Pembalasan Iblis Sesat - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

PEMBALASAN IBLIS SESAT


SATU
Tak biasanya, Bukit Tunjang di pagi ini terselimut kabut tebal. Sehingga tempat itu bagaikan tertindih gumpalan awan besar yang turun ke bumi. Memang bukit yang mirip seperti sebuah gunung kecil itu setiap hari senantiasa terselimut kabut. Namun kabut yang menyelimutinya saat ini lebih tebal dan pekat. Bahkan hampir menutupi sebagian desa yang berada di kakinya. Sehingga dalam keadaan begini, tak seorang penduduk pun yang berani keluar jauh-jauh dari rumah. Mereka lebih suka berkerudung sarung di dalam rumah, berkumpul dengan anak istri.

Sebenarnya bukan hanya kabut saja yang membuat Bukit Tunjang kelihatan angker. Tetapi, ada hal lain yang lebih mengerikan! Di lereng-lereng bukit yang luas dan lebar, banyak dihuni binatang-binatang berbisa beraneka ragam. Apalagi di sekitar kaki bukit juga masih dipenuhi semak belukar, serta pepohonan tinggi yang menyimpan perangkap ma­ut berupa rawa terapung, sumur-sumur yang dalamnya tak terukur, serta kubangan pasir yang bisa menyedot apa saja bila masuk ke dalamnya.

Di tengah keangkeran itu, tampak lima orang bertubuh besar dan bertampang seram seperti tak mempedulikan keadaan sekitarnya. Mereka terus berlari ke arah Bukit Tunjang sambil sesekali menoleh ke belakang.

"Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita telah berada cukup jauh dari mereka!" kata salah seorang yang memiliki cambang bauk cukup tebal. Dia sering dipanggil dengan nama Gumanda. Sebuah senjata golok, tampak terselip di pinggang kirinya.

"Ya! Kurasa demikian," sahut kawannya yang berikat kepala merah. Laki-laki yang mata kirinya picak ini bernama Rumaksa.

"Huh! Suatu saat, kita harus balas perlakuan mereka! Akan kupecahkan batok kepalanya!" geram yang bertubuh agak pendek dan berperut sedikit gendut. Namanya, Kalingka.

"Benar! Aku pun ingin sekali menghancurkan perguruan yang sok pahlawan kesiangan itu. Tunggu saja pembalasan kita Lima Rampok Hutan Gundul akan kembali untuk menghancurkan dan membumihanguskan Perguruan Watu Digul keparat itu!" timpal laki-laki yang bersenjatakan pedang di punggung. Dia bertubuh lebih besar dari keempat ka­wannya, dan sering dipanggil dengan nama Danang.

Sedangkan seorang lagi yang oleh kawan-kawannya dipanggil Sukmajaya, hanya diam membisu. Sepertinya, ada sesuatu yang tengah dipikirkan. Mendadak Sukmajaya berhenti, ketika mereka telah berada di kaki bukit itu.

"Kawan-kawan! Sebaiknya kita berhenti dulu!" ujar Sukmajaya, sambil memandang ke sekeliling dengan tatapan curiga.

"Kenapa, Sukmajaya? Apakah kau mencurigai sesuatu?" tanya Danang, dengan wajah dalam.

"Entahlah! Suasana di sini sangat sepi. Aku tak yakin kalau tempat ini aman bagi kita. Sepertinya, ada bahaya yang mengintai dari tempat tersembunyi!" desis Sukmajaya, masih tetap memandang ke sekeliling tempat itu dengan wajah curiga.

"Alaaah! Kau penakut sekali!" sentak Kalingka. Laki-laki bertubuh paling pendek itu lalu melompat ke depan, dan mengajak kawan-kawannya untuk terus maju.

"Betul! Apa yang mesti dikhawatirkan? Di atas sana banyak berkumpul kawan kita yang lain. Mana mungkin mereka mau mencelakakan kita!" teriak Gumanda, menyokong usul kawannya.

"Jangan...!" teriak Sukmajaya memperingatkan, namun terlambat. Ternyata dua dari Lima Rampok Hutan Gundul itu sudah menerobos semak belukar tinggi di depan. Maka mendadak...

Brosss...!

"Hei, apa ini?! Tolooong...! Tolooong, aku tak bisa keluar!" teriak Kalingka, kalap ketika kedua kakinya menginjak rawa terapung. Dan kakinya terus melesak hingga ke betis.

Hal yang sama juga menimpa Gumanda. Mere­ka berteriak-teriak ketakutan, seraya menggerak-gerakkan tubuh untuk bisa keluar dari rawa tera­pung yang dipijak. Namun semakin cepat bergerak, tubuh mereka semakin melesak ke dalam.

"Kalingka...! Gumanda...! Jangan bergerak! Aku akan menolong kalian!" teriak Danang mulai ikut-ikutan kalap.

Laki-laki bertubuh paling besar itu menoleh ke kanan dan kiri. Dan ketika melihat seutas tali kayu yang tergantung di bawah cabang sebuah pohon, tanpa pikir panjang lagi ditariknya. Namun...

Sing! Sing!

"Awaaas...!" teriak Sukmajaya memperingatkan.

Memang, tiba-tiba saja beberapa buah bambu runcing sebesar jari tangan melesat kencang ke arah mereka bagai lesatan anak panah begitu Danang menarik tali yang menjuntai di pohon.

Sukmajaya terus melompat menghindar dari serangan gelap dan terus bergulingan ke kiri. Namun, malang bagi Danang yang terlambat menyelamatkan diri. Ternyata salah satu bambu run­cing itu lebih cepat menembus dada kirinya hingga kepunggung.

Crappp!
"Aaa...!"

Danang kontan menjerit setinggi langit dan tubuhnya langsung ambruk ke tanah dengan kulit mulai membiru. Agaknya, bambu runcing itu telah dibubuhi racun ganas di seluruh batangnya.

"Danaaang...!" Sukmajaya terkejut bukan main dan bermaksud menghampiri kawannya. Namun....

"Sukma! Aku... aku...," rintih Rumaksa rintih, sambil menutupi lengan kiri yang ternyata juga terserempet salah satu bambu beracun itu.

Rumaksa...!" kembali Sukmajaya tersentak, dan buru-buru mengalihkan perhatian ke arah Ru­maksa.

Sring...!

Sukmajaya langsung mencabut goloknya. Seketika, ditebasnya lengan kawannya pada pangkalnya.

Crasss!
"Aaakh...!"

Rumaksa menjerit kesakitan sambil menggigit bibirnya.

"Maaf, Kawan. Aku tak punya pilihan lagi un­tuk menyelamatkanmu. Bambu itu mengandung racun ganas...," keluh Sukmajaya sambil merobek bajunya untuk mengikat luka di lengan Rumaksa. Dan baru saja Sukmajaya selesai mengikat lengan Rumaksa, mendadak...

"Tolong...! Tolooong...!"
"Hih?!"

Sukmajaya mulai gelagapan ketika Kalingka dan Gumanda telah terbenam sampai sebatas leher. Mereka semakin kalut dan terus bergerak-gerak melepaskan diri dari sedotan rawa terapung itu.

"Tunggu sebentar!" teriak Sukmajaya, seraya meninggalkan Rumaksa. Dan matanya langsung mencari-cari sesuatu untuk menolong kedua kawannya.

Ketika melihat sebuah cabang pohon yang panjang tak jauh dari tempatnya berdiri, Sukmajaya mendekatinya. Dan dengan hati-hati sekali diperhatikan cabang pohon itu. Dia khawatir disitu terdapat jebakan. Tak lama kemudian...

Tras!

Dengan cepat Sukmajaya menebas cabang itu dengan goloknya. Tapi bersamaan dengan itu...

Werrr!

Tiba-tiba melesat dua ekor ular pohon berwarna hijau sebesar jempol kaki ke arahnya. Sukma­jaya yang sejak tadi telah bersiaga langsung mengayunkan goloknya.

Crasss, crasss!

Sekali tebas saja putuslah tubuh ular-ular itu. Namun baru saja bermaksud akan menolong kawannya...

"Wuaaa…!" Tiba-tiba Rumaksa menjerit keras.

"Celaka! Kalajengking beracun!" desis Sukma­jaya, geram.

Memang di tubuh Rumaksa telah dipenuhi ka­lajengking berwarna hitam berkilat, yang memiliki racun amat dahsyat.

Tubuh Rumaksa berguling-gulingan ke sana kemari, sambil mengibas-ngibaskan sebelah tangannya ke seluruh tubuh untuk mengusir kalajengking-kalajengking beracun itu. Sukmajaya bermaksud menolong. Namun belum lagi berlari lima langkah, tubuh Rumaksa terjerumus ke dalam semak belukar dan terus terperosok ke sebuah sumur yang dalam. Sumur itu sendiri semula tak terlihat, karena permukaannya dipenuhi gerumbulan semak.

"Rumaksaaa...!" pekik Sukmajaya.

Laki-laki itu berusaha menangkap lengan Ru­maksa yang terjulur ke atas, namun terlambat. Nyatanya, tubuh Rumaksa telah meluncur deras ke bawah.

"To.... Blep! Hop..., hop!"

Kembali Sukmajaya dibuat terkejut mendengar jeritan tertahan kedua kawannya yang masih terpe­rosok ke dalam rawa terapung. Bahkan tubuh Ka­lingka telah lenyap tanpa bekas. Memang sejak tadi dialah yang paling kalap dan terus bergerak-gerak. Sehingga, lumpur di bawahnya terus menyedot kencang tubuhnya. Sedangkan tubuh Gumanda sudah terbenam sebatas hidung. Dicobanya mendongakkan wajah ke atas, sambil bergerak-gerak pelan memberi tanda pada Sukmajaya.

"Gumanda! Jangan banyak bergerak! Tangkap ujung kayu ini!" teriak Sukmajaya sambil menjulurkan kayu yang sudah ada di tangannya.

"Hop...! Hop...!"

Gumdanda berusaha meraih sekuat tenaga ujung kayu itu yang dijulurkan Sukmajaya. Me­mang, ujung kayu itu kurang setengah jengkal lagi dari jangkauan tangannya. Namun, mendadak pada saat itu melesat tiga sosok tubuh ke tempat itu. Bahkan salah seorang langsung melemparkan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil ke arah Sukmajaya.

Swing...!
"Heh?!"

Bukan main terkejutnya Sukmajaya melihatnya. Buru-buru dia melompat, sambil mengibaskan kayu yang dipegangnya ke arah pisau pisau itu.

"Hup...!"
"Uts!"

Beberapa buah berhasil dihantam dan rontok seketika, sementara sisanya dapat dihindari dengan lompatannya. Namun dalam keadaan begitu, salah seorang langsung melompat menyerang.

"Yeaaa..!"

"Tunggu! Tunggu dulu! Kami ingin bertemu Ti­ga Setan Bukit Tunjang untuk bergabung dengannya!" teriak Sukmajaya, mencoba menjelaskan. Dan dia terus berkelit, menghindari serangan berikut.

Tiga orang itu langsung menghentikan serang­an, dan memandang ke arah Sukmajaya dengan seksama. Dan kesempatan itu digunakan Sukmaja­ya untuk kembali menjelaskan maksud kedatangan­nya ke sini.

"Kami berlima dijuluki sebagai Lima Rampok Hutan Gundul. Kedatangan kami ke sini, untuk bergabung dengan Tiga Setan Bukit Tunjang. Namun kami telah mendapat kesulitan, seperti yang kau saksikan tiga orang temanku telah tewas. Hanya dia dan aku yang masih hidup," Sukmajaya lalu menunjuk ke arah Gumanda." Tolonglah kawanku. Dia hampir tenggelam dan kehabisan napas...."

Wajah Sukmajaya semakin memelas ketika melihat tubuh Gumanda hampir terbenam sebatas dahi. Namun, kedua tangannya masih bergerak-gerak.

Ketiga orang itu tak menjawab, dan hanya menganggukkan kepala. Hal itu sudah cukup bagi Sukmajaya untuk bertindak menyelamatkan Gu­manda. Namun seperti tadi, ujung kayu itu hanya tinggal sedikit lagi menyentuh tangan Gumanda. Kalau tadi kawannya bisa melihat dan berusaha menggapai, tapi kini tak tahu dan tak bisa mendengar teriakan Sukmajaya yang memerintahkan agar meraih ujung kayu yang dijulurkannya.

Melihat hal itu, salah seorang dari tiga orang yang baru datang itu membantu dengan memegang kedua kaki Sukmajaya. Kini, Sukmajaya berhasil menjulurkan ujung kayu di tangan kanannya. Dan Gumanda langsung menangkapnya erat-erat. Kemudian perlahan-lahan dua orang yang memegangi kaki Sukmajaya menariknya, hingga Gumanda terbebas dari perangkap alam. Laki-laki bercambang bauk itu segera naik, dan langsung terduduk lesu, dibersihkan seluruh rubuhnya yang kotor. Sedangkan napasnya terengah-engah menghirup udara sebanyak-banyaknya.

"Kalian ikut kami!" ujar salah seorang dari tiga orang yang baru datang, ketika Gumanda telah membersihkan seluruh tubuhnya.

"Ke mana?" tanya Sukmajaya.

"Bukankah kalian ingin bergabung dengan Tiga Setan Bukit Tunjang?"

"Ah, iya! lya...!" sahut Sukmajaya dan Guman­da bersemangat.

"Mari ikut kami!" ajak orang itu lagi sambil berjalan hati-hati.

Sukmajaya dan Gumanda langsung bangkit. Sukmajaya memapah tubuh kawannya yang masih lemah. Dan bersama ketiga orang itu mereka kini aman dari perangkap alam maupun yang sengaja dibuat para penghuni Bukit Tunjang!

********************

Siang hari kabut di Bukit Tunjang mulai berkurang. Tapi, tetap saja penduduk di sekitar bukit itu enggan keluar rumah. Kalaupun ada, barangkali hanya untuk memeriksa sawah ladang ini. Dan siang makin tergelincir, matahari perlahan-lahan bergerak ke barat, mengiringi langkah seo­rang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun ke arah Bukit Tunjang.

Orang tua itu berpakaian bersih dan rapi, terbuat dari sutera halus. Rambut panjangnya yang sebagian telah memutih, digelung. Di pinggangnya terselip sebuah suling berwarna keemasan. Sedangkan di tangan kanannya terdapat sebuah kipas yang terkembang. Dan sesekali kipas itu menyapu wajahnya seperti ingin menyejukkan diri dari sengatan matahari. Dengan mamakai alas kaki dari kulit, orang tua itu tiba di Desa Kedung Legok. Tangan kirinya yang tadi membawa buntalan di pundak, kini diturunkan ke bawah.

Beberapa orang desa yang melihat orang tua itu, merasa heran. Masalahnya daerah mereka me­mang jarang dilalui orang tua seperti laki-laki itu.

"Kisanak! Akan ke manakah tujuanmu?" sapa seorang penduduk Desa Kedung Legok ramah.

Orang tua itu seketika menghentikan langkahnya, lalu tersenyum.

"Aku hendak ke Bukit Tunjang..." jawab orang tua itu, tenang.

Bukan main kagetnya penduduk Desa Kedung Legok ini ketika mendengar jawaban orang tua itu.

"Orang tua! Sebaiknya urungkan saja niatmu ke sana!" lanjut orang itu kemudian.

"Hm .... Memangnya kenapa?"

"Tempat itu sangat berbahaya. Kau akan celaka nantinya!' jelas penduduk desa itu cemas.

Tapi orang tua itu hanya tersenyum kecil, lalu melanjutkan perjalanannya.

"Hm.... Orang tua itu barangkali sudah sinting! Berani-beraninya dia mendaki Bukit Tunjang. Hm... Pasti dia akan menemui ajal di sana...," lanjut penduduk desa itu sambil menggeleng-geleng.

Penduduk desa itu membalikkan tubuhnya sesaat, untuk kembali ke dalam rumahnya. Namun, hatinya masih ada rasa kasihan terhadap orang tua tadi, sehingga membuatnya kembali berpaling. Ta­pi...

"Hei?! Ke mana orang tua tadi? Kok tiba-tiba menghilang? Mustahil dia mampu berlari secepat itu! Wah, jangan-jangan dia hantu Bukit Tunjang yang sedang berkeliaran!" seru orang itu dengan tubuh menggigil. Maka, buru-buru dia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya erat-erat.

Orang tua itu sendiri kelihatannya berjalan santai saja. Tapi siapa sangka kalau ternyata dia mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang telah begitu tinggi. Tubuhnya telah melesat jauh meninggalkan Desa Kedung Legok tanpa seorang pun yang tahu.

Tak heran kalau orang itu kini telah tiba di Desa Kedung Sari. Di situ pun, dia bertemu beberapa orang penduduk desa yang tengah berdagang. Me­reka merasa heran, melihat orang tua yang renta dan kelihatan sangat lemah, malah ingin menuju Bukit Tunjang. Padahal bukit itu selama ini amat ditakuti penduduk desa di sekitarnya.

"Orang tua! Sebaiknya urungkan saja niatmu untuk mendaki bukit itu. Kau hanya akan mengantarkan nyawa percuma saja?!" cegah salah seorang penduduk desa Kedung Sari, karena merasa kasi­han.

"Hm.... Begitukah?" tanya orang tua itu tenang, disertai senyum kecil. Sedangkan kipasnya terus bergerak-gerak menyapu wajahnya.

"Di sana banyak berkumpul perampok ganas dan orang buronan kerajaan. Dan bukan hanya itu saja. Di sana juga banyak perangkap maut yang mengincar jiwa kita setiap saat!" jelas orang itu.

Orang tua itu tak menyahut, tapi malah mengangguk-angguk kecil. Setelah mengucapkan terima kasih, dia langsung melenggang kembali tanpa mempedulikan kekhawatiran orang itu. Mulanya, orang desa itu hanya menggelengkan kepala. Dia menduga, orang tua itu pasti sudah bosan hidup. Barangkali hatinya tertekan, lalu ingin bunuh diri di Bukit Tunjang.

"Heh?! Sungguh gila! Tidak salahkan penglihatanku?!" desis orang itu terkejut. Betapa tidak? Ternyata orang tua itu telah melesat jauh bagai anak panah dalam sekejap. Pen­duduk desa itu mengucek-ngucek matanya, seperti ingin meyakinkan penglihatannya.

********************

Orang tua berpakaian putih bersih itu kini telah tiba di kaki Bukit Tunjang. Dia berhenti sesaat, sam­bil memandang bukit yang menjulang bagai gunung itu. Mendadak kepalanya menoleh ketika melihat dua orang pemburu hendak pulang ke desa yang tak jauh dari kaki bukit itu. Yang seorang menenteng dua ekor ayam hutan. Sedangkan kawannya membawa seekor pelanduk yang cukup besar dan gemuk. Mereka saling berpapasan. dan kedua pemburu itu tersenyum.

"Orang tua, hendak ke manakah tujuanmu?" tanya salah seorang pemburu, ramah.

"Ke Bukit Tunjang..." sahut orang tua itu enteng.

"Apa? Ke Bukit Tunjang? Maksudmu, menda­ki bukitnya hingga ke atas sana?" tanya pemburu itu, seperti tak percaya.

Orang tua itu mengangguk mantap sambil ter­senyum kecil. Sedangkan wajah kedua pemburu itu tampak kaget bercampur heran. "Orang tua! Sebaiknya urungkan saja niatmu! Kau hanya mencari mati saja Di sana banyak perangkap alam yang dibuat para perampok dan buronan yang kejam itu. Kau bisa celaka!" lanjut pem­buru itu, melarang.

"Sungguhkah apa yang kau katakan itu?"

"Untuk apa berdusta?! Di atas sana memang tempat berkumpul para bajingan kejam dan ganas. Mereka tak pernah kenal ampun. Sebaiknya, urungkan saja niatmu itu. Dan, kembali saja,” sahut pemburu itu.

Hm. Kalau begitu, perjalananmu ini tak sia-sia...." gumam orang tua itu enteng.

"Apa maksudmu?" tanya kedua pemburu itu, nyaris bersamaan dengan wajah kaget.

"Aku memang hendak bertemu para perampok itu," sahut orang tua itu, tanpa terlihat takut sedikit pun. Lalu dia segera berlalu, meninggalkan dua pemburu itu.

"Hm... Orang tua itu mungkin sudah sinting!" sesal pemburu yang membawa ayam hutan sambil menggelengkan kepala. Dihelanya napas panjang, ketika orang tua itu telah mulai mendaki bukit.

"Barangkali dia memang ingin cepat-cepat mati...," sahut kawannya yang membawa pelanduk besar.

"Ah! Sudahlah yang penting kita telah menje­laskan bahayanya. Kalau dia nekat juga, barangkali memang sudah nasibnya harus mati di sana. Mari kita cepat pulang."

"Iya..., eh?!" Tiba-tiba laki-laki yang membawa pelanduk besar itu terkejut, ketika berpaling mencari orang tua itu dengan ekor matanya.

"Kenapa?"

"Orang tua itu? Dia..., dia menghilang!" desis kawannya dengan wajah heran.

"Ah! Jangan bergurau. Mana mungkin dia bisa menghilang begitu saja. Pasti hanya terhalang semak-semak atau kabut."

"Tidak! Aku melihat sendiri. Tadi dia berjalan tenang, tapi tahu-tahu melesat kencang bagai anak panah, dan hilang dari pandanganku."

"Paling-paling matamu saja yang sudah rusak, Karta."

"Tidak Jagur. Aku sungguh-sungguh! Mataku ini belum lamur. Hiiih...! Barangkali dia hantu penunggu bukit ini. Sebaiknya, kita cepat-cepat pu­lang saja, Gur!" ajak laki-laki bernama Karta sambil berlari-lari kecil mendahului kawannya.

Agaknya laki-laki yang dipanggil Jagur terpengaruh cerita kawannya. Matanya langsung berpaling ke atas bukit. Dan dengan memberanikan diri, dia mencbba berjalan tenang. Tapi melihat Karta telah jauh di depannya, maka ketakutannya mulai menggumpal di dadanya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia mengambil langkah seribu. Jagur lari terbirit-birit dari tempat itu, sambil berteriak-teriak.

"Karta, tungguuu...!"

Kedua orang itu akhirnya saling kejar-mengejar, untuk secepatnya tiba di rumah masing-masing!

********************

DUA

Sementara, orang tua berbaju putih bersih itu berhenti sejenak, ketika kedua pemburu itu telah jauh. Tapi, sebenarnya bukan karena itu langkahnya terhenti. Masalahnya di depan dia melihat se­mak belukar membentang. Memang terlihat ada jalan setapak yang ditutupi daun-daunan kering bagai permadani coklat menghampar. Tapi orang tua itu tak percaya. Maka diambilnya sebuah batu yang cukup besar dan dilemparkannya ke depan.

Brosss!

Batu itu langsung terperosok ke dalam rawa terapung dan terus tenggelam.

"He he he...! Kalian pikir aku bisa diperdayai oleh mainan anak kecil seperti ini?!" gumam orang tua itu.

Kemudian, orang tua itu berjalan tenang sambil memungut kerikil-kerikil kecil yang berserakan di tanah. Beberapa kali kerikil itu digunakan untuk mengungkap perangkap-perangkap alam yang tersembunyi di balik semak-semak maupun kumpulan dedaunan kering. Dalam keadaan demikian, men­dadak bahu kanan orang tua itu menyenggol seutas oyot pohon yang menggantung rendah. Maka saat itu juga melesat beberapa bambu runcing beracun ke arahnya.

 Ser, ser!
"Hup!"

Orang tua berbaju putih itu cepat menundukkan tubuhnya untuk menghindari serangan gelap itu. Kemudian ringan sekali tubuhnya melesat ke atas salah satu cabang pohon. Begitu mendarat, dia cepat melompat ke cabang pohon lain hingga be­berapa kali. Tiba di suatu lereng datar dan ditumbuhi rerumputan hijau serta pepohonan yang tak terlalu besar, orang tua itu melompat turun. Lalu kakinya melangkah tenang mendaki bukit. Sesekali, kipasnya dikebut-kebutkan.

Namun baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja orang tua itu telah dihadang bebe­rapa orang berwajah seram dengan golok terselip di pinggang. Rata-rata mereka mengenakan baju merah. Sepintas saja, bisa dinilai kalau orang-orang itu pasti bermaksud tak baik pada orang tua itu.

"Orang tua! Berhenti kau!" bentak salah seo­rang yang bertubuh besar, sambil memilin-milin kumis tebalnya.

"Hm... Siapakah kalian ini?" tanya orang tua itu, pura-pura terkejut. Seketika langkahnya ber­henti dan memandang mereka satu persatu. Setelah dihitung, ternyata jumlah mereka tak kurang dari sepuluh orang.

"Tak usah banyak tanya kalau kau ingin selamat! Heh? Apa yang kau bawa itu?!" sentak laki­-laki berkumis tebal itu, galak.

"Buntalan ini?" tanya orang tua itu sambil menjulurkan buntalan yang dipegang tangan kirinya.

"Tentu saja, Goblok! Apa kau pikir aku menanyakan buntalan kepalamu?!"

"Oh... Ini isinya uang emas dan perak, serta beberapa potong pakaian sutera halus yang nilainya amat tinggi," sahut orang tua itu, jujur.

Orang-orang yang tampaknya kawanan begal itu saling berpandangan satu sama lain, Kemudian terlihat tersenyum-senyum.

"Hm... Sulingmu bagus juga, Orang Tua. Apakah itu dari emas juga?" tanya orang yang kepalanya gundul. Matanya mendelik dengan wajah penuh nafsu untuk memiliki benda-benda orang tua itu.

"Ya! Suling ini pun dari emas..."

"Orang tua, ketahuilah! Tak seorang pun yang kami biarkan hidup bila lewat di tempat ini! Tapi karena kau jujur, maka jiwamu ku ampuni. Hanya saja, kau harus meninggalkan buntalan serta suling milikmu itu. Ayo, cepat!" ujar laki-laki gundul itu bernada mengancam.

"Kenapa tidak? Tentu saja aku rela menyerahkan ini semua jika kalian mau menjawab pertanyaan dariku," sahut orang tua itu.

"Apa pertanyaanmu, Orang Tua?!" timpal laki-laki yang pada telinga kirinya memakai anting-anting.

"Apakah kalian anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang?"

"Untuk apa kau bertanya seperti itu?!" dengus, yang bercambang bauk.

"Jawab saja pertanyaanku. Kalau tidak, bukan saja tak akan mendapatkan barang-barang berharga ini. Tapi, kepala kalian pun akan kupecahkan semuanya!"

"Heh?!"

"Setan! Phuih! Tua bangka keparat! Tahukah kau apa artinya kata-katamu itu tadi?!" bentak laki-laki yang memakai anting-anting.

Dia langsung melompat ke hadapan orang tua itu, kepalan tangannya cepat diayunkan keras ke wajah. Memang jawaban orang tua itu amat mengejutkan mereka, sekaligus menimbulkan kemarahan. Betapa tidak? Mereka kira, orang tua itu sudah gila. Buktinya, dia ingin mampus berani bicara seperti itu.

"Yeaaa!"

Begitu laki-laki yang memakai anting-anting mengayunkan kepalan tangannya, tenang sekali orang tua itu memindahkan kipas ke tangan kiri. Lalu telapak tangan kanannya cepat menangkap kepalan tangan laki-laki beranting-anting itu.

Tap!
Krek!

Terjadi peristiwa yang membuat kaget semua orang yang berada di situ. Ternyata kepalan tangan teman mereka kontan remuk dicengkeram orang tua itu. Dan belum lagi habis rasa kaget mereka, tangan orang tua itu cepat menghantam ke dada kiri.

Begkh!
"Aaakh!"

Karuan saja, laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang memakai anting-anting menjerit setinggi langit. Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah sejauh dua tombak dalam keadaan tak bernyawa lagi, be­gitu tulang rusuknya di dada dirinya remuk, hingga menusuk jantungnya.

"Heh?!"

"Orang tua keparat! Apa yang kau lakukan terhadap kawan kami ini, heh?!" geram yang berkepala gundul dengan amarah meluap-luap.

"Dasar tolol! Kalian pikir apa yang kulakukan tadi, heh?!" sahut orang tua itu, tak kalah geramnya.

"Bangsat! Kau pikir bisa berbuat seenaknya saja di tempat ini. Mampuslah! Ini bagianmu! Yeaaa...!"

Dengan kalap, laki-laki gundul itu mengayunkan goloknya. menebas leher orang tua berbaju putih itu.

"Hup!"

Sekali memiringkan tubuh golok laki-laki gundul itu lewat beberapa rambut di depan leher orang tua ini. Seketika. tangan kirinya langsung menangkap pergelangan tangan yang memegang golok. Lalu, ditariknya tangan itu dengan kekuatan tenaga dalamnya. Dan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, tangan kanan orang tua itu cepat menghantam ke arah batok kepala laki-laki gundul itu.

Prak!
"Aaa...!"

Kepala laki-laki gundul itu langsung remuk disertai jeritan menyayat. Tubuhnya ambruk ke tanah bersimbah darah. Seketaka dia meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Hal itu tentu saja membuat yang lain menjadi geram bukan main. Dua orang telah tewas dalam sekejap. Orang tua yang semula dianggap lemah itu, ternyata tidak bisa dianggap sembarangan. Dan hal itu semakin membuat kemarahan mereka makin menyala-nyala saja.

"Kawan-kawan! Mari kita rencah orang tua ke­parat itu bersama-sama!" teriak laki-laki bercambang bauk memberi semangat.

"Huh! Akan kutebas batang lehernya!" timpal temannya, geram.

Yang lainnya tak menimpali, tapi langsung menerjang orang tua itu dengan senjata terhunus.

"Hiyaaa...!"
Wuk! Wukkk!

Golok-golok di tangan kawanan itu mendesing berkali-kali menyambar. Namun gesit dan lincah se­kali orang tua itu seenaknya saja menghindari tanpa kesulitan sedikit pun Bahkan masih bisa tertawa-tawa mengejek.

"He he he...! Hanya seginikah kemampuan anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang itu? Hm... Benar-benar memalukan!"

"Orang tua busuk! Tutup mulutmu, sebelum kurobek mulut besar itu!" bentak salah seorang sambil mengayunkan golok di tangan ke wajah tua di depannya. Namun sambil tersenyum kecil, orang tua itu cepat mengebutkan kipasnya yang terbentang.

Trak!

Lalu dengan tiba-tiba sekali tubuh tua itu berbalik. Langsung diayunkannya satu tendangan menggeledek, ke arah dada kiri penyerangnya.

Desss!
"Aaa...!"

Kembali salah seorang menjerit kesakitan de­ngan tubuh terlontar beberapa langkah. Dari mulutnya tampak menyemburkan darah segar. Begitu tiba di tanah, orang itu menggelepar-gelepar beberapa saat, kemudian diam tak bergerak!

"Ha ha ha.. ! Dasar besar mulut! Kau pikir bisa berbuat apa terhadapku!" dengus orang tua itu, sinis.

Tanpa menggubris perkataan orang tua itu, pa­ra penyerang lain kembali menyerang tanpa mengenal takut. Tapi orang tua itu agaknya mulai gemas. Dia mulai tak sabar. Kalau tadi menunggu serangan kini dia langsung melompat memapak serangan. Ketika seseorang membabatkan golok ke kepala tu­buhnya cepat melenting tinggi. Gerakannya cepat bukan main. Dan begitu berada di udara, orang tua itu cepat menukik turun, dengan kaki tetap mengarah ke bumi. Seketika, langsung dilepaskannya satu tendangan keras tak terduga. Begitu cepatnya se­hingga...

Prakkk!
"Aaakh...!"

Nyawa orang yang membabatkan golok lang­sung melayang, begitu tubuhnya ambruk di tanah.

"Bangsaaat...!" maki salah seorang lagi, geram.

"Heh? Tak usah memaki! Ayo, serang terus!" ejek orang tua itu.

Laki-laki tua yang terus memainkan kipasnya itu tetap terkekeh mengejek. Dan seketika, kepalanya ditundukkan, begitu datang serangan dari belakang. Bersamaan dengan itu ujung kipasnya juga dikebutkan ke depan untuk menghalau lawannya yang ada di depan. Buru-buru laki laki bertampang seram yang ada di depan melenting ke belakang, begitu merasakan angin kibasan kipas yang kuat bukan main.

Sementara orang tua berpakaian putih ini tak melanjutkan serangan, karena harus menghindari sambaran golok dan kanan dan kiri dengan membungkuk. Kemudian tubuhnya cepat berbalik, seraya mengayunkan satu tendangan ke belakang. Orang yang ada di belakang terkejut bukan ma­in dan untungnya tubuhnya cepat dimiringkan, se­hingga tendangan itu luput.

Namun, agaknya se­rangan laki-laki tua itu hanya tipuan belaka. Karena tanpa diduga sama sekali justru yang menjadi sasaran adalah dua orang yang berada di samping kanan dan kiri. Dengan gerakan sangat menakjubkan, laki- laki tua itu berputar dengan kedua kaki terbentang. Langsung dihantamnya kedua rahang lawan sekaligus.

Tak! Tak!
"Aaakh...!"

Dua orang kembali memekik kesakitan, begitu merasakan kalau tulang rahang mereka patah akibat tendangan tadi. Sementara begitu habis menendang, orang tua itu sendiri segera melompat ke atas untuk menghindari dua tebasan golok sekaligus. Bagai seekor burung walet, tubuhnya mengapung di udara untuk beberapa saat. Bersamaan dengan itu salah seorang lawan melompat ke atas disertai ayunan golok ke arah kaki.

"Hiyaaa...!"

Sebuah benturan dari dua jenis senjata tak terelakkan lagi, begitu dengan gesit sekali orang tua itu menukik turun dan langsung mengebutkan ki­pasnya.

Trak!

Dan belum juga orang yang mengayunkan go­lok itu menyadari apa yang terjadi, senjata kipas orang tua ini sudah bergerak cepat. Langsung disambamya tenggorokan itu.

Brettt!
"Aaakh!"

Kembali satu jeritan tertahan terdengar ketika ujung kipas orang tua itu merobek leher lawan. Bagai seekor ayam yang disembelih, tubuh orang itu ambruk ke tanah. Dan dia tewas beberapa saat, setelah meregang nyawa.

"Orang tua keparat! Hari ini kami akan mengadu jiwa denganmu!" dengus salah seorang dari tiga yang tersisa.

Sedangkan orang tua berbaju putih bersih itu tenang-tenang saja. Dia berdiri sambil mengebut-ngebutkan kipasnya ke wajah disertai senyum kecil.

"Hm... Siapa yang sudi mengadu dengan jiwa busuk kalian? Sebaiknya, kalian saja yang mampus. Sebab, itulah yang pantas," sahut orang tua itu te­nang.

"Keparat sombong! Mampuslah kau! Hiyaaa...!" bentak orang itu sambil kembali melom­pat menyerang, diikuti dua orang kawannya.

Orang tua itu hanya menundukkan kepala, menghindari sabetan golok ke lehernya. Sementara kipas di tangan kanannya memapak sebuah golok lagi yang mengarah ke pinggang.

Trak!

Orang yang goloknya terpapak kontan terjajar beberapa tindak ke belakang dengan mulut meringis menahan sakit. Dari benturan senjata itu, ta­ngannya terasa ngilu dan kesemutan.

Dan belum juga bisa menarik napas lega, orang tua itu harus melompat ke atas untuk menghindar dari tebasan golok lain yang mengarah ke punggungnya. Bersamaan dengan itu, kedua kakinya langsung melepaskan tendangan secara bersamaan, ke arah dada kiri kedua lawan yang berada di depan.

Degkh!
Desss!

Tanpa mempedulikan dua orang lawannya yang terjengkang akibat tendangan yang dilepaskan demikian cepat, orang tua itu cepat berbalik seraya mengayunkan ujung kipas menyambar tenggorokan lawan di belakangnya.

Crasss!

Seketika tiga jeritan kesakitan terdengar saling susul. Kini ketiga orang itu sudah ambruk di tanah. Sebentar mereka kelojotan lalu mati. Memang dahsyat serangan balik orang tua itu. Dua tendangan yang dilepaskan tadi, memang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Akibatnya dada kedua orang itu kontan remuk. Sementara kibasan kipasnya juga demikian cepat. Bahkan lawan di belakangnya tak mampu berbuat apa-apa. Setelah merayapi sekitarnya yang telah banjir darah, orang tua itu melangkah tenang untuk melanjutkan perjalanannya. Seolah-olah, dia tidak pernah berhadapan dengan kejadian yang berarti. Lantas, siapakah orang yang kepandaiannya demi­kian tinggi ini?

Belum lagi berjalan jauh, kembali orang tua berbaju itu dihadang sekelompok orang-orang bertampang seram. Wajah mereka tampak beringas, bahkan lebih buas dari orang-orang sebelumnya. Dan melihat dari gerak-geriknya, bisa diduga kalau kepandaian mereka lebih tinggi setingkat, dari kesepuluh lawan-lawan yang telah dikirimnya ke akherat. Orang tua itu memandang ke sekeliling dan mulai menghitung jumlah mereka dalam hati. Dan agaknya, para penghadangnya juga berjumlah sepuluh!

"Orang tua! Sungguh hebat kepandaianmu itu. Siapakah kau ini?! Dan, apa yang kau inginkan, hingga berani mendaki Bukit Tunjang?!' bentak salah seorang yang memakai ikat kepala merah. Tampak sekilas pedang bertengger di punggungnya.

Orang yang membentak itu kelihatannya baru berusia sekitar dua puluh lima tahun. Rambutnya panjang hingga ke punggung. Kulitnya kasar ber­warna hitam kecoklatan. Tubuhnya tegap dan berisi, dengan otot-ototnya yang bersembulan. Bisa diperkirakan kalau tenaga dalam pemuda itu cukup kuat. Sorot matanya tajam, dengan sepasang alis tebal. Sikapnya kelihatan tenang ketika melipatkan tangannya di depan dada.

"Apa hakmu bicara seperti itu?" sahut orang tua itu, balik bertanya.

"Aku pimpinan mereka. Sebaiknya, jawab saja pertanyaanku sebelum kesabaranku hilang!" sahut pemuda itu, mengancam.

"He he he...! Pemuda gagah yang bersemangat. Aku suka melihat sikapmu. Tapi ingin kutahu, sampai di mana kemampuanmu hingga berani-beraninya memimpin mereka. Jangan-jangan, isi perutmu hanya kotoran belaka!" lanjut orang tua itu sambil tertawa mengejek.

"Orang tua! Jaga mulutmu! Aku sudah terlalu baik dengan menyapamu!" dengus pemuda itu geram.

"Hm.... Ternyata kau penaik darah juga. Nah! Kalau urusanmu ingin cepat selesai, jawablah per­tanyaanku ini. Apakah kalian kaki tangan Tiga Setan Bukit Tunjang?"

"Keparat! Kau pikir berada di mana saat ini?! Berani benar kau bicara seperti itu! Akulah yang seharusnya bertanya!" bentak pemuda itu semakin geram.

"Kala Gundil! Buat apa berlama-lama dengan orang tua sinting ini? Sebaiknya, perintahkan saja kami untuk memenggal kepalanya saat ini juga!" timpal salah seorang anak buah pemuda yang ternyata bernama Kala Gundil. Amarahnya tampak sudah menggelegak dalam dada.

