Dendam Datuk Geni - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

DENDAM DATUK GENI


SATU
GUNUNG RINJANI yang gagah dan angker, di waktu pagi tampak berselimut kabut tebal. Di bawah puncaknya yang tinggi dan lancip, terdapat beberapa anak gunung yang mengelilingnya. Daerah ini, memang indah dengan segala jenis tanaman dan bebatuan. Namun pada salah satu anak gunung yang disebut Bukit Api, tanahnya gersang dan kering. Tak ada tumbuhan yang bisa hidup di tempat itu. Semuanya kering dan mati. Yang tampak hanya bebatuan berwarna kemerahan, terpanggang hawa panas yang keluar dari perut bumi.

Namun bila terus berjalan ke atas, ada suatu tempat yang cukup luas dan datar. Di situ, hidup tumbuhan dan binatang-binatang yang amat langka dan mengandung racun ganas. Salah satunya yang paling mengerikan dan beracun adalah kalajengking api. Sedikit saja tubuh seseorang terkena sengatannya, maka dalam waktu yang tak lama akan tewas seketika dan tubuhnya berubah merah seperti kepiting direbus.

Sementara di salah satu sisi dindingnya terdapat sebuah goa yang memiliki ruangan cukup luas. Dan goa itu berhubungan dengan perut gunung, tumpahan lahar digodok di dalamnya. Dan di sebuah ruangan goa itu, tinggallah seorang laki-laki tua yang rambutnya tinggal sedikit, dan telah memutih di dekat tengkuknya. Dia tengah duduk bersila di atas sebuah batu berbentuk segi empat, setinggi satu jengkal dari tanah.

Wajahnya yang penuh kerut-kerut kaku bagaikan patung, dihiasi sepasang alis yang tinggi kulitnya kemerahan bercampur hitam. Tubuhnya kurus, sehingga tulang rusuknya yang bertonjolan terlihat di balik baju yang compang-camping. Pada jarak dua langkah di hadapan laki-laki tua itu, bersimpuh seorang pemuda bertubuh tegap. Raut wajahnya keras dan kedua rahang yang menonjol. Kulit tubuhnya merah kecoklatan. Baju yang dikenakannya terlihat lusuh, dengan sobekan-sobekan di beberapa bagian.

"Mintarja.... Kurasa telah tiba waktunya bagimu untuk turun ke dunia ramai. Pelajaran yang kau peroleh dariku telah selesai," kata laki-laki tua itu, pada pemuda yang rupanya murid satu-satunya.

"Eyang Sara Geni, berat hatiku untuk meninggalkanmu seorang diri di sini. Kau telah kuanggap sebagai pengganti kedua orangtuaku yang telah tiada. Tapi aku tahu, kau akan membenciku kalau aku bersikap cengeng dan lemah. Maka apa pun perintahmu akan kulakukan," sahut pemuda yang dipanggil Mintarja, tenang.

"Hm... sebelum kau pergi, ada dua pesanku yang harus kau kerjakan," gumam laki-laki tua berkepala hampir botak, yang ternyata bernama Eyang Sara Geni itu.

"Apakah itu, Eyang?" tanya muridnya dengan kening berkerut.

"Pertama, kau harus menemui calon istrimu. Kau ingat, bukan?"

"Maksud Eyang, Kaniawati?" Mintarja ingin memastikan.

"Ya, kawan mainmu ketika kecil. Aku telah berjanji pada kedua orangtua kalian, untuk menjodohkanmu dengannya. Selain, mengangkatmu sebagai muridku. Seperti kau ketahui, Kaniawati telah diangkat murid oleh saudara seperguruanku, yaitu Nyi Lengser di puncak Gunung Rinjani," jelas Eyang Sara Geni.

"Aku akan melaksanakannya, Eyang!" jawab Mintarja, mengangguk hormat.

Sebentar suasana jadi hening. Tampak mata Eyang Sara Geni menerawang jauh, seperti mengenang sesuatu. Sedangkan Mintarja tetap tertunduk menekuri tanah.

"Yang kedua, kau harus balaskan sakit hati dan dendam orangtuamu yang tewas dibantai oleh tokoh-tokoh yang kusebutkan padamu," ujar Eyang Sara Geni.

"Aku pasti akan melaksanakannya, Eyang!" sahut pemuda itu mantap.

"Bagus! Karena untuk itulah kau kubawa ke sini. Orangtuamu dan orangtua Kaniawati adalah kawan-kawan baikku. Semula aku ingin membalas kematian mereka dengan tanganku sendiri. Tapi melihatmu dan Kaniawati timbul pikiran lain. Kalian lebih pantas untuk membalaskannya. Maka, untuk itulah kalian kami didik." jelas Eyang Sara Geni lagi.

Kembali suasana jadi hening. Sementara muridnya mencoba mengangkat kepalanya. Ditatapnya mata tua itu di depannya sebentar.

"Eyang... Kalau boleh kutahu, kenapa kami dididik secara terpisah?" tanya Mintarja pelan, seraya kembali menunduk.

Eyang Sara Geni tidak langsung menjawab. Ditatapnya Mintarja yang menunduk. "Mintarja, perlu kau ketahui. Meskipun bibi gurumu adalah saudara seperguruanku, tapi ilmu kami memiliki aliran berbeda. Seperti yang kau ke tahui, aliran ilmu yang kuajarkan padamu mengandung unsur api. Sedangkan bibi gurumu mengandung unsur air. Sehingga apabila kedua aliran itu dipadukan, maka akan tercipta suatu paduan yang hebat dan sulit terkalahkan. Karena kedua aliran itu tak bisa dituntut satu orang, maka itu sebabnya kalian dipisahkan," jelas Ki Sara Geni.

Mintarja mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu.

"Kemudian ada hal yang perlu disadari bahwa ilmu pukulan 'Racun Api' yang kau miliki masih belum sempurna. Jadi hal itu tak bisa dianggap enteng. Dan ilmu itu tak bisa kuberikan seluruhnya, karena kau harus melatihnya sendiri di dekat kawah di bawah sana selama puluhan tahun. Dan hal ini akan menghabiskan umurmu. Aku khawatir jika menyuruhmu untuk menyempurnakannya, maka musuh-musuhmu keburu mati tanpa merasakan pembalasan darimu. Kau mengerti, Mintarja?" lanjut Eyang Sara Geni.

"Aku mengerti, Eyang," kata Mintarja mantap.

"Nah kuharap kau tak kecewa. Karena apa yang kau miliki sama dengan yang dimiliki Kaniawati. Dia pun tak memiliki pukulan sempurna yang diajarkan gurunya, karena akan memakan waktu yang lama sekali. Kalau memang kau telah mengerti, maka bawalah ini sebagai senjatamu," tambah Eyang Sara Geni seraya menyerahkan dua pucuk tongkat runcing sepanjang kira-kira empat jengkal.

"Eyang...?" pemuda itu mendongak, memandang wajah gurunya dengan rasa tak percaya bercampur takjub.

Eyang Sara Geni tersenyum sambil mengangguk pelan. Dan Mintarja ragu-ragu menerimanya. Memang pemberian ini adalah suatu anugerah yang luar biasa bagi dirinya. Sebab dia tahu, bagaimana dahsyat kedua tongkat yang dinamakan Sepasang Tongkat Api itu. Apabila dipukulkan satu sama lain, maka akan menyemburkan lidah api yang panjang dan mampu menyerang lawan. Dan bila beradu dengan benda keras lain, akan memercikkan bunga api yang diiringi ledakan menggelegar laksana sambaran geledek.

Mintarja tahu bahwa senjata itu ada dua pasang. Dan sebelumnya, memang sudah diduga kalau yang sepasang akan diberikan kepadanya. Karena Eyang Sara Geni memang amat menyayanginya. Diakui, Mintarja belum pernah menggunakannya. Tapi dia merasa yakin, mampu menggunakan sepasang senjata itu. Karena, gurunya pernah menjelaskan secara seksama.

"Nah, sekarang pergilah. Doaku menyertaimu," ujar Eyang Sara Geni.

"Baiklah, Eyang Aku mohon doa restu," desah Mintarja, seraya menyelipkan sepasang Tongkat Api ke pinggangnya. Kemudian dia memberi hormat, lalu bangkit berdiri.

"Aku merestuimu, anakku." kata Eyang Sara Geni, lalu bangkit berdiri.

Orang tua itu sendiri tak menunjukkan raut wajah sedih ataupun gembira. Malah dia tetap berada dalam goa. Dan ketika Mintarja telah keluar goa, laki-laki tua itu bangkit Lalu, kakinya terus melangkah ke bagian dalam yang menjorok ke bawah. Di sana terdapat sebuah kolam lahar yang berwarna kemerahan dan selalu bergejolak. Di tengah-tengah, terdapat sebuah batu hitam yang agak tinggi yang bagian bawahnya membara kemerahan. Ke atas batu itulah Eyang Sara Geni melompat dan terus duduk bersila. Dia langsung melanjutkan tapanya, tanpa menghiraukan hawa panas yang menyengat seperti dalam ruang pembakaran!

Dengan melompat-lompat ringan menuruni tebing curam dan terkadang licin, Mintarja terus berlari cepat. Sehingga dalam waktu singkat, pemuda itu telah berada di bawah Gunung Rinjani. Dipandanginya untuk beberapa saat Gunung Rinjani yang berdiri gagah perkasa. Berkali-kali dihirupnya udara sebanyak-banyaknya hingga dadanya terangkat tinggi. Tempat itu memang membawa banyak kenangan, namun Mintarja tak mau terhanyut lebih lama. Pemuda itu menghela napas panjang sesaat, kemudian segera melangkah tanpa menoleh lagi, meninggalkan gunung yang berdiri di belakangnya.

Sudah lebih dari setengah harian berjalan, Mintarja terus melanjutkan perjalanannya ke arah barat yang memang tujuannya. Dan menjelang sore ini, pemuda itu tiba di suatu tempat yang pemandangannya menakjubkan. Di tempat itu, berjejer perbukitan kecil yang memiliki lubang kawah berisi air yang memiliki warna berbeda. Tiga buah lubang kawah tampak berbentuk segitiga. Yang kiri mempunvai air berwarna biru, sedangkan yang kanan berwarna hijau. Sementara yang berada agak ke atas, sedikit berwarna bening kemerah-merahan.

Saat itu Mintarja memang tengah di atas sebuah bukit yang agak tinggi, sehingga matanya leluasa sekali menikmati keindahan alam yang menakjubkan itu. Dalam keadaan itu, mendadak pendengarannya yang tajam mendengar suara pertarungan tak jauh dari tempat ini

Maka seketika matanya merayapi sekitar tempat itu. Dan sebentar kemudian, ringan sekali tubuhnya melompat ke satu arah. Mintarja melesat cepat menuju sebuah bukit yang agak rendah di bawah. Memang teletak tidak jauh, maka sebentar saja dia sudah tiba. Dan di suatu tempat yang agak datar dan ditumbuhi rerumputan Mintarja melihat dua orang laki-laki berwajah seram dengan tubuh besar tengah bertarung. Lawan mereka adalah seorang gadis cantik berpakaian ungu. Rambutnya panjang, dan bagian belakangnya diikat pita merah. Mulanya Mintarja bermaksud turun tangan untuk membela gadis itu. Namun setelah mengamati rupanya sedikit pun gadis itu tak terdesak.

"Hmm... Siapa gadis itu? Ilmu olah kanuragannya cukup hebat. Bahkan kedua lawannya dibuatnya seperti bulan-bulanan" gumam Mintarja dalam hati dengan wajah kagum.

Apa yang dilihat Mintarja memang tak salah. Gerakan gadis itu demikian gesit dan cepat. Dia mampu melayang ringan seperti kapas. Tampak kedua lawannya dibuat jatuh bangun tak berdaya. Namun dia seperti tak memberi kesempatan sedikit pun bagi lawan-lawannya untuk balas menyerang.

"Yaaa ! Keparat-keparat busuk! Kalian akan mampus di tanganku!" geram gadis itu langsung menendang kedua lawannya. Tubuh gadis itu berputaran di udara dengan kedua kaki saling menyilang. Dan seketika dihajarnya langsung kedua lawan dengan telak.

Duk!
Dess!
"Aaaakh!"

Kedua laki-laki itu memekik kesakitan begitu wajah masing-masing terhajar dendangan gadis itu. Darah tampak mengucur dari hidung mereka yang pecah. Dan agaknya gadis berpakaian ungu tak melepaskan mereka begitu saja. Tubuhnya langsung melesat ke arah lawan-lawannya sebelun sempat bersiap-siap lagi. Begitu cepat tendangan gadis itu sehingga tak seorang pun yang bisa mengelak. Maka...

"Hiyaaa!"
Des!
Krek!

"Mampuslah kalian!" dengus gadis itu, ketika kedua kakinya menghantam dada lawan-lawannya.

"Aaa...!"

Kedua laki-laki itu kontan menjerit kesakitan begitu dadanya terasa remuk. Mereka langsung ambruk ke tanah, dan mati dalam keadaan mata melotot lebar.

"Hebat! Kepandaianmu sungguh hebat, Nisanak. Persoalan apa hingga sampai membunuh mereka?" tanya Mintarja, ketika keluar dari persembunyiannya. Dan pemuda itu kini melangkah mendekati gadis yang sorot matanya tajam.

"Siapa kau?! Apakah kau kawan kedua orang ini?!" bentak gadis itu galak.

"Bukan. Aku hanya kebetulan lewat, dan sedang menunggu seorang kawan di tempat seperti ini," sahut Mintarja tenang.

"Huh! Kau pikir aku bisa percaya omonganmu itu!"

"Apa maksudmu?"

"Kau sama saja dengan kedua laki-laki ini, hendak berbuat kurang ajar terhadapku!" dengus gadis itu geram.

"Nisanak! Jangan sembarangan kalau bicara! Apa kau kira setelah membunuh kedua laki- laki itu, kau bisa menggertakku begitu?" sahut Mintarja, jadi tak senang.

"Kalau betul, kau mau apa?" tantang gadis itu sambil berkacak pinggang.

Melihat sikap gadis itu, amarah Mintarja jadi tak terbendung lagi. Ditatapnya gadis itu dalam dalam dengan sorot mata tajam. Kemudian perlahan-lahan dia mendekat sambil menggeram pelan.

"Ingin kulihat. sampai di mana kehebatanmu sehingga bisa membuatmu besar kepala!"

"Huh! Majulah kalau kau ingin mampus!"

"Hup, yeaaa!"

Dengan sekali melompat, tubuh Mintarja bergerak cepat mengirim pukulan keras sambil berputaran. Namun gadis yang agaknya telah menduga hal itu cepat melenting tinggi ke atas menghindarinya. Kemudian tubuhnya menukik tajam laksana rajawali hendak menyambar mangsanya, ke arah Mintarja yang sudah menunggunya. Mintarja langsung saja menangkis dengan kedua tangannya ketika gadis itu hendak menghantam batok kepalanya.

"Hih!"
Plak!
"Uhh...!"

Dan ketika kedua tangan mereka beradu, terlihat wajah masing-masing berkerut menahan sakit. Agaknya, mulai disadari kalau kemampuan masing-masing setara. Namun itu bukan berarti salah satu ada yang mau mengalah. Bahkan gadis itu semakin bernafsu saja menyerang dan bermaksud menghabisi pemuda itu secepatnya. Sebaliknya, Mintarja merasa penasaran, karena gadis yang dianggapnya mudah ditundukkan temyata memberi perlawanan sengit dan hebat.

"Hiyaaa!"
"Uts..."

Kaki kanan gadis itu cepat menghantam ke arah dada Mintarja. Namun pemuda itu telah me lenting ke belakang dengan gerakan bersalto. Dan begitu mendarat, kakinya seketika melepaskan tendangan saat gadis itu mencoba mengikuti gerakannya. Dan pada saat yang bersamaan gadis itu juga telah melepaskan satu sodokan yang keras ke dada. Maka....

Plak!

Kali ini terlihat paras gadis itu berkerut, menahan rasa sakit ketika kepalan tangannya beradu dengan kaki Mintarja. Dan seketika hawa panas terasa mengalir di tangannya, sehingga membuatnya tersentak. Buru-buru tangannya ditarik. Masih untung, dia cepat membuang diri ke samping ketika pemuda itu menyapu mukanya dengan kaki satunya. Gadis itu lalu cepat-cepat bangkit dan berdiri, kemudian....

Sring!

Dengan geram gadis itu mencabut pedangnya. Dan seketika tubuhnya melesat siap mengayunkan pedangnya membelah tubuh lawan. Tentu saja hal itu membuat Mintarja terkejut. Maka buru-buru senjatanya yang berupa sepasang tongkat runcing di cabut untuk menangkis.

Trasss!
Heh?!"

Begitu mendarat manis di tanah, kedua orang itu tersentak kaget ketiga senjata satu sama lain beradu. Tadi seperti terdengar suara besi panas membara yang diceburkan ke dalam air. Keduanya sama-sama mundur beberapa langkah seraya memandang senjata masing-masing. Kemudian mereka saling menatap dengan wajah heran.

"Nisanak' Siapa kau sebenarnya? Pedangmu mengandung hawa dingin yang mampu meredam nyala api tongkatku. Di dunia ini, yang mampu menahan tongkatku ini hanya pedang milik bibi guruku, yaitu Nyi Lengser yang berdiam di puncak Gunung Rinjani." kata pemuda itu membuka suara setelah terdiam beberapa saat.

Gadis itu terpana. Dipandanginya pemuda itu dengan seksama.

"Apakah kau... kau murid Eyang Sara Geni?" tanya gadis itu, lirih.

"Betul. Dan kau murid bibi guruku?" timpal Mintarja. Si pemuda balik bertanya.

"Kakang Mintarja!" gadis itu mendadak terpekik dengan wajah girang, seketika pedangnya disarungkan kembali ke balik punggungnya.

Mintarja juga terkejut dan menghampiri gadis itu. Lalu mereka saling berhadapan, setelah Mintarja menyelipkan kembali kedua tongkatnya. "Kaniawati!"

Mereka saling bertatapan beberapa saat, kemudian gadis itu tertunduk malu.

"Kakang! Oh, tak kukira bahwa kau orangnya. Maafkan kekeliruanku, Kakang...," lirih suara gadis yang dipanggil Kaniawati.

"Tak apa, Kania. Aku pun salah. Maafkan kekasaranku..." sahut pemuda itu dengan suara pelahan.

Kini mereka kembali terdiam, sehingga suasana hening seperti di pekuburan. Kaniawati masih menundukkan kepala, tak berani menatap wajah pemuda itu. Sementara Mintarja sendiri salah tingkah dan tak tahu harus berbuat apa. Tapi lama-kelamaan, akhirnya diberanikannya untuk memegang jemari gadis itu.

"Kania..." panggil pemuda itu, berbisik.

"Hmmm..."

"Tak sadar kau sudah besar dan cantik," puji Mintarja tersenyum kecil.

"Kau pun demikian, Kakang. Dulu ketika kecil kau kurus dan cengeng. Tapi sekarang kau gagah dan tampan...," sahut Kaniawati dengan wajah bersemu merah.

"Bagaimana keadaanmu selama disana?"

"Baik, Kakang. Eyang Guru sangat menyayangiku. Kakang sendiri?"

"Ya! Eyang Sara Geni pun berlaku demikian padaku..."

Kembali mereka terdiam. Namun, kali ini Mintarja lebih berani mengajak gadis itu untuk duduk di sebuah pohon yang lebih rindang. Dan kali ini pun, Kaniawati terlihat lebih berani mencuri-curi pandang, menatap wajah pemuda itu yang memang tampan. "Kau pun disuruh Eyang Lengser untuk menemuiku di sini?" tanya Mintarja. Kaniawati mengangguk. "Apakah beliau juga bicarakan tentang kita?"

Gadis itu mengangkat kepalanya, dan memandang pemuda itu sejurus lamanya. "Aku ingin tahu, apakah Kakang setuju soal perjodohan yang telah ditetapkan sebelum kedua orangtua kita tewas?"

"Kenapa tidak?"

"Kakang terpaksa menyetujuinya?"

"Kalau dulu aku tak tahu apa artinya. Maka aku setuju saja agar mereka senang. Tapi setelah dewasa begini, mana mungkin aku akan menolak kalau ternyata gadis yang dijodohkan padaku ternyata cantik tiada tara!" kata Mintarja, diiringi senyum manis.

Kaniawati tersenyum manis, kemudian membuang pandang sejurus lamanya.

"Kau sendiri bagaimana?" tanya Mintarja, sehingga membuat Kaniawati menoleh kembali.

"He, apa?"

Apakah kau menolak perjodohan kita?"

Kaniawati tak langsung menjawab, tapi malah tersenyum. "Menurutmu bagaimana?"

"Entalah. Eyang Sara Geni tak mengajarkan padaku bagaimana membaca hati orang. Aku hanya bisa tahu kalau orang itu mengaku. Nah, bagaimana jawabmu?"

Kaniawati menundukkan kepala, lalu mengangguk pelan. Tapi kemudian cepat dipandangnya pemuda itu dalam-dalam, masalahnya Mintarja menyinggung soal perkawinan mereka.

"Kakang, aku ada satu pertanyaan?"

"Apa itu?"

Paras wajah gadis itu seketika berubah kelam. Dia mendengus dan senyumnya terlihat sinis.

"Huh! Aku harus membalaskan dendam dua orangtuaku lebih dulu!" tegas Kaniawati.

"Kania! Bukan kau saja yang berpikir begitu. Aku pun memiliki dendam yang tak kalah besarnya denganmu. Dan Eyang Sara Geni juga berpesan, demikian. Jadi mana mungkin aku bisa bersenang-senang, selama mereka masih berkeliaran. Arwah kedua orangtuaku tentu tak akan tenang, kata Mintarja kembali.

"Terima kasih, Kakang. Kau tentu sabar menunggu, bukan?" ucap gadis itu.

"Tentu saja. Nah. lihatlah. Sebentar lagi malam tiba. Apakah kita akan menginap di sini. atau mencari desa yang terdekat untuk menumpang nginap?"

"Apakah kau tidak bisa tidur di hamparan rumput ini?" ledek Kaniawati. Gadis itu tersenyum.

"Hei? Kenapa tidak? Dengan adanya kau di sini, di mana pun aku bisa tidur!"

"Nah! Kenapa sulit-sulit segala mencari tempat?"

"Baiklah. Kita bermalam di sini saja, sambil merencanakan apa yang harus dilakukan esok hari. Mereka tak akan lolos dari kejaran kita. Dan, tak seorang pun boleh menghalangi dendam kita!" tegas Mintarja.

Gadis itu tersenyum sambil mengangguk kecil.

********************

DUA

Matahari bersinar garang siang ini, membuat udara semakin panas menyengat. Pucuk-pucuk dedaunan tampak layu. Beberapa rumput yang tumbuh di tempat itu kelihatan meranggas kekeringan. Udara yang panas demikian membuat seorang gadis berbaju biru muda dan berwajah cantik mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya yang berkeringat. Dia duduk bersandar di bawah pohon, dengan pandangan ke satu arah. Tampak di punggungnya tersimpan sebilah pedang bergagang kepala naga. Sementara di pinggangnya, terlihat sebuah kipasnya putih yang menguncup.

Mendadak gadis itu tersentak, dan cepat bangkit ketika melihat sosok bayangan yang berkelebat cepat ke arahnya. Dan sebentar saja telah berdiri laki-laki bertubuh besar di hadapannya. Wajahnya yang lebar dihiasi codet, sehingga menambah keseraman wajahnya. Rambut tipis, sementara kedua kakinya kelihatan lebih pendek dari pada tubuhnya yang tak terurus. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu tampak membawa tongkat bambu di tangannya. Dan bibirnya langsung menyeringai lebar ketika melihat gadis itu.

"Ha, ha, ha...! Apakah saat ini aku tengah bermimpi? Seorang gadis cantik tersesat di daerah kekuasaan Gendil Sugolo!" kata orang itu kesenangan.

"Siapa kau! Dan apa yang kau lakukan di sini?" bentak gadis yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Pandan Wangi.

"Oh! Apakah kau tuli? Bukankah aku telah menyebutkan namaku tadi?" sahut orang yang mengaku bernama Gendil Sugolo, pura-pura terkejut.

"Mau apa kau ke sini?" tanya Pandan Wangi, keras.

"Mau apa? Apakah tidak terbalik? Akulah seharusnya yang bertanya begitu padamu. Tempat ini adalah kekuasaanku. Sejauh mata memandang, di hadapanmu adalah daerah kekuasaan Gendil Sugolo yang tampan dan gagah perkasa," kata Gendil Sugolo sambil membentangkan kedua tangan. Sementara mulutnya mengumbar tawa lebar.

"Orang gila sinting! Menyingkirlah dari hadapanku! Kalau tidak, kupecahkan kepalamu!" bentak Pandan Wangi kembali. Wajahnya tampak mencerminkan kegeraman dan perasaan jengkel melihat ulah orang itu.

"He, he, he...! Kau hendak pecahkan kepalaku? Silakan, Cah Ayu!" tantang Gendil Sugolo sambil mengangsurkan kepalanya. Melihat itu, Pandan Wangi semakin kalap saja. Dengan gemas kepalan tangannya diayunkan menghantam ke arah batok kepala laki-laki itu.

"Hiiih!"
"Eit! Ha, ha, ha...!"

Gendil Sugolo memiringkan tubuhnya begitu sesaat lagi kepalan tangan gadis itu akan menghantam kepalanya. Sehingga luput serangan itu.

Pandan Wangi bertambah geram karena serangannya luput. Maka lutut kanannya cepat di sodokkan ke perut Gendil Sugolo. Tubuh laki-laki seram itu sudah melenting ke atas sambil berputaran. Dan tahu-tahu, dia telah mendarat di belakang Pandan Wangi. Langsung diremas pantat gadis itu.

"Ouuuw...!" Gadis itu kontan menjerit kaget sambil memaki-maki tak karuan.

"Hm... aku tahu! Aku tahu! Kau tentu masih perawan ting-ting. He, he, he...! Gendil Sugolo memang harus berjodoh dengan gadis cantik jelita dan yang masih perawan." ucap laki-laki berwajah seram itu.

"Setan keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" dengus Pandan Wangi kalap.

"Ha, ha, ha...! Cah Ayu! Kenapa bersikap galak pada calon suamimu? Ayo, bersikaplah yang manis!" ledek Gendil Sugolo dan tertawa menakutkan.

Melihat hal ini, Pandan Wangi segera melepaskan satu sapuan yang mengarah ke pinggang. Namun serangan itu berhasil dihindari Gendil Sugolo dengan memiringkan tubuh sedikit. Maka tentu saja Pandan Wangi semakin kalap saja, sehingga terpaksa pedangnya dicabut.

Sring!

"Tua bangka keparat! Kubunuh kau saat ini! Hiyaaa!"

Pandan Wangi langsung melesat seraya mengibas ngibaskan pedangnya ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Bet! Bet!

"Uts...! Hm, bagus! Bagus! Calon istriku ternyata hebat sekali Ah! Aku semakin gemas saja ingin cepat-cepat mendekapmu!" Ujar Gendil Sugolo sambil melompat ringan ke sana kemari, menghindari sambaran pedang gadis yang terus mencecarnya seperti tiada henti.

"Hiyaaa!"

Disertai bentakan nyaring Gendil Sugolo berusaha membuat agar pedang di tangan Pandan Wangi terlepas, maka yang harus dihantamnya adalah pergelangan tangan gadis itu.

Namun Pandan Wangi cukup cerdik. Dengan gesit dihindarinya serangan lawan yang mengincar pergelangan tanganya. Namun Gendil Sugolo agaknya tak kurang akal. Maka tiba-tiba, tubuhnya melenting ke atas dan bermaksud menotok gadis itu. Untung saja cepat mengibaskan pedangnya ke atas.

Wut!

Terpaksa Gendil Sugolo menarik pulang tangannya, lalu kembali melenting tinggi. Dan dengan gerakan ringan sekali, kakinya mendarat di tanah.

"Jangan coba-coba memperdayaku. Kau akan celaka sendiri!" geram Pandan Wangi.

"Ha, ha, ha...! Aku semakin suka melihatmu, Cah Ayu." sahut Gendil Sugolo terkekeh-kekeh.

Laki-laki seram itu melompat ke belakang, karena Pandan Wangi kembali menyerangnya dengan satu sebetan pedang. Disertai geraman menyeramkan, Gendil Sugolo yang sudah berdiri kokoh di tanah segera memutar tongkatnya menggulung pedang gadis itu. Tubuhnya kemudian terangkat tinggi, disertai tendangan keras dan cepat.

Pandan Wangi tak punya jalan lain, kemudian menghindari dengan melenting ke belakang. Namun, justru hal itulah yang diharapkan lawan. Begitu Pandan Wangi melenting, Gendil Sugolo menarik serangannya. Dan seketika, tubuhnya melesat mengejar Pandan Wangi. Dan tepat ketika gadis itu mendarat di tanah, dua buah jari tangan kanan laki-laki itu cepat menyambar ke arah perut Pandan Wangi.

Agaknya Pandan Wangi memang tak akan mampu menghindari totokan itu. Tapi tiba-tiba....

"Orang asing, hentikan perbuatan kotormu! Hiiih!"

"Heh!"

Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat Gendil Sugolo tersentak kaget dan menarik pulang serangannya. Dan sebentar kemudian berkelebat sosok bayangan putih, dan tahu tahu sudah berdiri tak jauh dari gadis itu.

"Siapa kau?! Berani-beraninya mengganggu urusan Gendil Sugolo? Sudah bosan hidup, he?!" bentak Gendil Sugolo garang.

"Kakang Rangga! Oh, syukurlah kau cepat datang!"

Pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti itu belum sempat menjawab, karena Pandan Wangi sudah menghambur kearahnya. Langsung dipeluknya tubuh pemuda itu dengan wajah lega.

"Hm... aku tahu. Kalian ternyata sepasang kekasih. Atau, barangkali kakak adik? Huh, apa peduliku?! Aku berhak menentukan apa yang kuinginkan di wilayahku ini! He, Bocah! Minggir kau. Dan, pergilah dari sini! Tinggalkan gadis calon istriku itu!" bentak Gendil Sugolo seperti orang tak waras.

"Oo... Jadi gadis ini calon istrimu? Apakah telah kau tanyakan padanya? Kalau dia memang setuju, dengan senang hati aku akan meninggalkan tempat ini. Tapi kalau tidak, harap jangan suka mengganggu dan memaksa orang yang tak suka, Kisanak," sahut Pandekar Rajawali Sakti, enteng.

"Sial! Kau pikir siapa dirimu berani bicara begitu terhadapku, he?!" bentak laki-laki berwajah lebar itu sambil melototkan mata dan berkacak pinggang.

"Tua bangka sinting! Bicaramu ngawur tak karuan. Apa kau pikir dirimu sudah hebat, sehingga bisa berbuat sesuka hatimu?!" bentak Pandan Wangi.

"Ha, ha, ha...! Cah Ayu! Melihat kau bicara, aku bertambah senang saja. Tapi untuk urusan ini, sebaiknya kau tenang-tenang saja. Aku akan membereskan pangacau busuk ini!" sahut Gendil Sugolo sambil tertawa.

"Pandan, orang ini kelihatan tak waras. Kita akan semakin gila kalau meladeninya. Lebih baik, tinggalkan saja tempat ini," bisik Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang! Dia telah berbuat kurang ajar padaku. Aku harus menghajarnya lebih dulu!" sahut Pandan Wangi.

"Eee, apa yang kalian bisik-bisikan? Cah Ayu! Ke sini kau! Mendekatlah padaku! Jangan sampai kau dipengaruhinya!" bentak Gendil Sugolo nyaring, dengan wajah tak senang.

"Tua bangka sinting! Tutup mulutmu! Kau pikir bisa mengaturku seenak perutmu!" balas Pandan Wangi.

"He, he, he...! Kenapa! Kenapa kau malah marah padaku? Apakah kau sudah tak sayang lagi padaku?" ucapan Gendil Sugolo makin tak karuan.

Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat kelakuan orang itu. Jelas sudah kalau orang bernama Gendil sugolo itu sinting dan tak bisa diajak bicara baik-baik. Sangat disayangkan. Padahal kepandaiannya cukup hebat. Entah, apa yang membuatnya demikian. Tapi, pemuda itu tak mau repot-repot mengurusinya. Maka dipaksanya Pandan Wangi untuk tidak meladeni laki-laki itu. Meskipun semula Pandan Wangi sangat dendam sekali, namun akhirnya menurut juga ajakan Rangga.

"Kisanak, maaf. Kami tidak bisa meladenimu," sahut Rangga, hendak pergi dari situ.

Demikian pula halnya Pandan Wangi. Meskipun wajahnya terlihat cemberut dan geram, akhirnya dituruti juga ajakan Pendekar Rajawali Sakti. Namun mendadak, Gendil Sugolo melenting menghadang mereka. Tangan kirinya berkacak pinggang. Sementara tangan kanannya yang memegang tongkat bambu, dituding-tudingkan ke arah Rangga. Wajahnya tampak garang dengan mata melotot.

"Bocah sialan! Apa hakmu membawa-bawa calon istriku pergi?! Kurang ajar! Kau pikir dirimu sudah hebat? Hiiih!"

Begitu selesai memaki-maki Gendil sugolo langsung melayangkan tongkatnya ke batok kepala Pandekar Rajawali sakti. Tentu saja dia tak bisa tinggal diam. Maka tubuhnya cepat menunduk. Namun, Gendil Sugolo telah bersiap dengan ayunan kaki yang keras.

"Mampus...!"
"Sial!"

Rangga memaki geram seraya melenting ke atas untuk menghindari tendangan lawan. Dan tubuhnya terus berputaran di udara, sementara Gendil Sugolo terus mengejar sambil menyabetkan tongkat di tangannya.

"Bocah gendeng! Gila! Mampus kau! Mampus...!" maki Gendil Sugolo berkali-kali. Dan dia terus mengejar Pendekar Rajawali Sakti disertai kemarahan meluap-luap.

"Dasar sinting! Aku tak bisa terus-terusan begini menghadapinya. Dia harus diberi pelajaran!" gerutu Rangga sambil mengumpat kesal.

Begitu mendapat kesempatan Rangga mulai membalas menyerang. Namun pada saat yang sama, Gendil Sugolo membabatkan senjatanya. Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas melewati kepala Gendil Sugolo. Dan begitu menginjak tanah, tangannya cepat diayunkan ke arah dada.

"Hiiih!"

"Uts, kurang ajar!" maki Gendil Sugolo. Ham-pir saja tangan Rangga menembus dada kiri laki-laki sinting itu, untung tubuhnya cepat diputar ke kiri, sehingga serangan itu lewat beberapa rambut di depannya.

Tapi siapa sangka, ketika tiba-tiba tangan Pendekar Rajawali Sakti berbalik siap menghajar leher Gendil Sugolo. Maka dengan kalang kabut laki-laki sinting itu melompat ke belakang.

"Hiyaaa!"

Pendekar Rajawali Sakti terus mengejar dengan serangan cepat ke arah pinggang. Namun dengan tangkas Gendil Sugolo menangkis. Namun pada saat yang sama kaki kiri Rangga menyodok dari bawah ke atas menghajar punggung. Maka bukan main terkejutnya Gendil Sugolo. Meskipun tangannya masih gemetar akibat senjatanya beradu tadi, namun tongkatnya masih sempat dibabatkan untuk menghajar tulang kering kaki Pendekar Rajawali Sakti setelah berbalik dengan cepat. Melihat hal itu Rangga cepat menarik pulang tendangannya. Dan seketika, sambil melompat berputar, Pendekar Rajawali Sakti menggerakkan dua buah jari tangan kanannya begitu cepat gerakannya, sehingga Gendil Sugolo tak sempat menghindar. Dan...

Tek! Tuk!
"Ohhh...!"

Dua buah totokan yang mendarat di pinggang kanan Gendil Sugolo begitu cepat pengaruhnya. Maka....

Brugk!

Tanpa mampu dicegah lagi, tubuh Gendil Sugolo ambruk tak berkutik. Laki-laki tak waras itu hanya mendelik garang sambil memaki-maki tak karuan, namun dengan tubuh tak berdaya.

"Bocah sial. Lepaskan totokanmu ini! Aku masih mampu memecahkan batok kepalamu! Ayo lepaskan cepaaat...!" dengus Gendil Sugolo.

"Cobalah lepaskan sendiri, Kisanak!" sahut Rangga tenang.

"Setan keparat! Gendeng! Bocah sial! Mau ke mana kau, he?! Lepaskan aku dulu. Awas, kau. Sekali lagi bertemu denganku, kupecahkan batok kepalamu!!" kembali Gendil Sugolo memaki-maki tak karuan.

Tapi, Rangga tetap tenang-tenang saja. Sambil tersenyum kecil, kakinya melangkah ke arah Pandan Wangi Kemudian diajaknya gadis itu pergi.

"Kisanak! Kalau kau terus berusaha seperti itu, maka totokanku itu akan semakin kuat membelenggumu. Tapi kalau kau tenang, maka tak sampai sore nanti tentu akan terbebas," kata Rangga, tanpa menoleh sedikit pun.

