Perempuan Bertopeng Emas - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat serial pendekar pulau neraka
Episode Perempuan Bertopeng Emas

Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



cerita silat pendekar pulau neraka



SATU

“Perempuan setan Kubunuh kau Hiyaaat..”

Terdengar bentakan penuh kemarahan dari seorang pemuda.

“Hik hik hik...”

Namun belum juga pemuda tampan itu bisa berbuat sesuatu, sudah terlihat kilatan selendang kuning keemasan menyambar ke arah lehernya.

Bet
Cras
“Aaa...”

Dan anak muda itu langsung, terpaku dengan mata mendelik, disertai jeritan panjang memilukan. Tampak darah mengalir deras dari batang lehernya yang menganga, akibat sambaran selendang kuning yang bagai sebilah pedang. Hanya sesaat saja dia masih mampu berdiri, kemudianlimbung di depan seorang wanita bertubuh ramping, yang baru saja mengebutkan selendang kuningnya. Tak lama kemudian pemuda itu ambruk, dan menggelepar bersama empat tubuh lain yang sudah sejak tadi tergeletak tidak bernyawa dengan tubuh bersimbah darah.

“Hik hik hik...”

Suara tawa mengikik kembali terdengar nyaring mengerikan, mengiringi berkelebatnya tubuh ramping terbalut pakaian kuning keemasan, meninggalkan lima sosok tubuh yang bergelimpangan di dalam ruangan depan sebuah rumah diDesa Caringin.

Belum lama suara tawa mengikik itu menghilang dari pendengaran, sudah terlihat orang-orang berdatangan sambil membawa obor dansenjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran. Mereka mendatangi rumah yang agak terpencil di Desa Caringin ini. Para penduduk desa ini begitu terkejut melihat darah berceceran di depan pintu rumah yang terbuka lebar itu. Jelas sekali terlihat kalau daun pintuitu hancur, seperti diterjang kerbau mengamuk.
Lebih terkejut lagi, setelah melihat ke dalam. Tampak tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi dengan darah menggenang di sekitarnya. Tidak ada seorang pun yang tahu kejadiannya. Para penduduk ini datang setelah mendengar jeritan dan tawa yang panjang mengikik tadi. Dan mereka tahu, siapa penghuni rumah yang terkena bencana ini. Tidak ada seorang pun yang masih kelihatan hidup. Namun entah kenapa, wajah para penduduk kelihatan gembira melihat mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi ruangan depan ini.

“Mereka patut menerima ganjaran seperti ini,” gumam salah seorang, seraya melangkah pergi meninggalkan rumah ini.

Yang lainnya pun ikut melangkah pergi tanpa mempedulikan mayat-mayat di dalam rumah itu. Hingga akhirnya, hanya tinggal seorang saja yang tetap berada di depan pintu yang sudah hancur itu. Dia tadi memang kebetulan lewat, tepat ketika para penduduk itu sudah menimbrung di depan rumah itu. Karena merasa tertarik, kakinya langsung melangkah mendekati, ikut melihat apa yang terjadi.

Dia adalah seorang pemuda tampan berbaju dari kulit harimau. Seekor monyet kecil berbulu hitam tampak bertengger di pundak kanannya. Dipandanginya mayat-mayat itu dengan kelopak mata tidak berkedip. Dan kepalanya baru berpaling ke belakang, ketika mendengar suara langkah kaki mendekati.

Ternyata yang datang menghampiri adalah seorang laki-laki tua berjubah putih. Sebatang tongkat kayu rupanya ikut membantu ayunan langkah kakinya. Tubuhnya juga sudah kelihatan terbungkuk. Meskipun usianya kelihatan sudah begitu lanjut, tapi sinar wajahnya tampak begitu bersih dan bercahaya. Sinar matanya juga mencerminkan gairah hidup yang menyala-nyala.

Ayunan langkahnya begitu ringan, pertanda orang tua ini memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hentakan ujung tongkatnya pada tanah pun tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu menggeser kakinya sedikit ke tepi pintu, seakan memberi kesempatan pada orang tua ini untuk melihat ke dalam.

“Kau tidak pergi seperti mereka, Anak Muda...?” terdengar lembut sekali suara orang tua itu.

Sedikit orang tua itu menjulurkan kepalanya ke dalam, melongok keadaan di dalam rumah ini. Kemudian matanya kembali menatap wajah tampan pemuda yang tetap berdiri di samping pintu. Pemuda itu hanya diam saja, seakan tidak mendengar pertanyaan orang tua ini tadi.

“Siapa namamu, Anak Muda?” tanya orang tua itu lagi.

“Bayu,” sahut pemuda berbaju kulit harimau itu singkat, memperkenalkan namanya.

Dia memang Bayu Hanggara yang di dalam rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka. Sementara orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala. Bibirnya yang hampir tertutup kumis putih kelihatan menyunggingkan senyum tipis yang begitu ramah. Bayu membalas dengan anggukan kepala sedikit, disertai ulasan senyuman kecil di bibirnya.

“Dan kau siapa, Ki?” tanya Bayu dengan suara dan sikap ramah.

“Orang-orang selalu memanggilku Dewa Bayangan Putih. Kau juga boleh memanggilku begitu, Anak Muda,” sahut orang tua yang mengaku berjuluk Dewa Bayangan Putih.

“Nama aslimu?” tanya Bayu ingin tahu lagi.

“Entahlah.... Aku sendiri sudah lupa namaku yang sebenarnya,” sahut si Dewa Bayangan Putih, agak mendesah.

Bayu bisa memaklumi. Memang begitu banyak orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, namun sudah tidak lagi peduli nama sebenarnya. Bahkan mereka selalu melupakannya. Mereka lebih senang menggunakan julukan daripada nama sebenarnya. Tapi, buat Bayu malah sebaliknya. Dia selalu memperkenalkan diri dengan nama sebenarnya. Bahkan begitu sulit untuk menyebutkan julukannya, kalau tidak terpaksa sama sekali. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengenalnya sebagai Pendekar Pulau Neraka.

“Kau kenal siapa mereka, Anak Muda?” tanya Dewa Bayangan Putih seraya melirik ke dalam rumah.

“Tidak,” sahut Bayu seraya menggeleng. “Aku hanya kebetulan saja lewat di desa ini, Ki. Aku tidak tahu sama sekali, apa yang terjadi. Juga tidak mengerti sikap mereka yang tidak ambil peduli terhadap orang-orang malang ini.”

“Kau tidak bisa menyalahkan mereka, Anak Muda.”

“Kenapa, Ki?”

Orang tua itu tidak langsung menjawab. Tubuhnya lalu diputar berbalik, dan terus saja melangkah meninggalkan rumah ini. Sementara, kening Bayu jadi berkerut. Pemuda berbaju kulit harimau itu benar-benar tidak mengerti sikap semua orang di desa ini. Bahkan orang tua yang mengaku berjuluk Dewa Bayangan Putih itu juga seakan tidak peduli. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka diam termenung, kemudian bergegas melangkah menyusul orang tua itu. Sebentar saja ayunan langkahnya sudah di samping si Dewa Bayangan Putih.


***


Malam terus merayap semakin larut, menyelimuti seluruh Desa Caringin. Sementara, suasana desa sudah kembali sunyi, tanpa seorang penduduk pun yang kelihatan berada di luar. Hanya Bayu dan Dewa Bayangan Putih saja yang masih kelihatan berjalan membelah jalan tanah di desa itu. Bulan yang tertutup awan hitam, seakan tidak ingin memperlihatkan cahayanya di sana. Sehingga, membuat keadaan di desa itu semakin sunyi bagai berada di tengah-tengah kuburan.

“Seharusnya kita kuburkan mereka, Ki. Toh, mereka juga manusia. Bukan binatang,” usul Bayu setelah cukup lama berdiam diri.

“Untuk apa...?” terdengar ringan sekali nada suara Dewa Bayangan Putih. Seakan, sedikit pun tidak ada beban pada mereka yang mati di rumah itu.

“Aku belum tahu kejahatan apa yang mereka lakukan, hingga semua orang begitu membenci. Sampai-sampai mereka mati pun tidak ada yang sudi mengurusnya,” jelas sekali terdengar nada ketidaksenangan kata-kata Bayu.

“Kau bukan orang sini, Anak Muda. Sebaiknya, jangan campuri urusan mereka. Aku berkata begini, demi dirimu juga. Terutama, keselamatan mu,” sergah Dewa Bayangan Putih tanpa menghentikan langkah sedikit pun.

“Kelihatannya kau sudah tahu apa yang terjadi, Ki,” duga Bayu bernada curiga.

“Hm...,” Dewa Bayangan Putih hanya menggumam saja sedikit.

“Kau bersedia menjelaskannya padaku, Ki...?” pinta Bayu langsung.

“Untuk apa?” Dewa Bayangan Putih malah balik bertanya.

Pendekar Pulau Neraka hanya mengangkat bahu saja sedikit Dia sendiri tidak tahu, untuk apa mengetahui semua urusan berdarah ini. Cepat disadari kalau dirinya memang tidak ada hubungannya dengan persoalan yang sama sekali tidak diketahuinya ini.

“Ke mana tujuanmu, Anak Muda?” tanya Dewa Bayangan Putih mengalihkan pembicaraan.

“Ke mana saja kakiku melangkah, Ki,” sahut Bayu seenaknya.

“Kau pengembara?” tanya Dewa Bayangan Putih lagi.

Bayu hanya menganggukkan kepala sedikit saja.

“Sebaiknya, kita berpisah di sini saja, Anak Muda. Kalau kau akan mencari penginapan, ada di ujung jalan ini,” ujar Dewa Bayangan Putih seraya menunjuk ke depan. Bayu membuang pandangannya ke arah yang ditunjuk Dewa Bayangan Putih. Di ujung jalan ini memang terdapat sebuah rumah yang besar. Dan kelihatannya, rumah itu lebih terang dan ramai daripada yang lain. Saat Pendekar Pulau Neraka itu berpaling kembali, dia jadi terkejut. Ternyata orang tua berjubah putih itu sudah tidak ada lagi di sampingnya. Entah ke mana dan kapan perginya, sama sekali tidak diketahuinya.

“Ke mana dia pergi...?” gumam Bayu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Bayu jadi tertegun juga memikirkan orang tua yang baru dikenalnya. Sikapnya memang aneh dan menimbulkan begitu banyak pertanyaan. Tapi, tampaknya dia tahu banyak terhadap semua yang terjadi di Desa Caringin ini. Pendekar Pulau Neraka menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, mencoba menghalau semua pikiran yang timbul dalam benaknya. Kakinya kembali terayun melangkah menuju rumah penginapan yang ditunjukkan Dewa Bayangan Putih tadi. Sementara, monyet kecil yang ada di pundaknya sudah sejak tadi mendengkur, melingkarkan tangannya ke leher pemuda ini.

Namun baru beberapa langkah Bayu berjalan, ayunan langkah kakinya tiba-tiba saja terhenti. Dan kening Pendekar Pulau Neraka jadi kelihatan berkerut. Tiba-tiba saja tubuhnya berbalik. Lalu dengan kecepatan bagai kilat, Bayu melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna. Begitu cepat lesatannya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan tubuhnya saja.

Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah kembali berada di depan rumah yang kelihatan sunyi, setelah seluruh penghuninya terbantai tadi. Bayu menghentikan larinya tepat sekitar tiga langkah lagi di depan pintu yang tetap terbuka ini. Sunyi sekali keadaan sekitarnya, tidak seorang pun terlihat Bahkan gerit bintang malam pun tidak terdengar. Hanya desir angin saja yang terdengar mengusik gendang telinga.

“Hm...,” Bayu menggumam kecil. Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya, mendekati pintu yang sudah hancur. Dan dia berhenti tepat di ambang pintu. Namun, seketika itu juga kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir Bayu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Memang sulit bisa dipercaya, karena mayat-mayat yang ada di dalam rumah ini kini sudah lenyap tidak meninggalkan bekas sama sekali. Bahkan darah yang tadi begitu banyak menggenang di lantai, juga tidak terlihat setetes pun. Tanpa sadar, Bayu menarik kakinya kebelakang beberapa langkah. Namun baru saja bergerak sekitar lima langkah....

Wusss...

“Heh...? Hup”


***


Cepat Bayu melenting ke atas dan berputaran dua kali, tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara desingan disertai hempasan angin yang begitu kuat hampir menerpa tubuhnya. Tampak sebuah benda bercahaya kuning keemasan tiba-tiba melesat begitu cepat bagai kilat di bawah tubuhnya.

“Hap”

Sungguh ringan gerakan Pendekar Pulau Neraka saat kakinya menjejak kembali di tanah. Memang begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sama sekali tidak terdengar suara saat mendarat tadi. Sementara kilatan cahaya kuning keemasan itu terus menghantam tiang penyangga beranda rumah di belakang Pendekar Pulau Neraka.

Brak

Seketika, atap beranda rumah ini roboh terhantam kilatan cahaya kuning keemasan itu. Bayu sempat melompat ke depan, menghindari potongan kayu yang berpentalan di sekitarnya. Kembali kakinya menjejak mantap di tanah dan berdiri tegak dengan tangan kanan tersilang didepan dada. Seakan cakra mautnya yang menempel di pergelangan tangan kanan ingin diperlihatkan pada penyerang gelapnya.

“Siapa kau...?!” teriak Bayu membentak keras.

Begitu keras suara yang dikeluarkan Pendekar Pulau Neraka, hingga menggema ke segala arah. Tapi tidak terdengar sahutan sedikit pun. Keadaan di sekitarnya tetap sunyi, bagai berada di tengah-tengah hutan yang sedang lelap dalam tidur. Pandangan Bayu beredar ke sekeliling dengan sorot mata tajam. Tetap tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi, hingga membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya jadi meremang berdiri.

Dan belum juga Bayu sempat berpikir panjang, terdengar suara tawa mengikik yang begitu keras dan menggema di sekelilingnya. Seakan, suara tawa itu datang dari segala arah. Jelas sekali kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Bayu mencoba untuk mencari arah sumber suara itu, tapi sulit untuk bisa menduga arahnya.

Dan ini membuatnya jadi kebingungan sendiri, karena tidak dapat menentukan dari mana datangnya suara yang membingungkan ini. Di saat Pendekar Pulau Neraka itu tengah kebingungan, mendadak saja....

Slap!
“Heh...?!”

Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba dari depan berkelebat cahaya kuning keemasan yang begitu cepat bagai kilat.

“Hup!”

Cepat Bayu melenting dan berputaran atas dua kali, menghindari terjangan cahaya kuning keemasan itu. Sehingga, serangan itu lewat sedikit saja di bawah tubuhnya. Manis sekali Bayu menjejakkan kaki kembali di tanah. Namun pada saat itu juga...

Wusss...!
“Edan! Hup...!”

Kembali Bayu terpaksa harus berjumpalitan diudara, begitu mendapat serangan cahaya kuning keemasan lagi. Memang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menghadapi serangan yang tidak ketahuan arahnya. Cahaya kuning keemasan itu bagai memiliki nyawa saja, selalu menyerang dari arah yang sulit dengan kecepatan bagai kilat. Dan mau tak mau, Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus berjumpalitan di udara untuk menghindarinya.

“Setan! Hih...!”

Pendekar Pulau Neraka jadi berang juga mendapat serangan yang tidak berwujud ini. Begitu mendapat kesempatan, cepat tubuhnya sedikit merunduk. Dan tangan kanannya langsung dikibaskan ke depan, tepat di saat kilatan cahaya kuning keemasan itu meluruk deras ke arahnya dari depan.

Dan....
Plash!
“Hap...!”

Cepat Bayu mengangkat tangan kanannya keatas kepala, begitu Cakra Maut yang dilepaskannya kembali ke arahnya. Seketika senjata persegi enam itu kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Sementara saat itu juga cahaya kuning keemasan itu segera lenyap, setelah berbenturan dengan Cakra Maut senjata andalan Pendekar Pulau Neraka tadi.

“Hm.... Siapa pun dia, pasti memiliki kepandaian tinggi sekali,” gumam Bayu perlahan, bicara pada diri sendiri.

Kembali keadaan menjadi sunyi, tanpa terdengar suara sedikit pun. Bayu mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari orang yang menyerangnya tadi begitu gencar. Tapi, sulit untuk bisa melihat jelas di dalam kegelapan malam yang begitu pekat. Sementara, bulan terus menyembunyikan diri di balik awan yang menggumpal hitam. Dan angin pun terasa semakin keras menerpa wajah Pendekar Pulau Neraka. Lama juga Bayu menunggu, tapi tidak ada satu pun serangan yang datang. Dan suasana di sekitarnya semakin terasa sunyi mencekam.

“Kau pergi dulu, Tiren,” ujar Bayu seraya menurunkan monyet kecil yang sejak tadi berada di pundaknya.

“Nguk!”

Seperti tahu kalau sedang menghadapi bahaya, monyet kecil yang bernama Tiren itu segera berlari mendekati pohon yang tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka. Ringan sekali gerakannya saat naik ke atas pohon itu. Dan binatang itu duduk diam di cabang pohon. Sementara, Bayu tetap berdiri tegak dengan tangan kanan berada di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam memandangi sekitarnya.

Suasana tetap sunyi, tanpa terdengar suara sedikit pun. Perlahan kaki Bayu terayun ke depan. Matanya lalu melirik sedikit pada monyet kecilnya yang kini sudah berada di tempat aman. Agak tenang juga hatinya melihat Tiren berada di tempat yang aman, cukup jauh dari jangkauan serangan yang mungkin saja datang secara tiba-tiba nanti. Ayunan kakinya baru berhenti setelah berjalan sekitar lima langkah.

“Siapa pun kau, keluarlah...! Tunjukkan dirimu...!” teriak Pendekar Pulau Neraka dengan sua-ra lantang menggelegar, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Belum juga hilang suara Pendekar Pulau Neraka, kembali dikejutkan oleh munculnya satu bayangan putih yang berkelebat begitu cepat bagai kilat Dan tahu-tahu, di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih, dengan sebatang tongkat kayu berada dalam genggaman tangan kanan.

“Dewa Bayangan Putih...,” desis Bayu langsung mengenali orang tua ini.

“Kau benar-benar mencari susah, Anak Muda. Untuk apa datang lagi ke sini, heh...?!” terdengar begitu dingin nada suara Dewa Bayangan Putih.

Kata-kata orang tua itu membuat Bayu jadi tersentak kaget Sungguh tidak disangka kalau orang tua itu akan berkata demikian, seakan-akan tidak menghendaki kehadirannya di sini. Bayu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati,

“Mengenai orang tua aneh ini. Dia selalu muncul tiba-tiba, dan pergi juga tanpa diketahui arahnya.”

“Kau yang tadi menyerangku, Ki?” tanya Bayu langsung, dengan nada curiga tanpa disembunyikan lagi.

“Untuk apa aku menyerangmu...?” Dewa Bayangan Putih jadi mendelik mendengar pertanyaan Pendekar Pulau Neraka.

“Justru kedatanganku untuk menyelamatkan nyawamu yang hanya selembar itu, Anak Muda. Pergilah sebelum kau menyesali kebodohanmu!”

“Heh...?! Kenapa...?” Bayu jadi terkejut.

“Jangan banyak tanya! Cepat pergi sebelum kau menyesal!”

Tapi belum juga habis kata-kata Dewa Bayangan Putih dari pendengaran, sudah terlihat kilatan cahaya kuning keemasan meluruk deras kearah mereka berdua.

“Awas...!” teriak Dewa Bayangan Putih sambil cepat melompat ke belakang.

“Hup!”

Pendekar Pulau Neraka juga cepat-cepat melenting berputar ke belakang menghindari terjangan cahaya kuning keemasan itu. Dan kilatan cahaya kuning keemasan itu pun hanya menghantam tepat di tengah-tengah antara Bayu dan Dewa Bayangan Putih tadi berdiri. Dan seketika itu juga, terdengar ledakan yang begitu dahsyat! Tanah yang terhantam kontan terbongkar, hingga menyembur sampai ke atas bagai ledakan gunung berapi.

Bayu yang baru saja bisa menjejakkan kakinya di tanah, jadi tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau serangan itu dahsyat luar biasa.

“Edan...! Bagaimana jadinya kalau cahaya itu menghantam tubuhku...?” desis Bayu dalam hati.

Sementara, Dewa Bayangan Putih sudah kembali melesat mendekati Pendekar Pulau Neraka. Dan langsung kakinya menjejak di samping pemuda berbaju kulit harimau ini. Tangannya cepat mencekal pergelangan tangan Bayu. Dan....

“Hey...?!”

Bayu jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba tubuhnya terasa tersentak keras. Dan belum lagi bisa menyadari apa yang terjadi, Dewa Bayangan Putih sudah melesat dengan kecepatan bagai kilat tanpa dapat dicegah lagi. Belum juga Bayu mengucapkan sesuatu, tahu-tahu sudah berada begitu jauh dari tempat yang membingungkan dirinya. Begitu tiba di suatu tempat, mereka berhenti. Pendekar Pulau Neraka langsung berdiri di depan Dewa Bayangan Putih dengan tangan masih tercekal erat. Dewa Bayangan Putih baru melepaskan, setelah mendapatkan tatapan yang begitu tajam dari Pendekar Pulau Neraka.


***


DUA

“Apa yang kau lakukan padaku, Ki?” tanya Bayu meminta penjelasan.

“Kau seharusnya berterima kasih padaku, Anak Muda. Itu berarti aku sudah menyelamatkanmu,” sahut Dewa Bayangan Putih dingin, tanpa tekanan sedikit pun pada suaranya.

“Kau selamatkan aku? Selamat dari apa...?” Bayu kembali meminta penjelasan.

“Kematian yang sia-sia,” sahut Dewa Bayangan Putih singkat dan datar.

“Jangan mengada-ada, Ki. Aku masih sanggup menghadapi serangan gila seperti itu. Bahkan yang lebih gila pun pernah kuhadapi,” dengus Bayu jadi kesal juga menghadapi orang tua aneh ini.

“Kau tidak akan bisa menghadapinya, Anak Muda. Bukan manusia yang kau hadapi tadi. Tapi, iblis dari neraka.”

“Aku..., aku semakin tidak mengerti...,” Bayu kelihatan kebingungan sekali mendengar kata-kata Dewa Bayangan Putih.

“Dengar, Anak Muda. Kau sekarang berada dalam neraka yang sewaktu-waktu bisa menghancurkan seluruh kehidupanmu. Hanya dalam pandanganmu saja sepertinya kau berada di sebuah desa. Tapi, sebenarnya desa itu adalah neraka bagi semua orang sepertimu. Termasuk aku ini...,” Dewa Bayangan Putih mencoba menjelaskan.

Tapi penjelasan orang tua itu malah membuat Bayu semakin bertambah bingung. Benar-benar sulit dimengerti semua yang diutarakan Dewa Bayangan Putih barusan. Dan dia juga tidak tahu, apa yang sedang terjadi di sekitarnya selama ini. Baru siang tadi Pendekar Pulau Neraka sampai di Desa Caringin, tapi sudah beberapa kejadian aneh dan membingungkan yang ditemuinya. Bahkan baru saja mengalami peristiwa aneh yang membuat kepalanya semakin dipenuhi segala macam pertanyaan yang sulit dijawab untuk sekarang ini.

“Sudah lebih dari tiga purnama ini aku terus membayanginya. Dan sudah beberapa kali aku bentrok dengannya. Tapi, sampai sekarang belum juga bisa kuhentikan semua perbuatan iblisnya. Bahkan sepak terjangnya semakin ganas. Walaupun, semua yang menjadi korbannya bisa dikatakan bukan orang baik-baik. Hanya saja, dia tidak memandang, sampai sejauh mana kejahatan yang dilakukan korbannya. Memang banyak orang yang senang akan tindakannya. Tapi, bagiku semua yang dilakukannya di luar batas kemanusiaan. Dan aku tidak menyukai tindakan yang tanpa aturan seperti itu,” keluh Dewa Bayangan Putih seakan sedang mengeluarkan segala kekesalan yang terpendam dalam hatinya.

“Siapa orang itu, Ki?” tanya Bayu.

“Entahlah.... Sampai saat ini aku sendiri belum tahu, siapa dia sebenarnya,” sahut Dewa Bayangan Putih agak mendesah nada suaranya. “Walaupun sudah beberapa kali bentrok dengannya, tapi belum pernah wajahnya bisa kulihat dengan jelas. Setiap kali muncul dia selalu berpakaian seperti terbuat dari emas. Dan semua senjata yang digunakannya juga bagai terbuat dari emas.”

Bayu terdiam dengan kening berkerut. Dari cerita Dewa Bayangan Putih tadi, sedikitnya sudah bisa dimengerti apa yang tengah terjadi di Desa Caringin ini. Bayu bisa langsung menduga kalau orang yang melakukan semua pembunuhan itu menyimpan dendam mendalam. Dan mungkin dia bertekad membunuh siapa saja yang pernah melakukan kejahatan. Entah dendam apa yang ada dalam hatinya, hingga membantai semua orang yang pernah berkecimpung dalam dunia hitam. Bahkan mereka yang sudah lama meninggalkan dunia kelam pun tak lepas dari incarannya.

Di dalam hatinya, Bayu langsung sependapat dengan Dewa Bayangan Putih. Apa pun alasannya, tindakan hantam kromo seperti itu tidak dapat dibenarkan. Dan Bayu jadi semakin ingin mengetahui, bahkan kalau bisa menghentikan segala pembunuhan liar seperti itu. Walaupun, yang menjadi korbannya sudah jelas mereka yang berjalan dalam dunia hitam.

“Ada satu lagi yang menjadi pertanyaan di dalam hatiku sampai sekarang ini, Anak Muda,” kata Dewa Bayangan Putih.

“Apa itu, Ki?” tanya Bayu ingin tahu.

“Dia selalu muncul di malam hari. Dan tidak pernah keluar dari Desa Caringin ini. Bahkan semua penduduk desa, seakan-akan begitu senang atas kemunculannya, karena segala bentuk kejahatan memang tidak pernah tenggelam di desa ini,” jelas Dewa Bayangan Putih lagi.

“Apa tidak mungkin orang itu juga penduduk Desa Caringin ini, Ki?” Bayu langsung menduga.

“Dugaan seperti itu sudah ada sejak sepak terjangnya kuamati, Anak Muda. Tapi sampai sekarang ini, aku belum punya bukti kuat untuk memastikannya. “

“Aku akan mencoba menyelidikinya, Ki,” tegas Bayu.

“Tidak semudah apa yang kau kira, Anak Muda. Kau pasti akan mendapat kesulitan dari penduduk desa ini. Mereka tidak akan mau mengatakan siapa dan di mana orang itu.”

“Tapi perbuatannya harus segera dihentikan, Ki. Bukannya tidak mungkin, hal itu akan menjadi kebiasaan. Sehingga, bisa saja dia membunuh siapa saja tanpa pandang bulu.”

Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Entah kenapa, matanya jadi memandangi Pendekar Pulau Neraka dengan sinar yang begitu sukar diartikan. Sedangkan Bayu malah mengarahkan pandangan ke Desa Caringin yang masih tetap lelap dalam buaian malam. Dan saat itu, terdengar jerit seekor monyet Bayu jadi tersentak. Langsung ingatannya tertuju pada Tiren yang ditinggalkannya.

Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa berbuat sesuatu, terlihat seekor monyet kecil berlari-lari sambil mencerecet ribut menghampiri. Bayu langsung mengulurkan tangannya. Dan monyet kecil berbulu hitam itu pun melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka, langsung memeluk erat leher seakan ingin mengatakan sesuatu pada pemuda ini. Bayu hanya menepuk kepala monyet kecil itu dengan lembut, seakan ingin menenangkannya.

“Maaf, aku tadi terpaksa memisahkan kalian berdua,” ucap Dewa Bayangan Putih.

Tidak apa, Ki. Tiren selalu tahu, di mana aku berada,” sahut Bayu seraya tersenyum, dan mengelus kepala monyet kecilnya.

Dewa Bayangan Putih juga tersenyum melihat Tiren merapatkan tubuhnya ke leher Pendekar Pulau Neraka. Tangannya yang kecil melingkari leher pemuda ini, seakan ingin melindungi diri dari terpaan angin yang semakin terasa dingin di tengah malam ini. Sementara bulan perlahan mulai menampakkan cahayanya dari gumpalan awan hitam yang semakin terlihat menipis di angkasa. Cahayanya yang keemasan mulai menyirami Desa Caringin.

“Biasanya tidak akan ada kejadian lagi setelah lewat tengah malam. Sebaiknya, kau beristirahat di tempatku saja, Anak Muda,” ajak Dewa Bayangan Putih, menawarkan.

“Kau punya tempat tinggal di sini, Ki?” tanya Bayu.

“Hanya gubuk kecil yang kubangun di luar desa. Tidak jauh dari sini,” sahut Dewa Bayangan Putih.

Bayu mengayunkan kakinya, begitu Dewa Bayangan Putih juga melangkah meninggalkan tempat ini. Mereka berjalan bersisian sambil terus membicarakan peristiwa yang tengah terjadi diDesa Caringin. Mereka terus menyusuri tepian hutan yang melingkari desa ini, bagai sebuah benteng pertahanan untuk berlindung dari serangan orang luar.


***


Rumah yang ditempati Dewa Bayangan Putih memang tidak begitu besar. Hanya ada satu kamar tidur dan ruangan depan yang menyatu dengan ruangan tengah, yang hanya dipisahkan oleh selembar kain tipis berwarna merah muda. Tidak ada yang bisa dilihat di dalam rumah ini. Bahkan untuk tidur pun hanya berupa sebuah balai bambu beralaskan selembar tikar daun pandan yang sudah lusuh.

“Kau bisa tidur di dalam. Aku cukup di sini saja,” kata Dewa Bayangan Putih, seraya menunjuk hamparan tikar yang menggeletak di sudut ruang tengah.

“Terima kasih, Ki. Sebaiknya, aku saja yang tidur di sini,” sahut Bayu menolak halus.

“Kau tamuku, Anak Muda. Sudah sepantasnya aku memberi yang terbaik untukmu.”

“Bukannya aku menolak, Ki. Tapi aku sudah terbiasa tidur beratap langit Dan aku sudah berterima kasih sekali bisa berada dalam ruangan tertutup, jauh dari gangguan embun.”

Dewa Bayangan Putih mengangkat bahunya sedikit, tidak dapat lagi memaksa Bayu agar mau tidur di dalam kamar. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka sendiri sudah merebahkan dirinya di sudut ruangan yang hanya beralaskan selembar tikar saja. Tak lama Dewa Bayangan Putih mengambil selembar tikar lagi yang tergulung di sudut lain dari ruangan ini. Digelarnya tikar itu, tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka.

“Kenapa tidak di dalam saja, Ki?” tegur Bayu melihat orang tua itu merebahkan dirinya di dalam ruangan ini juga.

“Kau dan aku sama, Anak Muda. Sudah terbiasa tidur beratap langit. Rumah ini memang sudah kosong waktu aku datang. Tidak pantas kalau ada perbedaan di antara kita di dalam rumah ini,” kilah Dewa Bayangan Putih lembut.

Bayu menggeliatkan tubuhnya sedikit, kemudian duduk bersila. Sedangkan Tiren sudah mendengkur di sebelahnya dengan tubuh melingkar memeluk lututnya sendiri. Sementara, Dewa Bayangan Putih tetap telentang melipat kedua tangannya di bawah kepala. Pandangannya lurus, menatap langit-langit ruangan ini. Beberapa saat mereka terdiam, tidak ada yang membuka pembicaraan lebih dulu. Begitu sunyinya, sehingga tarikan napas dan detak jantung mereka berdua jadi terdengar jelas.

“Sejak kapan kau menempati rumah ini, Ki?” tanya Bayu memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.

“Sejak mengintai wanita itu,” sahut Dewa Bayangan Putih.

“Wanita...?”

“Ya! Dia seorang wanita. Dan semua orang selalu menyebutnya Perempuan Bertopeng Emas,” kata Dewa Bayangan Putih menjelaskan lagi.

“Nama yang penuh teka-teki...,” desis Bayu perlahan.

“Memang. Dan, sangat cocok dengan perbuatannya. Dia seperti baru bangkit dari alam kubur, lantas membantai orang-orang yang sepertinya terkait dengan kematiannya,” sambung Dewa Bayangan Putih juga pelan suaranya, seakan bicara pada diri sendiri.

“Tentunya kau sudah cukup banyak tahu tentang dirinya, Ki. Sudah cukup lama kau mengintainya,” ujar Bayu lagi.

“Bisa dikatakan begitu, Anak Muda. Tapi sayangnya, apa yang kuketahui selama ini belum cukup untuk mengetahui tentang dia sebenarnya,” sahut Dewa Bayangan Putih mengakui kekurangannya.

“Dia selalu muncul seperti hantu, Ki?” tanya Bayu lagi.

“Sulit untuk memperkirakannya, Anak Muda. Memang gerakannya seperti hantu. Muncul dan menghilang begitu saja, tanpa dapat diikuti jejaknya. Seakan, dia tidak pernah menapak tanah. Berkali-kali aku selalu mendapat kesukaran untuk mendapatkan jejaknya!” jelas Dewa Bayangan Putih lagi.

Bayu terdiam membisu. Keningnya terlihat berkerut begitu dalam, seakan tengah memikirkan sesuatu. Sementara Dewa Bayangan Putih sudah memejamkan matanya. Tarikan napasnya terdengar begitu halus dan teratur. Sedangkan Bayu masih sulit memejamkan matanya. Pikirannya terus menerawang, mencerna semua cerita Dewa Bayangan Putih.

Pendekar Pulau Neraka merasakan hatinya begitu tergerak untuk menyingkap tabir yang menyelimuti seluruh Desa Caringin ini. Terutama sekali, tabir teka-teki yang menyelimuti wanita yang selama ini dikenal berjuluk Perempuan Bertopeng Emas itu. Wanita yang sudah meminta korban cukup banyak, dari orang-orang yang berkecimpung dalam dunia hitam.

“Aneh...,” gumam Bayu, bicara pada diri sendiri. Beberapa kali kepala Pendekar Pulau Neraka bergerak menggeleng dan keningnya semakin dalam berkerut Beberapa kali pula terdengar suara decakan dari bibirnya yang terus merapat.

Sementara malam terus merayap menjelang pagi. Angin yang bertiup menerobos lubang-lubang dinding rumah ini, menyebarkan udara dingin yang cukup membuat tubuh menggigil. Dan Pendekar Pulau Neraka semakin sulit memejamkan matanya. Entah berapa kali matanya melirik Dewa Bayangan Putih yang dengkurnya sejak tadi sudah terdengar halus. Orang tua itu pasti sudah terlelap dalam buaian mimpi.


***


Desa Caringin memang bukan desa kecil, walaupun dikelilingi hutan yang lebat dan bukit Penduduknya sangat padat, dengan rumah-rumah yang hampir merapat letaknya. Bayu sendiri sempat heran melihat semua penduduknya. Mereka seperti tidak merasa kalau ada seorang pembunuh liar yang hampir setiap malam selalu meminta korban nyawa. Memang tidak ada alasan untuk merasa takut atau cemas, karena pembunuh itu hanya mengambil korban dari orang-orang yang hidupnya berada dalam lembah hitam.

Sejak matahari mulai terbit tadi, Bayu sudah mengelilingi desa ini untuk mengamati keadaan dan suasananya. Semua ini memang membuat dirinya semakin diselimuti berbagai macam pertanyaan. Semua orang yang dijumpai, tidak satu pun yang menampakkan wajah takut atau kecemasan terhadap kemunculan Perempuan Bertopeng Emas itu. Bahkan sampai matahari berada di atas kepala, sama sekali tidak terdengar ada seorang pun yang membicarakan wanita itu.

Bahkan korban-korbannya mereka lupakan begitu saja. Kejadian semalam pun tidak ada yang membicarakannya. Dan ini yang membuat Bayu jadi bertanya-tanya sendiri dalam benaknya.

“Nguk!”

“Kau sudah lapar, Tiren?” tanya Bayu sambil berpaling menatap monyet kecil di pundaknya.

“Nguk!” Tiren mengangguk kecil, seakan mengerti apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka.

“Sebentar kita cari kedai dulu,” ujar Bayu seraya tersenyum.

“Nguk!”

Senyuman Bayu semakin lebar, melihat Tiren menunjuk ke depan. Dan memang, tidak jauh terlihat sebuah kedai yang pengunjungnya tidak begitu ramai. Sebuah kedai yang tidak begitu besar dan cukup terbuka, terletak di bawah pohon beringin yang sangat besar. Hingga, keadaannya terlihat begitu damai dan menyejukkan.

Bayu langsung mengarahkan kakinya menuju ke kedai itu. Pendekar Pulau Neraka berhenti sebentar, begitu berada di depan kedai ini. Hanya ada lima pengunjung yang semuanya berada dalam satu meja. Tapi dari pakaian dan senjata yang dibawa, jelas sekali kalau mereka dari kalangan persilatan. Bayu segera melangkah memasuki kedai itu. Salah seorang dari pengunjung melirik ke arahnya sedikit, tapi kemudian tidak mempedulikannya.

Pemuda berbaju kulit harimau itu mengambil tempat agak ke sudut. Tidak berapa lama, seorang wanita berwajah cantik dan berbaju biru muda agak ketat yang membungkus tubuh rampingnya, datang menghampiri. Senyumnya langsung terkembang begitu manis, membuat setiap mata laki-laki yang memandangnya pasti tidak akan berkedip. Bayu membalas senyuman itu sedikit saja.

“Mau makan, Den...?” sapa wanita itu dengan suara lembut.

“Ya,” sahut Bayu singkat.

“Makan apa?”

“Apa saja yang ada di sini. Juga, sediakan sesisir pisang untuk sahabatku ini,” sahut Bayu sambil menempatkan Tiren di atas meja.

“Sebentar disiapkan, Den.”

Wanita itu kembali meninggalkannya. Tapi hanya sebentar saja, dia sudah kembali lagi bersama seorang laki-laki tua yang membawa sebuah baki cukup besar, penuh berisi makanan serta seguci arak. Dengan sikap lembut disertai senyum manis tersungging di bibir, wanita itu menyiapkan hidangan yang dipesan Bayu di atas meja di depannya. Sementara Bayu hanya memperhatikan saja sekilas.

“Silakan, Den,” ucap wanita itu setelah selesai dengan pekerjaannya.

“Terima kasih,” ucap Bayu seperti tidak peduli.

Tapi ketika wanita itu hendak pergi meninggalkannya, cepat Bayu menangkap pergelangan tangan kirinya. Seketika wanita itu agak terperanjat. Sementara, laki-laki tua yang datang bersamanya tadi sudah tidak terlihat lagi di dalam ruangan kedai yang terbuka ini.

“Kau bisa menemaniku makan di sini...?” Bayu langsung menawarkan.

