Gerhana Darah Biru

Cersil Online Serial Pendekar Rajawali Sakti Episode Gerhana Darah Biru

Pendekar Rajawali Sakti

GERHANA DARAH BIRU

Karya Teguh S


SATU
Ctar!
"Akh...!"

Terdengar suara lecutan cambuk yang menyengat kulit, lalu disusul oleh pekikan menyayat menahan rasa sakit.

"Goblok! Kerja begitu saja tidak becus! Seharusnya kau mampus saja, daripada kembali lagi ke sini...! Dasar otak udang! Hih...!"

Ctar! Ctar...!
"Aaakh...!"

Kembali terdengar lecutan cambuk yang begitu keras, mewarnai pagi yang seharusnya tenang dan damai ini. Itu juga masih disertai bentakan-bentakan keras dan sumpah serapah dari seorang laki-laki berusia setengah baya. Tubuhnya tegap, terbungkus baju warna merah muda dari kain sutera halus, bersulamkan benang-benang emas bergambar bunga mawar kuning pada bagian dadanya. Sedangkan di sekelilingnya, sekitar tiga puluh orang pemuda hanya diam memandangi, tidak berani bertindak apa-apa.

Sementara, seorang pemuda yang terikat di tiang tampak terkulai lemah, menerima deraan cambuk yang membuat kulitnya seperti melepuh itu. Kelihatannya, pemuda itu sudah tidak bisa lagi bergerak. Bahkan rintihan kesakitan pun seperti tak terdengar lagi. Sedangkan darah terus mengalir membanjiri tubuhnya yang bertelanjang dada. Guratan-guratan merah mewarnai seluruh bagian belakang tubuhnya. Tapi, laki-laki setengah baya itu terus saja mengayunkan cambuknya sambil memaki dan menyumpah serapah.

"Cukup, Kelabang Geni...!"

Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras. Maka laki-laki berbaju merah muda yang dipanggil Kelabang Geni itu seketika menghentikan sengatan cambuknya.

"Phuih...!" Kelabang Geni menyemburkan ludahnya dengan sengit Sambil memaki, cambuknya dibuang begitu saja.

Sambil menyemburkan ludah kembali, Kelabang Geni memutar tubuhnya. Lalu kakinya melangkah dengan ayunan lebar, menghampiri seorang wanita yang wajahnya tertutup selembar kain agak tipis berwarna hijau muda. Dan itu sudah cukup untuk menyembunyikan raut wajahnya, hingga sukar dikenali. Hanya bagian matanya saja yang dibiarkan terbuka. Sorot matanya begitu tajam, memandang lurus ke arah Kelabang Geni. Dan tubuhnya yang ramping, terbungkus baju warna hijau muda yang sangat ketat. Sehingga, memetakan tubuhnya yang indah dan menggiurkan. Dia dikawal oleh dua orang pemuda yang berdiri di kiri dan kanannya.

"Bawa dia," perintah wanita itu sambil berpaling pada dua orang pemuda pengawalnya.

Tanpa diperintah dua kali, kedua orang anak muda itu bergegas menghampiri pemuda yang sudah terkulai lemas di tiang dengan punggung hancur tercabik cambuk tadi. Mereka segera melepaskan ikatan tangan pemuda itu, lalu menggotongnya meninggalkan halaman yang cukup luas dan sedikit berumput ini. Sementara, Kelabang Geni sudah berdiri tegak di depan wanita cantik ini.

"Aku tidak ingin lagi melihat kegagalan, Kelabang Geni. Dan aku ingin, kau sendirilah yang melakukannya. Pergilah. Dan, jangan kembali sebelum berhasil," ucap wanita itu, dingin.

"Segala titah Gusti Putri akan hamba laksanakan," sahut Kelabang Geni seraya menjura memberi hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada.

"Laksanakan sekarang juga, Kelabang Geni. Ingat! Kalau sampai gagal juga, kepalamu yang akan menjadi gantinya," tegas wanita itu.

Kelabang Geni tidak menjawab sedikit pun juga. Tubuhnya hanya dibungkukkan, memberi hormat. Dan wanita yang tidak bisa dikenali wajahnya itu langsung memutar tubuhnya berbalik. Dengan ayunan kaki ringan, wanita itu melangkah masuk ke dalam rumah yang seluruh dindingnya terbuat dari belahan papan. Sebentar saja, bayangan tubuhnya yang ramping sudah lenyap tidak terlihat lagi di balik pintu. Kelabang Geni baru menegakkan tubuhnya kembali, setelah wanita yang dipanggilnya Gusti Putri telah benar-benar lenyap. Sebentar ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat.

Perlahan Kelabang Geni memutar tubuhnya berbalik. Pandangan matanya langsung beredar ke sekeliling, memandangi sekitar tiga puluh orang pemuda di sekitarnya. Mereka semua terdiam dengan kepala tertunduk menekuri tanah. Kembali Kelabang Geni menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.

"Siapkan kuda-kuda kalian. Kita berangkat sekarang juga!" perintah Kelabang Geni lantang.

Tanpa diperintah dua kali, pemuda-pemuda itu bergegas meninggalkan halaman rumah yang dikelilingi pagar gelondongan kayu yang cukup tinggi dan kokoh, bagai sebuah benteng kecil ini. Sementara, Kelabang Geni sendiri menghampiri seekor kuda hitam yang tertambat di bawah pohon di tengah-tengah halaman ini. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, dia melompat naik kepunggung kudanya.

Belum lama Kelabang Geni berada di atas punggung kudanya, dari samping rumah berukuran besar ini berdatangan tiga puluh orang anak muda yang semuanya menunggang kuda. Laki-laki setengah baya itu langsung saja menggebah kencang kudanya. Sementara, dua orang yang berada di pintu gerbang, segera membuka lebar-lebar pintu gerbang dari balok kayu itu. Dan pintu itu kembali tertutup, setelah Kelabang Geni bersama tiga puluh orang anak buahnya keluar dari lingkungan benteng kecil ini.

Kepergian Kelabang Geni bersama tiga puluh orang pengikutnya, tak lepas dari pengawasan wanita berbaju hijau muda yang tidak pernah melepaskan kain penutup wajahnya. Dia mengintip dari balik tirai jendela yang sedikit disibakkan. Tirai jendela itu baru ditutup kembali setelah Kelabang Geni tidak terlihat lagi. Perlahan tubuhnya berbalik, dan pandangannya langsung tertumbuk pada dua orang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun yang duduk bersimpuh di lantai dengan sikap begitu hormat. Secara bersamaan mereka memberikan sembah penghormatan dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Dan wanita yang dipanggil Gusti Putri itu duduk dengan angkuhnya di kursi yang beralaskan kain beludru halus berwarna merah menyala.

"Sarapati! Bagaimana keadaan di kotaraja saat ini?" tanya wanita itu, agak pelan terdengar suaranya.

"Belum ada perubahan, Gusti Putri Cadar Hijau," sahut salah seorang pemuda berbaju warna biru tua, sambil menyembah.

"Maksudmu...?" tanya wanita berpakaian hijau muda yang ternyata julukan lengkapnya Putri Cadar Hijau.

"Keadaan di kotaraja masih tetap tenang. Sedikit pun belum ada tanda-tanda terjadi pergerakan, Gusti Putri. Tapi semuanya sudah siap. Tinggal menunggu perintah saja," jelas Sarapati masih bersikap begitu hormat.

"Baiklah, Sarapati. Laksanakan saja segera."

"Hamba kerjakan, Gusti Putri."

Setelah memberi sembah hormat, Sarapati segera bangkit dan melangkah ke luar. Sementara, Putri Cadar Hijau mengalihkan perhatian pada seorang pemuda satunya, yang masih tetap duduk bersimpuh dengan sikap begitu hormat. Perlahan wanita itu bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri pemuda yang kepalanya tetap tertunduk menekuri lantai di depannya. Putri Cadar Hijau berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga tindak lagi di depan pemuda ini. Saat itu, terdengar suara kaki-kaki kuda yang dipacu cepat meninggalkan tempat yang menyerupai benteng pertahanan ini. Dan tidak berapa lama, suara kuda yang dipacu cepat itu menghilang dari pendengaran.

"Kau tetap di sini, Banyuragi. Tugasmu di sini tidak kalah pentingnya," ujar Putri Cadar Hijau.

"Hamba, Gusti Putri."

"Sebaiknya, periksa kesiapan orang-orangmu. Lalu, kembali lagi ke sini secepatnya."

"Hamba laksanakan, Gusti Putri."

"Pergilah."

********************

Sementara itu, agak jauh letaknya dari bangunan berbentuk benteng yang berada di tengah-tengah Hutan Dandaka ini, berdiri sebuah bangunan istana yang sangat megah, dikelilingi tembok benteng yang tinggi dan sangat kokoh. Dan penjagaan di sekitarnya demikian ketat, hingga sedikit pun tidak terlihat ada tempat yang luput dari penjagaan orang-orang berseragam prajurit.

Bangunan istana megah itu memang sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Jalaraja. Sebuah kerajaan yang tidak begitu besar, dan juga tidak begitu banyak penduduknya. Dan sebagian besar wilayahnya terdiri dari hutan dan lembah yang dalam serta lebar. Tapi, kerajaan itu kelihatan makmur. Ini bisa dilihat dari bentuk rumah-rumah yang besar dan indah.

Hampir-hampir tidak ditemukan bentuk rumah yang kecil dan sederhana. Kehidupan seluruh rakyat di Kerajaan Jalaraja ini bisa dikatakan sudah berkecukupan. Tapi, apakah itu sudah membuat mereka semua tenteram...?

Keadaan yang kelihatan tenang dan damai ini bukanlah menandakan kalau seluruh rakyat Kerajaan Jalaraja sudah hidup damai dan tenteram. Malah, mereka justru tidak ada yang berani keluar dari dalam rumah, kalau tidak punya keperluan yang sangat mendesak. Bahkan tidak ada seorang prajurit pun yang mau jauh-jauh dari lingkungan istana yang berpagar benteng kokoh itu. Sebenarnya, Kerajaan Jalaraja memang sedang dilanda kekacauan.

Dan semua ini berawal dari munculnya seorang wanita yang selalu dipanggil Putri Cadar Hijau. Wanita itu memiliki begitu banyak pengikut yang rata-rata berkepandaian tinggi. Sudah beberapa orang berkepandaian tinggi dari istana mencoba untuk mengenyahkannya. Tapi belum juga sempat berhadapan, sudah ambruk di tangan pengawal-pengawalnya. Hingga, Prabu Garajaga sendiri harus dikawal ketat, walaupun tidak keluar dari istananya.

Dan siang ini, Prabu Garajaga kedatangan seorang tamu yang sudah tidak asing lagi bagi semua orang dalam lingkungan istana megah ini. Seorang tamu yang menjadi sahabat dekat Raja Kerajaan Jalaraja ini.

"Kedatanganmu di sini memang sangat di harapkan, Adi Patungga. Kau pasti sudah tahu, bagaimana keadaan di sini," kata Prabu Garajaga. Nada suaranya terdengar begitu pelan, seperti tengah berputus asa.

Memang, sepak terjang anak buah Putri Cadar Hijau membuat raja berusia setengah baya itu jadi putus asa. Dia sudah tidak lagi memiliki orang-orang tangguh untuk menghadapi Putri Cadar Hijau. Bahkan dia sudah merasa, kalau keruntuhan Kerajaan Jalaraja tinggal menunggu waktu saja. Dan kedatangan Patungga yang diketahuinya memiliki kepandaian sangat tinggi, menerbitkan setitik harapan membersit dalam dadanya.

"Kedatanganku ke sini memang sengaja, Ka-kang Prabu Garajaga. Kerusuhan yang terjadi di sini sudah kudengar. Dan kedatanganku sengaja untuk mengusir mereka. Bahkan kalau perlu, mengenyahkannya," tegas laki-laki yang usianya tidak terpaut jauh dari Prabu Garajaga, dan dipanggil dengan nama Patungga.

Mereka memang telah lama bersahabat karib. Walaupun Patungga hanya seorang pengembara yang hidup tidak tentu arah dan tujuannya, tapi sebenarnya mereka berdua pernah berada dalam bimbingan tangan yang sama. Bisa dikatakan, mereka sebagai saudara seperguruan. Hanya saja, Patungga memang lebih tinggi tingkat kepandaiannya daripada Prabu Garajaga. Terlebih lagi, Patungga gemar mengembara. Hingga, kepandaian yang dimilikinya terus bertambah sempura saja.

"Kau sepertinya sudah melupakan aku, Kakang Prabu. Seharusnya, beritahukanlah padaku, sebelum semuanya seperti ini. Mungkin mereka bisa kuhentikan, sebelum menjadi kuat seperti sekarang," kata Patungga bernada menyesali sikap Prabu Garajaga yang seperti sudah melupakan dirinya.

"Maafkan aku, Adi Patungga. Bukan maksudku begitu. Aku hanya...."

"Ah, sudahlah. Tidak perlu dipersoalkan lagi," potong Patungga.

Sesaat mereka terdiam, membuat ruangan yang besar dan megah ini jadi sunyi. Hanya desir angin saja yang terdengar jelas mengusik telinga, ketika menerobos masuk melalui jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Tampak beberapa prajurit berjaga-jaga di sekitar ruangan ini. Patungga menggeser duduknya lebih dekat dengan Prabu Garajaga. Kepalanya diangkat sedikit, saat melihat seorang wanita melintasi pintu yang berada di depannya. Hanya sekilas saja melihat, tapi Patungga sudah bisa mengetahui kalau wanita yang baru saja melewati pintu itu memiliki wajah cantik, dengan bentuk tubuh indah menggiurkan.

"Ada apa, Adi Patungga?" tegur Prabu Garajaga.

Patungga agak tersentak kaget. Cepat-cepat wajahnya berpaling menatap lagi pada Prabu Garajaga. Sungguh tidak disadari kalau sahabatnya sejak tadi memperhatikan. Sedikit Patungga memberi senyum, tapi terasa ditujukan pada diri sendiri. Dan Prabu Garajaga lantas melirik sedikit ke pintu. Hanya dua orang prajurit saja yang terlihat berjaga di samping pintu yang terbuka lebar itu.

"Siapa wanita yang lewat tadi, Kakang Prabu?" tanya Patungga langsung.

"Wanita yang mana?" Prabu Garajaga balik bertanya.

"Yang tadi lewat di depan pintu."

"Hanya ada tiga wanita yang mendampingiku di sini, Adi Patungga."

"Anak dan istrimu sudah kukenal baik, Kakang Prabu. Juga semua pelayan dan dayang di istana ini. Bahkan hampir semua prajurit dan pembesar kerajaanmu ini, sudah kukenal. Tapi rasanya wanita itu belum pernah kulihat," kata Patungga lagi. "Kau punya pelayan baru? Atau, selir baru barangkali, Kakang?"

Entah kenapa, Prabu Garajaga jadi tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya barusan. Memang di antara mereka tidak pernah ada rahasia yang tersembunyi. Dan masing-masing sudah mengenal betul watak serta tingkah laku satu sama lain. Hingga, di antara mereka seperti tak ada jurang pemisah, walaupun memiliki tata kehidupan dan derajat yang berbeda. Dan kalau sudah bertemu seperti ini, mereka seperti lupa akan kedudukan masing-masing.

"Aku mengerti wanita yang kau maksudkan, Adi Patungga. Dia pasti Wiranti," kata Prabu Garajaga masih dengan bibir menyunggingkan senyum.

"Siapa dia?" tanya Patungga jadi ingin tahu. Kening Patungga terlihat berkerut, mencoba mengenali wanita yang bernama Wiranti itu. Tapi walaupun seluruh ingatannya sudah diperas, tidak juga bisa mengetahui wanita yang dilihatnya tadi.

"Dia bukan orang lain, Adi Patungga. Wiranti adalah adik sepupu permaisuriku," jelas Prabu Garajaga, singkat.

Patungga hanya mengangguk-angguk saja, tapi keningnya tampak berkerut. Sepertinya, hatinya tidak puas oleh penjelasan Prabu Garajaga yang begitu singkat.

"Ada apa, Adi Patungga? Apa yang kau pikirkan...?" tegur Prabu Garajaga, memandangi Patungga dengan sinar mata begitu dalam.

"Ah, tidak apa-apa...," sahut Patungga agak mendesah.

"Kau seperti memikirkan sesuatu, Patungga," desak Prabu Garajaga.

"Maaf, Kakang Prabu. Bukannya aku tidak percaya dengan penjelasanmu tadi. Tapi, rasanya...," Patungga tidak meneruskan kata-katanya, seperti ragu mengatakan ganjalan dalam hatinya ini.

"Apa yang kau rasakan, Adi Patungga?" Prabu Garajaga terus mendesak ingin tahu.

"Maaf, Kakang Prabu. Setahuku.... Bukankah Permaisuri Dewi Ratna Wulan tidak mempunyai saudara...? Dan rasanya, aku tahu betul tentang hal itu, setelah adik satu-satunya gugur dalam peperangan," terdengar ragu-ragu suara laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu.

"Wiranti memang belum lama datang ke sini, Patungga. Memang, mereka berdua terpisah sejak sama-sama masih kecil. Dan baru sekarang inilah mereka bertemu. Aku sendiri tidak tahu kalau Dinda Dewi Wulan punya saudara sepupu. Adi Patungga, kenapa kau merisaukan kehadiran Wiranti...?"

"Tidak... Tidak ada apa-apa. Hanya ingin tahu saja," sahut Patungga.

Laki-laki berusia sekitar lima puluh satu tahun yang mengenakan baju warna putih agak ketat itu bangkit berdiri dari kursinya. Goloknya yang terselip di pinggang sedikit digeser. Sedangkan Prabu Garajaga tetap duduk di kursinya.

"Aku akan jalan-jalan dulu melihat keadaan di luar, Kakang Prabu," ujar Patungga meminta izin.

"Kau perlu pengawal, Adi Patungga?" Prabu Garajaga menawarkan.

"Tidak perlu," sahut Patungga seraya tersenyum.

Tanpa bicara lagi, Patungga melangkah keluar dari ruangan megah Balai Sema Agung ini. Sedangkan Prabu Garajaga tetap duduk di kursinya. Terus dipandanginya sahabatnya itu dengan sinar mata sukar diartikan. Prabu Garajaga masih belum beranjak, walaupun Patungga sudah tidak terlihat lagi. Dan begitu hendak bangkit berdiri, muncul wanita cantik yang tadi sempat menjadi pembicaraan hangat. Prabu Garajaga tidak jadi bangkit dari kursinya. Ditunggunya sampai Wiranti dekat di depannya.