"He he he...! Sungguh hebat bicaramu. Tapi aku ragu, apakah kau mampu melakukannya," sa­hut orang tua itu, enteng.

"Huh! Apa sulitnya memotes kepalamu!" dengus orang itu sambil melompat dan mencabut pedangnya.

Sring!
"Yeaaa...!"

Pemuda yang dipanggil Kala Gundil itu mendiamkan saja anak buahnya berbuat demikian. Dan hal itu ternyata dianggap sebagai persetujuan bagi mereka untuk merencah orang tua yang dianggap tak tahu diri itu. Maka dalam waktu singkat saja dua orang lagi segera menyusul menyerang. Agak­nya, tangan mereka memang sudah sejak tadi terasa gatal ingin memberi hajaran pada orang tua sombong itu.

Wut! Wut!
"Uts...!"

Orang tua berbaju putih itu memiringkan sedikit tubuhnya, untuk menghindari sabetan pedang dari depan. Dan belum juga sempat berbuat apa-apa, datang lagi serangan pedang dari samping kiri. Terpaksa orang tua itu menundukkan badannya kedepan. Namun pada saat yang sama datang serang­an pedang yang mengarah ke jantung. Maka seke­tika kipasnya yang masih menguncup cepat dikebutkan dari atas ke bawah.

Trak!

Dua benturan senjata mulai terjadi. Orang yang senjatanya tertangkis tadi kontan terjajar tiga langkah ke belakang. Sungguh tak diduga kalau orang tua itu demikian gesit, sehingga serangan dahsyat tadi mampu dipapaknya. Begitu habis memapak serangan pedang lawan, kipas orang tua itu cepat terkembang kembali. Bahkan langsung bergerak menyambar tenggorokan lawan yang berada paling dekat. Orang itu terkejut setengah mati, namun buru-buru melompat ke belakang. Maka, selamatlah selembar nyawanya dari kibasan orang tua itu.

"Hiyaaa...!"

Begitu mendapat kesempatan, orang tua itu cepat melesat ke udara disertai bentakan nyaring. Tubuhnya langsung berputaran menyamping ke arah seorang lawan yang terdekat. Dan kipasnya yang sudah kembali menguncup, langsung digunakan untuk menyerang jantung! Sementara meli­hat serangan cepat ini, orang yang jadi sasaran me­rasa gugup bukan main. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke bawah. Dan untung saja orang tua itu tak melanjutkan serangannya, merasakan ada angin serangan dari belakang. Maka buru-buru orang tua itu menunduk. Dan begitu tubuhnya berbalik cepat, langsung dihantamnya tenggorokan pembokongnya dari arah bawah.

Jrosss!
"Aaa...!"

Pembokong itu kontan memekik kesakitan, be­gitu tenggorokannya tertembus kipas yang telah menguncup. Darah langsung mengucur dari teng­gorokannya yang berlubang. Sesaat tubuhnya limbung, sebelum ambruk ke bumi dalam keadaan meregang nyawa.

Tentu saja hal itu membuat kaget kedua ka­wannya. Tapi orang tua itu agaknya tak mau memberi kesempatan lagi. Maka dengan gerakan cepat bagai kilat dimanfaatkannya kelengahan mereka. Seketika kipasnya yang telah mengembang kembali menyambar dua korban lagi!

Brettt...!
"Wuaaa...! Aaa!"

Terdengar dua jeritan memilukan yang saling susul. Seketika dua orang yang terkena sambaran kipas orang tua itu jadi limbung. Yang seorang tersambar pada dada kirinya, hingga tulang rusuknya patah. Sedangkan yang seorang lagi tersambar pada perutnya, hingga isinya terburai. Jelas ini suatu bukti kalau orang tua itu tidak bisa diajak bermain-main. Serangannya sungguh cepat dan dahsyat, membuktikan kalau kepandaiannya sangat tinggi.

Tentu saja hal itu membuat para penghadang yang lain jadi terkejut setengah mati. Mereka tahu betul kalau ketiga orang itu memiliki kepandaian tak rendah. Namun dalam waktu singkat, tubuh mereka sudah terkapar hanya sekali gebrak saja. Tapi Kala Gundil cepat bertindak, segera diperintahkannya anak buahnya untuk langsung meringkus orang tua itu. Namun sebelum mereka ber­gerak menyerang, tiba-tiba...

"Hentikan...!"

TIGA

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang menyebar ke segala arah. Jelas suara itu dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Maka serentak mereka yang berada di situ mencari-cari sumber suara, kecuali orang tua itu. Begitu sudah bisa memastikan arahnya, mereka kini melihat tiga sosok tubuh tinggi besar telah hadir tak jauh dari situ. Yang seorang berbaju ketat warna hijau. Wajahnya dihiasi cambang bauk. Tampak pada tangan kanannya tergenggam sebuah gada berduri sebesar paha orang dewasa. Dan dia kenal dengan nama Sugriwa.

Sementara orang yang berdiri di tengah memakai baju merah sering dipanggil dengan nama Durganda. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai ke bawah. Tampak di dadanya menggantung kalung dari tulang-tulang manusia. Dipinggangnya tampak terselip sebuah golok panjang yang ujungnya bercagak dua.

Sedangkan orang yang berdiri di kiri memakai baju kuning. Wajahnya yang sudah seram, makin seram lagi oleh codet yang menyilang pada mata kirinya. Sebuah pedang besar tampak tersandang di punggungnya. Dia bernama Pegi Salira.

Me­mang, ketiga orang itulah yang disebut-sebut sebagai Tiga Setan Bukit Tunjang. Dan mereka yang ada di situ langsung menjura hormat kecuali orang tua itu. Sementara Kala Gundil kemudian menghampiri.

"Lapor, Ketua! Orang tua ini telah mengacau di tempat kita dengan membunuh kawan-kawan yang lain. Untuk itulah kami harus membunuhnya!" lapor Kala Gundil.

"Setan! Pergi kalian dari hadapanku!" hardik Sugriwa garang.

Mendapat bentakan itu, Kala Gundil dan anak buahnya jadi tersentak kaget bercampur heran.

"Ta... tapi..."

"Heh?! Tahukah kau, siapa orang ini?!" potong Durganda dengan mata mendelik garang.

"Mana kutahu? Yang jelas, dia telah membu­nuh banyak anak buah kita..."

"Keparat! Dia itu paman guruku, tahu?!" ben­tak Durganda, garang.

Mendengar penjelasan Durganda tentu saja Kala Gundil dan yang lain tersentak kaget. Sungguh tidak mereka sangka kalau orang tua itu ternyata paman guru si Tiga Setan Bukit Tunjang yang nyata-nyata penguasa bukit ini.

"Paman Guru Sanjaya, maafkanlah anak buahku yang buta dan tak mengenali orang sendiri ini. Terimalah salam hormatku!" ujar Durganda diikuti kedua kawannya sambil menjura hormat.

"He he he...! Durganda, lama kita tak bertemu.

Kudengar kau kini bercokol di Bukit Tunjang, dan memiliki anak buah yang hebat-hebat. Tapi nyatanya, mereka hanya kecoa-kecoa tak berguna!" sahut orang tua yang dipanggil Sanjaya itu sambil terkekeh-kekeh.

"Paman Guru! Kami memang orang-orang bodoh. Dan dengan kehadiran Paman Guru di tempat ini, tentu Bukit Tunjang akan semakin bersinar. Mohon petunjuk darimu, Paman Guru," ujar Dur­ganda dengan sikap merendah.

"He he he...! Sudahlah, aku hanya bergurau," kata Ki Sanjaya sambil menepuk-nepuk pundak murid keponakannya.

Durganda tersenyum kecil. Dan matanya melirik sekilas pada Kala Gundil dan anak buahnya yang masih berada di tempat itu dengan sikap mematung dan salah tingkah.

"Heh?! Kenapa kalian diam saja?! Ayo, cepat minta maaf!" bentak Durganda garang.

Dengan segera mereka menghampiri Ki San­jaya sambil menjura hormat. "Ki Sanjaya, maafkanlah kesalahan kami yang bodoh dan tak bisa mengenali orang," ucap Kala Gundil mewakili anak buahnya.

"Hm.... Sudahlah," gumam Ki Sanjaya.

"Nah! Kalian boleh pergi sekarang juga!" ben­tak Durganda memberi perintah.

Setelah menjura, Kala Gundil segera berbalik dan berlalu dari tempat itu, diikuti ketiga kawannya.

"Paman Guru, silakan ke tempat kami," ajak Durganda, mempersilakan orang tua itu menuju kediaman mereka, setelah Kala Gundil dan anak bu­ahnya tidak kelihatan lagi.

"Sebentar, Durganda!" kata Ki Sanjaya, tiba-tiba.

"Ada apa, Paman Guru…?" tanya Durganda, dengan kening berkerut.

"Berapa jumlah anak buahmu di tempat ini?" tanya orang tua itu dengan wajah sungguh-sungguh.

"Entahlah. Tapi seratus orang itu tak kurang. Bahkan bisa lebih banyak lagi. Memangnya ada apa, Paman Guru?"

"He he he...! Bagus! Bagus...!" sahut Ki San­jaya, diiringi kekehan kecil dan anggukan kepala beberapa kali.

Melihat kelakuan paman gurunya, tentu saja Durganda dan kedua kawannya semakin heran.

"Kau bersedia membantuku, Durganda?"

"Tentu saja. Tapi apa yang dapat kami bantu?" Durganda balik bertanya.

"Melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Ki Sanjaya cepat.

Durganda, Peging Salira, dan Sugriwa seketika saling berpandangan sesaat.

"Kenapa? Apa kalian tak mau membantuku?!" sentak Ki Sanjaya dengan wajah garang, melihat murid-murid keponakannya bersikap demikian.

"Bukan begitu, Paman. Kalau memang Paman berniat demikian, tentu saja kami setuju sekali. Dan kesempatan itu memang telah lama kami nanti-nantikan. Aku banyak mendengar cerita tentang sepak-terjang Pendekar Rajawali Sakti yang membuat muak perasaanku. Anak buahku tentu saja akan suka sekali mendengarnya. Karena banyak dari mereka yang pernah berurusan dengan pendekar tengik itu. Mereka tentu sakit hati dan dendam sekali," jelas Durganda, singkat.

"Ha ha ha...! Kali ini akan kita singkirkan pendekar busuk itu. Setelah apa yang dilakukannya pada dua kawanku hingga mereka tewas sia-sia, kini tiba giliran dia untuk mampus!" desis Ki San­jaya sambil tertawa terbahak-bahak.

Suara tawa laki-laki tua itu terdengar keras dan menggema sampai ke lereng-lereng bukit.

********************

Siang hari ini, tidak jauh dari Bukit Tunjang, matahari bersinar tak terlalu garang. Apalagi angin bertiup sepoi-sepoi. Pepohonan juga berdaun rimbun, sehingga membuat dua sosok yang menunggang kuda di bawahnya merasa nyaman dan terlindung.

Kedua sosok itu memacu kudanya perlahan-lahan seperti ingin menikmati keindahan alam disekitarnya. Yang seorang adalah pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang terurai, diikat sehelai ikat kepala putih seperti warna rompinya. Di punggungnya tersandang sebilah pedang yang bergagang kepala burung. Kudanya yang hitam berkilat, terlihat gagah dan kuat.

Sementara yang berada di sebelahnya, seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuh­nya sedang, terbungkus baju hitam sebagaimana layaknya tokoh-tokoh persilatan. Dia pun memba­wa pedang yang tersampir di punggungnya. Ram­butnya yang tak terlalu panjang, diikat sehelai kain hijau. Sementara itu, kuda yang ditungganginya berbulu coklat, dan terlihat seperti kuda biasa saja.

"Gusti Prabu Rangga...," sapa laki-laki berbaju hitam pada pemuda berbaju rompi putih di sebelah­nya.

Seketika pemuda yang tak lain Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh.

"Ada apa, Paman Lanang?" sahut Rangga.

"Gusti masih bersedih...?" laki-laki berbaju hitam itu malah balik bertanya.

Rangga hanya tersenyum, tanpa menjawab pertanyaan tadi.

"Sejak Gusti Ayu Pandan Wangi sakit, Gusti Prabu sepertinya tak pernah bergembira...," desah orang yang dipanggil Paman Lanang.

"Apalah artinya kegembiraan bila aku melalaikan kewajibanku sebagai raja dari rakyatku, Paman Lanang," sahut pemuda itu tenang.

"Ya, hamba pun tahu. Gusti Prabu sangat memperhatikan rakyat. Gusti juga rela terjun sendiri ke desa-desa dan kadipaten, untuk melihat dari dekat kehidupan rakyat di Karang Setra. Mereka menyayangi Gusti Prabu. Sehingga, ketika mereka tahu Gusti Prabu sedang berduka, maka seluruh rakyat ikut berduka pula," kata Paman Lanang.

"Paman Lanang, apakah aku kelihatan bersedih?" tanya Rangga sambil tersenyum kecil.

"Gusti Prabu! Kata orang, sinar mata tak bisa bohong dan mampu menggambarkan sifat dan isi hatinya. Meskipun, wajahnya dibuat semanis mung­kin," sahut Paman Lanang berfilsafat.

"Hm, ya. Memang benar apa yang Paman katakan itu. Lalu, bagaimanakah kita menafsirkan isi hati manusia yang tak mempunyai biji mata itu?" Rangga balik bertanya sambil tersenyum kecil.

Paman Lanang terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan itu.

"Sudahlah, Paman. Tak perlu berkecil hati. Aku hanya ingin mengatakan, banyak cara menilai manusia itu. Kalau kita berdasar pada satu sikap dan penglihatan, maka itu bisa salah. Tapi kalau kita melihatnya dari berbagai sudut, boleh jadi akan mendekati kebenaran," sahut pemuda itu, men­jawab sendiri pertanyaannya.

"Gusti Prabu pasti lebih mengetahuinya daripada hamba...," desah Paman Lanang.

"Tapi ada juga yang perlu kau ketahui, Pa­man!"

"Apa itu, Gusti Prabu?"

Rangga tersenyum sebelum menjawab. "Kau kuminta berpakaian seperti tokoh persilatan agar orang-orang menyangka kau adalah rakyat biasa dan bukan seorang prajurit Karang Se­tra. Untuk itu, kau pun harus tutup mulut tentang diriku jika berhadapan dengan orang lain. Katakan saja kalau aku adalah saudara seperguruan. Kau ingat itu, Paman?"

"Tentu akan hamba ingat selalu. Gusti Prabu!" sahut Paman Lanang cepat.

"Syukurlah. Nah! Coba kau perkirakan, kira-kira berapa lama lagi perjalanan kita ke tempat tabib itu?" kata Rangga seraya menatap ke depan.

"Tak sampai dua hari perjalanan lagi, Gusti Prabu," sahut Paman Lanang.

"Apa tak ada jalan pintas agar bisa tiba secepatnya ke sana? Aku khawatir, penyakit Pandan Wangi semakin memburuk," tanya Rangga agak mendesah.

"Jalan yang kita lalui inilah jalan pintasnya, Gusti Prabu. Setahu hamba, tak ada jalan lain yang lebih singkat lagi," sahut Paman Lanang.

Rangga hanya mengeluh pendek mendengar jawaban itu. Rasa kekhawatiran kembali menyergap benaknya. Pikirannya terus bertuju pada Pandan Wangi di Karang Setra yang tengah menderita penyakit.

"Gusti Prabu, tenangkanlah. Ketika kita tinggalkan, Gusti Ayu Pandan Wangi mulai membaik. Dia pasti akan sembuh. Lagi pula, penyakitnya tak begitu parah, bukan?" kata Paman Lanang beru­saha menghibur.

"Kau tak tahu, Paman Lanang. Penyakitnya itu bila dibiarkan begitu saja akan semakin sulit diobatinya!" ujar Rangga.

''Kenapa Gusti Prabu tak memerintahkan kami saja untuk menemui tabib itu?"

"Tidak. Aku lebih suka melakukan hal ini sen­diri. Ini adalah persoalan pribadi. Maka, aku harus menyelesaikannya seorang diri. Kecuali bila menyangkut negara. Maka, sudah barang tentu kalian akan ku ikutsertakan," tegas Rangga.

Paman Lanang tak berkata apa-apa lagi. Memang jawaban Pendekar Rajawali Sakti barusan sulit untuk dibantah. Namun mendadak pemuda berbaju rompi putih itu memandang ke satu arah dengan penuh perhatian.

"Gusti Prabu, ada apa?" tanya Paman Lanang, cemas.

"Tidakkah kau mendengar suara?" tanya Rangga ingin memastikan.

"Suara apa? Hamba tak mendengar suara apa-apa!" sahut Paman Lanang semakin bingung.

Rangga memandangnya sekilas, kemudian tersadar. Rupanya memang Paman Lanang tak men­dengarnya, karena telinganya tak terlatih.

"Mari kita cepat ke sana!" ajak pemuda berbaju rompi putih itu.

"Tapi ada suara apa, Gusti Prabu?" tanya Pa­man Lanang penasaran.

"Suara perkelahian dan seorang wanita berteriak meminta tolong. Kita harus menolong orang itu. Dia tentu sedang dalam kesulitan!" sahut Rangga, seraya memacu lebih cepat kudanya.

"Gusti Prabu, apakah ini tak akan menghambat perjalanan kita?!" teriak Paman Lanang, karena kudanya mulai tertinggal jauh oleh Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Menolong orang lain sama pentingnya dengan menolong Pandan Wangi, Paman Lanang!" sahut pemuda itu enteng.

Paman Lanang terdiam mendengar jawaban itu. Kemudian kudanya dihela supaya berlari lebih kencang berusaha menyusul pemuda itu. Namun tetap saja kudanya tertinggal jauh dari Dewa Bayu yang sudah melesat bagai angin.

Apa yang didengar Rangga memang tak salah. Tak berapa lama, Pendekar Rajawali Sakti tiba di suatu tempat di tepi hutan. Dan dia langsung me­lihat beberapa orang perampok tengah menghajar seorang laki-laki muda yang agaknya hanya mengerti sedikit ilmu olah kanuragan. Beberapa kali dia menjerit kesakitan, ketika tubuhnya mendapat hajaran secara bergilir. Sementara tak jauh dari situ, dua orang perampok lain sedang mempermainkan seorang wanita cantik. Salah seorang tampak menarik lengannya, hingga tubuh wanita itu terjerembab di tanah berumput. Begitu jatuh, perampok yang lain cepat menyergap dan langsung menindih tu­buhnya.

"Lepaskan aku! Lepaaaskan...! Tolooong...! Kakang Bhatara, tolooong. .! Aouw, lepaskan! Lepaskaaan...!" teriak wanita itu sekuat tenaga, ketika kedua perampok itu mencoba menggerayangi tu­buhnya yang kenyal.

Dengan mata berbinar dan jakun turun naik, kemudian salah seorang melucuti pakaian wanita itu, sementara yang seorang lagi memegang kedua tangan dan kakinya. Wanita itu terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun apalah daya. Sedangkan rontaan-rontaan itu bagai hentakan-hentakan penuh nafsu bagai kedua perampok itu.

Air mata wanita itu sudah bergulir satu demi satu di pipinya. Namun begitu harga dirinya sebagai seorang wanita akan terjamah, mendadak...

"Hanya binatang berjiwa iblis yang bisa melakukan perbuatan terkutuk itu!" bentak Rangga garang.

Tiba-tiba sebuah suara, menghentikan per­buatan kotor kedua perampok itu. Sebuah suara dari Pendekar Rajawali Sakti yang telah melompat dari kudanya dan langsung berdiri di dekat pergumulan seru itu.

"Heh?!"

Kedua perampok bertampang seram itu kontan membenahi pakaiannya. Sementara itu, Paman La­nang yang baru saja tiba, segera menolong wanita yang hampir naas itu. Segera dibawanya wanita itu ke tempat aman, dengan terlebih dahulu memberikan kain wanita itu untuk menutupi tubuhnya. Begitu selesai berpakaian. kedua perampok itu segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Bocah keparat! Kau pikir siapa dirimu, hingga berani mengganggu kesenangan orang lain?! Enyahlah kau dari hadapanku!" bentak salah se­orang seraya mengayunkan tangannya, hendak menampar Pendekar Rajawali Sakti.

Begitu tamparan perampok itu hampir mendarat di wajah, dengan gerakan cepat bagai kilat Rangga menangkapnya.

Tap!
"Hih!"

Dan dengan sekuat tenaga, langsung ditariknya, hingga tubuh orang itu kontan melesat tinggi melewati kepalanya. Tubuh itu terus melayang dan langsung membentur keras batang pohon di bela­kang Pendekar Rajawali Sakti.

Brakkk!
"Aaakh!"

Melihat temannya dicundangi, perampok satu lagi menjadi geram. Seketika dilepaskannya sa­tu tendangan keras ke bagian pinggang Rangga. Namun dengan gesit sekali Rangga cepat melompat ke atas. Dan tanpa diduga sama sekali, langsung dilepaskannya satu tendangan dahsyat ke dada orang itu.

Diegkh!
"Aaakh...!"

Kembali satu jeritan kesakitan terdengar menyayat. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti me­mang cepat bagai kilat, sehingga orang itu tak mampu menghindar. Akibatnya, tubuhnya kontan terjengkang ke tanah, dan tak bergerak-gerak lagi. Demikian pula temannya yang menabrak pohon tadi.

Sementara itu Paman Lanang kini segera menyelamatkan kawan wanita tadi yang dikeroyok. Namun akibatnya, laki-laki setengah baya itu harus menghadapi keroyokan enam orang perampok yang tadi mengeroyok pemuda teman wanita itu.

"Paman Lanang! Biarkan aku membantumu, agar lebih cepat membereskan perampok-perampok busuk ini!" teriak Rangga, melesat ke arah pertarungan.

Kini pertarungan berjalan agak lebih seimbang, meskipun Rangga dan Paman Lanang masing-masing harus menghadapi tiga orang lawan. Dan di sini terbukti kelihaian Paman Lanang dalam pertarungan. Tubuhnya mampu bergerak lincah dan gesit. Tangannya pun cukup gesit ketika mencabut pedang dan memapaki golok-golok lawan yang berseliweran mengancam keselamatan.

"Keparat busuk! Kalian harus mampus, karena berani ikut campur urusan Bajingan Dari Sungai Gerong!" dengus salah seorang perampok disertai ayunan goloknya yang menebas kepala Paman La­nang.

Namun, prajurit kerajaan yang gagah perkasa itu cepat menangkis dengan pedangnya yang sudah tercabut dari warangkanya di pinggang.

Trang!

Perampok yang menyerang Paman Lanang kontan meringis kesakitan ketika senjatanya tertangkis. Melihat lawannya terjajar begitu, Paman Lanang tak melanjutkan serangan. Masalahnya, dua orang lawan telah menerjang ke arahnya dari kanan dan kiri. Cepat tubuhnya ditundukkan, diser­tai sambaran ujung pedangnya ke arah kedua ka­ki lawan sekaligus. Kedua perampok itu tersentak kaget, namun cepat melompat ke atas.

"Hup!"

Melihat kedua orang itu melompat ke atas, Paman Lanang segera mengejar salah seorang sam­bil mengayunkan kaki kanannya. Langsung dihantamnya perut lawan.

Desss!
"Aaakh!"

Perampok yang terhantam perutnya langsung menjerit kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke tanah beberapa langkah, dan terus bergulingan. Begitu bangkit berdiri perutnya yang terasa akan meledak terkena hantaman keras tadi langsung didekap dengan tangannya.

"Keparat! Kubunuh kau...!" geram salah seo­rang perampok lain dengan amarah meluap. Lang­sung goloknya ditebaskan ke arah laki-laki setengah baya itu. Namun dengan tenang Paman Lanang menangkis serangan itu dengan pedangnya.

Trang!

Dan begitu habis menangkis, Paman Lanang cepat bergerak ke kanan untuk menghindari tebasan golok lawan yang seorang lagi. Seketika tubuh­nya berputar cepat, melepaskan tendangan sete­ngah melingkar ke arah punggung lawan yang ber­ada di belakangnya.

Dug!
"Ukh...!"

Kembali terdengar jeritan kesakitan, diiringi tubuhnya yang tersungkur ke depan. Wajah orang itu langsung membentur sebongkah batu begitu jatuh di tanah. Tampak darah mengucur deras dan hidungnya yang patah. Bibirnya pun jontor dan dua buah giginya tanggal!

"Hm… Sekarang tinggal kau sendiri, Bajingan Busuk! Tahanlah pedangku ini!" kata Paman La­nang, seraya mengayunkan pedangnya.

Cepat sekali gerakan Paman Lanang, namun perampok itu juga cepat menangkis dengan golok­nya. Hanya saja wajah perampok itu kontan meri­ngis menahan rasa nyeri, begitu senjatanya beradu dengan pedang Paman Lanang. Dari sini saja bisa terbukti kalau tenaga dalam Paman Lanang lebih kuat daripada lawannya.

Dan sebelum perampok itu berbuat banyak, Paman Lanang cepat memutar ujung pedangnya, mengejar seluruh bagian yang mematikan. Sehing­ga perampok itu pontang-panting menyelamatkan diri. Kini sasaran pedang Paman Lanang ke arah leher. Dan dengan cepat perampok itu menjatuhkan diri ke tanah. Tapi Paman Lanang yang memang telah menunggunya, cepat memberi satu tendangan keras. Dengan sebisa-bisanya, orang itu mencoba menangkis dengan tangannya sambil terus bergulingan.

Plakkk!
"Ukh!"

Perampok itu mengeluh menahan sakit, karena tangannya terasa linu begitu menangkis tendangan. Tapi belum lagi hilang rasa sakitnya, ujung pe­dang Paman Lanang telah berkelebat cepat. Dan...

Crasss!
"Aaakh...!"

Perampok itu kontan menjerit-jerit kesakitan sambil berguling-gulingan begitu ujung pedang Pa­man Lanang menyambar pahanya, sehingga mem­buat luka yang panjang dan dalam. Darah seketika mengucur deras dari luka itu.

Sementara itu pada pertarungan lain Pendekar Rajawali Sakti seperti tak mengalami kesulitan. Padahal ketiga lawannya menyerang sekaligus! Na­mun pemuda yang selalu mengenakan rompi putih itu tenang-tenang saja berdiri. Ketiga perampok itu begitu bernafsu menyabetkan goloknya yang terhunus.

Namun beberapa jengkal lagi ujung-ujung golok itu akan menyambar, Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali melompat ke atas. Sebentar dia berputaran di udara, dan tiba-tiba tubuhnya menukik. Seketika dikerahkannya jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa, yang lang­sung menyambar rahang ke tiga orang itu dengan kakinya. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak seorang pun yang dapat menghindar. Dan...

Tak!
Pak!
Prakkk!
"Aaakh...!"

Ketiga orang itu kontan menjerit kesakitan me­rasakan sakit pada rahang. Mereka langsung am­bruk dan berguling-gulingan di tanah. Dua orang rahangnya patah dan beberapa buah giginya tanggal dengan mengucurkan darah segar. Sementara yang seorang lagi langsung pingsan, setelah bergu­ling-gulingan.

"Kalau kalian masih ingin hidup, cepat pergi dari sini!" bentak Pendekar Rajawali Sakti sambil merayapi satu persatu lawannya.

Rupanya, kini nyali para perampok itu sudah ciut. Maka dengan bergegas mereka membantu teman-temannya yang masih pingsan. Dan sebentar kemudian dengan tertatih-tatih mereka pergi dan tempat itu diiringi mata Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang. Dengan satu isyarat mereka kabur terbirit-birit dari tempat itu.

"Huh! Hanya perampok-perampok picisan sa­ja, lagaknya selangit!" dengus Paman Lanang sinis.

Sementara itu dua orang yang diselamatkan Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang, setelah para perampok itu tidak kelihatan lagi.

"Kisanak berdua! Aku Bhatara dan ini istriku Suminten menghaturkan terima kasih atas pertolongannya pada kami...!" ucap laki-laki muda itu.

EMPAT

"Rangga, Paman Lanang, sekali lagi kami menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan kalian. Kalau tidak ada kalian, entah apa jadinya kami ini," sahut Bhatara, setelah mereka saling memperkenalkan diri.

Mereka kini saling berbincang-bincang tentang kejadian tadi, di bawah sebuah pohon rindang. Bhatara duduk bersila, berdampingan dengan istrinya. Sedangkan Rangga dan Paman Lanang di se­buah akar pohon besar yang menyembul keluar di permukaan tanah, menghadap suami-istri itu.

"Apa yang menyebabkan kalian bentrok de­ngan mereka?" tanya Rangga.

"Mereka hendak merampok barang-barang ka­mi. Padahal kami hanya petani miskin. Dan yang kami bawa pun hanya sekadar keperluan sehari-hari yang diperoleh dari menukar hasil ladang kami di kotaraja," jelas Bhatara.

"Hm… Dasar perampok serakah!" umpat Paman Lanang geram.

"Orang-orang seperti itu memang sudah sepatutnya mendapat hukuman berat. Kalau saja Gusti Prabu Rangga tahu mereka tentu tak akan lolos begitu saja!" desis Bharata ikut-ikutan geram.

Rangga hanya tersenyum mendengar kata-kata Bharata. Namun dalam hatinya terselip rasa sedih, karena di wilayah yang termasuk wilayah Karang Setra ini ternyata masih dihuni perampok. Dan sebagai pendekar digdaya, tentu saja hal ini menjadi beban pikirannya.

"Rangga... Namamu begitu mirip dengan Gus­ti Prabu Rangga?" tanya Bharata curiga. Dan dia mencoba mengingat-ingat sesuatu.

"Apakah kau pernah bertemu dengannya?" sa­hut Rangga balik bertanya.

"Belum. Tapi banyak kudengar, beliau sering turun ke desa-desa seorang diri untuk memperhatikan rakyatnya. Orangnya masih muda dan konon berwajah tampan," sahut Bharata masih tetap me­mandang pemuda di hadapannya dengan sorot ma­ta curiga.

"Bagaimana pandangan tentang dia?" tanya Rangga, mencoba memancing.

"Semua rakyat mencintainya. Demikian pula aku. Tapi..., ah! Rangga, jangan-jangan adalah..."

"Bharata, jangan mengada-ada! Mana berani aku mengaku sebagai Raja Karang Setra. Kalaupun namaku sama, itu karena dulu ibuku sedang bingung mencarikan nama untukku. Lalu, dia teringat Gusti Prabu Rangga yang kala itu berusia hampir sebaya denganku," jelas Rangga berdusta.

Bharata dan istrinya mengangguk pelan. Na­mun wajah mereka masih menunjukkan rasa ketidakpercayaannya.

"Rangga! Aku pun berharap, mudah-mudahan kau memiliki sifat yang mulia seperti Gusti Prabu Rangga..." desah Bharata pelan.

"Terima kasih, Bharata. Kalau demikian, kami akan melanjutkan perjalanan kembali," lanjut Rang­ga.

"Rangga, ke manakah tujuan kalian?"

"Ke arah timur. Ada apa Bharata?" tanya Rangga, ketika melihat laki-laki itu akan mengatakan sesuatu.

"Ah, kebetulan sekali!" desis Bharata, berseri.

"Kebetulan kenapa, Bharata?" tanya Rangga bingung.

"Rangga, kebetulan tempat tinggal kami juga di timur. Kalau tak keberatan kami berharap sekali kalau kalian berdua sudi mampir. Yah... Sekadar untuk menjamu kalian ala kadarnya. Kulihat kalian telah melakukan perjalanan yang cukup jauh. Lagi pula, langit kelihatan mendung dan hari mulai sore. Berjalan di malam hari dalam keadaan hujan, tentu akan sangat mengganggu," bujuk Bharata.

"Tapi, Bharata..."

"Rangga, mohon jangan menolak permintaan kami!" pinta Bharata setengah memaksa.

Rangga berpikir sesaat, lalu tersenyum. Apa yang dikatakan laki-laki itu memang tak salah. Hari memang mulai sore dan gelap. Apalagi, mendung juga tampak kelam menyelimuti langit. Sebentar la­gi, tentu hujan akan turun. Dan melihat langit yang gelap begitu, sudah barang tentu hujan akan lama sekali. Bisa sampai tengah malam! Maka ketika Paman Lanang memberi isyarat kalau juga menyetujui ajakan suami-istri itu, Rangga tak punya pilihan lagi.

"Baiklah...," desah Rangga pelan, seraya bangkit diikuti Paman Lanang.

"Ahhh! Terima kasih, kau akhirnya sudi mam­pir ke gubuk kami, Rangga!" kata Bharata, juga bangkit dan langsung menuju gerobak bersama istrinya.

Mau tak mau Rangga merasa terharu juga me­lihat kegembiraan di wajah suami-istri itu. Mereka benar-benar tulus ingin mengundangnya. Dan rasanya, tak enak bila ditolak. Rangga dan Paman La­nang kemudian juga menghampiri kuda masing-masing. Dan sambil menuntun kuda, mereka kem­bali menghampiri suami-istri itu.

"Desa kami tak begitu jauh dari sini!" kata Bharata sambil menaikkan istrinya ke dalam gero­bak yang ditarik seekor kuda. Dia sendiri pun ke­mudian melompat naik, dan mulai menghela kuda­nya perlahan-lahan.

"Kalian sudah mempunyai putra atau putri?" tanya Rangga, seraya naik ke atas kudanya di samping gerobak itu. Sebentar kemudian, kuda hitamnya digebah perlahan-lahan.

"Belum. Kami baru menikah tiga bulan yang lalu," sahut Bharata dari belakang.

Pendekar Rajawali Sakti mengangguk-anggukkan kepala sambil terus menggebah kudanya di samping Paman Lanang. Rangga menggangguk-anggukkan kepala, sam­bil terus menggebah kudanya di samping Paman Lanang. Mereka pun kemudian tak banyak bercakap-cakap lagi ketika kilat mulai terlihat membelah angkasa.

Pendekar Rajawali Sakti

********************

"Oaaa.... Oaaa...!"

Terdengar tangisan bayi, dari sebuah jalan utama di sebuah desa yang terlihat sepi. Tampak seo­rang perempuan berusia sekitar lima puluh tahun tengah menimang-nimang bayi yang terus menangis itu. Wanita itu memakai anting-anting bulat dan besar. Walaupun sudah berumur, tapi rambutnya masih terlihat hitam dan lebat. Gelungnya juga dihiasi beberapa buah tusuk konde dari emas. Wa­jahnya kelihatan masih cantik kendati sudah sedikit keriput.

Pakaiannya mewah, terbuat dari sutera halus berwarna biru langit. Di pinggang kirinya terlihat sepasang pedang yang menandakan kalau perempuan tua itu bukanlah orang sembarangan. Dengan memakai kerudung merah jambu yang juga dari su­tera, serta dandanannya yang kelihatan semarak, sepintas terlihat kalau perempuan tua itu agaknya suka bersolek.

Perempuan tua yang sebenarnya bernama Nini Anting itu berusaha mendiamkan bayi yang terus menangis. Namun, bocah itu terus menangis seperti tak mau menghentikan tangisnya.

"Cup..., cup! Diam, Bocah. Diamlah...!" bujuk Nini Anting.

"Oaaa...! Oaaa...!"

Nini Anting mengayun-ayunkan bayi dalam gendongannya perlahan-lahan, sambil terus melangkah tenang. Namun bukannya berhenti, bayi itu malah menambah keras tangisnya. Berkali-kali wanita itu seperti orang kebingungan sambil menoleh ke sana kemari. Dan tak berapa lama dia ber­henti di depan sebuah rumah untuk berteduh, dan terus menenangkan bayi yang tak kunjung berhenti tangisnya.

"Diamlah, Anak Manis! Diamlah...! Cep... cep...!"

Mendengar ada suara bayi menangis di luar rumahnya, orang yang memiliki rumah itu keluar. Kebetulan sekali, dia seorang ibu muda yang juga mempunyai bayi dan tengah menyusui. Dipandangnya wanita tua itu dengan wajah kasihan.

"Nisanak, bayi siapakah itu? Dan, kenapa terus menangis?" tanya wanita muda itu.

Nini Anting tak menyahut malah wajahnya dipalingkan, seraya mencium bayi yang digendongnya. Dan tiba-tiba bayi itu berhenti menangis. Maka Nini Anting terus menciumnya erat-erat tanpa mempedulikan wanita muda itu.

"Nisanak, mungkin bayi itu belum menyusu. Kenapa tak diberikan saja pada ibunya agar bisa menyusu?" tanya wanita muda itu kembali.

Nini Anting masih diam membisu Tak lama kemudian ciumannya pada bayi yang kini tak menangis lagi dilepaskan.

"Kasihan bayi ini. Masih kecil begini sudah ditinggal mati kedua orangtuanya...," gumam Nini Anting dengan suara serak, memalingkan wajahnya yang tertutup kerudung.

"Ditinggal mati orangtuanya?!" wanita itu agak terkejut.

"Benar. Mungkin beberapa orang perampok te­lah membunuh orangtuanya. Dia kutemukan di te­ngah jalan, sedang tergeletak dan menangis. Dan mana mungkin aku menyusuinya, karena aku su­dah tua. Ah! Malang betul nasib anak ini...," sahut Nini Anting, pilu.

"Nisanak, biarlah mari kususui sejenak. Kasihan dia, sejak tadi pasti terus menangis." kata wanita muda itu, iba.

"Oh! Benarkah itu?" tanya Nini Anting, gembira. Dan wajahnya yang tertutup selendang hanya sedikit dipalingkan.

"Ya! Kemarikanlah bayi itu!"

"Baiklah. Kalau begitu, mari kugendong dulu bayimu," ujar wanita tua itu.

Wanita muda itu pun menyerahkan bayinya untuk digendong Nini Anting, kemudian menerima bayi yang tadi digendong Nini Anting. Dia sedikit heran ketika bayi yang kini berada dalam gendongannya tiba-tiba menangis kencang. Padahal, semula bayi itu tenang-tenang saja dan sama sekali tak rewel. Lebih-lebih ketika melihat wajah bayi itu pucat pasi bagai mayat. Bahkan denyut jantungnya tak terasa! Tampak pada lehernya terlihat dua buah lubang sebesar pangkal lidi. Dan yang makin membuatnya kaget, perempuan tua yang menggendong bayinya kini telah melangkah tenang meninggalkan rumahnya.

"Nisanak! Bayi ini telah mati. Hei. Kembalikan anakku. Kembalikan anakku. Hei! Kau bawa ke mana dia?!" teriak wanita muda itu sambil mengejar Nini Anting.

"Hi hi hi...! Kenapa malah berteriak-teriak begitu? Bukankah kau tadi telah menukar bayimu dengan bayiku?!" kata Nini Anting sambil berbalik dan menyeringai buas.

Wanita muda itu tersentak kaget. Bayi dalam gendongannya yang telah tak bernyawa itu terlepas dari tangannya. Langsung dia berlari ke arah Nini Anting dan memegangi tangannya. Sementara, Nini Anting kini wajahnya telah berubah menakutkan dengan sepasang taring runcing di mulut. Tetesan-tetesan darah tampak masih terlihat jelas dari sudut bibirnya.

"Kau..., kau pembunuh! Pembunuh...! Kem­balikan anakku! Kembalikan anakkuuu...!" teriak wanita muda itu. Dia berusaha merebut bayinya yang berada dalam gendongan wanita tua itu.

"Wanita tolol! Enyahlah kau dari hadapanku! Hih!" sentak Nini Anting.

