan Malaikat Penggali Kubur bergerak bebaskan totokan yang disarangkan pada Iblis Rangkap Jiwa. Saat itu Iblis Rangkap Jiwa telah dapat gerakkan anggota tubuhnya meski sangat lemah karena banyaknya darah yang keluar dari mulut dan hidungnya.

Seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa bukan hanya dikenal sebagai dedengkot rimba persilatan yang telah berusia ratusan tahun. Namun dia juga dikenal sebagai tokoh yang berkepandaian sangat tinggi dan kebal segala pukulan. Hingga meski gelombang dahsyat tidak kelihatan yang keluar dari kitab di balik dada Malaikat Penggali Kubur menghantamnya, Iblis Rangkap Jiwa masih bisa bertahan dan tidak berubah hitam kulit tubuhnya meski mengalami luka agak parah. Dari sini pun bisa diduga betapa kuat sesungguhnya pertahanan tubuh iblis Rangkap Jiwa.

"Kau kuperintahkan untuk kembali ke puncak Bukit Selamangleng! Tetaplah di sana sampai aku datang! Ingat! Bunuh semua manusia yang datang ke bukit itu!"

Sejenak Iblis Rangkap Jiwa pandangi Malaikat Penggali Kubur dengan wajah tidak mengerti. Rupanya Malaikat Penggali Kubur dapat menangkap apa yang ada di benak iblis Rangkap Jiwa. Seraya sunggingkan senyum seringai dia berkata,

"Nyawamu ada di tanganku! Kau hanya perlu jalankan perintahku tanpa harus bertanya! Kau dengar?!"

Meski dalam hati menyumpah-nyumpah, akhirnya Iblis Rangkap Jiwa hanya anggukkan kepala. Sementara Malaikat Penggali Kubur tertawa perlahan dan diam-diam dalam hati berkata.

"Lambat laun kabar tentang kitab ini pasti akan tersiar! Dan akan banyak manusia yang menuju Bukit Selamangleng. Tugas manusia Iblis inilah yang mengurusnya!"

Kalau Malaikat Penggali Kubur diam-diam membatin begitu, diam-diam Iblis Rangkap Jiwa juga berkata sendiri dalam hati. "Sebenarnya aku lebih suka mengikuti ke mana anak manusia itu pergi. Dengan demikian aku lebih banyak punya kesempatan untuk merebut kitab itu! Tapi apa boleh buat. Sementara ini aku harus lakukan apa yang diucapkan! Kabar kitab itu sebentar lagi pasti akan tersiar! Dan akan banyak manusia yang menuju puncak Bukit Selamangleng. Dengan membunuh mereka satu persatu, orang yang menginginkan kitab itu akan berkurang! Dan akan tiba saatnya bagiku merebutnya!"

Malaikat Penggali Kubur putar diri. "Satu hal yang harus kau ingat! Kalau Pendekar 131 menuju puncak bukit, jangan buat mampus! Tunda nyawanya sampai aku datang!"

Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur tertawa panjang. Ketika suara tawanya sirna, Iblis Rangkap Jiwa sudah tidak melihat lagi sosok si pemuda. Iblis Rangkap Jiwa menoleh ke arah selatan. Samarsamar terlihat Malaikat Penggali Kubur telah berada di tikungan kaki bukit dan sekejap kemudian lenyap.

"Hem... Bukan hanya berubah menjadi manusia sakti, tapi gerakan tubuhnya sudah hampir sulit diikuti pandangan mata biasa! Aku harus mencari akal untuk merebut kitab sakti itu!” Iblis Rangkap Jiwa bergerak bangkit. Terbungkuk-bungkuk dia melangkah menuju puncak Bukit Selamangleng.

********************

BAB 3

PENDEKAR 131 tegak di balik sebatang pohon kelapa dengan sepasang mata tak berkesip memandang ke depan. Sudah agak lama murid Pendeta Sinting ini berada di situ. Namun sejauh ini dia hanya memandang tanpa membuat gerakan apa-apa.

"Jangan-jangan kuil itu tidak berpenghuni! Tidak kulihat batang hidungnya orang di sana! Padahal aku yakin kuil itulah yang dikatakan Gendeng Panuntun... Hem... Tak ada kepastian sebelum aku menyaksikan sendiri ke sana!"

Walau telah berkata begitu, namun Joko tidak segera beranjak keluar dari balik pohon kelapa. Sebaliknya memandang lebih seksama. Sejarak sepuluh tombak dari tempatnya, terlihat sebuah kuil agak besar yang menghadap hamparan laut. Setelah berpikir, akhirnya murid Pendeta Sinting memutuskan untuk keluar dari tempatnya mengintai.

Namun gerakannya tertahan. Dan buru-buru dia rapatkan tubuhnya ke batangan pohon kelapa dengan sepasang mata makin mendelik ke arah kuil. Meski saat itu suasana sudah agak gelap karena matahari sudah berada di bentangan kaki langit sebelah barat dan hendak tenggelam, namun dari arah tempatnya tegak, murid Pendeta Sinting meski samar-samar masih menangkap adanya satu sosok berkelebat keluar dari kuil.

"Aku harus tahu siapa adanya sosok itu!"

Pendekar 131 segera berkelebat keluar dan berlari menyusul orang yang baru saja keluar dari kuil. Namun terlambat. Bayangan yang baru saja keluar dari kuil telah lenyap laksana ditelan bumi. Murid Pendeta Sinting hanya dapat mengenali bayangan itu mengenakan pakaian berupa Jubah merah menyala.

"Astaga!" Joko tegak dengan tubuh bergetar. "Jangan-Jangan orang tadi adalah gadis berjubah merah yang kutemui sedang mandi beberapa hari yang lalu! Celaka kalau dia telah memperoleh keterangan!"

Seperti dituturkan dalam episode Warisan Laknat, Joko sempat berjumpa dengan seorang gadis berjubah merah dan sempat mengatakan apa yang jadi urusannya pada gadis itu.

"Dari mana dia tahu kuil itu tempat tinggal Cucu Dewa?! Apa dia juga pernah jumpa dengan Gendeng Panuntun dan menanyakan tempat tinggalnya Cucu Dewa?!"

Seperti yang dituturkan dalam episode Warisan Laknat, murid Pendeta Sinting sempat bertemu dengan Gendeng Panuntun. Dari orang yang memiliki kepandaian aneh ini, Joko mengetahui tempat tinggalnya Cucu Dewa yang menurut Raja Tua Segala Dewa adalah orang yang tahu kelemahan Iblis Rangkap Jiwa yang dikatakannya mengetahui di mana beradanya Kitab Hitam.

Pendekar 131 cepat putar diri. Lalu berkelebat kembali menuju arah kuil. Dia tegak sepuluh langkah di depan kuil dengan mata tak berkesip memperhatikan sekeliling, Saat lain mulutnya telah terbuka. Namun belum sampai ada suara yang terdengar, satu bayangan berkelebat dari dalam kuil dan tahu-tahu sejarak lima langkah dart tempatnya telah berdiri satu sosok tubuh!

Pendekar 131 pentangkan sepasang matanya. Orang di hadapannya ternyata adalah seorang laki-laki bertubuh pendek. Sosoknya gempal. Kepalanya besar ditumbuhi rambut lebat hitam dikelabang dua. Sepasang matanya sipit dengan hidung besar. Dia mengenakan pakaian berwarna hitam. Tangan kanannya bergerak-gerak mainkan dua butiran batu hitam yang dilempar-lemparkan ke atas. Meski tahu ada orang tegak di hadapannya, namun dia seolah acuh malah tidak memandang!

Murid Pendeta Sinting mendehem berharap agar orang berpaling. Tapi walau dia telah berkali-kali mendehem malah sempat agak dikeraskan, orang bertubuh pendek di hadapannya tetap mainkan batu hitam sebesar ibu jarl tanpa pedulikan kehadiran orang! Pendekar 131 jerengkan sepasang matanya. Siap angkat bicara. Tapi mendadak orang di hadapannya telah mendahului buka mulut.

"Siapa kau?!" Orang ini perdengarkan suara tanpa memandang. Dia tetap mainkan dua butiran batu hitam, malah sejenak kemudian dia putar tubuh setengah lingkaran!

"Bukankah yang berdiri dihadapanku ini adalah Cucu Dewa?" tanya Joko lalu ikut-ikutan putar diri setengah lingkaran hingga keduanya saling memunggungi.

Orang bertubuh pendek tidak segera menjawab, membuat Joko melirik ke belakang. Saat itulah tiba-tiba orang di belakangnya membuat gerakan dengan gelengkan kepalanya.

Wuuutt!

Rambut hitam yang dikelabang dua berkelebat angker keluarkan suara menderu keras. Pendekar 131 kancingkan mulut rapat-rapat. Secepat kilat dia merunduk lalu melompat dan putar diri menghadap orang.

"Aku tanya siapa kau!" Orang bertubuh pendek kembali perdengarkan suara membentak. Bersamaan dengan itu sosoknya berputar. Sepasang matanya yang sipit mementang besar. Tangan kanannya tetap memainkan batu hitam dilempar-lemparkan ke atas setinggi dadanya saling bersimpangan dengan batu satunya.

"Aku Joko...!”

"Hem... Joko apa? Joko Kendil? Joko Loro? Joko Tingkir?!”

"Joko Sableng!"

"Nama buruk!" sahut orang bertubuh pendek sambil tertawa pelan. "Apa tujuanmu berada di sekitar rumahku? Sejak tadi kau sembunyi-sembunyi mengintai! Apa yang kau cari, hah?!"

"Hem... Dia telah tahu kalau aku berada di sini sudah agak lama!" kata Joko dalam hati lalu berkata. "Apa benar kau yang disebut orang Cucu Dewa?!"

"Aku tanya apa yang kau cari di sini!" sentak orang bertubuh pendek dengan mata makin dlpentangkan besar.

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala lalu buka mulut. "Aku mencari orang bernama Cucu Dewa!"

Orang di hadapan Joko sipitkan sepasang matanya, Diam-diam orang ini berkata sendiri dalam hati. "Sudah dua orang tak diundang mendadak muncul!"

"Apa tujuanmu mencari Cucu Dewa?!"

Karena tak mau dijebak orang yang baru dikenal apalagi orang itu belum katakan siapa dirinya, Joko gelengkan kepala seraya berkata pelan. "Aku tak bisa mengatakan sebelum aku jumpa dengan orang yang kucari!"

"Hem... Begitu? Kalau demikian, lekas angkat kaki dari hadapanku!"

"Aku tak akan pergi dari sini sebelum aku bertemu dengan orang yang kucari!" jawab Joko sambil menatap orang di hadapannya lekat-lekat.

Yang dipandang balas memandang hingga untuk beberapa saat kedua orang ini saling bentrok mata. Saat lain orang bertubuh pendek berpaling lalu berkata. "Siapa yang menyuruhmu datang ke sini?!"

"Gendeng Panuntun!"

Orang di hadapan Pendekar 131 telengkan kepalanya. Parasnya berubah.

"Kau mengenalnya?!" tanya murid Pendeta Sinting begitu melihat perubahan pada raut wajah orang.

"Aku tidak kenal! Hanya aku pernah dengar namanya! Apa hubunganmu dengan Gendeng Panuntun?!"

"Dia sahabatku!"

"Kenapa dia menunjukkan tempat ini padamu?!"

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Aku tak bisa mengatakan pada orang yang belum kuketahui siapa namanya! Harap maafkan!"

Orang bertubuh pendek di hadapan Joko bergumam tak jelas. Kejap lain dia buka mulut. "Akulah orang yang kau cari! Katakan apa tujuanmu sekarang!"

Pendekar 131 tidak segera menjawab. Sebaliknya memandang orang dengan tatapan menyelidik. "Sayang aku tak mengetahui apa ciri-ciri orang yang kucari. Namun kalau dia berada di sini, bukan tak mungkin memang dia orang yang kucari..."

"Kau tak mau jawab pertanyaanku...?" hanya itu yang diucapkan orang. Sesaat lain orang pendek ini telah putar tubuh lalu melangkah.

"Tunggu!"

Orang bertubuh pendek yang menyatakan diri sebagai orang yang dicari Joko yang berarti adalah Cucu Dewa hentikan langkah tanpa berkata.

Joko melangkah mendekat. Lalu angkat bicara. "Dalam dunia persilatan ada seorang tokoh bergelar Iblis Rangkap Jiwa. Menurut yang kudengar dia memiliki kesaktian luar biasa..."

"Pasti pertanyaanmu sama dengan pertanyaan orang yang datang mendahuluimu! Tapi teruskan!" tukas Cucu Dewa.

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. "Pasti yang dimaksud adalah gadis berjubah merah yang sebutkan diri bernama Putri Sableng itu! Benar-benar celaka kalau orang ini telah memberi petunjuk pada gadis itu!" pikir Joko dalam hati lalu teruskan ucapannya.

"Turut penjelasan orang yang kupercaya, hanya kaulah satu-satunya orang yang tahu kelemahan Iblis Rangkap Jiwa! Harap kau mau katakan kelemahan orang itu!"

"Kalau kau ingin tahu kelemahan orang, berarti kau punya niat jahat!"

"Jangan salah sangka! Aku tidak punya maksud buruk! Ini semata-mata hanya untuk berjaga-jaga!"

"Kenapa kau ingin mengetahui kelemahannya?!"

"Dia mengetahui tentang beradanya sebuah kitab sakti. Padahal kalau kitab itu sampai berada di tangan orang yang tidak bertanggung jawab, maka rimba persilatan akan celaka! Iblis Rangkap Jiwa mungkin saja tidak mau mengatakan di mana beradanya kitab sakti, malah mungkin akan berbuat yang tidak-tidak! Aku hanya menginginkan keterangan darinya di mana beradanya kitab itu!"

"Kau ingin mewarisi kitab itu?!" tanya Cucu Dewa.

Murid Pendeta Sinting tertawa pendek seraya gelengkan kepala. "Justru sebaliknya. Aku akan memusnahkan kitab itu!"

"Hem... Kalau tujuanmu begitu, baiklah! Tapi jika nantinya kau bertindak lebih dari sekadar mencari keterangan tentang beradanya kitab itu, dosanya kau tanggung sendiri! Setuju?!"

Murid Pendeta Sinting hanya anggukkan kepala. Sementara Cucu Dewa balikkan tubuh lalu berkata. "Mendekatlah kemari!"

Pendekar 131 terlihat bimbang. Seakan tahu apa yang ada dalam benak Joko, Cucu Dewa berujar.

"Hal ini adalah urusan pribadi orang yang hanya kalangan tertentu boleh mengetahuinya! Aku tak mau menanggung dosa jika ada orang lain yang mendengarnya!"

Murid Pendeta Sinting putar kepalanya dengan mata mendelik memandang sekitar. Belum sampai dia berkata, Cucu Dewa telah berkata mendahului.

"Di sekitar sini memang tidak ada orang! Tapi bagaimanapun juga aku harus berhati-hati! Ini menyangkut hidup mati seseorang!"

Mendengar ucapan Cucu Dewa, Joko segera melangkah mendekat. "Dekatkan telingamu ke mulutku!" kata Cucu Dewa.

"Busyet! Jangan-jangan orang ini..."

Belum sampai Joko teruskan kata hatinya, Cucu Dewa telah berujar. "Jangan bikin aku merubah niat!"

Mendengar ancaman orang, murid Pendeta Sinting cepat lakukan apa yang dikatakan Cucu Dewa. Telinganya didekatkan pada mulut orang. Cucu Dewa bergumam pelan. Kejap lain orang bertubuh cebol ini tarik pulang kepalanya dari telinga Joko. Bersamaan dengan itu murid Pendeta Sinting tampak melengak. Sepasang matanya membelalak dengan mulut menganga.

"Apakah dia tidak bercanda?!" bisik Joko lalu angkat kepalanya dengan senyum ditahan. Kejap lain dia luruskan kepalanya menghadap Cucu Dewa.

"Kedengarannya tak mungkin! Tapi kenyataannya memang demikian!" ujar Cucu Dewa sambil tersenyum.

Habis berkata begitu, Cucu Dewa gerakkan kedua kakinya memutar. Namun gerakan orang ini tertahan tatkala Joko menahan dengan berseru.

"Masih ada yang perlu kutanyakan padamu!"

Cucu Dewa kernyitkan dahi. "Kalau tidak mengingat kau sahabatnya Gendeng Panuntun, sudah ku usir kau sejak tadi! Lekas katakan!"

"Aku tadi melihat seorang gadis keluar dari kuil. Apakah dia muridmu? Atau barangkali Istrimu?!"

"Kau jangan berpura-pura!" kata Cucu Dewa masih tetap membelakangi.

"Aku tidak mengerti maksudmu!"

"Bagaimana ini? Dia tadi bilang kau adalah kekasihnya! Malah dia sempat titip salam untukmu! Dia sudah memastikan bahwa kau akan ke sini!"

Pendekar 131 tercengang mendengar ucapan Cucu Dewa. "Celaka!" gumamnya lalu melompat ke hadapan Cucu Dewa dan berkata. "Apakah dia tadi juga menanyakan seperti yang kutanyakan padamu? Apakah kau juga memberi keterangan padanya?!"

"Aku tidak bisa menolak permintaan orang. Apalagi yang meminta keterangan adalah seorang gadis berwajah cantik!"

"Benar-benar celaka!"

"Hai! Kau ini bicara apa?! Apa yang celaka? Apa gadismu itu kecelakaan? Kau memang harus bertanggung jawab jika itu terjadi! Tapi tak ada ruginya mengawini gadis cantik macam dia!"

"Ini bukan masalah untung atau rugi! Aku bukan kekasih gadis itu! Aku baru saja mengenalnya! Aku harus segera menyusul!"

"Terserah. Itu urusanmu! Kau susul boleh, tidak juga silakan! Kau katakan dia bukan kekasihmu, tak ada yang melarang! Kau akui dia kekasihmu, aku juga tidak akan merebut! Hanya..." Cucu Dewa tidak lanjutkan ucapannya membuat Joko langsung menyahut.

“Hanya apa?!"

"Kalau kau benar-benar tidak suka padanya, aku tidak keberatan mengambilnya sebagai kekasih!"

Murid Pendeta Sinting pentangkan sepasang matanya namun kejap lain dia perdengarkan tawa panjang. Begitu tawanya berhenti, Joko Jadi terkesiap sendiri. Sosok Cucu Dewa sudah tak kelihatan di tempat itu!

"Ke mana dia? Padahal aku masih perlu keterangan di mana beradanya Iblis Rangkap Jiwa... Aku akan masuk kuil. Pasti dia lenyap menuju ke sana!"

Murid Pendeta Sinting melangkah. Namun tiba-tiba dia hentikan langkahnya. Sepasang matanya tak berkesip memandang ke tempat di mana tadi Cucu Dewa tegak berdiri. Di atas tanah yang bercampur pasir, terlihat tulisan yang tidak begitu jelas namun masih bisa dibaca. Pergilah ke Bukit Selamangleng. Di sana akan kau temui orang yang kau cari.

"Hem... Dia seolah tahu apa yang hendak kutanyakan!" Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya ke arah kuil. Kejap lain dia balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu!

********************

BAB 4

MATAHARI baru saja tenggelam saat satu sosok bayangan berkelebat laksana dikejar setan mendaki Bukit Selamangleng. Dalam beberapa saat saja bayangan ini telah hampir mencapai puncak bukit yang saat itu tampak sunyi namun terang benderang karena cahaya sang rembulan telah memancar dari sebelah timur. Bayangan ini untuk sesaat hentikan larinya. Kepalanya bergerak berputar lalu tengadah lurus menghadap puncak bukit.

Ternyata dia adalah seorang gadis mengenakan jubah merah menyala. Paras wajahnya cantik. Sepasang matanya bulat dengan rambut hitam lebat dikuncir tinggi. Meski gadis ini tampak tidak buka mulut, namun mulutnya yang merah ranum terlihat bergerak-gerak seolah mengunyah sesuatu.

