Memburu Pengkhianat - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

MEMBURU PENGKHIANAT


SATU
SIANG ini matahari bersinar begitu terik, membuat udara di seluruh wilayah Kerajaan Pakuan terasa begitu panas menyengat. Namun panasnya sengatan cahaya matahari, tidak menghalangi seorang pemuda tampan berbaju rompi putih terus memacu cepat kudanya menerobos hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan lari kudanya baru dihentikan setelah terlihat sebuah pondok kecil yang begitu kumuh tidak jauh lagi di depannya.

"Hup!"

Ringan sekali pemuda itu melompat turun dari punggung kuda hitam tunggangannya ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Sebentar dia berdiri tegak dengan pandangan lurus tertuju ke pondok kecil tidak jauh di depannya.

"Kau tunggu di sini saja, Dewa Bayu," ujar pemuda itu seraya menepuk lembut leher kuda hitam tunggangannya.

Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu hanya menganggukkan kepala sambil memperdengarkan suara mendengus kecil. Beberapa langkah binatang itu ke belakang menjauhi pemuda yang tak lain Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan pemuda itu sendiri pun berdiri tegak dengan pandangan lurus tidak berkedip ke depan. Dia tahu, pondok itu yang didatangi Panglima Widura beberapa waktu lalu. Bahkan bertepatan dengan munculnya Nyai Wisanggeni ke padepokan Ki Jumir. Dan akibatnya orang tua itu tewas. Sementara Pandan Wangi terluka parah

Kini perlahan lahan Pendekar Rajawali Sakti mulai mengayunkan kakinya mendekati pondok kecil yang kelihatannya sudah hampir roboh tidak terawat lagi.

"Hm... Pondok ini sepertinya masih saja tetap kosong," gumam Rangga perlahan.

Semakin dekat jaraknya dengan pondok kecil di tengah hutan ini, semakin tajam sorot mata Pendekar Rajawali Sakti mengawasi. Dan sejenak langkahnya terhenti. Pendengarannya yang memang tajam langsung dipasang dengan mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sebuah ilmu yang membuat telinga Pendekar Rajawali Sakti jadi semakin tajam. Begitu tajamnya, sampai suara semut jatuh dari pohon pun bisa terdengar.

Kini Rangga mengarahkan pendengarannya ke pondok kecil di depan itu. Tapi tetap saja tidak mendengar adanya tarikan napas kehidupan sedikit pun juga. Pendekar Rajawali Sakti kembali mengayunkan kakinya perlahan-lahan semakin mendekati pondok kecil ini. Dan sikapnya pun semakin waspada.

"Hm..." Namun baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja ayunan kakinya terhenti disertai terdengamya suara menggumam perlahan. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja....

Slap!
"Hup!"

Cepat Rangga melenting berputar ke belakang, begitu tiba-tiba dari dalam pondok meluncur sebatang tombak yang cukup panjang ukurannya. Tombak itu melesat lewat di dalam lingkaran tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Hap!"

Ringan sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Matanya sedikit melirik ke arah tombak yang sudah terbenam begitu dalam ke batang pohon tidak jauh di samping kanannya. Kemudian, perhatiannya cepat beralih ke pondok kecil di depannya kembali.

"Hm.... Agaknya dia memiliki kepandaian yang tidak rendah. Aku harus hati-hati menghadapinya," gumam Rangga dalam hati.

Rangga mengambil sepotong ranting kering di ujung kakinya. Dipandanginya sesaat ranting sepanjang dua jengkal itu. Kemudian pandangannya beralih lurus ke arah jendela pondok bagian depan yang terbuka cukup lebar. Dari jendela itulah tombak datang menyerangnya tadi.

"Hih!"

Sambil mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan kesempurnaan, Rangga melemparkan ranting kering itu tepat ke arah jendela yang terbuka cukup lebar. Ranting kering sepanjang dua jengkal itu melesat cepat bagai kilat, seperti sebatang anak panah lepas dari busur. Begitu cepat, sehingga sulit diikuti pandangan mata biasa.

Slap!

Ranting itu menerobos masuk ke dalam pondok melalui jendela yang sedikit terbuka. Tapi, tidak terdengar suara apa pun dari dalam pondok itu. Kecuali, suara seperti sebatang anak panah yang menghujam menghantam tonggak kayu.

"Hup!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat ke arah pondok itu. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekali melesat saja, dia sudah sampai di depan pintu pondok itu. Dan....

"Yeaaah...!"
Brak!

Sekali tendang saja, pintu pondok yang terbuat dari papan kayu dan sudah lapuk itu hancur berkeping-keping. Dan pada saat itu juga. Pendekar Rajawali Sakti melesat masuk ke dalam. Namun begitu kakinya menjejak lantai pondok yang hanya dari tanah keras itu, seketika...

Wusss!
Slap!
"Heh...?! Hup!"

Cepat Rangga melenting ke belakang, kembali ke luar begitu tiba-tjba diserang puluhan anak panah di dalam pondok kecil ini. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, kemudian dengan gerakan indah dan ringan kakinya kembali menjejak tanah.

"Hhh!"

Rangga menghembuskan napas pendek yang terasa begitu berat, setelah berada di luar pondok. Kelopak matanya jadi menyipit. melihat keadaan di dalam pondok yang begitu sunyi, tidak terlihat seorang pun di sana. Tapi, nyatanya dia sudah mendapat serangan dua kali.

"Hm.... Mungkinkah pondok ini dipasangi perangkap...?" gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.

Memang, sepertinya pondok kecil dan reot yang sudah hampir roboh itu dipasangi begitu banyak perangkap yang tidak bisa diduga sama sekali. Dan ini membuat Rangga jadi penasaran, dengan segudang pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya. Padahal waktu itu tidak dijumpai adanya satu jebakan pun di pondok ini. Tapi sekarang, pondok itu jadi sulit didekati.

"Baiklah.... Kau boleh mencobaku, Nyai Wisanggeni," desis Rangga dingin.

Sebentar Rangga mengetatkan ikat kepalanya. Pandangan matanya terus tertuju tajam pada pondok kecil di depannya. Sejenak dia terdiam meman-dangi pondok itu. Kemudian, kakinya mulai terayun mendekati. Begitu ringan ayunan langkahnya, hingga sedikit pun tidak ada suara yang ditambulkan.

Rangga memungut serpihan papan kayu pintu, kemudian melemparkannya ke dalam. Dan pada saat itu juga, terlihat puluhan batang anak panah berhamburan keluar dari dinding pondok, menghujani serpihan papan kayu itu.

"Hup!"

Rangga cepat melompat ke depan pintu. Dan seketika pula kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir tidak dipercayai dengan apa yang ada di depan matanya saat ini. Seluruh dinding bagian dalam pondok itu sudah terpasang puluhan batang anak panah yang siap terlontar. Bahkan tidak terhitung, berapa jumlah tombak yang terpasang dan siap melesat memangsa siapa saja yang berusaha mendekati pondok ini.

"Gila...! Benar-benar hebat perempuan itu membuat jebakan," desis Rangga hampir tidak percaya.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke belakang. Kemudian... "Aku harus menghancurkan pondok ini. Hih! Hiyaaa...!"

Tepat di saat kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti menghentak ke depan, seketika itu juga dari kedua telapaknya meluncur cahaya merah bagai api yang begitu cepat bagai kilat.

Glarrr!

Satu ledakan yang begitu dahsyat tiba-tiba terjadi, menghancurkan pondok kecil di dalam hutan ini. Saat itu juga, Rangga cepat melompat ke belakang, hingga terhindar dari pecahan kayu pondok yang menyebar ke segala arah. Api lang-sung membubung tinggi ke angkasa, disertai kepulan asap hitam membentuk sebuah jamur raksasa!

"Hap!"

Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Sementara, pondok di dalam hutan tempat tinggal Nyai Wisanggeni itu sudah hancur termakan api yang diciptakan dari pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Sedangkan Rangga berdiri tegak memandangi dengan mata tidak berkedip sedikit pun.

"Hhh! Terlalu berbahaya kalau pondok itu didiamkan saja," desah Rangga seraya menghembuskan napas berat.

Perlahan Rangga melangkah mundur ke belakang beberapa tindak, kemudian berbalik. Namun saat itu juga dia jadi terperanjat. Entah dari mana dan kapan datangnya, tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seseorang berjubah putih longgar yang membungkus tubuh kurusnya agak membungkuk.

Namun yang membuat Pendekar Rajawali Sakti terkejut, wajah orang itu berwarna merah. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya. Kedua bola matanya yang memerah, menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak siapa...?" tanya Rangga.

"Aku Dewa Muka Merah, saudara tua Datuk Muka Hitam yang tewas di tanganmu," kata orang bermuka merah itu.

"Aku Rangga. Memang, Datuk Muka Hitam tewas di tanganku. Lalu, apakah kau ingin membalas kematian adikmu?" tanya Rangga, seperti ingin mengetahui maksud orang yang mengaku sebagai Dewa Muka Merah itu.

"Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kisanak. Justru aku di sini untuk mencari adikku si Datuk Muka Hitam. Dia telah terlalu jauh terjerumus ke dalam dunia kotor. Sebenarnya, aku ingin dia kembali. Tapi memang wataknya terlalu keras. Dan akhirnya, mati di tanganmu," desah Dewa Muka Merah.

"Aku mohon maaf, Dewa Muka Merah. Adikmu terlalu memaksaku," ucap Rangga, pelan.

"Sudahlah. mungkin memang sudah nasibnya. Oh, ya. Ada urusan apa kau menghancurkan pondok Nyai Wisanggeni?" tanya Dewa Muka Merah.

"Dia membunuh sahabatku, dan melukai kekasihku hingga parah," sahut Rangga. "Aku harus menemukan Setan Perempuan Penghisap Darah itu sebelum mengambil korban lebih banyak lagi."

"Kau tidak akan mendapatkannya di sini. Kalau mau kau bisa memancingnya dengan menangkap muridnya. Tapi, aku rasa tidak mudah. Sedangkan aku sendiri belum bisa menahannya. Dan Widura lebih berbahaya daripada gurunya sendiri si Setan Perempuan Penghisap Darah."

"Tampaknya kau tahu banyak tentang Nyai Wisanggeni, Kisanak."

"Lebih dari yang kau duga. Karena kami juga punya urusan lama dengannya. Bahkan dia juga berusaha membunuh semua murid kami. Dulu waktu muridku yang bernama Rahkapa masih kecil juga ingin dibunuhnya, dengan perantaraan Widura yang kini menjadi panglima di Kerajaan Pakuan. Dia memang ingin membunuhi siapa saja yang mempunyai hubungan dengan kami. Sayang, aku dan adikku tidak bisa bekerja sama, karena berlainan sifat. Bahkan dia yang lebih berhak mengasuh Rahkapa," jelas Dewa Muka Merah.

Rangga jadi terdiam. Diamatinya wajah Dewa Muka Merah yang merah itu. Walaupun wajah dan tubuhnya telah ringkih tapi dari sorot matanya Rangga melihat adanya sifat welas asih dalam hatinya.

"Kalau mau, kita bisa hadapi mereka bersama-sama, Kisanak," kata Dewa Muka Merah lagi mengajak.

Rangga tersenyum dan melangkah mendekati. Kemudian tangannya diulurkan. Dewa Muka Merah langsung menyambut uluran tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjabatan tangan beberapa saat.

"Panggil saja aku Rangga," pinta Rangga, setelah jabatan tangannya terlepas.

"Dan kau harus memanggilku Dewa Muka Merah."

Mereka sama-sama tersenyum, menandakan sebuah persahabatan yang mulai terjalin dengan satu tekad dan tujuan sama, menghadapi si Setan Perempuan Penghisap Darah dan muridnya yang kini menjadi seorang panglima perang di Kerajaan Pakuan. Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka kembali terdiam. Tanpa bicara sedikit pun juga, mereka sama-sama melangkah meninggalkan pondok Nyai Wisanggeni yang sudah hancur rata jadi debu.

"Ke mana tujuanmu sekarang, Dewa Muka Merah?" tanya Rangga setelah mengambil tali kekang kudanya.

"Entahlah... Aku sekarang tidak tahu lagi, di mana Nyai Wisanggeni sekarang berada. sahut Dewa Muka Merah tanpa menghentikan ayunan langkah kakinya.

"Hm... Ada baiknya kita berpisah di sini saja dulu. Aku masih harus menemui seseorang," kata Rangga, ketika mereka bertemu sebuah persimpangan jalan.

"Silahkan, Rangga. Aku pun harus mampir dulu ke rumah sahabatku di Kotaraja Pakuan," sahut Dewa Muka Merah.

Mereka pun berpisah. Rangga belok kanan, Dewa Muka Merah belok kiri.

********************

DUA

Malam sudah menyelimuti seluruh angkasa di atas Kerajaan Pakuan. Sementara di kediaman Panglima Widura yang sangat besar, megah, dan berhalaman luas serta dikelilingi pagar tembok berukuran cukup tinggi, terlihat terang-benderang oleh cahaya api obor terpancang di setiap sudut. Dan para prajurit berjaga-jaga di setiap sudut sekeliling rumah yang bagai sebuah istana kecil ini.

Di dalam sebuah ruangan yang berukuran sangat luas dan megah, terlihat Panglima Widura berdiri. Kedua tangannya terlipat di depan dada, menghadap seorang perempuan tua berjubah putih kumal yang duduk di sebuah kursi kayu berukir. Tidak ada orang lagi, selain mereka berdua di dalam ruangan yang tertutup ini. Bahkan tidak satu jendela pun yang terbuka. Entah sudah berapa lama mereka berada di dalam ruangan itu. Dan belum juga ada yang membuka suara.

"Aku merasakan kedudukanmu mulai terancam, Widura. Aku minta secepatnya susun kekuatan. Dan, rebut Pakuan dari Wiryadanta selekasnya," terdengar datar nada suara perempuan tua yang ternyata Nyai Wisanggeni, atau yang lebih dikenal sebagai si Setan Perempuan Penghisap Darah.

"Pasukanku belum cukup untuk menghadapi prajurit yang masih setia pada Prabu Wiryadanta, Nyai," sahut Panglima Widura pelan.

"Kalau menunggu jumlah yang besar, lalu kapan akan melaksanakannya, Widura?" desak Nyai Wisanggeni. "Kau tahu Widura. Bila Kerajaan Pakuan sudah di tanganku, maka puaslah hidupku! Ha ha ha...!"

"Hhh...!"

Panglima Widura hanya menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Sedangkan Nyai Wisanggeni terus tertawa, membayangkan cita-citanya yang tinggal selangkah lagi.

Panglima Widura seperti tidak sanggup membantah kata-kata wanita tua itu. Tubuhnya diputar, dan berbalik membelakangi si Setan Perempuan Penghisap Darah. Tangannya bergerak membuka jendela lebar-lebar, membuat angin malam yang dingin langsung menerobos masuk menerpa wajah Panglima Kerajaan Pakuan ini.

Tidak lama berdiri menghadap jendela, Panglima Widura sudah kembali memutar tubuhnya. Dan pandangannya langsung tertuju pada Nyai Wisanggeni yang masih menyimpan senyum kebengisan.

"Nyai, boleh aku bertanya sesuatu padamu...?" terdengar ragu-ragu nada suara Panglima Widura.

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Kenapa Nyai memilih Pakuan? Bukankah banyak kerajaan kecil yang lebih lemah dari Pakuan ini...?" tanya Panglima Widura langsung mengemukakan ganjalan hatinya.

"Dengar, Widura. Puluhan tahun aku menggemblengmu hingga memiiki kepandaian yang sulit ditandingi di Pakuan ini. Dan semua itu kupersiapkan, hanya untuk menghancurkan Wiryadanta yang terlalu sombong itu. Dia terlalu menghina harga diriku sebagai seorang wanita, beberapa puluh tahun yang lalu. Dan sekarang, aku ingin kau menjadi raja di sini, Widura Dengan begitu, kita berdua bisa melakukan apa saja tanpa ada seorang pun yang berani lagi menghalangi. Jelas, Widura...?"

Kembali Panglima Widura hanya mengangguk kan kepala saja sekali.

"Widura, kenapa kau tanyakan itu?" tanya Nyai Wisanggeni dengan tatapan mata tertuju tajam ke bola mata muridnya

"Aku hanya ingin tahu saja, Nyai. Maafkan kalau pertanyaanku tadi membuatmu marah," sahut Panglima Widura.

"Kau hampir saja menyinggung perasaanku, Widura. Itu sama saja membangkitkan luka lamaku pada Wiryadanta."

"Maafkan aku, Nyai."
"Ah, sudahlah...."

Kembali mereka terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing yang bergalut dalam kepala. Dan beberapa kali Panglima Widura menarik napas panjang-panjang, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Dan sesekali matanya melirik ke arah gurunya yang tetap duduk di kursi berukir dari kayu jati yang kuat dan kokoh. Sudah bisa diduga, kenapa gurunya begitu bersemangat hendak melenyapkan Raja Pakuan itu. Apalagi kalau bukan asmara.

Sementara malam terus merayap semakin la-rut. Dan angin yang berhembus pun semakin terasa dingin menggigil Panglima Widura menutup kembali jendela yang tadi dibukanya hanya untuk mencari udara segar.

"Sudah berapa orang jumlah prajurit yang kau kumpulkan, Widura?" tanya Nyai Wisanggeni, setelah cukup lama terperangkap dalam keheningan yang mencekam.

"Belum ada seratus orang, Nyai. Sedangkan jumlah prajurit Pakuan sekitar seribu orang. Masih terlalu sedikit untuk bisa menjatuhkan takhta Gusti Prabu Wiryadanta," sahut Panglima Widura menjelaskan.

"Jumlah prajurit tidak terlalu penting, Widura. Biarpun prajuritmu sekarang hanya sedikit, tapi asal dibekali kepandaian yang lebih tinggi, aku yakin kau akan berhasil nanti," kata Nyai Wisanggeni, seakan membesarkan hati murid tunggalnya.

"Kepandaian yang mereka miliki sekarang ini memang jauh lebih tinggi dibandingkan prajurit Prabu Wiryadanta, Nyai. Aku selalu menggembleng mereka agar lebih tangkas dan gesit di dalam pertarungan. Tapi..."

"Tapi kenapa, Widura?"

"Aku masih ragu. Walaupun prajurit yang kau miliki sekarang sudah terlatih, tapi aku merasa tidak akan sanggup menghadapi seribu prajurit Prabu Wiryadanta."

"Kenapa kau jadi ragu-ragu begitu, Widura?" tegur Nyai Wisanggeni.

Terus terang saja. Nyai. Keraguanku timbul, setelah munculnya Pendekar Rajawali Sakti di sini," sahut Panglima Widura langsung berterus terang.

"Hik hik hik...! Apa yang kau takutkan dari anak muda ingusan itu, Widura...?"

"Dia bukan pendekar sembarangan, Nyai. Tingkat kepandaiannya begitu tinggi. Sehingga, sulit untuk mengukur, sampai di mana tingkat kepandaiannya," sahut Panglima Widura berterus terang lagi.

"Jangan pikirkan anak muda itu, Widura. Aku tahu, siapa dia sebenarnya. Selain pendekar berkepandaian tinggi, dia juga seorang raja di Karang Setra," kata Nyai Wisanggeni, agak datar nada suaranya.

"Dia seorang raja, Nyai...?"

Terbeliak kedua bola mata Panglima Widura mendengar penjelasan Nyai Wisanggeni yang mengatakan kalau Pendekar Rajawali Sakti juga seorang raja di Karang Setra. Sungguh tidak disangka kalau Raja Karang Setra sebenarnya ternyata seorang pendekar muda yang digdaya dan ditakuti seluruh tokoh persilatan saat ini.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, letak Kerajaan Karang Setra tidak begitu jauh dari Kerajaan Pakuan ini. Dan tentu, Raja Pakuan dan Raja Karang Setra sudah saling mengenal. Dan kalau itu memang benar, Panglima Widura tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi nanti. Dia tahu, bagaimana kuatnya para prajurit Karang Setra.

Panglima Widura tidak bisa memungkiri, dirinya tidak akan sanggup jika Kerajaan Pakuan ini sampai meminta bantuan Karang Setra. Sedangkan untuk menghadapi rajanya saja, sudah teramat sulit. Jadi bagaimana kalau para prajurit Karang Setra ikut campur dalam memperkuat barisan di Pakuan ini?

********************

Kedatangan Nyai Wisanggeni di tempat kediamannya, membuat Panglima Widura tidak dapat memejamkan matanya semalaman. Terlebih lagi, setelah tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah Raja Karang Setra. Sudah barang tentu dia mendapatkan batu ganjalan yang tidak bisa dipandang sebelah mata untuk menguasai Kerajaan Pakuan ini. Sedangkan semua yang diimpikannya sudah direncanakan begitu matang, dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Memang, kemunculan Pendekar Rajawali Sakti membuatnya jadi tidak bisa tenang.

Semalaman penuh Panglima Widura tidak bisa memejamkan matanya. Sampai matahari menampakkan diri di ufuk timur, dia terus berlari di depan jendela memandang kosong ke depan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Yang jelas, pikiran panglima itu begitu kalut saat ini. Dan semua kekalutan itu berawal dari kunjungan Nyai Wisanggeni ke tempat bnggalnya yang besar dan megah ini.

"Apa pun caranya, Raja Karang Setra harus bisa kujauhkan dari sini. Hhh...," desah Panglima Widura seraya menghembuskan napas panjang.

Terasa begitu berat hembusan napasnya. Perlahan Panglima Widura memutar tubuhnya berbalik. Kakinya terayun perlahan, keluar dari kamar peristirahatannya yang berukuran sangat luas dan megah ini. Dia terus berjalan tanpa menghiraukan para prajuritnya yang membungkuk memberi hormat. Panglima Widura baru berhenti melangkah setelah sampai di depan beranda depan rumahnya. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling.

"Ki Renges...!" teriak Panglima Widura memanggil dengan suara keras.

Belum juga hilang teriakan yang keras itu dari pendengaran, sudah terlihat seorang laki-laki berusia lanjut yang berlari-lari kecil menghampiri panglima ini. Tubuhnya membungkuk dengan sikap sangat hormat, setelah tiba di depan Panglima Widura.

"Hamba menghadap, Gusti Panglima," ucap orang tua itu dengan sikap begitu hormat.

"Siapkan kudaku, Ki Renges," pinta Panglima Widura, tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari pintu gerbang yang dijaga dua orang prajurit bersenjata tombak panjang.

"Baik Gusti Panglima. Secepatnya hamba siapkan," sahut Ki Renges seraya membungkuk memberi hormat.

Laki laki tua yang tidak mengenakan baju itu bergegas berlari kecil, meninggalkan Panglima Widura yang masih tetap berdiri tegak di depan beranda depan rumahnya. Dan tidak lama kemudian, Ki Renges sudah kembali sambil menuntun seekor kuda hitam yang tinggi tegap dan gagah. Orang tua itu kembali membungkuk sambil menyerahkan tali kekang kuda yang dibawanya.

"Kau ambil kudamu sendiri, Ki Renges," kata Panglima Widura sambil menerima tali kekang kudanya.

"Baik, Gusti," sahut Ki Renges.

Kembali orang tua itu menghilang di bagian samping rumah panglima ini. Dan tidak lama, dia sudah kembali lagi sambil menuntun seekor kuda coklat berbelang putih.

Panglima Widura hanya melirik saja sedikit, kemudian melompat naik ke punggung kudanya tanpa bicara sedikit pun juga. Ki Renges bergegas mengikuc, naik ke punggung kudanya. Walaupun usianya sudah begitu lanjut, tapi gerakannya saat melompat ke punggung kuda begitu indah dan ri-ngan. Jelas, dia bukanlah orang tua sembarangan. Dan yang pasti, memiliki kepandaian yang tidak rendah.

Tanpa bicara sedikit pun juga, mereka menggebah kudanya ke luar dari rumah panglima yang besar dan megah bagai istana ini. Dua orang berseragam prajurit yang menjaga pintu gerbang, bergegas membuka lebar-lebar pintu yang besar dan tinggi itu. Dan mereka membungkuk hormat, begitu Panglima Widura dan Ki Renges melewatinya.

"Hiyaaa...!"

Panglima Widura langsung menggebah cepat kudanya begitu melewati pintu gerbang. Sementara Ki Renges mengikuti dengan cepat pula. Tapi, dia tetap menjaga jarak agar berada di belakang, tanpa berusaha untuk mendahului.

Mereka terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, menuju bagian timur Kerajaan Pakuan. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin jarang terlihat rumah penduduk. Hingga akhirnya, mereka tiba di tepi hutan yang kelihatannya tidak begitu rapat. Banyak jalan setapak di hutan ini. Panglima Widura menghentikan lari kudanya, dan langsung melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sedikit pun tidak terdengar suara, saat kedua kakinya menjejak tanah berumput di samping kudanya. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah begitu tinggi.

Panglima Widura melirik sedikit pada Ki Renges yang masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Orang tua itu bergegas melompat turun dari punggung kudanya, dan menghampiri junjungannya sambil menuntun kudanya. Sementara, Panglima Widura sendiri sudah kembali melayangkan pandangan ke dalam hutan yang tidak begitu rapat di depannya.

"Ki Renges," panggil Panglima Widura.

"Hamba, Gusti," sahut Ki Renges, seraya mendekat.

"Kau tahu, apa yang ada di balik hutan ini?" tanya Panglima Widura tanpa berpaling sedikit pun.

"Hutan ini menjadi batas Kerajaan Pakuan dengan Karang Setra. Gusti Panglima," sahut Ki Renges.

"Hm... Kau tahu, dari mana orang-orang Karang Setra yang masuk ke Pakuan ini?" tanya Panglima Widura lagi.

"Jelas melalui jalan di hutan ini, Gusti." sahut Ki Renges dengan kening berkerut.

Orang tua itu merasa heran juga mendengar pertanyaan yang dilontarkan panglimanya ini. Dia tahu, Panglima Widura sudah tentu mengetahui semua jawaban dari pertanyaannya yang dilontarkan tadi. Dan ini yang membuat Ki Renges jadi bertanya-tanya tidak mengerti.

"Begitu mudah mereka masuk ke Pakuan ini...," gumam Panglima Widura perlahan, seolah bicara pada diri sendiri.

Sedangkan Ki Renges tetap diam dengan kening berkerut dan kelopak mata menyipit. Sungguh sulit dimengerti, apa yang ada di dalam kepala panglima itu. Ki Renges hanya bisa diam dan terus menduga-duga di dalam hatinya. Sementara, Panglima Widura sendiri terus mengarahkan pandangan ke hutan di depan mereka. Kelihatan sunyi sekali, padahal hutan inilah yang menghubungkan antara Kerajaan Pakuan dan Kerajaan Karang Setra.

Selagi mereka berdua terdiam membisu, tiba-tiba saja terdengar suara menggemuruh yang begitu keras, hingga tanah yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa. Dan ini membuat Panglima Widura dan Ki Renges jadi terlonjak kaget setengah mati.

"Ada apa ini, Ki Renges...?" tanya Panglima Widura.

Belum lagi Ki Renges menjawab, sudah terlihat kepulan debu yang membubung tinggi di angkasa dari balik puncuk pepohonan di dalam hutan. Pandangan mereka langsung tertuju ke arah kepulan debu yang terus bergerak semakin mendekat. Dan suara gemuruh pun semakin jelas terdengar, membuat getaran di tanah semakin terasa mengguncang. Dan tidak berapa lama kemudian...

"Oh...?!"

Kedua bola mata Panglima Widura jadi terbeliak lebar, begitu terlihat serombongan orang berkuda menembus hutan yang tidak begitu lebat ini. Tapi yang membuat mulutnya ternganga, rombongan berkuda itu tidak lain adalah para prajurit Kerajaan Karang Setra.

"Cepat pergi dari sini...!" seru Panglima Widura.

Tanpa menghiraukan Ki Renges yang masih terpana, Panglima Widura cepat berbalik dan melompat naik ke punggung kudanya. Langsung kudanya digebah cepat, hingga melesat bagaikan anak panah lepas dari busur. Sementara Ki Renges masih berdiri terpaku bagai patung. Dia seperti tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Sedangkan orang-orang berkuda yang terdiri dari para prajurit Kerajaan Karang Setra itu semakin terlihat dekat saja. Tampak berkuda paling depan adalah Raden Danupaksi, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra. Dan dia didampingi Panglima Lanang.

Begitu keluar dari dalam hutan, Raden Danupaksi mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Maka ratusan prajurit yang mengikutinya di belakang, segera menghentikan lari kudanya. Panglima Lanang juga menghentikan lari kudanya. Sementara di depan mereka, masih berdiri terpaku Ki Renges yang ditinggalkan Panglima Widura seorang diri. Raden Danupaksi melompat turun dari kudanya diikuti Panglima Lanang. Mereka menghampiri Ki Renges yang masih berdiri terpaku di depan kudanya.

"Maaf, Ki. Apakah benar ini jalan masuk ke Pakuan?" Danupaksi langsung melontarkan pertanyaan dengan sikap sopan.

"Benar," sahut Ki Renges.

"Apakah kau yang ditugaskan untuk menyambut kedatangan kami?" tanya Danupaksi lagi.

"Oh! Tid..., tidak," sahut Ki Renges tergagap.

"Kalau begitu, siapakah kau, Ki?"

"Aku Ki Renges. Pembantu utama Gusti Panglima Widura," sahut Ki Renges, sudah bisa menguasai dirinya kembali.

"Aku Danupaksi. Dan ini, Paman Panglima Lanang. Kami datang bersama prajurit memenuhi undangan Raja Pakuan, yang meminta bantuan untuk memperkuat pertahanan prajuritnya di istana. Bisa kau tunjukkan, ke mana arah menuju Istana Pakuan, Ki...?"

"Sudah dekat. Tinggal mengikuti jalan ini saja," sahut Ki Renges memberi tahu.

"Terima kasih, Ki," ucap Danupaksi, seraya menjura memberi salam penghormatan.

Ki Renges membalasnya dengan sikap kaku sekali. Danupaksi kembali melompat naik ke punggung kudanya, diikuti Panglima Lanang. Dan sebelum mereka menggebah kudanya, Ki Renges sudah mencegah lebih dulu.

"Ada apa, Ki?" tanya Danupaksi.

"Maaf. Boleh aku tahu, untuk apa Gusti Prabu meminta Raden dan prajurit begitu banyak datang ke sini?" tanya Ki Renges ingin tahu.

"Maaf, aku tidak bisa menjawabnya, Ki," sahut Danupaksi sopan.

Setelah berkata demikian, Danupaksi segera memberi isyarat pada para prajuritnya. Dan mereka pun kembali bergerak memasuki Ibukota Kerajaan Pakuan. Sementara itu, Ki Renges tetap berdiri mematung memandangi rombongan prajurit-prajurit Karang Setra yang mulai memasuki kotaraja. Entah apa yang ada dalam kepala orang tua itu saat ini.

Ki Renges baru bergegas naik ke punggung kudanya, setelah rombongan prajurit Karang Setra yang langsung dipimpin Raden Danupaksi sudah tidak terlihat lagi dari pandangan matanya. Langsung kudanya digebah cepat, kembali ke kediaman Panglima Widura yang telah lebih dulu pergi meninggalkannya.

Sementara itu, Danupaksi dan prajuritnya semakin jauh masuk ke dalam kota. Kedatangan prajurit Karang Setra yang jumlahnya cukup besar, membuat penduduk Kota Pakuan jadi gempar. Dan mereka saling bertanya-tanya. Memang, selama ini belum pernah ada serombongan prajurit dari kerajaan lain yang datang dalam jumlah begitu besar. Dan rombongan ini pun disambut para prajurit dari Istana Pakuan, setelah hampir sampai di bangunan istana yang megah, di tengah-tengah kota.

Sementara di tempat yang jauh dari istana, Ki Renges sudah sampai di rumah kediaman Panglima Widura. Kedatangannya langsung disambut Panglima Widura yang menanti sejak tadi di depan beranda rumahnya. Orang tua itu bergegas menghampiri, dan membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat.

"Mereka datang dari Karang Setra, Gusti Panglima," Ki Renges langsung menjelaskan tanpa di tanya lagi.

"Berapa jumlahnya?" tanya Panglima Widura.

"Sangat banyak, Gusti. Hampir menyamai jumlah prajurit yang ada di istana," sahut Ki Renges.

"Hhh...!"

Panglima Widura hanya menghembuskan napas panjang saja. Terasa begitu berat hembusan napasnya. Pandangannya jauh tertuju ke depan.

Sementara, Ki Renges hanya memandangi saja wajah panglimanya yang kelihatan gundah. Dia tidak tahu, apa yang menjadi penyebab kegundahan hati Panglima Widura atas kedatangan serombongan prajurit Karang Setra dalam jumlah besar itu.

"Mereka datang atas undangan Gusti Prabu sendiri, Gusti Panglima," kata Ki Renges memberi tahu lagi tanpa diminta.

"Kau tahu, apa tujuannya?" tanya Panglima Widura lagi.

"Tidak, Gusti."

"Kau selidiki maksud kedatangan mereka di sini, Ki Renges. Aku menunggu sekarang juga," perintah Panglima Widura.

"Hamba laksanakan, Gusti," sahut Ki Renges seraya membungkukkan tubuhnya memberi hormat.

Panglima Widura bergegas masuk ke dalam rumahnya. Sementara, Ki Renges tetap membungkuk beberapa saat. Tubuhnya baru ditegakkan kembali setelah panglima itu tidak terlihat lagi, tenggelam di balik pintu rumahnya. Bergegas kudanya yang ditambatkan di bawah pohon dihampiri.

