Cinta Bernoda Darah Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 03

PADA MASA itu, dunia kang-ouw hanya mengenal Thian-te Liok-koai dan para ketua partai persilatan besar sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian. Akhir-akhir ini muncul Suling Emas sebagai tokoh sakti yang termuda. Namun diri Suling Emas ini diliputi penuh rahasia dan jarang sekali Suling Emas keluar memperlihatkan diri. Keadaannya penuh rahasia, dan ia boleh dijajarkan dengan orang-orang aneh lain, yaitu Kim-lun Seng-jin, Bu Kek Siansu, dan seorang aneh lain yang hanya dikenal dengan sebutan Empek Gan! Tentu saja Bu Kek Siansu berada di tingkat paling tinggi, bukan hanya karena usianya, namun juga kerena belum pernah terdengar ada tokoh yang melebihi kesaktiannya dari pada kakek ini.

Lin Lin boleh dianggap beruntung dapat menarik hati Kim-lun Seng-jin karena kakek sakti yang aneh ini selamanya tak pernah mau menerima murid. Dengan amat tekun gadis ini menerima latihan ilmu meringankan tubuh yang hebat, yaitu Khong-in-ban-kin yang sekaligus merupakan lweekang yang luar biasa. Di samping ini, juga kakek aneh itu menurunkan ilmu silat yang disebut Khong-in-liu-san (Awan Kosong Mengurung Gunung).

Kim-lun Seng-jin agaknya takut bertemu orang. Ia membawa Lin Lin merantau ke gunung-gunung dan hutan-hutan, kadang-kadang mereka berlatih di pinggir sungai yang amat sunyi. Aneh dua orang ini, seorang gadis remaja seorang lagi kakek tua, tiap hari mereka cekcok, tapi Lin Lin selalu membuat kakek itu mengalah karena gadis inilah yang dapat menyenangkan hatinya dengan wataknya yang lincah serta terutama sekali dapat menyenangkan perutnya dengan masak-masakan yang lezat. Lin Lin pandai sekali mengambil hati kakek itu dengan panggang daging binatang hutan yang lezat. Dari kakek ini ia mengenal pula banyak tokoh sakti dalam dunia persilatan.

kho ping hoo serial cinta bernoda darah jilid 03


Ternyata Kim-lun Seng-jin amat luas pengetahuannya dalam dunia kang-ouw. Ia mengenal semua tokoh, malah ia mengenal pula ayah Lin Lin. Beberapa kali Lin Lin bertanya tentang ayahnya, dan baru pada saat Lin Lin memanggang daging kelinci yang amat gurih baunya, kakek itu memenuhi jawaban pertanyaan ini.

“Kam-goanswe? Heh, Ayah angkatmu itu seorang yang keras hati, seorang prajurit sejati yang jujur dan setia. Kejujuran dan kesetiaannya ditambah kekerasan hatinya itulah yang membuat ia dipandang orang, kepandaiannya sih tidak ada artinya. Akan tetapi ia pernah menggemparkan dunia kang-ouw ketika ia dahulu berhasil mencuri hati Liu Lu Sian, seorang gadis sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan Cantik Beracun).”

“Lalu bagaimana, Kek?” tanya Lin Lin yang dapat menduga bahwa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ini tentulah ibu Bu Song yang oleh Kui Lan Nikouw disebut wanita dari golongan hitam dan telah bercerai dari ayah angkatnya.

“Entah bagaimana selanjutnya aku tidak dengar lagi. Akan tetapi perkawinan mereka menggemparkan. Setan cantik itu adalah anak seorang Kepala Agama Beng-kauw yang amat sakti, seorang berpengaruh besar sekali dan masih ada hubungan keluarga dengan raja-raja di Nan-cao (Yu-nan Barat). Liu Gan, seorang sakti ini, tidak setuju puterinya menikah dengan Ayah angkatmu, akan tetapi kerena Liu Lu Sian amat keras hati dan nekat, orang tua itu pun tak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi kudengar hubungan antara ayah dan puterinya ini menjadi putus. Selanjutnya entah.”

Lin Lin tahu selanjutnya. Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, yaitu yang bernama Kam Bu Song dan yang sekarang sedang ia cari, dan Liu Lu Sian telah bercerai dari ayah angkatnya.

“Di mana sekarang adanya Liu Lu Sian dan ayahnya yang bernama Liu Gan itu, Kek?”

“Heh, mana aku tahu? Bukankah Liu Lu Sian itu Ibu angkatmu?”

“Bukan. Dia sudah bercerai lama sekali, meninggalkan seorang putera yang sekarang pergi pula entah ke mana. Kalau ada orang yang amat benci Ayah, agaknya Liu Gan itu, Kek. Di mana dia sekarang?”

“Mana aku tahu? Dia orang yang amat tinggi kedudukannya. Kemudian ia menghilang, tidak ada kabarnya lagi. Pula aku tidak ada hubungan dengannya, aku pun tidak sudi menyelidiki. Dia orang... hemmm, orang golongan hitam, aku takut kedua tanganku menjadi hitam juga kalau berhubungan dengannya.”

Daging itu sudah matang. Kim-lun Seng-jin menelan air liurnya dan dengan lahap ia menyambar daging paha kelinci yang diangsurkan Lin Lin terus diganyang panas-panas.

“Wah, kau hebat! Heran aku, kenapa kalau aku yang memanggang tidak bisa begini sedap dan gurih? Tanganmu memang luar biasa!” katanya sambil menikmati daging panas.

Lin Lin tersenyum. Bukan tangannya yang membikin daging itu menjadi sedap dan gurih, melainkan garam dan bumbu, terutama daun harum dan kayu manis yang ia dapatkan di hutan itu, yang ia pergunakan sebagai bumbu. Agaknya kakek yang pandai makan ini tidak pandai masak, buta akan rahasia bumbu masak.

“Aku sudah masak seenak-enaknya untukmu, tapi apa balasanmu?”

“Ihhh, bukankah aku setiap hari melatihmu dengan ilmu-ilmu itu?”

“Segala Ilmu Khong-in (Awan Kosong), agaknya juga kosong gunanya. Apa artinya kalau dipakai menghadapi musuh besarku, si Suling Emas?”

Kakek itu mencak-mencak, tapi masih menggerogoti daging, “Kau pandang rendah sekali, ya? Hendak kulihat, kalau Suling Emas mampu menangkapmu, aku berani mempertaruhkan kedua mataku! Jangan kau main-main, bocah nakal. Dengan Khong-in-ban-kin sudah terlatih sempurna, biar It-gan Kai-ong takkan mampu mengejarmu, tahu?”

“Jadi, aku hanya akan mampu melarikan diri saja? Kau melatihku untuk berlari-lari menyelamatkan diri kalau bertemu orang sakti?”

“Heh, apa kau kira hal itu tidak perlu? Itulah yang paling penting, menyelamatkan diri lebih dulu. Apa artinya pandai memukul orang kalau akhirnya kita pun kena pukul mampus? Ilmu pukulan Khong-in-liu-san itu, jangan kau pandang ringan. Dengan mempelajari ini, sekarang kepandaianmu sudah lipat menjadi sepuluh kali dari pada yang sudah-sudah, kau tahu?”

Tentu saja Lin Lin tidak percaya akan hal ini, akan tetapi diam-diam ia girang juga. “Apa kau kira sekarang aku sudah dapat melawan Suling Emas?”

Kim-lun Seng-jin membelalakkan kedua matanya dengan alis diangkat. “Enak saja bicara! Melawan segala macam penjahat masih boleh, tapi menghadapi dia? Kau kira orang macam apa Suling Emas itu?”

“Orang apa sih dia? Bagaimana kepandaiannya?”

“Dia sih orang biasa saja, tapi ilmu kepandaiannya hebat. Sukar dipegang ekornya. Dia orang yang seperti juga aku, tidak mau berdekatan dengan keramaian. Selalu bekerja dengan diam-diam secara rahasia. Aku sendiri pun hanya mengetahuinya sebagai Suling Emas, orang muda yang amat lihai, tapi siapa dia sebetulnya tidak ada orang tahu. Entah dari mana datangnya, hanya dunia kang-ouw mengenalnya selama tujuh delapan tahun ini.”

“Kenapa kau mengira bahwa mungkin dia yang membunuh orang tua angkatku, Kek?”

“Orang macam dia itu bisa berbuat apa saja. Pendeknya, tidak ada yang mengherankan andai kata mendengar pada suatu hari bahwa Suling Emas membunuh Kaisar, atau membunuh ketua Kun-lun-pai. Sepak terjangnya tidak dapat diikuti orang. Mungkin orang tuamu dibunuhnya karena ada kesalahan terhadapnya, mungkin juga karena sikap Ayahmu terhadap kerajaan, atau pun karena urusan lain, siapa bisa tahu?”

“Kek apakah dia benar-benar lihai?”

“Dia hebat.”

“Kau takut terhadap Suling Emas?”

Kakek itu mencak-mencak lagi, tulang kelinci yang sudah tak berdaging lagi digigit pecah dan disedot sumsum­nya. “Takut apa? Kim-lun Seng-jin tidak pernah mengenal takut.”

“Kalau begitu kau berani melawannya? Kau dan dia siapa lebih lihai, Kek? Apa kau bisa menangkan dia?”

Kakek itu duduk kembali, menarik napas. “Jangan kau kira bisa mengadu aku dengan Suling Emas. Tentu saja kalau dia mengganggumu, aku akan turun tangan. Akan tetapi aku tidak bisa memastikan apakah aku akan menang. Betapa pun juga saat ini ingin aku mencoba kepandaiannya.”

Girang hati Lin lin. “Kalau begitu, mari cepat kita mencarinya di kota raja, Kek. Kau bilang dia berada di sana, bukan?”

“Kira-kira begitulah. Akan tetapi orang macam dia memang sukar diikuti bayangannya. Kita lihat saja nanti, di kota raja kita dapat mencari keterangan tentang dia. Sebaiknya kau melatih lagi ilmu pukulan itu.”

Demikianlah, sambil melakukan perjalanan mencari Suling Emas, Lin Lin terus dilatih ilmu silat oleh Kim-lun Seng-jin dan tanpa disadarinya sendiri kepandaian Lin Lin meningkat dengan cepat. Gadis ini sama sekali tidak sadar bahwa Kim-lun Seng-jin sengaja mengambil jalan memutar, melalui gunung-gunung dan hutan-hutan sehingga waktu yang mereka pergunakan untuk sampai di kota raja menjadi lima kali lebih panjang, perjalanan menjadi amat jauh dan sukar. Kakek ini sengaja berbuat demikian karena ia ingin melihat Lin Lin dapat melatih diri sampai matang dalam ilmu silat itu sehingga keselamatan Lin Lin dapat terjaga. Sering kali, di waktu mereka tidur dalam hutan, kakek itu duduk dan memandang wajah Lin Lin sampai berjam-jam. Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. “Serupa benar... serupa benar...”

********************


Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang melakukan perjalanan bersama Kim-lun Seng-jin dan mari kita menengok keadaan Bu Sin dan Sian Eng. Kakak beradik ini juga cepat meninggalkan An-sui, menuju ke kota raja untuk mencari kakak mereka yang selamanya belum pernah mereka lihat, seorang yang bernama Kam Bu Song.

Dua orang ini melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi sekarang jauh berkuranglah kegembiraan mereka di perjalanan setelah Lin Lin tidak berada di dekat mereka. Malah keduanya agak muram wajahnya, karena biar pun Lin Lin hanya seorang adik angkat, namun mereka amat mengasihinya. Terutama sekali Bu Sin selalu berkerut keningnya.

Dia adalah saudara tertua dan dialah yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan Lin Lin. Sekarang gadis itu pergi tanpa diketahuinya ke mana. Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak baik, bukankah dia yang bertanggung jawab dan pula dia yang kelak disalahkan, baik oleh kakak tirinya, Kam Bu Song, mau pun oleh bibi gurunya yaitu Kui Lan Nikouw. Akan tetapi teringat akan bunyi surat yang ditinggalkan Lin Lin di kamar penginapan, dan mengingat akan pesan suami isteri Hou-han itu yang menyatakan bahwa Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti, hatinya menjadi agak lega.

Kota raja Kerajaan Sung tidak jauh lagi dan dengan melakukan perjalanan cepat, dalam waktu sepekan saja Bu Sin dan Sian Eng sudah memasuki kota raja. Ketika masih tinggal bersama ayahnya di Pegunungan Cin-ling-san di dusun Ting-chun sebelum ayahnya tewas, bekas Jenderal Kam sering kali mendongeng kepada tiga orang anaknya tentang keadaan kota raja yang amat ramai dan indah. Memang dahulu, Jenderal Kam Si Ek biar pun bertugas di Shan-si, namun ia adalah seorang pejabat pemerintah Kerajaan Sung karena pada masa itu Kerajaan Hou-han belum bangkit dan wilayah Shan-si masih termasuk wilayah Sung.

Oleh karena pernah mendengar tentang kota raja ini, ketika memasuki kota raja Bu Sin dan adiknya merasa gembira dan kagum, akan tetapi tidak terheran-heran seperti orang-orang desa yang baru pertama kali selama hidupnya memasuki kota raja yang besar. Mereka berdua mencari rumah penginapan, kemudian mulailah mereka dengan penyelidikan mereka, bertanya ke sana ke mari tentang diri seorang pemuda bernama Bu Song, she Liu. Bu Sin dan adiknya masih teringat akan penuturan bibi guru mereka betapa Bu Song pernah menempuh ujian di kota raja ini dengan menggunakan she Liu, yaitu she ibunya.

Orang pertama yang mereka tanyai adalah seorang guru sastra yang membuka sekolah bagi calon-calon pengikut ujian, seorang laki-laki yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. Memang Bu Sin selalu berhati-hati dan ia amat cerdik dan pandai mencari keterangan. Tidak ada orang yang lebih tepat dimintai keterangan tentang seorang penempuh ujian belasan tahun yang lalu di kota raja selain seorang guru sastra yang sudah tua.

Akan tetapi guru sastra itu menggeleng kepalanya dan mengerutkan kening. “Sungguh menyesal aku tidak ingat lagi akan semua nama-nama itu. Ada ratusan orang banyaknya she Liu, dan semenjak empat belas tahun sampai sekarang, entah sudah ada berapa ribu orang pelajar yang menempuh ujian.”

Bu Sin dan Sian Eng kelihatan kecewa dan menyesal sekali. Malah Sian Eng hampir menangis kalau ia ingat betapa perjalanan mereka selain sia-sia belaka, juga mereka malah kehilangan Lin Lin. Mencari seorang kakak belum dapat di­temukan, sekarang malah kehilangan seorang adik. Mendengar jawaban guru tua ini, agaknya memang tak mungkin mencari seorang yang berada di kota raja ini dan menjadi penempuh ujian pada empat belas tahun yang lalu!

Pada saat mereka hampir putus asa itu, kakek guru tua tadi berkata menghiburnya, “Masih ada satu jalan untuk mencari orang itu. Pada empat belas tahun yang lalu, yang menjabat sebagai kepala ujian adalah Pangeran Suma Kong yang sekarang tinggal di kota An-sui. Kalian coba saja menghadap beliau dan mohon pertolongannya, karena kurasa pangeran itu mempunyai catatan tentang para pengikut ujian dan siapa tahu beliau akan dapat memberi keterangan di mana adanya Liu Bu Song itu.”