"Sepi! Tidak kulihat adanya gerakan orang! Di mana manusia yang katanya bergelar Iblis Rangkap Jiwa itu? Jangan-jangan Setan Jelek pemuda sedeng itu hanya mengarang cerita! Tapi keterangan Cucu Dewa..."

Gadis berjubah merah mendadak sunggingkan senyum. Ketegangan yang sejenak tadi terlihat di wajahnya lenyap. "Hampir tidak ku percaya ucapan Cucu Dewa. Tapi mungkinkah seorang tokoh macam dia memberi keterangan dusta? Hem... Aku ingin segera buktikan keterangan orang itu!"

Gadis berjubah merah yang saat berjumpa dengan Pendekar Pedang Tumpul 131 beberapa waktu yang lalu sebutkan diri dengan Putri Sableng teruskan kelebatannya ke puncak bukit. (Tentang pertemuan gadis ini dengan murid Pendeta Sinting baca serial Joko Sableng dalam episode Warisan Laknat).

Baru saja Putri Sableng injakkan sepasang kakinya di puncak bukit, tiba-tiba terdengar deruan dahsyat. Kejap lain satu gelombang luar biasa ganas menyambar ke arah si gadis. Karena telah waspada, Putri Sableng cepat bergerak menghindar dengan sentakkan kedua kakinya. Sosoknya berkelebat ke samping. Sambaran angin yang melabrak lewat satu jengkal di samping pundaknya!

Lolos dari serangan gelap, Putri Sableng cepat putar diri dengan kedua tangan diangkat dan sepasang mata terpentang besar. Namun gadis ini terkesiap sendiri. Dia tidak melihat siapa-siapa! Mungkin karena tidak sabar dan maklum kalau dia tidak berada sendirian di tempat itu, gadis ini buka mulut membentak.

"Mengapa tidak perlihatkan diri?!"

Belum lenyap suara Putri Sableng mendadak dari sebuah tanah yang agak menggunduk terdengar suara orang tertawa panjang. Namun laksana direnggut setan, suara tawa itu tiba-tiba terputus. Bersamaan dengan itu tanah yang menggunduk bergerak-gerak. Kejap lain tanah itu muncrat ke udara lalu tampaklah satu sosok tubuh!

Putri Sableng jerengkan sepasang matanya makin besar. Gerakan-gerakan mulutnya makin keras Namun sejauh ini dia tidak buka mulut bicara. Dia hanya perhatikan orang yang baru muncul. Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki berkepala gundul dengan mata besar menjorok keluar. Dia mengenakan pakaian compang-camping yang dibercaki tanah. Paras wajahnya hampir tidak tertutup daging. Laki-laki yang muncul dan bukan lain adalah Iblis Rangkap Jiwa adanya pentangkan mata besar-besar. Lalu tersenyum dan buka mulut.

"Tidak kuduga kalau malam-malam dingin begini aku kedatangan seorang bidadari! Sungguh sebuah rejeki besar! Gadis cantik nan jelita. Siapa namamu?"

"Melihat tampangnya. pasti inilah manusia bergelar Iblis Rangkap Jiwa itu! Tampangnya boleh juga, hik hik hik...!" Gadis berjubah merah tertawa sendiri dalam hati. Lalu angkat bicara sambil tersenyum.

"Kalau tidak salah lihat, bukankah orang yang tegak di hadapanku ini adalah seorang tokoh besar yang dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelar angker Iblis Rangkap Jiwa?"

Cuping hidung Iblis Rangkap Jiwa tampak mengembang. Bibirnya makin lebar perlihatkan senyum. Seraya melangkah mendekat dia berkata. "Apa yang kau katakan tidak salah, Anak Cantik! Sekarang aku tanya padamu, siapa namamu? Dan bukankah kau datang ke tempat ini tidak karena tersesat?"

Gadis berjubah merah balas tersenyum. Seraya bungkukkan sedikit tubuhnya dia berujar pelan. "Aku diberi nama orang tuaku Putri Sableng! Padahal aku tidak sableng! Hik Hik Hik... Aku sampai ke tempat ini memang tidak tersesat!"

Iblis Rangkap Jiwa sudah menebak apa jawaban sang gadis. Dari gerakan si gadis yang dapat hindarkan diri dari pukulannya, malah iblis Rangkap Jiwa sudah dapat meraba apa tujuan si gadis. Meski begitu, laki-laki berkepala gundul ini ajukan tanya.

"Kalau tidak tersesat, barangkali kau punya maksud?!"

"Jauh berjalan tentu punya maksud! Hik Hik Hik...!"

"Mau katakan apa maksudmu, Anak Cantik?!"

"Bertahun-tahun aku mendengar nama besarmu. Hal itu membuatku ingin jumpa!"

"Hanya itu tujuanmu datang ke sini?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa dengan kening yang hampir tak terbungkus daging bergerak mengernyit meski bibirnya masih sunggingkan senyum.

Yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala. "Aku selalu penasaran jika mendengar cerita orang. Hal itulah mungkin yang menyebabkan orang tuaku memberikan nama Sableng! Aku jarang pulang hanya karena ingin jumpa dengan orang yang ceritanya pernah kudengar!”

"Kau sekarang telah jumpa denganku. Apa yang sekarang akan kau lakukan?”

Putri Sableng putar tubuhnya sedikit. Lalu enak saja dia menjawab. "Pulang!"

Habis berkata begitu, gadis berjubah merah ini teruskan putaran tubuhnya lalu melangkah sambil teruskan ucapannya, "Selamat malam! Mudah-mudahan kalau ada saat yang baik aku ingin berkunjung ke sini lagi!"

Sesaat Iblis Rangkap Jiwa perhatikan gerakan tubuh si gadis. Kejap lain sosoknya berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Putri Sableng dengan sikap menghadang.

"Suasana telah gelap! Jalanan tentu sunyi! Apa tidak sebaiknya kalau pulang menunggu hari terang?!"

Gadis berjubah merah tertawa cekikikan. "Kau ini lucu! Suasana terang benderang begini kau katakan gelap! Atau kau memang suka bercanda!"

Iblis Rangkap Jiwa dongakkan kepala. "Ah... Mungkin karena kedatanganmu aku jadi salah ucap!" ujarnya lalu luruskan kepalanya dengan mata memandang tak berkesip.

Putri Sableng tertawa lalu menyisi dan teruskan langkahnya tanpa berkata. Namun langkah gadis ini tertahan. Karena mendadak Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan sekali lagi dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dua tindak dihadapan Putri Sableng dengan mata membeliak ke arah dadanya. Dipandangi begitu rupa, gadis berjubah merah tidak merasa Jengah, sebaliknya malah tertawa cekikikan hingga dadanya yang membusung bergerak-gerak turun naik membuat sepasang mata Iblis Rangkap Jiwa makin terpentang.

"Aku melihat sikapmu berubah! Apa sebenarnya yang kau inginkan?!"

Iblis Rangkap Jiwa tertawa pelan lalu berkata dengan suara bergetar. "Baru saat ini aku melihat gadis cantik sepertimu! Bagaimana kalau malam ini kita habiskan berdua di sini?!"

"Sebenarnya tawaran bagus..."

Paras wajah Iblis Rangkap Jiwa berubah. Namun cuma sekejap, saat lain raut wajahnya jelas membayangkan perasaan kecewa ketika Putri Sableng berkata.

"Jangan bergembira dahulu. Tawaranmu memang bagus. Namun karena saat ini masih ada yang harus kulakukan, dengan menyesal aku tak dapat memenuhi permintaanmu! Mungkin lain kali kita bisa bersenang-senang..."

"Apa kau ingin menemui seseorang?"

"Dari mana kau tahu?" Putri Sableng balik ajukan tanya dengan bibir tersenyum. Malah sepasang matanya tampak mengerling.

"Bukankah kau tadi mengatakan selalu penasaran dengan cerita orang?"

"Ah..." Putri Sableng mengeluh pendek lalu berkata. "Tebakanmu benar. Aku memang hendak menemui seseorang!"

"Mau katakan padaku siapa orang yang hendak kau temui?!"

"Aku tak dapat mengatakannya padamu! Ini urusan yang hanya orang tertentu yang mengetahuinya! Karena..."

Ucapan Putri Sableng terputus tatkala tiba-tiba Iblis Rangkap Jiwa gelengkan kepalanya sambil berkata menukas.

"Tidak ada urusan di dunia ini yang luput dari mata Iblis Rangkap Jiwa!"

Gadis berjubah merah unjukkan tampang terkejut. Belum sampai gadis ini buka mulut dan rasa kejutnya lenyap, Iblis Rangkap Jiwa telah buka mulut.

"Coba katakan siapa orang yang hendak kau temui! Aku pasti sudah dapat menebak apa urusannya!"

Putri Sableng gelengkan kepalanya. "Aku tetap tak bisa mengatakan padamu. Hanya mungkin kau nanti bisa menebak siapa orangnya kalau kau mengetahui apa urusannya..."

"Hem... Coba katakan apa urusan itu!"

Untuk beberapa saat Putri Sableng terdiam. Sepasang matanya memandang tajam pada laki-laki di hadapannya. Sejenak kemudian dia alihkan pandangannya kejurusan lain. Sementara Iblis Rangkap Jiwa menunggu. Sepasang matanya tak beranjak turun naik memandang ke arah leher, bibir, dan dada si gadis.

"Menurut cerita yang sempat kudengar, dalam rimba persilatan ada sebuah kitab sakti! Aku tak tahu apa nama kitab itu! Yang pasti sampai sekarang kitab itu ada..." Putri Sableng tak meneruskan keterangannya.

Sebaliknya dia memandang iblis Rangkap Jiwa. Di hadapannya, kening Iblis Rangkap Jiwa mengernyit. Namun wajahnya sama sekali tidak membayangkan rasa terkejut. Malah seraya terus pandangi dada Putri Sableng, dia berujar.

"Teruskan keteranganmu”

"Di mana beradanya kitab sakti itu, hanya orang yang hendak kutemui yang tahu... Terus terang, aku tidak punya niat apa-apa pada kitab itu. Aku hanya ingin buktikan benar tidaknya cerita yang kudengar!”

Iblis Rangkap Jiwa angkat kepalanya. Memandang tajam pada kedua bola mata si gadis. Seraya tersenyum dia berkata. "Hem... Apa yang kau maksud Kitab Hitam?!"

Putri Sableng kembali unjukkan tampang terkejut. Malah sepasang kakinya tersurut dua tindak ke belakang. Di hadapannya Iblis Rangkap Jiwa tertawa keras.

"Sudah kukatakan, tidak ada urusan di dunia yang luput dari mataku! Melihat perubahan sikapmu, aku bisa menebak kalau apa yang kukatakan benar!"

"Aku tidak menduga kalau kau tahu urusan ini! Padahal menurut cerita yang kudengar, hanya orang yang akan kutemui yang tahu urusan kitab itu!"

"Sekarang kau tahu bahwa aku mengetahui urusan kitab itu. Apakah kau masih ingin menemui orang yang kau katakan itu?!" tanya Iblis Rangkap Jiwa sambil gerakkan tangan kanannya memegang tangan Putri Sableng.

Putri Sableng tidak coba menghindar, Malah dia diam saja tatkala tangan Iblis Rangkap Jiwa meremas tangannya. Hal ini membuat laki-laki berkepala gundul ini makin berani. Dia gerakkan tangan kirinya. Namun sebelum tangannya sempat menyentuh, Putri Sableng tepiskan tangan kanan Iblis Rangkap Jiwa lalu mundur sambil berkata.

"Meski kau tahu urusan kitab itu, aku tetap akan menemui orang yang kukatakan. Kecuali jika kau..."

"Aku akan mengatakan di mana beradanya kitab itu!" potong Iblis Rangkap Jiwa. Sambil berkata begitu tangan kanannya kembali bergerak. Namun terlambat. Karena Putri Sableng telah bergerak mundur.

"Aku masih sangsi apakah ucapanmu benar! Dan apakah kitab yang kau katakan itu kitab yang ku maksud!"

Mendengar ucapan Putri Sableng, Iblis Rangkap Jiwa dongakkan kepala. "Dengar, Anak Cantik! Di dunia ini hanya ada satu kitab sakti. Kitab itu adalah peninggalan seorang tokoh besar masa Kerajaan Singasari..."

"Kalau kitab itu benar-benar ada dan memang sebuah kitab sakti, mengapa kau tidak tertarik dengan kitab itu? Padahal kau tahu di mana beradanya kitab itu!"

"Kau jangan menduga aku mengarang cerita bohong, kata Iblis Rangkap Jiwa menangkap nada ucapan si gadis yang sepertinya tidak percaya. "Kitab itu betul-betul ada! Kalau aku tidak berusaha memilikinya padahal aku tahu di mana kitab itu, karena aku merasa sudah tua! Aku sudah tidak tertarik dengan segala macam kitab! Kalau kau menginginkan kitab itu, aku akan tunjukkan padamu! Tapi...!”

"Kau minta imbalan? Berapa kau minta?!" tanya Putri Sableng begitu Iblis Rangkap Jiwa tidak lanjutkan ucapannya.

"Bukan imbalan harta yang kuinginkan, Anak Cantik!!”

"Lalu imbalan apa yang kau inginkan?!" tanya Putri Sableng meski dia tahu apa sebenarnya yang menjadi keinginan laki-laki berkepala gundul itu.

Iblis Rangkap Jiwa luruskan kepala dengan sepasang mata memandang tajam. Lalu tanpa buka mulut lagi tangan kanannya menunjuk tepat ke arah tubuh Putri Sableng. Walau sudah menduga apa kehendak Iblis Rangkap Jiwa, namun begitu si laki-laki benar-benar menunjuk, gadis berjubah merah itu sempat membelalakkan sepasang matanya. Dan belum sempat Putri Sableng lakukan apa-apa, Iblis Rangkap Jiwa sudah gerakkan bahunya. Kejap lain sosoknya telah tepat di hadapan si gadis dengan kedua tangan mengembang siap memeluk. Namun Iblis Rangkap Jiwa jadi tersentak. Ketika kedua tangannya bergerak memeluk, gadis berjubah merah sudah tidak ada di hadapannya lagi!

"Hik Hik Hik...! Urusan bersenang-senang soal mudah! Tapi aku tidak mau kau bohongi!" terdengar suara Putri Sableng. Gadis ini telah tegak sejarak lima langkah di samping Iblis Rangkap Jiwa.

Dengan mata mendelik angker, Iblis Rangkap Jiwa berpaling. "Aku tidak berbohong padamu! Kitab itu benar-benar ada!"

"Bagaimana aku bisa percaya kalau tidak melihatnya sendiri?! Hik Hik Hik...! Kau baru memperoleh yang kau inginkan kalau aku benar-benar sudah membuktikan benar tidaknya keteranganmu!"

"Keparat! Gadis ini cerdik juga! Tapi jangan harap bisa lolos dari tanganku!" maki Iblis Rangkap Jiwa dalam hati. Lalu berkata.

"Kitab itu adalah sebuah kitab sakti! Dan sebenarnya terlalu murah jika hanya ditukar dengan tubuhmu!"

"Terserah! Yang pasti aku baru menuruti keinginanmu bersenang-senang jika aku sudah buktikan keteranganmu! Kalau kau tidak mau, masih ada orang lain yang mau memberitahukan padaku! Hik Hik Hik…!" Masih dengan tertawa cekikikan, gadis berjubah merah melangkah seakan hendak tinggalkan puncak Bukit Selamangleng.

"Tunggu!" tahan Iblis Rangkap Jiwa.

Putri Sableng hentikan langkahnya. "Waktu ku sangat terbatas. Harap segera beri keputusan!" katanya saat ditunggu agak lama Iblis Rangkap Jiwa belum juga buka suara.

"Kalau waktumu terbatas, sebaliknya aku sudah tak sabar!"

"Hai! Apa maksudmu?!" tanya Putri Sableng.

Iblis Rangkap Jiwa tertawa ngakak membuat gadis berjubah merah harus kerahkan tenaga dalamnya untuk menutup jalan pendengarannya. "Aku tak peduli kau ingin buktikan keteranganku lebih dahulu atau tidak. Yang pasti, sekarang juga kau harus melayaniku! Sudah puluhan tahun aku tidak menikmati dekapan seorang perempuan!"

Merasa gadis berjubah merah tidak mungkin menyerah begitu saja, Iblis Rangkap Jiwa berkelebat lalu dengan kerahkan sedikit tenaga dalamnya, kedua tangannya bergerak hendak merengkuh tubuh Putri Sableng. Namun Iblis Rangkap Jiwa terlengak. Putri Sableng bukannya bergerak selamatkan diri melainkan tetap tegak tanpa membuat gerakan apa-apa malah tersenyum dan pejamkan sepasang matanya!

Iblis Rangkap Jiwa tertegun. Tapi cuma sesaat. Saat lain kedua tangannya teruskan gerakannya. Seakan tak sabar, begitu tubuh si gadis telah masuk dalam rengkuhannya, kepalanya cepat didorong ke depan mencium wajah Putri Sableng. Namun gerakan kepala Iblis Rangkap Jiwa tertahan. Karena sesaat lagi kepalanya menyentuh wajah si gadis, gadis ini gerakkan kedua tangannya.

Buukkk!

Kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa yang memeluk tubuh Putri Sableng terlepas. Kejap lain sosoknya mencelat sampai dua tombak. Putri Sableng tidak sia-siakan kesempatan. Begitu tubuh Iblis Rangkap Jiwa terhuyung hendak roboh, si gadis melesat ke depan. Kaki kanannya terangkat membuat satu tendangan ke arah dada.

Sejengkal lagi tendangan gadis berjubah merah telak menghantam dada Iblis Rangkap Jiwa, tiba-tiba Iblis Rangkap Jiwa gerakkan kedua tangannya seolah hendak lindungi kepala dan dadanya dari tendangan orang. Bersamaan dengan itu mendadak Putri Sableng keluarkan seruan tertahan karena terjadi hal yang sungguh di luar dugaannya!

BAB 5

WALAU gerakan kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa seolah hanya untuk lindungi dada dan kepala dari tendangan kaki gadis berjubah merah, namun saat itu juga Putri Sableng rasakan ada satu gelombang luar biasa dahsyat yang bukan saja mampu membuat tendangannya tertahan, namun juga dapat membuat tubuhnya terdorong deras sampai satu tombak ke belakang! Putri Sableng tegak dengan sepasang kaki bergetar dan mata terpentang besar tak berkesip. Mulutnya yang bergerak-gerak terhenti seketika.

"Melihat begitu dahsyat kepandaiannya, mungkinkah keterangan Cucu Dewa akan terbukti? Kalau tidak, benar-benar celaka nasibku!" diam-diam si gadis merasa bimbang.

Di seberang sana, begitu sosok Putri Sableng mencelat karena bisa gerakan kedua tangannya, Iblis Rangkap Jiwa segera bergerak bangkit. Seakan tidak rasakan pukulan yang baru saja bersarang di dadanya, laki-laki ini melangkah ke arah Putri Sableng dengan bibir sunggingkan senyum seringai dingin.

"Aku berniat baik padamu! Tapi nyatanya kau yang membuat urusan!" Iblis Rangkap Jiwa hentikan ucapannya sejenak. Memandang lurus ke arah si gadis sebelum akhirnya melanjutkan. "Namun aku masih berbaik hati padamu! Kau bersedia melayaniku dengan baik-baik, maka aku masih akan tunjukkan di mana beradanya kitab itu padamu! Jika tidak, bukan saja kau tidak akan mengetahui beradanya kitab itu, tapi juga kau tidak akan turun dari puncak bukit Ini untuk selama-lamanya!"

Untuk beberapa saat Putri Sableng terdiam. Sementara Iblis Rangkap Jiwa hentikan langkah dua tindak di hadapannya.

"Aku menunggu keputusanmu!"

Karena Putri Sableng tidak juga buka suara, Iblis Rangkap Jiwa palingkan kepala seraya berkata. "Hem... Mungkin kau menunggu aku yang memberi keputusan?!"

Gadis berjubah merah tidak mengangguk atau menggeleng juga tidak buka mulut, membuat Iblis Rangkap Jiwa anggukkan kepalanya.

