Jago Jago Bayaran - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Jago-Jago Bayaran


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

AKHIR-AKHIR ini,orang-orang dari rimba persilatan berduyun-duyun mengunjungi Desa Kali Anget. Seperti menyimpan sebuah tempat wisata, desa itu begitu ramai dipenuhi pendatang dari segala penjuru. Hingga keadaannya berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya.

Kedai-kedai makan dan minum tak pernah sepi dari pengunjung, tamunya silih berganti. Sementara rumah-rumah penginapan yang ada tak mampu lagi menampungnya, hingga rumah-rumah penduduk pun dijadikan tempat menginap. Untunglah, sejauh ini belum ada keributan atau pertumpahan darah, meskipun diantara mereka tidak menampakkan sikap bersahabat.

Apa sebenarnya yang menyebabkan orang-orang rimba persilatan berdatangan kesana?

Sementara itu Kepala Desa Kali Anget makin bingung dibuatnya. Dia tidak mengerti, apa sebenarnya maksud kedatangan mereka yang begitu mendadak. Saking bingungnya, maka dikumpulkannya para tetua dan sesepuh desa untuk membicarakan hal tersebut. Ada delapan orang yang hadir dalam pertemuan itu.

"Semakin hari desa kita semakin banyak kedatangan orang-orang rimba persilatan. Sementara kita sendiri tidak tahu, apa maksud kedatangan mereka? Hal itulah yang membuat saya mengundang saudara-saudara sekalian untuk membicarakannya," kata kepala desa, Ki Jatirekso.

Delapan orang undangan itu hanya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka juga tidak habis pikir dengan bermunculannya tokoh-tokoh rimba persilatan didesa ini.

"Kita harus mengetahui apa tujuan mereka kesini, sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," lanjut Ki Jatirekso.

"Apa yang harus kita lakukan?Rasanya tidak mudah mengusir mereka dari sini.Mereka adalah tokoh-tokoh golongan hitam dan rata-rata memiliki tingkat ilmu yang tinggi!" ujar Ki Karang seda yang bertubuh kurus dan rambutnya sudah putih semua.

"Benar, Ki. Kita tidak bisa berbuat apa-apa sebelum mengetahui maksud kedatangan mereka," sambung seorang laki-laki yang bertubuh tegap meskipun usianya sudah berkepala lima. Dia bernama Suryadenta, seorang jawara Desa Kali Anget yang menjaga keamanan desa ini.

"Justru itulah maksudku, mengapa aku mengundang kalian kesini," tegas Ki Jatirekso.

Mereka saling berpandangan.

"Aku akan menyelidiki ,Ki," kata Suryadenta memecah kesunyian.

"Mereka bukan orang sembarangan, Suryadenta. Kau harus hati-hati," kata Ki Jatirekso.

"Aku tahu apa yang harus dilakukan, Ki," sahut Suryadenta mantap.

Setelah berkata demikian, Suryadenta bangkit dan diikuti oleh tiga orang yang duduk mengapitnya. Ketiga orang itu adalah adik-adik Suryadenta yang juga bertugas mengamankan desa. Setelah berpamitan, mereka meninggalkan rumah kepala desa. Kini tinggal empat orang yang duduk dihadapan kepala desa.

Beberapa saat setelah kepergian Suryadenta dan adik-adiknya, tidak ada yang membuka suara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Tampak Ki Jatirekso begitu berkerut wajahnya. Desa Kali Anget memang sering kedatangan tokoh rimba persilatan, tapi yang sekarang ini benar-benar mengherankan. Begitu banyak tokoh-tokoh rimba persilatan yang datang!

Dan yang paling membuat risau Ki Jatirekso, mereka adalah tokoh-tokoh dari golongan hitam. Tak seorangpun yang beraliran putih. Kecemasannya memang cukup beralasan, karena tidak mustahil orang-orang itu akan membuat kekacauan disini. Mereka adalah penganut hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Tidak ada istilah baik atau buruk, semua yang dilakukan dianggap baik oleh mereka.

"Aku menduga ,kedatangan mereka ada yang mengundang," gumam Ki Karangseda.

Semua memandang kearah laki-laki tua itu dengan tatapan tidak mengerti. Sementara laki-laki tua itu mengelus-elus janggutnya yang putih. Sedang bibirnya yang hampir tertutup kumis, menyunggingkan senyum tipis.

"Tidak mungkin mereka datang kesini tanpa tujuan!" lanjut Ki Karangseda tetap tenang.

"Hm..., mungkin juga," gumam Ki Pungkur mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan mengerti jalan pikiran Ki Karangseda.

"Aku tidak mengerti maksudmu?" Ki Jatirekso kebingungan.

"Kau bekas seorang pendekar, Ki Jatirekso. Masa kau tidak ngerti apa yang kukatakan?!" ada nada sinis dalam suara Ki Karangseda.

Ki Jatirekso menatap tajam pada lelaki tua di hadapannya. Dia mulai mengerti arah pembicaraan Ki Karangseda. Dirinya sendirilah yang dicurigai mengundang tokoh-tokoh rimba persilatan itu.

"Sebaiknya, kita hilangkan saja rasa saling curiga," kata Ki Jatirekso menunjukkan kewibawaannya sebagai pemimpin.

"Aku melihat Perempuan Iblis Pulau Karang ada di sini. Kau tentu masih ingat dia, Ki," kata Ki Pungkur yang duduk di samping Ki Karangseda.

"Itu masa lalu yang suram! Aku tidak peduli apakah dia ada di sini atau tidak! Yang akan kita bicarakan bukan masa laluku, tapi tujuan mereka ke sini!" Ki Jatirekso sedikit emosi.

"Justru itu ada hubungannya dengan...."

"Cukup!" sentak Ki Jatirekso geram, memutus kata-kata Ki Karangseda.

Kepala desa itu menatap tajam pada Ki Karangseda. Kemudian beralih pada Ki Pungkur, Sangga bawung dan adiknya, Sangga Kelana.

"Sebaiknya kita akhiri saja pertemuan ini!" kata Ki Jatirekso dingin.

"Aku akan menyelidiki kemungkinan ini, Ki Jatirekso," kata Ki Karangseda sinis.

Setelah berkat a demikian, Ki Karangseda segera beranjak pergi dan diikuti Ki Pungkur. Sementara dua bersaudara, Sanggabawung dan Sangga Kelana masih tetap duduk di tempatnya. Ki Jatirekso menatap tajam ke arah mereka.

"Mengapa kalian belum pergi juga?" dingin suara Ki Jatirekso.

"Tidak, sebelum kemarahan Anda reda," sahut Sanggabawung tenang.

Ki Jatirekso menghela napas panjang. Kepalanya terdongak ke atas. Memang tidak sepantasnya dia marah-marah kepada kedua bersaudara ini. Karena yang telah menyinggung perasaannya adalah Ki Karangseda. Sedangkan Sanggabawung dan Sangga Kelana, tidak mengetahui apa-apa tentang masa lalunya.

"Maaf, aku telah kasar pada kalian," kata Ki Jatirekso tenang.

"Ya sudah, kami permisi dulu, Ki," pamit Sangga bawung seraya bangkit berdiri.

"Ya."

********************

Sementara itu Desa Kali Anget, makin hari makir ramai oleh pendatang. Hingga suasananya juga makin bertambah panas. Keributan-keributan kecil mulai terjadi di beberapa tempat. Mereka memang orang-orang yang keras dan mengandalkan kesaktian dalam menyelesaikan suatu persoalan. Maka tidak heran bila ada perselisihan kecil yang berakhir dengan pertumpahan darah.

Keadaan yang demikian, membuat penduduk makin resah. Demikian pula penjaga keamanan desa Suryadenta dan adik-adiknya, juga makin sibuk menghadapi laporan-laporan penduduk. Seriap hari, ada saja keributan yang menewaskan tiga atau empat orang.

"Aku yakin, ada maksud tertentu atas kedatangan mereka ke sini," kata Suryadenta setengah bergumam.

Ketiga adiknya hanya diam sambil menikmati hidangan dimeja. Mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa. Sementara keadaan makin bertambah sukar dikendalikan. Bagi mereka, lebih baik bertarung dengan kelompok perampok, daripada harus berhadapan dengan tokoh-tokoh rimba persilatan dari golongan hitam.

"Apakah kalian sudah memperoleh keterangan?" tanya Suryadenta sambil memandang wajah adik-adiknya satu per satu. "Bayudenta?"

"Belum," sahut Bayudenta menggeleng.

"Tirtadenta, bagaimana denganmu?"

"Sama," sahut Tirtadenta sambil menggeleng juga.

Suryadenta memandang adiknya yang bungsu. Satu-satunya yang wanita dari empat bersaudara. Mayadenta hanya menggeleng tanpa mengangkat kepalanya.

"Tidak seorang pun yang membicarakan tentang maksud kedatangan mereka," kata Tirtadenta.

"Aku punya pikiran lain, Kakang," kata Mayadenta seraya mengangkat kepalanya.

"Apa pikiranmu?" tanya Suryadenta beralih menatap adik perempuannya yang cantik.

"Aku ingat kata-kata Ki Karangseda," kata Mayadenta pelan suaranya.

"Maksudmu?" tanya Bayudenta tidak mengerti.

"Ki Karangseda bilang, bahwa Perempuan Iblis Pulau Karang ada di sini. Aku yakin, kalian semua tahu hubungan perempuan itu dengan Ki Jatirekso," kata Mayadenta lagi.

"Kau jangan memperburuk keadaan, Maya!" dengus Tirtadenta.

"Aku tidak memperburuk keadaan. Aku hanya berpikir, bahwa kecurigaan Ki Karangseda mungkin ada benarnya. Rasanya memang mustahil, kalau mereka datang ke sini tanpa ada yang dicari. Kalian masih ingat, kan? Sehari sebelum mereka bermunculan, Ki Jatirekso mengadakan pesta pertunangan anaknya dengan putri Kepala Desa Margasuko. Nah! Apa yang dikatakannya waktu itu?"

Tidak ada yang membuka suara sedikit pun. Mereka hanya memandang gadis cantik berbaju merah itu. Mayadenta tersenyum tipis penuh arti.

"Aku ingat, Ki Jatirekso juga mengatakan pada calon mantunya, bahwa dia menginginkan seorang cucu yang bisa diharapkan jadi pendekar kelas satu," kata Tirtadenta mencoba meraba maksud adiknya.

"Bukan itu, Kakang Tirta," bantah Mayadenta.

"Lalu, yang mana?" dongkol juga Tirtadenta.

"Ki Jatirekso juga menyebut-nyebut sebuah nama dan menyuruh mencarinya. Ingat?"

Ketiga kakaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu saja mereka kembali mengingat kata-kata yang terlontar beberapa hari yang lalu.

"Tapi Ki Jatirekso waktu itu dalam keadaan mabuk," kata Bayudenta.

"Pengaruh arak bisa membuat orang lupa diri, Kakang Bayu," kata Tirtadenta bisa memahami maksud adiknya. Dalam hati dia memuji kecerdikan Mayadenta.

"Kau ingat nama yang disebutkan Ki Jatirekso?" tanya Suryadenta yang saat itu tidak begitu jelas mendengar apa yang dikatakan Ki Jatirekso.

"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Mayadenta mantap.

Ketiga orang kakaknya serentak menggumamkan nama itu. Semua orang juga pasti pernah mendengarnya sebagai pendekar yang pilih tanding.

"Lalu, apa hubungannya dengan keadaan di sini?" Suryadenta masih penasaran.

"Itulah yang harus kita ketahui lebih dulu. Waktu itu, Ki Jatirekso memang tidak menjelaskan pada Jaka Wulung. Sebab dia keburu meninggalkan tempat sebelum ucapannya selesai," sahut Mayadenta yang waktu itu duduk satu meja dengan Jaka Wulung dan tunangannya.

"Lantas, dengan Perempuan Iblis Pulau Karang?" sambung Bayudenta belum jelas.

"Kalian masih ingat, kan? Apa yang terjadi sebelum Ki Jatirekso dinobatkan jadi kepala desa di sini? Perempuan itu datang dengan sembunyi-sembunyi menemui Ki Jatirekso. Aku yakin, mereka punya rahasia yang ada sangkut pautnya dengan Pendekar Rajawali Sakti," Mayadenta menerangkan.

"Hm... aku ingat. Malam itu mereka bicara di kamar, tapi cuma sebentar. Dan perempuan itu langsung keluar dan pergi entah ke mana," kata Suryadenta agak bergumam.

"Kalau begitu, kita mulai punya gambaran!" seru Bayudenta cerah wajahnya.

"Ya, dan dapat kita mulai dari Jaka Wulung!" sambung Mayadenta bersemangat.

"Tapi aku minta keterangan Ki Jatirekso sendiri," kata Suryadenta.

"Aku tidak menyangka, punya adik cantik yang berotak cerdas!" puji Tirtadenta tersenyum manis pada adiknya.

"Siapa dulu dong... aku, kok!" ujar Mayadenta sambil menepuk dadanya.

Dan empat bersaudara itu pun tertawa terbahak-bahak. Mereka tidak menyadari kalau ada yang memperhatikan sejak tadi. Sepasang mata itu sebagian besar wajahnya tertutup tudung besar dari anyaman bambu. Tubuhnya ramping dan terbungkus baju yang berwama biru langit, dadanya yang membusung menandakan bahwa dia adalah wanita.

Tapi bukan dia saja yang mengawasi empat orang bersaudara itu, karena seorang kakek-kakek yang duduk paling pojok juga mengawasi mereka sejak tadi. Meskipun kepalanya menunduk menekuri hidangannya, tapi sudut matanya tidak pernah lepas dari empat bersaudara itu. Siapa sebenarnya kedua orang yang mengawasi empat bersaudara di kedai makan itu?

Penyelidikan yang dilakukan empat bersaudara itu, bukanlah pekerjaan yang ringan. Terlalu sulit bagi mereka untuk memperoleh keterangan dari Ki Jatirekso maupun Jaka Wulung. Sedangkan Ki Karangseda sendiri tidak mengetahui tentang hubungan Ki Jatirekso dengan Pendekar Rajawali Sakti. Yang dia ketahui adalah hubungan antara kepala desa itu dengan Perempuan Iblis Pulau Karang, hanya itu saja.

Sementara itu keadaan Desa Kali Anget makin panas saja. Perlakuan yang tidak manusiawi mulai menimpa para penduduk. Hingga beberapa orang penduduk yang tidak tahan, mulai meninggalkan desa. Sedangkan penyelidikan yang dilakukan Suryadenta dan adik-adiknya belum menemukan titik terang.

Di lain tempat, Ki Jatirekso sedang duduk-duduk dihalaman belakang rumahnya yang ditata indah bagai sebuah taman kerajaan. Di sampingnya ada Jaka Wulung. Sudah cukup lama mereka di situ, tapi tidak ada yang bicara.

"Ada apa sebenarnya Ayah memanggilku ke sini?" tanya Jaka Wulung yang tidak tahan dalam keheningan, sambil menatap ayahnya.

"Hhh...," Ki Jatirekso menarik nafas panjang dan dalam. Perlahan-lahan kepalanya menoleh, membalas tatapan mata putranya. Jaka Wulung melihat ada keresahan di bola mata itu. Memang sejak berdatangannya tokoh-tokoh rimba persilatan ke desa ini, Ki Jatirekso berubah jadi pemurung. Lebih banyak berada di kamar.

"Apakah kau masih ingat kata-kataku tempo hari, pada waktu pesta pertunanganmu dengan Rara Angken?" Ki Jatirekso balik bertanya.

"Ya, aku masih ingat," sahut Jaka Wulung. "Tapi Ayah belum menjelaskan secara terperinci."

Lagi-lagi Ki Jatirekso menarik nafas panjang.

"Apakah ada hubungannya dengan kedatangan tokoh-tokoh rimba persilatan ke sini, Ayah?" tanya Jaka Wulung.

"Ya," desah Ki Jatirekso. "Tapi sudah terlambat. Sebentar lagi desa ini akan hancur dan tinggal kenangan.

"Lalu, apa maksud Ayah menyuruhku mencari Pendekar Rajawali Sakti?"

"Sekarang tidak ada gunanya lagi, Jaka Wulung. Perempuan Iblis Pulau Karang sudah ada di sini. Tidak mungkin lagi kita bisa mengatasinya," pelan sekali suara Ki Jatirekso.

Jaka Wulung semakin tidak mengerti. Tatapan matanya tajam, penuh selidik. Di benaknya penuh dengan berbagai macam pertanyaan dan dugaan. Apa sebenarnya yang tengah terjadi di desa ini?

"Ayah bisa...."

Belum lagi Jaka Wulung melanjutkan kata-kata nya, tiba-tiba...

"Awas!"teriak Ki Jatirekso sambil mendorong tubuh anaknya dengan cepat. Ki Jatirekso segera menjatuhkan diri dan berguligan bersama tubuh Jaka Wulung. Sekelebat Ki Jatirekso melihat seberkas cahaya menuju ke arah anaknya. Tapi cahaya itu dapat dihindari dan mengenai indaran bangku kayu, tempat mereka duduk tadi. Ki Jatirekso menoleh, tampak ada sebatang ruyung perak menancap di papan sandaran bangku panjang.

Perlahan-lahan dia bangkit sambil mengawasi sekitarnya, namun tak seorang pun terlihat, kecuali dia sendiri dan anaknya. Jaka Wulung pun ikut bangkit, tangannya langsung meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang. Sejenak diliriknya ruyung perak yang menancap itu.

"Ada suratnya, Ayah," bisik Jaka Wulung.

"Hm..." Ki Jatirekso hanya bergumam saja. Dengan sikap hati-hati dan penuh waspada, laki-laki tua itu menghampiri bangku panjang. Tangannya terulur mengambil ruyung perak itu. Dan hanya dengan sekali hentakan, dia berhasil mencabutnya. Sambil mengawasi keadaan sekitarnya, Ki Jatirekso melepaskan pita yang mengikat sehelai daun lontar di ruyung perak itu.

Tiba-tiba paras wajah Ki Jatirekso berubah, begitu membaca sebaris kalimat yang tertera dengan warna merah pada selembar daun lontar. Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah. Jaka Wulung mendekati dan membaca setengah bergumam.

"Tunjukkan di mana dia, maka desamu akan selamat!"

Jaka Wulung menatap ayahnya dengan kening berkerut. Kembali dibacanya sebaris kalimat yang tertera itu.

"Apa maksudnya ini, Ayah?" tanya Jaka Wulung.

"Dia menginginkan Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Jatirekso pelan dan datar, sambil meremas surat itu.

"Dia...? Dia siapa?" desak Jaka Wulung.

Belum lagi Ki Jatirekso menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan yang panjang. Suara itu menggema seperti datang dari segala penjuru. Belum hilang rasa kaget mereka, tiba-tiba suara itu hilang begitu saja. Ki Jatirekso menggeser kakinya dua langkah ke samping, menjauh dari Jaka Wulung.

"Panggil penjaga, cepat!" perintah Ki Jatirekso.

Tanpa diperintah dua kali, Jaka Wulung langsung berlari. Sedangkan Ki Jatirekso meraba ke balik bajunya, dan tampaklah gagang golok berwarna merah menyembul dari balik bajunya. Kedua mata lelaki tua itu terus mengamati keadaan sekitarnya dengan tatapan tajam.

Tidak lama kemudian, Jaka Wulung kembali sambil berlari kencang. Nafasnya tersengal-sengal begitu sampai didekat ayahnya. Sejenak Jaka Wulung mengatur jalan nafasnya, supaya lebih tenang.

"Celaka, Ayah. Celaka...!" masih dengan tersengal Jaka Wulung berkata.

"Apa yang terjadi?" tanya Ki Jatirekso sedikit keras dengan kening berkerut.

"Celaka! Semua penjaga tewas.

"Apa?!"

********************

DUA

Ki Jatirekso menggeram hebat menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan di halaman. Tidak kurang dari dua puluh orang terbujur bersimbah darah. Hanya ada satu luka yang terdapat di setiap mayat, tapi sangat lebar dan mematikan. Ki Jatirekso membalikkan tubuhnya, dan melangkah masuk ke rumahnya, diikuti oleh Suryadenta dan tiga orang adiknya. Sementara Jaka Wulung membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan, dengan dibantu oleh beberapa orang penduduk.

Di dalam rumah sudah menunggu Ki Karangseda, Ki Pungkur, Sanggabawung dan Sangga Kelana. Mereka memandang Ki Jatirekso yang datang bersama empat bersaudara. Kemudian mereka duduk menghadapi meja bundar yang besar dan beralaskan batu pualam putih yang berkilauan bagai kaca.

"Sebaiknya kau berterus terang saja, Ki Jatirekso. Apakah kau menginginkan seluruh penduduk desa ini habis, hanya karena keangkuhanmu?" dingin dan bergetar suara Ki Karangseda.

Ki Jatirekso menatap tajam pada laki-laki yang usianya sebaya dengannya itu. Suasana tegang menyelimuti ruangan yang luas itu. Kematian dua puluh orang penjaga, membuat para tetua Desa Kali Anget memuncak amarahnya. Lebih-lebih melihat kepala desa yang seperti menyimpan satu rahasia, yang menyebabkan semua tragedi ini.

"Sebenarnya, ada apa di balik semua ini?" tanya Ki Pungkur.

"Katakan yang sebenarnya, Ki. Kami semua berada dipihakmu," desak Sanggabawung.

"Kecuali kalau persoalannya sangat pribadi, aku lepas tangan," sambung Ki Karangseda.

"Maaf, aku mau istirahat dulu," kata Ki Jatirekso seraya bangkit.

"Ki...!" sentak Ki Karangseda gusar.

Ki Jatirekso menatap tajam pada Ki Karangseda, kemudian melangkah meninggalkan ruangan. Mereka memandang dengan penuh keheranan pada sikap kepala desa itu. Pasti ada sesuatu yang sangat berat telah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang kini sudah meminta korban yang cukup banyak.

Brak!

Ki Karangseda menggebrak meja dengan keras. Kedua bola matanya merah berapi-api. Dia menatap satu persatu wajah-wajah yang juga menatapnya.

"Keadaan ini, tidak bisa kita biarkan terus! Apa kita akan berpangku tangan terus melihat penduduk satu per satu mati?" suara Ki Karangseda penuh emosi.

"Kita tidak bisa berbuat apa-apa, sebelum mengetahui permasalahan yang sebenarnya," kata Suryadenta kalem.

"Sudah jelas, semua ini ada hubungannya dengan Ki Jatirekso. Apalagi yang harus diketahui?" sentak Ki Karangseda.

"Banyak!" tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu.

Semua kepala langsung menoleh. Jaka Wulung melangkah ke arah mereka, matanya menatap tajam Ki Karangseda yang bertopang pada bibir meja. Jaka Wulung berhenti dan berdiri di belakang empat bersaudara. Sejenak dia mengawasi wajah di depannya satu per satu.

"Masih banyak yang perlu diketahui, tapi bukan dari sebab ayahku," kata Jaka Wulung datar suaranya.

"Kau tahu, kenapa tidak mengatakan dari semula?" nada suara Ki Karangseda terdengar sinis.

"Kenapa bukan kau saja yang mengatakan, Ki?" balas Jaka Wulung tidak kalah sengitnya.

Ki Karangseda tersentak. Seketika wajahnya berubah merah padam. Sementara sinar matanya masih tajam menatap Jaka Wulung. Tapi Jaka Wulung membalasnya dengan tidak kalah tajam.

"Kalian pasti mengenal senjata ini. Di desa ini, cuma ada satu yang punya!" Jaka Wulung melemparkan ruyung perak ke atas meja.

Semua mata menatap ruyung perak itu, lalu beralih ke arah Ki Karangseda. Meskipun ayahnya tidak pernah menceritakan, tapi Jaka Wulung bisa mengenali, milik siapa senjata itu. Dia mengambilnya saat dibuang oleh ayahnya bersama daun lontar yang bertuliskan huruf berwarna merah. Dia juga menunjukkan daun lontar yang sudah lusuh diremas ayahnya.

Makin merah muka Ki Karangseda, melihat tulisan yang tertera di daun lontar itu. Dia mundur satu tindak. Sementara mereka yang ada di ruangan menatap tajam minta penjelasan pada Ki Karangseda.

"Untuk apa kau melemparkan senjata pada kami?" tanya Jaka Wulung dingin dan datar.

"Senjata itu memang milikku, tapi bukan aku yang melemparkan," bantah Ki Karangseda gusar.

"Di mana saja kau, sepanjang siang ini?" tanya Jaka Wulung seperti menghakimi.

"Aku bersama Ki Pungkur," sahut Ki Karangseda.

"Benar, sejak pagi sampai sekarang, dia bersamaku dikedai Pak Rahim," Ki Pungkur membenarkan. "Bahkan Sanggabawung dan Sanggakelana juga ada di sana."

Jaka Wulung menatap kakak beradik yang disebutkan namanya. Mereka menganggukkan kepala membenarkan. Sementara Ki Karangseda tersenyum tipis penuh kemenangan memandang Jaka Wulung.

"Sebaiknya, persoalan ini jangan diperpanjang. Masih banyak persoalan berat yang harus segera ditangani," kata Ki Pungkur melerai.

"Hm...," Jaka Wulung bergumam sinis.

"Aku permisi dulu," pamit Ki Pungkur seraya bangkit.

Ki Karangseda juga rneninggalkan ruangan itu, mengikuti langkah Ki Pungkur yang sudah sampai di pintu. Tidak lama sesudah kedua laki-laki tua itu berlalu, Sanggabawung mengajak adiknya meninggalkan ruangan juga. Sejenak dia memandang Jaka Wulung, lalu menepuk pundaknya. Kemudian melangkah ke luar. Kini tinggal Jaka Wulung, Suryadenta dan ketiga adiknya.

"Kapan kau menemukan senjata ini?" tanya Tirtadenta setelah cukup lama berdiam diri.

"Tadi, sebelum, kutemukan dua puluh orang penjaga tewas," sahut Jaka Wulung seraya duduk di samping Suryadenta.

"Berarti baru saja," gumam Suryadenta pelan.

"Ya. Senjata itu diarahkan padaku," sambung Jaka Wulung.

"Hm..., di desa ini, memang hanya Ki Karangseda yang memiliki senjata seperti itu, tapi sekarang ini kan banyak tokoh-tokoh rimba persilatan di sini. Dan tidak mustahil ada diantara mereka yang memiliki senjata seperti ini," Mayadenta agak bergumam mengemukakan pendapatnya.

"Jenis senjata memang bisa sama, tapi pasti ada ciri khas tersendiri untuk mengenali siapa pemiliknya," bantah Bayudenta.

"Benar!" seru Suryadenta. Kakak tertua dari empat bersaudara itu mengambil ruyung perak yang tergeletak di meja. Sejenak diamatinya benda itu, lalu memberikannya pada ketiga adiknya.

"Ukiran bunga melati menandakan, kalau ruyung perak ini milik Ki Karangseda," kata Suryadenta.

"Ya, bunga melati lambang keperkasaannya. Aku yakin, tak seorang pun selain Ki Karangseda yang memiliki senjata berukir bunga melati," sambung Mayadenta.

"Hm..., kalau begitu, apa maksud perbuatannya?" gumam Bayudenta.

Sesaat mereka semua hanya terdiam. Macam-macam pikiran dan dugaan berkecamuk di kepala mereka. Sesekali mata mereka menatap kembali ruyung perak dan Iembaran daun lontar di atas meja. Sulit untuk mencari alasan yang tepat, dengan mengkaitkan keterlibatan Ki Karangseda dalam masalah ini.

********************

Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru memancarkan sinarnya, tampak dua orang sedang berjalan menuju kearah Desa Kali Anget. Yang satu seorang laki-laki muda yang mengenakan rompi berwarna putih. Di punggungnya, ada senjata pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung. Sedang satunya lagi adalah wanita muda yang cantik dan mengenakan baju biru yang ketat, hingga membentuk tubuhnya kelihatan ramping.

Dilihat dan pakaian dan senjata yang tersandang, mereka adalah Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti mengajak Pandan Wangi memasuki sebuah kedai yang sudah buka. Tak seorang tamu pun yang tampak di kedai ini, kecuali mereka berdua saja. Rangga memilih tempat agak ke sudut, dan dekat jendela besar yang Iangsung menghadap ke luar.

Seorang laki-laki tua menghampiri dengan terbungkuk-bungkuk. Rangga segera memesan makanan dan seguci arak manis. Kemudian laki-laki tua pemilik kedai itu mengangguk dan berlalu meninggalkan meja. Tidak lama kemudian dia kembali lagi dengan membawa pesanan tamunya.

"Apa nama desa ini, Pak?" tanya Pandan Wangi.

"Desa Kali Anget," sahut Pak Tua itu singkat.

"Kelihatannya ramai sekali, apakah desa ini akan mengadakan perayaan?" tanya Rangga yang sejak tadi mengamati ke luar.

"Tidak tahu, Tuan. Memang dalam beberapa hari banyak orang datang ke sini, bahkan menginap segala. Rumah Bapak saja disewa mereka untuk menginap, yaaah... terpaksa Bapak sekeluarga tidur di kedai ini."

"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.

"Permisi, Bapak mau ke belakang dulu," pamit Pak Tua itu.

"Silakan, Pak," sahut Pandan Wangi.

Mereka segera makan dengan tenang. Sesekali Rangga melihat ke luar melalui jendela besar yang terbuka. Tampak di depan kedai sudah banyak orang hilir mudik dengan kesibukan masing-masing. Pendekar Rajawali Sakti sedikit berkerut keningnya, melihat banyak orang yang menyandang senjata dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Jelas sekali kalau di desa itu banyak orang-orang dari rimba persilatan.

"Ada yang menarik perhatianmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi yang juga mengarahkan pandangannya ke luar.

"Ya," sahut Rangga mendesah. Perhatian Rangga segera beralih, ketika ada empat Orang masuk ke dalam kedai. Satu di antaranya seorang wanita muda yang cantik. Di pinggangnya terlilit selendang berwarna kuning gading. Sedang tiga lainnya, menyandang pedang di pinggang. Mereka segera duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga dan Pandan Wangi. Laki-laki pemilik kedai segera menghampiri dengan sika penuh hormat.

"Seperti biasa, Pak Rahim," kata salah seorang yang ternyata Suryadenta.

Cuma sebentar Pak Rahim ke belakang. Kemudian kembali lagi dengan membawa baki besar berisi penuh makanan dan minuman. Mayadenta membantu Pak Rahim menyiapkan makanan di meja.

"Sebentar, Pak," cegah Suryadenta ketika Pak Rahim mau kembali lagi ke belakang.

"Duduk dulu di sini," kata Tirtadenta menyambung.

"Ada apa, Den?" tanya Pak Rahim seraya duduk disamping Bayudenta.

"Apakah kemarin Bapak melihat Ki Karangseda dan Ki Pungkur di sini?" tanya Suryadenta Iangsung.

"Tidak, Den," sahut Pak Rahim setelah berpikir sebentar.

Suryadenta memandang ketiga adiknya bergantian. Kemarin Ki Karangseda bilang, bahwa dia seharian berada di sini bersama Ki Pungkur. Sedang pemilik kedai sendiri mengatakan, tidak melihat mereka kemarin.

"Kalau Sanggabawung dan Sangga Kelana, apa Pak Rahim melihat mereka kemarin?" tanya Tirtadenta.

"Wah! Kalau mereka, seharian memang ada di sini, Den. Malah sampai dipanggil mereka baru ke luar," katanya yang memanggil kepala desa," sahut Pak Rahim.

"Mereka cuma berdua?" tanya Bayudenta menyambung.

"Benar, dan ada beberapa orang lagi. Tapi mereka pendatang yang menyewa rumahku," sahut Pak Rahim.

"Jadi, Ki Karangseda dan Ki Pungkur tidak ada di sini, kemarin?" Mayadenta ingin memastikan.

"Benar, Ni. Mereka tidak di sini. Kalau semalam, memang mereka ke sini, itu pun tidak lama. Karena kemudian mereka pergi lagi bersama seorang perempuan dan dua orang laki-laki."

"Pak Rahim kenal dengan mereka?" kejar Suryadenta.

"Tidak, Den. Tapi kelihatannya mereka dari kalangan persilatan. Yang perempuan sudah tua, tapi masih kelihatan cantik. Sedang yang laki-laki, masih muda-muda," kata Pak Rahim polos.

"Terima kasih, Pak," ucap Suryadenta.

Pak Rahim mengangguk sedikit, lalu beranjak pergi ke belakang. Sementara Suryadenta mengamati sekitarnya. Kemudian pandangannya berhenti pada Rangga dan Pandan Wangi yang tengah asyik menikmati makanannya, hingga seolah-olah tidak mendengarkan percakapan tadi. Suryadenta kembali mengalihkan pandangannya pada ketiga adiknya.

"Aku jadi curiga...," gumam Tirtadenta pelan.

"lya, aku juga tidak mengerti. Mengapa Ki Karangseda memberikan keterangan palsu?" sambung Bayudenta bergumam.

"Aku yakin, ini ada hubungannya dengan kedatangan para tokoh rimba persilatan ke sini. Dan yang pasti, ada hubungannya dengan Ki Jatirekso!" kata Mayadenta mantap.

Suryadenta mengerdipkan matanya sebelah. Dan dengan ujung ekor matanya, dia mengisyaratkan, ada dua orang yang duduk tidak jauh dari mereka.

Serentak mereka melirik Rangga dan Pandan Wangi. Pembicaraan pun terhenti seketika. Suryadenta mengerdipkan matanya lagi, kemudian mereka segera menikmati hidangan yang sudah tersedia sejak tadi. Namun demikian, sudut mata mereka tidak lepas mengamati dua orang yang tak jauh dari tempat mereka makan.

Merasa dirinya diamati terus, Rangga bangkit diikuti Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti itu segera meletakkan tiga keping uang perak di mejanya, kemudian melangkah ke luar kedai. Melihat tamunya pergi, Pak Rahim dengan tergopoh-gopoh segera menghampiri meja yang baru ditinggalkan Rangga dan Pandan Wangi. Lelaki tua itu melongo melihat tiga keping uang perak yang tergeletak diatas meja.

"Ck ck ck..., duit segini sih, bisa untuk beli kambing seekor," gumamnya pelan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Pak Rahim segera memasukkan uang itu ke dalam saku bajunya. Setelah membereskan meja bekas tamunya, kemudian dia melangkah kembali ke belakang. dengan wajah berseri-seri. Betapa tidak? Uang yang diberikan oleh Rangga begitu banyak, dan tidak sesuai dengan harga makanan.

********************

Rangga segera berhenti melangkah, begitu sampai di depan pinru pagar halaman rumah Kepala Desa Kali Anget. Sejenak diamatinya rumah yang kelihatan sepi itu. Kemudian Rangga menggamit tangan Pandan. Wangi, dan mengajaknya berlalu.

Desa Kali Anget, kini benar-benar telah dipenuhi pendatang, sehingga semua rumah penginapan tidak ada satu kamar pun yang kosong. Bahkan rumah-rumah penduduk pun terpaksa juga disewakan. Sebab itulah, biarpun Rangga dan Pandan Wangi sudah keliling desa, tapi tak satu rumah pun yang disewakan lagi. Rangga makin heran dengan keadaan desa ini.

"Bagaimana, Pandan? Tidak ada tempat untuk bermalam di sini," Rangga minta pendapat Pandan Wangi.

"Yah, apa boleh buat...?" Pandan Wangi mengangkat bahunya.

"Padahal perlu waktu sepekan untuk sampai ke desa berikutnya," kata Rangga memberitahu.

"Huh! Bosan rasanya, tidur di alam terbuka terus!" rungut Pandan Wangi. "Sudah dua pekan, kita menjelajahi hutan dan tidur di alam terbuka. Mau istirahat satu dua malam saja susah!"

"Kau menyesal?" tanya Rangga.

"Tidak!" jawab Pandan Wangi singkat.

"Mengapa cemberut begitu?"

"Tidak apa-apa," Pandan Wangi memang kesal, karena bayangan tidur di ranjang empuk sirna begitu saja.

Padahal semula dia sudah girang melihat perkampungan, ternyata bukan kegembiraan yang didapat, tapi malah kekesalan. Karena semua rumah penginapan sudah terisi.

Langkah mereka terhenti, karena dihadang oleh dua orang laki-laki tua yang berjubah mentereng. Sikap dua orang yang tak lain adalah Ki Karangseda dan Ki Pungkur ini, jelas-jelas menghalangi Iangkah Rangga dan Pandan Wangi. Mereka berdiri tegak di tengah-tengah jalan tanpa bergerak sedikit pun.

Ki Karangseda dan Ki Pungkur segera melangkah tiga tindak mendekat ke arah Rangga dan Pandan Wangi berhenti. Sementara Rangga melirik ke kanan, dan tampaklah dua orang lagi sudah berdiri di sana. Mereka bersenjata golok besar yang terselip di pinggang masing-masing.

Ternyata mereka tak lain adalah, Sanggabawung dan Sangga Kelana. Keduanya masih muda, mungkin seusia dengan Pendekar Rajawali Sakti atau lebih sedikit. Ada cambang lebat yang hampir memenuhi wajah mereka, sehingga membuat tampangnya kelihatan lebih tua.

"Maaf, bolehkah kami meneruskan perjalanan?" sapa Rangga seramah mungkin.

"Kalian siapa dan mau apa datang ke sini?" tanya Ki Karangseda datar, tapi tatapannya tajam memandang wajah Rangga.

"Aku Rangga, dan ini adikku, Pandan Wangi. Kami pengembara yang kebetulan lewat di desa ini," kata Rangga tetap sopan.

"Ke mana tujuanmu?" tanya Ki Pungkur.

"Tidak ada," sahut Rangga terus terang.

Ki Pungkur melirik Ki Karangseda, kemudian kepalanya mengegos kecil. Segera Sanggabawung dan Sangga Kelana melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Rangga cuma melirik sebentar, kemudian kembali memandang dua laki-laki tua di depannya yang masih menghadang.

"Sebaiknya kalian segera pergi dari tempat ini," kata Ki Karangseda tidak ramah.

Rangga tersenyum dan mengangguk. Dia menggamit tangan Pandan Wangi dan kembali melangkah. Sementara Ki Pungkur menggeser kakinya memberi jalan. Dua laki-laki tua itu masih terus memandang Rangga dan Pandan Wangi yang terus berjalan ke arah Barat. Tak lama kemudian Ki Pungkur mendekati Ki Karangseda.

"Kau lihat senjata yang dibawa laki-laki muda itu, Ki Karangseda?" pelan suara Ki Pungkur.

"Ya," jawab Ki Karangseda agak mendesah.

"Dilihat dari gagang pedangnya, seperti milik Pendekar Rajawali Sakti," Ki Pungkur menduga-duga.

Ki Karangseda memandang Ki Pungkur yang berdiri disampingnya. Kemudian pandangannya beralih ke ujung jalan, dimana Rangga dan Pandan Wangi belok ke kanan tadi.

"Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti," kata Ki Pungkur begitu pasti.

"Pendekar Rajawali Sakti selalu sendiri," bantah Ki Karangseda setengah bergumam.

"Tapi, ciri-ciri anak muda itu sangat mirip dengan Pendekar Rajawali Sakti!" Ki Pungkur tetap bersikeras.

"Ah, sudahlah! Dia tidak mungkin muncul di sini. Kabar terakhir yang kudengar, dia berada di wilayah Timur," bantah Ki Karangseda.

"Tapi...."

"Ah! Sudahlah, ayo!" Ki Karangseda memotong cepat.

Ki Karangseda menarik tangan Ki Pungkur, dan berjalan menuju ke rumah kepala desa.

********************

"Ayo, cepat! Jangan sampai terlambat!" seru Suryadenta sambil melompat dari tempat persembunyiannya.

Ketiga adiknya segera mengikutinya. Mereka berlari cepat ke ujung jalan yang memilki dua belokan. Dari cara mereka berlari, dapat dipastikan kalau ilmu yang dimiliki cukup tinggi. Dalam sekejap saja mereka sudah tidak kelihatan.

Mereka segera berhenti setelah sampai di perbatasan. Desa Kali Anget. Tampak hutan lebat membentang didepan. Sampai di sini, jalan sudah terputus oleh sungai besar yang mengalir deras. Tidak ada satu perahu pun yang tampak, hanya sebuah rakit yang dihubungkan dengan tambang ke seberang.

"Mungkin mereka sudah menyeberang, Kakang," kata Tirtadenta.

Suryadenta tidak menjawab. Matanya lurus menatap keseberang sungai. Tak seorang pun yang berada di atas rakit itu. Kemudian pandangan matanya menatap ke sekitarnya. Tiba-tiba matanya agak menyipit, begitu melihat jejak-jejak kaki yang tertera di tepian sepanjang sungai. Jejak-jejak kaki itu menuju ke muara, dan ini berarti kembali lagi ke Desa Kali Anget.

