Pengantin Berdarah - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Pengantin Berdarah


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

SENJA mulai turun merayap mendekati malam. Matahari semakin condong ke ufuk Barat Sinarnya yang lembut kemerahan membias indah menanti datangnya rembulan Seorang pemuda berkulit kuning langsat, duduk ber-jongkok di pinggir gundukan tanah merah. Keadaan sekitarnya sepi dan mulai gelap.

Matanya merembang sayu menatap pada batu pipih yang tertanam di atas gundukan tanah di depannya. Entah sejak kapan pemuda itu duduk berjongkok di sana. Raut wajahnya terlihat sedih dan matanya sembab seperti bekas tangisan.

"Aku yakin kau menderita di alam sana. Maafkan aku baru bisa mengunjungimu hari ini, mudah-mudahan kau senang dengan kedatanganku," pelan dan lirih dia bergumam.

Pemuda itu menarik napas panjang dan berat, lalu pelahan lahan dia mengangkat kepalanya. Sejenak dia menatap sang surya yang hampir tenggelam di ufuk Barat. Di sini, di tempat sepi ini segalanya pernah terjadi. Peristiwa yang tak akan pemah terlupakan sepanjang hidupnya. Peristiwa yang terjadi lima belas tahun silam, di mana saat itu dia masih seorang bocah berumur sepuluh tahun

Ingatannya kembali pada peristiwa yang begitu membekas di hatinya dan menimbulkan api dendam yang selalu membara. Saat di mana dia dengan kakak perempuannya baru pulang mencari kayu bakar. Dan di jalan yang agak sepi dan tersembunyi, keduanya berhenti sejenak melepaskan lelah dan penat.

"Kau masih punya makanan, Dimas?"

"Kak Surti sudah lapar, ya?"

Gadis yang berkulit kuning langsat itu tersenyum dan mengangguk. Dia menurunkan kayu bakar dan punggungnya kemudian duduk di bawah sebuah pohon yang rindang. Bocah kecil yang dipanggil Dimas itu mendekat. Dan menyerahkan bungkusan daun kepada Surti, kakaknya.

"Hayo Dimas, kita makan sama-sama," Surti menawarkan bekal itu setelah membukanya.

"Kakak sajalah, aku belum lapar," tolak Dimas seraya duduk menghadapi kakaknya.

Ketika Dimas tengah memperhatikan kakaknya yang sedang makan, mendadak muncul lima orang laki-laki ber-tubuh kekar dengan wajah seram, dan segera mendekati mereka. Kelimanya menyandang senjata di pinggang masing-masing senjata berbentuk golok besar dan ber-gagang hitam pekat

Seketika Surti langsung menghentikan makannya dan segera bangkit menarik tangan adiknya. Lima orang asing di hadapan mereka itu tertawa terkekeh-kekeh. Sinar matanya liar memandangi wajah dan tubuh Surti. Perlahan- lahan kelimanya melangkah semakin dekat.

Tiba-tiba salah seorang meloncat, dan mencekal tangan Surti. Gadis itu kontan menjerit dan meronta ber-usaha melepaskan diri. Dimas, bocah tanggung yang baru berusia sepuluh tahun itu, segera menyadari kalau mereka terancam bahaya. Kedua tangannya langsung mencengkeram dan menarik tangan kasar yang mencekal tangan kakaknya.

"Setan!" geram laki-laki itu.

Kaki kanannya menyepak lambung Dimas, sehingga tubuh bocah itu terlempar ke samping.

"Akh, jangan...!" jerit Surti begitu rubuhnya tertarik dan mukanya membentur dada orang yang mencekal tangannya.

Orang itu seperti sengaja melepaskan cekalannya dan Surti langsung berlari mendekati adiknya. Namun sebentar kemudian pundaknya kembali dicekal keras sehingga tubuh Surti pun tersentak ke belakang Dan sebelum tubuhnya jatuh terjengkang, sepasang tangan kekar telah memeluknya. Surti menjerit-jerit melepaskan diri, namun pelukan laki laki itu terlalu kuat dia rasakan.

"He... he... he..., diamlah Cah Ayu," orang itu terkekeh.

Bret!

"Auh!" Surti memekik kaget, wajahnya jelas menampak-kan kengerian.

Orang itu membuka bajunya dengan kasar. Tubuh yang terbalut kain kuning halus itu pun terbuka lebar. Lima orang lelaki itu serempak tertawa penuh nafsu, melihat tubuh indah berlarian berusaha menyelamatkan diri. Langkah kaki Surti terhenti begitu salah seorang dari mereka melompat menghadangnya.

"He... he... he...!"

"Akh..., jangan! Aku mohon, jangan...," rintih Surti memelas.

"Kemarilah, anak manis. He... he... he..., kau cantik dan menggairahkan."

"Tidak...."

Nasib Surti benar-benar seperti mainan, dirinya di dorong dan dioperkan ke sana kemari bagai bola. Pakaiannya sudah tak karuan lagi robek di sana-sini. Beberapa bagian tubuhnya tersembul ke luar, membuat mata jalang lima laki laki itu semakin liar dan buas.

Surti menjerit-jerit, meronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman salah seorang yang memeluknya dan belakang. Belum lagi gadis itu melepaskan diri, salah seorang lainnya sudah menarik tangannya. Tubuh Surti sempoyongan, dan jatuh terguling ke tanah. Gadis itu memekik keras begitu salah seorang lagi menindih tubuhnya.

"Ehhh..., lepaskan! Jangaan..!" teriak Surti merintih.

Tenaga Surti tak bisa menandingi laki laki kekar dan kasar itu. Surti sudah tidak berdaya lagi. Laki laki itu semakin liar, sia-sia saja dia meronta dan mencakar. Laki laki itu menarik kasar sisa kain yang dipakainya.

"Akh!" Surti memekik kaget.

"He... he... he...!" lima orang laki-laki berandal itu tertawa liar.

Mereka segera mendekati Surti yang terus meronta-ronta di bawah himpitan salah seorang dari mereka. Surti sudah tak punya kekuatan lagi. Kedua tangannya di-pegangi. Tubuhnya sudah polos tanpa selembar kain pun. Air matanya mengalir deras menangisi nasibnya. Dia hanya bisa merintih dan memohon, namun semuanya sia-sia belaka.

"Aaakh...!" Surti menjerit keras begitu merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Mata gadis itu terpejam, tak sanggup lagi menyaksikan wajah-wajah kasar yang tersenyum menyeringai di atas tubuhnya. Belum lagi dia menarik napas lega setelah laki laki yang berada di atasnya bangkit, tubuhnya kembali ditindih oleh seorang lainnya. Kembali Surti menjerit keras, lalu pingsan tak tahan lagi menerima cobaan yang bertubi-tubi itu. Tubuhnya yang sudah tergolek pingsan pun kembali digilir oleh tiga orang berikutnya.

"Tidaaak...!" Dimas menjerit keras.

Tubuh anak muda itu jatuh lemas memeluk gundukan tanah di depannya. Air matanya jatuh bergulir di pipi, tak sanggup lagi dia membayangkan peristiwa keji yang memmpa kakaknya lima belas tahun silam. Lima orang yang kerasukan iblis memperkosa kakak perempuannya secara bergiliran, dan membunuhnya setelah puas.

"Akan kucari mereka, akan kubunuh mereka semua. Percayalah, Kak. Aku akan membalaskan sakit hatimu!" geram Dimas. Kedua telapak tangannya saling terkatup mengepal.

Pelahan-lahan Dimas bangkit, dan menyeka air mata-nya. Lalu kembali dia menatap pusara Surti, dan menarik napas panjang dan berat.

"Mereka harus mati! Mati...!" teriak Dimas keras, penuh dendam.

Suara teriakan yang keras itu menggema, terpantul oleh pepohonan dan bukit-bukit batu. Teriakannya yang disertai tenaga dalam itu membuat alam sekitarnya seolah bergetar ikut merasakan getaran hatinya yang penuh bara dendam.

"Aku bersumpah, mereka harus mati di tanganku!"

********************

Sementara itu di sebuah perkampungan kecil di antara perbukitan, seorang gadis bertubuh sintal dan berkulit hitam manls, tengah duduk merenung di atas dipan kayu di teras rumahnya Wajahnya murung dan pandangan mata-nya tampak kosong. Bibimya yang mungil dan tipis kemerahan, terkatup rapat

"Wulan...," terdengar suara lembut memanggil.

Gadis itu menoleh, pandangannya langsung tertuju pada perempuan tua yang berdiri di ambang pintu. Tapi bibir mungil indah itu tak menjawab sedikit pun, dia kembali menatap kosong ke depan. Perempuan tua yang tak lain ibu si gadis itu melangkah mendekati, dan duduk di samping anaknya. Jari-jari tangan tuanya yang kurus dan berkenput membelai-belai rambut Wulan.

"Kenapa Ayah menerima pinangan tua bangka itu, Bu?" pelan dan lirih suara Wulan bertanya.

"Ayahmu tidak bisa berbuat apa-apa anakku."

"Orang itu sudah punya banyak istri, Bu! Lagi pula aku tidak pantas jadi istrinya. Dia terlalu tua, lebih tua dari Ayah!"

"Kau harus mengerti, Wulan. Tidak seorang pun yang bisa menolak keinginan Gusti Wira Perakin. Apa kau rela melihat Ayahmu mati di tiang gantungan? Sementara kau sendiri...," perempuan tua itu tak bisa lagi membayangkan dan meneruskan kata katanya.

Wulan terdiam mematung. Dia hanya menoleh pada ibunya sesaat, lalu menatap kembali jauh ke depan. Sementara itu langit mendung, awan tebal menghitam seolah turut merasakan hati gadis yang tengah diliputi kegalauan itu. Nyi Sukirah menepuk lembut bahu anaknya. dan mengajaknya masuk ke dalam begitu dia menyadari akan turun hujan.

Keduanya duduk berdampingan di balai-balai bambu di dalam ruangan depan rumahnya Di sudut balai-balai bambu itu tergeletak sekotak kayu berukir indah. Wulan memandangi benda itu dengan perasaan yang dipahami benar oleh ibunya. Sekotak kayu yang berisi perhiasan emas! Tanda ikatan pinangan yang jumlahnya baru sekali ini dia lihat selama hidupnya!

Wulan tak sanggup membayangkan, bagaimana perasaan kekasihnya bila mengetahui dirinya telah dipinang lelaki tua bangka, yang lebih pantas menjadi ayahnya daripada menjadi suaminya. Laki laki yang ber-kuasa dan amat ditakuti oleh seluruh penduduk desa ini. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya! Ya..., tidak seorang pun!

"Hhh...!" Wulan mendesah panjang. Nadanya gusar. "Pulangkan saja tanda ikatan pinangan itu, Bu!"

"Wulan...!" Nyi Sukirah tersentak kaget

"Aku tidak mau, Bu. Aku tidak bisa mengkhianati Kang Dimas. Aku sudah berjanji akan setia sampai menunggu Kang Dimas kembali. Kembalkan saja tanda ikatan pinangan itu, Bu," Wulan merajuk.

"Wulan..., kau tahu apa akibatnya menolak pinangan Gusti Wira Perakin? Tidak, Nak! Jangan bawa orang tuamu ke tiang gantungan! Aku mohon, jangan," Nyi Sukirah tak bisa lagi membendung air matanya. Dia memeluk bahu putrinya.

"Kita bisa meninggalkan desa ini, Bu. Di sini kita juga tidak mempunyai apa-apa. Semuanya dikuasai si Tua Bangka itu. Seumur hidup kita dililit hutang yang semakin membengkak!" makin meninggi suara Wulan.

"Gusti Wira Perakin akan membebaskan semua hutang-hutang ayahmu, Wulan. Bahkan dia akan menyerahkan kembali tanah milik ayahmu. Dia akan menjamin kehidupan kita," bujuk Nyi Sukirah. "Berbaktilah pada orang tuamu, Wulan."

"Tidak, Bu! Diriku bukan untuk dijual!" tegas Wulan.

"Wulan...!" Nyi Sukirah tak mampu lagi bersuara.

Wulan bangkit berdiri, lalu dia mengambil kotak kayu yang ada di sudut balai-balai bambu itu. Dia tercenung sebentar, lalu berbalik dan duduk kembali di samping ibunya. Tangannya terulur ke depan menyerahkan kotak perhiasan itu kepada orang tuanya. Nyi Sukirah hanya menatap kosong. Menahan kegetiran hatinya.

"Kalau Ibu atau Ayah tidak mau mengembalikan perhiasan ini, biar aku yang mengembalikan sendiri," kata Wulan tegas.

"Wulan...!"

Wulan meletakkan kotak perhiasan itu di pangkuan ibunya, kemudian dia melangkah mendekati jendela yang masih terbuka lebar. Nyi Sukirah tak tahu lagi apa yang mesti dia perbuat Dia bangkit dan melangkah masuk ke kamarnya membawa kotak perhiasan itu. Pintu kamar berderit pelan, lalu tertutup rapat.

"Maafkan aku, Ibu..., Ayah," bisik Wulan lirih.

"Tidak mungkin!" dengus Ki Sukirah kencang.

Laki-laki tua yang rambutnya telah memutih itu, menatap kotak kayu berukir di tangan istrinya. Kepalanya tergeleng-geleng seakan tidak percaya kalau Wulan menolak pinangan yang sudah diterimanya.

"Wulaaan...!" panggil Ki Sukirah keras.

"Pak...," Nyi Sukirah gemetaran melihat suaminya begitu marah.

Pintu kamar terkuak pelahan-lahan, dan dari balik pintu itu muncul gadis ayu berwajah sendu. Sejenak dia memandang kedua orang tuanya yang duduk di tepi pembaringan. Pelahan lahan sekali dia melangkah mendekati.

"Duduk!" perintah Ki Sukirah.

Bibir Wulan tak menjawab sedikit pun. Dia duduk di samping ayahnya dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Tidak berani memandang wajah lelah tua di hadapannya. Gadis itu menyadari benar apa yang tengah berkecamuk di dada orang tuanya.

"Apa maksudmu mengembalikan tanda pinangan ini, Wulan?" tanya Ki Sukirah mencoba menahan amarahnya.

"Membatalkan pinangan itu, Ayah," sahut Wulan lirih.

"Dan kau tahu, apa akibatnya?"

Wulan mengangguk pasti. Keberaniannya untuk menentang ayahnya mendadak bangkit. Tatapan matanya langsung ke bola mata ayahnya yang memerah.

Ki Sukirah menatap tajam anak gadisnya ini. Dia sangat heran melihat begitu tegarnya Wulan!

"Pikirkan kembali matang-matang, Wulan. Ayah dan ibumu hanya orang kecil, tak punya kekuatan apa-apa," pelan suara Nyi Sukirah mencoba menengahi.

"Gusti Wira Perakin sudah membawakan tanda lamarannya, Wulan. Aku sudah menerimanya. Tidak mungkin aku mengembalikannya lagi. Kau tahu itu, Wulan," sambung Ki Sukirah. Amarahnya tampak mulai surut

Sejenak suasana di kamar itu hening sesaat "Aku sudah menyatakan tadi, kalau Ayah dan Ibu tidak mau mengembalikan, biar aku sendiri yang mengembalikannya," pelan dan mantap suara Wulan.

"Wulan! Kau sadar mengatakan itu!" sentak Ki Sukirah.

"Aku sadar, Ayah! Justru aku sadar makanya kutolak pinangan si Tua Bangka itu!"

Ki Sukirah terdiam dan menatap anak gadisnya dengan gusar.

"Aku yakin, di dalam hati Ibu maupun Ayah tentu tidak menerimanya. Jujur saja Ayah, aku ingin bertanya apakah Ayah senang?"

Ki Sukirah dan istrinya terhenyak. Kata-kata anak gadisnya menghunjam tepat dalam hati dan perasaan mereka yang paling dalam. Mereka mengakui kebenaran ucapan anaknya, dan tak mungkin lagi mereka bersitegang mempertahankan pendiriannya, yang hanya didasari rasa ketakutan mereka pada kekejaman Wira Perakin dan orang-orangnya. Suasana di dalam kamar itu tercekam kebisuan sepeninggal Wulan yang telah melangkahkan kakinya ke luar.

DUA

Matahari belum lagi condong ke Barat, ketika utusan Wira Perakin itu tiba. Rombongan itu terdiri dari delapan orang, dan dipimpin oleh Jaran Kedung. Wajah-wajah mereka tampak kasar dan bengis.

Ki Sukirah menyambut mereka dengan tergopoh gopoh. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk merendahkan dari. Sedang-kan Nyi Sukirah hanya memandangjnya dari ambang pintu. Wajah perempuan itu jelas memancarkan ketakutan yang teramat sangat. Kedatangan delapan orang berkuda itu menunjukkan Wira Perakin tidak main-main dengan niat-nya mengambil Wulan. Dan kedatangan mereka pastilah karena penguasa desa itu menginginkan ketetapan waktu pelaksanaannya.

"Oh, silakan. Silakan Tuan-tuan ke dalam," sambut Ki Sukirah membungkuk hormat.

"Hm...," Jaran Kedung mendengus sombong.

Laki-laki bertubuh tinggj kekar itu mdompat turun dari punggung kuda, dan ketujuh orang lainnya pun mengikuti-nya. Jaran Kedung melangkah tegap mengikuti Ki Sukirah yang berjalan mendahuluinya. Sementara Nyi Sukirah sudah menghilang dari ambang pintu.

Hanya dua orang yang mengikuti Jaran Kedung masuk ke dalam rumah. Ki Sukirah duduk bersila didampingi istrinya. Sementara kebga orang utusan Wira Perakin itu duduk di kursi. Berbeda dengan istrinya yang tampak begitu cemas, Ki Sukirah seolah siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Ucapan dan sikap Wulan telah menyadarkan dirinya untuk tidak menyerah begitu saja pada nasib yang akan menimpanya.

"Aku datang atas perintah Gusti Wira Perakin. Beliau menginginkan perkawinannya dengan putrimu dipercepat," kata Jaran Kedung membuka suaranya lebih dulu.

Ki Sukirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan istrinya semakin mengkeret ketakutan. Nyi Sukirah gelisah dan duduk dengan sikap yang serba salah. Tatapan matanya tak lepas dari lantai di seputar dia duduk, tak berani dia menatap tamu-tamu yang tidak diharapkan kedatangannya ini

"Kau harus memutuskan sekarang juga, kapan perkawinan itu akan dilaksanakan!" sambung Jaran Kedung.

"Maaf, Gusti Jaran Kedung. Bukannya aku tidak menghormati. Gusti Wira Perakin. Tapi aku gagal membujuk anakku," sahut Ki Sukirah pelahan.

"Ki Sukirah!" sentak Jaran Kedung keras. Urat-urat matanya berkerut dengan tatapan yang tajam.

"Sekali lagi, aku mohon maaf. Anakku telah punya calon piihannya sendiri, dan...."

"Phuih!" dengus Jaran Kedung memotong ucapan lelaki tua itu. Dia berdiri bertolak pinggang mendekati Ki Sukirah dan istrinya. "Aku tidak peduli anakmu mau atau tidak! Tujuh hari lagi kau harus menyerahkan anakmu! Aku yang akan menjemputnya!"

"Tapi, Gusti...."

"Tidak ada alasan! Gusti Wira Perakin telah menyiapkan pesta perkawinannya dengan anakmu, dan Gustiku telah mengundang kerabat kerabatnya'"

Jaran Kedung langsung melangkah keluar diikuti dua orang pengawalnya. Ki Sukirah tergopoh-gopoh beranjak ke luar membawa kotak kayu berisi perhiasan tanda pinangan Wira Perakin pada putrinya.

"Gusti...." panggil Ki Sukirah.

Langkah Jaran Kedung tertahan. Tubuhnya urung meloncat ke atas punggung kudanya. Dia membalikkan wajahnya memandang Ki Sukirah yang menghampirinya.

"Aku mengembalikan ini pada Gusti Wira Perakin," kata Ki Sukirah menyodorkan kotak kayu berukir itu.

Jarang Kedung mendelik geram. Dia membalikkan tubuhnya dan segera merampas kotak kayu itu dari tangan lelaki tua yang ada di hadapannya. Kemudian dia mengegoskan kepalanya sedikit sebelum naik ke punggung kudanya. Dua orang bertubuh kekar yang tadi mengikutinya langsung mendekati Ki Sukirah.

Sret!

Hampir bersamaan dua orang itu mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Ki Sukirah terkejut, dia melangkah mundur dengan tubuh agak gemetar. Dua buah golok itu berkilatan tertimpa sinar matahari. Pelahan-lahan dua orang itu menghampiri Ki Sukirah yang terus melangkah mundur. Tubuh lelaki tua itu mulai basah oleh keringat.

"Orang tua bodoh! Mau dikasih enak, malah minta penyakit!" dengus salah seorang.

Ki Sukirah tersentak begitu salah seorang lainnya melompat sambil mengibaskan goloknya. Ki Sukirah berkelit sedikit. Ilmu olah kanuragan yang pernah sedikit dipelajarinya kini tidak percuma. Tebasan golok itu hanya menyambar angin. Bahkan tanpa diduga sama sekali, kaki kanan Ki Sukirah melayang cepat menghantam bagian perut penyerangnya.

"Hugh!" orang itu mengeluh pendek.

Orang bertubuh tinggi besar itu melangkah mundur dua tindak, bibirnya menyeringai dan matanya menatap tajam Ki Sukirah.

"Minggir...!" mendadak Jaran Kedung melompat cepat dan punggung kudanya.

Tangannya memutar mutar tambang di samping kanannya. Sepasang kakinya bergerak menyusur tanah mengitari Ki Sukirah, dan tujuh orang lainnya segera ber-lompatan mengurung tubuh lelaki tua itu.

Wuuut..!

Jaran Kedung mengebutkan tambangnya. Ki Sukirah segera berkelit menghindari ujung tambang. Namun tambang itu bagai bermata, ujungnya meliuk liuk mengikub ke mana lelaki tua itu berkelit menghindar.

Ki Sukirah memang bukan tandingan Jaran Kedung. Dalam beberapa gebrakan saja, tambang itu berhasil membelit pergelangan tangannya. Ki Sukirah kuat tenaga berusaha melepaskan belitan itu, namun ujung tambang satunya segera menyambar pergelangan tangan kinnya Jaran Kedung membetot keras, dan tubuh Ki Sukirah tersentak jatuh bergulingan di tanah.

"Hiyaaa...!" Jaran Kedung berteriak kencang.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya berlompatan mengitari tubuh Ki Sukirah yang bergulingan di tanah. Tambang di tangan Jarang Kedung membelit kedua ngan lelaki tua itu. Gerakan tubuh Jaran Kedung lalu terhenti. Dia berdiri tegak memegangi satu ujung tambang. Matanya tajam menatap Ki Sukirah yang telentang di tanah dengan kedua tangan terikat.

"Seret orang ini!" perintah Jaran Kedung. Dia melemparkan tambang yang dipegangnya pada salah seorang yang terdekat.

Orang yang menangkap tambang itu segera melompat ke punggung kuda. Ki Sukirah ikut tersentak ketika kuda digebah dengan kencang. Tapi tiba-tiba.

Tasss!

Tambang yang mengikat kedua tangan Ki Sukirah itu terputus. Dan bersamaan dengan itu pula sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar Ki Sukirah, langsung dibawanya tubuh laki-laki itu ke beranda rumah. Beberapa saat Jaran Kedung dan orang-orangnya hanya bisa terperangah kaget.

Nyi Sukirah menghambur ke luar, menubruk tubuh suaminya. Di belakang perempuan itu, berdiri seorang gadis ayu berbaju biru muda dengan isak tangi tertahan.

"Ayah...," isak Wulan langsung berlutut.

Wulan mendongakkan kepalanya memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih yang tengah berdiri di dekat ayahnya yang terbaring. Di punggungnya tersandang pedang bergagang kepala burung. Sinar matanya tajam tapi menyiratkan kearifan.

Pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu tak lama beradu pandang dengan anak gadis Ki Sukirah. Dia lalu membalikkan badannya dan menatap tajam Jaran Kedung dan orang-orangnya. Kedelapan orang itu sudah menghunus pedangnya masing-masing. Tampak Jarang Kedung menggeram menahan amarah.

"Siapa kau, berani mencampuri urusanku?!" Jaran Kedung menyentak.

"Kau tak perlu tahu siapa aku," sahut Rangga dingin.

"Gembel busuk! Buka matamu lebar lebar dengan siapa kini kau berhadapan?"

"Aku tahu, kau adalah orang yang tak pantas hidup di dunia."

"Setan belang! Bunuh gembel busuk itu!" teriak Jaran Kedung gusar.

Serentak tujuh orang anak buahnya berlompatan mengurung Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu tampak tenang menghadapi musuh musuhnya dia hanya melompat ringan menjauhi beranda. Kedua matanya tajam merayapi tujuh orang yang bergerak memutari sambil membuka jurus-jurusnya

"Seraaang...!" perintah Jaran Kedung keras.

Serentak ketujuh orang bersenjata pedang itu menerjang Rangga. Sinar keperakan dari pedang itu ber-kelebat cepat menyambar dan memburu tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu dari setiap sudut. Rangga dengan manis dan lincah menghindari setiap serangan yang datangnya beruntun.

"Huh! Mereka tidak boleh dibiarkan keenakan menyerangku!" dengus Rangga dalam hati.

Rangga langsung mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali.' Seketika itu juga tangannya menjadi merah bagai terbakar. Sambil berteriak nyaring, dia menerjang sambil melontarkan pukulan mautnya. Dua orang dari ketujuh pengepungnya itu langsung menjerit keras begitu terhantam pukulan maut yang dilepaskan Rangga.

Dua orang itu langsung menggelepar dengan dada melesak ke dalam. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah segar. Kelima orang lainnya, tak terkecuali Jaran Kedung, terperangah takjub menyaksikan pukulan itu. Belum hilang perhatian mereka dari kejadian itu, mendadak Rangga bergerak cepat seraya melontarkan beberapa pukulan.

Jeritan dan erangan panjang terdengar saling sahut menyahut Tubuh tubuh itu menggelepar tak berdaya lalu satu per satu nyawa mereka melayang dari badan. Jaran Kedung yang menyaksikannya melompat mundur beberapa langkah. Rangga berdiri tegak memandangi dengan sorot mata yang tajam bagai burung rajawali.

"Sekarang giliranmu, lblis!" geram Rangga.

"Phuih!" Jaran Kedung menyemburkan ludahnya.

Perlahan-lahan Rangga mendekati, kedua tangannya yang berwarna merah menyala terkepal erat.

"Hiyaaa...!" teriakan Rangga terdengar melengking tinggi.

Bersamaan dengan itu, kedua tangannya menghentak ke depan, sinar merah meluncur deras ke arah Jaran Kedung. Anak buah Wira Perakin itu menghindar dengan cepat, hingga sinar merah itu melesat mengenai sebuah pohon besar di belakang Jaran Kedung. Ledakan keras begitu jelas terdengar memekakkan telinga, lalu disusul robohnya pohon besar itu. Jaran Kedung terpana menyaksikan pohon besar itu hancur berkeping-keping, nyalinya pun mulai surut.

Belum lagi hilang rasa kagetnya, mendadak Rangga sudah melontarkan lagi pukulan jarak jauhnya. Jaran Kedung cepat menyadari keadaan, dia berlompatan meng-hindari pukulan yang mulai datang bertubi-tubi.

"Gila! Aku tak mungkin bisa menandingi orang ini," dengus Jaran Kedung dalam hati.

Tepat ketika Rangga melesat hendak menerjangnya, Jarang Kedung langsung melompat dan menggebah punggung kudanya. Rangga berdiri tegak memandangi kepergian Jarang Kedung yang sudah hilang keberaniannya itu, dan tidak berniat mengejarnya.

Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh ketika mendengar suara langkah langkah kaki menghampiri dari belakang. Tampak Ki Sukirah bersama istri dan anaknya berlarian menghampiri. Mereka berhenti di depan pendekar muda itu. Sejenak Rangga memandang dua orang yang mem-bungkuk memberi hormat padanya, lalu tatapannya beralih pada seorang gadis ayu yang hanya berdiri tegak me-mandangnya dengan sinar mata yang aneh.

"Terima kasih, Tuan Pendekar," ucap Ki Sukirah.

"Tapi, sebaiknya kau cepat tinggalkan desa ini," sambung Wulan.

"Wulan...!" sentak Nyi Sukirah tertahan.

"Tua bangka itu pasti marah. Lebih-lebih tujuh orangnya mati di sini," kata Wulan lagi.

"Sebenarnya apa yang terjadi di sini! Maksudku, kenapa Bapak sampai disiksa mereka?" Rangga bertanya sopan. Bibirnya menyunggingkan senyuman ramah.

"Ini adalah persoalan pribadi, dan kau tidak perlu ikut campur. Terima kasih atas pertolonganmu!" Wulan yang menyahut, nada suaranya terdengar ketus dan tak senang.

Rangga mengernyitkan keningnya. Matanya agak menyipit memandang gadis manis di depannya. Sungguh baru kali ini dia menemui sikap seorang gadis yang seperti itu, sikap yang tak ramah bahkan menjurus kasar.

Rangga menarik napas panjang, wajahnya pun kembali menyiratkan keramahan "Baiklah, maafkan kalau aku telah mencampuri urusan kalian, aku permisi."

Rangga berbalik dan segera melangkah pergi. Dalam sekejap saja tubuh pendekar muda itu lenyap di balik pepohonan. Ki Sukirah dan istrinya memandangi ke arah mana tubuh anak muda yang telah menolongnya itu berlalu. Lalu hampir berbarengan keduanya menoleh ke arah Wulan. Sinar mata mereka menunjukkan kedongkolan karena merasa malu atas sikap anak gadisnya.

"Keterlaluan kau, Wulan!" bentak Ki Sukirah tertahan.

"Aku tidak percaya dia orang baik-baik. Ayah. Bisa saja dia pura-pura menolong, tapi menyimpan maksud tertentu yang kita tidak tahu," sahut Wulan mempertahankan sikapnya.

"Tapi tidak seharusnya kau bersikap begitu, dia sudah mempertaruhkan nyawanya untuk membela ayahmu," tandas Nyi Sukirah.

"Kalau hanya menghadapi begundal-begundal Itu, aku rasa Kakang Dimas juga bisa. Bahkan si Wira Perakin itu tak akan mampu menghadapi Kang Dimas!" ada nada kebanggaan pada suara Wulan.

"Ah! Sudahlah, Wulan. Kau terlalu berharap dia pulang. Dimas tidak akan kembali lagi ke sini, dia tengah pergi menuntut balas pada nasib kakaknya yang diperkosa dan dibunuh oleh orang-orang yang dia sendiri tidak tahu ke mana harus mencarinya," kata Ki Sukirah menenangkan gejolak hati anak gadisnya.

Wulan memberengut kesal, laki berbalik dan berlari masuk ke dalam rumah. Ucapan ayahnya telah mematah-kan harapannya akan kedatangan Dimas, lelaki muda dan gagah tambatan hatinya. Ki Sukirah menggeleng-gelengkan kepalanya pelahan, dia menyadari benar kalau anak gadis-nya telah terpikat daya asmara, suatu daya yang membuat dia dan istrinya dalam keadaan sulit, yaitu ancaman dari Wira Perakin dan kaki tangannya.

Suami istri itu beberapa saat lamanya hanya diam terpaku. Sinar matahari yang panas menyengat seolah menyadarkan mereka, bahwa masih banyak yang harus mereka kerjakan, termasuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan di hadapan mereka.

********************

Brak!

Satu kepalan tangan menggebrak meja dengan keras. Bola mata Wira Perakin merah menatap Jaran Kedung yang berdiri tertunduk di depannya. Belum pemah ada orang yang berani menentangnya. Belum ada seorang gadis pun yang menolak pinangannya! Dan laporan Jaran Kedung akan penolakan anak gadis Ki Sukirah benar-benar membuatnya murka!

"Seharusnya kau tidak perlu kembali, Jaran Kedung. Aku lebih suka melihatmu mati bersama yang lain!" dingin dan datar suara Wira Perakin.

"Ampun, Gusti. Orang itu amat sakti, hamba tidak sanggup menandinginya," sahut Jaran Kedung bergetar.

"Siapa dia?"

"Orangnya masih muda, Gusti. Ada pedang bergagang kepala burung di punggungnya. Rambutnya panjang terikat, dan berbaju rompi putih. Rasanya hamba belum pernah bertemu dia sebelumnya, Gusti."

Wira Perakin memandang laki laki tua berbaju merah yang duduk di samping kanannya, seorang laki-laki tua dengan rambutnya yang memutih dan di tangan kanannya tergenggam tongkat hitam berkepala bundar. Tampak bulatan hijau bercahaya di kepala tongkat itu. Raut wajah orang itu menampakkan kekalutan dan juga kebengisan.

"Demung Pari, kau cari anak muda itu. Bawa kepalanya ke sini," perintah Wira Perakin.

"Hamba laksanakan, Gusti," jawab laki-laki berbaju merah yang dipanggil Demung Pari itu. Dia segera bangkit berdiri dan membungkuk hormat.

Demung Pari menatap Jaran Kedung yang tetap berdiri menundukkan kepala. Kemudian dia memandang dua orang lainnya yang berdiri di belakang Jaran Kedung.

"Kalian bertiga ikut aku!" kata Demung Pari.

Ketiga orang itu membungkuk memberi hormat, lalu bergegas mengikuti langkah Demung Pari. Wira Perakin menjatuhkan tubuhnya di kursi sepeninggal mereka. Matanya memandangi empat orang yang masih terduduk di kursi.

"Kebo Rimang," panggil Wira Perakin.

"Hamba Gusti," sahut laki-laki bertubuh tinggi besar.

Wajahnya penuh berewok kasar dengan sebelah matanya terdapat luka gores memanjang hingga ke pipi. Kakinya terbungkus celana hitam sebatas lutut Dadanya yang ter-buka lebar, memamerkan bulu-bulu kasar yang hitam pekat.

"Kau pergi ke rumah Ki Sukirah! Bawa orang tua itu ke sini. Ingat! Jangan sakiti dia dan bawa dengan cara baik-baik," perintah Wira Perakin lagi.

"Baik, Gusti," sahut Kebo Rimang seraya bangkit berdiri.

"Bawa beberapa orang, sediakan kuda untuk Ki Sukirah."

Wira Perakin menarik napas panjang, kemudian bangkit berdiri. Kakinya terayun ringan mendekati pintu depan. Rasa cemas dan dongkol berbaur jadi satu di benaknya. Hal itu tersirat pada wajahnya yang berkerut tegang.

********************

TIGA

Sinar rembulan di keheningan malam yang menyelimuti alam tampak begitu indah dan mengundang sejuta pesona. Namun sayang, rembulan yang bersinar penuh itu tak mampu lagi mengundang minat penduduk desa itu untuk menikmatinya Mereka telah berangkat dan berlabuh di alam mimpi, kecuali seorang pemuda tampan yang berdiri menatap ke luar dari jendela kamar penginapannya yang terbuka lebar.

Dengan matanya yang bersinar bening, pemuda itu memandang wajah sang rembulan yang memancarkan sinar keemasan. Sesekali terdengar desahan napasnya yang terdengar panjang dan berat

"Sejak tadi kau berdiri di situ. Ada yang mengganggu pikiranmu, Kakang?" suara Pandan Wangi yang lembut memecah kesunyian kamar penginapan itu.

Pemuda tersebut membalikkan tubuhnya membelakangi jendela, seulas senyum bermain di bibimya. Matanya memandang Pandan Wangi yang tergolek di pembaringan. Rambut hitam lebat panjang, terurai indah menambah pesona yang telah dimiliki gadis itu. Pandan Wangi membalas senyuman itu, dan sinar matanya menampakkan kehangatan. Kebersamaan yang selalu dilaluinya, membuat gadis itu tak lagi merasa malu dan kikuk berduaan di kamar bersama pemuda tampan yang tak Iain adalah Rangga. Dia merasa tak memiliki jarak lagi dengan lelaki tersebut. Dia juga tak akan menolak jika Rangga mencumbunya. Namun setiap kali perasaan itu bergejolak dan menggoda di dadanya setiap kali itu pula dia harus menelan kekecewaannya. Rangga seolah tak punya keinginan sedikit pun untuk melakukannya.

Pandan Wangi menggerakkan tubuhnya. Gerakan tubuh yang gemulai itu sedikit membuat jantung Rangga berdetak kencang. Pandan Wangi seperti sengaja berbaring miring, hingga lekuk pinggulnya begitu indah dipandang mata. Seperti sengaja pula, gadis itu mem-biarkan bagian belahan baju di dadanya sedikit terbuka. Buah dadanya yang mengembung mengintip ke luar mengundang gairah.

"Kalau sudah mengantuk, tidur saja," kata Rangga mencoba mengalihkan perasaannya.

"Kau tidak tidur, Kakang?" lembut suara Pandan Wangi

"Tidak," Rangga menjawab pelahan.

Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya, kembali menatap ke luar.

"Sejak kembali siang tadi, kau kelihatan berubah. Aku yakin ada sesuatu yang kau pikirkan," kata Pandan Wangi seraya beringsut. Dia duduk memeluk lututnya di tepi pembaringan.

"Kau yakin?" tanya Rangga sambil membalikkan badannya kembali

"Apa aku harus menebak?"

Rangga mengangkat bahunya, dan kembali membalikkan tubuhnya menghadap jendela. Kedua tangannya ber-topang pada kayu jendela yang terbuka. Apa yang tersirat di hatinya adalah mengakui kebenaran dugaan Pandan Wangi.

Peristiwa yang dialami Ki Sukirah masih membekas dan membayang di hatinya, belum lagi sikap anak gadisnya yang ketus dan seperti tak menganggap apa yang telah dia lakukan untuk ayahnya.

Dan semua yang mengganggu pikirannya, diperhatikan benar oleh Pandan Wangi. Gadis itu mempunyai naluri dan perasaan yang tajam. Kebersamaan telah membuahkan perasaan seperti itu di antara mereka.

"Sore tadi aku mendengar ada beberapa orang mencarimu, Mereka memang tidak menyebutkan namamu, tapi dari ciri-ciri yang mereka katakan, aku yakin, Kakanglah yang telah mereka cari!" kata Pandan Wangi.

"Berapa orang?" tanya Rangga tetap memandang ke luar lewat jendela.

"Banyak juga, ada sekitar sepuluh orang."

Gadis itu bangkit dan menghampiri Rangga. Dia berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Pandangannya juga mengarah ke luar yang diliputi sinar rembulan yang tampak mulai redup. Sunyi, tak terlihat seorang pun di luar sana. Hanya pelita kecil saja yang kelihatan berkelap-kelip dari rumah-rumah di sekitar penginapan ini.

Kesunyian malam itu mendadak terpecah oleh suara derap langkah kaki kuda. Dan tempat Rangga dan Pandan Wangi berdiri, terlihat jelas serombongan orang berkuda seperti mengontrol dan mengawasi keadaan di sekitarnya.

Rombongan orang berkuda itu berhenti tepat di depan penginapan. Terlihat oleh dua pendekar muda itu, salah seorang dari mereka melompat turun dari punggung kudanya. Laki-laki tua yang berbaju merah itu melangkah masuk ke penginapan. Sementara yang lainnya menunggui di atas punggung kudanya masing masing. Beberapa saat lamanya suasana di luar penginapan itu hening. Rangga terus memperhatikannya hingga lelaki itu ke luar lagi diringi pemilik penginapan.

"Ayo, kita kembali. Anak setan itu tidak ada di sini!" kata laki-laki tua berbaju merah yang tak lain Demung Pari. "Ingat, Ki Parung. Kalau kau melihat orang yang telah ku-sebutkan ciri-cirinya tadi, cepat kau beritahu aku, mengerti?!"