Dengan geram, Nini Anting menyentakkan ta­ngannya yang dicengkeram wanita muda itu. Maka seketika wanita muda itu terjungkal ke tanah sambil mengeluh kesakitan. Namun begitu dia terus berte­riak-teriak sekuat tenaga. Maka, sebentar saja bebe­rapa penduduk desa yang mendengar teriakan se­gera keluar. Demikian pula suami wanita muda itu yang berada di belakang rumah. Dan mereka semua langsung mencegat Nini Anting. Dengan kemarahan meluap, suami wanita muda itu menghadang Nini Anting dengan kapak di tangan bekas membelah kayu tadi.

"Perempuan tua, serahkanlah anakku. Atau, kubunuh kau!" bentak laki-laki itu berang.

"Hi hi hi...! Kau hendak mengambil anak dalam gendonganku ini? Cobalah kalau memang ingin mampus!" sahut Nini Anting sambil balas mengancam.

"Keparat!" geram laki-laki itu sambil melompat mengayunkan kapaknya.

"Uts...!"

Sedikit saja Nini Anting memiringkan tubuhnya, maka kapak itu luput menghajar sasaran. Bersa­maan dengan itu, kaki kanannya langsung mengha­jar keras dada laki-laki itu.

Duk!
"Aaa...!"

Laki-laki itu kontan menjerit menyayat begitu tubuhnya terjungkal ke tanah disertai muntahan da­rah segar. Tubuhnya langsung menggelepar-gelepar sesaat, sebelum akhirnya diam tak bergerak lagi. Melihat hal ini, orang-orang yang berada di tempat itu jadi tersentak kaget. Begitu juga wanita muda tadi.

"Kakang...!"

Sambil berteriak memilukan waruta muda itu memburu tubuh suaminya yang telah tak bernyawa lagi. Para penduduk desa itu yang sudah geram, bermaksud menghajar perempuan tua tadi. Tapi, Nini Anting telah lenyap dari tempat itu tanpa se­orang pun mengetahui ke mana arahnya pergi.

Sementara, Nini Anting sudah begitu jauh meninggalkan desa itu. Dia terus terkekeh sambil berlari kencang yang disertai ilmu meringankan tubuhnya.

"Hi hi hi...! Dasar orang-orang totol! Mau saja kena tipu! Sudah begitu, malah berlagak jago ingin menantangku. Hi hi hi...! Mampuslah bagiannya!"

Melihat caranya berlari, bisa diduga kalau kepandaian Nini Anting sangat tinggi. Sebenarnya, memang Nini Anting bukanlah orang sembarangan. Dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Peri lblis Racun Merah. Bahkan dia juga salah satu dari datuk rimba persilatan. Namun wanita tua itu mempunyai kebiasaan yang menggiriskan, yakni menghisap darah orok! Setelah darah orok dihisap sampai habis lalu mayatnya dibuang begitu saja. Wanita tua yang pesolek itu terus berlari mendekati Bukit Tunjang yang terkenal keangkerannya.

Hari menjelang agak sore ketika Nini Anting tiba di kaki Bukit Tunjang. Dia berhenti sesaat sambil memandang ke arah bukit yang menjulang tinggi itu. Sebentar kemudian tubuhnya melesat cepat mendaki bukit itu. Dan begitu tiba di sebuah tempat, Nini Anting memandang ke sekeliling. Diperhatikannya keadaan sekitar dengan seksama. Sebentar kemudian bibirnya tersenyum.

"Hi hi hi...! Dasar orang-orang tolol. Mereka pikir perangkap-perangkap ini mampu membawa maut bagiku. Huh!" gumam Nini Anting, setelah menyadari keadaan berbahaya di sekitarnya.

Kata-kata Nini Anting beralasan, pada umumnya orang-orang yang mendaki bukit ini selalu lewat jalan darat. Tapi Nini Anting lebih memilih jalan atas, yaitu melalui atas pohon yang lebih aman. Perem­puan itu segera melompat ke atas pohon, kemudian dengan gerakan gesit sekali dia berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain. Tapi, itu bukan berarti luput dari jebakan! Karena tiba-tiba...

Set!
Werrr...!
"He, kurang ajar!"

Ternyata salah satu tangan Nini Anting sempat mengait salah satu oyot pohon yang banyak bergantungan di dahan. Maka ketika oyot itu ditarik, saat itu juga mendesing beberapa pucuk bambu beracun ke arahnya. Maka dengan gesit, perempuan tua itu melompat sambil menekuk kedua kakinya, menghindari serangan gelap ini.

"Hup!"

Namun, tak semua bambu beracun itu mampu dihindari. Dalam keadaan melayang begitu, memang sulit bagi Nini Anting untuk menghindarkan diri secara sempurna. Maka terpaksa Nini Anting mencabut pedangnya. Dan seketika pedang itu dibabatkan ke arah beberapa bambu beracun yang masih mengincar tubuhnya.

Tas! Tas!

Seketika, bambu-bambu beracun itu berjatuhan di tanah. Sementara Nini Anting langsung berputaran beberapa kali. Dan ketika kakinya telah menjejak tanah, pedangnya telah kembali terselip di pinggang. Tapi, bahaya lain ternyata telah menghadangnya di depan mata. Tampak sekawanan orang berwajah seram telah menunggu dengan sikap tak bersahabat. Dalam hati Nini Anting menghitung. Ternyata jumlah mereka tak kurang dari dua puluh orang.

Hi hi hi...! Kukira ternpat ini penghuninya perampok-perampok berwajah garang. Eh, tidak tahunya hanya kecoa-kecoa bermuka kunyuk!" ejek Nini Anting sambil terkekeh.

Mendengar kata-kata itu, tentu saja kemarahan orang-orang itu bangkit. Salah seorang yang bertubuh kurus dan berwajah lonjong, langsung melangkah mendekatinya dengan sinar mata kebencian.

"Perempuan tua busuk! Berani benar kau berkata begitu! Apa kau sadar dengan tubuhmu yang peyot itu?!" balas laki-laki itu.

"Biar peyot, tapi masih mampu memberi pelajaran pada tikus-tikus comberan macam kalian!" sahut Nini Anting.

"Keparat! Kau pikir setelah lolos dari perangkap-perangkap itu, sudah merasa hebat, heh?!" geram orang itu dengan geraham bergemeletukkan.

"Hei?! Kenapa kau marah-marah sendiri, Bocah? Apa kau pikir perangkap-perangkap itu hebat? Hm.... Kalau perangkap itu saja tak kupandang sebelah mata, apalagi kalian!" sahut Nini Anting, jumawa.

"Setan! Kau memang harus merasakan sabetan tongkatku!" dengus orang itu tak mampu mengendalikan amarahnya. Maka dengan gesit, dia melompat menyerang Nini Anting sambil mengayunkan tongkat bajanya.

"Yeaaa...! Mampuslah kau!"

LIMA

  Bet! Bet!
"Uts...!"

Beberapa sabetan tongkat yang runcing me­nyambar batok kepala Nini Anting. Namun perem­puan tua itu cepat mundur ke belakang sambil terkekeh-kekeh. Melihat hal itu laki-laki bertubuh kurus itu menyambarkan tongkatnya ke perut Nini Anting dari bawah ke atas. Namun, wanita tua pesolek itu cepat mendoyongkan tubuh ke samping. Sehingga, tongkat itu hanya menyambar angin belaka. Dan cepat bagai kilat, Nini Anting melesat sambil melepaskan tendangan menggeledek. Untung saja laki-laki kurus itu cepat mengelak. Dan sungguh tak diduga! Belum juga laki-laki kurus itu berbalik, Nini Anting sudah menjejakkan kakinya di tanah. Lalu dengan cepat sekali, perempuan tua itu kembali melesat kembali ke arah laki-laki kurus itu.

Sring!

Dengan gerakan laksana kilat, Nini Anting, mencabut sebilah pedangnya. Dan seketika di sambarnya perut laki-laki kurus itu tanpa dapat dihindari lagi.

Brettt!
"Aaa...!"

Pedang di tangan Nini Anting yang disertai pengerahan tenaga dalam, langsung membabat perut laki-laki kurus itu hingga robek lebar disertai darah yang mengucur deras. Laki-laki itu kontan terhuyung-huyung, dan ambruk di tanah.

"Astaga! Wanujaya, tewas?!" seru seorang ka­wannya sambil memburu orang yang memang su­dah tak bernyawa itu.

"Pedang wanita tua itu mengandung racun mematikan!" desis yang lain ketika melihat sekujur kulit orang yang dipanggil Wanujaya itu telah merah ba­gai bara.

"Wanita keparat! Kau pikir bisa berbuat seenaknya di sini?! Huh! Kau akan mampus sesaat la­gi!" geram salah seorang.

Seketika laki-laki bertubuh pendek itu menca­but senjatanya yang berupa arit besar. Langsung kawan-kawannya yang lain diberi isyarat untuk ikut mengeroyok.

"Hi hi hi...! Kenapa banyak mulut segala? Ayo, majulah semua kalau mau kukirim ke akherat!" bentak Nini Anting sambil tertawa cekikikan.

"Jahanam! Mampuslah kau, yeaaa!"

Mereka serentak maju berbarengan sambil menghunus senjata masing-masing. Namun, Nini Anting masih terkekeh, tanpa memandang sebelah mata pun. Dan kesombongannya itu ternyata ingin dibuktikannya langsung. Maka ketika ujung-ujung senjata lawan hendak membabat tubuhnya, Nini Anting cepat melopat ke atas disertai kelebatan pedangnya.

Trang! Trang! Trang...!

Beberapa buah golok dan pedang kontan berpentalan begitu beradu dengan pedang Nini Anting. Dan sebelum ada yang menyadari ujung pedang di tangannya tak tanggung-tanggung menyambar ke arah leher dan dada beberapa orang. Begitu cepat gerakannya sehingga tak seorang pun yang dapat menduga.

"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
"Aaakh...!"

Tiga jeritan setinggi langit, terdengar saling susul. Seketika tiga sosok tubuh ambruk ke tanah bermandikan darah. Dan sesaat kemudian, tubuh mereka berubah memerah bagai bara akibat racun yang berada di batang pedang Nini Anting.

"Hik hik hik...! Orang-orang tolol! Kalian kira bisa berbuat seenaknya padaku. Terimalah kematian kalian!" dengus Nini Anting, begitu kakinya mendarat di tanah. Dan sebelum orang-orang itu menyerangnya, tubuhnya cepat melompat menyerang.

Melihat perempuan tua itu bergerak mendahului mereka, kawanan laki-laki bertampang kasar itu bukannya merasa gemetar. Bahkan dengan amarah yang meluap-luap mereka menyambut se­rangan itu dengan geram. Beberapa buah senjata kembali memapak senjata Nini Anting.

Trang! Trang!

Dan belum juga bunyi benturan senjata itu lenyap, beberapa buah senjata rahasia langsung melesat menyerang perempuan tua itu. Namun ke­tika Nini Anting memutar pedang dengan tangkas, senjata-senjata rahasia lawan langsung rontok tak berbentuk. Dan pedangnya terus berputar kembali merontokkan senjata-senjata lawan. Lalu dengan gerakan mengagumkan, Nini Anting melenting ke udara. Dan secara tiba-tiba saja, tubuhnya menukik seraya membabatkan pedangnya ke arah beberapa orang yang masih terkesiap.

Cras! Cras!

Kembali terdengar pekik kematian yang disusul ambruknya beberapa sosok tubuh berlumuran da­rah. Dan mereka langsung mati, dengan tubuh merah bagai bara!

"Hik hik hik...! Ayo, ke sini! Mari kuantar kalian ke akherat! Kenapa? Apa kalian mulai takut?! Hi hi hi...! Ayo, tunjukkanlah kegarangan kalian tadi!" ejek Nini Anting setelah mendarat kembali di tanah. Dan dia melihat beberapa pengeroyok yang masih selamat mulai ragu.

Memang tak mengherankan. Masalahnya, hanya sekali gebrakan saja, pedang perempuan tua itu telah meminta banyak korban. Bahkan setengah jumlah mereka kini telah tewas!

Tapi di pihak lain, Nini Anting sama sekali tak berniat menghentikan sepak terjangnya. Malah, dia berniat mempermainkan mereka, untuk kemudian menjadi tumbal pedangnya. Dan seketika tubuhnya melesat menyambar mangsa.

"Kalau demikian, lebih baik kalian mampus saja! Yeaaa...!"

Pedang Nini Anting berkelebat begitu cepat, mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan. Dan dua orang yang berada di dekatnya mencoba menangkis, sementara seorang lagi mengayunkan goloknya ke arah punggung.

Trang! Trang!

Begitu pedangnya tertangkis, Nini Anting sege­ra memapak serangan yang terarah ke punggungnya, setelah dengan cepat sedikit menyorongkan dan mendoyongkan tubuhnya.

Trang!

Tiga senjata para pengeroyoknya berturut-turut terlepas dari tangan, begitu berbenturan dengan pe­dang Nini Anting. Dan kaki kanannya berputar menghantam rahang laki-laki di belakang, sebelum ada yang sempat menyadari. Dan dengan gerakan dahsyat, ujung pedangnya kembali berbalik menyambar leher dua orang di depannya.

Diiringi pekikan menyayat, dua orang langsung tewas dengan leher nyaris putus. Sementara yang seorang lagi menggelepar-gelepar meregang nyawa akibat tendangan yang luar biasa kerasnya. Dan baru saja Nini Anting akan kembali me­nyerang lawan-lawannya yang tersisa, mendadak...

"Nini Anting, sudahlah! Hentikan permainanmu dengan coro-coro itu...!"

"Heh?!"

Wanita tua itu segera menoleh, tanpa mempedulikan sisa lawannya yang langsung lari terbirit-birit begitu mendapat kesempatan. Tampak tiga orang laki-laki berwajah seram tengah melangkah mendekati, bersama seorang laki-laki tua berpakaian putih. Kekek itu memegang kipas yang terkembang. Dan di pinggangnya tampak terselip sebuah suling emas. Begitu mengenali, Nini Anting segera melangkah mendekati mereka.

"Hik hik hik...! Tiga Setan Bukit Tunjang dan si Tua Bangkotan Sanjaya. Hei?! Apa kabar kalian semua?!" sambut Nini Anting terkekeh gembira.

"Kami baik-baik saja, Bibi Guru...," sahut ketiga orang yang tak lain Tiga Setan Bukit Tunjang sambil menjura hormat.

"Dan kau, tua bangka bau tanah?!" ledek Nini Anting pada laki-laki tua yang memang Ki Sanjaya.

"Seperti yang kau lihat, Nenek Genit! Aku ba­ik-baik saja dan tak kurang sesuatu apa pun," sahut Ki Sanjaya sambil mengipas-ngipas wajahnya.

"Hm.... Bagaimana mungkin. Kudengar dadamu luka. Coba kulihat!" lanjut Nini Anting sambil cepat mengayunkan pedangnya. Ki Sanjaya tak kurang lincah. Tubuhnya segera bergeser ke kiri, seraya mengayunkan kipasnya ke arah senjata itu.

Trak!

Dua benturan senjata langsung terjadi. Dan rupanya, Ki Sanjaya melanjutkan dengan sebuah serangan ke leher.

Wukkk...!

"Uts!"

Untung saja Nini Anting cepat melenting ke belakang, untuk menghindarinya. Sehingga, serangan itu hanya menyambar angin saja.

"Kau lihat, Nenek Genit? Aku tak apa-apa, bukan?!" kata Sanjaya tenang, setelah serangannya tidak dilanjutkan. Ditatapnya perempuan tua itu dengan sinar mata meledek.

"Hm... Aku masih kurang percaya. Yang terlihat di depan mata kadang suka menipu. Barangkali kau terluka dalam. Mari kuperiksa!" gumam Nini Anting.

Kembali perempuan tua itu mengayunkan ce­pat pedangnya bergulung-gulung, sehingga menimbulkan angin kencang bercampur hawa racun dari batang pedangnya.

Sementara tidak jauh dari kancah pertarungan, Tiga Setan Bukit Tunjang hanya bisa mengamati pertarungan kedua tokoh kosen itu. Sedikit demi sedikit mereka bergerak menjauh, takut-takut kalau ada serangan nyasar.

"Edan! Bukannya berbaikan, malah berta­rung...!" umpat Sugriwa kesal.

"Kau seperti tak tahu adat mereka kalau bertemu," sahut Durganda mengingatkan. Wajahnya pun terlihat tak senang.

"Iya... Tapi, gurauan mereka berbau maut dan menyusahkan saja!" sambung Peging Salira bersungut-sungut.

Apa yang dikatakan Tiga Setan Bukit Tunjang memang tak salah. Tapi apakah mereka sedang bergurau saat ini? Tak seorang pun yang tahu. Ke­dua tokoh itu memiliki kepandaian tinggi, tapi juga mempunyai kelakuan aneh. Mereka bertarung seperti layaknya dua musuh bebuyutan yang tengah melampiaskan dendam.

"Yeaaa...!"

Tiba-tiba saja kedua orang yang bertarung itu kembali melompat ke belakang dengan arah berlawanan. Dan suasana menjadi hening beberapa saat, begitu kaki mereka menjejak tanah. Kipas di tangan Ki Sanjaya menutup, sedangkan pedang di tangan Nini Anting telah kembali terselip di pinggang.

"Hik hik hik...! Kepandaianmu masih tetap menakjubkan, Sanjaya!" puji Nini Anting sambil berbalik tubuh dan melangkah mendekati laki-laki tua itu.

"Kau pun hebat. Anting! Apakah segalanya sudah dipersiapkan untuk menghadapi si keparat Pendekar Rajawali Sakti itu?" tanya Ki Sanjaya seraya mendekati wanita tua itu.

"Huh! Setelah apa yang dilakukannya terhadap dua rekan kita, dia patut mampus di tanganku!" geram Nini Anting dengan wajah kelam.

"Kita patut berhati-hati, Anting...," desak Ki Sanjaya.

"Kenapa?! Apakah kau takut menghadapinya seorang diri?!" sentak perempuan tua itu garang.

"Anting! Kepandaian pemuda itu sangat tinggi. Kita tak bisa menghadapinya seorang diri!" Ki Sanjaya mencoba menjelaskan.

Nini Anting tak menyahut. Malah wajahnya dipalingkan disertai dengusan dendam.

"Cobalah ingat! Si Burisrawa dan Balung Geni tewas di tangannya dengan mudah. Pada hal, kepandain keduanya tak terpaut jauh dengan kita!" urai Ki Sanjaya, kembali mengingatkan Nini Anting.

"Huh! Kalau bertemu, akan kucincang-cincang tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan, dagingnya kuberikan pada anjing-anjing kurap!" geram Nini Anting dengan mata berkilat tajam dan mulut menyeringai lebar.

"Untuk itulah kita berkumpul di sini dan mem­buat rencana untuk menghancurkannya!" sambung Ki Sanjaya.

"Tapi aku sudah tak sabar, Sanjaya! Rasanya tanganku sudah gatal ingin memecahkan batok kepalanya!" dengus perempuan tua itu.

"Tak bisakah kau bersabar sesaat lagi saja? Kau lihat di sekelilingmu? Bila si keparat itu datang kesini, maka tamatlah riwayatnya!"

"Ya! Tapi, bagaimana caranya dia datang ke sini? Dan lagi, dia ada di mana sekarang?" keluh Nini Anting.

"Nah! Itulah yang akan kita bahas. Yakinlah, semuanya pasti akan beres. Dan dendam kita pasti terbalas. Ayo, kau harus kuajak ke markas murid-murid keponakanku yang tak jauh lagi dari sini. Kita akan menunggu seorang lagi, yaitu Ki Sanca Manuk. Mudah-mudahan dia tak tersesat untuk tiba di sini!" ujar Ki Sanjaya untuk bersama-sama ketem­pat kediaman Tiga Setan Bukit Tunjang.

********************

Tiga Setan Bukit Tunjang serta kedua orang tua itu duduk bersila di ruangan besar yang berada dalam bangunan mewah itu. Di atas meja mereka, telah tersedia hidangan lezat beraneka ragam, serta arak yang harum baunya.

"Hm. Apa kau pikir rencanamu itu berhasil, Sanjaya?" tanya Nini Anting.

"Kenapa? Apa kau ragu?"

"Itu siasat pengecut!" dengus Nini Anting, tak senang.

Ki Sanjaya hanya terkekeh pelan. "Nini Anting! Kuhargai kejujuranmu dalam bertarung. Tapi kau pun harus ingat, kita bukanlah orang baik-baik. Musuh harus dikalahkan dengan segala cara!" kilah Ki Sanjaya.

"Tapi tidak dengan cara yang sama sekali akan merendahkan derajat kita! Apa kau pikir aku sebangsa cecurut yang mesti mengajak ratusan ekor kecoa, untuk mengerubuti seekor kadal busuk tak berguna?" sindir Nini Anting.

"Nini Anting! Kau belum tahu kehebatan Pendekar Rajawali Sakti...." Ki Sanjaya terus membujuk.

"Jangan sebut-sebut nama keparat itu di hadapanku!" sentak Nini Anting memotong pembicaraan Ki Sanjaya.

"Kau belum tahu kehebatannya. Tapi, aku te­lah melihatnya sendiri!" lanjut Ki Sanjaya.

"Hm.... Kau katakan telah melihat kehebatan­nya. Lalu, apa kerjamu saat itu? Menonton si kepa­rat itu membinasakan kedua kawan baikmu?!" dengus Nini Anting kesal.

"Tentu saja tidak. Waktu itu, Burisrawa dan Balung Geni belum tewas di tangannya. Kusaksikan, dia membinasakan seorang tokoh kosen dari utara. Dan aku sendiri belum tentu yakin bisa mengalahkan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkannya," jelas Ki Sanjaya.

"Lalu setelah kematian Burisrawa dan Balung Geni, kau terbirit-birit memberi kabar pada kami untuk berkumpul di sini?"

"Nini Anting! Jangan memojokkanku begitu rupa. Kalian kuundang ke sini, untuk merencanakan sematang mungkin agar dendam kita terbalaskan,” desah laki-laki tua itu.

"Benar, Nini. Kami pun bukan semata-mata ingin membantu. Tapi, sebagian besar anak buahku juga punya dendam kesumat pada Pendekar Rajawali Sakti...." ujar Durgana.

"Diam kau. Bocah! Sudah kukatakan, jangan sebut-sebut nama keparat itu di hadapanku. Lagi pula, apa urusannya dengan kalian? Kalau ingin balas dendam, itu urusan kalian. Tapi, keparat Pen­dekar Rajawali Sakti itu pun sedang berurusan denganku!" sentak Nini Anting galak.

"Nini! Kau kelihatannya sewot sekali, dan tak mau berpikir tenang. Aku tahu betul watakmu..," kata Ki Sanjaya sambil tersenyum kecil.

"Apa maksudmu, Kakek Peot?!"

"Meski kelakuanmu terkadang aneh, kau bisa diajak bersungguh-sungguh dan berpikir tenang. Tapi dalam persoalan ini, kelihatan sekali kemarahanmu. Apakah karena pemuda itu telah mem­binasakan kekasihmu?" pancing Ki Sanjaya.

"Dasar tua bangka bau tanah! Bicaramu semakin ngawur saja…!" dengus Nini Anting.

"He he he… ! Kenapa musti pura-pura kalau kau amat mencintai si Balung Geni... "

"Tutup mulutmu, Sanjaya! Atau lebih baik kurobek biar tak bisa berkoar lagi?!"

Nyaris keributan kecil itu akan semakin memuncak. Untung saja tiba-tiba seorang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan berukuran besar ini.

"Ampun, Tuan. Tadi ada kekacauan di sebelah sana...! Kami sudah berusaha menahan sekuat mungkin. Namun, dia berilmu tinggi dan bukan tandingan kami...!" lapor orang yang baru masuk itu.

"Siapa orang itu?" tanya Durganda.

"Dia tak menyebutkan namanya...

"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Ki Sanjaya.

"Dia membawa tongkat berhulu seperti kepala ular. Mulutnya monyong seperti buaya. Bahkan dia ditemani ular-ular berbisa yang menyerang kawan kawan yang lain," jelas orang itu.

"Hi hi hi...! Panjang umurnya si Sanca Manuk. Baru saja akan dibicarakan dia sudah nongol. Hei, Nini.... Mari kita sambut dia!" ajak Ki Sanjaya sambil bangkit.

Dengan malas-malasan Nini Anting mengikuti langkah Ki Sanjaya. Demikian juga Tiga Setan Bukit Tunjang. Malah, merekalah yang lebih dulu beranjak karena mengkhawatirkan anak buahnya. Mereka semua terus keluar dari rumah besar lagi mewah di puncak Bukit Tunjang ini. Beberapa orang yang menjaga rumah ini segera membungkukkan tubuhnya begitu para tokoh hitam dunia persilatan itu lewat. Tiga Setan Bukit Tunjang, Nini Anting dan Ki Sanjaya terus menyusuri jalan setapak, untuk me­nuju suatu tempat di lereng bukit. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh, mereka terus berlompatan.

Begitu tiba di tempat yang agak luas, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun tengah terkekeh menyaksikan keadian di depannya. Kakek itu tak ditumbuhi rambut secuil pun pa­da bagian ubun-ubunnya. Namun pada bagian be­lakang, rambutnya justru panjang sampai ke punggung dan telah memutih semuanya. Orang tua itu mengenakan baju agak kedodoran, berwarna gelap. Tangannya tampak memegang tongkat aneh yang pada ujung atasnya berbentuk kepala ular.

Kekek yang memang bernama Sanca Manuk itu berdiri tegak, sementara di bawahnya menjalar ratusan ekor ular besar dan kecil. Sementara tak jauh di depannya, terlihat beberapa orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang menjerit-jerit kesa­kitan sambil berguling-gulingan dibelit dan dipatuk ular-ular yang mengandung bisa dahsyat. Beberapa orang tampak telah menjadi mayat dengan tubuh kaku dan warna kulit hitam kebiru-biruan.

"Ha ha ha...! Ayo, Anak-anak! Mari kita berpesta sepuas-puasnya hari ini. Ayo, serang mereka! Serang mereka...!" teriak Ki Sanca Manuk sambil mengeluarkan suara mendesis.

Desisan itu bagaikan perintah saja. Puluhan ekor ular lainnya terus merayap. Bahkan sebagian melompat menerkam beberapa orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang yang berada di dekatnya. Dan tiba....

"Tut..., tulat... tuliiit...   tit... tit...!"

Mendadak terdengar irama suling yang berirama dan mendayu-dayu.

"Heh?!"

ENAM

"Dasar kunyuk Sanjaya! Kau pikir punya kemampuan melawanku!" desis Ki Sanca Manuk geram.

Betapa tidak? Akibat irama seruling yang dimainkan Ki Sanjaya, ratusan ekor ular itu kelihatan bingung. Dan perlahan lahan binatang-binatang melata itu melepaskan mangsanya. Lalu dengan perlahan-lahan pula, mereka bergerak menuju tuannya sambil mendesis-desis garang.

Sementara Ki Sanca Manuk segera mengangkat tongkatnya dan menempelkannya di bibir seperti orang meniup suling. Dan benar saja! Kini ter­dengar irama yang mengalun dan tongkatnya, yang mulai menindih irama suling Ki Sanjaya. Bahkan dari mulut tongkat itu pun mengepul asap hitam tipis yang menerpa ular-ular di dekatnya.

"Zzzsss...!"

Mendadak saja ratusan ekor ular itu kini berbalik arah dan terlihat semakin galak. Lidah mereka menjulur berkali-kali dengan sorot mata memancar tajam berkilat. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ular-ular itu kini menyerang Ki Sanjaya, Nini Anting, serta Tiga Setan Bukit Tunjang. Karuan saja kelima orang itu tersentak. Dan tentu saja mereka segera bertindak.

"Cacing-cacing keparat! Kau pikir bisa mencelakakanku, heh?!" geram Nini Anting sambil mencabut sepasang pedangnya.

"Hiiih!"
Tes! Tes!

Sekali pedangnya berkelebat, maka beberapa ekor ular langsung terputus tubuhnya. Begitu juga halnya Ki Sanjaya. Kipasnya yang sudah terkembang, seketika menyambar ular-ular yang menyerang tubuhnya. Beberapa ekor ular langsung hancur dikepruk sulingnya. Sementara yang lain tercabik-cabik ujung kipasnya yang tajam. Sedangkan Tiga Setan Bukit Tunjang pun tak kalah ganasnya. Mere­ka serentak bergerak menghajar ular-ular itu dengan gemas. Sehingga dalam waktu singkat saja, terlihat puluhan ekor ular telah tergeletak menjadi bangkai.

"Ha ha ha...! Ayo! Panggillah semua ularmu, Sanca Kunyuk. Biar kami lahap semuanya!" ejek Ki Sanjaya sambil terkekeh-kekeh.

"Huh, sial! Sudah! Sudah...! Lama-lama bisa habis anak buahku!" sentak Ki Sanca Manuk kesal.

Sebentar kemudian, lelaki tua yang ubun-ubunnya botak itu meniupkan satu irama dari tongkat­nya. Sehingga ular-ular yang menjadi anak buahnya kembali berkumpul di dekatnya seperti tadi.

"Nah, Kunyuk Sanjaya. Ada apa kau mengundangku ke bukit ini?" tanya Ki Sanca Manuk tanpa basa-basi lagi.

"Sobatku, Ki Sanca Manuk. Apakah kau tak ingin membicarakannya di kediaman murid-murid keponakanku. Di sana, kau bisa sekalian beristirahat.

"Tidak usah banyak peradatan segala. Katakan saja, apa urusannya kau mengundangku ke sini?!"

"Masih ingatkah kau akan kematian kedua kawan kita si Burisrawa dan Balung Geni?"

"Hm.... Memangnya kenapa?" gumam Ki San­ca Manuk.

"Apakah kau hanya akan berpangku tangan saja melihat kematian mereka yang sia-sia?"

"Tentu saja tidak! Aku memang tengah mencari pembunuh keparat itu. Kalau saja kau tak mengganggu dengan mengundangku kemari, tentu aku telah berhasil menemuinya. Dan saat ini, bocah itu tentu lehernya telah kupatahkan!"

"Apa kau tahu siapa yang membunuh mere­ka?"

"Hm.... Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Rajawali Sakti. Huh! Bocah sial itu belum merasakan tongkatku. Dia akan mampus di tanganku!" desis Ki Sanca Manuk geram.

"Nah! Bersabarlah sejenak, Sobat. Kuundang kalian berdua ke sini untuk membicarakan hal itu...."

"Membicarakan katamu, heh?!" potong Ki Sanca Manuk sambil melotot.

"Ki Sanca Manuk! Kita tak bisa berbuat gegabah terhadap bocah itu. Kepandaiannya hebat luar biasa. Bisa jadi, salah seorang dari kita mampu mengimbanginya. Tapi untuk meyakinkan kematiannya, maka kita harus mencari akal. Nah, tadi kami telah merembuk soal itu. Dan barangkali, kau mau mendengarnya," bujuk Ki Sanjaya.

"He! Jangan kau katakan aku setuju, Tua Bangka Peot!" sentak Nini Anting merasa belum puas.

"Nini Anting, kita bicarakan hal itu nanti..., bujuk Ki sanjaya.

"Heh! Kenapa rupanya nenek bau tanah itu?!" tanya Ki Sanca Manuk, keras.

"Sanca kunyuk! Jangan sembarangan membuka bacot! Kau pikir tubuhmu tidak bau tanah, heh?! Kalau mau, biar sekalian kumasukkan ke dalam ta­nah!" sentak Nini Anting galak.

"He he he...! Hebat, sungguh hebat! Puluhan tahun telah berlalu, tapi kelakuan nenek peot ini tak berubah. Hei, Sanjaya! Untunglah dulu dia tak mau padamu. Kalau kalian jadi suami-istri, pasti akan gawat keadaanmu...!" teriak Ki Sanca Manuk.

"Tua bangka kurang ajar! Jangan sembarangan bicara!"

Nini Anting akan melompat menyerang Ki Sanca Manuk. Namun pada saat itu Ki Sanjaya bu­ru-buru mencekal tangannya.

"Sudahlah, sudah...! Kita tak akan pernah selesai kalau ribut terus. Lebih baik mari kita menuju kediaman Tiga Setan Bukit Tunjang!" cegah Ki Sanjaya.

"Oaaah. Kebetulan perutku memang sedang lapar! Heh, Sanjaya! Ada makanan apa saja di Sa­na?!"

"Yang jelas, kau tak akan kelaparan," sahut Ki Sanjaya tenang.

Ki Sanca Manuk terkekeh-kekeh mendengar jawaban itu. Dia melirik ke arah Nini Anting, namun wanita tua itu melotot garang sambil menyeringai geram.

********************

Pagi masih terselimut kegelapan. Namun di kejauhan sudah terdengar kokok ayam jantan saling bersahutan. Dan di pagi yang bersih dingin menusuk tulang, Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang segera berpamitan pada suami-istri Bharata dan Melani. Mereka membekali makanan secukupnya pada Rangga dan Paman Lanang. Padahal Rangga telah berkali-kali menolak, namun terus dipaksa.

"Rangga... Aku tahu kalian memang mempunyai uang yang cukup banyak. Tapi, terimalah ini sebagai tanda persahabatan kami. Karena tak ada barang berharga yang bisa kami berikan pada kalian berdua.. ," ujar Bharata.

Dan akhirnya Rangga memang tak kuasa menolak pemberian mereka. "Ki Bharata, terima kasih...."

Laki-laki itu menganggukkan kepala sambil memeluk pinggang istrinya di depan pintu pondoknya.

"Rangga…”

Pemuda berbaju rompi putih itu melirik ke arah istri Bharata. "Ada apa, Ni...?"

"Rangga, bukankah kau mengatakan kalau kalian tinggal di kotaraja?" tanya wanita itu.

"Benar."
"Dan kau mengatakan pernah ke istana kerajaan?"
"Ya...."
"Pernah bertemu Gusti Prabu?"
"Pernah..."

"Kau katakan kalau Gusti Prabu ramah, dan sudi bertemu rakyat jelata seperti kami?"

"Tentu saja. Beliau akan senang sekali jika rakyatnya mau bertemu dengannya!" sahut Rangga cepat.

"Menurutmu, apakah jika kami pergi ke kota­raja dan ingin bertemu, beliau akan mengizinkannya?"

"Ni, aku yakin sekali beliau pasti akan suka menerima kedatangan kalian," tegas Rangga.

"Terima kasih...."

"Hm... Kalau demikian, kami mohon pamit dulu," lanjut Rangga sambil memberi salam hormat.

"Selamat jalan, Rangga, Paman Lanang. Mudah-mudahan kalian selamat..!" sahut suami-istri itu. Mereka kemudian melambaikan tangan ketika kedua tamunya mulai beranjak pergi meninggalkan halaman rumah.

Sementara, Rangga dan Paman Lanang kem­bali melanjutkan perjalanan menuju arah selatan. Sepanjang perjalanan, mereka membicarakan sua­mi-istri itu. Terutama sekali, Paman Lanang yang kini jadi banyak cerita.

"Gusti Prabu, bagaimana jika wanita itu benar-benar datang ke istana dan melihat kenyataan kalau sebenarnya Gusti Prabu-lah orang yang pernah ditemuinya?"

"Memangnya kenapa?" sahut Rangga balik bertanya.

"Seorang raja yang berdusta pada rakyatnya pasti tidak bisa jadi panutan yang baik...," sahut Paman Lanang.

"Apakah paman menganggapku telah ber­dusta padanya?"

"Apakah yang Gusti Prabu katakan padanya bukan suatu dusta?" sahut Paman Lanang dengan wajah terbodoh.

"Ada hal yang membuat penilaian orang secara umum benar. Tapi jika diteliti secara seksama, ternyata tidak. Kenapa? Apakah Paman bisa menjelaskannya?" tanya Rangga.

"Ampun, Gusti Prabu! Mana mungkin hamba yang bodoh ini mengetahuinya...," sahut Paman Lanang hormat dan meredah.

"Paman Lanang, bukankah seorang raja itu secara resmi berada dalam istana kerajaan? Dan urusan yang dilakukannya pastilah berkenan dengan tugas-tugas negara...."

"Benar. Gusti Prabu!"

"Lalu, apakah Paman menganggap kalau perjalanan kita dalam menemui tabib itu adalah tugas negara?"

"Tentu saja tidak, Gusti Prabu!"

"Syukurlah. Kini Paman telah mengerti...." sahut Rangga tenang.

"Tapi hamba masih bingung. Gusti Prabu...." sahut Paman Lanang dengan wajah bingung.

"Artinya, jika tugas negara yang kulakukan, maka aku Raja Karang Setra. Tapi jika tugas pribadi, maka aku adalah Rangga," jelas pemuda itu singkat.

Ki Lanang mengangguk-anggukkan kepala mendengar jawaban yang dikemukan Rangga. Namun mendadak saja keduanya menghentikan laju kuda-kudanya, ketika beberapa sosok tu­buh melesat turun dari cabang-cabang pohon di depan.

"Pendekar Rajawali Sakti, berhenti kau...!

"Hm...," gumam Rangga dan Paman Lanang perlahan. Dan mereka menunggu tindakan orang-orang itu selanjutnya, sambil memandang seksama.

Mereka rata-rata memiliki wajah seram dan bersenjatakan golok tajam mengkilat. Melihat dari sikapnya, jelas orang-orang itu tidak bersahabat. Rangga menghitung dalam hati. Dan jumlah mere­ka ternyata sekitar lima belas orang. Salah seorang yang bertubuh besar dan berikat kepala merah maju tiga langkah sambil menunjuk pemuda berbaju rompi putih itu.

"Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sak­ti?!" tanya laki-laki berikat kepala merah itu.

"Hm... Begitulah orang-orang menyebutku. Sebaliknya, siapakah kalian? Dan apa yang kalian kehendaki dari kami?" sahut Rangga tenang.

"Bagus! Kami anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang membawa pesan dari ketua kami. Beliau mengundangmu ke sana secepatnya!" ujar orang itu, jumawa.

"Ada urusan apa, sehingga Tiga Setan Bukit Tunjang mengundangku ke tempatnya? Seingatku, aku tidak mempunyai kawan yang bernama Tiga Setan Bukit Tunjang. Lagi pula, nama itu amat asing bagiku!" kata Rangga, tenang.

"Sudahlah. jangan banyak bicara ikut sajalah dengan kami!" sentak orang itu.

"Hm... Kalau demikian, katakan pada ketuamu aku tak bisa memenuhi undangannya," sahut Rangga enteng.

"Jangan gegabah, Kisanak. Kau harus datang ke sana!" sahut orang itu tegas.

"Hm.... Apakah ketuamu bisa memerintahku seenaknya?" sahut Rangga mulai tak senang.

"Bisa atau tidak, kau harus datang ke sana!" sahut orang itu lagi menegaskan.

"Bagaimana kalau aku tidak datang...?!" tanya Rangga memancing.

"Kau akan menyesal!"
"Kenapa mesti menyesal?"

"Karena kedua kawanmu akan mati percuma akibat penolakanmu itu!"

"Heh! Apa maksudmu!" sahut Rangga kaget.

"Kenalkan kau pada Bharata dan Melani?"

"Hm.... Apa yang terjadi dengan mereka?!" bentak Rangga garang.