Wanita itu tersenyum manis sekali. Tanpa bicara sedikit pun juga, dia langsung saja duduk di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Bayu sempat mencium bau harum tubuh wanita yang berwajah cantik ini. Sementara, lima orang yang sudah ada di kedai ini sejak tadi menatap Bayu dengan sorot mata memancarkan ketidaksenangan. Bahkan salah seorang langsung menyemburkan ludahnya dengan sikap sengit. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu sama sekali tidak mempedulikannya. Malah duduknya dirapatkan pada wanita di sebelahnya ini.

“Boleh aku tahu namamu, Nisanak...?” tanya Bayu.

“Tarsih,” sahut wanita itu memperkenalkan diri. “Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji Bayu.

“Ah, Aden bisa saja...,” Tarsih jadi tersipu, dan langsung menunduk mendapat pujian.

Sedangkan Bayu mulai menikmati makanannya. Tiren juga seperti tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Binatang lucu ini begitu nikmat menyantap pisang yang disediakan khusus untuknya. Sementara, Tarsih selalu menambahkan arak ke dalam bambu yang selalu kosong dihirup Pendekar Pulau Neraka. Sementara senyum manis tidak pernah terlepas dari bibirnya yang merah menggairahkan.

“Kau asli penduduk desa ini, Tarsih?” tanya Bayu lagi.

Tarsih hanya menganggukkan kepala saja.

“Dan yang tadi itu, ayahmu...?” tanya Bayu lagi.

“Dia bekas pelayan ayahku,” sahut Tarsih begitu lirih.

“Bekas pelayan...?” kening Bayu jadi berkerut, langsung menghentikan makannya.

“Iya. Hanya Ki Radut yang masih setia mengikutiku. Sedangkan yang lainnya sudah tidak ada lagi sejak...,” Tarsih tidak melanjutkan.

“Orangtuamu sudah meninggal...?” tebak Bayu langsung.

Tarsih hanya menganggukkan kepala saja. Dan wanita ini jadi terus tertunduk dengan wajah mencerminkan duka. Bayu merasa jadi tidak enak atas pertanyaannya yang membuat wanita ini jadi berubah murung.

“Maaf, tidak seharusnya aku banyak bertanya,” ucap Bayu cepat-cepat.

“Ah, tidak apa-apa...,” sahut Tarsih kembali tersenyum.

Bayu membalas senyuman itu dengan manis.

“Sejak beberapa tahun ini, hanya kau yang baru menanyakan itu. Mereka semua sudah melupakannya. Padahal, peristiwa itu selalu saja datang membayangiku,” ujar Tarsih pelan suaranya, sehingga hampir tidak terdengar di telinga Pendekar Pulau Neraka.

Baru saja Bayu membuka mulutnya hendak bertanya lagi, tiba-tiba saja....

“Tarsih...!”
“Oh...?!”

Tarsih jadi tersentak kaget, begitu terdengar suara yang keras menggelegar memanggilnya. Wajahnya seketika jadi memucat, begitu melihat salah seorang dari lima orang pengunjung kedai yang sejak tadi memperhatikan Bayu berdiri dengan berkacak pinggang. Wajahnya kelihatan begitu garang, dengan sepasang bola mata merah menyala. Kumis tebal menghiasi bibirnya yang besar. Kulitnya juga kelihatan hitam terjemur matahari.

Sepasang gelang berwarna hitam berbentuk ular yang menggigit ekornya sendiri, terpasang pada kedua pergelangan tangannya. Tarsih langsung bangkit berdiri dengan tubuh bergetar. Sementara, Bayu hanya memperhatikan saja dengan kelopak mata agak menyipit.

“Ke sini kau...!” bentak laki-laki bertubuh besar dan kekar dengan wajah garang itu kasar.

“Iii.., iya. Sebentar, Kang...,” sahut Tarsih terbata.

Bergegas Tarsih menghampiri dengan sikap begitu takut. Sementara, Bayu terus memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun. Tarsih terbungkuk-bungkuk, begitu sampai di depan laki-laki bertubuh besar dan kekar ini. Dan tiba-tiba saja....

Plak!
“Aouwh...!”
“Heh...?!”

Bayu jadi terlonjak begitu melihat tangan yang besar itu menampar wajah cantik wanita pelayan kedai ini. Sementara, Tarsih langsung berputar dan jatuh menimpa meja. Saat itu, laki-laki bertubuh kekar ini sudah melompat menghampiri. Langsung dicengkeramnya batang leher Tarsih.

Seketika wanita itu jadi terpekik. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, tahu-tahu tubuh Tarsih sudah terangkat. Lalu....

“Perempuan rendah! Mampus kau! Hih...!”

Bruk!
“Akh...!”


***


TIGA

Kembali Tarsih terpekik, begitu tubuhnya dilempar dengan keras sekali ke atas permukaan meja. Begitu kerasnya, hingga meja itu hancur berkeping-keping. Sementara wanita itu jatuh bergulingan di lantai kedai ini. Bayu yang menyaksikan semua itu kontan mendidih darahnya. Tidak mungkin hatinya tak tersentuh melihat seorang wanita lemah tersiksa begitu rupa. Langsung dia melompat, tepat di saat kaki yang besar dan berbulu itu sudah terangkat hendak menginjak tubuh ramping yang tergeletak di lantai tanah ini.

Seketika dilepaskannya tendangan keras ke arah kaki berbulu itu. Dan....

Plak!
“Akh...!”

Tiba-tiba saja laki-laki bertubuh besar itu memekik keras agak tertahan, begitu kakinya terhantam kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan tahu-tahu tubuhnya terpental ke belakang hingga menghantam meja yang ditempatinya bersama empat orang temannya. Mereka jadi begitu terkejut melihat meja yang ditempati hancur tertimpa tubuh besar dan kekar.

Sementara, Tarsih bangkit berdiri dibantu Bayu yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya.

“Keparat..! Monyet buntung!” umpat laki-laki bertubuh kekar itu seraya bangkit berdiri dengan beringas.

Kedua bola mata laki-laki itu semakin merah menyala, melihat Tarsih kini berada dalam dekapan seorang pemuda tampan yang mengenakan baju dari kulit harimau itu. Sedangkan empat orang lainnya sudah langsung mencabut senjata masing-masing. Sedangkan laki-laki bertubuh kekar yang tadi tendangannya dipapak Bayu, langsung mencabut goloknya yang besar dari balik ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit sapi.

“Menyingkirlah. Akan kuhadapi mereka,” ujar Bayu sambil mendorong pelan tubuh wanita pelayan kedai itu.

Sambil meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya, Tarsih melangkah mundur menjauhi Pendekar Pulau Neraka. Saat itu, dari belakang kedai muncul Ki Radut Laki-laki tua itu bergegas menghampiri Tarsih, dan membawanya ke belakang. Tapi, Tarsih berhenti begitu mencapai pintu yang memisahkan ruangan kedai ini dengan bagian belakang. Sementara, Bayu sudah.dikelilingi lima orang yang semuanya sudah menghunus senjata di tangan kanan.

“Monyet jelek! Kau belum tahu siapa kami, heh...?!” bentak laki-laki bertubuh kekar itu menggeram marah.

“Aku tahu, siapa kalian semua. Kalian adalah tikus-tikus busuk yang beraninya hanya pada perempuan lemah,” sahut Bayu begitu dingin nada suaranya.

“Beledek! Kau akan mampus di tangan Lima Begal Sungai Ular!” geram laki-laki bertubuh kekar itu semakin berang.

“Sudah.... Jangan banyak bicara, Kakang. Bunuh saja manusia picik ini!” selak salah seorang, tidak dapat lagi menahan kegeramannya. Dan saat itu juga....

“Mampus kau! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, laki-laki bertubuh kekar itu langsung saja melompat menerjang disertai ayunan goloknya yang besar, tepat mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit harimau ini.

Bet!
“Hap...!”

Tapi hanya dengan egosan kepala sedikit saja, tebasan golok itu bisa dihindari Bayu dengan mudah. Bahkan tanpa diduga-duga, tangan kanan Pendekar Pulau Neraka bergerak cepat Langsung dilepaskannya satu sodokan yang mengarah tepat ke bagian tengah dada laki-laki ini.

Diegkh!
“Hegkh...!”

Laki-laki bertubuh kekar itu langsung terhuyung ke belakang dengan tubuh agak terbungkuk. Melihat itu, empat orang lainnya jadi berang setengah mati. Tanpa diperintah lagi, mereka yang berjuluk Lima Begal Sungai Ular langsung berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka.

“Hup! Yeaaah...!”

Tapi sebelum serangan sampai, Bayu sudah melesat cepat bagai kilat melewati atas kepala mereka. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung melesat keluar dari kedai itu. Indah sekali gerakannya saat berputar di udara, lalu ringan sekali kakinya menjejak tanah. Pendekar Pulau Neraka langsung berdiri tegak, menanti Lima Begal Sungai Ular.

Dan memang seperti yang diduga Pendekar Pulau Neraka, lima orang laki-laki bertampang bengis itu berlompatan keluar mengejarnya. Dua orang langsung saja menyerang dengan senjata golok yang besar ke arah kepala dan kaki. Tapi hanya sedikit melompat dan merundukkan tubuh, serangan serentak itu berhasil dihindari Bayu dengan manis. Bahkan begitu cepat sekali tubuhnya berputar sambil melepaskan tendangan beruntun yang begitu keras disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga dua orang lawannya tidak dapat lagi menghindar.

Diegh! Dugh!
“Aaakh...!”
“Ugh!”

Dan kedua orang itu kontan menjerit begitu tubuhnya terpental akibat tendangan yang sangat keras ini. Sementara, Bayu kembali berdiri tegak. Di pandangnya dua orang lawannya yang bergulingan di tanah sambil mengerang menahan sakit di tubuhnya.

“Serang! Bunuh monyet keparat itu…!”
“Hiyaaa…!”
“Yeaaah…!”


***


Pendekar Pulau Neraka cepat melenting ke atas, begitu kelima orang yang menamakan diri Lima Begal Sungai Ular itu berlompatan menyerang secara bersamaan. Dan pada saat itu juga, dengan gerakan cepat luar biasa Bayu berputaran di udara. Seketika dilepaskannya pukulan beruntun beberapa kali dengan kecepatan tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh. Begitu cepat pukulan-pukulannya, sehingga membuat Lima Begal Sungai Ular tidak dapat menghindari lagi.

Plak plak plakkk...!
“Aaakh...!
“Ugh!”

Dan jeritan-jeritan keras pun terdengar saling sambut, mengiringi tubuh-tubuh yang berpentalan dan jatuh bergulingan di tanah. Entah bagaimana caranya, ditangan kanan Pendekar Pulau Neraka sudah tergenggam lima buah golok yang dirampasnya dari tangan kelima orang lawannya. Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak memadangi Lima Begal Sungai Ular yang bergelimpangan sambil merintih menahan sakit di sekujur tubuhnya, akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

Sambil meringis dan merintih, mereka bangkit berdiri. Tapi mereka jadi terkejut setengah mati, begitu melihat senjata masing-masing sudah berpindah tangan tanpa diketahui lagi.

“Sebaiknya kalian cepat angkat kaki dari sini, sebelum pikiranku berubah untuk menghirup darah kalian!” terdengar begitu dingin suara Bayu. “Nih...!”

Sekali sentak saja, lima buah golok yang berada dalam genggaman tangan Bayu terlempar kedepan, dan tepat jatuh menancap di depan kaki-kaki kelima orang itu. Seketika mereka jadi terbeliak lebar dengan wajah kontan memucat Maka tanpa mengeluarkan suara lagi, mereka bergegas mengambil golok masing-masing, dan langsung berlarian meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.

Bayu jadi tersenyum melihat lima orang laki-laki bertubuh kekar dengan wajah garang itu berlarian seperti lima ekor kelinci melihat harimau. Sambil tersenyum-senyum, Pendekar Pulau Neraka kembali melangkah masuk ke dalam kedai. Sedangkan Tarsih dan pelayan tuanya langsung menyambutnya di pintu kedai. Mereka membawa Pendekar Pulau Neraka kembali duduk di mejanya semula.

“Ada yang sakit...?” tanya Bayu langsung sambil menatap Tarsih yang duduk di samping kirinya

“Tidak,” sahut Tarsih seraya menggeleng.

Bayu memperhatikan wanita itu beberapa saat. Deraan yang diterima Tarsih tadi memang sangat menyakitkan bagi orang biasa. Tapi, kelihatannya Tarsih sama sekali tidak merasakan sakit. Bahkan sedikit pun tidak terlihat luka di wajah maupun tubuhnya. Wanita ini masih tetap kelihatan cantik, walaupun tadi sampai terbanting menghantam meja hingga meja itu hancur berkeping-keping. Sementara Bayu sempat melirik keluar. Dan saat itu juga, keningnya jadi berkerut.

“Aneh...,” desis Bayu tanpa sadar.

“Apanya yang aneh, Den?” tanya Ki Radut yang duduk di seberang meja.

“Ah, tidak apa-apa...,” sahut Bayu langsung mengambil lodong bambu, dan meneguknya hingga tandas tak tersisa lagi.

Tarsih segera menuangkan kembali arak dari dalam guci ke dalam lodong bambu di tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara Bayu kembali melirik keluar kedai. Begitu banyak orang yang lalu-lalang di jalan depan kedai ini. Tapi, tidak ada seorang pun yang peduli dengan pertarungan tadi. Seakan, mereka tidak mau tahu dengan urusan orang lain. Bahkan tidak seorang pun yang melirik ke kedai ini.

“Mereka memang begitu, Kang,” ujar Tarsih, yang kini langsung tidak lagi memanggil Raden pada Bayu.

Kelihatannya wanita itu tahu apa yang ada didalam kepala Pendekar Pulau Neraka. Kata-kata Tarsih membuat kening Bayu jadi berkerut, memandang wajah cantik yang duduk di sebelahnya.

“Semua orang di sini terlalu sibuk dengan diri sendiri. Jadi, tidak ada perhatian sedikit pun dengan sekitarnya,” sambung Ki Radut.

Bayu hanya diam saja. Entah, apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Diteguknya sedikit arak dan diletakkannya lodong bambu itu ke atas meja. Sedangkan tangan kirinya mengusap kepala Tiren. Monyet kecil itu hanya menyeringai, memperlihatkan baris-baris giginya yang kecil dan sedikit runcing.

“Mereka tidak akan peduli dengan sekelilingnya, meskipun desa ini dibayangi kehancuran,” sambung Ki Radut lagi.

“Kehancuran bagaimana, Ki?” tanya Bayu jadi ingin tahu.

“Raden sudah dengar pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di sini...?” Ki Radut malah balik bertanya.

Bayu hanya diam saja. Wajahnya begitu datar, seakan tidak memperhatikan pertanyaan yang dilontarkan laki-laki tua itu. Tapi tatapannya justru begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Ki Radut. Sehingga orang tua itu jadi tidak menentu perasaannya.

“Sudah lebih dari dua purnama terjadi pembunuhan di desa ini, Den. Memang, yang menjadi korban adalah orang-orang jahat. Tapi semua penduduk desa ini tidak menyadari kalau sebenarnya juga terancam. Raden lihat sendiri, mereka begitu tidak peduli, walaupun semalam satu keluarga habis terbantai. Bahkan mayat mereka juga tidak bisa ditemukan lagi,” sambung Ki Radut.

“Apakah tidak ada orang yang berusaha menyelidikinya, Ki?” tanya Bayu.

“Tidak,” sahut Ki Radut seraya menggelengkan kepala.

“Mereka malah senang, Kang. Mereka menganggap pembunuh itu akan membuat desa ini jadi tenteram. Tapi, malah sebaliknya...,” selak Tarsih yang sejak tadi diam saja.

“Kalian merasa terganggu?” tanya Bayu lagi.

“Selama ini memang belum, Den. Tapi, aku merasa tidak lama lagi bencana akan datang ke desa ini,” sahut Ki Radut.

“Bencana apa, Ki?”

“Pembunuh itu pasti akan membantai semua orang di sini satu persatu. Dan aku, rasanya tinggal menunggu waktu saja,” sahut Ki Radut lagi.

Bayu jadi terdiam lagi. Kata-kata Ki Radut yang terakhir membuatnya jadi tertegun. Perkiraan Ki Radut begitu sama dengan dugaannya yang sudah dikemukakan pada Dewa Bayangan Maut semalam. Tapi, inilah yang membuat Bayu jadi merasa aneh. Sejak datang ke desa ini kemarin, baru Ki Radut saja yang mempunyai perasaan seperti itu. Sedangkan semua orang di desa ini sama sekali tidak bisa melihat kalau akan ada bencana yang bakal datang menimpa.

Bayu merasa inilah saatnya bisa memperoleh keterangan lebih banyak lagi. Maka semua yang belum diketahuinya terus ditanyakan pada Ki Radut. Hanya sesekali saja Tarsih menambahkan cerita Ki Radut mengenai keadaan di Desa Caringin ini. Tapi semakin banyak cerita yang masuk, semakin sulit bagi Bayu mencari jalan untuk mengetahui, siapa wanita yang berjuluk Perempuan Bertopeng Emas itu.


***


Bayu tidak bisa lagi menolak ketika Tarsih memintanya untuk menginap di kedainya yang juga menjadi tempat tinggalnya. Dan memang, saat itu matahari sudah sejak tadi tenggelam di balik peraduannya. Suasana di Desa Caringin ini kembali sunyi, tanpa seorang pun terlihat lagi berada di luar rumah. Wanita itu menyediakan satu kamar yang letak jendelanya langsung menghadap keluar. Memang, rumah wanita ini cukup besar, dan berada tepat di belakang kedainya.

Tapi, Bayu belum juga beranjak masuk ke dalam kamarnya. Pemuda berbaju kulit harimau itu masih tetap duduk menghadapi meja di sudut kedai. Dan perhatiannya tidak lepas dari jalan yang langsung menjadi sunyi, begitu matahari tenggelam di ufuk barat. Keanehan memang begitu terasa di desa ini. Dan Bayu sangat merasakannya. Tapi, sungguh tidak diketahuinya, apa yang menjadi sebab dari semua keanehan ini.

Hatinya hanya dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang sukar dijawab. Bayu melirik sedikit, saat telinganya mendengar ayunan langkah kaki yang halus dari sebelah kanan. Tampak Ki Radut datang menghampiri sambil membawa sebuah pelita kecil di tangan ki-ri. Orang tua itu langsung saja duduk di depan Pendekar Pulau Neraka, tanpa dipersilakan lagi. Diletakkannya pelita yang dibawa tepat di tengah-tengah meja. Bayu hanya memperlihatkan saja dengan sudut ekor mata.

“Sudah malam. Tidak tidur, Den...?” tegur Ki Radut lembut.

Bayu hanya tersenyum saja menjawab sapaan lembut dan ramah itu. Ditariknya napas sedikit, dan dihembuskannya dengan kuat. Ekor matanya sempat memperhatikan Tiren yang sudah melingkar di sudut meja ini. Monyet kecil itu memang mudah sekali jatuh tidur kalau perutnya sudah terasa kenyang.

“Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Den...?” ujar Ki Radut lagi masih nada suara sopan.

“Apa yang ingin kau tanyakan, Ki?”

“Boleh aku tahu dari mana asal Raden...?” tanya Ki Radut langsung.

Kembali Pendekar Pulau Neraka tersenyum, tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Baginya pertanyaan seperti ini tidak pernah didengar. Dan pemuda berbaju kulit harimau itu sendiri tidak bisa menjawab pasti, dari mana asalnya. Walaupun Bayu tidak bisa melupakan asal kelahirannya, tapi sudah lama mencoba melupakannya. Dan dia tidak ingin kembali hanyut dalam duka yang mendalam setiap kali teringat asal-usulnya sendiri. Memang begitu menyakitkan....

“Aku datang dari sebuah pulau yang jauh dari sini, Ki. Pulau yang tidak bernama dan tidak ada penghuninya,” sahut Bayu mencoba memuaskan hati orang tua ini.

“Orangtua Raden...?” tanya Ki Radut lagi seperti sedang menyelidiki Pendekar Pulau Neraka.

“Sudah lama tiada. Sejak aku masih bayi,” sahut Bayu pelan.

“Lalu, Raden diasuh siapa di pulau itu?”

“Kakek.”

Ki Radut mengangguk-angguk sambil memperdengarkan gumaman kecil bagai lebah. Sementara Bayu mengarahkan pandangan lurus ke depan, menembus malam yang begitu pekat tanpa disinari cahaya bintang maupun bulan. Malam ini, langit kelihatan hitam tertutup awan tebal bergulung-gulung. Sehingga membuat suasana malam di desa ini semakin terasa mencekam.

“Sejak tadi aku tidak melihat Tarsih. Di mana dia, Ki?” tanya Bayu mengalihkan pembicaraan.

“Dia selalu berada dalam kamarnya kalau sudah malam, Den. Baru besok pagi dia keluar dari kamarnya,” sahut Ki Radut.

“Kasihan dia. Sepertinya batinnya begitu tertekan,” desah Bayu perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.

“Begitulah keadaannya, Den. Kedua orangtua dan seluruh saudaranya mati dibantai perampok. Bahkan rumahnya dibakar bersama semua keluarganya yang mati. Masih untung dia bisa selamat Yah..., kejadian itu memang sudah lama, Den. Ketika Tarsih sendiri juga masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Tapi, dia menyaksikan semua kekejaman yang dialami keluarganya. Akulah yang membawanya pergi dari rumah ketika peristiwa itu terjadi. Tapi yang lebih menyakitkan lagi, semua penduduk di sini tidak ada yang mau menolongnya. Mereka malah hanya menyaksikan saja tanpa berbuat apa-apa, sampai api menghancurkan rumah orangtuanya Tarsih,” tutur Ki Radut dengan suara begitu pelan, mengisahkan kehidupan Tarsih.

“Menyakitkan sekali...,” desis Bayu tanpa sadar.

“Memang sangat menyakitkan, Den. Tapi aku tidak pernah memberi kesempatan padanya untuk melampiaskan dendam. Bahkan aku memelihara dan membesarkannya seperti layaknya seorang wanita. Yah..., kami hidup dari membuka kedai ini saja, Den. Kedai ini kubangun sendiri, di atas bekas reruntuhan rumahnya sendiri,” sambung Ki Radut menceritakan.

“Tapi aku lihat, kedai ini selalu sepi saja, Ki. Tidak seperti kedai-kedai lainnya,” ujar Bayu. Jelas sekali kalau nada suaranya menyelidik.

“Itulah yang membuatku selalu sedih, Den. Sejak membuka kedai ini, tidak ada seorang penduduk pun yang mau datang ke sini. Entah kenapa, mereka seperti merasa jijik makan di sini. Hanya pengembara dan pendatang saja yang singgah disini. Dan kini belum tentu dapat tamu satu atau dua orang dalam sehari. Aku sendiri sebenarnya sudah tidak tahan, Den. Tapi, Tarsih tidak mau meninggalkan desa ini. Dia tetap bertekad untuk hidup di desa ini, walaupun semua orang tidak mau memandangnya, “ sambung Ki Radut dengan bola mata berkaca-kaca.

Sesaat Pendekar Pulau Neraka jadi diam tertegun. Keningnya kelihatan berkerut dengan kelopak mata agak menyipit memandangi wajah orang tua yang duduk di depannya. Entah apa yang ada dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka. Sambil menghembuskan napas panjang, Bayu bangkit berdiri dari kursinya. Sedangkan Ki Radut sempat melirik memperhatikannya.

“Aku mau jalan-jalan dulu, Ki,” ujar Bayu berpamitan.

“Sebaiknya jangan, Den. Bahaya...,” cegah Ki Radut sambil berdiri dari duduknya.

“Kenapa...?” tanya Bayu memancing.

“Apa Raden tidak ingat, ada pembunuh kejam berkeliaran di desa ini...?”

“Aku tahu, Ki. Aku percaya, dia tidak akan mencelakakan aku. Dia hanya mencari orang-orang yang hidup dalam kejahatan saja,” sahut Bayu seraya tersenyum.

Setelah Pendekar Pulau Neraka menepuk lembut pundak laki-laki tua itu, kakinya terayun melangkah. Sekilas matanya sempat melirik Tiren yang masih tetap tidur lelap di atas meja.

“Tolong jaga sahabatku, Ki,” pinta Bayu berpesan.

“Hati-hati, Den. Kembali lagi ke sini, sebelum tengah malam,” pesan Ki Radut.

Bayu hanya tersenyum saja. Sementara kakinya terus terayun melangkah keluar dari dalam kedai ini. Ki Radut sendiri bergegas meninggalkan kedai, sambil menggendong Tiren yang masih saja terlelap dalam tidurnya. Sementara, Bayu terus mengayunkan kakinya semakin jauh meninggalkan kedai itu. Dia menyusuri jalan tanah yang berdebu dan membelah Desa Caringin ini bagai menjadi dua.


***


EMPAT

Belum jauh berjalan meninggalkan kedai Ki Radut, Bayu sudah dikejutkan oleh terdengarnya jeritan panjang yang begitu tinggi dan melengking dari arah timur. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh tingkat sempurna. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka itu, sehingga larinya bagaikan terbang di atas angin. Kedua telapak kakinya bagai tidak menyentuh tanah sedikit pun. Dan yang terlihat hanya bayangan kuning yang berkelebat di antara rumah-rumah penduduk Desa Caringin ini.

“Heh...?!”

Bayu sampai terhenyak, begitu melihat seseorang bertubuh ramping terbungkus pakaian kuning bagai terbuat dari emas. Sosok bertubuh wanita itu tengah bertarung sengit menghadapi tiga orang laki-laki berbadan besar dan kekar bersenjatakan golok. Terlihat dua orang tubuh laki-laki bertubuh kekar telah tergeletak tidak jauh dari tempat pertarungan dengan darah menggenang di sekitarnya. Dan pada saat Pendekar Pulau Neraka bisa mengenali lawan wanita berpakaian serba kuning keemasan itu, sudah kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari salah seorang akibat lehernya terlilit selendang emas. Dan ketika selendang itu ditarik oleh wanita berpakaian serba kuning itu dengan kuat...

Brolll...!

Tidak ada lagi terdengar jeritan di saat kepala orang itu tertarik buntung dari lehernya. Darah seketika menghambur keluar dengan deras sekali dari leher yang buntung tak berkepala lagi. Hanya sebentar saja dia masih mampu berdiri tanpa kepala, kemudian tubuhnya ambruk begitu kepalanya jatuh dari belitan selendang kuning keemasan itu.

Sementara, dua orang lainnya yang tersisa jadi terpaku tidak percaya. Wajah mereka pucat-pasi seperti mayat, melihat tiga orang temannya sudah menggeletak jadi mayat dengan darah menggenang di sekitar tubuhnya. Tapi hanya sebentar saja mereka terpaku bagai tersihir, kemudian....

“Perempuan setan! Kubunuh kau!

Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”

Serentak mereka berlompatan menyerang wanita bertopeng kuning keemasan ini dengan golok yang berkelebatan begitu cepat Tapi saat itu juga, wanita bertopeng kuning keemasan ini juga sudah cepat mengebutkan selendang mautnya. Dan....

Bet!
Bret! Cras!
“Akh!”
“Aaa...!”

Jeritan panjang melengking mengiringi kematian kembali terdengar saling sambut, disusul ambruknya dua orang laki-laki kekar yang dikenali Bayu sebagai dua dari Lima Begal Sungai Ular. Mereka ambruk menggelepar di tanah dengan leher hampir buntung mengucurkan darah segar begitu deras, sebelum bisa berbuat lebih banyak lagi.

Sementara, sosok tubuh ramping berpakaian serba kuning emas itu berdiri tegak sambil membelitkan selendang di pinggangnya yang ramping. Sedangkan Bayu seperti terpana, menyaksikan semua kejadian yang begitu cepat ini. Dalam waktu tidak berapa lama saja, Lima Begal Sungai Ular sudah tidak ada lagi yang bergerak. Mereka mati secara mengerikan sekali. Beberapa saat Bayu berdiri tegak bagai tersihir, memandangi sosok tubuh ramping berpakaian serba kuning emas itu.

“Kau tidak termasuk dalam hitunganku, Bayu. Jangan coba-coba mencampuri urusanku....”

“Heh...?!”

Bayu jadi tersentak kaget mendengar kata kata yang jelas dikeluarkan oleh wanita berbaju kuning itu. Tapi bukan itu yang membuat Bayu jadi terkejut. Ternyata yang mengenakan topeng pada wajahnya itu sudah mengenal namanya. Padahal, rasanya mereka belum pernah bertemu. Dan mungkin baru kali ini berhadapan muka.

“Siapa kau sebenarnya, Nisanak?” tanya Bayu langsung begitu bisa menguasai diri.

“Kau tidak perlu tahu siapa aku, Bayu. Kau juga tidak perlu mencampuri urusan ini. Lebih baik lagi, cepatlah tinggalkan desa ini, sebelum tubuhmu kuhancurkan!” sahut wanita bertopeng emas itu dingin menggetarkan.

“Hm...,” Bayu jadi menggumam perlahan.

Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka memperhatikan wanita berpakaian serba kuning keemasan di depannya. Tapi memang sulit bisa mengenali jelas wajahnya, karena tertutup topeng berbentuk wajah seorang wanita berwarna kuning emas.

“Dari mana kau tahu namaku, Nisanak?” terdengar agak datar nada suara Bayu.

“Aku tahu nama semua orang yang ada di desa ini, walaupun baru datang beberapa saat yang lalu,” sahut wanita itu, masih datar nada suaranya.

“Hm...,” kembali Bayu menggumam perlahan.

“Maaf, aku ada urusan lain yang lebih penting,” ucap wanita itu, seraya membalikkan tubuhnya.

“Tunggu...!” Bayu cepat mencegah, begitu melihat wanita berpakaian serba kuning keemasan yang dikenal berjuluk Perempuan Bertopeng Emas itu hendak pergi meninggalkannya. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung melompat mendekati. Hanya sekali lesat saja, dia sudah berada sekitar lima langkah lagi di depan Perempuan Bertopeng Emas ini.

“Mau apa kau...?!” terdengar ketus nada suara wanita ini.

“Kenapa kau lakukan semua ini? Apa kau ingin membunuh habis semua orang di desa ini...?” tanya Bayu langsung, tanpa menunggu waktu lagi.

“Itu urusanku, Bayu. Sebaiknya jangan ikut campur! Atau, kau ingin kusamakan dengan mereka...?!” bentak Perempuan Bertopeng Emas terdengar kesal suaranya.

Dan begitu kata-katanya selesai, Perempuan Bertopeng Emas ini langsung saja melesat cepat sekali, meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.

“Hey! Tunggu...!” teriak Bayu, mencoba mencegah.

“Hup...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung saja melesat mengejar wanita berpakaian serba kuning keemasan ini. Tapi, Bayu jadi kelabakan juga. Baru beberapa saat wanita itu melesat pergi, ternyata sudah lenyap tidak terlihat lagi. Dan Bayu terpaksa menghentikan pengejarannya. Dirayapinya keadaan sekitarnya, tapi bayangan Perempuan Bertopeng Emas memang sudah tak terlihat lagi. Sungguh cepat sekali menghilangnya, bagaikan hantu saja.

“Ilmu meringankan tubuhnya begitu sempurna, hingga bisa cepat menghilang tanpa diketahui lagi jejaknya. Hm..., benar apa kata Dewa Bayangan Putih. Dia benar-benar seperti hantu yang baru bangkit dari alam kubur,” desis Bayu menggumam pelan, bicara pada diri sendiri.

Beberapa saat Bayu masih mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan sekitarnya. Sorotan matanya sangat tajam, bagai hendak menembus kegelapan malam yang begitu pekat ini.

“Sebaiknya aku kelilingi saja desa ini,” gumam Bayu mengambil keputusan.

Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya kembali sambil memperhatikan sekitarnya tanpa berkedip. Kakinya terus melangkah, mencari kalau-kalau Perempuan Bertopeng Emas itu terlihat lagi. Rasa penasarannya semakin membakar menyulut hatinya. Ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka berhenti, setelah tiba di ujung jalan yang bercabang.

“Hm.... Kalau ke kiri kembali ke rumah Tarsih. Dan ke kanan..., ini jalan menuju pondok yang ditempati Dewa Bayangan Putih,” gumam Bayu bicara sendiri.

Dan setelah Pendekar Pulau Neraka sudah mengambil keputusan, kakinya terayun ke kiri. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja....

“Aaa...!”
“Heh...?!”


***


Bayu tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terdengar jeritan panjang melengking dari sebuah rumah yang berada tepat di sebelah kirinya. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, terlihat sebuah bayangan kuning keemasan melesat cepat bagai kilat, keluar menembus jendela samping rumah itu.

“Hey...!”

Kedua bola mata Bayu seketika terbeliak melihat si Perempuan Bertopeng Emas keluar dari rumah, menyusul terdengarnya jeritan panjang melengking tadi. Tanpa berpikir panjang lagi, Bayu langsung saja melesat mengejar wanita berpakaian serba kuning keemasan itu. Seluruh ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan langsung dikerahkan, hingga bagaikan terbang saja. Dia melesat begitu cepat, melintasi beberapa atap rumah penduduk.

“Hup! Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka mengempos seluruh kepandaiannya mengejar wanita yang dijuluki Perempuan Bertopeng Emas. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian cepat bagai kilat meluruk deras ke arah punggung wanita ini. Tapi begitu jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi....

Bet!
Siap...!
“Heh...?! Hup...!”

Cepat Bayu memutar tubuhnya. Langsung dihindarinya kilatan cahaya kuning keemasan yang tiba-tiba saja melesat ke arahnya, bersamaan dengan berputarnya tubuh Perempuan Bertopeng Emas itu. Kilatan cahaya kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di bawah tubuh Pendekar Pulau Neraka.

“Yeaaah...!”

Kembali Bayu berteriak keras menggelegar, dengan tubuh terus meluruk deras ke arah wanita berpakaian serba kuning keemasan itu. Dan seketika itu juga, satu pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna dilepaskan dengan kecepatan sangat tinggi. Namun hanya meliukkan tubuhnya sekali, wanita ini berhasil menghindari pukulan Pendekar Pulau Neraka.

“Hih! Hiyaaa...!”
Rrrt!
“Haiiit..!”

Bayu cepat-cepat mengegoskan tubuhnya ke kanan, begitu Perempuan Bertopeng Emas ini melepaskan selendang kuningnya. Selendang itu meluruk deras bagaikan seekor ular naga ke arah Pendekar Pulau Neraka. Untung saja Bayu cepat mengegos, sehingga hanya sedikit saja ujung selendang lewat di samping tubuhnya. Namun pada saat itu juga, selendang kuning keemasan itu kembali meliuk cepat, dan langsung meluruk kearah leher Pendekar Pulau Neraka.

“Hap!”

Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit Maka dengan cepat sekali tangan kirinya diangkat Lalu....

Tap!
“Ikh...?!”

Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik kaget, tidak menyangka kalau Bayu bisa menangkap ujung selendang emasnya. Saat itu juga, selendangnya dihentakkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Hih!”

Bayu jadi tersentak juga. Tubuhnya sampai terlonjak ke depan sedikit, tapi cepat mengerahkan tenaga dalamnya. Segera ditahannya tarikan selendang emas yang berada dalam genggaman tangan kirinya ini. Namun pada saat itu juga, tangan kiri Perempuan Bertopeng Emas mengibas ke depan. Maka seketika itu juga dari telapak tangannya melesat tiga buah benda bulat berwarna kuning keemasan yang begitu cepat, bagai anak panah lepas dari busur.

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat Bayu melenting ke atas tanpa melepaskan ujung selendang emas itu dari genggaman tangan kirinya. Dan tiga buah benda berwarna kuning keemasan pun melesat lewat di bawah telapak kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun pada saat Bayu berada di udara, tiba-tiba saja Perempuan Bertopeng Emas itu melesat cepat bagai kilat, langsung memberikan satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri.

“Hiyaaa...!”
“Upths...!”

Terpaksa Bayu melepaskan ujung selendang emas itu. Lalu, tubuhnya cepat berputar dua kali ke belakang, menghindari pukulan tangan kiri wanita berpakaian serba kuning keemasan ini. Saat itu juga si Perempuan Bertopeng Emas melesat cepat meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.

“Jangan lari kau! Hiyaaa...!”

Bayu tidak mau lagi membuang-buang waktu. Didukung oleh pengerahan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna, tubuhnya langsung saja melesat mengejar Perempuan Bertopeng Emas itu. Dan kini kejar-kejaran pun terjadi di antara rumah-rumah penduduk Desa Caringin.

Bahkan mereka sesekali terlihat berlompatan dari satu atap, ke atap rumah lainnya. Dan ketika tiba di jalan dekat rumah Tarsih, mendadak saja Perempuan Bertopeng Emas itu menghilang dari pandangan Pendekar Pulau Neraka.

“Heh...?! Ke mana dia...?” desis Bayu jadi celingukan. Terpaksa Bayu menghentikan pengejarannya.

Kini Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di tengah-tengah jalan, tepat di depan kedai Tarsih. Beberapa saat pandangannya beredar ke sekitarnya dengan sinar mata begitu tajam. Tapi, sedikit pun tidak terlihat bayangan wanita berpakaian serba kuning keemasan itu. Bahkan tidak ada seorang penduduk pun yang keluar dari dalam rumahnya.

Padahal jelas sekali kalau malam yang sunyi ini tadi sudah terpecah oleh jeritan melengking kematian dan teriakan-teriakan Bayu yang keras saat mengejar si Perempuan Bertopeng Emas. Tapi, keadaan di desa ini tetap sunyi seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

“Hm...,” perlahan Bayu menggumam. Dan kaki Pendekar Pulau Neraka segera terayun melangkah menghampiri kedai, saat melihat titik cahaya lampu pelita keluar dari bagian belakang kedai itu.


***


“Raden.... Syukurlah, kau tidak apa-apa,” ujar Ki Radut yang baru keluar dari dalam kedai membawa pelita yang nyala apinya begitu kecil.

“Aku tadi mendengar jeritan, kemudian teriakan-teriakan seperti orang bertarung.”

“Aku mengejar wanita itu, Ki,” jelas Bayu.

“Oh, Perempuan Bertopeng Emas...?” desis Ki Radut agak terbeliak kedua bola matanya.

Laki-laki tua itu jadi kelihatan bergetar tubuhnya. Cepat-cepat dihampirinya Pendekar Pulau Neraka, dan langsung ditariknya masuk ke dalam kedai. Bayu tidak membantah. Diturutinya saja ajakan Ki Radut. Mereka kemudian duduk menghadapi sebuah meja di dalam kedai yang gelap keadaannya ini. Ki Radut meletakkan pelitanya di atas meja. Sesaat dipandanginya wajah Bayu yang terus saja mengarahkan pandangan ke depan jalan.