Wanita itu memang cantik. Dan usianya juga masih muda, sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya sungguh ramping dan indah, tebalut baju warna hijau muda yang sangat ketat. Sehingga, jelas memetakan tubuhnya, dengan bagian dada agak terbuka lebar. Tampak dua gundukan putih yang begitu indah, tersembul bagai hendak memberontak keluar. Sesaat Prabu Garajaga sempat memandangi dada yang putih dan berbentuk indah itu, tapi pandangannya cepat dialihkan ke luar jendela. Wiranti tetap berdiri dengan jarak sekitar setengah batang tombak di depan Raja Jalaraja ini.

"Ada apa, Wiranti?" tanya Prabu Garajaga tan-pa mengalihkan pandangan sedikit pun dari jendela.

Entah kenapa, Prabu Garajaga seperti tidak ingin memandang gadis cantik ini. Dan setiap kali memandangnya, darahnya selalu terasa berdesir deras. Tapi di dalam hati, Prabu Garajaga memang mengakui kalau kecantikan Wiranti sungguh menggoda setiap mata laki-laki yang memandangnya.

"Maaf, Gusti Prabu...."

"Ah! Kau masih saja memanggilku dengan sebutan itu, Wiranti," selak Prabu Garajaga.

"Tapi..."

"Kau adik sepupu permaisuriku, Wiranti. Kau boleh memanggilku Kakang Prabu."

Wiranti tersenyum. Saat itu, Prabu Garajaga meliriknya. Dan seketika jantungnya jadi berdetak cepat, melihat senyuman yang begitu manis dan menggoda. Prabu Garajaga cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah lain lagi. Senyuman Wiranti benar-benar membuat hatinya jadi tidak karuan.

"Katakan saja, kalau ada sesuatu yang hendak dibicarakan denganku, Wiranti," ujar Prabu Garajaga mencoba mengusir kegelisahan yang tidak menentu dalam hatinya.

"Aku hanya ingin tahu tamu yang tadi, Kakang Prabu," sahut Wiranti langsung.

"Patungga, maksudmu...?"

"Benar."

"Dia sahabatku. Kedatangannya ke sini ingin menghadapi Putri Cadar Hijau dan orang-orangnya."

"Hanya seorang diri saja, Kakang?"

"Iya. Memang kenapa...?"

"Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja."

Prabu Garajaga bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya Wiranti yang masih berada di depannya. Kemudian tubuhnya berputar dan melangkah meninggalkan gadis cantik ini. Sedangkan Wiranti sendiri tegap berdiri memandang ke luar, melalui jendela yang terbuka lebar. Entah kenapa, bibirnya jadi tersenyum sendiri. Dan begitu Prabu Garajaga tidak terlihat lagi, kakinya baru melangkah pergi dengan bibir masih terus menyunggingkan senyum yang tak jelas artinya.

********************

DUA

Matahari masih menyengat, walaupun sudah agak condong ke arah barat. Patungga yang ber-jalan melihat-lihat keadaan di Kotaraja Kerajaan Jalaraja ini, tanpa terasa sudah begitu jauh meninggalkan istana. Dan langkahnya baru berhenti begitu tenggorokannya terasa jadi kering. Laki-laki berusia setengah baya ini berhenti berjalan di pinggir sungai kecil yang berair sangat jernih. Tanpa ragu-ragu lagi, dibasahinya tenggorokannya dengan air sungai ini. Namun begitu Patungga berdiri dan meng-angkat kepala, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat di depannya.

"Heh...?! Ups...!"

Patungga agak terkejut sesaat, namun cepat melompat ke belakang. Sehingga, bayangan merah itu tidak sampai menerjang dirinya. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali kedua kakinya menjejak tanah kembali. Saat itu, di depannya sudah berdiri seorang anak muda. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya yang tegap terbungkus baju merah menyala. Sebilah pedang berukuran cukup panjang tampak tergantung di pinggangnya.

Patungga mengamati pemuda yang tiba-tiba saja muncul di depan dan sama sekali tidak dikenalnya. Patungga baru kali ini melihatnya, tapi sikap anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan persahabatan. Bahkan sorot matanya yang tajam, memancarkan api permusuhan. Patungga segera menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah.

"Kau yang bernama Patungga...?" tanya pemuda berbaju merah itu, tanpa basa-basi lagi. Suaranya terdengar dingin dan datar.

"Benar. Dan kau siapa...?" Patungga malah balik bertanya.

"Aku Kaligi," sahut anak muda itu, memperkenalkan diri.

"Hm...," Patungga hanya menggumam sedikit saja.

"Dengar, Patungga. Kehadiranmu di sini sama sekali tidak diharapkan. Sebaiknya, cepat pergi sebelum nasib buruk menimpamu. Dan jangan coba-coba ikut campur dalam persoalan di sini," ancam Kaligi dengan suara dingin dan datar.

"Heh...?! Siapa kau ini...?! Apa hakmu mengusirku...?!"

Patungga jadi kaget juga mendengar pengusiran yang begitu langsung diucapkan tanpa tedeng aling-aling lagi. Diamatinya anak muda berbaju merah di depannya ini yang mengaku bernama Kaligi. Tapi raut wajah anak muda itu demikian datar, walaupun sorot matanya memancar tajam.

"Aku tidak punya waktu bersilat lidah denganmu, Patungga. Sebaiknya dengar saja kata-kataku. Cepat pergi dari sini, atau kau tidak akan bisa lagi melihat matahari besok pagi," sambung Kaligi mengancam, dingin menggetarkan suaranya.

"Edan...! Kau pikir aku takut mendengar gertak sambalmu itu, Bocah...?!" Patungga jadi geram juga mendapat pengusiran yang bernada mengancam itu.

Darah laki-laki setengah baya itu seketika bergolak mendidih, bagai kawah gunung berapi yang hendak memuntahkan laharnya. Patungga merasakan harga dirinya sudah direndahkan anak muda ini. Maka tanpa banyak bicara lagi, langsung saja goloknya yang terselip di pinggang dicabut.

Sret!
Wut!

Patungga langsung mengebutkan goloknya hingga tersilang di depan dada. Sementara, Kaligi tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun. Bahkan raut wajahnya sama sekali tidak berubah. Tetap datar, walaupun tatapannya tertuju pada mata golok di tangan Patungga yang berkilatan, terjilat sinar matahari yang terik siang ini.

"Jangan bertindak bodoh, Patungga. Kau akan menyesal bermain-main dengan senjatamu itu," kata Kaligi mencoba mendinginkan suasana yang sudah mulai terasa panas.

"Dengar, Bocah! Kalau aku bisa kau kalahkan, hari ini juga aku akan angkat kaki dari negeri ini. Dan aku tidak akan kembali sampai kematian menjemputku."

"Kau yang menjual lebih dulu, Patungga."

"Phuih!"

Kemarahan Patungga sudah tidak dapat lagi di kendalikan. Sambil memutar goloknya di depan dada, kakinya digeser dengan cepat ke depan agak menyamping. Dan dengan kecepatan bagai kilat, goloknya yang berkilatan tajam dikebutkan ke arah dada.

Wut!
"Haiiit...!"

Tapi dengan gerakan cepat dan gesit sekali, Kaligi berhasil menghindari serangan laki-laki berusia setengah baya ini. Dan ini membuat Patungga geram bercampur penasaran. Padahal tadi sudah diduga kalau Kaligi pasti ambruk berlumuran darah. Tapi kenyataannya, Kaligi malah bisa berkelit menghindar dengan gerakan yang begitu indah dan cepat. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Kaligi langsung melepaskan satu tendangan yang begitu cepat bagai kilat.

"Yeaaah...!"
"Eh...?! Hap!"

Cepat-cepat Patungga melompat ke belakang, hingga sepakan kaki Kaligi bisa dihindari. Dan saat itu juga, goloknya dikebutkan. Jelas, maksudnya hendak membabat buntung kaki Kaligi yang masih menjulur ke depan itu. Namun belum juga mata golok yang berkilatan itu sampai, Kaligi sudah cepat menarik kakinya.

Tepat di saat golok Patungga lewat, cepat sekali Kaligi menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan seketika tubuhnya meliuk ke kanan, mengikuti gerakan tubuh Patungga yang menghindari sepakan kakinya. Begitu cepat dan tidak menduga sama sekali, sehingga....

Des!
"Ikh...!"

Patungga jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri Kaligi tepat menghantam dadanya. Walaupun pukulan itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh, tapi sudah cukup membuat Patungga terpental cukup jauh ke belakang. Bahkan sebatang pohon yang terlanda tubuhnya, seketika hancur berkeping-keping. Tapi, Patungga bisa cepat menguasai keseimbangan tubuh, hingga tidak sampai terjerembab ke tanah.

"Phuih! Hih...!"

Patungga jadi semakin berang saja. Terlebih, dadanya kini jadi sesak akibat terkena pukulan tadi. Padahal, sama sekali tidak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun itu sudah membuat napasnya tersengal memburu. Beberapa kali Patungga membuat gerakan dengan kedua tangannya, sambil mengatur jalan pernapasannya.

"Hhhp...! Yeaaah...!"

Sambil menarik napas dalam-dalam, Patungga berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga, kedua tangannya terhentak lurus ke depan. Tampak dari kedua telapak tangannya yang terbuka, membersit cahaya merah bagai api, yang langsung meluruk deras ke arah Kaligi.

"Hiyaaat..!"

Namun Kaligi yang memang sejak tadi sudah siap menghadapi serangan, cepat meliukkan tubuhnya ke kanan. Dan begitu cahaya merah dari telapak tangan Patungga lewat, cepat sekali tubuhnya melesat tinggi ke udara. Lalu bagaikan kilat, pemuda itu meluncur deras dengan tangan kanan menjulur lurus. Langsung diberikannya satu pukulan dahsyat, disertai pengerahan aji kesaktian yang tinggi.

Begitu cepat serangan batik Kaligi, hingga membuat Patungga jadi kaget setengah mati. Maka cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah dan bergulingan beberapa kali, menghindari serangan maut yang dilancarkan Kaligi. Tindakan yang dilakukan Patungga, membuat serangan Kaligi hanya menghantam tanah kosong.

Glarrr...!

Satu ledakan yang begitu keras menggelegar terdengar seketika, bertepatan dengan jatuhnya pukulan Kaligi ke tanah, tempat Patungga berpijak tadi. Sementara itu Patungga masih bergulingan beberapa kali di tanah, lalu melompat bangkit berdiri dengan gerakan manis sekali. Saat itu juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar.

Tampak tidak jauh di depannya, sudah menganga sebuah lubang besar, yang masih mengepulkan debu bercampur asap kehitaman. Sementara tepat di pinggiran lubang itu berdiri Kaligi dengan sikap angkuh. Sambil berkacak pinggang, bibirnya menyunggingkan senyum mengejek yang terasa merendahkan Patungga.

"Hhh! Dahsyat sekali ilmu bocah ini. Tidak kusangka, di zaman sekarang, banyak anak muda yang memiliki kepandaian begitu dahsyat! Desis Patungga, dalam hati.

Jelas sekali kalau Patungga memuji kedahsyatan ilmu yang diperlihatkan Kaligi barusan. Tapi, hatinya juga jadi penasaran. Terlebih lagi, pertarungan ini sama sekali tidak diketahui sebabnya. Entah kenapa, tahu-tahu Kaligi muncul dan langsung mengusirnya tanpa alasan jelas. Sementara itu perlahan Patungga menggeser kakinya, menyusuri tanah ke sebelah kanan. Sedangkan Kaligi masih tetap berdiri tegak dengan angkuh sambil berkacak pinggang.

Wut!

Patungga segera menyilangkan goloknya dengan gerakan indah di depan dada. Sorot matanya memancar begitu tajam, bagai sepasang bola api yang seakan-akan hendak menghanguskan seluruh tubuh pemuda berbaju merah menyala di seberang lubang besar akibat pukulan nyasar dari Kaligi tadi. Patungga baru berhenti bergeser, setelah tidak lagi berada di seberang lubang. Dan kini, mereka berhadapan dengan jarak hanya sekitar tiga langkah saja. Sorot mata mereka begitu tajam, saling menatap seperti tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Hm...!"
"Hhh!"
Bet!
Wut!

Secara bersamaan, mereka menggerakkan tangannya. Tapi mereka belum juga saling melancarkan serangan, seperti belum bisa mengukur tingkat kepandaian satu sama lain. Dan kini secara bersamaan kaki mereka bergeser berputar. Sehingga Patungga kini berada tepat membelakangi lubang yang dibuat lawannya. Sementara itu Kaligi tampak tersenyum tipis. Begitu tipisnya, hingga hampir saja tidak terlihat. Sedangkan Patungga sendiri masih tetap mengawasi dengan sinar mata begitu tajam menusuk.

"Hih! Yeaaah...!"
"Ups! Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Kaligi menghentakkan tangan kirinya ke depan. Sementara seketika itu juga, Pa-tungga membabatkan goloknya untuk menangkis serangan tangan kiri pemuda itu. Tapi tepat di saat golok Patungga berkelebat di depan tubuhnya, cepat sekali Kaligi menarik tangannya. Dan secara bersamaan, tubuhnya ditarik ke kanan sambil melepaskan satu tendangan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi yang tepat mengarah ke dada lawannya.

"Heh...?!"

Patungga jadi terperanjat kaget setengah mati. Tidak disangka kalau Kaligi akan bertindak seperti itu. Maka cepat-cepat goloknya dikebutkan ke depan dada, mencoba melindungi dadanya dari serangan pemuda itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, justru Kaligi membanting tubuhnya ke tanah. Lalu dengan cepat sekali kakinya menyepak mengincar kaki lawannya. Begitu cepat gerakannya, tapi Patungga masih sempat melihat. Maka cepat dia melompat menghindari sepakan kaki pemuda berbaju merah itu.

Dan ketika tubuh Patungga berada di udara itu, Kaligi cepat melompat bangkit berdiri sambil mengebutkan tangan kiri. Seketika sebuah benda kecil berwarna kuning keemasan tampak meluncur deras dari telapak tangan kiri pemuda itu. Begitu cepat apalagi benda itu memang sangat kecil, sehingga sukar bagi Patungga untuk bisa cepat mengetahuinya. Dan belum juga disadari apa yang dilakukan lawannya ini, mendadak saja....

Tring!
"Heh...?!"

Pijaran bunga api yang tiba-tiba saja memercik di depan dadanya, membuat Patungga jadi tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting tinggi-tinggi ke udara, lalu berputaran beberapa kali. Kemudian kedua kakinya menjejak tanah lagi, di seberang lubang yang dibuat Kaligi.

Bukan hanya Patungga saja yang terbeliak kaget Kaligi juga kaget setengah mati, melihat senjata rahasianya memercikkan api dan jatuh ke dalam lubang yang menganga cukup lebar di depannya ini. Kejadian itu tentu saja membuat Kaligi jadi terlompat mundur beberapa langkah.

"Setan...! Siapa mau main curang denganku, heh...?!" bentak Kaligi geram setengah mati.

Begitu marahnya Kaligi, sampai wajahnya kelihatan merah bagai terbakar. Sementara itu, Patungga yang tidak tahu kejadiannya, hanya bisa bengong memandangi Kaligi yang memaki-maki. Belum lagi hilang kebingungan Patungga, tiba-tiba saja sebatang kayu pohon yang cukup panjang jatuh tepat melintang di atas lubang. Dan saat itu juga, melesat sebuah bayangan putih yang begitu cepat, hingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu, di atas batang pohon yang melintang di atas lubang itu sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya putih tanpa lengan, dan terbuka lebar bagian dadanya. Tampak sebatang gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di punggungnya.

Pemuda itu berdiri tegak di batang pohon yang tidak begitu besar, melintang di tengah-tengah lubang yang dibuat Kaligi tadi. Dari cara kemunculannya, sudah bisa dipastikan kalau pemuda tampan berbaju rompi putih itu memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi.

"Rupanya kau yang menghadang seranganku, heh...?! Phuih!" Kaligi menyemburkan ludahnya dengan sengit.

Sorot mata pemuda berbaju merah itu begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan berbaju rompi putih yang masih berdiri tegak pada batang pohon yang melintang di atas lubang.

"Maaf! Aku tidak bermaksud ikut campur, kalau kau bertarung secara jujur dan satria," sahut pemuda itu kalem.

"Keparat...! Kurobek mulutmu, Setan!" geram Kaligi marah. Disadari kalau kecurangannya dengan melepaskan senjata rahasia tadi diketahui orang lain. Padahal saat itu lawan tidak dalam keadaan siap sama sekali.

"Hiyaaa...!"

Tanpa banyak bicara lagi, Kaligi langsung saja melompat cepat menerjang pemuda berbaju rompi putih itu. Kemarahannya memang sudah tidak terbendung lagi. Terlebih, setelah kecurangannya dalam bertarung dengan Patungga diketahui.

"Mampus kau!"

Sambil membentak keras, Kaligi melepaskan satu pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat pukulannya, sehingga arus tangan yang menjulur ke depan itu hampir tidak terlihat

"Haiiit...!"

Tapi dengan gerakan manis sekali, pemuda berbaju rompi putih itu meliukkan tubuhnya ke kanan. Sehingga, serangan Kaligi sama sekali tidak mengenai sasaran. Dan di saat kepalan tangan Kaligi lewat di samping tubuhnya, pemuda itu cepat sekali menghentakkan tangan kirinya dengan gerakan berputar menyamping.

Wut!
"Eh...?! Hups...!"

Kaligi jadi tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke belakang, dan berputaran di udara beberapa kali. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah, dan langsung bersiap hendak melakukan serangan kembali.

Sementara pemuda berbaju rompi putih itu tetap berdiri tegak, seperti tidak bergeming sedikit pun juga. Sedangkan di seberang lubang yang menganga cukup besar ini, Patungga terlihat hanya bisa mengamati sambil mengerutkan keningnya.

Di dalam hati laki-laki setengah baya itu tengah berusaha untuk mengingat-ingat siapa pemuda berwajah tampan yang mengenakan baju rompi putih itu. Dia seperti pernah bertemu. Atau paling tidak, pernah mendengar ciri-ciri seorang pemuda gagah yang selalu mengenakan baju rompi putih, dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung. Tapi begitu keras berusaha mengingat, belum juga bisa menemukan jawaban tentang pemuda yang telah berjasa menyelamatkan nyawanya dari kecurangan Kaligi dalam pertarungannya tadi.