"Ikuti aku!" seru Suryadenta agak cerah wajahnya.

Mereka berjalan cepat menyusuri tepian sungai ke arah muara. Jejak-jejak kaki itu tertera jelas milik dua orang yang berjalan bersisian. Sejenak mereka berhenti melangkah, karena jejak-jejak kaki yang diikuti hilang begitu saja.

"Maaf, apakah ada yang kalian cari?"

Empat bersaudara itu bukan alang kepalang kagetnya, begitu mendengar suara dengan tiba-tiba dari belakang. Dengan segera mereka melompat berbalik. Kini di depan mereka berdiri Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.

"Kalau tidak salah, kalian berempat yang tadi berada dikedai. Apakah benar?" Rangga bersikap sopan dengan senyum tersungging di bibir.

"Benar," sahut Suryadenta.

"Lantas, apa maksud kalian mengikuti perjalanan kami?" tanya Rangga.

"Maaf, jika kami mengganggu. Tapi kami bermaksud baik padamu," kata Suryadenta.

"Hm...," Rangga mengernyitkan alisnya.

"Apakah kau Pendekar Raj awali Sakti?" tanya Bayudenta tidak sabaran.

Rangga tidak langsung menjawab, dia menatap empat orang di depannya. Kemudian pandangannya beralih pada Pandan Wangi di sampingnya. Pertanyaan Bayudenta membuatnya jadi berpikir.

"Mungkin kami salah menilai, silakan Ni dan Kisanak melanjutkan perjalanan," kata Suryadenta sambil menggerakkan tangannya, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan tempat itu.

"Tunggu!" cegah Rangga.

Suryadenta berhenti. Sementara Rangga mendekat kearah mereka, diikuti Pandan Wangi.

"Boleh aku tahu, untuk apa kalian mencari Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Rangga menyelidik.

"Apakah Kisanak tahu, dimana Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Suryadenta tidak menggubris pertanyaan Rangga.

"Aku akan menunjukkan, kalau kalian mau memberitahu alasannya," sahut Rangga.

Suryadenta memandang ketiga adiknya. Semua mengangguk perlahan, menyetujui usul Rangga. "Baiklah, aku memang tidak bisa menjelaskan secara rinci. Tapi, kalau ingin tahu semuanya, kau bisa menemui Ki Jatirekso atau Jaka Wulung," kata Suryadenta.

"Hm..., siapa mereka?"

"Kepala desa dan putranya. Rumah mereka yang paling besar di desa ini. Aku yakin, kau sudah melewatinya tadi," sahut Bayudenta.

"Kalau begitu, apakah aku harus bertanya dulu pada kepala desa itu?"

"Benar!"

"Ayo, Pandan!"

Rangga langsung melompat cepat. Pandan Wangi mengikutinya. Begitu cepatnya mereka berlalu, dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Empat orang yang menyaksikan itu hanya melongo.

"Bagaimana sekarang, Kakang?" tanya Tirtadenta.

"Kita harus pergi ke rumah kepala desa, tapi dengan cara diam-diam," kata Suryadenta.

"Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti. Tidak banyak orang yang bisa menghilang begitu cepat," kata Mayadenta setengah bergumam.

Tidak ada yang menanggapi ucapan Mayadenta. Mereka terus saja berjalan cepat menuju Desa Kali Anget. Tujuan mereka sudah pasti, yakni ke rumah kepala desa. Tapi Suryadenta mengajak melalui jalan memutar.

"Sebaiknya kita datang terang-terangan saja, Kakang," usul Mayadenta

"Tidak! Kita harus tahu, ada apa sebenarnya dibalik semua ini. Dan hanya dengan cara inilah, kita dapat mengetahui semua yang terjadi!" bantah Suryadenta.

"Tapi, tindakan kita apa tidak salah?" Mayadenta masih tetap tidak menyetujui.

"Demi kebenaran, segala cara harus ditempuh."

"Terlalu besar resikonya, Kakang."

Suryadenta menatap adik bungsunya itu. "Baiklah, kau dan Tirta datang dari depan. Tapi bersikaplah yang wajar, aku dan Bayu akan menyelinap dari belakang," kata Suryadenta bisa mengerti kekhawatiran adik perempuan satu-satunya itu.

"Tapi kalau ada yang menanyakanmu?" tanya Tirtadenta.

"Bilang saja, aku sedang di batas desa!" jawab Suryadenta tanpa pikir panjang lagi.

"Ayo, Bayu!"

Mayadenta tidak dapat mencegah lagi. Dia hanya bisa memandang kepergian dua kakaknya. Kemudian dia menurut saja ketika tangannya digamit Tirtadenta. Kini mereka terpisah menjadi dua bagian dengan tugas masing-masing. Mayadenta sendiri masih belum bisa memahami jalan pikiran kakak sulungnya. Tapi dia harus menurut, agar semua rencana yang ada di kepala Suryadenta bisa berjalan lancar.

********************

Ki Karangseda tampak bersungut-sungut ketika keluar dari rumah kepala desa. Sorot matanya tajam menatap Mayadenta dan Tirtadenta yang melintas di halaman rumah. Sejenak mereka saling tatap, kemudian Ki Karangseda terus melangkah diikuti Ki Pungkur. Mayadenta masih menatap ke arah kedua laki-laki tua itu, dan baru melangkah ketika tangannya digamit Tirtadenta.

Dua bersaudara itu terus melangkah masuk melewati ruang depan yang sepi. Tak lama kernudian, mereka melihat Jaka Wulung sedang duduk termenung sendirian diruang tengah. Jaka Wulung segera mengangkat kepalanya, begitu mendengar langkah-langkah kaki mendekat.

Sementara Mayadenta dan Tirtadenta langsung duduk didepan putra kepala desa itu, tanpa menunggu dipersilakan lebih dahulu.

"Barusan aku melihat Ki Karangseda dan Ki Pungkur," kata Tirtadenta membuka suara lebih dulu.

"Apa yang mereka lakukan?" tanya Jaka Wulung.

"Tidak ada," sahut Mayadenta sambil menggeleng. "Tapi nampaknya mereka gusar. Ada apa?"

"Mereka mendesakku," sahut Jaka Wulung pelan. Ada kegelisahan di wajahnya

"Apa yang mereka inginkan?" tanya Mayadenta mau tahu.

"Kepala!"

"Kepala...?!" Mayadenta dan Tirtadenta kaget bukan main. Untuk beberapa saat mereka saling tatap salu sama lainnya.

"Kepala siapa?" tanya Mayadenta dengan kening berkerut.

"Pendekar Rajawali Sakti!"

Bagai disambar petir di siang bolong, Mayadenta dan Tirtadenta terlonjak saking kagetnya. Kembali mereka saling tatap. Untuk beberapa lama, tidak ada yang bicara sedikit pun. Tirtadenta makin tidak mengerti, mengapa Ki Karangseda dan Ki Pungkur menginginkan kepala Pendekar Rajawali Sakti? Apakah mereka tidak bisa mengukur tingginya gunung dan dalamnya lautan?

Semua orang tahu, siapa Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun belum pernah melihat secara langsung, tapi kabar yang mereka dengar cukup membuat bulu kuduk merinding. Sampai saat ini, belum ada seorang tokoh pun yang mampu menandingi kesaktiannya. Lalu, bagaimana mungkin bisa memperoleh kepalanya?

"Apa yang diinginkan Ki Karangseda dengan kepala pendekar itu?" tanya Tirtadenta.

"Aku tidak tahu. Tapi dia terus mendesakku, agar mencari dan memenggal kepala pendekar itu," sahut Jaka Wulung lesu.

"Kenapa harus kau?" desak Mayadenta bimbang.

"Aku..., aku...," Jaka Wulung tampak kebingungan menjawab.

Tirtadenta dan Mayadenta saling berpandangan. Mereka merasakan ada sesuatu yang tidak beres dalam diri putra kepala desa itu. Kelihatannya Jaka Wulung tidak berdaya menghadapi desakan Ki Karangseda. Ada rahasia apakah sebenarnya di balik semua ini? Pertanyaan itulah yang terus mengganggu pikiran Tirtadenta dan adiknya selama ini.

"Katakan, Jaka! Kenapa Ki Karangseda menginginkan kau yang menghadapi Pendekar Rajawali Sakti itu?" desak Tirtadenta.

Jaka Wulung masih kebingungan untuk menjawab.

"Apakah dia mengancammu?" tanya Mayadenta mendesak juga.

Jaka Wulung tetap diam saja. Lidahnya terasa kaku untuk diajak bicara. Hanya matanya yang berputar-putar menatap dua wajah di depannya.

"Kau tidak bisa hanya dengan di am seperri itu, Jaka. Keadaan desa ini makin kacau dan makin banyak korban yang jatuh. Apakah kau ingin menambah korban lagi?" Tirtadenta tidak sabar lagi.

"Aku tidak bisa mengatakannya, sebaiknya kalian tanyakan langsung pada Ki Karangseda!" jawab Jaka Wulung seraya bangkit, dan melangkah menuju kamarnya.

"Jaka Wulung...!" sentak Tirtadenta.

Namun Jaka Wulung seakan tidak mendengar dan terus melangkah meninggalkan dua bersaudara itu. Tirtadenta bangkit ingin mengejar, tapi tangannya keburu dicekal adiknya. Terpaksa dia diamkan saja Jaka Wulung masuk kedalam kamarnya.

"Dari tadi, aku tidak melihat Ki Jatirekso. Di mana dia?" kata Tirtadenta setengah bergumam, seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Mayadenta nampak tersentak. Dia juga baru sadar, kalau dari tadi tidak melihat Ki Jatirekso. Secepat kilat dia melompat dan menerjang pintu sebuah kamar yang tertutup rapat. Ternyata kamar yang biasa ditempati Ki Jatirekso itu kosong melompong. Bahkan keadaannya berantakan bagai kapal layar pecah yang baru diamuk badai.

Melihat keadaan ini Mayadenta segera menuju ke depan pintu kamar Jaka Wulung. Kemudian diketuknya keras-keras pintu kamar itu. Tapi tidak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Sejenak gadis itu memasang telinganya tajam-tajam, dan tetap tidak ada suara sedikit pun yang terdengar. Sementara Tirtadenta yang tidak sabar, langsung mendobrak pintu itu.

Brak!

"Jaka...!" teriak Tirtadenta keras-keras.

Rasanya belum begitu lama Jaka Wulung masuk kekamar. Tapi mengapa kamar itu kosong? Sedang jendelanya juga tertutup rapat.

"Aku rasa, dia keluar lewat jendela," kata Mayadenta sambil membuka jendela yang tidak terkunci.

Menyadari keadaan rumah itu sudah kosong, mereka langsung keluar lewat jendela. Tapi begitu kaki mereka menjejak tanah, tiba-tiba dua bayangan meluncur ke arah mereka. Ternyata Suryadenta dan Bayudenta yang datang.

"Tidak lihat Jaka Wulung?" tanya Mayadenta langsung kesasaran.

"Tidak...," sahut Suryadenta menggelengkan kepala.

"Memangnya ada apa?" tanya Bayudenta tidak mengerti.

"Ki Jatirekso menghilang," sahut Tirtadenta.

"Dan Ki Karangseda mendesak Jaka Wulung agar memenggal kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Jaka Wulung tidak mau mengatakan yang sebenarnya, malah kabur lewat jendela kamarnya," lanjut Mayadenta menyambung.

"Gila! Permainan apa pula ini?" dengus Suryadenta.

"Apa orang asing itu sudah tiba di sini?" tanya Bayudenta.

Tirtadenta dan Mayadenta menggelengkan kepala sambil berpandangan. Mereka tadi cuma melihat Ki Karangseda dan Ki Pungkur ke luar dari rumah itu. Sementara di dalam cuma ada Jaka Wulung sendirian. Dan tidak ada siapa-siapa lagi di rumah itu.

********************

Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi tengah beristirahat di bawah pohon yang tidak jauh dari rumah kepala desa. Sesekali pandangan mereka menatap ke arah jalan yang ramai dipenuhi orang-orang hilir mudik dengan kesibukan masing-masing.

"Aku yakin, kau pernah kenal dengan Ki Karangseda," kata Pandan Wangi.

"Dengar namanya saja baru kali ini," keluh Rangga.

Tangannya menjumput batu kerikil dan melemparkannya begitu saja.

"Tapi mengapa dia menginginkan kepalamu?" tanya Pandan Wangi masih tetap tidak percaya pada jawaban Rangga.

Mereka tadi memang mendengar semua percakapan dengan jelas di rumah Ki Jatirekso. Tapi Rangga dan Pandan Wangi sengaja tidak menampakkan diri. Mereka ingin mengetahui lebih jelas, apa sebenarnya yang tengah terjadi.

"Itu yang sedang aku pikirkan sekarang, Pandan," kata Rangga setelah cukup lama diam.

"Kalau begitu, kenapa tadi Jaka Wulung tidak kita kejar saja?"

"Untuk apa?" Rangga balik bertanya.

"Kok, untuk apa? Dia kan diperintahkan untuk memenggal kepalamu. Tentunya dia tahu, apa maksud Ki Karangseda menginginkan kepalamu."

"Yang diinginkan adalah aku. Jadi, biarkan saja laki-laki tua itu yang mencariku! Untuk apa mengurusi dia?"

"Kau mulai egois, Kakang!"

"Tidak! Sampai sejauh ini, aku tidak pernah mementingkan diri sendiri."

"Memang, tapi kau harus ingat! Dengan keadaan seperti itu, Jaka Wulung terancam nyawanya, dan kita harus bertindak!"

"Kita tunggu saja perkembangannya, Pandan," jawab Rangga mengalah.

Tak lama kernudian mereka bangkit. Sejenak mata mereka menatap rumah besar tempat tinggal Kepala Desa Kali Anget. Setelah itu mereka berbalik dan hendak melangkah pergi. Namun baru saja kaki mereka terayun, tiba-tiba...

"Awas...!" seru Rangga keras.

Seketika itu juga dia mendorong tubuh Pandan Wangi, dan tangan kanannya bergerak cepat menangkap benda hitam yang meluruk deras ke arahnya sambil melompat. Dan dengan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya lagi ke tanah. Sedangkan Pandan Wangi yang terdorong tadi, bergulingan, lalu bagai seekor burung walet, dia melompat dan bangkit lagi. Tangannya segera mencabut kipas yang terselip di pinggang. Sebuah kipas baja dengan ujung-ujungnya yang runcing dan tajam.

Rangga segera mengamati tiga batang anak panah berwarna hitam pekat yang tergenggam di tangannya. Matanya yang setajam mata elang, berhasil menangkap kelebatan bayangan hitam dari balik semak belukar disebelah kanannya.

Menyadari hal itu, dia langsung salto sambil mengebutkan tangan kirinya dengan cepat. Dan sebelum kakinya menginjak tanah kembali, Rangga telah melemparkan anak-anak panah yang tadi disambarnya kearah bayangan hitam itu.

Crab, crab, crab...!

Tiga bayangan hitam langsung ke luar dari dalam semak belukar. Sejenak Rangga mengamati tiga orang yang berpakaian serba hitam, yang kini telah berdiri didepannya.

"Hebat! Tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Rajawali Sakti!" kata salah seorang yang berdiri di tengah. Suaranya kecil, namun terdengar nyaring melengking.

"Siapa kalian?" tanya Rangga.

"Hik hik hik..., kami inilah yang mendapat julukan Tiga Bayangan Tengkorak!"

"Pantas! Tubuhmu kurus kering seperti tengkorak," sungut Pandan Wangi mencibir.

"Kenapa kalian ingin membunuhku?" tanya Rangga lagi.

"He he he..., seribu keping uang emas untuk kepalamu, Pendekar Rajawali Sakti! Benar-benar luar biasa, begitu mahal harga kepalamu," sahut orang yang berdiri paling kanan.

Rangga menggeser kakinya ke samping kiri, mendekati Pandan Wangi. Sejenak dimiringkan kepalanya dan berbisik di telinga gadis itu.

"Kau menyingkir dulu, adik kecil," bisik Rangga.

"Apa?!" Pandan Wangi kontan mendelik disebut adik kecil.

"Benar! Kau menyingkir saja anak manis," celetuk salah seorang dari Tiga Bayangan Tengkorak.

Pandan Wangi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena Rangga sudah mendorong pundaknya agar menyingkir. Mau tidak mau, dia terpaksa menyingkir. Tapi tidak begitu jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.

Sejenak Rangga melirik Pandan Wangi. Gemas juga dia, karena gadis itu hanya berdiri di bawah pohon yang jaraknya masih terlalu dekat.

"Sebaiknya lepaskan sendiri kepalamu, bocah! Agar kami tidak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga," kata salah seorang dari Tiga Bayangan Tengkorak yang berdiri ditengah.

"Kalau kalian menginginkan uang itu, berusahalah untuk mendapatkannya!" tantang Rangga.

"Bersiaplah untuk mati, bocah!"

"Tunggu!"

Tiba-tiba Pandan Wangi melompat, dan langsung berdiri di tengah-tengah. Tentu saja kenekatan gadis itu membuat Rangga kaget setengah mati.

"Pandan...!" bentak Rangga agak emosi.

"Tenang, Kakang. Biarlah aku yang main-main dulu dengan kakek-kakek jelek ini!" kata Pandan Wangi keras suaranya.

"He he he..., menyingkirlah, anak manis. Wajahmu terlalu cantik, jangan membuat aku terpaksa merusak kecantikanmu," kata orang yang di tengah mengejek.

"Aku memang ingin jelek seperti mukamu!" tantang Pandan Wangi ketus.

"Kurang ajar! Kurobek mulutmu!" geram yang di kanan.

"Mungkin tanganmu dulu yang buntung!"

"Setan...!"

********************

Salah seorang dari Tiga Bayangan Tengkorak yang bernama Bayangan Tengkorak Putih langsung menerjang Pandan Wangi. Tampak jari-jari tangannya terkembang kaku. Sementara Pandan Wangi menggeser kakinya sedikit, sambil menarik tubuhnya ke kiri. Kemudian dengan cepat, dia mengebutkan kipas mautnya ke arah tangan yang mengembang kaku itu.

Bayangan Tengkorak Putih sangat terkejut dengan serangan mendadak itu, segera ditariknya kembali tangannya. Tapi belum sempat ditarik penuh, tiba-tiba kaki Pandan Wangi mengenai dadanya. Si Bayangan Tengkorak Putih terjengkang beberapa langkah, tapi kernudian dia melompat untuk menghindari serangan berikutnya. Di lain pihak, tanpa menurunkah kakinya, Pandan Wangi ikut melompat dengan memutar kedua kakinya.

Buk, buk!

Dua kali kaki Pandan Wangi mendarat telak di punggung dan dada lawannya. Langsung saja lawannya mengaduh dan tubuhnya tersuruk dengan keras. Sementara Pandan Wangi mendarat mulus di tanah.

"Setan...!" umpatnya.

"Baru begitu saja sudah jatuh, apalagi melawan Pendekar Rajawali Sakti?" ejek Pandan Wangi.

Tiga Bayangan Tengkorak sangat geram mendengar ejekan itu, dan tak lagi menganggap remeh gadis itu. Mereka segera bergerak dan mengepung dari tiga jurusan. Sementara jari-jari tangan mereka yang kurus, terentang kaku, bagai cakar besi yang siap mengoyak apa saja.

"Bagus! Maju kalian semua!" dengus Pandan Wangi.

Tak jauh dari situ, tampak Rangga masih tetap berdiri ditempatnya. Sebenarnya dia masih khawatir akan Pandan Wangi, meskipun tadi Pandan Wangi sudah memperlihatkan kemajuan yang diperolehnya. Sementara pertarungan antara Pandan Wangi melawan Tiga Bayangan Tengkorak sudah berlangsung sengit.

Rangga keheranan melihat Pandan Wangi mampu menandingi lawannya sampai sepuluh jurus. Bahkan tampaknya, dia masih mampu menandingi sampai lima puluh jurus sekali pun. Tidak disangka sama sekali, kalau gadis itu telah memperoleh kemajuan yang begitu pesat. Kipas baja mautnya yang ada di tangan, berkelebatan memancarkan sinar keperakan yang mengancam tubuh lawan.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras dan melengking tinggi.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke udara. Setelah dua kali berputar, tiba-tiba di tangan kanannya sudah berganti dengan sebuah pedang berwarna merah menyala. Sedang kipas baja mautnya, berada di tangan kiri. Kini, dengan Pedang Naga Geni di tangan, dia bagai sesosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa.

Tiga Bayangan Tengkorak terkesiap melihat pamor pedang di tangan Pandan Wangi. Tapi sebelum mereka ada kesempatan untuk bertindak, dengan cepat Pandan Wangi mengibaskan dua senjata pusakanya dan menerjang bagai kilat.

Bet!

"Akh!" tiba-tiba salah seorang musuhnya memekik tertahan.

Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang, sedang darahnya mengucur deras dari pangkal lengannya yang buntung terbabat pedang. Sementara Rangga yang berdiri tak jauh dari tempat itu, sampai menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Pandan Wangi bagaikan singa betina yang mengamuk.

"Mampus kalian. Yeaaah...!" pekik Pandan Wangi.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya berputar cepat. Sementara sinar merah yang keluar dari pedangnya, mengurung seluruh tubuhnya. Saat itulah salah seorang lawannya lagi tidak sempat menghindar. Maka tanpa ampun lagi, orang kurus itu langsung menjerit menyayat hati sambil memegangi dadanya yang tertembus pedang. Kemudian tubuhnya ambruk ke tanah tak bergerak-gerak lagi. Sedangkan Pandan Wangi berdiri tegak dan menatap tajam pada salah seorang lagi yang masih hidup.

"Sekarang giliranmu, kakek jelek!" dengus Pandan Wangi.

Laki-laki tua yang tinggal seorang diri itu, langsung mundur beberapa tindak. Hatinya menciut melihat dua temannya sudah menggeletak berlumuran darah. Sementara Pandan Wangi dengan pedang teracung di tangan perlahan-lahan mendekati musuhnya.

"Pandan...," panggil Rangga seraya mendekat.

Pandan Wangi tidak menoleh. Pandangan matanya tajam menatap musuhnya yang terus melangkah mundur. Rangga segera menggamit tangan Pandan Wangi dan menekannya ke bawah. Sejenak Pandan Wangi berhenti melangkah dan langsung menatap Rangga.

"Sudahlah, dia sudah tidak berdaya," kata Rangga menyadarkan.

"Ingatlah, Kakang. Hanya karena seribu keping uang emas, dia mau memenggal kepalamu. Masih pantaskah dia dibiarkan hidup?" Pandan Wangi kembali menatap tajam pada musuhnya.

"Masukkan pedangmu, Pandan!" perintah Rangga tegas.

Pandan Wangi menatap tajam ke arah Rangga. Kemudian perlahan-lahan dia memasukkan pedang Naga Geni ke dalam warangkanya. Rangga tersenyum, lalu melangkah mendekati kakek tua itu.

"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Kek?" tanya Rangga dengan suara lembut dan sopan.

"Bayangan Tengkorak Hitam!" sahut kakek itu dingin.

Memang sulit mengetahui nama asli seorang tokoh rimba persilatan. Mereka lebih senang menggunakan julukan daripada nama sebenarnya.

"Siapa yang membayarmu?" tanya Rangga lagi sambil tersenyum.

"Itu bukan urusanmu!" ketus jawaban si Bayangan Tengkorak Hitam.

"Nyawamu sudah di tenggorokan, Kakek Jelek!" geram Pandan Wangi mengancam.

"Kenapa tidak kau bunuh saja aku sekalian?" tantang Bayangan Tengkorak Hitam sambil melirik dua temannya yang sudah tidak bernyawa lagi. Rangga segera menahan langkah Pandan Wangi, yang sudah muak dengan melihat tingkah kakek itu.

Gadis itu menggerutu, mengapa Rangga masih juga sabar, padahal orang yang dihadapinya jelas-jelas menginginkan kepalanya.

"Jawab pertanyaanku, Bayangan Tengkorak Hitam Kalau tidak... biar adikku yang mengurusmu," ancam Rangga.

"Huh!" Bayangan Tengkorak Hitam hanya mendengus.

"Siapa yang membayarmu?" tanya Rangga lagi.

Bayangan Tengkorak Hitam tetap diam.

"Jawab!" bentak Pandan Wangi gusar.

Pandan Wangi benar-benar tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dan tanpa dapat dicegah lagi, ia segera melompat sambil menarik pedangnya. Begitu cepatnya dia bergerak, sehingga Bayangan Tengkorak Hitam tidak sempat lagi mengelak. Seketika itu juga, laki-laki tua itu langsung menjerit melengking tinggi, begitu tubuhnya terbabat pedang Pandan Wangi.

Kemudian Pandan Wangi melayangkan kakinya ke arah dada. Kontan saja tubuh Bayangan Tengkorak Hitam terjengkang deras ke belakang dan membentur batang pohon yang besar. Setelah jatuh tubuh itu terkulai tidak bernyawa lagi.

********************

EMPAT

Rangga segera mendekati Pandan Wangi yang sudah berbalik. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Pendekar Raj awali Sakti mendesah panjang. Sementara matanya mengamati tiga sosok tubuh yang sudah tak bernyawa lagi.

"Aku yakin, pasti Ki Karangseda yang menginginkan kepalamu, dan yang membayar mereka," kata Pandan Wangi menduga-duga.

"Jangan menuduh sembarangan, Pandan."

"Sudah terbukti, kok! Bahkan dia juga mendesak Jaka Wulung. Apa itu bukan bukti yang nyata?"

"Ada kemungkinan lain, Pandan."

"Apa?"

"Kemungkinannya, Ki Karangseda juga tergiur oleh seribu keping uang emas."

"Tapi, kenapa dia mendesak Jaka Wulung?"

"Itu yang harus kita ketahui."

Pandan Wangi diam. Kemudian hampir bersamaan, mereka menoleh ke arah Desa Kali Anget. Kini mereka tahu, kalau orang-orang rimba persilatan datang ke desa itu, sengaja menunggu Pendekar Rajawali Sakti dan memenggal kepalanya demi memperoleh seribu keping uang emas. Yang jadi masalahnya sekarang, siapa yang menginginkan kepala pendekar itu?

Rangga sendiri baru sekali menginjakkan kakinya di desa ini. Sebab itulah, dia tidak bisa menentukan, siapa dalang semua ini? Tapi sebagai pendekar pilih tanding, Rangga menyadari, tidak sedikit yang menginginkan kematiannya.

Perlahan-lahan Rangga melangkah, sementara Pandan Wangi mengikutinya tanpa banyak bicara lagi. Sejenak gadis itu mengerutkan kening, begitu menyadari kalau Rangga menuju ke Desa Kali Anget.

"Untuk apa kita ke sana lagi?" tanya Pandan Wangi.

"Mencari orang yang memiliki uang sebanyak itu," sahut Rangga santai.

"Huh! Sama saja masuk ke kandang macan!" dengus Pandan Wangi kesal.

"Itu lebih baik, daripada menjadi binatang buruan.

"Disana kan banyak orang mencarimu, Kakang. Dan sudah jelas, bahwa maksud mereka tidak baik. Apa kau ingin menyerahkan kepalamu?" Pandan Wangi makin tidak mengerti jalan pikiran Rangga.

"Tenang saja, tidak semua orang kenal padaku. Memang, mereka bisa saja tahu namaku, tapi kan tidak mengenal orangnya."

"lya, sih...."

"Nah! Kenapa mesti takut?"

"Siapa yang takut?" Pandan Wangi mendelik.

"Dengar, Pandan. Sejak semula aku sudah mengatakan padamu. Terlalu banyak resiko untuk mengikuti langkahku. Sebenarnya aku tidak keberatan kau ikut, tapi kalau kau sayang dengan nyawamu, lebih baik...."

"Kakang!" sentak Pandan Wangi memutus kata-kata Rangga.

Rangga hanya tersenyum melihat Pandan Wangi cemberut. Kemudian dia menghentikan langkahnya tepat dibatas desa. Dia tahu, kalau Pandan Wangi mengkhawatirkan dirinya, dan dia tahu, kalau Pandan Wangi.... Ah! Rangga cepat-cepat membuang segala macam pikiran mengenai gadis itu.

Mereka segera mengalihkan pandangannya ketika mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat. Tiba-tiba tampak empat orang yang tak lain adalah Suryadenta dan tiga adiknya. Menyadari hal itu, Pandan Wangi segera meraba kipas besinya yang terselip di pinggang. Sementara Rangga hanya berdiri tenang menunggu sampai empat bersaudara itu mendekat.

"Ah, kebetulan sekali bertemu di sini," kata Suryadenta lebih dulu.

"Hm, ada apa?" tanya Rangga bergumam.

"Apakah kalian lihat Jaka Wulung?" tanya Suryadenta.

"Tidak," Pandan Wangi menyahut.

"Sayang sekali," gumam Suryadenta pelan.

"Dia lari dari rumah. Bahkan ayahnya juga menghilang entah kemana," Bayudenta menjelaskan. Dan tanpa diminta, dia segera menceritakan semua kejadian di rumah Kepala Desa Kali Anget.

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia melirik Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya. Gadis itu hanya membalasnya dengan senyum tipis di bibir. Pikirnya, tanpa mendengar cerita dari Bayudenta pun, mereka sudah mengetahui segala yang terjadi.

"Kalau kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti, aku mohon, agar segera meninggalkan desa ini. Karena orang-orang itu tidak akan ke sini, kalau kau juga tidak ada disini," kata Suryadenta setelah adiknya menyelesaikan ceritanya.

"Agar kalian tahu saja, aku datang ke sini cuma singgah sebentar. Lagipula, ketika aku datang, mereka kan sudah ada di sini," kata Rangga membela diri.

"Aku tahu itu," sahut Suryadenta tak menyalahkan.

"Tidak ada asap, kalau tidak ada obor. Dan sumber api itu ada di desa ini. Untuk itu, mungkin kami tidak akan meninggalkan desa ini sebelum mengetahui, siapa yang ada di belakang layar ini," tegas suara Pandan Wangi.

Empat bersaudara itu bisa mengerti kata-kata yang terucap melalui kiasan itu. Memang mereka tidak dapat menyalahkan Rangga dan Pandan Wangi, dan mereka juga tidak bisa mencegah, kalau kedua pendekar itu ingin mencari dalang dari semua kejadian ini. Bahkan katanya, orang itu ada di Desa Kali Anget. Tapi siapa?

"Percayalah, aku akan menghadapi mereka di luar desa ini. Tunggu saja, akan kupancing mereka semua keluar dari desa," janji Rangga.

"Oh, kalau begitu terima kasih," ucap Suryadenta lega.

"Untuk itu, aku juga mohon bantuan kalian," kata Rangga lagi.

"Dengan senang hati, kami selalu siap membantu bila diperlukan," sahut Suryadenta berseri-seri.

"Tolong sebarkan berita, kalau aku ada di batas Utara Desa Kali Anget," kata Rangga tegas.

"Batas Utara...!?" Suryadenta terkejut.

"Bukankah itu merupakan daerah yang berjurang?" Bayudenta tidak mengerti, kenapa Rangga memilih tempat yang berbahaya sekali.

"Lagipula, di sana juga tempat berkumpulnya ular-ular berbisa, dan tak seorang pun yang pernah bisa ke luar dengan selamat kalau sudah memasuki daerah itu," sambung Suryadenta bergidik ngeri.

"Aku tahu, justru itulah aku memilih tempat itu," kata Rangga tersenyum penuh arti.

"Sebaiknya jangan!" cegah Mayadenta tegas.

"Maaf, keputusanku tidak akan dirubah. Kalau kalian ingin membantu katakan pada mereka, kalau aku ada disana!" tegas Rangga cepat-cepat.

"Ayo Pandan!"

"Hey...!"

Seruan Suryadenta terlambat, karena Rangga dan Pandan Wangi sudah lebih dulu melompat Dan dalam sekejap mata, kedua pendekar itu sudah lenyap dari pandangan. Empat bersaudara itu hanya saling pandang, kemudian mengangkat bahu hampir bersamaan.

"Sebaiknya kita berpisah jadi dua bagian. Untuk sementara, kita turuti saja kemauan pendekar itu," kata Suryadenta membuka suara lebih dulu.

"Caranya?" tanya Tirtadenta.

"Tiupkan kabar burung, tapi jangan sampai ada yang tahu kalau sumbernya dari kita," celetuk Mayadenta. Gadis itu memang lebih cerdas daripada ketiga kakaknya.

"Jelaskan rencanamu, Adik Maya," pinta Bayudenta.

Mayadenta tersenyum manis. Lalu dia segera membeberkan semua rencananya yang sudah terkumpul dikepala. Sementara ketiga kakaknya hanya mengangguk- anggukkan kepala. Karena apa yang menjadi rencana Mayadenta begitu mudah untuk dilaksanakan. Lagi pula tidak mengandung resiko tinggi, tapi hasilnya dapat diandalkan. Suryadenta tersenyum bangga pada adik bungsunya itu.

"Bagaimana?" tanya Mayadenta setelah mengemukakan semua rencananya.

"Setujuuu...!" serempak ketiga kakaknya menyahut.

"Kalau begitu, mari segera kita laksanakan!"

"Mudah-mudahan berhasil," gumam Suryadenta.

"Harus!" sergah Mayadenta begitu optimis.

********************

Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Desa Kali Anget sebelah Timur, tampak sebuah pondok kecil yang letaknya sangat terpencil. Pondok itu terlindung oleh pepohonan maupun semak belukar dan dijaga ketat oleh dua orang bersenjata golok di pinggang.

Sejenak dua orang penjaga itu langsung berdiri, ketika dua orang laki-laki tua ke luar dari dalam pondok. Ternyata mereka adalah Ki Karangseda dan Ki Pungkur.

"Kita harus mengetahui, siapa yang menyebarkan berita itu," dengus Ki Karangseda setengah emosi.

"Padahal kabar itu sudah menyebar, Kakang," sahut Ki Pungkur.

"Brengsek! Bisa gagal semua rencanaku!" umpat Ki Karangseda.

"Bagaimana dengan Ki Jatirekso dan anaknya?" tanya Ki Pungkur.

"Biarkan saja! Itu bukan urusan kita lagi," dengus Ki Karangseda menggeram.

"Tapi, Kakang. Perempuan lblis Pulau Karang...."

"Itu urusan pribadi mereka sendiri! yang penting jabatan Kepala Desa Kali Anget sekarang sudah kosong"

"Tapi kau belum bisa mengangkat dirimu jadi kepala desa, Kakang," kata Ki Pungkur.

"Apa maksudmu?"

"Masih terlalu menyolok, dan malah bisa membuat kecurigaan semua orang. Sementara, kabar bahwa Pendekar Rajawali Sakti menunggu di batas Utara desa, tidak bisa dibendung lagi. Sedang korban makin banyak yang jatuh, karena mereka makin bernafsu dengan hadiah seribu keping uang emas. Coba bayangkan, bagaimana kalau mereka sampai tahu bahwa...."

"Adi Pungkur...!" sentak Ki Karangseda memotong cepat.

Ki Pungkur terdiam seketika.

"Ingat! Tugasmu adalah hanya meyakinkan penduduk, agar mereka mengangkatku jadi kepala desa. D an hanya itu, titik!" tegas suara Ki Karangseda dengan emosi.

Ki Pungkur hanya diam, dan terus saja mengikuti langkah kakaknya. Mereka tidak menyadari, kalau dari tadi langkahnya diawasi sepasang mata bulat yang bening dan indah dari dalam pondok. Sepasang mata itu milik seorang wanita cantik, namun garis-garis ketuaan sudah membayang di wajahnya. Wanita itu mengenakan baju yang ketat, hingga membentuk tubuhnya yang ramping dan masih bisa membuat mata kaum lelaki tak berkedip memandangnya.

"Sanggabawung...," panggil wanita itu lembut.

"Ada apa, Nini?" sahut Sanggabawung yang sejak tadi berdiri di dekat pintu pondok, sambil melangkah menghampiri.

Sejenak Sanggabawung melirik adiknya yang masih tetap berdiri pada tempatnya. Dia bisa paham kalau Sangga Kelana juga melirik padanya. Panggilan lembut dari Perempuan Iblis Pulau Karang sudah dapat diterka maksudnya oleh Sanggabawung maupun Sangga Kelana.

"Selidiki ke Utara, apakah benar Pendekar Rajawali Sakti ada di sana?" perintah perempuan itu.

Sanggabawung menelan ludahnya, membasahi tenggorokan yang mendadak kering. Lalu dia melirik pada Sangga Kelana yang pura-pura tidak mendengar suara itu. Siapa orangnya yang tidak bergidik ngeri, mendengar daerah perbatasan Desa Kali Anget sebelah Utara? Daerah yang dinamakan Kawah Neraka itu sungguh membuat orang pingsan, hanya mendengar namanya.

"A.., apakah tidak ada tugas Iain, Nini?" Sangga bawung mencoba menawar.

"Ada!" sahut perempuan itu ketus. "Tapi syaratnya, penggal dulu sebelah tanganmu!"

Lagi-Iagi Sanggabawung cuma bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Kata-kata lembut yang diucapkan perempuan itu ternyata membuat jantungnya mau copot. Sekali lagi diliriknya Sangga Kelana. Kesal juga dia, karena Sangga Kelana seperti mengejek. Sungguh mati, tadinya dia mengira, bahwa perempuan cantik yang sudah berumur itu mau mengajaknya bermain-main di ranjang.

Padahal, kalau saja Sanggabawung boleh memilih, lebih baik dia dihadapkan pada singa yang lapar, daripada harus ke Kawah Neraka seorang diri.

"Pergilah, aku menunggu kabarmu, besok!" kata perempuan itu lagi.

Kali ini Sanggabawung benar-benar tidak bisa membantah lagi. Semua orang tahu, walaupun kata-kata perempuan itu lembut tapi tidak main-main, Kalau dia sudah bilang penggal kepala, maka harus segera dilaksanakan tanpa ada istilah kompromi lagi. Kini, Sanggabawung merasakan seolah-olah nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sejenak dia masih ragu dan berdiri saja di muka pintu pondok.

"Sangga Kelana...!" terdengar suara lembut memanggil dari dalam.

Tanpa menunggu panggilan dua kali, Sangga Kelana langsung melompat. Sejenak dia menatap kakaknya sebelum membuka pintu pondok. Terbersit rasa kasihan melihat mata yang redup dan tak bergairah itu.

"Aku akan menyusulmu nanti, Kakang. Pergilah sampai ke batas desa Utara saja. Dan tunggu aku di sana," kata Sangga Kelana setengah berbisik.

"Terima kasih," hanya itu yang bisa diucapkan Sanggabawung.

"Sangga Kelana...!" terdengar lagi panggilan dari dalam.

Sangga Kelana buru-buru menepuk.pundak kakaknya dan melangkah ke dalam pondok. Sementara Sanggabawung masih berdiri saja di depan pintu yang terbuka sedikit.

"Tutup pintunya, anak bagus," terdengar lagi suara lembut dari dalam pondok.

Setelah pintu pondok tertutup rapat, terdengar suara kunci dari dalam. Sanggabawung menarik nafas dalam-dalam, kemudian kakinya terayun rneninggalkan pondok itu dengan lesu.

Sementara dari dalam pondok terdengar suara mengikik di sela-sela nafas memburu.

********************

Sudah cukup lama Sanggabawung menunggu diperbatasan Utara Desa Kali Anget. Tapi adiknya, Sangga Kelana, belum juga menampakkan diri. Kegelisahan mulai merambat di dadanya. Dia berjalan mondar-mandir seperti anak kecil kehilangan mainannya. Beberapa kali dia menatap kearah Timur, di mana Perempuan Iblis Pulau Karang tinggal.

Kegelisahan segera sirna begitu matanya melihat Sangga Kelana berjalan gontai menghampirinya. Wajah pemuda itu kelihatan cerah, bibirnya sedikit monyong menyiulkan irama Iagu yang tidak jelas.

"Lama sekali, kau!" sergah Sanggabawung dengan kesal begitu adiknya sudah dekat.

"Aku harus menunggu perempuan itu tidur dulu," sahut Sangga Kelana kalem.

"Huh! Hampir saja aku mati karena gelisah menunggumu di sini," rungut Sanggabawung.

"Seharusnya kau sabar sedikit, masa aku tidak boleh mencicipi juga," masih kalem dan sedikit bercanda suara Sangga Kelana.

"Dia sudah tua, Sangga Kelana!" sergah Sangga bawung sok menyadarkan.

"Tapi kan tidak kalah sama yang muda," tangkis Sangga Kelana.

Sanggabawung hanya menggerutu. Dia sendiri mengakui, bahwa yang dikatakan adiknya benar. Bahkan dia sendiri juga pernah bermain dengan perempuan itu di atas ranjang.

"Bagaimana, berangkat sekarang?" tanya Sangga Kelana.

"Tunggu!" sergah Sanggabawung. Telinganya yang tajam mendengar langkah-langkah kaki ringan.

