Pendekar Rajawali Sakti
PUSAKA PANTAI SELATAN
SATU
"Khraaagkh...!"
"Lebih rendah lagi, Rajawali...!"
Rajawali Putih menukik deras dan terus melayang di angkasa. Semakin dekat terbangnya, sehingga pemuda berbaju rompi putih itu bisa melihat ke bawah dari punggung burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini. Kedua bola mata pemuda yang seperti Pendekar Rajawali Sakti itu terpentang lebar, menyusuri pesisir pantai yang berpasir putih bagai hamparan kerikil perak memanjang.
"Sebelah selatan, Rajawali...!" seru Rangga, menunjuk ke arah selatan. Dan di sana merupakan sebuah hutan kecil yang tidak begitu lebat.
"Khraaagkh...!"
Wus!
Hanya sekali mengepakkan sayap saja, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah melesat cepat bagai kilat menuju arah yang diinginkan penunggangnya. Dan dalam waktu sekejap mata saja, sudah berada di atas hutan kecil, tidak jauh dari pantai ini. Burung itu terus melayang berputar-putar di atas hutan yang tidak begitu lebat ini. Sementara Rangga terus mengarahkan pandangan ke bawah, tanpa berkedip sedikit pun juga. Seperti ada sesuatu yang sedang dicari.
"Turun di balik hutan bakau itu, Rajawali!" seru Rangga sambil menunjuk ke arah hutan bakau yang cukup lebar di pantai ini.
"Khraaagkh...!"
Tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih meluruk deras ke arah yang diinginkan, lalu menukik bagai kilat. Tentu saja Rangga yang berada di punggungnya harus berpegangan erat-erat ke leher burung raksasa ini. Dan sebentar saja burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah mendarat di balik hutan bakau yang sangat lebat.
"Hup!"
Rangga yang dalam rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti segera melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa itu. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, mengamati keadaan sekitarnya. Tidak terlihat seorang pun di sekitar hutan bakau ini. Bahkan sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. Begitu sunyi, sampai debur ombak di pantai terdengar jelas menggemuruh.
"Khrrrkh...!"
Tiba-tiba saja Rajawali Putih mengkirik kecil, kemudian berteriak nyaring. Suaranya sampai-sampai membuat telinga Rangga jadi terasa nyeri. Pendekar Rajawali Sakti menengadahkan kepalanya, memandang kepala burung yang besar dan mendongak ke atas.
"Ada apa, Rajawali?" tanya Rangga heran.
Tapi belum juga Rajawali Putih bisa memberi jawaban, kepala Rangga sudah bergerak agak miring ke kiri. Telinganya yang setajam elang langsung bisa mendengar adanya langkah-langkah kaki yang begitu ringan menuju tempat ini. Rangga langsung menatap Rajawali Putih yang juga sedang memandangnya.
"Naiklah ke atas, Rajawali. Aku tidak mau ada orang lain melihatmu di sini. Bisa gempar nanti jadinya," pinta Rangga halus.
"Khraaagkh...!"
Maka sekali mengepakkan sayapnya saja, Rajawali Putih langsung membumbung tinggi ke angkasa. Dan sebentar saja, burung rajawali raksasa itu udah tidak terlihat lagi, tertutup awan yang cukup tebal di sekitar Pantai Selatan siang ini.
Sementara, Rangga mencoba mencari arah datangnya suara langkah kaki yang semakin jelas terdengar. Dan sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menebak kalau suara-suara langkah yang didengarnya ini datang dari depan. Dan juga sudah bisa diduga kalau yang sedang menuju ke arahnya ini bukan hanya satu orang, tapi empat orang. Semua ini bisa diketahuinya melalui pendengaran yang sangat tajam.
"Aku harus sembunyi dulu. Hm, hup...!"
Sekali lesat saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap di balik lebatnya rerimbunan pohon bakau. Memang sungguh sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sulit diketahui arah kepergiannya. Tahu-tahu, tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan bumi.
Rangga yang kini sudah bersembunyi, terus memperhatikan ke arah suara langkah kaki yang semakin jelas terdengar dan terus mendekat ke arahnya. Dan tidak berapa lama kemudian, terlihat empat orang berjalan tergesa-gesa menerobos lebatnya hutan bakau ini. Salah seorang dari mereka adalah wanita berusia hampir separo baya yang masih kelihatan cantik. Bentuk tubuhnya ramping dan cukup indah. Sedangkan yang tiga orang lainnya adalah laki-laki yang usianya sudah lebih dari separo baya.
Mereka sama-sama mengenakan baju biru yang potongannya sama persis. Hanya pakaian wanita itu saja yang lain. Baik bentuk pakaian yang dikenakan, maupun warnanya. Wanita itu mengenakan baju yang cukup ketat berwarna merah muda. Tampak sebilah pedang tergantung di pinggangnya yang ramping. Mereka berhenti di tempat Pendekar Rajawali Sakti tadi berada.
Sementara, Rangga sendiri tetap berlindung di tempat persembunyiannya, memperhatikan mereka yang tampak saling berpandangan satu sama lain.
"Kenapa berhenti di sini...?" tiba-tiba salah seorang dari mereka melontarkan pertanyaan. Tapi tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka masih terdiam beberapa saat.
"Kalian tunggu dulu di sini. Aku akan melihat ke belakang," ujar salah seorang lagi.
Dia membawa sebatang tombak pendek, dengan bagian ujungnya berbentuk bintang berwarna keperakan. Tanpa menunggu jawaban lagi, laki-laki yang usianya sekitar enam puluh lima tahun itu langsung saja melesat cepat sekali. Hingga dalam sekejap saja sudah lenyap tertelan lebatnya hutan bakau ini. Sementara, tiga orang lainnya terpaksa menunggu. Mereka mengambil tempat masing-masing untuk melepaskan lelah.
Sedangkan tidak jauh dari situ, Rangga masih tetap diam memperhatikan tanpa bergeming sedikit pun. Cukup dekat jarak mereka. Sedikit saja Rangga bergerak, pasti akan ketahuan. Rangga tahu, kesemua orang itu pasti memiliki kepandaian tinggi. Ini bisa dilihat dari cara mereka berjalan tadi. Begitu ringan malah salah seorang yang pergi tadi, dari lesatannya pun sudah menandakan tingkat kepandaiannya cukup tinggi.
Tidak lama orang yang pergi tadi sudah kembali. Dan mereka yang tadi duduk beristirahat, segera bangkit berdiri menghampiri. Dari sorot mata, jelas mereka mengharapkan berita apa yang dibawa orang itu.
"Bagaimana? Apa ada yang mengejar kita, Kakang Nambu?" tanya wanita berbaju merah muda itu tidak sabar.
"Ya, mereka dekat sekali dari sini," sahut orang yang dipanggil Nambu.
"Oh! Lalu, bagaimana sekarang...?" desah wanita itu terdengar agak cemas nada suaranya.
"Tenanglah, Randini. Mereka tidak akan cepat sampai ke sini. Hutan bakau ini cukup lebat dan sulit dilalui. Dan lagi, mereka semua menunggang kuda. Jadi tidak mungkin bisa terus sampai ke sini dengan menunggang kuda," sahut Nambu mencoba menenangkan wanita yang dipanggil Randini. Dan untuk beberapa saat mereka semua terdiam.
"Huh...!" tiba-tiba salah seorang mendengus berat.
"Ada apa, Jaraba?" tegur Nambu.
"Aku tidak suka terus-terusan begini, Kakang Nambu. Seperti buronan saja. Kenapa mereka semua tidak kita hancurkan saja. Aku rasa kita berempat sanggup menghancurkan mereka yang hanya cacing-cacing lemah, Kakang Nambu," terdengar kesal suara laki-laki bernama Jaraba itu.
"Benar, Kakang Nambu. Tanganku sejak tadi sudah gatal. Dan rasanya golokku ini juga sudah ingin minum darah mereka," sambung seorang lagi sambil mengangkat goloknya ke depan.
"Tenanglah, Balika. Aku tahu, kita tidak akan mungkin mendapat kesulitan dari mereka. Tapi kalian harus ingat, bukan itu yang diinginkan Gusti Putri. Aku juga sudah tidak tahan terus menerus dikejar seperti binatang buruan. Tapi, kita tidak bisa berbuat apa-apa sebelum mendapat perintah Gusti Putri," jelas Nambu lagi, mencoba menenangkan yang lain.
"Huh! Kapan perintah itu datang, Kakang Nambu?" dengus Jaraba masih bernada kesal suaranya.
"Secepatnya, setelah kita sampai di pesisir pantai," sahut Nambu.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan kalau Gusti Putri sudah memberi perintah?" sela Randini.
"Kita lihat saja nanti, apa perintahnya," sahut Nambu kalem. Mereka kembali terdiam membisu. "Ayo, kita lanjutkan berjalan lagi. Pesisir pantai sudah tidak seberapa jauh lagi. Kita harus sampai lebih dulu, sebelum mereka," ajak Nambu.
Tanpa ada yang membantah sedikit pun, mereka segera melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Sementara Rangga masih tetap berada dalam persembunyiannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti baru keluar setelah keempat orang itu sudah tidak terlihat lagi dari pandangan. Sebentar Rangga menatap ke arah orang-orang itu pergi, dan sebentar kemudian pandangannya beralih ke arah yang berlawanan.
"Hm..., mungkinkah tujuan mereka datang ke sini juga sama denganku...?" gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terdiam. Dan pandangannya tertuju lurus ke arah empat orang tadi pergi. Entah apa yang ada dalam kepala pemuda itu saat ini. Dan entah, sudah berapa kali ditariknya napas panjang, lalu dihembuskannya kuat-kuat.
"Hm.... Ke mana dulu Pandan Wangi...? Seharusnya sudah sejak tadi dia muncul di sini," gumam Rangga pada diri sendiri lagi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Tapi saat itu, kembali telinganya yang tajam mendengar suara langkah-langkah kaki yang terdengar berat menghentak bumi. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti tertegun, tapi cepat melesat dan kembali ke tempat persembunyiannya tadi. Dan tidak berapa lama kemudian, terlihat serombongan orang berpakaian serba hitam yang semuanya menuntun kuda. Mereka bergerak cepat, searah dengan empat orang tua yang lewat belum lama tadi.
Tidak ada seorang pun yang bersuara. Jumlah mereka cukup banyak, seperti satu pasukan prajurit yang hendak menuju medan laga. Sedikit pun mereka tidak berhenti. Hingga sebentar saja, mereka sudah jauh meninggalkan tempat ini, dan terus menghilang ditelan lebatnya hutan bakau ini. Rangga kembali keluar dari tempat persembunyiannya, dan ia langsung menghenyakkan tubuhnya ke atas akar pohon bakau yang bersembulan dari dalam tanah.
"Hhh, baiklah.... Aku tunggu sampai senja nanti Kalau Pandan Wangi tidak datang juga, terpaksa aku harus menyusul ke Desa Peringgi," gumam Rangga lagi, bicara pada diri sendiri.
********************
Waktu terasa begitu lambat berlalu. Sementara, Rangga sudah mulai gelisah. Apalagi setelah melihat matahari sudah mulai condong ke arah barat. Tapi, ternyata gadis yang ditunggunya belum juga tampak batang hidungnya. Sebentar kemudian, dia kembali duduk mencangkung di atas akar pohon bakau yang terasa lembab bagai berembun ini. Kegelisahan Pendekar Rajawali Sakti itu semakin bertambah, saat matahari sudah hampir tenggelam di sebelah barat. Memang, Pandan Wangi yang ditunggunya belum juga kelihatan.
"Ada apa lagi ini...? Kenapa belum juga...?"
Belum lagi habis pertanyaan yang terlintas dalam benak Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja terdengar ringkikan seekor kuda dari kejauhan. Rangga yang sedang duduk mencangkung di atas akar, langsung melompat bangkit berdiri. Dan pandangannya cepat ditujukan ke arah terdengamya ringkikan kuda tadi. Tidak lama berselang, terdengar suara hentakan-hentakan kaki kuda yang dipacu cepat di atas tanah berpasir yang lembab dan sedikit berair ini. Sementara, Rangga tetap menunggu dengan mata tidak berkedip sedikit pun.
"Hieeekh...!"
Ringkikan kuda kembali terdengar, yang kemudian disusul munculnya seorang gadis cantik berbaju biru muda yang menunggang seekor kuda putih yang tinggi dan tegap. Tampak juga seekor kuda hitam membuntuti dari belakangnya. Gadis itu segera melompat turun, begitu kudanya berhenti berlari. Dihampirinya Rangga yang sejak tadi sudah menunggu dengan tidak sabar.
"Kenapa kau lama sekali, Pandan? Apa ada yang menghalangimu ke sini?" tegur Rangga langsung saja.
"Ada sedikit halangan, Kakang," sahut Pandan Wangi kalem.
"Mereka sudah mendahului kita sejak tengah hari tadi, Pandan," kata Rangga langsung memberi tahu.
"Kenapa harus terburu-buru...?" kalem sekali suara Pandan Wangi.
"Heh...?! Kenapa kau jadi begini, Pandan? Bukankah kau sendiri yang memintaku ke sini...?" Rangga jadi mendelik melihat sikap Pandan Wangi yang seolah-olah tidak peduli.
Sedangkan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu malah tersenyum-senyum saja. Dengan sikap enak sekali, tubuhnya dihenyakkan di atas sebatang akar pohon bakau yang menyembul keluar dari dalam tanah berpasir. Sedangkan Rangga semakin mendelik saja melihat sikap kekasihnya.
"Pandan! Terus terang aku tidak mengerti semua ini. Permainan apa yang sedang kau lakukan sekarang...?" Rangga langsung saja meminta penjelasan.
Sikap Pendekar Rajawali Sakti yang begitu sungguh-sungguh, kelihatan tidak mendapat tanggapan dari Pandan Wangi. Malah diambilnya sejumput pasir, dan dilemparkannya begitu saja ke samping. Sedangkan Rangga semakin tidak mengerti saja melihat sikap gadis ini. Kedatangannya yang cepat-cepat ke daerah pesisir pantai ini, karena memang atas permintaan Pandan Wangi.
Dalam suratnya yang dikirimkan melalui seorang telik sandi dari Karang Setra, Pandan Wangi meminta Pendekar Rajawali Sakti cepat datang ke pesisir Pantai Selatan ini. Dan katanya, ada persoalan penting, yang harus segera ditangani. Tapi setelah berada di sini, Rangga jadi heran melihat sikap Pandan Wangi yang sepertinya tidak sedang menghadapi persoalan apa-apa, seperti yang dituliskannya melalui surat. Gadis itu seperti tidak peduli. Bahkan seakan-akan tidak ada sesuatu yang sedang dihadapinya.
"Tenang saja, Kakang. Tidak perlu terburu-buru. Waktu masih panjang buat kita," kata Pandan Wangi tetap kalem.
"Kau jangan mempermainkan aku, Pandan."
Pandan Wangi malah tertawa ringan mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tawanya tidak lama, dan kembali melangkah menghampiri kudanya. Tanpa bicara sedikit pun juga, gadis itu melompat naik ke punggung kuda putihnya.
Sementara, Rangga masih tetap berdiri berkacak pinggang, memandangi kekasihnya dengan sinar mata sulit diartikan. Pandan Wangi membalas tatapan mata pemuda itu. Dan bibirnya jadi tersenyum melihat kedua bola mata Rangga mendelik.
"Ayo, Kakang. Malam ini kita harus menemui Ki Patungga di Desa Bahar Arum," ajak Pandan Wangi.
"Siapa itu Ki Patungga?" tanya Rangga seraya melangkah menghampiri kudanya. Sebelum Pandan Wangi sempat menjawab, Rangga sudah melompat naik ke punggung Dewa Bayu. Gerakannya begitu ringan dan indah dilihat.
"Nanti kau juga akan tahu, Kakang," sahut Pandan Wangi seraya melirik sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti.
Gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu langsung saja menggebah, tapi kudanya tidak bisa dipacu kencang, karena hutan bakau ini begitu Iebat. Sedangkan Rangga hanya membuntuti dari belakang. Dan benaknya masih terus bertanya-tanya. Persoalan apa sebenarnya yang sedang dihadapi Pandan Wangi, hingga harus memintanya datang cepat-cepat ke daerah pesisir Pantai Selatan ini.
Mereka terus berkuda tidak terlalu cepat menerobos lebatnya hutan bakau. Dan begitu sekelilingnya menjadi gelap, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu baru keluar dari hutan ini. Mereka terus memacu cepat kudanya menyusuri pantai yang berpasir putih. Rangga menjajarkan lari kudanya di samping kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi. Sekilas matanya melirik wajah cantik gadis di sebelahnya. Tapi sepertinya, Pandan Wangi sama sekali tidak peduli.
"Kau tidak salah arah, Pandan...?" tegur Rangga, begitu menyadari kalau arah yang dituju Pandan Wangi bukannya ke Desa Bahar Arum. Rangga memang mengenal betul daerah pesisir Pantai Selatan ini. Karena, pantai ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Dan dia juga tahu, Desa Bahar Arum ada di sebelah timur. Tapi, Pandan Wangi malah menuju selatan.
"Kita ambil jalan memutar sedikit, Kakang," sahut Pandan Wangi kalem.
"Tapi kalau melalui jalan ini, bisa tengah malam baru sampai, Pandan."
"Memang lewat tengah malam nanti, kita baru bisa menemui Ki Patungga. Dan tidak ada seorang pun yang mengira jalan ini bisa sampai ke Desa Bahar Arum. Ki Patungga sendiri yang memilih jalannya, Kakang. Dia akan menunggu dari sebelah selatan desa," jelas Pandan Wangi, tetap kalem.
"Sejak tadi kau bicarakan Ki Patungga. Siapa dia sebenarnya, Pandan?"
Pandan Wangi tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja sambil menatap sebentar pada wajah tampan yang berkuda di sebelahnya. Sedangkan Rangga tidak bertanya lagi. Dia tahu, Pandan Wangi tidak akan mau menjawab pertanyaannya barusan. Dan mereka terus berkuda dengan cepat tanpa bicara lagi. Sementara, angin yang berhembus di sepanjang pantai ini semakin terasa dingin. Bahkan lebih kencang dari semula. Tapi kedua pendekar muda itu terus memacu kencang kudanya.
********************
DUA
Memang benar apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka baru tiba di perbatasan Desa Bahar Arum, saat malam sudah sampai penghujungnya. Pandan Wangi segera menghentikan lari kudanya. Langsung gadis itu melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Rangga juga bergegas melompat turun dari punggung kudanya, lalu melangkah menghampiri Pandan Wangi. Dan kudanya dibiarkan melenggang menjauhi. Kuda putih tunggangan Pandan Wangi juga menjauh, mengikuti kuda hitam tunggangan Rangga yang bernama Dewa Bayu.