"Hup!"

Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Ki Renges melompat naik ke punggung kudanya, dan langsung menggebahnya ke luar dari halaman rumah kediaman Panglima Widura yang sangat luas dan indah ini. Hentakan kaki kuda yang dipacu cukup kencang membuat debu mengepul membubung tinggi di angkasa.

********************

TIGA

Hari memang masih terlalu pagi untuk menyibakkan kabut yang menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Pakuan. Matahari belum lagi penuh menampakkan dirinya. Hanya semburat cahayanya saja yang terlihat memerah jingga di balik gunung sebelah timur. Namun dinginnya udara dan tebalnya kabut, tidak menghalangi seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang menyusuri jalan setapak di kaki gunung sebelah timur Kerajaan Pakuan. Pemuda yang menyandang sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung itu tidak lain Rangga, yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia berjalan perlahan sambil menuntun kuda hitam tunggangannya yang dikenal bernama Dewa Bayu.

"Mudah-mudahan Danupaksi sudah sampai di istana, Dewa Bayu," terdengar pelan sekali suara Rangga, bicara pada kudanya yang mengikuti dari belakang.

Kuda hitam itu hanya mendengus kecil sambil mengangguk sedikit seperti bisa mengerti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi. Namun riba-tiba saja Dewa Bayu berhenri berjalan. Kepalanya juga menjulur ke atas sambil meringkik keras. Rangga yang berada di depan, segera berhenti melangkah. Tubuhnya diputar sedikit Dipandanginya kuda hitam yang tiba-tba saja jadi kelihatan gelisah itu.

"Ada apa, Dewa Bayu? Kau merasakan sesuatu?" tanya Rangga dengan kening berkerut.

Dewa Bayu kembali meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, membuat Rangga terpaksa harus melangkah menjauh dua tindak. Kuda hitam itu terus mendengus-dengus sambil menghentakkan keras kaki depannya ke tanah. Kening Rangga semakin dalam berkerut, mencoba memahami kelakuan kuda hitam tunggangannya yang tiba-tiba saja jadi berubah liar ini.

"Ada apa, Dewa Bayu?" tanya Rangga lagi. Namun belum lagi hilang pertanyaan itu dari pendengaran, mendadak saja telinga Pendekar Rajawali Sakti yang tajam mendengar desir yang sangat halus dari arah kanannya. Dan...

"Hap!"

Tanpa berpaling lagi, Rangga cepat menarik tubuhnya ke belakang. Dan saat itu juga, terlihat sebatang ranting kering sepanjang satu jengkal melesat begitu cepat bagai anak panah, tepat di depan wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Angin desirannya begitu kuat, membuat anak rambut Rangga berkibaran. Cepat Rangga melompat ke belakang sejauh tiga langkah.

Sementara, kuda hitam Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti sudah bergerak menyingkir menjauh. Dia seperti tahu ada bahaya yang mengancam pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Rangga sendiri sudah berdiri tegak, dengan kedua kaki agak tertekuk sedikit. Pandangannya begitu tajam beredar ke sekitarnya. Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat tanda-tanda ada orang lain di sekitarnya, kecuali pepohonan saja yang cukup rapat.

"Hm...," Rangga menggumam perlahan sambil terus mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya ke kanan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara, saat kakinya bergerak menggeser ke kanan. Bahkan daun-daun kering yang hampir menutupi tanah pun tidak bergerak sama sekali saat terkena pijakan kakinya. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak sekitar tiga langkah, kembali terlihat sepotong ranting kering melesat cepat bagai kilat menuju ke arahnya. "Hap!" Namun kali ini Rangga tidak berusaha menghindar sedikit pun. Dan begitu ranting kering sepanjang satu jengkal jari tangan itu hampir menghantam wajahnya, cepat sekali kedua telapak tangannya dikatupkan di depan hidung.

Tap!

Ranting kering itu tepat terjepit di antara kedua telapak tangan yang merapat di depan hidung Pendekar Rajawali Sakti. Sejenak Rangga memperhatikan ranting yang berada di dalam jepitan kedua telapak tangannya ini Kemudian...

"Hih...!"

Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah berada pada titik sempurna, Pendekar Rajawali Sakti melemparkan ranting kering ini ke arah datangnya tadi. Maka ranting itu melesat begitu cepat bagai sebatang anak panah lepas dari busur.

Srak!

Tepat ketika ranting kering itu menembus segerumbul semak, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat, keluar dari dalam semak. Dan pada saat itu juga, Rangga melesat tinggi ke atas, mengejar bayangan putih yang muncul dari dalam semak itu.

"Hup! Hiyaaa...!"

Saat itu juga, satu pukulan keras dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Namun....

Plak!
"Ikh...?!"

Rangga jadi terperanjat setengah mati, begitu pukulannya yang keras dan menggeledek seperti menghantam sebongkah batu cadas yang teramat keras. Sehingga, membuat kepalan tangannya terasa nyeri. Cepat tubuhnya melenting, dan berputaran beberapa kali ke belakang. Dan dengan manis sekali kakinya menjejak tanah.

"Hap!"

Tepat ketika kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, saat itu juga terlihat secercah cahaya merah meluruk deras ke arahnya. Rangga yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah, jadi terbeliak melihat kilatan cahaya merah yang meluncur deras ke arahnya. Tapi dengan gerakan indah sekali, tubuhnya meliuk. Sehingga, kilatan cahaya merah itu lewat di sebelah kiri tubuhnya.

"Hup!"

Cepat Rangga melompat ke samping, begitu merasakan semburan hawa panas yang begitu menyengat di saat kilatan cahaya merah lewat di samping tubuhnya.

"Hm...!"

Pendekar Rajawali Sakti jadi menggumam kecil, begitu melihat sekitar dua batang tombak di depannya sudah berdiri seorang perempuan tua. Baju jubah putihnya sudah kumal. Sehingga wama putihnya sudah pudar menjadi kecoklat-coklatan. Sebatang tongkat kayu berbentuk seekor ular tampak tergenggam di tangan kanannya. Kulit yang sudah mengeriput, membuat wajahnya jadi tidak sedap dipandang. Kedua bola matanya bersinar merah menyala bagai sepasang bola api yang seakan-akan hendak membakar hangus seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda. Kau memang tangguh dan patut menyandang gelar itu," terasa begitu dingin nada suara perempuan tua yang tidak lain Nyai Wisanggeni, atau si Setan Perempuan Penghisap Darah ini

"Siapa kau, Nisanak? Kenapa kau menyerangku?" tanya Rangga dengan suara dibuat tenang.

"Kau tidak perlu tahu, kenapa aku menyerangmu, Anak Muda. Yang jelas, kau harus mampus di tanganku!" sahut Nyai Wisanggeni membentak kasar.

"Seingatku, tidak ada persoalan di antara kita. Kenapa kau ingin membunuhku?"

"Karena, kau terlalu banyak mencampuri urus anku. Saatnya kau menyusul kekasihmu ke neraka, Bocah! Hiyaaat...!"

"Heh! Tunggu...!"

Tapi sentakan Rangga tidak dihiraukan sama sekali. Nyai Wisanggeni sudah lebih dulu melompat cepat sambil mengebutkan tongkatnya yang berbentuk ular, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

Wut!
"Haiiit...!"

Namun dengan egosan kepala yang manis sekali, Rangga bisa menghindari sabetan tongkat Setan Perempuan Penghisap Darah. Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke belakang sejauh dua batang tombak, sambil berputaran di udara dua kali. Namun sambaran angin kebutan tongkat wanita tua itu cukup membuat Rangga jadi terhuyung sedikit, begitu kakinya menjejak tanah.

"Nisanak, apakah kau yang mencelakakan Pandan Wangi?" tanya Rangga.

"Hik! Tidak perlu banyak tanya! Gadismu sudah menjadi santapan cacing tanah! bentak Nyai Wisanggeni.

"Keparat..!"

Rangga jadi menggeram marah mendengar pengakuan Nyai Wisanggeni yang secara tidak langsung itu. Kini dia tahu, wanita tua yang berada di depannya inilah yang mencelakakan Pandan Wangi, sehingga terluka sangat parah. Tapi, tampaknya Nyai Wisanggeni sudah menganggap Pandan Wangi mati. Padahal gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu masih hidup, dan sekarang berada dalam perawatan Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang menjadi guru, juga tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Nyai Wi sanggeni kembali melesat cepat laksana kilat. Dan tongkatnya langsung dikebutkan, tepat mengarah ke kepala Rangga.

Bet!
"Hap!"

Cepat Rangga merundukkan kepala sedikit. Dan pada saat ujung tongkat yang berbentuk kepala ular itu lewat di atas kepala, cepat sekali tubuhnya mengegos ke kanan. Maka saat itu juga kaki kirinya cepat dihentakkan, memberi satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"
"Hih!"
Wuk!

Tapi tanpa diduga sama sekali, cepat sekali Nyai Wisanggeni memutar tongkatnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat tangkisannya, sehingga membuat Rangga jadi tersentak kaget. Maka cepat tendangannya yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempuma ditarik kembali. Dan....

"Hup! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar. Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke angkasa. Dan dengan kecepatan dahsyat tubuhnya meluruk turun disertai gerakan kedua kaki yang berputaran cepat mengarah ke kepala si Setan Perempuan Penghisap Darah. Dari gerakannya jelas sekali terlihat kalau saat itu Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

"Hap! Hiyaaa..!"
Wut!

Namun, Nyai Wisanggeni sudah lebih cepat lagi bertindak. Tongkatnya langsung diputar begitu cepat di atas kepala, membuat Rangga terpaksa harus menarik serangannya dari atas. Dan secepat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sehingga kepalanya di bawah. Lalu, langsung dilepaskannya satu pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

"Hiyaaa...!"
"Heh...?!"

Gerakan berputar yang begitu cepat, diikuti serangan dahsyat tanpa diduga itu membuat Nyai Wisanggeni jadi terperangah setengah mati. Dan memang tidak disangka sama sekali kalau Rangga dapat merubah jurusnya begitu cepat. Terlebih dalam keadaan tubuh berada di udara seperti ini. Dan...

Begkh!
"Aaakh...!"

Nyai Wisanggeni tidak dapat lagi menahan arus pukulan Rangga yang dahsyat, dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Sehingga, pukulan itu tepat menghantam dada, membuat perempuan tua itu terpental jauh ke belakang sambil mengeluarkan jeritan panjang dan melengking tinggi.

Sementara, Rangga sudah menjejakkan kakinya di tanah dengan kokoh. Saat itu, tubuh Nyai Wisanggeni yang masih melayang menghantam sebatang pohon yang cukup besar. Sehingga pohon itu hancur berkeping-keping, memperdengarkan ledakan keras bagai gemuruh.

Bruk!

Keras sekali tubuh tua itu jatuh menghantam tanah, di antara kepingan reruntuhan kayu pohon yang terlanda tubuhnya. Beberapa kali Nyai Wisanggeni bergulingan di tanah..Tapi cepat melesat bangkit berdiri. Sedikit tubuhnya agak terhuyung, begitu kakinya menjejak tanah. Tampak darah mengalir dari mulutnya. Kedua bola matanya semakin merah membara, menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak dengan senyum tersunggung di bibir.

"Kubunuh kau, Bocah Keparat !" geram Nyai Wisanggeni.

Wut!

Setan Perempuan Penghisap Darah itu memutar tongkatnya cepat sekali dengan kedua tangan. Dari putaran tongkat itu, terdengar suara angin menderu bagai badai. Dan tidak berapa lama, Rangga sudah merasakan hempasan angin berhawa panas menyengat tubuhnya. Langsung disadari kalau Nyai Wisanggeni mengerahkan ilmu kesaktian untuk menandinginya.

"Hap!"

Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga segera menyiapkan ilmu tandingan untuk menghadapi ilmu kesaktian yang kini dikerahkan lawannya. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti terentang lebar. Kedua tangannya terkepal erat di samping pinggang. Sementara, sorot matanya begitu tajam, tertuju lurus pada perempuan tua di depannya yang masih memutar tongkatnya dengan kecepatan dahsyat. Tiba tiba saja...

"Hiyaaa...!"
"Aji 'Bayu Bajra'. Yeaaah...!"

Tepat di saat Nyai Wisanggeni menghentakkan tongkatnya ke depan, Rangga juga menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak keras menggelegar. Saat itu juga, secara bersamaan satu sama lain mengeluarkan hempasan angin yang begitu keras dari ilmu kesaktian yang dikerahkan.

Glarrr!

Satu ledakan keras pun terjadi, saat ilmu ke saktian yang dikerahkan masing masing beradu tepat di tengah tengah. Tampak mereka sama-sama terpental ke belakang, sejauh satu batang tombak. Namun masing-masing cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, hingga tidak sampai terbanting di tanah.

"Phuih!"

Nyai Wisanggeni menyemburkan ludahnya dengan sengit, melihat lawannya masih tetap berdiri tegak tanpa mendapat luka sedikit pun dari serangannya yang dahsyat tadi. Sementara Rangga sendiri sempat memuji ketangguhan perempuan tua yang menjadi lawannya. Selama dalam pengembaraannya, baru kali ini aji 'Bayu Bajra' yang dikerahkannya mendapat tandingan seimbang. Sehingga, lawan yang dihadapinya masih tetap kelihatan tegar tanpa mendapatkan luka sedikit pun juga.

Dan untuk beberapa saat, mereka sama-sama berdiri tegak saling bertatapan tajam. Seakan-akan, mereka sama-sama tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Secara bersamaan pula mereka menggeser kaki ke depan, dengan gerakan begitu ringan. Sehingga, tidak terdengar suara sedikit pun dari gerakan kaki yang terus melangkah maju saling mendekati. Dan mereka sama-sama berhenti, setelah berjarak sekitar satu batang tombak lagi.

Perlahan Nyai Wisanggeni mengangkat tongkatnya, hingga melewati kepala. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga. Hanya tatapan matanya saja yang terlihat semakin tajam, menyorot langsung ke bola mata perempuan tua di hadapannya

"Cabut senjatamu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Nyai Wisanggeni membentak dingin.

"Tidak perlu mencabut senjata untuk meng-hadapimu, Perempuan Iblis!" sahut Rangga tidak kalah dingin.

"Phuih! Sombong ...!" dengus Nyai Wisanggeni geram, merasa diremehkan.

"Jangan menyesal kalau kau mati tanpa sempat mencabut senjata, Bocah!"

Rangga hanya tersenyum saja. Sebenarnya, pedang pusakanya sudah ingin dicabut. Tapi, dia ingin mengetahui lebih dulu tingkat kepandaian perempuan tua ini. Dan lagi, Rangga tidak ingin terpancing, walaupun amarahnya sudah menggelegak dalam dada, setelah tahu kalau wanita tua inilah yang mencelakakan Pandan Wangi.

"Tahan seranganku, Bocah Keparat!" desis Nyai Wisanggeni menggeram dingin.

Bet!

Cepat sekali Setan Perempuan Penghisap Da rah itu mengebutkan tongkatnya ke depan, sampai ujungnya yang berbentuk kepala ular itu menghantam tanah. Seketika itu juga, tanah yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa. Sementara, Rangga masih tetap diam menanti serangan datang. Dan ketika Nyai Wisanggeni mengangkat tongkatnya kembali ke atas kepala, tiba-tiba saja terdengar suara menggemuruh dari puluhan kuda yang dipacu cepat menuju ke arah pertarungan ini.

"Phuih ..!"

Nyai Wisanggeni tampak geram mendengar hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat dari belakangnya. Begitu kepalanya menoleh ke belakang, terlihat puluhan orang berkuda dengan cepat menuju ke sini.

"Setan!" geram Nyai Wisanggeni. Sejenak perempuan tua itu menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.

"Urusan ini belum selesai, Pendekar Rajawali Sakti...," desis Nyai Wisanggeni dingin.

Setelah berkata demikian, cepat Nyai Wisanggeni melesat pergi, seraya mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Begitu cepat gerakannya. Sehingga dalam sekejapan mata saja, sudah lenyap bayangan tubuhnya. Tepat pada saat itu, rombongan orang berkuda tiba di tempat pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dengan Nyai Wisanggeni tadi.

Tampak orang yang berkuda paling depan adalah Panglima Lanang. Dan di belakangnya mengikuti para prajurit dari Karang Setra dan prajurit dari Pakuan. Di sebelah Panglima Lanang, terlihat seorang laki-laki berusia setengah baya berbaju panglima dari Kerajaan Pakuan. Mereka menghentikan lari kudanya, setelah dekat dengan Rangga yang masih tetap berdiri tegak, memandang ke arah kepergian Nyai Wisanggeni tadi.

"Gusti Prabu..."

Panglima Lanang langsung membungkuk dengan kedua telapak tangan menyaru di depan dada, setelah melompat turun dari punggung kudanya. Rangga mengangkat tangannya sedikit. Dan Panglima Lanang pun kembali berdiri tegak.

"Kau sudah sampai ke Pakuan, Paman?" tanya Rangga dengan bibir mengulas senyum.

"Sudah dua hari, Gusti. Bersama Raden Danupaksi," sahut Panglima Lanang.

"Berapa prajurit yang kau bawa?"

"Lima ratus orang prajurit pilihan."

Rangga mengangguk-angguk. Pandangannya lalu beralih pada panglima dari Pakuan yang berada di sebelah kanan Panglima Lanang.

"Gusti, ini Panglima Antaraka. Panglima kedua dari Pakuan setelah Panglima Widura," kata Panglima Lanang cepat-cepat memperkenalkan.

Panglima Antaraka segera membungkuk memberi hormat. Tanpa dijelaskan lagi, Panglima Antaraka tahu kalau pemuda berbaju rompi putih ini adalah Raja Karang Setra. Dia bisa langsung mengetahui dari sikap Panglima Lanang pada pemuda yang belum dikenalnya ini. Dia jadi ingat, Raja Karang Setra memang seorang pendekar tangguh dan sering pergi mengembara meninggalkan istananya, hanya untuk menunaikan tugas sebagai seorang pendekar penegak keadilan.

Sementara itu Rangga membalas penghormatan dengan anggukan kepala sedikit. Bibirnya masih terus menyunggingkan senyum tipis. Kini pandangannya kembali dialihkan pada Panglima Lanang.

"Maaf, Gusti. Tadi hamba melihat Gusti Prabu bertarung dengan seseorang. Kalau boleh hamba tahu, siapa lawan Gusti Prabu tadi...?" tanya Panglima Antaraka dengan sikap sopan sekali.

"Nyai Wisanggeni," sahut Rangga.

"Oh...?! Si Setan Perempuan Penghisap Darah...?" desis Panglima Antaraka terkejut.

"Benar," tegas Rangga.

"Kenapa Gusti Prabu sampai bisa bentrok dengannya?" tanya Panglima Antaraka lagi.

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Rangga menceritakan semua peristiwa yang dialaminya selama berada di Pakuan ini sampai Pandan Wangi kini menderita luka parah. Hanya saja, Rangga tidak menceritakan kalau Pandan Wangi dirawat Rajawali Putih. Rangga juga cerita tentang Panglima Widura yang dicurigai menjadi otak dari rencana pemberontakan di Kerajaan Pakuan ini. Panglima Lanang dan Panglima Antaraka terdiam mendengarkan penuh perhatian. Tidak ada yang menyelak sampai Rangga menyelesaikan ceritanya.

"Sudah lama hamba mencurigai Panglima Widura. Ternyata, dugaan hamba tidak meleset sama sekali," gumam Panglima Antaraka pelan, seperti bicara pada diri sendiri.

"Sebelum segalanya terjadi, sebaiknya kalian amankan Panglima Widura dan semua prajuritnya. Aku sendiri yang akan menghadapi orang yang ada di belakang Panglima Widura," tegas Rangga.

"Terima kasih, Gusti Prabu," ucap Panglima Antaraka.

"Sudahlah. Sebaiknya, kau cepat berangkat sebelum Panglima Widura bertindak," ujar Rangga.

Panglima Lanang dan Panglima Antaraka segera membungkuk memberi hormat. Kemudian, mereka melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Setelah menganggukkan kepala pada Pendekar Rajawali Sakti, kedua panglima itu langsung memutar kuda dan cepat menggebahnya. Sekitar seratus orang prajurit yang menyertai, segera mengikuti kedua panglima itu. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak memandangi sampai rombongan prajurit itu lenyap dari pandangan.

********************

EMPAT

Panglima Widura terkejut setengah mati, begitu menerima laporan dari Ki Renges kalau tempat tinggalnya sudah dikepung ratusan prajurit gabungan Karang Setra dan Pakuan. Maka seluruh prajuritnya segera diperintahkan untuk siap menghadapi segala macam serangan. Baginya memang tidak ada pilihan lain lagi, meskipun disadari tidak akan mungkin bisa melawan begitu banyak prajurit. Terlebih lagi, dia tahu kalau prajurit Karang Setra yang ada di Pakuan ini, kemampuannya dalam bertempur sudah tidak bisa diragukan lagi.

"Jumlah mereka sangat banyak, Gusti. Rasa-nya tidak mungkin kita menghadapinya." ujar Ki Renges, dengan wajah mencerminkan kecemasan

"Sudah kepalang basah. Lawan mereka!" sentak Panglima Widura geram "Siapkan semua prajurit!"

"Semua prajurit sudah siap, Gusti," lapor Ki Renges lagi, memberi tahu.

"Bagus! Jangan biarkan seorang pun dari mereka bisa menginjak tanah ini. Beri mereka pelajaran yang berharga, Ki Renges." "Hamba, Gusti Panglima.

Ki Renges bergegas berlari-lari kecil ke luar. Diperintahkannya seluruh prajurit untuk bersiaga penuh mengadakan serangan. Sementara, Panglima Widura sendiri sudah berada di beranda depan rumahnya. Pandangannya beredar ke sekeliling, memandangi prajuritnya yang sudah siap menghadapi pertempuran.

"Hhh! Ini semua gara-gara Pendekar Rajawali Sakti. Kalau dia tidak muncul di Pakuan ini, tidak akan mungkin jadi berantakan seperti ini. Huh...!" dengus Panglima Widura, kesal.

Sementara itu, suara hiruk-pikuk di luar terus terdengar. Sehingga, membuat wajah Panglima Widura jadi memerah menahan kemarahan yang amat sangat. Rencana yang sudah disusun begitu lama, sekarang jadi berantakan. Bahkan sebelum bisa melakukan tindakan, sudah terlebih dahulu dikepung prajurit-prajurit gabungan yang sangat besar kekuatannya.

"Seraaang...!" seru Panglima Widura tiba-tiba memberi perintah dengan suara lantang menggelegar.

Seketika itu juga, prajurit yang berada di atas pagar berbentuk benteng, langsung melepaskan anak panah yang sejak tadi sudah terpasang di busur.

Jerit dan teriakan melengking mengantar kematian pun langsung terdengar dari luar pagar yang berbentuk benteng kokoh ini. Sedangkan prajurit Panglima Widura yang berada di atas pagar benteng, terus melontarkan anak-anak panah secara beruntun. Sementara, sebagian prajurit yang sudah siap di halaman bersikap waspada, menanti kalau kalau pintu gerbang yang tertutup rapat dapat dijebol lawan.

"Phuih!"

Panglima Widura menyemburkan ludahnya, saat melihat beberapa orang prajuritnya yang berada di atas pagar mulai berjatuhan tertembus panah dan serangan balasan. Satu-persatu prajurit-prajurit itu berjatuhan, memperdengarkan suara jeritan melengking dan menyayat hati. Tanah pun tersiram darah yang muncrat dari para prajurit yang tewas terbanting akibat tertembus anak panah.

"Perkuat pintu gerbang...!" seru Panglima Widura memberi perintah, begitu terdengar pintu gerbang yang tebal dan kokoh mulai berderak.

Tampak pintu dari kayu jati bulat itu mulai bergetar, disertai suara berderak keras. Sementara jeritan-jeritan panjang terus terdengar. Sedangkan tubuh-tubuh bersimbah darah pun terus berjatuhan. Tampak Panglima Widura mulai merasa cemas, melihat pintu gerbang semakin rapuh. kekuatannya.

Dan sudah bisa dipastikan tidak lama lagi pintu itu akan hancur. Sementara mereka yang berada di luar akan menyerbu masuk. Kalau hal ini terjadi, sulit dibendung lagi.

Brak!

Belum lagi Panglima Widura bisa berpikir lebih jauh, tiba-taba saja pintu gerbang yang dipertahankan itu hancur berkeping keeping. Dan seketika itu juga, puluhan prajurit yang berada di luar menyerbu masuk sambil berteriak-teriak mengacungkan senjata di atas kepala.

"Hadang mereka...!" teriak Panglima Widura memberi perintah.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Pertempuran memang tidak dapat dihindari lagi. Dua prajurit yang saling bertentangan mulai bertarung sengit di halaman rumah Panglima Wi dura yang sangat luas ini. Denting senjata beradu seketika terdengar, menyertai teriakan-teriakan lantang menggelegar membangkitkan semangat pertempuran yang bercampur jeritan kematian.

Sebentar saja, tubuh-tubuh bersimbah darah sudah terlihat berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun, prajurit Pakuan yang dibantu prajurit Karang Setra terus merangsek semakin banyak ke dalam halaman rumah panglima ini. Akibatnya, prajurit-prajurit yang bertahan semakin kewalahan saja menghadapinya. Sementara, Panglima Widura mulai menyingkir mendekati kuda hitam tunggangannya yang tertambat di bawah pohon, tidak jauh dari beranda depan rumahnya yang besar dan megah.

"Hup!"

Cepat panglima itu melompat naik ke pung-gung kudanya. Tapi belum juga kuda hitam tunggangannya digebah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menerjang ke arahnya.

"Ups...?!"

Panglima Widura jadi kaget setengah mati. Cepat tubuhnya melenting ke atas, dan berputaran dua kali di udara. Lalu manis sekali tubuhnya meluruk turun. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak tanah. Saat itu, terlihat seorang pemuda berwajah tampan sudah berdiri sekitar satu batang tombak di depannya. Dari pakaian yang dikenakan, sudah dapat dipastikan kalau anak muda tampan itu adalah Danupaksi, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra.

"Jangan harap bisa kabur dengan mudah, Pengkhianat Busuk!" terasa begitu dingin nada suara Danupaksi.

"Phuih!"

Panglima Widura hanya menyemburkan ludahnya saja dengan sengit. Dia tahu, anak muda yang menghadangnya ini adalah Raden Danupaksi dari Karang Setra. Dan itu membuatnya tidak bisa menganggap sebelah mata pada anak muda yang usianya jauh berada di bawahnya ini.

Sret!
Cring!

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Panglima Widura meloloskan pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Sementara melihat lawannya sudah meloloskan pedang, perlahan- lahan Danupaksi mencabut pedangnya juga. Dan pedangnya langsung dilintangkan di depan dada sambil menggeser kakinya perlahan-lahan ke kanan. Sedangkan Panglima Widura mulai melangkah ke depan perlahan-lahan, sambil memainkan pedangnya di depan dada. Sorot matanya begitu tajam memancarkan nafsu membunuh penuh kebencian pada anak muda di depannya.

"Mampus kau Keparat! Hiyaaat!"
"Hup! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura melompat cepat bagai kilat menerjang. Pedangnya langsung dikebutkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Danupaksi sendiri sudah melesat menyambut serangan dengan menghentakkan pedangnya ke depan. Sehingga...

Tring!
"Ups!"
"Ikh...!"

Mereka sama-sama berlompatan mundur begitu pedang satu sama lain beradu keras di udara. Begitu kerasnya, sehingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Tapi mereka cepat bisa menguasai keseimbangan, dan berdiri tegak dengan pedang sama-sama tersilang di depan dada.

Beberapa saat mereka terdiam dan saling menatap tajam. Benturan pedang yang terjadi begitu cepat dan dahsyat itu membuat mereka sama-sama menyadari akan ketangguhan masing-masing. Jelas, tenaga dalam yang mereka miliki saat ini seimbang.

"Hm... Tampaknya anak muda ini memiliki kepandaian yang setara denganku," gumam Panglima Widura dalam hati. "Aku harus lebih berhati-hati menghadapinya."

Perlahan Panglima Widura menggeser kakinya, menyusur tanah ke kanan. Sementara, Danupaksi tetap berdiri tegak dengan pedang masih tersilang di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, memperhatikan setiap gerak lawan. Sedikit tubuhnya memutar, saat Panglima Widura sudah berada agak menyamping di bagian kiri. Dan saat itu, Panglima Widura sudah berhenti menggeser kakinya, kemudian memainkan pedangnya perlahan di depan dada.

Pedang yang berkilatan tajam serasa hendak menggetarkan jantung lawan yang jauh lebih muda usianya. Tapi kelihatan jelas kalau Danupaksi tidak gentar sedikit pun melihat mata pedang yang berkilatan memantulkan cahaya matahari. Sementara di tempat lain, pertarungan masih terus berlangsung. Walaupun sudah terlihat kalau para prajurit Panglima Widura sudah tidak berdaya lagi untuk terus bertahan lebih lama. Dan kedudukannya semakin terdesak, dengan semakin banyaknya prajurit yang gugur bersimbah darah.

Sementara Danupaksi dan Panglima Widura masih tetap berdiri saling berhadapan, dengan jarak kurang dari satu tombak. Sedangkan beberapa orang prajurit Karang Setra berpangkat punggawa yang sudah tidak memiliki lawan lagi, sudah mulai mengelilingi tempat ini. Bahkan terlihat dua orang panglima dari Pakuan, serta Panglima Lanang, sudah berada di tempat itu, tidak jauh di belakang Danupaksi.

Keadaan yang tidak menguntungkan ini cepat diketahui Panglima Widura. Hatinya seketika mulai diliputi kecemasan. Terlebih lagi, saat mengetahui prajuritnya sudah tidak berdaya lagi menghadapi serangan para prajurit gabungan Pakuan dan Karang Setra. Panglima Widura cepat menyadari kalau tidak lama lagi, akan menghadapi lawan-lawannya ini seorang diri yang tidak akan mungkin dilakukannya. Sedangkan anak muda yang kini sedang dihadapinya saja memiliki kepandaian yang setara.

"Phuih!"

Panglima Widura menyemburkan ludahnya dengan sengit, menyadari keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Kedua bola matanya yang memerah beredar tajam ke sekeliling, seperti sepasang bola api. Sedikit pun tidak ada celah baginya untuk dapat meloloskan diri. Malah, semakin banyak saja prajurit yang mengepungnya Sementara, Danupaksi semakin kelihatan tenang melihat keadaan sekelilingnya yang begitu menguntungkan. Dan kepercayaan diri yang semula sudah mulai menipis, langsung bangkit seketika.

"Sebaiknya menyerah saja, Panglima Widura. Tidak ada gunanya lagi terus bertahan," terasa begitu tenang suara Danupaksi. Tapi, terdengar begitu dingin nadanya.

"Phuih!"

Untuk kedua kalinya, Panglima Widura menyemburkan ludahnya dengan sengit. Memang tidak ada pilihan baginya. Bertahan, atau menyerahkan lehernya untuk digantung sebagai pengkhianat dan pemberontak. Tapi bagi orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, lebih baik mati di ujung pedang lawan daripada harus mati di tiang gantungan! Panglima Widura mulai menegakkan pedangnya hingga sejajar tubuhnya. Dan tatapan matanya yang begitu tajam penuh nafsu membunuh, tertuju lurus pada Danupaksi yang berada kurang dari satu tombak di depan.

"Kita bertarung sampai ada yang mampus, Bocah!" bentak Panglima Widura lantang menggelegar. "Hiyaaat...!"

Panglima Widura benar-benar tidak mempunyai pilihan lain lagi. Sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat disertai seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Lesatannya yang begitu cepat bagai kilat, hingga terasa begitu sulit diikuti pandangan mata biasa Namun, Danupaksi yang sudah siap sejak tadi, cepat pula mengibaskan pedangnya ke depan, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Bersamaan dengan itu, kakinya bergeser sedikit ke kanan, sambil meliuk hingga terlihat agak miring.

Trang!
"Yeaaah...!"

Begitu pedangnya beradu, tangan kiri Danupaksi cepat melepaskan satu pukulan keras menggeledek dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tepat mengarah ke lambung Panglima Widura.

"Ikh...?!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget setengah mati. Tidak disangka kalau Danupaksi bisa bergerak begitu cepat, menangkis serangan yang dibarengi sebuah serangan balasan yang begitu cepat luar biasa. Untung tubuhnya cepat meliuk, hingga pukulan yang dilepaskan Danupaksi hanya mengenai angin kosong belaka.

"Hup!"

Panglima Widura cepat-cepat melompat ke belakang, menjaga jarak. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, saat itu juga Danupaksi sudah melesat cepat bagai kilat sambil membabatkan pedangnya ke arah kepala. Begitu cepat serangannya sehingga membuat Panglima Widura jadi terbeliak setengah mati.

Wut! "Ups...!"

Panglima Widura cepat menarik kepalanya ke belakang, sehingga tebasan pedang Danupaksi hanya lewaat di depan wajahnya.

"Hih! Hiyaaa...!"

Namun pada saat yang hampir bersamaan, Danupaksi melenting sedikit ke atas. Dan dengan kecepatan yang begitu sukar diikuti mata biasa, pedangnya diputar ke bawah.

"Hih!"
Wuk!
Trang!

