Datuk Muka Hitam - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

DATUK MUKA HITAM


SATU
"Kubunuh kau, Muka Jelek! Hiyaaat...!"

Keras sekali teriakan laki-laki muda berusia sekitar dua puluh tahun yang mengenakan baju biru muda dari bahan sutera halus itu. Teriakannya yang keras, diiringi hentakan tangan kanan yang mengarah pada seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun.

Begitu cepat gerakan tangan anak muda itu, sehingga bocah yang berpakaian buruk seperti gembel ini tidak sempat lagi menghindarinya. Maka hantaman yang mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi itu tepat menghantam dada telanjang bocah ini.

Diegkh...!
"Akh...!"

Bocah kecil itu kontan menjerit keras, dan tubuhnya terpental jauh ke belakang. Begitu keras hantaman tadi, sehingga bocah itu terus melayang, hingga sampai ke bibir sebuah jurang yang ada di belakangnya. Bocah itu jatuh, dan langsung bergulingan di tanah. Dan dia benar-benar tidak dapat lagi menguasai diri. Tubuhnya terus bergulingan, hingga jatuh terperosok ke dalam jurang.

"Aaa...!"

Kembali terdengar jeritan yang begitu panjang dan menyayat dari dalam jurang. Tapi tidak lama, jeritan itu lenyap bersamaan menghilangnya tubuh bocah kecil berpakaian buruk seperti gembel itu. Sementara, anak muda yang tadi menghantamnya, bergegas berlari ke tepi jurang. Kepalanya seketika dijulurkan, berusaha untuk bisa melihat tubuh bocah yang mungkin sudah hancur di dalam jurang.

"Heh...?!"

Tapi pemuda itu jadi terkejut setengah mati, karena di dasar jurang yang tidak begitu dalam ini sama sekali tidak terlihat ada satu sosok tubuh pun di sana. Padahal tadi sudah jelas kalau bocah kecil itu bakal hancur termakan batu-batu yang banyak bertebaran di dasar jurang.

"Mustahil...! Ke mana dia...?" desis anak muda itu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Jelas sekali dari raut wajahnya kalau anak muda ini jadi penasaran. Tapi begitu kakinya terayun hendak menuruni tebing jurang yang berbatu ini...

"Cukup, Widura. Tidak perlu kau turun ke sana"

Terdengar suara halus dari belakang. Maka anak muda yang ternyata bernama Widura itu tidak jadi menuruni jurang. Kepalanya berpaling sedikit, kemudian tubuhnya berbalik. Dan di depannya kini sudah terlihat seorang wanita berusia lebih dari separo baya, tapi masih kelihatan cantik dan padat. Dia berbaju cukup ketat warna putih bersih, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.

"Anak itu tidak ada di jurang ini, Nyai Wisanggeni," kata Widura memberi tahu.

"Aku sudah tahu," ringan sekali sahutan wanita yang dipanggil Nyai Wisanggeni.

"Kau sudah tahu...?"

Widura jadi tidak mengerti. Dipandanginya wanita itu dalam-dalam. Dia sungguh heran! Karena setahunya, wanita yang bernama Nyai Wisanggeni itu tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya tadi. Tapi, apa yang terjadi pada anak gembel itu di dasar jurang sana sudah bisa diketahuinya.

"Kau terlalu menganggap enteng anak itu, Widura. Seharusnya lehernya penggal saja tadi dengan golokmu," sesal Nyai Wisanggeni lagi.

"Pukulanku tadi pasti sudah membuat dadanya remuk, Nyai."

"Itu bukan berarti sudah mati, Widura. Lihatlah kenyataannya. Anak itu sekarang tidak ada lagi. Dan dia pasti masih hidup sekarang."

"Aku akan mencarinya, Nyai."

"Tidak perlu. Tidak ada gunanya lagi mencari anak itu, Widura. Ayo kita kembali saja."

Widura tidak bisa membantah lagi. Walaupun rasa penasaran masih tersimpan dalam hatinya, tapi perintah wanita ini tidak dapat ditolaknya. Dengan hati diliputi rasa kepenasaran dan terus bertanya-tanya, kaki Widura terayun juga mengikuti wanita separo baya yang masih kelihatan cukup cantik dan menggairahkan ini. Mereka berjalan tanpa ada yang berbicara sedikit pun. Dan sesekali kepala pemuda itu masih sempat menoleh ke belakang.

Mungkinkah anak kecil berusia tujuh tahun itu tidak mati di dasar jurang yang penuh batu...?

Walaupun peristiwa itu sudah berlalu lebih dari delapan belas tahun, tapi pertanyaan itu terus mengganggu pikiran Widura. Memang sulit baginya untuk melupakan peristiwa yang untuk pertama kalinya mendapat tugas menghilangkan nyawa orang lain. Padahal, hanya nyawa seorang anak gelandangan yang sangat kotor dan berwajah buruk sekali. Tapi itu tugas yang diberikan gurunya, yang tidak mungkin dapat ditolak lagi. Meskipun dalam hati kecilnya tidak ingin melaksanakannya, tapi Nyai Wisanggeni tetap memaksa untuk melakukan kekejaman itu.

Dan sekarang, setelah delapan belas tahun berlalu, Widura bukan lagi seorang anak muda yang gagah. Walaupun tubuhnya tidak lagi tegak seperti dulu, tapi ketampanannya masih tetap terlihat. Bahkan tingkat kepandaiannya juga semakin bertambah. Widura sekarang menjadi seorang panglima perang Kerajaan Pakuan yang amat disegani.

Siang ini, entah kenapa Widura datang kembali ke tempat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun lalu. Sebuah daerah perbukitan yang dibelah oleh jurang yang tidak begitu dalam dan besar. Keadaannya belum banyak yang berubah, masih seperti pertama kali dia harus melenyapkan nyawa seorang anak manusia berusia tujuh tahun pada delapan belas tahun yang lalu. Dan entah sudah berapa lama Widura berdiri mematung di bibir jurang. Sementara, para pengawal dan prajurit hanya bisa sabar menunggunya.

"Gusti Panglima..."

Tiba-tiba seorang punggawa menghampiri Panglima Widura yang masih tetap berdiri mematung di bibir jurang ini. Panglima Widura perlahan berbalik sambil menghembuskan napas panjang. Seakan, ada sesuatu yang tengah dirasakannya saat ini.

"Ada apa, Punggawa Garula?" tanya Panglima Widura datar.

"Ampun, Gusti. Sudah hampir senja. Apakah Gust ingin tetap berada di sini hingga malam?" hormat sekali tutur kata dan sikap orang yang dipanggil Punggawa Garula.

"Perintahkan semua prajurit untuk mendirikan tenda. Aku ingin tinggal di sini sampai besok pagi," sahut Panglima Widura.

"Baik, Gusti Panglima."

Punggawa Garula bergegas meninggalkan panglimanya. Lalu prajurit-prajuritnya diperintahkan untuk mendirikan tenda. Walaupun ada guratan keheranan pada wajah para prajurit, tapi perintah panglimanya tetap dilaksanakan. Mereka memang tidak tahu, untuk apa Panglima Widura datang ke tepi jurang dan bermalam di sini. Dan hanya Panglima Widura sendiri yang bisa menjawabnya. Namun para prajurit tetap melaksanakan perintah junjungannya untuk mendirikan tenda. Sementara, Panglima Widura kembali memandang ke dalam jurang yang penuh batu dan sama sekali tidak ada perubahan selama delapan belas tahun.

"Tenda sudah siap, Gusti Panglima. Apakah Gusti Panglima hendak beristirahat...?" Punggawa Garula kembali datang melapor.

"Kemarilah. Punggawa," pinta Panglima Widura, tanpa berpaling sedikit pun.

Dengan sikap hormat, Punggawa Garula menghampiri panglimanya. Tubuhnya dibungkukkan sedikit dengan telapak tangan merapat di depan dada, begitu berada di sebelah kanan Panglima Widura.

"Kau tahu, Punggawa. Aku mempunyai satu kenangan pahit di sini yang tidak bisa kulupakan seumur hidup...," pelan sekali suara Panglima Widura.

"Kalau boleh hamba tahu, kenangan apa itu, Gusti...?" ujar Punggawa Garula ingin tahu.

"Sulit dijelaskan, Punggawa. Tapi di tempat inilah aku pertama kali menjadi seorang pengecut yang kejam. Untuk pertama kali dalam seumur hidup, aku menghabisi nyawa orang," pelan sekali suara Panglima Widura.

"Ah.... Gusti Panglima pasti bergurau. Semua orang tahu, betapa gagahnya Gusti Panglima berada di medan perang. Kerajaan Pakuan tidak akan sebesar ini tanpa Gusti Panglima," sahut Punggawa Garula tidak percaya ucapan panglimanya barusan.

"Kapan pertama kali kau menghilangkan nyawa orang lain, Punggawa?" tanya Panglima Widura.

"Hamba tidak ingat, Gusti," sahut Punggawa Garula.

"Hhh...!"

Entah kenapa, Panglima Widura jadi menarik napas panjang. Memang, Punggawa Garula ditakdirkan untuk menjadi seorang prajurit. Dan baginya, melenyapkan nyawa orang lain bukanlah suatu pekerjaan yang harus dipikirkan mendalam. Terlebih lagi, menjadi kenangan seumur hidup yang tidak akan bisa terlupakan.

Sama sekali Panglima Widura tidak bisa menyalahkan Punggawa Garula yang mempunyai pendapat seperti itu. Dan memang, bukan hanya punggawa itu saja yang berpendapat demikian, banyak orang berpendapat sama. Terlebih lagi, bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia persilatan. Nyawa bagai tidak ada artinya sama sekali. Bahkan seringkali dibuat menjadi bahan permainan.

"Sudah gelap. Kau atur penjagaan, Punggawa," ujar Panglima Widura memberi perintah.

"Hamba. Gusti Panglima," sahut Punggawa Garula seraya membungkuk memberi hormat.

Sementara Panglima Widura sudah melangkah menuju tendanya, Punggawa Garula segera mengatur para prajuritnya untuk bergantian berjaga malam. Dan memang, kegelapan sudah menyelimuti sebagian alam ini. Kesunyian pun sudah terasa menyelimuti hati mereka semua yang ada di tepian jurang ini.

Di dalam tendanya, Panglima Widura tidak dapat memejamkan matanya sepicing pun. Kembali benaknya teringat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu di tempat ini. Bahkan kembali terbayang wajah bocah yang tidak berdosa itu. Sinar mata yang redup dan memancarkan permohonan belas kasihan, tapi saat itu Widura sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan garang dihantamkannya pukulan yang bertenaga dalam cukup tinggi ke dada kurus bocah itu, hingga terjerumus masuk ke dalam jurang.

Panglima Widura merasakan udara di dalam tendanya begitu panas. Dan kakinya segera melangkah ke luar. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah meninggalkan tendanya, mendadak saja....

"Aaa..!"
"Heh...?! Apa itu...?"

Bukan hanya Panglima Widura yang terkejut mendengar jeritan melengking tinggi tadi. Bahkan seluruh prajuritnya juga kaget setengah mati. Tanpa diperintah lagi, mereka segera bersiaga dengan senjata terhunus milik masing-masing. Panglima Widura yang melihat Punggawa Garula, bergegas menghampiri.

"Ada apa. Punggawa?" tanya Panglima Widura langsung.

"Entahlah, Gusti...," sahut Punggawa Garula.

Dan baru juga mulut Panglima Widura terbuka hendak bertanya lagi, mendadak...

"Akh...!"
"Heh...?!"

Kembali mereka dikejutkan oleh terdengarnya pekikan agak tertahan. Panglima Widura bergegas berbalik. Saat itu, terlihat seorang prajurit terhuyung-huyung ke arah panglima ini. Dan tubuhnya langsung jatuh terguling, begitu berada dekat di depan Panglima Kerajaan Pakuan ini.

"Hah...?!"

Kedua bola mata Panglima Widura jadi terbeliak kaget begitu melihat sepotong ranting kering tertancap di leher prajurit ini. Dan belum lagi rasa terkejutnya hilang, kembali terdengar jeritan nyaring melengking yang disusul ambruknya seorang prajurit lagi, dengan sepotong ranting menembus dada.

"Siaga...!" teriak Panglima Widura memberi perintah.

Seketika itu juga, seluruh prajurit yang berjumlah sekitar lima puluh orang langsung membuat lingkaran, melindungi panglimanya.

"Siapa kau?! Cepat keluar...!" teriak Panglima Widura lantang menggelegar.

Teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu menggema sampai ke dalam jurang, dan menyusup di antara lebatnya pepohonan di sekitar hutan ini. Tapi, tidak terdengar sahutan sedikit pun juga. Kini keadaan jadi begitu sunyi dan mencekam. Sedikit pun tidak terdengar suara. Hanya desir angin saja yang terdengar menghembus, mengusik dedaunan. Panglima Widura mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan pada saat matanya terarah ke sebelah kanan, saat itu juga terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menuju ke arah jurang.

"Hup..."

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panglima Widura segera melesat mengejar. Namun bayangan itu dalam sekejapan mata saja sudah lenyap bagai ditelan bumi. Sementara, Panglima Widura sudah berada di bibir jurang. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling.

"Aku di sini, Widura...."
"Heh...?!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara yang begitu berat dari belakangnya. Cepat tubuhnya berbalik. Dan kini di hadapannya sudah berdiri seseorang yang wajahnya begitu sulit dikenali, karena tertutup sebuah caping dari jerami yang cukup besar.

Orang itu bertubuh bungkuk, terbungkus pakaian compang-camping. Tampak sebuah benjolan besar seperti tumbuh di punggungnya. Tidak ada satu senjata pun terlihat, kecuali sebatang tongkat kayu yang tergenggam di tangan kanannya. Kelihatannya tongkat itu tidak berarti, dan hanya sekadar menyanggah tubuhnya yang bungkuk. Namun siapa tahu, justru di dalamnya mengandung kekuatan dahsyat.

"Siapa kau...?!" tanya Panglima Widura dengan suara agak keras membentak.

"Kau tentu sudah tidak lagi mengenaliku, Widura? Tapi aku tidak akan pernah bisa melupakanmu, karena tubuhku seperti ini akibat perbuatanmu. Nah.. Malam ini juga aku akan membuat perhitungan padamu," terasa begitu dingin suara orang bertubuh bungkuk ini.

"Heh...?! Perhitungan apa...? Aku saja baru kali ini bertemu denganmu, Kisanak," terdengar agak terkejut nada suara Panglima Widura.

"Kau lupa, Widura. Kita pernah sekali bertemu. Namun, pertemuan itu tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Kau begitu kejam, Widura. Kau waktu itu mencoba membunuhku, tapi sang Hyang Widi belum menghendaki aku mati. Dan pertemuan yang kedua ini, sengaja kedatanganku untuk sedikit menghirup darahmu," masih terasa begitu dingin nada suara orang aneh itu.

"Siapa kau sebenarnya...?" tanya Panglima Widura.

"Delapan belas tahun... Waktu yang cukup lama untuk menunggu dan membalas semua perbuatan kejimu, Widura," masih terasa begitu dingin suara orang itu, tanpa menjawab pertanyaan Panglima Widura tadi.

"Heh...?! Kau...," suara Panglima Widura jadi tercekat di tenggorokan.

Orang berpakaian kumal seperti gembel itu perlahan mengangkat tangan kirinya ke atas. Lalu, dibukanya tudung jerami yang menutupi kepala serta sebagian wajahnya. Dan begitu tudung jerami itu terlepas dari kepala, kedua bola mata Panglima Widura jadi terbeliak lebar. Bahkan mulutnya jadi ternganga bagai melihat sosok hantu yang begitu mengerikan.

Sungguh sulit dipercaya dengan apa yang dilihatnya ini. Wajah orang itu demikian hitam bagai arang. Rambutnya yang jarang, dibiarkan meriap tidak teratur. Seluruh kulitnya juga hitam, penuh benjolan. Dan ketika dadanya dibuka, terlihat gambar sebuah telapak tangan berwarna merah agak kehitaman, hingga hampir tidak terlihat dalam sepintas saja.

"Kau...," suara Panglima Widura semakin tercekat.

Seketika Panglima Widura kembali teringat pada peristiwa delapan belas tahun yang lalu di tempat ini. Peristiwa yang sampai sekarang sulit dilupakan. Sementara, orang bertubuh hitam terbungkus pakaian kumal penuh tambalan itu tersenyum menyeringai lebar. Dengan senyum itu, dia memperlihatkan baris-baris giginya yang runcing dan tidak teratur, bagaikan barisan gigi binatang buas. Sorot matanya begitu tajam memerah, menatap lurus ke bola mata Panglima Widura. Seakan-akan, dia ingin melumat panglima itu lewat sorot matanya.

"Ya! Aku. Tapi, aku sering dipanggil Datuk Muka Hitam. Dan akulah anak kecil tanpa daya yang tidak punya dosa apa-apa padamu, tapi malah ingin kau bunuh. Dan sekarang aku datang, Widura. Datang dengan membawa pembalasan," masih terdengar dingin sekali nada suara orang bertubuh hitam yang mengaku bernama Rahkapa.

"Maafkan aku, Rahkapa. Waktu itu, aku hanya menjalankan perintah saja. Aku tidak tahu apa-apa," ujar Panglima Widura bernada menyesal. "Ketahuilah, Rahkapa. Sampai saat ini aku terus menyesali semua yang telah kulakukan padamu. Itulah sebabnya, setiap saat aku datang ke sini untuk mengenang semua itu."

"Hanya dengan mengenang, tidak akan bisa menyelesaikan persoalan, Widura."

"Ya, aku tahu itu. Tapi, maafkanlah aku..."

"Hhh! Tidak kusangka! Orang yang begitu kejam, ternyata sekarang merintih ketakutan seperti tikus got. Di mana kegaranganmu, Panglima Widura...!"

Panglima Widura hanya diam saja. Dia tahu dengan cara apa pun, Rahkapa yang sudah dikenal sebagai Datuk Muka Hitam itu tidak akan bisa memaafkan semua yang sudah dilakukannya delapan belas tahun yang lalu.

"Kau lihat, Widura. Akibat dari perbuatanmu itu, aku tidak punya lagi masa depan. Semua orang takut dan jijik melihatku. Kau harus membayar semua ini, Widura. Kau harus merasakan, bagaimana hidup terhina dan dijauhi orang," semakin dingin nada suara Rahkapa.

Panglima Widura masih tetap diam. Tapi tangannya sudah mencekal gagang pedang yang masih tergantung di pinggang. Disadari, tidak ada jalan lain lagi, kecuali membela diri. Walaupun dalam hatinya merasa bersalah, tapi dia tidak mau menerima nasib begitu saja tanpa ada perlawanan sama sekali. Sementara itu, para prajurit yang bersama Panglima Widura sudah mengepung tempat ini. Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti, persoalan apa yang terjadi pada diri panglimanya ini. Tapi, mereka sudah siap dengan senjata terhunus, siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

"Terimalah pembalasanku, Widura! Hiyaaa...!"

"Hap...!"

DUA

Disertai teriakan begitu keras menggelegar bagai guntur, Rahkapa menghentakkan tangan kanannya ke depan, setelah tongkat kayunya dipindahkan ke tangan kiri. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan kanannya meluncur kilatan bola api yang begitu cepat. Akibatnya Panglima Widura jadi terkesiap sesaat. Untung tubuhnya cepat melenting ke atas. Sehingga, kilatan api dari telapak tangan laki-laki berjuluk Datuk Muka Hitam itu lewat di bawah telapak kakinya.

"Yeaaah..!"

Baru saja Panglima Widura menjejakkan kakinya di tanah, Rahkapa sudah berteriak keras sambil menghentakkan tangan kanannya lagi ke depan. Maka kilatan api kembali meluncur cepat sekali ke arah panglima ini. Dan untuk kedua kalinya, Panglima Widura harus melenting ke udara. menghindari serangan yang sangat dahsyat ini. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian indah sekali kakinya menjejak tanah. Sementara, di belakangnya sudah berkobar api dari pepohonan yang menjadi sasaran dan serangan si Datuk Muka Hitam ini.

"Ternyata kau tangguh juga, Panglima Widura," desis Rahkapa dingin.

"Hm," Panglima Widura hanya sedikit menggumam.

"Sekarang kita mengadu jiwa, Panglima Widura. Hiyaaat...!"

"Hap!"

Cepat sekali Rahkapa melompat sambil mengayunkan tongkat kayunya ke arah kepala. Tapi dengan gerakan manis, Panglima Widura berhasil menghindarinya. Lalu, dia cepat melompat ke belakang dua langkah. Namun pada saat itu, tanpa diduga sama sekali Rahkapa menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan seketika, kilatan cahaya merah melesat ke arah panglima ini.

"Heh?! Hup...!"

Panglima Widura jadi terkesiap juga mendapat serangan yang begitu cepat dan tidak diduga sama sekali. Maka tubuhnya cepat melenting ke atas sambil berputar ke belakang. Dengan demikian serangan Datuk Muka Hitam tidak sampai mengenai sasaran. Dan dengan gerakan yang begitu indah, Panglima Widura kembali menjejakkan kakinya di tanah. Pada saat itu juga...

"Seraaang...!"
"Hey! Jangan...!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Punggawa Garula berteriak keras memberi perintah untuk menyerang Datuk Muka Hitam. Panglima itu cepat-cepat berteriak mencegah, tapi para prajurit sudah lebih dulu berlompatan menyerang orang bertubuh hitam legam ini.

"Keparat! Monyet-monyet cari mampus rupanya kalian, hah...! Yeaaah...!"

Rahkapa jadi geram mendapat serangan dari para prajurit yang sejak tadi memang sudah tidak sabar lagi melihat panglimanya diserang begitu rupa. Sambil menggeram keras, Rahkapa cepat memutar tubuhnya sambil cepat sekali mengebutkan tongkat kayunya yang kelihatannya seperti tak berarti. Begitu cepatnya, sehingga membuat tiga orang prajurit tidak lagi dapat menghindarinya. Dan mereka jadi menjerit, begitu ujung kayu Datuk Muka Hitam merobek tubuhnya. Ketiga prajurit itu seketika ambruk bergelimang darah.

"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"

Rahkapa yang menjuluki diri sebagai Datuk Muka Hitam itu terus bergerak cepat, mengamuk dengan sabetan tongkatnya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga prajurit-prajurit dan Kerajaan Pakuan ini tidak dapat lagi menahan. Maka jeritan-jeritan kematian pun semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh berlumuran darah sudah mulai bergelimpangan di sekitar pertarungan ini.

Sementara, Panglima Widura yang melihat dalam beberapa gebrakan saja prajuritnya sudah banyak yang tewas, jelas tidak mau tinggal diam begitu saja. Terlebih lagi, Rahkapa memang bukan tandingan para prajurit yang kepandaiannya sangat rendah ini.

"Mundur kalian semua ..!" seru Panglima Widura lantang menggelegar, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.

Teriakan Panglima Widura yang menggelegar ini membuat para prajurit yang sedang mengeroyok Rahkapa jadi berlompatan mundur. Sementara, Rahkapa sudah berdiri tegak dengan tongkat kayunya tersilang di depan dada. Tampak ujung tongkatnya sudah basah oleh lumuran darah. Dan pandangannya langsung diarahkan dengan tajam pada Panglima Widura.

"Kembali kalian ke istana!" perintah Panglima Widura pada prajurit prajurirnya.

"Tapi, Gusti...," selak Punggawa Garula terputus.

"Kembali kataku! Ini perintah, Punggawa!" bentak Panglima Widura lantang.

Punggawa Garula tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Dengan perasaan kecewa, prajurit-prajuritnya yang tersisa lantas diperintahkan untuk menjauhi tempat pertarungan di tepi jurang ini. Sementara Panglima Widura tetap berdiri tegak berhadapan dengan Rahkapa.

"Delapan belas tahun rupanya sudah membuatmu berubah, Widura. Kau kini sudah menjadi pemimpin yang baik," desis Rahkapa dingin, bernada mengejek.

"Ini persoalan antara aku denganmu, Rahkapa. Mereka tidak perlu ikut campur mengorbankan nyawa," dengus Panglima Widura tidak kalah dingin.

"Bagus! Memang hanya kau yang kuinginkan, Widura. Nah! Sekarang, bersiaplah menyambut kematianmu! Hiyaaat. !"

Sambil berteriak keras menggelegar, Datuk Muka Hitam melesat cepat bagai kilat. Langsung diserangnya Panglima Kerajaan Pakuan ini. Tongkat kayunya dikebutkan cepat sekali disertai pengerahan tenaga dalam ke arah kepala.

"Haiiit...!"

Tapi hanya sedikit saja Panglima Widura mengegoskan kepala, serangan Datuk Muka Hitam tidak sampai mengenai sasaran. Dan pada saat tongkat kayu itu lewat di atas kepalanya, dengan kecepatan yang sangat tinggi dan sukar diikuti pandangan mata biasa, Panglima Widura menghentakkan tangan kirinya. Langsung diberikannya satu sodokan keras ke arah perut lawannya ini.

"Hih!"
"Hap!"
Bet!

Cepat Rahkapa mengebutkan tongkatnya berputar ke bawah, hingga membuat Panglima Widura terpaksa harus menarik kembali tangannya. Dan saat itu juga, Rahkapa menghentakkan kaki kirinya ke depan.

"Hap!"

Panglima Widura tak punya lagi kesempatan untuk menghindari tendangan Datuk Muka Hitam. Maka tangan kanannya cepat dihentakkan untuk menangkis tendangan kaki kiri yang begitu cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ini. Akibatnya....

Plak!
"Ikh...?!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget begitu tangkisannya mengenai kaki Rahkapa. Seluruh persendian tulang tangannya kontan jadi nyeri bagai retak. Rasanya, tangannya tadi seperti membentur sebongkah batu karang yang begitu keras. Cepat-cepat Panglima Widura melompat ke belakang menjaga jarak. Sedangkan Rahkapa sudah berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan senyum lebar yang mirip sebuah seringai. Kedua bola matanya memerah liar menatap lawannya ini.

"He he he...! Kau belum mampu untuk mengalahkan aku sekarang, Widura. Sekarang, berlututlah sebelum batang lehermu kupenggal."

"Hhh!"

Panglima Widura hanya menghembuskan napas sedikit saja dengan berat. Kakinya bergeser perlahan ke kanan sambil mengurut tangannya yang masih terasa nyeri akibat berbenturan dengan kaki Datuk Muka Hitam ini. Sementara itu, agak jauh dan tepian jurang Punggawa Garula dan para prajuritnya ternyata masih terus menyaksikan dengan dada berdebar. Mereka berharap panglimanya bisa menghancurkan manusia buruk bertubuh hitam itu.

"Cabut senjatamu, Panglima!" bentak Rahkapa menantang. "Kau tidak akan bisa bertahan lama tanpa senjata!"

"Jangan terlalu besar kepala, Rahkapa! Kau pikir aku sudah kalah, heh...?!" desis Panglima Widura, dingin sekali.

"He he he...! Sebentar lagi ajalmu datang, Widura."

"Phuih!"

Panglima Widura menyemburkan ludahnya dengan sengit. Semula, dia memang merasa bersalah terhadap manusia bermuka hitam ini, sehubungan peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu. Tapi melihat kecongkakan Datuk Muka Hitam, rasa bersalahnya mendadak saja lenyap. Bahkan jadi muak melihat tingkah yang congkak merendahkan ini. Panglima Widura seperti lupa akan peristiwa delapan belas tahun lalu. Yang ada dalam kepalanya sekarang adalah, mencari cara untuk bisa mengalahkan manusia bermuka hitam yang sangat tangguh ini.

"Hih! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura tiba-tiba saja melesat cepoi bagai kilat menerjang Datuk Muka Hitam ini. Seketika satu pukulan yang teramat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi pun dilepaskan ke arah kepala.

"Haiiit..!"

Tapi dengan egosan kepala yang manis sekali. Rahkapa berhasil menghindarinya. Bahkan tanpa diduga sama sekali tangan kirinya dihentakkan, memberi satu sodokan ke arah perut.

"Hap!"

Panglima Widura cepat-cepat meliukkan tubuhnya ke udara, lalu melenting ke belakang menghindari sabetan tongkat kayu yang menyusul begitu cepat ke arah dada. Sehingga ujung tongkat yang cukup runcing itu lewat sedikit saja di depan dadanya. Kemudian, manis sekali Panglima Widura menjejakkan kakinya di tanah.

"Hih!"

Namun belum juga bisa menegakkan tubuhnya dengan sempurna, Rahkapa sudah melancarkan serangan lagi. Tongkatnya berkelebatan begitu cepat, hingga membuat Panglima Widura terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Beberapa kali ujung tongkatnya hampir merobek tubuh panglima ini. Namun, dengan gerakan manis sekali Panglima Widura bisa menghindarinya. Bahkan beberapa kali pula serangan balasannya sempat membuat Datuk Muka Hitam jadi kelabakan.

Pertarungan pun berlangsung semakin sengit saja. Masing-masing berusaha menjatuhkan lawan secepatnya. Serangan-serangan dahsyat berhawa maut datang silih berganti. Rahkapa yang semula menganggap enteng Panglima Widura, kini kedua bola matanya seakan baru terbuka. Ternyata tidak mudah untuk menjatuhkan panglima ini. Walaupun kekuatan tenaga dalam yang dimiliki satu sama lain cukup seimbang, tapi gerakan-gerakan Panglima Widura memang lebih gesit. Dan memang, Panglima Widura lebih berpengalaman dalam pertarungan.

Hingga dalam satu kesempatan, Panglima Widura melenting ke atas kepala lawannya. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Panglima Widura memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah, tepat di belakang lawannya ini. Saat itu juga, satu pukulan yang sangat keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan tepat mengarah ke punggung. Begitu cepat serangannya, sehingga Rahkapa tidak dapat lagi menghindarinya.

Buk!
"Akh...!"

Rahkapa jadi terpekik keras agak tertahan, begitu punggungnya terkena pukulan yang sangat keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, tubuhnya terpental ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah, hampir saja kejadian delapan belas tahun yang lalu terulang. Dan kalau saja tidak segera menancapkan tongkatnya ke tanah, dan menjadikannya penghalang tubuhnya, pasti tubuhnya bisa terjerumus masuk ke dalam jurang yang penuh batu sebesar kerbau. Untung saja, dia terhindar dari kematian di dasar jurang.

"Hup!"

Cepat-cepat Rahkapa melompat bangkit berdiri. Tapi punggungnya yang berpunuk seperti unta itu jadi nyeri akibat pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang diterimanya tadi. Mulutnya meringis sedikit. Lalu tongkatnya yang sudah tercabut dari tanah di depan dada cepat diputarnya.

"Phuih!"
Wut! Wut! Wut...!

Putaran tongkat kayu itu semakin lama semakin cepat, hingga akhirnya bentuknya lenyap dari pandangan. Dan yang terlihat hanya lingkaran yang berputar begitu cepat, menimbulkan suara angin menderu bagai badai.

Sementara, Panglima Widura menggeser kakinya perlahan ke kanan. Tangan kanannya menggenggam pedang yang sejak tadi masih tersimpan dalam warangkanya di pinggang. Sedangkan Rahkapa terus memutar cepat tongkatnya. Dan tiba-tiba saja....

"Hiyaaa...!"

Begitu terdengar teriakan yang sangat keras menggelegar, mendadak saja Rahkapa melepaskan tongkatnya yang berputar cepat sekali. Maka tongkat itu meluruk deras bagai kilat dengan gerakan berputar cepat menerjang Panglima Widura.

"Hap!"
Cring!
Bet!

Panglima Widura cepat sekali mencabut pedangnya, dan langsung dikebutkan ke arah tongkat yang berputar meluruk deras menyerangnya.

Tring!
"Heh...?!"

Untuk kedua kalinya Panglima Widura jadi terperanjat setengah mati. Seolah-olah pedangnya terasa membabat senjata dari baja yang begitu kuat. Dan ini membuatnya terpaksa harus melangkah ke belakang dua tindak. Sementara, tongkat kayu Datuk Muka Hitam berputar balik ke pemiliknya. Kemudian, manis sekali Rahkapa menangkap tongkatnya yang berputar melayang hampir melewati kepalanya.

"Hap! Yeaaah...!"

Rahkapa langsung menghantamkan tongkatnya ke tanah. Seketika itu juga, terdengar ledakan keras menggelegar bagai gunung berapi memuntahkan laharnya. Tanah yang dipijak pun jadi bergetar seperti diguncang gempa. Dan tiba-tiba saja, tanah di depan Rahkapa bergerak membelah, membuat sebuah jurang yang sangat dalam.

Panglima Widura jadi terbeliak melihat tanah yang terbelah itu cepat sekali bergerak menuju kearahnya. Bergegas tubuhnya melenting ke belakang sambil berputaran cepat. Sementara, tanah yang terbelah itu terus bergerak mengikuti ke mana saja Panglima Widura bergerak menghindar.

"Edan...! Ilmu apa yang digunakannya ini...?" desis Panglima Widura dalam hati.

Memang sangat aneh ilmu yang dimiliki Rahkapa. Tanah yang terbelah itu langsung merapat setiap kali kakinya melangkah ke depan. Dan tanah itu terus bergerak membelah, mengikuti setiap gerakan Panglima Widura dalam menghindar.

"Hup! Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura tiba-tiba saja melesat cepat sekali ke belakang. Dan begitu kakinya menjejak tanah, seketika itu juga sebatang pohon di dekatnya dihantam dengan tangan kanannya.

Brak!

Maka pohon berukuran sangat besar itu seketika tumbang hanya dengan sekali pukul saja. Sebentar saja pohon itu ambruk ke atas tanah yang berlubang dan bergerak mengarah ke panglima ini. Dan saat itu juga...

"Ikh...?!"

Rahkapa tampak terpekik kaget melihat pohon itu ambruk menjatuhi tanah berlubang yang dibuatnya ini. Begitu terkejutnya, sampai terlompat ke belakang. Dan seketika itu juga, tanah yang tadi terbelah langsung cepat menutup kembali, menjepit pohon yang ditumbangkan Panglima Widura tadi. Tepat pada saat Datuk Muka Hitam masih terkejut, Panglima Widura sudah melesat cepat bagai kilat menyerangnya.

"Hiyaaat..!"
Bet!

Cepat sekali Panglima Widura membabatkan pedangnya ke arah leher lawannya yang bermuka hitam ini. Tapi Rahkapa seolah cepat pula mengibaskan tongkatnya, menangkis serangan ini.

Trang!

Kembali dua senjata itu beradu keras, sampai memercikkan bunga api yang menyebar ke segala arah. Dan pada saat itu juga, Panglima Widura cepat menghentakkan kaki kirinya ke depan, sambil meliuk hingga miring ke kanan. Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Panglima Widura, sehingga Rahkapa tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...

Diegkh!
"Akh...!"

Rahkapa kontan menjerit keras, begitu dadanya telak terhantam tendangan kaki Panglima Widura. Begitu kerasnya tendangan ini, sampai membuatnya terpental cukup jauh ke belakang. Saat itu juga Panglima Widura melesat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh mengejar lawannya.