"Di sinikah kau akan menemui Ki Patungga, Pandan?" tanya Rangga seperti tidak sabar.
"Tidak," sahut Pandan Wangi singkat.
"Lalu, kenapa berhenti di sini?" tanya Rangga lagi semakin tidak mengerti.
"Akan ada utusan yang membawa kita ke sana nanti, Kakang," jelas Pandan Wangi.
Rangga diam. Sementara Pandan Wangi juga tidak bicara lagi. Saat ini memang sudah tengah malam. Sekeliling mereka yang tampak hanya kegelapan saja. Sementara agak jauh di sebelah selatan, terlihat kerlip cahaya pelita dari rumah-rumah yang berdiri di Desa Bahar Arum. Sunyi sekali di tempat ini. Hanya desir angin saja yang terdengar mempermainkan dedaunan. Dan sesekali terdengar gerit serangga malam. Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Bahkan tidak diperoleh tanda-tanda adanya manusia di sini. Sementara, Pandan Wangi tetap berdiri tegak dengan pandangan tertuju ke satu arah.
"Menunggu berapa lama lagi, Pandan?" tanya Rangga tidak sabar.
"Utusan itu sudah datang, Kakang," sahut Pandan Wangi kalem.
"Hm... hanya satu orang utusan itu, Pandan?" tanya Rangga bernada ingin memastikan.
"Benar!" sahut Pandan Wangi singkat.
Kening Rangga agak berkerut juga. Sebentar dipandanginya wajah cantik Pandan Wangi yang terus saja memandang jauh ke depan. Sepertinya gadis itu tidak mempedulikan keheranan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tidak berapa lama mereka menunggu, terlihat seorang yang memacu kudanya cepat sekali menuju ke arah kedua pendekar muda dari Karang Setra ini.
Penunggang kuda itu langsung melompat turun, begitu tali kekangnya ditarik. Sehingga kuda yang ditungganginya berhenti seketika, dan langsung meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Sejenak Rangga mengamati penunggang kuda yang kini sudah berada tidak jauh di depannya ini.
Ternyata, dia seorang anak laki-laki yang masih berusia sekitar lima belas tahun, tapi sudah begitu pandai menunggang kuda. Dan gerakannya dalam melompat turun juga sudah menunjukkan kalau anak muda belia ini menguasai ilmu kepandaian yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata saja.
Pemuda itu langsung membungkuk memberi salam penghormatan pada kedua pendekar ini. Tapi, pandangannya terus tertuju pada Pandan Wangi. Sedangkan si Kipas Maut hanya tersenyum-senyum saja sambil membalas salam penghormatan itu hanya dengan mengangguk sedikit.
"Maaf, mungkin kedatanganku terlambat, Nini Pandan," ucap anak muda itu sopan.
"Tidak. Kau datang tepat pada waktunya, Gopala," sahut Pandan Wangi lembut.
Anak muda yang dipanggil Gopala oleh Pandan Wangi itu jadi tersenyum. Tapi, senyumnya mendadak saja lenyap, begitu pandangan matanya bertemu sorotan mata Rangga yang sejak tadi diam saja berada di samping kiri Pandan Wangi.
"Oh, ya. Maaf.... Aku sampai lupa memperkenalkan kalian berdua," ujar Pandan Wangi cepat-cepat.
"Kakang, ini utusan yang kumaksudkan tadi. Namanya, Gopala. Dan ini Kakang Rangga yang pernah kuceritakan, Gopala."
"Oh! Jadi, inikah Pendekar Rajawali Sakti yang terkenal itu, Nini Pandan...?" ujar Gopala langsung berbinar cerah wajahnya.
Entah kenapa, Rangga jadi tertawa kecil dan menggeleng-geleng. Tapi, matanya cepat mendelik pada Pandan Wangi. Sedangkan si Kipas Maut seperti tidak peduli. Malah pandangannya diarahkan ke tempat lain. Sedangkan Gopala menjura beberapa kali, memberi salam penghormatan yang berlebihan. Dan ini membuat Rangga merasa jengah. Maka cepat ditahannya bahu anak muda itu dengan lembut.
"Sudahlah, Gopala. Tidak perlu bersikap seperti itu padaku. Aku manusia biasa, sama sepertimu juga," ujar Rangga lembut dan merendahkan diri.
"Maaf atas segala sikapku yang tidak mengenal adat dan kesopanan tadi, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Gopala sopan.
"Sebaiknya, panggil saja aku Rangga. Dan tidak perlu terus bersikap seperti itu padaku," pinta Rangga sekali lagi.
"Ah...," Gopala hanya mendesah saja. Gopala seakan-akan merasa berat untuk memenuhi keinginan Pendekar Rajawali Sakti. Bagaimanapun juga, dia sudah cukup banyak mendengar kehebatan dan sepak-terjang Pendekar Rajawali Sakti dalam menumpas keangkaramurkaan di atas bumi ini. Dan ketangguhan Pendekar Rajawali Sakti yang tanpa tanding itu, membuat anak muda ini begitu mengaguminya. Bahkan sampai ia merasa sungkan untuk langsung saja menerima keinginan Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Panggil saja Kakang Rangga, Gopala. Seperti juga aku bila memanggilnya," selak Pandan Wangi cepat merasakan kesungkanan anak muda itu.
Beberapa saat, Gopala tampak bimbang. Tapi kemudian kepalanya terangguk. Dan Rangga memberi senyuman lebar. Ditepuknya lembut pundak anak muda itu. Kemudian kakinya melangkah menghampiri kudanya. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti menuntun dua ekor kuda, menghampiri Pandan Wangi yang tengah berbicara dengan anak muda itu. Sebentar saja, diserahkannya kuda putih pada Pandan Wangi yang langsung diterima.
"Sebaiknya kita berangkat sekarang saja, Nini Pandan. Ki Patungga sudah menunggu sejak tadi," ajak Gopala.
"Baiklah," sambut Pandan Wangi langsung saja melompat naik ke punggung kudanya.
"Hup!"
Rangga dan Gopala juga bergegas naik ke punggung kuda masing-masing. Dan tidak lama kemudian, mereka sudah memacu cepat kudanya meninggalkan tempat itu. Tapi, Rangga sempat mendongakkan kepala ke atas. Tampak Rajawali Putih bagai sebuah titik melayang di angkasa. Rupanya, burung rajawali raksasa tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu masih terus mengikuti dari angkasa
Dan memang, Rangga sendiri yang meminta agar Rajawali Putih tetap mengikutinya terus ke mana pun dia pergi, selama berada di wilayah pesisir Pantai Selatan ini. Sebentar saja, mereka sudah lenyap ditelan gelapnya malam yang menyelimuti seluruh wilayah pesisir Pantai Selatan ini.
********************
Dugaan Rangga semula tentang Ki Patungga, adalah seorang pertapa yang sudah lanjut usianya. Tapi nyatanya sama sekali tidak tepat. Ternyata, Ki Patungga masih cukup gagah, walaupun usianya sudah mencapai setengah abad lebih. Tubuhnya masih tegap dan kekar. Sorot matanya terlihat tajam, namun memiliki kelembutan serta kebijaksanaan yang begitu mendalam.
Walaupun baru kali ini bertemu, tapi Rangga sudah mempunyai kesan mendalam pada orang tua ini. Tutur katanya begitu lembut. Dan memang, Ki Patungga jarang sekali mengeluarkan suaranya, kalau tidak dipandang perlu. Rangga benar-benar terkesan pada sikap dan tingkah-laku yang ditunjukkan Ki Patungga. Dan kesan yang begitu mendalam ini, sempat diutarakannya pada Pandan Wangi, saat mereka diberi kesempatan beristirahat, setelah semalaman tidak memicingkan mata sedikit pun juga.
Tapi, sebenarnya masih ada ganjalan pertanyaan dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Sampai saat ini Rangga belum tahu, persoalan apa yang sedang dihadapi Ki Patungga, hingga meminta bantuan Pandan Wangi. Sedangkan Pandan Wangi sendiri merasa tidak mampu menyelesaikannya seorang diri, hingga rasanya memang perlu meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu berjalan-jalan di halaman belakang rumah Ki Patungga, yang sekaligus juga dijadikan padepokan untuk menempa anak-anak muda dalam ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Bukan hanya Rangga yang terkesan melihat keindahan penataan taman halaman belakang ini. Tapi, Pandan Wangi juga mengaguminya. Kelelahan dan rasa kantuk karena tidak beristirahat semalaman, seakan lenyap begitu berada di dalam taman yang sangat indah ini.
"Pandan.... Sebenarnya apa yang menjadi persoalan di sini...?" tanya Rangga akhirnya mengemukakan juga ganjalan dalam hatinya sejak tadi.
"Aku tidak bisa mengatakannya, Kakang. Nanti, biar Ki Patungga sendiri yang menjelaskannya padamu," sahut Pandan Wangi terdengar ragu-ragu nada suaranya.
"Sejak kapan kau menyimpan rahasia padaku, Pandan...?" tegur Rangga bernada curiga.
"Jangan curiga dulu, Kakang," ujar Pandan Wangi langsung bisa mengerti arti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. "Terus terang, sebenarnya aku sendiri tidak tahu."
"Kau juga tidak tahu...?!" Rangga agak terperanjat juga mendengar ucapan Pandan Wangi barusan. "Lalu, apa maksudmu memintaku datang ke sini, Pandan?"
"Bukan aku yang menginginkannya," sahut Pandan Wangi.
"Lalu siapa...?" desak Rangga, terus meminta penjelasan.
"Ki Patungga."
"Edan...! Apa arti semua ini...?" dengus Rangga semakin bingung tidak mengerti.
Melihat Rangga mendengus kebingungan, Pandan Wangi malah jadi tersenyum sendiri. Dan ini membuat Rangga jadi mendelik, merasa dipermainkan terus-menerus. Tapi, senyum Pandan Wangi malah semakin kelihatan lebar.
"Kenapa kau tersenyum, Pandan?" tegur Rangga.
"Tidak apa-apa," sahut Pandan Wangi seenaknya, seraya mengangkat bahunya sedikit.
"Kau jangan main-main, Pandan," terdengar agak dalam suara Rangga kali ini.
"Siapa yang main-main...?" Rangga jadi kesal juga melihat sikap Pandan Wangi, tapi tidak mungkin lagi bisa mendesak, dia tahu watak Pandan Wangi yang tidak mungkin bisa membuka mulut, kalau sudah menyimpan rahasia. Dan memang, selama ini Rangga tidak pernah tahu kelemahan Pandan Wangi dalam menyimpan rahasia. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tahu, ada sesuatu yang disembunyikan si Kipas Maut itu.
"Baiklah, Pandan. Kalau kau terus-menerus begitu, aku tidak akan bertanya lagi padamu," kata Rangga, dibuat ketus suaranya.
Setelah berkata demikian, Rangga bergegas melangkah cepat meninggalkan Pandan Wangi seorang diri. Tapi gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu malah tertawa kecil. Dan semakin lama, tawanya semakin terlepas. Rangga yang berjalan belum begitu jauh, langsung menghentikan ayunan kakinya. Perlahan tubuhnya berbalik. Ditatapnya Pandan Wangi dengan sinar mata tajam sekali.
"Kunyuk! Kau mau mempermainkan aku, ya? Awas kau...!" gerutu Rangga.
"Ha ha ha...!" Pandan Wangi terus saja tertawa terbahak-bahak, melihat wajah Pendekar Rajawali Sakti jadi memerah.
Dan tubuhnya cepat diputar berbalik, Ialu gadis itu berlari kencang begitu melihat Rangga sudah melompat hendak menunjukkan kegusarannya. Pandan Wangi terus berlari sambil tertawa-tawa. Sengaja dia berlari melewati pepohonan, hingga cukup menyulitkan Rangga untuk bisa mengejarnya. Tapi mendadak saja Pandan Wangi berhenti berlari, begitu di depannya tahu-tahu sudah berdiri Ki Patungga.
Rangga yang mengejar di belakang juga cepat berhenti. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah menghampiri Pandan Wangi, lalu berdiri di sebelah kanannya. Bersamaan mereka membungkuk memberi salam penghormatan. Sedangkan Ki Patungga membalas dengan mengangkat tangan kanannya sedikit.
"Ada apa? Kenapa kalian kejar-kejaran seperti bocah saja...?" tegur Ki Patungga suaranya terdengar lembut.
"Kakang Rangga marah, Ki," sahut Pandan Wangi langsung, sambil menggeser kakinya menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Jawaban Pandan Wangi membuat kedua bola mata Rangga jadi mendelik. Ki Patungga hanya tersenyum melihat tingkah sepasang kekasih ini.
"Sudah..., sudah. Ayo duduk di sini," ujar Ki Patungga mengajak, seraya duduk bersila di rerumputan taman belakang yang cukup tebal dan lembut bagai permadani.
Kedua pendekar dari Karang Setra itu juga ikut duduk bersila di depan orang tua ini. Tapi, Pandan Wangi sengaja masih menjaga jarak dengan Rangga. Dia duduk agak ke pinggir, sebelah kiri Ki Patungga.
"Sebenarnya kalian tidur beristirahat, bukannya malah bermain kejar-kejaran," kata Ki Patungga, membuka suara.
"Maaf, Ki. Pandan Wangi yang memulai," ucap Rangga seraya melirik tajam pada Pandan Wangi.
"Ya, sudah.... Hanya kelakuan kalian seperti bocah saja. Masih suka kejar-kejaran," lagi-lagi Ki Patungga menengahi.
Rangga hanya melirik Pandan Wangi sedikit. Sedangkan yang dilirik hanya diam, dan terus senyum-senyum. Sedikit dibalasnya lirikan Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini perhatian mereka kembali terpusat pada orang tua yang duduk bersila di depan ini.
"Aku tahu, apa yang membuat kalian seperti anak-anak tadi," kata Ki Patungga lagi, masih dengan suara lembut. Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. "Rangga! Kau sudah tidak sabar ingin tahu, kenapa aku memintamu datang ke sini, bukan...?"
"Maafkan aku, Ki," ucap Rangga agak tersipu.
"Dan kau, Pandan. Kenapa kau mempermainkannya? Seharusnya kau bisa memberitahu walau pun tidak seluruhnya."
"Aku senang membuatnya gusar, Ki," sahut Pandan Wangi seenaknya.
"Kenapa?"
"Kakang Rangga sulit dibuat marah."
Ki Patungga jadi tersenyum mendengar jawaban langsung yang begitu polos dari Pandan Wangi. Memang tentang Pendekar Rajawali Sakti sudah banyak didengarnya, walaupun baru kali ini saling berjumpa dan bertatapan muka. Apa yang dikatakan Pandan Wangi memang benar. Pendekar Rajawali Sakti memang sulit sekali dipancing kemarahannya. Bahkan walaupun dalam keadaan bertarung, sekali pun. Sehingga setiap gerak dan langkahnya selalu dapat terkendali dengan baik dan sempurna.
Memang, seharusnya seperti itu sifat dan watak seorang pendekar sejati. Tidak mudah terpancing segala bentuk nafsu yang bisa mengguncangkan kepercayaan diri. Dan apa yang dilakukan Pandan Wangi tadi, memang bukan hanya sekali ini saja. Sudah beberapa kali Rangga dipermainkan hanya untuk dipancing rasa kemanusiaannya saja, tanpa harus dibebani watak dan jiwa kependekaran yang tidak mudah ditemukan pada diri orang biasa.
Tapi memang, segala gerak langkah, jiwa dan alam pikiran Pendekar Rajawali Sakti sudah terbentuk untuk menjadi seorang pendekar sejati yang tidak mudah terpancing. Hanya saja, entah apa sebabnya, Pandan Wangi selalu saja bisa membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran. Walaupun, hal itu tidak pernah berlangsung lama. Dan sikap Rangga pun sudah kembali seperti biasa. Seperti sekarang ini, tidak terlihat lagi kegusaran pada sorot matanya. Perhatiannya pun sudah kembali tertuju pada Ki Patungga.
"Maaf, Ki. Apakah sekarang ini kau sedang mengalami kesulitan, hingga membutuhkan aku untuk datang ke sini...? Atau ada sesuatu yang ingin kau ketahui dariku, Ki...?" tanya Rangga langsung.
"Sebenarnya bukan persoalan yang sangat pelik, Rangga. Aku hanya kehilangan sebuah benda saja," sahut Ki Patungga, tetap lembut dan kalem nada suaranya.
"Benda...?! Aku tidak mengerti maksudmu, Ki."
"Kalau itu hanya benda biasa, aku tidak akan segelisah ini, Rangga. Tapi benda yang hilang itu adalah titipan yang harus kujaga, agar jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Tapi sekarang, benda itu sudah lenyap dari tempat penyimpanannya. Aku sendiri tidak tahu, bagaimana pencuri itu bisa mengambilnya. Sedangkan yang tahu tempat penyimpanannya hanya aku sendiri saja," Ki Patungga mulai menjelaskan.
"Hm.... Itu benda pusaka, Ki?" tanya Rangga, agak menggumam.
"Bisa dikatakan begitu," sahut Ki Patungga.
"Berupa senjata?"
"Aku tidak tahu, apa bentuknya. Benda itu tidak pernah keluar dari tempatnya."
"Aneh...," gumam Rangga merasa keheranan sendiri.
"Sejak pertama kali berada di tanganku, tidak pernah aku membuka tutup peti penyimpan benda itu, Rangga. Dan sampai hilang pun, aku tidak pernah tahu bentuknya. Tapi...," Ki Patungga tidak melanjutkan.
"Tapi kenapa, Ki?"
"Aku pernah membawa kotak kayu itu ke bukit batu di belakang padepokanku ini," jelas Ki Patungga seraya menunjuk ke arah bukit batu yang terlihat jelas dari taman ini.
Rangga mengarahkan pandangan ke bukit itu sebentar, kemudian kembali menatap Ki Patungga.
"Aku sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja ingin ke sana membawa kotak benda itu. Dan sampai di sana, sebuah batu tiba-tiba saja jatuh dari atas, tepat di atas kepalaku. Terus terang, aku tidak sempat lagi menghindarinya. Dan batu yang sebesar kerbau itu langsung menghantam kepalaku. Tapi, aneh.... Batu itu hancur seketika. Bahkan aku tidak merasakan apa-apa sama sekali. Waktu itu, aku sempat melihat tubuhku seperti diselubungi cahaya, ketika batu itu menghantam kepalaku," sambung Ki Patungga.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
"Bukan itu saja kejadian aneh yang menimpaku, Rangga. Bahkan sejak ada benda itu di sini, aku merasakan kekuatanku semakin berlipat dan terus bertambah. Bahkan tidak ada seorang pun dari muridku yang merasa lelah dalam berlatih. Kemampuan mereka juga begitu pesat. Tapi setelah benda itu hilang, semangat berlatih muridku pun langsung mengendur. Bahkan aku sendiri sampai tidak mengerti terhadap perubahan yang terjadi pada diriku sendiri."
