Pedang Setan Dewa Ruci - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat serial pendekar pulau neraka

Episode Pedang Setan Dewa Ruci


Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



Pendekar. Pulau Neraka Episode Pedang Setan Dewa Ruci



SATU

Hari belum begitu malam ketika keributan itu terjadi di rumah Juragan Suminta. Teriakan keras dan jerit kesakitan mulai mewarnai keadaan di sekitar rumah mewah dengan pekarangan luas itu. Suara-suara pertarungan itu kemudian disusul dengan kegaduhan yang semakin memuncak. Api mulai menjalar menimbulkan asap hitam yang membumbung ke angkasa. Ada jerit tangis saling bersahutan, lalu... terdengar teriakan kematian!

Dari arah belakang terdengar derap kaki kuda berlari kencang. Seorang laki-laki setengah baya melarikan kudanya dengan tergesa-gesa. Sesekali terlihat dia melirik ke belakang. Wajahnya cemas, seperti mengkhawatirkan sesuatu. Di punggungnya tergembok sebuah bungkusan berukuran agak besar dengan lobang udara kecil di sela-sela sisi-sisinya.

Namun apabila diperhatikan dengan seksama, akan terlihat bahwa bungkusan itu ternyata kain panjang yang dilipat sedemikian rupa. Dan di dalamnya terlihat seorang bayi berusia sekitar lima bulan yang diselimuti kain tebal.

“Jangan biarkan dia kabur! Lekas kejar! Tangkap dia dan bunuh mereka...!” Seorang laki-laki berteriak di antara hiruk pikuk pertarungan dihalaman rumah Juragan Suminta.

“Heaaa...!”

Lima orang laki-laki berwajah kasar serentak melompat ke punggung kuda masing-masing dan mengejar laki-laki setengah baya yang meloloskan diri dari pintu belakang gedung itu. Merasa bahwa pelariannya ternyata diketahui oleh orang-orang itu, lelaki setengah baya itu tampak lebih cemas lagi wajahnya. Dia memacu kudanya sambil berteriak-teriak kencang.

“Hiyaaa...! Heaaa...!”

“Kurang ajar! Akan kulumatkan kepalanya...!” geram salah seorang di antara para pengejar itu.

Wajahnya berkerut menahan geram. Kedua biji matanya itu bagai hampir meloncat keluar, jadi lebih mengerikan manakala sedang marah seperti itu.

“Sudah, jangan banyak ribut! Kalian menyebar ke sana, dan kami terus mengejar dari sini!” sergah laki-laki bertubuh besar yang mengenakan ikat kepala merah.
Bersama dengan seorang kawannya, dia terus mengejar laki-laki setengah baya itu. Sementara tiga orang lainnya memotong jalan melewati hutan kecil yang ada disebelah kiri jalan mereka, yang nantinya akan tembus ke jalan yang akan dilalui oleh laki-laki setengah baya yang sedang mereka kejar.

Laki-laki setengah baya mulai kelihatan gelisah. Berkali-kali dia menoleh ke belakang. Para pengejarnya semakin memperpendek jarak saja. Meski dia memacu kudanya dengan kencang, namun hewan itu seperti terbatas kemampuan larinya. Dia mengeluh pelan, dan merasa tidak berapa lama lagi tentu dia akan terkejar.

“Maafkan paman, Ayu. Paman akan berusaha melindungimu walau dengan taruhan nyawa sekalipun. Tidak akan paman biarkan mereka merenggut nyawamu begitu saja....” Lirih terdengar suara laki-laki itu sambil menoleh ke arah bayi di punggungnya.

Bayi itu seperti mengerti apa yang tengah terjadi pada mereka, hanya diam saja. Sama sekali tidak menangis!

“Yeaaa...!”

“Ohhh...!” laki-laki setengah baya terkejut. Tiga orang penunggang kuda telah menghadang di depannya. Buru-buru dia menarik tali kekang kudanya. Namun hewan yang telah lelah itu malah meringkik keras seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.

“Hup!” Dengan sigap dia melompat dan menjejakkan kedua kakinya ke tanah dengan mulus.

“Wandira, berhenti kau! Jangan harap kau bisa selamat dari kami!” bentak salah seorang di antara penghadangnya itu. Kemudian melompat dari kudanya dan menghadang laki-laki setengah baya yang dipanggil Wandira itu dengan sorot mata buas.

“Hua ha ha...!” Kau kira bisa menyelamatkan diri dari kami?!”

Ki Wandira kembali terkejut. Dua orang penunggang kuda yang tadi mengejarnya di belakang, kini ikut mengepungnya juga. Dia bersiaga akan segala kemungkinan yang akan terjadi. Sorot matanya tajam mengawasi mereka satu persatu.

Laki-laki bertubuh besar dan memakai ikat kepala merah, yang agaknya pemimpin keempat kawannya itu, melompat turun dari punggung kudanya dan melangkah pelan mendekati Ki Wandira. Pada jarak lima langkah dia berhenti, lalu sambil bertolak pinggang, wajahnya menyeringai buas. Tangan kanannya mengelus-elus gagang golok yang terselip di pinggang kiri. Sementara tangan kirinya memilin-milin ujung kumisnya yang tebal.

“Hari ini keluarga Suminta dan keturunannya akan musnah dari dunia ini, dan tidak ada seorang pun yang mampu menghalanginya!” dengus laki-laki itu sinis.

“Keparat kau, Suteja! Kau boleh berkata semaumu, tapi jangan harap aku akan menyerah begitu saja padamu!” dengus Ki Wandira tidak kalah menggertak.

“Ha ha ha...! Tua bangka, Wandira. Apa yang akan bisa kau andalkan untuk menghadapi kami berlima!” Majikan dan centeng-centengnya yang berilmu tangguh telah tewas. Kau cuma tukang kebun yang lemah. Apa yang bisa kau andalkan untuk melindungi putri majikanmu itu?

Menyerahlah agar kami bisa meringankan hukumanmu. Mengingat kau cuma seorang tukang kebun, siapa tahu ketua kami bisa mengampuni jiwamu!”

“Terkutuk kau, Suteja! Sampai kapan pun aku tidak akan menyerah dan membiarkan kalian menyembelih bayi yang tidak berdosa ini!”

“Huh, keras kepala! Kalau begitu kau boleh mampus sekarang juga! Ayo, rencah dia!” teriak Suteja seraya memberi isyarat pada keempat kawannya untuk menyerang Ki Wandira.

“Yeaaa...!”


***


Ki Wandira mendengus sinis. Melihat kelimanya maju bersamaan dengan senjata terhunus, dia menggertak rahang, tubuhnya berkelit ke samping dengan sedikit membungkuk ketika satu tebasan menghajar ke arah dada kirinya. Kemudian dengan enteng tubuhnya melompat ke atas sambil mengayunkan satu tendangan kearah lawan yang terdekat setelah mengelak dari dua tebasan yang menyusul.

“Hiyaaa...!”
“Uts!”

Tukang kebun sial! Ternyata kau memiliki kemampuan juga! Bagus. Aku ingin lihat, sampai di mana kebisaanmu!” dengus Suteja seraya menghindar ke samping dari tendangan itu.

Wut!
Plak!

Dengan gemas tubuhnya melenting ke atas. Goloknya menyambar ke leher lawan. Tubuh Ki Wandira merungkel menghindari serangan itu, dan tangan kirinya berputar menghantam tengkuk lawan. Suteja dengan spontan menangkis. Ki Wandira terkejut. Wajahnya berkerut menahan sakit akibat benturan itu. Namun dia masih mampu melompat ke samping seraya mengibaskan tangan kanan untuk menghindari kepalan tangan salah seorang lawan.

Begkh!
“Akh!”

Laki-laki setengah baya itu mengeluh kesakitan ketika salah seorang pengeroyoknya dengan tiba-tiba berhasil menyarangkan hantaman kepalan tangan kanannya ke pinggang. Ki Wandira terhuyung-huyung beberapa langkah. Namun begitu tubuhnya masih mampu menghindar dari tebasan seorang pengeroyoknya yang lain.

“Uts!”

“Mampus...!” gumam Suteja seraya melompat ke arah lawan dengan mengayunkan satu tendangan keras ke arah lambung.

Ki Wandira terkejut. Tubuhnya melompat ke belakang. Namun dengan gemas ujung golok Suteja menyambar. Serangan itu memang telah direncanakan untuk mengecoh lawan. Ki Wandira terkejut dan tidak sempat mengelak. Orang tua itu menjerit kesakitan.

Cras!
“Aaaakh...!”

Salah seorang pengeroyoknya lagi berhasil menghantam perutnya yang tengah terluka parah itu dengan satu tendangan keras. Ki Wandira memekik kesakitan ketika tubuhnya terjungkal. Namun dengan kekuatan tenaga, orang tua itu berusaha jatuh dalam keadaan tengkurap agar bayi di punggungnya tidak tertindih tubuhnya.

“Setan! Masih alot juga rupanya kau...!” maki salah seorang yang langsung mengayun goloknya ke punggung lawan.

“Ohhh...!”

“Ki Wandira terkejut dan berusaha mempertahankan nyawa si bayi dengan mengibaskan sebelah kakinya untuk menghantam perut lawan. Tapi....

Cras!
“Aaakh...!”

Kembali orang tua itu terpekik. Senjata lawan dengan cepat berbalik dan menyambar kakinya hingga putus. Darah mengucur deras sebatas lutut Orang tua itu berusaha bangkit dengan langkah terpincang-pincang. Pada saat itu dua orang lawannya kembali mengayunkan golok dengan wajah beringas dan siap menghabisi nyawa orang tua itu bersama bayi dalam gendongannya.

“Mampus kau, Wandira...!”
“Yeaaah...!”

Ki Wandira terkesiap. Dia berusaha melompat untuk menghindari serangan lawan. Namun ujung salah satu senjata lawan cepat menyambar pahanya. Orang tua itu kembali menjerit. Dan kembali berteriak kesakitan ketika dia berhasil menghindari sabetan senjata lawan yang kedua, namun ujung kaki lawannya itu menghantam telak ke arah dadanya.

Bagai kawanan serigala kelaparan, Suteja dan dua orang kawannya menerkam tubuh Ki Wandira yang terjungkal tak berdaya. Ketiga senjata mereka siap menghabisi nyawa Ki Wandira. Orang tua itu mengeluh pelan. Wajahnya berkerut menahan sakit dan sepasang matanya terpejam pasrah. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan bayi yang dilindunginya mati-matian itu. Hati dan bibirnya tiada henti berdoa.

“Ki Suminta, maafkan aku yang tidak berguna. Aku tak mampu menyelamatkan keturunanmu satu-satunya...” keluhnya pelan di dalam hati.

“Yeaaah...!”
Klap! Klap...!
“Aaakh...!”

Pada saat yang kritis bagi Ki Wandira, mendadak melesat bayangan putih menghadang serangan Suteja dan kedua kawan-kawannya. Mereka tersentak kaget, namun tak mampu berbuat apa-apa. Kedua kawannya cuma mampu melihat tiga buah golok yang malang jauh, dan jeritan panjang!

Suteja dan kedua kawannya terjungkal tujuh langkah dengan napas memburu. Ketiganya merasa dadanya perih ketika satu pukulan keras yang amat cepat menghantam. Dengan gusar laki-laki bertubuh besar itu bangkit dan memandang seorang laki-laki tua berjubah putih dengan jenggot panjang yang berdiri gagah di depan mereka.

“Orang tua terkutuk, siapa kau?! Berani mati mencampuri urusan kami!” geram Suteja memaki.


***


Orang tua yang kelihatannya berwajah ramah dan berkulit bersih itu tersenyum kecil seraya memandang ke arah mereka. Sikapnya tenang dan percaya diri. Rambutnya yang panjang dan telah memutih, dibiarkan lepas begitu saja. Kedua tangannya bersedekap ke dada, dan bola matanya lurus memandang ke arah Suteja tanpa mau peduli pada dua orang anak buah Suteja yang bersiap di belakangnya untuk menyergap.

“Apakah setan telah menguasai hatimu sehingga kau tega membunuh seorang bayi yang tak berdosa?” tanya si orang tua itu pelan.

“Orang tua, lebih baik lekas kau menyingkir dari tempat ini kalau tak ingin celaka!” sahut Suteja membentak garang.

“Baiklah, aku akan pergi dari sini. Dan tentu saja aku tidak ingin celaka...” sahut si orang tua seraya melangkah pelan mendekati Kr Wandira.

“Hentikan langkahmu, orang tua!” bentak Suteja merah.

Laki-laki itu menjadi kalap karena orang tua itu meremehkan kata-katanya. Dan sama sekali tidak menganggap dirinya sebagai ancaman ditempat itu dengan mendatangi Ki Wandira yang tengah sekarat. Tapi orang tua itu sama sekali tidak memperdulikan bentakan Suteja. Dia berjongkok pelahan dan meraih bayi dalam gendongan Ki Wandira dengan hati-hati sekali.

“Hm, bayi mungil yang cantik. Kau seharusnya tidak melihat kekejaman orang-orang ini. Tapi agaknya telah ditakdirkan bahwa kelak kau menjadi anak yang tabah...” gumam si orang tua seraya tersenyum kecil menimang-nimang jabang bayi itu.

“Kisanak, tolong selamatkan bayi ini. Dia putri satu-satunya majikanku... Ju... juragan Suminta. Namanya... Ayu Laksmini...,” kata Ki Wandira dengan suara terbata-bata.

“Tenangkan dirimu, sobat..,” Si orang tua itu berusaha menghentikan pendarahan di tubuh Ki Wandira untuk menghentikan rasa sakit yang dideritanya.

“Percuma sobat. Aku... aku merasa ajalku sudah dekat Te... terima kasih atas kesedianmu melindungi dan merawat bayi ini...,” sahut Ki Wandira seraya tersenyum lega.

Ki Wandira menarik nafas panjang. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit. Terlihat tubuhnya mengejang sesaat, sebelum diam tak bergerak lagi untuk selamanya. Nyawanya melayang dari tubuhnya.

“Tenangkan hatimu di alam sana, sobat. Tentu saja aku akan merawat dan melindungi bayi ini dari siapa pun yang mencoba mengganggunya. Telah lama sekali aku tidak mempunyai cucu. Hari ini dialah cucuku...!” sahut si orang tua seraya mengusap wajah Ki Wandira.

Kemudian dia bangkit dengan tenang dan memandang kelima orang lawan-lawannya yang siap menyerangnya. Orang tua itu tersenyum kecil dan sama sekali tidak menganggap bahwa kelima orang itu merupakan hantu yang menakutkan baginya.

“Orang tua, serahkan bayi itu! Ini peringatan terakhir bagimu! Kalau kau masih berkeras juga maka nasibmu akan sama dengan Ki Wandira!” bentak salah seorang anak buah Suteja.

“Hm, bayi ini sekarang adalah cucuku, dan tidak seorang pun kuperkenankan merebutnya dari tanganku...,” sahut si orang tua itu dengan sikap tenang.

“Bebedah! Kalau begitu kau mencari mampus! Baiklah kalau memang itu maumu!” bentak Suteja seraya memberi isyarat pada anak buahnya.

Kelima orang itu segera memutar golok di tangan dan melangkah mengelilingi orang tua itu dengan sorot mata setajam mata elang. Bagaimanapun mereka patut berhati-hati. Dengan sekali gebrak orang tua itu mampu menjatuhkan Suteja dan kedua kawannya. Itu saja sudah cukup membuktikan bahwa si orang tua memiliki kemampuan yang hebat dan tidak bisa dianggap enteng.

“Yeaaah...!”
Wut! Wut!

Dengan mengerahkan seluruh kecepatan, mereka bergerak. Kelima senjata lawan menyambar ke seluruh bagian tubuh orang tua itu.

“Dasar manusia-manusia durjana! Tidak cukupkah bagi kalian nyawa beberapa orang yang telah kalian bantai. Dan kini seorang bayi yang tidak berdosa hendak kalian renggut pula dari tanganku. Huh, jangan salahkan aku jika bertindak keras terhadap kalian!” dengus orang tua itu geram.

Dengan tangan kiri menggendong bayi, gerakan orang tua itu sama sekali tidak terhalangi ketika tubuhnya melompat ke atas menghindari sambaran senjata lawan. Kemudian dia membuat gerakan salto beberapa kali. Kedua kakinya bergerak cepat menyambar dua pergelangan tangan lawan.

Tak! Tak!
“Aaakh!”

Kedua orang itu menjerit kesakitan. Golok dalam genggaman mereka terlepas dari pergelangan tangannya patah. Namun orang tua itu agaknya tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya merunduk ketika dua sabetan lain menyambar. Kemudian bergerak ke atas sambil mengayunkan sebelah kaki dengan gerakan ke atas sambil mengayunkan sebelah kaki dengan gerakan menyapu dari kiri ke kanan.

Duk! Begkh!
“Aaakh!”

Dua orang lawan kembali menjerit kesakitan ketika dada mereka seperti dihantam benda keras. Keduanya terjungkal ke belakang. Suteja terkejut bukan main. Kini dia tinggal sendiri berhadapan dengan orang itu.

“Keparat! Jangan kau kira aku takut padamu! Yeaaah...!” Suteja geram bukan main mendengar kata-kata si orang tua.

Di hadapannya hal itu merupakan penghinaan. Dan di depan anak buahnya, mana mungkin dia menunjukkan kepengecutannya. Maka tanpa pikir panjang lagi, Suteja melompat menyerang lawan dengan senjata terhunus.

“Hup!”

Dengan gerakan gesit dan manis, orang tua itu merundukkan kepala lalu melompat ke samping menghindari tebasan senjata lawan. Suteja geram bukan main melihat lawan mampu menghindari setiap serangan dengan gerakan gesit. Tapi lebih kaget lagi dia manakala merasakan satu hajaran telak menghantam dagu ketika orang tua itu melompat ke atas.

Tak!
“Aaakh...!"

Tubuh Suteja terjerembab ke belakang sambil memuntahkan darah segar dari mulut. Tiga buah giginya tanggal, dan golok di tangannya terlepas dari genggaman.

“Kurang ajar...!” Suteja menggeram sambil meludah. Dia segera bangkit dengan wajah gusar dan siap menyerang lawan kembali. Namun orang tua itu telah lenyap dari tempat itu. Dia memandang ke sekeliling tempat.

“Kemana dia?! Ke mana orang tua keparat itu?!” bentaknya geram pada keempat kawannya.

Keempat orang kawannya diam tak menjawab. Mereka memang tidak mengetahui, bagaimana caranya si orang tua menghilang dari tempat itu.

“Dasar kantong-kantong nasi pengecut! Kenapa kalian diam saja dan bukannya membantu aku menghajarnya?!” maki Suteja seraya menghardik geram.

Keempat kawannya cuma kembali diam seraya menundukkan kepala. Wajah mereka beberapa kali berkerut menahan rasa sakit. Kemudian pelahan-lahan melompat ke punggung kuda ketika Suteja yang lebih dulu melompat ke punggung kudanya, berlalu dari tempat itu!


***


DUA

Laki-laki bertubuh besar yang mengenakan ikat kepala warna hitam dan lebar itu berdiri tegak sambil tersenyum lebar. Pedang besar di tangan kanannya yang berlumur darah dibersihkannya dengan menggosok-gosokkan pada baju salah seorang mayat yang tergeletak di dekatnya.

Beberapa orang kawan-kawannya yang berjumlah lebih dari lima belas orang tampak mondar-mandir di seluruh pekarangan dan di dalam gedung besar itu seperti hendak memastikan bahwa tidak seorang pun penghuninya yang selamat.

“Semuanya sudah mampus!” desis salah seorang yang mendekati lelaki bertubuh besar seraya menyarungkan kembali golok ke pinggangnya.

“Bagaimana dengan Suteja dan kawan-kawannya?” tanya lelaki bertubuh besar itu dengan suara serak.

“Dia pasti sedang membereskan sisanya...”

“Hm, seluruh keturunan si Suminta harus binasa! Begitu yang diperintahkan Ki Kartawijaya. Kalau saja ada yang hidup, maka kalian semua akan menanggung akibatnya!”

“Saat ini mereka tentu telah dibereskan Ki Suteja,” sahut laki-laki itu meyakinkan.

“Hm, mudah-mudahan saja benar apa yang kau katakan...”

“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki Jambrong Suta?” tanya anak buahnya itu.

“Siapkan yang lain. Kita akan berangkat sekarang juga ke markas!” perintah laki-laki bertubuh besar itu dengan suara keras.

“Apakah kita tidak menunggu Ki Suteja dan yang lainnya?”

“Tidak perlu. Begitu mereka telah menyelesaikan urusannya, mereka pasti akan kembali ke markas!”

“Baiklah...!” sahut anak buahnya seraya mengangguk pelan dan berteriak pada yang lainnya.

Sebentar saja mereka telah melompat ke punggung kuda masing-masing dan meninggalkan tempat itu sambil memacu kuda-kuda dengan kencang. Namun baru saja berada di pintu gerbang depan, sekonyong-konyong melesat sebuah bayangan menghadang mereka. Serentak Ki Jambrong Suta menghentikan lari kuda sehingga hewan itu meringkik keras. Demikian pula dengan para anak buahnya.

“Kurang ajar! Siapa yang berani menghalangi jalanku?!” bentak Ki Jambrong Suta geram.

Beberapa orang anak buahnya sudah langsung melompat dan berdiri tegak dengan sikap waspada mengepung seorang laki-laki tua yang tengah menggendong seorang bayi. Orang tua itu tenang sekali sikapnya dan sama sekali tak merasa takut melihat lawan-lawannya siap hendak menghabisinya. Melihat keadaan itu Ki Jambrong Suta menjadi curiga.

“Kalau bukan orang gila yang ingin mampus, pastilah orang tua ini memiliki nyawa seribu,” pikirnya. Dia memberi isyarat pada anak buahnya untuk tidak menyerang si orang tua dulu.

“Ki sanak, apa maksudmu menghadang perjalanan kami?” tanya Ki Jambrong Suta dengan nada suara ditekan sedemikian rupa, mungkin untuk menunjukkan kewibawaannya di hadapan orang tua itu.

“Kaukah yang memimpin rombongan ini?” tanya si orang tua tidak menghiraukan pertanyaan Ki Jambrong Suta.

Mendengar itu saja rasanya amarah Ki Jambrong Suta hendak naik ke ubun-ubun. Orang tua itu sama sekali tidak memandang sebelah mata padanya. Dia tak peduli dengan pertanyaanya, dan malah balik mengajukan pertanyaan sendiri. Namun memandang sorot mata si orang tua yang tajam dan menyilaukan matanya, sadarlah Ki Jambrong Suta bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan sulit diukur sampai di mana tingkat kepandaiannya. Untuk itu dia harus hati-hati dan tidak bisa bertindak gegabah.

“Benar, akulah yang memimpin rombongan ini. Namaku Ki Jambrong Suta. Siapakah engkau, Ki sanak...?”

“Apa hubunganmu dengan Nini Widyadara?” tanya si orang tua itu sama sekali tidak mempedulikan niat baiknya untuk beramah tamah. Namun dia berusaha menekan amarahnya dan menyahut tenang.

“Hm, agaknya kau mengenal sesepuh kami juga. Beliau adalah istri guru kami...”

“Kartawijaya...?!”

“Kau pun mengenalnya?” Ki Jambrong Suta mulai berhati-hati begitu mengetahui bahwa orang tua di depannya ini mengetahui kedua sesepuh di perguruannya itu. Boleh jadi dia kawan baik gurunya. Untuk itu dia tak berani bersikap gegabah lagi.

“Ki sanak, siapakah kau sebenarnya? Kau begitu mengenal kedua sesepuh kami. Pastilah kau amat dekat dengan mereka...”

“Ha ha ha ha...! Katakan pada mereka bahwa suatu saat kelak aku akan mengambil milikku yang telah mereka perdayai. Saat itu aku tidak bisa memastikan apakah akan mengampuni mereka atau tidak!”

Ki Jambrong Suta tersentak kaget. Orang tua berjanggut panjang dan telah memutih itu tertawa lebar. Kemudian melesat ke atas dan menapak dengan enteng pada sebuah cabang pohon sebelum dia dan anak buahnya sempat menyadari hal itu.

“Orang tua sinting! Siapa kau sebenarnya dan apa urusanmu dengan kedua guru kami?!” bentak Ki Jambrong Suta seraya melemparkan goloknya ke arah melesatnya bayangan si orang tua.

Namun senjatanya itu hanya menancap di batang pohon, sedangkan si orang tua telah lenyap dari tempat itu. Suara tawanya masih terdengar nyaring yang diikuti gema suaranya.

“Katakan pada kedua tikus licik itu, Dewa Ruci akan meminta kembali benda miliknya yang telah mereka renggut..!”

Dan kemudian suara itu menghilang. Ki Jambrong Suta dan anak buahnya kembali terpaku.

“Dewa Ruci...?” tanyanya bingung pada diri sendiri. Dia mencoba mengingat-ingat di mana pernah mendengar nama itu.

“Astaga! Dewa Ruci! Dia... dia saudara seperguruan Ki Kartawijaya. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat!” desis Ki Jambrong Suta begitu mengingat siapa orang tua itu sebenarnya.

Anak buahnya pun terkesima. Kalau saja orang tua itu sempat marah dan menghajar mereka, niscaya tidak seorang pun di antara mereka yang bisa selamat.

“Lekas kita kembali dan kabarkan hal ini pada ketua!” teriak Ki Jambrong Suta memberi perintah pada anak buahnya.

Tidak berapa lama kemudian mereka telah meninggalkan tempat itu sambil memacu kencang kudanya.


***


Orang tua bertubuh kurus itu tampak merah menahan marah begitu mendengar laporan anak buahnya. Dipandanginya mereka satu-persatu kemudian terdengar suaranya yang lantang.

“Ke arah mana dia pergi?”

“Eh... kami... kami tidak mengetahuinya, Eyang,” sahut Ki Jambrong Suta sambil menundukkan wajahnya.

“Tolol! Apa kau tidak bisa memperkirakan ke mana dia pergi?!”

“Sabarlah, Kakang. Kau tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja. Kepandaian Kakang Dewa Ruci memang sulit diukur. Apalagi setelah sekian tahun berlalu...,” ujar seorang wanita tua berambut panjang yang duduk di samping laki-laki tua itu.

Laki-laki tua itu mendengus geram.

“Apakah orang tua itu berbahaya bagi kita, Eyang? Bukankah beliau kakak seperguruan Eyang...?!” tanya Ki Jambrong Suta dengan dahi berkerut.

“Huh, tahu apa kau dengan segala urusanku!” dengus orang tua itu sinis.

Ki Jambrong Suta terdiam. Wajahnya di tundukkan dalam-dalam.

“Ki Jambrong Suta, urusanmu telah selesai. Pergilah keluar...,” kata wanita tua yang berada di depannya dengan nada ramah.

“Baiklah, Eyang...,” sahut Ki Jambrong Suta seraya memberi hormat dan berlalu dari ruang itu.

Laki-laki tua bertubuh kurus itu sesungguhnya bernama Ki Kartawijaya, dan wanita di sebelahnya adalah Nini Widyadara. Kedua orang tua itu amat disegani di kalangan dunia persilatan karena kepandaian mereka yang hebat. Dan untuk saat ini Perguruan Camar Hitam yang mereka pimpin, merupakan salah satu dari sekian banyak perguruan silat yang amat menonjol dan amat disegani.

Sebenarnya Ki Kartawijaya tidak turun tangan langsung memimpin Perguruan Camar Hitam setelah putranya dewasa. Beliau menyerahkan tampuk kepemimpinannya ketangan Ki Dewantara, putra tertuanya. Pemuda yang berusia sekitar tiga puluh tahun lebih itu pun tak kalah hebat kepandaiannya dibanding dengan orangtuanya.

Hari ini tidak seperti biasanya bagi mereka. Terlebih bagi suami istri yang telah berusia lanjut itu. Berita yang dibawa oleh Ki Jambrong Suta memang amat mengagetkan mereka. Dari mana Ki Dewa Ruci mengetahui bahwa Ki Jambrong Suta muridnya?

“Tak aneh, Kakang. Melihat dari gerakan gerakan ilmu silatnya saja dia sudah bisa menebaknya. Tidak ada orang lain yang menjadi murid eyang selain kita bertiga...,” jelas Nini Widyadara.

“Hm, kenapa dia tidak langsung menuju ke sini? Dia pasti mempunyai rencana lain...,” gumam Ki Kartawijaya dengan nada bertanya-tanya.

“Kenapa Ayah dan Ibu kelihatan khawatir dengan kemunculan orang tua bernama Dewa Ruci itu?” tanya Ki Dewantara yang sejak tadi diam saja mendengar percakapan mereka.

Ki Kartawijaya memandangnya sekilas, kemudian berpaling seperti tidak ingin menjawab pertanyaan putranya itu.

“Ayahanda, jika ada sesuatu yang membebani pikiran Ayahanda tentang orang tua itu, serahkan saja pada ananda. Biar Ananda yang akan mengurus orang tua itu...”

“Apa yang bisa kau urus?” tanya Ki Kartawijaya tersenyum kecut.

“Ayah menghendaki apa dari orang tua itu?” sahut Ki Dewantara mantap dengan pertanyaan yang meyakinkan orangtuanya itu.

“Apakah jika ayahanda menginginkan kematiannya kau mampu mengurusnya?” tanya Ki Kartawijaya kembali tersenyum getir.

“Kalau memang Ayah menghendaki demikian, serahkan saja urusannya pada ananda,” sahut Ki Dewantara mantap.

“Ki Dewantara, anakku. Kau tidak tahu orang macam apa yang sedang kita bicarakan ini. Bukan hanya namanya saja yang berawal dewa, tapi kepandaiannya pun hampir menyamai nama itu. Tidak ada seorang pun yang mampu mengimbangi kepandaiannya. Kau akan sia-sia untuk melawannya. Apalagi mencoba membunuhnya,” jelas Nini Widyadara dengan suara Junak.

“Ibu, apakah Ibu tidak percaya dengan kemampuan ananda?”

“Siapakah yang meragukan kemampuanmu? untuk saat ini segala kepandaian ibu dan ayahandamu telah engkau kuasai.”

“Lalu kenapa Ibu masih meragukan ananda? Kalau memang Ki Dewa Ruci itu saudara seperguruan Ayahanda dan Ibu, tentu kepandaiannya sebanding pula. Dan kenapa ananda tidak mampu melawannya?” tanya Ki Dewantara dengan wajah kurang puas.

“Apa yang kau katakan memang benar. Tapi ada satu yang belum kau ketahui bahwa Ki Dewa Ruci itu bukan hanya berguru pada satu orang. Tapi dia seorang petualang yang memiliki banyak guru. Kepandaiannya beraneka ragam dan sulit diukur,” jelas Nini Widyadara.

“Tapi bukan berarti ananda tidak mampu menghadapinya, bukan? Percayalah, ananda tak takut melawannya bila memang Ayahanda dan Ibu begitu mengkhawatirkan orang tua itu,” sahut Ki Dewantara kembali dengan nada mantap.

“Sudahlah, lebih baik kau urus murid-muridmu. Biar persoalan yang satu ini kami yang urus,” kata Ki Kartawijaya dengan suara tegas.

“Tapi, Ayahanda...”

“Jangan membantah! Apa yang bisa kau lakukan? Apa kau ingin mengantar nyawa secara percuma? Sudah, pergilah sana!” bentak Ki Kartawijaya dengan nada lebih tinggi.

Ki Dewantara sebenarnya ingin membantah. Tapi mendengar suara ayahnya yang mulai bernada keras, dia tidak berani buka mulut lagi. Meski hatinya sedikit tidak enak ditinggalkannya juga ruangan itu setelah menjura hormat.

Nini Widyadara menoleh kepada suaminya sambil menghela napas pendek.

“Tidak baik kau berkata keras begitu padanya. Bukankah dia bermaksud baik..?”

“Huh, jangan kau selalu mengajarinya berlemah-lembut. Dia anak laki-laki, dan seorang laki-laki patut mendapat perlakuan keras.”

“Dan selama ini semakin kau kerasi mereka akan semakin membantah. Apakah itu ada manfaatnya bagi mereka?”

“Dan mereka pun mendapat pelajaran akibat membantah perkataanku. Itu menjadi pengalaman berharga bagi mereka.”

“Dalam hal ini, mereka mengetahui bahwa kau melarang ikut campur. Apakah kau yakin mereka akan mematuhinya? Bagaimana bila Ki Dewantara dengan diam-diam melanggar laranganmu dan mencari Kakang Ki Dewa Ruci untuk menantangnya bertarung? Kakang Ki Dewa Ruci memang penyabar. Tapi kalau Ki Dewantara terus memaksanya, dia akan terbunuh. Apakah hal seperti itu yang kau katakan pengalaman berharga bagi mereka?

“Ah, sudahlah. Jangan urusi soal itu,” sergah Ki Kartawijaya kesal.


***


Nini Widyadara terdiam beberapa saat lamanya. Demikian pula halnya dengan Ki Kartawijaya. Apa yang dikatakan istrinya memang ada benarnya. Tapi tentu saja dia tidak bisa mengawasi anaknya itu setiap hari. Meski perguruan itu dipegang oleh Ki Dewantara, namun dalam pelaksanaannya dia sering mewakilkan pada dua orang adiknya, yaitu Ki Ganggapura dan Ki Soma Jagat. Sedangkan Ki Dewantara sendiri lebih sering berkelana seorang diri. Tidak seorang pun mengetahui apa yang dilakukannya di luar sana.

“Kakang, apakah kau begitu mengkhawatirkan kedatangan Kakang Ki Dewa Ruci ke tempat ini...?” tanya Nini Widyadara pelan.

“Huh, apa yang kutakutkan darinya?” sahut Ki Kartawijaya sambil mencibir.

“Kalau begitu, kenapa Kakang begitu kelihatan cemas mendengar berita kedatangannya? Belum tentu dia akan datang ke sini....”

“Cepat atau lambat dia pasti akan datang ke sini untuk menagih benda miliknya, dan kita harus siap mempertanggungjawabkannya.”

Nini Widyadara mendesah pelan.

“Aku sendiri tidak mengetahui di mana benda itu berada sekarang ini.”

“Itu salahmu sendiri. Kenapa kau tidak menyembunyikannnya dengan rapi saat pertarungan tempo hari,” sentak Ki Kartawijaya dengan nada kesal.

“Siapa yang mengira bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat dan mampu merampas Pedang Setan itu dari tanganku,” sahut Nini Widyadara tak senang merasa disalahkan.

Kedua orangtua itu kembali terdiam setelah saling menyalahkan. Kemudian terlihat Ki Kartawijaya menghela napas panjang seraya menggelengkan kepalanya pelan.

“Maafkan aku, Nini. Tidak seharusnya aku menyalahkanmu. Pemuda itu memang memiliki kepandaian yang hebat...”

Mendengar nada suara suaminya mulai lunak dengan perasaan penyesalan, kekesalan di hati wanita tua itu pun mereda. Dia memegang tangan Ki Kartawijaya dan meremasnya pelan seraya tersenyum kecil.

“Sudahlah. Yang telah terjadi tidak mungkin kembali lagi. Kita memang bersalah, dan sudah sepatutnya mendapat hukuman akibat kesalahan kita sendiri...”

“Tapi...”

“Apakah kau masih merasa tinggi hati untuk meminta maaf pada Kakang Ki Dewa Ruci?” potong Nini Widyadara cepat.

“Entahlah...,” sahut Ki Kartawijaya lemah.

“Kakang, kita sudah tua. Lupakanlah pertikaian kalian di masa lalu. Lagi pula, tidakkah engkah merasakan bahwa Kakang Ki Dewa Ruci telah banyak mengalah pada persoalan ini? Kau merebut aku darinya, tapi dia malah menghindar pergi dan meninggalkan kita begitu saja tanpa membuat perhitungan denganmu. Lalu kita mencuri senjata pusakanya, dan baginya itu adalah perbuatan yang di luar batas.

Apalagi ketika senjata itu kita pergunakan untuk berbuat sewenang-wenang. Tentu saja dia tidak suka dan menjadi marah. Tapi dia memberi kesempatan padamu untuk mengembalikan senjata itu karena kau berdalih hendak meminjamnya. Tapi ketika waktu itu habis, kita malah kabur darinya. Bukankah sudah sepatutnya kalau dia merasa jengkel dan mendendam pada kita?”

“Lalu maksudmu kita harus meminta maaf dan membiarkannya memenggal leher kita berdua?” tanya Ki Kartawijaya dengan nada tak senang.

“Bukan begitu maksudku. Tapi masih ada jalan lain yang lebih baik dan kurasa dia pun mau mengampuni kesalahan kita.”

“Apa itu?”

“Bagaimana kalau kita cari pedang itu? Selama ini hidupku hanya kucurahkan untuk mencari pedang itu, tapi sampai kini si keparat itu tidak muncul batang hidungnya. Kalaupun kita berhasil menemukan si keparat itu, belum tentu kita mampu mengalahkannya. Apalagi setelah dia bersembunyi sekian tahun lamanya. Tentu dia tengah mempelajari ilmu silat yang berada dalam pedang itu. Dan tidak bisa di pungkiri, bagaimana kehebatan si keparat itu kalau dia muncul kembali.

“Tapi bagaimanapun caranya, kita harus menemukan pedang itu dan menyerahkannya kembali pada Kakang Ki Dewa Ruci. Dan dalam hal ini, tidak ada salahnya kalau kita melibatkan murid-murid Perguruan Camar Hitam untuk mencarinya, atau mencari berita tentang si keparat itu.”

Ki Kartawijaya berpikir beberapa saat lamanya.

"Bagaimana, Kakang...?” tanya Nini Widyadara.

“Yah, kurasa usulmu itu memang tidak ada salahnya kalau kuturuti...,” sahut laki-laki tua itu pelan.

“Syukurlah kalau memang Kakang menyetujuinya. “

“Tapi bagaimana kalau dia datang ke tempat ini sebelum kita menemukan pedang itu? Dan seandainya dia masih tetap tidak percaya kalau kita akan berusaha menemukan benda miliknya itu, dia tentu akan mengamuk sejadinya.”

“Biarlah nanti aku yang akan menghadapinya. Aku yakin Kakang Ki Dewa Ruci tidak akan bertindak sembrono.”

“Terserahlah kalau memang begitu rencanamu...”

“Nah, ada baiknya rencana ini kita bicarakan dengan si Ki Dewantara. Agar dia bisa mengerti. Kalaupun kelak dia harus tewas ditangan si pencuri pedang itu, aku malah akan merasa bangga karena dia tewas dalam menunaikan tugas dari darma bakti yang benar. Dan bukan kematian yang sia-sia dibandingkan bila dia tewas di tangan Kakang Ki Dewa Ruci.”

“Kalau begitu, panggillah dia segera. Anak itu kadang keras kepala dan merasa mampu memikul semua tanggung jawab. Jangan sampai dia lebih dahulu memutuskan pergi dan bertarung sia-sia,” kata Ki Kartawijaya.

Nini Widyadara segera turun dari kursinya dan beranjak dari ruangan itu. Ki Kartawijaya menghela napas panjang, seraya menggelengkan kepalanya.


***


TIGA

Sang Surya terus bersinar dan bersembunyi di balik gelap malam ketika pucuk-pucuk pohon membuat tunas baru. Telur-telur burung mulai menetas dan menjadi dewasa. Ranting-ranting pohon telah menjadi cabang yang kokoh dan kuat. Demikian pula dengan tunas-tunas muda yang kini telah berdiri tegak bersama bergulirnya sang Waktu. Dan tidak terasa bergulir hari demi hari menjadi bulan, kemudian terus bergulir ke tahun.