"Persetan dengan ocehanmu! Lepaskan totokanku cepaaat...!" sahut Gendil Sugolo membentak nyaring.

"Kakang! Kupingku sakit mendengar teriakannya. Kenapa tak sekalian saja dihajar supaya diam?" gerutu Pandan Wangi, sambil terus melangkah di sisi Pendekar Rajawali Sakti.

"Tak usah. Sekarang, lebih baik kita tinggalkan saja," jawab Rangga sambil tersenyum-senyum kecil. "Nanti totokan itu akan hilang dengan sendirinya, setelah kita sudah jauh meninggalkan tempat ini."

Pandan Wangi menoleh sekilas ke arah Gendil Sugolo, kemudian buru-buru memalingkan wajah ketika melihat Gendil Sugolo menyeringai buas.

"Bocah gendeng! Setaaan! Kau boleh pergi ke ujung langit sekalipun. Tapi, jangan bawa-bawa calon istriku! Keparat! He, jangan bawa calon istrikuuu..."

Meski Gendil Sugolo berteriak-teriak sampai urat lehernya pecah, mana mungkin keinginannya terpenuhi. Malah kedua orang itu semakin jauh saja meninggalkan tempat ini, kemudian lenyap dari pandangan matanya.

"Oh, Cah Ayu! Tega nian kau meninggalkanku? Apakah kau tak sayang lagi padaku? Apakah kau tak cinta lagi padaku? Kenapa kau malah mengikuti bocah gendeng itu? Apakah aku kurang tampan dibandingkan dengan dia? Apakah aku kurang gagah? Cah Ayu, kembalilah padaku...." ratap Gendil Sugolo.

Mendadak, baru saja selesai bicaranya, melesat dua sosok bayangan. Dan belum juga Gendil Sugolo menyadari, kedua bayangan itu langsung berdiri tegak di hadapannya. Wajahnya langsung gembira ketika melihat seraut wajah gadis cantik berbaju ungu. Rambut gadis itu panjang, dikuncir ke belakang. Di punggungnya tersandang sebilah pedang.

"Eh, Cah Ayu! Kau kembali! Kau kembali untukku, bukan?!" sentak Gendil Sugolo.

Sedang di sebelahnya berdiri seorang pemuda gagah bertubuh tegap, terbungkus baju lusuh dengan beberapa bagian terlihat sobek. Wajahnya keras, dan sedikit pun tak terlihat senyumnya. Sepasang tongkat terbuat dari batu karang, tampak terselip di pinggangnya.

"Siapa kalian?! Kalian bukan orang yang tadi?" tanya Gendil Sugolo, menyadari kalau dua orang di hadapannya bukan yang tadi. "Kaukah yang bernama Gendil Sugolo?" tanya pemuda berbaju lusuh itu. Suaranya terdengar berat dan penuh ancaman.

"Ha, ha, ha...! Tak kusangka, semua orang akhirnya mengenal namaku. He, bocah! Kau sungguh beruntung bertemu Gendil Sugolo. Hah, tolong bebaskan totokanku. Setelah itu, aku akan memberi hadiah pada kalian" sahut Gendil Sugolo sambil tertawa senang.

"Baiklah," sahut pemuda itu. Begitu selesai kata-katanya, kaki kiri pemuda itu segera terayun menghantam dada Gendil Sugolo.

Dess!
"Aaakh!"

********************

TIGA

Gendil Sugolo seketika menjerit keras, begitu pemuda itu menendang bagian tubuhnya jadi terpental beberapa langkah dari tempat semula. Namun dengan cara begitu, Gendil Sugolo agaknya terbebas dari totokan. Terbukti kemudian, laki-laki kurang waras itu bangkit dengan wajah geram.

"Kurang ajar! Kelakuan anak muda sekarang memang makin kurang ajar saja. Siapa kalian?" bentak Gendil Sugolo garang.

"Kenalkah kau dengan Ki Rogo Janggat dan Ki Sampang Jinggolo?" pemuda itu malah balik bertanya, tanpa menjawab pertanyaan Gendil Sugolo.

"Apa?" tanya Gendil Sugolo dengan suara keras.

"Orang tua budek! Jangan membuat kesabar-anku hilang! Kami adalah putra-putrinya. Dan kau adalah salah seorang dari keparat pembunuh orangtua kami. Maka, jangan harap bisa lepas dari tangan kami!" dengus pemuda itu tajam.

Gendil Sugolo menatap sepasang anak muda itu bergantian. Matanya sampai menyipit merayapi tubuh mereka dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Lalu...

"Ha, ha, ha...! Dasar orangtuanya geblek. Anaknya pun ikut-ikutan geblek. He, jadi kalian putra-putrinya. Apa maunya kalian padaku? Balas dendam? Membunuhku? Ayo, lakukanlah kalau mampu!" kata Gendil Sugolo sambil terkekeh-kekeh.

"Memang, kami akan lakukan. Nah, orangtua sinting. Jagalah nyawamu dari kejaran kami!" ujar pemuda itu, mantap.

Begitu selesai kata-katanya, pemuda itu langsung meluruk menyerang Gendil Sugolo. Demikian pula gadis di sebelahnya. Gerakan mereka cepat bukan main, sehingga sejenak Gendil Sugolo tersentak kaget. Namun dengan segala pengalamannya selama puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan, cepat bagai kilat tongkat bambunya diayunkan untuk menghalau serangan kedua lawannya.

"Hiyaaa!"
Wutt!
Bet! Bet!

Ujung tongkat laki-laki sinting itu menyambar-nyambar bagian tubuh yang mematikan dari kedua lawannya. Namun sepasang anak muda itu gesit sekali menghindari. Bahkan melakukan sodokan cepat ke arah bagian tubuh Gendil Sugolo yang amat mematikan. Tentu saja hal ini membuat laki-laki sinting itu tersentak kaget Untung saja dia cepat bisa melenting ke belakang sejauh tiga tombak. Lalu, Manis sekali kakinya mendarat di tanah, menghadap ke arah sepasang anak muda yang tidak melanjutkan serangan.

"Gendil Sugolo! Ketahuilah, agar kau tak mati penasaran. Namaku Mintarja. Aku putra Ki Rogo Janggat. Dan kawanku ini, Kaniawati putri Ki Sampang Jinggolo!" kata pemuda yang tak lain Mintarja sambil tersenyum sinis, Mintarja menatap dalam-dalam wajah Gendil Sugolo. Sepertinya, lewat matanya, pemuda itu ingin menelan bulat-bulat laki-laki di hadapannya.

"Puihh! Apa peduliku dengan kalian? Biar anak setan sekalipun, jangan dikira bisa menakuti Gendil Sugolo?!" balas Gendil Sugolo dengan suara keras.

Begitu selesai kata-katanya, pemuda itu melompat tinggi, seraya menggosok-gosokkan kedua tangannya. Dan seketika kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan.

"Kalau begitu, kau memang harus mampus!" dengus Mintarja.

"Hiyaaa!"
Werrr!

Bukan main terkejutnya Gendil Sugolo, ketika dari telapak tangan pemuda itu melesat gulungan api yang kuat dan terasa panas sekali. Untung dia cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga gulungan api sebesar kepala bayi itu hanya lewat pada jarak tiga jengkal di depan tubuhnya. Namun demikian kulitnya masih terasa terbakar oleh jilatan lidah api. Dan gulungan api itu terus meluncur ke arah sebuah pohon yang ada di belakang Gendil Sugolo. Begitu terhantam pukulan Mintarja, pohon itu hangus terbakar, disertai ledakan dahsyat.

Glarrr...!

Namun belum juga Gendil Sugolo menyadari apa yang terjadi...

"Yeaaa!"
"Hei?!"

Kembali Gendil Sugolo tersentak kaget, ketika tiba-tiba gadis berbaju ungu itu menghentakkan tangan kanan ke arahnya. Maka seketika hembusan angin dingin bagai es meluncur cepat ke arahnya laki-laki edan itu. Masih untung Gendil Sugolo mampu menghindari dengan melenting ke atas. Namun, tak urung angin semburannya sempat membuat tubuhnya menggigil kedinginan.

"Bocah-bocah gendeng! Kalian kira aku bisa ditakut-takuti?!" maki Gendil Sugolo, geram bercampur marah.

Dan ketika kedua kaki Gendil Sugolo menyen-tuh tanah, saat itu juga telapak tangan kanannya dihentakkan ke depan. Maka dari telapak tangannya yang terbuka menderu angin kencang ke arah sepasang anak muda itu. Namun Mintarja dan Kaniawati serentak melenting ke udara, sehingga serangan angin itu hanya lewat di bawah kakinya. Dan begitu mereka mendarat di tanah...

Srak!
Sring!

Sepasang anak muda itu langsung mencabut senjata masing-masing. Dan mereka memang tak ingin tanggung-tanggung lagi.

"Gendil Sugolo. Sudah cukup peringatan itu bagimu. Sekarang, bersiaplah untuk mampus!" ujar Mintarja. Seketika tubuh pemuda itu terus meiesat ke arah Gendil Sugolo.

Demikian halnya Kaniawati yang wajahnya menyiratkan dendam kesumat!

"Hiyaaa!"

Gendil Sugolo tak punya pilihan ketika tongkat di tangan Mintarja menyodok ke arah jantungnya. Tubuhnya seketika melompat ke atas, sehingga serangan itu luput. Namun pada saat yang sama pedang Kaniawati menyambar kepalanya. Maka cepat-cepat tangannya bergerak ke atas, memapak serangan pedang itu! Gendil Sugolo tak sempat lagi menghindar, dan terpaksa tongkatnya dipakai untuk menangkis....

Trakkk!

"Heh?!" Lelaki tua itu kaget ketika tongkatnya patah dihantam tongkat Mintarja. Dan, belum habis keterkejutannya, Kaniawati sudah meluruk cepat dan membabatkan pedang ke arah punggungnya!

Trak!

Begitu habis memapak, tubuh Gendil Sugolo jadi terlempar ke belakang. Namun untung saja dia masih mampu menjaga keseimbangan. Sehingga waktu mendarat di tanah, dia tidak terpelannng. Se dangkan Kaniawati sudah terlebih dulu mendarat manis di tanah. Sementara itu Mintarja tak membiarkan lawannya begitu saja. Tubuhnya langsung meluruk sambil mengibaskan tongkat di tangan kanan ke arah lawan yang baru saja mendarat. Tentu saja tak ada kesempatan bagi Gendil Sugolo untuk menghindar, sehingga terpaksa harus menangkis dengan tongkat bambu di tangannya.

Trakkk!
"Heh?!"

Betapa terkejutnya Gendil Sugolo ketika menyadari tongkat bambu di tangannya patah, begitu habis memapak. Belum habis keterkejutannya, tubuh Kaniawati juga sudah cepat meluruk, dan langsung membabatkan pedangnya ke punggung Gendil Sugolo.

Crasss!

Gendil Sugolo kontan memekik kesakitan begitu punggungnya tertebas pedang Kaniawati. Melihat kesempatan ini, Mintarja tidak mau menyia-nyiakan. Seketika tubuhnya meluruk melancarkan tusukan ke arah jantung Gendil Sugolo yang belum mampu berbuat apa-apa. Maka...

Blesss!

"Mampus, kau!" kata Mintarja.

Gendil Sugolo terhuyung-huyung sebentar sambil memegangi dadanya yang mengucurkan darah. Sebentar kemudian tubuhnya ambruk ke tanah, dan tak berkutik lagi. Mati!

Sebentar Mintarja memandangi mayat musuhnya, laki menatap Kaniawati yang masih menyaksikan kematian Gendil Sugolo.

"Mari, Kania. Kita tak boleh buang-buang waktu," ajak Mintarja.

Sebentar saja, kedua orang itu sudah melesat cepat meninggalkan mayat yang berlumuran darah. Dan angin pun menyapu sekitarnya, menebarkan bau anyir darah manusia.

********************

Seorang perempuan tua tampak tengah duduk di sebatang pohon yang roboh, di depan pondok kecil. Rambutnya sebagian telah memutih terma- kan usia. Di depannya duduk bersila seorang gadis berusia enam belas tahun. Gadis berpipi tembam itu tampak dengan seksama mendengarkan wejangan yang diberikan wanita tua di hadapannya.

"Purwasih.... Kurasa, semua ilmu kanuragan yang kumiliki telah kuajarkan padamu. Dan seka-rang tibalah hari perpisahan kita. Kau harus turun gunung dan mengabdikan ilmu yang kamu miliki," ujar perempuan tua itu, yang sepertinya adalah guru dari gadis di hadapannya.

"Eyang Kumala, aku tak ingin meninggalkanmu sendiri di tempat ini. Siapa yang akan mengurusmu nanti...?" tanya gadis yang dipanggil Purwasih, dengan nada sedih.

Perempuan tua yang dipanggil Eyang Kumala, bangkit Dihampirinya Purwasih yang duduk sekitar satu tombak di depannya. Lalu dibelai rambut gadis itu. Tampak tersenyum bibir tuanya. Sementara kepalanya menggeleng pelan.

"Tidak. muridku. Aku bisa mengerjakan segalanya sendiri. Lagi pula, aku punya firasat. Rasanya usiaku tak akan lama lagi berakhir...," lirih suara Eyang Kumala.

Purwasih kontan tersentak, lalu bangkit berdiri. Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah gurunya itu.

"Eyang! Kau tak boleh berkata demikian! Eyang harus tetap hidup! Eyang harus tetap hidup!" gadis itu langsung memeluk tubuh perempuan tua itu dengan wajah haru dan terisak pelan.

"Purwasih, tenanglah. Bukankah setiap manusia pasti akan menemui Penciptanya? Jadi tak perlu takut akan kematian. Hanya saja bila aku telah tiada, hati-hatilah membawa diri. Dan ingat pesanku. Kalau suatu saat bertemu orang yang amat membenciku, hati-hatilah. Tak ada yang perlu kusembunyikan darimu. Dan, kau bebas menentukan sikap," ujar Eyang Kumala. seraya berusaha melepaskan pelukan Purwasih dengan lembut.

"Maksud Eyang tentang peristiwa dua puluh tahun yang silam itu?" tanya Purwasih, langsung menatap gurunya.

Eyang Kumala mengangguk. "Kedua orang itu sering berbuat kejahatan. Dan, tak seorang pun yang bisa menghentikan. Sehingga, para tokoh golongan putih serta orang-orang yang merasa dirugikan segera bersatu untuk menggempur, sehingga mereka berhasil ditewaskan." tambah Eyang Kumala.

"Eyang hanya mengkhawatirkan anak-anak mereka yang akan menuntut balas pada para tokoh itu?" Purwasih seperti minta penegasan.

Eyang Kumala tak langsung menjawab. Maka ditatapnya wajah Purwasih dalam-dalam. Pada sinar matanya, terlihat jelas rasa kekhawatiran yang sangat dalam.

"Aku tak mengkhawatirkan diriku, tapi dirimu. Seperti apa yang telah kuceritakan padamu, putra-putri mereka diselamatkan oleh tokoh berkepandaian tinggi yang sama sekali tak kami kenal," lanjut Eyang Kumala.

Purwasih mendesah pelan, lalu kembali memeluk gurunya.

"Lalu, apa yang Eyang khawatirkan?"

"Purwasih... Aku tak tahu, seberapa hebat tokoh yang menyelamatkan putra-putri kedua tokoh yang kami bunuh itu. Aku juga tak tahu siapa. dan berasal dari golongan mana. Tapi aku yakin tokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Dan kalau dia termasuk golongan hitam, maka tentu akan mendidik kedua bocah itu, untuk membalaskan dendam kematian orang tua mereka," jelas Eyang Kumala sambil menghela napas berat.

"Eyang! Aku akan berusaha sebaik-baiknya mengamalkan ilmu yang kupelajari. Dan aku berjanji tak akan mengecewakanmu!" sahut gadis itu dengan wajah sungguh sungguh. Eyang Kumala tersenyum kecil, kemudian kembali mengelus kepala gadis itu.

"Nah! Kalau demikian, pergilah segera. Orang-tuamu past sudah teramat rindu padamu. Juga kakakmu. Dia pasti merasa kehilanganmu. Bukankah sudah lama sekali kau tak menemui mereka?" ujar Eyang Kumala, seraya melepaskan pelukannya.

"Tapi Eyang...."

"Jangan khawatirkan diriku. Aku bisa menjaga diri," sahut perempuan tua itu dengan wajah meyakinkan.

Dengan hati berat terpaksa gadis itu menuruti kara-kata gurunya. Namun baru saja akan berbalik, mendadak mereka kedatangan dua orang tamu. Sepasang muda-mudi yang gagah tampan dan cantik.

"Kisanak dan Nisanak siapakah kalian. Dan, apa yang bisa kubantu?" sapa Eyang Kumala.

"Kaukah yang bernama Eyang Kumala?" tanya pemuda yang memakai baju compang-camping dengan wajah dingin.

"Hm.... Kalau kau ingin bertemu, kau tengah berhadapan dengan orangnya," sahut Eyang Kumala bernada curiga.

"Bagus! Kalau demikian, bersiaplah kau, karena kami akan mencabut nyawamu!" geram pemuda itu dengan wajah kalem, terselimut dendam sangat dalam yang terbias dari wajahnya.

"Hm... Jadi kalian putra-putri Ki Rogo Janggat dan Ki Sampang Jinggala?" tanya Eyang Kumala, masih bersikap tenang.

"Syukur kau menyadari hal itu. Berarti, kau juga mengakui dosa-dosamu!" sahut gadis berbaju ungu dan berwajah cantik itu.

"Kau salah, Cah Ayu. Aku sama sekali tak merasa bersalah atas kematian kedua orangtua kalian. Mereka orang jahat. Bahkan juga pengacau yang selalu dikutuk semua golongan. Dan nasib kalian akan sama dengan kedua orangtuamu jika sekarang menuruti hawa nafsu belaka," ujar Eyang Kumala.

"Perempuan busuk! Jangan asal bicara kau! Terimalah kematianmu!" bentak gadis berbaju ungu itu.

Gadis itu langsung menyerang Eyang Kumala, tapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, memapak serangannya.

Plak!

"Gadis tak tahu aturan! Hadapilah aku lebih dulu sebelum berhadapan dengan guruku!" sentak orang yang memapak dan tak lain adalah Purwasih.

"Huh! Bocah tolol! Kau pikir mampu menahanku? Rasakanlah akibatnya!" Gadis itu langsung melayangkan satu tendangan ke arah Purwasih. Namun dengan berani gadis berpipi tembam itu memapak dengan tendangan pula.

Plak!
"Uhhh...!"

Begitu kedua kaki mereka beradu, Purwasih seperti menghantam tembok baja yang tebal. Kakinya kontan terasa nyeri. Dalam keadaan begini, tiba-tiba kembali datang serangan. Untung Purwasih masih cukup gesit melompat ke belakang. Sehingga, serangan itu luput. Melihat keadaannya berbahaya, Purwasih segera mencabut pedangnya. Ketika gadis berbaju ungu itu siap menyerang kembali.

"Hiyaaa!"

Purwasih langsung mendahului, dengan meluruk sambil mengibas-ngibaskan pedangnya.

Wut! Wut!

Ujung pedang itu lurus menyambar ke arah leher, dada, dan pinggang lawan. Namun, manis sekali tubuh gadis berbaju ungu itu meliuk-liuk menghindari. Bahkan tiba-tiba dia melenting seraya berputaran sedemikian cepat. Akibatnya Purwasih jadi tersentak kaget dan bingung. Maka di tengah kebingungannya, tiba-tiba gadis lawannya meluruk cepat sambil melepaskan satu hantaman keras ke punggung kanan.

Begkh!
"Akh!"

Purwasih terjajar ke depan, namun masih untung mampu bersalto ke depan. Lalu, kakinya hinggap di tanah manis sekali. Sementara pemuda itu sudah pula bertarung sengit melawan Eyang Kumala. Serangan yang dilancarkan bertubi-tubi dan dahsyat sekali. Masih untung, sampai saat ini Eyang Kumala masih bisa menghindari.

"Kania! Kau tak boleh membuang-buang waktu! Habisi gadis tolol itu segera. Dan biar perempuan busuk ini akan merasakan tanganku!" teriak pemuda yang bernama Mintarja sambil melompat menyerang Eyang Kumala.

"Baiklah, Kakang Mintarja!" sambut gadis berbaju ungu yang memang Kaniawati.

"Yeaaa...!"

Sambil membentak nyaring, satu tendangan Mintarja menderu mengincar batok kepala Eyang Kumala. Namun perempuan tua itu hanya tersenyum sinis begitu tendangan hampir mendarat, cepat tangan kirinya menangkis.

Plak!
"Uhhh...!"

Bukan main terkejutnya perempuan tua itu, ketika merasakan tangannya bergetar akibat benturan dengan kaki Mintarja. Belum lagi habis rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan kaki kanan pemuda itu kembali menyapu dadanya. Buru-buru Eyang Kumala melompat ke belakang, seraya mengibaskan tongkatnya menghalau serangan.

Bet!
"Uts, ha...!"

Mintarja cepat memutar tubuhnya dengan gerakan menyamping. Sehingga, ujung tongkat Eyang Kumala hanya lewat beberapa rambut dari tubuhnya. Kemudian cepat, dia melenting ke atas. Dan begitu meluncur turun, kepalan tangan kanannya disiapkan bagai kilat dengan tenaga kuat ke arah dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga kali ini Eyang Kumala tak punya pilihan untuk melepaskan satu pukulan selain menangkis.

Plak!
"Aaakh...!"

Kembali perempuan tua itu merasa tangannya nyeri akibat benturan barusan. Namun tanpa mempedulikan rasa sakit, tongkat di tangan kanannya kembali berkelebat menyambar tubuh Mintarja. Untung Mintarja telah melompat ke atas sambil menekuk kedua kakinya. Tubuhnya berputaran beberapa kali, lalu laksana kilat menukik turun. Begitu cepat gerakannya. Sehingga ketika Mintarja langsung melepaskan tendangan, Eyang Kumala tidak bisa bertindak apa-apa. Dan...

Des!
"Aaah...!"

Perempuan tua itu kontan memekik kesakitan, begitu dadanya terhantam tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya langsung terlempar lima langkah sambil meneteskan darah di sudut bibirnya. Dan rupanya teriakan gurunya membuat Purwasih tersentak kaget. Akibatnya, dia jadi lengah.

"Eyang...?!"

Begitu Purwasih berpaling, sebuah serangan meluncur datang. Sehingga....

Desss!
"Aaakh...!"

Satu kepalan tangan Kaniawati langsung menghantam dada Purwasih, sehingga membuatnya terjajar beberapa langkah. Mulutnya jadi meringis merasakan sakit yang bukan main, akibat pukulan geledek yang amat keras tadi. Dan Kaniawati tak berhenti sampai di situ saja. Tanpa memberi kesempatan pada lawan, tubuhnya hendak melepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa...!"

"Purwasih, cepat lari dari sini! Cepaaat..! Hiyaaa...!"

********************

EMPAT

Pada saat yang gawat bagi Purwasih, Eyang Kumala berteriak keras sambil melompat cepat bagai kilat meninggalkan lawannya. Langsung dihadangnya serangan Kaniawati.

Plak!

Dua benturan kontan terjadi, begitu tangan Eyang Kumala menghantam tangan Kaniawati. Tapi Eyang Kumala yang sudah terluka dalam akibat terkena tendangan tadi, tentu saja tenaganya jadi kalah jauh. Maka tubuhnya jadi terjajar beberapa langkah. Untung saja tangan yang satunya tadi sempat mendorong tubuh Purwasih tadi. Dan Eyang Kumala sendiri, kini hanya berdiri limbung dengan sorot mata tajam ke arah Mintarja.

Sementara itu mana mau Mintarja membiarkan Eyang Kumala begitu saja. Tubuhnya langsung melesat, mengirim satu tendangan keras ke arah dada.

Diagh!
"Aaakh...!"

Diiringi pekik kesakitan tubuh Eyang Kumala terjajar ke depan. Namun dia kembali harus menerima hajaran Kaniawati yang telah menunggu kesal, karena serangan tadi digagalkan. Maka tak heran kalau kembali terdengar jerit kesakitan. Dari mulut itu menyembur darah. Tubuhnya yang limbung me-nahan rasa sakit, dihadapkan ke arah Purwasih yang hanya terbengong-bengong. Kemudian tangannya mengibas-ngibas menyuruh muridnya pergi.

"Purwasih, pergi! Pergi dari sini, cepaaat...!"

Gadis itu jadi bingung. Dia bermaksud akan menghampiri, namun gurunya itu malah menyuruh pergi. Purwasih jadi bimbang. Tapi sebagai murid, dia harus membela nama baik gurunya. Dan dia bertekad tak akan meninggalkan tempat itu, dan harus menolong guninya. Tapi...

"Purwasih, cepat pergi.... Aaakh....!" Kata-kata perempuan tua itu terputus, Mintarja telah lebih dulu kembali menghantam leher dengan kecepatan dahsyat.

"Purwasih, cepat pergi.. Aaakh!"

"Eyaaang...?!"

Tubuh Eyang Kumala terjajar kembali, dengan keadaan sempoyongan Darah semakin banyak ke luar dari mulutnya. Sementara dari arah belakang, Kaniawati kembali meluruk melepaskan tendangan dahsyat ke arah punggung perempuan tua yang telah terhuyung-huyung itu. Akibatnya, Eyang Kumala terjungkal dan ambruk di tanah sambil menyemburkan darah kental. Dia berusaha bangkit namun Mintarja tanpa ada rasa kasihan langsung menghantamkan telapak kakinya ke leher Eyang Kumala.

Krek!
"Aaa...!"

Perempuan tua itu menjerit tertahan. begitu kaki Mintarja mendarat di lehernya hingga patah. Maka nyawa Eyang Kumala lepas dari raga saat itu juga.

"Jahanam! Terkutuk! Kalian harus bayar nyawa guruku! Hiyaaat..!"

Purwasih yang telah kalap langsung menyerang kedua orang itu. Tidak lagi dipedulikan kemampuannya yang terbatas.

"Yeaaa...!"

Sementara Kaniawati tak kalah sigap. Langsung dilemparkannya sesuatu ke arah Purwasih.

"Aaakh!"

Beberapa buah senjata rahasia yang dilemparkan Kaniawati, hanya satu yang berhasil menancap di punggung kanan Purwasih. Tapi itu cukup membuat Purwasih mengeluh kesakitan, dan langsung ambruk di tanah. Pingsan.

"Dia bisa membahayakan kita kelak?" tanya Mintarja, sambil memperhatikan keadaan gadis yang telah terbaring di tanah.

"Kenapa? Apakah Kakang mulai takut? Siapa di jagad ini yang mampu menghalangi kita berdua? Dia boleh menuntut balas pada kita dengan bantuan siapa pun. Tapi orang itu akan mampus di tangan kita!" tegas Kaniawati.

"Ya, Kau benar..." balas Mintarja sambil mengangguk kecil.

"Nah, kalau demikian, mari kita lanjutkan perjalanan. Dan, lupakan tentang gadis itu,"

"Baiklah. Mari..."

Keduanya segera melesat cepat dari tempat itu, disertai ilmu meringankan tubuh yang tinggi, sehingga dalam sekejap mata saja mereka telah lenyap dari situ, meninggalkan mayat Eyang Kumala yang terbujur kaku tak bergerak lagi, dan Purwasih yang tergolek pingsan.

Pendekar Rajawali Sakti

Dua sosok tubuh tampak tengah berjalan tenang melintasi pinggiran hutan kecil. Yang seorang adalah laki-laki tua bertubuh kurus. Jenggot dan kumisnya telah memutih. Rambut yang kepalanya juga telah putih tampak tergerai dengan gelungan di atasnya yang diikat pita hitam. Di pinggangnya terselip pedang besar dengan warangka berukir indah.

Sementara di sampingnya, adalah seorang gadis berwajah manis dan berkulit kuning langsat. Rambutnya yang panjang diikat pita hijau, sama seperti warna bajunya. Di pinggang kirinya, terlihat sebatang pedang kecil yang amat pas dengan pinggangnya yang ramping.

Jalan dilalui memang agak lebar, dan biasa dilintasi orang. Sehingga, tak heran, kalau mereka sejak tadi sering berpapasan dengan orang lain. Namun ketika saat ini menjelang sore, suasana mulai sepi.

Saat itulah mendadak dari arah kanan terlihat seorang sempoyongan berjalan mendekati jalan itu. Tangannya menggapai-gapai, kemudian langsung tersungkur di tanah. Kalau melihat ciri-cirinya orang itu jelas Purwasih.

Memang, setelah siuman dari pingsannya, dengan berat hati Purwasih meninggalkan mayat gurunya. Dia terus berjalan tak tentu arah, mencari pertolongan. Yang jelas, dalam tubuhnya seperti mengalir sesuatu yang membuatnya terus menderita.

"Heh?!" Orang tua itu terkejut dan melangkah lebar ke arah sosok yang baru saja tersungkur.

"Eyang! Aku curiga! Jangan-jangan itu Purwasih!" desis gadis berbaju hijau itu buru-buru mengikuti langkah orang tua itu.

"Purwasih...! Oh! Bangun. Dik! Bangun! Apa yang telah terjadi padamu?!" teriak gadis berbaju hijau itu, cemas.

"Tenanglah, Ratih. Biar eyang akan memeriksanya...," ujar orang tua itu pelahan. Seketika diperiksanya sekujur tubuh Purwasih. Dan seketika wajah orangtua itu pucat.

"Celaka! Dia terkena racun ulat salju!" desis orangtua itu kaget.

"Racun ulat salju? Apa itu, Eyang? Berbaha-yakah?! Eyang, bagaimana keadaan adikku?!" tanya gadis berbaju hijau yang dipanggil Ratih. Dia tampak bingung.

"Purwasih kelihatannya terluka dalam dan lemah sekali. Sehingga racun ulat salju itu bekerja lebih cepat. Denyut nadinya lemah sekali. aku tak tahu, apakah dia bisa tertolong," desah laki-laki tua itu.

"Eyang...?! Oh, tidak! Tidaaak! Adikku harus hidup! Adikku harus hidup...!" teriak Ratih memelas, sambil mengguncang-guncangkan tubuh gadis yang tengah tak sadarkan diri.

"Ratih, jangan! Kau hanya menambah cepat kematiannya saja!" cegah orangtua itu.

"Eyang, berbuatlah sesuatu! Jangan biarkan adikku mati sia-sia...!" jerit Ratih memilukan.

"Kisanak, apa yang terjadi? Dan siapakah orang yang tengah kalian hadapi itu?"

Tiba-tiba terdengar sapaan dari belakang, yang membuat kedua orangtua itu cepat berpaling. Tampaklah sepasang anak muda tengah duduk diatas punggung kuda masing-masing. Yang menunggang kuda hitam adalah seorang pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang terurai, diikat sehelai kain putih seperti warna rompinya. Di punggungnya tersandang sebatang pedang berhulu kepala burung. Sedangkan yang menunggang kuda putih di sebelahnya, adalah seorang gadis cantik berbaju biru muda. Sebuah kipas dari baja putih tampak terselip di pinggang, sedangkan sebilah pedang bergagang kepala naga tampak menyembul dari balik punggungnya.

"Siapakah kalian?" tanya orang tua itu dengan wajah curiga.

Sepasang anak muda kemudian turun dari kuda masing-masing. Lalu mereka menyapa memberi hormat, yang dibalas oleh orangtua itu dengan menyapa pula.

"Kisanak, aku Rangga. Dan temanku, Pandan Wangi. Kami hanya pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini. Adakah sesuatu yang bisa kami bantu?" kata pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti.

Orang tua itu diam saja ketika Rangga membungkuk, hendak memeriksa gadis yang tergeletak di pangkuan gadis berbaju hijau. Rangga tersentak dan buru-buru meraba nadinya.

"Lemah sekali! Tapi masih ada harapan!" desah Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa?! Kisanak! Bisakah kau menolongnya? Oh, tolonglah adikku! Aku mohon, tolong selamatkan adikku!" teriak Ratih dengan wajah memohon.

"Nisanak, tenanglah dulu. Aku akan berusaha semampuku. Nah! Baringkanlah dia di situ. Biar aku coba mengeluarkan racun yang mengendap di tubuhnya," ujar Rangga tenang.

Ratih segera mengerjakan apa yang diperintah Rangga. Sementara Pandan Wangi ikut membantu memegangi gadis yang pingsan itu. Dan kini mereka menunggu dengan harapan yang cemas terlebih-lebih, gadis berbaju hijau. Tampak pemuda berbaju rompi putih ini membalikkan tubuh adiknya, sehingga berada dalam keadaan miring. Sementara Rangga duduk bersila dengan sikap tenang. Telapak tangan kanan pemuda yang bernama Rangga itu lalu ditempelkan ke punggung kanan gadis itu sesaat.

"Tolong pegang dia, sehingga bisa duduk bersila membelakangiku," ujar Rangga pelan, kepada gadis berbaju hijau.

Pandan Wangi cepat membantu kembali dengan memegangi sisi yang lain. Dengan demikian, agak lebih mudah bagi Rangga untuk menyalurkan hawa murninya. Dan yang lebih penting lagi, dia bisa menarik racun yang berada di tubuh gadis itu ke arah yang paling mudah, yaitu melalui lubang mulut. Sudah lumayan lama Rangga mengobati, namun belum terlihat tanda-tanda kalau gadis itu akan sadar. Bahkan wajah Rangga tampak berkerut beberapa kali. Keningnya mulai basah bersimbah keringat.

"Hoeeekh...!"

Tiba-tiba gadis bernama Purwasih itu menyemburkan darah kental kehitaman dari mulutnya. Beberapa kali hal itu terjadi, sehingga lama kelamaan darah yang dimuntahkannya tampak mulai cair dan berwarna kemerahan. Dan kalau sudah begini, barulah Rangga menghentikan pengobatannya. Telapak tangannya segera ditarik dengan napas memburu dan wajah pucat akibat keletihan karena telah mengetuarkan tenaga cukup banyak.

"Baringkanlah dia kembali. Dan..," Rangga tak melanjutkan ucapannya, tapi malah melirik orang tua itu.

Sementara Ratih langsung membaringkan tubuh Purwasih pelahan-lahan.

"Biar kuteruskan, anak muda. Beristirahatlah dulu untuk memulihkan tenagamu," sahut Orangtua itu, seraya mendekati Purwasih yang terbaring belum sadarkan diri.

Rupanya, orang tua itu menangkap maksud lirikan Pendekar Rajawali Sakti. Seperti yang dilakukan Rangga tadi, orangtua itu duduk bersila dan telapak tangannya menempel ke perut gadis itu untuk menyalurkan hawa murninya. Pendekar Rajawali Sakti lalu bangkit berdiri, dan melangkah pelahan menuju sebuah pohon rindang. Dan Pandan Wangi mendekatinya. Selama orangtua itu melanjutkan mengobati Purwasih, Rangga duduk bersila, untuk mengatur pernapasan dari jalan darahnya. Beberapa saat kemudian badannya lebih segar, namun wajahnya masih terlihat sedikit pucat.

"Kakang, kau tak apa-apa...?" tanya Pandan Wangi yang tadi begitu khawatir melihat perubahan yang terjadi pada pemuda itu.

Pemuda itu menggeleng lemah sambil tersenyum untuk menghilangkan kekhawatiran gadis itu. "Mari kita lihat mereka," ajak Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti lalu bangkit, dan kembali melangkah menuju kedua orang tadi. "Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga halus, ketika melihat orang tua itu telah duduk di dekat gadis berbaju hijau yang tengah mengelus-elus Purwasih yang masih tak sadarkan diri.

"Dia sudah lebih baik. Nadinya berdenyut kencang, serta aliran darahnya telah lancar. Terima kasih, Kisanak. Kau telah menyelamatkannya Jarang ada orang yang mampu berbuat demikian. Bahkan aku sendiri sudah angkat tangan, sebelum kalian tiba 'Racun Ulat Salju' bukan senjata sembarangan. Hanya mereka yang memiliki tenaga dalam sangat sempurna yang mampu menyedot racun itu. Kalau boleh kutahu, siapakah kau sebenarnya, Kisanak? Tapi melihat ciri-cirimu..., rasanya aku pernah mendengar seorang tokoh yang digdaya..." desah orangtua itu dengan sikap hormat.

"Aku Rangga.. Dan temanku Pandan Wangi."

"Hm... ya! Aku ingat. Kau pasti yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan temanmu itu pasti si Kipas Maut! Benarkah itu?!" kata orang tua itu gembira.

"Begitulah orang-orang menjuluki kami, Ki" kata Rangga, tanpa maksud menyombongkan diri.

"Perkenalkanlah si tua bangka ini. Aku Ki Leor! Dan ini murid tunggalku, Ratih Kumaladewi!"

"Ah... Tak kusangka aku bertemu seorang Pendekar besar sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti," kata orangtua yang mengaku bernama Ki Leor, gembira.

"Ki Leor..., Aku hanya orang biasa. Dan kalau gadis itu sembuh bukan karena aku. Melainkan, Hyang Jagat Dewa Bataralah yang menyembuhkan. Aku hanya sebagai perantara saja. Oh, ya kalau boleh kutahu, siapakah gadis ini? Dan, apa hubungannya dengan kalian?" kata Rangga.