"Hamba pasti akan melaporkannya, Gusti," sahut Ki Parung, pemilik rumah penginapan itu.

Demung Pari melompat ringan ke atas punggung kuda-nya. Rombongan yang berjumlah sepuluh orang itu segera menggebah kudanya meninggalkan Ki Parung yang masih berdiri memandang kepergian mereka.

"Mereka mencarimu, Kakang," kata Pandan Wangi yang sejak tadi turut memperhatikan.

"Hm...," Rangga hanya bergumam pendek.

Dalam keremangan cahaya rembulan, Rangga masih bisa mengenali kalau salah seorang di antara mereka adalah orang yang sempat bentrok dengannya, setelah gagal menganiaya Ki Sukirah. Rangga mengerutkan keningnya. Dilihat dari pakaiannya, mereka seperti para prajurit kerajaan.

Apakah mereka orang-orang kerajaan? Kerajaan mana? Perkampungan ini tak lebih dari sebuah kadipaten.

"Tentu ada persoalan, hingga mencarimu," kata Pandan Wangi setengah bergumam.

"Memang...," desah Rangga pelahan.

"Kenapa tidak kau ceritakan?"

Rangga lagi lagi tersenyum, senyum yang menampakkan godaan. Seolah-olah memberikan teka-teki yang harus ditebak sendiri oleh Pandan Wangi. Dia berbalik dan me-langkah mendekati pembaringan. Sambil mendesah panjang, Pendekar Rajawali Sakti itu membaringkan tubuh-nya di pembaringan yang beralaskan kain merah muda.

"Besok aku ceritakan, sekarang aku mau tidur," kata Rangga seraya memejamkan matanya.

"Hehhh...," Pandan Wangi menaikkan pundaknya. Dia pun segera melangkah mendekati pembaringan.

********************

Sementara itu di rumah Ki Sukirah, hujan tangis terdengar memilukan. Wulan menangis di tempat tidurnya, juga Nyi Sukirah yang terduduk di tepi pembaringan. Orang yang begitu mereka cintai dan menjadi tumpuan hidup mereka, diseret paksa oleh orang orang Wira Perakin.

Ki Sukirah tak berdaya. Dia mencoba menentang apa yang diperbuat Kebo Rimang yang menyuruhnya menghadap Wira Perakin, dan akibatnya, tubuh laki-laki tua itu tak henti-hentinya menerima pukulan dan tendangan.

"Itu semua gara-gara aku...," rintih Wulan di sela-sela tangisnya.

"Sudahlah, Wulan," Nyi Sukirah terisak. "Kau benar, kita memang orang kecil. Tapi kita punya harga diri. Ibu sendiri sebenarnya tidak rela kalau kau menerima pinangan Gusti Wira Perakin."

"Tapi, Bu.... Ayah...," suara Wulan tersekat di tenggorokan.

"Ayahmu memang laki-laki ksatria. Dia rela mati demi membela kehormatan keluarganya. Sebaiknya kita berdoa saja agar ayahmu selamat," kata Nyi Sukirah mencoba tabah.

"Bu...," Wulan bangkit dan memeluk ibunya. Kembali tangisnya pecah di pelukan ibunya.

Nyi Sukirah membiarkan anak gadisnya menangis. Sementara air mata Nyi Sukirah kering sudah, tak ada lagi yang bisa mengalir membasahi pipinya. Pengalaman hidup dan penderitaan panjang yang telah dilaluinya bersama suaminya, membuatnya tak bisa lagi menangis terlalu lama!

Perlahan-lahan Wulan melepaskan pelukannya. Dia menyusut air matanya dengan ujung baju. Mata yang sembab memerah, menatap lurus ke bola mata perempuan tua yang telah melahirkan dan membesar-kannya. Tak terdengar lagi isak tangis dari bibirnya. Ketabahan hati ibunya seolah menyadarkannya bahwa nasib tak perlu ditangisi, melainkan harus diubah sekuat tenaga dengan kemampuan sendiri!

"Keringkan air matamu, Wulan. Tegarkan hatimu menerima cobaan hidup. Ibu yakin, Tuhan Yang Maha Kuasa akan menolong umatnya yang Iemah," kata Nyi Sukirah pelan. Bibirnya yang keriput pucat, menyunggingkan senyum bergetar.

Lagi-lagi Wulan menyusut air matanya. Sekuat tenaga dia mencoba untuk tidak menangis lagi. Kata-kata lembut ibunya seperti membuarnya terbangun dari mimpi buruk. Dia sadar, tak seharusnya dia menangis terus Karena semua yang terjadi berawal dari dirinya sendiri. Seharusnya dialah yang lebih tabah dan tegar menghadapi semua ini. Wulan menguruki dirinya sendiri yang begitu lemah. Berani mengambil dan menentukan sikapnya tapi tak berdaya dan lemah akan akibatnya.

"Maafkan Wulan, Bu," desah Wulan lirih.

"Sudahlah, cepat atau lambat Wira Perakin pasti akan membawamu juga."

"Tidak! Lebih balk aku mati daripada menjadi istri tua bangka Wira Perakin," geram Wulan.

"Itu bukan jalan yang terbaik, Wulan. Apa pun alasanmu perbuatan nekad seperti itu jelas tak akan membuat lega orang yang kau tinggalkan."

"Lalu, apa yang harus kuperbuat, Bu?"

"Entahlah, Wulan. Mungkin yang terbaik berserah diri pada kekuasaan Tuhan."

"Aku akan melawan mereka, Bu," tegar nada suara Wulan.

"Dengan cara apa?" tanya Nyi Sukirah.

Wulan terdiam. Dia sendiri tidak tahu apa yang diperbuatnya. Dia sadar benar siapa dirinya, seorang gadis dusun yang tak punya kekuatan dan kesaktian apa-apa. Nyi Sukirah pun terdiam. Dia memaklumi benar kalau ucapan anaknya keluar dari hatinya yang kalut.

Wulan bangkit dari pembaringan. Dia melangkah mendekati jendela yang terbuka sebagian. Tangannya mendorong daun jendela agar terbuka lebih lebar. Kedua bola matanya menatap lurus pada sang dewi malam yang ber-sinar penuh memancarkan cahaya indah keemasan. Namun di mata Wulan, cahaya bulan itu begitu redup, seakan ikut berduka akan nasib yang menimpa dirinya.

"Kang Dimas...," Wulan mendesis lirih.

Gadis itu teringat satu nama. Ya..., hanya pada Dimas dia bisa mengadu. Hanya pada pemuda yang dicintainya itu dia bisa berlindung. Hanya Dimas satu-satunya harapan Wulan yang akan bisa mengatasi kemelut yang kini tengah menimpa dirinya.

"Bu...," panggil Wulan seraya berbalik.

Nyi Sukirah memandang wajah putrinya yang kini mulai nampak bersinar dan ada cahaya harapan. Dia sudah mantap dengan kata-kata hatinya yang mendadak saja muncul begitu nama Dimas bergetar di lidahnya.

"Ada apa?" tanya Nyi Sukirah lembut.

"Kira-kira Kang Dimas di mana ya?" Wulan seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Untuk apa kau bertanya begitu?" Nyi Sukirah bertanya tak mengerti. Tapi hati perempuan itu sudah bisa meraba ke mana arah ucapan anaknya.

"Aku ingin mencarinya, Bu," kata Wulan.

"Wulan...," Nyi Sukirah menggeleng-gelengkan kepalanya. Naluri keibuannya begitu tersentuh oleh tekad anaknya yang muncul tiba-tiba.

Hubungan antara Wulan dan Dimas memang bukan rahasia lagi. Semua orang tahu itu. Juga mereka tahu sejarah hidup Dimas yang kelam. Kakak perempuan satu-satunya pengganti orang tuanya yang telah tiada, mati ter-bunuh setelah lebih dulu diperkosa secara bergiliran oleh lima laki-laki berandal. Tidak ada yang melihat kejadi-an itu, kecuali Dimas sendiri.

Sejak peristiwa naas yang menimpa kakak perempuan satu-satunya itu, Dimas lantas menghilang dari desa ini. Dan saat orang sudah melupakan peristiwa lima belas tahun yang silam itu, Dimas muncul kembali. Dia datang pada Ki Sukirah dan keluarganya, keluarga yang memberinya hidup, meskipun hanya untuk sekedar sesuap nasi.

Ki Sukirah puluhan tahun silam memang termasuk orang yang cukup berada dan terpandang di desanya. Namun nasib hidupnya benar benar bagai roda pedati yang berputar. Nasib tragis menimpa dirinya, dia jatuh miskin setelah hartanya dirampas oleh Wira Perakin dan orang-orangnya. Dia tak punya daya untuk melawan. Rumahnya kini dijadikan tempat tinggal Wira Perakin, dan terpaksa Ki Sukirah dan keluarganya menempati gubuk reot yang dulunya ditempati Dimas dan kakak perempuannya.

Mengingat kejadian itu, hati Nyi Sukirah kembali terasa remuk redam. Ingin rasanya dia berbuat yang sama seperti yang diinginkan anaknya, mati meninggalkan dunia yang begitu kejam menderanya. Dan itu memang kesalahan suaminya, Ki Sukirah kalah main judi dengan Wira Perakin, terus kalah dan kalah, hingga kemiskinan kini setia menemani kehidupannya. Dan kini keganasan siap menerkam mereka, keangkaramurkaan Wira Perakin atas penolakan pinangannya pada Wulan...

********************

Sepanjang malam yang larut hingga menjelang dini hari, tak sekejap pun Wulan bisa memejamkan matanya. Seperti ada kekuatan dan dorongan yang menggerakkan hatinya, manakala benaknya terisi oleh bayangan Dimas, kekasih hatinya. Ya, kekuatan dan dorongan untuk lari dari kenyataan yang tak berapa lama lagi akan dihadapinya, menjadi istri Wira Perakin.

Tepat ketika terdengar oleh telinganya suara ayam jantan berkokok, Wulan merangkak turun dari pembaringan. Sebentar dia duduk di tepi pembaringan, ke-mudian melangkah turun mendekati lemari kayu. Pelan-pelan Wulan membuka lemari pakaiannya, lalu mengeluar-kan beberapa potong pakaian, dan membuntalnya dengan kain. Hatinya sudah bulat, dia harus meninggalkan tanah kelahlrannya, meninggalkan kedua orang tua yang teramat dicintainya!

Pelan-pelan Wulan melangkah ke luar dari kamarnya. Buntalan pakaian dan sedikit bekal tersandang di bahunya. Dia terus melangkah dan berhenti di depan kamar ibunya. Wulan sejenak terpaku di depan pintu kamar itu.

"Maafkan Wulan, Bu. Terpaksa Wulan meninggalkan Ibu," bisiknya pelan.

Gadis itu menempelkan tangannya pada daun pintu, kemudian dia berbalik dan melangkah ke luar. Udara dingin berseiimut kabut menyongsong tubuh gadis ramping itu, begitu kakinya menjejak tanah di luar rumah. Dengan kebulatan hatinya, Wulan berjalan cepat-cepat meninggalkan rumahnya.

Sebentar dia berhenti dan menoleh ke belakang, kemudian terus berlari ke arah Utara, ke arah mana dulu kekasihnya pergi. Pergi meninggalkan dirinya untuk membalaskan kematian kakaknya.

Kegelapan malam masih menyelimuti sekitarnya. Matahari belum lagi menampakkan diri. Wulan melangkah pelan begitu sampai di tepi hutan yang meng hadang di depan. Kakinya bergetar begitu melangkah memasuki hutan yang lebat dan terselimuti kabut tebal.

"Grrr...!"

"Akh...!" Wulan terpekik ketika tiba-tiba terdengar suara menggeram keras. Gadis itu berdiri terpaku. Kedua matanya membelalak lebar menembus kegelapan malam di pagi buta ini. Seluruh tubuhnya gemetaran bersimbah peluh. Suara menggeram itu semakin keras dan jelas, seakan-akan begitu dekat dengan dirinya.

"Oh!" Wulan semakin ketakutan begitu dari semak belukar terlihat sepasang bola mata bersinar bergerak maju ke arahnya.

Semakin lama semakin jelas terlihat. Dua bola mata yang bersinar itu ternyata sepasang mata seekor harimau besar! Binatang buas itu menggeram beberapa kali, membuat Wulan semakin lemas gemetaran. Harimau itu mendekam, tapi sepasang bola matanya tetap menatap Wulan yang semakin lemas ketakutan.

Wulan menguatkan hatinya untuk melangkah mundur, tapi raja hutan itu menggeram bangun melihat calon mangsanya bergerak. Lagi-lagi gadis itu memekik tertahan. Kedua lututnya terasa lemas tak bisa digerakkan. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Wulan sudah pasrah akan apa yang terjadi pada dirinya.

"Auuummm...!" Harimau itu mengaum dahsyat.

"Tolooong...!" jerit Wulan melengking. "Tolooong...," Wulan merasakan sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Dia benar-benar takut melihat harimau itu berjalan menghampirinya. Lalu...

Binatang buas itu benar-benar melompat kearah Wulan yang sudah sangat ketakutan! Dan... gadis itu terjatuh lemas sebelum sang raja rimba mencapai tubuhnya...

Bug!

Sebuah baru sebesar kepala bayi menimpa kepala harimau, tepat ketika cakarnya nyaris merobek kulit tubuh Wulan yang tergeletak pingsan! Si raja rimba itu menggeram sesaat, lalu tubuhnya terjajar ke samping, dan secepat kilat sesosok bayangan putih berkeiebat menyambar tubuh Wulan.

"Grrr...!" Harimau itu menggeram keras.
********************

EMPAT

Sinar matahari yang menyeruak masuk melalui pintu yang tak tertutup rapat itu menerpa wajahnya. Kehangatan yang dia rasa kan mulai membangunkan kesadarannya dari pingsan yang cukup panjang. Wulan pelahan-lahan mem-buka matanya, dan dia begitu terkejut menyadari keberadaannya di tempat asing yang belum pernah dia kenal sama sekali.

Pikiran Wulan mulai meraba-raba. Dia mulai teringat kejadian yang terakhir kali dialaminya, dan tahu-tahu dia sudah berada di tempat ini. Sedikit demi sedikit gadis itu beringsut bangun, dan duduk di tepi balai-balai bambu itu. Sepasang matanya menangkap buntalan kain yang dibawanya dari rumah. Gadis itu mengerutkan keningnya. Hatinya diliputi tanda tanya, siapa gerangan orang yang telah menyelamatkan nyawanya dan membawanya kemari.

Belum lagi dia sempat menduga duga, pintu bilik yang tak tertutup rapat itu pelahan-lahan terkuak. Wulan beringsut ke sudut. Tangannya mendekap buntalan berisi kain dan sedikit bekalnya Pintu bilik itu semakin terbuka lebar. Dan di ambang pintu itu berdiri seorang lelaki muda dan tampan dengan pakaiannya serba putih dan ketat, hingga postur tubuhnya yang tegap dan kekar begitu mudah dikenali oleh Wulan.

"Kang...!" desis Wulan begitu mengenali laki-laki itu.

Wulan segera melompat dan menubruk pemuda tampan itu. Air matanya seketika tumpah di dada lelaki muda itu, yang tak lain adalah Dimas. Pemuda tampan itu hanya membelai-belai rambut kekasihhnya. Beberapa saat lamanya mereka hanya saling perpelukan, diselingi oleh isak tangis sang gadis.

Dimas melepaskan pelukan gadis itu, dan membawanya duduk di tepi pembaringan. Sejenak mereka hanya saling pandang. Dengan lembut Dimas mengusap air mata di pipi yang halus kemerahan itu Wulan membiarkan saja jari-jemari kekasihnya menghapus air matanya.

"Ke mana saja kau, Kakang? Kenapa tidak pulang pulang?" tanya Wulan lirih suaranya.

"Maafkan aku, Wulan. Bukan aku tak rindu padamu, tapi pekerjaanku belum selesai," sahut Dimas lembut

"Aku tidak tahan lagi, Kakang. Aku terpaksa kabur dari rumah, aku ingin bersamamu," rintih Wulan kembali terisak.

"Sudahlah sekarang kau sudah aman bersamaku. Kita bisa hidup damai dan tenteram di ani," hibur Dimas tetap lembut.

Secercah senyum kini tersungging di bibir gadis itu. Dimas membalasnya dengan manis pula. Pelahan-lahan wajah mereka yang saling beradu pandang itu semakin mendekat, hingga desah napas Dimas menerpa hangat di seputar wajah Wulan. Kedua pasang mata mereka saling bertatapan dengan mesra.

"Wulan...," desah Dimas bergetar.

"Kakang...!"

Pelan dan lembut sekali Dimas menempelkan bibimya ke bibir gadis itu yang terbuka merekah. Mata Wulan ter-pejam merasakan kehangatan yang mulai menjalari tubuh dan urat syarafnya. Tangannya melingkar di leher Dimas, dan menekannya kuat-kuat, hingga bibir mereka bersatu dalam gairah yang semakin menggelegak.

Tak ada lagi kata-kata yang terucap. Tak ada isak tangis keharuan, yang ada kini hanyalah rasa cinta dan kerinduan yang menyatu dalam daya asmara yang semakin memburu. Wulan merintih merasakan kenikmatan yang membawanya melayang layang terbang mengarungi lautan asmara. Mata gadis itu terbuka dan tertutup, menandakan hasrat birahinya yang sangat mendidih.

"Kakang...!" tiba-tiba Wulan tersentak begitu merasakan jari-jari tangan Dimas menyentuh bagian dari tubuhnya yang sangat peka.

Seketika itu juga Wulan menyentakkan tubuh Dimas. Gadis itu begitu terkejut menyadari hampir seluruh pakaiannya terlepas. Bergegas gadis itu membereskan pakaiannya yang sudah tak karuan dan nyaris membuatnya telanjang tanpa sehelai benang pun di tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Wulan bergetar.

"Wulan..., aku mencintaimu," bisik Dimas seraya mendekat.

"Tapi...," suara Wulan tersekat di tenggorokan.

"Kau mencintaiku juga, kan?"

Wulan tidak bisa menjawab. Tak mungkin dia akan pergi dari rumah dan sampai ke tempat ini kalau dia tak mencintainya. Tapi apakah yang barusan diinginkan oleh Dimas itu ukuran dari perasaan cinta dan kasih sayangnya. Tidak, bisiknya dalam hati. Ia tak mau melakukan hal ter-larang itu sebelum mereka terikat resmi menjadi suami istri. Wulan tak ingin penderitaan hidupnya terus ber-kepanjangan, hanya karena menuruti nafsu birahi sesaat.

"Aku mencintaimu, Wulan. Aku berjanji, kalau tekadku sudah tercapai, aku pasti akan menikahimu," Dimas berucap lembut.

"Kakang...," suara Wulan kembali tersekat di tenggorokan.

"Baiklah...," desah Dimas mengalah.

Wulan hanya memandangi Dimas yang mengenakan pakaiannya kembali, kemudian pemuda itu ke luar kamar tanpa berkata apa-apa lagi. Wulan duduk tepekur di balai-balai bambu. Dia sadar penolakannya telah mengecewakan hati Dimas.

"Ah.., Dimas..., maafkan aku," desah Wulan lirih.

Pelahan-lahan pintu gubuk kecil itu terbuka. Tampak Wulan melangkah ke luar setengah menundukkan kepalanya. Sebentar dia mengamati keadaan sekitarnya, dan dia agak terkejut begitu menyadari dirinya berada di tengah- tengah hutan lebat dengan satu gubuk kecil yang ter-sembunyi di antara lebatnya pepohonan.

Seekor kera hitam bergelantungan dari dahan pohon yang satu ke dahan lainnya. Suaranya memecah kesunyian pagi di sekitar gubuk kecil itu. Bersama burung-burung yang berkicau saling bersahutan.

"Ah, seandainya aku bisa bebas seperti mereka...," desah Wulan lirih.

"Kau sudah bebas, Wulan," terdengar suara lembut dari belakang.

"Oh!" Wulan tersentak kaget. Buru-buru dia membalikkan tubuhnya.

Dimas tampak duduk di akar pohon yang menyembul ke luar dari dalam tanah. Tangannya sibuk membuat anak panah. Beberapa anak panah menggeletak di sekitamya. Dan sebuah busur besar tersandar di pohon. Wulan meng-hampiri dan duduk di samping pemuda itu.

"Maafkan aku, Kakang. Aku tidak bermaksud membuatmu kecewa," kata Wulan pelan.

"Ah, sudahlah. Lupakan soal itu," sahut Dimas tenang.

Sesaat mereka terdiam, dan hanya saling berpan-dangan dengan sinar mata penuh cinta.

"Kenapa kau meninggalkan orang tuamu?" tanya Dimas.

"Terpaksa," sahut Wulan. Kepalanya tertunduk, dan ada kesenduan membayang di wajahnya. Dimas tahu itu.

"Ceritakan, Wulan. Ada apa?!" desak Dimas. Tangan kanan pemuda itu memegangi bahu Wulan.

"Kau jangan marah, Kakang.... Aku terpaksa meninggal-kan mereka, karena aku tak mau menjadi istri si Tua Bangka itu!" Wulan menghentikan ucapan-nya, air matanya yang bening bergayut di sudut matanya. "Dan ayahku, Kakang... dia menerima akibat dari sikapku. Kaki tangan Wira Perakin telah menahannya," Wulan mencoba menahan tangisnya, tapi sia-sia. Kecemasan akan nasib ayah dan ibunya sangat membelenggu batinnya.

Dimas menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Hatinya benar-benar ikut tercabik oleh penderitaan yang dialami Wulan.

"Wira Perakin...," gumam Dimas lirih, tangannya membelai-belai rambut gadis itu. "Bagaimana dengan ayahmu, Wulan? Maksudmu beliau...."

"Tidak, Kakang," sahut Wulan. "Wira Perakin tak mungkin membunuh Ayah, selagi masih ada yang diharapkannya.... Tapi sekarang... aku tak tahu, Kakang!"

"Kau tunggu saja di sini, Wulan," kata Dimas seraya bangkit melepaskan pelukannya. "Kakang mau ke mana?"

"Aku akan membawa ayah dan ibumu ke sini. Aku tidak akan lama, Wulan, kau tak usah cemas," sahut Dimas seraya menjumput anak-anak panah dan memasukkannya ke dalam kantung kulit.

Dimas mengikatkan kantung penuh anak panah itu di pinggang, kemudian dia mengambil pedang dan menyandangkannya di punggung. Tangan kirinya meng-genggam busur besar yang sedikit terukir di bagian tengah-nya. Wulan berdiri dan menghadang langkah pemuda itu dengan wajah penuh kecemasan.

"Kakang...," serak dan lirih suara Wulan.

"Kau jangan pergi ke mana-mana Wulan. Tempat ini tidak ada yang tahu selain aku," pesan Dimas.

Sesaat mereka saling tatap, kemudian Dimas mengecup lembut bibir gadis Itu. Dia berbalik, langsung melangkah cepat tanpa menoleh lagi. Wulan memandangi tanpa berkedip, sampai punggung lelaki pujaannya itu hilang dari pandangan.

********************

Nyi Sukirah langsung terlonjak terbangun dari tidurnya. Suara pintu didobrak sangat mengagetkannya. Pintu kamar itu hancur berantakan. Nyi Sukirah menjerit tertahan melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri di ambang pintu yang hancur Di belakang laki-laki yang bertampang seram itu, berdiri beberapa orang berpakaian seragam kuning keemasan seperti prajurit kerajaan.

Nyi Sukirah tahu, orang yang berdiri congkak di ambang pintu itu adalah Kebo Rimang, tangan kanan Wira Perakin. Ya, orang itulah yang turut merampas rumahnya dulu bersama Wira Perakin. Dan kini, sejarah hidupnya kembali terulang. Orang yang terkenal kejam itu kini siap meng-hancurkan hidupnya kembali.

"Seret perempuan ini ke luar! Cepat!" perintah Kebo Rimang. Suaranya terdengar keras dan kasar. Kedua matanya menatap tajam dan memerah.

Dua orang anak buahnya langsung bergerak maju ke dalam kamar yang pintunya jebol berantakan. Tanpa banyak bicara lagi, dua orang itu langsung menyeret Nyi Sukirah.

"Akh...!" Nyi Sukirah memekik keras begitu tubuhnya dicampakkan.

Perempuan tua itu jatuh bergulingan di tanah. Kulit tangannya yang keriput, tergores mengeluarkan darah. Nyi Sukirah berusaha bangkit berdiri, tapi salah seorang yang menyeretnya segera menendang keras. Kembali tubuh perempuan tua itu bergulingan di tanah. Dadanya terasa sesak sekali dan rintihannya terdengar memelas.

"Di mana anak gadismu. Perempuan Tua?" tanya Kebo Rimang datar.

Nyi Sukirah tidak menyahut, hanya suara rintihannya yang menyayat dan terdengar memilukan. Beberapa kepala bersembulan ke luar dari rumah rumah di sekitar rumah Nyi Sukirah. Tidak ada seorang pun yang berani ke luar rumah, apalagi mencampuri urusan ini. Mereka semua hanya bisa mengurut dada, iba melihat nasib keluarga Ki Sukirah.

"Di mana anakmu, Nyi Sukirah?" Kebo Rimang mengulangi lagi pertanyaannya.

Tetap saja Nyi Sukirah tidak menjawab. Dia malah membalas tajam tatapan mata Kebo Rimang. Dia seperti mendapatkan kekuatan bathin, tak sedikit pun ada rasa gentar di hati perempuan ini.

"Setan!" geram Kebo Rimang. "Geledah rumahnya!"

Lima orang pengikutnya segera beranjak masuk ke dalam rumah itu. Tak lama kemudian mereka sudah ke luar lagi. Salah seorang mendekati Kebo Rimang yang berdiri angker memandang tajam pada Nyi Sukirah.

"Tidak ada, Gusti," lapor orang itu.

"Kurang ajar!" geram Kebo Rimang gusar. "Bakar...!" perintah Kebo Rimang kalap.

"Oh, jangaan..!" sentak Nyi Sukirah terkejut.

Tapi permintaan itu sama sekali tidak digubris. Salah seorang anak buah Kebo Rimang sudah mencabut obor yang tertancap di bang penyangga beranda. Kemudian melemparkannya ke atas atap, api langsung berkobar besar melahap atap rumah yang terbuat dari daun rumbia kering itu. Nyi Sukirah merintih dan terus meratap. Dia hanya bisa melihat api yang terus melahap rumah tempat tinggal satu-satunya itu.

Kejam! Kalian semua kejam! Binatang!" geram Nyi Sukirah di sela isak tangisnya.

"Kau manusia tidak tahu diuntung, Perempuan Tua! Gusti Wira Perakin sudah terlaiu baik padamu. Membiar-kan kau, suamimu dan anakmu hidup. Tapi masih juga kau mau bertingkah macam-macam," ujar Kebo Rimang dingin.

"Phuih! Kalian anjing-anjing keparat!"

"Kurang ajar...!"

Plak!

"Akh!"

Nyi Sukirah terpelanting keras ke tanah begitu tangan kanan Kebo Rimang menghajar pipinya. Perempuan tua itu jatuh pingsan. Tamparan Kebo Rimang begitu keras.

"Ikat perempuan tua itu! Seret dengan kuda!" perintah Kebo Rimang kalap.

Salah seorang segera maju mendekati Nyi Sukirah yang tergeletak pingsan. Orang itu mengeluarkan tambang dari balik bajunya, kemudian mengikat tangan Nyi Sukirah, lalu melemparkan satu ujung tambang itu pada temannya yang menunggang kuda.

Kebo Rimang melompat tangkas ke atas punggung kuda hitam tunggangannya. Orang-orang Wira Perakin yang jumlahnya tidak kurang dari sepuluh orang itu, segera berlompatan naik ke punggung kudanya masing-masing.

"Jalan!" perintah Kebo Rimang.

Baru saja mereka menggebah kuda, tiba-tiba. Wuuut, tras...!

Tambang yang mengikat tangan Nyi Sukirah putus. Sebatang anak panah tertancap di tanah, tak jauh dari tubuh perempuan tua yang masih pingsan dengan kedua tangannya terikat itu. Kebo Rimang dan sepuluh orang pengikutnya terkejut setengah mati. Bergegas mereka berlompatan turun.

Tampak seorang pemuda tampan berbaju putih ketat berdiri tegak. Busur besar dengan anak panah tergenggam di tangannya. Dan tiba-tiba saja dia menarik tali busur itu, dan...

Wuuut!

"Aaakh...!" salah seorang menjerit keras.

Anak panah yang dilepaskan Dimas menancap tepat menembus leher orang itu. Tubuhnya seketika terjajar ke belakang, lalu ambruk mencium tanah Belum lagi hilang rasa terkejut mereka, Dimas sudah melepaskan lagi tiga anak panah secara beruntun dan cepat. Tiga orang langsung menyusul temannya, bergulingan jatuh bersimbah darah.

"Kurang ajar!" geram Kebo Rimang. Secepat kilat laki-laki bertubuh bnggi besar dengan luka codet di wajahnya itu, melompat begitu Dimas kembali menghujaninya dengan anak-anak panah. Kebo Rimang berkelebatan cepat menyambar anak-anak panah yang datangnya bagai-kan hujan itu.

"Phuih!" Kebo Rimang menyemburkan ludahnya sengit

Laki-laki kasar itu berdiri tegak dengan sikap meremehkan. Puluhan batang anak panah tergenggam di kedua tangannya. Sedangkan kantung anak panah di pinggang Dimas sudah kosong. Pemuda itu membuang busumya. Kagum juga dia pada Kebo Rimang yang begitu tangkas bisa menangkap semua anak panah yang dilepaskannya.

Kebo Rimang menjuiurkan kedua tangannya ke depan, lalu meremas anak panah di tangannya hingga hancur. Semua mata memandang kagum pada ketinggian ilmu tenaga dalam yang dimiliki Kebo Rimang.

"Siapa kau, Anak Muda? Mengapa kau mencampuri urusanku!" dengus Kebo Rimang menggeram.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku! Aku datang untuk membasmi anjing-anjing Wira Perakin," balas Dimas tak kalah sengitnya.

"Setan! Apa kau sudah punya nyawa pengganti, heh? Berani-beraninya sesumbar di depanku!"

"Nyawaku cuma satu, tapi aku mampu menyumbat kesombonganmu!"

"Anjing geladak! Hiyaaa...!" Hup!

Kebo Rimang segera membuka jurus jurusnya. Dimas melirik enam orang yang sudah menghunus pedangnya masing masing Dari bentuk senjata mereka yang beraneka ragam, bisa diketahui kalau mereka bukanlah prajurit kerajaan. Mereka orang-orang rimba persilatan yang mengenakan seragam seperti prajurit.

Kebo Rimang melompat menerjang Dimas. Per-tempuran tidak bisa lagi dihindarkan. Dua orang yang masing masing memiliki kepandaian yang cukup tinggi itu saling menyerang menggunakan jurus jurus maut mereka yang berbahaya.

Dalam waktu singkat saja, tidak kurang dari sepuluh jurus telah mereka kerahkan. Namun belum terlihat siapa yang lebih unggul atau terdesak. Mereka kelihatan sama-sama tangguh dengan gerakan jurus-jurusnya yang cepat.

Enam orang lainnya, dan orang-orang yang mengintip dari celah-celah rumah mereka di sekitarnya, seolah terpaku menyaksikan pertarungan itu.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Kebo Rimang berteriak nya-ring. Seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara, dan pada waktu yang bersamaan, Dimas juga berbuat yang sama. Keduanya telah mencabut senjata masing masing. Kini di tangan Dimas tergenggam sebilah pedang yang panjang dan tipis keperakan. Sedang lawannya menggenggam dua buah tongkat besi kecil bercabang dua. Tongkat itu berwama kuning keemasan.

Trang, trang!

Dua senjata beradu keras di udara. Dua tubuh di angkasa itu sama-sama terpental. Tubuh Kebo Rimang jatuh berdebum keras di tanah, lalu bergulingan sejauh tiga ujung tombak. Dimas juga mengalami nasib yang sama, tapi dia masih sanggup berdiri kembali dengan cepat.

Sementara Kebo Rimang berusaha bangkit, enam orang pengikutnya langsung berlompatan mengurung Dimas. Senjata mereka berkelebatan di depan dada. Dimas memandangi enam orang itu dengan mata merah menahan geram.

"Jaring berantai!" teriak Kebo Rimang tiba-tiba.

Enam orang itu langsung memasukkan senjata masing masing ke dalam tempatnya Kemudian dengan cepat mereka mengeluarkan tambang bersimpul dari bafik baju masing-masing. Mereka memutar-mutar tambang ber-simpul itu di atas kepala. Kaki-kaki mereka bergerak lincah mengitari tubuh Dimas.

Dimas jadi kebingungan juga menghadapi enam orang yang memutar-mutarkan tambang bersimpul mengelilingi dirinya. Kakinya segera bergerak lincah mengikuti arah putaran enam orang itu. Kedua matanya tajam mengawasi setiap gerakan yang dilakukan enam orang lawan lawannya Dan tiba-tiba salah seorang melemparkan tambang ke atas, jauh di atas kepalanya.

Hampir bersamaan waktunya, seorang lagi melemparkan tambangnya, lalu disusul berganban oleh yang lain. Dimas benar-benar tak tahu maksudnya. Dia terkejut begitu tiba-tiba enam orang itu serempak berlompatan ke udara.

Tap, tap...!

Enam orang berseragam bagai prajurit itu menangkap ujung ujung tambang yang saling teriempar ke atas. Lalu dengan gerakan manis dan cepat sekali, mereka meluruk turun. Dimas yang belum menyadari tidak dapat berbuat apa-apa. sekebka itu juga tubuhnya terjerat enam utas tambang.

"Hih!" Dimas berkutat berusaha melepaskan diri dari jeratan yang membelit tubuhnya.

Tapi, keenam orang itu lebih cepat lagi bergerak memutar mengelilingi. Dimas benar-benar tak berdaya lagi sekarang Pemuda itu jatuh berdebum ke tanah dengan seluruh tubuhnya terikat tambang. Pedangnya ikut terikat menempel di paha kakinya. Keenam orang berseragam kuning keemasan itu, terus memegangi ujung-ujung tambang.

"Ha... ha... ha...!" Kebo Rimang tertawa terbahak-bahak.

Namun seketika tawanya terhenti sebuah bayangan putih lain tiba-tiba bergerak cepat membabat putus tambang-tambang yang membelit tubuh Dimas. Belum lagi Kebo Rimang hilang rasa terkejutnya, muncul lagi satu bayangan biru menghajar enam orang berseragam itu.

Jeritan kematian terdengar melengking bersahutan. Tubuh enam orang yang memegangi tambang itu, langsung bergelimpangan di tanah. Sebentar mereka menggelepar, lalu diam tak bemyawa lagi. Darah segar membanjiri tanah, menyebarkan aroma anyir menusuk hidung.

Kini di depan Kebo Rimang berdiri dua orang anak muda. Seorang laki-laki berbaju rompi pubh, dan seorang perempuan cantik mengenakan pakaian biru ketat Mereka tak lain adalah Rangga dan Pandan Wangi, dua pendekar muda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut. Pandan Wangi mengebut-ngebutkan kipas baja putihnya di depan dada. Pandangan matanya tajam menatap Kebo Rimang.

"Monyet busuk! Siapa kalian?" geram Kebo Rimang membentak.

Mata Kebo Rimang tak lepas memandang Pendekar Rajawali Sakti. Dia jadi teringat dengan cerita Jaran Kedung. Semua ciri-ciri yang diceritakannya ada pada orang di hadapannya.

"Oooh..., rupanya kau yang membunuh tujuh orang anak buahku kemarin?" dengus Kebo Rimang tetap memandang tajam pada Rangga.

"Benar! Dan hari ini giliranmu yang mampus!" sahut Rangga tak kalah gertak.

"Setan alas! Rupanya kau sudah bosan hidup, hingga berani mengusik macan, heh?!"

"Macan ompong...!" ejek Pandan Wangi sengit.

Kebo Rimang mendelik lebar menerima ejekan itu. Matanya menyipit. Kini di hadapannya berdiri tiga orang anak muda menantangnya. Dimas berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Di tangan kanannya tergenggam sebuah pedang.

Kebo Rimang mulai surut nyalinya. Dia telah jelas-jelas melihat kalau ketiga orang anak muda itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan tak mungkin baginya untuk bisa menandingi.

Tanpa malu-malu lagi, Kebo Rimang melompat ke atas punggung kudanya. Kuda tinggi besar itu bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya, berlari cepat hingga dalam sekejap saja telah hilang dari pandangan.

"Pengecut!" dengus Dimas menggeram.

"Sebaiknya kau urus saja orang tuamu," kata Rangga mengingatkan.

Dimas tersentak, buru-buru ia menghampiri Nyi Sukirah yang masih tergolek pingsan. Pemuda kekasih Wulan itu sekilas menatap rumah yang kini tinggal puing-puing membara mengepulkan asap tipis. Dimas lalu membopong tubuh perempuan tua itu, dan membawanya ke suatu tempat yang teduh Dimas memeriksa keadaannya. Dia menoleh pada Rangga dan Pandan Wangi yang juga sudah berlutut di samping tubuh Nyi Sukirah.

"Bagaimana?" tanya Pandan Wangi.

"Hanya pingsan, tidak ada luka yang serius," sahut Dimas.

Pemuda itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi. Dia agak berkerut juga keningnya, sama sekali dia belum pernah melihat dua orang yang telah menolongnya ini.

Rangga mengerti arti pandangan Dimas, dia tersenyum dan menepuk pundak pemuda itu dengan sikap bersahabat.

"Terima kasih atas pertolongan kalian," ucap Dimas membalas senyuman Rangga.

"Ah, lupakan saja," sahut Rangga.

********************

LIMA

Apa yang menjadi firasatnya selama dua hari ini, sekarang menjadi kenyataan. Orang-orang Wira Perakin telah membumi hanguskan rumahnya dan tega pula menyiksa istrinya. Semua itu dia ketahui dari penjaga kamar tahanan di mana kini dia berada, yang terus mencoba menjatuhkan mentalnya dan memancing agar dia mau menunjukkan di mana anak gadisnya kini berada.

Ki Sukirah menarik napas panjang, lalu berjalan mondar-mandir di kamar tahanannya yang pengap dan sempit. Dia memandangi kamar kecil yang terbuat dari dinding baru itu. Hanya lubang kecil pada pintu, dan dua orang penjaga bersenjata selalu berjaga-jaga di depan pintu. Tidak ada sedikit pun celah untuk meloloskan diri.

Pintu kamar itu terbuka pelahan-lahan Ki Sukirah berdiri tegak, menanti siapa yang datang. Dia sudah pasrah dengan apa yang akan teijadi pada dirinya, walau harus mengorbankan nyawa sekalipun! Akhir-akhir ini dia baru sadar, bahwa putrinya berada di jalan yang benar! Dan memang lebih baik mati daripada harus menyerahkan kehormatan pada si Tua bangka itu!

Pintu kamar semakin terbuka lebar. Wira Perakin melangkah masuk, diikuti oleh Arya Mahesa dan Cakala Pati. Sedang dua orang lainnya, Antasuro dan Galang Gembul menunggu di luar pintu ber sama dua orang penjaga bersenjata tombak.

"Sukirah, aku masih bisa bersabar padamu. Kuberi kau kesempatan untuk hidup sekali lagi," kata Wira Perakin datar suaranya.

"Hm...," Ki Sukirah cuma bergumam sambil menarik napas panjang. Dia sudah bisa menduga apa yang akan dikatakan Wira Perakin padanya. Dia tahu maksud terselubung dari kesempatan yang diberikan saat ini.