Enam belas tahun telah berlalu sejak kejadian itu! Banyak perubahan yang terjadi. Dan juga banyak yang kini tinggal sejarah, atau masih berlanjut menjalani sisa garis hidupnya. Dataran tinggi di Bukit Warimun Giri yang senantiasa berselimut kabut kelihatan tenang seperti menyimpan rahasia yang tersembunyi. Jarang sekali ada manusia yang berani mendekatinya, karena daerah perbukitan itu seringkali menjebak penglihatan.

Kabut tebal yang menghalangi itu seringkali menjebak penglihatan. Kabut tebal yang menghalangi menyesatkan mereka yang mencoba mendaki. Dan tidak jarang akhirnya terperosok ke dalam jurang-jurang yang banyak terdapat di sekitar tempat ini. Apalagi mencoba mengetahui rahasia apa yang ada di balik kabut tebal sepanjang musim itu.

Meskipun begitu ternyata ada juga seorang tokoh yang mampu mendiami daerah berkabut di Bukit Warimun Giri itu. Bahkan tokoh tua yang namanya pernah menggetarkan rimba persilatan di jamannya itu telah bercokol lama sekali di tempat itu, bersama dengan seorang murid tunggalnya. Seorang dara jelita berusia sekitar enam belas tahun.

“Yeaaah...!”

Pagi yang gelap dipecahkan oleh suara teriakan membahana. Sebuah bayangan melesat dengan cepat. Gerakannya ringan sekali bagai seekor walet. Bayangan putih itu bergulung-gulung sambil sesekali melenting ke sana kemari. Dan ketika beberapa pohon dilewati, akan terlihat daun-daunnya jatuh berguguran bersama dengan ranting-ranting, dalam keadaan terpotong!

“Ayu, tahan setanganku...!” satu suara berteriak nyaring yang diikuti melesatnya sesosok tubuh. Bayangan pertama langsung melesat memapaki.

“Yeaaah...!”
Tring...!

Terdengar beberapa kali suara berdenting nyaring dari beradunya dua senjata tajam yang bergerak cepat Kemudian terasa angin bersiur kencang dan tajam seperti sabetan senjata rahasia yang jumlahnya amat banyak. Kejadian itu berlangsung lebih kurang sekejapan saja, dan baru selesai ketika masing-masing membentak nyaring.

Dua sosok bayangan itu melenting saling berjauhan, kemudian hinggap dengan ringan di tanah. Pada jarak sepuluh langkah, terlihat bayangan pertama tadi adalah seorang gadis berparas rupawan memakai baju serba putih dengan rambut panjang diikat ekor kuda agak ke atas, lalu diikat pula dengan sehelai pita putih terbuat dari sutera halus seperti bahan pakaiannya. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang kecil yang disilangkan di dadanya.

Sementara bayangan kedua adalah seorang laki-laki yang telah berusia lanjut dengan rambut panjang telah memutih. Demikian pula dengan jenggotnya. Di tangan kanan laki-laki itu pun tergenggam sebatang pedang berukuran agak besar.

“Bagus, Ayu. Gerakanmu sudah lumayan cepat, dan tenaga dalammu pun sudah sempurna. Kalau ada kekurangan pada dirimu adalah kau butuh pengalaman untuk bertarung. Namun harus diingat, bahwa semua jurus-jurus tipuan yang telah aku ajarkan hendaknya menjadi tameng yang berguna bagimu...!”

“Terima kasih, Eyang...” sahut si gadis yang dipanggil Ayu itu seraya merangkapkan sebelah tangan ke dada dan tubuh sedikit dibungkukkan dengan sikap hormat.

“Kemarilah Ayu, ada yang hendak kubicarakan denganmu...!”

Gadis itu mendekat dan mengikuti langkah si orang tua ke sebuah pondok kecil yang tak jauh dari tempat mereka berlatih tadi. Kemudian duduk di hadapan orang tua yang bersila di bale-bale pondok itu. Dipandanginya beberapa saat gadis itu, kemudian tersenyum pelan seraya menepuk-nepuk sebelah pundaknya.

“Apakah gerangan yang hendak Eyang bicarakan padaku...?”

“Telah enam belas tahun kau berada di tempat ini, dan kurasa telah tiba saatnya kau menjalani tugasmu. Ayu...”

“Apakah Eyang yakin bahwa aku mampu memikul tanggung jawab besar itu?” tanya si gadis dengan nada tak yakin.

Orang tua yang bernama Ki Dewa Ruci itu tersenyum halus, “Apakah kau tidak yakin dengan kemampuanmu?”

“Eyang sering bercerita bahwa di dunia luar sana banyak kejadian yang tiada terduga. Bagaimana mungkin Eyang bisa meyakinkan bahwa aku mampu memikul tanggung jawab dalam tugas mulia ini?”

“Keyakinan itu adanya di hati, dan keberhasilan itu tergantung dari kerja keras yang pantang menyerah. Kalau bekerja membabi buta, maka hasilnya akan kacau-balau. Tapi kau telah mempunyai bekal, dan itu cukup bagimu, sehingga dalam masa remaja mu ini kau sudah harus berpikir cermat dan tepat untuk cepat mengetahui setiap gejala yang akan mencelakakanmu sehingga kau langsung bisa bertindak untuk menyelamatkan diri. Nah, yakinlah dengan semua bekal yang kau miliki, dan gunakan akalmu untuk melindungi nyawamu...” jelas Ki Dewa Ruci memberi wejangan kembali.

Si gadis yang bernama Ayu Laksmini mengangguk pelan. Wajahnya kemudian kembali tegak seraya memandang orang tua itu dengan perasaan sedih.

“Eyang, aku telah menganggapmu sebagai kakekku sendiri yang amat kusayangi...,” ucapnya lirih.

“He, jangan bersedih! Apa kau kira ini perpisahan bagi kita? Tidak! Bila Tuhan Yang Maha Esa berkenan memperpanjang umur kita, tentu saja kita akan bertemu kembali. Dan tentu saja aku senang bisa bertemu dengan cucuku tersayang. Nah, berangkatlah sekarang juga!”

Ayu Laksmini terharu, kemudian berlutut di depan orang tua itu. Tangan kasar Ki Dewa Ruci menyapu air mata yang menetes di wajah gadis muda yang cantik itu. Kemudian tersenyum kecil. Ayu Laksmini berdiri tegak, lalu kembali menjura hormat Ki Dewa Ruci mengangguk seraya tersenyum dan menepuk-nepuk pundaknya.

“Aku pamit, Eyang...,” kata gadis itu lalu berbalik dan melangkah pelan meninggalkan tempat itu.

Ki Dewa Ruci memandangnya sekilas, kemudian kembali ke pondoknya seperti tidak ada kejadian apa-apa.


***


Siang hari ini matahari bersinar tidak terlalu garang. Seorang pemuda berwajah tampan namun terlintas kesan keras dari raut wajahnya itu, berjalan dengan tenang seraya sesekali menepuk-nepuk monyet kecil berbulu hitam yang berada dipundak kirinya. Pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau itu seperti tidak mempedulikan ketika beberapa pasang mata mengintainya dari balik semak-semak di sepanjang jalan yang dilaluinya.

“Nguk..! Nguk..!”

Monyet kecil itu melompat-lompat dipunggungnya sambil berteriak dengan suara keras. Sebelah tangannya menunjuk-nunjuk ke satu arah.

“Tenang saja, Sobat. Aku juga tahu apa yang kau maksud. Tapi selama mereka tidak mengganggu kita, biarkan saja mereka menguntit,” sahut pemuda itu seperti mengerti apa yang dimaksud oleh monyet berbulu hitam itu.

Pemuda yang tidak lain dari Bayu Hanggara itu masih tenang-tenang saja berjalan. Namun demikian pendengarannya yang tajam terus mengikuti perkembangan beberapa orang yang sejak tadi masih tenis mengintainya.

Dia masih belum bisa menduga apa yang mereka kehendaki darinya. Tapi sejauh mereka tidak apa-apa, maka dia pun tidak ingin bertindak. Tapi di suatu tempat yang agak sepi, tiba-tiba saja melesat beberapa sosok tubuh menghadang perjalanannya. Bayu tersenyum kecil.

“Berhenti...!” teriak salah seorang dari mereka seraya mencabut golok dengan sikap mengancam.

Bayu menghitung. Jumlah mereka hanya berlima, dan rata-rata memiliki wajah yang tidak bersahabat. Apalagi kelimanya telah bersiap dengan golok di tangan masing-masing. Yang membentaknya tadi agaknya pemimpin empat orang kawannya yang lain. Tubuhnya agak pendek dan dahinya lebar. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Orang itu maju dua langkah seraya mendengus sinis.

“Siapa kau dan apa yang kau bawa?” bentak orang itu kembali.

“Aku cuma seorang pengembara, dan kalian bisa melihat apa yang kubawa. Sebaliknya, siapakah kalian dan apa yang kalian inginkan dari ku...?” tanya Bayu tenang balik bertanya.

“Apa yang kau ketahui tentang Pedang Setan Dewa Ruci?” tanya orang itu kembali masih dengan nada tinggi dengan sorot mata menyelidik.

Pedang Setan Dewa Ruci? Hm, baru sekali ini kudengar nama itu...,” kata Bayu setengah bergumam.

“Ki Wongso, kukira dia pasti berbohong. Aku yakin bahwa pemuda inilah yang belakangan sering membuat onar dan memiliki pedang itu,” bisik salah seorang kawannya.

Laki-laki yang dipanggil Ki Wongso oleh anak buahnya itu kembali mendengus ke arah Pendekar Pulau Neraka dengan wajah sinis.

“Huh, lebih baik kau mengaku saja dan serahkan pedang itu pada kami. Kalau tidak, kau akan menyesal sendiri nantinya,” lanjut Ki Wongso dengan nada geram mengancam.

Bayu tersenyum kecil. “Ki sanak, aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Seolah-olah kau menuduhku mencuri sesuatu darimu, dan kau memaksa aku untuk mengembalikannya. Tapi mungkin telingamu tuli dan sekarang kutegaskan kembali bahwa aku tidak tahu-menahu apa yang kau bicarakan. Dan aku sama sekali tidak pernah berurusan denganmu, apalagi sampai mencuri barang milikmu!”

Setelah berkata tegas begitu, Bayu segera berpaling dan bermaksud melangkah untuk meninggalkan mereka begitu saja. Tapi mendengar jawaban pemuda itu, dan melihat sikapnya yang sangat menyepelekan mereka, tentu saja membuat Ki Wongso dan kawan-kawannya menjadi geram. Salah seorang anak buahnya sudah langsung melompat menyerang sambil memaki geram.

“Keparat! Kau pikir sedang bicara dengan siapa?”

“Hup!”

Dengan gerakan gesit pemuda itu menundukkan kepala, sehingga senjata lawan luput dari sasaran. Tapi hal itu tidak membuatnya merasa jera melainkan kembali menyerang sambil membalikkan tubuh membabat bagian leher hingga ke pinggang Pendekar Pulau Neraka.

“Yeaaat..!”

Bayu melompat dengan ringan ke atas sambil membuat gerakan salto yang indah. Namun belum lagi kedua kakinya menyentuh tanah, mendadak satu sabetan lawan telah mengejar hendak memapas kedua kakinya. Tapi dengan gerakan gesit Bayu menekuk kedua kakinya, dan dengan gerakan menyilang yang sulit diikuti oleh mata lawan, tiba-tiba saja kedua ujung kakinya menghajar pergelangan tangan lawan hingga goloknya terlepas dari genggaman. Sementara ujung kaki yang sebelah lagi menghantam dada, dan membuat lawan terjungkal sambil menjerit keras.

“Aaakh...!”

“Kurang ajar! Hajar dia sampai mampus...!” geram Ki Wongso memberi perintah pada anak buahnya begitu melihat salah seorang dari mereka dapat dipecundangi oleh lawan dengan mudah.

Tanpa membuang waktu lagi, keempatnya menyambar Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus. Bayu hanya tersenyum kecil sambil melepaskan Tiren dari pangkuannya. Monyet kecil itu melompat cepat dan berjumpalitan sambil berteriak-teriak keras menepuk-nepuk kedua tangannya seperti memberi semangat pada sahabatnya itu untuk menghajar lawan-lawannya.

Dan apa yang ada di benak Bayu agaknya memang demikian. Sejak tadi dia memang sudah tidak sabar melihat sikap mereka. Namun begitu masih berusaha untuk menghindarkan diri. Tapi begitu melihat mereka yang tetap penasaran dan bermaksud mencelakainya, tentu saja kemarahannya bangkit dan kejengkelannya memuncak untuk memberi pelajaran pada mereka.

Dan itulah yang tengah dikerjakannya saat ini. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia meladeni mereka dengan gerakan gesit. Dua buah serangan ke arah bagian bawah, dapat dihindarinya dengan gerakan manis. Namun senjata Ki Wongso dengan cepat menyambar tengkuknya. Bayu menengadahkan kepala ke belakang dan tangan kirinya menghantam pergelangan tangan lawan.

Tak!
Begkh!
“Aaakh...!”

Ki Wongso menjerit kesakitan. Golok dalam genggamannya terlepas ketika pergelangan tangannya terkilir dihantam lawan. Pada saat yang nyaris bersamaan, kaki kiri Bayu berbalik menghantam perut lawan yang mencoba membokongnya dari belakang. Lalu ketika tubuhnya bergerak ke atas, kedua kakinya kembali menyambar wajah Ki Wongso dan bagian dada seorang lawannya yang lain ketika hendak menyambar pinggang Pendekar Pulau Neraka.

Tiga orang itu terjungkal kesakitan. Dua orang lawannya menyerang dengan ragu-ragu. Tapi Bayu betul-betul tidak memberi kesempatan pada mereka. Tubuhnya bergerak mendahului salah seorang lawan yang sedang mengayunkan goloknya. Sementara dari arah yang berlawanan, lawannya yang lain juga mencoba membokongnya dari belakang.

“Yeaaa...!”
Begkh!
Desss!
“Aaakh...!”


***


Tubuh Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan ke atas untuk menghindari sabetan senjata lawan. Lalu dengan cepat ujung kaki kanannya menghantam ke arah dada. Bertumpu pada tendangan itu, tubuhnya kembali melesat ke atas seraya menghindari serangan dari belakang dan ujung kaki kirinya tepat menghantam dahi lawan yang seorang lagi. Kedua orang itu menjerit kesakitan ketika tubuh mereka terjembab ke belakang.

“Nguk! Nguk! Keaaakh...!”

Monyet kecil itu melompat-lompat kegirangan sambil berteriak-teriak keras. Dia berlari-lari kecil mengelilingi kelima lawan sahabatnya itu sambil menjulurkan lidah lalu dengan gesit melompat ke pangkuan Pendekar Pulau Neraka sambil menepuk-nepuk tangan.

“Kurang ajar! Kau akan mampus, keparat!” maki Ki Wongso geram seraya bangkit dan bersiap hendak menghajar lawan.

Demikian juga halnya dengan keempat kawannya. Meski menahan rasa sakit, mereka masih tetap belum merasa jera dan malah tampak semakin garang.

“Sial! Akan kucincang tubuh kalian berdua!” ujar seseorang mengumpat.

“Huh, jangan lagi diberi kesempatan!” timpal yang lainnya dengan nada bernafsu untuk cepat-cepat menghabisi Bayu.

Namun baru saja mereka hendak menyerang Bayu, mendadak terdengar suara halus menahan.

“Paman Wongso, menepilah dan suruh paman-paman yang lain untuk segera minggir. Pemuda ini bukan lawan kalian. Biar aku yang menghadapinya...!”

“Heh?!” Mereka serentak kaget dan menoleh. Seorang gadis berbaju hijau dan berparas cantik telah berdiri tidak jauh dari mereka.

Gadis yang memiliki ikat pinggang berupa selendang berwarna kuning itu terlihat menggenggam sebatang pedang di tangan kirinya. Melihat si gadis, tampaknya kelima orang itu menaruh rasa hormat yang mendalam.

“Ah, kami kira siapa... ternyata Ni Padmi Ningsih...”

Gadis berusia sekitar tujuh atau delapan belas tahun itu melangkah mendekati Bayu, kemudian memandangnya tajam untuk beberapa saat lamanya.

“Ni, sebaiknya biar kami yang mengurus si keparat satu ini...”

“Jangan khawatir, Paman Wongso. Aku tidak akan melukainya, lagi pula aku sudah melihat bagaimana kalian dengan mudah dapat dijatuhkannya. Pemuda itu bukan tandingan kalian. Biarlah aku coba bermain-main dengannya. Siapa tahu dia bisa sedikit lunak...” potong gadis itu yang dipanggil Ni Padmi Ningsih sebelum kata-kata Ki Wongso selesai.

Setelah berkata demikian, Ni Padmi Ningsih kembali maju beberapa langkah mendekati Pendekar Pulau Neraka. Kemudian seraya tersenyum kecil, dia berkata pelan.

“Ki sanak, siapakah kau sebenarnya...?”

Bayu tersenyum kecil karena merasa lucu melihat sikap gadis itu yang merasa yakin mampu menundukkannya.

“Aku telah katakan siapa aku, dan kali ini keinginanku adalah pergi dari tempat ini. Nah, kalau kalian memang mau berbaik hati, menepilah dan biarkan aku pergi...,” kata Bayu tenang.

“Boleh saja. Silakan...,” kata Ni Padmi Ningsih seraya menepi ke kiri.

“Ni Padmi...?!” Ki Wongso terkejut melihat apa yang dilakukan gadis itu. Dengan seenaknya dia hendak melepaskan buruan mereka?

“Terima kasih...,” lanjut Bayu sambil melangkah pendek.

“Maksudku boleh saja kau pergi, tapi tidak boleh dari lima langkah...,” sahut Ni Padmi Ningsih seraya melompat ke arah lawan ketika Bayu telah berjarak tujuh langkah darinya.

“Yeaaa...!”
“Hup!”

Tubuh Bayu berputar menghindari serangan lawan, kemudian dengan sedikit menunduk ketika satu tendangan menghajar kepalanya, dia melepaskan Tiren dari gendongan. Namun serangan gadis itu kemudian terlihat lebih gencar dan dahsyat Untuk sejenak Bayu merasa kaget, namun dia tidak bisa berlaku lengah. Gadis itu agaknya tidak segan-segan membuktikan kata-katanya untuk menundukkan dirinya.

Bayu bertindak hati-hati ketika tubuh Ni Padmi Ningsih melayang ke arahnya. Kepalanya sedikit ditundukkan, kemudian tubuhnya melesat ke atas ketika lawan menyapu bagian bawah tubuhnya dan diikuti dengan hantaman kepalan tangan bertenaga kuat ke arah dada. Begitu mengetahui serangannya luput, tubuh Ni Padmi Ningsih bergerak mengejar lawan tanpa sungkan-sungkan lagi, langsung mencabut pedangnya.

Sriiing!
“Yeaaa...!”
“Uhhh...!”

Semula Bayu tidak begitu khawatir, namun ketika mengetahui permainan pedang lawan yang lihai bukan main, dia sedikit mengeluh. Tubuhnya bergerak cepat untuk menghindari setiap sambaran pedang lawan.

“Huh, terimalah jurus ampuhku ini!

Hiyaaat..!” geram Ni Padmi Ningsih ketika serangan-serangannya belum juga ada yang mengenai lawan. Dia merubah jurus. Tubuhnya sesekali berputar bagai gangsing, namun mampu bergerak cepat bagai angin lesus yang menyerang lawan ke mana saja bergerak menghindar. Kadang-kadang pula mengepung dalam empat penjuru, membuat Bayu merasa sulit untuk menghindar. Seperti yang terjadi saat ini.


***


EMPAT

“Hiyaaat...!”

Bayu membentak nyaring. Tubuhnya berkelebat ke atas sambil berputar-putar dan meliuk-liuk menghindari kepungan serangan lawan.

Bet!
“Uhhh...!”

Nyaris ujung pedang lawan menyambar tengkuknya kalau saja dia tidak cepat menggulung tubuh. Sebelah kakinya mencoba menghantam pergelangan tangan lawan. Namun lengan gadis itu lebih cepat meliuk menyambar pinggangnya. Padahal saat itu Bayu baru saja menjejakkan sebelah kakinya ketanah. Tidak ayal lagi, tubuhnya kembali melenting menghindari serangan lawan.

Cras!
Wut!

Senjata lawan menyambar dengan cepat ketika Pendekar Pulau Neraka memancingnya ke arah sebuah batang pohon, lalu kembali melompat menghindari. Cabang pohon sebesar paha itu putus dihantam pedang si gadis. Namun begitu Pendekar Pulau Neraka mempunyai kesempatan untuk balas menyerang lawan.

Plak!
Tres!
Des!
“Uhhh...!”

Tendangan yang dilakukan Bayu dari arah samping dengan cepat ditangkis lawan dengan kibasan tangannya. Pada saat itu juga dia mengayunkan tangan kanannya ke arah leher si gadis. Ni Padmi Ningsih terpaksa menangkis sambil berputar untuk melindungi bagian dadanya yang kemungkinan bisa dihajar lawan.

Namun Cakra Maut yang berada di pergelangan tangannya luput dari perhatian lawan dan menghantam pedangnya hingga terpental. Dua buah jari tangan kanannya menyambar kedua biji mata lawan. Ni Padmi Ningsih terkesiap dan cepat mundur ke belakang seraya mendongakkan kepala.

Saat itu juga tendangan Bayu menghantam dengan telak ke perutnya. Gadis itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah dalam keadaan sempoyongan.

“Nguk! Kaaakh...!”

Tiren bersorak kegirangan sambil menjerit keras begitu melihat lawan Pendekar Pulau Neraka terhuyung-huyung. Kedua tangannya bertepuk dan wajahnya berkerut mengejek gadis itu.

“Itu pelajaran bagi kalian untuk tidak berbuat gegabah...,” dengus Bayu dingin.

“Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat seenak mu saja? Huh! Kau harus mampus di tanganku!” balas salah seorang anak buah Ki Wongso dengan amarah yang meluap dan langsung menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus.

“Huh, keras kepala!” Bayu menggeram. Tubuhnya berkelit ke belakang, kemudian berbalik sambil melompat ke atas menghindari sabetan golok lawan. Ujung kaki kirinya mencoba menghantam wajah laki-laki itu, namun dengan gesit lawan bergerak ke samping. Justru pada saat itulah tendangan kaki kanan Bayu melesat ke arah dada tanpa bisa dihindari.

Duk!
Kraaak!
“Aaa...!”

Orang itu memekik sekeras mungkin. Tendangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka terasa keras bukan main hingga membuat tulang rusuknya berderak, patah. Bahkan dada bagian kirinya melesak ke dalam dan membuat jantungnya pecah. Nyawa laki-laki itu seketika melayang meninggalkan tubuhnya yang bersimbah darah.

“Keparat! Kau akan membayar nyawanya...!” geram Ki Wongso melihat kematian salah seorang anak buahnya itu. Ketiga anak buahnya pun serentak melompat dengan amarah yang meluap-luap.

Bayu mendengus sinis. Matanya memandang mereka dengan tajam. “Huh, kalau kalian ingin mampus, majulah bersama-sama!”

“Setan! Yeaaa…!”

Dengan serentak mereka melompat bersamaan dari segala arah mengepung lawan. Sepertinya kali ini mereka tidak ingin memberi sedikit pun kesempatan pada pemuda itu untuk meloloskan diri.

“Hup!”
“Yeaaa...!”

Melihat dirinya terkepung sedemikian rupa, Bayu tersenyum sinis. Dia tegak berdiri, lalu melompat cepat mendahului menyerang lawan dengan gerakan yang sulit diikuti oleh mata biasa. Ki Wongso dan anak buahnya terkesiap. Mereka menyambar Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus pada setiap kelebatan tubuhnya.

Namun dengan tiba-tiba terasa sesuatu benda keras menimpa tubuh tiga orang di antara mereka.

Plak!
Duk!
“Aaakh...!”

Tiga orang itu terjungkal sambil menjerit setinggi langit. Dua orang terlihat dadanya remuk dan menggelepar-gelepar beberapa saat sebelum nyawanya lepas dari tubuh. Yang seorang lagi muntah darah dan berusaha bangkit dengan sempoyongan, tapi kemudian rubuh lagi dengan napas tercekat.

“Aku tidak bermusuhan dengan kalian, tapi kalianlah yang mencari gara-gara. Hari ini jika kalian merasa tidak senang, boleh memperpanjang urusan denganku. Jangan katakan Pendekar Pulau Neraka takut menghadapai tikus-tikus busuk seperti kalian!” seru Bayu geram seraya menyambar Tiren dan melompat ke salah satu cabang pohon dan melesat dari tempat itu dengan cepat.

Ni Padmi Ningsih dan Ki Wongso hanya bisa terpaku dengan wajah geram.

“Keparat! Dia tentu tidak akan lepas dari tangan kita!” geram Ki Wongso.

“Lebih baik laporkan hal ini pada ayah,” sahut Ni Padmi Ningsih kesal seraya melesat meninggalkan tempat itu. Ki Wongso menyusul setelah membopong keempat kawannya yang tergeletak tidak berdaya.


***


Ki Dewantara terkejut setengah mati melihat apa yang terjadi dengan ketiga muridnya yang tewas, dan seorang luka parah. Ki Wongso hanya menunduk dalam-dalam melihat kemarahan gurunya itu.

“Kau tahu siapa Pendekar Pulau Neraka itu?!” hardik Ki Dewantara garang.

“Ampun Guru, hamba... hamba baru mengetahuinya belakangan....”

“Seharusnya kau mengetahui bahwa bukan Pendekar semacam dia yang kau tuduh dengan membabi buta.”

“Tapi... tapi Guru, ciri-ciri pemuda itu mirip dengannya...”

“Tolol! Apakah kau tidak bisa membedakan di antara mereka berdua?! Kau katakan, kau pernah melihat pemuda itu. Sekarang bagaimana mungkin kau tidak bisa membedakannya?”

“Ketika itu hamba hanya melihatnya sekilas saja, Guru...”

“Sudah, jangan banyak bicara! Sekarang kebumikan mereka dengan layak!”

“Tapi Guru, apakah... apakah kita tidak membuat perhitungan dengannya? Dia telah menewaskan tiga orang murid Perguruan ini....”

“Tutup mulutmu! Biar ini menjadi urusanku. Nah, pergilah kau sekarang!”

“Baiklah, Guru...,” sahut Ki Wongso seraya beranjak dari ruangan itu setelah menjura hormat.

Ki Dewantara menghela napas panjang sambil menggeleng lemah. Ni Padmi Ningsih yang sejak tadi diam, hanya menundukkan kepala dengan wajah yang cemberut. Beberapa kali dia memandang wajah ayahandanya itu, lalu mengalihkan perhatian.

“Apa yang kau lakukan tadi? Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa? Bukannya ayah menyuruhmu untuk tidak keluar dari rumah. Masih untung kau bisa selamat berhadapan dengannya. Bagaimana kalau kau sampai tewas seperti mereka?!” tegur Ki Dewantara marah.

“Aku... aku sekadar membantu pekerjaan mereka, Ayah...”

“Dengan mengorbankan nyawamu?”

“Kematian Paman Ganggapura amat menyakitkan hatiku...”

“Itu urusan perguruan dan kau tidak boleh ikut campur!”

“Tapi aku ingin menangkap pemuda itu hidup-hidup untuk kita adili di perguruan ini...!”

“Padmi, jangan membantah. Kau tidak tahu bagaimana keadaan di luar sana. Kau bisa celaka kalau bertindak gegabah!”

Ni Padmi Ningsih tertunduk dengan wajah semakin cemberut kesal mendengar bentakan ayahandanya itu. Ki Dewantara menghela napas panjang. Dipandanginya putri satu-satunya itu dengan seksama, kemudian menggeleng pelan.

“Hhh... masih untung kau bisa selamat, Anakku. Pendekar Pulau Neraka seorang tokoh yang belakangan ini namanya sangat terkenal karena kepandaiannya yang hebat. Ayah sendiri belum pernah bentrok dengannya, tapi dari berita yang sering ayah dengar, dia seorang tokoh pembasmi kejahatan. Namun begitu tindakannya amat sadis dan tidak kenal ampun terhadap lawan-lawannya. Rata-rata semua binasa di tangannya....”

“Apakah Ayah akan mendiamkan saja peristiwa ini...?”

Ki Dewantara kembali menghela napas panjang. “Aku bukannya tidak sakit hati mendengar berita ini, tapi membuat urusan pada saat keadaan kita genting begini, tentu akan membuat suasana menjadi runyam. Pemuda yang bernama Ki Buyut Kelana itu saja sudah amat merepotkan dengan ulahnya membantai murid-murid Perguruan Camar Hitam yang berkeliaran mencari benda pusaka yang berada di tangannya itu. Dan kita sama-sama mengetahui bahwa pamanmu, Ki Ganggapura, telah tewas di tangannya,” sahut Ki Dewantara dengan suara lirih.

“Jadi Ayah betul-betul tidak ingin membuat perhitungan dengan pemuda yang menamakan dirinya Pendekar Pulau Neraka itu?!” sentak Ni Padmi Ningsih dengan nada kesal.

“Tentu saja. Tapi tidak sekarang....”
“Lalu kapan?”

“Setelah urusan kita selesai dengan pemuda bernama Ki Buyut Kelana itu,” sahut Ki Dewantara menegaskan.

“Huh, ternyata Ayah yang kubangga-banggakan sejak dulu tak lebih dari seorang pengecut! Menghadapai kedua pemuda tak tahu diri itu saja sudah mundur. Kalau memang Ayah tak mampu, biar aku sendiri yang akan menghajar mereka berdua!” seru Ni Padmi Ningsih seraya berlalu dari ruangan itu.

“Padmi! Padmi...! Hentikan niatmu itu...!” teriak Ki Dewantara berusaha mencegah niat putrinya itu.

Namun gadis itu telah berlari cepat, dan pergi dari Perguruan Camar Hitam dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai taraf sempurna.

“Anak keras kepala! Dia akan celaka sendiri...!” umpat Ki Dewantara kesal.

Laki-laki itu kemudian memanggil beberapa orang murid utamanya. Dua orang segera tergopoh-gopoh menemuinya. Masing-masing berusia sekitar tiga puluh tahun dengan memiliki tubuh tegap.

“Ada keperluan apa memanggil kami, Guru...?” tanya salah seorang di antara mereka.

“Ni Padmi Ningsih kabur. Dia bermaksud hendak mencari pemuda bernama Ki Buyut Kelana dan Pendekar Pulau Neraka. Kalian kejar dia dan lindungi dari segala bahaya. Dan bawa dia segera pulang!”

“Pendekar Pulau Neraka? Apakah... apakah dia ikut pula terlibat dalam persoalan kita, Guru?” tanya muridnya dengan wajah heran dan dahi berkerut.

“Laksanakan saja perintahku, dan jangan banyak tanya!” sentak Ki Dewantara.

“Baik, Guru. Kami berangkat sekarang!” seru keduanya segera berlalu dari tempat itu.

Ki Dewantara kembali menarik napas panjang sambil menggeleng lemah. Bola matanya menatap ke arah dua orang muridnya itu sampai mereka menghilang di balik pintu gerbang depan.

“Mudah-mudahan kau selamat, Anakku...,” bisiknya seraya berdoa di hati.


***


Ki Dewantara baru saja membalikkan tubuh untuk kembali ke ruangannya ketika itu terdengar jeritan kesakitan dari arah gerbang depan. Buru-buru dia berbalik dan melihat beberapa orang muridnya tewas bermandikan darah. Tiga orang murid Perguruan Camar Hitam terlihat mengepung seorang tamu yang tidak diundang itu, namun dengan sekali sentak mereka tewas bersimbah darah. Bukan main terkejutnya Ki Dewantara. Dia segera melompat dan menghadang serangan lawan sambil membentak nyaring.

“Ni sanak, hentikan perbuatanmu!”

Sosok tubuh itu menghentikan aksinya. Dia memandang ke arah Ki Dewantara dengan sorot mata tajam menusuk. Ujung pedang ditangannya yang masih berlumuran darah, ditudingkan ke wajah lawan.

“Siapa kau...?”

Ki Dewantara sebenarnya merasa tersinggung dan terhina melihat perlakuan itu. Dia mencoba tersenyum dan menaksir, gadis ini tentu berusia sekitar enam belas tahun. Tapi sepak terjangnya amat ganas, dan yang jelas dia memiliki kepandaian yang tidak rendah. Sebab, kalau tidak dia tak akan mungkin mampu menghabisi lawan secepat tadi.

“Ni sanak, namaku Dewantara. Aku adalah ketua perguruan ini. Adakah sesuatu yang membuat kau begitu membenci kami sehingga datang dengan tiba-tiba dan membuat kekacauan?” tanya Ki Dewantara dengan suara yang dibuat sedemikian ramah dan menekan hawa amarah di hatinya.

Gadis berparas cantik dan mengenakan pakaian serba putih itu melirik sejenak ke sekeliling tempat itu. Puluhan murid Perguruan Camar Hitam telah mengurungnya rapat-rapat dan siap menghajarnya dengan sekali isyarat. Kemudian dia meluruskan pandangan ke depan, ke arah Ki Dewantara seraya menurunkan pedangnya. Wajahnya terlihat sinis.

“Aku, Ayu Laksmini, murid tunggal Eyang Dewa Ruci. Membawa pesan dari beliau agar Ki Kartawijaya dan Nini Widyadara menyerahkan Pedang Setan yang dipinjamnya puluhan tahun lalu,” sahut gadis itu tegas.

“Apa? Kau... kau utusan Ki Dewa Ruci...?!” Ki Dewantara sedikit terkejut. Sama sekali tidak pernah dibayangkan olehnya bahwa hari ini dia bertemu dengan murid Ki Dewa Ruci, orang yang belasan tahun lalu pernah dicari-carinya untuk membuat perhitungan.

Kalau saja pertemuan kali ini terjadi belasan tahun lalu, mungkin dia akan merasa senang dan langsung akan menghajar gadis ini dan memaksanya untuk menunjukkan tempat persembunyian gurunya. Tapi waktu telah banyak berubah. Juga termasuk perubahan sikapnya untuk tidak terbawa hawa nafsu yang membabi buta.

Ki Dewantara tersenyum dan berusaha bersikap ramah. Bagaimana pun dia menyadari bahwa gadis di depannya ini adalah masih terhitung saudara seperguruan juga dengannya.

“Adik Ayu, bagaimana kalau kita berbicara didalam? Bukankah dengan begitu akan lebih baik dan terlihat sopan sebagaimana layaknya dua orang yang bersaudara?”

“Ki Dewantara, tidak usah berbasa-basi. Kau sudah tahu jelas apa maksud kedatanganku ke sini. Serahkan Pedang Setan itu padaku dan aku akan segera pergi dari tempat ini!” seru gadis itu dengan wajah garang.

“Adik Ayu, kalau memang demikian keinginanmu, tidak apa. Tapi sungguh sangat disesalkan. Pedang itu saat ini tak ada pada kami, tapi telah diambil seseorang puluhan tahun lalu. Saat ini berada di tangan seorang pemuda bernama Ki Buyut Kelana. Kami sedang berusaha keras untuk merebutnya kembali dan bermaksud menyerahkannya pada Eyang Dewa Ruci...,” sahut Ki Dewantara dengan suara pelan menjelaskan.

“Aku tidak peduli apa jawabanmu. Yang jelas aku datang ke sini dan harus membawa pedang itu kembali ke tangan Eyang Dewa Ruci,” dengus Ayu Laksmini.

“Guru, kalau memang dia tak bisa diajak berbaik-baik, buat apa Guru meladeninya lagi? Sudah jelas dia memang ingin mencari keributan,” sela salah seorang murid Perguruan Camar Hitam.

“Betul, Guru. Tidak sepatutnya Guru bersikap ramah begitu. Kita sudah menunjukkan itikad baik kita, namun ternyata dia tak mau menerima. Guru tak pantas masih bersikap sabar terus,” sahut yang lainnya.

Ki Dewantara bermaksud hendak meredakan amarah murid-muridnya, tapi gadis itu telah lebih dulu menudingkan ujung pedangnya ke arah murid-murid Perguruan Camar Hitam seraya mendengus geram.

“Hei, monyet-monyet keparat! Kalian kira bisa berbuat seenaknya padaku? Huh, siapa yang mau mampus majulah cepat!”

“Sial!” seru beberapa orang di antara murid-murid perguruan itu seraya mencabut golok dan hendak menyerang gadis itu dengan wajah garang.

“Diam! Hentikan perbuatan kalian...!” bentak Ki Dewantara garang.

Tapi agaknya bentakan itu bukannya meredakan ketegangan. Murid-muridnya memang menahan sabar mendengar bentakan gurunya itu, namun tubuh Ayu Laksmini telah melesat sambil menghunuskan pedang ke arah beberapa orang murid perguruan itu dan menyerang dengan ganas. Tentu saja hal itu membuat mereka kelabakan.

“Yeaaa...!”
Trak!
Bret!
Crasss!
“Aaakh...!”

Diserang begitu rupa tentu saja beberapa orang murid Perguruan Camar Hitam kalang kabut menyelamatkan diri. Beberapa orang berhasil menangkis, namun lima orang langsung tewas sambil menjerit keras disambar pedang si gadis. Tubuh mereka ambruk bersimbah darah dengan sayatan lebar di bagian dada.

“Kurang ajar! Hajar dia...!” teriak murid-murid perguruan itu dengan amarah yang meluap-luap.

Dan bagai air bah yang meluap, serentak mereka menyerang gadis itu dengan senjata terhunus. Melihat hal itu Ayu Laksmini bukannya menjadi gentar. Dengan bersemangat tubuhnya melompati seraya membuat gerakan indah meliuk-liuk menyambuti serangan-serangan lawan. Pedangnya berkelebat ke sana kemari dan sulit diikuti pandangan mata biasa.

“Hiyaaat..!”
Trang! Tring!
Brettt!
Crasss!
“Aaakh...!”


***


LIMA

Ki Dewantara agaknya tak tahu harus berbuat apa. Untuk mencegah perbuatan murid-muridnya pun rasanya dia tak mampu. Selain mereka yang sudah terbakar amarah melihat kelakuan gadis itu, hati kecilnya pun merasa tak suka melihat sepak terjang si gadis. Terlebih lebih saat itu ketika dilihatnya gadis itu betul-betul melakukan pembantaian hebat.

Kepandaian Ayu Laksmini memang hebat dan sama sekali bukan tandingan murid-muridnya. Apa yang pernah didengarnya tentang kehebatan Eyang Dewa Ruci memang bukan omong kosong belaka. Dengan kepandaiannya itu murid-muridnya sama sekali tak mampu melawan si gadis. Tak bisa dibayangkan bagaimana bila Eyang Dewa Ruci sendiri yang turun tangan saat ini.

Dan keterkejutan Ki Dewantara agaknya tak berlanjut lama. Dia tak tega melihat murid-muridnya yang tewas secara percuma tanpa bisa melakukan perlawanan berarti. Maka dengan hati terpaksa dia melompat menahan serangan si gadis seraya membentak nyaring.

“Adik Ayu, hentikan pembantaianmu...!”
“Yeaaa...!”