"Baiklah. Aku kini yang memutuskan! Dengar baik-baik! Kau harus melayaniku dan tidak akan mendapat imbalan apa-apa dariku!" Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa bergerak. Tangan kanannya merentang dengan kaki kiri menghentak tanah. Namun sebelum tangan dan kaki Iblis Rangkap Jiwa bergerak, Putri Sableng telah dorong kedua tangannya.

Wuuuuttt!

Tidak terdengar deruan suara gelombang, Tapi saat itu juga satu gelombang dahsyat melabrak ganas dengan membawa angin berputar-putar! Iblis Rangkap Jiwa tidak berusaha membuat gerakan menghindar meski tahu si gadis telah mendahului lancarkan pukulan, Laki-laki ini teruskan gerakannya hingga bersamaan dengan itu terdengar suara berdebam. Kejap lain puncak Bukit Selamangleng bergetar hebat. Lalu dari tangan kanannya melesat satu gelombang dahsyat memangkas gelombang yang keluar dari kedua tangan si gadis.

Bummmmm!

Terdengar ledakan dahsyat. Angin berputar-putar dari dorongan kedua tangan Putri Sableng seketika hancur ambyar dan semburat ke udara. Sosok gadis ini terlempar deras sampai dua tombak sebelum akhirnya jatuh terjengkang dengan tubuh bergetar keras dan kedua tangan kaku laksana tak bisa digerakkan!

Di seberang sana, sosok Iblis Rangkap Jiwa hanya bergoyang-goyang sebentar lalu laksana didorong kekuatan luar biasa, sosoknya melesat ke arah Putri Sableng dengan perdengarkan suara tawa ngakak. Maklum bahaya yang sedang mengancam, gadis berjubah merah tidak tinggal diam. Dia cepat kerahkan segenap tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Lalu berguling di atas tanah. Kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan. Iblis Rangkap Jiwa putuskan tawanya. Namun laki-laki ini tidak urungkan kelebatan tubuhnya. Hanya bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak lakukan pukulan.

Wuuuusss

Gelombang yang datang ke arah Iblis Rangkap Jiwa tersapu amblas. Putri Sableng berseru tertahan. Gadis ini cepat rapatkan tubuhnya di atas tanah untuk menghindar dari gelombang yang kini menggebrak dari kelebatan tangan Iblis Rangkap Jiwa. Namun tak urung sosok gadis berjubah merah masih tersapu hingga mencelat mental dan kembali jatuh terjengkang dengan mulut keluarkan darah!

"Celaka! Bagaimana kalau dia benar-benar laksanakan niatnya? Apa boleh buat. Satu-satunya jalan selamatkan diri adalah lakukan keterangan Cucu Dewa, meski aku sendiri tidak yakin benar!" gumam si gadis lalu dengan cepat dia kerahkan sisa tenaga dalamnya. Terhuyung-huyung dia bangkit. Lalu balikkan tubuh.

Di seberang Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan sepasang mata mendelik perhatikan gerakan gadis berjubah merah. Tulang keningnya bergerak-gerak dan bola matanya berputar liar tatkala mengetahui apa yang dilakukan si gadis. Dengan gigit bibirnya, Putri Sableng perlahan-lahan menarik bagian bawah jubah merahnya. Iblis Rangkap Jiwa makin mendelik saat Putri Sableng terus menarik bagian bawah jubahnya ke atas hingga kini betisnya yang putih mulus dan kencang terlihat jelas.

Ha Ha Ha...! Rupanya kau menginginkan permainan asyik!" ujar Iblis Rangkap Jiwa membuat Putri Sableng sesaat hentikan gerakan tangannya.

Putri Sableng mendongak. "Sialan benar! Apa aku akan teruskan hal ini? Tapi... Tidak ada jalan lain!" Putri Sableng gerakkan kembali tangannya yang menarik jubah bagian bawahnya hingga kini pahanya yang putih mulus dan padat terpampang jelas! Membuat Iblis Rangkap Jiwa makin perkeras suara tawanya.

"Benar-benar luar biasa! Putih mulus dan padat!" seru Iblis Rangkap Jiwa. Putri Sableng tidak hiraukan ucapan orang. Dia terus tarik bagian bawah jubahnya. Namun gadis ini menjadi bimbang.

"Sialan! Mengapa dia masih terus tertawa ngakak? Padahal seharusnya dia sudah terkejut dan..."

"Diintip marah-marah, tapi kini dipertontonkan pada orang! Dasar gadis sableng!"

Satu suara tiba-tiba terdengar membuat gadis berjubah merah putuskan membatin dan cepat-cepat lepaskan jubahnya yang sudah tersingkap hampir sampai pantatnya! Dia maklum jika suara yang baru terdengar bukan suara Iblis Rangkap Jiwa. Dengan wajah merah padam dia segera berputar.

Iblis Rangkap Jiwa sendiri tampak terkesiap. Dia sadar, kalau tiba-tiba ada orang lain muncul tanpa dia bisa mengetahuinya, jelas siapa pun adanya orang pasti memiliki tingkat kepandaian yang tidak rendah. Dengan sepasang mata mendelik angker, laki-laki berkepala gundul ini cepat putar diri menghadap sumber suara yang baru terdengar.

"Jahanam! Siapa kau?!" bentak iblis Rangkap Jiwa. Orang yang dibentak tengadahkan kepala lalu tertawa panjang. Puas tertawa dia berujar tanpa memandang pada orang yang membentak atau pada gadis berjubah merah yang tegak dengan sepasang mata membesar dan mulut komat-kamit.

"Kau hari ini bernasib mujur, Orang Tua! Bisa melihat paha putih mulus milik seorang gadis cantik! Bagaimana kalau nasib mujur itu kita bagi sama?"

"Keparat! Kalau kau tidak lekas sebutkan diri, tidak sulit bagiku membuat tubuhmu terlempar ke dasar bukit!” iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kirinya.

Orang yang diancam luruskan kepala menghadap Iblis Rangkap Jiwa. Ternyata dia adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih. Rambutnya gondrong sedikit acak-acakan? dengan Ikat kepala berwarna putih. Si pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 menatap sejurus pada Iblis Rangkap Jiwa, lalu berpaling pada gadis berjubah merah. Mulut murid Pendeta Sinting tersenyum. Putri Sableng buang muka dengan muka merah padam.

"Hem... Pasti ini manusianya yang berjuluk Iblis Rangkap Jiwa! Dan gadis itu telah lakukan apa yang diucapkan Cucu Dewa, tapi kenapa tidak ada pengaruhnya? Jangan-jangan Cucu Dewa memang bercanda!" membatin Pendekar 131.

"Keparat! Kau benar-benar tidak bias dikasih hati!" hardik Iblis Rangkap Jiwa.

"Sabar, Orang Tua! Aku datang ke sini tidak mencari urusan denganmu... Kedatanganku kemari untuk menyusul kekasihku itu! Harap maafkan kalau kekasihku itu bertindak kurang ajar padamu! Dia itu anak sableng!"

Sepasang mata besar milik Iblis Rangkap Jiwa menyipit. "Siapa percaya kalau gadis itu kekasihmu! Kalaupun benar, perlu kau ketahui, Bocah! Sejak malam ini rela tidak rela dia harus kau serahkan padaku! Dan lekas menyingkir dari sini!"

Mungkin untuk meyakinkan, murid Pendeta Sinting menyahut. "Kalau hanya itu permintaanmu, aku tidak keberatan! Kurasa aku masih bisa mencari gadis lain yang cantik dan tidak sableng! Namun sebelumnya aku harus tahu dahulu siapa nama orang yang meminta kekasihku! Kau tidak keberatan bukan sebutkan nama?!"

"Yang bicara ini adalah Iblis Rangkap Jiwa!"

Pendekar 131 perdengarkan tawa pendek. Sementara Putri Sableng terlihat pasang tampang cemberut dan menggumam tak jelas.

"Orang tua! Jangan mengada-ada! Nama Iblis Rangkap Jiwa memang pernah kudengar namun menurut kabar, orang itu telah mati pada ratusan tahun yang lalu! Jadi harap Jangan berkata dusta padaku karena..."

Kini ganti Iblis Rangkap Jiwa yang perdengarkan tawa hingga Joko putuskan ucapannya. "Dalam rimba persilatan, kabar burung memang tidak asing lagi, Bocah...! Sekarang terserah padamu mau percaya atau tidak! Yang jelas akulah manusianya yang bergelar Iblis Rangkap Jiwa!"

"Masalahnya sekarang bukan percaya atau tidak! Yang jelas manusia bergelar Iblis Rangkap Jiwa mengetahui sebuah rahasia!" kata Joko dengan mata mengerling pada Putri Sableng.

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, Iblis Rangkap Jiwa sunggingkan senyum seringai. Diamdiam lelaki itu berkata dalam hati. "Hem... Rupanya saat ini kabar tentang kitab itu sudah tersiar luas! Jahanam betul! Kalau aku tidak bisa segera merebut dari tangan keparat yang menggelari diri dengan Malaikat Penggali Kubur itu, hidupku hanya akan menjadi bahan tanya jawab orang!"

"Anak muda! Aku tahu apa yang kau maksud dengan rahasia! Tapi sebelum kusebutkan rahasia itu, katakan dahulu siapa kau?"

"Aku Joko... Joko Sableng!"

Iblis Rangkap Jiwa sedikit tersentak dengan mata terpentang "Hm... Jadi ini manusianya yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng..." Iblis Rangkap Jiwa luruskan pandangan pada Putri Sableng.

"Hem... Yang gadis Putri Sableng yang pemuda Joko Sableng. Jangan-jangan dua orang ini bukan sepasang kekasih, melainkan saudara seperguruan. Tapi apa peduliku? Aku memang punya tugas untuk meringkus Pendekar 131, tapi itu bisa ditunda. Sekarang aku menginginkan gadis itu malam ini!"

Habis membatin begitu, Iblis Rangkap Jiwa berujar. "Bukankah yang kau maksud rahasia adalah sebuah kitab sakti?!"

Murid Pendeta Sinting tidak menjawab ucapan orang, sebaliknya dia bungkukkan tubuh menjura seraya berkata. "Sungguh tak kuduga kalau aku dapat jumpa dengan seorang tokoh rimba persilatan yang namanya tetap dikenang orang meski sudah berlalu beberapa ratus yang lalu..."

Melihat tingkah Joko, Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak. Namun mendadak suara tawanya diputus. Kejap lain dia perdengarkan bentakan keras. "Kau telah tahu siapa yang kau hadapi saat ini! Jangan bertindak bodoh tidak turuti ucapanku! Lekas minggat dari hadapanku!"

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala, "Keteranganmu belum cukup kuat membuktikan kalau kau adalah Iblis Rangkap Jiwa. Karena iblis Rangkap Jiwa bukan hanya mengetahui rahasia tentang kitab itu melainkan juga mengetahui dimana beradanya kitab itu! Bagaimana? Apa kau tahu di mana beradanya kitab itu?!"

Sepasang mata Iblis Rangkap Jiwa kontan mendelik besar. Melihat gelagat tidak baik, murid Pendeta Sinting segera tersenyum lalu berkata.

"Jangan salah menduga! Aku hanya ingin buktikan kalau aku benar-benar jumpa dengan tokoh Iblis Rangkap Jiwa! Tidak ada maksud lain! Lagi pula imbalan yang kuberikan padamu seorang gadis yang bukan hanya berwajah cantik, tapi juga bertubuh bagus berkulit mulus! Jika kau benar-benar Iblis Rangkap Jiwa, rasanya aku tidak punya beban apa-apa menyerahkannya padamu!"

Mendengar ucapan Pendekar 131, Putri Sableng menyumpah-nyumpah dalam hati. Malah seolah tak sabar, gadis berjubah merah ini segera angkat bicara. "Jaga ucapanmu, Pemuda Setan!"

Joko tidak hiraukan ucapan Putri Sableng, sebaliknya memandang pada Iblis Rangkap Jiwa dan berkata. "Bagaimana? Kau mau buktikan padaku?!"

Iblis Rangkap Jiwa kancingkan mulut tidak menjawab. Namun begitu Joko hendak ajukan tanya lagi, dia buka mulut membentak. "Aku akan menunjukkan di mana beradanya kitab itu, tapi kau harus rasakan dahulu bagaimana enaknya mati muda!"

Murid Pendeta Sinting unjukkan tampang terkesiap. "Walah, bagaimana bisa begini? Bukankah aku telah relakan gadisku untuk kau miliki? Mengapa sekarang sepertinya kau inginkan nyawaku? Kau tidak sedang bercanda?"

"Aku tahu kapan saat bercanda! Lagi pula tidak ada gunanya bercanda dengan manusia macam kau!"

"Tunggu! Kalau begitu aku juga menarik gadisku!" Tanpa hiraukan orang yang saat itu memandang angker padanya, murid Pendeta Sinting melangkah ke arah Putri Sableng yang saat itu memandang dengan mulut bergerak-gerak.

"Jangan bergerak dari tempatmu! Sekali kau melangkah, selembar nyawamu putus!" hardik Iblis Rangkap Jiwa seraya acungkan tangan kanannya.

Pendekar 131 hentikan langkah. Kepalanya berpaling. Mendadak sepasang kakinya tersurut mundur. Laksana kilat, sosok Iblis Rangkap Jiwa bergerak satu kali. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan hidungnya dengan kedua tangan lakukan pukulan ke arah kepala!

Wuuuutt!

Dua gelombang dahsyat telah menyambar mendahului kedua tangan. Kalau Joko tidak cepat melompat selamatkan diri, niscaya kepalanya akan langsung retak terkena hantaman kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa yang mendadak saja sudah berkelebat laksana saling susul menyusul dengan gelombang yang menyambar.

Mendapati hantaman kedua tangannya tidak mengenai sasaran, tulang rahang Iblis Rangkap Jiwa tampak mengembung. Tulang pelipisnya bergerak-gerak. Sementara Joko cepat kerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangannya.

"Ucapan Raja Tua Segala Dewa benar! Manusia satu ini memiliki kepandaian luar biasa, Aku akan celaka sendiri kalau..."

Gumaman murid Pendeta Sinting terputus. Di depan sana Iblis Rangkap Jiwa hentakkan sepasang kakinya di atas tanah. Terdengar suara berdebam keras. Saat bersamaan puncak Bukit Selamangleng laksana dilanda gempa dahsyat. Joko dan gadis berjubah merah rasakan tubuh masing-masing laksana disentakkan kekuatan dari bawah hingga saat itu juga tubuh keduanya terlontar ke udara! Selagi tubuh kedua orang itu di atas udara, Iblis Rangkap Jiwa ayunkan kedua tangannya lalu didorong ke atas.

Melihat gerakan orang, Joko cepat gerakkan kedua tangannya lancarkan pukulan. Saat itu juga tampak menyambar seberkas sinar semburat kan warna kuning dengan membawa gelombang berhawa luar biasa panas. Tanda murid Pendeta Sinting telah lepaskan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’.

Melihat Joko lepaskan pukulan, Putri Sableng yang meski tidak mendapat serangan kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa cepat pula dorong kedua tangannya ke bawah. Hingga saat itu juga dari tangannya melesat dua gelombang membawa angin berputar-putar dahsyat.

Mendapati dua serangan dari dua jurusan, tidak membuat Iblis Rangkap Jiwa terkejut. Sebaliknya dia hadapi serangan orang dengan senyum seringai. lalu tarik tangan kirinya. Kini tangan kanan didorong ke arah murid Pendeta Sinting sementara tangan kiri ke arah Putri Sableng.

Terdengar dua kali dentuman keras. Sinar kuning dari kedua tangan Pendekar 131 dan gelombang dahsyat berputar-putar dari kedua tangan Putri Sableng bertabur di udara ciptakan lidah api. Bersamaan dengan itu sosok murid Pendeta Sinting tersapu dan balik terlontar lebih tinggi ke udara. Begitu juga sosok gadis berjubah merah.

Di bawah sana, Iblis Rangkap Jiwa terdengar berseru tertahan. Sosoknya terhuyung-huyung. Namun belum sampai jatuh terjerembab di atas tanah laki-laki ini gerakkan bahunya dua kali berturut-turut. Kejap lain sosoknya terhenti. Meski bentrok nya pukulan Iblis Rangkap Jiwa dengan pukulan Joko dan Putri Sableng sempat membuat sosok laki-laki berkepala gundul ini terhuyunghuyung, namun wajahnya hanya berubah sejenak. Saat lain dia perdengarkan tawa bergelak seraya arahkan pandangannya pada sosok murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng yang baru saja injakkan kaki di atas tanah.

Baik paras Joko maupun Putri Sableng tampak berubah. Malah kedua tangan masing-masing orang terlihat bergetar keras. Murid Pendeta Sinting melirik pada Putri Sableng. Lalu mata kirinya mengerdip. Joko memberi isyarat agar keduanya bergabung untuk hadapi Iblis Rangkap Jiwa karena Joko sadar, orang yang dihadapi saat ini bukan lawan sembarangan. Namun isyarat mata Joko ditangkap lain oleh si gadis. Gadis berjubah merah ini mendelik sambil buang muka dan bergumam,

"Dasar Setan Jelek! Keadaan sudah begini masih juga bermain mata!"

Murid Pendeta Sinting menarik napas panjang tatkala melihat isyaratnya ditangkap lain oleh Putri Sableng. "Apa boleh buat! Aku harus pergunakan ilmu yang baru saja ku peroleh..."

Tanpa menunggu lama, murid Pendeta Sinting kerahkan tenaga dalamnya pada tangan kirinya. Saat itu juga tangan kirinya berubah warna menjadi biru, Inilah tanda kalau dia telah siap hendak lancarkan Ilmu pukulan 'Serai Biru’.

"Hem... Keluarkan semua ilmu milikmu, bocah!” ujar Iblis Rangkap Jiwa lalu melangkah dua tindak ke depan seakan hendak menyongsong pukulan yang akan dilepas murid Pendeta Sinting.

"Menurut Raja Tua Segala Dewa manusia ini kebal pukulan! Apa dia tidak mempan dengan pukulan 'Serat Biru'?!" Pendekar 131 cepat tarik tangan kirinya. Lalu didorong ke depan.

Wuuutt! Wuuutt!

Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat serat-serat laksana benang berwarna biru terang. Sepasang mata Iblis Rangkap Jiwa sesaat terbeliak. Laki-laki ini rupanya maklum kalau pukulan yang kini menggebrak ke arahnya tidak boleh dianggap remeh. Laki-laki yang semula hendak menyongsong pukulan lawan dengan unjukkan dadanya ini mundur dua tindak. Lalu kedua tangannya bergerak.

Wuuutt! Wuuutt!

Terdengar deruan keras. Lalu dua gelombang luar biasa dahsyat melesat ke arah murid Pendeta Sinting memangkas serat-serat biru. Melihat hal itu, Putri Sableng tak sia-siakan kesempatan. Gadis berjubah merah ini cepat kerahkan tenaga dalamnya lalu lepaskan pukulan ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Iblis Rangkap Jiwa berseru keras.

"Jahanam! Beraninya kau bertindak pengecut hendak membokongku!"

Putri Sableng tanggapi seruan orang dengan tertawa cekikikan. Malah dia lipat gandakan tenaga dalamnya lalu dorong tangannya sambil menyusuli pukulannya. Iblis Rangkap Jiwa tersentak. Karena begitu akan lepaskan pukulan memangkas serangan Putri Sableng, gelombang yang dilepaskan ke arah Joko laksana dibungkus dan dililit benang hingga bukan saja dalam waktu sekejap tertahan di udara namun juga segera ambyar semburat kian kemari! Malah dengan aneh, serat-serat yang baru saja membuyarkan pukulannya menerabas melabrak ke arahnya!