"Dia Purwasih. Adik bungsu Ratih Kumaladewi," jelas Ki Leor, seraya menatap Purwasih dan Ratih bergantian. Rangga mengangguk.

"Lalu apa yang menyebabkan sampai menderita begini?" tanya Rangga lagi.

"Itulah yang tak kumengerti, Pendekar Rajawali Sakti. Dia terkena 'Racun Ulat Salju'! Sedangkan satu-satunya orang yang mempunyai senjata rahasia itu adalah Nyi Lengser, yang berdiam di puncak Gunung Rinjani. Aku tak tahu bagaimana mungkin dia bentrok dengan Purwasih. Tapi jangan-jangan..." Ki Leor menghenbkan kata-katanya tiba-tiba.

"Kenapa, Ki Leor?" tanya Rangga.

"Ah! Ini barangkali ada kaitannya dengan peristiwa dua puluh tahun yang lalu.. " sahut orangtua itu lesu.

"Maksudmu?"

Ki Leor pun kemudian menceritakan tentang kejadian dua puluh tahun yang silam, ketika dia dan beberapa tokoh persilatan berhasil menewaskan dua tokoh sesat yang sering mengacau dengan sepak terjangnya yang menggiriskan. Kemudian setelah itu, ada tokoh yang menyelamatkan putra-putri kedua tokoh sesat yang mereka binasakan itu.

Rangga mengangguk-angguk berusaha memahami seluruh penuturan Ki Leor.

"Kalau saja Purwasih telah sadar, mungkin akan bisa menjelaskan...," lirih suara Ki Leor.

"Eyang, dia mulai sadar...!" teriak Ratih dengan wajah girang ketika melihat Purwasih mulai siuman.

Pandan Wangi cepat beringsut, dan melangkah menuju ke kudanya. Lalu diambilnya kantung air yang ada di pelana. Dengan agak terburu-buru, kakinya melangkah menuju ke arah Purwasih. Dan segera di minumkannya air itu ke mulut Purwasih.

"Ohhh..."

"Purwasih...!" Ratih memanggil nama adiknya dengan wajah gembira.

"Ohhh...! Di manakah aku ini...?" desah Purwasih.

"Purwasih, aku kakakmu... Ratih. Ratih Kumaladewi!" seru gadis berbaju hijau itu sambil menyandarkan adiknya.

"Kak Ratih..., Eyang Kumala telah tewas..."

"Apa?!" Ratih dan Ki Leor tersentak kaget, mendengar ucapan gadis itu.

Dengan suara lirih dan sesekali terisak, Purwasih menceritakan apa yang telah terjadi terhadap gurunya dan dia sendiri. Ratih Kumaladewi tertegun. Sementara Ki Leor terdiam beberapa saat lamanya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi menduga kalau guru Purwasih, paling tidak punya hubungan dengan kedua orang itu.

"Guru Purwasih adik seperguruanku. Sekaligus, adik kandungku..." lirih suara Ki Leor ketika menjelaskan hal itu pada Rangga dan Pandan Wangi.

Rangga dan Pandan Wangi dapat merasakan kesedihan Ki Leor. Agaknya hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai kakek kedua gadis itu. Jadi dengan demikian, Eyang Kumala adalah terhitung nenek mereka sendiri. Tak heran bila kemudian Ratih Kumaladewi menggeram dan berniat akan menuntut balas atas neneknya.

"Ratih! Kau harus bisa menahan amarahmu. Mereka bukan tandinganmu. Salah satu di antara kedua orang itu, pasti murid Nyi Lengser. Dan perempuan tua itu memiiiki kepandaian hebat. Aku sendiri tak ada apa-apa bila dibandingkan dengannya...," sahut Ki Leor. "Tapi kita tak bisa mendiamkan kematian Eyang Kumala begitu saja, Eyang!" sentak gadis itu garang.

"Aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi, tak banyak yang bisa kita kerjakan...," keluh Ki Leor.

"Tidak! Aku akan cari mereka, dan harus mati di tanganku!" sentak Ratih sambil bangkit berdiri.

Namun sebelum mereka melangkah, Ki Leor menangkap pergelangan tangan Ratih. Tapi, Ratih Kumaladewi agaknya keras kepala.

"Sabarlah, Ratih," bujuk Ki Leor.

Tanpa menjawab, dia melepaskan diri sekuat tenaga. Maka terpaksa Ki Leor bertindak cepat. Menggerakkan tangannya dan...

Tuk!
"Uh...!"

Ratih kontan jatuh lemas, begitu punggungnya tertotok jari Ki Leor.

"Maafkan aku, cucuku. Tak ada jalan lain yang bisa kulakukan. Kau tak tahu bahwa tindakanmu sama saja bunuh diri. Kita harus memikirkan cara yang terbaik," kata Ki Leor. Kemudian, Ki Leor segera memanggul tubuh kedua cucunya.

"Aku mengucapkan terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Dan sekarang aku mohon diri," ucap Ki Leor.

Setelah berpamitan dengan Rangga dan Pandan Wangi, orang tua itu berbalik dan melangkah cepat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Dia berjalan melalui arah yang ditempuhnya tadi.

"Kasihan mereka...," gumam Pandan Wangi menghela napas, setelah Ki Leor dan kedua cucunya telah lenyap dari pandangan.

Memang, Ki Leor berjalan disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh. Tak heran kalu sebentar saja, mereka telah jauh dari sepasang Pendekar dari Karang Setra itu.

********************

LIMA

Hari belum terlalu siang ketika Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti tiba di Desa Pasir Batang yang saat ini terlihat ramai. Tampak di dalam sebuah kedai makan yang cukup besar, juga telah dipenuhi pengunjung. Beberapa orang yang kebetulan melakukan perjalanan dan melewab desa ini, pasti akan mampir ke kedai makan itu. Demikian juga Rangga dan Pandan Wangi. Kedua pendekar dari Karang Setra segera melangkah ke arah kedai itu. Namun baru saja berada di ambang pintu, semua mata pengunjung kedai menatap ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi tanpa berkedip. Beberapa di antaranya terlihat ketakutan, dan buru-buru meninggalkan kedai itu. Sementara yang lainnya menunjukkan wajah sinis.

"Kakang! Aku merasa tak enak dengan keadaan ini. Ada sesuatu yang tak beres..." bisik Pandan Wangi dengan wajah kesal.

"Ya. Aku pun merasakannya. Tampaknya mereka tak bersahabat dengan kita. Tapi kita kan tak punya persoalan dengan mereka. Ayolah, Pandan, tak usah dipikirkan," sahut Rangga sambil mengajak Pandan Wangi memasuki kedai itu.

Baru saja mereka hendak melangkah masuk, sekonyong-konyong....

"He, bocah-bocah busuk! Mau apa kalian ke sini. Cari mampus, ya!" terdengar bentakan kesal menggelegar.

Rangga segera mengarahkan pandangan pada seorang laki laki bertubuh besar dan berbaju hitam, yang mengeluarkan bentakan tadi. Tampak bagian dada laki laki itu dibiarkan terbuka lebar, sehingga terlihat bulu-bulunya yang lebat. Bola matanya melotot lebar dengan cambang yang menghiasi wajahnya. Di pinggangnya terselip sebatang golok yang gagangnya sudah digenggam.

"Kisanak! Kau bicara pada kami?" tanya Rangga sopan.

"Kau kira aku bicara pada bapak moyangmu, he?!" bentak orang itu, seraya beranjak dari tempat duduknya. diikuti tiga orang anak buahnya dari belakang.

"Tidak bisakah kau bicara sopan, Kisanak?" kata Rangga kalem.

"Sopan katamu? Puih! Itu sudah sopan diban-dingkan kesombongan kalian!" dengus laki-laki bertampang seram itu.

"Kisanak... Maaf, kami semakin tak mengerti arah pembicaraanmu. Karena ada urusan yang lebih penting maka kami tak bisa meladenimu. Maaf..." sahut Rangga berusaha mengalah. "Ayo, Pandan. Rasanya di sini sudah dipenuhi tikus-tikus kotor."

"Keparat! Kau pikir bisa berbuat seenak perutmu di depan Warok Singodimejo! Yeaaa...!"

Setelah membentak demikian, tubuh orang yang mengaku bernama Warok Singodimejo langsung melompat sambil mencabut goloknya untuk menyerang.

Bet! Bet!

Meskipun tanpa menoleh, namun Rangga dapat merasakan angin serangan tajam yang terarah kepadanya. Maka kepalanya, cepat ditundukkan untuk menghindari sambaran golok lawan. Bersamaan dengan itu tubuhnya berputar ke samping dan terus mengayunkan satu tendangan ke arah perut lawan. Namun Warok Singodimejo telah melompat ke samping kiri.

"Kurang ajar...!" maki Warok Singodimejo.

Kembali laki-laki bertubuh besar itu menyabetkan goloknya. Namun Rangga mencelat ke atas, dan terus melewati kepala Warok Singodimejo dengan jungkir balik. Lalu seketika itu kedua kakinya menghantam ke arah punggung laki-laki bertubuh besar itu.

Bug!

Seketika tubuh Warok Singodimejo terjajar ke depan, begitu punggungnya dihantam kaki Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparaaat...!" maki Warok Singodimejo geram sambil cepat berbalik hendak menghabisi lawan.

"Kisanak, di antara kita tak ada saling permusuhan. Kenapa kau begitu bernafsu membunuhku?" tanya Rangga, begitu kakinya mendarat di tanah.

"Dasar bocah-bocah busuk! He! Kalian pikir mataku buta? Kalian telah membunuh guru kami, Ki Slongsor Geni. Apa itu tidak cukup?! Dan kalian juga telah menghancurkan Perguruan Tombak Baja dan menghabisi murid-muridnya tanpa sisa. Apa itu tidak cukup sebagai bukti kebiadaban kalian? Coba lihat mereka! Orang orang itu memiliki dendam kesumat pada kalian berdua!" teriak Warok Singodimejo lantang.

"Astaga! Tuduhanmu salah alamat. Kisanak. Sabarlah. Mari kita bicara baik-baik!" bantah Rangga.

Sementara itu tokoh-tokoh persilatan yang tadi berada dalam kedai saat ini sudah mengerumuni mereka. Apa yang dikatakan Warok Singodimejo memang tak salah. Mereka umumnya menunjukkan wajah kebencian dan dendam menyala-nyala. Tentu saja hal itu membuat Rangga dan Pandan Wangi semakin geram saja. Tak ada angin atau hujan, tahu-tahu mereka menunjukkan sikap bermusuhan. Namun dengan tenang, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menguasai diri.

"Kisanak semua! Kalau memang kami bersalah dan melakukan apa yang dituduhkan orang ini, kami bersedia dihukum! Tapi kalau ternyata kalian melampiaskan dendam kesumat pada orang yang tak bersalah, kalian akan menyesal sendiri!" kata Rangga lantang.

"He! Jangan dikira kami takut pada kalian! Kami telah sepakat. Kalau bukan kalian maka biarlah kami yang akan mati!" timpal yang lain berteriak.

Dan teriakan itu diikuti teriakan-teriakan yang sama dan mengutuk sepasang anak muda itu. Rangga dan Pandan Wangi melihat orang yang berkerumun di tempat itu semakin banyak saja. Seolah-olah, seluruh penduduk desa ini tumpah ruah untuk menyaksikan sambil memaki-maki geram. Bahkan dari arah belakang, dengan perasaan jengkel beberapa orang melempari Rangga dan Pandan Wangi dengan batu-batu kecil. Tentu saja hal itu membuat jengkel kedua pendekar itu.

"Baiklah, kalau memang kalian memaksa kami untuk bertindak keras...," desah Pendekar Rajawali Sakti, agak sedikit mengesal.

Belum selesai kata-kata yang diucapkan Rangga, mendadak....

"Hentikan perbuatan kalian...!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang berkumandang ke segala penjuru.

Semua orang seketika menoleh ke arah datangnya bentakan tadi yang berasal dari seorang laki-laki tua bertubuh pendek dan kurus. Jenggotnya panjang berwarna putih, seperti rambutnya yang telah ubanan. Di pinggangnya yang kecil terlihat sebuah pedang yang amat tipis, sehingga bisa dililitkan seperti sebuah sabuk. Bagi Penglihatan orang awam, tentu saja akan menyangka kalau orang tua itu memakai sabuk dari baja tipis. Namun sekali pandang saja, Rangga bisa tahu kalau itu pedang.

"Sungguh memalukan! Tidak tahukah kalian, dengan siapa kalian berhadapan?!" lanjut orang tua bertubuh kecil itu lantang seperti seorang bapak menghardik anak-anaknya yang nakal.

"Ki Wakalpa, kedua orang inilah yang...," Warok Singodimejo membuka suara, namun...

"Goblok! Tolol! Apakah kau mengetahui jelas siapa pembunuh gurumu. Sedangkan, saat itu kau tak melihatnya?! Dan kalian semua, kenapa ikut-ikutan tanpa periksa? Tidak tahukah kalian, kalau saat ini kita tengah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut?" potong orang tua yang dipanggil Ki Wikalpa, sehingga membuat wajah Warok Singodimejo berubah.

"Heh?!"
"Benarkah?"
"Astaga...?!"

Orang-orang yang berada di tempat itu kontan tersentak kaget ketika Ki Wikalpa menyebutkan siapa kedua anak muda itu.

"Aku menyadari dan bisa merasakan apa yang kalian rasakan saat ini. Kematian orang-orang yang kita cintai, memang amat menyakitkan. Tapi membalas dendam pada orang yang tak salah secara membabi buta dan tanpa periksa lebih dulu, adalah perbuatan tolol sekaligus tak terpuji. Aku tahu pasti, siapa mereka berdua. Sebab, beberapa kali aku melihat sepak terjang mereka. Tak mungkin keduanya berbuat demikian. Lagi pula dengan melihat dari korban-korban yang jatuh, dugaanku semakin kuat kalau itu bukan perbuatan Pendekar Rajawali Sakti maupun Kipas Maut!" jelas orang tua itu panjang lebar, ketika melihat ada beberapa orang yang masih belum percaya.

"Oh, jadi, benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu?!" tanya Warok Singodimejo dengan wajah penuh penyesalan setelah mendengar keterangan Ki Wikalpa.

"Demikianlah orang-orang memanggilku...," sahut Rangga datar.

"Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, maafkan kesalahan dan kekasaranku. Kami sama sekali tak menduga kalau kalian adalah pendekar besar itu. Kematian guru kami membuat kami gelap mata dan tak bisa membedakan orang. Sekali lagi maafkan kesalahan kami" ucap Warok Singodimejo dengan tubuh menjuru hormat.

"Sudahlah. Kisanak. Kita memang salah paham. Dan semua itu sejak tadi telah kusadari. Hm..., Apakah persoalan yang sebenarnya terjadi di tampat ini?" desak Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum manis tersungging dibibirnya.

"Kemarin dalam satu hari saja, banyak kejadian yang menggemparkan. Guruku Ki Slongor Geni kedapatan tewas. Lalu, murid-murid Perguruan Tombak Baja dibantai habis. Padahal banyak orang desa ini pernah menjadi murid perguruan itu. Maka pasti mereka merasa geram dan dendam. Kabarnya yang melakukan perbuatan itu adalah sepasang anak muda seperti kalian. Itulah sebabnya ketika kalian tiba, kami menduga kalau pengacau itu adalah kalian," jelas Warok Singodimejo singkat.

Rangga dan Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala mendengar penjelasan itu. Sementara orang-orang yang tadi mengerubungi mereka, satu persatu bubar dengan wajah penuh penyesalan. Kini tinggal Warok Singodimejo dan tiga orang anak buahnya, Ki Wikalpa yang kemudian menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Pendekar Rajawali Sakti. Atas nama mereka, aku mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besamya padamu!" ucap Ki Wikalpa.

"Ki Wikalpa, aku menyadari kesalahpahaman ini. Tak perlulah kau meminta maaf," sahut Rangga halus.

"Ah! Kelapangan hatimu memang sering kudengar. Dan ternyata, hari ini aku diperkenalkan untuk melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, sudilah kalian memenuhi undanganku untuk mampir di gubukku. Sekedar istirahat, sambil melepaskan dahaga. Bukankah kalian telah melakukan perjalanan jauh?" ajak Ki Wikalpa dengan nada hormat.

Mendengar permintaan itu Rangga tak bisa menolak lagi. Kelihatannya orang tua itu memang baik dan sopan. Namun ketika mereka hendak melangkah meninggalkan tempat itu, mendadak....

"Kisanak, tunggu!"

Tiba-bba terdengar sebuah suara yang membuat Ki Wikalpa, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi menoleh. Begitu juga Warok Singodimejo beserta tiga orang anak buahnya. Tampak seorang pemuda bertubuh tegap terbungkus baju lusuh yang di beberapa bagian terlihat robek. Wajahnya keras, namun bersih dan tampan. Sorot matanya tajam menusuk. Di pinggangnya tampak terselip dua buah tongkat runcing yang terbuat dari batu gunung. Sementara di sampingnya, seorang gadis cantik berambut panjang, diikat agak ke atas dengan pita merah. Bibirnya tipis dan raut wajahnya menunjukkan kalau gadis itu amat galak. Bajunya berwarna ungu dan agak longgar, serta terlihat sebatang pedang dipungunggnya.

"Kamikah yang kau panggil, Kisanak?" tanya Ki Wikalpa dengan nada ramah sambil tersenyum.

Kedua orang muda yang baru datang itu tak peduli dengan pertanyaan Ki Wikalpa.

"Siapa di antara kalian yang bernama Wikalpa?" tanya pemuda itu dengan sikap sombong.

"Hm.. Sudah kuduga. Cepat atau lambat, kau pasti akan datang. Kisanak! Kau tengah berbicara dengan orangnya!" sahut Ki Wikalpa seperti telah menduga, siapa kedua orang itu.

"Bagus! Kau tentu memang sudah tahu maksud kedatanganku. Sebagian besar kawanmu telah mampus. Dan kau akan mendapat gilirannya saat ini!" sahut pemuda itu dingin.

"Ki Wikalpa! Inikah orang yang telah membunuh guruku?!" tanya Warok Singodimejo berang.

Ki Wikalpa mengangguk. Maka seketika itu juga bola mata Warok Singodimejo kelihatan membesar. Rahangnya menggelombung dan urat-urat di pelipisnya menegang. Dengan serentak dicabutnya golok, yang diikuti ketiga anak buahnya.

"Keparat! Jadi kalian pembunuh biadab itu, he?! Kalian membunuh guruku! Kalian yang menghabisi nyawa murid-murid Perguruan Tombak Baja! Kalian harus mampus! Hiyaaa...!"

"Warok Singodimejo, hentikan...!" bentak Ki Wikalpa mencegah.

Tapi mana mau Warok Singodimejo mendengar teriakan Ki Wikalpa dalam kemarahan yang meluap-luap seperti itu. Dendam di dadanya sudah menyala-nyala. Dan rasa malu akibat mendakwa orang yang salah tadi, kini membuatnya semakin geram saja ketika ketemu orang yang sebenarnya memang tengah dicarinya. Teriakan Warok Singodimejo yang mengguntur bagai geledek, rupanya menarik perhatian kerumunan orang yang tadi berkumpul. Mereka mulai berdatangan satu persatu.

"Habisi iblis-iblis biadab itu!" "Cincang diaaa...!"

Orang-orang yang sudah berkerumun itu langsung berteriak memaki serta mengutuk kedua anak muda yang baru datang ini.

"Hentikan! Hentikan! Kalian hanya mengantarkan nyawa percuma saja!" teriak Ki Wikalpa berkali-kali mengingatkan orang-orang yang mulai mengikuti tindakan Warok Singodimejo. Mereka memang hendak menggeroyok kedua orang itu beramai-ramai.

Namun, tak seorang pun yang mau mendengar kata-kata Ki Wikalpa. Mereka kini telah menemukan pembunuh orang yang mereka cintai. Dan sakit hati, serta dendam kesumat yang masih menyala-nyala di setiap dada harus dilampiaskan, tanpa sama sekali memperhitungkan akibatnya. Dalam benak mereka hanya ada satu keinginan yang harus terjadi, yaitu kematian para pembunuh itu. Tapi nyatanya itu bukanlah semudah apa yang diduga. Karena tiba-tiba saja...

Jdeeer!
"Aaaa...!!"
Crat! Crat! Werrr...!
"Wuaaa...!

Pengeroyok itu seketika buyar, begitu terdengar suara keras laksana geledek, diikuti teriakan kesakitan. Tampak lebih dan sepuluh orang langsung ambruk ke bumi dalam keadaan mati! Memang, begitu terlihat beberapa kali kilatan api yang berputar menyambar, para pengeroyok hangus. Sementara beberapa orang lagi tewas dalam keadaan tubuh kaku dan membeku. Bahkan tak ada darah yang menetes. Tentu saja hal itu tak bisa didiamkan Ki Wakalpa.

"Bocah-bocah terkutuk! Hentikan perbuatan biadab kalian. Hiyaaa...! Maka tubuhnya langsung melesat ke arah kedua anak muda itu sambil orang tua ini menghantamkan satu pukulan jarak jauh.

Namun, pemuda yang menjadi sasarannya tak kalah sigap. Seketika kedua tangannya dihentakkan ke arah orang tua itu. Dan Ki Wikalpa, sama sekali tak diberi kesempatan oleh kedua anak muda itu. Dengan gerakan kompak dan saling mengisi, mereka terus mendesak orang tua bertubuh kecil itu. Mereka terus mengumbar serangan maut, setelah kerumunan orang-orang yang mengeroyoknya menepi. Nyali para pengeroyok memang telah ciut, ketika melihat datangnya lidah api yang berasal dari sepasang tongkat di tangan pemuda yang mereka keroyok tadi. Memang, begitu tongkat-tongkat diadu satu sama lain, maka seketika melesat lidah api ke arah sasaran.

Sementara gadis berbaju ungu yang tadi bersamanya, telah mencabut pedangnya dan berputar beberapa kali, seperti hendak meng-gulung tubuh Ki Wikalpa. Orang tua bertubuh kecil itu menyadari pedang di tangan si gadis itu, bukanlah pedang sembarang. Maka dia harus hati-hati menghadapinya. Memang pedang itu seperti menabur hawa dingin yang amat menusuk pada setiap serangannya. Tak heran lawan yang terkena sabetan pedangnya, akan tewas dalam keadaan tubuh membeku.

"Kakang! Aku khawatir orang tua itu tak mampu menghadapi lawannya Mereka hebat dan sangat kompak...," keluh Pandan Wangi sambil memperhatikan pertarungan itu.

"Ya. Aku pun menyadari. Tapi kita belum tahu, sampai di mana kehebatan orang tua itu," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Apakah Kakang tak turun tangan membantunya?" tanya Pandan Wangi.

"Apakah orang tua itu betul-betul membutuhkan bantuan kita?" sahut Rangga balik bertanya.

Mendengar itu Pandan Wangi tak bertanya lagi, Memang secara tak langsung, dibenarkannya ucapan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Buktinya, orang tua itu mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi lawan. Tapi ternyata hal itu tak lama. Karena, kini terlihat Ki Wikalpa sudah meloloskan pedang tipisnya yang sejak tadi melilit di pinggang.

"Hiyaaa!"
Klap! Klap!

Di tangan orang tua ini pedang yang tipis dan terlihat lemah itu berubah tegang dan kaku laksana tombak baja. Bahkan ketika menangkis senjata lawan, terdengar bunyi berdenting seperti halnya pedang yang kuat. Malah dalam sekejap mata, pedang di tangan Ki Wikalpa kembali mampu lentur laksana ular yang meliuk-liuk menyambar lawan.

"Huh! Ilmu pedangmu memang hebat, orang tua! Tapi sayang, kematianmu telah digariskan hari ini!" dengus gadis berbaju ungu itu geram.

"Hm. Begitukah?" sahut Ki Wikalpa.

Tapi agaknya ucapan gadis itu bukan sekedar gertakan dan omong kosong belaka. Bahkan Ki Wikalpa sampai tersentak kaget, ketika menangkis dua senjata lawan sekaligus. Tubuhnya kontan bergetar hebat, akibat terkena dua tenaga dalam berlainan jenis yang sangat kuat.

Ketika tubuh Ki Wikalpa terhuyung-huyung mundur, saat itu juga ujung pedang gadis ini menyambar ke arah dadanya. Untungnya orang tua bertubuh kecil itu masih mampu menghindari dengan menjatuhkan diri ke tanah. Namun, ternyata serangan kedua ujung tongkat pemuda lawannya telah menanti. Bahkan mengancam leher dan jantungnya! Dengan terpaksa pedang dikibaskan untuk menangkis.

Tak!

Pedang tipis di tangan Ki Wikalpa, kontan terpental begitu membentur tongkat di tangan pemuda itu, sehingga menimbulkan bunyi keras seperti geledek. Sedangkan orang tua itu langsung melenting ringan untuk menyelamatkan diri dari sambaran ujung tongkat yang satu lagi. Justru pada saat itu ujung kaki kanan pemuda itu sudah bergerak cepat ke arah perulnya. Dan...

Desss!

"Aaakh.,.!" Ki Wikalpa menjerit kesakitan, begitu kaki pemuda itu mendarat telak di perutnya. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.

Dan di situ, juga telah menunggu gadis berbaju ungu yang siap menebas lehernya. Agaknya orang tua itu tak mampu menghindari lagi. Ki Wikalpa hanya terkesima melihat maut akan menghampirinya. Namun mendadak saat itu melesat satu sosok bayangan biru langsung menangkis pedang gadis berbaju ungu itu.

Takkk!
"Sial!"

ENAM

Begitu serangannya gagal, gadis berbaju ungu itu segera melampiaskannya ke arah bayangan itu yang memapak serangan tadi.

"Yeaaa!"
"Hup!"
Bett!

Ujung pedang di tangan gadis itu menyambar-nyambar dahsyat menimbulkan hawa dingin yang hebat. Namun lawan yang dihadapinya kali ini pun cukup gesit. Tubuhnya mampu meliuk-liuk seperti orang menari untuk menghindari sambaran pedang lawan. Kemudian mendadak sosok bayangan biru tadi balas menyerang dengan kecepatan tinggi. Dan tentu saja ini sangat mengagetkan gadis berbaju ungu tadi. Maka dia cepat melenting ke belakang sambil membuat gerakan berputar untuk menghindari sambaran ujung kipas sosok berpakaian biru yang seperti mengurungnya.

"Siapa kau?!" bentak gadis berbaju ungu itu ketus bercampur geram ketika kedua kakinya menjejak di tanah.

Di depan gadis berbaju ungu, terlihat seorang gadis cantik memakai baju biru muda dengan kipas di tangan.

"Siapa pula kau?!" bentak gadis yang tak lain dari Pandan Wangi.

"Keparat! Kau pikir kepandaianmu sudah hebat, sehingga mau jadi pahlawan?! Kau akan mampus bersama tua bangka busuk itu!" geram gadis berbaju ungu itu.

Setelah berkata demikian, kembali gadis berbaju ungu itu melesat menyerang Pandan Wangi. Bersamaan dengan itu, melompat pula pemuda yang tadi bersamanya.

"Kania! Biar kita bereskan bersama perempuan pengacau ini agar urusan lebih cepat!" teriak pemuda yang namanya Mintarja. Sedangkan gadis berbaju ungu itu adalah Kaniawati.

"Biarkan mereka bermain-main, Kisanak. Dan aku ingin bermain-main pula denganmu," sahut Rangga tenang sambil melompat menghadang Mintarja.

"Sial! Siapa kau?!" bentak Mintarja, mengurungkan niatnya untuk ikut menyerang Pandan Wangi.

"Apa perlunya kau ketahui?" sahut Rangga.

"Keparat! Kalau begitu kau akan mampus tanpa nisan!" dengus Mintarja tajam.

"Hm... Sayang sekali, Kisanak. Saat ini aku masih belum ingin mati," jawab Rangga enteng.

"Huh! Yeaaa...!"

Ujung tongkat Mintarja langsung berputar-putar menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Sesekali terlihat lidah api yang menyambar, menimbulkan hawa panas luar biasa ketika kedua tongkat itu diadu satu sama lain. Namun, agaknya Rangga mampu menghindari setiap serangan lawan, dengan menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib.

Sebenarnya, kedua tongkat Mintarja amat berbahaya. Selain keras dan kuat, juga mampu menyemburkan lidah api yang akan menghanguskan apa saja yang terkena. Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau tak bisa terus-menerus bertangan kosong. Rasanya kalau tongkat itu sudah disingkirkan, akan lebih mudah untuk menaklukan lawannya.

"Hiyaaa!"
Bet! Bet!
"Hup...!"

Nyaris dada Pendekar Rajawali Sakti robek tersambar ujung tongkat Mintarja, kalau tidak cepat melompat ke atas. Namun, tongkat lawan yang satu lagi terus menyambar mengikuti. Masih untung dia talah memperhitungkan hal itu, dengan melenting berputar. Sehingga, Pendekar Rajawali Sakti terbebas dari jangkauan senjata lawan. Dan baru saja Rangga menjejak tanah, ujung tongkat Mintarja kembali menyambar kearah leher. Seketika kepalanya dimiringkan sedikit, kemudian cepat melejit ke atas.

"Yaaa!"

"Huh! Jangan harap lolos dariku, bangsat!" geram Mintarja langsung mengejar. Tepat ketika Mintarja berada di udara, Pendekar Rajawali Sakti sudah mencabut pedang pusakanya. Tampak sinar biru memancar dari batang pedang di tangan pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya kontan terkejut. Termasuk Mintarja sendiri, begitu dia hampir menggerakkan senjatanya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan Mintarja makin terkejut ketika tiba-tiba pedang Rangga menyambar ke arahnya. Maka mau tak mau salah satu senjatanya diayunkan untuk menangkis.

Trak!

Begitu cepat kejadian itu berlangsung, sehingga Tubuh masing-masing kontan terjajar beberapa langkah. Bahkan Mintarja sempat terhuyung-huyung, namun cepat menguasai keseimbangan. Memang, benturan yang disertai tenaga dalam hebat itu menghasilkan getaran yang dahsyat. Tak heran kalau satu sama lain bisa terjajar.

"Keparat!" maki Mintarja, begitu menyadari kalau saat itu senjatanya telah terputus menjadi tiga bagian.

Dengan kegeraman yang amat sangat, Mintarja kembali melesat disertai ayunan senjatanya yang tinggal satu. Dan ternyata, serangan itu bukan hanya sekedar melalui tongkatnya saja.

Werrr! Werrr!

Begitu cepat Mintarja mengibaskan tongkatnya sehingga seketika beberapa senjata rahasia melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Maka Rangga cepat bergeser ke samping kiri sambil mengayunkan pedangnya Seketika disam barnya senjata-senjata rahasia itu. hingga rontok tak tersisa.

"Hm... Kalajengking Api! Kau tak bisa mengandalkan binatang-binatang beracun itu, Kisanak. Usahamu akan sia-sia saja. Lebih baik, sadarlah jangan teruskan sepak terjangmu yang gila dan diliputi dendam ini. Kembalilah ke jalan yang benar. Gunakanlah hidupmu sebaik-baiknya." ujar Pendekar Rajawali Sakti, begitu berdiri tegak lagi.

"Puihh! Jangan coba-coba menasehatiku, keparat! Kau akan kubinasakan saat ini juga. Yeaaa!" bentak Mintarja.

Seketika pemuda itu menyorongkan telapak tangan kirinya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Maka dari telapak kirinya melesat selarik sinar kuning keemasan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts! Edan!" sentak Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti cukup terkejut merasakan hawa panas luar biasa dari angin sambaran pukulan lawan tadi.

Masih untung dia cepat mengelak ke samping. Sehingga sinar itu hanya lewat hampir dua jengkal dari pinggangnya. Dan Mintarja tak berhenti sampai di situ. Seketika tubuhnya melesat dengan ujung tongkat menyambar ke arah leher Rangga. Dengan kecepatan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang. Tapi....

Werrr! Werrr!

Kembali Mintarja melemparkan kalajengking-kalajengking beracunnya, begitu serangannya gagal. Mintarja agaknya sengaja melemparkan senjata-senjata rahasianya hanya untuk membuat repot Pendekar Rajawali Sakti. Karena bersamaan dengan itu, tubuhnya bergerak laksana kilat ke arah Rangga disertai satu pukulan maut. Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat melenting seraya berputaran sambil menyabetkan pedangnya.

Tras! Tras!

Seketika seluruh kalajengking api itu habis terpapas pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah, Mintarja sudah hampir dekat dengannya. Maka sebelum serangan pukulan datang, Rangga cepat mendahuluinya dengan sodokan kaki kiri ke arah lambung. Namun dengan tangkas Mintarja memapak dengan sapuan tendangannya. Lalu, seketika tubuhnya melenting ke atas melewati kepala Mintarja. Begitu sampai berada di udara, Pendekar Rajawali Sakti cepat meluncur turun. Dan seketika dilepaskannya satu tendangan ke arah punggung. Cepat sekali gerakan Rangga, sehingga Mintarja tak sempat menyadarinya. Sehingga...

Dess!
"Aaakh!"

Mintarja menjerit keras ketika satu tendangan keras menghantam punggungnya. Tubuhnya tersungkur ke depan, namun masih mampu menguasai diri. Bersamaan dengan itu, cepat berbalik. Dan seketika dilemparkannya senjata senjata rahasianya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa mempedulikan rasa sakit yang dideritanya, dia sudah melompat menyerang kembali dengan pukulan jarak jauh yang mengeluarkan sinar kuning keemasan.

"Hiyaaa!"

"Hm... Kau coba bertindak nekat agaknya! Bersiaplah, Kisanak. Aku akan memberi pelajaran sedikit tapi pasti tak akan kau lupakan! Yeaaa!" gumam Pendekar Rajawali Sakti setelah memapas senjata-senjata rahasia lawan hingga rontok.

Bersamaan dengan itu juga tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat, menyorongkan tangan kirinya ke depan. Maka dari telapak tangan kirinya yang terbuka melesat selarik sinar merah dari 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' Seketika, sinar merah itu meluncur memapak sinar kuning keemasan yang juga meluncur cepat. Sehingga...

Glarrr!

Begitu dua sinar berlainan jenis beradu di satu titik, terdengar ledakan dahsyat. Lalu....

"Aaakh...!"
"Yeaaa!"

Tampak tubuh Mintarja terlempar ke belakang disertai pekik kesakitan, serta ceceran darah segar. Dan sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah melesat cepat melakukan serangan berikutnya. Mintarja sendiri jadi terkejut. Sama sekali tak disangka kalau lawannya mampu bergerak secepat itu. Cepat dia bangkit berdiri, lalu mengayunkan tongkatnya untuk menangkis.

Trak!

Mintarja makin terkejut begitu menyadari tongkat ditangannya putus menjadi tiga bagian hanya sekali dibabat saja. Begitu terkejutnya, sehingga dia lupa kalau Pendekar Rajawali Sakti masih meluruk ke arahnya dengan hantaman tangan kiri ke arah dada.

Dragh!
"Aaakh...!"

Mintarja memekik setinggi langit, begitu dada-nya terhantam tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan beberapa tulang dadanya patah sehingga suaranya sampai kedengaran tadi. Tubuh pemuda itu kontan ambruk, tanpa perlawanan lagi.

"Keparat! Aku akan balas perlakuanmu ini dengan cara yang lebih menyakitkan!" teriak Mintarja, seraya mengusap darah yang mengalir dari sudut-sudut bibirnya.

"Kakang...?! Oh, Kakang! Keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus Kaniawati ketika melihat keadaan kekasihnya. Seketika itu Kaniawati terus melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan kemarahan meluap-luap.

"Kakang! Biar kuhadapi dia!" teriak Pandan Wangi gemas, dan langsung melesat mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Pandan! Mundurlah! Biar sekalian gadis ini kuberi pelajaran agar tidak besar kepala," ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin.

Tanpa menunggu serangan lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah langsung melompat dengan kelebatan pedang pusakanya untuk menekan ayunan pedang gadis itu.

Trasss!

Kaniawati tersentak kaget, begitu serangannya ditahan Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi ketika menyadari kalau pedangnya langsung putus menjadi dua bagian. Namun dia tidak bisa terlalu lama dalam keterkejutannya. Dan dia harus melompat karena tendangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti cepat mengarah ke dadanya. Gadis itu langsung bersalto ke belakang seraya mengebutkan tangannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Serrr! Serrr!

Kaniawati mencoba menyerang lawan dengan lemparan 'Racun Ulat Salju'. Namun, pedang Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat lagi bergerak.

Cras! Cras!

Dan tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terus melesat keras ke arah Kaniawati yang baru saja menjejak tanah. Dengan perasaan geram, gadis itu membalas dengan menghentakan kedua tangannya ke depan. Maka seketika dari kedua telapaknya melesat cahaya biru keputih-putihan. Itulah pukulan 'Banyu Ti'is' yang mampu membuat lawan mati membeku dalam sekejap mata saja. Tapi agaknya Pendekar Rajawali Sakti telah menduga. Maka langsung dibalasnya 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', yang mampu mengeluarkan sinar merah, sehingga...

Desss!
"Aaakh!"