Mendengar bentakan itu bukannya si gadis menghentikan serangan, pedangnya malah langsung berputar menyambar tubuh Ki Dewantara yang berkelebat menghadang serangannya. Ki Dewantara agaknya sudah menduga hal itu dan bersiap dengan pedang terhunus menyambut serangan lawan.

Sring!
Tring! Trang!

Ketika kedua senjata mereka beradu, laki-laki itu merasa terkejut. Tangannya kesemutan hebat dan sedikit nyeri. Kalau saja tadi melihat permainan pedang si gadis dia sudah terkagum-kagum, maka ketika saat itu berhadapan langsung dia bisa merasakan kehebatan ilmu pedang lawan. Ujung pedang itu menyambar-nyambar tenggorokan dan dadanya dengan kecepatan yang bukan main hebatnya.

Wuuut! “Uhhh...!”
“Hiyaaat...!”

Ketika ujung senjata lawan menyambar perutnya, dengan cepat Ki Dewantara bergerak ke samping seraya menangkis.

Trang!

Ayu Laksmini memutar pedang sedemikian rupa dan menyambar leher lawan. Ki Dewantara kembali bergerak ke samping sambil melompat ketika senjata lawan membabat pinggangnya. Ayu Laksmini menyusul dengan satu tendangan kaki kirinya yang menyilang ke arah dada lawan.

“Hiiih!”
“Uts!”

Ki Dewantara terkejut, namun masih sempat mengayunkan pedang. Ayu Laksmini menarik tendangannya dan menekuk kaki. Dengan bertumpu pada sebelah kaki, tubuhnya melesat ke atas dengan pedang berputar-putar menyambar bagian kepala. Ki Dewantara menjatuhkan tubuh, dan terus bergulingan untuk kemudian melenting ke atas menjauhi lawan. Tapi saat itu juga ujung pedang lawan berkelebat menyambar ke arah leher. Ki Dewantara terkejut setengah mati. Dia berusaha melompat ke samping namun akibatnya ujung pedang lawan menyambar dadanya.

Crasss!
“Akh...!”

Ki Dewantara bergulingan untuk menghindari serangan lawan berikutnya sambil menahan rasa nyeri. Tapi Ayu Laksmini tak meneruskan serangan. Dia berdiri tegak memandang lawan seraya mengacungkan ujung pedang ke arah Ki Dewantara.

“Itu peringatan pertama bagimu!” dengusnya sinis.

Ki Dewantara mengeluh kesakitan dengan wajah berkerut. Dadanya tergores cukup dalam akibat sambaran pedang lawan. Beberapa muridnya bergerak menyerang gadis itu. Namun buru-buru Ki Dewantara mencegahnya seraya menyorongkan tangan. Dia berusaha berdiri tegak, kemudian menyilangkan pedang sambil membuka jurus baru. Sorot matanya tajam memandang gadis itu.

“Baiklah kalau memang itu yang kau kehendaki. Aku akan meladenimu...,” sahut Ki Dewantara dengan suara dingin.

Setelah berkata demikian terlihat kedua kakinya merapat dan tubuhnya sedikit miring dengan pedang menjurus ke depan. Lalu dengan satu bentakan nyaring dia melompat menyerang lawan dengan gerakan yang cepat.

“Hiyaaat..!”

Ayu Laksmini mendengus sinis. Dia bisa merasakan tenaga dalam lawan yang dikerahkan lewat pukulan tangannya yang menimbulkan tenaga dorongan kuat. Gadis belia berwajah cantik itu menggeram, kemudian melompat memapaki.

“Yeaaa...!”
Plak!
Wut!

Kepalan tangan kanan Ki Dewantara yang menderu keras ditahan dengan telapak tangan kiri lawan. Dia nyaris tak percaya kalau gadis itu mampu berbuat demikian, karena hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Tapi kemudian dia kaget sendiri dibuatnya. Meski Ki Dewantara mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya, tapi masih saja dadanya terasa nyeri akibat tekanan tenaga dalam lawan.

Ujung pedangnya menyambar ke arah leher dan pinggang si gadis. Ayu Laksmini melompat ke atas sambil bersalto indah. Ujung pedangnya balas menyambar batok kepala lawan. Ki Dewantara terkejut dan cepat mendongak ke belakang dengan tubuh siap bergulingan. Namun justru saat itulah ujung kaki kanan Ayu Laksmini menghantam dadanya.

Duk!
“Aaakh...!”

Ki Dewantara menjerit keras. Isi dadanya seperti remuk menerima tendangan itu. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah. Ayu Laksmini terus mengejar seperti tak ingin memberi kesempatan lagi padanya.

“Sekarang terimalah kematianmu! Yeaaa..:!”

Ki Dewantara tercekat. Dalam keadaan demikian, tipis harapan baginya untuk menghindari. Dan meskipun murid-muridnya bersiap hendak menghadang serangan gadis itu, tapi dia tak yakin mereka akan mampu mendahului gerak gadis itu. Ki Dewantara memejamkan mata dengan sikap pasrah. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya saat ini.

Darah kental berkali-kali keluar dari mulutnya menandakan keadaannya yang terluka parah di dalam tubuhnya. Badannya terasa ngilu dan sakit sekali, serta sulit untuk digerakkan. Namun pada saat yang kritis itu mendadak melesat dua sosok bayangan yang memapaki serangan Ayu Laksmini.

Trang!
Wut!
“Huh!”


***


Ayu Laksmini bukannya tak mengetahui dua orang lawan itu. Semula dia berusaha untuk tidak peduli dan segera ingin menghabisi Ki Dewantara lebih dahulu, baru kemudian memapaki serangan kedua lawan barunya itu sekaligus. Tapi merasakan kecepatan mereka yang bukan main hebatnya. Perhitungannya segera mengatakan bahwa dia tak akan mampu memapaki Ki Dewantara lebih dulu dan terpaksa meladeni kedua lawannya itu.

Pedangnya berputar cepat menyambar keduanya, namun kedua lawannya agaknya telah memperhitungkan hal itu dan buru-buru menghindar sehingga serangan Ayu Laksmini menyambar tempat kosong. Ayu Laksmini mendengus kesal ketika kedua kakinya menjejak tanah. Kedua lawannya tak mengejar, sehingga ketika mereka menjejakkan kaki, dia bisa melihat dengan jelas sepasang kakek nenek yang sama-sama menggenggam sebatang pedang.

Wajah si kakek kelihatan menggeram dan sepasang matanya yang menyorot tajam ke arahnya. Sementara si nenek sendiri sedikit kelihatan ramah dengan tersenyum kecil.

“Ni sanak, siapakah kau sebenarnya dan kenapa ingin mencelakakan orang?” tanya si nenek yang tak lain dari Nini Widyadara.

“Siapa pula kau?” sahut Ayu Laksmini dengan nada sinis.

“Bocah, hati-hati bicaramu! Apa kau kira dengan kepandaianmu itu kau bisa berlagak di sini?!” bentak si kakek yang tak lain dari Ki Kartawijaya dengan nada berang.

“Tua bangka busuk! Menyingkirlah kalau memang kau tak ada urusan dengan persoalanku!” balas Ayu Laksmini sengit.

“Bocah kurang ajar! Rupanya orangtua mu tak pernah mengajarkan sopan santun padamu. Biarlah aku yang akan mengajarkannya hari ini!” dengus Ki Kartawijaya geram.

Kakek tua itu sudah hendak menyerang Ayu Laksmini kalau saja saat itu Nini Widyadara tak mencegahnya.

“Kakang, sabarlah dulu. Kita belum mengetahui apa maksud kedatangannya ke sini....”

“Tidak usah banyak berbasa-basi. Aku Ayu Laksmini, murid Eyang Dewa Ruci. Kedatanganku ke sini untuk meminta kembali Pedang Setan yang pernah kalian pinjam dari beliau. Dan aku harus mendapatkannya sekarang juga!” sahut Ayu Laksmini menegaskan dengan suara lantang.

“Ayah, Ibu... aku telah menjelaskannya tapi gadis itu tak mau mengerti juga. dia tetap memaksa kita...,” sahut Ki Dewantara menjelaskan.

Nini Widyadara mengangguk pelan, kemudian tersenyum ketika memandang gadis itu.

“Ni Sanak, kami berusaha bersikap sopan terhadapmu dan selama ini perguruan kami selalu berusaha bersikap jujur. Setelah kami mengatakan hal yang sebenarnya, kenapakah engkau masih tak percaya? Kami akan berusaha mendapatkan pedang itu dan mengembalikannya kepada yang berhak, yaitu gurumu...,” katanya dengan suara yang masih rendah.

“Perempuan tua, kaulah yang bernama Nini Widyadara?!” tanya Ayu Laksmini dengan suara keras dan sorot mata tajam.

“Hm, agaknya gurumu telah memperkenalkan aku padamu....”

“Cuih, perempuan rendah! Kau pikir dengan kata-kata manismu itu bisa melunakkan hatiku? Eyang Dewa Ruci sangat tersiksa dengan pengkhianatanmu. Orang sepertimu sudah sepatutnya mampus. Kau sama sekali tak berharga untuk hidup!” desis Ayu Laksmini dengan sikap garang dan sama sekali tak bersahabat.

“Bocah kurang ajar! Jaga mulutmu. Hati-hati kau bicara! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!” bentak Ki Kartawijaya dengan muka merah padam menahan marah.

“Orang tua busuk! Kau pasti si Kartawijaya keparat, yang telah merebut perempuan tua itu dari sisi guruku. Kau dan istrimu itu sama busuknya. Dan orang seperti kalian memang tak pantas hidup lebih lama!” sergah Ayu Laksmini seraya menuding dengan ujung pedangnya.

“Keparat!” agaknya Ki Kartawijaya sudah tak bisa lagi menahan kesabarannya. Tubuh lelaki tua itu melompat gesit menyerang Ayu Laksmini.

“Yeaaa...!”

Ayu Laksmini yang sejak tadi memang telah bersiaga dengan cepat menyambut serangan lawan. Tubuhnya melompat ke samping seraya membabatkan pedang ke leher lawan. Ki Kartawijaya bukannya tak mengetahui hal itu. Telapak tangan kirinya terkembang dan dari situ keluar angin kencang berhawa panas. Bersamaan dengan itu kepalanya ditundukkan untuk menghindari tebasan senjata lawan.

“Uts!”

Tubuh gadis itu melenting ke atas. Kaki kirinya berputar menghantam pinggang lawan. Ki Kartawijaya meliuk dan melompat ke atas seraya membuat gerakan salto yang indah. Telapak tangan kanannya bermaksud menghantam batok kepala lawan. Namun dengan gerakan yang tak kalah gesitnya, tubuh Ayu Laksmini merendah. Ujung pedangnya menyambar dengan cepat ke arah dada lawan. Kemudian tubuhnya tenis bergerak ke belakang.

“Uhhh...!”

Ki Kartawijaya terkejut bukan main. Gerakan yang dilakukan gadis itu cepat bukan main. Nyaris dadanya kena dibabat kalau saja tubuhnya tidak buru-buru berputar miring. Ujung pedang lawan lewat beberapa inci, namun angin sambarannya yang keras terasa sampai ke jantung. Hal itu saja telah membuktikan bahwa tenaga dalam gadis itu memang telah mencapai taraf sempurna.

Belum lagi dia bersiaga untuk memantapkan posisinya, tubuh Ayu Laksmini kembali melesat cepat sambil membentak nyaring.

“Hiyaaat...!”
“Uts!”
Wuk!

Tubuh Ki Kartawijaya melompat ke samping seraya bergulingan untuk menghindari tebasan senjata lawan yang beruntun. Telapak kirinya masih sempat menghantam lawan dengan pukulan jarak jauh yang bertenaga kuat. Namun Ayu Laksmini dengan gesit mengelak ke atas, dan tubuhnya membuat lompatan ringan ke arah lawan dengan gerakan cepat.

“Yeaa...!”
Crasss!
“Ohhh...!”

Ki Kartawijaya terkejut bukan main melihat gerakan lawan. Dia berusaha menghindar dengan terus bergulingan dan bermaksud melenting ke belakang untuk menjauhi serangan lawan. Tapi dengan tidak terduga, ujung pedang lawan lebih cepat lagi menyambar betis kirinya dan membuat luka panjang yang cukup dalam. Orang tua itu mengeluh kesakitan. Tubuh Ayu Laksmini bergetar, namun dengan cepat dia kembali melompat menyerang lawan dengan amarah yang meluap.

“Orangtua busuk, mampuslah kau sekarang!
Yeaaa...!”
“Hiyaaa...!”


***


Ki Kartawijaya sebenarnya tidak terlalu terjepit keadaannya pada saat itu. Dan sebenarnya dia masih mampu untuk menghindari serangan lawan. Namun Ki Dewantara agaknya sudah tidak sabaran. Tangannya merasa gatal melihat ulah gadis itu. Maka tanpa pikir panjang lagi dia langsung melompat menghadang Ayu Laksmini dengan senjata terhunus. Ayu Laksmini cepat menyambut serangan lawan dengan kehebatan pedangnya.

Trang!
Bet!

Begitu kedua senjata mereka beradu, Ki Dewantara merasa tangannya kesemutan. Bunga api kecil terpercik. Wajahnya tampak kerut menahan sakit Namun begitu dia masih mampu untuk memiringkan tubuh seraya mendongakkan kepala sedikit ke belakang guna menghindari tendangan kaki lawan yang menyusul.

“Bocah kurang ajar! Kali ini kau akan mampus di tanganku!” dengus Ki Kartawijaya dengan amarah yang meluap-luap.

Tanpa mempedulikan keadaan, orang tua itu langsung mencabut pedangnya dan ikut menyerang Ayu Laksmini. Nini Widyadara mengeluh pendek. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kata-kata yang dilontarkan gadis itu memang benar. Karena dia meyakini betul akan kesalahannya. Namun meskipun demikian hatinya tetap saja merasa sakit dan tidak bisa menerima begitu saja.

Maka dia tidak berusaha mencegah sikap Ki Kartawijaya meski dia mengetahui bahwa orang tua itu sedang marah besar. Dan kalau Ki Kartawijaya marah begitu, bisa dipastikan dia akan mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Dan saat ini hal itulah yang terjadi. Ki Kartawijaya seorang tokoh dunia persilatan yang disegani karena kehebatan ilmu silat yang dimilikinya, saat ini tengah mendesak gadis itu dengan jurus-jurus terhebat yang dimilikinya.

Sementara murid-muridnya yang melihat pertarungan itu, hanya diam memperhatikan dan berjaga akan segala kemungkinan yang akan menimpa guru mereka.

“Yeaaa...!”
“Uts!”

Ayu Laksmini terkejut. Ujung pedang orang tua itu berkelebat cepat menyambar wajah dan bagian dadanya. Tubuhnya meliuk-liuk ke samping untuk menghindari. Namun pada saat itu juga Ki Kartawijaya siap menerkamnya. Ayu Laksmini menggeram, dan telapak kirinya menghantam ke muka lawan.

“Hiyaaat..!”

Ki Kartawijaya menundukkan kepala. Tubuhnya berputar ke samping untuk menghindari pukulan jarak jauh yang dilancarkan lawan. Bersamaan dengan itu kepalan tangan kiri Ki Kartawijaya melesat menghantam lawan. Ayu Laksmini terkesiap. Pedang di tangan kanannya berputar menyambar pergelangan tangan lawan.

Namun hal itu ternyata hanya tipuan belaka yang dilancarkan orang tua itu. Begitu pedang lawan berkelebat, saat itu pula tangannya kembali ditarik. Sambil memiringkan kepala untuk menghindari tebasan senjata lawan, pedang ditangannya menyambar ke arah pinggang. Tubuh Laksmini meliuk menghindari dan saat itulah telapak tangan kiri Ki Kartawijaya menghantam dengan mengerahkan tenaga dalam kuat ke dada lawan pada jarak lebih kurang tiga langkah.

Desss!
“Akh...!”

Ayu Laksmini menjerit keras. Tubuhnya terpental ke belakang beberapa langkah seraya memuntahkan darah kental. Dia bermaksud untuk memutar tubuh ke samping ketika Ki Kartawijaya menyambar dengan ujung pedangnya kearah pinggang. Namun gerakannya terasa lamban, sehingga ujung pedang lawan masih mampu menggores paha kanannya.

Crasss!
“Akh!”


Untuk kedua kalinya gadis itu menjerit kesakitan. Tubuhnya mulai terhuyung-huyung. Kesadarannya sedikit berkurang. Namun meskipun demikian, dia masih bisa melihat serangan Ki Kartawijaya yang begitu bernafsu hendak menghabisinya. Ayu Laksmini merasa bahwa dia tak akan bisa bertahan dalam beberapa jurus menghadapi serangan Ki Kartawijaya.

Maka dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, gadis itu melompat tinggi dan bermaksud melarikan diri dari tempat itu. Tapi tentu saja Ki Kartawijaya tidak akan membiarkannya begitu saja. Orang tua itu langsung melesat mengejar.

“Huh. Kau kira bisa kabur begitu saja dariku setelah apa yang kau lakukan di tempatku? Kau harus mampus, Bocah Sial!” dengus Ki Kartawijaya.

Melihat orang tua itu bergerak, Ki Dewantara pun segera menyusul. Demikian pula dengan murid-murid Perguruan Camar Hitam. Mereka berbondong-bondong mengejar gadis itu. Ayu Laksmini bukannya tidak menyadari hal itu. Harapannya untuk kabur semakin tipis. Namun gadis itu berusaha dengan sekuat tenaganya untuk melepaskan diri dari kejaran mereka.

Luka dalam yang dideritanya membuat gadis itu tidak dapat leluasa bergerak. Belum lagi paha kanannya yang terasa nyeri dibawa berlari. Walaupun lebih kurang sepeminuman teh dia merasa tak mampu lagi bertahan. Sementara Ki Kartawijaya semakin dekat saja di belakangnya. Melewati sebuah pinggiran hutan, Ayu Laksmini bermaksud menerobos ke dalam dan bersembunyi di balik semak-semak.

Namun sebelum niatnya tercapai, sebelah kakinya tersandung akar pohon. Gadis itu terjatuh terjerembab. Saat itu juga Ki Kartawijaya yang tepat berada di belakangnya melompat dengan ganas sambil mengayunkan pedang.

“Gadis liar! Mampuslah kau sekarang! Yeaaa...!” teriak Ki Kartawijaya geram.

Ayu Laksmini terkejut bukan main. Kali ini keadaannya betul-betul seperti telur di ujung tanduk. Meski dia mampu mengelak, namun tidak akan mampu menghindari serangan berikutnya yang pasti akan dilancarkan lawan. Pada saat itulah mendadak melesat sebuah bayangan yang langsung memapaki serangan Ki Kartawijaya.

“Hiyaaa...!”
Trang!
Bet!
“Uhhh..!”


***


ENAM

Ki Kartawijaya terkesiap. Sebagai tokoh yang telah berpengalaman dia bisa membedakan seorang lawan yang memiliki kepandaian tinggi. Karena ketika bayangan lawan barunya itu membentak nyaring seraya berkelebat ke arahnya, angin serangannya bersiur kencang menimbulkan tekanan hebat pada dirinya.

Orang tua itu tidak bisa menganggap enteng. Kalau dia meneruskan serangan ke arah Ayu Laksmini, bukan tidak mungkin dia akan celaka sendiri. Maka mau tidak mau dengan terpaksa memapaki serangan lawan dengan mengibaskan pedangnya. Apa yang diduganya memang tidak salah. Meski telah mengerahkan tenaga dalam kuat untuk menjatuhkan lawan dengan sekali gebrak, namun kenyataannya dia mengeluh sendiri.

Telapak tangannya terasa ngilu ketika pedangnya seperti membentur tembok tebal yang amat kokoh. Belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak satu sapuan keras menghantam kepalanya. Orang tua itu cepat menunduk, kemudian melompat seraya membuat gerakan salto yang berputar indah.

Masih untung pada saat itu lawan tak mengejar sehingga ketika kedua kakinya menjejak tanah, keadaannya masih tetap aman. Ki Kartawijaya kini mampu melihat siapa lawannya itu dengan jelas.

“Siapa kau?!” bentaknya garang ketika melihat seorang pemuda tampan berwajah keras dan memakai baju yang terbuat dari kulit harimau.

Pemuda yang berambut panjang dengan monyet berbulu hitam di salah satu pundaknya itu tersenyum sinis. Tapi belum lagi dia menjawab, salah seorang murid Perguruan Camar Hitam yang telah tiba di tempat itu bersama dengan Ki Dewantara buru-buru menunjuk pemuda itu seraya berteriak nyaring.

“Eyang, pemuda inilah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka!” Ki Kartawijaya tersenyum kecil, sedangkan Ki Dewantara tersenyum sinis.

Nama Pendekar Pulau Neraka telah lama mereka kenal. Namun baru kali inilah mereka berkesempatan untuk bertemu muka secara langsung. Dan bisa jadi akan terjadi bentrokan, kalau saja pemuda itu ikut campur urusan mereka.

“Pendekar Pulau Neraka, hm... merupakan suatu kehormatan bisa bertemu denganmu. Angin apa gerangan yang membawa langkahmu ke tempat ini? Aku Ki Kartawijaya beserta seluruh murid-muridku menyampaikan salam hormat kepadamu,” sapa orang tua itu dengan nada ramah.

Pemuda berambut panjang yang tidak lain adalah Bayu Hanggara itu tersenyum kecil seraya membalas salam penghormatan si orang tua.

“Ki Kartawijaya, terimalah salam hormatku. Maafkan atas kelancanganku yang telah mencampuri urusanmu. Tapi aku memang tidak terbiasa melihat ketidak-adilan di depanku dan sudah gatal tangan ingin mencampurinya,” sahut Bayu.

“Hm, suatu sikap yang baik. Tapi mencampuri urusan orang lain hendaknya lebih dulu melihat, apakah kita berada di pihak yang benar ataukah kita malah membantu pihak yang salah,” sindir Ki Kartawijaya.

“Bisa jadi aku memang salah. Dan hal itu tidak kupungkiri. Tapi untuk kali ini kurasa tidak, sebab aku telah mendengar pembicaraan kalian sejak tadi. Dan maafkanlah bila dalam hal ini aku mempercayai kata-kata gadis itu,” kata Bayu tenang.

Mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka, Ki Kartawijaya menjadi tak enak hati. Jelas sudah bahwa pemuda itu memang hendak mencampuri urusan mereka. Dan selamanya Ki Kartawijaya memang bukanlah orang yang sabar, pada siapa pun! Meski sekalipun orang yang tengah dihadapinya termasuk orang yang diseganinya, seperti Pendekar Pulau Neraka.

“Pendekar Pulau Neraka, kalau memang kau telah mendengar pembicaraan kami tentu engkau pun telah mengetahui apa yang diperbuat gadis itu di perguruan kami. Dan sebagai seorang yang terhormat, kau tentu bisa membedakan mana perbuatan salah dan mana yang benar,” ucap Ki Kartawijaya tegas.

“Tentu saja. Seorang yang telah meminjam sebuah benda sudah sepatutnya mengembalikan dan bukan menyalahgunakannya. Tapi apa yang kalian lakukan? Seseorang telah berbuat keonaran dengan menggunakan senjata yang telah kalian pinjam. Lalu apa pertanggungjawabanmu terhadap orang-orang yang terbunuh oleh senjata itu? Bukankah nyawa kalian masih belum berharga untuk menebusnya?” dengus Bayu dengan nada sedikit sinis.

“Eyang, untuk apa bicara lama-lama dengannya? Sudah jelas apa yang diinginkannya, dan kita pun mengetahui bahwa gadis itu jelas bersalah!” ujar salah seorang murid perguruan itu merasa tak sabar mendengar omong kosong di antara kedua orang itu.

“Betul, Eyang. Perintahkanlah pada kami untuk menghajar pemuda tak tahu diri ini!” timpal seorang lainnya sambil mencabut pedang dipunggungnya dengan sikap garang.

“Kau dengar itu, Pendekar Pulau Neraka? Murid-muridku agaknya sudah tidak sabar mendengar bicaramu. Jelas sudah kau berpihak pada siapa. Tapi kami tetap pada pendirian bahwa gadis itu patut mendapat pelajaran setimpal atas perbuatan yang dilakukannya di perguruan kami. Dan tidak ada seorang pun yang boleh menghalanginya. Tidak juga dirimu!” tajam terdengar nada bicara Ki Karta wijaya.

“Ki Kartawijaya, tidak usah banyak bicara! Lakukanlah apa yang ingin kau perbuat, tapi jangan coba-coba menyentuh gadis ini!” balas Bayu mengancam.

“Kurang ajar! Kalau demikian, terima pelajaran dari kami!” teriak salah seorang murid Perguruan Camar Hitam yang agaknya sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya.

Sambil membentak nyaring, orang itu melompat menyerang Bayu dengan senjata terhunus.

“Yeaaa...!


***


Bayu mendengus dingin. Tubuhnya sedikit bergeser ke kiri dan kepalanya tertunduk ke belakang menghindari sabetan pedang lawan. Kemudian cepat meliuk ke atas seraya mengayunkan satu tendangan keras ke dagu lawan... Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dan berbadan besar itu sedikit terkejut dan tak menyangka gerakan lawan bisa sedemikian cepat.

Namun dia masih sempat mengelak sambil menjatuhkan diri ke belakang. Namun saat itu juga tubuh Pendekar Pulau Neraka telah mengejar sambil berbalik dan mengayunkan tendangan beruntun bertenaga kuat yang tak mampu dielakkan lawan.

Bukkk!
Desss!
“Aaakh...!”

Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal muntah darah, dan tersungkur pada jarak enam langkah dan tidak bangkit lagi. Kejadian itu tentu saja mengagetkan kawan-kawannya yang lain. Demikian pula halnya dengan Ki Kartawijaya dan Ki Dewantara. Juga Ayu Laksmini yang sejak tadi masih berdiam diri menahan rasa nyeri di dadanya.

Orang itu tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka. Apa yang mereka dengar tentang keganasan pemuda itu memang bukan isapan jempol belaka, tapi terbukti di depan mata mereka sendiri.

“Pendekar Pulau Neraka, tindakanmu sangat kejam dan aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja!” geram Ki Kartawijaya menahan emosi.

Ki Dewantara semula hendak bergerak menghajar pemuda itu, tapi Ki Kartawijaya telah lebih dulu menahannya. Orang tua itu menyadari bahwa kepandaian Ki Dewantara tidak akan mungkin menandingi Pendekar Pulau Neraka. Dalam bentrokan pertama tadi saja dia sudah bisa merasakan bagaimana hebatnya tenaga lawan. Belum lagi gerakannya yang amat gesit serta serangannya tak terduga datangnya.

Kalau saja Ki Dewantara berkeras hendak menantangnya, bukan mustahil bila dia akan terbunuh sendiri seperti seorang muridnya tadi. Ki Kartawijaya melangkah mendekati, dan berhenti ketika jarak mereka terpaut empat langkah. Matanya liar mengawasi setiap gerakan kecil yang dilakukan lawan. Sebaliknya Bayu masih tetap tenang dan juga mengawasi lawan dengan seksama.

“Pendekar Pulau Neraka, lihat serangan ini!” Ki Kartawijaya membentak seraya memberi peringatan akan serangan pertamanya.

Bersamaan dengan itu tubuhnya pun melesat cepat ke arah lawan seraya memutar pedang di tangannya. Angin tajam bersiur kencang dan mencoba menghimpit setiap langkah menghindar yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Ke mana saja dia mencoba bergerak, maka saat itu juga jarak mereka terpaut hanya beberapa inci saja. Agaknya Ki Kartawijaya betul-betul telah mengerahkan segenap kepandaiannya untuk menjatuhkan lawan secepat mungkin.

Bayu Hanggara menggeram. Kalau saja dia tidak hati-hati dan mengerahkan segala kemampuan bergeraknya menghindari setiap serangan lawan, niscaya ujung pedang lawan pasti dari sejak tadi menyambar tubuhnya. Dan hal itu pun agaknya tidak akan bisa bertahan lama seandainya dia terus bertahan seperti itu. Maka dalam suatu kesempatan, Pendekar Pulau Neraka berusaha menjauhkan jarak dari serangan lawan untuk balik menyerang.

“Yeaaa...!”

Tubuhnya bergulung-gulung seraya melompat ke belakang ketika kedua kakinya baru saja menjejak tanah. Ki Kartawijaya mengejar, namun tubuh Bayu Hanggara melejit ke atas cabang sebuah pohon. Ki Kartawijaya semakin gemas saja. Dihantamnya cabang pohon itu dengan pukulan jarak jauh.

“Hiyaaa...!”
Brakkk!
“Hihhh!”

Namun belum lagi hantaman itu ikut meng hancurkan tubuhnya seperti yang terjadi pada sebatang pohon itu, tubuh Pendekar Pulau Neraka menukik deras ke arah lawan. Ki Kartawijaya terkesiap, namun tidak kehilangan kesadaran untuk mengayunkan pedangnya. Bayu menangkis dengan pergelangan tangannya.

Trakkk! “Uhhh...!”

Senjata lawan tepat beradu dengan Cakra Maut di pergelangan tangannya. Ki Kartawijaya terkejut bukan main. Tangannya kesemutan, dan tubuhnya bergetar hebat akibat benturan itu. Untuk sesaat dia bisa menduga bahwa senjata itulah yang tadi memapaki pedangnya ketika pemuda itu menahan serangannya terhadap Ayu Laksmini.

Namun begitu dia masih mampu mengayunkan kaki menghantam wajah lawan. Bayu berkelit ke kiri seraya menghantam kepalan tangan kanannya ke dada lawan. Ki Kartawijaya menangkis dengan tangan kirinya.

Tak!

Untuk kedua kalinya orang tua itu merasa kaget ketika tangan mereka saling beradu. Baru dia menyadari bahwa tenaga dalam lawan memang tak bisa dipandang enteng. Tapi Ki Kartawijaya tidak kecil hati. Pedangnya kembali berkelebat meliuk-liuk menyambar tubuh lawan. Dia menyadari betul bahwa lawan tak mungkin menerobos pertahanannya selagi dia memainkan ilmu pedangnya yang hebat.

Hal itu bukannya tidak disadari oleh Bayu. Bukan saja dia tak mampu menerobos pertahanan lawan, sebaliknya serangan yang dilancarkan lawan pun dengan menggunakan jurus-jurus pedangnya, agak sulit dihadapinya dengan tangan kosong seperti sekarang. Ketika kaki lawan menghajar ke arah dagu, Pendekar Pulau Neraka bergerak ke samping. Namun Ki Kartawijaya lebih cepat memberikan serangan susulan dengan kelebatan pedangnya ke arah leher.

Bayu terkejut dan berusaha melompat ke belakang untuk menghindari tebasan golok lawan. Namun ujung pedang Ki Kartawijaya masih sempat menggores dadanya.

Crasss!
“Uhhh...!”
“Kaaakhhh...!”

Monyet berbulu hitam yang melihat sahabatnya berhasil dilukai lawannya, berteriak nyaring. Wajahnya terlihat cemas, dan beberapa kali dia mondar-mandir mengikuti jalannya pertarungan itu. Sebaliknya hal itu menimbulkan rasa senang di hati Ki Dewantara dan murid-murid Perguruan Camar Hitam. Kalau Pendekar Pulau Neraka berhasil dilukai, maka tidak berapa lama dia pasti akan dapat dilumpuhkan oleh Ki Kartawijaya, barangkali itu anggapan mereka.

Agaknya pikiran seperti itu pun menyelinap dibenak orang tua itu. Dia mendesak Bayu habis-habisan dan bermaksud menjatuhkan lawan secepat mungkin. Baru saja tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang sambil bergulung-gulung, saat itu juga tubuhnya melesat mengikuti dengan ujung pedang berputar-putar menyambar bagian tubuh lawan.

“Hiyaaat..!”

Dalam keadaan terjepit begitu, Bayu tak mau tinggal diam. Dia mengibaskan tangan kanannya sambil membentak nyaring.

“Yeaaa...!”
Siiing...!
Trasss
“Hei?!”


***


Bersamaan dengan itu melesat sekelebat sinar keperakan menyambar lawan. Ki Kartawijaya terkejut dan cepat mengayunkan pedangnya. Tapi yang kemudian terjadi justru membuatnya terkejut Pedangnya putus, dan benda keperakan itu terus mendesing menyambar lehernya. Kalau saja dia tak buru-buru memiringkan tabuh niscaya kepalanya akan berpisah dari badan. Orang tua itu tak habis rasa terkejutnya merasakan angin sambaran tajam yang terasa perih dan menimbulkan hawa panas.

“Hiyaaat...!”

Belum lagi habis rasa terkejutnya, saat itu juga serangan Pendekar Pulau Neraka telah kembali datang. Ujung kaki kanannya menghantam lurus ke arah dada. Ki Kartawijaya berkelit seraya memutar tubuh, namun tubuh Bayu pun ikut berputar dan kaki kanannya kembali menyapu ke arah pinggang. Ki Kartawijaya melompat ke atas, dan Pendekar Pulau Neraka mengikuti seraya menyambar kembali Cakra Mautnya yang melesat pulang.

“Yeaaa...!”
Siiing!

Begitu Cakra Maut berada di tangannya, kembali dikibaskannya lagi. Senjata maut itu melesat deras ke arah Ki Kartawijaya pada jarak dekat. Orang tua itu tidak sempat mengelak. Meski dia berusaha menghindar, namun tak urung lengan kirinya kena sambar, dan putus.

Crasss!
“Aaakh!”

Ki Kartawijaya menjerit tertahan. Namun masih sempat menghantam lawan dengan pukulan jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas seraya bergulung-gulung menghindari serangan lawan. Kedua kakinya menyilang bergantian dan langsung menghajar batok kepala lawan.

Desss!
Duk!
“Aaa...!”

Ki Kartawijaya kembali memekik keras. Kali ini tubuhnya terjungkal ke samping sambil menggelepar kesakitan. Orang tua itu memuntahkan darah kental berkali-kali. Dia berusaha untuk bangkit, namun kembali terjatuh. Beberapa orang muridnya langsung memburu dengan penuh khawatir. Mereka membantunya duduk bersila. Namun tidak demikian halnya dengan Ki Dewantara. Dengan amarah yang meluap, dia langsung menyerang Bayu.

“Bocah keparat! Kau harus menerima pembalasan dariku!” geramnya tajam seraya mengayunkan pedang ke arah Bayu.

Bayu mendengus kecil. Tangan kanannya dikibaskan ke bawah. Saat itu juga mendesing Cakra Maut ke arah lawan.

Siiing!
Werrr!

Meski dalam keadaan kalap begitu, tapi Ki Dewantara menyadari bahwa senjata lawan sangat dahsyat, dan dia tak berani untuk mencoba memapaki. Kepalanya ditundukkan ketika tubuhnya kemudian melompat ke samping sambil berbalik untuk menghindari senjata lawan, kemudian terus menerjang ke arah leher Pendekar Pulau Neraka dengan ujung pedang menyambar ke arah tenggorokan dan dada.

Uts!”

Bayu melompat ke belakang, kemudian bergerak ke samping dan terus bergerak ke atas menghindari tebasan senjata lawan. Kaki kirinya ditekuk sedemikian rupa, kemudian melayang menyambar ke muka lawan. Ki Dewantara sedikit tergagap menyadari kecepatan lawan bergerak namun dia tak mau berlaku lengah. Buru-buru dia menundukkan tubuh ke belakang, lalu terus bergerak ke samping, dan balas menyerang lawan dengan ayunan pedangnya. Namun belum lagi pedangnya mampu menebas ke arah lawan, dia terpaksa kembali menundukkan tubuh ketika Cakra Maut berbalik menyerangnya.

Bayu menangkap senjatanya, dan kembali melepaskannya ke arah Ki Dewantara. Laki-laki itu terkejut Dalam jarak dekat tak mungkin baginya untuk bisa mengelak. Maka dengan terpaksa dia memiringkan tubuh dan mengayunkan pedang untuk mencoba menangkis senjata lawan.

Tras!
Cras!
“Aaakh...!”

Seperti apa yang diduganya, pedang dalam genggamannya putus sebatas gagangnya. Cakra Maut terus melesat menyambar sebelah daun telinganya hingga putus. Ki Dewantara mengeluh kesakitan. Dia masih belum sempat menguasai diri ketika serangan Pendekar Pulau Neraka menyusul.

“Yeaaa...!”
Begkh!
Desss!
“Aaakh...!”

Untuk kedua kalinya Ki Dewantara memekik keras. Kali ini tubuhnya terjungkal keras sambil memuntahkan darah segar. Tendangan keras yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka menghantam dada dan perutnya dengan telak. Tubuhnya menggelepar-gelepar tak berdaya, dan berusaha untuk bangkit berdiri tegak. Tapi baru saja dia hendak mencobanya, tubuhnya tiba-tiba kembali ambruk.

“Guru...!” beberapa murid Perguruan Camar Hitam langsung memburu untuk memberikan bantuan.

Tapi lima orang lainnya serentak bergerak hendak menyerang Bayu. Wajah mereka tampak garang menahan amarah yang memuncak.

“Pendekar Pulau Neraka, hari ini kami akan mengadu jiwa denganmu!” dengus salah seorang di antara mereka.

Kalau saja saat itu Ki Kartawijaya tak membentak melarang mereka, Niscaya kelima orang itu akan melabrak Pendekar Pulau Neraka dan menyerangnya dengan mati-matian.

“Tahaaan...!”


***


TUJUH

“Kenapa Eyang? Pemuda ini telah melukai Eyang dan Guru. Kenapa kami tak boleh menuntut balas atas perlakuannya itu?!” tanya salah seorang murid Perguruan Camar Hitam dengan wajah kesal.

“Diamlah kalian, dan jangan lagi memperpanjang urusan! Apa kalian mau membuang nyawa secara percuma?!” bentak Ki Kartawijaya berusaha berdiri dengan dibantu tiga orang muridnya.

Mendengar kata-kata orang tua itu, kelima muridnya terpaksa mengurungkan tindakan mereka meski di dalam hati masih tersimpan rasa tidak puas. Walaupun kepandaian mereka tak seberapa, tapi jelas mereka tidak takut mati untuk membela kehormatan nama guru dan perguruan mereka.

Ki Kartawijaya memandang ke arah Pendekar Pulau neraka, kemudian berkata pelan. “Pendekar Pulau Neraka, kehebatan namamu yang terdengar memang bukan nama kosong belaka. Hari ini aku Ki Kartawijaya mengaku kalah padamu. Tapi bukan berarti urusan ini akan selesai. Suatu saat nanti hutang ini akan kubalas berikut bunganya padamu!”

“Ki Kartawijaya, kalau memang kau menganggap bahwa kejadian hari ini sebagai suatu hutang, kau boleh menagihnya kapan saja kau suka padaku. Tentu akan kutunggu saat itu,” sahut Bayu dingin.

Setelah berkata demikian terlihat Ki Kartawijaya mengajak murid-muridnya segera berlalu dari tempat itu. Bayu masih sempat memandang mereka, kemudian menyambar Tiren yang mendekat ke arahnya seraya berteriak nyaring.

“Kaaakh...!”

Monyet kecil itu melompat-lompat ke pundaknya silih berganti, kemudian mengusap-usap rambut pemuda itu. Dan Bayu tersenyum kecil, kemudian memandang ke arah Ayu Laksmini dan menghampirinya.

“Bagaimana keadaanmu...?” tanyanya dengan suara pelan.