Iblis Rangkap Jiwa terlihat bimbang. Kalau dia memangkas pukulan Putri Sableng, jelas serat-serat biru terang akan melabrak dirinya. Kalau dia memangkas serat-serat biru, pukulan yang dilancarkan Putri Sableng pasti akan telak menghantam tubuhnya. Meski Iblis Rangkap Jiwa merasa segala pukulan yang mengenal dirinya tidak akan terasa, namun lambat laun pertahanannya akan jebol apalagi pukulan yang melabraknya bukan lagi pukulan yang bisa dianggap sepele.

Belum sampai iblis Rangkap Jiwa membuat putusan, serat-serat biru laksana benang telah dua langkah di depannya, sementara gelombang pukulan Putri Sableng satu tombak di belakangnya. Iblis Rangkap Jiwa kerahkan tenaga dalamnya lalu cepat pukulkan kedua tangannya ke depan tepat saat serat-serat biru di depannya.

Desss! Desss! Dessss! Desssss!

Serat-serat biru laksana benang terputus lalu bertabur ke udara. Di depan sana sosok murid Pendeta Sinting terhuyunghuyung lalu jatuh terduduk dengan muka pias. Iblis Rangkap Jiwa sendiri langsung terdorong ke belakang. Namun gerakan tubuh laki-laki ini tertahan karena bersamaan dengan terdorongnya tubuh ke belakang, pukulan Putri Sableng datang menggebrak dari belakang.

Bukkk! Desss!

Tak pelak lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa terdorong ke depan. Kejap lain sosoknya tersungkur jatuh telungkup! Melihat Iblis Rangkap Jiwa roboh, meski masih merasakan sakit pada sekujur tubuhnya, Joko cepat bangkit lalu hendak berkelebat. Namun Putri Sableng angkat tangan kanannya memberi isyarat agar Joko urungkan niat.

Mungkin masih merasa jengkel dengan isyaratnya tadi yang ditangkap lain oleh Putri Sableng, Joko tidak hiraukan isyarat si gadis. Dia teruskan langkahnya ke arah robohnya Iblis Rangkap Jiwa. Baru saja murid Pendeta Sinting melangkah tiga tindak, tiba-tiba Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan dengan gulingkan tubuhnya. Saat bersamaan kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan. Meski murid Pendeta Sinting sudah waspada namun dia jadi terlengak. Karena baru saja kedua tangannya bergerak, gelombang yang menyambar keluar dari kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa telah melabrak ganas!

"Pemuda setan geblek!" terdengar seruan dari Putri Sableng. Bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan ke arah Iblis Rangkap Jiwa.

Desss!

Karena Iblis Rangkap Jiwa tidak hiraukan pukulan si gadis, maka dengan telak pukulan Putri Sableng menghantam tubuhnya. Meski Iblis Rangkap Jiwa hanya berseru tertahan tanpa bayangan rasa sakit, namun tak urung juga tubuhnya terlontar sampai satu tombak. Hal ini membuat pukulannya yang dilancarkan pada Pendekar 131 melenceng meski masih sempat menerabas pundak.

Pendekar 131 tersapu dan terhuyung-huyung. Pakaian bagian pundaknya robek menganga dan hangus. Belum sempat Joko membuat gerakan untuk menahan tubuhnya, satu sosok tubuh sudah tegak di belakangnya hingga huyungan tubuhnya terhenti. Menduga bahwa yang menahan gerakan tubuhnya Putri Sableng apalagi tatkala dilihatnya gadis berjubah merah Itu tidak ada lagi di tempatnya semula, tanpa berpaling lagi murid Pendeta Sinting berkata.

"Terima kasih kau selamatkan aku! Kita sekarang bersahabat! Kalau suatu saat aku mengintipmu mandi, kuharap kau tidak marah-marah lagi!"

Tidak terdengar sahutan. Namun karena sosok dibelakangnya masih tegak meski tidak terlalu rapat, Joko kembali berujar.

"Kita mendapat keterangan sama dari Cucu Dewa. Kulihat kau tadi telah coba lakukan, namun nyatanya tidak berpengaruh! Malah mata manusia iblis itu makin mendelik melihat pantatmu yang putih padat dan besar! Jangan-jangan Cucu Dewa membohongi kita... Dia bersekongkol dengan manusia Iblis itu agar memperlihatkan pantat bagusmu padanya!"

Belum terdengar sahutan. Malah bersamaan dengan itu terdengar suara orang tertawa cekikikan tertahan dari arah sebelahnya, membuat Joko terkesiap. Joko maklum kalau di tempat itu sekarang bukan hanya ada Putri Sableng namun ada orang lain lagi! Murid Pendeta Sinting cepat putar diri. Sepasang matanya kontan melotot besar dengan mulut menganga tanpa keluarkan suara!

BAB 6

SEJARAK lima langkah dari tempatnya berdiri, terlihat Putri Sableng tegak dengan tertawa tertahan. Kepala gadis berjubah merah ini mendongak dengan bahu berguncang-guncang. Sementara tepat di depannya terlihat tegak seorang laki-laki bertubuh pendek berambut panjang lebat hitam yang dikelabang dua. Orang ini tersenyum tanpa berkata apa-apa.

"Cucu Dewa!" seru Joko dengan suara seakan tercekat di tenggorokan.

Laki-laki bertubuh pendek dengan rambut dikelabang dua dan bukan lain adalah Cucu Dewa anggukkan kepala lalu berujar. "Kau masih ingin mengintipku mandi?"

Paras wajah Joko berubah merah padam. Dia berpaling pada Putri Sableng namun sebelum dia sempat buka mulut, si gadis telah mendahului.

"Mengapa tidak kau jawab pertanyaan orang?!"

Belum ada suara jawaban yang terdengar, mendadak dari arah depan terdengar deruan luar biasa dahsyat. Lalu terlihat gelombang kabut berwarna hitam pekat menyungkup tempat itu!

"Pejamkan mata. Cepat menyingkir!" terdengar Cucu Dewa berteriak.

Bersamaan itu Cucu Dewa gerakkan kedua tangannya mendorong tubuh murid Pendeta Sinting hingga terdorong sampai dua tombak. Kejap lain laki-laki ini berkelebat ke samping. Putri Sableng tidak tinggal diam. Tanpa berpikir panjang lagi dia cepat melompat. Kabut hitam yang datang bergelombang menyapu tanah di mana Joko, Cucu Dewa, dan Putri Sableng tadi berada. Lalu di depan sana tampak dua batang pohon berderak tumbang!

Iblis Rangkap Jiwa yang baru saja kirimkan pukulan tampak mendengus keras melihat pukulannya tidak mengenal sasaran. Orang ini cepat putar sepasang matanya. Di depan sana terlihat Cucu Dewa berbisik pada Joko. Kejap lain keduanya berkelebat ke arah tegaknya Putri Sableng. Baru saja ketiganya berkumpul dan belum sempat ada yang buka mulut, dari arah depan kembali menghampar gelombang kabut hitam pekat.

"Menyingkir berpencar! Tapi lekas bersatu lagi!" bisik Cucu Dewa lalu mendahului berkelebat.

Joko segera menyusul dengan berkelebat mengambil arah ke samping kanan. Saat bersamaan Putri Sableng melompat ke arah berlawanan dengan murid Pendeta Sinting. Untuk kedua kalinya puncak Bukit Selamangleng dilanggar gelombang luar biasa dahsyat. Pohon-pohon yang ada di puncak bukit itu rata tersapu tumbang. Tanahnya muncrat ke udara. Melihat hal itu, Joko angkat kedua tangannya. Dia berpikir kalau hal itu tidak dihentikan, bukan tak mungkin akan membahayakan. Namun baru saja kedua tangannya berubah warna, Cucu Dewa telah berteriak.

"Tahan seranganmu! Percuma kau buang-buang tenaga! Bagaimanapun kehebatan ilmu yang kau miliki, tetap saja tidak akan bisa melukainya!"

Joko berpaling. Karena saat itu dilihatnya Cucu Dewa melambai, murid Pendeta Sinting cepat berkelebat mendekat Pada saat bersamaan Putri Sableng juga berkelebat.

"Cepat lakukan apa yang pernah kukatakan pada kalian berdua!" kata Cucu Dewa.

Murid Pendeta Sinting pandangi Cucu Dewa den- gan kening mengernyit. Di sebelahnya Putri Sableng mendelik lalu bergumam. "Aku tak mau lakukan itu!"

"Terserah kalau kalian tak mau lakukan apa yang kukatakan! Tapi jangan harap kalian bisa lolos dari tempat ini dengan selamat!"

"Biar dia saja yang melakukan!" kata Putri Sableng.

Cucu Dewa gelengkan kepala. "Tidak bisa! Kalian berdua harus melakukannya sama-sama. Jika hanya, salah satu, tidak ada artinya!"

Mendengar ucapan Cucu Dewa, Putri Sableng terlengak. "Sialan! Mengapa dia tidak mengatakan hal itu waktu aku meminta keterangan beberapa waktu lalu? Kalau tahu begitu, tidak sudi aku datang ke tempat ini!"

Kalau Putri Sableng membatin begitu, Joko diam-diam juga berkata dalam hati. "Hem... makanya walau gadis itu telah lakukan apa yang dikatakan Cucu Dewa tapi tidak ada pengaruhnya! Tidak sangka kalau hal itu harus dilakukan bersama-sama..."

"Bagaimana kalau yang lakukan pemuda sedeng itu dengan kau?!" tanya Putri Sableng pada Cucu Dewa.

Kembali Cucu Dewa gelengkan kepalanya. "Selain aku tidak ikut punya kepentingan dengan urusan kalian, percuma kalau aku yang melakukannya! Karena hal itu harus dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan!"

"Aturan gendeng!" ujar Putri Sableng.

"Terserah kau katakan apa! Yang jelas kalau kalian ingin selamat hanya itu satu-satunya jalan!"

"Apa boleh buat! Kita harus melakukannya!" kata murid Pendeta Sinting.

"Enak saja bicara! Kau bicara begitu karena kau ingin lihat pantatku!" sahut Putri Sableng.

"Aku sudah lihat bukan hanya pantatmu! Tapi..."

"Sudah! Tidak ada gunanya saling tunjuk! Kalian harus cepat bertindak. Kalau tidak, bersiaplah menerima kematian!" tukas Cucu Dewa.

"Apa tidak ada cara lain? Atau kita gabungkan pukulan?!" Joko masih memberi usul.

"Sudah kukatakan, tak ada satu pun kekuatan yang dapat melukainya! Kalaupun ada itu mungkin hanya terdapat pada kitab yang kalian cari! Dan apa yang hendak kalian lakukan hanya membuat dirinya tak bisa kerahkan tenaga dalamnya selama setengah hari! Cepat lakukan! Lihat dia sudah gerakkan kedua tangannya!"

Murid Pendeta Sinting cepat berpaling. Di depan sana Iblis Rangkap Jiwa sudah angkat kedua tangannya Malah kini kaki kanannya ikut diangkat. Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh memunggungi Iblis Rangkap Jiwa. Kedua tangannya memegangi pinggang kiri kanan.

"Kuminta kau lakukan apa yang dikatakan orang tua ini!" kata Joko seraya memandang pada Putri Sableng.

Putri Sableng tak menyahut. Wajah gadis ini tampak merah padam. Dia memandang silih berganti pada Joko dan Cucu Dewa. Seakan tahu apa yang terpikir dalam hati orang, Cucu Dewa berkata.

"Jangan khawatir kalau aku akan melihat! Aku akan pejamkan mata dan berbalik!"

Bersamaan dengan itu Cucu Dewa pejamkan sepasang matanya lalu putar diri berbalik. Di depan sana Iblis Rangkap Jiwa telah hentakkan kaki kanannya hingga terdengar suara berdebam keras.

"Kau juga harus pejamkan mata!" kata Putri Sableng seraya mendelik pada murid Pendeta Sinting.

Tanpa buka mulut lagi, Pendekar 131 pejamkan sepasang matanya. Bersamaan dengan Itu, Putri Sableng angkat jubah merahnya bagian bawah. Di sebelahnya, Joko sudah tarik celananya sedikit ke bawah. Iblis Rangkap Jiwa pentangkan sepasang matanya besar-besar. Di hadapannya terlihat dua pantat milik murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng! Namun hal itu tidak membuat iblis Rangkap Jiwa urungkan niat untuk lakukan serangan. Malah kini seraya tertawa bergelak dia gerakkan kedua tangannya lepaskan pukulan.

Namun mendadak iblis Rangkap Jiwa tercekat. Dari kedua tangannya tidak terdengar gelombang yang menyambar. Malah kejap lain laki-laki ini rasakan sekujur tubuhnya lunglai! Seluruh kekuatannya laksana disedot kekuatan yang tidak tampak!

"Jahanam! Apa yang terjadi dengan diriku? Kekuatanku musnah!" seru Iblis Rangkap Jiwa. Bersamaan dengan itu sosoknya goyang. Kedua kakinya menekuk sebelum akhirnya roboh ke tanah.

"Bagaimana? Apa sudah selesai?!" tanya Putri Sableng.

"Mana aku tahu? Kau menyuruhku pejamkan mata!" sahut Joko lalu buka sedikit matanya. Namun dia buru-buru pejamkan matanya lagi saat dilihatnya Putri Sableng mendelik ke arahnya!

"Tugas kalian selesai!" tiba-tiba terdengar suara Cucu Dewa.

Putri Sableng cepat lepaskan bagian bawah jubah merahnya yang diangkat. Saat bersamaan murid Pendeta Sinting tarik ke atas celananya. Serentak keduanya balikkan tubuh.

"Hampir tak kupercaya kalau tidak melihat sendiri!" gumam Joko dengan mata memandang ke arah Iblis Rangkap Jiwa yang menggelosor di atas tanah. Meski laki-laki ini terlihat coba kerahkan tenaga dalamnya, namun sia-sia!

"Cucu Dewa! Terima kasih...!" ujar Joko.

Cucu Dewa hanya memandang tanpa buka mulut. Laki-laki bertubuh cebol ini melangkah lalu berkata. "Selanjutnya urusan kalian! Tapi ingat. Jangan kalian bertindak di luar batas karena orang itu dalam keadaan tidak berdaya! Seluruh kekuatannya musnah! Kalau kalian bertindak di luar batas, aku tidak ikut tanggung jawab! Dan ingat. Kekuatannya akan pulih kembali dalam waktu kira-kira setengah hari..." Habis berkata begitu, Cucu Dewa lanjutkan melangkah. "Selamat malam..."

Baik murid Pendeta Sinting maupun Putri Sableng hendak menahan kepergian Cucu Dewa, namun terlambat. Cucu Dewa telah gerakkan tubuh. Kejap lain, sosoknya berkelebat menuruni bukit. Pendekar 131 berpaling pada Putri Sableng. Namun murid Pendeta Sinting tersentak. Belum sampai dia buka mulut, si gadis telah berkelebat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak di samping Iblis Rangkap Jiwa yang roboh di atas tanah.

"Apa gadis sableng itu menginginkan kitab itu? Celaka kalau tindakannya tidak dicegah!" Joko serentak berkelebat.

"Ini urusanku! Harap kau tidak ikut campur!" kata Joko begitu tegak di samping Putri Sableng.

Putri Sableng menoleh. Sepasang matanya mendelik. "Enak saja buka mulut! Tanpa aku, apa kau kira bisa lakukan ini, hah? Aku juga punya kepentingan! Aku telah ikut merasa andil!"

"Keparat! Jahanam! Apa yang kalian lakukan padaku?! Kalian akan menyesal seumur-umur berani membuat urusan dengan Iblis Rangkap Jiwa!" teriak Iblis Rangkap Jiwa dengan suara bergetar pertanda menindih hawa amarah.

Baik Joko maupun Putri Sableng tidak hiraukan teriakan Iblis Rangkap Jiwa. Sebaliknya kedua orang ini untuk beberapa saat saling adu pandang tanpa ada yang buka mulut.

"Gadis sableng! Kuperingatkan padamu! Jangan berani melangkahi urusan ini!" kata Joko sambil maju satu tindak.

Putri Sableng tertawa pelan. Lalu sambil berkacak pinggang dia berkata. "Kalau aku berani, kau mau apa?!"

Mendapat tantangan begitu rupa, murid Pendeta Sinting tampak terlengak. Rahangnya sedikit mengembang. Namun dia coba menahan lalu berkata. Suaranya terdengar parau keras. "Kau akan menyesal dan kecewa!"

Mendengar ucapan Joko, gadis berjubah merah bukannya takut. Gadis ini malah perkeras tawanya. "Semua telah kuperhitungkan! Jadi harap kau buang jauh-jauh dugaanmu itu, Pemuda Setan!"

Habis berkata begitu, tenang-tenang saja Putri Sableng maju satu tindak. Sesaat ditatapnya sosok Iblis Rangkap Jiwa. Lalu berkata. "Hidup matimu ada di tanganku! Kalau kau menjawab jujur pertanyaanku, selembar nyawamu utuh! Kalau tidak..." Putri Sableng tidak lanjutkan ucapannya. Sebaliknya gadis Ini tertawa cekikikan sambil bolak-balikkan telapak tangannya.

"Jahanam! Jangan harap kau mendapat keterangan apa-apa dariku!"

"Hem... Begitu? Aku ingin lihat sampai di mana kebenaran ucapanmu!"

"Tahan!" teriak murid Pendeta Sinting saat melihat Putri Sableng angkat tangan kanannya seolah hendak lakukan pukulan.

Putri Sableng melirik. "Kau mau apa?!"

"Jangan bertindak di luar batas! Aku membutuhkan orang itu! Aku tidak main-main!"

"Sialan! Apa kau kira aku tidak membutuhkannya?! Dan apa kau kira aku ini main-main? Hah...?!"

"Kau benar-benar tidak bisa diberi hati!"

"Hik Hik Hik...! Jangan bicara ngaco! Siapa minta hati?!"

"Kalau saja bukan seorang gadis, sudah sejak tadi ku bungkam mulutnya...!" kata Joko dalam hati. Lalu berkata. "Kau tahu perihal kitab itu dari mulutku, jadi harap kau..."

Ucapan murid Pendeta Sinting belum selesai, Putri Sableng telah menukas. "Jangan merasa pandai, pemuda Geblek! Sebelum kau mengatakan perihal kitab itu padaku, jauh sebelumnya aku sudah tahu!"

"Siapa percaya pada ucapanmu! Kau pintar membalik masalah!"

"Aku tak butuh kepercayaanmu! Yang jelas aku telah sampai di sini dan jumpa dengan manusia iblis ini! Apa itu belum cukup sebagai bukti kalau aku juga tahu urusan kitab itu?!"

"Tapi itu karena kau mendengar dariku!" sahut Joko dengan suara makin keras.

"Aku tak peduli dari mana aku tahu! Sekarang aku tanya padamu. Apa maumu?!" kata Putri Sableng seraya mendongakkan sedikit kepalanya.

"Aku membutuhkan keterangan dari orang itu!"

"Apa kau kira jauh-jauh aku datang kemari tidak membutuhkan keterangannya?! Kau kira aku pergi ke sini hanya untuk memperlihatkan pantat?!"

"Hem... Kalau ku ladeni, urusan ini tidak akan segera selesai! Lebih baik aku menunggu saja! Begitu manusia Iblis itu memberi keterangan, aku akan mendahuluinya!" ujar Joko dalam hati. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi murid Pendeta Sinting mundur dua langkah.

"Bagus! Berarti kau tahu siapa yang kau hadapi! Hik Hik Hik...!"

Mendengar ucapan Putri Sableng sebenarnya murid Pendeta Sinting sudah tidak bisa menahan sabar. Tapi setelah memikir panjang akhirnya dia hanya memandang dengan mulut terkancing. Melihat sikap Joko, Putri Sableng arahkan pandangannya pada Iblis Rangkap Jiwa. Lalu berkata membentak.

"Keselamatan jiwamu hanya tergantung pada satu pertanyaanku!"

Iblis Rangkap Jiwa merasa tengkuknya dingin. Namun laki-laki ini coba sembunyikan rasa takutnya dengan menyeringai lalu berkata. "Kau tetap tidak akan mendapat jawaban apa-apa dariku!”

"Hik Hik Hik...! Berarti kau telah menginginkan tanah kuburan!"