"Perubahan apa, Ki?" tanya Rangga.
"Sama sekali aku tidak bisa lagi menggunakan tenaga dalam. Dan semua ilmu yang kukuasai, juga seperti hilang begitu saja. Aku merasa benar-benar kosong...."
Rangga jadi terperanjat mendengarnya. Sungguh tidak disangka kalau Ki Patungga akan menceritakan semuanya begitu gamblang, tanpa ada yang ditutupi sedikit pun juga. Bahkan keadaan dirinya sendiri diceritakan begitu jelas. Tapi, Rangga seperti tidak percaya. Memang sulit untuk bisa diterima akal sehat. Sebuah benda bisa membuat kekuatan seseorang bertambah, dan bisa juga membuat orang itu melemah tanpa daya. Memang terdengar aneh sekali. Tapi apa yang dialami Ki Patungga tidak bisa dibantah.
"Rangga! Terus terang saja, aku sangat mengharapkan bantuanmu untuk menemukan kembali benda itu, dan membawanya kembali padaku," ujar Ki Patungga pelan.
Tapi entah kenapa, Rangga hanya membisu saja. Namun keningnya kelihatan berkerut, seolah sedang memikirkan sesuatu. Mungkin semua cerita yang disampaikan Ki Patungga tengah tercerna dalam benaknya. Sementara, Pandan Wangi juga terdiam membisu memandangi wajah Rangga yang kelihatan berkerut.
********************
TIGA
Pendekar Rajawali Sakti kini sudah melangkah pergi, meninggalkan padepokan Ki Patungga. Rangga terus berjalan, semakin jauh. Sedangkan Pandan Wangi terus membuntuti sambil menuntun kudanya. Dan di belakang kuda putihnya berjalan kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga baru berhenti melangkah, setelah tiba di tepi sungai kecil yang berair jernih. Pendekar Rajawali Sakti langsung menghempaskan tubuhnya duduk di tepian sungai sambil menghembuskan napas panjang.
Sementara Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dari belakang. Dibiarkannya kuda-kuda itu melepas dahaga di sungai ini. Rangga berpaling sedikit ke belakang, lalu meminta Pandan Wangi mendekat lewat egosan kepalanya. Pandan Wangi bergegas mendekati, dan langsung duduk di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Kembalilah ke sana, Pandan. Jaga Ki Patungga...," ujar Rangga perlahan.
"Lalu, kau sendiri...?" tanya Pandan Wangi.
"Biar aku coba menyelidikinya sendiri," sahut Rangga seraya berusaha memberi senyum.
"Kau kelihatannya seperti tak bersemangat, Kakang."
"Tidak. Aku hanya berusaha memikirkan bagaimana cara yang terbaik untuk memecahkan masalah ini."
Pandan Wangi terdiam, memandangi wajah tampan yang kelihatan sedikit kusut itu. Sedangkan, Rangga sudah duduk bersila menghadap ke arah sungai kecil yang mengalir di depannya. Kini Pendekar Rajawali Sakti sudah mengambil sikap bersemadi. Dan ini biasa dilakukan untuk menjaga kelancaran aliran darahnya.
"Pergilah, Pandan. Kembalilah ke sana," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi masih diam sebentar, kemudian bangkit berdiri untuk.menghampiri kudanya. Sebentar dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mulai bersemadi. Kemudian melompat naik ke punggung kuda putih tunggangannya.
"Hiyaaa...!" Pandan Wangi langsung cepat menggebah kuda putihnya. Debu seketika mengepul membumbung tinggi tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat itu.
Sementara, Rangga terus duduk bersila dengan sikap bersemadi. Dan matanya sudah terpejam rapat. Sementara tidak jauh, kuda hitam Dewa Bayu menungguinya. Sedangkan di angkasa, terlihat Rajawali Putih melayang-layang menjaga pemuda ini. Kesunyian pun terasa melanda tepian sungai ini. Tidak lagi terdengar suara apa-apa. Bahkan angin pun seakan berhenti berhembus. Dan Rangga terus bersemadi untuk melancarkan aliran darahnya.
Seharian penuh Rangga bersemadi di tepi sungai. Dan saat matahari mulai menenggelamkan diri di ufuk barat, Pendekar Rajawali Sakti baru bangkit dari semadinya. Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu masih duduk bersila, kemudian bergerak bangkit berdiri. Wajahnya yang tadi kelihatan kusut, kini sudah kembali segar. Dan tubuhnya juga sudah kelihatan pulih seperti semula, setelah aliran darahnya terasa lancar Rangga menggeliatkan tubuhnya beberapa kali, lalu menghembuskan napas panjang.
Dicobanya untuk mengusir rasa penat akibat seharian penuh duduk bersila tanpa bergeming sedikit pun juga. Dan bibirnya lalu tersenyum melihat Dewa Bayu masih berada tidak jauh darinya. Kuda hitam itu menghampiri setelah Rangga memanggil dengan isyarat tangan.
"Kita akan menghadapi persoalan rumit yang tidak kecil, Dewa Bayu," ujar Rangga seraya membelai kepala kuda hitam itu.
Dewa Bayu hanya mendengus sedikit sambil mengangguk-anggukkan kepala, seakan bisa mengerti semua yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak tahu, benda apa yang dimaksudkan Ki Patungga. Tapi pengaruhnya dahsyat luar biasa. Kita harus bisa menemukan benda itu kembali, sebelum digunakan untuk menghancurkan dunia ini, Dewa Bayu," kata Rangga lagi.
Dewa Bayu kembali mendengus kecil. Kaki depannya langsung dihentakkan beberapa kali ke tanah. Rangga tersenyum melihat tingkah kuda tunggangannya, kemudian mengambil tali kekangnya. Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat naik dengan gerakan indah dan ringan sekali. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti belum juga menghentakkan tali kekang kuda ini. Dan pandangannya segera beredar ke sekeliling. Tampak pemandangan di sekitarnya begitu indah, dengan bias-bias sang mentari yang hampir tenggelam menjadi latar belakangnya. Begitu indah warnanya yang memerah jingga, dan terasa lembut membelai kulit.
"Ayo, Dewa Bayu. Kita cari makanan dulu di desa Bahar Arum," ujar Rangga. "Yeaaah...!"
Sekali gebah saja, kuda hitam bernama Dewa Bayu itu sudah melesat kencang membawa Pendekar Rajawali Sakti di punggungnya. Memang sungguh luar biasa kecepatan lari kuda ini. Bahkan tidak ada bandingannya di dunia ini. Begitu cepatnya, sehingga bagaikan berlari di atas permukaan tanah saja. Debu tampak berhamburan dan beterbangan tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat sangat luar biasa.
Sebentar saja mereka sudah tiba di perbatasan Desa Bahar Arum yang terletak tidak seberapa jauh dari pinggiran pantai. Angin yang bertiup di desa ini membawa aroma laut yang tidak akan ditemui di daerah lain. Rangga memperlambat laju kudanya setelah mulai memasuki mulut desa yang tidak begitu besar ini. Dan rumah-rumahnya pun terlihat agak berjauhan, antara yang satu dengan yang lainnya.
Beberapa penduduk yang melihat kedatangan Pendekar Rajawali Sakti hanya memandangi sekilas saja. Tapi, cukup terasa kalau pandangan mereka mengandung kecurigaan. Rangga merasakan adanya sesuatu yang ganjil di desa ini. Dan perasaan yang berkembang menjadi dugaan itu, tidak bertahan lama dalam benaknya. Begitu berada di tengah-tengah desa ini, terlihat sekitar lima orang berjajar di tengah jalan. Sikap mereka seolah-olah menghadang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm...," Rangga jadi menggumam sedikit. Pendekar Rajawali Sakti semakin memperlambat jalan kudanya. Sedangkan matanya terus memperhatikan lima orang yang berdiri jelas menghadang jalannya.
Tampak orang yang berada paling tengah, berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih. Sementara empat orang yang mendampinginya masih muda-muda. Dan mungkin berusia belum mencapai tiga puluh tahun. Gagang golok tampak bersembulan di balik ikat pinggang masing-masing. Hanya orang tua itu saja yang tidak kelihatan membawa golok, kecuali sebatang tongkat kayu yang tergenggam di tangan kanannya. Seakan, tongkat itu cukup membantunya untuk bisa berdiri tegak.
Rangga, segera menghentikan langkah kudanya setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi. Sementara, penduduk yang tadi hilir-mudik di jalan ini, tampak bergegas menyingkir seperti sudah bisa mengerti apa yang akan terjadi.
"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Kakinya melangkah beberapa tindak ke depan dengan tangan kiri masih menggenggam tali kekang, sehingga kuda hitamnya mengikuti dari belakang. Sebentar langkahnya berhenti, kemudian kembali bergerak lagi. Dan Pendekar Rajawali Sakti kembali berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah dari lima orang laki-laki yang menghadangnya di tengah jalan ini.
"Maaf, boleh aku lewat...?" sapa Rangga dengan senyum ramah terkembang di bibir.
"Siapa kau? Dan, apa maksud kedatanganmu ke desa ini...?" laki-laki tua yang berada paling tengah malah melontarkan pertanyaan dengan nada ketus.
"Aku pengembara yang kebetulan lewat. Aku hanya mencari tempat beristirahat," sahut Rangga, tetap bersikap ramah.
"Ketahuilah, Anak Muda. Desa ini sudah tertutup bagi orang asing sepertimu. Dan tidak ada tempat untuk beristirahat di sini. Sebaiknya, cepat pergi sebelum penduduk desa ini merajammu!"
"Oh...?!" Rangga agak terkejut juga mendengar kata-kata yang sangat ketus dan tidak bersahabat itu. Dipandanginya orang tua berjubah putih di depannya ini. Sungguh tidak disangka akan seperti ini sambutan yang diperoleh di Desa Bahar Arum. Sambutan yang sama sekali tidak menyenangkan bagi siapa pun juga.
Saat itu, empat orang anak muda yang mendampingi orang tua itu sudah mencabut golok masing-masing. Rangga hanya melirik sedikit saja, tanpa memberi tindakan apa-apa. Pandangan matanya kembali tertuju pada orang tua yang berada tepat di depannya ini.
"Maaf, Ki. Kedatanganku ke sini tidak ada niat jahat sedikit pun juga. Aku hanya ingin bermalam. Dan besok pagi sudah pergi lagi dari sini," kata Rangga, mencoba menjelaskan.
"Kau tidak perlu banyak bicara, Anak Muda. Siapa pun kau adanya, cepat tinggalkan desa ini!" sentak orang tua itu, kasar.
"Hm.... Kalau boleh tahu, kenapa desa ini tertutup bagi pendatang, Ki...?" tanya Rangga ingin tahu.
"Semua orang yang datang ke sini, hanya membuat kesengsaraan saja. Dan kedatanganmu, pasti sama dengan yang lainnya. Cepatlah pergi, sebelum murid-muridku kuperintahkan mengusirmu secara kasar!"
"Aku tidak pernah membuat keributan, Ki. Apa lagi menyengsarakan orang lain."
"Sudah, jangan banyak omong! Cepat pergi kataku...!" bentak orang tua itu dengan mata mendelik.
Rangga tidak bisa lagi memaksa, dan hanya mengangkat pundaknya sedikit. Kemudian tubuhnya berbalik, dan kembali melompat naik ke punggung kudanya. Tanpa mengeluarkan satu kata pun juga, Pendekar Rajawali Sakti menarik tali kekang kudanya. Segera saja ditinggalkannya jalan desa itu, dan kembali ke arah semula. Sementara orang tua dan empat orang muridnya itu terus memandangi kepergian pemuda berbaju rompi putih ini.
Rangga menghentikan langkah kudanya setelah melewati perbatasan Desa Bahar Arum. Pendekar Rajawali Sakti lalu melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan ringan sekali. Dipandanginya Desa Bahar Arum yang sudah mulai bermandikan cahaya pelita. Dan memang, malam sudah datang menyelimuti sebagian permukaan bumi ini Rangga benar-benar tidak mengerti melihat keadaan di desa itu, sehingga para penduduknya tidak menginginkan ada seorang pun pendatang yang memasukinya. Berbagai macam pertanyaan langsung berkecamuk dalam kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa terjawab sampai saat ini.
"Hhh...! Aneh.... Kenapa mereka menutup desanya dari orang luar...?" gumam Rangga bertanya pada diri sendiri sambil menghembuskan napas panjang.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati sebuah pohon yang cukup besar, kemudian duduk bersila di bawahnya. Sedangkan Dewa Bayu berada tidak jauh dari pemuda ini. Tampak pandangan Rangga tidak berkedip, terus tertuju ke arah Desa Bahar Arum. Namun tiba-tiba saja kelopak matanya jadi menyipit, begitu melihat seseorang berjalan tergesa-gesa menuju ke arahnya.
Rangga tetap diam menunggu dan terus memperhatikan. Agak terkejut juga kening Pendekar Rajawali Sakti setelah mengetahui kalau orang yang datang menghampirinya ini ternyata seorang gadis muda. Di bawah siraman cahaya rembulan, jelas sekali terlihat kalau gadis itu masih sangat muda. Paling-paling usianya baru sekitar tujuh belas tahun. Pakaiannya serba hitam dan cukup ketat, sebagaimana layaknya orang-orang dari kalangan persilatan. Tampak sebuah pedang berukuran pendek tergantung di pinggangnya yang ramping. Gadis itu berhenti melangkah, setelah jaraknya sudah dekat di depan Rangga yang masih tetap duduk bersila di bawah pohon.
"Maaf, apakah kedatanganku mengganggu istirahatmu...?" ucap gadis itu lembut.
"Tidak," sahut Rangga tetap duduk di bawah pohon ini.
"Kau yang tadi datang ke Desa Bahar Arum?" tanya gadis itu, seperti ingin memastikan.
"Benar," sahut Rangga seraya mengangguk sedikit.
"Boleh aku duduk di sini?"
"Silakan."
Gadis itu mengambil tempat tidak jauh di depan Pendekar Rajawali Sakti. Malah, seperti dibiarkan saja kedua bola mata pemuda itu merayapi wajah dan tubuhnya. Dan memang, Rangga sedang mengamati gadis yang sama sekali tidak dikenalnya ini. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menduga kalau gadis ini memiliki kepandaian. Hanya saja, sukar untuk mengukur tingkatannya. Tapi dari sikapnya yang lembut dan sopan, Rangga tidak mau menduga buruk padanya.
"Maaf, apa keperluanmu menemuiku di sini, Nisanak...?" tanya Rangga, juga dengan sikap dan tutur kata ramah.
"Aku tahu, kedatanganmu ke Desa Bahar Arum membawa maksud baik. Tapi memang sangat disayangkan, Ki Jarokamin memandang lain pada semua orang yang datang ke sana," tutur gadis itu dengan suara tetap lembut.
"Oh, ya. Namaku Rukmini."
"Rangga," sambut Rangga juga memperkenalkan diri.
Sesaat mereka terdiam dan saling melontarkan senyum, setelah sama-sama memperkenalkan diri masing-masing.
"Boleh aku memanggilmu, Kakang...? Aku yakin kau lebih tua dariku," pinta gadis berwajah cukup cantik yang tadi memperkenalkan diri bernama Rukmini.
"Dengan senang hati," sambut Rangga diiringi senyum cukup lebar.
"Begini, Kakang. Sejak kau datang ke desa tadi, aku memang sudah ingin menemuimu. Tapi, rupanya Ki Jarokamin sudah lebih dulu menghadangmu, sehingga aku tidak bisa langsung menemuimu. Dan aku harus mencari saat yang tepat," kata Rukmini.
"Kenapa kau ingin menemuiku?" tanya Rangga.
"Ayahku yang menyuruh."
"Ayahmu...?"
"Ya, ayahku kepala desa di Desa Bahar Arum."
"Hmmm...."
"Kau pasti merasa aneh. Memang, meskipun menjadi kepala desa, tapi ayahku tidak punya kuasa apa-apa di sana. Semuanya sudah dipegang Ki Jarokamin. Dia bukan saja orang yang tertua di Desa Bahar Arum, tapi juga menguasai desa itu dengan murid-muridnya. Tidak ada seorang pun yang berani membantah semua yang diperintahkan. Semua penduduk Desa Bahar Arum takut padanya. Tapi, Ki Jarokamin tidak pernah angkuh dan merasa dirinya paling ditakuti. Entah kenapa dalam beberapa hari ini dia jadi berubah. Dan...," Rukmini tidak melanjutkan.
"Kenapa, Rukmini?" tanya Rangga, meminta diteruskan.
"Semua sikapnya jadi berubah garang, setelah menghilang sekitar satu purnama. Baru beberapa hari ini dia kelihatan lagi di desa. Tapi, semua sikapnya sudah sangat jauh berubah. Bahkan sepertinya bukan lagi Ki Jarokamin, tapi kepala perampok yang sudah bisa menguasai Desa Bahar Arum,' sambung Rukmini.
"Hmmm...," kembali Rangga menggumam dengan kepala terangguk-angguk.
********************
EMPAT
Malam terus merayap semakin larut. Sementara Rangga lebih banyak mendengarkan semua yang dikatakan Rukmini tentang Desa Bahar Arum yang kini sudah berubah begitu jauh, akibat perubahan sikap dan tindakan Ki Jarokamin. Gadis itu sendiri tidak tahu, apa yang menyebabkannya. Dan kebingungan gadis ini seperti menyiratkan ketidak mengertian seluruh penduduk di Desa Bahar Arum.
Sampai Rukmini kehabisan bahan pembicaraan, Rangga masih tetap diam membisu dengan kening kelihatan berkerut. Jelas sekali ada sesuatu yang tengah dipikirkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan sesekali terdengar tarikan napasnya yang dalam, dan hembusannya yang kuat. Cukup lama mereka membisu. Kembali Rangga menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Rukmini, kenapa ayahmu menyuruh kau menemuiku malam-malam begini? Apa tidak khawatir kalau aku punya maksud buruk padamu...?" pertanyaan Rangga jelas bernada memancing.
"Ayahku tidak pernah salah dalam menilai seseorang, Kakang. Dan kenyataannya, memang benar. Kau bukan orang jahat. Ayahku mengatakan, kau seorang pendekar digdaya yang akan mengembalikan Desa Bahar Arum seperti sediakala," sahut Rukmini, kalem.
"Kalau ternyata dugaan ayahmu salah...?" pancing Rangga lagi.
"Mungkin malam ini aku terpaksa mengeluarkan sedikit keringat," sahut Rukmini tersenyum.
Entah kenapa, Rangga jadi ikut tersenyum. Jawaban Rukmini yang singkat dan ringan itulah yang membuat Rangga jadi tersenyum sendiri. Sudah jelas gadis ini memiliki simpanan. Tapi apa mungkin bisa menghadapi orang-orang yang sudah berpengalaman dalam mengarungi ganasnya rimba persilatan...? Dan lagi, entah sampai di mana tingkat kepandaiannya. Atau mungkin hanya sekadar bisa untuk menjaga diri dari keisengan laki-laki. Entahlah. Yang jelas, Rangga mulai menyukai sikap Rukmini yang polos ini.