Kedua sinar itu beradu tepat di tengah-tengah. maka terdengarlah seperti suara besi panas yang dicelupkan ke dalam air. Bahkan kemudian terde-ngar pekikan kesakitan, sinar merah yang keluar dari pukulan Rangga terus menderu menghantam nya. Tubuh gadis itu kontan terjungkal, dan berkali-kali memuntahkan darah segar.

Pendekar Rajawali Sakti menyarungkan kembali pedang pusakanya. Matanya menatap tajam sambil mendekati gadis berbaju ungu yang tertatih-tatih berusaha bangkit.

"Pergilah kau dari sini. Dan, bawa kawanmu itu! Jangan coba-coba membuat bencana lagi!" dingin suara Pendekar Rajawali Sakti, tegas.

Kaniawati menyadari kalau pukulan lawan tadi menghantam telak tubuhnya, sehingga membuat luka dalam yang cukup parah. Hanya karena tenaga dalamnya saja yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu bertahan. Tapi kalau dia mencoba terus menyerang lawan, bisa dipastikan dirinya sendiri yang akan celaka. Maka dengan hati diliputi dendam kesumat, gadis itu menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.

"Kami akan mengingat peristiwa ini. Dan kelak akan ada pembalasan setimpal bagimu. Sebutkan siapa kau sebenarnya?!" dengus Kaniawati.

"Kau boleh membalas dendam kapan saja. Pendekar Rajawali Sakti tak akan mundur setapak pun."

"Hm, Pendekar Rajawali Sakti! Kau harus ingat. Nantikan pembalasan kami atas campur tanganmu ini!" lanjut Kaniawati geram sambil melangkah pelan mendekati Mintarja.

Dengan terpaksa Kaniawati memapah Mintarja. Kemudian dengan tertatih-tatih mereka meninggalkan tempat itu diiringi caci maki dan lemparan batu dari penduduk desa itu. Bahkan beberapa orang hendak membunuh dengan senjata-senjata tajam siap di tangan.

"Hentikan! Biarkan mereka pergi!" bentak Pendekar Rajawali Sakti nyaring menggelegar.

Mendengar bentakan yang menggema ke segala arah, banyak di antara mereka yang menggerutu kesal bercampur geram. Namun tak seorang pun yang berani membantah. Sampai kedua orang itu lenyap dan pandangan, kerumunan penduduk desa masih terus mengumpat-umpat tak habis-habisnya.

"Mereka agaknya tak senang dengan keputusanmu, Pendekar Rajawali Sakti..," kata Ki Wikalpa lirih.

"Ya... Aku menyadari hal itu, Ki Wikalpa..." sahut Rangga. "Tapi mereka masih muda dan belum banyak pengalaman hidup. Hati mereka penuh dendam kesumat. Aku berharap, pelajaran itu bisa membuka mata mereka. Sehingga menentukan jalan hidup mereka ke arah yang lebih baik"

"Aku khawatir harapanmu sia sia..."

"Kenapa?"

"Melihat ilmu olah kanuragan serta senjata yang digunakan, aku yakin kalau mereka adalah murid Ki Sara Geni dari puncak Gunung Merapi, dan Nyi Lengser dari puncak gunung Rijasangka. Mereka bukan tokoh sembarangan. Kuat dugaanku, merekalah yang menyelamatkan putra-putri Ki Rogo Janggat dan Ki Sempang Jinggolo. Lalu kedua anak itu di didik untuk membalaskan dendam kedua orangtuanya pada kami. Aku yakin hal itu, karena Ki Sara Geni dan Nyi Lengser bersahabat akrab dengan kedua tokoh yang tewas di tangan kami dua puluh tahun lalu," jelas Ki Wikalpa.

Rangga mengangguk-angguk kepala mendengar penjelasan orang tua itu.

"Pendekar Rajawali Sakti, maaf. Aku tahu kepandaianmu hebat. Bahkan boleh disebut sebagai pendekar nomor wahid di negeri ini. Tapi Ki Sara Geni dan Nyi Lengser bukan tokoh sembarangan. Kepandaian mereka sangat hebat dan tak terukur. Apa yang dimiliki kedua muridnya, barangkali hanya separo dari kehebatan yang dimiliki gurunya. Kau patut hati-hati jika suatu saat bertemu mereka," sambung Ki Wikalpa memperingatkan.

"Maksud Ki Wikalpa, kedua guru mereka akan membalaskan sakit hati muridnya kepadaku?" tanya Rangga ingin kepastian.

"Hal itu tak mengherankan, bukan?"

"Ya, aku mengerti. Tapi aku siap menghadapi mereka, apa pun yang terjadi." sahut Rangga setenang mungkin.

"Rangga.. Aku merasa hal ini amat merepotkanmu. Kamilah sebenarnya yang diincar mereka. Dengan campur tanganmu, maka kini sasaran mereka yang utama adalah kau. Baru kemudian, menyelesaikan urusan dengan kami...," kata Ki Wikalpa lirih.

"Ki Wikalpa. Sudah selayaknya kita saling tolong menolong. Anggap saja ini merupakan kewajibanku. Nah! Kurasa, sekarang kami mohon diri dulu. Permisi." pamit Rangga, sambil berbalik dan melangkah pergi diikuti Pandan Wangi.

Dalam perjalanan, terlihat Pandan Wangi lebih banyak berdiam diri tak seperti biasanya. Beberapa kali Rangga meliriknya namun gadis itu seperti tak ingin berpaling.

"Ada apa, Pandan?" tanya Rangga ketika mereka telah berada di luar desa. Pandan Wangi memandang sekilas, kemudian kembali meluruskan pandangan ke depan. Wajahnya tampak gelisah.

"Pandan, adakah sesuatu yang merisaukan hatimu...?" desak Rangga lembut.

"Kedua orang itu, Kakang. Aku khawatir kau tak akan mampu menghadapinya...," cetus Pandan Wangi lirih.

"Guru mereka maksudmu?"

Pandan Wangi mengangguk.

"Kalau kepandaian guru mereka benar dua kali lipat dari murid-muridnya, Kakang tentu berada dalam keadaan berbahaya. Aku tak tahu, apakah bisa menolong banyak atau tidak," lanjut gadis itu lirih.

"Pandan..., Aku telah memikirkan hal itu. Yang jelas kita tak mungkin mundur menghadapi kezaliman. Kau tak perlu khawatir. Aku yakin, hidup mati seseorang bukanlah di tangan manusia, meski bagaimanapun tingginya kemampuan seseorang," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Pandan Wangi tak berkata-kata lagi. Dan mereka terus melanjutkan perjalanan.

********************

TUJUH

Kekhawatiran Pandan Wangi beberapa hari ini agaknya mulai beralasan. Buktinya ketika mema suki Desa Gelagah, Rangga dan Pandan Wangi melihat sebuah lembaran yang berisi tulisan. Dan itu sudah yang ketujuh kalinya mereka menemukan lembaran seperti ini. Hanya kali ini, lembaran itu beda dengan yang pernah mereka lihat!

Lembaran dari kulit itu, ditancapkan di sebuah batang pohon besar, tepat di sebelah gerbang perbatasan desa itu. Yang menarik bagi Rangga untuk membacanya kembali adalah pisau yang menjadi alat penempel lembaran. Dan yang lebih menarik lagi, ternyata lembaran itu ditulis dengan tinta darah! Bunyinya,

Aku menantang Pendekar Rajawali Sakti untuk bertarung di Puncak Gunung Rinjani pada bulan purnama ini. Jika dia tak datang, berarti malapetaka akan menimpa orang banyak.

Rangga menghela napas pendek ketika selesai membaca tulisan yang tertera di batang pohon itu. Pandan Wangi memandangnya sekilas, kemudian turun dari kudanya. Gadis itu melangkah sebentar, lalu duduk di atas sebuah batu besar tak jauh dari situ. Sedangkan Rangga juga turun, lalu melangkah ke hadapan gadis itu.

"Bagaimana Kakang? Apakah kita akan kesana? Sudah tujuh tulisan seperti itu kita temui selama dalam perjalanan ini. Apakah Kakang akan mendiamkannya saja?" tanya Pandan Wangi agak risau.

Rangga tak menjawab. Bibirnya hanya tersenyum, lalu duduk di hadapan gadis itu. Sebentar kepalanya mendongak melihat ke angkasa. Sebentar kemudian dia sudah menatap Pandan Wangi dalam-dalam. "Kalau aku tak memenuhi tantangannya, apakah kau kira aku takut?" tanya Pendekar Rajawali Sakti pelan.

"Kakang! Aku mengerti, kau tak gentar pada siapa pun. Tapi apakah akan kau biarkan namamu tercemar, tak mempedulikan tantangannya?"

"Kalau aku mengikuti tantangannya, sama artinya menyombongkan diri," jawab Rangga kalem.

"Tapi, Kakang! Banyak orang akan menjadi korbannya kalau tantangannya tak kau penuhi," kata Pandan Wangi, agak keras.

"Hm... Kukira orang itu hanya menggertak saja...," sahut Rangga tenang.

"Aku pun berharap demikian. Tapi, bagaimana kalau ternyata benar?"

Rangga diam tak menjawab. Pada saat itu lewat sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Sementara di belakangnya beberapa penumpang kuda mengiringi. Kereta itu sendiri agaknya bukan kendaraan sembarangan. Bentuknya saja indah, dengan jendela di kiri dan kanan yang dilapisi tirai berbunga-bunga.

"Hei...? Bukankah itu Pendekar Rajawali Sakti?! Aku pernah melihatnya di Desa Pasir Batang!" seru orang itu.

Rombongan itu berhenti, ketika salah seorang di antara mereka agaknya mengenali Pendekar Rajawali Sakti. Mendengar teriakan itu, yang lain segera menghentikan langkah kudanya. Seketika mereka berpaling ke arah Rangga dan Pandan Wangi.

"Hei, Pendekar Rajawali Sakti! Apakah kau akan menyambut tantangan Ki Sara Geni?" tanya seseorang.

Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu.

"Atau, kau kini telah menjadi seorang penakut?!" timpal yang lain.

"Ha ha ha...!"

Kata-kata itu disambut tawa terbahak-bahak oleh yang lainnya. Rangga dan Pandan Wangi sendiri tak mengacuhkannya. Dan kedua pendekar dari Karang Setra itu segera bangkit berdiri, lalu menghampirinya. Begitu telah berada di punggung kuda, mereka segera berlalu dari tempat itu.

Rangga menyadari kalau sebenarnya orang-orang itu telah kesal, karena belum ada tanda-tanda tantangan itu ditanggapinya. Itu sebabnya, Rangga lebih suka untuk pergi dari situ daripada meladeni orang-orang tadi. Tapi hal itu justru membuat Pandan Wangi mencak-mencak sendiri. Gadis itu memang mudah tersinggung melihat perlakuan orang yang dirasakannya keterlaluan. Seperti penduduk Desa Glagah ini.

********************

Waktu yang ditentukan Ki Sara Geni telah berlalu tadi malam. Dan rupanya Pendekar Rajawali Sakti tak memenuhi tantangan orangtua itu. Semula Rangga tak begitu mempedulikan ancaman Ki Sara Geni. Tapi ketika pagi ini melihat sebuah desa, ternyata Ki Sara Geni membuktikan ancamannya!

Dalam setiap sudut terlihat mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan tubuh hangus terbakar, tampak orang berduyun-duyun mengungsi, ke tempat yang lebih aman. Rangga dan Pandan Wangi terus menggebah kudanya dengan kecepatan sedang. Sementara korban korban yang ditemui semakin banyak. Bukan saja yang berasal dari golongan persilatan, tapi rakyat biasa pun ikut dibantai!

Memang agaknya Ki Sara Geni tak memilih-milih korbannya. Tentu saja hal ini amat mencemaskan Pendekar Rajawali Sakti. "Huh! Aku tak bisa membiarkan hal ini terus berlangsung. Mari, Pandan. Kita cari dia!" geram pemuda itu dengan marah meluap-Iuap.

********************

Perguruan Silat Batu Kuwung yang berada di daerah selatan memang sudah dikenal di berbagai kalangan persilatan. Selama dua puluh tahun terakhir, terutama sejak dipegang seorang tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Namanya Ki Garda Raga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Pedang Bambu Kuning. Pada masa mudanya memang pernah menggetarkan rimba persilatan. Tak heran kalau tokoh-tokoh tua sering menyebut-nyebutnya.

Siang hari ini, seperti biasanya murid-murid Perguruan Batu Kawung tengah beristirahat setelah berlatih sejak pagi tadi, Ki Garda Raga sendiri berniat akan istirahat di dalam rumah utama perguruan itu. Namun baru saja orangtua berusia empat puluh delapan tahun itu berbalikkan tubuhnya, mendadak pintu gerbang depan hancur berantakan. Tentu saja hal itu, tak hanya membuat kaget dirinya, tapi juga seluruh murid perguruan Batu Kuwung!

Dan di ambang pintu yang telah jebol berantakan itu telah berdiri tegak orangtua bertubuh kurus terbungkus baju compang-camping. Sorot matanya tajam, dan kulitnya merah kehitaman dengan wajah penuh kerut, Kepalanya hampir tak di tumbuhi rambut, kecuali di bagian tengkuknya. Itu pun jarang-jarang dan sudah memutih.

"Orangtua! Siapa kau?! Dan, mengapa menga-cau tempat ini?!" bentak seorang murid, langsung menghadang.

Murid itu telah siap mencabut pedang yang sejak tadi tergenggam di tangannya. Bahkan dua orang kawannya juga bergegas mengikuti. Mereka mengawasi orangtua yang tangan kirinya menggenggam dua buah tongkat runcing terbuat dari batu gunung.

"Hiyaaa!"

Namun tanpa basa-basi lagi, tubuh orangtua berpakaian compang-camping itu sudah bergerak cepat.

Craaas!
"Aaa...!"

Kedua ujung tongkatnya langsung menyambar ketiga murid Perguruan Batu Kuwung yang kalah cepat dalam memainkan senjata. Tubuh mereka langsung ambruk dengan bagian dada terluka lebar. Setelah menggelepar, mereka tewas berlumur darah. "Keparat! Pengacau busuk! Kau datang hanya membawa bencana. Mampuslah sekarang juga! Yeaaa!" bentak salah seorang murid lain langsung diserang orangtua itu, diikuti kawan-kawannya yang lain.

"Hup!"

Orang tua bertubuh kecil itu melesat cepat sekali mengayunkan kedua tongkatnya yang runcing. Gerakannya cepat bukan main! Bahkan tak seorang pun dari murid-murid perguruan itu yang mampu melihat ke mana arah kelebatannya. Dan tahu-tahu...

Trasss!
Brettt!

"Aaa...!" terdengar pekik kesakitan yang saling sambung. Tujuh orang murid Perguruan Batu Kuwung kembali berguguran dalam keadaan mengerikan! Sementara orang tua itu terus bergerak cepat menyambar yang lainnya sebelum di serang.

Traaas!
Breeet!
"Aaa...!"

Korban terus berjatuhan tanpa terelakkan lagi, disertai pekikan menyayat. Tentu saja Ki Garda Raga tak bisa membiarkan hal ini terus berlangsung. Maka...

"Orangtua! Hentikan tindakanmu! Akulah lawanmu!"

Namun baru saja kata-kata Ki Garda Raga se-lesai, tubuh laki-laki tua yang tengah membantai murid-murid Perguruan Batu Kuwung itu melesat ke arahnya.

"Uts! Sial!"

Ki Garda Raga cepat melenting ke belakang ketika satu tendangan lawan menderu menghantamnya. Namun baru saja mejejak tanah, orang tua itu sudah meluruk ke arahnya dengan satu sambaran senjata berbentuk tongkat dari batu itu. Tak ada kesempatan lagi bagi Ki Garda Raga untuk menghindar, selain memapak dengan ayunan pedang bambu kuning di tangannya.

Wuuut!
Trak!

Bukan main terkejutnya Ki Garda Raga ketika senjatanya beradu dengan senjata orang tua itu. Betapa tidak? Telapak tangannya kontan terasa nyeri dan terkelupas. Bahkan hampir saja genggaman pedangnya terlepas. Dan belum juga dia bersiap kembali senjata orang itu menyambar ke arah dadanya. Begitu cepat gerakan orangtua itu, sehingga buru-buru Ki Garda Raga melenting ke belakang. Namun usahanya terlambat sedikit Karena...

Breeet!
"Aaakh!

Betapa terkejutnya Ki Garda Raga, karena senjata orang tua itu masih sempat merobek dadanya, sehingga membuatnya memekik kesakitan. Tampak darah mengalir lewat sela-sela jari tangannya yang mendekap luka di dada, begitu kakinya menjejak tanah. Sementara agaknya orangtua bertubuh kecil itu tak suka berbasa-basi. Dia langsung mengejar, dengan tongkat siap diayunkan ke arah Ki Garda Raga.

"Hiiih!"

Ketika tongkat orang tua itu meluncur deras ke arah dadanya Ki Garda Raga segera menangkis dengan pedangnya.

Trakkk!
Prasss!

Bukan main terkejutnya Ki Garda Raga ketika melihat pedang di tangannya terlepas dari genggaman dalam keadaan patah. Bahkan dia belum menghilangkan keterkejutannya, kembali tongkat yang lain milik orang tua itu datang menyambar ke leher. Maka buru-buru Ki Garda Raga menunduk. Namun kaki kiri orang tua itu cepat melepaskan tendangan ke perutnya sehingga...

Desss!
"Aaakh!"

Ki Garda Raga memekik kesakitan, begitu tendangan orang tua itu mendarat telak di perutnya. Tubuhnya terangkat tiga jengkal dari tanah. Padahal, saat itu lawannya sudah siap dengan sabetan tongkatnya. Nyawa Ki Garda Raga benar-benar bagai telur di ujung tanduk. Namun....

Mendadak melesat sebuah benda sebesar kepalan tangan, dan langsung menghantam tangan orang tua yang akan menyabetkan tongkatnya.

Trakkk!

Orang tua itu bukan main terkejutnya, ketika serangannya gagal akibat tangannya terhantam sebuah batu yang dilempar dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat sempurna. Langsung serangannya pada Ki Garda Raga dihentikan, lalu berbalik.

Tahu-tahu di depan orang tua itu pada jarak delapan langkah, berdiri tegak seorang pemuda berwajah tampan rupanya, pemuda rambut panjang terurai inilah yang menggagalkan serangannya pada Ki Garda Raga dengan lemparan batu tadi. Pemuda berbaju rompi putih itu menatap tajam pada orang tua di depannya.

"Hm... Boleh juga kepandaianmu, Bocah. Siapa kau?!" tanya orang tua itu dingin.

"Kaukah Ki Sara Geni.'?" sahut pemuda itu balas bertanya.

"Hm... Jadi kau orangnya yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti!" dengus orang tua itu langsung menduga.

"Begitulah orang-orang menyebutku...," sahut pemuda itu tenang.

"Dan gadis di belakangmu itu yang berjuluk si Kipas Maut?"

"Ternyata matamu jeli untuk mengenali seseorang, tapi buta terhadap rasa kasih sayang terhadap sesama manusia," sahut pemuda yang tak lain memang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan di belakangnya berdiri Pandan Wangi.

Rupanya dalam pencarian Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi secara tak sengaja melintasi jalan yang tak jauh dari Perguruan Batu Kuwung. Dan mereka mendengar teriakan-teriakan pertarungan. Makanya kemudian Rangga langsung menolong, setelah memperhatikan mana yang harus ditolong, dan ketika melihat senjata yang dipakai orang tua itu, Rangga menduga kalau dia adalah Ki Sara Geni, masalahnya hanya senjata itu yang pernah dipakai Mintarja.

"Ha ha ha...! Jadi inikah tampang orang yang telah mencoreng mukaku dengan melumpuhkan muridku?!" dengus orang tua yang tak lain dari Ki Sara Geni sambil tertawa sinis.

Tapi kemudian wajah orang tua itu cepat berubah kelam. Kelopak matanya menyipit, lalu me langkah tenang tiga langkah ke depan. Dan matanya terus mengawasi Pendekar Rajawali Sakti tanpa berkedip.

"Bocah! Lekas cabut pedangmu. Aku tak ingin banyak bicara denganmu. Ingin kulihat, sampai di mana kehebatanmu yang telah kesohor itu!" tantang Ki Sara Geni.

"Ki Sara Geni! Sebenarnya hal ini tak perlu..."

"Uts!" Belum selesai kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, Ki Sara Geni telah melompat menyerang dengan kecepatan dahsyat. Sehingga, terpaksa Pendekar Rajawali Sakti melompat ke samping kiri untuk menghindari sambaran ujung tongkat lawan.

"Hiiih!"

Sejak bertarung melawan Ki Garda Raga, Ki Sara Geni selalu bertindak cepat dan bermaksud menghabisi lawan secepat mungkin. Tak heran kalau segenap kemampuannya dikerahkan. Terlebih-lebih, terhadap Pendekar Rajawali Sakti. Rangga bukannya tak menyadarinya. Dalam gebrakan pertama saja dia tak menyangka kalau lawannya mampu bergerak secepat kilat. Dan kini, kedua tongkat Ki Sara Geni telah mengurung ketat gerakannya Pendekar Rajawali Sakti seperti tak mampu berbuat banyak. Dalam keadaan bertangan kosong begitu rupa, dia betul-betul terdesak hebat.

"Yeaaa!

Tampak ujung tongkat Ki Sara Geni menyambar ke arah perut. Namun gesit sekali Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke samping. Dan baru saja Rangga bermaksud balas menyerang dengan tendangan keras, ujung tongkat Ki Sara Geni yang satu lagi telah lebih dulu menyambar ke arah leher. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti melenting seraya berputaran.

"Hup!"

Baru saja Rangga menjejakkan kedua kakinya di tanah, ujung tongkat Ki Sara Geni kembali menyambar perutnya. Rangga terkesiap sebentar, lalu melompat ke samping. Namun ternyata ujung tongkat satu lagi milik lawannya telah menunggu. Sebisanya Rangga mengelak, namun terlambat karena...

Brettt!

Tak urung pinggang Rangga robek, tersambar ujung tongkat Ki Sara Geni Darah kontan mengucur dari tubuh yang terluka cukup lebar. Belum juga Rangga menyadari betul apa yang terjadi, tiba-tiba kaki kiri Ki Sara Geni meluncur kearah dadanya. Begitu cepat gerakannya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti tak marnpu menghindar. Sehingga...

Desss!
"Aaakh!"

Pendekar Rajawali Sakti kontan terjajar beberapa langkah, disertai teriakan tertahan, begitu dadanya terhantam tendangan dahsyat bertenaga dalam tinggi.

"Kakang....!" Pandan Wangi terpekik kaget ketika melihat pemuda itu terjajar limbung.

Sring!

"Orang tua busuk, mari hadapi aku!" bentak Pandan Wangi nyaring.

"Pandan, jangaaan...!" Rangga terkejut melihat tindakan gadis itu.

Tapi mana mau Pandan Wangi mendengarnya dalam keadaan kalap begitu. Bahkan pedangnya telah menyambar ke arah leher orang tua itu. Namun Ki Sara Geni bukannya mengelak. Sambil mendengus garang, dipapaknya pedang gadis itu dengan tongkatnya.

Trakkk!

Bukan main terkejutnya Pandan Wangi, ketika merasakan tangannya bergetar hebat akibat benturan dengan senjata lawannya barusan. Kulit tangannya terkelupas. Bahkan pedang dalam genggamannya terlepas. Sementara itu ujung tongkat Ki Sara Geni terus menderu menyambar ke arah tenggorokannya. Sebelum terlambat gadis itu masih sempat memiringkan kepalanya. Namun saat itulah satu tendangan keras meluncur ke arah perutnya. Dan Pandan Wangi hanya terkesiap, tak mampu berbuat apa-apa lagi. Maka...

Bugh!
"Uhhh...!"

Pandan Wangi terpekik, begitu perutnya terhantam tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Pandan Wangi...!" jerit Rangga keras sambil menghambur mendapati gadis itu yang terengah- engah berusaha bangkit.

"Bangun kau, Pendekar Cengeng! Mari hadapi aku lagi!" dengus Ki Sara Geni berdiri tegak dibelakangnya pada jarak lima langkah.

DELAPAN

Wajah Rangga yang tadi cemas memikirkan keadaan gadis itu, kini berubah kelam dengan kemarahan sampai ke ubun-ubun. Pelahan-lahan dia bangkit sambil memandang Ki Sara Geni dengan sorot mata tajam. Tangan kanannya perlahan-lahan bergerak meraih pedangnya.

"Orang tua! Hari ini kita akan tentukan, kau atau aku yang akan mampus!" dingin suara Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak usah banyak bicara. Keluarkan seluruh kepandaianmu karena aku tak akan segan-segan mencabut nyawamu!" dengus Ki Sara Geni. Dan seketika dia melompat menyerang.

Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras menggelegar. Dan seketika pedangnya dicabut.

Yeaaa!"

Maka sinar biru langsung memancar dari pedangnya. Ki Sara Geni sedikit terkejut melihat sinar biru menyilaukan yang terpancar dari batang pedang lawan. Namun, tak ada waktu lagi untuk memikirkan keterkejutannya, karena Pendekar Rajawali Sakti telah menghadangnya. Maka langsung salah satu tongkatnya digunakan memapak.

Trasss!

Betapa terkejutnya Ki Sara Geni, begitu tahu kalau tongkatnya putus menjadi dua bagian.

"Heh?!"

Dan tentu saja Ki Sara Geni tak mau tongkatnya yang tinggal satu patah kembali. Dia menambah serangan. Maka seketika itu potongan tongkat di tangan kiri dihantamkannya dengan tongkat di tangan kanan, dengan sasaran ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Crakkk!
Pras!

Terlihat lidah api melesat cepat menyambar ke arah Pendekar Rajawali Sakti akibat benturan dua buah potongan tongkat tadi. Tapi Rangga melenting dan berputaran diudara, kemudian menangkis dengan kelebatan pedangnya.

Kembali Ki Sara Geni dibuat terkejut ketika melihat nyala api sama sekali tak berdaya ketika menghantam pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mendarat kembali di tanah. Maka dengan melompat sambil berputaran di udara, dilemparkannya senjata rahasianya berupa kalajengking-kalajengking berapi ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya sendiri kemudian melesat mengikuti disertai putaran tongkat yang menimbulkan pusaran angin kencang berhawa panas luar biasa!

"Yeaaa...!"

Sementara Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' disertai gerakan ilmu meringankan tubuhnya. Sambil terus meliuk-liuk di udara, Rangga membabat senjata-senjata rahasia Ki Sara Geni dengan pedangnya. Namun pada saat itu juga ujung tongkat Ki Sara Geni menyambar lehernya. Cepat sekali Rangga memiringkan kepalanya ke kanan. Dan tubuhnya terus mencelat ke atas, disertai tebasan pedang ke arah dada lawan.

"Hup!"

Cepat sekali Ki Sara Geni melompat ke belakang untuk menghindarinya sambil berputar. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tak memberi kesempatan sedikit pun. Dengan gerakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' terus dikejarnya tokoh tua itu. Bahkan pedang pusaka yang tersilang di depan cepat diusap batang pedangnya dengan tangan kiri.

Rangga sengaja berbuat demikian untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi. Dan perkiraannya memang tak meleset. Begitu berhadapan dengannya, saat itu juga Ki Sara Geni melepaskan pukulan mautnya, 'Pukulan Racun Api' Seketika dari kedua telapak tangannya melesat selarik sinar kuning keemasan yang menimbulkan hawa panas luar biasa!

"Aji Cakra Buana Sukma!" bentak Pendekar Rajawali Sakti, seraya menghentakkan tangan kirinya ke depan.

Seketika dari telapak kiri Pendekar Rajawali Sakti yang terhentak ke depan, melesat sinar biru yang meliuk-liuk ke arah sinar kuning keemasan tadi. Sehingga...

Glaaar!
"Aaa...!"

Terdengar benturan keras laksana guntur dahsyat yang memekakan telinga, begitu dua sinar itu beradu di satu titik. Dan seketika itu juga terdengar pekikan menyayat. Sementara udara di sekitar tempat itu berubah panas. Debu-debu beterbangan ke segala arah, ketika tanah ikut bergetar hebat.

Tampak di antara kepulan debu dua tubuh terlempar beberapa langkah. Begitu jatuh di tanah tubuh Ki Sara Geni menggelepar-gelepar dengan sinar biru terus menyelubunginya. Orang tua itu sesaat kemudian diam tak bergerak dengan tubuhnya menghitam hangus!

"Kakang, kau tak apa-apa...?" teriak Pandan Wangi cemas sambil berlari kecil mendapati Rangga yang terhuyung-huyung.

Wajah pemuda itu terlihat pucat dan napasnya tak beraturan. Beberapa tetes darah tampak keluar dari sudut bibirnya.

"Kakang, kau... Kau terluka dalam!" desis Pandan Wangi cemas.

"Tenanglah, Pandan. Aku tak apa-apa...," sahut pemuda itu lirih.

"Kisanak, maaf, Kau jadi begini gara-gara kami. Tapi kami akan mengobati lukamu sampai sembuh," ucap Ki Garda Raga yang tadi ikut menghampiri pemuda itu.

"Terima kasih, Kisanak."

Ki Garda Raga segera menyuruh beberapa orang muridnya untuk menuntun tubuh pemuda itu ke dalam rumahnya. Tapi baru saja akan melangkah...

"Pendekar Rajawali Sakti! Aku tak peduli dengan keadaanmu! Kau harus bertarung dengaku. Atau, kau boleh mampus saat ini juga!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang menggema ke segala arah.

Semua orang yang berada di tempat itu serentak berpaling ke arah sumber bentakan tadi. Tam pak seorang perempuan tua berwajah agak lebar dengan tubuh kurus sudah berdiri di dekat mayat Ki Sara Geni. Pakaiannya serba hitam. Rambutnya yang panjang dan telah memutih, dibiarkan lepas begitu saja sehingga ujung-ujungnya menyentuh panggul.

Wajah perempuan tua itu masih menunjukkan sisa-sisa kecantikan. Tapi sorot matanya yang tajam, memancarkan sinar keberingasan dan dendam yang mendalam. Senjatanya sebuah tongkat runcing berwarna hitam. Kelihatannya sama seperti yang digunakan Ki Sara Geni tadi, tapi bedanya lebih halus dan licin.

"Siapakah kau, Nisanak ini?" tanya Rangga, setelah berbalik.

"Aku Nyi Lengser!" dengus perempuan tua itu dingin.

"Nyi! Kalau memang kau ingin bertarung dengannya, cobalah secara jujur. Dia tengah terluka akibat pertarungan tadi. Dan kini, kau malah menantangnya dalam keadaan begini!" sinis ucapan Ki Garda Raga.

"Hi hi hi...! Apa peduliku dengan peraturan sial itu! Lagi pula, bagaimana kau bisa mengatakan kalau aku tak jujur?! Sudah sejak tadi aku berada di sini, memperhatikan pertarungan mereka dari awal. Ki Sara Geni itu saudara seperguruanku! Dan kalau aku berlaku curang, sudah sejak tadi ikut menghajar pemuda itu. Tapi setelah Ki Sara Geni mampus, maka dia harus berhadapan denganku. Nah, bocah! Ayolah bersiap-siap!" ujar Nyi Lengser.

Perempuan tua itu segera melangkah pelan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Namun beberapa murid Ki Garda Raga bergerak menghadang. Demikian juga Pandan Wangi. Padahal dia masih merasa sakit, namun tetap memaksakan diri.

"Pandan Wangi, minggirlah. Dan kalian, menepilah. Biar kuhadapi dia," sahut Rangga tenang.

"Tapi, Kakang! Kau tengah terluka begitu! Sangat berbahaya menghadapinya. Biar kami saja yang akan menghadapinya!" bantah Pandan Wangi.

"Benar, Kisanak. Kau tak boleh menghadapinya. Biar kami yang akan menghadapinya!" desak Ki Garda Raga berkeras.

Setelah berkata demikian, Ki Garda Raga langsung menyuruh anak buahnya mengepung perempuan tua itu.

"Hi hi hi...! Kecoa-kecoa busuk! Apa kalian pikir bisa menahanku di sini, he! Ayo, majulah. Ingin kulihat, sampai di mana kemampuan kalian!"

Dengan kata-katanya, tampaknya Nyi Lengser bersiap akan menghadapi serangan lawan-lawannya. Tapi kenyataannya, dialah yang langsung melompat menyerang.

"Yeaaa!"

Nyi Lengser langsung melesat dengan tongkat dibenturkan satu sama lain. Gerakan perempuan tua itu cepat bukan main. Bahkan tak kalah dengan apa yang dilakukan Ki Sara Geni tadi. Akibatnya...

Brettt!
"Aaa...!"

Hanya dalam segebrakan saja, empat murid Ki Garda Raga tewas. Tentunya melihat hal ini Pendekar Rajawali sakti tidak tinggal diam. Maka....

Wut!

Pandan Wangi terkejut bukan main ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti nekat memapak serangan lawan untuk melindungi murid-murid Perguruan Batu Kuwung yang akan menjadi korban perempuan tua itu berikutnya.

"Kakang...?!"

Gadis itu bermaksud akan turun tangan membantu, namun...

"Pandan, minggir! Bawa mereka menjauh. Turuti kataku...!" cegah Rangga cepat.

Meski dengan perasaan kesal, Pandan Wangi terpaksa menurut juga. Kalau Rangga sudah terlihat marah begini, Pandan Wangi tak bisa berbuat banyak lagi.

Meskipun Rangga memiliki pedang yang hebat, tapi gerakannya terlihat lamban. Sehingga tak heran bila semakin terdesak terus menerus. Dan Pandan Wangi yang melihat ke arah pertarungan, jadi cemas bercampur geram.

Rangga sendiri bukannya tak menyadari hal itu. Kalau terus meladeni, maka bisa dipastikan bakal tewas. Maka dia cepat memeras otak untuk mencari akal, bagaimana caranya mengalahkan perempuan tua itu.

Sementara dengan kemarahan yang meluap, Nyi Lengser menyerang bertubi-tubi pada Pendekar Rajawali Sakti. Tongkat di tangannya berputar-putar, menimbulkan hawa dingin yang amat menggigil! Akibatnya beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus melawan dua serangan sekaligus. Ujung tongkat lawan yang runcing, dan hawa dingin luar biasa.

"Hiyaaa...!"

Disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti segera balas menyerang dengan babatan pedangnya. Tapi gesit sekali Nyi Lengser melesat ke atas. Bahkan kaki kanannya cepat menendang ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti disertai tenaga dalam yang cukup tinggi. Begitu cepatnya, sehingga serangan itu tak mampu lagi dihindari oleh Rangga. Dan...

Diegh!
"Aaakh!"

Rangga memekik nyaring sambil muntahkan darah segar. Tubuhnya terjungkal ke belakang hingga tiga langkah, namun cepat bisa menguasai diri. Dan Nyi Lengser agaknya tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan gerakan cepat bagai kilat tongkat di tangannya diayunkan ke arah lawan di sertai tenaga dalam setinggi mungkin.

"Yeaaa! Mampus kau!"
"Hiiih!"

Namun Rangga tak kalah sigap. Cepat mata pedangnya digosok dengan tangan kiri. Seketika tangan kiri yang sudah terselimut cahaya biru itu dihentakkan ke depan.

"Aji Cakra Buana Sukma!"

Glarrr!
"Aaa...!"

Kejadian itu begitu cepat berlalu. Pandan Wangi tersentak kaget sambil menjerit keras, ketika melihat Rangga terlempar ke belakang, Ki Garda Raga serta murid-muridnya terperanjat kaget, ketika mendengar pekikan nyaring salah seorang yang tengah bertarung.

"Kakang...!"

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti ambruk ke tanah disertai muntahan darah kental beberapa kali. Wajahnya yang sudah pucat, semakin pucat saja. Napasnya tak beraturan. Bahkan tubuhnya begaikan tak bertenaga lemah dan tak berdaya.

"Kakang, kau tak apa-apa?!" tanya gadis itu dengan wajah cemas.

Rangga tersenyum kecil dengan tatapan lemah. Tangannya bergerak pelahan, menghapus darah yang mengalir di sudut bibirnya.

"Aku tak apa-apa. Bagaimana dia...?"

Pandan Wangi memandang sekilas ke arah tempat jatuhnya Nyi Lengser, Dan ternyata wanita tua itu diam tak bergerak lagi. Bahkan tubuhnya hangus menghitam!

"Dia sudah tewas, Kakang...," sahut gadis itu pelan.

Rangga hanya diam saja. Kejadian yang menewaskan Nyi Lengser, memang berlangsung cepat. Rasanya Pandan Wangi dan Ki Garda Raga sendiri tak menyangka kalau perempuan tua itulah yang justru tewas.