"Itu lebih baik bagiku daripada menjawab pertanyaanmu!”

Bersamaan selesainya ucapan Iblis Rangkap Jiwa, Putri Sableng angkat kedua tangannya. Saat lain dia gerakkan lurus menukik.

Bummm!

Puncak bukit bergetar. Tanah sejarak satu jengkal di samping Iblis Rangkap Jiwa bertabur ke udara membentuk lobang menganga! Putri Sableng memang arahkan pukulannya pada tanah di samping si laki-laki berkepala gundul ini.

"Jangan kau kira aku takut dengan gertakanmu! Aku yakin, kau tidak akan membunuhku! Ha Ha Ha...!"

Putri Sableng terkesiap mendengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa. Tanpa berkata lagi gadis berjubah merah ini angkat kaki kirinya lalu ditekankan pada kaki kanan Iblis Rangkap Jiwa.

"Kau salah ucap! Aku tak segan-segan mencabut nyawamu!"

"Itu tak akan kau lakukan!" jawab Iblis Rangkap Jiwa.

Putri Sableng perkeras tekanan kakinya. "Katakan. Di mana beradanya kitab itu!"

Iblis Rangkap Jiwa meringis sambil gelengkan kepala. "Kau tak akan mendengar jawaban dariku!"

Plaaakk! Plaaakk!

Dua tangan kiri kanan Putri Sableng bergerak. Kepala Iblis Rangkap Jiwa terlihat tersentak ke kiri lalu ke kanan dengan keras. "Katakan! Di mana kitab itu!" sentak Putri Sableng sambil angkat kedua tangannya kembali.

Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa kembali gelengkan kepala. "Seribu kali kau ulangi pertanyaanmu, kau tetap tidak akan mendapat jawaban!"

"Berarti kau benar-benar ingin mampus!"

"Kau tidak akan lakukan itu!" ujar Iblis Rangkap Jiwa sambil tertawa pendek.

"Hem... Kau salah duga! Dengar baik-baik! Sekarang aku tidak lagi membutuhkan kitab itu! Aku ingin selembar nyawamu!"

"Kau mudah melakukannya! Lekas lakukan keinginanmu!" kata Iblis Rangkap Jiwa tanpa tunjukkan rasa ngeri. Laki-laki ini merasa yakin jika kedua orang di hadapannya tidak akan lakukan ancamannya sebelum mendapatkan jawaban tentang di mana beradanya Kitab Hitam.

Sepasang mata Putri Sableng tampak berkilat-kilat. Mulutnya terkancing rapat. Mungkin karena tak sabar dengan sikap Iblis Rangkap Jiwa, gadis ini angkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Tubuhnya terlihat bergetar keras. Tanda dia telah kerahkan segenap tenaga dalamnya.

Dl bawahnya meski merasa ngeri, Iblis Rangkap Jiwa pandangi kedua tangan si gadis. Mendadak sepasang mata laki-laki ini memejam. Tanpa sadar, terdengar seruan dari mulutnya ketika tiba-tiba Putri Sableng gerakkan kedua tangannya.

Murid Pendeta Sinting yang sedari tadi hanya melihat, buka mulut. Namun belum sampai terdengar suaranya, Putri Sableng tiba-tiba tarik pulang kedua tangannya saat kedua tangan itu sejengkal hendak menghantam kepala Iblis Rangkap Jiwa. Kejap lain gadis berjubah merah ini berkelebat kebelakang dan tegak di samping murid Pendeta Sinting.

"Sekarang giliranmu membuat mulutnya terbuka!" kata Putri Sableng tanpa memandang pada Joko.

Murid Pendeta Sinting angkat bahunya lalu melangkah mendekati Iblis Rangkap Jiwa. "Hem... Menghadapi laki-laki begini, aku tahu bagaimana” kata Joko dalam hati. Begitu dekat dengan Iblis Rangkap Jiwa, tanpa berkata sepatah kata pun, Joko langsung gerakkan tangan kiri kanannya ke bagian bawah pakaian Iblis Rangkap Jiwa hingga pakaian compang-camping laki-laki berkepala gundul itu robek menganga di bawah pusar.

Iblis Rangkap Jiwa tersentak dan buru-buru gerakkan kedua tangannya untuk menutupi aurat bawahnya yang tidak tertutup lagi. Di seberang sana Putri Sableng terdengar berseru lalu cepat-cepat pejamkan sepasang matanya dan berbalik. Namun kejap kemudian terdengar cekikikan tawanya!

"Apa yang hendak dilakukan, Setan Jelek itu? Ingin menunjukkan padaku punya manusia iblis itu? Hik Hik Hik...!" ujar Putri Sableng dalam hati lalu tanpa balikkan tubuh dia berseru.

"Apa kau ingin beradu besar? Atau hanya ingin mencocokkan?!"

"Dasar sableng!" gumam Joko tanpa menjawab seruan Putri Sableng.

"Jahanam! Apa maumu?!" sentak Iblis Rangkap Jiwa.

Murid Pendeta Sinting tertawa dahulu sebelum menjawab, "Aku sekarang tidak menginginkan kitab itu! Menurut cerita yang kudengar, aurat bawahmu lebih memiliki daya kesaktian dibanding kitab itu! Jadi aku sekarang menginginkan milikmu!"

Murid Pendeta Sinting pandangi sejurus Iblis Rangkap Jiwa yang tercekat dan mengkerut seraya pegangi aurat bawahnya. Di belakang sana, kembali Putri Sableng berseru, tetap membelakangi Joko dan Iblis Rangkap Jiwa.

"Hai...! Dari mana kau tahu barangnya memiliki kesaktian lebih daripada kitab?!"

"Kau tak usah banyak tanya! Kalau kau suka, kau nanti akan kuberi separo! Terserah mau kau buat apa!" jawab murid Pendeta Sinting seenaknya.

Habis berkata begitu, Joko bergerak jongkok. Ke- dua tangannya diangkat. Iblis Rangkap Jiwa makin meringkuk. Mendadak laki-laki ini berseru tertahan tatkala tiba-tiba kedua tangan Joko sudah bergerak ke bahunya. Saat itu juga Iblis Rangkap Jiwa tersentak. Karena dia sudah tidak dapat lagi gerakkan anggota tubuhnya!

Murid Pendeta Sinting tidak pedulikan perubahan wajah orang yang makin membayangkan ketakutan. Sebaliknya dia teruskan gerakkan kedua tangannya ke arah bagian bawah perut Iblis Rangkap Jiwa. Sejengkal lagi kedua tangan murid Pendeta Sinting menyentuh kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa yang digunakan menutup bagian bawah auratnya, laki-laki berkepala gundul ini berteriak.

"Jahanam! Hentikan! Akan kukatakan di mana kitab itu!!”

"Hem... Manusia Iblis harus dimuslihati iblis!" kata Joko dalam hati lalu tarik pulang kedua tangannya. "Katakan! Di mana kitab itu berada!"

"Turunlah ke bawah. Di sebelah utara bukit ini ada sebuah jurang. Di dalam jurang itulah beradanya kitab itu!"

"Ucapanmu bisa dipercaya?!"

Iblis Rangkap Jiwa tidak menjawab. Dia hanya memandang dengan mata berkilat-kilat. Melihat sikap orang, murid Pendeta Sinting dapat menebak kalau ucapan Iblis Rangkap Jiwa tidak berdusta. Namun dia tidak berani bertindak sembrono. Sambil ulurkan kedua tangannya kembali ke depan, murid Pendeta Sinting ajukan tanya lagi.

"Di mana kitab itu?!"

"Kau tidak tuli! Aku telah jawab pertanyaanmu!"

Joko tidak tarik pulang kedua tangannya. Kedua tangannya terus bergerak. Kejap lain kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa terlihat bergerak ke samping mengikuti gerakan kedua tangan murid Pendeta Sinting, membuat aurat bawah laki-laki ini terbuka. Iblis Rangkap Jiwa berteriak menyumpah-nyumpah. Sementara Joko tertawa pelan lalu berkata.

"Ulangi lagi jawabanmu!"

Dengan suara keras bergetar Iblis Rangkap Jiwa ulangi lagi jawabannya. Bersamaan dengan itu, murid Pendeta Sinting gerakkan kedua tangannya ke atas tanah. Sosoknya bangkit. Kejap lain sosoknya berkelebat menuruni bukit. Karena sengaja berkelebat mengambil arah di sebelah belakang Putri Sableng, gadis berjubah merah ini tidak tahu. Gadis ini baru buka mulut setelah agak lama dia tidak lagi mendengar suara Joko atau Iblis Rangkap Jiwa.

"Hai...! Jangan percaya dahulu dengan jawabannya! Siapa tahu hendak menjerumuskan! Kalau memang barangnya lebih sakti, apakah tidak lebih baik kita urungkan mencari kitab itu?! Hik Hik Hik...! Meski mungkin aku merasa geli, tapi lama kelamaan juga terbiasa..."

Tidak ada suara yang menyahut, membuat hati Putri Sableng tidak enak. Namun dia tidak segera berani berpaling. Malah dia kembali bertanya. "Hai...! Apa kau masih di situ? Apakah barangnya sudah kau ambil?!"

Karena tidak ada jawaban, perlahan-lahan Putri Sableng angkat kedua tangannya menutupi wajahnya. Lalu seraya tertawa cekikikan dia putar tubuh. Dari balik kedua telapak tangannya, sepasang mata Putri Sableng perlahan-lahan membuka. Tawa cekikikannya mendadak terputus. Seakan tak sadar dia segera tarik kedua tangannya dari wajahnya.

"Sialan! Pemuda Setan itu telah mendahuluiku!" seru Putri Sableng. Lalu gadis ini cepat balikkan tubuh tidak tahan melihat aurat bawah Iblis Rangkap Jiwa yang terbuka. Di sebelah depan, Iblis Rangkap Jiwa memaki-maki tidak karuan. Namun begitu melihat Putri Sableng hendak berkelebat turun bukit, laki-laki itu berteriak.

"Harap kau suka membebaskan aku dari totokan jahanam ini!"

Putri Sableng hentikan langkah. Tanpa balikkan tubuh dia berujar. "Sebenarnya aku mau saja membebaskanmu. Tapi kau tutup dahulu barangmu! Aku silau karenanya! Hik Hik Hik...!"

"Bagaimana aku akan menutup, kalau bergerak saja tidak bisa?! Kau bisa lakukan dengan pejamkan mata..."

"Ah... Aku takut. Kalau aku pejamkan mata, jangan-jangan tanganku salah pegang! Kau yang enak, tapi aku... Hik Hik Hik...!"

"Aku mohon... Jika kau bebaskan aku, kau akan mendapat imbalan pantas!”

"Sayang aku tidak tertarik dengan imbalanmu! Harap kau suka bersabar menunggu Dewi Penolong... Siapa tahu malam purnama ini ada bidadari kayangan yang tertarik karena melihatmu tidak mengenakan celana? Hik Hik Hik...!" seraya terus tertawa cekikikan, Putri Sableng berkelebat menuruni bukit.

"Jahanam! Kalian akan menyesal tidak membunuhku saat ini!" teriak Iblis Rangkap Jiwa. Laki-laki ini lalu pejamkan sepasang matanya dan mengatur pernapasan.

********************

BAB 7

KITA tinggalkan Pendekar 131 dan Putri Sableng yang sedang menuju jurang menuruti keterangan Iblis Rangkap Jiwa. Kita kembali mengikuti perjalanan Malaikat Penggali Kubur setelah mendapatkan Kitab Hitam dari tubuh seorang tokoh hitam yang pernah hidup semasa Raja-raja Singasari yakni Ageng Barada alias Datuk Kematian.

Saat itu matahari baru saja naik dari kaki langit. Satu sosok tubuh terlihat melangkah pelan menuju arah pantai di sebelah timur. Orang ini sesekali hentikan langkah lalu kepalanya yang mengenakan caping lebar bergerak memutar. Karena caping yang dikenakan lebar dan dimasukkan dalam-dalam pada kepalanya, tidak jelas benar ke arah mana sepasang matanya memandang.

Orang ini adalah seorang laki-laki mengenakan pakaian hitam-hitam. Paras wajahnya kelihatan samar-samar, karena separonya hampir tertutup dengan caping lebarnya. Melihat cara jalannya yang sedikit terbungkuk-bungkuk dan sesekali berhenti, orang mungkin akan menduga jika laki-laki ini telah berusia lanjut. Apalagi di tangan kanannya terlihat sebuah tongkat kayu yang digunakan topangan tubuhnya saat melangkah.

Ketika matahari makin tinggi dan langkah kakinya memasuki kawasan pantai, laki-laki bercaping lebar ini kembali hentikan langkah. Kepalanya lurus menghadap ke timur. Lalu berpaling agak ke kanan. Untuk beberapa saat lamanya kepala laki-laki ini tidak bergerak. Hanya sesaat kemudian terdengar gumamannya yang tidak jelas.

Laki-laki bercaping ketukkan tongkatnya di atas tanah bercampur pasir. Lalu teruskan langkah. Dia baru hentikan langkah saat jaraknya kira-kira sepuluh tombak dari sebuah bangunan kuil yang menghadap hamparan laut. Untuk beberapa lama laki-laki bercaping tegak dengan kepala lurus menghadap kuil. Kejap lain kepalanya berputar. Setelah bergumam pelan dia lanjutkan langkah. Lalu berhenti sepuluh langkah di hadapan kuil.

Namun kali ini kepalanya tidak menghadap kuil, sebaliknya lurus ke arah hamparan laut. Malah tak lama kemudian dia bergerak duduk. Tongkat di tangan kanannya ditekankan masuk di atas tanah, Meski gerakan menekan tangan orang terlihat pelan, anehnya tongkat kayu itu kontan amblas masuk hampir setengahnya ke dalam tanah!

"Suasana panas menyengat. Kalau sudi silakan masuk ke tempatku..." satu suara tiba-tiba terdengar.

Laki-laki bercaping sedikit terkejut. Namun kejap lain terdengar dia tertawa mengekeh dan menjawab. "Terima kasih... Orang tua sepertiku ini memerlukan sinar matahari..." seraya berkata, laki-laki bercaping putar kepalanya sedikit ke arah datangnya suara yang mendadak terdengar.

Namun sejauh itu laki-laki ini tidak angkat kepalanya, hingga orang yang baru saja mempersilakan masuk dan kini tegak di belakang laki-laki bercaping tampak kerutkan dahi. Laki-laki bercaping menduga hanya akan melihat bagian bawah tubuh orang setidaknya hanya sampai pinggang karena terhalang oleh caping lebarnya yang dimasukkan terlalu dalam pada kepalanya. Namun untuk kedua kalinya laki-laki bercaping sedikit terkejut.

Meski terhalang oleh caping lebarnya, laki-laki ini dapat melihat sekujur tubuh orang dari kaki sampai rambut! Karena orang di hadapannya kini bertubuh cebol! Namun seperti halnya pertama kali mendapat teguran orang, meski merasa terkejut, tapi laki-laki bercaping lebar coba mengatasi dengan tertawa pelan. Di lain kejap kepalanya berputar lagi dan kini menghadap hamparan laut.

"Orang tua!" kata orang di belakang laki-laki bercaping yang tidak lain adalah Cucu Dewa. "Kalau boleh bertanya, apakah kau sengaja mencari sinar matahari atau ada punya maksud lain?"

Laki-laki bercaping lebar terdengar batuk-batuk beberapa kali sebelum akhirnya berkata. "Kalau juga boleh bertanya, kenapa kau tanya begitu?"

"Selama ini, orang yang berada di sekitar kuil bukannya datang tanpa punya maksud..."

Laki-laki bercaping lebar untuk kedua kalinya putar kepala menghadap Cucu Dewa. Untuk beberapa saat sepasang matanya yang terlindung memperhatikan sosok cebol di hadapannya. Saat lain kepala orang ini bergerak menggeleng. Bersamaan dengan itu terdengar gumamannya.

"Aku tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaanmu.!"

"Maksudmu...?!" tanya Cucu Dewa.

"Aku datang ke tempat ini memang punya tujuan. Tapi aku sekarang jadi ragu. Kalau orang tua sepertiku tidak tahu, bagaimana mungkin orang seusiamu tahu apa yang hendak kutanyakan...”

Cucu Dewa tampak sunggingkan senyum meski keningnya mengernyit. "Orang tua. Usia orang bukanlah ukuran bahwa orang yang lebih tua lebih tahu dari pada orang yang muda!"

"Ah... Benar juga kata-katamu. Tapi mungkin yang hendak kutanyakan urusannya lain. Orang yang lebih tua akan lebih tahu daripada yang muda... Tapi tidak ada salahnya aku bertanya. Siapa tahu kau dapat membantu..."

"Tunggu dulu! Sebelum kau ajukan tanya, boleh aku tahu siapa dirimu?"

Untuk sesaat laki-laki bercaping lebar tidak segera menjawab. Rupanya hal ini ditangkap oleh Cucu Dewa hingga laki-laki bertubuh pendek ini segera berkata.

"Kalau kau tak mau katakan siapa dirimu, aku tidak memaksa... Aku akan tetap membantumu sedapat yang bisa kulakukan..."

"Terima kasih... Aku tak mau mengatakan bukannya apa. Tentu namaku tidak ada artinya bagimu. Aku hanyalah laki-laki tua yang tinggal menunggu saat-saat kematian. Namun sebelum ajal menjemput, ada sesuatu yang masih menjadi ganjalan pikiranku. Seandainya kau nanti dapat menghilangkan ganjalan ini, rasanya aku mati sekarang pun tak apa..."

"Ah... Mendengar nada ucapanmu, rasanya aku bakal tidak dapat memberi keterangan yang akan kau minta..." ujar Cucu Dewa.

"Hem... Kalau kau merasa bimbang begitu, memang lebih baik aku tidak katakan padamu! Karena aku sendiri sebelumnya sudah menduga bahwa jawaban yang akan ku peroleh sama seperti jawaban orang-orang yang kutanya sebelumnya..."

"Jadi, selama ini kau telah bertanya pada beberapa orang...?"

"Hampir separo dari usiaku kuhabiskan untuk mencari jawaban..."

Kembali dahi Cucu Dewa berkerut. Setelah agak lama terdiam, akhirnya laki-laki bertubuh pendek ini berkata. "Aku jadi ingin tahu apa yang menjadi ganjalan pikiranmu. Tapi sebelumnya aku minta maaf kalau nanti tidak bisa memberi keterangan..."

"Aku sudah terbiasa tidak memperoleh jawaban. Jadi tidak usah minta maaf. Kau bersedia mendengar pertanyaanku saja, aku sudah berterima kasih..." kata laki-laki bercaping lebar dengan suara pelan.

Sebelum Cucu Dewa buka mulut lagi, laki-laki ini telah lanjutkan ucapannya. "Untuk mengenangmu, boleh aku tahu siapa kau adanya?"

Cucu Dewa gelengkan kepala, "Bukan aku membalas karena kau tadi tak sebutkan diri, Tapi bukankah lebih baik kita tidak saling tahu nama, asal sama saling mengerti?"

Laki-laki bercaping tertawa agak keras. Lain angguk-anggukkan kepalanya. Sesaat kemudian dia berkata. “Menurut cerita yang kudengar dari orang tuaku, sebenarnya keluargaku masih ada keturunan Raja-raja Singasari. Malah orang tuaku pernah sebutkan sebuah nama yang sampai sekarang tetap kuingat...”

Laki-laki bercaping hentikan ucapannya, Dia seolah sengaja memberi kesempatan pada Cucu Dewa untuk bicara. Namun Cucu Dewa tidak angkat bicara. Laki-laki ini justru sedikit pentangkan sepasang matanya yang sipit perhatikan laki-laki yang duduk di hadapannya. Laki-laki bercaping arahkan kepalanya sedikit ke samping, hingga meski raut wajahnya tidak jelas kelihatan, tapi Cucu Dewa masih bisa melihat bagian bawah paras orang.