"Kau kenal baju ini, bukan? Ini milik Bharata. Mereka sekarang dalam perjalanan ke Bukit Tun­jang!"

"Apa maksudmu?!"

"Dari semalam kami mengikuti kalian. Dan ketika kalian berdua telah pergi dari rumahnya, kami menangkap suami-istri itu. Dan beberapa orang kawan kami sekarang tengah membawanya ke Bukit Tunjang....."

"Keparat licik!" geram Rangga kesal.

"He he he...! Kau tak perlu memaki, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka akan baik-baik saja selama kau berjanji akan memenuhi undangan Tiga Setan Bukit Tunjang," sahut orang itu sambil terkekeh ke­cil.

"Apa maksud Tiga Setan Bukit Tunjang mengundangku ke sana?"

"Jika kau tak memenuhi undangannya, bukan hanya suami-istri itu saja yang binasa. Tapi, seluruh penduduk desa yang berada di kaki bukit itu akan dibumihanguskan. Dan seluruh orang tak berdosa akan kami bantai. Begitu pesan Tiga Bukit Tun­jang," lanjut orang itu.

"Setaaan...," Paman Lanang memaki dan lang­sung melompat turun dari kudanya.

"Paman tidak perlu...!" larang Rangga.

"Tapi mereka keterlaluan! Orang-orang ini ha­rus diberi pelajaran agar mereka tak bisa berbuat sesuka hati...!" geram Paman Lanang.

"Tenanglah. Biarkan mereka menyelesaikan bicaranya...," sahut Rangga berusaha bersikap setenang mungkin.

"He he he...! Ternyata kau lebih bijaksana, Pendekar Rajawali Sakti. Nah! Tiga Setan Bukit Tunjang memberi waktu padamu, paling lambat esok hari menjelang sore. Jika kau tak datang, maka nasib suami-istri itu akan mati sia-sia. Lalu, berikutnya penduduk desa di kaki bukit itu akan menyusul! Selamat tinggal...!" kata orang itu sambil mengajak anak buahnya untuk berlalu dari tempat itu.

Ki Lanang akan mengejar dan melabrak me­reka karena amarah yang tak tertahan. Namun...

"Tidak perlu, Paman Lanang...," cegah Rangga kembali.

"Kenapa kita harus membiarkan mereka seenaknya mengatur kita...? Apa Gusti Prabu tak merasa terhina melihat sikap mereka itu?!"

"Paman! Hal itu sudah biasa dalam dunia persilatan. Dan, ingat! Saat itu aku hanya orang biasa, bukan Raja Karang Setra."

Paman Lanang terdiam beberapa saat lamanya mendengar kata-kata junjungannya. Perlahan-lahan dia kembali menaiki punggung kudanya. Sesaat kemudian, dipandangnya pemuda itu dengan wajah khawatir.

"Apakah Gusti Prabu akan memenuhi undangan mereka...?"

Rangga mengangguk pelan.

"Gusti Prabu, hamba merasakan kalau ada sesuatu yang mereka rencanakan terhadap Gusti Prabu. Yaitu, semacam jebakan. Sebaiknya Gusti Prabu tak perlu datang ke Sana!" jelas Paman La­nang mengemukakan kekhawatirannya.

"Aku tahu, Paman Lanang. Tapi aku harus ke sana, untuk membebasakan suami-istri dan penduduk desa di kaki Bukit Tunjang yang berada dalam ancaman mereka" sahut Rangga.

"Tapi, Gusti..."

"Tidak ada hal yang harus dikhawatirkan. Paman," potong Rangga cepat.

"Mereka orang-orang yang licik, Gusti Prabu."

Rangga kembali tersenyum. "Mari kita ke sana. Lebih cepat kita sampai, akan lebih baik...," desah Rangga tanpa mempedulikan kecemasan Paman Lanang.

"Bagaimana dengan tujuan kita untuk menemui tabib itu. Gusti...?" kata Paman Lanang, mencoba menggugah niat Rangga.

"Aku harus mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi, Paman..." tekad Rangga tenang.

"Tapi, apakah Gusti Prabu tak mencemaskan Gusti Ayu Pandan Wangi?"

"Tentu saja aku mencemaskan. Tapi seperti yang Paman katakan, bukankah keadaan Pandan Wangi tak begitu membahayakan? Nah, sebaiknya kita tak boleh membuang-buang waktu"

Ki Lanang tak mampu berkata apa-apa lagi. Perlahan-lahan, diikutinya Rangga yang sudah menjalankan kudanya. Laki-laki setengah baya itu mengikuti dari belakang dengan hati cemas dan was-was.

********************

TUJUH

  Bukit Tunjung memang tempat yang mengerikan. Kalaupun ada desa-desa yang berada di bawah kaki bukit itu, tapi para penduduknya tak ada yang berani menuju ke puncaknya Bukit Tunjang sendiri, sebenarnya termasuk daerah tak bertuan. Letaknya, diapit oleh Kerajaan Karang Setra de­ngan kerajaan tetangganya. Dan setelah hampir seharian Pendekar Rajawali Sakti dan Paman La­nang menunggang kuda, barulah dari kejauhan terlihat Bukit Tunjang yang gagah perkasa berdiri tegak dengan angkuhnya!

"Paman, di depan sanalah Bukit Tunjang...," kata Rangga pelan sambil memandang bukit yang jauh di depan sana.

"Gusti Prabu, masih ada kesempatan untuk mengurungkan niat ke sana...," ujar Ki Lanang pelan seperti mengingatkan pemuda itu.

"Paman, keputusanku telah bulat..."

"Tapi menurut orang-orang yang kita temui di sepanjang perjalanan, tempat itu adalah sarang para perampok dan bajingan-bajingan. Jumlah mereka lebih dari seratus orang, Gusti!"

"Hal itulah yang kukhawatirkan, Paman."

"Syukurlah kalau memang Gusti Prabu bisa menyadarinya...," sahut Ki Lanang lega.

"Maksudku jika mereka turun semua dan mem­buat kekacauan di mana-mana, tentu rakyat yang akan menderita. Bukankah menjadi kewajibanku untuk memberi peringatan pada mereka...?" kata Rangga, enteng.

Jawaban tak diduga dari Pendekar Rajawali Sakti membuat wajah Paman Lanang kembali lesu. "Gusti Prabu! Bukankah hal ini bisa diselesaikan oleh prajurit kerajaan? Gusti Prabu tak perlu turun tangan sendiri...," usul Paman Lanang.

"Benar! Hal ini memang bisa dikerjakan prajurit-prajurit kerajaan. Tapi, apakah aku harus berpangku tangan saja bila ternyata kejadian buruk itu berada di depan mataku sendiri...?" sergah Pen­dekar Rajawali Sakti.

"Maaf, Gusti Prabu. Hamba tak bermaksud menggurui...," ucap Paman Lanang dengan wajah bersalah.

"Tidak perlu minta maaf, Paman. Aku mengerti kekhawatiranmu padaku. Tapi percayalah, mudah-mudahan aku mampu mengatasi persoalan ini," ujar Rangga.

"Dengan seorang diri, Gusti Prabu?"

Rangga tersenyum dan memandang punggawanya itu dalam-dalam. Kemudian terlihat kepalanya mengangguk mantap. "Ya, kurasa memang sebaiknya begitu!"

Pada saat itu, mereka berpapasan dengan beberapa orang penduduk yang baru kembali dari sawah lading. Mereka memandang Rangga dan Paman Lanang dengan wajah cemas. Terbayang cerita-cerita mengerikan dan kecemasan dalam pandangan mereka. Tentu saja hal itu membuat Rangga dan Paman Lanang jadi tidak enak hati.

"Kisanak! Kenapa kalian memandang kami demikian? Apakah ada sesuatu yang aneh pada ka­mi?" tanya Paman Lanang pada salah seorang yang berada di depannya.

"Kisanak berdua, ke manakah tujuan kalian?" laki-laki tua berkulit gelap itu balik bertanya.

"Kami bermaksud menuju Bukit Tunjang...."

"Astaga! Sebaiknya urungkan saja niat kalian!" sentak laki-laki itu, semakin cemas.

"Kenapa, Kisanak?" tanya Rangga.

"Tempat itu memiliki banyak perangkap maut!" jelas laki-laki itu.

"Perangkap maut bagaimana?" tanya Rangga kembali.

"Banyak terdapat rawa terapung, sumur yang dalam, dan jebakan maut yang dibuat perampok serta bajingan yang banyak berkumpul di sana!"

Rangga mengangguk-anggukkan kepala. "Kalau memang banyak perangkap maut di tempat itu, bagaimana mereka dapat mencapai bu­kit dan lereng-lereng di atasnya?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak! Apakah kau bersungguh-sungguh akan ke bukit itu?" tanya laki-laki itu, semakin cemas.

"Ya! Ada yang harus kukerjakan di Sana."

"Apakah kau ingin bergabung dengan mereka?"

"Tidak, justru sebaliknya..."

"Oh! Kau ingin memerangi mereka?!" lanjut penduduk desa itu dengan wajah tak percaya.

Rangga mengangguk pelan sambil tersenyum tipis.

"Bagaimana mungkin? Jumlah mereka banyak, sedangkan kalian hanya berdua?"

"Aku akan memikirkan caranya, Kisanak..."

"Kisanak! Usahamu akan sia-sia saja. Mereka terlalu tangguh dan berjumlah banyak!"

Rangga hanya tersenyum mendengarnya. "Yah, mudah-mudahan saja Yang Maha Kuasa selalu melindungiku. Kami permisi dulu, Kisanak semua," pamit Rangga.

Dan tak lama kemudian Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang menggebah kudanya per­lahan-lahan untuk melanjutkan perjalanan. Sementara penduduk desa memandang mereka sambil menggeleng-geleng kepala.

"Ya, Jagat Dewa Batara. Mudah-mudahan Kau melindungi mereka yang mempunyai niat mulia!" desah salah seorang penduduk desa.

"Mereka pasti tak akan selamat...," gumam se­orang kawannya

"Paling tidak, mereka selamat dari perangkap-perangkap maut itu. Aku telah memberitahukan jalan yang benar agar tiba di lereng bukit itu dengan aman...," jelas laki-laki yang tadi berbicara dengan Rangga.

Sampai Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang lenyap dari pandangan, penduduk desa itu belum juga beranjak!

********************

Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang terdiam beberapa saat ketika telah berada di Bukit Tunjang. Paman Lanang masih mencoba membujuk, tapi keputusan Rangga telah bulat dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Malah perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti menghela kudanya mendaki bukit itu. Namun ketika medan yang dilalui mulai sulit didaki oleh kuda, Rangga kemudian berhenti dan memandang Paman Lanang.

"Paman, kita tak bisa mendaki bukit ini dengan berkuda ..." kata Rangga pelan.

"Lalu...?" tanya Paman Lanang.

"Sebaiknya aku berjalan kaki saja...," kata Rangga sambil melompat turun dari punggung ku­danya. "Paman...

"Ada apa, Gusti Prabu…?"

"Sebaiknya, Paman tidak usah ikut...?"

"Apa maksud Gusti Prabu...?"

"Ada hal lain yang bisa Paman kerjakan. Sebaiknya, Paman meneruskan perjalanan menemui tabib itu. Atau, kau bisa pulang ke Karang Setra!"

"Tapi mana bisa hamba meninggalkan Gusti Prabu sendirian menghadapi bahaya...?!"

"Paman, percayalah Aku bisa mengatasi masalah ini...," sahut Rangga berusaha meyakinkan.

"Tapi, jumlah mereka cukup banyak, Gusti Prabu! Hamba khawatir terjadi apa-apa terhadap Gusti Prabu. Izinkanlah hamba mendampingi Gusti Prabu...," desak Paman Lanang, kemudian berlutut di kaki Pendekar Rajawali Sakti.

"Paman, berdirilah..." ujar Rangga.

"Hamba tak akan berdiri, sebelum Gusti Prabu mengizinkan hamba turut!" sahut Paman Lanang keras kepala.

Rangga mendesah pelan. Kepalanya mendongak ke atas sesaat, kemudian menghela napas pendek. "Ini untuk kebaikan kita bersama, Paman. Kerjakanlah tugasmu, dan jangan khawatirkan keadaanku...." Rangga kembali rnembujuk.

"Tidak! Hamba tidak akan membiarkan Gusti Prabu sendirian menghadapi bahaya!" sahut Pa­man Lanang, tetap keras kepala.

Mendengar jawaban itu, Rangga menyadari kalau Paman Lanang tak akan menurut kalau tidak berkata dengan nada keras. "Paman! Ini perintah dariku! Kerjakan tugasmu dan jangan khawatirkan keadaanku!" kata Rangga tegas.

Setelah itu, Rangga berbalik dan segera menepuk bokong kudanya. Maka Dewa Bayu kontan berlari kencang, seperti mengerti isyarat itu. Lalu seketika Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat tanpa mempedulikan Paman Lanang yang masih berlutut. Dan laki-laki hampir setengah baya itu hanya terpana, begitu menyadari junjungannya telah lenyap dari pandangan. Dengan wajah sedih, dia bangkit dan menatap ke arah melesatnya tubuh Rangga tadi. Cukup lama dia mematung. Kemudian dengan tergesa-gesa, tiba-tiba kudanya dipacu cepat.

"Heaaa...!"

"Maafkan aku, Paman Lanang. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu. Tapi, ini masalah yang amat berbahaya. Aku tidak ingin melibatkanmu...," lirih suara Rangga, ketika punggawanya telah pergi dari situ.

Memang, Rangga tak pergi jauh dari situ. Tapi hanya bersembunyi di balik cabang pohon yang agak jauh dan tersembunyi. Sebentar kemudian, Rangga melanjutkan perjalanan perlahan-lahan sambil memperhatikan petunjuk yang diberikan penduduk desa yang tadi ditemuinya. Namun, mendadak ketika Pendekar Rajawali Sakti menerobos sebuah semak belukar. Set! Set! "Heh!" Tiba-tiba melesat beberapa bambu beracun yang langsung menuju ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga cepat melenting sambil berputaran menghindarinya. Dan begitu mendarat di tanah, dia melompat ke salah satu cabang pohon.

Rangga menyadari kalau lebih aman bila melewati jalan atas. Maka seketika tubuhnya berlompatan ringan dari satu cabang pohon ke cabang po­hon lainnya. Dan tak berapa lama kemudian, Pen­dekar Rajawali Sakti tiba di lereng bukit yang agak luas dan datar dipenuhi rumput menghijau. Pemuda berbaju rompi putih itu memandang ke sekeliling yang tampak sunyi seperti tak berpenghuni. Ka­kinya lalu melangkah pelan-pelan sambil menajamkan pendengaran dan penglihatan. Dan betul saja, karena...

Set! Set!

Mendadak saat itu berdesingan puluhan anak panah mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga segera menyadari bahaya yang mengintai dirinya. Maka...

"Hup...!"

Pendekar Rajawali Sakti langsung menjatuhkan diri, seraya berguling-gulingan untuk menyelamatkan diri. Namun anak panah itu seperti tiada henti menghujani dirinya.

"Yeaaa...!"

Disertai bentakan nyaring, Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat melenting kebelakang mendekati rerimbunan pepohonan. Disadari betul, sekali saja melompat ke atas untuk menghindari hujan anak panah, maka akan sulit untuk menghindari serangan berikut di tempat terbuka begini. Makanya dia bertindak cepat dengan melompat ke rimbunan pepohonan. Dan sebentar kemudian...

"Hup...!"
Tes...!

Sambil melompat manis sekali ke salah satu cabang pohon, Rangga cepat memotes sebatang ranting yang cukup kuat. Dengan ranting di tangan, ditangkisnya hujan anak panah yang masih menerpa dirinya. Lalu perlahan-lahan dia bergerak mendekati arah hujan panah itu berasal sambil memutar ranting di tangannya ke sana kemari.

"Hentikan...!"

Mendadak terdengar bentakan nyaring. Pen­dekar Rajawali Sakti seketika berhenti dan bediri tegak. Namun, matanya terus mengawasi dengan sorotan tajam. Tak berapa lama, terlihat lebih dari tiga puluh orang dengan busur siap dilepaskan telah mengurung tempat itu. Kemudian tiga orang yang bertubuh besar sudah berdiri tegak di depan dengan sinar mata penuh kebencian.

"Ha ha ha ..! Akhirnya Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu mau juga datang mengunjungi tempatku yang buruk ini. Selamat datang, Pendekar Rajawali Sakti!" kata salah satu di antara mereka yang memakai baju merah sambil tertawa keras.

"Kaliankah yang berjuluk Tiga Setan Bukit Tunjang...?!" tanya Rangga lantang dengan nada dingin.

"Hm... Agaknya kau cepat tanggap, Kisanak. Benar! Kamilah Tiga Setan Bukit Tunjang. Namaku, Durganda. Dan di sebelah kiriku, Sugriwa. Sedangkan di kananku Peging Salira," kata orang yang bernama Durganda memperkenalkan dua la­ki-laki bertubuh besar yang menghimpirnya.

"Beginikah cara menyambut seorang tamu yang diundang?" sindir Rangga, tenang.

"Ha ha ha...! Ini memang penyambutan paling ramah yang pernah kami lakukan Pendekar Raja­wali Sakti. Apalagi, tamu terhomat sepertimu," sa­hut Durganda sambil terkekeh-kekeh kecil.

"Durganda! Tak usah banyak basa-basi segala. Katakan, apa keinginanmu mengundangku ke sini. Lalu, lepaskan suami-istri yang kau tawan itu!" sahut Rangga.

"Ha ha ha...! Agaknya kau tidak sabar betul, Pendekar Rajawali Sakti. Sebenarnya, yang jelas-jelas berkepentingan denganmu bukan hanya kami. Nanti kau akan tahu sendiri. Dan mengenai suami-istri itu, jangan khawatir. Selama kau bersikap baik, maka mereka akan tetap aman."

"Hm.... Apakah kau pikir aku akan percaya begitu saja?"

"Ha ha ha...! Ternyata kau bukan sekadar he­bat, Kisanak. Tapi juga pintar!" puji Durganda.

Durganda kemudian memberi satu isyarat pada salah seorang anak buahnya. Dan tak berapa lama kemudian, muncul Bharata serta istrinya dalam keadaan terbelenggu. Di samping mereka, terlihat dua orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang yang memegangi keduanya. Rangga jadi memelas melihat suami-istri tak berdosa itu.

"Rangga, pergilah dari tempat ini! Jangan pedulikan kami!" teriak Bharata memperingatkan.

Tapi teriakan Bharata segera terhenti, ketika anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang yang berada di sebelahnya langsung mencekal dan membawa mereka berlalu dari tempat itu.

"Nah! Kau lihat, bukan? Mereka baik-baik saja...!" lanjut Durganda tersenyum mengejek.

"Kisanak! Apa maksudmu sebenarnya meng­undangku ke sini?" tanya Rangga sambil menahan geram.

"Maksudku? Hm... Kematianmu!" dengus Durganda garang.

Rangga menatap Durganda dengan sorot mata tajam. Dia tak terlalu heran dengan jawaban itu. Apalagi dengan penyambutan yang tak bersahabat tadi.

"Kisanak! Antara kau dan aku tak pernah ada urusan dendam. Kenapa kau menginginkan kematianku?" tanya pemuda berompi putih itu ingin ta­hu.

"Hm... Siapa bilang demikian? Dosamu telah kelewat banyak, Pendekar Rajawali Sakti. Dan semua yang berada di sini pernah berurusan denganmu. Mereka berkumpul di Bukit Tunjang ini untuk membalas sakit hati padamu! Apakah hal itu tidak cukup sebagai alasan untuk menginginkan kematianmu?!" dengus Durganda.

"Hm... Kini kutahu orang-orang macam apa kalian ini sebenarnya. Ternyata kalian tak lebih dari pengecut-pengecut yang memancing kedatanganku ke sini, dengan menggunakan suami-istri itu sebagai umpannya!" dengus Rangga sambil tersenyum sinis.

"Bicaralah apa saja yang kau suka. Tapi yang jelas, kau telah masuk perangkap kami. Kau boleh berbangga diri dengan mengatakan kalau datang ke bukit ini secara mudah. Tapi, kini kau tak mempunyai jalan keluarnya!" sahut Durganda dingin.

"Hm, begitukah...?" sahut Rangga, kalem.

"Apakah kau ingin bukti?" sahut Durganda menantang.

Bersamaan dengan selesai kata-katanya, Durganda langsung memberi isyarat pada anak buahnya. Maka, sejumlah anak panah kembali melesat ke arah pemuda itu. Dan Rangga cepat memutar ranting yang sejak tadi masih dipegangnya untuk menghalau serangan.

"Hiyaaa...!"
Trak! Trak...!"

Sambil membentak nyaring Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati para pemanah. Namun sebelum mendekat, mendadak kawan yang lainnya melompat menyerang dengan pedang dan golok dari arah belakang. Sementara yang berada di depan, masih terus menghujani anak panah kepadanya.

"Yeaaa...!"

Beberapa buah golok dan mata pedang menderu menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Kendati sedikit terkesiap, namun Pendekar Rajawali Sakti masih sempat menyelamatkan diri dengan menjatuhkan diri ke tanah. Tubuhnya terus bergulingan sesaat, kemudian melenting ringan ke arah mereka sambil mengayunkan ranting di tangan.

"Hiiih!"
Wuk! Wuk

Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram. Ujung rantingnya terus bergerak menyambar ke arah pengeroyoknya. Beberapa orang memang berhasil menghindarinya. Sedangkan pengeroyok yang ada di belakang, terpaksa membuat Pendekar Ra­jawali Sakti menundukkan kepala untuk menghin­darinya. Tapi dalam keadaan begitu, justru Rangga mampu menyambar beberapa orang dengan ran­tingnya.

Cras! Cras!

Tiga orang dari kawanan itu kontan memekik kesakitan sambil memegangi perut yang robek akibat serangan ujung ranting yang tajam di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti mengamuk dengan pengerahan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Kawanan itu kontan dihajarnya tanpa kenal ampun. Sehingga ketika ranting di tangannya kem­bali berkelebat, maka terdengar lagi beberapa orang memekik kesakitan dan langsung ambruk tak berdaya.

"Yeaaa...!"

Mendadak di antara hiruk-pikuk para pengeroyoknya, Rangga merasakan angin serangan dahsyat ke arahnya. Maka buru-buru rantingnya diayunkan untuk memapak, tapi...

Tes! Tes!

"Heh...?!" pemuda itu terkejut ketika melihat rantingnya putus menjadi beberapa bagian, tersambar serangan gelap ke arahnya. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri ke tanah, dan langsung bergulingan untuk menghindari sambaran senjata tajam yang berhawa racun ke arahnya!

DELAPAN

"Hik hik hik...! Inikah Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu? Kau akan mampus di tanganku, Bocah!" terdengar tawa nyaring yang diikuti berkelebatnya sesosok tubuh menyerang gencar Pen­dekar Rajawali Sakti.

Rangga tersetak kaget, melihat serangan sosok wanita tua yang kelihatan bukan main-main. Nyatanya, sosok yang tak lain Nini Anting itu benar-benar ingin membunuhnya. Maka dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghindari dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', yang mampu membawa tubuhnya berlompatan ke sana kemari!

Dalam keadaan diserang begitu, Rangga bah­kan harus menghadapi serangan-serangan lain yang tak kalah gencarnya dari para anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang. Geraham pemuda itu jadi bergemeletuk, menahan geram melihat sambaran pedang yang dipegang salah seorang lawan. Seketika tu­buhnya direndahkan, seraya menangkis serangan yang mengancam lehernya.

Plakkk!

Dan belum lagi orang itu menyadari, siku Pendekar Rajawali Sakti telah lebih dulu mampir diulu hatinya.

Bugkh!

Orang itu kontan terjengkang disertai lenguhan kecil. Sementara Pendekar Rajawali Sakti kembali berkelebatan dengan mengganti jurusnya menjadi Sayap Rajawali Membelah Mega' dan 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', yang dikerahkan secara padu dan bergantian. Kedua tangannya tak henti-hentinya mengepak seperti sayap, dan tiba-tiba tubuhnya menukik mencari mangsa. Korban-korban kembali berjatuhan di tangan pemuda itu. Namun belum lama berselang.

"Berhenti...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan dahsyat yang membahana di tempat itu. Dan seketika semua pengeroyok Pendekar Rajawali Sakti bergerak mundur dan mengelilingi pemuda itu pada jarak sepuluh langkah. Rangga juga menghentikan serangannya seraya mendengus geram. Sorot matanya terlihat tajam, ke arah seorang perempuan tua berpakaian rapi dan berpenampilan genit. Di tangannya terlihat sepasang pedang pendek. Rupanya dialah yang mengeluarkan bertakan tadi.

"Bocah busuk! Hari ini kau tak akan lolos dari kematian!" geram perempuan tua yang memang Nini Anting dengan sinar mata penuh kebencian.

"Siapa kau. Dan, kenapa kau begitu mendendam padaku?" tanya Rangga berusaha bersikap tenang.

"Phuih! Tidak ingatlah kau dengan si Burisrawa dan Balung Geni yang kau bunuh?! Aku akan menuntut balas atas kematian mereka!" dengus Nini Anting, setelah menyemburkan ludahnya.

"Hm... Kini aku mengerti...," Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar kata-kata perempuan tua di depannya.

"Bagus, kalau memang kau sudah mengerti. Mudah-mudahan kau juga bisa mengerti kalau hari ini kematianmu telah di ambang pintu!" sahut Nini Anting, garang. Sebentar kemudian tangannya memberi isyarat. Dan tiba-tiba, berkelebatlah dua sosok tubuh yang langsung mendarat di samping Nini Anting.

"Heh?!" Rangga agak tersentak melihat dua orang laki-laki tua telah berdiri di depanya. Yang seorang berpakaian putih bersih dan rapi. Tangannya memegang sebuah kipas, dengan suling berwarna keemasan terselip di pinggang. Semen­tara yang seorang lagi kelihatan kepalanya botak. Namun sebenarnya, bagian belakang kepalanya ditumbuhi rambut panjang yang sudah memutih, bajunya lusuh. Sementara tangannya memegang tongkat hitam berkepala ular. Bahkan didekatnya terlihat ratusan ekor ular melata mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga memang sama sekali tak berpikir adanya jebakan yang dilakukan Tiga Setan Bukit Tun­jang ini. Namun dia berusaha setenang mungkin. Kendati tiga orang tua itu jelas memiliki tingkat kepandaian tinggi, tapi apa boleh buat?

"Hm... Kalau tak salah, kalian adalah tiga dari Lima Datuk Sesat, bukan?" tanya Rangga, tenang.

"Ha ha ha...! Ternyata otakmu encer juga, Bocah. Sayang yang dua telah mampus di tanganmu. Kalau tidak, tentu pertempuran ini akan sema­kin seru. Dan kehadiranmu di tempat ini juga untuk menyusul mereka ke akherat!" sahut orang tua yang berkepala botak, dan tak lain dari Ki Sanca Manuk.

"Sanca kunyuk sial! Diam kau! Kau pikir aku suka basa basi segala. He, Bocah! Lihat serang­an...!" Nini Anting yang sejak tadi sudah gemas, tiba tiba langsung saja menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"He, Nenek Peot! Aku pun tak mau ketinggalan untuk mendapat bagian...!" teriak orang tua yang tadi memegang kipas. Dia tak lain dari Ki San­jaya. Dan laki-laki tua itu sudah melompat menyerang pemuda berbaju rompi putih itu pula.

"Huh! Enak saja kalian berdua! Aku pun ingin ikut mencicipi sekerat dagingnya untuk anak buahku!" sahut Ki Sanca Manuk seraya menempelkan tongkatnya ke bibir. Dan itu dilakukan sambil menerjang ke arah Rangga.

"Yeaaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti betul-betul kewalahan mendapat tiga serangan sekaligus dari tiga datuk rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi.

Bet! Bet..!

Ketiga datuk sesat itu agaknya tak mau kepalang tanggung lagi. Dan mereka sudah lang­sung mengerahkan tingkat kepandaian yang tertinggi untuk menghajar Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, dalam waktu singkat saja Rangga sudah terdesak hebat. Pertarungan berjalan tak seimbang. Namun dengan pengerahan lima dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti" yang dipadukan, sampai saat ini Pen­dekar Rajawali Sakti masih mampu bertahan.

Tam­pak Nini Anting menyambar senjatanya. Pendekar Rajawali Sakti terkejut dan cepat melompat ke belakang. Namun pada saat itu tongkat Ki Sanca Manuk menyabet pinggang dan ujung kipas Ki Sanjaya menyambar ke arah leher. Pendekar Ra­jawali Sakti cepat melenting menghindari serangan. Namun tak urung, ujung kipas Ki Sanjaya sempat menyambar dadanya.

Brettt...!
"Akh...!"

Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan ketika kulit dadanya terluka, lalu mendarat agak jauh dari ketiga lawannya. "Hm... Mereka tidak bisa didiamkan terus," gumam Rangga lalu mengangkat tangannya keatas, memegang gagang Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dan tak lama kemudian....

Cring! Seketika sinar biru memancar dari mata pe­dangnya. Dan bersamaan dengan itu...

Seraaang...!"

Tiga Setan Bukit Tunjang langsung memberi perintah pada anak buahnya untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti yang sudah menggenggam pedangnya. Maka saat itu juga mendesing puluhan anak panah melesat ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti cepat berusaha rnengelak sambil memutar-mutar pedangnya yang bersinar biru menyilaukan. Maka sekali pedangnya berkelebat, beberapa anak panah rontok di tengah jalan.

Wajah Pendekar Rajawali Sakti tampak sudah berubah kelam. Dengus napasnya juga makin sering terdengar. Dan kini sorot matanya tajam bagai elang ketika melihat Tiga Datuk Sesat itu secara ber­samaan melesat ke arahnya.

Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat menyambut serangan ketiga lawannya. Dan bersa­maan dengan itu pula Tiga Setan Bukit Tunjang memberi perintah pada seluruh anak buahnya un­tuk menyerang. Maka bagai bendungan jebol, lebih dari seratus anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang menyerbu bagai air bah tumpah.

Cras!

Dengan geram Pendekar Rajawali Sakti meng­ayunkan pedangnya ke sana kemari menyambar orang-orang yang mencoba mendekat.

Cras!
Bret!
"Aaa...!"

Pekik kematian mulai membahana ketika bebe­rapa orang langsung terjungkal dengan tubuh berlumur darah tersambar Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Namun bukannya menjadi takut, justru anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang malah semakin nekat saja menyerang.

Bersamaan dengan itu, Tiga Datuk Sesat itu pun seperti tak mau kehilangan kesempatan untuk menyerang secara bergantian, mencari bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang mematikan.

Pada suatu kesempatan, Nini Anting bergerak cepat dari arah belakang, saat Rangga tengah sibuk menghadapi keroyokan anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang. Namun sebelum serangan wanita tua itu mendekat, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti berbalik dan mengayunkan pedangnya sekuat tenaga. Begitu cepat gerakannya, sehingga...

Trang!
Cras!
"Aaa...!"

Sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti memang tak dapat dicegah. Maka begitu sepasang pedang Nini Anting remuk tak berbentuk ditebas pedang Pendekar Rajawali Sakti, Rangga terus menyambar perut perempuan tua itu.

"Nini Anting...!" Ki Sanjaya dan Ki Sanca Ma­nuk terkejut setengah mati melihat Nini Anting ambruk ke tanah dengan perut robek mengeluarkan darah.

Nini Anting kini tak bernyawa, terbujur di antara kaki- kaki mayat orang yang menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Wanita tua itu memang ceroboh akibat dendam yang memuncak terhadap Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti mampu mengetahui serangannya meskipun dalam suasana hiruk-pikuk seperti ini.

"Bocah keparat, mampuslah kau! Yeaaa...!" Ki Sanjaya menggeram.

Orang tua itu makin bangkit kemarahannya melihat Nini Anting tewas. Maka tanpa mempedulikan akibatnya, dihantamnya pemuda itu dengan pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam. Maka seketika selarik sinar kuning tua menderu ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Melihat hal itu, Rangga buru-buru melenting tinggi ke udara. Dan tak lama kemudian...

Blarrr...!
"Aaa...!"

Akibatnya menggenaskan, justru yang dialami anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang, yang berada di dekat Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa orang langsung hancur berantakan diiringi jerit kematian, dihantam pukulan Ki Sanjaya. Karuan saja orang-orang itu jadi tercerai-berai.

"Berkumpul! Serang pemuda itu dengan panah selagi lengah...!" teriak Tiga Setan Bukit Tunjang memberi perintah.

Maka tanpa diperintah dua kali, mereka menunggu kesempatan untuk mengincar kelengahan lawan. Sementara itu dengan amarah yang meluap-luap, Ki Sanjaya terus mengumbar pukulan mautnya untuk menghajar Pendekar Rajawali Sakti.

Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti terpaksa jatuh bangun menghindari pukulan-pukulan maut lawan yang begitu hebat luar biasa. Dan berkali-kali pula tubuhnya terhuyung-huyung akibat angin serangan Ki Sanjaya. Dan ketika satu kali pukulan Ki Sanjaya nyaris menyerempet bahu kirinya, tubuh Pendekar Rajawali Sakti terjungkal beberapa langkah. Maka saat itulah puluhan anak panah kembali mendesing ke arahnya.

"Yeaaa...!"
Twang! Twang!

Cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara sambil memutar pedangnya untuk menghalau anak panah yang meluncur ke arahnya.

Trak! Tras!

Semua anak panah berhasil dipukul rontok sebelum menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sak­ti. Dan begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah, saat itu juga Ki Sanjaya serta Ki Sanca Manuk kembali bergerak bersamaan, mengirimkan pukulan maut mereka. Dan sebelum pukulan jarak jauh itu mendekat, Pendekar Rajawali Sakti mengusap batang pedang pusakanya dengan telapak kiri. Dan bersamaan dengan itu, pedangnya cepat dimasukkan kembali dalam warangkanya. Lalu...

'"Aji Cakra Buana Sukma'! Yeaaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan kedua tangannya yang sudah terselimut cahaya biru sebesar kepala bayi. Maka seketika, melesat cahaya biru ke arah dua cahaya yang hampir menjamahnya. Sebentar kemudian...

Glarrr...!
"Aaa..! Aaakh...!"

Terdengar ledakan dahsyat yang disusul jeritan menyayat begitu tiga jenis cahaya berada pada satu titik. Semua orang yang ada di situ kontan tersentak kaget. Mereka kini hanya bisa melihat asap hitam mengepul perlahan ke udara. Dan sebenarnya, ketiga orang yang tengah bertarung itu terpental jauh.

Tiga Setan Bukit Tunjang melihat kedua orang datuk sesat itu terselimut cahaya biru waktu terpental tadi. Dan ketika tubuh mereka jatuh ke tanah, langsung hancur berkeping-keping seperti daging cincang yang hangus terbakar!

Sementara itu keadaan Pendekar Rajawali Sak­ti sedikit beruntung. Berkat tenaga dalamnya yang sudah sangat sempurna, dia terhindar dari kematian. Begitu tubuhnya terjungkal ke tanah, dari mulutnya berkali-kali memuntahkan darah kental. Kini tubuhnya tergeletak tak berdaya, dengan tenaga terkuras habis. Bahkan untuk berdiri saja terasa sulit. Beberapa kali dicobanya untuk bangkit, na­mun saat itu juga kembali terjerembab. Pemuda itu merayap untuk menjauhi lawan-lawannya.

Sementara, melihat kesempatan itu Tiga Setan Bukit Tunjang mendengus sinis. "Huh! Sekaranglah kematianmu, Pendekar Ra­jawali Sakti...!" dengus Durganda.

"Seraaang...!" teriak Peging Salira memberi perintah.

Maka saat itu juga seluruh anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang bersiap memanah pemuda itu. Namun belum juga mereka melepaskan anak pa­nah, tiba-tiba...

"Aaa...! Aaa...!"

Mendadak terdengar raungan kematian dari anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang. Mereka kon­tan buyar, tertembus anak-anak panah yang entah dari mana datangnya.

"Heh?!"

Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget, begitu melihat lebih dari dua ratus orang-orang berseragam prajurit kerajaan telah mengepung tempat itu.

"Terus seraaang..."

Rangga seperti bermimpi melihatnya. Dari mana datangnya prajurit-prajuti kerajaan sebanyak itu?

"Gusti Prabu, maafkan hamba tidak mematuhi perintahmu...!" tiba-tiba terdengar suara seseorang sambil berlutut di hadapannya.

"Paman Lanang...?!" desis Rangga pelan.

"Ampun, Gusti. Hamba tidak bisa membiarkanmu sendiri menghadapi bahaya. Jadi, hamba mendatangi tiga kadipaten di wilayah Karang Setra untuk meminta bantuan prajurit-prajuritnya. Ampunkan perbuatan hamba, Gusti Prabu...!" jelas Pa­man Lanang.

Rangga tersenyum mendengar penjelasan itu. "Paman, justru aku berterima kasih atas pertolongan kalian...." sahut Rangga lirih.

"Terima kasih, Gusti. Oh! Apakah Gusti Prabu baik-baik saja?!" tanya Paman Lanang cemas.

"Aku tidak apa-apa, Paman...."

"Tapi..., tapi Gusti Prabu terluka dalam...?!" desis Paman Lanang kembali.

Rangga tersenyum. "Paman, tolong bawa dan sandarkan tubuhku ini di bawah pohon itu...," pinta Rangga.

Dengan sigap Paman Lanang mengerjakan apa yang diperintahkan pemuda itu. Kemudian, Rangga duduk bersila dengan tenang sambil mengatur pernapasannya. Bola matanya sekilas melirik kepada pasukan kerajaan yang mampu mencerai-beraikan anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang. Banyak di antara mereka yang tewas, dan sisanya melarikan diri. Dia yakin, ketiga adipati yang memimpin serangan ini mampu mengatasi Tiga Setan Bukit Tun­jang. Dan ternyata, hal itu terbukti karena sebentar kemudian terdengar sorak sorai prajurit-prajurit yang menyatakan kalau Tiga Setan Bukit Tunjang telah tewas!

"Gusti Prabu... Hamba Adipati Narasoma, menghaturkan sembah. Maafkan kedatangan hamba yang terlambat..!" ucap seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya yang tegap, berlutut di hadapan Rangga.

"Adipati.... Aku menghargai kerjamu. Kau da­tang tepat waktu dengan prajurit-prajuritmu. Terima kasih...," sahut Rangga.

Kedua adipati lain segera ikut berlutut di samping Adipati Narasoma. Demikian juga prajurit-prajurit kadipaten lain.

"Paman... Bolehkah seorang raja sedikit berbuat tidak bijaksana...!" tanya Rangga lirih, pada Paman Lanang yang berada di sampingnya.

"Gusti Prabu.... Menurut hamba, seorang raja adalah manusia biasa juga. Bukankah kodrat manusia itu tidak sempurna?"

"Terima kasih, Paman. Kalau demikian, tolong perintahkan seorang prajurit untuk menemui tabib itu."

"Dengan senang hati, Gusti...," sahut Paman Lanang.