Sementara itu, murid-murid Perguruan Batu Kuwung menyambut gembira kemenangan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi dan Ki Garda Raga segera memapah tubuh Pendekar Rajawali Sakti, memasuki rumah utama perguruan itu. Memang, Pendekar Rajawali Sakti harus memulihkan luka dalamnya yang cukup parah. Jadi, tidak dia harus tinggal di situ selama beberapa hari.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: PEMBALASAN IBLIS SESAT

Dendam Datuk Geni

Pendekar Rajawali Sakti

DENDAM DATUK GENI


SATU
GUNUNG RINJANI yang gagah dan angker, di waktu pagi tampak berselimut kabut tebal. Di bawah puncaknya yang tinggi dan lancip, terdapat beberapa anak gunung yang mengelilingnya. Daerah ini, memang indah dengan segala jenis tanaman dan bebatuan. Namun pada salah satu anak gunung yang disebut Bukit Api, tanahnya gersang dan kering. Tak ada tumbuhan yang bisa hidup di tempat itu. Semuanya kering dan mati. Yang tampak hanya bebatuan berwarna kemerahan, terpanggang hawa panas yang keluar dari perut bumi.

Namun bila terus berjalan ke atas, ada suatu tempat yang cukup luas dan datar. Di situ, hidup tumbuhan dan binatang-binatang yang amat langka dan mengandung racun ganas. Salah satunya yang paling mengerikan dan beracun adalah kalajengking api. Sedikit saja tubuh seseorang terkena sengatannya, maka dalam waktu yang tak lama akan tewas seketika dan tubuhnya berubah merah seperti kepiting direbus.

Sementara di salah satu sisi dindingnya terdapat sebuah goa yang memiliki ruangan cukup luas. Dan goa itu berhubungan dengan perut gunung, tumpahan lahar digodok di dalamnya. Dan di sebuah ruangan goa itu, tinggallah seorang laki-laki tua yang rambutnya tinggal sedikit, dan telah memutih di dekat tengkuknya. Dia tengah duduk bersila di atas sebuah batu berbentuk segi empat, setinggi satu jengkal dari tanah.

Wajahnya yang penuh kerut-kerut kaku bagaikan patung, dihiasi sepasang alis yang tinggi kulitnya kemerahan bercampur hitam. Tubuhnya kurus, sehingga tulang rusuknya yang bertonjolan terlihat di balik baju yang compang-camping. Pada jarak dua langkah di hadapan laki-laki tua itu, bersimpuh seorang pemuda bertubuh tegap. Raut wajahnya keras dan kedua rahang yang menonjol. Kulit tubuhnya merah kecoklatan. Baju yang dikenakannya terlihat lusuh, dengan sobekan-sobekan di beberapa bagian.

"Mintarja.... Kurasa telah tiba waktunya bagimu untuk turun ke dunia ramai. Pelajaran yang kau peroleh dariku telah selesai," kata laki-laki tua itu, pada pemuda yang rupanya murid satu-satunya.

"Eyang Sara Geni, berat hatiku untuk meninggalkanmu seorang diri di sini. Kau telah kuanggap sebagai pengganti kedua orangtuaku yang telah tiada. Tapi aku tahu, kau akan membenciku kalau aku bersikap cengeng dan lemah. Maka apa pun perintahmu akan kulakukan," sahut pemuda yang dipanggil Mintarja, tenang.

"Hm... sebelum kau pergi, ada dua pesanku yang harus kau kerjakan," gumam laki-laki tua berkepala hampir botak, yang ternyata bernama Eyang Sara Geni itu.

"Apakah itu, Eyang?" tanya muridnya dengan kening berkerut.

"Pertama, kau harus menemui calon istrimu. Kau ingat, bukan?"

"Maksud Eyang, Kaniawati?" Mintarja ingin memastikan.

"Ya, kawan mainmu ketika kecil. Aku telah berjanji pada kedua orangtua kalian, untuk menjodohkanmu dengannya. Selain, mengangkatmu sebagai muridku. Seperti kau ketahui, Kaniawati telah diangkat murid oleh saudara seperguruanku, yaitu Nyi Lengser di puncak Gunung Rinjani," jelas Eyang Sara Geni.

"Aku akan melaksanakannya, Eyang!" jawab Mintarja, mengangguk hormat.

Sebentar suasana jadi hening. Tampak mata Eyang Sara Geni menerawang jauh, seperti mengenang sesuatu. Sedangkan Mintarja tetap tertunduk menekuri tanah.

"Yang kedua, kau harus balaskan sakit hati dan dendam orangtuamu yang tewas dibantai oleh tokoh-tokoh yang kusebutkan padamu," ujar Eyang Sara Geni.

"Aku pasti akan melaksanakannya, Eyang!" sahut pemuda itu mantap.

"Bagus! Karena untuk itulah kau kubawa ke sini. Orangtuamu dan orangtua Kaniawati adalah kawan-kawan baikku. Semula aku ingin membalas kematian mereka dengan tanganku sendiri. Tapi melihatmu dan Kaniawati timbul pikiran lain. Kalian lebih pantas untuk membalaskannya. Maka, untuk itulah kalian kami didik." jelas Eyang Sara Geni lagi.

Kembali suasana jadi hening. Sementara muridnya mencoba mengangkat kepalanya. Ditatapnya mata tua itu di depannya sebentar.

"Eyang... Kalau boleh kutahu, kenapa kami dididik secara terpisah?" tanya Mintarja pelan, seraya kembali menunduk.

Eyang Sara Geni tidak langsung menjawab. Ditatapnya Mintarja yang menunduk. "Mintarja, perlu kau ketahui. Meskipun bibi gurumu adalah saudara seperguruanku, tapi ilmu kami memiliki aliran berbeda. Seperti yang kau ke tahui, aliran ilmu yang kuajarkan padamu mengandung unsur api. Sedangkan bibi gurumu mengandung unsur air. Sehingga apabila kedua aliran itu dipadukan, maka akan tercipta suatu paduan yang hebat dan sulit terkalahkan. Karena kedua aliran itu tak bisa dituntut satu orang, maka itu sebabnya kalian dipisahkan," jelas Ki Sara Geni.

Mintarja mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu.

"Kemudian ada hal yang perlu disadari bahwa ilmu pukulan 'Racun Api' yang kau miliki masih belum sempurna. Jadi hal itu tak bisa dianggap enteng. Dan ilmu itu tak bisa kuberikan seluruhnya, karena kau harus melatihnya sendiri di dekat kawah di bawah sana selama puluhan tahun. Dan hal ini akan menghabiskan umurmu. Aku khawatir jika menyuruhmu untuk menyempurnakannya, maka musuh-musuhmu keburu mati tanpa merasakan pembalasan darimu. Kau mengerti, Mintarja?" lanjut Eyang Sara Geni.

"Aku mengerti, Eyang," kata Mintarja mantap.

"Nah kuharap kau tak kecewa. Karena apa yang kau miliki sama dengan yang dimiliki Kaniawati. Dia pun tak memiliki pukulan sempurna yang diajarkan gurunya, karena akan memakan waktu yang lama sekali. Kalau memang kau telah mengerti, maka bawalah ini sebagai senjatamu," tambah Eyang Sara Geni seraya menyerahkan dua pucuk tongkat runcing sepanjang kira-kira empat jengkal.

"Eyang...?" pemuda itu mendongak, memandang wajah gurunya dengan rasa tak percaya bercampur takjub.

Eyang Sara Geni tersenyum sambil mengangguk pelan. Dan Mintarja ragu-ragu menerimanya. Memang pemberian ini adalah suatu anugerah yang luar biasa bagi dirinya. Sebab dia tahu, bagaimana dahsyat kedua tongkat yang dinamakan Sepasang Tongkat Api itu. Apabila dipukulkan satu sama lain, maka akan menyemburkan lidah api yang panjang dan mampu menyerang lawan. Dan bila beradu dengan benda keras lain, akan memercikkan bunga api yang diiringi ledakan menggelegar laksana sambaran geledek.

Mintarja tahu bahwa senjata itu ada dua pasang. Dan sebelumnya, memang sudah diduga kalau yang sepasang akan diberikan kepadanya. Karena Eyang Sara Geni memang amat menyayanginya. Diakui, Mintarja belum pernah menggunakannya. Tapi dia merasa yakin, mampu menggunakan sepasang senjata itu. Karena, gurunya pernah menjelaskan secara seksama.

"Nah, sekarang pergilah. Doaku menyertaimu," ujar Eyang Sara Geni.

"Baiklah, Eyang Aku mohon doa restu," desah Mintarja, seraya menyelipkan sepasang Tongkat Api ke pinggangnya. Kemudian dia memberi hormat, lalu bangkit berdiri.

"Aku merestuimu, anakku." kata Eyang Sara Geni, lalu bangkit berdiri.

Orang tua itu sendiri tak menunjukkan raut wajah sedih ataupun gembira. Malah dia tetap berada dalam goa. Dan ketika Mintarja telah keluar goa, laki-laki tua itu bangkit Lalu, kakinya terus melangkah ke bagian dalam yang menjorok ke bawah. Di sana terdapat sebuah kolam lahar yang berwarna kemerahan dan selalu bergejolak. Di tengah-tengah, terdapat sebuah batu hitam yang agak tinggi yang bagian bawahnya membara kemerahan. Ke atas batu itulah Eyang Sara Geni melompat dan terus duduk bersila. Dia langsung melanjutkan tapanya, tanpa menghiraukan hawa panas yang menyengat seperti dalam ruang pembakaran!

Dengan melompat-lompat ringan menuruni tebing curam dan terkadang licin, Mintarja terus berlari cepat. Sehingga dalam waktu singkat, pemuda itu telah berada di bawah Gunung Rinjani. Dipandanginya untuk beberapa saat Gunung Rinjani yang berdiri gagah perkasa. Berkali-kali dihirupnya udara sebanyak-banyaknya hingga dadanya terangkat tinggi. Tempat itu memang membawa banyak kenangan, namun Mintarja tak mau terhanyut lebih lama. Pemuda itu menghela napas panjang sesaat, kemudian segera melangkah tanpa menoleh lagi, meninggalkan gunung yang berdiri di belakangnya.

Sudah lebih dari setengah harian berjalan, Mintarja terus melanjutkan perjalanannya ke arah barat yang memang tujuannya. Dan menjelang sore ini, pemuda itu tiba di suatu tempat yang pemandangannya menakjubkan. Di tempat itu, berjejer perbukitan kecil yang memiliki lubang kawah berisi air yang memiliki warna berbeda. Tiga buah lubang kawah tampak berbentuk segitiga. Yang kiri mempunvai air berwarna biru, sedangkan yang kanan berwarna hijau. Sementara yang berada agak ke atas, sedikit berwarna bening kemerah-merahan.

Saat itu Mintarja memang tengah di atas sebuah bukit yang agak tinggi, sehingga matanya leluasa sekali menikmati keindahan alam yang menakjubkan itu. Dalam keadaan itu, mendadak pendengarannya yang tajam mendengar suara pertarungan tak jauh dari tempat ini

Maka seketika matanya merayapi sekitar tempat itu. Dan sebentar kemudian, ringan sekali tubuhnya melompat ke satu arah. Mintarja melesat cepat menuju sebuah bukit yang agak rendah di bawah. Memang teletak tidak jauh, maka sebentar saja dia sudah tiba. Dan di suatu tempat yang agak datar dan ditumbuhi rerumputan Mintarja melihat dua orang laki-laki berwajah seram dengan tubuh besar tengah bertarung. Lawan mereka adalah seorang gadis cantik berpakaian ungu. Rambutnya panjang, dan bagian belakangnya diikat pita merah. Mulanya Mintarja bermaksud turun tangan untuk membela gadis itu. Namun setelah mengamati rupanya sedikit pun gadis itu tak terdesak.

"Hmm... Siapa gadis itu? Ilmu olah kanuragannya cukup hebat. Bahkan kedua lawannya dibuatnya seperti bulan-bulanan" gumam Mintarja dalam hati dengan wajah kagum.

Apa yang dilihat Mintarja memang tak salah. Gerakan gadis itu demikian gesit dan cepat. Dia mampu melayang ringan seperti kapas. Tampak kedua lawannya dibuat jatuh bangun tak berdaya. Namun dia seperti tak memberi kesempatan sedikit pun bagi lawan-lawannya untuk balas menyerang.

"Yaaa ! Keparat-keparat busuk! Kalian akan mampus di tanganku!" geram gadis itu langsung menendang kedua lawannya. Tubuh gadis itu berputaran di udara dengan kedua kaki saling menyilang. Dan seketika dihajarnya langsung kedua lawan dengan telak.

Duk!
Dess!
"Aaaakh!"

Kedua laki-laki itu memekik kesakitan begitu wajah masing-masing terhajar dendangan gadis itu. Darah tampak mengucur dari hidung mereka yang pecah. Dan agaknya gadis berpakaian ungu tak melepaskan mereka begitu saja. Tubuhnya langsung melesat ke arah lawan-lawannya sebelun sempat bersiap-siap lagi. Begitu cepat tendangan gadis itu sehingga tak seorang pun yang bisa mengelak. Maka...

"Hiyaaa!"
Des!
Krek!

"Mampuslah kalian!" dengus gadis itu, ketika kedua kakinya menghantam dada lawan-lawannya.

"Aaa...!"

Kedua laki-laki itu kontan menjerit kesakitan begitu dadanya terasa remuk. Mereka langsung ambruk ke tanah, dan mati dalam keadaan mata melotot lebar.

"Hebat! Kepandaianmu sungguh hebat, Nisanak. Persoalan apa hingga sampai membunuh mereka?" tanya Mintarja, ketika keluar dari persembunyiannya. Dan pemuda itu kini melangkah mendekati gadis yang sorot matanya tajam.

"Siapa kau?! Apakah kau kawan kedua orang ini?!" bentak gadis itu galak.

"Bukan. Aku hanya kebetulan lewat, dan sedang menunggu seorang kawan di tempat seperti ini," sahut Mintarja tenang.

"Huh! Kau pikir aku bisa percaya omonganmu itu!"

"Apa maksudmu?"

"Kau sama saja dengan kedua laki-laki ini, hendak berbuat kurang ajar terhadapku!" dengus gadis itu geram.

"Nisanak! Jangan sembarangan kalau bicara! Apa kau kira setelah membunuh kedua laki- laki itu, kau bisa menggertakku begitu?" sahut Mintarja, jadi tak senang.

"Kalau betul, kau mau apa?" tantang gadis itu sambil berkacak pinggang.

Melihat sikap gadis itu, amarah Mintarja jadi tak terbendung lagi. Ditatapnya gadis itu dalam dalam dengan sorot mata tajam. Kemudian perlahan-lahan dia mendekat sambil menggeram pelan.

"Ingin kulihat. sampai di mana kehebatanmu sehingga bisa membuatmu besar kepala!"

"Huh! Majulah kalau kau ingin mampus!"

"Hup, yeaaa!"

Dengan sekali melompat, tubuh Mintarja bergerak cepat mengirim pukulan keras sambil berputaran. Namun gadis yang agaknya telah menduga hal itu cepat melenting tinggi ke atas menghindarinya. Kemudian tubuhnya menukik tajam laksana rajawali hendak menyambar mangsanya, ke arah Mintarja yang sudah menunggunya. Mintarja langsung saja menangkis dengan kedua tangannya ketika gadis itu hendak menghantam batok kepalanya.

"Hih!"
Plak!
"Uhh...!"

Dan ketika kedua tangan mereka beradu, terlihat wajah masing-masing berkerut menahan sakit. Agaknya, mulai disadari kalau kemampuan masing-masing setara. Namun itu bukan berarti salah satu ada yang mau mengalah. Bahkan gadis itu semakin bernafsu saja menyerang dan bermaksud menghabisi pemuda itu secepatnya. Sebaliknya, Mintarja merasa penasaran, karena gadis yang dianggapnya mudah ditundukkan temyata memberi perlawanan sengit dan hebat.

"Hiyaaa!"
"Uts..."

Kaki kanan gadis itu cepat menghantam ke arah dada Mintarja. Namun pemuda itu telah me lenting ke belakang dengan gerakan bersalto. Dan begitu mendarat, kakinya seketika melepaskan tendangan saat gadis itu mencoba mengikuti gerakannya. Dan pada saat yang bersamaan gadis itu juga telah melepaskan satu sodokan yang keras ke dada. Maka....

Plak!

Kali ini terlihat paras gadis itu berkerut, menahan rasa sakit ketika kepalan tangannya beradu dengan kaki Mintarja. Dan seketika hawa panas terasa mengalir di tangannya, sehingga membuatnya tersentak. Buru-buru tangannya ditarik. Masih untung, dia cepat membuang diri ke samping ketika pemuda itu menyapu mukanya dengan kaki satunya. Gadis itu lalu cepat-cepat bangkit dan berdiri, kemudian....

Sring!

Dengan geram gadis itu mencabut pedangnya. Dan seketika tubuhnya melesat siap mengayunkan pedangnya membelah tubuh lawan. Tentu saja hal itu membuat Mintarja terkejut. Maka buru-buru senjatanya yang berupa sepasang tongkat runcing di cabut untuk menangkis.

Trasss!
Heh?!"

Begitu mendarat manis di tanah, kedua orang itu tersentak kaget ketiga senjata satu sama lain beradu. Tadi seperti terdengar suara besi panas membara yang diceburkan ke dalam air. Keduanya sama-sama mundur beberapa langkah seraya memandang senjata masing-masing. Kemudian mereka saling menatap dengan wajah heran.

"Nisanak' Siapa kau sebenarnya? Pedangmu mengandung hawa dingin yang mampu meredam nyala api tongkatku. Di dunia ini, yang mampu menahan tongkatku ini hanya pedang milik bibi guruku, yaitu Nyi Lengser yang berdiam di puncak Gunung Rinjani." kata pemuda itu membuka suara setelah terdiam beberapa saat.

Gadis itu terpana. Dipandanginya pemuda itu dengan seksama.

"Apakah kau... kau murid Eyang Sara Geni?" tanya gadis itu, lirih.

"Betul. Dan kau murid bibi guruku?" timpal Mintarja. Si pemuda balik bertanya.

"Kakang Mintarja!" gadis itu mendadak terpekik dengan wajah girang, seketika pedangnya disarungkan kembali ke balik punggungnya.

Mintarja juga terkejut dan menghampiri gadis itu. Lalu mereka saling berhadapan, setelah Mintarja menyelipkan kembali kedua tongkatnya. "Kaniawati!"

Mereka saling bertatapan beberapa saat, kemudian gadis itu tertunduk malu.

"Kakang! Oh, tak kukira bahwa kau orangnya. Maafkan kekeliruanku, Kakang...," lirih suara gadis yang dipanggil Kaniawati.

"Tak apa, Kania. Aku pun salah. Maafkan kekasaranku..." sahut pemuda itu dengan suara pelahan.

Kini mereka kembali terdiam, sehingga suasana hening seperti di pekuburan. Kaniawati masih menundukkan kepala, tak berani menatap wajah pemuda itu. Sementara Mintarja sendiri salah tingkah dan tak tahu harus berbuat apa. Tapi lama-kelamaan, akhirnya diberanikannya untuk memegang jemari gadis itu.

"Kania..." panggil pemuda itu, berbisik.

"Hmmm..."

"Tak sadar kau sudah besar dan cantik," puji Mintarja tersenyum kecil.

"Kau pun demikian, Kakang. Dulu ketika kecil kau kurus dan cengeng. Tapi sekarang kau gagah dan tampan...," sahut Kaniawati dengan wajah bersemu merah.

"Bagaimana keadaanmu selama disana?"

"Baik, Kakang. Eyang Guru sangat menyayangiku. Kakang sendiri?"

"Ya! Eyang Sara Geni pun berlaku demikian padaku..."

Kembali mereka terdiam. Namun, kali ini Mintarja lebih berani mengajak gadis itu untuk duduk di sebuah pohon yang lebih rindang. Dan kali ini pun, Kaniawati terlihat lebih berani mencuri-curi pandang, menatap wajah pemuda itu yang memang tampan. "Kau pun disuruh Eyang Lengser untuk menemuiku di sini?" tanya Mintarja. Kaniawati mengangguk. "Apakah beliau juga bicarakan tentang kita?"

Gadis itu mengangkat kepalanya, dan memandang pemuda itu sejurus lamanya. "Aku ingin tahu, apakah Kakang setuju soal perjodohan yang telah ditetapkan sebelum kedua orangtua kita tewas?"

"Kenapa tidak?"

"Kakang terpaksa menyetujuinya?"

"Kalau dulu aku tak tahu apa artinya. Maka aku setuju saja agar mereka senang. Tapi setelah dewasa begini, mana mungkin aku akan menolak kalau ternyata gadis yang dijodohkan padaku ternyata cantik tiada tara!" kata Mintarja, diiringi senyum manis.

Kaniawati tersenyum manis, kemudian membuang pandang sejurus lamanya.

"Kau sendiri bagaimana?" tanya Mintarja, sehingga membuat Kaniawati menoleh kembali.

"He, apa?"

Apakah kau menolak perjodohan kita?"

Kaniawati tak langsung menjawab, tapi malah tersenyum. "Menurutmu bagaimana?"

"Entalah. Eyang Sara Geni tak mengajarkan padaku bagaimana membaca hati orang. Aku hanya bisa tahu kalau orang itu mengaku. Nah, bagaimana jawabmu?"

Kaniawati menundukkan kepala, lalu mengangguk pelan. Tapi kemudian cepat dipandangnya pemuda itu dalam-dalam, masalahnya Mintarja menyinggung soal perkawinan mereka.

"Kakang, aku ada satu pertanyaan?"

"Apa itu?"

Paras wajah gadis itu seketika berubah kelam. Dia mendengus dan senyumnya terlihat sinis.

"Huh! Aku harus membalaskan dendam dua orangtuaku lebih dulu!" tegas Kaniawati.

"Kania! Bukan kau saja yang berpikir begitu. Aku pun memiliki dendam yang tak kalah besarnya denganmu. Dan Eyang Sara Geni juga berpesan, demikian. Jadi mana mungkin aku bisa bersenang-senang, selama mereka masih berkeliaran. Arwah kedua orangtuaku tentu tak akan tenang, kata Mintarja kembali.

"Terima kasih, Kakang. Kau tentu sabar menunggu, bukan?" ucap gadis itu.

"Tentu saja. Nah. lihatlah. Sebentar lagi malam tiba. Apakah kita akan menginap di sini. atau mencari desa yang terdekat untuk menumpang nginap?"

"Apakah kau tidak bisa tidur di hamparan rumput ini?" ledek Kaniawati. Gadis itu tersenyum.

"Hei? Kenapa tidak? Dengan adanya kau di sini, di mana pun aku bisa tidur!"

"Nah! Kenapa sulit-sulit segala mencari tempat?"

"Baiklah. Kita bermalam di sini saja, sambil merencanakan apa yang harus dilakukan esok hari. Mereka tak akan lolos dari kejaran kita. Dan, tak seorang pun boleh menghalangi dendam kita!" tegas Mintarja.

Gadis itu tersenyum sambil mengangguk kecil.

********************

DUA

Matahari bersinar garang siang ini, membuat udara semakin panas menyengat. Pucuk-pucuk dedaunan tampak layu. Beberapa rumput yang tumbuh di tempat itu kelihatan meranggas kekeringan. Udara yang panas demikian membuat seorang gadis berbaju biru muda dan berwajah cantik mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya yang berkeringat. Dia duduk bersandar di bawah pohon, dengan pandangan ke satu arah. Tampak di punggungnya tersimpan sebilah pedang bergagang kepala naga. Sementara di pinggangnya, terlihat sebuah kipasnya putih yang menguncup.

Mendadak gadis itu tersentak, dan cepat bangkit ketika melihat sosok bayangan yang berkelebat cepat ke arahnya. Dan sebentar saja telah berdiri laki-laki bertubuh besar di hadapannya. Wajahnya yang lebar dihiasi codet, sehingga menambah keseraman wajahnya. Rambut tipis, sementara kedua kakinya kelihatan lebih pendek dari pada tubuhnya yang tak terurus. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu tampak membawa tongkat bambu di tangannya. Dan bibirnya langsung menyeringai lebar ketika melihat gadis itu.

"Ha, ha, ha...! Apakah saat ini aku tengah bermimpi? Seorang gadis cantik tersesat di daerah kekuasaan Gendil Sugolo!" kata orang itu kesenangan.

"Siapa kau! Dan apa yang kau lakukan di sini?" bentak gadis yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Pandan Wangi.

"Oh! Apakah kau tuli? Bukankah aku telah menyebutkan namaku tadi?" sahut orang yang mengaku bernama Gendil Sugolo, pura-pura terkejut.

"Mau apa kau ke sini?" tanya Pandan Wangi, keras.

"Mau apa? Apakah tidak terbalik? Akulah seharusnya yang bertanya begitu padamu. Tempat ini adalah kekuasaanku. Sejauh mata memandang, di hadapanmu adalah daerah kekuasaan Gendil Sugolo yang tampan dan gagah perkasa," kata Gendil Sugolo sambil membentangkan kedua tangan. Sementara mulutnya mengumbar tawa lebar.

"Orang gila sinting! Menyingkirlah dari hadapanku! Kalau tidak, kupecahkan kepalamu!" bentak Pandan Wangi kembali. Wajahnya tampak mencerminkan kegeraman dan perasaan jengkel melihat ulah orang itu.

"He, he, he...! Kau hendak pecahkan kepalaku? Silakan, Cah Ayu!" tantang Gendil Sugolo sambil mengangsurkan kepalanya. Melihat itu, Pandan Wangi semakin kalap saja. Dengan gemas kepalan tangannya diayunkan menghantam ke arah batok kepala laki-laki itu.

"Hiiih!"
"Eit! Ha, ha, ha...!"

Gendil Sugolo memiringkan tubuhnya begitu sesaat lagi kepalan tangan gadis itu akan menghantam kepalanya. Sehingga luput serangan itu.

Pandan Wangi bertambah geram karena serangannya luput. Maka lutut kanannya cepat di sodokkan ke perut Gendil Sugolo. Tubuh laki-laki seram itu sudah melenting ke atas sambil berputaran. Dan tahu-tahu, dia telah mendarat di belakang Pandan Wangi. Langsung diremas pantat gadis itu.

"Ouuuw...!" Gadis itu kontan menjerit kaget sambil memaki-maki tak karuan.

"Hm... aku tahu! Aku tahu! Kau tentu masih perawan ting-ting. He, he, he...! Gendil Sugolo memang harus berjodoh dengan gadis cantik jelita dan yang masih perawan." ucap laki-laki berwajah seram itu.

"Setan keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" dengus Pandan Wangi kalap.

"Ha, ha, ha...! Cah Ayu! Kenapa bersikap galak pada calon suamimu? Ayo, bersikaplah yang manis!" ledek Gendil Sugolo dan tertawa menakutkan.

Melihat hal ini, Pandan Wangi segera melepaskan satu sapuan yang mengarah ke pinggang. Namun serangan itu berhasil dihindari Gendil Sugolo dengan memiringkan tubuh sedikit. Maka tentu saja Pandan Wangi semakin kalap saja, sehingga terpaksa pedangnya dicabut.

Sring!

"Tua bangka keparat! Kubunuh kau saat ini! Hiyaaa!"

Pandan Wangi langsung melesat seraya mengibas ngibaskan pedangnya ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Bet! Bet!

"Uts...! Hm, bagus! Bagus! Calon istriku ternyata hebat sekali Ah! Aku semakin gemas saja ingin cepat-cepat mendekapmu!" Ujar Gendil Sugolo sambil melompat ringan ke sana kemari, menghindari sambaran pedang gadis yang terus mencecarnya seperti tiada henti.

"Hiyaaa!"

Disertai bentakan nyaring Gendil Sugolo berusaha membuat agar pedang di tangan Pandan Wangi terlepas, maka yang harus dihantamnya adalah pergelangan tangan gadis itu.

Namun Pandan Wangi cukup cerdik. Dengan gesit dihindarinya serangan lawan yang mengincar pergelangan tanganya. Namun Gendil Sugolo agaknya tak kurang akal. Maka tiba-tiba, tubuhnya melenting ke atas dan bermaksud menotok gadis itu. Untung saja cepat mengibaskan pedangnya ke atas.

Wut!

Terpaksa Gendil Sugolo menarik pulang tangannya, lalu kembali melenting tinggi. Dan dengan gerakan ringan sekali, kakinya mendarat di tanah.

"Jangan coba-coba memperdayaku. Kau akan celaka sendiri!" geram Pandan Wangi.

"Ha, ha, ha...! Aku semakin suka melihatmu, Cah Ayu." sahut Gendil Sugolo terkekeh-kekeh.

Laki-laki seram itu melompat ke belakang, karena Pandan Wangi kembali menyerangnya dengan satu sebetan pedang. Disertai geraman menyeramkan, Gendil Sugolo yang sudah berdiri kokoh di tanah segera memutar tongkatnya menggulung pedang gadis itu. Tubuhnya kemudian terangkat tinggi, disertai tendangan keras dan cepat.

Pandan Wangi tak punya jalan lain, kemudian menghindari dengan melenting ke belakang. Namun, justru hal itulah yang diharapkan lawan. Begitu Pandan Wangi melenting, Gendil Sugolo menarik serangannya. Dan seketika, tubuhnya melesat mengejar Pandan Wangi. Dan tepat ketika gadis itu mendarat di tanah, dua buah jari tangan kanan laki-laki itu cepat menyambar ke arah perut Pandan Wangi.

Agaknya Pandan Wangi memang tak akan mampu menghindari totokan itu. Tapi tiba-tiba....

"Orang asing, hentikan perbuatan kotormu! Hiiih!"

"Heh!"

Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat Gendil Sugolo tersentak kaget dan menarik pulang serangannya. Dan sebentar kemudian berkelebat sosok bayangan putih, dan tahu tahu sudah berdiri tak jauh dari gadis itu.

"Siapa kau?! Berani-beraninya mengganggu urusan Gendil Sugolo? Sudah bosan hidup, he?!" bentak Gendil Sugolo garang.

"Kakang Rangga! Oh, syukurlah kau cepat datang!"

Pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti itu belum sempat menjawab, karena Pandan Wangi sudah menghambur kearahnya. Langsung dipeluknya tubuh pemuda itu dengan wajah lega.

"Hm... aku tahu. Kalian ternyata sepasang kekasih. Atau, barangkali kakak adik? Huh, apa peduliku?! Aku berhak menentukan apa yang kuinginkan di wilayahku ini! He, Bocah! Minggir kau. Dan, pergilah dari sini! Tinggalkan gadis calon istriku itu!" bentak Gendil Sugolo seperti orang tak waras.

"Oo... Jadi gadis ini calon istrimu? Apakah telah kau tanyakan padanya? Kalau dia memang setuju, dengan senang hati aku akan meninggalkan tempat ini. Tapi kalau tidak, harap jangan suka mengganggu dan memaksa orang yang tak suka, Kisanak," sahut Pandekar Rajawali Sakti, enteng.

"Sial! Kau pikir siapa dirimu berani bicara begitu terhadapku, he?!" bentak laki-laki berwajah lebar itu sambil melototkan mata dan berkacak pinggang.

"Tua bangka sinting! Bicaramu ngawur tak karuan. Apa kau pikir dirimu sudah hebat, sehingga bisa berbuat sesuka hatimu?!" bentak Pandan Wangi.

"Ha, ha, ha...! Cah Ayu! Melihat kau bicara, aku bertambah senang saja. Tapi untuk urusan ini, sebaiknya kau tenang-tenang saja. Aku akan membereskan pangacau busuk ini!" sahut Gendil Sugolo sambil tertawa.

"Pandan, orang ini kelihatan tak waras. Kita akan semakin gila kalau meladeninya. Lebih baik, tinggalkan saja tempat ini," bisik Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang! Dia telah berbuat kurang ajar padaku. Aku harus menghajarnya lebih dulu!" sahut Pandan Wangi.

"Eee, apa yang kalian bisik-bisikan? Cah Ayu! Ke sini kau! Mendekatlah padaku! Jangan sampai kau dipengaruhinya!" bentak Gendil Sugolo nyaring, dengan wajah tak senang.

"Tua bangka sinting! Tutup mulutmu! Kau pikir bisa mengaturku seenak perutmu!" balas Pandan Wangi.

"He, he, he...! Kenapa! Kenapa kau malah marah padaku? Apakah kau sudah tak sayang lagi padaku?" ucapan Gendil Sugolo makin tak karuan.

Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat kelakuan orang itu. Jelas sudah kalau orang bernama Gendil sugolo itu sinting dan tak bisa diajak bicara baik-baik. Sangat disayangkan. Padahal kepandaiannya cukup hebat. Entah, apa yang membuatnya demikian. Tapi, pemuda itu tak mau repot-repot mengurusinya. Maka dipaksanya Pandan Wangi untuk tidak meladeni laki-laki itu. Meskipun semula Pandan Wangi sangat dendam sekali, namun akhirnya menurut juga ajakan Rangga.

"Kisanak, maaf. Kami tidak bisa meladenimu," sahut Rangga, hendak pergi dari situ.

Demikian pula halnya Pandan Wangi. Meskipun wajahnya terlihat cemberut dan geram, akhirnya dituruti juga ajakan Pendekar Rajawali Sakti. Namun mendadak, Gendil Sugolo melenting menghadang mereka. Tangan kirinya berkacak pinggang. Sementara tangan kanannya yang memegang tongkat bambu, dituding-tudingkan ke arah Rangga. Wajahnya tampak garang dengan mata melotot.

"Bocah sialan! Apa hakmu membawa-bawa calon istriku pergi?! Kurang ajar! Kau pikir dirimu sudah hebat? Hiiih!"

Begitu selesai memaki-maki Gendil sugolo langsung melayangkan tongkatnya ke batok kepala Pandekar Rajawali sakti. Tentu saja dia tak bisa tinggal diam. Maka tubuhnya cepat menunduk. Namun, Gendil Sugolo telah bersiap dengan ayunan kaki yang keras.

"Mampus...!"
"Sial!"

Rangga memaki geram seraya melenting ke atas untuk menghindari tendangan lawan. Dan tubuhnya terus berputaran di udara, sementara Gendil Sugolo terus mengejar sambil menyabetkan tongkat di tangannya.

"Bocah gendeng! Gila! Mampus kau! Mampus...!" maki Gendil Sugolo berkali-kali. Dan dia terus mengejar Pendekar Rajawali Sakti disertai kemarahan meluap-luap.

"Dasar sinting! Aku tak bisa terus-terusan begini menghadapinya. Dia harus diberi pelajaran!" gerutu Rangga sambil mengumpat kesal.

Begitu mendapat kesempatan Rangga mulai membalas menyerang. Namun pada saat yang sama, Gendil Sugolo membabatkan senjatanya. Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas melewati kepala Gendil Sugolo. Dan begitu menginjak tanah, tangannya cepat diayunkan ke arah dada.

"Hiiih!"

"Uts, kurang ajar!" maki Gendil Sugolo. Ham-pir saja tangan Rangga menembus dada kiri laki-laki sinting itu, untung tubuhnya cepat diputar ke kiri, sehingga serangan itu lewat beberapa rambut di depannya.

Tapi siapa sangka, ketika tiba-tiba tangan Pendekar Rajawali Sakti berbalik siap menghajar leher Gendil Sugolo. Maka dengan kalang kabut laki-laki sinting itu melompat ke belakang.

"Hiyaaa!"

Pendekar Rajawali Sakti terus mengejar dengan serangan cepat ke arah pinggang. Namun dengan tangkas Gendil Sugolo menangkis. Namun pada saat yang sama kaki kiri Rangga menyodok dari bawah ke atas menghajar punggung. Maka bukan main terkejutnya Gendil Sugolo. Meskipun tangannya masih gemetar akibat senjatanya beradu tadi, namun tongkatnya masih sempat dibabatkan untuk menghajar tulang kering kaki Pendekar Rajawali Sakti setelah berbalik dengan cepat. Melihat hal itu Rangga cepat menarik pulang tendangannya. Dan seketika, sambil melompat berputar, Pendekar Rajawali Sakti menggerakkan dua buah jari tangan kanannya begitu cepat gerakannya, sehingga Gendil Sugolo tak sempat menghindar. Dan...

Tek! Tuk!
"Ohhh...!"

Dua buah totokan yang mendarat di pinggang kanan Gendil Sugolo begitu cepat pengaruhnya. Maka....

Brugk!

Tanpa mampu dicegah lagi, tubuh Gendil Sugolo ambruk tak berkutik. Laki-laki tak waras itu hanya mendelik garang sambil memaki-maki tak karuan, namun dengan tubuh tak berdaya.

"Bocah sial. Lepaskan totokanmu ini! Aku masih mampu memecahkan batok kepalamu! Ayo lepaskan cepaaat...!" dengus Gendil Sugolo.

"Cobalah lepaskan sendiri, Kisanak!" sahut Rangga tenang.

"Setan keparat! Gendeng! Bocah sial! Mau ke mana kau, he?! Lepaskan aku dulu. Awas, kau. Sekali lagi bertemu denganku, kupecahkan batok kepalamu!!" kembali Gendil Sugolo memaki-maki tak karuan.

Tapi, Rangga tetap tenang-tenang saja. Sambil tersenyum kecil, kakinya melangkah ke arah Pandan Wangi Kemudian diajaknya gadis itu pergi.

"Kisanak! Kalau kau terus berusaha seperti itu, maka totokanku itu akan semakin kuat membelenggumu. Tapi kalau kau tenang, maka tak sampai sore nanti tentu akan terbebas," kata Rangga, tanpa menoleh sedikit pun.