"Aneh... Keadaan tubuhnya seperti orang tua betulan. Tapi kulit wajahnya tidak mengeriput. Giginya utuh... Rahangnya kokoh... Tapi apa peduliku? Urusan yang hendak ditanyakan rupanya bukan masalah nyawa orang seperti sepasang anak muda sableng itu... Hem... Dia katakan dirinya masih keturunan Raja-raja Singasari. Apa dia tahu kalau..." Cucu Dewa putuskan membatin saat laki-laki bercaping kembali angkat bicara.

"Orang tuaku pernah sebut-sebut nama Ken Rakasiwi!"

Cucu Dewa tak bisa lagi sembunyikan rasa kejutnya. Sepasang matanya membelalak. Laki-laki bercaping tertawa perlahan lalu teruskan bicara.

"Aku baru kali ini melihat orang yang kutanya sempat terkejut. Berarti apa yang selama ini menjadi ganjalan pikiranku akan terjawab..."

"Orang ini tidak memandang ke arahku. Bagaimana dia tahu kalau aku merasa terkejut?" kata Cucu Dewa dalam hati. Namun karena menduga urusan yang ditanyakan orang tidak ada hubungannya dengan nyawa orang, meski sedikit merasa tidak enak, laki-laki bertubuh pendek ini tidak berprasangka lebih jauh. Malah dia segera buka mulut.

"Lalu apa yang hendak kau tanyakan?"

"Aku bukannya ingin tunjukkan bahwa diriku masih ada hubungan darah dengan raja, tapi setidak-tidaknya aku ingin tahu bagaimana silsilah keluargaku. Karena selama ini orang tuaku tidak pernah memberi jawaban! Lebih dari itu, aku ingin menjalin hubungan dengan sanak familiku jika itu masih ada dan mereka mengakui. Tapi sekali lagi, jangan berprasangka. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari pihak keluargaku jika masih ada. Semata-mata hanya ingin menyambung darah yang terputus..."

Setelah merenung agak lama, akhirnya Cucu Dewa berkata. "Sebenarnya tidak banyak yang kuketahui tentang nama yang kau sebut..."

"Ah... Tidak banyak pun tak apa. Setidaknya aku sedikit mendapat keterangan. Karena orang yang kutanya selama ini, jangankan tahu sedikit. Dengar namanya pun baru saat aku ajukan tanya!"

"Menurut cerita yang kudengar..." Cucu Dewa mulai memberi keterangan. "Pada masa kekacauan keturunan Raja-raja Singasari, salah seorang keturunan raja memang memegang kekuasaan. Sri Baginda ini lalu mempersunting seorang gadis berparas cantik bernama Ken Rakasiwi. Tidak banyak orang yang tahu asal-usul Ken Rakasiwi. Kalangan keluarga Sri Baginda dan orang-orang baru mengenalnya setelah Ken Rakasiwi dipersunting dan pada akhirnya menjadi permaisuri. Ken Rakasiwi mempunyai beberapa orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Namun pada akhirnya diketahui kalau anak laki-laki itu diperoleh dari benih seorang abdi Sri Baginda. Ken Rakasiwi akhirnya diusir dari Istana. Dia pergi membawa serta anak laki-lakinya."

Sejenak Cucu Dewa hentikan keterangannya. Lalu setelah agak lama dia melanjutkan. "Setelah itu tidak diketahui lagi bagaimana kabar beritanya. Hanya kemudian terjadi huru-hara di istana yang ternyata didalangi oleh anak laki-laki Ken Rakasiwi. Huru-hara itu bukan untuk merebut kekuasaan, sebaliknya ternyata hanya untuk mengambil benda pusaka kerajaan. Huru-hara itu akhirnya dapat dipadamkan dan benda pusaka bisa diselamatkan. Setelah itu kabar berita tentang anak laki-laki Ken Rakasiwi tidak terdengar lagi..."

Lagi-lagi Cucu Dewa hentikan penuturan ceritanya. Malah laki-laki bertubuh cebol ini ikut-ikutan duduk dengan sepasang mata memandang lekat-lekat ke arah laki-laki bercaping. Melihat tingkah Cucu Dewa, laki-laki bercaping segera palingkan kepalanya. Mungkin tidak mau singgung perasaan orang, Cucu Dewa akhirnya juga alihkan pandangan pada jurusan lain seraya teruskan keterangannya.

"Namun barang pusaka kerajaan nyatanya masih menjadi incaran orang. Terbukti beberapa tahun kemudian, kembali terjadi huru-hara besar. Anehnya kali ini dilakukan oleh seorang gadis berwajah cantik yang kemudian dikenal dengan nama Maharani. Entah karena tingginya ilmu si gadis atau kurang ketatnya penjagaan. Maharani berhasil menerobos masuk bangunan tempat penyimpanan benda pusaka. Pada esok harinya terjadilah kegemparan. Benda pusaka kerajaan hilang lenyap! Demikian pula Maharani... Hanya itu yang kuketahui, Orang Tua..."

"Lalu bagaimana dengan keturunan Ken Rakasiwi dari beberapa anak perempuannya?" tanya laki-laki bercaping.

"Karena suasana saat itu kacau balau, apalagi setelah lenyapnya benda pusaka kerajaan, tidak ada orang yang tahu persis bagaimana akhirnya keturunan Ken Rakasiwi dari beberapa anak perempuannya. Hanya entah benar apa tidak, sekarang ini ada seorang yang masih anak keturunan Ken Rakasiwi dari salah seorang anak perempuannya..."

"Ah... Kalau begitu aku masih bisa sambung hubungan darah yang putus ini. Siapa orang itu?" tanya laki-laki bercaping.

"Tak tahu jelas siapa nama sebenarnya. Hanya dia dikenal dengan Dewa Orok!"

"Tempat tinggalnya?" tanya laki-laki bercaping masih tanpa memandang.

Cucu Dewa gelengkan kepala. "Tidak ada orang yang tahu di mana dia bertempat tinggal..."

Laki-laki bercaping anggukkan kepala. "Tak apa. Aku sudah berterima kasih banyak atas keteranganmu. Kalau sudah tahu namanya, mungkin tidak sulit untuk mencari. Hem... Satu lagi pertanyaanku..."

Sambil berkata, laki-laki bercaping arahkan kepalanya pada Cucu Dewa hingga untuk sesaat keduanya saling berpandangan. Kini agak jelas Cucu Dewa dapat melihat paras wajah orang meski hanya sebatas bagian bawah matanya.

"Benda pusaka apa yang lenyap bersama Maharani?"

"Dua buah kitab..."

Kening di balik caping si laki-laki bergerak mengernyit. Kejap lain mulutnya kembali membuka ajukan pertanyaan. "Kalau pusaka kerajaan, pasti berupa kitab sakti. Apa kau pernah dengar siapa pencipta dua kitab itu?"

"Entah betul apa tidak, dua kitab itu hasil karya seorang tokoh besar yang bernama Resi Kamahayanan!"

"Hem... Apa kau juga pernah dengar cerita tentang sebuah kitab yang juga diciptakan masa Ken Rakasiwi itu?"

"Aku tidak pernah mendengarnya..." jawab Cucu Dewa dengan tengadahkan sedikit kepalanya. Diam-diam dalam hati laki-laki bertubuh pendek Ini berkata. "Jangan-jangan pertanyaannya akan terus ngelantur dan menjurus pada orang di Bukit Selamangleng itu..."

Rupanya dugaan Cucu Dewa tidak jadi kenyataan. Karena bersamaan dengan itu, laki-laki bercaping bergerak bangkit.

"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas semua keteranganmu. Sayang untuk saat ini aku tidak membawa apa-apa. Lain kali pasti aku akan datang..."

Cucu Dewa ikut bangkit. Dia gelengkan kepala seraya tertawa dan berkata. "Seandainya kau datang lagi membawa segunung emas, maaf kalau aku tidak akan menerimanya. Yang kuminta, kau mau lakukan tidak lebih dari apa yang kau katakan!”

Laki-laki bercaping berpaling. "Maksudmu...?"

"Kau minta keterangan untuk menyambung darah yang terputus. Hal itulah yang membuatku mau bercerita padamu. Tapi jika nantinya kau bertindak di luar itu, aku..." Cucu Dewa tidak lanjutkan ucapannya. Hanya kepalanya yang bergerak menggeleng beberapa kali.

"Kau tidak usah meragukan kata-kataku..." kata laki-laki bercaping sambil sunggingkan senyum aneh.

"Kuharap hal itulah kenyataannya nanti...!” ujar Cucu Dewa.

Ucapan Cucu Dewa membuat langkah laki-laki bercaping yang hendak bergerak melangkah tertahan. Dia menyahut namun tanpa palingkan kepala.

"Nada ucapanmu sepertinya meragukan kata-kataku!"

Cucu Dewa tertawa pendek. "Aku selalu berprasangka baik pada setiap orang. Kalau tidak, mana mungkin aku memberi keterangan padamu?"

"Ah... Aku lupa. Apakah anak laki-laki Ken Rakasiwi tidak punya keturunan?"

Tidak terdengar suara jawaban. Laki-laki bercaping menunggu karena menduga orang yang ditanya masih mengingat. Namun begitu agak lama masih juga tidak terdengar suara jawaban, laki-laki bercaping berpaling. Laki-laki bercaping terkesiap. Laki-laki bertubuh pendek sudah tidak terlihat lagi dibelakangnya!

"Hem... Ternyata dia bukan orang sembarangan. Tapi kalau keterangannya lain dengan kenyataan, aku tidak peduli siapa dia adanya!" gumam laki-laki bercaping lalu melangkah.

Kira-kira lima belas langkah, laki-laki Ini berhenti. Kepalanya berputar pelan. Kejap lain dia gerakkan sepasang kakinya. Sosoknya melesat cepat laksana dikejar setan. Pada satu tempat sepi agak jauh dari kuil, laki-laki bercaping hentikan larinya. Setelah putar kepala, tangan kanannya bergerak ke atas. Caping lebar yang melindungi kepala dan sebagian atas wajahnya diangkat. Kini tampak jelaslah wajah laki-laki ini. Ternyata dia adalah seorang pemuda berwajah tampan bermata tajam. Rahangnya kokoh. Pemuda ini ternyata tidak lain adalah Gumara alias Malaikat Penggali Kubur.

Seperti diketahui, di dalam liang lahat, Malaikat Penggali Kubur menemukan tulisan yang mengharuskan dirinya mencari anak turunan Ken Rakasiwi untuk dimusnahkan. Menurut tulisan ini dia harus mencari seseorang di kuil pantai timur. Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur campakkan caping lebarnya. Namun baru saja caping lebar itu hancur menghantam tanah, kepala pemuda ini berpaling ke arah samping laksana disentak setan. Bahkan bersamaan dengan itu sosoknya berkelebat.

Rupanya pemuda murid Bayu Bajra yang telah membekal Kitab Hitam ini maklum kalau ada orang mengawasi gerak-geriknya. Namun gerakan Malaikat Penggali Kubur terlambat Dia hanya sekilas melihat satu sosok bayangan berkelebat keluar dari balik pohon lalu lenyap di depan sana. Meski hanya sempat melihat bayangan orang, namun Malaikat Penggali Kubur masih dapat mengenali.

'Hem... Manusia cebol itu berani menguntit langkahku! Tunggulah! Tanpa kau ikuti aku akan datang menjemputmu jika keteranganmu dusta!”

Malaikat Penggali Kubur awasi sejenak ke mana lenyapnya bayangan yang tak berhasil dikejar namun bisa dikenali tadi. Kejap lain pemuda ini tersenyum aneh lalu berkelebat teruskan larinya.

********************

BAB 8

PENDEKAR 131 tegak di bibir jurang dengan mata mengawasi berkeliling. Sepasang matanya mendadak menyipit. "Aku melihat bekas-bekas pukulan. Tanda di tempat ini telah terjadi sesuatu... Tanahnya Berantakan. Bibir jurang di seberang hancur berantakan. Lamping jurang terabas rata... Siapa yang baru saja bentrok di tempat ini?" Murid Pendeta Sinting terdiam untuk beberapa lama sementara sepasang matanya terus memeriksa lebih seksama.

"Melihat bekas-bekasnya, jelas siapa pun adanya orang yang baru bentrok, mereka memiliki kepandaian tinggi...!” gumam sang Pendekar. Mendadak parasnya berubah. "Jangan-jangan aku didahului orang dan kitab itu... Aku harus segera turun ke bawah jurang! Melihat hal ini rasanya ucapan manusia iblis itu tidak berdusta! Tapi... Dia tahu di mana kitab itu berada. Tempatnya tidak jauh lagi. Mengapa ia tidak mengambil kitab itu? Atau jangan-jangan dia telah mengambilnya?! Ah... Mengapa aku tidak memeriksanya tadi? Kembali ke sana jelas tidak mungkin! Tapi... Mana bisa semua itu terjawab kalau aku belum buktikan sendiri...?!!”

Murid Pendeta Sinting longokkan kepala ke bawah jurang. "Hem... Tidak terlalu dalam...!”

Tanpa berpikir panjang lagi, Joko segera kerahkan tenaga dalamnya. Saat lain sosoknya melesat masuk ke dalam Jurang. Setelah membuat gerakan berputar empat kali di lamping jurang, murid Pendeta Sinting mendarat di bagian bawah jurang.

"Hem... Di sini juga seperti telah terjadi bentrok... Hanya saja mungkin dilakukan satu orang... Ah. Jadi betul-betul telah ada orang mendahuluiku! Jangan-jangan manusia Iblis itu... Tapi aku harus menyelidik dahulu..."

Pendekar 131 melangkah berputar. Tiba-tiba dia hentikan langkahnya tatkala sepasang matanya melihat tulisan di bagian samping batu. Tulisan yang ditulis dengan darah itu dibacanya beberapa kali. Lalu tanpa pikir panjang lagi dia melangkah ke arah kanan dengan menghitung. Saat hitungan langkahnya sampai dua belas, murid Pendeta Sinting hentikan langkah.

"Sepertinya sebuah makam. Anehnya tampak seperti makam baru!"

Untuk beberapa lama Joko perhatikan gundukan tanah mirip sebuah makam itu. "Siapa orang yang menulis di samping batu itu? Mana orangnya? Karya... Apakah yang dimaksud dengan karya adalah kitab itu? Jelas. Orang yang mendahului datang di sini telah lakukan apa yang tertulis pada samping batu itu. Tapi siapa? Iblis Rangkap Jiwa? Orang lain...? Bagaimana sekarang...? Apa aku harus melihat siapa adanya orang yang seperti baru dikubur ini?"

Beberapa lama murid Pendeta Sinting tegak disamping makam dengan dada dibuncah berbagai pertanyaan. Sesaat kemudian dia jongkok perhatikan makam lebih seksama. Kedua tangannya bergerak. Namun kejap lain ditarik pulang lagi. Kebimbangan jelas terbayang di wajah dan sikapnya.

"Jangan-jangan ini perbuatan orang yang hendak menjerumuskan! Ah... Urusan ini ternyata tidak lebih mudah dari urusan Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra beberapa waktu yang lalu..."

Ketika terus merenung begitu, tiba-tiba telinganya menangkap ada suara desiran dari jurang. Cepat Joko bergerak bangkit. Belum sampai bergerak lebih jauh, mendadak satu sosok tubuh telah tegak lima langkah dari tempatnya berada.

"Anak sableng sialan!" maki Joko dalam hati begitu mengenali siapa adanya orang. Dia lantas berpaling kembali arahkan pandangannya ke makam, Orang yang baru datang dan bukan lain Putri Sableng tertawa tertahan lalu melangkah satu tindak dan berkata.

"Rupanya kau cerdik juga... Dengan caramu, akhirnya apa yang kau cari bisa kau temukan!"

"Bukan hanya itu. Kau juga dapat melihat pemandangan asyiiikk!" sahut Joko seenaknya namun jelas nada ucapannya bercampur jengkel.

Putri Sableng sahuti ucapan Joko dengan tertawa cekikikan. Tapi laksana direnggut setan mendadak suara tawa cekikikan si gadis terputus membuat Joko berpaling. Raut wajah murid Pendeta Sinting berubah. Di hadapannya terlihat Putri Sableng kancingkan mulut. Sepasang matanya mendelik angker. Dan tangan kanannya menjulur. Saat bersamaan tiba-tiba mulutnya terbuka.

"Mana kitab itu! Serahkan padaku!"

Karena beberapa kali sudah dibuat jengkel dengan tingkah gadis berjubah merah ini, mendengar dan melihat sikapnya kontan rahang Joko menggembung. Paras wajahnya membesi dengan sepasang mata balik mendelik.

"Jangan bicara sembarangan! Aku sudah lama menahan sabar!"

Putri Sableng rupanya tidak ambil peduli dengan nada bicara murid Pendeta Sinting yang mengancam. Sebaliknya dia tetap bersikap seperti semula dan berkata. "Kitab itu! Mana?!"

Mungkin sudah tidak dapat menindih hawa amarahnya, Joko angkat tangan kirinya. Di hadapannya Putri Sableng tidak membuat gerakan apa-apa. Hanya sepasang matanya yang menusuk tajam pada bola mata murid Pendeta Sinting. Pendekar 131 menghela napas dalam lalu perlahan-lahan turunkan tangan kirinya.

"Mengapa tidak jadi kau lakukan?!" tanya Putri Sableng seraya tersenyum mengejek.

Meski dadanya makin bergemuruh, namun Joko akhirnya hanya bisa menghela napas lalu melangkah dengan melewati sisi si gadis. Putri Sableng sejurus lamanya memandang namun begitu murid Pendeta Sinting sudah berada di belakangnya, gadis ini berkata.

"Kau dengar ucapanku! Serahkan kitab itu atau...?"

Ucapan Putri Sableng terputus tatkala dibelakangnya terdengar suara berdebam keras. Saat Putri Sableng berbalik, terlihat hamburan tanah Ke udara. Rupanya saking jengkelnya, kemarahan Joko dilampiaskan dengan hentakkan kaki kanannya ke atas tanah hingga tanahnya muncrat ke udara. Muncratan tanah belum sirna, Joko telah balikkan tubuh lalu berkata membentak.

"Aku tidak menemukan kitab itu! Kalaupun kutemukan jangan harap kau akan memilikinya!"

"Laki-laki yang marah di hadapan perempuan biasanya menyembunyikan sesuatu atau setidaknya menutupi sesuatu yang sesungguhnya terjadi. Hik Hik Hik...!"

"Kau benar-benar gadis menyebalkan! Lihat tulisan itu!" kata Joko sembari menunjuk ke arah batu yang bertulisan darah.

Putri Sableng arahkan kepala mengikuti arah yang ditunjuk tangan murid Pendeta Sinting. Karena gadis berjubah merah ini berada di dekat makam, dia tidak bisa melihat tulisan yang ada di bagian samping batu. "Tulisan? Tulisan apa?! Aku tidak melihat tulisan!"

"Kau memang tidak akan melihat tulisan kalau nongkrong di situ! Lihat dari sebelah sana!" kata Joko sambil menunjuk tempat di mana tadi dia bisa melihat tulisan di bagian samping batu.

Mungkin karena penasaran apalagi dilihatnya ucapan murid Pendeta Sinting tidak main-main, Putri Sableng segera berkelebat. Begitu tegak di depan batu, sepasang mata gadis ini mendelik. Seakan masih tidak percaya dengan pandangan matanya, dia melangkah makin mendekat. Mulutnya terlihat berkemik membaca. Saat lain sepasang matanya memandang pada murid Pendeta Sinting. Yang dipandang berpaling lalu berkata. Suaranya masih menunjukkan rasa geram.

"Kau masih meminta kitab dariku?!"

Putri Sableng tidak menjawab, Sebaliknya gadis ini segera melangkah seraya menghitung tindakannya. Ketika mulutnya berhenti menghitung, sosoknya tepat berada di sebelah gundukan tanah makam. "Ada yang tidak beres! Kita telah kedahuluan orang!" ujar Putri Sableng setelah agak lama terdiam.

"Bukan kita, tapi aku!" sahut Joko dengan suara dingin.

"Terserah padamu. Yang jelas bukan hanya kau saja yang menginginkan kitab itu dan ternyata telah kedahuluan orang!"