Wajah kakak beradik itu berubah dan mereka saling lirik ketika mendengar kata-kata ini. Pangeran Suma di An-sui? Itulah keluarga yang gedungnya mereka datangi, dan di sana pula Lin Lin lenyap. Di sana malah terdapat It-gan Kai-ong dan pemuda lihai yang mereka dengar disebut Suma-kongcu. Karena pikiran ini membuat mereka merasa bingung dan tegang, Bu Sin segera menghaturkan terima kasih dan minta diri.

Setelah keluar dari rumah kakek guru itu, Bu Sin menarik napas panjang. “Apakah kita harus pergi ke rumah itu? Tempat yang amat berbahaya itu, bagaimana kalau mereka yang berada di sana, terutama It-gan Kai-ong, mengenal kita? Bukankah itu sama halnya dengan memasuki goa naga dan harimau?”

“Sin-ko, dengan mereka kita tidak mempunyai permusuhan. Kalau Pangeran Suma orang satu-satunya yang dapat menolong kita, mengapa kita meragu? Lebih baik kita mencoba, siapa tahu pangeran tua itu mengerti di mana ada­nya Kakak Bu Song. Kalau bukan bertanya dia, siapa lagi? Kakek guru itu saja tidak dapat menolong kita, apa lagi orang lain?”

“Dengan keluarga Pangeran Suma memang kita tidak ada permusuhan, akan tetapi kau harus ingat It-gan Kai-ong yang berada di sana. Kita pernah ribut dengan para pengemis.”

“Bukankah dia sudah memaafkan kita setelah diberi uang perak oleh Lin Lin? Kalau memang dia berniat jahat, kiranya dia sudah turun tangan sejak dulu.”

Akhirnya Bu Sin mengambil keputusan dan berkata, “Baiklah, kita ke An-sui, bertanya dan minta tolong kepada Pangeran Suma Kong. Apa pun yang akan terjadi, harus kita hadapi karena ini menjadi kewajiban kita memenuhi pesan terakhir dari Ayah untuk mencari Kakak Bu Song. Mari, Eng-moi, kita kembali ke An-sui.”

Hanya semalam mereka di kota raja dan pada keesokan harinya, kembali mereka melakukan perjalanan ke An-sui dengan cepat. Begitu tiba di An-sui beberapa hari kemudian di waktu siang, mereka berdua langsung menuju ke rumah gedung yang pernah mereka kenal di suatu malam itu, memasuki halaman rumah yang luas. Hati mereka berdebar tegang ketika pelayan yang mereka mintai tolong untuk melaporkan kepada Pangeran Suma bahwa mereka berdua mohon menghadap, memasuki pintu depan yang besar.

Akhirnya pintu terbuka dan alangkah kaget dan tegang hati mereka. Yang muncul keluar bukanlah seorang pangeran tua, melainkan seorang pemuda tinggi tegap dan tampan berhidung bengkok bermata tajam seperti burung hantu. Ini adalah pemuda yang mereka lihat malam itu, Suma-kongcu atau Suma Boan! Lebih-lebih Sian Eng tergetar hatinya ketika melihat sepasang mata pemuda itu memandangmya seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat dan mulut yang membayangkan kelicikan itu tersenyum-senyum.

Di belakang pemuda ini keluar pula belasan orang laki-laki tinggi besar dan sekali lihat saja dapat menduga bahwa mereka adalah prajurit-prajurit pengawal karena pakaian mereka seragam. Suma-kongcu memberi isyarat dan belasan orang pengawal itu masuk kembali ke dalam, kemudian pemuda itu membalas penghormatan kedua orang tamunya dengan menjura dan berkata.

“Menurut laporan pelayan, Nona dan saudara hendak menghadap Pangeran Suma. Kebetulan sekali Ayah sedang tidur siang, akan tetapi kalau ada urusan, boleh Ji-wi (Kalian) bicarakan dengan saya, karena semua urusan Ayah telah diwakilkan kepada saya. Apakah keperlu­an Ji-wi datang menghadap Ayah?”

Karena bagi Bu Sin sama saja, baik Pangeran Suma mau pun puteranya asal dapat memberi keterangan tentang kakaknya, maka ia segera berkata dengan hormat. “Maafkan kalau kami mengganggu waktu yang berharga, Suma-kongcu. Kedatangan kami mohon menghadap Pangeran Suma adalah dengan maksud mohon pertolongan, karena untuk urusan kami ini, kiranya hanya Pangeran Suma yang dapat menolong.”

Wajah Suma Boan berubah ramah, tapi pandang matanya penuh selidik dan seperti tadi, sekilas ia memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang dan punggung kedua orang muda itu. “Heran sekali, kami tidak pernah mengenal Ji-wi, pertolongan apakah yang dapat kami lakukan?”

“Begini, Kongcu. Kami mencari seorang pengikut ujian yang berada di kota raja dan mengikuti ujian empat belas tahun yang lalu. Karena pada waktu itu kami mendapat keterangan bahwa Pangeran Suma yang menjabat kepala penguji, maka kiranya sudi memberi keterangan kepada kami, apakah beliau mengetahui di mana adanya pelajar itu sekarang.”

“Siapakah namanya pelajar itu? Empat belas tahun yang lalu? Hemmm, agaknya dapat dilihat dalam buku catatan tentang pelajar.”

“Pada waktu itu, ia memasukkan namanya sebagai Liu Bu Song...”

“Bu Song...?” Suma-kongcu kelihatan kaget bukan main dan wajahnya seketika berubah merah, matanya terbelalak lebar. “Apamukah dia itu?” pertanyaannya kini tidak halus lagi.

Bu Sin dan Sian Eng kaget melihat perubahan ini, akan tetapi karena tidak dapat menduga apa yang menyebabkan Suma-kongcu berubah demikian, Bu Sin menjawab sejujurnya, “Dia adalah kakak kami...”

“Bagus!” Suma-kongcu melompat bangun lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Bu Song! Kau telah mengirim dua orang adikmu, bagus! Adik laki-laki boleh menggantikan hukumanmu, adik perempuan hemmm... cukup cantik membayar penghinaanmu. Ha-ha-ha!” Suma-kongcu bertepuk tangan dan belasan orang pengawal muncul dengan cepat sekali. “Tangkap mereka!”

Bukan main kagetnya Bu Sin dan Sian Eng melihat sikap Suma-kongcu dan mendengar perintah ini. Tanpa menanti lebih lama lagi mereka segera meloncat mundur sambil mencabut pedang. Namun gerakan Suma Boan bukan main cepatnya. Bagaikan seekor burung elang menyambar ia telah menerjang Bu Sin dan Sian Eng, kedua tangannya bergerak melakukan serangan.

Bu Sin dan Sian Eng belum sempat menarik pedang, terpaksa mereka menangkis karena serangan ini cepat dan berbahaya sekali. Kedua tangan Suma Boan bertemu dengan tangkisan tangan Bu Sin dan Sian Eng. Akibatnya, Bu Sin terhuyung mundur dan Sian Eng terguling! Kaget sekali kakak beradik ini. Sian Eng cepat hendak meloncat bangun, namun sebuah totokan dengan dua jari tangan Suma Boan telah mengenai jalan darahnya dengan cepat, membuat ia tidak mampu berkutik lagi! Sambil tertawa-tawa Suma Boan menyambar tubuh Sian Eng dan memondongnya.

“Lepaskan adikku!” Bu Sin membentak, pedangnya yang sekarang sudah ia cabut menyambar ke arah Suma Boan. Permainan pedang Bu Sin bukanlah lemah. Pedang itu meluncur cepat dan Suma Boan terpaksa menghindarkan diri sambil melompat ke samping. Akan tetapi pedang Bu Sin mengejar terus.

Pada saat itu para pengawal sudah mengepung Bu Sin sehingga pemuda ini tidak mampu lagi menolong adiknya. Terpaksa dengan kemarahan meluap-luap ia memutar pedangnya melayani belasan orang pengawal itu. Menghadapi para pengawal ini, biar pun dikeroyok, baru tampak kelihaian ilmu pedang Bu Sin. Sebentar saja tiga orang pengawal roboh terluka. Pengawal-pengawal lainnya menjadi gentar juga. Tak mereka sangka ilmu pedang pemuda ini demikian hebat. Kini mereka tidak berani mendekat rapat. Melihat ini, Suma Boan menjadi habis sabar. Ia merebahkan tubuh Sian Eng ke atas dipan di sudut ruangan, kemudian ia melompat ke medan pertandingan sambil membentak.

“Mundur kalian, orang-orang tiada guna dan lihat bagaimana aku menangkap cacing ini!”

Para pengawal menjadi lega hati mereka. Cepat mereka mundur sambil menolong tiga orang kawan mereka yang terluka. Ada pun Bu Sin ketika melihat Suma Boan, segera membentak nyaring dan menerjang maju. Ia bermaksud merobohkan kongcu itu untuk dapat menolong adiknya yang ia lihat masih rebah di atas dipan, tak dapat bergerak.

“Orang jahat she Suma! Apa kesalahan kami maka kau melakukan penangkapan?”

“Ha-ha-ha, Bu Song, kakakmu itu musuh besarku. Menyerahlah!”

“Sebelum mati takkan menyerah. Lihat pedang.”

Suma Boan tetap tertawa sambil mengelak dari sambaran pedang. Di lain saat kedua tangannya sudah bergerak menyodok dan menotok sebagai penyerangan balasan. Putera pangeran ini menghadapi Bu Sin dengan tangan kosong saja. Memang dia seorang ciang-hoat (silat tangan kosong) yang amat lihat, mewarisi ilmu silat tinggi dari It-gan Kai-ong, Bu Sin bukanlah lawannya, karena dibandingkan dengan putera pangeran ini, ilmu kepandaian Bu Sin masih amat rendah, kalah beberapa tingkat!

Tidaklah mengherankan apa bila dalam beberapa belas jurus saja, pergelangan tangan kanan Bu Sin kena disabet dengan tangan miring sehingga pedangnya terpental jauh, kemudian sebelum Bu Sin sempat menyelamatkan diri, ia telah tertotok roboh dan segera ditubruk dan diringkus oleh para pengawal. Beberapa orang pengawal yang marah karena pemuda ini sudah melukai tiga orang kawan mereka, menghujankan pukulan-pukulan. Bu Sin tentu akan tewas kalau saja Suma Boan tidak menghardik orang-orangnya.

“Jangan sentuh dia! Aku sendiri yang akan menghukumnya. Hemm, orang-orang tiada guna, kalau kalian memukuli sampai mati, nyawa kalian gantinya!” Akan tetapi Bu Sin tidak mati, hanya pingsan saja.

Suma Boan menengok ke arah dipan dan alangkah kagetnya ketika melihat dipan itu kosong. Sian Eng si cantik manis yang tadi telah tertotok dan tak mampu bergerak, rebah di atas dipan, kini tidak tampak lagi, lenyap dari tempat itu tanpa bekas!

“Keparat, di mana dia...?” Suma Boan dengan sekali lompat sudah tiba di dekat dipan dan sepasang matanya melotot. Mukanya pucat ketika ia melihat sebuah benda tertancap di atas dipan sebagai ganti gadis cantik itu. Benda yang menancap pada dipan ini adalah sebuah bendera kecil, gagangnya dari kayu hitam, benderanya berbentuk segi tiga berdasar hitam dengan gambar Hek-giam-lo si malaikat maut yang memegang sabit, tersulam dengan benang warna kuning emas!

“Hek-giam-lo...!” bibir Suma Boan berbisik, lalu ia menggertak gigi. “Lagi-lagi Hek-giam-lo mengganggu, keparat...!”

Akan tetapi ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat mengejar setan itu yang telah menculik tawanannya. Kemarahannya ia tumpahkan kepada Bu Sin. “Seret ia ke dalam kebun belakang!”

Para pengawal menyeret tubuh Bu Sin yang sudah siuman dari pingsannya tapi tidak berdaya lagi itu ke belakang. Atas perintah Suma Boan, mereka mendirikan dua batang balok yang dipasang menyilang, kemudian mengikat tubuh Bu Sin di atas balok bersilang itu.

Bu Sin sudah siuman, maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Namun ia seorang pemuda gagah perkasa, sedikit pun tidak takut. Dengan pandang mata tajam ia menatap Suma Boan yang berdiri di depannya dan di kanan kiri berdiri para pengawal.

“Orang she Suma!” Kata Bu Sin dengan suara ketus dan nyaring. “Antara kau dan aku tidak ada permusuhan, akan tetapi kau katakan bahwa kakakku Bu Song adalah musuh besarmu. Baik, aku sebagai adiknya siap menerima hukuman apa saja. Sayang kepandaianku terlalu rendah, kalau tidak tentu aku akan mewakili kakakku itu memberi hajaran kepadamu, manusia rendah.”

“Ha-ha, kematian sudah di depan mata dan masih berlagak!” dengus Suma Boan. Sekali merogoh saku, ia telah mengeluarkan enam batang anak panah. “Sebentar lagi kau mampus.”

“Siapa takut mati? Seorang gagah sekali-kali tidak berkedip menghadapi kematian, asal saja ia mati dalam kebenaran! Akan tetapi, ceritakan mengapa kakakku memusuhi orang macam kau, agar aku tahu untuk apa aku mati.”

“Bu Song seorang jahanam besar. Ia telah ditolong oleh Ayah, ujiannya diberi angka baik agar ia lulus, kemudian karena tertarik oleh kepintarannya Ayah telah memberinya kedudukan baik sebagai pembantu pribadi. Siapa kira, kakakmu manusia rendah itu tidak tahu akan kedudukannya sebagai hamba, berani main gila dengan adik perempuanku. Dia sudah kuikat seperti kau sekarang ini, mengalami cambukan seratus kali, tapi agaknya tubuhnya yang sudah hampir menjadi bangkai itu dibawa setan, atau mungkin juga dimakan setan sampai habis. Ha-ha-ha, dan sekarang kau adiknya datang untuk melanjutkan hukumannya. Tidak puas hatiku ketika itu, sekarang barulah aku puas. Penghinaan atas diri adikku akan kubalas impas. Hemmm... kalau saja perempuan itu tidak lenyap....”

“Di mana adikku, Sian Eng? Suma-kongcu, kita sama-sama lelaki, kau mau membalas, silakan, aku akan menerima dengan mata melek. Akan tetapi, kau bebaskan adikku. Dia wanita, tidak bertanggung jawab akan perbuatan kakakku.”

“Ha-ha-ha, adikmu akan kurusak, kemudian kuserahkan kepada para pengawal, penghinaan ini harus dibayar sampai habis, berikut bunganya.”

Pucat wajah Bu Sin, akan tetapi ia tidak mau membuka mulut. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk orang macam ini, malah akan mendapat penghinaan yang menyakitkan hati. Apa pun yang akan dialami oleh Sian Eng, paling hebat tentu kematian dan ia percaya bahwa Sian Eng tentu akan mempergunakan setiap kesempatan untuk meloloskan diri atau untuk membunuh diri dari pada dijamah tangan-tangan kotor itu.