Kembali dua pedang yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi beradu, tepat di depan perut Panglima Widura. Dan panglima itu cepat melompat ke belakang, sejauh tiga langkah. Sedangkan Danupaksi langsung menjejakkan kakinya. Lalu saat itu juga tubuhnya merunduk, hingga lututnya yang tertekuk menyentuh tanah. Seketika itu juga pedangnya cepat dikibaskan ke arah kaki lawan.

Bet!
"Hup!"

Tidak ada jalan lain lagi bagi Panglima Widura untuk menghindari serangan Danupaksi yang sungguh cepat luar biasa ini, kecuali melompat ke atas. Tapi tanpa diduga sama sekali, Danupaksi justru menegakkan tubuhnya tepat di saat Panglima Widura melesat ke atas. Bahkan seketika itu juga Danupaksi melepaskan satu pukulan dahsyat dengan tangan kiri.

"Heh...?!"

Panglima Widura hanya dapat terbeliak saja melihat serangan lawannya yang begitu cepat dan beruntun. Dia berusaha berkelit dengan meliukkan tubuhnya, namun gerakannya sudah terlambat. Dan...

Begkh!
"Akh...!"

Panglima Widura terpekik keras begitu pukulan tangan kiri Danupaksi yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi tepat menghantam bagian samping dadanya yang sebelah kanan. Akibatnya panglima itu terpental sejauh satu batang tombak ke belakang. Tapi keseimbangan tubuhnya cepat bisa dikuasai walaupun dada kanannya terasa begitu nyeri akibat pukulan Danupaksi tadi.

"Ukh!"

Panglima Widura mengeluh sedikit, merasakan sesak yang menyergap dadanya. Dan pandangannya pun jadi sedikit berkunang-kunang. Panglima Widura menggeleng beberapa kali, mencoba mengusir rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepalanya.

"Setan alas kau, Bocah! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak lantang menggelegar bagai guntur membelah angkasa, Panglima Widura kembali melompat menyerang tanpa menghiraukan rasa sesak yang mendadak saja timbul menyelimuti dadanya. Pedangnya langsung berputaran dengan kecepatan kilat, menyerang adik tiri Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Hap!"

Dengan liukan-liukan tubuh yang diimbangi kelincahan gerakan kaki, membuat Danupaksi agak kerepotan juga menyarangkan pedangnya ke tubuh panglima yang menjadi lawannya. Beberapa kali Danupaksi melancarkan serangan yang begitu cepat, tapi belum juga bisa melumpuhkannya. Bahkan perlawanan Panglima Widura begitu gigih, walaupun tadi sempat terkena pukulan.

"Lepas kepalamu! Hiyaaa...!", tiba-tiba saja Panglima Widura berteriak keras sambil mengebutkan pedangnya ke leher, tepat di saat Danupaksi sendiri baru melancarkan serangan dengan pedangnya.

"Haiiit!"

Namun hanya meliukkan tubuh, Danupaksi berhasil menghindari serangan.

"Hup!"

LIMA

Cepat Danupaksi melompat ke belakang, begitu berhasil mengelakkan tebasan pedang Panglima Widura pada lehernya. Namun belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba melesat sebuah bayangan di antara dua orang yang sedang bertarung ini. Bersamaan dengan itu, terlihat sebuah cahaya merah melesat begitu cepat bagai kilat ke arah Danupaksi. Sehingga...

Clark!
"Akh...!"
"Raden...?!"

Semua yang melihat kejadian itu jadi terpekik, bersama terdengarnya jeritan Danupaksi yang terpental ke belakang, tepat ketika cahaya merah yang datang begitu cepat menyambar tepat di dadanya.

Sementara, bayangan putih yang berkelebat cepat bagai kilat itu kembali melesat, langsung menyambar Panglima Widura yang keadaannya sudah terpojok. Begitu cepat bayangan putih itu melesat. Sehingga sebelum ada yang sempat menyadari, bayangan putih itu sudah lenyap dari pandangan sambil membawa Panglima Widura.

Sedangkan Danupaksi terbanting keras sekali di tanah, dan kembali memekik agak tertahan. Tubuhnya menggeliat menggeletak di atas tanah yang sedikit lembab oleh siraman darah dari para prajurit yang tadi bertarung sengit.

"Raden...!"

Panglima Lanang bergegas menghampiri dengan kecemasan melihat Danupaksi tergeletak diam seperti mati. Tampak asap berwarna agak kemerahan mengepul dari dadanya yang sedikit terbuka dan bidang.

"Raden...!"

Suara Panglima Lanang terdengar tercekat, begitu melihat Danupaksi tergeletak dengan kedua bola mata terpejam. Sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuhnya. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan telah mati. Tampak dadanya memerah dan masih mengepulkan asap bagai terbakar.

"Raden..."

Perlahan Panglima Lanang mengangkat tubuh Danupaksi yang terasa begitu panas seperti ada bara api yang bersemayam dalam tubuhnya, Bahkan, sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuh anak muda itu. Panglima Lanang memondong tubuh Danupaksi yang sudah diam tidak bergerak-gerak lagi. Dipandanginya wajah tampan anak muda itu. Tanpa terasa, setitik air bening jatuh menggulir di pipinya.

Sementara, para prajurit yang sudah menyelesaikan pertarungan, tidak ada seorang pun yang bersuara. Mereka terdiam dengan wajah diliputi kecemasan, melihat Danupaksi seperti mati dalam pondongan Panglima Lanang. Dua orang panglima dari Kerajaan Pakuan menghampiri Panglima Lanang. Mereka berdiri saja di depan panglima dari Kerajaan Karang Setra itu.

"Kita bawa ke istana, Paman Panglima," Usul salah seorang.

Panglima Lanang memandangi kedua panglima dari Kerajaan Pakuan itu beberapa saat, kemudian sedikit menganggukkan kepala. Salah seorang langsung memerintahkan prajurit menyiapkan kuda. Sedangkan seorang lagi segera menyiapkan prajurit yang masih hidup. Dan prajurit Panglima Widura tidak ada lagi yang kelihatan masih tertinggal hidup.

Tidak berapa lama, mereka keluar dari halaman rumah kediaman Panglima Widura yang besar dan berantakan dipenuhi mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih bersimbah darah. Tampak berkuda paling depan Panglima Lanang yang masih tetap memondong tubuh Danupaksi. Dua orang panglima dari Kerajaan Pakuan terus mendampingi. Sedangkan di belakang mereka, para prajurit mengikuti dengan wajah tertunduk cemas melihat keadaan Raden Danupaksi yang mungkin terluka parah atau sudah mati.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Entah sudah berapa lama Panglima Lanang duduk sendiri di atas bukit batu memandang matahari yang perlahan-lahan mulai tenggelam di ufuk barat. Cahayanya yang memerah jingga dan begitu indah, sama sekali tidak dapat dinikmatinya. Pikirannya begitu galau melihat keadaan Danupaksi yang sampai saat ini belum juga siuman. Dan sekarang, Danupaksi berada dalam perawatan seorang tabib pilihan di Kerajaan Pakuan.

Meskipun tabib itu sudah mengatakan jiwa Danupaksi masih bisa tertolong, tapi Panglima Lanang masih juga belum bisa tenang hatinya.

"Paman Lanang...."
"Oh...?!"

Panglima Lanang tiba-tiba saja tersentak setengah mati, begitu terdengar panggilan dari belakang. Cepat dia terlompat bangun dan berbalik. Dan seketika itu juga seluruh tubuhnya jadi menggigil, seperti terserang demam. Panglima Lanang langsung jatuh berlutut dengan bola mata terbeliak dan mulut ternganga. Seakan-akan, dia melihat sosok makhluk mengerikan di depannya.

"Gusti Prabu...," bergetar suara Panglima Lanang.

"Kenapa wajahmu begitu pucat, Paman? Kau seolah-olah sedang berhadapan dengan hantu saja."

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba..., hamba...," tercekat suara Panglima Lanang di tenggorokan.

"Sudahlah, Paman. Aku sudah tahu semua peristiwanya. Kau tidak perlu merasa bersalah. Bangunlah, Paman. Kau seorang panglima. Tidak pantas bersikap begitu."

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu...," masih terdengar bergetar suara Panglima Lanang.

Perlahan laki-laki berusia separo baya itu bangkit berdiri setelah memberi hormat dengan merapatkan telapak tangan di depan hidung. Sementara, pemuda yang tiba-tiba muncul itu tersenyum. Kakinya lalu melangkah beberapa tindak mendekati. Senyumannya begitu manis terkembang di bibirnya yang merah, bagaikan bibir seorang gadis. Pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih itu berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan Panglima Lanang yang juga seorang panglima di Kerajaan Karang Setra.

"Aku bukan raja di sini, Paman. lngatlah. Kau harus memanggilku Rangga," ujar pemuda berbaju rompi putih itu lembut, dengan senyum terus terkembang di bibir.

Pemuda berwajah tampan dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung itu memang Rangga, yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Kemunculannya yang begitu tiba-tiba seperti hantu, memang membuat Panglima Lanang jadi terkejut setengah mati. Hampir saja detak jantungnya berhenti seketika.

"Maafkan hamba, Gusti Prabu Hamba..., hamba begitu terkejut tadi," ucap Panglima Lanang.

"Ah.... Sudahlah, Paman. Aku sudah tahu semua kejadiannya. Jangan merasa bersalah atas nasib yang dialami Danupaksi. Aku malah bangga pada Danupaksi. Dia benar-benar telah membuktikan dirinya sebagai adik seorang raja yang sedang mengemban tugas. Aku sudah menjenguknya di istana. Memang cukup parah keadaannya, tapi akan sembuh dalam beberapa hari ini," kata Rangga mencoba menenangkan hati Panglima Lanang yang masih diliputi kegelisahan.

"Hamba benar-benar tidak tahu, siapa orangnya yang melakukan kecurangan pada Raden Danupaksi," ucap Panglima Lanang sudah mulai bisa tenang kembali.

Rangga tersenyum mendengar penuturan Panglima Kerajaan Karang Setra itu. Semua yang terjadi memang sudah didengarnya dari orang-orang di dalam Istana Pakuan. Bahkan dua orang panglima yang ikut menghancurkan prajurit Panglima Widura juga sudah bercerita padanya.

"Aku tahu, siapa orangnya, Paman," ucap Rangga kalem.

"Oh...?!" Panglima Lanang jadi tersedak tidak menyangka.

"Dia Nyai Wisanggeni atau si Setan Perempuan Penghisap Darah, guru Panglima Widura. Memang tinggi tingkat kepandaiannya. Aku sendiri terasa sulit untuk menghadapinya. Dialah otak dari semua rencana pemberontakan yang dilakukan Panglima Widura," kata Rangga, tetap kalem.

"Kalau saja hamba bisa bertemu dengannya...," terputus kata-kata Panglima Lanang.

"Sulit untuk bisa menemukan tempat persembunyiannya, Paman. Tapi, kau tidak perlu khawatir. Aku akan berusaha untuk membalaskan kekalahan yang diderita Danupaksi. Aku sendiri masih punya perhitungan nyawa dengannya," kata Rangga tegas.

"Oh! Perhitungan nyawa apa itu...?" tanya Panglima Lanang ingin tahu.

"Terlalu panjang ceritanya, Paman. Nantilah kalau semua ini sudah berakhir. Aku akan menceritakannya padamu dalam perjalanan pulang ke Karang Setra," sahut Rangga.

"Gusti akan kembali ke Karang Setra?" tanya Panglima Lanang langsung gembira.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja.

"Oh! Tentu semua akan senang menyambut-mu," desah Panglima Lanang.

"Aku akan beristirahat sebentar di sana, Paman. Sampai...," Rangga tidak meneruskan kata-katanya.

Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat Pandan Wangi yang sampai saat ini masih berada dalam perawatan Rajawali Putih, akibat luka-lukanya yang cukup parah setelah bertarung melawan Nyai Wisanggeni. Memang membutuhkan waktu cukup lama untuk menyembuhkannya. Dan Rangga sudah memutuskan untuk menunggu di Karang Setra.

"Sudah hampir gelap. Sebaiknya, kau kembali ke istana, Paman. Jangan sampai mereka mencari-carimu," ujar Rangga.

"Baik. Hamba akan selalu berada dekat dengan Danupaksi," ucap Panglima Lanang.

"Kalau Danupaksi sudah sehat, cepatlah kembali ke Karang Setra. Aku juga akan berusaha secepatnya membereskan si Setan Perempuan Penghisap Darah itu dengan muridnya," kata Rangga.

Setelah berkata demikian, Rangga cepat memutar tubuhnya berbalik dan langsung melangkah tanpa bicara apa pun juga. Panglima Lanang yang sudah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, jadi terdiam melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah melangkah pergi meninggalkannya. Dia hanya bisa berdiri memandangi, sampai punggung pendekar muda berbaju rompi putih itu lenyap ditelan lebatnya pepohonan di puncak bukit ini.

Beberapa saat Panglima Lanang masih berdiri memandangi ke arah mana Rangga tadi pergi meninggalkannya, walaupun kini sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Dan di saat matahari benar-benar tenggelam di balik peraduannya, Panglima Lanang baru melangkah meninggalkan puncak bukit ini. Angin pun sudah mulai terasa berhembus, menyebarkan udara dingin bersama butir-butir embun. Panglima Lanang terus berjalan perlahan-lahan, menuruni lereng bukit yang tidak begitu lebat ditumbuhi pepohonan ini.

********************

Sementara di tempat yang lebih tinggi dari bukit itu, Rangga berdiri tegak memandangi Panglima Lanang yang semakin jauh menuruni lereng bukit ini. Jelas sekali kalau arah yang dituju Panglima Lanang adalah Istana Pakuan. Dan Rangga sendiri seperti menanti sesuatu di bukit ini. Pendekar Rajawali Sakti belum juga beranjak pergi, walaupun sekelilingnya sudah diselimuti kegelapan. Suara gerit seranggga malam pun sudah sejak tadi terdengar menabuh gendang telinganya.

"Secepatnya aku harus bisa menemukan, di mana Nyai Wisanggeni dan muridnya bersembunyi. Jangan sampai mereka mengacaukan Pakuan ini lagi," gumam Rangga dalam hati.

Sebentar Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepanjang mata memandang, hanya pepohonan saja yang tampak menghitam dijilati cahaya rembulan. Jauh di sebelah selatan bukit ini, terlihat kerlip cahaya lampu dari rumah-rumah di Kotaraja Pakuan, bagai kunang-kunang di sawah. Begitu indah kota itu dipandang dari atas bukit pada malam hari seperti ini. Namun semua itu sama sekali tak dinikmati Pendekar Rajawali Sakti.

"Luas sekali wilayah Pakuan ini. Rasanya, tidak mungkin aku harus menjelajahinya hanya untuk mencari Nyai Wisanggeni. Terpaksa..., aku harus meminta bantuan Rajawali Putih. Mudah-mudahan saja, Rajawali Putih sudah bisa meninggalkan Pandan Wangi barang sejenak," gumam Rangga lagi, dalam hati.

Perlahan kepala Pendekar Rajawali Sakti menengadah ke atas. Hanya kegelapan dan kerlip bintang saja yang terlihat di langit. Beberapa saat Rangga berdiri tegak seperti patung. Tapi tidak lama kemudian, mulai terlihat napasnya ditarik dalam dalam. Sehingga dadanya yang bidang, jadi membusung. Kemudian...

"Suiiit...!"

Malam yang semula begitu hening, seketika jadi pecah oleh siulan Rangga yang begitu keras membelah angkasa. Sementara, Rangga sendiri masih tetap berdiri tegak dengan pandangan tertuju lurus ke langit yang kelam bercahayakan kerlip bintang berwarna keperakan.

"Hm..., lama sekali. Apa yang dilakukan Rajawali...? Rasanya tidak terlalu jauh dari sini ke Lembah Bangkai," gumam Rangga perlahan.

Memang Rangga merasakan kedatangan Rajawali Putih begitu lama tidak seperti biasanya. Dan dia tahu, jarak antara bukit ini dengan Lembah Bangkai yang menjadi tempat tanggal burung rajawali raksasa itu tidak terlalu jauh. Dan seharusnya, hanya sekali panggilan saja Rajawali Putih sudah sampai. Tapi sampai begitu lama menunggu, Rajawali Putih belum juga menampakkan diri.

"Sebaiknya aku coba panggil sekali lagi," gumam Rangga lagi dalam hati.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti bersiap-siap memanggil Rajawali Putih. Kepalanya sudah terdongak ke atas, dan dadanya sudah membusung. Lalu tidak lama kemudian...

"Suiiit...!"

Kembali Rangga menunggu. Tapi kali ini dia jadi heran. Panggilannya sama sekali tidak membawa hasil. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau Rajawali Putih bakal muncul. Dan ini tentu saja membuat Rangga jadi heran, bertanya-tanya sendiri dalam hati. Belum pernah hal seperti ini dialaminya. Rajawali Putih pasti datang, kalau mendengar panggilannya. Tapi kali ini?

"Baiklah. Aku coba sekali lagi," ujar Rangga pelan.

Rangga kembali bersiap hendak memanggil Rajawali Putih. Dan kali ini siulannya lebih panjang daripada sebelumnya. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terdiam dengan kepala terdongak ke atas, memandang langit. Dan tidak lama kemudian...

"Suiiit...!"

Namun baru saja suara siulan yang dialunkan Rangga terdengar, tiba-tiba saja...

"Heh...?!"

ENAM

Rangga jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terasa hempasan angin yang begitu halus namun sangat kuat. Akibatnya, siulan Pendekar Rajawali Sakti seketika menghilang begitu saja. Hempasan angin itu datang bersama terdengarnya siulan yang dialunkan untuk memanggil Rajawali Putih.

"Edan...! Siapa lagi yang usil menggangguku?!" dengus Rangga jadi kesal.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti terdiam sambil mengedarkan pandangan kesekeliling. Tidak ada yang dapat dilihat, selain pepohonan yang menghitam terselimut gelapnya malam yang begitu pekat. Sedangkan dari langit, awan begitu tebal menutupi cahaya bulan.

"Hm... Akan kucoba dengan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'," gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sebuah ilmu kesaktian yang membuat telinganya dapat mendengar suara sekecil apa pun. Dan Rangga juga dapat memilih suara yang diinginkannya, dengan memilah-milah suara yang sampai ke telinganya.

Tampak kepala Pendekar Rajawali Sakti ber-gerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Dia berusaha mencari, kalau-kalau ada orang lain di sekitarnya yang mengganggunya tadi. Tapi sama sekali tidak terdengar sesuatu yang mencurigakan. Hanya desir angin saja yang tertangkap pendengarannya. Rangga segera menarik ajiannya dan kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling mempergunakan aji 'Tatar Netra'.

"Hm.. "

Saat pandangannya tertuju ke arah kiri, Rangga sempat melihat sebuah bayangan yang tersembunyi di antara lebatnya pepohonan dan gundukan batu cadas yang banyak terdapat di bukit ini. Ini memang sangat menarik perhatiannya. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Dan...

"Hup!"
Wusss!

Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga hanya sekali lesat saja, sudah lenyap bagaikan asap tersapu angin. Hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat begitu cepat bagai kilat. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun Rangga menjejakkan kakinya di tempat yang menjadi perhatiannya tadi. Tapi...

"Ups...!"

Cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting dan berputar sekali ke belakang, begitu tiba-tiba saja merasakan desir angin yang begitu halus menyambut kedatangannya. Dan manis sekali kakinya kembali menjejak tanah yang berbatu.

"Hm..."

Rangga jadi bergumam, begitu di depannya sudah terlihat berdiri seorang laki-laki tua berbaju jubah merah menyala. Di tangannya, tampak sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya.

Walaupun usianya sudah mencapai lebih dari delapan puluh tahun, tapi orang tua itu masih tetap berdiri tegak dan gagah. Raut wajahnya terlihat bengis dengan sorot mata tajam dan memerah bagai sepasang bola api. Belahan bibirnya hampir tidak terlihat, tertutup kumis putih panjang yang menyatu dengan jenggot putihnya yang panjang sampai menutupi leher. Beberapa saat mereka terdiam dan hanya saling berpandangan saja, dengan sorotan mata tajam. Seakan-akan mereka saling mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Maaf, Ki. Aku tidak kenal denganmu. Tapi kenapa kau menggangguku tadi...?" tanya Rangga.

"Kau yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?" orang tua itu malah balik bertanya dengan suara ketus dan dingin menggetarkan.

"Benar," sahut Rangga singkat.

"Kalau begitu, kau harus mampus! Kau sudah berani mengganggu muridku!" bentak orang tua itu, semakin dingin dan garang suaranya.

"Eh...?! Tunggu! Aku tidak tahu siapa kau, Ki. Dan apa urusanmu padaku...?!" sentak Rangga tidak mengerti.

"Aku Ki Sancaka. Urusanmu nanti setelah kau berada di neraka, Bocah!"

"Heh...?!"

Rangga tidak punya kesempatan lagi untuk mencegah, begitu tiba-tiba orang tua yang mengaku Ki Sancaka itu mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan seketika itu juga, dari ujung tongkat yang kelihatan rapuh melesat sebuah benda kecil berbentuk pisau yang begitu cepat bagai kilat.

"Ups!"

Cepat Rangga miring ke kanan, hingga pisau kecil itu lewat hanya sedikit saja di samping tubuhnya. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditarik tegak kembali, orang tua itu sudah cepat melompat. Langsung tongkatnya dikebutkan ke arah kepala.

"Haiiit...!"

Sedikit saja Rangga mengegoskan kepala, sehingga sabetan tongkat orang tua itu tidak sampai mengenainya. Dan pada saat itu juga, Rangga sedikit memutar tubuhnya dengan bertumpu pada kaki kiri. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melayangkan satu tendangan berputar yang langsung diarahkan ke dada orang tua ini.

"Hap!"
Bet!
"Heh...?!"

Lagi lagi Rangga jadi terkesiap. Cepat kaki kanannya ditarik, begitu Ki Sancaka mengibaskan tongkatnya ke depan dada. Dua langkah Rangga melompat ke belakang, berusaha menjaga jarak. Langsung kedua tangannya dikepalkan, tersilang di depan dada. Sementara, Ki Sancaka berdiri tegak dengan tongkat tertekan kuat pada tanah di ujung jari kakinya.

"Pantas muridku begitu segan berhadapan denganmu. Ternyata kepandaianmu lumayan juga. Tapi aku ingin tahu. sampai di mana kau bisa menahan jurus-jurusku, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar begitu dingin nada suara Ki Sancaka.

"Maaf, Ki. Bukannya tidak menghormati orang tua. Tapi, aku benar-benar tidak mengerti semua ini. Kau tiba-tiiba saja muncul dan langsung menyerangku tanpa alasan. Kau punya dendam padaku, Ki?" Rangga tetap membuat suaranya lembut dan tenang.

"Phuih! Jangan bermanis mulut denganku, Bocah! Ayo, tahan seranganku ini!" bentak Ki Sancaka Bdak menghiraukan kata-kata Rangga.

Dan belum lagi Rangga bisa membuka suaranya orang tua itu sudah mengebutkan tongkatnya ke depan, sambil mendengus berat Seketika itu juga, berdesir angin yang sangat kuat bagai hempasan badai topan.

"Hap!"

Rangga cepat melenting ke belakang dan ber-putaran dua kali, sebelum serangan Ki Sancaka mencapai sasaran. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah. Tapi pada saat itu juga, Ki Sancaka sudah melesat cepat bagai kilat sambil mengebutkan tongkatnya yang tepat diarahkan ke kepala pemuda berbaju rompi putih ini.

"Mampus kau! Sha.. !"

"Ups! Gila...!"

Hampir saja kebutan tongkat orang tua itu menghantam kepala Pendekar Rajawali Sakti, kalau saja tidak cepat merunduk. Saat itu juga, Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, dan langsung melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Yeaaah...!"
"Ikh!"

Tendangan yang begitu cepat dan mengan-dung pengerahan tenaga dalam sempurna, membuat Ki Sancaka jadi tersentak kaget setengah mati. Namun cepat tongkatnya dikebutkan ke bawah, sehingga membuat Rangga terpaksa harus menarik kembali kakinya sebelum mencapai sasaran. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti melompat kebelakang, mengambil jarak untuk mengatur serangan berikut. Sementara, Ki Sancaka sendiri juga melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Kini mereka kembali berdiri tegak saling berhadapan dengan tatapan mata yang begitu tajam menusuk, saling mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Hm.... Anak muda ini benar-benar tangguh. Pantas saja Wisanggeni sulit menghadapinya," gumam Ki Sancaka dalam hati, mengagumi kepandaian yang dimiliki lawannya yang masih muda ini.

Sementara, Rangga sendiri sudah cepat menyadari kalau lawannya kali ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Kepandaiannya begitu tinggi, hingga begitu sulit melakukan serangan. Seakan-akan orang tua yang mengaku bernama Ki Sancaka ini mengetahui semua gerakannya. Bahkan seperti sudah bisa menebak, ke mana arah serangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga benar-benar harus berhati-hati menghadapinya.

"Aku bosan bermain-main denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya, kita selesaikan saja urusan ini," terasa begitu dingin nada suara Ki Sancaka.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.

Sementara, tongkat Ki Sancaka sudah tersilang di depan dada dan perlahan-lahan diputar. Kemudian ujung tongkatnya ditancapkan ke tanah sambil memperdengarkan suara mendengus yang begitu berat.

"Hep!"

Cepat sekali Ki Sancaka melakukan gerakan-gerakan dengan kedua tangannya, diimbangi gerakan tubuh yang meliuk-liuk seperti seekor ular. Sementara, Rangga masih tetap tegak berdiri memperhatikan setiap gerak laki-laki tua itu. Tidak lama Ki Sancaka membuat beberapa gerakan yang begitu indah dengan liukan tubuh seperti ular. Dan ketika berhenti, tampak kedua tangannya sudah berwarna merah membara seperti besi terbakar dalam tungku.

"Heh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget, ketika melihat kedua tangan Ki Sancaka menjadi merah membara seperti terbakar. Keadaan seperti itu tentu saja membuatnya agak terperangah, karena kedua tangan Ki Sancaka yang merah begitu sama dengan saat Rangga mengeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Tanpa disadari, Rangga jadi melangkah mundur beberapa tindak. Malah kedua bola matanya jadi terbelalak seperti tidak percaya dengan apa yang tengah disaksikannya.

"Kenapa kau terkejut, Pendekar Rajawali Sakti? Takut menghadapi jurus 'Cakar Api Penyebar Maut' ini...?" terdengar mengejek nada suara Ki Sancaka.

"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.

Mendengar nama jurus yang digunakan Ki Sancaka, hati Pendekar Rajawali Sakti jadi sedikit tenang. Jelas sekali jurus yang dimilikinya berbeda dengan jurus Ki Sancaka. Hanya hasilnya saja yang kelihatan sama.

"Sebaiknya aku coba dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali." gumam Rangga dalam hati "Hap...!"

Rangga segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkatan terakhir untuk mengimbangi jurus 'Cakar Api Penyebar Maut' Ki Sancaka. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang juga menjadi merah membara seperti api, membuat kedua bola mata Ki Sancaka iadi terbebak lebar.

"Heh...?! Jurus apa yang kau gunakan...?" sentak Ki Sancaka tidak dapat lagi menahan rasa keterkejutannya.

"Sama sepertimu," sahut Rangga kalem, agak memancing.

"Kunyuk! Kau mencuri ilmuku, heh...?!"

Rangga hanya tersenyum saja mendengar tuduhan itu. Dan memang, jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir sengaja dikeluarkan untuk memancing amarah lawannya. Dan sekarang, pancingannya sudah mulai menampakkan hasilnya. Ki Sancaka menduga, Rangga mencuri ilmunya. Tentu saja ini membuatnya jadi geram setengah mati, hingga wajahnya memerah bagai kepiting rebus.

"Kubunuh kau, Pencuri Busuk! Hiyaaat..!"

Sambil menggeram dahsyat, Ki Sancaka melompat begitu cepat sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, berdesir angin yang sangat kuat, disertai hempasan udara panas menyengat kulit. Sementara, Rangga yang sudah siap sejak tadi tetap diam menanti dengan kedua tangan terkepal erat di samping pinggang. Dan begitu serangan Ki Sancaka sudah dekat....

"Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang terkepal ke depan, tepat di saat kedua tangan Ki Sancaka sudah dekat ke dadanya.

Glarrr...!

Tak pelak lagi, benturan keras pun terjadi hingga menimbulkan ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Bahkan tanah yang dipijak jadi bergetar, bagai diguncang gempa yang sangat dahsyat. Bunga api pun memercik dari dua pasang tangan yang beradu keras itu.

Tampak mereka sama-sama terpental satu batang tombak ke belakang, diiringi jeritan pendek yang tertahan. Mereka sama-sama jatuh bergulingan di tanah, tapi cepat bangkit berdiri. Terlihat Ki Sancaka agak terhuyung begitu kedua kakinya bisa menapak lagi di tanah. Setetes darah kental berwarna agak kehitaman, mengalir keluar dari sudut bibirnya. Sementara, Rangga dengan gerakan manis sekali bisa berdiri tegak, tanpa sedikit pun kelihatan terluka.

"Phuih!"

Ki Sancaka menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Tersirat rasa dendam dan penasaran yang amat sangat di dalam sinar bola matanya. Terlebih lagi, saat mengetahui lawannya yang masih berusia muda itu tetap tegar tanpa mendapatkan luka sedikit pun. Sedangkan saat ini, Ki Sancaka merasakan dadanya begitu sesak seperti baru saja terhantam sebuah godam yang sangat besar dan kuat. Bahkan seluruh persendian tulang tangannya terasa nyeri!

"Jangan besar kepala dulu, Bocah! Kali ini, aku akan mengadu nyawa denganmu!" desis Ki Sancaka dingin menggetarkan.

"Aku kira tidak ada gunanya kita mengadu jiwa, Ki. Apalagi, kalau sikapmu ini membela orang yang salah. Meskipun, orang itu adalah muridmu sendiri. Apa boleh buat, aku terpaksa melayanimu," tegas Rangga.

"Kau sudah mengganggu ketenangan Nyai Wisanggeni. Maka harus kau bayar mahal atas perbuatanmu itu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Ki Sancaka geram. "Hanya nyawamulah yang patut untuk membayar keusilanmu!"

"Oh...?! Jadi si Setan Perempuan Penghisap Darah itu muridmu ?' kali ini nada suara Rangga terdengar agak sinis.

"Benar! Dan sekarang, bersiaplah menjemput kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti!"

Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Memang tidak ada lagi pilihan baginya. Terpaksa disambutnya tantangan yang sudah dibuka Ki Sancaka. Bahkan sejak kemunculannya tadi, orang tua itu terus saja mendesak ingin membunuhnya. Tapi setelah tahu kalau Ki Sancaka adalah guru Nyai Wisanggeni sikap Rangga yang semula masih mengalah, kini jadi berubah begitu jauh. Sorot matanya jadi begitu tajam, hingga membuat Ki Sancaka agak bergidik juga.

"Phuih!"

Ki Sancaka menyemburkan ludahnya, berusaha mengurangi getaran yang tiba-tiba terjadi dalam hatinya. Perlahan kakinya melangkah mendekati tongkatnya yang tadi ditancapkan di tanah. Mudah sekali tongkat kayunya dicabut. Sementara Rangga sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Hanya tatapan matanya saja yang terlihat begitu tajam, memperhatikan setiap gerak Ki Sancaka dalam membuka jurusnya kembali untuk meneruskan pertarungan.

"Cabut senjatamu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak Ki Sancaka sambil mengebutkan tongkat kayunya ke depan.

"Untuk menghadapimu, tidak perlu menggunakan senjata," sambut Rangga dingin.

"Sombong ..! Jangan menyesal kalau kau mati tanpa sempat mencabut senjata, Bocah!" dengus Ki Sancaka geram.

Rangga hanya tersenyum tipis saja. Sementara, Ki Sancaka sudah mulai membuka jurusnya kembali. Tongkatnya segera dikebutkan cepat beberapa kali, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, kebutan tongkat kayunya itu menimbulkan suara angin menderu bagai badai topan. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Dan...

"Hm..."

Rangga mengumam sedikit, saat melihat Ki Sancaka menjajarkan tongkat dengan tubuhnya, sehingga ujung tongkatnya hampir menyentuh hidungnya sendiri. Tampak seluruh tubuh orang tua itu bergetar bagai terserang demam ringgi. Dan begitu getaran di tubuhnya menghilang, seketika itu juga seluruh tubuhnya memancarkan cahaya kuning keemasan. Pada bagian ujung tongkatnya juga memancar cahaya kuning keemasan, yang membentuk bulatan sebesar kepala manusia.

"Dia mulai menggunakan ilmu kesaktian. Hm... Apa boleh buat. Aku harus menggunakan aji 'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati. "Hep...!"

Cepat Rangga merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Dan tubuhnya langsung bergerak miring ke kiri, begitu kakinya terentang cukup lebar ke samping. Lalu perlahan-lahan tubuhnya bergerak ke kanan. Dan ketika kembali tegak, terlihat cahaya biru berkilauan menyemburat, bagai hendak keluar dari kedua telapak tangannya yang masih merapat di depan dada.

Sementara itu, Ki Sancaka sendiri sudah siap melakukan serangan dengan mengerahkan ilmu pamungkasnya. Untuk beberapa saat, mereka berdua saling berdiam diri, seakan-akan tengah mengukur tingkat ilmu yang akan digunakan masing-masing.