“Dia menghilang di sekitar sini, Ki,” ujar Bayu memberitahu lagi tanpa berpaling sedikit pun.

“Di sini...?!” kembali kedua bola mata Ki Radut terbeliak lebar.

“Kau tidak melihatnya, Ki?” tanya Bayu.

“Tidak...,” sahut Ki Radut agak bergetar suaranya.

Pendekar Pulau Neraka kembali terdiam. Sementara pandangannya terus beredar ke jalan yang masih tetap sunyi tanpa seorang pun terlihat di sana. Sementara bulan di langit mulai memancarkan cahayanya, setelah awan hitam yang menutupinya tersingkap tertiup angin. Siraman cahaya bulan membuat penglihatan Bayu semakin leluasa mengamati jalan di depan kedai ini.

“Sebaiknya kau tidur saja, Ki. Kalau perlu, lihat Tarsih. Apa dia masih ada di dalam kamarnya atau tidak,” ujar Bayu seraya berpaling menatap orang tua yang duduk di seberang meja.

“Baik..., baik. Aku lihat Tarsih dulu,” sahut Ki Radut jadi tergagap.

Bergegas laki-laki tua itu melangkah meninggalkan Pendekar Pulau Neraka seorang diri di dalam kedai. Ayunan langkah kakinya agak tergesa. Dan Bayu sempat memperhatikannya. Seketika keningnya jadi berkerut, melihat ayunan langkah kaki Ki Radut yang begitu ringan, seperti seorang tokoh peralatan berkepandaian tinggi. Bahkan Bayu hampir tidak mendengar hentakan kakinya pada lantai kedai yang hanya dari tanah ini.

Namun belum juga Bayu bisa membuka mulutnya untuk memanggil, Ki Radut sudah menghilang di balik pintu yang menghubungkan kedai dengan rumah tinggal. Terpaksa mulutnya dikatupkan lagi. Tapi entah kenapa, perasaan hatinya mengatakan lain. Sambil menghembuskan napas yang terasa begitu berat, pemuda berbaju kulit harimau itu bangkit berdiri dari duduknya. Sebentar pandangannya dilayangkan ke depan.

Kemudian kakinya terayun, melangkah masuk ke bagian belakang kedai ini. Cukup gelap keadaan di dalam, karena tidak satu pelita pun menyala. Hanya cahaya bulan redup saja yang menerangi dari lubang-lubang diatas jendela dan pintu rumah ini. Bayu terus melangkah melintasi ruangan yang cukup luas. Dan ketika baru saja melewati pintu, tiba-tiba saja....

“Eh...?!”
“Oh...?!”
“Tarsih...,” desis Bayu terkejut.

Hampir saja mereka bertabrakan, kalau saja Bayu tidak cepat menarik kakinya selangkah ke belakang. Tarsih sendiri juga kelihatan terkejut sekali bertemu Pendekar Pulau Neraka di ruangan ini. Namun rasa keterkejutannya bisa cepat disembunyikan, dan cepat memberi senyum yang begitu manis. Dan ini membuat Bayu terpaksa harus menelan air liurnya sendiri melihat senyuman yang begitu manis dari wanita cantik ini. Entah kenapa, mendadak saja Bayu merasakan hatinya jadi tidak menentu.

“Kau belum tidur, Tarsih?” tanya Bayu mengurangi ketidakmenentuan hatinya.

“Aku baru dari pergi,” sahut Tarsih. “Ini baru mau ke kamar lagi. Kakang sendiri, kenapa belum tidur?”

“Udara panas malam ini. Aku sulit memejamkan mata,” sahut Bayu sekenanya.

“Memang beberapa hari ini cukup panas udaranya. Mungkin sebentar lagi akan datang musim hujan,” balas Tarsih.

Entah sengaja atau tidak, Tarsih mengipaskan dadanya dengan belahan bajunya sendiri. Sehingga, dua gundukan putih yang begitu indah jadi sedikit terbuka. Maka seketika tatapan mata Bayu jadi tidak berkedip menyorotinya. Kembali Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus menelan ludahnya sendiri.

“Tidurlah...,” ujar Bayu seraya hendak melangkah meninggalkan wanita ini.

Tapi belum juga mengayunkan kakinya, Tarsih sudah mencekal pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Dan seketika itu juga mereka jadi saling berpandangan dengan sorot mata yang begitu sukar diartikan. Perlahan Tarsih mendekati pemuda ini, hingga tubuhnya begitu dekat hampir merapat. Saat itu juga, Bayu mencium bau harum yang menyebar dari tubuh wanita ini. Dan jantungnya pun semakin bertambah cepat berdetak.

“Kakang...,” terdengar desah suara Tarsih.

Perlahan Tarsih mulai mendekatkan wajahnya ke wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Dan hembusan napasnya mulai terasa hangat, menerpa kulit wajah Bayu. Dan pemuda itu merasakan tenggorokannya jadi kering seketika.

Tarsih memang cantik. Bentuk tubuhnya juga bisa membuat setiap mata laki-laki yang memandangnya tidak akan berkedip. Dalam pandangan mata laki-laki, Tarsih memang sangat menggairahkan. Dan Bayu tidak memungkiri kelebihan yang ada pada diri wanita ini.

Tapi ketika Tarsih hendak melingkarkan tangannya ke leher, Bayu cepat mencekalnya dan menurunkan tangan itu lagi. Kakinya segera ditarik ke belakang satu langkah, hingga terdapat jarak yang cukup untuk menghentikan rayuan wanita ini.

“Aku tamu di sini, Tarsih. Tidak baik berbuat seperti itu,” ujar Bayu mencoba menolak halus.

“Kenapa...? Semua laki-laki selalu menginginkan begitu padaku. Apa aku sekarang tidak cantik lagi, Kakang...?” jelas sekali kalau nada suara Tarsih tersinggung atas penolakan Pendekar Pulau Neraka.

“Kau sangat cantik. Bahkan tidak ada wanita lain di desa ini yang bisa menandingi kecantikanmu,“ puji Bayu tidak ingin membuat wanita itu semakin merasa tersinggung.

“Tapi, kenapa kau menolakku, Kakang?” tanya Tarsih ingin tahu.

“Bukannya menolakmu, Tarsih. Tapi aku...,aku...,” terasa sulit bagi Bayu untuk mengemukakannya.

“Ayo ke kamarku, Kakang. Tidak ada yang bisa mengganggu di sana,” bujuk Tarsih mengajak.

Wanita itu kembali mencekal pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan entah kenapa, kali ini Bayu jadi sulit menolak lagi ajakan wanita ini. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Bayu mengikuti saja ayunan langkah kaki wanita ini. Dan mereka pun masuk ke dalam kamar yang langsung tertutup pintunya.


***


LIMA

Pendekar Pulau Neraka menggeliat saat merasakan kehangatan sinar matahari yang menyirami seluruh tubuhnya. Seketika Bayu jadi terkejut, begitu membuka matanya. Ternyata dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang sangat indah, bagai kamar seorang putri bangsawan. Cepat pemuda berbaju kulit harimau ini menggerinjang bangkit dari pembaringan yang beralaskan kain sutera merah muda itu.

Dan ketika kakinya hendak terayun keluar, pintu kamar itu sudah terbu-ka. Ternyata dari luar kamar ini Tarsih muncul bersama senyumnya yang manis tersungging di bibir. Wanita itu langsung masuk dan menutup kembali pintunya.

“Kau sudah bangun, Kakang...?” tegur wanita itu lembut.

Bayu hanya diam saja memandangi. Sedangkan yang dipandangi seperti tidak peduli. Diambilnya guci arak dari atas meja kecil di sudut kamar ini. Lalu isinya dituangkan ke dalam mangkuk perak. Dengan bibir yang selalu merah terus menyunggingkan senyum, mangkuk perak itu disodorkan pada Pendekar Pulau Neraka.

“Minumlah, Kakang. Arak ini bisa memulihkan kembali tenagamu, setelah terkuras semalam,” ujar Tarsih tetap lembut suaranya.

Bayu menerima mangkuk perak itu, dan langsung meneguk habis isinya. Dan Tarsih mengambil gelas yang sudah kosong itu, lalu meletakkannya di atas meja kecil di sudut ruangan. Kemudian dia duduk di tepi pembaringan. Sengaja tangannya menyingkapkan kain yang dikenakan, hingga menampakkan sepasang paha yang berkulit putih dan indah sekali.

Bayu sempat melirik sedikit ke arah paha yang menantang itu. Seketika terbayang kembali semua yang sudah dilakukannya di dalam kamar ini semalam bersama Tarsih. Wanita itu bukan hanya memiliki wajah cantik dan tubuh indah menggairahkan, tapi juga memiliki gairah yang begitu menggelora. Bahkan Bayu merasakan dirinya bagai berada dalam taman kayangan para dewi yang dikelilingi ribuan bidadari cantik.

Bayu memang sulit untuk bisa melupakannya, bagaimana terlena dalam belaian asmara yang dibangkitkan wanita ini semalam. Dan memang, Tarsih begitu menggairahkan. Bahkan pagi ini juga kelihatan lebih cantik dan menggairahkan. Detak jantung Bayu jadi semakin tidak beraturan, saat Tarsih mulai membuka bagian atas pakaiannya. Sehingga, belahan dadanya terlihat begitu jelas dan indah.

“Kau begitu gagah sekali semalam, Kakang. Rasanya aku ingin selalu dekat bersamamu,” ujar Tarsih lembut, disertai senyum menggairahkan tersungging di bibir yang selalu basah memerah.

“Hhh...!” Bayu hanya menghembuskan napas panjang saja. Pendekar Pulau Neraka tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. Ingin rasanya dia melawan gairah yang mulai menggelora dalam rongga dadanya. Tapi semakin keras berusaha memberontak, semakin besar nyala api gairahnya.

Dan tiba-tiba saja, Bayu merasakan pandangannya jadi nanar. Kepalanya pun terasa jadi pening. Tubuhnya terasa jadi limbung. Dan belum juga bisa menyadari apa yang tengah terjadi, kesadarannya pun seketika menghilang. Yang ada pada dirinya kini hanya gairah yang begitu membara, menggelegak dalam dada.

Kini Bayu tidak kuasa lagi bertahan. Kakinya mulai terayun menghampiri wanita yang kini sudah terbaring di atas ranjang dengan pakaian setengah terbuka.

“Ayo, Kakang. Kita ulangi lagi kenikmatan semalam...,” desah Tarsih pelan.

Sebentar saja Bayu berdiri di sisi pembaringan ini, kemudian menjatuhkan dirinya di atas pembaringan. Terlihat bergetar tangannya saat bergerak menyusuri sebentuk paha putih yang mulus tanpa cacat. Sementara Tarsih mulai merintih dan mendesah, merasakan lembutnya belaian jari-jari tangan pemuda ini yang merayap semakin naik mendekati pangkal pahanya.

“Ah, Kakang...,” desah Tarsih lirih.

Wanita itu tidak dapat lagi menguasai gejolak gairahnya. Langsung direngkuhnya tubuh Pendekar Pulau Neraka ke dalam pelukannya. Sementara, Bayu sendiri sudah tidak lagi ingat akan dirinya. Seluruh tubuh dan pikirannya sudah tertutup gejolak gairah yang begitu membara tanpa dapat dibendung lagi. Dan di dalam kamar ini, peristiwa semalam kembali terulang. Tidak ada lagi kata-kata yang terucap. Semua berganti desahan dan rintihan lirih, disertai dengusan napas memburu bagai kuda pacu.


***


“Oh....”

Bayu merintih lirih sambil memegangi kepalanya yang terasa begitu berat dan pening. Beberapa kali kepalanya digelengkan, mencoba mengusir rasa pening yang menyengat seluruh kepalanya. Dan perlahan kelopak matanya mulai di buka. Seketika Pendekar Pulau Neraka jadi tersentak kaget setengah mati, begitu mendapati dirinya ki-ni berada di dalam sebuah kamar berdinding bilik bambu. Dan tubuhnya terbaring di atas dipan bambu, hanya beralaskan selembar tikar lusuh.

“Kau sudah bangun, Bayu...?”
“Oh...?!”

Bayu kembali terkejut begitu mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Cepat kepalanya berpaling ke arah datangnya suara itu. Bergegas pemuda itu bangkit duduk begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah putih duduk di atas kursi bambu tidak jauh dari dipan ini.

“Ki Dewa Bayangan Putih...,” desis Bayu lirih, langsung mengenali orang tua berjubah putih itu.

“Jangan banyak bicara dulu, Bayu. Kerahkan hawa murnimu. Atur seluruh peredaran darahmu. Bersemadilah barang sebentar,” ujar Dewa Bayangan Putih memberi petunjuk.

Bayu menuruti saja kata-kata orang tua itu. Segera diambilnya sikap bersemadi. Dan kelopak matanya langsung terpejam rapat. Beberapa kali ditariknya napas panjang panjang dan dihembuskannya perlahan-lahan. Seluruh pikiran dan jiwanya dikosongkan. Perlahan Bayu merasakan peredaran darahnya kembali pulih seperti semula.

Dan rasa pening pun berangsur menghilang, begitu hawa murninya dikerahkan dari pusat tubuhnya. Hanya sebentar saja Bayu bersemadi untuk memulihkan keadaan tubuhnya. Dan kelopak matanya kembali dibuka. Pandangannya langsung tertuju pada Dewa Bayangan Putih yang masih tetap duduk di kursi, dekat pintu kamar berdinding bilik bambu ini. Sebentar Bayu mengedarkan pandangan, mengamati kamar ini. Dia ingat, kalau sekarang berada di rumah yang ditempati Dewa Bayangan Putih, dan letaknya tidak jauh dari Desa Caringin.

“Apa yang terjadi padaku, Ki?” tanya Bayu langsung ingin tahu.

“Seharusnya kau sudah tahu, apa yang terjadi pada dirimu, Bayu. Aku menemukanmu tergeletak di tepi hutan. Hampir saja tubuhmu habis dimakan burung-burung bangkai. Untung saja aku segera datang dan membawamu ke sini,” ujar Dewa Bayangan Putih.

Bayu jadi terdiam. Dicobanya untuk mengingat semua peristiwa yang sudah dialaminya selama ini.

“Ingat-ingatlah, Bayu. Apa saja yang kau alami selama berada di Desa Caringin,” ujar Dewa Bayangan Putih, mencoba membantu ingatan Pendekar Pulau Neraka.

Sedikit demi sedikit, Bayu mulai bisa merangkai satu persatu peristiwa yang dialaminya sela-ma berada di Desa Caringin. Dan yang terakhir diingatnya, dia berada di dalam sebuah kamar indah bersama Tarsih, wanita cantik pemilik kedai di ujung jalan Desa Caringin. Hanya sampai di situ saja Bayu bisa mengingatnya. Selebihnya, dia tidak tahu lagi apa yang telah terjadi pada dirinya.

“Di mana Tiren, Ki?” tanya Bayu begitu teringat monyet kecilnya.

“Aku hanya menemukan dirimu saja, Bayu. Aku tidak tahu, di mana monyet kecilmu itu,” sahut Dewa Bayangan Putih.

“Oh...,” Bayu melenguh panjang sambil memegangi kepalanya.

“Ada apa, Bayu?” tanya Dewa Bayangan Putih.

“Tiren pasti masih bersama mereka,” ujar Bayu pelan, seperti bicara untuk diri sendiri.

“Siapa mereka?” tanya Dewa Bayangan Putih lagi.

“Tarsih dan pelayan tuanya,” sahut Bayu masih dengan suara pelan.

“Tarsih...?”

“Ya..., wanita pemilik kedai yang ada di ujung jalan desa. Aku sempat menginap semalam di sana. Dan Tiren kutinggalkan di sana waktu mengejar Perempuan Bertopeng Emas. Ah...! Aku tidak tahu lagi, apa yang terjadi pada diriku...,” terdengar lirih suara Bayu.

“Barangkali monyetmu itu masih ada di sana, Bayu. Sebaiknya, cepat kembali ke sana sebelum terjadi sesuatu padanya. Kau sangat menyayanginya, bukan...?” ujar Dewa Bayangan Putih mendorong semangat Pendekar Pulau Neraka.

“Aku memang harus ke sana, Ki,” sahut Bayu mantap.

Cepat Pendekar Pulau Neraka turun dari dipan bambu ini. Dewa Bayangan Putih juga bangkit berdiri dari kursinya. Sebentar Bayu mengamati keadaan dirinya. Hatinya jadi lega begitu melihat Cakra Maut masih tetap menempel di pergelangan tangan kanannya. Senjata itu memang tidak boleh tercecer sembarangan dari Pendekar Pulau Neraka.

“Aku pergi dulu, Ki,” pamit Bayu.

“Hati-hatilah. Mungkin kau akan mendapat rintangan di sana,” ujar Dewa Bayangan Putih menasihati.

Bayu tersenyum dan menganggukkan kepala sedikit Kemudian dia melangkah keluar dari dalam kamar, dan terus berjalan keluar dari rumah kecil yang begitu sederhana ini. Sementara, Dewa Bayangan Putih mengantarkan hanya sampai diambang pintu saja. Dan Bayu sendiri terus berjalan menuju Desa Caringin tanpa menoleh lagi.

Sementara Dewa Bayangan Putih masih tetap berdiri di ambang pintu memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka ke Desa Caringin. Sampai punggung pemuda itu lenyap dari pandangan, Dewa Bayangan Putih masih tetap berada di ambang pintu rumah kecil yang ditempatinya.

“Anak Muda...,” desah Dewa Bayangan Putih seraya menggelengkan kepala sedikit beberapa kali.

Perlahan orang tua itu memutar tubuhnya berbalik dan hendak masuk kembali ke dalam rumah ini. Tapi belum juga kakinya terayun melangkah, mendadak saja....

Wusss...!
“Heh...?! Hap!”

Dewa Bayangan Putih cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, begitu terasa adanya hembusan angin yang cukup kencang dari arah belakang. Dan seketika itu juga, tongkatnya bergerak cepat ke sebelah kanannya. Tepat pada saat itu, terlihat kilatan cahaya kuning keemasan meluncur deras dari arah belakang orang tua ini. Dan....

Trak!
“Hup...!”

Dewa Bayangan Putih cepat melompat ke belakang sambil berputaran dua kali di udara, begitu tongkatnya terasa membentur sebuah benda yang sangat keras dan berwarna kuning keemasan. Sedangkan benda berbentuk bulat sebesar mata kucing itu kembali terpental balik ke belakang. Dan tepat ketika benda itu menghantam pohon hingga tumbang, Dewa Bayangan Putih manis sekali menjejakkan kakinya di depan rumah yang ditempatinya selama ini.

“Hik hik hik...!”

“Perempuan Bertopeng Emas...,” desis Dewa Bayangan Putih, begitu tiba-tiba terdengar tawa mengikik yang menggema bagai datang dari segala arah.

Dan belum lagi orang tua itu bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan kuning keemasan berkelebat begitu cepat bagai kilat Tahu-tahu, di depan Dewa Bayangan Putih sudah berdiri sesosok tubuh ramping berbaju kuning keemasan. Wajahnya tertutup topeng berwarna kuning seperti terbuat dari emas, sehingga sulit dikenali.

“Mau apa kau datang ke sini?” terasa begitu dingin nada suara Dewa Bayangan Putih.

“Seharusnya kau sudah tahu, untuk apa aku datang ke sini Dewa Bayangan Putih,” sahut Perempuan Bertopeng Emas tidak kalah dingin.

Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Sudah bisa ditebak, kemunculan Perempuan Bertopeng Emas ini tentu untuk mencabut nyawanya. Tapi tentu saja selembar nyawanya tidak ingin diserahkan begitu saja. Walaupun disadari kalau kepandaian Perempuan Bertopeng Emas itu belum bisa diperkirakannya.

“Kau belum pantas menantangku, Nisanak. Kepandaian yang kau miliki hanya untuk cacing-cacing tanah tak berguna,” sengaja Dewa Bayangan Putih memanasi.

“Hik hik hik...!”

Tapi kata-kata Dewa Bayangan Putih hanya ditanggapi dengan suara tawa mengikik kecil. Sementara, Dewa Bayangan Putih sendiri sudah menggenggam erat tongkatnya di tangan kanan. Sementara ujung tongkatnya menekan kuat ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tidak berkedip memandangi wanita bertopeng kuning keemasan yang berada sekitar setengah batang tombak di depannya.

“Sebutlah nama leluhurmu sebelum kau terbang ke neraka, Dewa Bayangan Putih,” desis Perempuan Bertopeng Emas sinis.

“Aku khawatir, justru kau yang akan menggali lubang kuburmu sendiri, Nisanak,” sambut Dewa Bayangan Putih, tidak kalah sinisnya.

“Hik hik hik! Ajalmu sudah tiba, Dewa Bayangan Putih. Bersiaplah, yeaaah...!”

Sambil membentak nyaring, Perempuan Bertopeng Emas langsung saja mengebutkan selendangnya yang berwarna kuning keemasan dengan kecepatan begitu tinggi. Selendang yang kelihatan halus dan lembut itu meluruk deras bagai seekor naga menyambar ke arah kepala Dewa Bayangan Putih.

“Haiiit...!”

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, ujung selendang itu lewat di samping kepala Dewa Bayangan Putih. Lalu cepat sekali tongkat putihnya diangkat, dan langsung disabetkan ke bagian tengah selendang itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, selendang itu bisa meliuk indah menghindari sabetan tongkat kayu orang tua ini. Dan dengan kecepatan sukar diikuti pandangan mata biasa, selendang kuning keemasan itu melesat bagai kilat mengarah ke kaki orang tua ini.

“Hup! Yeaaah...!”


***


Dewa Bayangan Putih cepat melesat ke atas, menghindari sambaran selendang kuning keemasan. Tapi begitu berada di atas tanah, tangan kiri Perempuan Bertopeng Emas sudah bergerak cepat, mengibas ke depan. Maka seketika itu juga, tiga buah benda bulat sebesar mata kucing berwarna kuning keemasan, melesat ke arah tubuh orang tua ini.

“Hap! Yeaaah...!”

Dewa Bayangan Putih cepat memutar tongkatnya. Sehingga tiga buah benda bulat kuning keemasan itu berpentalan balik, begitu membentur putaran tongkat orang tua ini. Manis sekali Dewa Bayangan Putih meluruk turun, dan menjejakkan kakinya kembali di tanah. Namun belum juga tubuhnya bisa ditegakkan, Perempuan Bertopeng Emas sudah menyerang cepat bagai kilat dengan selendangnya lagi.

“Hiyaaa...!”
Bet!

Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Dewa Bayangan Putih untuk menghindari serangan selendang kuning keemasan itu. Maka langsung tongkatnya diputar dan dihantamkannya tepat dibagian ujung selendang itu.

Rrrt...!
“Heh...?!”

Dewa Bayangan Putih jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba tongkatnya terbelit ujung selendang emas. Cepat tongkatnya ditarik disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali, belitan selendang itu demikian kuat. Sehingga sulit dilepaskannya. Dan belum juga Dewa Bayangan Putih bisa menguasai tongkatnya, Perempuan Bertopeng Emas sudah melesat cepat seperti kilat sambil berteriak nyaring.

“Hiyaaat..!”
“Upths...!”

Cepat-cepat Dewa Bayangan Putih membanting tubuhnya ke tanah. Dan dia langsung bergulingan beberapa kali menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan Perempuan Bertopeng Emas.

“Hup!”

Kembali dengan gerakan cepat Dewa Bayangan Putih melompat bangkit berdiri. Namun pada saat itu juga, selendang yang masih membelit tongkatnya bergerak memutar begitu cepat, sehingga Dewa Bayangan Putih tidak sempat lagi menyadarinya. Dan....

Rrrt!
“Ikh...!”

Dewa Bayangan Putih jadi terpekik kaget setengah mati, begitu tahu-tahu seluruh tubuhnya sudah terlilit selendang Perempuan Bertopeng Emas ini. Dan pada saat itu juga, wanita ini sudah melompat sambil melepaskan satu pukulan menggeledek yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Hiyaaa...!”
Diegkh!
“Akh...!”

Dewa Bayangan Putih kontan menjerit, begitu pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dqalam tinggi menghantam tepat di dadanya. Seketika tubuhnya, terpental jauh ke belakang dengan tubuh masih terbelit selendang yang begitu kuat Beberapa kali orang tua itu bergulingan di tanah.

Dan belum juga bisa membebaskan diri dari libatan selendang, Perempuan Bertopeng Emas sudah melancarkan serangan dahsyat lagi, sambil berteriak keras menggelegar.

“Mampus kau! Yeaaah...!”

Prak!
“Aaa...!”

Seketika jeritan panjang yang menyayat pun terdengar, begitu pukulan yang dilancarkan si Perempuan Bertopeng Emas menghantam kepala Dewa Bayangan Putih. Tampak kepala orang tua itu retak, dan darah mengucur keluar dengan deras sekali. Dewa Bayangan Putih menggelepar di tanah dengan tubuh masih terlilit selendang. Sedangkan darah semakin banyak keluar dari kepalanya yang pecah. Sementara, Perempuan Bertopeng Emas itu sudah mengambil ujung selendangnya. Dan hanya sekali sentakan saja, libatan selendang pada tubuh Dewa Bayangan Putih terlepas seketika.

“Hih! Yeaaah...!”

Perempuan Bertopeng Emas tidak berhenti sampai di situ saja saat melihat lawannya masih bisa bergerak, walaupun sudah tidak mungkin dapat bangkit berdiri lagi. Sambil membentak nyaring, selendangnya dikebutkan. Seketika ujung selendang itu tepat menghantam batang leher Dewa Bayangan Putih.

Bret!

Tidak ada lagi jeritan yang terdengar. Tampak leher laki-laki tua itu terpenggal hingga hampir buntung, membuat darah makin deras keluar. Dewa Bayangan Putih semakin keras menggelepar bagai ayam disembelih. Namun hanya sebentar saja bergerak, sesaat kemudian sudah mengejang kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur menggenangi tanah di sekitar tubuhnya.

“Hik hik hik...!”

Perempuan Bertopeng Emas tertawa mengikik melihat lawannya dapat mudah ditaklukkan. Lalu selendangnya dililitkan kembali di pinggangnya yang ramping. Kemudian dengan ayunan kaki yang tenang sekali, dia melangkah meninggalkan Dewa Bayangan Putih yang kini sudah tergeletak diam tidak bernyawa lagi.

“Hik hik hik...!”

Suara tawa wanita yang selalu bertopeng warna emas dengan seluruh pakaian juga berwarna kuning keemasan itu terus terdengar mengiringi ayunan langkahnya meninggalkan mayat lawannya. Dan suara tawa itu terus terdengar, walaupun tubuh wanita itu sudah tidak terlihat lagi, lenyap ditelan lebatnya pepohonan di pinggiran Desa Caringin yang berbatasan langsung dengan hutan ini.

Sementara, Dewa Bayangan Putih masih tergeletak kaku dengan darah menggenang di sekitarnya. Kematian yang begitu mengenaskan bagi Dewa Bayangan Putih. Dan suasana pun kembali sunyi. Hanya desir angin saja yang terdengar mempermainkan dedaunan. Suara tawa mengikik itu pun sudah tidak terdengar lagi, begitu tubuh si Perempuan Bertopeng Emas tidak terlihat lagi di tepian hutan ini.


***


ENAM

Sementara itu, Bayu yang sudah kembali berada di Desa Caringin, langsung menuju kedai milik Tarsih. Namun tidak ada seorang pun yang datang mengunjungi kedai itu. Keadaannya terlihat begitu sunyi, walaupun di jalan depan kedai terlihat orang-orang hilir-mudik. Mereka seakan-akan tidak tahu kalau ada kedai di pinggiran jalan itu. Bayu langsung menerobos masuk ke dalam kedai.

Kali ini bukan Tarsih, tapi Ki Radut yang menyambutnya dengan tergopoh-gopoh. Orang tua itu langsung saja menarik tangan Pendekar Pulau Neraka, dan mengajaknya duduk agak ke sudut dari ruangan kedai yang cukup terbuka ini.

“Den, wanita itu sudah mulai membunuh satu keluarga penduduk,” tutur Ki Radut langsung memberitahu, begitu mereka duduk berseberangan meja.

“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja sedikit sambil memandangi wajah laki-laki tua yang duduk di seberang mejanya.

Memang Pendekar Pulau Neraka sudah menduga sejak semalam, kalau korban Perempuan Bertopeng Emas itu adalah satu keluarga penduduk yang sehari-harinya hanya berladang, tanpa mengenal ilmu olah kanuragan. Tapi, Perempuan Bertopeng Emas itu juga semalam sudah membunuh Lima Begal Sungai Ular, sebelum mendapat korban satu keluarga penduduk Desa Caringin ini.

“Tidak lama lagi, desa ini akan rata dengan tanah. Wanita itu pasti akan membunuh habis semua penduduk Desa Caringin ini,” sambung Ki Radut.

“Kau kelihatannya malah senang atas kejadian ini, Ki...,” ujar Bayu, agak mendesis suaranya. Jelas sekali kalau kata-kata Pendekar Pulau Neraka mengandung kecurigaan pada orang tua ini.

“Mereka patut mendapat ganjaran yang setimpal seperti itu, Den,” sahut Ki Radut, agak datar nada suaranya.

Kening Bayu jadi semakin dalam berkerut mendengar jawaban orang tua ini. Sungguh tidak disangka kalau Ki Radut menyukai tindakan si Perempuan Bertopeng Emas. Semula Bayu mengharapkan Ki Radut akan memberi jawaban yang lain. Tapi, kata-kata orang tua itu malah membuatnya semakin bertambah curiga.

“Mana Tarsih, Ki?” tanya Bayu langsung teringat pada wanita cantik yang menjadi pelayan dikedai ini.

“Pergi,” sahut Ki Radut.
“Ke mana?” desak Bayu.

Belum juga Ki Radut bisa menjawab, dari bagian belakang kedai ini muncul Tarsih disertai senyuman manis tersungging di bibir. Bayu langsung mengarahkan pandangan pada wanita berwajah cantik itu.

“Aku tidak ke mana-mana, Kakang. Sejak tadi, aku ada di belakang,” kata Tarsih langsung, sambil menempatkan diri di samping Pendekar Pulau Neraka.

Saat itu, muncul Tiren dari belakang kedai sambil mencerecet ribut. Monyet kecil itu langsung melompat naik ke pundak dan memeluk erat leher Pendekar Pulau Neraka, seakan tidak ingin dilepaskan lagi. Dengan halus Bayu melepaskan pelukan monyet kecilnya.

“Dia terus-menerus ribut mencarimu, Den,” jelas Ki Radut.

“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja sedikit. Beberapa saat mereka jadi terdiam membisu.

Sementara, Bayu terus memandang Ki Radut dan Tarsih bergantian. Entah apa yang dicari Pendekar Pulau Neraka pada wajah mereka berdua. Namun jelas sekali terlihat kalau raut wajah mereka begitu datar, sulit diterka artinya. Bayu lalu mengarahkan pandangannya ke luar. Tampak matahari sudah condong ke arah barat. Sinarnya yang semula terasa terik, kini begitu lembut menyapu seluruh permukaan Desa Caringin ini. Sedikit Bayu menghela napas, kemudian dia bangkit berdiri.

“Kau mau ke mana, Kakang?” tanya Tarsih langsung ikut berdiri.

“Pergi,” sahut Bayu singkat. Kaki Pendekar Pulau Neraka terus saja terayun melangkah keluar dari dalam kedai ini. Sementara Tarsih yang ingin mengejar, cepat dicegah Ki Radut dengan mencekal pergelangan tangannya.

Terpaksa Tarsih tidak jadi mengejar Pendekar Pulau Neraka. Hanya dipandanginya saja sampai Bayu tidak terlihat lagi, menghilang di tikungan jalan.

“Biarkan dia pergi, Tarsih,” ujar Ki Radut sambil melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan wanita itu.

“Tapi, Ki....”

“Sudahlah.... Jangan turutkan kata hatimu, Tarsih,” selak Ki Radut cepat, sebelum Tarsih bisa melanjutkan ucapannya.

“Sudah kau selesaikan pekerjaanmu?”
“Sudah,” sahut Tarsih seraya mengangguk.

“Bagus,” sambut Ki Radut dengan bibir menyunggingkan senyum. “Masih banyak pekerjaan lain yang harus kau selesaikan di sini, Tarsih. Dan kuminta hanya sekali itu saja kau keluar pada siang hari”.

Tarsih hanya menganggukkan kepala saja, lalu kembali duduk menghadapi meja. Raut wajahnya kelihatan begitu datar, dengan pandangan menekuri permukaan meja dari kayu ini. Sementara Ki Radut sudah kembali ke belakang kedai.


***


Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh permukaan bumi. Suasana di Desa Caringin kembali sunyi, bagaikan tidak berpenghuni lagi. Sementara tidak jauh di pinggiran desa, tampak Bayu berdiri tegak di depan gundukan tanah yang masih kelihatan baru. Tidak jauh di belakangnya terlihat sebuah rumah kecil berdinding bilik bambu. Entah, apa yang ada dalam hati Pendekar Pulau Neraka ini, mendapati Dewa Bayangan Putih sudah mati dengan luka begitu mengerikan. Kepalanya retak, dengan leher terobek hampir buntung.

Bayu menemukan orang tua itu tergeletak mati tidak jauh di depan rumah yang ditempatinya. Sedangkan darah yang menggenang sudah mengering. Kelihatannya kematian Dewa Bayangan Putih sudah cukup lama. Malah, beberapa saat setelah ditinggalkannya.

“Tapi, siapa yang bisa membunuh Dewa Bayangan Putih...?” pertanyaan ini yang terus mengganggu pikiran Bayu. Tapi Pendekar Pulau Neraka bisa langsung menduga, siapa pelakunya.

“Hhh! Aku tidak bisa mendiamkan ini terus berlangsung. Perempuan itu harus menanggung akibatnya!” dengus Bayu memuntahkan kekesalan hatinya.

Sebentar Bayu masih berdiri memandangi kuburan Dewa Bayangan Putih, kemudian tubuhnya berbalik. Segera kakinya melangkah pergi meninggalkan tempat peristirahatan terakhir tokoh tua itu. Bayu terus mengayunkan mantap kakinya menuju Desa Caringin lagi. Di dalam hatinya, dia bertekad akan membuat perhitungan kepada si Perempuan Bertopeng Emas yang sudah membunuh Dewa Bayangan Putih!

Tanpa disadari, Bayu berjalan sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang tingkatannya sudah sempurna sekali. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau Neraka sudah tiba ke Desa Caringin yang selalu sunyi jika malam telah datang menyelimuti.

Sungguh menyolok perbedaannya bila pada siang hari yang selalu ramai. Jika malam sudah datang, desa ini bagaikan mati. Tidak seorang pun terlihat berada di luar rumahnya. Terlebih lagi, semalam satu keluarga yang dikenal semua penduduk hanya sebagai petani biasa, mati menjadi korban si Perempuan Bertopeng Emas.

Kejadian itu membuat seluruh penduduk Desa Caringin jadi tidak berani keluar rumah, dan benar-benar dicekam ketakutan yang amat sangat Mereka kini sadar, kalau kematian telah menghantui. Kalau hari-hari sebelumnya mereka merasa senang karena yang dibunuh adalah tokoh-tokoh hitam atau penjahat biasa, tapi kini ternyata yang dibunuh oleh Perempuan Bertopeng Emas juga para penduduk biasa seperti mereka.

Biasanya kalau sehabis ada pembantaian, para penduduk desa ini berani keluar rumah, untuk melihat tokoh siapa yang tewas dibunuh. Tapi sekarang, mereka lebih memilih tinggal di rumah dengan hati was-was, jangan-jangan diri mereka yang mendapat giliran menjadi korban.

Ada apakah ini? Apakah pembunuhan-pembunuhan terdahulu hanya sebagai siasat untuk melenyapkan para penduduk Desa Caringin?

Memang masih terlalu dini untuk menjawabnya. Sementara itu, Bayu memperlambat ayunan kakinya, setelah sampai di tengah-tengah desa. Kedua bola matanya dipentang lebar, mengamati keadaan sekitarnya yang begitu sunyi. Sehingga, gerit binatang malam pun seakan enggan memperdengarkan suaranya. Hanya desir angin saja yang terdengar, mengusik telinga Pendekar Pulau Neraka. Perlahan-lahan Bayu mengayunkan kakinya menyusuri jalan yang membelah desa ini.

Sementara, Tiren terus berada di pundak Pendekar Pulau Neraka tanpa memperdengarkan suara sedikit pun. Seakan monyet kecil itu juga bisa merasakan kesunyian yang begitu mencekam di sekitarnya.

“Kita terpaksa tidak tidur malam ini, Tiren,” ujar Bayu pelan.

“Nguk.”

“Malam ini, aku harus bisa mendapatkan wanita iblis itu. Akan kuhajar dia seperti yang dilakukannya pada Ki Dewa Bayangan Putih!” tegas Bayu lagi, dengan nada agak ditekan.

Tiren hanya diam saja. Binatang itu seperti tahu kalau Pendekar Pulau Neraka sedang menyimpan kemarahan yang amat sangat dalam dadanya. Dan memang, saat itu Bayu menyimpan kemarahan menggelegar. Ini bisa terlihat jelas dari raut wajahnya yang memerah, dengan sorot mata tajam menyala bagai bola api hendak membakar hangus seluruh Desa Caringin ini.

Sementara, malam terus merayap semakin larut Dan kesunyian semakin terasa begitu mencekam. Bayu terus melangkahkan kakinya, mengelilingi desa yang selalu sunyi di malam hari.


***


Sampai jauh tengah malam, Bayu belum juga bisa menemukan adanya si Perempuan Bertopeng Emas. Sedangkan kakinya sudah terasa penat, terus-menerus berjalan mengelilingi Desa Caringin yang cukup luas. Sedikit pun tidak ada tanda tanda kalau Perempuan Bertopeng Emas itu bakal muncul malam ini. Bayu berhenti melangkah, tidak jauh dari rumah Tarsih. Entah kenapa, hatinya begitu tergerak untuk mengamati rumah yang bagian depannya dijadikan kedai. Sengaja Bayu berdiri dekat pohon di pinggir jalan, sehingga cahaya bulan tidak sampai meneranginya.

“Hm....”

Bayu menggumam sedikit, ketika melihat seseorang seperti akan keluar dari samping rumah itu. Hanya kepalanya saja yang terlihat menyembul keluar, menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan dia sedang mengamati keadaan sekitarnya. Kepala yang diyakini Bayu adalah Ki Radut kembali tenggelam masuk ke dalam rumah. Dan tidak lama setelah itu....

“Heh..?!”

Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar begitu tiba-tiba melihat sebuah bayangan kuning keemasan melesat keluar dari samping rumah itu. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan.