Sangga Kelana juga mendengarnya, maka tanpa dikomando lagi, kakak beradik itu langsung melompat kepohon yang tinggi. Sementara mata mereka menatap kesemak-semak yang bergoyang tak beraturan. Tiba-tiba dari dalam semak itu muncul dua orang, laki-laki bertubuh tegap dan bersenjata rantai baja yang terbelit di pinggang.

Sanggabawung dan Sangga Kelana tahu siapa mereka. Mereka adalah Jaladara dan Jalapati, dan dikenal dengan julukan Dua Rantai Pencabut Nyawa. Mereka termasuk tokoh hitam yang datang ke Desa Kali Anget karena tergiur oleh hadiah itu.

"Kita harus sampai lebih dulu sebelum yang lain, Kakang," kata Jaladara. Suaranya besar dan berat sekali terdengar.

"Tenang saja, Adik Jaladara. Seribu keping uang emas pasti jatuh ke tangan kita," sahut Jalapati terkekeh.

"Terus terang, aku sudah bosan menunggu," rungut Jaladara.

"Hari ini Pendekar Rajawali Sakti harus cuma tinggal nama saja. Dan seribu keping uang emas akan kita peroleh, he he he...!" Lagi-lagi Jalapati terkekeh.

"Aku dengar dia tidak sendirian di sana, Kakang," kata Jaladara.

"Ah, cuma seorang perempuan, Kalau dia cantik, malah bisa untuk selingan, kan?"

"Kau pernah dengar nama si Kipas Maut, Kakang?"

"Pernah, tapi sudah lama dia menghilang, setelah mendapatkan Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni," sahut Jalapati.

"Sekarang dia bersama Pendekar Rajawali Sakti."

Jalapati tersentak kaget. Dia langsung berhenti melangkah, sementara matanya tajam menatap adiknya. Sepengetahuannya, sebelum Kipas Maut menguasai Kilab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni, dia sudah bisa membuat nyali lawan jatuh. Apalagi setelah dia menguasai kedua benda tersebut! Sungguh tidak diduga sama sekali kalau si Kipas Maut kini bersama Pendekar Rajawali Sakti.

Kalau berita itu memang benar, sungguh berat yang akan mereka hadapi nanti. Untuk menghadapi Pendekar Rajawali Sakti saja, belum tentu mereka bisa menang. Apalagi harus ditambah si Kipas Maut?

"Aku tak peduli siapa pun yang membantu dia, yang jelas, kita harus bisa memenggal kepala pendekar itu!" dengus Jalapati menggeram.

"Aku malah sangsi, Kakang," ada nada pesimis pada suara Jaladara.

"He! Sejak kapan kau jadi penakut?"

"Sebaiknya kita urungkan saja niat kita, toh kita bisa memperoleh lebih banyak dari hadiah itu. Kita bisa menguras orang-orang kaya di desa ini, lalu kabur!" usul Jaladara.

"Tidak!" sentak Jalapati.

"Terserah Kakang lah," Jaladara mengangkat bahunya, mengalah.

Kemudian dua Rantai Pencabut Nyawa itu melanjutkan langkahnya. Mereka sama sekali tidak menyadari, kalau semua pembicaraannya ada yang mendengarkan dari atas pohon. Tak lama setelah Dua Rantai Pencabut Nyawa itu pergi, Sanggabawung dan Sangga Kelana kernbali turun.

"Mereka menuju ke Kawah Neraka," gumam Sanggabawung.

"Itu berarti Pendekar Rajawali Sakti memang ada di sana, Kakang," kata Sangga Kelana menyahuti.

"Aku tidak percaya sebelum melihat sendiri," sergah Sanggabawung.

"Kau berani ke sana?"

Sanggabawung menatap adiknya tajam. Pertanyaan itu benar-benar merupakan tantangan yang menimbulkan api semangat. Dan rasa penasaran setelah mendengar pembicaraan dua orang tadi, membuat rasa gentarnya hilang. Maka tanpa banyak bicara lagi, mereka segera mengayunkan langkahnya menuju ke Kawah Neraka.

********************

LIMA

Di Desa Kali Anget, Suryadenta dan saudara-saudaranya sedang bergembira, karena rencana mereka untuk menyebarkan berita tentang keberadaan Pendekar Rajawali Sakti, tanpa diketahui sumbernya, berjalan mulus tanpa hambatan. Bahkan orang-orang rimba persilatan mulai meninggalkan desa, menuju Kawah Neraka yang berada diluar batas Desa Kali Anget sebelah Utara.

Namun, kegembiraan empat bersaudara itu tidak berlangsung lama, karena Ki Pungkur mulai menyebarkan hasutan untuk memilih kepala desa yang baru. Sedang Ki Pungkur dengan terang-terangan menyodorkan Ki Karangseda sebagai calon tunggalnya.

"Aku jadi curiga, jangan-jangan semua ini sudah di atur oleh Ki Karangseda," kata Mayadenta setengah bergumam.

Saat itu mereka tengah berada di kedai Pak Rahim. Kedai yang menjadi langganan mereka untuk mengisi perut dan memecahkan segala permasalahan.

"Benar," sambung Tirtadenta. Tidak mungkin orang-orang rimba persilatan datang ke sini kalau tidak ada yang mengundang. Dan kita sudah tahu, mereka ke sini untuk menunggu Pendekar Rajawali Sakti."

"Aku sendiri jadi bingung, bagaimana mereka bisa tahu kalau pendekar itu akan lewat sini?" sambung Bayudenta setengah bergumam.

"Seribu keping uang emas..., benar-benar hadiah yang menggiurkan untuk satu kepala manusia. Tapi tak masalah bagi Ki Karangseda. Bahkan sepuluh kali lipat pun, dia sanggup menyediakan," kata Mayadenta menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sementara Suryadenta hanya mendengarkan. Apa yang dikatakan adik-adiknya memang benar. Ki Karangseda adalah seorang yang paling kaya di desa ini. Dan semua juga tahu, Ki Karangseda sangat berambisi jadi kepala desa. Dia tidak puas hanya sebagai wakilnya saja. Menurutnya, dialah yang lebih pantas jadi kepala desa. Dia tidak pernah rneninggalkan desa. Sedangkan Ki Jatirekso belum lama kembali ke desa, lantaran mengembara.

Suryadenta menengadahkan kepalanya. Dia ingat sekarang, kalau antara Ki Karangseda dan Ki Jatirekso dari dulu tidak pernah sepaham. Ada saja yang menjadi perselisihan di antara mereka.

"Sejak tadi kau diam saja, Kakang. Apa yang kau pikirkan?" tegur Tirtadenta.

"Yaaah...," desah Suryadenta agak kaget.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Mayadenta mengulangi pertanyaan tadi.

Belum sempat Suryadenta meniawab, tiba-tiba perhatian mereka beralih pada Ki Pungkur, yang tahu-tahu sudah ada di dalam kedai. Dia melangkah ringan menghampiri empat bersaudara yang duduk menghadapi satu meja. Tanpa dipersilakan lagi, Ki Pungkur menuang arak yang ada di atas meja ke dalam mulutnya.

"Lezat sekali arak ini," kata Ki Pungkur seraya meletakkan guci arak yang sudah kosong.

Tidak ada yang menanggapi kata-kata Ki Pungkur. Semua hanya memandang dengan tatapan kurang senang. Lebih-lebih Mayadenta, dari dulu dia memang tidak pernah menyukai laki-laki itu. Semua orang tahu, Ki Pungkur selalu menggunakan harta kekayaannya untuk kepentingan pribadi. Dan tidak ada gadis-gadis di desa ini yang lolos dari perhatiannya.

Sedang Mayadenta pun tahu, kalau mata laki-laki itu selalu memandangnya dengan liar dan binal. Bahkan saat ini pun mata Ki Pungkur juga terus merayapi wajah cantik di depannya, yang juga tengah memandangnya dengan penuh kebencian.

"Apakah kalian sudah mendengar pengumuman?" kata Ki Pungkur tidak mempedulikan empat pasang mata yang menatapnya tanpa ada persahabatan.

"Sudah," sahut Suryadenta datar dan dingin suaranya.

"Bagus! Kalian pasti setuju untuk mengganti kepala desa, bukan?" Ki Pungkur tersenyum lebar. Tidak ada satu pun yang menjawab.

"Seluruh penduduk tampaknya sudah tidak sabar lagi untuk mengangkat Ki Karangseda menjadi kepala desa. Dan aku pun sudah menetapkan harinya," kata Ki Pungkur lagi.

"Tidak semudah itu, Ki Pungkur!" dingin suara Mayadenta.

"He he he..., semuanya mudah diatur," Ki Pungkur terkekeh seraya mengedipkan matanya ke arah gadis itu.

"Penduduk tidak akan pernah memilih kakakmu! Mereka masih setia pada Ki Jatirekso yang pasti akan kembali lagi," kata Tirtadenta agak muak melihat tingkahnya.

"Apa yang kalian harapkan dari seorang pengecut seperti itu, heh?!" seketika itu juga wajah Ki Pungkur berubah.

"Ki Jatirekso lebih baik daripada Ki Karangseda!" dengus Tirtadenta.

"Phuih! Orang pengecut begitu kalian anggap baik? Melarikan diri pada saat seluruh penduduk membutuhkannya. Kalau dia memang seorang kepala desa yang baik, kenapa tidak bertindak? Dia kan punya hak untuk mengusir mereka semua?!" suara Ki Pungkur terdengar meledak-ledak dan berapi-api. Wajahnya merah padam.

"Asal kau tahu saja, Ki Jatirekso tidak melarikan diri, dia sedang menyelidiki, siapa pembuat onar di sini?" sahut Suryadenta dingin.

"Kalian pasti tahu, bahwa orang-orang itu datang atas undangan Ki Jatirekso. Dia memang punya dendam pribadi dengan Pendekar Rajawali Sakti, karena anak yang dititipkan Perempuan Iblis Pulau Karang padanya, tewas! Dan perempuan itu minta ganti rugi dengan kepala Pendekar Rajawali Sakti!"

Tanpa menunggu tanggapan dari empat bersaudara itu, Ki Pungkur langsung berbalik meninggalkan kedai. Sedang empat bersaudara itu masih tetap duduk di tempatnya. Kata-kata Ki Pungkur begitu jelas dan gamblang. Bahkan Pak Rahim yang duduk di sudut, langsung terbangun.

"Kalian percaya pada kata-katanya?" Mayadenta memecah kebisuan.

"Entahlah," desah Suryadenta seraya bangkit.

********************

Kawah Neraka bukanlah tempat yang ramah dan gampang dicapai. Bagi yang nyalinya kecil, langsung mengundurkan diri dari percaturan memperebutkan kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tidak sedikit juga yang nekad, meskipun nyawa sebagai taruhannya. Kini, sudah tak terhitung lagi, berapa jumlah yang tewas di tempat itu, sebelum bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara itu, Sanggabawung terus melangkah memasuki daerah Kawah Neraka. Di belakangnya, tampak Sangga Kelana. Tidak kurang dari sepuluh mayat yang mereka jumpai, begitu menginjakkan kaki di daerah ganas itu. Semua mayat-mayat itu dalam keadaan rusak mengenaskan.

"Hsss...!" tiba-tiba terdengar suara mendesis.

Sanggabawung langsung menghentikan langkahnya. Sedang matanya liar mengawasi sekitarnya. Tiba-tiba Sangga Kelana mencolek pundak kakaknya. Kedua matanya mendelik lebar melihat beberapa ekor ular dari berbagai macam jenis, sedang merayap menghampiri. suara mendesis yang disertai bau amis, semakin tajam menusuk hidung. Buru-buru Sanggabawung mengeluarkan pedangnya.

"Kita telah terkepung, Kakang," desah Sangga Kelana bergetar.

"Nampaknya ular-ular itu ada yang mengendalikan," bisik Sanggabawung.

Kini mereka benar-benar sudah terkepung oleh ratusan ular berbisa dari bebagai macam jenis. Sementara suara mendesis makin keras terdengar. Melihat keadaan yang demikian, Sangga Kelana segera merapatkan punggungnya ke punggung Sanggabawung. Sementara ular-ular itu semakin mendekat ke arah mereka.

"Awas...!" seru Sanggabawung tiba-tiba.

Bersamaan dengan itu, seekor ular belang mencelat kearah Sangga Kelana. Secepat kilat anak muda itu mengibaskan goloknya. Tak ampun lagi, ular itu langsung menggelepar dengan tubuh terpotong jadi dua. Bau amis darah yang ke luar dari tubuh ular tadi, membuat ular ular lainnya makin beringas. Kini mereka sibuk mengibaskan goloknya dan membabat ular-ular yang mencoba mendekat.

Dalam waktu yang singkat saja, tidak terhitung lagi ular yang terbabat dan putus jadi dua bagian. Namun herannya, ular-ular lainnya bukannya surut melihat temannya mati, tapi malah tambah semakin banyak.

"Celaka! Bisa kehabisan nafas kalau begini!" rungut Sanggabawung tersengal.

"Binatang celaka ini semakin banyak!" dengus Sangga Kelana. Sementara keringatnya sudah bercucuran membasahi wajah dan lehernya.

"Cepat pergi dari sini!" seru Sanggabawung.

"Kau...?!"

"Jangan hiraukan aku.... Akh!"

"Kakang...!"

Sanggawabung meringis. Salah seekor ular berhasil menyambar kaki kanannya. Kontan saja dia membabatkan goloknya ke arah ular itu. Dan darah pun langsung muncrat dari tubuh ular yang telah buntung. Tapi tiba-tiba satu ekor lagi berhasil menerkam kaki kiri Sanggabawung.

"Hiya...!" Sangga Kelana melompat tinggi ke udara.

Goloknya berkibas cepat sekali. Tampak lima ekor ular langsung terbabat buntung.

"Cepat pergi..., aaakh...!" Sanggabawung tidak mampu lagi bertahan.

Hampir seluruh tubuhnya sudah dibelit ular-ular yang langsung mematukinya. Sangga Kelana menggeram menyaksikan kakaknya mati dengan begitu tragis. Sementara tubuh Sanggabawung menggelepar tak karuan dilibat puluhan ekor ular.

Sangga Kelana kembali melompat lebih tinggi, dan kabur dari tempat itu. Dia baru berhenti berlompatan setelah jaraknya agak jauh dari tempat itu.

"Uh..., uh...!" Sangga Kelana membungkuk menahan nafasnya.

Belum sempat dia bernafas lega, tiba-tiba seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ada suara auman harimau yang begitu dekat. Dia terkejut sekali dan matanya mendelik melihat seekor harimau besar mengendap-endap menghampiri.

"Mati aku...!" keluh Sangga Kelana putus asa.

Sementara harimau itu makin mendekat ke arah Sangga Kelana. Suaranya yang besar bagai guntur, telah membuat pemuda itu menciut nyalinya. Seluruh persendiannya terasa lemas tak bertenaga. Baru saja terlepas dari satu bahaya, kini sudah menghadang bahaya lain yang tidak kalah ngerinya. Tubuh harimau itu besar sekali, lebih besar dari anak kerbau. Tiba-tiba harimau itu melompat bagai kilat kearah Sangga Kelana. Sejenak anak muda itu terkesiap, lalu Harimau itu melompat bagai kilat ke arah Sangga Kelana. Sejenak anak muda itu terkesiap, lalu dengan cepat sekali dia melenting ke atas menghindari sergapan harimau itu!

"Hih!" Sangga Kelana bergidik juga merasakan terjangan harimau itu lewat di bawahnya dengan cepat sekali dia melenting ke atas menghindari sergapan harimau itu.

"Hih!" Sangga Kelana mengibaskan goloknya begitu dia berada di atas.

Namun tanpa diduga sama sekali, harimau itu meIentingkan tubuhnya dengan manis dan lentur sekali, sehingga tebasan golok Sangga Kelana menyambar angin. Kemudian setelah kakinya menginjak tanah kembali, dia bersiap-siap lagi untuk menerima serangan berikutnya dari si raja hutan itu.

"Ayo maju! Serang aku!" seru Sangga Kelana nekad.

"Auuummm...!" harimau itu mengaum keras menggetarkan bumi.

"Phuih! Kau pikir aku takut, heh?!" Sangga Kelana menyemburkan ludahnya.

Sangga Kelana menggerakkan kakinya menyusur tanah. Goloknya dia kibas-kibaskan di depan dada. Sementara kedua matanya terpicing lebar menatap harimau yang hanya diam mendekam di rumput tebal.

********************

"Auuummm...!" Harimau itu kembali mengaum keras.

Sementara Sangga Kelana yang sudah siap sejak tadi, langsung menghindar, begitu harimau itu melompat dan menerjangnya. Sangga Kelana menjatuhkan tubuhnya seraya mengayunkan goloknya ke arah perut hewan itu. Dia berguling ke samping dan langsung melompat bangun. Sementara kibasan goloknya hanya mengenai angin, karena harimau itu bisa mengelak dengan melenturkan tubuhnya.

Belum juga Sangga Kelana berdiri, harimau itu sudah kembali menerjang sambil mengaum. Buru-buru dia mengelebatkan goloknya dan memapak terjangan harimau itu. Sungguh di luar dugaan, meskipun berada di udara, harimau itu bisa berkelit menghindari kibasan goloknya. Bahkan tanpa disangka-sangka, harimau itu melentingkan tubuhnya lebih tinggi lagi.

Harimau itu seperri sudah terlatih menghadapi lawan manusia bersenjata. Belum lagi hilang rasa herannya, mendadak sebelah kaki depan binatang itu menyambar dari atas.

"Akh!" Sangga Kelana memekik tertahan.

Darah mengucur dari bahu yang koyak tersambar kuku-kuku tajam kaki harimau itu. Dia langsung melompat mundur. Luka di bahunya begitu besar, hingga darah mengucur deras membasahi bajunya.

"Grrr...!" harimau itu menggeram begitu mencium darah segar.

"Ukh! Matilah aku," lenguh Sangga Kelana putus asa.

Kembali harimau itu menerjang dengan kecepatan tinggi. Sementara Sangga Kelana yang sudah kehilangan semangat, dengan sebisanya menghindari serangan itu dengan berkelit sambil mengibaskan goloknya.

Darah pun mengucur semakin banyak dari luka Sangga Kelana. Gerakan-gerakannya pun semakin lemah. Sedang matanya berkunang-kunang lantaran terlalu banyak darah yang ke luar. Dari tadi tebasan goloknya tidak ada yang mengenai sasaran.

Sangga Kelana kini benar-benar sudah tidak berdaya. Untuk berdiri saja rasanya tidak mampu lagi. Sementara keringat dan darahnya bercampur jadi satu. Nafasnya tersengal-sengal dan memburu cepat. Kini dia hanya berlutut, bertopang pada goloknya. Sedangkan harimau itu tampak mendekam sekitar tiga batang tombak dari Sangga Kelana. Sementara kedua matanya menatap liar menggetarkan jantung.

"Ayo, bunuh aku! Terkam aku, binatang!" rungut Sangga Kelana putus asa.

"Grrr...," harimau itu hanya menggeram lirih. Seperti mengolok-olok keputus asaan Sangga Kelana.

Melihat harimau itu diam saja, Sangga Kelana mencoba bangkit. Namun baru saja bergerak, tiba-tiba harimau itu menggeram hebat. Membuat Sangga Kelana mengurungkan niatnya. Kini hanya matanya yang berani menatap harimau yang tetap mendekam bermalas-malasan. Dia heran, kenapa harimau itu menjadi seperti jinak. Hanya saja, setiap dia bergerak harimau itu menggeram hebat. Seperti hendak mengatakan, dirinya harus diam.

"Heran, apa sebenarnya yang dia inginkan?" gumam Sangga Kelana dalam hati

Belum lagi pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba terdengar siulan nyaring yang melengking panjang. Siulan itu menggema, seakan-akan datang dari segala arah. Setelah dua kali siulan panjang itu terdengar, maka pada siulan ketiga, harimau itu bangkit berdiri. Gerakannya lamban seperti malas untuk bangun.

"Oh!" Sangga Kelana semakin kaget ketika matanya menangkap sesosok tubuh berjubah merah sudah berdiri didepannya.

Dia seorang perempuan tua yang rambutnya sudah memutih dan tergulung ke atas. Wajahnya penuh keriput, namun sinar matanya tajam menatap Sangga Kelana. Seluruh tubuhnya terbungkus jubah merah yang longgar. Sementara tangan kanannya menggenggam tongkat dengan beberapa kelukan berkepala bulat yang tak beraturan bentuknya.

"Belang...!" suara perempuan aneh itu terdengar serak dan kering. "Habisi dia!"

Harimau besar itu menggeram lirih, lalu segera.menerkam tubuh Sangga Kelana yang sudah tak berdaya lagi. Dia mengoyak-ngoyak tubuh itu dan menyantapnya dengan bernafsu.

Setelah merasa kenyang, dia segera merebahkan tubuhnya di samping tuannya. Sementara lidahnya menjulur-julur ke luar menjilati sisa-sisa darah yang melekat di mulutnya. Lalu nenek penguasa Kawah Neraka yang berjuluk Ratu Macan Kumbang itu mengajak binatang piaraannya pergi meninggalkan bangkai Sangga Kelana yang tinggal tulang-tulang saja.

ENAM

Selain daerahnya sangat berbahaya, Kawah Neraka juga menyimpan banyak misteri. Sampai kini, berarti sudah tiga hari, Sangga Kelana tidak ketahuan kabar beritanya. Sedang Sanggabawung sudah menggeletak jadi mayat busuk, dengan tubuh hancur digerogoti ratusan ular berbisa.

Begitu ganasnya daerah itu, apa mungkin Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut ada di sana? Rasanya sulit, sekalipun dia seorang tokoh sakti. Hal itu dapat dilihat dari beberapa tokoh rimba persilatan golongan hitam yang hanya menunggu di batas Kawah Neraka. Itu pun mereka sudah seribu kali berpikir untuk melakukannya.

Dan hal tersebut juga disadari betul oleh Rangga dan Pandan Wangi. Mereka tahu, betapa bahayanya berada didaerah itu. Sementara bagi Rangga, dia juga tidak mau mengambil resiko terlalu berat, karena orang-orang rimba persilatan yang menginginkan kepalanya demi seribu keping uang emas, menunggu di sana. Sebab itulah, sebenarnya mereka tidak berada di sana.

"Bagaimana perkembangan Desa Kali Anget?" tanya Rangga pada Pandan Wangi yang selalu mengamati keadaan desa dan orang-orang rimba persilatan.

"Ada perkembangan baru," sahut Pandan Wangi.

"Maksudmu?" Rangga tertarik.

"Sebentar lagi akan ada pengangkatan kepala desa baru, dan calonnya hanya satu, Ki Karangseda," Pandan Wangi menjelaskan.

"Lantas, bagaimana tindakan Suryadenta dan adik-adiknya?"

"Mereka terus berusaha mencari Ki Jatirekso dan Jaka Wulung. Menurut berita yang tersiar, Ki Jatirekso lah yang mengundang tokoh-tokoh rimba persilatan. Tapi Suryadenta dan adik-adiknya tidak percaya. mereka justru menduga, Ki Karangseda dan Ki Pungkur lah yang mendalangi semua ini," jelas Pandan Wangi lagi.

"Sudah kuduga...," gumam Rangga pelan, seakan yakin bahwa kejahatan akhirnya akan terbongkar.

"Aku juga mendapat keterangan, kalau Ki Karangseda diam-diam selalu berhubungan dengan Perempuan Iblis Pulau Karang," lanjut Pandan Wangi.

"Siapa dia?" tanya Rangga sedikit terkejut.

"Perempuan tua, tapi masih kelihatan muda dan cantik. Dia adalah seorang tokoh sakti yang datang dari Pulau Karang. Dulu, Ki Jatirekso juga pernah berhubungan dengan perempuan itu, ketika masih sama-sama muda. Tapi, waktu itu ia masih terkenal dengan sebutan Pendekar Pukulan Besi."

"Teruskan," pinta Rangga ketika Pandan Wangi berhenti.

"Aku belum tahu pasti, ada hubungan apa di antara mereka. Tapi yang jelas, sebelum peristiwa itu terjadi, Ki Jatirekso memang sudah memerintahkan Jaka Wulung untuk mencarimu," lanjut Pandan Wangi.

"Mencariku? Untuk apa?" tanya Rangga terheran-heran.

"Entahlah, hanya itu yang bisa kuperoleh," sahut Pandan Wangi.

Sejenak Rangga merenung. Keningnya berkerut dalam, seakan dia tengah berpikir keras untuk mencerna semua keterangan itu, Memang belum seluruhnya jelas, tapi sedikit banyak sudah bisa dijadikan gambaran. Kemudian Rangga mendesah panjang, kepalanya menengadah memandang langit biru yang bersih dari awan. Tampak matahari mulai condong ke Barat, sedang sinarnya tak lagi menyengat.

Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit. Pandangan matanya lurus ke Kawah Neraka. Dari tempat yang cukup tinggi seperti itu, dia dapat melihat jelas bentuk dari daerah itu. Dalam sekelebatan mata, bentuknya memang mirip sebuah kawah, tapi ditumbuhi pepohonan yang sangat lebat, dan dikelilingi bukit-bukit kecil bagai sebuah benteng baru alam. Untuk menuju ke sana, hanya ada satu jalan, yakni melewati Desa Kali Anget.

"Jalan satu-satunya untuk membuka tabir ini, kita larus menemui Ki Jatirekso," gumam Rangga pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.

"Aku rasa tidak," bantah Pandan Wangi.

"Hm..., menurutmu?" Rangga menoleh.

"Perempuan Iblis Pulau Karang!" sahut Pandan Wangi mantap.

Rangga kembali mengernyitkan keningnya. Memang, perempuan itu pasti mengetahui semuanya. Hanya saja, rasanya tidak mungkin bisa memperoleh keterangan darinya. Bagaimana mungkin, sudah jelas dalam masalah ini dia selalu berhubungan dengan Ki Karangseda.

Di lain pihak, untuk menghubungi Ki Jatirekso atau Jaka Wulung, sepertinya kurang tepat. Bukan hanya memakan waktu saja, tapi mereka tidak tahu, ke mana harus mencari? Dan tak seorang pun tahu, di mana kini mereka berada. Kecuali.... Ya! Kecuali, hanya satu yang tahu. Dan itu juga baru suatu kemungkinan.

"Ayo ikut aku, Pandan!" seru Rangga dengan riba-tiba dan langsung melompat.

"Ke mana?" tanya Pandan Wangi segera ikut melompat.

"Ikut saja!"

Sementara itu, jauh di luar batas Desa Kali Anget sebelah Selatan, tampak berdiri rumah kecil berdinding papan dan beratap daun-daun rumbia. Rumah itu tampak jadi seperti tersembunyi, karena dikelilingi oleh pepohonan besar dan kecil. Keadaannya tampak sunyi bagai tak berpenghuni. Namun di dalam rumah itu ada Ki Jatirekso dan Jaka Wulung yang tengah duduk di dipan bambu. Sementara didepan mereka, duduk beralaskan tikar pandan, seorang perempuan tua yang sedang menganyam bambu yang dihaluskan tipis-tipis.

Perempuan itu adalah Nyi Nirah, ibu dari Ki Jarirekso yang juga berarti nenek Jaka Wulung. Tampak tubuhnya sangat kurus tertutup kemben kembang-kembang yang sudah lusuh. Sementara kerut-kerut kulitnya memenuhi seluruh tubuh. Sedang baris gigi yang hitam akan terlihat saat dia menguap lebar. Namun dengan keadaan yang demikian, dia masih punya sinar mata yang jernih, pertanda bahwa dia memiliki isi dalam tubuhnya. Dalam usianya yang sudah mencapai seratus tahun lebih, Nyi Nirah masih juga bisa menganyam bambu. Terlihat dari jari-jemari tangannya yang lincah menganyam.

"Kapan kau akan kembali ke Desa Kali Anget, Rekso?" tanya Nyi Nirah memecah kesunyian. Suaranya masih terdengar gagah meskipun bergetar.

"Mungkin tidak," sahut Ki Jarirekso pelan.

"Apa kau tidaK kasihan melihat rakyatmu sengsara? Aku tahu betul siapa Ki Karangseda itu, watak dan tingkah lakunya persis dengan mendiang ayahnya dulu. Aku tidak yakin, kejadian ini karena dia ingin membalas kematian ayahnya," kata Nyi Nirah kembali mengenang masa lalunya.

"Mungkin juga begitu, Bu," sahut Ki Jatirekso.

"Ayahmu dulu juga seorang pendekar. Dialah yang membunuh ayah Karangseda karena membela kehormatannya sebagai seorang laki-laki. Mana ada laki-laki di dunia ini yang bisa diam kalau melihat istrinya dirampas. Yaaah...., sebetulnya sih bukan dia yang membunuh, tapi aku! Akulah yang menusukkan keris pusaka Pancasona ke dadanya. Aku bangga dengan ayahmu, Rekso. Dia mau bertanggung jawab, meskipun harus mati di tiang gantungan. Sejak saat itu, aku tidak mau lagi menginjak Desa Kali Anget," ada kesenduan pada suara Nyi Nirah.

"Sudahlah, Bu. Tidak perlu lagi mengingat-ingat kejadian itu. Aku sudah melupakannya. Itulah sebabnya, kenapa aku bersedia dipilih jadi kepala desa, meskipun aku sadar, peristiwa seperti yang terjadi saat ini sebagai akibatnya," kata Ki Jarirekso mencoba menenangkan hati ibunya.

"Kabar sudah tersiar luas, bahwa kaulah yang mengundang orang-orang rimba persilatan untuk memenggal kepala Pendekar Rajawali Sakti," lirih suara Nyi Nirah.

"Biarkan mereka menduga begitu, Bu. Biarkan Karangseda tertawa dengan kemenangannya. Toh akhirnya, rakyat juga yang bisa menentukan. Rasanya aku tidak mungkin lagi berbuat apa-apa sekarang. Aku hanya bisa melihat dan melihat!" sedikit tertekan suara Ki Jatirekso.

"Bagaimana kalau mereka percaya, bahwa kau yang mengundang orang-orang itu? Aku juga dengar bahwa diantara mereka kini ada Perempuan Iblis Pulau Karang," Nyi Nirah memberi pilihan.

"Aku yang akan menghadapi perempuan itu. Dia tidak akan pernah berhenti mengusikku sebelum kupenggal lehernya!" geram juga Ki Jatirekso diingatkan begitu.

"Kau tidak akan mampu, Rekso. Dia bukan lawanmu.

"Lebih baik aku mati di tangannya, daripada jadi boneka permainan!"

"Tapi, bagaimanapun juga, dia masih istrimu. Aku, bisa merasakan perasaannya karena aku juga perempuan, Rekso. Sebuas-buasnya harimau betina, dia tidak akan mungkin memangsa keluarga dan keturunannya sendiri. Kemungkinan dia hanya ingin melampiaskan sakit hatinya padamu. Tapi dia tidak bermaksud mencelakakanmu, apalagi membunuhmu," lagi-lagi Nyi Nirah mengingatkan.

Ki Jatirekso hanya diam termangu. Secara jujur, dia masih mencintai perempuan itu. Tapi karena tingkahnya yang liar dan tidak pernah puas hanya dengan satu laki-laki, Ki Jatirekso terpaksa meninggalkannya dengan memberi cacat pada wajahnya. Tapi entah bagaimana caranya, perempuan itu kini kelihatan semakin muda dan tambah cantik saja.

Di dunia ini, memang begitu banyak hal-hal yang sulit dimengerti oleh akal dan pikiran yang sehat. Semua yang dirasa mustahil, kadang jadi kenyataan. Entah itu dengan cara lurus atau bersekutu dengan setan. Pokoknya semua cara ditempuh manusia untuk mencari kepuasan diri. Manusia memang makhluk paling egois di muka bumi ini!

Sejenak Ki Jatirekso melirik Jaka Wulung. Sejak tadi, mata anaknya tidak pernah lepas memandang ke luar. Jaka Wulung adalah anak satu-satunya dari perkawinannya dengan Telasih, si Perempuan Iblis Pulau Karang. Tapi, sejak berumur sepuluh hari, Jaka Wulung tidak pernah kenal siapa ibunya. Sedang Ki Jatirekso selalu mengatakan, bahwa ibunya sudah meninggal ketika melahirkan.

"Ayah...!" Panggil Jaka Wulung tiba-tiba.

Ki Jatirekso segera bangkit dan mendekati anak muda itu. Dia melongokkan kepalanya melalui jendela yang terbuka sedikit. Tampak agak jauh di depan, ada dua bayangan tubuh manusia yang berlari-Iari kecil menghampiri rumah ini. Dua bayangan putih dan biru itu berkelebatan dari balik pepohonan.

"Kau kenal dua orang itu, Rekso?" tanya Nyi Nirah yang tanpa ikut mengintai.

"Belum begitu jelas," sahut Ki Jatirekso yang tidak lagi heran mendengar pertanyaan ibunya. Di kenal betul siapa ibunya. Perempuan itu bisa mendengar dan membedakan gerak dari jarak yang cukup jauh. Karena dia memiliki ilmu pendengaran jarak jauh yang sudah sempurna.

"Dua orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, ayunan kakinya begitu ringan dan halus," gumam Nyi Nirah seraya berusaha bangkit.

Melihat itu, Jaka Wulung segera melompat dan membantu neneknya berdiri. Kemudian dituntunnya kedekat jendela. Meskipun perempuan itu tidak memerlukan bantuan untuk berjalan, tapi dia membiarkan cucu satu-satunya itu membantu. Bahkan dia tersenyum bangga pada Jaka Wulung. Sedangkan Ki Jatirekso memberi tempat agar ibunya bisa lebih jelas melihat ke luar.

"Satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka masih amat muda," kata Nyi Nirah setelah memandang ke luar sebentar. "Ah Ada pedang di punggung. Bentuknya begitu mirip dengan kepala burung. Benar-benar pasangan yang serasi. Ck ck ck...."

"Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Ki Jarirekso pelan.

"Siapa...?" tanya Nyi Nirah.

Tapi sebelum pertanyaan perempuan itu terjawab, Ki Jarirekso sudah mencelat ke luar. Begitu cepatnya, tahu-tahu dia sudah berdiri tegak di depan pondok. Ki Jatirekso tampak seperti menghadang dua orang yang semakin dekat ke arah pondok. Benarkah dugaan dan penglihatan Ki Jatirekso?

********************

Apa yang didengar dan dirasakan Nyi Nirah memang benar. Dua orang yang datang itu adalah Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka segera berhenti melangkah setelah jaraknya dekat dengan Ki Jatirekso. Sementara dari dalam pondok, Nyi Nirah ke luar didampingi Jaka Wulung.

Rangga segera merunduk, memberi hormat pada perempuan tua yang sudah berdiri di samping Ki Jatirekso. Nyi Nirah membalas dengan mengangguk pula sebagaimana seorang pendekar bertemu sesama pendekar.

"Kalau tidak salah penglihatanku, benarkah nenek yang bernama Nyi Nirah?" tanya Rangga ingin memastikan.

"Benar, anak muda. Dari mana kau bisa tahu namaku?" balas Nyi Nirah sopan, mengimbangi kesopanan Rangga.

"Bibi Pelangi banyak cerita tentang nenek."

"Ah, ya..., bagaimana keadaan dia sekarang? Apakah kedua keponakannya sehat dan betah tinggal di sana?"

"Semuanya baik-baik saja, Nyi."

Nyi Nirah melirik Jaka Wulung yang berdiri di samping ayahnya.

"Jaka! Kenapa kau diam saja seperti patung? Ayo, beri hormat pada pamanmu!" sentak Nyi Nirah.

Jaka Wulung jadi kebingungan, buru-buru dia membungkuk, memberi hormat. Rangga tersenyum dan membalas dengan membungkuk pula. Keadaan tersebut, bukan saja mengherankan Ki Jatirekso dan anaknya, Jaka Wulung. Pandan Wangi pun demikian. Mereka heran melihat Nyi Nirah dan Rangga seperti sudah saling kenal, hingga saling hormat begitu rupa.

"Aku sudah banyak tahu tentang dirimu, Rangga. Biarpun berpuluh tahun aku mengurung diri di sini, tapi setiap kejadian di luar, aku selalu bisa mengikutinya. Adik Pelangi mengatakan, bahwa dia telah mengangkatmu sebagai saudara, dan tentunya kau juga jadi saudaraku," kata Nyi Nirah tersenyum lebar.

"Terima kasih," ucap Rangga.

"Mari, sebaiknya kita ngobrol di dalam saja," ajak Nyi Nirah.

Rangga segera menggamit tangan Pandan Wangi dan mengikuti langkah Nyi Nirah yang di dampingi Ki Jatirekso dan Jaka Wulung. Tak lama kemudian, tampak mereka telah duduk di lantai pondok yang beralaskan papan dan dilapisi tikar pandan. Jaka Wulung segera menyediakan beberapa guci arak dan gelas dari bambu yang dihaluskan.

"Silakan," Nyi Nirah mempersilakan tamunya untuk minum.

Rangga segera mengangkat gelas yang sudah diisi arak manis oleh Jaka Wulung. Sementara Pandan Wangi juga minum setelah Nyi Nirah dan Ki Jatirekso menenggak minuman dari guci yang sama. Sedangkan Jaka Wulung hanya duduk di samping neneknya. Di benaknya masih diliputi berbagai macam pertanyaan mengenai Rangga dan neneknya yang begitu saling menghormati.

"Apakah ada sesuatu yang khusus hingga kau datang kemari? Atau hanya sekedar singgah?" tanya Nyi Nirah setelah beberapa saat terdiam.

"Sebenarnya aku sengaja datang ke sini, tapi tanpa diduga malah bertemu dengan Ki Jatirekso dan adik Jaka Wulung di sini," sahut Rangga sambil melirik dua laki-laki yang duduk mengapit Nyi Nirah.

"Hm..., ya, ya...! Aku tahu." Nyi Nirah terangguk-angguk.

"Terus terang, Nyi. Sejak semula aku tidak percaya, kalau Ki Jatirekso mengundang jago-jago itu untuk membunuhku," kata Rangga sejujurnya. "Dan kedatanganku ke sini, sebenarnya juga untuk meminta bantuan pada Nyi. Karena menurut Bibi Pelangi, Nyi memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain."

"Ki Jatirekso sudah menceritakan semuanya padaku. Semua ini hanya karena dendam lama seseorang pada Jatirekso. Aku sendiri tidak tahu, kenapa justru kau yang dijadikan kambing hitam."

Kemudian tanpa diminta, Jatirekso pun segera menceritakan semua yang terjadi beberapa tahun lalu, sampai berbuntut panjang hingga kini. Sementara Rangga sedikit kaget, setelah mengetahui ternyata Ki Jatirekso anak dari Nyi Nirah. Kini persoalannya sudah jelas! Jago-jago bayaran sengaja didatangkan untuk mengacaukan suasana, yang sebenarnya hanya untuk menutupi maksud buruk Ki Karangseda.

"Aku tahu di mana perempuan iblis itu tinggal," kata Jaka Wulung.

"Darimana kau tahu, Jaka?" tanya Ki Jatirekso.

"Selama ini aku menyelidiki, siapa yang menyediakan seribu keping uang emas. Maaf, Ayah. Semua ini kulakukan untuk membersihkan nama Ayah," Jaka Wulung menjelaskan.

Tanpa diminta, Jaka Wulung segera menceritakan pengalamannya menguntit Ki Karangseda dan Ki Pungkur yang pergi ke tempat tinggal sementara Perempuan Iblis Pulau Karang. Sementara secara bergantian, Rangga segera menceritakan, bahwa dia telah berhasil menggiring tokoh-tokoh rimba persilatan ke luar dari Desa Kali Anget dan menuju Kawah Neraka.

Kini dalam gubuk itu terdengar mereka bercerita saling sambung, apa yang mereka alami selama ini sambil mencari jalan keluarnya. Kini Rangga sudah tahu duduk persoalannya, siapa yang patut diberi dukungan dan siapa yang harus dilawan. Tiba-tiba hatinya panas, karena dijadikan kambing hitam oleh Ki Karangseda dan Perempuan Iblis Pulau Karang. Rupanya mereka memanfaatkan masa silam untuk menggulingkan Ki Jatirekso. Suatu rencana keji yang tersusun dengan rapi.

********************

TUJUH

Suasana di Desa Kali Anget benar-benar meriah sekali. Seluruh pelosok desa dihias, sedangkan pada tempat-tempat terbuka dan strategis didirikan panggung-panggung untuk hiburan. Walaupun masih dua hari lagi Ki Karangseda akan dinobatkan jadi kepala desa, tapi dia sudah menempati rumah besar yang memang disediakan untuk pejabat kepala desa.