"Sudah terlalu malam. Kau tidak pulang, Rukmini?" tegur Rangga halus.
"Aku akan menemanimu di sini sampai pagi," jawab Rukmini kalem.
"Heh...?!" Rangga jadi terkejut.
"Kenapa? Kau tidak suka?"
"Bukan.... Bukannya aku tidak senang. Tapi ini sudah terlalu malam, Rukmini. Aku khawatir...," Rangga tidak meneruskan.
"Kau tidak perlu khawatir, Kakang. Aku tidak akan berbuat macam-macam. Justru kalau sampai besok pagi, kita bisa ke desa sama-sama. Mereka tidak akan berani menegur jika kau berjalan bersamaku, Kakang," jelas Rukmini.
"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit
"Kau tidak percaya padaku, Kakang?"
"Aku percaya."
"Kalau begitu, hilangkan semua keraguanmu. Lagi pula, mana mungkin aku memperkosamu...?"
Rangga jadi tersenyum kecut mendengar gurauan gadis ini. Walaupun kelihatannya masih muda, tapi Rukmini seperti sudah pengalaman saja dalam menghadapi laki-laki. Dan memang, tidak mungkin seorang wanita memperkosa laki-laki. Kecuali, kalau wanita itu sudah gila.
"Ya, sudah. Aku ingin tidur dulu," ujar Rangga seraya menyandarkan punggungnya ke pohon.
Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti memejamkan matanya, mendadak saja terlihat kilatan seperti bola api yang berkelebat begitu cepat ke arah mereka. Rangga cepat melompat bangkit, dan langsung mendorong tubuh Rukmini ke belakang hingga jatuh terguling. Dan tepat pada saat itu, bola api yang meluncur dari angkasa itu jatuh menghantam tanah, tempat mereka duduk tadi.
Glarrr...!
Suatu ledakan dahsyat pun seketika terdengar menggelegar, hingga menggetarkan tanah. Dan saat itu juga, terlihat pohon tempat Rangga duduk di bawahnya tadi, langsung tumbang seperti terhantam satu pukulan yang begitu keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sementara itu, Rangga cepat melompat mendekati Rukmini yang sudah bangkit berdiri. Belum lagi terlintas satu pertanyaan dalam benak, mendadak saja melesat sebuah bayangan hitam yang begitu cepat, langsung menyambar ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Upths! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Rangga meliukkan tubuhnya. Dan seketika dia langsung melompat ke belakang, menghindari sambaran bayangan hitam itu. Dan pada saat yang sama, Rangga melepaskan satu pukulan cukup keras disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Tapi pukulannya hanya menyambar angin saja, karena bayangan hitam itu cepat sekali menghindar. Bahkan terus melesat menjauhi pemuda berbaju rompi putih ini.
Tepat di saat bayangan hitam itu mendarat, terlihat beberapa tubuh berpakaian serba hitam berlompatan dari balik semak dan pepohonan di sekitar tempat ini. Dan sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepung tidak kurang dari sepuluh orang yang semuanya berpakaian serba hitam. Rangga cepat menggeser kakinya, mendekati Rukmini yang sudah menggenggam pedang.
Cukup sulit untuk dapat mengenali, karena wajah mereka mengenakan kain penutup yang juga berwarna hitam pekat. Hanya kedua matanya saja yang terlihat menyorot tajam, menatap Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, Rangga bisa melihat kalau mereka tidak menghiraukan adanya Rukmini di tempat ini. Seakan-akan, gadis itu tidak masuk dalam hitungan mereka. Rangga jadi berpikir juga, apakah memang dirinya yang diincar...?
"Siapa kalian? Mengapa kalian menyerangku...?" agak keras suara Rangga.
"Seraaang...!"
Tapi jawaban yang diberikan justru teriakan berupa perintah untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Dan seketika itu juga, orang berbaju serba hitam yang berjumlah sepuluh orang ini langsung berlompatan menyerang pemuda berbaju rompi putih itu. Dan mereka sama sekali tidak menghiraukan Rukmini. Dan ini tentu saja membuat gadis itu jadi kebingungan sendiri.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sementara Rangga sudah harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dari segala arah. Gerakan orang-orang berpakaian serba hitam ini sungguh luar biasa cepatnya. Hingga, Rangga jadi agak kelabakan juga dibuat mereka. Tapi dalam waktu tidak terlalu lama, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menguasai keadaan.
"Hap! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga cepat memutar tubuhnya. Dan dengan kecepatan yang begitu sukar diikuti pandangan mata biasa, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Pukulan yang begitu cepat dan sempurna ini, tepat menghantam dada salah seorang lawannya.
Diegkh!
"Akh...!"
Satu pekikan yang agak tertahan pun terdengar, disusul terpentalnya satu orang berpakaian serba hitam. Sementara, Rangga tidak sempat lagi melihat keadaan lawannya, karena harus cepat merunduk. Memang, dari arah belakang berkelebat sebuah golok yang berkilatan tajam!
Wusss...!
Golok itu lewat sedikit saja di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu, kaki kiri Rangga menghentak ke belakang, tepat menghantam perut penyerang dari belakang ini. Kembali terdengar jeritan tertahan dari belakang Pendekar Rajawali Sakti. Dan terlihat lagi seorang ambruk ke tanah sambil mengerang kesakitan.
"Hap!"
Rangga cepat menegakkan tubuhnya kembali. Namun pada saat itu juga satu orang penyerang membabatkan goloknya dari arah sebelah kiri. Maka Rangga cepat menarik tubuhnya ke belakang. Dan tangan kirinya langsung bergerak cepat, menghantam pergelangan tangan yang memegang golok itu.
Plak!
"Akh...!"
"Yeaaah...!"
Dan seketika satu sodokan yang begitu keras diberikan Rangga, tepat menghantam perut. Akibatnya, orang itu terbungkuk. Maka saat itu juga, Rangga melepaskan satu pukulan ke wajah, sehingga tidak dapat dielakkan lagi. Orang berpakaian serba hitam itu kontan meraung keras dengan kepala terdongak ke atas. Tampak dari kain hitam yang membungkus wajahnya, darah muncrat keluar akibat pukulan yang mendarat telak di wajah terselus bung kain hitam itu.
"Hiyaaa...!"
Satu tendangan yang cepat diberikan Pendekar Rajawali Sakti, membuat orang berpakaian serba hitam itu terpental cukup jauh ke belakang. Dan keras sekali tubuhnya ambruk ke tanah. Hanya sebentar dia menggeliat, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Dalam beberapa gebrakan saja, sudah tiga orang yang tergeletak tidak bernyawa lagi. Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat memutar tubuhnya, begitu merasakan ada seragan datang dari belakangnya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berputar demikian, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu tendangan yang sangat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangannya, sehingga orang berpakaian serba hitam yang hendak membokong itu tidak dapat lagi menghindarinya. Dan tendangan itu pun tepat menghantam dadanya.
Des!
"Akgh...!"
"Yeaaah...!"
Begitu orang itu terjajar ke belakang, Rangga kembali memberi satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Akibatnya pukulan itu kembali menghantam dada orang ini, hingga kembali menjerit keras dengan tubuh terpental jauh ke belakang.
Bruk!
Keras sekali orang itu menghantam tanah sekitar dua batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti. Hanya sebentar saja tubuhnya menggeliat, kemudian mengejang beberapa saat dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Saat itu, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal erat. Tapi orang-orang berpakaian serba hitam yang tinggal enam orang lagi, tidak melakukan serangan. Mereka hanya mengepung dengan golok berkilatan melintang di depan dada.
Dan tiba-tiba saja, mereka cepat berlompatan pergi. Begitu cepat lesatan mereka, hingga dalam waktu singkat saja sudah lenyap tertelan kegelapan malam. Dan mereka pergi dengan arah yang berlawanan, membuat Rangga tidak mungkin bisa mengejar lagi. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti terdiam, kemudian melangkah menghampiri salah seorang yang tergeletak tidak bernyawa lagi.
"Hhh!" Sambil mendengus, Rangga melepaskan kain hitam yang menutupi wajah orang itu. Dan keningnya agak berkerut memandangi wajah seorang laki-laki berusia muda yang sudah tidak bernyawa lagi ini. Lalu cepat dihampiri yang lainnya, dan dibukanya topeng lawannya satu persatu. Ternyata mereka semua masih berusia muda, dan mungkin belum ada delapan belas tahun umurnya.
"Hmmm...," Rangga jadi menggumam sendiri. Ada satu keanehan terasa dalam hati Pendekar Rajawali Sakti. Keanehan yang kemudian berkembang menjadi sebuah pertanyaan yang begitu sulit dijawab. Rangga memutar tubuhnya, saat men-dengar langkah kaki dari arah belakang. Tampak Rukmini menghampiri dengan pedang masih ter-genggam di tangan kanan. Gadis itu memasukkan pedangnya ke dalam warangka di pinggang, setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau kenal mereka, Rukmini?" tanya Rangga langsung.
Rukmini memandangi empat orang berpakaian serba hitam yang bergelimpangan di sekitarnya tanpa nyawa lagi. Sebentar kemudian, kembali ditatapnya wajah tampan di depannya ini. Sedangkan Rangga sendiri terus memandangi gadis itu dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Perlahan Rukmini menggelengkan kepala.
"Kau putri kepala desa. Masak tidak mengenali mereka sama sekali, Rukmini...?" Rangga seperti tidak percaya pada gadis itu.
"Aku tidak kenal," sahut Rukmini meyakinkan.
"Mereka bukan warga Desa Bahar Arum?" desak Rangga lagi.
"Hampir semua penduduk Desa Bahar Arum aku kenal, Kakang. Tapi, aku tidak kenal mereka semua. Bahkan melihatnya saja belum pernah," sahut Rukmini meyakinkan lagi.
"Apa mereka bukan murid-murid Ki Jarokamin?" tanya Rangga menduga.
"Entahlah...," desak Rukmini. Kali ini suaranya terdengar seperti ragu-ragu.
Rangga memandang dengan sinar mata begitu dalam, langsung ke bola mata gadis itu.
"Di Desa Bahar Arum, hanya murid-murid Ki Jarokamin saja yang tidak kukenal, Kakang. Mereka jarang sekali keluar dari padepokan, kecuali pada waktu-waktu tertentu. Jadi, sulit untuk mengenal mereka satu persatu. Sedangkan ayahku saja tidak bisa mengenalinya. Dan lagi, murid-murid Ki Jarokamin bukan pemuda-pemuda Desa Bahar Arum. Entah dari mana mereka datang," jelas Rukmini.
"Tidak ada seorang pun pemuda Desa Bahar Arum yang belajar padanya?" tanya Rangga seperti tak percaya.
"Ki Jarokamin tidak mau menerima. Dan pemuda-pemuda Desa Bahar Arum belajar ilmu olah kanuragan dari ayahku saja. Tapi, itu juga tidak secara tetap. Karena mereka harus bekerja di ladang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari."
"Hm...," Rangga menggumam kembali.
Dari keterangan yang diutarakan Rukmini, jelas sekali kalau mereka bukanlah anak-anak muda Desa Bahar Arum. Kalau hanya mempelajari ilmu olah kanuragan setengah-setengah saja, tidak mungkin mereka bisa setangguh itu. Dan gerakan mereka juga begitu cepat, sehingga hampir tak dapat diikuti pandangan mata biasa. Tapi kalau dilihat dari usia yang masih begitu muda, rasanya sulit bisa diterima kalau kepandaian mereka sudah begitu tinggi.
Tiba-tiba saja Rangga jadi teringat ucapan Ki Patungga di pertapaannya. Orang tua itu mengatakan kalau benda yang hilang dari pertapaannya, memiliki keampuhan yang sukar dipercaya. Benda itu bisa membuat orang jadi berlipat ganda kekuatannya, tapi juga bisa membuat orang jadi tidak berdaya seperti bayi.
"Apakah orang-orang berpakaian serba hitam ini sudah terkena pengaruh benda pusaka milik Ki Patungga...?" pertanyaan seperti ini terus mengganggu benak Rangga. Dan kalau memang benar, dunia ini bisa hancur dibuatnya. Mereka yang tidak pernah mengenal ilmu olah kanuragan pun, dalam sekejap bisa berubah menjadi seorang yang tangguh dan sangat berbahaya.
"Apa yang kau pikirkan, Kang?" tegur Rukmini.
"Oh, tidak...," sahut Rangga agak tergagap. Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah menjauhi tempat ini. Sementara, Rukmini mengikuti dari belakang. Dan kini, Rangga sudah berada di samping kudanya, lalu terus melangkah sambil menuntun Dewa Bayu. Setelah cukup jauh dari tempat pertarungan tadi, Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti melangkah. Dan kudanya ditambatkan pada sebatang pohon.
Sementara, Rukmini hanya diam saja memperhatikan pemuda yang kini sedang mengumpulkan ranting-ranting kering untuk api unggun. Kini nyala api mulai melahap ranting-ranting kering, Sehingga membuat udara di sekitarnya jadi terasa lebih hangat. Rukmini mendekati, dan duduk tidak jauh di sebelah kanan pemuda berbaju rompi putih yang tampan dan gagah ini.
"Kakang, mungkin mereka musuh-musuhmu," kata Rukmini membuka suara lagi.
"Kenapa kau berpikir seperti itu, Rukmini?" tanya Rangga seraya berpaling menatap gadis di sebelahnya.
"Perhatian mereka hanya tertuju padamu saja. Sama sekali aku tidak diusik," sahut Rukmini.
Rangga jadi terdiam lagi. Memang benar yang dikatakan Rukmini barusan. Orang-orang berpakaian serba hitam itu hanya menyerang Pendekar Rajawali Sakti saja. Keanehan itu juga sebenarnya sudah sejak tadi berada dalam kepala Rangga. Dan saat itu juga terlintas sedikit pikiran buruk dalam benaknya. Tapi Rangga tidak ingin menduga kalau Rukmini salah seorang dari penyerang-penyerangnya.
"Tidurlah. Besok pagi kita temui ayahmu," ujar Rangga.
"Kau sendiri...?"
"Aku akan berjaga-jaga, kalau-kalau mereka datang lagi," sahut Rangga.
"Sebaiknya di antara kita memang tidak ada yang tidur, Kakang. Aku sudah terbiasa tidak tidur malam," kata Rukmini menolak permintaan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tidak mau memaksa. Walaupun baru beberapa saat mengenal, tapi watak gadis ini sudah bisa ditelusurinya. Dia. tahu, Rukmini tidak bisa dipaksa. Apa yang menjadi keinginannya, tidak bisa dihalangi oleh siapa pun. Watak yang begitu mirip Pandan Wangi.
"Kalau begitu, kau saja yang berjaga, Rukmini. Aku ingin tidur dulu," kata Rangga.
"Silakan...," ringan sekali Rukmini menyahuti.
Rangga langsung saja merebahkan tubuhnya. Sedangkan Rukmini tetap duduk di depat api yang menyala cukup besar ini. Dan cukup lama juga Rangga berbaring, namun matanya tidak juga mau terpejam. Dan matanya terus menerawang jauh, merayapi langit kelam penuh bintang yang bermandikan cahaya bulan ini. Entah, apa yang ada dalam Kepala Pendekar Rajawali Sakti, hingga terasa sulit sekali untuk memejamkan matanya.
********************
LIMA
Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru saja menampakkan cahaya di ufuk timur, Rangga dan Rukmini sudah berada di Desa Bahar Arum. Hanya beberapa orang saja yang terlihat sudah keluar dari dalam rumahnya. Dan mereka seakan tidak peduli terhadap dua anak muda yang menyusuri, jalan tanah berdebu membelah desa ini. Mereka berjalan bersisian tanpa bicara sedikit pun juga. Dan Rangga membiarkan Dewa Bayu mengikuti dari belakang.
Dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar, berhalaman sangat luas, dan berpagar bambu. Mereka langsung saja menyeberangi halaman rumah itu. Dan Rukmini juga langsung masuk ke dalam beranda depan. Dibukanya pintu yang tidak terkunci itu. Sementara, Rangga menunggu di depan beranda. Hanya sebentar saja Rukmini menghilang di dalam rumah ini, tak lama sudah kembali lagi bersama seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Bajunya warna biru berkilat dan agak ketat, hingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.
"Mari silakan masuk. Aku Baruka, orangtua Rukmini," laki-laki separo baya itu langsung mempersilakan Rangga dengan ramah.
"Terima kasih," ucap Rangga.
"Biarkan saja kudamu, Anak Muda. Nanti ada yang mengurus."
Rangga hanya tersenyum saja, lalu melangkah menaiki anak-anak tangga yang berjumlah tujuh undakan ini. Kemudian mereka semua masuk ke dalam. Cukup luas juga ruangan depan rumah kepala desa ini. Kini mereka duduk di kursi kayu, melingkari sebuah meja bundar yang kosong. Ki Baruka membesarkan pelita, karena jendela rumah ini belum ada yang terbuka. Dan matahari juga belum sepenuhnya menampakkan diri. Hanya cahayanya saja yang membias di kaki langit sebelah timur. Dari pintu yang sedikit terbuka, Rangga melihat seorang laki-laki tua mengambil Dewa Bayu dan membawanya ke samping rumah.
"Sejak semalam, aku menunggu. Kupikir, Rukmini gagal membawamu ke sini," kata Ki Baruka.
"Oh, ya. Siapa namamu, Anak Muda?"
"Rangga," jawab Rangga singkat.
"Semalaman kalian bersama-sama. Tentu Rukmini sudah banyak cerita padamu," kata Ki Baruka lagi.
"Begitulah," sahut Rangga tetap singkat.
"Tapi aku yakin, pasti ada satu yang belum dia diceritakan Rukmini padamu, Rangga."
"Hm..., apa itu?" tanya Rangga, agak menggumam.
"Tentang perubahan Ki Jarokamin," sahut Ki Baruka.
"Rukmini hanya mengatakannya sedikit," ujar Rangga.
"Yang pasti, anakku ini tidak mengatakan sebab-sebabnya, bukan...?" Rangga mengangguk saja.
"Ki Jarokamin bisa berubah begitu, setelah pergi selama satu purnama. Tidak ada seorang pun yang tahu, ke mana perginya, kecuali aku," jelas Ki Baruka.
"Boleh aku tahu, ke mana perginya, Ki...?" pinta Rangga.
"Tentu saja, Anak Muda. Justru aku memintamu datang ke sini karena persoalan itu," sahut Ki Baruka.