“Pengecut, siapa takut ancamanmu? Mau bunuh lekas buhuh!” bentaknya.

Tangan kiri Suma Boan bergerak dan meluncurlah sebatang anak panah, menancap ke paha kiri Bu Sin. Terasa nyeri dan perih, namun Bu Sin tetap memandang dengan mata marah, pemuda perkasa ini berkedip pun tidak.

“Kalian lihat, semua anak panah ini akan mengenai sasaran tanpa membunuh korbannya. Dan hati-hati, dia harus dibiarkan tersiksa sampai mati kehabisan darah, semua harus bergiliran menjaga malam ini. Aku tidak mau kehilangan dia seperti belasan tahun yang lalu. Besok pagi akan kulihat bangkainya tetap tergantung di sini.”

“Baik, Kongcu. Hamba sekalian akan menjaganya, harap Kongcu jangan khawatir.” Serempak para pengawal menjawab sambil memberi hormat.

Dengan senyum keji dan mata berapi, Suma Boan lalu berturut-turut melepaskan anak panah dengan kedua tangannya. Cepat anak-anak panah itu meluncur dan dengan tepat menancap di paha kanan, kedua lengan dan di kedua pundak. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Bu Sin. Rasa nyeri pada kaki tangan dan pundaknya masih dapat ia pertahankan dengan menggigit bibir, sedikit pun keluhan tidak ada yang keluar dari mulutnya. Namun penghinaan ini benar-benar amat menyakitkan hatinya, hampir ia tidak kuat menahan hati untuk memaki-maki dan berteriak-teriak. Kalau ia terus dibunuh, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi dijadikan sasaran anak panah lalu dibiarkan terpanggang di situ menjadi tontonan, benar-benar menyakitkan hati sekali.

Suma Boan tertawa-tawa mengejek, lalu meludahi muka Bu Sin sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Bu Sin hanya membuang muka ke samping, akan tetapi tak dapat mencegah pipi kirinya terkena sambaran ludah. Ia merasa pipi itu panas dan sakit sehingga diam-diam ia harus mengakui kehebatan putera pangeran ini yang memiliki lweekang amat kuatnya. Namun sakit di hatinya lebih hebat.

“Jaga baik-baik! Awas, jangan sampai ada yang mencuri calon mayat ini,” pesan Suma Boan kepada anak buahnya. Mereka memberi hormat lagi dengan sikap menjilat-jilat, menyatakan kesanggupan mereka.

Setelah kongcu itu pergi, para pengawal yang dua belas orang banyaknya itu duduk mengelilingi balok bersilang di mana tubuh Bu Sin tergantung. Mereka bercakap-cakap dan merasa yakin bahwa penjagaan mereka amat kuat. Pedang dan golok mereka terletak di atas tanah, dekat tangan, siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu.

Bu Sin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Bagian yang tertusuk anak panah terasa panas dan kejang. Akan tetapi ia segera melupakan rasa nyeri ini, malah ia tidak mendengarkan percakapan para penjaga. Pikirannya sibuk memikirkan kakaknya. Tahulah ia sekarang mengapa kakaknya lenyap dari kota raja tak dapat ditemukan ayahnya.

Kiranya kakaknya itu tadinya diangkat oleh Pangeran Suma menjadi pembantunya, kemudian kakaknya agaknya bermain cinta dengan puteri pangeran, ketahuan dan ditangkap lalu disiksa seperti yang ia alami sekarang. Akan tetapi kakaknya lenyap pada malam hari. Ke mana? Benarkah sudah mati? Ah, masa dimakan setan? Ditolong setan juga tak mungkin. Siapakah yang mau menolong kakaknya? Seperti juga dia sendiri sekarang ini, siapa yang mau menolongnya?

Tiba-tiba matanya terbelalak kaget. Ia berusaha mengikuti sinar berkelebatan dengan matanya, namun tetap saja matanya silau dan tak dapat melihat apa yang berkelebatan itu. Tahu-tahu para penjaga yang tadinya duduk bercakap-cakap sudah rebah malang-melintang tak bergerak lagi, entah mati entah masih hidup. Dan tahu-tahu, seperti main sulap saja, bayangan berkelebat di dekatnya dan dalam sedetik ikatan kaki tangannya terlepas, kemudian anak-anak panah yang enam buah banyaknya itu tercabut. Darah bercucuran keluar dan Bu Sin tidak ingat lagi. Ia pingsan dan tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya.

Ketika Bu Sin sadar kembali, ia mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah hutan, dibaringkan di bawah sebatang pohon besar. Di dekatnya ada sebuah api unggun yang masih bernyala, akan tetapi tidak seorang pun manusia di situ. Bu Sin cepat bangkit duduk, memeriksa luka-lukanya. Kiranya enam buah luka di tubuhnya sudah diobati orang dan dibalut dengan kain putih dan bersih, rasanya nyaman tidak nyeri lagi. Cepat ia melompat berdiri, dilihatnya pedangnya terletak di dekat api, segera dipungutnya. Ketika memungut pedang inilah pandang matanya bertemu dengan tanah yang di­coret-coret merupakan huruf-huruf.

Adiikuti di bawa Hek Giam Lo, Aku berusaha mengejarnya.

Bu Sin terduduk kembali. Agaknya orang yang menolongnya ini sejak tadi menjaganya di situ dan melihat ia siuman, baru orang itu pergi sambil meninggalkan tulisan di dekat api dan pedang. Siapa gerangan orang itu? Kepandaiannya hebat, tidak seperti manusia. Setankah dia? Tiba-tiba ia teringat akan penuturan Suma-kongcu. Apakah setan ini pula yang belasan tahun yang lalu telah menolong kakaknya, Bu Song? Ia merasa menyesal sekali, mengapa penolongnya itu melakukan ini secara bersembunyi sehingga ia sama sekali tidak dapat menduga-duga siapa gerangan penolongnya. Lebih khawatir lagi hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Ia tidak tahu siapa itu Hek-giam-lo.

Tiba-tiba ia teringat. Pernah ia mendengar nama ini disebut orang. Ia mengingat-ingat, lalu terbayang dalam benaknya pengalamannya bersama Lin Lin dan Sian Eng ketika mereka bertiga bersembunyi di dalam hutan, di atas pohon besar kemudian mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Betapa kemudian terdengar suara melengking tinggi yang membuat It-gan Kai-ong agaknya lari ketakutan, kemudian orang yang mengeluarkan lengking tinggi tampak punggungnya dan menyebut-nyebut nama Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, dan Bu Kek Siansu. Dan sekarang Hek-giam-lo yang disebut-sebut itu telah membawa lari Sian Eng! Siapa dan apa itu Hek-giam-lo ia tidak tahu, akan tetapi melihat namanya, Hek-giam-lo berarti Iblis Maut Hitam!

Bu Sin termenung, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Lin Lin dibawa lari seorang sakti yang bernama Kim-lun Seng-jin, sekarang Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Kedua orang adiknya tidak ia ketahui bagaimana nasibnya dan berada di mana sekarang. Mencari kakaknya belum juga bertemu, hanya mendengar nasibnya yang buruk, disiksa hampir mati dan lenyap. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Dengan pikiran bingung dan gelisah sekali Bu Sin terpaksa meninggalkan tempat itu, menyusup-nyusup hutan karena ia maklum bahwa ia tentu dikejar oleh Suma-kongcu dan sekali lagi terjatuh di tangannya berarti akan hilang nyawanya...

********************


Ke mana lenyapnya Sian Eng yang tadinya berada dalam keadaan tertotok jalan darahnya, tak dapat bergerak terbaring di atas dipan? Gadis ini biar pun sudah tak dapat bergerak karena jalan darah thian-hu-hiat tertotok membuatnya lemas kehilangan tenaga, namun ingatannya masih berjalan baik dan panca inderanya tidak terpengaruh. Ia berusaha sedapat mungkin untuk mengumpulkan tenaga lweekang untuk membebaskan diri dari totokan, namun usahanya belum juga berhasil. Hatinya gelisah bukan main melihat kakaknya dikeroyok itu.

Tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu ia merasa dirinya diterbangkan dari tempat itu. Demikian cepatnya gerakan bayangan hitam yang menolongnya sehingga ia tidak dapat melihat orang ataukah setan penolongnya itu. Ia dipondong masih dalam keadaan tertotok, karena itu ia tidak dapat menggerakkan kepala untuk memandang pemondongnya. Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia mengingat-ingat.

Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Orang yang dahulu melengking tinggi mengejar It-gan Kai-ong, yang hanya terlihat punggungnya, juga berpakaian hitam. Orang yang membawa suling dan yang mereka duga adalah Suling Emas, dan juga pembunuh orang tua mereka! Celaka, pikirnya, kalau pembunuh orang tuanya, musuh besar ini yang sekarang menculiknya pergi, tentu tidak bermaksud baik. Ia tidak tahu dibawa ke jurusan mana, tapi larinya cepat sekali seperti terbang saja. Menjelang senja mereka tiba di lereng gunung.

Sian Eng sekarang sudah mampu menggerakkan kepala karena urat lehernya sudah mulai terbebas dari totokan, jalan darahnya sudah mulai mengalir kembali. Akan tetapi biar pun ia menengok dan memutar leher, tetap saja ia tidak dapat memandang muka pemondongnya yang berjubah hitam, karena kepalanya berada di punggung orang itu. Ketika ia memandang ke sekitarnya melalui kedua pundak pemondongnya, ia terkejut dan merasa ngeri.

Kiranya mereka telah berada di sebuah tempat kuburan kuno yang amat luas. Agaknya kuburan orang besar, karena selain luas juga amat indah. Bongpai (batu nisan) besar-besar dan megah berdiri di sana, di dalam lingkungan pagar tembok dan di sana sini berdiri patung-patung yang terukir indah. Jalan menuju ke batu nisan itu menanjak. Agaknya penolongnya hendak membawanya ke batu nisan itu. Akan tetapi ternyata tidak. Ia dibawa memasuki sebuah terowongan melalui sebuah pintu rahasia di balik batu nisan. Terowongan yang gelap sekali.

Tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas dan tidak gelap, agaknya sinar matahari dapat masuk ke ruangan ini. Sian Eng dilempar ke atas sebuah bangku panjang, akan tetapi ia tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk. Ini kembali membuktikan bahwa penolong atau penculiknya itu adalah seorang yang amat tinggi kepandaiannya.

Sian Eng yang sudah dapat bergerak lagi cepat menoleh dan... gadis itu hampir saja menjerit kalau tidak lekas-lekas menutupi mulut dengan kedua tangannya. Ia hanya duduk dengan mata terbelalak lebar memandang ke depan, kepada orang yang memondongnya tadi. Sehelai demi sehelai bulu di tubuhnya berdiri, dan gadis ini hampir pingsan karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang memondongnya tadi bukanlah manusia! Tengkorak hidup! Jubah hitam itu menutup sampai kepalanya, yang tampak hanya muka tengkorak dengan kedua lubang mata yang lebar, lubang hidung yang kecil dan bekas mulut yang amat lebar, masih bergigi. Mengerikan! Di tempat seperti itu, yakni di bawah tanah kuburan bertemu dengan makhluk seperti ini, benar-berar membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit ketakutan.

Kemudian makhluk yang berdiri tak bergerak seperti patung itu, mengeluarkan suaranya yang terdengar bergema namun seperti datang dari jauh, suara yang tidak pantas menjadi suara manusia hidup, “Nona datang dari Ting-chun di kaki gunung Cin-ling-san, puteri Jenderal Kam Si Ek?”

Karena masih dicekam kengerian, Sian Eng belum mampu mengeluarkan suara, hanya mengangguk dan sepasang matanya yang bening itu terbelalak lebar. Beberapa kali ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali.

Mendadak terjadi hal yang aneh dalam pandangan Sian Eng. Makhluk itu, yang kini dapat diduganya tentulah seorang manusia yang memakai topeng tengkorak, tiba-tiba menjatuhkan dirinya berlutut di depan bangku itu, di mana Sian Eng sudah bangkit berdiri!

“Aduhai Sang Puteri... bertahun-tahun hambamu seluruh rakyat menanti kehadiran Paduka Puteri, bertahun-tahun hamba yang hina mencari dengan susah payah. Akhirnya hamba mendapatkan jejak Jenderal Kam di Ting-chun, akan tetapi Paduka sudah pergi... ah, siapa duga hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini. Rakyat telah menanti untuk menjemput Paduka sebagai ratu....” Sampai di sini si kedok tengkorak itu lalu menangis sesenggukan.

Dapat dibayangkan betapa Sian Eng melongo keheranan, bulu tengkuknya berdiri kaku karena ia menganggap bahwa kedok iblis ini tentulah seorang yang miring otaknya! Akan tetapi suara tangisan kedok iblis itu demikian mengharukan hati sehingga dalam takutnya Sian Eng ikut terharu dan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya. Ia ikut pula menangis!

Kedok iblis itu segera membentur-benturkan jidat tengkoraknya ke atas lantai sambil berkata, “Wahai, Paduka Puteri junjungan hamba..., betapa bahagianya hati hamba, betapa bahagianya rakyat kita setelah bertahun-tahun dikuasai raja yang tak berhak. Kini Paduka telah muncul, bagaikan sang matahari muncul untuk mengusir awan hitam yang gelap. Jangan Paduka khawatir, ada hamba Hek-giam-lo yang akan membantu Paduka merampas kembali mahkota dan singgasana yang memang menjadi hak Paduka....”

Tentu saja Sian Eng makin tidak mengerti dan menganggap orang yang miring otaknya ini sedang kambuh gilanya, maka bicaranya makin tidak karuan. Pada saat itu terdengar suara mirip tangisan yang melengking tinggi menembus sampai ke ruangan di bawah tanah itu. Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama Hek-giam-lo disusul maki-makian.

Hek-giam-lo mengangguk-anggukkan kepala tengkoraknya di depan kaki Sian Eng, lalu berkata halus, “Mohon perkenan Paduka untuk menghalau pengacau yang berada di luar istana.”

Mau tak mau Sian Eng menggigil. Tempat kuburan mengerikan seperti ini dianggap istana dan ia hendak dijadikan ratunya. Celaka! Akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani karena maklum bahwa orang gila yang menyeramkan ini memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Ia hanya mengangguk, dan agar orang gila itu tidak kecewa dan marah ia berkata lirih, “Pergilah...”

Tampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari depannya. Sian Eng menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia? Ataukah semua itu tadi peristiwa yang benar terjadi? Kalau begitu, agaknya si kedok tadi bukan manusia, jangan-jangan memang benar tengkorak hidup. Kalau manusia, masa pandai menghilang seperti itu?

Di sebelah atas, depan bongpai (batu nisan) yag besar dan megah itu, berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki. Seorang wanita cantik sekali, rambutnya hitam halus dan mengeluarkan keharuman yang mewakili taman bunga, baju luarnya putih bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun menyeramkan. Sukar mengira-ngira usianya. Melihat wajah halus, mata jeli dan bibir merah itu orang akan mengira ia masih amat muda, akan tetapi sikap, gerak-gerik dan pandang matanya membayangkan kematangan lahir batin di samping watak yang mendirikan bulu roma. Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum)! Telah kita kenal wataknya yang aneh dan kekejamannya yang melewati batas pada permulaan cerita ini. Ia sekarang berdiri di depan batu nisan besar sambil memaki-maki dengan suara nyaring, diseling lengking tinggi seperti orang menangis.