Sementara, Bayu masih terpaku, seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Bayangan kuning keemasan yang diyakininya adalah si Perempuan Bertopeng Emas, keluar dari rumah yang sedang diamatinya. Dan pada saat itu, pintu samping rumah itu tertutup lagi, setelah sebelumnya terlihat kepala Ki Radut sedikit keluar mengamati keadaan sekitarnya yang masih kelihatan sunyi. Tampaknya, laki-laki tua itu tidak menyadari kalau dari tempat yang sangat tersembunyi Bayu terus memperhatikan.

“Sebaiknya aku tunggu saja sampai dia kembali di sini. Aku tidak tahu, ke mana dia pergi,” gumam Bayu dalam hati, bicara pada diri sendiri.

Memang tidak mungkin bagi Pendekar Pulau Neraka untuk mengejar si Perempuan Bertopeng Emas yang sudah tidak terlihat lagi. Entah, ke arah mana perginya wanita itu. Tapi Bayu sudah begitu yakin, kalau Perempuan Bertopeng Emas itu adalah Tarsih, wanita cantik yang menjadi pelayan di kedai itu.

Bayu mengambil Tiren dari pundaknya, dan menyuruhnya untuk naik ke atas pohon. Dia tidak mau monyet kecilnya terluka saat menyergap si Perempuan Bertopeng Emas nanti. Seperti bisa mengerti kekhawatiran Bayu, Tiren segera naik ke atas pohon. Dipilihnya dahan yang dirasakannya cukup enak untuk tempat bernaung. Monyet kecil itu duduk mencangkung sambil memperhatikan Bayu yang tetap berada di bawah pohon. Sedikit pun Tiren tidak memperdengarkan suara, sepertinya tahu kalau saat seperti ini diperlukan kesunyian.

Belum juga lama Bayu menunggu, tiba-tiba terdengar jeritan yang begitu panjang melengking dari arah selatan desa ini. Dan tidak lama, disusul dua kali jeritan lainnya yang tidak kalah nyaringnya. Seketika, darah Bayu terasa bagai berhenti mengalir mendengar jeritan-jeritan panjang yang menandakan kematian. Saat Bayu tengah menduga apa yang sedang dilakukan Perempuan Bertopeng Emas di sebelah selatan desa ini, tiba-tiba terlihat kobaran api yang begitu besar dari arah selatan.

Kembali Pendekar Pulau Neraka jadi terkesiap. Dan matanya tidak berkedip memandangi kobaran api yang semakin lama semakin besar. Selang beberapa saat kemudian, terdengar teriakan-teriakan orang yang kalang-kabut melihat kobaran api itu. Sementara, Bayu masih tetap bertahan. Pemuda ini tidak mau terpancing dengan keributan yang terjadi di bagian selatan Desa Caringin. Sudah bisa dibayangkan, kalau penduduk desa ini tengah berusaha memadamkan api yang membakar rumah penduduk.

“Hm.... Itu dia datang....”

Tiba-tiba Bayu menggumam, ketika melihat sebuah bayangan kuning.keemasan berkelebat begitu cepat dari arah selatan. Cepat Pendekar Pulau Neraka mempersiapkan diri untuk menyergap bayangan kuning keemasan. Tapi belum juga berbuat sesuatu, tiba-tiba saja bayangan kuning itu berkelebat begitu cepat ke arah timur. Dan seketika itu juga, lenyap di antara rumah-rumah penduduk.

“Edan...! Ke mana lagi dia...?” desis Bayu jadi terperanjat tidak mengerti.

Begitu cepat sekali si Perempuan Bertopeng Emas itu berkelebat. Sehingga, dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan Pendekar Pulau Neraka. Sulit untuk bisa diterka lagi, ke mana arah tujuannya. Bayu jadi ragu-ragu untuk mengejar dan menunggu di tempat ini. Dan disaat Pendekar Pulau Neraka tengah berpikir, mendadak saja....

Wusss...!
“Heh...?!”

Bayu jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar hempasan angin yang begitu kuat dari arah belakang. Dan ketika berpaling ke belakang, terlihat sebuah benda bulat kecil seperti mata kucing berwarna kuning keemasan, berkelebat begitu cepat bagai kilat menuju ke arahnya.

“Haiiit..!”

Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan. Sehingga, benda kuning keemasan sebesar mata kucing itu lewat di samping tubuhnya, dan langsung menghantam sebuah pohon yang ada di seberang jalan. Seketika, pohon itu hancur berkeping-keping memperdengarkan ledakan keras menggelegar bagai gunung memuntahkan lahar. Bayu sempat terbeliak melihat benda sekecil itu mampu menghancurkan pohon yang cukup besar!

“Hup...!”

Pendekar Pulau Neraka bergegas melompat ke tengah jalan, begitu bayangan kuning keemasan itu terlihat berkelebat begitu cepat dari belakang. Langsung tubuhnya merunduk, hingga bayangan kuning keemasan itu lewat di atas tubuhnya. Saat itu juga, Bayu merasakan hempasan hawa panas yang begitu menyengat, bersamaan dengan melintasnya bayangan kuning keemasan itu di atas tubuhnya tadi.

“Hup! Yeaaah...!”

Pendekar Pulau Neraka langsung melenting keatas dan berputaran beberapa kali, sebelum kedua telapak kakinya kembali menjejak tanah jalan ini. Saat itu juga, sekitar satu batang tombak di depannya sudah terlihat seseorang berdiri menantang. Tubuhnya ramping mengenakan baju yang seluruhnya berwarna kuning keemasan. Cahaya bulan yang memancar di langit, memantulkan warna kuning keemasan dari topeng yang menutupi wajah orang itu.

Dari bentuk tubuhnya yang indah dan ramping, sudah dapat dipastikan kalau dia seorang wanita. Sementara, Bayu memperhatikannya beberapa saat Sudah bisa diduga kalau di balik topeng emas itu tersembunyi wajah Tarsih yang cantik.

“Aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya, Nisanak. Dan kau tidak perlu lagi bersembunyi di balik topeng,” ujar Bayu dengan suara dingin menggetarkan.

“Kau sudah terlalu banyak ikut campur, Bayu. Kau sama saja dengan Dewa Bayangan Putih. Dan rasanya, kau sudah pantas kalau juga mendapat ganjaran sama,” tidak kalah dinginnya suara Perempuan Bertopeng Emas itu.

“Sudah kuduga, pasti kau yang membunuhnya,” desis Bayu dengan rahang menggeretak menahan geram.

“Hik hik hik.... Sudah sepantasnya dia mendapatkan itu, Bayu. Dan kau juga akan mendapatkannya, kalau masih ikut campur urusanku,” ujar Perempuan Bertopeng Emas dingin.

“Kau bisa saja membunuh Dewa Bayangan Putih. Tapi, jangan harap begitu mudah melakukannya padaku, Nisanak,” tantang Bayu langsung.

“Hik hik hik...!” Perempuan Bertopeng Emas itu hanya tertawa saja mengikik.

Jelas sekali kalau sikap perempuan itu begitu meremehkan Pendekar Pulau Neraka. Dia sama sekali tidak tahu kalau yang sedang dihadapinya seorang pendekar muda yang sudah malang melintang menghadapi segala macam bahaya dan pertarungan berat dalam rimba persilatan. Bahkan semua tokoh persilatan akan segan bila berhadapan dengannya.

Tapi meskipun julukannya berada pada deretan atas tokoh persilatan, Bayu tidak merasa dirinya paling tinggi. Bahkan sama sekali tidak memandang enteng terhadap wanita bertopeng emas ini. Sudah beberapa kali Bayu menyaksikan kehebatannya, dan harus hati-hati menghadapinya.

Perlahan Pendekar Pulau Neraka menggeser kakinya beberapa langkah ke kanan. Sorot matanya begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun memperhatikan wanita bertopeng emas di depannya. Sementara Perempuan Bertopeng Emas itu belum juga bergerak. Dia malah tertawa mengikik, melihat Bayu sudah menyilangkan tangan kanannya di depan dada.

“Kau akan menyesal datang ke desa ini, Bayu. Merataplah kau di neraka...!” dengus Perempuan Bertopeng Emas dingin menggetarkan.

“Kita lihat saja, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka,” sambut Bayu tidak kalah dingin.

“Bersiaplah, Bayu.... Tahan selendang emasku! Yeaaah...!"

Rrrt..!
“Hup! Yeaaah...!”


***


TUJUH

Cepat Bayu melenting ke atas, begitu Perempuan Bertopeng Emas mengebutkan selendangnya sambil membentak keras menggelegar. Selendang tipis berwarna kuning keemasan itu meluruk deras, bagai seekor naga mengarah ke bagian perut Pendekar Pulau Neraka. Cepat-cepat Bayu bersalto. Dan ketika tubuhnya mendatar di udara....

“Hih! Shyaaa...!”

Tepat di saat selendang emas itu berada di bawah tubuhnya, dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah sempurna, Bayu melepaskan satu pukulan keras menggeledek ke bagian tengahnya. Begitu cepat pukulan yang dilepaskannya, sehingga Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terkejut setengah mati.

“Hap!”

Cepat wanita itu menghentakkan selendangnya, hingga bergerak cepat ke samping. Dengan demikian, pukulan yang dilepaskan Bayu hanya sedikit saja melesat di samping selendang emas itu. Dan ketika kaki Pendekar Pulau Neraka menjejak tanah, si Perempuan Bertopeng Emas sudah menggerakkan tangannya yang menggenggam selendang kuning keemasan itu.

Rrrt!

Bagai seekor ular, selendang emas itu meliuk begitu indah melingkari tubuh Pendekar Pulau Neraka. Gerakan berputar yang begitu cepat, sempat membuat Bayu jadi terperangah. Tapi dia cepat berputaran di udara, seraya langsung mengibaskan tangan kanannya. Dan....

Slap!
“Heh...?!”

Perempuan Bertopeng Emas jadi kaget setengah mati, tidak menyangka kalau benda bersegi enam yang menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu ternyata sebuah senjata yang bisa dilemparkan, hanya dengan mengebutkan tangannya saja. Dan belum juga sempat disadari, tahu-tahu Cakra Maut yang dilepaskan Bayu sudah menghantam bagian tengah selendangnya.

Bret!
“Ikh...?!”

Kembali Perempuan Bertopeng Emas itu terkejut hingga terpekik. Ternyata selendang kebanggaannya langsung terbelah menjadi dua bagian, terkena sambaran senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Bayu sendiri sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan di saat tangan kanannya terangkat naik ke atas kepala, Cakra Maut melesat balik, lalu kembali menempel kuat di pergelangan tangan kanan pemuda ini.

“Setan...! Kubunuh kau...!” geram Perempuan Bertopeng Emas marah, mendapati selendangnya tinggal sepotong lagi.

Sambil berteriak keras menggelegar, wanita berpakaian serba kuning keemasan itu berlompatan mengelilingi Pendekar Pulau Neraka. Dan seketika itu juga, puluhan benda bulat kecil seperti mata kucing berwarna kuning keemasan, berhamburan di sekeliling Pendekar Pulau Neraka. Cepat sekali benda-benda kuning keemasan itu berhamburan bagai hujan.

“Hup! Yeaaah...!”

Tidak ada waktu lagi bagi Bayu untuk berpikir menghadapi serangan gencar Perempuan Bertopeng Emas ini. Cepat tubuhnya melenting ke atas sambil berputaran beberapa kali, menghindari benda-benda kecil yang sangat berbahaya itu.

Dan seketika itu juga, terdengar ledakan ledakan keras menggelegar dari senjata senjata maut Perempuan Bertopeng Emas yang saling berbenturan. Bahkan yang jatuh ke bawah pun membuat tanah jadi terbongkar menimbulkan ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Sehingga seluruh Desa Caringin jadi bergetar bagai diguncang gempa.

Ledakan akibat pertarungan maut Pendekar Pulau Neraka dengan Perempuan Bertopeng Emas, membuat seluruh penduduk Desa Caringin keluar dari dalam rumah. Tapi mereka langsung menyingkir menjauh, begitu melihat wanita berpakaian serba emas yang selama ini dianggap sebagai dewi pelindung, namun sudah meminta korban penduduk biasa itu, bertarung melawan seorang pemuda yang pernah terlihat menghajar Lima Begal Sungai Ular di depan kedai Tarsih.

Sementara beberapa rumah penduduk yang berdekatan letaknya dengan tempat pertarungan sudah mulai hancur terkena sambaran senjata-senjata maut yang dilemparkan si Perempuan Bertopeng Emas. Bahkan tidak sedikit yang sudah terbakar, hingga membuat keadaan di sekitar pertarungan jadi terang-benderang.

Dan suasana pun jadi berubah hangat oleh api yang kini berkobar besar, membakar beberapa rumah. Sedangkan Bayu masih harus berjumpalitan di udara, menghindari setiap benda-benda maut yang dilepaskan lawannya.


***


Serangan-serangan Perempuan Bertopeng Emas masih terus datang menghujani Pendekar Pulau Neraka. Benda-benda kecil berwarna kuning keemasan itu bagai tidak pernah habis, terus berhamburan di sekitar tubuh Bayu. Sedikit pun pemuda berbaju kulit harimau itu tidak memiliki kesempatan balas menyerang. Tubuhnya hanya bisa berputaran di udara dan terus menghindari serangan gencar lawannya.

Namun setelah cukup lama berlangsung, akhirnya Perempuan Bertopeng Emas menghentikan serangannya juga. Tampak tarikan napasnya memburu cepat, bagai kuda yang baru dipacu mendaki bukit terjal. Wanita itu berdiri tegak, menatap tajam Pendekar Pulau Neraka dari balik lubang mata topeng emasnya.

Sementara, Bayu juga sudah berdiri tegak mengatur napasnya yang mulai terdengar agak memburu. Keringat tampak menitik deras membasahi sekujur tubuh Pendekar Pulau Neraka.

“Hhh...!” Bayu menghembuskan napas beratnya. Pendekar Pulau Neraka kali ini melakukan pertarungan yang sangat berat dan menguras banyak tenaga. Lawan yang dihadapinya memang tidak bisa dianggap sembarangan. Wanita itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi, sehingga sukar diukur tingkat kepandaiannya. Bayu benar-benar tidak dapat lagi memandang sebelah mata pada wanita bertopeng ini.

Sementara, orang-orang yang menyaksikan pertarungan semakin bertambah banyak. Dan api yang membakar rumah juga semakin besar, merambat ke rumah-rumah lain. Sudah dapat dipastikan kalau tidak lama lagi, Desa Caringin akan hangus termakan api. Sedangkan di tengah-tengah jalan, Bayu tetap berdiri tegak berhadapan dengan Perempuan Bertopeng Emas. Entah kenapa, mereka jadi terdiam saling menatap tajam, seakan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

“Kau memang tangguh, Bayu. Tapi, aku belum kalah. Malam ini juga, kau harus mati di tangan-ku...,” desis Perempuan Bertopeng Emas dingin menggetarkan.

“Hm...,” Bayu pun hanya mengeluarkan gumaman sedikit

“Bersiaplah menerima kematianmu, Bayu,” desis Perempuan Bertopeng Emas lagi.

Setelah berkata demikian, wanita itu mencabut sebuah benda sepanjang dua jengkal berwarna kuning emas dari balik sabuk yang membelit pinggangnya. Dan ketika dikebutkan, benda itu menjadi panjang seperti tongkat Tampak bagian ujungnya berbentuk mata tombak yang berkilatan begitu tajam. Namun Pendekar Pulau Neraka sama sekali tidak merasa gentar melihat senjata wanita bertopeng ini. Bahkan sikapnya kelihatan tenang, walaupun kelihatannya tidak ada satu senjata pun yang tergenggam di tangan.

Sementara semua orang yang menyaksikan seperti mencemaskan pemuda berbaju kulit harimau yang kelihatannya tidak memiliki senjata. Sedangkan lawannya kini sudah memainkan senjata tombak emasnya. Putarannya tampak begitu cepat, hingga yang terlihat hanya lingkaran bayangan kuning keemasan bagai sebuah perisai melindungi dirinya.

“Tahan seranganku, Bayu! Hiyaaat..!”

Bersamaan dengan melompatnya Perempuan Bertopeng Emas itu dalam menyerang Pendekar Pulau Neraka, semua orang yang melihat jadi menahan napas. Sementara, Bayu sendiri tetap berdiri tegak dengan sikap begitu tenang. Hanya tatapan matanya saja yang terlihat menyorot tajam, memperhatikan gerakan Perempuan Bertopeng Emas yang meluruk deras dengan ujung tombak emas tertuju tepat ke dada.

Tepat di saat ujung tombak berwarna kuning emas itu hampir menembus dada, cepat Bayu mengangkat tangan kanannya terbalik ke depan dada. Maka ujung tombak itu langsung menghantam Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.

Tring!
“Ikh...!”

Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik, begitu seluruh tangannya terasa bergetar, ketika ujung tombaknya menghantam Cakra Maut dipergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Namun pada saat yang sama, Bayu pun sudah membungkukkan tubuhnya sedikit agak miring ke kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat tangan kanannya dikibaskan ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

“Yeaaah...!”
Wusss!

Cakra Maut seketika itu juga melesat bagai sebatang anak panah lepas dari busur, tepat mengarah ke dada Perempuan Bertopeng Emas. Begitu cepat lesatannya hingga membuat Perempuan Bertopeng Emas terbeliak dari balik topeng yang menutupi wajahnya.

“Haiiit…!”
Bet!

Cepat wanita itu menghentakkan tongkat emasnya menyilang ke depan dada. Sehingga Cakra Maut menghantam bagian tengah batang tombak kuning keemasan itu. Demikian keras benturan Cakra Maut pada tombak itu, sehingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Tampak Perempuan Bertopeng Emas terdorong tiga langkah, akibat benturan keras Cakra Maut pada tombaknya.

“Gila...! Senjatanya tidak bisa dibuat main-main, “ dengus Perempuan Bertopeng Emas dalam hati.

Wanita itu masih merasakan nyeri pada seluruh persendian tulang tangannya, akibat dua kali terjadi benturan keras pada senjatanya tadi. Sementara, Bayu berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada. Sedangkan senjata mautnya sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Sikapnya seakan memberi kesempatan pada lawannya untuk menyerang lagi. Bayu memang sengaja tidak mau menyerang lebih dahulu, dan selalu memberi kesempatan lawannya menyerang lebih dulu. Paling tidak, untuk mengukur sampai sejauh mana tingkat kepandaian yang dimiliki lawannya.


***


“Kenapa kau diam, Nisanak...?” terdengar sinis nada suara Bayu.

“Huh!”

Perempuan Bertopeng Emas itu hanya mendengus saja dengan kesal. Dari balik topeng emasnya, matanya menatap tajam dengan sinar memerah pada Pendekar Pulau Neraka. Perlahan kakinya bergeser ke kanan. Dan belum juga bisa berbuat lebih jauh lagi, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam melintasi kepala orang-orang yang berkerumun menyaksikan pertarungan maut ini

Dan bayangan hitam itu langsung meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat yang bersamaan, sebuah benda bulat sebesar kepala terlempar ke arah pemuda berbaju kulit harimau itu.

“Hup...!”

Cepat Bayu melenting seraya berputaran ke belakang, menghindari benda hitam yang dilemparkan ke arahnya. Benda bulat sebesar kepala itu tepat jatuh di tempat Bayu tadi berdiri. Dan seketika itu juga, terdengar ledakan dahsyat menggelegar. Sehingga, membuat seluruh tanah di Desa Caringin ini jadi bergetar bagai diguncang gempa begitu dahsyat.

Tampak tanah yang terbongkar membumbung tinggi ke angkasa, bersama asap hitam yang mengepul membentuk jamur raksasa. Sementara, Bayu sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan dada berdebar keras. Tidak bisa dibayangkannya, bagaimana jadinya kalau benda hitam itu tadi mengenai tubuhnya. Tanah jalan yang tertimpa benda hitam itu kini terlihat berlubang besar seperti sumur.

“Hiyaaat..!”

Sementara, bayangan hitam itu terus meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga, Bayu langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka lebar, tepat di saat matanya melihat satu pukulan kepalan tangan kanan yang meluncur deras mengarah dadanya. Hingga....

Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan keras menggelegar begitu kedua telapak tangan Bayu berbenturan dengan kepalan tangan orang berbaju serba hitam itu. Tampak orang berbaju serba hitam itu berputaran beberapa kali ke belakang. Sementara, Bayu sempat terdorong dua langkah ke belakang. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung membungkukkan tubuhnya sedikit agak miring ke kiri. Tepat di saat orang berpakaian serba hitam itu menjejakkan kakinya di tanah, Bayu langsung mengibaskan tangan kanannya ke depan sambil berteriak keras.

“Hiyaaa...!”
Wusss!

Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan, Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat, mengarah langsung pada orang berpakaian serba hitam yang tiba-tiba saja muncul dan langsung menyerang. Begitu cepatnya Cakra Maut meluncur, sehingga orang berpakaian serba hitam itu tidak sempat menyadarinya.

“Awas, Ki...!”
Cras!

Bersamaan terdengarnya teriakan nyaring memberi peringatan, orang berpakaian serba hitam yang seluruh kepalanya tertutup kain hitam itu memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi, gerakannya sudah terlambat Sehingga sisi Cakra Maut yang runcing sempat merobek bahu kanannya.

“Akh...!”

Orang berpakaian serba hitam itu jadi terpekik kaget agak tertahan. Seketika, darah mengucur deras dari bahunya yang terluka cukup lebar akibat tersambar Cakra Maut tadi. Sementara, senjata Pendekar Pulau Neraka terus melesat. Dan ketika Bayu menghentakkan tangan kanannya kebelakang, maka Cakra Maut langsung berputar balik dari arah belakang orang berpakaian serba hitam itu. Demikian cepatnya senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu berputar dan langsung melesat balik, sehingga membuat orang berpakaian serba hitam yang masih dilanda keterkejutan ini tidak sempat lagi menyadarinya. Dan....

Crab!
“Aaa...!”
“Ki...!”

Jeritan nyaring seketika terdengar melengking, begitu Cakra Maut menancap di punggung orang berbaju serba hitam agak ketat ini. Bersamaan dengan itu pula, terdengar teriakan nyaring dari si Perempuan Bertopeng Emas. Tampak orang berbaju serba hitam itu terhuyung-huyung dengan Cakra Maut masih menancap begitu dalam di punggungnya.

Begitu Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala, Cakra Maut melesat kembali ke arahnya. Maka darah seketika muncrat keluar dari punggung orang berbaju serba hitam ini. Cakra Maut kini kembali menempel dipergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau itu.

“Hiyaaa...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu langsung melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan saat itu juga, satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna dilepaskan, tepat ke kepala orang berpakaian serba hitam yang masih terhuyung-huyung. Serangan Bayu yang begitu cepat ini, sama sekali tidak dapat dihindari lagi.

Prak!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, begitu pukulan dahsyat yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka menghantam tepat di kepala orang berpakaian serba hitam itu. Tampak darah merembas keluar dari kain hitam yang menyelubungi kepala. Sementara, Bayu kembali melenting ke belakang sambil mutar tubuhnya. Dan tangannya sempat mengibas, menjambret kain selubung hitam yang menutupi kepala orang itu.

Bret!

“Ki Radut..,” desis Bayu begitu kakinya menjejak tanah.

Tanpa selubung kain hitam, jelas sekali wajah orang berpakaian serba hitam itu. Memang, orang itu adalah Ki Radut Dan Bayu sama sekali tidak terkejut lagi, karena memang sudah menduga. Sementara Ki Radut sendiri sudah tidak dapat lagi menguasai diri. Dengan punggung berlubang mengeluarkan darah, dan kepala retak terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka, dia tidak mungkin lagi bisa bertahan lebih lama.

Setelah beberapa saat tubuhnya gontai, laki-laki tua ini seketika ambruk ke tanah dengan darah terus mengucur dari punggung dan kepalanya yang retak. Hanya sebentar saja Ki Radut menggeliat di tengah jalan berdebu ini, kemudian mengejang kaku sambil mengerang lirih. Lalu, tubuhnya diam tidak bergerak-gerak lagi, membujur kaku tanpa nyawa.

“Keparat...! Kubunuh kau...!”

Perempuan Bertopeng Emas jadi geram melihat Ki Radut tewas begitu mengerikan di tangan Pendekar Pulau Neraka. Sambil menggeram marah, wanita berpakaian serba kuning emas itu langsung saja melangkah cepat, menghampiri pemuda berbaju kulit harimau ini. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi, langsung tombak emasnya dikebutkan ke depan sambil melompat sedikit.

“Shyaaa...!”
“Haiiit...!”

Hanya sedikit saja Bayu menarik tubuhnya ke belakang, hingga ujung tombak yang kuning dan runcing itu lewat di depan perutnya. Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa menegakkan tubuhnya kembali, Perempuan Bertopeng Emas sudah melompat cepat sambil melepaskan satu tendangan menggeledek dengan kaki kiri.

“Yeaaah...!”
“Hap!”


***


DELAPAN

Bayu langsung menghentakkan tangan kanannya, menyambut tendangan kaki kiri Perempuan Bertopeng Emas itu. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan, hingga wanita berpakaian serba kuning ini tidak dapat lagi menarik pulang serangannya. Maka benturan keras pun seketika terjadi.

“Akh...!”

Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik agak tertahan, ketika kakinya membentur tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke belakang, dengan berputaran dua kali. Dan begitu kaki wanita itu menjejak tanah, Bayu langsung melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar.

“Hiyaaa...!”

Seketika itu juga, tangan kanan Pendekar Pulau Neraka mengibas ke depan, membuat Cakra Maut yang selalu berada di pergelangan tangan kanan melesat menyerang si Perempuan Bertopeng Emas.

“Hup!”

Tidak ada jalan lain lagi bagi wanita itu untuk menghindar. Maka cepat tubuhnya melenting keatas. Dan pada saat itu pula, tangan kiri Bayu berkelebat cepat ke kepala. Begitu cepat gerakan tangan kirinya, sehingga Perempuan Bertopeng Emas tidak dapat lagi menghindari. Terlebih lagi, dia harus menghindari serangan senjata andalan Pendekar Pulau Neraka. Dan....

Bret!
“Aukh...!”

Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik kaget, ketika topeng yang dikenakannya terampas tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Maka wajah yang sejak tadi terlindung di balik topeng emas itu kini terlihat jelas di bawah siraman cahaya bulan dan terangnya cahaya api yang masih membakar rumah-rumah penduduk Desa Caringin ini.

“Tarsih....”

Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi terperanjat, tidak mengira kalau Perempuan Bertopeng Emas itu ternyata Tarsih. Memang, wanita pemilik kedai ini tidak disukai penduduk, karena dulu ayahnya seorang pemeras rakyat yang paling kaya di desa ini. Suatu ketika semua kekayaan orangtua Tarsih ludes dirampok dan rumahnya dibakar habis. Bahkan semua penghuni rumah itu dibantai habis, kecuali Tarsih dan Ki Radut saja yang bisa menyelamatkan diri.


Dan Ki Radut sendiri, dulunya adalah seorang tukang pukul orangtua Tarsih yang paling kejam. Setelah berhasil menyelamatkan diri, Tarsih dengan diantar Ki Radut, berguru di Perguruan Selendang Emas. Kebetulan, yang menjadi ketuanya adalah paman Ki Radut sendiri. Dan ketika telah menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi, Tarsih dan Ki Ridut kembali ke Desa Caringin, setelah terlebih dahulu diwarisi senjata selendang emas.

Namun ketika mereka kembali, rupanya para penduduk yang dulu menjadi korban ketamakan orangtua Tarsih, memasang wajah ketidaksenangan mereka. Inilah yang menyebabkan Tarsih merasa harus membalas sikap mereka. Demikian pula terhadap penjahat-penjahat atau tokoh-tokoh hitam yang telah merampok dan membantai habis keluarganya!

“Bunuh saja dia...!”
“Bunuh perempuan setan itu...!”

Seketika seluruh penduduk Desa Caringin memuntahkan kemarahannya. Dulu mereka benci terhadap orangtua Tarsih. Dan kini terhadap Tarsih sendiri. Terlebih lagi sekarang ini mereka sudah kehilangan seluruh harta benda dan tempat berteduh. Bahkan tidak sedikit yang kehilangan anggota keluarganya, yang tidak sempat menyelamatkan diri dari dalam rumahnya yang terbakar. Dan dengan malam ini, sudah dua keluarga yang dibantai Tarsih!

Tapi kemarahan mereka hanya pada lontaran kata-kata saja. Tidak ada seorang pun yang berani mendekati, karena begitu takut pada senjata tombak yang masih berada dalam genggaman Tarsih. Mereka tahu, wanita ini bukanlah wanita sembarangan. Kepandaiannya begitu tinggi. Sehingga, entah sudah berapa puluh orang yang menjadi korbannya selama memakai julukan Perempuan Bertopeng Emas.


***


“Sebaiknya kau menyerah saja, Tarsih. Demi keselamatanmu sendiri, kupersilakan kau pergi dari desa ini. Dan, jangan coba untuk kembali lagi membuat kekacauan,” ujar Bayu masih memberi kelonggaran pada Perempuan Bertopeng Emas itu.

“Phuih! Aku lebih baik mati bersama hancurnya desa ini!” dengus Tarsih tidak mau menyerah begitu saja.

“Tidak ada gunanya kau mengumbar amarah dan dendam. Rasa dendam tidak akan pernah bisa padam, kalau kau sendiri tidak mau memadamkannya,” bujuk Bayu masih mencoba melunakkan kekerasan hati wanita itu.

“Jangan banyak bicara kau, Bayu! Lawan aku! Hiyaaat..!”

Tarsih memang sudah merasa kepalang basah, sehingga sama sekali tidak mau menyerah. Bahkan diiringi pengerahan seluruh kekuatan yang tersisa, segera dia melompat cepat sekali menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan senjata tombak emasnya.

Bet!

Tombak berwarna kuning emas itu seketika berkelebat begitu cepat ke arah tenggorokan Bayu. Tapi hanya sedikit saja menarik kepala ke belakang, Bayu bisa menghindari hunjaman ujung tombak yang runcing. Dan segera kakinya ditarik ke belakang dua langkah, begitu Tarsih cepat memutar tombaknya dan langsung disodokkan ke perut Pendekar Pulau Neraka.

“Hap!”

Bayu langsung mengibaskan tangan kanannya, sambil memiringkan tubuh ke kiri. Langsung ditangkisnya tusukan tombak emas itu.

Tring!

Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka tepat membentur mata tombak emas ini. Sementara, Tarsih langsung menarik pulang tombaknya. Tapi dengan kecepatan kilat, senjatanya kembali disodokkan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka.

“Upths!”

Cepat Bayu menarik tubuhnya ke kiri, menghindari tusukan tombak ke dadanya. Dan begitu mata tombak emas itu lewat di depan dada, cepat tangan kirinya dikibaskan. Maka....

Tap!
“Ikh...!”

Tarsih jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba batang tombaknya tertangkap tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Maka cepat seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkannya untuk menarik tombaknya. Tapi, genggaman tangan kiri Pendekar Pulau Neraka begitu kuat. Sehingga, senjata yang seperti terbuat dari emas itu tidak bergerak sedikit pun.

“Hiyaaa...!”

Belum juga Tarsih bisa menguasai senjatanya lagi, tiba-tiba saja Bayu sudah membentak keras bagai guntur. Dan seketika itu juga, tubuhnya mencelat ke atas sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat serangannya, hingga membuat kedua bola mata Tarsih jadi terbeliak lebar.

“Haiiit..!”

Tidak ada pilihan lain lagi bagi Perempuan Bertopeng Emas itu. Cepat tubuhnya dibanting ketanah sambil melepaskan tombaknya yang masih berada dalam genggaman tangan kiri Bayu. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, hingga terhindar dari tendangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Tapi begitu melompat bangkit berdiri, Bayu sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri.

“Hiyaaa...!”

Begitu cepat serangan Pendekar Pulau Neraka, sehingga Tarsih tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan....

Diegkh!
“Akh...!”

Tarsih jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu menghantam tepat dadanya. Seketika, tubuhnya terpental deras ke belakang, dan jatuh keras sekali menghantam tanah. Kembali tubuhnya bergulingan di tanah beberapa kali, hingga berhenti begitu menabrak sebuah pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Seketika pohon itu roboh terlanda tubuh ramping si Perempuan Bertopeng Emas ini.

“Hoeeekh...!”

Tarsih langsung menyemburkan darah kental berwarna agak kehitaman dari mulutnya, begitu mencoba bangkit berdiri. Seluruh rongga dadanya terasa bagai hendak meledak akibat terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka tadi. Sambil memegangi dadanya yang terasa remuk, Tarsih mencoba bangkit berdiri.

Dengan susah payah, akhirnya Perempuan Bertopeng Emas itu bisa juga berdiri. Walaupun, tidak lagi bisa tegak. Darah masih terlihat menggumpal di seluruh rongga mulutnya. Kembali disemburkannya gumpalan darah kental agak kehitaman. Sementara, Bayu berdiri tegak memandangi dengan sinar mata sukar diartikan.

“Kau terluka parah, Tarsih. Sebaiknya tinggalkan saja desa ini,” bujuk Bayu masih memberi kesempatan wanita itu untuk menyambung selembar nyawanya.

“Akan kubunuh kau, Bayu. Kubunuh kau...,” desis Tarsih agak tersedak suaranya.

Dengan tangan dan jari-jari bergetar, Perempuan Bertopeng Emas yang sekarang tidak lagi mengenakan topeng itu menuding Pendekar Pulau Neraka. Walaupun terluka begitu parah, tapi sorot matanya terlihat sangat tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka.

Jelas sekali terlihat pada sinar matanya yang penuh memendam dendam ini. Dan Bayu bisa menyadari ketidakpuasan wanita itu padanya. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua yang dilakukan hanya untuk menyelamatkan nyawa orang banyak yang tidak berdosa, setelah semua persoalannya diketahuinya dari awal. Tapi, Bayu masih saja memberi kesempatan pada Tarsih untuk tetap hidup. Pemuda itu juga tidak memandang seluruh kesalahan ada pada wanita ini. Bahkan Bayu merasa iba melihat persoalan Tarsih, yang memaksanya harus bertindak seperti iblis dengan membantai siapa saja yang dianggapnya telah menyinggung perasaannya.

“Pergilah, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempatan hidupmu yang hanya sekali ini. Percayalah, padaku. Tidak ada seorang pun yang bisa mencegahmu pergi dari desa ini,” bujuk Bayu lagi.

Tarsih hanya diam saja memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Sementara darah masih terus keluar dari sudut bibirnya. Tapi, kali ini sinar matanya tidak lagi terlihat tajam. Bahkan begitu redup dan berkaca-kaca memandangi Pendekar Pulau Neraka.

Sementara, Bayu bisa merasakan semua yang tengah dirasakan wanita ini. Baginya, jalan hidup Tarsih tidak berbeda jauh dengan jalan hidup yang ditempuhnya sejak masih bayi. Bayu juga sudah kehilangan kedua orangtuanya, sejak masih bayi Bahkan tidak sempat lagi melihat wajah kedua orangtuanya. Hingga, rasa sakit dalam hatinya tidak seperti yang dirasakan Tarsih.

“Ayo, kuantar keluar dari desa ini,” ajak Bayu lagi, tetap membujuk.

Tarsih hanya diam saja. Dia jadi bimbang oleh ajakan Pendekar Pulau Neraka yang begitu tulus. Di dalam hatinya, memang tersimpan kemarahan pada Bayu yang sudah menggagalkan dendamnya. Tapi paling tidak, sebagian dari dendamnya sudah terbalas. Walaupun, seluruh keinginannya untuk menghancurkan Desa Caringin bersama penduduknya tidak terlaksana.

“Ayo, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempatan ini,” bujuk Bayu lagi.

Bayu sudah hampir tidak sabar, melihat orang-orang sudah mulai menghampiri dengan wajah memancarkan kemarahan pada Perempuan Bertopeng Emas itu. Sementara, Tarsih hanya diam saja memandangi Pendekar Pulau Neraka tanpa berkedip sedikit juga. Perlahan tubuhnya membungkuk, mengambil tombaknya yang tergeletak tidak jauh di samping kiri kakinya. Dengan tangan gemetar digenggamnya tombak itu erat-erat.

Sementara, semua orang sudah semakin dekat menghampiri dengan berbagai macam senjata tergenggam di tangan.

“Aku tidak pantas hidup dengan semua kegagalan ini. Maafkan aku, Bayu. Kuhargai semua kebaikanmu padaku,” ujar Tarsih.

Setelah berkata demikian, wanita itu cepat mengangkat tombaknya. Dan...

Bres!
“Tarsih...!”

Bayu jadi terkejut setengah mati, begitu melihat Tarsih menghunjamkan tombak ke dadanya sendiri. Kuat sekali hunjaman tombak itu, hingga tembus ke punggung. Bukan hanya Bayu saja yang terkejut. Bahkan semua orang yang melihat juga tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau Tarsih akan berbuat nekad seperti itu.

Sementara Bayu pun tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya dipandanginya tubuh Tarsih yang ambruk ke tanah dengan dada tertembus tombaknya sendiri. Wanita itu langsung menghembuskan napas terakhir begitu tubuhnya ambruk dan menyentuh tanah.

“Mereka tetap manusia seperti kalian. Makamkanlah seperti layaknya,” ujar Bayu dengan suara agak tertahan.

Semua orang hanya diam saja. Mereka seperti tidak tahu, apa yang harus dilakukan. Walaupun kebencian bersemayam dalam dada, tapi mendengar kata-kata yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka, beberapa orang sudah bergerak menghampiri Tarsih dan Ki Radut. Dan mereka segera mengangkat kedua mayat itu untuk dipindahkan ke tempat yang lebih nyaman.

Sementara, Bayu hanya memperhatikan saja. Kepalanya lalu berpaling sedikit, begitu Tiren menghampiri. Monyet kecil itu naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat Bayu masih berdiri di tempatnya, memandangi orang-orang yang mulai mengurus mayat-mayat yang berjatuhan di malam ini. Sementara, mayat Tarsih dan Ki Radut ada bersama mereka.

“Ayo kita pergi, Tiren,” ajak Bayu pada monyet kecilnya yang sudah berada di pundak sebelah kanan.

“Nguk.”

Perlahan Bayu mengayunkan kakinya, meninggalkan Desa Caringin. Di dalam kepalanya, masih belum bisa dipahami sikap yang diambil Tarsih, dengan membunuh dirinya sendiri. Malah, dengan senjatanya sendiri juga. Tapi, Bayu mengakui kalau semua penderitaan yang dialami Tarsih begitu berat.

Memang tidak semua orang bisa menanggung derita seberat itu. Hanya saja sangat disayangkan tindakan Tarsih yang nekat. Daripada hidup menanggung kekalahan dan kegagalannya dalam melampiaskan dendam, baginya lebih baik bunuh diri!