Orang itu melirik sedikit pada anak gadisnya ini. Dan Rukmini langsung bisa mengerti. Gadis itu segera berdiri dan meninggalkan ruangan ini, setelah memberi senyum sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti. Maka sebentar saja tubuhnya sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan depan dengan ruangan tengah rumah ini.
"Sebenarnya, Ki Jarokamin tidak pergi jauh. Dia pergi ke Bukit Batu sebelah selatan desa ini," Jelas Ki Baruka lagi.
Rangga jadi tertegun mendengarnya.
"Kau tahu letak bukit itu, Rangga...?"
Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Tentu Pendekar Rajawali Sakti tahu, karena di balik bukit itu letak pertapaan Ki Patungga yang juga menjadi tempat tinggal serta untuk menempa murid-muridnya. Dan di sana juga Pandan Wangi sekarang ditinggalkannya untuk menjaga Ki Patungga yang kini sudah menjadi lemah tanpa daya lagi. Dari sana juga awalnya, hingga sekarang ini, Pendekar Rajawali Sakti berada di Desa Bahar Arum.
"Aku tidak tahu, apa yang dilakukannya di sana. Tapi sepulangnya dari sana, dia menunjukkan sesuatu padaku. Sebuah benda yang sama sekali tidak menarik bagiku. Tapi, Ki Jarokamin tampaknya begitu bangga memilikinya," sambung Ki Baruka.
"Benda...?!" Rangga agak terperanjat mendengarnya. "Benda apa itu, Ki?"
"Hanya sebuah batu karang yang tidak ada artinya sama sekali bagi orang lain. Dan semula, memang aku juga mengira begitu. Tapi setelah melihat dengan mata kepalaku sendiri keanehan benda itu, aku jadi...," Ki Baruka tidak melanjutkan.
Saat itu, Rukmini datang lagi sambil membawa sebuah baki berisi dua gelas bambu yang mengepulkan uap hangat, ditambah singkong rebus yang ditumpuk di atas piring kayu. Gadis itu menyediakannya di atas meja yang ada di depan Rangga dan Ki Baruka. Dan Rukmini kembali masuk ke dalam, setelah melihat lirikan mata ayahnya.
"Batu karang itu berada dalam kotak kayu yang sudah usang dan lapuk, Rangga," sambung Ki Baruka, setelah mereka sama-sama menghirup kopi hangat yang disediakan Rukmini.
"Keanehan apa yang kau lihat, Ki?" tanya Rangga.
"Batu itu mengeluarkan cahaya jika malam hari. Dan cahayanya bisa membuat kekuatan Ki Jarokamin jadi berlipat ganda. Demikian pula murid-muridnya yang masih muda-muda itu. Mereka jadi seperti pendekar tangguh yang kepandaiannya sudah tinggi. Aku sendiri tidak mengerti. Dalam beberapa hari saja, kepandaian Ki Jarokamin dan murid-muridnya jadi sepuluh kali lipat. Sepertinya mereka sudah memperdalam sebuah ilmu, selama tiga puluh tahun," tutur Ki Baruka.
"Lalu, apa yang membuatmu jadi cemas, Ki?" tanya Rangga memancing.
"Setelah memperoleh benda ajaib itu, sikap dan tindakan Ki Jarokamin jadi berubah. Ini yang membuatku cemas, Rangga. Terlebih lagi, dia telah sesumbar akan menguasai jagat ini. Bahkan akan menyingkirkan siapa saja yang mencoba menghalanginya. Malah aku sendiri yang sudah seperti adiknya, hampir tidak dipedulikan sama sekali. Terlebih lagi, aku dan seluruh keluargaku diancam akan dibunuh bila coba-coba menghalangi keinginannya yang gila itu. Terus terang, aku jadi cemas seandainya dia sampai terlalu jauh, Rangga. Harus ada yang bisa menghentikannya sebelum semakin angkuh dan merasa paling hebat di jagat ini," kata Ki Baruka panjang lebar.
Rangga jadi terdiam membisu. "Ki, apa Ki Jarokamin pernah mengatakan dari mana batu itu diperolehnya?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Tidak," sahut Ki Baruka.
Rangga kembali terdiam. Kini dia tahu, persoalan apa yang sedang dihadapinya sekarang. Dan dia juga tahu, seperti apa yang akan dihadapinya. Seeorang yang memiliki kekuatan berlipat, akibat terpengaruh oleh kekuatan dari batu karang yang menjadi pusaka yang dititipkan di rumah Ki Patungga. Kekuatan aneh yang entah bagaimana cara menghadapinya.
"Rangga, aku tahu kau seorang pendekar digdaya yang sangat hebat. Aku juga tahu, kau dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Untuk itulah aku minta semua kegilaan Ki Jarokamin dihentikan, tanpa harus melukainya. Dia tidak sejahat seperti apa yang kau duga. Cukup pisahkan saja dia dari benda celaka itu," pinta Ki Baruka memohon.
"Hhh.... Sulit untuk memenuhi keinginanmu, Ki. Aku tidak bisa menjamin apa-apa," sahut Rangga mendesah berat.
"Aku bisa mengerti, Rangga. Tapi usahakanlah..."
"Aku akan berusaha, Ki. Tapi, entah apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak bisa mengatakannya padamu."
"Aku sudah siap menghadapi segala apa pun yang akan terjadi, Rangga. Bahkan yang terburuk sekali pun."
Rangga jadi tersenyum kecut. Ki Baruka juga tersenyum. Ditepuknya pelan pundak Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan untuk beberapa saat mereka membisu, sehingga suasana jadi hening.
"Aku pergi dulu, Ki. Secepatnya aku akan kembali lagi ke sini untuk menyelesaikan persoalan di sini," ujar Rangga berpamitan seraya bangkit berdiri.
"Baiklah, Rangga. Kunantikan kedatanganmu," sahut Ki Baruka.
Setelah berpamitan, Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke luar diiringi Ki Baruka. Saat itu, matahari sudah naik cukup tinggi. Cahayanya yang bersinar menerangi seluruh mayapada ini sudah terasa cukup terik menyengat. Sebentar kemudian seorang laki-laki tua datang menghampiri menuntun Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Ditinggalkannya kuda itu di ujung bawah tangga beranda, setelah tubuhnya membungkuk sedikit memberi hormat pada Ki Baruka.
"Sampaikan salamku pada Rukmini," ucap Rangga.
"Maafkan kalau putriku sempat merepotkanmu," ucap Ki Baruka.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melompat naik ke punggung kuda Dewa Bayu. Sebentar ditatapnya Ki Baruka yang berdiri di undakan beranda depan rumahnya. Sedikit kepalanya mengangguk lalu menggebah kudanya perlahan. Kuda hitam itu berlari tidak terlalu kencang meninggalkan rumah kepala desa ini. Sementara itu, Ki Baruka terus memandangi sampai Pendekar Rajawali Sakti lenyap di tikungan jalan yang langsung menuju arah selatan.
********************
Jarak Desa Bahar Arum ke pertapaan Ki Patungga di Bukit Batu memang tidak terlalu jauh. Hingga, Rangga bisa cepat sampai bersama Dewa Bayu. Seorang murid Ki Patungga yang menjaga pintu pertapaan yang juga dijadikan padepokan bergegas membuka pintu gerbang lebar-lebar, begitu melihat Rangga menunggang Dewa Bayu. Murid yang masih berusia muda itu segera membungkuk memberi hormat saat Rangga melewatinya. Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kudanya, setelah berada di dalam. Kemudian seorang anak muda lain menghampiri tergesa-gesa, dan langsung mengambil tali kekang pendekar muda itu.
"Ki Patungga ada?" tanya Rangga.
"Ada, Den. Bersama Nini Pandan Wangi di ruang tamu," sahut anak muda itu dengan sikap dan tutur sapa sopan.
Rangga langsung saja melangkah menuju bangunan utama padepokan. Kakinya segera meniti anak-anak tangga yang langsung menuju beranda depan. Dan begitu kakinya menjejak lantai beranda yang terbuat dari belahan papan, dari dalam muncul Ki Patungga bersama Pandan Wangi.
"Kau sudah dapatkan pencuri itu, Rangga?" Ki Patungga langsung saja melontarkan pertanyaan.
"Sudah," sahut Rangga singkat.
"Oh, syukurlah...," desah Ki Patungga lega.
"Lalu benda itu berhasil kau dapatkan?"
Rangga hanya menggelengkan kepala saja, kemudian duduk di bangku kayu dan menghadapi langsung sebuah meja bundar dari kayu. Tangannya meraih sebuah kendi, kemudian membasahi tenggorokannya dengan air bening dari dalam kendi yang terbuat dari tanah liat itu. Sementara, Ki Patungga dan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja.
"Sudah kuduga, kau pasti mendapat kesulitan untuk mendapatkan benda itu," kata Ki Patungga seraya duduk di kursi yang ada di seberang Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu Pandan Wangi mengambil tempat di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu diam saja sejak tadi, dan terus memperhatikan wajah Rangga yang dibasahi keringat. Siang ini, matahari memang memancar begitu terik. Hingga hampir sekujur tubuh Rangga jadi basah oleh keringat.
"Siapa pencuri itu, Rangga?" tanya Ki Patungga ingin tahu.
"Kau kenal semua penduduk Desa Bahar Arum, Ki?" Rangga malah balik bertanya.
"Tidak begitu banyak," sahut Ki Patungga, agak heran juga mendengar pertanyaan demikian. Sedangkan pertanyaannya sendiri belum terjawab.
"Dengan kepala desanya?" tanya Rangga lagi.
"Ki Baruka maksudmu, Rangga...?" Rangga mengangguk. "Tentu saja kenal. Hanya orang-orang tertentu saja yang kukenal di sana."
"Kau juga tahu kalau di Desa Bahar Arum ada padepokan...?" tanya Rangga lagi.
"Ya, aku tahu. Ki Jarokamin yang memimpinnya. Kepandaiannya berada dua tingkat di bawahku, tapi itu sebelum aku kehilangan benda pusaka itu, Rangga. Dan sekarang...," Ki Patungga tidak melanjutkan.
"Kenapa sekarang, Ki?" tanya Rangga ingin tahu.
"Dia pasti bisa mudah sekali menghancurkan padepokanku, kalau dia tahu aku tidak lagi punya kekuatan apa-apa. Antara aku dan Ki Jarokamin pernah terjadi perselisihan, hingga menimbulkan kebencian di hatinya sampai sekarang. Bahkan dengan segala cara, dia selalu berusaha untuk menghancurkan aku. Hhh.... Entah apa yang terjadi kalau dia sampai tahu persoalan ini," terdengar pelan sekali suara Ki Patungga.
"Ki Jarokamin juga tahu tentang pusaka yang kau miliki itu, Ki?" tanya Rangga lagi.
"Tentu saja dia tahu, Rangga. Dia ada ketika aku dititipkan benda itu," sahut Ki Patungga.
Rangga jadi mengangguk-angguk pelan.
"Eh, Rangga...! Kenapa kau bertanya seperti itu? Apa kau...?"
"Maaf, Ki. Bukannya menuduh, tapi masih perlu bukti banyak untuk meyakinkan kebenarannya. Aku hanya sekadar ingin tahu saja," kata Rangga cepat-cepat.
"Kau mencurigai Ki Jarokamin yang mencurinya, Kakang...?" sela Pandan Wangi bertanya.
"Hanya dugaan saja, Pandan."
"Tapi mungkin juga, ya...," gumam Ki Patungga bernada ragu-ragu. "Ah! Kalau benda itu sampai jatuh ke tangannya, bisa jadi neraka seluruh jagat ini. Dia orangnya serakah, dan terkadang tindakkannya bisa sekejam iblis. Tapi, dia juga memiliki isi hati yang baik. Begitu banyak kebaikan yang sudah diperlihatkannya di Desa Bahar Arum. Walaupun di masa muda dulu kehidupannya sangat kelam, tapi dia sudah bertobat. Malah seluruh sisa hidupnya ingin diisinya dengan kebaikan. Lalu apa mungkin dia yang mengambil benda itu...?"
"Mudah-mudahan dugaanku tidak benar, Ki," ujar Rangga tidak ingin membuat pikiran orang tua itu terganggu.
"Kalaupun benar, aku tidak akan menyesalkannya," sahut Ki Patungga. "Meskipun pernah menjadi temanku dulu, tapi setelah perselisihan itu dia tidak pernah lagi menganggapku teman. Malah memandangku sebagai saingannya."
"Saingan dalam hal apa, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Persaingan antar padepokan, Nini Pandan," sahut Ki Patungga.
Pandan Wangi menganggukkan kepala. Memang tidak aneh lagi kalau terjadi persaingan antara satu padepokan dengan padepokan silat lain. Terlebih lagi, kedua padepokan ini letaknya tidak terlalu jauh. Dan, sudah barang tentu mereka selalu bersaing untuk membuktikan keunggulan dalam membina padepokan dan dalam tingkat kepandaian ilmu olah kanuragan. Tapi persaingan itu juga bisa mengakibatkan permusuhan yang tidak akan pernah berakhir. Ini sering terjadi dan banyak dijumpai pada padepokan-padepokan silat lain. Bahkan sering kali diakhiri dengan pertumpahan darah. Persoalan yang sebenarnya tidak terlalu berat, tapi bisa menyangkut keselamatan jiwa.
"Aku pergi dulu, Ki," pamit Rangga seraya bangkit berdiri.
"Kau akan pergi lagi, Rangga?" tanya Ki Patungga.
"Ya, aku harus mendapatkan benda itu dan menyerahkannya padamu lagi," sahut Rangga.
"Mudah-mudahan kau berhasil."
"Terima kasih, Ki." Rangga bergegas meninggalkan Ki Patungga di beranda depan rumahnya ini. Sedangkan Pandan Wangi cepat-cepat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti, dan menjajarkan langkahnya di sebelah kanan. Mereka berjalan menuju kudanya yang ditambatkan di bawah pohon.
"Aku ikut, Kakang," pinta Pandan Wangi.
"Tugasmu di sini lebih berat, Pandan. Kau harus menjaga kalau-kalau terjadi sesuatu di sini. Ingatlah! Bukan hanya Ki Patungga saja yang menjadi lemah sekarang. Tapi, ketangkasan semua muridnya juga semakin berkurang," halus sekali Rangga menolak.
"Tidak ada kejadian apa-apa di sini, Kakang. Aku bosan terus menunggu."
"Jangan berharap yang buruk, Pandan. Aku malah senang bila tidak terjadi sesuatu di sini. Secepatnya aku kembali," kata Rangga, langsung saja melompat naik ke punggung kudanya.
Pandan Wangi tidak lagi bisa memaksa. Sebentar Rangga menatap gadis itu, kemudian memutar kudanya. Dan seketika kudanya digebah dengan kencang. Maka Dewa Bayu melesat cepat bagai sebatang anak panah terlepas dari busur. Seorang murid Ki Patungga cepat-cepat membuka pintu gerbang. Dan tanpa mengendurkan lari kudanya. Rangga terus saja melesat bersama Dewa Bayu keluar dari lingkungan padepokan ini. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap dari pandangan. Hanya kepulan debu saja masih terlihat semakin memudar tertiup angin.
********************
Senja sudah mulai datang merayap menyelimuti sebagian permukaan bumi ini. Rangga memperlambat lari kudanya setelah dekat dengan perbatasan Desa Bahar Arum. Desa itu tampak sunyi, dan hanya beberapa orang saja yang terlihat berada, di depan rumah masing-masing. Saat Pendekar Rajawali Sakti mulai memasuki desa ini, mendadak saja telinganya yang tajam mendengar sesuatu yang membuat langkah kaki kudanya dihentikan. Dengan gerakan ringan, Pendekar Rajawali Sakti lalu melompat dari kudanya. Sejenak Rangga mencoba mencari arah datangnya suara itu.
"Hm..., siapa yang bertarung...? Coba kulihat," gumam Rangga dalam hati. Setelah bisa memastikan arah datangnya suara yang didengarnya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tubuhnya bagaikan melayang di atas tanah. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan kudanya, menuju arah timur dari Desa Bahar Arum ini.
"Heh...?!" Kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar begitu melihat Rukmini tengah bertarung menghadapi keroyokan lima orang berpakaian serba hitam. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung terjun ke dalam pertarungan.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Satu pukulan yang begitu keras langsung dilepaskan Rangga disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat pukulannya, sehingga satu orang yang saat itu tengah membabatkan goloknya ke arah kepala Rukmini tidak sempat lagi mengetahuinya. Akibatnya, pukulan itu tepat menghantam batok kepala orang itu.
Prak!
"Aaakh...!"
Jeritan panjang yang melengking tinggi seketika terdengar, disusul ambruknya orang berpakaian serba hitam dengan kepala retak berhamburan darah. Sementara Rangga tidak sempat lagi memperhatikan, karena kembali melesat dan melepaskan satu tendangan keras menggeledek dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', begitu melihat jiwa Rukmini terancam.
"Yeaaah...!"
Tendangan yang cepat dan menggeledek itu memang sangat luar biasa, hingga orang berpakaian serba hitam itu tidak dapat lagi berkelit menghindarinya. Maka, kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, yang disusul terpentalnya seorang lagi yang mengeroyok anak gadis kepala desa itu.
"Hap!"
Rangga cepat menjejakkan kakinya, tepat di sebelah kiri Rukmini. Napas gadis itu terdengar mendengus kelelahan. Tapi raut wajahnya kelihatan cerah melihat Rangga kini sudah berada di sampingnya. Dan pedangnya langsung disilangkan di depan dada.
Sementara tiga orang berpakaian serba hitam yang mengeroyok Rukmini ini tadi, kelihatan ragu-ragu melihat kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang sudah membuat dua orang dari mereka tergeletak tidak bernyawa lagi.
"Kau tidak apa-apa, Rukmini?" tanya Rangga setengah berbisik suaranya.
"Tidak," sahut Rukmini seraya mengatur jalan napasnya. "Untung kau cepat datang, Kakang."
"Kenapa kau bisa bentrok dengan mereka?" tanya Rangga lagi.
"Aku tak tahu. Tiba-tiba mereka menyerang."
"Hm , hati-hatilah, Rukmini," gumam Rangga.
"Baik, Kakang," sahut Rukmini seraya mengangguk kecil.
Sementara itu, tiga orang berpakaian serba hitam sudah bergerak ke kanan. Mereka mempermainkan golok di depan dada. Dari balik kain hitam yang menutupi wajah, terlihat sinar-sinar mata yang menyorot tajam, memancarkan nafsu membunuh ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Sambil berteriak keras menggelegar, ketiga orang berpakaian serba hitam itu secara bersamaan melompat cepat bagai kilat menerjang Rangga. Dan pada saat itu juga, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Pendekar Rajawali Sakti melesat menyambut serangan ketiga orang berpakaian serba hitam ini.
"Hih! Yeaaah...!"
Satu pukulan keras dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada salah seorang yang menyerangnya. Suara pekikan tertahan, kontan terdengar bersama terpentalnya satu orang ke belakang. Dan saat itu juga, cepat sekali Rangga memutar tubuhnya. Lalu bagaikan kilat, dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek.