"Yeaaah...!"
Bet!

Kembali Panglima Widura membabatkan pedangnya dengan kecepatan bagai kilat. Sedangkan Rahkapa yang sama sekali belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, sudah barang tentu tidak mungkin bisa menghindari. Namun di saat ujung pedang Panglima Widura hampir membelah dada lawannya ini, mendadak saja...

Slap!
"Heh...?!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat bagai kilat. Dan belum juga hilang keterkejutannya, bayangan hitam itu sudah lenyap tidak berbekas sama sekali.

"Hah...?!"

Kembali Panglima Widura terbeliak. Lenyapnya bayangan hitam itu, ternyata bersamaan dengan hilangnya Datuk Muka Hitam yang sedang melayang akibat terkena tendangan Panglima Widura yang bertenaga dalam tinggi di dadanya tadi. Hilangnya Datuk Muka Hitam bukan saja mengejutkan Panglima Widura. Bahkan Punggawa Garula dan semua prajurit yang belum meninggalkan tempat itu juga jadi ternganga, seperti tidak percaya.

Panglima Widura berdiri tegak dengan pedang tersilang di depan dada. Begitu tersadar, pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Dan kakinya perlahan bergerak melangkah ke depan. Ayunan kakinya segera terhenti, tepat di tempat Datuk Muka Hitam tadi berada sebelum menghilang bersamaan dengan sebuah kelebatan bayangan hitam yang begitu cepat bagai kilat tadi.

"Hm...," Panglima Widura menggumam kecil. Sorot matanya tertuju pada prajurit-prajuritnya yang masih tetap berada cukup jauh dari tempatnya berdiri ini. Sedikit Panglima Widura menarik napas panjang. Dan pandangannya kemudian beralih ke arah mulut jurang yang menganga tidak jauh di sebelah kanannya. Jurang itu tampak menghitam pekat, tanpa sedikit pun mendapat cahaya. Karena memang, malam ini sama sekali tidak terlihat bulan muncul memancarkan cahaya. Langit tampak menghitam kelam terselimut awan yang begitu tebal. Dan angin pun baru terasa begitu keras berhembus, menyebarkan udara dingin yang menggigilkan tubuh.

Panglima Widura bergegas melangkah kembali ke tendanya begitu merasakan titik-titik air mulai turun menyentuh kulit tubuhnya. Sempat diperintahkannya para prajuritnya untuk masuk ke dalam tendanya masing-masing. Dan begitu tidak lagi terlihat seorang pun berada di luar, hujan seketika turun deras bagai ditumpahkan dari langit.

********************

TIGA

Matahari bersinar begitu terik siang ini. Tanah yang basah terguyur hujan lebat semalam begitu cepat kering, bagai tidak pernah tersiram air sama sekali. Dan di bawah siraman cahaya matahari yang teramat terik ini, Panglima Widura tampak memacu cepat kudanya menuju arah selatan dari Kotaraja Pakuan. Kuda yang dipacu cepat itu mengakibatkan debu mengepul membubung tinggi ke angkasa.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Panglima Widura semakin cepat memacu kudanya setelah melewati bangunan batu yang menjadi pembatas Kotaraja Pakuan. Kudanya terus dipacu cepat, menuju arah selatan. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin cepat pula kudanya dipacu.

"Hooop...!"

Panglima Widura baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di sebuah hutan yang kelihatan tidak begitu lebat. Sebentar dia duduk diam di atas pelana kudanya, memandang lurus ke arah hutan di depannya. Kemudian dengan gerakan indah dan ringan sekali, Panglima Widura melompat turun dari punggung kudanya.

"Kau tunggu di sini. Aku tidak lama," kata Panglima Widura pada kudanya, sambil menepuk lembut leher binatang tunggangannya.

Seperti mengerti saja, kuda itu menganggukkan kepalanya sambil mendengus pendek. Sementara, Panglima Widura sudah melangkah memasuki hutan ini dengan ayunan kaki cepat dan lebar-lebar. Hutan yang tidak begitu lebat ini memang memudahkan baginya untuk bergerak cepat. Sebentar saja Panglima Widura sudah jauh masuk ke dalam hutan, karena memang mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Sebentar, saja Panglima Widura sudah tiba di tengah-tengah hutan yang tidak begitu lebat ini. Tampak di depannya berdiri sebuah pondok kecil yang dinding-dindingnya terbuat dari belahan kayu yang sudah banyak lubangnya. Bahkan atapnya pun kelihatan seperti hendak roboh.

"Kenapa kau berdiri saja di situ, Widura. Ayo masuk...!"

Tiba tiba saja terdengar suara yang sangat nyaring dari dalam pondok. Panglima Widura yang tengah berdiri mematung, jadi tersentak kaget. Cepat kakinya melangkah menghampiri pondok kecil itu. Begitu sampai di depan pondok, tangannya segera mendorong pintu yang sudah lapuk perlahan-lahan. Bau yang tidak sedap langsung menyeruak menusuk hidung dari dalam pondok ini. Tapi, Panglima Widura seperti tidak peduli dan terus melangkah masuk.

Pondok kecil ini ternyata hanya terdiri sebuah ruangan saja. Dan di tengah-tengahnya, tampak duduk seorang perempuan berusia lanjut. Rambutnya yang sudah memutih semua, dibiarkan meriap tidak teratur. Pakaiannya yang berwarna putih, sudah kelihatan usang dan mulai menguning. Sebatang tongkat berbentuk kepala ular yang menjulurkan lidah, tergeletak di sebelah kanan. Panglima Widura menghampin perempuan tua itu. Dan tanpa diminta lagi, dia duduk beralaskan sebuah tikar usang yang sudah banyak tambalannya, tepat di depan wanita tua ini.

"Terimalah sembah hormatku, Nyai Wisanggeni," ucap Panglima Widura seraya memberi penghormatan dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Sudah! Tidak perlu bersikap begitu di depanku, Widura. Ingat, ini bukan di istana."

"Maaf, Nyai."

"Kau datang ke sini tentu membawa persoalan. Apa yang membuat pikiranmu kalut di Istana Pakuan, Widura?" tanya wanita tua yang ternyata Nyai Wisanggeni, guru tunggal panglima perang dari Kerajaan Pakuan ini.

"Benar, Nyai," sahut Panglima Widura singkat.

"Persoalan apa yang kau bawa dari istana?" tanya Nyai Wisanggeni lagi.

"Bukan dari istana, Nyai."
"Lalu...?"

Panglima Widura tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan begitu berat untuk mengatakan persoalan yang sedang dihadapinya sekarang ini. Sementara, Nyai Wisanggeni hanya memandangi dengan sorot mata begitu tajam, langsung menembus kedua bola mata muridnya ini.

"Katakan, Widura. Persoalan apa yang sedang kau hadapi sekarang?" desak Nyai Wisanggeni.

"Maaf, Nyai. Ini persoalan lama. Persoalan yang terjadi delapan belas tahun yang lalu," ujar Panglima Widura pelan.

"Hm.... Jangan bermain tebak-tebakan denganku, Widura. Katakan saja dengan jelas."

"Nyai.... Apakah Nyai ingat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu di pinggir jurang sebelah timur Kerajaan Pakuan? Dalam peristiwa itulah untuk pertama kalinya aku harus melenyapkan nyawa orang...," ujar Panglima Widura, pelan dan terputus.

"Kenapa kejadian lama mesti diungkit lagi, Widura?"

"Anak itu, Nyai...," kembali suara Panglima Widura terputus.

"Apa maksudmu dengan anak itu, Widura?"

"Anak itu masih hidup, Nyai. Dan dia ingin membalas dendam padaku."

"Hik hik hik...!"

Entah kenapa, tiba-tiba saja Nyai Wisanggeni jadi tertawa terkikik mendengar penuturan murid tunggalnya. Sedangkan Panglima Widura hanya diam saja tertunduk.

"Kenapa jadi ketakutan begitu, Widura? Kau sekarang seorang panglima. Dan aku sudah mempersiapkan dirimu agar bisa memegang tampuk kekuasaan di Pakuan kelak. Jangan membuatku malu Widura...! Hanya persoalan bocah gembel saja, membuatmu jadi seperti tikus!" agak mendengus nada suara Nyai Wisanggeni.

"Tapi, Nyai.... Anak itu sekarang sudah lain. Kepandaiannya sudah sangat tinggi. Dan aku sempat bertarung dengannya," selak Panglima Widura mencoba menjelaskan.

"Keparat...! Kau memuji orang lain di depanku, Widura...!" sentak Nyai Wisanggeni dengan mata mendelik lebar.

"Maaf, Nyai. Bukan maksudku begitu. Tapi...."

"Kau kalah...?" potong Nyai Wisanggeni cepat.

"Tidak, Nyai. Aku bahkan hampir menewaskannya. Tapi...."

Tapi kenapa, Widura?"

"Tiba-tiba saja datang orang menolongnya."

"Siapa?"

"Aku tidak tahu, Nyai. Aku tidak sempat melihat jelas. Orang itu muncul tiba-tiba dengan gerakan cepat. Dan anak itu langsung dibawanya pergi sebelum aku sempat menyadari Tapi, aku menduga kalau dia gurunya. Nyai."

"Hm, bodoh! Percuma saja aku mengajarimu kepandaian kalau hanya masalah itu saja tidak bisa mengatasi," dengus Nyai Wisanggeni, tidak senang.

"Maaf, Nyai. Aku hanya merasa kalau ini bukan persoalan biasa lagi. Anak itu pasti akan muncul kembali dengan kekuatan baru. Bahkan dia bersumpah tidak akan berhenti sebelum membunuhku dan juga kau, Nyai "

"Hhh! Dia boleh coba..." dengus Nyai Wisanggeni

"Maaf, Nyai. Kedatanganku hanya untuk menyampaikan itu saja. Aku ingin agar kau hati-hati," ujar Panglima Widura.

"Jangan menasihatiku, Widura. Pikirkan saja dirimu! Yang penting sekarang, jangan pikirkan bocah gelandangan itu. Kau harus memusatkan perhatian pada rencanamu. Rencana kita berdua. Pakuan harus bisa kau rebut ingat itu...."

"Aku tidak akan melupakannya, Nyai."
"Bagus...! Sekarang, pergilah."
"Baik, Nyai."

Setelah memberi hormat, Panglima Widura kemudian bangkit berdiri. Kakinya terus melangkah keluar meninggalkan gurunya ini. Panglima Widura terus melangkah cepat tanpa berpaling lagi ke belakang, keluar dari dalam hutan ini.

********************

Panglima Widura memacu cepat kudanya meninggalkan hutan di sebelah selatan Kotaraja Pakuan. Sementara, matahari sudah mulai condong ke arah barat. Kudanya terus dipacu cepat tanpa sedikit pun berpaling ke belakang. Pikirannya benar-benar kalut saat ini. Wajah bocah kecil yang dilemparkannya ke dalam jurang terus membayang di pelupuk matanya. Tapi entah kenapa, gurunya justru sama sekali tidak menghiraukan. Padahal, sekarang bocah itu bukan lagi seorang anak yang lemah tanpa daya. Tapi seorang pemuda berwajah buruk yang memiliki kesaktian dahsyat.

Panglima Widura memperlambat lari kudanya saat melihat sebuah kedai yang berdiri tidak jauh dari perbatasan masuk ke kota. Kedai itu kelihatan sunyi, seperti tidak ada pengunjungnya. Apalagi letaknya terlalu jauh dari daerah pemukiman penduduk. Panglima Widura menghentikan langkah kudanya setelah tiba di depan kedai yang cukup terbuka bagian depannya. Dengan gerakan ringan sekali, dia melompat turun. Sebentar diamatinya bagian dalam kedai itu.

Hanya ada tiga orang saja di dalam kedai yang tidak begitu besar ini. Panglima Widura mengayunkan kakinya, memasuki kedai. Seorang laki-Iaki tua tampak tergopoh-gopoh menghampiri dari dalam, dan menyambutnya dengan senyum lebar dan tutur kata ramah. Panglima Widura tersenyum sedikit, lalu melangkah masuk mengikuti orang tua yang ternyata pemilik kedai. Orang tua itu memilihkan tempat dekat dengan jendela yang besar dan terbuka lebar. Sebentar Panglima Widura mengedarkan pandangan ke sekeliling beberapa saat.

Di sudut ruangan kedai ini, terlihat sepasang manusia menghadapi dua guci arak dan makanan yang cukup nikmat. Dan di sudut satu lagi, terlihat seorang berpakaian serba hitam yang duduk membelakangi Panglima Widura, sehingga sulit untuk dapat melihat wajahnya. Panglima Widura tidak menghiraukan mereka. Dipesannya makanan dan seguci arak pada pemilik kedai ini yang masih menunggui dengan sabar.

"Jangan terlalu lama Ki," pesan Panglima Widura sebelum orang tua pemilik kedai itu meninggalkannya.

"Baik, Den," sahut pemilik kedai itu.

Tapi belum juga orang tua itu melangkah jauh, tiba-tiba saja terdengar suara yang cukup berat

"Berikan saja punyaku padanya. Nih...!"

"Heh...?!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba melayang sebuah gelas bambu ke arahnya. Cepat tangannya dikibaskan, menangkap gelas itu dengan mantap sekali. Gelas penuh berisi minuman arak yang berbau harum itu tidak tumpah sedikit pun. Mata Panglima Widura langsung tertuju pada orang yang duduk membelakanginya.

"Terima kasih, Kisanak," ucap Panglima Widura lembut. "Tapi, maaf. Aku sudah memesannya tadi. Dan kuharap, kau mau menerima kembali minumanmu."

Wusss!

Disertai pengerahan tenaga dalam, Panglima Widura kembali melemparkan gelas bambu itu pada orang yang duduk membelakanginya. Seketika gelas bambu itu meluncur deras mengarah ke bagian belakang kepala. Tapi tanpa berpaling sedikit pun, orang berpakaian serba hitam itu menggerakkan tangan kirinya. Dan... tepat sekali gelas bambu yang hampir menghantam bagian belakang kepalanya ditangkap.

"Kau terlalu angkuh menerima pemberian seorang miskin seperti aku, Panglima Widura."

"Heh...?! Kau tahu namaku...?!" Panglima Widura jadi terperanjat.

Belum lagi hilang rasa terkejutnya, orang berpakaian serba hitam itu sudah melesat cepat. Dan tahu-tahu, dia sudah berdiri tidak jauh di depan meja yang ditempati Panglima Widura. Tampak wajah orang itu demikian hitam, seperti arang. Kedua bola matanya terlihat lebar, tidak memiliki kelopak. Sehingga, kelihatannya hampir keluar. Sedang bibir bagian atasnya juga hilang, hingga baris-baris giginya yang besar menghitam jadi terlihat jelas. Pada kedua pipi dan keningnya dipenuhi benjolan kecil, yang membuat wajahnya semakin kelihatan buruk. Dan Panglima Widura jadi terkesiap melihatnya.

Sementara itu, orang tua pemilik kedai ini sudah menghilang entah ke mana. Sedangkan dua orang pengunjung kedai yang lain masih tetap berada pada mejanya. Mereka seperti tidak mempedulikan peristiwa yang terjadi di dalam kedai ini. Sepasang anak muda itu terus menikmati hidangannya. Tapi, sesekali salah seorang yang ternyata seorang gadis cantik berbaju biru muda dengan gagang pedang tersembul dari balik punggung, memperhatikan Panglima Widura yang masih tetap duduk di kursinya memandangi wajah buruk di depannya.

"Siapa kau? Aku tidak mengenalmu," terdengar agak dingin suara Panglima Widura.

"Kau memang belum mengenalku, Panglima Widura. Tapi, kau tentu sudah kenal muridku. Bahkan kau hampir saja membunuhnya untuk kedua kali," sahut orang berwajah hitam dan buruk ini tidak kalah dingin.

"Heh?! Kau...?!"

Kembali Panglima Widura jadi terkesiap, dan suaranya tersekat di tenggorokan. Terbayang lagi wajah Rahkapa yang hitam dan hampir mirip orang yang kini berada di depannya. Tapi orang ini jauh lebih buruk lagi. Bahkan benjolan-benjolan yang ada di kedua tangannya mengeluarkan cairan berlendir yang menyebarkan bau tidak sedap memualkan perut.

"Akulah Datuk Muka Hitam yang sebenarnya, Panglima Widura," orang bermuka hitam dan buruk itu memperkenalkan dirinya. "Sudah sejak tadi kau kutunggu di sini. Aku ingin meminta tanggung jawabmu atas semua yang kau lakukan pada Rahkapa. Dia muridku satu-satunya. Dan kini, dia harus terkurung oleh luka yang kau buat kemarin."

"Itu salahnya sendiri. Dia tidak mau mendengarkan penjelasanku!" sentak Panglima Widura.

"Kau benar-benar keparat yang berkedok panglima, Widura. Sepantasnya, kau jadi pembunuh bayaran saja. Bukan menjadi panglima perang. Dan aku tahu maksud terselubung yang ada dalam kepalamu, Widura. Kau menjadi panglima hanya sebagai kedok saja, karena ada maksud jahat lain dalam kepalamu!"

"Edan...! Jangan sembarangan menuduh kau!" bentak Panglima Widura, langsung memerah wajahnya.

"Kenyataanlah yang mengatakan begitu, Widura. Di depanku kau tidak bisa lagi mengelak"

"Setan keparat! Kau sama saja dengan murid jelekmu itu! Hih...!"

Tiba-tiba saja Panglima Widura menyambar sebuah mangkuk kecil di atas mejanya, dan langsung dilemparkan ke arah Datuk Muka Hitam disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi hanya menggerakan badannya sedikit saja, Datuk Muka Hitam berhasil menghindarinya. Mangkuk kecil itu melesat melewati samping kiri tubuhnya, dan terus meluncur menghantam tiang yang ada di tengah-tengah ruangan kedai ini.

Brak!

Begitu tinggi tenaga dalam Panglima Widura yang dikerahkan, sehingga tiang yang terbuat dari kayu pohon berukuran cukup besar itu hancur berkeping-keping. Dan tentu saja ini membuat atap kedai jadi berderak.

"Hup!"

Melihat atap kedai akan roboh, Panglima Widura cepat melesat ke luar dengan kecepatan bagai kilat. Sedangkan Datuk Muka Hitam juga bergegas melesat mengejarnya. Sepasang anak muda yang sejak tadi tidak peduli terhadap kejadian di dekatnya, mau tidak mau ikut melompat ke luar. Dan saat mereka semua sudah berada di luar, kedai itu pun roboh karena tiang penyangganya sudah hancur terkena lemparan mangkuk kecil tadi.

Sementara itu, Panglima Widura sudah berdiri berhadapan dengan laki-laki buruk berwajah hitam yang mengaku sebagai Datuk Muka Hitam. Sementara tidak jauh dari mereka, terlihat orang tua pemilik kedai bersama sepasang anak muda pengunjung kedai hanya memandangi reruntuhan kedai yang ambruk. Tampak anak muda berwajah tampan berbaju rompi putih itu mencoba menghibur orang tua pemilik kedai. Sementara, Panglima Widura sudah mulai menggeser kakinya perlahan ke kanan. Sedangkan kedua tangannya sudah siap menyilang di depan dada.

"Ini untuk kesengsaraan muridku, Panglima Keparat! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak memaki dengan suara lantang menggelegar, Datuk Muka Hitam yang sebenarnya langsung melompat menerjang Panglima Widura. Tongkat kayu yang bentuknya tidak beraturan dan tergenggam di tangan kanan, seketika diputar begitu cepat hingga hilang bentuknya. Kemudian, tongkat itu dihantamkan tepat ke arah kepala Panglima Widura.

Wut!
"Haiiit...!"

Namun hanya dengan satu egosan kepala yang begitu indah. Panglima Widura berhasil menghindari serangan tongkat Datuk Muka Hitam. Lalu bagai kilat tangan kirinya disodokkan ke perut.

"Upts!"

Datuk Muka Hitam cepat mengegoskan tubuhnya, hingga sodokan tangan kiri Panglima Widura tidak sempat mengenai sasaran. Dan cepat sekali tongkatnya diputar ke bawah, mencoba menghantam tangan kiri yang masih menjulur ke depan itu. Panglima Widura jadi tersentak kaget. Cepat-cepat tangannya ditarik pulang. Tapi pada saat yang sama, Datuk Muka Hitam sudah melesat cepat. Langsung tongkatnya diputar, membabat ke arah dada.

Bet!
"Ikh...?!"

Panglima Widura jadi terbeliak kaget. Cepat tubuhnya melenting ke belakang, menghindari sabetan ujung tongkat yang runcing itu. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu ringan sekali kedua kakinya menjejak tanah. Hingga, jaraknya dengan Datuk Muka Hitam kini jadi sekitar satu batang tombak.

"Hm... Dia lebih dahsyat dari muridnya," gumam Panglima Widura dalam hati.

Walaupun gerakan Datuk Muka Hitam mirip dengan yang dilakukan Rahkapa, tapi kebutan tongkatnya lebih dahsyat! Malah pengerahan tenaga dalamnya juga lebih sempurna. Ini bisa dirasakan Panglima Widura dari hempasan angin kebutan tongkat yang mengandung hawa panas menyengat. Panglima Widura jadi harus lebih berhati-hati menghadapinya. Disadari betul kalau yang dihadapinya sekarang ini seorang guru yang sudah berpengalaman dalam mengarungi rimba persilatan, dengan tingkat kepandaian tinggi sekali. Dan rasanya sukar diukur sampai di mana tingkat kepandaiannya. Perlahan Panglima Widura menggeser kakinya ke kanan, bersamaan menggesernya kaki Datuk Muka Hitam ke depan beberapa langkah.

"Tahan pukulanku! Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Datuk Muka Hitam melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan pada saat itu juga, dilepaskannya satu pukulan dahsyat, disertai pengerahan ilmu kesaktian. Hingga dari telapak tangan kanannya yang menghentak ke depan, melesat secercah cahaya merah bagai api yang meluruk deras bagai kilat menerjang Panglima Widura.

"Hup! Yeaaah...!"

Panglima Widura cepat melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali di atas. Maka serangan Datuk Muka Hitam hanya lewat di bawah kaki panglima ini. Bahkan cahaya merah itu langsung menghantam tanah yang kosong. hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Tampak tanah yang terhantam pukulan dari ilmu kesaktian tingkat tinggi itu jadi terbongkar, dan tanahnya membubung tinggi ke angkasa. Sementara, Panglima Widura masih berputaran beberapa kali di atas, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya, sekitar setengah batang tombak di depan Datuk Muka Hitam.

"Hih! Yeaaah...!"
Cring!
Bet!

Secepat kilat, Panglima Widura menarik pedangnya keluar, dan langsung dibabatkan ke arah dada lawannya sambil melompat ke depan. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Datuk Muka Hitam jadi terperangah kaget. Untung saja tubuhnya cepat mengegos, membuat ujung pedang panglima itu hanya lewat sedikit saja di depan dadanya.

"Lepas! Hih...!"

Mendadak saja Datuk Muka Hitam membentak keras, dengan tangan kiri langsung mengibas cepat bagai kilat ke arah tangan kanan Panglima Widura yang menggenggam pedang. Begitu cepat sentakannya, hingga membuat Panglima Widura tidak sempat lagi berkelit menghindar Dan...

Plak!
"Akh...!"

EMPAT

Panglima Widura jadi terpekik, begitu tangannya terkena hantaman keras dari tangan kiri Datuk Muka Hitam. Akibatnya, pedang yang berada di dalam genggaman tangan kanannya terlepas dan melayang tinggi ke angkasa

"Hup! Hiyaaa...!"

Panglima Widura cepat melesat berusaha mengejar pedangnya yang terpental tinggi ke angkasa. Tapi baru saja melesat, tiba-tiba saja Datuk Muka Hitam sudah melenting dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa. Dan seketika diberikannya satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hih!"

Panglima Widura yang tengah melayang mengejar pedangnya, sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan yang demikian cepat. Akibatnya, dia tidak dapat lagi berkelit. Maka pukulan yang dilepaskan Datuk Muka Hitam tepat menghantam dadanya.

Diegkh!
"Akh...!"

Kembali Panglima Widura terpekik keras agak tertahan. Tubuhnya seketika terpental jauh ke belakang, dan keras sekali menghantam tanah. Kembali panglima itu terpekik dan menggeliat sebentar di tanah. Tampak darah merembes dari sudut bibirnya.

"Phuih!"

Sambil menyemburkan darah yang menggumpal dalam rongga mulutnya, Panglima Widura mencoba bangkit berdiri. Tapi dadanya yang terkena pukulan jadi terasa sesak. Dan pandangannya pun jadi berkunang-kunang. Walaupun bisa berdiri lagi, tapi tubuhnya sudah tidak bisa lagi ditegakkan. Panglima Widura kelihatan limbung. Dan pada kesempatan yang sangat sedikit ini. Datuk Muka Hitam melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa...!"

Namun begitu pukulan Datuk Muka Hitam hampir menghantam dada Panglima Widura, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan putih menghadang serangan.

Plak!
"Ikh...?!"

Datuk Muka Hitam jadi terpekik kaget begitu pukulannya membentur bayangan putih yang berkelebat cepat bagai kilat menghadang arus serangannya. Cepat tubuhnya melenting dan berputaran dua kali ke belakang. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, tampak seorang pemuda berbaju putih tanpa lengan sudah berdiri di depan Panglima Widura. Wajahnya yang tampan semakin terlihat mempesona oleh senyum yang terus mengembang menghiasi bibirnya.

"Bocah keparat! Minggir kau...! Jangan ikut campur urusanku!" bentak Datuk Muka Hitam berang.

"Aku memang tidak ingin mencampuri urusanmu. Tapi kalau kau sudah bertarung tanpa aturan, terpaksa aku harus mencegahnya, Kisanak," terdengar lembut dan kalem sekali nada suara anak muda berbaju rompi putih dengan gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di punggungnya.

"Phuih! Apa hubunganmu dengan si setan keparat itu, heh...?!"

"Tidak ada hubungan apa-apa. Maaf, aku hanya tidak bisa melihat kecurangan dalam pertarungan," masih terdengar tenang suara pemuda itu.

"Heh...?! Kecurangan apa yang kulakukan.. ?"

"Kau menggunakan ilmu kesaktian di saat lawan tidak siap menggunakannya. Dan itu satu kecurangan dalam pertarungan. Maaf, aku terpaksa harus menilai pertarunganmu tadi, Kisanak."

"Setan...! Mau cari mampus rupanya, heh...?!"

Pemuda berbaju rompi putih itu hanya tersenyum saja mendengar bentakan Datuk Muka Hitam yang sudah demikian berang. Sementara, Panglima Widura sudah bisa menguasai keadaan. Tarikan napasnya sudah tidak lagi tersengal, walaupun dadanya masih terasa begitu nyeri, akibat pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam dan ilmu kesaktian tadi. Dihampirinya pemuda berbaju rompi putih yang menyelamatkan nyawanya ini.

"Sebaiknya kau menyingkir saja, Anak Muda. Dia terlalu berbahaya untukmu," ujar Panglima Widura. "Dan kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi."

"Tarikan napasmu masih terdengar berat. Paman. Luka dalam yang kau derita cukup parah. Dan rasanya pertarunganmu tidak mungkin bisa dilanjutkan," kata pemuda itu kalem.

"Maaf, Anak Muda. Semua ini urusanku. Sebaiknya kau memang tidak perlu ikut campur. Sekali lagi, maaf...," ujar Panglima Widura sopan.

"Baiklah, Paman. Tapi aku tetap akan mengawasinya, kalau dia melakukan kecurangan lagi."

Setelah berkata demikian, anak muda berbaju rompi putih itu segera menggeser kakinya ke kanan, menjauhi Panglima Widura yang sudah bisa berdiri tegak dengan tarikan napas masih terdengar berat. Dan pemuda berbaju rompi putih itu tahu, Panglima Widura menderita luka dalam yang cukup parah.

"Kau ingin membunuhku, Datuk Muka Hitam? Bunuhlah... Kau punya kesempatan banyak untuk membunuhku. Agar kau puas, Datuk Muka Hitam," tantang Panglima Widura, sambil menatap tajam Datuk Muka Hitam.

"Keparat kau, Widura! Aku tidak suka membunuh orang yang sebentar lagi akan mampus!" geram Datuk Muka Hitam.

"Kenapa? Kau takut, Datuk Muka Hitam...?" ejek Panglima Widura sinis.

Datuk Muka Hitam malah terdiam dengan sorot mata terlihat begitu tajam dan membara, bagai sepasang bola api yang akan menghanguskan seluruh tubuh Panglima Kerajaan Pakuan ini. Sedikit pun suaranya tidak terdengar. Namun, di dalam sorot matanya terpancar sinar dendam membara.

"Hari ini kau beruntung, Widura. Tapi ingat, satu saat kelak aku tidak akan segan-segan lagi memenggal batang lehermu," desis Datuk Muka Hitam dingin menggetarkan.

Setelah berkata demikian, Datuk Muka Hitam langsung memutar tubuhnya, dan sekali genjot saja, tubuhnya sudah melesat cepat bagai kilat Dalam waktu sekejap mata saja, bayangan tubuh Datuk Muka Hitam sudah tidak terlihat lagi. Sementara Panglima Widura memutar tubuhnya perlahan-lahan, hingga berhadapan langsung dengan pemuda berbaju rompi putih yang menyelamatkan nyawanya dari maut.

"Terima kasih, Anak Muda," ucap Panglima Widura.

"Hm," pemuda itu hanya menggumam saja sedikit.

"Kalau bolah kutahu, siapa namamu, Anak Muda?" tanya Panglima Widura.

"Rangga," sahut pemuda itu memperkenalkan namanya.

Dan memang, pemuda berbaju rompi putih yang pedangnya tersampir di punggung itu tidak lain dari Rangga. Di kalangan rimba persilatan, dia lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

"Dan temanku bernama Pandan Wangi," Rangga juga memperkenalkan gadis cantik yang masih berdiri di sebelah orang tua pemilik kedai.

Panglima Widura tersenyum dan menganggukkan kepala pada Pandan Wangi. Gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu membalas dengan sedikit anggukan kepala juga. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri diiringi orang tua yang kedainya hancur akibat pertarungan Panglima Widura melawan Datuk Muka Hitam tadi.

"Maaf kedaimu hancur, Ki. Biar semua kerugianmu aku yang mengganti," ujar Panglima Widura, setelah orang tua pemilik kedai itu dekat bersama Pandan Wangi.

"Ah! Tidak perlu. Gusti Panglima," sahut pemilik kedai itu.

"Tidak, Ki. Aku tetap akan menggantinya."

"Terima kasih, Gusti."

Panglima Widura lalu mengambil kantung kulit yang tergantung di pinggangnya. Kemudian, diserahkannya sekantung uang emas itu pada orang tua pemilik kedai ini yang menerimanya dengan tangan gemetar. Setelah mengucapkan terima kasih berulang kali dengan membungkukkan tubuhnya, orang tua pemilik kedai itu meminta diri. Dan Panglima Widura hanya tersenyum saja mengiringi kepergian pemilik kedai dengan pandangan matanya. Tatapannya baru beralih ke arah Rangga dan Pandan Wangi kembali setelah orang tua pemilik kedai tadi sudah jauh.

"Anak Muda, sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau kalian berdua tidak keberatan, aku mengundang kalian singgah di rumahku," ucap Panglima Widura dengan tutur kata lembut dan ramah sekali.

"Terima kasih," ucap Rangga seraya tersenyum. "Tap, maaf. Sekarang ini, kami masih ada urusan yang harus diselesaikan. Mungkin satu hari nanti, kami akan singgah."

"Kalian berdua sepertinya bukan orang Pakuan. Kalau boleh tahu, ada urusan apa kalian di Pakuan ini?" tanya Panglima Widura tanpa nada curiga sedikit pun.

"Hanya urusan keluarga saja, Gusti Panglima," selak Pandan Wangi cepat, sebelum Rangga membuka suara. Dan gadis itu ikut memanggil dengan sebutan Gusti Panglima pada Widura, sebagaimana pemilik kedai tadi memanggil.

"Kalau begitu, baiklah. Aku pergi dulu. Aku menunggu kalian di kediamanku," ujar Panglima Widura, seraya mengangkat bahunya.

"Mudah-mudahan kami bisa singgah, Gusti Panglima," sahut Rangga seraya membungkukkan tubuh sedikit memberi hormat.

Setelah membalas salam penghormatan Pendekar Rajawali Sakti, Panglima Widura mengambil kudanya. Kemudian dia melompat naik ke punggung kudanya dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sebentar kepalanya berpaling pada kedua pendekar muda dari Karang Setra itu, lalu menggebah kudanya.

Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih tetap berdiri memandangi Panglima Widura yang semakin jauh meninggalkan debu beterbangan diudara. Pandan Wangi baru melangkah mengambil kuda setelah Panglima Widura tidak terlihat lagi. Hanya debu saja yang masih terlihat mengepul di sepanjang jalan yang menuju Kotaraja Pakuan.

"Ayo, Kakang. kita pergi dari sini," ajak Pandan Wangi.

Rangga hanya tersenyum saja. Diambilnya tali kekang kudanya dari gadis itu. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti melompat naik dengan gerakan ringan sekali. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di punggung kuda putih tunggangannya. Dan tanpa bicara lagi, mereka menggebah kudanya hingga berlari kencang ke arah yang sama dengan Panglima Widura.

********************

Kotaraja Pakuan memang sangat padat. Rasanya hampir tidak ada tempat luang lagi. Dan jalan-jalan di sepanjang kota ini begitu padat dilalui orang segala lapisan. Rangga dan Pandan Wangi terpaksa harus menuntun kudanya, karena memang sulit untuk bisa menunggang kuda dengan leluasa di dalam kota yang sangat padat ini. Keringat sudah terlihat mengucur, membanjiri sekujur tubuh mereka. Dan memang, udara di Kotaraja Pakuan ini terasa begitu panas. Seakan-akan matahari berada tepat di atas kepala mereka semua.

"Di mana ada kedai, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Entahlah, Pandan. Kota ini terlalu padat, sampai aku bingung dibuatnya. Aku sendiri tidak tahu lagi, ke arah mana kita sekarang menuju," sahut Rangga juga kebingungan.

"Keluar saja dari sini, Kakang," pinta Pandan Wangi.

"Aku sendiri sudah tidak tahu, ke mana lagi arah keluar," sahut Rangga.

"Lalu, apa kita akan terus terjebak di sini ?"

Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Sementara kakinya terus terayun melangkah sambil menuntun kudanya. Sedangkan Pandan Wangi jadi diam, tidak banyak bicara lagi. Begitu banyak orang yang hilir mudik di jalan ini, hingga membuat kepalanya jadi pening. Belum pernah disaksikan sebuah kota yang begitu padat penduduknya, sampai hampir tidak ada ruang gerak yang tersisa.

Saat mereka tengah kebingungan, tiba-tiba saja Rangga merasakan pundaknya ditepuk seseorang dari belakang. Cepat Pendekar Rajawali Sakti berpaling, dan menghentikan langkahnya. Pandan Wangi jadi ikut berhenti, lalu berpaling ke belakang mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.