Sementara itu Kaligi sudah mempersiapkan jurus yang begitu tinggi tingkatannya. Sebuah jurus yang sangat ampuh, hingga membuat seluruh tubuhnya jadi memerah bagai terbakar. Sedangkan lawannya masih tetap berdiri tegak di atas batang kayu yang berada melintang di tengah-tengah lubang besar di depannya.

"Hop! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Kaligi menghentakkan kedua tangannya ke depan, tepat terarah pada pemuda berbaju rompi putih itu. Maka seketika itu juga dari kedua kepalan tangannya meluncur deras cahaya merah bagai api, yang meluncur langsung ke arah pemuda itu.

"Hap! Yeaaah...! Heh...?! Edan...!"

Patungga yang melihat pemuda berbaju rompi putih itu tidak berusaha mengelak, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Sementara cahaya merah yang meluncur dari kepalan tangan Kaligi sudah semakin dekat saja. Dan begitu hampir menghantam dadanya, tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih itu cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan cepat, tepat di saat kedua telapak tangannya jadi berwarna merah membara.

"Yeaaah....!"
Glarrr...!
"Akh...!"

Satu ledakan keras seketika itu juga terdengar menggelegar, bagai hendak memecahkan gendang telinga. Bersamaan dengan itu, terdengar pekikan keras agak tertahan. Tampak Kaligi terpental ke belakang sejauh beberapa batang tombak, dan jatuh keras di tanah. Sedangkan lawannya sama sekali tidak terdorong sedikit pun juga. Bahkan cepat sekali melesat ke depan. Lalu dia mendarat manis sekali tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sekitar satu batang tombak di depan Kaligi yang tergeletak di tanah dengan napas tersengal memburu.

Tampak dari sudut bibir Kaligi mengalir darah kental berwarna agak kehitaman. Wajahnya yang semula memerah, kini tampak pucat kebiru-biruan. Tapi, sorot matanya masih tetap terlihat tajam, penuh dendam, ke arah pemuda berbaju rompi putih yang berada sekitar satu batang tombak di depannya.

"Kkk..., keparat kau.... Akh...!"

Kaligi langsung mengejang, begitu menyumpah tergagap. Tangannya terangkat sedikit hendak menuding lawannya, tapi saat itu juga tubuhnya yang sudah sedikit terangkat jadi terkulai di tanah. Seketika itu juga nyawanya melayang dari badan, bersamaan dengan menghamburnya darah dari hidung dan mulut. Sementara, pemuda berbaju rompi putih yang menjadi lawannya langsung menghembuskan napas panjang, seakan-akan menyesali kematian lawannya.

"Maaf, aku tidak bermaksud membunuhmu," ucap pemuda itu pelan, bernada seperti menyesal.

Beberapa saat pemuda itu masih berdiri mematung, memandangi tubuh Kaligi yang terbujur kaku tidak bernyawa lagi. Dan begitu memutar tubuhnya, Patungga sudah berada dekat di belakangnya. Dan kini mereka berdiri saling berhadapan berjarak sekitar lima langkah. Beberapa saat mereka terdiam, dan hanya saling berpandangan saja.

"Tunggu...!"

Patungga cepat-cepat mencegah, ketika pemuda berbaju rompi putih yang telah menyelamatkan nyawanya dari maut itu kembali memutar tubuhnya ke kiri, hendak melangkah pergi. Cepat-cepat Patungga menghampiri, dan kembali berada di depan anak muda berwajah tampan yang mengenakan baju rompi putih.

"Anak muda, aku ingin mengucapkan terima kasih. Kau sudah menyelamatkan nyawaku," ucap Patungga buru-buru.

"Aku hanya kebetulan saja lewat, Paman. Dan kuharap, kejadian ini tidak menjadi panjang nantinya. Maaf, Paman. Aku harus segera melanjutkan perjalanan," sahut pemuda itu, kalem.

"Sebentar, Anak Muda," cegah Patungga cepat-cepat.

Pemuda berbaju rompi putih itu tidak jadi melangkah. Dipandanginya laki-laki berusia setengah baya yang di pinggangnya terselip sebilah golok.

"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Anak Muda...?" ujar Patungga bertanya sopan.

"Apa itu perlu...?"
"Jika kau tidak berkeberatan."
"Rangga."

"Itu namamu yang sesungguhnya, Anak Muda...?" Patungga seperti tidak percaya.

"Ayah dan ibuku yang memberikan nama itu padaku," sahut pemuda itu tersenyum.

"Tapi...." Patungga kelihatan ragu-ragu. Dipandanginya pemuda yang tadi mengaku bernama Rangga itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan, ada sesuatu yang terlintas di benaknya saat ini. Sesuatu yang mengingatkannya pada seseorang yang julukannya pernah didengarnya, namun begitu sulit diingat saat ini.

"Ada apa, Paman? Apa ada sesuatu yang aneh pada diriku?" tanya Rangga jadi heran juga, melihat sikap laki-laki setengah baya di depannya.

"Aku..., aku ingat sekarang. Kau..., kau seperti Pendekar Rajawali Sakti. Benarkah dugaanku ini, Anak Muda...?"

Pemuda berbaju rompi putih yang tadi mengaku bernama Rangga itu tersenyum saja. Dan memang, dia adalah Pendekar Rajawali Sakti, seorang pendekar muda yang sudah begitu ternama dalam rimba persilatan. Walaupun merasa belum pernah berjumpa laki-laki setengah baya ini, tapi Rangga yakin kalau orang ini hanya mengenal nama dan ciri-cirinya saja.

Rangga yang tidak pernah mengagungkan dirinya sendiri, begitu sulit untuk berterus terang menyebut julukannya. Sebuah julukan yang membuat semua tokoh persilatan harus berpikir seribu kali bila berhadapan dengannya. Dan seperti tidak sadar, pemuda itu menganggukkan kepala sedikit. Tapi, anggukan itu sudah membuat wajah Patungga berubah jadi cerah seketika. Dan senyumnya langsung merekah lebar.

"Dewata Yang Agung.... Nikmat apa yang Kau berikan, hingga aku bisa bertemu seorang pendekar besar dalam keadaan seperti ini...," desah Patungga dengan kepala sedikit menengadah ke atas.

Sedangkan Rangga hanya diam saja, tidak dapat lagi mengeluarkan suara walau hanya sedikit. Sementara Patungga dengan wajah cerah menghampiri lebih dekat lagi. Dan dia menjura memberi penghormatan pada Pendekar Rajawali Sakti. Maka tentunya sikap Patungga ini membuat Rangga jadi terhenyak.

TIGA

"Ah! Kenapa jadi bersikap seperti itu, Paman? Aku ini hanya orang biasa saja. Jadi tidak perlu bersikap sungkan," kata Rangga agak jengah melihat sikap yang ditunjukkan Patungga.

"Aku senang sekali kalau kau sudi menerima salam hormatku, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Patungga, tetap dengan tubuh agak membungkuk memberi salam penghormatan.

"Baiklah, Paman. Penghormatanmu kuterima," sambut Rangga agak terpaksa.

Pendekar Rajawali Sakti juga membungkukkan tubuhnya sedikit sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Sebentar mereka sama-sama saling memberi salam penghormatan, sebagaimana layaknya orang persilatan bertemu. Dan kini mereka sama-sama menegakkan tubuh kembali.

Sesaat suasana kaku terjadi di antara mereka. Rangga lalu melirik tubuh Kaligi yang terbujur kaku tidak bernyawa lagi. Pada saat yang bersamaan, Patungga juga menatap ke arah yang sama. Cukup lama juga mereka diam membisu, memandangi mayat Kaligi.

"Kau kenal dengannya, Paman?" tanya Rangga sambil melirik mayat Kaligi.

"Tidak," sahut Patungga singkat.

"Lalu, kenapa sampai bertarung dengannya?" tanya Rangga lagi.

"Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja dia muncul dan langsung menyerangku," sahut Patungga berterus terang.

"Aneh...," desis Rangga setengah menggumam.

"Bagiku tidak aneh, Pendekar Rajawali Sakti. Dia pasti salah seorang dari mereka yang tengah merongrong kewibawaan Kerajaan Jalaraja. Tadi dia sempat mengusir dan mengancamku," jelas Patungga singkat.

"Hm..., apa yang terjadi di negeri ini, Paman?" tanya Rangga jadi tertarik.

"Entahlah...," sahut Patungga mendesah. "Aku sendiri belum tahu benar, apa yang sedang terjadi di sini. Aku saja baru hari ini datang. Sedangkan Prabu Garajaga sendiri tidak banyak bercerita padaku. Tampaknya, dia juga tidak tahu banyak tentang semua yang tengah terjadi di negerinya ini."

"Hm.... Apa mungkin terjadi pemberontakan, Paman?" Rangga mencoba menduga.

"Belum bisa dikatakan begitu, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Patungga agak ragu-ragu.

"Maksud, Paman?"

"Kemungkinan juga, hanya gerombolan liar yang mencoba merongrong kewibawaan Prabu Garajaga. Tapi itu semua masih harus dibuktikan lebih dulu. Masih terlalu dini untuk menduga-duga," sahut Patungga, masih terdengar ragu-ragu nada suaranya.

Sementara, Rangga jadi terdiam. Dia sendiri baru saja sampai di Kerajaan Jalaraja ini, dan secara kebetulan melihat pertarungan antara Patungga melawan Kaligi. Mungkin kalau saja Kaligi tidak bertindak curang, belum tentu Pendekar Rajawali Sakti langsung turun tangan. Dan memang, Rangga tidak bisa melihat suatu kecurangan sedikit pun dalam sebuah pertarungan. Dan kalau tadi tidak cepat diambil tindakan, sudah barang tentu Patungga sekarang sudah terbujur kaku terkena senjata rahasia Kaligi.

"Oh, ya. Ke mana tujuanmu, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Patungga setelah beberapa saat terdiam.

"Ke mana saja, Paman. Aku hanya pengembara yang tidak tahu arah tujuan. Ke mana kaki melangkah, ke situlah tujuanku," sahut Rangga, seraya sedikit mengangkat bahunya.

"Aku banyak mendengar tentang dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan segala sepak terjangmu sangat kukagumi. Tindakanmu sungguh terpuji. Bukan hanya aku yang mendukung, tapi semua orang persilatan yang berada di jalan lurus sangat mengagumimu," puji Patungga langsung.

"Ah! Jangan berlebihan, Paman. Nanti kepalaku semakin besar saja. Dan lagi semua yang kulakukan hanya sekadar mengemban tugas pendekar. Tidak lebih...," sahut Rangga merendah.

"Jangan terlalu merendah, Pendekar Rajawali Sakti. Aku yakin, kalau kau sudi, Prabu Garajaga akan senang sekali bila kau kunjungi."

Rangga hanya tersenyum saja. Dia tahu, ke mana arah pembicaraan laki-laki setengah baya ini. Secara tidak langsung, Patungga mengharapkan dirinya sudi membantu Kerajaan Jalaraja dalam menghadapi para pengacau yang merongrong kewibawaan raja.

"Terima kasih, Paman. Mungkin lain kali aku bisa singgah ke istana. Tapi sekarang, aku masih ada urusan yang harus diselesaikan dulu," tolak Rangga, halus.

"Sayang sekali...," desah Patungga sedikit kecewa.

"Mudah-mudahan Sang Hyang Widi menuntun langkahku ke sini lagi, Paman," ucap Rangga memberi harapan.

Patungga hanya bisa tersenyum saja. Memang Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi dicegah. Maka setelah berbasa-basi sebentar, Rangga kemudian melangkah meninggalkan Patungga seorang diri. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah. Ayunan kakinya tampak ringan menuju selatan. Sementara, Patungga tetap berdiri memandangi, sampai punggung Pendekar Rajawali Sakti tidak terlihat lagi.

Pendekar Rajawali Sakti

********************

Matahari sudah hampir tenggelam, begitu Rangga tiba di kaki sebuah bukit batu yang cukup terjal dan berbahaya untuk didaki. Pendekar Rajawali Sakti tampak berdiri tegak memandangi bukit batu yang terjal ini. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling, mengamati sekitarnya. Tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Sepanjang mata memandang, hanya pepohonan dan batu-batuan saja yang tampak.

Tidak terdengar sedikit pun suara, kecuali desir angin saja yang mempermainkan dedaunan. Rangga melangkah perlahan-lahan menuju sebuah batu yang sangat besar dan berwarna hitam legam terbungkus lumut tebal. Pandangannya tidak berkedip sedikit pun, ke arah batu besar yang hanya satu-satunya di kaki bukit ini. Langkahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi dari batu yang sangat besar dan tinggi ini. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengamati.

"Hm..., sepi sekali. Apa ini bukan jebakan...?" gumam Rangga bicara pada diri sendiri.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Perlahan-lahan kepalanya mendongak ke atas. Dan ketika pandangannya tertuju ke puncak batu besar di depannya ini, terlihat sesosok tubuh berbaju jubah hitam panjang yang berkibar terhempas angin. Saat itu juga....

Slap!
"Hap...!"

Cepat Rangga melompat ke belakang, begitu tangan orang yang berdiri di atas batu itu mengibas ke arahnya. Dan dari telapak tangan yang terkembang, seketika melesat beberapa buah benda kecil berwarna hitam ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Beberapa kali Rangga berputaran menghindari serangan benda yang ternyata jarum-jarum kecil berwarna hitam itu. Dan baru saja kakinya menjejak tanah, kembali jarum-jarum kecil berhamburan deras sekali menghujaninya. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus berjumpalitan kembali, dan terus berlompatan sambil memutar tubuhnya beberapa kali ke belakang. Kemudian manis sekali kakinya menjejak kembali di atas tanah yang berbatu ini.

"Iblis Racun Hitam, hm...," Rangga menggumam pelan, langsung mengenali orang berjubah hitam yang masih berdiri tegak di atas batu.

"Ha ha ha...! Bagus...! Tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Rajawali Sakti. Pantas, begitu banyak orang yang gentar bila mendengar julukanmu. Tapi hari ini, kedatanganmu hanya untuk menyerahkan nyawa saja, Bocah!" terdengar lantang sekali suara Iblis Racun Hitam.

"Iblis Racun Hitam! Tak kusangka orang sekosen seperti dirimu hanya bisa bersembunyi seperti tikus! Bahkan bisanya hanya menyembunyikan perempuan. Bebaskan Pandan Wangi. Dan kita bisa bertarung sebagai laki-laki...!" tantang Rangga langsung, tidak kalah lantang suaranya.

"Phuih! Kau terlalu pongah, Pendekar Rajawali Sakti. Aku bukan pengecut..!"

"Kalau bukan pengecut, kenapa harus menawan Pandan Wangi? Sekarang kau berurusan denganku, Iblis Racun Hitam. Jangan bawa-bawa Pandan Wangi dalam persoalan ini. Bukankah lebih jantan kalau kita bertarung?" Rangga langsung memanasi.

"Bocah sombong...! Terimalah kematianmu. Hiyaaat..!"

Sambil menggeram memaki, Iblis Racun Hitam kembali cepat mengebutkan kedua tangannya beberapa kali. Dan lagi-lagi, Rangga hams berjumpalitan menghindari serangan jarum-jarum hitam yang beracun itu.

"Hiyaaat...!"

Walaupun dihujani ribuan jarum hitam beracun, tapi sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak kelabakan. Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang sesekali diselingi jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', serta pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, tidak satu pun dari jarum-jarum hitam beracun itu yang sampai mengenai tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Bahkan menyentuh ujung rambutnya saja, terasa sulit bagi Iblis Racun Hitam. Sampai Iblis Racun Hitam menghentikan serangan, tidak satu pun dari jarum-jarum beracunnya yang mengenai sasaran. Sementara Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali berdiri tegak, setelah tidak lagi mendapat serangan jarum-jarum beracun tadi.

"Hanya sampai di situkah keahlianmu, Iblis Racun Hitam...?" Rangga mencoba memanasi.

"Phuih!" Iblis Racun Hitam menyemburkan ludahnya dengan sengit.

Sebentar Iblis Racun Hitam menatap Pendekar Rajawali Sakti dengan sorotan mata tajam memerah. Kemudian tangan kanannya dihentakkan ke atas. Saat itu juga...

Srak!
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hhh...!"

Rangga hanya mendengus saja sedikit, begitu di sekelilingnya bermunculan beberapa orang berpakaian serba hitam dengan senjata tongkat, yang kedua ujungnya berbentuk mata tombak. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya perlahan-lahan, mengamati sepuluh orang berpakaian serba hitam yang kini sudah rapat mengepungnya. Mereka juga bergerak perlahan-lahan, mengelilingi pendekar muda dari Karang Setra itu.

"Bunuh bocah keparat itu...!" teriak Iblis Racun Hitam lantang menggelegar memberi perintah.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Belum lagi hilang teriakan Iblis Racun Hitam, sepuluh orang berpakaian serba hitam sudah mengepung rapat, langsung berlompatan menyerang.

"Hup! Yeaaah...!"

Rangga yang tidak mau lagi tanggung-tanggung menghadapi Iblis Racun Hitam dan begundal-begundalnya ini, langsung saja melesat mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat terakhir. Begitu cepat lesatannya, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Dan dua kali tangannya yang terentang lebar dikibaskan ke samping.

Tepat pada saat itu, seorang yang berada paling dekat menghunjamkan tongkat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, begitu cepat Rangga mengibaskan tangannya, sehingga membentur tongkat yang ujungnya hampir menghunjam dada. Seketika itu juga....

Trak!
"Yeaaah...!"

Belum lagi lawannya bisa menyadari apa yang terjadi, Pendekar Rajawali Sakti sudah memberi satu kibasan tangan kanan yang begitu cepat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat kibasannya, sehingga orang yang menyerangnya tidak sempat lagi berkelit menghindar. Sehingga....

Prak!
"Aaakh...!"

Jeritan panjang yang melengking tinggi seketika terdengar menyayat memecah kesunyian di kaki bukit batu ini, ketika sapuan tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam batok kepala orang itu. Tampak orang berpakaian serba hitam itu terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang pecah terkena kibasan lewat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dari Rangga. Darah kontan berhamburan deras dari sela-sela jari tangannya.

Sementara itu, Rangga tidak sempat lagi memperhatikan lawannya yang sudah ambruk menggelepar meregang nyawa. Sementara dua orang pengepungnya, sudah melesat menyerang dari arah samping kanan dan kiri. Cepat Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sambil melepaskan satu pukulan menggeledek, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, yang disusul satu tendangan keras. Begitu cepat gerakannya, sehingga dua orang yang menyerangnya secara bersamaan tidak dapat lagi menghindarinya.