"Persetan dengan ocehanmu! Lepaskan totokanku cepaaat...!" sahut Gendil Sugolo membentak nyaring.

"Kakang! Kupingku sakit mendengar teriakannya. Kenapa tak sekalian saja dihajar supaya diam?" gerutu Pandan Wangi, sambil terus melangkah di sisi Pendekar Rajawali Sakti.

"Tak usah. Sekarang, lebih baik kita tinggalkan saja," jawab Rangga sambil tersenyum-senyum kecil. "Nanti totokan itu akan hilang dengan sendirinya, setelah kita sudah jauh meninggalkan tempat ini."

Pandan Wangi menoleh sekilas ke arah Gendil Sugolo, kemudian buru-buru memalingkan wajah ketika melihat Gendil Sugolo menyeringai buas.

"Bocah gendeng! Setaaan! Kau boleh pergi ke ujung langit sekalipun. Tapi, jangan bawa-bawa calon istriku! Keparat! He, jangan bawa calon istrikuuu..."

Meski Gendil Sugolo berteriak-teriak sampai urat lehernya pecah, mana mungkin keinginannya terpenuhi. Malah kedua orang itu semakin jauh saja meninggalkan tempat ini, kemudian lenyap dari pandangan matanya.

"Oh, Cah Ayu! Tega nian kau meninggalkanku? Apakah kau tak sayang lagi padaku? Apakah kau tak cinta lagi padaku? Kenapa kau malah mengikuti bocah gendeng itu? Apakah aku kurang tampan dibandingkan dengan dia? Apakah aku kurang gagah? Cah Ayu, kembalilah padaku...." ratap Gendil Sugolo.

Mendadak, baru saja selesai bicaranya, melesat dua sosok bayangan. Dan belum juga Gendil Sugolo menyadari, kedua bayangan itu langsung berdiri tegak di hadapannya. Wajahnya langsung gembira ketika melihat seraut wajah gadis cantik berbaju ungu. Rambut gadis itu panjang, dikuncir ke belakang. Di punggungnya tersandang sebilah pedang.

"Eh, Cah Ayu! Kau kembali! Kau kembali untukku, bukan?!" sentak Gendil Sugolo.

Sedang di sebelahnya berdiri seorang pemuda gagah bertubuh tegap, terbungkus baju lusuh dengan beberapa bagian terlihat sobek. Wajahnya keras, dan sedikit pun tak terlihat senyumnya. Sepasang tongkat terbuat dari batu karang, tampak terselip di pinggangnya.

"Siapa kalian?! Kalian bukan orang yang tadi?" tanya Gendil Sugolo, menyadari kalau dua orang di hadapannya bukan yang tadi. "Kaukah yang bernama Gendil Sugolo?" tanya pemuda berbaju lusuh itu. Suaranya terdengar berat dan penuh ancaman.

"Ha, ha, ha...! Tak kusangka, semua orang akhirnya mengenal namaku. He, bocah! Kau sungguh beruntung bertemu Gendil Sugolo. Hah, tolong bebaskan totokanku. Setelah itu, aku akan memberi hadiah pada kalian" sahut Gendil Sugolo sambil tertawa senang.

"Baiklah," sahut pemuda itu. Begitu selesai kata-katanya, kaki kiri pemuda itu segera terayun menghantam dada Gendil Sugolo.

Dess!
"Aaakh!"

********************

TIGA

Gendil Sugolo seketika menjerit keras, begitu pemuda itu menendang bagian tubuhnya jadi terpental beberapa langkah dari tempat semula. Namun dengan cara begitu, Gendil Sugolo agaknya terbebas dari totokan. Terbukti kemudian, laki-laki kurang waras itu bangkit dengan wajah geram.

"Kurang ajar! Kelakuan anak muda sekarang memang makin kurang ajar saja. Siapa kalian?" bentak Gendil Sugolo garang.

"Kenalkah kau dengan Ki Rogo Janggat dan Ki Sampang Jinggolo?" pemuda itu malah balik bertanya, tanpa menjawab pertanyaan Gendil Sugolo.

"Apa?" tanya Gendil Sugolo dengan suara keras.

"Orang tua budek! Jangan membuat kesabar-anku hilang! Kami adalah putra-putrinya. Dan kau adalah salah seorang dari keparat pembunuh orangtua kami. Maka, jangan harap bisa lepas dari tangan kami!" dengus pemuda itu tajam.

Gendil Sugolo menatap sepasang anak muda itu bergantian. Matanya sampai menyipit merayapi tubuh mereka dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Lalu...

"Ha, ha, ha...! Dasar orangtuanya geblek. Anaknya pun ikut-ikutan geblek. He, jadi kalian putra-putrinya. Apa maunya kalian padaku? Balas dendam? Membunuhku? Ayo, lakukanlah kalau mampu!" kata Gendil Sugolo sambil terkekeh-kekeh.

"Memang, kami akan lakukan. Nah, orangtua sinting. Jagalah nyawamu dari kejaran kami!" ujar pemuda itu, mantap.

Begitu selesai kata-katanya, pemuda itu langsung meluruk menyerang Gendil Sugolo. Demikian pula gadis di sebelahnya. Gerakan mereka cepat bukan main, sehingga sejenak Gendil Sugolo tersentak kaget. Namun dengan segala pengalamannya selama puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan, cepat bagai kilat tongkat bambunya diayunkan untuk menghalau serangan kedua lawannya.

"Hiyaaa!"
Wutt!
Bet! Bet!

Ujung tongkat laki-laki sinting itu menyambar-nyambar bagian tubuh yang mematikan dari kedua lawannya. Namun sepasang anak muda itu gesit sekali menghindari. Bahkan melakukan sodokan cepat ke arah bagian tubuh Gendil Sugolo yang amat mematikan. Tentu saja hal ini membuat laki-laki sinting itu tersentak kaget Untung saja dia cepat bisa melenting ke belakang sejauh tiga tombak. Lalu, Manis sekali kakinya mendarat di tanah, menghadap ke arah sepasang anak muda yang tidak melanjutkan serangan.

"Gendil Sugolo! Ketahuilah, agar kau tak mati penasaran. Namaku Mintarja. Aku putra Ki Rogo Janggat. Dan kawanku ini, Kaniawati putri Ki Sampang Jinggolo!" kata pemuda yang tak lain Mintarja sambil tersenyum sinis, Mintarja menatap dalam-dalam wajah Gendil Sugolo. Sepertinya, lewat matanya, pemuda itu ingin menelan bulat-bulat laki-laki di hadapannya.

"Puihh! Apa peduliku dengan kalian? Biar anak setan sekalipun, jangan dikira bisa menakuti Gendil Sugolo?!" balas Gendil Sugolo dengan suara keras.

Begitu selesai kata-katanya, pemuda itu melompat tinggi, seraya menggosok-gosokkan kedua tangannya. Dan seketika kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan.

"Kalau begitu, kau memang harus mampus!" dengus Mintarja.

"Hiyaaa!"
Werrr!

Bukan main terkejutnya Gendil Sugolo, ketika dari telapak tangan pemuda itu melesat gulungan api yang kuat dan terasa panas sekali. Untung dia cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga gulungan api sebesar kepala bayi itu hanya lewat pada jarak tiga jengkal di depan tubuhnya. Namun demikian kulitnya masih terasa terbakar oleh jilatan lidah api. Dan gulungan api itu terus meluncur ke arah sebuah pohon yang ada di belakang Gendil Sugolo. Begitu terhantam pukulan Mintarja, pohon itu hangus terbakar, disertai ledakan dahsyat.

Glarrr...!

Namun belum juga Gendil Sugolo menyadari apa yang terjadi...

"Yeaaa!"
"Hei?!"

Kembali Gendil Sugolo tersentak kaget, ketika tiba-tiba gadis berbaju ungu itu menghentakkan tangan kanan ke arahnya. Maka seketika hembusan angin dingin bagai es meluncur cepat ke arahnya laki-laki edan itu. Masih untung Gendil Sugolo mampu menghindari dengan melenting ke atas. Namun, tak urung angin semburannya sempat membuat tubuhnya menggigil kedinginan.

"Bocah-bocah gendeng! Kalian kira aku bisa ditakut-takuti?!" maki Gendil Sugolo, geram bercampur marah.

Dan ketika kedua kaki Gendil Sugolo menyen-tuh tanah, saat itu juga telapak tangan kanannya dihentakkan ke depan. Maka dari telapak tangannya yang terbuka menderu angin kencang ke arah sepasang anak muda itu. Namun Mintarja dan Kaniawati serentak melenting ke udara, sehingga serangan angin itu hanya lewat di bawah kakinya. Dan begitu mereka mendarat di tanah...

Srak!
Sring!

Sepasang anak muda itu langsung mencabut senjata masing-masing. Dan mereka memang tak ingin tanggung-tanggung lagi.

"Gendil Sugolo. Sudah cukup peringatan itu bagimu. Sekarang, bersiaplah untuk mampus!" ujar Mintarja. Seketika tubuh pemuda itu terus meiesat ke arah Gendil Sugolo.

Demikian halnya Kaniawati yang wajahnya menyiratkan dendam kesumat!

"Hiyaaa!"

Gendil Sugolo tak punya pilihan ketika tongkat di tangan Mintarja menyodok ke arah jantungnya. Tubuhnya seketika melompat ke atas, sehingga serangan itu luput. Namun pada saat yang sama pedang Kaniawati menyambar kepalanya. Maka cepat-cepat tangannya bergerak ke atas, memapak serangan pedang itu! Gendil Sugolo tak sempat lagi menghindar, dan terpaksa tongkatnya dipakai untuk menangkis....

Trakkk!

"Heh?!" Lelaki tua itu kaget ketika tongkatnya patah dihantam tongkat Mintarja. Dan, belum habis keterkejutannya, Kaniawati sudah meluruk cepat dan membabatkan pedang ke arah punggungnya!

Trak!

Begitu habis memapak, tubuh Gendil Sugolo jadi terlempar ke belakang. Namun untung saja dia masih mampu menjaga keseimbangan. Sehingga waktu mendarat di tanah, dia tidak terpelannng. Se dangkan Kaniawati sudah terlebih dulu mendarat manis di tanah. Sementara itu Mintarja tak membiarkan lawannya begitu saja. Tubuhnya langsung meluruk sambil mengibaskan tongkat di tangan kanan ke arah lawan yang baru saja mendarat. Tentu saja tak ada kesempatan bagi Gendil Sugolo untuk menghindar, sehingga terpaksa harus menangkis dengan tongkat bambu di tangannya.

Trakkk!
"Heh?!"

Betapa terkejutnya Gendil Sugolo ketika menyadari tongkat bambu di tangannya patah, begitu habis memapak. Belum habis keterkejutannya, tubuh Kaniawati juga sudah cepat meluruk, dan langsung membabatkan pedangnya ke punggung Gendil Sugolo.

Crasss!

Gendil Sugolo kontan memekik kesakitan begitu punggungnya tertebas pedang Kaniawati. Melihat kesempatan ini, Mintarja tidak mau menyia-nyiakan. Seketika tubuhnya meluruk melancarkan tusukan ke arah jantung Gendil Sugolo yang belum mampu berbuat apa-apa. Maka...

Blesss!

"Mampus, kau!" kata Mintarja.

Gendil Sugolo terhuyung-huyung sebentar sambil memegangi dadanya yang mengucurkan darah. Sebentar kemudian tubuhnya ambruk ke tanah, dan tak berkutik lagi. Mati!

Sebentar Mintarja memandangi mayat musuhnya, laki menatap Kaniawati yang masih menyaksikan kematian Gendil Sugolo.

"Mari, Kania. Kita tak boleh buang-buang waktu," ajak Mintarja.

Sebentar saja, kedua orang itu sudah melesat cepat meninggalkan mayat yang berlumuran darah. Dan angin pun menyapu sekitarnya, menebarkan bau anyir darah manusia.

********************

Seorang perempuan tua tampak tengah duduk di sebatang pohon yang roboh, di depan pondok kecil. Rambutnya sebagian telah memutih terma- kan usia. Di depannya duduk bersila seorang gadis berusia enam belas tahun. Gadis berpipi tembam itu tampak dengan seksama mendengarkan wejangan yang diberikan wanita tua di hadapannya.

"Purwasih.... Kurasa, semua ilmu kanuragan yang kumiliki telah kuajarkan padamu. Dan seka-rang tibalah hari perpisahan kita. Kau harus turun gunung dan mengabdikan ilmu yang kamu miliki," ujar perempuan tua itu, yang sepertinya adalah guru dari gadis di hadapannya.

"Eyang Kumala, aku tak ingin meninggalkanmu sendiri di tempat ini. Siapa yang akan mengurusmu nanti...?" tanya gadis yang dipanggil Purwasih, dengan nada sedih.

Perempuan tua yang dipanggil Eyang Kumala, bangkit Dihampirinya Purwasih yang duduk sekitar satu tombak di depannya. Lalu dibelai rambut gadis itu. Tampak tersenyum bibir tuanya. Sementara kepalanya menggeleng pelan.

"Tidak. muridku. Aku bisa mengerjakan segalanya sendiri. Lagi pula, aku punya firasat. Rasanya usiaku tak akan lama lagi berakhir...," lirih suara Eyang Kumala.

Purwasih kontan tersentak, lalu bangkit berdiri. Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah gurunya itu.

"Eyang! Kau tak boleh berkata demikian! Eyang harus tetap hidup! Eyang harus tetap hidup!" gadis itu langsung memeluk tubuh perempuan tua itu dengan wajah haru dan terisak pelan.

"Purwasih, tenanglah. Bukankah setiap manusia pasti akan menemui Penciptanya? Jadi tak perlu takut akan kematian. Hanya saja bila aku telah tiada, hati-hatilah membawa diri. Dan ingat pesanku. Kalau suatu saat bertemu orang yang amat membenciku, hati-hatilah. Tak ada yang perlu kusembunyikan darimu. Dan, kau bebas menentukan sikap," ujar Eyang Kumala. seraya berusaha melepaskan pelukan Purwasih dengan lembut.

"Maksud Eyang tentang peristiwa dua puluh tahun yang silam itu?" tanya Purwasih, langsung menatap gurunya.

Eyang Kumala mengangguk. "Kedua orang itu sering berbuat kejahatan. Dan, tak seorang pun yang bisa menghentikan. Sehingga, para tokoh golongan putih serta orang-orang yang merasa dirugikan segera bersatu untuk menggempur, sehingga mereka berhasil ditewaskan." tambah Eyang Kumala.

"Eyang hanya mengkhawatirkan anak-anak mereka yang akan menuntut balas pada para tokoh itu?" Purwasih seperti minta penegasan.

Eyang Kumala tak langsung menjawab. Maka ditatapnya wajah Purwasih dalam-dalam. Pada sinar matanya, terlihat jelas rasa kekhawatiran yang sangat dalam.

"Aku tak mengkhawatirkan diriku, tapi dirimu. Seperti apa yang telah kuceritakan padamu, putra-putri mereka diselamatkan oleh tokoh berkepandaian tinggi yang sama sekali tak kami kenal," lanjut Eyang Kumala.

Purwasih mendesah pelan, lalu kembali memeluk gurunya.

"Lalu, apa yang Eyang khawatirkan?"

"Purwasih... Aku tak tahu, seberapa hebat tokoh yang menyelamatkan putra-putri kedua tokoh yang kami bunuh itu. Aku juga tak tahu siapa. dan berasal dari golongan mana. Tapi aku yakin tokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Dan kalau dia termasuk golongan hitam, maka tentu akan mendidik kedua bocah itu, untuk membalaskan dendam kematian orang tua mereka," jelas Eyang Kumala sambil menghela napas berat.

"Eyang! Aku akan berusaha sebaik-baiknya mengamalkan ilmu yang kupelajari. Dan aku berjanji tak akan mengecewakanmu!" sahut gadis itu dengan wajah sungguh sungguh. Eyang Kumala tersenyum kecil, kemudian kembali mengelus kepala gadis itu.

"Nah! Kalau demikian, pergilah segera. Orang-tuamu past sudah teramat rindu padamu. Juga kakakmu. Dia pasti merasa kehilanganmu. Bukankah sudah lama sekali kau tak menemui mereka?" ujar Eyang Kumala, seraya melepaskan pelukannya.

"Tapi Eyang...."

"Jangan khawatirkan diriku. Aku bisa menjaga diri," sahut perempuan tua itu dengan wajah meyakinkan.

Dengan hati berat terpaksa gadis itu menuruti kara-kata gurunya. Namun baru saja akan berbalik, mendadak mereka kedatangan dua orang tamu. Sepasang muda-mudi yang gagah tampan dan cantik.

"Kisanak dan Nisanak siapakah kalian. Dan, apa yang bisa kubantu?" sapa Eyang Kumala.

"Kaukah yang bernama Eyang Kumala?" tanya pemuda yang memakai baju compang-camping dengan wajah dingin.

"Hm.... Kalau kau ingin bertemu, kau tengah berhadapan dengan orangnya," sahut Eyang Kumala bernada curiga.

"Bagus! Kalau demikian, bersiaplah kau, karena kami akan mencabut nyawamu!" geram pemuda itu dengan wajah kalem, terselimut dendam sangat dalam yang terbias dari wajahnya.

"Hm... Jadi kalian putra-putri Ki Rogo Janggat dan Ki Sampang Jinggala?" tanya Eyang Kumala, masih bersikap tenang.

"Syukur kau menyadari hal itu. Berarti, kau juga mengakui dosa-dosamu!" sahut gadis berbaju ungu dan berwajah cantik itu.

"Kau salah, Cah Ayu. Aku sama sekali tak merasa bersalah atas kematian kedua orangtua kalian. Mereka orang jahat. Bahkan juga pengacau yang selalu dikutuk semua golongan. Dan nasib kalian akan sama dengan kedua orangtuamu jika sekarang menuruti hawa nafsu belaka," ujar Eyang Kumala.

"Perempuan busuk! Jangan asal bicara kau! Terimalah kematianmu!" bentak gadis berbaju ungu itu.

Gadis itu langsung menyerang Eyang Kumala, tapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, memapak serangannya.

Plak!

"Gadis tak tahu aturan! Hadapilah aku lebih dulu sebelum berhadapan dengan guruku!" sentak orang yang memapak dan tak lain adalah Purwasih.

"Huh! Bocah tolol! Kau pikir mampu menahanku? Rasakanlah akibatnya!" Gadis itu langsung melayangkan satu tendangan ke arah Purwasih. Namun dengan berani gadis berpipi tembam itu memapak dengan tendangan pula.

Plak!
"Uhhh...!"

Begitu kedua kaki mereka beradu, Purwasih seperti menghantam tembok baja yang tebal. Kakinya kontan terasa nyeri. Dalam keadaan begini, tiba-tiba kembali datang serangan. Untung Purwasih masih cukup gesit melompat ke belakang. Sehingga, serangan itu luput. Melihat keadaannya berbahaya, Purwasih segera mencabut pedangnya. Ketika gadis berbaju ungu itu siap menyerang kembali.

"Hiyaaa!"

Purwasih langsung mendahului, dengan meluruk sambil mengibas-ngibaskan pedangnya.

Wut! Wut!

Ujung pedang itu lurus menyambar ke arah leher, dada, dan pinggang lawan. Namun, manis sekali tubuh gadis berbaju ungu itu meliuk-liuk menghindari. Bahkan tiba-tiba dia melenting seraya berputaran sedemikian cepat. Akibatnya Purwasih jadi tersentak kaget dan bingung. Maka di tengah kebingungannya, tiba-tiba gadis lawannya meluruk cepat sambil melepaskan satu hantaman keras ke punggung kanan.

Begkh!
"Akh!"

Purwasih terjajar ke depan, namun masih untung mampu bersalto ke depan. Lalu, kakinya hinggap di tanah manis sekali. Sementara pemuda itu sudah pula bertarung sengit melawan Eyang Kumala. Serangan yang dilancarkan bertubi-tubi dan dahsyat sekali. Masih untung, sampai saat ini Eyang Kumala masih bisa menghindari.

"Kania! Kau tak boleh membuang-buang waktu! Habisi gadis tolol itu segera. Dan biar perempuan busuk ini akan merasakan tanganku!" teriak pemuda yang bernama Mintarja sambil melompat menyerang Eyang Kumala.

"Baiklah, Kakang Mintarja!" sambut gadis berbaju ungu yang memang Kaniawati.

"Yeaaa...!"

Sambil membentak nyaring, satu tendangan Mintarja menderu mengincar batok kepala Eyang Kumala. Namun perempuan tua itu hanya tersenyum sinis begitu tendangan hampir mendarat, cepat tangan kirinya menangkis.

Plak!
"Uhhh...!"

Bukan main terkejutnya perempuan tua itu, ketika merasakan tangannya bergetar akibat benturan dengan kaki Mintarja. Belum lagi habis rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan kaki kanan pemuda itu kembali menyapu dadanya. Buru-buru Eyang Kumala melompat ke belakang, seraya mengibaskan tongkatnya menghalau serangan.

Bet!
"Uts, ha...!"

Mintarja cepat memutar tubuhnya dengan gerakan menyamping. Sehingga, ujung tongkat Eyang Kumala hanya lewat beberapa rambut dari tubuhnya. Kemudian cepat, dia melenting ke atas. Dan begitu meluncur turun, kepalan tangan kanannya disiapkan bagai kilat dengan tenaga kuat ke arah dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga kali ini Eyang Kumala tak punya pilihan untuk melepaskan satu pukulan selain menangkis.

Plak!
"Aaakh...!"

Kembali perempuan tua itu merasa tangannya nyeri akibat benturan barusan. Namun tanpa mempedulikan rasa sakit, tongkat di tangan kanannya kembali berkelebat menyambar tubuh Mintarja. Untung Mintarja telah melompat ke atas sambil menekuk kedua kakinya. Tubuhnya berputaran beberapa kali, lalu laksana kilat menukik turun. Begitu cepat gerakannya. Sehingga ketika Mintarja langsung melepaskan tendangan, Eyang Kumala tidak bisa bertindak apa-apa. Dan...

Des!
"Aaah...!"

Perempuan tua itu kontan memekik kesakitan, begitu dadanya terhantam tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya langsung terlempar lima langkah sambil meneteskan darah di sudut bibirnya. Dan rupanya teriakan gurunya membuat Purwasih tersentak kaget. Akibatnya, dia jadi lengah.

"Eyang...?!"

Begitu Purwasih berpaling, sebuah serangan meluncur datang. Sehingga....

Desss!
"Aaakh...!"

Satu kepalan tangan Kaniawati langsung menghantam dada Purwasih, sehingga membuatnya terjajar beberapa langkah. Mulutnya jadi meringis merasakan sakit yang bukan main, akibat pukulan geledek yang amat keras tadi. Dan Kaniawati tak berhenti sampai di situ saja. Tanpa memberi kesempatan pada lawan, tubuhnya hendak melepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa...!"

"Purwasih, cepat lari dari sini! Cepaaat..! Hiyaaa...!"

********************

EMPAT

Pada saat yang gawat bagi Purwasih, Eyang Kumala berteriak keras sambil melompat cepat bagai kilat meninggalkan lawannya. Langsung dihadangnya serangan Kaniawati.

Plak!

Dua benturan kontan terjadi, begitu tangan Eyang Kumala menghantam tangan Kaniawati. Tapi Eyang Kumala yang sudah terluka dalam akibat terkena tendangan tadi, tentu saja tenaganya jadi kalah jauh. Maka tubuhnya jadi terjajar beberapa langkah. Untung saja tangan yang satunya tadi sempat mendorong tubuh Purwasih tadi. Dan Eyang Kumala sendiri, kini hanya berdiri limbung dengan sorot mata tajam ke arah Mintarja.

Sementara itu mana mau Mintarja membiarkan Eyang Kumala begitu saja. Tubuhnya langsung melesat, mengirim satu tendangan keras ke arah dada.

Diagh!
"Aaakh...!"

Diiringi pekik kesakitan tubuh Eyang Kumala terjajar ke depan. Namun dia kembali harus menerima hajaran Kaniawati yang telah menunggu kesal, karena serangan tadi digagalkan. Maka tak heran kalau kembali terdengar jerit kesakitan. Dari mulut itu menyembur darah. Tubuhnya yang limbung me-nahan rasa sakit, dihadapkan ke arah Purwasih yang hanya terbengong-bengong. Kemudian tangannya mengibas-ngibas menyuruh muridnya pergi.

"Purwasih, pergi! Pergi dari sini, cepaaat...!"

Gadis itu jadi bingung. Dia bermaksud akan menghampiri, namun gurunya itu malah menyuruh pergi. Purwasih jadi bimbang. Tapi sebagai murid, dia harus membela nama baik gurunya. Dan dia bertekad tak akan meninggalkan tempat itu, dan harus menolong guninya. Tapi...

"Purwasih, cepat pergi.... Aaakh....!" Kata-kata perempuan tua itu terputus, Mintarja telah lebih dulu kembali menghantam leher dengan kecepatan dahsyat.

"Purwasih, cepat pergi.. Aaakh!"

"Eyaaang...?!"

Tubuh Eyang Kumala terjajar kembali, dengan keadaan sempoyongan Darah semakin banyak ke luar dari mulutnya. Sementara dari arah belakang, Kaniawati kembali meluruk melepaskan tendangan dahsyat ke arah punggung perempuan tua yang telah terhuyung-huyung itu. Akibatnya, Eyang Kumala terjungkal dan ambruk di tanah sambil menyemburkan darah kental. Dia berusaha bangkit namun Mintarja tanpa ada rasa kasihan langsung menghantamkan telapak kakinya ke leher Eyang Kumala.

Krek!
"Aaa...!"

Perempuan tua itu menjerit tertahan. begitu kaki Mintarja mendarat di lehernya hingga patah. Maka nyawa Eyang Kumala lepas dari raga saat itu juga.

"Jahanam! Terkutuk! Kalian harus bayar nyawa guruku! Hiyaaat..!"

Purwasih yang telah kalap langsung menyerang kedua orang itu. Tidak lagi dipedulikan kemampuannya yang terbatas.

"Yeaaa...!"

Sementara Kaniawati tak kalah sigap. Langsung dilemparkannya sesuatu ke arah Purwasih.

"Aaakh!"

Beberapa buah senjata rahasia yang dilemparkan Kaniawati, hanya satu yang berhasil menancap di punggung kanan Purwasih. Tapi itu cukup membuat Purwasih mengeluh kesakitan, dan langsung ambruk di tanah. Pingsan.

"Dia bisa membahayakan kita kelak?" tanya Mintarja, sambil memperhatikan keadaan gadis yang telah terbaring di tanah.

"Kenapa? Apakah Kakang mulai takut? Siapa di jagad ini yang mampu menghalangi kita berdua? Dia boleh menuntut balas pada kita dengan bantuan siapa pun. Tapi orang itu akan mampus di tangan kita!" tegas Kaniawati.

"Ya, Kau benar..." balas Mintarja sambil mengangguk kecil.

"Nah, kalau demikian, mari kita lanjutkan perjalanan. Dan, lupakan tentang gadis itu,"

"Baiklah. Mari..."

Keduanya segera melesat cepat dari tempat itu, disertai ilmu meringankan tubuh yang tinggi, sehingga dalam sekejap mata saja mereka telah lenyap dari situ, meninggalkan mayat Eyang Kumala yang terbujur kaku tak bergerak lagi, dan Purwasih yang tergolek pingsan.

Pendekar Rajawali Sakti

Dua sosok tubuh tampak tengah berjalan tenang melintasi pinggiran hutan kecil. Yang seorang adalah laki-laki tua bertubuh kurus. Jenggot dan kumisnya telah memutih. Rambut yang kepalanya juga telah putih tampak tergerai dengan gelungan di atasnya yang diikat pita hitam. Di pinggangnya terselip pedang besar dengan warangka berukir indah.

Sementara di sampingnya, adalah seorang gadis berwajah manis dan berkulit kuning langsat. Rambutnya yang panjang diikat pita hijau, sama seperti warna bajunya. Di pinggang kirinya, terlihat sebatang pedang kecil yang amat pas dengan pinggangnya yang ramping.

Jalan dilalui memang agak lebar, dan biasa dilintasi orang. Sehingga, tak heran, kalau mereka sejak tadi sering berpapasan dengan orang lain. Namun ketika saat ini menjelang sore, suasana mulai sepi.

Saat itulah mendadak dari arah kanan terlihat seorang sempoyongan berjalan mendekati jalan itu. Tangannya menggapai-gapai, kemudian langsung tersungkur di tanah. Kalau melihat ciri-cirinya orang itu jelas Purwasih.

Memang, setelah siuman dari pingsannya, dengan berat hati Purwasih meninggalkan mayat gurunya. Dia terus berjalan tak tentu arah, mencari pertolongan. Yang jelas, dalam tubuhnya seperti mengalir sesuatu yang membuatnya terus menderita.

"Heh?!" Orang tua itu terkejut dan melangkah lebar ke arah sosok yang baru saja tersungkur.

"Eyang! Aku curiga! Jangan-jangan itu Purwasih!" desis gadis berbaju hijau itu buru-buru mengikuti langkah orang tua itu.

"Purwasih...! Oh! Bangun. Dik! Bangun! Apa yang telah terjadi padamu?!" teriak gadis berbaju hijau itu, cemas.

"Tenanglah, Ratih. Biar eyang akan memeriksanya...," ujar orang tua itu pelahan. Seketika diperiksanya sekujur tubuh Purwasih. Dan seketika wajah orangtua itu pucat.

"Celaka! Dia terkena racun ulat salju!" desis orangtua itu kaget.

"Racun ulat salju? Apa itu, Eyang? Berbaha-yakah?! Eyang, bagaimana keadaan adikku?!" tanya gadis berbaju hijau yang dipanggil Ratih. Dia tampak bingung.

"Purwasih kelihatannya terluka dalam dan lemah sekali. Sehingga racun ulat salju itu bekerja lebih cepat. Denyut nadinya lemah sekali. aku tak tahu, apakah dia bisa tertolong," desah laki-laki tua itu.

"Eyang...?! Oh, tidak! Tidaaak! Adikku harus hidup! Adikku harus hidup...!" teriak Ratih memelas, sambil mengguncang-guncangkan tubuh gadis yang tengah tak sadarkan diri.

"Ratih, jangan! Kau hanya menambah cepat kematiannya saja!" cegah orangtua itu.

"Eyang, berbuatlah sesuatu! Jangan biarkan adikku mati sia-sia...!" jerit Ratih memilukan.

"Kisanak, apa yang terjadi? Dan siapakah orang yang tengah kalian hadapi itu?"

Tiba-tiba terdengar sapaan dari belakang, yang membuat kedua orangtua itu cepat berpaling. Tampaklah sepasang anak muda tengah duduk diatas punggung kuda masing-masing. Yang menunggang kuda hitam adalah seorang pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang terurai, diikat sehelai kain putih seperti warna rompinya. Di punggungnya tersandang sebatang pedang berhulu kepala burung. Sedangkan yang menunggang kuda putih di sebelahnya, adalah seorang gadis cantik berbaju biru muda. Sebuah kipas dari baja putih tampak terselip di pinggang, sedangkan sebilah pedang bergagang kepala naga tampak menyembul dari balik punggungnya.

"Siapakah kalian?" tanya orang tua itu dengan wajah curiga.

Sepasang anak muda kemudian turun dari kuda masing-masing. Lalu mereka menyapa memberi hormat, yang dibalas oleh orangtua itu dengan menyapa pula.

"Kisanak, aku Rangga. Dan temanku, Pandan Wangi. Kami hanya pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini. Adakah sesuatu yang bisa kami bantu?" kata pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti.

Orang tua itu diam saja ketika Rangga membungkuk, hendak memeriksa gadis yang tergeletak di pangkuan gadis berbaju hijau. Rangga tersentak dan buru-buru meraba nadinya.

"Lemah sekali! Tapi masih ada harapan!" desah Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa?! Kisanak! Bisakah kau menolongnya? Oh, tolonglah adikku! Aku mohon, tolong selamatkan adikku!" teriak Ratih dengan wajah memohon.

"Nisanak, tenanglah dulu. Aku akan berusaha semampuku. Nah! Baringkanlah dia di situ. Biar aku coba mengeluarkan racun yang mengendap di tubuhnya," ujar Rangga tenang.

Ratih segera mengerjakan apa yang diperintah Rangga. Sementara Pandan Wangi ikut membantu memegangi gadis yang pingsan itu. Dan kini mereka menunggu dengan harapan yang cemas terlebih-lebih, gadis berbaju hijau. Tampak pemuda berbaju rompi putih ini membalikkan tubuh adiknya, sehingga berada dalam keadaan miring. Sementara Rangga duduk bersila dengan sikap tenang. Telapak tangan kanan pemuda yang bernama Rangga itu lalu ditempelkan ke punggung kanan gadis itu sesaat.

"Tolong pegang dia, sehingga bisa duduk bersila membelakangiku," ujar Rangga pelan, kepada gadis berbaju hijau.

Pandan Wangi cepat membantu kembali dengan memegangi sisi yang lain. Dengan demikian, agak lebih mudah bagi Rangga untuk menyalurkan hawa murninya. Dan yang lebih penting lagi, dia bisa menarik racun yang berada di tubuh gadis itu ke arah yang paling mudah, yaitu melalui lubang mulut. Sudah lumayan lama Rangga mengobati, namun belum terlihat tanda-tanda kalau gadis itu akan sadar. Bahkan wajah Rangga tampak berkerut beberapa kali. Keningnya mulai basah bersimbah keringat.

"Hoeeekh...!"

Tiba-tiba gadis bernama Purwasih itu menyemburkan darah kental kehitaman dari mulutnya. Beberapa kali hal itu terjadi, sehingga lama kelamaan darah yang dimuntahkannya tampak mulai cair dan berwarna kemerahan. Dan kalau sudah begini, barulah Rangga menghentikan pengobatannya. Telapak tangannya segera ditarik dengan napas memburu dan wajah pucat akibat keletihan karena telah mengetuarkan tenaga cukup banyak.

"Baringkanlah dia kembali. Dan..," Rangga tak melanjutkan ucapannya, tapi malah melirik orang tua itu.

Sementara Ratih langsung membaringkan tubuh Purwasih pelahan-lahan.

"Biar kuteruskan, anak muda. Beristirahatlah dulu untuk memulihkan tenagamu," sahut Orangtua itu, seraya mendekati Purwasih yang terbaring belum sadarkan diri.

Rupanya, orang tua itu menangkap maksud lirikan Pendekar Rajawali Sakti. Seperti yang dilakukan Rangga tadi, orangtua itu duduk bersila dan telapak tangannya menempel ke perut gadis itu untuk menyalurkan hawa murninya. Pendekar Rajawali Sakti lalu bangkit berdiri, dan melangkah pelahan menuju sebuah pohon rindang. Dan Pandan Wangi mendekatinya. Selama orangtua itu melanjutkan mengobati Purwasih, Rangga duduk bersila, untuk mengatur pernapasan dari jalan darahnya. Beberapa saat kemudian badannya lebih segar, namun wajahnya masih terlihat sedikit pucat.

"Kakang, kau tak apa-apa...?" tanya Pandan Wangi yang tadi begitu khawatir melihat perubahan yang terjadi pada pemuda itu.

Pemuda itu menggeleng lemah sambil tersenyum untuk menghilangkan kekhawatiran gadis itu. "Mari kita lihat mereka," ajak Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti lalu bangkit, dan kembali melangkah menuju kedua orang tadi. "Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga halus, ketika melihat orang tua itu telah duduk di dekat gadis berbaju hijau yang tengah mengelus-elus Purwasih yang masih tak sadarkan diri.

"Dia sudah lebih baik. Nadinya berdenyut kencang, serta aliran darahnya telah lancar. Terima kasih, Kisanak. Kau telah menyelamatkannya Jarang ada orang yang mampu berbuat demikian. Bahkan aku sendiri sudah angkat tangan, sebelum kalian tiba 'Racun Ulat Salju' bukan senjata sembarangan. Hanya mereka yang memiliki tenaga dalam sangat sempurna yang mampu menyedot racun itu. Kalau boleh kutahu, siapakah kau sebenarnya, Kisanak? Tapi melihat ciri-cirimu..., rasanya aku pernah mendengar seorang tokoh yang digdaya..." desah orangtua itu dengan sikap hormat.

"Aku Rangga.. Dan temanku Pandan Wangi."

"Hm... ya! Aku ingat. Kau pasti yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan temanmu itu pasti si Kipas Maut! Benarkah itu?!" kata orang tua itu gembira.

"Begitulah orang-orang menjuluki kami, Ki" kata Rangga, tanpa maksud menyombongkan diri.

"Perkenalkanlah si tua bangka ini. Aku Ki Leor! Dan ini murid tunggalku, Ratih Kumaladewi!"

"Ah... Tak kusangka aku bertemu seorang Pendekar besar sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti," kata orangtua yang mengaku bernama Ki Leor, gembira.

"Ki Leor..., Aku hanya orang biasa. Dan kalau gadis itu sembuh bukan karena aku. Melainkan, Hyang Jagat Dewa Bataralah yang menyembuhkan. Aku hanya sebagai perantara saja. Oh, ya kalau boleh kutahu, siapakah gadis ini? Dan, apa hubungannya dengan kalian?" kata Rangga.