"Hari ini juga kau kubebaskan, tapi kau harus mencari di mana anak dan istrimu berada. Juga tiga anak muda yang telah membunuh orang-orangku," lanjut Wira Perakin.

Ki Sukirah bersyukur dalam hati, karena anak dan istrinya masih selamat. Hanya saja dia tidak mengerti tentang tiga anak muda yang barusan disebutkan Wira Perakin. Tapi bagaimanapun dia merasa lega, hatinya ter-senyum penuh kemenangan.

"Penjaga...!" panggil Wira Perakin.

"Hamba, Gusti," seorang penjaga segera menghamplrinya.

"Buka rantai itu!"

"Hamba laksanakan, Gusti."

Penjaga itu segera melaksanakan perintah majikannya. Dia membuka rantai rantai yang mengikat tangan dan kaki Ki Sukirah. Setelah itu dia kembali ke luar. Ki Sukirah mengurut-urut pergelangan tangannya yang terasa pegal oleh rantai yang membelitnya selama tiga hari ini.

"Kau bebas sekarang, Sukirah. Tapi ingat, kau harus menemukan istri dan anakmu. Bawa mereka padaku. Juga tiga anak muda yang telah berani melawan kekuasaanku!" tegas kata-kata yang keluar dari mulut Wira Perakin.

Ki Sukirah tidak menyahut, dia hanya menganggukkan kepalanya. Dia tahu benar arti kebebasan yang akan dinikmatinya. Kebebasan yang akan menyebabkan nyawa-nya melayang jika tak menemukan dan menyerahkan anak gadisnya, juga tiga anak muda yang dia sendiri merasa tak mengenalnya. Ki Sukirah hanya pasrah, tapi hatinya masih berharap, semoga tiga anak muda yang disebutkan tadi bisa menjadi dewa penolong bagi keluarganya.

"Nah! Kau boleh keluar sekarang," kata Wira Perakin lagi.

Ki Sukirah melangkahkan kakinya keluar dari kamar tahanan yang pengap dan sempit itu. Kakinya terus terayun tanpa menoleh lagi. Dua orang penjaga mengawalnya sampai di pintu gerbang.

"Kenapa kau bebaskan orang itu, Kakang Wira Perakin?" tanya Cakala Pati.

"Itu cuma pancingan saja," sahut Wira Perakin tenang.

"Maksudmu?" tanya Antasuro yang sudah mendekat, bersama Galang Gembul.

"Aku berharap tiga pendekar yang membantu keluarga Sukirah muncul, dan mengira orang tua itu masih berada di sini."

"Kalau mereka tahu Sukirah sudah dibebaskan?" celetuk Cakala Pab lagi.

"Kita bisa menguntitnya, ke mana mereka membawa Sukirah pergi. Aku yakin, mereka pasti membawa ke tempat persembunyian anak dan istrinya."

"Kalau begitu, kau harus sebarkan beberapa orang untuk mengawasinya," sambung Antasuro yang sudah bisa mengerti tujuan Wira Perakin.

"Semuanya sudah kupikirkan. Setiap langkahnya selalu diawasi oleh orang-orangku!" sahut Wira Perakin sombong.

"Tidak disangka, otakmu cerdas juga, Kakang," puji Galang Gembul.

"He... he... he...," Wira Perakin terkekeh senang.

"Asal saja kau jangan lupa, Kakang...," kata Galang Gembul lagi.

"Beres, kalau semuanya sudah selesai, kalian berempat pasti bisa ikut menikmati kemulusan tubuh Wulan."

Lima orang itu lalu tertawa terbahak bahak sambil keluar dari pintu kamar tahanan. Otak mereka yang hanya diisi oleh kenikmatan duniawi, sudah membayangkan kemulusan tubuh Wulan saja. Tubuh yang sudah mereka incar berulang kali!

********************

Ki Sukirah terus melangkahkan kakinya menyusuri jalan berdebu menuju ke rumahnya. Bagi yang melihatnya, langkah kaki Ki Sukirah sepertinya langkah yang sia-sia. Karena semua orang tahu kalau rumahnya kini tinggal reruntuhan puing berdebu. Tapi Ki Sukirah tak peduli, sepotong perasaan dan hatinya seperti masih tertinggal di sana. Dan dia terus melangkahkan kakinya... tak peduli lagi dengan ancaman Wira Perakin untuk mencari anak dan istrinya.

Pikiran dan otak tua Ki Sukirah tak menyadari kalau dirinya terus diikuti ke mana saja kakinya melangkah. Ki Sukirah terus saja melangkah. Dia tertegun melihat rumah-nya yang tinggal puing puing hitam habis terbakar. Tak ada lagi asap yang mengepul, seperti hati dan perasaannya yang mati dan tak punya harapan lagi untuk melanjutkan perjalanan hidupnya.

Jauh dari tempat Ki Sukirah berdiri, tampak Rangga dan Pandan Wangi sedang memperhatikan laki-laki tua yang sedang dirundung malang itu.

"Kau yakin, laki-laki itu Ki Sukirah?" tanya Pandan Wangi.

"Ya, aku pemah melihatnya sekali. Bahkan sempat menolongnya waktu itu," sahut Rangga.

"Aku tidak mengerti, kenapa Wira Perakin membebaskannya," gumam Pandan Wangi.

"Manusia licik seperti Wira Perakin punya seribu satu cara untuk memenuhi nafsunya," sahut Rangga pelan.

Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia melihat beberapa orang dengan jarak terpisah juga tengah mengawasi Ki Sukirah. Meskipun mereka tampak seperti penduduk biasa, namun mata gadis itu cukup jeli untuk mengetahui ada senjata tersembul di balik baju mereka.

"Kau benar, Kakang. Ki Sukirah tidak dilepaskan begitu saja," kata Pandan Wangi.

"Kau melihat mereka juga, Pandan?"

"Ya, mereka semua bersenjata."

"Kalau begitu, kau awasi mereka dari sini."

"Kau mau ke mana?"

"Memancing mereka."

Rangga terus melangkah tenang menuju ke arah Ki Sukirah yang masih berdiri mematung memandangi puing-puing rumahnya. Pandan Wangi mengamati sekitar dua puluh orang yang menyebar di berbagai tempat. Tampak pula olehnya seorang laki-laki tua mengenakan jubah kuning gading turut mengawasi Ki Sukirah. Dari jarak yang agak jauh terlihat gambar seekor kala hitam di tangan kanannya.

Sementara itu Rangga semakin dekat dengan Ki Sukirah. Kewaspadaannya pun tak pernah lepas pada orang-orang yang tengah mengawasinya Rangga berdiri di belakang Ki Sukirah, tangannya menepuk lembut pundak lelaki tua itu.

"Oh!" Ki Sukirah terkejut.

"Ssst ," Rangga memberi isyarat untuk bersikap biasa.

Ki Sukirah mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Begitu matanya melihat laki-laki tua berjubah kuning gading, langsung dia mengerti isyarat Rangga. Dia kenal laki-laki itu, dialah Galang Gembul. Tidak jauh dari Galang Gembul, tampak Kebo Rimang dan Demung Pari.

"Kau dijadikan pancingan oleh mereka, Ki. Sebaiknya jalan terus menuju hutan, biar di sana aku membereskan mereka," bisik Rangga pelahan.

"Bagaimana keadaan istri dan anakku?" tanya Ki Sukirah.

"Mereka baik-baik saja," sahut Rangga.

"Oh, syukurlah," desah Ki Sukirah lega.

"Mari aku antar kau mencari anak dan istrimu," kata Rangga sengaja agak keras, untuk memancing reaksi orang-orang yang tengah menguntit.

"Apakah jauh dari sini?" tanya Ki Sukirah juga dengan suara sedikit keras.

"Cukup jauh juga, mereka di tempat yang aman."

Ki Sukirah tersenyum lebar, dia melangkah di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Perasaannya benar-benar tenang sekarang, dia yakin kalau istri dan anaknya dalam keadaan selamat dan tenang di tempat yang aman. Dia juga tahu kalau Rangga sekarang bukan mengajak ke tempat istri dan anaknya berada.

Pancingan Rangga memang tepat. Orang-orang suruhan Wira Perakin mengikuti ke mana Ki Sukirah dan Rangga pergi. Sedangkan Pandan Wangi juga mulai mengikuti dari jarak yang cukup jauh.

Selama dalam perjalanan, Rangga terus berbicara dengan suara agak keras. Ki Sukirah menanggapi semua pembicaraan Pendekar Rajawali Sakn ini dengan mimik serius. Padahal pembicaraan itu untuk memancing mereka yang terus mengikuti. Rangga tersenyum dalam hati karena akalnya cukup mengena tanpa hambatan sedikit pula.

********************

Matahari sudah condong ke Barat ketika Rangga dan Ki Sukirah memasuki hutan. Mereka terus berjalan semakin masuk ke dalam hutan yang lebat. Hingga pada saat yang tepat, secepat kilat Rangga menyambar tubuh Ki Sukirah. Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak, sehingga tahu tahu sudah lenyap dari pandangan mata para penguntitnya.

Melihat buruannya hilang, Galang Gembul langsung melompat cepat. Kebo Rimang dan Demung Pari juga berbuat sama Mereka benar-benar kaget, karena Rangga dan Ki Sukirah menghilang tanpa seorang pun di antara mereka melihatnya!

"Kurang ajar! Ke mana mereka pergi?" geram Galang Gembul.

Sementara itu, sekitar dua puluh orang lainnya sudah sampai di tempat Galang Gembul berada. Mereka semua juga kebingungan, karena orang yang mereka kuntit men-dadak hilang tak berbekas. Galang Gembul memberi perintah untuk mencari di sekitar tempat mereka berdiri.

"Jangan-jangan ini cuma jebakan saja, Gusti," kata Kebo Rimang menduga-duga

"Hm...," Galang Gembul menggumam tak jelas.

"Aku menduga mereka tidak menuju ke tempat yang sebenarnya," kata Demung Pari menyambung.

Galang Gembul tersentak begitu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tempat di mana mereka berada dikelilingi batu baru yang curam. Segera dia menyadari kalau mereka sengaja digiring dan dijebak.

Mendadak terdengar suara gemuruh. Lalu disusul dengan bergetarnya tanah yang mereka pijak. Dan belum lagi mereka sempat berpikir, di sekeliling mereka telah ber-guguran baru batu dari atas tebing. Begitu cepatnya kejadian itu berlangsung, hingga Galang Gembul tak sempat lagi memberi peringatan. Batu-batu berguguran menghujani orang-orang yang berada di bawahnya.

Jerit kematian menggema saling bersambut dengan suara gemuruh batu batu yang meluncur dari atas tebing. Galang Gembul berlompatan menghindari batu batu itu. Kebo Rimang dan Demung Pari juga tak kalah sibuknya. Mereka langsung mengeluarkan senjatanya masing masing menghalau setiap batu yang meluncur ke arah mereka.

Akibatnya sungguh mengerikan Semua pengikut dan kaki tangan Wira Perakin tewas mengenaskan. Mayat-mayat mereka menggeletak mengerikan. Mereka tewas dengan kepala dan tubuh yang tertindih batu batu. Tinggal Galang Gembul, Kebo Rimang dan Demung Pari yang masih bertahan. Ketiga orang itu pun tampak kepayahan.

"Setan...!" Galang Gembul memaki keras.

Muka laki-laki yang benubah kuning gading itu merah padam melihat dua puluh orang-orangnya tewas tanpa mampu membalas. Sementara Kebo Rimang dan Demung Pari semakin waspada dengan senjata di tangan. Suasana di tempat itu mendadak sepi.

"Keluar kau, Setaaan...!" teriakan Galang Gembul menggema keras.

"Tidak perlu berteriak-teriak, Kakek Tua! Aku di sini!" sahut sebuah suara bernada tenang.

Galang Gembul, Kebo Rimang dan Demung Pari ter-sentak kaget. Tahu tahu Rangga sudah berdiri di atas sebuah batu besar. Di samping Pendekar Rajawali Sakti itu, berdiri Pandan Wangi dengan kipas baja putihnya di tangan.

"Dia yang selalu menolong Ki Sukirah, Gusti," ucap Kebo Rimang memberitahu.

"Hm..., jadi kau rupanya yang telah membunuh orang-orangku, heh!" dengus Galang Gembul.

"Benar!" sahut Rangga tenang. Nada suaranya mengandung tantangan yang menyakitkan.

"Kurang ajar! Kau sudah bosan hidup rupanya. Anak Setan!" geram Galang Gembul sengit.

"Kita lihat saja siapa yang bosan hidup...?"

"Monyet! Hiyaaa...!"

Galang Gembul tidak bisa lagi menahan amarahnya. Dia langsung melompat menerjang Rangga. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindari lagi. Rangga melayani serangan Galang Gembul dengan jurus-jurus andalannya. Sedangkan Galang Gembul sudah menghunus senjatanya yang berupa golok besar berwarna hitam pekat.

Wut, wut, wut!

Galang Gembul semakin bernafsu, setiap serangannya dimentahkan di tengah jalan oleh Rangga. Sudah hampir seluruh kemampuannya dia kerahkan, tapi belum juga dia bisa menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Galang Gembul jadi semakin kalap dan merasa dipermainkan, dia pun segera mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang terdahsyat!

"Hih.. !" Rangga terkesiap juga melihat ilmu itu.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian andalannya yang digunakan terhadap lawan tangguh. Sekejap saja kedua tangan Rangga memancarkan cahaya biru menyilaukan mata.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'!" teriak Rangga.

Bersamaan dengan itu, tubuh Galang Gembul melompat cepat meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tangan Rangga terangkat naik, dan menerima kedua tangan Galang Gembul yang menjulur ke depan.

Ledakan keras terdengar begitu kedua tangan itu saling beradu Rangga tidak bermain-main lagi, dia langsung mengerahkan tingkat akhir dan aji 'Cakra Buana Sukma'. Tubuh Galang Gembul terpental kencang ke belakang begitu kedua tangannya membentur tangan Rangga. Sedang Pendekar Rajawali Sakti itu tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit pun.

Galang Gembul meluncur deras membentur dinding batu cadas dengan keras. Begitu kerasnya, hingga dinding batu itu bergetar dan berguguran! Tak ampun lagi, batu-batu yang berguguran itu menimpa tubuh Galang Gembul, hingga seluruh tubuhnya tak ada yang terlihat lagi. Galang Gembul tewas seketika

"Mau lari ke mana kau! Hiyaaa...!" bentak Pandan Wangi yang sejak tadi mengawasi Kebo Rimang dan Demung Pari.

Kebo Rimang terkejut setengah mati, buru-buru dia mengibaskan pedangnya ke arah bayangan biru yang menerjangnya. Namun Kebo Rimang jadi tersentak begjtu pedangnya beradu dengan benda keras bertenaga dahsyat. Tangan Kebo Rimang bergetar hebat, dan pedangnya nyaris terlepas dari tangan.

Belum sempat dia menyadari apa yang barusan terjadi, mendadak sebuah tendangan geledek menghantam dadanya. Kebo Rimang mengeluh pendek, dan tubuhnya sempoyongan terdorong ke belakang. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu langsung menjatuhkan dirinya begitu datang serangan berikutya yang sangat cepat bagai kilat.

Bret!

"Akh...!" Kebo Rimang memekik tertahan.

Tanpa diduga sama sekali, kipas baja putih milik Pandan Wangi merobek bahu kiri Kebo Rimang. Darah bercucuran dari luka yang panjang dan dalam di bahu kiri. Kebo Rimang meringis merasakan perih pada bahunya yang terluka. Pandan Wangi berdiri tegak dengan kipas baja putih terbuka di depan dada.

"Kau lebih baik mati, Setan!" geram Pandan Wangi sengit.

Pandan Wangi lalu berteriak nyaring dan bergerak cepat seraya mengebutkan kipas saktinya. Kebo Rimang hanya bisa mendelik. Mendadak dia merasakan sesuatu yang sangat sangat keras menusuk tubuhnya. Tanpa sempat bersuara sedikit pun, Kebo Rimang langsung tewas saat itu juga.

Pandan Wangi berdiri sejenak memandang tubuh Kebo Rimang yang tergeletak tanpa nyawa itu. Dia baru menoleh ketika merasakan tepukan lembut di pundaknya.

"Kenapa kau biarkan satunya lolos?" tanya Pandan Wangi.

"Biar dia memberitahu pimpinannya," sahut Rangga tenang.

"Huh! Tanganku rasanya gatal jika melihat kejahatan di depan mata," dengus Pandan Wangi.

"Tapi tidak seharusnya kau berlaku begitu sadis."

"Orang-orang seperti mereka tidak perlu dikasih hati."

Rangga cuma tersenyum. Belakangan ini dia memang lebih arif pada lawannya, seringkali dia membiarkan lawan-nya pergi jika dianggapnya sudah tak berdaya menghadapi dirinya. Kecuali kalau lawannya benar-benar telah berbuat kejahatan di luar batas.

"Bagaimana kedaan Ki Sukirah?" tanya Pandan Wangi.

"Mereka sudah berkumpul di gubuk Dimas," sahut Rangga.

"Begitu cepat..?!" Pandan Wangi merasa heran.

"Tidak jauh lagi dari sini, kan?"

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Dia seolah baru tahu siapa Rangga. Jarak dari tempat mereka berada sekarang sebenamya cukup jauh dan harus melewati tebing-tebing berbaru untuk mencapai gubuk Dimas. Tapi bagi Rangga hal itu bukanlah menjadi soal.

"Ayo...." ajak Rangga.

Baru saja mereka hendak melangkah, mendadak muncul Dimas dari balik tebing batu yang tinggi. Rangga dan Pandan Wangi mengurungkan niatnya untuk meninggalkan tempat itu. Dimas menghampiri kedua pendekar muda itu. Tiba-tiba ia sangat terkejut melihat gambar kala hitam pada salah satu sosok mayat itu! Gambar yang mengingatkannya kembali pada peristiwa yang menimpa kakak perempuannya lima belas tahun yang lalu. Dimas seolah tak percaya pada penglihatannya, matanya terus menatap mayat Galang Gembul.

"Rupanya mereka ada di sini!" Dimas seperti ber-gumam. "Huh! Wira Perakin, rupanya kau dalang dari semua ini!" geram Dimas seraya bangkit berdiri.

"Dimas...," panggil Pandan Wangi pelan.

Dimas menoleh, memandang kedua pendekar yang berdiri di dekatnya. Sinar matanya begitu tajam dan berapi-api. Api dendam yang bersemayam bertahun-tahun di hatinya, kini kembali berkobar begitu melihat salah seorang yang memperkosa dan membunuh kakaknya ternyata ada di sini!

"Ada apa denganmu, Dimas?" tanya Pandan Wangi.

"Sekarang saatnya biar aku yang membunuh mereka!" dengus Dimas sedikit tersengal.

Pandan Wangi memandang Rangga tak mengerti. Keduanya lalu hampir berbarengan menoleh ke arah Dimas. Pelahan-lahan keduanya mendekat. lalu mengajak Dimas untuk menjauhi tempat itu.

Mulanya Dimas merasa enggan, tapi teringat akan jasa Rangga dan Pandan Wangi, akhirnya dia pun menceritakan semuanya. Menceritakan tentang nasib kakak perempuannya yang malang. Menceritakan tentang nasib Ki Sukirah dan keluarganya. Dan mengungkapkan dendam kesumat-nya pada orang-orang yang telah menoreh luka panjang di hatinya.

"Hm..., kalau memang orang itu salah seorang yang membunuh kakakmu berarti masih ada empat orang lagi," kata Rangga setengah bergumam.

"Ya, dan aku yakin mereka ada hubungannya dengan si tua bangka Wira Perakin," sahut Dimas.

"Bagaimana kalau kita kembali ke desa?" usul Pandan Wangi.

"Untuk apa?" tanya Rangga.

"Membantu Dimas mencari orang-orang itu." sahut Pandan Wangi.

"Apa benar mereka pasti di sana?"

"Paling tidak, kita bisa menyelesaikan persoalan Wira Perakin!"

"Bagaimana, Dimas?" Rangga meminta pendapat pada yang berkepentingan.

"Aku percaya saja pada kalian berdua," sahut Dimas mulai tenang.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" sergah Pandan Wangi segera.

"Ya, kalau mau bergerak memang harus cepat!" timpal Rangga sambil beranjak pergi. Dan tiga orang pemuda itu pun segera berjalan beriringan menuju sasaran yang mereka cari!

********************

ENAM

Wira Perakin menggeram hebat mendengar laporan Demung Pari Galang Gembul, salah seorang kepercaya-annya bersama dua puluh pengikut lainnya tewas oleh hanya tiga orang anak muda! Begitu juga dengan Arya Mahesa, Cakala Pati dan Antasuro, sulit menerima kenyataan kalau Galang Gembul dan kawan-kawannya begitu mudah dijebak.

"Ini tidak bisa didiamkan, Wira Perakin. Bocah setan itu harus mampus sebelum menjadi dun untuk selamanya," kata Cakala Pari sengit

"Benar! Kita harus cepat membereskannya," sambung Arya Mahesa.

"Kau tahu, di mana Anak Setan itu berada?" tanya Wira Perakin pada Demung Pari.

"Di hutan sebelah Utara dari desa ini."

"Kau yakin?" desak Antasuro.

"Rasanya bukan, Gusti. Tempat itu seperti perangkap. Dikelilingi oleh bukit bukit batu yang mudah longsor. Kami terjebak di sana, dua puluh orang tewas tertimbun batu longsor."

"Kurang ajar!" geram Wira Perakin.

"Apa tindakan kita selanjutnya, Wira Perakin?

"Pancingan sudah lolos tanpa mendapatkan hasil," kata Cakala Pari.

Wira Perakin tidak menjawab. Pikirannya mendadak jadi buntu. Kekalahan demi kekalahan telah menimpa pihaknya. Sudah banyak orang orang yang tewas hanya karena tiga anak muda yang membantu Ki Sukirah. Wira Perakin seperti putus asa, tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuatnya, sedangkan wajah Wulan yang ayu selalu mengganggunya sebap saat, dan dia merasa ditantang untuk mendapatkan gadis itu.

"Kalian cari setan setan itu! Pakai otak kalian sendiri!" ucap Wira Perakin keras.

Wira Perakin beranjak pergi dari ruangan besar yang digunakan sebagai tempat pertemuan ini. Cakala Pati, Arya Mahesa dan Antasuro hanya saling pandang. Wira Perakin tidak peduli lagi apa yang akan dilakukan orangnya-orangnya. Dia langsung masuk ke kamar peraduannya. Di dalam kamar itu telah menunggu seorang perempuan muda dan tampak genit. Wanita itu hanya melilitkan kain sutra tipis putih di tubuhnya.

Sementara itu jauh di luar rumah besar yang dijadikan tempat bnggal Wira Perakin, tampak Rangga bersama Pandan Wangi dan Dimas tengah duduk-duduk di dalam sebuah kamar penginapan. Sengaja Rangga membuka jendela kamar, agar bisa mengamatj keadaan di luar. Dan bba bba terdengar pintu kamar diketuk dari luar.

Dimas bangkit berdiri dan melangkah menghampiri. Dia membuka pintu pelahan lahan dan mengintip keluar, kemudian membukanya lebar-lebar. Seorang laki-laki tua segera masuk ke dalam. Dimas segera menutup kembali pintu itu. Dia masih berdiri di pintu yang sudah tertutup. Rangga berdiri bersandar di samping jendela yang terbuka, sedangkan Pandan Wangi duduk di kursi tidak jauh dari jendela.

"Ada yang ingin kau sampaikan, Ki Parung?" tanya Dimas.

"Benar. Ada tiga orang saudara Wira Perakin datang kemari tadi, mereka menanyakan kalian bertiga," sahut Ki Parung, pemilik penginapan ini.

"Lalu, Ki Parung bilang apa?" tanya Dimas lagi.

"Aku katakan kalau kalian tidak berada di sini."

"Bagus," kata Pandan Wangi seraya bangkit mendekat.

"Ada sepuluh orang yang berjaga-jaga di penginapan ini Mereka dipimpin oleh Demung Pari. Juga seluruh desa ini selalu diawasi. Wira Perakin sudah memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap siapa saja yang dicurigai," tutur Ki Parung.

"Bagaimana, Kakang?' Pandan Wangi meminta pendapat pada Rangga.

"Kau pancing mereka keluar desa, aku dan Dimas akan menunggu di sana," Rangga membuka suara.

"Demung Pari sudah mengenaliku," sergah Pandan Wangi.

"Itu lebih bagus lagi. Kalau bisa, kau pancing tiga orang saudara Wira Perakin itu, syukurlah bila dia sendiri ikut terpancing."

"Terlalu berbahaya...," gumam Dimas tidak menyetujui.

"Benar!" sambung Ki Parung. "Nona sangat cantik, Wira Perakin tidak akan nelepaskan wanita cantik begitu saja. Mereka sangat liar dan buas pada perempuan-perempuan cantik! Bahaya sekali, Nona!"

"Dia bisa mengatasinya, Ki Parung. Kalian berdua tidak perlu khawatir," kata Rangga sambil melirik Pandan Wangi.

"Justru kelemahan itu yang harus kita manfaatkan," sambung Pandan Wangi.

"Tapi...," Dimas merasa sayang kalau Pandan Wangi dijadikan umpan.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebelum mereka menjamah tubuhku kipas mautku akan bicara lebih dulu," sergah Pandan Wangi cepat

"Nah! Sekarang bersiaplah," kata Rangga. "Kau segera ke batas desa sebelah Timur, Dimas. Aku sendiri akan menjaga Pandan Wangi dari kejauhan. Terima kasih atas bantuanmu, Ki Parung."

"Seharusnya aku atas nama penduduk desa ini yang mengucapkan terima kasih pada kalian, karena orang-orang itu terlalu kejam dan menyengsarakan penduduk," balas Ki Parung.

Rangga tersenyum. Dimas membuka pintu, membiarkan Ki Parung keluar. Kemudian dia sendiri ikut keluar bersama lelaki tua pemilik penginapan ini. Rangga memberi isyarat, dan Pandan Wangi langsung melompat ke luar melalui jendela. Rangga mengikutinya seraya menutup jendela kamar Itu.

Pandan Wangi melenting berlompatan dari atap rumah yang satu ke atap rumah lainnya, dan baru berhenti di atas tembok benteng rumah besar. Tampak beberapa orang dengan senjata tersandang berjaga-jaga di sekitar tembok itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pandan Wangi, hingga tak seorang pun yang mengetahui kehadirannya.

"Aku harus memancing Wira Perakin, itu yang paling penting dari pada yang lainnya." gumam Pandan Wangi dalam hati.

Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu segera melompat turun dari atas atap Namun begitu kakinya menjejak tanah, sebatang tombak meluncur ke arahnya. Pandan Wangi segera memiringkan tubuhnya, sehingga tombak itu lewat di samping pinggangnya.

"He... he... he..., rupanya ada kelinci cantik menyusup ke sarang macan," Wira Perakin muncul dari balik pohon.

Pandan Wangi terkejut Dia tidak menyangka kalau kehadirannya bisa diketahui dengan cepat oleh laki-laki tua yang masih tegap ini. Belum hilang rasa terkejutnya, muncul lagi tiga orang laki laki yang sebaya dengan Wira Perakin.

"Hm...," Pandan Wangi bergumam pelan. Matanya melihat gambar kala hitam besar di tangan mereka. "Pasti orang-orang ini yang dicari Dimas."

"Suiiit...!" tiba-tiba Wira Perakin bersiul nyaring.

Seketika itu juga bermunculan orang-orang dengan pedang terhunus. Mereka rata-rata memegang senjata sejenis golok yang besar berkilatan dibmpa sinar matahan Tampak Demung Pari dan Jaran Kedung ada di sini. Pandan Wangi kaget begitu melihat orang-orang yang berjumlah sekitar dua puluhan itu kini telah mengepungnya.

"He... he... he..., cantik sekali kelinci ini," kata Wira Perakin terkekeh. Bola matanya menatap liar penuh nafsu pada Pandan Wangi.

"Hati-hati, Wira Perakin," bisik Cakala Pati mengingatkan.

"Aku tahu," sahut Wira Perakin, "tangkap dia!"

Orang-orang yang berjumlah tak kurang dari dua puluh orang itu segera melompat maju ke depan. Gadis itu segera mencabut kipas mautnya dari ikat pinggang.

"Majulah kalian semua.'" dengus Pandan Wangi.

"Hiyaaa...!"

"Hiyaaa...!"

Orang-orang yang mengenakan seragam kuning keemasan itu langsung berlompatan menerjang Pandan Wangi Pandan Wangi pun siap siaga Dengan kipas maut di tangan, dia langsung mengamuk bagaikan singa betina yang diganggu tidurnya. Dan tak tanggung-tanggung lagu, Pandan Wangi langsung mengeIuarkan jurus-jurus saktinya.

Dalam waktu yang tak berapa lama, lima orang sudah meregang kaku tak bernyawa. Lalu satu per satu orang-orang yang mengeroyoknya bergelimpangan tersambar ujung kipas baja yang berkelebatan cepat dan sulit diikuti mata itu. Mereka memang bukan tandingan Pandan Wangi Dan dalam waktu yang singkat pengeroyoknya hanya tinggal lima orang.

"Kurang ajar!" geram Wira Perakin melihat orang-orangnya nyaris terbabat habis.

Wira Perakin memerintahkan Demung Pari membekuk Pandan Wangi. Demung Pari segera melompat sambil berteriak nyaring.

"Mundur...!"

Lima orang yang tersisa segera berlompatan mundur. Pandan Wangi merintangkan kipas baja saktinya ke depan dada. Kedua bola matanya tajam menatap Demung Pari yang sudah menghunus senjatanya berupa golok besar berwarna hitam.

"Sebaiknya kau menyerah saja, Anak Manis. Percuma saja kau melawan," kata Demung Pari

"Jangan banyak omong! Ayo maju, kalau ingin kepala-mu kupisahkan dari badan!" sentak Pandan Wangi sengit.

"Menyesal sekali, aku harus merobek mulutmu yang indah," dengus Demung Pari menggeram.

Demung Pari melenting sambil mengibaskan goloknya ke arah Pandan Wangi. Gadis itu memutar tangannya menghadang sabetan golok Demung Pari.

Trang!

"Ikh!" Demung Pari kaget bukan main.

Buru-buru dia menarik goloknya. Seluruh persendian tulang lengannya terasa nyeri. Dia benar-benar tidak menyangka kalau gadis ini memiliki tenaga dalam yang tinggi juga. Demung Pari menggeram keras. Dia tak mau lagi menganggap enteng lawannya.

"Kubunuh kau, Setaaan...!"

"Uts!"

********************

Sementara itu Dimas yang menunggu di luar batas desa sudah merasa tak enak hati. Sudah cukup lama dia menunggu, tapi Rangga dan Pandan Wangi belum muncul juga. Dimas masih mengawasi jalan yang se harusnya ditempuh Pandan Wangi untuk memancing Wira Perakin dan orang-orangnya keluar sarang. Tapi jalan itu tetap saja terrrhat sepi, tak seorang pun terlihat melintasinya.

Jantung Dimas seketika berdetak kencang begitu melihat Rangga berlari-lari cepat ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan terbang, sebentar saja dia sudah berada di depan Dimas.

"Bagaimana...?" tanya Dimas tak sabar.

"Aku kehilangan jejak," sahut Rangga sambil mengatur napasnya.

"Maksudmu?" Dimas tak mengerti.

"Pandan Wangi berbelok arah, dia menyimpang dari rencana semula."

"Celaka!" seru Dimas.

"Kita tunggu saja beberapa saat di sini."

Dimas terlihat gelisah. Dan tiba-tiba terdengar derap langkah kaki kuda dipacu cepat Tampak debu mengepul dari ujung jalan. Rangga dan Dimas siap siaga, tapi....

"Ki Parung...," desis Rangga mengenalnya.

Rangga langsung melompat cepat diikuti Dimas. Kuda yang ditunggangi Ki Parung meringkik keras sambil meng-angkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi begitu Rangga tiba-tiba menghadang jalannya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menarik tali kekangnya, hingga Ki Parung tidak jatuh.

Ki Parung bergegas turun dari punggung kudanya. Wajah dan bajunya kotor, penuh debu yang bercampur peluh. Laki-laki tua pemilik penginapan Itu tersengal-sengal saat menghampiri Rangga dan Dimas yang memegangi tali kekang kuda.

"Ah, oh...!" Ki Parung masih tersengal napasnya.

"Ada apa, Ki?" tanya Rangga sedikit cemas.

"Celaka! Gawat..!" sahut Ki Parung masih tersengal- sengal.

"Apa yang terjadi?" desak Dimas.

"Wira Perakin mengetahui rencana kita," suara Ki Parung mulai terdengar tenang.

"Bagaimana bisa begitu?" Rangga tidak percaya.

"Salah seorang pembantuku berkhianat, dia yang melaporkan rencana kita."

"Bajingan!" geram Dimas.

"Lalu, bagaimana dengan Pandan Wangi?" Rangga bertanya cemas.

"Aku tidak tahu, tapi semua orang-orang Wira Perakin ditarik pulang."

"Ini sangat berbahaya! Kemungkman besar Pandan Wangi pergi ke rumah itu," gumam Dimas.

Rangga terdiam. Memang bisa jadi Pandan Wangi ke rumah itu. Masalahnya jadi lain sekarang, sudah pasti Wira Perakin mengetahui kehadiran Pandan Wangi. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga segera melompat meninggalkan tempat itu.

"Rangga...! Tunggu!" teriak Dimas seraya melompat mengikuti.

Ki Parung jadi melongo. Dia tertegun beberapa saat menyaksikan dua orang muda yang berilmu tinggi itu berloncatan cepat bagai terbang. Dia segera sadar dari rasa kagumnya, kemudian cepat-cepat naik ke atas punggung kuda. Kuda putih itu pun segera digebahnya.

Sementara itu Dimas mengerahkan seluruh kekuatan-nya untuk menyusul langkah Rangga. Tapi walaupun dia mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja dia tertinggal jauh oleh Rangga yang tingkatan ilmunya jauh lebih tinggi.

"Rangga, tunggu...!" teriak Dimas terengah-engah sambil terus mengejanya.

Pendekar Rajawali Sakti itu tetap tidak mempedulikannya. Dia terus saja berlompatan menuju rumah besar tempat tinggal Wira Perakin. Tempat di mana para pengawal si Tua Bangka itu telah ditarik kembali ke sana! Jika Pandan Wangi benar-benar pergi ke rumah itu, tentu keadaannya sangat berbahaya sekali! Sama saja dia menerobos sarang macan yang sudah siap menerkamnya!

********************

TUJUH

Demung Pari kewalahan juga menghadapi Pandan Wangi. Apalagi di tangan gadis itu kini tergenggam pedang pusaka Naga Geni. Pedang itu memancarkan sinar merah yang berkelebatan mengurung tubuh Demung Pari. Dengan dua senjata di tangan, lawannya itu kerepotan menghindan serangan serangan yang cepat dan berbahaya dari Pandan Wangi.

Sudah puluhan jurus berlalu, dan tampaknya Pandan Wangi mulai berada di atas angin. Gadis itu tak memberi kesempatan sedikit pun pada lawannya untuk balas menyerang. Demung Pari tidak bisa berbuat banyak. Ruang geraknya semakin sempit, beberapa kali dia harus jatuh bangun menghindari serangan yang datang begitu cepat dan beruntun dari dua senjata Pandan Wangi.

"Hiyaaat..!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras.

Bersamaan dengan tubuhnya yang melenting tinggi ke udara, tangan kirinya mengibas seraya merentangkan kipas baja putihnya. Buru-buru Demung Pari mengangkat goloknya untuk melindungi kepala. Tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi malah menuju bagian bawah.

"Mampus kau!" bentak Pandan Wangi keras.

Seketika itu juga pedangnya berkelebat cepat membabat perut Demung Pari. Demung Pari mengeluh sejenak. lalu tubuhnya menggelosor ke tanah. Orang-orang yang berada di sekitamya bergumam ngeri melihat perut Demung Pari hampir terbelah dua. Pandan Wangi berdiri tegak. Dia memasukkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangkanya di punggung.

Ketegangan menyelimuti suasana di tempat itu. Wira Perakin, Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa terlihat menarik napas panjang. Dalam hati mereka mengakui kehebatan Pandan Wangi.

Suasana hening. Pandan Wangi memandangi empat orang yang berdiri berdampingan. Pandangan matanya berurutan menatap keempat orang itu satu per satu. Gadis ini tahu, keempat orang di hadapannya tentu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari yang lainnya.

"Kuakui kau hebat! Tapi jangan senang dulu, kau belum menang," kata Wira Perakin jujur memuji.

Pandan Wangi hanya tersenyum sinis.

"Jaran Kedung!" panggil Wira Perakin.

"Hamba, Gusti," sahut Jaran Kedung membungkuk hormat. Dia melangkah maju dua tindak.

"Keluarkan algojoku!"

"Segera, Gusti."

Jaran Kedung segera melangkah meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi tidak mengertj maksud Wira Perakin, tapi dia tetap waspada, kipas baja saktinya sudah ber-pindah ke tangan kanan, melintang terbuka di depan dada. Pandan Wangi bagaikan seorang dewi cantik pencabut nyawa.

Seorang laki-laki bertubuh besar bagaikan raksasa kemudian muncul mengiringi langkah Jaran Kedung. Tubuhnya nyaris telanjang, hanya cawat yang menutupi bagian bawah pusarnya. Dadanya penuh ditumbuhi rambut hitam keriring. Makhluk ini benar-benar bagaikan raksasa. Tinggi badannya tak bisa disamakan oleh manusia biasa.

"Buto Gendeng, kau lihat kelinci cantik itu?" tanya Wira Perakin. "Nah, dia kuserahkan untukmu"

"Grrr...!" manusia raksasa bemama Buto Gendeng itu menggeram keras. Matanya yang bulat merah menatap ganas pada Pandan Wangi.

"Dia calon istrimu, Buto Gendeng," lanjut Wira Perakin.

"Ha... ha... ha...!" Buto Gendeng tertawa terbahak-bahak.

Pandan Wangi bergidik juga melihat perawakan yang tinggi besar dan kasar itu. Dia menyumpah pada Wira Perakin yang tak berani secara jantan menghadapi dirinya. Jantung Pandan Wangi semakin berdegup kencang ketika manusia yang bagai orang utan itu mendekati. Di tangan kanannya tergenggam gada besar, lebih besar dari paha orang dewasa.

"Ha... ha.... ha...! Cantik..., cantik sekali...!" Buto Gendeng terbahak-bahak kegirangan menerima hadiah yang sangat menyenangkan hatinya.

"Phuih! Majulah, kupecahkan kepalamu!" dengus Pandan Wangi. Gadis itu telah menguatkan hatinya untuk menghadapi calon lawannya.

"Graaakhg...!" Buto Gendeng menggeram dahsyat.

"Ha ha ha...! Bawa dia ke kamarmu, Buto Gendeng," teriak Wira Perakin sambil tertawa terbahak-bahak.

Pandan Wangi mendelik geram pada laki-laki tua itu. Tak ada pilihan lain baginya bagaimanapun juga, dia harus membunuh manusia raksasa itu. Dia segera mencabut pedang pusakanya.

"Selamat bersenang-senang, Buto Gendeng!" seru Wira Perakin.

Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu memberikan isyarat agar semua orang menyingkir. Dia sendiri kemudian masuk ke dalam rumah diikuti Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa. Tapi Wira Perakin mendadak menghentikan langkahnya, dan tidak jadi masuk ke dalam. Lelaki itu membalikkan badannya.

"Hm..., aku merasakan ada tamu yang tak diundang," gumam Wira Perakin pelahan.