SELESAI

Episode Selanjutnya IBLIS CEBOL

Perempuan Bertopeng Emas

Cerita silat serial pendekar pulau neraka
Episode Perempuan Bertopeng Emas

Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



cerita silat pendekar pulau neraka



SATU

“Perempuan setan Kubunuh kau Hiyaaat..”

Terdengar bentakan penuh kemarahan dari seorang pemuda.

“Hik hik hik...”

Namun belum juga pemuda tampan itu bisa berbuat sesuatu, sudah terlihat kilatan selendang kuning keemasan menyambar ke arah lehernya.

Bet
Cras
“Aaa...”

Dan anak muda itu langsung, terpaku dengan mata mendelik, disertai jeritan panjang memilukan. Tampak darah mengalir deras dari batang lehernya yang menganga, akibat sambaran selendang kuning yang bagai sebilah pedang. Hanya sesaat saja dia masih mampu berdiri, kemudianlimbung di depan seorang wanita bertubuh ramping, yang baru saja mengebutkan selendang kuningnya. Tak lama kemudian pemuda itu ambruk, dan menggelepar bersama empat tubuh lain yang sudah sejak tadi tergeletak tidak bernyawa dengan tubuh bersimbah darah.

“Hik hik hik...”

Suara tawa mengikik kembali terdengar nyaring mengerikan, mengiringi berkelebatnya tubuh ramping terbalut pakaian kuning keemasan, meninggalkan lima sosok tubuh yang bergelimpangan di dalam ruangan depan sebuah rumah diDesa Caringin.

Belum lama suara tawa mengikik itu menghilang dari pendengaran, sudah terlihat orang-orang berdatangan sambil membawa obor dansenjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran. Mereka mendatangi rumah yang agak terpencil di Desa Caringin ini. Para penduduk desa ini begitu terkejut melihat darah berceceran di depan pintu rumah yang terbuka lebar itu. Jelas sekali terlihat kalau daun pintuitu hancur, seperti diterjang kerbau mengamuk.
Lebih terkejut lagi, setelah melihat ke dalam. Tampak tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi dengan darah menggenang di sekitarnya. Tidak ada seorang pun yang tahu kejadiannya. Para penduduk ini datang setelah mendengar jeritan dan tawa yang panjang mengikik tadi. Dan mereka tahu, siapa penghuni rumah yang terkena bencana ini. Tidak ada seorang pun yang masih kelihatan hidup. Namun entah kenapa, wajah para penduduk kelihatan gembira melihat mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi ruangan depan ini.

“Mereka patut menerima ganjaran seperti ini,” gumam salah seorang, seraya melangkah pergi meninggalkan rumah ini.

Yang lainnya pun ikut melangkah pergi tanpa mempedulikan mayat-mayat di dalam rumah itu. Hingga akhirnya, hanya tinggal seorang saja yang tetap berada di depan pintu yang sudah hancur itu. Dia tadi memang kebetulan lewat, tepat ketika para penduduk itu sudah menimbrung di depan rumah itu. Karena merasa tertarik, kakinya langsung melangkah mendekati, ikut melihat apa yang terjadi.

Dia adalah seorang pemuda tampan berbaju dari kulit harimau. Seekor monyet kecil berbulu hitam tampak bertengger di pundak kanannya. Dipandanginya mayat-mayat itu dengan kelopak mata tidak berkedip. Dan kepalanya baru berpaling ke belakang, ketika mendengar suara langkah kaki mendekati.

Ternyata yang datang menghampiri adalah seorang laki-laki tua berjubah putih. Sebatang tongkat kayu rupanya ikut membantu ayunan langkah kakinya. Tubuhnya juga sudah kelihatan terbungkuk. Meskipun usianya kelihatan sudah begitu lanjut, tapi sinar wajahnya tampak begitu bersih dan bercahaya. Sinar matanya juga mencerminkan gairah hidup yang menyala-nyala.

Ayunan langkahnya begitu ringan, pertanda orang tua ini memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hentakan ujung tongkatnya pada tanah pun tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu menggeser kakinya sedikit ke tepi pintu, seakan memberi kesempatan pada orang tua ini untuk melihat ke dalam.

“Kau tidak pergi seperti mereka, Anak Muda...?” terdengar lembut sekali suara orang tua itu.

Sedikit orang tua itu menjulurkan kepalanya ke dalam, melongok keadaan di dalam rumah ini. Kemudian matanya kembali menatap wajah tampan pemuda yang tetap berdiri di samping pintu. Pemuda itu hanya diam saja, seakan tidak mendengar pertanyaan orang tua ini tadi.

“Siapa namamu, Anak Muda?” tanya orang tua itu lagi.

“Bayu,” sahut pemuda berbaju kulit harimau itu singkat, memperkenalkan namanya.

Dia memang Bayu Hanggara yang di dalam rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka. Sementara orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala. Bibirnya yang hampir tertutup kumis putih kelihatan menyunggingkan senyum tipis yang begitu ramah. Bayu membalas dengan anggukan kepala sedikit, disertai ulasan senyuman kecil di bibirnya.

“Dan kau siapa, Ki?” tanya Bayu dengan suara dan sikap ramah.

“Orang-orang selalu memanggilku Dewa Bayangan Putih. Kau juga boleh memanggilku begitu, Anak Muda,” sahut orang tua yang mengaku berjuluk Dewa Bayangan Putih.

“Nama aslimu?” tanya Bayu ingin tahu lagi.

“Entahlah.... Aku sendiri sudah lupa namaku yang sebenarnya,” sahut si Dewa Bayangan Putih, agak mendesah.

Bayu bisa memaklumi. Memang begitu banyak orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, namun sudah tidak lagi peduli nama sebenarnya. Bahkan mereka selalu melupakannya. Mereka lebih senang menggunakan julukan daripada nama sebenarnya. Tapi, buat Bayu malah sebaliknya. Dia selalu memperkenalkan diri dengan nama sebenarnya. Bahkan begitu sulit untuk menyebutkan julukannya, kalau tidak terpaksa sama sekali. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengenalnya sebagai Pendekar Pulau Neraka.

“Kau kenal siapa mereka, Anak Muda?” tanya Dewa Bayangan Putih seraya melirik ke dalam rumah.

“Tidak,” sahut Bayu seraya menggeleng. “Aku hanya kebetulan saja lewat di desa ini, Ki. Aku tidak tahu sama sekali, apa yang terjadi. Juga tidak mengerti sikap mereka yang tidak ambil peduli terhadap orang-orang malang ini.”

“Kau tidak bisa menyalahkan mereka, Anak Muda.”

“Kenapa, Ki?”

Orang tua itu tidak langsung menjawab. Tubuhnya lalu diputar berbalik, dan terus saja melangkah meninggalkan rumah ini. Sementara, kening Bayu jadi berkerut. Pemuda berbaju kulit harimau itu benar-benar tidak mengerti sikap semua orang di desa ini. Bahkan orang tua yang mengaku berjuluk Dewa Bayangan Putih itu juga seakan tidak peduli. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka diam termenung, kemudian bergegas melangkah menyusul orang tua itu. Sebentar saja ayunan langkahnya sudah di samping si Dewa Bayangan Putih.


***


Malam terus merayap semakin larut, menyelimuti seluruh Desa Caringin. Sementara, suasana desa sudah kembali sunyi, tanpa seorang penduduk pun yang kelihatan berada di luar. Hanya Bayu dan Dewa Bayangan Putih saja yang masih kelihatan berjalan membelah jalan tanah di desa itu. Bulan yang tertutup awan hitam, seakan tidak ingin memperlihatkan cahayanya di sana. Sehingga, membuat keadaan di desa itu semakin sunyi bagai berada di tengah-tengah kuburan.

“Seharusnya kita kuburkan mereka, Ki. Toh, mereka juga manusia. Bukan binatang,” usul Bayu setelah cukup lama berdiam diri.

“Untuk apa...?” terdengar ringan sekali nada suara Dewa Bayangan Putih. Seakan, sedikit pun tidak ada beban pada mereka yang mati di rumah itu.

“Aku belum tahu kejahatan apa yang mereka lakukan, hingga semua orang begitu membenci. Sampai-sampai mereka mati pun tidak ada yang sudi mengurusnya,” jelas sekali terdengar nada ketidaksenangan kata-kata Bayu.

“Kau bukan orang sini, Anak Muda. Sebaiknya, jangan campuri urusan mereka. Aku berkata begini, demi dirimu juga. Terutama, keselamatan mu,” sergah Dewa Bayangan Putih tanpa menghentikan langkah sedikit pun.

“Kelihatannya kau sudah tahu apa yang terjadi, Ki,” duga Bayu bernada curiga.

“Hm...,” Dewa Bayangan Putih hanya menggumam saja sedikit.

“Kau bersedia menjelaskannya padaku, Ki...?” pinta Bayu langsung.

“Untuk apa?” Dewa Bayangan Putih malah balik bertanya.

Pendekar Pulau Neraka hanya mengangkat bahu saja sedikit Dia sendiri tidak tahu, untuk apa mengetahui semua urusan berdarah ini. Cepat disadari kalau dirinya memang tidak ada hubungannya dengan persoalan yang sama sekali tidak diketahuinya ini.

“Ke mana tujuanmu, Anak Muda?” tanya Dewa Bayangan Putih mengalihkan pembicaraan.

“Ke mana saja kakiku melangkah, Ki,” sahut Bayu seenaknya.

“Kau pengembara?” tanya Dewa Bayangan Putih lagi.

Bayu hanya menganggukkan kepala sedikit saja.

“Sebaiknya, kita berpisah di sini saja, Anak Muda. Kalau kau akan mencari penginapan, ada di ujung jalan ini,” ujar Dewa Bayangan Putih seraya menunjuk ke depan. Bayu membuang pandangannya ke arah yang ditunjuk Dewa Bayangan Putih. Di ujung jalan ini memang terdapat sebuah rumah yang besar. Dan kelihatannya, rumah itu lebih terang dan ramai daripada yang lain. Saat Pendekar Pulau Neraka itu berpaling kembali, dia jadi terkejut. Ternyata orang tua berjubah putih itu sudah tidak ada lagi di sampingnya. Entah ke mana dan kapan perginya, sama sekali tidak diketahuinya.

“Ke mana dia pergi...?” gumam Bayu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Bayu jadi tertegun juga memikirkan orang tua yang baru dikenalnya. Sikapnya memang aneh dan menimbulkan begitu banyak pertanyaan. Tapi, tampaknya dia tahu banyak terhadap semua yang terjadi di Desa Caringin ini. Pendekar Pulau Neraka menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, mencoba menghalau semua pikiran yang timbul dalam benaknya. Kakinya kembali terayun melangkah menuju rumah penginapan yang ditunjukkan Dewa Bayangan Putih tadi. Sementara, monyet kecil yang ada di pundaknya sudah sejak tadi mendengkur, melingkarkan tangannya ke leher pemuda ini.

Namun baru beberapa langkah Bayu berjalan, ayunan langkah kakinya tiba-tiba saja terhenti. Dan kening Pendekar Pulau Neraka jadi kelihatan berkerut. Tiba-tiba saja tubuhnya berbalik. Lalu dengan kecepatan bagai kilat, Bayu melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna. Begitu cepat lesatannya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan tubuhnya saja.

Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah kembali berada di depan rumah yang kelihatan sunyi, setelah seluruh penghuninya terbantai tadi. Bayu menghentikan larinya tepat sekitar tiga langkah lagi di depan pintu yang tetap terbuka ini. Sunyi sekali keadaan sekitarnya, tidak seorang pun terlihat Bahkan gerit bintang malam pun tidak terdengar. Hanya desir angin saja yang terdengar mengusik gendang telinga.

“Hm...,” Bayu menggumam kecil. Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya, mendekati pintu yang sudah hancur. Dan dia berhenti tepat di ambang pintu. Namun, seketika itu juga kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir Bayu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Memang sulit bisa dipercaya, karena mayat-mayat yang ada di dalam rumah ini kini sudah lenyap tidak meninggalkan bekas sama sekali. Bahkan darah yang tadi begitu banyak menggenang di lantai, juga tidak terlihat setetes pun. Tanpa sadar, Bayu menarik kakinya kebelakang beberapa langkah. Namun baru saja bergerak sekitar lima langkah....

Wusss...

“Heh...? Hup”


***


Cepat Bayu melenting ke atas dan berputaran dua kali, tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara desingan disertai hempasan angin yang begitu kuat hampir menerpa tubuhnya. Tampak sebuah benda bercahaya kuning keemasan tiba-tiba melesat begitu cepat bagai kilat di bawah tubuhnya.

“Hap”

Sungguh ringan gerakan Pendekar Pulau Neraka saat kakinya menjejak kembali di tanah. Memang begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sama sekali tidak terdengar suara saat mendarat tadi. Sementara kilatan cahaya kuning keemasan itu terus menghantam tiang penyangga beranda rumah di belakang Pendekar Pulau Neraka.

Brak

Seketika, atap beranda rumah ini roboh terhantam kilatan cahaya kuning keemasan itu. Bayu sempat melompat ke depan, menghindari potongan kayu yang berpentalan di sekitarnya. Kembali kakinya menjejak mantap di tanah dan berdiri tegak dengan tangan kanan tersilang didepan dada. Seakan cakra mautnya yang menempel di pergelangan tangan kanan ingin diperlihatkan pada penyerang gelapnya.

“Siapa kau...?!” teriak Bayu membentak keras.

Begitu keras suara yang dikeluarkan Pendekar Pulau Neraka, hingga menggema ke segala arah. Tapi tidak terdengar sahutan sedikit pun. Keadaan di sekitarnya tetap sunyi, bagai berada di tengah-tengah hutan yang sedang lelap dalam tidur. Pandangan Bayu beredar ke sekeliling dengan sorot mata tajam. Tetap tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi, hingga membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya jadi meremang berdiri.

Dan belum juga Bayu sempat berpikir panjang, terdengar suara tawa mengikik yang begitu keras dan menggema di sekelilingnya. Seakan, suara tawa itu datang dari segala arah. Jelas sekali kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Bayu mencoba untuk mencari arah sumber suara itu, tapi sulit untuk bisa menduga arahnya.

Dan ini membuatnya jadi kebingungan sendiri, karena tidak dapat menentukan dari mana datangnya suara yang membingungkan ini. Di saat Pendekar Pulau Neraka itu tengah kebingungan, mendadak saja....

Slap!
“Heh...?!”

Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba dari depan berkelebat cahaya kuning keemasan yang begitu cepat bagai kilat.

“Hup!”

Cepat Bayu melenting dan berputaran atas dua kali, menghindari terjangan cahaya kuning keemasan itu. Sehingga, serangan itu lewat sedikit saja di bawah tubuhnya. Manis sekali Bayu menjejakkan kaki kembali di tanah. Namun pada saat itu juga...

Wusss...!
“Edan! Hup...!”

Kembali Bayu terpaksa harus berjumpalitan diudara, begitu mendapat serangan cahaya kuning keemasan lagi. Memang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menghadapi serangan yang tidak ketahuan arahnya. Cahaya kuning keemasan itu bagai memiliki nyawa saja, selalu menyerang dari arah yang sulit dengan kecepatan bagai kilat. Dan mau tak mau, Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus berjumpalitan di udara untuk menghindarinya.

“Setan! Hih...!”

Pendekar Pulau Neraka jadi berang juga mendapat serangan yang tidak berwujud ini. Begitu mendapat kesempatan, cepat tubuhnya sedikit merunduk. Dan tangan kanannya langsung dikibaskan ke depan, tepat di saat kilatan cahaya kuning keemasan itu meluruk deras ke arahnya dari depan.

Dan....
Plash!
“Hap...!”

Cepat Bayu mengangkat tangan kanannya keatas kepala, begitu Cakra Maut yang dilepaskannya kembali ke arahnya. Seketika senjata persegi enam itu kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Sementara saat itu juga cahaya kuning keemasan itu segera lenyap, setelah berbenturan dengan Cakra Maut senjata andalan Pendekar Pulau Neraka tadi.

“Hm.... Siapa pun dia, pasti memiliki kepandaian tinggi sekali,” gumam Bayu perlahan, bicara pada diri sendiri.

Kembali keadaan menjadi sunyi, tanpa terdengar suara sedikit pun. Bayu mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari orang yang menyerangnya tadi begitu gencar. Tapi, sulit untuk bisa melihat jelas di dalam kegelapan malam yang begitu pekat. Sementara, bulan terus menyembunyikan diri di balik awan yang menggumpal hitam. Dan angin pun terasa semakin keras menerpa wajah Pendekar Pulau Neraka. Lama juga Bayu menunggu, tapi tidak ada satu pun serangan yang datang. Dan suasana di sekitarnya semakin terasa sunyi mencekam.

“Kau pergi dulu, Tiren,” ujar Bayu seraya menurunkan monyet kecil yang sejak tadi berada di pundaknya.

“Nguk!”

Seperti tahu kalau sedang menghadapi bahaya, monyet kecil yang bernama Tiren itu segera berlari mendekati pohon yang tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka. Ringan sekali gerakannya saat naik ke atas pohon itu. Dan binatang itu duduk diam di cabang pohon. Sementara, Bayu tetap berdiri tegak dengan tangan kanan berada di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam memandangi sekitarnya.

Suasana tetap sunyi, tanpa terdengar suara sedikit pun. Perlahan kaki Bayu terayun ke depan. Matanya lalu melirik sedikit pada monyet kecilnya yang kini sudah berada di tempat aman. Agak tenang juga hatinya melihat Tiren berada di tempat yang aman, cukup jauh dari jangkauan serangan yang mungkin saja datang secara tiba-tiba nanti. Ayunan kakinya baru berhenti setelah berjalan sekitar lima langkah.

“Siapa pun kau, keluarlah...! Tunjukkan dirimu...!” teriak Pendekar Pulau Neraka dengan sua-ra lantang menggelegar, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Belum juga hilang suara Pendekar Pulau Neraka, kembali dikejutkan oleh munculnya satu bayangan putih yang berkelebat begitu cepat bagai kilat Dan tahu-tahu, di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih, dengan sebatang tongkat kayu berada dalam genggaman tangan kanan.

“Dewa Bayangan Putih...,” desis Bayu langsung mengenali orang tua ini.

“Kau benar-benar mencari susah, Anak Muda. Untuk apa datang lagi ke sini, heh...?!” terdengar begitu dingin nada suara Dewa Bayangan Putih.

Kata-kata orang tua itu membuat Bayu jadi tersentak kaget Sungguh tidak disangka kalau orang tua itu akan berkata demikian, seakan-akan tidak menghendaki kehadirannya di sini. Bayu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati,

“Mengenai orang tua aneh ini. Dia selalu muncul tiba-tiba, dan pergi juga tanpa diketahui arahnya.”

“Kau yang tadi menyerangku, Ki?” tanya Bayu langsung, dengan nada curiga tanpa disembunyikan lagi.

“Untuk apa aku menyerangmu...?” Dewa Bayangan Putih jadi mendelik mendengar pertanyaan Pendekar Pulau Neraka.

“Justru kedatanganku untuk menyelamatkan nyawamu yang hanya selembar itu, Anak Muda. Pergilah sebelum kau menyesali kebodohanmu!”

“Heh...?! Kenapa...?” Bayu jadi terkejut.

“Jangan banyak tanya! Cepat pergi sebelum kau menyesal!”

Tapi belum juga habis kata-kata Dewa Bayangan Putih dari pendengaran, sudah terlihat kilatan cahaya kuning keemasan meluruk deras kearah mereka berdua.

“Awas...!” teriak Dewa Bayangan Putih sambil cepat melompat ke belakang.

“Hup!”

Pendekar Pulau Neraka juga cepat-cepat melenting berputar ke belakang menghindari terjangan cahaya kuning keemasan itu. Dan kilatan cahaya kuning keemasan itu pun hanya menghantam tepat di tengah-tengah antara Bayu dan Dewa Bayangan Putih tadi berdiri. Dan seketika itu juga, terdengar ledakan yang begitu dahsyat! Tanah yang terhantam kontan terbongkar, hingga menyembur sampai ke atas bagai ledakan gunung berapi.

Bayu yang baru saja bisa menjejakkan kakinya di tanah, jadi tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau serangan itu dahsyat luar biasa.

“Edan...! Bagaimana jadinya kalau cahaya itu menghantam tubuhku...?” desis Bayu dalam hati.

Sementara, Dewa Bayangan Putih sudah kembali melesat mendekati Pendekar Pulau Neraka. Dan langsung kakinya menjejak di samping pemuda berbaju kulit harimau ini. Tangannya cepat mencekal pergelangan tangan Bayu. Dan....

“Hey...?!”

Bayu jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba tubuhnya terasa tersentak keras. Dan belum lagi bisa menyadari apa yang terjadi, Dewa Bayangan Putih sudah melesat dengan kecepatan bagai kilat tanpa dapat dicegah lagi. Belum juga Bayu mengucapkan sesuatu, tahu-tahu sudah berada begitu jauh dari tempat yang membingungkan dirinya. Begitu tiba di suatu tempat, mereka berhenti. Pendekar Pulau Neraka langsung berdiri di depan Dewa Bayangan Putih dengan tangan masih tercekal erat. Dewa Bayangan Putih baru melepaskan, setelah mendapatkan tatapan yang begitu tajam dari Pendekar Pulau Neraka.


***


DUA

“Apa yang kau lakukan padaku, Ki?” tanya Bayu meminta penjelasan.

“Kau seharusnya berterima kasih padaku, Anak Muda. Itu berarti aku sudah menyelamatkanmu,” sahut Dewa Bayangan Putih dingin, tanpa tekanan sedikit pun pada suaranya.

“Kau selamatkan aku? Selamat dari apa...?” Bayu kembali meminta penjelasan.

“Kematian yang sia-sia,” sahut Dewa Bayangan Putih singkat dan datar.

“Jangan mengada-ada, Ki. Aku masih sanggup menghadapi serangan gila seperti itu. Bahkan yang lebih gila pun pernah kuhadapi,” dengus Bayu jadi kesal juga menghadapi orang tua aneh ini.

“Kau tidak akan bisa menghadapinya, Anak Muda. Bukan manusia yang kau hadapi tadi. Tapi, iblis dari neraka.”

“Aku..., aku semakin tidak mengerti...,” Bayu kelihatan kebingungan sekali mendengar kata-kata Dewa Bayangan Putih.

“Dengar, Anak Muda. Kau sekarang berada dalam neraka yang sewaktu-waktu bisa menghancurkan seluruh kehidupanmu. Hanya dalam pandanganmu saja sepertinya kau berada di sebuah desa. Tapi, sebenarnya desa itu adalah neraka bagi semua orang sepertimu. Termasuk aku ini...,” Dewa Bayangan Putih mencoba menjelaskan.

Tapi penjelasan orang tua itu malah membuat Bayu semakin bertambah bingung. Benar-benar sulit dimengerti semua yang diutarakan Dewa Bayangan Putih barusan. Dan dia juga tidak tahu, apa yang sedang terjadi di sekitarnya selama ini. Baru siang tadi Pendekar Pulau Neraka sampai di Desa Caringin, tapi sudah beberapa kejadian aneh dan membingungkan yang ditemuinya. Bahkan baru saja mengalami peristiwa aneh yang membuat kepalanya semakin dipenuhi segala macam pertanyaan yang sulit dijawab untuk sekarang ini.

“Sudah lebih dari tiga purnama ini aku terus membayanginya. Dan sudah beberapa kali aku bentrok dengannya. Tapi, sampai sekarang belum juga bisa kuhentikan semua perbuatan iblisnya. Bahkan sepak terjangnya semakin ganas. Walaupun, semua yang menjadi korbannya bisa dikatakan bukan orang baik-baik. Hanya saja, dia tidak memandang, sampai sejauh mana kejahatan yang dilakukan korbannya. Memang banyak orang yang senang akan tindakannya. Tapi, bagiku semua yang dilakukannya di luar batas kemanusiaan. Dan aku tidak menyukai tindakan yang tanpa aturan seperti itu,” keluh Dewa Bayangan Putih seakan sedang mengeluarkan segala kekesalan yang terpendam dalam hatinya.

“Siapa orang itu, Ki?” tanya Bayu.

“Entahlah.... Sampai saat ini aku sendiri belum tahu, siapa dia sebenarnya,” sahut Dewa Bayangan Putih agak mendesah nada suaranya. “Walaupun sudah beberapa kali bentrok dengannya, tapi belum pernah wajahnya bisa kulihat dengan jelas. Setiap kali muncul dia selalu berpakaian seperti terbuat dari emas. Dan semua senjata yang digunakannya juga bagai terbuat dari emas.”

Bayu terdiam dengan kening berkerut. Dari cerita Dewa Bayangan Putih tadi, sedikitnya sudah bisa dimengerti apa yang tengah terjadi di Desa Caringin ini. Bayu bisa langsung menduga kalau orang yang melakukan semua pembunuhan itu menyimpan dendam mendalam. Dan mungkin dia bertekad membunuh siapa saja yang pernah melakukan kejahatan. Entah dendam apa yang ada dalam hatinya, hingga membantai semua orang yang pernah berkecimpung dalam dunia hitam. Bahkan mereka yang sudah lama meninggalkan dunia kelam pun tak lepas dari incarannya.

Di dalam hatinya, Bayu langsung sependapat dengan Dewa Bayangan Putih. Apa pun alasannya, tindakan hantam kromo seperti itu tidak dapat dibenarkan. Dan Bayu jadi semakin ingin mengetahui, bahkan kalau bisa menghentikan segala pembunuhan liar seperti itu. Walaupun, yang menjadi korbannya sudah jelas mereka yang berjalan dalam dunia hitam.

“Ada satu lagi yang menjadi pertanyaan di dalam hatiku sampai sekarang ini, Anak Muda,” kata Dewa Bayangan Putih.

“Apa itu, Ki?” tanya Bayu ingin tahu.

“Dia selalu muncul di malam hari. Dan tidak pernah keluar dari Desa Caringin ini. Bahkan semua penduduk desa, seakan-akan begitu senang atas kemunculannya, karena segala bentuk kejahatan memang tidak pernah tenggelam di desa ini,” jelas Dewa Bayangan Putih lagi.

“Apa tidak mungkin orang itu juga penduduk Desa Caringin ini, Ki?” Bayu langsung menduga.

“Dugaan seperti itu sudah ada sejak sepak terjangnya kuamati, Anak Muda. Tapi sampai sekarang ini, aku belum punya bukti kuat untuk memastikannya. “

“Aku akan mencoba menyelidikinya, Ki,” tegas Bayu.

“Tidak semudah apa yang kau kira, Anak Muda. Kau pasti akan mendapat kesulitan dari penduduk desa ini. Mereka tidak akan mau mengatakan siapa dan di mana orang itu.”

“Tapi perbuatannya harus segera dihentikan, Ki. Bukannya tidak mungkin, hal itu akan menjadi kebiasaan. Sehingga, bisa saja dia membunuh siapa saja tanpa pandang bulu.”

Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Entah kenapa, matanya jadi memandangi Pendekar Pulau Neraka dengan sinar yang begitu sukar diartikan. Sedangkan Bayu malah mengarahkan pandangan ke Desa Caringin yang masih tetap lelap dalam buaian malam. Dan saat itu, terdengar jerit seekor monyet Bayu jadi tersentak. Langsung ingatannya tertuju pada Tiren yang ditinggalkannya.

Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa berbuat sesuatu, terlihat seekor monyet kecil berlari-lari sambil mencerecet ribut menghampiri. Bayu langsung mengulurkan tangannya. Dan monyet kecil berbulu hitam itu pun melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka, langsung memeluk erat leher seakan ingin mengatakan sesuatu pada pemuda ini. Bayu hanya menepuk kepala monyet kecil itu dengan lembut, seakan ingin menenangkannya.

“Maaf, aku tadi terpaksa memisahkan kalian berdua,” ucap Dewa Bayangan Putih.

Tidak apa, Ki. Tiren selalu tahu, di mana aku berada,” sahut Bayu seraya tersenyum, dan mengelus kepala monyet kecilnya.

Dewa Bayangan Putih juga tersenyum melihat Tiren merapatkan tubuhnya ke leher Pendekar Pulau Neraka. Tangannya yang kecil melingkari leher pemuda ini, seakan ingin melindungi diri dari terpaan angin yang semakin terasa dingin di tengah malam ini. Sementara bulan perlahan mulai menampakkan cahayanya dari gumpalan awan hitam yang semakin terlihat menipis di angkasa. Cahayanya yang keemasan mulai menyirami Desa Caringin.

“Biasanya tidak akan ada kejadian lagi setelah lewat tengah malam. Sebaiknya, kau beristirahat di tempatku saja, Anak Muda,” ajak Dewa Bayangan Putih, menawarkan.

“Kau punya tempat tinggal di sini, Ki?” tanya Bayu.

“Hanya gubuk kecil yang kubangun di luar desa. Tidak jauh dari sini,” sahut Dewa Bayangan Putih.

Bayu mengayunkan kakinya, begitu Dewa Bayangan Putih juga melangkah meninggalkan tempat ini. Mereka berjalan bersisian sambil terus membicarakan peristiwa yang tengah terjadi diDesa Caringin. Mereka terus menyusuri tepian hutan yang melingkari desa ini, bagai sebuah benteng pertahanan untuk berlindung dari serangan orang luar.


***


Rumah yang ditempati Dewa Bayangan Putih memang tidak begitu besar. Hanya ada satu kamar tidur dan ruangan depan yang menyatu dengan ruangan tengah, yang hanya dipisahkan oleh selembar kain tipis berwarna merah muda. Tidak ada yang bisa dilihat di dalam rumah ini. Bahkan untuk tidur pun hanya berupa sebuah balai bambu beralaskan selembar tikar daun pandan yang sudah lusuh.

“Kau bisa tidur di dalam. Aku cukup di sini saja,” kata Dewa Bayangan Putih, seraya menunjuk hamparan tikar yang menggeletak di sudut ruang tengah.

“Terima kasih, Ki. Sebaiknya, aku saja yang tidur di sini,” sahut Bayu menolak halus.

“Kau tamuku, Anak Muda. Sudah sepantasnya aku memberi yang terbaik untukmu.”

“Bukannya aku menolak, Ki. Tapi aku sudah terbiasa tidur beratap langit Dan aku sudah berterima kasih sekali bisa berada dalam ruangan tertutup, jauh dari gangguan embun.”

Dewa Bayangan Putih mengangkat bahunya sedikit, tidak dapat lagi memaksa Bayu agar mau tidur di dalam kamar. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka sendiri sudah merebahkan dirinya di sudut ruangan yang hanya beralaskan selembar tikar saja. Tak lama Dewa Bayangan Putih mengambil selembar tikar lagi yang tergulung di sudut lain dari ruangan ini. Digelarnya tikar itu, tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka.

“Kenapa tidak di dalam saja, Ki?” tegur Bayu melihat orang tua itu merebahkan dirinya di dalam ruangan ini juga.

“Kau dan aku sama, Anak Muda. Sudah terbiasa tidur beratap langit. Rumah ini memang sudah kosong waktu aku datang. Tidak pantas kalau ada perbedaan di antara kita di dalam rumah ini,” kilah Dewa Bayangan Putih lembut.

Bayu menggeliatkan tubuhnya sedikit, kemudian duduk bersila. Sedangkan Tiren sudah mendengkur di sebelahnya dengan tubuh melingkar memeluk lututnya sendiri. Sementara, Dewa Bayangan Putih tetap telentang melipat kedua tangannya di bawah kepala. Pandangannya lurus, menatap langit-langit ruangan ini. Beberapa saat mereka terdiam, tidak ada yang membuka pembicaraan lebih dulu. Begitu sunyinya, sehingga tarikan napas dan detak jantung mereka berdua jadi terdengar jelas.

“Sejak kapan kau menempati rumah ini, Ki?” tanya Bayu memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.

“Sejak mengintai wanita itu,” sahut Dewa Bayangan Putih.

“Wanita...?”

“Ya! Dia seorang wanita. Dan semua orang selalu menyebutnya Perempuan Bertopeng Emas,” kata Dewa Bayangan Putih menjelaskan lagi.

“Nama yang penuh teka-teki...,” desis Bayu perlahan.

“Memang. Dan, sangat cocok dengan perbuatannya. Dia seperti baru bangkit dari alam kubur, lantas membantai orang-orang yang sepertinya terkait dengan kematiannya,” sambung Dewa Bayangan Putih juga pelan suaranya, seakan bicara pada diri sendiri.

“Tentunya kau sudah cukup banyak tahu tentang dirinya, Ki. Sudah cukup lama kau mengintainya,” ujar Bayu lagi.

“Bisa dikatakan begitu, Anak Muda. Tapi sayangnya, apa yang kuketahui selama ini belum cukup untuk mengetahui tentang dia sebenarnya,” sahut Dewa Bayangan Putih mengakui kekurangannya.

“Dia selalu muncul seperti hantu, Ki?” tanya Bayu lagi.

“Sulit untuk memperkirakannya, Anak Muda. Memang gerakannya seperti hantu. Muncul dan menghilang begitu saja, tanpa dapat diikuti jejaknya. Seakan, dia tidak pernah menapak tanah. Berkali-kali aku selalu mendapat kesukaran untuk mendapatkan jejaknya!” jelas Dewa Bayangan Putih lagi.

Bayu terdiam membisu. Keningnya terlihat berkerut begitu dalam, seakan tengah memikirkan sesuatu. Sementara Dewa Bayangan Putih sudah memejamkan matanya. Tarikan napasnya terdengar begitu halus dan teratur. Sedangkan Bayu masih sulit memejamkan matanya. Pikirannya terus menerawang, mencerna semua cerita Dewa Bayangan Putih.

Pendekar Pulau Neraka merasakan hatinya begitu tergerak untuk menyingkap tabir yang menyelimuti seluruh Desa Caringin ini. Terutama sekali, tabir teka-teki yang menyelimuti wanita yang selama ini dikenal berjuluk Perempuan Bertopeng Emas itu. Wanita yang sudah meminta korban cukup banyak, dari orang-orang yang berkecimpung dalam dunia hitam.

“Aneh...,” gumam Bayu, bicara pada diri sendiri. Beberapa kali kepala Pendekar Pulau Neraka bergerak menggeleng dan keningnya semakin dalam berkerut Beberapa kali pula terdengar suara decakan dari bibirnya yang terus merapat.

Sementara malam terus merayap menjelang pagi. Angin yang bertiup menerobos lubang-lubang dinding rumah ini, menyebarkan udara dingin yang cukup membuat tubuh menggigil. Dan Pendekar Pulau Neraka semakin sulit memejamkan matanya. Entah berapa kali matanya melirik Dewa Bayangan Putih yang dengkurnya sejak tadi sudah terdengar halus. Orang tua itu pasti sudah terlelap dalam buaian mimpi.


***


Desa Caringin memang bukan desa kecil, walaupun dikelilingi hutan yang lebat dan bukit Penduduknya sangat padat, dengan rumah-rumah yang hampir merapat letaknya. Bayu sendiri sempat heran melihat semua penduduknya. Mereka seperti tidak merasa kalau ada seorang pembunuh liar yang hampir setiap malam selalu meminta korban nyawa. Memang tidak ada alasan untuk merasa takut atau cemas, karena pembunuh itu hanya mengambil korban dari orang-orang yang hidupnya berada dalam lembah hitam.

Sejak matahari mulai terbit tadi, Bayu sudah mengelilingi desa ini untuk mengamati keadaan dan suasananya. Semua ini memang membuat dirinya semakin diselimuti berbagai macam pertanyaan. Semua orang yang dijumpai, tidak satu pun yang menampakkan wajah takut atau kecemasan terhadap kemunculan Perempuan Bertopeng Emas itu. Bahkan sampai matahari berada di atas kepala, sama sekali tidak terdengar ada seorang pun yang membicarakan wanita itu.

Bahkan korban-korbannya mereka lupakan begitu saja. Kejadian semalam pun tidak ada yang membicarakannya. Dan ini yang membuat Bayu jadi bertanya-tanya sendiri dalam benaknya.

“Nguk!”

“Kau sudah lapar, Tiren?” tanya Bayu sambil berpaling menatap monyet kecil di pundaknya.

“Nguk!” Tiren mengangguk kecil, seakan mengerti apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka.

“Sebentar kita cari kedai dulu,” ujar Bayu seraya tersenyum.

“Nguk!”

Senyuman Bayu semakin lebar, melihat Tiren menunjuk ke depan. Dan memang, tidak jauh terlihat sebuah kedai yang pengunjungnya tidak begitu ramai. Sebuah kedai yang tidak begitu besar dan cukup terbuka, terletak di bawah pohon beringin yang sangat besar. Hingga, keadaannya terlihat begitu damai dan menyejukkan.

Bayu langsung mengarahkan kakinya menuju ke kedai itu. Pendekar Pulau Neraka berhenti sebentar, begitu berada di depan kedai ini. Hanya ada lima pengunjung yang semuanya berada dalam satu meja. Tapi dari pakaian dan senjata yang dibawa, jelas sekali kalau mereka dari kalangan persilatan. Bayu segera melangkah memasuki kedai itu. Salah seorang dari pengunjung melirik ke arahnya sedikit, tapi kemudian tidak mempedulikannya.

Pemuda berbaju kulit harimau itu mengambil tempat agak ke sudut. Tidak berapa lama, seorang wanita berwajah cantik dan berbaju biru muda agak ketat yang membungkus tubuh rampingnya, datang menghampiri. Senyumnya langsung terkembang begitu manis, membuat setiap mata laki-laki yang memandangnya pasti tidak akan berkedip. Bayu membalas senyuman itu sedikit saja.

“Mau makan, Den...?” sapa wanita itu dengan suara lembut.

“Ya,” sahut Bayu singkat.

“Makan apa?”

“Apa saja yang ada di sini. Juga, sediakan sesisir pisang untuk sahabatku ini,” sahut Bayu sambil menempatkan Tiren di atas meja.

“Sebentar disiapkan, Den.”

Wanita itu kembali meninggalkannya. Tapi hanya sebentar saja, dia sudah kembali lagi bersama seorang laki-laki tua yang membawa sebuah baki cukup besar, penuh berisi makanan serta seguci arak. Dengan sikap lembut disertai senyum manis tersungging di bibir, wanita itu menyiapkan hidangan yang dipesan Bayu di atas meja di depannya. Sementara Bayu hanya memperhatikan saja sekilas.

“Silakan, Den,” ucap wanita itu setelah selesai dengan pekerjaannya.

“Terima kasih,” ucap Bayu seperti tidak peduli.

Tapi ketika wanita itu hendak pergi meninggalkannya, cepat Bayu menangkap pergelangan tangan kirinya. Seketika wanita itu agak terperanjat. Sementara, laki-laki tua yang datang bersamanya tadi sudah tidak terlihat lagi di dalam ruangan kedai yang terbuka ini.

“Kau bisa menemaniku makan di sini...?” Bayu langsung menawarkan.