Kemudian laki-laki setengah baya itu memberitahukan Adipati Narasoma yang langsung memerintahkan seorang prajuritnya untuk melaksanakan pe­rintah Gusti Prabu Rangga.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: GERHANA DARAH BIRU

Pembalasan Iblis Sesat

Pendekar Rajawali Sakti

PEMBALASAN IBLIS SESAT


SATU
Tak biasanya, Bukit Tunjang di pagi ini terselimut kabut tebal. Sehingga tempat itu bagaikan tertindih gumpalan awan besar yang turun ke bumi. Memang bukit yang mirip seperti sebuah gunung kecil itu setiap hari senantiasa terselimut kabut. Namun kabut yang menyelimutinya saat ini lebih tebal dan pekat. Bahkan hampir menutupi sebagian desa yang berada di kakinya. Sehingga dalam keadaan begini, tak seorang penduduk pun yang berani keluar jauh-jauh dari rumah. Mereka lebih suka berkerudung sarung di dalam rumah, berkumpul dengan anak istri.

Sebenarnya bukan hanya kabut saja yang membuat Bukit Tunjang kelihatan angker. Tetapi, ada hal lain yang lebih mengerikan! Di lereng-lereng bukit yang luas dan lebar, banyak dihuni binatang-binatang berbisa beraneka ragam. Apalagi di sekitar kaki bukit juga masih dipenuhi semak belukar, serta pepohonan tinggi yang menyimpan perangkap ma­ut berupa rawa terapung, sumur-sumur yang dalamnya tak terukur, serta kubangan pasir yang bisa menyedot apa saja bila masuk ke dalamnya.

Di tengah keangkeran itu, tampak lima orang bertubuh besar dan bertampang seram seperti tak mempedulikan keadaan sekitarnya. Mereka terus berlari ke arah Bukit Tunjang sambil sesekali menoleh ke belakang.

"Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita telah berada cukup jauh dari mereka!" kata salah seorang yang memiliki cambang bauk cukup tebal. Dia sering dipanggil dengan nama Gumanda. Sebuah senjata golok, tampak terselip di pinggang kirinya.

"Ya! Kurasa demikian," sahut kawannya yang berikat kepala merah. Laki-laki yang mata kirinya picak ini bernama Rumaksa.

"Huh! Suatu saat, kita harus balas perlakuan mereka! Akan kupecahkan batok kepalanya!" geram yang bertubuh agak pendek dan berperut sedikit gendut. Namanya, Kalingka.

"Benar! Aku pun ingin sekali menghancurkan perguruan yang sok pahlawan kesiangan itu. Tunggu saja pembalasan kita Lima Rampok Hutan Gundul akan kembali untuk menghancurkan dan membumihanguskan Perguruan Watu Digul keparat itu!" timpal laki-laki yang bersenjatakan pedang di punggung. Dia bertubuh lebih besar dari keempat ka­wannya, dan sering dipanggil dengan nama Danang.

Sedangkan seorang lagi yang oleh kawan-kawannya dipanggil Sukmajaya, hanya diam membisu. Sepertinya, ada sesuatu yang tengah dipikirkan. Mendadak Sukmajaya berhenti, ketika mereka telah berada di kaki bukit itu.

"Kawan-kawan! Sebaiknya kita berhenti dulu!" ujar Sukmajaya, sambil memandang ke sekeliling dengan tatapan curiga.

"Kenapa, Sukmajaya? Apakah kau mencurigai sesuatu?" tanya Danang, dengan wajah dalam.

"Entahlah! Suasana di sini sangat sepi. Aku tak yakin kalau tempat ini aman bagi kita. Sepertinya, ada bahaya yang mengintai dari tempat tersembunyi!" desis Sukmajaya, masih tetap memandang ke sekeliling tempat itu dengan wajah curiga.

"Alaaah! Kau penakut sekali!" sentak Kalingka. Laki-laki bertubuh paling pendek itu lalu melompat ke depan, dan mengajak kawan-kawannya untuk terus maju.

"Betul! Apa yang mesti dikhawatirkan? Di atas sana banyak berkumpul kawan kita yang lain. Mana mungkin mereka mau mencelakakan kita!" teriak Gumanda, menyokong usul kawannya.

"Jangan...!" teriak Sukmajaya memperingatkan, namun terlambat. Ternyata dua dari Lima Rampok Hutan Gundul itu sudah menerobos semak belukar tinggi di depan. Maka mendadak...

Brosss...!

"Hei, apa ini?! Tolooong...! Tolooong, aku tak bisa keluar!" teriak Kalingka, kalap ketika kedua kakinya menginjak rawa terapung. Dan kakinya terus melesak hingga ke betis.

Hal yang sama juga menimpa Gumanda. Mere­ka berteriak-teriak ketakutan, seraya menggerak-gerakkan tubuh untuk bisa keluar dari rawa tera­pung yang dipijak. Namun semakin cepat bergerak, tubuh mereka semakin melesak ke dalam.

"Kalingka...! Gumanda...! Jangan bergerak! Aku akan menolong kalian!" teriak Danang mulai ikut-ikutan kalap.

Laki-laki bertubuh paling besar itu menoleh ke kanan dan kiri. Dan ketika melihat seutas tali kayu yang tergantung di bawah cabang sebuah pohon, tanpa pikir panjang lagi ditariknya. Namun...

Sing! Sing!

"Awaaas...!" teriak Sukmajaya memperingatkan.

Memang, tiba-tiba saja beberapa buah bambu runcing sebesar jari tangan melesat kencang ke arah mereka bagai lesatan anak panah begitu Danang menarik tali yang menjuntai di pohon.

Sukmajaya terus melompat menghindar dari serangan gelap dan terus bergulingan ke kiri. Namun, malang bagi Danang yang terlambat menyelamatkan diri. Ternyata salah satu bambu run­cing itu lebih cepat menembus dada kirinya hingga kepunggung.

Crappp!
"Aaa...!"

Danang kontan menjerit setinggi langit dan tubuhnya langsung ambruk ke tanah dengan kulit mulai membiru. Agaknya, bambu runcing itu telah dibubuhi racun ganas di seluruh batangnya.

"Danaaang...!" Sukmajaya terkejut bukan main dan bermaksud menghampiri kawannya. Namun....

"Sukma! Aku... aku...," rintih Rumaksa rintih, sambil menutupi lengan kiri yang ternyata juga terserempet salah satu bambu beracun itu.

Rumaksa...!" kembali Sukmajaya tersentak, dan buru-buru mengalihkan perhatian ke arah Ru­maksa.

Sring...!

Sukmajaya langsung mencabut goloknya. Seketika, ditebasnya lengan kawannya pada pangkalnya.

Crasss!
"Aaakh...!"

Rumaksa menjerit kesakitan sambil menggigit bibirnya.

"Maaf, Kawan. Aku tak punya pilihan lagi un­tuk menyelamatkanmu. Bambu itu mengandung racun ganas...," keluh Sukmajaya sambil merobek bajunya untuk mengikat luka di lengan Rumaksa. Dan baru saja Sukmajaya selesai mengikat lengan Rumaksa, mendadak...

"Tolong...! Tolooong...!"
"Hih?!"

Sukmajaya mulai gelagapan ketika Kalingka dan Gumanda telah terbenam sampai sebatas leher. Mereka semakin kalut dan terus bergerak-gerak melepaskan diri dari sedotan rawa terapung itu.

"Tunggu sebentar!" teriak Sukmajaya, seraya meninggalkan Rumaksa. Dan matanya langsung mencari-cari sesuatu untuk menolong kedua kawannya.

Ketika melihat sebuah cabang pohon yang panjang tak jauh dari tempatnya berdiri, Sukmajaya mendekatinya. Dan dengan hati-hati sekali diperhatikan cabang pohon itu. Dia khawatir disitu terdapat jebakan. Tak lama kemudian...

Tras!

Dengan cepat Sukmajaya menebas cabang itu dengan goloknya. Tapi bersamaan dengan itu...

Werrr!

Tiba-tiba melesat dua ekor ular pohon berwarna hijau sebesar jempol kaki ke arahnya. Sukma­jaya yang sejak tadi telah bersiaga langsung mengayunkan goloknya.

Crasss, crasss!

Sekali tebas saja putuslah tubuh ular-ular itu. Namun baru saja bermaksud akan menolong kawannya...

"Wuaaa…!" Tiba-tiba Rumaksa menjerit keras.

"Celaka! Kalajengking beracun!" desis Sukma­jaya, geram.

Memang di tubuh Rumaksa telah dipenuhi ka­lajengking berwarna hitam berkilat, yang memiliki racun amat dahsyat.

Tubuh Rumaksa berguling-gulingan ke sana kemari, sambil mengibas-ngibaskan sebelah tangannya ke seluruh tubuh untuk mengusir kalajengking-kalajengking beracun itu. Sukmajaya bermaksud menolong. Namun belum lagi berlari lima langkah, tubuh Rumaksa terjerumus ke dalam semak belukar dan terus terperosok ke sebuah sumur yang dalam. Sumur itu sendiri semula tak terlihat, karena permukaannya dipenuhi gerumbulan semak.

"Rumaksaaa...!" pekik Sukmajaya.

Laki-laki itu berusaha menangkap lengan Ru­maksa yang terjulur ke atas, namun terlambat. Nyatanya, tubuh Rumaksa telah meluncur deras ke bawah.

"To.... Blep! Hop..., hop!"

Kembali Sukmajaya dibuat terkejut mendengar jeritan tertahan kedua kawannya yang masih terpe­rosok ke dalam rawa terapung. Bahkan tubuh Ka­lingka telah lenyap tanpa bekas. Memang sejak tadi dialah yang paling kalap dan terus bergerak-gerak. Sehingga, lumpur di bawahnya terus menyedot kencang tubuhnya. Sedangkan tubuh Gumanda sudah terbenam sebatas hidung. Dicobanya mendongakkan wajah ke atas, sambil bergerak-gerak pelan memberi tanda pada Sukmajaya.

"Gumanda! Jangan banyak bergerak! Tangkap ujung kayu ini!" teriak Sukmajaya sambil menjulurkan kayu yang sudah ada di tangannya.

"Hop...! Hop...!"

Gumdanda berusaha meraih sekuat tenaga ujung kayu itu yang dijulurkan Sukmajaya. Me­mang, ujung kayu itu kurang setengah jengkal lagi dari jangkauan tangannya. Namun, mendadak pada saat itu melesat tiga sosok tubuh ke tempat itu. Bahkan salah seorang langsung melemparkan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil ke arah Sukmajaya.

Swing...!
"Heh?!"

Bukan main terkejutnya Sukmajaya melihatnya. Buru-buru dia melompat, sambil mengibaskan kayu yang dipegangnya ke arah pisau pisau itu.

"Hup...!"
"Uts!"

Beberapa buah berhasil dihantam dan rontok seketika, sementara sisanya dapat dihindari dengan lompatannya. Namun dalam keadaan begitu, salah seorang langsung melompat menyerang.

"Yeaaa..!"

"Tunggu! Tunggu dulu! Kami ingin bertemu Ti­ga Setan Bukit Tunjang untuk bergabung dengannya!" teriak Sukmajaya, mencoba menjelaskan. Dan dia terus berkelit, menghindari serangan berikut.

Tiga orang itu langsung menghentikan serang­an, dan memandang ke arah Sukmajaya dengan seksama. Dan kesempatan itu digunakan Sukmaja­ya untuk kembali menjelaskan maksud kedatangan­nya ke sini.

"Kami berlima dijuluki sebagai Lima Rampok Hutan Gundul. Kedatangan kami ke sini, untuk bergabung dengan Tiga Setan Bukit Tunjang. Namun kami telah mendapat kesulitan, seperti yang kau saksikan tiga orang temanku telah tewas. Hanya dia dan aku yang masih hidup," Sukmajaya lalu menunjuk ke arah Gumanda." Tolonglah kawanku. Dia hampir tenggelam dan kehabisan napas...."

Wajah Sukmajaya semakin memelas ketika melihat tubuh Gumanda hampir terbenam sebatas dahi. Namun, kedua tangannya masih bergerak-gerak.

Ketiga orang itu tak menjawab, dan hanya menganggukkan kepala. Hal itu sudah cukup bagi Sukmajaya untuk bertindak menyelamatkan Gu­manda. Namun seperti tadi, ujung kayu itu hanya tinggal sedikit lagi menyentuh tangan Gumanda. Kalau tadi kawannya bisa melihat dan berusaha menggapai, tapi kini tak tahu dan tak bisa mendengar teriakan Sukmajaya yang memerintahkan agar meraih ujung kayu yang dijulurkannya.

Melihat hal itu, salah seorang dari tiga orang yang baru datang itu membantu dengan memegang kedua kaki Sukmajaya. Kini, Sukmajaya berhasil menjulurkan ujung kayu di tangan kanannya. Dan Gumanda langsung menangkapnya erat-erat. Kemudian perlahan-lahan dua orang yang memegangi kaki Sukmajaya menariknya, hingga Gumanda terbebas dari perangkap alam. Laki-laki bercambang bauk itu segera naik, dan langsung terduduk lesu, dibersihkan seluruh rubuhnya yang kotor. Sedangkan napasnya terengah-engah menghirup udara sebanyak-banyaknya.

"Kalian ikut kami!" ujar salah seorang dari tiga orang yang baru datang, ketika Gumanda telah membersihkan seluruh tubuhnya.

"Ke mana?" tanya Sukmajaya.

"Bukankah kalian ingin bergabung dengan Tiga Setan Bukit Tunjang?"

"Ah, iya! lya...!" sahut Sukmajaya dan Guman­da bersemangat.

"Mari ikut kami!" ajak orang itu lagi sambil berjalan hati-hati.

Sukmajaya dan Gumanda langsung bangkit. Sukmajaya memapah tubuh kawannya yang masih lemah. Dan bersama ketiga orang itu mereka kini aman dari perangkap alam maupun yang sengaja dibuat para penghuni Bukit Tunjang!

********************

Siang hari kabut di Bukit Tunjang mulai berkurang. Tapi, tetap saja penduduk di sekitar bukit itu enggan keluar rumah. Kalaupun ada, barangkali hanya untuk memeriksa sawah ladang ini. Dan siang makin tergelincir, matahari perlahan-lahan bergerak ke barat, mengiringi langkah seo­rang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun ke arah Bukit Tunjang.

Orang tua itu berpakaian bersih dan rapi, terbuat dari sutera halus. Rambut panjangnya yang sebagian telah memutih, digelung. Di pinggangnya terselip sebuah suling berwarna keemasan. Sedangkan di tangan kanannya terdapat sebuah kipas yang terkembang. Dan sesekali kipas itu menyapu wajahnya seperti ingin menyejukkan diri dari sengatan matahari. Dengan mamakai alas kaki dari kulit, orang tua itu tiba di Desa Kedung Legok. Tangan kirinya yang tadi membawa buntalan di pundak, kini diturunkan ke bawah.

Beberapa orang desa yang melihat orang tua itu, merasa heran. Masalahnya daerah mereka me­mang jarang dilalui orang tua seperti laki-laki itu.

"Kisanak! Akan ke manakah tujuanmu?" sapa seorang penduduk Desa Kedung Legok ramah.

Orang tua itu seketika menghentikan langkahnya, lalu tersenyum.

"Aku hendak ke Bukit Tunjang..." jawab orang tua itu, tenang.

Bukan main kagetnya penduduk Desa Kedung Legok ini ketika mendengar jawaban orang tua itu.

"Orang tua! Sebaiknya urungkan saja niatmu ke sana!" lanjut orang itu kemudian.

"Hm .... Memangnya kenapa?"

"Tempat itu sangat berbahaya. Kau akan celaka nantinya!' jelas penduduk desa itu cemas.

Tapi orang tua itu hanya tersenyum kecil, lalu melanjutkan perjalanannya.

"Hm.... Orang tua itu barangkali sudah sinting! Berani-beraninya dia mendaki Bukit Tunjang. Hm... Pasti dia akan menemui ajal di sana...," lanjut penduduk desa itu sambil menggeleng-geleng.

Penduduk desa itu membalikkan tubuhnya sesaat, untuk kembali ke dalam rumahnya. Namun, hatinya masih ada rasa kasihan terhadap orang tua tadi, sehingga membuatnya kembali berpaling. Ta­pi...

"Hei?! Ke mana orang tua tadi? Kok tiba-tiba menghilang? Mustahil dia mampu berlari secepat itu! Wah, jangan-jangan dia hantu Bukit Tunjang yang sedang berkeliaran!" seru orang itu dengan tubuh menggigil. Maka, buru-buru dia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya erat-erat.

Orang tua itu sendiri kelihatannya berjalan santai saja. Tapi siapa sangka kalau ternyata dia mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang telah begitu tinggi. Tubuhnya telah melesat jauh meninggalkan Desa Kedung Legok tanpa seorang pun yang tahu.

Tak heran kalau orang itu kini telah tiba di Desa Kedung Sari. Di situ pun, dia bertemu beberapa orang penduduk desa yang tengah berdagang. Me­reka merasa heran, melihat orang tua yang renta dan kelihatan sangat lemah, malah ingin menuju Bukit Tunjang. Padahal bukit itu selama ini amat ditakuti penduduk desa di sekitarnya.

"Orang tua! Sebaiknya urungkan saja niatmu untuk mendaki bukit itu. Kau hanya akan mengantarkan nyawa percuma saja?!" cegah salah seorang penduduk desa Kedung Sari, karena merasa kasi­han.

"Hm.... Begitukah?" tanya orang tua itu tenang, disertai senyum kecil. Sedangkan kipasnya terus bergerak-gerak menyapu wajahnya.

"Di sana banyak berkumpul perampok ganas dan orang buronan kerajaan. Dan bukan hanya itu saja. Di sana juga banyak perangkap maut yang mengincar jiwa kita setiap saat!" jelas orang itu.

Orang tua itu tak menyahut, tapi malah mengangguk-angguk kecil. Setelah mengucapkan terima kasih, dia langsung melenggang kembali tanpa mempedulikan kekhawatiran orang itu. Mulanya, orang desa itu hanya menggelengkan kepala. Dia menduga, orang tua itu pasti sudah bosan hidup. Barangkali hatinya tertekan, lalu ingin bunuh diri di Bukit Tunjang.

"Heh?! Sungguh gila! Tidak salahkan penglihatanku?!" desis orang itu terkejut. Betapa tidak? Ternyata orang tua itu telah melesat jauh bagai anak panah dalam sekejap. Pen­duduk desa itu mengucek-ngucek matanya, seperti ingin meyakinkan penglihatannya.

********************

Orang tua berpakaian putih bersih itu kini telah tiba di kaki Bukit Tunjang. Dia berhenti sesaat, sam­bil memandang bukit yang menjulang bagai gunung itu. Mendadak kepalanya menoleh ketika melihat dua orang pemburu hendak pulang ke desa yang tak jauh dari kaki bukit itu. Yang seorang menenteng dua ekor ayam hutan. Sedangkan kawannya membawa seekor pelanduk yang cukup besar dan gemuk. Mereka saling berpapasan. dan kedua pemburu itu tersenyum.

"Orang tua, hendak ke manakah tujuanmu?" tanya salah seorang pemburu, ramah.

"Ke Bukit Tunjang..." sahut orang tua itu enteng.

"Apa? Ke Bukit Tunjang? Maksudmu, menda­ki bukitnya hingga ke atas sana?" tanya pemburu itu, seperti tak percaya.

Orang tua itu mengangguk mantap sambil ter­senyum kecil. Sedangkan wajah kedua pemburu itu tampak kaget bercampur heran. "Orang tua! Sebaiknya urungkan saja niatmu! Kau hanya mencari mati saja Di sana banyak perangkap alam yang dibuat para perampok dan buronan yang kejam itu. Kau bisa celaka!" lanjut pem­buru itu, melarang.

"Sungguhkah apa yang kau katakan itu?"

"Untuk apa berdusta?! Di atas sana memang tempat berkumpul para bajingan kejam dan ganas. Mereka tak pernah kenal ampun. Sebaiknya, urungkan saja niatmu itu. Dan, kembali saja,” sahut pemburu itu.

Hm. Kalau begitu, perjalananmu ini tak sia-sia...." gumam orang tua itu enteng.

"Apa maksudmu?" tanya kedua pemburu itu, nyaris bersamaan dengan wajah kaget.

"Aku memang hendak bertemu para perampok itu," sahut orang tua itu, tanpa terlihat takut sedikit pun. Lalu dia segera berlalu, meninggalkan dua pemburu itu.

"Hm... Orang tua itu mungkin sudah sinting!" sesal pemburu yang membawa ayam hutan sambil menggelengkan kepala. Dihelanya napas panjang, ketika orang tua itu telah mulai mendaki bukit.

"Barangkali dia memang ingin cepat-cepat mati...," sahut kawannya yang membawa pelanduk besar.

"Ah! Sudahlah yang penting kita telah menje­laskan bahayanya. Kalau dia nekat juga, barangkali memang sudah nasibnya harus mati di sana. Mari kita cepat pulang."

"Iya..., eh?!" Tiba-tiba laki-laki yang membawa pelanduk besar itu terkejut, ketika berpaling mencari orang tua itu dengan ekor matanya.

"Kenapa?"

"Orang tua itu? Dia..., dia menghilang!" desis kawannya dengan wajah heran.

"Ah! Jangan bergurau. Mana mungkin dia bisa menghilang begitu saja. Pasti hanya terhalang semak-semak atau kabut."

"Tidak! Aku melihat sendiri. Tadi dia berjalan tenang, tapi tahu-tahu melesat kencang bagai anak panah, dan hilang dari pandanganku."

"Paling-paling matamu saja yang sudah rusak, Karta."

"Tidak Jagur. Aku sungguh-sungguh! Mataku ini belum lamur. Hiiih...! Barangkali dia hantu penunggu bukit ini. Sebaiknya, kita cepat-cepat pu­lang saja, Gur!" ajak laki-laki bernama Karta sambil berlari-lari kecil mendahului kawannya.

Agaknya laki-laki yang dipanggil Jagur terpengaruh cerita kawannya. Matanya langsung berpaling ke atas bukit. Dan dengan memberanikan diri, dia mencbba berjalan tenang. Tapi melihat Karta telah jauh di depannya, maka ketakutannya mulai menggumpal di dadanya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia mengambil langkah seribu. Jagur lari terbirit-birit dari tempat itu, sambil berteriak-teriak.

"Karta, tungguuu...!"

Kedua orang itu akhirnya saling kejar-mengejar, untuk secepatnya tiba di rumah masing-masing!

********************

DUA

Sementara, orang tua berbaju putih bersih itu berhenti sejenak, ketika kedua pemburu itu telah jauh. Tapi, sebenarnya bukan karena itu langkahnya terhenti. Masalahnya di depan dia melihat se­mak belukar membentang. Memang terlihat ada jalan setapak yang ditutupi daun-daunan kering bagai permadani coklat menghampar. Tapi orang tua itu tak percaya. Maka diambilnya sebuah batu yang cukup besar dan dilemparkannya ke depan.

Brosss!

Batu itu langsung terperosok ke dalam rawa terapung dan terus tenggelam.

"He he he...! Kalian pikir aku bisa diperdayai oleh mainan anak kecil seperti ini?!" gumam orang tua itu.

Kemudian, orang tua itu berjalan tenang sambil memungut kerikil-kerikil kecil yang berserakan di tanah. Beberapa kali kerikil itu digunakan untuk mengungkap perangkap-perangkap alam yang tersembunyi di balik semak-semak maupun kumpulan dedaunan kering. Dalam keadaan demikian, men­dadak bahu kanan orang tua itu menyenggol seutas oyot pohon yang menggantung rendah. Maka saat itu juga melesat beberapa bambu runcing beracun ke arahnya.

 Ser, ser!
"Hup!"

Orang tua berbaju putih itu cepat menundukkan tubuhnya untuk menghindari serangan gelap itu. Kemudian ringan sekali tubuhnya melesat ke atas salah satu cabang pohon. Begitu mendarat, dia cepat melompat ke cabang pohon lain hingga be­berapa kali. Tiba di suatu lereng datar dan ditumbuhi rerumputan hijau serta pepohonan yang tak terlalu besar, orang tua itu melompat turun. Lalu kakinya melangkah tenang mendaki bukit. Sesekali, kipasnya dikebut-kebutkan.

Namun baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja orang tua itu telah dihadang bebe­rapa orang berwajah seram dengan golok terselip di pinggang. Rata-rata mereka mengenakan baju merah. Sepintas saja, bisa dinilai kalau orang-orang itu pasti bermaksud tak baik pada orang tua itu.

"Orang tua! Berhenti kau!" bentak salah seo­rang yang bertubuh besar, sambil memilin-milin kumis tebalnya.

"Hm... Siapakah kalian ini?" tanya orang tua itu, pura-pura terkejut. Seketika langkahnya ber­henti dan memandang mereka satu persatu. Setelah dihitung, ternyata jumlah mereka tak kurang dari sepuluh orang.

"Tak usah banyak tanya kalau kau ingin selamat! Heh? Apa yang kau bawa itu?!" sentak laki­-laki berkumis tebal itu, galak.

"Buntalan ini?" tanya orang tua itu sambil menjulurkan buntalan yang dipegang tangan kirinya.

"Tentu saja, Goblok! Apa kau pikir aku menanyakan buntalan kepalamu?!"

"Oh... Ini isinya uang emas dan perak, serta beberapa potong pakaian sutera halus yang nilainya amat tinggi," sahut orang tua itu, jujur.

Orang-orang yang tampaknya kawanan begal itu saling berpandangan satu sama lain, Kemudian terlihat tersenyum-senyum.

"Hm... Sulingmu bagus juga, Orang Tua. Apakah itu dari emas juga?" tanya orang yang kepalanya gundul. Matanya mendelik dengan wajah penuh nafsu untuk memiliki benda-benda orang tua itu.

"Ya! Suling ini pun dari emas..."

"Orang tua, ketahuilah! Tak seorang pun yang kami biarkan hidup bila lewat di tempat ini! Tapi karena kau jujur, maka jiwamu ku ampuni. Hanya saja, kau harus meninggalkan buntalan serta suling milikmu itu. Ayo, cepat!" ujar laki-laki gundul itu bernada mengancam.

"Kenapa tidak? Tentu saja aku rela menyerahkan ini semua jika kalian mau menjawab pertanyaan dariku," sahut orang tua itu.

"Apa pertanyaanmu, Orang Tua?!" timpal laki-laki yang pada telinga kirinya memakai anting-anting.

"Apakah kalian anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang?"

"Untuk apa kau bertanya seperti itu?!" dengus, yang bercambang bauk.

"Jawab saja pertanyaanku. Kalau tidak, bukan saja tak akan mendapatkan barang-barang berharga ini. Tapi, kepala kalian pun akan kupecahkan semuanya!"

"Heh?!"

"Setan! Phuih! Tua bangka keparat! Tahukah kau apa artinya kata-katamu itu tadi?!" bentak laki-laki yang memakai anting-anting.

Dia langsung melompat ke hadapan orang tua itu, kepalan tangannya cepat diayunkan keras ke wajah. Memang jawaban orang tua itu amat mengejutkan mereka, sekaligus menimbulkan kemarahan. Betapa tidak? Mereka kira, orang tua itu sudah gila. Buktinya, dia ingin mampus berani bicara seperti itu.

"Yeaaa!"

Begitu laki-laki yang memakai anting-anting mengayunkan kepalan tangannya, tenang sekali orang tua itu memindahkan kipas ke tangan kiri. Lalu telapak tangan kanannya cepat menangkap kepalan tangan laki-laki beranting-anting itu.

Tap!
Krek!

Terjadi peristiwa yang membuat kaget semua orang yang berada di situ. Ternyata kepalan tangan teman mereka kontan remuk dicengkeram orang tua itu. Dan belum lagi habis rasa kaget mereka, tangan orang tua itu cepat menghantam ke dada kiri.

Begkh!
"Aaakh!"

Karuan saja, laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang memakai anting-anting menjerit setinggi langit. Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah sejauh dua tombak dalam keadaan tak bernyawa lagi, be­gitu tulang rusuknya di dada dirinya remuk, hingga menusuk jantungnya.

"Heh?!"

"Orang tua keparat! Apa yang kau lakukan terhadap kawan kami ini, heh?!" geram yang berkepala gundul dengan amarah meluap-luap.

"Dasar tolol! Kalian pikir apa yang kulakukan tadi, heh?!" sahut orang tua itu, tak kalah geramnya.

"Bangsat! Kau pikir bisa berbuat seenaknya saja di tempat ini. Mampuslah! Ini bagianmu! Yeaaa...!"

Dengan kalap, laki-laki gundul itu mengayunkan goloknya. menebas leher orang tua berbaju putih itu.

"Hup!"

Sekali memiringkan tubuh golok laki-laki gundul itu lewat beberapa rambut di depan leher orang tua ini. Seketika. tangan kirinya langsung menangkap pergelangan tangan yang memegang golok. Lalu, ditariknya tangan itu dengan kekuatan tenaga dalamnya. Dan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, tangan kanan orang tua itu cepat menghantam ke arah batok kepala laki-laki gundul itu.

Prak!
"Aaa...!"

Kepala laki-laki gundul itu langsung remuk disertai jeritan menyayat. Tubuhnya ambruk ke tanah bersimbah darah. Seketaka dia meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Hal itu tentu saja membuat yang lain menjadi geram bukan main. Dua orang telah tewas dalam sekejap. Orang tua yang semula dianggap lemah itu, ternyata tidak bisa dianggap sembarangan. Dan hal itu semakin membuat kemarahan mereka makin menyala-nyala saja.

"Kawan-kawan! Mari kita rencah orang tua ke­parat itu bersama-sama!" teriak laki-laki bercambang bauk memberi semangat.

"Huh! Akan kutebas batang lehernya!" timpal temannya, geram.

Yang lainnya tak menimpali, tapi langsung menerjang orang tua itu dengan senjata terhunus.

"Hiyaaa...!"
Wuk! Wukkk!

Golok-golok di tangan kawanan itu mendesing berkali-kali menyambar. Namun gesit dan lincah se­kali orang tua itu seenaknya saja menghindari tanpa kesulitan sedikit pun Bahkan masih bisa tertawa-tawa mengejek.

"He he he...! Hanya seginikah kemampuan anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang itu? Hm... Benar-benar memalukan!"

"Orang tua busuk! Tutup mulutmu, sebelum kurobek mulut besar itu!" bentak salah seorang sambil mengayunkan golok di tangan ke wajah tua di depannya. Namun sambil tersenyum kecil, orang tua itu cepat mengebutkan kipasnya yang terbentang.

Trak!

Lalu dengan tiba-tiba sekali tubuh tua itu berbalik. Langsung diayunkannya satu tendangan menggeledek, ke arah dada kiri penyerangnya.

Desss!
"Aaa...!"

Kembali salah seorang menjerit kesakitan de­ngan tubuh terlontar beberapa langkah. Dari mulutnya tampak menyemburkan darah segar. Begitu tiba di tanah, orang itu menggelepar-gelepar beberapa saat, kemudian diam tak bergerak!

"Ha ha ha.. ! Dasar besar mulut! Kau pikir bisa berbuat apa terhadapku!" dengus orang tua itu, sinis.

Tanpa menggubris perkataan orang tua itu, pa­ra penyerang lain kembali menyerang tanpa mengenal takut. Tapi orang tua itu agaknya mulai gemas. Dia mulai tak sabar. Kalau tadi menunggu serangan kini dia langsung melompat memapak serangan. Ketika seseorang membabatkan golok ke kepala tu­buhnya cepat melenting tinggi. Gerakannya cepat bukan main. Dan begitu berada di udara, orang tua itu cepat menukik turun, dengan kaki tetap mengarah ke bumi. Seketika, langsung dilepaskannya satu tendangan keras tak terduga. Begitu cepatnya se­hingga...

Prakkk!
"Aaakh...!"

Nyawa orang yang membabatkan golok lang­sung melayang, begitu tubuhnya ambruk di tanah.

"Bangsaaat...!" maki salah seorang lagi, geram.

"Heh? Tak usah memaki! Ayo, serang terus!" ejek orang tua itu.

Laki-laki tua yang terus memainkan kipasnya itu tetap terkekeh mengejek. Dan seketika, kepalanya ditundukkan, begitu datang serangan dari belakang. Bersamaan dengan itu ujung kipasnya juga dikebutkan ke depan untuk menghalau lawannya yang ada di depan. Buru-buru laki laki bertampang seram yang ada di depan melenting ke belakang, begitu merasakan angin kibasan kipas yang kuat bukan main.

Sementara orang tua berpakaian putih ini tak melanjutkan serangan, karena harus menghindari sambaran golok dan kanan dan kiri dengan membungkuk. Kemudian tubuhnya cepat berbalik, seraya mengayunkan satu tendangan ke belakang. Orang yang ada di belakang terkejut bukan ma­in dan untungnya tubuhnya cepat dimiringkan, se­hingga tendangan itu luput.

Namun, agaknya se­rangan laki-laki tua itu hanya tipuan belaka. Karena tanpa diduga sama sekali justru yang menjadi sasaran adalah dua orang yang berada di samping kanan dan kiri. Dengan gerakan sangat menakjubkan, laki- laki tua itu berputar dengan kedua kaki terbentang. Langsung dihantamnya kedua rahang lawan sekaligus.

Tak! Tak!
"Aaakh...!"

Dua orang kembali memekik kesakitan, begitu merasakan kalau tulang rahang mereka patah akibat tendangan tadi. Sementara begitu habis menendang, orang tua itu sendiri segera melompat ke atas untuk menghindari dua tebasan golok sekaligus. Bagai seekor burung walet, tubuhnya mengapung di udara untuk beberapa saat. Bersamaan dengan itu salah seorang lawan melompat ke atas disertai ayunan golok ke arah kaki.

"Hiyaaa...!"

Sebuah benturan dari dua jenis senjata tak terelakkan lagi, begitu dengan gesit sekali orang tua itu menukik turun dan langsung mengebutkan ki­pasnya.

Trak!

Dan belum juga orang yang mengayunkan go­lok itu menyadari apa yang terjadi, senjata kipas orang tua ini sudah bergerak cepat. Langsung disambamya tenggorokan itu.

Brettt!
"Aaakh!"

Kembali satu jeritan tertahan terdengar ketika ujung kipas orang tua itu merobek leher lawan. Bagai seekor ayam yang disembelih, tubuh orang itu ambruk ke tanah. Dan dia tewas beberapa saat, setelah meregang nyawa.

"Orang tua keparat! Hari ini kami akan mengadu jiwa denganmu!" dengus salah seorang dari tiga yang tersisa.

Sedangkan orang tua berbaju putih bersih itu tenang-tenang saja. Dia berdiri sambil mengebut-ngebutkan kipasnya ke wajah disertai senyum kecil.

"Hm... Siapa yang sudi mengadu dengan jiwa busuk kalian? Sebaiknya, kalian saja yang mampus. Sebab, itulah yang pantas," sahut orang tua itu te­nang.

"Keparat sombong! Mampuslah kau! Hiyaaa...!" bentak orang itu sambil kembali melom­pat menyerang, diikuti dua orang kawannya.

Orang tua itu hanya menundukkan kepala, menghindari sabetan golok ke lehernya. Sementara kipas di tangan kanannya memapak sebuah golok lagi yang mengarah ke pinggang.

Trak!

Orang yang goloknya terpapak kontan terjajar beberapa tindak ke belakang dengan mulut meringis menahan sakit. Dari benturan senjata itu, ta­ngannya terasa ngilu dan kesemutan.

Dan belum juga bisa menarik napas lega, orang tua itu harus melompat ke atas untuk menghindar dari tebasan golok lain yang mengarah ke punggungnya. Bersamaan dengan itu, kedua kakinya langsung melepaskan tendangan secara bersamaan, ke arah dada kiri kedua lawan yang berada di depan.

Degkh!
Desss!

Tanpa mempedulikan dua orang lawannya yang terjengkang akibat tendangan yang dilepaskan demikian cepat, orang tua itu cepat berbalik seraya mengayunkan ujung kipas menyambar tenggorokan lawan di belakangnya.

Crasss!

Seketika tiga jeritan kesakitan terdengar saling susul. Kini ketiga orang itu sudah ambruk di tanah. Sebentar mereka kelojotan lalu mati. Memang dahsyat serangan balik orang tua itu. Dua tendangan yang dilepaskan tadi, memang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Akibatnya dada kedua orang itu kontan remuk. Sementara kibasan kipasnya juga demikian cepat. Bahkan lawan di belakangnya tak mampu berbuat apa-apa. Setelah merayapi sekitarnya yang telah banjir darah, orang tua itu melangkah tenang untuk melanjutkan perjalanannya. Seolah-olah, dia tidak pernah berhadapan dengan kejadian yang berarti. Lantas, siapakah orang yang kepandaiannya demi­kian tinggi ini?

Belum lagi berjalan jauh, kembali orang tua berbaju itu dihadang sekelompok orang-orang bertampang seram. Wajah mereka tampak beringas, bahkan lebih buas dari orang-orang sebelumnya. Dan melihat dari gerak-geriknya, bisa diduga kalau kepandaian mereka lebih tinggi setingkat, dari kesepuluh lawan-lawan yang telah dikirimnya ke akherat. Orang tua itu memandang ke sekeliling dan mulai menghitung jumlah mereka dalam hati. Dan agaknya, para penghadangnya juga berjumlah sepuluh!

"Orang tua! Sungguh hebat kepandaianmu itu. Siapakah kau ini?! Dan, apa yang kau inginkan, hingga berani mendaki Bukit Tunjang?!' bentak salah seorang yang memakai ikat kepala merah. Tampak sekilas pedang bertengger di punggungnya.

Orang yang membentak itu kelihatannya baru berusia sekitar dua puluh lima tahun. Rambutnya panjang hingga ke punggung. Kulitnya kasar ber­warna hitam kecoklatan. Tubuhnya tegap dan berisi, dengan otot-ototnya yang bersembulan. Bisa diperkirakan kalau tenaga dalam pemuda itu cukup kuat. Sorot matanya tajam, dengan sepasang alis tebal. Sikapnya kelihatan tenang ketika melipatkan tangannya di depan dada.

"Apa hakmu bicara seperti itu?" sahut orang tua itu, balik bertanya.

"Aku pimpinan mereka. Sebaiknya, jawab saja pertanyaanku sebelum kesabaranku hilang!" sahut pemuda itu, mengancam.

"He he he...! Pemuda gagah yang bersemangat. Aku suka melihat sikapmu. Tapi ingin kutahu, sampai di mana kemampuanmu hingga berani-beraninya memimpin mereka. Jangan-jangan, isi perutmu hanya kotoran belaka!" lanjut orang tua itu sambil tertawa mengejek.

"Orang tua! Jaga mulutmu! Aku sudah terlalu baik dengan menyapamu!" dengus pemuda itu geram.

"Hm.... Ternyata kau penaik darah juga. Nah! Kalau urusanmu ingin cepat selesai, jawablah per­tanyaanku ini. Apakah kalian kaki tangan Tiga Setan Bukit Tunjang?"

"Keparat! Kau pikir berada di mana saat ini?! Berani benar kau bicara seperti itu! Akulah yang seharusnya bertanya!" bentak pemuda itu semakin geram.

"Kala Gundil! Buat apa berlama-lama dengan orang tua sinting ini? Sebaiknya, perintahkan saja kami untuk memenggal kepalanya saat ini juga!" timpal salah seorang anak buah pemuda yang ternyata bernama Kala Gundil. Amarahnya tampak sudah menggelegak dalam dada.