Sementara di tengah-tengah halaman rumah yang luas itu, sudah berdiri panggung besar. Sedang beberapa kursi undangan tampak berjejer rapi mengelilingi panggung. Sayang sekali, kemeriahan itu tidak terpancar pada wajah penduduk yang justru kelihatan resah. Sejak dulu, mereka semua tahu siapa sebenarnya Ki Karangseda. Dan mereka masih mengharapkan Ki Jatirekso muncul kembali.

Tampak Ki Karangseda berjalan mengelilingi rumah besar yang akan menjadi miliknya dua hari lagi. Bibirnya terus menyunggingkan senyum kemenangan. Dia begitu puas, meskipun seluruh penduduk tidak menginginkan dirinya jadi kepala desa. Dan berkat cara kasar yang dilakukan Ki Pungkur, seluruh penduduk desa terpaksa menyetujui dan memilih Ki Karangseda menjadi kepala desa.

"Apa kau sudah dapat kabar tentang Sanggabawung dan Sangga Kelana, Adi Pungkur?" tanya Ki Karangseda pada Ki Pungkur yang tidak pernah jauh darinya.

"Belum," sahut Ki Pungkur.

"Aku menyesal, kenapa Perempuan Iblis Pulau Karang memerintahkan mereka ke Kawah Neraka," pelan suara Ki Karangseda. Sepertinya dia menyesali hilangnya dua bersaudara itu.

"Mungkin mereka sudah tewas di sana, Kakang," Ki Pungkur menduga-duga.

"Yaaah...," desah Ki Karangseda. "Selama ini belum pernah ada seorang pun yang sanggup ke luar dari sana kalau sudah masuk"

"Bagaimana dengan orang-orang itu?" tanya Ki Pungkur.

"Mereka masih berada di sekitar Kawah Neraka."

"Biarkan mereka menunggu sampai tua!" dengus Ki Karangseda.

"Apakah kau percaya, Pendekar Rajawali Sakti ada disana?"

"Kalau pun dia ke sana, pasti sudah tewas. Sehebat-hebatnya dia, tidak akan mampu menandingi binatang-binatang peliharaan Ratu Macan Kumbang."

Ki Pungkur diam saja meskipun Ki Karangseda tertawa merasakan kemenangannya.

"Kenapa kau diam saja, Adi Pungkur?" tanya Ki Karangseda melihat adiknya diam saja tidak ikut gembira.

"Tidak apa-apa," desah Ki Pungkur berusaha tersenyum.

"Apa yang kau pikirkan?" desak Ki Karangseda.

"Tidak," sahut Ki Pungkur singkat dan pelan.

"Hm...," Ki Karangseda bergumam. Matanya tajam menatap wajah Ki Pungkur penuh selidik. Dia yakin, kalau ada sesuatu yang mengganjal di hati adiknya itu.

"Aku akan memeriksa keliling desa dulu, Kakang," kata Ki Pungkur merasa jengah dipandang begitu.

Ki Karangseda hanya menggumam dan mengangguk. Matanya masih menatap tajam pada adiknya yang sudah melangkah. Dia yakin, Ki Pungkur tengah memikirkan sesuatu yang dirahasiakan. Beberapa hari ini, Ki Pungkur memang kelihatan lebih pendiam dari biasanya. Perubahan yang begitu menyolok itu, tentu saja mendapat perhatian dari Ki Karangseda.

Laki-laki berpakaian menterang itu masih berdiri saja ditempatnya. Dia masih memikirkan sikap Ki Pungkur yang berubah drastis dalam beberapa hari ini. Rasanya tidak mungkin, kalau dia gelisah terus hanya karena kehilangan dua murid kesayangannya yang begitu setia.

Ki Karangseda segera mengurungkan niatnya untuk melangkah, ketika dari arah samping tiba-tiba ada seorang perempuan cantik mengenakan baju merah yang ketat sedang berjalan menghampirinya.

"Perempuan Iblis Pulau Karang...," desah Ki Karangseda. "Mau apa dia ke sini?"

Perempuan yang sebenarnya bernama Telasih itu langsung berdiri di depan Ki Karangseda. Bibirnya yang selalu merah menyunggingkan senyum lebar dan sedikit bergetar seperri hendak menggoda. Dengan baju ketat seperti itu, Telasih bagai seorang gadis remaja. Tidak sedikit pun tampak kerut-kerut ketuaan di wajahnya.

Sedang di bagian dadanya masih menggembung kencang. Sementara buah pinggangnya yang ramping, membentuk pinggul yang indah dan membuat setiap mata lelaki yang memandangnya jadi melotot. Yang tidak mengenal siapa Telasih, mungkin akan menyangka wanita itu seorang gadis remaja.

"Mau apa kau datang ke sini?" tanya Ki Karangseda seraya menelan air liurnya.

"Tidak boleh?" Telasih malah balas bertanya. Sedang matanya mengerdip dengan bibir menyunggingkan senyum menggoda.

"Bukannya tidak boleh, tapi...," Ki Karangseda tidak meneruskan kata-katanya. Dia melirik ke kanan dan ke kiri.

"Tidak ada yang bisa mengenalku, Karangseda. Lihatlah, kau tertarik untuk mengajakku ke peraduan, kan?" Telasih merentangkan tangannya

Lagi-lagi Ki Karangseda menelan ludahnya, membasahi tenggorokan yang mendadak jadi kering. Sikap wanita itu benar-benar menggoda hasrat kejantanannya. Meskipun dia sudah pantas disebut kakek-kakek, tapi seleranya pada wanita cantik tak pernah hilang. Sementara matanya kembali mengamati sekelilingnya, khawatir kalau-kalau ada orang yang melihat.

Ki Karangseda segera menarik pergelangan tangan wanita itu dengan tidak sabar. Sedang Telasih memekik manja, begitu tubuhnya jatuh ke pelukan Ki Karangseda. Tiba-tiba tangannya menahan kepala Ki Karangseda yang sudah mau nyelonong menciumnya.

"Sabar, dong..., jangan di sini," desah Telasih manja.

"He he he..., kau membuatku jadi bergairah, Manis," Ki Karangseda terkekeh.

Telasih melepaskan pelukan laki-laki tua itu, kemudian melenggang ke belakang rumah. Sementara Ki Karangseda mengikuti dari belakang sambil terkekeh. Pandangannya terus merayapi pinggul wanita yang melenggak-lenggok di depannya. Mereka segera hilang di balik tembok gudang belakang rumah. Tak lama kemudian hanya terdengar suara mengikik, disela-sela desahan napas memburu.

********************

Ki Karangseda tampak perlente dengan mengenakan jubah warna hijau bersulam benang emas. Senyumnya terus terkembang menyaksikan keramaian di depan rumahnya. Sementara semua undangan telah hadir dan menempati bangku-bangku yang telah disediakan. Sedangkan hampir seluruh penduduk, tumpah ruah disekitar halaman rumah itu. Hanya sinar mata dan raut wajah penduduk yang tidak menggambarkan kegembiraan.

Mereka seperti terpaksa menyaksikan penobatan Kepala Desa Kali Anget yang baru. Tapi Ki Karangseda benar-benar tidak mempedulikan ketidak senangan penduduk. Dia sudah cukup puas dengan jabatan yang telah diimpikannya bertahun-tahun.

Ki Karangseda segera duduk di kursi yang berukiran indah dan berwarna keemasan. Sementara di kanan kirinya, duduk Telasih dan Ki Pungkur. Tidak bisa dipungkiri, meskipun Ki Pungkur selalu tersenyum, namun dari sinar matanya terlihat kalau dia tidak menikmati semua kegembiraan yang penuh hiburan itu. Sementara di atas panggung besar, beberapa gadis cantik melenggak-lenggok mengikuti irama gamelan.

"Aku merasakan kejanggalan di sini," gumam Telasih seperri pada dirinya sendiri.

"Mereka akan segera tunduk padaku!" sahut Ki Karangseda tidak peduli dengan sikap penduduk yang tidak menyukainya.

"Tapi kau masih memiliki hutang padaku," kata Telasih.

"He he he..., sebentar lagi kau akan mendengar kematian Pendekar Rajawali Sakti."

"Bukan itu! Aku tidak peduli dengan dia!"

"Lalu apa?"

"Jatirekso!"

"Aku yakin, dia sudah mati diterkam macan. Lagi pula, kalau masih hidup, mana mungkin dia berani ke sini? Sudahlah! Tidak perlu kau pikirkan lagi laki-laki tolol itu. Biarkan saja dia sengsara!"

"Tapi kau kan janji untuk membawa kepalanya padaku?" Telasih tetap menagih.

"Tentu saja, tapi setelah upacara penobatanku selesai. Itu kan janji kita sebelumnya."

"Aku tunggu janjimu, Karangseda. Awas! Satu purnama setelah penobatanmu, kau harus menyerahkan kepala Jatirekso padaku."

"He he he...," Ki Karangseda hanya.terkekeh. Tentu saja dia ingat semua perjanjian di antara mereka.

Sementara itu, Ki Pungkur hanya mendengarkan saja. Pikirannya masih dikacaukan dengan dua murid kesayangannya yang setia. Dia juga tidak yakin, kalau Pendekar Rajawali Sakti ke Kawah Neraka. Dia menduga, itu hanya siasat untuk mengalihkan jago-jago bayaran yang disewa Ki Karangseda. Memang imbalan yang diberikan sangat menggiurkan. Maka tidak mengherankan, bila begitu banyak tokoh rimba persilatan yang datang.

Sebenarnya Ki Pungkur tidak setuju dengan rencana itu. Terlalu berbahaya melibatkan Pendekar Rajawali Sakti! Meskipun dia belum pernah bentrok secara langsung, tapi dia tahu betul semua sepak terjangnya. Sedang hilangnya Sanggabawung dan Sangga Kelana membuatnya jadi punya pikiran lain. Dia khawatir, kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak pergi ke Kawah Neraka, tapi menghadang di pinggir desa dan menghabiskan satu per satu jago-jago bayaran.

Ki Pungkur mendongakkan kepalanya sedikit miring, ketika salah seorang membisikkan sesuatu dari belakang. Tak berapa lama kemudian Ki Pungkur mengangguk-anggukkan kepala. Sementara laki-laki muda yang berpakaian merah menyala dan bersenjata golok dipinggang, terus pergi menyelinap di antara penduduk.

"Ada apa?" tanya Ki Karangseda.

"Sebagian tokoh-tokoh persilatan sudah pergi," sahut Ki Pungkur memberitahu apa yang dibisikkan pemuda tadi.

"Hm...," Ki Karangseda bergumam, keningnya sedikit berkerut.

"Di sekitar perbatasan Kawah Neraka, banyak mayat bergelimpangan. Mereka adalah orang-orang persilatan," lanjut Ki Pungkur.

Ki Karangseda menatap tajam pada adiknya. Sungguh mati, dia kaget bukan main mendengar berita itu. Sedang Telasih tampak tenang-tenang saja duduk di kursinya. Bahkan bibirnya tampak tersungging senyuman mendengar berita itu.

"Aku yakin, Pendekar Rajawali Sakti masih hidup. Bahkan sekarang ini, tidak sedikit jago-jago bayaranmu meninggalkan batas Kawah Neraka. Mungkin hanya beberapa saja yang tinggal," lanjut Ki Pungkur melaporkan.

"Kau cari pendekar itu di Kawah Neraka, sekarang juga!" perintah Ki Karangseda dengan suara tertahan.

"Gila! Kenapa tidak kau tusukkan saja pisaumu kedadaku?!" dengus Ki Pungkur geram.

"Jangan tolol, Pungkur! Semuanya bisa berantakan kalau pendekar itu masih hidup!"

"Huh! Kau mau enaknya sendiri, Kakang. Sudah aku peringatkan sejak semula, jangan bawa-bawa nama Pendekar Rajawali Sakti! Dia bukan orang yang bisa diajak main-main!" gerutu Ki Pungkur.

"Sekarang ini kau yang bertanggung jawab terhadap keamanan desa, Pungkur."

"Tapi bukan untuk mengurusi persoalan pribadimu!"

"Pungkur!" sentak Ki Karangseda begitu terkejut mendengar kata-kata yang bernada ketus itu.

Ki Pungkur menatap tajam pada Ki Karangseda. Kemudian dia bangkit dan beranjak pergi tanpa berkata-kata lagi. Ki Karangseda hendak mengejar, tapi keburu dicegah oleh Telasih. Dan dengan bersungut-sungut, dia kembali duduk.

"Biarkan saja, mungkin dia masih merasa kehilangan!" kata Telasih mencoba menghibur.

"Sikapnya jadi aneh. Aku rasa, bukan hanya karena kehilangan dua murid kesayangannya," Ki Karangseda menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak mengerti sikap Ki Pungkur yang jadi membenci dirinya.

"Ah, sudahlah! Nanti juga terbiasa. Dia cuma meluapkan emosinya!" hibur Telasih.

Tapi benarkah apa yang dikatakan Perempuan Iblis Pulau Karang itu? Apakah hanya karena kehilangan dua murid kesayangannya, Ki Pungkur lantas membenci kakaknya? Semua ini menjadi beban pertanyaan Ki Karangseda. Dia masih tidak yakin, kalau adiknya berubah hanya karena peristiwa kehilangan. Pasti ada hal lain yang tengah dipikirkan Ki Pungkur.

********************

Sementara itu acara hiburan di panggung sudah selesai. Tampak Ki Karangseda bangkit dari duduknya. Dia segera melangkah pelan-pelan dengan kepala menengadah, menunjukkan wibawanya. Satu per satu kakinya menaiki anak tangga panggung. Sejenak dia mengedarkan pandangannya.

Suasana jadi hening begitu Ki Karangseda berada di atas panggung. Laki-laki tua dengan pakaian perlente itu menjura memberi hormat pada seluruh pengunjung yang memadati halaman rumah.

"Terima kasih aku ucapkan pada saudara saudara yang telah sudi datang ke sini, untuk menyaksikan penobatan Kepala Desa Kali Anget yang baru," kata Ki Karangseda, suaranya menggema karena disertai dengan tenaga dalam.

Suasana masih tetap hening. Sementara seluruh pandangan para undangan tertuju pada laki-laki tua di atas panggung itu. Sedang para penduduk yang berdiri di belakang barisan kursi undangan, seperti malas-malasan.

"Perlu saudara-saudara ketahui, bahwa Ki Jatirekso telah melarikan diri, karena tidak bisa mengatasi kerusuhan yang melanda desa ini. Dan aku bersama Ki Pungkur telah berhasil mengatasinya, hingga desa yang kita cintai ini menjadi tenang seperti semula. Namun, karena sebuah desa tidak layak jika tidak ada yang memimpin, maka aku memutuskan untuk menjadi kepala desa sementara sampai hari ini. Dan atas restu saudara-saudara sekalian, mulai hari aku ini resmi jadi..."

"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar menggema dari segala arah, memutus kata-kata Ki Karangseda.

Seketika itu juga keadaan jadi gaduh. Sementara suara tawa yang keras disertai tenaga dalam sempurna itu terus menggema. Tampak Ki Karangseda celingukan, mencari sumber tawa itu.

"Diaaam...!" bentak Ki Karangseda keras, mengalahkan suara gaduh dan tawa.

Mendadak keadaan jadi sunyi kembali. Suara Ki Karangseda itu begitu keras bagai guntur di siang hari. Sementara matanya beredar berkeliling. Sedang Telasih sudah berdiri di sampingnya.

Dua puluh orang bersenjata golok di tangan, segera mengambil tempat melingkari panggung. Mereka mengenakan seragam merah menyala, dan golok besar panjang melintang di dada. Ternyata mereka adalah murid-murid Ki Pungkur yang sengaja dikerahkan untuk menjaga segala kemungkinan.

"Jangan percaya kata-katanya! Dia tidak lebih dari perampok yang harus dilenyapkan!" lagi-lagi terdengar suara keras menggema.

"Siapa kau? Ke luar!" bentak Ki Karangseda gusar.

"Aku, orang yang kau jadikan kambing hitam!"

"Pendekar Rajawali Sakti.,.," desah Ki Karangseda bergetar suaranya.

Suasana di halaman rumah besar itu makin tegang! Suara yang menggema tanpa ujud, membuat para penduduk beringsut dan menjauhi panggung. Bahkan beberapa undangan juga sudah beranjak pergi meninggalkan tempat duduknya, tidak mau ikut campur dalam masalah itu. Kini hanya tinggal beberapa undangan yang memiliki nyali cukup besar yang masih duduk dikursinya.

"Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu, Ki Karangseda!" suara tanpa ujud itu kembali terdengar.

"Keluar kau, pengecut!" bentak Ki Karangseda.

"Aku di sini,"

Ki Karangseda terlonjak kaget seraya berbalik. Tampak seorang pemuda tampan dengan mengenakan rompi putih dan bersenjata pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung, sedang nangkring di salah satu cabang pohon yang tidak jauh dari panggung.

"Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Ki Karangseda sedikit bergetar suaranya.

"Aku datang untuk menyerahkan kepalaku, Ki Karangseda. Aku ingin hadiah yang kau janjikan," kata Rangga kalem.

"Setaaan...!" geram Ki Karangseda tidak lagi dapat mengendalikan amarahnya.

Seketika itu juga dia mengebutkan tangannya ke depan. Sinar keperakan segera meluncur dari telapak tangannya yang terbuka. Sinar itu meluncur bagai kilat dan menghantam pohon yang ditangkringi Rangga. Dan kemudian terdengar suara ledakan dahsyat, begitu sinar itu menghantam pohon. Seketika itu juga, pohon yang ditangkringi Rangga jadi hancur berkeping-keping.

"Hebaaat...," puji Rangga yang tahu-tahu sudah berada diatas panggung.

Ki Karangseda langsung terperanjat. Buru-buru dia membalikkan tubuh. Tak disangkanya sama sekali, kalau Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada dibelakangnya. Sementara Telasih hanya mengamati wajah tampan yang berdiri tegak di pinggir panggung. Hatinya langsung terpesona melihat ketampanan wajah Rangga.

"Kau menjanjikan seribu keping uang emas untuk kepalaku, bukan? Nah! Sekarang aku datang untuk meminta hadiah itu," tenang sekali suara Rangga, tapi nadanya mengejek.

Ki Karangseda menggemerutukkan rahangnya menahan geram. Matanya melihat ke kanan dan ke kiri mencari-cari adiknya. Tapi Ki Pungkur tidak tampak di sekitarnya.

"Aku serahkan kepalaku, tapi kau harus mengambilnya sendiri," kata Rangga lagi dengan tenang, walau nadanya menantang.

"Setan! Seharusnya kau sudah mati!" geram Ki Karangseda.

"Sayang sekali, justru aku sendiri yang mengantarkan pesananmu."

"Phuih!" Ki Karangseda menyemburkan ludahnya.

Secepat kilat Ki Karangseda mencabut pisau kembarnya. Dan tanpa berbasa-basi lagi, dia langsung menerjang sambil berteriak nyaring. Sementara Rangga hanya memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri, sedang tangannya terangkat dan memapak tangan kiri Ki Karangseda yang menusukkan pisaunya ke arah leher.

Trak!

Ki Karangseda terkejut setengah mati, karena tangannya kesemutan begitu beradu dengan tangan Rangga. Secepat kilat dia melompat mundur, dan menyiapkan serangan selanjutnya.

"Mampus, kau! Yeaaah...!" teriak Ki Karangseda.

"Hih!"

********************

DELAPAN

Ki Karangseda tidak mau tanggung-tanggung lagi. Dia langsung mengerahkan jurus andalannya, yaitu jurus 'Pukulan Tangan Besi'. Suatu jurus yang pada masa mudanya tidak ada tandingannya.

Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yang tidak mengira akan mendapat serangan begitu dahsyat, hanya menggunakan jurus 'Cakar Rajawali'. Namun dia terlambat mengerahkannya, hingga begitu pukulan dahsyat dari Ki Karangseda bersarang di tubuhnya, Rangga hanya mampu bertahan. Tapi akibatnya fatal sekali, karena tubuhnya langsung terjungkal dan menghantam papan panggung hingga hancur berantakan.

"Ha ha ha...!" Ki Karangseda tertawa terbahak-bahak melihat lawannya terbenam di kolong panggung bersama papan yang jebol berantakan.

Tapi tiba-tiba tawa Ki Karangseda berhenti. Pendekar Rajawali Sakti melenting ke luar dan dengan manis mendarat di atas panggung. Tidak sedikit pun terlihat dia mengalami luka-luka akibat pukulan Ki Karangseda.

"Gila! Ilmu apa yang dia pakai?" dengus Ki Karangseda.

"Pukulanmu hebat sekali Ki Karangseda," puji Rangga tulus.

"Phuih! Jangan bangga dulu, bocah! Itu baru setengahnya!" geram Ki Karangseda.

"Keluarkan semua kepandaianmu!" tantang Rangga.

"Terimalah kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti.

Yeaaah...!" Ki Karangseda mengeluarkan seluruh kepandaiannya pada jurus andalannya.

Rangga yang sudah merasakan betapa dahsyatnya ilmu pukulan laki-laki tua itu, langsung mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Dia tidak mau lagi menerima resiko fatal.

"Aji 'Cakra Buana Sukmaaa'...!" teriak Rangga keras.

"Hiyaaa...!"

Ki Karangseda langsung menerjang pendekar Rajawali Sakti sambil mengembangkan tangannya lurus ke depan. Sedang Rangga hanya mengangkat tangannya, dengan kaki terentang agak lebar. Seketika dua tangan beradu saling cengkeram. Ki Karangseda benar-benar terkesiap begitu tangan Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan cahaya biru berkilau. Dan dia makin terkejut begitu merasakan ada kekuatan dahsyat yang menyedot tenaganya. Seketika itu juga dia langsung menarik tangannya yang menempel erat pada kedua telapak tangan Rangga.

"Hik!" Ki Karangseda berusaha sekuat tenaga untuk menarik lepas tangannya.

Semakin dia mengerahkan tenaga, semakin kuat pula daya sedot dari aji 'Cakra Buana Sukma' Seluruh paras wajah Ki Karangseda langsung berubah merah padam. Keringat bercucuran deras membasahi lehernya. Sementara sinar biru mulai merambat menyelimuti kedua tangannya, sedangkan tenaganya makin banyak terkuras.

Melihat Ki Karangseda bergetar seluruh tubuhnya, lima orang yang berjaga-jaga di sekeliling panggung, melompat hendak membantu. Kernudian secara serempak mereka membabatkan goloknya ke tubuh Rangga. Tapi tidak sedikit pun Rangga bergeming. Sehingga tubuhnya menjadi sasaran empuk dari lima batang golok.

"Aaaakh...!"

Tiba-tiba lima orang yang menyerang Rangga, berpelantingan begitu golok mereka mengenai tubuh Rangga. Seketika itu juga mereka tewas dengan dada pecah. Ternyata tanpa mereka sadari, ilmu 'Pukulan Tangan Besi' milik Ki Karangseda yang tengah terkuras, berbalik menyerang mereka.

Menyaksikan lima orang roboh sekaligus, mereka yang masih hidup langsung mengambil langkah seribu. Namun sial, baru saja mereka bergerak, dari dalam gerombolan penduduk, muncul empat sosok tubuh menghadang. Mereka adalah empat bersaudara yang sejak semula mencurigai kalau Ki Karangseda lah dalang utamanya. Maka tanpa pikir panjang lagi, Suryadenta dan ketiga adiknya langsung menyerang lima belas orang murid Ki Pungkur. Seketika itu juga pertempuran sengit terjadi didekat panggung.

Sementara itu, keadaan Ki Karangseda semakin kritis. Dia benar-benar sudah kehilangan seluruh tenaganya. Bahkan kini sebagian tubuhnya sudah terbalut cahaya biru yang terus terpancar dari kedua tangan Rangga.

"Telasih..., tolong aku...," rintih Ki Karangseda lirih.

Mendengar itu Telasih langsung meloloskan selendang yang membelit pinggangnya. Namun pada saat itu, tiba-tiba meluncur bayangan biru ke arah perempuan itu. Ternyata didepan Telasih sudah berdiri Pandan Wangi dengan kipas maut di tangannya. Pandan Wangi yang berjuluk si Kipas Maut itu segera mengebut-ngebutkan kipas bajanya.

"Aku lawanmu, perempuan iblis!" tantang Pandan Wangi dingin dan sinis suaranya.

"Heh! Anak kemarin sore, berani kau menantangku!" dengus Telasih geram.

"Dan kau.... Sudah sepantasnya masuk liang kubur!"

"Bangsat! Terimalah selendang saktiku!"

"Heit...!"

********************

Di sekitar panggung, kini benar-benar telah menjadi ajang pertempuran. Empat tokoh sakti saling bertarung di atas panggung, sementara Suryadenta dan ketiga adiknya menghadapi sekitar lima belas orang murid-murid Ki Pungkur. Sedangkan para undangan yang hadir sudah sejak tadi menyelamatkan diri.

Agak ke pinggir di atas panggung, tampak sinar biru masih menyelimuti tubuh Ki Karangseda. Sementara dengan perlahan-lahan Rangga mulai merenggangkan jarak, namun sinar biru dari aji 'Cakra Buana Sukma鈥� masih memancar dari tangannya. Saat itu Ki Karangseda sudah tidak berdaya lagi. Dan pada saat itu pula Rangga menghentakkan tangannya dengan keras.

"Aaakh...!" Ki Karangseda menjerit melengking.

Suara jeritan itu disusul dengan terdengarnya ledakan dahsyat. Tampak tubuh Ki Karangseda perlahan-lahan hancur jadi tepung. Rangga menarik kembali ajiannya. Cahaya biru langsung lenyap dari pandangan. Sebentar dia menarik napas panjang melihat tubuh lawannya sudah berubah jadi seonggok tepung.

"Hiya...! Hiyaaa...!"

Rangga menolehkan kepalanya. Pada saat itu, Pandan Wangi terpental kena sabetan selendang maut Perempuan Iblis Pulau Karang. Tubuh Pandan Wangi meluruk deras jatuh ke tanah. Dari mulutnya menyemburkan darah kental kehitaman.

"Perempuan iblis, aku lawanmu! Hiyaaa...!" teriak Rangga keras.

"Huh!" Perempuan Iblis Pulau Karang mendengus sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri.

Dengan cepat tangannya mengebutkan selendang mautnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang tengah meluruk deras ke arahnya. Namun Rangga dengan tangkas melentingkan tubuhnya, dan meluruk deras dari atas kepala Perempuan Iblis Pulau Karang itu.

"Ikh!"

Perempuan Iblis Pulau Karang terkejut. Buru-buru dia menjatuhkan dirinya dan bergulingan beberapa kali sebelum melompat bangkit. Rangga yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah, harus kembali melompat begitu selendang maut perempuan iblis itu kembali meluncur ke arahnya.

Pertarungan antara Rangga dan Perempuan Iblis Pulau Karang berjalan seru. Jurus-jurus dilalui dengan cepat. Sementara Pandan Wangi hanya menyaksikan saja sambil menyembuhkan luka dalamnya dengan menyalurkan hawa murni ke seluruh aliran jalan darahnya.

"Edan! Bocah satu ini benar-benar hebat!" dengus Perempuan Iblis Pulau Karang dalam hati.

Perempuan iblis itu memutar selendang saktinya, dan terjadi keajaiban. Selendang itu bergulung-gulung kaku menjadi sebuah senjata seperri tongkat. Rangga juga tidak mau ketinggalan, dia segera mencabut pedang pusaka Rajawali Sakti dari warangkanya. Cahaya biru terang langsung membias dari pedang terhunus itu.

"Hiya...!" "Yeaaah...!"

Kembali pertarungan berjalan semakin sengit. Rangga merasa kagum juga dengan kehebatan selendang lawannya yang kini sudah kaku jadi tongkat maut. Beberapa kali pedangnya berbenturan dengan senjata perempuan iblis itu, tapi Rangga merasakan seolah-olah dia membabat segumpal karet yang kenyal.

"Aku harus menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'!" gumam Rangga dalam hati.

Selagi dia menghindari serangan perempuan iblis itu, Rangga segera merubah jurusnya jadi jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Dan pada saat senjata perempuan iblis itu menyambar ke arah kepalanya, dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti mengangkat pedangnya memapak serangan itu. Dan....

Cras!

"Heh!"

Perempuan Iblis Pulau Karang terkejut melihat senjata andalannya putus jadi dua bagian. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba kaki pendekar Rajawali Sakti melayang ke arah dada. Buru-buru perempuan iblis itu menarik mundur tubuhnya, tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga berputar cepat sambil menghunus pedangnya kedepan.

Perempuan Iblis Pulau Karang itu tidak sempat lagi mengelak Ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti berhasil menggores pundak kanannya. Darah mengucur dari luka yang dalam dan panjang. Pada saat perem puan iblis itu merasakan sakit pada pundaknya, secepat kilat Rangga mengibaskan pedangnya, dan....

"Akh!" Perempuan Iblis Pulau Karang itu memekik tertahan sambil memegangi dadanya yang tertembus pedang Rajawali Sakti. Darah mengucur deras keluar dari dada yang tertusuk itu. Sesaat kemudian tubuh perempuan iblis itu kaku dengan mata mendelik lebar. Cahaya biru kembali lenyap begitu pedang Rajawali Sakti masuk kedalam warangkanya kembali.

"Kakang...," Pandan Wangi menghampiri Rangga.

"Kau tidak apa-apa, Pandan?" tanya Rangga.

"Tidak, hanya saja aku harus bersamadi selama dua hari. Pukulan maut perempuan itu membuat dadaku sesak," Pandan Wangi mengakui.

Rangga memberikan senyum dan menepuk pundak gadis itu. "Sebaiknya kau istirahat saja, pulihkan dulu kondisi tubuhmu," kata Rangga lembut.

"Tapi mereka, Kakang...," Pandan Wangi mengamati pertarungan yang masih berlangsung.

"Aku rasa keadaan akan segera teratasi," sahut Rangga.

********************

Sementara itu pertempuran antara murid-murid Ki Pungkur melawan Suryadenta dan ketiga adiknya juga sudah berakhir. Semua orang-orang berpakaian merah menyala telah bergelimpangan mandi darah.

Tepat ketika empat bersaudara itu melompat kepanggung, Ki Jatirekso dan Jaka Wulung ke luar dari dalam rumah. Kemunculan Ki Jatirekso disambut gembira oleh para penduduk yang memang sudah mengharapkan kepala desanya itu muncul kembali. Dia segera mengangkat tangannya dengan penuh wibawa. Mendadak suara riuh hilang dan keadaan hening kembali.

"Berakhir sudah kemelut Desa Kali Anget, dan aku mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara sekalian yang masih tetap setia padaku. Mulai saat ini, saudara-saudara tidak perlu cemas lagi. Orang-orang dari rimba persilatan tidak akan muncul kembali di sini!" kata Ki Jatirekso bersemangat dan penuh wibawa.

Segera suara gemuruh diikuti tepuk tangan meledak begitu Ki Jatirekso menyelesaikan pidato singkatnya. Kemudian laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu, mendekati Rangga dan Pandan Wangi.

"Aku akan senang sekali, jika kalian berdua mau tinggal di sini barang beberapa hari," undang Ki Jatirekso sebagai rasa terima kasih.

"Terima kasih," hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.

"Bagaimana dengan Ki Pungkur? Dia tidak kelihatan dari tadi," tanya Pandan Wangi tiba-tiba.

"Ah! Benar, orang itu sangat berbahaya sekali!" Ki Jatirekso tersentak seperti diingatkan.

"Aku rasa, dia kembali ke perguruannya di Lembah Ngarai," celetuk Suryadenta.

"Di mana itu?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak jauh dari sini, letaknya hanya di luar perbatasan desa sebelah Tenggara," sahut Tirtadenta.

"Sebaiknya kita ke sana, Kakang. Menebang pohon harus sampai ke akar-akarnya, agar tidak tumbuh lagi," sahut Pandan Wangi bersemangat.

"Ki Pungkur memiliki murid-murid yang kepandaiannya cukup tinggi," kata Ki Jatirekso tanpa mengecilkan arti kedua pendekar itu.

"Aku dan adik-adikku akan membantu, Ki!" seru Suryadenta cepat.

"Aku percaya. Kalian pasti bisa mengatasinya. Tapi aku tidak ingin ada korban lagi di pihak kita. Sudah cukup banyak korban berjatuhan, dan aku ingin desa ini tenang barang sejenak," kata Ki Jatirekso memberikan alasan.

"Baiklah kalau begitu. Aku dan Pandan akan ke sana besok pagi-pagi sekali," kata Rangga bisa mengerti maksud Ki Jatirekso.

Laki-laki tua itu tersenyum senang. Rasa kagumnya makin bertambah pada pendekar muda itu. Selain tingkat kepandaiannya yang sangat tinggi, juga bisa memahami maksud kata-kata yang berkias. Sementara sikapnya yang lembut dan sopan menambah simpatinya.

"Jaka, mintalah bantuan pada beberapa penduduk untuk mengurus mayat-mayat.itu," perintah Ki Jatirekso.

"Baik, Ayah," sahut Jaka Wulung.

"Mari, sebaiknya kita istirahat di dalam saja," ajak Ki Jatirekso. "Kau juga, Suryadenta."

"Ah! Biarlah kami mengurus mayat-mayat itu bersama Jaka Wulung, Ki," sahut Suryadenta menolak halus.

"Ayolah, kalian juga perlu istirahat, kan?" desak Pandan Wangi.

"Baiklah!"

********************

Sebelum matahari terbit, Pendekar Rajawali Sakti, si Kipas Maut, Jaka Wulung dan empat bersaudara, sudah bersiap-siap hendak meninggalkan rumah kediaman kepala desa. Mereka semua menunggang kuda, agar lebih cepat sampai ke tujuan.

Beberapa saat kemudian, tujuh ekor kuda sudah berlari kencang membelah pagi buta, di mana sebagian orang masih terlelap dalam buaian mimpi. Tujuan mereka sudah jelas, yaitu Lembah Ngarai. Di mana terdapat sebuah padepokan perguruan silat yang dipimpin oleh Ki Pungkur. Tidak begitu lama, mereka telah melewati batas desa sebelah Tenggara. Dan mereka terus memacu kuda-kudanya menuruni tebing landai dengan rumput yang setinggi lutut.

"Itu padepokannya!" seru Tirtadenta menunjuk kearah bangunan yang dikelilingi pagar ringgi dari gelondongan kayu pohon ara.

Tampaknya padepokan itu sepi-sepi saja. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar bangunan itu. Rangga mengangkat tangannya, dan mereka segera berhenti agak jauh dari bangunan yang menyerupai benteng kecil itu. Sejenak Rangga mengamati keadaan sekitarnya, kemudian dikerahkannya ilmu pembeda gerak dan suara.

"Sepi seperti tidak ada orang di sana," gumam Pandan Wangi juga mengerahkan ilmu yang sama dengan Rangga.

"Jangan-jangan ini merupakan satu jebakan," ceIetuk Jaka Wulung.

"Kalian tunggu di sini, aku akan periksa," kata Rangga.

"Hati-hati, Ki Pungkur sangat licik!" Mayadenta memperingatkan.

Rangga hanya tersenyum, lalu melompat dari punggung kudanya. Gerakannya yang begitu cepat dan ringan, membuat dia sudah melayang jauh menuju bangunan itu. Tapi ketika ia hampir sampai di depan bangunan itu, tiba-tiba ratusan anak panah meluncur menghujaninya.

Rangga terkejut setengah mati. Buru-buru dia mengeluarkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tampak kedua tangannya terentang lebar bergerak-gerak cepat menghalau anak-anak panah yang datang bagaikan hujan. Tubuhnya berlompatan begitu cepat, sehingga kelihatannya dia berada di atas anak panah.

"Bangsat! Licik!" geram Rangga.

Melihat keadaan demikian, Jaka Wulung segera menggebah kudanya. Sementara Pandan Wangi yang berada di dekatnya, tak dapat lagi mencegah. Bahkan dia juga ikut melompat dan mengerahkan ilmu lari cepat yang hampir mencapai tahap kesempurnaan. Sedangkan Suryadenta dan adik-adiknya juga tidak mau ketinggalan, mereka langsung menggebah kudanya dan menyusul.

"Kembali...!" teriak Rangga begitu melihat teman-temannya menghampiri.

Tapi peringatan Rangga tidak digubris lagi. Mereka terus maju untuk membantu Rangga. Menyadari hal itu, Rangga segera mengeluarkan pedang Rajawali Sakti dari warangkanya. Seketika itu juga cahaya biru memancar terang di sekitar tempat itu. Rangga kemudian mengerahkan ajian 'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian yang sangat diandalkannya.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga keras.

Seketika itu juga dia menggosok pedang Rajawali Sakti dengan telapak tangan kirinya, dan kemudian tampaklah cahaya biru bergulung menggumpal di ujung pedang itu. Segera ia mengarahkan ujung pedang Rajawali Sakti kebangunan yang bagaikan benteng kecil itu. Seketika itu juga terlihat secercah sinar biru melesat cepat menuju bangunan itu, dan kemudian terdengarlah ledakan dahsyat yang disusul dengan terbakarnya bangunan itu.

Tidak berapa lama kemudian, orang-orang berpakaian merah-merah berlarian ke luar sambil menjerit-jerit berusaha memadamkan api yang membakar tubuh mereka.

Api semakin berkobar melahap bangunan itu. Bunyi gemeretek kayu-kayu yang terbakar menambah panas suasana. Sejenak Rangga melangkah mundur untuk mengurangi jangkauan panas. Sementara teman-temannya ke luar dari persembunyiannya dan menghampiri Rangga.

"Kau lihat Ki Pungkur ada di situ, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak," sahut Rangga pelan dan singkat.

"Maaf, aku tidak bisa menahan emosi tadi," ucap Jaka Wulung menyesal.

Rangga menoleh dan tersenyum. Memang, kalau saja Jaka Wulung bisa menahan sedikit emosinya, barangkali masih bisa diketahui, apakah Ki Pungkur terbakar atau melarikan diri. Dan Rangga hanya memaklumi, Jaka Wulung memang masih muda dan belum bisa mengendalikan emosinya secara penuh. Di samping itu, rasa marahnya pada Ki Pungkurlah yang membuat dia tidak dapat berpikir panjang.

Ke mana sebenarnya Ki Pungkur? Tidak ada seorang pun yang tahu. Terakhir, Ki Pungkur meninggalkan Desa Kali Anget setelah dia berselisih paham dengan kakaknya. Sedang dia pergi dengan membawa kekecewaan yang dalam. Dia amat menyesali sikap kakaknya yang terlalu mengikuti nafsu dendam lama, dan terpengaruh pada bujuk rayu Telasih.

Saat ini, Ki Pungkur ternyata telah menyaksikan sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang membumi hanguskan padepokannya. Sebuah padepokan yang ia rintis bertahun-tahun, musnah dalam sekejap mata. Dia mengamati dari tempat yang cukup jauh dan terlindung. Dia sadar betul bahwa kakaknya, Ki Karangseda telah berbuat salah dan terlalu berambisi besar.

"Yaaah, semoga dengan kejadian ini Desa Kali Anget menjadi tenang kembali dan tentram seperti sediakala," harap Ki Pungkur dalam hati. Lalu dia beranjak pergi dan berniat mengasingkan diri ke tempat sepi yang jauh dari orang-orang yang hanya mengumbar nafsu duniawi belaka.

Sementara itu, tujuh orang yang berada di Lembah Ngarai, sudah kembali menaiki kudanya masing-masing. Namun mereka belum berangkat meninggalkan tempat itu. Mereka masih memandangi api yang berkobar melahap bangunan padepokan itu.

"Sebaiknya kalian kembali ke desa, aku dan Pandan Wangi akan meneruskan perjalanan," kata Rangga.

"Sebaiknya kau...."

"Terima kasih," potong Rangga cepat-cepat. "Sampaikan saja salamku untuk ayahmu."

Jaka Wulung tidak bisa mencegah lagi. Rangga telah menggebah kudanya dengan diikuti Pandan Wangi. Untuk beberapa saat, Jaka Wulung belum rneninggalkan tempat itu. Dia masih tertegun dengan kepergian Rangga dan Pandan Wangi.

"Jaka...," panggil Suryadenta.

"Oh!" Jaka Wulung tersentak.

"Ayo kita pulang!" ajak Suryadenta sambil menggebah kudanya.

Lima orang tulang punggung Desa Kali Anget itu pun memacu kudanya perlahan-lahan. Sementara api yang berkobar itu semakin mengecil, karena tidak ada lagi yang bisa dilahap.

"Boleh aku memanggil kalian dengan sebutan Paman dan Bibi?" pinta Jaka Wulung tiba-tiba.

"Kenapa tidak? Kau lebih pantas kalau menjadi keponakan kami," sahut Suryadenta.

"Terima kasih..., Paman," ucap Jaka Wulung.

"Ha ha ha...!"