"Dia Purwasih. Adik bungsu Ratih Kumaladewi," jelas Ki Leor, seraya menatap Purwasih dan Ratih bergantian. Rangga mengangguk.

"Lalu apa yang menyebabkan sampai menderita begini?" tanya Rangga lagi.

"Itulah yang tak kumengerti, Pendekar Rajawali Sakti. Dia terkena 'Racun Ulat Salju'! Sedangkan satu-satunya orang yang mempunyai senjata rahasia itu adalah Nyi Lengser, yang berdiam di puncak Gunung Rinjani. Aku tak tahu bagaimana mungkin dia bentrok dengan Purwasih. Tapi jangan-jangan..." Ki Leor menghenbkan kata-katanya tiba-tiba.

"Kenapa, Ki Leor?" tanya Rangga.

"Ah! Ini barangkali ada kaitannya dengan peristiwa dua puluh tahun yang lalu.. " sahut orangtua itu lesu.

"Maksudmu?"

Ki Leor pun kemudian menceritakan tentang kejadian dua puluh tahun yang silam, ketika dia dan beberapa tokoh persilatan berhasil menewaskan dua tokoh sesat yang sering mengacau dengan sepak terjangnya yang menggiriskan. Kemudian setelah itu, ada tokoh yang menyelamatkan putra-putri kedua tokoh sesat yang mereka binasakan itu.

Rangga mengangguk-angguk berusaha memahami seluruh penuturan Ki Leor.

"Kalau saja Purwasih telah sadar, mungkin akan bisa menjelaskan...," lirih suara Ki Leor.

"Eyang, dia mulai sadar...!" teriak Ratih dengan wajah girang ketika melihat Purwasih mulai siuman.

Pandan Wangi cepat beringsut, dan melangkah menuju ke kudanya. Lalu diambilnya kantung air yang ada di pelana. Dengan agak terburu-buru, kakinya melangkah menuju ke arah Purwasih. Dan segera di minumkannya air itu ke mulut Purwasih.

"Ohhh..."

"Purwasih...!" Ratih memanggil nama adiknya dengan wajah gembira.

"Ohhh...! Di manakah aku ini...?" desah Purwasih.

"Purwasih, aku kakakmu... Ratih. Ratih Kumaladewi!" seru gadis berbaju hijau itu sambil menyandarkan adiknya.

"Kak Ratih..., Eyang Kumala telah tewas..."

"Apa?!" Ratih dan Ki Leor tersentak kaget, mendengar ucapan gadis itu.

Dengan suara lirih dan sesekali terisak, Purwasih menceritakan apa yang telah terjadi terhadap gurunya dan dia sendiri. Ratih Kumaladewi tertegun. Sementara Ki Leor terdiam beberapa saat lamanya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi menduga kalau guru Purwasih, paling tidak punya hubungan dengan kedua orang itu.

"Guru Purwasih adik seperguruanku. Sekaligus, adik kandungku..." lirih suara Ki Leor ketika menjelaskan hal itu pada Rangga dan Pandan Wangi.

Rangga dan Pandan Wangi dapat merasakan kesedihan Ki Leor. Agaknya hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai kakek kedua gadis itu. Jadi dengan demikian, Eyang Kumala adalah terhitung nenek mereka sendiri. Tak heran bila kemudian Ratih Kumaladewi menggeram dan berniat akan menuntut balas atas neneknya.

"Ratih! Kau harus bisa menahan amarahmu. Mereka bukan tandinganmu. Salah satu di antara kedua orang itu, pasti murid Nyi Lengser. Dan perempuan tua itu memiiiki kepandaian hebat. Aku sendiri tak ada apa-apa bila dibandingkan dengannya...," sahut Ki Leor. "Tapi kita tak bisa mendiamkan kematian Eyang Kumala begitu saja, Eyang!" sentak gadis itu garang.

"Aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi, tak banyak yang bisa kita kerjakan...," keluh Ki Leor.

"Tidak! Aku akan cari mereka, dan harus mati di tanganku!" sentak Ratih sambil bangkit berdiri.

Namun sebelum mereka melangkah, Ki Leor menangkap pergelangan tangan Ratih. Tapi, Ratih Kumaladewi agaknya keras kepala.

"Sabarlah, Ratih," bujuk Ki Leor.

Tanpa menjawab, dia melepaskan diri sekuat tenaga. Maka terpaksa Ki Leor bertindak cepat. Menggerakkan tangannya dan...

Tuk!
"Uh...!"

Ratih kontan jatuh lemas, begitu punggungnya tertotok jari Ki Leor.

"Maafkan aku, cucuku. Tak ada jalan lain yang bisa kulakukan. Kau tak tahu bahwa tindakanmu sama saja bunuh diri. Kita harus memikirkan cara yang terbaik," kata Ki Leor. Kemudian, Ki Leor segera memanggul tubuh kedua cucunya.

"Aku mengucapkan terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Dan sekarang aku mohon diri," ucap Ki Leor.

Setelah berpamitan dengan Rangga dan Pandan Wangi, orang tua itu berbalik dan melangkah cepat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Dia berjalan melalui arah yang ditempuhnya tadi.

"Kasihan mereka...," gumam Pandan Wangi menghela napas, setelah Ki Leor dan kedua cucunya telah lenyap dari pandangan.

Memang, Ki Leor berjalan disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh. Tak heran kalu sebentar saja, mereka telah jauh dari sepasang Pendekar dari Karang Setra itu.

********************

LIMA

Hari belum terlalu siang ketika Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti tiba di Desa Pasir Batang yang saat ini terlihat ramai. Tampak di dalam sebuah kedai makan yang cukup besar, juga telah dipenuhi pengunjung. Beberapa orang yang kebetulan melakukan perjalanan dan melewab desa ini, pasti akan mampir ke kedai makan itu. Demikian juga Rangga dan Pandan Wangi. Kedua pendekar dari Karang Setra segera melangkah ke arah kedai itu. Namun baru saja berada di ambang pintu, semua mata pengunjung kedai menatap ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi tanpa berkedip. Beberapa di antaranya terlihat ketakutan, dan buru-buru meninggalkan kedai itu. Sementara yang lainnya menunjukkan wajah sinis.

"Kakang! Aku merasa tak enak dengan keadaan ini. Ada sesuatu yang tak beres..." bisik Pandan Wangi dengan wajah kesal.

"Ya. Aku pun merasakannya. Tampaknya mereka tak bersahabat dengan kita. Tapi kita kan tak punya persoalan dengan mereka. Ayolah, Pandan, tak usah dipikirkan," sahut Rangga sambil mengajak Pandan Wangi memasuki kedai itu.

Baru saja mereka hendak melangkah masuk, sekonyong-konyong....

"He, bocah-bocah busuk! Mau apa kalian ke sini. Cari mampus, ya!" terdengar bentakan kesal menggelegar.

Rangga segera mengarahkan pandangan pada seorang laki laki bertubuh besar dan berbaju hitam, yang mengeluarkan bentakan tadi. Tampak bagian dada laki laki itu dibiarkan terbuka lebar, sehingga terlihat bulu-bulunya yang lebat. Bola matanya melotot lebar dengan cambang yang menghiasi wajahnya. Di pinggangnya terselip sebatang golok yang gagangnya sudah digenggam.

"Kisanak! Kau bicara pada kami?" tanya Rangga sopan.

"Kau kira aku bicara pada bapak moyangmu, he?!" bentak orang itu, seraya beranjak dari tempat duduknya. diikuti tiga orang anak buahnya dari belakang.

"Tidak bisakah kau bicara sopan, Kisanak?" kata Rangga kalem.

"Sopan katamu? Puih! Itu sudah sopan diban-dingkan kesombongan kalian!" dengus laki-laki bertampang seram itu.

"Kisanak... Maaf, kami semakin tak mengerti arah pembicaraanmu. Karena ada urusan yang lebih penting maka kami tak bisa meladenimu. Maaf..." sahut Rangga berusaha mengalah. "Ayo, Pandan. Rasanya di sini sudah dipenuhi tikus-tikus kotor."

"Keparat! Kau pikir bisa berbuat seenak perutmu di depan Warok Singodimejo! Yeaaa...!"

Setelah membentak demikian, tubuh orang yang mengaku bernama Warok Singodimejo langsung melompat sambil mencabut goloknya untuk menyerang.

Bet! Bet!

Meskipun tanpa menoleh, namun Rangga dapat merasakan angin serangan tajam yang terarah kepadanya. Maka kepalanya, cepat ditundukkan untuk menghindari sambaran golok lawan. Bersamaan dengan itu tubuhnya berputar ke samping dan terus mengayunkan satu tendangan ke arah perut lawan. Namun Warok Singodimejo telah melompat ke samping kiri.

"Kurang ajar...!" maki Warok Singodimejo.

Kembali laki-laki bertubuh besar itu menyabetkan goloknya. Namun Rangga mencelat ke atas, dan terus melewati kepala Warok Singodimejo dengan jungkir balik. Lalu seketika itu kedua kakinya menghantam ke arah punggung laki-laki bertubuh besar itu.

Bug!

Seketika tubuh Warok Singodimejo terjajar ke depan, begitu punggungnya dihantam kaki Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparaaat...!" maki Warok Singodimejo geram sambil cepat berbalik hendak menghabisi lawan.

"Kisanak, di antara kita tak ada saling permusuhan. Kenapa kau begitu bernafsu membunuhku?" tanya Rangga, begitu kakinya mendarat di tanah.

"Dasar bocah-bocah busuk! He! Kalian pikir mataku buta? Kalian telah membunuh guru kami, Ki Slongsor Geni. Apa itu tidak cukup?! Dan kalian juga telah menghancurkan Perguruan Tombak Baja dan menghabisi murid-muridnya tanpa sisa. Apa itu tidak cukup sebagai bukti kebiadaban kalian? Coba lihat mereka! Orang orang itu memiliki dendam kesumat pada kalian berdua!" teriak Warok Singodimejo lantang.

"Astaga! Tuduhanmu salah alamat. Kisanak. Sabarlah. Mari kita bicara baik-baik!" bantah Rangga.

Sementara itu tokoh-tokoh persilatan yang tadi berada dalam kedai saat ini sudah mengerumuni mereka. Apa yang dikatakan Warok Singodimejo memang tak salah. Mereka umumnya menunjukkan wajah kebencian dan dendam menyala-nyala. Tentu saja hal itu membuat Rangga dan Pandan Wangi semakin geram saja. Tak ada angin atau hujan, tahu-tahu mereka menunjukkan sikap bermusuhan. Namun dengan tenang, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menguasai diri.

"Kisanak semua! Kalau memang kami bersalah dan melakukan apa yang dituduhkan orang ini, kami bersedia dihukum! Tapi kalau ternyata kalian melampiaskan dendam kesumat pada orang yang tak bersalah, kalian akan menyesal sendiri!" kata Rangga lantang.

"He! Jangan dikira kami takut pada kalian! Kami telah sepakat. Kalau bukan kalian maka biarlah kami yang akan mati!" timpal yang lain berteriak.

Dan teriakan itu diikuti teriakan-teriakan yang sama dan mengutuk sepasang anak muda itu. Rangga dan Pandan Wangi melihat orang yang berkerumun di tempat itu semakin banyak saja. Seolah-olah, seluruh penduduk desa ini tumpah ruah untuk menyaksikan sambil memaki-maki geram. Bahkan dari arah belakang, dengan perasaan jengkel beberapa orang melempari Rangga dan Pandan Wangi dengan batu-batu kecil. Tentu saja hal itu membuat jengkel kedua pendekar itu.

"Baiklah, kalau memang kalian memaksa kami untuk bertindak keras...," desah Pendekar Rajawali Sakti, agak sedikit mengesal.

Belum selesai kata-kata yang diucapkan Rangga, mendadak....

"Hentikan perbuatan kalian...!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang berkumandang ke segala penjuru.

Semua orang seketika menoleh ke arah datangnya bentakan tadi yang berasal dari seorang laki-laki tua bertubuh pendek dan kurus. Jenggotnya panjang berwarna putih, seperti rambutnya yang telah ubanan. Di pinggangnya yang kecil terlihat sebuah pedang yang amat tipis, sehingga bisa dililitkan seperti sebuah sabuk. Bagi Penglihatan orang awam, tentu saja akan menyangka kalau orang tua itu memakai sabuk dari baja tipis. Namun sekali pandang saja, Rangga bisa tahu kalau itu pedang.

"Sungguh memalukan! Tidak tahukah kalian, dengan siapa kalian berhadapan?!" lanjut orang tua bertubuh kecil itu lantang seperti seorang bapak menghardik anak-anaknya yang nakal.

"Ki Wakalpa, kedua orang inilah yang...," Warok Singodimejo membuka suara, namun...

"Goblok! Tolol! Apakah kau mengetahui jelas siapa pembunuh gurumu. Sedangkan, saat itu kau tak melihatnya?! Dan kalian semua, kenapa ikut-ikutan tanpa periksa? Tidak tahukah kalian, kalau saat ini kita tengah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut?" potong orang tua yang dipanggil Ki Wikalpa, sehingga membuat wajah Warok Singodimejo berubah.

"Heh?!"
"Benarkah?"
"Astaga...?!"

Orang-orang yang berada di tempat itu kontan tersentak kaget ketika Ki Wikalpa menyebutkan siapa kedua anak muda itu.

"Aku menyadari dan bisa merasakan apa yang kalian rasakan saat ini. Kematian orang-orang yang kita cintai, memang amat menyakitkan. Tapi membalas dendam pada orang yang tak salah secara membabi buta dan tanpa periksa lebih dulu, adalah perbuatan tolol sekaligus tak terpuji. Aku tahu pasti, siapa mereka berdua. Sebab, beberapa kali aku melihat sepak terjang mereka. Tak mungkin keduanya berbuat demikian. Lagi pula dengan melihat dari korban-korban yang jatuh, dugaanku semakin kuat kalau itu bukan perbuatan Pendekar Rajawali Sakti maupun Kipas Maut!" jelas orang tua itu panjang lebar, ketika melihat ada beberapa orang yang masih belum percaya.

"Oh, jadi, benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu?!" tanya Warok Singodimejo dengan wajah penuh penyesalan setelah mendengar keterangan Ki Wikalpa.

"Demikianlah orang-orang memanggilku...," sahut Rangga datar.

"Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, maafkan kesalahan dan kekasaranku. Kami sama sekali tak menduga kalau kalian adalah pendekar besar itu. Kematian guru kami membuat kami gelap mata dan tak bisa membedakan orang. Sekali lagi maafkan kesalahan kami" ucap Warok Singodimejo dengan tubuh menjuru hormat.

"Sudahlah. Kisanak. Kita memang salah paham. Dan semua itu sejak tadi telah kusadari. Hm..., Apakah persoalan yang sebenarnya terjadi di tampat ini?" desak Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum manis tersungging dibibirnya.

"Kemarin dalam satu hari saja, banyak kejadian yang menggemparkan. Guruku Ki Slongor Geni kedapatan tewas. Lalu, murid-murid Perguruan Tombak Baja dibantai habis. Padahal banyak orang desa ini pernah menjadi murid perguruan itu. Maka pasti mereka merasa geram dan dendam. Kabarnya yang melakukan perbuatan itu adalah sepasang anak muda seperti kalian. Itulah sebabnya ketika kalian tiba, kami menduga kalau pengacau itu adalah kalian," jelas Warok Singodimejo singkat.

Rangga dan Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala mendengar penjelasan itu. Sementara orang-orang yang tadi mengerubungi mereka, satu persatu bubar dengan wajah penuh penyesalan. Kini tinggal Warok Singodimejo dan tiga orang anak buahnya, Ki Wikalpa yang kemudian menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Pendekar Rajawali Sakti. Atas nama mereka, aku mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besamya padamu!" ucap Ki Wikalpa.

"Ki Wikalpa, aku menyadari kesalahpahaman ini. Tak perlulah kau meminta maaf," sahut Rangga halus.

"Ah! Kelapangan hatimu memang sering kudengar. Dan ternyata, hari ini aku diperkenalkan untuk melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, sudilah kalian memenuhi undanganku untuk mampir di gubukku. Sekedar istirahat, sambil melepaskan dahaga. Bukankah kalian telah melakukan perjalanan jauh?" ajak Ki Wikalpa dengan nada hormat.

Mendengar permintaan itu Rangga tak bisa menolak lagi. Kelihatannya orang tua itu memang baik dan sopan. Namun ketika mereka hendak melangkah meninggalkan tempat itu, mendadak....

"Kisanak, tunggu!"

Tiba-bba terdengar sebuah suara yang membuat Ki Wikalpa, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi menoleh. Begitu juga Warok Singodimejo beserta tiga orang anak buahnya. Tampak seorang pemuda bertubuh tegap terbungkus baju lusuh yang di beberapa bagian terlihat robek. Wajahnya keras, namun bersih dan tampan. Sorot matanya tajam menusuk. Di pinggangnya tampak terselip dua buah tongkat runcing yang terbuat dari batu gunung. Sementara di sampingnya, seorang gadis cantik berambut panjang, diikat agak ke atas dengan pita merah. Bibirnya tipis dan raut wajahnya menunjukkan kalau gadis itu amat galak. Bajunya berwarna ungu dan agak longgar, serta terlihat sebatang pedang dipungunggnya.

"Kamikah yang kau panggil, Kisanak?" tanya Ki Wikalpa dengan nada ramah sambil tersenyum.

Kedua orang muda yang baru datang itu tak peduli dengan pertanyaan Ki Wikalpa.

"Siapa di antara kalian yang bernama Wikalpa?" tanya pemuda itu dengan sikap sombong.

"Hm.. Sudah kuduga. Cepat atau lambat, kau pasti akan datang. Kisanak! Kau tengah berbicara dengan orangnya!" sahut Ki Wikalpa seperti telah menduga, siapa kedua orang itu.

"Bagus! Kau tentu memang sudah tahu maksud kedatanganku. Sebagian besar kawanmu telah mampus. Dan kau akan mendapat gilirannya saat ini!" sahut pemuda itu dingin.

"Ki Wikalpa! Inikah orang yang telah membunuh guruku?!" tanya Warok Singodimejo berang.

Ki Wikalpa mengangguk. Maka seketika itu juga bola mata Warok Singodimejo kelihatan membesar. Rahangnya menggelombung dan urat-urat di pelipisnya menegang. Dengan serentak dicabutnya golok, yang diikuti ketiga anak buahnya.

"Keparat! Jadi kalian pembunuh biadab itu, he?! Kalian membunuh guruku! Kalian yang menghabisi nyawa murid-murid Perguruan Tombak Baja! Kalian harus mampus! Hiyaaa...!"

"Warok Singodimejo, hentikan...!" bentak Ki Wikalpa mencegah.

Tapi mana mau Warok Singodimejo mendengar teriakan Ki Wikalpa dalam kemarahan yang meluap-luap seperti itu. Dendam di dadanya sudah menyala-nyala. Dan rasa malu akibat mendakwa orang yang salah tadi, kini membuatnya semakin geram saja ketika ketemu orang yang sebenarnya memang tengah dicarinya. Teriakan Warok Singodimejo yang mengguntur bagai geledek, rupanya menarik perhatian kerumunan orang yang tadi berkumpul. Mereka mulai berdatangan satu persatu.

"Habisi iblis-iblis biadab itu!" "Cincang diaaa...!"

Orang-orang yang sudah berkerumun itu langsung berteriak memaki serta mengutuk kedua anak muda yang baru datang ini.

"Hentikan! Hentikan! Kalian hanya mengantarkan nyawa percuma saja!" teriak Ki Wikalpa berkali-kali mengingatkan orang-orang yang mulai mengikuti tindakan Warok Singodimejo. Mereka memang hendak menggeroyok kedua orang itu beramai-ramai.

Namun, tak seorang pun yang mau mendengar kata-kata Ki Wikalpa. Mereka kini telah menemukan pembunuh orang yang mereka cintai. Dan sakit hati, serta dendam kesumat yang masih menyala-nyala di setiap dada harus dilampiaskan, tanpa sama sekali memperhitungkan akibatnya. Dalam benak mereka hanya ada satu keinginan yang harus terjadi, yaitu kematian para pembunuh itu. Tapi nyatanya itu bukanlah semudah apa yang diduga. Karena tiba-tiba saja...

Jdeeer!
"Aaaa...!!"
Crat! Crat! Werrr...!
"Wuaaa...!

Pengeroyok itu seketika buyar, begitu terdengar suara keras laksana geledek, diikuti teriakan kesakitan. Tampak lebih dan sepuluh orang langsung ambruk ke bumi dalam keadaan mati! Memang, begitu terlihat beberapa kali kilatan api yang berputar menyambar, para pengeroyok hangus. Sementara beberapa orang lagi tewas dalam keadaan tubuh kaku dan membeku. Bahkan tak ada darah yang menetes. Tentu saja hal itu tak bisa didiamkan Ki Wakalpa.

"Bocah-bocah terkutuk! Hentikan perbuatan biadab kalian. Hiyaaa...! Maka tubuhnya langsung melesat ke arah kedua anak muda itu sambil orang tua ini menghantamkan satu pukulan jarak jauh.

Namun, pemuda yang menjadi sasarannya tak kalah sigap. Seketika kedua tangannya dihentakkan ke arah orang tua itu. Dan Ki Wikalpa, sama sekali tak diberi kesempatan oleh kedua anak muda itu. Dengan gerakan kompak dan saling mengisi, mereka terus mendesak orang tua bertubuh kecil itu. Mereka terus mengumbar serangan maut, setelah kerumunan orang-orang yang mengeroyoknya menepi. Nyali para pengeroyok memang telah ciut, ketika melihat datangnya lidah api yang berasal dari sepasang tongkat di tangan pemuda yang mereka keroyok tadi. Memang, begitu tongkat-tongkat diadu satu sama lain, maka seketika melesat lidah api ke arah sasaran.

Sementara gadis berbaju ungu yang tadi bersamanya, telah mencabut pedangnya dan berputar beberapa kali, seperti hendak meng-gulung tubuh Ki Wikalpa. Orang tua bertubuh kecil itu menyadari pedang di tangan si gadis itu, bukanlah pedang sembarang. Maka dia harus hati-hati menghadapinya. Memang pedang itu seperti menabur hawa dingin yang amat menusuk pada setiap serangannya. Tak heran lawan yang terkena sabetan pedangnya, akan tewas dalam keadaan tubuh membeku.

"Kakang! Aku khawatir orang tua itu tak mampu menghadapi lawannya Mereka hebat dan sangat kompak...," keluh Pandan Wangi sambil memperhatikan pertarungan itu.

"Ya. Aku pun menyadari. Tapi kita belum tahu, sampai di mana kehebatan orang tua itu," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Apakah Kakang tak turun tangan membantunya?" tanya Pandan Wangi.

"Apakah orang tua itu betul-betul membutuhkan bantuan kita?" sahut Rangga balik bertanya.

Mendengar itu Pandan Wangi tak bertanya lagi, Memang secara tak langsung, dibenarkannya ucapan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Buktinya, orang tua itu mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi lawan. Tapi ternyata hal itu tak lama. Karena, kini terlihat Ki Wikalpa sudah meloloskan pedang tipisnya yang sejak tadi melilit di pinggang.

"Hiyaaa!"
Klap! Klap!

Di tangan orang tua ini pedang yang tipis dan terlihat lemah itu berubah tegang dan kaku laksana tombak baja. Bahkan ketika menangkis senjata lawan, terdengar bunyi berdenting seperti halnya pedang yang kuat. Malah dalam sekejap mata, pedang di tangan Ki Wikalpa kembali mampu lentur laksana ular yang meliuk-liuk menyambar lawan.

"Huh! Ilmu pedangmu memang hebat, orang tua! Tapi sayang, kematianmu telah digariskan hari ini!" dengus gadis berbaju ungu itu geram.

"Hm. Begitukah?" sahut Ki Wikalpa.

Tapi agaknya ucapan gadis itu bukan sekedar gertakan dan omong kosong belaka. Bahkan Ki Wikalpa sampai tersentak kaget, ketika menangkis dua senjata lawan sekaligus. Tubuhnya kontan bergetar hebat, akibat terkena dua tenaga dalam berlainan jenis yang sangat kuat.

Ketika tubuh Ki Wikalpa terhuyung-huyung mundur, saat itu juga ujung pedang gadis ini menyambar ke arah dadanya. Untungnya orang tua bertubuh kecil itu masih mampu menghindari dengan menjatuhkan diri ke tanah. Namun, ternyata serangan kedua ujung tongkat pemuda lawannya telah menanti. Bahkan mengancam leher dan jantungnya! Dengan terpaksa pedang dikibaskan untuk menangkis.

Tak!

Pedang tipis di tangan Ki Wikalpa, kontan terpental begitu membentur tongkat di tangan pemuda itu, sehingga menimbulkan bunyi keras seperti geledek. Sedangkan orang tua itu langsung melenting ringan untuk menyelamatkan diri dari sambaran ujung tongkat yang satu lagi. Justru pada saat itu ujung kaki kanan pemuda itu sudah bergerak cepat ke arah perulnya. Dan...

Desss!

"Aaakh.,.!" Ki Wikalpa menjerit kesakitan, begitu kaki pemuda itu mendarat telak di perutnya. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.

Dan di situ, juga telah menunggu gadis berbaju ungu yang siap menebas lehernya. Agaknya orang tua itu tak mampu menghindari lagi. Ki Wikalpa hanya terkesima melihat maut akan menghampirinya. Namun mendadak saat itu melesat satu sosok bayangan biru langsung menangkis pedang gadis berbaju ungu itu.

Takkk!
"Sial!"

ENAM

Begitu serangannya gagal, gadis berbaju ungu itu segera melampiaskannya ke arah bayangan itu yang memapak serangan tadi.

"Yeaaa!"
"Hup!"
Bett!

Ujung pedang di tangan gadis itu menyambar-nyambar dahsyat menimbulkan hawa dingin yang hebat. Namun lawan yang dihadapinya kali ini pun cukup gesit. Tubuhnya mampu meliuk-liuk seperti orang menari untuk menghindari sambaran pedang lawan. Kemudian mendadak sosok bayangan biru tadi balas menyerang dengan kecepatan tinggi. Dan tentu saja ini sangat mengagetkan gadis berbaju ungu tadi. Maka dia cepat melenting ke belakang sambil membuat gerakan berputar untuk menghindari sambaran ujung kipas sosok berpakaian biru yang seperti mengurungnya.

"Siapa kau?!" bentak gadis berbaju ungu itu ketus bercampur geram ketika kedua kakinya menjejak di tanah.

Di depan gadis berbaju ungu, terlihat seorang gadis cantik memakai baju biru muda dengan kipas di tangan.

"Siapa pula kau?!" bentak gadis yang tak lain dari Pandan Wangi.

"Keparat! Kau pikir kepandaianmu sudah hebat, sehingga mau jadi pahlawan?! Kau akan mampus bersama tua bangka busuk itu!" geram gadis berbaju ungu itu.

Setelah berkata demikian, kembali gadis berbaju ungu itu melesat menyerang Pandan Wangi. Bersamaan dengan itu, melompat pula pemuda yang tadi bersamanya.

"Kania! Biar kita bereskan bersama perempuan pengacau ini agar urusan lebih cepat!" teriak pemuda yang namanya Mintarja. Sedangkan gadis berbaju ungu itu adalah Kaniawati.

"Biarkan mereka bermain-main, Kisanak. Dan aku ingin bermain-main pula denganmu," sahut Rangga tenang sambil melompat menghadang Mintarja.

"Sial! Siapa kau?!" bentak Mintarja, mengurungkan niatnya untuk ikut menyerang Pandan Wangi.

"Apa perlunya kau ketahui?" sahut Rangga.

"Keparat! Kalau begitu kau akan mampus tanpa nisan!" dengus Mintarja tajam.

"Hm... Sayang sekali, Kisanak. Saat ini aku masih belum ingin mati," jawab Rangga enteng.

"Huh! Yeaaa...!"

Ujung tongkat Mintarja langsung berputar-putar menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Sesekali terlihat lidah api yang menyambar, menimbulkan hawa panas luar biasa ketika kedua tongkat itu diadu satu sama lain. Namun, agaknya Rangga mampu menghindari setiap serangan lawan, dengan menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib.

Sebenarnya, kedua tongkat Mintarja amat berbahaya. Selain keras dan kuat, juga mampu menyemburkan lidah api yang akan menghanguskan apa saja yang terkena. Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau tak bisa terus-menerus bertangan kosong. Rasanya kalau tongkat itu sudah disingkirkan, akan lebih mudah untuk menaklukan lawannya.

"Hiyaaa!"
Bet! Bet!
"Hup...!"

Nyaris dada Pendekar Rajawali Sakti robek tersambar ujung tongkat Mintarja, kalau tidak cepat melompat ke atas. Namun, tongkat lawan yang satu lagi terus menyambar mengikuti. Masih untung dia talah memperhitungkan hal itu, dengan melenting berputar. Sehingga, Pendekar Rajawali Sakti terbebas dari jangkauan senjata lawan. Dan baru saja Rangga menjejak tanah, ujung tongkat Mintarja kembali menyambar kearah leher. Seketika kepalanya dimiringkan sedikit, kemudian cepat melejit ke atas.

"Yaaa!"

"Huh! Jangan harap lolos dariku, bangsat!" geram Mintarja langsung mengejar. Tepat ketika Mintarja berada di udara, Pendekar Rajawali Sakti sudah mencabut pedang pusakanya. Tampak sinar biru memancar dari batang pedang di tangan pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya kontan terkejut. Termasuk Mintarja sendiri, begitu dia hampir menggerakkan senjatanya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan Mintarja makin terkejut ketika tiba-tiba pedang Rangga menyambar ke arahnya. Maka mau tak mau salah satu senjatanya diayunkan untuk menangkis.

Trak!

Begitu cepat kejadian itu berlangsung, sehingga Tubuh masing-masing kontan terjajar beberapa langkah. Bahkan Mintarja sempat terhuyung-huyung, namun cepat menguasai keseimbangan. Memang, benturan yang disertai tenaga dalam hebat itu menghasilkan getaran yang dahsyat. Tak heran kalau satu sama lain bisa terjajar.

"Keparat!" maki Mintarja, begitu menyadari kalau saat itu senjatanya telah terputus menjadi tiga bagian.

Dengan kegeraman yang amat sangat, Mintarja kembali melesat disertai ayunan senjatanya yang tinggal satu. Dan ternyata, serangan itu bukan hanya sekedar melalui tongkatnya saja.

Werrr! Werrr!

Begitu cepat Mintarja mengibaskan tongkatnya sehingga seketika beberapa senjata rahasia melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Maka Rangga cepat bergeser ke samping kiri sambil mengayunkan pedangnya Seketika disam barnya senjata-senjata rahasia itu. hingga rontok tak tersisa.

"Hm... Kalajengking Api! Kau tak bisa mengandalkan binatang-binatang beracun itu, Kisanak. Usahamu akan sia-sia saja. Lebih baik, sadarlah jangan teruskan sepak terjangmu yang gila dan diliputi dendam ini. Kembalilah ke jalan yang benar. Gunakanlah hidupmu sebaik-baiknya." ujar Pendekar Rajawali Sakti, begitu berdiri tegak lagi.

"Puihh! Jangan coba-coba menasehatiku, keparat! Kau akan kubinasakan saat ini juga. Yeaaa!" bentak Mintarja.

Seketika pemuda itu menyorongkan telapak tangan kirinya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Maka dari telapak kirinya melesat selarik sinar kuning keemasan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts! Edan!" sentak Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti cukup terkejut merasakan hawa panas luar biasa dari angin sambaran pukulan lawan tadi.

Masih untung dia cepat mengelak ke samping. Sehingga sinar itu hanya lewat hampir dua jengkal dari pinggangnya. Dan Mintarja tak berhenti sampai di situ. Seketika tubuhnya melesat dengan ujung tongkat menyambar ke arah leher Rangga. Dengan kecepatan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang. Tapi....

Werrr! Werrr!

Kembali Mintarja melemparkan kalajengking-kalajengking beracunnya, begitu serangannya gagal. Mintarja agaknya sengaja melemparkan senjata-senjata rahasianya hanya untuk membuat repot Pendekar Rajawali Sakti. Karena bersamaan dengan itu, tubuhnya bergerak laksana kilat ke arah Rangga disertai satu pukulan maut. Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat melenting seraya berputaran sambil menyabetkan pedangnya.

Tras! Tras!

Seketika seluruh kalajengking api itu habis terpapas pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah, Mintarja sudah hampir dekat dengannya. Maka sebelum serangan pukulan datang, Rangga cepat mendahuluinya dengan sodokan kaki kiri ke arah lambung. Namun dengan tangkas Mintarja memapak dengan sapuan tendangannya. Lalu, seketika tubuhnya melenting ke atas melewati kepala Mintarja. Begitu sampai berada di udara, Pendekar Rajawali Sakti cepat meluncur turun. Dan seketika dilepaskannya satu tendangan ke arah punggung. Cepat sekali gerakan Rangga, sehingga Mintarja tak sempat menyadarinya. Sehingga...

Dess!
"Aaakh!"

Mintarja menjerit keras ketika satu tendangan keras menghantam punggungnya. Tubuhnya tersungkur ke depan, namun masih mampu menguasai diri. Bersamaan dengan itu, cepat berbalik. Dan seketika dilemparkannya senjata senjata rahasianya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa mempedulikan rasa sakit yang dideritanya, dia sudah melompat menyerang kembali dengan pukulan jarak jauh yang mengeluarkan sinar kuning keemasan.

"Hiyaaa!"

"Hm... Kau coba bertindak nekat agaknya! Bersiaplah, Kisanak. Aku akan memberi pelajaran sedikit tapi pasti tak akan kau lupakan! Yeaaa!" gumam Pendekar Rajawali Sakti setelah memapas senjata-senjata rahasia lawan hingga rontok.

Bersamaan dengan itu juga tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat, menyorongkan tangan kirinya ke depan. Maka dari telapak tangan kirinya yang terbuka melesat selarik sinar merah dari 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' Seketika, sinar merah itu meluncur memapak sinar kuning keemasan yang juga meluncur cepat. Sehingga...

Glarrr!

Begitu dua sinar berlainan jenis beradu di satu titik, terdengar ledakan dahsyat. Lalu....

"Aaakh...!"
"Yeaaa!"

Tampak tubuh Mintarja terlempar ke belakang disertai pekik kesakitan, serta ceceran darah segar. Dan sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah melesat cepat melakukan serangan berikutnya. Mintarja sendiri jadi terkejut. Sama sekali tak disangka kalau lawannya mampu bergerak secepat itu. Cepat dia bangkit berdiri, lalu mengayunkan tongkatnya untuk menangkis.

Trak!

Mintarja makin terkejut begitu menyadari tongkat ditangannya putus menjadi tiga bagian hanya sekali dibabat saja. Begitu terkejutnya, sehingga dia lupa kalau Pendekar Rajawali Sakti masih meluruk ke arahnya dengan hantaman tangan kiri ke arah dada.

Dragh!
"Aaakh...!"

Mintarja memekik setinggi langit, begitu dada-nya terhantam tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan beberapa tulang dadanya patah sehingga suaranya sampai kedengaran tadi. Tubuh pemuda itu kontan ambruk, tanpa perlawanan lagi.

"Keparat! Aku akan balas perlakuanmu ini dengan cara yang lebih menyakitkan!" teriak Mintarja, seraya mengusap darah yang mengalir dari sudut-sudut bibirnya.

"Kakang...?! Oh, Kakang! Keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus Kaniawati ketika melihat keadaan kekasihnya. Seketika itu Kaniawati terus melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan kemarahan meluap-luap.

"Kakang! Biar kuhadapi dia!" teriak Pandan Wangi gemas, dan langsung melesat mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Pandan! Mundurlah! Biar sekalian gadis ini kuberi pelajaran agar tidak besar kepala," ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin.

Tanpa menunggu serangan lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah langsung melompat dengan kelebatan pedang pusakanya untuk menekan ayunan pedang gadis itu.

Trasss!

Kaniawati tersentak kaget, begitu serangannya ditahan Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi ketika menyadari kalau pedangnya langsung putus menjadi dua bagian. Namun dia tidak bisa terlalu lama dalam keterkejutannya. Dan dia harus melompat karena tendangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti cepat mengarah ke dadanya. Gadis itu langsung bersalto ke belakang seraya mengebutkan tangannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Serrr! Serrr!

Kaniawati mencoba menyerang lawan dengan lemparan 'Racun Ulat Salju'. Namun, pedang Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat lagi bergerak.

Cras! Cras!

Dan tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terus melesat keras ke arah Kaniawati yang baru saja menjejak tanah. Dengan perasaan geram, gadis itu membalas dengan menghentakan kedua tangannya ke depan. Maka seketika dari kedua telapaknya melesat cahaya biru keputih-putihan. Itulah pukulan 'Banyu Ti'is' yang mampu membuat lawan mati membeku dalam sekejap mata saja. Tapi agaknya Pendekar Rajawali Sakti telah menduga. Maka langsung dibalasnya 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', yang mampu mengeluarkan sinar merah, sehingga...

Desss!
"Aaakh!"