Dan kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi saling susul, yang kemudian disambut oleh ambruknya dua orang berpakaian serba hitam itu. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan tangan berada di depan dada. Kini, tinggal tujuh orang lagi lawannya. Dan mereka tampaknya mulai gentar menghadapi Rangga yang dalam beberapa gebrakan saja sudah menewaskan tiga orang.

"Goblok! Seraaang...!"

Iblis Racun Hitam yang masih berada di atas batu, jadi tidak kuasa lagi menahan kegeramannya melihat tiga orang anak buahnya tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja. Sementara, tujuh orang lainnya kelihatan sudah gentar dan masih kelihatan ragu-ragu untuk menyerang. Hal ini tentu saja membuat Iblis Racun Hitam jadi semakin berang saja.

"Serang dia, Goblok!" bentak Iblis Racun Hitam, kalap.

"Hiyaaat...!"

Tiba-tiba saja satu orang yang berada di belakang Rangga melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar. Namun serangan dari belakang itu tidak membuat Rangga jadi terkejut. Dengan gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti meliukkan tubuhnya sedikit ke kanan. Dan begitu merunduk, kaki kirinya cepat sekali menghentak ke belakang. Begitu cepat hentakannya, sehingga orang yang menyerangnya dari belakang itu jadi terhenyak kaget tidak menyangka. Dia berusaha menghindar, tapi terlambat Maka....

Des!
"Akh...!"

Gerakan orang itu memang kalah cepat dan hentakan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, tendangan ke belakang itu tepat menghantam dadanya hingga remuk. Jeritan panjang melengking tinggi pun kembali terdengar, disusul ambruknya satu orang lagi. Rangga kembali berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.

Melihat seorang lagi tewas dengan begitu mudah, enam orang pengikut Iblis Racun Hitam jadi semakin tidak berani menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa bicara apa-apa lagi, mereka langsung memutar tubuhnya dan cepat berlari meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.

"Setan...! Mampus kalian semua! Hih! Yeaaah...!"

Iblis Racun Hitam jadi berang setengah mati melihat anak buahnya mencoba melarikan diri. Sambil berteriak keras menggelegar, kedua tangannya cepat dikebutkan. Dan seketika itu juga, puluhan jarum-jarum berwarna hitam yang mengandung racun itu berhamburan cepat sekali bagai kilat. Dan....

Crab!
Bres!
"Akh...!"
"Aaa...!"

Jeritan-jeritan panjang pun terdengar saling sambut. Tampak enam orang yang semuanya berpakaian serba hitam itu jadi terjengkang terhunjam jarum-jarum hitam yang dilepaskan Iblis Racun Hitam. Mereka langsung ambruk bergelimpangan, dan menggelepar sambil menggerung meregang nyawa. Tampak tubuh mereka langsung membiru, langsung tumbuh benjolan-benjolan yang kemudian pecah seperti gunung memuntahkan lahar. Dari benjolan-benjolan itu menyembur cairan kuning kehijauan yang berbau busuk.

Teriakan-teriakan kesakitan pun terus terdengar. Sementara, Rangga yang menyaksikan kekejaman Iblis Racun Hitam itu jadi mengerutkan gerahamnya. Dan tidak lama kemudian, enam orang itu menggeletak diam tidak bergerak-gerak lagi. Tubuh mereka hancur mengeluarkan cairan kuning kehijauan yang berbau busuk seperti mayat sudah beberapa hari.

"Iblis...!" desis Rangga menggeram muak

Kekejaman Iblis Racun Hitam memang bukan hanya bisa didengar saja. Rangga yang menyaksikan sendiri kekejaman Iblis Racun Hitam itu jadi tidak dapat lagi menahan diri. Terlebih, dia teringat nasib Pandan Wangi yang sampai sekarang ini belum jelas di tangan Iblis Racun Hitam. Dia khawatir terjadi sesuatu pada kekasihnya.

"Iblis Racun Hitam, turun kau...! Hadapi aku...!" bentak Rangga lantang menggelegar.

"Ha ha ha...! Kenapa harus berteriak-teriak, Pendekar Rajawali Sakti? Kau pasti sudah tidak sabar ingin melihat kepala kekasihmu, bukan? Nanti akan kuberikan kepalanya padamu, Pendekar Rajawali Sakti."

"Setan keparat...! Kalau kau sampai berani menyentuh Pandan Wangi, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu, Iblis Racun Hitam!" desis Rangga mengancam geram.

"Ha ha ha...! Kau terlalu besar mulut, Anak Muda. Percuma saja banyak bicara. Sekarang, Pandan Wangi sudah senang. Dia tidak akan mungkin mau ikut denganmu lagi. Dia sudah senang di neraka sekarang.... Ha ha ha...!"

"Iblis...! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"

EMPAT

Rangga kali ini tidak dapat lagi menahan kemarahannya, mendengar kata-kata Iblis Racun Hitam. Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat bagai kilat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh tingkat sempurna. Begitu cepat lesatannya, sehingga membuat Iblis Racun Hitam yang berada di atas batu jadi terperangah.

"Hap...!"

Belum juga Iblis Racun Hitam bisa berbuat sesuatu, tahu-tahu Rangga sudah berdiri tepat sekitar dua langkah di depannya. Dan saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras dan cepat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu sempurnanya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, hingga membuat kepalan tangannya jadi memerah bagai terbakar.

"Haiiit...!"

Tapi, Iblis Racun Hitam bukanlah orang sembarangan. Begitu mendapat serangan kilat tak terduga ini, cepat-cepat tubuhnya melenting berputar ke belakang. Hingga, serangan Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasaran. Beberapa kali laki-laki tua berbaju jubah hitam pekat itu berputaran di udara. Kemudian dengan gerakan manis sekali kakinya menjejak kembali di atas batu yang ternyata permukaannya cukup lebar dan datar ini.

"Hebat...! Memang tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Rajawali Sakti, Bocah. Gerakanmu memang cepat seperti burung rajawali. Tapi, itu bukan jaminan untuk bisa mengalahkan aku!" terasa begitu dingin nada suara Iblis Racun Hitam.

"Bisa jadi. Tapi lebih bagus daripada banyak omong sepertimu!" sahut Rangga, dingin.

"He he he...! Terlalu mudah bagiku untuk membunuhmu, Bocah. Semudah membalikkan telapak tangan! Tapi, bukan itu yang kuinginkan. Aku hanya ingin melihat kau mati secara perlahan-lahan, seperti kekasihmu yang keras kepala itu...!"

"Iblis...!" suara Rangga semakin dingin menggetarkan.

Kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti sudah memerah bagai sepotong besi terbakar dalam tungku. Wajahnya juga kelihatan merah menahan kemarahan yang amat sangat. Perlahan-lahan kedua kepalan tangannya diangkat hingga sejajar pinggang. Tapi begitu hendak melontarkan serangan yang dahsyat, mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti menghentikan gerakan tangannya yang baru saja bergerak maju sedikit.

Hm.... Aku tidak boleh terpancing. Dia pasti hanya membual saja, agar aku terpancing! Gumam Rangga dalam hati, langsung bisa menyadari keadaan.

Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke belakang dua tindak. Dan bibirnya kini menyunggingkan senyum. Raut wajahnya yang semula memerah, kini terlihat cerah seperti biasa. Perubahan yang begitu cepat pada diri Pendekar Rajawali Sakti, membuat kening Iblis Racun Hitam jadi berkerut.

"Hih!"
Wut!

Iblis Racun Hitam cepat mengeluarkan senjatanya yang berbentuk cambuk buntut kuda. Maka dari ujung-ujung cambuk itu mengepulkan asap hitam, begitu dikebutkan. Pendekar Rajawali Sakti sadar kalau cambuk itu mengandung racun yang sangat berbahaya dan mematikan. Maka segera saja jalan pemapasannya dipindahkan ke perut. Sementara kedua tangannya sudah terkepal erat. Perlahan kedua kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti berubah menjadi merah membara seperti besi terbakar dalam tungku.

"Hari ini kau akan mampus, Pendekar Rajawali Sakti!" desis Iblis Racun Hitam dingin menggetarkan.

"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja, seperti tidak menanggapi ancaman laki-laki tua berjubah hitam ini.

Sementara, Iblis Racun Hitam sudah menggeser kakinya sedikit ke kanan. Beberapa kali cambuknya dikebutkan ke depan, sehingga mengepul asap hitam yang mengandung racun mematikan. Dari gerakan-gerakannya itu, Rangga tahu kalau lawannya ini sedang mencoba daya tahannya menghadapi racun dari senjatanya itu. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sendiri kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali. Bahkan senyumnya semakin terlihat lebar. Dan dia tetap berdiri tenang, walaupun tetap siap menghadapi serangan.

"Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Iblis Racun Hitam melesat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Cambuknya yang berbentuk buntut kuda itu langsung dikebutkan, tepat ke wajah tampan pemuda berbaju rompi putih ini. Sementara Rangga masih tetap diam sesaat. Lalu cepat sekali tubuhnya mengegos, diimbangi gerakan kepala menghindari serangan Iblis Racun Hitam.

Saat itu juga, Rangga menghentakkan tangan kanannya sambil miring ke kiri. Hentakan yang begitu cepat dan mengarah ke perut itu sama sekali tidak diduga Iblis Racun Hitam. Akibatnya, dia jadi terperangah setengah mati.

"Hup!"

Cepat-cepat Iblis Racun Hitam melompat ke belakang menghindari serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu kakinya menjejak permukaan batu, cambuknya cepat dikebutkan ke wajah pemuda lawannya ini. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti hanya mengegoskan sedikit kepalanya, membiarkan ujung-ujung cambuk itu lewat di depan hidungnya. Seketika, asap hitam mengepul menyelimuti wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi hanya sebentar saja, asap hitam itu lenyap terbawa angin.

"Heh...?!"

Iblis Racun Hitam jadi kaget setengah mati melihat lawannya masih tetap berdiri tegak. Padahal setiap lawan yang dihadapinya, tidak ada yang sanggup menentang asap beracun dari cambuknya. Tapi, Rangga sama sekali tidak bergeming sedikit pun juga. Bahkan sepertinya begitu menikmati hembusan asap beracun yang keluar dari cambuk ekor kuda Iblis Racun Hitam itu.

"Setan...! Ilmu apa yang dipakai untuk menangkal racunku...?"

Iblis Racun Hitam jadi bertanya-tanya sendiri melihat Rangga sama sekali tidak terpengaruh oleh asap beracunnya. Padahal, jelas sekali kalau wajah Pendekar Rajawali Sakti tertutup asap beracun dari cambuk ekor kuda miliknya, walaupun hanya sesaat saja. Tapi Rangga sama sekali tidak mengalami perubahan sedikit pun juga. Bahkan tetap berdiri tegak dengan bibir terus menyunggingkan senyum. Sehingga, membuat Iblis Racun Hitam semakin berang bercampur keheranan.

"Phuih! Hiyaaa...!"

Sambil menyemburkan ludah, Iblis Racun Hitam kembali melesat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dia seperti tidak peduli kalau pemuda itu seperti memiliki kekebalan terhadap racun. Dengan cepat cambuknya dikebutkan beberapa kali. Dan Rangga menghadapinya hanya menggunakan jurus 'Sembilan Lahgkah Ajaib', tanpa membalas sedikit pun juga.

"Hih! Hiyaaa...!" Jurus demi jurus cepat berlalu. Namun pertarungan itu masih terus berlangsung sengit. Dan tampak jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti berada di atas angin. Meskipun tampaknya Iblis Racun Hitam sudah mengerahkan seluruh kemampuannya, tapi belum juga bisa mendesak lawannya ini. Bahkan beberapa kali pukulan yang dilepaskan Rangga berhasil bersarang di tubuh orang tua ini.

"Hih! Yeaaah...!"

Saat itu, Rangga meliuk menghindari sabetan cambuk hitam yang semakin banyak mengeluarkan asap hitam beracun. Lalu lewat gerakan yang manis sekali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar dengan berpijak pada satu kaki. Dan bagaikan kilat tubuhnya melesat tinggi ke atas. Maka...

"Yeaaah...!"
Sret!
"Heh...?!"

Kedua bola mata Iblis Racun Hitam jadi terbeliak lebar, begitu Rangga mencabut pedang pusakanya yang sejak tadi tersimpan dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru yang menyilaukan mata, langsung menyemburat menerangi sekitarnya dari mata pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga lenyap rasa terkejut Iblis Racun Hitam, Rangga sudah meluruk deras mempergunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.

"Hiyaaat...!"
Wut!
"Heh...?! Ups...!"

Iblis Racun Hitam jadi terhenyak melihat serangan Rangga begitu cepat dan sama sekali sulit diikuti pandangan mata. Cepat-cepat dia melompat ke samping sambil meliukkan tubuhnya, menghindari sambaran pedang yang memancarkan cahaya biru terang menyilaukan. Dan tiba-tiba saja Iblis Racun Hitam merasa jiwanya jadi terpecah-pecah. Perhatiannya jadi bercabang-cabang. Dia sendiri tidak tahu, apa penyebabnya. Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga cepat memutar pedangnya dengan cepat dan langsung dibabatkan ke dada Iblis Racun Hitam. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Iblis Racun Hitam yang baru saja menjejakkan kakinya tidak sempat lagi berkelit menghindar. Apalagi, saat ini jiwa laki-laki tua itu sudah terpecah-pecah.

Cras!
"Akh...!"

Iblis Racun Hitam jadi terpekik, begitu ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti merobek lebar dadanya. Tampak laki-laki tua itu terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang sobek mengucurkan darah akibat sabetan pedang berpamor sangat dahsyat milik Pendekar Rajawali Sakti.

"Ukh...!"

Iblis Racun Hitam jadi mengeluh. Sebentar dilakukannya beberapa gerakan dengan kedua tangan. Lalu, diberikannya beberapa totokan di sekitar luka di dadanya. Seketika darah berhenti mengalir.

"Phuih...! Hiyaaa...!"

Tanpa mempedulikan dadanya yang sobek akibat terkena sabetan pedang Pendekar Rajawali Sakti, Iblis Racun Hitam kembali melesat menyerang dahsyat. Cambuknya berkelebatan begitu cepat, bagaikan menjadi beberapa buah mengurung ruang gerak pendekar muda itu. Tapi keadaan seperti ini tidak berlangsung lama. Tepat di saat Iblis Racun Hitam mengebutkan cambuknya ke depan, cepat sekali Rangga mengibaskan pedangnya ke depan dada. Begitu cepat peristiwa yang terjadi, sehingga Iblis Racun Hitam sama sekali tidak sempat mengetahuinya. Dan...

Cras!
Bret!
"Akh...!"

Kembali Iblis Racun Hitam terpekik, begitu cambuknya membentur pedang di tangan Rangga. Cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Dan saat itu juga kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat cambuknya tinggal sepotong. Seakan-akan, dia tidak percaya kalau senjata kebanggaannya sama sekali tidak berdaya menghadapi pedang bercahaya biru terang yang berada dalam genggaman tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat...! Hih!"

Dengan perasaan geram Iblis Racun Hitam membuang potongan cambuknya. Kemudian tubuhnya langsung melesat menyerang, melepaskan satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Haiiit..!"

Tapi Rangga yang memang sudah sejak tadi siap menghadapi serangan, mudah sekali bisa menghindari pukulan dahsyat dari Iblis Racun Hitam ini. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya. Saking cepatnya kibasan pedang bercahaya biru itu, sehingga Iblis Racun Hitam tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan...

Cras!
"Aaakh...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat, tepat di saat ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas batang leher Iblis Racun Hitam.

"Hup!"

Pada saat yang hampir bersamaan, Pendekar Rajwali Sakti melompat ke belakangnya sambil memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Dan seketika itu juga, cahaya biru yang memancar dari pedang Rangga lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Iblis Racun Hitam tampak masih berdiri dengan kedua bola mata terbeliak lebar dan mulut ternganga tanpa mengeluarkan suara.

Tapi hanya sebentar saja laki-laki tua berjubah hitam itu berdiri. Sesaat kemudian, tubuhnya terlihat limbung dan jatuh bergelimpangan di atas batu besar yang datar permukaan atasnya ini. Tampak kepalanya menggelinding terpisah dari lehernya. Darah langsung muncrat berhamburan keluar dengan deras sekali dari leher yang buntung tidak berkepala lagi. Sementara, Rangga masih berdiri tegak memandangi tubuh Iblis Racun Hitam yang sudah terbujur kaku tidak bernyawa lagi.

"Hm.... Di mana dia menyembunyikan Pandan Wangi...?" gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak terlihat tanda-tanda tempat persembunyian Iblis Racun Hitam di sekitarnya. Sepanjang mata memandang, hanya pepohonan dan batu-batu saja yang tampak. Kembali Pendekar Rajawali Sakti menatap tubuh Iblis Racun Hitam yang sudah terbujur kaku tidak bernyawa lagi. Namun tidak lama kemudian, kepala Rangga terdongak ke atas. Tampak seekor burung berbulu putih keperakan tengah melayang-layang di atas awan, tepat di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Rajawali Putih...," desis Rangga hampir tidak percaya dengan pandangannya sendiri.

Beberapa saat Rangga mengamati burung yang berputar-putar di atas kepalanya. Dia yakin betul kalau burung itu adalah Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang bukan hanya menjadi tunggangan Pendekar Rajawali Sakti, tapi juga gurunya dalam mempelajari ilmu olah kanuragan peninggalan Pendekar Rajawali yang hidup lebih dari seratus tahun lalu.

"Suiiit...!"

"Khraaagkh...!"

Senyuman lebar terkembang di bibir Rangga, saat mendengar suara serak yang keras menggelegar di angkasa. Suatu suara yang sudah begitu dikenalnya. Sementara dari angkasa, meluncur seekor burung rajawali berbulu putih keperakan. Burung itu semakin dekat, dan semakin jelas sekali terlihat bentuknya.

"Khraaagkh...!"

Burung rajawali raksasa berwarna putih keperakan itu mendarat ringan sekali di dekat batu besar, tempat Rangga berdiri di atasnya. Burung raksasa yang dikenal sebagai Rajawali Putih itu menjulurkan kepalanya ke atas batu. Rangga bergegas menghampiri, dan langsung memeluk lehernya. Seakan-akan, dia hendak melepaskan rindu karena sudah terlalu lama tidak saling bertemu. Cukup lama juga Rangga memeluk leher Rajawali Putih, kemudian perlahan-lahan melepaskannya.