"Siapa?" tanya Cakala Pati.

Sebuah bayangan putih berkelebat cepat, dan tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan Wira Perakin dan lain-Iainnya. Dan belum lagi mereka sempat mengenalinya, menyusul lagi sebuah bayangan putih berkelebat mendarat di sampingnya. Kini di tengah-tengah halaman, sudah berdiri dua pemuda tampan berbaju putih. Mereka adalah Rangga dan Dimas.

Wira Perakin menjentikkan jarinya, seketika itu juga puluhan orang berseragam kuning keemasan bergerak mengurung. Dimas menggeretakkan rahangnya saat me-lihat empat orang yang berdiri di tangga masuk rumah, semuanya memiliki gambar kala hitam di tangan kanan. Merekalah yang selama ini dicarinya! Merekalah yang telah memperkosa dan membunuh Surti, kakak perempuannya!

"Hm..., akhimya bisa kutemukan juga...," gumam Dimas.

"Apa maksudmu?" tanya Rangga.

"Merekalah yang selama ini kucari-cari," sahut Dimas.

"Hm... jadi benar, Wira Perakin dan orang-orang-nya yang telah memperkosa dan membunuh kakakmu?"

"Benar. Aku tidak akan lupa dengan gambar di tangan itu! Gambar kala hitam...."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Empat orang lelaki itu memang memiliki gambar kala hitam di tangan kanannya. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedar-kan pandangannya berkeliling. Tidak kurang dari tiga puluh orang kini telah mengepung dirinya dan Dimas dengan senjata terhunus.

Rangga tersenyum sinis. Dia tahu benar, orang-orang yang cuma menjadi kaki tangan majikan biasanya hanya mengandalkan ilmu kanuragan tanpa memiliki ilmu kesaktian dan kekuatan tenaga dalam. Tidak terlalu sulit baginya menghadapi orang-orang seperti ini!

Rangga memusatkan perhatiannya pada empat orang yang telah membangkitkan dendam kesumat di dada Dimas. Sepintas saja Rangga telah dapat mengukur, bahwa Dimas tak akan mampu menghadapi mereka berempat sekaligus. Jika mereka maju satu per satu sekali pun, itu masih sangat sulit bagi Dimas.

"Wira Perakin, pandang aku baik-baik!" seru Dimas. "Lima belas tahun kita tidak bertemu. Lima belas tahun aku tersiksa karena hutangmu, kini aku datang untuk menagih hutang lama itu!"

"He he he..., Bocah! Bicaramu seperti orang tua saja. Lima belas tahun lalu, kau pasti masih seorang bocah ingusan!" Wira Perakin terkekeh.

"Benar, dulu aku memang masih anak-anak. Tapi aku tidak pernah lupa dengan perbuatan kalian, memperkosa dan membunuh kakak perempuanku!"

"Bocah! Kau jangan cari-cari perkara di sini, heh," bentak Cakala Pati. "Aku tidak kenal denganmu!"

"Dengar, kalian semua! Lima belas tahun lalu di Hutan Baka, lima orang kerasukan iblis memperkosa seorang perempuan lemah, kemudian membunuhnya tanpa rasa kasihan, disaksikan oleh seorang bocah berumur sepuluh tahun. Bocah kecil itu tak akan lupa seumur hidupnya. Dan dia bertekad membalas dendam dan membunuh lima laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya!" lantang suara Dimas.

Wira Perakin, Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa tersentak kaget. Ingatan mereka segera kembali pada peristiwa sekitar lima belas tahun silam, peristiwa yang untuk pertama kali mereka lakukan sebagai orang-orang yang merasa punya kekuatan. Dan tanpa diduga, peristiwa itu kini ternyata berbuntut panjang. Kini mereka sadar kalau anak muda yang berdiri di depan mereka adalah bocah kecil itu.

"Nah, bersiaplah kalian! Aku akan menagih hutang itu!" dengus Dimas.

Sret!

Dimas meloloskan pedangnya yang terbuat dari bahan perak murni. Mata pedang itu berkilauan tertimpa sinar matahari yang sudah agak condong ke arah Barat. Mata-nya tajam menatap lurus empat laki-laki tua di depannya.

Wira Perakin menepuk tangannya tiga kali. Dan segera saja sepuluh orang anak buahnya bergerak maju beberapa langkah lebih dekat ke arah dua anak muda itu. Di tangan mereka semua tergenggam golok berwarna hitam pekat. Dimas segera menyilangkan pedangnya di depan dada. Sementara Rangga sudah bersiap-siap mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Kedua tangannya seketika itu juga berubah menjadi merah membara bagai terbakar Pendekar Rajawali Sakti itu tampak tak ingin berlama-lama meladeni lawannya, hingga dia langsung mengeluarkan jurus andalannya itu.

"Bunuh mereka!" teriak Wira Perakin memerintah.

"Hiya, hiya, hiyaaa..!"

Sepuluh orang itu langsung berteriak menyerang Rangga dan Dimas. Dimas bergerak cepat membabatkan pedangnya yang bergerak liar bagaikan banteng terluka Dimas tak sungkan sungkan lagi membabat lawan-lawannya. Dendam kesumat di dadanya bagaikan air bah menemukan anak sungai, mengalir deras tak terkendali!

Sementara itu Rangga dengan dingin menghadapi lawan-lawannya. Setiap kali dia mengerahkan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', setiap kali itu pula satu nyawa melayang dengan dada hancur

Satu persatu orang-orang berseragam kuning keemasan itu roboh bergelimpangan. Dan dalam waktu singkat saja sepuluh orang lawan dua anak muda itu tak satu pun yang tersisa hidup. Wira Perakin yang menyaksikan pengikutnya dibantai tanpa ampun, langsung bertepuk tangan tiga kali lagi. Sepuluh orang lagi melompat maju. Namun semua itu tidak ada artinya bagi Rangga dan Dimas. Dengan mudah kedua pemuda itu membuat orang-orang yang mengeroyoknya jungkir balik bergelimpangan dengan tubuh bersimbah darah.

"Setan!" geram Wira Petakin, "maju kalian semua! Bunuh bocah-bocah setan itu!"

Wira Perakin semakin gusar melihat orang-orangnya dlbuat tidak berdaya oleh dua pemuda tangguh yang bertarung bagaikan banteng terluka Jerit kematian kembali membahana ditingkahi oleh bergelimpangannya tubuh-tubuh yang bersimbah darah segar. Dan dalam waktu yang tidak berapa lama, Iebih dan separuh sudah meng-gelimpang jadi mayat

Tiba-tiba Rangga melompat ke luar dari arena pertarungan Dia berdiri tegak menatap empat orang tua yang tetap berdiri dengan wajah gelisah dan geram. Sedangkan Dimas terus bertarung melawan sekitar delapan orang lagi. Kelihatannya anak muda itu benar-benar di atas angin.

"Pandan...!" tiba-tiba Rangga tersentak.

Telinganya yang setajam mata pisau bisa membedakan suara pertarungan yang tengah berlangsung dengan suara lain yang datangnya dari arah belakang rumah. Suara jeritan seorang wanita yang disertai suara menggeram bagai gorilla.

"Dimas, aku tinggal sebentar!" seat Rangga seraya melompat cepat ke atas atap

Wira Perakin dan yang lainnya terhenyak sesaat melihat begitu cepatnya Rangga bergerak. Cakala Pati langsung melenting tinggi ke udara mengejar Rangga. Sedangkan Arya Mahesa juga segera melompat, meluruk ke arah Dimas yang kini tengah menghadapi tiga orang lagi.

"Aku lawanmu Bocah Setan!" bentak Arya Mahesa.

"Bagus!" sambut Dimas yang memang sudah mengharapkan sejak tadi.

Tiga orang yang masih tersisa hidup, langsung melompat mundur. Mereka masih bisa bernapas lega, karena terhindar dari kematian. Bagaimanapun juga mereka merasa ngeri dan kehilangan keberanian melihat teman-teman mereka sudah habis dibantai.

********************

Rangga terperangah melihat Pandan Wangi kewalahan menghadapi manusia raksasa Beberapa kali pedang pusakanya menghantam tubuh lawannya, tapi Buto Gendeng tetap saja tegar. Tidak ada luka sedikitpun pada kulitnya yang kasar dan kotor, meskipun Pandan Wangi sudah mengerahkan seluruh kekuatannya pada pedang yang terus menerus menghantam bagian-bagian tubuh manusia raksasa itu.

Pandan Wangi benar-benar putus asa, tidak sedikit dia menerima pukulan dan tendangan dari Buto Gendeng. Baju dan tubuh gadis itu sudah kotor oleh debu yang bercampur keringat Pandan Wangi benar-benar tidak mampu lagi berbuat banyak, dan nyaris kehilangan akal. Aji 'Tapak Wisa' yang dimilikinya juga tidak berpengaruh sama sekali pada Buto Gendeng. Seluruh kemampuannya sudah ter-kuras, tapi manusia raksasa itu tetap saja tegar, bahkan semakin ganas dan liar.

"Pandan, minggir...!" teriak Rangga seraya melompat, menerjang Buto Gendeng.

"Oh, Kakang...," Pandan Wangi gembira melihat Rangga datang.

"Aaarghk...!" Buto Gendeng menggeram marah melihat ada orang lain yang langsung menyerangnya.

"Hati-hati, Kakang. Manusia aneh ini sangat kebal," kata Pandan Wangi setelah melompat menjauhi Buto Gendeng. Napasnya masih tersengal-sengal.

"Hm...," Rangga hanya bergumam. Dia seperti sudah mengerti apa yang harus diperbuatnya.

Rangga menghentikan gerakannya sejenak. Sesaat dia mengerutkan keningnya. Dia teringat dengan pengalamannya ketika menghadapi manusia raksasa yang pernah bentrok dengannya. Tapi yang ini kelihatannya lebih besar lagi, dan lebih ganas dari yang dulu! (Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Naga Merah).

"Menyingkirlah, Pandan. Biar aku yang hadapi manusia liar ini," kata Rangga seraya mendorong tubuh Pandan Wangi.

Pandan Wangi tak membantah, dia melangkah mundur menjauh. Dia percaya kalau Pendekar Rajawali Sakti itu dapat mengatasi kekebalan tubuh Buto Gendeng. Pandan Wangi memasukkan pedang pusakanya ke warangkanya. Sungguh dia tidak mengerb, pedang yang sangat dahsyat itu tidak berarti banyak buat Buto Gendeng. Mungkinkah manusia raksasa itu memiliki ilmu kekebalan yang sempurna? Kalau memang benar, tentu sukar bagi Rangga untuk mengalahkannya!

"Majulah! Hadapi aku!" geram Rangga

"Grrrh...!" Buto Gendeng menggeram sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ayo maju, biar kupecahkan kepalamu!" Rangga keras memancing kemarahan manusia raksasa itu.

Buto Gendeng menggerung-gerung marah. Matanya semakin merah. Gada sebesar paha manusia dewasa itu diayunkan-ayunkannya dengan cepat, sehingga menimbul-kan deru angin dahsyat bagaikan topan. Rangga sedikit goyah juga mendapat dorongan angin yang sangat dahsyat berhembus. Cepat-cepat dia mengeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

"Graaaghk...!" Buto Gendeng menggeram dahsyat.

Tiba-tiba saja gadanya dilayangkan ke tubuh Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya menghindari hantaman dahsyat dari gada Buto Gendeng. Secepat kilat dia menghantamkan pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna ke arah gada yang sangat besar itu.

Darrr!

Suara ledakan keras terdengar begitu tangan Rangga menghantam gada Buto Gendeng. Manusia raksasa itu menggeram dahsyat melihat gada miliknya pecah dan hancur. Cakala Pari yang berada tak jauh dari tempat pertempuran itu tersentak kaget melihat gada Buto Gendeng hancur dengan satu pukulan saja.

"Aaargh...!" Buto Gendeng meraung keras.

Sekuat tenaga dia melemparkan sisa gada tadi ke arah Rangga. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu mengelak. Potongan gada itu meluncur deras melewari kepala Rangga, langsung menghantam dua orang berseragam kuning keemasan yang tidak sempat menghindar.

Begitu kerasnya lemparan Buto Gendeng, sehingga dua orang yang tersambar gada itu langsung ambruk tak bernyawa. Buto Gendeng menggeram kembali, langsung dia melompat menerjang Rangga. Manusia raksasa itu mengamuk membabi buta. Pohon-pohon dan tembok hancur berkeping keping terkena hantaman tangan Buto Gendeng yang dahsyat. Rangga sedikit kerepotan juga menghadapi amukan manusia raksasa itu, tapi masih sempat dia mendaratkan beberapa pukulan mautnya ke tubuh Buto Gendeng. 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' itu tidak juga membuat Buto Gendeng reda dari amukannya bahkan semakin menjadi-jadi.

"Gila! Semua pukulanku mentah " dengus Rangga.

"Awas, Kakang...!" teriak Pandan Wangi tiba-tiba.

Terlambat! Satu hantaman keras dari Buto Gendeng mendarat telak di dada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu terpental sejauh dua batang tombak. Dia merasakan rongga dadanya sesak dan sulit untuk bernapas. Rangga buru-buru bangun dan melompat ketika melihat jejakan kaki Buto Gendeng. Bumi terasa bergetar begitu kaki manusia raksasa itu menghantam tanah.

Rangga segera mengumpulkan hawa murni untuk mengusir rasa sesak di dadanya. Pelahan-lahan dada Pendekar Rajawali Sakti itu terangkat, lalu tertahan beberapa saat, tak lama kemudian dadanya mengempis turun kembali. Buto Gendeng seperti tertegun melihat perbuatan lawannya yang dirasanya aneh itu.

"Terpaksa, aku harus menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'," gumam Rangga.

Sret!

Sinar biru membias terang menyilaukan begitu pedang Rajawali Sakti itu keluar dari warangkanya. Rangga bagaikan sesosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa dengan pedang sakti di tangannya. Buto Gendeng melangkah mundur dua tindak, kedua matanya menyipit memandang pedang yang berpamor sangat luar biasa itu. Cakala Pati yang sedari tadi menyaksikan jalannya pertarungan itu juga terperangah takjub melihat cahaya biru berkilauan menyilaukan mata. Rangga bergerak perlahan menggeser kakinya ke kanan Kedua matanya menatap tajam pada Buto Gendeng. Pedang pusakanya menyilang di depan dada.

"Majulah, aku akan menyerah kalau kau mampu menandingi pedang pusakaku." kata Rangga menggeram.

"Grrr...!" Buto Gendeng menggeram pelan.

Buto Gendeng sedikit membungkuk, bergerak perlahan menyusur tanah mengikuti gerak ki Rangga. Kelihatan sekali kalau manusia raksasa itu mulai bersikap hati-hati dan memperhitungkan kekuatan lawannya, terutama pada pedang yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka saling tatap dengan tajam, seolah sedang mencari jalan dan cara yang tepat untuk meringkus lawannya.

Sambil meraung keras, Buto Gendeng melompat cepat menerjang Rangga. Bagaikan seekor gorilla raksasa, Buto Gendeng meluruk seraya melayangkan pukulan keras. Rangga langsung melenting tinggi ke udara menghindari terjangan manusia raksasa itu. Bagaikan kilat kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti itu menghantam kepala Buto Gendeng secara beruntun.

Buto Gendeng menggerung keras menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia langsung berbalik cepat mengibaskan tangannya, namun Rangga sudah lebih cepat lagi melenting ke atas. Kembali kedua kakinya menghantam kepala manusia raksasa itu beberapa kali, hingga tubuh Buto Gendeng agak sempoyongan dibuatnya.

"Mampus, kau! Hiyaaa...!" teriak Rangga lantang.

Seketika itu juga pedangnya berkelebat bagaikan kilat ke arah dada Buto Gendeng yang baru saja memutar tubuhnya. Buto Gendeng meraung keras. Badannya terdorong mundur beberapa langkah. Ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti itu berhasil menggores kulit dadanya. Darah segar mengucur dari luka panjang di dada yang berbulu lebat itu.

"Sekarang giliran leher, hiyaaa...!" teriak Rangga seraya melompat cepat

Pedang yang memancarkan sinar biru itu kembali berkelebat cepat ke arah leher Buto Gendeng. Manusia raksasa itu meraung keras sambil membekap lehernya yang terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Kali ini Rangga bdak mau lagi memberikan kesempatan, satu tendangan geledek dia sarangkan ke dada, dan satu sabetan pedang lagi menghajar perut.

Buto Gendeng semakin keras meraung. Darah bercucuran deras membasahi tubuhnya. Melihat manusia raksasa itu sudah tidak berdaya lagi, Pandan Wangi yang memang sudah kesal dan mendendam, langsung melompat memberikan tendangan beruntun ke dada. Buto Gendeng bagaikan boneka raksasa mainan sekarang menjadi bulan-bulanan Rangga dan Pandan Wangi.

"Mampus, kau! Hiyaaa...!" teriak Pandan Wangi melengking tinggi.

Secepat kilat dia melompat dan menusukkan ujung kipasnya ke arah mata. Lagi-lagi Buto Gendeng meraung keras begitu dua biji matanya bolong bercucuran darah tertusuk ujung kipas Pandan Wangi. Belum lagi manusia raksasa itu berhenti meraung, tiba-tiba secercah cahaya biru berkebebat bagai kilat, dan...

Cras!

Buto Gendeng tak mampu lagi bersuara. Sebentar tubuhnya bergetar kemudian ambruk dengan kepala terpisah dari leher. Darah semakin deras mengucur dari tubuh yang penuh luka. Tubuh Buto Gendeng menggelepar-gelepar di tanah kemudian diam tak mampu bergerak lagi.

"Serang...! Bunuh mereka...!" Cakala Pati segera memerintahkan orang-orangnya.

Orang-orang yang sebenarnya sudah gentar itu berlompatan sambil berteriak-teriak mengacung-acungkan senjatanya. Tidak kurang dari lima belas orang meluruk menyerbu Rangga dan Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti merasa tak perlu menggunakan pedangnya, dia segera memasukkan pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung.

Lain halnya dengan Pandan Wangi yang sudah muak dan geram. Dia langsung mencabut pedang pusakanya, dan mengamuk menghajar orang-orang berseragam kurang keemasan itu. Rangga jadi tak mempunyai ruang gerak, akhimya dia melompat minggir dan hanya berdiri mengawasi. Hanya menghadapi Pandan Wangi saja orang-orang itu sudah berantakan. Jerit lengking kematian terdengar saling menyusul. Pandan Wangi mengamuk bagaikan singa betina terluka. Setiap kali pedang dan kipasnya bergerak, setiap kali itu pula dua nyawa melayang.

Menyadari tidak akan mampu menghadapi dua sejoli pendekar itu, Cakala Pati langsung mencelat kabur. Rangga yang sejak tadi mengawasi, tidak membiarkan laki-laki tua licik itu melarikan diri. Dia langsung mengejar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.

********************

DELAPAN

Sementara itu pertarungan antara Dimas yang dikerubuti oleh Wira Perakin, Arya Mahesa dan Antasuro terus berlangsung. Di sekitar mereka mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Bau anyir menyebar terbawa angin menusuk hidung. Tidak ada lagi pengikut Wira Perakin yang tersisa hidup. Mereka mati percuma oleh kekuatan yang jelas di atas mereka.

Dalam beberapa jurus, Dimas masih mampu melayani ketiga orang musuh yang selama ini dicarinya. Sedangkan Pandan Wangi yang sudah membereskan sisa-sisa pengikut Wira Perakin dihadang oleh Jaran Kedung saat dirinya hendak melompat menuju bagian depan bangunan itu. Terpaksa Pandan Wangi melayani Jaran Kedung yang memegang senjata berbentuk trisula di tangan kanan dan kirinya.

Lain halnya dengan Rangga, dia bertarung di atas atap melawan Cakala Pati. Jelas terlihat Pendekar Rajawali Sakti itu berada di atas angin. Beberapa kali pukulan dan tendangannya mendarat telak di tubuh Cakala Pati. Adik Wira Perakin itu sama sekali tak memiliki kesempatan untuk bertahan. apalagi menyerang. Dia berusaha mencari celah dan kesempatan untuk melarikan diri.

"Kau tidak bisa kabur, Cakala Pari. Kau harus mampus di sini!" Rangga menggeram seraya mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Huh!" Cakala Pati mendengus sengit Kedua bola matanya jelalatan ke sana kemari berusaha mencari-cari celah untuk melarikan diri.

Cakala Pati melangkah mundur melihat kedua tangan Rangga yang sudah berubah merah membara. Keringat dingin bercucuran membasahi wajah dan lehernya Ketakutan akan kematian yang bakal menjemputnya ter-bayang jelas di wajahnya yang mulai memucat. Dia sudah menyadari benar kalau dirinya tidak akan mampu menghadapi pendekar muda yang kini ada di hadapannya.

"Celaka, mati aku!" gumam Cakala Pati bergetar.

"Mampus kau, Iblis...!" bentak Rangga keras.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat seraya mengerahkan pukulan mautnya. Cakala Pati segera melompat menghindari sebelum pukulan jarak jauh yang dilontarkan Rangga itu mengenai tubuhnya. Atap tempatnya berpijak hancur berantakan terkena sambaran pukulan Rangga yang teramat dahsyat.

"Hiyaaat...!" Rangga berteriak nyaring.

Seketika itu juga tubuhnya mencelat tinggi ke udara, menyusul Cakala Pari yang masih berada di angkasa saat menghindari pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti itu. Kedua tangan Rangga menyentak dengan cepat ke depan. Seketika itu juga sinar merah meluruk deras ke arah Cakala Pati.

"Aaakh...!" Cakala Pati menjerit melengking.

Pukulan maut yang dilepaskan Rangga begitu telak menghantam dada. Tubuh laki-laki tua itu jatuh terjungkal menghantam atap. Secepat kilat Rangga memburu, dan menendang tubuh yang sedang bergulingan itu. Tubuh Cakala Pati meluruk deras kebawah, dan jatuh berdebum di tanah dengan keras. Seketika itu juga nyawanya langsung melayang.

Rangga berdiri tegak di atas atap. Matanya menatap lurus pada Dimas yang kelihatan mulai terdesak. Dugaannya tidak meleset, Dimas tidak akan mampu menandingj tiga orang lawannya yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian di atasnya Rangga tidak bisa lagi berdiam diri melihat Dimas yang semakin terdesak saja keadaannya

Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya di udara, meluncur ke bawah, dan bersalto dua kali sebelum mendarat dengan manis di tanah. Sejenak dia terpaku melihat tubuh Dimas yang bercucuran darah.

"Ha... ha... ha...! Mampus kau, Bocah Setan!" Wira Perakin tergelak melihat Dimas sudah tidak berdaya lagi.

"Dimas, mundur...!" seru Rangga. Dimas menarik napas panjang melihat Rangga tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Semangat anak muda itu tumbuh kembali, lupa dengan rasa sakit dan perih yang menyerang seluruh tubuhnya.

"Bagus! Biar kubuat dendeng kalian semua!" dengus Wira Perakin.

"Tua bangka tidak tahu diri! Kau tidak layak hidup di dunia ini!" sungut Rangga dingin.

"Ha ha ha..!" Wira Perakin tertawa terbahak-bahak.

"Kalian benar-benar tidak bisa mengukur tingginya gunung. Masih bau kencur sudah berani menantang Kala Hitam!" Antasuro mengejek seraya menyemburkan ludahnya.

Rangga menyentakkan tangannya dengan cepat tiga kali ke arah mereka. Suara ledakan keras terjadi begitu cahaya merah yang meluncur dari tangan Rangga menghantam tanah. Tampak tiga lubang menganga begitu debu yang mengepul oleh hantaman itu mulai menipis.

"Kusiapkan kuburan untuk kalian, setan-setan tengik!" geram Rangga.

"He... he... he .... permainan usang!" ejek Wira Perakin.

"Salah-salah, kau sendiri yang menyiapkan lubang kubur!" sambung Arya Mahesa.

"Kita lihat saja nanti, siapa yang lebih dulu masuk ke liang kubur!" tantang Rangga.

"Ha ha ha...!" tiga orang tua itu serempak tertawa terbahak-bahak.

Dimas menggeram menggeretakkan rahangnya. Dia sudah sangat muak melihat kesombongan tiga orang yang berjuluk Kala Hitam itu. Sementara Rangga melirik Pandan Wangi yang temyata pertarungannya sudah berpindah ke halaman depan.

*** Pertarungan antara Pandan Wangi dengan Jaran Kedung sudah berlangsung puluhan jurus. Dan tampaknya Jaran Kedung mulai terdesak dengan serangan-serangan Pandan Wangi yang sangat cepat dan berbahaya. Apalagi setelah gadis itu mengeluarkan pedang Naga Geni, pedang pusaka andalannya. Udara di sekitar tempat pertarungan itu menjadi panas oleh pedangnya yang mengeluarkan hawa panas yang semakin lama semakin membakar kulit.

Napas Jaran Kedung tampak mulai tersengal, tak bisa lagi menghirup udara segar untuk tubuhnya. Gerakan-gerakan jurusnya semakin kacau oleh serangan-serangan gencar Pandan Wangi yang sudah membaca keadaannya.

"Awas kaki...!" teriak Pandan Wangi tiba-tiba.

Secepat kilat gadis itu mengibaskan pedangnya ke arah kaki Jaran Kedung, buru-buru Jaran Kedung melompat menghindari tebasan pedang yang datang bagaikan kilat itu. Tapi tanpa diduga sama sekali. Pandan Wangi mengibaskan kipas mautnya yang berada di tangan kiri... Bret!

"Akh!" Jaran Kedung melenting sambil mendekap perutnya yang robek terkena sambaran kipas baja sakti.

Darah mengucur dari perut yang sobek cukup panjang. Jaran Kedung meringis merasakan sakit yang teramat sangat pada luka di perutnya. Dan belum lagi dia sempat menyadari posisi lawannya mendadak Pandan Wangi menusukkan pedangnya kearah dada.

Tring!

Jaran Kedung beruntung, dia masih bisa menangkis tusukan itu dengan trisulanya. Tapi tak urung tangan Jaran Kedung bergetar hebat, dan senjata yang diandalkannya itu terlontar ke udara, dan belum lagi dia sempat memperbaiki posisinya, kipas Pandan Wangi bagaikan kilat menghantam dadanya dengan telak.

"Ugh!" Jaran Kedung mengeluh pendek.

Selagi tubuh laki-laki itu terjajar ke belakang, Pandan Wangi memekik seraya bersalto di udara. Tepat ketika berada di atas kepala Jaran Kedung, pedang yang memancarkan cahaya merah itu berkelebat cepat.

Jaran Kedung tidak bisa mengelak lagi, pedang pusaka lawannya itu menghantam kepalanya hingga terbelah jadi dua bagian. Jeritan panjang terdengar jelas sebelum tubuhnya ambruk ke tanah.

Pandan Wangi menarik napas panjang sambil memasukkan kembali pedang pusakanya itu ke dalam warangkanya di punggung. Dia berdiri tegak di samping mayat Jaran Kedung. Sebentar dia menatap lawannya yang sudah menjadi mayat, kemudian beralih memandang Rangga dan Dimas yang masih berdiri berhadap-hadapan dengan Wira Perakin, Antasuro dan Arya Mahesa.

Rangga sempat memberikan senyum pada Pandan Wangi yang dibalas dengan manis oleh gadis itu. Dengan langkah tegap, Pandan Wangi menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri berdampingan dengan Dimas. Pandan Wangi berdiri tegak di samping Rangga. Kini imbang jadinya, tiga lawan tiga.

********************

Wira Perakin mengegoskan kepalanya sedikit, memberi isyarat pada dua orang yang mendampinginya. Arya Mahesa dan Antasuro mengerti, mereka lalu menggeser-kan badannya ke samping, menjauhi Wira Perakin. Pandan Wangi dan Dimas juga bergeser mengikuti arah kedua laki-laki tua itu bergerak.

"Hup!"

Wira Perakin melompati tiga lubang berjajar yang dibuat Rangga. Kedua kakinya menjejak tanah dengan tenang hanya sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti itu. Kini dua tokoh sakti itu sudah berhadapan dan saling bertatap muka dengan tajam, seakan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Bersiaplah untuk mati, Bocah!" kata Wira Perakin dingin dan datar. Tatapan matanya juga tampak dingin membeku.

"Silakan, aku pun tidak akan sungkan-sungkan mengirimmu ke neraka," balas Rangga tenang.

"Hm..., nyalimu besar juga," suara Wira Perakin terdengar sinis.

Rangga hanya tersenyum.

"Aku beri kau sepuluh jurus. Ayo, serang aku!" bentak Wira Perakin.

"Aku rasa, yang tua sebaiknya lebih dulu menyerang. Biar aku yang muda tidak kelihatan kurang ajar," sambut Rangga tetap tenang, namun nadanya jelas mengejek.

"Bedebah! Kau menghinaku, Bocah!"

"Terserah apa maumu!"

"Kurang ajar! Salahmu sendiri kalau mampus lebih dulu!"

"Aku jamin, tiga jurus saja kau pasti roboh!"

"Monyet buduk! Mampus, kau! Hiyaaa...!"

"Eits!"

Wira Perakin tidak dapat lagi mengendalikan amarah-nya. Telinganya terasa panas mendengar ejekan dan tantangan Rangga. Baru kali ini dia ditantang anak muda yang lebih pantas menjadi anaknya. Wira Perakin langsung menyerang dengan jurus-jurus mautnya, namun sedikit pun dia tidak berhasil menyentuh tubuh lawannya. Jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti itu masih ingin memancing emosi lawannya.

Sementara itu Pandan Wangi juga sudah bertarung dengan Antasuro, dan Dimas menghadapi Arya Mahesa. Pertarungan seru terjadi pada tempat yang tidak berjauhan. Sepertinya mereka tidak ingin jauh dari lubang yang dibuat Rangga untuk mereka yang kalah. Suatu pertarungan hidup dan mati!

Tidak ada lagi kata saling mengejek, tidak ada lagi kata saling menantang. Pertarungan untuk mengenyahkan kesewenang-wenangan, pertarungan untuk membalaskan dendam, dan pertarungan untuk mempertahankan kehormatan dan ambisi.

Meskipun dalam keadaan terluka. Dimas masih mampu menandingi Arya Mahesa, yang tingkat kepandai-annya masih di bawah Wira Perakin dan Antasuro. Semuanya memang, tanpa disadari oleh yang lainnya, sudah diatur oleh Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu memang sudah bisa memperhitungkan ketiga orang lawannya, dan memilihkan Arya Mahesa menjadi lawan Dimas.

Rangga selalu membagi perhatiannya pada Pandan Wangi dan Dimas, meskipun dirinya tengah bertarung hebat dengan Wira Perakin. Dia tidak ingin salah satu di antara mereka masuk lubang yang telah di buatnya sendiri, terutama Dimas, yang melawan Arya Mahesa dalam keadaan tubuhnya yang terluka.

Wira Perakin tidak menyadari kalau Rangga tengah mengeluarkan jurus 'Seribu Rajawali' tingkat pertama Gerakan-gerakannya tampak tidak beraturan seperti orang mabuk kebanyakan minum arak. Namun tetap saja gerakan-gerakannya tidak bisa dipatahkan oleh Wira Perakin, bahkan untuk menjangkaunya pun terasa sulit. Hingga lelaki tua itu merasa geram dibuatnya. Setiap kali Wira Perakin melontarkan pukulan dan tendangan, setiap kali itu pula Rangga bisa mengelakkannya dengan manis, hingga pukulan dan tendangan lawannya hanya menemui tempat kosong.

"Edan!" Wira Perakin mengumpat, pukulan mautnya luput dari sasaran.

"Sudah dua puluh jurus, Setan Tua," kata Rangga mengingatkan, tapi jelas nadanya mengejek. Bibirnya menyunggingkan senyum mengecilkan lawannya.

"Phuih! Jangan besar kepala dulu, Bocah! Tahan aji 'Pukulan Karang'ku!" geram Wira Perakin.

Seketika itu juga Wira Perakin merubah gerakannya. Dan setiap pukulan yang dilepaskannya sungguh berakibat dahsyat. Tembok dan pepohonan di sekitar mereka tumbang dan hancur terkena sambaran dan hantaman pukulan Wira Perakin. Dan Rangga sendiri kerepotan, angin pukulan lawannya membuat tubuhnya sempoyongan.

"Aku harus segera mengakhiri pertarungan ini. Dimas sudah kelihatan terdesak." gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu segera mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Kedua tangannya mulai diliputi cahaya biru berkilauan, lalu terulur ke depan. Wira Perakin yang sudah menerjang dengan aji 'Pukulan Karang'nya tidak bisa menarik tangannya kembali.

Glarrr...!

Satu ledakan keras terjadi begitu dua pasang tangan bertemu dan beradu kekuatan Wira Perakin sangat terkejut merasakan tangannya seperti membentur perekat yang sangat kuat. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan kedua tangannya dari telapak tangan Rangga.

"Uhk! Hiyaaa...!"

Wira Perakin mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melepaskan tangannya, namun semakin dia berusaha keras, semakin kuat saja tangannya menempel pada tangan lawannya, bahkan kini dia merasakan tenaganya mulai tersedot. Dan cahaya biru itu kini mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Aaakh...!" Wira Perakin menjerit keras begitu tubuhnya terbungkus sinar biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga.

"Hih! Hiyaaa...!" tiba-tiba Rangga berteriak keras.

Seketika itu juga dia menyentakkan tangannya dan tubuh Wira Perakin terjungkal ke belakang. Tanpa ampun lagi tubuh laki-laki tua itu terjatuh ke dalam lubang yang disiapkan Pendekar Rajawali Sakti. Darah kental kehitaman merembes keluar dari mulut dan hidungnya.

"Oh, akh!"

Pelan-pelan Wira Perakin berusaha bangkit, tapi Rangga cepat menekan dada lelaki itu dengan kaki kanannya. Kembali tubuh laki-laki tua itu telentang dalam lubang. Wajah Wira Perakin pucat pasi membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Kini dia benar-benar tak berdaya, tenaganya tersedot habis oleh aji 'Cakra Buana Sukma'.

Tepat pada saat itu, Pandan Wangi memekik keras sambil melenting tinggi ke udara. Pedang Naga Geni dia kibaskan dengan cepat, dan...

"Aaakh...!" Antasuro menjerit sambil mendekap dadanya yang hampir terbelah oleh pedang yang membabatnya.

Pandan Wangi melayangkan kakinya menghantam dada Antasuro, tubuh laki-laki itu mental dan ambruk ke tanah. Pandan Wangi cepat memburunya, dengan kaki kirinya dia menendang, hingga tubuh Antasuro terguling masuk ke dalam lubang. Sebentar tubuh orang tua itu menggelepar, lalu terdiam kaku. Pandan Wangi berdiri tegak di samping lubang yang sudah terisi. Bibirnya menyunggingkan senyum di antara pipi dan lehernya yang bersimbah keringat.

"Kenapa tidak kau bunuh saja dia, Kakang" tanya Pandan Wangi melihat Wira Perakin masih bernapas satusatu.

"Biar Dimas yang melakukannya," sahut Rangga tersenyum.

Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya pada Dimas yang masih bertarung menghadapi Arya Mahesa. Agak cemas juga gadis itu melihat Dimas jatuh bangun terdesak terus. Tapi.. Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja keadaannya jadi terbalik.

Kibasan-kibasan pedang Dimas kini lebih terarah, dan selalu mengincar bagian-bagian tubuh lawannya yang lowong. Pandan Wangi jadi tersenyum geli begitu melihat bibir Rangga bergerak-gerak, dan gadis itu segera mengerahkan ilmu pendengaran jarak jauh. Mula-mula hanya samar-samar saja terdengar, tapi kemudian jadi jelas. Rangga mengirimkan petunjuk untuk melumpuhkan Arya Mahesa pada Dimas dengan ilmu 'Pemindah Suara' yang sungguh hebat sehingga orang yang tidak dituju tidak dapat mendengarnya.

Keadaan yang berbalik ini benar-benar membuat Arya Mahesa serba salah dan takut, apalagi melihat Wira Perakin dan Antasuro sudah terbujur di dalam lubang, juga melihat Rangga dan Pandan Wangi, yang mungkin akan menggilirnya setelah Dimas, dengan ilmu kesaktian tingkat tingginya. Arya Mahesa benar-benar goyah, kepercayaan dan keberaniannya musnah sudah.

"Kini giliranmu Setan! Yeaaah...!" teriak Dimas.

Tubuh Dimas melompat, lalu dengan cepat menukik ke bawah. Sambil menjatuhkan diri, Arya Mahesa menangkis pedang Dimas, namun tanpa diduga sama sekali, kaki Dimas menjejak keras dadanya.

"Aaahhh...!" Arya Mahesa merasa dadanya sesak sekali.

Dan Dimas tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia langsung menusukkan pedangnya ke leher Arya Mahesa, dan mengoyaknya hingga robek lebar. Darah langsung muncrat menyembur ke luar. Dengan gemas dan dendam yang meluap di dada, Dimas menendang tubuh Arya Mahesa yang sudah tidak bemyawa itu ke dalam lubang yang tersisa.

Mata anak muda itu mendelik ketika menghampiri Rangga dan melihat Wira Perakin masih hidup, menggeletak tak berdaya di dalam lubang.

"Kenapa kau masih biarkan dia hidup?" tanya Dimas.

"Kau mencari-cari orang ini, kan? Nah! Sekarang dia kuserahkan padamu dalam keadaan hidup," sahut Rangga tenang.

Dimas hanya bisa memandang Rangga sesaat lalu beralih pada Pandan Wangi.

"Terserah, apa yang akan kau lakukan padanya. Aku sudah menepati janjiku untuk menyerahkannya hidup-hidup padamu," kata Rangga lagi.

Dimas mendekati lubang yang diisi oleh tubuh Wira Perakin itu, lalu membungkukkan badannya. Dimas kemudian mengangkat dan menarik keluar tubuh orang itu. Wira Perakin sempoyongan dan jatuh terduduk.

"Hm..., hari ini akhir dari segala penderitaan dan dendam kesumatku, Perakin! Kematian terlalu mudah bagimu! Kau tidak pernah merasakan bagaimana hidup dengan penderitaan. Aku ingin semua orang di desa ini melihatmu tetap hidup! Dengan kesengsaraan dan penderitaan seperti mereka, bahkan lebih nista dan abadi seumur hidupmu!" Dimas melampiaskan gejolak di dadanya, "Berdiri kau, Wira Perakin! Berdiri...!"

Wajah Wira Perakin pucat dan tubuhnya gemetar. Dia tidak tahu hukuman apa yang diterimanya dari Dimas, hanya samar-samar dia mendengar... penderitaan seumur hidup! Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, dan....

Bug!

Cras!

"Aaakh...!" Wira Perakin mengerang tertahan, lalu ambruk pingsan. Tangannya menutupi bagian bawah pusarnya yang bersimbah darah. Satu tendangan keras di dadanya, dan sabetan pedang pada alat vitalnya membuktikan kenyataan seperti yang diucapkan Dimas... penderitaan seumur hidup yang tak terperikan!

********************

Rumah besar yang pemah ditempati Wira Perakin itu tampak meriah. Sepasang pengantin duduk ditikar..., irama kehidupan yang baru kini mulai membentang. Wajah Dimas dan Wulan tampak cerah dan berseri-seri. Secerah hati penduduk yang baru terbebas dari belenggu penderitaan, dan kesewenang-wenangan. Meski semua itu ditebus dengan bersimbahnya darah, darah keangkaramurkaan dan kesatriaan yang berbaur jadi satu.