“Terima kasih atas pertolonganmu...” lirih terdengar suara Ayu Laksmini.

“Kudengar kau murid Ki Dewa Ruci. Beliau adalah tokoh terkenal yang memiliki kepandaian hebat.”

Ayu Laksmini tersenyum kecut. “Aku hanya membuat malu nama beliau saja, bukan...?” katanya dengan nada getir.

“Kau tak perlu berkecil hati seperti itu. Mereka memang hebat, dan mampu bertahan cukup lama melawan gempuran keduanya, sudah membuktikan kehebatan ilmu silat yang kau miliki...” puji Bayu membesarkan semangat gadis itu.

“Ah, aku memang murid yang tak berguna. Bagaimana mungkin mampu mengemban amanat yang dititipkan eyang kalau berhadapan dengan mereka saja aku tak mampu...” keluh Ayu Laksmini dengan wajah gundah.

Bayu menarik napas pendek, kemudian memandang ke arah gadis itu dengan seksama. Lalu berkata pendek,” Maafkan kelancanganku yang telah mendengar pembicaraan kalian...”

“Apa maksudmu...?”

“Secara tak sengaja aku lewat di muka perguruan mereka dan mendengar keributan yang kau perbuat. Pedang Setan itu memang pernah selintas kudengar, dan aku sedikit terkejut ketika belakangan mendengar bahwa senjata ampuh itu berada di tangan seorang pemuda yang tidak bertanggung jawab. Dia membuat kekejaman dengan membantai orang-orang yang tak berdosa dengan pedang itu...” jelas Bayu singkat.

“Jadi, benarkah pedang itu tidak berada di tangan mereka?” tanya Ayu Laksmini meyakinkan.

“Entahlah. Soal itu aku tak tahu banyak. Tapi kalau kau hendak mengambil kembali pedang itu, maka kau mesti berhadapan dengan pemuda itu, sebab banyak orang yang ingin merebut Pedang Setan itu dari tangannya, tapi mereka semua habis dibantainya...”

“Lalu di mana aku bisa menemui pemuda itu?” tanya Ayu Laksmini seraya bangkit dengan wajah bernafsu hendak mendapatkan kembali pusaka gurunya itu.

“Aku sendiri tidak mengetahui di mana pemuda itu berada. Tapi kudengar kata-kata Ki Kartawijaya dan Nini Widyadara, bisa jadi mereka mengetahui siapa pemuda itu sebenarnya sehingga dari siapa dia menemukan Pedang Setan itu...”

“Huh, kalau begitu aku akan kembali ke Perguruan Camar Hitam dan memaksa mereka untuk memberitahu di mana pemuda itu berada!” dengus Ayu Laksmini.

“Ni sanak...” panggil Bayu pelan.

Gadis itu menoleh. Ketika dilihatnya pemuda itu menatapnya dengan seksama, gadis itu buru-buru memperbaiki sikapnya yang tak bersahabat.

“Maafkan sikapku. Aku ingin buru-buru menyelesaikan tugas yang diberikan Eyang Dewa Ruci...”

“Ah, tidak mengapa. Bolehkah kau kupanggil Ayu...?”

“Kau tentu telah mengetahui namaku, bukan? Sebaliknya, aku harus memanggil apa padamu?”

“Eh, kau boleh panggil aku Bayu....”

“Bayu, eh Kakang Bayu..,” gadis itu menjadi jengah sendiri ketika memperbaiki panggilannya terhadap pemuda itu. Dia tertunduk malu sesaat, tapi Bayu cepat memperbaiki keadaan itu.

“Ayu, kalau kau tak keberatan, biarlah aku menemanimu ke perguruan itu....”

“Eh, kalau Kakang Bayu tak keberatan, tentu saja aku senang sekali....”

“Nah, marilah kita berangkat sekarang untuk tidak membuang-buang waktu!” ajak Bayu seraya melangkah lebih dulu.

Ayu Laksmini mengikuti dari belakang dengan langkah pelan. Tapi tak berapa lama dia pun menjejeri langkah pemuda itu.


***


Nini Widyadara menghela napas pendek. Dia semakin tak tahu apa yang harus diperbuatnya ketika suaminya beserta putranya mengejar gadis itu. Setelah sekian lama mereka hidup tenteram, kini dalam beberapa saat telah banyak peristiwa yang menimpa. Kematian putra keduanya di tangan seorang pemuda yang membawa-bawa Pedang Setan amat mengejutkannya.

Dan kini seorang gadis datang menagih senjata itu pada mereka, kemudian sedikit mengungkit kenangan lamanya. Hal itu menambah perih beban yang dideritanya. Ki Dewa Ruci pasti telah cerita banyak pada muridnya itu. Dia memang tak menyalahkan, karena tahu betul bahwa dia memang bersalah dalam hal ini.

Kalau saja dulu dia bisa berpikir tenang, tentu dia tak akan mempedulikan segala rayuan Ki Kartawijaya sehingga meninggalkan Ki Dewa Ruci yang amat mencintainya. Bahkan dalam keadaan berkhianat begitu, dia masih berani mencuri senjata pusaka kesayangan Ki Dewa Ruci.

Wanita tua itu mengeluh pelan seraya membalikkan tubuh memasuki gedung di belakangnya. Tapi mendadak pada saat itu terdengar jeritan panjang dari arah pintu gerbang. Dengan cepat wanita itu berbalik dan melihat dua orang murid perguruan itu tewas dengan cara yang mengerikan. Dada mereka hangus oleh goresan senjata yang merobek lebar. Tubuh mereka pun pucat seperti tak berdarah, dan tewas saat itu juga.

“Siapa kau, bocah?!” bentak Nini Widyadara begitu melihat seorang pemuda berambut panjang dan memakai baju yang terbuat dari kulit harimau.

Nini Widyadara terkejut setengah mati melihat kehadiran pemuda itu. Tapi lebih terkejut lagi ketika melihat pedang di tangan kanannya. Pedang berwarna hitam yang berkilat memancarkan sinar laksana sihir itu seperti menyilaukan mata dan membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Tidak salah lagi, itulah Pedang Setan yang dicaricarinya selama ini.

Ditatapnya pemuda itu dengan seksama. Wajahnya hitam dengan bintik-bintik kecil tampak dingin dan menyiratkan hawa kesadisan. Tangan kirinya menggenggam buntalan kain putih yang meneteskan darah di bawahnya. Jantung wanita tua itu semakin bergetar, dan wajahnya tampak pucat.

“Apa isi buntalan yang dibawa pemuda itu?” bisik hatinya cemas.

“Masih ingatkah kau dengan mendiang guruku, Ki Sarpa Kenaka?” tanya pemuda itu dengan nada dingin.

“Ki Sarpa Kenaka...? Hm, akhirnya dia datang juga meski mewakili padamu...”

“Pedang Setan telah berjodoh pada guruku, dan kini diwariskan padaku. Tapi kau dan suamimu serta semua murid-muridmu mencoba merebutnya dariku seperti tikus-tikus got lainnya. Mereka akan mampus ditanganku menjadi korban pedang ini!” dengus pemuda itu.

“Anak muda, jaga bicaramu! Pedang itu milik perguruan kami, dan tidak ada hak sama sekali bagimu untuk menyerakahinya. Apalagi mencoba mengakuinya sebagai pusaka milikmu! Serahkan padaku, dan aku akan melupakan perbuatanmu tadi!” ucap Nini Widyadara menegaskan.

“Ha ha ha...! Tidak kusalahkan kalau kau tuli, orang tua. Tapi ingin kutegaskan sekali lagi. Selama ini yang paling bernafsu untuk merebut pedang ini dari tanganku adalah pihak kalian. Dan setelah kubereskan beberapa tokoh yang ingin merampas pedang ini dari tanganku, maka sekarang giliran kalian akan kulenyapkan. Seorang anakmu telah kubuat mampus. Dan salah seorang lagi akan menyusul setelah kau kenali siapa yang kubawa ini!” teriak pemuda itu seraya mengeluarkan buntalan di tangan kirinya ke hadapan wanita tua itu.

Nini Widyadara terkejut bukan main ketika melihat kepala siapa yang berada dalam buntalan yang dibawa pemuda itu.

“Padmi Ningsih, cucuku...!”

Darahnya seperti tersirap dan detak jantungnya berdebar lebih kencang menyaksikan cucu kesayangannya tergeletak bermandikan darah. Begitu juga dengan murid-murid Perguruan Camar Hitam yang berada ditempat itu. Dengan spontan Ni Widyadara mencabut pedangnya dan membentak garang.

“Bocah keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu! Yeaaa...!” Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat menyerang lawan. Pemuda itu mendengus sinis. Sama sekali tak terlihat wajah ketakutan di mukanya. Bahkan jelas dia memandang rendah pada wanita tua itu.

“Huh, majulah kau dan bawa serta semua anak muridmu agar lebih cepat aku menyelesaikan tugasku membasmi kalian!”

“Keparat!” desis Nini Widyadara geram.

Wut!
Bet!
“Uhhh...!”

Begitu pedang lawan menyambar-nyambar kearahnya, pemuda itu mengibaskan pedang di tangannya. Angin kencang berhawa panas seketika menyambar ke arah Nini Widyadara. Wanita tua itu menyadari keampuhan Pedang Setan di tangan lawan dan tak berani untuk mencoba memapakinya, dan hanya berusaha mengelak serta sesekali mencoba memasuki pertahanan lawan.

Tapi hal itu bukan pekerjaan mudah baginya. Dalam sekejap saja dia merasakan bahwa bukan saja dia tak mampu menembus pertahanan lawan. Bahkan sebaliknya serangan-serangan gencar yang dilakukan pemuda itu membuatnya harus pontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya.

“Yeaaa...!”

Pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya melesat ke arah lawan seraya memutar pedang dengan cepat Angin bersiur kencang membuat debu mengepul ke udara. Nini Widyadara kalang kabut dibuatnya. Wanita tua itu berusaha menangkis serangan lawan dengan pedangnya ketika senjata lawan menderu keras menyambar ke arah leher. Dia menyadari tak mungkin lagi menghindar. Dan kalaupun hal itu dilakukannya, tidak akan mampu menyelamatkan nyawanya.

Tras!
Pret!
“Aaakh...!”

Apa yang diduganya memang menjadi kenyataan. Pedangnya putus dihajar senjata lawan. Belum lagi dia berusaha mengelak, pedang itu telah menyambar bahu kirinya dan memapas pangkal lengannya. Wanita tua itu menjerit kesakitan. Kaki kiri lawan menghujam ke arah dadanya, namun dengan sigap dia menjatuhkan diri ke belakang. Tubuh lawan terus mengejar bagai angin topan yang menggila.

“Yeaaa...!”
Brasss! Brasss!
“Uhhh...!”

Nini Widyadara bergulingan menyelamatkan diri dari tebasan senjata lawan. Pedang di tangan pemuda itu menghantam tanah berkali-kali. Pada saat itu beberapa orang murid Perguruan Camar Hitam terus melompat menyerangnya untuk menyelamatkan nyawa guru mereka. Namun dengan
sekali berbalik, ujung pedang pemuda itu telah meminta korban.

Brettt!
“Aaah...!”

Tiga orang langsung terjungkal dengan dada robek lebar. Tubuh mereka pucat seperti kehabisan darah. Dan begitu jatuh ke tanah, diam tak berkutik lagi. Nyawa mereka lepas dari raga. Beberapa orang kembali menyerang tanpa mengenal rasa takut Kali ini pemuda itu betul-betul mengalihkan perhatian kepada murid-murid perguruan itu.

“Tikus-tikus busuk, kalau kalian mau mampus lebih dulu, aku akan penuhi keinginan kalian!

Yeaaa...!”
Bret!
Crasss!
“Aaa...!”

Korban kembali berjatuhan ketika pemuda itu mengamuk dengan hebatnya. Beberapa orang memekik kesakitan, dan ambruk dengan tubuh pucat tak bernyawa lagi. Dalam beberapa gebrakan saja, lebih dari sepuluh orang murid perguruan itu tewas tak berdaya. Hal itu tentu saja membuat Nini Widyadara mengeluh pelan. Dia tak tahu harus berbuat apa lagi untuk menyelamatkan mereka selain menghadang serangan pemuda itu.

“Bocah, hentikan perbuatanmu! Hadapilah aku...!”

“Hei, bocah keparat! Hentikan perbuatanmu...!”

Belum lagi habis kata-kata Nini Widyadara, saat itu juga terdengar bentakan nyaring. Serentak mereka berpaling dan melihat rombongan Ki Kartawijaya yang telah tiba di tempat itu. Bukan main kagetnya wanita tua itu ketika melihat keadaan suaminya. Buru-buru dia menghampiri dengan wajah cemas.

“Kakang, oh... apa yang telah terjadi pada mu...?!”

“Tenanglah, Nini. Aku tak apa-apa. Apakah bocah keparat itu yang berbuat ini padamu?!” tanya Ki Kartawijaya dengan menahan amarah seraya menunjuk sebelah lengan istrinya yang buntung. Nini Widyadara mengeluh pendek seraya berkata lirih.

“Kakang, dia... dia murid si Sarpa Kenaka itu. Kepandaiannya hebat sekali. Apalagi dengan adanya Pedang Setan di tangannya itu....”

Suara wanita tua itu terputus ketika Ki Dewantara berteriak pilu mendapati kepala anaknya yang berlumur darah.

“Padmi Ningsih, anakku...! Oh, siapa yang berbuat begini padamu, Nak..?!” jerit Ki Dewantara seraya mendekap kepala anaknya dan memandang sekeliling tempat dengan wajah beringas.

“Aku yang melakukannya!” sahut pemuda yang menggenggam Pedang Setan itu mendengus lirih.

Ki Dewantara bangkit dan menyambar sebilah pedang dari salah seorang muridnya, kemudian melangkah pelan mendekati pemuda itu. Sorot matanya tajam seperti hendak menelan bulat-bulat pemuda di hadapannya itu.

“Siapa kau, dan dendam apa yang kau bawa sehingga membunuh putriku dengan cara yang biadab begini?!” desis Ki Dewantara dengan suara ditekan sedemikian rupa menahan amarah yang mengguncang di hatinya.

“Aku, Buyut Kelana, murid tunggal Eyang Sarpa Kenaka. Kedua orangtuamu mengetahui apa maksudku ke sini. Kalian semua harus lenyap seperti mereka yang menginginkan pedang di tanganku ini!”

“Keparat! Aku tak peduli dengan segala barang rongsokan yang kau bicarakan. Kau hutang satu nyawa padaku, dan aku tidak akan membiarkanmu bicara seenaknya tanpa merasa bersalah. Manusia durjana, kau harus mampus ditanganku!”

Setelah berkata demikian, tubuh Ki Dewantara berkelebat menyerang lawan. Pemuda yang menamakan dirinya Buyut Kelana itu mendengus sinis. Tubuhnya sama sekali tak bergerak untuk menghindari serangan lawan. Tapi begitu ujung pedang lawan sedikit lagi akan menyentuh tubuhnya, saat itu juga pedangnya berkelebat memapaki.

Trasss!
Brettt!

Ki Dewantara terkejut setengah mati. Meski dia mengetahui kehebatan pedang di tangan lawan dari cerita kedua orangtuanya, namun hawa amarah dan ketidakyakinannya membuat dirinya bertindak kurang waspada dan terlalu menganggap enteng. Akibatnya sungguh fatal. Pedang di tangan putus dibabat senjata lawan. Dan bukan itu saja, dengan sekali berkelebat ujung pedang lawan menyambar dadanya dan membuat luka yang melebar dan dalam.

“Aaakh...!”

Ki Dewantara hanya mampu berteriak tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Wajahnya pucat seperti tak berdarah. Demikian pula dengan sekujur tubuhnya. Laki-laki itu ambruk dan tak bergerak lagi.

“Dewantara, Anakku.,.!” Nini Widyadara terkejut bukan main melihat kenyataan itu. Wanita tua itu langsung menubruk tubuh anaknya sambil menangis pilu. Ki Kartawijaya bermaksud melabrak pemuda itu. Namun sebelum dia bergerak lebih lanjut, terdengar seseorang menyela dengan suara dingin.

“Ayah, biar kuhadapi orang gila ini...!”

Mereka yang berada di tempat itu serentak menoleh. Seorang laki-laki bertubuh sedang dan berusia sekitar empat puluh lima tahun berdiri tak jauh dari pintu gerbang depan. Di belakangnya berdiri kurang lebih sepuluh orang laki-laki berseragam sama dengan murid-murid Perguruan Camar Hitam.

“Soma Jagat, hm... agaknya kau telah kembali...!”

“Sekian lama kucari pemuda ini untuk menuntut balas atas kematian Kakang Ganggapura, siapa sangka, ternyata dia berada di tempat ini dan telah membuat kerusuhan. Ayah, biarlah kuhadapi manusia durjana ini!” dengus laki-laki itu dengan wajah beringas dan pelan-pelan mendekati Ki Buyut Kelana.

“Soma Jagat, menepilah kau. Dia bukan tandinganmu. Biar aku yang akan memberi pelajaran padanya,” sela Ki Kartawijaya.

“Tidak, Ayah! Ayah dalam keadaan luka parah, demikian pula Ibu. Biarlah aku yang mewakili kalian untuk menghajar bocah sombong ini,” sela Ki Soma Jagat seraya mencabut pedang dan menuding lurus ke arah Ki Buyut Kelana.

“Bocah, bersiaplah kau!” lanjut Ki Soma Jagat menantang.


***


DELAPAN

Begitu selesai dengan kata-katanya, Ki Soma Jagat langsung melompat menyerang lawan.

“Yeaaa...!”

Ki Buyut Kelana mendengus pelan. Tidak seperti menghadapi Ki Dewantara, pemuda itu langsung menyambut serangan lawan dan ikut melompat memapaki serangan lawan. Pedangnya diputar sedemikian rupa menimbulkan angin kencang yang tajam dan berhawa panas.

Untuk beberapa saat Ki Soma Jagat terkejut dan merasakan angin serangan senjata yang ganas. Dia menyadari betul bahwa senjata di tangan lawan bukan pedang sembarang. Pedang itulah yang belakangan ini amat menghebohkan kalangan persilatan. Kepalanya ditundukkan untuk menghindari sabetan lawan, dan tubuhnya meliuk berputar untuk membabatkan pedang ke pinggang lawan.

Tapi Ki Buyut Kelana terlalu lihai untuk ditipu seperti itu. Tubuhnya sedikit miring hingga ujung pedang lawan lewat beberapa inci dari pinggangnya.

Bet!
Uuuh...!”

Kepalan tangan kiri Ki Buyut Kelana menghajar dadanya, namun dengan sigap Ki Soma Jagat mengelak ke samping. Ujung pedang lawan menyambar ke arah tenggorokan. Tubuh Ki Soma Jagat melompat ke belakang menghindarinya.

Namun ujung kaki kanan lawan telah menyusul melakukan serangan ke arah selangkangannya. Ki Soma Jagat terkejut dan buru-buru membabatkan pedang. Lawan menekuk kakinya, dan dengan kaki yang satunya lagi menjejakkan tanah.

Tubuh Ki Buyut Kelana melejit ke atas seraya membuat gerakan salto yang indah mengejar kelebatan tubuh Ki Soma Jagat seraya menghunuskan senjatanya. Telapak kirinya bersiap menghantamkan pukulan jarak jauh untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi.

Apa yang diduga pemuda itu memang menjadi kenyataan. Dalam keadaan terdesak seperti itu Ki Soma Jagat melepaskan pukulan jarak jauh ke arah lawan dengan mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya.

“Hiyaaa...!”

Bersamaan dengan itu pula Ki Buyut Kelana memapaki pukulan lawan. Kepalan tangan kirinya menghantam ke muka. Untuk beberapa saat terdengar benturan keras yang diiringi angin kencang yang bersiur kencang laksana badai topan.

Tubuh Ki Soma Jagat terpental beberapa langkah sambil menjerit keras. Dari mulutnya muncrat darah kental. Pada saat yang bersamaan dengan itu tubuh Ki Buyut Kelana telah kembali melesat ke arahnya dengan pedang terhunus.

“Keparat!” Ki Kartawijaya memaki geram. Tubuhnya melompat hendak memapaki serangan lawan guna menyelamatkan putranya. Namun luka dalam yang dideritanya akibat pertarungan dengan Pendekar Pulau Neraka membuat gerakannya menjadi terhambat dan kurang gesit. Sedangkan Ki Buyut Kelana agaknya tak bisa dicegah lagi, maka....

Bresss!
Trasss!
“Aaargkh...!”

Ki Soma Jagat menjerit tertahan. Ujung pedang lawan melesak menembus jantung. Tubuhnya bergerak sedikit, dan pelahan-lahan terlihat memucat ketika darahnya seperti terisap habis ke batang pedang lawan.

Ki Buyut Kelana pun agaknya bertindak cepat. Begitu serangan Ki Kartawijaya sedikit lagi mendekat, maka buru-buru dia mencabut pedang lalu sambil bergulingan menyambar senjata lawan. Pedang di tangan Ki Kartawijaya putus dan nyaris orang tua itu menjadi korban keganasan Pedang Setan yang terus meluncur menyambar lehernya kalau saja dia tak buru-buru memiringkan kepala.

“Yeaaa...!”

Tubuh Ki Buyut Kelana terus mengejar orang tua itu. Ki Kartawijaya terkejut dan cepat bergulingan menghindari sabetan pedang lawan yang bukan main lihai dan cepatnya. Beberapa orang muridnya mencoba membantu, namun pedang Ki Buyut Kelana lebih cepat lagi menyambar mereka.

Bret!
Crasss!
“Aaa...!”

Empat orang kembali tewas disambar Pedang Setan, dan tubuh mereka pucat bagai tak berdarah. Ki Kartawijaya memanfaatkan kesempatan itu untuk menguasai diri. Namun begitu tubuhnya mencoba untuk melenting, Ki Buyut Kelana telah bergerak menyambar lawan dengan pedang di tangan. Orang tua itu tercekat dan berusaha mengelak.

Namun dalam keadaan mengapung di udara, sulit baginya untuk menghindari diri. Satu-satunya cara yang bisa dilakukannya adalah menghantam lawan dengan pukulan jarak jauh. Dan hal itulah yang dilakukannya saat ini. Tapi Ki Buyut Kelana pun agaknya telah memperhitungkan hal itu. Terbukti ketika dia balas menghantam pukulan jarak jauh ke arah lawan.

Terdengar suara keras ketika kedua pukulan dahsyat itu beradu. Angin bersiur kencang dan menerbangkan debu-debu serta menutupi tempat di sekitar itu dalam beberapa saat.

Jdarrr!
“Aaa...!”

Keadaan Ki Kartawijaya sebenarnya tak memungkinkan baginya untuk mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Kalau hal itu dilakukannya sama artinya dengan bunuh diri, dan hal itulah yang terjadi pada orang tua itu. Tubuhnya terlempar dua tombak seraya memuntahkan darah kental kehitaman.

Belum lagi Ki Buyut Kelana mengirim serangan susulan, tubuh orang tua itu diam tak berkutik setelah menggelepar-gelepar beberapa saat lamanya.

“Pemuda durjana, terimalah pembalasan dari kami!” bentak murid-murid Perguruan Camar Hitam seraya mengepung pemuda itu beramai-ramai. Dan menyerangnya bersamaan.

Tindakan mereka itu bukannya menimbulkan rasa gentar di hati Ki Buyut Kelana. Pemuda itu malah menyeringai lebar sambil mengibaskan pedang.

“Kantong-kantong tak berguna, majulah kalian semua kalau ingin mampus! Ayo, siapa yang lebih dulu ingin kukirim ke akherat?!”

Setelah berkata demikian, pemuda itu melompat ke arah lawan-lawannya sambil menyambar dengan pedang terhunus. Bisa diduga apa yang terjadi kemudian. Beberapa orang langsung tewas disambar senjata maut di tangannya. Tidak ada satu pun senjata lawan yang mampu menahan amukan pedangnya yang haus darah itu. Siapa saja yang mendekat dengannya, bisa dipastikan tewas hanya dalam waktu beberapa saat saja.

Bret!
Crasss!
“Aaa...!”

Pekik tertahan saling susul-menyusul mengiringi ambruknya tubuh murid-murid Perguruan Camar Hitam satu-persatu. Mendadak pada saat itu melesat sebuah sinar keperakan ke arah batang pedangnya. Dengan spontan Ki Buyut Kelana menangkis.

Sring!
Trang!
“Hei...?!”


***


Bukan main kagetnya pemuda itu ketika senjatanya seperti menghantam tembok keras. Selama ini tidak ada satu benda pun yang mampu menahan keampuhan Pedang Setan di tangannya. Tapi kali ini tangannya bergetar hebat seperti kesemutan ketika menghantam benda keperakan yang melayang cepat tadi.

Dengan kontan pemuda itu menoleh dan melihat pemuda berambut panjang telah berdiri di belakangnya pada jarak tujuh langkah. Pemuda yang memakai baju yang terbuat dari kulit harimau seperti dirinya itu memandangnya dengan sorot mata tajam. Di pundaknya terlihat seekor monyet kecil berbulu hitam. Dan di samping pemuda itu berdiri tegak seorang gadis cantik memakai pakaian serba putih.

Ki Buyut Kelana sempat melihat benda apa yang tadi menahan pedangnya ketika pemuda itu menangkap sebuah senjata cakra bersegi enam berwarna keperakan.

“Hm, melihat dari senjatamu itu pastilah kau yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...,” ujarnya dengan nada dingin.

“Matamu sungguh tajam, Sobat! Apa yang kau katakan memang benar. Orang-orang menjulukiku sebagai Pendekar Pulau Neraka...,” sahut pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara itu.

Kalau saja Ki Buyut Kelana merasa kaget karena senjata Pendekar Pulau Neraka mampu menahan Pedang Setan di tangannya, maka hal itu pun dialami oleh Bayu. Dia merasa kaget ketika cakra mautnya tak mampu memapak putus pedang lawan. Bahkan dari bunyi beradunya kedua senjata itu saja dia bisa menduga bahwa senjata lawan memang bukan pedang sembarang.

“Kakang Bayu, tidak salah lagi. Pedang itulah yang dimaksud Guruku...!” seru gadis di sebelah yang tak lain dari Ayu Laksmini.

“Hm, aku pun menduga demikian, Ayu...”

Sring!

Ayu Laksmini sudah langsung mencabut pedang dan melompat ke hadapan Ki Buyut Kelana. Wajahnya garang dan ujung pedang di tangannya ditudingkan ke arah pemuda itu.

“Lekas berikan senjata itu, atau kutebas batang lehermu!” bentaknya mengancam.

Mendengar ancaman si gadis, Ki Buyut Kelana tersenyum mengejek. “Gadis manis, sungguh besar nyalimu berkata begitu. Apakah kau mempunyai nyawa sambilan?”

“Keparat! Kau sama sekali tak berhak atas benda itu. Pedang Setan adalah kepunyaan Eyang Dewa Ruci, guruku. Lekas berikan padaku atau nyawamu melayang saat ini juga!” bentak si gadis semakin garang diremehkan lawan begitu rupa.

“Hm, jadi kau murid Ki Dewa Ruci? Guruku pernah cerita kehebatannya. Dan sebagai muridnya kau tentu mewarisi kehebatannya. Sudah lama sekali aku ingin berhadapan dengannya, tapi tidak juga kunjung bertemu. Kurasa dia takut mampus di tanganku dengan senjatanya sendiri...!”

“Setan!” Bukan main geramnya Ayu Laksmini mendengar kata-kata pemuda itu. Sambil memaki geram, tubuhnya melompat menyerang lawan dengan menggunakan ilmu pedang yang dimilikinya.

“Yeaaa...!”

“Uts! Hm, boleh juga jurus ilmu pedangmu. Akan lebih hebat lagi kalau si Dewa Ruci sendiri yang memainkannya. Kau masih terlihat kaku dan kurang pengalaman. Hm, sungguh kurang beruntung aku tak bertemu langsung dengannya,” ejek Ki Buyut Kelana sambil terus mengejek gadis itu.

“Pemuda ceriwis, anggap saja aku mewakili beliau untuk merobek mulutmu itu, yaaa...!” Ayu Laksmini menyerang lawan sambil mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, namun pemuda itu dengan tenang terus menghindar dan tak bermaksud membalas. Dengan sikapnya itu jelas dia ingin mempermainkan lawan.

Sementara itu melihat Pendekar Pulau Neraka dan gadis itu datang, serentak murid-murid Perguruan Camar Hitam menghentikan perlawanan mereka dan kini hanya memperhatikan dengan seksama pertarungan antara gadis itu dengan Ki Buyut Kelana.

Dan Bayu sendiri tadi hendak melarang gadis itu untuk turun tangan. Namun dia menyadari watak gadis itu yang keras kepala. Ayu Laksmini tentu tetap akan berkeras untuk menghajar pemuda itu. Maka dia hanya bisa memperhatikan seraya menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi. Dia sendiri sebenarnya menyadari meski kepandaian gadis itu tergolong hebat dan berbahaya, namun jelas Ayu Laksmini sangat mentah sekali pengalaman bertarungnya. Hal itu terlihat jelas dari jurus-jurus ilmu pedang yang dimainkannya.

Meski terlihat bahwa Ki Buyut Kelana asal-asalan menghindari serangan lawan, tapi terlihat bahwa dia cukup hati-hati. Sebab sedikit saja lengah bukan tak mungkin pedang Ayu Laksmini akan mencelakainya! Setelah sekian jurus berlangsung, kali ini terlihat Ki Buyut Kelana mulai balas menyerang.

“Cukup! Kini giliranku untuk menyerangmu. Lihat serangan ini!” bentak Ki Buyut Kelana sambil mengibaskan pedang dan mendadak menerkam ke arah lawan.

Ayu Laksmini terkejut merasakan angin kencang yang tajam dan berhawa panas menerpa dirinya. Tubuhnya melompat ke atas menghindari seraya menghantam pukulan jarak jauh ke arah lawan. Kelebatan sinar putih berhawa dingin menyambar ke arah Ki Buyut Kelana.

“Yeaaa...!”
“Hiyaaat..!”
Jderrr!
“Uuuh...!”

Melihat gadis itu menghantamkan pukulan kerasnya, Ki Buyut Kelana pun membalas. Beradunya dua pukulan dahsyat itu menimbulkan suara keras. Angin pukulan Ayu Lasmini buyar dihantam pukulan jarak jauh lawan dan terus menerobos menghantam gadis itu. Ayu Laksmini memekik nyaring.

Tubuhnya terjungkal seraya mengeluarkan darah kental dari sudut bibirnya. Dalam keadaan demikian agaknya lawan tak ingin memberi kesempatan padanya. Tubuh Ki Buyut Kelana terus melompat mengejar dengan senjata terhunus ke arah Ayu Laksmini.

“Yeaaa...!”

Keadaan Ayu Laksmini memang sangat mengkhawatirkan sekali. Meski dia mampu menghindari dua atau tiga serangan lawan, namun bisa diduga dia tak akan mampu bertahan dari lima kali serangan. Kalau saja saat itu Pendekar Pulau Neraka tidak turun tangan menolongnya, niscaya kecemasannya hanya tinggal sesaat lagi saja.

“Kisanak, hentikan seranganmu! Lihat padaku...!”


***


Sriiing!
Tring!
“Yeaaa...!”

Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka melesat kencang memapaki pedang Ki Buyut Kelana. Terdengar bunyi berdenting nyaring yang diiringi percikan bunga api ketika kedua senjata itu beradu. Pedang di tangan Ki Buyut Kelana bergetar hebat seperti juga tangannya. Sedangkan laju Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka agak melenceng ketika kembali ketangannya. Terpaksa Bayu melompat mengejarnya. Namun pada saat itu juga Ki Buyut Kelana telah melompat menyerangnya.

“Uts!”

Bayu menundukkan kepala, dan ujung pedang lawan lewat beberapa inci dari ubun-ubunnya. Kepalan tangan kirinya menghantam ke arah dada. Namun dengan tangkas, lawan menahan serangannya dengan tangkisan tangan kanannya.

Plak!
“Hiyaaat...!”

Keduanya berkerut menahan rasa sakit ketika kedua tangan mereka beradu. Agaknya dengan begitu Ki Buyut Kelana bisa menduga sampai di mana kekuatan tenaga dalam lawan. Dan membuatnya untuk tidak berbuat gegabah. Apalagi ketika satu tendangan kaki kanan lawan menyambar ke arah lehernya. Ki Buyut Kelana bergerak ke kanan dan menangkis dengan tangan kirinya.

Bersamaan dengan itu pula pedang di tangan kanannya menyambar dengan gerakan meliuk-liuk ke arah leher, dada, dan pinggang Pendekar Pulau Neraka. Bayu melompat ke belakang, namun lawan mengikuti gerakannya dengan ujung pedang tetap mengancam tubuhnya.

“Yeaaa...!”
Siiing!
Tring!
“Hiyaaa...!”

Dalam keadaan terjepit begitu, Bayu melepaskan Cakra Mautnya. Senjata ampuhnya itu melesat kencang mengejar lawan, namun dengan sigap Ki Buyut Kelana menangkis dengan senjatanya. Keduanya kembali berbenturan dan menimbulkan suara berdenting nyaring diiringi percikan bunga api. Ki Buyut Kelana kembali merasakan telapak tangannya kesemutan, dan detak jantungnya semakin tak beraturan.

Namun dia tak mau mempedulikan keadaan dirinya, dan sudah terus melompat menyerang lawan dengan kekuatan penuh. Tubuh Bayu melompat beberapa kali menyambar Cakra Maut yang masih melayang di udara. Nyaris ujung pedang lawan menyambar pinggangnya kalau saja dia tak buru-buru melejit ke atas.

Agaknya Ki Buyut Kelana menyadari akan kehebatan senjata lawan, untuk itulah dia menyerang ke dua arah sekaligus, yaitu menyambar Cakra Maut dan kemudian diteruskan menyabet pergelangan tangan kanan lawan. Namun agaknya Bayu menyadari hal itu sehingga dia memperhitungkan baik-baik kapan harus melepaskan Cakra Maut, dan berapa lama waktu yang diperlukannya untuk menangkap senjatanya kembali dengan serangan-serangan yang dilakukan oleh lawan.

“Yeaaa...!”

Ki Buyut Kelana mencoba menyambar pergelangan tangan lawan ketika Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka meleset dari sasaran. Tubuhnya bergulung-gulung menghindari kehebatan pedang lawan yang bukan main dahsyatnya. Kemudian dengan sekali sentak, tubuhnya melejit ke atas menyambar Cakra Maut yang bergerak ke arahnya.

Pada saat bersamaan tubuh Ki Buyut Kelana mengejar dari bawah dan mencoba memapas kedua kakinya. Namun dengan gesit Bayu menekuk kedua kakinya dan melepaskan Cakra Maut di tangannya ke arah leher lawan.

Siiing!
Crasss!
“Aaarkh...!”

Kejadian itu cepat sekali berlangsung dalam jarak dekat Cakra Maut melesat bagai kilat dan tak mampu ditahan lawan. Ki Buyut Kelana hanya mampu berteriak tertahan ketika senjata maut lawan menyambar lehernya. Kepala pemuda itu menggelinding ke tanah, dan darah muncrat dari pangkal lehernya!

Semua orang yang berada di tempat itu menahan napas karena ngeri melihat apa yang terjadi dengan Ki Buyut Kelana. Namun dengan tenang Bayu mendekati lawan dan mengambil pedang dalam genggaman tangannya. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya pelahan-lahan. Ada hawa panas yang hendak menerobos lewat pembuluh darahnya ketika Pedang Setan digenggamnya erat-erat Hawa panas yang menimbulkan amarah dan kegarangan.

Namun dengan kekuatan tenaga batinnya dia berusaha menekan pengaruh jahat itu dan menguasai senjata itu dengan tenang. Bayu memandang ke sekeliling tempat itu, kemudian berkata pelan.

“Pedang Setan ini telah membawa bencana, dan tidak sembarangan orang mampu memegangnya dengan baik. Kalau sampai jatuh ke tangan yang salah maka keangkaramurkaan akan melanda dunia. Oleh sebab itu dia akan aman bila berada di tangan pemiliknya. Aku akan menyerahkan pedang ini ke tangan Ki Dewa Ruci. Adakah di antara kalian yang mencoba merampasnya dari tanganku?”

Seluruh murid-murid Perguruan Camar Hitam, juga Nini Wiyadara yang tengah duduk bersila mengatur pernapasan dan jalan darahnya guna menyembuhkan luka dalamnya, diam membisu. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berani bertindak. Bisa jadi setelah melihat sepak terjang pemuda itu mereka merasa ngeri. Pemuda ini tak kalah sadisnya dengan Ki Buyut Kelana. Meski dia tak sembarang membunuh orang, tapi dia tak segan-segan memancung kepala siapa saja yang mencoba mengancam keselamatan dirinya.

Setelah melihat tak ada reaksi dari mereka, pelahan-lahan pemuda itu menghampiri Ayu Laksmini setelah menggendong monyet berbulu hitam yang tak lain dari Tiren, teman kesayangannya itu.

“Ayu, pedang ini telah berada ditanganku dan kita akan bersama-sama menyerahkannya pada gurumu....”

“Eh, terima kasih. Tapi.... Tapi apakah tidak merepotkanmu, Kakang Bayu...?”

“Maaf, bukannya aku tak percaya padamu. Tapi Pedang Setan ini memang bukan sembarang pedang. Dia akan mempengaruhi siapa saja yang memegangnya untuk menimbulkan keangkaramurkaan dalam dirinya. Dalam keadaan dirimu yang tengah terluka dalam begini, tentu akan berbahaya pula bagi dirimu....”

“Tidak apa, Kakang. Aku percaya padamu....”

“Terima kasih. Bagaimana keadaanmu sekarang...?” tanya Bayu seraya memeriksa nadi ditangan gadis itu.

“Agak baik, Kakang...,” sahut gadis itu merasa jengah dengan suara lirih. Seumur hidupnya belum pernah tangannya diremas seorang pemuda, meski pada saat itu Bayu tengah memeriksa urat nadinya. Dan hal itu membuat tubuhnya merasa panas dingin.

“Hm, memang tidak terlalu parah...,” sahut Bayu bergumam pelan seraya mengangguk kecil.

“Kakang, apakah kita akan berangkat sekarang?”

“Apakah kau sudah merasa kuat?” tanya Bayu balik bertanya.

“Jangan khawatir, aku masih mampu berlari ribuan tombak lagi!” sahut gadis itu cepat seraya tersenyum kecil.

“Baiklah, kita berangkat sekarang...,” sahut Bayu seraya berjalan lebih dulu.

Ayu Laksmini kesal juga hatinya. Pemuda itu tak acuh sama sekali padanya. Apakah dia tak punya perasaan? Tidak bisakah berbasa-basi dengan mengajaknya, atau menggandeng tangannya, lalu tersenyum kecil? Tapi malah cepat pergi, gumamnya dalam hati.

Ayu Laksmini cepat-cepat menyusul Bayu dan berusaha menyamai langkahnya. Dan sepanjang perjalanan, lagi-lagi dia merasa kesal karena pemuda itu terlalu serius, dan jarang tersenyum, apalagi berkelakar!

Tapi entah kenapa, meski begitu dia suka sekali melihat pemuda itu.