"Kau datang sendiri tanpa diminta, Rajawali. Ada apa...?" tanya Rangga langsung.

Kelihatannya Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa mengetahui perasaan burung rajawali raksasa ini. Dan memang, di antara mereka terjalin ikatan batin yang sangat kuat. Sehingga, mereka bisa melihat perasaan hati satu sama lain.

"Khrrr...!"

Rajawali Putih hanya mengkirik kecil dengan pandangan mata terlihat begitu sayu. Rangga jadi tertegun juga melihat sikap burung raksasa yang tidak seperti biasanya ini. Seakan-akan, burung itu tengah memendam sesuatu yang membuatnya jadi murung.

"Kau punya persoalan, Rajawali?" tanya Rangga.

Rajawali Putih hanya diam saja. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata sendu. Sedangkan Rangga merasakan kalau ada sesuatu yang terjadi pada diri burung tunggangannya yang juga menjadi gurunya ini. Dengan lembut ditepuk-tepuknya leher burung itu. Sedangkan Rajawali Putih memalingkan kepala ke belakang, dan mematuki punggungnya sendiri. Rangga tahu, Rajawali Putih memintanya naik.

"Hup!"

Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung burung raksasa ini. Dan sebentar kemudian, burung itu sudah melambung tinggi ke angkasa, dengan seorang pemuda berada di punggungnya.

LIMA

Kening Rangga jadi berkerut saat menyadari kalau Rajawali Putih membawanya menuju Istana Kerajaan Jalaraja. Dari ketinggian di atas awan seperti ini, memang sulit untuk bisa melihat jelas ke bawah bagi orang biasa. Tapi Rangga sama sekali tidak mengalami kesulitan. Dengan mempergunakan aji 'Tatar Netra', dia bisa melihat jelas dari jarak jauh.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti belum tahu mak-sud Rajawali Putih membawanya ke Istana Jalaraja. Dan keningnya semakin dalam berkerut, melihat Rajawali Putih hanya berputar-putar saja di atas bangunan istana yang megah itu. Dari angkasa ini, tampak seorang wanita cantik berbaju ketat warna hijau tengah berbicara dengan dua orang laki-laki di dalam taman belakang istana. Dan tidak seberapa jauh dari mereka, terlihat seorang laki-laki tengah bersembunyi di balik sebatang pohon beringin yang sangat besar. Rangga tahu, siapa laki-laki setengah baya yang bersembunyi di balik pohon itu.

"Paman Patungga. Hm.... Ada apa dia bersembunyi di sana...?" Rangga menggumam, bertanya-tanya pada diri sendiri.

Rangga jadi tertarik oleh keadaan di dalam taman belakang Istana Jalaraja itu. Sebentar ditatapnya Rajawali Putih yang juga tengah memperhatikan orang-orang yang berada dalam taman itu. Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja begitu Rajawali Putih membawanya pergi dari atas istana yang megah ini. Rangga tahu, Rajawali Putih membawanya ke arah selatan. Lalu tidak berapa lama kemudian, burung rajawali raksasa itu menukik turun. Ringan sekali kakinya mendarat di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas, tidak jauh dari perbatasan kota Kerajaan Jalaraja. Rangga bergegas turun dari punggung burung rajawali putih ini.

"Apa yang terjadi di Jalaraja, Rajawali? Dan kenapa kau kelihatan sedih...?" tanya Rangga langsung, begitu kakinya menjejak tanah.

"Khrrr...!"

"Kau ingin aku menyelidikinya, Rajawali?"

"Khraaagkh...!"

"Tapi, Rajawali.... Aku sendiri masih harus mencari Pandan Wangi. Dia hilang diculik Iblis Racun Hitam. Aku tidak tahu, di mana Iblis Racun Hitam menyembunyikannya," sergah Rangga mengemukakan persoalannya sendiri.

"Khrrrk...!"

"Kau tahu di mana Pandan Wangi, Rajawali?" Rajawali Putih mengangguk.

"Oh! Di mana...?"

Rajawali Putih menghentak-hentakkan sebelah kakinya ke tanah. Rangga mengamati sesaat, dan keningnya langsung berkerut. Wajah yang semula cerah, kini kembali terselimut mendung. Bisa diketahui, apa yang dimaksud Rajawali Putih. Memang, Pandan Wangi berada di Kerajaan Jalaraja ini. Tapi, di mana pastinya?

"Kenapa Pandan Wangi bisa sampai berada di sana, Rajawali?" tanya Rangga keheranan sendiri.

"Khraaagkh...!"

"Baiklah, Rajawali. Akan kuselidiki semua yang ada di Jalaraja ini," kata Rangga pelan. "Aku berharap, Pandan Wangi bisa kutemukan."

"Khraaagkh...!"

"Kau akan pergi, Rajawali?"

Rajawali Putih mengangguk.

"Tapi, kuminta jangan jauh-jauh dari sini. Mungkin aku memerlukanmu nanti," pesan Rangga.

"Khraaagkh...!"

Rangga menepuk leher burung raksasa itu beberapa kali, kemudian melangkah mundur menjauh. Dan tidak lama kemudian, Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa sambil memperdengarkan suaranya yang serak dan keras menggelegar bagai guntur. Sebentar saja burung rajawali raksasa itu sudah tidak terlihat, menembus awan yang cukup tebal dan agak menghitam di langit.

Beberapa saat Rangga masih berdiri mematung memandang ke atas. Kemudian kakinya baru melangkah meninggalkan padang rumput ini, setelah Rajawali Putih benar-benar tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah dengan kepala dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang masih terlalu sulit terjawab. Rangga terus melangkah perlahan-lahan menuju ke Kotaraja Kerajaan Jalaraja.

"Hhh...! Dari mana harus kumulai...? Semuanya kini jadi buntu lagi. Aku tidak tahu, di mana Pandan Wangi sekarang. Tapi, aku juga tidak bisa menolak permintaan Rajawali Putih. Hhh...! Mudah-mudahan semuanya bisa selesai dalam waktu singkat," Rangga menggumam, bicara pada diri sendiri.

Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti terhalang di perbatasan Kotaraja Kerajaan Jalaraja. Ternyata sekitar tiga puluh orang berpakaian serba hitam tengah berjajar menghadang jalan dengan senjata golok tergenggam di tangan. Rangga jadi tertegun melihat sikap mereka yang sama sekali tidak menunjukkan persahabatan. Bahkan jelas menghalangi jalannya.

Belum lagi Rangga bisa membuka suara, tiba-tiba terlihat sebuah bayangan hijau berkelebat begitu cepat dari belakang orang-orang berpakaian serba hitam ini. Dan tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri seseorang berbaju ketat warna hijau dengan bagian wajah mengenakan cadar yang juga berwarna hijau. Dari bentuk tubuhnya yang ramping, bisa diketahui kalau orang ini pasti wanita.

"Hebat...! Selesai membunuh orang, sekarang kau masuk ke sarang macan. Apa nyawamu rangkap, heh...?! Mau apa kau datang ke sini?" terdengar ketus sekali nada suara wanita bercadar hijau itu.

Kata-kata yang ketus itu, tentu saja membuat Rangga jadi terperangah. Tidak disangka kalau pertarungan dengan Iblis Racun Hitam tadi cepat diketahui. Padahal, di tempat pertarungan itu tidak terlihat seorang pun. Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, siapa wanita bercadar hijau ini...?

"Maaf, Nisanak. Aku tidak tahu, apa maksud pembicaraanmu," ujar Rangga mencoba bersikap' ramah.

"Huh! Jangan coba-coba bermanis mulut denganku, Pendekar Rajawali Sakti!"

"Heh...?! Kau tahu namaku...?!"

Untuk kedua kalinya Rangga tersentak kaget setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau wanita bercadar hijau ini sudah mengetahui namanya.

Walaupun hanya julukannya saja yang diketahui, tapi itu sudah membuatnya jadi berpikir keras. Siapa sebenarnya wanita ini...? Apa yang tengah terjadi di Kerajaan Jalaraja ini sebenarnya? Berbagai macam pertanyaan langsung berkecamuk dalam benak Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, semuanya masih terlalu sulit dicari jawabannya.

"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Semua rakyat Jalaraja tidak menginginkanmu ada di sini. Sebaiknya, segeralah pergi sebelum kuambil tindakan kasar," dingin sekali suara wanita bercadar itu terdengar.

"Hm.... Siapa kau ini, Nisanak? Apakah kau datang dari istana?" tanya Rangga dengan kening berkerut.

"Kau tidak berhak bertanya, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya, cepatlah pergi sebelum kuambil tindakan kekerasan!" sentak wanita bercadar itu kasar.

Kening Rangga semakin berkerut saja mendengar kata-kata bernada mengancam itu. Sesaat diamatinya wanita yang menutupi wajah dengan cadar dari kain berwarna hijau itu. Kemudian pandangannya beralih, mengamati orang-orang berpakaian serba hitam yang berada di belakang wanita terselubung teka-teki ini.

Dari pakaiannya, jelas sekali kalau mereka bukan para prajurit Kerajaan Jalaraja. Bahkan lebih pantas kalau digolongkan ke dalam orang-orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan. Sementara itu, mereka sudah mulai bergerak cepat. Dan tahu-tahu mereka semua sudah mengepung rapat Pendekar Rajawali Sakti dari segala penjuru mata angin. Sedangkan Rangga seperti tidak peduli, dan terus mengamati satu persatu, seperti sedang mengukur tingkat kepandaian mereka.

"Hm...."

Entah kenapa, Rangga jadi menggumam kecil melihat dirinya sudah terkepung rapat. Sedikit pun tidak ada celah untuk bisa meloloskan diri. Sementara, wanita bercadar hijau yang masih berada sekitar enam langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti menatapnya dengan sinar mata begitu tajam dan dingin. Saat itu pandangan Rangga terarah ke wanita itu, sehingga kini mereka langsung bertatapan tajam. Entah kenapa, tiba-tiba saja aliran darah dalam tubuh Pendekar Rajawali Sakti jadi berdesir kencang.

"Hhh...!"

Sedikit Rangga bergidik sambil menghembuskan napas berat. Bukannya Pendekar Rajawali Sakti tidak sanggup menentang soroton mata wanita itu, tapi merasakan seperti ada sesuatu pada sorot mata tajam dan menusuk itu. Seakan-akan, Rangga mengenali sepasang bola mata yang sebenarnya sangat indah itu. Dan mendadak saja....

"Pandan Wangi...," desis Rangga, seperti tidak sadar.

Dan saat itu juga...
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup! Yeaaah...!"

Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba wanita bercadar hijau itu berteriak lantang memberi perintah. Seketika itu juga, orang-orang yang berpakaian serba hitam berlompaton menyerang dengan golok berkelebat mengancam nyawa Pendekar Rajawali Sakti.

Cepat Rangga memutar tubuhnya, dan langsung melepaskan pukulan keras beruntun tanpa disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga sukar sekali diikuti mata biasa. Dan saat itu juga, terdengar jeritan panjang yang saling sambut, disusul berpentalannya beberapa orang sekaligus.

"Hup! Hiyaaa...!"

Rangga yang mendapat kesempatan sangat sedikit ini, tidak menyia-nyiakannya. Dengan cepat tubuhnya melenting ke atas, lalu bagaikan kilat meluncur deras ke arah wanita bercadar hijau. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat wanita bercadar hijau itu jadi terperangah, seperti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya ini.

"Ikh...!"

Tepat di saat tangan kanan Rangga mengibas ke wajah, wanita bercadar hijau itu cepat-cepat menarik kepala ke belakang. Sehingga, wajahnya terhindar dari sambaran tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu bergegas dia melompat ke belakang beberapa langkah, mencoba untuk menjaga jarak.

Tapi, tampaknya Rangga sudah tidak lagi memberi kesempatan. Begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya langsung melesat bagai seekor burung hendak menyambar mangsa. Dan memang, saat ini Pendekar Rajawali Sakti menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat gerakannya, hingga terasa begitu sulit diikuti pandangan mata biasa. Dan belum juga wanita bercadar hijau itu bisa berbuat sesuatu, kembali tangan kanan Rangga sudah menjulur ke arah wajah.

"Setan! Ikh...!"

Sambil memaki sengit, wanita bercadar hijau itu kembali melompat ke belakang, mencoba menghindari sergapan tangan Pendekar Rajawali Sakti pada wajahnya. Dan kali ini, pedangnya yang tergantung di pinggang langsung dicabut, lalu cepat sekali dikebutkan ke depan. Tapi pada saat yang bersamaan, Rangga sudah menarik tangannya kembali. Dan tanpa diduga sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kakinya ke depan, dengan tubuh sedikit miring ke kiri.

"Yeaaah...!"

Tendangan yang begitu cepat dan tidak diduga sama sekali ini, membuat wanita bercadar hijau itu jadi terperanjat setengah mati. Dicobanya untuk meliukkan tubuhnya, menghindari tendangan. Tapi sungguh di luar dugaan sama sekali, manis sekali kaki Pendekar Rajawali Sakti memutar ke atas, dan langsung cepat menghentak ke dada.

Diegkh!
"Akh...!"

Wanita bercadar hijau itu jadi terpekik, begitu telapak kaki Rangga menghantam telak dadanya. Akibatnya, jubahnya terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Walaupun Rangga melepaskan tendangan tanpa disertai pengerahan tenaga dalam, tapi dilepaskannya sangat keras. Sampai-sampai lawan terpental sejauh dua batang tombak.

"Hap!"

Baru saja Rangga menyilangkan kedua tangan di depan dada, mendadak saja telinganya yang tajam mendengar suara mendesir halus dari arah belakang. Cepat tubuhnya merunduk ke depan, dan kaki kanannya langsung menghentak ke belakang dengan kecepatan dahsyat. Saat itu juga....

Buk!
"Akh...!"

Terdengar pekikan agak tertahan dari belakang Pendekar Rajawali Sakti. Tampak seorang berpakaian hitam terpental balik ke belakang dengan tangan kiri memegangi dada yang seperti remuk, begitu terkena tendangan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Sementara itu, Rangga sudah memutar tubuhnya ke kiri. Dan saat itu, tiga orang berpakaian serba hitam sudah berlompatan menyerang secara bersamaan.

"Hap! Hiyaaa...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera saja melenting ke udara. Sementara, kedua tangannya langsung terentang lebar ke samping. Lalu dengan gerakan cepat dan indah sekali, kedua tangannya digerakkan, diimbangi gerakan tubuh yang manis sekali. Begitu cepat gerakannya dalam penggunaan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Akibatnya, tiga orang lawan tidak dapat lagi mengetahui arah gerakan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Maka kibasan tangan itu langsung mendarat keras sekali di tubuh mereka.

Jeritan-jeritan kesakitan pun seketika terdengar saling sambut, disusul terpentalnya tiga orang berpakaian serba hitam itu. Sementara, Rangga sudah kembali berdiri tegak dengan kedua kakinya yang kokoh, berhadapan dengan wanita bercadar hijau yang sudah bangkit berdiri lagi setelah terkena tendangan keras tadi. Beberapa saat lamanya mereka saling berpandangan dengan sorot mata memancarkan sesuatu yang sulit diartikan. Sementara, dari sepasang bola mata yang indah, bisa diduga kalau di balik cadar hijau itu tersembunyi wajah Pandan Wangi.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti tak mengerti, kenapa Pandan Wangi jadi liar seperti ini...? Dan Rangga benar-benar tidak tahu perubahan yang terjadi pada kekasihnya ini. Dia juga tidak mengerti, apa sebenarnya yang terjadi di sekitarnya ini. Wanita bercadar hijau itu memang membawa pedang yang tergenggam di tangannya, tapi bukan Pedang Naga Geni milik si Kipas maut. Rangga jadi ragu-ragu juga dengan pandangannya ini.

"Kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi cobalah senjata mautku ini," desis wanita bercadar hijau itu dingin menggetarkan.

"Heh...?!"

Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak kaget setengah mati, begitu wanita bercadar hijau ini mengeluarkan sebuah kipas baja putih dari balik lipatan bajunya. Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja wanita bercadar hijau yang kini memegang senjata kipas sudah melompat cepat bagai kilat sambil mengebutkan pedangnya, tepat mengatah ke leher pemuda berbaju rompi putih ini.

Wut!
"Ups...!"

Namun kebutan kipas itu berhasil dielakkan Rangga, dengan sedikit egosan kepala. Ujung-ujung kipas yang runcing bagai mata tombak itu hanya lewat sedikit saja di depan tenggorokan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hih! Yeaaah...!"

Gagal serangan pertamanya, wanita bercadar hijau itu kembali cepat melakukan serangan. Sehingga Rangga terpaksa harus berjumpalitan. Serangan kipas putih yang runcing pada setiap ujungnya ini benar-benar berbahaya. Sedikit saja kelengahan, akan berakibat parah pada diri Pendekar Rajawali Sakti. Ujung kipas itu bagaikan memiliki mata saja. Terus mendesak, ke mana arah Pendekar Rajawali Sakti bergerak menghindar.

Dari gerakan-gerakannya, jelas sekali kalau Rangga kelihatan begitu ragu-ragu menghadapi wanita bercadar hijau ini. Namun, matanya terus mengamati setiap gerakan wanita bercadar hijau ini. Dan dia semakin heran, karena semua jurus wanita itu sudah sangat dikenalnya. Dia tahu, jurus-jurus itu sering digunakan Pandan Wangi dalam pertarungannya.

Hhh! Aku yakin, dia pasti Pandan Wangi. Tapi, juga berbahaya kalau aku terus menerus mengelak begini. Serangan-serangannya semakin cepat dan dahsyat. Aku harus segera melumpuhkan sebelum dia sempat menjadi-jadi! Rangga berbicara sendiri dalam hati.

Dan begitu memiliki kesempatan, di saat kipas wanita bercadar hijau itu mengibas ke arah kaki, cepat sekali Rangga melenting ke atas. Lalu bagaikan kilat tubuhnya menukik deras sambil mengebutkan tangan kanannya dengan kecepatan dahsyat.

"Haiiit..!"

Namun, kebutan tangan Rangga yang bermaksud hendak menotok jalan darah wanita itu, bisa dihindari dengan gerakan manis sekali. Bahkan wanita bercadar hijau itu cepat mengibaskan kipasnya ke tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ikh...!"