"Ki Jumir...," desis Pandan Wangi, begitu melihat seorang laki-laki berusia lanjut berdiri dengan tangan masih menempel di pundak Rangga.

"Kenapa kalian tidak langsung ke rumahku?" tanya orang tua berbaju jubah putih panjang ini. Sebuah tudung bambu yang hampir menutupi wajah laki-laki yang dipanggil Ki Jumir ini tampaknya cukup melindungi kepala dari sengatan matahari.

"Kami tersesat, Ki," sahut Rangga terus terang.

"Kota ini memang terlalu padat. Dan ini bisa kumaklumi. Banyak pendatang yang tidak tahu arah lagi kalau sudah masuk ke kota ini," jelas Ki Jumir seraya tersenyum memaklumi.

"Jauh rumahmu dari sini, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak." sahut Ki Jumir. "Ayo ikuti aku saja."

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu kembali melangkah. Kali ini, mereka tidak perlu khawatir lagi, karena Ki Jumir berjalan di depan. Tudung bambunya kini diturunkan, hingga wajahnya kini benar-benar tertutup dan sukar dikenali. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi di antara banyak orang yang hilir mudik memadati jalan ini.

Orang-orang dari segala lapisan bercampur baur dengan gerobak sapi dan para penunggang kuda. Sehingga, membuat udara yang sudah panas ini semakin terasa menyengat. Tapi semakin jauh kedua pendekar muda itu berjalan mengikuti Ki Jumir, semakin lengang jalan yang dilalui. Hingga akhirnya, mereka tiba pada sebuah jalan yang cukup sunyi dan banyak pepohonan tumbuh di kiri kanan jalan ini.

"Di depan itu rumahku," tunjuk Ki Jumir memberi tahu tanpa berpaling sedikit pun. Lalu tudung bambu yang menutupi seluruh wajahnya dilepaskan.

Tangan orang tua itu menunjuk ke sebuah rumah besar dengan halaman luas, berpagar tembok batu setinggi satu batang tombak. Dan di pintu masuk ke halaman rumah itu tampak dua orang anak muda berseragam biru dengan tombak tergenggam di tangan kanan masing masing. Mereka langsung membungkuk begitu Ki Jumir akan melewati.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Bukan hanya Pandan Wangi yang mengagumi bagian dalam rumah Ki Jumir. Malah Rangga sampai berdecak kagum melihat keindahannya. Namun di balik semua kekaguman itu, terselip suatu pertanyaan dalam kepala Rangga. Terutama soal isi surat Ki Jumir kepadanya yang belum dimengerti. Rangga memang berada di Istana Karang Setra, saat menerima langsung surat dari Ki Jumir yang dibawa seorang utusan.

"Maaf, Ki. Kedatanganku ke sini karena menerima suratmu. Tapi terus terang saja, aku sama sekali tidak melihat adanya sesuatu di sini. Bahkan kau hidup serba berkecukupan. Coba jelaskan arti suratmu itu, Ki..." pinta Rangga langsung.

"Memang tidak akan terlihat dan luar, Rangga," sahut Ki Jumir kalem.

Walaupun orang tua itu tahu kalau pemuda yang menjadi tamunya sekarang ini adalah seorang raja dan juga seorang pendekar ternama yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, tapi tetap saja memanggil dengan nama saja. Dan memang, panggilan seperti itulah yang diinginkan Rangga kalau sedang berada di luar Istana Karang Setra.

Rangga selalu menganggap dirinya sama seperti orang lain. Yang jelas kedudukannya sebagai raja jangan sampai menjadi penghalang dalam pengembaraannya sebagai pendekar penegak keadilan dan kebenaran. Apalagi dia memang lebih banyak hidup mengembara daripada harus diam di dalam lingkungan dinding istananya yang megah.

"Apa maksudmu dari luar dan dari dalam, Ki?" tanya Pandan Wangi menyelak.

"Maksudku, kita tidak bisa melihat sesuatu hanya dari luarnya saja, Nini Pandan. Seperti yang sedang terjadi di Pakuan ini, kita tidak akan bisa melihat dari luar saja. Tapi, harus melihatnya dari dalam," jelas Ki Jumir.

Penjelasan Ki Jumir bukannya membuat Pandan Wangi maupun Rangga bisa memahami. Mereka malah semakin tidak mengerti saja. Tapi dalam kepala Rangga, diakui kalau sesuatu memang tidak bisa dilihat dari luar. Apa yang terlihat nyata, tidak selamanya seperti apa adanya. Seringkali sesuatu yang terlihat baik dari luar, justru buruk di dalamnya. Dan semua itu memang sudah terjadi dalam kehidupan manusia yang tidak bisa dipungkiri lagi. Hanya saja yang masih membuat Rangga tidak mengerti, arti kata-kata Ki Jumir tadi.

"Lalu, apa yang tersembunyi di Pakuan ini, Ki?" tanya Rangga.

"Sulit mengatakannya, Rangga. Karena, aku sendiri sebenarnya belum yakin benar. Yaaah..., katakanlah aku baru menduga. Tapi entah kenapa, dugaanku begitu kuat. Seakan-akan, aku sudah mempunyai bukti yang sangat kuat," sahut Ki Jumir, masih berteka-teki.

"Dugaan apa yang ada pada dirimu, Ki?" tanya Rangga lagi.

"Perebutan kekuasaan."

"Perebutan kekuasaan...?" kening Pandan Wangi jadi berkerut.

"Ya, semacam makar," Ki Jumir memperjelas.

"Apa yang tersembunyi di Pakuan ini, Ki" tanya Rangga.

"Sulit mengatakannya, Rangga. Tapi aku menduga ada perebutan kekuasaan," jelas Ki Jumir.

"Kau tidak mengada-ada, Ki?" tanya Rangga.

"Aku yakin sekali, Rangga. Dan aku tahu siapa yang akan melakukannya!" sahut Ki Jumir tegas.

"Kau tidak mengada-ada, Ki?" Rangga seperti ingin meyakinkan.

"Aku yakin sekali, Rangga. Dan aku tahu, siapa yang akan melakukannya," sahut Ki Jumir tegas.

"Siapa, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Panglima Widura," sahut Ki Jumir mantap, tanpa ada keraguan sedikit pun juga.

"Panglima Widura...?!"

Rangga dan Pandan Wangi jadi berseru bersamaan. Mereka begitu terkejut mendengar jawaban Ki Jumir barusan. Sama sekali tidak diduga jika Ki Jumir menduga kalau Panglima Widura akan melakukan perebutan kekuasan di Kerajaan Pakuan ini. Sedangkan mereka belum lama bertemu Panglima Widura dekat perbatasan kota ini.

Dari sikapnya, Rangga sudah merasakan tidak akan mungkin Panglima Widura akan melakukan pemberontakan. Apalagi untuk menggulingkan takhta. Tapi, nada suara Ki Jumir begitu mantap dan tegas, membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi berpikir juga. Dia tahu, Ki Jumir tidak pernah mengada-ada. Dan memang, batin orang tua ini begitu kuat. Bahkan terkadang bisa membaca pikiran orang lain. Sehingga apa yang diucapkan Ki Jumir, Rangga tidak berani gegabah untuk mengabaikannya begitu saja.

"Kenapa kalian terkejut mendengarnya?" Tanya Ki Jumir.

"Maaf, Ki. Belum lama tadi, kami bertemu Panglima Widura. Bahkan Kakang Rangga sempat menyelamatkan nyawanya dari serangan orang gila yang ingin membunuhnya," sahut Pandan Wangi menjelaskan.

"Oh, di mana...?" kali ini Ki Jumir yang terkejut.

"Tidak jauh dari perbatasan kota, Ki," sahut Pandan Wangi lagi.

"Siapa orang yang ingin membunuhnya?" tanya Ki Jumir lagi.

"Aku tidak tahu siapa dia, Ki. Tapi namanya sempat disebutkan," sahut Pandan Wangi lagi.

"Siapa?" desak Ki Jumir.
"Datuk Muka Hitam."
"Oh...?!"

Ki Jumir mendesah panjang. Entah kenapa, seketika itu juga wajahnya jadi cerah. Tapi dari sorot matanya, jelas sekali kalau hatinya begitu terkejut mendengar penjelasan Pandan Wangi tadi. Sikap Ki Jumir yang seperti itu, tentu saja membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi memandanginya dengan kelopak mata agak menyipit.

"Ada apa, Ki?" tanya Rangga melihat Ki Jumir tersenyum sendiri.

"Ternyata aku salah, dengan memintamu datang ke sini, Rangga. Tanpa kau pun, perebutan kekuasaan kini tidak akan terjadi," sahut Ki Jumir masih dengan bibir tersenyum lebar.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki...?" selak Pandan Wangi semakin kebingungan

"Aku tahu siapa Datuk Muka Hitam itu, Nini Pandan. Panglima Widura jelas tidak akan mungkin bisa menandingi Datuk Muka Hitam yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi."

"Kenapa Datuk Muka Hitam ingin membunuh Panglima Widura, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.

"Aku tidak peduli apa persoalan mereka, Rangga. Memang, Datuk Muka Hitam bukan orang baik-baik. Dia itu bekas kepala gerombolan perampok dan pembunuh yang menguasai bagian selatan negeri ini. Bahkan pihak kerajaan pun tidak pernah bisa menangkapnya. Tapi, sekarang dia tinggal sendiri, tanpa pengikut lagi. Yang penting sekarang, aku akan menyaksikan bagaimana kematiannya nanti. Oh! Selamatlah Pakuan dari kehancuran dan kesengsaraan...," agak mendesah suara Ki Jumir yang terakhir.

Jawaban yang bernada gembira itu membuat Rangga dan Pandan Wangi semakin berkerenyit keningnya. Mereka benar-benar heran dan tidak mengerti melihat sikap Ki Jumir yang tiba-tiba saja jadi berubah, setelah diceritakan kalau Panglima Widura baru saja ditolong dari tangan Datuk Muka Hitam.

********************

LIMA

Di tempat kediamannya, Panglima Widura kelihatan begitu gelisah di dalam kamar. Sementara saat ini malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Pakuan. Kejadian siang tadi di dekat perbatasan kota sebelah selatan, membuatnya jadi tidak bisa tenang malam ini. Dari para pembesar kerajaan, panglima ini tahu, siapa itu Datuk Muka Hitam yang hampir saja membunuhnya siang tadi. Untung saja, dia cepat ditolong seorang anak muda yang mengaku bernama Rangga.

"Hhh! Perasaanku semakin tidak enak saja sejak tadi. Ada apa ini...?" desah Panglima Widura seraya menghembuskan napas kuat-kuat.

Entah sudah berapa kali Panglima Widura berjalan mengelilingi kamar peristirahatannya yang besar dan megah ini. Sementara, jendela kamarnya dibiarkan tetap terbuka lebar. Sehingga, cahaya bulan yang lembut keperakan, leluasa menerobos masuk menerangi ruangan ini.

"Aku akan menemui Nyai Wisanggeni saja. Aku khawatir akan terjadi sesuatu padanya. Perasaanku terus semakin tidak enak," gumam Panglima Widura lagi.

Setelah berpikir beberapa saat, panglima berusia setengah baya itu bergegas melangkah keluar dari kamar peristirahatannya ini. Tangannya sempat menyambar sebilah pedang yang tergeletak di atas meja, kemudian mengikatkannya di pinggang. Ayunan langkah kakinya begitu mantap, keluar dari dalam kamarnya. Dan dia terus berjalan menyusuri lorong yang pintu-pintunya berjajar di sebelah kanan dan kiri.

Panglima Widura terus berjalan melewati sebuah ruangan yang berukuran sangat luas dan terang benderang. Sebentar kemudian, dia sudah berada di beranda rumah yang berukuran sangat besar dan megah bagai istana ini. Empat orang anak muda berpakaian seragam prajurit yang berada di beranda segera memberi hormat dengan sedikit membungkukkan tubuh sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Panglima Widura berpaling menatap pada salah seorang dari mereka.

"Kumpulkan dua puluh orang temanmu. Dan siapkan kuda untukku," perintah Panglima Widura.

"Baik, Gusti Panglima," sahut prajurit muda itu.

Bergegas prajurit itu melangkah pergi. Sementara, Panglima Widura berdiri tegak di tepi beranda. Pandangan matanya lurus, tidak berkedip sedikit pun ke depan. Kepalanya baru berpaling sedikit, begitu di depan beranda rumahnya sudah berkumpul dua puluh orang prajurit dengan kuda masing-masing. Seorang prajurit muda yang berada paling depan memegangi tali kekang kuda yang sudah siap dengan pelana Panglima Widura bergegas menghampiri kuda tunggangannya. Dan dengan gerakan indah sekali dia melompat naik.

"Kalian berempat, atur penjagaan di sini. Lipat gandakan kekuatannya," perintah Panglima Widura pada empat prajurit yang tidak ikut.

"Hamba laksanakan, Gusti," sahut keempat prajurit itu serempak.

"Hs! Hiyaaa...!"

Panglima Widura langsung menggebah cepat kudanya. Maka kuda hitam dengan belang putih pada kedua kakinya itu meringkik kerasa sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas. Kemudian binatang tunggangan itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Sementara dua puluh orang prajurit yang sejak tadi sudah berada di punggung kuda masing-masing, segera menggebah, begitu panglimanya sudah memacu cepat kudanya meninggalkan kediamannya yang besar dan megah.

Malam ini bumi Kerajaan Pakuan bagai diguncang gempa. Dua puluh orang prajurit yang langsung dipimpin Panglima Widura bergerak cepat menuju selatan. Hentakan-hentakan kaki kuda yang dipacu cepat, membuat beberapa orang yang masih berada di luar rumahnya jadi terheran-heran. Ketika rombongan itu melewati rumah Ki Jumir, Rangga dan Pandan Wangi tengah duduk-duduk di pinggiran beranda depan. Mereka sempat terkejut melihat Panglima Widura dan dua puluh orang prajurit memacu kuda dengan kecepatan tinggi di tengah malam begini. Seakan, mereka sedang mengejar sesuatu.

"Mau ke mana mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi seperti untuk dirinya sendiri.

"Mana aku tahu?" sahut Rangga seraya berdiri.

"Kau mau ke mana, Kakang?"

"Aku akan mengikuti mereka. Kau di sini saja, Pandan."

Belum lagi Pandan Wangi bisa membuka mulut, Rangga sudah melesat begitu cepat. Hingga dalam sekejap mata saja, tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan bumi. Memang sempurna sekali ilmu meringankan tubuh yang dikuasai Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tubuhnya bagaikan bisa menghilang saja.

"Nini Pandan...."
"Oh...?!"

Pandan Wangi agak tersentak ketika tiba-tiba terdengar panggilan dari belakang. Cepat kepalanya berpaling ke belakang. Entah kapan datangnya, tahu-tahu Ki Jumir sudah berada di belakangnya. Orang tua yang sebenarnya adalah patih di Kerajaan Pakuan ini melangkah menghampiri, dan berhenti setelah berada di sebelah kiri gadis ini.

"Siapa tadi yang menunggang kuda malam-malam begini?" tanya Ki Jumir langsung.

"Panglima Widura dan prajurit-prajuritnya," sahut Pandan Wangi.

"Ke mana mereka pergi?"
"Mereka menuju ke selatan"
"Lalu, Rangga ke mana?"
"Mengejar mereka."
"Heh?! Untuk apa...?"

Ki Jumir tampak tersentak kaget mendengar jawaban Pandan Wangi yang begitu polos tadi.

"Aku tidak tahu, Ki. Kakang Rangga memang biasa begitu. Nanti kalau sudah kembali juga akan diberitahu," sahut Pandan Wangi seraya melangkah ke dalam meninggalkan Ki Jumir yang jadi termangu sendiri di depan beranda rumahnya. Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara malam yang begitu dingin, membuat Ki Jumir harus bergegas masuk kembali ke dalam rumahnya.

"Hhh... Mudah-mudahan sang Hyang Widhi melindunginya..." desah Ki Jumir perlahan.

Beberapa saat Ki Jumir masih berdiri terpaku di depan beranda rumahnya yang besar dan megah ini. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melangkah hendak masuk ke dalam. Tapi belum juga mencapai pintu mendadak saja telinganya yang tajam mendengar desiran yang begitu halus dari belakang tubuhnya.

"Haiiit..!"

Tanpa berpaling lagi, Ki Jumir cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan seketika, terlihat secercah cahaya keperakan melewati samping orang tua ini.

"Hup!"

Ki Jumir bergegas memutar tubuhnya berbalik. Dan pada saat itu juga, terlihat cahaya keperakan kembali meluncur cepat bagai kilat. Maka orang tua itu segera melesat berputar dua kali untuk menghindarinya. Dan begitu kakinya menjejak tanah dengan manis sekali...

"Tunggu...!" sentak Ki Jumir cepat-cepat dan keras, sambil menjulurkan tangannya ke depan. "Siapa kau?! Kenapa tiba-tiba menyerangku...?!"

"Hik hik hik...! Kau tidak mengenaliku, Jumir...?"

Ki Jumir jadi berkerut keningnya. Diperhatikannya orang berjubah lusuh berwarna putih, membungkus tubuhnya yang kecil. Tampak pada tangannya tergenggam tongkat berbentuk ular. Sesaat kemudian, Ki Jumir jadi tersentak, ketika orang itu membuka kain kerudung yang menutupi wajahnya.

"Nyai Wisanggeni..." desis Ki Jumir langsung mengenali.

"Hik hik hik...!"

Ki Jumir benar-benar kaget setengah mati begitu mengenali orang berjubah hitam yang menyerangnya ternyata adalah Nyai Wisanggeni. Dia adalah seorang wanita tua yang memiliki kepandaian tinggi, dan sangat sukar dicari tandingannya. Tapi, bukan itu yang membuat Ki Jumir jadi terkesiap. Karena dia tahu, wanita tua berjubah putih lusuh ini sudah terkenal kekejamannya. Wanita ini tidak akan pernah meninggalkan lawannya dalam keadaan hidup. Bahkan tidak pernah memandang, apakah orang yang akan dibunuhnya sudah tua, anak muda, atau anak kecil. Kekejamannya inilah yang membuat Nyai Wisanggeni terkenal sebagai Setan Perempuan Penghisap Darah.

"Kau terkejut melihatku, Ki Jumir?" terasa begitu dingin nada suara Nyai Wisanggeni.

"Hm.... Apa maksudmu datang ke sini," Tanya Ki Jumir, dibuat dingin nada suaranya.

"Kukira kau sudah tahu maksud kedatanganku, Ki Jumir. Sebaiknya, bersiaplah menjemput ajalmu," sahut Nyai Wisanggeni datar.

"Kenapa kau ingin membunuhku, Nyai Wisanggeni?" tanya Ki Jumir lagi.

Walaupun Ki Jumir sudah berusaha untuk bisa tetap tenang, tapi getaran suaranya terdengar begitu gelisah. Terutama ketika mendengar kata-kata yang begitu dingin dan mengejutkan dari wanita tua yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah ini. Dia tahu, apa yang dikatakan Nyai Wisanggeni tidak akan tercabut kembali. Dan wanita itu tidak akan pergi, sebelum memenggal kepala orang yang sudah berhadapan dengannya.

"Hik hik hik..! Kau sudah terlalu banyak tahu, Ki Jumir. Orang sepertimu tentu sangat berbahaya bagi keselamatan muridku. Maka sudah sepantasnya kau harus mampus. Nah! Bersiaplah kau. Ki Jumir...!" dingin sekali jawaban Nyai Wisanggeni, disertai suara tawanya yang mengikik kering membuat bulu-bulu halus di tengkuk jadi meremang berdiri.

"Hm...," Ki Jumir jadi menggumam sedikit. Perlahan laki-laki tua ini mulai menggeser kakinya sedikit ke kanan. Sorot matanya begitu tajam, tidak berkedip sedikit pun menatap Nyai Wisanggeni yang berada sekitar satu batang tombak di depannya. Sedangkan wanita tua yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah itu masih tetap kelihatan tenang. Malah bibirnya menyeringai, memberikan senyum lebar dan meremehkan.

"Hih...!" Tiba-tiba saja tangan kiri Nyai Wisanggeni mengebut ke depan. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan kirinya melesat beberapa buah benda berwarna putih keperakan yang begitu cepat bagai kilat ke arah Ki Jumir.

"Hap...!"

Tapi hanya sedikit saja Ki Jumir mengegos, serangan Setan Perempuan Penghisap Darah itu tidak sampai menyambar tubuhnya. Namun belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, mendadak saja Nyai Wisanggeni sudah melompat cepat bagai kilat, sukar diikuti mata biasa

"Hiyaaa...!"
Bet!

Secepat kilat pula tangan kanan Nyai Wisanggeni mengibas, memberikan satu sodokan dahsyat ke arah lambung laki-laki tua ini.

"Haiiit...!"

Ki Jumir cepat melompat ke samping, menghindari kibasan tangan kanan yang mematikan ini. Dan begitu kakinya kembali menjejak tanah, cepat sekali tubuhnya meliuk sambil memberi satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah dada kiri perempuan tua ini.

"Hih!"
"Hap!"

Tapi tanpa diduga sama sekali, Nyai Wisanggeni tidak berusaha bergerak sedikit pun juga. Bahkan tangan kirinya malah dipasang di depan dada. Hingga...

Plak!
"Ikh...?!"

Ki Jumir jadi terpekik tertahan, begitu pukulannya beradu dengan tangan kiri Setan Perempuan Penghisap Darah. Seketika seluruh tulang tangan kanannya terasa bagai remuk setelah berbenturan dengan tangan kiri Nyai Wisanggeni yang kerasnya bagai batu karang. Cepat-cepat Ki Jumir melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Lalu manis sekali kedua kakinya menjejak tanah. Mulutnya sempat meringis sambil mengurut tangan kanannya yang nyeri akibat membentur tangan Nyai Wisanggeni tadi.

"Hik hik hik...!"

Nyai Wisanggeni tertawa mengikik, melihat kekuatan tenaga dalam lawannya ternyata masih berada cukup jauh di bawahnya. Dan dengan begitu, sudah bisa diukur, sampai di mana tingkat kepandaian Ki Jumir. Sambil tertawa mengikik mengerikan, Nyai Wisanggeni melangkah ke depan, mendekati Ki Jumir yang masih meringis menahan nyeri pada persendian tulang tangan kanannya.

"Saatmu sudah sampai, Ki Jumir. Bersiaplah untuk mati! Hiyaaat..!"

Sambil mendesis dingin, Nyai Wisanggeni berteriak keras menggelegar. Dan tubuhnya langsung melesat cepat bagai kilat menerjang Ki Jumir yang belum siap sama sekali. Serangan yang begitu cepat dan mendadak ini, membuat Ki Jumir jadi terbeliak setengah mati. Bahkan kesempatan untuk menghindar pun sudah tidak dimilikinya lagi. Maka begitu pukulan menggeledek dilepaskan Nyai Wisanggeni hampir menyambar dada, mendadak saja...

Wut!
"Heh...?! Ups!"

Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba secercah cahaya putih keperakan berkelebat begitu cepat, hampir menyambar tangan kanannya yang tengah memberikan pukulan dahsyat menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Cepat tangannya ditarik pulang kembali lalu melompat ke belakang sambil melakukan putaran dua kali. Begitu indah dan ringan gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Setan Perempuan Penghisap Darah menjejakkan kedua kakinya, sekitar satu batang tombak di depan Ki Jumir.

"Setan keparat...!" geram Nyai Wisanggeni berang.

Kedua bola mata Setan Perempuan Penghisap Darah jadi membeliak lebar, begitu mengetahui yang menggagalkan serangannya barusan ternyata hanya seorang gadis muda berwajah cantik. Dia mengenakan baju warna biru muda, membungkus tubuhnya yang ramping dan indah menggiurkan. Sebuah kipas berwarna putih keperakan tampak terkembang di depan dadanya. Sementara, Ki Jumir berada di sebelah kiri agak ke belakang dari gadis cantik bersenjata kipas yang tidak lain Pandan Wangi, yang dikenal sebagai si Kipas Maut.

"Bocah keparat! Menyingkir kau! Atau kau ingin mampus, heh...?!" geram Nyai Wisanggeni kasar.

Tapi Pandan Wangi hanya tersenyum sedikit saja mendengar bentakan yang bernada kasar itu. Dan kakinya malah melangkah ke depan beberapa tindak. Sorotan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata perempuan tua yang kelihatan memerah menyimpan kemarahan menggelegak ini.

"Sebaiknya, kau saja yang pergi dari sini, Nenek Tua. Kehadiranmu di sini sama sekali tidak diperlukan," terasa begitu datar dan dingin nada suara Pandan Wangi

"Heh...?! Phuih...!"

Nyai Wisanggeni jadi terperangah mendengar jawaban ketus dan tegas dari gadis cantik ini. Matanya sampai mendelik, dan ludahnya disemburkan dengan sengit. Sementara, Pandan Wangi tetap kelihatan tenang sambil menggerak-gerakkan kipasnya perlahan di depan dada. Hanya Ki Jumir yang kelihatan gelisah melihat kemunculan Pandan Wangi.

Walaupun gadis itu sudah menyelamatkan nyawanya dan sudah dikenalnya dengan baik, tapi tetap saja gelisah. Karena dia tahu, perempuan tua yang dikenal sebagai Setan Perempuan Penghisap Darah itu tidak bisa dibuat main-main. Kepandaiannya yang sangat tinggi, begitu sukar ditandingi.

"Kuperingatkan sekali lagi, Bocah...!" desis Nyai Wisanggeni seperti tidak sabar melihat sikap Pandan Wangi yang terus menantangnya.

"Aku ingin tahu, sebesar apa mulutmu itu, Nenek Tua," sambut Pandan Wangi malah menantang.

"Pandan...," Ki Jumir agak menyentak, mencoba memperingatkan Pandan Wangi.

Tapi belum juga bisa tertangkap telinga laki-laki tua itu, Setan Perempuan Penghisap Darah sudah mengebutkan cepat tangan kirinya ke depan. Maka seketika itu juga melesat sebuah benda kecil berwarna putih keperakan yang begitu cepat bagai kilat.

"Haiiit...!"
Wut!
Tring!

Namun hanya sekali kebut saja, Pandan Wangi sudah bisa menghalau serangan pertama si Setan Perempuan Penghisap Darah dengan kipasnya. Sedikit pun Pandan Wangi tidak menggeser kakinya. Dan benda keperakan itu melenting tinggi ke angkasa, terhempas kipas maut di tangan Pandan Wangi.

"Bagus! Rupanya kau berisi juga, Bocah!" dengus Nyai Wisanggeni dingin.

"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam saja sedikit.

"Tahan seranganku ini, Bocah! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Nyai Wisanggeni melesat cepat bagai kilat, menerjang Pandan Wangi yang masih mengembangkan kipasnya di depan dada. Satu pukulan dahsyat menggeledek langsung dilepaskan Setan Perempuan Penghisap Darah, tepat diarahkan ke kepala si Kipas Maut.

"Haiiit...!"

Sedikit saja Pandan Wangi mengegoskan kepala, hingga pukulan si Setan Perempuan Penghisap Darah hanya lewat sedikit saja di atas kepala. Dan pada saat itu juga Pandan Wangi mengebutkan kipasnya ke atas. Sehingga, membuat Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget, tidak menyangka akan mendapat serangan balasan yang begitu cepat bagai kilat.

"Ups...!"

Cepat-cepat Nyai Wisanggeni menarik tangannya sambil menghentakkannya sedikit ke atas. Maka ujung kipas maut yang runcing bagai anak panah itu lewat sedikit saja di bawah lengan si Setan Perempuan Penghisap Darah

"Hih! Yeaaah...!"

Namun Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ saja. Dengan cepat kipasnya diputar, dan langsung dikebutkan ke arah lambung perempuan tua ini.

Bet!
"Haiiikgh. !"

Nyai Wisanggeni cepat menarik kakinya ke belakang, menghindari serangan cepat yang dilancarkan Pandan Wangi barusan. Dan cepat sekali tongkatnya dikebutkan dengan gerakan setengah berputar. Sehingga, tongkat berbentuk seekor ular itu terus melayang mengarah ke kepala Pandan Wangi.

"Hap!"

Pandan Wangi segera menarik kepalanya sedikit ke belakang. Maka begitu ujung tongkat Nyai Wisanggeni lewat di depan mukanya, Pandan Wangi cepat memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kipasnya dikebutkan ke arah perut perempuan tua ini. Serangan Pandan Wangi memang sungguh membuat Nyai Wisanggeni jadi terperanjat setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, hingga serangan itu tidak sampai mengenai sasaran. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah kembali menjejakkan kakinya dengan tegak, sekitar satu batang tombak jauhnya di depan Pandan Wangi yang kini sudah mengembangkan kipasnya di depan dada. Dan untuk sesaat, mereka terdiam saling berpandangan dengan tajam menusuk. Seakan-akan, mereka tegah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.

"Siapa namamu, Bocah?" tanya Nyai Wisanggeni dingin.

"Untuk apa kau ingin tahu namaku...? Tidak ada gunanya kau tahu namaku, karena sebentar lagi kau akan mampus," sahut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.

"Hik hik hik..! Kau angkuh sekali, Bocah. Tapi aku suka dengan wanita angkuh dan berkepandaian tinggi sepertimu. Tapi sayangnya, mulutmu harus kubungkam, Bocah," masih tetap terasa dingin suara Nyai Wisanggeni.

"Coba saja kalau bisa. Aku malah khawatir, mulutmu sendiri yang kurobek nanti," sambut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.

"Phuih! Kau benar-benar tidak bisa dikasih hati, Bocah. Terimalah seranganku ini! Hiyaaat..!"

"Hap...!"

 ********************

ENAM

Pandan Wangi cepat melenting ke udara, begitu Nyai Wisanggeni melompat seraya mengebutkan tongkatnya yang berbentuk ular itu ke arah kaki. Sehingga tongkat itu hanya lewat saja di bawah telapak kaki si Kipas Maut ini.

Bet!

Namun Nyai Wisanggeni begitu cepat memutar tongkatnya, langsung disentakkan ke arah perut gadis cantik berbaju biru muda ini. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Pandan Wangi jadi sedikit terperangah juga. Namun dengan gerakan berputar yang manis sekali, serangan itu masih bisa dihindari

"Hap!"

Manis sekali Pandan Wangi menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan pada saat itu juga, Nyai Wisanggeni sudah mengebutkan tongkatnya ke arah kepala. Cepat-cepat gadis ini merunduk. Tapi tanpa diduga sama sekali kaki kiri Nyai Wisanggeni menghentak cepat. Maka....

Diegkh!
"Akh...!"

Pandan Wangi jadi terpekik, begitu tanpa diduga sama sekali dadanya mendapat tendangan telak yang begitu keras, mengandung pengerahan tenaga dalam. Gadis itu kontan terpental ke belakang, sejauh dua batang tombak. Dan tubuhnya jatuh menghantam tanah dengan keras, sehingga membuatnya kembali terpekik.

"Ugkh! Hoeeek...!"

Pandan Wangi seketika memuntahkan darah kental agak kehitaman, saat mencoba bangkit berdiri. Tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ini membuat seluruh rongga dadanya bagaikan remuk. Dan napasnya juga jadi tersengal, membuat pandangannya jadi berkunang-kunang.

Walaupun tampaknya menderita luka dalam yang cukup parah, tapi Pandan Wangi masih tetap berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri tegak, Setan Perempuan Penghisap Darah sudah melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu, dilepaskannya satu pukulan menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaat...!"
Dan pada saat itu juga...
"Hup! Hiyaaa....!"

Ki Jumir yang mengetahui keadaan Pandan Wangi sangat berbahaya, tidak berpikir panjang lagi. Maka dengan kecepatan bagai kilat tubuhnya melesat menghadang serangan Nyai Wisanggeni. Dan tepat di saat pukulan Setan Perempuan Pengisap Darah terlontar, tubuh Ki Jumir berada tepat di depan Pandan Wangi. Hingga...

Begkh!
"Akh...!"

Ki Jumir menjerit keras begitu pukulan menggeledek yang dilepaskan Nyai Wisanggeni tepat menghantam dadanya. Akibatnya, laki-laki tua itu terpental ke belakang, menghantam Pandan Wangi yang baru saja bisa berdiri. Dan mereka berdua langsung terbanting ke tanah, bergulingan beberapa kali. Sementara itu, Nyai Wisanggeni jadi terperanjat melihat hasil serangannya yang sangat dahsyat.

"Edan...! Keparat...!"

Sementara Ki Jumir tampak menggeliat dengan mulut berlumur darah. Dadanya kelihatan menghitam hangus seperti terbakar, dengan asap berwarna agak kehitaman mengepul dari dadanya. Sedangkan Pandan Wangi sudah tergeletak diam tidak bergerak sedikit pun, tidak jauh dari tubuh Ki Jumir yang menggelepar meregang nyawa.

"Ugkh! Hoeeegkh...!"

Begitu darah tersembur dari mulutnya. Ki Jumir langsung mengejang dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Lelaki tua itu tewas dengan dada remuk dan menghitam hangus seperti terbakar, akibat terkena pukulan yang dilepaskan Nyai Wisanggeni.

"Phuih!"

Nyai Wisanggeni menyemburkan ludahnya, sambil menghembuskan napas berat. Sebentar dipandanginya dua tubuh yang tergeletak diam tidak jauh di depannya. Dia yakin, mereka sudah tidak bernyawa lagi. Dan...

Slap!

Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Setan Perempuan Penghisap Darah, sehingga dalam sekali lesatan saja, bayangannya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Dan malam pun menjadi sunyi, tanpa sedikit pun terdengar suara.

********************

Sementara itu, agak jauh dari Kotaraja Pakuan, Rangga terus membuntuti Panglima Widura dan dua puluh orang prajuritnya. Arah yang ditempuh jelas menuju hutan tempat tinggal Nyai Wisanggeni yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah. Dan wanita tua itu juga guru Panglima Widura.

"Hm..."

Kening Rangga jadi berkerut, begitu melihat Panglima Widura turun dari kudanya, setelah terlihat sebuah gubuk kecil dan reot di tengah hutan ini. Panglima Widura langsung menerobos masuk ke dalam gubuk itu. Tapi tidak berapa lama, dia keluar lagi dengan raut wajah memancarkan kebingungan. Sementara, dua puluh orang prajurit yang dibawa terus menunggui di atas punggung kuda masing-masing. Tanpa bicara sedikit pun juga, Panglima Widura melompat naik ke punggung kudanya, dan langsung menggebahnya dengan kencang keluar dari hutan ini.

Rangga yang mengikuti sejak tadi, jadi bertanya-tanya sendiri. Untuk apa Panglima Widura malam-malam datang ke hutan ini...? Perhatian Pendekar Rajawali Sakti beralih ke gubuk kecil yang pintunya kini terbuka lebar. Dia keluar dari tempat persembunyiannya setelah Panglima Widura dan para prajuritnya tidak terlihat lagi. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti berdiri diam tertegun, kemudian hati-hati melangkah menghampiri gubuk kecil itu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah sempurna sekali. Sehingga, sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya terayun melangkah. Bahkan seakan-akan tidak menjejak tanah.

Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di ambang pintu gubuk ini. Keningnya jadi berkerut begitu memandang ke dalam. Tidak ada satu pun perabotan terlihat di sana. Dan bagian dalam gubuk ini benar benar kosong.

"Hm..."

Rangga bergegas berbalik, dan langsung melesat. Pendekar Rajawali Sakti kini berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah sangat sempurna. Hingga kedua telapak kakinya seakan tidak menyentuh tanah sedikit pun. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah bisa mengejar Panglima Widura dan para prajuritnya yang baru saja keluar dari hutan ini.

"Ups!"

Untung saja Rangga cepat bisa melihat mereka, dan segera berhenti berlari. Karena tanpa disadari dia kini hanya tinggal sekitar tiga batang tombak lagi di belakang prajurit-prajurit Panglima Widura. Pendekar Rajawali Sakti bergegas menyembunyikan diri di balik pohon. Tapi tanpa sengaja sebelah kakinya menginjak sebatang ranting kering.

Trek!
"Berhenti...!"

Panglima Widura yang sangat tajam pendengarannya, langsung memerintahkan prajurirnya berhenti. Saat itu juga, dia melompat ke belakang dari punggung kudanya. Dua puluh orang prajurit yang mendampinginya bergegas berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Sementara itu, Rangga tetap diam di balik pohon sambil menahan napas. Memang sangat dekat jaraknya. Dan Rangga tidak ingin kehadirannya diketahui. Terlebih lagi, dia memang sengaja membuntuti panglima ini.

"Siapa kau?! Keluar, cepaaat...!" teriak Panglima Widura dengan suara lantang menggelegar.

Namun Rangga yang masih tetap berada di balik pohon, tidak menjawab sedikit pun juga. Punggungnya juga dirapatkan ke batang pohon yang cukup besar ini. Dan telinganya mendengar ayunan langkah kaki yang begitu ringan mendekatinya dari balik pohon ini. Sedikit Rangga mendongakkan kepala ke atas. Bibirnya langsung tersenyum melihat cabang pohon yang cukup besar berada tepat di atas kepalanya.

"Hep!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke cabang pohon di atas kepalanya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya menjejak di batang pohon ini. Kemuian tubuhnya kembali melesat, dan langsung hinggap di cabang pohon lain yang lebih tinggi. Dan kembali tubuhnya melesat ke cabang pohon lainnya. Hingga akhirnya, Pendekar Rajawali Sakti berada di bagian lain dari tepian hutan ini.

"Sayang sekali, aku belum ada urusan denganmu, Panglima Widura," gumam Rangga dalam hati.

"Hup!"

Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat pergi meninggalkan Panglima Widura dan para prajuritnya yang masih penasaran karena merasa diikuti tadi. Sementara, Rangga sudah begitu jauh meninggalkannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung masuk ke dalam Kotaraja Pakuan yang sudah tenggelam dalam sunyinya malam yang pekat ini.

********************

"Pandan...! Ki Jumir...!"

Rangga jadi terhenyak begitu tiba di depan rumah Ki Jumir yang berhalaman luas ini. Tampak Pandan Wangi dan Ki Jumir tergeletak seperti tidak bernyawa lagi. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti menghampiri.

Baru saja tubuh Ki Jumir disentuh, telinganya mendengar rintihan halus di sebelahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti berpaling, dan melihat Pandan Wangi menggeliat menggelengkan kepala sambil merintih lirih. Bergegas dihampirinya gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Tampak darah sudah agak mengering di sudut bibirnya. Rangga mengangkat kepala gadis itu, dan menumpangkan di paha kirinya.

"Pandan.... Apa yang terjadi?" tanya Rangga, dengan suara agak parau tersendat.

"Ka..., Kakang...," lemah sekali suara Pandan Wangi.

Kelopak mata gadis itu terbuka dan terlihat begitu sayu, seperti tidak ada lagi cahaya kehidupan di sana. Rangga jadi terkesiap melihat keadaan kekasihnya ini. Cepat diangkatnya tubuh gadis itu, dan dipondongnya dengan kedua tangan. Pandan Wangi begitu lemah terkulai seperti tidak bernyawa lagi. Hanya sedikit gerakan pada dadanya saja, yang menandakan kalau gadis itu masih hidup. Sebentar Rangga menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati keadaan sekitarnya yang sunyi. Kemudian kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang kelam bertaburkan cahaya bintang keperakan.

"Hanya Rajawali yang bisa menyembuhkan Pandan Wangi. Mudah-mudahan dia tidak jauh berada di sini," gumam Rangga pelan, bicara pada diri sendiri.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan sekitarnya yang masih tetap sunyi. Tidak terlihat seorang pun di sekitar halaman rumah Ki Jumir ini. Kemudian kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang menghitam kelam. Kemudian....

"Suiiit...!"

Hanya sebentar saja Rangga menunggu, sudah terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan meluncur cepat bagai kilat menuju rumah Ki Jumir. Dan hanya sekejap mata saja, buung raksasa itu sudah mendarat tepat di depan pemuda berbaju rompi putih ini.

"Khrrr...!"

"Rajawali, tolong bawa Pandan Wangi. Rawat dia," pinta Rangga.

"Khrrrkh...!" Rajawali Putih mengangguk sambil mengkirik perlahan.

"Sembuhkan dia, Rajawali. Aku tidak rela dia mati seperti ini," kata Rangga lagi, dengan suara agak tertahan

"Khragkh!"

Rangga meletakkan Pandan Wangi di tanah. Dan begitu melangkah ke belakang beberapa tindak, Rajawali Putih sudah melesat tinggi ke angkasa setelah menyambar tubuh gadis itu. Begitu cepatnya Rajawali Putih melesat, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Dan untuk beberapa saat Rangga masih berdiri diam mematung dengan pandangan lurus ke atas.

"Raden...."
"Heh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang. Cepat tubuhnya berputar. Kedua kelopak matanya jadi menyipit melihat beberapa orang anak muda tahu-tahu sudah ada tidak jauh di depannya. Rangga tahu, mereka adalah murid-murid Ki Jumir. Beberapa orang terlihat menggotong Ki Jumir, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Rangga hanya memperhatikan saja sekilas.

Perhatiannya kini tertumpah pada anak-anak muda yang berada di depannya dengan kepala tertunduk, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang dirasakan teramat berat. Dalam pertarungan tadi, sebenarnya murid-murid Ki Jumir ingin pula membantu gurunya. Namun ketika itu rasanya memang sudah terlambat. Ki Jumir sudah lebih dulu terhantam pukulan telak dari Nyai Wisanggeni. Apalagi, mereka juga baru terbangun, setelah mendengar suara ribut-ribut.

"Ada di antara kalian yang tahu kejadiannya?" tanya Rangga langsung.

"Kami datang terlambat Raden. Tapi yang jelas, perempuan itu yang melakukannya," sahut salah seorang seraya mengangkat kepalanya sedikit.

"Siapa?" tanya Rangga ingin tahu.

"Nyai Wisanggeni, yang juga berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah."

"Hm, ke mana dia pergi?"

"Ke arah sana, Raden," sahut pemuda itu seraya menunjuk ke arah Nyai Wisanggeni pergi, setelah membunuh Ki Jumir dan melukai Pandan Wangi.

Rangga berpaling ke arah yang ditunjukkan murid Ki Jumir. Keningnya jadi berkerut. Memang, arah yang ditunjuk menuju hutan, tempat Pendekar Rajawali Sakti membuntuti Panglima Widura dan prajurit-prajuritnya. Di hutan itu dia melihat Panglima Widura masuk ke dalam sebuah gubuk kecil yang tidak ada penghuninya. Saat itu juga, timbul berbagai macam pertanyaan dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Pertanyaan-pertanyaan yang masih terlalu sulit dijawab.

"Kalian urus saja Ki Jumir. Aku akan mengejar wanita itu," kata Rangga.

"Hati-hati, Den. Wanita itu sangat tangguh dan kejam."

Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum kecil mendengar peringatan murid Ki Jumir ini. Kemudian kakinya melangkah ke samping rumah, dan mengambil kudanya yang tertambat di samping rumah Ki Jumir ini. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu ini.

"Hiyaaa...!"
"Hieeegkh...!"

Sekali gebah saja, kuda hitam itu melesat cepat bagai kilat, membuat debu di halaman rumah Ki Jumir beterbangan membubung tinggi ke angkasa. Semua murid Ki Jumir jadi terlongong bengong melihat kuda hitam tunggangan tamu gurunya ini begitu cepat berlari. Hingga dalam waktu sebentar saja, sudah jauh dan lenyap ditelan kegelapan malam.

TUJUH

Rangga terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi menuju luar Kotaraja Pakuan. Begitu cepat Dewa Bayu berlari. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah melewati perbatasan kota yang ditandai sebuah bangunan batu berbentuk candi kecil. Namun baru beberapa tombak Pendekar Rajawali Sakti melewati perbatasan, tiba tiba saja lari kudanya dihentikan. Akibatnya, kuda hitam itu meringkik keras, seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.

"Hup!"

Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat turun sebelum terlempar dari punggung kudanya. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian manis sekali kedua kakinya menjejak tanah. Sementara, Dewa Bayu mendengus-dengus berat sambil menghentakkan satu kaki depannya, mengais tanah yang sedikit berumput ini.

"Kau juga mendengarnya, Dewa Bayu...?" bisik Rangga perlahan.

Dewa Bayu hanya mendengus sedikit dengan kepala terangguk beberapa kali. Kaki kanan yang depan masih dihentakkan ke tanah. Rangga menepuk leher kuda hitam itu hingga menjadi tenang, kemudian melangkah ke depan beberapa tindak. Sedikit kepalanya dimiringkan ke kanan. Telinganya yang begitu tajam dan terlatih, mendengar suara seperti sebuah pertarungan yang cukup jauh dari tempat ini.

"Kau tunggu di sini saja, Dewa Bayu. Akan kulihat, ada apa di sana," kata Rangga.

Setelah berkata demikian, Rangga cepat melesat pergi. Dia berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah begitu sempurna tingkatannya. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan perbatasan kota. Sementara, Dewa Bayu melenggang mencari tempat nyaman untuk menunggu penunggangnya.

Walaupun malam ini terasa begitu gelap, tapi penglihatan Rangga memang sudah terlatih baik. Pepohonan yang mulai merapat, sama sekali bukan halangan berarti. Pendekar Rajawali Sakti terus saja berlari cepat, hingga sukar diikuti mata biasa.

"Hup!"

Begitu tiba di atas sebuah batu yang cukup besar dan tinggi, Pendekar Rajawali Sakti berhenti berlari. Pandangannya langsung tertuju pada dua orang yang tengah bertarung sengit, tidak jauh dari tempatnya berdiri di atas batu ini. Pertarungan berlangsung di sebuah padang rumput kecil yang cukup terbuka, sehingga Rangga bisa melihat jelas dari atas baru yang cukup tinggi ini.

"Heh...?! Bukankah itu Jabalang...?" desis Rangga begitu mengenali salah seorang yang bertarung.

Tentu saja Rangga bisa cepat mengenali salah seorang dari mereka. Karena, orang yang mengenakan baju merah muda dengan lencana di dada sebelah kiri dikenali Rangga sebagai patih dari Kerajaan Pakuan. Tapi lawan yang dihadapinya sulit dikenali, karena mengenakan baju hitam pekat dengan bagian kepala terselubung kain hitam yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Dan dia hanya menggunakan sebatang tongkat dalam menghadapi Patih Jabalang yang menggunakan pedang.

Baru sebentar saja diperhatikan, sudah bisa ditebak kalau Patih Jabalang sudah kewalahan menghadapi lawannya. Namun Rangga tahu, Patih Jabalang masih bisa bertahan sekurangnya lima jurus lagi. Dan Pendekar Rajawali Sakti sempat mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Agak terkejut juga hatinya begitu melihat tidak jauh dari tempat pertarungan itu tergolek tubuh-tubuh berlumur darah berseragam prajurit. Dan tidak jauh dari para prajurit yang bergelimpangan bermandikan darah, terlihat seorang laki-laki berusia lanjut tengah duduk bersandar pada sebatang pohon.

"Eyang Jakot...," desis Rangga juga mengenali orang tua yang mengenakan baju jubah putih itu.

"Hup!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Rangga segera melesat turun dari atas batu ini. Pendekar Rajawali Sakti terus berlari menghampiri orang tua berjubah putih yang dikenal bernama Eyang Jakot itu, begitu kakinya menjejak tanah. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sebentar saja sudah berada dekat di depan orang tua itu.

"Oh, Gusti Prabu Rangga...," desis Eyang Jakot agak terkejut, begitu tiba-tiba di depannya berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih.

"Eyang, apa yang terjadi di sini?" tanya Rangga langsung.

Pendekar Rajawali Sakti tidak peduli orang tua itu mengenalinya sebagai raja di Karang Setra. Dan memang, Eyang Jakot hanya mengenal Rangga sebagai raja di Karang Setra. Dan walaupun saat ini hanya mengenakan pakaian seorang kependekarannya, tapi Eyang Jakot tak akan pernah salah melihat.

"Tolong Patih Jabalang. Dia tidak akan mampu menghadapi Datuk Muka Hitam seorang diri...," lemah sekali suara Eyang Jakot, seakan tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga langsung berpaling ke arah Patih Jabalang yang sedang bertarung. Dan pada saat itu, tampak satu pukulan orang berbaju hitam yang ternyata Datuk Muka Hitam itu menghantam tepat di dada Patih Jabalang.

"Akh...!"

Terdengar jeritan agak tertahan. Dan Patih Jabalang terlihat terpental cukup jauh ke belakang. Sementara, orang berbaju serba hitam itu sudah melesat mengejar lawannya ini.

"Hup! Hiyaaat...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat menghadang orang berbaju serba hitam ini. Dan bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Ikh...?!" Terjangan Rangga yang begitu cepat dan tiba-tiba membuat Datuk Muka Hitam jadi terperanjat setengah mati. Tapi, tidak mungkin pukulan Pendekar Rajawali Sakti bisa dihindari. Dengan cepat sekali tongkatnya diputar ke depan, menghadang pukulan Pendekar Rajawali Sakti Maka...

Plak!
"Hup!"

Rangga cepat memutar tubuhnya ke belakang dua kali, lalu manis sekali kakinya menjejak tanah. Sementara Datuk Muka Hitam juga terlompat ke belakang, sejauh setengah batang tombak. Dia juga dengan cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, lalu ringan sekali menjejakkan kakinya di tanah. Tongkatnya langsung ditekan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Dia berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan.

Dari jarak yang tidak begitu jauh ini, Rangga langsung bisa melihat wajah orang itu. Sedikit tubuhnya agak bergidik begitu melihat wajah yang sangat mengerikan dan hampir terselubung kain hitam ini. Wajahnya begitu buruk dan hitam seperti arang. Namun sorotan matanya terlihat sangat tajam memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat...! Siapa kau? Berani mencampuri urusanku!" bentak orang berbaju serba hitam yang tadi dikatakan Eyang Jakot sebagai Datuk Muka Hitam.

Rangga sama sekali tidak menanggapi orang berwajah buruk yang tadi namanya sempat didengar dari Eyang Jakot. Tapi melihat wajah dan baju yang dikenakannya, Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya kalau orang ini adalah Datuk Muka Hitam. Yang diketahuinya orang yang bernama Datuk Muka Hitam tidak seperti ini. Dan memang, Rangga pernah sekali berjumpa orang yang bernama Datuk Muka Hitam, saat menolong nyawa Panglima Widura. Sedangkan orang yang berada di depannya ini adalah laki-laki berwajah buruk dan hitam seperti arang. Tapi, memang ada kemiripan antara yang pernah dijumpainya dengan orang yang kini berada di depannya.

Dan tentu Rangga juga tidak mau gegabah begitu saja. Entah berapa jumlah prajurit yang tergeletak sudah tidak bernyawa lagi. Dan Eyang Jakot sendiri kelihatannya terluka parah. Bahkan barusan orang yang dijuluki Datuk Muka Hitam ini membuat Patih Jabalang terpental, hingga tidak bisa bangkit lagi.

"Siapa kau sebenarnya, Kisanak? Kenapa menggunakan nama Datuk Muka Hitam?" terdengar dingin dan datar nada suara Rangga.

"Kalau kau ingin tahu Datuk Muka Hitam, akulah orangnya.'" bentak orang itu kasar.

"Hm... Aku tahu, siapa Datuk Muka Hitam itu. Dan aku tidak kenal denganmu, Kisanak. Siapa pun kau sebenarnya, tidak pantas memakai julukan Datuk Muka Hitam. Siapa kau sebenarnya? Dan, kenapa memusuhi Kerajaan Pakuan?" tegas Rangga masih dengan nada dingin.

"Phuih! Kau terlalu banyak omong, Monyet! Mampuslah kau! Hiyaaat...!"

Tampaknya, orang yang mengaku berjukik Datuk Muka Hitam ini tidak ingin berpanjang lebar. Sambil berteriak keras menggelegar dia langsung saja melompat menerjang cepat sekali. Dan tongatnya seketika dikebutkan mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

Wut!
"Haiiit..!"

Hanya sedikit saja Rangga menggerakkan kepala, maka kebutan tongkat itu lewat di atas kepala. Dan pada saat tubuhnya sedikit dibungkukkan, dengan kecepatan kilat Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kirinya, memberi sodokan ke arah lambung.

"Haps!"

Namun orang yang mengaku berjuluk Datuk Muka Hitam itu cepat meliuk, hingga sodokan Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasaran. Dan saat itu juga tongkatnya dikebutkan ke bawah, membuat Rangga terpaksa harus cepat menarik tangannya kembali, dan melompat ke belakang sejauh tiga langkah.

"Hiyaaa...!"
Bet!

Tanpa membuang waktu lagj, Datuk Muka Hitam yang sebenarnya Rahkapa, sudah melesat menyerang lagi dengan kecepatan sulit diikuti mata biasa. Tongkatnya berkelebatan begitu cepat, mengarah ke bagian-bagian tubuh lawannya yang mematikan. Sementara, Rangga cepat mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', hingga serangan-serangan yang dilancarkan Rahkapa sedikit pun tidak sampai mengenai sasaran.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Bet! Bet!

Beberapa kali tongkat kayu Rahkapa berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tidak satu pun dari serangan itu yang bisa menyentuhnya. Gerakan-gerakan Rangga dari jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang sangat sukar di ikuti. Dan ini tentu saja membuat Rahkapa jadi bertambah berang. Maka serangannya semakin ditingkatkan, hingga membuat kebutan tongkatnya menimbulkan deru angin bagai topan.

"Hup! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Rangga melenting tinggi-tinggi ke udara, dan berputaran beberapa kali begitu cepat. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya menukik dengan kedua kaki bergerak berputar cepat, mengarah ke kepala Rahkapa.

"Haiiit..!"
Wut!

Namun Rahkapa sudah memutar tongkatnya di atas kepala. Sehingga Rangga terpaksa harus memutar tubuhnya, seraya melepaskan satu pukulan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Rahkapa jadi terperanjat setengah mati. Memang sungguh tidak disangka kalau lawannya ini bisa merubah gerakan begitu cepat, dari dua jurus yang digabungkan menjadi satu. Sehingga...

Diegkh!
"Akh...!"

Rahkapa tidak dapat lagi menghindari pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang tepat menghantam dadanya. Orang yang mengaku berjuluk Datuk Muka Hitam itu kontan terpental jauh ke belakang. Dan dengan keras sekali, tubuhnya terbanting di tanah, hingga membuatnya kembali terpekik agak tertahan. Sementara Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Saat itu, Rahkapa menggeliat sambil mengerang merasakan sakit yang amat sangat pada dadanya. Seakan-akan, seluruh tulang dadanya terasa remuk terkena pukulan yang begitu keras dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.

"Ups!"

Sambil menahan napas, Rahkapa mencoba bangkit berdiri. Walaupun bisa berdiri, namun tubuhnya terlihat agak limbung. Disekanya darah yang mengalir dari sudut bibir dengan punggung tangan. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak menanti dengan kedua tangan masih terlipat di depan dada.

"Kubunuh kau, Setan Keparat! Hiyaaat.!" Tanpa menghiraukan rasa sakit di dadanya, Rahkapa sudah melompat lagi sambil memaki dan berteriak keras menggelegar. Dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, tongkatnya diayunkan ke arah kepala pemuda berbaju rompi putih ini.

Wut!
"Hap!"

Namun Rangga sama sekali tidak berusaha berkelit menghindarinya. Dan begitu tongkat kayu itu hampir menghantam kepalanya, cepat kedua tangannya dihentakkan ke atas kepala. Dan...

Tap!
"Heh...?!"

Kedua bola mata Rahkapa jadi terbeliak lebar, begitu melihat tongkatnya mudah sekali dapat ditangkap. Dan belum juga hilang rasa terkejutnya, mendadak saja Rangga sudah menghentakkan tangannya yang menjepit tongkat itu ke atas.

"Hih!"

Begitu kuat sentakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Rahkapa tidak dapat lagi menahan. Dan tubuhnya jadi terpental tinggi ke atas, tanpa dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Tubuhnya melayang tinggi ke angkasa dengan tongkat berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaa...!"

Saat itu juga, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang menjepit tongkat kayu lawannya ini ke atas. Seketika, tongkat itu meluncur secepat kilat. Dan...

Crab!
"Aaa...!"

Jeritan panjang yang begitu melengking seketika terdengar menyayat, saat tongkat kayu itu menghunjam dada hingga tembus ke punggung pemiliknya yang masih melayang di atas. Tampak tubuh Rahkapa melayang turun deras sekali, dan terbanting ke tanah begitu keras, hingga bumi terasa sedikit bergetar. Sementara. Rangga berdiri tegak memandangi tubuh Rahkapa yang menggelepar meregang nyawa dengan tongkat miliknya sendiri terhunjam di dada sampai tembus ke punggung.

"Ke..., keparat kau ... Akh!"

Sambil menyemburkan darah kental dari rnulutnya Rahkapa mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati. Begitu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga. Lalu, bergegas dihampirinya Patih Jabalang yang tergeletak tidak jauh dari Eyang Jakot.

"Dia sudah mati, Gusti Prabu," ujar Eyang Jakot memberi tahu, sebelum Rangga sempat memeriksa.

Rangga tidak jadi memeriksa tubuh Patih Jabalang. Pandangannya langsung tertuju pada Eyang Jakot yang kelihatan semakin lemah dan memucat wajahnya. Orang tua itu tetap duduk bersandar pada batang pohon. Sementara, Rangga sudah berlutut dengan lutut yang sebelah kiri menyentuh tanah. Diamatinya wajah Eyang Jakot yang semakin memucat dan mulai membiru seperti mayat. Rangga tahu, Eyang Jakot mendapatkan luka dari pukulan yang mengandung racun mematikan. Rasanya nyawa orang tua ini tak mungkin bisa di selamatkan lagi. Racun itu sudah menyebar hampir ke seluruh tubuhnya.

"Eyang, apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa orang itu mengaku sebagai Datuk Muka Hitam?" tanya Rangga dengan suara pelan.

"Dia..., dia Rahkapa, Gusti Prabu. Murid si Datuk Muka Hitam. Dia ingin mencari dan membunuh Panglima Widura. Ugkh! Dia tangguh sekali. Kau harus hati-hati, Gusti Prabu. Datuk Muka Hitam sendiri tidak ada tandingannya di Pakuan ini. Dia pasti akan mencari pembunuh muridnya. Sebaiknya, Gusti Prabu cepat tinggalkan Pakuan ini. Ugkh...!"

"Eyang..."

Eyang Jakot terbatuk beberapa kali. Darah yang mengalir di sudut bibirnya sudah kelihatan membeku. Sorot mata orang tua itu semakin melemah, tanpa cahaya kehidupan lagi.

"Gusti... Tolong selamatkan Pakuan dari kehancuran. Panglima Widura sudah mulai bergerak untuk mengadakan pemberontakan. Dia... dia kini bersembunyi di dalam hutan, dibantu oleh sss..."

"Eyang..."

Rangga hanya bisa menarik napas saja, ketika Eyang Jakot sudah menghembuskan napasnya yang terakhir. Perlahan Rangga bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya Eyang Jakot yang sudah tidak bernyawa lagi, tersandar pada batang pohon. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sedikit napas beratnya dihembuskan, kemudian kakinya terayun melangkah meninggalkan tempat itu.

Rangga terus berjalan perlahan-lahan, kembali ke tempat Dewa Bayu yang ditinggalkannya tadi. Tapi baru saja sampai pada setengah jalan, sudah terlihat Dewa Bayu berjalan menghampirinya. Rangga berhenti menunggu sampai kuda hitam itu dekat di depannya. Diambilnya tali kekang kuda itu lalu melompat naik dengan gerakan ringan sekali. Dan baru saja akan menggebah kudanya, mendadak saja....

"Tidak semudah itu kau bisa lari, Bocah...!"

"Heh...?!"

DELAPAN

Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara berat dari belakang. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kudanya, dan langsung berbalik begitu kakinya menjejak tanah. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berjubah hitam dengan tongkat kayu tergenggam di tangan kanan. Rangga langsung bisa mengetahui kalau orang ini adalah Datuk Muka Hitam yang sebenarnya. Dan itu bisa langsung dikenali dari wajahnya yang hitam seperti arang walaupun tidak seburuk wajah muridnya yang baru saja tewas di tangan Pendekar Rajawab Sakti.

"Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum membayar nyawa muridku, Anak Muda," terasa begitu dingin suara Datuk Muka Hitam.

"Hm... Jadi itu muridmu?" terasa agak sinis nada suara Rangga.

"Ya! Dan kau harus bayar dengan nyawamu sendiri!" tegas Datuk Muka Hitam.

Rangga hanya diam saja Dia tahu. tidak ada gunanya lagi menghindari si Datuk Muka Hitam ini. Dan begitu Datuk Muka Hitam menggeser kakinya ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengepalkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian kakinya direntangkan sedikit, hingga terbuka. Pandangan matanya tertuju lurus pada setiap gerak orang bermuka hitam ini.

"Sebutkan namamu sebelum kukirim ke neraka, Anak Muda," pinta Datuk Muka Hitam.

"Rangga," sahut Rangga singkat.

"Nah! Bersiaplah kau sekarang. Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Datuk Muka Hitam menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya melesat cahaya merah bagai api yang begitu cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!"

Cepat Rangga melenting ke atas dan berputaran dua kali, sehingga cahaya merah itu hanya lewat di bawah tubuhnya. Kemudian dengan gerakan manis sekali, Rangga meluncur deras mengejar lawannya, begitu ujung jari kakinya menotok sedikit ke tanah.

"Hiyaaa...!"
Bet!

Satu kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti lewat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', membuat sepasang mata Datuk Muka Hitam jadi terbeliak. Namun cepat tubuhnya ditarik ke belakang, hingga serangan balasan Rangga tidak sampai mengenai sasaran. Dua langkah Datuk Muka Hitam menarik kakinya ke belakang, saat merasakan hempasan angin yang begitu kuat dari kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.

Dan belum juga tubuh Datuk Muka Hitam bisa tegak, Rangga sudah memberi sodokan tangan kiri mengarah ke perut. Begitu cepat serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat Datuk Muka Hitam jadi kerepotan juga menghindarinya. Dan Rangga sendiri terus melancarkan serangan-serangannya dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang berurutan dengan cepat dan silih berganti. Hal ini membuat Datuk Muka Hitam terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.

"Setan keparat! Hih! Yeaaah...!"

Datuk Muka Hitam jadi menyumpah dan memaki sendiri, mendapatkan serangan yang beruntun dan tanpa berhenti. Dan tubuhnya cepat melenting ke atas, sambil mengebutkan tongkatnya ke kepala pemuda lawannya.

Bet!
"Ups!"

Namun kebutan itu hanya untuk melonggarkan jarak saja. Begitu Rangga merunduk, Datuk Muka Hitam melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Cepat tubuhnya ditegakkan saat kedua kakinya menjejak tanah. Sementara Rangga sudah sejak tadi berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Bibirnya terlihat menyunggingkan senyum tipis. Dari beberapa serangannya yang belum mencapai sasaran, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa mengukur, sampai di mana tingkat kepandaian Datuk Muka Hitam ini.

"Kau benar-benar tangguh, Anak Muda. Sudah saatnya kita mengadu jiwa," desis Datuk Muka Hitam dingin.

Setelah berkata demikian, orang tua itu melemparkan tongkatnya begitu saja ke samping. Dan kedua tangannya langsung dirapatkan di depan dada. Sebentar kelopak matanya dipejamkan. Sambil membuka mata, dibukanya kedua telapak tangannya yang merapat di depan dada. Saat itu juga, terlihat kedua telapak tangannya memancarkan cahaya merah seperti api yang membakar kedua tangan orang bermuka hitam hangus ini.

Sementara, Rangga masih tetap berdiri tenang dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dia tahu, Datuk Muka Hitam tengah menyiapkan aji kesaktian yang diandalkan. Dan begitu kedua tangan Datuk Muka Hitam mulai terarah padanya, kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung merapat di depan dada. Kemudian tubuhnya bergerak miring ke kiri, begitu kedua kakinya merenggang. Perlahan-lahan Rangga menarik tubuhnya ke kanan. Dan saat kembali tegak, terlihat semburat cahaya biru di antara kedua telapak tangannya yang masih merapat di depan dada.

"Hadapi aji pamungkasku, Bocah! Hiyaaa...!"

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"

Dua cahaya berwarna biru dan merah dari dua aji kesaktian tingkat tinggi saling berbenturan. Maka seketika itu juga terdengar ledakan dahsyat menggelegar. Tampak percikan bunga api menyebar ke segala arah dari benturan dua cahaya aji kesaktian tingkat tinggi ini. Dan....

"Hih...!"

Rangga cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan, begitu kakinya terdorong satu langkah ke belakang. Dan seketika itu juga dari kedua telapak tangannya memancar cahaya biru terang menyilaukan mata, yang meluruk secepat kilat ke arah Datuk Muka Hitam. Padahal saat itu tokoh berwajah busuk itu baru bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, setelah sempat terlempar sejauh satu batang tombak.

Begitu cepatnya serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Datuk Muka Hitam tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...

Slap!
"Akh...!"

Datuk Muka Hitam terpekik agak tertahan, begitu cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga menghantam tubuhnya. Maka seketika itu juga, seluruh tubuh Datuk Muka Hitam terselubung cahaya biru yang begitu terang menyilaukan mata.

"Ugkh...!"

Laki-laki tua bermuka hitam itu kontan menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri dari selubung cahaya biru itu. Tapi semakin keras berusaha, semakin deras pula tenaganya mengalir keluar. Dan Datuk Muka Hitam sama sekali tidak menyadari kalau aji akra Buana Sukma' yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti justru bisa menyedot habis kekuatannya. Dan dia terus berusaha melepaskan diri dari selubung cahaya biru ini.

Sementara, Pendekar Rajawali Sakti perlahan-lahan mulai melangkah mendekati sambil terus mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' ke tubuh Datuk Muka Hitam. Dan ayunan kakinya tertahan setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Sedangkan Datuk Muka Hitam mulai kelihatan melemah gerakannya.

Tampak Rangga mulai melepaskan tangan kanannya. Dan dengan gerakan cepat sekali, Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya di punggung. Saat itu juga...

Cring!
"Hiyaaa...!"

Bersamaan dengan tercabutnya aji 'Cakra Buana Sukma', Rangga mengebutkan pedang pusakanya dengan kecepatan kilat yang sulit diikuti mata biasa. Hanya kilatan cahaya biru saja yang terlihat berkelebat begitu cepat ke leher Datuk Muka Hitam. Dan belum lagi laki-laki tua bermuka hitam ini bisa mengerjapkan mata...

Cras!
"Aaakh...!"

Tepat di saat mata pedang yang memancarkan cahaya biru terang itu menebas leher Datuk Muka Hitam, terdengar jeritan panjang yang melengking tinggi dan menyayat. Sementara itu, Rangga melompat ke belakang sejauh lima langkah sambil memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.

Cring!
"Hhh...!"

Rangga menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Pandangan matanya tertuju lurus pada Datuk Muka Hitam yang sudah tergeletak dengan kepala terpisah dari leher. Darah terus mengalir deras sekali dari lehemya yang sudah buntung tidak berkepala lagi.

Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti berdiri diam mematung memandangi tubuh lawannya yang sudah terbujur kaku tidak bemyawa. Kemudian kepalanya berpaling sedikit ke kanan.

"Suiiit...!"

Rangga memanggil Dewa Bayu dengan siulannya yang nyaring melengking. Dan kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi ke atas, kemudian berlari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dengusannya terdengar berat dengan kepala terangguk setelah tiba di depan pemuda berbaju rompi putih ini.

"Ayo, Dewa Bayu. Tinggalkan tempat ini. Masih ada yang harus kuselesaikan," ujar Rangga sambil menepuk leher kuda tunggangannya.

Dewa Bayu hanya mendengus kecil saja.

"Hup!" Ringan sekali gerakan Rangga saat melompat naik ke punggung kuda hitam tunggangannya. Langsung tali kekang kuda itu dihentakkan, membuat kuda hitam itu melesat cepat bagai kilat seperti anak panah lepas dari busur.

Rangga terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, semakin masuk ke dalam hutan. Sama sekali dia tidak merasa terhalang oleh pepohonan dan keadaan gelap di dalam hutan ini. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan tinggi sekali. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di tempat tinggal Nyai Wisanggeni yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah.

Tapi kedua kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak lebar, lalu cepat melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar kemudian, dia melangkah ke depan beberapa tindak dengan kedua mata masih terbuka lebar seperti tidak percaya dengan apa yang ada di depannya.

"Apa yang terjadi di sini...?"

Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, melihat gubuk yang ditempati Nyai Wisanggeni sudah hancur rata dengan tanah. Asap tipis terlihat mengepul dari reruntuhan gubuk yang terbakar hangus itu. Memang sulit diduga, apa yang akan terjadi nanti. Rangga sendiri jadi tidak mengerti melihat perkembangan dalam kepalanya.

Dan dia juga terus memikirkan keadaan Pandan Wangi yang nasibnya belum ketahuan, setelah bertarung melawan Setan Perempuan Penghisap Darah. Walaupun kini berada di dalam perawatan Rajawali Putih, tapi tetap saja Rangga belum bisa tenang melihat luka parah yang diderita Pandan Wangi. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mungkin bisa terus mendampingi Pandan Wangi, karena harus mencari si Setan Perempuan Penghisap Darah untuk membuat perhitungan.

Apakah Pendekar Rajawali Sakti bisa.bertemu Setan Perempuan Penghisap Darah dan membayar kekalahan Pandan Wangi...? Lalu, apa yang akan terjadi di Pakuan selanjutnya?

Berhasilkah pemberontakan yang dilakukan Panglima Widura...? Semua jawaban ini akan ditemukan dalam kisah Memburu Pengkhianat

SELESAI

Datuk Muka Hitam

Pendekar Rajawali Sakti

DATUK MUKA HITAM


SATU
"Kubunuh kau, Muka Jelek! Hiyaaat...!"