TAMAT

SELANJUTNYA RAHASIA PURI MERAH

Jago Jago Bayaran

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Jago-Jago Bayaran


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

AKHIR-AKHIR ini,orang-orang dari rimba persilatan berduyun-duyun mengunjungi Desa Kali Anget. Seperti menyimpan sebuah tempat wisata, desa itu begitu ramai dipenuhi pendatang dari segala penjuru. Hingga keadaannya berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya.

Kedai-kedai makan dan minum tak pernah sepi dari pengunjung, tamunya silih berganti. Sementara rumah-rumah penginapan yang ada tak mampu lagi menampungnya, hingga rumah-rumah penduduk pun dijadikan tempat menginap. Untunglah, sejauh ini belum ada keributan atau pertumpahan darah, meskipun diantara mereka tidak menampakkan sikap bersahabat.

Apa sebenarnya yang menyebabkan orang-orang rimba persilatan berdatangan kesana?

Sementara itu Kepala Desa Kali Anget makin bingung dibuatnya. Dia tidak mengerti, apa sebenarnya maksud kedatangan mereka yang begitu mendadak. Saking bingungnya, maka dikumpulkannya para tetua dan sesepuh desa untuk membicarakan hal tersebut. Ada delapan orang yang hadir dalam pertemuan itu.

"Semakin hari desa kita semakin banyak kedatangan orang-orang rimba persilatan. Sementara kita sendiri tidak tahu, apa maksud kedatangan mereka? Hal itulah yang membuat saya mengundang saudara-saudara sekalian untuk membicarakannya," kata kepala desa, Ki Jatirekso.

Delapan orang undangan itu hanya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka juga tidak habis pikir dengan bermunculannya tokoh-tokoh rimba persilatan didesa ini.

"Kita harus mengetahui apa tujuan mereka kesini, sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," lanjut Ki Jatirekso.

"Apa yang harus kita lakukan?Rasanya tidak mudah mengusir mereka dari sini.Mereka adalah tokoh-tokoh golongan hitam dan rata-rata memiliki tingkat ilmu yang tinggi!" ujar Ki Karang seda yang bertubuh kurus dan rambutnya sudah putih semua.

"Benar, Ki. Kita tidak bisa berbuat apa-apa sebelum mengetahui maksud kedatangan mereka," sambung seorang laki-laki yang bertubuh tegap meskipun usianya sudah berkepala lima. Dia bernama Suryadenta, seorang jawara Desa Kali Anget yang menjaga keamanan desa ini.

"Justru itulah maksudku, mengapa aku mengundang kalian kesini," tegas Ki Jatirekso.

Mereka saling berpandangan.

"Aku akan menyelidiki ,Ki," kata Suryadenta memecah kesunyian.

"Mereka bukan orang sembarangan, Suryadenta. Kau harus hati-hati," kata Ki Jatirekso.

"Aku tahu apa yang harus dilakukan, Ki," sahut Suryadenta mantap.

Setelah berkata demikian, Suryadenta bangkit dan diikuti oleh tiga orang yang duduk mengapitnya. Ketiga orang itu adalah adik-adik Suryadenta yang juga bertugas mengamankan desa. Setelah berpamitan, mereka meninggalkan rumah kepala desa. Kini tinggal empat orang yang duduk dihadapan kepala desa.

Beberapa saat setelah kepergian Suryadenta dan adik-adiknya, tidak ada yang membuka suara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Tampak Ki Jatirekso begitu berkerut wajahnya. Desa Kali Anget memang sering kedatangan tokoh rimba persilatan, tapi yang sekarang ini benar-benar mengherankan. Begitu banyak tokoh-tokoh rimba persilatan yang datang!

Dan yang paling membuat risau Ki Jatirekso, mereka adalah tokoh-tokoh dari golongan hitam. Tak seorangpun yang beraliran putih. Kecemasannya memang cukup beralasan, karena tidak mustahil orang-orang itu akan membuat kekacauan disini. Mereka adalah penganut hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Tidak ada istilah baik atau buruk, semua yang dilakukan dianggap baik oleh mereka.

"Aku menduga ,kedatangan mereka ada yang mengundang," gumam Ki Karangseda.

Semua memandang kearah laki-laki tua itu dengan tatapan tidak mengerti. Sementara laki-laki tua itu mengelus-elus janggutnya yang putih. Sedang bibirnya yang hampir tertutup kumis, menyunggingkan senyum tipis.

"Tidak mungkin mereka datang kesini tanpa tujuan!" lanjut Ki Karangseda tetap tenang.

"Hm..., mungkin juga," gumam Ki Pungkur mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan mengerti jalan pikiran Ki Karangseda.

"Aku tidak mengerti maksudmu?" Ki Jatirekso kebingungan.

"Kau bekas seorang pendekar, Ki Jatirekso. Masa kau tidak ngerti apa yang kukatakan?!" ada nada sinis dalam suara Ki Karangseda.

Ki Jatirekso menatap tajam pada lelaki tua di hadapannya. Dia mulai mengerti arah pembicaraan Ki Karangseda. Dirinya sendirilah yang dicurigai mengundang tokoh-tokoh rimba persilatan itu.

"Sebaiknya, kita hilangkan saja rasa saling curiga," kata Ki Jatirekso menunjukkan kewibawaannya sebagai pemimpin.

"Aku melihat Perempuan Iblis Pulau Karang ada di sini. Kau tentu masih ingat dia, Ki," kata Ki Pungkur yang duduk di samping Ki Karangseda.

"Itu masa lalu yang suram! Aku tidak peduli apakah dia ada di sini atau tidak! Yang akan kita bicarakan bukan masa laluku, tapi tujuan mereka ke sini!" Ki Jatirekso sedikit emosi.

"Justru itu ada hubungannya dengan...."

"Cukup!" sentak Ki Jatirekso geram, memutus kata-kata Ki Karangseda.

Kepala desa itu menatap tajam pada Ki Karangseda. Kemudian beralih pada Ki Pungkur, Sangga bawung dan adiknya, Sangga Kelana.

"Sebaiknya kita akhiri saja pertemuan ini!" kata Ki Jatirekso dingin.

"Aku akan menyelidiki kemungkinan ini, Ki Jatirekso," kata Ki Karangseda sinis.

Setelah berkat a demikian, Ki Karangseda segera beranjak pergi dan diikuti Ki Pungkur. Sementara dua bersaudara, Sanggabawung dan Sangga Kelana masih tetap duduk di tempatnya. Ki Jatirekso menatap tajam ke arah mereka.

"Mengapa kalian belum pergi juga?" dingin suara Ki Jatirekso.

"Tidak, sebelum kemarahan Anda reda," sahut Sanggabawung tenang.

Ki Jatirekso menghela napas panjang. Kepalanya terdongak ke atas. Memang tidak sepantasnya dia marah-marah kepada kedua bersaudara ini. Karena yang telah menyinggung perasaannya adalah Ki Karangseda. Sedangkan Sanggabawung dan Sangga Kelana, tidak mengetahui apa-apa tentang masa lalunya.

"Maaf, aku telah kasar pada kalian," kata Ki Jatirekso tenang.

"Ya sudah, kami permisi dulu, Ki," pamit Sangga bawung seraya bangkit berdiri.

"Ya."

********************

Sementara itu Desa Kali Anget, makin hari makir ramai oleh pendatang. Hingga suasananya juga makin bertambah panas. Keributan-keributan kecil mulai terjadi di beberapa tempat. Mereka memang orang-orang yang keras dan mengandalkan kesaktian dalam menyelesaikan suatu persoalan. Maka tidak heran bila ada perselisihan kecil yang berakhir dengan pertumpahan darah.

Keadaan yang demikian, membuat penduduk makin resah. Demikian pula penjaga keamanan desa Suryadenta dan adik-adiknya, juga makin sibuk menghadapi laporan-laporan penduduk. Seriap hari, ada saja keributan yang menewaskan tiga atau empat orang.

"Aku yakin, ada maksud tertentu atas kedatangan mereka ke sini," kata Suryadenta setengah bergumam.

Ketiga adiknya hanya diam sambil menikmati hidangan dimeja. Mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa. Sementara keadaan makin bertambah sukar dikendalikan. Bagi mereka, lebih baik bertarung dengan kelompok perampok, daripada harus berhadapan dengan tokoh-tokoh rimba persilatan dari golongan hitam.

"Apakah kalian sudah memperoleh keterangan?" tanya Suryadenta sambil memandang wajah adik-adiknya satu per satu. "Bayudenta?"

"Belum," sahut Bayudenta menggeleng.

"Tirtadenta, bagaimana denganmu?"

"Sama," sahut Tirtadenta sambil menggeleng juga.

Suryadenta memandang adiknya yang bungsu. Satu-satunya yang wanita dari empat bersaudara. Mayadenta hanya menggeleng tanpa mengangkat kepalanya.

"Tidak seorang pun yang membicarakan tentang maksud kedatangan mereka," kata Tirtadenta.

"Aku punya pikiran lain, Kakang," kata Mayadenta seraya mengangkat kepalanya.

"Apa pikiranmu?" tanya Suryadenta beralih menatap adik perempuannya yang cantik.

"Aku ingat kata-kata Ki Karangseda," kata Mayadenta pelan suaranya.

"Maksudmu?" tanya Bayudenta tidak mengerti.

"Ki Karangseda bilang, bahwa Perempuan Iblis Pulau Karang ada di sini. Aku yakin, kalian semua tahu hubungan perempuan itu dengan Ki Jatirekso," kata Mayadenta lagi.

"Kau jangan memperburuk keadaan, Maya!" dengus Tirtadenta.

"Aku tidak memperburuk keadaan. Aku hanya berpikir, bahwa kecurigaan Ki Karangseda mungkin ada benarnya. Rasanya memang mustahil, kalau mereka datang ke sini tanpa ada yang dicari. Kalian masih ingat, kan? Sehari sebelum mereka bermunculan, Ki Jatirekso mengadakan pesta pertunangan anaknya dengan putri Kepala Desa Margasuko. Nah! Apa yang dikatakannya waktu itu?"

Tidak ada yang membuka suara sedikit pun. Mereka hanya memandang gadis cantik berbaju merah itu. Mayadenta tersenyum tipis penuh arti.

"Aku ingat, Ki Jatirekso juga mengatakan pada calon mantunya, bahwa dia menginginkan seorang cucu yang bisa diharapkan jadi pendekar kelas satu," kata Tirtadenta mencoba meraba maksud adiknya.

"Bukan itu, Kakang Tirta," bantah Mayadenta.

"Lalu, yang mana?" dongkol juga Tirtadenta.

"Ki Jatirekso juga menyebut-nyebut sebuah nama dan menyuruh mencarinya. Ingat?"

Ketiga kakaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu saja mereka kembali mengingat kata-kata yang terlontar beberapa hari yang lalu.

"Tapi Ki Jatirekso waktu itu dalam keadaan mabuk," kata Bayudenta.

"Pengaruh arak bisa membuat orang lupa diri, Kakang Bayu," kata Tirtadenta bisa memahami maksud adiknya. Dalam hati dia memuji kecerdikan Mayadenta.

"Kau ingat nama yang disebutkan Ki Jatirekso?" tanya Suryadenta yang saat itu tidak begitu jelas mendengar apa yang dikatakan Ki Jatirekso.

"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Mayadenta mantap.

Ketiga orang kakaknya serentak menggumamkan nama itu. Semua orang juga pasti pernah mendengarnya sebagai pendekar yang pilih tanding.

"Lalu, apa hubungannya dengan keadaan di sini?" Suryadenta masih penasaran.

"Itulah yang harus kita ketahui lebih dulu. Waktu itu, Ki Jatirekso memang tidak menjelaskan pada Jaka Wulung. Sebab dia keburu meninggalkan tempat sebelum ucapannya selesai," sahut Mayadenta yang waktu itu duduk satu meja dengan Jaka Wulung dan tunangannya.

"Lantas, dengan Perempuan Iblis Pulau Karang?" sambung Bayudenta belum jelas.

"Kalian masih ingat, kan? Apa yang terjadi sebelum Ki Jatirekso dinobatkan jadi kepala desa di sini? Perempuan itu datang dengan sembunyi-sembunyi menemui Ki Jatirekso. Aku yakin, mereka punya rahasia yang ada sangkut pautnya dengan Pendekar Rajawali Sakti," Mayadenta menerangkan.

"Hm... aku ingat. Malam itu mereka bicara di kamar, tapi cuma sebentar. Dan perempuan itu langsung keluar dan pergi entah ke mana," kata Suryadenta agak bergumam.

"Kalau begitu, kita mulai punya gambaran!" seru Bayudenta cerah wajahnya.

"Ya, dan dapat kita mulai dari Jaka Wulung!" sambung Mayadenta bersemangat.

"Tapi aku minta keterangan Ki Jatirekso sendiri," kata Suryadenta.

"Aku tidak menyangka, punya adik cantik yang berotak cerdas!" puji Tirtadenta tersenyum manis pada adiknya.

"Siapa dulu dong... aku, kok!" ujar Mayadenta sambil menepuk dadanya.

Dan empat bersaudara itu pun tertawa terbahak-bahak. Mereka tidak menyadari kalau ada yang memperhatikan sejak tadi. Sepasang mata itu sebagian besar wajahnya tertutup tudung besar dari anyaman bambu. Tubuhnya ramping dan terbungkus baju yang berwama biru langit, dadanya yang membusung menandakan bahwa dia adalah wanita.

Tapi bukan dia saja yang mengawasi empat orang bersaudara itu, karena seorang kakek-kakek yang duduk paling pojok juga mengawasi mereka sejak tadi. Meskipun kepalanya menunduk menekuri hidangannya, tapi sudut matanya tidak pernah lepas dari empat bersaudara itu. Siapa sebenarnya kedua orang yang mengawasi empat bersaudara di kedai makan itu?

Penyelidikan yang dilakukan empat bersaudara itu, bukanlah pekerjaan yang ringan. Terlalu sulit bagi mereka untuk memperoleh keterangan dari Ki Jatirekso maupun Jaka Wulung. Sedangkan Ki Karangseda sendiri tidak mengetahui tentang hubungan Ki Jatirekso dengan Pendekar Rajawali Sakti. Yang dia ketahui adalah hubungan antara kepala desa itu dengan Perempuan Iblis Pulau Karang, hanya itu saja.

Sementara itu keadaan Desa Kali Anget makin panas saja. Perlakuan yang tidak manusiawi mulai menimpa para penduduk. Hingga beberapa orang penduduk yang tidak tahan, mulai meninggalkan desa. Sedangkan penyelidikan yang dilakukan Suryadenta dan adik-adiknya belum menemukan titik terang.

Di lain tempat, Ki Jatirekso sedang duduk-duduk dihalaman belakang rumahnya yang ditata indah bagai sebuah taman kerajaan. Di sampingnya ada Jaka Wulung. Sudah cukup lama mereka di situ, tapi tidak ada yang bicara.

"Ada apa sebenarnya Ayah memanggilku ke sini?" tanya Jaka Wulung yang tidak tahan dalam keheningan, sambil menatap ayahnya.

"Hhh...," Ki Jatirekso menarik nafas panjang dan dalam. Perlahan-lahan kepalanya menoleh, membalas tatapan mata putranya. Jaka Wulung melihat ada keresahan di bola mata itu. Memang sejak berdatangannya tokoh-tokoh rimba persilatan ke desa ini, Ki Jatirekso berubah jadi pemurung. Lebih banyak berada di kamar.

"Apakah kau masih ingat kata-kataku tempo hari, pada waktu pesta pertunanganmu dengan Rara Angken?" Ki Jatirekso balik bertanya.

"Ya, aku masih ingat," sahut Jaka Wulung. "Tapi Ayah belum menjelaskan secara terperinci."

Lagi-lagi Ki Jatirekso menarik nafas panjang.

"Apakah ada hubungannya dengan kedatangan tokoh-tokoh rimba persilatan ke sini, Ayah?" tanya Jaka Wulung.

"Ya," desah Ki Jatirekso. "Tapi sudah terlambat. Sebentar lagi desa ini akan hancur dan tinggal kenangan.

"Lalu, apa maksud Ayah menyuruhku mencari Pendekar Rajawali Sakti?"

"Sekarang tidak ada gunanya lagi, Jaka Wulung. Perempuan Iblis Pulau Karang sudah ada di sini. Tidak mungkin lagi kita bisa mengatasinya," pelan sekali suara Ki Jatirekso.

Jaka Wulung semakin tidak mengerti. Tatapan matanya tajam, penuh selidik. Di benaknya penuh dengan berbagai macam pertanyaan dan dugaan. Apa sebenarnya yang tengah terjadi di desa ini?

"Ayah bisa...."

Belum lagi Jaka Wulung melanjutkan kata-kata nya, tiba-tiba...

"Awas!"teriak Ki Jatirekso sambil mendorong tubuh anaknya dengan cepat. Ki Jatirekso segera menjatuhkan diri dan berguligan bersama tubuh Jaka Wulung. Sekelebat Ki Jatirekso melihat seberkas cahaya menuju ke arah anaknya. Tapi cahaya itu dapat dihindari dan mengenai indaran bangku kayu, tempat mereka duduk tadi. Ki Jatirekso menoleh, tampak ada sebatang ruyung perak menancap di papan sandaran bangku panjang.

Perlahan-lahan dia bangkit sambil mengawasi sekitarnya, namun tak seorang pun terlihat, kecuali dia sendiri dan anaknya. Jaka Wulung pun ikut bangkit, tangannya langsung meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang. Sejenak diliriknya ruyung perak yang menancap itu.

"Ada suratnya, Ayah," bisik Jaka Wulung.

"Hm..." Ki Jatirekso hanya bergumam saja. Dengan sikap hati-hati dan penuh waspada, laki-laki tua itu menghampiri bangku panjang. Tangannya terulur mengambil ruyung perak itu. Dan hanya dengan sekali hentakan, dia berhasil mencabutnya. Sambil mengawasi keadaan sekitarnya, Ki Jatirekso melepaskan pita yang mengikat sehelai daun lontar di ruyung perak itu.

Tiba-tiba paras wajah Ki Jatirekso berubah, begitu membaca sebaris kalimat yang tertera dengan warna merah pada selembar daun lontar. Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah. Jaka Wulung mendekati dan membaca setengah bergumam.

"Tunjukkan di mana dia, maka desamu akan selamat!"

Jaka Wulung menatap ayahnya dengan kening berkerut. Kembali dibacanya sebaris kalimat yang tertera itu.

"Apa maksudnya ini, Ayah?" tanya Jaka Wulung.

"Dia menginginkan Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Jatirekso pelan dan datar, sambil meremas surat itu.

"Dia...? Dia siapa?" desak Jaka Wulung.

Belum lagi Ki Jatirekso menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan yang panjang. Suara itu menggema seperti datang dari segala penjuru. Belum hilang rasa kaget mereka, tiba-tiba suara itu hilang begitu saja. Ki Jatirekso menggeser kakinya dua langkah ke samping, menjauh dari Jaka Wulung.

"Panggil penjaga, cepat!" perintah Ki Jatirekso.

Tanpa diperintah dua kali, Jaka Wulung langsung berlari. Sedangkan Ki Jatirekso meraba ke balik bajunya, dan tampaklah gagang golok berwarna merah menyembul dari balik bajunya. Kedua mata lelaki tua itu terus mengamati keadaan sekitarnya dengan tatapan tajam.

Tidak lama kemudian, Jaka Wulung kembali sambil berlari kencang. Nafasnya tersengal-sengal begitu sampai didekat ayahnya. Sejenak Jaka Wulung mengatur jalan nafasnya, supaya lebih tenang.

"Celaka, Ayah. Celaka...!" masih dengan tersengal Jaka Wulung berkata.

"Apa yang terjadi?" tanya Ki Jatirekso sedikit keras dengan kening berkerut.

"Celaka! Semua penjaga tewas.

"Apa?!"

********************

DUA

Ki Jatirekso menggeram hebat menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan di halaman. Tidak kurang dari dua puluh orang terbujur bersimbah darah. Hanya ada satu luka yang terdapat di setiap mayat, tapi sangat lebar dan mematikan. Ki Jatirekso membalikkan tubuhnya, dan melangkah masuk ke rumahnya, diikuti oleh Suryadenta dan tiga orang adiknya. Sementara Jaka Wulung membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan, dengan dibantu oleh beberapa orang penduduk.

Di dalam rumah sudah menunggu Ki Karangseda, Ki Pungkur, Sanggabawung dan Sangga Kelana. Mereka memandang Ki Jatirekso yang datang bersama empat bersaudara. Kemudian mereka duduk menghadapi meja bundar yang besar dan beralaskan batu pualam putih yang berkilauan bagai kaca.

"Sebaiknya kau berterus terang saja, Ki Jatirekso. Apakah kau menginginkan seluruh penduduk desa ini habis, hanya karena keangkuhanmu?" dingin dan bergetar suara Ki Karangseda.

Ki Jatirekso menatap tajam pada laki-laki yang usianya sebaya dengannya itu. Suasana tegang menyelimuti ruangan yang luas itu. Kematian dua puluh orang penjaga, membuat para tetua Desa Kali Anget memuncak amarahnya. Lebih-lebih melihat kepala desa yang seperti menyimpan satu rahasia, yang menyebabkan semua tragedi ini.

"Sebenarnya, ada apa di balik semua ini?" tanya Ki Pungkur.

"Katakan yang sebenarnya, Ki. Kami semua berada dipihakmu," desak Sanggabawung.

"Kecuali kalau persoalannya sangat pribadi, aku lepas tangan," sambung Ki Karangseda.

"Maaf, aku mau istirahat dulu," kata Ki Jatirekso seraya bangkit.

"Ki...!" sentak Ki Karangseda gusar.

Ki Jatirekso menatap tajam pada Ki Karangseda, kemudian melangkah meninggalkan ruangan. Mereka memandang dengan penuh keheranan pada sikap kepala desa itu. Pasti ada sesuatu yang sangat berat telah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang kini sudah meminta korban yang cukup banyak.

Brak!

Ki Karangseda menggebrak meja dengan keras. Kedua bola matanya merah berapi-api. Dia menatap satu persatu wajah-wajah yang juga menatapnya.

"Keadaan ini, tidak bisa kita biarkan terus! Apa kita akan berpangku tangan terus melihat penduduk satu per satu mati?" suara Ki Karangseda penuh emosi.

"Kita tidak bisa berbuat apa-apa, sebelum mengetahui permasalahan yang sebenarnya," kata Suryadenta kalem.

"Sudah jelas, semua ini ada hubungannya dengan Ki Jatirekso. Apalagi yang harus diketahui?" sentak Ki Karangseda.

"Banyak!" tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu.

Semua kepala langsung menoleh. Jaka Wulung melangkah ke arah mereka, matanya menatap tajam Ki Karangseda yang bertopang pada bibir meja. Jaka Wulung berhenti dan berdiri di belakang empat bersaudara. Sejenak dia mengawasi wajah di depannya satu per satu.

"Masih banyak yang perlu diketahui, tapi bukan dari sebab ayahku," kata Jaka Wulung datar suaranya.

"Kau tahu, kenapa tidak mengatakan dari semula?" nada suara Ki Karangseda terdengar sinis.

"Kenapa bukan kau saja yang mengatakan, Ki?" balas Jaka Wulung tidak kalah sengitnya.

Ki Karangseda tersentak. Seketika wajahnya berubah merah padam. Sementara sinar matanya masih tajam menatap Jaka Wulung. Tapi Jaka Wulung membalasnya dengan tidak kalah tajam.

"Kalian pasti mengenal senjata ini. Di desa ini, cuma ada satu yang punya!" Jaka Wulung melemparkan ruyung perak ke atas meja.

Semua mata menatap ruyung perak itu, lalu beralih ke arah Ki Karangseda. Meskipun ayahnya tidak pernah menceritakan, tapi Jaka Wulung bisa mengenali, milik siapa senjata itu. Dia mengambilnya saat dibuang oleh ayahnya bersama daun lontar yang bertuliskan huruf berwarna merah. Dia juga menunjukkan daun lontar yang sudah lusuh diremas ayahnya.

Makin merah muka Ki Karangseda, melihat tulisan yang tertera di daun lontar itu. Dia mundur satu tindak. Sementara mereka yang ada di ruangan menatap tajam minta penjelasan pada Ki Karangseda.

"Untuk apa kau melemparkan senjata pada kami?" tanya Jaka Wulung dingin dan datar.

"Senjata itu memang milikku, tapi bukan aku yang melemparkan," bantah Ki Karangseda gusar.

"Di mana saja kau, sepanjang siang ini?" tanya Jaka Wulung seperti menghakimi.

"Aku bersama Ki Pungkur," sahut Ki Karangseda.

"Benar, sejak pagi sampai sekarang, dia bersamaku dikedai Pak Rahim," Ki Pungkur membenarkan. "Bahkan Sanggabawung dan Sanggakelana juga ada di sana."

Jaka Wulung menatap kakak beradik yang disebutkan namanya. Mereka menganggukkan kepala membenarkan. Sementara Ki Karangseda tersenyum tipis penuh kemenangan memandang Jaka Wulung.

"Sebaiknya, persoalan ini jangan diperpanjang. Masih banyak persoalan berat yang harus segera ditangani," kata Ki Pungkur melerai.

"Hm...," Jaka Wulung bergumam sinis.

"Aku permisi dulu," pamit Ki Pungkur seraya bangkit.

Ki Karangseda juga rneninggalkan ruangan itu, mengikuti langkah Ki Pungkur yang sudah sampai di pintu. Tidak lama sesudah kedua laki-laki tua itu berlalu, Sanggabawung mengajak adiknya meninggalkan ruangan juga. Sejenak dia memandang Jaka Wulung, lalu menepuk pundaknya. Kemudian melangkah ke luar. Kini tinggal Jaka Wulung, Suryadenta dan ketiga adiknya.

"Kapan kau menemukan senjata ini?" tanya Tirtadenta setelah cukup lama berdiam diri.

"Tadi, sebelum, kutemukan dua puluh orang penjaga tewas," sahut Jaka Wulung seraya duduk di samping Suryadenta.

"Berarti baru saja," gumam Suryadenta pelan.

"Ya. Senjata itu diarahkan padaku," sambung Jaka Wulung.

"Hm..., di desa ini, memang hanya Ki Karangseda yang memiliki senjata seperti itu, tapi sekarang ini kan banyak tokoh-tokoh rimba persilatan di sini. Dan tidak mustahil ada diantara mereka yang memiliki senjata seperti ini," Mayadenta agak bergumam mengemukakan pendapatnya.

"Jenis senjata memang bisa sama, tapi pasti ada ciri khas tersendiri untuk mengenali siapa pemiliknya," bantah Bayudenta.

"Benar!" seru Suryadenta. Kakak tertua dari empat bersaudara itu mengambil ruyung perak yang tergeletak di meja. Sejenak diamatinya benda itu, lalu memberikannya pada ketiga adiknya.

"Ukiran bunga melati menandakan, kalau ruyung perak ini milik Ki Karangseda," kata Suryadenta.

"Ya, bunga melati lambang keperkasaannya. Aku yakin, tak seorang pun selain Ki Karangseda yang memiliki senjata berukir bunga melati," sambung Mayadenta.

"Hm..., kalau begitu, apa maksud perbuatannya?" gumam Bayudenta.

Sesaat mereka semua hanya terdiam. Macam-macam pikiran dan dugaan berkecamuk di kepala mereka. Sesekali mata mereka menatap kembali ruyung perak dan Iembaran daun lontar di atas meja. Sulit untuk mencari alasan yang tepat, dengan mengkaitkan keterlibatan Ki Karangseda dalam masalah ini.

********************

Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru memancarkan sinarnya, tampak dua orang sedang berjalan menuju kearah Desa Kali Anget. Yang satu seorang laki-laki muda yang mengenakan rompi berwarna putih. Di punggungnya, ada senjata pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung. Sedang satunya lagi adalah wanita muda yang cantik dan mengenakan baju biru yang ketat, hingga membentuk tubuhnya kelihatan ramping.

Dilihat dan pakaian dan senjata yang tersandang, mereka adalah Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti mengajak Pandan Wangi memasuki sebuah kedai yang sudah buka. Tak seorang tamu pun yang tampak di kedai ini, kecuali mereka berdua saja. Rangga memilih tempat agak ke sudut, dan dekat jendela besar yang Iangsung menghadap ke luar.

Seorang laki-laki tua menghampiri dengan terbungkuk-bungkuk. Rangga segera memesan makanan dan seguci arak manis. Kemudian laki-laki tua pemilik kedai itu mengangguk dan berlalu meninggalkan meja. Tidak lama kemudian dia kembali lagi dengan membawa pesanan tamunya.

"Apa nama desa ini, Pak?" tanya Pandan Wangi.

"Desa Kali Anget," sahut Pak Tua itu singkat.

"Kelihatannya ramai sekali, apakah desa ini akan mengadakan perayaan?" tanya Rangga yang sejak tadi mengamati ke luar.

"Tidak tahu, Tuan. Memang dalam beberapa hari banyak orang datang ke sini, bahkan menginap segala. Rumah Bapak saja disewa mereka untuk menginap, yaaah... terpaksa Bapak sekeluarga tidur di kedai ini."

"Hm...," Rangga mengerutkan keningnya.

"Permisi, Bapak mau ke belakang dulu," pamit Pak Tua itu.

"Silakan, Pak," sahut Pandan Wangi.

Mereka segera makan dengan tenang. Sesekali Rangga melihat ke luar melalui jendela besar yang terbuka. Tampak di depan kedai sudah banyak orang hilir mudik dengan kesibukan masing-masing. Pendekar Rajawali Sakti sedikit berkerut keningnya, melihat banyak orang yang menyandang senjata dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Jelas sekali kalau di desa itu banyak orang-orang dari rimba persilatan.

"Ada yang menarik perhatianmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi yang juga mengarahkan pandangannya ke luar.

"Ya," sahut Rangga mendesah. Perhatian Rangga segera beralih, ketika ada empat Orang masuk ke dalam kedai. Satu di antaranya seorang wanita muda yang cantik. Di pinggangnya terlilit selendang berwarna kuning gading. Sedang tiga lainnya, menyandang pedang di pinggang. Mereka segera duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga dan Pandan Wangi. Laki-laki pemilik kedai segera menghampiri dengan sika penuh hormat.

"Seperti biasa, Pak Rahim," kata salah seorang yang ternyata Suryadenta.

Cuma sebentar Pak Rahim ke belakang. Kemudian kembali lagi dengan membawa baki besar berisi penuh makanan dan minuman. Mayadenta membantu Pak Rahim menyiapkan makanan di meja.

"Sebentar, Pak," cegah Suryadenta ketika Pak Rahim mau kembali lagi ke belakang.

"Duduk dulu di sini," kata Tirtadenta menyambung.

"Ada apa, Den?" tanya Pak Rahim seraya duduk disamping Bayudenta.

"Apakah kemarin Bapak melihat Ki Karangseda dan Ki Pungkur di sini?" tanya Suryadenta Iangsung.

"Tidak, Den," sahut Pak Rahim setelah berpikir sebentar.

Suryadenta memandang ketiga adiknya bergantian. Kemarin Ki Karangseda bilang, bahwa dia seharian berada di sini bersama Ki Pungkur. Sedang pemilik kedai sendiri mengatakan, tidak melihat mereka kemarin.

"Kalau Sanggabawung dan Sangga Kelana, apa Pak Rahim melihat mereka kemarin?" tanya Tirtadenta.

"Wah! Kalau mereka, seharian memang ada di sini, Den. Malah sampai dipanggil mereka baru ke luar," katanya yang memanggil kepala desa," sahut Pak Rahim.

"Mereka cuma berdua?" tanya Bayudenta menyambung.

"Benar, dan ada beberapa orang lagi. Tapi mereka pendatang yang menyewa rumahku," sahut Pak Rahim.

"Jadi, Ki Karangseda dan Ki Pungkur tidak ada di sini, kemarin?" Mayadenta ingin memastikan.

"Benar, Ni. Mereka tidak di sini. Kalau semalam, memang mereka ke sini, itu pun tidak lama. Karena kemudian mereka pergi lagi bersama seorang perempuan dan dua orang laki-laki."

"Pak Rahim kenal dengan mereka?" kejar Suryadenta.

"Tidak, Den. Tapi kelihatannya mereka dari kalangan persilatan. Yang perempuan sudah tua, tapi masih kelihatan cantik. Sedang yang laki-laki, masih muda-muda," kata Pak Rahim polos.

"Terima kasih, Pak," ucap Suryadenta.

Pak Rahim mengangguk sedikit, lalu beranjak pergi ke belakang. Sementara Suryadenta mengamati sekitarnya. Kemudian pandangannya berhenti pada Rangga dan Pandan Wangi yang tengah asyik menikmati makanannya, hingga seolah-olah tidak mendengarkan percakapan tadi. Suryadenta kembali mengalihkan pandangannya pada ketiga adiknya.

"Aku jadi curiga...," gumam Tirtadenta pelan.

"lya, aku juga tidak mengerti. Mengapa Ki Karangseda memberikan keterangan palsu?" sambung Bayudenta bergumam.

"Aku yakin, ini ada hubungannya dengan kedatangan para tokoh rimba persilatan ke sini. Dan yang pasti, ada hubungannya dengan Ki Jatirekso!" kata Mayadenta mantap.

Suryadenta mengerdipkan matanya sebelah. Dan dengan ujung ekor matanya, dia mengisyaratkan, ada dua orang yang duduk tidak jauh dari mereka.

Serentak mereka melirik Rangga dan Pandan Wangi. Pembicaraan pun terhenti seketika. Suryadenta mengerdipkan matanya lagi, kemudian mereka segera menikmati hidangan yang sudah tersedia sejak tadi. Namun demikian, sudut mata mereka tidak lepas mengamati dua orang yang tak jauh dari tempat mereka makan.

Merasa dirinya diamati terus, Rangga bangkit diikuti Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti itu segera meletakkan tiga keping uang perak di mejanya, kemudian melangkah ke luar kedai. Melihat tamunya pergi, Pak Rahim dengan tergopoh-gopoh segera menghampiri meja yang baru ditinggalkan Rangga dan Pandan Wangi. Lelaki tua itu melongo melihat tiga keping uang perak yang tergeletak diatas meja.

"Ck ck ck..., duit segini sih, bisa untuk beli kambing seekor," gumamnya pelan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Pak Rahim segera memasukkan uang itu ke dalam saku bajunya. Setelah membereskan meja bekas tamunya, kemudian dia melangkah kembali ke belakang. dengan wajah berseri-seri. Betapa tidak? Uang yang diberikan oleh Rangga begitu banyak, dan tidak sesuai dengan harga makanan.

********************

Rangga segera berhenti melangkah, begitu sampai di depan pinru pagar halaman rumah Kepala Desa Kali Anget. Sejenak diamatinya rumah yang kelihatan sepi itu. Kemudian Rangga menggamit tangan Pandan. Wangi, dan mengajaknya berlalu.

Desa Kali Anget, kini benar-benar telah dipenuhi pendatang, sehingga semua rumah penginapan tidak ada satu kamar pun yang kosong. Bahkan rumah-rumah penduduk pun terpaksa juga disewakan. Sebab itulah, biarpun Rangga dan Pandan Wangi sudah keliling desa, tapi tak satu rumah pun yang disewakan lagi. Rangga makin heran dengan keadaan desa ini.

"Bagaimana, Pandan? Tidak ada tempat untuk bermalam di sini," Rangga minta pendapat Pandan Wangi.

"Yah, apa boleh buat...?" Pandan Wangi mengangkat bahunya.

"Padahal perlu waktu sepekan untuk sampai ke desa berikutnya," kata Rangga memberitahu.

"Huh! Bosan rasanya, tidur di alam terbuka terus!" rungut Pandan Wangi. "Sudah dua pekan, kita menjelajahi hutan dan tidur di alam terbuka. Mau istirahat satu dua malam saja susah!"

"Kau menyesal?" tanya Rangga.

"Tidak!" jawab Pandan Wangi singkat.

"Mengapa cemberut begitu?"

"Tidak apa-apa," Pandan Wangi memang kesal, karena bayangan tidur di ranjang empuk sirna begitu saja.

Padahal semula dia sudah girang melihat perkampungan, ternyata bukan kegembiraan yang didapat, tapi malah kekesalan. Karena semua rumah penginapan sudah terisi.

Langkah mereka terhenti, karena dihadang oleh dua orang laki-laki tua yang berjubah mentereng. Sikap dua orang yang tak lain adalah Ki Karangseda dan Ki Pungkur ini, jelas-jelas menghalangi Iangkah Rangga dan Pandan Wangi. Mereka berdiri tegak di tengah-tengah jalan tanpa bergerak sedikit pun.

Ki Karangseda dan Ki Pungkur segera melangkah tiga tindak mendekat ke arah Rangga dan Pandan Wangi berhenti. Sementara Rangga melirik ke kanan, dan tampaklah dua orang lagi sudah berdiri di sana. Mereka bersenjata golok besar yang terselip di pinggang masing-masing.

Ternyata mereka tak lain adalah, Sanggabawung dan Sangga Kelana. Keduanya masih muda, mungkin seusia dengan Pendekar Rajawali Sakti atau lebih sedikit. Ada cambang lebat yang hampir memenuhi wajah mereka, sehingga membuat tampangnya kelihatan lebih tua.

"Maaf, bolehkah kami meneruskan perjalanan?" sapa Rangga seramah mungkin.

"Kalian siapa dan mau apa datang ke sini?" tanya Ki Karangseda datar, tapi tatapannya tajam memandang wajah Rangga.

"Aku Rangga, dan ini adikku, Pandan Wangi. Kami pengembara yang kebetulan lewat di desa ini," kata Rangga tetap sopan.

"Ke mana tujuanmu?" tanya Ki Pungkur.

"Tidak ada," sahut Rangga terus terang.

Ki Pungkur melirik Ki Karangseda, kemudian kepalanya mengegos kecil. Segera Sanggabawung dan Sangga Kelana melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Rangga cuma melirik sebentar, kemudian kembali memandang dua laki-laki tua di depannya yang masih menghadang.

"Sebaiknya kalian segera pergi dari tempat ini," kata Ki Karangseda tidak ramah.

Rangga tersenyum dan mengangguk. Dia menggamit tangan Pandan Wangi dan kembali melangkah. Sementara Ki Pungkur menggeser kakinya memberi jalan. Dua laki-laki tua itu masih terus memandang Rangga dan Pandan Wangi yang terus berjalan ke arah Barat. Tak lama kemudian Ki Pungkur mendekati Ki Karangseda.

"Kau lihat senjata yang dibawa laki-laki muda itu, Ki Karangseda?" pelan suara Ki Pungkur.

"Ya," jawab Ki Karangseda agak mendesah.

"Dilihat dari gagang pedangnya, seperti milik Pendekar Rajawali Sakti," Ki Pungkur menduga-duga.

Ki Karangseda memandang Ki Pungkur yang berdiri disampingnya. Kemudian pandangannya beralih ke ujung jalan, dimana Rangga dan Pandan Wangi belok ke kanan tadi.

"Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti," kata Ki Pungkur begitu pasti.

"Pendekar Rajawali Sakti selalu sendiri," bantah Ki Karangseda setengah bergumam.

"Tapi, ciri-ciri anak muda itu sangat mirip dengan Pendekar Rajawali Sakti!" Ki Pungkur tetap bersikeras.

"Ah, sudahlah! Dia tidak mungkin muncul di sini. Kabar terakhir yang kudengar, dia berada di wilayah Timur," bantah Ki Karangseda.

"Tapi...."

"Ah! Sudahlah, ayo!" Ki Karangseda memotong cepat.

Ki Karangseda menarik tangan Ki Pungkur, dan berjalan menuju ke rumah kepala desa.

********************

"Ayo, cepat! Jangan sampai terlambat!" seru Suryadenta sambil melompat dari tempat persembunyiannya.

Ketiga adiknya segera mengikutinya. Mereka berlari cepat ke ujung jalan yang memilki dua belokan. Dari cara mereka berlari, dapat dipastikan kalau ilmu yang dimiliki cukup tinggi. Dalam sekejap saja mereka sudah tidak kelihatan.

Mereka segera berhenti setelah sampai di perbatasan. Desa Kali Anget. Tampak hutan lebat membentang didepan. Sampai di sini, jalan sudah terputus oleh sungai besar yang mengalir deras. Tidak ada satu perahu pun yang tampak, hanya sebuah rakit yang dihubungkan dengan tambang ke seberang.

"Mungkin mereka sudah menyeberang, Kakang," kata Tirtadenta.

Suryadenta tidak menjawab. Matanya lurus menatap keseberang sungai. Tak seorang pun yang berada di atas rakit itu. Kemudian pandangan matanya menatap ke sekitarnya. Tiba-tiba matanya agak menyipit, begitu melihat jejak-jejak kaki yang tertera di tepian sepanjang sungai. Jejak-jejak kaki itu menuju ke muara, dan ini berarti kembali lagi ke Desa Kali Anget.