SELESAI

Episode Selanjutnya PEREMPUAN BERTOPENG EMAS

Pedang Setan Dewa Ruci

Cerita silat serial pendekar pulau neraka

Episode Pedang Setan Dewa Ruci


Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



Pendekar. Pulau Neraka Episode Pedang Setan Dewa Ruci



SATU

Hari belum begitu malam ketika keributan itu terjadi di rumah Juragan Suminta. Teriakan keras dan jerit kesakitan mulai mewarnai keadaan di sekitar rumah mewah dengan pekarangan luas itu. Suara-suara pertarungan itu kemudian disusul dengan kegaduhan yang semakin memuncak. Api mulai menjalar menimbulkan asap hitam yang membumbung ke angkasa. Ada jerit tangis saling bersahutan, lalu... terdengar teriakan kematian!

Dari arah belakang terdengar derap kaki kuda berlari kencang. Seorang laki-laki setengah baya melarikan kudanya dengan tergesa-gesa. Sesekali terlihat dia melirik ke belakang. Wajahnya cemas, seperti mengkhawatirkan sesuatu. Di punggungnya tergembok sebuah bungkusan berukuran agak besar dengan lobang udara kecil di sela-sela sisi-sisinya.

Namun apabila diperhatikan dengan seksama, akan terlihat bahwa bungkusan itu ternyata kain panjang yang dilipat sedemikian rupa. Dan di dalamnya terlihat seorang bayi berusia sekitar lima bulan yang diselimuti kain tebal.

“Jangan biarkan dia kabur! Lekas kejar! Tangkap dia dan bunuh mereka...!” Seorang laki-laki berteriak di antara hiruk pikuk pertarungan dihalaman rumah Juragan Suminta.

“Heaaa...!”

Lima orang laki-laki berwajah kasar serentak melompat ke punggung kuda masing-masing dan mengejar laki-laki setengah baya yang meloloskan diri dari pintu belakang gedung itu. Merasa bahwa pelariannya ternyata diketahui oleh orang-orang itu, lelaki setengah baya itu tampak lebih cemas lagi wajahnya. Dia memacu kudanya sambil berteriak-teriak kencang.

“Hiyaaa...! Heaaa...!”

“Kurang ajar! Akan kulumatkan kepalanya...!” geram salah seorang di antara para pengejar itu.

Wajahnya berkerut menahan geram. Kedua biji matanya itu bagai hampir meloncat keluar, jadi lebih mengerikan manakala sedang marah seperti itu.

“Sudah, jangan banyak ribut! Kalian menyebar ke sana, dan kami terus mengejar dari sini!” sergah laki-laki bertubuh besar yang mengenakan ikat kepala merah.
Bersama dengan seorang kawannya, dia terus mengejar laki-laki setengah baya itu. Sementara tiga orang lainnya memotong jalan melewati hutan kecil yang ada disebelah kiri jalan mereka, yang nantinya akan tembus ke jalan yang akan dilalui oleh laki-laki setengah baya yang sedang mereka kejar.

Laki-laki setengah baya mulai kelihatan gelisah. Berkali-kali dia menoleh ke belakang. Para pengejarnya semakin memperpendek jarak saja. Meski dia memacu kudanya dengan kencang, namun hewan itu seperti terbatas kemampuan larinya. Dia mengeluh pelan, dan merasa tidak berapa lama lagi tentu dia akan terkejar.

“Maafkan paman, Ayu. Paman akan berusaha melindungimu walau dengan taruhan nyawa sekalipun. Tidak akan paman biarkan mereka merenggut nyawamu begitu saja....” Lirih terdengar suara laki-laki itu sambil menoleh ke arah bayi di punggungnya.

Bayi itu seperti mengerti apa yang tengah terjadi pada mereka, hanya diam saja. Sama sekali tidak menangis!

“Yeaaa...!”

“Ohhh...!” laki-laki setengah baya terkejut. Tiga orang penunggang kuda telah menghadang di depannya. Buru-buru dia menarik tali kekang kudanya. Namun hewan yang telah lelah itu malah meringkik keras seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.

“Hup!” Dengan sigap dia melompat dan menjejakkan kedua kakinya ke tanah dengan mulus.

“Wandira, berhenti kau! Jangan harap kau bisa selamat dari kami!” bentak salah seorang di antara penghadangnya itu. Kemudian melompat dari kudanya dan menghadang laki-laki setengah baya yang dipanggil Wandira itu dengan sorot mata buas.

“Hua ha ha...!” Kau kira bisa menyelamatkan diri dari kami?!”

Ki Wandira kembali terkejut. Dua orang penunggang kuda yang tadi mengejarnya di belakang, kini ikut mengepungnya juga. Dia bersiaga akan segala kemungkinan yang akan terjadi. Sorot matanya tajam mengawasi mereka satu persatu.

Laki-laki bertubuh besar dan memakai ikat kepala merah, yang agaknya pemimpin keempat kawannya itu, melompat turun dari punggung kudanya dan melangkah pelan mendekati Ki Wandira. Pada jarak lima langkah dia berhenti, lalu sambil bertolak pinggang, wajahnya menyeringai buas. Tangan kanannya mengelus-elus gagang golok yang terselip di pinggang kiri. Sementara tangan kirinya memilin-milin ujung kumisnya yang tebal.

“Hari ini keluarga Suminta dan keturunannya akan musnah dari dunia ini, dan tidak ada seorang pun yang mampu menghalanginya!” dengus laki-laki itu sinis.

“Keparat kau, Suteja! Kau boleh berkata semaumu, tapi jangan harap aku akan menyerah begitu saja padamu!” dengus Ki Wandira tidak kalah menggertak.

“Ha ha ha...! Tua bangka, Wandira. Apa yang akan bisa kau andalkan untuk menghadapi kami berlima!” Majikan dan centeng-centengnya yang berilmu tangguh telah tewas. Kau cuma tukang kebun yang lemah. Apa yang bisa kau andalkan untuk melindungi putri majikanmu itu?

Menyerahlah agar kami bisa meringankan hukumanmu. Mengingat kau cuma seorang tukang kebun, siapa tahu ketua kami bisa mengampuni jiwamu!”

“Terkutuk kau, Suteja! Sampai kapan pun aku tidak akan menyerah dan membiarkan kalian menyembelih bayi yang tidak berdosa ini!”

“Huh, keras kepala! Kalau begitu kau boleh mampus sekarang juga! Ayo, rencah dia!” teriak Suteja seraya memberi isyarat pada keempat kawannya untuk menyerang Ki Wandira.

“Yeaaa...!”


***


Ki Wandira mendengus sinis. Melihat kelimanya maju bersamaan dengan senjata terhunus, dia menggertak rahang, tubuhnya berkelit ke samping dengan sedikit membungkuk ketika satu tebasan menghajar ke arah dada kirinya. Kemudian dengan enteng tubuhnya melompat ke atas sambil mengayunkan satu tendangan kearah lawan yang terdekat setelah mengelak dari dua tebasan yang menyusul.

“Hiyaaa...!”
“Uts!”

Tukang kebun sial! Ternyata kau memiliki kemampuan juga! Bagus. Aku ingin lihat, sampai di mana kebisaanmu!” dengus Suteja seraya menghindar ke samping dari tendangan itu.

Wut!
Plak!

Dengan gemas tubuhnya melenting ke atas. Goloknya menyambar ke leher lawan. Tubuh Ki Wandira merungkel menghindari serangan itu, dan tangan kirinya berputar menghantam tengkuk lawan. Suteja dengan spontan menangkis. Ki Wandira terkejut. Wajahnya berkerut menahan sakit akibat benturan itu. Namun dia masih mampu melompat ke samping seraya mengibaskan tangan kanan untuk menghindari kepalan tangan salah seorang lawan.

Begkh!
“Akh!”

Laki-laki setengah baya itu mengeluh kesakitan ketika salah seorang pengeroyoknya dengan tiba-tiba berhasil menyarangkan hantaman kepalan tangan kanannya ke pinggang. Ki Wandira terhuyung-huyung beberapa langkah. Namun begitu tubuhnya masih mampu menghindar dari tebasan seorang pengeroyoknya yang lain.

“Uts!”

“Mampus...!” gumam Suteja seraya melompat ke arah lawan dengan mengayunkan satu tendangan keras ke arah lambung.

Ki Wandira terkejut. Tubuhnya melompat ke belakang. Namun dengan gemas ujung golok Suteja menyambar. Serangan itu memang telah direncanakan untuk mengecoh lawan. Ki Wandira terkejut dan tidak sempat mengelak. Orang tua itu menjerit kesakitan.

Cras!
“Aaaakh...!”

Salah seorang pengeroyoknya lagi berhasil menghantam perutnya yang tengah terluka parah itu dengan satu tendangan keras. Ki Wandira memekik kesakitan ketika tubuhnya terjungkal. Namun dengan kekuatan tenaga, orang tua itu berusaha jatuh dalam keadaan tengkurap agar bayi di punggungnya tidak tertindih tubuhnya.

“Setan! Masih alot juga rupanya kau...!” maki salah seorang yang langsung mengayun goloknya ke punggung lawan.

“Ohhh...!”

“Ki Wandira terkejut dan berusaha mempertahankan nyawa si bayi dengan mengibaskan sebelah kakinya untuk menghantam perut lawan. Tapi....

Cras!
“Aaakh...!”

Kembali orang tua itu terpekik. Senjata lawan dengan cepat berbalik dan menyambar kakinya hingga putus. Darah mengucur deras sebatas lutut Orang tua itu berusaha bangkit dengan langkah terpincang-pincang. Pada saat itu dua orang lawannya kembali mengayunkan golok dengan wajah beringas dan siap menghabisi nyawa orang tua itu bersama bayi dalam gendongannya.

“Mampus kau, Wandira...!”
“Yeaaah...!”

Ki Wandira terkesiap. Dia berusaha melompat untuk menghindari serangan lawan. Namun ujung salah satu senjata lawan cepat menyambar pahanya. Orang tua itu kembali menjerit. Dan kembali berteriak kesakitan ketika dia berhasil menghindari sabetan senjata lawan yang kedua, namun ujung kaki lawannya itu menghantam telak ke arah dadanya.

Bagai kawanan serigala kelaparan, Suteja dan dua orang kawannya menerkam tubuh Ki Wandira yang terjungkal tak berdaya. Ketiga senjata mereka siap menghabisi nyawa Ki Wandira. Orang tua itu mengeluh pelan. Wajahnya berkerut menahan sakit dan sepasang matanya terpejam pasrah. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan bayi yang dilindunginya mati-matian itu. Hati dan bibirnya tiada henti berdoa.

“Ki Suminta, maafkan aku yang tidak berguna. Aku tak mampu menyelamatkan keturunanmu satu-satunya...” keluhnya pelan di dalam hati.

“Yeaaah...!”
Klap! Klap...!
“Aaakh...!”

Pada saat yang kritis bagi Ki Wandira, mendadak melesat bayangan putih menghadang serangan Suteja dan kedua kawan-kawannya. Mereka tersentak kaget, namun tak mampu berbuat apa-apa. Kedua kawannya cuma mampu melihat tiga buah golok yang malang jauh, dan jeritan panjang!

Suteja dan kedua kawannya terjungkal tujuh langkah dengan napas memburu. Ketiganya merasa dadanya perih ketika satu pukulan keras yang amat cepat menghantam. Dengan gusar laki-laki bertubuh besar itu bangkit dan memandang seorang laki-laki tua berjubah putih dengan jenggot panjang yang berdiri gagah di depan mereka.

“Orang tua terkutuk, siapa kau?! Berani mati mencampuri urusan kami!” geram Suteja memaki.


***


Orang tua yang kelihatannya berwajah ramah dan berkulit bersih itu tersenyum kecil seraya memandang ke arah mereka. Sikapnya tenang dan percaya diri. Rambutnya yang panjang dan telah memutih, dibiarkan lepas begitu saja. Kedua tangannya bersedekap ke dada, dan bola matanya lurus memandang ke arah Suteja tanpa mau peduli pada dua orang anak buah Suteja yang bersiap di belakangnya untuk menyergap.

“Apakah setan telah menguasai hatimu sehingga kau tega membunuh seorang bayi yang tak berdosa?” tanya si orang tua itu pelan.

“Orang tua, lebih baik lekas kau menyingkir dari tempat ini kalau tak ingin celaka!” sahut Suteja membentak garang.

“Baiklah, aku akan pergi dari sini. Dan tentu saja aku tidak ingin celaka...” sahut si orang tua seraya melangkah pelan mendekati Kr Wandira.

“Hentikan langkahmu, orang tua!” bentak Suteja merah.

Laki-laki itu menjadi kalap karena orang tua itu meremehkan kata-katanya. Dan sama sekali tidak menganggap dirinya sebagai ancaman ditempat itu dengan mendatangi Ki Wandira yang tengah sekarat. Tapi orang tua itu sama sekali tidak memperdulikan bentakan Suteja. Dia berjongkok pelahan dan meraih bayi dalam gendongan Ki Wandira dengan hati-hati sekali.

“Hm, bayi mungil yang cantik. Kau seharusnya tidak melihat kekejaman orang-orang ini. Tapi agaknya telah ditakdirkan bahwa kelak kau menjadi anak yang tabah...” gumam si orang tua seraya tersenyum kecil menimang-nimang jabang bayi itu.

“Kisanak, tolong selamatkan bayi ini. Dia putri satu-satunya majikanku... Ju... juragan Suminta. Namanya... Ayu Laksmini...,” kata Ki Wandira dengan suara terbata-bata.

“Tenangkan dirimu, sobat..,” Si orang tua itu berusaha menghentikan pendarahan di tubuh Ki Wandira untuk menghentikan rasa sakit yang dideritanya.

“Percuma sobat. Aku... aku merasa ajalku sudah dekat Te... terima kasih atas kesedianmu melindungi dan merawat bayi ini...,” sahut Ki Wandira seraya tersenyum lega.

Ki Wandira menarik nafas panjang. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit. Terlihat tubuhnya mengejang sesaat, sebelum diam tak bergerak lagi untuk selamanya. Nyawanya melayang dari tubuhnya.

“Tenangkan hatimu di alam sana, sobat. Tentu saja aku akan merawat dan melindungi bayi ini dari siapa pun yang mencoba mengganggunya. Telah lama sekali aku tidak mempunyai cucu. Hari ini dialah cucuku...!” sahut si orang tua seraya mengusap wajah Ki Wandira.

Kemudian dia bangkit dengan tenang dan memandang kelima orang lawan-lawannya yang siap menyerangnya. Orang tua itu tersenyum kecil dan sama sekali tidak menganggap bahwa kelima orang itu merupakan hantu yang menakutkan baginya.

“Orang tua, serahkan bayi itu! Ini peringatan terakhir bagimu! Kalau kau masih berkeras juga maka nasibmu akan sama dengan Ki Wandira!” bentak salah seorang anak buah Suteja.

“Hm, bayi ini sekarang adalah cucuku, dan tidak seorang pun kuperkenankan merebutnya dari tanganku...,” sahut si orang tua itu dengan sikap tenang.

“Bebedah! Kalau begitu kau mencari mampus! Baiklah kalau memang itu maumu!” bentak Suteja seraya memberi isyarat pada anak buahnya.

Kelima orang itu segera memutar golok di tangan dan melangkah mengelilingi orang tua itu dengan sorot mata setajam mata elang. Bagaimanapun mereka patut berhati-hati. Dengan sekali gebrak orang tua itu mampu menjatuhkan Suteja dan kedua kawannya. Itu saja sudah cukup membuktikan bahwa si orang tua memiliki kemampuan yang hebat dan tidak bisa dianggap enteng.

“Yeaaah...!”
Wut! Wut!

Dengan mengerahkan seluruh kecepatan, mereka bergerak. Kelima senjata lawan menyambar ke seluruh bagian tubuh orang tua itu.

“Dasar manusia-manusia durjana! Tidak cukupkah bagi kalian nyawa beberapa orang yang telah kalian bantai. Dan kini seorang bayi yang tidak berdosa hendak kalian renggut pula dari tanganku. Huh, jangan salahkan aku jika bertindak keras terhadap kalian!” dengus orang tua itu geram.

Dengan tangan kiri menggendong bayi, gerakan orang tua itu sama sekali tidak terhalangi ketika tubuhnya melompat ke atas menghindari sambaran senjata lawan. Kemudian dia membuat gerakan salto beberapa kali. Kedua kakinya bergerak cepat menyambar dua pergelangan tangan lawan.

Tak! Tak!
“Aaakh!”

Kedua orang itu menjerit kesakitan. Golok dalam genggaman mereka terlepas dari pergelangan tangannya patah. Namun orang tua itu agaknya tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya merunduk ketika dua sabetan lain menyambar. Kemudian bergerak ke atas sambil mengayunkan sebelah kaki dengan gerakan ke atas sambil mengayunkan sebelah kaki dengan gerakan menyapu dari kiri ke kanan.

Duk! Begkh!
“Aaakh!”

Dua orang lawan kembali menjerit kesakitan ketika dada mereka seperti dihantam benda keras. Keduanya terjungkal ke belakang. Suteja terkejut bukan main. Kini dia tinggal sendiri berhadapan dengan orang itu.

“Keparat! Jangan kau kira aku takut padamu! Yeaaah...!” Suteja geram bukan main mendengar kata-kata si orang tua.

Di hadapannya hal itu merupakan penghinaan. Dan di depan anak buahnya, mana mungkin dia menunjukkan kepengecutannya. Maka tanpa pikir panjang lagi, Suteja melompat menyerang lawan dengan senjata terhunus.

“Hup!”

Dengan gerakan gesit dan manis, orang tua itu merundukkan kepala lalu melompat ke samping menghindari tebasan senjata lawan. Suteja geram bukan main melihat lawan mampu menghindari setiap serangan dengan gerakan gesit. Tapi lebih kaget lagi dia manakala merasakan satu hajaran telak menghantam dagu ketika orang tua itu melompat ke atas.

Tak!
“Aaakh...!"

Tubuh Suteja terjerembab ke belakang sambil memuntahkan darah segar dari mulut. Tiga buah giginya tanggal, dan golok di tangannya terlepas dari genggaman.

“Kurang ajar...!” Suteja menggeram sambil meludah. Dia segera bangkit dengan wajah gusar dan siap menyerang lawan kembali. Namun orang tua itu telah lenyap dari tempat itu. Dia memandang ke sekeliling tempat.

“Kemana dia?! Ke mana orang tua keparat itu?!” bentaknya geram pada keempat kawannya.

Keempat orang kawannya diam tak menjawab. Mereka memang tidak mengetahui, bagaimana caranya si orang tua menghilang dari tempat itu.

“Dasar kantong-kantong nasi pengecut! Kenapa kalian diam saja dan bukannya membantu aku menghajarnya?!” maki Suteja seraya menghardik geram.

Keempat kawannya cuma kembali diam seraya menundukkan kepala. Wajah mereka beberapa kali berkerut menahan rasa sakit. Kemudian pelahan-lahan melompat ke punggung kuda ketika Suteja yang lebih dulu melompat ke punggung kudanya, berlalu dari tempat itu!


***


DUA

Laki-laki bertubuh besar yang mengenakan ikat kepala warna hitam dan lebar itu berdiri tegak sambil tersenyum lebar. Pedang besar di tangan kanannya yang berlumur darah dibersihkannya dengan menggosok-gosokkan pada baju salah seorang mayat yang tergeletak di dekatnya.

Beberapa orang kawan-kawannya yang berjumlah lebih dari lima belas orang tampak mondar-mandir di seluruh pekarangan dan di dalam gedung besar itu seperti hendak memastikan bahwa tidak seorang pun penghuninya yang selamat.

“Semuanya sudah mampus!” desis salah seorang yang mendekati lelaki bertubuh besar seraya menyarungkan kembali golok ke pinggangnya.

“Bagaimana dengan Suteja dan kawan-kawannya?” tanya lelaki bertubuh besar itu dengan suara serak.

“Dia pasti sedang membereskan sisanya...”

“Hm, seluruh keturunan si Suminta harus binasa! Begitu yang diperintahkan Ki Kartawijaya. Kalau saja ada yang hidup, maka kalian semua akan menanggung akibatnya!”

“Saat ini mereka tentu telah dibereskan Ki Suteja,” sahut laki-laki itu meyakinkan.

“Hm, mudah-mudahan saja benar apa yang kau katakan...”

“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki Jambrong Suta?” tanya anak buahnya itu.

“Siapkan yang lain. Kita akan berangkat sekarang juga ke markas!” perintah laki-laki bertubuh besar itu dengan suara keras.

“Apakah kita tidak menunggu Ki Suteja dan yang lainnya?”

“Tidak perlu. Begitu mereka telah menyelesaikan urusannya, mereka pasti akan kembali ke markas!”

“Baiklah...!” sahut anak buahnya seraya mengangguk pelan dan berteriak pada yang lainnya.

Sebentar saja mereka telah melompat ke punggung kuda masing-masing dan meninggalkan tempat itu sambil memacu kuda-kuda dengan kencang. Namun baru saja berada di pintu gerbang depan, sekonyong-konyong melesat sebuah bayangan menghadang mereka. Serentak Ki Jambrong Suta menghentikan lari kuda sehingga hewan itu meringkik keras. Demikian pula dengan para anak buahnya.

“Kurang ajar! Siapa yang berani menghalangi jalanku?!” bentak Ki Jambrong Suta geram.

Beberapa orang anak buahnya sudah langsung melompat dan berdiri tegak dengan sikap waspada mengepung seorang laki-laki tua yang tengah menggendong seorang bayi. Orang tua itu tenang sekali sikapnya dan sama sekali tak merasa takut melihat lawan-lawannya siap hendak menghabisinya. Melihat keadaan itu Ki Jambrong Suta menjadi curiga.

“Kalau bukan orang gila yang ingin mampus, pastilah orang tua ini memiliki nyawa seribu,” pikirnya. Dia memberi isyarat pada anak buahnya untuk tidak menyerang si orang tua dulu.

“Ki sanak, apa maksudmu menghadang perjalanan kami?” tanya Ki Jambrong Suta dengan nada suara ditekan sedemikian rupa, mungkin untuk menunjukkan kewibawaannya di hadapan orang tua itu.

“Kaukah yang memimpin rombongan ini?” tanya si orang tua tidak menghiraukan pertanyaan Ki Jambrong Suta.

Mendengar itu saja rasanya amarah Ki Jambrong Suta hendak naik ke ubun-ubun. Orang tua itu sama sekali tidak memandang sebelah mata padanya. Dia tak peduli dengan pertanyaanya, dan malah balik mengajukan pertanyaan sendiri. Namun memandang sorot mata si orang tua yang tajam dan menyilaukan matanya, sadarlah Ki Jambrong Suta bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan sulit diukur sampai di mana tingkat kepandaiannya. Untuk itu dia harus hati-hati dan tidak bisa bertindak gegabah.

“Benar, akulah yang memimpin rombongan ini. Namaku Ki Jambrong Suta. Siapakah engkau, Ki sanak...?”

“Apa hubunganmu dengan Nini Widyadara?” tanya si orang tua itu sama sekali tidak mempedulikan niat baiknya untuk beramah tamah. Namun dia berusaha menekan amarahnya dan menyahut tenang.

“Hm, agaknya kau mengenal sesepuh kami juga. Beliau adalah istri guru kami...”

“Kartawijaya...?!”

“Kau pun mengenalnya?” Ki Jambrong Suta mulai berhati-hati begitu mengetahui bahwa orang tua di depannya ini mengetahui kedua sesepuh di perguruannya itu. Boleh jadi dia kawan baik gurunya. Untuk itu dia tak berani bersikap gegabah lagi.

“Ki sanak, siapakah kau sebenarnya? Kau begitu mengenal kedua sesepuh kami. Pastilah kau amat dekat dengan mereka...”

“Ha ha ha ha...! Katakan pada mereka bahwa suatu saat kelak aku akan mengambil milikku yang telah mereka perdayai. Saat itu aku tidak bisa memastikan apakah akan mengampuni mereka atau tidak!”

Ki Jambrong Suta tersentak kaget. Orang tua berjanggut panjang dan telah memutih itu tertawa lebar. Kemudian melesat ke atas dan menapak dengan enteng pada sebuah cabang pohon sebelum dia dan anak buahnya sempat menyadari hal itu.

“Orang tua sinting! Siapa kau sebenarnya dan apa urusanmu dengan kedua guru kami?!” bentak Ki Jambrong Suta seraya melemparkan goloknya ke arah melesatnya bayangan si orang tua.

Namun senjatanya itu hanya menancap di batang pohon, sedangkan si orang tua telah lenyap dari tempat itu. Suara tawanya masih terdengar nyaring yang diikuti gema suaranya.

“Katakan pada kedua tikus licik itu, Dewa Ruci akan meminta kembali benda miliknya yang telah mereka renggut..!”

Dan kemudian suara itu menghilang. Ki Jambrong Suta dan anak buahnya kembali terpaku.

“Dewa Ruci...?” tanyanya bingung pada diri sendiri. Dia mencoba mengingat-ingat di mana pernah mendengar nama itu.

“Astaga! Dewa Ruci! Dia... dia saudara seperguruan Ki Kartawijaya. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat!” desis Ki Jambrong Suta begitu mengingat siapa orang tua itu sebenarnya.

Anak buahnya pun terkesima. Kalau saja orang tua itu sempat marah dan menghajar mereka, niscaya tidak seorang pun di antara mereka yang bisa selamat.

“Lekas kita kembali dan kabarkan hal ini pada ketua!” teriak Ki Jambrong Suta memberi perintah pada anak buahnya.

Tidak berapa lama kemudian mereka telah meninggalkan tempat itu sambil memacu kencang kudanya.


***


Orang tua bertubuh kurus itu tampak merah menahan marah begitu mendengar laporan anak buahnya. Dipandanginya mereka satu-persatu kemudian terdengar suaranya yang lantang.

“Ke arah mana dia pergi?”

“Eh... kami... kami tidak mengetahuinya, Eyang,” sahut Ki Jambrong Suta sambil menundukkan wajahnya.

“Tolol! Apa kau tidak bisa memperkirakan ke mana dia pergi?!”

“Sabarlah, Kakang. Kau tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja. Kepandaian Kakang Dewa Ruci memang sulit diukur. Apalagi setelah sekian tahun berlalu...,” ujar seorang wanita tua berambut panjang yang duduk di samping laki-laki tua itu.

Laki-laki tua itu mendengus geram.

“Apakah orang tua itu berbahaya bagi kita, Eyang? Bukankah beliau kakak seperguruan Eyang...?!” tanya Ki Jambrong Suta dengan dahi berkerut.

“Huh, tahu apa kau dengan segala urusanku!” dengus orang tua itu sinis.

Ki Jambrong Suta terdiam. Wajahnya di tundukkan dalam-dalam.

“Ki Jambrong Suta, urusanmu telah selesai. Pergilah keluar...,” kata wanita tua yang berada di depannya dengan nada ramah.

“Baiklah, Eyang...,” sahut Ki Jambrong Suta seraya memberi hormat dan berlalu dari ruang itu.

Laki-laki tua bertubuh kurus itu sesungguhnya bernama Ki Kartawijaya, dan wanita di sebelahnya adalah Nini Widyadara. Kedua orang tua itu amat disegani di kalangan dunia persilatan karena kepandaian mereka yang hebat. Dan untuk saat ini Perguruan Camar Hitam yang mereka pimpin, merupakan salah satu dari sekian banyak perguruan silat yang amat menonjol dan amat disegani.

Sebenarnya Ki Kartawijaya tidak turun tangan langsung memimpin Perguruan Camar Hitam setelah putranya dewasa. Beliau menyerahkan tampuk kepemimpinannya ketangan Ki Dewantara, putra tertuanya. Pemuda yang berusia sekitar tiga puluh tahun lebih itu pun tak kalah hebat kepandaiannya dibanding dengan orangtuanya.

Hari ini tidak seperti biasanya bagi mereka. Terlebih bagi suami istri yang telah berusia lanjut itu. Berita yang dibawa oleh Ki Jambrong Suta memang amat mengagetkan mereka. Dari mana Ki Dewa Ruci mengetahui bahwa Ki Jambrong Suta muridnya?

“Tak aneh, Kakang. Melihat dari gerakan gerakan ilmu silatnya saja dia sudah bisa menebaknya. Tidak ada orang lain yang menjadi murid eyang selain kita bertiga...,” jelas Nini Widyadara.

“Hm, kenapa dia tidak langsung menuju ke sini? Dia pasti mempunyai rencana lain...,” gumam Ki Kartawijaya dengan nada bertanya-tanya.

“Kenapa Ayah dan Ibu kelihatan khawatir dengan kemunculan orang tua bernama Dewa Ruci itu?” tanya Ki Dewantara yang sejak tadi diam saja mendengar percakapan mereka.

Ki Kartawijaya memandangnya sekilas, kemudian berpaling seperti tidak ingin menjawab pertanyaan putranya itu.

“Ayahanda, jika ada sesuatu yang membebani pikiran Ayahanda tentang orang tua itu, serahkan saja pada ananda. Biar Ananda yang akan mengurus orang tua itu...”

“Apa yang bisa kau urus?” tanya Ki Kartawijaya tersenyum kecut.

“Ayah menghendaki apa dari orang tua itu?” sahut Ki Dewantara mantap dengan pertanyaan yang meyakinkan orangtuanya itu.

“Apakah jika ayahanda menginginkan kematiannya kau mampu mengurusnya?” tanya Ki Kartawijaya kembali tersenyum getir.

“Kalau memang Ayah menghendaki demikian, serahkan saja urusannya pada ananda,” sahut Ki Dewantara mantap.

“Ki Dewantara, anakku. Kau tidak tahu orang macam apa yang sedang kita bicarakan ini. Bukan hanya namanya saja yang berawal dewa, tapi kepandaiannya pun hampir menyamai nama itu. Tidak ada seorang pun yang mampu mengimbangi kepandaiannya. Kau akan sia-sia untuk melawannya. Apalagi mencoba membunuhnya,” jelas Nini Widyadara dengan suara Junak.

“Ibu, apakah Ibu tidak percaya dengan kemampuan ananda?”

“Siapakah yang meragukan kemampuanmu? untuk saat ini segala kepandaian ibu dan ayahandamu telah engkau kuasai.”

“Lalu kenapa Ibu masih meragukan ananda? Kalau memang Ki Dewa Ruci itu saudara seperguruan Ayahanda dan Ibu, tentu kepandaiannya sebanding pula. Dan kenapa ananda tidak mampu melawannya?” tanya Ki Dewantara dengan wajah kurang puas.

“Apa yang kau katakan memang benar. Tapi ada satu yang belum kau ketahui bahwa Ki Dewa Ruci itu bukan hanya berguru pada satu orang. Tapi dia seorang petualang yang memiliki banyak guru. Kepandaiannya beraneka ragam dan sulit diukur,” jelas Nini Widyadara.

“Tapi bukan berarti ananda tidak mampu menghadapinya, bukan? Percayalah, ananda tak takut melawannya bila memang Ayahanda dan Ibu begitu mengkhawatirkan orang tua itu,” sahut Ki Dewantara kembali dengan nada mantap.

“Sudahlah, lebih baik kau urus murid-muridmu. Biar persoalan yang satu ini kami yang urus,” kata Ki Kartawijaya dengan suara tegas.

“Tapi, Ayahanda...”

“Jangan membantah! Apa yang bisa kau lakukan? Apa kau ingin mengantar nyawa secara percuma? Sudah, pergilah sana!” bentak Ki Kartawijaya dengan nada lebih tinggi.

Ki Dewantara sebenarnya ingin membantah. Tapi mendengar suara ayahnya yang mulai bernada keras, dia tidak berani buka mulut lagi. Meski hatinya sedikit tidak enak ditinggalkannya juga ruangan itu setelah menjura hormat.

Nini Widyadara menoleh kepada suaminya sambil menghela napas pendek.

“Tidak baik kau berkata keras begitu padanya. Bukankah dia bermaksud baik..?”

“Huh, jangan kau selalu mengajarinya berlemah-lembut. Dia anak laki-laki, dan seorang laki-laki patut mendapat perlakuan keras.”

“Dan selama ini semakin kau kerasi mereka akan semakin membantah. Apakah itu ada manfaatnya bagi mereka?”

“Dan mereka pun mendapat pelajaran akibat membantah perkataanku. Itu menjadi pengalaman berharga bagi mereka.”

“Dalam hal ini, mereka mengetahui bahwa kau melarang ikut campur. Apakah kau yakin mereka akan mematuhinya? Bagaimana bila Ki Dewantara dengan diam-diam melanggar laranganmu dan mencari Kakang Ki Dewa Ruci untuk menantangnya bertarung? Kakang Ki Dewa Ruci memang penyabar. Tapi kalau Ki Dewantara terus memaksanya, dia akan terbunuh. Apakah hal seperti itu yang kau katakan pengalaman berharga bagi mereka?

“Ah, sudahlah. Jangan urusi soal itu,” sergah Ki Kartawijaya kesal.


***


Nini Widyadara terdiam beberapa saat lamanya. Demikian pula halnya dengan Ki Kartawijaya. Apa yang dikatakan istrinya memang ada benarnya. Tapi tentu saja dia tidak bisa mengawasi anaknya itu setiap hari. Meski perguruan itu dipegang oleh Ki Dewantara, namun dalam pelaksanaannya dia sering mewakilkan pada dua orang adiknya, yaitu Ki Ganggapura dan Ki Soma Jagat. Sedangkan Ki Dewantara sendiri lebih sering berkelana seorang diri. Tidak seorang pun mengetahui apa yang dilakukannya di luar sana.

“Kakang, apakah kau begitu mengkhawatirkan kedatangan Kakang Ki Dewa Ruci ke tempat ini...?” tanya Nini Widyadara pelan.

“Huh, apa yang kutakutkan darinya?” sahut Ki Kartawijaya sambil mencibir.

“Kalau begitu, kenapa Kakang begitu kelihatan cemas mendengar berita kedatangannya? Belum tentu dia akan datang ke sini....”

“Cepat atau lambat dia pasti akan datang ke sini untuk menagih benda miliknya, dan kita harus siap mempertanggungjawabkannya.”

Nini Widyadara mendesah pelan.

“Aku sendiri tidak mengetahui di mana benda itu berada sekarang ini.”

“Itu salahmu sendiri. Kenapa kau tidak menyembunyikannnya dengan rapi saat pertarungan tempo hari,” sentak Ki Kartawijaya dengan nada kesal.

“Siapa yang mengira bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat dan mampu merampas Pedang Setan itu dari tanganku,” sahut Nini Widyadara tak senang merasa disalahkan.

Kedua orangtua itu kembali terdiam setelah saling menyalahkan. Kemudian terlihat Ki Kartawijaya menghela napas panjang seraya menggelengkan kepalanya pelan.

“Maafkan aku, Nini. Tidak seharusnya aku menyalahkanmu. Pemuda itu memang memiliki kepandaian yang hebat...”

Mendengar nada suara suaminya mulai lunak dengan perasaan penyesalan, kekesalan di hati wanita tua itu pun mereda. Dia memegang tangan Ki Kartawijaya dan meremasnya pelan seraya tersenyum kecil.

“Sudahlah. Yang telah terjadi tidak mungkin kembali lagi. Kita memang bersalah, dan sudah sepatutnya mendapat hukuman akibat kesalahan kita sendiri...”

“Tapi...”

“Apakah kau masih merasa tinggi hati untuk meminta maaf pada Kakang Ki Dewa Ruci?” potong Nini Widyadara cepat.

“Entahlah...,” sahut Ki Kartawijaya lemah.

“Kakang, kita sudah tua. Lupakanlah pertikaian kalian di masa lalu. Lagi pula, tidakkah engkah merasakan bahwa Kakang Ki Dewa Ruci telah banyak mengalah pada persoalan ini? Kau merebut aku darinya, tapi dia malah menghindar pergi dan meninggalkan kita begitu saja tanpa membuat perhitungan denganmu. Lalu kita mencuri senjata pusakanya, dan baginya itu adalah perbuatan yang di luar batas.

Apalagi ketika senjata itu kita pergunakan untuk berbuat sewenang-wenang. Tentu saja dia tidak suka dan menjadi marah. Tapi dia memberi kesempatan padamu untuk mengembalikan senjata itu karena kau berdalih hendak meminjamnya. Tapi ketika waktu itu habis, kita malah kabur darinya. Bukankah sudah sepatutnya kalau dia merasa jengkel dan mendendam pada kita?”

“Lalu maksudmu kita harus meminta maaf dan membiarkannya memenggal leher kita berdua?” tanya Ki Kartawijaya dengan nada tak senang.

“Bukan begitu maksudku. Tapi masih ada jalan lain yang lebih baik dan kurasa dia pun mau mengampuni kesalahan kita.”

“Apa itu?”

“Bagaimana kalau kita cari pedang itu? Selama ini hidupku hanya kucurahkan untuk mencari pedang itu, tapi sampai kini si keparat itu tidak muncul batang hidungnya. Kalaupun kita berhasil menemukan si keparat itu, belum tentu kita mampu mengalahkannya. Apalagi setelah dia bersembunyi sekian tahun lamanya. Tentu dia tengah mempelajari ilmu silat yang berada dalam pedang itu. Dan tidak bisa di pungkiri, bagaimana kehebatan si keparat itu kalau dia muncul kembali.

“Tapi bagaimanapun caranya, kita harus menemukan pedang itu dan menyerahkannya kembali pada Kakang Ki Dewa Ruci. Dan dalam hal ini, tidak ada salahnya kalau kita melibatkan murid-murid Perguruan Camar Hitam untuk mencarinya, atau mencari berita tentang si keparat itu.”

Ki Kartawijaya berpikir beberapa saat lamanya.

"Bagaimana, Kakang...?” tanya Nini Widyadara.

“Yah, kurasa usulmu itu memang tidak ada salahnya kalau kuturuti...,” sahut laki-laki tua itu pelan.

“Syukurlah kalau memang Kakang menyetujuinya. “

“Tapi bagaimana kalau dia datang ke tempat ini sebelum kita menemukan pedang itu? Dan seandainya dia masih tetap tidak percaya kalau kita akan berusaha menemukan benda miliknya itu, dia tentu akan mengamuk sejadinya.”

“Biarlah nanti aku yang akan menghadapinya. Aku yakin Kakang Ki Dewa Ruci tidak akan bertindak sembrono.”

“Terserahlah kalau memang begitu rencanamu...”

“Nah, ada baiknya rencana ini kita bicarakan dengan si Ki Dewantara. Agar dia bisa mengerti. Kalaupun kelak dia harus tewas ditangan si pencuri pedang itu, aku malah akan merasa bangga karena dia tewas dalam menunaikan tugas dari darma bakti yang benar. Dan bukan kematian yang sia-sia dibandingkan bila dia tewas di tangan Kakang Ki Dewa Ruci.”

“Kalau begitu, panggillah dia segera. Anak itu kadang keras kepala dan merasa mampu memikul semua tanggung jawab. Jangan sampai dia lebih dahulu memutuskan pergi dan bertarung sia-sia,” kata Ki Kartawijaya.

Nini Widyadara segera turun dari kursinya dan beranjak dari ruangan itu. Ki Kartawijaya menghela napas panjang, seraya menggelengkan kepalanya.


***


TIGA

Sang Surya terus bersinar dan bersembunyi di balik gelap malam ketika pucuk-pucuk pohon membuat tunas baru. Telur-telur burung mulai menetas dan menjadi dewasa. Ranting-ranting pohon telah menjadi cabang yang kokoh dan kuat. Demikian pula dengan tunas-tunas muda yang kini telah berdiri tegak bersama bergulirnya sang Waktu. Dan tidak terasa bergulir hari demi hari menjadi bulan, kemudian terus bergulir ke tahun.