"Begkh!"
"Akh...!"
Satu orang lagi seketika terjungkal terkena tendangan keras Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Rangga sendiri sudah cepat memutar tubuhnya. Tapi pada saat itu juga, seorang lagi yang masih tersisa sudah melesat hendak melarikan diri.
"Jangan lari kau! Hiyaaa...!"
Melihat salah seorang akan melarikan diri, Rangga tidak mau melepaskannya begitu saja. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh sempurna, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat mengejar. Tapi baru saja tubuhnya melayang di udara, tiba-tiba saja orang berpakaian serba hitam itu mengebutkan tangannya ke belakang, sambil terus berlari cepat sekali.
"Heh...?! Hup!"
Rangga jadi terperanjat juga melihat beberapa buah benda kecil berbentuk bulat berwarna merah, meluncur deras ke arahnya. Cepat-cepat tubuhnya melenting dan berputaran beberapa kali menghindari terjangan senjata-senjata rahasia orang berpakaian serba hitam itu.
"Hap!"
Begitu kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, orang berpakaian serba hitam itu sudah lenyap tidak terlihat lagi. Rangga jadi mendengus kesal, karena tidak bisa menangkap orang itu hidup-hidup. Padahal, dia memerlukannya saat ini. Pendekar Rajawali Sakti berpaling saat telinganya mendengar langkah kaki ringan yang menghampirinya. Tampak Rukmini melangkah cepat menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
ENAM
"Sejak pagi aku mencarimu, Kakang," kata Rukmini.
"Mau apa?" tanya Rangga.
"Ayah hilang diculik orang," sahut Rukmini.
"Apa...?!" Bukan main terperanjatnya Pendekar Rajawali Sakti mendengar Ki Baruka diculik. Padahal, baru satu hari ini dia pergi. Begitu terkejutnya, sampai-sampai gadis itu dipandangi begitu dalam. Hingga untuk beberapa saat, Rangga terdiam membisu. Sepertinya, tidak ada lagi kata-kata yang terlintas dalam benaknya.
"Aku tahu siapa yang menculik ayahku, Kakang," kata Rukmini lagi.
"Siapa?" tanya Rangga cepat.
"Ki Jarokamin," sahut Rukmini langsung.
"Kau jangan menuduh sembarangan, Rukmini...," tangkis Rangga memancing.
"Aku yakin dia yang melakukannya, Kakang. Aku menemukan ini di kamar ayahku," kata Rukmini sambil memperlihatkan sebuah sabuk dari kulit.
Pada mata sabuk itu sebuah ukiran bintang yang terbuat dari logam berwarna kuning keemasan. Rangga mengambil sabuk kulit itu, dan mengamatinya dengan sinar mata begitu tajam. Sementara Rukmini memperhatikan raut wajah Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku kenali sabuk itu, Kakang. Semua murid Ki Jarokamin memakainya," jelas Rukmini.
"Hm...," Rangga menggumam kecil. Pendekar Rajawali Sakti lalu berpaling, memandang empat tubuh yang tergeletak sudah tidak bernyawa lagi. Kemudian, dihampirinya salah seorang. Pendekar Rajawali Sakti menyingkap baju hitam di bagian pinggang mayat laki-laki berbaju hitam itu. Saat itu kelopak matanya jadi menyipit. Memang, orang ini mengenakan sabuk yang sama dengan sabuk dalam genggaman tangannya.
"Rukmini, kau tahu letak padepokan Ki Jarokamin?" tanya Rangga seraya bangkit berdiri.
"Tahu," sahut Rukmini mengangguk.
"Antarkan aku ke sana. Kita bebaskan dulu ayahmu," ajak Rangga.
"Murid Ki Jarokamin banyak, Kakang. Berbahaya kalau datang ke sana sendiri," kata Rukmini memperingatkan.
"Antarkan saja aku ke sana, Rukmini," pinta Rangga.
"Baiklah," sahut Rukmini sambil sedikit mengangkat pundaknya. Rangga berpaling sedikit. Kemudian....
"Suiiit...!"
"Siapa yang kau panggil, Kakang?" tanya Rukmini mendengar siulan Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi belum juga Rangga menjawab, sudah terdengar ringkikan kuda. Dan tidak lama kemudian, muncul seekor kuda hitam yang berlari kencang. Rukmini jadi ternganga melihat kuda hitam tunggangan pemuda itu bisa datang hanya dipanggil lewat siulan saja. Dewa Bayu meringkik keras, setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu kedua kaki depannya diangkat tinggi-tinggi, dan dihentakkan keras ke tanah. Kuda itu mendengus-dengus sambil mengangguk-anggukkan kepala. Rangga menghampiri kuda hitam itu, dan mengambil tali kekangnya yang terbuat dari perak. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik dengan gerakan ringan sekali. Sementara, Rukmini masih diam berdiri memandangi.
"Ayo, Rukmini. Naik ke sini," ajak Rangga.
"Tapi...," Rukmini kelihatan ragu-ragu. Belum pernah Rukmini menunggangi satu kuda bersama seorang laki-laki. Dan keraguan gadis itu bisa dirasakan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tanpa menghiraukan keraguan gadis ini, Rangga langsung saja menggebah kudanya keras. Dan begitu, kuda hitam itu melompat. Lalu, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menyambar pinggang Rukmini.
"Auh...?!" Rukmini jadi terpekik kaget, begitu tubuhnya terasa melayang tersambar tangan kuat Pendekar Rajawali Sakti.
Dan begitu tersadar, dia sudah terguncang-guncang di atas punggung Dewa Bayu di depan Pendekar Rajawali Sakti. Kembali gadis itu terpekik saat kuda itu berlari bagaikan angin. Begitu cepatnya, sampai dia tidak sanggup lagi membuka matanya. Tapi tidak berapa lama, Rukmini merasakan kuda ini berhenti berlari. Perlahan matanya dibuka. Dan matanya jadi terbeliak, begitu melihat Rangga sudah berdiri di depan kuda ini. Sedangkan di depan Pendekar Rajawali Sakti berdiri berjajar lebih dari lima puluh orang berpakaian serba hitam yang semuanya mengenakan topeng kain hitam. Hanya kedua mata mereka saja yang terlihat.
"Hup!"
Rukmini cepat melompat turun dari punggung Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti ini, dan langsung melangkah menghampiri Rangga.
"Kembali naik ke kuda, Rukmini," perintah Rangga tanpa berpaling sedikit pun pada gadis itu.
"Tapi, Kakang...," Rukmini hendak bersikeras.
Tapi Rangga sudah mendorong gadis itu ke belakang. Rukmini tampak bingung. Sebentar ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti, sebentar kemudian dipandanginya orang-orang berpakaian serba hitam yang sudah menghunus golok.
"Cepat naik, Rukmini...!" perintah Rangga agak keras suaranya.
Rukmini bergegas menghampiri kuda hitam tunggangan pemuda berbaju rompi putih itu lagi. Sebentar hatinya ragu-ragu, kemudian naik juga ke punggung kuda hitam ini.
"Bawa dia pergi, Dewa Bayu," pinta Rangga tanpa berpaling lagi.
"Hieeekh...!"
"Hey...!" Rukmini jadi terpekik begitu tiba-tiba kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik keras, dan langsung melesat pergi kembali ke arah semula. Begitu cepat lesatan kuda ini, hingga Rukmini terpaksa harus merebahkan tubuhnya sambil menggenggam tali kekang erat-erat. Bahkan matanya tidak bisa lagi dibuka. Sebentar saja, kuda itu sudah lenyap meninggalkan debu yang mengepul di angkasa.
Sementara Rangga sudah melangkah beberapa tindak ke depan, menghampiri orang-orang berpakaian serba hitam yang berjumlah lebih dari lima puluh orang itu. Mereka berdiri berjajar, menghadang di tengah jalan yang menuju padepokan Ki Jarokamin. Dan Rangga merayapi mereka den sorot mata yang begitu tajam menusuk.
"Hm...." Sambil menggumam perlahan, Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan kepala ke atas. Bibirnya langsung menyunggingkan senyum, begitu melihat seekor burung rajawali berbulu putih keperakan melayang-layang di atas awan, tepat di atas kepalanya. Begitu tinggi, hingga yang terlihat hanya sebuah titik putih perak agak kehitaman. Rangga tahu, Rajawali Putih masih tetap mengawasinya dari angkasa.
"Bawa aku dari sini, Rajawali. Aku tidak ingin membuang tenaga percuma hanya untuk menghadapi mereka," pinta Rangga perlahan.
Dan kata-kata yang diucapkan melalui pengerahan tenaga batin yang sangat pelan itu, bisa terdengar Rajawali Putih yang berada di angkasa. Seketika itu juga, Rajawali Putih meluruk deras bagai kilat ke arah pemuda ini.
"Khraaagkh...!"
Teriakan Rajawali Putih yang begitu keras dan menggelegar membelah angkasa, membuat orang-orang berpakaian serba hitam itu. Jadi terkejut setengah mati. Bersamaan mereka mendongakkan kepala ke atas. Dan saat itu, Rajawali Putih sudah berada dekat di atas kepala mereka, hingga bentuknya yang sangat besar bagai bukit ini terlihat begitu jelas!
"Khraaagkh...!"
Wusss!
Begitu cepat Rajawali Putih menyambar Rangga yang sudah menunggu, dan langsung kembali melesat tinggi ke angkasa. Begitu cepat lesatannya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tidak terlihat lagi, hilang tertelan awan yang cukup tebal mengambang di angkasa. Sementara, orang-orang berpakaian serba hitam itu jadi kelabakan, begitu pemuda yang dihadangnya sudah lenyap disambar seekor burung rajawali raksasa yang tiba-tiba saja muncul dari angkasa.
"Cepat pergi! Laporkan kepada Ki Jarokamin...!" tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak keras.
Dan seketika itu juga, mereka berlarian kembali ke padepokannya. Sementara itu di angkasa, Rangga yang berada dalam cengkeraman jari-jari kaki Rajawali Putih jadi tersenyum melihat murid-murid Ki Jarokamin berlarian saling susul kembali ke padepokannya.
"Turunkan aku, Rajawali. Tidak enak seperti ini...!" pinta Rangga.
"Khraaakh...!"
Rajawali Putih cepat menukik turun mengikuti permintaan Rangga. Sebentar saja, burung rajawali raksasa itu sudah mendarat manis sekali di tanah. Rangga yang sudah terlepas dari cengkeraman burung itu, cepat melompat naik ke punggungnya. Dan tanpa diperintah lagi, Rajawali Putih kembali melesat, melambung tinggi ke angkasa.
"Khraaagkh...!"
********************
Sementara itu, Ki Jarokamin tengah memandangi Ki Baruka yang seluruh tubuhnya terikat pada sebatang tonggak kayu di tengah-tengah halaman yang luas dan dikelilingi pagar kayu yang sangat tinggi dan tebal. Tampak darah sedikit mengalir dari sudut bibir Kepala Desa Bahar Arum ini.
"Katakan, Baruka. Mau apa anak muda itu datang menemuimu...?! Kau memanggilnya...?" terasa begitu dingin suara Ki Jarokamin.
"Dia datang bersama anakku. Dia..., dia kekasih anakku," sahut Ki Baruka agak tersendat suaranya.
"Bohong...!"
Plak!
"Ugkh...!"
Ki Baruka hanya mengeluh sedikit saja ketika satu tamparan keras mendarat di wajahnya. Dan seketika, darah mengalir deras keluar dari mulutnya. Perlahan Ki Baruka mengangkat kepalanya hingga tegak. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus ke bola mata Ki Jarokamin yang berada dekat di depannya.
"Aku tahu siapa dia, Baruka. Kau tidak perlu lagi berdusta. Kau ingin coba-coba mengkhianatiku, hah...?!"
Ki Baruka hanya diam saja. Saat itu, terdengar ribut-ribut dari luar pagar yang menyerupai benteng pertahanan ini. Ki Jarokamin cepat berbalik, dan langsung menatap ke pintu gerbang yang dibuka dua orang muridnya. Dari luar, bergerombol masuk murid-muridnya yang tadi menghadang Rangga di tengah jalan.
"Heh...?! Kenapa kalian ke sini? Bukankah kalian harus menghadang anak muda itu...?" bentak Ki Jarokamin lantang.
"Maaf, Ki. Dia bukan manusia, tapi siluman...," sahut salah seorang.
"Apa katamu, heh...?!" Kedua bola mata Ki Jarokamin jadi mendelik mendengar jawaban salah seorang muridnya.
"Kami semua sudah menghadangnya, Ki. Tapi tiba-tiba saja, dari atas datang burung raksasa yang langsung menyambarnya. Burung itu cepat sekali terbang. Dan tahu-tahu, sudah menghilang," jelas orang berpakaian serba hitam itu lagi.
"Sudah! Kembali kalian ke tempat masing-masing...!" bentak Ki Jarokamin jadi gusar.
Semua muridnya yang berpakaian serba hitam itu bergegas meninggalkan orang tua ini. Ki Jarokamin kembali memutar tubuhnya. Dipandanginya Ki Baruka dengan sinar mata begitu tajam menusuk, seakan-akan hendak menghancurkan kepala desa ini.
"Kau pikir aku akan takluk oleh bocah ingusan itu, Baruka.... Kau lihat saja. Setelah batok kepala bocah itu kuhancurkan, barulah padepokan Ki Patungga akan kuhancurkan. Kemudian, menyusul desamu akan kubakar habis! Kau benar-benar sudah membuatku kecewa, Baruka. Jangan salahkan bila aku menghancurkan desamu...!" desis Ki Jarokamin dingin menggetarkan.
"Iblis...! Kau benar-benar sudah jadi iblis, Kakang Jarokamin!" desis Ki Baruka geram.
"Ha ha ha...! Terserah apa katamu, Baruka. Lihat saja bocah andalanmu itu. Dia akan mati di sini. Dan kau jadi umpannya, Baruka. Ha ha ha...!" Sambil tertawa terbahak-bahak, Ki Jarokamin meninggalkan Kepala Desa Bahar Arum yang masih terikat pada tonggak kayu di tengah-tengah halaman padepokannya yang luas ini. Dan dia menuju ke dalam bangunan utama padepokannya.
Sedangkan Ki Baruka hanya bisa menyumpah dan memaki geram, melihat tingkah Ki Jarokamin yang sudah benar-benar berubah ini. Tapi kegeraman Ki Baruka jadi lenyap, setelah menyadari kalau perubahan yang terjadi pada Ki Jarokamin akibat pengaruh benda aneh yang didapatkan dari Bukit Batu. Dia tidak tahu, benda apa itu. Tapi pengaruhnya sungguh luar biasa, hingga bisa merubah sikap Ki Jarokamin, hingga hatinya tertutup hawa iblis. Dan kegusaran Ki Baruka berganti menjadi rasa iba.
"Kalau saja aku mampu...," desah Ki Baruka. Tapi desahan kepala desa itu terputus, ketika tiba-tiba terlintas sebuah bayangan yang menutupinya dari sengatan matahari. Ki Baruka cepat menengadahkan kepala. Dan....
"Hah...?!" Kedua bola mata Ki Baruka jadi terbeliak lebar begitu melihat seekor burung rajawali raksasa melayang-layang di atas kepalanya. Terlihat dekat sekali, hingga bentuk burung rajawali itu terlihat jelas. Tapi yang membuat mulutnya ternganga adalah, Rangga yang berada di punggung burung itu!
"Khraaagkh!...!"
Dan memang, burung yang dilihat Ki Baruka adalah Rajawali Putih, tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak di punggungnya duduk seorang pemuda berompi putih. Dan semua yang berada di sekitar padepokan itu tentu saja dapat terlihat jelas pemuda berjuluk Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Kau selamatkan Ki Baruka, Rajawali. Aku akan turun saat kau mengambilnya nanti. Bawa dia ke padepokan Ki Patungga," ujar Rangga memberi perintah.
"Khraaagkh...!"
"Sekarang Rajawali...!"
"Khraaagkh...!"
Sementara itu, Ki Baruka terus memandang ke atas dengan rasa keterkejutan dan heran yang tiada tara. Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah meluruk deras ke arahnya. Dan bagaikan kilat, burung itu menyambar tonggak kayu yang mengikat Ki Baruka. Hanya sekali sentak saja, tonggak kayu yang tertanam begitu kuat di tanah itu tercabut. Dan Ki Baruka jadi terpekik kaget, begitu merasakan tubuhnya melayang ke angkasa.
Kemunculan burung rajawali raksasa yang menyambar Ki Baruka itu membuat murid-murid Ki Jarokamin yang menjaga jadi tersentak kaget setengah mati. Tapi belum juga sempat melakukan sesuatu, burung rajawali raksasa itu sudah melesat tinggi ke angkasa. Sebentar saja, Rajawali Putih sudah hampir lenyap ditelan awan yang menggumpal cukup tebal menutupi angkasa.
Semua murid Ki Jarokamin yang saat itu berada di halaman jadi ribut. Dan keributan ini membuat Ki Jarokamin keluar dari rumah kediamannya. Orang tua itu kontan terbeliak melihat tonggak kayu yang mengikat Ki Baruka sudah tidak ada lagi di tempatnya. Dan begitu kepalanya mendongak ke atas, terlihat seekor burung rajawali raksasa melayang membawa pergi dengan cakarnya Ki Baruka yang masih terikat pada tonggak kayu.
"Khraaagkh...!"
"Keparat..! Kejar burung setan itu...!" teriak Ki Jarokamin jadi gusar setengah mati.
Murid-murid Ki Jarokamin yang berada di halaman segera mengambil kuda masing-masing. Dan sebentar saja, lebih dari lima puluh orang memacu cepat kudanya, keluar dari dalam padepokan ini. Mereka berusaha mengejar Rajawali Putih dengan mengikuti arah kepergiannya yang membawa Ki Baruka. Sementara Ki Jarokamin menyumpah serapah memandangi burung rajawali raksasa yang semakin terlihat mengecil di angkasa.
"Siapkan kudaku. Cepaaat...!" perintah Ki Jarokamin, lantang menggelegar.
Sekitar dua puluh orang tampak masih berada di sekitar Ki Jarokamin. Sementara salah seorang bergegas mengambil seekor kuda yang tegap berkulit coklat belang putih. Ki Jarokamin langsung saja melompat naik ke punggung kuda itu.
"Ambil kuda kalian masing-masing. Ikut aku...!" perintah Ki Jarokamin lantang menggelegar suaranya.
Maka sekitar tiga puluh anak muda itu bergegas mengambil kuda masing-masing yang berada di samping rumah besar padepokan itu. Dan tidak lama kemudian, mereka memacu cepat kudanya meninggalkan padepokan ini. Dan hanya tinggal sekitar sepuluh orang saja yang tetap tinggal. Mereka semua berada di halaman depan padepokan ini, memandangi mereka yang pergi meninggalkannya.