"Ikuti aku!" seru Suryadenta agak cerah wajahnya.

Mereka berjalan cepat menyusuri tepian sungai ke arah muara. Jejak-jejak kaki itu tertera jelas milik dua orang yang berjalan bersisian. Sejenak mereka berhenti melangkah, karena jejak-jejak kaki yang diikuti hilang begitu saja.

"Maaf, apakah ada yang kalian cari?"

Empat bersaudara itu bukan alang kepalang kagetnya, begitu mendengar suara dengan tiba-tiba dari belakang. Dengan segera mereka melompat berbalik. Kini di depan mereka berdiri Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.

"Kalau tidak salah, kalian berempat yang tadi berada dikedai. Apakah benar?" Rangga bersikap sopan dengan senyum tersungging di bibir.

"Benar," sahut Suryadenta.

"Lantas, apa maksud kalian mengikuti perjalanan kami?" tanya Rangga.

"Maaf, jika kami mengganggu. Tapi kami bermaksud baik padamu," kata Suryadenta.

"Hm...," Rangga mengernyitkan alisnya.

"Apakah kau Pendekar Raj awali Sakti?" tanya Bayudenta tidak sabaran.

Rangga tidak langsung menjawab, dia menatap empat orang di depannya. Kemudian pandangannya beralih pada Pandan Wangi di sampingnya. Pertanyaan Bayudenta membuatnya jadi berpikir.

"Mungkin kami salah menilai, silakan Ni dan Kisanak melanjutkan perjalanan," kata Suryadenta sambil menggerakkan tangannya, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan tempat itu.

"Tunggu!" cegah Rangga.

Suryadenta berhenti. Sementara Rangga mendekat kearah mereka, diikuti Pandan Wangi.

"Boleh aku tahu, untuk apa kalian mencari Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Rangga menyelidik.

"Apakah Kisanak tahu, dimana Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Suryadenta tidak menggubris pertanyaan Rangga.

"Aku akan menunjukkan, kalau kalian mau memberitahu alasannya," sahut Rangga.

Suryadenta memandang ketiga adiknya. Semua mengangguk perlahan, menyetujui usul Rangga. "Baiklah, aku memang tidak bisa menjelaskan secara rinci. Tapi, kalau ingin tahu semuanya, kau bisa menemui Ki Jatirekso atau Jaka Wulung," kata Suryadenta.

"Hm..., siapa mereka?"

"Kepala desa dan putranya. Rumah mereka yang paling besar di desa ini. Aku yakin, kau sudah melewatinya tadi," sahut Bayudenta.

"Kalau begitu, apakah aku harus bertanya dulu pada kepala desa itu?"

"Benar!"

"Ayo, Pandan!"

Rangga langsung melompat cepat. Pandan Wangi mengikutinya. Begitu cepatnya mereka berlalu, dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Empat orang yang menyaksikan itu hanya melongo.

"Bagaimana sekarang, Kakang?" tanya Tirtadenta.

"Kita harus pergi ke rumah kepala desa, tapi dengan cara diam-diam," kata Suryadenta.

"Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti. Tidak banyak orang yang bisa menghilang begitu cepat," kata Mayadenta setengah bergumam.

Tidak ada yang menanggapi ucapan Mayadenta. Mereka terus saja berjalan cepat menuju Desa Kali Anget. Tujuan mereka sudah pasti, yakni ke rumah kepala desa. Tapi Suryadenta mengajak melalui jalan memutar.

"Sebaiknya kita datang terang-terangan saja, Kakang," usul Mayadenta

"Tidak! Kita harus tahu, ada apa sebenarnya dibalik semua ini. Dan hanya dengan cara inilah, kita dapat mengetahui semua yang terjadi!" bantah Suryadenta.

"Tapi, tindakan kita apa tidak salah?" Mayadenta masih tetap tidak menyetujui.

"Demi kebenaran, segala cara harus ditempuh."

"Terlalu besar resikonya, Kakang."

Suryadenta menatap adik bungsunya itu. "Baiklah, kau dan Tirta datang dari depan. Tapi bersikaplah yang wajar, aku dan Bayu akan menyelinap dari belakang," kata Suryadenta bisa mengerti kekhawatiran adik perempuan satu-satunya itu.

"Tapi kalau ada yang menanyakanmu?" tanya Tirtadenta.

"Bilang saja, aku sedang di batas desa!" jawab Suryadenta tanpa pikir panjang lagi.

"Ayo, Bayu!"

Mayadenta tidak dapat mencegah lagi. Dia hanya bisa memandang kepergian dua kakaknya. Kemudian dia menurut saja ketika tangannya digamit Tirtadenta. Kini mereka terpisah menjadi dua bagian dengan tugas masing-masing. Mayadenta sendiri masih belum bisa memahami jalan pikiran kakak sulungnya. Tapi dia harus menurut, agar semua rencana yang ada di kepala Suryadenta bisa berjalan lancar.

********************

Ki Karangseda tampak bersungut-sungut ketika keluar dari rumah kepala desa. Sorot matanya tajam menatap Mayadenta dan Tirtadenta yang melintas di halaman rumah. Sejenak mereka saling tatap, kemudian Ki Karangseda terus melangkah diikuti Ki Pungkur. Mayadenta masih menatap ke arah kedua laki-laki tua itu, dan baru melangkah ketika tangannya digamit Tirtadenta.

Dua bersaudara itu terus melangkah masuk melewati ruang depan yang sepi. Tak lama kernudian, mereka melihat Jaka Wulung sedang duduk termenung sendirian diruang tengah. Jaka Wulung segera mengangkat kepalanya, begitu mendengar langkah-langkah kaki mendekat.

Sementara Mayadenta dan Tirtadenta langsung duduk didepan putra kepala desa itu, tanpa menunggu dipersilakan lebih dahulu.

"Barusan aku melihat Ki Karangseda dan Ki Pungkur," kata Tirtadenta membuka suara lebih dulu.

"Apa yang mereka lakukan?" tanya Jaka Wulung.

"Tidak ada," sahut Mayadenta sambil menggeleng. "Tapi nampaknya mereka gusar. Ada apa?"

"Mereka mendesakku," sahut Jaka Wulung pelan. Ada kegelisahan di wajahnya

"Apa yang mereka inginkan?" tanya Mayadenta mau tahu.

"Kepala!"

"Kepala...?!" Mayadenta dan Tirtadenta kaget bukan main. Untuk beberapa saat mereka saling tatap salu sama lainnya.

"Kepala siapa?" tanya Mayadenta dengan kening berkerut.

"Pendekar Rajawali Sakti!"

Bagai disambar petir di siang bolong, Mayadenta dan Tirtadenta terlonjak saking kagetnya. Kembali mereka saling tatap. Untuk beberapa lama, tidak ada yang bicara sedikit pun. Tirtadenta makin tidak mengerti, mengapa Ki Karangseda dan Ki Pungkur menginginkan kepala Pendekar Rajawali Sakti? Apakah mereka tidak bisa mengukur tingginya gunung dan dalamnya lautan?

Semua orang tahu, siapa Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun belum pernah melihat secara langsung, tapi kabar yang mereka dengar cukup membuat bulu kuduk merinding. Sampai saat ini, belum ada seorang tokoh pun yang mampu menandingi kesaktiannya. Lalu, bagaimana mungkin bisa memperoleh kepalanya?

"Apa yang diinginkan Ki Karangseda dengan kepala pendekar itu?" tanya Tirtadenta.

"Aku tidak tahu. Tapi dia terus mendesakku, agar mencari dan memenggal kepala pendekar itu," sahut Jaka Wulung lesu.

"Kenapa harus kau?" desak Mayadenta bimbang.

"Aku..., aku...," Jaka Wulung tampak kebingungan menjawab.

Tirtadenta dan Mayadenta saling berpandangan. Mereka merasakan ada sesuatu yang tidak beres dalam diri putra kepala desa itu. Kelihatannya Jaka Wulung tidak berdaya menghadapi desakan Ki Karangseda. Ada rahasia apakah sebenarnya di balik semua ini? Pertanyaan itulah yang terus mengganggu pikiran Tirtadenta dan adiknya selama ini.

"Katakan, Jaka! Kenapa Ki Karangseda menginginkan kau yang menghadapi Pendekar Rajawali Sakti itu?" desak Tirtadenta.

Jaka Wulung masih kebingungan untuk menjawab.

"Apakah dia mengancammu?" tanya Mayadenta mendesak juga.

Jaka Wulung tetap diam saja. Lidahnya terasa kaku untuk diajak bicara. Hanya matanya yang berputar-putar menatap dua wajah di depannya.

"Kau tidak bisa hanya dengan di am seperri itu, Jaka. Keadaan desa ini makin kacau dan makin banyak korban yang jatuh. Apakah kau ingin menambah korban lagi?" Tirtadenta tidak sabar lagi.

"Aku tidak bisa mengatakannya, sebaiknya kalian tanyakan langsung pada Ki Karangseda!" jawab Jaka Wulung seraya bangkit, dan melangkah menuju kamarnya.

"Jaka Wulung...!" sentak Tirtadenta.

Namun Jaka Wulung seakan tidak mendengar dan terus melangkah meninggalkan dua bersaudara itu. Tirtadenta bangkit ingin mengejar, tapi tangannya keburu dicekal adiknya. Terpaksa dia diamkan saja Jaka Wulung masuk kedalam kamarnya.

"Dari tadi, aku tidak melihat Ki Jatirekso. Di mana dia?" kata Tirtadenta setengah bergumam, seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Mayadenta nampak tersentak. Dia juga baru sadar, kalau dari tadi tidak melihat Ki Jatirekso. Secepat kilat dia melompat dan menerjang pintu sebuah kamar yang tertutup rapat. Ternyata kamar yang biasa ditempati Ki Jatirekso itu kosong melompong. Bahkan keadaannya berantakan bagai kapal layar pecah yang baru diamuk badai.

Melihat keadaan ini Mayadenta segera menuju ke depan pintu kamar Jaka Wulung. Kemudian diketuknya keras-keras pintu kamar itu. Tapi tidak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Sejenak gadis itu memasang telinganya tajam-tajam, dan tetap tidak ada suara sedikit pun yang terdengar. Sementara Tirtadenta yang tidak sabar, langsung mendobrak pintu itu.

Brak!

"Jaka...!" teriak Tirtadenta keras-keras.

Rasanya belum begitu lama Jaka Wulung masuk kekamar. Tapi mengapa kamar itu kosong? Sedang jendelanya juga tertutup rapat.

"Aku rasa, dia keluar lewat jendela," kata Mayadenta sambil membuka jendela yang tidak terkunci.

Menyadari keadaan rumah itu sudah kosong, mereka langsung keluar lewat jendela. Tapi begitu kaki mereka menjejak tanah, tiba-tiba dua bayangan meluncur ke arah mereka. Ternyata Suryadenta dan Bayudenta yang datang.

"Tidak lihat Jaka Wulung?" tanya Mayadenta langsung kesasaran.

"Tidak...," sahut Suryadenta menggelengkan kepala.

"Memangnya ada apa?" tanya Bayudenta tidak mengerti.

"Ki Jatirekso menghilang," sahut Tirtadenta.

"Dan Ki Karangseda mendesak Jaka Wulung agar memenggal kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Jaka Wulung tidak mau mengatakan yang sebenarnya, malah kabur lewat jendela kamarnya," lanjut Mayadenta menyambung.

"Gila! Permainan apa pula ini?" dengus Suryadenta.

"Apa orang asing itu sudah tiba di sini?" tanya Bayudenta.

Tirtadenta dan Mayadenta menggelengkan kepala sambil berpandangan. Mereka tadi cuma melihat Ki Karangseda dan Ki Pungkur ke luar dari rumah itu. Sementara di dalam cuma ada Jaka Wulung sendirian. Dan tidak ada siapa-siapa lagi di rumah itu.

********************

Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi tengah beristirahat di bawah pohon yang tidak jauh dari rumah kepala desa. Sesekali pandangan mereka menatap ke arah jalan yang ramai dipenuhi orang-orang hilir mudik dengan kesibukan masing-masing.

"Aku yakin, kau pernah kenal dengan Ki Karangseda," kata Pandan Wangi.

"Dengar namanya saja baru kali ini," keluh Rangga.

Tangannya menjumput batu kerikil dan melemparkannya begitu saja.

"Tapi mengapa dia menginginkan kepalamu?" tanya Pandan Wangi masih tetap tidak percaya pada jawaban Rangga.

Mereka tadi memang mendengar semua percakapan dengan jelas di rumah Ki Jatirekso. Tapi Rangga dan Pandan Wangi sengaja tidak menampakkan diri. Mereka ingin mengetahui lebih jelas, apa sebenarnya yang tengah terjadi.

"Itu yang sedang aku pikirkan sekarang, Pandan," kata Rangga setelah cukup lama diam.

"Kalau begitu, kenapa tadi Jaka Wulung tidak kita kejar saja?"

"Untuk apa?" Rangga balik bertanya.

"Kok, untuk apa? Dia kan diperintahkan untuk memenggal kepalamu. Tentunya dia tahu, apa maksud Ki Karangseda menginginkan kepalamu."

"Yang diinginkan adalah aku. Jadi, biarkan saja laki-laki tua itu yang mencariku! Untuk apa mengurusi dia?"

"Kau mulai egois, Kakang!"

"Tidak! Sampai sejauh ini, aku tidak pernah mementingkan diri sendiri."

"Memang, tapi kau harus ingat! Dengan keadaan seperti itu, Jaka Wulung terancam nyawanya, dan kita harus bertindak!"

"Kita tunggu saja perkembangannya, Pandan," jawab Rangga mengalah.

Tak lama kernudian mereka bangkit. Sejenak mata mereka menatap rumah besar tempat tinggal Kepala Desa Kali Anget. Setelah itu mereka berbalik dan hendak melangkah pergi. Namun baru saja kaki mereka terayun, tiba-tiba...

"Awas...!" seru Rangga keras.

Seketika itu juga dia mendorong tubuh Pandan Wangi, dan tangan kanannya bergerak cepat menangkap benda hitam yang meluruk deras ke arahnya sambil melompat. Dan dengan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya lagi ke tanah. Sedangkan Pandan Wangi yang terdorong tadi, bergulingan, lalu bagai seekor burung walet, dia melompat dan bangkit lagi. Tangannya segera mencabut kipas yang terselip di pinggang. Sebuah kipas baja dengan ujung-ujungnya yang runcing dan tajam.

Rangga segera mengamati tiga batang anak panah berwarna hitam pekat yang tergenggam di tangannya. Matanya yang setajam mata elang, berhasil menangkap kelebatan bayangan hitam dari balik semak belukar disebelah kanannya.

Menyadari hal itu, dia langsung salto sambil mengebutkan tangan kirinya dengan cepat. Dan sebelum kakinya menginjak tanah kembali, Rangga telah melemparkan anak-anak panah yang tadi disambarnya kearah bayangan hitam itu.

Crab, crab, crab...!

Tiga bayangan hitam langsung ke luar dari dalam semak belukar. Sejenak Rangga mengamati tiga orang yang berpakaian serba hitam, yang kini telah berdiri didepannya.

"Hebat! Tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Rajawali Sakti!" kata salah seorang yang berdiri di tengah. Suaranya kecil, namun terdengar nyaring melengking.

"Siapa kalian?" tanya Rangga.

"Hik hik hik..., kami inilah yang mendapat julukan Tiga Bayangan Tengkorak!"

"Pantas! Tubuhmu kurus kering seperti tengkorak," sungut Pandan Wangi mencibir.

"Kenapa kalian ingin membunuhku?" tanya Rangga lagi.

"He he he..., seribu keping uang emas untuk kepalamu, Pendekar Rajawali Sakti! Benar-benar luar biasa, begitu mahal harga kepalamu," sahut orang yang berdiri paling kanan.

Rangga menggeser kakinya ke samping kiri, mendekati Pandan Wangi. Sejenak dimiringkan kepalanya dan berbisik di telinga gadis itu.

"Kau menyingkir dulu, adik kecil," bisik Rangga.

"Apa?!" Pandan Wangi kontan mendelik disebut adik kecil.

"Benar! Kau menyingkir saja anak manis," celetuk salah seorang dari Tiga Bayangan Tengkorak.

Pandan Wangi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena Rangga sudah mendorong pundaknya agar menyingkir. Mau tidak mau, dia terpaksa menyingkir. Tapi tidak begitu jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.

Sejenak Rangga melirik Pandan Wangi. Gemas juga dia, karena gadis itu hanya berdiri di bawah pohon yang jaraknya masih terlalu dekat.

"Sebaiknya lepaskan sendiri kepalamu, bocah! Agar kami tidak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga," kata salah seorang dari Tiga Bayangan Tengkorak yang berdiri ditengah.

"Kalau kalian menginginkan uang itu, berusahalah untuk mendapatkannya!" tantang Rangga.

"Bersiaplah untuk mati, bocah!"

"Tunggu!"

Tiba-tiba Pandan Wangi melompat, dan langsung berdiri di tengah-tengah. Tentu saja kenekatan gadis itu membuat Rangga kaget setengah mati.

"Pandan...!" bentak Rangga agak emosi.

"Tenang, Kakang. Biarlah aku yang main-main dulu dengan kakek-kakek jelek ini!" kata Pandan Wangi keras suaranya.

"He he he..., menyingkirlah, anak manis. Wajahmu terlalu cantik, jangan membuat aku terpaksa merusak kecantikanmu," kata orang yang di tengah mengejek.

"Aku memang ingin jelek seperti mukamu!" tantang Pandan Wangi ketus.

"Kurang ajar! Kurobek mulutmu!" geram yang di kanan.

"Mungkin tanganmu dulu yang buntung!"

"Setan...!"

********************

Salah seorang dari Tiga Bayangan Tengkorak yang bernama Bayangan Tengkorak Putih langsung menerjang Pandan Wangi. Tampak jari-jari tangannya terkembang kaku. Sementara Pandan Wangi menggeser kakinya sedikit, sambil menarik tubuhnya ke kiri. Kemudian dengan cepat, dia mengebutkan kipas mautnya ke arah tangan yang mengembang kaku itu.

Bayangan Tengkorak Putih sangat terkejut dengan serangan mendadak itu, segera ditariknya kembali tangannya. Tapi belum sempat ditarik penuh, tiba-tiba kaki Pandan Wangi mengenai dadanya. Si Bayangan Tengkorak Putih terjengkang beberapa langkah, tapi kernudian dia melompat untuk menghindari serangan berikutnya. Di lain pihak, tanpa menurunkah kakinya, Pandan Wangi ikut melompat dengan memutar kedua kakinya.

Buk, buk!

Dua kali kaki Pandan Wangi mendarat telak di punggung dan dada lawannya. Langsung saja lawannya mengaduh dan tubuhnya tersuruk dengan keras. Sementara Pandan Wangi mendarat mulus di tanah.

"Setan...!" umpatnya.

"Baru begitu saja sudah jatuh, apalagi melawan Pendekar Rajawali Sakti?" ejek Pandan Wangi.

Tiga Bayangan Tengkorak sangat geram mendengar ejekan itu, dan tak lagi menganggap remeh gadis itu. Mereka segera bergerak dan mengepung dari tiga jurusan. Sementara jari-jari tangan mereka yang kurus, terentang kaku, bagai cakar besi yang siap mengoyak apa saja.

"Bagus! Maju kalian semua!" dengus Pandan Wangi.

Tak jauh dari situ, tampak Rangga masih tetap berdiri ditempatnya. Sebenarnya dia masih khawatir akan Pandan Wangi, meskipun tadi Pandan Wangi sudah memperlihatkan kemajuan yang diperolehnya. Sementara pertarungan antara Pandan Wangi melawan Tiga Bayangan Tengkorak sudah berlangsung sengit.

Rangga keheranan melihat Pandan Wangi mampu menandingi lawannya sampai sepuluh jurus. Bahkan tampaknya, dia masih mampu menandingi sampai lima puluh jurus sekali pun. Tidak disangka sama sekali, kalau gadis itu telah memperoleh kemajuan yang begitu pesat. Kipas baja mautnya yang ada di tangan, berkelebatan memancarkan sinar keperakan yang mengancam tubuh lawan.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak keras dan melengking tinggi.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke udara. Setelah dua kali berputar, tiba-tiba di tangan kanannya sudah berganti dengan sebuah pedang berwarna merah menyala. Sedang kipas baja mautnya, berada di tangan kiri. Kini, dengan Pedang Naga Geni di tangan, dia bagai sesosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa.

Tiga Bayangan Tengkorak terkesiap melihat pamor pedang di tangan Pandan Wangi. Tapi sebelum mereka ada kesempatan untuk bertindak, dengan cepat Pandan Wangi mengibaskan dua senjata pusakanya dan menerjang bagai kilat.

Bet!

"Akh!" tiba-tiba salah seorang musuhnya memekik tertahan.

Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang, sedang darahnya mengucur deras dari pangkal lengannya yang buntung terbabat pedang. Sementara Rangga yang berdiri tak jauh dari tempat itu, sampai menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Pandan Wangi bagaikan singa betina yang mengamuk.

"Mampus kalian. Yeaaah...!" pekik Pandan Wangi.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya berputar cepat. Sementara sinar merah yang keluar dari pedangnya, mengurung seluruh tubuhnya. Saat itulah salah seorang lawannya lagi tidak sempat menghindar. Maka tanpa ampun lagi, orang kurus itu langsung menjerit menyayat hati sambil memegangi dadanya yang tertembus pedang. Kemudian tubuhnya ambruk ke tanah tak bergerak-gerak lagi. Sedangkan Pandan Wangi berdiri tegak dan menatap tajam pada salah seorang lagi yang masih hidup.

"Sekarang giliranmu, kakek jelek!" dengus Pandan Wangi.

Laki-laki tua yang tinggal seorang diri itu, langsung mundur beberapa tindak. Hatinya menciut melihat dua temannya sudah menggeletak berlumuran darah. Sementara Pandan Wangi dengan pedang teracung di tangan perlahan-lahan mendekati musuhnya.

"Pandan...," panggil Rangga seraya mendekat.

Pandan Wangi tidak menoleh. Pandangan matanya tajam menatap musuhnya yang terus melangkah mundur. Rangga segera menggamit tangan Pandan Wangi dan menekannya ke bawah. Sejenak Pandan Wangi berhenti melangkah dan langsung menatap Rangga.

"Sudahlah, dia sudah tidak berdaya," kata Rangga menyadarkan.

"Ingatlah, Kakang. Hanya karena seribu keping uang emas, dia mau memenggal kepalamu. Masih pantaskah dia dibiarkan hidup?" Pandan Wangi kembali menatap tajam pada musuhnya.

"Masukkan pedangmu, Pandan!" perintah Rangga tegas.

Pandan Wangi menatap tajam ke arah Rangga. Kemudian perlahan-lahan dia memasukkan pedang Naga Geni ke dalam warangkanya. Rangga tersenyum, lalu melangkah mendekati kakek tua itu.

"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Kek?" tanya Rangga dengan suara lembut dan sopan.

"Bayangan Tengkorak Hitam!" sahut kakek itu dingin.

Memang sulit mengetahui nama asli seorang tokoh rimba persilatan. Mereka lebih senang menggunakan julukan daripada nama sebenarnya.

"Siapa yang membayarmu?" tanya Rangga lagi sambil tersenyum.

"Itu bukan urusanmu!" ketus jawaban si Bayangan Tengkorak Hitam.

"Nyawamu sudah di tenggorokan, Kakek Jelek!" geram Pandan Wangi mengancam.

"Kenapa tidak kau bunuh saja aku sekalian?" tantang Bayangan Tengkorak Hitam sambil melirik dua temannya yang sudah tidak bernyawa lagi. Rangga segera menahan langkah Pandan Wangi, yang sudah muak dengan melihat tingkah kakek itu.

Gadis itu menggerutu, mengapa Rangga masih juga sabar, padahal orang yang dihadapinya jelas-jelas menginginkan kepalanya.

"Jawab pertanyaanku, Bayangan Tengkorak Hitam Kalau tidak... biar adikku yang mengurusmu," ancam Rangga.

"Huh!" Bayangan Tengkorak Hitam hanya mendengus.

"Siapa yang membayarmu?" tanya Rangga lagi.

Bayangan Tengkorak Hitam tetap diam.

"Jawab!" bentak Pandan Wangi gusar.

Pandan Wangi benar-benar tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dan tanpa dapat dicegah lagi, ia segera melompat sambil menarik pedangnya. Begitu cepatnya dia bergerak, sehingga Bayangan Tengkorak Hitam tidak sempat lagi mengelak. Seketika itu juga, laki-laki tua itu langsung menjerit melengking tinggi, begitu tubuhnya terbabat pedang Pandan Wangi.

Kemudian Pandan Wangi melayangkan kakinya ke arah dada. Kontan saja tubuh Bayangan Tengkorak Hitam terjengkang deras ke belakang dan membentur batang pohon yang besar. Setelah jatuh tubuh itu terkulai tidak bernyawa lagi.

********************

EMPAT

Rangga segera mendekati Pandan Wangi yang sudah berbalik. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Pendekar Raj awali Sakti mendesah panjang. Sementara matanya mengamati tiga sosok tubuh yang sudah tak bernyawa lagi.

"Aku yakin, pasti Ki Karangseda yang menginginkan kepalamu, dan yang membayar mereka," kata Pandan Wangi menduga-duga.

"Jangan menuduh sembarangan, Pandan."

"Sudah terbukti, kok! Bahkan dia juga mendesak Jaka Wulung. Apa itu bukan bukti yang nyata?"

"Ada kemungkinan lain, Pandan."

"Apa?"

"Kemungkinannya, Ki Karangseda juga tergiur oleh seribu keping uang emas."

"Tapi, kenapa dia mendesak Jaka Wulung?"

"Itu yang harus kita ketahui."

Pandan Wangi diam. Kemudian hampir bersamaan, mereka menoleh ke arah Desa Kali Anget. Kini mereka tahu, kalau orang-orang rimba persilatan datang ke desa itu, sengaja menunggu Pendekar Rajawali Sakti dan memenggal kepalanya demi memperoleh seribu keping uang emas. Yang jadi masalahnya sekarang, siapa yang menginginkan kepala pendekar itu?

Rangga sendiri baru sekali menginjakkan kakinya di desa ini. Sebab itulah, dia tidak bisa menentukan, siapa dalang semua ini? Tapi sebagai pendekar pilih tanding, Rangga menyadari, tidak sedikit yang menginginkan kematiannya.

Perlahan-lahan Rangga melangkah, sementara Pandan Wangi mengikutinya tanpa banyak bicara lagi. Sejenak gadis itu mengerutkan kening, begitu menyadari kalau Rangga menuju ke Desa Kali Anget.

"Untuk apa kita ke sana lagi?" tanya Pandan Wangi.

"Mencari orang yang memiliki uang sebanyak itu," sahut Rangga santai.

"Huh! Sama saja masuk ke kandang macan!" dengus Pandan Wangi kesal.

"Itu lebih baik, daripada menjadi binatang buruan.

"Disana kan banyak orang mencarimu, Kakang. Dan sudah jelas, bahwa maksud mereka tidak baik. Apa kau ingin menyerahkan kepalamu?" Pandan Wangi makin tidak mengerti jalan pikiran Rangga.

"Tenang saja, tidak semua orang kenal padaku. Memang, mereka bisa saja tahu namaku, tapi kan tidak mengenal orangnya."

"lya, sih...."

"Nah! Kenapa mesti takut?"

"Siapa yang takut?" Pandan Wangi mendelik.

"Dengar, Pandan. Sejak semula aku sudah mengatakan padamu. Terlalu banyak resiko untuk mengikuti langkahku. Sebenarnya aku tidak keberatan kau ikut, tapi kalau kau sayang dengan nyawamu, lebih baik...."

"Kakang!" sentak Pandan Wangi memutus kata-kata Rangga.

Rangga hanya tersenyum melihat Pandan Wangi cemberut. Kemudian dia menghentikan langkahnya tepat dibatas desa. Dia tahu, kalau Pandan Wangi mengkhawatirkan dirinya, dan dia tahu, kalau Pandan Wangi.... Ah! Rangga cepat-cepat membuang segala macam pikiran mengenai gadis itu.

Mereka segera mengalihkan pandangannya ketika mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat. Tiba-tiba tampak empat orang yang tak lain adalah Suryadenta dan tiga adiknya. Menyadari hal itu, Pandan Wangi segera meraba kipas besinya yang terselip di pinggang. Sementara Rangga hanya berdiri tenang menunggu sampai empat bersaudara itu mendekat.

"Ah, kebetulan sekali bertemu di sini," kata Suryadenta lebih dulu.

"Hm, ada apa?" tanya Rangga bergumam.

"Apakah kalian lihat Jaka Wulung?" tanya Suryadenta.

"Tidak," Pandan Wangi menyahut.

"Sayang sekali," gumam Suryadenta pelan.

"Dia lari dari rumah. Bahkan ayahnya juga menghilang entah kemana," Bayudenta menjelaskan. Dan tanpa diminta, dia segera menceritakan semua kejadian di rumah Kepala Desa Kali Anget.

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia melirik Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya. Gadis itu hanya membalasnya dengan senyum tipis di bibir. Pikirnya, tanpa mendengar cerita dari Bayudenta pun, mereka sudah mengetahui segala yang terjadi.

"Kalau kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti, aku mohon, agar segera meninggalkan desa ini. Karena orang-orang itu tidak akan ke sini, kalau kau juga tidak ada disini," kata Suryadenta setelah adiknya menyelesaikan ceritanya.

"Agar kalian tahu saja, aku datang ke sini cuma singgah sebentar. Lagipula, ketika aku datang, mereka kan sudah ada di sini," kata Rangga membela diri.

"Aku tahu itu," sahut Suryadenta tak menyalahkan.

"Tidak ada asap, kalau tidak ada obor. Dan sumber api itu ada di desa ini. Untuk itu, mungkin kami tidak akan meninggalkan desa ini sebelum mengetahui, siapa yang ada di belakang layar ini," tegas suara Pandan Wangi.

Empat bersaudara itu bisa mengerti kata-kata yang terucap melalui kiasan itu. Memang mereka tidak dapat menyalahkan Rangga dan Pandan Wangi, dan mereka juga tidak bisa mencegah, kalau kedua pendekar itu ingin mencari dalang dari semua kejadian ini. Bahkan katanya, orang itu ada di Desa Kali Anget. Tapi siapa?

"Percayalah, aku akan menghadapi mereka di luar desa ini. Tunggu saja, akan kupancing mereka semua keluar dari desa," janji Rangga.

"Oh, kalau begitu terima kasih," ucap Suryadenta lega.

"Untuk itu, aku juga mohon bantuan kalian," kata Rangga lagi.

"Dengan senang hati, kami selalu siap membantu bila diperlukan," sahut Suryadenta berseri-seri.

"Tolong sebarkan berita, kalau aku ada di batas Utara Desa Kali Anget," kata Rangga tegas.

"Batas Utara...!?" Suryadenta terkejut.

"Bukankah itu merupakan daerah yang berjurang?" Bayudenta tidak mengerti, kenapa Rangga memilih tempat yang berbahaya sekali.

"Lagipula, di sana juga tempat berkumpulnya ular-ular berbisa, dan tak seorang pun yang pernah bisa ke luar dengan selamat kalau sudah memasuki daerah itu," sambung Suryadenta bergidik ngeri.

"Aku tahu, justru itulah aku memilih tempat itu," kata Rangga tersenyum penuh arti.

"Sebaiknya jangan!" cegah Mayadenta tegas.

"Maaf, keputusanku tidak akan dirubah. Kalau kalian ingin membantu katakan pada mereka, kalau aku ada disana!" tegas Rangga cepat-cepat.

"Ayo Pandan!"

"Hey...!"

Seruan Suryadenta terlambat, karena Rangga dan Pandan Wangi sudah lebih dulu melompat Dan dalam sekejap mata, kedua pendekar itu sudah lenyap dari pandangan. Empat bersaudara itu hanya saling pandang, kemudian mengangkat bahu hampir bersamaan.

"Sebaiknya kita berpisah jadi dua bagian. Untuk sementara, kita turuti saja kemauan pendekar itu," kata Suryadenta membuka suara lebih dulu.

"Caranya?" tanya Tirtadenta.

"Tiupkan kabar burung, tapi jangan sampai ada yang tahu kalau sumbernya dari kita," celetuk Mayadenta. Gadis itu memang lebih cerdas daripada ketiga kakaknya.

"Jelaskan rencanamu, Adik Maya," pinta Bayudenta.

Mayadenta tersenyum manis. Lalu dia segera membeberkan semua rencananya yang sudah terkumpul dikepala. Sementara ketiga kakaknya hanya mengangguk- anggukkan kepala. Karena apa yang menjadi rencana Mayadenta begitu mudah untuk dilaksanakan. Lagi pula tidak mengandung resiko tinggi, tapi hasilnya dapat diandalkan. Suryadenta tersenyum bangga pada adik bungsunya itu.

"Bagaimana?" tanya Mayadenta setelah mengemukakan semua rencananya.

"Setujuuu...!" serempak ketiga kakaknya menyahut.

"Kalau begitu, mari segera kita laksanakan!"

"Mudah-mudahan berhasil," gumam Suryadenta.

"Harus!" sergah Mayadenta begitu optimis.

********************

Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Desa Kali Anget sebelah Timur, tampak sebuah pondok kecil yang letaknya sangat terpencil. Pondok itu terlindung oleh pepohonan maupun semak belukar dan dijaga ketat oleh dua orang bersenjata golok di pinggang.

Sejenak dua orang penjaga itu langsung berdiri, ketika dua orang laki-laki tua ke luar dari dalam pondok. Ternyata mereka adalah Ki Karangseda dan Ki Pungkur.

"Kita harus mengetahui, siapa yang menyebarkan berita itu," dengus Ki Karangseda setengah emosi.

"Padahal kabar itu sudah menyebar, Kakang," sahut Ki Pungkur.

"Brengsek! Bisa gagal semua rencanaku!" umpat Ki Karangseda.

"Bagaimana dengan Ki Jatirekso dan anaknya?" tanya Ki Pungkur.

"Biarkan saja! Itu bukan urusan kita lagi," dengus Ki Karangseda menggeram.

"Tapi, Kakang. Perempuan lblis Pulau Karang...."

"Itu urusan pribadi mereka sendiri! yang penting jabatan Kepala Desa Kali Anget sekarang sudah kosong"

"Tapi kau belum bisa mengangkat dirimu jadi kepala desa, Kakang," kata Ki Pungkur.

"Apa maksudmu?"

"Masih terlalu menyolok, dan malah bisa membuat kecurigaan semua orang. Sementara, kabar bahwa Pendekar Rajawali Sakti menunggu di batas Utara desa, tidak bisa dibendung lagi. Sedang korban makin banyak yang jatuh, karena mereka makin bernafsu dengan hadiah seribu keping uang emas. Coba bayangkan, bagaimana kalau mereka sampai tahu bahwa...."

"Adi Pungkur...!" sentak Ki Karangseda memotong cepat.

Ki Pungkur terdiam seketika.

"Ingat! Tugasmu adalah hanya meyakinkan penduduk, agar mereka mengangkatku jadi kepala desa. D an hanya itu, titik!" tegas suara Ki Karangseda dengan emosi.

Ki Pungkur hanya diam, dan terus saja mengikuti langkah kakaknya. Mereka tidak menyadari, kalau dari tadi langkahnya diawasi sepasang mata bulat yang bening dan indah dari dalam pondok. Sepasang mata itu milik seorang wanita cantik, namun garis-garis ketuaan sudah membayang di wajahnya. Wanita itu mengenakan baju yang ketat, hingga membentuk tubuhnya yang ramping dan masih bisa membuat mata kaum lelaki tak berkedip memandangnya.

"Sanggabawung...," panggil wanita itu lembut.

"Ada apa, Nini?" sahut Sanggabawung yang sejak tadi berdiri di dekat pintu pondok, sambil melangkah menghampiri.

Sejenak Sanggabawung melirik adiknya yang masih tetap berdiri pada tempatnya. Dia bisa paham kalau Sangga Kelana juga melirik padanya. Panggilan lembut dari Perempuan Iblis Pulau Karang sudah dapat diterka maksudnya oleh Sanggabawung maupun Sangga Kelana.

"Selidiki ke Utara, apakah benar Pendekar Rajawali Sakti ada di sana?" perintah perempuan itu.

Sanggabawung menelan ludahnya, membasahi tenggorokan yang mendadak kering. Lalu dia melirik pada Sangga Kelana yang pura-pura tidak mendengar suara itu. Siapa orangnya yang tidak bergidik ngeri, mendengar daerah perbatasan Desa Kali Anget sebelah Utara? Daerah yang dinamakan Kawah Neraka itu sungguh membuat orang pingsan, hanya mendengar namanya.

"A.., apakah tidak ada tugas Iain, Nini?" Sangga bawung mencoba menawar.

"Ada!" sahut perempuan itu ketus. "Tapi syaratnya, penggal dulu sebelah tanganmu!"

Lagi-Iagi Sanggabawung cuma bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Kata-kata lembut yang diucapkan perempuan itu ternyata membuat jantungnya mau copot. Sekali lagi diliriknya Sangga Kelana. Kesal juga dia, karena Sangga Kelana seperti mengejek. Sungguh mati, tadinya dia mengira, bahwa perempuan cantik yang sudah berumur itu mau mengajaknya bermain-main di ranjang.

Padahal, kalau saja Sanggabawung boleh memilih, lebih baik dia dihadapkan pada singa yang lapar, daripada harus ke Kawah Neraka seorang diri.

"Pergilah, aku menunggu kabarmu, besok!" kata perempuan itu lagi.

Kali ini Sanggabawung benar-benar tidak bisa membantah lagi. Semua orang tahu, walaupun kata-kata perempuan itu lembut tapi tidak main-main, Kalau dia sudah bilang penggal kepala, maka harus segera dilaksanakan tanpa ada istilah kompromi lagi. Kini, Sanggabawung merasakan seolah-olah nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sejenak dia masih ragu dan berdiri saja di muka pintu pondok.

"Sangga Kelana...!" terdengar suara lembut memanggil dari dalam.

Tanpa menunggu panggilan dua kali, Sangga Kelana langsung melompat. Sejenak dia menatap kakaknya sebelum membuka pintu pondok. Terbersit rasa kasihan melihat mata yang redup dan tak bergairah itu.

"Aku akan menyusulmu nanti, Kakang. Pergilah sampai ke batas desa Utara saja. Dan tunggu aku di sana," kata Sangga Kelana setengah berbisik.

"Terima kasih," hanya itu yang bisa diucapkan Sanggabawung.

"Sangga Kelana...!" terdengar lagi panggilan dari dalam.

Sangga Kelana buru-buru menepuk.pundak kakaknya dan melangkah ke dalam pondok. Sementara Sanggabawung masih berdiri saja di depan pintu yang terbuka sedikit.

"Tutup pintunya, anak bagus," terdengar lagi suara lembut dari dalam pondok.

Setelah pintu pondok tertutup rapat, terdengar suara kunci dari dalam. Sanggabawung menarik nafas dalam-dalam, kemudian kakinya terayun rneninggalkan pondok itu dengan lesu.

Sementara dari dalam pondok terdengar suara mengikik di sela-sela nafas memburu.

********************

Sudah cukup lama Sanggabawung menunggu diperbatasan Utara Desa Kali Anget. Tapi adiknya, Sangga Kelana, belum juga menampakkan diri. Kegelisahan mulai merambat di dadanya. Dia berjalan mondar-mandir seperti anak kecil kehilangan mainannya. Beberapa kali dia menatap kearah Timur, di mana Perempuan Iblis Pulau Karang tinggal.

Kegelisahan segera sirna begitu matanya melihat Sangga Kelana berjalan gontai menghampirinya. Wajah pemuda itu kelihatan cerah, bibirnya sedikit monyong menyiulkan irama Iagu yang tidak jelas.

"Lama sekali, kau!" sergah Sanggabawung dengan kesal begitu adiknya sudah dekat.

"Aku harus menunggu perempuan itu tidur dulu," sahut Sangga Kelana kalem.

"Huh! Hampir saja aku mati karena gelisah menunggumu di sini," rungut Sanggabawung.

"Seharusnya kau sabar sedikit, masa aku tidak boleh mencicipi juga," masih kalem dan sedikit bercanda suara Sangga Kelana.

"Dia sudah tua, Sangga Kelana!" sergah Sangga bawung sok menyadarkan.

"Tapi kan tidak kalah sama yang muda," tangkis Sangga Kelana.

Sanggabawung hanya menggerutu. Dia sendiri mengakui, bahwa yang dikatakan adiknya benar. Bahkan dia sendiri juga pernah bermain dengan perempuan itu di atas ranjang.

"Bagaimana, berangkat sekarang?" tanya Sangga Kelana.

"Tunggu!" sergah Sanggabawung. Telinganya yang tajam mendengar langkah-langkah kaki ringan.