Keras sekali teriakan laki-laki muda berusia sekitar dua puluh tahun yang mengenakan baju biru muda dari bahan sutera halus itu. Teriakannya yang keras, diiringi hentakan tangan kanan yang mengarah pada seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun.

Begitu cepat gerakan tangan anak muda itu, sehingga bocah yang berpakaian buruk seperti gembel ini tidak sempat lagi menghindarinya. Maka hantaman yang mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi itu tepat menghantam dada telanjang bocah ini.

Diegkh...!
"Akh...!"

Bocah kecil itu kontan menjerit keras, dan tubuhnya terpental jauh ke belakang. Begitu keras hantaman tadi, sehingga bocah itu terus melayang, hingga sampai ke bibir sebuah jurang yang ada di belakangnya. Bocah itu jatuh, dan langsung bergulingan di tanah. Dan dia benar-benar tidak dapat lagi menguasai diri. Tubuhnya terus bergulingan, hingga jatuh terperosok ke dalam jurang.

"Aaa...!"

Kembali terdengar jeritan yang begitu panjang dan menyayat dari dalam jurang. Tapi tidak lama, jeritan itu lenyap bersamaan menghilangnya tubuh bocah kecil berpakaian buruk seperti gembel itu. Sementara, anak muda yang tadi menghantamnya, bergegas berlari ke tepi jurang. Kepalanya seketika dijulurkan, berusaha untuk bisa melihat tubuh bocah yang mungkin sudah hancur di dalam jurang.

"Heh...?!"

Tapi pemuda itu jadi terkejut setengah mati, karena di dasar jurang yang tidak begitu dalam ini sama sekali tidak terlihat ada satu sosok tubuh pun di sana. Padahal tadi sudah jelas kalau bocah kecil itu bakal hancur termakan batu-batu yang banyak bertebaran di dasar jurang.

"Mustahil...! Ke mana dia...?" desis anak muda itu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Jelas sekali dari raut wajahnya kalau anak muda ini jadi penasaran. Tapi begitu kakinya terayun hendak menuruni tebing jurang yang berbatu ini...

"Cukup, Widura. Tidak perlu kau turun ke sana"

Terdengar suara halus dari belakang. Maka anak muda yang ternyata bernama Widura itu tidak jadi menuruni jurang. Kepalanya berpaling sedikit, kemudian tubuhnya berbalik. Dan di depannya kini sudah terlihat seorang wanita berusia lebih dari separo baya, tapi masih kelihatan cantik dan padat. Dia berbaju cukup ketat warna putih bersih, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.

"Anak itu tidak ada di jurang ini, Nyai Wisanggeni," kata Widura memberi tahu.

"Aku sudah tahu," ringan sekali sahutan wanita yang dipanggil Nyai Wisanggeni.

"Kau sudah tahu...?"

Widura jadi tidak mengerti. Dipandanginya wanita itu dalam-dalam. Dia sungguh heran! Karena setahunya, wanita yang bernama Nyai Wisanggeni itu tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya tadi. Tapi, apa yang terjadi pada anak gembel itu di dasar jurang sana sudah bisa diketahuinya.

"Kau terlalu menganggap enteng anak itu, Widura. Seharusnya lehernya penggal saja tadi dengan golokmu," sesal Nyai Wisanggeni lagi.

"Pukulanku tadi pasti sudah membuat dadanya remuk, Nyai."

"Itu bukan berarti sudah mati, Widura. Lihatlah kenyataannya. Anak itu sekarang tidak ada lagi. Dan dia pasti masih hidup sekarang."

"Aku akan mencarinya, Nyai."

"Tidak perlu. Tidak ada gunanya lagi mencari anak itu, Widura. Ayo kita kembali saja."

Widura tidak bisa membantah lagi. Walaupun rasa penasaran masih tersimpan dalam hatinya, tapi perintah wanita ini tidak dapat ditolaknya. Dengan hati diliputi rasa kepenasaran dan terus bertanya-tanya, kaki Widura terayun juga mengikuti wanita separo baya yang masih kelihatan cukup cantik dan menggairahkan ini. Mereka berjalan tanpa ada yang berbicara sedikit pun. Dan sesekali kepala pemuda itu masih sempat menoleh ke belakang.

Mungkinkah anak kecil berusia tujuh tahun itu tidak mati di dasar jurang yang penuh batu...?

Walaupun peristiwa itu sudah berlalu lebih dari delapan belas tahun, tapi pertanyaan itu terus mengganggu pikiran Widura. Memang sulit baginya untuk melupakan peristiwa yang untuk pertama kalinya mendapat tugas menghilangkan nyawa orang lain. Padahal, hanya nyawa seorang anak gelandangan yang sangat kotor dan berwajah buruk sekali. Tapi itu tugas yang diberikan gurunya, yang tidak mungkin dapat ditolak lagi. Meskipun dalam hati kecilnya tidak ingin melaksanakannya, tapi Nyai Wisanggeni tetap memaksa untuk melakukan kekejaman itu.

Dan sekarang, setelah delapan belas tahun berlalu, Widura bukan lagi seorang anak muda yang gagah. Walaupun tubuhnya tidak lagi tegak seperti dulu, tapi ketampanannya masih tetap terlihat. Bahkan tingkat kepandaiannya juga semakin bertambah. Widura sekarang menjadi seorang panglima perang Kerajaan Pakuan yang amat disegani.

Siang ini, entah kenapa Widura datang kembali ke tempat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun lalu. Sebuah daerah perbukitan yang dibelah oleh jurang yang tidak begitu dalam dan besar. Keadaannya belum banyak yang berubah, masih seperti pertama kali dia harus melenyapkan nyawa seorang anak manusia berusia tujuh tahun pada delapan belas tahun yang lalu. Dan entah sudah berapa lama Widura berdiri mematung di bibir jurang. Sementara, para pengawal dan prajurit hanya bisa sabar menunggunya.

"Gusti Panglima..."

Tiba-tiba seorang punggawa menghampiri Panglima Widura yang masih tetap berdiri mematung di bibir jurang ini. Panglima Widura perlahan berbalik sambil menghembuskan napas panjang. Seakan, ada sesuatu yang tengah dirasakannya saat ini.

"Ada apa, Punggawa Garula?" tanya Panglima Widura datar.

"Ampun, Gusti. Sudah hampir senja. Apakah Gust ingin tetap berada di sini hingga malam?" hormat sekali tutur kata dan sikap orang yang dipanggil Punggawa Garula.

"Perintahkan semua prajurit untuk mendirikan tenda. Aku ingin tinggal di sini sampai besok pagi," sahut Panglima Widura.

"Baik, Gusti Panglima."

Punggawa Garula bergegas meninggalkan panglimanya. Lalu prajurit-prajuritnya diperintahkan untuk mendirikan tenda. Walaupun ada guratan keheranan pada wajah para prajurit, tapi perintah panglimanya tetap dilaksanakan. Mereka memang tidak tahu, untuk apa Panglima Widura datang ke tepi jurang dan bermalam di sini. Dan hanya Panglima Widura sendiri yang bisa menjawabnya. Namun para prajurit tetap melaksanakan perintah junjungannya untuk mendirikan tenda. Sementara, Panglima Widura kembali memandang ke dalam jurang yang penuh batu dan sama sekali tidak ada perubahan selama delapan belas tahun.

"Tenda sudah siap, Gusti Panglima. Apakah Gusti Panglima hendak beristirahat...?" Punggawa Garula kembali datang melapor.

"Kemarilah. Punggawa," pinta Panglima Widura, tanpa berpaling sedikit pun.

Dengan sikap hormat, Punggawa Garula menghampiri panglimanya. Tubuhnya dibungkukkan sedikit dengan telapak tangan merapat di depan dada, begitu berada di sebelah kanan Panglima Widura.

"Kau tahu, Punggawa. Aku mempunyai satu kenangan pahit di sini yang tidak bisa kulupakan seumur hidup...," pelan sekali suara Panglima Widura.

"Kalau boleh hamba tahu, kenangan apa itu, Gusti...?" ujar Punggawa Garula ingin tahu.

"Sulit dijelaskan, Punggawa. Tapi di tempat inilah aku pertama kali menjadi seorang pengecut yang kejam. Untuk pertama kali dalam seumur hidup, aku menghabisi nyawa orang," pelan sekali suara Panglima Widura.

"Ah.... Gusti Panglima pasti bergurau. Semua orang tahu, betapa gagahnya Gusti Panglima berada di medan perang. Kerajaan Pakuan tidak akan sebesar ini tanpa Gusti Panglima," sahut Punggawa Garula tidak percaya ucapan panglimanya barusan.

"Kapan pertama kali kau menghilangkan nyawa orang lain, Punggawa?" tanya Panglima Widura.

"Hamba tidak ingat, Gusti," sahut Punggawa Garula.

"Hhh...!"

Entah kenapa, Panglima Widura jadi menarik napas panjang. Memang, Punggawa Garula ditakdirkan untuk menjadi seorang prajurit. Dan baginya, melenyapkan nyawa orang lain bukanlah suatu pekerjaan yang harus dipikirkan mendalam. Terlebih lagi, menjadi kenangan seumur hidup yang tidak akan bisa terlupakan.

Sama sekali Panglima Widura tidak bisa menyalahkan Punggawa Garula yang mempunyai pendapat seperti itu. Dan memang, bukan hanya punggawa itu saja yang berpendapat demikian, banyak orang berpendapat sama. Terlebih lagi, bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia persilatan. Nyawa bagai tidak ada artinya sama sekali. Bahkan seringkali dibuat menjadi bahan permainan.

"Sudah gelap. Kau atur penjagaan, Punggawa," ujar Panglima Widura memberi perintah.

"Hamba. Gusti Panglima," sahut Punggawa Garula seraya membungkuk memberi hormat.

Sementara Panglima Widura sudah melangkah menuju tendanya, Punggawa Garula segera mengatur para prajuritnya untuk bergantian berjaga malam. Dan memang, kegelapan sudah menyelimuti sebagian alam ini. Kesunyian pun sudah terasa menyelimuti hati mereka semua yang ada di tepian jurang ini.

Di dalam tendanya, Panglima Widura tidak dapat memejamkan matanya sepicing pun. Kembali benaknya teringat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu di tempat ini. Bahkan kembali terbayang wajah bocah yang tidak berdosa itu. Sinar mata yang redup dan memancarkan permohonan belas kasihan, tapi saat itu Widura sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan garang dihantamkannya pukulan yang bertenaga dalam cukup tinggi ke dada kurus bocah itu, hingga terjerumus masuk ke dalam jurang.

Panglima Widura merasakan udara di dalam tendanya begitu panas. Dan kakinya segera melangkah ke luar. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah meninggalkan tendanya, mendadak saja....

"Aaa..!"
"Heh...?! Apa itu...?"

Bukan hanya Panglima Widura yang terkejut mendengar jeritan melengking tinggi tadi. Bahkan seluruh prajuritnya juga kaget setengah mati. Tanpa diperintah lagi, mereka segera bersiaga dengan senjata terhunus milik masing-masing. Panglima Widura yang melihat Punggawa Garula, bergegas menghampiri.

"Ada apa. Punggawa?" tanya Panglima Widura langsung.

"Entahlah, Gusti...," sahut Punggawa Garula.

Dan baru juga mulut Panglima Widura terbuka hendak bertanya lagi, mendadak...

"Akh...!"
"Heh...?!"

Kembali mereka dikejutkan oleh terdengarnya pekikan agak tertahan. Panglima Widura bergegas berbalik. Saat itu, terlihat seorang prajurit terhuyung-huyung ke arah panglima ini. Dan tubuhnya langsung jatuh terguling, begitu berada dekat di depan Panglima Kerajaan Pakuan ini.

"Hah...?!"

Kedua bola mata Panglima Widura jadi terbeliak kaget begitu melihat sepotong ranting kering tertancap di leher prajurit ini. Dan belum lagi rasa terkejutnya hilang, kembali terdengar jeritan nyaring melengking yang disusul ambruknya seorang prajurit lagi, dengan sepotong ranting menembus dada.

"Siaga...!" teriak Panglima Widura memberi perintah.

Seketika itu juga, seluruh prajurit yang berjumlah sekitar lima puluh orang langsung membuat lingkaran, melindungi panglimanya.

"Siapa kau?! Cepat keluar...!" teriak Panglima Widura lantang menggelegar.

Teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu menggema sampai ke dalam jurang, dan menyusup di antara lebatnya pepohonan di sekitar hutan ini. Tapi, tidak terdengar sahutan sedikit pun juga. Kini keadaan jadi begitu sunyi dan mencekam. Sedikit pun tidak terdengar suara. Hanya desir angin saja yang terdengar menghembus, mengusik dedaunan. Panglima Widura mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan pada saat matanya terarah ke sebelah kanan, saat itu juga terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menuju ke arah jurang.

"Hup..."

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panglima Widura segera melesat mengejar. Namun bayangan itu dalam sekejapan mata saja sudah lenyap bagai ditelan bumi. Sementara, Panglima Widura sudah berada di bibir jurang. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling.

"Aku di sini, Widura...."
"Heh...?!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara yang begitu berat dari belakangnya. Cepat tubuhnya berbalik. Dan kini di hadapannya sudah berdiri seseorang yang wajahnya begitu sulit dikenali, karena tertutup sebuah caping dari jerami yang cukup besar.

Orang itu bertubuh bungkuk, terbungkus pakaian compang-camping. Tampak sebuah benjolan besar seperti tumbuh di punggungnya. Tidak ada satu senjata pun terlihat, kecuali sebatang tongkat kayu yang tergenggam di tangan kanannya. Kelihatannya tongkat itu tidak berarti, dan hanya sekadar menyanggah tubuhnya yang bungkuk. Namun siapa tahu, justru di dalamnya mengandung kekuatan dahsyat.

"Siapa kau...?!" tanya Panglima Widura dengan suara agak keras membentak.

"Kau tentu sudah tidak lagi mengenaliku, Widura? Tapi aku tidak akan pernah bisa melupakanmu, karena tubuhku seperti ini akibat perbuatanmu. Nah.. Malam ini juga aku akan membuat perhitungan padamu," terasa begitu dingin suara orang bertubuh bungkuk ini.

"Heh...?! Perhitungan apa...? Aku saja baru kali ini bertemu denganmu, Kisanak," terdengar agak terkejut nada suara Panglima Widura.

"Kau lupa, Widura. Kita pernah sekali bertemu. Namun, pertemuan itu tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Kau begitu kejam, Widura. Kau waktu itu mencoba membunuhku, tapi sang Hyang Widi belum menghendaki aku mati. Dan pertemuan yang kedua ini, sengaja kedatanganku untuk sedikit menghirup darahmu," masih terasa begitu dingin nada suara orang aneh itu.

"Siapa kau sebenarnya...?" tanya Panglima Widura.

"Delapan belas tahun... Waktu yang cukup lama untuk menunggu dan membalas semua perbuatan kejimu, Widura," masih terasa begitu dingin suara orang itu, tanpa menjawab pertanyaan Panglima Widura tadi.

"Heh...?! Kau...," suara Panglima Widura jadi tercekat di tenggorokan.

Orang berpakaian kumal seperti gembel itu perlahan mengangkat tangan kirinya ke atas. Lalu, dibukanya tudung jerami yang menutupi kepala serta sebagian wajahnya. Dan begitu tudung jerami itu terlepas dari kepala, kedua bola mata Panglima Widura jadi terbeliak lebar. Bahkan mulutnya jadi ternganga bagai melihat sosok hantu yang begitu mengerikan.

Sungguh sulit dipercaya dengan apa yang dilihatnya ini. Wajah orang itu demikian hitam bagai arang. Rambutnya yang jarang, dibiarkan meriap tidak teratur. Seluruh kulitnya juga hitam, penuh benjolan. Dan ketika dadanya dibuka, terlihat gambar sebuah telapak tangan berwarna merah agak kehitaman, hingga hampir tidak terlihat dalam sepintas saja.

"Kau...," suara Panglima Widura semakin tercekat.

Seketika Panglima Widura kembali teringat pada peristiwa delapan belas tahun yang lalu di tempat ini. Peristiwa yang sampai sekarang sulit dilupakan. Sementara, orang bertubuh hitam terbungkus pakaian kumal penuh tambalan itu tersenyum menyeringai lebar. Dengan senyum itu, dia memperlihatkan baris-baris giginya yang runcing dan tidak teratur, bagaikan barisan gigi binatang buas. Sorot matanya begitu tajam memerah, menatap lurus ke bola mata Panglima Widura. Seakan-akan, dia ingin melumat panglima itu lewat sorot matanya.

"Ya! Aku. Tapi, aku sering dipanggil Datuk Muka Hitam. Dan akulah anak kecil tanpa daya yang tidak punya dosa apa-apa padamu, tapi malah ingin kau bunuh. Dan sekarang aku datang, Widura. Datang dengan membawa pembalasan," masih terdengar dingin sekali nada suara orang bertubuh hitam yang mengaku bernama Rahkapa.

"Maafkan aku, Rahkapa. Waktu itu, aku hanya menjalankan perintah saja. Aku tidak tahu apa-apa," ujar Panglima Widura bernada menyesal. "Ketahuilah, Rahkapa. Sampai saat ini aku terus menyesali semua yang telah kulakukan padamu. Itulah sebabnya, setiap saat aku datang ke sini untuk mengenang semua itu."

"Hanya dengan mengenang, tidak akan bisa menyelesaikan persoalan, Widura."

"Ya, aku tahu itu. Tapi, maafkanlah aku..."

"Hhh! Tidak kusangka! Orang yang begitu kejam, ternyata sekarang merintih ketakutan seperti tikus got. Di mana kegaranganmu, Panglima Widura...!"

Panglima Widura hanya diam saja. Dia tahu dengan cara apa pun, Rahkapa yang sudah dikenal sebagai Datuk Muka Hitam itu tidak akan bisa memaafkan semua yang sudah dilakukannya delapan belas tahun yang lalu.

"Kau lihat, Widura. Akibat dari perbuatanmu itu, aku tidak punya lagi masa depan. Semua orang takut dan jijik melihatku. Kau harus membayar semua ini, Widura. Kau harus merasakan, bagaimana hidup terhina dan dijauhi orang," semakin dingin nada suara Rahkapa.

Panglima Widura masih tetap diam. Tapi tangannya sudah mencekal gagang pedang yang masih tergantung di pinggang. Disadari, tidak ada jalan lain lagi, kecuali membela diri. Walaupun dalam hatinya merasa bersalah, tapi dia tidak mau menerima nasib begitu saja tanpa ada perlawanan sama sekali. Sementara itu, para prajurit yang bersama Panglima Widura sudah mengepung tempat ini. Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti, persoalan apa yang terjadi pada diri panglimanya ini. Tapi, mereka sudah siap dengan senjata terhunus, siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

"Terimalah pembalasanku, Widura! Hiyaaa...!"

"Hap...!"

DUA

Disertai teriakan begitu keras menggelegar bagai guntur, Rahkapa menghentakkan tangan kanannya ke depan, setelah tongkat kayunya dipindahkan ke tangan kiri. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan kanannya meluncur kilatan bola api yang begitu cepat. Akibatnya Panglima Widura jadi terkesiap sesaat. Untung tubuhnya cepat melenting ke atas. Sehingga, kilatan api dari telapak tangan laki-laki berjuluk Datuk Muka Hitam itu lewat di bawah telapak kakinya.

"Yeaaah..!"

Baru saja Panglima Widura menjejakkan kakinya di tanah, Rahkapa sudah berteriak keras sambil menghentakkan tangan kanannya lagi ke depan. Maka kilatan api kembali meluncur cepat sekali ke arah panglima ini. Dan untuk kedua kalinya, Panglima Widura harus melenting ke udara. menghindari serangan yang sangat dahsyat ini. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian indah sekali kakinya menjejak tanah. Sementara, di belakangnya sudah berkobar api dari pepohonan yang menjadi sasaran dan serangan si Datuk Muka Hitam ini.

"Ternyata kau tangguh juga, Panglima Widura," desis Rahkapa dingin.

"Hm," Panglima Widura hanya sedikit menggumam.

"Sekarang kita mengadu jiwa, Panglima Widura. Hiyaaat...!"

"Hap!"

Cepat sekali Rahkapa melompat sambil mengayunkan tongkat kayunya ke arah kepala. Tapi dengan gerakan manis, Panglima Widura berhasil menghindarinya. Lalu, dia cepat melompat ke belakang dua langkah. Namun pada saat itu, tanpa diduga sama sekali Rahkapa menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan seketika, kilatan cahaya merah melesat ke arah panglima ini.

"Heh?! Hup...!"

Panglima Widura jadi terkesiap juga mendapat serangan yang begitu cepat dan tidak diduga sama sekali. Maka tubuhnya cepat melenting ke atas sambil berputar ke belakang. Dengan demikian serangan Datuk Muka Hitam tidak sampai mengenai sasaran. Dan dengan gerakan yang begitu indah, Panglima Widura kembali menjejakkan kakinya di tanah. Pada saat itu juga...

"Seraaang...!"
"Hey! Jangan...!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Punggawa Garula berteriak keras memberi perintah untuk menyerang Datuk Muka Hitam. Panglima itu cepat-cepat berteriak mencegah, tapi para prajurit sudah lebih dulu berlompatan menyerang orang bertubuh hitam legam ini.

"Keparat! Monyet-monyet cari mampus rupanya kalian, hah...! Yeaaah...!"

Rahkapa jadi geram mendapat serangan dari para prajurit yang sejak tadi memang sudah tidak sabar lagi melihat panglimanya diserang begitu rupa. Sambil menggeram keras, Rahkapa cepat memutar tubuhnya sambil cepat sekali mengebutkan tongkat kayunya yang kelihatannya seperti tak berarti. Begitu cepatnya, sehingga membuat tiga orang prajurit tidak lagi dapat menghindarinya. Dan mereka jadi menjerit, begitu ujung kayu Datuk Muka Hitam merobek tubuhnya. Ketiga prajurit itu seketika ambruk bergelimang darah.

"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"

Rahkapa yang menjuluki diri sebagai Datuk Muka Hitam itu terus bergerak cepat, mengamuk dengan sabetan tongkatnya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga prajurit-prajurit dan Kerajaan Pakuan ini tidak dapat lagi menahan. Maka jeritan-jeritan kematian pun semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh berlumuran darah sudah mulai bergelimpangan di sekitar pertarungan ini.

Sementara, Panglima Widura yang melihat dalam beberapa gebrakan saja prajuritnya sudah banyak yang tewas, jelas tidak mau tinggal diam begitu saja. Terlebih lagi, Rahkapa memang bukan tandingan para prajurit yang kepandaiannya sangat rendah ini.

"Mundur kalian semua ..!" seru Panglima Widura lantang menggelegar, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.

Teriakan Panglima Widura yang menggelegar ini membuat para prajurit yang sedang mengeroyok Rahkapa jadi berlompatan mundur. Sementara, Rahkapa sudah berdiri tegak dengan tongkat kayunya tersilang di depan dada. Tampak ujung tongkatnya sudah basah oleh lumuran darah. Dan pandangannya langsung diarahkan dengan tajam pada Panglima Widura.

"Kembali kalian ke istana!" perintah Panglima Widura pada prajurit prajurirnya.

"Tapi, Gusti...," selak Punggawa Garula terputus.

"Kembali kataku! Ini perintah, Punggawa!" bentak Panglima Widura lantang.

Punggawa Garula tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Dengan perasaan kecewa, prajurit-prajuritnya yang tersisa lantas diperintahkan untuk menjauhi tempat pertarungan di tepi jurang ini. Sementara Panglima Widura tetap berdiri tegak berhadapan dengan Rahkapa.

"Delapan belas tahun rupanya sudah membuatmu berubah, Widura. Kau kini sudah menjadi pemimpin yang baik," desis Rahkapa dingin, bernada mengejek.

"Ini persoalan antara aku denganmu, Rahkapa. Mereka tidak perlu ikut campur mengorbankan nyawa," dengus Panglima Widura tidak kalah dingin.

"Bagus! Memang hanya kau yang kuinginkan, Widura. Nah! Sekarang, bersiaplah menyambut kematianmu! Hiyaaat. !"

Sambil berteriak keras menggelegar, Datuk Muka Hitam melesat cepat bagai kilat. Langsung diserangnya Panglima Kerajaan Pakuan ini. Tongkat kayunya dikebutkan cepat sekali disertai pengerahan tenaga dalam ke arah kepala.

"Haiiit...!"

Tapi hanya sedikit saja Panglima Widura mengegoskan kepala, serangan Datuk Muka Hitam tidak sampai mengenai sasaran. Dan pada saat tongkat kayu itu lewat di atas kepalanya, dengan kecepatan yang sangat tinggi dan sukar diikuti pandangan mata biasa, Panglima Widura menghentakkan tangan kirinya. Langsung diberikannya satu sodokan keras ke arah perut lawannya ini.

"Hih!"
"Hap!"
Bet!

Cepat Rahkapa mengebutkan tongkatnya berputar ke bawah, hingga membuat Panglima Widura terpaksa harus menarik kembali tangannya. Dan saat itu juga, Rahkapa menghentakkan kaki kirinya ke depan.

"Hap!"

Panglima Widura tak punya lagi kesempatan untuk menghindari tendangan Datuk Muka Hitam. Maka tangan kanannya cepat dihentakkan untuk menangkis tendangan kaki kiri yang begitu cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ini. Akibatnya....

Plak!
"Ikh...?!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget begitu tangkisannya mengenai kaki Rahkapa. Seluruh persendian tulang tangannya kontan jadi nyeri bagai retak. Rasanya, tangannya tadi seperti membentur sebongkah batu karang yang begitu keras. Cepat-cepat Panglima Widura melompat ke belakang menjaga jarak. Sedangkan Rahkapa sudah berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan senyum lebar yang mirip sebuah seringai. Kedua bola matanya memerah liar menatap lawannya ini.

"He he he...! Kau belum mampu untuk mengalahkan aku sekarang, Widura. Sekarang, berlututlah sebelum batang lehermu kupenggal."

"Hhh!"

Panglima Widura hanya menghembuskan napas sedikit saja dengan berat. Kakinya bergeser perlahan ke kanan sambil mengurut tangannya yang masih terasa nyeri akibat berbenturan dengan kaki Datuk Muka Hitam ini. Sementara itu, agak jauh dan tepian jurang Punggawa Garula dan para prajuritnya ternyata masih terus menyaksikan dengan dada berdebar. Mereka berharap panglimanya bisa menghancurkan manusia buruk bertubuh hitam itu.

"Cabut senjatamu, Panglima!" bentak Rahkapa menantang. "Kau tidak akan bisa bertahan lama tanpa senjata!"

"Jangan terlalu besar kepala, Rahkapa! Kau pikir aku sudah kalah, heh...?!" desis Panglima Widura, dingin sekali.

"He he he...! Sebentar lagi ajalmu datang, Widura."

"Phuih!"

Panglima Widura menyemburkan ludahnya dengan sengit. Semula, dia memang merasa bersalah terhadap manusia bermuka hitam ini, sehubungan peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu. Tapi melihat kecongkakan Datuk Muka Hitam, rasa bersalahnya mendadak saja lenyap. Bahkan jadi muak melihat tingkah yang congkak merendahkan ini. Panglima Widura seperti lupa akan peristiwa delapan belas tahun lalu. Yang ada dalam kepalanya sekarang adalah, mencari cara untuk bisa mengalahkan manusia bermuka hitam yang sangat tangguh ini.

"Hih! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura tiba-tiba saja melesat cepoi bagai kilat menerjang Datuk Muka Hitam ini. Seketika satu pukulan yang teramat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi pun dilepaskan ke arah kepala.

"Haiiit..!"

Tapi dengan egosan kepala yang manis sekali. Rahkapa berhasil menghindarinya. Bahkan tanpa diduga sama sekali tangan kirinya dihentakkan, memberi satu sodokan ke arah perut.

"Hap!"

Panglima Widura cepat-cepat meliukkan tubuhnya ke udara, lalu melenting ke belakang menghindari sabetan tongkat kayu yang menyusul begitu cepat ke arah dada. Sehingga ujung tongkat yang cukup runcing itu lewat sedikit saja di depan dadanya. Kemudian, manis sekali Panglima Widura menjejakkan kakinya di tanah.

"Hih!"

Namun belum juga bisa menegakkan tubuhnya dengan sempurna, Rahkapa sudah melancarkan serangan lagi. Tongkatnya berkelebatan begitu cepat, hingga membuat Panglima Widura terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Beberapa kali ujung tongkatnya hampir merobek tubuh panglima ini. Namun, dengan gerakan manis sekali Panglima Widura bisa menghindarinya. Bahkan beberapa kali pula serangan balasannya sempat membuat Datuk Muka Hitam jadi kelabakan.

Pertarungan pun berlangsung semakin sengit saja. Masing-masing berusaha menjatuhkan lawan secepatnya. Serangan-serangan dahsyat berhawa maut datang silih berganti. Rahkapa yang semula menganggap enteng Panglima Widura, kini kedua bola matanya seakan baru terbuka. Ternyata tidak mudah untuk menjatuhkan panglima ini. Walaupun kekuatan tenaga dalam yang dimiliki satu sama lain cukup seimbang, tapi gerakan-gerakan Panglima Widura memang lebih gesit. Dan memang, Panglima Widura lebih berpengalaman dalam pertarungan.

Hingga dalam satu kesempatan, Panglima Widura melenting ke atas kepala lawannya. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Panglima Widura memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah, tepat di belakang lawannya ini. Saat itu juga, satu pukulan yang sangat keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan tepat mengarah ke punggung. Begitu cepat serangannya, sehingga Rahkapa tidak dapat lagi menghindarinya.

Buk!
"Akh...!"

Rahkapa jadi terpekik keras agak tertahan, begitu punggungnya terkena pukulan yang sangat keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, tubuhnya terpental ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah, hampir saja kejadian delapan belas tahun yang lalu terulang. Dan kalau saja tidak segera menancapkan tongkatnya ke tanah, dan menjadikannya penghalang tubuhnya, pasti tubuhnya bisa terjerumus masuk ke dalam jurang yang penuh batu sebesar kerbau. Untung saja, dia terhindar dari kematian di dasar jurang.

"Hup!"

Cepat-cepat Rahkapa melompat bangkit berdiri. Tapi punggungnya yang berpunuk seperti unta itu jadi nyeri akibat pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang diterimanya tadi. Mulutnya meringis sedikit. Lalu tongkatnya yang sudah tercabut dari tanah di depan dada cepat diputarnya.

"Phuih!"
Wut! Wut! Wut...!

Putaran tongkat kayu itu semakin lama semakin cepat, hingga akhirnya bentuknya lenyap dari pandangan. Dan yang terlihat hanya lingkaran yang berputar begitu cepat, menimbulkan suara angin menderu bagai badai.

Sementara, Panglima Widura menggeser kakinya perlahan ke kanan. Tangan kanannya menggenggam pedang yang sejak tadi masih tersimpan dalam warangkanya di pinggang. Sedangkan Rahkapa terus memutar cepat tongkatnya. Dan tiba-tiba saja....

"Hiyaaa...!"

Begitu terdengar teriakan yang sangat keras menggelegar, mendadak saja Rahkapa melepaskan tongkatnya yang berputar cepat sekali. Maka tongkat itu meluruk deras bagai kilat dengan gerakan berputar cepat menerjang Panglima Widura.

"Hap!"
Cring!
Bet!

Panglima Widura cepat sekali mencabut pedangnya, dan langsung dikebutkan ke arah tongkat yang berputar meluruk deras menyerangnya.

Tring!
"Heh...?!"

Untuk kedua kalinya Panglima Widura jadi terperanjat setengah mati. Seolah-olah pedangnya terasa membabat senjata dari baja yang begitu kuat. Dan ini membuatnya terpaksa harus melangkah ke belakang dua tindak. Sementara, tongkat kayu Datuk Muka Hitam berputar balik ke pemiliknya. Kemudian, manis sekali Rahkapa menangkap tongkatnya yang berputar melayang hampir melewati kepalanya.

"Hap! Yeaaah...!"

Rahkapa langsung menghantamkan tongkatnya ke tanah. Seketika itu juga, terdengar ledakan keras menggelegar bagai gunung berapi memuntahkan laharnya. Tanah yang dipijak pun jadi bergetar seperti diguncang gempa. Dan tiba-tiba saja, tanah di depan Rahkapa bergerak membelah, membuat sebuah jurang yang sangat dalam.

Panglima Widura jadi terbeliak melihat tanah yang terbelah itu cepat sekali bergerak menuju kearahnya. Bergegas tubuhnya melenting ke belakang sambil berputaran cepat. Sementara, tanah yang terbelah itu terus bergerak mengikuti ke mana saja Panglima Widura bergerak menghindar.

"Edan...! Ilmu apa yang digunakannya ini...?" desis Panglima Widura dalam hati.

Memang sangat aneh ilmu yang dimiliki Rahkapa. Tanah yang terbelah itu langsung merapat setiap kali kakinya melangkah ke depan. Dan tanah itu terus bergerak membelah, mengikuti setiap gerakan Panglima Widura dalam menghindar.

"Hup! Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura tiba-tiba saja melesat cepat sekali ke belakang. Dan begitu kakinya menjejak tanah, seketika itu juga sebatang pohon di dekatnya dihantam dengan tangan kanannya.

Brak!

Maka pohon berukuran sangat besar itu seketika tumbang hanya dengan sekali pukul saja. Sebentar saja pohon itu ambruk ke atas tanah yang berlubang dan bergerak mengarah ke panglima ini. Dan saat itu juga...

"Ikh...?!"

Rahkapa tampak terpekik kaget melihat pohon itu ambruk menjatuhi tanah berlubang yang dibuatnya ini. Begitu terkejutnya, sampai terlompat ke belakang. Dan seketika itu juga, tanah yang tadi terbelah langsung cepat menutup kembali, menjepit pohon yang ditumbangkan Panglima Widura tadi. Tepat pada saat Datuk Muka Hitam masih terkejut, Panglima Widura sudah melesat cepat bagai kilat menyerangnya.

"Hiyaaat..!"
Bet!

Cepat sekali Panglima Widura membabatkan pedangnya ke arah leher lawannya yang bermuka hitam ini. Tapi Rahkapa seolah cepat pula mengibaskan tongkatnya, menangkis serangan ini.

Trang!

Kembali dua senjata itu beradu keras, sampai memercikkan bunga api yang menyebar ke segala arah. Dan pada saat itu juga, Panglima Widura cepat menghentakkan kaki kirinya ke depan, sambil meliuk hingga miring ke kanan. Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Panglima Widura, sehingga Rahkapa tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...

Diegkh!
"Akh...!"

Rahkapa kontan menjerit keras, begitu dadanya telak terhantam tendangan kaki Panglima Widura. Begitu kerasnya tendangan ini, sampai membuatnya terpental cukup jauh ke belakang. Saat itu juga Panglima Widura melesat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh mengejar lawannya.