Sementara itu, tanpa ada seorang pun yang tahu, Rangga sudah berada di atas atap rumah berukuran cukup besar ini. Pendekar Rajawali Sakti menunggu beberapa saat, sampai rombongan Ki Jarokamin tidak terlihat lagi. Dan bibirnya tersenyum melihat tempat kediaman Ki Jarokamin hanya dijaga tidak kurang dari sepuluh orang murid saja.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Hey! Siapa itu...?!"
"Hah...?!"
TUJUH
Sepuluh orang murid Ki Jarokamin yang bertugas menjaga padepokan ini jadi terkejut setengah mati begitu tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti muncul dari atas atap. Wajah mereka seketika pucat pasi, setelah menyadari siapa yang muncul ini. Dan tentu saja mereka sudah tahu betul kehebatan pemuda berbaju rompi putih yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Heh! Mau apa kau ke sini...?" bentak salah seorang sambil mencabut goloknya. Yang lainnya segera mengikuti, mencabut golok masing-masing. Dan mereka bergerak mengepung Pendekar Rajawali Sakti dari segala arah.
Sedangkan pemuda itu hanya tersenyum saja memandangi sepuluh orang yang semuanya berbaju hitam dengan golok terhunus. "Sebaiknya kalian pergi saja. Aku tidak ada urusan dengan kalian semua," dingin sekali nada suara Rangga.
Tapi jawaban yang didapatkan Pendekar Rajawali Sakti sangat mengejutkan. Tiba-tiba saja, salah seorang berteriak keras menggelegar memberi perintah.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Secara bersamaan, mereka melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak keras menggetarkan jantung. Tapi terlihat jelas sekali kalau pemuda berbaju rompi putih itu tetap tenang. Bahkan senyumnya tersungging makin lebar. Dan begitu salah seorang yang berada di depannya membabatkan golok ke arah kepala, dengan gerakan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mengegos sehingga, golok itu hanya lewat tanpa mengenai sasaran sedikit pun juga. Dan pada saat itu juga, dengan kecepatan kilat, Rangga menghentakkan tangan kirinya. Langsung dilepaskannya sodokan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat sodokan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti, sehingga orang berpakaian serba hitam ini tidak sempat lagi menghindar. Dan....
"Hegkh!"
Anak muda murid Ki Jarokamin itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh terbungkuk, ketika sodokan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di perutnya. Sementara Rangga sudah harus membungkuk, saat merasakan adanya serangan golok dari belakang. Cepat sekali kaki kanannya menghentak ke belakang, tanpa memutar tubuh lagi. Maka satu orang yang berada di belakangnya kontan menjerit keras, begitu dadanya terkena tendangan ke belakang Pendekar Rajawali Sakti.
Namun serangan yang datang tidak berhenti. Dan Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus berjumpalitan sambil sesekali melontarkan pukulan dan tendangan keras, walaupun tidak disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Tapi itu pun sudah cukup membuat murid-murid Ki Jarokamin jungkir balik menghadapinya. Meskipun serangan yang datang dari segala arah silih berganti tanpa henti, tapi Rangga sama sekali tidak kelihatan kewalahan.
Bahkan setiap pukulan maupun tendangan yang dilepaskannya, tidak pernah meleset dari sasaran. Tapi serangan murid-murid Ki Jarokamin tidak mengendor sedikit pun. Bahkan semakin terasa ganas saja. Dan ini membuat Rangga jadi sedikit kerepotan juga. Apalagi serangan-serangan mereka semakin bertambah dahsyat dan berbahaya.
"Hhh! Terlalu membuang waktu melayani mereka. Aku harus secepatnya membereskan mereka. Mudah-mudahan saja pusaka Ki Patungga ditinggal di rumah ini," Rangga berbicara sendiri dalam hati.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera saja meningkatkan serangannya. Pukulan serta tendangan yang dilontarkan begitu cepat dan beruntun, hingga membuat murid-murid Ki Jarokamin tidak dapat lagi menghindari. Saat itu juga, jeritan serta pekikan tertahan terdengar saling sambut, yang kemudian disusul berjatuhannya murid-murid Ki Jarokamin.
Satu persatu Rangga membuat mereka tidak dapat bangun lagi. Hingga dalam beberapa gebrakan saja, sudah tidak ada seorang pun yang kelihatan bisa bangkit berdiri lagi. Pendekar Rajawali Sakti kini berdiri tegak memandangi tubuh-tubuh yang bergelimpangan di sekelilingnya beberapa saat. Kemudian....
"Hup...!"
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, Pendekar Rajawali Sakti melesat masuk ke dalam rumah Ki Jarokamin yang sangat besar dan dijadikan sebuah padepokan ini. Ternyata rumah yang sangat besar ini memiliki kamar yang jumlahnya cukup banyak. Rangga terpaksa harus memasuki kamar-kamar itu satu persatu. Tapi sampai semua sudut bagian rumah ini diperiksa, tidak juga ditemukan benda yang dicarinya. Pendekar Rajawali Sakti kembali keluar melalui pintu belakang.
"Hmmm...." Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut saat melihat sebuah bangunan kecil dari bilik bambu berdiri di halaman belakang rumah ini. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati. Sebentar dia berdiri diam di depan pintu yang tertutup rapat, kemudian perlahan-lahan tangannya membuka pintu bilik itu. Tidak ada tanda-tanda terdapat jebakan, sampai pintu bilik itu terbuka lebar. Rangga mulai melangkah memasuki bilik yang ternyata tidak begitu besar ukurannya.
"Hm..., bilik semadi," gumam Rangga perlahan.
Beberapa saat Rangga berdiri saja di ambang pintu bilik semadi ini. Matanya beredar berkeliling, merayapi setiap sudut ruangan yang tidak begitu besar ini. Dan pandangan matanya kemudian tertumbuk pada sebuah kotak kayu berukir yang kelihatannya sudah lapuk dan berwarna hitam. Malah, sama sekali tidak menarik untuk dilihat. Perlahan Rangga menghampiri kotak kayu yang tergeletak di atas altar batu yang terletak di tengah-tengah ruangan bilik semadi ini. Sejenak diamatinya altar batu itu, kemudian tangannya terjulur, untuk mengambil kotak kayu yang kelihatannya sudah lapuk. Kemudian Rangga membuka tutup kotak itu perlahan-lahan.
"Ohhh...." Pendekar Rajawali Sakti jadi mendesah panjang, begitu melihat isi kotak ini ternyata sebuah batu yang mirip batu karang biasa. Tapi dari lubang-lubang batu itu memancar cahaya yang cukup menyilaukan mata. Cepat-cepat Rangga menutup lagi kotak kayu itu, lalu bergegas keluar dari bilik semadi ini. Tapi baru saja Rangga sampai di luar, mendadak saja....
"Tinggalkan benda itu di sini, Anak Muda...?"
"Heh...?!"
Rangga benar-benar terkejut setengah mati, ketika tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dari arah samping kanan. Cepat Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya ke kanan. Dan saat itu, terlihat empat orang sudah berada tidak jauh di depannya. Salah seorang adalah wanita yang usianya mungkin sudah setengah baya, tapi masih kelihatan cantik. Bentuk tubuhnya juga seperti seorang gadis berusia sembilan belas tahun. Rangga langsung ingat, siapa keempat orang ini. Merekalah yang dikejar orang-orang berpakaian serba hitam yang kini diketahuinya adalah murid-murid Ki Jarokamin. Keempat orang inilah yang di-lihatnya di hutan bakau dekat pesisir pantai selatan.
"Dengar, Anak Muda. Benda itu kepunyaan junjungan kami. Jadi, kau tidak berhak memilikinya. Sebaiknya, serahkan saja benda itu sebelum kami menjatuhkan tangan kasar padamu," ujar laki-laki yang memegang tombak pendek, dengan bagian ujungnya berbentuk bintang berwarna keperakan.
Rangga tahu, laki-laki berusia lebih dari separo baya itu bernama Nambu. Sedangkan yang lainnya bernama Jaraba dan Balika. Sementara satu-satunya wanita di antara mereka bernama Randini. Beberapa saat Rangga terdiam memandangi mereka satu persatu, seakan sedang mengukur sampai tingkat kepandaian yang dimiliki mereka.
"Heh, Bocah...! Apa kau sudah tuli...? Serahkan benda itu, cepat..!" bentak Balika kasar.
"Maaf, aku tahu siapa pemilik benda ini. Dan aku mengambilnya dari tempat ini, untuk mengembalikannya pada yang berhak," sahut Rangga kalem, namun terdengar tegas nada suaranya.
"Heh! Apa kau bilang...?! Siapa pemilik benda itu?" sentak Nambu.
"Sahabatku," sahut Rangga tegas. "Namanya Ki Patungga. Ketua padepokan di Bukit Batu."
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja keempat orang itu tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti barusan. Dan ini tentu saja membuat pemuda berbaju rompi putih itu jadi tertegun tidak mengerti. Hatinya jadi bertanya-tanya sendiri, apakah jawabannya tadi salah...?
"Anak Muda, siapa namamu...?" tanya Randini tiba-tiba, setelah berhenti gelak tawanya.
"Rangga," sahut Rangga menyebutkan namanya.
"Kau yakin kalau benda itu milik Ki Patungga?" tanya Randini lagi, seakan ingin memastikan.
"Kenapa kau tanyakan itu, Nisanak?" Rangga malah balik bertanya.
"Anak Muda, ketahuilah! Kami berempat adalah pengawal pribadi Gusti Putri Nyai Srigading. Benda yang ada pada dirimu itu sebenarnya milik junjungan kami. Dan Ki Patungga hanya dititipkan untuk sementara saja. Tapi, dia sudah melalaikannya. Akibatnya benda itu jatuh ke tangan orang yang tidak berhak dan berjiwa iblis. Kami semua tahu, siapa Ki Patungga itu. Gusti Putri Nyai Srigading memilihnya untuk menyimpan benda itu, karena melihat Ki Patungga adalah orang yang jujur dan berhati putih. Tapi ternyata dia sudah membuat junjungan kami kecewa. Maka, Gusti Putri memerintahkan kami untuk mengambil kembali benda itu. Jadi, tidak ada gunanya kau terus mempertahankannya, Anak Muda. Karena, benda itu memang bukan milikmu atau Ki Patungga. Tapi, junjungan kami...," jelas Randini panjang lebar.
"Bagaimana aku bisa mempercayai kalian...?" tanya Rangga seperti untuk diri sendiri.
Pertanyaan Rangga itu membuat Nambu dan yang lain jadi saling berpandangan. Seakan, mereka baru sadar kalau antara mereka dan pemuda berbaju rompi putih ini belum ada yang saling mengenal. Sudah barang tentu tidak ada rasa saling percaya. Mereka sadar, Rangga tidak akan mungkin menyerahkan benda pusaka itu begitu saja.
"Baiklah, Anak Muda. Aku tahu kedudukanmu saat ini. Satu-satunya cara, kita semua menemui Ki Patungga," kata Nambu.
"Itu lebih baik, daripada saling berburuk sangka," sambut Rangga langsung setuju.
"Sebaiknya kita pergi saja sekarang, Kakang. Sebelum Ki Jarokamin dan murid-muridnya datang," selak Balika.
"Ya, ayo...," sambut Nambu.
"Kau punya kuda, Anak Muda?" tanya Randini.
"Ada di luar," sahut Rangga.
"Bagus. Kita akan bisa cepat sampai ke sana," kata Randini lagi.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas keluar meninggalkan padepokan ini. Dan di luar, Rangga bersiul nyaring. Tidak berapa lama kemudian, terdengar ringkikan kuda dari kejauhan. Lalu dalam waktu singkat, muncul seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap. Kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya, begitu tiba di depan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu, Nambu dan yang lainnya sudah berada di punggung kuda masing-masing.
"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat naik ke punggung Dewa Bayu tunggangannya ini. Ditepuk-tepuknya leher kuda hitam itu dengan lembut.
"Maaf, aku harus menjemput temanku dulu," kata Rangga sambil berpaling menatap empat orang ini.
"Berapa orang temanmu?" tanya Nambu.
"Hanya seorang gadis. Putri Kepala Desa Bahar Arum," sahut Rangga.
Tanpa meminta persetujuan lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung cepat menggebah kudanya. Dan empat orang yang mengaku pengawal pribadi Putri Nyai Srigading ini bergegas menggebah kudanya, mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.
"Bawa aku ke tempat Rukmini kau tinggalkan, Dewa Bayu!" pinta Rangga.
"Hieeekh...!"
"Yeaaah...!"
********************
Sementara itu, di padepokan Ki Patungga terjadi kegemparan oleh munculnya seekor burung rajawali raksasa yang membawa seorang laki-laki terikat pada sebatang tonggak kayu berukuran cukup besar. Ki Patungga dan Pandan Wangi yang sedang berbincang-bincang di dalam rumah utama padepokan, bergegas keluar begitu mendengar ribut-ribut dari mulut murid padepokan ini. Tapi saat mereka sudah mencapai pintu, burung rajawali raksasa itu kembali melesat tinggi ke angkasa cepat bagai kilat, sambil memperdengarkan suara serak dan keras menggelegar bagai guntur.
"Khraaagkh...!"
"Apa itu...?!" sentak Ki Patungga terkejut.
Sementara Pandan Wangi langsung tersenyum, begitu kepalanya terdongak ke atas. Tampak di angkasa seekor burung rajawali melayang-layang di atas awan. Begitu tinggi, hingga bentuknya hampir tidak terlihat.
"Ki Baruka...," desis Ki Patungga begitu pandangannya menangkap seseorang yang tergeletak di tengah halaman padepokan dengan tubuh terikat tonggak kayu.
Bergegas dihampirinya Kepala Desa Bahar Arum itu. Ki Patungga membuka tambang yang mengikat tubuh Ki Baruka ke tonggak kayu itu. Walaupun kelihatannya Ki Baruka sudah mati, tapi dari gerakan dadanya sudah menandakan kalau masih hidup. Ki Patungga memerintahkan murid-muridnya untuk membawa Ki Baruka ke dalam.
Sementara, Pandan Wangi hanya diam saja memperhatikan. Sesekali kepalanya mendongak ke atas. Saat itu, Rajawali Putih masih terlihat melayang di angkasa. Dan pada saat yang bersamaan, Ki Patungga juga mendongakkan kepala ke atas. Dan matanya masih sempat melihat Rajawali Putih sebelum menghilang tertelan awan.
"Burung itu yang membawa Ki Baruka ke sini...?" nada suara Ki Patungga seperti bertanya pada diri sendiri.
Tapi Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Dia tahu, itu Rajawali Putih tunggangan Rangga. Tapi dalam kepalanya, gadis itu menduga kalau telah terjadi sesuatu yang dialami Pendekar Rajawali Sakti, sehingga sampai memanggil Rajawali Putih untuk membantunya. Pasti sesuatu yang sangat berbahaya bagi pendekar dari Karang Setra itu. Maka seketika itu juga terselip rasa kekhawatiran di hati Pandan Wangi.
"Kau mau ke mana, Pandan?" tanya Ki Patungga, saat melihat Pandan Wangi mau pergi.
"Menyusul Kakang Rangga," sahut Pandan Wangi. Tapi belum juga gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu melangkah pergi, tiba-tiba saja....
"Ada yang datang...!" Seorang murid Ki Patungga yang berada di atas pagar padepokan ini tiba-tiba saja berteriak lantang memberitahu.
Ki Patungga bergegas menghampiri tangga yang ada di tepi pagar kayu tinggi itu. Cepat dinaikinya anak-anak tangga. Sementara, Pandan Wangi sudah melesat ringan sekali, dan lebih dulu sampai daripada Ki Patungga. Tampak di luar benteng padepokan ini sudah mengepung puluhan orang berpakaian serba hitam yang sudah menghunus golok. Bahkan sekitar tiga puluh orang sudah siap dengan anak panah terhunus. Mereka semua menunggang kuda, mengepung padepokan Ki Patungga ini.
"Siapa mereka, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Murid-murid Ki Jarokamin," sahut Ki Patungga.
"Kenapa mereka mengepung padepokanmu?" tanya Pandan Wangi lagi.
Belum juga Ki Patungga bisa menjawab, sudah terdengar teriakan dari luar yang begitu keras. Sehingga, terdengar sangat jelas dari atas pagar benteng padepokan ini.
"Ki Patungga! Kami datang untuk meminta Ki Baruka. Cepat keluarkan dia dari tempatmu...!"
"Heh...?! Bagaimana mereka tahu kalau Ki Baruka ada di sini...?" Ki Patungga jadi tersentak kaget.
"Mungkin mereka sudah mengikuti sejak tadi, Ki. Atau barangkali juga memang mereka sedang mengejarnya," Pandan Wangi menyahuti.
"Mengejar...? Kenapa?" Ki Patungga seperti bertanya pada diri sendiri.
"Sebaiknya tanyakan saja pada Ki Baruka, Ki," sahut Pandan Wangi menyarankan.
"Biar aku yang mengurus mereka." Sebentar Ki Patungga terdiam.
"Baiklah. Aku segera kembali. Tapi, usahakan jangan sampai terjadi pertarungan. Kau tentu tahu keadaan di sini, Pandan...?"
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Sementara Ki Patungga sudah mulai turun dari atas pagar benteng padepokannya. Sedangkan orang-orang berpakaian serba hitam yang memang murid-murid Ki Jarokamin sudah tidak sabar lagi kelihatannya. Pandan Wangi berdiri tegak di ujung pagar gelondongan kayu bagian atas ini. Sementara, murid-murid Ki Patungga sudah siap dengan anak panah terpasang di busur. Mereka berjajar di balik pagar bagian atas ini.
Dan di bawah, sudah terkumpul seluruh murid padepokan ini. Mereka juga sudah siap dengan senjata masing-masing. Melihat ada seorang gadis cantik berdiri di atas pagar, seketika terdengar teriakan-teriakan bernada usil yang bisa membuat telinga jadi panas. Tapi Pandan Wangi tidak mempedulikan, dan tetap berdiri tegak memandangi orang-orang berpakaian serba hitam itu dengan sinar mata tajam. Perlahan tangannya meraih sekantung anak panah yang berada tidak jauh di sebelahnya. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan tenaga dalamnya yang tinggi, Pandan Wangi cepat sekali melemparkan anak-anak panah itu ke bawah. Begitu cepat lemparannya, hingga datang bagaikan hujan menyirami orang berpakaian serba hitam itu. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang dan melengking saling sambut. Kemudian, terlihat beberapa orang berjatuhan tertembus anak panah yang dilemparkan si Kipas Maut itu.