Sangga Kelana juga mendengarnya, maka tanpa dikomando lagi, kakak beradik itu langsung melompat kepohon yang tinggi. Sementara mata mereka menatap kesemak-semak yang bergoyang tak beraturan. Tiba-tiba dari dalam semak itu muncul dua orang, laki-laki bertubuh tegap dan bersenjata rantai baja yang terbelit di pinggang.

Sanggabawung dan Sangga Kelana tahu siapa mereka. Mereka adalah Jaladara dan Jalapati, dan dikenal dengan julukan Dua Rantai Pencabut Nyawa. Mereka termasuk tokoh hitam yang datang ke Desa Kali Anget karena tergiur oleh hadiah itu.

"Kita harus sampai lebih dulu sebelum yang lain, Kakang," kata Jaladara. Suaranya besar dan berat sekali terdengar.

"Tenang saja, Adik Jaladara. Seribu keping uang emas pasti jatuh ke tangan kita," sahut Jalapati terkekeh.

"Terus terang, aku sudah bosan menunggu," rungut Jaladara.

"Hari ini Pendekar Rajawali Sakti harus cuma tinggal nama saja. Dan seribu keping uang emas akan kita peroleh, he he he...!" Lagi-lagi Jalapati terkekeh.

"Aku dengar dia tidak sendirian di sana, Kakang," kata Jaladara.

"Ah, cuma seorang perempuan, Kalau dia cantik, malah bisa untuk selingan, kan?"

"Kau pernah dengar nama si Kipas Maut, Kakang?"

"Pernah, tapi sudah lama dia menghilang, setelah mendapatkan Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni," sahut Jalapati.

"Sekarang dia bersama Pendekar Rajawali Sakti."

Jalapati tersentak kaget. Dia langsung berhenti melangkah, sementara matanya tajam menatap adiknya. Sepengetahuannya, sebelum Kipas Maut menguasai Kilab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni, dia sudah bisa membuat nyali lawan jatuh. Apalagi setelah dia menguasai kedua benda tersebut! Sungguh tidak diduga sama sekali kalau si Kipas Maut kini bersama Pendekar Rajawali Sakti.

Kalau berita itu memang benar, sungguh berat yang akan mereka hadapi nanti. Untuk menghadapi Pendekar Rajawali Sakti saja, belum tentu mereka bisa menang. Apalagi harus ditambah si Kipas Maut?

"Aku tak peduli siapa pun yang membantu dia, yang jelas, kita harus bisa memenggal kepala pendekar itu!" dengus Jalapati menggeram.

"Aku malah sangsi, Kakang," ada nada pesimis pada suara Jaladara.

"He! Sejak kapan kau jadi penakut?"

"Sebaiknya kita urungkan saja niat kita, toh kita bisa memperoleh lebih banyak dari hadiah itu. Kita bisa menguras orang-orang kaya di desa ini, lalu kabur!" usul Jaladara.

"Tidak!" sentak Jalapati.

"Terserah Kakang lah," Jaladara mengangkat bahunya, mengalah.

Kemudian dua Rantai Pencabut Nyawa itu melanjutkan langkahnya. Mereka sama sekali tidak menyadari, kalau semua pembicaraannya ada yang mendengarkan dari atas pohon. Tak lama setelah Dua Rantai Pencabut Nyawa itu pergi, Sanggabawung dan Sangga Kelana kernbali turun.

"Mereka menuju ke Kawah Neraka," gumam Sanggabawung.

"Itu berarti Pendekar Rajawali Sakti memang ada di sana, Kakang," kata Sangga Kelana menyahuti.

"Aku tidak percaya sebelum melihat sendiri," sergah Sanggabawung.

"Kau berani ke sana?"

Sanggabawung menatap adiknya tajam. Pertanyaan itu benar-benar merupakan tantangan yang menimbulkan api semangat. Dan rasa penasaran setelah mendengar pembicaraan dua orang tadi, membuat rasa gentarnya hilang. Maka tanpa banyak bicara lagi, mereka segera mengayunkan langkahnya menuju ke Kawah Neraka.

********************

LIMA

Di Desa Kali Anget, Suryadenta dan saudara-saudaranya sedang bergembira, karena rencana mereka untuk menyebarkan berita tentang keberadaan Pendekar Rajawali Sakti, tanpa diketahui sumbernya, berjalan mulus tanpa hambatan. Bahkan orang-orang rimba persilatan mulai meninggalkan desa, menuju Kawah Neraka yang berada diluar batas Desa Kali Anget sebelah Utara.

Namun, kegembiraan empat bersaudara itu tidak berlangsung lama, karena Ki Pungkur mulai menyebarkan hasutan untuk memilih kepala desa yang baru. Sedang Ki Pungkur dengan terang-terangan menyodorkan Ki Karangseda sebagai calon tunggalnya.

"Aku jadi curiga, jangan-jangan semua ini sudah di atur oleh Ki Karangseda," kata Mayadenta setengah bergumam.

Saat itu mereka tengah berada di kedai Pak Rahim. Kedai yang menjadi langganan mereka untuk mengisi perut dan memecahkan segala permasalahan.

"Benar," sambung Tirtadenta. Tidak mungkin orang-orang rimba persilatan datang ke sini kalau tidak ada yang mengundang. Dan kita sudah tahu, mereka ke sini untuk menunggu Pendekar Rajawali Sakti."

"Aku sendiri jadi bingung, bagaimana mereka bisa tahu kalau pendekar itu akan lewat sini?" sambung Bayudenta setengah bergumam.

"Seribu keping uang emas..., benar-benar hadiah yang menggiurkan untuk satu kepala manusia. Tapi tak masalah bagi Ki Karangseda. Bahkan sepuluh kali lipat pun, dia sanggup menyediakan," kata Mayadenta menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sementara Suryadenta hanya mendengarkan. Apa yang dikatakan adik-adiknya memang benar. Ki Karangseda adalah seorang yang paling kaya di desa ini. Dan semua juga tahu, Ki Karangseda sangat berambisi jadi kepala desa. Dia tidak puas hanya sebagai wakilnya saja. Menurutnya, dialah yang lebih pantas jadi kepala desa. Dia tidak pernah rneninggalkan desa. Sedangkan Ki Jatirekso belum lama kembali ke desa, lantaran mengembara.

Suryadenta menengadahkan kepalanya. Dia ingat sekarang, kalau antara Ki Karangseda dan Ki Jatirekso dari dulu tidak pernah sepaham. Ada saja yang menjadi perselisihan di antara mereka.

"Sejak tadi kau diam saja, Kakang. Apa yang kau pikirkan?" tegur Tirtadenta.

"Yaaah...," desah Suryadenta agak kaget.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Mayadenta mengulangi pertanyaan tadi.

Belum sempat Suryadenta meniawab, tiba-tiba perhatian mereka beralih pada Ki Pungkur, yang tahu-tahu sudah ada di dalam kedai. Dia melangkah ringan menghampiri empat bersaudara yang duduk menghadapi satu meja. Tanpa dipersilakan lagi, Ki Pungkur menuang arak yang ada di atas meja ke dalam mulutnya.

"Lezat sekali arak ini," kata Ki Pungkur seraya meletakkan guci arak yang sudah kosong.

Tidak ada yang menanggapi kata-kata Ki Pungkur. Semua hanya memandang dengan tatapan kurang senang. Lebih-lebih Mayadenta, dari dulu dia memang tidak pernah menyukai laki-laki itu. Semua orang tahu, Ki Pungkur selalu menggunakan harta kekayaannya untuk kepentingan pribadi. Dan tidak ada gadis-gadis di desa ini yang lolos dari perhatiannya.

Sedang Mayadenta pun tahu, kalau mata laki-laki itu selalu memandangnya dengan liar dan binal. Bahkan saat ini pun mata Ki Pungkur juga terus merayapi wajah cantik di depannya, yang juga tengah memandangnya dengan penuh kebencian.

"Apakah kalian sudah mendengar pengumuman?" kata Ki Pungkur tidak mempedulikan empat pasang mata yang menatapnya tanpa ada persahabatan.

"Sudah," sahut Suryadenta datar dan dingin suaranya.

"Bagus! Kalian pasti setuju untuk mengganti kepala desa, bukan?" Ki Pungkur tersenyum lebar. Tidak ada satu pun yang menjawab.

"Seluruh penduduk tampaknya sudah tidak sabar lagi untuk mengangkat Ki Karangseda menjadi kepala desa. Dan aku pun sudah menetapkan harinya," kata Ki Pungkur lagi.

"Tidak semudah itu, Ki Pungkur!" dingin suara Mayadenta.

"He he he..., semuanya mudah diatur," Ki Pungkur terkekeh seraya mengedipkan matanya ke arah gadis itu.

"Penduduk tidak akan pernah memilih kakakmu! Mereka masih setia pada Ki Jatirekso yang pasti akan kembali lagi," kata Tirtadenta agak muak melihat tingkahnya.

"Apa yang kalian harapkan dari seorang pengecut seperti itu, heh?!" seketika itu juga wajah Ki Pungkur berubah.

"Ki Jatirekso lebih baik daripada Ki Karangseda!" dengus Tirtadenta.

"Phuih! Orang pengecut begitu kalian anggap baik? Melarikan diri pada saat seluruh penduduk membutuhkannya. Kalau dia memang seorang kepala desa yang baik, kenapa tidak bertindak? Dia kan punya hak untuk mengusir mereka semua?!" suara Ki Pungkur terdengar meledak-ledak dan berapi-api. Wajahnya merah padam.

"Asal kau tahu saja, Ki Jatirekso tidak melarikan diri, dia sedang menyelidiki, siapa pembuat onar di sini?" sahut Suryadenta dingin.

"Kalian pasti tahu, bahwa orang-orang itu datang atas undangan Ki Jatirekso. Dia memang punya dendam pribadi dengan Pendekar Rajawali Sakti, karena anak yang dititipkan Perempuan Iblis Pulau Karang padanya, tewas! Dan perempuan itu minta ganti rugi dengan kepala Pendekar Rajawali Sakti!"

Tanpa menunggu tanggapan dari empat bersaudara itu, Ki Pungkur langsung berbalik meninggalkan kedai. Sedang empat bersaudara itu masih tetap duduk di tempatnya. Kata-kata Ki Pungkur begitu jelas dan gamblang. Bahkan Pak Rahim yang duduk di sudut, langsung terbangun.

"Kalian percaya pada kata-katanya?" Mayadenta memecah kebisuan.

"Entahlah," desah Suryadenta seraya bangkit.

********************

Kawah Neraka bukanlah tempat yang ramah dan gampang dicapai. Bagi yang nyalinya kecil, langsung mengundurkan diri dari percaturan memperebutkan kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tidak sedikit juga yang nekad, meskipun nyawa sebagai taruhannya. Kini, sudah tak terhitung lagi, berapa jumlah yang tewas di tempat itu, sebelum bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara itu, Sanggabawung terus melangkah memasuki daerah Kawah Neraka. Di belakangnya, tampak Sangga Kelana. Tidak kurang dari sepuluh mayat yang mereka jumpai, begitu menginjakkan kaki di daerah ganas itu. Semua mayat-mayat itu dalam keadaan rusak mengenaskan.

"Hsss...!" tiba-tiba terdengar suara mendesis.

Sanggabawung langsung menghentikan langkahnya. Sedang matanya liar mengawasi sekitarnya. Tiba-tiba Sangga Kelana mencolek pundak kakaknya. Kedua matanya mendelik lebar melihat beberapa ekor ular dari berbagai macam jenis, sedang merayap menghampiri. suara mendesis yang disertai bau amis, semakin tajam menusuk hidung. Buru-buru Sanggabawung mengeluarkan pedangnya.

"Kita telah terkepung, Kakang," desah Sangga Kelana bergetar.

"Nampaknya ular-ular itu ada yang mengendalikan," bisik Sanggabawung.

Kini mereka benar-benar sudah terkepung oleh ratusan ular berbisa dari bebagai macam jenis. Sementara suara mendesis makin keras terdengar. Melihat keadaan yang demikian, Sangga Kelana segera merapatkan punggungnya ke punggung Sanggabawung. Sementara ular-ular itu semakin mendekat ke arah mereka.

"Awas...!" seru Sanggabawung tiba-tiba.

Bersamaan dengan itu, seekor ular belang mencelat kearah Sangga Kelana. Secepat kilat anak muda itu mengibaskan goloknya. Tak ampun lagi, ular itu langsung menggelepar dengan tubuh terpotong jadi dua. Bau amis darah yang ke luar dari tubuh ular tadi, membuat ular ular lainnya makin beringas. Kini mereka sibuk mengibaskan goloknya dan membabat ular-ular yang mencoba mendekat.

Dalam waktu yang singkat saja, tidak terhitung lagi ular yang terbabat dan putus jadi dua bagian. Namun herannya, ular-ular lainnya bukannya surut melihat temannya mati, tapi malah tambah semakin banyak.

"Celaka! Bisa kehabisan nafas kalau begini!" rungut Sanggabawung tersengal.

"Binatang celaka ini semakin banyak!" dengus Sangga Kelana. Sementara keringatnya sudah bercucuran membasahi wajah dan lehernya.

"Cepat pergi dari sini!" seru Sanggabawung.

"Kau...?!"

"Jangan hiraukan aku.... Akh!"

"Kakang...!"

Sanggawabung meringis. Salah seekor ular berhasil menyambar kaki kanannya. Kontan saja dia membabatkan goloknya ke arah ular itu. Dan darah pun langsung muncrat dari tubuh ular yang telah buntung. Tapi tiba-tiba satu ekor lagi berhasil menerkam kaki kiri Sanggabawung.

"Hiya...!" Sangga Kelana melompat tinggi ke udara.

Goloknya berkibas cepat sekali. Tampak lima ekor ular langsung terbabat buntung.

"Cepat pergi..., aaakh...!" Sanggabawung tidak mampu lagi bertahan.

Hampir seluruh tubuhnya sudah dibelit ular-ular yang langsung mematukinya. Sangga Kelana menggeram menyaksikan kakaknya mati dengan begitu tragis. Sementara tubuh Sanggabawung menggelepar tak karuan dilibat puluhan ekor ular.

Sangga Kelana kembali melompat lebih tinggi, dan kabur dari tempat itu. Dia baru berhenti berlompatan setelah jaraknya agak jauh dari tempat itu.

"Uh..., uh...!" Sangga Kelana membungkuk menahan nafasnya.

Belum sempat dia bernafas lega, tiba-tiba seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ada suara auman harimau yang begitu dekat. Dia terkejut sekali dan matanya mendelik melihat seekor harimau besar mengendap-endap menghampiri.

"Mati aku...!" keluh Sangga Kelana putus asa.

Sementara harimau itu makin mendekat ke arah Sangga Kelana. Suaranya yang besar bagai guntur, telah membuat pemuda itu menciut nyalinya. Seluruh persendiannya terasa lemas tak bertenaga. Baru saja terlepas dari satu bahaya, kini sudah menghadang bahaya lain yang tidak kalah ngerinya. Tubuh harimau itu besar sekali, lebih besar dari anak kerbau. Tiba-tiba harimau itu melompat bagai kilat kearah Sangga Kelana. Sejenak anak muda itu terkesiap, lalu Harimau itu melompat bagai kilat ke arah Sangga Kelana. Sejenak anak muda itu terkesiap, lalu dengan cepat sekali dia melenting ke atas menghindari sergapan harimau itu!

"Hih!" Sangga Kelana bergidik juga merasakan terjangan harimau itu lewat di bawahnya dengan cepat sekali dia melenting ke atas menghindari sergapan harimau itu.

"Hih!" Sangga Kelana mengibaskan goloknya begitu dia berada di atas.

Namun tanpa diduga sama sekali, harimau itu meIentingkan tubuhnya dengan manis dan lentur sekali, sehingga tebasan golok Sangga Kelana menyambar angin. Kemudian setelah kakinya menginjak tanah kembali, dia bersiap-siap lagi untuk menerima serangan berikutnya dari si raja hutan itu.

"Ayo maju! Serang aku!" seru Sangga Kelana nekad.

"Auuummm...!" harimau itu mengaum keras menggetarkan bumi.

"Phuih! Kau pikir aku takut, heh?!" Sangga Kelana menyemburkan ludahnya.

Sangga Kelana menggerakkan kakinya menyusur tanah. Goloknya dia kibas-kibaskan di depan dada. Sementara kedua matanya terpicing lebar menatap harimau yang hanya diam mendekam di rumput tebal.

********************

"Auuummm...!" Harimau itu kembali mengaum keras.

Sementara Sangga Kelana yang sudah siap sejak tadi, langsung menghindar, begitu harimau itu melompat dan menerjangnya. Sangga Kelana menjatuhkan tubuhnya seraya mengayunkan goloknya ke arah perut hewan itu. Dia berguling ke samping dan langsung melompat bangun. Sementara kibasan goloknya hanya mengenai angin, karena harimau itu bisa mengelak dengan melenturkan tubuhnya.

Belum juga Sangga Kelana berdiri, harimau itu sudah kembali menerjang sambil mengaum. Buru-buru dia mengelebatkan goloknya dan memapak terjangan harimau itu. Sungguh di luar dugaan, meskipun berada di udara, harimau itu bisa berkelit menghindari kibasan goloknya. Bahkan tanpa disangka-sangka, harimau itu melentingkan tubuhnya lebih tinggi lagi.

Harimau itu seperri sudah terlatih menghadapi lawan manusia bersenjata. Belum lagi hilang rasa herannya, mendadak sebelah kaki depan binatang itu menyambar dari atas.

"Akh!" Sangga Kelana memekik tertahan.

Darah mengucur dari bahu yang koyak tersambar kuku-kuku tajam kaki harimau itu. Dia langsung melompat mundur. Luka di bahunya begitu besar, hingga darah mengucur deras membasahi bajunya.

"Grrr...!" harimau itu menggeram begitu mencium darah segar.

"Ukh! Matilah aku," lenguh Sangga Kelana putus asa.

Kembali harimau itu menerjang dengan kecepatan tinggi. Sementara Sangga Kelana yang sudah kehilangan semangat, dengan sebisanya menghindari serangan itu dengan berkelit sambil mengibaskan goloknya.

Darah pun mengucur semakin banyak dari luka Sangga Kelana. Gerakan-gerakannya pun semakin lemah. Sedang matanya berkunang-kunang lantaran terlalu banyak darah yang ke luar. Dari tadi tebasan goloknya tidak ada yang mengenai sasaran.

Sangga Kelana kini benar-benar sudah tidak berdaya. Untuk berdiri saja rasanya tidak mampu lagi. Sementara keringat dan darahnya bercampur jadi satu. Nafasnya tersengal-sengal dan memburu cepat. Kini dia hanya berlutut, bertopang pada goloknya. Sedangkan harimau itu tampak mendekam sekitar tiga batang tombak dari Sangga Kelana. Sementara kedua matanya menatap liar menggetarkan jantung.

"Ayo, bunuh aku! Terkam aku, binatang!" rungut Sangga Kelana putus asa.

"Grrr...," harimau itu hanya menggeram lirih. Seperti mengolok-olok keputus asaan Sangga Kelana.

Melihat harimau itu diam saja, Sangga Kelana mencoba bangkit. Namun baru saja bergerak, tiba-tiba harimau itu menggeram hebat. Membuat Sangga Kelana mengurungkan niatnya. Kini hanya matanya yang berani menatap harimau yang tetap mendekam bermalas-malasan. Dia heran, kenapa harimau itu menjadi seperti jinak. Hanya saja, setiap dia bergerak harimau itu menggeram hebat. Seperti hendak mengatakan, dirinya harus diam.

"Heran, apa sebenarnya yang dia inginkan?" gumam Sangga Kelana dalam hati

Belum lagi pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba terdengar siulan nyaring yang melengking panjang. Siulan itu menggema, seakan-akan datang dari segala arah. Setelah dua kali siulan panjang itu terdengar, maka pada siulan ketiga, harimau itu bangkit berdiri. Gerakannya lamban seperti malas untuk bangun.

"Oh!" Sangga Kelana semakin kaget ketika matanya menangkap sesosok tubuh berjubah merah sudah berdiri didepannya.

Dia seorang perempuan tua yang rambutnya sudah memutih dan tergulung ke atas. Wajahnya penuh keriput, namun sinar matanya tajam menatap Sangga Kelana. Seluruh tubuhnya terbungkus jubah merah yang longgar. Sementara tangan kanannya menggenggam tongkat dengan beberapa kelukan berkepala bulat yang tak beraturan bentuknya.

"Belang...!" suara perempuan aneh itu terdengar serak dan kering. "Habisi dia!"

Harimau besar itu menggeram lirih, lalu segera.menerkam tubuh Sangga Kelana yang sudah tak berdaya lagi. Dia mengoyak-ngoyak tubuh itu dan menyantapnya dengan bernafsu.

Setelah merasa kenyang, dia segera merebahkan tubuhnya di samping tuannya. Sementara lidahnya menjulur-julur ke luar menjilati sisa-sisa darah yang melekat di mulutnya. Lalu nenek penguasa Kawah Neraka yang berjuluk Ratu Macan Kumbang itu mengajak binatang piaraannya pergi meninggalkan bangkai Sangga Kelana yang tinggal tulang-tulang saja.

ENAM

Selain daerahnya sangat berbahaya, Kawah Neraka juga menyimpan banyak misteri. Sampai kini, berarti sudah tiga hari, Sangga Kelana tidak ketahuan kabar beritanya. Sedang Sanggabawung sudah menggeletak jadi mayat busuk, dengan tubuh hancur digerogoti ratusan ular berbisa.

Begitu ganasnya daerah itu, apa mungkin Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut ada di sana? Rasanya sulit, sekalipun dia seorang tokoh sakti. Hal itu dapat dilihat dari beberapa tokoh rimba persilatan golongan hitam yang hanya menunggu di batas Kawah Neraka. Itu pun mereka sudah seribu kali berpikir untuk melakukannya.

Dan hal tersebut juga disadari betul oleh Rangga dan Pandan Wangi. Mereka tahu, betapa bahayanya berada didaerah itu. Sementara bagi Rangga, dia juga tidak mau mengambil resiko terlalu berat, karena orang-orang rimba persilatan yang menginginkan kepalanya demi seribu keping uang emas, menunggu di sana. Sebab itulah, sebenarnya mereka tidak berada di sana.

"Bagaimana perkembangan Desa Kali Anget?" tanya Rangga pada Pandan Wangi yang selalu mengamati keadaan desa dan orang-orang rimba persilatan.

"Ada perkembangan baru," sahut Pandan Wangi.

"Maksudmu?" Rangga tertarik.

"Sebentar lagi akan ada pengangkatan kepala desa baru, dan calonnya hanya satu, Ki Karangseda," Pandan Wangi menjelaskan.

"Lantas, bagaimana tindakan Suryadenta dan adik-adiknya?"

"Mereka terus berusaha mencari Ki Jatirekso dan Jaka Wulung. Menurut berita yang tersiar, Ki Jatirekso lah yang mengundang tokoh-tokoh rimba persilatan. Tapi Suryadenta dan adik-adiknya tidak percaya. mereka justru menduga, Ki Karangseda dan Ki Pungkur lah yang mendalangi semua ini," jelas Pandan Wangi lagi.

"Sudah kuduga...," gumam Rangga pelan, seakan yakin bahwa kejahatan akhirnya akan terbongkar.

"Aku juga mendapat keterangan, kalau Ki Karangseda diam-diam selalu berhubungan dengan Perempuan Iblis Pulau Karang," lanjut Pandan Wangi.

"Siapa dia?" tanya Rangga sedikit terkejut.

"Perempuan tua, tapi masih kelihatan muda dan cantik. Dia adalah seorang tokoh sakti yang datang dari Pulau Karang. Dulu, Ki Jatirekso juga pernah berhubungan dengan perempuan itu, ketika masih sama-sama muda. Tapi, waktu itu ia masih terkenal dengan sebutan Pendekar Pukulan Besi."

"Teruskan," pinta Rangga ketika Pandan Wangi berhenti.

"Aku belum tahu pasti, ada hubungan apa di antara mereka. Tapi yang jelas, sebelum peristiwa itu terjadi, Ki Jatirekso memang sudah memerintahkan Jaka Wulung untuk mencarimu," lanjut Pandan Wangi.

"Mencariku? Untuk apa?" tanya Rangga terheran-heran.

"Entahlah, hanya itu yang bisa kuperoleh," sahut Pandan Wangi.

Sejenak Rangga merenung. Keningnya berkerut dalam, seakan dia tengah berpikir keras untuk mencerna semua keterangan itu, Memang belum seluruhnya jelas, tapi sedikit banyak sudah bisa dijadikan gambaran. Kemudian Rangga mendesah panjang, kepalanya menengadah memandang langit biru yang bersih dari awan. Tampak matahari mulai condong ke Barat, sedang sinarnya tak lagi menyengat.

Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit. Pandangan matanya lurus ke Kawah Neraka. Dari tempat yang cukup tinggi seperti itu, dia dapat melihat jelas bentuk dari daerah itu. Dalam sekelebatan mata, bentuknya memang mirip sebuah kawah, tapi ditumbuhi pepohonan yang sangat lebat, dan dikelilingi bukit-bukit kecil bagai sebuah benteng baru alam. Untuk menuju ke sana, hanya ada satu jalan, yakni melewati Desa Kali Anget.

"Jalan satu-satunya untuk membuka tabir ini, kita larus menemui Ki Jatirekso," gumam Rangga pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.

"Aku rasa tidak," bantah Pandan Wangi.

"Hm..., menurutmu?" Rangga menoleh.

"Perempuan Iblis Pulau Karang!" sahut Pandan Wangi mantap.

Rangga kembali mengernyitkan keningnya. Memang, perempuan itu pasti mengetahui semuanya. Hanya saja, rasanya tidak mungkin bisa memperoleh keterangan darinya. Bagaimana mungkin, sudah jelas dalam masalah ini dia selalu berhubungan dengan Ki Karangseda.

Di lain pihak, untuk menghubungi Ki Jatirekso atau Jaka Wulung, sepertinya kurang tepat. Bukan hanya memakan waktu saja, tapi mereka tidak tahu, ke mana harus mencari? Dan tak seorang pun tahu, di mana kini mereka berada. Kecuali.... Ya! Kecuali, hanya satu yang tahu. Dan itu juga baru suatu kemungkinan.

"Ayo ikut aku, Pandan!" seru Rangga dengan riba-tiba dan langsung melompat.

"Ke mana?" tanya Pandan Wangi segera ikut melompat.

"Ikut saja!"

Sementara itu, jauh di luar batas Desa Kali Anget sebelah Selatan, tampak berdiri rumah kecil berdinding papan dan beratap daun-daun rumbia. Rumah itu tampak jadi seperti tersembunyi, karena dikelilingi oleh pepohonan besar dan kecil. Keadaannya tampak sunyi bagai tak berpenghuni. Namun di dalam rumah itu ada Ki Jatirekso dan Jaka Wulung yang tengah duduk di dipan bambu. Sementara didepan mereka, duduk beralaskan tikar pandan, seorang perempuan tua yang sedang menganyam bambu yang dihaluskan tipis-tipis.

Perempuan itu adalah Nyi Nirah, ibu dari Ki Jarirekso yang juga berarti nenek Jaka Wulung. Tampak tubuhnya sangat kurus tertutup kemben kembang-kembang yang sudah lusuh. Sementara kerut-kerut kulitnya memenuhi seluruh tubuh. Sedang baris gigi yang hitam akan terlihat saat dia menguap lebar. Namun dengan keadaan yang demikian, dia masih punya sinar mata yang jernih, pertanda bahwa dia memiliki isi dalam tubuhnya. Dalam usianya yang sudah mencapai seratus tahun lebih, Nyi Nirah masih juga bisa menganyam bambu. Terlihat dari jari-jemari tangannya yang lincah menganyam.

"Kapan kau akan kembali ke Desa Kali Anget, Rekso?" tanya Nyi Nirah memecah kesunyian. Suaranya masih terdengar gagah meskipun bergetar.

"Mungkin tidak," sahut Ki Jarirekso pelan.

"Apa kau tidaK kasihan melihat rakyatmu sengsara? Aku tahu betul siapa Ki Karangseda itu, watak dan tingkah lakunya persis dengan mendiang ayahnya dulu. Aku tidak yakin, kejadian ini karena dia ingin membalas kematian ayahnya," kata Nyi Nirah kembali mengenang masa lalunya.

"Mungkin juga begitu, Bu," sahut Ki Jatirekso.

"Ayahmu dulu juga seorang pendekar. Dialah yang membunuh ayah Karangseda karena membela kehormatannya sebagai seorang laki-laki. Mana ada laki-laki di dunia ini yang bisa diam kalau melihat istrinya dirampas. Yaaah...., sebetulnya sih bukan dia yang membunuh, tapi aku! Akulah yang menusukkan keris pusaka Pancasona ke dadanya. Aku bangga dengan ayahmu, Rekso. Dia mau bertanggung jawab, meskipun harus mati di tiang gantungan. Sejak saat itu, aku tidak mau lagi menginjak Desa Kali Anget," ada kesenduan pada suara Nyi Nirah.

"Sudahlah, Bu. Tidak perlu lagi mengingat-ingat kejadian itu. Aku sudah melupakannya. Itulah sebabnya, kenapa aku bersedia dipilih jadi kepala desa, meskipun aku sadar, peristiwa seperti yang terjadi saat ini sebagai akibatnya," kata Ki Jarirekso mencoba menenangkan hati ibunya.

"Kabar sudah tersiar luas, bahwa kaulah yang mengundang orang-orang rimba persilatan untuk memenggal kepala Pendekar Rajawali Sakti," lirih suara Nyi Nirah.

"Biarkan mereka menduga begitu, Bu. Biarkan Karangseda tertawa dengan kemenangannya. Toh akhirnya, rakyat juga yang bisa menentukan. Rasanya aku tidak mungkin lagi berbuat apa-apa sekarang. Aku hanya bisa melihat dan melihat!" sedikit tertekan suara Ki Jatirekso.

"Bagaimana kalau mereka percaya, bahwa kau yang mengundang orang-orang itu? Aku juga dengar bahwa diantara mereka kini ada Perempuan Iblis Pulau Karang," Nyi Nirah memberi pilihan.

"Aku yang akan menghadapi perempuan itu. Dia tidak akan pernah berhenti mengusikku sebelum kupenggal lehernya!" geram juga Ki Jatirekso diingatkan begitu.

"Kau tidak akan mampu, Rekso. Dia bukan lawanmu.

"Lebih baik aku mati di tangannya, daripada jadi boneka permainan!"

"Tapi, bagaimanapun juga, dia masih istrimu. Aku, bisa merasakan perasaannya karena aku juga perempuan, Rekso. Sebuas-buasnya harimau betina, dia tidak akan mungkin memangsa keluarga dan keturunannya sendiri. Kemungkinan dia hanya ingin melampiaskan sakit hatinya padamu. Tapi dia tidak bermaksud mencelakakanmu, apalagi membunuhmu," lagi-lagi Nyi Nirah mengingatkan.

Ki Jatirekso hanya diam termangu. Secara jujur, dia masih mencintai perempuan itu. Tapi karena tingkahnya yang liar dan tidak pernah puas hanya dengan satu laki-laki, Ki Jatirekso terpaksa meninggalkannya dengan memberi cacat pada wajahnya. Tapi entah bagaimana caranya, perempuan itu kini kelihatan semakin muda dan tambah cantik saja.

Di dunia ini, memang begitu banyak hal-hal yang sulit dimengerti oleh akal dan pikiran yang sehat. Semua yang dirasa mustahil, kadang jadi kenyataan. Entah itu dengan cara lurus atau bersekutu dengan setan. Pokoknya semua cara ditempuh manusia untuk mencari kepuasan diri. Manusia memang makhluk paling egois di muka bumi ini!

Sejenak Ki Jatirekso melirik Jaka Wulung. Sejak tadi, mata anaknya tidak pernah lepas memandang ke luar. Jaka Wulung adalah anak satu-satunya dari perkawinannya dengan Telasih, si Perempuan Iblis Pulau Karang. Tapi, sejak berumur sepuluh hari, Jaka Wulung tidak pernah kenal siapa ibunya. Sedang Ki Jatirekso selalu mengatakan, bahwa ibunya sudah meninggal ketika melahirkan.

"Ayah...!" Panggil Jaka Wulung tiba-tiba.

Ki Jatirekso segera bangkit dan mendekati anak muda itu. Dia melongokkan kepalanya melalui jendela yang terbuka sedikit. Tampak agak jauh di depan, ada dua bayangan tubuh manusia yang berlari-Iari kecil menghampiri rumah ini. Dua bayangan putih dan biru itu berkelebatan dari balik pepohonan.

"Kau kenal dua orang itu, Rekso?" tanya Nyi Nirah yang tanpa ikut mengintai.

"Belum begitu jelas," sahut Ki Jatirekso yang tidak lagi heran mendengar pertanyaan ibunya. Di kenal betul siapa ibunya. Perempuan itu bisa mendengar dan membedakan gerak dari jarak yang cukup jauh. Karena dia memiliki ilmu pendengaran jarak jauh yang sudah sempurna.

"Dua orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, ayunan kakinya begitu ringan dan halus," gumam Nyi Nirah seraya berusaha bangkit.

Melihat itu, Jaka Wulung segera melompat dan membantu neneknya berdiri. Kemudian dituntunnya kedekat jendela. Meskipun perempuan itu tidak memerlukan bantuan untuk berjalan, tapi dia membiarkan cucu satu-satunya itu membantu. Bahkan dia tersenyum bangga pada Jaka Wulung. Sedangkan Ki Jatirekso memberi tempat agar ibunya bisa lebih jelas melihat ke luar.

"Satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka masih amat muda," kata Nyi Nirah setelah memandang ke luar sebentar. "Ah Ada pedang di punggung. Bentuknya begitu mirip dengan kepala burung. Benar-benar pasangan yang serasi. Ck ck ck...."

"Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Ki Jarirekso pelan.

"Siapa...?" tanya Nyi Nirah.

Tapi sebelum pertanyaan perempuan itu terjawab, Ki Jarirekso sudah mencelat ke luar. Begitu cepatnya, tahu-tahu dia sudah berdiri tegak di depan pondok. Ki Jatirekso tampak seperti menghadang dua orang yang semakin dekat ke arah pondok. Benarkah dugaan dan penglihatan Ki Jatirekso?

********************

Apa yang didengar dan dirasakan Nyi Nirah memang benar. Dua orang yang datang itu adalah Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka segera berhenti melangkah setelah jaraknya dekat dengan Ki Jatirekso. Sementara dari dalam pondok, Nyi Nirah ke luar didampingi Jaka Wulung.

Rangga segera merunduk, memberi hormat pada perempuan tua yang sudah berdiri di samping Ki Jatirekso. Nyi Nirah membalas dengan mengangguk pula sebagaimana seorang pendekar bertemu sesama pendekar.

"Kalau tidak salah penglihatanku, benarkah nenek yang bernama Nyi Nirah?" tanya Rangga ingin memastikan.

"Benar, anak muda. Dari mana kau bisa tahu namaku?" balas Nyi Nirah sopan, mengimbangi kesopanan Rangga.

"Bibi Pelangi banyak cerita tentang nenek."

"Ah, ya..., bagaimana keadaan dia sekarang? Apakah kedua keponakannya sehat dan betah tinggal di sana?"

"Semuanya baik-baik saja, Nyi."

Nyi Nirah melirik Jaka Wulung yang berdiri di samping ayahnya.

"Jaka! Kenapa kau diam saja seperti patung? Ayo, beri hormat pada pamanmu!" sentak Nyi Nirah.

Jaka Wulung jadi kebingungan, buru-buru dia membungkuk, memberi hormat. Rangga tersenyum dan membalas dengan membungkuk pula. Keadaan tersebut, bukan saja mengherankan Ki Jatirekso dan anaknya, Jaka Wulung. Pandan Wangi pun demikian. Mereka heran melihat Nyi Nirah dan Rangga seperti sudah saling kenal, hingga saling hormat begitu rupa.

"Aku sudah banyak tahu tentang dirimu, Rangga. Biarpun berpuluh tahun aku mengurung diri di sini, tapi setiap kejadian di luar, aku selalu bisa mengikutinya. Adik Pelangi mengatakan, bahwa dia telah mengangkatmu sebagai saudara, dan tentunya kau juga jadi saudaraku," kata Nyi Nirah tersenyum lebar.

"Terima kasih," ucap Rangga.

"Mari, sebaiknya kita ngobrol di dalam saja," ajak Nyi Nirah.

Rangga segera menggamit tangan Pandan Wangi dan mengikuti langkah Nyi Nirah yang di dampingi Ki Jatirekso dan Jaka Wulung. Tak lama kemudian, tampak mereka telah duduk di lantai pondok yang beralaskan papan dan dilapisi tikar pandan. Jaka Wulung segera menyediakan beberapa guci arak dan gelas dari bambu yang dihaluskan.

"Silakan," Nyi Nirah mempersilakan tamunya untuk minum.

Rangga segera mengangkat gelas yang sudah diisi arak manis oleh Jaka Wulung. Sementara Pandan Wangi juga minum setelah Nyi Nirah dan Ki Jatirekso menenggak minuman dari guci yang sama. Sedangkan Jaka Wulung hanya duduk di samping neneknya. Di benaknya masih diliputi berbagai macam pertanyaan mengenai Rangga dan neneknya yang begitu saling menghormati.

"Apakah ada sesuatu yang khusus hingga kau datang kemari? Atau hanya sekedar singgah?" tanya Nyi Nirah setelah beberapa saat terdiam.

"Sebenarnya aku sengaja datang ke sini, tapi tanpa diduga malah bertemu dengan Ki Jatirekso dan adik Jaka Wulung di sini," sahut Rangga sambil melirik dua laki-laki yang duduk mengapit Nyi Nirah.

"Hm..., ya, ya...! Aku tahu." Nyi Nirah terangguk-angguk.

"Terus terang, Nyi. Sejak semula aku tidak percaya, kalau Ki Jatirekso mengundang jago-jago itu untuk membunuhku," kata Rangga sejujurnya. "Dan kedatanganku ke sini, sebenarnya juga untuk meminta bantuan pada Nyi. Karena menurut Bibi Pelangi, Nyi memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain."

"Ki Jatirekso sudah menceritakan semuanya padaku. Semua ini hanya karena dendam lama seseorang pada Jatirekso. Aku sendiri tidak tahu, kenapa justru kau yang dijadikan kambing hitam."

Kemudian tanpa diminta, Jatirekso pun segera menceritakan semua yang terjadi beberapa tahun lalu, sampai berbuntut panjang hingga kini. Sementara Rangga sedikit kaget, setelah mengetahui ternyata Ki Jatirekso anak dari Nyi Nirah. Kini persoalannya sudah jelas! Jago-jago bayaran sengaja didatangkan untuk mengacaukan suasana, yang sebenarnya hanya untuk menutupi maksud buruk Ki Karangseda.

"Aku tahu di mana perempuan iblis itu tinggal," kata Jaka Wulung.

"Darimana kau tahu, Jaka?" tanya Ki Jatirekso.

"Selama ini aku menyelidiki, siapa yang menyediakan seribu keping uang emas. Maaf, Ayah. Semua ini kulakukan untuk membersihkan nama Ayah," Jaka Wulung menjelaskan.

Tanpa diminta, Jaka Wulung segera menceritakan pengalamannya menguntit Ki Karangseda dan Ki Pungkur yang pergi ke tempat tinggal sementara Perempuan Iblis Pulau Karang. Sementara secara bergantian, Rangga segera menceritakan, bahwa dia telah berhasil menggiring tokoh-tokoh rimba persilatan ke luar dari Desa Kali Anget dan menuju Kawah Neraka.

Kini dalam gubuk itu terdengar mereka bercerita saling sambung, apa yang mereka alami selama ini sambil mencari jalan keluarnya. Kini Rangga sudah tahu duduk persoalannya, siapa yang patut diberi dukungan dan siapa yang harus dilawan. Tiba-tiba hatinya panas, karena dijadikan kambing hitam oleh Ki Karangseda dan Perempuan Iblis Pulau Karang. Rupanya mereka memanfaatkan masa silam untuk menggulingkan Ki Jatirekso. Suatu rencana keji yang tersusun dengan rapi.

********************

TUJUH

Suasana di Desa Kali Anget benar-benar meriah sekali. Seluruh pelosok desa dihias, sedangkan pada tempat-tempat terbuka dan strategis didirikan panggung-panggung untuk hiburan. Walaupun masih dua hari lagi Ki Karangseda akan dinobatkan jadi kepala desa, tapi dia sudah menempati rumah besar yang memang disediakan untuk pejabat kepala desa.