"Yeaaah...!"
Bet!

Kembali Panglima Widura membabatkan pedangnya dengan kecepatan bagai kilat. Sedangkan Rahkapa yang sama sekali belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, sudah barang tentu tidak mungkin bisa menghindari. Namun di saat ujung pedang Panglima Widura hampir membelah dada lawannya ini, mendadak saja...

Slap!
"Heh...?!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat bagai kilat. Dan belum juga hilang keterkejutannya, bayangan hitam itu sudah lenyap tidak berbekas sama sekali.

"Hah...?!"

Kembali Panglima Widura terbeliak. Lenyapnya bayangan hitam itu, ternyata bersamaan dengan hilangnya Datuk Muka Hitam yang sedang melayang akibat terkena tendangan Panglima Widura yang bertenaga dalam tinggi di dadanya tadi. Hilangnya Datuk Muka Hitam bukan saja mengejutkan Panglima Widura. Bahkan Punggawa Garula dan semua prajurit yang belum meninggalkan tempat itu juga jadi ternganga, seperti tidak percaya.

Panglima Widura berdiri tegak dengan pedang tersilang di depan dada. Begitu tersadar, pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Dan kakinya perlahan bergerak melangkah ke depan. Ayunan kakinya segera terhenti, tepat di tempat Datuk Muka Hitam tadi berada sebelum menghilang bersamaan dengan sebuah kelebatan bayangan hitam yang begitu cepat bagai kilat tadi.

"Hm...," Panglima Widura menggumam kecil. Sorot matanya tertuju pada prajurit-prajuritnya yang masih tetap berada cukup jauh dari tempatnya berdiri ini. Sedikit Panglima Widura menarik napas panjang. Dan pandangannya kemudian beralih ke arah mulut jurang yang menganga tidak jauh di sebelah kanannya. Jurang itu tampak menghitam pekat, tanpa sedikit pun mendapat cahaya. Karena memang, malam ini sama sekali tidak terlihat bulan muncul memancarkan cahaya. Langit tampak menghitam kelam terselimut awan yang begitu tebal. Dan angin pun baru terasa begitu keras berhembus, menyebarkan udara dingin yang menggigilkan tubuh.

Panglima Widura bergegas melangkah kembali ke tendanya begitu merasakan titik-titik air mulai turun menyentuh kulit tubuhnya. Sempat diperintahkannya para prajuritnya untuk masuk ke dalam tendanya masing-masing. Dan begitu tidak lagi terlihat seorang pun berada di luar, hujan seketika turun deras bagai ditumpahkan dari langit.

********************

TIGA

Matahari bersinar begitu terik siang ini. Tanah yang basah terguyur hujan lebat semalam begitu cepat kering, bagai tidak pernah tersiram air sama sekali. Dan di bawah siraman cahaya matahari yang teramat terik ini, Panglima Widura tampak memacu cepat kudanya menuju arah selatan dari Kotaraja Pakuan. Kuda yang dipacu cepat itu mengakibatkan debu mengepul membubung tinggi ke angkasa.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Panglima Widura semakin cepat memacu kudanya setelah melewati bangunan batu yang menjadi pembatas Kotaraja Pakuan. Kudanya terus dipacu cepat, menuju arah selatan. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin cepat pula kudanya dipacu.

"Hooop...!"

Panglima Widura baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di sebuah hutan yang kelihatan tidak begitu lebat. Sebentar dia duduk diam di atas pelana kudanya, memandang lurus ke arah hutan di depannya. Kemudian dengan gerakan indah dan ringan sekali, Panglima Widura melompat turun dari punggung kudanya.

"Kau tunggu di sini. Aku tidak lama," kata Panglima Widura pada kudanya, sambil menepuk lembut leher binatang tunggangannya.

Seperti mengerti saja, kuda itu menganggukkan kepalanya sambil mendengus pendek. Sementara, Panglima Widura sudah melangkah memasuki hutan ini dengan ayunan kaki cepat dan lebar-lebar. Hutan yang tidak begitu lebat ini memang memudahkan baginya untuk bergerak cepat. Sebentar saja Panglima Widura sudah jauh masuk ke dalam hutan, karena memang mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Sebentar, saja Panglima Widura sudah tiba di tengah-tengah hutan yang tidak begitu lebat ini. Tampak di depannya berdiri sebuah pondok kecil yang dinding-dindingnya terbuat dari belahan kayu yang sudah banyak lubangnya. Bahkan atapnya pun kelihatan seperti hendak roboh.

"Kenapa kau berdiri saja di situ, Widura. Ayo masuk...!"

Tiba tiba saja terdengar suara yang sangat nyaring dari dalam pondok. Panglima Widura yang tengah berdiri mematung, jadi tersentak kaget. Cepat kakinya melangkah menghampiri pondok kecil itu. Begitu sampai di depan pondok, tangannya segera mendorong pintu yang sudah lapuk perlahan-lahan. Bau yang tidak sedap langsung menyeruak menusuk hidung dari dalam pondok ini. Tapi, Panglima Widura seperti tidak peduli dan terus melangkah masuk.

Pondok kecil ini ternyata hanya terdiri sebuah ruangan saja. Dan di tengah-tengahnya, tampak duduk seorang perempuan berusia lanjut. Rambutnya yang sudah memutih semua, dibiarkan meriap tidak teratur. Pakaiannya yang berwarna putih, sudah kelihatan usang dan mulai menguning. Sebatang tongkat berbentuk kepala ular yang menjulurkan lidah, tergeletak di sebelah kanan. Panglima Widura menghampin perempuan tua itu. Dan tanpa diminta lagi, dia duduk beralaskan sebuah tikar usang yang sudah banyak tambalannya, tepat di depan wanita tua ini.

"Terimalah sembah hormatku, Nyai Wisanggeni," ucap Panglima Widura seraya memberi penghormatan dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Sudah! Tidak perlu bersikap begitu di depanku, Widura. Ingat, ini bukan di istana."

"Maaf, Nyai."

"Kau datang ke sini tentu membawa persoalan. Apa yang membuat pikiranmu kalut di Istana Pakuan, Widura?" tanya wanita tua yang ternyata Nyai Wisanggeni, guru tunggal panglima perang dari Kerajaan Pakuan ini.

"Benar, Nyai," sahut Panglima Widura singkat.

"Persoalan apa yang kau bawa dari istana?" tanya Nyai Wisanggeni lagi.

"Bukan dari istana, Nyai."
"Lalu...?"

Panglima Widura tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan begitu berat untuk mengatakan persoalan yang sedang dihadapinya sekarang ini. Sementara, Nyai Wisanggeni hanya memandangi dengan sorot mata begitu tajam, langsung menembus kedua bola mata muridnya ini.

"Katakan, Widura. Persoalan apa yang sedang kau hadapi sekarang?" desak Nyai Wisanggeni.

"Maaf, Nyai. Ini persoalan lama. Persoalan yang terjadi delapan belas tahun yang lalu," ujar Panglima Widura pelan.

"Hm.... Jangan bermain tebak-tebakan denganku, Widura. Katakan saja dengan jelas."

"Nyai.... Apakah Nyai ingat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu di pinggir jurang sebelah timur Kerajaan Pakuan? Dalam peristiwa itulah untuk pertama kalinya aku harus melenyapkan nyawa orang...," ujar Panglima Widura, pelan dan terputus.

"Kenapa kejadian lama mesti diungkit lagi, Widura?"

"Anak itu, Nyai...," kembali suara Panglima Widura terputus.

"Apa maksudmu dengan anak itu, Widura?"

"Anak itu masih hidup, Nyai. Dan dia ingin membalas dendam padaku."

"Hik hik hik...!"

Entah kenapa, tiba-tiba saja Nyai Wisanggeni jadi tertawa terkikik mendengar penuturan murid tunggalnya. Sedangkan Panglima Widura hanya diam saja tertunduk.

"Kenapa jadi ketakutan begitu, Widura? Kau sekarang seorang panglima. Dan aku sudah mempersiapkan dirimu agar bisa memegang tampuk kekuasaan di Pakuan kelak. Jangan membuatku malu Widura...! Hanya persoalan bocah gembel saja, membuatmu jadi seperti tikus!" agak mendengus nada suara Nyai Wisanggeni.

"Tapi, Nyai.... Anak itu sekarang sudah lain. Kepandaiannya sudah sangat tinggi. Dan aku sempat bertarung dengannya," selak Panglima Widura mencoba menjelaskan.

"Keparat...! Kau memuji orang lain di depanku, Widura...!" sentak Nyai Wisanggeni dengan mata mendelik lebar.

"Maaf, Nyai. Bukan maksudku begitu. Tapi...."

"Kau kalah...?" potong Nyai Wisanggeni cepat.

"Tidak, Nyai. Aku bahkan hampir menewaskannya. Tapi...."

Tapi kenapa, Widura?"

"Tiba-tiba saja datang orang menolongnya."

"Siapa?"

"Aku tidak tahu, Nyai. Aku tidak sempat melihat jelas. Orang itu muncul tiba-tiba dengan gerakan cepat. Dan anak itu langsung dibawanya pergi sebelum aku sempat menyadari Tapi, aku menduga kalau dia gurunya. Nyai."

"Hm, bodoh! Percuma saja aku mengajarimu kepandaian kalau hanya masalah itu saja tidak bisa mengatasi," dengus Nyai Wisanggeni, tidak senang.

"Maaf, Nyai. Aku hanya merasa kalau ini bukan persoalan biasa lagi. Anak itu pasti akan muncul kembali dengan kekuatan baru. Bahkan dia bersumpah tidak akan berhenti sebelum membunuhku dan juga kau, Nyai "

"Hhh! Dia boleh coba..." dengus Nyai Wisanggeni

"Maaf, Nyai. Kedatanganku hanya untuk menyampaikan itu saja. Aku ingin agar kau hati-hati," ujar Panglima Widura.

"Jangan menasihatiku, Widura. Pikirkan saja dirimu! Yang penting sekarang, jangan pikirkan bocah gelandangan itu. Kau harus memusatkan perhatian pada rencanamu. Rencana kita berdua. Pakuan harus bisa kau rebut ingat itu...."

"Aku tidak akan melupakannya, Nyai."
"Bagus...! Sekarang, pergilah."
"Baik, Nyai."

Setelah memberi hormat, Panglima Widura kemudian bangkit berdiri. Kakinya terus melangkah keluar meninggalkan gurunya ini. Panglima Widura terus melangkah cepat tanpa berpaling lagi ke belakang, keluar dari dalam hutan ini.

********************

Panglima Widura memacu cepat kudanya meninggalkan hutan di sebelah selatan Kotaraja Pakuan. Sementara, matahari sudah mulai condong ke arah barat. Kudanya terus dipacu cepat tanpa sedikit pun berpaling ke belakang. Pikirannya benar-benar kalut saat ini. Wajah bocah kecil yang dilemparkannya ke dalam jurang terus membayang di pelupuk matanya. Tapi entah kenapa, gurunya justru sama sekali tidak menghiraukan. Padahal, sekarang bocah itu bukan lagi seorang anak yang lemah tanpa daya. Tapi seorang pemuda berwajah buruk yang memiliki kesaktian dahsyat.

Panglima Widura memperlambat lari kudanya saat melihat sebuah kedai yang berdiri tidak jauh dari perbatasan masuk ke kota. Kedai itu kelihatan sunyi, seperti tidak ada pengunjungnya. Apalagi letaknya terlalu jauh dari daerah pemukiman penduduk. Panglima Widura menghentikan langkah kudanya setelah tiba di depan kedai yang cukup terbuka bagian depannya. Dengan gerakan ringan sekali, dia melompat turun. Sebentar diamatinya bagian dalam kedai itu.

Hanya ada tiga orang saja di dalam kedai yang tidak begitu besar ini. Panglima Widura mengayunkan kakinya, memasuki kedai. Seorang laki-Iaki tua tampak tergopoh-gopoh menghampiri dari dalam, dan menyambutnya dengan senyum lebar dan tutur kata ramah. Panglima Widura tersenyum sedikit, lalu melangkah masuk mengikuti orang tua yang ternyata pemilik kedai. Orang tua itu memilihkan tempat dekat dengan jendela yang besar dan terbuka lebar. Sebentar Panglima Widura mengedarkan pandangan ke sekeliling beberapa saat.

Di sudut ruangan kedai ini, terlihat sepasang manusia menghadapi dua guci arak dan makanan yang cukup nikmat. Dan di sudut satu lagi, terlihat seorang berpakaian serba hitam yang duduk membelakangi Panglima Widura, sehingga sulit untuk dapat melihat wajahnya. Panglima Widura tidak menghiraukan mereka. Dipesannya makanan dan seguci arak pada pemilik kedai ini yang masih menunggui dengan sabar.

"Jangan terlalu lama Ki," pesan Panglima Widura sebelum orang tua pemilik kedai itu meninggalkannya.

"Baik, Den," sahut pemilik kedai itu.

Tapi belum juga orang tua itu melangkah jauh, tiba-tiba saja terdengar suara yang cukup berat

"Berikan saja punyaku padanya. Nih...!"

"Heh...?!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba melayang sebuah gelas bambu ke arahnya. Cepat tangannya dikibaskan, menangkap gelas itu dengan mantap sekali. Gelas penuh berisi minuman arak yang berbau harum itu tidak tumpah sedikit pun. Mata Panglima Widura langsung tertuju pada orang yang duduk membelakanginya.

"Terima kasih, Kisanak," ucap Panglima Widura lembut. "Tapi, maaf. Aku sudah memesannya tadi. Dan kuharap, kau mau menerima kembali minumanmu."

Wusss!

Disertai pengerahan tenaga dalam, Panglima Widura kembali melemparkan gelas bambu itu pada orang yang duduk membelakanginya. Seketika gelas bambu itu meluncur deras mengarah ke bagian belakang kepala. Tapi tanpa berpaling sedikit pun, orang berpakaian serba hitam itu menggerakkan tangan kirinya. Dan... tepat sekali gelas bambu yang hampir menghantam bagian belakang kepalanya ditangkap.

"Kau terlalu angkuh menerima pemberian seorang miskin seperti aku, Panglima Widura."

"Heh...?! Kau tahu namaku...?!" Panglima Widura jadi terperanjat.

Belum lagi hilang rasa terkejutnya, orang berpakaian serba hitam itu sudah melesat cepat. Dan tahu-tahu, dia sudah berdiri tidak jauh di depan meja yang ditempati Panglima Widura. Tampak wajah orang itu demikian hitam, seperti arang. Kedua bola matanya terlihat lebar, tidak memiliki kelopak. Sehingga, kelihatannya hampir keluar. Sedang bibir bagian atasnya juga hilang, hingga baris-baris giginya yang besar menghitam jadi terlihat jelas. Pada kedua pipi dan keningnya dipenuhi benjolan kecil, yang membuat wajahnya semakin kelihatan buruk. Dan Panglima Widura jadi terkesiap melihatnya.

Sementara itu, orang tua pemilik kedai ini sudah menghilang entah ke mana. Sedangkan dua orang pengunjung kedai yang lain masih tetap berada pada mejanya. Mereka seperti tidak mempedulikan peristiwa yang terjadi di dalam kedai ini. Sepasang anak muda itu terus menikmati hidangannya. Tapi, sesekali salah seorang yang ternyata seorang gadis cantik berbaju biru muda dengan gagang pedang tersembul dari balik punggung, memperhatikan Panglima Widura yang masih tetap duduk di kursinya memandangi wajah buruk di depannya.

"Siapa kau? Aku tidak mengenalmu," terdengar agak dingin suara Panglima Widura.

"Kau memang belum mengenalku, Panglima Widura. Tapi, kau tentu sudah kenal muridku. Bahkan kau hampir saja membunuhnya untuk kedua kali," sahut orang berwajah hitam dan buruk ini tidak kalah dingin.

"Heh?! Kau...?!"

Kembali Panglima Widura jadi terkesiap, dan suaranya tersekat di tenggorokan. Terbayang lagi wajah Rahkapa yang hitam dan hampir mirip orang yang kini berada di depannya. Tapi orang ini jauh lebih buruk lagi. Bahkan benjolan-benjolan yang ada di kedua tangannya mengeluarkan cairan berlendir yang menyebarkan bau tidak sedap memualkan perut.

"Akulah Datuk Muka Hitam yang sebenarnya, Panglima Widura," orang bermuka hitam dan buruk itu memperkenalkan dirinya. "Sudah sejak tadi kau kutunggu di sini. Aku ingin meminta tanggung jawabmu atas semua yang kau lakukan pada Rahkapa. Dia muridku satu-satunya. Dan kini, dia harus terkurung oleh luka yang kau buat kemarin."

"Itu salahnya sendiri. Dia tidak mau mendengarkan penjelasanku!" sentak Panglima Widura.

"Kau benar-benar keparat yang berkedok panglima, Widura. Sepantasnya, kau jadi pembunuh bayaran saja. Bukan menjadi panglima perang. Dan aku tahu maksud terselubung yang ada dalam kepalamu, Widura. Kau menjadi panglima hanya sebagai kedok saja, karena ada maksud jahat lain dalam kepalamu!"

"Edan...! Jangan sembarangan menuduh kau!" bentak Panglima Widura, langsung memerah wajahnya.

"Kenyataanlah yang mengatakan begitu, Widura. Di depanku kau tidak bisa lagi mengelak"

"Setan keparat! Kau sama saja dengan murid jelekmu itu! Hih...!"

Tiba-tiba saja Panglima Widura menyambar sebuah mangkuk kecil di atas mejanya, dan langsung dilemparkan ke arah Datuk Muka Hitam disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi hanya menggerakan badannya sedikit saja, Datuk Muka Hitam berhasil menghindarinya. Mangkuk kecil itu melesat melewati samping kiri tubuhnya, dan terus meluncur menghantam tiang yang ada di tengah-tengah ruangan kedai ini.

Brak!

Begitu tinggi tenaga dalam Panglima Widura yang dikerahkan, sehingga tiang yang terbuat dari kayu pohon berukuran cukup besar itu hancur berkeping-keping. Dan tentu saja ini membuat atap kedai jadi berderak.

"Hup!"

Melihat atap kedai akan roboh, Panglima Widura cepat melesat ke luar dengan kecepatan bagai kilat. Sedangkan Datuk Muka Hitam juga bergegas melesat mengejarnya. Sepasang anak muda yang sejak tadi tidak peduli terhadap kejadian di dekatnya, mau tidak mau ikut melompat ke luar. Dan saat mereka semua sudah berada di luar, kedai itu pun roboh karena tiang penyangganya sudah hancur terkena lemparan mangkuk kecil tadi.

Sementara itu, Panglima Widura sudah berdiri berhadapan dengan laki-laki buruk berwajah hitam yang mengaku sebagai Datuk Muka Hitam. Sementara tidak jauh dari mereka, terlihat orang tua pemilik kedai bersama sepasang anak muda pengunjung kedai hanya memandangi reruntuhan kedai yang ambruk. Tampak anak muda berwajah tampan berbaju rompi putih itu mencoba menghibur orang tua pemilik kedai. Sementara, Panglima Widura sudah mulai menggeser kakinya perlahan ke kanan. Sedangkan kedua tangannya sudah siap menyilang di depan dada.

"Ini untuk kesengsaraan muridku, Panglima Keparat! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak memaki dengan suara lantang menggelegar, Datuk Muka Hitam yang sebenarnya langsung melompat menerjang Panglima Widura. Tongkat kayu yang bentuknya tidak beraturan dan tergenggam di tangan kanan, seketika diputar begitu cepat hingga hilang bentuknya. Kemudian, tongkat itu dihantamkan tepat ke arah kepala Panglima Widura.

Wut!
"Haiiit...!"

Namun hanya dengan satu egosan kepala yang begitu indah. Panglima Widura berhasil menghindari serangan tongkat Datuk Muka Hitam. Lalu bagai kilat tangan kirinya disodokkan ke perut.

"Upts!"

Datuk Muka Hitam cepat mengegoskan tubuhnya, hingga sodokan tangan kiri Panglima Widura tidak sempat mengenai sasaran. Dan cepat sekali tongkatnya diputar ke bawah, mencoba menghantam tangan kiri yang masih menjulur ke depan itu. Panglima Widura jadi tersentak kaget. Cepat-cepat tangannya ditarik pulang. Tapi pada saat yang sama, Datuk Muka Hitam sudah melesat cepat. Langsung tongkatnya diputar, membabat ke arah dada.

Bet!
"Ikh...?!"

Panglima Widura jadi terbeliak kaget. Cepat tubuhnya melenting ke belakang, menghindari sabetan ujung tongkat yang runcing itu. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu ringan sekali kedua kakinya menjejak tanah. Hingga, jaraknya dengan Datuk Muka Hitam kini jadi sekitar satu batang tombak.

"Hm... Dia lebih dahsyat dari muridnya," gumam Panglima Widura dalam hati.

Walaupun gerakan Datuk Muka Hitam mirip dengan yang dilakukan Rahkapa, tapi kebutan tongkatnya lebih dahsyat! Malah pengerahan tenaga dalamnya juga lebih sempurna. Ini bisa dirasakan Panglima Widura dari hempasan angin kebutan tongkat yang mengandung hawa panas menyengat. Panglima Widura jadi harus lebih berhati-hati menghadapinya. Disadari betul kalau yang dihadapinya sekarang ini seorang guru yang sudah berpengalaman dalam mengarungi rimba persilatan, dengan tingkat kepandaian tinggi sekali. Dan rasanya sukar diukur sampai di mana tingkat kepandaiannya. Perlahan Panglima Widura menggeser kakinya ke kanan, bersamaan menggesernya kaki Datuk Muka Hitam ke depan beberapa langkah.

"Tahan pukulanku! Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Datuk Muka Hitam melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan pada saat itu juga, dilepaskannya satu pukulan dahsyat, disertai pengerahan ilmu kesaktian. Hingga dari telapak tangan kanannya yang menghentak ke depan, melesat secercah cahaya merah bagai api yang meluruk deras bagai kilat menerjang Panglima Widura.

"Hup! Yeaaah...!"

Panglima Widura cepat melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali di atas. Maka serangan Datuk Muka Hitam hanya lewat di bawah kaki panglima ini. Bahkan cahaya merah itu langsung menghantam tanah yang kosong. hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Tampak tanah yang terhantam pukulan dari ilmu kesaktian tingkat tinggi itu jadi terbongkar, dan tanahnya membubung tinggi ke angkasa. Sementara, Panglima Widura masih berputaran beberapa kali di atas, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya, sekitar setengah batang tombak di depan Datuk Muka Hitam.

"Hih! Yeaaah...!"
Cring!
Bet!

Secepat kilat, Panglima Widura menarik pedangnya keluar, dan langsung dibabatkan ke arah dada lawannya sambil melompat ke depan. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Datuk Muka Hitam jadi terperangah kaget. Untung saja tubuhnya cepat mengegos, membuat ujung pedang panglima itu hanya lewat sedikit saja di depan dadanya.

"Lepas! Hih...!"

Mendadak saja Datuk Muka Hitam membentak keras, dengan tangan kiri langsung mengibas cepat bagai kilat ke arah tangan kanan Panglima Widura yang menggenggam pedang. Begitu cepat sentakannya, hingga membuat Panglima Widura tidak sempat lagi berkelit menghindar Dan...

Plak!
"Akh...!"

EMPAT

Panglima Widura jadi terpekik, begitu tangannya terkena hantaman keras dari tangan kiri Datuk Muka Hitam. Akibatnya, pedang yang berada di dalam genggaman tangan kanannya terlepas dan melayang tinggi ke angkasa

"Hup! Hiyaaa...!"

Panglima Widura cepat melesat berusaha mengejar pedangnya yang terpental tinggi ke angkasa. Tapi baru saja melesat, tiba-tiba saja Datuk Muka Hitam sudah melenting dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa. Dan seketika diberikannya satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hih!"

Panglima Widura yang tengah melayang mengejar pedangnya, sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan yang demikian cepat. Akibatnya, dia tidak dapat lagi berkelit. Maka pukulan yang dilepaskan Datuk Muka Hitam tepat menghantam dadanya.

Diegkh!
"Akh...!"

Kembali Panglima Widura terpekik keras agak tertahan. Tubuhnya seketika terpental jauh ke belakang, dan keras sekali menghantam tanah. Kembali panglima itu terpekik dan menggeliat sebentar di tanah. Tampak darah merembes dari sudut bibirnya.

"Phuih!"

Sambil menyemburkan darah yang menggumpal dalam rongga mulutnya, Panglima Widura mencoba bangkit berdiri. Tapi dadanya yang terkena pukulan jadi terasa sesak. Dan pandangannya pun jadi berkunang-kunang. Walaupun bisa berdiri lagi, tapi tubuhnya sudah tidak bisa lagi ditegakkan. Panglima Widura kelihatan limbung. Dan pada kesempatan yang sangat sedikit ini. Datuk Muka Hitam melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa...!"

Namun begitu pukulan Datuk Muka Hitam hampir menghantam dada Panglima Widura, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan putih menghadang serangan.

Plak!
"Ikh...?!"

Datuk Muka Hitam jadi terpekik kaget begitu pukulannya membentur bayangan putih yang berkelebat cepat bagai kilat menghadang arus serangannya. Cepat tubuhnya melenting dan berputaran dua kali ke belakang. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, tampak seorang pemuda berbaju putih tanpa lengan sudah berdiri di depan Panglima Widura. Wajahnya yang tampan semakin terlihat mempesona oleh senyum yang terus mengembang menghiasi bibirnya.

"Bocah keparat! Minggir kau...! Jangan ikut campur urusanku!" bentak Datuk Muka Hitam berang.

"Aku memang tidak ingin mencampuri urusanmu. Tapi kalau kau sudah bertarung tanpa aturan, terpaksa aku harus mencegahnya, Kisanak," terdengar lembut dan kalem sekali nada suara anak muda berbaju rompi putih dengan gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di punggungnya.

"Phuih! Apa hubunganmu dengan si setan keparat itu, heh...?!"

"Tidak ada hubungan apa-apa. Maaf, aku hanya tidak bisa melihat kecurangan dalam pertarungan," masih terdengar tenang suara pemuda itu.

"Heh...?! Kecurangan apa yang kulakukan.. ?"

"Kau menggunakan ilmu kesaktian di saat lawan tidak siap menggunakannya. Dan itu satu kecurangan dalam pertarungan. Maaf, aku terpaksa harus menilai pertarunganmu tadi, Kisanak."

"Setan...! Mau cari mampus rupanya, heh...?!"

Pemuda berbaju rompi putih itu hanya tersenyum saja mendengar bentakan Datuk Muka Hitam yang sudah demikian berang. Sementara, Panglima Widura sudah bisa menguasai keadaan. Tarikan napasnya sudah tidak lagi tersengal, walaupun dadanya masih terasa begitu nyeri, akibat pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam dan ilmu kesaktian tadi. Dihampirinya pemuda berbaju rompi putih yang menyelamatkan nyawanya ini.

"Sebaiknya kau menyingkir saja, Anak Muda. Dia terlalu berbahaya untukmu," ujar Panglima Widura. "Dan kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi."

"Tarikan napasmu masih terdengar berat. Paman. Luka dalam yang kau derita cukup parah. Dan rasanya pertarunganmu tidak mungkin bisa dilanjutkan," kata pemuda itu kalem.

"Maaf, Anak Muda. Semua ini urusanku. Sebaiknya kau memang tidak perlu ikut campur. Sekali lagi, maaf...," ujar Panglima Widura sopan.

"Baiklah, Paman. Tapi aku tetap akan mengawasinya, kalau dia melakukan kecurangan lagi."

Setelah berkata demikian, anak muda berbaju rompi putih itu segera menggeser kakinya ke kanan, menjauhi Panglima Widura yang sudah bisa berdiri tegak dengan tarikan napas masih terdengar berat. Dan pemuda berbaju rompi putih itu tahu, Panglima Widura menderita luka dalam yang cukup parah.

"Kau ingin membunuhku, Datuk Muka Hitam? Bunuhlah... Kau punya kesempatan banyak untuk membunuhku. Agar kau puas, Datuk Muka Hitam," tantang Panglima Widura, sambil menatap tajam Datuk Muka Hitam.

"Keparat kau, Widura! Aku tidak suka membunuh orang yang sebentar lagi akan mampus!" geram Datuk Muka Hitam.

"Kenapa? Kau takut, Datuk Muka Hitam...?" ejek Panglima Widura sinis.

Datuk Muka Hitam malah terdiam dengan sorot mata terlihat begitu tajam dan membara, bagai sepasang bola api yang akan menghanguskan seluruh tubuh Panglima Kerajaan Pakuan ini. Sedikit pun suaranya tidak terdengar. Namun, di dalam sorot matanya terpancar sinar dendam membara.

"Hari ini kau beruntung, Widura. Tapi ingat, satu saat kelak aku tidak akan segan-segan lagi memenggal batang lehermu," desis Datuk Muka Hitam dingin menggetarkan.

Setelah berkata demikian, Datuk Muka Hitam langsung memutar tubuhnya, dan sekali genjot saja, tubuhnya sudah melesat cepat bagai kilat Dalam waktu sekejap mata saja, bayangan tubuh Datuk Muka Hitam sudah tidak terlihat lagi. Sementara Panglima Widura memutar tubuhnya perlahan-lahan, hingga berhadapan langsung dengan pemuda berbaju rompi putih yang menyelamatkan nyawanya dari maut.

"Terima kasih, Anak Muda," ucap Panglima Widura.

"Hm," pemuda itu hanya menggumam saja sedikit.

"Kalau bolah kutahu, siapa namamu, Anak Muda?" tanya Panglima Widura.

"Rangga," sahut pemuda itu memperkenalkan namanya.

Dan memang, pemuda berbaju rompi putih yang pedangnya tersampir di punggung itu tidak lain dari Rangga. Di kalangan rimba persilatan, dia lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

"Dan temanku bernama Pandan Wangi," Rangga juga memperkenalkan gadis cantik yang masih berdiri di sebelah orang tua pemilik kedai.

Panglima Widura tersenyum dan menganggukkan kepala pada Pandan Wangi. Gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu membalas dengan sedikit anggukan kepala juga. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri diiringi orang tua yang kedainya hancur akibat pertarungan Panglima Widura melawan Datuk Muka Hitam tadi.

"Maaf kedaimu hancur, Ki. Biar semua kerugianmu aku yang mengganti," ujar Panglima Widura, setelah orang tua pemilik kedai itu dekat bersama Pandan Wangi.

"Ah! Tidak perlu. Gusti Panglima," sahut pemilik kedai itu.

"Tidak, Ki. Aku tetap akan menggantinya."

"Terima kasih, Gusti."

Panglima Widura lalu mengambil kantung kulit yang tergantung di pinggangnya. Kemudian, diserahkannya sekantung uang emas itu pada orang tua pemilik kedai ini yang menerimanya dengan tangan gemetar. Setelah mengucapkan terima kasih berulang kali dengan membungkukkan tubuhnya, orang tua pemilik kedai itu meminta diri. Dan Panglima Widura hanya tersenyum saja mengiringi kepergian pemilik kedai dengan pandangan matanya. Tatapannya baru beralih ke arah Rangga dan Pandan Wangi kembali setelah orang tua pemilik kedai tadi sudah jauh.

"Anak Muda, sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau kalian berdua tidak keberatan, aku mengundang kalian singgah di rumahku," ucap Panglima Widura dengan tutur kata lembut dan ramah sekali.

"Terima kasih," ucap Rangga seraya tersenyum. "Tap, maaf. Sekarang ini, kami masih ada urusan yang harus diselesaikan. Mungkin satu hari nanti, kami akan singgah."

"Kalian berdua sepertinya bukan orang Pakuan. Kalau boleh tahu, ada urusan apa kalian di Pakuan ini?" tanya Panglima Widura tanpa nada curiga sedikit pun.

"Hanya urusan keluarga saja, Gusti Panglima," selak Pandan Wangi cepat, sebelum Rangga membuka suara. Dan gadis itu ikut memanggil dengan sebutan Gusti Panglima pada Widura, sebagaimana pemilik kedai tadi memanggil.

"Kalau begitu, baiklah. Aku pergi dulu. Aku menunggu kalian di kediamanku," ujar Panglima Widura, seraya mengangkat bahunya.

"Mudah-mudahan kami bisa singgah, Gusti Panglima," sahut Rangga seraya membungkukkan tubuh sedikit memberi hormat.

Setelah membalas salam penghormatan Pendekar Rajawali Sakti, Panglima Widura mengambil kudanya. Kemudian dia melompat naik ke punggung kudanya dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sebentar kepalanya berpaling pada kedua pendekar muda dari Karang Setra itu, lalu menggebah kudanya.

Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih tetap berdiri memandangi Panglima Widura yang semakin jauh meninggalkan debu beterbangan diudara. Pandan Wangi baru melangkah mengambil kuda setelah Panglima Widura tidak terlihat lagi. Hanya debu saja yang masih terlihat mengepul di sepanjang jalan yang menuju Kotaraja Pakuan.

"Ayo, Kakang. kita pergi dari sini," ajak Pandan Wangi.

Rangga hanya tersenyum saja. Diambilnya tali kekang kudanya dari gadis itu. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti melompat naik dengan gerakan ringan sekali. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di punggung kuda putih tunggangannya. Dan tanpa bicara lagi, mereka menggebah kudanya hingga berlari kencang ke arah yang sama dengan Panglima Widura.

********************

Kotaraja Pakuan memang sangat padat. Rasanya hampir tidak ada tempat luang lagi. Dan jalan-jalan di sepanjang kota ini begitu padat dilalui orang segala lapisan. Rangga dan Pandan Wangi terpaksa harus menuntun kudanya, karena memang sulit untuk bisa menunggang kuda dengan leluasa di dalam kota yang sangat padat ini. Keringat sudah terlihat mengucur, membanjiri sekujur tubuh mereka. Dan memang, udara di Kotaraja Pakuan ini terasa begitu panas. Seakan-akan matahari berada tepat di atas kepala mereka semua.

"Di mana ada kedai, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Entahlah, Pandan. Kota ini terlalu padat, sampai aku bingung dibuatnya. Aku sendiri tidak tahu lagi, ke arah mana kita sekarang menuju," sahut Rangga juga kebingungan.

"Keluar saja dari sini, Kakang," pinta Pandan Wangi.

"Aku sendiri sudah tidak tahu, ke mana lagi arah keluar," sahut Rangga.

"Lalu, apa kita akan terus terjebak di sini ?"

Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Sementara kakinya terus terayun melangkah sambil menuntun kudanya. Sedangkan Pandan Wangi jadi diam, tidak banyak bicara lagi. Begitu banyak orang yang hilir mudik di jalan ini, hingga membuat kepalanya jadi pening. Belum pernah disaksikan sebuah kota yang begitu padat penduduknya, sampai hampir tidak ada ruang gerak yang tersisa.

Saat mereka tengah kebingungan, tiba-tiba saja Rangga merasakan pundaknya ditepuk seseorang dari belakang. Cepat Pendekar Rajawali Sakti berpaling, dan menghentikan langkahnya. Pandan Wangi jadi ikut berhenti, lalu berpaling ke belakang mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.