Rangga jadi tersentak setengah mati. Cepat-cepat tangannya ditarik. Dan pada saat bersamaan, tubuh Pendekar Rajawali Sakti meliuk setengah berputar. Lalu bagaikan kilat, tangan kirinya menyodok ke depan. Begitu cepat serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga wanita bercadar hijau itu tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....

Tuk!
"Ukh...!"

Hanya sedikit saja keluhan kecil yang terdengar. Dan tubuh wanita bercadar hijau itu langsung terkulai, begitu aliran jalan darahnya tertotok jari tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja pemuda itu tidak cepat melompat dan menangkap tubuhnya, pasti wanita ini sudah ambruk ke tanah. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung memanggul tubuh yang ramping ini. Kemudian...

"Hup!"

Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah sempurna sekali, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melesat pergi. Tidak dihiraukan lagi orang-orang berpakaian serba hitam yang masih mengepungnya. Untung saja, kepungan itu sudah tidak begitu rapat seperti tadi. Sehingga mudah sekali Rangga bisa melewatinya. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Hingga belum ada seorang pun yang sempat menyadari, Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.

Dan orang-orang yang berpakaian serba hitam itu jadi kelabakan, begitu menyadari lawannya sudah lenyap tanpa diketahui. Dan mereka jadi terkejut, setelah menyadari pemimpinnya juga ikut lenyap bersama pemuda berbaju, rompi putih itu. Mereka hanya saling berpandangan saja, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sedangkan untuk mengejar, sudah tidak mungkin lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu, ke mana arah perginya Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayo, cepat kita laporkan pada Putri Cadar Hijau...!" seru salah seorang tiba-tiba.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat. Sebentar saja, tempat itu sudah sunyi tanpa terlihat ada seorang pun di sana.

********************

ENAM

Sementara itu, Rangga memang sudah jauh berada dalam hutan, walaupun tidak seberapa jauh dari Kotaraja Kerajaan Jalaraja. Lesatannya baru berhenti setelah merasa yakin tidak ada seorang pun yang membuntutinya. Hati-hati sekali Pendekar Rajawali Sakti meletakkan wanita berbaju hijau yang mengenakan cadar kain hijau pada wajahnya ini. Totokan yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti memang sangat kuat, sehingga wanita itu seperti mati saja layaknya. Bahkan sedikit pun tidak bisa bergerak.

Tuk! Tuk!

Rangga melonggarkan totokannya, hingga bagian kepala wanita itu bisa bergerak. Wanita bercadar hijau itu langsung mendelik, begitu melihat dirinya terbaring tanpa daya. Terlebih lagi, begitu mengetahui di dekatnya duduk pemuda berbaju rompi putih yang tadi menjadi lawannya.

"Keparat! Kubunuh kau...!" geram wanita bercadar itu memaki sengit.

Rangga sama sekali tidak mempedulikan makian itu. Bibirnya malah tersenyum, dan tangannya menjulur ke wajah yang tertutup kain cadar berwarna hijau ini.

"Setan! Jangan kurang ajar kau...!"

"Maaf. Aku hanya ingin tahu, seperti apa wajahmu di balik cadar ini," kata Rangga kalem.

Tanpa mendapatkan perlawanan sedikit pun juga, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cadar hijau yang menutupi wajah wanita itu. Dan seketika....

"Pandan Wangi...."

Rangga hampir saja tidak percaya dengan apa yang dilihatnya ini, walaupun sejak semula sudah menduga. Wanita bercadar hijau ini memang Pandan Wangi! Tapi yang membuat hati Pendekar Rajawali Sakti jadi terheran-heran, ternyata Pandan Wangi sepertinya tidak mengenalinya. Bahkan malah memaki dan mengancam dengan kata-kata kasar. Sementara, Rangga jadi terduduk lemas dengan hembusan napas panjang.

Sudah berhari-hari Pendekar Rajawali Sakti mencari gadis ini, tapi setelah bertemu, malah tidak dikenali sama sekali. Bahkan Pandan Wangi menganggapnya musuh yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini. Sikap itu membuat Rangga jadi mengeluh. Lemas seluruh tubuhnya. Namun sebagai pendekar yang berpengalaman, Rangga cepat menyadari, pasti ada sesuatu yang membuat Pandan Wangi bersikap begitu. Maka, dipandanginya wajah wanita cantik itu beberapa saat. Dan mendadak saja....

"Eh...?!"

Rangga jadi tersentak, begitu tiba-tiba melihat sesuatu benda sebesar kerikil yang berkilat, tertanam di bagian leher Pandan Wangi. Tepat dugaan Pendekar Rajawali Sakti. Maka cepat-cepat dihampirinya Pandan Wangi, dengan tangan langsung menjulur. Tapi, Pandan Wangi malah mencoba memberontak sambil berteriak-teriak memaki.

Namun Rangga sama sekali tidak mempedulikan. Sedangkan kepala gadis itu terus bergerak-gerak, mencoba menghindari tangan pemuda ini. Terpaksa Rangga harus memberi totokan lagi, hingga kepala gadis itu terkulai tidak dapat digerakkan lagi. Bahkan makiannya juga langsung menghilang. Cepat-cepat diangkatnya kepala gadis itu. Diperhatikannya beberapa saat benda kecil sebesar kerikil yang tertanam di leher gadis ini.

"Hm.... Mudah-mudahan saja dengan penyaluran hawa murni benda ini bisa keluar. Aku yakin, benda ini yang membuat Pandan Wangi jadi lupa akan dirinya sendiri," gumam Rangga perlahan, bicara pada diri sendiri.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera menyalurkan hawa murni ke leher Pandan Wangi melalui telapak tangannya. Hawa yang disalurkan itu semula terasa dingin, tapi lama kelamaan berubah menjadi panas. Dan tak lama kemudian keluar asap tipis dari sela-sela jari tangan yang menempel di leher gadis ini.

Tampak Pandan Wangi terbeliak dengan mulut ternganga. Keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya. Tapi tidak berapa lama kemudian, tubuhnya terkulai lemas, tidak sadarkan diri. Dan Rangga segera melepaskan telapak tangannya dari leher si Kipas Maut ini. Perlahan tangannya diangkat. Kini pada telapak tangannya, terdapat sebuah batu putih berkilat seperti mutiara. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengamati, lalu membuangnya sambil menghembuskan napas berat.

"Phuuuh...!"

Sebentar Rangga memandangi wajah Pandan Wangi yang seperti sedang tertidur pulas. Kemudian, dibukanya totokan pada aliran jalan darah gadis ini. Namun Pandan Wangi tetap tergeletak seperti mati. Hanya gerakan halus di dadanya yang menandakan gadis itu masih hidup. Rangga menggeser duduknya ke bawah pohon. Punggungnya disandarkan ke batang pohon yang cukup besar dan rindang, melindungi dirinya dari sengatan cahaya matahari.

Cukup lama juga Rangga menunggu, sambil mengisi waktu dengan bersemadi. Paling tidak untuk memulihkan tenaganya yang sudah cukup banyak terkuras hari ini. Pendekar Rajawali Sakti baru membuka matanya begitu telinganya mendengar rintihan lirih. Langsung ditatapnya Pandan Wangi yang mulai sadar dari pingsannya. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala sambil merintih kecil yang begitu lirih.

"Oh...?!"

Namun tiba-tiba saja gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu tersentak seperti baru terbangun dari tidur yang panjang. Langsung tubuhnya menggerinjang dan duduk. Tatapan matanya langsung tertuju pada Rangga yang duduk bersila di bawah pohon. Kemudian dipandangi dirinya sendiri, lalu kembali menatap Rangga yang masih tetap duduk bersila memandanginya dengan bibir tersenyum.

"Kakang...," terdengar agak mendesah suara Pandan Wangi.

"Kau sudah sadar, Pandan...?" lembut sekali suara Rangga.

"A..., apa yang terjadi pada diriku, Kakang?" tanya Pandan Wangi, agak tersedak suaranya. "Di mana ini...?"

"Tidak jauh dari kota Jalaraja," sahut Rangga kalem.

"Jalaraja...? Bukankah kita berada di...?" Pandan Wangi tidak meneruskan kata-katanya. "Ohhh...."

Gadis itu memegangi kepalanya yang masih terasa pening. Sebentar keningnya sendiri dipijat-pijat, kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Lalu, tatapannya kembali tertumbuk pada wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti yang duduk bersila tidak jauh di depannya.

"Kau ingat sesuatu, Pandan?" tanya Rangga.

"Entahlah.... Aku..., aku seperti bermimpi, Kakang," sahut Pandan Wangi ragu-ragu.

"Kau terkena ilmu yang bisa menghilangkan ingatan, Pandan. Aku sendiri tidak tahu, ilmu apa itu. Dan aku juga tidak tahu, apa saja yang telah kau lakukan dalam beberapa hari ini. Bahkan, kau sama sekali tidak mengenaliku tadi," jelas Rangga, lembut.

Pandan Wangi hanya diam saja. Kembali diamatinya keadaan dirinya. Gadis itu baru sadar kalau sekarang tidak mengenakan pakaiannya sendiri, yang biasa dipakai dalam pengembaraan bersama Pendekar Rajawali Sakti. Dan pedangnya pun sudah lenyap. Sementara, warangka yang bukan miliknya tampak masih menempel di pinggangnya. Tapi senjata kipasnya masih ada, menggeletak di sampingnya. Pandan Wangi melepaskan sarung pedang dipinggang. Kemudian, kipas mautnya diselipkan ke balik ikat pinggang. Sedangkan Rangga hanya mengamati saja dengan mata tak berkedip.

"Kakang, apakah Iblis Racun Hitam yang membuatku jadi lupa ingatan...?" tanya Pandan Wangi, setelah cukup lama terdiam.

"Mungkin," sahut Rangga agak mendesah. "Kau ingat sesuatu, Pandan?"

"Aku.... Aku hanya ingat, ketika kalah bertarung melawan Iblis Racun Hitam. Aku tidak tahu apa-apa lagi, setelah dia memukulku sampai pingsan. Sepertinya aku sudah mati, Kakang," sahut Pandan Wangi dengan suara pelan dan agak tersendat.

"Kau sama sekali tidak ingat sesuatu, Pandan?" desak Rangga lagi.

Pandan Wangi hanya menggeleng saja. Sedangkan Rangga menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Memang tidak mungkin terus mendesak, sedangkan Pandan Wangi sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Walaupun masih penasaran, tapi Rangga sudah senang karena bisa bersama lagi dengan gadis ini.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Sementara, Pandan Wangi masih tetap duduk memandangi pemuda ini. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka hanya membisu saja, sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat mereka terdiam itu, tiba-tiba saja....

"Tolooong...!"
"Heh...?!"
"Apa itu...?"

Pandan Wangi langsung menggerinjang bangkit berdiri. Sesaat kedua pendekar muda dari Karang Setra itu saling melempar pandangan. Dan teriakan itu kembali terdengar di telinga mereka. Maka tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung saja berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh ke arah datangnya teriakan yang terdengar tadi. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sebentar saja mereka sudah lenyap tidak terlihat lagi, tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan ini. Dan jeritan itu kembali terdengar semakin jelas.

Pendekar Rajawali Sakti yang sudah menguasai ilmu meringankan tubuh lebih sempurna, memang terlalu sulit dikejar Pandan Wangi. Sedangkan Rangga sendiri sepertinya lupa, dan terus berlari kencang menerobos hutan yang semakin lebat ini. Dan mereka baru berhenti, begitu tiba di tempat yang agak lapang. Di sana terlihat seorang gadis terikat di pohon dengan baju koyak di sana-sini dan tidak beraturan letaknya. Sehingga, beberapa bagian tubuhnya terlihat jelas menyembul. Dan tidak jauh di depannya tampak seekor harimau yang sangat besar menggerung-gerung, siap hendak menerkam.

"Oh, tolong...! Tolong aku, Kisanak...!" rintih gadis itu begitu melihat Rangga muncul.

"Tenanglah. Jangan banyak bergerak," ujarRangga seraya melangkah perlahan-lahan mendekati.

Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti dekat dengan gadis yang terikat di pohon itu, mendadak saja harimau yang sebesar anak kerbau itu mengaum keras sambil mengangkat kepala sedikit ke atas. Rangga agak terkejut juga mendengar raungan yang begitu keras menggetarkan ini. Langkahnya langsung dihentikan. Dan saat itu, Pandan Wangi muncul dengan napas agak tersengal. Dia juga terkejut sekali, melihat seekor harimau sudah siap hendak mengoyak tubuh seorang gadis yang terikat di pohon.

"Pandan! Carilah jalan. Bebaskan gadis itu. Akan kucoba untuk menjauhkan harimau ini," kata Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.

"Baik, Kakang. Hati-hati...," sahut Pandan Wangi.

Sementara Rangga sudah kembali melangkah, tapi kali ini menghampiri harimau yang sangat besar dan kelihatan buas ini. Binatang itu menggerung-gerung dengan mata memerah buas, menatap Rangga yang terus melangkah semakin dekat. Sementara itu, Pandan Wangi sudah mengambil jalan memutar, mencoba mendekati gadis yang terikat di batang pohon. Saat itu Rangga melirik sedikit pada Pandan Wangi yang sudah dekat dengan gadis yang terikat di pohon. Kemudian....

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras, sambil menghentakkan tangannya ke depan. Dicobanya untuk menakut-nakuti binatang yang dikenal sebagai raja hutan ini. Tapi siasat Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak ampuh. Harimau itu tetap diam sambil menggerung-gerung kecil. Dan di saat Rangga tengah tertegun memikirkan cara yang terbaik untuk mengusir, mendadak saja harimau itu menggerung keras. Lalu cepat sekali binatang buas itu melompat hendak menerkam pemuda ini.

"Ups! Hiyaaa...!"

Untung saja tindakan yang dilakukan Rangga lebih gesit lagi. Dengan gerakan cepat dan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti menghindari ter-kaman si raja hutan ini. Dan pada saat tubuh harimau itu hampir melewatinya, dengan kecepatan bagai kilat dilepaskannya satu pukulan keras agak menyamping tanpa disertai pengerahan tenaga dalam.

Bugkh!
"Ghraaaugkh...!"

Harimau loreng itu kontan meraung dahsyat, begitu terkena pukulan menyamping yang dilepaskan Rangga tadi. Binatang buas itu terpental balik ke belakang, tapi bisa jatuh di tanah dengan keempat kakinya yang kokoh. Sementara, Rangga kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya segera melirik sedikit pada gadis yang terikat di pohon. Bibirnya langsung menyunggingkan senyum, melihat Pandan Wangi sudah berada dekat di belakang gadis yang terikat itu. Tampaknya, Pandan Wangi mendapat sedikit kesulitan melepaskan tambang yang mengikat tubuh gadis itu. Sementara, perhatian Rangga sudah kembali beralih pada harimau belang hitam kuning itu.

"Ayo, pergi...! Jangan sampai kau mati di tanganku!" agak mendesis suara Rangga.

"Ghrrr...!"

Tapi, harimau itu hanya menggereng kecil saja. Malah tubuhnya direndahkan sedikit, dengan sorot mata masih tetap tajam memerah tertuju langsung pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan tiba-tiba saja....

"Auuum...!"

Sambil mengaum keras, harimau itu melompat dengan cakar-cakarnya yang terkembang, siap merobek tubuh pemuda ini. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga bisa menghindarinya. Dan saat itu juga, satu pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang keras cepat dilepaskan.

Buk!
"Aaargkh...!"

Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam, tapi pukulan yang dilepaskan Rangga memang sangat keras. Akibatnya harimau itu terpental cukup jauh disertai raungan keras menggetarkan jantung. Namun sungguh menakjubkan, ternyata harimau itu bisa cepat menguasai diri. Bahkan langsung melompat lagi dengan raungan panjang mengerikan!

"Hap! Hiyaaa...!"

Rangga sama sekali tidak bergeming dari tempatnya. Dinantinya serangan si raja hutan itu. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata biasa, dilepaskannya satu pukulan keras, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Kali ini, pukulannya tepat menghantam kepala binatang itu.

Kembali harimau itu meraung dan terpental ke belakang. Rangga sadar kalau binatang ini tidak akan menyerah begitu saja. Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat, sebelum harimau itu bisa menyentuh tanah lagi. Seketika satu tendangan yang keras cepat dilepaskan. Begitu cepatnya, sehingga telak sekali menghantam tubuh harimau ini.

Buk!
"Ghraaaugkh...!"
Bruk!

Keras sekali harimau itu terbanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali sebelum berhenti menabrak batu. Sementara, Rangga sudah berdiri dengan tegak memandangi si raja hutan yang masih menggeliat dan menggerung-gerung menahan sakit, akibat pukulan dan tendangan Pendekar Rajawali Sakti.

Perlahan harimau sebesar anak lembu itu bangkit berdiri, lalu menggereng kecil menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri menanti. Namun sorotan matanya kini tidak lagi buas seperti tadi. Bahkan terlihat agak redup cahayanya. Beberapa saat harimau itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian melangkah gontai meninggalkan tempat itu.

Rangga tersenyum melihat si raja hutan itu pergi. Kemudian bergegas dihampirinya Pandan Wangi yang berdiri agak jauh bersama gadis yang tadi terikat di pohon. Gadis itu masih menangis terisak dalam pelukan si Kipas Maut ini.

"Dia tidak apa-apa, Pandan?" tanya Rangga langsung.

"Tidak, hanya masih ketakutan saja," sahut Pandan Wangi.

"Ada yang luka?" tanya Rangga lagi.

Pandan Wangi hanya menggeleng saja. Dengan lembut dilepaskannya pelukan gadis itu dan dihapusnya air mata yang masih mengucur membasahi pipinya. Tampak gadis itu juga berusaha meredakan tangisnya. Beberapa kali air matanya disusut. Pandan Wangi lalu mengajaknya duduk di batang pohon yang tumbang. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri memperhatikan.

"Siapa namamu, Nisanak?" tanya Rangga setelah melihat gadis itu mulai bisa menguasai diri.

"Ratih," sahut gadis itu, masih agak tersedak suaranya.

"Kenapa kau bisa ada di hutan ini dan terikat di pohon?" tanya Rangga lagi.

"Aku..., aku tidak tahu. Mereka menculikku dan membawa ke sini semalam."

"Mereka siapa?" tanya Pandan Wangi.

Ratih hanya menggeleng saja.

"Mereka menyiksamu?" tanya Pandan Wangilagi.

"Tidak."

"Tapi kenapa pakaianmu sampai rusak begini?" tanya Rangga.