Sementara di tengah-tengah halaman rumah yang luas itu, sudah berdiri panggung besar. Sedang beberapa kursi undangan tampak berjejer rapi mengelilingi panggung. Sayang sekali, kemeriahan itu tidak terpancar pada wajah penduduk yang justru kelihatan resah. Sejak dulu, mereka semua tahu siapa sebenarnya Ki Karangseda. Dan mereka masih mengharapkan Ki Jatirekso muncul kembali.

Tampak Ki Karangseda berjalan mengelilingi rumah besar yang akan menjadi miliknya dua hari lagi. Bibirnya terus menyunggingkan senyum kemenangan. Dia begitu puas, meskipun seluruh penduduk tidak menginginkan dirinya jadi kepala desa. Dan berkat cara kasar yang dilakukan Ki Pungkur, seluruh penduduk desa terpaksa menyetujui dan memilih Ki Karangseda menjadi kepala desa.

"Apa kau sudah dapat kabar tentang Sanggabawung dan Sangga Kelana, Adi Pungkur?" tanya Ki Karangseda pada Ki Pungkur yang tidak pernah jauh darinya.

"Belum," sahut Ki Pungkur.

"Aku menyesal, kenapa Perempuan Iblis Pulau Karang memerintahkan mereka ke Kawah Neraka," pelan suara Ki Karangseda. Sepertinya dia menyesali hilangnya dua bersaudara itu.

"Mungkin mereka sudah tewas di sana, Kakang," Ki Pungkur menduga-duga.

"Yaaah...," desah Ki Karangseda. "Selama ini belum pernah ada seorang pun yang sanggup ke luar dari sana kalau sudah masuk"

"Bagaimana dengan orang-orang itu?" tanya Ki Pungkur.

"Mereka masih berada di sekitar Kawah Neraka."

"Biarkan mereka menunggu sampai tua!" dengus Ki Karangseda.

"Apakah kau percaya, Pendekar Rajawali Sakti ada disana?"

"Kalau pun dia ke sana, pasti sudah tewas. Sehebat-hebatnya dia, tidak akan mampu menandingi binatang-binatang peliharaan Ratu Macan Kumbang."

Ki Pungkur diam saja meskipun Ki Karangseda tertawa merasakan kemenangannya.

"Kenapa kau diam saja, Adi Pungkur?" tanya Ki Karangseda melihat adiknya diam saja tidak ikut gembira.

"Tidak apa-apa," desah Ki Pungkur berusaha tersenyum.

"Apa yang kau pikirkan?" desak Ki Karangseda.

"Tidak," sahut Ki Pungkur singkat dan pelan.

"Hm...," Ki Karangseda bergumam. Matanya tajam menatap wajah Ki Pungkur penuh selidik. Dia yakin, kalau ada sesuatu yang mengganjal di hati adiknya itu.

"Aku akan memeriksa keliling desa dulu, Kakang," kata Ki Pungkur merasa jengah dipandang begitu.

Ki Karangseda hanya menggumam dan mengangguk. Matanya masih menatap tajam pada adiknya yang sudah melangkah. Dia yakin, Ki Pungkur tengah memikirkan sesuatu yang dirahasiakan. Beberapa hari ini, Ki Pungkur memang kelihatan lebih pendiam dari biasanya. Perubahan yang begitu menyolok itu, tentu saja mendapat perhatian dari Ki Karangseda.

Laki-laki berpakaian menterang itu masih berdiri saja ditempatnya. Dia masih memikirkan sikap Ki Pungkur yang berubah drastis dalam beberapa hari ini. Rasanya tidak mungkin, kalau dia gelisah terus hanya karena kehilangan dua murid kesayangannya yang begitu setia.

Ki Karangseda segera mengurungkan niatnya untuk melangkah, ketika dari arah samping tiba-tiba ada seorang perempuan cantik mengenakan baju merah yang ketat sedang berjalan menghampirinya.

"Perempuan Iblis Pulau Karang...," desah Ki Karangseda. "Mau apa dia ke sini?"

Perempuan yang sebenarnya bernama Telasih itu langsung berdiri di depan Ki Karangseda. Bibirnya yang selalu merah menyunggingkan senyum lebar dan sedikit bergetar seperri hendak menggoda. Dengan baju ketat seperti itu, Telasih bagai seorang gadis remaja. Tidak sedikit pun tampak kerut-kerut ketuaan di wajahnya.

Sedang di bagian dadanya masih menggembung kencang. Sementara buah pinggangnya yang ramping, membentuk pinggul yang indah dan membuat setiap mata lelaki yang memandangnya jadi melotot. Yang tidak mengenal siapa Telasih, mungkin akan menyangka wanita itu seorang gadis remaja.

"Mau apa kau datang ke sini?" tanya Ki Karangseda seraya menelan air liurnya.

"Tidak boleh?" Telasih malah balas bertanya. Sedang matanya mengerdip dengan bibir menyunggingkan senyum menggoda.

"Bukannya tidak boleh, tapi...," Ki Karangseda tidak meneruskan kata-katanya. Dia melirik ke kanan dan ke kiri.

"Tidak ada yang bisa mengenalku, Karangseda. Lihatlah, kau tertarik untuk mengajakku ke peraduan, kan?" Telasih merentangkan tangannya

Lagi-lagi Ki Karangseda menelan ludahnya, membasahi tenggorokan yang mendadak jadi kering. Sikap wanita itu benar-benar menggoda hasrat kejantanannya. Meskipun dia sudah pantas disebut kakek-kakek, tapi seleranya pada wanita cantik tak pernah hilang. Sementara matanya kembali mengamati sekelilingnya, khawatir kalau-kalau ada orang yang melihat.

Ki Karangseda segera menarik pergelangan tangan wanita itu dengan tidak sabar. Sedang Telasih memekik manja, begitu tubuhnya jatuh ke pelukan Ki Karangseda. Tiba-tiba tangannya menahan kepala Ki Karangseda yang sudah mau nyelonong menciumnya.

"Sabar, dong..., jangan di sini," desah Telasih manja.

"He he he..., kau membuatku jadi bergairah, Manis," Ki Karangseda terkekeh.

Telasih melepaskan pelukan laki-laki tua itu, kemudian melenggang ke belakang rumah. Sementara Ki Karangseda mengikuti dari belakang sambil terkekeh. Pandangannya terus merayapi pinggul wanita yang melenggak-lenggok di depannya. Mereka segera hilang di balik tembok gudang belakang rumah. Tak lama kemudian hanya terdengar suara mengikik, disela-sela desahan napas memburu.

********************

Ki Karangseda tampak perlente dengan mengenakan jubah warna hijau bersulam benang emas. Senyumnya terus terkembang menyaksikan keramaian di depan rumahnya. Sementara semua undangan telah hadir dan menempati bangku-bangku yang telah disediakan. Sedangkan hampir seluruh penduduk, tumpah ruah disekitar halaman rumah itu. Hanya sinar mata dan raut wajah penduduk yang tidak menggambarkan kegembiraan.

Mereka seperti terpaksa menyaksikan penobatan Kepala Desa Kali Anget yang baru. Tapi Ki Karangseda benar-benar tidak mempedulikan ketidak senangan penduduk. Dia sudah cukup puas dengan jabatan yang telah diimpikannya bertahun-tahun.

Ki Karangseda segera duduk di kursi yang berukiran indah dan berwarna keemasan. Sementara di kanan kirinya, duduk Telasih dan Ki Pungkur. Tidak bisa dipungkiri, meskipun Ki Pungkur selalu tersenyum, namun dari sinar matanya terlihat kalau dia tidak menikmati semua kegembiraan yang penuh hiburan itu. Sementara di atas panggung besar, beberapa gadis cantik melenggak-lenggok mengikuti irama gamelan.

"Aku merasakan kejanggalan di sini," gumam Telasih seperri pada dirinya sendiri.

"Mereka akan segera tunduk padaku!" sahut Ki Karangseda tidak peduli dengan sikap penduduk yang tidak menyukainya.

"Tapi kau masih memiliki hutang padaku," kata Telasih.

"He he he..., sebentar lagi kau akan mendengar kematian Pendekar Rajawali Sakti."

"Bukan itu! Aku tidak peduli dengan dia!"

"Lalu apa?"

"Jatirekso!"

"Aku yakin, dia sudah mati diterkam macan. Lagi pula, kalau masih hidup, mana mungkin dia berani ke sini? Sudahlah! Tidak perlu kau pikirkan lagi laki-laki tolol itu. Biarkan saja dia sengsara!"

"Tapi kau kan janji untuk membawa kepalanya padaku?" Telasih tetap menagih.

"Tentu saja, tapi setelah upacara penobatanku selesai. Itu kan janji kita sebelumnya."

"Aku tunggu janjimu, Karangseda. Awas! Satu purnama setelah penobatanmu, kau harus menyerahkan kepala Jatirekso padaku."

"He he he...," Ki Karangseda hanya.terkekeh. Tentu saja dia ingat semua perjanjian di antara mereka.

Sementara itu, Ki Pungkur hanya mendengarkan saja. Pikirannya masih dikacaukan dengan dua murid kesayangannya yang setia. Dia juga tidak yakin, kalau Pendekar Rajawali Sakti ke Kawah Neraka. Dia menduga, itu hanya siasat untuk mengalihkan jago-jago bayaran yang disewa Ki Karangseda. Memang imbalan yang diberikan sangat menggiurkan. Maka tidak mengherankan, bila begitu banyak tokoh rimba persilatan yang datang.

Sebenarnya Ki Pungkur tidak setuju dengan rencana itu. Terlalu berbahaya melibatkan Pendekar Rajawali Sakti! Meskipun dia belum pernah bentrok secara langsung, tapi dia tahu betul semua sepak terjangnya. Sedang hilangnya Sanggabawung dan Sangga Kelana membuatnya jadi punya pikiran lain. Dia khawatir, kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak pergi ke Kawah Neraka, tapi menghadang di pinggir desa dan menghabiskan satu per satu jago-jago bayaran.

Ki Pungkur mendongakkan kepalanya sedikit miring, ketika salah seorang membisikkan sesuatu dari belakang. Tak berapa lama kemudian Ki Pungkur mengangguk-anggukkan kepala. Sementara laki-laki muda yang berpakaian merah menyala dan bersenjata golok dipinggang, terus pergi menyelinap di antara penduduk.

"Ada apa?" tanya Ki Karangseda.

"Sebagian tokoh-tokoh persilatan sudah pergi," sahut Ki Pungkur memberitahu apa yang dibisikkan pemuda tadi.

"Hm...," Ki Karangseda bergumam, keningnya sedikit berkerut.

"Di sekitar perbatasan Kawah Neraka, banyak mayat bergelimpangan. Mereka adalah orang-orang persilatan," lanjut Ki Pungkur.

Ki Karangseda menatap tajam pada adiknya. Sungguh mati, dia kaget bukan main mendengar berita itu. Sedang Telasih tampak tenang-tenang saja duduk di kursinya. Bahkan bibirnya tampak tersungging senyuman mendengar berita itu.

"Aku yakin, Pendekar Rajawali Sakti masih hidup. Bahkan sekarang ini, tidak sedikit jago-jago bayaranmu meninggalkan batas Kawah Neraka. Mungkin hanya beberapa saja yang tinggal," lanjut Ki Pungkur melaporkan.

"Kau cari pendekar itu di Kawah Neraka, sekarang juga!" perintah Ki Karangseda dengan suara tertahan.

"Gila! Kenapa tidak kau tusukkan saja pisaumu kedadaku?!" dengus Ki Pungkur geram.

"Jangan tolol, Pungkur! Semuanya bisa berantakan kalau pendekar itu masih hidup!"

"Huh! Kau mau enaknya sendiri, Kakang. Sudah aku peringatkan sejak semula, jangan bawa-bawa nama Pendekar Rajawali Sakti! Dia bukan orang yang bisa diajak main-main!" gerutu Ki Pungkur.

"Sekarang ini kau yang bertanggung jawab terhadap keamanan desa, Pungkur."

"Tapi bukan untuk mengurusi persoalan pribadimu!"

"Pungkur!" sentak Ki Karangseda begitu terkejut mendengar kata-kata yang bernada ketus itu.

Ki Pungkur menatap tajam pada Ki Karangseda. Kemudian dia bangkit dan beranjak pergi tanpa berkata-kata lagi. Ki Karangseda hendak mengejar, tapi keburu dicegah oleh Telasih. Dan dengan bersungut-sungut, dia kembali duduk.

"Biarkan saja, mungkin dia masih merasa kehilangan!" kata Telasih mencoba menghibur.

"Sikapnya jadi aneh. Aku rasa, bukan hanya karena kehilangan dua murid kesayangannya," Ki Karangseda menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak mengerti sikap Ki Pungkur yang jadi membenci dirinya.

"Ah, sudahlah! Nanti juga terbiasa. Dia cuma meluapkan emosinya!" hibur Telasih.

Tapi benarkah apa yang dikatakan Perempuan Iblis Pulau Karang itu? Apakah hanya karena kehilangan dua murid kesayangannya, Ki Pungkur lantas membenci kakaknya? Semua ini menjadi beban pertanyaan Ki Karangseda. Dia masih tidak yakin, kalau adiknya berubah hanya karena peristiwa kehilangan. Pasti ada hal lain yang tengah dipikirkan Ki Pungkur.

********************

Sementara itu acara hiburan di panggung sudah selesai. Tampak Ki Karangseda bangkit dari duduknya. Dia segera melangkah pelan-pelan dengan kepala menengadah, menunjukkan wibawanya. Satu per satu kakinya menaiki anak tangga panggung. Sejenak dia mengedarkan pandangannya.

Suasana jadi hening begitu Ki Karangseda berada di atas panggung. Laki-laki tua dengan pakaian perlente itu menjura memberi hormat pada seluruh pengunjung yang memadati halaman rumah.

"Terima kasih aku ucapkan pada saudara saudara yang telah sudi datang ke sini, untuk menyaksikan penobatan Kepala Desa Kali Anget yang baru," kata Ki Karangseda, suaranya menggema karena disertai dengan tenaga dalam.

Suasana masih tetap hening. Sementara seluruh pandangan para undangan tertuju pada laki-laki tua di atas panggung itu. Sedang para penduduk yang berdiri di belakang barisan kursi undangan, seperti malas-malasan.

"Perlu saudara-saudara ketahui, bahwa Ki Jatirekso telah melarikan diri, karena tidak bisa mengatasi kerusuhan yang melanda desa ini. Dan aku bersama Ki Pungkur telah berhasil mengatasinya, hingga desa yang kita cintai ini menjadi tenang seperti semula. Namun, karena sebuah desa tidak layak jika tidak ada yang memimpin, maka aku memutuskan untuk menjadi kepala desa sementara sampai hari ini. Dan atas restu saudara-saudara sekalian, mulai hari aku ini resmi jadi..."

"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar menggema dari segala arah, memutus kata-kata Ki Karangseda.

Seketika itu juga keadaan jadi gaduh. Sementara suara tawa yang keras disertai tenaga dalam sempurna itu terus menggema. Tampak Ki Karangseda celingukan, mencari sumber tawa itu.

"Diaaam...!" bentak Ki Karangseda keras, mengalahkan suara gaduh dan tawa.

Mendadak keadaan jadi sunyi kembali. Suara Ki Karangseda itu begitu keras bagai guntur di siang hari. Sementara matanya beredar berkeliling. Sedang Telasih sudah berdiri di sampingnya.

Dua puluh orang bersenjata golok di tangan, segera mengambil tempat melingkari panggung. Mereka mengenakan seragam merah menyala, dan golok besar panjang melintang di dada. Ternyata mereka adalah murid-murid Ki Pungkur yang sengaja dikerahkan untuk menjaga segala kemungkinan.

"Jangan percaya kata-katanya! Dia tidak lebih dari perampok yang harus dilenyapkan!" lagi-lagi terdengar suara keras menggema.

"Siapa kau? Ke luar!" bentak Ki Karangseda gusar.

"Aku, orang yang kau jadikan kambing hitam!"

"Pendekar Rajawali Sakti.,.," desah Ki Karangseda bergetar suaranya.

Suasana di halaman rumah besar itu makin tegang! Suara yang menggema tanpa ujud, membuat para penduduk beringsut dan menjauhi panggung. Bahkan beberapa undangan juga sudah beranjak pergi meninggalkan tempat duduknya, tidak mau ikut campur dalam masalah itu. Kini hanya tinggal beberapa undangan yang memiliki nyali cukup besar yang masih duduk dikursinya.

"Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu, Ki Karangseda!" suara tanpa ujud itu kembali terdengar.

"Keluar kau, pengecut!" bentak Ki Karangseda.

"Aku di sini,"

Ki Karangseda terlonjak kaget seraya berbalik. Tampak seorang pemuda tampan dengan mengenakan rompi putih dan bersenjata pedang yang gagangnya berbentuk kepala burung, sedang nangkring di salah satu cabang pohon yang tidak jauh dari panggung.

"Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Ki Karangseda sedikit bergetar suaranya.

"Aku datang untuk menyerahkan kepalaku, Ki Karangseda. Aku ingin hadiah yang kau janjikan," kata Rangga kalem.

"Setaaan...!" geram Ki Karangseda tidak lagi dapat mengendalikan amarahnya.

Seketika itu juga dia mengebutkan tangannya ke depan. Sinar keperakan segera meluncur dari telapak tangannya yang terbuka. Sinar itu meluncur bagai kilat dan menghantam pohon yang ditangkringi Rangga. Dan kemudian terdengar suara ledakan dahsyat, begitu sinar itu menghantam pohon. Seketika itu juga, pohon yang ditangkringi Rangga jadi hancur berkeping-keping.

"Hebaaat...," puji Rangga yang tahu-tahu sudah berada diatas panggung.

Ki Karangseda langsung terperanjat. Buru-buru dia membalikkan tubuh. Tak disangkanya sama sekali, kalau Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada dibelakangnya. Sementara Telasih hanya mengamati wajah tampan yang berdiri tegak di pinggir panggung. Hatinya langsung terpesona melihat ketampanan wajah Rangga.

"Kau menjanjikan seribu keping uang emas untuk kepalaku, bukan? Nah! Sekarang aku datang untuk meminta hadiah itu," tenang sekali suara Rangga, tapi nadanya mengejek.

Ki Karangseda menggemerutukkan rahangnya menahan geram. Matanya melihat ke kanan dan ke kiri mencari-cari adiknya. Tapi Ki Pungkur tidak tampak di sekitarnya.

"Aku serahkan kepalaku, tapi kau harus mengambilnya sendiri," kata Rangga lagi dengan tenang, walau nadanya menantang.

"Setan! Seharusnya kau sudah mati!" geram Ki Karangseda.

"Sayang sekali, justru aku sendiri yang mengantarkan pesananmu."

"Phuih!" Ki Karangseda menyemburkan ludahnya.

Secepat kilat Ki Karangseda mencabut pisau kembarnya. Dan tanpa berbasa-basi lagi, dia langsung menerjang sambil berteriak nyaring. Sementara Rangga hanya memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri, sedang tangannya terangkat dan memapak tangan kiri Ki Karangseda yang menusukkan pisaunya ke arah leher.

Trak!

Ki Karangseda terkejut setengah mati, karena tangannya kesemutan begitu beradu dengan tangan Rangga. Secepat kilat dia melompat mundur, dan menyiapkan serangan selanjutnya.

"Mampus, kau! Yeaaah...!" teriak Ki Karangseda.

"Hih!"

********************

DELAPAN

Ki Karangseda tidak mau tanggung-tanggung lagi. Dia langsung mengerahkan jurus andalannya, yaitu jurus 'Pukulan Tangan Besi'. Suatu jurus yang pada masa mudanya tidak ada tandingannya.

Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yang tidak mengira akan mendapat serangan begitu dahsyat, hanya menggunakan jurus 'Cakar Rajawali'. Namun dia terlambat mengerahkannya, hingga begitu pukulan dahsyat dari Ki Karangseda bersarang di tubuhnya, Rangga hanya mampu bertahan. Tapi akibatnya fatal sekali, karena tubuhnya langsung terjungkal dan menghantam papan panggung hingga hancur berantakan.

"Ha ha ha...!" Ki Karangseda tertawa terbahak-bahak melihat lawannya terbenam di kolong panggung bersama papan yang jebol berantakan.

Tapi tiba-tiba tawa Ki Karangseda berhenti. Pendekar Rajawali Sakti melenting ke luar dan dengan manis mendarat di atas panggung. Tidak sedikit pun terlihat dia mengalami luka-luka akibat pukulan Ki Karangseda.

"Gila! Ilmu apa yang dia pakai?" dengus Ki Karangseda.

"Pukulanmu hebat sekali Ki Karangseda," puji Rangga tulus.

"Phuih! Jangan bangga dulu, bocah! Itu baru setengahnya!" geram Ki Karangseda.

"Keluarkan semua kepandaianmu!" tantang Rangga.

"Terimalah kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti.

Yeaaah...!" Ki Karangseda mengeluarkan seluruh kepandaiannya pada jurus andalannya.

Rangga yang sudah merasakan betapa dahsyatnya ilmu pukulan laki-laki tua itu, langsung mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Dia tidak mau lagi menerima resiko fatal.

"Aji 'Cakra Buana Sukmaaa'...!" teriak Rangga keras.

"Hiyaaa...!"

Ki Karangseda langsung menerjang pendekar Rajawali Sakti sambil mengembangkan tangannya lurus ke depan. Sedang Rangga hanya mengangkat tangannya, dengan kaki terentang agak lebar. Seketika dua tangan beradu saling cengkeram. Ki Karangseda benar-benar terkesiap begitu tangan Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan cahaya biru berkilau. Dan dia makin terkejut begitu merasakan ada kekuatan dahsyat yang menyedot tenaganya. Seketika itu juga dia langsung menarik tangannya yang menempel erat pada kedua telapak tangan Rangga.

"Hik!" Ki Karangseda berusaha sekuat tenaga untuk menarik lepas tangannya.

Semakin dia mengerahkan tenaga, semakin kuat pula daya sedot dari aji 'Cakra Buana Sukma' Seluruh paras wajah Ki Karangseda langsung berubah merah padam. Keringat bercucuran deras membasahi lehernya. Sementara sinar biru mulai merambat menyelimuti kedua tangannya, sedangkan tenaganya makin banyak terkuras.

Melihat Ki Karangseda bergetar seluruh tubuhnya, lima orang yang berjaga-jaga di sekeliling panggung, melompat hendak membantu. Kernudian secara serempak mereka membabatkan goloknya ke tubuh Rangga. Tapi tidak sedikit pun Rangga bergeming. Sehingga tubuhnya menjadi sasaran empuk dari lima batang golok.

"Aaaakh...!"

Tiba-tiba lima orang yang menyerang Rangga, berpelantingan begitu golok mereka mengenai tubuh Rangga. Seketika itu juga mereka tewas dengan dada pecah. Ternyata tanpa mereka sadari, ilmu 'Pukulan Tangan Besi' milik Ki Karangseda yang tengah terkuras, berbalik menyerang mereka.

Menyaksikan lima orang roboh sekaligus, mereka yang masih hidup langsung mengambil langkah seribu. Namun sial, baru saja mereka bergerak, dari dalam gerombolan penduduk, muncul empat sosok tubuh menghadang. Mereka adalah empat bersaudara yang sejak semula mencurigai kalau Ki Karangseda lah dalang utamanya. Maka tanpa pikir panjang lagi, Suryadenta dan ketiga adiknya langsung menyerang lima belas orang murid Ki Pungkur. Seketika itu juga pertempuran sengit terjadi didekat panggung.

Sementara itu, keadaan Ki Karangseda semakin kritis. Dia benar-benar sudah kehilangan seluruh tenaganya. Bahkan kini sebagian tubuhnya sudah terbalut cahaya biru yang terus terpancar dari kedua tangan Rangga.

"Telasih..., tolong aku...," rintih Ki Karangseda lirih.

Mendengar itu Telasih langsung meloloskan selendang yang membelit pinggangnya. Namun pada saat itu, tiba-tiba meluncur bayangan biru ke arah perempuan itu. Ternyata didepan Telasih sudah berdiri Pandan Wangi dengan kipas maut di tangannya. Pandan Wangi yang berjuluk si Kipas Maut itu segera mengebut-ngebutkan kipas bajanya.

"Aku lawanmu, perempuan iblis!" tantang Pandan Wangi dingin dan sinis suaranya.

"Heh! Anak kemarin sore, berani kau menantangku!" dengus Telasih geram.

"Dan kau.... Sudah sepantasnya masuk liang kubur!"

"Bangsat! Terimalah selendang saktiku!"

"Heit...!"

********************

Di sekitar panggung, kini benar-benar telah menjadi ajang pertempuran. Empat tokoh sakti saling bertarung di atas panggung, sementara Suryadenta dan ketiga adiknya menghadapi sekitar lima belas orang murid-murid Ki Pungkur. Sedangkan para undangan yang hadir sudah sejak tadi menyelamatkan diri.

Agak ke pinggir di atas panggung, tampak sinar biru masih menyelimuti tubuh Ki Karangseda. Sementara dengan perlahan-lahan Rangga mulai merenggangkan jarak, namun sinar biru dari aji 'Cakra Buana Sukma鈥� masih memancar dari tangannya. Saat itu Ki Karangseda sudah tidak berdaya lagi. Dan pada saat itu pula Rangga menghentakkan tangannya dengan keras.

"Aaakh...!" Ki Karangseda menjerit melengking.

Suara jeritan itu disusul dengan terdengarnya ledakan dahsyat. Tampak tubuh Ki Karangseda perlahan-lahan hancur jadi tepung. Rangga menarik kembali ajiannya. Cahaya biru langsung lenyap dari pandangan. Sebentar dia menarik napas panjang melihat tubuh lawannya sudah berubah jadi seonggok tepung.

"Hiya...! Hiyaaa...!"

Rangga menolehkan kepalanya. Pada saat itu, Pandan Wangi terpental kena sabetan selendang maut Perempuan Iblis Pulau Karang. Tubuh Pandan Wangi meluruk deras jatuh ke tanah. Dari mulutnya menyemburkan darah kental kehitaman.

"Perempuan iblis, aku lawanmu! Hiyaaa...!" teriak Rangga keras.

"Huh!" Perempuan Iblis Pulau Karang mendengus sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri.

Dengan cepat tangannya mengebutkan selendang mautnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang tengah meluruk deras ke arahnya. Namun Rangga dengan tangkas melentingkan tubuhnya, dan meluruk deras dari atas kepala Perempuan Iblis Pulau Karang itu.

"Ikh!"

Perempuan Iblis Pulau Karang terkejut. Buru-buru dia menjatuhkan dirinya dan bergulingan beberapa kali sebelum melompat bangkit. Rangga yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah, harus kembali melompat begitu selendang maut perempuan iblis itu kembali meluncur ke arahnya.

Pertarungan antara Rangga dan Perempuan Iblis Pulau Karang berjalan seru. Jurus-jurus dilalui dengan cepat. Sementara Pandan Wangi hanya menyaksikan saja sambil menyembuhkan luka dalamnya dengan menyalurkan hawa murni ke seluruh aliran jalan darahnya.

"Edan! Bocah satu ini benar-benar hebat!" dengus Perempuan Iblis Pulau Karang dalam hati.

Perempuan iblis itu memutar selendang saktinya, dan terjadi keajaiban. Selendang itu bergulung-gulung kaku menjadi sebuah senjata seperri tongkat. Rangga juga tidak mau ketinggalan, dia segera mencabut pedang pusaka Rajawali Sakti dari warangkanya. Cahaya biru terang langsung membias dari pedang terhunus itu.

"Hiya...!" "Yeaaah...!"

Kembali pertarungan berjalan semakin sengit. Rangga merasa kagum juga dengan kehebatan selendang lawannya yang kini sudah kaku jadi tongkat maut. Beberapa kali pedangnya berbenturan dengan senjata perempuan iblis itu, tapi Rangga merasakan seolah-olah dia membabat segumpal karet yang kenyal.

"Aku harus menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'!" gumam Rangga dalam hati.

Selagi dia menghindari serangan perempuan iblis itu, Rangga segera merubah jurusnya jadi jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Dan pada saat senjata perempuan iblis itu menyambar ke arah kepalanya, dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti mengangkat pedangnya memapak serangan itu. Dan....

Cras!

"Heh!"

Perempuan Iblis Pulau Karang terkejut melihat senjata andalannya putus jadi dua bagian. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba kaki pendekar Rajawali Sakti melayang ke arah dada. Buru-buru perempuan iblis itu menarik mundur tubuhnya, tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga berputar cepat sambil menghunus pedangnya kedepan.

Perempuan Iblis Pulau Karang itu tidak sempat lagi mengelak Ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti berhasil menggores pundak kanannya. Darah mengucur dari luka yang dalam dan panjang. Pada saat perem puan iblis itu merasakan sakit pada pundaknya, secepat kilat Rangga mengibaskan pedangnya, dan....

"Akh!" Perempuan Iblis Pulau Karang itu memekik tertahan sambil memegangi dadanya yang tertembus pedang Rajawali Sakti. Darah mengucur deras keluar dari dada yang tertusuk itu. Sesaat kemudian tubuh perempuan iblis itu kaku dengan mata mendelik lebar. Cahaya biru kembali lenyap begitu pedang Rajawali Sakti masuk kedalam warangkanya kembali.

"Kakang...," Pandan Wangi menghampiri Rangga.

"Kau tidak apa-apa, Pandan?" tanya Rangga.

"Tidak, hanya saja aku harus bersamadi selama dua hari. Pukulan maut perempuan itu membuat dadaku sesak," Pandan Wangi mengakui.

Rangga memberikan senyum dan menepuk pundak gadis itu. "Sebaiknya kau istirahat saja, pulihkan dulu kondisi tubuhmu," kata Rangga lembut.

"Tapi mereka, Kakang...," Pandan Wangi mengamati pertarungan yang masih berlangsung.

"Aku rasa keadaan akan segera teratasi," sahut Rangga.

********************

Sementara itu pertempuran antara murid-murid Ki Pungkur melawan Suryadenta dan ketiga adiknya juga sudah berakhir. Semua orang-orang berpakaian merah menyala telah bergelimpangan mandi darah.

Tepat ketika empat bersaudara itu melompat kepanggung, Ki Jatirekso dan Jaka Wulung ke luar dari dalam rumah. Kemunculan Ki Jatirekso disambut gembira oleh para penduduk yang memang sudah mengharapkan kepala desanya itu muncul kembali. Dia segera mengangkat tangannya dengan penuh wibawa. Mendadak suara riuh hilang dan keadaan hening kembali.

"Berakhir sudah kemelut Desa Kali Anget, dan aku mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara sekalian yang masih tetap setia padaku. Mulai saat ini, saudara-saudara tidak perlu cemas lagi. Orang-orang dari rimba persilatan tidak akan muncul kembali di sini!" kata Ki Jatirekso bersemangat dan penuh wibawa.

Segera suara gemuruh diikuti tepuk tangan meledak begitu Ki Jatirekso menyelesaikan pidato singkatnya. Kemudian laki-laki tua yang masih kelihatan gagah itu, mendekati Rangga dan Pandan Wangi.

"Aku akan senang sekali, jika kalian berdua mau tinggal di sini barang beberapa hari," undang Ki Jatirekso sebagai rasa terima kasih.

"Terima kasih," hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.

"Bagaimana dengan Ki Pungkur? Dia tidak kelihatan dari tadi," tanya Pandan Wangi tiba-tiba.

"Ah! Benar, orang itu sangat berbahaya sekali!" Ki Jatirekso tersentak seperti diingatkan.

"Aku rasa, dia kembali ke perguruannya di Lembah Ngarai," celetuk Suryadenta.

"Di mana itu?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak jauh dari sini, letaknya hanya di luar perbatasan desa sebelah Tenggara," sahut Tirtadenta.

"Sebaiknya kita ke sana, Kakang. Menebang pohon harus sampai ke akar-akarnya, agar tidak tumbuh lagi," sahut Pandan Wangi bersemangat.

"Ki Pungkur memiliki murid-murid yang kepandaiannya cukup tinggi," kata Ki Jatirekso tanpa mengecilkan arti kedua pendekar itu.

"Aku dan adik-adikku akan membantu, Ki!" seru Suryadenta cepat.

"Aku percaya. Kalian pasti bisa mengatasinya. Tapi aku tidak ingin ada korban lagi di pihak kita. Sudah cukup banyak korban berjatuhan, dan aku ingin desa ini tenang barang sejenak," kata Ki Jatirekso memberikan alasan.

"Baiklah kalau begitu. Aku dan Pandan akan ke sana besok pagi-pagi sekali," kata Rangga bisa mengerti maksud Ki Jatirekso.

Laki-laki tua itu tersenyum senang. Rasa kagumnya makin bertambah pada pendekar muda itu. Selain tingkat kepandaiannya yang sangat tinggi, juga bisa memahami maksud kata-kata yang berkias. Sementara sikapnya yang lembut dan sopan menambah simpatinya.

"Jaka, mintalah bantuan pada beberapa penduduk untuk mengurus mayat-mayat.itu," perintah Ki Jatirekso.

"Baik, Ayah," sahut Jaka Wulung.

"Mari, sebaiknya kita istirahat di dalam saja," ajak Ki Jatirekso. "Kau juga, Suryadenta."

"Ah! Biarlah kami mengurus mayat-mayat itu bersama Jaka Wulung, Ki," sahut Suryadenta menolak halus.

"Ayolah, kalian juga perlu istirahat, kan?" desak Pandan Wangi.

"Baiklah!"

********************

Sebelum matahari terbit, Pendekar Rajawali Sakti, si Kipas Maut, Jaka Wulung dan empat bersaudara, sudah bersiap-siap hendak meninggalkan rumah kediaman kepala desa. Mereka semua menunggang kuda, agar lebih cepat sampai ke tujuan.

Beberapa saat kemudian, tujuh ekor kuda sudah berlari kencang membelah pagi buta, di mana sebagian orang masih terlelap dalam buaian mimpi. Tujuan mereka sudah jelas, yaitu Lembah Ngarai. Di mana terdapat sebuah padepokan perguruan silat yang dipimpin oleh Ki Pungkur. Tidak begitu lama, mereka telah melewati batas desa sebelah Tenggara. Dan mereka terus memacu kuda-kudanya menuruni tebing landai dengan rumput yang setinggi lutut.

"Itu padepokannya!" seru Tirtadenta menunjuk kearah bangunan yang dikelilingi pagar ringgi dari gelondongan kayu pohon ara.

Tampaknya padepokan itu sepi-sepi saja. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar bangunan itu. Rangga mengangkat tangannya, dan mereka segera berhenti agak jauh dari bangunan yang menyerupai benteng kecil itu. Sejenak Rangga mengamati keadaan sekitarnya, kemudian dikerahkannya ilmu pembeda gerak dan suara.

"Sepi seperti tidak ada orang di sana," gumam Pandan Wangi juga mengerahkan ilmu yang sama dengan Rangga.

"Jangan-jangan ini merupakan satu jebakan," ceIetuk Jaka Wulung.

"Kalian tunggu di sini, aku akan periksa," kata Rangga.

"Hati-hati, Ki Pungkur sangat licik!" Mayadenta memperingatkan.

Rangga hanya tersenyum, lalu melompat dari punggung kudanya. Gerakannya yang begitu cepat dan ringan, membuat dia sudah melayang jauh menuju bangunan itu. Tapi ketika ia hampir sampai di depan bangunan itu, tiba-tiba ratusan anak panah meluncur menghujaninya.

Rangga terkejut setengah mati. Buru-buru dia mengeluarkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tampak kedua tangannya terentang lebar bergerak-gerak cepat menghalau anak-anak panah yang datang bagaikan hujan. Tubuhnya berlompatan begitu cepat, sehingga kelihatannya dia berada di atas anak panah.

"Bangsat! Licik!" geram Rangga.

Melihat keadaan demikian, Jaka Wulung segera menggebah kudanya. Sementara Pandan Wangi yang berada di dekatnya, tak dapat lagi mencegah. Bahkan dia juga ikut melompat dan mengerahkan ilmu lari cepat yang hampir mencapai tahap kesempurnaan. Sedangkan Suryadenta dan adik-adiknya juga tidak mau ketinggalan, mereka langsung menggebah kudanya dan menyusul.

"Kembali...!" teriak Rangga begitu melihat teman-temannya menghampiri.

Tapi peringatan Rangga tidak digubris lagi. Mereka terus maju untuk membantu Rangga. Menyadari hal itu, Rangga segera mengeluarkan pedang Rajawali Sakti dari warangkanya. Seketika itu juga cahaya biru memancar terang di sekitar tempat itu. Rangga kemudian mengerahkan ajian 'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian yang sangat diandalkannya.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga keras.

Seketika itu juga dia menggosok pedang Rajawali Sakti dengan telapak tangan kirinya, dan kemudian tampaklah cahaya biru bergulung menggumpal di ujung pedang itu. Segera ia mengarahkan ujung pedang Rajawali Sakti kebangunan yang bagaikan benteng kecil itu. Seketika itu juga terlihat secercah sinar biru melesat cepat menuju bangunan itu, dan kemudian terdengarlah ledakan dahsyat yang disusul dengan terbakarnya bangunan itu.

Tidak berapa lama kemudian, orang-orang berpakaian merah-merah berlarian ke luar sambil menjerit-jerit berusaha memadamkan api yang membakar tubuh mereka.

Api semakin berkobar melahap bangunan itu. Bunyi gemeretek kayu-kayu yang terbakar menambah panas suasana. Sejenak Rangga melangkah mundur untuk mengurangi jangkauan panas. Sementara teman-temannya ke luar dari persembunyiannya dan menghampiri Rangga.

"Kau lihat Ki Pungkur ada di situ, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak," sahut Rangga pelan dan singkat.

"Maaf, aku tidak bisa menahan emosi tadi," ucap Jaka Wulung menyesal.

Rangga menoleh dan tersenyum. Memang, kalau saja Jaka Wulung bisa menahan sedikit emosinya, barangkali masih bisa diketahui, apakah Ki Pungkur terbakar atau melarikan diri. Dan Rangga hanya memaklumi, Jaka Wulung memang masih muda dan belum bisa mengendalikan emosinya secara penuh. Di samping itu, rasa marahnya pada Ki Pungkurlah yang membuat dia tidak dapat berpikir panjang.

Ke mana sebenarnya Ki Pungkur? Tidak ada seorang pun yang tahu. Terakhir, Ki Pungkur meninggalkan Desa Kali Anget setelah dia berselisih paham dengan kakaknya. Sedang dia pergi dengan membawa kekecewaan yang dalam. Dia amat menyesali sikap kakaknya yang terlalu mengikuti nafsu dendam lama, dan terpengaruh pada bujuk rayu Telasih.

Saat ini, Ki Pungkur ternyata telah menyaksikan sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang membumi hanguskan padepokannya. Sebuah padepokan yang ia rintis bertahun-tahun, musnah dalam sekejap mata. Dia mengamati dari tempat yang cukup jauh dan terlindung. Dia sadar betul bahwa kakaknya, Ki Karangseda telah berbuat salah dan terlalu berambisi besar.

"Yaaah, semoga dengan kejadian ini Desa Kali Anget menjadi tenang kembali dan tentram seperti sediakala," harap Ki Pungkur dalam hati. Lalu dia beranjak pergi dan berniat mengasingkan diri ke tempat sepi yang jauh dari orang-orang yang hanya mengumbar nafsu duniawi belaka.

Sementara itu, tujuh orang yang berada di Lembah Ngarai, sudah kembali menaiki kudanya masing-masing. Namun mereka belum berangkat meninggalkan tempat itu. Mereka masih memandangi api yang berkobar melahap bangunan padepokan itu.

"Sebaiknya kalian kembali ke desa, aku dan Pandan Wangi akan meneruskan perjalanan," kata Rangga.

"Sebaiknya kau...."

"Terima kasih," potong Rangga cepat-cepat. "Sampaikan saja salamku untuk ayahmu."

Jaka Wulung tidak bisa mencegah lagi. Rangga telah menggebah kudanya dengan diikuti Pandan Wangi. Untuk beberapa saat, Jaka Wulung belum rneninggalkan tempat itu. Dia masih tertegun dengan kepergian Rangga dan Pandan Wangi.

"Jaka...," panggil Suryadenta.

"Oh!" Jaka Wulung tersentak.

"Ayo kita pulang!" ajak Suryadenta sambil menggebah kudanya.

Lima orang tulang punggung Desa Kali Anget itu pun memacu kudanya perlahan-lahan. Sementara api yang berkobar itu semakin mengecil, karena tidak ada lagi yang bisa dilahap.

"Boleh aku memanggil kalian dengan sebutan Paman dan Bibi?" pinta Jaka Wulung tiba-tiba.

"Kenapa tidak? Kau lebih pantas kalau menjadi keponakan kami," sahut Suryadenta.

"Terima kasih..., Paman," ucap Jaka Wulung.

"Ha ha ha...!"

TAMAT

SELANJUTNYA RAHASIA PURI MERAH