Enam belas tahun telah berlalu sejak kejadian itu! Banyak perubahan yang terjadi. Dan juga banyak yang kini tinggal sejarah, atau masih berlanjut menjalani sisa garis hidupnya. Dataran tinggi di Bukit Warimun Giri yang senantiasa berselimut kabut kelihatan tenang seperti menyimpan rahasia yang tersembunyi. Jarang sekali ada manusia yang berani mendekatinya, karena daerah perbukitan itu seringkali menjebak penglihatan.

Kabut tebal yang menghalangi itu seringkali menjebak penglihatan. Kabut tebal yang menghalangi menyesatkan mereka yang mencoba mendaki. Dan tidak jarang akhirnya terperosok ke dalam jurang-jurang yang banyak terdapat di sekitar tempat ini. Apalagi mencoba mengetahui rahasia apa yang ada di balik kabut tebal sepanjang musim itu.

Meskipun begitu ternyata ada juga seorang tokoh yang mampu mendiami daerah berkabut di Bukit Warimun Giri itu. Bahkan tokoh tua yang namanya pernah menggetarkan rimba persilatan di jamannya itu telah bercokol lama sekali di tempat itu, bersama dengan seorang murid tunggalnya. Seorang dara jelita berusia sekitar enam belas tahun.

“Yeaaah...!”

Pagi yang gelap dipecahkan oleh suara teriakan membahana. Sebuah bayangan melesat dengan cepat. Gerakannya ringan sekali bagai seekor walet. Bayangan putih itu bergulung-gulung sambil sesekali melenting ke sana kemari. Dan ketika beberapa pohon dilewati, akan terlihat daun-daunnya jatuh berguguran bersama dengan ranting-ranting, dalam keadaan terpotong!

“Ayu, tahan setanganku...!” satu suara berteriak nyaring yang diikuti melesatnya sesosok tubuh. Bayangan pertama langsung melesat memapaki.

“Yeaaah...!”
Tring...!

Terdengar beberapa kali suara berdenting nyaring dari beradunya dua senjata tajam yang bergerak cepat Kemudian terasa angin bersiur kencang dan tajam seperti sabetan senjata rahasia yang jumlahnya amat banyak. Kejadian itu berlangsung lebih kurang sekejapan saja, dan baru selesai ketika masing-masing membentak nyaring.

Dua sosok bayangan itu melenting saling berjauhan, kemudian hinggap dengan ringan di tanah. Pada jarak sepuluh langkah, terlihat bayangan pertama tadi adalah seorang gadis berparas rupawan memakai baju serba putih dengan rambut panjang diikat ekor kuda agak ke atas, lalu diikat pula dengan sehelai pita putih terbuat dari sutera halus seperti bahan pakaiannya. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang kecil yang disilangkan di dadanya.

Sementara bayangan kedua adalah seorang laki-laki yang telah berusia lanjut dengan rambut panjang telah memutih. Demikian pula dengan jenggotnya. Di tangan kanan laki-laki itu pun tergenggam sebatang pedang berukuran agak besar.

“Bagus, Ayu. Gerakanmu sudah lumayan cepat, dan tenaga dalammu pun sudah sempurna. Kalau ada kekurangan pada dirimu adalah kau butuh pengalaman untuk bertarung. Namun harus diingat, bahwa semua jurus-jurus tipuan yang telah aku ajarkan hendaknya menjadi tameng yang berguna bagimu...!”

“Terima kasih, Eyang...” sahut si gadis yang dipanggil Ayu itu seraya merangkapkan sebelah tangan ke dada dan tubuh sedikit dibungkukkan dengan sikap hormat.

“Kemarilah Ayu, ada yang hendak kubicarakan denganmu...!”

Gadis itu mendekat dan mengikuti langkah si orang tua ke sebuah pondok kecil yang tak jauh dari tempat mereka berlatih tadi. Kemudian duduk di hadapan orang tua yang bersila di bale-bale pondok itu. Dipandanginya beberapa saat gadis itu, kemudian tersenyum pelan seraya menepuk-nepuk sebelah pundaknya.

“Apakah gerangan yang hendak Eyang bicarakan padaku...?”

“Telah enam belas tahun kau berada di tempat ini, dan kurasa telah tiba saatnya kau menjalani tugasmu. Ayu...”

“Apakah Eyang yakin bahwa aku mampu memikul tanggung jawab besar itu?” tanya si gadis dengan nada tak yakin.

Orang tua yang bernama Ki Dewa Ruci itu tersenyum halus, “Apakah kau tidak yakin dengan kemampuanmu?”

“Eyang sering bercerita bahwa di dunia luar sana banyak kejadian yang tiada terduga. Bagaimana mungkin Eyang bisa meyakinkan bahwa aku mampu memikul tanggung jawab dalam tugas mulia ini?”

“Keyakinan itu adanya di hati, dan keberhasilan itu tergantung dari kerja keras yang pantang menyerah. Kalau bekerja membabi buta, maka hasilnya akan kacau-balau. Tapi kau telah mempunyai bekal, dan itu cukup bagimu, sehingga dalam masa remaja mu ini kau sudah harus berpikir cermat dan tepat untuk cepat mengetahui setiap gejala yang akan mencelakakanmu sehingga kau langsung bisa bertindak untuk menyelamatkan diri. Nah, yakinlah dengan semua bekal yang kau miliki, dan gunakan akalmu untuk melindungi nyawamu...” jelas Ki Dewa Ruci memberi wejangan kembali.

Si gadis yang bernama Ayu Laksmini mengangguk pelan. Wajahnya kemudian kembali tegak seraya memandang orang tua itu dengan perasaan sedih.

“Eyang, aku telah menganggapmu sebagai kakekku sendiri yang amat kusayangi...,” ucapnya lirih.

“He, jangan bersedih! Apa kau kira ini perpisahan bagi kita? Tidak! Bila Tuhan Yang Maha Esa berkenan memperpanjang umur kita, tentu saja kita akan bertemu kembali. Dan tentu saja aku senang bisa bertemu dengan cucuku tersayang. Nah, berangkatlah sekarang juga!”

Ayu Laksmini terharu, kemudian berlutut di depan orang tua itu. Tangan kasar Ki Dewa Ruci menyapu air mata yang menetes di wajah gadis muda yang cantik itu. Kemudian tersenyum kecil. Ayu Laksmini berdiri tegak, lalu kembali menjura hormat Ki Dewa Ruci mengangguk seraya tersenyum dan menepuk-nepuk pundaknya.

“Aku pamit, Eyang...,” kata gadis itu lalu berbalik dan melangkah pelan meninggalkan tempat itu.

Ki Dewa Ruci memandangnya sekilas, kemudian kembali ke pondoknya seperti tidak ada kejadian apa-apa.


***


Siang hari ini matahari bersinar tidak terlalu garang. Seorang pemuda berwajah tampan namun terlintas kesan keras dari raut wajahnya itu, berjalan dengan tenang seraya sesekali menepuk-nepuk monyet kecil berbulu hitam yang berada dipundak kirinya. Pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau itu seperti tidak mempedulikan ketika beberapa pasang mata mengintainya dari balik semak-semak di sepanjang jalan yang dilaluinya.

“Nguk..! Nguk..!”

Monyet kecil itu melompat-lompat dipunggungnya sambil berteriak dengan suara keras. Sebelah tangannya menunjuk-nunjuk ke satu arah.

“Tenang saja, Sobat. Aku juga tahu apa yang kau maksud. Tapi selama mereka tidak mengganggu kita, biarkan saja mereka menguntit,” sahut pemuda itu seperti mengerti apa yang dimaksud oleh monyet berbulu hitam itu.

Pemuda yang tidak lain dari Bayu Hanggara itu masih tenang-tenang saja berjalan. Namun demikian pendengarannya yang tajam terus mengikuti perkembangan beberapa orang yang sejak tadi masih tenis mengintainya.

Dia masih belum bisa menduga apa yang mereka kehendaki darinya. Tapi sejauh mereka tidak apa-apa, maka dia pun tidak ingin bertindak. Tapi di suatu tempat yang agak sepi, tiba-tiba saja melesat beberapa sosok tubuh menghadang perjalanannya. Bayu tersenyum kecil.

“Berhenti...!” teriak salah seorang dari mereka seraya mencabut golok dengan sikap mengancam.

Bayu menghitung. Jumlah mereka hanya berlima, dan rata-rata memiliki wajah yang tidak bersahabat. Apalagi kelimanya telah bersiap dengan golok di tangan masing-masing. Yang membentaknya tadi agaknya pemimpin empat orang kawannya yang lain. Tubuhnya agak pendek dan dahinya lebar. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Orang itu maju dua langkah seraya mendengus sinis.

“Siapa kau dan apa yang kau bawa?” bentak orang itu kembali.

“Aku cuma seorang pengembara, dan kalian bisa melihat apa yang kubawa. Sebaliknya, siapakah kalian dan apa yang kalian inginkan dari ku...?” tanya Bayu tenang balik bertanya.

“Apa yang kau ketahui tentang Pedang Setan Dewa Ruci?” tanya orang itu kembali masih dengan nada tinggi dengan sorot mata menyelidik.

Pedang Setan Dewa Ruci? Hm, baru sekali ini kudengar nama itu...,” kata Bayu setengah bergumam.

“Ki Wongso, kukira dia pasti berbohong. Aku yakin bahwa pemuda inilah yang belakangan sering membuat onar dan memiliki pedang itu,” bisik salah seorang kawannya.

Laki-laki yang dipanggil Ki Wongso oleh anak buahnya itu kembali mendengus ke arah Pendekar Pulau Neraka dengan wajah sinis.

“Huh, lebih baik kau mengaku saja dan serahkan pedang itu pada kami. Kalau tidak, kau akan menyesal sendiri nantinya,” lanjut Ki Wongso dengan nada geram mengancam.

Bayu tersenyum kecil. “Ki sanak, aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Seolah-olah kau menuduhku mencuri sesuatu darimu, dan kau memaksa aku untuk mengembalikannya. Tapi mungkin telingamu tuli dan sekarang kutegaskan kembali bahwa aku tidak tahu-menahu apa yang kau bicarakan. Dan aku sama sekali tidak pernah berurusan denganmu, apalagi sampai mencuri barang milikmu!”

Setelah berkata tegas begitu, Bayu segera berpaling dan bermaksud melangkah untuk meninggalkan mereka begitu saja. Tapi mendengar jawaban pemuda itu, dan melihat sikapnya yang sangat menyepelekan mereka, tentu saja membuat Ki Wongso dan kawan-kawannya menjadi geram. Salah seorang anak buahnya sudah langsung melompat menyerang sambil memaki geram.

“Keparat! Kau pikir sedang bicara dengan siapa?”

“Hup!”

Dengan gerakan gesit pemuda itu menundukkan kepala, sehingga senjata lawan luput dari sasaran. Tapi hal itu tidak membuatnya merasa jera melainkan kembali menyerang sambil membalikkan tubuh membabat bagian leher hingga ke pinggang Pendekar Pulau Neraka.

“Yeaaat..!”

Bayu melompat dengan ringan ke atas sambil membuat gerakan salto yang indah. Namun belum lagi kedua kakinya menyentuh tanah, mendadak satu sabetan lawan telah mengejar hendak memapas kedua kakinya. Tapi dengan gerakan gesit Bayu menekuk kedua kakinya, dan dengan gerakan menyilang yang sulit diikuti oleh mata lawan, tiba-tiba saja kedua ujung kakinya menghajar pergelangan tangan lawan hingga goloknya terlepas dari genggaman. Sementara ujung kaki yang sebelah lagi menghantam dada, dan membuat lawan terjungkal sambil menjerit keras.

“Aaakh...!”

“Kurang ajar! Hajar dia sampai mampus...!” geram Ki Wongso memberi perintah pada anak buahnya begitu melihat salah seorang dari mereka dapat dipecundangi oleh lawan dengan mudah.

Tanpa membuang waktu lagi, keempatnya menyambar Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus. Bayu hanya tersenyum kecil sambil melepaskan Tiren dari pangkuannya. Monyet kecil itu melompat cepat dan berjumpalitan sambil berteriak-teriak keras menepuk-nepuk kedua tangannya seperti memberi semangat pada sahabatnya itu untuk menghajar lawan-lawannya.

Dan apa yang ada di benak Bayu agaknya memang demikian. Sejak tadi dia memang sudah tidak sabar melihat sikap mereka. Namun begitu masih berusaha untuk menghindarkan diri. Tapi begitu melihat mereka yang tetap penasaran dan bermaksud mencelakainya, tentu saja kemarahannya bangkit dan kejengkelannya memuncak untuk memberi pelajaran pada mereka.

Dan itulah yang tengah dikerjakannya saat ini. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia meladeni mereka dengan gerakan gesit. Dua buah serangan ke arah bagian bawah, dapat dihindarinya dengan gerakan manis. Namun senjata Ki Wongso dengan cepat menyambar tengkuknya. Bayu menengadahkan kepala ke belakang dan tangan kirinya menghantam pergelangan tangan lawan.

Tak!
Begkh!
“Aaakh...!”

Ki Wongso menjerit kesakitan. Golok dalam genggamannya terlepas ketika pergelangan tangannya terkilir dihantam lawan. Pada saat yang nyaris bersamaan, kaki kiri Bayu berbalik menghantam perut lawan yang mencoba membokongnya dari belakang. Lalu ketika tubuhnya bergerak ke atas, kedua kakinya kembali menyambar wajah Ki Wongso dan bagian dada seorang lawannya yang lain ketika hendak menyambar pinggang Pendekar Pulau Neraka.

Tiga orang itu terjungkal kesakitan. Dua orang lawannya menyerang dengan ragu-ragu. Tapi Bayu betul-betul tidak memberi kesempatan pada mereka. Tubuhnya bergerak mendahului salah seorang lawan yang sedang mengayunkan goloknya. Sementara dari arah yang berlawanan, lawannya yang lain juga mencoba membokongnya dari belakang.

“Yeaaa...!”
Begkh!
Desss!
“Aaakh...!”


***


Tubuh Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan ke atas untuk menghindari sabetan senjata lawan. Lalu dengan cepat ujung kaki kanannya menghantam ke arah dada. Bertumpu pada tendangan itu, tubuhnya kembali melesat ke atas seraya menghindari serangan dari belakang dan ujung kaki kirinya tepat menghantam dahi lawan yang seorang lagi. Kedua orang itu menjerit kesakitan ketika tubuh mereka terjembab ke belakang.

“Nguk! Nguk! Keaaakh...!”

Monyet kecil itu melompat-lompat kegirangan sambil berteriak-teriak keras. Dia berlari-lari kecil mengelilingi kelima lawan sahabatnya itu sambil menjulurkan lidah lalu dengan gesit melompat ke pangkuan Pendekar Pulau Neraka sambil menepuk-nepuk tangan.

“Kurang ajar! Kau akan mampus, keparat!” maki Ki Wongso geram seraya bangkit dan bersiap hendak menghajar lawan.

Demikian juga halnya dengan keempat kawannya. Meski menahan rasa sakit, mereka masih tetap belum merasa jera dan malah tampak semakin garang.

“Sial! Akan kucincang tubuh kalian berdua!” ujar seseorang mengumpat.

“Huh, jangan lagi diberi kesempatan!” timpal yang lainnya dengan nada bernafsu untuk cepat-cepat menghabisi Bayu.

Namun baru saja mereka hendak menyerang Bayu, mendadak terdengar suara halus menahan.

“Paman Wongso, menepilah dan suruh paman-paman yang lain untuk segera minggir. Pemuda ini bukan lawan kalian. Biar aku yang menghadapinya...!”

“Heh?!” Mereka serentak kaget dan menoleh. Seorang gadis berbaju hijau dan berparas cantik telah berdiri tidak jauh dari mereka.

Gadis yang memiliki ikat pinggang berupa selendang berwarna kuning itu terlihat menggenggam sebatang pedang di tangan kirinya. Melihat si gadis, tampaknya kelima orang itu menaruh rasa hormat yang mendalam.

“Ah, kami kira siapa... ternyata Ni Padmi Ningsih...”

Gadis berusia sekitar tujuh atau delapan belas tahun itu melangkah mendekati Bayu, kemudian memandangnya tajam untuk beberapa saat lamanya.

“Ni, sebaiknya biar kami yang mengurus si keparat satu ini...”

“Jangan khawatir, Paman Wongso. Aku tidak akan melukainya, lagi pula aku sudah melihat bagaimana kalian dengan mudah dapat dijatuhkannya. Pemuda itu bukan tandingan kalian. Biarlah aku coba bermain-main dengannya. Siapa tahu dia bisa sedikit lunak...” potong gadis itu yang dipanggil Ni Padmi Ningsih sebelum kata-kata Ki Wongso selesai.

Setelah berkata demikian, Ni Padmi Ningsih kembali maju beberapa langkah mendekati Pendekar Pulau Neraka. Kemudian seraya tersenyum kecil, dia berkata pelan.

“Ki sanak, siapakah kau sebenarnya...?”

Bayu tersenyum kecil karena merasa lucu melihat sikap gadis itu yang merasa yakin mampu menundukkannya.

“Aku telah katakan siapa aku, dan kali ini keinginanku adalah pergi dari tempat ini. Nah, kalau kalian memang mau berbaik hati, menepilah dan biarkan aku pergi...,” kata Bayu tenang.

“Boleh saja. Silakan...,” kata Ni Padmi Ningsih seraya menepi ke kiri.

“Ni Padmi...?!” Ki Wongso terkejut melihat apa yang dilakukan gadis itu. Dengan seenaknya dia hendak melepaskan buruan mereka?

“Terima kasih...,” lanjut Bayu sambil melangkah pendek.

“Maksudku boleh saja kau pergi, tapi tidak boleh dari lima langkah...,” sahut Ni Padmi Ningsih seraya melompat ke arah lawan ketika Bayu telah berjarak tujuh langkah darinya.

“Yeaaa...!”
“Hup!”

Tubuh Bayu berputar menghindari serangan lawan, kemudian dengan sedikit menunduk ketika satu tendangan menghajar kepalanya, dia melepaskan Tiren dari gendongan. Namun serangan gadis itu kemudian terlihat lebih gencar dan dahsyat Untuk sejenak Bayu merasa kaget, namun dia tidak bisa berlaku lengah. Gadis itu agaknya tidak segan-segan membuktikan kata-katanya untuk menundukkan dirinya.

Bayu bertindak hati-hati ketika tubuh Ni Padmi Ningsih melayang ke arahnya. Kepalanya sedikit ditundukkan, kemudian tubuhnya melesat ke atas ketika lawan menyapu bagian bawah tubuhnya dan diikuti dengan hantaman kepalan tangan bertenaga kuat ke arah dada. Begitu mengetahui serangannya luput, tubuh Ni Padmi Ningsih bergerak mengejar lawan tanpa sungkan-sungkan lagi, langsung mencabut pedangnya.

Sriiing!
“Yeaaa...!”
“Uhhh...!”

Semula Bayu tidak begitu khawatir, namun ketika mengetahui permainan pedang lawan yang lihai bukan main, dia sedikit mengeluh. Tubuhnya bergerak cepat untuk menghindari setiap sambaran pedang lawan.

“Huh, terimalah jurus ampuhku ini!

Hiyaaat..!” geram Ni Padmi Ningsih ketika serangan-serangannya belum juga ada yang mengenai lawan. Dia merubah jurus. Tubuhnya sesekali berputar bagai gangsing, namun mampu bergerak cepat bagai angin lesus yang menyerang lawan ke mana saja bergerak menghindar. Kadang-kadang pula mengepung dalam empat penjuru, membuat Bayu merasa sulit untuk menghindar. Seperti yang terjadi saat ini.


***


EMPAT

“Hiyaaat...!”

Bayu membentak nyaring. Tubuhnya berkelebat ke atas sambil berputar-putar dan meliuk-liuk menghindari kepungan serangan lawan.

Bet!
“Uhhh...!”

Nyaris ujung pedang lawan menyambar tengkuknya kalau saja dia tidak cepat menggulung tubuh. Sebelah kakinya mencoba menghantam pergelangan tangan lawan. Namun lengan gadis itu lebih cepat meliuk menyambar pinggangnya. Padahal saat itu Bayu baru saja menjejakkan sebelah kakinya ketanah. Tidak ayal lagi, tubuhnya kembali melenting menghindari serangan lawan.

Cras!
Wut!

Senjata lawan menyambar dengan cepat ketika Pendekar Pulau Neraka memancingnya ke arah sebuah batang pohon, lalu kembali melompat menghindari. Cabang pohon sebesar paha itu putus dihantam pedang si gadis. Namun begitu Pendekar Pulau Neraka mempunyai kesempatan untuk balas menyerang lawan.

Plak!
Tres!
Des!
“Uhhh...!”

Tendangan yang dilakukan Bayu dari arah samping dengan cepat ditangkis lawan dengan kibasan tangannya. Pada saat itu juga dia mengayunkan tangan kanannya ke arah leher si gadis. Ni Padmi Ningsih terpaksa menangkis sambil berputar untuk melindungi bagian dadanya yang kemungkinan bisa dihajar lawan.

Namun Cakra Maut yang berada di pergelangan tangannya luput dari perhatian lawan dan menghantam pedangnya hingga terpental. Dua buah jari tangan kanannya menyambar kedua biji mata lawan. Ni Padmi Ningsih terkesiap dan cepat mundur ke belakang seraya mendongakkan kepala.

Saat itu juga tendangan Bayu menghantam dengan telak ke perutnya. Gadis itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah dalam keadaan sempoyongan.

“Nguk! Kaaakh...!”

Tiren bersorak kegirangan sambil menjerit keras begitu melihat lawan Pendekar Pulau Neraka terhuyung-huyung. Kedua tangannya bertepuk dan wajahnya berkerut mengejek gadis itu.

“Itu pelajaran bagi kalian untuk tidak berbuat gegabah...,” dengus Bayu dingin.

“Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat seenak mu saja? Huh! Kau harus mampus di tanganku!” balas salah seorang anak buah Ki Wongso dengan amarah yang meluap dan langsung menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus.

“Huh, keras kepala!” Bayu menggeram. Tubuhnya berkelit ke belakang, kemudian berbalik sambil melompat ke atas menghindari sabetan golok lawan. Ujung kaki kirinya mencoba menghantam wajah laki-laki itu, namun dengan gesit lawan bergerak ke samping. Justru pada saat itulah tendangan kaki kanan Bayu melesat ke arah dada tanpa bisa dihindari.

Duk!
Kraaak!
“Aaa...!”

Orang itu memekik sekeras mungkin. Tendangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka terasa keras bukan main hingga membuat tulang rusuknya berderak, patah. Bahkan dada bagian kirinya melesak ke dalam dan membuat jantungnya pecah. Nyawa laki-laki itu seketika melayang meninggalkan tubuhnya yang bersimbah darah.

“Keparat! Kau akan membayar nyawanya...!” geram Ki Wongso melihat kematian salah seorang anak buahnya itu. Ketiga anak buahnya pun serentak melompat dengan amarah yang meluap-luap.

Bayu mendengus sinis. Matanya memandang mereka dengan tajam. “Huh, kalau kalian ingin mampus, majulah bersama-sama!”

“Setan! Yeaaa…!”

Dengan serentak mereka melompat bersamaan dari segala arah mengepung lawan. Sepertinya kali ini mereka tidak ingin memberi sedikit pun kesempatan pada pemuda itu untuk meloloskan diri.

“Hup!”
“Yeaaa...!”

Melihat dirinya terkepung sedemikian rupa, Bayu tersenyum sinis. Dia tegak berdiri, lalu melompat cepat mendahului menyerang lawan dengan gerakan yang sulit diikuti oleh mata biasa. Ki Wongso dan anak buahnya terkesiap. Mereka menyambar Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus pada setiap kelebatan tubuhnya.

Namun dengan tiba-tiba terasa sesuatu benda keras menimpa tubuh tiga orang di antara mereka.

Plak!
Duk!
“Aaakh...!”

Tiga orang itu terjungkal sambil menjerit setinggi langit. Dua orang terlihat dadanya remuk dan menggelepar-gelepar beberapa saat sebelum nyawanya lepas dari tubuh. Yang seorang lagi muntah darah dan berusaha bangkit dengan sempoyongan, tapi kemudian rubuh lagi dengan napas tercekat.

“Aku tidak bermusuhan dengan kalian, tapi kalianlah yang mencari gara-gara. Hari ini jika kalian merasa tidak senang, boleh memperpanjang urusan denganku. Jangan katakan Pendekar Pulau Neraka takut menghadapai tikus-tikus busuk seperti kalian!” seru Bayu geram seraya menyambar Tiren dan melompat ke salah satu cabang pohon dan melesat dari tempat itu dengan cepat.

Ni Padmi Ningsih dan Ki Wongso hanya bisa terpaku dengan wajah geram.

“Keparat! Dia tentu tidak akan lepas dari tangan kita!” geram Ki Wongso.

“Lebih baik laporkan hal ini pada ayah,” sahut Ni Padmi Ningsih kesal seraya melesat meninggalkan tempat itu. Ki Wongso menyusul setelah membopong keempat kawannya yang tergeletak tidak berdaya.


***


Ki Dewantara terkejut setengah mati melihat apa yang terjadi dengan ketiga muridnya yang tewas, dan seorang luka parah. Ki Wongso hanya menunduk dalam-dalam melihat kemarahan gurunya itu.

“Kau tahu siapa Pendekar Pulau Neraka itu?!” hardik Ki Dewantara garang.

“Ampun Guru, hamba... hamba baru mengetahuinya belakangan....”

“Seharusnya kau mengetahui bahwa bukan Pendekar semacam dia yang kau tuduh dengan membabi buta.”

“Tapi... tapi Guru, ciri-ciri pemuda itu mirip dengannya...”

“Tolol! Apakah kau tidak bisa membedakan di antara mereka berdua?! Kau katakan, kau pernah melihat pemuda itu. Sekarang bagaimana mungkin kau tidak bisa membedakannya?”

“Ketika itu hamba hanya melihatnya sekilas saja, Guru...”

“Sudah, jangan banyak bicara! Sekarang kebumikan mereka dengan layak!”

“Tapi Guru, apakah... apakah kita tidak membuat perhitungan dengannya? Dia telah menewaskan tiga orang murid Perguruan ini....”

“Tutup mulutmu! Biar ini menjadi urusanku. Nah, pergilah kau sekarang!”

“Baiklah, Guru...,” sahut Ki Wongso seraya beranjak dari ruangan itu setelah menjura hormat.

Ki Dewantara menghela napas panjang sambil menggeleng lemah. Ni Padmi Ningsih yang sejak tadi diam, hanya menundukkan kepala dengan wajah yang cemberut. Beberapa kali dia memandang wajah ayahandanya itu, lalu mengalihkan perhatian.

“Apa yang kau lakukan tadi? Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa? Bukannya ayah menyuruhmu untuk tidak keluar dari rumah. Masih untung kau bisa selamat berhadapan dengannya. Bagaimana kalau kau sampai tewas seperti mereka?!” tegur Ki Dewantara marah.

“Aku... aku sekadar membantu pekerjaan mereka, Ayah...”

“Dengan mengorbankan nyawamu?”

“Kematian Paman Ganggapura amat menyakitkan hatiku...”

“Itu urusan perguruan dan kau tidak boleh ikut campur!”

“Tapi aku ingin menangkap pemuda itu hidup-hidup untuk kita adili di perguruan ini...!”

“Padmi, jangan membantah. Kau tidak tahu bagaimana keadaan di luar sana. Kau bisa celaka kalau bertindak gegabah!”

Ni Padmi Ningsih tertunduk dengan wajah semakin cemberut kesal mendengar bentakan ayahandanya itu. Ki Dewantara menghela napas panjang. Dipandanginya putri satu-satunya itu dengan seksama, kemudian menggeleng pelan.

“Hhh... masih untung kau bisa selamat, Anakku. Pendekar Pulau Neraka seorang tokoh yang belakangan ini namanya sangat terkenal karena kepandaiannya yang hebat. Ayah sendiri belum pernah bentrok dengannya, tapi dari berita yang sering ayah dengar, dia seorang tokoh pembasmi kejahatan. Namun begitu tindakannya amat sadis dan tidak kenal ampun terhadap lawan-lawannya. Rata-rata semua binasa di tangannya....”

“Apakah Ayah akan mendiamkan saja peristiwa ini...?”

Ki Dewantara kembali menghela napas panjang. “Aku bukannya tidak sakit hati mendengar berita ini, tapi membuat urusan pada saat keadaan kita genting begini, tentu akan membuat suasana menjadi runyam. Pemuda yang bernama Ki Buyut Kelana itu saja sudah amat merepotkan dengan ulahnya membantai murid-murid Perguruan Camar Hitam yang berkeliaran mencari benda pusaka yang berada di tangannya itu. Dan kita sama-sama mengetahui bahwa pamanmu, Ki Ganggapura, telah tewas di tangannya,” sahut Ki Dewantara dengan suara lirih.

“Jadi Ayah betul-betul tidak ingin membuat perhitungan dengan pemuda yang menamakan dirinya Pendekar Pulau Neraka itu?!” sentak Ni Padmi Ningsih dengan nada kesal.

“Tentu saja. Tapi tidak sekarang....”
“Lalu kapan?”

“Setelah urusan kita selesai dengan pemuda bernama Ki Buyut Kelana itu,” sahut Ki Dewantara menegaskan.

“Huh, ternyata Ayah yang kubangga-banggakan sejak dulu tak lebih dari seorang pengecut! Menghadapai kedua pemuda tak tahu diri itu saja sudah mundur. Kalau memang Ayah tak mampu, biar aku sendiri yang akan menghajar mereka berdua!” seru Ni Padmi Ningsih seraya berlalu dari ruangan itu.

“Padmi! Padmi...! Hentikan niatmu itu...!” teriak Ki Dewantara berusaha mencegah niat putrinya itu.

Namun gadis itu telah berlari cepat, dan pergi dari Perguruan Camar Hitam dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai taraf sempurna.

“Anak keras kepala! Dia akan celaka sendiri...!” umpat Ki Dewantara kesal.

Laki-laki itu kemudian memanggil beberapa orang murid utamanya. Dua orang segera tergopoh-gopoh menemuinya. Masing-masing berusia sekitar tiga puluh tahun dengan memiliki tubuh tegap.

“Ada keperluan apa memanggil kami, Guru...?” tanya salah seorang di antara mereka.

“Ni Padmi Ningsih kabur. Dia bermaksud hendak mencari pemuda bernama Ki Buyut Kelana dan Pendekar Pulau Neraka. Kalian kejar dia dan lindungi dari segala bahaya. Dan bawa dia segera pulang!”

“Pendekar Pulau Neraka? Apakah... apakah dia ikut pula terlibat dalam persoalan kita, Guru?” tanya muridnya dengan wajah heran dan dahi berkerut.

“Laksanakan saja perintahku, dan jangan banyak tanya!” sentak Ki Dewantara.

“Baik, Guru. Kami berangkat sekarang!” seru keduanya segera berlalu dari tempat itu.

Ki Dewantara kembali menarik napas panjang sambil menggeleng lemah. Bola matanya menatap ke arah dua orang muridnya itu sampai mereka menghilang di balik pintu gerbang depan.

“Mudah-mudahan kau selamat, Anakku...,” bisiknya seraya berdoa di hati.


***


Ki Dewantara baru saja membalikkan tubuh untuk kembali ke ruangannya ketika itu terdengar jeritan kesakitan dari arah gerbang depan. Buru-buru dia berbalik dan melihat beberapa orang muridnya tewas bermandikan darah. Tiga orang murid Perguruan Camar Hitam terlihat mengepung seorang tamu yang tidak diundang itu, namun dengan sekali sentak mereka tewas bersimbah darah. Bukan main terkejutnya Ki Dewantara. Dia segera melompat dan menghadang serangan lawan sambil membentak nyaring.

“Ni sanak, hentikan perbuatanmu!”

Sosok tubuh itu menghentikan aksinya. Dia memandang ke arah Ki Dewantara dengan sorot mata tajam menusuk. Ujung pedang ditangannya yang masih berlumuran darah, ditudingkan ke wajah lawan.

“Siapa kau...?”

Ki Dewantara sebenarnya merasa tersinggung dan terhina melihat perlakuan itu. Dia mencoba tersenyum dan menaksir, gadis ini tentu berusia sekitar enam belas tahun. Tapi sepak terjangnya amat ganas, dan yang jelas dia memiliki kepandaian yang tidak rendah. Sebab, kalau tidak dia tak akan mungkin mampu menghabisi lawan secepat tadi.

“Ni sanak, namaku Dewantara. Aku adalah ketua perguruan ini. Adakah sesuatu yang membuat kau begitu membenci kami sehingga datang dengan tiba-tiba dan membuat kekacauan?” tanya Ki Dewantara dengan suara yang dibuat sedemikian ramah dan menekan hawa amarah di hatinya.

Gadis berparas cantik dan mengenakan pakaian serba putih itu melirik sejenak ke sekeliling tempat itu. Puluhan murid Perguruan Camar Hitam telah mengurungnya rapat-rapat dan siap menghajarnya dengan sekali isyarat. Kemudian dia meluruskan pandangan ke depan, ke arah Ki Dewantara seraya menurunkan pedangnya. Wajahnya terlihat sinis.

“Aku, Ayu Laksmini, murid tunggal Eyang Dewa Ruci. Membawa pesan dari beliau agar Ki Kartawijaya dan Nini Widyadara menyerahkan Pedang Setan yang dipinjamnya puluhan tahun lalu,” sahut gadis itu tegas.

“Apa? Kau... kau utusan Ki Dewa Ruci...?!” Ki Dewantara sedikit terkejut. Sama sekali tidak pernah dibayangkan olehnya bahwa hari ini dia bertemu dengan murid Ki Dewa Ruci, orang yang belasan tahun lalu pernah dicari-carinya untuk membuat perhitungan.

Kalau saja pertemuan kali ini terjadi belasan tahun lalu, mungkin dia akan merasa senang dan langsung akan menghajar gadis ini dan memaksanya untuk menunjukkan tempat persembunyian gurunya. Tapi waktu telah banyak berubah. Juga termasuk perubahan sikapnya untuk tidak terbawa hawa nafsu yang membabi buta.

Ki Dewantara tersenyum dan berusaha bersikap ramah. Bagaimana pun dia menyadari bahwa gadis di depannya ini adalah masih terhitung saudara seperguruan juga dengannya.

“Adik Ayu, bagaimana kalau kita berbicara didalam? Bukankah dengan begitu akan lebih baik dan terlihat sopan sebagaimana layaknya dua orang yang bersaudara?”

“Ki Dewantara, tidak usah berbasa-basi. Kau sudah tahu jelas apa maksud kedatanganku ke sini. Serahkan Pedang Setan itu padaku dan aku akan segera pergi dari tempat ini!” seru gadis itu dengan wajah garang.

“Adik Ayu, kalau memang demikian keinginanmu, tidak apa. Tapi sungguh sangat disesalkan. Pedang itu saat ini tak ada pada kami, tapi telah diambil seseorang puluhan tahun lalu. Saat ini berada di tangan seorang pemuda bernama Ki Buyut Kelana. Kami sedang berusaha keras untuk merebutnya kembali dan bermaksud menyerahkannya pada Eyang Dewa Ruci...,” sahut Ki Dewantara dengan suara pelan menjelaskan.

“Aku tidak peduli apa jawabanmu. Yang jelas aku datang ke sini dan harus membawa pedang itu kembali ke tangan Eyang Dewa Ruci,” dengus Ayu Laksmini.

“Guru, kalau memang dia tak bisa diajak berbaik-baik, buat apa Guru meladeninya lagi? Sudah jelas dia memang ingin mencari keributan,” sela salah seorang murid Perguruan Camar Hitam.

“Betul, Guru. Tidak sepatutnya Guru bersikap ramah begitu. Kita sudah menunjukkan itikad baik kita, namun ternyata dia tak mau menerima. Guru tak pantas masih bersikap sabar terus,” sahut yang lainnya.

Ki Dewantara bermaksud hendak meredakan amarah murid-muridnya, tapi gadis itu telah lebih dulu menudingkan ujung pedangnya ke arah murid-murid Perguruan Camar Hitam seraya mendengus geram.

“Hei, monyet-monyet keparat! Kalian kira bisa berbuat seenaknya padaku? Huh, siapa yang mau mampus majulah cepat!”

“Sial!” seru beberapa orang di antara murid-murid perguruan itu seraya mencabut golok dan hendak menyerang gadis itu dengan wajah garang.

“Diam! Hentikan perbuatan kalian...!” bentak Ki Dewantara garang.

Tapi agaknya bentakan itu bukannya meredakan ketegangan. Murid-muridnya memang menahan sabar mendengar bentakan gurunya itu, namun tubuh Ayu Laksmini telah melesat sambil menghunuskan pedang ke arah beberapa orang murid perguruan itu dan menyerang dengan ganas. Tentu saja hal itu membuat mereka kelabakan.

“Yeaaa...!”
Trak!
Bret!
Crasss!
“Aaakh...!”

Diserang begitu rupa tentu saja beberapa orang murid Perguruan Camar Hitam kalang kabut menyelamatkan diri. Beberapa orang berhasil menangkis, namun lima orang langsung tewas sambil menjerit keras disambar pedang si gadis. Tubuh mereka ambruk bersimbah darah dengan sayatan lebar di bagian dada.

“Kurang ajar! Hajar dia...!” teriak murid-murid perguruan itu dengan amarah yang meluap-luap.

Dan bagai air bah yang meluap, serentak mereka menyerang gadis itu dengan senjata terhunus. Melihat hal itu Ayu Laksmini bukannya menjadi gentar. Dengan bersemangat tubuhnya melompati seraya membuat gerakan indah meliuk-liuk menyambuti serangan-serangan lawan. Pedangnya berkelebat ke sana kemari dan sulit diikuti pandangan mata biasa.

“Hiyaaat..!”
Trang! Tring!
Brettt!
Crasss!
“Aaakh...!”


***


LIMA

Ki Dewantara agaknya tak tahu harus berbuat apa. Untuk mencegah perbuatan murid-muridnya pun rasanya dia tak mampu. Selain mereka yang sudah terbakar amarah melihat kelakuan gadis itu, hati kecilnya pun merasa tak suka melihat sepak terjang si gadis. Terlebih lebih saat itu ketika dilihatnya gadis itu betul-betul melakukan pembantaian hebat.

Kepandaian Ayu Laksmini memang hebat dan sama sekali bukan tandingan murid-muridnya. Apa yang pernah didengarnya tentang kehebatan Eyang Dewa Ruci memang bukan omong kosong belaka. Dengan kepandaiannya itu murid-muridnya sama sekali tak mampu melawan si gadis. Tak bisa dibayangkan bagaimana bila Eyang Dewa Ruci sendiri yang turun tangan saat ini.

Dan keterkejutan Ki Dewantara agaknya tak berlanjut lama. Dia tak tega melihat murid-muridnya yang tewas secara percuma tanpa bisa melakukan perlawanan berarti. Maka dengan hati terpaksa dia melompat menahan serangan si gadis seraya membentak nyaring.

“Adik Ayu, hentikan pembantaianmu...!”
“Yeaaa...!”