"Mereka yang mencabik-cabiknya."

"Darah ini...? Aku tidak melihat ada luka di tubuhmu, Ratih," sambung Pandan Wangi.

"Mereka melumuri tubuhku dengan darah ayam."

"Kau dari mana, Ratih?" tanya Rangga lagi.

Kali ini Ratih tidak langsung menjawab. Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Seakan, terasa begitu berat untuk menjawab pertanyaan Rangga tadi.

"Kami akan mengantarmu pulang. Terlalu berbahaya berada di dalam hutan seorang diri. Apalagi, bagi orang yang tidak bisa ilmu olah kanuragan," kata Rangga, menawarkan jasa.

"Terima kasih. Sebaiknya, aku tetap di sini saja," sahut Ratih pelan.

"Kenapa...?!" tanya Pandan Wangi heran. "Kau tidak takut harimau itu datang lagi dan mengoyak tubuhmu?"

Ratih hanya diam saja.

"Katakan, Ratih. Di mana rumahmu?" desak Rangga.

Ratih masih tetap diam. Kembali dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian, seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Sehingga, begitu sulit gadis bernama Ratih itu menjelaskan tentang tempat tinggalnya. Sedangkan Rangga terus menatapnya, menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Tapi sebentar kemudian, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, begitu pandangannya tertumbuk pada sabuk yang dikenakan gadis ini.

Sabuk itu kelihatannya terbuat dari emas. Dan Rangga baru sadar kalau pakaian yang dikenakan Ratih juga terbuat dari bahan sutera yang sangat halus, walaupun kini sudah koyak dan berlumuran darah ayam. Dan kulitnya juga putih halus, seperti layaknya kulit putri-putri bangsawan, yang jarang berhubungan dengan dunia luar. Semua itu baru disadari Rangga, kalau gadis ini tidak terlihat seperti orang kebanyakan.

"Nisanak, katakan sejujurnya. Siapa kau ini sebenarnya. Percayalah. Kami berdua bukan orang jahat. Dan kalau kau memang mendapat kesulitan, kami berdua bersedia membantu," bujuk Rangga lembut.

"Kalian benar-benar bukan orang jahat...?" nada suara Ratih seperti ingin meyakinkan.

"Kalau kami orang jahat, untuk apa tadi menolongmu dari ancaman harimau itu...?" selak Pandan Wangi tegas.

"Maaf. Aku...," Ratih tidak meneruskan.

"Nisanak! Kau putri seorang pembesar dari Jalaraja?" tanya Rangga lagi langsung menebak.

Lagi-lagi Ratih tidak langsung menjawab. Dan kali ini, kepalanya tertunduk perlahan-lahan. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan.

"Katakan, Ratih. Barangkali saja aku dan Kakang Rangga bisa menolongmu dari kesulitan yang kau hadapi sekarang," desak Pandan Wangi lembut.

"Aku..., aku putri Prabu Garajaga. Raja Jalaraja...," pelan sekali suara Ratih. Begitu pelannya, sampai-sampai hampir tidak terdengar kedua pendekar dari Karang Setra itu. "Namaku sebenarnya Rara Ayu Ratih Kumala Dewi."

Saat itu juga, Rangga dan Pandan Wangi sama-sama menarik napas panjang. Sementara, Ratih tetap menundukkan kepala. Tapi tidak lama, kepalanya terangkat. Dan langsung ditatapnya Pandan Wangi.

"Ratih. Kau kenali orang-orang yang membawamu ke sini?" tanya Rangga lagi.

"Mereka semua berpakaian hitam dan membawa golok. Aku..., aku tidak kenal siapa mereka. Tapi...," Ratih tidak meneruskan kata-katanya.

"Tapi kenapa, Ratih?" desak Pandan Wangi.

"Salah seorang dari mereka adalah wanita. Dari pakaiannya...," kembali Ratih berhenti, tidak meneruskan kata-katanya.

Gadis itu terus memandangi Pandan Wangi, seakan-akan ada sesuatu pada diri si Kipas Maut ini. Sedangkan Pandan Wangi sendiri merasa tidak enak dipandangi terus menerus seperti itu.

"Ada apa denganku, Ratih?" tegur Pandan Wangi merasa jengah dipandangi terus.

"Pakaiannya..., pakaiannya mirip sekali dengan pakaianmu," jelas Ratih agak tersendat, dan terdengar ragu-ragu nada suaranya.

"Aku...?!"

TUJUH

Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati mendengar kata-kata Ratih yang bernada ragu-ragu itu. Sungguh tidak disangka kalau salah seorang dari mereka yang menculik putri Raja Jalaraja ini adalah seorang wanita yang pakaiannya mirip dengan yang dikenakannya sekarang. Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi kedua gadis itu yang sama-sama duduk di batang pohon tumbang.

Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya diam saja membisu. Entah apa yang ada dalam kepala masing-masing. Sementara, Pandan Wangi memandangi Rangga dan Ratih bergantian, seakan meminta penjelasan mengenai dirinya. Dan memang selama ingatannya hilang, Pandan Wangi sama sekali tidak sadar dengan apa yang dilakukannya.

Sedangkan Rangga sepertinya sudah bisa memahami, apa yang tengah terjadi. Dan Pendekar Rajawali Sakti maklum kalau persoalannya bisa menjadi besar, karena sudah menyangkut urusan orang-orang berdarah biru di Kerajaan Jalaraja ini. Hanya saja dia belum tahu pasti, apa sebenarnya yang sedang terjadi di Jalaraja ini.

Rangga yang jadi teringat seorang laki-laki yang pernah bertemu dengannya. Laki-laki itu telah diselamatkan nyawanya. Namun, dia tidak mau bertindak gegabah dengan mengantarkan Rara Ayu Ratih Kumala Dewi Kambali ke Istana Jalaraja. Dan gadis itu diminta agar sementara tetap berada dalam hutan ini bersama Pandan Wangi.

Sedangkan dia sendiri pergi ke Kotaraja Kerajaan Jalaraja. Rangga yang sudah menyadari akan keadaan yang tengah terjadi di kerajaan ini, tidak mau terang-terangan lagi datang ke sana, tapi langsung menuju istana yang letaknya berada tepat di tengah-tengah kota. Dan kedatangannya sengaja saat matahari sudah tenggelam di balik peraduannya.

"Hm. Aku harus menyelinap ke dalam istana ini. Dan kuharap, Paman Patungga masih mengenaliku," gumam Rangga.

Malam telah menyelimuti Kotaraja Kerajaan Jalaraja. Dan di bawah siraman cahaya bulan yang hanya sepotong, sesosok bayangan putih tampak berkelebat cepat, menyelinap dari balik rumah penduduk ke rumah lainnya. Tak lama kemudian, bayangan putih itu telah tiba di dekat Istana Jalaraja.

Setelah mengamati keadaan sekitar bangunan istana yang dikelilingi pagar tembok berbentuk benteng ini, bayangan putih yang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti kemudian melompat naik dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Begitu sempurnanya, hingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kakinya menjejak atas tembok batu yang cukup tinggi dan tebal ini. Sebentar diamatinya keadaan di dalam istana. Tampaknya, tidak terlalu ketat penjagaannya.

"Hup!"

Begitu ringan Rangga melompat turun dari atas tembok ini. Sedikit pun tidak menimbulkan suara, saat kakinya menjejak tanah. Pendekar Rajawali Sakti tetap membungkukkan tubuh, melindungi dirinya ke dalam semak yang banyak tumbuh di sekitar tembok bagian dalam ini. Kedua matanya dipentang lebar, mengamati keadaan sekelilingnya. Tidak terlihat seorang prajurit pun yang menjaga bagian belakang halaman istana ini.

"Hup!"

Sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berpindah tempat. Dan kini, tubuhnya dirapatkan ke dinding bangunan istana yang tebal dan kokoh. Kembali diamatinya keadaan sekelilingnya. Lalu, perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah dengan tubuh masih merapat di dinding. Dan dia baru berhenti begitu berada dekat dengan sebuah jendela yang sedikit terbuka, menerobos sampai ke luar. Pendekar Rajawali Sakti langsung memindahkan jalan pernapasannya melalui perut, begitu mendengar percakapan dari balik jendela ini. Hatinya jadi tertarik untuk mendengarkan, begitu nama Ratih disebut-sebut orang yang berbicara di dalam.

"Kau terlalu gegabah, Kelabang Geni. Belum saatnya membuat kekacauan secara langsung di sini. Untuk apa kau culik Ratih Kumala Dewi...?"

Terdengar suara seorang wanita bernada marah, yang jelas sekali tertangkap telinga Rangga. Pendekar Rajawali Sakti semakin tertarik untuk lebih mengetahui lagi, seraya memasang pendengarannya tajam-tajam.

"Tapi, Nini. Itu perintah Putri Cadar Hijau sendiri. Malah Gusti Putri sendiri ikut menculik Putri Diah Kumala Dewi," sahut suara seorang laki-laki yang ternyata Kelabang Geni.

"Goblok! Kau tahu siapa itu Putri Cadar Hijau, heh...?!"

Tidak terdengar sahutan sedikit pun juga.

"Akulah yang menciptakan Putri Cadar Hijau, agar semua perhatian orang-orang di istana ini terpusat padanya. Sementara, aku sendiri terus merapuhkan keadaan di dalam. Dan kalau gadis itu sudah tidak terpakai lagi, buat apa dibiarkan hidup...? Perintahkan saja dia terjun dalam jurang. Aku yang berkuasa di sini, Kelabang Geni. Dan semua yang ada di dalam istana ini, akan menjadi milikku. Kau tahu itu, Kelabang Geni...?!"

"Tahu, Nini."

"Nah! Kalau sudah tahu, kenapa masih saja ikuti kata-kata perempuan goblok itu...?!"

Tidak ada sahutan lagi terdengar.

"Lalu, ke mana perempuan itu sekarang?" tanya wanita itu.

"Siang tadi, dia bersama tiga puluh orang, menghadang Pendekar Rajawali Sakti. Namun, penghadangan itu tidak berhasil. Malah, Putri Cadar Hijau dilarikan pendekar itu, Nini."

"Apa...?!"

"Pendekar Rajawali Sakti ternyata tidak membunuh seorang pun anak buahku. Dia hanya membawa lari Putri Cadar Hijau. Semua sudah kuperintahkan untuk mencari, tapi sampai sekarang belum juga bertemu."

"Edan...! Kau tahu, siapa perempuan yang kujadikan Putri Cadar Hijau itu...?"

Kembali sunyi sesaat.

"Dia itu Pandan Wangi, kekasihnya Pendekar Rajawali Sakti. Huh! Dasar goblok...! Kalau sampai Pendekar Rajawali Sakti bisa menghilangkan pengaruh mutiara yang kutanam di leher Pandan Wangi, semua ingatannya akan kembali seperti semula, Kelabang Geni. Hhh...! Bisa berantakan semua usahaku."

"Tapi aku yakin, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mungkin bisa mengembalikannya seperti semula, Nini."

"Dari mana kau tahu, Kelabang Geni?"

"Bukankah Nini sendiri murid si Iblis Racun Hitam satu-satunya...? Dan keahlian si Iblis Racun Hitam tentu sudah menurun padamu. Jadi, tidak mungkin ilmu yang sangat langka itu bisa ditandingi, Nini."

"Ngawur! Apa kau tidak tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti baru saja membunuh guruku...."

"Heh?! Apa...?! Kapan dia membunuh Iblis Racun Hitam...?!"

"Siang tadi."
"Oh...."

"Aku memang menyuruh tiga puluh orang untuk menghabisi Pendekar Rajawali Sakti keparat itu. Tapi, aku tidak memerintahkan Putri Cadar Hijau untuk ikut serta. Jadi, siapa yang memberi tahu dan menyuruhnya, Kelabang Geni?"

"Aku.... Aku tidak tahu, Nini. Aku sendiri baru menerima laporannya sore tadi. Mereka yang mengatakannya padaku, Nini."

"Huh!"

Kembali kesunyian menyelimuti ruangan di balik jendela itu. Sementara, Rangga tetap berada di samping jendela yang sedikit terbuka itu dengan punggung merapat ke dinding. Hanya tarikan napas saja yang terdengar dari balik jendela.

"Kelabang Geni! Malam ini juga, pindahkan Prabu Garajaga ke kamar tahanan di bawah tanah. Aku merasa, semua ini tidak akan berjalan mulus lagi."

"Baik, Nini."

"Kalau sudah, langsung pergi. Cari dan bawa ke sini Pandan Wangi. Katakan, aku yang menyuruhnya ke sini."

"Sekarang, Nini...?"
"lya sekarang. Cepat...!"
"Baik... Baik, Nini."

Saat itu, Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat menyembunyikan tubuhnya di balik tembok, begitu terlihat sepasang tangan yang putih berjari lentik menyembul keluar dari balik jendela yang kemudian terbuka lebar. Dan dari dalam terdengar suara pintu terbuka. Lalu tidak lama kemudian, terdengar kalau pintu itu tertutup lagi. Dan sepasang tangan itu juga tidak terlihat lagi.

Perlahan Rangga menjulurkan kepalanya, mencoba melihat ke dalam. Kosong.... Tidak ada seorang pun terlihat di dalam kamar yang sangat luas dan indah ini. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengamati keadaan di dalam kamar ini, kemudian melompat masuk ke dalam melalui jendela yang kini terbuka lebar. Tapi baru saja kakinya memijak lantai kamar yang licin dan berkilat ini, mendadak saja berkelebat secercah cahaya merah dari arah samping kiri.

"Ups...!"

Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan. Maka kilatan cahaya merah bagai api itu lewat sedikit saja di ujung bahunya. Kemudian bergegas Pendekar Rajawali Sakti melompat ke kanan, dan langsung memutar tubuhnya berbalik. Agak berkerut juga keningnya, begitu melihat seorang wanita berwajah cantik berbaju ketat warna hijau muda sudah berdiri tegak di depannya. Sebilah pedang yang memancarkan cahaya merah bagai api tampak tergenggam di tangan kanan. Rangga langsung mengetahui kalau itu Pedang Naga Geni yang sebenarnya milik Pandan Wangi.

"Sudah kuduga, kau pasti datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar begitu dingin nada suaranya.

"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.

Begitu dalam Rangga memandangi wanita ini. Dia memang pernah melihat wanita ini, di dalam taman belakang istana. Tepatnya, ketika Rajawali Putih membawanya ke Kerajaan Jalaraja ini. Meskipun tidak jelas, tapi Rangga bisa menduga kalau itu wanita berwajah cantik berbaju hijau muda ini. Dan ingatannya langsung tertuju pada cerita Patungga. Wanita ini pasti Wiranti! Pikir Rangga dalam hati, langsung bisa menebak dengan tepat.

"Sebaiknya menyerah saja, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada gunanya melawan. Hampir semua prajurit di sini sudah berpihak padaku. Bahkan hampir semua pembesar, sudah tidak ada lagi yang setia pada Prabu Garajaga. Kau tidak punya peluang lagi di sini, Pendekar Rajawali Sakti," masih terasa dingin nada suara Wiranti.

Rangga masih tetap terdiam membisu. Hanya pandangan matanya saja yang terlihat begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata wanita berwajah cantik ini.

"Untuk apa kau lakukan semua ini, Wiranti?" tanya Rangga datar.

"Hanya ingin menuntut hakku!" sahut Wiranti, agak tinggi nada suaranya.

"Hak...? Hak apa yang kau inginkan, Wiranti?"

"Istana ini dan seluruh wilayah Kerajaan Jalaraja."

"Hm...."

"Akulah yang paling berhak atas kerajaan ini, Pendekar Rajawali Sakti. Bukan Kakang Garajaga yang sekarang menjadi raja di sini. Seharusnya, dia sudah turun dari takhta. Dan, akulah yang menggantikannya. Tapi dia serakah, ingin menguasai semuanya dan ingin menyingkirkan diriku dari sini. Tidak... Aku tidak mungkin bisa melepaskan hakku begitu saja pada orang lain yang seharusnya menjadi abdiku!"

"Hm.... Kenapa kalian memperebutkan warisan? Bukankah antara kau dan Prabu Garajaga kakak beradik..?"

"Semua orang bilang begitu. Tapi kenyataannya, hanya akulah pewaris sah kerajaan ini. Sedangkan Kakang Garajaga hanya anak angkat ayahku. Kakang Garajaga diangkat sebagai anak karena ibuku tidak bisa memberikan anak laki-laki.

"Hm, benarkah itu...?" suara Rangga terdengar agak menggumam.

"Sudah...! Aku tidak punya banyak waktu lagi buatmu, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya, cepat tinggalkan istana ini, sebelum kuambil tindakan yang lebih berat lagi!" bentak Wiranti kasar.

"Baik, aku akan pergi. Tapi, kembalikanlah pedang Pandan Wangi itu," sahut Rangga kalem, tapi terdengar tegas sekali. "Dan kau juga harus bertanggung jawab atas perbuatanmu pada Pandan Wangi."

"Heh...?!"

Wiranti tampak terkejut mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti barusan. Seakan-akan baru disadari kalau saat ini memegang Pedang Naga Geni milik Pandan Wangi, dan telah melakukan sesuatu pada diri si Kipas Maut itu. Tapi semua itu tidak menjadikannya langsung lemah. Bahkan kedua bola matanya jadi membeliak lebar.

"Huh! Itu ganjaran dari perbuatanmu sendiri, Pendekar Rajawali Sakti. Kau sudah membunuh paman guruku, Raja Racun Selatan. Dan belum lama, kau juga telah membunuh guruku, Iblis Racun Hitam. Maka, sudah sepantasnya kalau kau menerima akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti. Dan, pedang ini tidak bakalan kuserahkan padamu. Pedang ini sudah menjadi milikku!" tegas Wiranti, sambil menyilangkan pedang yang memancarkan cahaya merah itu ke depan dada.

Seketika itu juga, wajah Wiranti jadi memerah bagai terbakar. Dan kedua bola matanya berkilatan seperti sepasang bola api yang hendak membakar seluruh ruangan ini. Rangga yang melihat perubahan pada wajah wanita itu, langsung bisa mengetahui kalau pengaruh Pedang Naga Geni sudah mulai merasuk di tubuhnya. Dan ini tentu sangat berbahaya kalau tidak segera dicegah.