SELESAI

SELANJUTNYA JAGO-JAGO BAYARAN

Pengantin Berdarah

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Pengantin Berdarah


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

SENJA mulai turun merayap mendekati malam. Matahari semakin condong ke ufuk Barat Sinarnya yang lembut kemerahan membias indah menanti datangnya rembulan Seorang pemuda berkulit kuning langsat, duduk ber-jongkok di pinggir gundukan tanah merah. Keadaan sekitarnya sepi dan mulai gelap.

Matanya merembang sayu menatap pada batu pipih yang tertanam di atas gundukan tanah di depannya. Entah sejak kapan pemuda itu duduk berjongkok di sana. Raut wajahnya terlihat sedih dan matanya sembab seperti bekas tangisan.

"Aku yakin kau menderita di alam sana. Maafkan aku baru bisa mengunjungimu hari ini, mudah-mudahan kau senang dengan kedatanganku," pelan dan lirih dia bergumam.

Pemuda itu menarik napas panjang dan berat, lalu pelahan lahan dia mengangkat kepalanya. Sejenak dia menatap sang surya yang hampir tenggelam di ufuk Barat. Di sini, di tempat sepi ini segalanya pernah terjadi. Peristiwa yang tak akan pemah terlupakan sepanjang hidupnya. Peristiwa yang terjadi lima belas tahun silam, di mana saat itu dia masih seorang bocah berumur sepuluh tahun

Ingatannya kembali pada peristiwa yang begitu membekas di hatinya dan menimbulkan api dendam yang selalu membara. Saat di mana dia dengan kakak perempuannya baru pulang mencari kayu bakar. Dan di jalan yang agak sepi dan tersembunyi, keduanya berhenti sejenak melepaskan lelah dan penat.

"Kau masih punya makanan, Dimas?"

"Kak Surti sudah lapar, ya?"

Gadis yang berkulit kuning langsat itu tersenyum dan mengangguk. Dia menurunkan kayu bakar dan punggungnya kemudian duduk di bawah sebuah pohon yang rindang. Bocah kecil yang dipanggil Dimas itu mendekat. Dan menyerahkan bungkusan daun kepada Surti, kakaknya.

"Hayo Dimas, kita makan sama-sama," Surti menawarkan bekal itu setelah membukanya.

"Kakak sajalah, aku belum lapar," tolak Dimas seraya duduk menghadapi kakaknya.

Ketika Dimas tengah memperhatikan kakaknya yang sedang makan, mendadak muncul lima orang laki-laki ber-tubuh kekar dengan wajah seram, dan segera mendekati mereka. Kelimanya menyandang senjata di pinggang masing-masing senjata berbentuk golok besar dan ber-gagang hitam pekat

Seketika Surti langsung menghentikan makannya dan segera bangkit menarik tangan adiknya. Lima orang asing di hadapan mereka itu tertawa terkekeh-kekeh. Sinar matanya liar memandangi wajah dan tubuh Surti. Perlahan- lahan kelimanya melangkah semakin dekat.

Tiba-tiba salah seorang meloncat, dan mencekal tangan Surti. Gadis itu kontan menjerit dan meronta ber-usaha melepaskan diri. Dimas, bocah tanggung yang baru berusia sepuluh tahun itu, segera menyadari kalau mereka terancam bahaya. Kedua tangannya langsung mencengkeram dan menarik tangan kasar yang mencekal tangan kakaknya.

"Setan!" geram laki-laki itu.

Kaki kanannya menyepak lambung Dimas, sehingga tubuh bocah itu terlempar ke samping.

"Akh, jangan...!" jerit Surti begitu rubuhnya tertarik dan mukanya membentur dada orang yang mencekal tangannya.

Orang itu seperti sengaja melepaskan cekalannya dan Surti langsung berlari mendekati adiknya. Namun sebentar kemudian pundaknya kembali dicekal keras sehingga tubuh Surti pun tersentak ke belakang Dan sebelum tubuhnya jatuh terjengkang, sepasang tangan kekar telah memeluknya. Surti menjerit-jerit melepaskan diri, namun pelukan laki laki itu terlalu kuat dia rasakan.

"He... he... he..., diamlah Cah Ayu," orang itu terkekeh.

Bret!

"Auh!" Surti memekik kaget, wajahnya jelas menampak-kan kengerian.

Orang itu membuka bajunya dengan kasar. Tubuh yang terbalut kain kuning halus itu pun terbuka lebar. Lima orang lelaki itu serempak tertawa penuh nafsu, melihat tubuh indah berlarian berusaha menyelamatkan diri. Langkah kaki Surti terhenti begitu salah seorang dari mereka melompat menghadangnya.

"He... he... he...!"

"Akh..., jangan! Aku mohon, jangan...," rintih Surti memelas.

"Kemarilah, anak manis. He... he... he..., kau cantik dan menggairahkan."

"Tidak...."

Nasib Surti benar-benar seperti mainan, dirinya di dorong dan dioperkan ke sana kemari bagai bola. Pakaiannya sudah tak karuan lagi robek di sana-sini. Beberapa bagian tubuhnya tersembul ke luar, membuat mata jalang lima laki laki itu semakin liar dan buas.

Surti menjerit-jerit, meronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman salah seorang yang memeluknya dan belakang. Belum lagi gadis itu melepaskan diri, salah seorang lainnya sudah menarik tangannya. Tubuh Surti sempoyongan, dan jatuh terguling ke tanah. Gadis itu memekik keras begitu salah seorang lagi menindih tubuhnya.

"Ehhh..., lepaskan! Jangaan..!" teriak Surti merintih.

Tenaga Surti tak bisa menandingi laki laki kekar dan kasar itu. Surti sudah tidak berdaya lagi. Laki laki itu semakin liar, sia-sia saja dia meronta dan mencakar. Laki laki itu menarik kasar sisa kain yang dipakainya.

"Akh!" Surti memekik kaget.

"He... he... he...!" lima orang laki-laki berandal itu tertawa liar.

Mereka segera mendekati Surti yang terus meronta-ronta di bawah himpitan salah seorang dari mereka. Surti sudah tak punya kekuatan lagi. Kedua tangannya di-pegangi. Tubuhnya sudah polos tanpa selembar kain pun. Air matanya mengalir deras menangisi nasibnya. Dia hanya bisa merintih dan memohon, namun semuanya sia-sia belaka.

"Aaakh...!" Surti menjerit keras begitu merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Mata gadis itu terpejam, tak sanggup lagi menyaksikan wajah-wajah kasar yang tersenyum menyeringai di atas tubuhnya. Belum lagi dia menarik napas lega setelah laki laki yang berada di atasnya bangkit, tubuhnya kembali ditindih oleh seorang lainnya. Kembali Surti menjerit keras, lalu pingsan tak tahan lagi menerima cobaan yang bertubi-tubi itu. Tubuhnya yang sudah tergolek pingsan pun kembali digilir oleh tiga orang berikutnya.

"Tidaaak...!" Dimas menjerit keras.

Tubuh anak muda itu jatuh lemas memeluk gundukan tanah di depannya. Air matanya jatuh bergulir di pipi, tak sanggup lagi dia membayangkan peristiwa keji yang memmpa kakaknya lima belas tahun silam. Lima orang yang kerasukan iblis memperkosa kakak perempuannya secara bergiliran, dan membunuhnya setelah puas.

"Akan kucari mereka, akan kubunuh mereka semua. Percayalah, Kak. Aku akan membalaskan sakit hatimu!" geram Dimas. Kedua telapak tangannya saling terkatup mengepal.

Pelahan-lahan Dimas bangkit, dan menyeka air mata-nya. Lalu kembali dia menatap pusara Surti, dan menarik napas panjang dan berat.

"Mereka harus mati! Mati...!" teriak Dimas keras, penuh dendam.

Suara teriakan yang keras itu menggema, terpantul oleh pepohonan dan bukit-bukit batu. Teriakannya yang disertai tenaga dalam itu membuat alam sekitarnya seolah bergetar ikut merasakan getaran hatinya yang penuh bara dendam.

"Aku bersumpah, mereka harus mati di tanganku!"

********************

Sementara itu di sebuah perkampungan kecil di antara perbukitan, seorang gadis bertubuh sintal dan berkulit hitam manls, tengah duduk merenung di atas dipan kayu di teras rumahnya Wajahnya murung dan pandangan mata-nya tampak kosong. Bibimya yang mungil dan tipis kemerahan, terkatup rapat

"Wulan...," terdengar suara lembut memanggil.

Gadis itu menoleh, pandangannya langsung tertuju pada perempuan tua yang berdiri di ambang pintu. Tapi bibir mungil indah itu tak menjawab sedikit pun, dia kembali menatap kosong ke depan. Perempuan tua yang tak lain ibu si gadis itu melangkah mendekati, dan duduk di samping anaknya. Jari-jari tangan tuanya yang kurus dan berkenput membelai-belai rambut Wulan.

"Kenapa Ayah menerima pinangan tua bangka itu, Bu?" pelan dan lirih suara Wulan bertanya.

"Ayahmu tidak bisa berbuat apa-apa anakku."

"Orang itu sudah punya banyak istri, Bu! Lagi pula aku tidak pantas jadi istrinya. Dia terlalu tua, lebih tua dari Ayah!"

"Kau harus mengerti, Wulan. Tidak seorang pun yang bisa menolak keinginan Gusti Wira Perakin. Apa kau rela melihat Ayahmu mati di tiang gantungan? Sementara kau sendiri...," perempuan tua itu tak bisa lagi membayangkan dan meneruskan kata katanya.

Wulan terdiam mematung. Dia hanya menoleh pada ibunya sesaat, lalu menatap kembali jauh ke depan. Sementara itu langit mendung, awan tebal menghitam seolah turut merasakan hati gadis yang tengah diliputi kegalauan itu. Nyi Sukirah menepuk lembut bahu anaknya. dan mengajaknya masuk ke dalam begitu dia menyadari akan turun hujan.

Keduanya duduk berdampingan di balai-balai bambu di dalam ruangan depan rumahnya Di sudut balai-balai bambu itu tergeletak sekotak kayu berukir indah. Wulan memandangi benda itu dengan perasaan yang dipahami benar oleh ibunya. Sekotak kayu yang berisi perhiasan emas! Tanda ikatan pinangan yang jumlahnya baru sekali ini dia lihat selama hidupnya!

Wulan tak sanggup membayangkan, bagaimana perasaan kekasihnya bila mengetahui dirinya telah dipinang lelaki tua bangka, yang lebih pantas menjadi ayahnya daripada menjadi suaminya. Laki laki yang ber-kuasa dan amat ditakuti oleh seluruh penduduk desa ini. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya! Ya..., tidak seorang pun!

"Hhh...!" Wulan mendesah panjang. Nadanya gusar. "Pulangkan saja tanda ikatan pinangan itu, Bu!"

"Wulan...!" Nyi Sukirah tersentak kaget

"Aku tidak mau, Bu. Aku tidak bisa mengkhianati Kang Dimas. Aku sudah berjanji akan setia sampai menunggu Kang Dimas kembali. Kembalkan saja tanda ikatan pinangan itu, Bu," Wulan merajuk.

"Wulan..., kau tahu apa akibatnya menolak pinangan Gusti Wira Perakin? Tidak, Nak! Jangan bawa orang tuamu ke tiang gantungan! Aku mohon, jangan," Nyi Sukirah tak bisa lagi membendung air matanya. Dia memeluk bahu putrinya.

"Kita bisa meninggalkan desa ini, Bu. Di sini kita juga tidak mempunyai apa-apa. Semuanya dikuasai si Tua Bangka itu. Seumur hidup kita dililit hutang yang semakin membengkak!" makin meninggi suara Wulan.

"Gusti Wira Perakin akan membebaskan semua hutang-hutang ayahmu, Wulan. Bahkan dia akan menyerahkan kembali tanah milik ayahmu. Dia akan menjamin kehidupan kita," bujuk Nyi Sukirah. "Berbaktilah pada orang tuamu, Wulan."

"Tidak, Bu! Diriku bukan untuk dijual!" tegas Wulan.

"Wulan...!" Nyi Sukirah tak mampu lagi bersuara.

Wulan bangkit berdiri, lalu dia mengambil kotak kayu yang ada di sudut balai-balai bambu itu. Dia tercenung sebentar, lalu berbalik dan duduk kembali di samping ibunya. Tangannya terulur ke depan menyerahkan kotak perhiasan itu kepada orang tuanya. Nyi Sukirah hanya menatap kosong. Menahan kegetiran hatinya.

"Kalau Ibu atau Ayah tidak mau mengembalikan perhiasan ini, biar aku yang mengembalikan sendiri," kata Wulan tegas.

"Wulan...!"

Wulan meletakkan kotak perhiasan itu di pangkuan ibunya, kemudian dia melangkah mendekati jendela yang masih terbuka lebar. Nyi Sukirah tak tahu lagi apa yang mesti dia perbuat Dia bangkit dan melangkah masuk ke kamarnya membawa kotak perhiasan itu. Pintu kamar berderit pelan, lalu tertutup rapat.

"Maafkan aku, Ibu..., Ayah," bisik Wulan lirih.

"Tidak mungkin!" dengus Ki Sukirah kencang.

Laki-laki tua yang rambutnya telah memutih itu, menatap kotak kayu berukir di tangan istrinya. Kepalanya tergeleng-geleng seakan tidak percaya kalau Wulan menolak pinangan yang sudah diterimanya.

"Wulaaan...!" panggil Ki Sukirah keras.

"Pak...," Nyi Sukirah gemetaran melihat suaminya begitu marah.

Pintu kamar terkuak pelahan-lahan, dan dari balik pintu itu muncul gadis ayu berwajah sendu. Sejenak dia memandang kedua orang tuanya yang duduk di tepi pembaringan. Pelahan lahan sekali dia melangkah mendekati.

"Duduk!" perintah Ki Sukirah.

Bibir Wulan tak menjawab sedikit pun. Dia duduk di samping ayahnya dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Tidak berani memandang wajah lelah tua di hadapannya. Gadis itu menyadari benar apa yang tengah berkecamuk di dada orang tuanya.

"Apa maksudmu mengembalikan tanda pinangan ini, Wulan?" tanya Ki Sukirah mencoba menahan amarahnya.

"Membatalkan pinangan itu, Ayah," sahut Wulan lirih.

"Dan kau tahu, apa akibatnya?"

Wulan mengangguk pasti. Keberaniannya untuk menentang ayahnya mendadak bangkit. Tatapan matanya langsung ke bola mata ayahnya yang memerah.

Ki Sukirah menatap tajam anak gadisnya ini. Dia sangat heran melihat begitu tegarnya Wulan!

"Pikirkan kembali matang-matang, Wulan. Ayah dan ibumu hanya orang kecil, tak punya kekuatan apa-apa," pelan suara Nyi Sukirah mencoba menengahi.

"Gusti Wira Perakin sudah membawakan tanda lamarannya, Wulan. Aku sudah menerimanya. Tidak mungkin aku mengembalikannya lagi. Kau tahu itu, Wulan," sambung Ki Sukirah. Amarahnya tampak mulai surut

Sejenak suasana di kamar itu hening sesaat "Aku sudah menyatakan tadi, kalau Ayah dan Ibu tidak mau mengembalikan, biar aku sendiri yang mengembalikannya," pelan dan mantap suara Wulan.

"Wulan! Kau sadar mengatakan itu!" sentak Ki Sukirah.

"Aku sadar, Ayah! Justru aku sadar makanya kutolak pinangan si Tua Bangka itu!"

Ki Sukirah terdiam dan menatap anak gadisnya dengan gusar.

"Aku yakin, di dalam hati Ibu maupun Ayah tentu tidak menerimanya. Jujur saja Ayah, aku ingin bertanya apakah Ayah senang?"

Ki Sukirah dan istrinya terhenyak. Kata-kata anak gadisnya menghunjam tepat dalam hati dan perasaan mereka yang paling dalam. Mereka mengakui kebenaran ucapan anaknya, dan tak mungkin lagi mereka bersitegang mempertahankan pendiriannya, yang hanya didasari rasa ketakutan mereka pada kekejaman Wira Perakin dan orang-orangnya. Suasana di dalam kamar itu tercekam kebisuan sepeninggal Wulan yang telah melangkahkan kakinya ke luar.

DUA

Matahari belum lagi condong ke Barat, ketika utusan Wira Perakin itu tiba. Rombongan itu terdiri dari delapan orang, dan dipimpin oleh Jaran Kedung. Wajah-wajah mereka tampak kasar dan bengis.

Ki Sukirah menyambut mereka dengan tergopoh gopoh. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk merendahkan dari. Sedang-kan Nyi Sukirah hanya memandangjnya dari ambang pintu. Wajah perempuan itu jelas memancarkan ketakutan yang teramat sangat. Kedatangan delapan orang berkuda itu menunjukkan Wira Perakin tidak main-main dengan niat-nya mengambil Wulan. Dan kedatangan mereka pastilah karena penguasa desa itu menginginkan ketetapan waktu pelaksanaannya.

"Oh, silakan. Silakan Tuan-tuan ke dalam," sambut Ki Sukirah membungkuk hormat.

"Hm...," Jaran Kedung mendengus sombong.

Laki-laki bertubuh tinggj kekar itu mdompat turun dari punggung kuda, dan ketujuh orang lainnya pun mengikuti-nya. Jaran Kedung melangkah tegap mengikuti Ki Sukirah yang berjalan mendahuluinya. Sementara Nyi Sukirah sudah menghilang dari ambang pintu.

Hanya dua orang yang mengikuti Jaran Kedung masuk ke dalam rumah. Ki Sukirah duduk bersila didampingi istrinya. Sementara kebga orang utusan Wira Perakin itu duduk di kursi. Berbeda dengan istrinya yang tampak begitu cemas, Ki Sukirah seolah siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Ucapan dan sikap Wulan telah menyadarkan dirinya untuk tidak menyerah begitu saja pada nasib yang akan menimpanya.

"Aku datang atas perintah Gusti Wira Perakin. Beliau menginginkan perkawinannya dengan putrimu dipercepat," kata Jaran Kedung membuka suaranya lebih dulu.

Ki Sukirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan istrinya semakin mengkeret ketakutan. Nyi Sukirah gelisah dan duduk dengan sikap yang serba salah. Tatapan matanya tak lepas dari lantai di seputar dia duduk, tak berani dia menatap tamu-tamu yang tidak diharapkan kedatangannya ini

"Kau harus memutuskan sekarang juga, kapan perkawinan itu akan dilaksanakan!" sambung Jaran Kedung.

"Maaf, Gusti Jaran Kedung. Bukannya aku tidak menghormati. Gusti Wira Perakin. Tapi aku gagal membujuk anakku," sahut Ki Sukirah pelahan.

"Ki Sukirah!" sentak Jaran Kedung keras. Urat-urat matanya berkerut dengan tatapan yang tajam.

"Sekali lagi, aku mohon maaf. Anakku telah punya calon piihannya sendiri, dan...."

"Phuih!" dengus Jaran Kedung memotong ucapan lelaki tua itu. Dia berdiri bertolak pinggang mendekati Ki Sukirah dan istrinya. "Aku tidak peduli anakmu mau atau tidak! Tujuh hari lagi kau harus menyerahkan anakmu! Aku yang akan menjemputnya!"

"Tapi, Gusti...."

"Tidak ada alasan! Gusti Wira Perakin telah menyiapkan pesta perkawinannya dengan anakmu, dan Gustiku telah mengundang kerabat kerabatnya'"

Jaran Kedung langsung melangkah keluar diikuti dua orang pengawalnya. Ki Sukirah tergopoh-gopoh beranjak ke luar membawa kotak kayu berisi perhiasan tanda pinangan Wira Perakin pada putrinya.

"Gusti...." panggil Ki Sukirah.

Langkah Jaran Kedung tertahan. Tubuhnya urung meloncat ke atas punggung kudanya. Dia membalikkan wajahnya memandang Ki Sukirah yang menghampirinya.

"Aku mengembalikan ini pada Gusti Wira Perakin," kata Ki Sukirah menyodorkan kotak kayu berukir itu.

Jarang Kedung mendelik geram. Dia membalikkan tubuhnya dan segera merampas kotak kayu itu dari tangan lelaki tua yang ada di hadapannya. Kemudian dia mengegoskan kepalanya sedikit sebelum naik ke punggung kudanya. Dua orang bertubuh kekar yang tadi mengikutinya langsung mendekati Ki Sukirah.

Sret!

Hampir bersamaan dua orang itu mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Ki Sukirah terkejut, dia melangkah mundur dengan tubuh agak gemetar. Dua buah golok itu berkilatan tertimpa sinar matahari. Pelahan-lahan dua orang itu menghampiri Ki Sukirah yang terus melangkah mundur. Tubuh lelaki tua itu mulai basah oleh keringat.

"Orang tua bodoh! Mau dikasih enak, malah minta penyakit!" dengus salah seorang.

Ki Sukirah tersentak begitu salah seorang lainnya melompat sambil mengibaskan goloknya. Ki Sukirah berkelit sedikit. Ilmu olah kanuragan yang pernah sedikit dipelajarinya kini tidak percuma. Tebasan golok itu hanya menyambar angin. Bahkan tanpa diduga sama sekali, kaki kanan Ki Sukirah melayang cepat menghantam bagian perut penyerangnya.

"Hugh!" orang itu mengeluh pendek.

Orang bertubuh tinggi besar itu melangkah mundur dua tindak, bibirnya menyeringai dan matanya menatap tajam Ki Sukirah.

"Minggir...!" mendadak Jaran Kedung melompat cepat dan punggung kudanya.

Tangannya memutar mutar tambang di samping kanannya. Sepasang kakinya bergerak menyusur tanah mengitari Ki Sukirah, dan tujuh orang lainnya segera ber-lompatan mengurung tubuh lelaki tua itu.

Wuuut..!

Jaran Kedung mengebutkan tambangnya. Ki Sukirah segera berkelit menghindari ujung tambang. Namun tambang itu bagai bermata, ujungnya meliuk liuk mengikub ke mana lelaki tua itu berkelit menghindar.

Ki Sukirah memang bukan tandingan Jaran Kedung. Dalam beberapa gebrakan saja, tambang itu berhasil membelit pergelangan tangannya. Ki Sukirah kuat tenaga berusaha melepaskan belitan itu, namun ujung tambang satunya segera menyambar pergelangan tangan kinnya Jaran Kedung membetot keras, dan tubuh Ki Sukirah tersentak jatuh bergulingan di tanah.

"Hiyaaa...!" Jaran Kedung berteriak kencang.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya berlompatan mengitari tubuh Ki Sukirah yang bergulingan di tanah. Tambang di tangan Jarang Kedung membelit kedua ngan lelaki tua itu. Gerakan tubuh Jaran Kedung lalu terhenti. Dia berdiri tegak memegangi satu ujung tambang. Matanya tajam menatap Ki Sukirah yang telentang di tanah dengan kedua tangan terikat.

"Seret orang ini!" perintah Jaran Kedung. Dia melemparkan tambang yang dipegangnya pada salah seorang yang terdekat.

Orang yang menangkap tambang itu segera melompat ke punggung kuda. Ki Sukirah ikut tersentak ketika kuda digebah dengan kencang. Tapi tiba-tiba.

Tasss!

Tambang yang mengikat kedua tangan Ki Sukirah itu terputus. Dan bersamaan dengan itu pula sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar Ki Sukirah, langsung dibawanya tubuh laki-laki itu ke beranda rumah. Beberapa saat Jaran Kedung dan orang-orangnya hanya bisa terperangah kaget.

Nyi Sukirah menghambur ke luar, menubruk tubuh suaminya. Di belakang perempuan itu, berdiri seorang gadis ayu berbaju biru muda dengan isak tangi tertahan.

"Ayah...," isak Wulan langsung berlutut.

Wulan mendongakkan kepalanya memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih yang tengah berdiri di dekat ayahnya yang terbaring. Di punggungnya tersandang pedang bergagang kepala burung. Sinar matanya tajam tapi menyiratkan kearifan.

Pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu tak lama beradu pandang dengan anak gadis Ki Sukirah. Dia lalu membalikkan badannya dan menatap tajam Jaran Kedung dan orang-orangnya. Kedelapan orang itu sudah menghunus pedangnya masing-masing. Tampak Jarang Kedung menggeram menahan amarah.

"Siapa kau, berani mencampuri urusanku?!" Jaran Kedung menyentak.

"Kau tak perlu tahu siapa aku," sahut Rangga dingin.

"Gembel busuk! Buka matamu lebar lebar dengan siapa kini kau berhadapan?"

"Aku tahu, kau adalah orang yang tak pantas hidup di dunia."

"Setan belang! Bunuh gembel busuk itu!" teriak Jaran Kedung gusar.

Serentak tujuh orang anak buahnya berlompatan mengurung Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu tampak tenang menghadapi musuh musuhnya dia hanya melompat ringan menjauhi beranda. Kedua matanya tajam merayapi tujuh orang yang bergerak memutari sambil membuka jurus-jurusnya

"Seraaang...!" perintah Jaran Kedung keras.

Serentak ketujuh orang bersenjata pedang itu menerjang Rangga. Sinar keperakan dari pedang itu ber-kelebat cepat menyambar dan memburu tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu dari setiap sudut. Rangga dengan manis dan lincah menghindari setiap serangan yang datangnya beruntun.

"Huh! Mereka tidak boleh dibiarkan keenakan menyerangku!" dengus Rangga dalam hati.

Rangga langsung mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali.' Seketika itu juga tangannya menjadi merah bagai terbakar. Sambil berteriak nyaring, dia menerjang sambil melontarkan pukulan mautnya. Dua orang dari ketujuh pengepungnya itu langsung menjerit keras begitu terhantam pukulan maut yang dilepaskan Rangga.

Dua orang itu langsung menggelepar dengan dada melesak ke dalam. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah segar. Kelima orang lainnya, tak terkecuali Jaran Kedung, terperangah takjub menyaksikan pukulan itu. Belum hilang perhatian mereka dari kejadian itu, mendadak Rangga bergerak cepat seraya melontarkan beberapa pukulan.

Jeritan dan erangan panjang terdengar saling sahut menyahut Tubuh tubuh itu menggelepar tak berdaya lalu satu per satu nyawa mereka melayang dari badan. Jaran Kedung yang menyaksikannya melompat mundur beberapa langkah. Rangga berdiri tegak memandangi dengan sorot mata yang tajam bagai burung rajawali.

"Sekarang giliranmu, lblis!" geram Rangga.

"Phuih!" Jaran Kedung menyemburkan ludahnya.

Perlahan-lahan Rangga mendekati, kedua tangannya yang berwarna merah menyala terkepal erat.

"Hiyaaa...!" teriakan Rangga terdengar melengking tinggi.

Bersamaan dengan itu, kedua tangannya menghentak ke depan, sinar merah meluncur deras ke arah Jaran Kedung. Anak buah Wira Perakin itu menghindar dengan cepat, hingga sinar merah itu melesat mengenai sebuah pohon besar di belakang Jaran Kedung. Ledakan keras begitu jelas terdengar memekakkan telinga, lalu disusul robohnya pohon besar itu. Jaran Kedung terpana menyaksikan pohon besar itu hancur berkeping-keping, nyalinya pun mulai surut.

Belum lagi hilang rasa kagetnya, mendadak Rangga sudah melontarkan lagi pukulan jarak jauhnya. Jaran Kedung cepat menyadari keadaan, dia berlompatan meng-hindari pukulan yang mulai datang bertubi-tubi.

"Gila! Aku tak mungkin bisa menandingi orang ini," dengus Jaran Kedung dalam hati.

Tepat ketika Rangga melesat hendak menerjangnya, Jarang Kedung langsung melompat dan menggebah punggung kudanya. Rangga berdiri tegak memandangi kepergian Jarang Kedung yang sudah hilang keberaniannya itu, dan tidak berniat mengejarnya.

Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh ketika mendengar suara langkah langkah kaki menghampiri dari belakang. Tampak Ki Sukirah bersama istri dan anaknya berlarian menghampiri. Mereka berhenti di depan pendekar muda itu. Sejenak Rangga memandang dua orang yang mem-bungkuk memberi hormat padanya, lalu tatapannya beralih pada seorang gadis ayu yang hanya berdiri tegak me-mandangnya dengan sinar mata yang aneh.

"Terima kasih, Tuan Pendekar," ucap Ki Sukirah.

"Tapi, sebaiknya kau cepat tinggalkan desa ini," sambung Wulan.

"Wulan...!" sentak Nyi Sukirah tertahan.

"Tua bangka itu pasti marah. Lebih-lebih tujuh orangnya mati di sini," kata Wulan lagi.

"Sebenarnya apa yang terjadi di sini! Maksudku, kenapa Bapak sampai disiksa mereka?" Rangga bertanya sopan. Bibirnya menyunggingkan senyuman ramah.

"Ini adalah persoalan pribadi, dan kau tidak perlu ikut campur. Terima kasih atas pertolonganmu!" Wulan yang menyahut, nada suaranya terdengar ketus dan tak senang.

Rangga mengernyitkan keningnya. Matanya agak menyipit memandang gadis manis di depannya. Sungguh baru kali ini dia menemui sikap seorang gadis yang seperti itu, sikap yang tak ramah bahkan menjurus kasar.

Rangga menarik napas panjang, wajahnya pun kembali menyiratkan keramahan "Baiklah, maafkan kalau aku telah mencampuri urusan kalian, aku permisi."

Rangga berbalik dan segera melangkah pergi. Dalam sekejap saja tubuh pendekar muda itu lenyap di balik pepohonan. Ki Sukirah dan istrinya memandangi ke arah mana tubuh anak muda yang telah menolongnya itu berlalu. Lalu hampir berbarengan keduanya menoleh ke arah Wulan. Sinar mata mereka menunjukkan kedongkolan karena merasa malu atas sikap anak gadisnya.

"Keterlaluan kau, Wulan!" bentak Ki Sukirah tertahan.

"Aku tidak percaya dia orang baik-baik. Ayah. Bisa saja dia pura-pura menolong, tapi menyimpan maksud tertentu yang kita tidak tahu," sahut Wulan mempertahankan sikapnya.

"Tapi tidak seharusnya kau bersikap begitu, dia sudah mempertaruhkan nyawanya untuk membela ayahmu," tandas Nyi Sukirah.

"Kalau hanya menghadapi begundal-begundal Itu, aku rasa Kakang Dimas juga bisa. Bahkan si Wira Perakin itu tak akan mampu menghadapi Kang Dimas!" ada nada kebanggaan pada suara Wulan.

"Ah! Sudahlah, Wulan. Kau terlalu berharap dia pulang. Dimas tidak akan kembali lagi ke sini, dia tengah pergi menuntut balas pada nasib kakaknya yang diperkosa dan dibunuh oleh orang-orang yang dia sendiri tidak tahu ke mana harus mencarinya," kata Ki Sukirah menenangkan gejolak hati anak gadisnya.

Wulan memberengut kesal, laki berbalik dan berlari masuk ke dalam rumah. Ucapan ayahnya telah mematah-kan harapannya akan kedatangan Dimas, lelaki muda dan gagah tambatan hatinya. Ki Sukirah menggeleng-gelengkan kepalanya pelahan, dia menyadari benar kalau anak gadis-nya telah terpikat daya asmara, suatu daya yang membuat dia dan istrinya dalam keadaan sulit, yaitu ancaman dari Wira Perakin dan kaki tangannya.

Suami istri itu beberapa saat lamanya hanya diam terpaku. Sinar matahari yang panas menyengat seolah menyadarkan mereka, bahwa masih banyak yang harus mereka kerjakan, termasuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan di hadapan mereka.

********************

Brak!

Satu kepalan tangan menggebrak meja dengan keras. Bola mata Wira Perakin merah menatap Jaran Kedung yang berdiri tertunduk di depannya. Belum pemah ada orang yang berani menentangnya. Belum ada seorang gadis pun yang menolak pinangannya! Dan laporan Jaran Kedung akan penolakan anak gadis Ki Sukirah benar-benar membuatnya murka!

"Seharusnya kau tidak perlu kembali, Jaran Kedung. Aku lebih suka melihatmu mati bersama yang lain!" dingin dan datar suara Wira Perakin.

"Ampun, Gusti. Orang itu amat sakti, hamba tidak sanggup menandinginya," sahut Jaran Kedung bergetar.

"Siapa dia?"

"Orangnya masih muda, Gusti. Ada pedang bergagang kepala burung di punggungnya. Rambutnya panjang terikat, dan berbaju rompi putih. Rasanya hamba belum pernah bertemu dia sebelumnya, Gusti."

Wira Perakin memandang laki laki tua berbaju merah yang duduk di samping kanannya, seorang laki-laki tua dengan rambutnya yang memutih dan di tangan kanannya tergenggam tongkat hitam berkepala bundar. Tampak bulatan hijau bercahaya di kepala tongkat itu. Raut wajah orang itu menampakkan kekalutan dan juga kebengisan.

"Demung Pari, kau cari anak muda itu. Bawa kepalanya ke sini," perintah Wira Perakin.

"Hamba laksanakan, Gusti," jawab laki-laki berbaju merah yang dipanggil Demung Pari itu. Dia segera bangkit berdiri dan membungkuk hormat.

Demung Pari menatap Jaran Kedung yang tetap berdiri menundukkan kepala. Kemudian dia memandang dua orang lainnya yang berdiri di belakang Jaran Kedung.

"Kalian bertiga ikut aku!" kata Demung Pari.

Ketiga orang itu membungkuk memberi hormat, lalu bergegas mengikuti langkah Demung Pari. Wira Perakin menjatuhkan tubuhnya di kursi sepeninggal mereka. Matanya memandangi empat orang yang masih terduduk di kursi.

"Kebo Rimang," panggil Wira Perakin.

"Hamba Gusti," sahut laki-laki bertubuh tinggi besar.

Wajahnya penuh berewok kasar dengan sebelah matanya terdapat luka gores memanjang hingga ke pipi. Kakinya terbungkus celana hitam sebatas lutut Dadanya yang ter-buka lebar, memamerkan bulu-bulu kasar yang hitam pekat.

"Kau pergi ke rumah Ki Sukirah! Bawa orang tua itu ke sini. Ingat! Jangan sakiti dia dan bawa dengan cara baik-baik," perintah Wira Perakin lagi.

"Baik, Gusti," sahut Kebo Rimang seraya bangkit berdiri.

"Bawa beberapa orang, sediakan kuda untuk Ki Sukirah."

Wira Perakin menarik napas panjang, kemudian bangkit berdiri. Kakinya terayun ringan mendekati pintu depan. Rasa cemas dan dongkol berbaur jadi satu di benaknya. Hal itu tersirat pada wajahnya yang berkerut tegang.

********************

TIGA

Sinar rembulan di keheningan malam yang menyelimuti alam tampak begitu indah dan mengundang sejuta pesona. Namun sayang, rembulan yang bersinar penuh itu tak mampu lagi mengundang minat penduduk desa itu untuk menikmatinya Mereka telah berangkat dan berlabuh di alam mimpi, kecuali seorang pemuda tampan yang berdiri menatap ke luar dari jendela kamar penginapannya yang terbuka lebar.

Dengan matanya yang bersinar bening, pemuda itu memandang wajah sang rembulan yang memancarkan sinar keemasan. Sesekali terdengar desahan napasnya yang terdengar panjang dan berat

"Sejak tadi kau berdiri di situ. Ada yang mengganggu pikiranmu, Kakang?" suara Pandan Wangi yang lembut memecah kesunyian kamar penginapan itu.

Pemuda tersebut membalikkan tubuhnya membelakangi jendela, seulas senyum bermain di bibimya. Matanya memandang Pandan Wangi yang tergolek di pembaringan. Rambut hitam lebat panjang, terurai indah menambah pesona yang telah dimiliki gadis itu. Pandan Wangi membalas senyuman itu, dan sinar matanya menampakkan kehangatan. Kebersamaan yang selalu dilaluinya, membuat gadis itu tak lagi merasa malu dan kikuk berduaan di kamar bersama pemuda tampan yang tak Iain adalah Rangga. Dia merasa tak memiliki jarak lagi dengan lelaki tersebut. Dia juga tak akan menolak jika Rangga mencumbunya. Namun setiap kali perasaan itu bergejolak dan menggoda di dadanya setiap kali itu pula dia harus menelan kekecewaannya. Rangga seolah tak punya keinginan sedikit pun untuk melakukannya.

Pandan Wangi menggerakkan tubuhnya. Gerakan tubuh yang gemulai itu sedikit membuat jantung Rangga berdetak kencang. Pandan Wangi seperti sengaja berbaring miring, hingga lekuk pinggulnya begitu indah dipandang mata. Seperti sengaja pula, gadis itu mem-biarkan bagian belahan baju di dadanya sedikit terbuka. Buah dadanya yang mengembung mengintip ke luar mengundang gairah.

"Kalau sudah mengantuk, tidur saja," kata Rangga mencoba mengalihkan perasaannya.

"Kau tidak tidur, Kakang?" lembut suara Pandan Wangi

"Tidak," Rangga menjawab pelahan.

Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya, kembali menatap ke luar.

"Sejak kembali siang tadi, kau kelihatan berubah. Aku yakin ada sesuatu yang kau pikirkan," kata Pandan Wangi seraya beringsut. Dia duduk memeluk lututnya di tepi pembaringan.

"Kau yakin?" tanya Rangga sambil membalikkan badannya kembali

"Apa aku harus menebak?"

Rangga mengangkat bahunya, dan kembali membalikkan tubuhnya menghadap jendela. Kedua tangannya ber-topang pada kayu jendela yang terbuka. Apa yang tersirat di hatinya adalah mengakui kebenaran dugaan Pandan Wangi.

Peristiwa yang dialami Ki Sukirah masih membekas dan membayang di hatinya, belum lagi sikap anak gadisnya yang ketus dan seperti tak menganggap apa yang telah dia lakukan untuk ayahnya.

Dan semua yang mengganggu pikirannya, diperhatikan benar oleh Pandan Wangi. Gadis itu mempunyai naluri dan perasaan yang tajam. Kebersamaan telah membuahkan perasaan seperti itu di antara mereka.

"Sore tadi aku mendengar ada beberapa orang mencarimu, Mereka memang tidak menyebutkan namamu, tapi dari ciri-ciri yang mereka katakan, aku yakin, Kakanglah yang telah mereka cari!" kata Pandan Wangi.

"Berapa orang?" tanya Rangga tetap memandang ke luar lewat jendela.

"Banyak juga, ada sekitar sepuluh orang."

Gadis itu bangkit dan menghampiri Rangga. Dia berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Pandangannya juga mengarah ke luar yang diliputi sinar rembulan yang tampak mulai redup. Sunyi, tak terlihat seorang pun di luar sana. Hanya pelita kecil saja yang kelihatan berkelap-kelip dari rumah-rumah di sekitar penginapan ini.

Kesunyian malam itu mendadak terpecah oleh suara derap langkah kaki kuda. Dan tempat Rangga dan Pandan Wangi berdiri, terlihat jelas serombongan orang berkuda seperti mengontrol dan mengawasi keadaan di sekitarnya.

Rombongan orang berkuda itu berhenti tepat di depan penginapan. Terlihat oleh dua pendekar muda itu, salah seorang dari mereka melompat turun dari punggung kudanya. Laki-laki tua yang berbaju merah itu melangkah masuk ke penginapan. Sementara yang lainnya menunggui di atas punggung kudanya masing masing. Beberapa saat lamanya suasana di luar penginapan itu hening. Rangga terus memperhatikannya hingga lelaki itu ke luar lagi diringi pemilik penginapan.

"Ayo, kita kembali. Anak setan itu tidak ada di sini!" kata laki-laki tua berbaju merah yang tak lain Demung Pari. "Ingat, Ki Parung. Kalau kau melihat orang yang telah ku-sebutkan ciri-cirinya tadi, cepat kau beritahu aku, mengerti?!"