"Ki Jumir...," desis Pandan Wangi, begitu melihat seorang laki-laki berusia lanjut berdiri dengan tangan masih menempel di pundak Rangga.

"Kenapa kalian tidak langsung ke rumahku?" tanya orang tua berbaju jubah putih panjang ini. Sebuah tudung bambu yang hampir menutupi wajah laki-laki yang dipanggil Ki Jumir ini tampaknya cukup melindungi kepala dari sengatan matahari.

"Kami tersesat, Ki," sahut Rangga terus terang.

"Kota ini memang terlalu padat. Dan ini bisa kumaklumi. Banyak pendatang yang tidak tahu arah lagi kalau sudah masuk ke kota ini," jelas Ki Jumir seraya tersenyum memaklumi.

"Jauh rumahmu dari sini, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak." sahut Ki Jumir. "Ayo ikuti aku saja."

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu kembali melangkah. Kali ini, mereka tidak perlu khawatir lagi, karena Ki Jumir berjalan di depan. Tudung bambunya kini diturunkan, hingga wajahnya kini benar-benar tertutup dan sukar dikenali. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi di antara banyak orang yang hilir mudik memadati jalan ini.

Orang-orang dari segala lapisan bercampur baur dengan gerobak sapi dan para penunggang kuda. Sehingga, membuat udara yang sudah panas ini semakin terasa menyengat. Tapi semakin jauh kedua pendekar muda itu berjalan mengikuti Ki Jumir, semakin lengang jalan yang dilalui. Hingga akhirnya, mereka tiba pada sebuah jalan yang cukup sunyi dan banyak pepohonan tumbuh di kiri kanan jalan ini.

"Di depan itu rumahku," tunjuk Ki Jumir memberi tahu tanpa berpaling sedikit pun. Lalu tudung bambu yang menutupi seluruh wajahnya dilepaskan.

Tangan orang tua itu menunjuk ke sebuah rumah besar dengan halaman luas, berpagar tembok batu setinggi satu batang tombak. Dan di pintu masuk ke halaman rumah itu tampak dua orang anak muda berseragam biru dengan tombak tergenggam di tangan kanan masing masing. Mereka langsung membungkuk begitu Ki Jumir akan melewati.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Bukan hanya Pandan Wangi yang mengagumi bagian dalam rumah Ki Jumir. Malah Rangga sampai berdecak kagum melihat keindahannya. Namun di balik semua kekaguman itu, terselip suatu pertanyaan dalam kepala Rangga. Terutama soal isi surat Ki Jumir kepadanya yang belum dimengerti. Rangga memang berada di Istana Karang Setra, saat menerima langsung surat dari Ki Jumir yang dibawa seorang utusan.

"Maaf, Ki. Kedatanganku ke sini karena menerima suratmu. Tapi terus terang saja, aku sama sekali tidak melihat adanya sesuatu di sini. Bahkan kau hidup serba berkecukupan. Coba jelaskan arti suratmu itu, Ki..." pinta Rangga langsung.

"Memang tidak akan terlihat dan luar, Rangga," sahut Ki Jumir kalem.

Walaupun orang tua itu tahu kalau pemuda yang menjadi tamunya sekarang ini adalah seorang raja dan juga seorang pendekar ternama yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, tapi tetap saja memanggil dengan nama saja. Dan memang, panggilan seperti itulah yang diinginkan Rangga kalau sedang berada di luar Istana Karang Setra.

Rangga selalu menganggap dirinya sama seperti orang lain. Yang jelas kedudukannya sebagai raja jangan sampai menjadi penghalang dalam pengembaraannya sebagai pendekar penegak keadilan dan kebenaran. Apalagi dia memang lebih banyak hidup mengembara daripada harus diam di dalam lingkungan dinding istananya yang megah.

"Apa maksudmu dari luar dan dari dalam, Ki?" tanya Pandan Wangi menyelak.

"Maksudku, kita tidak bisa melihat sesuatu hanya dari luarnya saja, Nini Pandan. Seperti yang sedang terjadi di Pakuan ini, kita tidak akan bisa melihat dari luar saja. Tapi, harus melihatnya dari dalam," jelas Ki Jumir.

Penjelasan Ki Jumir bukannya membuat Pandan Wangi maupun Rangga bisa memahami. Mereka malah semakin tidak mengerti saja. Tapi dalam kepala Rangga, diakui kalau sesuatu memang tidak bisa dilihat dari luar. Apa yang terlihat nyata, tidak selamanya seperti apa adanya. Seringkali sesuatu yang terlihat baik dari luar, justru buruk di dalamnya. Dan semua itu memang sudah terjadi dalam kehidupan manusia yang tidak bisa dipungkiri lagi. Hanya saja yang masih membuat Rangga tidak mengerti, arti kata-kata Ki Jumir tadi.

"Lalu, apa yang tersembunyi di Pakuan ini, Ki?" tanya Rangga.

"Sulit mengatakannya, Rangga. Karena, aku sendiri sebenarnya belum yakin benar. Yaaah..., katakanlah aku baru menduga. Tapi entah kenapa, dugaanku begitu kuat. Seakan-akan, aku sudah mempunyai bukti yang sangat kuat," sahut Ki Jumir, masih berteka-teki.

"Dugaan apa yang ada pada dirimu, Ki?" tanya Rangga lagi.

"Perebutan kekuasaan."

"Perebutan kekuasaan...?" kening Pandan Wangi jadi berkerut.

"Ya, semacam makar," Ki Jumir memperjelas.

"Apa yang tersembunyi di Pakuan ini, Ki" tanya Rangga.

"Sulit mengatakannya, Rangga. Tapi aku menduga ada perebutan kekuasaan," jelas Ki Jumir.

"Kau tidak mengada-ada, Ki?" tanya Rangga.

"Aku yakin sekali, Rangga. Dan aku tahu siapa yang akan melakukannya!" sahut Ki Jumir tegas.

"Kau tidak mengada-ada, Ki?" Rangga seperti ingin meyakinkan.

"Aku yakin sekali, Rangga. Dan aku tahu, siapa yang akan melakukannya," sahut Ki Jumir tegas.

"Siapa, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Panglima Widura," sahut Ki Jumir mantap, tanpa ada keraguan sedikit pun juga.

"Panglima Widura...?!"

Rangga dan Pandan Wangi jadi berseru bersamaan. Mereka begitu terkejut mendengar jawaban Ki Jumir barusan. Sama sekali tidak diduga jika Ki Jumir menduga kalau Panglima Widura akan melakukan perebutan kekuasan di Kerajaan Pakuan ini. Sedangkan mereka belum lama bertemu Panglima Widura dekat perbatasan kota ini.

Dari sikapnya, Rangga sudah merasakan tidak akan mungkin Panglima Widura akan melakukan pemberontakan. Apalagi untuk menggulingkan takhta. Tapi, nada suara Ki Jumir begitu mantap dan tegas, membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi berpikir juga. Dia tahu, Ki Jumir tidak pernah mengada-ada. Dan memang, batin orang tua ini begitu kuat. Bahkan terkadang bisa membaca pikiran orang lain. Sehingga apa yang diucapkan Ki Jumir, Rangga tidak berani gegabah untuk mengabaikannya begitu saja.

"Kenapa kalian terkejut mendengarnya?" Tanya Ki Jumir.

"Maaf, Ki. Belum lama tadi, kami bertemu Panglima Widura. Bahkan Kakang Rangga sempat menyelamatkan nyawanya dari serangan orang gila yang ingin membunuhnya," sahut Pandan Wangi menjelaskan.

"Oh, di mana...?" kali ini Ki Jumir yang terkejut.

"Tidak jauh dari perbatasan kota, Ki," sahut Pandan Wangi lagi.

"Siapa orang yang ingin membunuhnya?" tanya Ki Jumir lagi.

"Aku tidak tahu siapa dia, Ki. Tapi namanya sempat disebutkan," sahut Pandan Wangi lagi.

"Siapa?" desak Ki Jumir.
"Datuk Muka Hitam."
"Oh...?!"

Ki Jumir mendesah panjang. Entah kenapa, seketika itu juga wajahnya jadi cerah. Tapi dari sorot matanya, jelas sekali kalau hatinya begitu terkejut mendengar penjelasan Pandan Wangi tadi. Sikap Ki Jumir yang seperti itu, tentu saja membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi memandanginya dengan kelopak mata agak menyipit.

"Ada apa, Ki?" tanya Rangga melihat Ki Jumir tersenyum sendiri.

"Ternyata aku salah, dengan memintamu datang ke sini, Rangga. Tanpa kau pun, perebutan kekuasaan kini tidak akan terjadi," sahut Ki Jumir masih dengan bibir tersenyum lebar.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki...?" selak Pandan Wangi semakin kebingungan

"Aku tahu siapa Datuk Muka Hitam itu, Nini Pandan. Panglima Widura jelas tidak akan mungkin bisa menandingi Datuk Muka Hitam yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi."

"Kenapa Datuk Muka Hitam ingin membunuh Panglima Widura, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.

"Aku tidak peduli apa persoalan mereka, Rangga. Memang, Datuk Muka Hitam bukan orang baik-baik. Dia itu bekas kepala gerombolan perampok dan pembunuh yang menguasai bagian selatan negeri ini. Bahkan pihak kerajaan pun tidak pernah bisa menangkapnya. Tapi, sekarang dia tinggal sendiri, tanpa pengikut lagi. Yang penting sekarang, aku akan menyaksikan bagaimana kematiannya nanti. Oh! Selamatlah Pakuan dari kehancuran dan kesengsaraan...," agak mendesah suara Ki Jumir yang terakhir.

Jawaban yang bernada gembira itu membuat Rangga dan Pandan Wangi semakin berkerenyit keningnya. Mereka benar-benar heran dan tidak mengerti melihat sikap Ki Jumir yang tiba-tiba saja jadi berubah, setelah diceritakan kalau Panglima Widura baru saja ditolong dari tangan Datuk Muka Hitam.

********************

LIMA

Di tempat kediamannya, Panglima Widura kelihatan begitu gelisah di dalam kamar. Sementara saat ini malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Pakuan. Kejadian siang tadi di dekat perbatasan kota sebelah selatan, membuatnya jadi tidak bisa tenang malam ini. Dari para pembesar kerajaan, panglima ini tahu, siapa itu Datuk Muka Hitam yang hampir saja membunuhnya siang tadi. Untung saja, dia cepat ditolong seorang anak muda yang mengaku bernama Rangga.

"Hhh! Perasaanku semakin tidak enak saja sejak tadi. Ada apa ini...?" desah Panglima Widura seraya menghembuskan napas kuat-kuat.

Entah sudah berapa kali Panglima Widura berjalan mengelilingi kamar peristirahatannya yang besar dan megah ini. Sementara, jendela kamarnya dibiarkan tetap terbuka lebar. Sehingga, cahaya bulan yang lembut keperakan, leluasa menerobos masuk menerangi ruangan ini.

"Aku akan menemui Nyai Wisanggeni saja. Aku khawatir akan terjadi sesuatu padanya. Perasaanku terus semakin tidak enak," gumam Panglima Widura lagi.

Setelah berpikir beberapa saat, panglima berusia setengah baya itu bergegas melangkah keluar dari kamar peristirahatannya ini. Tangannya sempat menyambar sebilah pedang yang tergeletak di atas meja, kemudian mengikatkannya di pinggang. Ayunan langkah kakinya begitu mantap, keluar dari dalam kamarnya. Dan dia terus berjalan menyusuri lorong yang pintu-pintunya berjajar di sebelah kanan dan kiri.

Panglima Widura terus berjalan melewati sebuah ruangan yang berukuran sangat luas dan terang benderang. Sebentar kemudian, dia sudah berada di beranda rumah yang berukuran sangat besar dan megah bagai istana ini. Empat orang anak muda berpakaian seragam prajurit yang berada di beranda segera memberi hormat dengan sedikit membungkukkan tubuh sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Panglima Widura berpaling menatap pada salah seorang dari mereka.

"Kumpulkan dua puluh orang temanmu. Dan siapkan kuda untukku," perintah Panglima Widura.

"Baik, Gusti Panglima," sahut prajurit muda itu.

Bergegas prajurit itu melangkah pergi. Sementara, Panglima Widura berdiri tegak di tepi beranda. Pandangan matanya lurus, tidak berkedip sedikit pun ke depan. Kepalanya baru berpaling sedikit, begitu di depan beranda rumahnya sudah berkumpul dua puluh orang prajurit dengan kuda masing-masing. Seorang prajurit muda yang berada paling depan memegangi tali kekang kuda yang sudah siap dengan pelana Panglima Widura bergegas menghampiri kuda tunggangannya. Dan dengan gerakan indah sekali dia melompat naik.

"Kalian berempat, atur penjagaan di sini. Lipat gandakan kekuatannya," perintah Panglima Widura pada empat prajurit yang tidak ikut.

"Hamba laksanakan, Gusti," sahut keempat prajurit itu serempak.

"Hs! Hiyaaa...!"

Panglima Widura langsung menggebah cepat kudanya. Maka kuda hitam dengan belang putih pada kedua kakinya itu meringkik kerasa sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas. Kemudian binatang tunggangan itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Sementara dua puluh orang prajurit yang sejak tadi sudah berada di punggung kuda masing-masing, segera menggebah, begitu panglimanya sudah memacu cepat kudanya meninggalkan kediamannya yang besar dan megah.

Malam ini bumi Kerajaan Pakuan bagai diguncang gempa. Dua puluh orang prajurit yang langsung dipimpin Panglima Widura bergerak cepat menuju selatan. Hentakan-hentakan kaki kuda yang dipacu cepat, membuat beberapa orang yang masih berada di luar rumahnya jadi terheran-heran. Ketika rombongan itu melewati rumah Ki Jumir, Rangga dan Pandan Wangi tengah duduk-duduk di pinggiran beranda depan. Mereka sempat terkejut melihat Panglima Widura dan dua puluh orang prajurit memacu kuda dengan kecepatan tinggi di tengah malam begini. Seakan, mereka sedang mengejar sesuatu.

"Mau ke mana mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi seperti untuk dirinya sendiri.

"Mana aku tahu?" sahut Rangga seraya berdiri.

"Kau mau ke mana, Kakang?"

"Aku akan mengikuti mereka. Kau di sini saja, Pandan."

Belum lagi Pandan Wangi bisa membuka mulut, Rangga sudah melesat begitu cepat. Hingga dalam sekejap mata saja, tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan bumi. Memang sempurna sekali ilmu meringankan tubuh yang dikuasai Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tubuhnya bagaikan bisa menghilang saja.

"Nini Pandan...."
"Oh...?!"

Pandan Wangi agak tersentak ketika tiba-tiba terdengar panggilan dari belakang. Cepat kepalanya berpaling ke belakang. Entah kapan datangnya, tahu-tahu Ki Jumir sudah berada di belakangnya. Orang tua yang sebenarnya adalah patih di Kerajaan Pakuan ini melangkah menghampiri, dan berhenti setelah berada di sebelah kiri gadis ini.

"Siapa tadi yang menunggang kuda malam-malam begini?" tanya Ki Jumir langsung.

"Panglima Widura dan prajurit-prajuritnya," sahut Pandan Wangi.

"Ke mana mereka pergi?"
"Mereka menuju ke selatan"
"Lalu, Rangga ke mana?"
"Mengejar mereka."
"Heh?! Untuk apa...?"

Ki Jumir tampak tersentak kaget mendengar jawaban Pandan Wangi yang begitu polos tadi.

"Aku tidak tahu, Ki. Kakang Rangga memang biasa begitu. Nanti kalau sudah kembali juga akan diberitahu," sahut Pandan Wangi seraya melangkah ke dalam meninggalkan Ki Jumir yang jadi termangu sendiri di depan beranda rumahnya. Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara malam yang begitu dingin, membuat Ki Jumir harus bergegas masuk kembali ke dalam rumahnya.

"Hhh... Mudah-mudahan sang Hyang Widhi melindunginya..." desah Ki Jumir perlahan.

Beberapa saat Ki Jumir masih berdiri terpaku di depan beranda rumahnya yang besar dan megah ini. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melangkah hendak masuk ke dalam. Tapi belum juga mencapai pintu mendadak saja telinganya yang tajam mendengar desiran yang begitu halus dari belakang tubuhnya.

"Haiiit..!"

Tanpa berpaling lagi, Ki Jumir cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan seketika, terlihat secercah cahaya keperakan melewati samping orang tua ini.

"Hup!"

Ki Jumir bergegas memutar tubuhnya berbalik. Dan pada saat itu juga, terlihat cahaya keperakan kembali meluncur cepat bagai kilat. Maka orang tua itu segera melesat berputar dua kali untuk menghindarinya. Dan begitu kakinya menjejak tanah dengan manis sekali...

"Tunggu...!" sentak Ki Jumir cepat-cepat dan keras, sambil menjulurkan tangannya ke depan. "Siapa kau?! Kenapa tiba-tiba menyerangku...?!"

"Hik hik hik...! Kau tidak mengenaliku, Jumir...?"

Ki Jumir jadi berkerut keningnya. Diperhatikannya orang berjubah lusuh berwarna putih, membungkus tubuhnya yang kecil. Tampak pada tangannya tergenggam tongkat berbentuk ular. Sesaat kemudian, Ki Jumir jadi tersentak, ketika orang itu membuka kain kerudung yang menutupi wajahnya.

"Nyai Wisanggeni..." desis Ki Jumir langsung mengenali.

"Hik hik hik...!"

Ki Jumir benar-benar kaget setengah mati begitu mengenali orang berjubah hitam yang menyerangnya ternyata adalah Nyai Wisanggeni. Dia adalah seorang wanita tua yang memiliki kepandaian tinggi, dan sangat sukar dicari tandingannya. Tapi, bukan itu yang membuat Ki Jumir jadi terkesiap. Karena dia tahu, wanita tua berjubah putih lusuh ini sudah terkenal kekejamannya. Wanita ini tidak akan pernah meninggalkan lawannya dalam keadaan hidup. Bahkan tidak pernah memandang, apakah orang yang akan dibunuhnya sudah tua, anak muda, atau anak kecil. Kekejamannya inilah yang membuat Nyai Wisanggeni terkenal sebagai Setan Perempuan Penghisap Darah.

"Kau terkejut melihatku, Ki Jumir?" terasa begitu dingin nada suara Nyai Wisanggeni.

"Hm.... Apa maksudmu datang ke sini," Tanya Ki Jumir, dibuat dingin nada suaranya.

"Kukira kau sudah tahu maksud kedatanganku, Ki Jumir. Sebaiknya, bersiaplah menjemput ajalmu," sahut Nyai Wisanggeni datar.

"Kenapa kau ingin membunuhku, Nyai Wisanggeni?" tanya Ki Jumir lagi.

Walaupun Ki Jumir sudah berusaha untuk bisa tetap tenang, tapi getaran suaranya terdengar begitu gelisah. Terutama ketika mendengar kata-kata yang begitu dingin dan mengejutkan dari wanita tua yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah ini. Dia tahu, apa yang dikatakan Nyai Wisanggeni tidak akan tercabut kembali. Dan wanita itu tidak akan pergi, sebelum memenggal kepala orang yang sudah berhadapan dengannya.

"Hik hik hik..! Kau sudah terlalu banyak tahu, Ki Jumir. Orang sepertimu tentu sangat berbahaya bagi keselamatan muridku. Maka sudah sepantasnya kau harus mampus. Nah! Bersiaplah kau. Ki Jumir...!" dingin sekali jawaban Nyai Wisanggeni, disertai suara tawanya yang mengikik kering membuat bulu-bulu halus di tengkuk jadi meremang berdiri.

"Hm...," Ki Jumir jadi menggumam sedikit. Perlahan laki-laki tua ini mulai menggeser kakinya sedikit ke kanan. Sorot matanya begitu tajam, tidak berkedip sedikit pun menatap Nyai Wisanggeni yang berada sekitar satu batang tombak di depannya. Sedangkan wanita tua yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah itu masih tetap kelihatan tenang. Malah bibirnya menyeringai, memberikan senyum lebar dan meremehkan.

"Hih...!" Tiba-tiba saja tangan kiri Nyai Wisanggeni mengebut ke depan. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan kirinya melesat beberapa buah benda berwarna putih keperakan yang begitu cepat bagai kilat ke arah Ki Jumir.

"Hap...!"

Tapi hanya sedikit saja Ki Jumir mengegos, serangan Setan Perempuan Penghisap Darah itu tidak sampai menyambar tubuhnya. Namun belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, mendadak saja Nyai Wisanggeni sudah melompat cepat bagai kilat, sukar diikuti mata biasa

"Hiyaaa...!"
Bet!

Secepat kilat pula tangan kanan Nyai Wisanggeni mengibas, memberikan satu sodokan dahsyat ke arah lambung laki-laki tua ini.

"Haiiit...!"

Ki Jumir cepat melompat ke samping, menghindari kibasan tangan kanan yang mematikan ini. Dan begitu kakinya kembali menjejak tanah, cepat sekali tubuhnya meliuk sambil memberi satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah dada kiri perempuan tua ini.

"Hih!"
"Hap!"

Tapi tanpa diduga sama sekali, Nyai Wisanggeni tidak berusaha bergerak sedikit pun juga. Bahkan tangan kirinya malah dipasang di depan dada. Hingga...

Plak!
"Ikh...?!"

Ki Jumir jadi terpekik tertahan, begitu pukulannya beradu dengan tangan kiri Setan Perempuan Penghisap Darah. Seketika seluruh tulang tangan kanannya terasa bagai remuk setelah berbenturan dengan tangan kiri Nyai Wisanggeni yang kerasnya bagai batu karang. Cepat-cepat Ki Jumir melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Lalu manis sekali kedua kakinya menjejak tanah. Mulutnya sempat meringis sambil mengurut tangan kanannya yang nyeri akibat membentur tangan Nyai Wisanggeni tadi.

"Hik hik hik...!"

Nyai Wisanggeni tertawa mengikik, melihat kekuatan tenaga dalam lawannya ternyata masih berada cukup jauh di bawahnya. Dan dengan begitu, sudah bisa diukur, sampai di mana tingkat kepandaian Ki Jumir. Sambil tertawa mengikik mengerikan, Nyai Wisanggeni melangkah ke depan, mendekati Ki Jumir yang masih meringis menahan nyeri pada persendian tulang tangan kanannya.

"Saatmu sudah sampai, Ki Jumir. Bersiaplah untuk mati! Hiyaaat..!"

Sambil mendesis dingin, Nyai Wisanggeni berteriak keras menggelegar. Dan tubuhnya langsung melesat cepat bagai kilat menerjang Ki Jumir yang belum siap sama sekali. Serangan yang begitu cepat dan mendadak ini, membuat Ki Jumir jadi terbeliak setengah mati. Bahkan kesempatan untuk menghindar pun sudah tidak dimilikinya lagi. Maka begitu pukulan menggeledek dilepaskan Nyai Wisanggeni hampir menyambar dada, mendadak saja...

Wut!
"Heh...?! Ups!"

Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba secercah cahaya putih keperakan berkelebat begitu cepat, hampir menyambar tangan kanannya yang tengah memberikan pukulan dahsyat menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Cepat tangannya ditarik pulang kembali lalu melompat ke belakang sambil melakukan putaran dua kali. Begitu indah dan ringan gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Setan Perempuan Penghisap Darah menjejakkan kedua kakinya, sekitar satu batang tombak di depan Ki Jumir.

"Setan keparat...!" geram Nyai Wisanggeni berang.

Kedua bola mata Setan Perempuan Penghisap Darah jadi membeliak lebar, begitu mengetahui yang menggagalkan serangannya barusan ternyata hanya seorang gadis muda berwajah cantik. Dia mengenakan baju warna biru muda, membungkus tubuhnya yang ramping dan indah menggiurkan. Sebuah kipas berwarna putih keperakan tampak terkembang di depan dadanya. Sementara, Ki Jumir berada di sebelah kiri agak ke belakang dari gadis cantik bersenjata kipas yang tidak lain Pandan Wangi, yang dikenal sebagai si Kipas Maut.

"Bocah keparat! Menyingkir kau! Atau kau ingin mampus, heh...?!" geram Nyai Wisanggeni kasar.

Tapi Pandan Wangi hanya tersenyum sedikit saja mendengar bentakan yang bernada kasar itu. Dan kakinya malah melangkah ke depan beberapa tindak. Sorotan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata perempuan tua yang kelihatan memerah menyimpan kemarahan menggelegak ini.

"Sebaiknya, kau saja yang pergi dari sini, Nenek Tua. Kehadiranmu di sini sama sekali tidak diperlukan," terasa begitu datar dan dingin nada suara Pandan Wangi

"Heh...?! Phuih...!"

Nyai Wisanggeni jadi terperangah mendengar jawaban ketus dan tegas dari gadis cantik ini. Matanya sampai mendelik, dan ludahnya disemburkan dengan sengit. Sementara, Pandan Wangi tetap kelihatan tenang sambil menggerak-gerakkan kipasnya perlahan di depan dada. Hanya Ki Jumir yang kelihatan gelisah melihat kemunculan Pandan Wangi.

Walaupun gadis itu sudah menyelamatkan nyawanya dan sudah dikenalnya dengan baik, tapi tetap saja gelisah. Karena dia tahu, perempuan tua yang dikenal sebagai Setan Perempuan Penghisap Darah itu tidak bisa dibuat main-main. Kepandaiannya yang sangat tinggi, begitu sukar ditandingi.

"Kuperingatkan sekali lagi, Bocah...!" desis Nyai Wisanggeni seperti tidak sabar melihat sikap Pandan Wangi yang terus menantangnya.

"Aku ingin tahu, sebesar apa mulutmu itu, Nenek Tua," sambut Pandan Wangi malah menantang.

"Pandan...," Ki Jumir agak menyentak, mencoba memperingatkan Pandan Wangi.

Tapi belum juga bisa tertangkap telinga laki-laki tua itu, Setan Perempuan Penghisap Darah sudah mengebutkan cepat tangan kirinya ke depan. Maka seketika itu juga melesat sebuah benda kecil berwarna putih keperakan yang begitu cepat bagai kilat.

"Haiiit...!"
Wut!
Tring!

Namun hanya sekali kebut saja, Pandan Wangi sudah bisa menghalau serangan pertama si Setan Perempuan Penghisap Darah dengan kipasnya. Sedikit pun Pandan Wangi tidak menggeser kakinya. Dan benda keperakan itu melenting tinggi ke angkasa, terhempas kipas maut di tangan Pandan Wangi.

"Bagus! Rupanya kau berisi juga, Bocah!" dengus Nyai Wisanggeni dingin.

"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam saja sedikit.

"Tahan seranganku ini, Bocah! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Nyai Wisanggeni melesat cepat bagai kilat, menerjang Pandan Wangi yang masih mengembangkan kipasnya di depan dada. Satu pukulan dahsyat menggeledek langsung dilepaskan Setan Perempuan Penghisap Darah, tepat diarahkan ke kepala si Kipas Maut.

"Haiiit...!"

Sedikit saja Pandan Wangi mengegoskan kepala, hingga pukulan si Setan Perempuan Penghisap Darah hanya lewat sedikit saja di atas kepala. Dan pada saat itu juga Pandan Wangi mengebutkan kipasnya ke atas. Sehingga, membuat Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget, tidak menyangka akan mendapat serangan balasan yang begitu cepat bagai kilat.

"Ups...!"

Cepat-cepat Nyai Wisanggeni menarik tangannya sambil menghentakkannya sedikit ke atas. Maka ujung kipas maut yang runcing bagai anak panah itu lewat sedikit saja di bawah lengan si Setan Perempuan Penghisap Darah

"Hih! Yeaaah...!"

Namun Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ saja. Dengan cepat kipasnya diputar, dan langsung dikebutkan ke arah lambung perempuan tua ini.

Bet!
"Haiiikgh. !"

Nyai Wisanggeni cepat menarik kakinya ke belakang, menghindari serangan cepat yang dilancarkan Pandan Wangi barusan. Dan cepat sekali tongkatnya dikebutkan dengan gerakan setengah berputar. Sehingga, tongkat berbentuk seekor ular itu terus melayang mengarah ke kepala Pandan Wangi.

"Hap!"

Pandan Wangi segera menarik kepalanya sedikit ke belakang. Maka begitu ujung tongkat Nyai Wisanggeni lewat di depan mukanya, Pandan Wangi cepat memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kipasnya dikebutkan ke arah perut perempuan tua ini. Serangan Pandan Wangi memang sungguh membuat Nyai Wisanggeni jadi terperanjat setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, hingga serangan itu tidak sampai mengenai sasaran. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah kembali menjejakkan kakinya dengan tegak, sekitar satu batang tombak jauhnya di depan Pandan Wangi yang kini sudah mengembangkan kipasnya di depan dada. Dan untuk sesaat, mereka terdiam saling berpandangan dengan tajam menusuk. Seakan-akan, mereka tegah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.

"Siapa namamu, Bocah?" tanya Nyai Wisanggeni dingin.

"Untuk apa kau ingin tahu namaku...? Tidak ada gunanya kau tahu namaku, karena sebentar lagi kau akan mampus," sahut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.

"Hik hik hik..! Kau angkuh sekali, Bocah. Tapi aku suka dengan wanita angkuh dan berkepandaian tinggi sepertimu. Tapi sayangnya, mulutmu harus kubungkam, Bocah," masih tetap terasa dingin suara Nyai Wisanggeni.

"Coba saja kalau bisa. Aku malah khawatir, mulutmu sendiri yang kurobek nanti," sambut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.

"Phuih! Kau benar-benar tidak bisa dikasih hati, Bocah. Terimalah seranganku ini! Hiyaaat..!"

"Hap...!"

 ********************

ENAM

Pandan Wangi cepat melenting ke udara, begitu Nyai Wisanggeni melompat seraya mengebutkan tongkatnya yang berbentuk ular itu ke arah kaki. Sehingga tongkat itu hanya lewat saja di bawah telapak kaki si Kipas Maut ini.

Bet!

Namun Nyai Wisanggeni begitu cepat memutar tongkatnya, langsung disentakkan ke arah perut gadis cantik berbaju biru muda ini. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Pandan Wangi jadi sedikit terperangah juga. Namun dengan gerakan berputar yang manis sekali, serangan itu masih bisa dihindari

"Hap!"

Manis sekali Pandan Wangi menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan pada saat itu juga, Nyai Wisanggeni sudah mengebutkan tongkatnya ke arah kepala. Cepat-cepat gadis ini merunduk. Tapi tanpa diduga sama sekali kaki kiri Nyai Wisanggeni menghentak cepat. Maka....

Diegkh!
"Akh...!"

Pandan Wangi jadi terpekik, begitu tanpa diduga sama sekali dadanya mendapat tendangan telak yang begitu keras, mengandung pengerahan tenaga dalam. Gadis itu kontan terpental ke belakang, sejauh dua batang tombak. Dan tubuhnya jatuh menghantam tanah dengan keras, sehingga membuatnya kembali terpekik.

"Ugkh! Hoeeek...!"

Pandan Wangi seketika memuntahkan darah kental agak kehitaman, saat mencoba bangkit berdiri. Tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ini membuat seluruh rongga dadanya bagaikan remuk. Dan napasnya juga jadi tersengal, membuat pandangannya jadi berkunang-kunang.

Walaupun tampaknya menderita luka dalam yang cukup parah, tapi Pandan Wangi masih tetap berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri tegak, Setan Perempuan Penghisap Darah sudah melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu, dilepaskannya satu pukulan menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaat...!"
Dan pada saat itu juga...
"Hup! Hiyaaa....!"

Ki Jumir yang mengetahui keadaan Pandan Wangi sangat berbahaya, tidak berpikir panjang lagi. Maka dengan kecepatan bagai kilat tubuhnya melesat menghadang serangan Nyai Wisanggeni. Dan tepat di saat pukulan Setan Perempuan Pengisap Darah terlontar, tubuh Ki Jumir berada tepat di depan Pandan Wangi. Hingga...

Begkh!
"Akh...!"

Ki Jumir menjerit keras begitu pukulan menggeledek yang dilepaskan Nyai Wisanggeni tepat menghantam dadanya. Akibatnya, laki-laki tua itu terpental ke belakang, menghantam Pandan Wangi yang baru saja bisa berdiri. Dan mereka berdua langsung terbanting ke tanah, bergulingan beberapa kali. Sementara itu, Nyai Wisanggeni jadi terperanjat melihat hasil serangannya yang sangat dahsyat.

"Edan...! Keparat...!"

Sementara Ki Jumir tampak menggeliat dengan mulut berlumur darah. Dadanya kelihatan menghitam hangus seperti terbakar, dengan asap berwarna agak kehitaman mengepul dari dadanya. Sedangkan Pandan Wangi sudah tergeletak diam tidak bergerak sedikit pun, tidak jauh dari tubuh Ki Jumir yang menggelepar meregang nyawa.

"Ugkh! Hoeeegkh...!"

Begitu darah tersembur dari mulutnya. Ki Jumir langsung mengejang dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Lelaki tua itu tewas dengan dada remuk dan menghitam hangus seperti terbakar, akibat terkena pukulan yang dilepaskan Nyai Wisanggeni.

"Phuih!"

Nyai Wisanggeni menyemburkan ludahnya, sambil menghembuskan napas berat. Sebentar dipandanginya dua tubuh yang tergeletak diam tidak jauh di depannya. Dia yakin, mereka sudah tidak bernyawa lagi. Dan...

Slap!

Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Setan Perempuan Penghisap Darah, sehingga dalam sekali lesatan saja, bayangannya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Dan malam pun menjadi sunyi, tanpa sedikit pun terdengar suara.

********************

Sementara itu, agak jauh dari Kotaraja Pakuan, Rangga terus membuntuti Panglima Widura dan dua puluh orang prajuritnya. Arah yang ditempuh jelas menuju hutan tempat tinggal Nyai Wisanggeni yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah. Dan wanita tua itu juga guru Panglima Widura.

"Hm..."

Kening Rangga jadi berkerut, begitu melihat Panglima Widura turun dari kudanya, setelah terlihat sebuah gubuk kecil dan reot di tengah hutan ini. Panglima Widura langsung menerobos masuk ke dalam gubuk itu. Tapi tidak berapa lama, dia keluar lagi dengan raut wajah memancarkan kebingungan. Sementara, dua puluh orang prajurit yang dibawa terus menunggui di atas punggung kuda masing-masing. Tanpa bicara sedikit pun juga, Panglima Widura melompat naik ke punggung kudanya, dan langsung menggebahnya dengan kencang keluar dari hutan ini.

Rangga yang mengikuti sejak tadi, jadi bertanya-tanya sendiri. Untuk apa Panglima Widura malam-malam datang ke hutan ini...? Perhatian Pendekar Rajawali Sakti beralih ke gubuk kecil yang pintunya kini terbuka lebar. Dia keluar dari tempat persembunyiannya setelah Panglima Widura dan para prajuritnya tidak terlihat lagi. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti berdiri diam tertegun, kemudian hati-hati melangkah menghampiri gubuk kecil itu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah sempurna sekali. Sehingga, sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya terayun melangkah. Bahkan seakan-akan tidak menjejak tanah.

Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di ambang pintu gubuk ini. Keningnya jadi berkerut begitu memandang ke dalam. Tidak ada satu pun perabotan terlihat di sana. Dan bagian dalam gubuk ini benar benar kosong.

"Hm..."

Rangga bergegas berbalik, dan langsung melesat. Pendekar Rajawali Sakti kini berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah sangat sempurna. Hingga kedua telapak kakinya seakan tidak menyentuh tanah sedikit pun. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah bisa mengejar Panglima Widura dan para prajuritnya yang baru saja keluar dari hutan ini.

"Ups!"

Untung saja Rangga cepat bisa melihat mereka, dan segera berhenti berlari. Karena tanpa disadari dia kini hanya tinggal sekitar tiga batang tombak lagi di belakang prajurit-prajurit Panglima Widura. Pendekar Rajawali Sakti bergegas menyembunyikan diri di balik pohon. Tapi tanpa sengaja sebelah kakinya menginjak sebatang ranting kering.

Trek!
"Berhenti...!"

Panglima Widura yang sangat tajam pendengarannya, langsung memerintahkan prajurirnya berhenti. Saat itu juga, dia melompat ke belakang dari punggung kudanya. Dua puluh orang prajurit yang mendampinginya bergegas berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Sementara itu, Rangga tetap diam di balik pohon sambil menahan napas. Memang sangat dekat jaraknya. Dan Rangga tidak ingin kehadirannya diketahui. Terlebih lagi, dia memang sengaja membuntuti panglima ini.

"Siapa kau?! Keluar, cepaaat...!" teriak Panglima Widura dengan suara lantang menggelegar.

Namun Rangga yang masih tetap berada di balik pohon, tidak menjawab sedikit pun juga. Punggungnya juga dirapatkan ke batang pohon yang cukup besar ini. Dan telinganya mendengar ayunan langkah kaki yang begitu ringan mendekatinya dari balik pohon ini. Sedikit Rangga mendongakkan kepala ke atas. Bibirnya langsung tersenyum melihat cabang pohon yang cukup besar berada tepat di atas kepalanya.

"Hep!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke cabang pohon di atas kepalanya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya menjejak di batang pohon ini. Kemuian tubuhnya kembali melesat, dan langsung hinggap di cabang pohon lain yang lebih tinggi. Dan kembali tubuhnya melesat ke cabang pohon lainnya. Hingga akhirnya, Pendekar Rajawali Sakti berada di bagian lain dari tepian hutan ini.

"Sayang sekali, aku belum ada urusan denganmu, Panglima Widura," gumam Rangga dalam hati.

"Hup!"

Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat pergi meninggalkan Panglima Widura dan para prajuritnya yang masih penasaran karena merasa diikuti tadi. Sementara, Rangga sudah begitu jauh meninggalkannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung masuk ke dalam Kotaraja Pakuan yang sudah tenggelam dalam sunyinya malam yang pekat ini.

********************

"Pandan...! Ki Jumir...!"

Rangga jadi terhenyak begitu tiba di depan rumah Ki Jumir yang berhalaman luas ini. Tampak Pandan Wangi dan Ki Jumir tergeletak seperti tidak bernyawa lagi. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti menghampiri.

Baru saja tubuh Ki Jumir disentuh, telinganya mendengar rintihan halus di sebelahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti berpaling, dan melihat Pandan Wangi menggeliat menggelengkan kepala sambil merintih lirih. Bergegas dihampirinya gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Tampak darah sudah agak mengering di sudut bibirnya. Rangga mengangkat kepala gadis itu, dan menumpangkan di paha kirinya.

"Pandan.... Apa yang terjadi?" tanya Rangga, dengan suara agak parau tersendat.

"Ka..., Kakang...," lemah sekali suara Pandan Wangi.

Kelopak mata gadis itu terbuka dan terlihat begitu sayu, seperti tidak ada lagi cahaya kehidupan di sana. Rangga jadi terkesiap melihat keadaan kekasihnya ini. Cepat diangkatnya tubuh gadis itu, dan dipondongnya dengan kedua tangan. Pandan Wangi begitu lemah terkulai seperti tidak bernyawa lagi. Hanya sedikit gerakan pada dadanya saja, yang menandakan kalau gadis itu masih hidup. Sebentar Rangga menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati keadaan sekitarnya yang sunyi. Kemudian kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang kelam bertaburkan cahaya bintang keperakan.

"Hanya Rajawali yang bisa menyembuhkan Pandan Wangi. Mudah-mudahan dia tidak jauh berada di sini," gumam Rangga pelan, bicara pada diri sendiri.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan sekitarnya yang masih tetap sunyi. Tidak terlihat seorang pun di sekitar halaman rumah Ki Jumir ini. Kemudian kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang menghitam kelam. Kemudian....

"Suiiit...!"

Hanya sebentar saja Rangga menunggu, sudah terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan meluncur cepat bagai kilat menuju rumah Ki Jumir. Dan hanya sekejap mata saja, buung raksasa itu sudah mendarat tepat di depan pemuda berbaju rompi putih ini.

"Khrrr...!"

"Rajawali, tolong bawa Pandan Wangi. Rawat dia," pinta Rangga.

"Khrrrkh...!" Rajawali Putih mengangguk sambil mengkirik perlahan.

"Sembuhkan dia, Rajawali. Aku tidak rela dia mati seperti ini," kata Rangga lagi, dengan suara agak tertahan

"Khragkh!"

Rangga meletakkan Pandan Wangi di tanah. Dan begitu melangkah ke belakang beberapa tindak, Rajawali Putih sudah melesat tinggi ke angkasa setelah menyambar tubuh gadis itu. Begitu cepatnya Rajawali Putih melesat, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Dan untuk beberapa saat Rangga masih berdiri diam mematung dengan pandangan lurus ke atas.

"Raden...."
"Heh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang. Cepat tubuhnya berputar. Kedua kelopak matanya jadi menyipit melihat beberapa orang anak muda tahu-tahu sudah ada tidak jauh di depannya. Rangga tahu, mereka adalah murid-murid Ki Jumir. Beberapa orang terlihat menggotong Ki Jumir, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Rangga hanya memperhatikan saja sekilas.

Perhatiannya kini tertumpah pada anak-anak muda yang berada di depannya dengan kepala tertunduk, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang dirasakan teramat berat. Dalam pertarungan tadi, sebenarnya murid-murid Ki Jumir ingin pula membantu gurunya. Namun ketika itu rasanya memang sudah terlambat. Ki Jumir sudah lebih dulu terhantam pukulan telak dari Nyai Wisanggeni. Apalagi, mereka juga baru terbangun, setelah mendengar suara ribut-ribut.

"Ada di antara kalian yang tahu kejadiannya?" tanya Rangga langsung.

"Kami datang terlambat Raden. Tapi yang jelas, perempuan itu yang melakukannya," sahut salah seorang seraya mengangkat kepalanya sedikit.

"Siapa?" tanya Rangga ingin tahu.

"Nyai Wisanggeni, yang juga berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah."

"Hm, ke mana dia pergi?"

"Ke arah sana, Raden," sahut pemuda itu seraya menunjuk ke arah Nyai Wisanggeni pergi, setelah membunuh Ki Jumir dan melukai Pandan Wangi.

Rangga berpaling ke arah yang ditunjukkan murid Ki Jumir. Keningnya jadi berkerut. Memang, arah yang ditunjuk menuju hutan, tempat Pendekar Rajawali Sakti membuntuti Panglima Widura dan prajurit-prajuritnya. Di hutan itu dia melihat Panglima Widura masuk ke dalam sebuah gubuk kecil yang tidak ada penghuninya. Saat itu juga, timbul berbagai macam pertanyaan dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Pertanyaan-pertanyaan yang masih terlalu sulit dijawab.

"Kalian urus saja Ki Jumir. Aku akan mengejar wanita itu," kata Rangga.

"Hati-hati, Den. Wanita itu sangat tangguh dan kejam."

Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum kecil mendengar peringatan murid Ki Jumir ini. Kemudian kakinya melangkah ke samping rumah, dan mengambil kudanya yang tertambat di samping rumah Ki Jumir ini. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu ini.

"Hiyaaa...!"
"Hieeegkh...!"

Sekali gebah saja, kuda hitam itu melesat cepat bagai kilat, membuat debu di halaman rumah Ki Jumir beterbangan membubung tinggi ke angkasa. Semua murid Ki Jumir jadi terlongong bengong melihat kuda hitam tunggangan tamu gurunya ini begitu cepat berlari. Hingga dalam waktu sebentar saja, sudah jauh dan lenyap ditelan kegelapan malam.

TUJUH

Rangga terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi menuju luar Kotaraja Pakuan. Begitu cepat Dewa Bayu berlari. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah melewati perbatasan kota yang ditandai sebuah bangunan batu berbentuk candi kecil. Namun baru beberapa tombak Pendekar Rajawali Sakti melewati perbatasan, tiba tiba saja lari kudanya dihentikan. Akibatnya, kuda hitam itu meringkik keras, seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.

"Hup!"

Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat turun sebelum terlempar dari punggung kudanya. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian manis sekali kedua kakinya menjejak tanah. Sementara, Dewa Bayu mendengus-dengus berat sambil menghentakkan satu kaki depannya, mengais tanah yang sedikit berumput ini.

"Kau juga mendengarnya, Dewa Bayu...?" bisik Rangga perlahan.

Dewa Bayu hanya mendengus sedikit dengan kepala terangguk beberapa kali. Kaki kanan yang depan masih dihentakkan ke tanah. Rangga menepuk leher kuda hitam itu hingga menjadi tenang, kemudian melangkah ke depan beberapa tindak. Sedikit kepalanya dimiringkan ke kanan. Telinganya yang begitu tajam dan terlatih, mendengar suara seperti sebuah pertarungan yang cukup jauh dari tempat ini.

"Kau tunggu di sini saja, Dewa Bayu. Akan kulihat, ada apa di sana," kata Rangga.

Setelah berkata demikian, Rangga cepat melesat pergi. Dia berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah begitu sempurna tingkatannya. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan perbatasan kota. Sementara, Dewa Bayu melenggang mencari tempat nyaman untuk menunggu penunggangnya.

Walaupun malam ini terasa begitu gelap, tapi penglihatan Rangga memang sudah terlatih baik. Pepohonan yang mulai merapat, sama sekali bukan halangan berarti. Pendekar Rajawali Sakti terus saja berlari cepat, hingga sukar diikuti mata biasa.

"Hup!"

Begitu tiba di atas sebuah batu yang cukup besar dan tinggi, Pendekar Rajawali Sakti berhenti berlari. Pandangannya langsung tertuju pada dua orang yang tengah bertarung sengit, tidak jauh dari tempatnya berdiri di atas batu ini. Pertarungan berlangsung di sebuah padang rumput kecil yang cukup terbuka, sehingga Rangga bisa melihat jelas dari atas baru yang cukup tinggi ini.

"Heh...?! Bukankah itu Jabalang...?" desis Rangga begitu mengenali salah seorang yang bertarung.

Tentu saja Rangga bisa cepat mengenali salah seorang dari mereka. Karena, orang yang mengenakan baju merah muda dengan lencana di dada sebelah kiri dikenali Rangga sebagai patih dari Kerajaan Pakuan. Tapi lawan yang dihadapinya sulit dikenali, karena mengenakan baju hitam pekat dengan bagian kepala terselubung kain hitam yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Dan dia hanya menggunakan sebatang tongkat dalam menghadapi Patih Jabalang yang menggunakan pedang.

Baru sebentar saja diperhatikan, sudah bisa ditebak kalau Patih Jabalang sudah kewalahan menghadapi lawannya. Namun Rangga tahu, Patih Jabalang masih bisa bertahan sekurangnya lima jurus lagi. Dan Pendekar Rajawali Sakti sempat mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Agak terkejut juga hatinya begitu melihat tidak jauh dari tempat pertarungan itu tergolek tubuh-tubuh berlumur darah berseragam prajurit. Dan tidak jauh dari para prajurit yang bergelimpangan bermandikan darah, terlihat seorang laki-laki berusia lanjut tengah duduk bersandar pada sebatang pohon.

"Eyang Jakot...," desis Rangga juga mengenali orang tua yang mengenakan baju jubah putih itu.

"Hup!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Rangga segera melesat turun dari atas batu ini. Pendekar Rajawali Sakti terus berlari menghampiri orang tua berjubah putih yang dikenal bernama Eyang Jakot itu, begitu kakinya menjejak tanah. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sebentar saja sudah berada dekat di depan orang tua itu.

"Oh, Gusti Prabu Rangga...," desis Eyang Jakot agak terkejut, begitu tiba-tiba di depannya berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih.

"Eyang, apa yang terjadi di sini?" tanya Rangga langsung.

Pendekar Rajawali Sakti tidak peduli orang tua itu mengenalinya sebagai raja di Karang Setra. Dan memang, Eyang Jakot hanya mengenal Rangga sebagai raja di Karang Setra. Dan walaupun saat ini hanya mengenakan pakaian seorang kependekarannya, tapi Eyang Jakot tak akan pernah salah melihat.

"Tolong Patih Jabalang. Dia tidak akan mampu menghadapi Datuk Muka Hitam seorang diri...," lemah sekali suara Eyang Jakot, seakan tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga langsung berpaling ke arah Patih Jabalang yang sedang bertarung. Dan pada saat itu, tampak satu pukulan orang berbaju hitam yang ternyata Datuk Muka Hitam itu menghantam tepat di dada Patih Jabalang.

"Akh...!"

Terdengar jeritan agak tertahan. Dan Patih Jabalang terlihat terpental cukup jauh ke belakang. Sementara, orang berbaju serba hitam itu sudah melesat mengejar lawannya ini.

"Hup! Hiyaaat...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat menghadang orang berbaju serba hitam ini. Dan bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Ikh...?!" Terjangan Rangga yang begitu cepat dan tiba-tiba membuat Datuk Muka Hitam jadi terperanjat setengah mati. Tapi, tidak mungkin pukulan Pendekar Rajawali Sakti bisa dihindari. Dengan cepat sekali tongkatnya diputar ke depan, menghadang pukulan Pendekar Rajawali Sakti Maka...

Plak!
"Hup!"

Rangga cepat memutar tubuhnya ke belakang dua kali, lalu manis sekali kakinya menjejak tanah. Sementara Datuk Muka Hitam juga terlompat ke belakang, sejauh setengah batang tombak. Dia juga dengan cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, lalu ringan sekali menjejakkan kakinya di tanah. Tongkatnya langsung ditekan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Dia berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan.

Dari jarak yang tidak begitu jauh ini, Rangga langsung bisa melihat wajah orang itu. Sedikit tubuhnya agak bergidik begitu melihat wajah yang sangat mengerikan dan hampir terselubung kain hitam ini. Wajahnya begitu buruk dan hitam seperti arang. Namun sorotan matanya terlihat sangat tajam memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat...! Siapa kau? Berani mencampuri urusanku!" bentak orang berbaju serba hitam yang tadi dikatakan Eyang Jakot sebagai Datuk Muka Hitam.

Rangga sama sekali tidak menanggapi orang berwajah buruk yang tadi namanya sempat didengar dari Eyang Jakot. Tapi melihat wajah dan baju yang dikenakannya, Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya kalau orang ini adalah Datuk Muka Hitam. Yang diketahuinya orang yang bernama Datuk Muka Hitam tidak seperti ini. Dan memang, Rangga pernah sekali berjumpa orang yang bernama Datuk Muka Hitam, saat menolong nyawa Panglima Widura. Sedangkan orang yang berada di depannya ini adalah laki-laki berwajah buruk dan hitam seperti arang. Tapi, memang ada kemiripan antara yang pernah dijumpainya dengan orang yang kini berada di depannya.

Dan tentu Rangga juga tidak mau gegabah begitu saja. Entah berapa jumlah prajurit yang tergeletak sudah tidak bernyawa lagi. Dan Eyang Jakot sendiri kelihatannya terluka parah. Bahkan barusan orang yang dijuluki Datuk Muka Hitam ini membuat Patih Jabalang terpental, hingga tidak bisa bangkit lagi.

"Siapa kau sebenarnya, Kisanak? Kenapa menggunakan nama Datuk Muka Hitam?" terdengar dingin dan datar nada suara Rangga.

"Kalau kau ingin tahu Datuk Muka Hitam, akulah orangnya.'" bentak orang itu kasar.

"Hm... Aku tahu, siapa Datuk Muka Hitam itu. Dan aku tidak kenal denganmu, Kisanak. Siapa pun kau sebenarnya, tidak pantas memakai julukan Datuk Muka Hitam. Siapa kau sebenarnya? Dan, kenapa memusuhi Kerajaan Pakuan?" tegas Rangga masih dengan nada dingin.

"Phuih! Kau terlalu banyak omong, Monyet! Mampuslah kau! Hiyaaat...!"

Tampaknya, orang yang mengaku berjukik Datuk Muka Hitam ini tidak ingin berpanjang lebar. Sambil berteriak keras menggelegar dia langsung saja melompat menerjang cepat sekali. Dan tongatnya seketika dikebutkan mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

Wut!
"Haiiit..!"

Hanya sedikit saja Rangga menggerakkan kepala, maka kebutan tongkat itu lewat di atas kepala. Dan pada saat tubuhnya sedikit dibungkukkan, dengan kecepatan kilat Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kirinya, memberi sodokan ke arah lambung.

"Haps!"

Namun orang yang mengaku berjuluk Datuk Muka Hitam itu cepat meliuk, hingga sodokan Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasaran. Dan saat itu juga tongkatnya dikebutkan ke bawah, membuat Rangga terpaksa harus cepat menarik tangannya kembali, dan melompat ke belakang sejauh tiga langkah.

"Hiyaaa...!"
Bet!

Tanpa membuang waktu lagj, Datuk Muka Hitam yang sebenarnya Rahkapa, sudah melesat menyerang lagi dengan kecepatan sulit diikuti mata biasa. Tongkatnya berkelebatan begitu cepat, mengarah ke bagian-bagian tubuh lawannya yang mematikan. Sementara, Rangga cepat mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', hingga serangan-serangan yang dilancarkan Rahkapa sedikit pun tidak sampai mengenai sasaran.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Bet! Bet!

Beberapa kali tongkat kayu Rahkapa berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tidak satu pun dari serangan itu yang bisa menyentuhnya. Gerakan-gerakan Rangga dari jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang sangat sukar di ikuti. Dan ini tentu saja membuat Rahkapa jadi bertambah berang. Maka serangannya semakin ditingkatkan, hingga membuat kebutan tongkatnya menimbulkan deru angin bagai topan.

"Hup! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Rangga melenting tinggi-tinggi ke udara, dan berputaran beberapa kali begitu cepat. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya menukik dengan kedua kaki bergerak berputar cepat, mengarah ke kepala Rahkapa.

"Haiiit..!"
Wut!

Namun Rahkapa sudah memutar tongkatnya di atas kepala. Sehingga Rangga terpaksa harus memutar tubuhnya, seraya melepaskan satu pukulan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Rahkapa jadi terperanjat setengah mati. Memang sungguh tidak disangka kalau lawannya ini bisa merubah gerakan begitu cepat, dari dua jurus yang digabungkan menjadi satu. Sehingga...

Diegkh!
"Akh...!"

Rahkapa tidak dapat lagi menghindari pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang tepat menghantam dadanya. Orang yang mengaku berjuluk Datuk Muka Hitam itu kontan terpental jauh ke belakang. Dan dengan keras sekali, tubuhnya terbanting di tanah, hingga membuatnya kembali terpekik agak tertahan. Sementara Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Saat itu, Rahkapa menggeliat sambil mengerang merasakan sakit yang amat sangat pada dadanya. Seakan-akan, seluruh tulang dadanya terasa remuk terkena pukulan yang begitu keras dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.

"Ups!"

Sambil menahan napas, Rahkapa mencoba bangkit berdiri. Walaupun bisa berdiri, namun tubuhnya terlihat agak limbung. Disekanya darah yang mengalir dari sudut bibir dengan punggung tangan. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak menanti dengan kedua tangan masih terlipat di depan dada.

"Kubunuh kau, Setan Keparat! Hiyaaat.!" Tanpa menghiraukan rasa sakit di dadanya, Rahkapa sudah melompat lagi sambil memaki dan berteriak keras menggelegar. Dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, tongkatnya diayunkan ke arah kepala pemuda berbaju rompi putih ini.

Wut!
"Hap!"

Namun Rangga sama sekali tidak berusaha berkelit menghindarinya. Dan begitu tongkat kayu itu hampir menghantam kepalanya, cepat kedua tangannya dihentakkan ke atas kepala. Dan...

Tap!
"Heh...?!"

Kedua bola mata Rahkapa jadi terbeliak lebar, begitu melihat tongkatnya mudah sekali dapat ditangkap. Dan belum juga hilang rasa terkejutnya, mendadak saja Rangga sudah menghentakkan tangannya yang menjepit tongkat itu ke atas.

"Hih!"

Begitu kuat sentakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Rahkapa tidak dapat lagi menahan. Dan tubuhnya jadi terpental tinggi ke atas, tanpa dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Tubuhnya melayang tinggi ke angkasa dengan tongkat berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaa...!"

Saat itu juga, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang menjepit tongkat kayu lawannya ini ke atas. Seketika, tongkat itu meluncur secepat kilat. Dan...

Crab!
"Aaa...!"

Jeritan panjang yang begitu melengking seketika terdengar menyayat, saat tongkat kayu itu menghunjam dada hingga tembus ke punggung pemiliknya yang masih melayang di atas. Tampak tubuh Rahkapa melayang turun deras sekali, dan terbanting ke tanah begitu keras, hingga bumi terasa sedikit bergetar. Sementara. Rangga berdiri tegak memandangi tubuh Rahkapa yang menggelepar meregang nyawa dengan tongkat miliknya sendiri terhunjam di dada sampai tembus ke punggung.

"Ke..., keparat kau ... Akh!"

Sambil menyemburkan darah kental dari rnulutnya Rahkapa mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati. Begitu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga. Lalu, bergegas dihampirinya Patih Jabalang yang tergeletak tidak jauh dari Eyang Jakot.

"Dia sudah mati, Gusti Prabu," ujar Eyang Jakot memberi tahu, sebelum Rangga sempat memeriksa.

Rangga tidak jadi memeriksa tubuh Patih Jabalang. Pandangannya langsung tertuju pada Eyang Jakot yang kelihatan semakin lemah dan memucat wajahnya. Orang tua itu tetap duduk bersandar pada batang pohon. Sementara, Rangga sudah berlutut dengan lutut yang sebelah kiri menyentuh tanah. Diamatinya wajah Eyang Jakot yang semakin memucat dan mulai membiru seperti mayat. Rangga tahu, Eyang Jakot mendapatkan luka dari pukulan yang mengandung racun mematikan. Rasanya nyawa orang tua ini tak mungkin bisa di selamatkan lagi. Racun itu sudah menyebar hampir ke seluruh tubuhnya.

"Eyang, apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa orang itu mengaku sebagai Datuk Muka Hitam?" tanya Rangga dengan suara pelan.

"Dia..., dia Rahkapa, Gusti Prabu. Murid si Datuk Muka Hitam. Dia ingin mencari dan membunuh Panglima Widura. Ugkh! Dia tangguh sekali. Kau harus hati-hati, Gusti Prabu. Datuk Muka Hitam sendiri tidak ada tandingannya di Pakuan ini. Dia pasti akan mencari pembunuh muridnya. Sebaiknya, Gusti Prabu cepat tinggalkan Pakuan ini. Ugkh...!"

"Eyang..."

Eyang Jakot terbatuk beberapa kali. Darah yang mengalir di sudut bibirnya sudah kelihatan membeku. Sorot mata orang tua itu semakin melemah, tanpa cahaya kehidupan lagi.

"Gusti... Tolong selamatkan Pakuan dari kehancuran. Panglima Widura sudah mulai bergerak untuk mengadakan pemberontakan. Dia... dia kini bersembunyi di dalam hutan, dibantu oleh sss..."

"Eyang..."

Rangga hanya bisa menarik napas saja, ketika Eyang Jakot sudah menghembuskan napasnya yang terakhir. Perlahan Rangga bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya Eyang Jakot yang sudah tidak bernyawa lagi, tersandar pada batang pohon. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sedikit napas beratnya dihembuskan, kemudian kakinya terayun melangkah meninggalkan tempat itu.

Rangga terus berjalan perlahan-lahan, kembali ke tempat Dewa Bayu yang ditinggalkannya tadi. Tapi baru saja sampai pada setengah jalan, sudah terlihat Dewa Bayu berjalan menghampirinya. Rangga berhenti menunggu sampai kuda hitam itu dekat di depannya. Diambilnya tali kekang kuda itu lalu melompat naik dengan gerakan ringan sekali. Dan baru saja akan menggebah kudanya, mendadak saja....

"Tidak semudah itu kau bisa lari, Bocah...!"

"Heh...?!"

DELAPAN

Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara berat dari belakang. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kudanya, dan langsung berbalik begitu kakinya menjejak tanah. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berjubah hitam dengan tongkat kayu tergenggam di tangan kanan. Rangga langsung bisa mengetahui kalau orang ini adalah Datuk Muka Hitam yang sebenarnya. Dan itu bisa langsung dikenali dari wajahnya yang hitam seperti arang walaupun tidak seburuk wajah muridnya yang baru saja tewas di tangan Pendekar Rajawab Sakti.

"Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum membayar nyawa muridku, Anak Muda," terasa begitu dingin suara Datuk Muka Hitam.

"Hm... Jadi itu muridmu?" terasa agak sinis nada suara Rangga.

"Ya! Dan kau harus bayar dengan nyawamu sendiri!" tegas Datuk Muka Hitam.

Rangga hanya diam saja Dia tahu. tidak ada gunanya lagi menghindari si Datuk Muka Hitam ini. Dan begitu Datuk Muka Hitam menggeser kakinya ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengepalkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian kakinya direntangkan sedikit, hingga terbuka. Pandangan matanya tertuju lurus pada setiap gerak orang bermuka hitam ini.

"Sebutkan namamu sebelum kukirim ke neraka, Anak Muda," pinta Datuk Muka Hitam.

"Rangga," sahut Rangga singkat.

"Nah! Bersiaplah kau sekarang. Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Datuk Muka Hitam menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya melesat cahaya merah bagai api yang begitu cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!"

Cepat Rangga melenting ke atas dan berputaran dua kali, sehingga cahaya merah itu hanya lewat di bawah tubuhnya. Kemudian dengan gerakan manis sekali, Rangga meluncur deras mengejar lawannya, begitu ujung jari kakinya menotok sedikit ke tanah.

"Hiyaaa...!"
Bet!

Satu kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti lewat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', membuat sepasang mata Datuk Muka Hitam jadi terbeliak. Namun cepat tubuhnya ditarik ke belakang, hingga serangan balasan Rangga tidak sampai mengenai sasaran. Dua langkah Datuk Muka Hitam menarik kakinya ke belakang, saat merasakan hempasan angin yang begitu kuat dari kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.

Dan belum juga tubuh Datuk Muka Hitam bisa tegak, Rangga sudah memberi sodokan tangan kiri mengarah ke perut. Begitu cepat serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat Datuk Muka Hitam jadi kerepotan juga menghindarinya. Dan Rangga sendiri terus melancarkan serangan-serangannya dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang berurutan dengan cepat dan silih berganti. Hal ini membuat Datuk Muka Hitam terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.

"Setan keparat! Hih! Yeaaah...!"

Datuk Muka Hitam jadi menyumpah dan memaki sendiri, mendapatkan serangan yang beruntun dan tanpa berhenti. Dan tubuhnya cepat melenting ke atas, sambil mengebutkan tongkatnya ke kepala pemuda lawannya.

Bet!
"Ups!"

Namun kebutan itu hanya untuk melonggarkan jarak saja. Begitu Rangga merunduk, Datuk Muka Hitam melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Cepat tubuhnya ditegakkan saat kedua kakinya menjejak tanah. Sementara Rangga sudah sejak tadi berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Bibirnya terlihat menyunggingkan senyum tipis. Dari beberapa serangannya yang belum mencapai sasaran, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa mengukur, sampai di mana tingkat kepandaian Datuk Muka Hitam ini.

"Kau benar-benar tangguh, Anak Muda. Sudah saatnya kita mengadu jiwa," desis Datuk Muka Hitam dingin.

Setelah berkata demikian, orang tua itu melemparkan tongkatnya begitu saja ke samping. Dan kedua tangannya langsung dirapatkan di depan dada. Sebentar kelopak matanya dipejamkan. Sambil membuka mata, dibukanya kedua telapak tangannya yang merapat di depan dada. Saat itu juga, terlihat kedua telapak tangannya memancarkan cahaya merah seperti api yang membakar kedua tangan orang bermuka hitam hangus ini.

Sementara, Rangga masih tetap berdiri tenang dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dia tahu, Datuk Muka Hitam tengah menyiapkan aji kesaktian yang diandalkan. Dan begitu kedua tangan Datuk Muka Hitam mulai terarah padanya, kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung merapat di depan dada. Kemudian tubuhnya bergerak miring ke kiri, begitu kedua kakinya merenggang. Perlahan-lahan Rangga menarik tubuhnya ke kanan. Dan saat kembali tegak, terlihat semburat cahaya biru di antara kedua telapak tangannya yang masih merapat di depan dada.

"Hadapi aji pamungkasku, Bocah! Hiyaaa...!"

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"

Dua cahaya berwarna biru dan merah dari dua aji kesaktian tingkat tinggi saling berbenturan. Maka seketika itu juga terdengar ledakan dahsyat menggelegar. Tampak percikan bunga api menyebar ke segala arah dari benturan dua cahaya aji kesaktian tingkat tinggi ini. Dan....

"Hih...!"

Rangga cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan, begitu kakinya terdorong satu langkah ke belakang. Dan seketika itu juga dari kedua telapak tangannya memancar cahaya biru terang menyilaukan mata, yang meluruk secepat kilat ke arah Datuk Muka Hitam. Padahal saat itu tokoh berwajah busuk itu baru bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, setelah sempat terlempar sejauh satu batang tombak.

Begitu cepatnya serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Datuk Muka Hitam tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...

Slap!
"Akh...!"

Datuk Muka Hitam terpekik agak tertahan, begitu cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga menghantam tubuhnya. Maka seketika itu juga, seluruh tubuh Datuk Muka Hitam terselubung cahaya biru yang begitu terang menyilaukan mata.

"Ugkh...!"

Laki-laki tua bermuka hitam itu kontan menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri dari selubung cahaya biru itu. Tapi semakin keras berusaha, semakin deras pula tenaganya mengalir keluar. Dan Datuk Muka Hitam sama sekali tidak menyadari kalau aji akra Buana Sukma' yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti justru bisa menyedot habis kekuatannya. Dan dia terus berusaha melepaskan diri dari selubung cahaya biru ini.

Sementara, Pendekar Rajawali Sakti perlahan-lahan mulai melangkah mendekati sambil terus mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' ke tubuh Datuk Muka Hitam. Dan ayunan kakinya tertahan setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Sedangkan Datuk Muka Hitam mulai kelihatan melemah gerakannya.

Tampak Rangga mulai melepaskan tangan kanannya. Dan dengan gerakan cepat sekali, Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya di punggung. Saat itu juga...

Cring!
"Hiyaaa...!"

Bersamaan dengan tercabutnya aji 'Cakra Buana Sukma', Rangga mengebutkan pedang pusakanya dengan kecepatan kilat yang sulit diikuti mata biasa. Hanya kilatan cahaya biru saja yang terlihat berkelebat begitu cepat ke leher Datuk Muka Hitam. Dan belum lagi laki-laki tua bermuka hitam ini bisa mengerjapkan mata...

Cras!
"Aaakh...!"

Tepat di saat mata pedang yang memancarkan cahaya biru terang itu menebas leher Datuk Muka Hitam, terdengar jeritan panjang yang melengking tinggi dan menyayat. Sementara itu, Rangga melompat ke belakang sejauh lima langkah sambil memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.

Cring!
"Hhh...!"

Rangga menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Pandangan matanya tertuju lurus pada Datuk Muka Hitam yang sudah tergeletak dengan kepala terpisah dari leher. Darah terus mengalir deras sekali dari lehemya yang sudah buntung tidak berkepala lagi.

Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti berdiri diam mematung memandangi tubuh lawannya yang sudah terbujur kaku tidak bemyawa. Kemudian kepalanya berpaling sedikit ke kanan.

"Suiiit...!"

Rangga memanggil Dewa Bayu dengan siulannya yang nyaring melengking. Dan kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi ke atas, kemudian berlari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dengusannya terdengar berat dengan kepala terangguk setelah tiba di depan pemuda berbaju rompi putih ini.

"Ayo, Dewa Bayu. Tinggalkan tempat ini. Masih ada yang harus kuselesaikan," ujar Rangga sambil menepuk leher kuda tunggangannya.

Dewa Bayu hanya mendengus kecil saja.

"Hup!" Ringan sekali gerakan Rangga saat melompat naik ke punggung kuda hitam tunggangannya. Langsung tali kekang kuda itu dihentakkan, membuat kuda hitam itu melesat cepat bagai kilat seperti anak panah lepas dari busur.

Rangga terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, semakin masuk ke dalam hutan. Sama sekali dia tidak merasa terhalang oleh pepohonan dan keadaan gelap di dalam hutan ini. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan tinggi sekali. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di tempat tinggal Nyai Wisanggeni yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah.

Tapi kedua kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak lebar, lalu cepat melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar kemudian, dia melangkah ke depan beberapa tindak dengan kedua mata masih terbuka lebar seperti tidak percaya dengan apa yang ada di depannya.

"Apa yang terjadi di sini...?"

Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, melihat gubuk yang ditempati Nyai Wisanggeni sudah hancur rata dengan tanah. Asap tipis terlihat mengepul dari reruntuhan gubuk yang terbakar hangus itu. Memang sulit diduga, apa yang akan terjadi nanti. Rangga sendiri jadi tidak mengerti melihat perkembangan dalam kepalanya.

Dan dia juga terus memikirkan keadaan Pandan Wangi yang nasibnya belum ketahuan, setelah bertarung melawan Setan Perempuan Penghisap Darah. Walaupun kini berada di dalam perawatan Rajawali Putih, tapi tetap saja Rangga belum bisa tenang melihat luka parah yang diderita Pandan Wangi. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mungkin bisa terus mendampingi Pandan Wangi, karena harus mencari si Setan Perempuan Penghisap Darah untuk membuat perhitungan.

Apakah Pendekar Rajawali Sakti bisa.bertemu Setan Perempuan Penghisap Darah dan membayar kekalahan Pandan Wangi...? Lalu, apa yang akan terjadi di Pakuan selanjutnya?

Berhasilkah pemberontakan yang dilakukan Panglima Widura...? Semua jawaban ini akan ditemukan dalam kisah Memburu Pengkhianat

SELESAI