"Ini gara-gara kau!"

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting kini ganti Putri Sableng yang dadanya bergemuruh. Sepasang matanya terpentang. Saat lain dia membentak. "Jangan sembarangan menuduh orang!"

"Aku tidak menuduh. Tapi siapa tahu kau telah mengatakan urusan kitab ini pada orang lain?!" seraya berkata begitu, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh.

Putri Sableng pandangi sekujur tubuh murid Pendeta Sinting dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bibirnya tersenyum dingin lalu berkata. “Meski aku gadis sableng, aku tahu mana urusan penting mana urusan sepele! Atau jangan-jangan kau yang kelepasan omong bicara sama seorang gadis cantik bertubuh bagus misalnya?!"

Ucapan Putri Sableng membuat murid Pendeta Sinting sejurus terdiam. Malah dia terlihat tengadahkan kepala dengan kening berkerut. "Hem... Aku memang pernah jumpa dengan gadis bertubuh bagus berwajah cantik, Ratu Pemikat! Tapi aku rasanya tidak mengatakan urusan kitab ini padanya. Malah kalau tidak salah aku telah berbuat kurang ajar padanya! Tak mungkin dia yang mendahului datang ke tempat ini. Lalu siapa?!"

Selagi murid Pendeta Sinting mengingat begitu, Putri Sableng berujar. Namun kali ini suaranya agak merendah. "Melihat tulisan itu serta menghubungkannya dengan adanya makam ini, jelas kitab itu sudah di tangan orang! Apa yang sekarang kita lakukan?!"

"Sejak semula aku tidak mengajakmu ikut serta dalam urusan ini! Terserah apa yang akan kau lakukan! Aku akan lakukan apa yang ku mau! Tapi ingat. Aku tidak mau lagi melihat tampangmu!”

Putri Sableng bukannya tambah marah mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, gadis berjubah merah ini justru tertawa cekikikan lalu berujar. "Tampangku memang jelek, tapi aku juga tidak sudi selalu kau ikuti!"

"Setan! Siapa yang mengikutimu?!"

Kembali Putri Sableng tertawa cekikikan dahulu sebelum perdengarkan jawaban. "Jangan kau kira aku tidak tahu, kau selalu ada di bokongku! Bukankah kau berada di belakangku dan sempat mengejarku saat di kuil dekat pantai itu? Lalu... kau ikuti aku ke puncak ini! Hik Hik Hik...! Harap kau tidak merasa malu mengakuinya!”

Habis berkata begitu, tanpa menunggu sahutan dari mulut murid Pendeta Sinting, Putri Sableng berkelebat dan tahu-tahu sosoknya telah berada tepat di lamping jurang. Putri Sableng tengadahkan kepala. Tubuhnya bergerak hendak berkelebat naik, namun mendadak gadis ini tahan gerakannya. Kepalanya cepat berpaling. Mulutnya membuka perdengarkan bentakan.

"Dasar, Pemuda Setan! Sudah kukatakan, aku tak sudi kau ikuti!"

Murid Pendeta Sinting yang kini telah tegak tiga langkah di belakangnya terkejut. Belum hilang rasa kejutnya, si gadis telah membentak lagi.

"Awas kalau kau ikuti aku!"

"Aku juga akan ke sana!" kata Joko seraya menunjuk ke atas.

"Aku tak mau tahu kau hendak ke mana! Yang jelas, aku muak melihat kau berada di belakangku! Kau dengar?!"

"Gadis ini benar-benar memusingkan kepala! Sebenarnya aku senang mendapat teman cantik seperti dia. Tapi kalau dia juga menginginkan kitab itu apa artinya? Padahal aku harus memusnahkan kitab itu! Bagaimana baiknya...? Apa dia kuajak menyelidik kitab itu sambil kujelaskan duduk masalahnya. Siapa tahu dia mau mengerti malah bisa membantuku...?"

Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting berkata. "Apa kau tahu kitab apa sebenarnya yang sedang kau cari itu?!"

"Jawabannya kau sudah tahu! Tak perlu bertanya!" jawab Putri Sableng ketus.

"Yang ku maksud, sebenarnya kitab itu adalah sebuah kitab sakti yang sangat berbahaya kalau sampai jatuh pada orang yang tidak bertanggung jawab. Rimba persilatan akan mengalami bencana! Jadi tujuanku mencari kitab itu tidak untuk memilikinya namun untuk memusnahkannya!"

"Persetan kau hendak memilikinya atau memusnahkannya. Aku punya maksud lain dengan kitab Itu!" Jawaban Putri Sableng masih terdengar ketus.

"Maksudmu...?" tanya Joko pula.

"Jangan harap kau akan dengar Jawaban pertanyaanmu itu!"

Joko menghela napas panjang. Murid Pendeta Sinting ini coba menahan kemarahan yang kembali mendera dadanya mendengar Jawaban Putri Sableng. Di hadapannya, melihat sikap murid Pendeta Sinting, Putri Sableng menahan tawa.

"Pendekar 131! Kau pikirkan sesuatu?!"

Murid Pendeta Sinting tersentak kaget. Bukan karena pertanyaan Putri Sableng sebaliknya karena mendapati si gadis tahu siapa dirinya! "Bagaimana dia tahu? Apakah dari bentrokan dengan Iblis Rangkap Jiwa?"

Mendapati keterkejutan pada Joko, Putri Sableng perkeras tawanya. Lalu berkata dengan senyum-senyum. "Aku lebih tahu luar dalam dirimu daripada kau sendiri! Kau murid tunggal seorang kakek gendeng bergelar Pendeta Sinting. Sebelum ini kau terlibat urusan dengan gadis-gadis cantik di antaranya Dewi Seribu Bunga, Sitoresmi, Puspa Ratri, Saraswati Juga tokoh-tokoh edan seperti Iblis Ompong dan saudara-saudaranya! Kau juga pernah bercumbu dengan gadis bahenol bergelar Ratu Pemikat. Hik Hik Hik...! Kalau kau pernah mengintipku mandi, aku pernah melihat bagaimana kau ditelanjangi gadis bertubuh bahenol Ratu Pemikat itu. Hik Hik Hik...!"

Saking kagetnya, sepasang kaki murid Pendeta Sinting tersurut dua tindak! Mulutnya menganga dengan sepasang mata terpentang besar-besar! Ketika sadar dari rasa kejutnya, Putri Sableng sudah tidak tampak lagi di hadapannya!

"Busyet betul! Betul-betul busyet! Siapa sebenarnya gadis sableng itu? Dia benar-benar mengetahui luar dalam diriku! Aku masih bingung dengan urusan Kitab Hitam, kini ditambah lagi dengan pertanyaan edan mengenai gadis itu!"

Untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting mondar-mandir. "Ah... Peduli setan siapa sebenarnya gadis itu! Aku harus cepat balik ke puncak bukit. Siapa tahu sebenarnya manusia iblis itu yang telah mengambil kitab! Dia tahu beradanya kitab itu dan tidak sulit mendapatkannya!"

******************

BAB 9

Setelah ditinggal sendirian di puncak bukit oleh murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng dalam keadaan tertotok dan tubuh bagian bawah terbuka, Iblis Rangkap Jiwa memaki panjang pendek. Namun setelah sadar bahwa hal itu tidak ada artinya, kakek ini segera pejamkan mata dan mengatur jalan pernapasan.

Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa adalah seorang tokoh berilmu tinggi dan para kalangan persilatan pada zamannya telah mengetahui kalau kakek ini mampu menahan segala pukulan yang menghantam tubuhnya. Namun begitu, ada satu hal yang tidak diketahui oleh si kakek. Dia memiliki kelemahan yang selain jarang diketahui orang, juga mungkin orang tidak akan menduga. Kelemahan kakek ini jika melihat pantat seorang laki-laki dan perempuan secara bersamaan maka segenap kesaktiannya akan lenyap selama setengah hari.

"Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi menimpa diriku! Kesaktianku mendadak lenyap begitu melihat bokong! Padahal saat perempuan muda itu perlihatkan bokongnya pertama kali, aku tidak mengalami apa-apa. Tapi setelah melihat bokong dua orang, kesaktianku sirna. Benar-benar jahanam! Hem... Orang yang menyuruh dan memberi isyarat adalah seorang bertubuh cebol berambut kepang dua... Tak salah! Dia adalah Cucu Dewa! Mengapa si cebol itu bersekongkol dengan dua manusia itu? Bukankah selama ini si cebol itu berada di pihak golongan hitam...? Apakah ini muslihatnya karena berambisi memiliki Kitab Hitam itu? Dia sungkan padaku lalu mencari kelemahanku dan bersekongkol dengan orang! Hem... Dia telah membuat langkah keliru terhadap Iblis Rangkap Jiwa!"

Raut wajah angker Iblis Rangkap Jiwa tercenung. Namun begitu masih tersirat seberkas perasaan lega pada wajahnya. "Meski samar-samar, aku tadi masih sempat mendengar si cebol itu berkata kalau kesaktianku ini hanya lenyap selama setengah hari! Berarti kesaktianku masih bisa pulih kembali! Kalau hanya lenyap setengah hari, mungkin akan lebih cepat dari waktu itu kalau aku kerahkan tenaga..."

Berpikir begitu, perlahan-lahan Iblis Rangkap Jiwa kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Sebenarnya kesaktian Iblis Rangkap Jiwa tidak lenyap musnah. Kakek ini hanya tidak dapat pergunakan kesaktiannya selama setengah hari. Namun jika dia kerahkan tenaga dalamnya, sedikit banyak kesaktiannya akan muncul meski masih sangat jauh jika dibanding dengan keadaan biasanya.

Karena Iblis Rangkap Jiwa memiliki tingkat kepandaian tinggi, setelah agak tama pusatkan tenaga, perlahan-lahan kedua tangannya terlihat bergerak-gerak. Lalu kakinya melejang membujur. Jelas kalau kakek ini perlahan-lahan telah mampu buyarkan totokan yang disarangkan murid Pendeta Sinting.

"Hem... Aku berhasil..," gumam Iblis Rangkap Jiwa seraya buka kelopak matanya.

Lalu kembali pusatkan pikiran dan tenaga. Sesaat kemudian kakek ini telah dapat gerakkan sekujur anggota tubuhnya meski masih sangat lemah. Namun lama kelamaan, Iblis Rangkap Jiwa mulai dapat kuasai diri. Dan begitu merasa kuat, kakek ini bergerak bangkit. Dia coba mencari serpihan kainnya yang sempat tersabet tangan murid Pendeta Sinting hingga aurat bawahnya terbuka. Namun kakek ini memaki saat melihat kain serpihannya tidak mungkin lagi dapat digunakan untuk menutup auratnya.

"Anak manusia itu telah mempermalukan aku! Nyawanya akan kukejar meski ke ujung langit dan masuk ke Liang bumi!"

Iblis Rangkap Jiwa perlahan-lahan melangkah ke arah utara. Sepasang matanya memandang jauh ke bawah. "Hem... Mereka hanya akan menemukan angin! Tapi aku harus segera sembunyi! Mereka pasti akan segera kembali ke sini! Saat ini tidak mungkin bagiku melawan mereka! Selain kesaktianku belum kembali, mereka telah mengetahui bagaimana cara mengalahkanku! Setan betul! Tapi... Aku tetap akan membalas semua ini! Aku tahu bagaimana caranya! Aku punya seribu satu cara!"

Iblis Rangkap Jiwa balikkan tubuh. Namun tiba-tiba dia urungkan gerakan langkahnya. "Ke mana aku sekarang sembunyi? Lari dari bukit ini dan mencari tempat lain? Kalau sewaktu-waktu manusia bergelar Malaikat Penggali Kubur balik kemari bagaimana? Padahal aku harus merebut Kitab Hitam itu dari tangannya. Mencari sendiri di luaran sana tentu sangat sulit! Apalagi dia seorang pemuda! Hem... Kalau dia berkata hendak balik ke sini, mengapa aku harus mencari tempat lain? Sampai kapan pun aku akan menunggunya! Hanya untuk sementara ini aku akan menyingkir dahulu..."

Iblis Rangkap Jiwa gerakkan langkah kakinya. Tak berapa lama kemudian sosoknya terlihat menuruni bukit dan lenyap di kerapatan semak dan pohon.

********************

Begitu tubuhnya melewati bibir jurang, Putri Sableng tegak sebentar sambil tengadahkan kepala ke arah puncak bukit. "Iblis Rangkap Jiwa...!" desis si gadis. "Keteranganmu tentang di mana beradanya kitab itu betul. Manusia sepertimu tidak mungkin sia-siakan kesempatan! Jadi pasti kaulah yang telah mengambil kitab itu! Hem... Aku harus segera kembali ke puncak bukit. Menurut Cucu Dewa, orang itu akan kehilangan kesaktian selama setengah hari. Lagi pula dia masih tertotok. Pasti dia masih tergeletak tak bergerak di sana!"

Putri Sableng hendak berkelebat. Tapi mendadak gerakannya tertahan. Bahu gadis cantik ini berguncang menahan tawa. Namun tak urung suara cekikikannya masih terdengar. "Bagaimana aku harus memeriksanya? Barangnya tidak tertutup! Bagaimana kalau tanganku nanti salah ambil?" Suara cekikikannya makin keras.

"Ah... Peduli! Terpaksa aku tidak akan pejamkan mata daripada salah ambil dan menyentuh barang tidak karuan!"

Masih dengan perdengarkan tawa cekikikan, Putri Sableng berkelebat mendaki Bukit Selamangleng. Dalam waktu tidak lama, sosok Putri Sableng telah hampir mencapai puncak bukit. Sebelum tubuhnya benar-benar berada di puncak bukit, gadis ini putuskan cekikikannya lalu berseru keras.

“Iblis Rangkap Jiwa! Kali ini jangan kau kira dapat berkata dusta padaku lagi! Serahkan kitab itu padaku! Aku tahu, kau telah mengambil kitab itu! Jika tidak kau akan..."

Seruan Putri Sableng terputus. Sosoknya yang kini telah berada di puncak bukit tegak dengan sedikit bergetar. Mulutnya kontan terkancing. Setelah kuasai rasa terkejutnya, gadis berjubah merah ini silangkan sepasang matanya berkeliling.

“Ke mana minggatnya manusia itu? Bukankah waktunya belum sampai setengah hari? Apakah dia berhasil pulihkan kesaktiannya dan membuyarkan totokan Pemuda Setan itu? Hem... Keterangan Cucu Dewa tidak mungkin bohong. Kalaupun dia berhasil lepaskan totokan, kesaktiannya tentu belum bisa pulih benar. Hem... Dia pasti masih ada di sekitar sini!"

Tanpa menunggu lama, Putri Sableng berkelebat mengitari puncak bukit. Namun meski telah berputar dua kali dengan mata liar nyalang, sosok Iblis Rangkap Jiwa tidak ditemukan!

"Tidak kuduga kalau secepat itu dia bisa bebaskan diri… Tapi aku masih tidak percaya kalau dia mampu kembalikan kesaktiannya. Karena dia tidak menunggu di sini... Tentu dia belum jauh..."

Putri Sableng memandang sekali lagi dengan putar kepalanya berkeliling. Kejap lain sosoknya berkelebat menuruni bukit. Namun mendadak satu suara teguran menahan gerakannya.

"Mengapa kau lepaskan manusia itu?!"

Meski tanpa berpaling ke arah datangnya suara teguran, Putri Sableng sudah bisa menebak siapa adanya orang. Namun tak urung gadis ini putar kepalanya. Sejarak sepuluh langkah tegak Pendekar 131 dengan arahkan pandangannya pada jurusan lain.

"Ternyata kau masih mengikutiku!"

Murid Pendeta Sinting tidak berpaling. Mulutnya menyeringai. "Tanpa imbalan pantas, tak mungkin kau bebaskan manusia itu! Sekarang berikan imbalan itu padaku!"

"Kau bisa memintanya di liang akhirat!"

"Hem... Kau benar-benar ingin dikasari!" sentak murid Pendeta Sinting. "Atau sebenarnya kau berkomplot dengan manusia itu?!"

"Yang kutahu, manusia iblis hanya bersekongkol dengan yang namanya iblis! Apa kau kira aku ini Iblis, hah?!" Putri Sableng balas membentak.

"Keadaan tubuhmu memang cantik malah aku pernah melihatmu tidak mengenakan pakaian dan memang mirip manusia biasa. Tapi kadangkala manusia biasa berhati melebihi Iblis!"

Tampang Putri Sableng langsung berubah. "Ternyata bukan matamu saja yang bertindak tidak pada tempatnya! Mulutmu pun bisa bicara ngelantur tak karuan!"

"Hem... Sekarang tak usah banyak mulut. Kau mau serahkan kitab itu atau tidak?!" tanya Joko lalu memandang tajam.

"Buka telingamu lebar-lebar! Aku sampai di tempat ini sudah tidak menemukan manusia itu! Ini menunjukkan totokanmu tidak ada apa-apanya! Padahal kau telah digelari orang sebagai Pendekar! Belum lagi katanya kau sudah berhasil membekal Kitab Serat Biru dan kitab bersampul kuning! Jangan-jangan kau yang bersekongkol dengan manusia iblis itu! Kau hanya berpura-pura menotoknya lalu membuat perjanjian!"

"Gila! Gadis ini benar-benar mengetahui diriku..," kata Joko dalam hati. Belum sampai murid Pendeta Sinting ucapkan sepatah kata. Putri Sableng telah nyerocos lagi.

"Kau bertanggung jawab atas kejadian ini Jika sampai terjadi apa-apa di luaran sana!"

"Bagaimana bisa begitu? Kalaupun memang terjadi apa-apa, kita berdua yang bertanggung jawab!" sahut Pendekar 131.

"Hem... Kau mau libatkan orang lain yang tidak tahu apa-apa?!"

"Kau tahu segalanya! Termasuk tahu luar dalam diriku!"

"Kau Juga tahu diriku...!" Putri Sableng tak mau kalah.

Pendekar 131 gelengkan kepalanya. "Tidak. Aku memang tahu dirimu serta namamu. Tapi aku tidak tahu siapa kau sebenarnya! Kalau boleh tahu, siapa kau sebenarnya...?!" Pada nada ucapannya yang terakhir, Joko terdengar rendahkan suaranya.

"Mengapa hal itu baru kau tanyakan sekarang?"

"Karena sekarang kita harus bersahabat! Kita sama-sama punya tanggung jawab!"

"Hem... Begitu? Tidak ada hal lain?"

"Maksudmu...?!"

"Kau mengajak bersahabat hanya karena kau tertarik padaku?"

Pendekar 131 tertawa. "Kuakui kau memang cantik. Tapi untuk sekarang aku hanya sebatas mengagumi kecantikanmu. Tidak ada rasa tertarik sama sekali!"

"Kebetulan! Meski kau tampan, tapi aku merasa muak melihat tampangmu! Hik Hik Hik...! Kalau Sudah begini persahabatan bisa langgeng! Karena kadangkala persahabatan bisa rusak bila kedua orangnya sudah saling jatuh cinta apalagi cintanya karam di tengah jalan. Sekarang apa rencanamu?"

"Kita terus menyelidik! Aku masih ragu, jangan-jangan jurang yang dikatakan Iblis Rangkap Jiwa menyimpan kitab itu hanya buatannya manusia Iblis itu sendiri untuk mengelabui orang. Sementara dia sendiri tidak tahu di mana beradanya kitab itu! Kita harus menemui seseorang yang kuyakin punya rahasia di mana sebenarnya kitab itu berada!"

"Siapa orangnya?" tanya Putri Sableng.

"Nanti akan kuceritakan sambil jalan..."

"Ah, rupanya kau masih menaruh curiga padaku! Padahal kau telah mengajak bersahabat!" kata Putri Sableng pula.

"Bukan karena itu. Kita harus cepat bertindak. Siapa tahu, kalau memang melarikan diri manusia itu belum jauh dari sini!"