"Sambutlah kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"

Diawali bentakan keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa, Ki Sancaka melompat cepat sambil menghentakkan tongkatnya ke depan. Dan ketika bulatan cahaya kuning keemasan dari ujung tongkatnya melesat..

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"

Rangga berteriak keras sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan, dengan jari-jari terkembang lebar. Dan seketika itu juga dari kedua telapak tangannya yang terbuka melesat cahaya biru berkilauan yang menyilaukan mata. Begitu cepatnya dua cahaya itu melesat, sehingga...

Glarrr...!

TUJUH

Satu ledakan keras terdengar menggelegar bagai hendak meruntuhkan bukit yang menjadi ajang pertarungan dua tokoh persilatan tingkat tinggi, tepat di saat dua cahaya yang beradu di tengah-tengah.

"Akh...!"

Terdengar jeritan agak tertahan keluar dari mulut Ki Sancaka, begitu tubuhnya terdorong lima langkah ke belakang. Cahaya kuning keemasan yang memancar dari seluruh tubuh dan ujung tongkatnya seketika itu juga lenyap. Tapi, cahaya biru yang memancar dan kedua telapak tangan Rangga terus meluncur cepat bagai kilat ke arah orang tua ini.

"Heh...?!"

Ki Sancaka jadi terbeliak melihat Rangga masih terus melancarkan serangan tanpa berhenti sedikit pun. Cepat orang tua itu berusaha menghindar dengan menggeser kakinya ke samping. Tapi, gerakannya sudah terlambat. Akibatnya, dia tidak bisa lagi menghindari cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan...

"Akh...!"

Kembali Ki Sancaka memekik, begitu cahaya biru terang yang keluar dari telapak tangan Rangga menghantam tubuhnya. Dan cahaya biru itu langsung menyelimuti seluruh tubuh Ki Sancaka.

"Ugkh...!"

Ki Sancaka jadi mengeluh, begitu merasakan tubuhnya terselubung cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Seketika seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan untuk melepaskan diri dari selubung cahaya biru ini. Tapi semakin kuat mengerahkan tenaga dalamnya, semakin banyak saja cahaya biru itu menggumpal menyelimuti seluruh tubuhnya.

"Akh...!"

Kembali Ki Sancaka memekik, saat merasakan kekuatannya mulai mengalir keluar tanpa dapat dikendalikan lagi. Sementara, Rangga mulai melangkah menghampiri orang tua ini. Kedua tangannya masih terjulur ke depan, memancarkan cahaya biru yang terus menyelimuti seluruh tubuh Ki Sancaka.

Dan Ki Sancaka terus menggeliat-geliat sambil berteriak, berusaha melepaskan diri dari belenggu cahaya biru yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Tapi semakin keras berusaha semakin deras pula kekuatannya tersedot keluar tanpa disadari. Tampak titik keringat sebesar butir-butir jagung mulai merembes membasahi tubuhnya. Sedangkan Rangga semakin dekat saja. Dan ketika jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi, Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah.

"Ugkh! Aaakh...!"

Tiba-tiba saja Ki Sancaka menjerit melengking tinggi, hingga menggema ke seluruh bukit ini. Dan saat itu juga, tubuhnya jadi lemas bagai tidak memiliki kekuatan lagi. Kalau saja tubuhnya tidak terselubung cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' pasti sudah ambruk ke tanah. Ki Sancaka sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya yang sudah lemah seperti mengalami kelumpuhan. Sementara, Rangga masih terus mengerahkan ilmunya yang sangat dahsyat.

"Hih! Yeaaah...!"

Mendadak Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga tangannya dihentakkan ke depan. Dan....

Glarrr!

Bersamaan dengan itu, terdengar ledakan keras memekakkan telinga. Dan seketika, seluruh tubuh Ki Sancaka hancur berkeping-keping menjadi tepung, begitu kedua tangan Rangga terhentak mundur, yang mengakhiri pengerahan ilmu kesaktiannya.

"Hhh...!"

Rangga menghembuskan napas panjang, sambil menarik kakinya ke belakang dua langkah. Dipandanginya onggokan debu jasad Ki Sancaka yang hancur akibat aji 'Cakra Buana Sukma'. Memang sungguh dahsyat akibatnya jika dikerahkan sampai pada tingkat yang terakhir. Tubuh lawannya bisa menjadi debu seketika.

Beberapa saat lamanya Rangga masih berdiri diam, memandangi jasad lawannya yang kini sudah teronggok menjadi debu tidak jauh di depannya. Dan beberapa kali dia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian kakinya mulai bergerak ke belakang beberapa langkah, lalu tubuhnya berbalik.

"Malam ini juga aku harus menemukan Nyai Wisanggeni dan muridnya. Akan kupanggil Rajawali Putih," gumam Rangga perlahan, bicara pada diri sendiri.

Hati Rangga jadi merasa lega setelah mengetahui dari Rajawali Putih kalau keadaan Pandan Wangi tidak perlu dikhawatirkan lagi. Dalam beberapa hari ini, Pandan Wangi bisa kembali bersamanya. Dan malam ini Rangga tidak bisa terus-menerus menanyakan keadaan Pandan Wangi, karena harus secepatnya bisa menemukan Nyai Wisanggeni dan muridnya. Terutama menemukan Setan Perempuan Penghisap Darah yang telah membuat Pandan Wangi dan Danupaksi jadi celaka. Kemarahan Pendekar Rajawali Sakti memang tidak bisa dibendung lagi.

Dengan menunggang Rajawali Putih, Rangga bisa menjelajahi seluruh wilayah Kerajaan Pakuan dalam waktu singkat. Bahkan sampai memeriksa ke daerah perbatasan antara Pakuan dan Karang Setra. Namun sampai tengah malam, belum juga ditemukan tanda-tanda, di mana adanya Nyai Wisanggeni yang selama ini dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah.

"Kembali ke bukit Rajawali," pinta Rangga pada burung rajawali raksasa yang menjadi tunggangannya.

"Khraaagkh...!"

Rajawali Putih langsung melesat cepat bagai kilat menuju bukit, tempat Rangga memanggilnya tadi dengan siulan saktinya. Dalam waktu sekejap mata saja, Rajawali Putih sudah berada di atas bukit itu lagi. Namun saat Rangga hendak memintanya turun, mendadak saja kedua bola matanya jadi terbeliak lebar.

"Tunggu, Rajawali...! Kau lihat di bawah Sana...?" terdengar agak bergetar suara Rangga.

"Khrrr...!"

Tampaknya Rajawali Putih juga sudah melihat. Dan burung itu mengkirik perlahan sambil menjulurkan kepala ke bawah. Sehingga Rangga yang berada di punggungnya dapat melihat lebih jelas lagi. Dengan menggunakan aji 'Tatar Netra', Pendekar Rajawali Sakti semakin dapat melihat lebih jelas lagi apa yang ada di bawahnya. Padahal saat ini malam begitu gelap tanpa sedikit pun terlihat cahaya bintang maupun bulan. Langit malam juga terselimut awan tebal menghitam.

"Benar, Rajawali. Ternyata mereka masih ada di sini. Hhh...! Kalian tidak akan lolos dari tanganku sekarang!" gumam Rangga agak menggeram suaranya begitu bisa memastikan kalau dua orang yang dilihatnya di puncak bukit itu adalah Nyai Wisanggeni dan muridnya, Panglima Widura dari Kerajaan Pakuan.

Dari angkasa, Rangga melihat jelas kalau perempuan tua itu bersama muridnya tengah berdiri tidak jauh dari tumpukan debu dari tubuh Ki Sancaka yang tewas akibat terkena aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti dalam pertempurannya tadi.

"Ayo, Rajawali. Kita kejutkan mereka," ajak Rangga.

"Khraaagkh...!"

Sambil berseru keras menggelegar, Rajawali Putih langsung saja menukik cepat bagai kilat menuju puncak bukit yang tidak begitu lebat ditumbuhi pepohonan. Teriakan Rajawali Putih yang begitu keras bagai guntur membelah angkasa, sudah membuat Nyai Wisanggeni dan Widura jadi tersentak kaget setengah mati. Dan saat mendongak ke atas, kedua bola mata mereka jadi terbeliak lebar, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, tahu-tahu Rajawali Putih sudah mendarat tepat sekitar satu batang tombak di depan mereka, membuat kedua bola mata semakin lebar terbeliak. Terlebih lagi, saat dari punggung burung rajawali raksasa itu melompat seorang pemuda berbaju rompi putih yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu berdiri tegak di depan burung rajawali raksasa tunggangannya.

"Jangan harap bisa sembunyi dariku..." terasa begitu dingin nada suara Rangga.

Kebencian begitu nyata tersirat dalam tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti. Kebencian yang sudah tidak bisa terbendung lagi, karena ulah kedua orang ini yang menyebabkan Pandan Wangi dan Danupaksi jadi menderita. Padahal orang-orang itu sudah teramat dekat dengan hati Pendekar Rajawali Sakti.

"Malam ini kalian berdua harus menerima ganjaran yang setimpal!" desis Rangga dingin menggetarkan.

"Kau yang akan mampus, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak Widura begitu lenyap dari keterpanaannya.

Sret!

Tanpa membuang waktu lagi, Widura langsung saja mencabut pedangnya. Dan... "Mampus kau! Hiyaaat...!"

Sambil membentak nyaring, Widura langsung saja melompat sambil membabatkan pedangnya, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Haiiit...!"

Namun hanya sedikit saja Rangga mengegos kan kepala, tebasan pedang Widura dapat dihindari. Bahkan dengan kecepatan mengagumkan, Rangga menghentakkan tangan kirinya diikuti egosan tubuh yang begitu manis. Begitu cepat sodokan tangannya, sehingga membuat Widura tiidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan...

Begkh!
"Akh...!"

Widura jadi terpekik begitu sodokan tangan kiri Rangga mendarat telak di dadanya. Dan di saat tubuhnya terhuyung, cepat Rangga melepaskan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.

"Hiyaaat...!"
Des!
"Aaa...!"

Widura menjerit melengking tinggi, begitu tendangan yang dilepaskan Rangga berhasil mendarat keras sekali di dadanya. Akibatnya seketika tubuhnya terpental sejauh dua batang tombak ke belakang.

Bruk!

Keras sekali tubuh Widura terbanting ke tanah, dan hanya bisa menggeliat sedikit saja. Tampak dari mulutnya mengalir darah segar yang agak kental. Kedua bola matanya terbeliak lebar. Sedikit tubuhnya mengejang, lalu diam tdak bergerak-gerak lagi. Seketika, nyawa panglima itu melayang dengan tulang-tulang dada remuk, akibat terkena tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu keras mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Bocah keparat...! Kau harus membayar mahal nyawa muridku!" bentak Nyai Wisanggeni geram, begitu melihat muridnya tewas hanya dalam dua kali gebrakan saja.

"Hhh!"

Rangga hanya sedikit menghembuskan napasnya saja. Lalu kakinya cepat digeser ke kanan dua langkah, begitu Nyai Wisanggeni sudah memutar tongkatnya yang berbentuk ular di depan dada. Kemudian perempuan tua itu menancapkan ujung tongkatnya ke tanah, tepat di ujung jari-jari kakinya. Sementara, tatapan matanya terlihat begitu tajam, bagai hendak melumat seluruh tubuh pemuda yang berada sekitar satu batang tombak di depannya.

Entah berapa lama mereka terdiam saling berpandangan dengan tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Dan secara bersamaan, mereka saling bergerak menggeser kakinya ke samping. Sementara. Nyai Wisanggeni sudah menyilangkan tongkatnya di depan dada. Dan Rangga masih tetap dengan tangan kosong yang berada di samping pinggangnya. Tapi kedua bola matanya tidak berkedip sedikit pun memperhatikan setiap gerak si Setan Perempuan Penghisap Darah itu.

Entah sudah berapa lama mereka terdiam saling berpandangan tajam. Sementara di ufuk timur, semburat cahaya merah jingga mulai terlihat. Dan kicauan burung pun mulai terdengar, pertanda sebentar lagi pagi akan datang menjelang. Keadaan di puncak bukit ini pun sudah mulai tersiram cahaya matahari. Dan udara yang semula terasa begitu perlahan mulai menghangat.

Rangga berpaling sedikit, melirik Rajawali Putih yang masih tetap mendekam memperhatikannya. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu kelihatannya agak gelisah dengan datangnya pagi.

"Kau boleh pergi, Rajawali," kata Rangga seakan bisa mengetahui arti kegelisahan tunggangannya

"Khrrr...!"

Rajawali Putih langsung mengembangkan sayapnya. Dan...

"Khraaagkh...!"

Sambil berseru nyaring, Rajawali Putih mengepakkan sayapnya yang besar. Bagaikan kilat, dia melesat tinggi ke angkasa. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah lenyap dari pandangan, hilang tertelan awan yang masih cukup tebal menggumpal di angkasa.

"Sahabatku sudah pergi. Kau tidak perlu takut sekarang, Nyai Wisanggeni. Hanya aku dan kau yang ada di sini," dingin dan datar sekali suara Rangga.

"Phuih!"

Nyai Wisanggeni hanya menyemburkan ludahnya saja dengan sengit. Sedikit kepalanya mendongak ke atas. Memang sudah tidak terlihat lagi burung rajawali raksasa yang membuat hatinya tadi jadi gentar juga melihatnya. Sedangkan Rangga hanya tersenyum sedikit melihat bakal lawannya ingin memastikan kalau Rajawali Putih sudah pergi dari puncak bukit ini.

Bet!

Merasa pasti kalau Rajawali Putih sudah tidak ada lagi, Nyai Wisanggeni langsung saja mengebutkan tongkatnya yang berbentuk ular ke depan. Dan seketika itu juga, dari ujung kepala tongkatnya melesat puluhan benda kecil seperti jarum berwarna kuning keemasan yang begitu cepat.

"Hap!"

Namun Rangga yang sejak tadi sudah siap, dengan gerakan yang begitu manis berhasil menghindari semua benda kecil itu. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan seekor ular tanpa menggeser kakinya sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti kembali tegak, begitu tidak ada lagi jarum-jarum senjata rahasia si Setan Perempuan Penghisap Darah.

"Hanya itukah yang kau miliki, Nyai Wisanggeni.?" Sengaja Rangga memanasi perempuan tua itu, karena ingin memancing kemarahannya.

"Bocah keparat! Cabut senjatamu...I" bentak Nyai Wisanggeni geram.

Rangga hanya tersenyum saja. Hatinya senang, karena pancingannya ternyata membawa hasil. Nyai Wisanggeni kelihatan geram sekali merasa diremehkan pemuda lawannya.

Wut!

Kembali Nyai Wisanggeni mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan kali ini, berulang-ulang. Maka dari ujung kepala tongkat yang berbentuk ular itu melesat puluhan jarum halus berwarna kuning keemasan.

"Hup! Hiyaaa...!"

Kali ini Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Nyai Wisanggeni. Jarum-jarum halus yang sangat berbahaya itu meluncur deras, menghujani Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya perempuan tua itu tidak sudi memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti untuk balas menyerang.

"Hiyaaa...!"

Nyai Wisanggeni berlompatan, memutari tubuh Pendekar Rajawali Sakti sambil cepat mengebutkan tongkatnya secara berulang-ulang. Dan ujung kepala tongkatnya terus ditujukan pada lawannya.

"Hih! Yeaaah...!"

Sambil melenting tinggi-tinggi ke atas, Rangga berputaran dengan tubuh meliuk menghindari serangan si Setan Perempuan Penghisap Darah itu.

"Yeaaah...!"

Diiringi teriakan keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras dengan kedua kaki bergerak begitu cepat bagai berputar. Saat itu juga, jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' dikerahkannya

"Ikh...?!"

Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget, melihat serangan Rangga yang begitu cepat dan dahsyat tanpa diduga sama sekali. Cepat kakinya ditarik ke belakang, seraya mengebutkan tongkatnya ke atas kepala. Tapi pada saat itu juga, Rangga sudah memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah. Dan bagaikan kilat, dilepaskannya satu pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Hiyaaa...!"
"Hih..!"
Bet!

Nyai Wisanggeni jadi kaget setengah mati. Cepat tongkatnya dikebutkan kedepan dada, sambil melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Maka pukulan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai menghantam tubuhnya.

"Hap!"

Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah, dan langsung mengembangkan kedua tangannya ke samping, bagaikan sepasang sayap rajawali yang sedang mengembang. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah menyilangkan lagi tongkatnya di depan dada.

"Phuih!"

Sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit, Nyai Wisanggeni menggeser kakinya perlahan ke kanan. Sementara, Rangga sudah mulai menggerakkan tangannya, bagaikan burung hendak terbang meninggalkan bumi. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata perempuan tua berjubah putih kumal itu.

"Hup! Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"

DELAPAN

Bagaikan kilat, Rangga melenting ke atas mem pergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dan begitu kakinya menjejak tanah di depan Nyai Wisanggeni, kedua tangannya langsung mengibas cepat secara bergantian. Akibatnya si Setan Perempuan Penghisap Darah itu jadi kelabakan menghindarinya.

"Hap! Hiyaaa...!"

Nyai Wisanggeni terpaksa harus berlompatan dan jungkir balik menghindari setiap kibasan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang bagaikan sayap seekor burung rajawali murka ini. Setiap kibasan tangannya selalu menimbulkan hempasan angin kuat, disertai hembusan hawa panas menyengat kulit.

Nyai Wisanggeni terus berjumpalitan sambil sesekali mengebutkan tongkatnya untuk menangkis setiap kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali tongkat perempuan tua itu menghantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, pemuda berbaju rompi putih itu terus saja melancarkan serangan dengan kibasan kedua tangannya yang begitu cepat dan dahsyat.

"Hap! Yeaaah...!"

Dan pada satu saat, tiba-tiba saja Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Lalu dengan gerakan tubuh begitu cepat, jurusnya dirubah menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat gerakannya, sehingga Nyai Wisanggeni jadi kaget tidak menyangka. Dan...

Begkh!
"Akh...!"

Pukulan dahsyat yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat lagi ditahan, tepat menghantam keras dada perempuan tua itu. Sehingga, Nyai Wisanggeni menjerit ketika tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.

Bruk!

Keras sekali tubuh perempuan tua itu terbanting ke tanah, dan bergelimpangan beberapa kali. Tubuhnya baru berhenti ketika menghantam sebatang pohon yang sangat besar.

Brak!

Seketika pohon yang besar itu hancur berkeping-keping terlanda tubuh perempuan tua itu. Namun Nyai Wisanggeni bisa cepat bangkit lagi walaupun terhuyung-huyung. Tampak darah kental berwarna agak kehitaman menyembur keluar dari mulutnya, begitu kedua telapak kakinya menjejak tanah lagi. Dia berdiri dengan bertumpu pada ujung tongkatnya yang ditekan kuat di depan ujung jari kakinya. Sementara, Rangga terlihat berdiri tegak menatap tajam pada perempuan tua berjubah putih kumal itu dengan sinar mata memerah bagai bara api.

"Keparat...!" Nyai Wisanggeni menggeram marah merasa kecolongan. "Kubunuh kau, Pendekar Rajawali Sakti...!"

Wuk!

Sambil menggeram marah Nyai Wisanggeni mengebutkan tongkatnya lurus ke depan, hingga ujung kepala tongkat yang berbentuk kepala ular tertuju lurus ke dada Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri tegak tanpa bergeming sedikit pun. Hanya pandangan matanya saja yang terlihat begitu tajam menusuk ke bola mata perempuan tua itu.

Belum juga Setan Perempuan Penghisap Darah itu bisa melancarkan serangan, mendadak saja terdengar suara gemuruh hingga membuat tanah di puncak bukit itu jadi bergetar bagai terjadi gempa. Getaran dan suara gemuruh itu membuat Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget setengah mati. Kembali tongkatnya yang sudah menjulur lurus ke depan diturunkan. Sementara Rangga juga terperanjat tidak mengerti.

Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, terlihat debu mengepul tinggi ke angkasa dari lereng bukit ini, sehingga menarik perhatian mereka. Namun tidak lama kemudian, terlihat semak-semak dan pepohonan bergoyang bagai terlanda badai. Dan....

"Danupaksi..." Rangga mendesis perlahan begitu terlihat seorang penunggang kuda muncul dari balik semak belukar.

Dan kemunculan pemuda penunggang kuda yang ternyata Danupaksi, diikuti pula oleh seorang gadis cantik berbaju biru muda. Gadis yang menunggang kuda putih itu tidak lain Pandan Wangi. Kemudian, disusul lagi oleh seorang laki-laki berusia separo baya, serta puluhan orang berkuda berpakaian seragam prajurit dari Kerajaan Karang Setra. Dalam waktu tidak berapa lama saja, puncak bukit itu sudah dipenuhi prajurit dari Karang Setra.

"Tangkap dia...!" seru Danupaksi tiba-tiba.

"Tahan!" bentak Rangga keras menggelegar, sebelum para prajurit yang diperintah Danupaksi bergerak untuk menangkap Nyai Wisanggeni.

Tajam sekali Rangga menatap adik tirinya, kemudian melangkah beberapa tindak menghampiri. Sementara Danupaksi sendiri sudah turun dari punggung kudanya, didampingi Pandan Wangi dan Panglima Lanang.

"Aku tidak menginginkan ada kecurangan dalam persoalan ini. Biar aku yang menanganinya sendiri," tegas Rangga.

"Tapi, Kakang. Dia sudah..."

"Cukup, Danupaksi!" sentak Rangga tegas, memutuskan ucapan adik tirinya.

Danupaksi langsung diam membisu. tidak be rani lagi membantah, walaupun dalam hatinya terdapat ganjalan yang menggunung. Dan matanya menatap tajam penuh kebencian pada Nyai Wisanggeni yang telah membuatnya terbaring beberapa hari di Istana Pakuan. Tapi melihat tatapan mata Rangga yang begitu tajam pemuda itu tidak bisa lagi membuka mulutnya.

"Kalian semua. menjauh dari sini!" bentak Rangga lantang menggelegar.

Tanpa diperintah dua kali, semua prajurit yang berada di tempat itu langsung bergerak menjauh. Tinggal Danupaksi, Pandan Wangi, dan Panglima Lanang yang masih tetap berada dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit Rangga melirikkan matanya yang tajam pada mereka. Dan tanpa diminta dengan kata-kata lagi, mereka segera menarik diri bergerak menjauhinya. Sementara Rangga sendiri melangkah mendekati Nyai Wisanggeni yang tampaknya sudah tidak memiliki harapan untuk bisa menyelamatkan diri lagi.

"Kau tidak perlu cemas, Nyai Wisanggeni. Mereka tidak akan ikut campur. Hanya aku yang akan memenuhi keinginanmu," kata Pendekar Rajawali Sakti kalem.

"Hm... Kuakui kejantananmu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku pun akan berlaku sebagaimana mestinya seorang pesilat," sambut Nyai Wisanggeni, kagum dengan kekesatriaan lawannya.

"Mari, Nyai. Mulailah lebih dulu," ujar Rangga mempersilakan dengan senyuman tersungging di bibir.

Nyai Wisanggeni menggeser kakinya beberapa langkah ke kanan. Sementara diperhatikannya orang-orang yang berada di sekelilingnya. Memang, mereka tampaknya tidak tengah berada dalam keadaan siap tempur. Bahkan sebagian tampak enak duduk di bawah pohon, seperti begitu yakin kalau rajanya bisa mengalahkan perempuan tua ini. Bahkan Danupaksi, Pandan Wangi, dan Panglima Lanang, terlihat duduk mencangkung beralaskan rerumputan yang cukup tebal terhampar di puncak bukit ini. Mereka juga begitu yakin kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa mengalahkan lawannya.

Melihat semua itu, Nyai Wisanggeni jadi bergetar juga hatinya. Disadari kalau lawan yang sedang dihadapinya bukanlah lawan sembarangan. Lawan yang sudah menewaskan gurunya, juga murid tunggal kesayangannya. Sudah barang tentu kepandaian pemuda berbaju rompi putih ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Ini terlihat dari begitu yakinnya orang-orang yang ada di puncak bukit ini, tanpa tersirat keraguan sedikit pun.

"Phuuuh...!"

Nyai Wisanggeni menghembuskan napasnya panjang-panjang, mencoba mengurangi keraguan dan kegentaran yang bersemayam dalam hatinya. Ujung tongkatnya yang runcing pun ditancapkan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Dan tatapan matanya kini tertuju lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berada sekitar satu setengah tombak di depan.

"Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti. Tahan seranganku...," desis Nyai Wisanggeni datar "Hiyaaat...!"

Sambil berteriak nyaring melengking, perempuan tua itu langsung saja melesat cepat bagai kilat. Dan tongkatnya seketika dikebutkan, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Haiiit..!"

Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepalanya, serangan Nyai Wisanggeni dengan mudah dihindari. Tapi, Rangga agak terkejut juga saat merasakan desir angin yang begitu panas di atas kepalanya, ketika tongkat berbentuk ular milik perempuan tua itu lewat.

"Hep!"

Cepat Rangga melompat ke belakang sejauh dua langkah. Dan pada saat itu Nyai Wisanggeni sudah memutar tongkatnya, yang langsung disabetkan ke pinggang.

Bet!
"Hih...!"

Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk menghindarinya. Maka segera dikerahkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' untuk menangkis. Cepat sekali gerakan yang mereka lakukan, sehingga...

Plak!
"Ikh...?!"

Nyai Wisanggeni terpekik kaget, begitu tongkatnya menghantam tangan kanan Rangga yang mengibas menangkis serangannya. Seluruh tangan kanannya yang memegang tongkat kontan terasa jadi bergetar. Dan seluruh persendian tulang tangannya jadi nyeri bagai hendak lepas. Sementara, Rangga sendiri sempat terlompat ke belakang, tanpa merasakan apa-apa sama sekali.

"Hm...," Pendekar Rajawali Sakti menggumam pelan.

Dari benturan tangan dengan tongkat ular Nyai Wisanggeni tadi, sudah bisa diukur kalau tingkat pengerahan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya masih unggul. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah bersiap hendak melakukan serangan lagi.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak nyaring, perempuan tua itu kembali melompat dengan sabetan tongkat yang begitu cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hap!"

Namun sungguh di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha bergeming sedikit pun juga. Bahkan begitu ujung tongkat yang berbentuk kepala ular itu sudah dekat dadanya, cepat kedua telapak tangannya dikatupkan. Sehingga, ujung tongkat perempuan tua itu terjepit di antara kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti di depan dada.

"Ikh...!"

Nyai Wisanggeni berusaha menarik kembali tongkatnya, tapi jepitan tangan Rangga begitu kuat. Seakan-akan, tongkat itu berada dalam jepitan dua batu karang yang begitu kuat. Meskipun seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan. tapi tetap saja tongkatnya tidak terlepaskan. Bahkan sedikit pun tidak bergeming.

"Keparat...! Hih, yeaaah...!"

Tampak begitu geram Nyai Wisanggeni mendapati tongkatnya tidak berdaya berada dalam jepitan tangan lawannya yang masih muda ini. Dan sambil berteriak keras, tubuhnya melenting ke atas. Lalu, kaki kanannya menghentak memberi satu tendangan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hap! Hiyaaa...!"

Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga melepaskan jepitannya pada tongkat perempuan tua itu. Dan bagaikan kilat, tangan kirinya dikibaskan menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tepat mengarah ke kaki Nyai Wisanggeni yang menjulur mengarah ke kepala. Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga Nyai Wisanggeni tidak sempat lagi menarik pulang kakinya. Dan...

Plak!
"Akh...!"

Bersamaan terdengarnya pekikan Nyai Wisanggeni, Rangga melesat ke atas. Lalu, cepat sekali di lepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat pukulannya, sehingga Nyai Wisanggeni tidak dapat lagi mempertahankan dadanya yang kosong.

Begkh!
"Aaakh...!"

Kembali Nyai Wisanggeni menjerit keras melengking tinggi, begitu pukulan tangan kanan Rangga tepat menghantam keras dadanya. Akibatnya, tubuh perempuan tua itu seketika terpental jauh ke belakang.

Bruk!

Keras sekali tubuh perempuan tua itu terbanting ke tanah. Dan dari mulutnya langsung menyemburkan darah kental berwarna agak kehi taman. Sedangkan Rangga sudah kembali berdiri tegak sekitar dua batang tombak jauhnya di depan Nyai Wisanggeni.

"Hoeeekh...!"

Kembali Nyai Wisanggeni memuntahkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya, saat berusaha berdiri lagi. Dengan bantuan tongkatnya, perempuan tua itu bisa berdiri lagi, walaupun tubuhnya jadi terhuyung. Sementara, Rangga tetap menunggu dengan senyuman tersungging di bibir. Entah apa arti senyum Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku akan mengadu nyawa denganmu, Pendekar Rajawali Sakti...," desis Nyai Wisanggeni, agak bergetar suaranya.

"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.

Sementara, Nyai Wisanggeni sudah melepaskan tongkatnya. Lalu dengan tangan kosong dibuatnya beberapa gerakan di depan dada. Sorot matanya tertuju lurus, bagai hendak merobek dada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah membuatnya jatuh bangun beberapa kali.

"Hih...!"

Begitu perempuan tua itu menarik tangannya hingga tersilang di depan dada, seketika kedua tangannya jadi berubah merah membara seperti terbakar. Rangga yang sudah pernah menghadapi ilmu seperti itu dari Ki Sancaka, segera merapatkan kedua tangannya di depan dada.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti membuat gerakan tubuh. Kedua kakinya segera direntangkan ke samping. Dan begitu tubuhnya kembali tegak, terlihat semburat cahaya biru di antara kedua telapak tangannya yang masih tetap merapat di depan dada. Rangga yang sudah tahu kalau Nyai Wisanggeni sudah mempersiapkan ilmu kesaktian dahsyat, tidak mau tanggung-tanggung lagi. Segera disiapkannya aji 'Cakra Buana Sukma' untuk menandinginya.

"Tahan ajian pamungkasku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"

Sambil membentak nyaring, Nyai Wisanggeni langsung saja menghentakkan kedua tangannya yang sudah memerah ke depan. Dan pada saat itu juga...

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"

Dua cahaya meluncur begitu cepat dari dua aliran ilmu kesaktian, tanpa dapat dicegah lagi. Dan ketika kedua sinar merah dan biru itu bertemu tepat di tengah-tengah...

Glarrr...!

Satu ledakan dahsyat terdengar bagai guntur membelah angkasa. Tampak Nyai Wisanggeni terpental jauh ke belakang sambil menjerit begitu panjang melengking tinggi. Keras sekali tubuhnya terbanting di tanah, dan bergulingan beberapa kali, sebelum berhenti setelah membentur sebongkah batu yang cukup besar.

Sementara Rangga sedikit pun tidak bergeser kakinya. Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut aji kesaktiannya begitu melihat Nyai Wisanggeni tidak bergerak-gerak lagi, tergeletak di tanah berumput yang cukup tebal ini. Tampak dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah kental berwama agak kehitaman. Sedikit pun tidak ada gerakan yang menandakan kalau wanita tua itu masih hidup.

"Hm...," Rangga menggumam perlahan. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan perempuan tua itu, kemudian melangkah menghampiri. Langkahnya baru terhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga tindak lagi dari tubuh perempuan tua yang tergeletak tidak bergerak-gerak lagi. Dadanya terlihat berlubang agak menghitam agak kebiruan. Asap berwarna kebiruan terlihat mengepul dari dadanya yang berlubang cukup besar.

Pendekar Rajawali Sakti menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Memang sungguh dahsyat akibat aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir. kalau dikerahkan lewat tenaga dalam penuh dan sempurna. Setelah yakin kalau Nyai Wisanggeni sudah tidak bernyawa lagi, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya.

Lalu kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi, Danupaksi, dan Panglima Lanang yang sudah menanti sejak tadi. Mereka langsung menyambut kemenangan itu dengan wajah cerah, walaupun sejak semula sudah begitu yakin akan kemenangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayo kita kembali ke Karang Setra," ajak Rangga langsung, sebelum ada yang melontarkan suara.

Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Panglima Lanang memberi tali kekang kuda Dewa Bayu pada Pendekar Rajawali Sakti. Orang tua itu melompat naik ke atas punggung kudanya sendiri, setelah Rangga berada di atas punggung Dewa Bayu, kuda hiiam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

Dan tidak berapa lama kemudian, mereka semua sudah bergerak meninggalkan puncak bukit ini. Para prajurit yang berjumlah puluhan orang itu mengikuti dari belakang. Mereka semua menjalankan kuda perlahan-lahan, langsung menuju Karang Setra. Rangga berkuda paling depan, didampingi Danupaksi dan Pandan Wangi.

"Bagaimana kalian bisa bertemu, Pandan?" tanya Rangga.

"Rajawali Putih membawaku ke batas Kota Pakuan. Di sana aku bertemu Danupaksi," sahut Pandan Wangi.

"Kau tahu dari mana kalau aku ada di sini, Danupaksi?" tanya Rangga seraya berpaling pada adik tirinya.

"Paman Lanang," sahut Danupaksi ringan. Rangga langsung melirik Panglima Lanang.

"Maafkan hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak langsung kembali ke Istana Pakuan. Hamba terus mengikuti...."

"Ah, sudahlah potong Rangga cepat.