Wanita itu tersenyum manis sekali. Tanpa bicara sedikit pun juga, dia langsung saja duduk di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Bayu sempat mencium bau harum tubuh wanita yang berwajah cantik ini. Sementara, lima orang yang sudah ada di kedai ini sejak tadi menatap Bayu dengan sorot mata memancarkan ketidaksenangan. Bahkan salah seorang langsung menyemburkan ludahnya dengan sikap sengit. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu sama sekali tidak mempedulikannya. Malah duduknya dirapatkan pada wanita di sebelahnya ini.

“Boleh aku tahu namamu, Nisanak...?” tanya Bayu.

“Tarsih,” sahut wanita itu memperkenalkan diri. “Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji Bayu.

“Ah, Aden bisa saja...,” Tarsih jadi tersipu, dan langsung menunduk mendapat pujian.

Sedangkan Bayu mulai menikmati makanannya. Tiren juga seperti tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Binatang lucu ini begitu nikmat menyantap pisang yang disediakan khusus untuknya. Sementara, Tarsih selalu menambahkan arak ke dalam bambu yang selalu kosong dihirup Pendekar Pulau Neraka. Sementara senyum manis tidak pernah terlepas dari bibirnya yang merah menggairahkan.

“Kau asli penduduk desa ini, Tarsih?” tanya Bayu lagi.

Tarsih hanya menganggukkan kepala saja.

“Dan yang tadi itu, ayahmu...?” tanya Bayu lagi.

“Dia bekas pelayan ayahku,” sahut Tarsih begitu lirih.

“Bekas pelayan...?” kening Bayu jadi berkerut, langsung menghentikan makannya.

“Iya. Hanya Ki Radut yang masih setia mengikutiku. Sedangkan yang lainnya sudah tidak ada lagi sejak...,” Tarsih tidak melanjutkan.

“Orangtuamu sudah meninggal...?” tebak Bayu langsung.

Tarsih hanya menganggukkan kepala saja. Dan wanita ini jadi terus tertunduk dengan wajah mencerminkan duka. Bayu merasa jadi tidak enak atas pertanyaannya yang membuat wanita ini jadi berubah murung.

“Maaf, tidak seharusnya aku banyak bertanya,” ucap Bayu cepat-cepat.

“Ah, tidak apa-apa...,” sahut Tarsih kembali tersenyum.

Bayu membalas senyuman itu dengan manis.

“Sejak beberapa tahun ini, hanya kau yang baru menanyakan itu. Mereka semua sudah melupakannya. Padahal, peristiwa itu selalu saja datang membayangiku,” ujar Tarsih pelan suaranya, sehingga hampir tidak terdengar di telinga Pendekar Pulau Neraka.

Baru saja Bayu membuka mulutnya hendak bertanya lagi, tiba-tiba saja....

“Tarsih...!”
“Oh...?!”

Tarsih jadi tersentak kaget, begitu terdengar suara yang keras menggelegar memanggilnya. Wajahnya seketika jadi memucat, begitu melihat salah seorang dari lima orang pengunjung kedai yang sejak tadi memperhatikan Bayu berdiri dengan berkacak pinggang. Wajahnya kelihatan begitu garang, dengan sepasang bola mata merah menyala. Kumis tebal menghiasi bibirnya yang besar. Kulitnya juga kelihatan hitam terjemur matahari.

Sepasang gelang berwarna hitam berbentuk ular yang menggigit ekornya sendiri, terpasang pada kedua pergelangan tangannya. Tarsih langsung bangkit berdiri dengan tubuh bergetar. Sementara, Bayu hanya memperhatikan saja dengan kelopak mata agak menyipit.

“Ke sini kau...!” bentak laki-laki bertubuh besar dan kekar dengan wajah garang itu kasar.

“Iii.., iya. Sebentar, Kang...,” sahut Tarsih terbata.

Bergegas Tarsih menghampiri dengan sikap begitu takut. Sementara, Bayu terus memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun. Tarsih terbungkuk-bungkuk, begitu sampai di depan laki-laki bertubuh besar dan kekar ini. Dan tiba-tiba saja....

Plak!
“Aouwh...!”
“Heh...?!”

Bayu jadi terlonjak begitu melihat tangan yang besar itu menampar wajah cantik wanita pelayan kedai ini. Sementara, Tarsih langsung berputar dan jatuh menimpa meja. Saat itu, laki-laki bertubuh kekar ini sudah melompat menghampiri. Langsung dicengkeramnya batang leher Tarsih.

Seketika wanita itu jadi terpekik. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, tahu-tahu tubuh Tarsih sudah terangkat. Lalu....

“Perempuan rendah! Mampus kau! Hih...!”

Bruk!
“Akh...!”


***


TIGA

Kembali Tarsih terpekik, begitu tubuhnya dilempar dengan keras sekali ke atas permukaan meja. Begitu kerasnya, hingga meja itu hancur berkeping-keping. Sementara wanita itu jatuh bergulingan di lantai kedai ini. Bayu yang menyaksikan semua itu kontan mendidih darahnya. Tidak mungkin hatinya tak tersentuh melihat seorang wanita lemah tersiksa begitu rupa. Langsung dia melompat, tepat di saat kaki yang besar dan berbulu itu sudah terangkat hendak menginjak tubuh ramping yang tergeletak di lantai tanah ini.

Seketika dilepaskannya tendangan keras ke arah kaki berbulu itu. Dan....

Plak!
“Akh...!”

Tiba-tiba saja laki-laki bertubuh besar itu memekik keras agak tertahan, begitu kakinya terhantam kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan tahu-tahu tubuhnya terpental ke belakang hingga menghantam meja yang ditempatinya bersama empat orang temannya. Mereka jadi begitu terkejut melihat meja yang ditempati hancur tertimpa tubuh besar dan kekar.

Sementara, Tarsih bangkit berdiri dibantu Bayu yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya.

“Keparat..! Monyet buntung!” umpat laki-laki bertubuh kekar itu seraya bangkit berdiri dengan beringas.

Kedua bola mata laki-laki itu semakin merah menyala, melihat Tarsih kini berada dalam dekapan seorang pemuda tampan yang mengenakan baju dari kulit harimau itu. Sedangkan empat orang lainnya sudah langsung mencabut senjata masing-masing. Sedangkan laki-laki bertubuh kekar yang tadi tendangannya dipapak Bayu, langsung mencabut goloknya yang besar dari balik ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit sapi.

“Menyingkirlah. Akan kuhadapi mereka,” ujar Bayu sambil mendorong pelan tubuh wanita pelayan kedai itu.

Sambil meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya, Tarsih melangkah mundur menjauhi Pendekar Pulau Neraka. Saat itu, dari belakang kedai muncul Ki Radut Laki-laki tua itu bergegas menghampiri Tarsih, dan membawanya ke belakang. Tapi, Tarsih berhenti begitu mencapai pintu yang memisahkan ruangan kedai ini dengan bagian belakang. Sementara, Bayu sudah.dikelilingi lima orang yang semuanya sudah menghunus senjata di tangan kanan.

“Monyet jelek! Kau belum tahu siapa kami, heh...?!” bentak laki-laki bertubuh kekar itu menggeram marah.

“Aku tahu, siapa kalian semua. Kalian adalah tikus-tikus busuk yang beraninya hanya pada perempuan lemah,” sahut Bayu begitu dingin nada suaranya.

“Beledek! Kau akan mampus di tangan Lima Begal Sungai Ular!” geram laki-laki bertubuh kekar itu semakin berang.

“Sudah.... Jangan banyak bicara, Kakang. Bunuh saja manusia picik ini!” selak salah seorang, tidak dapat lagi menahan kegeramannya. Dan saat itu juga....

“Mampus kau! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, laki-laki bertubuh kekar itu langsung saja melompat menerjang disertai ayunan goloknya yang besar, tepat mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit harimau ini.

Bet!
“Hap...!”

Tapi hanya dengan egosan kepala sedikit saja, tebasan golok itu bisa dihindari Bayu dengan mudah. Bahkan tanpa diduga-duga, tangan kanan Pendekar Pulau Neraka bergerak cepat Langsung dilepaskannya satu sodokan yang mengarah tepat ke bagian tengah dada laki-laki ini.

Diegkh!
“Hegkh...!”

Laki-laki bertubuh kekar itu langsung terhuyung ke belakang dengan tubuh agak terbungkuk. Melihat itu, empat orang lainnya jadi berang setengah mati. Tanpa diperintah lagi, mereka yang berjuluk Lima Begal Sungai Ular langsung berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka.

“Hup! Yeaaah...!”

Tapi sebelum serangan sampai, Bayu sudah melesat cepat bagai kilat melewati atas kepala mereka. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung melesat keluar dari kedai itu. Indah sekali gerakannya saat berputar di udara, lalu ringan sekali kakinya menjejak tanah. Pendekar Pulau Neraka langsung berdiri tegak, menanti Lima Begal Sungai Ular.

Dan memang seperti yang diduga Pendekar Pulau Neraka, lima orang laki-laki bertampang bengis itu berlompatan keluar mengejarnya. Dua orang langsung saja menyerang dengan senjata golok yang besar ke arah kepala dan kaki. Tapi hanya sedikit melompat dan merundukkan tubuh, serangan serentak itu berhasil dihindari Bayu dengan manis. Bahkan begitu cepat sekali tubuhnya berputar sambil melepaskan tendangan beruntun yang begitu keras disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga dua orang lawannya tidak dapat lagi menghindar.

Diegh! Dugh!
“Aaakh...!”
“Ugh!”

Dan kedua orang itu kontan menjerit begitu tubuhnya terpental akibat tendangan yang sangat keras ini. Sementara, Bayu kembali berdiri tegak. Di pandangnya dua orang lawannya yang bergulingan di tanah sambil mengerang menahan sakit di tubuhnya.

“Serang! Bunuh monyet keparat itu…!”
“Hiyaaa…!”
“Yeaaah…!”


***


Pendekar Pulau Neraka cepat melenting ke atas, begitu kelima orang yang menamakan diri Lima Begal Sungai Ular itu berlompatan menyerang secara bersamaan. Dan pada saat itu juga, dengan gerakan cepat luar biasa Bayu berputaran di udara. Seketika dilepaskannya pukulan beruntun beberapa kali dengan kecepatan tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh. Begitu cepat pukulan-pukulannya, sehingga membuat Lima Begal Sungai Ular tidak dapat menghindari lagi.

Plak plak plakkk...!
“Aaakh...!
“Ugh!”

Dan jeritan-jeritan keras pun terdengar saling sambut, mengiringi tubuh-tubuh yang berpentalan dan jatuh bergulingan di tanah. Entah bagaimana caranya, ditangan kanan Pendekar Pulau Neraka sudah tergenggam lima buah golok yang dirampasnya dari tangan kelima orang lawannya. Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak memadangi Lima Begal Sungai Ular yang bergelimpangan sambil merintih menahan sakit di sekujur tubuhnya, akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

Sambil meringis dan merintih, mereka bangkit berdiri. Tapi mereka jadi terkejut setengah mati, begitu melihat senjata masing-masing sudah berpindah tangan tanpa diketahui lagi.

“Sebaiknya kalian cepat angkat kaki dari sini, sebelum pikiranku berubah untuk menghirup darah kalian!” terdengar begitu dingin suara Bayu. “Nih...!”

Sekali sentak saja, lima buah golok yang berada dalam genggaman tangan Bayu terlempar kedepan, dan tepat jatuh menancap di depan kaki-kaki kelima orang itu. Seketika mereka jadi terbeliak lebar dengan wajah kontan memucat Maka tanpa mengeluarkan suara lagi, mereka bergegas mengambil golok masing-masing, dan langsung berlarian meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.

Bayu jadi tersenyum melihat lima orang laki-laki bertubuh kekar dengan wajah garang itu berlarian seperti lima ekor kelinci melihat harimau. Sambil tersenyum-senyum, Pendekar Pulau Neraka kembali melangkah masuk ke dalam kedai. Sedangkan Tarsih dan pelayan tuanya langsung menyambutnya di pintu kedai. Mereka membawa Pendekar Pulau Neraka kembali duduk di mejanya semula.

“Ada yang sakit...?” tanya Bayu langsung sambil menatap Tarsih yang duduk di samping kirinya

“Tidak,” sahut Tarsih seraya menggeleng.

Bayu memperhatikan wanita itu beberapa saat. Deraan yang diterima Tarsih tadi memang sangat menyakitkan bagi orang biasa. Tapi, kelihatannya Tarsih sama sekali tidak merasakan sakit. Bahkan sedikit pun tidak terlihat luka di wajah maupun tubuhnya. Wanita ini masih tetap kelihatan cantik, walaupun tadi sampai terbanting menghantam meja hingga meja itu hancur berkeping-keping. Sementara Bayu sempat melirik keluar. Dan saat itu juga, keningnya jadi berkerut.

“Aneh...,” desis Bayu tanpa sadar.

“Apanya yang aneh, Den?” tanya Ki Radut yang duduk di seberang meja.

“Ah, tidak apa-apa...,” sahut Bayu langsung mengambil lodong bambu, dan meneguknya hingga tandas tak tersisa lagi.

Tarsih segera menuangkan kembali arak dari dalam guci ke dalam lodong bambu di tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara Bayu kembali melirik keluar kedai. Begitu banyak orang yang lalu-lalang di jalan depan kedai ini. Tapi, tidak ada seorang pun yang peduli dengan pertarungan tadi. Seakan, mereka tidak mau tahu dengan urusan orang lain. Bahkan tidak seorang pun yang melirik ke kedai ini.

“Mereka memang begitu, Kang,” ujar Tarsih, yang kini langsung tidak lagi memanggil Raden pada Bayu.

Kelihatannya wanita itu tahu apa yang ada didalam kepala Pendekar Pulau Neraka. Kata-kata Tarsih membuat kening Bayu jadi berkerut, memandang wajah cantik yang duduk di sebelahnya.

“Semua orang di sini terlalu sibuk dengan diri sendiri. Jadi, tidak ada perhatian sedikit pun dengan sekitarnya,” sambung Ki Radut.

Bayu hanya diam saja. Entah, apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Diteguknya sedikit arak dan diletakkannya lodong bambu itu ke atas meja. Sedangkan tangan kirinya mengusap kepala Tiren. Monyet kecil itu hanya menyeringai, memperlihatkan baris-baris giginya yang kecil dan sedikit runcing.

“Mereka tidak akan peduli dengan sekelilingnya, meskipun desa ini dibayangi kehancuran,” sambung Ki Radut lagi.

“Kehancuran bagaimana, Ki?” tanya Bayu jadi ingin tahu.

“Raden sudah dengar pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di sini...?” Ki Radut malah balik bertanya.

Bayu hanya diam saja. Wajahnya begitu datar, seakan tidak memperhatikan pertanyaan yang dilontarkan laki-laki tua itu. Tapi tatapannya justru begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Ki Radut. Sehingga orang tua itu jadi tidak menentu perasaannya.

“Sudah lebih dari dua purnama terjadi pembunuhan di desa ini, Den. Memang, yang menjadi korban adalah orang-orang jahat. Tapi semua penduduk desa ini tidak menyadari kalau sebenarnya juga terancam. Raden lihat sendiri, mereka begitu tidak peduli, walaupun semalam satu keluarga habis terbantai. Bahkan mayat mereka juga tidak bisa ditemukan lagi,” sambung Ki Radut.

“Apakah tidak ada orang yang berusaha menyelidikinya, Ki?” tanya Bayu.

“Tidak,” sahut Ki Radut seraya menggelengkan kepala.

“Mereka malah senang, Kang. Mereka menganggap pembunuh itu akan membuat desa ini jadi tenteram. Tapi, malah sebaliknya...,” selak Tarsih yang sejak tadi diam saja.

“Kalian merasa terganggu?” tanya Bayu lagi.

“Selama ini memang belum, Den. Tapi, aku merasa tidak lama lagi bencana akan datang ke desa ini,” sahut Ki Radut.

“Bencana apa, Ki?”

“Pembunuh itu pasti akan membantai semua orang di sini satu persatu. Dan aku, rasanya tinggal menunggu waktu saja,” sahut Ki Radut lagi.

Bayu jadi terdiam lagi. Kata-kata Ki Radut yang terakhir membuatnya jadi tertegun. Perkiraan Ki Radut begitu sama dengan dugaannya yang sudah dikemukakan pada Dewa Bayangan Maut semalam. Tapi, inilah yang membuat Bayu jadi merasa aneh. Sejak datang ke desa ini kemarin, baru Ki Radut saja yang mempunyai perasaan seperti itu. Sedangkan semua orang di desa ini sama sekali tidak bisa melihat kalau akan ada bencana yang bakal datang menimpa.

Bayu merasa inilah saatnya bisa memperoleh keterangan lebih banyak lagi. Maka semua yang belum diketahuinya terus ditanyakan pada Ki Radut. Hanya sesekali saja Tarsih menambahkan cerita Ki Radut mengenai keadaan di Desa Caringin ini. Tapi semakin banyak cerita yang masuk, semakin sulit bagi Bayu mencari jalan untuk mengetahui, siapa wanita yang berjuluk Perempuan Bertopeng Emas itu.


***


Bayu tidak bisa lagi menolak ketika Tarsih memintanya untuk menginap di kedainya yang juga menjadi tempat tinggalnya. Dan memang, saat itu matahari sudah sejak tadi tenggelam di balik peraduannya. Suasana di Desa Caringin ini kembali sunyi, tanpa seorang pun terlihat lagi berada di luar rumah. Wanita itu menyediakan satu kamar yang letak jendelanya langsung menghadap keluar. Memang, rumah wanita ini cukup besar, dan berada tepat di belakang kedainya.

Tapi, Bayu belum juga beranjak masuk ke dalam kamarnya. Pemuda berbaju kulit harimau itu masih tetap duduk menghadapi meja di sudut kedai. Dan perhatiannya tidak lepas dari jalan yang langsung menjadi sunyi, begitu matahari tenggelam di ufuk barat. Keanehan memang begitu terasa di desa ini. Dan Bayu sangat merasakannya. Tapi, sungguh tidak diketahuinya, apa yang menjadi sebab dari semua keanehan ini.

Hatinya hanya dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang sukar dijawab. Bayu melirik sedikit, saat telinganya mendengar ayunan langkah kaki yang halus dari sebelah kanan. Tampak Ki Radut datang menghampiri sambil membawa sebuah pelita kecil di tangan ki-ri. Orang tua itu langsung saja duduk di depan Pendekar Pulau Neraka, tanpa dipersilakan lagi. Diletakkannya pelita yang dibawa tepat di tengah-tengah meja. Bayu hanya memperlihatkan saja dengan sudut ekor mata.

“Sudah malam. Tidak tidur, Den...?” tegur Ki Radut lembut.

Bayu hanya tersenyum saja menjawab sapaan lembut dan ramah itu. Ditariknya napas sedikit, dan dihembuskannya dengan kuat. Ekor matanya sempat memperhatikan Tiren yang sudah melingkar di sudut meja ini. Monyet kecil itu memang mudah sekali jatuh tidur kalau perutnya sudah terasa kenyang.

“Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Den...?” ujar Ki Radut lagi masih nada suara sopan.

“Apa yang ingin kau tanyakan, Ki?”

“Boleh aku tahu dari mana asal Raden...?” tanya Ki Radut langsung.

Kembali Pendekar Pulau Neraka tersenyum, tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Baginya pertanyaan seperti ini tidak pernah didengar. Dan pemuda berbaju kulit harimau itu sendiri tidak bisa menjawab pasti, dari mana asalnya. Walaupun Bayu tidak bisa melupakan asal kelahirannya, tapi sudah lama mencoba melupakannya. Dan dia tidak ingin kembali hanyut dalam duka yang mendalam setiap kali teringat asal-usulnya sendiri. Memang begitu menyakitkan....

“Aku datang dari sebuah pulau yang jauh dari sini, Ki. Pulau yang tidak bernama dan tidak ada penghuninya,” sahut Bayu mencoba memuaskan hati orang tua ini.

“Orangtua Raden...?” tanya Ki Radut lagi seperti sedang menyelidiki Pendekar Pulau Neraka.

“Sudah lama tiada. Sejak aku masih bayi,” sahut Bayu pelan.

“Lalu, Raden diasuh siapa di pulau itu?”

“Kakek.”

Ki Radut mengangguk-angguk sambil memperdengarkan gumaman kecil bagai lebah. Sementara Bayu mengarahkan pandangan lurus ke depan, menembus malam yang begitu pekat tanpa disinari cahaya bintang maupun bulan. Malam ini, langit kelihatan hitam tertutup awan tebal bergulung-gulung. Sehingga membuat suasana malam di desa ini semakin terasa mencekam.

“Sejak tadi aku tidak melihat Tarsih. Di mana dia, Ki?” tanya Bayu mengalihkan pembicaraan.

“Dia selalu berada dalam kamarnya kalau sudah malam, Den. Baru besok pagi dia keluar dari kamarnya,” sahut Ki Radut.

“Kasihan dia. Sepertinya batinnya begitu tertekan,” desah Bayu perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.

“Begitulah keadaannya, Den. Kedua orangtua dan seluruh saudaranya mati dibantai perampok. Bahkan rumahnya dibakar bersama semua keluarganya yang mati. Masih untung dia bisa selamat Yah..., kejadian itu memang sudah lama, Den. Ketika Tarsih sendiri juga masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Tapi, dia menyaksikan semua kekejaman yang dialami keluarganya. Akulah yang membawanya pergi dari rumah ketika peristiwa itu terjadi. Tapi yang lebih menyakitkan lagi, semua penduduk di sini tidak ada yang mau menolongnya. Mereka malah hanya menyaksikan saja tanpa berbuat apa-apa, sampai api menghancurkan rumah orangtuanya Tarsih,” tutur Ki Radut dengan suara begitu pelan, mengisahkan kehidupan Tarsih.

“Menyakitkan sekali...,” desis Bayu tanpa sadar.

“Memang sangat menyakitkan, Den. Tapi aku tidak pernah memberi kesempatan padanya untuk melampiaskan dendam. Bahkan aku memelihara dan membesarkannya seperti layaknya seorang wanita. Yah..., kami hidup dari membuka kedai ini saja, Den. Kedai ini kubangun sendiri, di atas bekas reruntuhan rumahnya sendiri,” sambung Ki Radut menceritakan.

“Tapi aku lihat, kedai ini selalu sepi saja, Ki. Tidak seperti kedai-kedai lainnya,” ujar Bayu. Jelas sekali kalau nada suaranya menyelidik.

“Itulah yang membuatku selalu sedih, Den. Sejak membuka kedai ini, tidak ada seorang penduduk pun yang mau datang ke sini. Entah kenapa, mereka seperti merasa jijik makan di sini. Hanya pengembara dan pendatang saja yang singgah disini. Dan kini belum tentu dapat tamu satu atau dua orang dalam sehari. Aku sendiri sebenarnya sudah tidak tahan, Den. Tapi, Tarsih tidak mau meninggalkan desa ini. Dia tetap bertekad untuk hidup di desa ini, walaupun semua orang tidak mau memandangnya, “ sambung Ki Radut dengan bola mata berkaca-kaca.

Sesaat Pendekar Pulau Neraka jadi diam tertegun. Keningnya kelihatan berkerut dengan kelopak mata agak menyipit memandangi wajah orang tua yang duduk di depannya. Entah apa yang ada dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka. Sambil menghembuskan napas panjang, Bayu bangkit berdiri dari kursinya. Sedangkan Ki Radut sempat melirik memperhatikannya.

“Aku mau jalan-jalan dulu, Ki,” ujar Bayu berpamitan.

“Sebaiknya jangan, Den. Bahaya...,” cegah Ki Radut sambil berdiri dari duduknya.

“Kenapa...?” tanya Bayu memancing.

“Apa Raden tidak ingat, ada pembunuh kejam berkeliaran di desa ini...?”

“Aku tahu, Ki. Aku percaya, dia tidak akan mencelakakan aku. Dia hanya mencari orang-orang yang hidup dalam kejahatan saja,” sahut Bayu seraya tersenyum.

Setelah Pendekar Pulau Neraka menepuk lembut pundak laki-laki tua itu, kakinya terayun melangkah. Sekilas matanya sempat melirik Tiren yang masih tetap tidur lelap di atas meja.

“Tolong jaga sahabatku, Ki,” pinta Bayu berpesan.

“Hati-hati, Den. Kembali lagi ke sini, sebelum tengah malam,” pesan Ki Radut.

Bayu hanya tersenyum saja. Sementara kakinya terus terayun melangkah keluar dari dalam kedai ini. Ki Radut sendiri bergegas meninggalkan kedai, sambil menggendong Tiren yang masih saja terlelap dalam tidurnya. Sementara, Bayu terus mengayunkan kakinya semakin jauh meninggalkan kedai itu. Dia menyusuri jalan tanah yang berdebu dan membelah Desa Caringin ini bagai menjadi dua.


***


EMPAT

Belum jauh berjalan meninggalkan kedai Ki Radut, Bayu sudah dikejutkan oleh terdengarnya jeritan panjang yang begitu tinggi dan melengking dari arah timur. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh tingkat sempurna. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka itu, sehingga larinya bagaikan terbang di atas angin. Kedua telapak kakinya bagai tidak menyentuh tanah sedikit pun. Dan yang terlihat hanya bayangan kuning yang berkelebat di antara rumah-rumah penduduk Desa Caringin ini.

“Heh...?!”

Bayu sampai terhenyak, begitu melihat seseorang bertubuh ramping terbungkus pakaian kuning bagai terbuat dari emas. Sosok bertubuh wanita itu tengah bertarung sengit menghadapi tiga orang laki-laki berbadan besar dan kekar bersenjatakan golok. Terlihat dua orang tubuh laki-laki bertubuh kekar telah tergeletak tidak jauh dari tempat pertarungan dengan darah menggenang di sekitarnya. Dan pada saat Pendekar Pulau Neraka bisa mengenali lawan wanita berpakaian serba kuning keemasan itu, sudah kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari salah seorang akibat lehernya terlilit selendang emas. Dan ketika selendang itu ditarik oleh wanita berpakaian serba kuning itu dengan kuat...

Brolll...!

Tidak ada lagi terdengar jeritan di saat kepala orang itu tertarik buntung dari lehernya. Darah seketika menghambur keluar dengan deras sekali dari leher yang buntung tak berkepala lagi. Hanya sebentar saja dia masih mampu berdiri tanpa kepala, kemudian tubuhnya ambruk begitu kepalanya jatuh dari belitan selendang kuning keemasan itu.

Sementara, dua orang lainnya yang tersisa jadi terpaku tidak percaya. Wajah mereka pucat-pasi seperti mayat, melihat tiga orang temannya sudah menggeletak jadi mayat dengan darah menggenang di sekitar tubuhnya. Tapi hanya sebentar saja mereka terpaku bagai tersihir, kemudian....

“Perempuan setan! Kubunuh kau!

Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”

Serentak mereka berlompatan menyerang wanita bertopeng kuning keemasan ini dengan golok yang berkelebatan begitu cepat Tapi saat itu juga, wanita bertopeng kuning keemasan ini juga sudah cepat mengebutkan selendang mautnya. Dan....

Bet!
Bret! Cras!
“Akh!”
“Aaa...!”

Jeritan panjang melengking mengiringi kematian kembali terdengar saling sambut, disusul ambruknya dua orang laki-laki kekar yang dikenali Bayu sebagai dua dari Lima Begal Sungai Ular. Mereka ambruk menggelepar di tanah dengan leher hampir buntung mengucurkan darah segar begitu deras, sebelum bisa berbuat lebih banyak lagi.

Sementara, sosok tubuh ramping berpakaian serba kuning emas itu berdiri tegak sambil membelitkan selendang di pinggangnya yang ramping. Sedangkan Bayu seperti terpana, menyaksikan semua kejadian yang begitu cepat ini. Dalam waktu tidak berapa lama saja, Lima Begal Sungai Ular sudah tidak ada lagi yang bergerak. Mereka mati secara mengerikan sekali. Beberapa saat Bayu berdiri tegak bagai tersihir, memandangi sosok tubuh ramping berpakaian serba kuning emas itu.

“Kau tidak termasuk dalam hitunganku, Bayu. Jangan coba-coba mencampuri urusanku....”

“Heh...?!”

Bayu jadi tersentak kaget mendengar kata kata yang jelas dikeluarkan oleh wanita berbaju kuning itu. Tapi bukan itu yang membuat Bayu jadi terkejut. Ternyata yang mengenakan topeng pada wajahnya itu sudah mengenal namanya. Padahal, rasanya mereka belum pernah bertemu. Dan mungkin baru kali ini berhadapan muka.

“Siapa kau sebenarnya, Nisanak?” tanya Bayu langsung begitu bisa menguasai diri.

“Kau tidak perlu tahu siapa aku, Bayu. Kau juga tidak perlu mencampuri urusan ini. Lebih baik lagi, cepatlah tinggalkan desa ini, sebelum tubuhmu kuhancurkan!” sahut wanita bertopeng emas itu dingin menggetarkan.

“Hm...,” Bayu jadi menggumam perlahan.

Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka memperhatikan wanita berpakaian serba kuning keemasan di depannya. Tapi memang sulit bisa mengenali jelas wajahnya, karena tertutup topeng berbentuk wajah seorang wanita berwarna kuning emas.

“Dari mana kau tahu namaku, Nisanak?” terdengar agak datar nada suara Bayu.

“Aku tahu nama semua orang yang ada di desa ini, walaupun baru datang beberapa saat yang lalu,” sahut wanita itu, masih datar nada suaranya.

“Hm...,” kembali Bayu menggumam perlahan.

“Maaf, aku ada urusan lain yang lebih penting,” ucap wanita itu, seraya membalikkan tubuhnya.

“Tunggu...!” Bayu cepat mencegah, begitu melihat wanita berpakaian serba kuning keemasan yang dikenal berjuluk Perempuan Bertopeng Emas itu hendak pergi meninggalkannya. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung melompat mendekati. Hanya sekali lesat saja, dia sudah berada sekitar lima langkah lagi di depan Perempuan Bertopeng Emas ini.

“Mau apa kau...?!” terdengar ketus nada suara wanita ini.

“Kenapa kau lakukan semua ini? Apa kau ingin membunuh habis semua orang di desa ini...?” tanya Bayu langsung, tanpa menunggu waktu lagi.

“Itu urusanku, Bayu. Sebaiknya jangan ikut campur! Atau, kau ingin kusamakan dengan mereka...?!” bentak Perempuan Bertopeng Emas terdengar kesal suaranya.

Dan begitu kata-katanya selesai, Perempuan Bertopeng Emas ini langsung saja melesat cepat sekali, meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.

“Hey! Tunggu...!” teriak Bayu, mencoba mencegah.

“Hup...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung saja melesat mengejar wanita berpakaian serba kuning keemasan ini. Tapi, Bayu jadi kelabakan juga. Baru beberapa saat wanita itu melesat pergi, ternyata sudah lenyap tidak terlihat lagi. Dan Bayu terpaksa menghentikan pengejarannya. Dirayapinya keadaan sekitarnya, tapi bayangan Perempuan Bertopeng Emas memang sudah tak terlihat lagi. Sungguh cepat sekali menghilangnya, bagaikan hantu saja.

“Ilmu meringankan tubuhnya begitu sempurna, hingga bisa cepat menghilang tanpa diketahui lagi jejaknya. Hm..., benar apa kata Dewa Bayangan Putih. Dia benar-benar seperti hantu yang baru bangkit dari alam kubur,” desis Bayu menggumam pelan, bicara pada diri sendiri.

Beberapa saat Bayu masih mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan sekitarnya. Sorotan matanya sangat tajam, bagai hendak menembus kegelapan malam yang begitu pekat ini.

“Sebaiknya aku kelilingi saja desa ini,” gumam Bayu mengambil keputusan.

Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya kembali sambil memperhatikan sekitarnya tanpa berkedip. Kakinya terus melangkah, mencari kalau-kalau Perempuan Bertopeng Emas itu terlihat lagi. Rasa penasarannya semakin membakar menyulut hatinya. Ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka berhenti, setelah tiba di ujung jalan yang bercabang.

“Hm.... Kalau ke kiri kembali ke rumah Tarsih. Dan ke kanan..., ini jalan menuju pondok yang ditempati Dewa Bayangan Putih,” gumam Bayu bicara sendiri.

Dan setelah Pendekar Pulau Neraka sudah mengambil keputusan, kakinya terayun ke kiri. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja....

“Aaa...!”
“Heh...?!”


***


Bayu tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terdengar jeritan panjang melengking dari sebuah rumah yang berada tepat di sebelah kirinya. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, terlihat sebuah bayangan kuning keemasan melesat cepat bagai kilat, keluar menembus jendela samping rumah itu.

“Hey...!”

Kedua bola mata Bayu seketika terbeliak melihat si Perempuan Bertopeng Emas keluar dari rumah, menyusul terdengarnya jeritan panjang melengking tadi. Tanpa berpikir panjang lagi, Bayu langsung saja melesat mengejar wanita berpakaian serba kuning keemasan itu. Seluruh ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan langsung dikerahkan, hingga bagaikan terbang saja. Dia melesat begitu cepat, melintasi beberapa atap rumah penduduk.

“Hup! Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka mengempos seluruh kepandaiannya mengejar wanita yang dijuluki Perempuan Bertopeng Emas. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian cepat bagai kilat meluruk deras ke arah punggung wanita ini. Tapi begitu jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi....

Bet!
Siap...!
“Heh...?! Hup...!”

Cepat Bayu memutar tubuhnya. Langsung dihindarinya kilatan cahaya kuning keemasan yang tiba-tiba saja melesat ke arahnya, bersamaan dengan berputarnya tubuh Perempuan Bertopeng Emas itu. Kilatan cahaya kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di bawah tubuh Pendekar Pulau Neraka.

“Yeaaah...!”

Kembali Bayu berteriak keras menggelegar, dengan tubuh terus meluruk deras ke arah wanita berpakaian serba kuning keemasan itu. Dan seketika itu juga, satu pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna dilepaskan dengan kecepatan sangat tinggi. Namun hanya meliukkan tubuhnya sekali, wanita ini berhasil menghindari pukulan Pendekar Pulau Neraka.

“Hih! Hiyaaa...!”
Rrrt!
“Haiiit..!”

Bayu cepat-cepat mengegoskan tubuhnya ke kanan, begitu Perempuan Bertopeng Emas ini melepaskan selendang kuningnya. Selendang itu meluruk deras bagaikan seekor ular naga ke arah Pendekar Pulau Neraka. Untung saja Bayu cepat mengegos, sehingga hanya sedikit saja ujung selendang lewat di samping tubuhnya. Namun pada saat itu juga, selendang kuning keemasan itu kembali meliuk cepat, dan langsung meluruk kearah leher Pendekar Pulau Neraka.

“Hap!”

Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit Maka dengan cepat sekali tangan kirinya diangkat Lalu....

Tap!
“Ikh...?!”

Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik kaget, tidak menyangka kalau Bayu bisa menangkap ujung selendang emasnya. Saat itu juga, selendangnya dihentakkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Hih!”

Bayu jadi tersentak juga. Tubuhnya sampai terlonjak ke depan sedikit, tapi cepat mengerahkan tenaga dalamnya. Segera ditahannya tarikan selendang emas yang berada dalam genggaman tangan kirinya ini. Namun pada saat itu juga, tangan kiri Perempuan Bertopeng Emas mengibas ke depan. Maka seketika itu juga dari telapak tangannya melesat tiga buah benda bulat berwarna kuning keemasan yang begitu cepat, bagai anak panah lepas dari busur.

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat Bayu melenting ke atas tanpa melepaskan ujung selendang emas itu dari genggaman tangan kirinya. Dan tiga buah benda berwarna kuning keemasan pun melesat lewat di bawah telapak kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun pada saat Bayu berada di udara, tiba-tiba saja Perempuan Bertopeng Emas itu melesat cepat bagai kilat, langsung memberikan satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri.

“Hiyaaa...!”
“Upths...!”

Terpaksa Bayu melepaskan ujung selendang emas itu. Lalu, tubuhnya cepat berputar dua kali ke belakang, menghindari pukulan tangan kiri wanita berpakaian serba kuning keemasan ini. Saat itu juga si Perempuan Bertopeng Emas melesat cepat meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.

“Jangan lari kau! Hiyaaa...!”

Bayu tidak mau lagi membuang-buang waktu. Didukung oleh pengerahan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna, tubuhnya langsung saja melesat mengejar Perempuan Bertopeng Emas itu. Dan kini kejar-kejaran pun terjadi di antara rumah-rumah penduduk Desa Caringin.

Bahkan mereka sesekali terlihat berlompatan dari satu atap, ke atap rumah lainnya. Dan ketika tiba di jalan dekat rumah Tarsih, mendadak saja Perempuan Bertopeng Emas itu menghilang dari pandangan Pendekar Pulau Neraka.

“Heh...?! Ke mana dia...?” desis Bayu jadi celingukan. Terpaksa Bayu menghentikan pengejarannya.

Kini Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di tengah-tengah jalan, tepat di depan kedai Tarsih. Beberapa saat pandangannya beredar ke sekitarnya dengan sinar mata begitu tajam. Tapi, sedikit pun tidak terlihat bayangan wanita berpakaian serba kuning keemasan itu. Bahkan tidak ada seorang penduduk pun yang keluar dari dalam rumahnya.

Padahal jelas sekali kalau malam yang sunyi ini tadi sudah terpecah oleh jeritan melengking kematian dan teriakan-teriakan Bayu yang keras saat mengejar si Perempuan Bertopeng Emas. Tapi, keadaan di desa ini tetap sunyi seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

“Hm...,” perlahan Bayu menggumam. Dan kaki Pendekar Pulau Neraka segera terayun melangkah menghampiri kedai, saat melihat titik cahaya lampu pelita keluar dari bagian belakang kedai itu.


***


“Raden.... Syukurlah, kau tidak apa-apa,” ujar Ki Radut yang baru keluar dari dalam kedai membawa pelita yang nyala apinya begitu kecil.

“Aku tadi mendengar jeritan, kemudian teriakan-teriakan seperti orang bertarung.”

“Aku mengejar wanita itu, Ki,” jelas Bayu.

“Oh, Perempuan Bertopeng Emas...?” desis Ki Radut agak terbeliak kedua bola matanya.

Laki-laki tua itu jadi kelihatan bergetar tubuhnya. Cepat-cepat dihampirinya Pendekar Pulau Neraka, dan langsung ditariknya masuk ke dalam kedai. Bayu tidak membantah. Diturutinya saja ajakan Ki Radut. Mereka kemudian duduk menghadapi sebuah meja di dalam kedai yang gelap keadaannya ini. Ki Radut meletakkan pelitanya di atas meja. Sesaat dipandanginya wajah Bayu yang terus saja mengarahkan pandangan ke depan jalan.