“Hek-giam-lo, tengkorak busuk bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah! Kalau kau tidak lekas keluar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus ini kubikin remuk. Hendak kulihat apakah kau masih tidak akan muncul!”

Tentu saja ucapan ini membikin marah Hek-giam-lo yang tepat muncul dari sebuah lubang di depan batu nisan setelah membuka penutup lubang itu dari bawah. Orang biasa tentu akan kaget setengah mati dan lari terkencing-kencing ketakutan kalau melihat makhluk seperti Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu nisan itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut munculnya Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya yang runcing dan tangan kanan bertolak pinggang.

“Hek-giam-lo tengkorak busuk! Hayo lekas kau serahkan padaku surat yang kau curi dari gerombolan It-gan Kai-ong si jembel tua bangka!”

Hek-giam-lo tidak menjawab akan tetapi segera melompat ke luar dan menghadapi Siang-mou Sin-ni dengan marah. “Sin-ni, antara kita sudah terdapat saling pengertian, karena jalan hidup kita tidak bersimpangan. Kau tahu bahwa aku harus membela negaraku, surat itu amat penting bagi negaraku. Kerajaan Sung selalu memusuhi Khitan, dan sekarang, setelah aku menemukan kembali Puteri Mahkota calon ratu, surat itu terlebih penting. Dengan memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat hubungan antara Khitan dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?”

“Tengkorak busuk! Kau kira hanya kau seorang yang mau mengambil peran sebagai patriot pembela bangsa dan negara? Cih, bangsa Khitan, perantau tak tentu tanah airnya, berlagak patriot segala! Surat itu adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa sangkut-pautnya dengan Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah pembela Hou-han. Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali kepada yang berhak, yaitu Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya. Biar pun untuk itu aku harus mengadu ilmu dengan patriot-patriot Khitan, aku tidak akan undur setapak pun!”

“Hemmm, kau perempuan mau main politik segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal sebagai seorang di antara Thian-te Liok-koai. Lebih baik kau pertahankan nama itu dan jangan mencampuri urusan negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki.”

“Cerewet! Kau ini selamanya pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau perempuan atau laki-laki? Hayo kembalikan!” Siang-mou Sin-ni menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di kepalanya itu sudah bergoyang-goyang.

Rambutnya merupakan senjatanya yang paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di dunia kang-ouw. Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam, panjang, halus dan harum itu akan menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum pria. Akan tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang entah sudah menewaskan nyawa berapa banyak orang!

“Sin-ni, kau tahu aturan antara kita. Surat ini kudapatkan dengan jalan menggunakan kepandaian, tentu saja tidak mungkin kuberikan kepadamu begini saja.” Sambil berkata demikian, Hek-giam-lo sudah mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari tangan Suma Boan tanpa diketahui orangnya.

Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan kalbu. Rambutnya seakan-akan hidup menyambar untuk merampas surat, sedangkan sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan darah di dada, leher, pangkal lengan dan pergelangan yang maksudnya selain merobohkan lawan juga merampas sabit!

“Uhhh!” Hek-giam-lo membentak. Surat itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang bergulung-gulung dengan sinar sabitnya.

Pada detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang dengan ganas sehingga terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan ada orang melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah yang sedang bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding di atas lantai depan batu bisa, kadang-kadang dengan gerakan ringan dan cepat keduanya berlompatan dan berkejaran di atas bongpai (batu nisan), melayang di antara pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi, melanjutkan pertandingan yang amat hebatnya.

Namun keduanya sama kuat. Pertahanan masing-masing terlampau kokoh dan rapat sehingga sukar bagi mereka untuk mencari lubang dan memasukkan serangan mematikan.

“Hi-hik, tengkorak busuk. Mana pelajaranmu dari Bu Kek Siansu? Untuk apa kau rampas setengah kitabnya? Hayo keluarkan, kulihat jurus-jurusmu adalah yang dulu-dulu juga, sudah lapuk dan kuno!” ejek Siang-mou Sin-ni.

Hek-giam-lo mendengus dan memutar sabitnya. “Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa pula? Tidak perlu cerewet, rampaslah suratmu kalau kau memang becus!”

“Keparat, hari ini Hek-giam-lo mampus di tanganku!” Siang-mou Sin-ni memperhebat gerakannya dan kini mereka bertanding lebih seru lagi, berusaha mencari kemenangan dengan mengeluarkan jurus-jurus mematikan.

Sementara itu, keberanian Sian Eng segera timbul ketika melihat dirinya ditinggalkan sendirian oleh Hek-giam-lo. Kesempatan baik sekali untuk melarikan diri. Cepat ia melompat turun dari atas bangku panjang, menyambar pedangnya yang agaknya tadi dibawa pula oleh Hek-giam-lo, dan berjalanlah ia melalui lorong di bawah tanah yang gelap.

Beberapa kali ia salah jalan. Kiranya lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan yang menyesatkan. Setelah meraba sana, merayap ke sini, akhirnya Sian Eng berhasil melihat sinar matahari melalui sebuah lubang. Pengharapannya menebal dan cepat ia merayap ke arah sinar itu yang ternyata masuk dari sebuah lubang yang cukup besar. Ia mengerahkan ginkang dan melompat ke luar dari lubang.

Sejenak kedua matanya silau dan terpaksa ia berdiri sambil memejamkan mata. Baru saja keluar dari tempat gelap ke tempat terang memang amat menyilaukan mata, hampir ia tak dapat percaya apa yang dilihatnya. Ternyata ia telah berada di depan batu-batu nisan besar dan di situ berkelebatan dua orang yang sedang bertanding dengan hebat dan aneh. Yang seorang adalah Hek-giam-lo yang mempergunakan sebuah sabit yang mengerikan. Orang kedua adalah seorang wanita cantik sekali, akan tetapi cara bertempur wanita itu aneh karena wanita itu selalu menggunakan rambutnya yang panjang dan gemuk hitam sebagai senjata!

Sian Eng tidak tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi pertandingan itu. Hek-giam-lo dianggapnya seorang miring otak yang menganggap dia sebagai seorang Puteri calon ratu, akan tetapi ia masih tidak tahu apakah iblis hitam itu mengandung niat baik ataukah buruk terhadap dirinya. Ada pun wanita cantik yang bertempur melawan Hek-giam-lo itu pun ia tidak kenal, tidak tahu pula mengapa bertempur melawan Hek-giam-lo. Oleh karena ini Sian Eng tidak mempedulikan pertempuran itu dan mendapatkan kesempatan baik ini ia segera melarikan diri.

Akan tetapi Sian Eng benar-benar keliru kalau dia mengira bahwa dua orang itu tidak melihatnya dan tidak tahu bahwa ia melarikan diri. Dua orang itu adalah orang-orang sakti yang tentu saja melihat dia keluar dari lubang tadi. Belum jauh Sian Eng melarikan diri, Hek-giam-lo mendengus.

“Sin-ni, lain waktu kita lanjutkan. Aku harus mengejar dia.”

“Hik-hik, tinggalkan dulu surat itu, baru aku memberi ampun padamu!”

Sabit di tangan Hek-giam-lo menyambar sepenuh tenaga, namun dengan mudah Siang-mou Sin-ni mengelak dan membalas dengan sambaran rambutnya.

“Keparat kau! Aku perlu sekali dengan gadis itu!” kembali Hek-giam-lo berkata, minta pertandingan dihentikan.

“Aku pun perlu sekali dengan surat itu. Sebelum kau serahkan kepadaku, jangan harap kau bisa mendapatkan gadis itu. Hi-hik.”

Kewalahan Hek-giam-lo menghadapi lawannya yang selain pandai bertempur, juga amat pandai berdebat ini. “Nah, kau makanlah suratmu!” Hek-giam-lo sudah mengeluarkan surat itu dan melemparkannya ke arah Siang-mou Sin-ni, kemudian melompat jauh untuk mengejar Sian Eng.

Ada pun Siang-mou Sin-ni melihat menyambarnya benda putih, segera ditangkapnya dan ia terkekeh girang melihat bahwa benda itu memang benar merupakan surat persekutuan antara Pemerintah Nan-cao dan Pemerintah Hou-han. Sambil tersenyum manis ia memasukkan surat itu ke dalam saku jubahnya, kemudian bersenandung lirih dan membalikkan tubuh hendak pergi dari tempat itu. Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh, matanya memandang ke arah sebuah di antara jajaran patung yang kebetulan berada di depannya. Sebuah patung sebesar patung seorang sastrawan kuno. Wajah patung itu amat halus buatannya, seperti manusia hidup saja.

“Ih, tampan juga kau!” Siang-mou Sin-ni tersenyum. “Sayang kau hanya batu, tidak punya darah dan daging. Ih, matamu terlalu tajam, lebih baik lehermu kupatahkan sebelum aku pergi.” Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya, segumpal rambut panjang menyambar ke arah leher patung.

“Plakkk!” rambut itu terpental kembali dan leher patung tidak apa-apa. Jangankan patah, gempil pun tidak.

Sepasang mata jeli bening itu terbelalak. Biasanya, hantaman rambutnya akan mampu memecahkan batu hitam, masa sekarang mematahkan leher patung saja tidak kuat? Sekali lagi ia menggerakkan kepala, kini setengah rambutnya semua menyambar, merupakan gumpalan yang cukup besar.

“Plakkk!” kali ini tubuh Siang-mou Sin-ni tergetar karena kekuatan yang ia pergunakan tadi lebih besar sehingga ketika terpental, terasa lebih hebat pula olehnya.

Wanita ini berubah wajahnya. Matanya melirik ke arah patung itu, lalu kepada patung-patung lain yang berjajar di situ. Kalau semua patung itu sekuat ini, agaknya memiliki kesaktian, hiiiiih! Siang-mou Sin-ni merasa bulu tengkuknya bangun dan ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu! Seorang wanita yang terkenal ganas seperti iblis sekarang lari ketakutan, mengira bahwa patung-patung itu sudah menjadi iblis. Mungkin menghadapi sesama manusia, iblis wanita rambut panjang itu tidak akan gentar seujung rambut pun, akan tetapi menghadapi patung batu yang dapat tahan menghadapi dua kali hantaman rambutnya, benar-benar melewati batas ketabahannya.

Kalau saja Siang-mou Sin-ni tahu betapa sepeninggalnya patung yang dihantamnya tadi dapat bergerak-gerak, tentu ia tidak akan lari, malah patung itu akan diserang mati-matian! Setelah iblis wanita rambut panjang itu pergi, ‘patung’ itu menarik napas panjang, melemparkan selubung kain putih dan tampaklah seorang pemuda tinggi besar berpakaian seperti sastrawan, pakaian berwarna hitam. Suling Emas! Seperti juga Siang-mou Sin-ni, Suling Emas yang menyamar sebagai patung itu berkelebat lenyap ke arah perginya Hek-giam-lo.

Sian Eng sudah girang hatinya dapat terbebas. Ia lari sekuat tenaga dan memasuki hutan besar. Napasnya terengah-engah dan setelah masuk di bagian hutan yang gelap, merasa dirinya aman, gadis ini memperlambat langkahnya untuk mengaso dan mengatur napas. Akan tetapi dapat dibayangkannya betapa kagetnya, sampai mukanya menjadi pucat tak berdarah lagi, ketika ia menoleh di depannya berdiri... Hek-giam-lo!

“Paduka hendak ke mana, Sang Puteri? Harap hati-hati, tanpa hamba yang melindungi, sebaiknya Paduka jangan pergi ke mana-mana. Banyak berkeliaran musuh-musuh kita,” terdengar Hek-giam-lo berkata dengan suaranya yang menyeramkan.

“Tidak... tidak... biarkan aku pergi sendiri. Jangan ganggu aku!” teriak Sian Eng yang ketakutan, dan ia hendak lari.

Akan tetapi iblis itu sekali berkelebat telah berada di depannya. Sian Eng menjadi nekat dan menggunakan pedangnya membacok. Akan tetapi entah bagaimana pedangnya seperti bertemu benda keras dan terpental jauh kemudian tubuhnya terangkat dan ia sudah dibawa lari seperti terbang cepatnya tanpa dapat meronta sedikit pun. Sian Eng menggigil ketakutan dan pingsan dalam pondongan Hek-giam-lo.

********************


Lin Lin membanting-banting kedua kakinya seperti anak kecil yang permintaannya tidak dituruti. “Kek, kau membohongi aku! Kau bilang dia berada di kota raja, mana dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah sepekan kita berada di sini, setiap malam berkeliaran semalam suntuk, kalau siang tidur di kuil tua, persis seperti kelelawar, malam berkeliaran siang tidur. Dan Suling Emas belum juga tampak batang hidungnya!”

Kim-lun Seng-jin, kakek gundul pelontos itu duduk di atas lantai kuil tua yang kotor, bersandar dinding yang sudah retak-retak dan tertawa lebar memperlihatkan giginya yang putih dan mengkilap tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya sehingga keadaan dalam kuil yang gelap itu menjadi terang.

“Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah kukatakan kepadamu bahwa orang macam Suling Emas itu sukar dipegang buntutnya.”

“Apa dia bukan manusia, Kek?”

“Heh? Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti kita.”

Melihat dara remaja itu mengajukan pertanyaan dengan muka sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun Seng-jin. “Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Sukar dipegang buntutnya berarti sukar diikuti ke mana perginya.”

“Wah, kalau begitu, sia-sia saja kita berkeliaran di kota raja ini, Kek.” Lin Lin kembali timbul marahnya dan membanting kaki.

“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Semuanya berguna dan ada manfaatnya asal saja kita tahu bagaimana mempergunakannya dan memetik manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja, bukalah matamu baik-baik. Bukankah kau menemui keadaan yang baru bagimu? Tidakkah kau ingin melihat istana raja dari dalam? Aku selalu singgah di istana kalau datang ke sini dan tak pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh, sudah lama tidak kunikmati masakan istana.”

Seketika kemurungan hati Lin Lin lenyap. Wajahnya yang jelita berseri, matanya berkilat dan seketika itu juga perutnya mendadak menjadi lapar sekali. “Wah, mari kita ke sana, Kek. Ada masakan apa saja di sana? Aduh perutku lapar sekali!”

Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, agaknya senang sekali melihat watak yang mudah berubah dan aneh dari gadis remaja itu. “Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar....”

“Serupa siapa, Kek?”

“Serupa dengan orang yang sudah tidak ada. Lin Lin. Kau boleh ikut aku ke istana dan menikmati masakan dapur yang selama hidupmu belum pernah kau makan atau lihat. Akan tetapi amat berbahaya, banyak penjaganya yang pandai.”

“Aku tidak takut!”

“Bukan soal berani atau takut, melainkan kepandaianmu yang kuragukan.”

“Eh, eh, kau mencela aku sama dengan mencela dirimu sendiri, Kek. Bukankah kau sudah memberi pelajaran serba kosong itu?” cela Lin Lin.