Mereka pun tidak bicara lagi, terus bergerak perlahan-lahan menuju ke Karang Setra yang berbatasan dengan Kerajaan Pakuan.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: DUKUN DARI TIBET

Memburu Pengkhianat

Pendekar Rajawali Sakti

MEMBURU PENGKHIANAT


SATU
SIANG ini matahari bersinar begitu terik, membuat udara di seluruh wilayah Kerajaan Pakuan terasa begitu panas menyengat. Namun panasnya sengatan cahaya matahari, tidak menghalangi seorang pemuda tampan berbaju rompi putih terus memacu cepat kudanya menerobos hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan lari kudanya baru dihentikan setelah terlihat sebuah pondok kecil yang begitu kumuh tidak jauh lagi di depannya.

"Hup!"

Ringan sekali pemuda itu melompat turun dari punggung kuda hitam tunggangannya ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Sebentar dia berdiri tegak dengan pandangan lurus tertuju ke pondok kecil tidak jauh di depannya.

"Kau tunggu di sini saja, Dewa Bayu," ujar pemuda itu seraya menepuk lembut leher kuda hitam tunggangannya.

Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu hanya menganggukkan kepala sambil memperdengarkan suara mendengus kecil. Beberapa langkah binatang itu ke belakang menjauhi pemuda yang tak lain Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan pemuda itu sendiri pun berdiri tegak dengan pandangan lurus tidak berkedip ke depan. Dia tahu, pondok itu yang didatangi Panglima Widura beberapa waktu lalu. Bahkan bertepatan dengan munculnya Nyai Wisanggeni ke padepokan Ki Jumir. Dan akibatnya orang tua itu tewas. Sementara Pandan Wangi terluka parah

Kini perlahan lahan Pendekar Rajawali Sakti mulai mengayunkan kakinya mendekati pondok kecil yang kelihatannya sudah hampir roboh tidak terawat lagi.

"Hm... Pondok ini sepertinya masih saja tetap kosong," gumam Rangga perlahan.

Semakin dekat jaraknya dengan pondok kecil di tengah hutan ini, semakin tajam sorot mata Pendekar Rajawali Sakti mengawasi. Dan sejenak langkahnya terhenti. Pendengarannya yang memang tajam langsung dipasang dengan mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sebuah ilmu yang membuat telinga Pendekar Rajawali Sakti jadi semakin tajam. Begitu tajamnya, sampai suara semut jatuh dari pohon pun bisa terdengar.

Kini Rangga mengarahkan pendengarannya ke pondok kecil di depan itu. Tapi tetap saja tidak mendengar adanya tarikan napas kehidupan sedikit pun juga. Pendekar Rajawali Sakti kembali mengayunkan kakinya perlahan-lahan semakin mendekati pondok kecil ini. Dan sikapnya pun semakin waspada.

"Hm..." Namun baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja ayunan kakinya terhenti disertai terdengamya suara menggumam perlahan. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja....

Slap!
"Hup!"

Cepat Rangga melenting berputar ke belakang, begitu tiba-tiba dari dalam pondok meluncur sebatang tombak yang cukup panjang ukurannya. Tombak itu melesat lewat di dalam lingkaran tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Hap!"

Ringan sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Matanya sedikit melirik ke arah tombak yang sudah terbenam begitu dalam ke batang pohon tidak jauh di samping kanannya. Kemudian, perhatiannya cepat beralih ke pondok kecil di depannya kembali.

"Hm.... Agaknya dia memiliki kepandaian yang tidak rendah. Aku harus hati-hati menghadapinya," gumam Rangga dalam hati.

Rangga mengambil sepotong ranting kering di ujung kakinya. Dipandanginya sesaat ranting sepanjang dua jengkal itu. Kemudian pandangannya beralih lurus ke arah jendela pondok bagian depan yang terbuka cukup lebar. Dari jendela itulah tombak datang menyerangnya tadi.

"Hih!"

Sambil mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan kesempurnaan, Rangga melemparkan ranting kering itu tepat ke arah jendela yang terbuka cukup lebar. Ranting kering sepanjang dua jengkal itu melesat cepat bagai kilat, seperti sebatang anak panah lepas dari busur. Begitu cepat, sehingga sulit diikuti pandangan mata biasa.

Slap!

Ranting itu menerobos masuk ke dalam pondok melalui jendela yang sedikit terbuka. Tapi, tidak terdengar suara apa pun dari dalam pondok itu. Kecuali, suara seperti sebatang anak panah yang menghujam menghantam tonggak kayu.

"Hup!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat ke arah pondok itu. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekali melesat saja, dia sudah sampai di depan pintu pondok itu. Dan....

"Yeaaah...!"
Brak!

Sekali tendang saja, pintu pondok yang terbuat dari papan kayu dan sudah lapuk itu hancur berkeping-keping. Dan pada saat itu juga. Pendekar Rajawali Sakti melesat masuk ke dalam. Namun begitu kakinya menjejak lantai pondok yang hanya dari tanah keras itu, seketika...

Wusss!
Slap!
"Heh...?! Hup!"

Cepat Rangga melenting ke belakang, kembali ke luar begitu tiba-tjba diserang puluhan anak panah di dalam pondok kecil ini. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, kemudian dengan gerakan indah dan ringan kakinya kembali menjejak tanah.

"Hhh!"

Rangga menghembuskan napas pendek yang terasa begitu berat, setelah berada di luar pondok. Kelopak matanya jadi menyipit. melihat keadaan di dalam pondok yang begitu sunyi, tidak terlihat seorang pun di sana. Tapi, nyatanya dia sudah mendapat serangan dua kali.

"Hm.... Mungkinkah pondok ini dipasangi perangkap...?" gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.

Memang, sepertinya pondok kecil dan reot yang sudah hampir roboh itu dipasangi begitu banyak perangkap yang tidak bisa diduga sama sekali. Dan ini membuat Rangga jadi penasaran, dengan segudang pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya. Padahal waktu itu tidak dijumpai adanya satu jebakan pun di pondok ini. Tapi sekarang, pondok itu jadi sulit didekati.

"Baiklah.... Kau boleh mencobaku, Nyai Wisanggeni," desis Rangga dingin.

Sebentar Rangga mengetatkan ikat kepalanya. Pandangan matanya terus tertuju tajam pada pondok kecil di depannya. Sejenak dia terdiam meman-dangi pondok itu. Kemudian, kakinya mulai terayun mendekati. Begitu ringan ayunan langkahnya, hingga sedikit pun tidak ada suara yang ditambulkan.

Rangga memungut serpihan papan kayu pintu, kemudian melemparkannya ke dalam. Dan pada saat itu juga, terlihat puluhan batang anak panah berhamburan keluar dari dinding pondok, menghujani serpihan papan kayu itu.

"Hup!"

Rangga cepat melompat ke depan pintu. Dan seketika pula kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir tidak dipercayai dengan apa yang ada di depan matanya saat ini. Seluruh dinding bagian dalam pondok itu sudah terpasang puluhan batang anak panah yang siap terlontar. Bahkan tidak terhitung, berapa jumlah tombak yang terpasang dan siap melesat memangsa siapa saja yang berusaha mendekati pondok ini.

"Gila...! Benar-benar hebat perempuan itu membuat jebakan," desis Rangga hampir tidak percaya.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke belakang. Kemudian... "Aku harus menghancurkan pondok ini. Hih! Hiyaaa...!"

Tepat di saat kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti menghentak ke depan, seketika itu juga dari kedua telapaknya meluncur cahaya merah bagai api yang begitu cepat bagai kilat.

Glarrr!

Satu ledakan yang begitu dahsyat tiba-tiba terjadi, menghancurkan pondok kecil di dalam hutan ini. Saat itu juga, Rangga cepat melompat ke belakang, hingga terhindar dari pecahan kayu pondok yang menyebar ke segala arah. Api lang-sung membubung tinggi ke angkasa, disertai kepulan asap hitam membentuk sebuah jamur raksasa!

"Hap!"

Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Sementara, pondok di dalam hutan tempat tinggal Nyai Wisanggeni itu sudah hancur termakan api yang diciptakan dari pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Sedangkan Rangga berdiri tegak memandangi dengan mata tidak berkedip sedikit pun.

"Hhh! Terlalu berbahaya kalau pondok itu didiamkan saja," desah Rangga seraya menghembuskan napas berat.

Perlahan Rangga melangkah mundur ke belakang beberapa tindak, kemudian berbalik. Namun saat itu juga dia jadi terperanjat. Entah dari mana dan kapan datangnya, tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seseorang berjubah putih longgar yang membungkus tubuh kurusnya agak membungkuk.

Namun yang membuat Pendekar Rajawali Sakti terkejut, wajah orang itu berwarna merah. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya. Kedua bola matanya yang memerah, menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak siapa...?" tanya Rangga.

"Aku Dewa Muka Merah, saudara tua Datuk Muka Hitam yang tewas di tanganmu," kata orang bermuka merah itu.

"Aku Rangga. Memang, Datuk Muka Hitam tewas di tanganku. Lalu, apakah kau ingin membalas kematian adikmu?" tanya Rangga, seperti ingin mengetahui maksud orang yang mengaku sebagai Dewa Muka Merah itu.

"Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kisanak. Justru aku di sini untuk mencari adikku si Datuk Muka Hitam. Dia telah terlalu jauh terjerumus ke dalam dunia kotor. Sebenarnya, aku ingin dia kembali. Tapi memang wataknya terlalu keras. Dan akhirnya, mati di tanganmu," desah Dewa Muka Merah.

"Aku mohon maaf, Dewa Muka Merah. Adikmu terlalu memaksaku," ucap Rangga, pelan.

"Sudahlah. mungkin memang sudah nasibnya. Oh, ya. Ada urusan apa kau menghancurkan pondok Nyai Wisanggeni?" tanya Dewa Muka Merah.

"Dia membunuh sahabatku, dan melukai kekasihku hingga parah," sahut Rangga. "Aku harus menemukan Setan Perempuan Penghisap Darah itu sebelum mengambil korban lebih banyak lagi."

"Kau tidak akan mendapatkannya di sini. Kalau mau kau bisa memancingnya dengan menangkap muridnya. Tapi, aku rasa tidak mudah. Sedangkan aku sendiri belum bisa menahannya. Dan Widura lebih berbahaya daripada gurunya sendiri si Setan Perempuan Penghisap Darah."

"Tampaknya kau tahu banyak tentang Nyai Wisanggeni, Kisanak."

"Lebih dari yang kau duga. Karena kami juga punya urusan lama dengannya. Bahkan dia juga berusaha membunuh semua murid kami. Dulu waktu muridku yang bernama Rahkapa masih kecil juga ingin dibunuhnya, dengan perantaraan Widura yang kini menjadi panglima di Kerajaan Pakuan. Dia memang ingin membunuhi siapa saja yang mempunyai hubungan dengan kami. Sayang, aku dan adikku tidak bisa bekerja sama, karena berlainan sifat. Bahkan dia yang lebih berhak mengasuh Rahkapa," jelas Dewa Muka Merah.

Rangga jadi terdiam. Diamatinya wajah Dewa Muka Merah yang merah itu. Walaupun wajah dan tubuhnya telah ringkih tapi dari sorot matanya Rangga melihat adanya sifat welas asih dalam hatinya.

"Kalau mau, kita bisa hadapi mereka bersama-sama, Kisanak," kata Dewa Muka Merah lagi mengajak.

Rangga tersenyum dan melangkah mendekati. Kemudian tangannya diulurkan. Dewa Muka Merah langsung menyambut uluran tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjabatan tangan beberapa saat.

"Panggil saja aku Rangga," pinta Rangga, setelah jabatan tangannya terlepas.

"Dan kau harus memanggilku Dewa Muka Merah."

Mereka sama-sama tersenyum, menandakan sebuah persahabatan yang mulai terjalin dengan satu tekad dan tujuan sama, menghadapi si Setan Perempuan Penghisap Darah dan muridnya yang kini menjadi seorang panglima perang di Kerajaan Pakuan. Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka kembali terdiam. Tanpa bicara sedikit pun juga, mereka sama-sama melangkah meninggalkan pondok Nyai Wisanggeni yang sudah hancur rata jadi debu.

"Ke mana tujuanmu sekarang, Dewa Muka Merah?" tanya Rangga setelah mengambil tali kekang kudanya.

"Entahlah... Aku sekarang tidak tahu lagi, di mana Nyai Wisanggeni sekarang berada. sahut Dewa Muka Merah tanpa menghentikan ayunan langkah kakinya.

"Hm... Ada baiknya kita berpisah di sini saja dulu. Aku masih harus menemui seseorang," kata Rangga, ketika mereka bertemu sebuah persimpangan jalan.

"Silahkan, Rangga. Aku pun harus mampir dulu ke rumah sahabatku di Kotaraja Pakuan," sahut Dewa Muka Merah.

Mereka pun berpisah. Rangga belok kanan, Dewa Muka Merah belok kiri.

********************

DUA

Malam sudah menyelimuti seluruh angkasa di atas Kerajaan Pakuan. Sementara di kediaman Panglima Widura yang sangat besar, megah, dan berhalaman luas serta dikelilingi pagar tembok berukuran cukup tinggi, terlihat terang-benderang oleh cahaya api obor terpancang di setiap sudut. Dan para prajurit berjaga-jaga di setiap sudut sekeliling rumah yang bagai sebuah istana kecil ini.

Di dalam sebuah ruangan yang berukuran sangat luas dan megah, terlihat Panglima Widura berdiri. Kedua tangannya terlipat di depan dada, menghadap seorang perempuan tua berjubah putih kumal yang duduk di sebuah kursi kayu berukir. Tidak ada orang lagi, selain mereka berdua di dalam ruangan yang tertutup ini. Bahkan tidak satu jendela pun yang terbuka. Entah sudah berapa lama mereka berada di dalam ruangan itu. Dan belum juga ada yang membuka suara.

"Aku merasakan kedudukanmu mulai terancam, Widura. Aku minta secepatnya susun kekuatan. Dan, rebut Pakuan dari Wiryadanta selekasnya," terdengar datar nada suara perempuan tua yang ternyata Nyai Wisanggeni, atau yang lebih dikenal sebagai si Setan Perempuan Penghisap Darah.

"Pasukanku belum cukup untuk menghadapi prajurit yang masih setia pada Prabu Wiryadanta, Nyai," sahut Panglima Widura pelan.

"Kalau menunggu jumlah yang besar, lalu kapan akan melaksanakannya, Widura?" desak Nyai Wisanggeni. "Kau tahu Widura. Bila Kerajaan Pakuan sudah di tanganku, maka puaslah hidupku! Ha ha ha...!"

"Hhh...!"

Panglima Widura hanya menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Sedangkan Nyai Wisanggeni terus tertawa, membayangkan cita-citanya yang tinggal selangkah lagi.

Panglima Widura seperti tidak sanggup membantah kata-kata wanita tua itu. Tubuhnya diputar, dan berbalik membelakangi si Setan Perempuan Penghisap Darah. Tangannya bergerak membuka jendela lebar-lebar, membuat angin malam yang dingin langsung menerobos masuk menerpa wajah Panglima Kerajaan Pakuan ini.

Tidak lama berdiri menghadap jendela, Panglima Widura sudah kembali memutar tubuhnya. Dan pandangannya langsung tertuju pada Nyai Wisanggeni yang masih menyimpan senyum kebengisan.

"Nyai, boleh aku bertanya sesuatu padamu...?" terdengar ragu-ragu nada suara Panglima Widura.

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Kenapa Nyai memilih Pakuan? Bukankah banyak kerajaan kecil yang lebih lemah dari Pakuan ini...?" tanya Panglima Widura langsung mengemukakan ganjalan hatinya.

"Dengar, Widura. Puluhan tahun aku menggemblengmu hingga memiiki kepandaian yang sulit ditandingi di Pakuan ini. Dan semua itu kupersiapkan, hanya untuk menghancurkan Wiryadanta yang terlalu sombong itu. Dia terlalu menghina harga diriku sebagai seorang wanita, beberapa puluh tahun yang lalu. Dan sekarang, aku ingin kau menjadi raja di sini, Widura Dengan begitu, kita berdua bisa melakukan apa saja tanpa ada seorang pun yang berani lagi menghalangi. Jelas, Widura...?"

Kembali Panglima Widura hanya mengangguk kan kepala saja sekali.

"Widura, kenapa kau tanyakan itu?" tanya Nyai Wisanggeni dengan tatapan mata tertuju tajam ke bola mata muridnya

"Aku hanya ingin tahu saja, Nyai. Maafkan kalau pertanyaanku tadi membuatmu marah," sahut Panglima Widura.

"Kau hampir saja menyinggung perasaanku, Widura. Itu sama saja membangkitkan luka lamaku pada Wiryadanta."

"Maafkan aku, Nyai."
"Ah, sudahlah...."

Kembali mereka terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing yang bergalut dalam kepala. Dan beberapa kali Panglima Widura menarik napas panjang-panjang, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Dan sesekali matanya melirik ke arah gurunya yang tetap duduk di kursi berukir dari kayu jati yang kuat dan kokoh. Sudah bisa diduga, kenapa gurunya begitu bersemangat hendak melenyapkan Raja Pakuan itu. Apalagi kalau bukan asmara.

Sementara malam terus merayap semakin la-rut. Dan angin yang berhembus pun semakin terasa dingin menggigil Panglima Widura menutup kembali jendela yang tadi dibukanya hanya untuk mencari udara segar.

"Sudah berapa orang jumlah prajurit yang kau kumpulkan, Widura?" tanya Nyai Wisanggeni, setelah cukup lama terperangkap dalam keheningan yang mencekam.

"Belum ada seratus orang, Nyai. Sedangkan jumlah prajurit Pakuan sekitar seribu orang. Masih terlalu sedikit untuk bisa menjatuhkan takhta Gusti Prabu Wiryadanta," sahut Panglima Widura menjelaskan.

"Jumlah prajurit tidak terlalu penting, Widura. Biarpun prajuritmu sekarang hanya sedikit, tapi asal dibekali kepandaian yang lebih tinggi, aku yakin kau akan berhasil nanti," kata Nyai Wisanggeni, seakan membesarkan hati murid tunggalnya.

"Kepandaian yang mereka miliki sekarang ini memang jauh lebih tinggi dibandingkan prajurit Prabu Wiryadanta, Nyai. Aku selalu menggembleng mereka agar lebih tangkas dan gesit di dalam pertarungan. Tapi..."

"Tapi kenapa, Widura?"

"Aku masih ragu. Walaupun prajurit yang kau miliki sekarang sudah terlatih, tapi aku merasa tidak akan sanggup menghadapi seribu prajurit Prabu Wiryadanta."

"Kenapa kau jadi ragu-ragu begitu, Widura?" tegur Nyai Wisanggeni.

Terus terang saja. Nyai. Keraguanku timbul, setelah munculnya Pendekar Rajawali Sakti di sini," sahut Panglima Widura langsung berterus terang.

"Hik hik hik...! Apa yang kau takutkan dari anak muda ingusan itu, Widura...?"

"Dia bukan pendekar sembarangan, Nyai. Tingkat kepandaiannya begitu tinggi. Sehingga, sulit untuk mengukur, sampai di mana tingkat kepandaiannya," sahut Panglima Widura berterus terang lagi.

"Jangan pikirkan anak muda itu, Widura. Aku tahu, siapa dia sebenarnya. Selain pendekar berkepandaian tinggi, dia juga seorang raja di Karang Setra," kata Nyai Wisanggeni, agak datar nada suaranya.

"Dia seorang raja, Nyai...?"

Terbeliak kedua bola mata Panglima Widura mendengar penjelasan Nyai Wisanggeni yang mengatakan kalau Pendekar Rajawali Sakti juga seorang raja di Karang Setra. Sungguh tidak disangka kalau Raja Karang Setra sebenarnya ternyata seorang pendekar muda yang digdaya dan ditakuti seluruh tokoh persilatan saat ini.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, letak Kerajaan Karang Setra tidak begitu jauh dari Kerajaan Pakuan ini. Dan tentu, Raja Pakuan dan Raja Karang Setra sudah saling mengenal. Dan kalau itu memang benar, Panglima Widura tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi nanti. Dia tahu, bagaimana kuatnya para prajurit Karang Setra.

Panglima Widura tidak bisa memungkiri, dirinya tidak akan sanggup jika Kerajaan Pakuan ini sampai meminta bantuan Karang Setra. Sedangkan untuk menghadapi rajanya saja, sudah teramat sulit. Jadi bagaimana kalau para prajurit Karang Setra ikut campur dalam memperkuat barisan di Pakuan ini?

********************

Kedatangan Nyai Wisanggeni di tempat kediamannya, membuat Panglima Widura tidak dapat memejamkan matanya semalaman. Terlebih lagi, setelah tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah Raja Karang Setra. Sudah barang tentu dia mendapatkan batu ganjalan yang tidak bisa dipandang sebelah mata untuk menguasai Kerajaan Pakuan ini. Sedangkan semua yang diimpikannya sudah direncanakan begitu matang, dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Memang, kemunculan Pendekar Rajawali Sakti membuatnya jadi tidak bisa tenang.

Semalaman penuh Panglima Widura tidak bisa memejamkan matanya. Sampai matahari menampakkan diri di ufuk timur, dia terus berlari di depan jendela memandang kosong ke depan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Yang jelas, pikiran panglima itu begitu kalut saat ini. Dan semua kekalutan itu berawal dari kunjungan Nyai Wisanggeni ke tempat bnggalnya yang besar dan megah ini.

"Apa pun caranya, Raja Karang Setra harus bisa kujauhkan dari sini. Hhh...," desah Panglima Widura seraya menghembuskan napas panjang.

Terasa begitu berat hembusan napasnya. Perlahan Panglima Widura memutar tubuhnya berbalik. Kakinya terayun perlahan, keluar dari kamar peristirahatannya yang berukuran sangat luas dan megah ini. Dia terus berjalan tanpa menghiraukan para prajuritnya yang membungkuk memberi hormat. Panglima Widura baru berhenti melangkah setelah sampai di depan beranda depan rumahnya. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling.

"Ki Renges...!" teriak Panglima Widura memanggil dengan suara keras.

Belum juga hilang teriakan yang keras itu dari pendengaran, sudah terlihat seorang laki-laki berusia lanjut yang berlari-lari kecil menghampiri panglima ini. Tubuhnya membungkuk dengan sikap sangat hormat, setelah tiba di depan Panglima Widura.

"Hamba menghadap, Gusti Panglima," ucap orang tua itu dengan sikap begitu hormat.

"Siapkan kudaku, Ki Renges," pinta Panglima Widura, tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari pintu gerbang yang dijaga dua orang prajurit bersenjata tombak panjang.

"Baik Gusti Panglima. Secepatnya hamba siapkan," sahut Ki Renges seraya membungkuk memberi hormat.

Laki laki tua yang tidak mengenakan baju itu bergegas berlari kecil, meninggalkan Panglima Widura yang masih tetap berdiri tegak di depan beranda depan rumahnya. Dan tidak lama kemudian, Ki Renges sudah kembali sambil menuntun seekor kuda hitam yang tinggi tegap dan gagah. Orang tua itu kembali membungkuk sambil menyerahkan tali kekang kuda yang dibawanya.

"Kau ambil kudamu sendiri, Ki Renges," kata Panglima Widura sambil menerima tali kekang kudanya.

"Baik, Gusti," sahut Ki Renges.

Kembali orang tua itu menghilang di bagian samping rumah panglima ini. Dan tidak lama, dia sudah kembali lagi sambil menuntun seekor kuda coklat berbelang putih.

Panglima Widura hanya melirik saja sedikit, kemudian melompat naik ke punggung kudanya tanpa bicara sedikit pun juga. Ki Renges bergegas mengikuc, naik ke punggung kudanya. Walaupun usianya sudah begitu lanjut, tapi gerakannya saat melompat ke punggung kuda begitu indah dan ri-ngan. Jelas, dia bukanlah orang tua sembarangan. Dan yang pasti, memiliki kepandaian yang tidak rendah.

Tanpa bicara sedikit pun juga, mereka menggebah kudanya ke luar dari rumah panglima yang besar dan megah bagai istana ini. Dua orang berseragam prajurit yang menjaga pintu gerbang, bergegas membuka lebar-lebar pintu yang besar dan tinggi itu. Dan mereka membungkuk hormat, begitu Panglima Widura dan Ki Renges melewatinya.

"Hiyaaa...!"

Panglima Widura langsung menggebah cepat kudanya begitu melewati pintu gerbang. Sementara Ki Renges mengikuti dengan cepat pula. Tapi, dia tetap menjaga jarak agar berada di belakang, tanpa berusaha untuk mendahului.

Mereka terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, menuju bagian timur Kerajaan Pakuan. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin jarang terlihat rumah penduduk. Hingga akhirnya, mereka tiba di tepi hutan yang kelihatannya tidak begitu rapat. Banyak jalan setapak di hutan ini. Panglima Widura menghentikan lari kudanya, dan langsung melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sedikit pun tidak terdengar suara, saat kedua kakinya menjejak tanah berumput di samping kudanya. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah begitu tinggi.

Panglima Widura melirik sedikit pada Ki Renges yang masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Orang tua itu bergegas melompat turun dari punggung kudanya, dan menghampiri junjungannya sambil menuntun kudanya. Sementara, Panglima Widura sendiri sudah kembali melayangkan pandangan ke dalam hutan yang tidak begitu rapat di depannya.

"Ki Renges," panggil Panglima Widura.

"Hamba, Gusti," sahut Ki Renges, seraya mendekat.

"Kau tahu, apa yang ada di balik hutan ini?" tanya Panglima Widura tanpa berpaling sedikit pun.

"Hutan ini menjadi batas Kerajaan Pakuan dengan Karang Setra. Gusti Panglima," sahut Ki Renges.

"Hm... Kau tahu, dari mana orang-orang Karang Setra yang masuk ke Pakuan ini?" tanya Panglima Widura lagi.

"Jelas melalui jalan di hutan ini, Gusti." sahut Ki Renges dengan kening berkerut.

Orang tua itu merasa heran juga mendengar pertanyaan yang dilontarkan panglimanya ini. Dia tahu, Panglima Widura sudah tentu mengetahui semua jawaban dari pertanyaannya yang dilontarkan tadi. Dan ini yang membuat Ki Renges jadi bertanya-tanya tidak mengerti.

"Begitu mudah mereka masuk ke Pakuan ini...," gumam Panglima Widura perlahan, seolah bicara pada diri sendiri.

Sedangkan Ki Renges tetap diam dengan kening berkerut dan kelopak mata menyipit. Sungguh sulit dimengerti, apa yang ada di dalam kepala panglima itu. Ki Renges hanya bisa diam dan terus menduga-duga di dalam hatinya. Sementara, Panglima Widura sendiri terus mengarahkan pandangan ke hutan di depan mereka. Kelihatan sunyi sekali, padahal hutan inilah yang menghubungkan antara Kerajaan Pakuan dan Kerajaan Karang Setra.

Selagi mereka berdua terdiam membisu, tiba-tiba saja terdengar suara menggemuruh yang begitu keras, hingga tanah yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa. Dan ini membuat Panglima Widura dan Ki Renges jadi terlonjak kaget setengah mati.

"Ada apa ini, Ki Renges...?" tanya Panglima Widura.

Belum lagi Ki Renges menjawab, sudah terlihat kepulan debu yang membubung tinggi di angkasa dari balik puncuk pepohonan di dalam hutan. Pandangan mereka langsung tertuju ke arah kepulan debu yang terus bergerak semakin mendekat. Dan suara gemuruh pun semakin jelas terdengar, membuat getaran di tanah semakin terasa mengguncang. Dan tidak berapa lama kemudian...

"Oh...?!"

Kedua bola mata Panglima Widura jadi terbeliak lebar, begitu terlihat serombongan orang berkuda menembus hutan yang tidak begitu lebat ini. Tapi yang membuat mulutnya ternganga, rombongan berkuda itu tidak lain adalah para prajurit Kerajaan Karang Setra.

"Cepat pergi dari sini...!" seru Panglima Widura.

Tanpa menghiraukan Ki Renges yang masih terpana, Panglima Widura cepat berbalik dan melompat naik ke punggung kudanya. Langsung kudanya digebah cepat, hingga melesat bagaikan anak panah lepas dari busur. Sementara Ki Renges masih berdiri terpaku bagai patung. Dia seperti tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Sedangkan orang-orang berkuda yang terdiri dari para prajurit Kerajaan Karang Setra itu semakin terlihat dekat saja. Tampak berkuda paling depan adalah Raden Danupaksi, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra. Dan dia didampingi Panglima Lanang.

Begitu keluar dari dalam hutan, Raden Danupaksi mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Maka ratusan prajurit yang mengikutinya di belakang, segera menghentikan lari kudanya. Panglima Lanang juga menghentikan lari kudanya. Sementara di depan mereka, masih berdiri terpaku Ki Renges yang ditinggalkan Panglima Widura seorang diri. Raden Danupaksi melompat turun dari kudanya diikuti Panglima Lanang. Mereka menghampiri Ki Renges yang masih berdiri terpaku di depan kudanya.

"Maaf, Ki. Apakah benar ini jalan masuk ke Pakuan?" Danupaksi langsung melontarkan pertanyaan dengan sikap sopan.

"Benar," sahut Ki Renges.

"Apakah kau yang ditugaskan untuk menyambut kedatangan kami?" tanya Danupaksi lagi.

"Oh! Tid..., tidak," sahut Ki Renges tergagap.

"Kalau begitu, siapakah kau, Ki?"

"Aku Ki Renges. Pembantu utama Gusti Panglima Widura," sahut Ki Renges, sudah bisa menguasai dirinya kembali.

"Aku Danupaksi. Dan ini, Paman Panglima Lanang. Kami datang bersama prajurit memenuhi undangan Raja Pakuan, yang meminta bantuan untuk memperkuat pertahanan prajuritnya di istana. Bisa kau tunjukkan, ke mana arah menuju Istana Pakuan, Ki...?"

"Sudah dekat. Tinggal mengikuti jalan ini saja," sahut Ki Renges memberi tahu.

"Terima kasih, Ki," ucap Danupaksi, seraya menjura memberi salam penghormatan.

Ki Renges membalasnya dengan sikap kaku sekali. Danupaksi kembali melompat naik ke punggung kudanya, diikuti Panglima Lanang. Dan sebelum mereka menggebah kudanya, Ki Renges sudah mencegah lebih dulu.

"Ada apa, Ki?" tanya Danupaksi.

"Maaf. Boleh aku tahu, untuk apa Gusti Prabu meminta Raden dan prajurit begitu banyak datang ke sini?" tanya Ki Renges ingin tahu.

"Maaf, aku tidak bisa menjawabnya, Ki," sahut Danupaksi sopan.

Setelah berkata demikian, Danupaksi segera memberi isyarat pada para prajuritnya. Dan mereka pun kembali bergerak memasuki Ibukota Kerajaan Pakuan. Sementara itu, Ki Renges tetap berdiri mematung memandangi rombongan prajurit-prajurit Karang Setra yang mulai memasuki kotaraja. Entah apa yang ada dalam kepala orang tua itu saat ini.

Ki Renges baru bergegas naik ke punggung kudanya, setelah rombongan prajurit Karang Setra yang langsung dipimpin Raden Danupaksi sudah tidak terlihat lagi dari pandangan matanya. Langsung kudanya digebah cepat, kembali ke kediaman Panglima Widura yang telah lebih dulu pergi meninggalkannya.

Sementara itu, Danupaksi dan prajuritnya semakin jauh masuk ke dalam kota. Kedatangan prajurit Karang Setra yang jumlahnya cukup besar, membuat penduduk Kota Pakuan jadi gempar. Dan mereka saling bertanya-tanya. Memang, selama ini belum pernah ada serombongan prajurit dari kerajaan lain yang datang dalam jumlah begitu besar. Dan rombongan ini pun disambut para prajurit dari Istana Pakuan, setelah hampir sampai di bangunan istana yang megah, di tengah-tengah kota.

Sementara di tempat yang jauh dari istana, Ki Renges sudah sampai di rumah kediaman Panglima Widura. Kedatangannya langsung disambut Panglima Widura yang menanti sejak tadi di depan beranda rumahnya. Orang tua itu bergegas menghampiri, dan membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat.

"Mereka datang dari Karang Setra, Gusti Panglima," Ki Renges langsung menjelaskan tanpa di tanya lagi.

"Berapa jumlahnya?" tanya Panglima Widura.

"Sangat banyak, Gusti. Hampir menyamai jumlah prajurit yang ada di istana," sahut Ki Renges.

"Hhh...!"

Panglima Widura hanya menghembuskan napas panjang saja. Terasa begitu berat hembusan napasnya. Pandangannya jauh tertuju ke depan.

Sementara, Ki Renges hanya memandangi saja wajah panglimanya yang kelihatan gundah. Dia tidak tahu, apa yang menjadi penyebab kegundahan hati Panglima Widura atas kedatangan serombongan prajurit Karang Setra dalam jumlah besar itu.

"Mereka datang atas undangan Gusti Prabu sendiri, Gusti Panglima," kata Ki Renges memberi tahu lagi tanpa diminta.

"Kau tahu, apa tujuannya?" tanya Panglima Widura lagi.

"Tidak, Gusti."

"Kau selidiki maksud kedatangan mereka di sini, Ki Renges. Aku menunggu sekarang juga," perintah Panglima Widura.

"Hamba laksanakan, Gusti," sahut Ki Renges seraya membungkukkan tubuhnya memberi hormat.

Panglima Widura bergegas masuk ke dalam rumahnya. Sementara, Ki Renges tetap membungkuk beberapa saat. Tubuhnya baru ditegakkan kembali setelah panglima itu tidak terlihat lagi, tenggelam di balik pintu rumahnya. Bergegas kudanya yang ditambatkan di bawah pohon dihampiri.