Kedua sinar itu beradu tepat di tengah-tengah. maka terdengarlah seperti suara besi panas yang dicelupkan ke dalam air. Bahkan kemudian terde-ngar pekikan kesakitan, sinar merah yang keluar dari pukulan Rangga terus menderu menghantam nya. Tubuh gadis itu kontan terjungkal, dan berkali-kali memuntahkan darah segar.

Pendekar Rajawali Sakti menyarungkan kembali pedang pusakanya. Matanya menatap tajam sambil mendekati gadis berbaju ungu yang tertatih-tatih berusaha bangkit.

"Pergilah kau dari sini. Dan, bawa kawanmu itu! Jangan coba-coba membuat bencana lagi!" dingin suara Pendekar Rajawali Sakti, tegas.

Kaniawati menyadari kalau pukulan lawan tadi menghantam telak tubuhnya, sehingga membuat luka dalam yang cukup parah. Hanya karena tenaga dalamnya saja yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu bertahan. Tapi kalau dia mencoba terus menyerang lawan, bisa dipastikan dirinya sendiri yang akan celaka. Maka dengan hati diliputi dendam kesumat, gadis itu menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.

"Kami akan mengingat peristiwa ini. Dan kelak akan ada pembalasan setimpal bagimu. Sebutkan siapa kau sebenarnya?!" dengus Kaniawati.

"Kau boleh membalas dendam kapan saja. Pendekar Rajawali Sakti tak akan mundur setapak pun."

"Hm, Pendekar Rajawali Sakti! Kau harus ingat. Nantikan pembalasan kami atas campur tanganmu ini!" lanjut Kaniawati geram sambil melangkah pelan mendekati Mintarja.

Dengan terpaksa Kaniawati memapah Mintarja. Kemudian dengan tertatih-tatih mereka meninggalkan tempat itu diiringi caci maki dan lemparan batu dari penduduk desa itu. Bahkan beberapa orang hendak membunuh dengan senjata-senjata tajam siap di tangan.

"Hentikan! Biarkan mereka pergi!" bentak Pendekar Rajawali Sakti nyaring menggelegar.

Mendengar bentakan yang menggema ke segala arah, banyak di antara mereka yang menggerutu kesal bercampur geram. Namun tak seorang pun yang berani membantah. Sampai kedua orang itu lenyap dan pandangan, kerumunan penduduk desa masih terus mengumpat-umpat tak habis-habisnya.

"Mereka agaknya tak senang dengan keputusanmu, Pendekar Rajawali Sakti..," kata Ki Wikalpa lirih.

"Ya... Aku menyadari hal itu, Ki Wikalpa..." sahut Rangga. "Tapi mereka masih muda dan belum banyak pengalaman hidup. Hati mereka penuh dendam kesumat. Aku berharap, pelajaran itu bisa membuka mata mereka. Sehingga menentukan jalan hidup mereka ke arah yang lebih baik"

"Aku khawatir harapanmu sia sia..."

"Kenapa?"

"Melihat ilmu olah kanuragan serta senjata yang digunakan, aku yakin kalau mereka adalah murid Ki Sara Geni dari puncak Gunung Merapi, dan Nyi Lengser dari puncak gunung Rijasangka. Mereka bukan tokoh sembarangan. Kuat dugaanku, merekalah yang menyelamatkan putra-putri Ki Rogo Janggat dan Ki Sempang Jinggolo. Lalu kedua anak itu di didik untuk membalaskan dendam kedua orangtuanya pada kami. Aku yakin hal itu, karena Ki Sara Geni dan Nyi Lengser bersahabat akrab dengan kedua tokoh yang tewas di tangan kami dua puluh tahun lalu," jelas Ki Wikalpa.

Rangga mengangguk-angguk kepala mendengar penjelasan orang tua itu.

"Pendekar Rajawali Sakti, maaf. Aku tahu kepandaianmu hebat. Bahkan boleh disebut sebagai pendekar nomor wahid di negeri ini. Tapi Ki Sara Geni dan Nyi Lengser bukan tokoh sembarangan. Kepandaian mereka sangat hebat dan tak terukur. Apa yang dimiliki kedua muridnya, barangkali hanya separo dari kehebatan yang dimiliki gurunya. Kau patut hati-hati jika suatu saat bertemu mereka," sambung Ki Wikalpa memperingatkan.

"Maksud Ki Wikalpa, kedua guru mereka akan membalaskan sakit hati muridnya kepadaku?" tanya Rangga ingin kepastian.

"Hal itu tak mengherankan, bukan?"

"Ya, aku mengerti. Tapi aku siap menghadapi mereka, apa pun yang terjadi." sahut Rangga setenang mungkin.

"Rangga.. Aku merasa hal ini amat merepotkanmu. Kamilah sebenarnya yang diincar mereka. Dengan campur tanganmu, maka kini sasaran mereka yang utama adalah kau. Baru kemudian, menyelesaikan urusan dengan kami...," kata Ki Wikalpa lirih.

"Ki Wikalpa. Sudah selayaknya kita saling tolong menolong. Anggap saja ini merupakan kewajibanku. Nah! Kurasa, sekarang kami mohon diri dulu. Permisi." pamit Rangga, sambil berbalik dan melangkah pergi diikuti Pandan Wangi.

Dalam perjalanan, terlihat Pandan Wangi lebih banyak berdiam diri tak seperti biasanya. Beberapa kali Rangga meliriknya namun gadis itu seperti tak ingin berpaling.

"Ada apa, Pandan?" tanya Rangga ketika mereka telah berada di luar desa. Pandan Wangi memandang sekilas, kemudian kembali meluruskan pandangan ke depan. Wajahnya tampak gelisah.

"Pandan, adakah sesuatu yang merisaukan hatimu...?" desak Rangga lembut.

"Kedua orang itu, Kakang. Aku khawatir kau tak akan mampu menghadapinya...," cetus Pandan Wangi lirih.

"Guru mereka maksudmu?"

Pandan Wangi mengangguk.

"Kalau kepandaian guru mereka benar dua kali lipat dari murid-muridnya, Kakang tentu berada dalam keadaan berbahaya. Aku tak tahu, apakah bisa menolong banyak atau tidak," lanjut gadis itu lirih.

"Pandan..., Aku telah memikirkan hal itu. Yang jelas kita tak mungkin mundur menghadapi kezaliman. Kau tak perlu khawatir. Aku yakin, hidup mati seseorang bukanlah di tangan manusia, meski bagaimanapun tingginya kemampuan seseorang," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Pandan Wangi tak berkata-kata lagi. Dan mereka terus melanjutkan perjalanan.

********************

TUJUH

Kekhawatiran Pandan Wangi beberapa hari ini agaknya mulai beralasan. Buktinya ketika mema suki Desa Gelagah, Rangga dan Pandan Wangi melihat sebuah lembaran yang berisi tulisan. Dan itu sudah yang ketujuh kalinya mereka menemukan lembaran seperti ini. Hanya kali ini, lembaran itu beda dengan yang pernah mereka lihat!

Lembaran dari kulit itu, ditancapkan di sebuah batang pohon besar, tepat di sebelah gerbang perbatasan desa itu. Yang menarik bagi Rangga untuk membacanya kembali adalah pisau yang menjadi alat penempel lembaran. Dan yang lebih menarik lagi, ternyata lembaran itu ditulis dengan tinta darah! Bunyinya,

Aku menantang Pendekar Rajawali Sakti untuk bertarung di Puncak Gunung Rinjani pada bulan purnama ini. Jika dia tak datang, berarti malapetaka akan menimpa orang banyak.

Rangga menghela napas pendek ketika selesai membaca tulisan yang tertera di batang pohon itu. Pandan Wangi memandangnya sekilas, kemudian turun dari kudanya. Gadis itu melangkah sebentar, lalu duduk di atas sebuah batu besar tak jauh dari situ. Sedangkan Rangga juga turun, lalu melangkah ke hadapan gadis itu.

"Bagaimana Kakang? Apakah kita akan kesana? Sudah tujuh tulisan seperti itu kita temui selama dalam perjalanan ini. Apakah Kakang akan mendiamkannya saja?" tanya Pandan Wangi agak risau.

Rangga tak menjawab. Bibirnya hanya tersenyum, lalu duduk di hadapan gadis itu. Sebentar kepalanya mendongak melihat ke angkasa. Sebentar kemudian dia sudah menatap Pandan Wangi dalam-dalam. "Kalau aku tak memenuhi tantangannya, apakah kau kira aku takut?" tanya Pendekar Rajawali Sakti pelan.

"Kakang! Aku mengerti, kau tak gentar pada siapa pun. Tapi apakah akan kau biarkan namamu tercemar, tak mempedulikan tantangannya?"

"Kalau aku mengikuti tantangannya, sama artinya menyombongkan diri," jawab Rangga kalem.

"Tapi, Kakang! Banyak orang akan menjadi korbannya kalau tantangannya tak kau penuhi," kata Pandan Wangi, agak keras.

"Hm... Kukira orang itu hanya menggertak saja...," sahut Rangga tenang.

"Aku pun berharap demikian. Tapi, bagaimana kalau ternyata benar?"

Rangga diam tak menjawab. Pada saat itu lewat sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Sementara di belakangnya beberapa penumpang kuda mengiringi. Kereta itu sendiri agaknya bukan kendaraan sembarangan. Bentuknya saja indah, dengan jendela di kiri dan kanan yang dilapisi tirai berbunga-bunga.

"Hei...? Bukankah itu Pendekar Rajawali Sakti?! Aku pernah melihatnya di Desa Pasir Batang!" seru orang itu.

Rombongan itu berhenti, ketika salah seorang di antara mereka agaknya mengenali Pendekar Rajawali Sakti. Mendengar teriakan itu, yang lain segera menghentikan langkah kudanya. Seketika mereka berpaling ke arah Rangga dan Pandan Wangi.

"Hei, Pendekar Rajawali Sakti! Apakah kau akan menyambut tantangan Ki Sara Geni?" tanya seseorang.

Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu.

"Atau, kau kini telah menjadi seorang penakut?!" timpal yang lain.

"Ha ha ha...!"

Kata-kata itu disambut tawa terbahak-bahak oleh yang lainnya. Rangga dan Pandan Wangi sendiri tak mengacuhkannya. Dan kedua pendekar dari Karang Setra itu segera bangkit berdiri, lalu menghampirinya. Begitu telah berada di punggung kuda, mereka segera berlalu dari tempat itu.

Rangga menyadari kalau sebenarnya orang-orang itu telah kesal, karena belum ada tanda-tanda tantangan itu ditanggapinya. Itu sebabnya, Rangga lebih suka untuk pergi dari situ daripada meladeni orang-orang tadi. Tapi hal itu justru membuat Pandan Wangi mencak-mencak sendiri. Gadis itu memang mudah tersinggung melihat perlakuan orang yang dirasakannya keterlaluan. Seperti penduduk Desa Glagah ini.

********************

Waktu yang ditentukan Ki Sara Geni telah berlalu tadi malam. Dan rupanya Pendekar Rajawali Sakti tak memenuhi tantangan orangtua itu. Semula Rangga tak begitu mempedulikan ancaman Ki Sara Geni. Tapi ketika pagi ini melihat sebuah desa, ternyata Ki Sara Geni membuktikan ancamannya!

Dalam setiap sudut terlihat mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan tubuh hangus terbakar, tampak orang berduyun-duyun mengungsi, ke tempat yang lebih aman. Rangga dan Pandan Wangi terus menggebah kudanya dengan kecepatan sedang. Sementara korban korban yang ditemui semakin banyak. Bukan saja yang berasal dari golongan persilatan, tapi rakyat biasa pun ikut dibantai!

Memang agaknya Ki Sara Geni tak memilih-milih korbannya. Tentu saja hal ini amat mencemaskan Pendekar Rajawali Sakti. "Huh! Aku tak bisa membiarkan hal ini terus berlangsung. Mari, Pandan. Kita cari dia!" geram pemuda itu dengan marah meluap-Iuap.

********************

Perguruan Silat Batu Kuwung yang berada di daerah selatan memang sudah dikenal di berbagai kalangan persilatan. Selama dua puluh tahun terakhir, terutama sejak dipegang seorang tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Namanya Ki Garda Raga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Pedang Bambu Kuning. Pada masa mudanya memang pernah menggetarkan rimba persilatan. Tak heran kalau tokoh-tokoh tua sering menyebut-nyebutnya.

Siang hari ini, seperti biasanya murid-murid Perguruan Batu Kawung tengah beristirahat setelah berlatih sejak pagi tadi, Ki Garda Raga sendiri berniat akan istirahat di dalam rumah utama perguruan itu. Namun baru saja orangtua berusia empat puluh delapan tahun itu berbalikkan tubuhnya, mendadak pintu gerbang depan hancur berantakan. Tentu saja hal itu, tak hanya membuat kaget dirinya, tapi juga seluruh murid perguruan Batu Kuwung!

Dan di ambang pintu yang telah jebol berantakan itu telah berdiri tegak orangtua bertubuh kurus terbungkus baju compang-camping. Sorot matanya tajam, dan kulitnya merah kehitaman dengan wajah penuh kerut, Kepalanya hampir tak di tumbuhi rambut, kecuali di bagian tengkuknya. Itu pun jarang-jarang dan sudah memutih.

"Orangtua! Siapa kau?! Dan, mengapa menga-cau tempat ini?!" bentak seorang murid, langsung menghadang.

Murid itu telah siap mencabut pedang yang sejak tadi tergenggam di tangannya. Bahkan dua orang kawannya juga bergegas mengikuti. Mereka mengawasi orangtua yang tangan kirinya menggenggam dua buah tongkat runcing terbuat dari batu gunung.

"Hiyaaa!"

Namun tanpa basa-basi lagi, tubuh orangtua berpakaian compang-camping itu sudah bergerak cepat.

Craaas!
"Aaa...!"

Kedua ujung tongkatnya langsung menyambar ketiga murid Perguruan Batu Kuwung yang kalah cepat dalam memainkan senjata. Tubuh mereka langsung ambruk dengan bagian dada terluka lebar. Setelah menggelepar, mereka tewas berlumur darah. "Keparat! Pengacau busuk! Kau datang hanya membawa bencana. Mampuslah sekarang juga! Yeaaa!" bentak salah seorang murid lain langsung diserang orangtua itu, diikuti kawan-kawannya yang lain.

"Hup!"

Orang tua bertubuh kecil itu melesat cepat sekali mengayunkan kedua tongkatnya yang runcing. Gerakannya cepat bukan main! Bahkan tak seorang pun dari murid-murid perguruan itu yang mampu melihat ke mana arah kelebatannya. Dan tahu-tahu...

Trasss!
Brettt!

"Aaa...!" terdengar pekik kesakitan yang saling sambung. Tujuh orang murid Perguruan Batu Kuwung kembali berguguran dalam keadaan mengerikan! Sementara orang tua itu terus bergerak cepat menyambar yang lainnya sebelum di serang.

Traaas!
Breeet!
"Aaa...!"

Korban terus berjatuhan tanpa terelakkan lagi, disertai pekikan menyayat. Tentu saja Ki Garda Raga tak bisa membiarkan hal ini terus berlangsung. Maka...

"Orangtua! Hentikan tindakanmu! Akulah lawanmu!"

Namun baru saja kata-kata Ki Garda Raga se-lesai, tubuh laki-laki tua yang tengah membantai murid-murid Perguruan Batu Kuwung itu melesat ke arahnya.

"Uts! Sial!"

Ki Garda Raga cepat melenting ke belakang ketika satu tendangan lawan menderu menghantamnya. Namun baru saja mejejak tanah, orang tua itu sudah meluruk ke arahnya dengan satu sambaran senjata berbentuk tongkat dari batu itu. Tak ada kesempatan lagi bagi Ki Garda Raga untuk menghindar, selain memapak dengan ayunan pedang bambu kuning di tangannya.

Wuuut!
Trak!

Bukan main terkejutnya Ki Garda Raga ketika senjatanya beradu dengan senjata orang tua itu. Betapa tidak? Telapak tangannya kontan terasa nyeri dan terkelupas. Bahkan hampir saja genggaman pedangnya terlepas. Dan belum juga dia bersiap kembali senjata orang itu menyambar ke arah dadanya. Begitu cepat gerakan orangtua itu, sehingga buru-buru Ki Garda Raga melenting ke belakang. Namun usahanya terlambat sedikit Karena...

Breeet!
"Aaakh!

Betapa terkejutnya Ki Garda Raga, karena senjata orang tua itu masih sempat merobek dadanya, sehingga membuatnya memekik kesakitan. Tampak darah mengalir lewat sela-sela jari tangannya yang mendekap luka di dada, begitu kakinya menjejak tanah. Sementara agaknya orangtua bertubuh kecil itu tak suka berbasa-basi. Dia langsung mengejar, dengan tongkat siap diayunkan ke arah Ki Garda Raga.

"Hiiih!"

Ketika tongkat orang tua itu meluncur deras ke arah dadanya Ki Garda Raga segera menangkis dengan pedangnya.

Trakkk!
Prasss!

Bukan main terkejutnya Ki Garda Raga ketika melihat pedang di tangannya terlepas dari genggaman dalam keadaan patah. Bahkan dia belum menghilangkan keterkejutannya, kembali tongkat yang lain milik orang tua itu datang menyambar ke leher. Maka buru-buru Ki Garda Raga menunduk. Namun kaki kiri orang tua itu cepat melepaskan tendangan ke perutnya sehingga...

Desss!
"Aaakh!"

Ki Garda Raga memekik kesakitan, begitu tendangan orang tua itu mendarat telak di perutnya. Tubuhnya terangkat tiga jengkal dari tanah. Padahal, saat itu lawannya sudah siap dengan sabetan tongkatnya. Nyawa Ki Garda Raga benar-benar bagai telur di ujung tanduk. Namun....

Mendadak melesat sebuah benda sebesar kepalan tangan, dan langsung menghantam tangan orang tua yang akan menyabetkan tongkatnya.

Trakkk!

Orang tua itu bukan main terkejutnya, ketika serangannya gagal akibat tangannya terhantam sebuah batu yang dilempar dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat sempurna. Langsung serangannya pada Ki Garda Raga dihentikan, lalu berbalik.

Tahu-tahu di depan orang tua itu pada jarak delapan langkah, berdiri tegak seorang pemuda berwajah tampan rupanya, pemuda rambut panjang terurai inilah yang menggagalkan serangannya pada Ki Garda Raga dengan lemparan batu tadi. Pemuda berbaju rompi putih itu menatap tajam pada orang tua di depannya.

"Hm... Boleh juga kepandaianmu, Bocah. Siapa kau?!" tanya orang tua itu dingin.

"Kaukah Ki Sara Geni.'?" sahut pemuda itu balas bertanya.

"Hm... Jadi kau orangnya yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti!" dengus orang tua itu langsung menduga.

"Begitulah orang-orang menyebutku...," sahut pemuda itu tenang.

"Dan gadis di belakangmu itu yang berjuluk si Kipas Maut?"

"Ternyata matamu jeli untuk mengenali seseorang, tapi buta terhadap rasa kasih sayang terhadap sesama manusia," sahut pemuda yang tak lain memang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan di belakangnya berdiri Pandan Wangi.

Rupanya dalam pencarian Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi secara tak sengaja melintasi jalan yang tak jauh dari Perguruan Batu Kuwung. Dan mereka mendengar teriakan-teriakan pertarungan. Makanya kemudian Rangga langsung menolong, setelah memperhatikan mana yang harus ditolong, dan ketika melihat senjata yang dipakai orang tua itu, Rangga menduga kalau dia adalah Ki Sara Geni, masalahnya hanya senjata itu yang pernah dipakai Mintarja.

"Ha ha ha...! Jadi inikah tampang orang yang telah mencoreng mukaku dengan melumpuhkan muridku?!" dengus orang tua yang tak lain dari Ki Sara Geni sambil tertawa sinis.

Tapi kemudian wajah orang tua itu cepat berubah kelam. Kelopak matanya menyipit, lalu me langkah tenang tiga langkah ke depan. Dan matanya terus mengawasi Pendekar Rajawali Sakti tanpa berkedip.

"Bocah! Lekas cabut pedangmu. Aku tak ingin banyak bicara denganmu. Ingin kulihat, sampai di mana kehebatanmu yang telah kesohor itu!" tantang Ki Sara Geni.

"Ki Sara Geni! Sebenarnya hal ini tak perlu..."

"Uts!" Belum selesai kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, Ki Sara Geni telah melompat menyerang dengan kecepatan dahsyat. Sehingga, terpaksa Pendekar Rajawali Sakti melompat ke samping kiri untuk menghindari sambaran ujung tongkat lawan.

"Hiiih!"

Sejak bertarung melawan Ki Garda Raga, Ki Sara Geni selalu bertindak cepat dan bermaksud menghabisi lawan secepat mungkin. Tak heran kalau segenap kemampuannya dikerahkan. Terlebih-lebih, terhadap Pendekar Rajawali Sakti. Rangga bukannya tak menyadarinya. Dalam gebrakan pertama saja dia tak menyangka kalau lawannya mampu bergerak secepat kilat. Dan kini, kedua tongkat Ki Sara Geni telah mengurung ketat gerakannya Pendekar Rajawali Sakti seperti tak mampu berbuat banyak. Dalam keadaan bertangan kosong begitu rupa, dia betul-betul terdesak hebat.

"Yeaaa!

Tampak ujung tongkat Ki Sara Geni menyambar ke arah perut. Namun gesit sekali Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke samping. Dan baru saja Rangga bermaksud balas menyerang dengan tendangan keras, ujung tongkat Ki Sara Geni yang satu lagi telah lebih dulu menyambar ke arah leher. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti melenting seraya berputaran.

"Hup!"

Baru saja Rangga menjejakkan kedua kakinya di tanah, ujung tongkat Ki Sara Geni kembali menyambar perutnya. Rangga terkesiap sebentar, lalu melompat ke samping. Namun ternyata ujung tongkat satu lagi milik lawannya telah menunggu. Sebisanya Rangga mengelak, namun terlambat karena...

Brettt!

Tak urung pinggang Rangga robek, tersambar ujung tongkat Ki Sara Geni Darah kontan mengucur dari tubuh yang terluka cukup lebar. Belum juga Rangga menyadari betul apa yang terjadi, tiba-tiba kaki kiri Ki Sara Geni meluncur kearah dadanya. Begitu cepat gerakannya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti tak marnpu menghindar. Sehingga...

Desss!
"Aaakh!"

Pendekar Rajawali Sakti kontan terjajar beberapa langkah, disertai teriakan tertahan, begitu dadanya terhantam tendangan dahsyat bertenaga dalam tinggi.

"Kakang....!" Pandan Wangi terpekik kaget ketika melihat pemuda itu terjajar limbung.

Sring!

"Orang tua busuk, mari hadapi aku!" bentak Pandan Wangi nyaring.

"Pandan, jangaaan...!" Rangga terkejut melihat tindakan gadis itu.

Tapi mana mau Pandan Wangi mendengarnya dalam keadaan kalap begitu. Bahkan pedangnya telah menyambar ke arah leher orang tua itu. Namun Ki Sara Geni bukannya mengelak. Sambil mendengus garang, dipapaknya pedang gadis itu dengan tongkatnya.

Trakkk!

Bukan main terkejutnya Pandan Wangi, ketika merasakan tangannya bergetar hebat akibat benturan dengan senjata lawannya barusan. Kulit tangannya terkelupas. Bahkan pedang dalam genggamannya terlepas. Sementara itu ujung tongkat Ki Sara Geni terus menderu menyambar ke arah tenggorokannya. Sebelum terlambat gadis itu masih sempat memiringkan kepalanya. Namun saat itulah satu tendangan keras meluncur ke arah perutnya. Dan Pandan Wangi hanya terkesiap, tak mampu berbuat apa-apa lagi. Maka...

Bugh!
"Uhhh...!"

Pandan Wangi terpekik, begitu perutnya terhantam tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Pandan Wangi...!" jerit Rangga keras sambil menghambur mendapati gadis itu yang terengah- engah berusaha bangkit.

"Bangun kau, Pendekar Cengeng! Mari hadapi aku lagi!" dengus Ki Sara Geni berdiri tegak dibelakangnya pada jarak lima langkah.

DELAPAN

Wajah Rangga yang tadi cemas memikirkan keadaan gadis itu, kini berubah kelam dengan kemarahan sampai ke ubun-ubun. Pelahan-lahan dia bangkit sambil memandang Ki Sara Geni dengan sorot mata tajam. Tangan kanannya perlahan-lahan bergerak meraih pedangnya.

"Orang tua! Hari ini kita akan tentukan, kau atau aku yang akan mampus!" dingin suara Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak usah banyak bicara. Keluarkan seluruh kepandaianmu karena aku tak akan segan-segan mencabut nyawamu!" dengus Ki Sara Geni. Dan seketika dia melompat menyerang.

Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras menggelegar. Dan seketika pedangnya dicabut.

Yeaaa!"

Maka sinar biru langsung memancar dari pedangnya. Ki Sara Geni sedikit terkejut melihat sinar biru menyilaukan yang terpancar dari batang pedang lawan. Namun, tak ada waktu lagi untuk memikirkan keterkejutannya, karena Pendekar Rajawali Sakti telah menghadangnya. Maka langsung salah satu tongkatnya digunakan memapak.

Trasss!

Betapa terkejutnya Ki Sara Geni, begitu tahu kalau tongkatnya putus menjadi dua bagian.

"Heh?!"

Dan tentu saja Ki Sara Geni tak mau tongkatnya yang tinggal satu patah kembali. Dia menambah serangan. Maka seketika itu potongan tongkat di tangan kiri dihantamkannya dengan tongkat di tangan kanan, dengan sasaran ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Crakkk!
Pras!

Terlihat lidah api melesat cepat menyambar ke arah Pendekar Rajawali Sakti akibat benturan dua buah potongan tongkat tadi. Tapi Rangga melenting dan berputaran diudara, kemudian menangkis dengan kelebatan pedangnya.

Kembali Ki Sara Geni dibuat terkejut ketika melihat nyala api sama sekali tak berdaya ketika menghantam pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mendarat kembali di tanah. Maka dengan melompat sambil berputaran di udara, dilemparkannya senjata rahasianya berupa kalajengking-kalajengking berapi ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya sendiri kemudian melesat mengikuti disertai putaran tongkat yang menimbulkan pusaran angin kencang berhawa panas luar biasa!

"Yeaaa...!"

Sementara Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' disertai gerakan ilmu meringankan tubuhnya. Sambil terus meliuk-liuk di udara, Rangga membabat senjata-senjata rahasia Ki Sara Geni dengan pedangnya. Namun pada saat itu juga ujung tongkat Ki Sara Geni menyambar lehernya. Cepat sekali Rangga memiringkan kepalanya ke kanan. Dan tubuhnya terus mencelat ke atas, disertai tebasan pedang ke arah dada lawan.

"Hup!"

Cepat sekali Ki Sara Geni melompat ke belakang untuk menghindarinya sambil berputar. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tak memberi kesempatan sedikit pun. Dengan gerakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' terus dikejarnya tokoh tua itu. Bahkan pedang pusaka yang tersilang di depan cepat diusap batang pedangnya dengan tangan kiri.

Rangga sengaja berbuat demikian untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi. Dan perkiraannya memang tak meleset. Begitu berhadapan dengannya, saat itu juga Ki Sara Geni melepaskan pukulan mautnya, 'Pukulan Racun Api' Seketika dari kedua telapak tangannya melesat selarik sinar kuning keemasan yang menimbulkan hawa panas luar biasa!

"Aji Cakra Buana Sukma!" bentak Pendekar Rajawali Sakti, seraya menghentakkan tangan kirinya ke depan.

Seketika dari telapak kiri Pendekar Rajawali Sakti yang terhentak ke depan, melesat sinar biru yang meliuk-liuk ke arah sinar kuning keemasan tadi. Sehingga...

Glaaar!
"Aaa...!"

Terdengar benturan keras laksana guntur dahsyat yang memekakan telinga, begitu dua sinar itu beradu di satu titik. Dan seketika itu juga terdengar pekikan menyayat. Sementara udara di sekitar tempat itu berubah panas. Debu-debu beterbangan ke segala arah, ketika tanah ikut bergetar hebat.

Tampak di antara kepulan debu dua tubuh terlempar beberapa langkah. Begitu jatuh di tanah tubuh Ki Sara Geni menggelepar-gelepar dengan sinar biru terus menyelubunginya. Orang tua itu sesaat kemudian diam tak bergerak dengan tubuhnya menghitam hangus!

"Kakang, kau tak apa-apa...?" teriak Pandan Wangi cemas sambil berlari kecil mendapati Rangga yang terhuyung-huyung.

Wajah pemuda itu terlihat pucat dan napasnya tak beraturan. Beberapa tetes darah tampak keluar dari sudut bibirnya.

"Kakang, kau... Kau terluka dalam!" desis Pandan Wangi cemas.

"Tenanglah, Pandan. Aku tak apa-apa...," sahut pemuda itu lirih.

"Kisanak, maaf, Kau jadi begini gara-gara kami. Tapi kami akan mengobati lukamu sampai sembuh," ucap Ki Garda Raga yang tadi ikut menghampiri pemuda itu.

"Terima kasih, Kisanak."

Ki Garda Raga segera menyuruh beberapa orang muridnya untuk menuntun tubuh pemuda itu ke dalam rumahnya. Tapi baru saja akan melangkah...

"Pendekar Rajawali Sakti! Aku tak peduli dengan keadaanmu! Kau harus bertarung dengaku. Atau, kau boleh mampus saat ini juga!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang menggema ke segala arah.

Semua orang yang berada di tempat itu serentak berpaling ke arah sumber bentakan tadi. Tam pak seorang perempuan tua berwajah agak lebar dengan tubuh kurus sudah berdiri di dekat mayat Ki Sara Geni. Pakaiannya serba hitam. Rambutnya yang panjang dan telah memutih, dibiarkan lepas begitu saja sehingga ujung-ujungnya menyentuh panggul.

Wajah perempuan tua itu masih menunjukkan sisa-sisa kecantikan. Tapi sorot matanya yang tajam, memancarkan sinar keberingasan dan dendam yang mendalam. Senjatanya sebuah tongkat runcing berwarna hitam. Kelihatannya sama seperti yang digunakan Ki Sara Geni tadi, tapi bedanya lebih halus dan licin.

"Siapakah kau, Nisanak ini?" tanya Rangga, setelah berbalik.

"Aku Nyi Lengser!" dengus perempuan tua itu dingin.

"Nyi! Kalau memang kau ingin bertarung dengannya, cobalah secara jujur. Dia tengah terluka akibat pertarungan tadi. Dan kini, kau malah menantangnya dalam keadaan begini!" sinis ucapan Ki Garda Raga.

"Hi hi hi...! Apa peduliku dengan peraturan sial itu! Lagi pula, bagaimana kau bisa mengatakan kalau aku tak jujur?! Sudah sejak tadi aku berada di sini, memperhatikan pertarungan mereka dari awal. Ki Sara Geni itu saudara seperguruanku! Dan kalau aku berlaku curang, sudah sejak tadi ikut menghajar pemuda itu. Tapi setelah Ki Sara Geni mampus, maka dia harus berhadapan denganku. Nah, bocah! Ayolah bersiap-siap!" ujar Nyi Lengser.

Perempuan tua itu segera melangkah pelan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Namun beberapa murid Ki Garda Raga bergerak menghadang. Demikian juga Pandan Wangi. Padahal dia masih merasa sakit, namun tetap memaksakan diri.

"Pandan Wangi, minggirlah. Dan kalian, menepilah. Biar kuhadapi dia," sahut Rangga tenang.

"Tapi, Kakang! Kau tengah terluka begitu! Sangat berbahaya menghadapinya. Biar kami saja yang akan menghadapinya!" bantah Pandan Wangi.

"Benar, Kisanak. Kau tak boleh menghadapinya. Biar kami yang akan menghadapinya!" desak Ki Garda Raga berkeras.

Setelah berkata demikian, Ki Garda Raga langsung menyuruh anak buahnya mengepung perempuan tua itu.

"Hi hi hi...! Kecoa-kecoa busuk! Apa kalian pikir bisa menahanku di sini, he! Ayo, majulah. Ingin kulihat, sampai di mana kemampuan kalian!"

Dengan kata-katanya, tampaknya Nyi Lengser bersiap akan menghadapi serangan lawan-lawannya. Tapi kenyataannya, dialah yang langsung melompat menyerang.

"Yeaaa!"

Nyi Lengser langsung melesat dengan tongkat dibenturkan satu sama lain. Gerakan perempuan tua itu cepat bukan main. Bahkan tak kalah dengan apa yang dilakukan Ki Sara Geni tadi. Akibatnya...

Brettt!
"Aaa...!"

Hanya dalam segebrakan saja, empat murid Ki Garda Raga tewas. Tentunya melihat hal ini Pendekar Rajawali sakti tidak tinggal diam. Maka....

Wut!

Pandan Wangi terkejut bukan main ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti nekat memapak serangan lawan untuk melindungi murid-murid Perguruan Batu Kuwung yang akan menjadi korban perempuan tua itu berikutnya.

"Kakang...?!"

Gadis itu bermaksud akan turun tangan membantu, namun...

"Pandan, minggir! Bawa mereka menjauh. Turuti kataku...!" cegah Rangga cepat.

Meski dengan perasaan kesal, Pandan Wangi terpaksa menurut juga. Kalau Rangga sudah terlihat marah begini, Pandan Wangi tak bisa berbuat banyak lagi.

Meskipun Rangga memiliki pedang yang hebat, tapi gerakannya terlihat lamban. Sehingga tak heran bila semakin terdesak terus menerus. Dan Pandan Wangi yang melihat ke arah pertarungan, jadi cemas bercampur geram.

Rangga sendiri bukannya tak menyadari hal itu. Kalau terus meladeni, maka bisa dipastikan bakal tewas. Maka dia cepat memeras otak untuk mencari akal, bagaimana caranya mengalahkan perempuan tua itu.

Sementara dengan kemarahan yang meluap, Nyi Lengser menyerang bertubi-tubi pada Pendekar Rajawali Sakti. Tongkat di tangannya berputar-putar, menimbulkan hawa dingin yang amat menggigil! Akibatnya beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus melawan dua serangan sekaligus. Ujung tongkat lawan yang runcing, dan hawa dingin luar biasa.

"Hiyaaa...!"

Disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti segera balas menyerang dengan babatan pedangnya. Tapi gesit sekali Nyi Lengser melesat ke atas. Bahkan kaki kanannya cepat menendang ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti disertai tenaga dalam yang cukup tinggi. Begitu cepatnya, sehingga serangan itu tak mampu lagi dihindari oleh Rangga. Dan...

Diegh!
"Aaakh!"

Rangga memekik nyaring sambil muntahkan darah segar. Tubuhnya terjungkal ke belakang hingga tiga langkah, namun cepat bisa menguasai diri. Dan Nyi Lengser agaknya tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan gerakan cepat bagai kilat tongkat di tangannya diayunkan ke arah lawan di sertai tenaga dalam setinggi mungkin.

"Yeaaa! Mampus kau!"
"Hiiih!"

Namun Rangga tak kalah sigap. Cepat mata pedangnya digosok dengan tangan kiri. Seketika tangan kiri yang sudah terselimut cahaya biru itu dihentakkan ke depan.

"Aji Cakra Buana Sukma!"

Glarrr!
"Aaa...!"

Kejadian itu begitu cepat berlalu. Pandan Wangi tersentak kaget sambil menjerit keras, ketika melihat Rangga terlempar ke belakang, Ki Garda Raga serta murid-muridnya terperanjat kaget, ketika mendengar pekikan nyaring salah seorang yang tengah bertarung.

"Kakang...!"

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti ambruk ke tanah disertai muntahan darah kental beberapa kali. Wajahnya yang sudah pucat, semakin pucat saja. Napasnya tak beraturan. Bahkan tubuhnya begaikan tak bertenaga lemah dan tak berdaya.

"Kakang, kau tak apa-apa?!" tanya gadis itu dengan wajah cemas.

Rangga tersenyum kecil dengan tatapan lemah. Tangannya bergerak pelahan, menghapus darah yang mengalir di sudut bibirnya.

"Aku tak apa-apa. Bagaimana dia...?"

Pandan Wangi memandang sekilas ke arah tempat jatuhnya Nyi Lengser, Dan ternyata wanita tua itu diam tak bergerak lagi. Bahkan tubuhnya hangus menghitam!

"Dia sudah tewas, Kakang...," sahut gadis itu pelan.

Rangga hanya diam saja. Kejadian yang menewaskan Nyi Lengser, memang berlangsung cepat. Rasanya Pandan Wangi dan Ki Garda Raga sendiri tak menyangka kalau perempuan tua itulah yang justru tewas.

Sementara itu, murid-murid Perguruan Batu Kuwung menyambut gembira kemenangan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi dan Ki Garda Raga segera memapah tubuh Pendekar Rajawali Sakti, memasuki rumah utama perguruan itu. Memang, Pendekar Rajawali Sakti harus memulihkan luka dalamnya yang cukup parah. Jadi, tidak dia harus tinggal di situ selama beberapa hari.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: PEMBALASAN IBLIS SESAT