Mendengar bentakan itu bukannya si gadis menghentikan serangan, pedangnya malah langsung berputar menyambar tubuh Ki Dewantara yang berkelebat menghadang serangannya. Ki Dewantara agaknya sudah menduga hal itu dan bersiap dengan pedang terhunus menyambut serangan lawan.

Sring!
Tring! Trang!

Ketika kedua senjata mereka beradu, laki-laki itu merasa terkejut. Tangannya kesemutan hebat dan sedikit nyeri. Kalau saja tadi melihat permainan pedang si gadis dia sudah terkagum-kagum, maka ketika saat itu berhadapan langsung dia bisa merasakan kehebatan ilmu pedang lawan. Ujung pedang itu menyambar-nyambar tenggorokan dan dadanya dengan kecepatan yang bukan main hebatnya.

Wuuut! “Uhhh...!”
“Hiyaaat...!”

Ketika ujung senjata lawan menyambar perutnya, dengan cepat Ki Dewantara bergerak ke samping seraya menangkis.

Trang!

Ayu Laksmini memutar pedang sedemikian rupa dan menyambar leher lawan. Ki Dewantara kembali bergerak ke samping sambil melompat ketika senjata lawan membabat pinggangnya. Ayu Laksmini menyusul dengan satu tendangan kaki kirinya yang menyilang ke arah dada lawan.

“Hiiih!”
“Uts!”

Ki Dewantara terkejut, namun masih sempat mengayunkan pedang. Ayu Laksmini menarik tendangannya dan menekuk kaki. Dengan bertumpu pada sebelah kaki, tubuhnya melesat ke atas dengan pedang berputar-putar menyambar bagian kepala. Ki Dewantara menjatuhkan tubuh, dan terus bergulingan untuk kemudian melenting ke atas menjauhi lawan. Tapi saat itu juga ujung pedang lawan berkelebat menyambar ke arah leher. Ki Dewantara terkejut setengah mati. Dia berusaha melompat ke samping namun akibatnya ujung pedang lawan menyambar dadanya.

Crasss!
“Akh...!”

Ki Dewantara bergulingan untuk menghindari serangan lawan berikutnya sambil menahan rasa nyeri. Tapi Ayu Laksmini tak meneruskan serangan. Dia berdiri tegak memandang lawan seraya mengacungkan ujung pedang ke arah Ki Dewantara.

“Itu peringatan pertama bagimu!” dengusnya sinis.

Ki Dewantara mengeluh kesakitan dengan wajah berkerut. Dadanya tergores cukup dalam akibat sambaran pedang lawan. Beberapa muridnya bergerak menyerang gadis itu. Namun buru-buru Ki Dewantara mencegahnya seraya menyorongkan tangan. Dia berusaha berdiri tegak, kemudian menyilangkan pedang sambil membuka jurus baru. Sorot matanya tajam memandang gadis itu.

“Baiklah kalau memang itu yang kau kehendaki. Aku akan meladenimu...,” sahut Ki Dewantara dengan suara dingin.

Setelah berkata demikian terlihat kedua kakinya merapat dan tubuhnya sedikit miring dengan pedang menjurus ke depan. Lalu dengan satu bentakan nyaring dia melompat menyerang lawan dengan gerakan yang cepat.

“Hiyaaat..!”

Ayu Laksmini mendengus sinis. Dia bisa merasakan tenaga dalam lawan yang dikerahkan lewat pukulan tangannya yang menimbulkan tenaga dorongan kuat. Gadis belia berwajah cantik itu menggeram, kemudian melompat memapaki.

“Yeaaa...!”
Plak!
Wut!

Kepalan tangan kanan Ki Dewantara yang menderu keras ditahan dengan telapak tangan kiri lawan. Dia nyaris tak percaya kalau gadis itu mampu berbuat demikian, karena hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Tapi kemudian dia kaget sendiri dibuatnya. Meski Ki Dewantara mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya, tapi masih saja dadanya terasa nyeri akibat tekanan tenaga dalam lawan.

Ujung pedangnya menyambar ke arah leher dan pinggang si gadis. Ayu Laksmini melompat ke atas sambil bersalto indah. Ujung pedangnya balas menyambar batok kepala lawan. Ki Dewantara terkejut dan cepat mendongak ke belakang dengan tubuh siap bergulingan. Namun justru saat itulah ujung kaki kanan Ayu Laksmini menghantam dadanya.

Duk!
“Aaakh...!”

Ki Dewantara menjerit keras. Isi dadanya seperti remuk menerima tendangan itu. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah. Ayu Laksmini terus mengejar seperti tak ingin memberi kesempatan lagi padanya.

“Sekarang terimalah kematianmu! Yeaaa..:!”

Ki Dewantara tercekat. Dalam keadaan demikian, tipis harapan baginya untuk menghindari. Dan meskipun murid-muridnya bersiap hendak menghadang serangan gadis itu, tapi dia tak yakin mereka akan mampu mendahului gerak gadis itu. Ki Dewantara memejamkan mata dengan sikap pasrah. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya saat ini.

Darah kental berkali-kali keluar dari mulutnya menandakan keadaannya yang terluka parah di dalam tubuhnya. Badannya terasa ngilu dan sakit sekali, serta sulit untuk digerakkan. Namun pada saat yang kritis itu mendadak melesat dua sosok bayangan yang memapaki serangan Ayu Laksmini.

Trang!
Wut!
“Huh!”


***


Ayu Laksmini bukannya tak mengetahui dua orang lawan itu. Semula dia berusaha untuk tidak peduli dan segera ingin menghabisi Ki Dewantara lebih dahulu, baru kemudian memapaki serangan kedua lawan barunya itu sekaligus. Tapi merasakan kecepatan mereka yang bukan main hebatnya. Perhitungannya segera mengatakan bahwa dia tak akan mampu memapaki Ki Dewantara lebih dulu dan terpaksa meladeni kedua lawannya itu.

Pedangnya berputar cepat menyambar keduanya, namun kedua lawannya agaknya telah memperhitungkan hal itu dan buru-buru menghindar sehingga serangan Ayu Laksmini menyambar tempat kosong. Ayu Laksmini mendengus kesal ketika kedua kakinya menjejak tanah. Kedua lawannya tak mengejar, sehingga ketika mereka menjejakkan kaki, dia bisa melihat dengan jelas sepasang kakek nenek yang sama-sama menggenggam sebatang pedang.

Wajah si kakek kelihatan menggeram dan sepasang matanya yang menyorot tajam ke arahnya. Sementara si nenek sendiri sedikit kelihatan ramah dengan tersenyum kecil.

“Ni sanak, siapakah kau sebenarnya dan kenapa ingin mencelakakan orang?” tanya si nenek yang tak lain dari Nini Widyadara.

“Siapa pula kau?” sahut Ayu Laksmini dengan nada sinis.

“Bocah, hati-hati bicaramu! Apa kau kira dengan kepandaianmu itu kau bisa berlagak di sini?!” bentak si kakek yang tak lain dari Ki Kartawijaya dengan nada berang.

“Tua bangka busuk! Menyingkirlah kalau memang kau tak ada urusan dengan persoalanku!” balas Ayu Laksmini sengit.

“Bocah kurang ajar! Rupanya orangtua mu tak pernah mengajarkan sopan santun padamu. Biarlah aku yang akan mengajarkannya hari ini!” dengus Ki Kartawijaya geram.

Kakek tua itu sudah hendak menyerang Ayu Laksmini kalau saja saat itu Nini Widyadara tak mencegahnya.

“Kakang, sabarlah dulu. Kita belum mengetahui apa maksud kedatangannya ke sini....”

“Tidak usah banyak berbasa-basi. Aku Ayu Laksmini, murid Eyang Dewa Ruci. Kedatanganku ke sini untuk meminta kembali Pedang Setan yang pernah kalian pinjam dari beliau. Dan aku harus mendapatkannya sekarang juga!” sahut Ayu Laksmini menegaskan dengan suara lantang.

“Ayah, Ibu... aku telah menjelaskannya tapi gadis itu tak mau mengerti juga. dia tetap memaksa kita...,” sahut Ki Dewantara menjelaskan.

Nini Widyadara mengangguk pelan, kemudian tersenyum ketika memandang gadis itu.

“Ni Sanak, kami berusaha bersikap sopan terhadapmu dan selama ini perguruan kami selalu berusaha bersikap jujur. Setelah kami mengatakan hal yang sebenarnya, kenapakah engkau masih tak percaya? Kami akan berusaha mendapatkan pedang itu dan mengembalikannya kepada yang berhak, yaitu gurumu...,” katanya dengan suara yang masih rendah.

“Perempuan tua, kaulah yang bernama Nini Widyadara?!” tanya Ayu Laksmini dengan suara keras dan sorot mata tajam.

“Hm, agaknya gurumu telah memperkenalkan aku padamu....”

“Cuih, perempuan rendah! Kau pikir dengan kata-kata manismu itu bisa melunakkan hatiku? Eyang Dewa Ruci sangat tersiksa dengan pengkhianatanmu. Orang sepertimu sudah sepatutnya mampus. Kau sama sekali tak berharga untuk hidup!” desis Ayu Laksmini dengan sikap garang dan sama sekali tak bersahabat.

“Bocah kurang ajar! Jaga mulutmu. Hati-hati kau bicara! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!” bentak Ki Kartawijaya dengan muka merah padam menahan marah.

“Orang tua busuk! Kau pasti si Kartawijaya keparat, yang telah merebut perempuan tua itu dari sisi guruku. Kau dan istrimu itu sama busuknya. Dan orang seperti kalian memang tak pantas hidup lebih lama!” sergah Ayu Laksmini seraya menuding dengan ujung pedangnya.

“Keparat!” agaknya Ki Kartawijaya sudah tak bisa lagi menahan kesabarannya. Tubuh lelaki tua itu melompat gesit menyerang Ayu Laksmini.

“Yeaaa...!”

Ayu Laksmini yang sejak tadi memang telah bersiaga dengan cepat menyambut serangan lawan. Tubuhnya melompat ke samping seraya membabatkan pedang ke leher lawan. Ki Kartawijaya bukannya tak mengetahui hal itu. Telapak tangan kirinya terkembang dan dari situ keluar angin kencang berhawa panas. Bersamaan dengan itu kepalanya ditundukkan untuk menghindari tebasan senjata lawan.

“Uts!”

Tubuh gadis itu melenting ke atas. Kaki kirinya berputar menghantam pinggang lawan. Ki Kartawijaya meliuk dan melompat ke atas seraya membuat gerakan salto yang indah. Telapak tangan kanannya bermaksud menghantam batok kepala lawan. Namun dengan gerakan yang tak kalah gesitnya, tubuh Ayu Laksmini merendah. Ujung pedangnya menyambar dengan cepat ke arah dada lawan. Kemudian tubuhnya tenis bergerak ke belakang.

“Uhhh...!”

Ki Kartawijaya terkejut bukan main. Gerakan yang dilakukan gadis itu cepat bukan main. Nyaris dadanya kena dibabat kalau saja tubuhnya tidak buru-buru berputar miring. Ujung pedang lawan lewat beberapa inci, namun angin sambarannya yang keras terasa sampai ke jantung. Hal itu saja telah membuktikan bahwa tenaga dalam gadis itu memang telah mencapai taraf sempurna.

Belum lagi dia bersiaga untuk memantapkan posisinya, tubuh Ayu Laksmini kembali melesat cepat sambil membentak nyaring.

“Hiyaaat...!”
“Uts!”
Wuk!

Tubuh Ki Kartawijaya melompat ke samping seraya bergulingan untuk menghindari tebasan senjata lawan yang beruntun. Telapak kirinya masih sempat menghantam lawan dengan pukulan jarak jauh yang bertenaga kuat. Namun Ayu Laksmini dengan gesit mengelak ke atas, dan tubuhnya membuat lompatan ringan ke arah lawan dengan gerakan cepat.

“Yeaa...!”
Crasss!
“Ohhh...!”

Ki Kartawijaya terkejut bukan main melihat gerakan lawan. Dia berusaha menghindar dengan terus bergulingan dan bermaksud melenting ke belakang untuk menjauhi serangan lawan. Tapi dengan tidak terduga, ujung pedang lawan lebih cepat lagi menyambar betis kirinya dan membuat luka panjang yang cukup dalam. Orang tua itu mengeluh kesakitan. Tubuh Ayu Laksmini bergetar, namun dengan cepat dia kembali melompat menyerang lawan dengan amarah yang meluap.

“Orangtua busuk, mampuslah kau sekarang!
Yeaaa...!”
“Hiyaaa...!”


***


Ki Kartawijaya sebenarnya tidak terlalu terjepit keadaannya pada saat itu. Dan sebenarnya dia masih mampu untuk menghindari serangan lawan. Namun Ki Dewantara agaknya sudah tidak sabaran. Tangannya merasa gatal melihat ulah gadis itu. Maka tanpa pikir panjang lagi dia langsung melompat menghadang Ayu Laksmini dengan senjata terhunus. Ayu Laksmini cepat menyambut serangan lawan dengan kehebatan pedangnya.

Trang!
Bet!

Begitu kedua senjata mereka beradu, Ki Dewantara merasa tangannya kesemutan. Bunga api kecil terpercik. Wajahnya tampak kerut menahan sakit Namun begitu dia masih mampu untuk memiringkan tubuh seraya mendongakkan kepala sedikit ke belakang guna menghindari tendangan kaki lawan yang menyusul.

“Bocah kurang ajar! Kali ini kau akan mampus di tanganku!” dengus Ki Kartawijaya dengan amarah yang meluap-luap.

Tanpa mempedulikan keadaan, orang tua itu langsung mencabut pedangnya dan ikut menyerang Ayu Laksmini. Nini Widyadara mengeluh pendek. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kata-kata yang dilontarkan gadis itu memang benar. Karena dia meyakini betul akan kesalahannya. Namun meskipun demikian hatinya tetap saja merasa sakit dan tidak bisa menerima begitu saja.

Maka dia tidak berusaha mencegah sikap Ki Kartawijaya meski dia mengetahui bahwa orang tua itu sedang marah besar. Dan kalau Ki Kartawijaya marah begitu, bisa dipastikan dia akan mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Dan saat ini hal itulah yang terjadi. Ki Kartawijaya seorang tokoh dunia persilatan yang disegani karena kehebatan ilmu silat yang dimilikinya, saat ini tengah mendesak gadis itu dengan jurus-jurus terhebat yang dimilikinya.

Sementara murid-muridnya yang melihat pertarungan itu, hanya diam memperhatikan dan berjaga akan segala kemungkinan yang akan menimpa guru mereka.

“Yeaaa...!”
“Uts!”

Ayu Laksmini terkejut. Ujung pedang orang tua itu berkelebat cepat menyambar wajah dan bagian dadanya. Tubuhnya meliuk-liuk ke samping untuk menghindari. Namun pada saat itu juga Ki Kartawijaya siap menerkamnya. Ayu Laksmini menggeram, dan telapak kirinya menghantam ke muka lawan.

“Hiyaaat..!”

Ki Kartawijaya menundukkan kepala. Tubuhnya berputar ke samping untuk menghindari pukulan jarak jauh yang dilancarkan lawan. Bersamaan dengan itu kepalan tangan kiri Ki Kartawijaya melesat menghantam lawan. Ayu Laksmini terkesiap. Pedang di tangan kanannya berputar menyambar pergelangan tangan lawan.

Namun hal itu ternyata hanya tipuan belaka yang dilancarkan orang tua itu. Begitu pedang lawan berkelebat, saat itu pula tangannya kembali ditarik. Sambil memiringkan kepala untuk menghindari tebasan senjata lawan, pedang ditangannya menyambar ke arah pinggang. Tubuh Laksmini meliuk menghindari dan saat itulah telapak tangan kiri Ki Kartawijaya menghantam dengan mengerahkan tenaga dalam kuat ke dada lawan pada jarak lebih kurang tiga langkah.

Desss!
“Akh...!”

Ayu Laksmini menjerit keras. Tubuhnya terpental ke belakang beberapa langkah seraya memuntahkan darah kental. Dia bermaksud untuk memutar tubuh ke samping ketika Ki Kartawijaya menyambar dengan ujung pedangnya kearah pinggang. Namun gerakannya terasa lamban, sehingga ujung pedang lawan masih mampu menggores paha kanannya.

Crasss!
“Akh!”


Untuk kedua kalinya gadis itu menjerit kesakitan. Tubuhnya mulai terhuyung-huyung. Kesadarannya sedikit berkurang. Namun meskipun demikian, dia masih bisa melihat serangan Ki Kartawijaya yang begitu bernafsu hendak menghabisinya. Ayu Laksmini merasa bahwa dia tak akan bisa bertahan dalam beberapa jurus menghadapi serangan Ki Kartawijaya.

Maka dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, gadis itu melompat tinggi dan bermaksud melarikan diri dari tempat itu. Tapi tentu saja Ki Kartawijaya tidak akan membiarkannya begitu saja. Orang tua itu langsung melesat mengejar.

“Huh. Kau kira bisa kabur begitu saja dariku setelah apa yang kau lakukan di tempatku? Kau harus mampus, Bocah Sial!” dengus Ki Kartawijaya.

Melihat orang tua itu bergerak, Ki Dewantara pun segera menyusul. Demikian pula dengan murid-murid Perguruan Camar Hitam. Mereka berbondong-bondong mengejar gadis itu. Ayu Laksmini bukannya tidak menyadari hal itu. Harapannya untuk kabur semakin tipis. Namun gadis itu berusaha dengan sekuat tenaganya untuk melepaskan diri dari kejaran mereka.

Luka dalam yang dideritanya membuat gadis itu tidak dapat leluasa bergerak. Belum lagi paha kanannya yang terasa nyeri dibawa berlari. Walaupun lebih kurang sepeminuman teh dia merasa tak mampu lagi bertahan. Sementara Ki Kartawijaya semakin dekat saja di belakangnya. Melewati sebuah pinggiran hutan, Ayu Laksmini bermaksud menerobos ke dalam dan bersembunyi di balik semak-semak.

Namun sebelum niatnya tercapai, sebelah kakinya tersandung akar pohon. Gadis itu terjatuh terjerembab. Saat itu juga Ki Kartawijaya yang tepat berada di belakangnya melompat dengan ganas sambil mengayunkan pedang.

“Gadis liar! Mampuslah kau sekarang! Yeaaa...!” teriak Ki Kartawijaya geram.

Ayu Laksmini terkejut bukan main. Kali ini keadaannya betul-betul seperti telur di ujung tanduk. Meski dia mampu mengelak, namun tidak akan mampu menghindari serangan berikutnya yang pasti akan dilancarkan lawan. Pada saat itulah mendadak melesat sebuah bayangan yang langsung memapaki serangan Ki Kartawijaya.

“Hiyaaa...!”
Trang!
Bet!
“Uhhh..!”


***


ENAM

Ki Kartawijaya terkesiap. Sebagai tokoh yang telah berpengalaman dia bisa membedakan seorang lawan yang memiliki kepandaian tinggi. Karena ketika bayangan lawan barunya itu membentak nyaring seraya berkelebat ke arahnya, angin serangannya bersiur kencang menimbulkan tekanan hebat pada dirinya.

Orang tua itu tidak bisa menganggap enteng. Kalau dia meneruskan serangan ke arah Ayu Laksmini, bukan tidak mungkin dia akan celaka sendiri. Maka mau tidak mau dengan terpaksa memapaki serangan lawan dengan mengibaskan pedangnya. Apa yang diduganya memang tidak salah. Meski telah mengerahkan tenaga dalam kuat untuk menjatuhkan lawan dengan sekali gebrak, namun kenyataannya dia mengeluh sendiri.

Telapak tangannya terasa ngilu ketika pedangnya seperti membentur tembok tebal yang amat kokoh. Belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak satu sapuan keras menghantam kepalanya. Orang tua itu cepat menunduk, kemudian melompat seraya membuat gerakan salto yang berputar indah.

Masih untung pada saat itu lawan tak mengejar sehingga ketika kedua kakinya menjejak tanah, keadaannya masih tetap aman. Ki Kartawijaya kini mampu melihat siapa lawannya itu dengan jelas.

“Siapa kau?!” bentaknya garang ketika melihat seorang pemuda tampan berwajah keras dan memakai baju yang terbuat dari kulit harimau.

Pemuda yang berambut panjang dengan monyet berbulu hitam di salah satu pundaknya itu tersenyum sinis. Tapi belum lagi dia menjawab, salah seorang murid Perguruan Camar Hitam yang telah tiba di tempat itu bersama dengan Ki Dewantara buru-buru menunjuk pemuda itu seraya berteriak nyaring.

“Eyang, pemuda inilah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka!” Ki Kartawijaya tersenyum kecil, sedangkan Ki Dewantara tersenyum sinis.

Nama Pendekar Pulau Neraka telah lama mereka kenal. Namun baru kali inilah mereka berkesempatan untuk bertemu muka secara langsung. Dan bisa jadi akan terjadi bentrokan, kalau saja pemuda itu ikut campur urusan mereka.

“Pendekar Pulau Neraka, hm... merupakan suatu kehormatan bisa bertemu denganmu. Angin apa gerangan yang membawa langkahmu ke tempat ini? Aku Ki Kartawijaya beserta seluruh murid-muridku menyampaikan salam hormat kepadamu,” sapa orang tua itu dengan nada ramah.

Pemuda berambut panjang yang tidak lain adalah Bayu Hanggara itu tersenyum kecil seraya membalas salam penghormatan si orang tua.

“Ki Kartawijaya, terimalah salam hormatku. Maafkan atas kelancanganku yang telah mencampuri urusanmu. Tapi aku memang tidak terbiasa melihat ketidak-adilan di depanku dan sudah gatal tangan ingin mencampurinya,” sahut Bayu.

“Hm, suatu sikap yang baik. Tapi mencampuri urusan orang lain hendaknya lebih dulu melihat, apakah kita berada di pihak yang benar ataukah kita malah membantu pihak yang salah,” sindir Ki Kartawijaya.

“Bisa jadi aku memang salah. Dan hal itu tidak kupungkiri. Tapi untuk kali ini kurasa tidak, sebab aku telah mendengar pembicaraan kalian sejak tadi. Dan maafkanlah bila dalam hal ini aku mempercayai kata-kata gadis itu,” kata Bayu tenang.

Mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka, Ki Kartawijaya menjadi tak enak hati. Jelas sudah bahwa pemuda itu memang hendak mencampuri urusan mereka. Dan selamanya Ki Kartawijaya memang bukanlah orang yang sabar, pada siapa pun! Meski sekalipun orang yang tengah dihadapinya termasuk orang yang diseganinya, seperti Pendekar Pulau Neraka.

“Pendekar Pulau Neraka, kalau memang kau telah mendengar pembicaraan kami tentu engkau pun telah mengetahui apa yang diperbuat gadis itu di perguruan kami. Dan sebagai seorang yang terhormat, kau tentu bisa membedakan mana perbuatan salah dan mana yang benar,” ucap Ki Kartawijaya tegas.

“Tentu saja. Seorang yang telah meminjam sebuah benda sudah sepatutnya mengembalikan dan bukan menyalahgunakannya. Tapi apa yang kalian lakukan? Seseorang telah berbuat keonaran dengan menggunakan senjata yang telah kalian pinjam. Lalu apa pertanggungjawabanmu terhadap orang-orang yang terbunuh oleh senjata itu? Bukankah nyawa kalian masih belum berharga untuk menebusnya?” dengus Bayu dengan nada sedikit sinis.

“Eyang, untuk apa bicara lama-lama dengannya? Sudah jelas apa yang diinginkannya, dan kita pun mengetahui bahwa gadis itu jelas bersalah!” ujar salah seorang murid perguruan itu merasa tak sabar mendengar omong kosong di antara kedua orang itu.

“Betul, Eyang. Perintahkanlah pada kami untuk menghajar pemuda tak tahu diri ini!” timpal seorang lainnya sambil mencabut pedang dipunggungnya dengan sikap garang.

“Kau dengar itu, Pendekar Pulau Neraka? Murid-muridku agaknya sudah tidak sabar mendengar bicaramu. Jelas sudah kau berpihak pada siapa. Tapi kami tetap pada pendirian bahwa gadis itu patut mendapat pelajaran setimpal atas perbuatan yang dilakukannya di perguruan kami. Dan tidak ada seorang pun yang boleh menghalanginya. Tidak juga dirimu!” tajam terdengar nada bicara Ki Karta wijaya.

“Ki Kartawijaya, tidak usah banyak bicara! Lakukanlah apa yang ingin kau perbuat, tapi jangan coba-coba menyentuh gadis ini!” balas Bayu mengancam.

“Kurang ajar! Kalau demikian, terima pelajaran dari kami!” teriak salah seorang murid Perguruan Camar Hitam yang agaknya sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya.

Sambil membentak nyaring, orang itu melompat menyerang Bayu dengan senjata terhunus.

“Yeaaa...!


***


Bayu mendengus dingin. Tubuhnya sedikit bergeser ke kiri dan kepalanya tertunduk ke belakang menghindari sabetan pedang lawan. Kemudian cepat meliuk ke atas seraya mengayunkan satu tendangan keras ke dagu lawan... Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dan berbadan besar itu sedikit terkejut dan tak menyangka gerakan lawan bisa sedemikian cepat.

Namun dia masih sempat mengelak sambil menjatuhkan diri ke belakang. Namun saat itu juga tubuh Pendekar Pulau Neraka telah mengejar sambil berbalik dan mengayunkan tendangan beruntun bertenaga kuat yang tak mampu dielakkan lawan.

Bukkk!
Desss!
“Aaakh...!”

Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal muntah darah, dan tersungkur pada jarak enam langkah dan tidak bangkit lagi. Kejadian itu tentu saja mengagetkan kawan-kawannya yang lain. Demikian pula halnya dengan Ki Kartawijaya dan Ki Dewantara. Juga Ayu Laksmini yang sejak tadi masih berdiam diri menahan rasa nyeri di dadanya.

Orang itu tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka. Apa yang mereka dengar tentang keganasan pemuda itu memang bukan isapan jempol belaka, tapi terbukti di depan mata mereka sendiri.

“Pendekar Pulau Neraka, tindakanmu sangat kejam dan aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja!” geram Ki Kartawijaya menahan emosi.

Ki Dewantara semula hendak bergerak menghajar pemuda itu, tapi Ki Kartawijaya telah lebih dulu menahannya. Orang tua itu menyadari bahwa kepandaian Ki Dewantara tidak akan mungkin menandingi Pendekar Pulau Neraka. Dalam bentrokan pertama tadi saja dia sudah bisa merasakan bagaimana hebatnya tenaga lawan. Belum lagi gerakannya yang amat gesit serta serangannya tak terduga datangnya.

Kalau saja Ki Dewantara berkeras hendak menantangnya, bukan mustahil bila dia akan terbunuh sendiri seperti seorang muridnya tadi. Ki Kartawijaya melangkah mendekati, dan berhenti ketika jarak mereka terpaut empat langkah. Matanya liar mengawasi setiap gerakan kecil yang dilakukan lawan. Sebaliknya Bayu masih tetap tenang dan juga mengawasi lawan dengan seksama.

“Pendekar Pulau Neraka, lihat serangan ini!” Ki Kartawijaya membentak seraya memberi peringatan akan serangan pertamanya.

Bersamaan dengan itu tubuhnya pun melesat cepat ke arah lawan seraya memutar pedang di tangannya. Angin tajam bersiur kencang dan mencoba menghimpit setiap langkah menghindar yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Ke mana saja dia mencoba bergerak, maka saat itu juga jarak mereka terpaut hanya beberapa inci saja. Agaknya Ki Kartawijaya betul-betul telah mengerahkan segenap kepandaiannya untuk menjatuhkan lawan secepat mungkin.

Bayu Hanggara menggeram. Kalau saja dia tidak hati-hati dan mengerahkan segala kemampuan bergeraknya menghindari setiap serangan lawan, niscaya ujung pedang lawan pasti dari sejak tadi menyambar tubuhnya. Dan hal itu pun agaknya tidak akan bisa bertahan lama seandainya dia terus bertahan seperti itu. Maka dalam suatu kesempatan, Pendekar Pulau Neraka berusaha menjauhkan jarak dari serangan lawan untuk balik menyerang.

“Yeaaa...!”

Tubuhnya bergulung-gulung seraya melompat ke belakang ketika kedua kakinya baru saja menjejak tanah. Ki Kartawijaya mengejar, namun tubuh Bayu Hanggara melejit ke atas cabang sebuah pohon. Ki Kartawijaya semakin gemas saja. Dihantamnya cabang pohon itu dengan pukulan jarak jauh.

“Hiyaaa...!”
Brakkk!
“Hihhh!”

Namun belum lagi hantaman itu ikut meng hancurkan tubuhnya seperti yang terjadi pada sebatang pohon itu, tubuh Pendekar Pulau Neraka menukik deras ke arah lawan. Ki Kartawijaya terkesiap, namun tidak kehilangan kesadaran untuk mengayunkan pedangnya. Bayu menangkis dengan pergelangan tangannya.

Trakkk! “Uhhh...!”

Senjata lawan tepat beradu dengan Cakra Maut di pergelangan tangannya. Ki Kartawijaya terkejut bukan main. Tangannya kesemutan, dan tubuhnya bergetar hebat akibat benturan itu. Untuk sesaat dia bisa menduga bahwa senjata itulah yang tadi memapaki pedangnya ketika pemuda itu menahan serangannya terhadap Ayu Laksmini.

Namun begitu dia masih mampu mengayunkan kaki menghantam wajah lawan. Bayu berkelit ke kiri seraya menghantam kepalan tangan kanannya ke dada lawan. Ki Kartawijaya menangkis dengan tangan kirinya.

Tak!

Untuk kedua kalinya orang tua itu merasa kaget ketika tangan mereka saling beradu. Baru dia menyadari bahwa tenaga dalam lawan memang tak bisa dipandang enteng. Tapi Ki Kartawijaya tidak kecil hati. Pedangnya kembali berkelebat meliuk-liuk menyambar tubuh lawan. Dia menyadari betul bahwa lawan tak mungkin menerobos pertahanannya selagi dia memainkan ilmu pedangnya yang hebat.

Hal itu bukannya tidak disadari oleh Bayu. Bukan saja dia tak mampu menerobos pertahanan lawan, sebaliknya serangan yang dilancarkan lawan pun dengan menggunakan jurus-jurus pedangnya, agak sulit dihadapinya dengan tangan kosong seperti sekarang. Ketika kaki lawan menghajar ke arah dagu, Pendekar Pulau Neraka bergerak ke samping. Namun Ki Kartawijaya lebih cepat memberikan serangan susulan dengan kelebatan pedangnya ke arah leher.

Bayu terkejut dan berusaha melompat ke belakang untuk menghindari tebasan golok lawan. Namun ujung pedang Ki Kartawijaya masih sempat menggores dadanya.

Crasss!
“Uhhh...!”
“Kaaakhhh...!”

Monyet berbulu hitam yang melihat sahabatnya berhasil dilukai lawannya, berteriak nyaring. Wajahnya terlihat cemas, dan beberapa kali dia mondar-mandir mengikuti jalannya pertarungan itu. Sebaliknya hal itu menimbulkan rasa senang di hati Ki Dewantara dan murid-murid Perguruan Camar Hitam. Kalau Pendekar Pulau Neraka berhasil dilukai, maka tidak berapa lama dia pasti akan dapat dilumpuhkan oleh Ki Kartawijaya, barangkali itu anggapan mereka.

Agaknya pikiran seperti itu pun menyelinap dibenak orang tua itu. Dia mendesak Bayu habis-habisan dan bermaksud menjatuhkan lawan secepat mungkin. Baru saja tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang sambil bergulung-gulung, saat itu juga tubuhnya melesat mengikuti dengan ujung pedang berputar-putar menyambar bagian tubuh lawan.

“Hiyaaat..!”

Dalam keadaan terjepit begitu, Bayu tak mau tinggal diam. Dia mengibaskan tangan kanannya sambil membentak nyaring.

“Yeaaa...!”
Siiing...!
Trasss
“Hei?!”


***


Bersamaan dengan itu melesat sekelebat sinar keperakan menyambar lawan. Ki Kartawijaya terkejut dan cepat mengayunkan pedangnya. Tapi yang kemudian terjadi justru membuatnya terkejut Pedangnya putus, dan benda keperakan itu terus mendesing menyambar lehernya. Kalau saja dia tak buru-buru memiringkan tabuh niscaya kepalanya akan berpisah dari badan. Orang tua itu tak habis rasa terkejutnya merasakan angin sambaran tajam yang terasa perih dan menimbulkan hawa panas.

“Hiyaaat...!”

Belum lagi habis rasa terkejutnya, saat itu juga serangan Pendekar Pulau Neraka telah kembali datang. Ujung kaki kanannya menghantam lurus ke arah dada. Ki Kartawijaya berkelit seraya memutar tubuh, namun tubuh Bayu pun ikut berputar dan kaki kanannya kembali menyapu ke arah pinggang. Ki Kartawijaya melompat ke atas, dan Pendekar Pulau Neraka mengikuti seraya menyambar kembali Cakra Mautnya yang melesat pulang.

“Yeaaa...!”
Siiing!

Begitu Cakra Maut berada di tangannya, kembali dikibaskannya lagi. Senjata maut itu melesat deras ke arah Ki Kartawijaya pada jarak dekat. Orang tua itu tidak sempat mengelak. Meski dia berusaha menghindar, namun tak urung lengan kirinya kena sambar, dan putus.

Crasss!
“Aaakh!”

Ki Kartawijaya menjerit tertahan. Namun masih sempat menghantam lawan dengan pukulan jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas seraya bergulung-gulung menghindari serangan lawan. Kedua kakinya menyilang bergantian dan langsung menghajar batok kepala lawan.

Desss!
Duk!
“Aaa...!”

Ki Kartawijaya kembali memekik keras. Kali ini tubuhnya terjungkal ke samping sambil menggelepar kesakitan. Orang tua itu memuntahkan darah kental berkali-kali. Dia berusaha untuk bangkit, namun kembali terjatuh. Beberapa orang muridnya langsung memburu dengan penuh khawatir. Mereka membantunya duduk bersila. Namun tidak demikian halnya dengan Ki Dewantara. Dengan amarah yang meluap, dia langsung menyerang Bayu.

“Bocah keparat! Kau harus menerima pembalasan dariku!” geramnya tajam seraya mengayunkan pedang ke arah Bayu.

Bayu mendengus kecil. Tangan kanannya dikibaskan ke bawah. Saat itu juga mendesing Cakra Maut ke arah lawan.

Siiing!
Werrr!

Meski dalam keadaan kalap begitu, tapi Ki Dewantara menyadari bahwa senjata lawan sangat dahsyat, dan dia tak berani untuk mencoba memapaki. Kepalanya ditundukkan ketika tubuhnya kemudian melompat ke samping sambil berbalik untuk menghindari senjata lawan, kemudian terus menerjang ke arah leher Pendekar Pulau Neraka dengan ujung pedang menyambar ke arah tenggorokan dan dada.

Uts!”

Bayu melompat ke belakang, kemudian bergerak ke samping dan terus bergerak ke atas menghindari tebasan senjata lawan. Kaki kirinya ditekuk sedemikian rupa, kemudian melayang menyambar ke muka lawan. Ki Dewantara sedikit tergagap menyadari kecepatan lawan bergerak namun dia tak mau berlaku lengah. Buru-buru dia menundukkan tubuh ke belakang, lalu terus bergerak ke samping, dan balas menyerang lawan dengan ayunan pedangnya. Namun belum lagi pedangnya mampu menebas ke arah lawan, dia terpaksa kembali menundukkan tubuh ketika Cakra Maut berbalik menyerangnya.

Bayu menangkap senjatanya, dan kembali melepaskannya ke arah Ki Dewantara. Laki-laki itu terkejut Dalam jarak dekat tak mungkin baginya untuk bisa mengelak. Maka dengan terpaksa dia memiringkan tubuh dan mengayunkan pedang untuk mencoba menangkis senjata lawan.

Tras!
Cras!
“Aaakh...!”

Seperti apa yang diduganya, pedang dalam genggamannya putus sebatas gagangnya. Cakra Maut terus melesat menyambar sebelah daun telinganya hingga putus. Ki Dewantara mengeluh kesakitan. Dia masih belum sempat menguasai diri ketika serangan Pendekar Pulau Neraka menyusul.

“Yeaaa...!”
Begkh!
Desss!
“Aaakh...!”

Untuk kedua kalinya Ki Dewantara memekik keras. Kali ini tubuhnya terjungkal keras sambil memuntahkan darah segar. Tendangan keras yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka menghantam dada dan perutnya dengan telak. Tubuhnya menggelepar-gelepar tak berdaya, dan berusaha untuk bangkit berdiri tegak. Tapi baru saja dia hendak mencobanya, tubuhnya tiba-tiba kembali ambruk.

“Guru...!” beberapa murid Perguruan Camar Hitam langsung memburu untuk memberikan bantuan.

Tapi lima orang lainnya serentak bergerak hendak menyerang Bayu. Wajah mereka tampak garang menahan amarah yang memuncak.

“Pendekar Pulau Neraka, hari ini kami akan mengadu jiwa denganmu!” dengus salah seorang di antara mereka.

Kalau saja saat itu Ki Kartawijaya tak membentak melarang mereka, Niscaya kelima orang itu akan melabrak Pendekar Pulau Neraka dan menyerangnya dengan mati-matian.

“Tahaaan...!”


***


TUJUH

“Kenapa Eyang? Pemuda ini telah melukai Eyang dan Guru. Kenapa kami tak boleh menuntut balas atas perlakuannya itu?!” tanya salah seorang murid Perguruan Camar Hitam dengan wajah kesal.

“Diamlah kalian, dan jangan lagi memperpanjang urusan! Apa kalian mau membuang nyawa secara percuma?!” bentak Ki Kartawijaya berusaha berdiri dengan dibantu tiga orang muridnya.

Mendengar kata-kata orang tua itu, kelima muridnya terpaksa mengurungkan tindakan mereka meski di dalam hati masih tersimpan rasa tidak puas. Walaupun kepandaian mereka tak seberapa, tapi jelas mereka tidak takut mati untuk membela kehormatan nama guru dan perguruan mereka.

Ki Kartawijaya memandang ke arah Pendekar Pulau neraka, kemudian berkata pelan. “Pendekar Pulau Neraka, kehebatan namamu yang terdengar memang bukan nama kosong belaka. Hari ini aku Ki Kartawijaya mengaku kalah padamu. Tapi bukan berarti urusan ini akan selesai. Suatu saat nanti hutang ini akan kubalas berikut bunganya padamu!”

“Ki Kartawijaya, kalau memang kau menganggap bahwa kejadian hari ini sebagai suatu hutang, kau boleh menagihnya kapan saja kau suka padaku. Tentu akan kutunggu saat itu,” sahut Bayu dingin.

Setelah berkata demikian terlihat Ki Kartawijaya mengajak murid-muridnya segera berlalu dari tempat itu. Bayu masih sempat memandang mereka, kemudian menyambar Tiren yang mendekat ke arahnya seraya berteriak nyaring.

“Kaaakh...!”

Monyet kecil itu melompat-lompat ke pundaknya silih berganti, kemudian mengusap-usap rambut pemuda itu. Dan Bayu tersenyum kecil, kemudian memandang ke arah Ayu Laksmini dan menghampirinya.