"He he he...! Sungguh hebat bicaramu. Tapi aku ragu, apakah kau mampu melakukannya," sa­hut orang tua itu, enteng.

"Huh! Apa sulitnya memotes kepalamu!" dengus orang itu sambil melompat dan mencabut pedangnya.

Sring!
"Yeaaa...!"

Pemuda yang dipanggil Kala Gundil itu mendiamkan saja anak buahnya berbuat demikian. Dan hal itu ternyata dianggap sebagai persetujuan bagi mereka untuk merencah orang tua yang dianggap tak tahu diri itu. Maka dalam waktu singkat saja dua orang lagi segera menyusul menyerang. Agak­nya, tangan mereka memang sudah sejak tadi terasa gatal ingin memberi hajaran pada orang tua sombong itu.

Wut! Wut!
"Uts...!"

Orang tua berbaju putih itu memiringkan sedikit tubuhnya, untuk menghindari sabetan pedang dari depan. Dan belum juga sempat berbuat apa-apa, datang lagi serangan pedang dari samping kiri. Terpaksa orang tua itu menundukkan badannya kedepan. Namun pada saat yang sama datang serang­an pedang yang mengarah ke jantung. Maka seke­tika kipasnya yang masih menguncup cepat dikebutkan dari atas ke bawah.

Trak!

Dua benturan senjata mulai terjadi. Orang yang senjatanya tertangkis tadi kontan terjajar tiga langkah ke belakang. Sungguh tak diduga kalau orang tua itu demikian gesit, sehingga serangan dahsyat tadi mampu dipapaknya. Begitu habis memapak serangan pedang lawan, kipas orang tua itu cepat terkembang kembali. Bahkan langsung bergerak menyambar tenggorokan lawan yang berada paling dekat. Orang itu terkejut setengah mati, namun buru-buru melompat ke belakang. Maka, selamatlah selembar nyawanya dari kibasan orang tua itu.

"Hiyaaa...!"

Begitu mendapat kesempatan, orang tua itu cepat melesat ke udara disertai bentakan nyaring. Tubuhnya langsung berputaran menyamping ke arah seorang lawan yang terdekat. Dan kipasnya yang sudah kembali menguncup, langsung digunakan untuk menyerang jantung! Sementara meli­hat serangan cepat ini, orang yang jadi sasaran me­rasa gugup bukan main. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke bawah. Dan untung saja orang tua itu tak melanjutkan serangannya, merasakan ada angin serangan dari belakang. Maka buru-buru orang tua itu menunduk. Dan begitu tubuhnya berbalik cepat, langsung dihantamnya tenggorokan pembokongnya dari arah bawah.

Jrosss!
"Aaa...!"

Pembokong itu kontan memekik kesakitan, be­gitu tenggorokannya tertembus kipas yang telah menguncup. Darah langsung mengucur dari teng­gorokannya yang berlubang. Sesaat tubuhnya limbung, sebelum ambruk ke bumi dalam keadaan meregang nyawa.

Tentu saja hal itu membuat kaget kedua ka­wannya. Tapi orang tua itu agaknya tak mau memberi kesempatan lagi. Maka dengan gerakan cepat bagai kilat dimanfaatkannya kelengahan mereka. Seketika kipasnya yang telah mengembang kembali menyambar dua korban lagi!

Brettt...!
"Wuaaa...! Aaa!"

Terdengar dua jeritan memilukan yang saling susul. Seketika dua orang yang terkena sambaran kipas orang tua itu jadi limbung. Yang seorang tersambar pada dada kirinya, hingga tulang rusuknya patah. Sedangkan yang seorang lagi tersambar pada perutnya, hingga isinya terburai. Jelas ini suatu bukti kalau orang tua itu tidak bisa diajak bermain-main. Serangannya sungguh cepat dan dahsyat, membuktikan kalau kepandaiannya sangat tinggi.

Tentu saja hal itu membuat para penghadang yang lain jadi terkejut setengah mati. Mereka tahu betul kalau ketiga orang itu memiliki kepandaian tak rendah. Namun dalam waktu singkat, tubuh mereka sudah terkapar hanya sekali gebrak saja. Tapi Kala Gundil cepat bertindak, segera diperintahkannya anak buahnya untuk langsung meringkus orang tua itu. Namun sebelum mereka ber­gerak menyerang, tiba-tiba...

"Hentikan...!"

TIGA

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang menyebar ke segala arah. Jelas suara itu dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Maka serentak mereka yang berada di situ mencari-cari sumber suara, kecuali orang tua itu. Begitu sudah bisa memastikan arahnya, mereka kini melihat tiga sosok tubuh tinggi besar telah hadir tak jauh dari situ. Yang seorang berbaju ketat warna hijau. Wajahnya dihiasi cambang bauk. Tampak pada tangan kanannya tergenggam sebuah gada berduri sebesar paha orang dewasa. Dan dia kenal dengan nama Sugriwa.

Sementara orang yang berdiri di tengah memakai baju merah sering dipanggil dengan nama Durganda. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai ke bawah. Tampak di dadanya menggantung kalung dari tulang-tulang manusia. Dipinggangnya tampak terselip sebuah golok panjang yang ujungnya bercagak dua.

Sedangkan orang yang berdiri di kiri memakai baju kuning. Wajahnya yang sudah seram, makin seram lagi oleh codet yang menyilang pada mata kirinya. Sebuah pedang besar tampak tersandang di punggungnya. Dia bernama Pegi Salira.

Me­mang, ketiga orang itulah yang disebut-sebut sebagai Tiga Setan Bukit Tunjang. Dan mereka yang ada di situ langsung menjura hormat kecuali orang tua itu. Sementara Kala Gundil kemudian menghampiri.

"Lapor, Ketua! Orang tua ini telah mengacau di tempat kita dengan membunuh kawan-kawan yang lain. Untuk itulah kami harus membunuhnya!" lapor Kala Gundil.

"Setan! Pergi kalian dari hadapanku!" hardik Sugriwa garang.

Mendapat bentakan itu, Kala Gundil dan anak buahnya jadi tersentak kaget bercampur heran.

"Ta... tapi..."

"Heh?! Tahukah kau, siapa orang ini?!" potong Durganda dengan mata mendelik garang.

"Mana kutahu? Yang jelas, dia telah membu­nuh banyak anak buah kita..."

"Keparat! Dia itu paman guruku, tahu?!" ben­tak Durganda, garang.

Mendengar penjelasan Durganda tentu saja Kala Gundil dan yang lain tersentak kaget. Sungguh tidak mereka sangka kalau orang tua itu ternyata paman guru si Tiga Setan Bukit Tunjang yang nyata-nyata penguasa bukit ini.

"Paman Guru Sanjaya, maafkanlah anak buahku yang buta dan tak mengenali orang sendiri ini. Terimalah salam hormatku!" ujar Durganda diikuti kedua kawannya sambil menjura hormat.

"He he he...! Durganda, lama kita tak bertemu.

Kudengar kau kini bercokol di Bukit Tunjang, dan memiliki anak buah yang hebat-hebat. Tapi nyatanya, mereka hanya kecoa-kecoa tak berguna!" sahut orang tua yang dipanggil Sanjaya itu sambil terkekeh-kekeh.

"Paman Guru! Kami memang orang-orang bodoh. Dan dengan kehadiran Paman Guru di tempat ini, tentu Bukit Tunjang akan semakin bersinar. Mohon petunjuk darimu, Paman Guru," ujar Dur­ganda dengan sikap merendah.

"He he he...! Sudahlah, aku hanya bergurau," kata Ki Sanjaya sambil menepuk-nepuk pundak murid keponakannya.

Durganda tersenyum kecil. Dan matanya melirik sekilas pada Kala Gundil dan anak buahnya yang masih berada di tempat itu dengan sikap mematung dan salah tingkah.

"Heh?! Kenapa kalian diam saja?! Ayo, cepat minta maaf!" bentak Durganda garang.

Dengan segera mereka menghampiri Ki San­jaya sambil menjura hormat. "Ki Sanjaya, maafkanlah kesalahan kami yang bodoh dan tak bisa mengenali orang," ucap Kala Gundil mewakili anak buahnya.

"Hm.... Sudahlah," gumam Ki Sanjaya.

"Nah! Kalian boleh pergi sekarang juga!" ben­tak Durganda memberi perintah.

Setelah menjura, Kala Gundil segera berbalik dan berlalu dari tempat itu, diikuti ketiga kawannya.

"Paman Guru, silakan ke tempat kami," ajak Durganda, mempersilakan orang tua itu menuju kediaman mereka, setelah Kala Gundil dan anak bu­ahnya tidak kelihatan lagi.

"Sebentar, Durganda!" kata Ki Sanjaya, tiba-tiba.

"Ada apa, Paman Guru…?" tanya Durganda, dengan kening berkerut.

"Berapa jumlah anak buahmu di tempat ini?" tanya orang tua itu dengan wajah sungguh-sungguh.

"Entahlah. Tapi seratus orang itu tak kurang. Bahkan bisa lebih banyak lagi. Memangnya ada apa, Paman Guru?"

"He he he...! Bagus! Bagus...!" sahut Ki San­jaya, diiringi kekehan kecil dan anggukan kepala beberapa kali.

Melihat kelakuan paman gurunya, tentu saja Durganda dan kedua kawannya semakin heran.

"Kau bersedia membantuku, Durganda?"

"Tentu saja. Tapi apa yang dapat kami bantu?" Durganda balik bertanya.

"Melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Ki Sanjaya cepat.

Durganda, Peging Salira, dan Sugriwa seketika saling berpandangan sesaat.

"Kenapa? Apa kalian tak mau membantuku?!" sentak Ki Sanjaya dengan wajah garang, melihat murid-murid keponakannya bersikap demikian.

"Bukan begitu, Paman. Kalau memang Paman berniat demikian, tentu saja kami setuju sekali. Dan kesempatan itu memang telah lama kami nanti-nantikan. Aku banyak mendengar cerita tentang sepak-terjang Pendekar Rajawali Sakti yang membuat muak perasaanku. Anak buahku tentu saja akan suka sekali mendengarnya. Karena banyak dari mereka yang pernah berurusan dengan pendekar tengik itu. Mereka tentu sakit hati dan dendam sekali," jelas Durganda, singkat.

"Ha ha ha...! Kali ini akan kita singkirkan pendekar busuk itu. Setelah apa yang dilakukannya pada dua kawanku hingga mereka tewas sia-sia, kini tiba giliran dia untuk mampus!" desis Ki San­jaya sambil tertawa terbahak-bahak.

Suara tawa laki-laki tua itu terdengar keras dan menggema sampai ke lereng-lereng bukit.

********************

Siang hari ini, tidak jauh dari Bukit Tunjang, matahari bersinar tak terlalu garang. Apalagi angin bertiup sepoi-sepoi. Pepohonan juga berdaun rimbun, sehingga membuat dua sosok yang menunggang kuda di bawahnya merasa nyaman dan terlindung.

Kedua sosok itu memacu kudanya perlahan-lahan seperti ingin menikmati keindahan alam disekitarnya. Yang seorang adalah pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang terurai, diikat sehelai ikat kepala putih seperti warna rompinya. Di punggungnya tersandang sebilah pedang yang bergagang kepala burung. Kudanya yang hitam berkilat, terlihat gagah dan kuat.

Sementara yang berada di sebelahnya, seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuh­nya sedang, terbungkus baju hitam sebagaimana layaknya tokoh-tokoh persilatan. Dia pun memba­wa pedang yang tersampir di punggungnya. Ram­butnya yang tak terlalu panjang, diikat sehelai kain hijau. Sementara itu, kuda yang ditungganginya berbulu coklat, dan terlihat seperti kuda biasa saja.

"Gusti Prabu Rangga...," sapa laki-laki berbaju hitam pada pemuda berbaju rompi putih di sebelah­nya.

Seketika pemuda yang tak lain Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh.

"Ada apa, Paman Lanang?" sahut Rangga.

"Gusti masih bersedih...?" laki-laki berbaju hitam itu malah balik bertanya.

Rangga hanya tersenyum, tanpa menjawab pertanyaan tadi.

"Sejak Gusti Ayu Pandan Wangi sakit, Gusti Prabu sepertinya tak pernah bergembira...," desah orang yang dipanggil Paman Lanang.

"Apalah artinya kegembiraan bila aku melalaikan kewajibanku sebagai raja dari rakyatku, Paman Lanang," sahut pemuda itu tenang.

"Ya, hamba pun tahu. Gusti Prabu sangat memperhatikan rakyat. Gusti juga rela terjun sendiri ke desa-desa dan kadipaten, untuk melihat dari dekat kehidupan rakyat di Karang Setra. Mereka menyayangi Gusti Prabu. Sehingga, ketika mereka tahu Gusti Prabu sedang berduka, maka seluruh rakyat ikut berduka pula," kata Paman Lanang.

"Paman Lanang, apakah aku kelihatan bersedih?" tanya Rangga sambil tersenyum kecil.

"Gusti Prabu! Kata orang, sinar mata tak bisa bohong dan mampu menggambarkan sifat dan isi hatinya. Meskipun, wajahnya dibuat semanis mung­kin," sahut Paman Lanang berfilsafat.

"Hm, ya. Memang benar apa yang Paman katakan itu. Lalu, bagaimanakah kita menafsirkan isi hati manusia yang tak mempunyai biji mata itu?" Rangga balik bertanya sambil tersenyum kecil.

Paman Lanang terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan itu.

"Sudahlah, Paman. Tak perlu berkecil hati. Aku hanya ingin mengatakan, banyak cara menilai manusia itu. Kalau kita berdasar pada satu sikap dan penglihatan, maka itu bisa salah. Tapi kalau kita melihatnya dari berbagai sudut, boleh jadi akan mendekati kebenaran," sahut pemuda itu, men­jawab sendiri pertanyaannya.

"Gusti Prabu pasti lebih mengetahuinya daripada hamba...," desah Paman Lanang.

"Tapi ada juga yang perlu kau ketahui, Pa­man!"

"Apa itu, Gusti Prabu?"

Rangga tersenyum sebelum menjawab. "Kau kuminta berpakaian seperti tokoh persilatan agar orang-orang menyangka kau adalah rakyat biasa dan bukan seorang prajurit Karang Se­tra. Untuk itu, kau pun harus tutup mulut tentang diriku jika berhadapan dengan orang lain. Katakan saja kalau aku adalah saudara seperguruan. Kau ingat itu, Paman?"

"Tentu akan hamba ingat selalu. Gusti Prabu!" sahut Paman Lanang cepat.

"Syukurlah. Nah! Coba kau perkirakan, kira-kira berapa lama lagi perjalanan kita ke tempat tabib itu?" kata Rangga seraya menatap ke depan.

"Tak sampai dua hari perjalanan lagi, Gusti Prabu," sahut Paman Lanang.

"Apa tak ada jalan pintas agar bisa tiba secepatnya ke sana? Aku khawatir, penyakit Pandan Wangi semakin memburuk," tanya Rangga agak mendesah.

"Jalan yang kita lalui inilah jalan pintasnya, Gusti Prabu. Setahu hamba, tak ada jalan lain yang lebih singkat lagi," sahut Paman Lanang.

Rangga hanya mengeluh pendek mendengar jawaban itu. Rasa kekhawatiran kembali menyergap benaknya. Pikirannya terus bertuju pada Pandan Wangi di Karang Setra yang tengah menderita penyakit.

"Gusti Prabu, tenangkanlah. Ketika kita tinggalkan, Gusti Ayu Pandan Wangi mulai membaik. Dia pasti akan sembuh. Lagi pula, penyakitnya tak begitu parah, bukan?" kata Paman Lanang beru­saha menghibur.

"Kau tak tahu, Paman Lanang. Penyakitnya itu bila dibiarkan begitu saja akan semakin sulit diobatinya!" ujar Rangga.

''Kenapa Gusti Prabu tak memerintahkan kami saja untuk menemui tabib itu?"

"Tidak. Aku lebih suka melakukan hal ini sen­diri. Ini adalah persoalan pribadi. Maka, aku harus menyelesaikannya seorang diri. Kecuali bila menyangkut negara. Maka, sudah barang tentu kalian akan ku ikutsertakan," tegas Rangga.

Paman Lanang tak berkata apa-apa lagi. Memang jawaban Pendekar Rajawali Sakti barusan sulit untuk dibantah. Namun mendadak pemuda berbaju rompi putih itu memandang ke satu arah dengan penuh perhatian.

"Gusti Prabu, ada apa?" tanya Paman Lanang, cemas.

"Tidakkah kau mendengar suara?" tanya Rangga ingin memastikan.

"Suara apa? Hamba tak mendengar suara apa-apa!" sahut Paman Lanang semakin bingung.

Rangga memandangnya sekilas, kemudian tersadar. Rupanya memang Paman Lanang tak men­dengarnya, karena telinganya tak terlatih.

"Mari kita cepat ke sana!" ajak pemuda berbaju rompi putih itu.

"Tapi ada suara apa, Gusti Prabu?" tanya Pa­man Lanang penasaran.

"Suara perkelahian dan seorang wanita berteriak meminta tolong. Kita harus menolong orang itu. Dia tentu sedang dalam kesulitan!" sahut Rangga, seraya memacu lebih cepat kudanya.

"Gusti Prabu, apakah ini tak akan menghambat perjalanan kita?!" teriak Paman Lanang, karena kudanya mulai tertinggal jauh oleh Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Menolong orang lain sama pentingnya dengan menolong Pandan Wangi, Paman Lanang!" sahut pemuda itu enteng.

Paman Lanang terdiam mendengar jawaban itu. Kemudian kudanya dihela supaya berlari lebih kencang berusaha menyusul pemuda itu. Namun tetap saja kudanya tertinggal jauh dari Dewa Bayu yang sudah melesat bagai angin.

Apa yang didengar Rangga memang tak salah. Tak berapa lama, Pendekar Rajawali Sakti tiba di suatu tempat di tepi hutan. Dan dia langsung me­lihat beberapa orang perampok tengah menghajar seorang laki-laki muda yang agaknya hanya mengerti sedikit ilmu olah kanuragan. Beberapa kali dia menjerit kesakitan, ketika tubuhnya mendapat hajaran secara bergilir. Sementara tak jauh dari situ, dua orang perampok lain sedang mempermainkan seorang wanita cantik. Salah seorang tampak menarik lengannya, hingga tubuh wanita itu terjerembab di tanah berumput. Begitu jatuh, perampok yang lain cepat menyergap dan langsung menindih tu­buhnya.

"Lepaskan aku! Lepaaaskan...! Tolooong...! Kakang Bhatara, tolooong. .! Aouw, lepaskan! Lepaskaaan...!" teriak wanita itu sekuat tenaga, ketika kedua perampok itu mencoba menggerayangi tu­buhnya yang kenyal.

Dengan mata berbinar dan jakun turun naik, kemudian salah seorang melucuti pakaian wanita itu, sementara yang seorang lagi memegang kedua tangan dan kakinya. Wanita itu terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun apalah daya. Sedangkan rontaan-rontaan itu bagai hentakan-hentakan penuh nafsu bagai kedua perampok itu.

Air mata wanita itu sudah bergulir satu demi satu di pipinya. Namun begitu harga dirinya sebagai seorang wanita akan terjamah, mendadak...

"Hanya binatang berjiwa iblis yang bisa melakukan perbuatan terkutuk itu!" bentak Rangga garang.

Tiba-tiba sebuah suara, menghentikan per­buatan kotor kedua perampok itu. Sebuah suara dari Pendekar Rajawali Sakti yang telah melompat dari kudanya dan langsung berdiri di dekat pergumulan seru itu.

"Heh?!"

Kedua perampok bertampang seram itu kontan membenahi pakaiannya. Sementara itu, Paman La­nang yang baru saja tiba, segera menolong wanita yang hampir naas itu. Segera dibawanya wanita itu ke tempat aman, dengan terlebih dahulu memberikan kain wanita itu untuk menutupi tubuhnya. Begitu selesai berpakaian. kedua perampok itu segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Bocah keparat! Kau pikir siapa dirimu, hingga berani mengganggu kesenangan orang lain?! Enyahlah kau dari hadapanku!" bentak salah se­orang seraya mengayunkan tangannya, hendak menampar Pendekar Rajawali Sakti.

Begitu tamparan perampok itu hampir mendarat di wajah, dengan gerakan cepat bagai kilat Rangga menangkapnya.

Tap!
"Hih!"

Dan dengan sekuat tenaga, langsung ditariknya, hingga tubuh orang itu kontan melesat tinggi melewati kepalanya. Tubuh itu terus melayang dan langsung membentur keras batang pohon di bela­kang Pendekar Rajawali Sakti.

Brakkk!
"Aaakh!"

Melihat temannya dicundangi, perampok satu lagi menjadi geram. Seketika dilepaskannya sa­tu tendangan keras ke bagian pinggang Rangga. Namun dengan gesit sekali Rangga cepat melompat ke atas. Dan tanpa diduga sama sekali, langsung dilepaskannya satu tendangan dahsyat ke dada orang itu.

Diegkh!
"Aaakh...!"

Kembali satu jeritan kesakitan terdengar menyayat. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti me­mang cepat bagai kilat, sehingga orang itu tak mampu menghindar. Akibatnya, tubuhnya kontan terjengkang ke tanah, dan tak bergerak-gerak lagi. Demikian pula temannya yang menabrak pohon tadi.

Sementara itu Paman Lanang kini segera menyelamatkan kawan wanita tadi yang dikeroyok. Namun akibatnya, laki-laki setengah baya itu harus menghadapi keroyokan enam orang perampok yang tadi mengeroyok pemuda teman wanita itu.

"Paman Lanang! Biarkan aku membantumu, agar lebih cepat membereskan perampok-perampok busuk ini!" teriak Rangga, melesat ke arah pertarungan.

Kini pertarungan berjalan agak lebih seimbang, meskipun Rangga dan Paman Lanang masing-masing harus menghadapi tiga orang lawan. Dan di sini terbukti kelihaian Paman Lanang dalam pertarungan. Tubuhnya mampu bergerak lincah dan gesit. Tangannya pun cukup gesit ketika mencabut pedang dan memapaki golok-golok lawan yang berseliweran mengancam keselamatan.

"Keparat busuk! Kalian harus mampus, karena berani ikut campur urusan Bajingan Dari Sungai Gerong!" dengus salah seorang perampok disertai ayunan goloknya yang menebas kepala Paman La­nang.

Namun, prajurit kerajaan yang gagah perkasa itu cepat menangkis dengan pedangnya yang sudah tercabut dari warangkanya di pinggang.

Trang!

Perampok yang menyerang Paman Lanang kontan meringis kesakitan ketika senjatanya tertangkis. Melihat lawannya terjajar begitu, Paman Lanang tak melanjutkan serangan. Masalahnya, dua orang lawan telah menerjang ke arahnya dari kanan dan kiri. Cepat tubuhnya ditundukkan, diser­tai sambaran ujung pedangnya ke arah kedua ka­ki lawan sekaligus. Kedua perampok itu tersentak kaget, namun cepat melompat ke atas.

"Hup!"

Melihat kedua orang itu melompat ke atas, Paman Lanang segera mengejar salah seorang sam­bil mengayunkan kaki kanannya. Langsung dihantamnya perut lawan.

Desss!
"Aaakh!"

Perampok yang terhantam perutnya langsung menjerit kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke tanah beberapa langkah, dan terus bergulingan. Begitu bangkit berdiri perutnya yang terasa akan meledak terkena hantaman keras tadi langsung didekap dengan tangannya.

"Keparat! Kubunuh kau...!" geram salah seo­rang perampok lain dengan amarah meluap. Lang­sung goloknya ditebaskan ke arah laki-laki setengah baya itu. Namun dengan tenang Paman Lanang menangkis serangan itu dengan pedangnya.

Trang!

Dan begitu habis menangkis, Paman Lanang cepat bergerak ke kanan untuk menghindari tebasan golok lawan yang seorang lagi. Seketika tubuh­nya berputar cepat, melepaskan tendangan sete­ngah melingkar ke arah punggung lawan yang ber­ada di belakangnya.

Dug!
"Ukh...!"

Kembali terdengar jeritan kesakitan, diiringi tubuhnya yang tersungkur ke depan. Wajah orang itu langsung membentur sebongkah batu begitu jatuh di tanah. Tampak darah mengucur deras dan hidungnya yang patah. Bibirnya pun jontor dan dua buah giginya tanggal!

"Hm… Sekarang tinggal kau sendiri, Bajingan Busuk! Tahanlah pedangku ini!" kata Paman La­nang, seraya mengayunkan pedangnya.

Cepat sekali gerakan Paman Lanang, namun perampok itu juga cepat menangkis dengan golok­nya. Hanya saja wajah perampok itu kontan meri­ngis menahan rasa nyeri, begitu senjatanya beradu dengan pedang Paman Lanang. Dari sini saja bisa terbukti kalau tenaga dalam Paman Lanang lebih kuat daripada lawannya.

Dan sebelum perampok itu berbuat banyak, Paman Lanang cepat memutar ujung pedangnya, mengejar seluruh bagian yang mematikan. Sehing­ga perampok itu pontang-panting menyelamatkan diri. Kini sasaran pedang Paman Lanang ke arah leher. Dan dengan cepat perampok itu menjatuhkan diri ke tanah. Tapi Paman Lanang yang memang telah menunggunya, cepat memberi satu tendangan keras. Dengan sebisa-bisanya, orang itu mencoba menangkis dengan tangannya sambil terus bergulingan.

Plakkk!
"Ukh!"

Perampok itu mengeluh menahan sakit, karena tangannya terasa linu begitu menangkis tendangan. Tapi belum lagi hilang rasa sakitnya, ujung pe­dang Paman Lanang telah berkelebat cepat. Dan...

Crasss!
"Aaakh...!"

Perampok itu kontan menjerit-jerit kesakitan sambil berguling-gulingan begitu ujung pedang Pa­man Lanang menyambar pahanya, sehingga mem­buat luka yang panjang dan dalam. Darah seketika mengucur deras dari luka itu.

Sementara itu pada pertarungan lain Pendekar Rajawali Sakti seperti tak mengalami kesulitan. Padahal ketiga lawannya menyerang sekaligus! Na­mun pemuda yang selalu mengenakan rompi putih itu tenang-tenang saja berdiri. Ketiga perampok itu begitu bernafsu menyabetkan goloknya yang terhunus.

Namun beberapa jengkal lagi ujung-ujung golok itu akan menyambar, Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali melompat ke atas. Sebentar dia berputaran di udara, dan tiba-tiba tubuhnya menukik. Seketika dikerahkannya jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa, yang lang­sung menyambar rahang ke tiga orang itu dengan kakinya. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak seorang pun yang dapat menghindar. Dan...

Tak!
Pak!
Prakkk!
"Aaakh...!"

Ketiga orang itu kontan menjerit kesakitan me­rasakan sakit pada rahang. Mereka langsung am­bruk dan berguling-gulingan di tanah. Dua orang rahangnya patah dan beberapa buah giginya tanggal dengan mengucurkan darah segar. Sementara yang seorang lagi langsung pingsan, setelah bergu­ling-gulingan.

"Kalau kalian masih ingin hidup, cepat pergi dari sini!" bentak Pendekar Rajawali Sakti sambil merayapi satu persatu lawannya.

Rupanya, kini nyali para perampok itu sudah ciut. Maka dengan bergegas mereka membantu teman-temannya yang masih pingsan. Dan sebentar kemudian dengan tertatih-tatih mereka pergi dan tempat itu diiringi mata Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang. Dengan satu isyarat mereka kabur terbirit-birit dari tempat itu.

"Huh! Hanya perampok-perampok picisan sa­ja, lagaknya selangit!" dengus Paman Lanang sinis.

Sementara itu dua orang yang diselamatkan Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang, setelah para perampok itu tidak kelihatan lagi.

"Kisanak berdua! Aku Bhatara dan ini istriku Suminten menghaturkan terima kasih atas pertolongannya pada kami...!" ucap laki-laki muda itu.

EMPAT

"Rangga, Paman Lanang, sekali lagi kami menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan kalian. Kalau tidak ada kalian, entah apa jadinya kami ini," sahut Bhatara, setelah mereka saling memperkenalkan diri.

Mereka kini saling berbincang-bincang tentang kejadian tadi, di bawah sebuah pohon rindang. Bhatara duduk bersila, berdampingan dengan istrinya. Sedangkan Rangga dan Paman Lanang di se­buah akar pohon besar yang menyembul keluar di permukaan tanah, menghadap suami-istri itu.

"Apa yang menyebabkan kalian bentrok de­ngan mereka?" tanya Rangga.

"Mereka hendak merampok barang-barang ka­mi. Padahal kami hanya petani miskin. Dan yang kami bawa pun hanya sekadar keperluan sehari-hari yang diperoleh dari menukar hasil ladang kami di kotaraja," jelas Bhatara.

"Hm… Dasar perampok serakah!" umpat Paman Lanang geram.

"Orang-orang seperti itu memang sudah sepatutnya mendapat hukuman berat. Kalau saja Gusti Prabu Rangga tahu mereka tentu tak akan lolos begitu saja!" desis Bharata ikut-ikutan geram.

Rangga hanya tersenyum mendengar kata-kata Bharata. Namun dalam hatinya terselip rasa sedih, karena di wilayah yang termasuk wilayah Karang Setra ini ternyata masih dihuni perampok. Dan sebagai pendekar digdaya, tentu saja hal ini menjadi beban pikirannya.

"Rangga... Namamu begitu mirip dengan Gus­ti Prabu Rangga?" tanya Bharata curiga. Dan dia mencoba mengingat-ingat sesuatu.

"Apakah kau pernah bertemu dengannya?" sa­hut Rangga balik bertanya.

"Belum. Tapi banyak kudengar, beliau sering turun ke desa-desa seorang diri untuk memperhatikan rakyatnya. Orangnya masih muda dan konon berwajah tampan," sahut Bharata masih tetap me­mandang pemuda di hadapannya dengan sorot ma­ta curiga.

"Bagaimana pandangan tentang dia?" tanya Rangga, mencoba memancing.

"Semua rakyat mencintainya. Demikian pula aku. Tapi..., ah! Rangga, jangan-jangan adalah..."

"Bharata, jangan mengada-ada! Mana berani aku mengaku sebagai Raja Karang Setra. Kalaupun namaku sama, itu karena dulu ibuku sedang bingung mencarikan nama untukku. Lalu, dia teringat Gusti Prabu Rangga yang kala itu berusia hampir sebaya denganku," jelas Rangga berdusta.

Bharata dan istrinya mengangguk pelan. Na­mun wajah mereka masih menunjukkan rasa ketidakpercayaannya.

"Rangga! Aku pun berharap, mudah-mudahan kau memiliki sifat yang mulia seperti Gusti Prabu Rangga..." desah Bharata pelan.

"Terima kasih, Bharata. Kalau demikian, kami akan melanjutkan perjalanan kembali," lanjut Rang­ga.

"Rangga, ke manakah tujuan kalian?"

"Ke arah timur. Ada apa Bharata?" tanya Rangga, ketika melihat laki-laki itu akan mengatakan sesuatu.

"Ah, kebetulan sekali!" desis Bharata, berseri.

"Kebetulan kenapa, Bharata?" tanya Rangga bingung.

"Rangga, kebetulan tempat tinggal kami juga di timur. Kalau tak keberatan kami berharap sekali kalau kalian berdua sudi mampir. Yah... Sekadar untuk menjamu kalian ala kadarnya. Kulihat kalian telah melakukan perjalanan yang cukup jauh. Lagi pula, langit kelihatan mendung dan hari mulai sore. Berjalan di malam hari dalam keadaan hujan, tentu akan sangat mengganggu," bujuk Bharata.

"Tapi, Bharata..."

"Rangga, mohon jangan menolak permintaan kami!" pinta Bharata setengah memaksa.

Rangga berpikir sesaat, lalu tersenyum. Apa yang dikatakan laki-laki itu memang tak salah. Hari memang mulai sore dan gelap. Apalagi, mendung juga tampak kelam menyelimuti langit. Sebentar la­gi, tentu hujan akan turun. Dan melihat langit yang gelap begitu, sudah barang tentu hujan akan lama sekali. Bisa sampai tengah malam! Maka ketika Paman Lanang memberi isyarat kalau juga menyetujui ajakan suami-istri itu, Rangga tak punya pilihan lagi.

"Baiklah...," desah Rangga pelan, seraya bangkit diikuti Paman Lanang.

"Ahhh! Terima kasih, kau akhirnya sudi mam­pir ke gubuk kami, Rangga!" kata Bharata, juga bangkit dan langsung menuju gerobak bersama istrinya.

Mau tak mau Rangga merasa terharu juga me­lihat kegembiraan di wajah suami-istri itu. Mereka benar-benar tulus ingin mengundangnya. Dan rasanya, tak enak bila ditolak. Rangga dan Paman La­nang kemudian juga menghampiri kuda masing-masing. Dan sambil menuntun kuda, mereka kem­bali menghampiri suami-istri itu.

"Desa kami tak begitu jauh dari sini!" kata Bharata sambil menaikkan istrinya ke dalam gero­bak yang ditarik seekor kuda. Dia sendiri pun ke­mudian melompat naik, dan mulai menghela kuda­nya perlahan-lahan.

"Kalian sudah mempunyai putra atau putri?" tanya Rangga, seraya naik ke atas kudanya di samping gerobak itu. Sebentar kemudian, kuda hitamnya digebah perlahan-lahan.

"Belum. Kami baru menikah tiga bulan yang lalu," sahut Bharata dari belakang.

Pendekar Rajawali Sakti mengangguk-anggukkan kepala sambil terus menggebah kudanya di samping Paman Lanang. Rangga menggangguk-anggukkan kepala, sam­bil terus menggebah kudanya di samping Paman Lanang. Mereka pun kemudian tak banyak bercakap-cakap lagi ketika kilat mulai terlihat membelah angkasa.

Pendekar Rajawali Sakti

********************

"Oaaa.... Oaaa...!"

Terdengar tangisan bayi, dari sebuah jalan utama di sebuah desa yang terlihat sepi. Tampak seo­rang perempuan berusia sekitar lima puluh tahun tengah menimang-nimang bayi yang terus menangis itu. Wanita itu memakai anting-anting bulat dan besar. Walaupun sudah berumur, tapi rambutnya masih terlihat hitam dan lebat. Gelungnya juga dihiasi beberapa buah tusuk konde dari emas. Wa­jahnya kelihatan masih cantik kendati sudah sedikit keriput.

Pakaiannya mewah, terbuat dari sutera halus berwarna biru langit. Di pinggang kirinya terlihat sepasang pedang yang menandakan kalau perempuan tua itu bukanlah orang sembarangan. Dengan memakai kerudung merah jambu yang juga dari su­tera, serta dandanannya yang kelihatan semarak, sepintas terlihat kalau perempuan tua itu agaknya suka bersolek.

Perempuan tua yang sebenarnya bernama Nini Anting itu berusaha mendiamkan bayi yang terus menangis. Namun, bocah itu terus menangis seperti tak mau menghentikan tangisnya.

"Cup..., cup! Diam, Bocah. Diamlah...!" bujuk Nini Anting.

"Oaaa...! Oaaa...!"

Nini Anting mengayun-ayunkan bayi dalam gendongannya perlahan-lahan, sambil terus melangkah tenang. Namun bukannya berhenti, bayi itu malah menambah keras tangisnya. Berkali-kali wanita itu seperti orang kebingungan sambil menoleh ke sana kemari. Dan tak berapa lama dia ber­henti di depan sebuah rumah untuk berteduh, dan terus menenangkan bayi yang tak kunjung berhenti tangisnya.

"Diamlah, Anak Manis! Diamlah...! Cep... cep...!"

Mendengar ada suara bayi menangis di luar rumahnya, orang yang memiliki rumah itu keluar. Kebetulan sekali, dia seorang ibu muda yang juga mempunyai bayi dan tengah menyusui. Dipandangnya wanita tua itu dengan wajah kasihan.

"Nisanak, bayi siapakah itu? Dan, kenapa terus menangis?" tanya wanita muda itu.

Nini Anting tak menyahut malah wajahnya dipalingkan, seraya mencium bayi yang digendongnya. Dan tiba-tiba bayi itu berhenti menangis. Maka Nini Anting terus menciumnya erat-erat tanpa mempedulikan wanita muda itu.

"Nisanak, mungkin bayi itu belum menyusu. Kenapa tak diberikan saja pada ibunya agar bisa menyusu?" tanya wanita muda itu kembali.

Nini Anting masih diam membisu Tak lama kemudian ciumannya pada bayi yang kini tak menangis lagi dilepaskan.

"Kasihan bayi ini. Masih kecil begini sudah ditinggal mati kedua orangtuanya...," gumam Nini Anting dengan suara serak, memalingkan wajahnya yang tertutup kerudung.

"Ditinggal mati orangtuanya?!" wanita itu agak terkejut.

"Benar. Mungkin beberapa orang perampok te­lah membunuh orangtuanya. Dia kutemukan di te­ngah jalan, sedang tergeletak dan menangis. Dan mana mungkin aku menyusuinya, karena aku su­dah tua. Ah! Malang betul nasib anak ini...," sahut Nini Anting, pilu.

"Nisanak, biarlah mari kususui sejenak. Kasihan dia, sejak tadi pasti terus menangis." kata wanita muda itu, iba.

"Oh! Benarkah itu?" tanya Nini Anting, gembira. Dan wajahnya yang tertutup selendang hanya sedikit dipalingkan.

"Ya! Kemarikanlah bayi itu!"

"Baiklah. Kalau begitu, mari kugendong dulu bayimu," ujar wanita tua itu.

Wanita muda itu pun menyerahkan bayinya untuk digendong Nini Anting, kemudian menerima bayi yang tadi digendong Nini Anting. Dia sedikit heran ketika bayi yang kini berada dalam gendongannya tiba-tiba menangis kencang. Padahal, semula bayi itu tenang-tenang saja dan sama sekali tak rewel. Lebih-lebih ketika melihat wajah bayi itu pucat pasi bagai mayat. Bahkan denyut jantungnya tak terasa! Tampak pada lehernya terlihat dua buah lubang sebesar pangkal lidi. Dan yang makin membuatnya kaget, perempuan tua yang menggendong bayinya kini telah melangkah tenang meninggalkan rumahnya.

"Nisanak! Bayi ini telah mati. Hei. Kembalikan anakku. Kembalikan anakku. Hei! Kau bawa ke mana dia?!" teriak wanita muda itu sambil mengejar Nini Anting.

"Hi hi hi...! Kenapa malah berteriak-teriak begitu? Bukankah kau tadi telah menukar bayimu dengan bayiku?!" kata Nini Anting sambil berbalik dan menyeringai buas.

Wanita muda itu tersentak kaget. Bayi dalam gendongannya yang telah tak bernyawa itu terlepas dari tangannya. Langsung dia berlari ke arah Nini Anting dan memegangi tangannya. Sementara, Nini Anting kini wajahnya telah berubah menakutkan dengan sepasang taring runcing di mulut. Tetesan-tetesan darah tampak masih terlihat jelas dari sudut bibirnya.

"Kau..., kau pembunuh! Pembunuh...! Kem­balikan anakku! Kembalikan anakkuuu...!" teriak wanita muda itu. Dia berusaha merebut bayinya yang berada dalam gendongan wanita tua itu.