“Dia menghilang di sekitar sini, Ki,” ujar Bayu memberitahu lagi tanpa berpaling sedikit pun.

“Di sini...?!” kembali kedua bola mata Ki Radut terbeliak lebar.

“Kau tidak melihatnya, Ki?” tanya Bayu.

“Tidak...,” sahut Ki Radut agak bergetar suaranya.

Pendekar Pulau Neraka kembali terdiam. Sementara pandangannya terus beredar ke jalan yang masih tetap sunyi tanpa seorang pun terlihat di sana. Sementara bulan di langit mulai memancarkan cahayanya, setelah awan hitam yang menutupinya tersingkap tertiup angin. Siraman cahaya bulan membuat penglihatan Bayu semakin leluasa mengamati jalan di depan kedai ini.

“Sebaiknya kau tidur saja, Ki. Kalau perlu, lihat Tarsih. Apa dia masih ada di dalam kamarnya atau tidak,” ujar Bayu seraya berpaling menatap orang tua yang duduk di seberang meja.

“Baik..., baik. Aku lihat Tarsih dulu,” sahut Ki Radut jadi tergagap.

Bergegas laki-laki tua itu melangkah meninggalkan Pendekar Pulau Neraka seorang diri di dalam kedai. Ayunan langkah kakinya agak tergesa. Dan Bayu sempat memperhatikannya. Seketika keningnya jadi berkerut, melihat ayunan langkah kaki Ki Radut yang begitu ringan, seperti seorang tokoh peralatan berkepandaian tinggi. Bahkan Bayu hampir tidak mendengar hentakan kakinya pada lantai kedai yang hanya dari tanah ini.

Namun belum juga Bayu bisa membuka mulutnya untuk memanggil, Ki Radut sudah menghilang di balik pintu yang menghubungkan kedai dengan rumah tinggal. Terpaksa mulutnya dikatupkan lagi. Tapi entah kenapa, perasaan hatinya mengatakan lain. Sambil menghembuskan napas yang terasa begitu berat, pemuda berbaju kulit harimau itu bangkit berdiri dari duduknya. Sebentar pandangannya dilayangkan ke depan.

Kemudian kakinya terayun, melangkah masuk ke bagian belakang kedai ini. Cukup gelap keadaan di dalam, karena tidak satu pelita pun menyala. Hanya cahaya bulan redup saja yang menerangi dari lubang-lubang diatas jendela dan pintu rumah ini. Bayu terus melangkah melintasi ruangan yang cukup luas. Dan ketika baru saja melewati pintu, tiba-tiba saja....

“Eh...?!”
“Oh...?!”
“Tarsih...,” desis Bayu terkejut.

Hampir saja mereka bertabrakan, kalau saja Bayu tidak cepat menarik kakinya selangkah ke belakang. Tarsih sendiri juga kelihatan terkejut sekali bertemu Pendekar Pulau Neraka di ruangan ini. Namun rasa keterkejutannya bisa cepat disembunyikan, dan cepat memberi senyum yang begitu manis. Dan ini membuat Bayu terpaksa harus menelan air liurnya sendiri melihat senyuman yang begitu manis dari wanita cantik ini. Entah kenapa, mendadak saja Bayu merasakan hatinya jadi tidak menentu.

“Kau belum tidur, Tarsih?” tanya Bayu mengurangi ketidakmenentuan hatinya.

“Aku baru dari pergi,” sahut Tarsih. “Ini baru mau ke kamar lagi. Kakang sendiri, kenapa belum tidur?”

“Udara panas malam ini. Aku sulit memejamkan mata,” sahut Bayu sekenanya.

“Memang beberapa hari ini cukup panas udaranya. Mungkin sebentar lagi akan datang musim hujan,” balas Tarsih.

Entah sengaja atau tidak, Tarsih mengipaskan dadanya dengan belahan bajunya sendiri. Sehingga, dua gundukan putih yang begitu indah jadi sedikit terbuka. Maka seketika tatapan mata Bayu jadi tidak berkedip menyorotinya. Kembali Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus menelan ludahnya sendiri.

“Tidurlah...,” ujar Bayu seraya hendak melangkah meninggalkan wanita ini.

Tapi belum juga mengayunkan kakinya, Tarsih sudah mencekal pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Dan seketika itu juga mereka jadi saling berpandangan dengan sorot mata yang begitu sukar diartikan. Perlahan Tarsih mendekati pemuda ini, hingga tubuhnya begitu dekat hampir merapat. Saat itu juga, Bayu mencium bau harum yang menyebar dari tubuh wanita ini. Dan jantungnya pun semakin bertambah cepat berdetak.

“Kakang...,” terdengar desah suara Tarsih.

Perlahan Tarsih mulai mendekatkan wajahnya ke wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Dan hembusan napasnya mulai terasa hangat, menerpa kulit wajah Bayu. Dan pemuda itu merasakan tenggorokannya jadi kering seketika.

Tarsih memang cantik. Bentuk tubuhnya juga bisa membuat setiap mata laki-laki yang memandangnya tidak akan berkedip. Dalam pandangan mata laki-laki, Tarsih memang sangat menggairahkan. Dan Bayu tidak memungkiri kelebihan yang ada pada diri wanita ini.

Tapi ketika Tarsih hendak melingkarkan tangannya ke leher, Bayu cepat mencekalnya dan menurunkan tangan itu lagi. Kakinya segera ditarik ke belakang satu langkah, hingga terdapat jarak yang cukup untuk menghentikan rayuan wanita ini.

“Aku tamu di sini, Tarsih. Tidak baik berbuat seperti itu,” ujar Bayu mencoba menolak halus.

“Kenapa...? Semua laki-laki selalu menginginkan begitu padaku. Apa aku sekarang tidak cantik lagi, Kakang...?” jelas sekali kalau nada suara Tarsih tersinggung atas penolakan Pendekar Pulau Neraka.

“Kau sangat cantik. Bahkan tidak ada wanita lain di desa ini yang bisa menandingi kecantikanmu,“ puji Bayu tidak ingin membuat wanita itu semakin merasa tersinggung.

“Tapi, kenapa kau menolakku, Kakang?” tanya Tarsih ingin tahu.

“Bukannya menolakmu, Tarsih. Tapi aku...,aku...,” terasa sulit bagi Bayu untuk mengemukakannya.

“Ayo ke kamarku, Kakang. Tidak ada yang bisa mengganggu di sana,” bujuk Tarsih mengajak.

Wanita itu kembali mencekal pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan entah kenapa, kali ini Bayu jadi sulit menolak lagi ajakan wanita ini. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Bayu mengikuti saja ayunan langkah kaki wanita ini. Dan mereka pun masuk ke dalam kamar yang langsung tertutup pintunya.


***


LIMA

Pendekar Pulau Neraka menggeliat saat merasakan kehangatan sinar matahari yang menyirami seluruh tubuhnya. Seketika Bayu jadi terkejut, begitu membuka matanya. Ternyata dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang sangat indah, bagai kamar seorang putri bangsawan. Cepat pemuda berbaju kulit harimau ini menggerinjang bangkit dari pembaringan yang beralaskan kain sutera merah muda itu.

Dan ketika kakinya hendak terayun keluar, pintu kamar itu sudah terbu-ka. Ternyata dari luar kamar ini Tarsih muncul bersama senyumnya yang manis tersungging di bibir. Wanita itu langsung masuk dan menutup kembali pintunya.

“Kau sudah bangun, Kakang...?” tegur wanita itu lembut.

Bayu hanya diam saja memandangi. Sedangkan yang dipandangi seperti tidak peduli. Diambilnya guci arak dari atas meja kecil di sudut kamar ini. Lalu isinya dituangkan ke dalam mangkuk perak. Dengan bibir yang selalu merah terus menyunggingkan senyum, mangkuk perak itu disodorkan pada Pendekar Pulau Neraka.

“Minumlah, Kakang. Arak ini bisa memulihkan kembali tenagamu, setelah terkuras semalam,” ujar Tarsih tetap lembut suaranya.

Bayu menerima mangkuk perak itu, dan langsung meneguk habis isinya. Dan Tarsih mengambil gelas yang sudah kosong itu, lalu meletakkannya di atas meja kecil di sudut ruangan. Kemudian dia duduk di tepi pembaringan. Sengaja tangannya menyingkapkan kain yang dikenakan, hingga menampakkan sepasang paha yang berkulit putih dan indah sekali.

Bayu sempat melirik sedikit ke arah paha yang menantang itu. Seketika terbayang kembali semua yang sudah dilakukannya di dalam kamar ini semalam bersama Tarsih. Wanita itu bukan hanya memiliki wajah cantik dan tubuh indah menggairahkan, tapi juga memiliki gairah yang begitu menggelora. Bahkan Bayu merasakan dirinya bagai berada dalam taman kayangan para dewi yang dikelilingi ribuan bidadari cantik.

Bayu memang sulit untuk bisa melupakannya, bagaimana terlena dalam belaian asmara yang dibangkitkan wanita ini semalam. Dan memang, Tarsih begitu menggairahkan. Bahkan pagi ini juga kelihatan lebih cantik dan menggairahkan. Detak jantung Bayu jadi semakin tidak beraturan, saat Tarsih mulai membuka bagian atas pakaiannya. Sehingga, belahan dadanya terlihat begitu jelas dan indah.

“Kau begitu gagah sekali semalam, Kakang. Rasanya aku ingin selalu dekat bersamamu,” ujar Tarsih lembut, disertai senyum menggairahkan tersungging di bibir yang selalu basah memerah.

“Hhh...!” Bayu hanya menghembuskan napas panjang saja. Pendekar Pulau Neraka tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. Ingin rasanya dia melawan gairah yang mulai menggelora dalam rongga dadanya. Tapi semakin keras berusaha memberontak, semakin besar nyala api gairahnya.

Dan tiba-tiba saja, Bayu merasakan pandangannya jadi nanar. Kepalanya pun terasa jadi pening. Tubuhnya terasa jadi limbung. Dan belum juga bisa menyadari apa yang tengah terjadi, kesadarannya pun seketika menghilang. Yang ada pada dirinya kini hanya gairah yang begitu membara, menggelegak dalam dada.

Kini Bayu tidak kuasa lagi bertahan. Kakinya mulai terayun menghampiri wanita yang kini sudah terbaring di atas ranjang dengan pakaian setengah terbuka.

“Ayo, Kakang. Kita ulangi lagi kenikmatan semalam...,” desah Tarsih pelan.

Sebentar saja Bayu berdiri di sisi pembaringan ini, kemudian menjatuhkan dirinya di atas pembaringan. Terlihat bergetar tangannya saat bergerak menyusuri sebentuk paha putih yang mulus tanpa cacat. Sementara Tarsih mulai merintih dan mendesah, merasakan lembutnya belaian jari-jari tangan pemuda ini yang merayap semakin naik mendekati pangkal pahanya.

“Ah, Kakang...,” desah Tarsih lirih.

Wanita itu tidak dapat lagi menguasai gejolak gairahnya. Langsung direngkuhnya tubuh Pendekar Pulau Neraka ke dalam pelukannya. Sementara, Bayu sendiri sudah tidak lagi ingat akan dirinya. Seluruh tubuh dan pikirannya sudah tertutup gejolak gairah yang begitu membara tanpa dapat dibendung lagi. Dan di dalam kamar ini, peristiwa semalam kembali terulang. Tidak ada lagi kata-kata yang terucap. Semua berganti desahan dan rintihan lirih, disertai dengusan napas memburu bagai kuda pacu.


***


“Oh....”

Bayu merintih lirih sambil memegangi kepalanya yang terasa begitu berat dan pening. Beberapa kali kepalanya digelengkan, mencoba mengusir rasa pening yang menyengat seluruh kepalanya. Dan perlahan kelopak matanya mulai di buka. Seketika Pendekar Pulau Neraka jadi tersentak kaget setengah mati, begitu mendapati dirinya ki-ni berada di dalam sebuah kamar berdinding bilik bambu. Dan tubuhnya terbaring di atas dipan bambu, hanya beralaskan selembar tikar lusuh.

“Kau sudah bangun, Bayu...?”
“Oh...?!”

Bayu kembali terkejut begitu mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Cepat kepalanya berpaling ke arah datangnya suara itu. Bergegas pemuda itu bangkit duduk begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah putih duduk di atas kursi bambu tidak jauh dari dipan ini.

“Ki Dewa Bayangan Putih...,” desis Bayu lirih, langsung mengenali orang tua berjubah putih itu.

“Jangan banyak bicara dulu, Bayu. Kerahkan hawa murnimu. Atur seluruh peredaran darahmu. Bersemadilah barang sebentar,” ujar Dewa Bayangan Putih memberi petunjuk.

Bayu menuruti saja kata-kata orang tua itu. Segera diambilnya sikap bersemadi. Dan kelopak matanya langsung terpejam rapat. Beberapa kali ditariknya napas panjang panjang dan dihembuskannya perlahan-lahan. Seluruh pikiran dan jiwanya dikosongkan. Perlahan Bayu merasakan peredaran darahnya kembali pulih seperti semula.

Dan rasa pening pun berangsur menghilang, begitu hawa murninya dikerahkan dari pusat tubuhnya. Hanya sebentar saja Bayu bersemadi untuk memulihkan keadaan tubuhnya. Dan kelopak matanya kembali dibuka. Pandangannya langsung tertuju pada Dewa Bayangan Putih yang masih tetap duduk di kursi, dekat pintu kamar berdinding bilik bambu ini. Sebentar Bayu mengedarkan pandangan, mengamati kamar ini. Dia ingat, kalau sekarang berada di rumah yang ditempati Dewa Bayangan Putih, dan letaknya tidak jauh dari Desa Caringin.

“Apa yang terjadi padaku, Ki?” tanya Bayu langsung ingin tahu.

“Seharusnya kau sudah tahu, apa yang terjadi pada dirimu, Bayu. Aku menemukanmu tergeletak di tepi hutan. Hampir saja tubuhmu habis dimakan burung-burung bangkai. Untung saja aku segera datang dan membawamu ke sini,” ujar Dewa Bayangan Putih.

Bayu jadi terdiam. Dicobanya untuk mengingat semua peristiwa yang sudah dialaminya selama ini.

“Ingat-ingatlah, Bayu. Apa saja yang kau alami selama berada di Desa Caringin,” ujar Dewa Bayangan Putih, mencoba membantu ingatan Pendekar Pulau Neraka.

Sedikit demi sedikit, Bayu mulai bisa merangkai satu persatu peristiwa yang dialaminya sela-ma berada di Desa Caringin. Dan yang terakhir diingatnya, dia berada di dalam sebuah kamar indah bersama Tarsih, wanita cantik pemilik kedai di ujung jalan Desa Caringin. Hanya sampai di situ saja Bayu bisa mengingatnya. Selebihnya, dia tidak tahu lagi apa yang telah terjadi pada dirinya.

“Di mana Tiren, Ki?” tanya Bayu begitu teringat monyet kecilnya.

“Aku hanya menemukan dirimu saja, Bayu. Aku tidak tahu, di mana monyet kecilmu itu,” sahut Dewa Bayangan Putih.

“Oh...,” Bayu melenguh panjang sambil memegangi kepalanya.

“Ada apa, Bayu?” tanya Dewa Bayangan Putih.

“Tiren pasti masih bersama mereka,” ujar Bayu pelan, seperti bicara untuk diri sendiri.

“Siapa mereka?” tanya Dewa Bayangan Putih lagi.

“Tarsih dan pelayan tuanya,” sahut Bayu masih dengan suara pelan.

“Tarsih...?”

“Ya..., wanita pemilik kedai yang ada di ujung jalan desa. Aku sempat menginap semalam di sana. Dan Tiren kutinggalkan di sana waktu mengejar Perempuan Bertopeng Emas. Ah...! Aku tidak tahu lagi, apa yang terjadi pada diriku...,” terdengar lirih suara Bayu.

“Barangkali monyetmu itu masih ada di sana, Bayu. Sebaiknya, cepat kembali ke sana sebelum terjadi sesuatu padanya. Kau sangat menyayanginya, bukan...?” ujar Dewa Bayangan Putih mendorong semangat Pendekar Pulau Neraka.

“Aku memang harus ke sana, Ki,” sahut Bayu mantap.

Cepat Pendekar Pulau Neraka turun dari dipan bambu ini. Dewa Bayangan Putih juga bangkit berdiri dari kursinya. Sebentar Bayu mengamati keadaan dirinya. Hatinya jadi lega begitu melihat Cakra Maut masih tetap menempel di pergelangan tangan kanannya. Senjata itu memang tidak boleh tercecer sembarangan dari Pendekar Pulau Neraka.

“Aku pergi dulu, Ki,” pamit Bayu.

“Hati-hatilah. Mungkin kau akan mendapat rintangan di sana,” ujar Dewa Bayangan Putih menasihati.

Bayu tersenyum dan menganggukkan kepala sedikit Kemudian dia melangkah keluar dari dalam kamar, dan terus berjalan keluar dari rumah kecil yang begitu sederhana ini. Sementara, Dewa Bayangan Putih mengantarkan hanya sampai diambang pintu saja. Dan Bayu sendiri terus berjalan menuju Desa Caringin tanpa menoleh lagi.

Sementara Dewa Bayangan Putih masih tetap berdiri di ambang pintu memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka ke Desa Caringin. Sampai punggung pemuda itu lenyap dari pandangan, Dewa Bayangan Putih masih tetap berada di ambang pintu rumah kecil yang ditempatinya.

“Anak Muda...,” desah Dewa Bayangan Putih seraya menggelengkan kepala sedikit beberapa kali.

Perlahan orang tua itu memutar tubuhnya berbalik dan hendak masuk kembali ke dalam rumah ini. Tapi belum juga kakinya terayun melangkah, mendadak saja....

Wusss...!
“Heh...?! Hap!”

Dewa Bayangan Putih cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, begitu terasa adanya hembusan angin yang cukup kencang dari arah belakang. Dan seketika itu juga, tongkatnya bergerak cepat ke sebelah kanannya. Tepat pada saat itu, terlihat kilatan cahaya kuning keemasan meluncur deras dari arah belakang orang tua ini. Dan....

Trak!
“Hup...!”

Dewa Bayangan Putih cepat melompat ke belakang sambil berputaran dua kali di udara, begitu tongkatnya terasa membentur sebuah benda yang sangat keras dan berwarna kuning keemasan. Sedangkan benda berbentuk bulat sebesar mata kucing itu kembali terpental balik ke belakang. Dan tepat ketika benda itu menghantam pohon hingga tumbang, Dewa Bayangan Putih manis sekali menjejakkan kakinya di depan rumah yang ditempatinya selama ini.

“Hik hik hik...!”

“Perempuan Bertopeng Emas...,” desis Dewa Bayangan Putih, begitu tiba-tiba terdengar tawa mengikik yang menggema bagai datang dari segala arah.

Dan belum lagi orang tua itu bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan kuning keemasan berkelebat begitu cepat bagai kilat Tahu-tahu, di depan Dewa Bayangan Putih sudah berdiri sesosok tubuh ramping berbaju kuning keemasan. Wajahnya tertutup topeng berwarna kuning seperti terbuat dari emas, sehingga sulit dikenali.

“Mau apa kau datang ke sini?” terasa begitu dingin nada suara Dewa Bayangan Putih.

“Seharusnya kau sudah tahu, untuk apa aku datang ke sini Dewa Bayangan Putih,” sahut Perempuan Bertopeng Emas tidak kalah dingin.

Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Sudah bisa ditebak, kemunculan Perempuan Bertopeng Emas ini tentu untuk mencabut nyawanya. Tapi tentu saja selembar nyawanya tidak ingin diserahkan begitu saja. Walaupun disadari kalau kepandaian Perempuan Bertopeng Emas itu belum bisa diperkirakannya.

“Kau belum pantas menantangku, Nisanak. Kepandaian yang kau miliki hanya untuk cacing-cacing tanah tak berguna,” sengaja Dewa Bayangan Putih memanasi.

“Hik hik hik...!”

Tapi kata-kata Dewa Bayangan Putih hanya ditanggapi dengan suara tawa mengikik kecil. Sementara, Dewa Bayangan Putih sendiri sudah menggenggam erat tongkatnya di tangan kanan. Sementara ujung tongkatnya menekan kuat ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tidak berkedip memandangi wanita bertopeng kuning keemasan yang berada sekitar setengah batang tombak di depannya.

“Sebutlah nama leluhurmu sebelum kau terbang ke neraka, Dewa Bayangan Putih,” desis Perempuan Bertopeng Emas sinis.

“Aku khawatir, justru kau yang akan menggali lubang kuburmu sendiri, Nisanak,” sambut Dewa Bayangan Putih, tidak kalah sinisnya.

“Hik hik hik! Ajalmu sudah tiba, Dewa Bayangan Putih. Bersiaplah, yeaaah...!”

Sambil membentak nyaring, Perempuan Bertopeng Emas langsung saja mengebutkan selendangnya yang berwarna kuning keemasan dengan kecepatan begitu tinggi. Selendang yang kelihatan halus dan lembut itu meluruk deras bagai seekor naga menyambar ke arah kepala Dewa Bayangan Putih.

“Haiiit...!”

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, ujung selendang itu lewat di samping kepala Dewa Bayangan Putih. Lalu cepat sekali tongkat putihnya diangkat, dan langsung disabetkan ke bagian tengah selendang itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, selendang itu bisa meliuk indah menghindari sabetan tongkat kayu orang tua ini. Dan dengan kecepatan sukar diikuti pandangan mata biasa, selendang kuning keemasan itu melesat bagai kilat mengarah ke kaki orang tua ini.

“Hup! Yeaaah...!”


***


Dewa Bayangan Putih cepat melesat ke atas, menghindari sambaran selendang kuning keemasan. Tapi begitu berada di atas tanah, tangan kiri Perempuan Bertopeng Emas sudah bergerak cepat, mengibas ke depan. Maka seketika itu juga, tiga buah benda bulat sebesar mata kucing berwarna kuning keemasan, melesat ke arah tubuh orang tua ini.

“Hap! Yeaaah...!”

Dewa Bayangan Putih cepat memutar tongkatnya. Sehingga tiga buah benda bulat kuning keemasan itu berpentalan balik, begitu membentur putaran tongkat orang tua ini. Manis sekali Dewa Bayangan Putih meluruk turun, dan menjejakkan kakinya kembali di tanah. Namun belum juga tubuhnya bisa ditegakkan, Perempuan Bertopeng Emas sudah menyerang cepat bagai kilat dengan selendangnya lagi.

“Hiyaaa...!”
Bet!

Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Dewa Bayangan Putih untuk menghindari serangan selendang kuning keemasan itu. Maka langsung tongkatnya diputar dan dihantamkannya tepat dibagian ujung selendang itu.

Rrrt...!
“Heh...?!”

Dewa Bayangan Putih jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba tongkatnya terbelit ujung selendang emas. Cepat tongkatnya ditarik disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali, belitan selendang itu demikian kuat. Sehingga sulit dilepaskannya. Dan belum juga Dewa Bayangan Putih bisa menguasai tongkatnya, Perempuan Bertopeng Emas sudah melesat cepat seperti kilat sambil berteriak nyaring.

“Hiyaaat..!”
“Upths...!”

Cepat-cepat Dewa Bayangan Putih membanting tubuhnya ke tanah. Dan dia langsung bergulingan beberapa kali menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan Perempuan Bertopeng Emas.

“Hup!”

Kembali dengan gerakan cepat Dewa Bayangan Putih melompat bangkit berdiri. Namun pada saat itu juga, selendang yang masih membelit tongkatnya bergerak memutar begitu cepat, sehingga Dewa Bayangan Putih tidak sempat lagi menyadarinya. Dan....

Rrrt!
“Ikh...!”

Dewa Bayangan Putih jadi terpekik kaget setengah mati, begitu tahu-tahu seluruh tubuhnya sudah terlilit selendang Perempuan Bertopeng Emas ini. Dan pada saat itu juga, wanita ini sudah melompat sambil melepaskan satu pukulan menggeledek yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Hiyaaa...!”
Diegkh!
“Akh...!”

Dewa Bayangan Putih kontan menjerit, begitu pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dqalam tinggi menghantam tepat di dadanya. Seketika tubuhnya, terpental jauh ke belakang dengan tubuh masih terbelit selendang yang begitu kuat Beberapa kali orang tua itu bergulingan di tanah.

Dan belum juga bisa membebaskan diri dari libatan selendang, Perempuan Bertopeng Emas sudah melancarkan serangan dahsyat lagi, sambil berteriak keras menggelegar.

“Mampus kau! Yeaaah...!”

Prak!
“Aaa...!”

Seketika jeritan panjang yang menyayat pun terdengar, begitu pukulan yang dilancarkan si Perempuan Bertopeng Emas menghantam kepala Dewa Bayangan Putih. Tampak kepala orang tua itu retak, dan darah mengucur keluar dengan deras sekali. Dewa Bayangan Putih menggelepar di tanah dengan tubuh masih terlilit selendang. Sedangkan darah semakin banyak keluar dari kepalanya yang pecah. Sementara, Perempuan Bertopeng Emas itu sudah mengambil ujung selendangnya. Dan hanya sekali sentakan saja, libatan selendang pada tubuh Dewa Bayangan Putih terlepas seketika.

“Hih! Yeaaah...!”

Perempuan Bertopeng Emas tidak berhenti sampai di situ saja saat melihat lawannya masih bisa bergerak, walaupun sudah tidak mungkin dapat bangkit berdiri lagi. Sambil membentak nyaring, selendangnya dikebutkan. Seketika ujung selendang itu tepat menghantam batang leher Dewa Bayangan Putih.

Bret!

Tidak ada lagi jeritan yang terdengar. Tampak leher laki-laki tua itu terpenggal hingga hampir buntung, membuat darah makin deras keluar. Dewa Bayangan Putih semakin keras menggelepar bagai ayam disembelih. Namun hanya sebentar saja bergerak, sesaat kemudian sudah mengejang kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur menggenangi tanah di sekitar tubuhnya.

“Hik hik hik...!”

Perempuan Bertopeng Emas tertawa mengikik melihat lawannya dapat mudah ditaklukkan. Lalu selendangnya dililitkan kembali di pinggangnya yang ramping. Kemudian dengan ayunan kaki yang tenang sekali, dia melangkah meninggalkan Dewa Bayangan Putih yang kini sudah tergeletak diam tidak bernyawa lagi.

“Hik hik hik...!”

Suara tawa wanita yang selalu bertopeng warna emas dengan seluruh pakaian juga berwarna kuning keemasan itu terus terdengar mengiringi ayunan langkahnya meninggalkan mayat lawannya. Dan suara tawa itu terus terdengar, walaupun tubuh wanita itu sudah tidak terlihat lagi, lenyap ditelan lebatnya pepohonan di pinggiran Desa Caringin yang berbatasan langsung dengan hutan ini.

Sementara, Dewa Bayangan Putih masih tergeletak kaku dengan darah menggenang di sekitarnya. Kematian yang begitu mengenaskan bagi Dewa Bayangan Putih. Dan suasana pun kembali sunyi. Hanya desir angin saja yang terdengar mempermainkan dedaunan. Suara tawa mengikik itu pun sudah tidak terdengar lagi, begitu tubuh si Perempuan Bertopeng Emas tidak terlihat lagi di tepian hutan ini.


***


ENAM

Sementara itu, Bayu yang sudah kembali berada di Desa Caringin, langsung menuju kedai milik Tarsih. Namun tidak ada seorang pun yang datang mengunjungi kedai itu. Keadaannya terlihat begitu sunyi, walaupun di jalan depan kedai terlihat orang-orang hilir-mudik. Mereka seakan-akan tidak tahu kalau ada kedai di pinggiran jalan itu. Bayu langsung menerobos masuk ke dalam kedai.

Kali ini bukan Tarsih, tapi Ki Radut yang menyambutnya dengan tergopoh-gopoh. Orang tua itu langsung saja menarik tangan Pendekar Pulau Neraka, dan mengajaknya duduk agak ke sudut dari ruangan kedai yang cukup terbuka ini.

“Den, wanita itu sudah mulai membunuh satu keluarga penduduk,” tutur Ki Radut langsung memberitahu, begitu mereka duduk berseberangan meja.

“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja sedikit sambil memandangi wajah laki-laki tua yang duduk di seberang mejanya.

Memang Pendekar Pulau Neraka sudah menduga sejak semalam, kalau korban Perempuan Bertopeng Emas itu adalah satu keluarga penduduk yang sehari-harinya hanya berladang, tanpa mengenal ilmu olah kanuragan. Tapi, Perempuan Bertopeng Emas itu juga semalam sudah membunuh Lima Begal Sungai Ular, sebelum mendapat korban satu keluarga penduduk Desa Caringin ini.

“Tidak lama lagi, desa ini akan rata dengan tanah. Wanita itu pasti akan membunuh habis semua penduduk Desa Caringin ini,” sambung Ki Radut.

“Kau kelihatannya malah senang atas kejadian ini, Ki...,” ujar Bayu, agak mendesis suaranya. Jelas sekali kalau kata-kata Pendekar Pulau Neraka mengandung kecurigaan pada orang tua ini.

“Mereka patut mendapat ganjaran yang setimpal seperti itu, Den,” sahut Ki Radut, agak datar nada suaranya.

Kening Bayu jadi semakin dalam berkerut mendengar jawaban orang tua ini. Sungguh tidak disangka kalau Ki Radut menyukai tindakan si Perempuan Bertopeng Emas. Semula Bayu mengharapkan Ki Radut akan memberi jawaban yang lain. Tapi, kata-kata orang tua itu malah membuatnya semakin bertambah curiga.

“Mana Tarsih, Ki?” tanya Bayu langsung teringat pada wanita cantik yang menjadi pelayan dikedai ini.

“Pergi,” sahut Ki Radut.
“Ke mana?” desak Bayu.

Belum juga Ki Radut bisa menjawab, dari bagian belakang kedai ini muncul Tarsih disertai senyuman manis tersungging di bibir. Bayu langsung mengarahkan pandangan pada wanita berwajah cantik itu.

“Aku tidak ke mana-mana, Kakang. Sejak tadi, aku ada di belakang,” kata Tarsih langsung, sambil menempatkan diri di samping Pendekar Pulau Neraka.

Saat itu, muncul Tiren dari belakang kedai sambil mencerecet ribut. Monyet kecil itu langsung melompat naik ke pundak dan memeluk erat leher Pendekar Pulau Neraka, seakan tidak ingin dilepaskan lagi. Dengan halus Bayu melepaskan pelukan monyet kecilnya.

“Dia terus-menerus ribut mencarimu, Den,” jelas Ki Radut.

“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja sedikit. Beberapa saat mereka jadi terdiam membisu.

Sementara, Bayu terus memandang Ki Radut dan Tarsih bergantian. Entah apa yang dicari Pendekar Pulau Neraka pada wajah mereka berdua. Namun jelas sekali terlihat kalau raut wajah mereka begitu datar, sulit diterka artinya. Bayu lalu mengarahkan pandangannya ke luar. Tampak matahari sudah condong ke arah barat. Sinarnya yang semula terasa terik, kini begitu lembut menyapu seluruh permukaan Desa Caringin ini. Sedikit Bayu menghela napas, kemudian dia bangkit berdiri.

“Kau mau ke mana, Kakang?” tanya Tarsih langsung ikut berdiri.

“Pergi,” sahut Bayu singkat. Kaki Pendekar Pulau Neraka terus saja terayun melangkah keluar dari dalam kedai ini. Sementara Tarsih yang ingin mengejar, cepat dicegah Ki Radut dengan mencekal pergelangan tangannya.

Terpaksa Tarsih tidak jadi mengejar Pendekar Pulau Neraka. Hanya dipandanginya saja sampai Bayu tidak terlihat lagi, menghilang di tikungan jalan.

“Biarkan dia pergi, Tarsih,” ujar Ki Radut sambil melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan wanita itu.

“Tapi, Ki....”

“Sudahlah.... Jangan turutkan kata hatimu, Tarsih,” selak Ki Radut cepat, sebelum Tarsih bisa melanjutkan ucapannya.

“Sudah kau selesaikan pekerjaanmu?”
“Sudah,” sahut Tarsih seraya mengangguk.

“Bagus,” sambut Ki Radut dengan bibir menyunggingkan senyum. “Masih banyak pekerjaan lain yang harus kau selesaikan di sini, Tarsih. Dan kuminta hanya sekali itu saja kau keluar pada siang hari”.

Tarsih hanya menganggukkan kepala saja, lalu kembali duduk menghadapi meja. Raut wajahnya kelihatan begitu datar, dengan pandangan menekuri permukaan meja dari kayu ini. Sementara Ki Radut sudah kembali ke belakang kedai.


***


Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh permukaan bumi. Suasana di Desa Caringin kembali sunyi, bagaikan tidak berpenghuni lagi. Sementara tidak jauh di pinggiran desa, tampak Bayu berdiri tegak di depan gundukan tanah yang masih kelihatan baru. Tidak jauh di belakangnya terlihat sebuah rumah kecil berdinding bilik bambu. Entah, apa yang ada dalam hati Pendekar Pulau Neraka ini, mendapati Dewa Bayangan Putih sudah mati dengan luka begitu mengerikan. Kepalanya retak, dengan leher terobek hampir buntung.

Bayu menemukan orang tua itu tergeletak mati tidak jauh di depan rumah yang ditempatinya. Sedangkan darah yang menggenang sudah mengering. Kelihatannya kematian Dewa Bayangan Putih sudah cukup lama. Malah, beberapa saat setelah ditinggalkannya.

“Tapi, siapa yang bisa membunuh Dewa Bayangan Putih...?” pertanyaan ini yang terus mengganggu pikiran Bayu. Tapi Pendekar Pulau Neraka bisa langsung menduga, siapa pelakunya.

“Hhh! Aku tidak bisa mendiamkan ini terus berlangsung. Perempuan itu harus menanggung akibatnya!” dengus Bayu memuntahkan kekesalan hatinya.

Sebentar Bayu masih berdiri memandangi kuburan Dewa Bayangan Putih, kemudian tubuhnya berbalik. Segera kakinya melangkah pergi meninggalkan tempat peristirahatan terakhir tokoh tua itu. Bayu terus mengayunkan mantap kakinya menuju Desa Caringin lagi. Di dalam hatinya, dia bertekad akan membuat perhitungan kepada si Perempuan Bertopeng Emas yang sudah membunuh Dewa Bayangan Putih!

Tanpa disadari, Bayu berjalan sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang tingkatannya sudah sempurna sekali. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau Neraka sudah tiba ke Desa Caringin yang selalu sunyi jika malam telah datang menyelimuti.

Sungguh menyolok perbedaannya bila pada siang hari yang selalu ramai. Jika malam sudah datang, desa ini bagaikan mati. Tidak seorang pun terlihat berada di luar rumahnya. Terlebih lagi, semalam satu keluarga yang dikenal semua penduduk hanya sebagai petani biasa, mati menjadi korban si Perempuan Bertopeng Emas.

Kejadian itu membuat seluruh penduduk Desa Caringin jadi tidak berani keluar rumah, dan benar-benar dicekam ketakutan yang amat sangat Mereka kini sadar, kalau kematian telah menghantui. Kalau hari-hari sebelumnya mereka merasa senang karena yang dibunuh adalah tokoh-tokoh hitam atau penjahat biasa, tapi kini ternyata yang dibunuh oleh Perempuan Bertopeng Emas juga para penduduk biasa seperti mereka.

Biasanya kalau sehabis ada pembantaian, para penduduk desa ini berani keluar rumah, untuk melihat tokoh siapa yang tewas dibunuh. Tapi sekarang, mereka lebih memilih tinggal di rumah dengan hati was-was, jangan-jangan diri mereka yang mendapat giliran menjadi korban.

Ada apakah ini? Apakah pembunuhan-pembunuhan terdahulu hanya sebagai siasat untuk melenyapkan para penduduk Desa Caringin?

Memang masih terlalu dini untuk menjawabnya. Sementara itu, Bayu memperlambat ayunan kakinya, setelah sampai di tengah-tengah desa. Kedua bola matanya dipentang lebar, mengamati keadaan sekitarnya yang begitu sunyi. Sehingga, gerit binatang malam pun seakan enggan memperdengarkan suaranya. Hanya desir angin saja yang terdengar, mengusik telinga Pendekar Pulau Neraka. Perlahan-lahan Bayu mengayunkan kakinya menyusuri jalan yang membelah desa ini.

Sementara, Tiren terus berada di pundak Pendekar Pulau Neraka tanpa memperdengarkan suara sedikit pun. Seakan monyet kecil itu juga bisa merasakan kesunyian yang begitu mencekam di sekitarnya.

“Kita terpaksa tidak tidur malam ini, Tiren,” ujar Bayu pelan.

“Nguk.”

“Malam ini, aku harus bisa mendapatkan wanita iblis itu. Akan kuhajar dia seperti yang dilakukannya pada Ki Dewa Bayangan Putih!” tegas Bayu lagi, dengan nada agak ditekan.

Tiren hanya diam saja. Binatang itu seperti tahu kalau Pendekar Pulau Neraka sedang menyimpan kemarahan yang amat sangat dalam dadanya. Dan memang, saat itu Bayu menyimpan kemarahan menggelegar. Ini bisa terlihat jelas dari raut wajahnya yang memerah, dengan sorot mata tajam menyala bagai bola api hendak membakar hangus seluruh Desa Caringin ini.

Sementara, malam terus merayap semakin larut Dan kesunyian semakin terasa begitu mencekam. Bayu terus melangkahkan kakinya, mengelilingi desa yang selalu sunyi di malam hari.


***


Sampai jauh tengah malam, Bayu belum juga bisa menemukan adanya si Perempuan Bertopeng Emas. Sedangkan kakinya sudah terasa penat, terus-menerus berjalan mengelilingi Desa Caringin yang cukup luas. Sedikit pun tidak ada tanda tanda kalau Perempuan Bertopeng Emas itu bakal muncul malam ini. Bayu berhenti melangkah, tidak jauh dari rumah Tarsih. Entah kenapa, hatinya begitu tergerak untuk mengamati rumah yang bagian depannya dijadikan kedai. Sengaja Bayu berdiri dekat pohon di pinggir jalan, sehingga cahaya bulan tidak sampai meneranginya.

“Hm....”

Bayu menggumam sedikit, ketika melihat seseorang seperti akan keluar dari samping rumah itu. Hanya kepalanya saja yang terlihat menyembul keluar, menoleh ke kanan dan ke kiri. Seakan dia sedang mengamati keadaan sekitarnya. Kepala yang diyakini Bayu adalah Ki Radut kembali tenggelam masuk ke dalam rumah. Dan tidak lama setelah itu....

“Heh..?!”

Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar begitu tiba-tiba melihat sebuah bayangan kuning keemasan melesat keluar dari samping rumah itu. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan.