“Bagaimana keadaanmu...?” tanyanya dengan suara pelan.

“Terima kasih atas pertolonganmu...” lirih terdengar suara Ayu Laksmini.

“Kudengar kau murid Ki Dewa Ruci. Beliau adalah tokoh terkenal yang memiliki kepandaian hebat.”

Ayu Laksmini tersenyum kecut. “Aku hanya membuat malu nama beliau saja, bukan...?” katanya dengan nada getir.

“Kau tak perlu berkecil hati seperti itu. Mereka memang hebat, dan mampu bertahan cukup lama melawan gempuran keduanya, sudah membuktikan kehebatan ilmu silat yang kau miliki...” puji Bayu membesarkan semangat gadis itu.

“Ah, aku memang murid yang tak berguna. Bagaimana mungkin mampu mengemban amanat yang dititipkan eyang kalau berhadapan dengan mereka saja aku tak mampu...” keluh Ayu Laksmini dengan wajah gundah.

Bayu menarik napas pendek, kemudian memandang ke arah gadis itu dengan seksama. Lalu berkata pendek,” Maafkan kelancanganku yang telah mendengar pembicaraan kalian...”

“Apa maksudmu...?”

“Secara tak sengaja aku lewat di muka perguruan mereka dan mendengar keributan yang kau perbuat. Pedang Setan itu memang pernah selintas kudengar, dan aku sedikit terkejut ketika belakangan mendengar bahwa senjata ampuh itu berada di tangan seorang pemuda yang tidak bertanggung jawab. Dia membuat kekejaman dengan membantai orang-orang yang tak berdosa dengan pedang itu...” jelas Bayu singkat.

“Jadi, benarkah pedang itu tidak berada di tangan mereka?” tanya Ayu Laksmini meyakinkan.

“Entahlah. Soal itu aku tak tahu banyak. Tapi kalau kau hendak mengambil kembali pedang itu, maka kau mesti berhadapan dengan pemuda itu, sebab banyak orang yang ingin merebut Pedang Setan itu dari tangannya, tapi mereka semua habis dibantainya...”

“Lalu di mana aku bisa menemui pemuda itu?” tanya Ayu Laksmini seraya bangkit dengan wajah bernafsu hendak mendapatkan kembali pusaka gurunya itu.

“Aku sendiri tidak mengetahui di mana pemuda itu berada. Tapi kudengar kata-kata Ki Kartawijaya dan Nini Widyadara, bisa jadi mereka mengetahui siapa pemuda itu sebenarnya sehingga dari siapa dia menemukan Pedang Setan itu...”

“Huh, kalau begitu aku akan kembali ke Perguruan Camar Hitam dan memaksa mereka untuk memberitahu di mana pemuda itu berada!” dengus Ayu Laksmini.

“Ni sanak...” panggil Bayu pelan.

Gadis itu menoleh. Ketika dilihatnya pemuda itu menatapnya dengan seksama, gadis itu buru-buru memperbaiki sikapnya yang tak bersahabat.

“Maafkan sikapku. Aku ingin buru-buru menyelesaikan tugas yang diberikan Eyang Dewa Ruci...”

“Ah, tidak mengapa. Bolehkah kau kupanggil Ayu...?”

“Kau tentu telah mengetahui namaku, bukan? Sebaliknya, aku harus memanggil apa padamu?”

“Eh, kau boleh panggil aku Bayu....”

“Bayu, eh Kakang Bayu..,” gadis itu menjadi jengah sendiri ketika memperbaiki panggilannya terhadap pemuda itu. Dia tertunduk malu sesaat, tapi Bayu cepat memperbaiki keadaan itu.

“Ayu, kalau kau tak keberatan, biarlah aku menemanimu ke perguruan itu....”

“Eh, kalau Kakang Bayu tak keberatan, tentu saja aku senang sekali....”

“Nah, marilah kita berangkat sekarang untuk tidak membuang-buang waktu!” ajak Bayu seraya melangkah lebih dulu.

Ayu Laksmini mengikuti dari belakang dengan langkah pelan. Tapi tak berapa lama dia pun menjejeri langkah pemuda itu.


***


Nini Widyadara menghela napas pendek. Dia semakin tak tahu apa yang harus diperbuatnya ketika suaminya beserta putranya mengejar gadis itu. Setelah sekian lama mereka hidup tenteram, kini dalam beberapa saat telah banyak peristiwa yang menimpa. Kematian putra keduanya di tangan seorang pemuda yang membawa-bawa Pedang Setan amat mengejutkannya.

Dan kini seorang gadis datang menagih senjata itu pada mereka, kemudian sedikit mengungkit kenangan lamanya. Hal itu menambah perih beban yang dideritanya. Ki Dewa Ruci pasti telah cerita banyak pada muridnya itu. Dia memang tak menyalahkan, karena tahu betul bahwa dia memang bersalah dalam hal ini.

Kalau saja dulu dia bisa berpikir tenang, tentu dia tak akan mempedulikan segala rayuan Ki Kartawijaya sehingga meninggalkan Ki Dewa Ruci yang amat mencintainya. Bahkan dalam keadaan berkhianat begitu, dia masih berani mencuri senjata pusaka kesayangan Ki Dewa Ruci.

Wanita tua itu mengeluh pelan seraya membalikkan tubuh memasuki gedung di belakangnya. Tapi mendadak pada saat itu terdengar jeritan panjang dari arah pintu gerbang. Dengan cepat wanita itu berbalik dan melihat dua orang murid perguruan itu tewas dengan cara yang mengerikan. Dada mereka hangus oleh goresan senjata yang merobek lebar. Tubuh mereka pun pucat seperti tak berdarah, dan tewas saat itu juga.

“Siapa kau, bocah?!” bentak Nini Widyadara begitu melihat seorang pemuda berambut panjang dan memakai baju yang terbuat dari kulit harimau.

Nini Widyadara terkejut setengah mati melihat kehadiran pemuda itu. Tapi lebih terkejut lagi ketika melihat pedang di tangan kanannya. Pedang berwarna hitam yang berkilat memancarkan sinar laksana sihir itu seperti menyilaukan mata dan membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Tidak salah lagi, itulah Pedang Setan yang dicaricarinya selama ini.

Ditatapnya pemuda itu dengan seksama. Wajahnya hitam dengan bintik-bintik kecil tampak dingin dan menyiratkan hawa kesadisan. Tangan kirinya menggenggam buntalan kain putih yang meneteskan darah di bawahnya. Jantung wanita tua itu semakin bergetar, dan wajahnya tampak pucat.

“Apa isi buntalan yang dibawa pemuda itu?” bisik hatinya cemas.

“Masih ingatkah kau dengan mendiang guruku, Ki Sarpa Kenaka?” tanya pemuda itu dengan nada dingin.

“Ki Sarpa Kenaka...? Hm, akhirnya dia datang juga meski mewakili padamu...”

“Pedang Setan telah berjodoh pada guruku, dan kini diwariskan padaku. Tapi kau dan suamimu serta semua murid-muridmu mencoba merebutnya dariku seperti tikus-tikus got lainnya. Mereka akan mampus ditanganku menjadi korban pedang ini!” dengus pemuda itu.

“Anak muda, jaga bicaramu! Pedang itu milik perguruan kami, dan tidak ada hak sama sekali bagimu untuk menyerakahinya. Apalagi mencoba mengakuinya sebagai pusaka milikmu! Serahkan padaku, dan aku akan melupakan perbuatanmu tadi!” ucap Nini Widyadara menegaskan.

“Ha ha ha...! Tidak kusalahkan kalau kau tuli, orang tua. Tapi ingin kutegaskan sekali lagi. Selama ini yang paling bernafsu untuk merebut pedang ini dari tanganku adalah pihak kalian. Dan setelah kubereskan beberapa tokoh yang ingin merampas pedang ini dari tanganku, maka sekarang giliran kalian akan kulenyapkan. Seorang anakmu telah kubuat mampus. Dan salah seorang lagi akan menyusul setelah kau kenali siapa yang kubawa ini!” teriak pemuda itu seraya mengeluarkan buntalan di tangan kirinya ke hadapan wanita tua itu.

Nini Widyadara terkejut bukan main ketika melihat kepala siapa yang berada dalam buntalan yang dibawa pemuda itu.

“Padmi Ningsih, cucuku...!”

Darahnya seperti tersirap dan detak jantungnya berdebar lebih kencang menyaksikan cucu kesayangannya tergeletak bermandikan darah. Begitu juga dengan murid-murid Perguruan Camar Hitam yang berada ditempat itu. Dengan spontan Ni Widyadara mencabut pedangnya dan membentak garang.

“Bocah keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu! Yeaaa...!” Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat menyerang lawan. Pemuda itu mendengus sinis. Sama sekali tak terlihat wajah ketakutan di mukanya. Bahkan jelas dia memandang rendah pada wanita tua itu.

“Huh, majulah kau dan bawa serta semua anak muridmu agar lebih cepat aku menyelesaikan tugasku membasmi kalian!”

“Keparat!” desis Nini Widyadara geram.

Wut!
Bet!
“Uhhh...!”

Begitu pedang lawan menyambar-nyambar kearahnya, pemuda itu mengibaskan pedang di tangannya. Angin kencang berhawa panas seketika menyambar ke arah Nini Widyadara. Wanita tua itu menyadari keampuhan Pedang Setan di tangan lawan dan tak berani untuk mencoba memapakinya, dan hanya berusaha mengelak serta sesekali mencoba memasuki pertahanan lawan.

Tapi hal itu bukan pekerjaan mudah baginya. Dalam sekejap saja dia merasakan bahwa bukan saja dia tak mampu menembus pertahanan lawan. Bahkan sebaliknya serangan-serangan gencar yang dilakukan pemuda itu membuatnya harus pontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya.

“Yeaaa...!”

Pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya melesat ke arah lawan seraya memutar pedang dengan cepat Angin bersiur kencang membuat debu mengepul ke udara. Nini Widyadara kalang kabut dibuatnya. Wanita tua itu berusaha menangkis serangan lawan dengan pedangnya ketika senjata lawan menderu keras menyambar ke arah leher. Dia menyadari tak mungkin lagi menghindar. Dan kalaupun hal itu dilakukannya, tidak akan mampu menyelamatkan nyawanya.

Tras!
Pret!
“Aaakh...!”

Apa yang diduganya memang menjadi kenyataan. Pedangnya putus dihajar senjata lawan. Belum lagi dia berusaha mengelak, pedang itu telah menyambar bahu kirinya dan memapas pangkal lengannya. Wanita tua itu menjerit kesakitan. Kaki kiri lawan menghujam ke arah dadanya, namun dengan sigap dia menjatuhkan diri ke belakang. Tubuh lawan terus mengejar bagai angin topan yang menggila.

“Yeaaa...!”
Brasss! Brasss!
“Uhhh...!”

Nini Widyadara bergulingan menyelamatkan diri dari tebasan senjata lawan. Pedang di tangan pemuda itu menghantam tanah berkali-kali. Pada saat itu beberapa orang murid Perguruan Camar Hitam terus melompat menyerangnya untuk menyelamatkan nyawa guru mereka. Namun dengan
sekali berbalik, ujung pedang pemuda itu telah meminta korban.

Brettt!
“Aaah...!”

Tiga orang langsung terjungkal dengan dada robek lebar. Tubuh mereka pucat seperti kehabisan darah. Dan begitu jatuh ke tanah, diam tak berkutik lagi. Nyawa mereka lepas dari raga. Beberapa orang kembali menyerang tanpa mengenal rasa takut Kali ini pemuda itu betul-betul mengalihkan perhatian kepada murid-murid perguruan itu.

“Tikus-tikus busuk, kalau kalian mau mampus lebih dulu, aku akan penuhi keinginan kalian!

Yeaaa...!”
Bret!
Crasss!
“Aaa...!”

Korban kembali berjatuhan ketika pemuda itu mengamuk dengan hebatnya. Beberapa orang memekik kesakitan, dan ambruk dengan tubuh pucat tak bernyawa lagi. Dalam beberapa gebrakan saja, lebih dari sepuluh orang murid perguruan itu tewas tak berdaya. Hal itu tentu saja membuat Nini Widyadara mengeluh pelan. Dia tak tahu harus berbuat apa lagi untuk menyelamatkan mereka selain menghadang serangan pemuda itu.

“Bocah, hentikan perbuatanmu! Hadapilah aku...!”

“Hei, bocah keparat! Hentikan perbuatanmu...!”

Belum lagi habis kata-kata Nini Widyadara, saat itu juga terdengar bentakan nyaring. Serentak mereka berpaling dan melihat rombongan Ki Kartawijaya yang telah tiba di tempat itu. Bukan main kagetnya wanita tua itu ketika melihat keadaan suaminya. Buru-buru dia menghampiri dengan wajah cemas.

“Kakang, oh... apa yang telah terjadi pada mu...?!”

“Tenanglah, Nini. Aku tak apa-apa. Apakah bocah keparat itu yang berbuat ini padamu?!” tanya Ki Kartawijaya dengan menahan amarah seraya menunjuk sebelah lengan istrinya yang buntung. Nini Widyadara mengeluh pendek seraya berkata lirih.

“Kakang, dia... dia murid si Sarpa Kenaka itu. Kepandaiannya hebat sekali. Apalagi dengan adanya Pedang Setan di tangannya itu....”

Suara wanita tua itu terputus ketika Ki Dewantara berteriak pilu mendapati kepala anaknya yang berlumur darah.

“Padmi Ningsih, anakku...! Oh, siapa yang berbuat begini padamu, Nak..?!” jerit Ki Dewantara seraya mendekap kepala anaknya dan memandang sekeliling tempat dengan wajah beringas.

“Aku yang melakukannya!” sahut pemuda yang menggenggam Pedang Setan itu mendengus lirih.

Ki Dewantara bangkit dan menyambar sebilah pedang dari salah seorang muridnya, kemudian melangkah pelan mendekati pemuda itu. Sorot matanya tajam seperti hendak menelan bulat-bulat pemuda di hadapannya itu.

“Siapa kau, dan dendam apa yang kau bawa sehingga membunuh putriku dengan cara yang biadab begini?!” desis Ki Dewantara dengan suara ditekan sedemikian rupa menahan amarah yang mengguncang di hatinya.

“Aku, Buyut Kelana, murid tunggal Eyang Sarpa Kenaka. Kedua orangtuamu mengetahui apa maksudku ke sini. Kalian semua harus lenyap seperti mereka yang menginginkan pedang di tanganku ini!”

“Keparat! Aku tak peduli dengan segala barang rongsokan yang kau bicarakan. Kau hutang satu nyawa padaku, dan aku tidak akan membiarkanmu bicara seenaknya tanpa merasa bersalah. Manusia durjana, kau harus mampus ditanganku!”

Setelah berkata demikian, tubuh Ki Dewantara berkelebat menyerang lawan. Pemuda yang menamakan dirinya Buyut Kelana itu mendengus sinis. Tubuhnya sama sekali tak bergerak untuk menghindari serangan lawan. Tapi begitu ujung pedang lawan sedikit lagi akan menyentuh tubuhnya, saat itu juga pedangnya berkelebat memapaki.

Trasss!
Brettt!

Ki Dewantara terkejut setengah mati. Meski dia mengetahui kehebatan pedang di tangan lawan dari cerita kedua orangtuanya, namun hawa amarah dan ketidakyakinannya membuat dirinya bertindak kurang waspada dan terlalu menganggap enteng. Akibatnya sungguh fatal. Pedang di tangan putus dibabat senjata lawan. Dan bukan itu saja, dengan sekali berkelebat ujung pedang lawan menyambar dadanya dan membuat luka yang melebar dan dalam.

“Aaakh...!”

Ki Dewantara hanya mampu berteriak tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Wajahnya pucat seperti tak berdarah. Demikian pula dengan sekujur tubuhnya. Laki-laki itu ambruk dan tak bergerak lagi.

“Dewantara, Anakku.,.!” Nini Widyadara terkejut bukan main melihat kenyataan itu. Wanita tua itu langsung menubruk tubuh anaknya sambil menangis pilu. Ki Kartawijaya bermaksud melabrak pemuda itu. Namun sebelum dia bergerak lebih lanjut, terdengar seseorang menyela dengan suara dingin.

“Ayah, biar kuhadapi orang gila ini...!”

Mereka yang berada di tempat itu serentak menoleh. Seorang laki-laki bertubuh sedang dan berusia sekitar empat puluh lima tahun berdiri tak jauh dari pintu gerbang depan. Di belakangnya berdiri kurang lebih sepuluh orang laki-laki berseragam sama dengan murid-murid Perguruan Camar Hitam.

“Soma Jagat, hm... agaknya kau telah kembali...!”

“Sekian lama kucari pemuda ini untuk menuntut balas atas kematian Kakang Ganggapura, siapa sangka, ternyata dia berada di tempat ini dan telah membuat kerusuhan. Ayah, biarlah kuhadapi manusia durjana ini!” dengus laki-laki itu dengan wajah beringas dan pelan-pelan mendekati Ki Buyut Kelana.

“Soma Jagat, menepilah kau. Dia bukan tandinganmu. Biar aku yang akan memberi pelajaran padanya,” sela Ki Kartawijaya.

“Tidak, Ayah! Ayah dalam keadaan luka parah, demikian pula Ibu. Biarlah aku yang mewakili kalian untuk menghajar bocah sombong ini,” sela Ki Soma Jagat seraya mencabut pedang dan menuding lurus ke arah Ki Buyut Kelana.

“Bocah, bersiaplah kau!” lanjut Ki Soma Jagat menantang.


***


DELAPAN

Begitu selesai dengan kata-katanya, Ki Soma Jagat langsung melompat menyerang lawan.

“Yeaaa...!”

Ki Buyut Kelana mendengus pelan. Tidak seperti menghadapi Ki Dewantara, pemuda itu langsung menyambut serangan lawan dan ikut melompat memapaki serangan lawan. Pedangnya diputar sedemikian rupa menimbulkan angin kencang yang tajam dan berhawa panas.

Untuk beberapa saat Ki Soma Jagat terkejut dan merasakan angin serangan senjata yang ganas. Dia menyadari betul bahwa senjata di tangan lawan bukan pedang sembarang. Pedang itulah yang belakangan ini amat menghebohkan kalangan persilatan. Kepalanya ditundukkan untuk menghindari sabetan lawan, dan tubuhnya meliuk berputar untuk membabatkan pedang ke pinggang lawan.

Tapi Ki Buyut Kelana terlalu lihai untuk ditipu seperti itu. Tubuhnya sedikit miring hingga ujung pedang lawan lewat beberapa inci dari pinggangnya.

Bet!
Uuuh...!”

Kepalan tangan kiri Ki Buyut Kelana menghajar dadanya, namun dengan sigap Ki Soma Jagat mengelak ke samping. Ujung pedang lawan menyambar ke arah tenggorokan. Tubuh Ki Soma Jagat melompat ke belakang menghindarinya.

Namun ujung kaki kanan lawan telah menyusul melakukan serangan ke arah selangkangannya. Ki Soma Jagat terkejut dan buru-buru membabatkan pedang. Lawan menekuk kakinya, dan dengan kaki yang satunya lagi menjejakkan tanah.

Tubuh Ki Buyut Kelana melejit ke atas seraya membuat gerakan salto yang indah mengejar kelebatan tubuh Ki Soma Jagat seraya menghunuskan senjatanya. Telapak kirinya bersiap menghantamkan pukulan jarak jauh untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi.

Apa yang diduga pemuda itu memang menjadi kenyataan. Dalam keadaan terdesak seperti itu Ki Soma Jagat melepaskan pukulan jarak jauh ke arah lawan dengan mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya.

“Hiyaaa...!”

Bersamaan dengan itu pula Ki Buyut Kelana memapaki pukulan lawan. Kepalan tangan kirinya menghantam ke muka. Untuk beberapa saat terdengar benturan keras yang diiringi angin kencang yang bersiur kencang laksana badai topan.

Tubuh Ki Soma Jagat terpental beberapa langkah sambil menjerit keras. Dari mulutnya muncrat darah kental. Pada saat yang bersamaan dengan itu tubuh Ki Buyut Kelana telah kembali melesat ke arahnya dengan pedang terhunus.

“Keparat!” Ki Kartawijaya memaki geram. Tubuhnya melompat hendak memapaki serangan lawan guna menyelamatkan putranya. Namun luka dalam yang dideritanya akibat pertarungan dengan Pendekar Pulau Neraka membuat gerakannya menjadi terhambat dan kurang gesit. Sedangkan Ki Buyut Kelana agaknya tak bisa dicegah lagi, maka....

Bresss!
Trasss!
“Aaargkh...!”

Ki Soma Jagat menjerit tertahan. Ujung pedang lawan melesak menembus jantung. Tubuhnya bergerak sedikit, dan pelahan-lahan terlihat memucat ketika darahnya seperti terisap habis ke batang pedang lawan.

Ki Buyut Kelana pun agaknya bertindak cepat. Begitu serangan Ki Kartawijaya sedikit lagi mendekat, maka buru-buru dia mencabut pedang lalu sambil bergulingan menyambar senjata lawan. Pedang di tangan Ki Kartawijaya putus dan nyaris orang tua itu menjadi korban keganasan Pedang Setan yang terus meluncur menyambar lehernya kalau saja dia tak buru-buru memiringkan kepala.

“Yeaaa...!”

Tubuh Ki Buyut Kelana terus mengejar orang tua itu. Ki Kartawijaya terkejut dan cepat bergulingan menghindari sabetan pedang lawan yang bukan main lihai dan cepatnya. Beberapa orang muridnya mencoba membantu, namun pedang Ki Buyut Kelana lebih cepat lagi menyambar mereka.

Bret!
Crasss!
“Aaa...!”

Empat orang kembali tewas disambar Pedang Setan, dan tubuh mereka pucat bagai tak berdarah. Ki Kartawijaya memanfaatkan kesempatan itu untuk menguasai diri. Namun begitu tubuhnya mencoba untuk melenting, Ki Buyut Kelana telah bergerak menyambar lawan dengan pedang di tangan. Orang tua itu tercekat dan berusaha mengelak.

Namun dalam keadaan mengapung di udara, sulit baginya untuk menghindari diri. Satu-satunya cara yang bisa dilakukannya adalah menghantam lawan dengan pukulan jarak jauh. Dan hal itulah yang dilakukannya saat ini. Tapi Ki Buyut Kelana pun agaknya telah memperhitungkan hal itu. Terbukti ketika dia balas menghantam pukulan jarak jauh ke arah lawan.

Terdengar suara keras ketika kedua pukulan dahsyat itu beradu. Angin bersiur kencang dan menerbangkan debu-debu serta menutupi tempat di sekitar itu dalam beberapa saat.

Jdarrr!
“Aaa...!”

Keadaan Ki Kartawijaya sebenarnya tak memungkinkan baginya untuk mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Kalau hal itu dilakukannya sama artinya dengan bunuh diri, dan hal itulah yang terjadi pada orang tua itu. Tubuhnya terlempar dua tombak seraya memuntahkan darah kental kehitaman.

Belum lagi Ki Buyut Kelana mengirim serangan susulan, tubuh orang tua itu diam tak berkutik setelah menggelepar-gelepar beberapa saat lamanya.

“Pemuda durjana, terimalah pembalasan dari kami!” bentak murid-murid Perguruan Camar Hitam seraya mengepung pemuda itu beramai-ramai. Dan menyerangnya bersamaan.

Tindakan mereka itu bukannya menimbulkan rasa gentar di hati Ki Buyut Kelana. Pemuda itu malah menyeringai lebar sambil mengibaskan pedang.

“Kantong-kantong tak berguna, majulah kalian semua kalau ingin mampus! Ayo, siapa yang lebih dulu ingin kukirim ke akherat?!”

Setelah berkata demikian, pemuda itu melompat ke arah lawan-lawannya sambil menyambar dengan pedang terhunus. Bisa diduga apa yang terjadi kemudian. Beberapa orang langsung tewas disambar senjata maut di tangannya. Tidak ada satu pun senjata lawan yang mampu menahan amukan pedangnya yang haus darah itu. Siapa saja yang mendekat dengannya, bisa dipastikan tewas hanya dalam waktu beberapa saat saja.

Bret!
Crasss!
“Aaa...!”

Pekik tertahan saling susul-menyusul mengiringi ambruknya tubuh murid-murid Perguruan Camar Hitam satu-persatu. Mendadak pada saat itu melesat sebuah sinar keperakan ke arah batang pedangnya. Dengan spontan Ki Buyut Kelana menangkis.

Sring!
Trang!
“Hei...?!”


***


Bukan main kagetnya pemuda itu ketika senjatanya seperti menghantam tembok keras. Selama ini tidak ada satu benda pun yang mampu menahan keampuhan Pedang Setan di tangannya. Tapi kali ini tangannya bergetar hebat seperti kesemutan ketika menghantam benda keperakan yang melayang cepat tadi.

Dengan kontan pemuda itu menoleh dan melihat pemuda berambut panjang telah berdiri di belakangnya pada jarak tujuh langkah. Pemuda yang memakai baju yang terbuat dari kulit harimau seperti dirinya itu memandangnya dengan sorot mata tajam. Di pundaknya terlihat seekor monyet kecil berbulu hitam. Dan di samping pemuda itu berdiri tegak seorang gadis cantik memakai pakaian serba putih.

Ki Buyut Kelana sempat melihat benda apa yang tadi menahan pedangnya ketika pemuda itu menangkap sebuah senjata cakra bersegi enam berwarna keperakan.

“Hm, melihat dari senjatamu itu pastilah kau yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...,” ujarnya dengan nada dingin.

“Matamu sungguh tajam, Sobat! Apa yang kau katakan memang benar. Orang-orang menjulukiku sebagai Pendekar Pulau Neraka...,” sahut pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara itu.

Kalau saja Ki Buyut Kelana merasa kaget karena senjata Pendekar Pulau Neraka mampu menahan Pedang Setan di tangannya, maka hal itu pun dialami oleh Bayu. Dia merasa kaget ketika cakra mautnya tak mampu memapak putus pedang lawan. Bahkan dari bunyi beradunya kedua senjata itu saja dia bisa menduga bahwa senjata lawan memang bukan pedang sembarang.

“Kakang Bayu, tidak salah lagi. Pedang itulah yang dimaksud Guruku...!” seru gadis di sebelah yang tak lain dari Ayu Laksmini.

“Hm, aku pun menduga demikian, Ayu...”

Sring!

Ayu Laksmini sudah langsung mencabut pedang dan melompat ke hadapan Ki Buyut Kelana. Wajahnya garang dan ujung pedang di tangannya ditudingkan ke arah pemuda itu.

“Lekas berikan senjata itu, atau kutebas batang lehermu!” bentaknya mengancam.

Mendengar ancaman si gadis, Ki Buyut Kelana tersenyum mengejek. “Gadis manis, sungguh besar nyalimu berkata begitu. Apakah kau mempunyai nyawa sambilan?”

“Keparat! Kau sama sekali tak berhak atas benda itu. Pedang Setan adalah kepunyaan Eyang Dewa Ruci, guruku. Lekas berikan padaku atau nyawamu melayang saat ini juga!” bentak si gadis semakin garang diremehkan lawan begitu rupa.

“Hm, jadi kau murid Ki Dewa Ruci? Guruku pernah cerita kehebatannya. Dan sebagai muridnya kau tentu mewarisi kehebatannya. Sudah lama sekali aku ingin berhadapan dengannya, tapi tidak juga kunjung bertemu. Kurasa dia takut mampus di tanganku dengan senjatanya sendiri...!”

“Setan!” Bukan main geramnya Ayu Laksmini mendengar kata-kata pemuda itu. Sambil memaki geram, tubuhnya melompat menyerang lawan dengan menggunakan ilmu pedang yang dimilikinya.

“Yeaaa...!”

“Uts! Hm, boleh juga jurus ilmu pedangmu. Akan lebih hebat lagi kalau si Dewa Ruci sendiri yang memainkannya. Kau masih terlihat kaku dan kurang pengalaman. Hm, sungguh kurang beruntung aku tak bertemu langsung dengannya,” ejek Ki Buyut Kelana sambil terus mengejek gadis itu.

“Pemuda ceriwis, anggap saja aku mewakili beliau untuk merobek mulutmu itu, yaaa...!” Ayu Laksmini menyerang lawan sambil mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, namun pemuda itu dengan tenang terus menghindar dan tak bermaksud membalas. Dengan sikapnya itu jelas dia ingin mempermainkan lawan.

Sementara itu melihat Pendekar Pulau Neraka dan gadis itu datang, serentak murid-murid Perguruan Camar Hitam menghentikan perlawanan mereka dan kini hanya memperhatikan dengan seksama pertarungan antara gadis itu dengan Ki Buyut Kelana.

Dan Bayu sendiri tadi hendak melarang gadis itu untuk turun tangan. Namun dia menyadari watak gadis itu yang keras kepala. Ayu Laksmini tentu tetap akan berkeras untuk menghajar pemuda itu. Maka dia hanya bisa memperhatikan seraya menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi. Dia sendiri sebenarnya menyadari meski kepandaian gadis itu tergolong hebat dan berbahaya, namun jelas Ayu Laksmini sangat mentah sekali pengalaman bertarungnya. Hal itu terlihat jelas dari jurus-jurus ilmu pedang yang dimainkannya.

Meski terlihat bahwa Ki Buyut Kelana asal-asalan menghindari serangan lawan, tapi terlihat bahwa dia cukup hati-hati. Sebab sedikit saja lengah bukan tak mungkin pedang Ayu Laksmini akan mencelakainya! Setelah sekian jurus berlangsung, kali ini terlihat Ki Buyut Kelana mulai balas menyerang.

“Cukup! Kini giliranku untuk menyerangmu. Lihat serangan ini!” bentak Ki Buyut Kelana sambil mengibaskan pedang dan mendadak menerkam ke arah lawan.

Ayu Laksmini terkejut merasakan angin kencang yang tajam dan berhawa panas menerpa dirinya. Tubuhnya melompat ke atas menghindari seraya menghantam pukulan jarak jauh ke arah lawan. Kelebatan sinar putih berhawa dingin menyambar ke arah Ki Buyut Kelana.

“Yeaaa...!”
“Hiyaaat..!”
Jderrr!
“Uuuh...!”

Melihat gadis itu menghantamkan pukulan kerasnya, Ki Buyut Kelana pun membalas. Beradunya dua pukulan dahsyat itu menimbulkan suara keras. Angin pukulan Ayu Lasmini buyar dihantam pukulan jarak jauh lawan dan terus menerobos menghantam gadis itu. Ayu Laksmini memekik nyaring.

Tubuhnya terjungkal seraya mengeluarkan darah kental dari sudut bibirnya. Dalam keadaan demikian agaknya lawan tak ingin memberi kesempatan padanya. Tubuh Ki Buyut Kelana terus melompat mengejar dengan senjata terhunus ke arah Ayu Laksmini.

“Yeaaa...!”

Keadaan Ayu Laksmini memang sangat mengkhawatirkan sekali. Meski dia mampu menghindari dua atau tiga serangan lawan, namun bisa diduga dia tak akan mampu bertahan dari lima kali serangan. Kalau saja saat itu Pendekar Pulau Neraka tidak turun tangan menolongnya, niscaya kecemasannya hanya tinggal sesaat lagi saja.

“Kisanak, hentikan seranganmu! Lihat padaku...!”


***


Sriiing!
Tring!
“Yeaaa...!”

Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka melesat kencang memapaki pedang Ki Buyut Kelana. Terdengar bunyi berdenting nyaring yang diiringi percikan bunga api ketika kedua senjata itu beradu. Pedang di tangan Ki Buyut Kelana bergetar hebat seperti juga tangannya. Sedangkan laju Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka agak melenceng ketika kembali ketangannya. Terpaksa Bayu melompat mengejarnya. Namun pada saat itu juga Ki Buyut Kelana telah melompat menyerangnya.

“Uts!”

Bayu menundukkan kepala, dan ujung pedang lawan lewat beberapa inci dari ubun-ubunnya. Kepalan tangan kirinya menghantam ke arah dada. Namun dengan tangkas, lawan menahan serangannya dengan tangkisan tangan kanannya.

Plak!
“Hiyaaat...!”

Keduanya berkerut menahan rasa sakit ketika kedua tangan mereka beradu. Agaknya dengan begitu Ki Buyut Kelana bisa menduga sampai di mana kekuatan tenaga dalam lawan. Dan membuatnya untuk tidak berbuat gegabah. Apalagi ketika satu tendangan kaki kanan lawan menyambar ke arah lehernya. Ki Buyut Kelana bergerak ke kanan dan menangkis dengan tangan kirinya.

Bersamaan dengan itu pula pedang di tangan kanannya menyambar dengan gerakan meliuk-liuk ke arah leher, dada, dan pinggang Pendekar Pulau Neraka. Bayu melompat ke belakang, namun lawan mengikuti gerakannya dengan ujung pedang tetap mengancam tubuhnya.

“Yeaaa...!”
Siiing!
Tring!
“Hiyaaa...!”

Dalam keadaan terjepit begitu, Bayu melepaskan Cakra Mautnya. Senjata ampuhnya itu melesat kencang mengejar lawan, namun dengan sigap Ki Buyut Kelana menangkis dengan senjatanya. Keduanya kembali berbenturan dan menimbulkan suara berdenting nyaring diiringi percikan bunga api. Ki Buyut Kelana kembali merasakan telapak tangannya kesemutan, dan detak jantungnya semakin tak beraturan.

Namun dia tak mau mempedulikan keadaan dirinya, dan sudah terus melompat menyerang lawan dengan kekuatan penuh. Tubuh Bayu melompat beberapa kali menyambar Cakra Maut yang masih melayang di udara. Nyaris ujung pedang lawan menyambar pinggangnya kalau saja dia tak buru-buru melejit ke atas.

Agaknya Ki Buyut Kelana menyadari akan kehebatan senjata lawan, untuk itulah dia menyerang ke dua arah sekaligus, yaitu menyambar Cakra Maut dan kemudian diteruskan menyabet pergelangan tangan kanan lawan. Namun agaknya Bayu menyadari hal itu sehingga dia memperhitungkan baik-baik kapan harus melepaskan Cakra Maut, dan berapa lama waktu yang diperlukannya untuk menangkap senjatanya kembali dengan serangan-serangan yang dilakukan oleh lawan.

“Yeaaa...!”

Ki Buyut Kelana mencoba menyambar pergelangan tangan lawan ketika Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka meleset dari sasaran. Tubuhnya bergulung-gulung menghindari kehebatan pedang lawan yang bukan main dahsyatnya. Kemudian dengan sekali sentak, tubuhnya melejit ke atas menyambar Cakra Maut yang bergerak ke arahnya.

Pada saat bersamaan tubuh Ki Buyut Kelana mengejar dari bawah dan mencoba memapas kedua kakinya. Namun dengan gesit Bayu menekuk kedua kakinya dan melepaskan Cakra Maut di tangannya ke arah leher lawan.

Siiing!
Crasss!
“Aaarkh...!”

Kejadian itu cepat sekali berlangsung dalam jarak dekat Cakra Maut melesat bagai kilat dan tak mampu ditahan lawan. Ki Buyut Kelana hanya mampu berteriak tertahan ketika senjata maut lawan menyambar lehernya. Kepala pemuda itu menggelinding ke tanah, dan darah muncrat dari pangkal lehernya!

Semua orang yang berada di tempat itu menahan napas karena ngeri melihat apa yang terjadi dengan Ki Buyut Kelana. Namun dengan tenang Bayu mendekati lawan dan mengambil pedang dalam genggaman tangannya. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya pelahan-lahan. Ada hawa panas yang hendak menerobos lewat pembuluh darahnya ketika Pedang Setan digenggamnya erat-erat Hawa panas yang menimbulkan amarah dan kegarangan.

Namun dengan kekuatan tenaga batinnya dia berusaha menekan pengaruh jahat itu dan menguasai senjata itu dengan tenang. Bayu memandang ke sekeliling tempat itu, kemudian berkata pelan.

“Pedang Setan ini telah membawa bencana, dan tidak sembarangan orang mampu memegangnya dengan baik. Kalau sampai jatuh ke tangan yang salah maka keangkaramurkaan akan melanda dunia. Oleh sebab itu dia akan aman bila berada di tangan pemiliknya. Aku akan menyerahkan pedang ini ke tangan Ki Dewa Ruci. Adakah di antara kalian yang mencoba merampasnya dari tanganku?”

Seluruh murid-murid Perguruan Camar Hitam, juga Nini Wiyadara yang tengah duduk bersila mengatur pernapasan dan jalan darahnya guna menyembuhkan luka dalamnya, diam membisu. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berani bertindak. Bisa jadi setelah melihat sepak terjang pemuda itu mereka merasa ngeri. Pemuda ini tak kalah sadisnya dengan Ki Buyut Kelana. Meski dia tak sembarang membunuh orang, tapi dia tak segan-segan memancung kepala siapa saja yang mencoba mengancam keselamatan dirinya.

Setelah melihat tak ada reaksi dari mereka, pelahan-lahan pemuda itu menghampiri Ayu Laksmini setelah menggendong monyet berbulu hitam yang tak lain dari Tiren, teman kesayangannya itu.

“Ayu, pedang ini telah berada ditanganku dan kita akan bersama-sama menyerahkannya pada gurumu....”

“Eh, terima kasih. Tapi.... Tapi apakah tidak merepotkanmu, Kakang Bayu...?”

“Maaf, bukannya aku tak percaya padamu. Tapi Pedang Setan ini memang bukan sembarang pedang. Dia akan mempengaruhi siapa saja yang memegangnya untuk menimbulkan keangkaramurkaan dalam dirinya. Dalam keadaan dirimu yang tengah terluka dalam begini, tentu akan berbahaya pula bagi dirimu....”

“Tidak apa, Kakang. Aku percaya padamu....”

“Terima kasih. Bagaimana keadaanmu sekarang...?” tanya Bayu seraya memeriksa nadi ditangan gadis itu.

“Agak baik, Kakang...,” sahut gadis itu merasa jengah dengan suara lirih. Seumur hidupnya belum pernah tangannya diremas seorang pemuda, meski pada saat itu Bayu tengah memeriksa urat nadinya. Dan hal itu membuat tubuhnya merasa panas dingin.

“Hm, memang tidak terlalu parah...,” sahut Bayu bergumam pelan seraya mengangguk kecil.

“Kakang, apakah kita akan berangkat sekarang?”

“Apakah kau sudah merasa kuat?” tanya Bayu balik bertanya.

“Jangan khawatir, aku masih mampu berlari ribuan tombak lagi!” sahut gadis itu cepat seraya tersenyum kecil.

“Baiklah, kita berangkat sekarang...,” sahut Bayu seraya berjalan lebih dulu.

Ayu Laksmini kesal juga hatinya. Pemuda itu tak acuh sama sekali padanya. Apakah dia tak punya perasaan? Tidak bisakah berbasa-basi dengan mengajaknya, atau menggandeng tangannya, lalu tersenyum kecil? Tapi malah cepat pergi, gumamnya dalam hati.

Ayu Laksmini cepat-cepat menyusul Bayu dan berusaha menyamai langkahnya. Dan sepanjang perjalanan, lagi-lagi dia merasa kesal karena pemuda itu terlalu serius, dan jarang tersenyum, apalagi berkelakar!

Tapi entah kenapa, meski begitu dia suka sekali melihat pemuda itu.


SELESAI

Episode Selanjutnya PEREMPUAN BERTOPENG EMAS