"Wanita tolol! Enyahlah kau dari hadapanku! Hih!" sentak Nini Anting.

Dengan geram, Nini Anting menyentakkan ta­ngannya yang dicengkeram wanita muda itu. Maka seketika wanita muda itu terjungkal ke tanah sambil mengeluh kesakitan. Namun begitu dia terus berte­riak-teriak sekuat tenaga. Maka, sebentar saja bebe­rapa penduduk desa yang mendengar teriakan se­gera keluar. Demikian pula suami wanita muda itu yang berada di belakang rumah. Dan mereka semua langsung mencegat Nini Anting. Dengan kemarahan meluap, suami wanita muda itu menghadang Nini Anting dengan kapak di tangan bekas membelah kayu tadi.

"Perempuan tua, serahkanlah anakku. Atau, kubunuh kau!" bentak laki-laki itu berang.

"Hi hi hi...! Kau hendak mengambil anak dalam gendonganku ini? Cobalah kalau memang ingin mampus!" sahut Nini Anting sambil balas mengancam.

"Keparat!" geram laki-laki itu sambil melompat mengayunkan kapaknya.

"Uts...!"

Sedikit saja Nini Anting memiringkan tubuhnya, maka kapak itu luput menghajar sasaran. Bersa­maan dengan itu, kaki kanannya langsung mengha­jar keras dada laki-laki itu.

Duk!
"Aaa...!"

Laki-laki itu kontan menjerit menyayat begitu tubuhnya terjungkal ke tanah disertai muntahan da­rah segar. Tubuhnya langsung menggelepar-gelepar sesaat, sebelum akhirnya diam tak bergerak lagi. Melihat hal ini, orang-orang yang berada di tempat itu jadi tersentak kaget. Begitu juga wanita muda tadi.

"Kakang...!"

Sambil berteriak memilukan waruta muda itu memburu tubuh suaminya yang telah tak bernyawa lagi. Para penduduk desa itu yang sudah geram, bermaksud menghajar perempuan tua tadi. Tapi, Nini Anting telah lenyap dari tempat itu tanpa se­orang pun mengetahui ke mana arahnya pergi.

Sementara, Nini Anting sudah begitu jauh meninggalkan desa itu. Dia terus terkekeh sambil berlari kencang yang disertai ilmu meringankan tubuhnya.

"Hi hi hi...! Dasar orang-orang totol! Mau saja kena tipu! Sudah begitu, malah berlagak jago ingin menantangku. Hi hi hi...! Mampuslah bagiannya!"

Melihat caranya berlari, bisa diduga kalau kepandaian Nini Anting sangat tinggi. Sebenarnya, memang Nini Anting bukanlah orang sembarangan. Dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Peri lblis Racun Merah. Bahkan dia juga salah satu dari datuk rimba persilatan. Namun wanita tua itu mempunyai kebiasaan yang menggiriskan, yakni menghisap darah orok! Setelah darah orok dihisap sampai habis lalu mayatnya dibuang begitu saja. Wanita tua yang pesolek itu terus berlari mendekati Bukit Tunjang yang terkenal keangkerannya.

Hari menjelang agak sore ketika Nini Anting tiba di kaki Bukit Tunjang. Dia berhenti sesaat sambil memandang ke arah bukit yang menjulang tinggi itu. Sebentar kemudian tubuhnya melesat cepat mendaki bukit itu. Dan begitu tiba di sebuah tempat, Nini Anting memandang ke sekeliling. Diperhatikannya keadaan sekitar dengan seksama. Sebentar kemudian bibirnya tersenyum.

"Hi hi hi...! Dasar orang-orang tolol. Mereka pikir perangkap-perangkap ini mampu membawa maut bagiku. Huh!" gumam Nini Anting, setelah menyadari keadaan berbahaya di sekitarnya.

Kata-kata Nini Anting beralasan, pada umumnya orang-orang yang mendaki bukit ini selalu lewat jalan darat. Tapi Nini Anting lebih memilih jalan atas, yaitu melalui atas pohon yang lebih aman. Perem­puan itu segera melompat ke atas pohon, kemudian dengan gerakan gesit sekali dia berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain. Tapi, itu bukan berarti luput dari jebakan! Karena tiba-tiba...

Set!
Werrr...!
"He, kurang ajar!"

Ternyata salah satu tangan Nini Anting sempat mengait salah satu oyot pohon yang banyak bergantungan di dahan. Maka ketika oyot itu ditarik, saat itu juga mendesing beberapa pucuk bambu beracun ke arahnya. Maka dengan gesit, perempuan tua itu melompat sambil menekuk kedua kakinya, menghindari serangan gelap ini.

"Hup!"

Namun, tak semua bambu beracun itu mampu dihindari. Dalam keadaan melayang begitu, memang sulit bagi Nini Anting untuk menghindarkan diri secara sempurna. Maka terpaksa Nini Anting mencabut pedangnya. Dan seketika pedang itu dibabatkan ke arah beberapa bambu beracun yang masih mengincar tubuhnya.

Tas! Tas!

Seketika, bambu-bambu beracun itu berjatuhan di tanah. Sementara Nini Anting langsung berputaran beberapa kali. Dan ketika kakinya telah menjejak tanah, pedangnya telah kembali terselip di pinggang. Tapi, bahaya lain ternyata telah menghadangnya di depan mata. Tampak sekawanan orang berwajah seram telah menunggu dengan sikap tak bersahabat. Dalam hati Nini Anting menghitung. Ternyata jumlah mereka tak kurang dari dua puluh orang.

Hi hi hi...! Kukira ternpat ini penghuninya perampok-perampok berwajah garang. Eh, tidak tahunya hanya kecoa-kecoa bermuka kunyuk!" ejek Nini Anting sambil terkekeh.

Mendengar kata-kata itu, tentu saja kemarahan orang-orang itu bangkit. Salah seorang yang bertubuh kurus dan berwajah lonjong, langsung melangkah mendekatinya dengan sinar mata kebencian.

"Perempuan tua busuk! Berani benar kau berkata begitu! Apa kau sadar dengan tubuhmu yang peyot itu?!" balas laki-laki itu.

"Biar peyot, tapi masih mampu memberi pelajaran pada tikus-tikus comberan macam kalian!" sahut Nini Anting.

"Keparat! Kau pikir setelah lolos dari perangkap-perangkap itu, sudah merasa hebat, heh?!" geram orang itu dengan geraham bergemeletukkan.

"Hei?! Kenapa kau marah-marah sendiri, Bocah? Apa kau pikir perangkap-perangkap itu hebat? Hm.... Kalau perangkap itu saja tak kupandang sebelah mata, apalagi kalian!" sahut Nini Anting, jumawa.

"Setan! Kau memang harus merasakan sabetan tongkatku!" dengus orang itu tak mampu mengendalikan amarahnya. Maka dengan gesit, dia melompat menyerang Nini Anting sambil mengayunkan tongkat bajanya.

"Yeaaa...! Mampuslah kau!"

LIMA

  Bet! Bet!
"Uts...!"

Beberapa sabetan tongkat yang runcing me­nyambar batok kepala Nini Anting. Namun perem­puan tua itu cepat mundur ke belakang sambil terkekeh-kekeh. Melihat hal itu laki-laki bertubuh kurus itu menyambarkan tongkatnya ke perut Nini Anting dari bawah ke atas. Namun, wanita tua pesolek itu cepat mendoyongkan tubuh ke samping. Sehingga, tongkat itu hanya menyambar angin belaka. Dan cepat bagai kilat, Nini Anting melesat sambil melepaskan tendangan menggeledek. Untung saja laki-laki kurus itu cepat mengelak. Dan sungguh tak diduga! Belum juga laki-laki kurus itu berbalik, Nini Anting sudah menjejakkan kakinya di tanah. Lalu dengan cepat sekali, perempuan tua itu kembali melesat kembali ke arah laki-laki kurus itu.

Sring!

Dengan gerakan laksana kilat, Nini Anting, mencabut sebilah pedangnya. Dan seketika di sambarnya perut laki-laki kurus itu tanpa dapat dihindari lagi.

Brettt!
"Aaa...!"

Pedang di tangan Nini Anting yang disertai pengerahan tenaga dalam, langsung membabat perut laki-laki kurus itu hingga robek lebar disertai darah yang mengucur deras. Laki-laki itu kontan terhuyung-huyung, dan ambruk di tanah.

"Astaga! Wanujaya, tewas?!" seru seorang ka­wannya sambil memburu orang yang memang su­dah tak bernyawa itu.

"Pedang wanita tua itu mengandung racun mematikan!" desis yang lain ketika melihat sekujur kulit orang yang dipanggil Wanujaya itu telah merah ba­gai bara.

"Wanita keparat! Kau pikir bisa berbuat seenaknya di sini?! Huh! Kau akan mampus sesaat la­gi!" geram salah seorang.

Seketika laki-laki bertubuh pendek itu menca­but senjatanya yang berupa arit besar. Langsung kawan-kawannya yang lain diberi isyarat untuk ikut mengeroyok.

"Hi hi hi...! Kenapa banyak mulut segala? Ayo, majulah semua kalau mau kukirim ke akherat!" bentak Nini Anting sambil tertawa cekikikan.

"Jahanam! Mampuslah kau, yeaaa!"

Mereka serentak maju berbarengan sambil menghunus senjata masing-masing. Namun, Nini Anting masih terkekeh, tanpa memandang sebelah mata pun. Dan kesombongannya itu ternyata ingin dibuktikannya langsung. Maka ketika ujung-ujung senjata lawan hendak membabat tubuhnya, Nini Anting cepat melopat ke atas disertai kelebatan pedangnya.

Trang! Trang! Trang...!

Beberapa buah golok dan pedang kontan berpentalan begitu beradu dengan pedang Nini Anting. Dan sebelum ada yang menyadari ujung pedang di tangannya tak tanggung-tanggung menyambar ke arah leher dan dada beberapa orang. Begitu cepat gerakannya sehingga tak seorang pun yang dapat menduga.

"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
"Aaakh...!"

Tiga jeritan setinggi langit, terdengar saling susul. Seketika tiga sosok tubuh ambruk ke tanah bermandikan darah. Dan sesaat kemudian, tubuh mereka berubah memerah bagai bara akibat racun yang berada di batang pedang Nini Anting.

"Hik hik hik...! Orang-orang tolol! Kalian kira bisa berbuat seenaknya padaku. Terimalah kematian kalian!" dengus Nini Anting, begitu kakinya mendarat di tanah. Dan sebelum orang-orang itu menyerangnya, tubuhnya cepat melompat menyerang.

Melihat perempuan tua itu bergerak mendahului mereka, kawanan laki-laki bertampang kasar itu bukannya merasa gemetar. Bahkan dengan amarah yang meluap-luap mereka menyambut se­rangan itu dengan geram. Beberapa buah senjata kembali memapak senjata Nini Anting.

Trang! Trang!

Dan belum juga bunyi benturan senjata itu lenyap, beberapa buah senjata rahasia langsung melesat menyerang perempuan tua itu. Namun ke­tika Nini Anting memutar pedang dengan tangkas, senjata-senjata rahasia lawan langsung rontok tak berbentuk. Dan pedangnya terus berputar kembali merontokkan senjata-senjata lawan. Lalu dengan gerakan mengagumkan, Nini Anting melenting ke udara. Dan secara tiba-tiba saja, tubuhnya menukik seraya membabatkan pedangnya ke arah beberapa orang yang masih terkesiap.

Cras! Cras!

Kembali terdengar pekik kematian yang disusul ambruknya beberapa sosok tubuh berlumuran da­rah. Dan mereka langsung mati, dengan tubuh merah bagai bara!

"Hik hik hik...! Ayo, ke sini! Mari kuantar kalian ke akherat! Kenapa? Apa kalian mulai takut?! Hi hi hi...! Ayo, tunjukkanlah kegarangan kalian tadi!" ejek Nini Anting setelah mendarat kembali di tanah. Dan dia melihat beberapa pengeroyok yang masih selamat mulai ragu.

Memang tak mengherankan. Masalahnya, hanya sekali gebrakan saja, pedang perempuan tua itu telah meminta banyak korban. Bahkan setengah jumlah mereka kini telah tewas!

Tapi di pihak lain, Nini Anting sama sekali tak berniat menghentikan sepak terjangnya. Malah, dia berniat mempermainkan mereka, untuk kemudian menjadi tumbal pedangnya. Dan seketika tubuhnya melesat menyambar mangsa.

"Kalau demikian, lebih baik kalian mampus saja! Yeaaa...!"

Pedang Nini Anting berkelebat begitu cepat, mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan. Dan dua orang yang berada di dekatnya mencoba menangkis, sementara seorang lagi mengayunkan goloknya ke arah punggung.

Trang! Trang!

Begitu pedangnya tertangkis, Nini Anting sege­ra memapak serangan yang terarah ke punggungnya, setelah dengan cepat sedikit menyorongkan dan mendoyongkan tubuhnya.

Trang!

Tiga senjata para pengeroyoknya berturut-turut terlepas dari tangan, begitu berbenturan dengan pe­dang Nini Anting. Dan kaki kanannya berputar menghantam rahang laki-laki di belakang, sebelum ada yang sempat menyadari. Dan dengan gerakan dahsyat, ujung pedangnya kembali berbalik menyambar leher dua orang di depannya.

Diiringi pekikan menyayat, dua orang langsung tewas dengan leher nyaris putus. Sementara yang seorang lagi menggelepar-gelepar meregang nyawa akibat tendangan yang luar biasa kerasnya. Dan baru saja Nini Anting akan kembali me­nyerang lawan-lawannya yang tersisa, mendadak...

"Nini Anting, sudahlah! Hentikan permainanmu dengan coro-coro itu...!"

"Heh?!"

Wanita tua itu segera menoleh, tanpa mempedulikan sisa lawannya yang langsung lari terbirit-birit begitu mendapat kesempatan. Tampak tiga orang laki-laki berwajah seram tengah melangkah mendekati, bersama seorang laki-laki tua berpakaian putih. Kekek itu memegang kipas yang terkembang. Dan di pinggangnya tampak terselip sebuah suling emas. Begitu mengenali, Nini Anting segera melangkah mendekati mereka.

"Hik hik hik...! Tiga Setan Bukit Tunjang dan si Tua Bangkotan Sanjaya. Hei?! Apa kabar kalian semua?!" sambut Nini Anting terkekeh gembira.

"Kami baik-baik saja, Bibi Guru...," sahut ketiga orang yang tak lain Tiga Setan Bukit Tunjang sambil menjura hormat.

"Dan kau, tua bangka bau tanah?!" ledek Nini Anting pada laki-laki tua yang memang Ki Sanjaya.

"Seperti yang kau lihat, Nenek Genit! Aku ba­ik-baik saja dan tak kurang sesuatu apa pun," sahut Ki Sanjaya sambil mengipas-ngipas wajahnya.

"Hm.... Bagaimana mungkin. Kudengar dadamu luka. Coba kulihat!" lanjut Nini Anting sambil cepat mengayunkan pedangnya. Ki Sanjaya tak kurang lincah. Tubuhnya segera bergeser ke kiri, seraya mengayunkan kipasnya ke arah senjata itu.

Trak!

Dua benturan senjata langsung terjadi. Dan rupanya, Ki Sanjaya melanjutkan dengan sebuah serangan ke leher.

Wukkk...!

"Uts!"

Untung saja Nini Anting cepat melenting ke belakang, untuk menghindarinya. Sehingga, serangan itu hanya menyambar angin saja.

"Kau lihat, Nenek Genit? Aku tak apa-apa, bukan?!" kata Sanjaya tenang, setelah serangannya tidak dilanjutkan. Ditatapnya perempuan tua itu dengan sinar mata meledek.

"Hm... Aku masih kurang percaya. Yang terlihat di depan mata kadang suka menipu. Barangkali kau terluka dalam. Mari kuperiksa!" gumam Nini Anting.

Kembali perempuan tua itu mengayunkan ce­pat pedangnya bergulung-gulung, sehingga menimbulkan angin kencang bercampur hawa racun dari batang pedangnya.

Sementara tidak jauh dari kancah pertarungan, Tiga Setan Bukit Tunjang hanya bisa mengamati pertarungan kedua tokoh kosen itu. Sedikit demi sedikit mereka bergerak menjauh, takut-takut kalau ada serangan nyasar.

"Edan! Bukannya berbaikan, malah berta­rung...!" umpat Sugriwa kesal.

"Kau seperti tak tahu adat mereka kalau bertemu," sahut Durganda mengingatkan. Wajahnya pun terlihat tak senang.

"Iya... Tapi, gurauan mereka berbau maut dan menyusahkan saja!" sambung Peging Salira bersungut-sungut.

Apa yang dikatakan Tiga Setan Bukit Tunjang memang tak salah. Tapi apakah mereka sedang bergurau saat ini? Tak seorang pun yang tahu. Ke­dua tokoh itu memiliki kepandaian tinggi, tapi juga mempunyai kelakuan aneh. Mereka bertarung seperti layaknya dua musuh bebuyutan yang tengah melampiaskan dendam.

"Yeaaa...!"

Tiba-tiba saja kedua orang yang bertarung itu kembali melompat ke belakang dengan arah berlawanan. Dan suasana menjadi hening beberapa saat, begitu kaki mereka menjejak tanah. Kipas di tangan Ki Sanjaya menutup, sedangkan pedang di tangan Nini Anting telah kembali terselip di pinggang.

"Hik hik hik...! Kepandaianmu masih tetap menakjubkan, Sanjaya!" puji Nini Anting sambil berbalik tubuh dan melangkah mendekati laki-laki tua itu.

"Kau pun hebat. Anting! Apakah segalanya sudah dipersiapkan untuk menghadapi si keparat Pendekar Rajawali Sakti itu?" tanya Ki Sanjaya seraya mendekati wanita tua itu.

"Huh! Setelah apa yang dilakukannya terhadap dua rekan kita, dia patut mampus di tanganku!" geram Nini Anting dengan wajah kelam.

"Kita patut berhati-hati, Anting...," desak Ki Sanjaya.

"Kenapa?! Apakah kau takut menghadapinya seorang diri?!" sentak perempuan tua itu garang.

"Anting! Kepandaian pemuda itu sangat tinggi. Kita tak bisa menghadapinya seorang diri!" Ki Sanjaya mencoba menjelaskan.

Nini Anting tak menyahut. Malah wajahnya dipalingkan disertai dengusan dendam.

"Cobalah ingat! Si Burisrawa dan Balung Geni tewas di tangannya dengan mudah. Pada hal, kepandain keduanya tak terpaut jauh dengan kita!" urai Ki Sanjaya, kembali mengingatkan Nini Anting.

"Huh! Kalau bertemu, akan kucincang-cincang tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan, dagingnya kuberikan pada anjing-anjing kurap!" geram Nini Anting dengan mata berkilat tajam dan mulut menyeringai lebar.

"Untuk itulah kita berkumpul di sini dan mem­buat rencana untuk menghancurkannya!" sambung Ki Sanjaya.

"Tapi aku sudah tak sabar, Sanjaya! Rasanya tanganku sudah gatal ingin memecahkan batok kepalanya!" dengus perempuan tua itu.

"Tak bisakah kau bersabar sesaat lagi saja? Kau lihat di sekelilingmu? Bila si keparat itu datang kesini, maka tamatlah riwayatnya!"

"Ya! Tapi, bagaimana caranya dia datang ke sini? Dan lagi, dia ada di mana sekarang?" keluh Nini Anting.

"Nah! Itulah yang akan kita bahas. Yakinlah, semuanya pasti akan beres. Dan dendam kita pasti terbalas. Ayo, kau harus kuajak ke markas murid-murid keponakanku yang tak jauh lagi dari sini. Kita akan menunggu seorang lagi, yaitu Ki Sanca Manuk. Mudah-mudahan dia tak tersesat untuk tiba di sini!" ujar Ki Sanjaya untuk bersama-sama ketem­pat kediaman Tiga Setan Bukit Tunjang.

********************

Tiga Setan Bukit Tunjang serta kedua orang tua itu duduk bersila di ruangan besar yang berada dalam bangunan mewah itu. Di atas meja mereka, telah tersedia hidangan lezat beraneka ragam, serta arak yang harum baunya.

"Hm. Apa kau pikir rencanamu itu berhasil, Sanjaya?" tanya Nini Anting.

"Kenapa? Apa kau ragu?"

"Itu siasat pengecut!" dengus Nini Anting, tak senang.

Ki Sanjaya hanya terkekeh pelan. "Nini Anting! Kuhargai kejujuranmu dalam bertarung. Tapi kau pun harus ingat, kita bukanlah orang baik-baik. Musuh harus dikalahkan dengan segala cara!" kilah Ki Sanjaya.

"Tapi tidak dengan cara yang sama sekali akan merendahkan derajat kita! Apa kau pikir aku sebangsa cecurut yang mesti mengajak ratusan ekor kecoa, untuk mengerubuti seekor kadal busuk tak berguna?" sindir Nini Anting.

"Nini Anting! Kau belum tahu kehebatan Pendekar Rajawali Sakti...." Ki Sanjaya terus membujuk.

"Jangan sebut-sebut nama keparat itu di hadapanku!" sentak Nini Anting memotong pembicaraan Ki Sanjaya.

"Kau belum tahu kehebatannya. Tapi, aku te­lah melihatnya sendiri!" lanjut Ki Sanjaya.

"Hm.... Kau katakan telah melihat kehebatan­nya. Lalu, apa kerjamu saat itu? Menonton si kepa­rat itu membinasakan kedua kawan baikmu?!" dengus Nini Anting kesal.

"Tentu saja tidak. Waktu itu, Burisrawa dan Balung Geni belum tewas di tangannya. Kusaksikan, dia membinasakan seorang tokoh kosen dari utara. Dan aku sendiri belum tentu yakin bisa mengalahkan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkannya," jelas Ki Sanjaya.

"Lalu setelah kematian Burisrawa dan Balung Geni, kau terbirit-birit memberi kabar pada kami untuk berkumpul di sini?"

"Nini Anting! Jangan memojokkanku begitu rupa. Kalian kuundang ke sini, untuk merencanakan sematang mungkin agar dendam kita terbalaskan,” desah laki-laki tua itu.

"Benar, Nini. Kami pun bukan semata-mata ingin membantu. Tapi, sebagian besar anak buahku juga punya dendam kesumat pada Pendekar Rajawali Sakti...." ujar Durgana.

"Diam kau. Bocah! Sudah kukatakan, jangan sebut-sebut nama keparat itu di hadapanku. Lagi pula, apa urusannya dengan kalian? Kalau ingin balas dendam, itu urusan kalian. Tapi, keparat Pen­dekar Rajawali Sakti itu pun sedang berurusan denganku!" sentak Nini Anting galak.

"Nini! Kau kelihatannya sewot sekali, dan tak mau berpikir tenang. Aku tahu betul watakmu..," kata Ki Sanjaya sambil tersenyum kecil.

"Apa maksudmu, Kakek Peot?!"

"Meski kelakuanmu terkadang aneh, kau bisa diajak bersungguh-sungguh dan berpikir tenang. Tapi dalam persoalan ini, kelihatan sekali kemarahanmu. Apakah karena pemuda itu telah mem­binasakan kekasihmu?" pancing Ki Sanjaya.

"Dasar tua bangka bau tanah! Bicaramu semakin ngawur saja…!" dengus Nini Anting.

"He he he… ! Kenapa musti pura-pura kalau kau amat mencintai si Balung Geni... "

"Tutup mulutmu, Sanjaya! Atau lebih baik kurobek biar tak bisa berkoar lagi?!"

Nyaris keributan kecil itu akan semakin memuncak. Untung saja tiba-tiba seorang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan berukuran besar ini.

"Ampun, Tuan. Tadi ada kekacauan di sebelah sana...! Kami sudah berusaha menahan sekuat mungkin. Namun, dia berilmu tinggi dan bukan tandingan kami...!" lapor orang yang baru masuk itu.

"Siapa orang itu?" tanya Durganda.

"Dia tak menyebutkan namanya...

"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Ki Sanjaya.

"Dia membawa tongkat berhulu seperti kepala ular. Mulutnya monyong seperti buaya. Bahkan dia ditemani ular-ular berbisa yang menyerang kawan kawan yang lain," jelas orang itu.

"Hi hi hi...! Panjang umurnya si Sanca Manuk. Baru saja akan dibicarakan dia sudah nongol. Hei, Nini.... Mari kita sambut dia!" ajak Ki Sanjaya sambil bangkit.

Dengan malas-malasan Nini Anting mengikuti langkah Ki Sanjaya. Demikian juga Tiga Setan Bukit Tunjang. Malah, merekalah yang lebih dulu beranjak karena mengkhawatirkan anak buahnya. Mereka semua terus keluar dari rumah besar lagi mewah di puncak Bukit Tunjang ini. Beberapa orang yang menjaga rumah ini segera membungkukkan tubuhnya begitu para tokoh hitam dunia persilatan itu lewat. Tiga Setan Bukit Tunjang, Nini Anting dan Ki Sanjaya terus menyusuri jalan setapak, untuk me­nuju suatu tempat di lereng bukit. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh, mereka terus berlompatan.

Begitu tiba di tempat yang agak luas, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun tengah terkekeh menyaksikan keadian di depannya. Kakek itu tak ditumbuhi rambut secuil pun pa­da bagian ubun-ubunnya. Namun pada bagian be­lakang, rambutnya justru panjang sampai ke punggung dan telah memutih semuanya. Orang tua itu mengenakan baju agak kedodoran, berwarna gelap. Tangannya tampak memegang tongkat aneh yang pada ujung atasnya berbentuk kepala ular.

Kekek yang memang bernama Sanca Manuk itu berdiri tegak, sementara di bawahnya menjalar ratusan ekor ular besar dan kecil. Sementara tak jauh di depannya, terlihat beberapa orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang menjerit-jerit kesa­kitan sambil berguling-gulingan dibelit dan dipatuk ular-ular yang mengandung bisa dahsyat. Beberapa orang tampak telah menjadi mayat dengan tubuh kaku dan warna kulit hitam kebiru-biruan.

"Ha ha ha...! Ayo, Anak-anak! Mari kita berpesta sepuas-puasnya hari ini. Ayo, serang mereka! Serang mereka...!" teriak Ki Sanca Manuk sambil mengeluarkan suara mendesis.

Desisan itu bagaikan perintah saja. Puluhan ekor ular lainnya terus merayap. Bahkan sebagian melompat menerkam beberapa orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang yang berada di dekatnya. Dan tiba....

"Tut..., tulat... tuliiit...   tit... tit...!"

Mendadak terdengar irama suling yang berirama dan mendayu-dayu.

"Heh?!"

ENAM

"Dasar kunyuk Sanjaya! Kau pikir punya kemampuan melawanku!" desis Ki Sanca Manuk geram.

Betapa tidak? Akibat irama seruling yang dimainkan Ki Sanjaya, ratusan ekor ular itu kelihatan bingung. Dan perlahan lahan binatang-binatang melata itu melepaskan mangsanya. Lalu dengan perlahan-lahan pula, mereka bergerak menuju tuannya sambil mendesis-desis garang.

Sementara Ki Sanca Manuk segera mengangkat tongkatnya dan menempelkannya di bibir seperti orang meniup suling. Dan benar saja! Kini ter­dengar irama yang mengalun dan tongkatnya, yang mulai menindih irama suling Ki Sanjaya. Bahkan dari mulut tongkat itu pun mengepul asap hitam tipis yang menerpa ular-ular di dekatnya.

"Zzzsss...!"

Mendadak saja ratusan ekor ular itu kini berbalik arah dan terlihat semakin galak. Lidah mereka menjulur berkali-kali dengan sorot mata memancar tajam berkilat. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ular-ular itu kini menyerang Ki Sanjaya, Nini Anting, serta Tiga Setan Bukit Tunjang. Karuan saja kelima orang itu tersentak. Dan tentu saja mereka segera bertindak.

"Cacing-cacing keparat! Kau pikir bisa mencelakakanku, heh?!" geram Nini Anting sambil mencabut sepasang pedangnya.

"Hiiih!"
Tes! Tes!

Sekali pedangnya berkelebat, maka beberapa ekor ular langsung terputus tubuhnya. Begitu juga halnya Ki Sanjaya. Kipasnya yang sudah terkembang, seketika menyambar ular-ular yang menyerang tubuhnya. Beberapa ekor ular langsung hancur dikepruk sulingnya. Sementara yang lain tercabik-cabik ujung kipasnya yang tajam. Sedangkan Tiga Setan Bukit Tunjang pun tak kalah ganasnya. Mere­ka serentak bergerak menghajar ular-ular itu dengan gemas. Sehingga dalam waktu singkat saja, terlihat puluhan ekor ular telah tergeletak menjadi bangkai.

"Ha ha ha...! Ayo! Panggillah semua ularmu, Sanca Kunyuk. Biar kami lahap semuanya!" ejek Ki Sanjaya sambil terkekeh-kekeh.

"Huh, sial! Sudah! Sudah...! Lama-lama bisa habis anak buahku!" sentak Ki Sanca Manuk kesal.

Sebentar kemudian, lelaki tua yang ubun-ubunnya botak itu meniupkan satu irama dari tongkat­nya. Sehingga ular-ular yang menjadi anak buahnya kembali berkumpul di dekatnya seperti tadi.

"Nah, Kunyuk Sanjaya. Ada apa kau mengundangku ke bukit ini?" tanya Ki Sanca Manuk tanpa basa-basi lagi.

"Sobatku, Ki Sanca Manuk. Apakah kau tak ingin membicarakannya di kediaman murid-murid keponakanku. Di sana, kau bisa sekalian beristirahat.

"Tidak usah banyak peradatan segala. Katakan saja, apa urusannya kau mengundangku ke sini?!"

"Masih ingatkah kau akan kematian kedua kawan kita si Burisrawa dan Balung Geni?"

"Hm.... Memangnya kenapa?" gumam Ki San­ca Manuk.

"Apakah kau hanya akan berpangku tangan saja melihat kematian mereka yang sia-sia?"

"Tentu saja tidak! Aku memang tengah mencari pembunuh keparat itu. Kalau saja kau tak mengganggu dengan mengundangku kemari, tentu aku telah berhasil menemuinya. Dan saat ini, bocah itu tentu lehernya telah kupatahkan!"

"Apa kau tahu siapa yang membunuh mere­ka?"

"Hm.... Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Rajawali Sakti. Huh! Bocah sial itu belum merasakan tongkatku. Dia akan mampus di tanganku!" desis Ki Sanca Manuk geram.

"Nah! Bersabarlah sejenak, Sobat. Kuundang kalian berdua ke sini untuk membicarakan hal itu...."

"Membicarakan katamu, heh?!" potong Ki Sanca Manuk sambil melotot.

"Ki Sanca Manuk! Kita tak bisa berbuat gegabah terhadap bocah itu. Kepandaiannya hebat luar biasa. Bisa jadi, salah seorang dari kita mampu mengimbanginya. Tapi untuk meyakinkan kematiannya, maka kita harus mencari akal. Nah, tadi kami telah merembuk soal itu. Dan barangkali, kau mau mendengarnya," bujuk Ki Sanjaya.

"He! Jangan kau katakan aku setuju, Tua Bangka Peot!" sentak Nini Anting merasa belum puas.

"Nini Anting, kita bicarakan hal itu nanti..., bujuk Ki sanjaya.

"Heh! Kenapa rupanya nenek bau tanah itu?!" tanya Ki Sanca Manuk, keras.

"Sanca kunyuk! Jangan sembarangan membuka bacot! Kau pikir tubuhmu tidak bau tanah, heh?! Kalau mau, biar sekalian kumasukkan ke dalam ta­nah!" sentak Nini Anting galak.

"He he he...! Hebat, sungguh hebat! Puluhan tahun telah berlalu, tapi kelakuan nenek peot ini tak berubah. Hei, Sanjaya! Untunglah dulu dia tak mau padamu. Kalau kalian jadi suami-istri, pasti akan gawat keadaanmu...!" teriak Ki Sanca Manuk.

"Tua bangka kurang ajar! Jangan sembarangan bicara!"

Nini Anting akan melompat menyerang Ki Sanca Manuk. Namun pada saat itu Ki Sanjaya bu­ru-buru mencekal tangannya.

"Sudahlah, sudah...! Kita tak akan pernah selesai kalau ribut terus. Lebih baik mari kita menuju kediaman Tiga Setan Bukit Tunjang!" cegah Ki Sanjaya.

"Oaaah. Kebetulan perutku memang sedang lapar! Heh, Sanjaya! Ada makanan apa saja di Sa­na?!"

"Yang jelas, kau tak akan kelaparan," sahut Ki Sanjaya tenang.

Ki Sanca Manuk terkekeh-kekeh mendengar jawaban itu. Dia melirik ke arah Nini Anting, namun wanita tua itu melotot garang sambil menyeringai geram.

********************

Pagi masih terselimut kegelapan. Namun di kejauhan sudah terdengar kokok ayam jantan saling bersahutan. Dan di pagi yang bersih dingin menusuk tulang, Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang segera berpamitan pada suami-istri Bharata dan Melani. Mereka membekali makanan secukupnya pada Rangga dan Paman Lanang. Padahal Rangga telah berkali-kali menolak, namun terus dipaksa.

"Rangga... Aku tahu kalian memang mempunyai uang yang cukup banyak. Tapi, terimalah ini sebagai tanda persahabatan kami. Karena tak ada barang berharga yang bisa kami berikan pada kalian berdua.. ," ujar Bharata.

Dan akhirnya Rangga memang tak kuasa menolak pemberian mereka. "Ki Bharata, terima kasih...."

Laki-laki itu menganggukkan kepala sambil memeluk pinggang istrinya di depan pintu pondoknya.

"Rangga…”

Pemuda berbaju rompi putih itu melirik ke arah istri Bharata. "Ada apa, Ni...?"

"Rangga, bukankah kau mengatakan kalau kalian tinggal di kotaraja?" tanya wanita itu.

"Benar."
"Dan kau mengatakan pernah ke istana kerajaan?"
"Ya...."
"Pernah bertemu Gusti Prabu?"
"Pernah..."

"Kau katakan kalau Gusti Prabu ramah, dan sudi bertemu rakyat jelata seperti kami?"

"Tentu saja. Beliau akan senang sekali jika rakyatnya mau bertemu dengannya!" sahut Rangga cepat.

"Menurutmu, apakah jika kami pergi ke kota­raja dan ingin bertemu, beliau akan mengizinkannya?"

"Ni, aku yakin sekali beliau pasti akan suka menerima kedatangan kalian," tegas Rangga.

"Terima kasih...."

"Hm... Kalau demikian, kami mohon pamit dulu," lanjut Rangga sambil memberi salam hormat.

"Selamat jalan, Rangga, Paman Lanang. Mudah-mudahan kalian selamat..!" sahut suami-istri itu. Mereka kemudian melambaikan tangan ketika kedua tamunya mulai beranjak pergi meninggalkan halaman rumah.

Sementara, Rangga dan Paman Lanang kem­bali melanjutkan perjalanan menuju arah selatan. Sepanjang perjalanan, mereka membicarakan sua­mi-istri itu. Terutama sekali, Paman Lanang yang kini jadi banyak cerita.

"Gusti Prabu, bagaimana jika wanita itu benar-benar datang ke istana dan melihat kenyataan kalau sebenarnya Gusti Prabu-lah orang yang pernah ditemuinya?"

"Memangnya kenapa?" sahut Rangga balik bertanya.

"Seorang raja yang berdusta pada rakyatnya pasti tidak bisa jadi panutan yang baik...," sahut Paman Lanang.

"Apakah paman menganggapku telah ber­dusta padanya?"

"Apakah yang Gusti Prabu katakan padanya bukan suatu dusta?" sahut Paman Lanang dengan wajah terbodoh.

"Ada hal yang membuat penilaian orang secara umum benar. Tapi jika diteliti secara seksama, ternyata tidak. Kenapa? Apakah Paman bisa menjelaskannya?" tanya Rangga.

"Ampun, Gusti Prabu! Mana mungkin hamba yang bodoh ini mengetahuinya...," sahut Paman Lanang hormat dan meredah.

"Paman Lanang, bukankah seorang raja itu secara resmi berada dalam istana kerajaan? Dan urusan yang dilakukannya pastilah berkenan dengan tugas-tugas negara...."

"Benar. Gusti Prabu!"

"Lalu, apakah Paman menganggap kalau perjalanan kita dalam menemui tabib itu adalah tugas negara?"

"Tentu saja tidak, Gusti Prabu!"

"Syukurlah. Kini Paman telah mengerti...." sahut Rangga tenang.

"Tapi hamba masih bingung. Gusti Prabu...." sahut Paman Lanang dengan wajah bingung.

"Artinya, jika tugas negara yang kulakukan, maka aku Raja Karang Setra. Tapi jika tugas pribadi, maka aku adalah Rangga," jelas pemuda itu singkat.

Ki Lanang mengangguk-anggukkan kepala mendengar jawaban yang dikemukan Rangga. Namun mendadak saja keduanya menghentikan laju kuda-kudanya, ketika beberapa sosok tu­buh melesat turun dari cabang-cabang pohon di depan.

"Pendekar Rajawali Sakti, berhenti kau...!

"Hm...," gumam Rangga dan Paman Lanang perlahan. Dan mereka menunggu tindakan orang-orang itu selanjutnya, sambil memandang seksama.

Mereka rata-rata memiliki wajah seram dan bersenjatakan golok tajam mengkilat. Melihat dari sikapnya, jelas orang-orang itu tidak bersahabat. Rangga menghitung dalam hati. Dan jumlah mere­ka ternyata sekitar lima belas orang. Salah seorang yang bertubuh besar dan berikat kepala merah maju tiga langkah sambil menunjuk pemuda berbaju rompi putih itu.

"Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sak­ti?!" tanya laki-laki berikat kepala merah itu.

"Hm... Begitulah orang-orang menyebutku. Sebaliknya, siapakah kalian? Dan apa yang kalian kehendaki dari kami?" sahut Rangga tenang.

"Bagus! Kami anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang membawa pesan dari ketua kami. Beliau mengundangmu ke sana secepatnya!" ujar orang itu, jumawa.

"Ada urusan apa, sehingga Tiga Setan Bukit Tunjang mengundangku ke tempatnya? Seingatku, aku tidak mempunyai kawan yang bernama Tiga Setan Bukit Tunjang. Lagi pula, nama itu amat asing bagiku!" kata Rangga, tenang.

"Sudahlah. jangan banyak bicara ikut sajalah dengan kami!" sentak orang itu.

"Hm... Kalau demikian, katakan pada ketuamu aku tak bisa memenuhi undangannya," sahut Rangga enteng.

"Jangan gegabah, Kisanak. Kau harus datang ke sana!" sahut orang itu tegas.

"Hm.... Apakah ketuamu bisa memerintahku seenaknya?" sahut Rangga mulai tak senang.

"Bisa atau tidak, kau harus datang ke sana!" sahut orang itu lagi menegaskan.

"Bagaimana kalau aku tidak datang...?!" tanya Rangga memancing.

"Kau akan menyesal!"
"Kenapa mesti menyesal?"

"Karena kedua kawanmu akan mati percuma akibat penolakanmu itu!"

"Heh! Apa maksudmu!" sahut Rangga kaget.

"Kenalkan kau pada Bharata dan Melani?"

"Hm.... Apa yang terjadi dengan mereka?!" bentak Rangga garang.