"Hamba pasti akan melaporkannya, Gusti," sahut Ki Parung, pemilik rumah penginapan itu.

Demung Pari melompat ringan ke atas punggung kuda-nya. Rombongan yang berjumlah sepuluh orang itu segera menggebah kudanya meninggalkan Ki Parung yang masih berdiri memandang kepergian mereka.

"Mereka mencarimu, Kakang," kata Pandan Wangi yang sejak tadi turut memperhatikan.

"Hm...," Rangga hanya bergumam pendek.

Dalam keremangan cahaya rembulan, Rangga masih bisa mengenali kalau salah seorang di antara mereka adalah orang yang sempat bentrok dengannya, setelah gagal menganiaya Ki Sukirah. Rangga mengerutkan keningnya. Dilihat dari pakaiannya, mereka seperti para prajurit kerajaan.

Apakah mereka orang-orang kerajaan? Kerajaan mana? Perkampungan ini tak lebih dari sebuah kadipaten.

"Tentu ada persoalan, hingga mencarimu," kata Pandan Wangi setengah bergumam.

"Memang...," desah Rangga pelahan.

"Kenapa tidak kau ceritakan?"

Rangga lagi lagi tersenyum, senyum yang menampakkan godaan. Seolah-olah memberikan teka-teki yang harus ditebak sendiri oleh Pandan Wangi. Dia berbalik dan me-langkah mendekati pembaringan. Sambil mendesah panjang, Pendekar Rajawali Sakti itu membaringkan tubuh-nya di pembaringan yang beralaskan kain merah muda.

"Besok aku ceritakan, sekarang aku mau tidur," kata Rangga seraya memejamkan matanya.

"Hehhh...," Pandan Wangi menaikkan pundaknya. Dia pun segera melangkah mendekati pembaringan.

********************

Sementara itu di rumah Ki Sukirah, hujan tangis terdengar memilukan. Wulan menangis di tempat tidurnya, juga Nyi Sukirah yang terduduk di tepi pembaringan. Orang yang begitu mereka cintai dan menjadi tumpuan hidup mereka, diseret paksa oleh orang orang Wira Perakin.

Ki Sukirah tak berdaya. Dia mencoba menentang apa yang diperbuat Kebo Rimang yang menyuruhnya menghadap Wira Perakin, dan akibatnya, tubuh laki-laki tua itu tak henti-hentinya menerima pukulan dan tendangan.

"Itu semua gara-gara aku...," rintih Wulan di sela-sela tangisnya.

"Sudahlah, Wulan," Nyi Sukirah terisak. "Kau benar, kita memang orang kecil. Tapi kita punya harga diri. Ibu sendiri sebenarnya tidak rela kalau kau menerima pinangan Gusti Wira Perakin."

"Tapi, Bu.... Ayah...," suara Wulan tersekat di tenggorokan.

"Ayahmu memang laki-laki ksatria. Dia rela mati demi membela kehormatan keluarganya. Sebaiknya kita berdoa saja agar ayahmu selamat," kata Nyi Sukirah mencoba tabah.

"Bu...," Wulan bangkit dan memeluk ibunya. Kembali tangisnya pecah di pelukan ibunya.

Nyi Sukirah membiarkan anak gadisnya menangis. Sementara air mata Nyi Sukirah kering sudah, tak ada lagi yang bisa mengalir membasahi pipinya. Pengalaman hidup dan penderitaan panjang yang telah dilaluinya bersama suaminya, membuatnya tak bisa lagi menangis terlalu lama!

Perlahan-lahan Wulan melepaskan pelukannya. Dia menyusut air matanya dengan ujung baju. Mata yang sembab memerah, menatap lurus ke bola mata perempuan tua yang telah melahirkan dan membesar-kannya. Tak terdengar lagi isak tangis dari bibirnya. Ketabahan hati ibunya seolah menyadarkannya bahwa nasib tak perlu ditangisi, melainkan harus diubah sekuat tenaga dengan kemampuan sendiri!

"Keringkan air matamu, Wulan. Tegarkan hatimu menerima cobaan hidup. Ibu yakin, Tuhan Yang Maha Kuasa akan menolong umatnya yang Iemah," kata Nyi Sukirah pelan. Bibirnya yang keriput pucat, menyunggingkan senyum bergetar.

Lagi-lagi Wulan menyusut air matanya. Sekuat tenaga dia mencoba untuk tidak menangis lagi. Kata-kata lembut ibunya seperti membuarnya terbangun dari mimpi buruk. Dia sadar, tak seharusnya dia menangis terus Karena semua yang terjadi berawal dari dirinya sendiri. Seharusnya dialah yang lebih tabah dan tegar menghadapi semua ini. Wulan menguruki dirinya sendiri yang begitu lemah. Berani mengambil dan menentukan sikapnya tapi tak berdaya dan lemah akan akibatnya.

"Maafkan Wulan, Bu," desah Wulan lirih.

"Sudahlah, cepat atau lambat Wira Perakin pasti akan membawamu juga."

"Tidak! Lebih balk aku mati daripada menjadi istri tua bangka Wira Perakin," geram Wulan.

"Itu bukan jalan yang terbaik, Wulan. Apa pun alasanmu perbuatan nekad seperti itu jelas tak akan membuat lega orang yang kau tinggalkan."

"Lalu, apa yang harus kuperbuat, Bu?"

"Entahlah, Wulan. Mungkin yang terbaik berserah diri pada kekuasaan Tuhan."

"Aku akan melawan mereka, Bu," tegar nada suara Wulan.

"Dengan cara apa?" tanya Nyi Sukirah.

Wulan terdiam. Dia sendiri tidak tahu apa yang diperbuatnya. Dia sadar benar siapa dirinya, seorang gadis dusun yang tak punya kekuatan dan kesaktian apa-apa. Nyi Sukirah pun terdiam. Dia memaklumi benar kalau ucapan anaknya keluar dari hatinya yang kalut.

Wulan bangkit dari pembaringan. Dia melangkah mendekati jendela yang terbuka sebagian. Tangannya mendorong daun jendela agar terbuka lebih lebar. Kedua bola matanya menatap lurus pada sang dewi malam yang ber-sinar penuh memancarkan cahaya indah keemasan. Namun di mata Wulan, cahaya bulan itu begitu redup, seakan ikut berduka akan nasib yang menimpa dirinya.

"Kang Dimas...," Wulan mendesis lirih.

Gadis itu teringat satu nama. Ya..., hanya pada Dimas dia bisa mengadu. Hanya pada pemuda yang dicintainya itu dia bisa berlindung. Hanya Dimas satu-satunya harapan Wulan yang akan bisa mengatasi kemelut yang kini tengah menimpa dirinya.

"Bu...," panggil Wulan seraya berbalik.

Nyi Sukirah memandang wajah putrinya yang kini mulai nampak bersinar dan ada cahaya harapan. Dia sudah mantap dengan kata-kata hatinya yang mendadak saja muncul begitu nama Dimas bergetar di lidahnya.

"Ada apa?" tanya Nyi Sukirah lembut.

"Kira-kira Kang Dimas di mana ya?" Wulan seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Untuk apa kau bertanya begitu?" Nyi Sukirah bertanya tak mengerti. Tapi hati perempuan itu sudah bisa meraba ke mana arah ucapan anaknya.

"Aku ingin mencarinya, Bu," kata Wulan.

"Wulan...," Nyi Sukirah menggeleng-gelengkan kepalanya. Naluri keibuannya begitu tersentuh oleh tekad anaknya yang muncul tiba-tiba.

Hubungan antara Wulan dan Dimas memang bukan rahasia lagi. Semua orang tahu itu. Juga mereka tahu sejarah hidup Dimas yang kelam. Kakak perempuan satu-satunya pengganti orang tuanya yang telah tiada, mati ter-bunuh setelah lebih dulu diperkosa secara bergiliran oleh lima laki-laki berandal. Tidak ada yang melihat kejadi-an itu, kecuali Dimas sendiri.

Sejak peristiwa naas yang menimpa kakak perempuan satu-satunya itu, Dimas lantas menghilang dari desa ini. Dan saat orang sudah melupakan peristiwa lima belas tahun yang silam itu, Dimas muncul kembali. Dia datang pada Ki Sukirah dan keluarganya, keluarga yang memberinya hidup, meskipun hanya untuk sekedar sesuap nasi.

Ki Sukirah puluhan tahun silam memang termasuk orang yang cukup berada dan terpandang di desanya. Namun nasib hidupnya benar benar bagai roda pedati yang berputar. Nasib tragis menimpa dirinya, dia jatuh miskin setelah hartanya dirampas oleh Wira Perakin dan orang-orangnya. Dia tak punya daya untuk melawan. Rumahnya kini dijadikan tempat tinggal Wira Perakin, dan terpaksa Ki Sukirah dan keluarganya menempati gubuk reot yang dulunya ditempati Dimas dan kakak perempuannya.

Mengingat kejadian itu, hati Nyi Sukirah kembali terasa remuk redam. Ingin rasanya dia berbuat yang sama seperti yang diinginkan anaknya, mati meninggalkan dunia yang begitu kejam menderanya. Dan itu memang kesalahan suaminya, Ki Sukirah kalah main judi dengan Wira Perakin, terus kalah dan kalah, hingga kemiskinan kini setia menemani kehidupannya. Dan kini keganasan siap menerkam mereka, keangkaramurkaan Wira Perakin atas penolakan pinangannya pada Wulan...

********************

Sepanjang malam yang larut hingga menjelang dini hari, tak sekejap pun Wulan bisa memejamkan matanya. Seperti ada kekuatan dan dorongan yang menggerakkan hatinya, manakala benaknya terisi oleh bayangan Dimas, kekasih hatinya. Ya, kekuatan dan dorongan untuk lari dari kenyataan yang tak berapa lama lagi akan dihadapinya, menjadi istri Wira Perakin.

Tepat ketika terdengar oleh telinganya suara ayam jantan berkokok, Wulan merangkak turun dari pembaringan. Sebentar dia duduk di tepi pembaringan, ke-mudian melangkah turun mendekati lemari kayu. Pelan-pelan Wulan membuka lemari pakaiannya, lalu mengeluar-kan beberapa potong pakaian, dan membuntalnya dengan kain. Hatinya sudah bulat, dia harus meninggalkan tanah kelahlrannya, meninggalkan kedua orang tua yang teramat dicintainya!

Pelan-pelan Wulan melangkah ke luar dari kamarnya. Buntalan pakaian dan sedikit bekal tersandang di bahunya. Dia terus melangkah dan berhenti di depan kamar ibunya. Wulan sejenak terpaku di depan pintu kamar itu.

"Maafkan Wulan, Bu. Terpaksa Wulan meninggalkan Ibu," bisiknya pelan.

Gadis itu menempelkan tangannya pada daun pintu, kemudian dia berbalik dan melangkah ke luar. Udara dingin berseiimut kabut menyongsong tubuh gadis ramping itu, begitu kakinya menjejak tanah di luar rumah. Dengan kebulatan hatinya, Wulan berjalan cepat-cepat meninggalkan rumahnya.

Sebentar dia berhenti dan menoleh ke belakang, kemudian terus berlari ke arah Utara, ke arah mana dulu kekasihnya pergi. Pergi meninggalkan dirinya untuk membalaskan kematian kakaknya.

Kegelapan malam masih menyelimuti sekitarnya. Matahari belum lagi menampakkan diri. Wulan melangkah pelan begitu sampai di tepi hutan yang meng hadang di depan. Kakinya bergetar begitu melangkah memasuki hutan yang lebat dan terselimuti kabut tebal.

"Grrr...!"

"Akh...!" Wulan terpekik ketika tiba-tiba terdengar suara menggeram keras. Gadis itu berdiri terpaku. Kedua matanya membelalak lebar menembus kegelapan malam di pagi buta ini. Seluruh tubuhnya gemetaran bersimbah peluh. Suara menggeram itu semakin keras dan jelas, seakan-akan begitu dekat dengan dirinya.

"Oh!" Wulan semakin ketakutan begitu dari semak belukar terlihat sepasang bola mata bersinar bergerak maju ke arahnya.

Semakin lama semakin jelas terlihat. Dua bola mata yang bersinar itu ternyata sepasang mata seekor harimau besar! Binatang buas itu menggeram beberapa kali, membuat Wulan semakin lemas gemetaran. Harimau itu mendekam, tapi sepasang bola matanya tetap menatap Wulan yang semakin lemas ketakutan.

Wulan menguatkan hatinya untuk melangkah mundur, tapi raja hutan itu menggeram bangun melihat calon mangsanya bergerak. Lagi-lagi gadis itu memekik tertahan. Kedua lututnya terasa lemas tak bisa digerakkan. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Wulan sudah pasrah akan apa yang terjadi pada dirinya.

"Auuummm...!" Harimau itu mengaum dahsyat.

"Tolooong...!" jerit Wulan melengking. "Tolooong...," Wulan merasakan sekujur tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Dia benar-benar takut melihat harimau itu berjalan menghampirinya. Lalu...

Binatang buas itu benar-benar melompat kearah Wulan yang sudah sangat ketakutan! Dan... gadis itu terjatuh lemas sebelum sang raja rimba mencapai tubuhnya...

Bug!

Sebuah baru sebesar kepala bayi menimpa kepala harimau, tepat ketika cakarnya nyaris merobek kulit tubuh Wulan yang tergeletak pingsan! Si raja rimba itu menggeram sesaat, lalu tubuhnya terjajar ke samping, dan secepat kilat sesosok bayangan putih berkeiebat menyambar tubuh Wulan.

"Grrr...!" Harimau itu menggeram keras.
********************

EMPAT

Sinar matahari yang menyeruak masuk melalui pintu yang tak tertutup rapat itu menerpa wajahnya. Kehangatan yang dia rasa kan mulai membangunkan kesadarannya dari pingsan yang cukup panjang. Wulan pelahan-lahan mem-buka matanya, dan dia begitu terkejut menyadari keberadaannya di tempat asing yang belum pernah dia kenal sama sekali.

Pikiran Wulan mulai meraba-raba. Dia mulai teringat kejadian yang terakhir kali dialaminya, dan tahu-tahu dia sudah berada di tempat ini. Sedikit demi sedikit gadis itu beringsut bangun, dan duduk di tepi balai-balai bambu itu. Sepasang matanya menangkap buntalan kain yang dibawanya dari rumah. Gadis itu mengerutkan keningnya. Hatinya diliputi tanda tanya, siapa gerangan orang yang telah menyelamatkan nyawanya dan membawanya kemari.

Belum lagi dia sempat menduga duga, pintu bilik yang tak tertutup rapat itu pelahan-lahan terkuak. Wulan beringsut ke sudut. Tangannya mendekap buntalan berisi kain dan sedikit bekalnya Pintu bilik itu semakin terbuka lebar. Dan di ambang pintu itu berdiri seorang lelaki muda dan tampan dengan pakaiannya serba putih dan ketat, hingga postur tubuhnya yang tegap dan kekar begitu mudah dikenali oleh Wulan.

"Kang...!" desis Wulan begitu mengenali laki-laki itu.

Wulan segera melompat dan menubruk pemuda tampan itu. Air matanya seketika tumpah di dada lelaki muda itu, yang tak lain adalah Dimas. Pemuda tampan itu hanya membelai-belai rambut kekasihhnya. Beberapa saat lamanya mereka hanya saling perpelukan, diselingi oleh isak tangis sang gadis.

Dimas melepaskan pelukan gadis itu, dan membawanya duduk di tepi pembaringan. Sejenak mereka hanya saling pandang. Dengan lembut Dimas mengusap air mata di pipi yang halus kemerahan itu Wulan membiarkan saja jari-jemari kekasihnya menghapus air matanya.

"Ke mana saja kau, Kakang? Kenapa tidak pulang pulang?" tanya Wulan lirih suaranya.

"Maafkan aku, Wulan. Bukan aku tak rindu padamu, tapi pekerjaanku belum selesai," sahut Dimas lembut

"Aku tidak tahan lagi, Kakang. Aku terpaksa kabur dari rumah, aku ingin bersamamu," rintih Wulan kembali terisak.

"Sudahlah sekarang kau sudah aman bersamaku. Kita bisa hidup damai dan tenteram di ani," hibur Dimas tetap lembut.

Secercah senyum kini tersungging di bibir gadis itu. Dimas membalasnya dengan manis pula. Pelahan-lahan wajah mereka yang saling beradu pandang itu semakin mendekat, hingga desah napas Dimas menerpa hangat di seputar wajah Wulan. Kedua pasang mata mereka saling bertatapan dengan mesra.

"Wulan...," desah Dimas bergetar.

"Kakang...!"

Pelan dan lembut sekali Dimas menempelkan bibimya ke bibir gadis itu yang terbuka merekah. Mata Wulan ter-pejam merasakan kehangatan yang mulai menjalari tubuh dan urat syarafnya. Tangannya melingkar di leher Dimas, dan menekannya kuat-kuat, hingga bibir mereka bersatu dalam gairah yang semakin menggelegak.

Tak ada lagi kata-kata yang terucap. Tak ada isak tangis keharuan, yang ada kini hanyalah rasa cinta dan kerinduan yang menyatu dalam daya asmara yang semakin memburu. Wulan merintih merasakan kenikmatan yang membawanya melayang layang terbang mengarungi lautan asmara. Mata gadis itu terbuka dan tertutup, menandakan hasrat birahinya yang sangat mendidih.

"Kakang...!" tiba-tiba Wulan tersentak begitu merasakan jari-jari tangan Dimas menyentuh bagian dari tubuhnya yang sangat peka.

Seketika itu juga Wulan menyentakkan tubuh Dimas. Gadis itu begitu terkejut menyadari hampir seluruh pakaiannya terlepas. Bergegas gadis itu membereskan pakaiannya yang sudah tak karuan dan nyaris membuatnya telanjang tanpa sehelai benang pun di tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Wulan bergetar.

"Wulan..., aku mencintaimu," bisik Dimas seraya mendekat.

"Tapi...," suara Wulan tersekat di tenggorokan.

"Kau mencintaiku juga, kan?"

Wulan tidak bisa menjawab. Tak mungkin dia akan pergi dari rumah dan sampai ke tempat ini kalau dia tak mencintainya. Tapi apakah yang barusan diinginkan oleh Dimas itu ukuran dari perasaan cinta dan kasih sayangnya. Tidak, bisiknya dalam hati. Ia tak mau melakukan hal ter-larang itu sebelum mereka terikat resmi menjadi suami istri. Wulan tak ingin penderitaan hidupnya terus ber-kepanjangan, hanya karena menuruti nafsu birahi sesaat.

"Aku mencintaimu, Wulan. Aku berjanji, kalau tekadku sudah tercapai, aku pasti akan menikahimu," Dimas berucap lembut.

"Kakang...," suara Wulan kembali tersekat di tenggorokan.

"Baiklah...," desah Dimas mengalah.

Wulan hanya memandangi Dimas yang mengenakan pakaiannya kembali, kemudian pemuda itu ke luar kamar tanpa berkata apa-apa lagi. Wulan duduk tepekur di balai-balai bambu. Dia sadar penolakannya telah mengecewakan hati Dimas.

"Ah.., Dimas..., maafkan aku," desah Wulan lirih.

Pelahan-lahan pintu gubuk kecil itu terbuka. Tampak Wulan melangkah ke luar setengah menundukkan kepalanya. Sebentar dia mengamati keadaan sekitarnya, dan dia agak terkejut begitu menyadari dirinya berada di tengah- tengah hutan lebat dengan satu gubuk kecil yang ter-sembunyi di antara lebatnya pepohonan.

Seekor kera hitam bergelantungan dari dahan pohon yang satu ke dahan lainnya. Suaranya memecah kesunyian pagi di sekitar gubuk kecil itu. Bersama burung-burung yang berkicau saling bersahutan.

"Ah, seandainya aku bisa bebas seperti mereka...," desah Wulan lirih.

"Kau sudah bebas, Wulan," terdengar suara lembut dari belakang.

"Oh!" Wulan tersentak kaget. Buru-buru dia membalikkan tubuhnya.

Dimas tampak duduk di akar pohon yang menyembul ke luar dari dalam tanah. Tangannya sibuk membuat anak panah. Beberapa anak panah menggeletak di sekitamya. Dan sebuah busur besar tersandar di pohon. Wulan meng-hampiri dan duduk di samping pemuda itu.

"Maafkan aku, Kakang. Aku tidak bermaksud membuatmu kecewa," kata Wulan pelan.

"Ah, sudahlah. Lupakan soal itu," sahut Dimas tenang.

Sesaat mereka terdiam, dan hanya saling berpan-dangan dengan sinar mata penuh cinta.

"Kenapa kau meninggalkan orang tuamu?" tanya Dimas.

"Terpaksa," sahut Wulan. Kepalanya tertunduk, dan ada kesenduan membayang di wajahnya. Dimas tahu itu.

"Ceritakan, Wulan. Ada apa?!" desak Dimas. Tangan kanan pemuda itu memegangi bahu Wulan.

"Kau jangan marah, Kakang.... Aku terpaksa meninggal-kan mereka, karena aku tak mau menjadi istri si Tua Bangka itu!" Wulan menghentikan ucapan-nya, air matanya yang bening bergayut di sudut matanya. "Dan ayahku, Kakang... dia menerima akibat dari sikapku. Kaki tangan Wira Perakin telah menahannya," Wulan mencoba menahan tangisnya, tapi sia-sia. Kecemasan akan nasib ayah dan ibunya sangat membelenggu batinnya.

Dimas menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Hatinya benar-benar ikut tercabik oleh penderitaan yang dialami Wulan.

"Wira Perakin...," gumam Dimas lirih, tangannya membelai-belai rambut gadis itu. "Bagaimana dengan ayahmu, Wulan? Maksudmu beliau...."

"Tidak, Kakang," sahut Wulan. "Wira Perakin tak mungkin membunuh Ayah, selagi masih ada yang diharapkannya.... Tapi sekarang... aku tak tahu, Kakang!"

"Kau tunggu saja di sini, Wulan," kata Dimas seraya bangkit melepaskan pelukannya. "Kakang mau ke mana?"

"Aku akan membawa ayah dan ibumu ke sini. Aku tidak akan lama, Wulan, kau tak usah cemas," sahut Dimas seraya menjumput anak-anak panah dan memasukkannya ke dalam kantung kulit.

Dimas mengikatkan kantung penuh anak panah itu di pinggang, kemudian dia mengambil pedang dan menyandangkannya di punggung. Tangan kirinya meng-genggam busur besar yang sedikit terukir di bagian tengah-nya. Wulan berdiri dan menghadang langkah pemuda itu dengan wajah penuh kecemasan.

"Kakang...," serak dan lirih suara Wulan.

"Kau jangan pergi ke mana-mana Wulan. Tempat ini tidak ada yang tahu selain aku," pesan Dimas.

Sesaat mereka saling tatap, kemudian Dimas mengecup lembut bibir gadis Itu. Dia berbalik, langsung melangkah cepat tanpa menoleh lagi. Wulan memandangi tanpa berkedip, sampai punggung lelaki pujaannya itu hilang dari pandangan.

********************

Nyi Sukirah langsung terlonjak terbangun dari tidurnya. Suara pintu didobrak sangat mengagetkannya. Pintu kamar itu hancur berantakan. Nyi Sukirah menjerit tertahan melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri di ambang pintu yang hancur Di belakang laki-laki yang bertampang seram itu, berdiri beberapa orang berpakaian seragam kuning keemasan seperti prajurit kerajaan.

Nyi Sukirah tahu, orang yang berdiri congkak di ambang pintu itu adalah Kebo Rimang, tangan kanan Wira Perakin. Ya, orang itulah yang turut merampas rumahnya dulu bersama Wira Perakin. Dan kini, sejarah hidupnya kembali terulang. Orang yang terkenal kejam itu kini siap meng-hancurkan hidupnya kembali.

"Seret perempuan ini ke luar! Cepat!" perintah Kebo Rimang. Suaranya terdengar keras dan kasar. Kedua matanya menatap tajam dan memerah.

Dua orang anak buahnya langsung bergerak maju ke dalam kamar yang pintunya jebol berantakan. Tanpa banyak bicara lagi, dua orang itu langsung menyeret Nyi Sukirah.

"Akh...!" Nyi Sukirah memekik keras begitu tubuhnya dicampakkan.

Perempuan tua itu jatuh bergulingan di tanah. Kulit tangannya yang keriput, tergores mengeluarkan darah. Nyi Sukirah berusaha bangkit berdiri, tapi salah seorang yang menyeretnya segera menendang keras. Kembali tubuh perempuan tua itu bergulingan di tanah. Dadanya terasa sesak sekali dan rintihannya terdengar memelas.

"Di mana anak gadismu. Perempuan Tua?" tanya Kebo Rimang datar.

Nyi Sukirah tidak menyahut, hanya suara rintihannya yang menyayat dan terdengar memilukan. Beberapa kepala bersembulan ke luar dari rumah rumah di sekitar rumah Nyi Sukirah. Tidak ada seorang pun yang berani ke luar rumah, apalagi mencampuri urusan ini. Mereka semua hanya bisa mengurut dada, iba melihat nasib keluarga Ki Sukirah.

"Di mana anakmu, Nyi Sukirah?" Kebo Rimang mengulangi lagi pertanyaannya.

Tetap saja Nyi Sukirah tidak menjawab. Dia malah membalas tajam tatapan mata Kebo Rimang. Dia seperti mendapatkan kekuatan bathin, tak sedikit pun ada rasa gentar di hati perempuan ini.

"Setan!" geram Kebo Rimang. "Geledah rumahnya!"

Lima orang pengikutnya segera beranjak masuk ke dalam rumah itu. Tak lama kemudian mereka sudah ke luar lagi. Salah seorang mendekati Kebo Rimang yang berdiri angker memandang tajam pada Nyi Sukirah.

"Tidak ada, Gusti," lapor orang itu.

"Kurang ajar!" geram Kebo Rimang gusar. "Bakar...!" perintah Kebo Rimang kalap.

"Oh, jangaan..!" sentak Nyi Sukirah terkejut.

Tapi permintaan itu sama sekali tidak digubris. Salah seorang anak buah Kebo Rimang sudah mencabut obor yang tertancap di bang penyangga beranda. Kemudian melemparkannya ke atas atap, api langsung berkobar besar melahap atap rumah yang terbuat dari daun rumbia kering itu. Nyi Sukirah merintih dan terus meratap. Dia hanya bisa melihat api yang terus melahap rumah tempat tinggal satu-satunya itu.

Kejam! Kalian semua kejam! Binatang!" geram Nyi Sukirah di sela isak tangisnya.

"Kau manusia tidak tahu diuntung, Perempuan Tua! Gusti Wira Perakin sudah terlaiu baik padamu. Membiar-kan kau, suamimu dan anakmu hidup. Tapi masih juga kau mau bertingkah macam-macam," ujar Kebo Rimang dingin.

"Phuih! Kalian anjing-anjing keparat!"

"Kurang ajar...!"

Plak!

"Akh!"

Nyi Sukirah terpelanting keras ke tanah begitu tangan kanan Kebo Rimang menghajar pipinya. Perempuan tua itu jatuh pingsan. Tamparan Kebo Rimang begitu keras.

"Ikat perempuan tua itu! Seret dengan kuda!" perintah Kebo Rimang kalap.

Salah seorang segera maju mendekati Nyi Sukirah yang tergeletak pingsan. Orang itu mengeluarkan tambang dari balik bajunya, kemudian mengikat tangan Nyi Sukirah, lalu melemparkan satu ujung tambang itu pada temannya yang menunggang kuda.

Kebo Rimang melompat tangkas ke atas punggung kuda hitam tunggangannya. Orang-orang Wira Perakin yang jumlahnya tidak kurang dari sepuluh orang itu, segera berlompatan naik ke punggung kudanya masing-masing.

"Jalan!" perintah Kebo Rimang.

Baru saja mereka menggebah kuda, tiba-tiba. Wuuut, tras...!

Tambang yang mengikat tangan Nyi Sukirah putus. Sebatang anak panah tertancap di tanah, tak jauh dari tubuh perempuan tua yang masih pingsan dengan kedua tangannya terikat itu. Kebo Rimang dan sepuluh orang pengikutnya terkejut setengah mati. Bergegas mereka berlompatan turun.

Tampak seorang pemuda tampan berbaju putih ketat berdiri tegak. Busur besar dengan anak panah tergenggam di tangannya. Dan tiba-tiba saja dia menarik tali busur itu, dan...

Wuuut!

"Aaakh...!" salah seorang menjerit keras.

Anak panah yang dilepaskan Dimas menancap tepat menembus leher orang itu. Tubuhnya seketika terjajar ke belakang, lalu ambruk mencium tanah Belum lagi hilang rasa terkejut mereka, Dimas sudah melepaskan lagi tiga anak panah secara beruntun dan cepat. Tiga orang langsung menyusul temannya, bergulingan jatuh bersimbah darah.

"Kurang ajar!" geram Kebo Rimang. Secepat kilat laki-laki bertubuh bnggi besar dengan luka codet di wajahnya itu, melompat begitu Dimas kembali menghujaninya dengan anak-anak panah. Kebo Rimang berkelebatan cepat menyambar anak-anak panah yang datangnya bagai-kan hujan itu.

"Phuih!" Kebo Rimang menyemburkan ludahnya sengit

Laki-laki kasar itu berdiri tegak dengan sikap meremehkan. Puluhan batang anak panah tergenggam di kedua tangannya. Sedangkan kantung anak panah di pinggang Dimas sudah kosong. Pemuda itu membuang busumya. Kagum juga dia pada Kebo Rimang yang begitu tangkas bisa menangkap semua anak panah yang dilepaskannya.

Kebo Rimang menjuiurkan kedua tangannya ke depan, lalu meremas anak panah di tangannya hingga hancur. Semua mata memandang kagum pada ketinggian ilmu tenaga dalam yang dimiliki Kebo Rimang.

"Siapa kau, Anak Muda? Mengapa kau mencampuri urusanku!" dengus Kebo Rimang menggeram.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku! Aku datang untuk membasmi anjing-anjing Wira Perakin," balas Dimas tak kalah sengitnya.

"Setan! Apa kau sudah punya nyawa pengganti, heh? Berani-beraninya sesumbar di depanku!"

"Nyawaku cuma satu, tapi aku mampu menyumbat kesombonganmu!"

"Anjing geladak! Hiyaaa...!" Hup!

Kebo Rimang segera membuka jurus jurusnya. Dimas melirik enam orang yang sudah menghunus pedangnya masing masing Dari bentuk senjata mereka yang beraneka ragam, bisa diketahui kalau mereka bukanlah prajurit kerajaan. Mereka orang-orang rimba persilatan yang mengenakan seragam seperti prajurit.

Kebo Rimang melompat menerjang Dimas. Per-tempuran tidak bisa lagi dihindarkan. Dua orang yang masing masing memiliki kepandaian yang cukup tinggi itu saling menyerang menggunakan jurus jurus maut mereka yang berbahaya.

Dalam waktu singkat saja, tidak kurang dari sepuluh jurus telah mereka kerahkan. Namun belum terlihat siapa yang lebih unggul atau terdesak. Mereka kelihatan sama-sama tangguh dengan gerakan jurus-jurusnya yang cepat.

Enam orang lainnya, dan orang-orang yang mengintip dari celah-celah rumah mereka di sekitarnya, seolah terpaku menyaksikan pertarungan itu.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Kebo Rimang berteriak nya-ring. Seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara, dan pada waktu yang bersamaan, Dimas juga berbuat yang sama. Keduanya telah mencabut senjata masing masing. Kini di tangan Dimas tergenggam sebilah pedang yang panjang dan tipis keperakan. Sedang lawannya menggenggam dua buah tongkat besi kecil bercabang dua. Tongkat itu berwama kuning keemasan.

Trang, trang!

Dua senjata beradu keras di udara. Dua tubuh di angkasa itu sama-sama terpental. Tubuh Kebo Rimang jatuh berdebum keras di tanah, lalu bergulingan sejauh tiga ujung tombak. Dimas juga mengalami nasib yang sama, tapi dia masih sanggup berdiri kembali dengan cepat.

Sementara Kebo Rimang berusaha bangkit, enam orang pengikutnya langsung berlompatan mengurung Dimas. Senjata mereka berkelebatan di depan dada. Dimas memandangi enam orang itu dengan mata merah menahan geram.

"Jaring berantai!" teriak Kebo Rimang tiba-tiba.

Enam orang itu langsung memasukkan senjata masing masing ke dalam tempatnya Kemudian dengan cepat mereka mengeluarkan tambang bersimpul dari bafik baju masing-masing. Mereka memutar-mutar tambang ber-simpul itu di atas kepala. Kaki-kaki mereka bergerak lincah mengitari tubuh Dimas.

Dimas jadi kebingungan juga menghadapi enam orang yang memutar-mutarkan tambang bersimpul mengelilingi dirinya. Kakinya segera bergerak lincah mengikuti arah putaran enam orang itu. Kedua matanya tajam mengawasi setiap gerakan yang dilakukan enam orang lawan lawannya Dan tiba-tiba salah seorang melemparkan tambang ke atas, jauh di atas kepalanya.

Hampir bersamaan waktunya, seorang lagi melemparkan tambangnya, lalu disusul berganban oleh yang lain. Dimas benar-benar tak tahu maksudnya. Dia terkejut begitu tiba-tiba enam orang itu serempak berlompatan ke udara.

Tap, tap...!

Enam orang berseragam bagai prajurit itu menangkap ujung ujung tambang yang saling teriempar ke atas. Lalu dengan gerakan manis dan cepat sekali, mereka meluruk turun. Dimas yang belum menyadari tidak dapat berbuat apa-apa. sekebka itu juga tubuhnya terjerat enam utas tambang.

"Hih!" Dimas berkutat berusaha melepaskan diri dari jeratan yang membelit tubuhnya.

Tapi, keenam orang itu lebih cepat lagi bergerak memutar mengelilingi. Dimas benar-benar tak berdaya lagi sekarang Pemuda itu jatuh berdebum ke tanah dengan seluruh tubuhnya terikat tambang. Pedangnya ikut terikat menempel di paha kakinya. Keenam orang berseragam kuning keemasan itu, terus memegangi ujung-ujung tambang.

"Ha... ha... ha...!" Kebo Rimang tertawa terbahak-bahak.

Namun seketika tawanya terhenti sebuah bayangan putih lain tiba-tiba bergerak cepat membabat putus tambang-tambang yang membelit tubuh Dimas. Belum lagi Kebo Rimang hilang rasa terkejutnya, muncul lagi satu bayangan biru menghajar enam orang berseragam itu.

Jeritan kematian terdengar melengking bersahutan. Tubuh enam orang yang memegangi tambang itu, langsung bergelimpangan di tanah. Sebentar mereka menggelepar, lalu diam tak bemyawa lagi. Darah segar membanjiri tanah, menyebarkan aroma anyir menusuk hidung.

Kini di depan Kebo Rimang berdiri dua orang anak muda. Seorang laki-laki berbaju rompi pubh, dan seorang perempuan cantik mengenakan pakaian biru ketat Mereka tak lain adalah Rangga dan Pandan Wangi, dua pendekar muda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut. Pandan Wangi mengebut-ngebutkan kipas baja putihnya di depan dada. Pandangan matanya tajam menatap Kebo Rimang.

"Monyet busuk! Siapa kalian?" geram Kebo Rimang membentak.

Mata Kebo Rimang tak lepas memandang Pendekar Rajawali Sakti. Dia jadi teringat dengan cerita Jaran Kedung. Semua ciri-ciri yang diceritakannya ada pada orang di hadapannya.

"Oooh..., rupanya kau yang membunuh tujuh orang anak buahku kemarin?" dengus Kebo Rimang tetap memandang tajam pada Rangga.

"Benar! Dan hari ini giliranmu yang mampus!" sahut Rangga tak kalah gertak.

"Setan alas! Rupanya kau sudah bosan hidup, hingga berani mengusik macan, heh?!"

"Macan ompong...!" ejek Pandan Wangi sengit.

Kebo Rimang mendelik lebar menerima ejekan itu. Matanya menyipit. Kini di hadapannya berdiri tiga orang anak muda menantangnya. Dimas berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Di tangan kanannya tergenggam sebuah pedang.

Kebo Rimang mulai surut nyalinya. Dia telah jelas-jelas melihat kalau ketiga orang anak muda itu memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan tak mungkin baginya untuk bisa menandingi.

Tanpa malu-malu lagi, Kebo Rimang melompat ke atas punggung kudanya. Kuda tinggi besar itu bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya, berlari cepat hingga dalam sekejap saja telah hilang dari pandangan.

"Pengecut!" dengus Dimas menggeram.

"Sebaiknya kau urus saja orang tuamu," kata Rangga mengingatkan.

Dimas tersentak, buru-buru ia menghampiri Nyi Sukirah yang masih tergolek pingsan. Pemuda kekasih Wulan itu sekilas menatap rumah yang kini tinggal puing-puing membara mengepulkan asap tipis. Dimas lalu membopong tubuh perempuan tua itu, dan membawanya ke suatu tempat yang teduh Dimas memeriksa keadaannya. Dia menoleh pada Rangga dan Pandan Wangi yang juga sudah berlutut di samping tubuh Nyi Sukirah.

"Bagaimana?" tanya Pandan Wangi.

"Hanya pingsan, tidak ada luka yang serius," sahut Dimas.

Pemuda itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi. Dia agak berkerut juga keningnya, sama sekali dia belum pernah melihat dua orang yang telah menolongnya ini.

Rangga mengerti arti pandangan Dimas, dia tersenyum dan menepuk pundak pemuda itu dengan sikap bersahabat.

"Terima kasih atas pertolongan kalian," ucap Dimas membalas senyuman Rangga.

"Ah, lupakan saja," sahut Rangga.

********************

LIMA

Apa yang menjadi firasatnya selama dua hari ini, sekarang menjadi kenyataan. Orang-orang Wira Perakin telah membumi hanguskan rumahnya dan tega pula menyiksa istrinya. Semua itu dia ketahui dari penjaga kamar tahanan di mana kini dia berada, yang terus mencoba menjatuhkan mentalnya dan memancing agar dia mau menunjukkan di mana anak gadisnya kini berada.

Ki Sukirah menarik napas panjang, lalu berjalan mondar-mandir di kamar tahanannya yang pengap dan sempit. Dia memandangi kamar kecil yang terbuat dari dinding baru itu. Hanya lubang kecil pada pintu, dan dua orang penjaga bersenjata selalu berjaga-jaga di depan pintu. Tidak ada sedikit pun celah untuk meloloskan diri.

Pintu kamar itu terbuka pelahan-lahan Ki Sukirah berdiri tegak, menanti siapa yang datang. Dia sudah pasrah dengan apa yang akan teijadi pada dirinya, walau harus mengorbankan nyawa sekalipun! Akhir-akhir ini dia baru sadar, bahwa putrinya berada di jalan yang benar! Dan memang lebih baik mati daripada harus menyerahkan kehormatan pada si Tua bangka itu!

Pintu kamar semakin terbuka lebar. Wira Perakin melangkah masuk, diikuti oleh Arya Mahesa dan Cakala Pati. Sedang dua orang lainnya, Antasuro dan Galang Gembul menunggu di luar pintu ber sama dua orang penjaga bersenjata tombak.

"Sukirah, aku masih bisa bersabar padamu. Kuberi kau kesempatan untuk hidup sekali lagi," kata Wira Perakin datar suaranya.

"Hm...," Ki Sukirah cuma bergumam sambil menarik napas panjang. Dia sudah bisa menduga apa yang akan dikatakan Wira Perakin padanya. Dia tahu maksud terselubung dari kesempatan yang diberikan saat ini.