Kakek itu tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut ilmu yang ia ajarkan benar-benar amat memandang rendah. Disebutnya ‘serba kosong’, memang nama ilmu yang ia turunkan adalah Khong-in (Mega Kosong).

“Biar pun kau sudah menerima pelajaran dariku, akan tetapi aku belum yakin apakah kau sudah berlatih sampai matang betul.”

Marah Lin Lin. Kepalanya dikedikkan, dadanya dibusungkan. “Pagi siang sore malam kau suruh aku berlatih, tak pernah membiarkan aku mengaso, sampai lupa makan lupa tidur lupa tempat, masih kau bilang aku belum berlatih matang, Kek? Kau benar-benar seorang yang kurang terima sekali. Wah, celaka, dapat seorang teman satu kali saja begini tak ingat budi dan jerih payah orang!”

“Huah-ha-ha-ha!” Kakek itu terpingkal-pingkal. Benar-benar gila. Dia yang mengajar ilmu kesaktian, eh, bocah ini malah memarahinya dan seakan-akan bocah ini yang memberi sesuatu kepadanya karena sudah rajin berlatih. Benar-benar pintar memutar-balikkan kenyataan. “Ya sudahlah, aku setuju kau berlatih keras selama ini. Akan tetapi, untuk dapat menyelinap masuk ke dapur istana, harus benar-benar mahir Khong-in-ban-kin. Coba kau perlihatkan padaku sekali lagi ilmu Khong-in-liu-san yang kau pelajari sambil mengerahkan tenaga dan ginkang. Kalau kurasa sudah cukup, sekarang juga kita pergi ke istana, makan besar, pesta-pora tanpa bayar!”

Lin Lin girang sekali, lalu mencabut pedangnya dan besilat penuh semangat. Akan tetapi pada jurus ke tujuh, ia terlalu keras menggunakan tenaga sinkang dan....

“Krakkk!” pedang yang diayunnya patah menjadi tiga potong!

Gadis itu terkejut dan berdiri tertegun, kecewa dan menyesal melihat tangan kanannya hanya memegang gagang pedang sedangkan pedangnya sudah runtuh ke bawah. Akan tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak dan bertepuk tangan sambil menari-nari kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening, mulutnya cemberut, matanya merah, mengira bahwa kakek itu mengejeknya.

“Bagus, bagus...! Kau lihat sendiri, cucuku. Dengan tenaga Khong-in-ban-kin, pedangmu yang buruk itu patah menjadi tiga potong. Ha-ha-ha, sudah hebat tenagamu, hanya belum mampu kau mengendalikan sehingga membikin rusak senjata sendiri. Cukup dan marilah ikut ke istana, tidak hanya pesta besar kita, juga kau akan bisa memilih sendiri sebatang pedang pusaka dalam kamar pusaka.”

Seketika lenyap kemarahan Lin Lin seperti awan tipis disapu angin. Ia meloncat dekat kakek itu, kemudian merangkul pundaknya. “Betulkah, Kek? Hayo, lekas kita berangkat kalau begitu!”

Sambil tertawa riang keduanya lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Kim-lun Seng-jin tidak membual ketika ia menyatakan bahwa setiap kali datang ke kota raja ia pasti mampir ke istana dan memasuki dapur istana. Memang kesukaan kakek ini hanya makan, makan enak, apa lagi masakan-masakan lezat mahal di dapur istana yang dapat dipilihnya tanpa bayar!

Kakek itu membuktikan omongannya dengan pengetahuannya yang luas tentang seluk-beluk istana. Hafal betul ia akan jalan menuju ke istana, malah ia dapat memilih dinding pagar mana yang tidak begitu keras penjagaannya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ia memang sudah menjadi ‘langganan’ tempat terlarang itu. Dari sebelah selatan, tembok yang mengurung kompleks istana memang amat sunyi. Pintu gerbang sudah tertutup dan beberapa orang penjaga bercakap-cakap di dalam gubuk penjagaan. Ada pula yang meronda di pagar tembok, membawa tombak dan pedang.

Jengkel juga Kim-lun Seng-jin melihat para penjaga itu terus-menerus meronda pagar tembok yang dipilihnya untuk melompat masuk. Pagar tembok itu amat tinggi, tidak kurang dari tujuh meter tingginya. Akan tetapi yang ia pilih itu adalah tempat di mana tumbuh sebatang pohon tidak jauh dari tembok, hanya dua meter jaraknya dari cabang terdekat dengan tembok. Kalau saja ia tidak pergi bersama Lin Lin, tentu saja ia bisa memilih tembok yang mana saja.

Diambilnya sebuah batu dan disambitnya ke arah kiri. Terdengar suara orang mengaduh di sebelah kiri. Ternyata seorang penjaga yang sedang berdiri tegak di dekat pintu gerbang terkena sambitan batu itu, tepat pada tulang keringnya di kaki, membuat ia meloncat-loncat dan mengaduh-aduh sambil memegangi tulang kering yang dicium batu. Teman-temannya segera lari menghampiri, termasuk mereka yang meronda.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-lun Seng-jin. Ia memberi isyarat kepada Lin Lin untuk melompat dan mengikutinya. Mula-mula kakek itu melompat ke atas cabang pohon terdekat dengan tembok, baru kemudian ia melompat ke atas tembok. Lin Lin agak ngeri juga melihat ke arah tempat yang tinggi itu.

Akan tetapi ia mengeraskan hati dan melompat bagaikan seekor walet. Ia heran mendapat kenyataan bahwa lompatannya amat ringan dan mudah. Mengertilah ia sekarang bahwa ini adalah hasil latihan Ilmu Khong-in-ban-kin, maka diam-diam ia amat berterima kasih kepada kakek itu.

Dengan mudah mereka melompat ke sebelah dalam dari atas tembok dan tibalah mereka di daerah istana. “Siapa tahu di sini kita akan bertemu dengan Suling Emas, Kek,” kata Lin Lin, mengagumi bangunan-bangunan besar yang dihias lampu-lampu beraneka warna.

“Boleh jadi, boleh jadi...,” kakek itu mengangguk-angguk. “Orang macam dia itu bisa berada di mana pun juga.”

“Apa dia itu hebat sekali, Kek? Apakah kau pernah bertempur dengan dia?”

Kakek itu menggeleng kepala. “Belum pernah, bertemu pun belum. Akan tetapi dalam beberapa tahun ini, ia telah membuat nama besar, jauh melebihi aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw. Aku... aku tidak suka membuat nama besar, bikin repot saja. Nah, itu di sana dapurnya, mari!”

Kim-lun Seng-jin memegang tangan Lin Lin dan keduanya melompat naik ke atas genteng. Tanpa mengeluarkan suara, seperti dua ekor kucing saja kakek dan dara remaja itu berloncatan di atas genteng. Kakek itu mengajak berhenti di atas genteng yang agak rendah, membuka genteng, mematahkan kayu penyangga genteng, lalu menyusup ke dalam, diikuti oleh Lin Lin. Mereka telah berada di atas langit-langit dapur. Dengan gerakan perlahan, Kim-lun Seng-jin membuka langit-langit di pojok yang agaknya memang sudah lama terbuka.

“Ini pintu rahasiaku, kubuat belasan tahun yang lalu,” bisiknya sambil tersenyum lebar.

Lin Lin menjadi geli juga hatinya. Kakek ini benar-benar seperti seekor kucing hendak mencari daging, pikirnya. Dari lubang itu mereka mengintip ke bawah dan bau yang sedap masuk melalui lubang itu menyambut hidung mereka.

“Ehhhmmmm, waaahhhhh, sedapnya...!” Kim-lun Seng-jin menyedot-nyedot dengan hidungnya. Juga Lin Lin merasa amat lapar sekarang. “Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa hidangan Kaisar sudah dipanaskan lagi, mari!” Ia membuka lubang itu dan melayang ke bawah, diikuti oleh Lin Lin.

Dapur itu tidak menyerupai dapur bagi Lin Lin. Terlalu bersih, terlalu mewah. Lebih bersih dari pada kamar tidurnya di rumah orang tuanya sana. Yang begini disebut dapur? Lantainya mengkilap, dindingnya dari batu marmer putih, lemari-lemarinya yang indah berdiri berjajar di sudut, penuh dengan panci-panci dan mangkok-mangkok besar. Tempat perapian untuk masak berada di sebelah kiri. Betul kata kakek itu, panci dan mangkok-mangkok itu masih nampak mengebulkan uap, tanda bahwa isinya masih panas.

Kakek itu sudah tidak mau memperhatikan atau mempedulikan Lin Lin lagi karena ia sudah sibuk membuka dan memeriksa isi panci dan mangkok. Di tangannya sudah terdapat sepasang sumpit gading yang ia ambil dari sebuah lemari. Sekarang tangan yang memegang sumpit ini kewalahan melayani mulutnya yang melahap dan cepat menghabiskan segala yang dimasukkannya. Nyumpit sana, nyumpit sini, lari ke lemari sana, kemudian ke lemari sini, kakek itu benar-benar berpesta-pora! Tangan kirinya menyambar guci arak yang berada di atas lemari terciumlah bau arak wangi ketika ia mendorong makanan di mulutnya itu dengan arak. Mulutnya mengeluarkan bunyi seperti babi makan ketika mengunyah makanan, bibirnya mengecap-ngecap penuh nikmat.

Lin Lin juga ikut berpesta-pora sungguh pun tidak selahap kakek itu. Namun ia pun gembira bukan main karena banyak sekali macamnya masakan yang luar biasa di situ. Karena ia tidak mengenal masakan-masakan itu, ia menyumpit masakan yang disebut oleh kakek itu sebagai masakan istimewa.

“Ini sop sarang burung, ini tim lidah harimau, ini sop hiu masak kecap, dan ini... wah, ini panggang ikan lele!” Tiada hentinya ia menyebut nama-nama masakan dan Lin Lin harus akui bahwa yang disebut oleh kakek itu memang benar nikmat dan lezat.

Saking gembiranya, Lin Lin juga ikut-ikutan minum arak merah yang tidak begitu keras, namun hangat di perut. Tanpa mereka sadari perut mereka menjadi penuh dan sang perut yang tak sanggup mengikuti selera lidah. Lin Lin yang minta ampun lebih dulu duduk terhenyak di atas kursi, terengah kekenyangan. Dasar dara remaja yang masih kekanakan, tanpa malu-malu ia membelakangi kakek itu untuk mengendurkan tali pinggang dalam dan luar!

“Heh-heh-heh, puas sekali ini. Wah, Kaisar amat royal hari ini, ada apa gerangan? Dasar rejekimu besar, Lin Lin!”

Kakek itu pun tak mampu lagi mengisi perutnya. Agaknya makanan sudah memenuhi perutnya sampai ke leher sehingga tiada ruangan kosong lagi untuk menampung masakan. Ia menjatuhkan diri di lantai, bersandar dinding dan minum arak keras sedikit demi sedikit sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.

Terdengar suara orang bicara dan langkah kaki mendatangi. Cepat bagaikan maling konangan (ketahuan orang) Lin Lin sudah melompat dan menerobos ke dalam lubang di atas langit-langit. Kakek itu mengikutinya sambil terkekeh dan seraya mengintai dari atas ia berbisik, “Ihhh, kenapa kau begini penakut?”

Lin Lin tidak menjawab, mukanya merah. Bukan takut, tapi siapa tidak menjadi malu kalau mencuri makanan ketahuan pemiliknya? Hatinya berdebar-debar gelisah. Selama hidupnya, baru kali ini ia melakukan pencurian. Menjadi maling makanan, alangkah rendahnya dan memalukan! Dengan muka masih merah ia ikut mengintai, hendak melihat siapakah mereka yang memasuki dapur itu. Apakah kaisar sendiri? Ataukah permaisuri? Makin berdebar jantungnya.

Tiga orang memasuki dapur istana itu. Melihat pakaian mereka, kiranya hanyalah tukang-tukang dapur saja. Begitu memasuki dapur ketiganya berhenti bicara dan memandang ke arah lemari dengan mata terbelalak. Seorang di antara mereka lari mendekati lemari dan terdengarlah ia berseru kaget.

“Celaka, masakan-masakannya ada yang curi! Ada yang makan, lihat nih, ada yang tumpah di lantai!”

“Wah-wah, celaka, tentu ada yang mencuri masuk!”

Tiga orang itu mencari sana-sini, memandang ke seluruh penjuru, lalu berdongak ke atas. Lin Lin makin berdebar jantungnya, merasa seakan-akan tiga orang itu telah mengetahui tempat persembunyiannya.

“Agaknya kucing! Kalau orang, mana berani main gila di dapur istana?”

“Masa kucing bisa mengganyang habis begini banyak masakan?”

“Siapa tahu kucing siluman?”

Ribut-ribut tiga orang tukang masak itu. “Lekas laporkan kepada penjaga, eh... ke komandan jaga saja, biar dikerahkan semua pengawal menangkap kucing laknat. Kalau yang makan masakan-masakan ini tidak tertangkap, celakalah kita, tentu mendapat hukuman dari Sri Baginda!”

Seorang di antara mereka lari keluar, agaknya hendak melapor. Lin Lin makin gelisah, akan tetapi ia lihat Kim-lun Seng-jin malah tidur mendengkur perlahan di bawah genteng! Agaknya kakek ini kekenyangan dan tertidur, sama sekali tidak tahu akan keributan di dalam dapur.

“Tentu kucing, entah berapa ekor yang masuk dan mencuri masakan,” kata lagi tukang masak yang gendut perutnya. “Hemmm, kalau tertangkap, akan kusembelih dia, kutarik keluar jantungnya, kumasak dengan jahe dan tape ketan. Baik untuk menguatkan jantung dan menambah darah.”

Pucat muka Lin Lin mendengar ancaman ini. Saking gelisahnya, ketika menggeser lebih dekat ke arah lubang untuk mengintai lebih jelas, kepalanya terantuk genteng mengeluarkan bunyi. Dua tukang masak di bawah mendengar ini dan mereka berdongak memandang penuh curiga.

“Wah, kucingnya di atas sana!” seorang menuding.

“Mana bisa? Tidak ada lubang, dari mana dia masuk?”

“Siapa tahu kucing siluman?”

Si gendut menudingkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah Lin Lin, lalu membentak, “He! Siapa di atas sana? Kucing atau manusia, atau setan?”

Tidak ada jawaban.

“Agaknya pencuri!” kata temannya.

“Lebih baik panggil para pengawal, biar ditangkap dan dihujani anak panah.”

“Nanti dulu, siapa tahu kalau hanya tikus atau kucing.” Kembali ia memandang ke arah Lin Lin sambil berseru, “Heee! Siapa sembunyi di atas langit-langit? Kalau setan atau manusia, jangan jawab. Kalau kucing, jawablah!”

Lin Lin mendengarkan penuh perhatian, dengan seluruh perasaan, menegang dan jantung berdebar. Mendengar pertanyaan ini otomatis mulutnya menjawab, “Kucing... eh, meeooonggg...!” Ia gugup sekali sehingga jawabannya kacau-balau.

“Lho! Kucing bisa bicara! Wah, celaka... setan...!” Dua orang tukang masak itu lari tunggang-langgang dan di ambang pintu mereka bertabrakan sampai jatuh bangun.