"Kau kenal baju ini, bukan? Ini milik Bharata. Mereka sekarang dalam perjalanan ke Bukit Tun­jang!"

"Apa maksudmu?!"

"Dari semalam kami mengikuti kalian. Dan ketika kalian berdua telah pergi dari rumahnya, kami menangkap suami-istri itu. Dan beberapa orang kawan kami sekarang tengah membawanya ke Bukit Tunjang....."

"Keparat licik!" geram Rangga kesal.

"He he he...! Kau tak perlu memaki, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka akan baik-baik saja selama kau berjanji akan memenuhi undangan Tiga Setan Bukit Tunjang," sahut orang itu sambil terkekeh ke­cil.

"Apa maksud Tiga Setan Bukit Tunjang mengundangku ke sana?"

"Jika kau tak memenuhi undangannya, bukan hanya suami-istri itu saja yang binasa. Tapi, seluruh penduduk desa yang berada di kaki bukit itu akan dibumihanguskan. Dan seluruh orang tak berdosa akan kami bantai. Begitu pesan Tiga Bukit Tun­jang," lanjut orang itu.

"Setaaan...," Paman Lanang memaki dan lang­sung melompat turun dari kudanya.

"Paman tidak perlu...!" larang Rangga.

"Tapi mereka keterlaluan! Orang-orang ini ha­rus diberi pelajaran agar mereka tak bisa berbuat sesuka hati...!" geram Paman Lanang.

"Tenanglah. Biarkan mereka menyelesaikan bicaranya...," sahut Rangga berusaha bersikap setenang mungkin.

"He he he...! Ternyata kau lebih bijaksana, Pendekar Rajawali Sakti. Nah! Tiga Setan Bukit Tunjang memberi waktu padamu, paling lambat esok hari menjelang sore. Jika kau tak datang, maka nasib suami-istri itu akan mati sia-sia. Lalu, berikutnya penduduk desa di kaki bukit itu akan menyusul! Selamat tinggal...!" kata orang itu sambil mengajak anak buahnya untuk berlalu dari tempat itu.

Ki Lanang akan mengejar dan melabrak me­reka karena amarah yang tak tertahan. Namun...

"Tidak perlu, Paman Lanang...," cegah Rangga kembali.

"Kenapa kita harus membiarkan mereka seenaknya mengatur kita...? Apa Gusti Prabu tak merasa terhina melihat sikap mereka itu?!"

"Paman! Hal itu sudah biasa dalam dunia persilatan. Dan, ingat! Saat itu aku hanya orang biasa, bukan Raja Karang Setra."

Paman Lanang terdiam beberapa saat lamanya mendengar kata-kata junjungannya. Perlahan-lahan dia kembali menaiki punggung kudanya. Sesaat kemudian, dipandangnya pemuda itu dengan wajah khawatir.

"Apakah Gusti Prabu akan memenuhi undangan mereka...?"

Rangga mengangguk pelan.

"Gusti Prabu, hamba merasakan kalau ada sesuatu yang mereka rencanakan terhadap Gusti Prabu. Yaitu, semacam jebakan. Sebaiknya Gusti Prabu tak perlu datang ke Sana!" jelas Paman La­nang mengemukakan kekhawatirannya.

"Aku tahu, Paman Lanang. Tapi aku harus ke sana, untuk membebasakan suami-istri dan penduduk desa di kaki Bukit Tunjang yang berada dalam ancaman mereka" sahut Rangga.

"Tapi, Gusti..."

"Tidak ada hal yang harus dikhawatirkan. Paman," potong Rangga cepat.

"Mereka orang-orang yang licik, Gusti Prabu."

Rangga kembali tersenyum. "Mari kita ke sana. Lebih cepat kita sampai, akan lebih baik...," desah Rangga tanpa mempedulikan kecemasan Paman Lanang.

"Bagaimana dengan tujuan kita untuk menemui tabib itu. Gusti...?" kata Paman Lanang, mencoba menggugah niat Rangga.

"Aku harus mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi, Paman..." tekad Rangga tenang.

"Tapi, apakah Gusti Prabu tak mencemaskan Gusti Ayu Pandan Wangi?"

"Tentu saja aku mencemaskan. Tapi seperti yang Paman katakan, bukankah keadaan Pandan Wangi tak begitu membahayakan? Nah, sebaiknya kita tak boleh membuang-buang waktu"

Ki Lanang tak mampu berkata apa-apa lagi. Perlahan-lahan, diikutinya Rangga yang sudah menjalankan kudanya. Laki-laki setengah baya itu mengikuti dari belakang dengan hati cemas dan was-was.

********************

TUJUH

  Bukit Tunjung memang tempat yang mengerikan. Kalaupun ada desa-desa yang berada di bawah kaki bukit itu, tapi para penduduknya tak ada yang berani menuju ke puncaknya Bukit Tunjang sendiri, sebenarnya termasuk daerah tak bertuan. Letaknya, diapit oleh Kerajaan Karang Setra de­ngan kerajaan tetangganya. Dan setelah hampir seharian Pendekar Rajawali Sakti dan Paman La­nang menunggang kuda, barulah dari kejauhan terlihat Bukit Tunjang yang gagah perkasa berdiri tegak dengan angkuhnya!

"Paman, di depan sanalah Bukit Tunjang...," kata Rangga pelan sambil memandang bukit yang jauh di depan sana.

"Gusti Prabu, masih ada kesempatan untuk mengurungkan niat ke sana...," ujar Ki Lanang pelan seperti mengingatkan pemuda itu.

"Paman, keputusanku telah bulat..."

"Tapi menurut orang-orang yang kita temui di sepanjang perjalanan, tempat itu adalah sarang para perampok dan bajingan-bajingan. Jumlah mereka lebih dari seratus orang, Gusti!"

"Hal itulah yang kukhawatirkan, Paman."

"Syukurlah kalau memang Gusti Prabu bisa menyadarinya...," sahut Ki Lanang lega.

"Maksudku jika mereka turun semua dan mem­buat kekacauan di mana-mana, tentu rakyat yang akan menderita. Bukankah menjadi kewajibanku untuk memberi peringatan pada mereka...?" kata Rangga, enteng.

Jawaban tak diduga dari Pendekar Rajawali Sakti membuat wajah Paman Lanang kembali lesu. "Gusti Prabu! Bukankah hal ini bisa diselesaikan oleh prajurit kerajaan? Gusti Prabu tak perlu turun tangan sendiri...," usul Paman Lanang.

"Benar! Hal ini memang bisa dikerjakan prajurit-prajurit kerajaan. Tapi, apakah aku harus berpangku tangan saja bila ternyata kejadian buruk itu berada di depan mataku sendiri...?" sergah Pen­dekar Rajawali Sakti.

"Maaf, Gusti Prabu. Hamba tak bermaksud menggurui...," ucap Paman Lanang dengan wajah bersalah.

"Tidak perlu minta maaf, Paman. Aku mengerti kekhawatiranmu padaku. Tapi percayalah, mudah-mudahan aku mampu mengatasi persoalan ini," ujar Rangga.

"Dengan seorang diri, Gusti Prabu?"

Rangga tersenyum dan memandang punggawanya itu dalam-dalam. Kemudian terlihat kepalanya mengangguk mantap. "Ya, kurasa memang sebaiknya begitu!"

Pada saat itu, mereka berpapasan dengan beberapa orang penduduk yang baru kembali dari sawah lading. Mereka memandang Rangga dan Paman Lanang dengan wajah cemas. Terbayang cerita-cerita mengerikan dan kecemasan dalam pandangan mereka. Tentu saja hal itu membuat Rangga dan Paman Lanang jadi tidak enak hati.

"Kisanak! Kenapa kalian memandang kami demikian? Apakah ada sesuatu yang aneh pada ka­mi?" tanya Paman Lanang pada salah seorang yang berada di depannya.

"Kisanak berdua, ke manakah tujuan kalian?" laki-laki tua berkulit gelap itu balik bertanya.

"Kami bermaksud menuju Bukit Tunjang...."

"Astaga! Sebaiknya urungkan saja niat kalian!" sentak laki-laki itu, semakin cemas.

"Kenapa, Kisanak?" tanya Rangga.

"Tempat itu memiliki banyak perangkap maut!" jelas laki-laki itu.

"Perangkap maut bagaimana?" tanya Rangga kembali.

"Banyak terdapat rawa terapung, sumur yang dalam, dan jebakan maut yang dibuat perampok serta bajingan yang banyak berkumpul di sana!"

Rangga mengangguk-anggukkan kepala. "Kalau memang banyak perangkap maut di tempat itu, bagaimana mereka dapat mencapai bu­kit dan lereng-lereng di atasnya?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak! Apakah kau bersungguh-sungguh akan ke bukit itu?" tanya laki-laki itu, semakin cemas.

"Ya! Ada yang harus kukerjakan di Sana."

"Apakah kau ingin bergabung dengan mereka?"

"Tidak, justru sebaliknya..."

"Oh! Kau ingin memerangi mereka?!" lanjut penduduk desa itu dengan wajah tak percaya.

Rangga mengangguk pelan sambil tersenyum tipis.

"Bagaimana mungkin? Jumlah mereka banyak, sedangkan kalian hanya berdua?"

"Aku akan memikirkan caranya, Kisanak..."

"Kisanak! Usahamu akan sia-sia saja. Mereka terlalu tangguh dan berjumlah banyak!"

Rangga hanya tersenyum mendengarnya. "Yah, mudah-mudahan saja Yang Maha Kuasa selalu melindungiku. Kami permisi dulu, Kisanak semua," pamit Rangga.

Dan tak lama kemudian Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang menggebah kudanya per­lahan-lahan untuk melanjutkan perjalanan. Sementara penduduk desa memandang mereka sambil menggeleng-geleng kepala.

"Ya, Jagat Dewa Batara. Mudah-mudahan Kau melindungi mereka yang mempunyai niat mulia!" desah salah seorang penduduk desa.

"Mereka pasti tak akan selamat...," gumam se­orang kawannya

"Paling tidak, mereka selamat dari perangkap-perangkap maut itu. Aku telah memberitahukan jalan yang benar agar tiba di lereng bukit itu dengan aman...," jelas laki-laki yang tadi berbicara dengan Rangga.

Sampai Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang lenyap dari pandangan, penduduk desa itu belum juga beranjak!

********************

Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang terdiam beberapa saat ketika telah berada di Bukit Tunjang. Paman Lanang masih mencoba membujuk, tapi keputusan Rangga telah bulat dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Malah perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti menghela kudanya mendaki bukit itu. Namun ketika medan yang dilalui mulai sulit didaki oleh kuda, Rangga kemudian berhenti dan memandang Paman Lanang.

"Paman, kita tak bisa mendaki bukit ini dengan berkuda ..." kata Rangga pelan.

"Lalu...?" tanya Paman Lanang.

"Sebaiknya aku berjalan kaki saja...," kata Rangga sambil melompat turun dari punggung ku­danya. "Paman...

"Ada apa, Gusti Prabu…?"

"Sebaiknya, Paman tidak usah ikut...?"

"Apa maksud Gusti Prabu...?"

"Ada hal lain yang bisa Paman kerjakan. Sebaiknya, Paman meneruskan perjalanan menemui tabib itu. Atau, kau bisa pulang ke Karang Setra!"

"Tapi mana bisa hamba meninggalkan Gusti Prabu sendirian menghadapi bahaya...?!"

"Paman, percayalah Aku bisa mengatasi masalah ini...," sahut Rangga berusaha meyakinkan.

"Tapi, jumlah mereka cukup banyak, Gusti Prabu! Hamba khawatir terjadi apa-apa terhadap Gusti Prabu. Izinkanlah hamba mendampingi Gusti Prabu...," desak Paman Lanang, kemudian berlutut di kaki Pendekar Rajawali Sakti.

"Paman, berdirilah..." ujar Rangga.

"Hamba tak akan berdiri, sebelum Gusti Prabu mengizinkan hamba turut!" sahut Paman Lanang keras kepala.

Rangga mendesah pelan. Kepalanya mendongak ke atas sesaat, kemudian menghela napas pendek. "Ini untuk kebaikan kita bersama, Paman. Kerjakanlah tugasmu, dan jangan khawatirkan keadaanku...." Rangga kembali rnembujuk.

"Tidak! Hamba tidak akan membiarkan Gusti Prabu sendirian menghadapi bahaya!" sahut Pa­man Lanang, tetap keras kepala.

Mendengar jawaban itu, Rangga menyadari kalau Paman Lanang tak akan menurut kalau tidak berkata dengan nada keras. "Paman! Ini perintah dariku! Kerjakan tugasmu dan jangan khawatirkan keadaanku!" kata Rangga tegas.

Setelah itu, Rangga berbalik dan segera menepuk bokong kudanya. Maka Dewa Bayu kontan berlari kencang, seperti mengerti isyarat itu. Lalu seketika Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat tanpa mempedulikan Paman Lanang yang masih berlutut. Dan laki-laki hampir setengah baya itu hanya terpana, begitu menyadari junjungannya telah lenyap dari pandangan. Dengan wajah sedih, dia bangkit dan menatap ke arah melesatnya tubuh Rangga tadi. Cukup lama dia mematung. Kemudian dengan tergesa-gesa, tiba-tiba kudanya dipacu cepat.

"Heaaa...!"

"Maafkan aku, Paman Lanang. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu. Tapi, ini masalah yang amat berbahaya. Aku tidak ingin melibatkanmu...," lirih suara Rangga, ketika punggawanya telah pergi dari situ.

Memang, Rangga tak pergi jauh dari situ. Tapi hanya bersembunyi di balik cabang pohon yang agak jauh dan tersembunyi. Sebentar kemudian, Rangga melanjutkan perjalanan perlahan-lahan sambil memperhatikan petunjuk yang diberikan penduduk desa yang tadi ditemuinya. Namun, mendadak ketika Pendekar Rajawali Sakti menerobos sebuah semak belukar. Set! Set! "Heh!" Tiba-tiba melesat beberapa bambu beracun yang langsung menuju ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga cepat melenting sambil berputaran menghindarinya. Dan begitu mendarat di tanah, dia melompat ke salah satu cabang pohon.

Rangga menyadari kalau lebih aman bila melewati jalan atas. Maka seketika tubuhnya berlompatan ringan dari satu cabang pohon ke cabang po­hon lainnya. Dan tak berapa lama kemudian, Pen­dekar Rajawali Sakti tiba di lereng bukit yang agak luas dan datar dipenuhi rumput menghijau. Pemuda berbaju rompi putih itu memandang ke sekeliling yang tampak sunyi seperti tak berpenghuni. Ka­kinya lalu melangkah pelan-pelan sambil menajamkan pendengaran dan penglihatan. Dan betul saja, karena...

Set! Set!

Mendadak saat itu berdesingan puluhan anak panah mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga segera menyadari bahaya yang mengintai dirinya. Maka...

"Hup...!"

Pendekar Rajawali Sakti langsung menjatuhkan diri, seraya berguling-gulingan untuk menyelamatkan diri. Namun anak panah itu seperti tiada henti menghujani dirinya.

"Yeaaa...!"

Disertai bentakan nyaring, Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat melenting kebelakang mendekati rerimbunan pepohonan. Disadari betul, sekali saja melompat ke atas untuk menghindari hujan anak panah, maka akan sulit untuk menghindari serangan berikut di tempat terbuka begini. Makanya dia bertindak cepat dengan melompat ke rimbunan pepohonan. Dan sebentar kemudian...

"Hup...!"
Tes...!

Sambil melompat manis sekali ke salah satu cabang pohon, Rangga cepat memotes sebatang ranting yang cukup kuat. Dengan ranting di tangan, ditangkisnya hujan anak panah yang masih menerpa dirinya. Lalu perlahan-lahan dia bergerak mendekati arah hujan panah itu berasal sambil memutar ranting di tangannya ke sana kemari.

"Hentikan...!"

Mendadak terdengar bentakan nyaring. Pen­dekar Rajawali Sakti seketika berhenti dan bediri tegak. Namun, matanya terus mengawasi dengan sorotan tajam. Tak berapa lama, terlihat lebih dari tiga puluh orang dengan busur siap dilepaskan telah mengurung tempat itu. Kemudian tiga orang yang bertubuh besar sudah berdiri tegak di depan dengan sinar mata penuh kebencian.

"Ha ha ha ..! Akhirnya Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu mau juga datang mengunjungi tempatku yang buruk ini. Selamat datang, Pendekar Rajawali Sakti!" kata salah satu di antara mereka yang memakai baju merah sambil tertawa keras.

"Kaliankah yang berjuluk Tiga Setan Bukit Tunjang...?!" tanya Rangga lantang dengan nada dingin.

"Hm... Agaknya kau cepat tanggap, Kisanak. Benar! Kamilah Tiga Setan Bukit Tunjang. Namaku, Durganda. Dan di sebelah kiriku, Sugriwa. Sedangkan di kananku Peging Salira," kata orang yang bernama Durganda memperkenalkan dua la­ki-laki bertubuh besar yang menghimpirnya.

"Beginikah cara menyambut seorang tamu yang diundang?" sindir Rangga, tenang.

"Ha ha ha...! Ini memang penyambutan paling ramah yang pernah kami lakukan Pendekar Raja­wali Sakti. Apalagi, tamu terhomat sepertimu," sa­hut Durganda sambil terkekeh-kekeh kecil.

"Durganda! Tak usah banyak basa-basi segala. Katakan, apa keinginanmu mengundangku ke sini. Lalu, lepaskan suami-istri yang kau tawan itu!" sahut Rangga.

"Ha ha ha...! Agaknya kau tidak sabar betul, Pendekar Rajawali Sakti. Sebenarnya, yang jelas-jelas berkepentingan denganmu bukan hanya kami. Nanti kau akan tahu sendiri. Dan mengenai suami-istri itu, jangan khawatir. Selama kau bersikap baik, maka mereka akan tetap aman."

"Hm.... Apakah kau pikir aku akan percaya begitu saja?"

"Ha ha ha...! Ternyata kau bukan sekadar he­bat, Kisanak. Tapi juga pintar!" puji Durganda.

Durganda kemudian memberi satu isyarat pada salah seorang anak buahnya. Dan tak berapa lama kemudian, muncul Bharata serta istrinya dalam keadaan terbelenggu. Di samping mereka, terlihat dua orang anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang yang memegangi keduanya. Rangga jadi memelas melihat suami-istri tak berdosa itu.

"Rangga, pergilah dari tempat ini! Jangan pedulikan kami!" teriak Bharata memperingatkan.

Tapi teriakan Bharata segera terhenti, ketika anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang yang berada di sebelahnya langsung mencekal dan membawa mereka berlalu dari tempat itu.

"Nah! Kau lihat, bukan? Mereka baik-baik saja...!" lanjut Durganda tersenyum mengejek.

"Kisanak! Apa maksudmu sebenarnya meng­undangku ke sini?" tanya Rangga sambil menahan geram.

"Maksudku? Hm... Kematianmu!" dengus Durganda garang.

Rangga menatap Durganda dengan sorot mata tajam. Dia tak terlalu heran dengan jawaban itu. Apalagi dengan penyambutan yang tak bersahabat tadi.

"Kisanak! Antara kau dan aku tak pernah ada urusan dendam. Kenapa kau menginginkan kematianku?" tanya pemuda berompi putih itu ingin ta­hu.

"Hm... Siapa bilang demikian? Dosamu telah kelewat banyak, Pendekar Rajawali Sakti. Dan semua yang berada di sini pernah berurusan denganmu. Mereka berkumpul di Bukit Tunjang ini untuk membalas sakit hati padamu! Apakah hal itu tidak cukup sebagai alasan untuk menginginkan kematianmu?!" dengus Durganda.

"Hm... Kini kutahu orang-orang macam apa kalian ini sebenarnya. Ternyata kalian tak lebih dari pengecut-pengecut yang memancing kedatanganku ke sini, dengan menggunakan suami-istri itu sebagai umpannya!" dengus Rangga sambil tersenyum sinis.

"Bicaralah apa saja yang kau suka. Tapi yang jelas, kau telah masuk perangkap kami. Kau boleh berbangga diri dengan mengatakan kalau datang ke bukit ini secara mudah. Tapi, kini kau tak mempunyai jalan keluarnya!" sahut Durganda dingin.

"Hm, begitukah...?" sahut Rangga, kalem.

"Apakah kau ingin bukti?" sahut Durganda menantang.

Bersamaan dengan selesai kata-katanya, Durganda langsung memberi isyarat pada anak buahnya. Maka, sejumlah anak panah kembali melesat ke arah pemuda itu. Dan Rangga cepat memutar ranting yang sejak tadi masih dipegangnya untuk menghalau serangan.

"Hiyaaa...!"
Trak! Trak...!"

Sambil membentak nyaring Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati para pemanah. Namun sebelum mendekat, mendadak kawan yang lainnya melompat menyerang dengan pedang dan golok dari arah belakang. Sementara yang berada di depan, masih terus menghujani anak panah kepadanya.

"Yeaaa...!"

Beberapa buah golok dan mata pedang menderu menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Kendati sedikit terkesiap, namun Pendekar Rajawali Sakti masih sempat menyelamatkan diri dengan menjatuhkan diri ke tanah. Tubuhnya terus bergulingan sesaat, kemudian melenting ringan ke arah mereka sambil mengayunkan ranting di tangan.

"Hiiih!"
Wuk! Wuk

Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram. Ujung rantingnya terus bergerak menyambar ke arah pengeroyoknya. Beberapa orang memang berhasil menghindarinya. Sedangkan pengeroyok yang ada di belakang, terpaksa membuat Pendekar Ra­jawali Sakti menundukkan kepala untuk menghin­darinya. Tapi dalam keadaan begitu, justru Rangga mampu menyambar beberapa orang dengan ran­tingnya.

Cras! Cras!

Tiga orang dari kawanan itu kontan memekik kesakitan sambil memegangi perut yang robek akibat serangan ujung ranting yang tajam di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti mengamuk dengan pengerahan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Kawanan itu kontan dihajarnya tanpa kenal ampun. Sehingga ketika ranting di tangannya kem­bali berkelebat, maka terdengar lagi beberapa orang memekik kesakitan dan langsung ambruk tak berdaya.

"Yeaaa...!"

Mendadak di antara hiruk-pikuk para pengeroyoknya, Rangga merasakan angin serangan dahsyat ke arahnya. Maka buru-buru rantingnya diayunkan untuk memapak, tapi...

Tes! Tes!

"Heh...?!" pemuda itu terkejut ketika melihat rantingnya putus menjadi beberapa bagian, tersambar serangan gelap ke arahnya. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri ke tanah, dan langsung bergulingan untuk menghindari sambaran senjata tajam yang berhawa racun ke arahnya!

DELAPAN

"Hik hik hik...! Inikah Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu? Kau akan mampus di tanganku, Bocah!" terdengar tawa nyaring yang diikuti berkelebatnya sesosok tubuh menyerang gencar Pen­dekar Rajawali Sakti.

Rangga tersetak kaget, melihat serangan sosok wanita tua yang kelihatan bukan main-main. Nyatanya, sosok yang tak lain Nini Anting itu benar-benar ingin membunuhnya. Maka dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghindari dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', yang mampu membawa tubuhnya berlompatan ke sana kemari!

Dalam keadaan diserang begitu, Rangga bah­kan harus menghadapi serangan-serangan lain yang tak kalah gencarnya dari para anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang. Geraham pemuda itu jadi bergemeletuk, menahan geram melihat sambaran pedang yang dipegang salah seorang lawan. Seketika tu­buhnya direndahkan, seraya menangkis serangan yang mengancam lehernya.

Plakkk!

Dan belum lagi orang itu menyadari, siku Pendekar Rajawali Sakti telah lebih dulu mampir diulu hatinya.

Bugkh!

Orang itu kontan terjengkang disertai lenguhan kecil. Sementara Pendekar Rajawali Sakti kembali berkelebatan dengan mengganti jurusnya menjadi Sayap Rajawali Membelah Mega' dan 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', yang dikerahkan secara padu dan bergantian. Kedua tangannya tak henti-hentinya mengepak seperti sayap, dan tiba-tiba tubuhnya menukik mencari mangsa. Korban-korban kembali berjatuhan di tangan pemuda itu. Namun belum lama berselang.

"Berhenti...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan dahsyat yang membahana di tempat itu. Dan seketika semua pengeroyok Pendekar Rajawali Sakti bergerak mundur dan mengelilingi pemuda itu pada jarak sepuluh langkah. Rangga juga menghentikan serangannya seraya mendengus geram. Sorot matanya terlihat tajam, ke arah seorang perempuan tua berpakaian rapi dan berpenampilan genit. Di tangannya terlihat sepasang pedang pendek. Rupanya dialah yang mengeluarkan bertakan tadi.

"Bocah busuk! Hari ini kau tak akan lolos dari kematian!" geram perempuan tua yang memang Nini Anting dengan sinar mata penuh kebencian.

"Siapa kau. Dan, kenapa kau begitu mendendam padaku?" tanya Rangga berusaha bersikap tenang.

"Phuih! Tidak ingatlah kau dengan si Burisrawa dan Balung Geni yang kau bunuh?! Aku akan menuntut balas atas kematian mereka!" dengus Nini Anting, setelah menyemburkan ludahnya.

"Hm... Kini aku mengerti...," Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar kata-kata perempuan tua di depannya.

"Bagus, kalau memang kau sudah mengerti. Mudah-mudahan kau juga bisa mengerti kalau hari ini kematianmu telah di ambang pintu!" sahut Nini Anting, garang. Sebentar kemudian tangannya memberi isyarat. Dan tiba-tiba, berkelebatlah dua sosok tubuh yang langsung mendarat di samping Nini Anting.

"Heh?!" Rangga agak tersentak melihat dua orang laki-laki tua telah berdiri di depanya. Yang seorang berpakaian putih bersih dan rapi. Tangannya memegang sebuah kipas, dengan suling berwarna keemasan terselip di pinggang. Semen­tara yang seorang lagi kelihatan kepalanya botak. Namun sebenarnya, bagian belakang kepalanya ditumbuhi rambut panjang yang sudah memutih, bajunya lusuh. Sementara tangannya memegang tongkat hitam berkepala ular. Bahkan didekatnya terlihat ratusan ekor ular melata mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga memang sama sekali tak berpikir adanya jebakan yang dilakukan Tiga Setan Bukit Tun­jang ini. Namun dia berusaha setenang mungkin. Kendati tiga orang tua itu jelas memiliki tingkat kepandaian tinggi, tapi apa boleh buat?

"Hm... Kalau tak salah, kalian adalah tiga dari Lima Datuk Sesat, bukan?" tanya Rangga, tenang.

"Ha ha ha...! Ternyata otakmu encer juga, Bocah. Sayang yang dua telah mampus di tanganmu. Kalau tidak, tentu pertempuran ini akan sema­kin seru. Dan kehadiranmu di tempat ini juga untuk menyusul mereka ke akherat!" sahut orang tua yang berkepala botak, dan tak lain dari Ki Sanca Manuk.

"Sanca kunyuk sial! Diam kau! Kau pikir aku suka basa basi segala. He, Bocah! Lihat serang­an...!" Nini Anting yang sejak tadi sudah gemas, tiba tiba langsung saja menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"He, Nenek Peot! Aku pun tak mau ketinggalan untuk mendapat bagian...!" teriak orang tua yang tadi memegang kipas. Dia tak lain dari Ki San­jaya. Dan laki-laki tua itu sudah melompat menyerang pemuda berbaju rompi putih itu pula.

"Huh! Enak saja kalian berdua! Aku pun ingin ikut mencicipi sekerat dagingnya untuk anak buahku!" sahut Ki Sanca Manuk seraya menempelkan tongkatnya ke bibir. Dan itu dilakukan sambil menerjang ke arah Rangga.

"Yeaaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti betul-betul kewalahan mendapat tiga serangan sekaligus dari tiga datuk rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi.

Bet! Bet..!

Ketiga datuk sesat itu agaknya tak mau kepalang tanggung lagi. Dan mereka sudah lang­sung mengerahkan tingkat kepandaian yang tertinggi untuk menghajar Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, dalam waktu singkat saja Rangga sudah terdesak hebat. Pertarungan berjalan tak seimbang. Namun dengan pengerahan lima dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti" yang dipadukan, sampai saat ini Pen­dekar Rajawali Sakti masih mampu bertahan.

Tam­pak Nini Anting menyambar senjatanya. Pendekar Rajawali Sakti terkejut dan cepat melompat ke belakang. Namun pada saat itu tongkat Ki Sanca Manuk menyabet pinggang dan ujung kipas Ki Sanjaya menyambar ke arah leher. Pendekar Ra­jawali Sakti cepat melenting menghindari serangan. Namun tak urung, ujung kipas Ki Sanjaya sempat menyambar dadanya.

Brettt...!
"Akh...!"

Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan ketika kulit dadanya terluka, lalu mendarat agak jauh dari ketiga lawannya. "Hm... Mereka tidak bisa didiamkan terus," gumam Rangga lalu mengangkat tangannya keatas, memegang gagang Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dan tak lama kemudian....

Cring! Seketika sinar biru memancar dari mata pe­dangnya. Dan bersamaan dengan itu...

Seraaang...!"

Tiga Setan Bukit Tunjang langsung memberi perintah pada anak buahnya untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti yang sudah menggenggam pedangnya. Maka saat itu juga mendesing puluhan anak panah melesat ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti cepat berusaha rnengelak sambil memutar-mutar pedangnya yang bersinar biru menyilaukan. Maka sekali pedangnya berkelebat, beberapa anak panah rontok di tengah jalan.

Wajah Pendekar Rajawali Sakti tampak sudah berubah kelam. Dengus napasnya juga makin sering terdengar. Dan kini sorot matanya tajam bagai elang ketika melihat Tiga Datuk Sesat itu secara ber­samaan melesat ke arahnya.

Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat menyambut serangan ketiga lawannya. Dan bersa­maan dengan itu pula Tiga Setan Bukit Tunjang memberi perintah pada seluruh anak buahnya un­tuk menyerang. Maka bagai bendungan jebol, lebih dari seratus anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang menyerbu bagai air bah tumpah.

Cras!

Dengan geram Pendekar Rajawali Sakti meng­ayunkan pedangnya ke sana kemari menyambar orang-orang yang mencoba mendekat.

Cras!
Bret!
"Aaa...!"

Pekik kematian mulai membahana ketika bebe­rapa orang langsung terjungkal dengan tubuh berlumur darah tersambar Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Namun bukannya menjadi takut, justru anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang malah semakin nekat saja menyerang.

Bersamaan dengan itu, Tiga Datuk Sesat itu pun seperti tak mau kehilangan kesempatan untuk menyerang secara bergantian, mencari bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang mematikan.

Pada suatu kesempatan, Nini Anting bergerak cepat dari arah belakang, saat Rangga tengah sibuk menghadapi keroyokan anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang. Namun sebelum serangan wanita tua itu mendekat, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti berbalik dan mengayunkan pedangnya sekuat tenaga. Begitu cepat gerakannya, sehingga...

Trang!
Cras!
"Aaa...!"

Sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti memang tak dapat dicegah. Maka begitu sepasang pedang Nini Anting remuk tak berbentuk ditebas pedang Pendekar Rajawali Sakti, Rangga terus menyambar perut perempuan tua itu.

"Nini Anting...!" Ki Sanjaya dan Ki Sanca Ma­nuk terkejut setengah mati melihat Nini Anting ambruk ke tanah dengan perut robek mengeluarkan darah.

Nini Anting kini tak bernyawa, terbujur di antara kaki- kaki mayat orang yang menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Wanita tua itu memang ceroboh akibat dendam yang memuncak terhadap Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti mampu mengetahui serangannya meskipun dalam suasana hiruk-pikuk seperti ini.

"Bocah keparat, mampuslah kau! Yeaaa...!" Ki Sanjaya menggeram.

Orang tua itu makin bangkit kemarahannya melihat Nini Anting tewas. Maka tanpa mempedulikan akibatnya, dihantamnya pemuda itu dengan pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam. Maka seketika selarik sinar kuning tua menderu ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Melihat hal itu, Rangga buru-buru melenting tinggi ke udara. Dan tak lama kemudian...

Blarrr...!
"Aaa...!"

Akibatnya menggenaskan, justru yang dialami anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang, yang berada di dekat Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa orang langsung hancur berantakan diiringi jerit kematian, dihantam pukulan Ki Sanjaya. Karuan saja orang-orang itu jadi tercerai-berai.

"Berkumpul! Serang pemuda itu dengan panah selagi lengah...!" teriak Tiga Setan Bukit Tunjang memberi perintah.

Maka tanpa diperintah dua kali, mereka menunggu kesempatan untuk mengincar kelengahan lawan. Sementara itu dengan amarah yang meluap-luap, Ki Sanjaya terus mengumbar pukulan mautnya untuk menghajar Pendekar Rajawali Sakti.

Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti terpaksa jatuh bangun menghindari pukulan-pukulan maut lawan yang begitu hebat luar biasa. Dan berkali-kali pula tubuhnya terhuyung-huyung akibat angin serangan Ki Sanjaya. Dan ketika satu kali pukulan Ki Sanjaya nyaris menyerempet bahu kirinya, tubuh Pendekar Rajawali Sakti terjungkal beberapa langkah. Maka saat itulah puluhan anak panah kembali mendesing ke arahnya.

"Yeaaa...!"
Twang! Twang!

Cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara sambil memutar pedangnya untuk menghalau anak panah yang meluncur ke arahnya.

Trak! Tras!

Semua anak panah berhasil dipukul rontok sebelum menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sak­ti. Dan begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah, saat itu juga Ki Sanjaya serta Ki Sanca Manuk kembali bergerak bersamaan, mengirimkan pukulan maut mereka. Dan sebelum pukulan jarak jauh itu mendekat, Pendekar Rajawali Sakti mengusap batang pedang pusakanya dengan telapak kiri. Dan bersamaan dengan itu, pedangnya cepat dimasukkan kembali dalam warangkanya. Lalu...

'"Aji Cakra Buana Sukma'! Yeaaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan kedua tangannya yang sudah terselimut cahaya biru sebesar kepala bayi. Maka seketika, melesat cahaya biru ke arah dua cahaya yang hampir menjamahnya. Sebentar kemudian...

Glarrr...!
"Aaa..! Aaakh...!"

Terdengar ledakan dahsyat yang disusul jeritan menyayat begitu tiga jenis cahaya berada pada satu titik. Semua orang yang ada di situ kontan tersentak kaget. Mereka kini hanya bisa melihat asap hitam mengepul perlahan ke udara. Dan sebenarnya, ketiga orang yang tengah bertarung itu terpental jauh.

Tiga Setan Bukit Tunjang melihat kedua orang datuk sesat itu terselimut cahaya biru waktu terpental tadi. Dan ketika tubuh mereka jatuh ke tanah, langsung hancur berkeping-keping seperti daging cincang yang hangus terbakar!

Sementara itu keadaan Pendekar Rajawali Sak­ti sedikit beruntung. Berkat tenaga dalamnya yang sudah sangat sempurna, dia terhindar dari kematian. Begitu tubuhnya terjungkal ke tanah, dari mulutnya berkali-kali memuntahkan darah kental. Kini tubuhnya tergeletak tak berdaya, dengan tenaga terkuras habis. Bahkan untuk berdiri saja terasa sulit. Beberapa kali dicobanya untuk bangkit, na­mun saat itu juga kembali terjerembab. Pemuda itu merayap untuk menjauhi lawan-lawannya.

Sementara, melihat kesempatan itu Tiga Setan Bukit Tunjang mendengus sinis. "Huh! Sekaranglah kematianmu, Pendekar Ra­jawali Sakti...!" dengus Durganda.

"Seraaang...!" teriak Peging Salira memberi perintah.

Maka saat itu juga seluruh anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang bersiap memanah pemuda itu. Namun belum juga mereka melepaskan anak pa­nah, tiba-tiba...

"Aaa...! Aaa...!"

Mendadak terdengar raungan kematian dari anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang. Mereka kon­tan buyar, tertembus anak-anak panah yang entah dari mana datangnya.

"Heh?!"

Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget, begitu melihat lebih dari dua ratus orang-orang berseragam prajurit kerajaan telah mengepung tempat itu.

"Terus seraaang..."

Rangga seperti bermimpi melihatnya. Dari mana datangnya prajurit-prajuti kerajaan sebanyak itu?

"Gusti Prabu, maafkan hamba tidak mematuhi perintahmu...!" tiba-tiba terdengar suara seseorang sambil berlutut di hadapannya.

"Paman Lanang...?!" desis Rangga pelan.

"Ampun, Gusti. Hamba tidak bisa membiarkanmu sendiri menghadapi bahaya. Jadi, hamba mendatangi tiga kadipaten di wilayah Karang Setra untuk meminta bantuan prajurit-prajuritnya. Ampunkan perbuatan hamba, Gusti Prabu...!" jelas Pa­man Lanang.

Rangga tersenyum mendengar penjelasan itu. "Paman, justru aku berterima kasih atas pertolongan kalian...." sahut Rangga lirih.

"Terima kasih, Gusti. Oh! Apakah Gusti Prabu baik-baik saja?!" tanya Paman Lanang cemas.

"Aku tidak apa-apa, Paman...."

"Tapi..., tapi Gusti Prabu terluka dalam...?!" desis Paman Lanang kembali.

Rangga tersenyum. "Paman, tolong bawa dan sandarkan tubuhku ini di bawah pohon itu...," pinta Rangga.

Dengan sigap Paman Lanang mengerjakan apa yang diperintahkan pemuda itu. Kemudian, Rangga duduk bersila dengan tenang sambil mengatur pernapasannya. Bola matanya sekilas melirik kepada pasukan kerajaan yang mampu mencerai-beraikan anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang. Banyak di antara mereka yang tewas, dan sisanya melarikan diri. Dia yakin, ketiga adipati yang memimpin serangan ini mampu mengatasi Tiga Setan Bukit Tun­jang. Dan ternyata, hal itu terbukti karena sebentar kemudian terdengar sorak sorai prajurit-prajurit yang menyatakan kalau Tiga Setan Bukit Tunjang telah tewas!

"Gusti Prabu... Hamba Adipati Narasoma, menghaturkan sembah. Maafkan kedatangan hamba yang terlambat..!" ucap seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya yang tegap, berlutut di hadapan Rangga.

"Adipati.... Aku menghargai kerjamu. Kau da­tang tepat waktu dengan prajurit-prajuritmu. Terima kasih...," sahut Rangga.

Kedua adipati lain segera ikut berlutut di samping Adipati Narasoma. Demikian juga prajurit-prajurit kadipaten lain.

"Paman... Bolehkah seorang raja sedikit berbuat tidak bijaksana...!" tanya Rangga lirih, pada Paman Lanang yang berada di sampingnya.

"Gusti Prabu.... Menurut hamba, seorang raja adalah manusia biasa juga. Bukankah kodrat manusia itu tidak sempurna?"

"Terima kasih, Paman. Kalau demikian, tolong perintahkan seorang prajurit untuk menemui tabib itu."

"Dengan senang hati, Gusti...," sahut Paman Lanang.

Kemudian laki-laki setengah baya itu memberitahukan Adipati Narasoma yang langsung memerintahkan seorang prajuritnya untuk melaksanakan pe­rintah Gusti Prabu Rangga.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: GERHANA DARAH BIRU