"Hup!"

Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Ki Renges melompat naik ke punggung kudanya, dan langsung menggebahnya ke luar dari halaman rumah kediaman Panglima Widura yang sangat luas dan indah ini. Hentakan kaki kuda yang dipacu cukup kencang membuat debu mengepul membubung tinggi di angkasa.

********************

TIGA

Hari memang masih terlalu pagi untuk menyibakkan kabut yang menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Pakuan. Matahari belum lagi penuh menampakkan dirinya. Hanya semburat cahayanya saja yang terlihat memerah jingga di balik gunung sebelah timur. Namun dinginnya udara dan tebalnya kabut, tidak menghalangi seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang menyusuri jalan setapak di kaki gunung sebelah timur Kerajaan Pakuan. Pemuda yang menyandang sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung itu tidak lain Rangga, yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia berjalan perlahan sambil menuntun kuda hitam tunggangannya yang dikenal bernama Dewa Bayu.

"Mudah-mudahan Danupaksi sudah sampai di istana, Dewa Bayu," terdengar pelan sekali suara Rangga, bicara pada kudanya yang mengikuti dari belakang.

Kuda hitam itu hanya mendengus kecil sambil mengangguk sedikit seperti bisa mengerti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi. Namun riba-tiba saja Dewa Bayu berhenri berjalan. Kepalanya juga menjulur ke atas sambil meringkik keras. Rangga yang berada di depan, segera berhenti melangkah. Tubuhnya diputar sedikit Dipandanginya kuda hitam yang tiba-tba saja jadi kelihatan gelisah itu.

"Ada apa, Dewa Bayu? Kau merasakan sesuatu?" tanya Rangga dengan kening berkerut.

Dewa Bayu kembali meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, membuat Rangga terpaksa harus melangkah menjauh dua tindak. Kuda hitam itu terus mendengus-dengus sambil menghentakkan keras kaki depannya ke tanah. Kening Rangga semakin dalam berkerut, mencoba memahami kelakuan kuda hitam tunggangannya yang tiba-tiba saja jadi berubah liar ini.

"Ada apa, Dewa Bayu?" tanya Rangga lagi. Namun belum lagi hilang pertanyaan itu dari pendengaran, mendadak saja telinga Pendekar Rajawali Sakti yang tajam mendengar desir yang sangat halus dari arah kanannya. Dan...

"Hap!"

Tanpa berpaling lagi, Rangga cepat menarik tubuhnya ke belakang. Dan saat itu juga, terlihat sebatang ranting kering sepanjang satu jengkal melesat begitu cepat bagai anak panah, tepat di depan wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Angin desirannya begitu kuat, membuat anak rambut Rangga berkibaran. Cepat Rangga melompat ke belakang sejauh tiga langkah.

Sementara, kuda hitam Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti sudah bergerak menyingkir menjauh. Dia seperti tahu ada bahaya yang mengancam pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Rangga sendiri sudah berdiri tegak, dengan kedua kaki agak tertekuk sedikit. Pandangannya begitu tajam beredar ke sekitarnya. Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat tanda-tanda ada orang lain di sekitarnya, kecuali pepohonan saja yang cukup rapat.

"Hm...," Rangga menggumam perlahan sambil terus mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya ke kanan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara, saat kakinya bergerak menggeser ke kanan. Bahkan daun-daun kering yang hampir menutupi tanah pun tidak bergerak sama sekali saat terkena pijakan kakinya. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak sekitar tiga langkah, kembali terlihat sepotong ranting kering melesat cepat bagai kilat menuju ke arahnya. "Hap!" Namun kali ini Rangga tidak berusaha menghindar sedikit pun. Dan begitu ranting kering sepanjang satu jengkal jari tangan itu hampir menghantam wajahnya, cepat sekali kedua telapak tangannya dikatupkan di depan hidung.

Tap!

Ranting kering itu tepat terjepit di antara kedua telapak tangan yang merapat di depan hidung Pendekar Rajawali Sakti. Sejenak Rangga memperhatikan ranting yang berada di dalam jepitan kedua telapak tangannya ini Kemudian...

"Hih...!"

Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah berada pada titik sempurna, Pendekar Rajawali Sakti melemparkan ranting kering ini ke arah datangnya tadi. Maka ranting itu melesat begitu cepat bagai sebatang anak panah lepas dari busur.

Srak!

Tepat ketika ranting kering itu menembus segerumbul semak, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat, keluar dari dalam semak. Dan pada saat itu juga, Rangga melesat tinggi ke atas, mengejar bayangan putih yang muncul dari dalam semak itu.

"Hup! Hiyaaa...!"

Saat itu juga, satu pukulan keras dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Namun....

Plak!
"Ikh...?!"

Rangga jadi terperanjat setengah mati, begitu pukulannya yang keras dan menggeledek seperti menghantam sebongkah batu cadas yang teramat keras. Sehingga, membuat kepalan tangannya terasa nyeri. Cepat tubuhnya melenting, dan berputaran beberapa kali ke belakang. Dan dengan manis sekali kakinya menjejak tanah.

"Hap!"

Tepat ketika kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, saat itu juga terlihat secercah cahaya merah meluruk deras ke arahnya. Rangga yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah, jadi terbeliak melihat kilatan cahaya merah yang meluncur deras ke arahnya. Tapi dengan gerakan indah sekali, tubuhnya meliuk. Sehingga, kilatan cahaya merah itu lewat di sebelah kiri tubuhnya.

"Hup!"

Cepat Rangga melompat ke samping, begitu merasakan semburan hawa panas yang begitu menyengat di saat kilatan cahaya merah lewat di samping tubuhnya.

"Hm...!"

Pendekar Rajawali Sakti jadi menggumam kecil, begitu melihat sekitar dua batang tombak di depannya sudah berdiri seorang perempuan tua. Baju jubah putihnya sudah kumal. Sehingga wama putihnya sudah pudar menjadi kecoklat-coklatan. Sebatang tongkat kayu berbentuk seekor ular tampak tergenggam di tangan kanannya. Kulit yang sudah mengeriput, membuat wajahnya jadi tidak sedap dipandang. Kedua bola matanya bersinar merah menyala bagai sepasang bola api yang seakan-akan hendak membakar hangus seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda. Kau memang tangguh dan patut menyandang gelar itu," terasa begitu dingin nada suara perempuan tua yang tidak lain Nyai Wisanggeni, atau si Setan Perempuan Penghisap Darah ini

"Siapa kau, Nisanak? Kenapa kau menyerangku?" tanya Rangga dengan suara dibuat tenang.

"Kau tidak perlu tahu, kenapa aku menyerangmu, Anak Muda. Yang jelas, kau harus mampus di tanganku!" sahut Nyai Wisanggeni membentak kasar.

"Seingatku, tidak ada persoalan di antara kita. Kenapa kau ingin membunuhku?"

"Karena, kau terlalu banyak mencampuri urus anku. Saatnya kau menyusul kekasihmu ke neraka, Bocah! Hiyaaat...!"

"Heh! Tunggu...!"

Tapi sentakan Rangga tidak dihiraukan sama sekali. Nyai Wisanggeni sudah lebih dulu melompat cepat sambil mengebutkan tongkatnya yang berbentuk ular, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

Wut!
"Haiiit...!"

Namun dengan egosan kepala yang manis sekali, Rangga bisa menghindari sabetan tongkat Setan Perempuan Penghisap Darah. Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke belakang sejauh dua batang tombak, sambil berputaran di udara dua kali. Namun sambaran angin kebutan tongkat wanita tua itu cukup membuat Rangga jadi terhuyung sedikit, begitu kakinya menjejak tanah.

"Nisanak, apakah kau yang mencelakakan Pandan Wangi?" tanya Rangga.

"Hik! Tidak perlu banyak tanya! Gadismu sudah menjadi santapan cacing tanah! bentak Nyai Wisanggeni.

"Keparat..!"

Rangga jadi menggeram marah mendengar pengakuan Nyai Wisanggeni yang secara tidak langsung itu. Kini dia tahu, wanita tua yang berada di depannya inilah yang mencelakakan Pandan Wangi, sehingga terluka sangat parah. Tapi, tampaknya Nyai Wisanggeni sudah menganggap Pandan Wangi mati. Padahal gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu masih hidup, dan sekarang berada dalam perawatan Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang menjadi guru, juga tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Nyai Wi sanggeni kembali melesat cepat laksana kilat. Dan tongkatnya langsung dikebutkan, tepat mengarah ke kepala Rangga.

Bet!
"Hap!"

Cepat Rangga merundukkan kepala sedikit. Dan pada saat ujung tongkat yang berbentuk kepala ular itu lewat di atas kepala, cepat sekali tubuhnya mengegos ke kanan. Maka saat itu juga kaki kirinya cepat dihentakkan, memberi satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"
"Hih!"
Wuk!

Tapi tanpa diduga sama sekali, cepat sekali Nyai Wisanggeni memutar tongkatnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat tangkisannya, sehingga membuat Rangga jadi tersentak kaget. Maka cepat tendangannya yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempuma ditarik kembali. Dan....

"Hup! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar. Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke angkasa. Dan dengan kecepatan dahsyat tubuhnya meluruk turun disertai gerakan kedua kaki yang berputaran cepat mengarah ke kepala si Setan Perempuan Penghisap Darah. Dari gerakannya jelas sekali terlihat kalau saat itu Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

"Hap! Hiyaaa..!"
Wut!

Namun, Nyai Wisanggeni sudah lebih cepat lagi bertindak. Tongkatnya langsung diputar begitu cepat di atas kepala, membuat Rangga terpaksa harus menarik serangannya dari atas. Dan secepat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sehingga kepalanya di bawah. Lalu, langsung dilepaskannya satu pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

"Hiyaaa...!"
"Heh...?!"

Gerakan berputar yang begitu cepat, diikuti serangan dahsyat tanpa diduga itu membuat Nyai Wisanggeni jadi terperangah setengah mati. Dan memang tidak disangka sama sekali kalau Rangga dapat merubah jurusnya begitu cepat. Terlebih dalam keadaan tubuh berada di udara seperti ini. Dan...

Begkh!
"Aaakh...!"

Nyai Wisanggeni tidak dapat lagi menahan arus pukulan Rangga yang dahsyat, dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Sehingga, pukulan itu tepat menghantam dada, membuat perempuan tua itu terpental jauh ke belakang sambil mengeluarkan jeritan panjang dan melengking tinggi.

Sementara, Rangga sudah menjejakkan kakinya di tanah dengan kokoh. Saat itu, tubuh Nyai Wisanggeni yang masih melayang menghantam sebatang pohon yang cukup besar. Sehingga pohon itu hancur berkeping-keping, memperdengarkan ledakan keras bagai gemuruh.

Bruk!

Keras sekali tubuh tua itu jatuh menghantam tanah, di antara kepingan reruntuhan kayu pohon yang terlanda tubuhnya. Beberapa kali Nyai Wisanggeni bergulingan di tanah..Tapi cepat melesat bangkit berdiri. Sedikit tubuhnya agak terhuyung, begitu kakinya menjejak tanah. Tampak darah mengalir dari mulutnya. Kedua bola matanya semakin merah membara, menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak dengan senyum tersunggung di bibir.

"Kubunuh kau, Bocah Keparat !" geram Nyai Wisanggeni.

Wut!

Setan Perempuan Penghisap Darah itu memutar tongkatnya cepat sekali dengan kedua tangan. Dari putaran tongkat itu, terdengar suara angin menderu bagai badai. Dan tidak berapa lama, Rangga sudah merasakan hempasan angin berhawa panas menyengat tubuhnya. Langsung disadari kalau Nyai Wisanggeni mengerahkan ilmu kesaktian untuk menandinginya.

"Hap!"

Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga segera menyiapkan ilmu tandingan untuk menghadapi ilmu kesaktian yang kini dikerahkan lawannya. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti terentang lebar. Kedua tangannya terkepal erat di samping pinggang. Sementara, sorot matanya begitu tajam, tertuju lurus pada perempuan tua di depannya yang masih memutar tongkatnya dengan kecepatan dahsyat. Tiba tiba saja...

"Hiyaaa...!"
"Aji 'Bayu Bajra'. Yeaaah...!"

Tepat di saat Nyai Wisanggeni menghentakkan tongkatnya ke depan, Rangga juga menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak keras menggelegar. Saat itu juga, secara bersamaan satu sama lain mengeluarkan hempasan angin yang begitu keras dari ilmu kesaktian yang dikerahkan.

Glarrr!

Satu ledakan keras pun terjadi, saat ilmu ke saktian yang dikerahkan masing masing beradu tepat di tengah tengah. Tampak mereka sama-sama terpental ke belakang, sejauh satu batang tombak. Namun masing-masing cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, hingga tidak sampai terbanting di tanah.

"Phuih!"

Nyai Wisanggeni menyemburkan ludahnya dengan sengit, melihat lawannya masih tetap berdiri tegak tanpa mendapat luka sedikit pun dari serangannya yang dahsyat tadi. Sementara Rangga sendiri sempat memuji ketangguhan perempuan tua yang menjadi lawannya. Selama dalam pengembaraannya, baru kali ini aji 'Bayu Bajra' yang dikerahkannya mendapat tandingan seimbang. Sehingga, lawan yang dihadapinya masih tetap kelihatan tegar tanpa mendapatkan luka sedikit pun juga.

Dan untuk beberapa saat, mereka sama-sama berdiri tegak saling bertatapan tajam. Seakan-akan, mereka sama-sama tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Secara bersamaan pula mereka menggeser kaki ke depan, dengan gerakan begitu ringan. Sehingga, tidak terdengar suara sedikit pun dari gerakan kaki yang terus melangkah maju saling mendekati. Dan mereka sama-sama berhenti, setelah berjarak sekitar satu batang tombak lagi.

Perlahan Nyai Wisanggeni mengangkat tongkatnya, hingga melewati kepala. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga. Hanya tatapan matanya saja yang terlihat semakin tajam, menyorot langsung ke bola mata perempuan tua di hadapannya

"Cabut senjatamu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Nyai Wisanggeni membentak dingin.

"Tidak perlu mencabut senjata untuk meng-hadapimu, Perempuan Iblis!" sahut Rangga tidak kalah dingin.

"Phuih! Sombong ...!" dengus Nyai Wisanggeni geram, merasa diremehkan.

"Jangan menyesal kalau kau mati tanpa sempat mencabut senjata, Bocah!"

Rangga hanya tersenyum saja. Sebenarnya, pedang pusakanya sudah ingin dicabut. Tapi, dia ingin mengetahui lebih dulu tingkat kepandaian perempuan tua ini. Dan lagi, Rangga tidak ingin terpancing, walaupun amarahnya sudah menggelegak dalam dada, setelah tahu kalau wanita tua inilah yang mencelakakan Pandan Wangi.

"Tahan seranganku, Bocah Keparat!" desis Nyai Wisanggeni menggeram dingin.

Bet!

Cepat sekali Setan Perempuan Penghisap Da rah itu mengebutkan tongkatnya ke depan, sampai ujungnya yang berbentuk kepala ular itu menghantam tanah. Seketika itu juga, tanah yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa. Sementara, Rangga masih tetap diam menanti serangan datang. Dan ketika Nyai Wisanggeni mengangkat tongkatnya kembali ke atas kepala, tiba-tiba saja terdengar suara menggemuruh dari puluhan kuda yang dipacu cepat menuju ke arah pertarungan ini.

"Phuih ..!"

Nyai Wisanggeni tampak geram mendengar hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat dari belakangnya. Begitu kepalanya menoleh ke belakang, terlihat puluhan orang berkuda dengan cepat menuju ke sini.

"Setan!" geram Nyai Wisanggeni. Sejenak perempuan tua itu menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.

"Urusan ini belum selesai, Pendekar Rajawali Sakti...," desis Nyai Wisanggeni dingin.

Setelah berkata demikian, cepat Nyai Wisanggeni melesat pergi, seraya mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Begitu cepat gerakannya. Sehingga dalam sekejapan mata saja, sudah lenyap bayangan tubuhnya. Tepat pada saat itu, rombongan orang berkuda tiba di tempat pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dengan Nyai Wisanggeni tadi.

Tampak orang yang berkuda paling depan adalah Panglima Lanang. Dan di belakangnya mengikuti para prajurit dari Karang Setra dan prajurit dari Pakuan. Di sebelah Panglima Lanang, terlihat seorang laki-laki berusia setengah baya berbaju panglima dari Kerajaan Pakuan. Mereka menghentikan lari kudanya, setelah dekat dengan Rangga yang masih tetap berdiri tegak, memandang ke arah kepergian Nyai Wisanggeni tadi.

"Gusti Prabu..."

Panglima Lanang langsung membungkuk dengan kedua telapak tangan menyaru di depan dada, setelah melompat turun dari punggung kudanya. Rangga mengangkat tangannya sedikit. Dan Panglima Lanang pun kembali berdiri tegak.

"Kau sudah sampai ke Pakuan, Paman?" tanya Rangga dengan bibir mengulas senyum.

"Sudah dua hari, Gusti. Bersama Raden Danupaksi," sahut Panglima Lanang.

"Berapa prajurit yang kau bawa?"

"Lima ratus orang prajurit pilihan."

Rangga mengangguk-angguk. Pandangannya lalu beralih pada panglima dari Pakuan yang berada di sebelah kanan Panglima Lanang.

"Gusti, ini Panglima Antaraka. Panglima kedua dari Pakuan setelah Panglima Widura," kata Panglima Lanang cepat-cepat memperkenalkan.

Panglima Antaraka segera membungkuk memberi hormat. Tanpa dijelaskan lagi, Panglima Antaraka tahu kalau pemuda berbaju rompi putih ini adalah Raja Karang Setra. Dia bisa langsung mengetahui dari sikap Panglima Lanang pada pemuda yang belum dikenalnya ini. Dia jadi ingat, Raja Karang Setra memang seorang pendekar tangguh dan sering pergi mengembara meninggalkan istananya, hanya untuk menunaikan tugas sebagai seorang pendekar penegak keadilan.

Sementara itu Rangga membalas penghormatan dengan anggukan kepala sedikit. Bibirnya masih terus menyunggingkan senyum tipis. Kini pandangannya kembali dialihkan pada Panglima Lanang.

"Maaf, Gusti. Tadi hamba melihat Gusti Prabu bertarung dengan seseorang. Kalau boleh hamba tahu, siapa lawan Gusti Prabu tadi...?" tanya Panglima Antaraka dengan sikap sopan sekali.

"Nyai Wisanggeni," sahut Rangga.

"Oh...?! Si Setan Perempuan Penghisap Darah...?" desis Panglima Antaraka terkejut.

"Benar," tegas Rangga.

"Kenapa Gusti Prabu sampai bisa bentrok dengannya?" tanya Panglima Antaraka lagi.

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Rangga menceritakan semua peristiwa yang dialaminya selama berada di Pakuan ini sampai Pandan Wangi kini menderita luka parah. Hanya saja, Rangga tidak menceritakan kalau Pandan Wangi dirawat Rajawali Putih. Rangga juga cerita tentang Panglima Widura yang dicurigai menjadi otak dari rencana pemberontakan di Kerajaan Pakuan ini. Panglima Lanang dan Panglima Antaraka terdiam mendengarkan penuh perhatian. Tidak ada yang menyelak sampai Rangga menyelesaikan ceritanya.

"Sudah lama hamba mencurigai Panglima Widura. Ternyata, dugaan hamba tidak meleset sama sekali," gumam Panglima Antaraka pelan, seperti bicara pada diri sendiri.

"Sebelum segalanya terjadi, sebaiknya kalian amankan Panglima Widura dan semua prajuritnya. Aku sendiri yang akan menghadapi orang yang ada di belakang Panglima Widura," tegas Rangga.

"Terima kasih, Gusti Prabu," ucap Panglima Antaraka.

"Sudahlah. Sebaiknya, kau cepat berangkat sebelum Panglima Widura bertindak," ujar Rangga.

Panglima Lanang dan Panglima Antaraka segera membungkuk memberi hormat. Kemudian, mereka melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Setelah menganggukkan kepala pada Pendekar Rajawali Sakti, kedua panglima itu langsung memutar kuda dan cepat menggebahnya. Sekitar seratus orang prajurit yang menyertai, segera mengikuti kedua panglima itu. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak memandangi sampai rombongan prajurit itu lenyap dari pandangan.

********************

EMPAT

Panglima Widura terkejut setengah mati, begitu menerima laporan dari Ki Renges kalau tempat tinggalnya sudah dikepung ratusan prajurit gabungan Karang Setra dan Pakuan. Maka seluruh prajuritnya segera diperintahkan untuk siap menghadapi segala macam serangan. Baginya memang tidak ada pilihan lain lagi, meskipun disadari tidak akan mungkin bisa melawan begitu banyak prajurit. Terlebih lagi, dia tahu kalau prajurit Karang Setra yang ada di Pakuan ini, kemampuannya dalam bertempur sudah tidak bisa diragukan lagi.

"Jumlah mereka sangat banyak, Gusti. Rasa-nya tidak mungkin kita menghadapinya." ujar Ki Renges, dengan wajah mencerminkan kecemasan

"Sudah kepalang basah. Lawan mereka!" sentak Panglima Widura geram "Siapkan semua prajurit!"

"Semua prajurit sudah siap, Gusti," lapor Ki Renges lagi, memberi tahu.

"Bagus! Jangan biarkan seorang pun dari mereka bisa menginjak tanah ini. Beri mereka pelajaran yang berharga, Ki Renges." "Hamba, Gusti Panglima.

Ki Renges bergegas berlari-lari kecil ke luar. Diperintahkannya seluruh prajurit untuk bersiaga penuh mengadakan serangan. Sementara, Panglima Widura sendiri sudah berada di beranda depan rumahnya. Pandangannya beredar ke sekeliling, memandangi prajuritnya yang sudah siap menghadapi pertempuran.

"Hhh! Ini semua gara-gara Pendekar Rajawali Sakti. Kalau dia tidak muncul di Pakuan ini, tidak akan mungkin jadi berantakan seperti ini. Huh...!" dengus Panglima Widura, kesal.

Sementara itu, suara hiruk-pikuk di luar terus terdengar. Sehingga, membuat wajah Panglima Widura jadi memerah menahan kemarahan yang amat sangat. Rencana yang sudah disusun begitu lama, sekarang jadi berantakan. Bahkan sebelum bisa melakukan tindakan, sudah terlebih dahulu dikepung prajurit-prajurit gabungan yang sangat besar kekuatannya.

"Seraaang...!" seru Panglima Widura tiba-tiba memberi perintah dengan suara lantang menggelegar.

Seketika itu juga, prajurit yang berada di atas pagar berbentuk benteng, langsung melepaskan anak panah yang sejak tadi sudah terpasang di busur.

Jerit dan teriakan melengking mengantar kematian pun langsung terdengar dari luar pagar yang berbentuk benteng kokoh ini. Sedangkan prajurit Panglima Widura yang berada di atas pagar benteng, terus melontarkan anak-anak panah secara beruntun. Sementara, sebagian prajurit yang sudah siap di halaman bersikap waspada, menanti kalau kalau pintu gerbang yang tertutup rapat dapat dijebol lawan.

"Phuih!"

Panglima Widura menyemburkan ludahnya, saat melihat beberapa orang prajuritnya yang berada di atas pagar mulai berjatuhan tertembus panah dan serangan balasan. Satu-persatu prajurit-prajurit itu berjatuhan, memperdengarkan suara jeritan melengking dan menyayat hati. Tanah pun tersiram darah yang muncrat dari para prajurit yang tewas terbanting akibat tertembus anak panah.

"Perkuat pintu gerbang...!" seru Panglima Widura memberi perintah, begitu terdengar pintu gerbang yang tebal dan kokoh mulai berderak.

Tampak pintu dari kayu jati bulat itu mulai bergetar, disertai suara berderak keras. Sementara jeritan-jeritan panjang terus terdengar. Sedangkan tubuh-tubuh bersimbah darah pun terus berjatuhan. Tampak Panglima Widura mulai merasa cemas, melihat pintu gerbang semakin rapuh. kekuatannya.

Dan sudah bisa dipastikan tidak lama lagi pintu itu akan hancur. Sementara mereka yang berada di luar akan menyerbu masuk. Kalau hal ini terjadi, sulit dibendung lagi.

Brak!

Belum lagi Panglima Widura bisa berpikir lebih jauh, tiba-taba saja pintu gerbang yang dipertahankan itu hancur berkeping keeping. Dan seketika itu juga, puluhan prajurit yang berada di luar menyerbu masuk sambil berteriak-teriak mengacungkan senjata di atas kepala.

"Hadang mereka...!" teriak Panglima Widura memberi perintah.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Pertempuran memang tidak dapat dihindari lagi. Dua prajurit yang saling bertentangan mulai bertarung sengit di halaman rumah Panglima Wi dura yang sangat luas ini. Denting senjata beradu seketika terdengar, menyertai teriakan-teriakan lantang menggelegar membangkitkan semangat pertempuran yang bercampur jeritan kematian.

Sebentar saja, tubuh-tubuh bersimbah darah sudah terlihat berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun, prajurit Pakuan yang dibantu prajurit Karang Setra terus merangsek semakin banyak ke dalam halaman rumah panglima ini. Akibatnya, prajurit-prajurit yang bertahan semakin kewalahan saja menghadapinya. Sementara, Panglima Widura mulai menyingkir mendekati kuda hitam tunggangannya yang tertambat di bawah pohon, tidak jauh dari beranda depan rumahnya yang besar dan megah.

"Hup!"

Cepat panglima itu melompat naik ke pung-gung kudanya. Tapi belum juga kuda hitam tunggangannya digebah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menerjang ke arahnya.

"Ups...?!"

Panglima Widura jadi kaget setengah mati. Cepat tubuhnya melenting ke atas, dan berputaran dua kali di udara. Lalu manis sekali tubuhnya meluruk turun. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak tanah. Saat itu, terlihat seorang pemuda berwajah tampan sudah berdiri sekitar satu batang tombak di depannya. Dari pakaian yang dikenakan, sudah dapat dipastikan kalau anak muda tampan itu adalah Danupaksi, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra.

"Jangan harap bisa kabur dengan mudah, Pengkhianat Busuk!" terasa begitu dingin nada suara Danupaksi.

"Phuih!"

Panglima Widura hanya menyemburkan ludahnya saja dengan sengit. Dia tahu, anak muda yang menghadangnya ini adalah Raden Danupaksi dari Karang Setra. Dan itu membuatnya tidak bisa menganggap sebelah mata pada anak muda yang usianya jauh berada di bawahnya ini.

Sret!
Cring!

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Panglima Widura meloloskan pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Sementara melihat lawannya sudah meloloskan pedang, perlahan- lahan Danupaksi mencabut pedangnya juga. Dan pedangnya langsung dilintangkan di depan dada sambil menggeser kakinya perlahan-lahan ke kanan. Sedangkan Panglima Widura mulai melangkah ke depan perlahan-lahan, sambil memainkan pedangnya di depan dada. Sorot matanya begitu tajam memancarkan nafsu membunuh penuh kebencian pada anak muda di depannya.

"Mampus kau Keparat! Hiyaaat!"
"Hup! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura melompat cepat bagai kilat menerjang. Pedangnya langsung dikebutkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Danupaksi sendiri sudah melesat menyambut serangan dengan menghentakkan pedangnya ke depan. Sehingga...

Tring!
"Ups!"
"Ikh...!"

Mereka sama-sama berlompatan mundur begitu pedang satu sama lain beradu keras di udara. Begitu kerasnya, sehingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Tapi mereka cepat bisa menguasai keseimbangan, dan berdiri tegak dengan pedang sama-sama tersilang di depan dada.

Beberapa saat mereka terdiam dan saling menatap tajam. Benturan pedang yang terjadi begitu cepat dan dahsyat itu membuat mereka sama-sama menyadari akan ketangguhan masing-masing. Jelas, tenaga dalam yang mereka miliki saat ini seimbang.

"Hm... Tampaknya anak muda ini memiliki kepandaian yang setara denganku," gumam Panglima Widura dalam hati. "Aku harus lebih berhati-hati menghadapinya."

Perlahan Panglima Widura menggeser kakinya, menyusur tanah ke kanan. Sementara, Danupaksi tetap berdiri tegak dengan pedang masih tersilang di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, memperhatikan setiap gerak lawan. Sedikit tubuhnya memutar, saat Panglima Widura sudah berada agak menyamping di bagian kiri. Dan saat itu, Panglima Widura sudah berhenti menggeser kakinya, kemudian memainkan pedangnya perlahan di depan dada.

Pedang yang berkilatan tajam serasa hendak menggetarkan jantung lawan yang jauh lebih muda usianya. Tapi kelihatan jelas kalau Danupaksi tidak gentar sedikit pun melihat mata pedang yang berkilatan memantulkan cahaya matahari. Sementara di tempat lain, pertarungan masih terus berlangsung. Walaupun sudah terlihat kalau para prajurit Panglima Widura sudah tidak berdaya lagi untuk terus bertahan lebih lama. Dan kedudukannya semakin terdesak, dengan semakin banyaknya prajurit yang gugur bersimbah darah.

Sementara Danupaksi dan Panglima Widura masih tetap berdiri saling berhadapan, dengan jarak kurang dari satu tombak. Sedangkan beberapa orang prajurit Karang Setra berpangkat punggawa yang sudah tidak memiliki lawan lagi, sudah mulai mengelilingi tempat ini. Bahkan terlihat dua orang panglima dari Pakuan, serta Panglima Lanang, sudah berada di tempat itu, tidak jauh di belakang Danupaksi.

Keadaan yang tidak menguntungkan ini cepat diketahui Panglima Widura. Hatinya seketika mulai diliputi kecemasan. Terlebih lagi, saat mengetahui prajuritnya sudah tidak berdaya lagi menghadapi serangan para prajurit gabungan Pakuan dan Karang Setra. Panglima Widura cepat menyadari kalau tidak lama lagi, akan menghadapi lawan-lawannya ini seorang diri yang tidak akan mungkin dilakukannya. Sedangkan anak muda yang kini sedang dihadapinya saja memiliki kepandaian yang setara.

"Phuih!"

Panglima Widura menyemburkan ludahnya dengan sengit, menyadari keadaan yang sangat tidak menguntungkan. Kedua bola matanya yang memerah beredar tajam ke sekeliling, seperti sepasang bola api. Sedikit pun tidak ada celah baginya untuk dapat meloloskan diri. Malah, semakin banyak saja prajurit yang mengepungnya Sementara, Danupaksi semakin kelihatan tenang melihat keadaan sekelilingnya yang begitu menguntungkan. Dan kepercayaan diri yang semula sudah mulai menipis, langsung bangkit seketika.

"Sebaiknya menyerah saja, Panglima Widura. Tidak ada gunanya lagi terus bertahan," terasa begitu tenang suara Danupaksi. Tapi, terdengar begitu dingin nadanya.

"Phuih!"

Untuk kedua kalinya, Panglima Widura menyemburkan ludahnya dengan sengit. Memang tidak ada pilihan baginya. Bertahan, atau menyerahkan lehernya untuk digantung sebagai pengkhianat dan pemberontak. Tapi bagi orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, lebih baik mati di ujung pedang lawan daripada harus mati di tiang gantungan! Panglima Widura mulai menegakkan pedangnya hingga sejajar tubuhnya. Dan tatapan matanya yang begitu tajam penuh nafsu membunuh, tertuju lurus pada Danupaksi yang berada kurang dari satu tombak di depan.

"Kita bertarung sampai ada yang mampus, Bocah!" bentak Panglima Widura lantang menggelegar. "Hiyaaat...!"

Panglima Widura benar-benar tidak mempunyai pilihan lain lagi. Sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat disertai seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Lesatannya yang begitu cepat bagai kilat, hingga terasa begitu sulit diikuti pandangan mata biasa Namun, Danupaksi yang sudah siap sejak tadi, cepat pula mengibaskan pedangnya ke depan, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Bersamaan dengan itu, kakinya bergeser sedikit ke kanan, sambil meliuk hingga terlihat agak miring.

Trang!
"Yeaaah...!"

Begitu pedangnya beradu, tangan kiri Danupaksi cepat melepaskan satu pukulan keras menggeledek dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tepat mengarah ke lambung Panglima Widura.

"Ikh...?!"

Panglima Widura jadi tersentak kaget setengah mati. Tidak disangka kalau Danupaksi bisa bergerak begitu cepat, menangkis serangan yang dibarengi sebuah serangan balasan yang begitu cepat luar biasa. Untung tubuhnya cepat meliuk, hingga pukulan yang dilepaskan Danupaksi hanya mengenai angin kosong belaka.

"Hup!"

Panglima Widura cepat-cepat melompat ke belakang, menjaga jarak. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, saat itu juga Danupaksi sudah melesat cepat bagai kilat sambil membabatkan pedangnya ke arah kepala. Begitu cepat serangannya sehingga membuat Panglima Widura jadi terbeliak setengah mati.

Wut! "Ups...!"

Panglima Widura cepat menarik kepalanya ke belakang, sehingga tebasan pedang Danupaksi hanya lewaat di depan wajahnya.

"Hih! Hiyaaa...!"

Namun pada saat yang hampir bersamaan, Danupaksi melenting sedikit ke atas. Dan dengan kecepatan yang begitu sukar diikuti mata biasa, pedangnya diputar ke bawah.

"Hih!"
Wuk!
Trang!