"Hari ini juga kau kubebaskan, tapi kau harus mencari di mana anak dan istrimu berada. Juga tiga anak muda yang telah membunuh orang-orangku," lanjut Wira Perakin.

Ki Sukirah bersyukur dalam hati, karena anak dan istrinya masih selamat. Hanya saja dia tidak mengerti tentang tiga anak muda yang barusan disebutkan Wira Perakin. Tapi bagaimanapun dia merasa lega, hatinya ter-senyum penuh kemenangan.

"Penjaga...!" panggil Wira Perakin.

"Hamba, Gusti," seorang penjaga segera menghamplrinya.

"Buka rantai itu!"

"Hamba laksanakan, Gusti."

Penjaga itu segera melaksanakan perintah majikannya. Dia membuka rantai rantai yang mengikat tangan dan kaki Ki Sukirah. Setelah itu dia kembali ke luar. Ki Sukirah mengurut-urut pergelangan tangannya yang terasa pegal oleh rantai yang membelitnya selama tiga hari ini.

"Kau bebas sekarang, Sukirah. Tapi ingat, kau harus menemukan istri dan anakmu. Bawa mereka padaku. Juga tiga anak muda yang telah berani melawan kekuasaanku!" tegas kata-kata yang keluar dari mulut Wira Perakin.

Ki Sukirah tidak menyahut, dia hanya menganggukkan kepalanya. Dia tahu benar arti kebebasan yang akan dinikmatinya. Kebebasan yang akan menyebabkan nyawa-nya melayang jika tak menemukan dan menyerahkan anak gadisnya, juga tiga anak muda yang dia sendiri merasa tak mengenalnya. Ki Sukirah hanya pasrah, tapi hatinya masih berharap, semoga tiga anak muda yang disebutkan tadi bisa menjadi dewa penolong bagi keluarganya.

"Nah! Kau boleh keluar sekarang," kata Wira Perakin lagi.

Ki Sukirah melangkahkan kakinya keluar dari kamar tahanan yang pengap dan sempit itu. Kakinya terus terayun tanpa menoleh lagi. Dua orang penjaga mengawalnya sampai di pintu gerbang.

"Kenapa kau bebaskan orang itu, Kakang Wira Perakin?" tanya Cakala Pati.

"Itu cuma pancingan saja," sahut Wira Perakin tenang.

"Maksudmu?" tanya Antasuro yang sudah mendekat, bersama Galang Gembul.

"Aku berharap tiga pendekar yang membantu keluarga Sukirah muncul, dan mengira orang tua itu masih berada di sini."

"Kalau mereka tahu Sukirah sudah dibebaskan?" celetuk Cakala Pab lagi.

"Kita bisa menguntitnya, ke mana mereka membawa Sukirah pergi. Aku yakin, mereka pasti membawa ke tempat persembunyian anak dan istrinya."

"Kalau begitu, kau harus sebarkan beberapa orang untuk mengawasinya," sambung Antasuro yang sudah bisa mengerti tujuan Wira Perakin.

"Semuanya sudah kupikirkan. Setiap langkahnya selalu diawasi oleh orang-orangku!" sahut Wira Perakin sombong.

"Tidak disangka, otakmu cerdas juga, Kakang," puji Galang Gembul.

"He... he... he...," Wira Perakin terkekeh senang.

"Asal saja kau jangan lupa, Kakang...," kata Galang Gembul lagi.

"Beres, kalau semuanya sudah selesai, kalian berempat pasti bisa ikut menikmati kemulusan tubuh Wulan."

Lima orang itu lalu tertawa terbahak bahak sambil keluar dari pintu kamar tahanan. Otak mereka yang hanya diisi oleh kenikmatan duniawi, sudah membayangkan kemulusan tubuh Wulan saja. Tubuh yang sudah mereka incar berulang kali!

********************

Ki Sukirah terus melangkahkan kakinya menyusuri jalan berdebu menuju ke rumahnya. Bagi yang melihatnya, langkah kaki Ki Sukirah sepertinya langkah yang sia-sia. Karena semua orang tahu kalau rumahnya kini tinggal reruntuhan puing berdebu. Tapi Ki Sukirah tak peduli, sepotong perasaan dan hatinya seperti masih tertinggal di sana. Dan dia terus melangkahkan kakinya... tak peduli lagi dengan ancaman Wira Perakin untuk mencari anak dan istrinya.

Pikiran dan otak tua Ki Sukirah tak menyadari kalau dirinya terus diikuti ke mana saja kakinya melangkah. Ki Sukirah terus saja melangkah. Dia tertegun melihat rumah-nya yang tinggal puing puing hitam habis terbakar. Tak ada lagi asap yang mengepul, seperti hati dan perasaannya yang mati dan tak punya harapan lagi untuk melanjutkan perjalanan hidupnya.

Jauh dari tempat Ki Sukirah berdiri, tampak Rangga dan Pandan Wangi sedang memperhatikan laki-laki tua yang sedang dirundung malang itu.

"Kau yakin, laki-laki itu Ki Sukirah?" tanya Pandan Wangi.

"Ya, aku pemah melihatnya sekali. Bahkan sempat menolongnya waktu itu," sahut Rangga.

"Aku tidak mengerti, kenapa Wira Perakin membebaskannya," gumam Pandan Wangi.

"Manusia licik seperti Wira Perakin punya seribu satu cara untuk memenuhi nafsunya," sahut Rangga pelan.

Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia melihat beberapa orang dengan jarak terpisah juga tengah mengawasi Ki Sukirah. Meskipun mereka tampak seperti penduduk biasa, namun mata gadis itu cukup jeli untuk mengetahui ada senjata tersembul di balik baju mereka.

"Kau benar, Kakang. Ki Sukirah tidak dilepaskan begitu saja," kata Pandan Wangi.

"Kau melihat mereka juga, Pandan?"

"Ya, mereka semua bersenjata."

"Kalau begitu, kau awasi mereka dari sini."

"Kau mau ke mana?"

"Memancing mereka."

Rangga terus melangkah tenang menuju ke arah Ki Sukirah yang masih berdiri mematung memandangi puing-puing rumahnya. Pandan Wangi mengamati sekitar dua puluh orang yang menyebar di berbagai tempat. Tampak pula olehnya seorang laki-laki tua mengenakan jubah kuning gading turut mengawasi Ki Sukirah. Dari jarak yang agak jauh terlihat gambar seekor kala hitam di tangan kanannya.

Sementara itu Rangga semakin dekat dengan Ki Sukirah. Kewaspadaannya pun tak pernah lepas pada orang-orang yang tengah mengawasinya Rangga berdiri di belakang Ki Sukirah, tangannya menepuk lembut pundak lelaki tua itu.

"Oh!" Ki Sukirah terkejut.

"Ssst ," Rangga memberi isyarat untuk bersikap biasa.

Ki Sukirah mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Begitu matanya melihat laki-laki tua berjubah kuning gading, langsung dia mengerti isyarat Rangga. Dia kenal laki-laki itu, dialah Galang Gembul. Tidak jauh dari Galang Gembul, tampak Kebo Rimang dan Demung Pari.

"Kau dijadikan pancingan oleh mereka, Ki. Sebaiknya jalan terus menuju hutan, biar di sana aku membereskan mereka," bisik Rangga pelahan.

"Bagaimana keadaan istri dan anakku?" tanya Ki Sukirah.

"Mereka baik-baik saja," sahut Rangga.

"Oh, syukurlah," desah Ki Sukirah lega.

"Mari aku antar kau mencari anak dan istrimu," kata Rangga sengaja agak keras, untuk memancing reaksi orang-orang yang tengah menguntit.

"Apakah jauh dari sini?" tanya Ki Sukirah juga dengan suara sedikit keras.

"Cukup jauh juga, mereka di tempat yang aman."

Ki Sukirah tersenyum lebar, dia melangkah di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Perasaannya benar-benar tenang sekarang, dia yakin kalau istri dan anaknya dalam keadaan selamat dan tenang di tempat yang aman. Dia juga tahu kalau Rangga sekarang bukan mengajak ke tempat istri dan anaknya berada.

Pancingan Rangga memang tepat. Orang-orang suruhan Wira Perakin mengikuti ke mana Ki Sukirah dan Rangga pergi. Sedangkan Pandan Wangi juga mulai mengikuti dari jarak yang cukup jauh.

Selama dalam perjalanan, Rangga terus berbicara dengan suara agak keras. Ki Sukirah menanggapi semua pembicaraan Pendekar Rajawali Sakn ini dengan mimik serius. Padahal pembicaraan itu untuk memancing mereka yang terus mengikuti. Rangga tersenyum dalam hati karena akalnya cukup mengena tanpa hambatan sedikit pula.

********************

Matahari sudah condong ke Barat ketika Rangga dan Ki Sukirah memasuki hutan. Mereka terus berjalan semakin masuk ke dalam hutan yang lebat. Hingga pada saat yang tepat, secepat kilat Rangga menyambar tubuh Ki Sukirah. Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak, sehingga tahu tahu sudah lenyap dari pandangan mata para penguntitnya.

Melihat buruannya hilang, Galang Gembul langsung melompat cepat. Kebo Rimang dan Demung Pari juga berbuat sama Mereka benar-benar kaget, karena Rangga dan Ki Sukirah menghilang tanpa seorang pun di antara mereka melihatnya!

"Kurang ajar! Ke mana mereka pergi?" geram Galang Gembul.

Sementara itu, sekitar dua puluh orang lainnya sudah sampai di tempat Galang Gembul berada. Mereka semua juga kebingungan, karena orang yang mereka kuntit men-dadak hilang tak berbekas. Galang Gembul memberi perintah untuk mencari di sekitar tempat mereka berdiri.

"Jangan-jangan ini cuma jebakan saja, Gusti," kata Kebo Rimang menduga-duga

"Hm...," Galang Gembul menggumam tak jelas.

"Aku menduga mereka tidak menuju ke tempat yang sebenarnya," kata Demung Pari menyambung.

Galang Gembul tersentak begitu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tempat di mana mereka berada dikelilingi batu baru yang curam. Segera dia menyadari kalau mereka sengaja digiring dan dijebak.

Mendadak terdengar suara gemuruh. Lalu disusul dengan bergetarnya tanah yang mereka pijak. Dan belum lagi mereka sempat berpikir, di sekeliling mereka telah ber-guguran baru batu dari atas tebing. Begitu cepatnya kejadian itu berlangsung, hingga Galang Gembul tak sempat lagi memberi peringatan. Batu-batu berguguran menghujani orang-orang yang berada di bawahnya.

Jerit kematian menggema saling bersambut dengan suara gemuruh batu batu yang meluncur dari atas tebing. Galang Gembul berlompatan menghindari batu batu itu. Kebo Rimang dan Demung Pari juga tak kalah sibuknya. Mereka langsung mengeluarkan senjatanya masing masing menghalau setiap batu yang meluncur ke arah mereka.

Akibatnya sungguh mengerikan Semua pengikut dan kaki tangan Wira Perakin tewas mengenaskan. Mayat-mayat mereka menggeletak mengerikan. Mereka tewas dengan kepala dan tubuh yang tertindih batu batu. Tinggal Galang Gembul, Kebo Rimang dan Demung Pari yang masih bertahan. Ketiga orang itu pun tampak kepayahan.

"Setan...!" Galang Gembul memaki keras.

Muka laki-laki yang benubah kuning gading itu merah padam melihat dua puluh orang-orangnya tewas tanpa mampu membalas. Sementara Kebo Rimang dan Demung Pari semakin waspada dengan senjata di tangan. Suasana di tempat itu mendadak sepi.

"Keluar kau, Setaaan...!" teriakan Galang Gembul menggema keras.

"Tidak perlu berteriak-teriak, Kakek Tua! Aku di sini!" sahut sebuah suara bernada tenang.

Galang Gembul, Kebo Rimang dan Demung Pari ter-sentak kaget. Tahu tahu Rangga sudah berdiri di atas sebuah batu besar. Di samping Pendekar Rajawali Sakti itu, berdiri Pandan Wangi dengan kipas baja putihnya di tangan.

"Dia yang selalu menolong Ki Sukirah, Gusti," ucap Kebo Rimang memberitahu.

"Hm..., jadi kau rupanya yang telah membunuh orang-orangku, heh!" dengus Galang Gembul.

"Benar!" sahut Rangga tenang. Nada suaranya mengandung tantangan yang menyakitkan.

"Kurang ajar! Kau sudah bosan hidup rupanya. Anak Setan!" geram Galang Gembul sengit.

"Kita lihat saja siapa yang bosan hidup...?"

"Monyet! Hiyaaa...!"

Galang Gembul tidak bisa lagi menahan amarahnya. Dia langsung melompat menerjang Rangga. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindari lagi. Rangga melayani serangan Galang Gembul dengan jurus-jurus andalannya. Sedangkan Galang Gembul sudah menghunus senjatanya yang berupa golok besar berwarna hitam pekat.

Wut, wut, wut!

Galang Gembul semakin bernafsu, setiap serangannya dimentahkan di tengah jalan oleh Rangga. Sudah hampir seluruh kemampuannya dia kerahkan, tapi belum juga dia bisa menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Galang Gembul jadi semakin kalap dan merasa dipermainkan, dia pun segera mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang terdahsyat!

"Hih.. !" Rangga terkesiap juga melihat ilmu itu.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian andalannya yang digunakan terhadap lawan tangguh. Sekejap saja kedua tangan Rangga memancarkan cahaya biru menyilaukan mata.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'!" teriak Rangga.

Bersamaan dengan itu, tubuh Galang Gembul melompat cepat meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tangan Rangga terangkat naik, dan menerima kedua tangan Galang Gembul yang menjulur ke depan.

Ledakan keras terdengar begitu kedua tangan itu saling beradu Rangga tidak bermain-main lagi, dia langsung mengerahkan tingkat akhir dan aji 'Cakra Buana Sukma'. Tubuh Galang Gembul terpental kencang ke belakang begitu kedua tangannya membentur tangan Rangga. Sedang Pendekar Rajawali Sakti itu tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit pun.

Galang Gembul meluncur deras membentur dinding batu cadas dengan keras. Begitu kerasnya, hingga dinding batu itu bergetar dan berguguran! Tak ampun lagi, batu-batu yang berguguran itu menimpa tubuh Galang Gembul, hingga seluruh tubuhnya tak ada yang terlihat lagi. Galang Gembul tewas seketika

"Mau lari ke mana kau! Hiyaaa...!" bentak Pandan Wangi yang sejak tadi mengawasi Kebo Rimang dan Demung Pari.

Kebo Rimang terkejut setengah mati, buru-buru dia mengibaskan pedangnya ke arah bayangan biru yang menerjangnya. Namun Kebo Rimang jadi tersentak begjtu pedangnya beradu dengan benda keras bertenaga dahsyat. Tangan Kebo Rimang bergetar hebat, dan pedangnya nyaris terlepas dari tangan.

Belum sempat dia menyadari apa yang barusan terjadi, mendadak sebuah tendangan geledek menghantam dadanya. Kebo Rimang mengeluh pendek, dan tubuhnya sempoyongan terdorong ke belakang. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu langsung menjatuhkan dirinya begitu datang serangan berikutya yang sangat cepat bagai kilat.

Bret!

"Akh...!" Kebo Rimang memekik tertahan.

Tanpa diduga sama sekali, kipas baja putih milik Pandan Wangi merobek bahu kiri Kebo Rimang. Darah bercucuran dari luka yang panjang dan dalam di bahu kiri. Kebo Rimang meringis merasakan perih pada bahunya yang terluka. Pandan Wangi berdiri tegak dengan kipas baja putih terbuka di depan dada.

"Kau lebih baik mati, Setan!" geram Pandan Wangi sengit.

Pandan Wangi lalu berteriak nyaring dan bergerak cepat seraya mengebutkan kipas saktinya. Kebo Rimang hanya bisa mendelik. Mendadak dia merasakan sesuatu yang sangat sangat keras menusuk tubuhnya. Tanpa sempat bersuara sedikit pun, Kebo Rimang langsung tewas saat itu juga.

Pandan Wangi berdiri sejenak memandang tubuh Kebo Rimang yang tergeletak tanpa nyawa itu. Dia baru menoleh ketika merasakan tepukan lembut di pundaknya.

"Kenapa kau biarkan satunya lolos?" tanya Pandan Wangi.

"Biar dia memberitahu pimpinannya," sahut Rangga tenang.

"Huh! Tanganku rasanya gatal jika melihat kejahatan di depan mata," dengus Pandan Wangi.

"Tapi tidak seharusnya kau berlaku begitu sadis."

"Orang-orang seperti mereka tidak perlu dikasih hati."

Rangga cuma tersenyum. Belakangan ini dia memang lebih arif pada lawannya, seringkali dia membiarkan lawan-nya pergi jika dianggapnya sudah tak berdaya menghadapi dirinya. Kecuali kalau lawannya benar-benar telah berbuat kejahatan di luar batas.

"Bagaimana kedaan Ki Sukirah?" tanya Pandan Wangi.

"Mereka sudah berkumpul di gubuk Dimas," sahut Rangga.

"Begitu cepat..?!" Pandan Wangi merasa heran.

"Tidak jauh lagi dari sini, kan?"

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Dia seolah baru tahu siapa Rangga. Jarak dari tempat mereka berada sekarang sebenamya cukup jauh dan harus melewati tebing-tebing berbaru untuk mencapai gubuk Dimas. Tapi bagi Rangga hal itu bukanlah menjadi soal.

"Ayo...." ajak Rangga.

Baru saja mereka hendak melangkah, mendadak muncul Dimas dari balik tebing batu yang tinggi. Rangga dan Pandan Wangi mengurungkan niatnya untuk meninggalkan tempat itu. Dimas menghampiri kedua pendekar muda itu. Tiba-tiba ia sangat terkejut melihat gambar kala hitam pada salah satu sosok mayat itu! Gambar yang mengingatkannya kembali pada peristiwa yang menimpa kakak perempuannya lima belas tahun yang lalu. Dimas seolah tak percaya pada penglihatannya, matanya terus menatap mayat Galang Gembul.

"Rupanya mereka ada di sini!" Dimas seperti ber-gumam. "Huh! Wira Perakin, rupanya kau dalang dari semua ini!" geram Dimas seraya bangkit berdiri.

"Dimas...," panggil Pandan Wangi pelan.

Dimas menoleh, memandang kedua pendekar yang berdiri di dekatnya. Sinar matanya begitu tajam dan berapi-api. Api dendam yang bersemayam bertahun-tahun di hatinya, kini kembali berkobar begitu melihat salah seorang yang memperkosa dan membunuh kakaknya ternyata ada di sini!

"Ada apa denganmu, Dimas?" tanya Pandan Wangi.

"Sekarang saatnya biar aku yang membunuh mereka!" dengus Dimas sedikit tersengal.

Pandan Wangi memandang Rangga tak mengerti. Keduanya lalu hampir berbarengan menoleh ke arah Dimas. Pelahan-lahan keduanya mendekat. lalu mengajak Dimas untuk menjauhi tempat itu.

Mulanya Dimas merasa enggan, tapi teringat akan jasa Rangga dan Pandan Wangi, akhirnya dia pun menceritakan semuanya. Menceritakan tentang nasib kakak perempuannya yang malang. Menceritakan tentang nasib Ki Sukirah dan keluarganya. Dan mengungkapkan dendam kesumat-nya pada orang-orang yang telah menoreh luka panjang di hatinya.

"Hm..., kalau memang orang itu salah seorang yang membunuh kakakmu berarti masih ada empat orang lagi," kata Rangga setengah bergumam.

"Ya, dan aku yakin mereka ada hubungannya dengan si tua bangka Wira Perakin," sahut Dimas.

"Bagaimana kalau kita kembali ke desa?" usul Pandan Wangi.

"Untuk apa?" tanya Rangga.

"Membantu Dimas mencari orang-orang itu." sahut Pandan Wangi.

"Apa benar mereka pasti di sana?"

"Paling tidak, kita bisa menyelesaikan persoalan Wira Perakin!"

"Bagaimana, Dimas?" Rangga meminta pendapat pada yang berkepentingan.

"Aku percaya saja pada kalian berdua," sahut Dimas mulai tenang.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" sergah Pandan Wangi segera.

"Ya, kalau mau bergerak memang harus cepat!" timpal Rangga sambil beranjak pergi. Dan tiga orang pemuda itu pun segera berjalan beriringan menuju sasaran yang mereka cari!

********************

ENAM

Wira Perakin menggeram hebat mendengar laporan Demung Pari Galang Gembul, salah seorang kepercaya-annya bersama dua puluh pengikut lainnya tewas oleh hanya tiga orang anak muda! Begitu juga dengan Arya Mahesa, Cakala Pati dan Antasuro, sulit menerima kenyataan kalau Galang Gembul dan kawan-kawannya begitu mudah dijebak.

"Ini tidak bisa didiamkan, Wira Perakin. Bocah setan itu harus mampus sebelum menjadi dun untuk selamanya," kata Cakala Pari sengit

"Benar! Kita harus cepat membereskannya," sambung Arya Mahesa.

"Kau tahu, di mana Anak Setan itu berada?" tanya Wira Perakin pada Demung Pari.

"Di hutan sebelah Utara dari desa ini."

"Kau yakin?" desak Antasuro.

"Rasanya bukan, Gusti. Tempat itu seperti perangkap. Dikelilingi oleh bukit bukit batu yang mudah longsor. Kami terjebak di sana, dua puluh orang tewas tertimbun batu longsor."

"Kurang ajar!" geram Wira Perakin.

"Apa tindakan kita selanjutnya, Wira Perakin?

"Pancingan sudah lolos tanpa mendapatkan hasil," kata Cakala Pari.

Wira Perakin tidak menjawab. Pikirannya mendadak jadi buntu. Kekalahan demi kekalahan telah menimpa pihaknya. Sudah banyak orang orang yang tewas hanya karena tiga anak muda yang membantu Ki Sukirah. Wira Perakin seperti putus asa, tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuatnya, sedangkan wajah Wulan yang ayu selalu mengganggunya sebap saat, dan dia merasa ditantang untuk mendapatkan gadis itu.

"Kalian cari setan setan itu! Pakai otak kalian sendiri!" ucap Wira Perakin keras.

Wira Perakin beranjak pergi dari ruangan besar yang digunakan sebagai tempat pertemuan ini. Cakala Pati, Arya Mahesa dan Antasuro hanya saling pandang. Wira Perakin tidak peduli lagi apa yang akan dilakukan orangnya-orangnya. Dia langsung masuk ke kamar peraduannya. Di dalam kamar itu telah menunggu seorang perempuan muda dan tampak genit. Wanita itu hanya melilitkan kain sutra tipis putih di tubuhnya.

Sementara itu jauh di luar rumah besar yang dijadikan tempat bnggal Wira Perakin, tampak Rangga bersama Pandan Wangi dan Dimas tengah duduk-duduk di dalam sebuah kamar penginapan. Sengaja Rangga membuka jendela kamar, agar bisa mengamatj keadaan di luar. Dan bba bba terdengar pintu kamar diketuk dari luar.

Dimas bangkit berdiri dan melangkah menghampiri. Dia membuka pintu pelahan lahan dan mengintip keluar, kemudian membukanya lebar-lebar. Seorang laki-laki tua segera masuk ke dalam. Dimas segera menutup kembali pintu itu. Dia masih berdiri di pintu yang sudah tertutup. Rangga berdiri bersandar di samping jendela yang terbuka, sedangkan Pandan Wangi duduk di kursi tidak jauh dari jendela.

"Ada yang ingin kau sampaikan, Ki Parung?" tanya Dimas.

"Benar. Ada tiga orang saudara Wira Perakin datang kemari tadi, mereka menanyakan kalian bertiga," sahut Ki Parung, pemilik penginapan ini.

"Lalu, Ki Parung bilang apa?" tanya Dimas lagi.

"Aku katakan kalau kalian tidak berada di sini."

"Bagus," kata Pandan Wangi seraya bangkit mendekat.

"Ada sepuluh orang yang berjaga-jaga di penginapan ini Mereka dipimpin oleh Demung Pari. Juga seluruh desa ini selalu diawasi. Wira Perakin sudah memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap siapa saja yang dicurigai," tutur Ki Parung.

"Bagaimana, Kakang?' Pandan Wangi meminta pendapat pada Rangga.

"Kau pancing mereka keluar desa, aku dan Dimas akan menunggu di sana," Rangga membuka suara.

"Demung Pari sudah mengenaliku," sergah Pandan Wangi.

"Itu lebih bagus lagi. Kalau bisa, kau pancing tiga orang saudara Wira Perakin itu, syukurlah bila dia sendiri ikut terpancing."

"Terlalu berbahaya...," gumam Dimas tidak menyetujui.

"Benar!" sambung Ki Parung. "Nona sangat cantik, Wira Perakin tidak akan nelepaskan wanita cantik begitu saja. Mereka sangat liar dan buas pada perempuan-perempuan cantik! Bahaya sekali, Nona!"

"Dia bisa mengatasinya, Ki Parung. Kalian berdua tidak perlu khawatir," kata Rangga sambil melirik Pandan Wangi.

"Justru kelemahan itu yang harus kita manfaatkan," sambung Pandan Wangi.

"Tapi...," Dimas merasa sayang kalau Pandan Wangi dijadikan umpan.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebelum mereka menjamah tubuhku kipas mautku akan bicara lebih dulu," sergah Pandan Wangi cepat

"Nah! Sekarang bersiaplah," kata Rangga. "Kau segera ke batas desa sebelah Timur, Dimas. Aku sendiri akan menjaga Pandan Wangi dari kejauhan. Terima kasih atas bantuanmu, Ki Parung."

"Seharusnya aku atas nama penduduk desa ini yang mengucapkan terima kasih pada kalian, karena orang-orang itu terlalu kejam dan menyengsarakan penduduk," balas Ki Parung.

Rangga tersenyum. Dimas membuka pintu, membiarkan Ki Parung keluar. Kemudian dia sendiri ikut keluar bersama lelaki tua pemilik penginapan ini. Rangga memberi isyarat, dan Pandan Wangi langsung melompat ke luar melalui jendela. Rangga mengikutinya seraya menutup jendela kamar Itu.

Pandan Wangi melenting berlompatan dari atap rumah yang satu ke atap rumah lainnya, dan baru berhenti di atas tembok benteng rumah besar. Tampak beberapa orang dengan senjata tersandang berjaga-jaga di sekitar tembok itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pandan Wangi, hingga tak seorang pun yang mengetahui kehadirannya.

"Aku harus memancing Wira Perakin, itu yang paling penting dari pada yang lainnya." gumam Pandan Wangi dalam hati.

Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu segera melompat turun dari atas atap Namun begitu kakinya menjejak tanah, sebatang tombak meluncur ke arahnya. Pandan Wangi segera memiringkan tubuhnya, sehingga tombak itu lewat di samping pinggangnya.

"He... he... he..., rupanya ada kelinci cantik menyusup ke sarang macan," Wira Perakin muncul dari balik pohon.

Pandan Wangi terkejut Dia tidak menyangka kalau kehadirannya bisa diketahui dengan cepat oleh laki-laki tua yang masih tegap ini. Belum hilang rasa terkejutnya, muncul lagi tiga orang laki laki yang sebaya dengan Wira Perakin.

"Hm...," Pandan Wangi bergumam pelan. Matanya melihat gambar kala hitam besar di tangan mereka. "Pasti orang-orang ini yang dicari Dimas."

"Suiiit...!" tiba-tiba Wira Perakin bersiul nyaring.

Seketika itu juga bermunculan orang-orang dengan pedang terhunus. Mereka rata-rata memegang senjata sejenis golok yang besar berkilatan dibmpa sinar matahan Tampak Demung Pari dan Jaran Kedung ada di sini. Pandan Wangi kaget begitu melihat orang-orang yang berjumlah sekitar dua puluhan itu kini telah mengepungnya.

"He... he... he..., cantik sekali kelinci ini," kata Wira Perakin terkekeh. Bola matanya menatap liar penuh nafsu pada Pandan Wangi.

"Hati-hati, Wira Perakin," bisik Cakala Pati mengingatkan.

"Aku tahu," sahut Wira Perakin, "tangkap dia!"

Orang-orang yang berjumlah tak kurang dari dua puluh orang itu segera melompat maju ke depan. Gadis itu segera mencabut kipas mautnya dari ikat pinggang.

"Majulah kalian semua.'" dengus Pandan Wangi.

"Hiyaaa...!"

"Hiyaaa...!"

Orang-orang yang mengenakan seragam kuning keemasan itu langsung berlompatan menerjang Pandan Wangi Pandan Wangi pun siap siaga Dengan kipas maut di tangan, dia langsung mengamuk bagaikan singa betina yang diganggu tidurnya. Dan tak tanggung-tanggung lagu, Pandan Wangi langsung mengeIuarkan jurus-jurus saktinya.

Dalam waktu yang tak berapa lama, lima orang sudah meregang kaku tak bernyawa. Lalu satu per satu orang-orang yang mengeroyoknya bergelimpangan tersambar ujung kipas baja yang berkelebatan cepat dan sulit diikuti mata itu. Mereka memang bukan tandingan Pandan Wangi Dan dalam waktu yang singkat pengeroyoknya hanya tinggal lima orang.

"Kurang ajar!" geram Wira Perakin melihat orang-orangnya nyaris terbabat habis.

Wira Perakin memerintahkan Demung Pari membekuk Pandan Wangi. Demung Pari segera melompat sambil berteriak nyaring.

"Mundur...!"

Lima orang yang tersisa segera berlompatan mundur. Pandan Wangi merintangkan kipas baja saktinya ke depan dada. Kedua bola matanya tajam menatap Demung Pari yang sudah menghunus senjatanya berupa golok besar berwarna hitam.

"Sebaiknya kau menyerah saja, Anak Manis. Percuma saja kau melawan," kata Demung Pari

"Jangan banyak omong! Ayo maju, kalau ingin kepala-mu kupisahkan dari badan!" sentak Pandan Wangi sengit.

"Menyesal sekali, aku harus merobek mulutmu yang indah," dengus Demung Pari menggeram.

Demung Pari melenting sambil mengibaskan goloknya ke arah Pandan Wangi. Gadis itu memutar tangannya menghadang sabetan golok Demung Pari.

Trang!

"Ikh!" Demung Pari kaget bukan main.

Buru-buru dia menarik goloknya. Seluruh persendian tulang lengannya terasa nyeri. Dia benar-benar tidak menyangka kalau gadis ini memiliki tenaga dalam yang tinggi juga. Demung Pari menggeram keras. Dia tak mau lagi menganggap enteng lawannya.

"Kubunuh kau, Setaaan...!"

"Uts!"

********************

Sementara itu Dimas yang menunggu di luar batas desa sudah merasa tak enak hati. Sudah cukup lama dia menunggu, tapi Rangga dan Pandan Wangi belum muncul juga. Dimas masih mengawasi jalan yang se harusnya ditempuh Pandan Wangi untuk memancing Wira Perakin dan orang-orangnya keluar sarang. Tapi jalan itu tetap saja terrrhat sepi, tak seorang pun terlihat melintasinya.

Jantung Dimas seketika berdetak kencang begitu melihat Rangga berlari-lari cepat ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan terbang, sebentar saja dia sudah berada di depan Dimas.

"Bagaimana...?" tanya Dimas tak sabar.

"Aku kehilangan jejak," sahut Rangga sambil mengatur napasnya.

"Maksudmu?" Dimas tak mengerti.

"Pandan Wangi berbelok arah, dia menyimpang dari rencana semula."

"Celaka!" seru Dimas.

"Kita tunggu saja beberapa saat di sini."

Dimas terlihat gelisah. Dan tiba-tiba terdengar derap langkah kaki kuda dipacu cepat Tampak debu mengepul dari ujung jalan. Rangga dan Dimas siap siaga, tapi....

"Ki Parung...," desis Rangga mengenalnya.

Rangga langsung melompat cepat diikuti Dimas. Kuda yang ditunggangi Ki Parung meringkik keras sambil meng-angkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi begitu Rangga tiba-tiba menghadang jalannya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menarik tali kekangnya, hingga Ki Parung tidak jatuh.

Ki Parung bergegas turun dari punggung kudanya. Wajah dan bajunya kotor, penuh debu yang bercampur peluh. Laki-laki tua pemilik penginapan Itu tersengal-sengal saat menghampiri Rangga dan Dimas yang memegangi tali kekang kuda.

"Ah, oh...!" Ki Parung masih tersengal napasnya.

"Ada apa, Ki?" tanya Rangga sedikit cemas.

"Celaka! Gawat..!" sahut Ki Parung masih tersengal- sengal.

"Apa yang terjadi?" desak Dimas.

"Wira Perakin mengetahui rencana kita," suara Ki Parung mulai terdengar tenang.

"Bagaimana bisa begitu?" Rangga tidak percaya.

"Salah seorang pembantuku berkhianat, dia yang melaporkan rencana kita."

"Bajingan!" geram Dimas.

"Lalu, bagaimana dengan Pandan Wangi?" Rangga bertanya cemas.

"Aku tidak tahu, tapi semua orang-orang Wira Perakin ditarik pulang."

"Ini sangat berbahaya! Kemungkman besar Pandan Wangi pergi ke rumah itu," gumam Dimas.

Rangga terdiam. Memang bisa jadi Pandan Wangi ke rumah itu. Masalahnya jadi lain sekarang, sudah pasti Wira Perakin mengetahui kehadiran Pandan Wangi. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga segera melompat meninggalkan tempat itu.

"Rangga...! Tunggu!" teriak Dimas seraya melompat mengikuti.

Ki Parung jadi melongo. Dia tertegun beberapa saat menyaksikan dua orang muda yang berilmu tinggi itu berloncatan cepat bagai terbang. Dia segera sadar dari rasa kagumnya, kemudian cepat-cepat naik ke atas punggung kuda. Kuda putih itu pun segera digebahnya.

Sementara itu Dimas mengerahkan seluruh kekuatan-nya untuk menyusul langkah Rangga. Tapi walaupun dia mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja dia tertinggal jauh oleh Rangga yang tingkatan ilmunya jauh lebih tinggi.

"Rangga, tunggu...!" teriak Dimas terengah-engah sambil terus mengejanya.

Pendekar Rajawali Sakti itu tetap tidak mempedulikannya. Dia terus saja berlompatan menuju rumah besar tempat tinggal Wira Perakin. Tempat di mana para pengawal si Tua Bangka itu telah ditarik kembali ke sana! Jika Pandan Wangi benar-benar pergi ke rumah itu, tentu keadaannya sangat berbahaya sekali! Sama saja dia menerobos sarang macan yang sudah siap menerkamnya!

********************

TUJUH

Demung Pari kewalahan juga menghadapi Pandan Wangi. Apalagi di tangan gadis itu kini tergenggam pedang pusaka Naga Geni. Pedang itu memancarkan sinar merah yang berkelebatan mengurung tubuh Demung Pari. Dengan dua senjata di tangan, lawannya itu kerepotan menghindan serangan serangan yang cepat dan berbahaya dari Pandan Wangi.

Sudah puluhan jurus berlalu, dan tampaknya Pandan Wangi mulai berada di atas angin. Gadis itu tak memberi kesempatan sedikit pun pada lawannya untuk balas menyerang. Demung Pari tidak bisa berbuat banyak. Ruang geraknya semakin sempit, beberapa kali dia harus jatuh bangun menghindari serangan yang datang begitu cepat dan beruntun dari dua senjata Pandan Wangi.

"Hiyaaat..!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras.

Bersamaan dengan tubuhnya yang melenting tinggi ke udara, tangan kirinya mengibas seraya merentangkan kipas baja putihnya. Buru-buru Demung Pari mengangkat goloknya untuk melindungi kepala. Tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi malah menuju bagian bawah.

"Mampus kau!" bentak Pandan Wangi keras.

Seketika itu juga pedangnya berkelebat cepat membabat perut Demung Pari. Demung Pari mengeluh sejenak. lalu tubuhnya menggelosor ke tanah. Orang-orang yang berada di sekitamya bergumam ngeri melihat perut Demung Pari hampir terbelah dua. Pandan Wangi berdiri tegak. Dia memasukkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangkanya di punggung.

Ketegangan menyelimuti suasana di tempat itu. Wira Perakin, Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa terlihat menarik napas panjang. Dalam hati mereka mengakui kehebatan Pandan Wangi.

Suasana hening. Pandan Wangi memandangi empat orang yang berdiri berdampingan. Pandangan matanya berurutan menatap keempat orang itu satu per satu. Gadis ini tahu, keempat orang di hadapannya tentu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari yang lainnya.

"Kuakui kau hebat! Tapi jangan senang dulu, kau belum menang," kata Wira Perakin jujur memuji.

Pandan Wangi hanya tersenyum sinis.

"Jaran Kedung!" panggil Wira Perakin.

"Hamba, Gusti," sahut Jaran Kedung membungkuk hormat. Dia melangkah maju dua tindak.

"Keluarkan algojoku!"

"Segera, Gusti."

Jaran Kedung segera melangkah meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi tidak mengertj maksud Wira Perakin, tapi dia tetap waspada, kipas baja saktinya sudah ber-pindah ke tangan kanan, melintang terbuka di depan dada. Pandan Wangi bagaikan seorang dewi cantik pencabut nyawa.

Seorang laki-laki bertubuh besar bagaikan raksasa kemudian muncul mengiringi langkah Jaran Kedung. Tubuhnya nyaris telanjang, hanya cawat yang menutupi bagian bawah pusarnya. Dadanya penuh ditumbuhi rambut hitam keriring. Makhluk ini benar-benar bagaikan raksasa. Tinggi badannya tak bisa disamakan oleh manusia biasa.

"Buto Gendeng, kau lihat kelinci cantik itu?" tanya Wira Perakin. "Nah, dia kuserahkan untukmu"

"Grrr...!" manusia raksasa bemama Buto Gendeng itu menggeram keras. Matanya yang bulat merah menatap ganas pada Pandan Wangi.

"Dia calon istrimu, Buto Gendeng," lanjut Wira Perakin.

"Ha... ha... ha...!" Buto Gendeng tertawa terbahak-bahak.

Pandan Wangi bergidik juga melihat perawakan yang tinggi besar dan kasar itu. Dia menyumpah pada Wira Perakin yang tak berani secara jantan menghadapi dirinya. Jantung Pandan Wangi semakin berdegup kencang ketika manusia yang bagai orang utan itu mendekati. Di tangan kanannya tergenggam gada besar, lebih besar dari paha orang dewasa.

"Ha... ha.... ha...! Cantik..., cantik sekali...!" Buto Gendeng terbahak-bahak kegirangan menerima hadiah yang sangat menyenangkan hatinya.

"Phuih! Majulah, kupecahkan kepalamu!" dengus Pandan Wangi. Gadis itu telah menguatkan hatinya untuk menghadapi calon lawannya.

"Graaakhg...!" Buto Gendeng menggeram dahsyat.

"Ha ha ha...! Bawa dia ke kamarmu, Buto Gendeng," teriak Wira Perakin sambil tertawa terbahak-bahak.

Pandan Wangi mendelik geram pada laki-laki tua itu. Tak ada pilihan lain baginya bagaimanapun juga, dia harus membunuh manusia raksasa itu. Dia segera mencabut pedang pusakanya.

"Selamat bersenang-senang, Buto Gendeng!" seru Wira Perakin.

Laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu memberikan isyarat agar semua orang menyingkir. Dia sendiri kemudian masuk ke dalam rumah diikuti Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa. Tapi Wira Perakin mendadak menghentikan langkahnya, dan tidak jadi masuk ke dalam. Lelaki itu membalikkan badannya.

"Hm..., aku merasakan ada tamu yang tak diundang," gumam Wira Perakin pelahan.