Seketika itu juga, orang-orang berbaju hitam ini jadi kalang-kabut. Mereka jadi berhamburan, berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Tapi saat menyadari tidak ada lagi serangan yang datang, mereka kembali mengepung benteng padepokan ini.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar memberi perintah. Dan seketika itu juga, berhamburan anak-anak panah menghujani padepokan ini. Pandan Wangi yang berada di atas, segera mengeluarkan senjata kipas maut andalannya. Cepat sekali kipas gadis itu dikebutkan, menghalau setiap batang anak panah yang menghujani dirinya. Sementara murid-murid Ki Patungga juga mulai membalas menyerang dengan anak panah!
Pertempuran memang tidak dapat dihindari lagi. Ribuan anak panah langsung berhamburan saling menyambar. Dan jeritan-jeritan kematian pun terdengar saling sambut dari kedua belah pihak. Tampak sebagian orang-orang berpakaian serba hitam mencoba menghancurkan pintu benteng padepokan ini. Sedangkan murid-murid Ki Patungga yang berada di dalam, sudah siaga menghadapi pertarungan ini. Sementara itu, Ki Patungga yang sedang menemui Ki Baruka di dalam bangunan padepokannya segera berlari keluar, begitu mendengar pertarungan yang terjadi di padepokannya.
"Celaka.... Mereka bisa membantai habis murid-muridku...," desis Ki Patungga cemas.
DELAPAN
Sementara agak jauh dari padepokan Ki Patungga, Pendekar Rajawali Sakti dan empat orang yang menginginkan benda pusaka yang diperebutkan itu, terus memacu cepat kudanya menuju padepokan yang sedang digempur murid-murid Ki Jarokamin. Di atas punggung kuda Dewa Bayu bukan hanya Rangga saja, tapi duduk pula Rukmini, putri tunggal Ki Baruka yang menjadi Kepala Desa Bahar Arum.
"Hooop...!"
Tiba-tiba saja Rangga menghentikan lari kudanya. Maka Dewa Bayu kontan meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Sedangkan empat orang yang mengikuti dari belakang, segera menghentikan lari kudanya. Rangga langsung melompat turun, dan membiarkan Rukmini masih berada di punggung kuda hitam itu.
"Kenapa kau berhenti, Anak Muda?" tanya Nambu.
"Aku mendengar suara pertarungan di depan sana," sahut Rangga.
Nambu, Balika, Jaraba, dan Randini terdiam beberapa saat. Mereka langsung mendengar suara pertarungan yang tampaknya sangat sengit. Sesaat mereka saling berpandangan satu sama lain.
"Kalian terus saja ke sana. Aku yakin, padepokan Ki Patungga sedang diserang. Dan aku akan menghadang Ki Jarokamin di sini," kata Rangga.
"Kau sendirian?" selak Randini.
"Pergilah kalian. Benda itu ada pada Rukmini," kata Rangga meminta.
"Aku akan menemanimu di sini, Anak Muda," ujar Nambu. "Kalian semua terus saja. Bantu Ki Patungga menyelamatkan padepokannya."
"Baik, Kakang," sahut Randini.
Nambu langsung melompat turun dari punggung kudanya. Sementara Rukmini yang berada di punggung Dewa Bayu juga melompat turun.
"Kau ikut mereka, Rukmini," ujur Rangga meminta.
"Tapi, Kakang...."
"Jangan membantah, Rukmini."
"Aku mau, Kakang. Tapi, tidak dengan kudamu itu."
"Pakai saja kudaku," selak Nambu.
Rukmini tersenyum dan mengangguk, kemudian menghampiri kuda tunggangan Nambu. Dengan gerakan ringan sekali, gadis itu melompat naik ke punggung kuda ini.
"Ayo, cepat..!" ajak Randini.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Mereka segera menggebah cepat kudanya menuju padepokan Ki Patungga. Sementara Rangga dan Nambu tetap menunggu Ki Jarokamin dan sebagian muridnya yang juga sedang menuju padepokan itu.
"Paman Nambu! Murid-murid Ki Jarokamin sangat banyak. Kuharap, kau tidak terkejut bila aku meminta bantuan sahabatku," kata Rangga.
"Hm.... Kau punya sahabat lagi di sini, Rangga?"
"Ya, sahabat baikku."
"Terserah, apa yang kau lakukan. Aku percaya kau orang jujur, Rangga."
Rangga hanya tersenyum saja. Dan kepalanya segera mendongak ke atas. Tampak seekor burung rajawali berbulu putih melayang-layang tinggi di atas awan, sehingga kelihatan kecil sekali. Dan sesekali burung itu hilang ditelan tebalnya gumpalan awan.
"Mereka datang, Rangga," kata Nambu memberitahu.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja. Sejak tadi, Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mendengar suara kaki-kaki kuda yang dipacu dengan kecepatan tinggi menuju ke arah ini. Dan tidak berapa lama kemudian, terlihat kepulan debu membumbung tinggi ke angkasa. Hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat, semakin jelas terdengar. Dan tanah yang dipijak pun terasa agak bergetar seperti terjadi gempa.
Beberapa saat Rangga dan Nambu menunggu. Dan tidak lama kemudian, terlihat Ki Jarokamin bersama muridnya yang cukup banyak memacu cepat kudanya dari arah depan Pendekar Rajawali Sakti. Ki Jarokamin mengangkat tangan kirinya ke atas, begitu melihat dua orang menghadang jalannya. Langsung lari kudanya dihentikan. Demikian pula murid-muridnya yang berada di belakang.
"Hei! Minggir kalian...!" bentak Ki Jarokamin.
Tapi Rangga dan Nambu tetap saja diam. Bahkan Nambu sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa sebuah tombak pendek, dengan bagian ujungnya berbentuk bintang berwarna keperakan. Melihat orang yang berada di sebelah Rangga menghunus senjata, Ki Jarokamin jadi mendelik.
"Phuih! Kalian sengaja menghadangku di sini rupanya, heh...?!" dengus Ki Jarokamin seraya menyemburkan ludahnya.
Rangga dan Nambu tetap saja diam tidak bergeming sedikit pun.
"Singkirkan mereka...!" perintah Ki Jarokamin.
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Enam orang langsung berlompatan dari punggung kuda. Gerakan mereka begitu ringan dan indah. Setelah beberapa kali berputaran di udara, mereka langsung menjejakkan kaki tepat di depan Rangga dan Nambu. Tanpa bicara lagi, mereka langsung saja menyerang dengan golok!
"Hap!"
Belum juga Rangga bisa berbuat sesuatu, Nambu sudah melesat menyambut serangan enam orang murid Ki Jarokamin ini. Senjatanya yang berupa tombak pendek bermata bintang perak berkelebat cepat sekali. Begitu cepatnya, hingga sulit diikuti pandangan mata. Dan sebelum ada yang menyadari, enam orang yang berpakaian serba hitam itu sudah menjerit melengking, lalu ambruk ke tanah dengan tenggorokan terkoyak mengucurkan darah. Hanya beberapa saat mereka menggelepar seperti ayam disembelih, kemudian diam tidak bergerak. Mati! Nambu kembali melesat, dan tahu-tahu sudah berada di samping Pendekar Rajawali Sakti lagi.
"Keparat...! Kau harus bayar nyawa muridku! Hiyaaat...!"
Ki Jarokamin jadi berang setengah mati melihat enam orang muridnya tewas hanya sekali gebrak saja. Sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat dari punggung kudanya. Tubuhnya langsung meluruk deras ke arah Nambu. Dan seketika satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, dilepaskan bagai kilat.
"Hap!"
Nambu hanya mengegoskan tubuhnya sedikit ke kanan, lalu cepat mengebutkan senjatanya ke arah Ki Jarokamin. Cepat sekali kebutan senjata berujung bintang perak itu, hingga membuat Ki Jarokamin jadi tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting berputar ke belakang, menarik kembali serangannya. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tangan kanannya langsung mengibas ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk.
"Yeaaah...!"
Wusss...!
"Hup! Hiyaaa...!"
Nambu cepat-cepat melenting ke atas, begitu terlihat dua buah pisau kecil meluncur deras ke arahnya. Rangga yang berada di sebelah Nambu tadi, cepat menggeser kakinya ke samping. Tentu saja dia tidak ingin tubuhnya menjadi sasaran senjata rahasia orang tua itu.
"Seraaang...!" teriak Ki Jarokamin tiba-tiba.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Semua murid Ki Jarokamin langsung meluruk sambil berteriak-teriak keras mengangkat golok ke atas kepala, bagaikan batu-batu yang berguguran dari atas gunung. Sesaat Rangga dan Nambu saling melontarkan lirikan. Meskipun mereka memiliki kepandaian tinggi, tapi tidak mungkin bisa menghadapi keroyokan begini banyak.
"Suiiit..!" Tiba-tiba saja Rangga bersiul nyaring. Dan begitu siualannya menghilang dari pendengaran, saat itu juga...
"Kraaaghhh...!"
"Heh...?! Apa itu...?"
Nambu jadi terkesiap, begitu tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras dan serak menyakitkan telinga. Dan belum lagi bisa menyadari, tahu-tahu dari angkasa meluruk deras seekor burung rajawali raksasa. Bukan hanya Nambu saja yang terkesiap, tapi juga Ki Jarokamin! Dia jadi terlongong melihat seekor burung rajawali raksasa tiba-tiba saja muncul dari angkasa dan langsung meluruk! Sayapnya yang lebar sudah dikibaskan ke arah murid-murid Ki Jarokamin.
Bet!
Wukkk!
"Aaa...!"
Seketika itu juga terdengar jeritan-jeritan panjang dan melengking tinggi saling sambut, disusul berpelantingannya murid-murid Ki Jarokamin yang terkena kebutan sayap Rajawali Putih. Bukan hanya sayapnya saja yang mengebut menghajar orang-orang ini, tapi cakar dan paruhnya juga bergerak cepat. Akibatnya, murid-murid Ki Jarokamin jadi kelabakan dibuatnya. Mereka berhamburan, berusaha menyelamatkan diri dari amukan burung rajawali raksasa ini.
Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tidak terhitung lagi mayat-mayat yang bergelimpangan berlumur darah. Sementara Nambu dan Ki Jarokamin jadi terpana menyaksikan amukan burung rajawali raksasa itu. Terlebih lagi, Ki Jarokamin. Dia seperti lupa kalau yang menjadi sasaran amukan burung rajawali raksasa itu adalah murid-muridnya sendiri. Sedangkan Rangga hanya memperhatikan saja dengan sorot mata tenang.
"Cukup, Rajawali...!"
"Khraaagkh...!"
Wusss...!
Rajawali Putih langsung melesat tinggi ke angkasa, begitu Rangga tiba-tiba berteriak memintanya berhenti menyerang murid-murid Ki Jarokamin. Begitu cepat burung rajawali raksasa itu terbang, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tidak terlihat lagi ditelan gumpalan awan.
"Keparat...!" desis Ki Jarokamin begitu tersadar.
Laki-laki tua itu memandangi murid-muridnya yang bergelimpangan tidak bernyawa lagi, dengan luka-luka begitu mengerikan di tubuhnya. Angin yang berhembus langsung menyebarkan bau anyir darah dari tubuh-tubuh bergelimpangan berlumuran darah ini. Dan Ki Jarokamin semakin geram melihat muridnya yang masih hidup tinggal sekitar sepuluh orang lagi. Dan mereka juga tampaknya sudah tidak ada semangat lagi untuk bertempur.
"Kau.... Kau akan rasakan pembalasanku, Bocah...!" geram Ki Jarokamin dengan jari telunjuk menuding ke arah Rangga. Kedua bola mata Ki Jarokamin memerah berapi-api penuh kemarahan.
Sementara, Nambu hanya diam saja seperti tengah bermimpi, menyaksikan seekor burung rajawali raksasa muncul dan mengamuk menghajar murid-murid Ki Jarokamin. Sedangkan Rangga yang dituding Ki Jarokamin kelihatan tetap tenang, disertai senyum tersungging di bibirnya. Seakan, hatinya puas oleh hasil kerja Rajawali Putih dalam mengurangi kekuatan orang tua ini.
"Kau harus mampus, Bocah!" desis Ki Jarokamin menggeram. Perlahan orang tua itu melangkah mendekati Rangga yang tetap berdiri tenang dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Mampus kau! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Jarokamin menghentakkan kedua tangannya ke depan, begitu kakinya terpentang cukup lebar ke samping. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya melesat cahaya merah menyala bagai api. Cahaya itu meluruk begitu deras bagai kilat, ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Namun dengan gerakan cepat sekali, Rangga melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. Sehingga, serangan Ki Jarokamin tidak sampai mengenai tubuhnya. Dan cahaya merah bagai api itu hanya menghantam tanah tempat Rangga berdiri tadi.
Glarrr...!
Satu ledakan dahsyat seketika terdengar keras menggelegar. Tampak tanah yang terhantam cahaya merah itu terbongkar, hingga menyebar ke segala arah. Nambu yang tadi berada di samping Rangga, sudah langsung melompat ke belakang. Tentu saja dia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Ki Jarokamin.
"Hiyaaa...!"
Ki Jarokamin kembali menghentakkan kedua tangannya ke atas. Maka kembali cahaya merah melesat dari kedua tangannya. Sementara, Rangga yang berada di udara segera meluruk turun begitu mendapat serangan lagi. Dan untuk kedua kalinya, serangan Ki Jarokamin tidak sampai mengenai sasaran.
"Hap!"
Rangga cepat merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Lalu, tubuhnya bergerak miring ke kanan dan kembali bergerak ke kiri. Begitu tubuhnya kembali tegak, pada sela-sela telapak tangannya yang merapat di depan dada, terlihat cahaya biru terang menyemburat bagai hendak memberontak keluar. Sementara itu, Ki Jarokamin sudah siap dengan serangannya lagi.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Jarokamin kembali menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan begitu cahaya merah melesat dari kedua telapak tangan orang tua itu.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Secepat kilat Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar. Maka seketika dari telapak tangannya melesat cahaya biru menghadang serangan Ki Jarokamin. Tak pelak lagi, dua cahaya dari aji kesaktian tingkat tinggi yang sangat dahsyat itu pun bertemu di tengah-tengah.
Glarrr...! Kembali satu ledakan terdengar keras menggelegar bagai gunung memuntahkan laharnya.
"Akh...!" Ki Jarokamin tampak terpental ke belakang dan terpekik agak tertahan. Tapi, orang tua itu cepat dapat menguasai dirinya, hingga tidak sampai jatuh terguling.
Sementara, Rangga terus berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang agak lebar. Sedangkan kedua tangannya tetap terentang lurus ke depan, membuat cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangannya terus meluruk deras bagai kilat ke arah Ki Jarokamin yang baru saja bisa menguasai keseimbangan. Dan belum juga Ki Jarokamin bisa berbuat sesuatu, cahaya biru yang memancar dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti sudah menghantam tubuhnya.
Slap!
"Akh...!" Ki Jarokamin kembali terpekik. Dan seketika, tubuhnya terselimut cahaya biru yang memancar deras dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Di dalam selubung cahaya biru itu, Ki Jarokamin menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri. Tapi semakin keras berusaha, semakin deras pula tenaganya terbuang percuma. Hingga akhirnya, kekuatannya yang terus mengalir keluar tidak bisa lagi dikendalikan, bagai ada satu kekuatan yang sangat dahsyat menyedotnya.
Sementara, Rangga mulai melangkah perlahan-lahan mendekati lawannya. Tapi begitu jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi, mendadak saja...
"Cukup, Kakang...!"
"Heh...?!" Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar teriakan keras dari belakang. Begitu terkejutnya, sampai-sampai Pendekar Rajawali Sakti terlompat kebelakang dan melepaskan aji 'Cakra Buana Sukma' yang tengah membelenggu tubuh Ki Jarokamin.
Begitu terlepas dari belenggu cahaya biru, Ki Jarokamin langsung jatuh terguling ke tanah dengan tubuh lemas bagai tidak memiliki tenaga. Rangga cepat memutar tubuhnya, dan melihat Pandan Wangi bersama Ki Patungga datang menghampiri. Mereka juga ditemani Ki Baruka, Rukmini, Randini, Jaraba, dan Balika. Di belakang mereka tampak membuntuti murid-murid Ki Patungga.
"Kau tidak perlu membunuhnya, Rangga. Biarkan dia hidup dan menyadari semua kesalahannya," ujar Ki Baruka setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga hanya melirik sedikit pada Ki Jarokamin yang masih tergeletak tanpa daya di tanah. Sementara, sepuluh orang murid orangtua itu tidak ada satu pun yang berani mendekati. Mereka semua hanya diam dan pasrah menunggu nasib.
"Bawa guru kalian pergi dari sini!" perintah Ki Baruka.
Tanpa diperintah dua kali, murid-murid Ki Jarokamin bergegas menghampiri gurunya. Dan mereka langsung menggotongnya pergi dari situ. Akibat dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang dilepaskan Rangga, memang membuat Ki Jarokamin kehilangan sebagian besar kekuatannya. Kalau tadi Pandan Wangi tidak menghentikan, dia bisa mati. Atau paling tidak, akan menjadi lumpuh seumur hidup. Memang dahsyat sekali akibat aji 'Cakra Buana Sukma' yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih, Rangga. Aku benar-benar berhutang nyawa padamu," ucap Ki Patungga.
"Lupakan saja, Ki," ujar Rangga merendah.
"Rangga..." panggil Nambu.
Rangga berpaling ke arah suara yang memanggil namanya.
"Aku dan saudara-saudaraku akan pergi. Dan kuharap, kita bisa bertemu lagi suatu saat. Terima kasih atas segala bantuan yang kau berikan. Pusaka ini harus segera dikembalikan pada junjungan kami," kata Nambu berpamitan.
Setelah menjura memberi hormat, mereka segera berlompatan naik ke punggung kuda. Sebentar kemudian mereka langsung cepat menggebah kudanya meninggalkan tempat itu. Kemudian, Ki Baruka juga berpamitan hendak kembali ke desanya lagi, setelah Nambu dan yang lain tak kelihatan lagi.
"Bagaimana denganmu, Ki Patungga? Sudah pulih semua yang kau miliki?" tanya Rangga.
"Ya! Semua kembali seperti semula," sahut Ki Patungga.
"Ki! Benar mereka yang berhak atas benda itu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Benar. Aku hanya dititipkan oleh junjungan mereka. Dan memang, sudah saatnya aku harus mengembalikan benda itu pada yang berhak," sahut Ki Patungga menjelaskan dengan singkat.
Rangga hanya mengangguk saja. Dan matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang berdiri di depan kudanya. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti mengambil kudanya sendiri. Setelah berpamitan pada Ki Patungga, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu kembali melanjutkan perjalanan untuk mengembara menegakkan keadilan di muka bumi ini. Ki Patungga mengiringi kepergian kedua pendekar muda itu dengan pandangan mata, sampai menghilang tidak terlihat lagi.
SELESAI
EPISODE BERIKUTNYA: DATUK MUKA HITAM