Kembali dua pedang yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi beradu, tepat di depan perut Panglima Widura. Dan panglima itu cepat melompat ke belakang, sejauh tiga langkah. Sedangkan Danupaksi langsung menjejakkan kakinya. Lalu saat itu juga tubuhnya merunduk, hingga lututnya yang tertekuk menyentuh tanah. Seketika itu juga pedangnya cepat dikibaskan ke arah kaki lawan.

Bet!
"Hup!"

Tidak ada jalan lain lagi bagi Panglima Widura untuk menghindari serangan Danupaksi yang sungguh cepat luar biasa ini, kecuali melompat ke atas. Tapi tanpa diduga sama sekali, Danupaksi justru menegakkan tubuhnya tepat di saat Panglima Widura melesat ke atas. Bahkan seketika itu juga Danupaksi melepaskan satu pukulan dahsyat dengan tangan kiri.

"Heh...?!"

Panglima Widura hanya dapat terbeliak saja melihat serangan lawannya yang begitu cepat dan beruntun. Dia berusaha berkelit dengan meliukkan tubuhnya, namun gerakannya sudah terlambat. Dan...

Begkh!
"Akh...!"

Panglima Widura terpekik keras begitu pukulan tangan kiri Danupaksi yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi tepat menghantam bagian samping dadanya yang sebelah kanan. Akibatnya panglima itu terpental sejauh satu batang tombak ke belakang. Tapi keseimbangan tubuhnya cepat bisa dikuasai walaupun dada kanannya terasa begitu nyeri akibat pukulan Danupaksi tadi.

"Ukh!"

Panglima Widura mengeluh sedikit, merasakan sesak yang menyergap dadanya. Dan pandangannya pun jadi sedikit berkunang-kunang. Panglima Widura menggeleng beberapa kali, mencoba mengusir rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepalanya.

"Setan alas kau, Bocah! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak lantang menggelegar bagai guntur membelah angkasa, Panglima Widura kembali melompat menyerang tanpa menghiraukan rasa sesak yang mendadak saja timbul menyelimuti dadanya. Pedangnya langsung berputaran dengan kecepatan kilat, menyerang adik tiri Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Hap!"

Dengan liukan-liukan tubuh yang diimbangi kelincahan gerakan kaki, membuat Danupaksi agak kerepotan juga menyarangkan pedangnya ke tubuh panglima yang menjadi lawannya. Beberapa kali Danupaksi melancarkan serangan yang begitu cepat, tapi belum juga bisa melumpuhkannya. Bahkan perlawanan Panglima Widura begitu gigih, walaupun tadi sempat terkena pukulan.

"Lepas kepalamu! Hiyaaa...!", tiba-tiba saja Panglima Widura berteriak keras sambil mengebutkan pedangnya ke leher, tepat di saat Danupaksi sendiri baru melancarkan serangan dengan pedangnya.

"Haiiit!"

Namun hanya meliukkan tubuh, Danupaksi berhasil menghindari serangan.

"Hup!"

LIMA

Cepat Danupaksi melompat ke belakang, begitu berhasil mengelakkan tebasan pedang Panglima Widura pada lehernya. Namun belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba melesat sebuah bayangan di antara dua orang yang sedang bertarung ini. Bersamaan dengan itu, terlihat sebuah cahaya merah melesat begitu cepat bagai kilat ke arah Danupaksi. Sehingga...

Clark!
"Akh...!"
"Raden...?!"

Semua yang melihat kejadian itu jadi terpekik, bersama terdengarnya jeritan Danupaksi yang terpental ke belakang, tepat ketika cahaya merah yang datang begitu cepat menyambar tepat di dadanya.

Sementara, bayangan putih yang berkelebat cepat bagai kilat itu kembali melesat, langsung menyambar Panglima Widura yang keadaannya sudah terpojok. Begitu cepat bayangan putih itu melesat. Sehingga sebelum ada yang sempat menyadari, bayangan putih itu sudah lenyap dari pandangan sambil membawa Panglima Widura.

Sedangkan Danupaksi terbanting keras sekali di tanah, dan kembali memekik agak tertahan. Tubuhnya menggeliat menggeletak di atas tanah yang sedikit lembab oleh siraman darah dari para prajurit yang tadi bertarung sengit.

"Raden...!"

Panglima Lanang bergegas menghampiri dengan kecemasan melihat Danupaksi tergeletak diam seperti mati. Tampak asap berwarna agak kemerahan mengepul dari dadanya yang sedikit terbuka dan bidang.

"Raden...!"

Suara Panglima Lanang terdengar tercekat, begitu melihat Danupaksi tergeletak dengan kedua bola mata terpejam. Sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuhnya. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan telah mati. Tampak dadanya memerah dan masih mengepulkan asap bagai terbakar.

"Raden..."

Perlahan Panglima Lanang mengangkat tubuh Danupaksi yang terasa begitu panas seperti ada bara api yang bersemayam dalam tubuhnya, Bahkan, sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuh anak muda itu. Panglima Lanang memondong tubuh Danupaksi yang sudah diam tidak bergerak-gerak lagi. Dipandanginya wajah tampan anak muda itu. Tanpa terasa, setitik air bening jatuh menggulir di pipinya.

Sementara, para prajurit yang sudah menyelesaikan pertarungan, tidak ada seorang pun yang bersuara. Mereka terdiam dengan wajah diliputi kecemasan, melihat Danupaksi seperti mati dalam pondongan Panglima Lanang. Dua orang panglima dari Kerajaan Pakuan menghampiri Panglima Lanang. Mereka berdiri saja di depan panglima dari Kerajaan Karang Setra itu.

"Kita bawa ke istana, Paman Panglima," Usul salah seorang.

Panglima Lanang memandangi kedua panglima dari Kerajaan Pakuan itu beberapa saat, kemudian sedikit menganggukkan kepala. Salah seorang langsung memerintahkan prajurit menyiapkan kuda. Sedangkan seorang lagi segera menyiapkan prajurit yang masih hidup. Dan prajurit Panglima Widura tidak ada lagi yang kelihatan masih tertinggal hidup.

Tidak berapa lama, mereka keluar dari halaman rumah kediaman Panglima Widura yang besar dan berantakan dipenuhi mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih bersimbah darah. Tampak berkuda paling depan Panglima Lanang yang masih tetap memondong tubuh Danupaksi. Dua orang panglima dari Kerajaan Pakuan terus mendampingi. Sedangkan di belakang mereka, para prajurit mengikuti dengan wajah tertunduk cemas melihat keadaan Raden Danupaksi yang mungkin terluka parah atau sudah mati.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Entah sudah berapa lama Panglima Lanang duduk sendiri di atas bukit batu memandang matahari yang perlahan-lahan mulai tenggelam di ufuk barat. Cahayanya yang memerah jingga dan begitu indah, sama sekali tidak dapat dinikmatinya. Pikirannya begitu galau melihat keadaan Danupaksi yang sampai saat ini belum juga siuman. Dan sekarang, Danupaksi berada dalam perawatan seorang tabib pilihan di Kerajaan Pakuan.

Meskipun tabib itu sudah mengatakan jiwa Danupaksi masih bisa tertolong, tapi Panglima Lanang masih juga belum bisa tenang hatinya.

"Paman Lanang...."
"Oh...?!"

Panglima Lanang tiba-tiba saja tersentak setengah mati, begitu terdengar panggilan dari belakang. Cepat dia terlompat bangun dan berbalik. Dan seketika itu juga seluruh tubuhnya jadi menggigil, seperti terserang demam. Panglima Lanang langsung jatuh berlutut dengan bola mata terbeliak dan mulut ternganga. Seakan-akan, dia melihat sosok makhluk mengerikan di depannya.

"Gusti Prabu...," bergetar suara Panglima Lanang.

"Kenapa wajahmu begitu pucat, Paman? Kau seolah-olah sedang berhadapan dengan hantu saja."

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba..., hamba...," tercekat suara Panglima Lanang di tenggorokan.

"Sudahlah, Paman. Aku sudah tahu semua peristiwanya. Kau tidak perlu merasa bersalah. Bangunlah, Paman. Kau seorang panglima. Tidak pantas bersikap begitu."

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu...," masih terdengar bergetar suara Panglima Lanang.

Perlahan laki-laki berusia separo baya itu bangkit berdiri setelah memberi hormat dengan merapatkan telapak tangan di depan hidung. Sementara, pemuda yang tiba-tiba muncul itu tersenyum. Kakinya lalu melangkah beberapa tindak mendekati. Senyumannya begitu manis terkembang di bibirnya yang merah, bagaikan bibir seorang gadis. Pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih itu berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan Panglima Lanang yang juga seorang panglima di Kerajaan Karang Setra.

"Aku bukan raja di sini, Paman. lngatlah. Kau harus memanggilku Rangga," ujar pemuda berbaju rompi putih itu lembut, dengan senyum terus terkembang di bibir.

Pemuda berwajah tampan dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung itu memang Rangga, yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Kemunculannya yang begitu tiba-tiba seperti hantu, memang membuat Panglima Lanang jadi terkejut setengah mati. Hampir saja detak jantungnya berhenti seketika.

"Maafkan hamba, Gusti Prabu Hamba..., hamba begitu terkejut tadi," ucap Panglima Lanang.

"Ah.... Sudahlah, Paman. Aku sudah tahu semua kejadiannya. Jangan merasa bersalah atas nasib yang dialami Danupaksi. Aku malah bangga pada Danupaksi. Dia benar-benar telah membuktikan dirinya sebagai adik seorang raja yang sedang mengemban tugas. Aku sudah menjenguknya di istana. Memang cukup parah keadaannya, tapi akan sembuh dalam beberapa hari ini," kata Rangga mencoba menenangkan hati Panglima Lanang yang masih diliputi kegelisahan.

"Hamba benar-benar tidak tahu, siapa orangnya yang melakukan kecurangan pada Raden Danupaksi," ucap Panglima Lanang sudah mulai bisa tenang kembali.

Rangga tersenyum mendengar penuturan Panglima Kerajaan Karang Setra itu. Semua yang terjadi memang sudah didengarnya dari orang-orang di dalam Istana Pakuan. Bahkan dua orang panglima yang ikut menghancurkan prajurit Panglima Widura juga sudah bercerita padanya.

"Aku tahu, siapa orangnya, Paman," ucap Rangga kalem.

"Oh...?!" Panglima Lanang jadi tersedak tidak menyangka.

"Dia Nyai Wisanggeni atau si Setan Perempuan Penghisap Darah, guru Panglima Widura. Memang tinggi tingkat kepandaiannya. Aku sendiri terasa sulit untuk menghadapinya. Dialah otak dari semua rencana pemberontakan yang dilakukan Panglima Widura," kata Rangga, tetap kalem.

"Kalau saja hamba bisa bertemu dengannya...," terputus kata-kata Panglima Lanang.

"Sulit untuk bisa menemukan tempat persembunyiannya, Paman. Tapi, kau tidak perlu khawatir. Aku akan berusaha untuk membalaskan kekalahan yang diderita Danupaksi. Aku sendiri masih punya perhitungan nyawa dengannya," kata Rangga tegas.

"Oh! Perhitungan nyawa apa itu...?" tanya Panglima Lanang ingin tahu.

"Terlalu panjang ceritanya, Paman. Nantilah kalau semua ini sudah berakhir. Aku akan menceritakannya padamu dalam perjalanan pulang ke Karang Setra," sahut Rangga.

"Gusti akan kembali ke Karang Setra?" tanya Panglima Lanang langsung gembira.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja.

"Oh! Tentu semua akan senang menyambut-mu," desah Panglima Lanang.

"Aku akan beristirahat sebentar di sana, Paman. Sampai...," Rangga tidak meneruskan kata-katanya.

Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat Pandan Wangi yang sampai saat ini masih berada dalam perawatan Rajawali Putih, akibat luka-lukanya yang cukup parah setelah bertarung melawan Nyai Wisanggeni. Memang membutuhkan waktu cukup lama untuk menyembuhkannya. Dan Rangga sudah memutuskan untuk menunggu di Karang Setra.

"Sudah hampir gelap. Sebaiknya, kau kembali ke istana, Paman. Jangan sampai mereka mencari-carimu," ujar Rangga.

"Baik. Hamba akan selalu berada dekat dengan Danupaksi," ucap Panglima Lanang.

"Kalau Danupaksi sudah sehat, cepatlah kembali ke Karang Setra. Aku juga akan berusaha secepatnya membereskan si Setan Perempuan Penghisap Darah itu dengan muridnya," kata Rangga.

Setelah berkata demikian, Rangga cepat memutar tubuhnya berbalik dan langsung melangkah tanpa bicara apa pun juga. Panglima Lanang yang sudah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, jadi terdiam melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah melangkah pergi meninggalkannya. Dia hanya bisa berdiri memandangi, sampai punggung pendekar muda berbaju rompi putih itu lenyap ditelan lebatnya pepohonan di puncak bukit ini.

Beberapa saat Panglima Lanang masih berdiri memandangi ke arah mana Rangga tadi pergi meninggalkannya, walaupun kini sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Dan di saat matahari benar-benar tenggelam di balik peraduannya, Panglima Lanang baru melangkah meninggalkan puncak bukit ini. Angin pun sudah mulai terasa berhembus, menyebarkan udara dingin bersama butir-butir embun. Panglima Lanang terus berjalan perlahan-lahan, menuruni lereng bukit yang tidak begitu lebat ditumbuhi pepohonan ini.

********************

Sementara di tempat yang lebih tinggi dari bukit itu, Rangga berdiri tegak memandangi Panglima Lanang yang semakin jauh menuruni lereng bukit ini. Jelas sekali kalau arah yang dituju Panglima Lanang adalah Istana Pakuan. Dan Rangga sendiri seperti menanti sesuatu di bukit ini. Pendekar Rajawali Sakti belum juga beranjak pergi, walaupun sekelilingnya sudah diselimuti kegelapan. Suara gerit seranggga malam pun sudah sejak tadi terdengar menabuh gendang telinganya.

"Secepatnya aku harus bisa menemukan, di mana Nyai Wisanggeni dan muridnya bersembunyi. Jangan sampai mereka mengacaukan Pakuan ini lagi," gumam Rangga dalam hati.

Sebentar Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepanjang mata memandang, hanya pepohonan saja yang tampak menghitam dijilati cahaya rembulan. Jauh di sebelah selatan bukit ini, terlihat kerlip cahaya lampu dari rumah-rumah di Kotaraja Pakuan, bagai kunang-kunang di sawah. Begitu indah kota itu dipandang dari atas bukit pada malam hari seperti ini. Namun semua itu sama sekali tak dinikmati Pendekar Rajawali Sakti.

"Luas sekali wilayah Pakuan ini. Rasanya, tidak mungkin aku harus menjelajahinya hanya untuk mencari Nyai Wisanggeni. Terpaksa..., aku harus meminta bantuan Rajawali Putih. Mudah-mudahan saja, Rajawali Putih sudah bisa meninggalkan Pandan Wangi barang sejenak," gumam Rangga lagi, dalam hati.

Perlahan kepala Pendekar Rajawali Sakti menengadah ke atas. Hanya kegelapan dan kerlip bintang saja yang terlihat di langit. Beberapa saat Rangga berdiri tegak seperti patung. Tapi tidak lama kemudian, mulai terlihat napasnya ditarik dalam dalam. Sehingga dadanya yang bidang, jadi membusung. Kemudian...

"Suiiit...!"

Malam yang semula begitu hening, seketika jadi pecah oleh siulan Rangga yang begitu keras membelah angkasa. Sementara, Rangga sendiri masih tetap berdiri tegak dengan pandangan tertuju lurus ke langit yang kelam bercahayakan kerlip bintang berwarna keperakan.

"Hm..., lama sekali. Apa yang dilakukan Rajawali...? Rasanya tidak terlalu jauh dari sini ke Lembah Bangkai," gumam Rangga perlahan.

Memang Rangga merasakan kedatangan Rajawali Putih begitu lama tidak seperti biasanya. Dan dia tahu, jarak antara bukit ini dengan Lembah Bangkai yang menjadi tempat tanggal burung rajawali raksasa itu tidak terlalu jauh. Dan seharusnya, hanya sekali panggilan saja Rajawali Putih sudah sampai. Tapi sampai begitu lama menunggu, Rajawali Putih belum juga menampakkan diri.

"Sebaiknya aku coba panggil sekali lagi," gumam Rangga lagi dalam hati.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti bersiap-siap memanggil Rajawali Putih. Kepalanya sudah terdongak ke atas, dan dadanya sudah membusung. Lalu tidak lama kemudian...

"Suiiit...!"

Kembali Rangga menunggu. Tapi kali ini dia jadi heran. Panggilannya sama sekali tidak membawa hasil. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau Rajawali Putih bakal muncul. Dan ini tentu saja membuat Rangga jadi heran, bertanya-tanya sendiri dalam hati. Belum pernah hal seperti ini dialaminya. Rajawali Putih pasti datang, kalau mendengar panggilannya. Tapi kali ini?

"Baiklah. Aku coba sekali lagi," ujar Rangga pelan.

Rangga kembali bersiap hendak memanggil Rajawali Putih. Dan kali ini siulannya lebih panjang daripada sebelumnya. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terdiam dengan kepala terdongak ke atas, memandang langit. Dan tidak lama kemudian...

"Suiiit...!"

Namun baru saja suara siulan yang dialunkan Rangga terdengar, tiba-tiba saja...

"Heh...?!"

ENAM

Rangga jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terasa hempasan angin yang begitu halus namun sangat kuat. Akibatnya, siulan Pendekar Rajawali Sakti seketika menghilang begitu saja. Hempasan angin itu datang bersama terdengarnya siulan yang dialunkan untuk memanggil Rajawali Putih.

"Edan...! Siapa lagi yang usil menggangguku?!" dengus Rangga jadi kesal.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti terdiam sambil mengedarkan pandangan kesekeliling. Tidak ada yang dapat dilihat, selain pepohonan yang menghitam terselimut gelapnya malam yang begitu pekat. Sedangkan dari langit, awan begitu tebal menutupi cahaya bulan.

"Hm... Akan kucoba dengan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'," gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sebuah ilmu kesaktian yang membuat telinganya dapat mendengar suara sekecil apa pun. Dan Rangga juga dapat memilih suara yang diinginkannya, dengan memilah-milah suara yang sampai ke telinganya.

Tampak kepala Pendekar Rajawali Sakti ber-gerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Dia berusaha mencari, kalau-kalau ada orang lain di sekitarnya yang mengganggunya tadi. Tapi sama sekali tidak terdengar sesuatu yang mencurigakan. Hanya desir angin saja yang tertangkap pendengarannya. Rangga segera menarik ajiannya dan kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling mempergunakan aji 'Tatar Netra'.

"Hm.. "

Saat pandangannya tertuju ke arah kiri, Rangga sempat melihat sebuah bayangan yang tersembunyi di antara lebatnya pepohonan dan gundukan batu cadas yang banyak terdapat di bukit ini. Ini memang sangat menarik perhatiannya. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Dan...

"Hup!"
Wusss!

Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga hanya sekali lesat saja, sudah lenyap bagaikan asap tersapu angin. Hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat begitu cepat bagai kilat. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun Rangga menjejakkan kakinya di tempat yang menjadi perhatiannya tadi. Tapi...

"Ups...!"

Cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting dan berputar sekali ke belakang, begitu tiba-tiba saja merasakan desir angin yang begitu halus menyambut kedatangannya. Dan manis sekali kakinya kembali menjejak tanah yang berbatu.

"Hm..."

Rangga jadi bergumam, begitu di depannya sudah terlihat berdiri seorang laki-laki tua berbaju jubah merah menyala. Di tangannya, tampak sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya.

Walaupun usianya sudah mencapai lebih dari delapan puluh tahun, tapi orang tua itu masih tetap berdiri tegak dan gagah. Raut wajahnya terlihat bengis dengan sorot mata tajam dan memerah bagai sepasang bola api. Belahan bibirnya hampir tidak terlihat, tertutup kumis putih panjang yang menyatu dengan jenggot putihnya yang panjang sampai menutupi leher. Beberapa saat mereka terdiam dan hanya saling berpandangan saja, dengan sorotan mata tajam. Seakan-akan mereka saling mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Maaf, Ki. Aku tidak kenal denganmu. Tapi kenapa kau menggangguku tadi...?" tanya Rangga.

"Kau yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?" orang tua itu malah balik bertanya dengan suara ketus dan dingin menggetarkan.

"Benar," sahut Rangga singkat.

"Kalau begitu, kau harus mampus! Kau sudah berani mengganggu muridku!" bentak orang tua itu, semakin dingin dan garang suaranya.

"Eh...?! Tunggu! Aku tidak tahu siapa kau, Ki. Dan apa urusanmu padaku...?!" sentak Rangga tidak mengerti.

"Aku Ki Sancaka. Urusanmu nanti setelah kau berada di neraka, Bocah!"

"Heh...?!"

Rangga tidak punya kesempatan lagi untuk mencegah, begitu tiba-tiba orang tua yang mengaku Ki Sancaka itu mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan seketika itu juga, dari ujung tongkat yang kelihatan rapuh melesat sebuah benda kecil berbentuk pisau yang begitu cepat bagai kilat.

"Ups!"

Cepat Rangga miring ke kanan, hingga pisau kecil itu lewat hanya sedikit saja di samping tubuhnya. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditarik tegak kembali, orang tua itu sudah cepat melompat. Langsung tongkatnya dikebutkan ke arah kepala.

"Haiiit...!"

Sedikit saja Rangga mengegoskan kepala, sehingga sabetan tongkat orang tua itu tidak sampai mengenainya. Dan pada saat itu juga, Rangga sedikit memutar tubuhnya dengan bertumpu pada kaki kiri. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melayangkan satu tendangan berputar yang langsung diarahkan ke dada orang tua ini.

"Hap!"
Bet!
"Heh...?!"

Lagi lagi Rangga jadi terkesiap. Cepat kaki kanannya ditarik, begitu Ki Sancaka mengibaskan tongkatnya ke depan dada. Dua langkah Rangga melompat ke belakang, berusaha menjaga jarak. Langsung kedua tangannya dikepalkan, tersilang di depan dada. Sementara, Ki Sancaka berdiri tegak dengan tongkat tertekan kuat pada tanah di ujung jari kakinya.

"Pantas muridku begitu segan berhadapan denganmu. Ternyata kepandaianmu lumayan juga. Tapi aku ingin tahu. sampai di mana kau bisa menahan jurus-jurusku, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar begitu dingin nada suara Ki Sancaka.

"Maaf, Ki. Bukannya tidak menghormati orang tua. Tapi, aku benar-benar tidak mengerti semua ini. Kau tiba-tiiba saja muncul dan langsung menyerangku tanpa alasan. Kau punya dendam padaku, Ki?" Rangga tetap membuat suaranya lembut dan tenang.

"Phuih! Jangan bermanis mulut denganku, Bocah! Ayo, tahan seranganku ini!" bentak Ki Sancaka Bdak menghiraukan kata-kata Rangga.

Dan belum lagi Rangga bisa membuka suaranya orang tua itu sudah mengebutkan tongkatnya ke depan, sambil mendengus berat Seketika itu juga, berdesir angin yang sangat kuat bagai hempasan badai topan.

"Hap!"

Rangga cepat melenting ke belakang dan ber-putaran dua kali, sebelum serangan Ki Sancaka mencapai sasaran. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah. Tapi pada saat itu juga, Ki Sancaka sudah melesat cepat bagai kilat sambil mengebutkan tongkatnya yang tepat diarahkan ke kepala pemuda berbaju rompi putih ini.

"Mampus kau! Sha.. !"

"Ups! Gila...!"

Hampir saja kebutan tongkat orang tua itu menghantam kepala Pendekar Rajawali Sakti, kalau saja tidak cepat merunduk. Saat itu juga, Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, dan langsung melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Yeaaah...!"
"Ikh!"

Tendangan yang begitu cepat dan mengan-dung pengerahan tenaga dalam sempurna, membuat Ki Sancaka jadi tersentak kaget setengah mati. Namun cepat tongkatnya dikebutkan ke bawah, sehingga membuat Rangga terpaksa harus menarik kembali kakinya sebelum mencapai sasaran. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti melompat kebelakang, mengambil jarak untuk mengatur serangan berikut. Sementara, Ki Sancaka sendiri juga melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Kini mereka kembali berdiri tegak saling berhadapan dengan tatapan mata yang begitu tajam menusuk, saling mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Hm.... Anak muda ini benar-benar tangguh. Pantas saja Wisanggeni sulit menghadapinya," gumam Ki Sancaka dalam hati, mengagumi kepandaian yang dimiliki lawannya yang masih muda ini.

Sementara, Rangga sendiri sudah cepat menyadari kalau lawannya kali ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Kepandaiannya begitu tinggi, hingga begitu sulit melakukan serangan. Seakan-akan orang tua yang mengaku bernama Ki Sancaka ini mengetahui semua gerakannya. Bahkan seperti sudah bisa menebak, ke mana arah serangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga benar-benar harus berhati-hati menghadapinya.

"Aku bosan bermain-main denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya, kita selesaikan saja urusan ini," terasa begitu dingin nada suara Ki Sancaka.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.

Sementara, tongkat Ki Sancaka sudah tersilang di depan dada dan perlahan-lahan diputar. Kemudian ujung tongkatnya ditancapkan ke tanah sambil memperdengarkan suara mendengus yang begitu berat.

"Hep!"

Cepat sekali Ki Sancaka melakukan gerakan-gerakan dengan kedua tangannya, diimbangi gerakan tubuh yang meliuk-liuk seperti seekor ular. Sementara, Rangga masih tetap tegak berdiri memperhatikan setiap gerak laki-laki tua itu. Tidak lama Ki Sancaka membuat beberapa gerakan yang begitu indah dengan liukan tubuh seperti ular. Dan ketika berhenti, tampak kedua tangannya sudah berwarna merah membara seperti besi terbakar dalam tungku.

"Heh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget, ketika melihat kedua tangan Ki Sancaka menjadi merah membara seperti terbakar. Keadaan seperti itu tentu saja membuatnya agak terperangah, karena kedua tangan Ki Sancaka yang merah begitu sama dengan saat Rangga mengeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Tanpa disadari, Rangga jadi melangkah mundur beberapa tindak. Malah kedua bola matanya jadi terbelalak seperti tidak percaya dengan apa yang tengah disaksikannya.

"Kenapa kau terkejut, Pendekar Rajawali Sakti? Takut menghadapi jurus 'Cakar Api Penyebar Maut' ini...?" terdengar mengejek nada suara Ki Sancaka.

"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.

Mendengar nama jurus yang digunakan Ki Sancaka, hati Pendekar Rajawali Sakti jadi sedikit tenang. Jelas sekali jurus yang dimilikinya berbeda dengan jurus Ki Sancaka. Hanya hasilnya saja yang kelihatan sama.

"Sebaiknya aku coba dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali." gumam Rangga dalam hati "Hap...!"

Rangga segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkatan terakhir untuk mengimbangi jurus 'Cakar Api Penyebar Maut' Ki Sancaka. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang juga menjadi merah membara seperti api, membuat kedua bola mata Ki Sancaka iadi terbebak lebar.

"Heh...?! Jurus apa yang kau gunakan...?" sentak Ki Sancaka tidak dapat lagi menahan rasa keterkejutannya.

"Sama sepertimu," sahut Rangga kalem, agak memancing.

"Kunyuk! Kau mencuri ilmuku, heh...?!"

Rangga hanya tersenyum saja mendengar tuduhan itu. Dan memang, jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir sengaja dikeluarkan untuk memancing amarah lawannya. Dan sekarang, pancingannya sudah mulai menampakkan hasilnya. Ki Sancaka menduga, Rangga mencuri ilmunya. Tentu saja ini membuatnya jadi geram setengah mati, hingga wajahnya memerah bagai kepiting rebus.

"Kubunuh kau, Pencuri Busuk! Hiyaaat..!"

Sambil menggeram dahsyat, Ki Sancaka melompat begitu cepat sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, berdesir angin yang sangat kuat, disertai hempasan udara panas menyengat kulit. Sementara, Rangga yang sudah siap sejak tadi tetap diam menanti dengan kedua tangan terkepal erat di samping pinggang. Dan begitu serangan Ki Sancaka sudah dekat....

"Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang terkepal ke depan, tepat di saat kedua tangan Ki Sancaka sudah dekat ke dadanya.

Glarrr...!

Tak pelak lagi, benturan keras pun terjadi hingga menimbulkan ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Bahkan tanah yang dipijak jadi bergetar, bagai diguncang gempa yang sangat dahsyat. Bunga api pun memercik dari dua pasang tangan yang beradu keras itu.

Tampak mereka sama-sama terpental satu batang tombak ke belakang, diiringi jeritan pendek yang tertahan. Mereka sama-sama jatuh bergulingan di tanah, tapi cepat bangkit berdiri. Terlihat Ki Sancaka agak terhuyung begitu kedua kakinya bisa menapak lagi di tanah. Setetes darah kental berwarna agak kehitaman, mengalir keluar dari sudut bibirnya. Sementara, Rangga dengan gerakan manis sekali bisa berdiri tegak, tanpa sedikit pun kelihatan terluka.

"Phuih!"

Ki Sancaka menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Tersirat rasa dendam dan penasaran yang amat sangat di dalam sinar bola matanya. Terlebih lagi, saat mengetahui lawannya yang masih berusia muda itu tetap tegar tanpa mendapatkan luka sedikit pun. Sedangkan saat ini, Ki Sancaka merasakan dadanya begitu sesak seperti baru saja terhantam sebuah godam yang sangat besar dan kuat. Bahkan seluruh persendian tulang tangannya terasa nyeri!

"Jangan besar kepala dulu, Bocah! Kali ini, aku akan mengadu nyawa denganmu!" desis Ki Sancaka dingin menggetarkan.

"Aku kira tidak ada gunanya kita mengadu jiwa, Ki. Apalagi, kalau sikapmu ini membela orang yang salah. Meskipun, orang itu adalah muridmu sendiri. Apa boleh buat, aku terpaksa melayanimu," tegas Rangga.

"Kau sudah mengganggu ketenangan Nyai Wisanggeni. Maka harus kau bayar mahal atas perbuatanmu itu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Ki Sancaka geram. "Hanya nyawamulah yang patut untuk membayar keusilanmu!"

"Oh...?! Jadi si Setan Perempuan Penghisap Darah itu muridmu ?' kali ini nada suara Rangga terdengar agak sinis.

"Benar! Dan sekarang, bersiaplah menjemput kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti!"

Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Memang tidak ada lagi pilihan baginya. Terpaksa disambutnya tantangan yang sudah dibuka Ki Sancaka. Bahkan sejak kemunculannya tadi, orang tua itu terus saja mendesak ingin membunuhnya. Tapi setelah tahu kalau Ki Sancaka adalah guru Nyai Wisanggeni sikap Rangga yang semula masih mengalah, kini jadi berubah begitu jauh. Sorot matanya jadi begitu tajam, hingga membuat Ki Sancaka agak bergidik juga.

"Phuih!"

Ki Sancaka menyemburkan ludahnya, berusaha mengurangi getaran yang tiba-tiba terjadi dalam hatinya. Perlahan kakinya melangkah mendekati tongkatnya yang tadi ditancapkan di tanah. Mudah sekali tongkat kayunya dicabut. Sementara Rangga sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Hanya tatapan matanya saja yang terlihat begitu tajam, memperhatikan setiap gerak Ki Sancaka dalam membuka jurusnya kembali untuk meneruskan pertarungan.

"Cabut senjatamu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak Ki Sancaka sambil mengebutkan tongkat kayunya ke depan.

"Untuk menghadapimu, tidak perlu menggunakan senjata," sambut Rangga dingin.

"Sombong ..! Jangan menyesal kalau kau mati tanpa sempat mencabut senjata, Bocah!" dengus Ki Sancaka geram.

Rangga hanya tersenyum tipis saja. Sementara, Ki Sancaka sudah mulai membuka jurusnya kembali. Tongkatnya segera dikebutkan cepat beberapa kali, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, kebutan tongkat kayunya itu menimbulkan suara angin menderu bagai badai topan. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Dan...

"Hm..."

Rangga mengumam sedikit, saat melihat Ki Sancaka menjajarkan tongkat dengan tubuhnya, sehingga ujung tongkatnya hampir menyentuh hidungnya sendiri. Tampak seluruh tubuh orang tua itu bergetar bagai terserang demam ringgi. Dan begitu getaran di tubuhnya menghilang, seketika itu juga seluruh tubuhnya memancarkan cahaya kuning keemasan. Pada bagian ujung tongkatnya juga memancar cahaya kuning keemasan, yang membentuk bulatan sebesar kepala manusia.

"Dia mulai menggunakan ilmu kesaktian. Hm... Apa boleh buat. Aku harus menggunakan aji 'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati. "Hep...!"

Cepat Rangga merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Dan tubuhnya langsung bergerak miring ke kiri, begitu kakinya terentang cukup lebar ke samping. Lalu perlahan-lahan tubuhnya bergerak ke kanan. Dan ketika kembali tegak, terlihat cahaya biru berkilauan menyemburat, bagai hendak keluar dari kedua telapak tangannya yang masih merapat di depan dada.

Sementara itu, Ki Sancaka sendiri sudah siap melakukan serangan dengan mengerahkan ilmu pamungkasnya. Untuk beberapa saat, mereka berdua saling berdiam diri, seakan-akan tengah mengukur tingkat ilmu yang akan digunakan masing-masing.