Habis berkata begitu, Joko anggukkan kepala memberi isyarat untuk segera turun bukit. Putri Sableng balas anggukkan kepala lalu mendahului melangkah menuruni bukit. Murid Pendeta Sinting jalan di belakangnya.

"Aku punya permintaan kalau benar-benar kau ajak menyelidiki" kata Putri Sableng seraya terus menurun!

“Katakan permintaanmu..."

"Kulitku termasuk kulit aneh. Kalau terkena sinar matahari akan mengelupas! Jadi aku hanya bisa menyertaimu menyelidik pada malam hari! Dan bisa siang hari tapi hanya waktu-waktu tertentu..."

"Aneh... Apa kau keturunan hantu? Hanya hantu yang keluar malam hari! Lalu kapan selesainya urusan ini kalau kita menyelidik menunggu malam tiba?"

"Kau tak usah ragu! Kau terus menyelidik. Kau hanya perlu memberitahukan di mana malam nanti berjumpa! Aku pasti sudah nongkrong di sana! Paham...?"

"Heran... Bagaimana bisa begin!?"

"Jangankan kau, aku sendiri heran dengan diriku sendiri! Maka dari itu... sambil menyelidik kita cari seorang tabib yang bisa sembuhkan penyakit anehku ini. Kau tidak keberatan bukan?"

"Selain itu, apa kau masih punya penyakit aneh lainnya?"

"Betul!"

Murid Pendeta Sinting hentikan larinya. Sepasang matanya memandang pada sosok bagian belakang orang di hadapannya. "Sayang. Cantik-cantik tapi banyak penyakit anehnya..." desis Joko lalu berkata. "Apa penyakit anehmu yang lain?"

"Aku tak suka mendengar laki-laki bicara dan bertanya terlalu banyak!" Habis berkata begitu, Putri Sableng terus berlari menuruni bukit.

"Dasar orang berpenyakitan aneh! Ucapannya pun aneh-aneh..." kata murid Pendeta Sinting lalu berlari kembali menyusul Putri Sableng yang telah jauh di depan sana.

*******************

BAB 10

SATU bayangan hitam berlari laksana angin. Dalam beberapa saat bayangan itu telah nampak berkelebat mendaki bukit. Padahal sejenak tadi bayangannya masih jauh di sekitar kaki bukit. Dan tidak sampai berapa lama, bayangan ini tahu-tahu sudah tegak di puncak Bukit Selamangleng. Bayangan ini ternyata seorang pemuda berparas tampan dan keras. Rahangnya kokoh dengan sepasang mata tajam. Rambutnya hitam lebat. Dia mengenakan pakaian berwarna hitam-hitam.

Begitu injakkan sepasang kakinya di tanah puncak bukit, kepala pemuda ini laksana disentak setan berputar dengan mata menyelidik. Saat itu dipenghujung malam dan samar-samar lintasan langit telah disemburati warna kekuningan bias sinar matahari yang sebentar lagi akan unjuk diri.

"Jahanam itu ke mana? Padahal belum lama aku tinggalkan puncak bukit ini! Jahanam itu telah ingkari ucapannya tidak lakukan perintahku! Dia mencari mampus berani berdusta pada Malaikat Penggali Kubur!"

Pemuda berpakaian hitam yang ternyata tidak lain adalah Malaikat Penggali Kubur rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Kelopak matanya perlahan memejam. Telinganya bergerak-gerak. Sikapnya jelas kalau pemuda ini tengah pusatkan pikiran. Tiba-tiba mulut Malaikat Penggali Kubur membuka. Bersamaan itu terdengar suara bentakannya.

"Cepat keluar dari tempatmu! Atau kau ingin mampus tanpa dikenali!" Malaikat Penggali Kubur lepaskan rangkapan kedua tangannya. Seraya putar tubuh kedua tangannya bergerak.

"Tahan!" satu suara tiba-tiba terdengar.

Malaikat Penggali Kubur buka matanya. Rahangnya mengembung besar dan terangkat. Dari balik salah satu pohon, muncul satu sosok tubuh dan perlahan-lahan melangkah ke arah Malaikat Penggali Kubur. Dia adalah seorang laki-laki berkepala gundul dengan sepasang mata besar menjorok keluar. Hampir seluruh raut wajahnya tidak tertutup daging. Laki-laki berkepala gundul yang bukan lain adalah Iblis Rangkap Jiwa hentikan langkah tujuh tindak dihadapan Malaikat Penggali Kubur.

"Hem... Pakaian yang dikenakan berganti. Mencuri di mana bangsat ini? Atau dia mengambil pakaian orang yang jadi korbannya?" Malaikat Penggali Kubur membatin seraya memperhatikan sosok Iblis Rangkap Jiwa. Iblis Rangkap Jiwa saat itu mengenakan pakaian berwarna putih bersih.

"Apakah kau telah mendapat korban?!" Malaikat Penggali Kubur ajukan tanya.

Iblis Rangkap Jiwa sejurus memandang pada Malaikat Penggali Kubur. Kepalanya bergerak menggeleng. "Selama sepeninggalmu belum ada manusia yang kesini! Aku mendapat pakaian ini di dusun terdekat..." ujar Iblis Rangkap Jiwa seolah tahu apa yang terpikir dalam benak Malaikat Penggali Kubur.

"Tidak kusangka kalau secepat ini dia kembali! Hem... Ada apa ini?!" Diam-diam Iblis Rangkap Jiwa merasakan satu keanehan. Dia menyangka masih lama waktunya Malaikat Penggali Kubur kembali ke puncak Bukit Selamangleng. Apalagi dia telah membekal kitab sakti..."

Sebenarnya Malaikat Penggali Kubur sendiri semula memutuskan untuk tidak kembali dulu ke puncak Bukit Selamangleng. Namun begitu menuruti pesan yang tertulis di dinding Liang lahat dan bertemu serta mendengar keterangan Cucu Dewa dia berubah pikiran. Dia kini harus mencari orang yang bergelar Dewa Orok. Sebagai orang yang belum lama terjun dalam kancah rimba persilatan, dia baru kali ini mendengar nama Dewa Orok. Padahal seperti keterangan Cucu Dewa, keturunan Ken Rakasiwi yang diketahuinya masih hidup adalah Dewa Orok.

Dan menuruti pesan dari Datuk Kematian yang sempat dibacanya di liang lahat, dia harus memusnahkan semua anak keturunan Ken Rakasiwi, Mau tak mau dia harus mencari Dewa Orok, Setelah berpikir panjang dia teringat pada Iblis Rangkap Jiwa. Dia ingat kalau Iblis Rangkap Jiwa pernah mengatakan kalau usianya tiga kali lipat delapan puluh tahun. Lebih dari itu, Iblis Rangkap Jiwa mengetahui banyak tentang dirinya juga dunia persilatan padahal menurut ucapannya, Iblis Rangkap Jiwa sudah ratusan tahun menunggu.

Menelusuri perangai Iblis Rangkap Jiwa begitu, Malaikat Penggali Kubur menduga mungkin manusia berkepala gundul itu tahu tentang Dewa Orok. Berpikir begitu, Malaikat Penggali Kubur lalu kembali ke puncak Bukit Selamangleng. Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya mengitari puncak bukit. Mendadak dahinya berkerut. Namun sebelum dia buka mulut ajukan tanya, Iblis Rangkap Jiwa telah mendahului buka suara.

"Lawan yang hendak kuhadapi sekarang mungkin ilmunya sudah meningkat. Aku tidak boleh berdiam diri. Aku harus berlatih. Jadi porak-porandanya tempat ini karena pukulanku waktu berlatih..."

Malaikat Penggali Kubur mengangguk. "Sejauh kau tidak bertindak mencelakai diriku, peduli setan apa yang kau lakukan!" katanya dalam hati. Lalu berkata.

"Aku gembira melihat kau masih berusaha berlatih diri. Aku memang butuh manusia sepertimu sebagai pembantu! Dan kedatanganku saat ini tidak lain adalah memberi perintah padamu...!"

"Aku telah berjanji untuk lakukan apa yang kau perintahkan..." ujar Iblis Rangkap Jiwa meski dalam hati dia memaki habis-habisan. "Manusia Jahanam ini telah berlaku melampaui batas! Sekarang dia boleh memerintahku! Tapi hanya sementara! Tak lama lagi, dia akan kujadikan tumbalku! Tunggulah...!"

"Aku tanya padamu. Dengar baik-baik! Karena aku hanya akan bicara sekali. Pernah kau dengar seseorang bernama Dewa Orok?!"

Tulang kening Iblis Rangkap Jiwa bergerak-gerak. Kepalanya yang gundul tengadah seakan berpikir. Malaikat Penggali Kubur perhatikan sikap Iblis Rangkap Jiwa dengan saksama.

"Apa yang ada dalam benak manusia bangsat ini...?!"

Iblis Rangkap jiwa diam-diam membatin. "Ada apa manusia jahanam itu mencari Dewa Orok? Kudengar selama ini makhluk bergelar Dewa Orok tidak ada keistimewaannya! Kalaupun ada itu hanyalah tingkahnya yang mirip bayi!"

"Telingamu sudah dengar pertanyaan. Kenapa tidak lekas jawab?!" Malaikat Penggali Kubur membentak karena Iblis Rangkap Jiwa tidak cepat buka suara.

"Aku memang pernah dengar nama orang yang kau sebut! Ada apa dengan dirinya?"

"Jahanam! Kau tidak layak ajukan tanya padaku! Dengar saja ucapanku dan lakukan perintahku! Kau dengar?!"

Iblis Rangkap Jiwa menjawab dengan anggukan kepala. Di hadapannya Malaikat Penggali Kubur menyeringai lalu tertawa bergelak sebelum akhirnya berkata. "Kau tahu di mana Dewa Orok bertempat tinggal?!"

"Sebagai orang persilatan, sulit menentukan di mana dia! Lagi pula aku tidak pernah tanya-tanya di mana tempat tinggalnya..."

"Kau pernah bertemu dengannya?!" Malaikat Penggali Kubur kembali ajukan tanya.

"Pernah. Tapi aku sudah lupa kapan dan di mana!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa panjang. "Bagus! Berarti kau tidak akan salah cabut nyawa orang! Sekarang pergilah ke pantai timur. Temui seorang bertubuh pendek berambut kelabang di kepang dua..."

"Cucu Dewa!" seru Iblis Rangkap Jiwa memotong ucapan Malaikat Penggali Kubur.

"Ah... Rupanya kau juga telah mengenal manusia cebol itu! Pengetahuanmu benar-benar luas. Untuk ini kelak kau akan mendapat hadiah dariku..." ujar Malaikat Penggali Kubur.

Mendengar kata-kata Malaikat Penggali Kubur, wajah Iblis Rangkap Jiwa bukannya membayangkan rasa gembira. Justru raut wajah laki-laki ini sulit dibayangkan.

"Kuteruskan ucapanku. Temui Cucu Dewa! Tanya padanya di mana tempat tinggalnya Dewa Orok. Tugas selanjutnya cabut satu-satunya nyawa milik Dewa Orok! Setelah itu kembali temui Cucu Dewa. Terserah mau kau apakan orang itu. Yang jelas, aku tak ingin lagi melihat tampangnya!"

Urusan dengan Cucu Dewa, tanpa mendapat tugas dari Malaikat Penggali Kubur sebenarnya sudah diperhitungkan oleh Iblis Rangkap Jiwa. Namun tidak demikian halnya dengan Dewa Orok. Iblis Rangkap Jiwa sebenarnya ingin tahu apa sebabnya Malaikat Penggali Kubur menginginkan nyawa orang itu. Namun keingintahuannya ditahan demi mengingat ucapan Malaikat Penggali Kubur tadi.

"Kau telah dengar perintahku. Sekarang lakukan!"

"Tapi..." ucapan Iblis Rangkap Jiwa laksana tercekat ditenggorokan.

"Ada yang hendak kau ucapkan?! Katakan cepat!" sentak Malaikat Penggali Kubur.

"Aku rasanya sulit menghadapi Cucu Dewa untuk saat sekarang ini..."

Mendengar pernyataan Iblis Rangkap Jiwa, meledaklah suara tawa Malaikat Penggali Kubur. "Aku tak mau tahu apa kesulitanmu! Kau manusia iblis! Tentu punya cara-cara seperti iblis! Yang jelas, kau harus temui orang itu karena kuduga dia satu-satunya orang yang tahu di mana Dewa Orok berada! Ingat, nyawamu ada dalam genggamanku. Aku hanya ingin nyawa Dewa Orok! Kalau kau gagal, gantinya adalah nyawamu sendiri!"

"Kalau saja aku tidak menginginkan kitab di tangannya, tidak akan kulakukan pekerjaan tolol ini. Cucu Dewa telah tahu kelemahanku. Hem... Apa boleh buat..." Iblis Rangkap Jiwa berkata pada diri sendiri.

"Hanya itu yang harus kulakukan?!" akhirnya Iblis Rangkap Jiwa ajukan tanya.

"Hem... Rupanya kau minta tugas tambahan? Tapi untuk sementara kau lakukan apa yang kukatakan tadi. Setelah itu tunggu aku di puncak bukit ini!"

"Hem... Inilah yang kutunggu! Sambil berjalan aku menyusun rencana!" ujar Iblis Rangkap Jiwa dalam hati. "Pertemuan nanti kuharap pertemuan terakhir dengannya! Aku harus berhasil merebut kitab itu!" Raut wajah Iblis Rangkap Jiwa sejenak cerah. Tapi cuma sekejap. Di lain kejap dia termenung. "Lalu sampai kapan aku menunggu di sini?"

Iblis Rangkap Jiwa lalu tanyakan hal itu pada Malaikat Penggali Kubur. Malaikat Penggali Kubur tertawa panjang mendengar pertanyaan Iblis Rangkap Jiwa.

“Kau tak perlu tahu kapan aku kembali ke sini. Kau harus tetap menunggu aku. Kalaupun aku tidak muncul di sini hingga tubuhmu lapuk, itu berarti nasib buruk bagimu! Ha Ha Ha…“

Suara tawa Malaikat Penggali Kubur menggema ke seantero Bukit Selamangleng. Tapi mendadak Malaikat Penggali Kubur putuskan tawanya. Saat lain terdengar bentakannya. "Apa lagi yang kau tunggu, hah?!"

Iblis Rangkap Jiwa memandang sejurus. Tanpa berkata-kata lagi dia lalu berkelebat menuruni bukit diiringi tawa ngakak Malaikat Penggali Kubur.

********************

BAB 11

RUANGAN tidak terlalu besar itu tampak redup. Selain saat itu sudah menjelang senja, ruangan itu tidak memiliki jendela. Dinding sekeliling berupa batu padas hitam. Demikian pula atap langit-langitnya. Di dalam ruangan redup itu, terlihat dua orang duduk berhadap-hadapan. Tapi ada keanehan pada kedua orang ini. Yang sebelah kanan tampak melemparlemparkan dua batu kecil dengan tangan kanannya di depan dada silih berganti.

Orang sebelah kiri tampak kembungkan mulut lalu meniup. Terdengar suara duutt! Duuutt! beberapa kali. Bersamaan itu sebuah benda bulat mencuat dari mulutnya dan berputarputar mengapung di udara. Tatkala orang Ini membuat gerakan menyedot, bundaran itu balik lagi melesat masuk ke dalam mulutnya!

Orang sebelah kanan yang mainkan batu dilempar-lemparkan silih berganti adalah seorang laki-laki berwajah bulat bermata sipit. Hidungnya besar. Rambutnya hitam lebat dikelabang dua. Laki-laki ini bukan lain adalah orang yang dikenal dengan Cucu Dewa.

Sementara di hadapan Cucu Dewa, adalah seorang laki-laki muda berwajah tampan. Tapi dia tidak memiliki kedua tangan. Pemuda ini terus mainkan bundaran keluar masuk dalam mulutnya. Bundaran itu adalah sebuah karet mirip dot bayi. Pemuda bertangan buntung ini tidak lain adalah pemuda yang dikenal dengan gelar Dewa Orok. (Untuk lebih jelasnya mengenal pemuda ini silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Tabir Asmara Hitam)

Untuk beberapa saat kedua orang ini sama tenggelam dalam mainannya sendiri-sendiri. Namun tak lama kemudian orang yang di sebelah kanan hentikan lemparan-lemparan batunya. Mulutnya yang sedari tadi terkancing membuka.

"Orok... Aku merasa gembira kau kembali dengan membawa mahkota bersusun tiga itu! Tapi sayangnya semua itu diiringi dengan kejadian yang membuat hatiku tidak enak..."

Dewa Orok kembungkan mulut lalu meniup. Bundaran karet di mulutnya mencuat keluar lalu mengapung di udara. Bersamaan dengan itu terdengar suaranya. "Guru... Mau katakan apa sebenarnya yang terjadi hingga membuat hatimu merasa tidak enak...?"

"Beberapa hari yang lalu datang ke sini seorang gadis yang sebutkan diri dengan Putri Sableng. Dia berwajah cantik jelita dan aku yakin dia bukan orang sembarangan. Lalu bersamaan dengan gadis itu muncul pula seorang pemuda berwajah tampan yang sebutkan nama Joko Sableng..."

"Ah... Kalau yang perempuan aku tidak mengenalinya. Yang pemuda kalau mendengar namanya pastilah pendekar muda yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131!" Dewa Orok memotong ucapan Cucu Dewa.

"Hem... Aku juga sudah menduga ke arah sana! Herannya kedua orang anak itu sepertinya mengetahui jelas tentang sebuah kitab yang pernah kuceritakan padamu!"

"Maksud Guru, Kitab Hitam itu?!"

Cucu Dewa anggukkan kepala. Lalu orang bertubuh pendek ini ceritakan peristiwa yang terjadi.

"Jadi kedua orang itu sekarang telah menemukan kitab itu?!" kata Dewa Orok dengan mata mendelik terkejut.

Cucu Dewa gelengkan kepala. "Aku belum bisa memastikan. Karena manusia bergelar Iblis Rangkap Jiwa itu bukan tidak mungkin telah mengambilnya terlebih dahulu! Hanya kalau betul, kenapa kedua orang itu masih mampu melawannya? Padahal Kitab Hitam memiliki keanehan luar biasa... Kalaupun Iblis Rangkap Jiwa hilang kesaktiannya, mungkin dengan Kitab Hitam itu masih bisa menundukkan kedua orang muda itu. Tapi kenyataannya tidak demikian. Itulah yang membuatku masih ragu!"

Sejenak Cucu Dewa hentikan ucapannya, lalu melanjutkan. "Kau harus tahu, aku menyuruhmu mencari mahkota itu selain karena mahkota itu milik nenek moyangmu. Juga di dalamnya ada sebuah rahasia... Tapi dengan munculnya peristiwa di Bukit Selamangleng, rahasia itu tidak ada gunanya lagi. Tapi kau tak perlu kecewa. Bagaimanapun juga kau telah dapatkan kembali barang warisan nenek moyangmu..."

"Jadi mahkota itu menyimpan rahasia tentang Kitab Hitam itu?"

Cucu Dewa anggukkan kepalanya lagi. Lalu angkat bicara. "Tapi sesungguhnya yang membuatku tak enak adalah datangnya seorang laki-laki yang kutahu dia menyamar sebagai orang tua. Dia menanyakan tentang asal-usul Ken Rakasiwi dan anak turunannya, Aku mengatakan terus terang padanya karena dia mengatakan masih keturunan Raja-raja Singasari dan berniat menyambung darah yang terputus. Tapi nada ucapan selanjutnya membuatku curiga. Dia punya maksud lain...”

Baru saja Dewa Orok hendak buka Mulut, tangan Cucu Dewa terangkat membuat Dewa Orok urungkan. "Rupanya kita akan kedatangan tamu lagi..." ujar Cucu Dewa setengah berbisik..”

Dewa Orok kempiskan mulut menyedot. Bundaran Karet yang terapung di udara melesat masuk ke dalam mulutnya. Bersamaan dengan itu mendadak terdengar suara keras membahana.

"Cucu Dewa! Kematian telah menunggumu di luar! Cepat keluarlah...!"

S E L E S A I

Loading...