Pedang Naga Geni memang memiliki pengaruh buruk pada setiap pemegangnya yang belum bisa menguasainya. Bahkan pedang itu tidak akan bisa terlepas dari tangan, dan bisa menguasai pemegangnya sebelum mata pedang itu berlumuran darah! Pengaruh itu akan semakin kuat, hingga yang memegang tidak akan bisa menguasainya lagi. Pedang itu juga bisa bergerak sendiri mencari korban dari tangan pemegangnya. Sejauh ini, hanya Pandan Wangi saja yang sudah bisa menguasainya.

"Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti...!" desis Wiranti dingin menggetarkan.

Rangga bergegas melangkah mundur beberapa tindak, begitu mendengar suara Wiranti sudah berubah datar dan terasa begitu dingin. Dia tahu, jiwa gadis ini sudah dipengaruhi sifat buruk Pedang Naga Geni.

"Mampus kau! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Wiranti menerjang cepat bagai kilat. Tapi pada saat yang bersamaan, Rangga sudah melesat keluar dari ruangan ini melalui jendela yang sejak tadi terbuka lebar. Begitu cepat lesatan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tebasan pedang yang bercahaya merah itu tidak sampai mengenai tubuhnya.

"Keparat..! Jangan lari kau! Hiyaaat..!"

Wiranti langsung melesat keluar mengejar Rangga yang sudah lebih dulu keluar dari dalam kamar ini melalui jendela. Dan hampir bersamaan, mereka menjejakkan kakinya di tanah yang berumput, di samping bangunan Istana Jalaraja yang sangat besar dan megah ini. Mereka berdiri berhadapan berjarak sekitar setengah batang tombak.

Tampak Wiranti membuat beberapa gerakan dengan pedang melintang di depan dada. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti demikian tajam, memperhatikan setiap gerak Wiranti. Sedikit pun Rangga tidak mengedipkan kelopak matanya. Sementara, Wiranti sudah mulai berpindah. Kakinya digeser perlahan-lahan menyusuri tanah ke kanan. Dan tiba-tiba saja....

"Hih! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Wiranti cepat melenting ke kanan. Tapi tiba-tiba saja, tubuhnya diputar ke kiri, dan pedangnya langsung ditebaskan ke arah kepala. Untung saja Rangga sudah tahu siasat ini. Maka mudah sekali tebasan pedang itu bisa dihindari dengan hanya mengegoskan kepalanya sedikit. Dan pada saat itu juga, tangan kirinya dihentakkan, langsung diberikannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hih! Yeaaah...!"
"Haiiit..!"

Namun Wiranti cepat menebaskan pedangnya ke bawah, menangkis pukulan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.

Wut!
"Ups!"

Rangga cepat-cepat menarik tangan kirinya. Dan saat itu juga, Wiranti cepat memutar pedangnya, dan langsung dihunjamkan ke dada.

"Hap!"

Untung saja Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, hingga pedang itu lewat di depan dada. Tapi, Wiranti terus menggerakkan pedangnya menyamping. Sehingga, Rangga harus mendoyongkan tubuhnya hingga hampir roboh. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti meliukkan tubuhnya, mengikuti arah putaran pedang wanita ini. Dan begitu bisa terbebas sedikit, cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah. Lalu dengan kecepatan bagai kilat, kaki kanannya dikibaskan.

"Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"

Tapi dengan gerakan indah sekali, Wiranti bisa menghindari sepakan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Dan langsung saja diberikannya satu pukulan keras dengan tangan kiri ke arah dada pemuda berbaju rompi putih ini.

"Hap!"

Rangga cepat menangkis pukulan itu dengan tangan kanannya. Begitu cepat gerakan yang dila-kukan, sehingga kedua tangan satu sama lain saling beradu tepat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti ini.

Plak!
"Hih! Yeaaah...!"

Saat itu juga, tiba-tiba saja Wiranti melentingkan tubuhnya ke atas. Lalu satu tendangan keras menggeledek, cepat dilepaskan dengan kecepatan bagai kilat. Rangga sebentar agak terperangah, namun cepat meliuk indah sekali. Maka tendangan itu berhasil dihindarinya. Dan cepat-cepat tubuhnya melenting berputaran ke belakang beberapa kali.

Tapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja Wiranti sudah melesat menyerang sambil cepat membabatkan pedangnya secara beruntun. Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari setiap serangan pedang gadis ini. Dan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti bisa memukul pergelangan tangan kanan yang menggenggam pedang itu. Tapi setiap kali pukulannya menghantam pergelangan tangan Wiranti, cepat sekali tangan itu berbalik berputar. Bahkan langsung memberi serangan sangat cepat dan dahsyat.

"Phuih...! Tidak mungkin genggamannya pada Pedang Naga Geni bisa kulepaskan dengan cara begini. Hhh! aku tidak bisa bersikap sungkan lagi padanya" Rangga bicara sendiri dalam hati.

Menyadari kalau Wiranti semakin berbahaya saja dengan Pedang Naga Geni berada dalam genggaman tangan, Rangga tidak punya pilihan lagi. Wanita ini harus dihadapi dengan sungguh-sungguh. Apalagi Pedang Naga Geni tidak akan bisa lunak sebelum berlumuran darah, begitu sudah keluar dari warangkanya. Dan yang pasti, Wiranti tidak akan bisa lagi menguasai pedang itu. Hanya diikutinya saja, ke mana arah pedang ini bergerak mengincar calon korbannya. Tapi yang dihadapi adalah Pendekar Rajawali Sakti. Jelas tidak mudah bagi Wiranti untuk menjatuhkannya. Bahkan untuk mendesak saja, masih terlalu sulit.

DELAPAN

Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung. Tak heran kalau halaman samping istana ini sudah tidak terlihat lagi bentuknya. Pepohonan bertumbangan, rerumputan terbongkar, dan tembok-tembok batu sudah banyak yang jebol terkena sambaran pukulan serta sabetan pedang yang tidak mengenai sasaran.

Walaupun pertarungan itu berlangsung sengit dan menimbulkan keributan, tapi anehnya tidak ada seorang prajurit pun atau penghuni istana ini yang datang menghampiri. Bahkan tidak terlihat seorang pun di sekitar halaman samping istana ini.

Semua keanehan ini sempat juga menjadi perhatian Rangga, tapi tidak bisa terus memikirkannya. Perhatiannya harus terpusat penuh pada pertarungannya melawan Wiranti yang semakin berbahaya saja serangan-serangannya. Bahkan kini setiap kebutan pedangnya sudah menyebarkan hawa panas yang begitu menyengat luar biasa. Sehingga membuat udara di sekitar pertarungan semakin menipis.

"Mampus kau! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, mendadak saja Wiranti melesat tinggi ke atas sambil mengebutkan pedangnya yang diarahkan ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Haiiit...!"

Tapi hanya sedikit saja mengegoskan kepala, tebasan pedang gadis itu hanya lewat di depan hidung Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga, sambil menarik kakinya selangkah ke belakang, Rangga melepaskan satu pukulan menggeledek dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Tapi tanpa diduga sama sekali, Wiranti justru menerima pukulan itu dengan hentakan tangan kirinya. Dan....

Plak!
Glarrr...!
"Ikh...!"

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati. Tangan kanannya kontan terasa jadi bergetar, saat beradu dengan kepalan tangan kiri Wiranti tadi. Sungguh tidak disangka kalau tenaga yang dimiliki Wiranti jadi bertambah besar dengan Pedang Naga Geni berada dalam genggaman tangannya. Begitu besarnya, sampai-sampai bisa menahan gempuran dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Bahkan mampu membuat Pendekar Rajawali Sakti terdorong beberapa langkah kebelakang.

"Ha ha ha...! Keluarkan semua kemampuanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"

Wiranti sama sekali tidak memberi kesempatan pada lawannya ini untuk berpikir lebih banyak lagi. Tapi, waktu yang sangat sedikit itu sudah bisa membuat Rangga mengambil keputusan. Dan begitu Wiranti kembali menyerang dengan kebutan pedang yang dahsyat ini, cepat sekali Rangga melompat ke belakang. Dan langsung pedang pusakanya yang berada di punggung dicabut.

Sret!
Cring!

Begitu keluar dari warangka, pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti langsung memancarkan cahaya biru yang menyilaukan. Sehingga, malam yang sudah terang oleh cahaya obor, semakin terang saja oleh cahaya biru dari pedang Pendekar Rajawali Sakti.

Wuuut!

Cepat sekali Rangga mengebutkan pedangnya ke depan, menangkis tebasan Pedang Naga Geni di tangan Wiranti. Begitu cepat kebutannya, sehingga hanya cahaya biru saja yang terlihat berkelebat menyambar Pedang Naga Geni yang memancarkan cahaya merah menyala bagai berselubung api itu. Dan....

Tring!
"Aikh...!"

Wiranti jadi terpekik kaget, begitu pedang di tangannya berbenturan dengan kilatan cahaya biru yang menyambar begitu cepat di depan. Cepat-cepat dia melompat kebelakang beberapa langkah, lalu manis sekali kakinya kembali menjejak tanah. Saat itu juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, melihat Rangga berdiri tegak dengan sebuah pedang bercahaya biru terang terlintang di depan dada.

Dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti berada dalam genggaman tangannya, Pendekar Rajawali Sakti terlihat bagai sesosok malaikat maut pencabut nyawa. Cahaya biru yang memancar dari pedang itu membuat wajah Rangga terlihat begitu berwibawa. Bahkan menjadikan seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti bagai terselubung cahaya yang menyilaukan mata ini.

"Phuih!"

Sambil menyemburkan ludah, Wiranti melangkah beberapa tindak mendekati lawannya. Pedangnya segera disilangkan di depan dada. Dan kini, mereka berdiri saling berhadapan dengan jarak sekitar tiga langkah lagi. Mereka berdiri tegak sambil saling menatap tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian satu sama lain.

Bersamaan mereka saling menggerakkan pedang ke samping, sama-sama membuka diri dengan lebar. Dan secara bersamaan pula, mereka cepat mengebutkan pedang masing-masing ke depan. Gerakan mereka begitu cepat, dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga saat kedua pedang itu beradu, langsung mengeluarkan pijaran bunga api yang memercik ke segala arah, disertai ledakan dahsyat bagai guntur membelah angkasa.

Dan mereka sama-sama terpental kebelakang sejauh beberapa langkah, tapi masing-masing bisa cepat menguasai diri. Dan manis sekali mereka menjejakkan kaki di tanah. Kalau saja pedang yang berada di tangan Wiranti bukan Pedang Naga Geni, pasti sudah buntung terbabat Pedang Rajawali Sakti. Memang, Pedang Naga Geni hampir setara dengan Pedang Rajawali Sakti.

"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"

Kini mereka kembali berlompatan saling menyerang. Pedang mereka berkelebatan cepat sekali, saling menyambar dan menangkis. beberapa kali terdengar ledakan yang begitu dahsyat, menggelegar bagai hendak menghancurkan seluruh alam ini.

Saat itu, Rangga mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang jarang digunakan kalau ti-dak terpaksa. Memang, biasanya jurus itu baru digunakan kalau menghadapi lawan tangguh seperti Wiranti yang menggunakan Pedang Naga Geni.

Pertarungan itu berjalan cepat dan sengit sekali. Begitu cepatnya, hingga tubuh mereka jadi lenyap. Hanya bayangan-bayangan saja yang terlihat berkelebatan saling menyambar disertai kilatan cahaya merah dan biru. Dan sesekali terlihat kilatan cahaya api yang disertai ledakan dahsyat menggelegar menggetarkan bumi.

Namun tiba-tiba saja pertarungan itu terhenti, dan mereka sama-sama berlompatan mundur ke belakang beberapa langkah. Kini, mereka kembali berdiri tegak saling berhadapan dengan pandangan mata begitu tajam menusuk. Beberapa saat mereka bersikap demikian, sambil mempersiapkan jurus yang akan digunakan selanjutnya.

Sementara di dalam hati, Rangga benar-benar mengakui ketangguhan Wiranti. Dengan Pedang Naga Geni berada di dalam genggaman, kekuatan gadis itu jadi berlipat ganda. Dan kecepatannya juga sungguh luar biasa. Sulit bagi Rangga untuk menyudahi pertarungan ini secepatnya. Dan memang disadari, tidak mudah menghadapi lawan yang memegang Pedang Naga Geni. Karena pedang itu seperti memiliki nyawa saja, sehingga bisa bergerak sendiri tanpa harus digerakkan oleh pemegangnya.

"Hm.... Kalau begini terus terpaksa harus kugunakan aji 'Cakra Buana Sukma'. Dia tidak akan bisa dilumpuhkan begitu saja. Rasanya hanya aji ini-lah yang bisa melumpuhkan kekuatan Pedang Naga Geni!" Gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti segera saja bersiap mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Dan pedangnya sudah dilintangkan di depan dada. Lalu perlahan telapak tangan kirinya mulai menggosok mata pedang itu, tepat di saat kedua kakinya terpentang lebar ke samping dengan lutut agak tertekuk sedikit. Saat itu juga, cahaya biru yang memancar dari pedang itu jadi menggumpal.

Dan begitu Rangga menegakkan pedangnya, cahaya biru itu sudah menggumpal pada ujung pedang ini, membentuk sebuah bulatan sebesar kepala Sementara, Wiranti juga menegakkan pedangnya hingga sejajar dengan tubuhnya sendiri. Rangga tahu, pasti bukan Wiranti yang menegakkan pedang itu, melainkan Pedang Naga Geni sendiri yang bergerak tegak mengikuti sikap yang diambil Rangga pada Pedang Rajawali Sakti.

"Ayo! Serang aku, Wiranti...!" desis Rangga dingin menggetarkan.

"Phuih...!"

Wiranti menyemburkan ludahnya dengan sengit. Dan tiba-tiba saja, pedangnya dihentakkan ke depan sambil berteriak keras melengking tinggi.

"Hiyaaat..!"
Wut!
Slap!

Seketika itu juga, dari ujung pedang yang sudah memancarkan cahaya merah, melesat cahaya yang juga berwarna merah bagaikan lidah api dengan kecepatan bagai kilat. Dan pada saat yang bersamaan, Rangga juga menghentakkan pedangnya ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"

Wusss....

Dari ujung Pedang Rajawali Sakti juga meluruk deras gumpalan cahaya biru. Dan tepat di tengah-tengah, kedua cahaya itu beradu.

Glarrr!

Seketika terdengar ledakan begitu dahsyat menggelegar, membuat tanah yang mereka pijak jadi bergetar bagai diguncang gempa.

"Akh...!"

Terdengar Wiranti terpekik, dan terdorong ke belakang beberapa langkah. Cepat-cepat wanita itu menghentakkan pedangnya ke atas. Namun, justru hentakannya itu membuat kerugian yang begitu besar pada dirinya sendiri. Ternyata, cahaya biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti, terus meluruk deras ke arah wanita ini. Dan....

"Akh...!"

Kembali Wiranti terpekik, begitu cahaya biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti menghantam tubuhnya. Dan seketika itu juga, seluruh tubuh wanita itu terselubung cahaya biru yang memancar menggumpal tebal dari ujung pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hih...!"

Rangga segera menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan saat itu juga, dari tangan kirinya memancar cahaya biru yang sama dengan cahaya biru yang keluar dari pedangnya. Dan begitu cahaya biru yang memancar dari telapak tangan kiri itu menyatu menyelubungi tubuh Wiranti, Rangga langsung menghentakkan pedangnya ke atas. Dan saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke depan sambil mengibaskan pedangnya dengan kecepatan bagai kilat.

"Hiyaaat....!"
Wut!
Crasss!

Begitu cepat sentakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti pada pedangnya, sehingga Wiranti yang tengah menggeliat berusaha melepaskan diri dari selubung cahaya biru itu tidak dapat lagi menghindarinya. Akibatnya, mata pedang di tangan Rangga tepat sekali membabat lehernya.

"Aaa...!"

Wiranti kontan menjerit melengking tinggi begitu merasakan pedang yang tajam itu membabat batang lehernya. Dan pada saat yang bersamaan, Rangga sudah melompat kembali ke belakang. Tangan kirinya juga segera berkelebat cepat, menyambar Pedang Naga Geni yang berada dalam genggaman tangan kanan lawannya. Sementara, cahaya biru yang menyelubungi tubuh gadis itu lenyap, bersamaan dengan tertariknya aji 'Cakra Buana Sukma'.

Wiranti tampak masih terlihat berdiri mematung dengan goresan tipis terlihat melingkari lehernya. Tapi tidak lama kemudian, tubuhnya jadi limbung, kemudian ambruk ke tanah tanpa bersuara lagi. Dan kepalanya seketika terpisah dari leher, menggelinding menjauhi tubuhnya. Darah langsung muncrat keluar dari leher yang buntung tidak berkepala lagi.

"Hhh...!"

Rangga menghembuskan napas berat. Kakinya segera melangkah menghampiri tubuh Wiranti yang terbujur tidak bernyawa lagi. Dari pinggang wanita ini, diambilnya sarung Pedang Naga Geni. Kemudian pedang itu dimasukkan ke dalamnya.

"Hm...," sedikit Rangga menggumam. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya berbalik, begitu mendengar suara-suara langkah kaki dari arah belakang. Keningnya jadi berkerut begitu melihat Pandan Wangi bersama Ratih Kumala Dewi dan puluhan prajurit datang menghampiri. Tampak di sebelah Ratih Kumala Dewi berjalan seorang laki-laki setengah baya yang tidak lain Prabu Garajaga.

"Kakang! Aku tidak bisa meringkus Kelabang Geni dan anak buahnya. Dia kabur waktu kupergoki hendak membawa Prabu Garajaga ke hutan," jelas Pandan Wangi, langsung saja.

"Ya, sudahlah. Yang penting, sekarang ini sudah aman," sambut Rangga seraya tersenyum.

Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian menatap Prabu Garajaga yang tampak lusuh, setelah beberapa hari terkurung di dalam kamar tahanan.

"Gusti Prabu, di mana Paman Patungga?" tanya Rangga.

"Mereka memenggal kepalanya di depanku," sahut Prabu Garajaga pelan.

"Hhh...!"

Rangga hanya bisa menarik napas saja panjang-panjang. Memang begitu banyak pengorbanan yang terjadi di istana ini, hanya akibat dari keserakahan seseorang. Tapi, semuanya sudah berakhir, walaupun salah seorang dari mereka bisa melarikan diri.

Sementara, Prabu Garajaga meminta kedua pendekar muda ini untuk bermalam beberapa hari di istananya. Tapi, Rangga dan Pandan Wangi menolak halus. Dan mereka hanya menunggu saat sampai fajar menyingsing.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: PUSAKA PANTAI SELATAN
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.