Sementara, Bayu masih terpaku, seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Bayangan kuning keemasan yang diyakininya adalah si Perempuan Bertopeng Emas, keluar dari rumah yang sedang diamatinya. Dan pada saat itu, pintu samping rumah itu tertutup lagi, setelah sebelumnya terlihat kepala Ki Radut sedikit keluar mengamati keadaan sekitarnya yang masih kelihatan sunyi. Tampaknya, laki-laki tua itu tidak menyadari kalau dari tempat yang sangat tersembunyi Bayu terus memperhatikan.

“Sebaiknya aku tunggu saja sampai dia kembali di sini. Aku tidak tahu, ke mana dia pergi,” gumam Bayu dalam hati, bicara pada diri sendiri.

Memang tidak mungkin bagi Pendekar Pulau Neraka untuk mengejar si Perempuan Bertopeng Emas yang sudah tidak terlihat lagi. Entah, ke arah mana perginya wanita itu. Tapi Bayu sudah begitu yakin, kalau Perempuan Bertopeng Emas itu adalah Tarsih, wanita cantik yang menjadi pelayan di kedai itu.

Bayu mengambil Tiren dari pundaknya, dan menyuruhnya untuk naik ke atas pohon. Dia tidak mau monyet kecilnya terluka saat menyergap si Perempuan Bertopeng Emas nanti. Seperti bisa mengerti kekhawatiran Bayu, Tiren segera naik ke atas pohon. Dipilihnya dahan yang dirasakannya cukup enak untuk tempat bernaung. Monyet kecil itu duduk mencangkung sambil memperhatikan Bayu yang tetap berada di bawah pohon. Sedikit pun Tiren tidak memperdengarkan suara, sepertinya tahu kalau saat seperti ini diperlukan kesunyian.

Belum juga lama Bayu menunggu, tiba-tiba terdengar jeritan yang begitu panjang melengking dari arah selatan desa ini. Dan tidak lama, disusul dua kali jeritan lainnya yang tidak kalah nyaringnya. Seketika, darah Bayu terasa bagai berhenti mengalir mendengar jeritan-jeritan panjang yang menandakan kematian. Saat Bayu tengah menduga apa yang sedang dilakukan Perempuan Bertopeng Emas di sebelah selatan desa ini, tiba-tiba terlihat kobaran api yang begitu besar dari arah selatan.

Kembali Pendekar Pulau Neraka jadi terkesiap. Dan matanya tidak berkedip memandangi kobaran api yang semakin lama semakin besar. Selang beberapa saat kemudian, terdengar teriakan-teriakan orang yang kalang-kabut melihat kobaran api itu. Sementara, Bayu masih tetap bertahan. Pemuda ini tidak mau terpancing dengan keributan yang terjadi di bagian selatan Desa Caringin. Sudah bisa dibayangkan, kalau penduduk desa ini tengah berusaha memadamkan api yang membakar rumah penduduk.

“Hm.... Itu dia datang....”

Tiba-tiba Bayu menggumam, ketika melihat sebuah bayangan kuning.keemasan berkelebat begitu cepat dari arah selatan. Cepat Pendekar Pulau Neraka mempersiapkan diri untuk menyergap bayangan kuning keemasan. Tapi belum juga berbuat sesuatu, tiba-tiba saja bayangan kuning itu berkelebat begitu cepat ke arah timur. Dan seketika itu juga, lenyap di antara rumah-rumah penduduk.

“Edan...! Ke mana lagi dia...?” desis Bayu jadi terperanjat tidak mengerti.

Begitu cepat sekali si Perempuan Bertopeng Emas itu berkelebat. Sehingga, dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan Pendekar Pulau Neraka. Sulit untuk bisa diterka lagi, ke mana arah tujuannya. Bayu jadi ragu-ragu untuk mengejar dan menunggu di tempat ini. Dan disaat Pendekar Pulau Neraka tengah berpikir, mendadak saja....

Wusss...!
“Heh...?!”

Bayu jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar hempasan angin yang begitu kuat dari arah belakang. Dan ketika berpaling ke belakang, terlihat sebuah benda bulat kecil seperti mata kucing berwarna kuning keemasan, berkelebat begitu cepat bagai kilat menuju ke arahnya.

“Haiiit..!”

Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan. Sehingga, benda kuning keemasan sebesar mata kucing itu lewat di samping tubuhnya, dan langsung menghantam sebuah pohon yang ada di seberang jalan. Seketika, pohon itu hancur berkeping-keping memperdengarkan ledakan keras menggelegar bagai gunung memuntahkan lahar. Bayu sempat terbeliak melihat benda sekecil itu mampu menghancurkan pohon yang cukup besar!

“Hup...!”

Pendekar Pulau Neraka bergegas melompat ke tengah jalan, begitu bayangan kuning keemasan itu terlihat berkelebat begitu cepat dari belakang. Langsung tubuhnya merunduk, hingga bayangan kuning keemasan itu lewat di atas tubuhnya. Saat itu juga, Bayu merasakan hempasan hawa panas yang begitu menyengat, bersamaan dengan melintasnya bayangan kuning keemasan itu di atas tubuhnya tadi.

“Hup! Yeaaah...!”

Pendekar Pulau Neraka langsung melenting keatas dan berputaran beberapa kali, sebelum kedua telapak kakinya kembali menjejak tanah jalan ini. Saat itu juga, sekitar satu batang tombak di depannya sudah terlihat seseorang berdiri menantang. Tubuhnya ramping mengenakan baju yang seluruhnya berwarna kuning keemasan. Cahaya bulan yang memancar di langit, memantulkan warna kuning keemasan dari topeng yang menutupi wajah orang itu.

Dari bentuk tubuhnya yang indah dan ramping, sudah dapat dipastikan kalau dia seorang wanita. Sementara, Bayu memperhatikannya beberapa saat Sudah bisa diduga kalau di balik topeng emas itu tersembunyi wajah Tarsih yang cantik.

“Aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya, Nisanak. Dan kau tidak perlu lagi bersembunyi di balik topeng,” ujar Bayu dengan suara dingin menggetarkan.

“Kau sudah terlalu banyak ikut campur, Bayu. Kau sama saja dengan Dewa Bayangan Putih. Dan rasanya, kau sudah pantas kalau juga mendapat ganjaran sama,” tidak kalah dinginnya suara Perempuan Bertopeng Emas itu.

“Sudah kuduga, pasti kau yang membunuhnya,” desis Bayu dengan rahang menggeretak menahan geram.

“Hik hik hik.... Sudah sepantasnya dia mendapatkan itu, Bayu. Dan kau juga akan mendapatkannya, kalau masih ikut campur urusanku,” ujar Perempuan Bertopeng Emas dingin.

“Kau bisa saja membunuh Dewa Bayangan Putih. Tapi, jangan harap begitu mudah melakukannya padaku, Nisanak,” tantang Bayu langsung.

“Hik hik hik...!” Perempuan Bertopeng Emas itu hanya tertawa saja mengikik.

Jelas sekali kalau sikap perempuan itu begitu meremehkan Pendekar Pulau Neraka. Dia sama sekali tidak tahu kalau yang sedang dihadapinya seorang pendekar muda yang sudah malang melintang menghadapi segala macam bahaya dan pertarungan berat dalam rimba persilatan. Bahkan semua tokoh persilatan akan segan bila berhadapan dengannya.

Tapi meskipun julukannya berada pada deretan atas tokoh persilatan, Bayu tidak merasa dirinya paling tinggi. Bahkan sama sekali tidak memandang enteng terhadap wanita bertopeng emas ini. Sudah beberapa kali Bayu menyaksikan kehebatannya, dan harus hati-hati menghadapinya.

Perlahan Pendekar Pulau Neraka menggeser kakinya beberapa langkah ke kanan. Sorot matanya begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun memperhatikan wanita bertopeng emas di depannya. Sementara Perempuan Bertopeng Emas itu belum juga bergerak. Dia malah tertawa mengikik, melihat Bayu sudah menyilangkan tangan kanannya di depan dada.

“Kau akan menyesal datang ke desa ini, Bayu. Merataplah kau di neraka...!” dengus Perempuan Bertopeng Emas dingin menggetarkan.

“Kita lihat saja, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka,” sambut Bayu tidak kalah dingin.

“Bersiaplah, Bayu.... Tahan selendang emasku! Yeaaah...!"

Rrrt..!
“Hup! Yeaaah...!”


***


TUJUH

Cepat Bayu melenting ke atas, begitu Perempuan Bertopeng Emas mengebutkan selendangnya sambil membentak keras menggelegar. Selendang tipis berwarna kuning keemasan itu meluruk deras, bagai seekor naga mengarah ke bagian perut Pendekar Pulau Neraka. Cepat-cepat Bayu bersalto. Dan ketika tubuhnya mendatar di udara....

“Hih! Shyaaa...!”

Tepat di saat selendang emas itu berada di bawah tubuhnya, dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah sempurna, Bayu melepaskan satu pukulan keras menggeledek ke bagian tengahnya. Begitu cepat pukulan yang dilepaskannya, sehingga Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terkejut setengah mati.

“Hap!”

Cepat wanita itu menghentakkan selendangnya, hingga bergerak cepat ke samping. Dengan demikian, pukulan yang dilepaskan Bayu hanya sedikit saja melesat di samping selendang emas itu. Dan ketika kaki Pendekar Pulau Neraka menjejak tanah, si Perempuan Bertopeng Emas sudah menggerakkan tangannya yang menggenggam selendang kuning keemasan itu.

Rrrt!

Bagai seekor ular, selendang emas itu meliuk begitu indah melingkari tubuh Pendekar Pulau Neraka. Gerakan berputar yang begitu cepat, sempat membuat Bayu jadi terperangah. Tapi dia cepat berputaran di udara, seraya langsung mengibaskan tangan kanannya. Dan....

Slap!
“Heh...?!”

Perempuan Bertopeng Emas jadi kaget setengah mati, tidak menyangka kalau benda bersegi enam yang menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu ternyata sebuah senjata yang bisa dilemparkan, hanya dengan mengebutkan tangannya saja. Dan belum juga sempat disadari, tahu-tahu Cakra Maut yang dilepaskan Bayu sudah menghantam bagian tengah selendangnya.

Bret!
“Ikh...?!”

Kembali Perempuan Bertopeng Emas itu terkejut hingga terpekik. Ternyata selendang kebanggaannya langsung terbelah menjadi dua bagian, terkena sambaran senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Bayu sendiri sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan di saat tangan kanannya terangkat naik ke atas kepala, Cakra Maut melesat balik, lalu kembali menempel kuat di pergelangan tangan kanan pemuda ini.

“Setan...! Kubunuh kau...!” geram Perempuan Bertopeng Emas marah, mendapati selendangnya tinggal sepotong lagi.

Sambil berteriak keras menggelegar, wanita berpakaian serba kuning keemasan itu berlompatan mengelilingi Pendekar Pulau Neraka. Dan seketika itu juga, puluhan benda bulat kecil seperti mata kucing berwarna kuning keemasan, berhamburan di sekeliling Pendekar Pulau Neraka. Cepat sekali benda-benda kuning keemasan itu berhamburan bagai hujan.

“Hup! Yeaaah...!”

Tidak ada waktu lagi bagi Bayu untuk berpikir menghadapi serangan gencar Perempuan Bertopeng Emas ini. Cepat tubuhnya melenting ke atas sambil berputaran beberapa kali, menghindari benda-benda kecil yang sangat berbahaya itu.

Dan seketika itu juga, terdengar ledakan ledakan keras menggelegar dari senjata senjata maut Perempuan Bertopeng Emas yang saling berbenturan. Bahkan yang jatuh ke bawah pun membuat tanah jadi terbongkar menimbulkan ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Sehingga seluruh Desa Caringin jadi bergetar bagai diguncang gempa.

Ledakan akibat pertarungan maut Pendekar Pulau Neraka dengan Perempuan Bertopeng Emas, membuat seluruh penduduk Desa Caringin keluar dari dalam rumah. Tapi mereka langsung menyingkir menjauh, begitu melihat wanita berpakaian serba emas yang selama ini dianggap sebagai dewi pelindung, namun sudah meminta korban penduduk biasa itu, bertarung melawan seorang pemuda yang pernah terlihat menghajar Lima Begal Sungai Ular di depan kedai Tarsih.

Sementara beberapa rumah penduduk yang berdekatan letaknya dengan tempat pertarungan sudah mulai hancur terkena sambaran senjata-senjata maut yang dilemparkan si Perempuan Bertopeng Emas. Bahkan tidak sedikit yang sudah terbakar, hingga membuat keadaan di sekitar pertarungan jadi terang-benderang.

Dan suasana pun jadi berubah hangat oleh api yang kini berkobar besar, membakar beberapa rumah. Sedangkan Bayu masih harus berjumpalitan di udara, menghindari setiap benda-benda maut yang dilepaskan lawannya.


***


Serangan-serangan Perempuan Bertopeng Emas masih terus datang menghujani Pendekar Pulau Neraka. Benda-benda kecil berwarna kuning keemasan itu bagai tidak pernah habis, terus berhamburan di sekitar tubuh Bayu. Sedikit pun pemuda berbaju kulit harimau itu tidak memiliki kesempatan balas menyerang. Tubuhnya hanya bisa berputaran di udara dan terus menghindari serangan gencar lawannya.

Namun setelah cukup lama berlangsung, akhirnya Perempuan Bertopeng Emas menghentikan serangannya juga. Tampak tarikan napasnya memburu cepat, bagai kuda yang baru dipacu mendaki bukit terjal. Wanita itu berdiri tegak, menatap tajam Pendekar Pulau Neraka dari balik lubang mata topeng emasnya.

Sementara, Bayu juga sudah berdiri tegak mengatur napasnya yang mulai terdengar agak memburu. Keringat tampak menitik deras membasahi sekujur tubuh Pendekar Pulau Neraka.

“Hhh...!” Bayu menghembuskan napas beratnya. Pendekar Pulau Neraka kali ini melakukan pertarungan yang sangat berat dan menguras banyak tenaga. Lawan yang dihadapinya memang tidak bisa dianggap sembarangan. Wanita itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi, sehingga sukar diukur tingkat kepandaiannya. Bayu benar-benar tidak dapat lagi memandang sebelah mata pada wanita bertopeng ini.

Sementara, orang-orang yang menyaksikan pertarungan semakin bertambah banyak. Dan api yang membakar rumah juga semakin besar, merambat ke rumah-rumah lain. Sudah dapat dipastikan kalau tidak lama lagi, Desa Caringin akan hangus termakan api. Sedangkan di tengah-tengah jalan, Bayu tetap berdiri tegak berhadapan dengan Perempuan Bertopeng Emas. Entah kenapa, mereka jadi terdiam saling menatap tajam, seakan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

“Kau memang tangguh, Bayu. Tapi, aku belum kalah. Malam ini juga, kau harus mati di tangan-ku...,” desis Perempuan Bertopeng Emas dingin menggetarkan.

“Hm...,” Bayu pun hanya mengeluarkan gumaman sedikit

“Bersiaplah menerima kematianmu, Bayu,” desis Perempuan Bertopeng Emas lagi.

Setelah berkata demikian, wanita itu mencabut sebuah benda sepanjang dua jengkal berwarna kuning emas dari balik sabuk yang membelit pinggangnya. Dan ketika dikebutkan, benda itu menjadi panjang seperti tongkat Tampak bagian ujungnya berbentuk mata tombak yang berkilatan begitu tajam. Namun Pendekar Pulau Neraka sama sekali tidak merasa gentar melihat senjata wanita bertopeng ini. Bahkan sikapnya kelihatan tenang, walaupun kelihatannya tidak ada satu senjata pun yang tergenggam di tangan.

Sementara semua orang yang menyaksikan seperti mencemaskan pemuda berbaju kulit harimau yang kelihatannya tidak memiliki senjata. Sedangkan lawannya kini sudah memainkan senjata tombak emasnya. Putarannya tampak begitu cepat, hingga yang terlihat hanya lingkaran bayangan kuning keemasan bagai sebuah perisai melindungi dirinya.

“Tahan seranganku, Bayu! Hiyaaat..!”

Bersamaan dengan melompatnya Perempuan Bertopeng Emas itu dalam menyerang Pendekar Pulau Neraka, semua orang yang melihat jadi menahan napas. Sementara, Bayu sendiri tetap berdiri tegak dengan sikap begitu tenang. Hanya tatapan matanya saja yang terlihat menyorot tajam, memperhatikan gerakan Perempuan Bertopeng Emas yang meluruk deras dengan ujung tombak emas tertuju tepat ke dada.

Tepat di saat ujung tombak berwarna kuning emas itu hampir menembus dada, cepat Bayu mengangkat tangan kanannya terbalik ke depan dada. Maka ujung tombak itu langsung menghantam Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.

Tring!
“Ikh...!”

Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik, begitu seluruh tangannya terasa bergetar, ketika ujung tombaknya menghantam Cakra Maut dipergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Namun pada saat yang sama, Bayu pun sudah membungkukkan tubuhnya sedikit agak miring ke kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat tangan kanannya dikibaskan ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

“Yeaaah...!”
Wusss!

Cakra Maut seketika itu juga melesat bagai sebatang anak panah lepas dari busur, tepat mengarah ke dada Perempuan Bertopeng Emas. Begitu cepat lesatannya hingga membuat Perempuan Bertopeng Emas terbeliak dari balik topeng yang menutupi wajahnya.

“Haiiit…!”
Bet!

Cepat wanita itu menghentakkan tongkat emasnya menyilang ke depan dada. Sehingga Cakra Maut menghantam bagian tengah batang tombak kuning keemasan itu. Demikian keras benturan Cakra Maut pada tombak itu, sehingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Tampak Perempuan Bertopeng Emas terdorong tiga langkah, akibat benturan keras Cakra Maut pada tombaknya.

“Gila...! Senjatanya tidak bisa dibuat main-main, “ dengus Perempuan Bertopeng Emas dalam hati.

Wanita itu masih merasakan nyeri pada seluruh persendian tulang tangannya, akibat dua kali terjadi benturan keras pada senjatanya tadi. Sementara, Bayu berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada. Sedangkan senjata mautnya sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Sikapnya seakan memberi kesempatan pada lawannya untuk menyerang lagi. Bayu memang sengaja tidak mau menyerang lebih dahulu, dan selalu memberi kesempatan lawannya menyerang lebih dulu. Paling tidak, untuk mengukur sampai sejauh mana tingkat kepandaian yang dimiliki lawannya.


***


“Kenapa kau diam, Nisanak...?” terdengar sinis nada suara Bayu.

“Huh!”

Perempuan Bertopeng Emas itu hanya mendengus saja dengan kesal. Dari balik topeng emasnya, matanya menatap tajam dengan sinar memerah pada Pendekar Pulau Neraka. Perlahan kakinya bergeser ke kanan. Dan belum juga bisa berbuat lebih jauh lagi, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam melintasi kepala orang-orang yang berkerumun menyaksikan pertarungan maut ini

Dan bayangan hitam itu langsung meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat yang bersamaan, sebuah benda bulat sebesar kepala terlempar ke arah pemuda berbaju kulit harimau itu.

“Hup...!”

Cepat Bayu melenting seraya berputaran ke belakang, menghindari benda hitam yang dilemparkan ke arahnya. Benda bulat sebesar kepala itu tepat jatuh di tempat Bayu tadi berdiri. Dan seketika itu juga, terdengar ledakan dahsyat menggelegar. Sehingga, membuat seluruh tanah di Desa Caringin ini jadi bergetar bagai diguncang gempa begitu dahsyat.

Tampak tanah yang terbongkar membumbung tinggi ke angkasa, bersama asap hitam yang mengepul membentuk jamur raksasa. Sementara, Bayu sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan dada berdebar keras. Tidak bisa dibayangkannya, bagaimana jadinya kalau benda hitam itu tadi mengenai tubuhnya. Tanah jalan yang tertimpa benda hitam itu kini terlihat berlubang besar seperti sumur.

“Hiyaaat..!”

Sementara, bayangan hitam itu terus meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga, Bayu langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka lebar, tepat di saat matanya melihat satu pukulan kepalan tangan kanan yang meluncur deras mengarah dadanya. Hingga....

Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan keras menggelegar begitu kedua telapak tangan Bayu berbenturan dengan kepalan tangan orang berbaju serba hitam itu. Tampak orang berbaju serba hitam itu berputaran beberapa kali ke belakang. Sementara, Bayu sempat terdorong dua langkah ke belakang. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung membungkukkan tubuhnya sedikit agak miring ke kiri. Tepat di saat orang berpakaian serba hitam itu menjejakkan kakinya di tanah, Bayu langsung mengibaskan tangan kanannya ke depan sambil berteriak keras.

“Hiyaaa...!”
Wusss!

Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan, Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat, mengarah langsung pada orang berpakaian serba hitam yang tiba-tiba saja muncul dan langsung menyerang. Begitu cepatnya Cakra Maut meluncur, sehingga orang berpakaian serba hitam itu tidak sempat menyadarinya.

“Awas, Ki...!”
Cras!

Bersamaan terdengarnya teriakan nyaring memberi peringatan, orang berpakaian serba hitam yang seluruh kepalanya tertutup kain hitam itu memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi, gerakannya sudah terlambat Sehingga sisi Cakra Maut yang runcing sempat merobek bahu kanannya.

“Akh...!”

Orang berpakaian serba hitam itu jadi terpekik kaget agak tertahan. Seketika, darah mengucur deras dari bahunya yang terluka cukup lebar akibat tersambar Cakra Maut tadi. Sementara, senjata Pendekar Pulau Neraka terus melesat. Dan ketika Bayu menghentakkan tangan kanannya kebelakang, maka Cakra Maut langsung berputar balik dari arah belakang orang berpakaian serba hitam itu. Demikian cepatnya senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu berputar dan langsung melesat balik, sehingga membuat orang berpakaian serba hitam yang masih dilanda keterkejutan ini tidak sempat lagi menyadarinya. Dan....

Crab!
“Aaa...!”
“Ki...!”

Jeritan nyaring seketika terdengar melengking, begitu Cakra Maut menancap di punggung orang berbaju serba hitam agak ketat ini. Bersamaan dengan itu pula, terdengar teriakan nyaring dari si Perempuan Bertopeng Emas. Tampak orang berbaju serba hitam itu terhuyung-huyung dengan Cakra Maut masih menancap begitu dalam di punggungnya.

Begitu Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala, Cakra Maut melesat kembali ke arahnya. Maka darah seketika muncrat keluar dari punggung orang berbaju serba hitam ini. Cakra Maut kini kembali menempel dipergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau itu.

“Hiyaaa...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu langsung melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan saat itu juga, satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna dilepaskan, tepat ke kepala orang berpakaian serba hitam yang masih terhuyung-huyung. Serangan Bayu yang begitu cepat ini, sama sekali tidak dapat dihindari lagi.

Prak!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, begitu pukulan dahsyat yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka menghantam tepat di kepala orang berpakaian serba hitam itu. Tampak darah merembas keluar dari kain hitam yang menyelubungi kepala. Sementara, Bayu kembali melenting ke belakang sambil mutar tubuhnya. Dan tangannya sempat mengibas, menjambret kain selubung hitam yang menutupi kepala orang itu.

Bret!

“Ki Radut..,” desis Bayu begitu kakinya menjejak tanah.

Tanpa selubung kain hitam, jelas sekali wajah orang berpakaian serba hitam itu. Memang, orang itu adalah Ki Radut Dan Bayu sama sekali tidak terkejut lagi, karena memang sudah menduga. Sementara Ki Radut sendiri sudah tidak dapat lagi menguasai diri. Dengan punggung berlubang mengeluarkan darah, dan kepala retak terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka, dia tidak mungkin lagi bisa bertahan lebih lama.

Setelah beberapa saat tubuhnya gontai, laki-laki tua ini seketika ambruk ke tanah dengan darah terus mengucur dari punggung dan kepalanya yang retak. Hanya sebentar saja Ki Radut menggeliat di tengah jalan berdebu ini, kemudian mengejang kaku sambil mengerang lirih. Lalu, tubuhnya diam tidak bergerak-gerak lagi, membujur kaku tanpa nyawa.

“Keparat...! Kubunuh kau...!”

Perempuan Bertopeng Emas jadi geram melihat Ki Radut tewas begitu mengerikan di tangan Pendekar Pulau Neraka. Sambil menggeram marah, wanita berpakaian serba kuning emas itu langsung saja melangkah cepat, menghampiri pemuda berbaju kulit harimau ini. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi, langsung tombak emasnya dikebutkan ke depan sambil melompat sedikit.

“Shyaaa...!”
“Haiiit...!”

Hanya sedikit saja Bayu menarik tubuhnya ke belakang, hingga ujung tombak yang kuning dan runcing itu lewat di depan perutnya. Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa menegakkan tubuhnya kembali, Perempuan Bertopeng Emas sudah melompat cepat sambil melepaskan satu tendangan menggeledek dengan kaki kiri.

“Yeaaah...!”
“Hap!”


***


DELAPAN

Bayu langsung menghentakkan tangan kanannya, menyambut tendangan kaki kiri Perempuan Bertopeng Emas itu. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan, hingga wanita berpakaian serba kuning ini tidak dapat lagi menarik pulang serangannya. Maka benturan keras pun seketika terjadi.

“Akh...!”

Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik agak tertahan, ketika kakinya membentur tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke belakang, dengan berputaran dua kali. Dan begitu kaki wanita itu menjejak tanah, Bayu langsung melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar.

“Hiyaaa...!”

Seketika itu juga, tangan kanan Pendekar Pulau Neraka mengibas ke depan, membuat Cakra Maut yang selalu berada di pergelangan tangan kanan melesat menyerang si Perempuan Bertopeng Emas.

“Hup!”

Tidak ada jalan lain lagi bagi wanita itu untuk menghindar. Maka cepat tubuhnya melenting keatas. Dan pada saat itu pula, tangan kiri Bayu berkelebat cepat ke kepala. Begitu cepat gerakan tangan kirinya, sehingga Perempuan Bertopeng Emas tidak dapat lagi menghindari. Terlebih lagi, dia harus menghindari serangan senjata andalan Pendekar Pulau Neraka. Dan....

Bret!
“Aukh...!”

Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik kaget, ketika topeng yang dikenakannya terampas tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Maka wajah yang sejak tadi terlindung di balik topeng emas itu kini terlihat jelas di bawah siraman cahaya bulan dan terangnya cahaya api yang masih membakar rumah-rumah penduduk Desa Caringin ini.

“Tarsih....”

Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi terperanjat, tidak mengira kalau Perempuan Bertopeng Emas itu ternyata Tarsih. Memang, wanita pemilik kedai ini tidak disukai penduduk, karena dulu ayahnya seorang pemeras rakyat yang paling kaya di desa ini. Suatu ketika semua kekayaan orangtua Tarsih ludes dirampok dan rumahnya dibakar habis. Bahkan semua penghuni rumah itu dibantai habis, kecuali Tarsih dan Ki Radut saja yang bisa menyelamatkan diri.


Dan Ki Radut sendiri, dulunya adalah seorang tukang pukul orangtua Tarsih yang paling kejam. Setelah berhasil menyelamatkan diri, Tarsih dengan diantar Ki Radut, berguru di Perguruan Selendang Emas. Kebetulan, yang menjadi ketuanya adalah paman Ki Radut sendiri. Dan ketika telah menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi, Tarsih dan Ki Ridut kembali ke Desa Caringin, setelah terlebih dahulu diwarisi senjata selendang emas.

Namun ketika mereka kembali, rupanya para penduduk yang dulu menjadi korban ketamakan orangtua Tarsih, memasang wajah ketidaksenangan mereka. Inilah yang menyebabkan Tarsih merasa harus membalas sikap mereka. Demikian pula terhadap penjahat-penjahat atau tokoh-tokoh hitam yang telah merampok dan membantai habis keluarganya!

“Bunuh saja dia...!”
“Bunuh perempuan setan itu...!”

Seketika seluruh penduduk Desa Caringin memuntahkan kemarahannya. Dulu mereka benci terhadap orangtua Tarsih. Dan kini terhadap Tarsih sendiri. Terlebih lagi sekarang ini mereka sudah kehilangan seluruh harta benda dan tempat berteduh. Bahkan tidak sedikit yang kehilangan anggota keluarganya, yang tidak sempat menyelamatkan diri dari dalam rumahnya yang terbakar. Dan dengan malam ini, sudah dua keluarga yang dibantai Tarsih!

Tapi kemarahan mereka hanya pada lontaran kata-kata saja. Tidak ada seorang pun yang berani mendekati, karena begitu takut pada senjata tombak yang masih berada dalam genggaman Tarsih. Mereka tahu, wanita ini bukanlah wanita sembarangan. Kepandaiannya begitu tinggi. Sehingga, entah sudah berapa puluh orang yang menjadi korbannya selama memakai julukan Perempuan Bertopeng Emas.


***


“Sebaiknya kau menyerah saja, Tarsih. Demi keselamatanmu sendiri, kupersilakan kau pergi dari desa ini. Dan, jangan coba untuk kembali lagi membuat kekacauan,” ujar Bayu masih memberi kelonggaran pada Perempuan Bertopeng Emas itu.

“Phuih! Aku lebih baik mati bersama hancurnya desa ini!” dengus Tarsih tidak mau menyerah begitu saja.

“Tidak ada gunanya kau mengumbar amarah dan dendam. Rasa dendam tidak akan pernah bisa padam, kalau kau sendiri tidak mau memadamkannya,” bujuk Bayu masih mencoba melunakkan kekerasan hati wanita itu.

“Jangan banyak bicara kau, Bayu! Lawan aku! Hiyaaat..!”

Tarsih memang sudah merasa kepalang basah, sehingga sama sekali tidak mau menyerah. Bahkan diiringi pengerahan seluruh kekuatan yang tersisa, segera dia melompat cepat sekali menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan senjata tombak emasnya.

Bet!

Tombak berwarna kuning emas itu seketika berkelebat begitu cepat ke arah tenggorokan Bayu. Tapi hanya sedikit saja menarik kepala ke belakang, Bayu bisa menghindari hunjaman ujung tombak yang runcing. Dan segera kakinya ditarik ke belakang dua langkah, begitu Tarsih cepat memutar tombaknya dan langsung disodokkan ke perut Pendekar Pulau Neraka.

“Hap!”

Bayu langsung mengibaskan tangan kanannya, sambil memiringkan tubuh ke kiri. Langsung ditangkisnya tusukan tombak emas itu.

Tring!

Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka tepat membentur mata tombak emas ini. Sementara, Tarsih langsung menarik pulang tombaknya. Tapi dengan kecepatan kilat, senjatanya kembali disodokkan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka.

“Upths!”

Cepat Bayu menarik tubuhnya ke kiri, menghindari tusukan tombak ke dadanya. Dan begitu mata tombak emas itu lewat di depan dada, cepat tangan kirinya dikibaskan. Maka....

Tap!
“Ikh...!”

Tarsih jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba batang tombaknya tertangkap tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Maka cepat seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkannya untuk menarik tombaknya. Tapi, genggaman tangan kiri Pendekar Pulau Neraka begitu kuat. Sehingga, senjata yang seperti terbuat dari emas itu tidak bergerak sedikit pun.

“Hiyaaa...!”

Belum juga Tarsih bisa menguasai senjatanya lagi, tiba-tiba saja Bayu sudah membentak keras bagai guntur. Dan seketika itu juga, tubuhnya mencelat ke atas sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat serangannya, hingga membuat kedua bola mata Tarsih jadi terbeliak lebar.

“Haiiit..!”

Tidak ada pilihan lain lagi bagi Perempuan Bertopeng Emas itu. Cepat tubuhnya dibanting ketanah sambil melepaskan tombaknya yang masih berada dalam genggaman tangan kiri Bayu. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, hingga terhindar dari tendangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Tapi begitu melompat bangkit berdiri, Bayu sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri.

“Hiyaaa...!”

Begitu cepat serangan Pendekar Pulau Neraka, sehingga Tarsih tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan....

Diegkh!
“Akh...!”

Tarsih jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu menghantam tepat dadanya. Seketika, tubuhnya terpental deras ke belakang, dan jatuh keras sekali menghantam tanah. Kembali tubuhnya bergulingan di tanah beberapa kali, hingga berhenti begitu menabrak sebuah pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Seketika pohon itu roboh terlanda tubuh ramping si Perempuan Bertopeng Emas ini.

“Hoeeekh...!”

Tarsih langsung menyemburkan darah kental berwarna agak kehitaman dari mulutnya, begitu mencoba bangkit berdiri. Seluruh rongga dadanya terasa bagai hendak meledak akibat terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka tadi. Sambil memegangi dadanya yang terasa remuk, Tarsih mencoba bangkit berdiri.

Dengan susah payah, akhirnya Perempuan Bertopeng Emas itu bisa juga berdiri. Walaupun, tidak lagi bisa tegak. Darah masih terlihat menggumpal di seluruh rongga mulutnya. Kembali disemburkannya gumpalan darah kental agak kehitaman. Sementara, Bayu berdiri tegak memandangi dengan sinar mata sukar diartikan.

“Kau terluka parah, Tarsih. Sebaiknya tinggalkan saja desa ini,” bujuk Bayu masih memberi kesempatan wanita itu untuk menyambung selembar nyawanya.

“Akan kubunuh kau, Bayu. Kubunuh kau...,” desis Tarsih agak tersedak suaranya.

Dengan tangan dan jari-jari bergetar, Perempuan Bertopeng Emas yang sekarang tidak lagi mengenakan topeng itu menuding Pendekar Pulau Neraka. Walaupun terluka begitu parah, tapi sorot matanya terlihat sangat tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka.

Jelas sekali terlihat pada sinar matanya yang penuh memendam dendam ini. Dan Bayu bisa menyadari ketidakpuasan wanita itu padanya. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua yang dilakukan hanya untuk menyelamatkan nyawa orang banyak yang tidak berdosa, setelah semua persoalannya diketahuinya dari awal. Tapi, Bayu masih saja memberi kesempatan pada Tarsih untuk tetap hidup. Pemuda itu juga tidak memandang seluruh kesalahan ada pada wanita ini. Bahkan Bayu merasa iba melihat persoalan Tarsih, yang memaksanya harus bertindak seperti iblis dengan membantai siapa saja yang dianggapnya telah menyinggung perasaannya.

“Pergilah, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempatan hidupmu yang hanya sekali ini. Percayalah, padaku. Tidak ada seorang pun yang bisa mencegahmu pergi dari desa ini,” bujuk Bayu lagi.

Tarsih hanya diam saja memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Sementara darah masih terus keluar dari sudut bibirnya. Tapi, kali ini sinar matanya tidak lagi terlihat tajam. Bahkan begitu redup dan berkaca-kaca memandangi Pendekar Pulau Neraka.

Sementara, Bayu bisa merasakan semua yang tengah dirasakan wanita ini. Baginya, jalan hidup Tarsih tidak berbeda jauh dengan jalan hidup yang ditempuhnya sejak masih bayi. Bayu juga sudah kehilangan kedua orangtuanya, sejak masih bayi Bahkan tidak sempat lagi melihat wajah kedua orangtuanya. Hingga, rasa sakit dalam hatinya tidak seperti yang dirasakan Tarsih.

“Ayo, kuantar keluar dari desa ini,” ajak Bayu lagi, tetap membujuk.

Tarsih hanya diam saja. Dia jadi bimbang oleh ajakan Pendekar Pulau Neraka yang begitu tulus. Di dalam hatinya, memang tersimpan kemarahan pada Bayu yang sudah menggagalkan dendamnya. Tapi paling tidak, sebagian dari dendamnya sudah terbalas. Walaupun, seluruh keinginannya untuk menghancurkan Desa Caringin bersama penduduknya tidak terlaksana.

“Ayo, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempatan ini,” bujuk Bayu lagi.

Bayu sudah hampir tidak sabar, melihat orang-orang sudah mulai menghampiri dengan wajah memancarkan kemarahan pada Perempuan Bertopeng Emas itu. Sementara, Tarsih hanya diam saja memandangi Pendekar Pulau Neraka tanpa berkedip sedikit juga. Perlahan tubuhnya membungkuk, mengambil tombaknya yang tergeletak tidak jauh di samping kiri kakinya. Dengan tangan gemetar digenggamnya tombak itu erat-erat.

Sementara, semua orang sudah semakin dekat menghampiri dengan berbagai macam senjata tergenggam di tangan.

“Aku tidak pantas hidup dengan semua kegagalan ini. Maafkan aku, Bayu. Kuhargai semua kebaikanmu padaku,” ujar Tarsih.

Setelah berkata demikian, wanita itu cepat mengangkat tombaknya. Dan...

Bres!
“Tarsih...!”

Bayu jadi terkejut setengah mati, begitu melihat Tarsih menghunjamkan tombak ke dadanya sendiri. Kuat sekali hunjaman tombak itu, hingga tembus ke punggung. Bukan hanya Bayu saja yang terkejut. Bahkan semua orang yang melihat juga tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau Tarsih akan berbuat nekad seperti itu.

Sementara Bayu pun tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya dipandanginya tubuh Tarsih yang ambruk ke tanah dengan dada tertembus tombaknya sendiri. Wanita itu langsung menghembuskan napas terakhir begitu tubuhnya ambruk dan menyentuh tanah.

“Mereka tetap manusia seperti kalian. Makamkanlah seperti layaknya,” ujar Bayu dengan suara agak tertahan.

Semua orang hanya diam saja. Mereka seperti tidak tahu, apa yang harus dilakukan. Walaupun kebencian bersemayam dalam dada, tapi mendengar kata-kata yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka, beberapa orang sudah bergerak menghampiri Tarsih dan Ki Radut. Dan mereka segera mengangkat kedua mayat itu untuk dipindahkan ke tempat yang lebih nyaman.

Sementara, Bayu hanya memperhatikan saja. Kepalanya lalu berpaling sedikit, begitu Tiren menghampiri. Monyet kecil itu naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat Bayu masih berdiri di tempatnya, memandangi orang-orang yang mulai mengurus mayat-mayat yang berjatuhan di malam ini. Sementara, mayat Tarsih dan Ki Radut ada bersama mereka.

“Ayo kita pergi, Tiren,” ajak Bayu pada monyet kecilnya yang sudah berada di pundak sebelah kanan.

“Nguk.”

Perlahan Bayu mengayunkan kakinya, meninggalkan Desa Caringin. Di dalam kepalanya, masih belum bisa dipahami sikap yang diambil Tarsih, dengan membunuh dirinya sendiri. Malah, dengan senjatanya sendiri juga. Tapi, Bayu mengakui kalau semua penderitaan yang dialami Tarsih begitu berat.

Memang tidak semua orang bisa menanggung derita seberat itu. Hanya saja sangat disayangkan tindakan Tarsih yang nekat. Daripada hidup menanggung kekalahan dan kegagalannya dalam melampiaskan dendam, baginya lebih baik bunuh diri!


SELESAI

Episode Selanjutnya IBLIS CEBOL