“Heh-heh-heh!” Kim-lun Seng-jin tertawa dan menarik tangan Lin Lin, diajak melompat naik ke atas genteng. “Kau lucu sekali, masa kucing bisa berkata seperti manusia!”

Merah muka Lin Lin, mulutnya cemberut. “Aku tidak sengaja. Habis, aku bingung, kau enak-enak ngorok sih, Kek!”

“Mari kita ke gudang pusaka!”

Gudang pusaka dijaga kuat. Memang gudang ini selalu dijaga siang malam karena di dalamnya terdapat simpanan senjata-senjata pusaka dan bendera-bendera milik istana. “Kau yang masuk, biar aku merobohkan lima orang penjaga itu, dan sementara kau di dalam, aku yang menjaga di luar. Lekas pilih pedang yang kau sukai, tapi hati-hati, banyak jebakan di sana. Aku percaya kau mampu menjaga diri.”

Lin Lin mengangguk dan bagaikan dua ekor burung walet, kakek dan dara remaja itu melayang turun. Lima orang penjaga serentak melongo ketika tiba-tiba di depan mereka berdiri seorang kakek gundul yang berjenggot panjang bersama seorang wanita muda secantik bidadari. Sedetik mereka mengira bahwa mereka dikunjungi sebangsa iblis dan peri, akan tetapi pada detik lain mereka sudah bergerak hendak menangkap. Namun mereka kalah cepat. Kedua tangan kakek itu bergerak dan lima orang itu roboh tertotok tak berkutik lagi. Dengan dorongan tangannya, Kim-lun Seng-jin berhasil membuka daun pintu yang terkunci.

Lin Lin cepat melompat masuk, akan tetapi baru saja kakinya menginjak lantai di sebelah dalam gedung itu, dari kanan kiri menyambar dua batang anak panah. Baiknya dara ini sudah melatih Khong-in-ban-kin secara tekun sehingga ginkang-nya sudah jauh lebih tinggi dari pada dahulu, sudah lipat entah berapa kali. Anak-anak panah itu cepat sambarannya, namun ia lebih cepat lagi. Dengan gerakan gesit ia telah melompat maju di antara sambaran anak panah, terus ke depan sehingga anak-anak panah dari kanan kiri itu meluncur lewat di belakang punggungnya!

Tanpa menghiraukan lagi anak-anak panah itu, kini Lin Lin berdiri kagum memandang senjata-senjata yang dipasang berderet-deret di sepanjang dinding. Bukan main indahnya senjata-senjata itu. Tombak-tombaknya, ruyung, golok, pedang, toya dan banyak sekali macamnya, rata-rata merupakan senjata pilihan, kuno dan terbuat dari pada besi aji yang mempunyai cahaya dan hawa yang ampuh.

Akan tetapi pandang mata Lin Lin lekat pada sebatang pedang tipis yang tergantung di dinding sebelah kiri. Pedang ini kecil dan tipis, sarungnya dari kulit harimau, gagangnya kecil dan dihias ronce-ronce merah. Seperti dalam mimpi, kedua kakinya bergerak menghampiri dinding sebelah kiri, kemudian ia mengulur tangan kanan, merenggut pedang yang tergantung pada dinding itu. Ringan sekali pedang ini, akan tetapi begitu ia tarik dari dinding, tiba-tiba dari atas melayang turun sebuah benda besar dan berat, meluncur cepat akan menghantam dirinya!

Karena benda itu cepat sekali datangnya, Lin Lin yang sudah memegang pedang di tangan kanan, tak sempat mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, tangan kirinya menangkis dan... terdengar suara keras, batu besar yang meluncur turun itu pecah oleh tangkisan Lin Lin yang disertai tenaga Khong-in-ban-kin! Saking kagetnya karena pecahnya batu itu menerbitkan suara keras dan berisik, Lin Lin cepat melompat keluar lagi dari gudang itu dan di lain detik ia sudah tiba di luar kamar.

“Kek, aku pilih pedang ini...” katanya terengah-engah.

Kim-lun Seng-jin membelalakan kedua matanya. “Tepat! Kau tahu pedang ini? Inilah Pedang Besi Kuning, pedang rampasan dari bangsa Khitan ratusan tahun yang lalu! Wah-wah, kalau ini tidak ajaib namanya, tak tahu lagi aku harus disebut bagaimana.”

Pada saat itu terdengar suara gembreng dipukuli gencar tanda bahaya!

“Hayo kita pergi!” Kim-lun Seng-jin maklum akan adanya bahaya kalau para jagoan istana ke luar, maka ia tidak mau main-main lagi. Tangannya menyambar pergelangan tangan Lin Lin dan mereka melesat lari secepat terbang menuju ke pagar tembok, melompati pagar tembok dan melayang ke luar. Kiranya di luar sudah berkumpul para penjaga yang melakukan pengepungan. Namun beberapa kali kakek itu menggerakkan tangan, banyak penjaga roboh dan mereka dapat lari menghilang dalam gelap. Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di dalam kuil kuno kembali.

Mereka duduk dekat api unggun. Kakek itu menghunus pedang dan tampak sinar kuning menyilaukan mata. Dan mendadak tampak sepasang mata kakek itu berlinang air mata, kemudian ia mencium mata pedang itu. Lin Lin memandang dengan heran.

“Kek, kau pernah mengatakan bahwa aku seperti seorang gadis Khitan. Kau sendiri bilang bahwa aku mempunyai gigi dan hidung bangsa Khitan. Kemudian pedang ini kau katakan dahulu berasal dari bangsa Khitan. Kakek yang baik, apakah artinya ini semua? Bangsa apakah Khitan itu? Apakah kau mengenal pedang ini?”

Kakek itu mengusap dua butir air matanya, lalu memasukkan pedang tipis tadi ke dalam sarung, menyerahkannya kepada Lin Lin. “Kau simpan baik-baik pedang ini dan sembunyikan di balik jubahmu. Sekarang kau dengarkan ceritaku. Bangsa Khitan adalah bangsa yang gagah perkasa, bangsa yang selalu merantau karena ingin menikmati kebebasan alam, tidak mau terikat oleh apa pun juga. Mereka adalah bangsa besar, hidup bahagia dan tidak mau diperbudak oleh harta dunia dan kemuliaan duniawi. Akan tetapi sayang, betapa pun juga masih saja nafsu setan menguasai hati dan timbullah perebutan kekuasaan, yang kuat ingin menjadi pemimpin. Dahulu, puteri kepala suku bangsa Khitan adalah muridku. Tayami, ah, dia anak baik, gagah perkasa dan aku tidak kecewa mempunyai murid seperti dia. Dia itu puteri tunggal raja kami yang bijaksana, gagah dan adil, tidak mau tunduk kepada raja-raja lain, memimpin suku bangsanya dengan penuh kasih sayang, membawanya ke daerah-daerah yang subur. Akan tetapi, dia mempunyai banyak saudara, dan para saudaranya inilah yang menaruh iri hati, ingin merebut kekuasaan sehingga selalu terjadi perebutan kekuasaan. Aku sendiri tidak sudi terlibat, tidak suka aku akan pengumbaran nafsu hendak menjadi penguasa dan mencari kemuliaan kedudukan. Pernah kuanjurkan raja yang menjadi ayah muridku itu untuk mengalah saja, memberikan kedudukan pemimpin kepada adiknya yang amat ingin menjadi raja. Akan tetapi, dia tidak mau, malah mencurigaiku.” Sampai di sini kakek itu menarik napas panjang.

“Lalu bagaimana, Kek?”

“Aku masih terhitung paman luarnya, aku tersinggung lalu aku pergi meninggalkan suku bangsaku, merantau seorang diri tidak mau meributkan persoalan dunia ramai lagi. Betapa besar kedukaanku mendengar bahwa bangsaku masih saling gasak sehingga pertumpahan darah sering kali terjadi antara para penguasa. Akhirnya terjadi perang antara suku bangsa Khitan dengan Kerajaan Sung. Perang besar terjadi di Shan-si. Agaknya adik raja berkhianat, bersekutu dengan musuh dan raja kami gugur, juga puterinya, Tayami, muridku yang tersayang. Kasihan dia, suaminya, seorang prajurit pilihan Khitan yang gagah juga gugur. Kabarnya Tayami ikut pula bertempur dengan gagah perkasa, sambil memondong puterinya yang masih kecil. Aku menyesal sekali mengapa kutinggalkan dia, sehingga tahu-tahu aku mendengar dia gugur dan puterinya itu hilang.” Kakek itu memandang wajah Lin Lin dengan sepasang mata tajam penuh selidik.

Meremang bulu tengkuk Lin Lin. Belum pernah kakek itu memandangnya secara begini. “Ada apa, Kek?”

“Kau...! Kaulah puteri Tayami, tak salah lagi. Wajahmu, suaramu, watakmu, serupa benar dengan muridku. Kau cucu raja kami, kau keturunan langsung.”

Lin Lin meloncat berdiri. “Tak mungkin, Kek!”

“Siapa bilang tidak mungkin? Kau anak pungut Jenderal Kam, dan pada waktu terjadi perang, justeru Jenderal Kam Si Ek yang menjadi jago dan komandan di Shan-si, yang melakukan perlawanan hebat dan mengalahkan bangsa Khitan. Dia seorang laki-laki yang perkasa pula, siapa tahu dia melihat kau dalam gendongan Ibumu yang berjuang dengan gigih, merasa tertarik, kagum dan kemudian mengambilmu sebagai puterinya. Tak salah lagi, kaulah Yalina, puteri Tayami. Namamu juga Lin Lin, dan wajahmu serupa dia. Juga pedang itu... bukanlah terlalu kebetulan kalau di antara sekian banyaknya pusaka, kau justeru memilih pusaka Khitan? Lin Lin, tidak salah lagi, kau adalah puteri Tayami yang hilang, yang sampai sekarang dicari-cari oleh para pengikut setia dari Kakekmu, mendiang raja Kulukan.”

“Dicari-cari? Untuk apa, Kek?”

Kim-lun Seng-jin tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Memang aneh mereka itu terlalu kukuh. Karena kekukuhan mereka, terjadilah hal-hal yang menyedihkan, perebutan kursi, saling mendukung pilihan mereka. Itulah sebabnya mengapa aku menjauhkan diri. Lin Lin, kau dicari oleh mereka yang tidak suka kepada raja sekarang, untuk mengangkatmu sebagai ratu dan melawan raja yang sekarang berkuasa, yaitu pamanmu, Kubakan, Raja Khitan yang sekarang.”

“Apa...?” Lin Lin terbelalak memandang Kim-lun Seng-jin, kemudian ia membantah, “Aku masih tidak percaya, Kek. Tak mungkin aku seorang puteri bangsa Khitan karena sepatah kata pun bahasa Khitan tidak kumengerti. Ah, kau hanya mengkhayal, Kek. Hal ini harus ada buktinya. Ahhhhh... satu-satunya orang yang akan dapat memberi keterangan tentu dia!”

“Dia siapa?”

“Putera sulung Ayah angkatku, Kam Bu Song. Kek, kau bantulah aku mencari Kakak Kam Bu Song, tidak saja hal ini untuk memenuhi pesan terakhir Ayah angkatku, juga kalau dapat bertemu dengan dia kiranya dia akan dapat bercerita, anak siapa sebenarnya aku ini.”

Lin Lin lalu menceritakan pesan terakhir dari Jenderal Kam. Kim-lun Seng-jin mengangguk-angguk. “Mungkin Kam Bu Song itu dapat bercerita. Akan tetapi Lin Lin, jangan kau kira bahwa andai kata kau benar Puteri Khitan seperti persangkaanku, aku menghendaki kau benar-benar menjadi ratu dan memerangi pamanmu sendiri. Aku lebih senang melihat kau bebas seperti sekarang ini, menikmati kebahagiaan hidup tanpa ikatan sesuatu yang hanya akan menimbulkan pertumpahan darah di antara saudara dan bangsa sendiri.”

“Kalau aku betul keturunan Raja Khitan, tentu saja akan kujungkalkan pengkhianat yang telah merampas tahta Kerajaan Khitan, Kek!”

Jawaban tiba-tiba ini mengejutkan Kim-lun Seng-jin sehingga ia duduk melongo memandang Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin segera tertawa. “Jangan kau gelisah, Kek. Aku bukanlah puteri raja, aku orang biasa. Setelah mencari Suling Emas tidak bertemu, aku akan mencari Kakak Kam Bu Song sambil menanti datangnya kedua orang kakakku, Sin-ko dan Enci Eng.”

Mendadak kakek itu meloncat dan menyambar tangan Lin Lin. “Hayo kita lari ke luar kota raja. Berbahaya di sini!”

Lin Lin kaget dan hendak membantah. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan-bayangan yang amat gesit, lalu terdengar bentakan, “Maling keparat, kembalikan pedang pusaka!”

Mendengar ini, maklumlah Lin Lin bahwa mereka telah dikejar pengawal-pengawal istana yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa harus melarikan diri?

“Kek, kita lawan saja...!” serunya sambil berusaha melepaskan tangannya.

Akan tetapi Kim-lun Seng-jin malah menariknya untuk diajak lari cepat sekali menuju ke pinggir kota raja. Lin Lin tidak dapat melepaskan diri. Dengan gerakan yang luar biasa, Kim-lun Seng-jin sudah membawa Lin Lin melompati dinding tembok yang mengelilingi kota raja sehingga para pengejar tadi makin tertinggal jauh.

“Kek, kenapa kita mesti lari-lari seperti dua ekor tikus dikejar kucing? Memalukan sekali!” Lin Lin mencela ketika mereka sudah turun di luar tembok kota raja dan tangannya dilepaskan oleh Kim-lun Seng-jin.

Kakek itu tertawa. “Bukan takut, melainkan aku tidak mau menyeretmu ke dalam kesulitan. Kau masih muda, Lin Lin, dan kau keturunan Raja Khitan. Kalau mereka mengetahui akan hal ini, kau akan dikejar-kejar terus dan selanjutnya kau takkan dapat hidup dengan tenteram. Pergilah, lanjutkan usahamu mencari kakakmu. Kita berpisah di sini. Latih baik-baik Khong-in-ban-kin dan Khong-in-liu-san, dan kau takkan kecewa kelak. Tentang Suling Emas jangan khawatir. Kalau aku kebetulan bertemu dengannya, akan kutanyai dia apakah betul dia membunuh orang tua angkatmu. Kalau betul, percayalah, dia akan kuajak bertempur sampai sepuluh ribu jurus! Sekarang cepat kau pergi, mereka sudah datang!”

“Dan tinggalkan kau seorang diri menghadapi anjing-anjing dari istana itu, Kek? Tidak nanti!” Lin Lin berdiri tegak, malah segera mencabut pedangnya.

“Wah, keras kepala, seperti Tayami!” Kakek itu bersungut-sungut, lalu tiba-tiba tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah menotok pundak kiri Lin Lin.

Karena dara ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek itu akan menyerangnya tentu saja ia tidak dapat menghindarkan diri dan seketika ia merasa tubuhnya lemas sekali. Kakek itu tertawa bergelak, lalu tubuhnya melesat ke depan, menyambut datangnya para pengejar. Lin Lin tidak berdaya. Ingin ia lari membantu tapi tubuhnya lemas dan ia maklum, kalau bertempur dalam keadaan seperti ini, baru sejurus saja melawan orang biasa tentu ia akan roboh. Karena itu, ia hanya berdiri diam saja dan mendengar betapa kakek itu dikepung dan dikeroyok oleh para musuh yang berteriak-teriak.