"Sambutlah kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"

Diawali bentakan keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa, Ki Sancaka melompat cepat sambil menghentakkan tongkatnya ke depan. Dan ketika bulatan cahaya kuning keemasan dari ujung tongkatnya melesat..

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"

Rangga berteriak keras sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan, dengan jari-jari terkembang lebar. Dan seketika itu juga dari kedua telapak tangannya yang terbuka melesat cahaya biru berkilauan yang menyilaukan mata. Begitu cepatnya dua cahaya itu melesat, sehingga...

Glarrr...!

TUJUH

Satu ledakan keras terdengar menggelegar bagai hendak meruntuhkan bukit yang menjadi ajang pertarungan dua tokoh persilatan tingkat tinggi, tepat di saat dua cahaya yang beradu di tengah-tengah.

"Akh...!"

Terdengar jeritan agak tertahan keluar dari mulut Ki Sancaka, begitu tubuhnya terdorong lima langkah ke belakang. Cahaya kuning keemasan yang memancar dari seluruh tubuh dan ujung tongkatnya seketika itu juga lenyap. Tapi, cahaya biru yang memancar dan kedua telapak tangan Rangga terus meluncur cepat bagai kilat ke arah orang tua ini.

"Heh...?!"

Ki Sancaka jadi terbeliak melihat Rangga masih terus melancarkan serangan tanpa berhenti sedikit pun. Cepat orang tua itu berusaha menghindar dengan menggeser kakinya ke samping. Tapi, gerakannya sudah terlambat. Akibatnya, dia tidak bisa lagi menghindari cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan...

"Akh...!"

Kembali Ki Sancaka memekik, begitu cahaya biru terang yang keluar dari telapak tangan Rangga menghantam tubuhnya. Dan cahaya biru itu langsung menyelimuti seluruh tubuh Ki Sancaka.

"Ugkh...!"

Ki Sancaka jadi mengeluh, begitu merasakan tubuhnya terselubung cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Seketika seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan untuk melepaskan diri dari selubung cahaya biru ini. Tapi semakin kuat mengerahkan tenaga dalamnya, semakin banyak saja cahaya biru itu menggumpal menyelimuti seluruh tubuhnya.

"Akh...!"

Kembali Ki Sancaka memekik, saat merasakan kekuatannya mulai mengalir keluar tanpa dapat dikendalikan lagi. Sementara, Rangga mulai melangkah menghampiri orang tua ini. Kedua tangannya masih terjulur ke depan, memancarkan cahaya biru yang terus menyelimuti seluruh tubuh Ki Sancaka.

Dan Ki Sancaka terus menggeliat-geliat sambil berteriak, berusaha melepaskan diri dari belenggu cahaya biru yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Tapi semakin keras berusaha semakin deras pula kekuatannya tersedot keluar tanpa disadari. Tampak titik keringat sebesar butir-butir jagung mulai merembes membasahi tubuhnya. Sedangkan Rangga semakin dekat saja. Dan ketika jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi, Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah.

"Ugkh! Aaakh...!"

Tiba-tiba saja Ki Sancaka menjerit melengking tinggi, hingga menggema ke seluruh bukit ini. Dan saat itu juga, tubuhnya jadi lemas bagai tidak memiliki kekuatan lagi. Kalau saja tubuhnya tidak terselubung cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' pasti sudah ambruk ke tanah. Ki Sancaka sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya yang sudah lemah seperti mengalami kelumpuhan. Sementara, Rangga masih terus mengerahkan ilmunya yang sangat dahsyat.

"Hih! Yeaaah...!"

Mendadak Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga tangannya dihentakkan ke depan. Dan....

Glarrr!

Bersamaan dengan itu, terdengar ledakan keras memekakkan telinga. Dan seketika, seluruh tubuh Ki Sancaka hancur berkeping-keping menjadi tepung, begitu kedua tangan Rangga terhentak mundur, yang mengakhiri pengerahan ilmu kesaktiannya.

"Hhh...!"

Rangga menghembuskan napas panjang, sambil menarik kakinya ke belakang dua langkah. Dipandanginya onggokan debu jasad Ki Sancaka yang hancur akibat aji 'Cakra Buana Sukma'. Memang sungguh dahsyat akibatnya jika dikerahkan sampai pada tingkat yang terakhir. Tubuh lawannya bisa menjadi debu seketika.

Beberapa saat lamanya Rangga masih berdiri diam, memandangi jasad lawannya yang kini sudah teronggok menjadi debu tidak jauh di depannya. Dan beberapa kali dia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian kakinya mulai bergerak ke belakang beberapa langkah, lalu tubuhnya berbalik.

"Malam ini juga aku harus menemukan Nyai Wisanggeni dan muridnya. Akan kupanggil Rajawali Putih," gumam Rangga perlahan, bicara pada diri sendiri.

Hati Rangga jadi merasa lega setelah mengetahui dari Rajawali Putih kalau keadaan Pandan Wangi tidak perlu dikhawatirkan lagi. Dalam beberapa hari ini, Pandan Wangi bisa kembali bersamanya. Dan malam ini Rangga tidak bisa terus-menerus menanyakan keadaan Pandan Wangi, karena harus secepatnya bisa menemukan Nyai Wisanggeni dan muridnya. Terutama menemukan Setan Perempuan Penghisap Darah yang telah membuat Pandan Wangi dan Danupaksi jadi celaka. Kemarahan Pendekar Rajawali Sakti memang tidak bisa dibendung lagi.

Dengan menunggang Rajawali Putih, Rangga bisa menjelajahi seluruh wilayah Kerajaan Pakuan dalam waktu singkat. Bahkan sampai memeriksa ke daerah perbatasan antara Pakuan dan Karang Setra. Namun sampai tengah malam, belum juga ditemukan tanda-tanda, di mana adanya Nyai Wisanggeni yang selama ini dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah.

"Kembali ke bukit Rajawali," pinta Rangga pada burung rajawali raksasa yang menjadi tunggangannya.

"Khraaagkh...!"

Rajawali Putih langsung melesat cepat bagai kilat menuju bukit, tempat Rangga memanggilnya tadi dengan siulan saktinya. Dalam waktu sekejap mata saja, Rajawali Putih sudah berada di atas bukit itu lagi. Namun saat Rangga hendak memintanya turun, mendadak saja kedua bola matanya jadi terbeliak lebar.

"Tunggu, Rajawali...! Kau lihat di bawah Sana...?" terdengar agak bergetar suara Rangga.

"Khrrr...!"

Tampaknya Rajawali Putih juga sudah melihat. Dan burung itu mengkirik perlahan sambil menjulurkan kepala ke bawah. Sehingga Rangga yang berada di punggungnya dapat melihat lebih jelas lagi. Dengan menggunakan aji 'Tatar Netra', Pendekar Rajawali Sakti semakin dapat melihat lebih jelas lagi apa yang ada di bawahnya. Padahal saat ini malam begitu gelap tanpa sedikit pun terlihat cahaya bintang maupun bulan. Langit malam juga terselimut awan tebal menghitam.

"Benar, Rajawali. Ternyata mereka masih ada di sini. Hhh...! Kalian tidak akan lolos dari tanganku sekarang!" gumam Rangga agak menggeram suaranya begitu bisa memastikan kalau dua orang yang dilihatnya di puncak bukit itu adalah Nyai Wisanggeni dan muridnya, Panglima Widura dari Kerajaan Pakuan.

Dari angkasa, Rangga melihat jelas kalau perempuan tua itu bersama muridnya tengah berdiri tidak jauh dari tumpukan debu dari tubuh Ki Sancaka yang tewas akibat terkena aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti dalam pertempurannya tadi.

"Ayo, Rajawali. Kita kejutkan mereka," ajak Rangga.

"Khraaagkh...!"

Sambil berseru keras menggelegar, Rajawali Putih langsung saja menukik cepat bagai kilat menuju puncak bukit yang tidak begitu lebat ditumbuhi pepohonan. Teriakan Rajawali Putih yang begitu keras bagai guntur membelah angkasa, sudah membuat Nyai Wisanggeni dan Widura jadi tersentak kaget setengah mati. Dan saat mendongak ke atas, kedua bola mata mereka jadi terbeliak lebar, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, tahu-tahu Rajawali Putih sudah mendarat tepat sekitar satu batang tombak di depan mereka, membuat kedua bola mata semakin lebar terbeliak. Terlebih lagi, saat dari punggung burung rajawali raksasa itu melompat seorang pemuda berbaju rompi putih yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu berdiri tegak di depan burung rajawali raksasa tunggangannya.

"Jangan harap bisa sembunyi dariku..." terasa begitu dingin nada suara Rangga.

Kebencian begitu nyata tersirat dalam tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti. Kebencian yang sudah tidak bisa terbendung lagi, karena ulah kedua orang ini yang menyebabkan Pandan Wangi dan Danupaksi jadi menderita. Padahal orang-orang itu sudah teramat dekat dengan hati Pendekar Rajawali Sakti.

"Malam ini kalian berdua harus menerima ganjaran yang setimpal!" desis Rangga dingin menggetarkan.

"Kau yang akan mampus, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak Widura begitu lenyap dari keterpanaannya.

Sret!

Tanpa membuang waktu lagi, Widura langsung saja mencabut pedangnya. Dan... "Mampus kau! Hiyaaat...!"

Sambil membentak nyaring, Widura langsung saja melompat sambil membabatkan pedangnya, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Haiiit...!"

Namun hanya sedikit saja Rangga mengegos kan kepala, tebasan pedang Widura dapat dihindari. Bahkan dengan kecepatan mengagumkan, Rangga menghentakkan tangan kirinya diikuti egosan tubuh yang begitu manis. Begitu cepat sodokan tangannya, sehingga membuat Widura tiidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan...

Begkh!
"Akh...!"

Widura jadi terpekik begitu sodokan tangan kiri Rangga mendarat telak di dadanya. Dan di saat tubuhnya terhuyung, cepat Rangga melepaskan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.

"Hiyaaat...!"
Des!
"Aaa...!"

Widura menjerit melengking tinggi, begitu tendangan yang dilepaskan Rangga berhasil mendarat keras sekali di dadanya. Akibatnya seketika tubuhnya terpental sejauh dua batang tombak ke belakang.

Bruk!

Keras sekali tubuh Widura terbanting ke tanah, dan hanya bisa menggeliat sedikit saja. Tampak dari mulutnya mengalir darah segar yang agak kental. Kedua bola matanya terbeliak lebar. Sedikit tubuhnya mengejang, lalu diam tdak bergerak-gerak lagi. Seketika, nyawa panglima itu melayang dengan tulang-tulang dada remuk, akibat terkena tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu keras mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Bocah keparat...! Kau harus membayar mahal nyawa muridku!" bentak Nyai Wisanggeni geram, begitu melihat muridnya tewas hanya dalam dua kali gebrakan saja.

"Hhh!"

Rangga hanya sedikit menghembuskan napasnya saja. Lalu kakinya cepat digeser ke kanan dua langkah, begitu Nyai Wisanggeni sudah memutar tongkatnya yang berbentuk ular di depan dada. Kemudian perempuan tua itu menancapkan ujung tongkatnya ke tanah, tepat di ujung jari-jari kakinya. Sementara, tatapan matanya terlihat begitu tajam, bagai hendak melumat seluruh tubuh pemuda yang berada sekitar satu batang tombak di depannya.

Entah berapa lama mereka terdiam saling berpandangan dengan tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Dan secara bersamaan, mereka saling bergerak menggeser kakinya ke samping. Sementara. Nyai Wisanggeni sudah menyilangkan tongkatnya di depan dada. Dan Rangga masih tetap dengan tangan kosong yang berada di samping pinggangnya. Tapi kedua bola matanya tidak berkedip sedikit pun memperhatikan setiap gerak si Setan Perempuan Penghisap Darah itu.

Entah sudah berapa lama mereka terdiam saling berpandangan tajam. Sementara di ufuk timur, semburat cahaya merah jingga mulai terlihat. Dan kicauan burung pun mulai terdengar, pertanda sebentar lagi pagi akan datang menjelang. Keadaan di puncak bukit ini pun sudah mulai tersiram cahaya matahari. Dan udara yang semula terasa begitu perlahan mulai menghangat.

Rangga berpaling sedikit, melirik Rajawali Putih yang masih tetap mendekam memperhatikannya. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu kelihatannya agak gelisah dengan datangnya pagi.

"Kau boleh pergi, Rajawali," kata Rangga seakan bisa mengetahui arti kegelisahan tunggangannya

"Khrrr...!"

Rajawali Putih langsung mengembangkan sayapnya. Dan...

"Khraaagkh...!"

Sambil berseru nyaring, Rajawali Putih mengepakkan sayapnya yang besar. Bagaikan kilat, dia melesat tinggi ke angkasa. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah lenyap dari pandangan, hilang tertelan awan yang masih cukup tebal menggumpal di angkasa.

"Sahabatku sudah pergi. Kau tidak perlu takut sekarang, Nyai Wisanggeni. Hanya aku dan kau yang ada di sini," dingin dan datar sekali suara Rangga.

"Phuih!"

Nyai Wisanggeni hanya menyemburkan ludahnya saja dengan sengit. Sedikit kepalanya mendongak ke atas. Memang sudah tidak terlihat lagi burung rajawali raksasa yang membuat hatinya tadi jadi gentar juga melihatnya. Sedangkan Rangga hanya tersenyum sedikit melihat bakal lawannya ingin memastikan kalau Rajawali Putih sudah pergi dari puncak bukit ini.

Bet!

Merasa pasti kalau Rajawali Putih sudah tidak ada lagi, Nyai Wisanggeni langsung saja mengebutkan tongkatnya yang berbentuk ular ke depan. Dan seketika itu juga, dari ujung kepala tongkatnya melesat puluhan benda kecil seperti jarum berwarna kuning keemasan yang begitu cepat.

"Hap!"

Namun Rangga yang sejak tadi sudah siap, dengan gerakan yang begitu manis berhasil menghindari semua benda kecil itu. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan seekor ular tanpa menggeser kakinya sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti kembali tegak, begitu tidak ada lagi jarum-jarum senjata rahasia si Setan Perempuan Penghisap Darah.

"Hanya itukah yang kau miliki, Nyai Wisanggeni.?" Sengaja Rangga memanasi perempuan tua itu, karena ingin memancing kemarahannya.

"Bocah keparat! Cabut senjatamu...I" bentak Nyai Wisanggeni geram.

Rangga hanya tersenyum saja. Hatinya senang, karena pancingannya ternyata membawa hasil. Nyai Wisanggeni kelihatan geram sekali merasa diremehkan pemuda lawannya.

Wut!

Kembali Nyai Wisanggeni mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan kali ini, berulang-ulang. Maka dari ujung kepala tongkat yang berbentuk ular itu melesat puluhan jarum halus berwarna kuning keemasan.

"Hup! Hiyaaa...!"

Kali ini Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Nyai Wisanggeni. Jarum-jarum halus yang sangat berbahaya itu meluncur deras, menghujani Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya perempuan tua itu tidak sudi memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti untuk balas menyerang.

"Hiyaaa...!"

Nyai Wisanggeni berlompatan, memutari tubuh Pendekar Rajawali Sakti sambil cepat mengebutkan tongkatnya secara berulang-ulang. Dan ujung kepala tongkatnya terus ditujukan pada lawannya.

"Hih! Yeaaah...!"

Sambil melenting tinggi-tinggi ke atas, Rangga berputaran dengan tubuh meliuk menghindari serangan si Setan Perempuan Penghisap Darah itu.

"Yeaaah...!"

Diiringi teriakan keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras dengan kedua kaki bergerak begitu cepat bagai berputar. Saat itu juga, jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' dikerahkannya

"Ikh...?!"

Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget, melihat serangan Rangga yang begitu cepat dan dahsyat tanpa diduga sama sekali. Cepat kakinya ditarik ke belakang, seraya mengebutkan tongkatnya ke atas kepala. Tapi pada saat itu juga, Rangga sudah memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah. Dan bagaikan kilat, dilepaskannya satu pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Hiyaaa...!"
"Hih..!"
Bet!

Nyai Wisanggeni jadi kaget setengah mati. Cepat tongkatnya dikebutkan kedepan dada, sambil melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Maka pukulan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai menghantam tubuhnya.

"Hap!"

Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah, dan langsung mengembangkan kedua tangannya ke samping, bagaikan sepasang sayap rajawali yang sedang mengembang. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah menyilangkan lagi tongkatnya di depan dada.

"Phuih!"

Sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit, Nyai Wisanggeni menggeser kakinya perlahan ke kanan. Sementara, Rangga sudah mulai menggerakkan tangannya, bagaikan burung hendak terbang meninggalkan bumi. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata perempuan tua berjubah putih kumal itu.

"Hup! Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"

DELAPAN

Bagaikan kilat, Rangga melenting ke atas mem pergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dan begitu kakinya menjejak tanah di depan Nyai Wisanggeni, kedua tangannya langsung mengibas cepat secara bergantian. Akibatnya si Setan Perempuan Penghisap Darah itu jadi kelabakan menghindarinya.

"Hap! Hiyaaa...!"

Nyai Wisanggeni terpaksa harus berlompatan dan jungkir balik menghindari setiap kibasan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang bagaikan sayap seekor burung rajawali murka ini. Setiap kibasan tangannya selalu menimbulkan hempasan angin kuat, disertai hembusan hawa panas menyengat kulit.

Nyai Wisanggeni terus berjumpalitan sambil sesekali mengebutkan tongkatnya untuk menangkis setiap kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali tongkat perempuan tua itu menghantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, pemuda berbaju rompi putih itu terus saja melancarkan serangan dengan kibasan kedua tangannya yang begitu cepat dan dahsyat.

"Hap! Yeaaah...!"

Dan pada satu saat, tiba-tiba saja Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Lalu dengan gerakan tubuh begitu cepat, jurusnya dirubah menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat gerakannya, sehingga Nyai Wisanggeni jadi kaget tidak menyangka. Dan...

Begkh!
"Akh...!"

Pukulan dahsyat yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat lagi ditahan, tepat menghantam keras dada perempuan tua itu. Sehingga, Nyai Wisanggeni menjerit ketika tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.

Bruk!

Keras sekali tubuh perempuan tua itu terbanting ke tanah, dan bergelimpangan beberapa kali. Tubuhnya baru berhenti ketika menghantam sebatang pohon yang sangat besar.

Brak!

Seketika pohon yang besar itu hancur berkeping-keping terlanda tubuh perempuan tua itu. Namun Nyai Wisanggeni bisa cepat bangkit lagi walaupun terhuyung-huyung. Tampak darah kental berwarna agak kehitaman menyembur keluar dari mulutnya, begitu kedua telapak kakinya menjejak tanah lagi. Dia berdiri dengan bertumpu pada ujung tongkatnya yang ditekan kuat di depan ujung jari kakinya. Sementara, Rangga terlihat berdiri tegak menatap tajam pada perempuan tua berjubah putih kumal itu dengan sinar mata memerah bagai bara api.

"Keparat...!" Nyai Wisanggeni menggeram marah merasa kecolongan. "Kubunuh kau, Pendekar Rajawali Sakti...!"

Wuk!

Sambil menggeram marah Nyai Wisanggeni mengebutkan tongkatnya lurus ke depan, hingga ujung kepala tongkat yang berbentuk kepala ular tertuju lurus ke dada Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri tegak tanpa bergeming sedikit pun. Hanya pandangan matanya saja yang terlihat begitu tajam menusuk ke bola mata perempuan tua itu.

Belum juga Setan Perempuan Penghisap Darah itu bisa melancarkan serangan, mendadak saja terdengar suara gemuruh hingga membuat tanah di puncak bukit itu jadi bergetar bagai terjadi gempa. Getaran dan suara gemuruh itu membuat Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget setengah mati. Kembali tongkatnya yang sudah menjulur lurus ke depan diturunkan. Sementara Rangga juga terperanjat tidak mengerti.

Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, terlihat debu mengepul tinggi ke angkasa dari lereng bukit ini, sehingga menarik perhatian mereka. Namun tidak lama kemudian, terlihat semak-semak dan pepohonan bergoyang bagai terlanda badai. Dan....

"Danupaksi..." Rangga mendesis perlahan begitu terlihat seorang penunggang kuda muncul dari balik semak belukar.

Dan kemunculan pemuda penunggang kuda yang ternyata Danupaksi, diikuti pula oleh seorang gadis cantik berbaju biru muda. Gadis yang menunggang kuda putih itu tidak lain Pandan Wangi. Kemudian, disusul lagi oleh seorang laki-laki berusia separo baya, serta puluhan orang berkuda berpakaian seragam prajurit dari Kerajaan Karang Setra. Dalam waktu tidak berapa lama saja, puncak bukit itu sudah dipenuhi prajurit dari Karang Setra.

"Tangkap dia...!" seru Danupaksi tiba-tiba.

"Tahan!" bentak Rangga keras menggelegar, sebelum para prajurit yang diperintah Danupaksi bergerak untuk menangkap Nyai Wisanggeni.

Tajam sekali Rangga menatap adik tirinya, kemudian melangkah beberapa tindak menghampiri. Sementara Danupaksi sendiri sudah turun dari punggung kudanya, didampingi Pandan Wangi dan Panglima Lanang.

"Aku tidak menginginkan ada kecurangan dalam persoalan ini. Biar aku yang menanganinya sendiri," tegas Rangga.

"Tapi, Kakang. Dia sudah..."

"Cukup, Danupaksi!" sentak Rangga tegas, memutuskan ucapan adik tirinya.

Danupaksi langsung diam membisu. tidak be rani lagi membantah, walaupun dalam hatinya terdapat ganjalan yang menggunung. Dan matanya menatap tajam penuh kebencian pada Nyai Wisanggeni yang telah membuatnya terbaring beberapa hari di Istana Pakuan. Tapi melihat tatapan mata Rangga yang begitu tajam pemuda itu tidak bisa lagi membuka mulutnya.

"Kalian semua. menjauh dari sini!" bentak Rangga lantang menggelegar.

Tanpa diperintah dua kali, semua prajurit yang berada di tempat itu langsung bergerak menjauh. Tinggal Danupaksi, Pandan Wangi, dan Panglima Lanang yang masih tetap berada dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit Rangga melirikkan matanya yang tajam pada mereka. Dan tanpa diminta dengan kata-kata lagi, mereka segera menarik diri bergerak menjauhinya. Sementara Rangga sendiri melangkah mendekati Nyai Wisanggeni yang tampaknya sudah tidak memiliki harapan untuk bisa menyelamatkan diri lagi.

"Kau tidak perlu cemas, Nyai Wisanggeni. Mereka tidak akan ikut campur. Hanya aku yang akan memenuhi keinginanmu," kata Pendekar Rajawali Sakti kalem.

"Hm... Kuakui kejantananmu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku pun akan berlaku sebagaimana mestinya seorang pesilat," sambut Nyai Wisanggeni, kagum dengan kekesatriaan lawannya.

"Mari, Nyai. Mulailah lebih dulu," ujar Rangga mempersilakan dengan senyuman tersungging di bibir.

Nyai Wisanggeni menggeser kakinya beberapa langkah ke kanan. Sementara diperhatikannya orang-orang yang berada di sekelilingnya. Memang, mereka tampaknya tidak tengah berada dalam keadaan siap tempur. Bahkan sebagian tampak enak duduk di bawah pohon, seperti begitu yakin kalau rajanya bisa mengalahkan perempuan tua ini. Bahkan Danupaksi, Pandan Wangi, dan Panglima Lanang, terlihat duduk mencangkung beralaskan rerumputan yang cukup tebal terhampar di puncak bukit ini. Mereka juga begitu yakin kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa mengalahkan lawannya.

Melihat semua itu, Nyai Wisanggeni jadi bergetar juga hatinya. Disadari kalau lawan yang sedang dihadapinya bukanlah lawan sembarangan. Lawan yang sudah menewaskan gurunya, juga murid tunggal kesayangannya. Sudah barang tentu kepandaian pemuda berbaju rompi putih ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Ini terlihat dari begitu yakinnya orang-orang yang ada di puncak bukit ini, tanpa tersirat keraguan sedikit pun.

"Phuuuh...!"

Nyai Wisanggeni menghembuskan napasnya panjang-panjang, mencoba mengurangi keraguan dan kegentaran yang bersemayam dalam hatinya. Ujung tongkatnya yang runcing pun ditancapkan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Dan tatapan matanya kini tertuju lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berada sekitar satu setengah tombak di depan.

"Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti. Tahan seranganku...," desis Nyai Wisanggeni datar "Hiyaaat...!"

Sambil berteriak nyaring melengking, perempuan tua itu langsung saja melesat cepat bagai kilat. Dan tongkatnya seketika dikebutkan, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Haiiit..!"

Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepalanya, serangan Nyai Wisanggeni dengan mudah dihindari. Tapi, Rangga agak terkejut juga saat merasakan desir angin yang begitu panas di atas kepalanya, ketika tongkat berbentuk ular milik perempuan tua itu lewat.

"Hep!"

Cepat Rangga melompat ke belakang sejauh dua langkah. Dan pada saat itu Nyai Wisanggeni sudah memutar tongkatnya, yang langsung disabetkan ke pinggang.

Bet!
"Hih...!"

Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk menghindarinya. Maka segera dikerahkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' untuk menangkis. Cepat sekali gerakan yang mereka lakukan, sehingga...

Plak!
"Ikh...?!"

Nyai Wisanggeni terpekik kaget, begitu tongkatnya menghantam tangan kanan Rangga yang mengibas menangkis serangannya. Seluruh tangan kanannya yang memegang tongkat kontan terasa jadi bergetar. Dan seluruh persendian tulang tangannya jadi nyeri bagai hendak lepas. Sementara, Rangga sendiri sempat terlompat ke belakang, tanpa merasakan apa-apa sama sekali.

"Hm...," Pendekar Rajawali Sakti menggumam pelan.

Dari benturan tangan dengan tongkat ular Nyai Wisanggeni tadi, sudah bisa diukur kalau tingkat pengerahan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya masih unggul. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah bersiap hendak melakukan serangan lagi.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak nyaring, perempuan tua itu kembali melompat dengan sabetan tongkat yang begitu cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hap!"

Namun sungguh di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha bergeming sedikit pun juga. Bahkan begitu ujung tongkat yang berbentuk kepala ular itu sudah dekat dadanya, cepat kedua telapak tangannya dikatupkan. Sehingga, ujung tongkat perempuan tua itu terjepit di antara kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti di depan dada.

"Ikh...!"

Nyai Wisanggeni berusaha menarik kembali tongkatnya, tapi jepitan tangan Rangga begitu kuat. Seakan-akan, tongkat itu berada dalam jepitan dua batu karang yang begitu kuat. Meskipun seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan. tapi tetap saja tongkatnya tidak terlepaskan. Bahkan sedikit pun tidak bergeming.

"Keparat...! Hih, yeaaah...!"

Tampak begitu geram Nyai Wisanggeni mendapati tongkatnya tidak berdaya berada dalam jepitan tangan lawannya yang masih muda ini. Dan sambil berteriak keras, tubuhnya melenting ke atas. Lalu, kaki kanannya menghentak memberi satu tendangan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hap! Hiyaaa...!"

Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga melepaskan jepitannya pada tongkat perempuan tua itu. Dan bagaikan kilat, tangan kirinya dikibaskan menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tepat mengarah ke kaki Nyai Wisanggeni yang menjulur mengarah ke kepala. Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga Nyai Wisanggeni tidak sempat lagi menarik pulang kakinya. Dan...

Plak!
"Akh...!"

Bersamaan terdengarnya pekikan Nyai Wisanggeni, Rangga melesat ke atas. Lalu, cepat sekali di lepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat pukulannya, sehingga Nyai Wisanggeni tidak dapat lagi mempertahankan dadanya yang kosong.

Begkh!
"Aaakh...!"

Kembali Nyai Wisanggeni menjerit keras melengking tinggi, begitu pukulan tangan kanan Rangga tepat menghantam keras dadanya. Akibatnya, tubuh perempuan tua itu seketika terpental jauh ke belakang.

Bruk!

Keras sekali tubuh perempuan tua itu terbanting ke tanah. Dan dari mulutnya langsung menyemburkan darah kental berwarna agak kehi taman. Sedangkan Rangga sudah kembali berdiri tegak sekitar dua batang tombak jauhnya di depan Nyai Wisanggeni.

"Hoeeekh...!"

Kembali Nyai Wisanggeni memuntahkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya, saat berusaha berdiri lagi. Dengan bantuan tongkatnya, perempuan tua itu bisa berdiri lagi, walaupun tubuhnya jadi terhuyung. Sementara, Rangga tetap menunggu dengan senyuman tersungging di bibir. Entah apa arti senyum Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku akan mengadu nyawa denganmu, Pendekar Rajawali Sakti...," desis Nyai Wisanggeni, agak bergetar suaranya.

"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.

Sementara, Nyai Wisanggeni sudah melepaskan tongkatnya. Lalu dengan tangan kosong dibuatnya beberapa gerakan di depan dada. Sorot matanya tertuju lurus, bagai hendak merobek dada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah membuatnya jatuh bangun beberapa kali.

"Hih...!"

Begitu perempuan tua itu menarik tangannya hingga tersilang di depan dada, seketika kedua tangannya jadi berubah merah membara seperti terbakar. Rangga yang sudah pernah menghadapi ilmu seperti itu dari Ki Sancaka, segera merapatkan kedua tangannya di depan dada.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti membuat gerakan tubuh. Kedua kakinya segera direntangkan ke samping. Dan begitu tubuhnya kembali tegak, terlihat semburat cahaya biru di antara kedua telapak tangannya yang masih tetap merapat di depan dada. Rangga yang sudah tahu kalau Nyai Wisanggeni sudah mempersiapkan ilmu kesaktian dahsyat, tidak mau tanggung-tanggung lagi. Segera disiapkannya aji 'Cakra Buana Sukma' untuk menandinginya.

"Tahan ajian pamungkasku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"

Sambil membentak nyaring, Nyai Wisanggeni langsung saja menghentakkan kedua tangannya yang sudah memerah ke depan. Dan pada saat itu juga...

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"

Dua cahaya meluncur begitu cepat dari dua aliran ilmu kesaktian, tanpa dapat dicegah lagi. Dan ketika kedua sinar merah dan biru itu bertemu tepat di tengah-tengah...

Glarrr...!

Satu ledakan dahsyat terdengar bagai guntur membelah angkasa. Tampak Nyai Wisanggeni terpental jauh ke belakang sambil menjerit begitu panjang melengking tinggi. Keras sekali tubuhnya terbanting di tanah, dan bergulingan beberapa kali, sebelum berhenti setelah membentur sebongkah batu yang cukup besar.

Sementara Rangga sedikit pun tidak bergeser kakinya. Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut aji kesaktiannya begitu melihat Nyai Wisanggeni tidak bergerak-gerak lagi, tergeletak di tanah berumput yang cukup tebal ini. Tampak dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah kental berwama agak kehitaman. Sedikit pun tidak ada gerakan yang menandakan kalau wanita tua itu masih hidup.

"Hm...," Rangga menggumam perlahan. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan perempuan tua itu, kemudian melangkah menghampiri. Langkahnya baru terhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga tindak lagi dari tubuh perempuan tua yang tergeletak tidak bergerak-gerak lagi. Dadanya terlihat berlubang agak menghitam agak kebiruan. Asap berwarna kebiruan terlihat mengepul dari dadanya yang berlubang cukup besar.

Pendekar Rajawali Sakti menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Memang sungguh dahsyat akibat aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir. kalau dikerahkan lewat tenaga dalam penuh dan sempurna. Setelah yakin kalau Nyai Wisanggeni sudah tidak bernyawa lagi, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya.

Lalu kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi, Danupaksi, dan Panglima Lanang yang sudah menanti sejak tadi. Mereka langsung menyambut kemenangan itu dengan wajah cerah, walaupun sejak semula sudah begitu yakin akan kemenangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayo kita kembali ke Karang Setra," ajak Rangga langsung, sebelum ada yang melontarkan suara.

Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Panglima Lanang memberi tali kekang kuda Dewa Bayu pada Pendekar Rajawali Sakti. Orang tua itu melompat naik ke atas punggung kudanya sendiri, setelah Rangga berada di atas punggung Dewa Bayu, kuda hiiam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

Dan tidak berapa lama kemudian, mereka semua sudah bergerak meninggalkan puncak bukit ini. Para prajurit yang berjumlah puluhan orang itu mengikuti dari belakang. Mereka semua menjalankan kuda perlahan-lahan, langsung menuju Karang Setra. Rangga berkuda paling depan, didampingi Danupaksi dan Pandan Wangi.

"Bagaimana kalian bisa bertemu, Pandan?" tanya Rangga.

"Rajawali Putih membawaku ke batas Kota Pakuan. Di sana aku bertemu Danupaksi," sahut Pandan Wangi.

"Kau tahu dari mana kalau aku ada di sini, Danupaksi?" tanya Rangga seraya berpaling pada adik tirinya.

"Paman Lanang," sahut Danupaksi ringan. Rangga langsung melirik Panglima Lanang.

"Maafkan hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak langsung kembali ke Istana Pakuan. Hamba terus mengikuti...."

"Ah, sudahlah potong Rangga cepat.

Mereka pun tidak bicara lagi, terus bergerak perlahan-lahan menuju ke Karang Setra yang berbatasan dengan Kerajaan Pakuan.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: DUKUN DARI TIBET