"Siapa?" tanya Cakala Pati.

Sebuah bayangan putih berkelebat cepat, dan tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan Wira Perakin dan lain-Iainnya. Dan belum lagi mereka sempat mengenalinya, menyusul lagi sebuah bayangan putih berkelebat mendarat di sampingnya. Kini di tengah-tengah halaman, sudah berdiri dua pemuda tampan berbaju putih. Mereka adalah Rangga dan Dimas.

Wira Perakin menjentikkan jarinya, seketika itu juga puluhan orang berseragam kuning keemasan bergerak mengurung. Dimas menggeretakkan rahangnya saat me-lihat empat orang yang berdiri di tangga masuk rumah, semuanya memiliki gambar kala hitam di tangan kanan. Merekalah yang selama ini dicarinya! Merekalah yang telah memperkosa dan membunuh Surti, kakak perempuannya!

"Hm..., akhimya bisa kutemukan juga...," gumam Dimas.

"Apa maksudmu?" tanya Rangga.

"Merekalah yang selama ini kucari-cari," sahut Dimas.

"Hm... jadi benar, Wira Perakin dan orang-orang-nya yang telah memperkosa dan membunuh kakakmu?"

"Benar. Aku tidak akan lupa dengan gambar di tangan itu! Gambar kala hitam...."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Empat orang lelaki itu memang memiliki gambar kala hitam di tangan kanannya. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedar-kan pandangannya berkeliling. Tidak kurang dari tiga puluh orang kini telah mengepung dirinya dan Dimas dengan senjata terhunus.

Rangga tersenyum sinis. Dia tahu benar, orang-orang yang cuma menjadi kaki tangan majikan biasanya hanya mengandalkan ilmu kanuragan tanpa memiliki ilmu kesaktian dan kekuatan tenaga dalam. Tidak terlalu sulit baginya menghadapi orang-orang seperti ini!

Rangga memusatkan perhatiannya pada empat orang yang telah membangkitkan dendam kesumat di dada Dimas. Sepintas saja Rangga telah dapat mengukur, bahwa Dimas tak akan mampu menghadapi mereka berempat sekaligus. Jika mereka maju satu per satu sekali pun, itu masih sangat sulit bagi Dimas.

"Wira Perakin, pandang aku baik-baik!" seru Dimas. "Lima belas tahun kita tidak bertemu. Lima belas tahun aku tersiksa karena hutangmu, kini aku datang untuk menagih hutang lama itu!"

"He he he..., Bocah! Bicaramu seperti orang tua saja. Lima belas tahun lalu, kau pasti masih seorang bocah ingusan!" Wira Perakin terkekeh.

"Benar, dulu aku memang masih anak-anak. Tapi aku tidak pernah lupa dengan perbuatan kalian, memperkosa dan membunuh kakak perempuanku!"

"Bocah! Kau jangan cari-cari perkara di sini, heh," bentak Cakala Pati. "Aku tidak kenal denganmu!"

"Dengar, kalian semua! Lima belas tahun lalu di Hutan Baka, lima orang kerasukan iblis memperkosa seorang perempuan lemah, kemudian membunuhnya tanpa rasa kasihan, disaksikan oleh seorang bocah berumur sepuluh tahun. Bocah kecil itu tak akan lupa seumur hidupnya. Dan dia bertekad membalas dendam dan membunuh lima laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya!" lantang suara Dimas.

Wira Perakin, Cakala Pati, Antasuro dan Arya Mahesa tersentak kaget. Ingatan mereka segera kembali pada peristiwa sekitar lima belas tahun silam, peristiwa yang untuk pertama kali mereka lakukan sebagai orang-orang yang merasa punya kekuatan. Dan tanpa diduga, peristiwa itu kini ternyata berbuntut panjang. Kini mereka sadar kalau anak muda yang berdiri di depan mereka adalah bocah kecil itu.

"Nah, bersiaplah kalian! Aku akan menagih hutang itu!" dengus Dimas.

Sret!

Dimas meloloskan pedangnya yang terbuat dari bahan perak murni. Mata pedang itu berkilauan tertimpa sinar matahari yang sudah agak condong ke arah Barat. Mata-nya tajam menatap lurus empat laki-laki tua di depannya.

Wira Perakin menepuk tangannya tiga kali. Dan segera saja sepuluh orang anak buahnya bergerak maju beberapa langkah lebih dekat ke arah dua anak muda itu. Di tangan mereka semua tergenggam golok berwarna hitam pekat. Dimas segera menyilangkan pedangnya di depan dada. Sementara Rangga sudah bersiap-siap mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Kedua tangannya seketika itu juga berubah menjadi merah membara bagai terbakar Pendekar Rajawali Sakti itu tampak tak ingin berlama-lama meladeni lawannya, hingga dia langsung mengeluarkan jurus andalannya itu.

"Bunuh mereka!" teriak Wira Perakin memerintah.

"Hiya, hiya, hiyaaa..!"

Sepuluh orang itu langsung berteriak menyerang Rangga dan Dimas. Dimas bergerak cepat membabatkan pedangnya yang bergerak liar bagaikan banteng terluka Dimas tak sungkan sungkan lagi membabat lawan-lawannya. Dendam kesumat di dadanya bagaikan air bah menemukan anak sungai, mengalir deras tak terkendali!

Sementara itu Rangga dengan dingin menghadapi lawan-lawannya. Setiap kali dia mengerahkan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', setiap kali itu pula satu nyawa melayang dengan dada hancur

Satu persatu orang-orang berseragam kuning keemasan itu roboh bergelimpangan. Dan dalam waktu singkat saja sepuluh orang lawan dua anak muda itu tak satu pun yang tersisa hidup. Wira Perakin yang menyaksikan pengikutnya dibantai tanpa ampun, langsung bertepuk tangan tiga kali lagi. Sepuluh orang lagi melompat maju. Namun semua itu tidak ada artinya bagi Rangga dan Dimas. Dengan mudah kedua pemuda itu membuat orang-orang yang mengeroyoknya jungkir balik bergelimpangan dengan tubuh bersimbah darah.

"Setan!" geram Wira Petakin, "maju kalian semua! Bunuh bocah-bocah setan itu!"

Wira Perakin semakin gusar melihat orang-orangnya dlbuat tidak berdaya oleh dua pemuda tangguh yang bertarung bagaikan banteng terluka Jerit kematian kembali membahana ditingkahi oleh bergelimpangannya tubuh-tubuh yang bersimbah darah segar. Dan dalam waktu yang tidak berapa lama, Iebih dan separuh sudah meng-gelimpang jadi mayat

Tiba-tiba Rangga melompat ke luar dari arena pertarungan Dia berdiri tegak menatap empat orang tua yang tetap berdiri dengan wajah gelisah dan geram. Sedangkan Dimas terus bertarung melawan sekitar delapan orang lagi. Kelihatannya anak muda itu benar-benar di atas angin.

"Pandan...!" tiba-tiba Rangga tersentak.

Telinganya yang setajam mata pisau bisa membedakan suara pertarungan yang tengah berlangsung dengan suara lain yang datangnya dari arah belakang rumah. Suara jeritan seorang wanita yang disertai suara menggeram bagai gorilla.

"Dimas, aku tinggal sebentar!" seat Rangga seraya melompat cepat ke atas atap

Wira Perakin dan yang lainnya terhenyak sesaat melihat begitu cepatnya Rangga bergerak. Cakala Pati langsung melenting tinggi ke udara mengejar Rangga. Sedangkan Arya Mahesa juga segera melompat, meluruk ke arah Dimas yang kini tengah menghadapi tiga orang lagi.

"Aku lawanmu Bocah Setan!" bentak Arya Mahesa.

"Bagus!" sambut Dimas yang memang sudah mengharapkan sejak tadi.

Tiga orang yang masih tersisa hidup, langsung melompat mundur. Mereka masih bisa bernapas lega, karena terhindar dari kematian. Bagaimanapun juga mereka merasa ngeri dan kehilangan keberanian melihat teman-teman mereka sudah habis dibantai.

********************

Rangga terperangah melihat Pandan Wangi kewalahan menghadapi manusia raksasa Beberapa kali pedang pusakanya menghantam tubuh lawannya, tapi Buto Gendeng tetap saja tegar. Tidak ada luka sedikitpun pada kulitnya yang kasar dan kotor, meskipun Pandan Wangi sudah mengerahkan seluruh kekuatannya pada pedang yang terus menerus menghantam bagian-bagian tubuh manusia raksasa itu.

Pandan Wangi benar-benar putus asa, tidak sedikit dia menerima pukulan dan tendangan dari Buto Gendeng. Baju dan tubuh gadis itu sudah kotor oleh debu yang bercampur keringat Pandan Wangi benar-benar tidak mampu lagi berbuat banyak, dan nyaris kehilangan akal. Aji 'Tapak Wisa' yang dimilikinya juga tidak berpengaruh sama sekali pada Buto Gendeng. Seluruh kemampuannya sudah ter-kuras, tapi manusia raksasa itu tetap saja tegar, bahkan semakin ganas dan liar.

"Pandan, minggir...!" teriak Rangga seraya melompat, menerjang Buto Gendeng.

"Oh, Kakang...," Pandan Wangi gembira melihat Rangga datang.

"Aaarghk...!" Buto Gendeng menggeram marah melihat ada orang lain yang langsung menyerangnya.

"Hati-hati, Kakang. Manusia aneh ini sangat kebal," kata Pandan Wangi setelah melompat menjauhi Buto Gendeng. Napasnya masih tersengal-sengal.

"Hm...," Rangga hanya bergumam. Dia seperti sudah mengerti apa yang harus diperbuatnya.

Rangga menghentikan gerakannya sejenak. Sesaat dia mengerutkan keningnya. Dia teringat dengan pengalamannya ketika menghadapi manusia raksasa yang pernah bentrok dengannya. Tapi yang ini kelihatannya lebih besar lagi, dan lebih ganas dari yang dulu! (Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Naga Merah).

"Menyingkirlah, Pandan. Biar aku yang hadapi manusia liar ini," kata Rangga seraya mendorong tubuh Pandan Wangi.

Pandan Wangi tak membantah, dia melangkah mundur menjauh. Dia percaya kalau Pendekar Rajawali Sakti itu dapat mengatasi kekebalan tubuh Buto Gendeng. Pandan Wangi memasukkan pedang pusakanya ke warangkanya. Sungguh dia tidak mengerb, pedang yang sangat dahsyat itu tidak berarti banyak buat Buto Gendeng. Mungkinkah manusia raksasa itu memiliki ilmu kekebalan yang sempurna? Kalau memang benar, tentu sukar bagi Rangga untuk mengalahkannya!

"Majulah! Hadapi aku!" geram Rangga

"Grrrh...!" Buto Gendeng menggeram sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ayo maju, biar kupecahkan kepalamu!" Rangga keras memancing kemarahan manusia raksasa itu.

Buto Gendeng menggerung-gerung marah. Matanya semakin merah. Gada sebesar paha manusia dewasa itu diayunkan-ayunkannya dengan cepat, sehingga menimbul-kan deru angin dahsyat bagaikan topan. Rangga sedikit goyah juga mendapat dorongan angin yang sangat dahsyat berhembus. Cepat-cepat dia mengeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

"Graaaghk...!" Buto Gendeng menggeram dahsyat.

Tiba-tiba saja gadanya dilayangkan ke tubuh Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya menghindari hantaman dahsyat dari gada Buto Gendeng. Secepat kilat dia menghantamkan pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna ke arah gada yang sangat besar itu.

Darrr!

Suara ledakan keras terdengar begitu tangan Rangga menghantam gada Buto Gendeng. Manusia raksasa itu menggeram dahsyat melihat gada miliknya pecah dan hancur. Cakala Pari yang berada tak jauh dari tempat pertempuran itu tersentak kaget melihat gada Buto Gendeng hancur dengan satu pukulan saja.

"Aaargh...!" Buto Gendeng meraung keras.

Sekuat tenaga dia melemparkan sisa gada tadi ke arah Rangga. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu mengelak. Potongan gada itu meluncur deras melewari kepala Rangga, langsung menghantam dua orang berseragam kuning keemasan yang tidak sempat menghindar.

Begitu kerasnya lemparan Buto Gendeng, sehingga dua orang yang tersambar gada itu langsung ambruk tak bernyawa. Buto Gendeng menggeram kembali, langsung dia melompat menerjang Rangga. Manusia raksasa itu mengamuk membabi buta. Pohon-pohon dan tembok hancur berkeping keping terkena hantaman tangan Buto Gendeng yang dahsyat. Rangga sedikit kerepotan juga menghadapi amukan manusia raksasa itu, tapi masih sempat dia mendaratkan beberapa pukulan mautnya ke tubuh Buto Gendeng. 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' itu tidak juga membuat Buto Gendeng reda dari amukannya bahkan semakin menjadi-jadi.

"Gila! Semua pukulanku mentah " dengus Rangga.

"Awas, Kakang...!" teriak Pandan Wangi tiba-tiba.

Terlambat! Satu hantaman keras dari Buto Gendeng mendarat telak di dada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu terpental sejauh dua batang tombak. Dia merasakan rongga dadanya sesak dan sulit untuk bernapas. Rangga buru-buru bangun dan melompat ketika melihat jejakan kaki Buto Gendeng. Bumi terasa bergetar begitu kaki manusia raksasa itu menghantam tanah.

Rangga segera mengumpulkan hawa murni untuk mengusir rasa sesak di dadanya. Pelahan-lahan dada Pendekar Rajawali Sakti itu terangkat, lalu tertahan beberapa saat, tak lama kemudian dadanya mengempis turun kembali. Buto Gendeng seperti tertegun melihat perbuatan lawannya yang dirasanya aneh itu.

"Terpaksa, aku harus menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'," gumam Rangga.

Sret!

Sinar biru membias terang menyilaukan begitu pedang Rajawali Sakti itu keluar dari warangkanya. Rangga bagaikan sesosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa dengan pedang sakti di tangannya. Buto Gendeng melangkah mundur dua tindak, kedua matanya menyipit memandang pedang yang berpamor sangat luar biasa itu. Cakala Pati yang sedari tadi menyaksikan jalannya pertarungan itu juga terperangah takjub melihat cahaya biru berkilauan menyilaukan mata. Rangga bergerak perlahan menggeser kakinya ke kanan Kedua matanya menatap tajam pada Buto Gendeng. Pedang pusakanya menyilang di depan dada.

"Majulah, aku akan menyerah kalau kau mampu menandingi pedang pusakaku." kata Rangga menggeram.

"Grrr...!" Buto Gendeng menggeram pelan.

Buto Gendeng sedikit membungkuk, bergerak perlahan menyusur tanah mengikuti gerak ki Rangga. Kelihatan sekali kalau manusia raksasa itu mulai bersikap hati-hati dan memperhitungkan kekuatan lawannya, terutama pada pedang yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka saling tatap dengan tajam, seolah sedang mencari jalan dan cara yang tepat untuk meringkus lawannya.

Sambil meraung keras, Buto Gendeng melompat cepat menerjang Rangga. Bagaikan seekor gorilla raksasa, Buto Gendeng meluruk seraya melayangkan pukulan keras. Rangga langsung melenting tinggi ke udara menghindari terjangan manusia raksasa itu. Bagaikan kilat kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti itu menghantam kepala Buto Gendeng secara beruntun.

Buto Gendeng menggerung keras menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia langsung berbalik cepat mengibaskan tangannya, namun Rangga sudah lebih cepat lagi melenting ke atas. Kembali kedua kakinya menghantam kepala manusia raksasa itu beberapa kali, hingga tubuh Buto Gendeng agak sempoyongan dibuatnya.

"Mampus, kau! Hiyaaa...!" teriak Rangga lantang.

Seketika itu juga pedangnya berkelebat bagaikan kilat ke arah dada Buto Gendeng yang baru saja memutar tubuhnya. Buto Gendeng meraung keras. Badannya terdorong mundur beberapa langkah. Ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti itu berhasil menggores kulit dadanya. Darah segar mengucur dari luka panjang di dada yang berbulu lebat itu.

"Sekarang giliran leher, hiyaaa...!" teriak Rangga seraya melompat cepat

Pedang yang memancarkan sinar biru itu kembali berkelebat cepat ke arah leher Buto Gendeng. Manusia raksasa itu meraung keras sambil membekap lehernya yang terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Kali ini Rangga bdak mau lagi memberikan kesempatan, satu tendangan geledek dia sarangkan ke dada, dan satu sabetan pedang lagi menghajar perut.

Buto Gendeng semakin keras meraung. Darah bercucuran deras membasahi tubuhnya. Melihat manusia raksasa itu sudah tidak berdaya lagi, Pandan Wangi yang memang sudah kesal dan mendendam, langsung melompat memberikan tendangan beruntun ke dada. Buto Gendeng bagaikan boneka raksasa mainan sekarang menjadi bulan-bulanan Rangga dan Pandan Wangi.

"Mampus, kau! Hiyaaa...!" teriak Pandan Wangi melengking tinggi.

Secepat kilat dia melompat dan menusukkan ujung kipasnya ke arah mata. Lagi-lagi Buto Gendeng meraung keras begitu dua biji matanya bolong bercucuran darah tertusuk ujung kipas Pandan Wangi. Belum lagi manusia raksasa itu berhenti meraung, tiba-tiba secercah cahaya biru berkebebat bagai kilat, dan...

Cras!

Buto Gendeng tak mampu lagi bersuara. Sebentar tubuhnya bergetar kemudian ambruk dengan kepala terpisah dari leher. Darah semakin deras mengucur dari tubuh yang penuh luka. Tubuh Buto Gendeng menggelepar-gelepar di tanah kemudian diam tak mampu bergerak lagi.

"Serang...! Bunuh mereka...!" Cakala Pati segera memerintahkan orang-orangnya.

Orang-orang yang sebenarnya sudah gentar itu berlompatan sambil berteriak-teriak mengacung-acungkan senjatanya. Tidak kurang dari lima belas orang meluruk menyerbu Rangga dan Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti merasa tak perlu menggunakan pedangnya, dia segera memasukkan pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung.

Lain halnya dengan Pandan Wangi yang sudah muak dan geram. Dia langsung mencabut pedang pusakanya, dan mengamuk menghajar orang-orang berseragam kurang keemasan itu. Rangga jadi tak mempunyai ruang gerak, akhimya dia melompat minggir dan hanya berdiri mengawasi. Hanya menghadapi Pandan Wangi saja orang-orang itu sudah berantakan. Jerit lengking kematian terdengar saling menyusul. Pandan Wangi mengamuk bagaikan singa betina terluka. Setiap kali pedang dan kipasnya bergerak, setiap kali itu pula dua nyawa melayang.

Menyadari tidak akan mampu menghadapi dua sejoli pendekar itu, Cakala Pati langsung mencelat kabur. Rangga yang sejak tadi mengawasi, tidak membiarkan laki-laki tua licik itu melarikan diri. Dia langsung mengejar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.

********************

DELAPAN

Sementara itu pertarungan antara Dimas yang dikerubuti oleh Wira Perakin, Arya Mahesa dan Antasuro terus berlangsung. Di sekitar mereka mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Bau anyir menyebar terbawa angin menusuk hidung. Tidak ada lagi pengikut Wira Perakin yang tersisa hidup. Mereka mati percuma oleh kekuatan yang jelas di atas mereka.

Dalam beberapa jurus, Dimas masih mampu melayani ketiga orang musuh yang selama ini dicarinya. Sedangkan Pandan Wangi yang sudah membereskan sisa-sisa pengikut Wira Perakin dihadang oleh Jaran Kedung saat dirinya hendak melompat menuju bagian depan bangunan itu. Terpaksa Pandan Wangi melayani Jaran Kedung yang memegang senjata berbentuk trisula di tangan kanan dan kirinya.

Lain halnya dengan Rangga, dia bertarung di atas atap melawan Cakala Pati. Jelas terlihat Pendekar Rajawali Sakti itu berada di atas angin. Beberapa kali pukulan dan tendangannya mendarat telak di tubuh Cakala Pati. Adik Wira Perakin itu sama sekali tak memiliki kesempatan untuk bertahan. apalagi menyerang. Dia berusaha mencari celah dan kesempatan untuk melarikan diri.

"Kau tidak bisa kabur, Cakala Pari. Kau harus mampus di sini!" Rangga menggeram seraya mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Huh!" Cakala Pati mendengus sengit Kedua bola matanya jelalatan ke sana kemari berusaha mencari-cari celah untuk melarikan diri.

Cakala Pati melangkah mundur melihat kedua tangan Rangga yang sudah berubah merah membara. Keringat dingin bercucuran membasahi wajah dan lehernya Ketakutan akan kematian yang bakal menjemputnya ter-bayang jelas di wajahnya yang mulai memucat. Dia sudah menyadari benar kalau dirinya tidak akan mampu menghadapi pendekar muda yang kini ada di hadapannya.

"Celaka, mati aku!" gumam Cakala Pati bergetar.

"Mampus kau, Iblis...!" bentak Rangga keras.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat seraya mengerahkan pukulan mautnya. Cakala Pati segera melompat menghindari sebelum pukulan jarak jauh yang dilontarkan Rangga itu mengenai tubuhnya. Atap tempatnya berpijak hancur berantakan terkena sambaran pukulan Rangga yang teramat dahsyat.

"Hiyaaat...!" Rangga berteriak nyaring.

Seketika itu juga tubuhnya mencelat tinggi ke udara, menyusul Cakala Pari yang masih berada di angkasa saat menghindari pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti itu. Kedua tangan Rangga menyentak dengan cepat ke depan. Seketika itu juga sinar merah meluruk deras ke arah Cakala Pati.

"Aaakh...!" Cakala Pati menjerit melengking.

Pukulan maut yang dilepaskan Rangga begitu telak menghantam dada. Tubuh laki-laki tua itu jatuh terjungkal menghantam atap. Secepat kilat Rangga memburu, dan menendang tubuh yang sedang bergulingan itu. Tubuh Cakala Pati meluruk deras kebawah, dan jatuh berdebum di tanah dengan keras. Seketika itu juga nyawanya langsung melayang.

Rangga berdiri tegak di atas atap. Matanya menatap lurus pada Dimas yang kelihatan mulai terdesak. Dugaannya tidak meleset, Dimas tidak akan mampu menandingj tiga orang lawannya yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian di atasnya Rangga tidak bisa lagi berdiam diri melihat Dimas yang semakin terdesak saja keadaannya

Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya di udara, meluncur ke bawah, dan bersalto dua kali sebelum mendarat dengan manis di tanah. Sejenak dia terpaku melihat tubuh Dimas yang bercucuran darah.

"Ha... ha... ha...! Mampus kau, Bocah Setan!" Wira Perakin tergelak melihat Dimas sudah tidak berdaya lagi.

"Dimas, mundur...!" seru Rangga. Dimas menarik napas panjang melihat Rangga tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Semangat anak muda itu tumbuh kembali, lupa dengan rasa sakit dan perih yang menyerang seluruh tubuhnya.

"Bagus! Biar kubuat dendeng kalian semua!" dengus Wira Perakin.

"Tua bangka tidak tahu diri! Kau tidak layak hidup di dunia ini!" sungut Rangga dingin.

"Ha ha ha..!" Wira Perakin tertawa terbahak-bahak.

"Kalian benar-benar tidak bisa mengukur tingginya gunung. Masih bau kencur sudah berani menantang Kala Hitam!" Antasuro mengejek seraya menyemburkan ludahnya.

Rangga menyentakkan tangannya dengan cepat tiga kali ke arah mereka. Suara ledakan keras terjadi begitu cahaya merah yang meluncur dari tangan Rangga menghantam tanah. Tampak tiga lubang menganga begitu debu yang mengepul oleh hantaman itu mulai menipis.

"Kusiapkan kuburan untuk kalian, setan-setan tengik!" geram Rangga.

"He... he... he .... permainan usang!" ejek Wira Perakin.

"Salah-salah, kau sendiri yang menyiapkan lubang kubur!" sambung Arya Mahesa.

"Kita lihat saja nanti, siapa yang lebih dulu masuk ke liang kubur!" tantang Rangga.

"Ha ha ha...!" tiga orang tua itu serempak tertawa terbahak-bahak.

Dimas menggeram menggeretakkan rahangnya. Dia sudah sangat muak melihat kesombongan tiga orang yang berjuluk Kala Hitam itu. Sementara Rangga melirik Pandan Wangi yang temyata pertarungannya sudah berpindah ke halaman depan.

*** Pertarungan antara Pandan Wangi dengan Jaran Kedung sudah berlangsung puluhan jurus. Dan tampaknya Jaran Kedung mulai terdesak dengan serangan-serangan Pandan Wangi yang sangat cepat dan berbahaya. Apalagi setelah gadis itu mengeluarkan pedang Naga Geni, pedang pusaka andalannya. Udara di sekitar tempat pertarungan itu menjadi panas oleh pedangnya yang mengeluarkan hawa panas yang semakin lama semakin membakar kulit.

Napas Jaran Kedung tampak mulai tersengal, tak bisa lagi menghirup udara segar untuk tubuhnya. Gerakan-gerakan jurusnya semakin kacau oleh serangan-serangan gencar Pandan Wangi yang sudah membaca keadaannya.

"Awas kaki...!" teriak Pandan Wangi tiba-tiba.

Secepat kilat gadis itu mengibaskan pedangnya ke arah kaki Jaran Kedung, buru-buru Jaran Kedung melompat menghindari tebasan pedang yang datang bagaikan kilat itu. Tapi tanpa diduga sama sekali. Pandan Wangi mengibaskan kipas mautnya yang berada di tangan kiri... Bret!

"Akh!" Jaran Kedung melenting sambil mendekap perutnya yang robek terkena sambaran kipas baja sakti.

Darah mengucur dari perut yang sobek cukup panjang. Jaran Kedung meringis merasakan sakit yang teramat sangat pada luka di perutnya. Dan belum lagi dia sempat menyadari posisi lawannya mendadak Pandan Wangi menusukkan pedangnya kearah dada.

Tring!

Jaran Kedung beruntung, dia masih bisa menangkis tusukan itu dengan trisulanya. Tapi tak urung tangan Jaran Kedung bergetar hebat, dan senjata yang diandalkannya itu terlontar ke udara, dan belum lagi dia sempat memperbaiki posisinya, kipas Pandan Wangi bagaikan kilat menghantam dadanya dengan telak.

"Ugh!" Jaran Kedung mengeluh pendek.

Selagi tubuh laki-laki itu terjajar ke belakang, Pandan Wangi memekik seraya bersalto di udara. Tepat ketika berada di atas kepala Jaran Kedung, pedang yang memancarkan cahaya merah itu berkelebat cepat.

Jaran Kedung tidak bisa mengelak lagi, pedang pusaka lawannya itu menghantam kepalanya hingga terbelah jadi dua bagian. Jeritan panjang terdengar jelas sebelum tubuhnya ambruk ke tanah.

Pandan Wangi menarik napas panjang sambil memasukkan kembali pedang pusakanya itu ke dalam warangkanya di punggung. Dia berdiri tegak di samping mayat Jaran Kedung. Sebentar dia menatap lawannya yang sudah menjadi mayat, kemudian beralih memandang Rangga dan Dimas yang masih berdiri berhadap-hadapan dengan Wira Perakin, Antasuro dan Arya Mahesa.

Rangga sempat memberikan senyum pada Pandan Wangi yang dibalas dengan manis oleh gadis itu. Dengan langkah tegap, Pandan Wangi menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri berdampingan dengan Dimas. Pandan Wangi berdiri tegak di samping Rangga. Kini imbang jadinya, tiga lawan tiga.

********************

Wira Perakin mengegoskan kepalanya sedikit, memberi isyarat pada dua orang yang mendampinginya. Arya Mahesa dan Antasuro mengerti, mereka lalu menggeser-kan badannya ke samping, menjauhi Wira Perakin. Pandan Wangi dan Dimas juga bergeser mengikuti arah kedua laki-laki tua itu bergerak.

"Hup!"

Wira Perakin melompati tiga lubang berjajar yang dibuat Rangga. Kedua kakinya menjejak tanah dengan tenang hanya sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti itu. Kini dua tokoh sakti itu sudah berhadapan dan saling bertatap muka dengan tajam, seakan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Bersiaplah untuk mati, Bocah!" kata Wira Perakin dingin dan datar. Tatapan matanya juga tampak dingin membeku.

"Silakan, aku pun tidak akan sungkan-sungkan mengirimmu ke neraka," balas Rangga tenang.

"Hm..., nyalimu besar juga," suara Wira Perakin terdengar sinis.

Rangga hanya tersenyum.

"Aku beri kau sepuluh jurus. Ayo, serang aku!" bentak Wira Perakin.

"Aku rasa, yang tua sebaiknya lebih dulu menyerang. Biar aku yang muda tidak kelihatan kurang ajar," sambut Rangga tetap tenang, namun nadanya jelas mengejek.

"Bedebah! Kau menghinaku, Bocah!"

"Terserah apa maumu!"

"Kurang ajar! Salahmu sendiri kalau mampus lebih dulu!"

"Aku jamin, tiga jurus saja kau pasti roboh!"

"Monyet buduk! Mampus, kau! Hiyaaa...!"

"Eits!"

Wira Perakin tidak dapat lagi mengendalikan amarah-nya. Telinganya terasa panas mendengar ejekan dan tantangan Rangga. Baru kali ini dia ditantang anak muda yang lebih pantas menjadi anaknya. Wira Perakin langsung menyerang dengan jurus-jurus mautnya, namun sedikit pun dia tidak berhasil menyentuh tubuh lawannya. Jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti itu masih ingin memancing emosi lawannya.

Sementara itu Pandan Wangi juga sudah bertarung dengan Antasuro, dan Dimas menghadapi Arya Mahesa. Pertarungan seru terjadi pada tempat yang tidak berjauhan. Sepertinya mereka tidak ingin jauh dari lubang yang dibuat Rangga untuk mereka yang kalah. Suatu pertarungan hidup dan mati!

Tidak ada lagi kata saling mengejek, tidak ada lagi kata saling menantang. Pertarungan untuk mengenyahkan kesewenang-wenangan, pertarungan untuk membalaskan dendam, dan pertarungan untuk mempertahankan kehormatan dan ambisi.

Meskipun dalam keadaan terluka. Dimas masih mampu menandingi Arya Mahesa, yang tingkat kepandai-annya masih di bawah Wira Perakin dan Antasuro. Semuanya memang, tanpa disadari oleh yang lainnya, sudah diatur oleh Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu memang sudah bisa memperhitungkan ketiga orang lawannya, dan memilihkan Arya Mahesa menjadi lawan Dimas.

Rangga selalu membagi perhatiannya pada Pandan Wangi dan Dimas, meskipun dirinya tengah bertarung hebat dengan Wira Perakin. Dia tidak ingin salah satu di antara mereka masuk lubang yang telah di buatnya sendiri, terutama Dimas, yang melawan Arya Mahesa dalam keadaan tubuhnya yang terluka.

Wira Perakin tidak menyadari kalau Rangga tengah mengeluarkan jurus 'Seribu Rajawali' tingkat pertama Gerakan-gerakannya tampak tidak beraturan seperti orang mabuk kebanyakan minum arak. Namun tetap saja gerakan-gerakannya tidak bisa dipatahkan oleh Wira Perakin, bahkan untuk menjangkaunya pun terasa sulit. Hingga lelaki tua itu merasa geram dibuatnya. Setiap kali Wira Perakin melontarkan pukulan dan tendangan, setiap kali itu pula Rangga bisa mengelakkannya dengan manis, hingga pukulan dan tendangan lawannya hanya menemui tempat kosong.

"Edan!" Wira Perakin mengumpat, pukulan mautnya luput dari sasaran.

"Sudah dua puluh jurus, Setan Tua," kata Rangga mengingatkan, tapi jelas nadanya mengejek. Bibirnya menyunggingkan senyum mengecilkan lawannya.

"Phuih! Jangan besar kepala dulu, Bocah! Tahan aji 'Pukulan Karang'ku!" geram Wira Perakin.

Seketika itu juga Wira Perakin merubah gerakannya. Dan setiap pukulan yang dilepaskannya sungguh berakibat dahsyat. Tembok dan pepohonan di sekitar mereka tumbang dan hancur terkena sambaran dan hantaman pukulan Wira Perakin. Dan Rangga sendiri kerepotan, angin pukulan lawannya membuat tubuhnya sempoyongan.

"Aku harus segera mengakhiri pertarungan ini. Dimas sudah kelihatan terdesak." gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu segera mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Kedua tangannya mulai diliputi cahaya biru berkilauan, lalu terulur ke depan. Wira Perakin yang sudah menerjang dengan aji 'Pukulan Karang'nya tidak bisa menarik tangannya kembali.

Glarrr...!

Satu ledakan keras terjadi begitu dua pasang tangan bertemu dan beradu kekuatan Wira Perakin sangat terkejut merasakan tangannya seperti membentur perekat yang sangat kuat. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan kedua tangannya dari telapak tangan Rangga.

"Uhk! Hiyaaa...!"

Wira Perakin mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melepaskan tangannya, namun semakin dia berusaha keras, semakin kuat saja tangannya menempel pada tangan lawannya, bahkan kini dia merasakan tenaganya mulai tersedot. Dan cahaya biru itu kini mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Aaakh...!" Wira Perakin menjerit keras begitu tubuhnya terbungkus sinar biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga.

"Hih! Hiyaaa...!" tiba-tiba Rangga berteriak keras.

Seketika itu juga dia menyentakkan tangannya dan tubuh Wira Perakin terjungkal ke belakang. Tanpa ampun lagi tubuh laki-laki tua itu terjatuh ke dalam lubang yang disiapkan Pendekar Rajawali Sakti. Darah kental kehitaman merembes keluar dari mulut dan hidungnya.

"Oh, akh!"

Pelan-pelan Wira Perakin berusaha bangkit, tapi Rangga cepat menekan dada lelaki itu dengan kaki kanannya. Kembali tubuh laki-laki tua itu telentang dalam lubang. Wajah Wira Perakin pucat pasi membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Kini dia benar-benar tak berdaya, tenaganya tersedot habis oleh aji 'Cakra Buana Sukma'.

Tepat pada saat itu, Pandan Wangi memekik keras sambil melenting tinggi ke udara. Pedang Naga Geni dia kibaskan dengan cepat, dan...

"Aaakh...!" Antasuro menjerit sambil mendekap dadanya yang hampir terbelah oleh pedang yang membabatnya.

Pandan Wangi melayangkan kakinya menghantam dada Antasuro, tubuh laki-laki itu mental dan ambruk ke tanah. Pandan Wangi cepat memburunya, dengan kaki kirinya dia menendang, hingga tubuh Antasuro terguling masuk ke dalam lubang. Sebentar tubuh orang tua itu menggelepar, lalu terdiam kaku. Pandan Wangi berdiri tegak di samping lubang yang sudah terisi. Bibirnya menyunggingkan senyum di antara pipi dan lehernya yang bersimbah keringat.

"Kenapa tidak kau bunuh saja dia, Kakang" tanya Pandan Wangi melihat Wira Perakin masih bernapas satusatu.

"Biar Dimas yang melakukannya," sahut Rangga tersenyum.

Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya pada Dimas yang masih bertarung menghadapi Arya Mahesa. Agak cemas juga gadis itu melihat Dimas jatuh bangun terdesak terus. Tapi.. Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja keadaannya jadi terbalik.

Kibasan-kibasan pedang Dimas kini lebih terarah, dan selalu mengincar bagian-bagian tubuh lawannya yang lowong. Pandan Wangi jadi tersenyum geli begitu melihat bibir Rangga bergerak-gerak, dan gadis itu segera mengerahkan ilmu pendengaran jarak jauh. Mula-mula hanya samar-samar saja terdengar, tapi kemudian jadi jelas. Rangga mengirimkan petunjuk untuk melumpuhkan Arya Mahesa pada Dimas dengan ilmu 'Pemindah Suara' yang sungguh hebat sehingga orang yang tidak dituju tidak dapat mendengarnya.

Keadaan yang berbalik ini benar-benar membuat Arya Mahesa serba salah dan takut, apalagi melihat Wira Perakin dan Antasuro sudah terbujur di dalam lubang, juga melihat Rangga dan Pandan Wangi, yang mungkin akan menggilirnya setelah Dimas, dengan ilmu kesaktian tingkat tingginya. Arya Mahesa benar-benar goyah, kepercayaan dan keberaniannya musnah sudah.

"Kini giliranmu Setan! Yeaaah...!" teriak Dimas.

Tubuh Dimas melompat, lalu dengan cepat menukik ke bawah. Sambil menjatuhkan diri, Arya Mahesa menangkis pedang Dimas, namun tanpa diduga sama sekali, kaki Dimas menjejak keras dadanya.

"Aaahhh...!" Arya Mahesa merasa dadanya sesak sekali.

Dan Dimas tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia langsung menusukkan pedangnya ke leher Arya Mahesa, dan mengoyaknya hingga robek lebar. Darah langsung muncrat menyembur ke luar. Dengan gemas dan dendam yang meluap di dada, Dimas menendang tubuh Arya Mahesa yang sudah tidak bemyawa itu ke dalam lubang yang tersisa.

Mata anak muda itu mendelik ketika menghampiri Rangga dan melihat Wira Perakin masih hidup, menggeletak tak berdaya di dalam lubang.

"Kenapa kau masih biarkan dia hidup?" tanya Dimas.

"Kau mencari-cari orang ini, kan? Nah! Sekarang dia kuserahkan padamu dalam keadaan hidup," sahut Rangga tenang.

Dimas hanya bisa memandang Rangga sesaat lalu beralih pada Pandan Wangi.

"Terserah, apa yang akan kau lakukan padanya. Aku sudah menepati janjiku untuk menyerahkannya hidup-hidup padamu," kata Rangga lagi.

Dimas mendekati lubang yang diisi oleh tubuh Wira Perakin itu, lalu membungkukkan badannya. Dimas kemudian mengangkat dan menarik keluar tubuh orang itu. Wira Perakin sempoyongan dan jatuh terduduk.

"Hm..., hari ini akhir dari segala penderitaan dan dendam kesumatku, Perakin! Kematian terlalu mudah bagimu! Kau tidak pernah merasakan bagaimana hidup dengan penderitaan. Aku ingin semua orang di desa ini melihatmu tetap hidup! Dengan kesengsaraan dan penderitaan seperti mereka, bahkan lebih nista dan abadi seumur hidupmu!" Dimas melampiaskan gejolak di dadanya, "Berdiri kau, Wira Perakin! Berdiri...!"

Wajah Wira Perakin pucat dan tubuhnya gemetar. Dia tidak tahu hukuman apa yang diterimanya dari Dimas, hanya samar-samar dia mendengar... penderitaan seumur hidup! Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, dan....

Bug!

Cras!

"Aaakh...!" Wira Perakin mengerang tertahan, lalu ambruk pingsan. Tangannya menutupi bagian bawah pusarnya yang bersimbah darah. Satu tendangan keras di dadanya, dan sabetan pedang pada alat vitalnya membuktikan kenyataan seperti yang diucapkan Dimas... penderitaan seumur hidup yang tak terperikan!

********************

Rumah besar yang pemah ditempati Wira Perakin itu tampak meriah. Sepasang pengantin duduk ditikar..., irama kehidupan yang baru kini mulai membentang. Wajah Dimas dan Wulan tampak cerah dan berseri-seri. Secerah hati penduduk yang baru terbebas dari belenggu penderitaan, dan kesewenang-wenangan. Meski semua itu ditebus dengan bersimbahnya darah, darah keangkaramurkaan dan kesatriaan yang berbaur jadi satu.


SELESAI

SELANJUTNYA JAGO-JAGO BAYARAN