Agaknya kakek itu sengaja mempermainkan mereka, karena ia berlari-lari membiarkan dirinya dikejar-kejar dan akhirnya Lin Lin tidak mendengar suara apa-apa lagi. Sunyi di sekelilingnya. Kakek itu sengaja memancing para musuhnya untuk mengejarnya, menjauhi Lin Lin. Dara itu maklum akan hal ini dan ia menarik napas panjang. Baru sekarang ia merasa betapa baiknya Kim-lun Seng-jin terhadapnya. Kalau dekat dengan kakek itu, mereka sering kali cekcok dan berbantahan akan tetapi setelah berpisah, tak dapat Lin Lin menahan dua air matanya menitik turun.

Tak sampai seperempat jam, totokan pada pundaknya itu buyar dengan sendirinya. Lin Lin lalu menggerakkan pedang curian, mainkan ilmu silat Khong-in-liu-san. Pedang itu mengeluarkan suara bercuitan dan sinar kuning bergulung-gulung di malam buta. Ia merasa puas sekali karena pedang yang tipis dan kecil ringan itu terasa amat enak dimainkan. Amat cocok dengan ilmu pedang yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin. Ia baru berhenti bermain silat setelah fajar berada di ambang pintu langit timur. Kegelapan malam sudah terusir, terganti cuaca remang-remang berkabut, berwarna kelabu, ia memandang pedangnya. Pedang yang amat indah, terbuat dari pada logam yang kekuning-kuningan, akan tetapi bukan emas.

“Hemmm, Pedang Besi Kuning, pusaka Khitan?” Lin Lin berpikir sambil memandangi pedangnya. “Dan aku Puteri Khitan? Seperti dongeng saja!”

Melihat bahwa yang aneh pada pedang itu hanyalah ronce-ronce merah yang panjang itu, Lin Lin segera melepas kedua ronce merah itu dan menyimpannya dalam saku jubahnya. Betapa pun juga, pedang ini adalah pedang curian, pikirnya. Kalau terlalu menyolok mata dan dilihat orang, tentu sepanjang jalan hanya akan menimbulkan keributan belaka.

Dengan hati bungah (senang) ia lalu berjalan menjauhi kota raja. Ia ingin menanti munculnya kedua orang kakaknya, yang tentu akan menuju ke kota raja pula. Untuk kembali ke kota raja sekarang terlalu berbahaya. Memang tidak ada seorang pun yang melihat dia memasuki istana, akan tetapi keadaan di kota raja tentu sedang kacau, penjagaan diperkuat dan orang-orang yang datang dari luar tentu dicurigai. Jangan-jangan pedangnya akan dikenal dan ia akan mengalami kesukaran kalau masuk kota raja. Lebih baik menanti munculnya kedua orang kakaknya itu di luar kota.

Di sebelah barat kota raja terdapat sebuah hutan yang kecil tapi amat indah. Pohon-pohon di situ tampak subur dan seakan-akan teratur. Memang hutan ini adalah hutan tempat para anggota istana menghibur diri kalau keluar kota. Lin Lin tidak tahu akan hal ini dan girang hatinya ketika memasuki hutan ini. Ia berjalan seenaknya memasuki hutan, mendengarkan kicau burung yang menyambut datangnya pagi.

Lin Lin memang memiliki watak periang. Kegembiraannya timbul melihat suasana indah dan mendengar kicau burung yang berloncatan di cabang-cabang dan ranting-ranting pohon. Kadang-kadang ia terkekeh ketawa melihat seekor kelinci muncul dari belukar, menggerak-gerakkan sepasang telinga yang panjang dan mainkan bola mata yang bening lebar. Ada kalanya ia berloncatan gembira meniru burung kecil yang berloncatan di daun-daun sambil berkicau.

Tiba-tiba Lin Lin terkejut mendengar suara orang tertawa. Karena ia amat gembira dan memperhatikan burung-burung di atas pohon, tidak diketahuinya bahwa sejak tadi ada dua orang laki-laki memperhatikannya. Dua orang laki-laki itu kini menghadang di depannya sambil tertawa. Ketika Lin Lin memandang, kiranya mereka adalah dua orang pendeta yang berkepala gundul. Dua orang hwesio yang masih muda, pakaian pendetanya bersih, gundul kepalanya kurang bersih, karena sudah mulai ditumbuhi rambut baru, sikap mereka riang dan wajah mereka berseri gembira, sama sekali tidak patut menjadi wajah pendeta yang biasanya serius dan alim. Lin Lin tersenyum melihat bahwa yang tertawa adalah dua orang pendeta. Pendeta-pendeta tidak perlu ditakuti, dan kegembiraannya timbul kembali.

“Selamat pagi, Ji-wi Suhu (Bapak Pendeta Berdua)!” serunya riang. “Pagi yang indah sekali, bukan?”

Dua orang hwesio itu saling pandang, dan tertawa lebar. Seorang di antara mereka, yang alis matanya tebal, maju selangkah. “Selamat pagi. Memang pagi yang indah sekali, agaknya karena ada Nona yang cantik manis maka suasana begini menyenangkan. Siapakah nama Nona? Kami berdua senang sekali dapat berkenalan dengan Nona cantik jelita. Bukankah begitu, Suheng (Kakak Seperguruan)?”

Hwesio kedua mengangguk-angguk dan mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi besar-besar berwarna kuning. “Memang betul, dan hari ini kita tidak perlu tergesa-gesa kembali ke kelenteng, lebih senang main-main dengan Nona ini di sini.”

Seketika keriangan Lin Lin lenyap, terganti oleh kemarahan yang membuat kedua pipinya menjadi merah. Sepasang matanya yang bening seakan-akan mengeluarkan sinar berapi. “Ihhh, kalian ini dua orang bajingan yang menyamar sebagai pendeta, ataukah pendeta-pendeta yang kemasukan iblis? Bagaimana dua orang gundul berpakaian pendeta begini kurang ajar? Minggir, biarkan aku lewat, aku tidak sudi bicara dengan kalian lagi!”

“Ho-ho-hooo, nanti dulu, Manis!” Si Alis Tebal cepat membentangkan kedua lengannya menghadang di tengah jalan. “Bukan kebetulan kita saling bertemu di sini, agaknya memang antara kita bertiga sudah ada jodoh! Kalau tergesa-gesa mau pergi juga, harus memberi ciuman dulu kepada kami, seorang tiga kali. Bukankah begitu, Suheng?”

“Ya-ya, betul itu! Di tempat sunyi begini, tak usah malu-malu, Nona!” kata Si Gigi Kuning.

“Jahanam bermulut busuk!” Lin Lin membentak. Tubuhnya berkelebat dan sekali kedua tangannya mendorong dengan jurus dari ilmu silatnya Khong-in-liu-san, dua orang hwesio itu terjengkang roboh ke kanan kiri. Kini Lin Lin yang mendapat giliran tertawa nyaring bernada penuh ejekan. “Hi-hik, kiranya kalian hanyalah dua ekor monyet gundul yang hanya pandai pentang mulut menghina wanita!”

Dua orang hwesio muda itu kaget sekali, sama sekali tidak pernah mengira bahwa dara remaja itu dapat melakukan penyerangan yang sedemikian dahsyat dan tiba-tiba. Mereka marah sekali dan lenyaplah keinginan hati mereka untuk mempermainkan Lin Lin. Kini dengan mata merah mereka meloncat bangun, penuh nafsu menyakiti gadis ini. Gerakan mereka cepat dan tahu-tahu mereka telah melolos sebatang cambuk dari ikat pinggang. Cambuk hitam yang panjang dan melihat gerakan cambuk di tangan, dapat diduga bahwa mereka adalah ahli-ahli bermain cambuk yang mahir sekali.

“Bocah setan, berani kau main gila terhadap pinceng (aku)?” seru si Alis Tebal.

“Sute, kita cambuki pakaiannya sampai ia telanjang bulat!” kata si Gigi Kuning dengan nada gemas.

“Tar-tar-tar-tar!” dari depan dan belakang dua batang cambuk itu mengeluarkan bunyi dan menyambar-nyambar di atas kepala Lin Lin. Namun seujung rambut pun gadis ini tidak menjadi gentar. Malah kemarahannya memuncak.

“Hemmm, monyet-monyet gundul tak tahu diri. Hajaran tadi masih belum cukup bagi kalian, ya? Manusia-manusia berwatak kotor macam kalian kalau tidak dibasmi, hanya akan mengotorkan dunia dan mengganggu wanita saja!” Setelah berkata demikian Lin Lin menggerakkan tangan kanan dan....

“Srattt!” tampak sinar kuning menyilaukan mata karena Pedang Besi Kuning sudah berada di tangannya.

“Bagus, kau berani melawan? Rasakan cambukan ini!”

Cambuk dari depan menyambar, disusul cambuk dari belakang dan di lain saat tubuh Lin Lin sudah terkurung dua batang cambuk yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular hidup. Kiranya dua orang hwesio muda itu tidak terlalu menyombong. Permainan cambuk mereka memang hebat, cepat dan kuat sekali.

Namun kali ini mereka bertemu dengan Lin Lin yang baru saja mewarisi Ilmu Khong-in-ban-kin, ilmu yang membuat ia dapat mengerahkan ginkang yang hebat sehingga tubuhnya berubah ringan dan cepat laksana gerakan seekor burung walet. Betapa pun cepatnya dua batang cambuk itu melecut dan menyambar, tubuh Lin Lin lebih cepat lagi bergerak, berkelebat di antara sambaran cambuk diselimuti gulungan sinar kuning dari pedangnya.

Memang hebat sekali Lin Lin setelah ia mewarisi ilmu dari Kim-lun Seng-jin. Apa lagi di tangannya sekarang ada sebatang pedang pusaka terbuat dari pada besi aji yang amat ampuh. Dengan sinar yang menyilaukan mata pedangnya berkelebat dan... dua orang hwesio muda itu berteriak kesakitan ketika cambuk-cambuk di tangan mereka itu putus semua berikut ujung lengan baju dan sebagian dari kulit dan daging lengan mereka, semua terbabat oleh sinar pedang yang menyilaukan dan berhawa dingin itu! Tentu saja mereka terkejut dan ketakutan, lalu melarikan diri sambil memegangi kepala seakan-akan merasa khawatir kalau-kalau kepala mereka pun akan terbabat putus!

“Bagus sekali. Benar-benar kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat indah dan lihai!”

Lin Lin cepat menengok. Kiranya tak jauh dari tempat pertempuran itu tampak seorang laki-laki muda duduk di atas punggung kudanya. Pemuda ini berusia dua puluh tahun lebih, bermuka bundar dengan jidat lebar. Sepasang matanya lebar dan menyinarkan kejujuran, alisnya tebal, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan keramahan.

Biar pun bukan wajah yang dapat disebut tampan, namun ia tidak buruk rupa, bahkan wajahya yang sederhana ini menyenangkan hati orang. Pakaiannya pun sederhana dan bersih, rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sutera berkembang. Gagang sebuah pedang yang tampak menandakan bahwa ia pun seorang yang tidak asing akan senjata tajam. Juga bentuk tubuhnya yang kekar membayangkan tenaga besar.

Lin Lin masih marah. Sehabis bertemu dengan dua orang hwesio muda yang bermulut kotor dan lancang tadi, ia mempunyai prasangka buruk terhadap pemuda ini. Kalau laki-laki yang sudah menjadi hwesio-hwesio saja seperti tadi kurang ajarnya, apa lagi yang masih muda seperti ini! Dengan muka merah dan mulut cemberut ia membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu, lalu menghardik. “Memang kiam-hoatku indah dan lihai, juga pedangku ini cukup tajam untuk memenggal leher setiap orang laki-laki ceriwis dan kurang ajar! Kau mau apa ikut campur?”

Ada semenit pemuda itu melongo. Matanya yang lebar itu makin melebar ketika ia memandang Lin Lin. Pada matanya terbayang kekaguman luar biasa dan sesungguhnya. Ia memang kagum sekali setelah dara ini sekarang menghadapinya. Wajah Lin Lin seakan-akan menyihirnya, membuat jantungnya jungkir balik dan kepalanya puyeng, matanya berkunang-kunang. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang dara seperti ini, dan belum pernah ia mengalami guncangan seperti ini pula menghadapi seorang gadis.

Lin Lin makin tidak sabar. Agaknya laki-laki ini kurang ajar pula, duduk di atas punggung kuda dan memandangnya tanpa berkata apa-apa, memandangnya tanpa berkedip. Ia membanting kaki dan memaki, “Apa kau kira aku ini barang tontonan maka matamu melotot terus memandangku?”

Pemuda itu tersenyum. “Bukan barang tontonan, Nona, akan tetapi tidak ada tontonan yang lebih indah, lebih mempesona, lebih....”

“Kau lebih kurang ajar lagi!” bentak Lin Lin dan tubuhnya sudah melesat ke depan sambil mengirim serangan dengan pedangnya.

“Uiiihhhhh, ganas...!” pemuda itu cepat sekali membuang diri dari atas punggung kuda, berjumpalitan beberapa kali dan ketika kedua kakinya sudah berdiri di atas tanah, ternyata ia telah mencabut pedangnya yang berkilauan seperti perak. “Baiklah, Nona. Kalau kau ingin mencoba kepandaian, mari kulayani. Agaknya kau murid orang pandai dan patut menjadi lawanku bertanding pedang.” Ia melambaikan tangan kiri menantang.

Gerakan pemuda tadi amat mengagumkan hati Lin Lin. Gadis ini pun maklum bahwa lawannya kali ini bukanlah seorang sembarangan, bukan macam dua orang hwesio tadi. Akan tetapi ia tidak takut! Dan perasaannya ini ia keluarkan melalui bibirnya yang merah, “Biar ada sepuluh orang macam engkau, aku tidak gentar!”

“Ha-ha-ha, ada satu saja orang macam aku sudah terlalu repot bagimu, apa lagi ada sepuluh orang!” pemuda itu berkelakar, akan tetapi ia harus cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis karena gadis itu sudah menerjangnya dengan gerakan seperti seekor burung walet.

“Trang-trang-tranggggg...!” tiga kali pedang mereka saling beradu, menimbulkan bunga api yang muncrat ke sana-sini.

Keduanya cepat menarik pedang masing-masing dan lega hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan keras lawan keras tadi. Masing-masing kagum dan juga kaget. Apa lagi Lin Lin. Tadi ia sudah mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, dan ia maklum bahwa tenaga yang terdapat dalam ilmu ini luar biasa besarnya. Tadi ia gunakan sedikit saja untuk menghadapi dua orang hwesio, sekali babat saja cambuk-cambuk itu putus semua. Sekarang ia pergunakan tenaga ilmu ini dalam mengadu pedang, sedangkan di tangannya adalah pedang pusaka pula, mengapa pedang lawannya tidak menjadi rusak dan tidak terpental?

Ini hanya menjadi bukti bahwa pemuda pesek ini selain memiliki pedang yang ampuh juga memiliki kepandaian tinggi, dapat melawan terjangan tenaga Khong-in-ban-kin. Apakah kakek gundul pelontos Kim-lun Seng-jin yang membohonginya dan membual tentang kelihaian Khong-in-ban-kin? Kakek itu bilang bahwa jarang ada lawan yang akan dapat mengimbangi kecepatan dan kekuatan tenaga dalamnya kalau ia mengerahkan Khong-in-ban-kin. Akan tetapi sekarang, baru saja bertemu dengan seorang pemuda pesek, ilmunya itu seakan-akan tiada artinya lagi.

Di lain pihak, si Pemuda juga kaget dan tercengang di samping kekagumannya yang menjadi-jadi. Tadinya ia mengira bahwa dara lincah itu hanya memiliki gerakan yang amat cepat dan ilmu pedang yang tinggi saja, maka dengan mudah dapat mengalahkan dua orang hwe­sio kurang ajar tadi. Siapa kira dalam pertemuan pedang tadi ia mendapat kenyataan bahwa dalam hal tenaga gadis itu tidak usah mengaku kalah terhadapnya, juga pedang di tangannya itu adalah pedang ampuh yang dapat menahan pusakanya sendiri. Padahal pusakanya ini adalah pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) yang jarang bandingannya, pedang pusaka pemberian suhunya.

“Wah karena pedangmu ampuh kau jadi sombong, ya? Awas lehermu!” Lin Lin membentak dan segera gadis ini mainkan Khong-in-liu-san untuk menerjang lawannya. Hebat terjangannya ini, pedangnya berubah menjadi sinar kuning bergulung-gulung, makin lama makin tebal merupakan segunduk awan bergerak perlahan mengurung diri pemuda itu dari segala jurusan.

Pemuda itu mengeluarkan seruan tertahan. Benar-benar tak disangkanya gadis ini sedemikian lihainya. Ia pun lalu bersilat dengan pedangnya, ilmu silat yang aneh, gerakan-gerakannya lucu dengan tubuh megal-megol seperti seorang pelawak beraksi di atas panggung wayang. Hampir saja Lin Lin tak dapat menahan ketawanya menyaksikan gerakan aneh dan lucu ini. Akan tetapi ia pun terheran-heran karena ke mana pun juga pedangnya menyambar, selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda yang gerak-geriknya aneh ini. Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itu banyak mengalah, hanya mempertahankan diri dari pada serangan-serangannya yang dahsyat, tidak berusaha membalas sungguh-sungguh. Memang pemuda itu tidak ingin merobohkan Lin Lin, kekagumannya terhadap gadis itu membuat ia mengalah dan hanya ingin menguji kepandaian orang.

“Hebat..., hebat... kiam-hoat yang luar biasa!” berkali-kali pemuda itu memuji.

Akan tetapi, makin dipuji makin marahlah Lin Lin karena pujian itu ia anggap sebagai ejekan. Mana bisa ilmu pedangnya dipuji kalau sama sekali tidak mampu mendesak lawan? “Balaslah! Seranglah! Kau kira aku takut? Kalau kau bisa mengalahkan aku, baru kau laki-laki sejati!” Ia menantang. Ia berbesar hati karena ia memiliki ilmu Khong-in-ban-kin dan dengan ilmu ini ia dapat menggunakan ginkang yang sempurna sehingga ia tidak khawatir akan termakan pedang lawan.

Seperempat jam sudah mereka bertanding. Kuda tunggangan pemuda itu menjadi gelisah, berkali-kali meringkik ketakutan. Pemuda itu gemas juga. Gadis ini amat menarik hatinya, dan ia tidak tega untuk merobohkan atau mengalahkannya. Akan tetapi kalau tidak ‘diberi rasa’, tentu tidak tahu akan kelihaiannya, demikian ia pikir. Bangkit harga dirinya sebagai seorang laki-laki.

“Baiklah, Nona, lihat pedangku!” Ia memutar pedangnya cepat sekali dan mengerahkan tenaga untuk mendesak dan menindih gulungan sinar pedang lawan.

Memang hebat pemuda ini. Amat kuat tenaga desakan hawa dan sinar pedangnya, mengejutkan hati Lin Lin. Namun cepat gadis ini menggunakan Khong-in-ban-kin. Tubuhnya bergerak begitu cepat seakan-akan serupa sebuah bayangan, dengan lincahnya ia menyelinap di antara sinar pedang. Sungguh pun harus ia akui bahwa semua serangannya sekarang gagal dan buyar, tidak ada kesempatan lagi, namun ia tetap dapat mempertahankan diri dari pada desakan lawan. Makin keras pemuda itu menekan, makin lincah gerakan Lin Lin sehingga pemuda itu selain kaget juga heran dan bingung. Tahulah ia sekarang bahwa dara lincah ini adalah murid seorang sakti, karena hanya beberapa orang saja di dunia kang-ouw, boleh dihitung dengan jari jumlahnya, yang akan dapat menghindarkan diri dari tekanan pedangnya seperti ini.

Pada saat itu, terdengar bentakan keras, “Susiok (Paman Guru), inilah iblis betina liar itu!”

“Hemmm, hemmm, agaknya mengandalkan kecantikannya. Lihat pinceng menangkapnya!”

“Mari kita berlomba, Sute, aku pun timbul kegembiraan hendak menangkap gadis liar ini!” sambung suara kedua.

“Hee, Sicu (Orang Gagah), harap mundur. Biarkan pinceng berdua main-main dengan budak ini!”

Biar pun masih saling gempur, pemuda itu dan Lin Lin kini otomatis mengendurkan gerakan dan melirik. Kiranya yang datang adalah dua orang hwesio muda yang tadi, yang berdiri agak jauh. Akan tetapi kini mereka datang bersama dua orang hwesio setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan keduanya memegang sebatang tongkat hwesio yang panjang dan terbuat dari pada baja. Kedua orang hwesio ini sombong sekali lagaknya dan agaknya mereka memandang rendah kepada pemuda itu dan Lin Lin.

Tanpa memberi kesempatan lagi, dua orang hwesio setengah tua itu menerjang maju dari kanan kiri mengeroyok Lin Lin! Benar-benar tak tahu malu, pikir Lin Lin. Suaranya saja hendak berlomba untuk menangkapnya, kiranya mereka itu hanya ingin mengeroyok mengandalkan senjata yang panjang dan berat. Mana ada orang yang hendak ‘menangkap’ menggunakan tongkat yang begitu panjang dan berat?

Akan tetapi ketika ia mengayun pedang dengan putaran lebar, sekaligus menangkis dua batang tongkat itu, terdengar suara keras, bunga api berpijar dan Lin Lin merasa betapa telapak tangannya tergetar. Ia kaget dan diam-diam ia mengeluh. Kiranya di samping kesombongan mereka, dua orang hwesio ini memiliki tenaga lweekang yang hebat! Cepat ia menggerakkan tubuh dan dengan mengandalkan kelincahannya, kini ia menghadapi dua orang pengeroyoknya, lupa bahwa lawan lamanya, pemuda itu, kini berdiri menonton dan tidak menyerangnya lagi.

“Tahan senjata! Melihat gerakan, Ji-wi Suhu adalah hwesio-hwesio Siauw-lim. Betulkah?”

Dua orang hwesio setengah tua itu melompat mundur, menahan tongkat mereka lalu memandang pemuda itu. Lin Lin tidak peduli, akan tetapi ia pun tidak sudi menyerang orang yang menarik senjatanya, maka dengan pedang melintang di depan dada, ia hanya memandang, sikapnya gagah.

“Kami memang betul hwesio-hwesio Siauw-lim. Kau siapakah, Sicu, dan apa yang hendak kau katakan kepada kami?”

Pemuda itu mengerutkan keningnya. “Siauw-lim-pai adalah partai persilatan yang selalu menjunjung kebenaran dan keadilan, yang selalu bersih dan terkenal sebagai pusat orang-orang beribadat yang berilmu tinggi. Akan tetapi mengapa Ji-wi Suhu datang-datang menyerang seorang wanita?”

“Gadis liar ini menghina murid-murid keponakan kami!”

“Hemmm, pemutar-balikan fakta yang menjijikkan! Adalah dua orang hwesio itulah yang kurang ajar, mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan terhadap wanita terhormat. Dari pada menyerang orang yang tidak berdosa, Ji-wi Suhu justru akan membersihkan nama partai kalau sekarang juga memberi hukuman kepada murid-murid sendiri.”

“Orang muda, kau siapakah berani bicara lancang memberi kuliah kepada kami?”

Pemuda itu tersenyum. “Aku she Lie bernama Bok Liong, orang biasa saja. Akan tetapi aku mengenal baik Cheng Han Lo-suhu, dan pedangku Goat-kong-kiam ini selalu menghendaki kebenaran dibela oleh orang-orang gagah.”

Cheng Han Hwesio adalah ketua Siauw-lim-pai, maka mendengar disebutnya nama ini, kedua orang hwesio itu menjadi kaget sekali. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda ini akan mengadu. Memang akhir-akhir ini banyak sekali anak buah para hwesio yang tersesat, mabuk oleh kesenangan duniawi dan mempergunakan kesempatan selagi negara kacau dan ketua dari pusat tidak sempat melakukan pengawasan, mereka mengumbar nafsu jahatnya.

Keadaan memalukan dan buruk ini terutama sekali ditimbulkan oleh para penjahat dan pelarian yang menyembunyikan diri dengan jalan mencukur rambutnya dan memakai jubah pendeta, tinggal bersembunyi di kelenteng-kelenteng. Merekalah yang menjadi ‘guru’ dan menyeret para hwesio muda yang belum teguh batinnya dan masih lemah imannya ke jalan sesat. Dua orang hwesio ini hanya merupakan kepala dari sebuah kelenteng kecil, sudah terlalu lama berkecimpung di dalam keduniaan, maka hanya pada lahirnya saja seperti pendeta, namun batinnya sudah menjadi penjahat-penjahat hamba nafsu buruk.

“Keparat, kau benar-benar kurang ajar! Kau kira kami takut padamu? Sute, kau hajar dia ini, biar pinceng menangkap Nona liar. Kalau tidak diberi hajaran, tidak akan kapok orang-orang muda kepala batu ini!”

Dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu terlalu memandang rendah orang muda. Mereka mengandalkan kepandaian yang tinggi dan senjata tongkat yang berat, pula, memang ilmu tongkat atau ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat terkenal kuat. Namun pemuda itu adalah murid orang sakti, juga Lin Lin telah menerima gemblengan dari seorang sakti yang tingkatnya sejajar dengan ketua Siauw-lim-pai pusat sendiri! Maka kalau mau dibuat perbandingan, tingkat dua orang hwesio itu masih jauh di bawah.

“Aku tidak ingin kau bantu!” seru Lin Lin sambil menggerakkan pedang menghadapi serangan seorang hwesio.

“Siapa membantumu, Nona? Aku pun diserang oleh hwesio palsu ini!” jawab pemuda yang bernama Lie Bok Liong itu sambil menggerakkan pedang pula menandingi lawannya.

Pertempuran seru terjadi, terpecah menjadi dua. “Nona, adu ilmu antara kita boleh ditentukan sekarang. Siapa yang lebih dulu mengalahkan lawan, dia yang lebih unggul antara kita!” pemuda itu berseru.

“Baik, seorang laki-laki tidak melanggar janjinya!” seru Lin Lin girang.

Gadis ini sebentar saja dapat melihat kelemahan lawan dan ia yakin akan dapat merobohkannya dalam waktu cepat, maka usul pemuda itu diterimanya dengan girang. Melihat tongkat itu menyodok ke arah dadanya, Lin Lin sengaja berlaku lambat, membiarkan lawan lengah dan kegirangan. Beberapa senti meter sebelum ujung tongkat mengenai dadanya, tiba-tiba ia miringkan tubuhnya, menggunakan jurus Pek-wan-hian-ko (Lutung Putih Berikan Buah) dari ilmu silat ayahnya, tangan kirinya menangkis dengan jari-jari terbuka, dan pedangnya bergerak cepat ke depan. Inilah gerakan susulan dari Khong-in-liu-san yang tidak terduga dan amat cepat datangnya. Hwesio lawannya itu menjerit kesakitan, tongkatnya terlepas dan pangkal lengannya terobek pedang sampai kelihatan tulangnya.

Sambil tersenyum manis tapi penuh ejekan, Lin Lin membalikkan tubuh memandang ke arah pemuda pesek itu, siap untuk mengejek dan berbangga akan kemenangannya. Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali. Apa yang dilihatnya? Pemuda itu ternyata sudah lebih dulu merobohkan lawannya, hwesio lawan pemuda itu sudah rebah dengan pundak berdarah!

Akan tetapi pemuda itu berkata, “Nona, kita berhasil dalam waktu yang sama. Hayo kita berlomba merobohkan dua orang hwesio ceriwis itu!”

Lin Lin melihat betapa hwesio muda yang dua orang tadi telah melarikan diri tunggang-langgang melihat betapa kedua orang paman guru mereka telah roboh! Karena dua orang hwesio muda itu yang menjadi biang keladi pertempuran, dan dua orang hwesio itu yang sebenarnya amat kurang ajar, Lin Lin menjadi marah sekali dan tubuhnya berkelebat melakukan pengejaran. Ia melihat sesosok bayangan dengan cepat juga berkelebat di sampingnya.

Tahu bahwa pemuda pesek itu tidak mau kalah, Lin Lin mengerahkan ginkang-nya dan di lain saat ia sudah tiba di belakang dua orang hwesio itu. Pedangnya menyambar dan dua orang hwesio itu menjerit, roboh terguling. Dua orang hwesio muda itu terluka pahanya. Karena menganggap bahwa dua orang hwesio itu jahat sekali, Lin Lin kembali menggerakkan pedang hendak membunuh mereka.

“Tranggg!” bunga api berpijar ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Lie Bok Liong.

“Nona, harap jangan bunuh mereka. Mereka adalah hwesio-hwesio Siauw-lim!”

“Hwesio Siauw-lim atau hwesio-hwesio langit, siapa takut? Mereka ini jahat, kalau hwesio-hwesio tua Siauw-lim-pai membela mereka, berarti mereka pun jahat!”

“Omitohud... kasar akan tetapi harus diakui kebenarannya...,” terdengar seruan suara halus dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang hwesio tua yang putih semua jenggotnya, akan tetapi mukanya masih segar kemerahan seperti seorang muda. Hwesio ini berjubah kuning, memegang sebuah tongkat pendeta dan sinar matanya berpengaruh penuh wibawa. Melihat hwesio ini, Lie Bok Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.

“Cheng Hie Lo-suhu! Kebetulan sekali Lo-suhu datang. Kami dua orang muda telah berselisih faham dengan beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai, harap Lo-suhu memberi kebijaksanaan.”

Hwesio tua itu tertawa perlahan. “Lie-sicu tak perlu bersikap sungkan. Pinceng (aku) yang tua sudah melihat dan mendengar semua. Memang sudah pinceng dengar kenakalan empat orang anak murid ini, akan tetapi baru sekarang pinceng melihat buktinya.” Kemudian ia mengalihkan pandang mata kepada Lin Lin dan berkata, “Nona, kepandaianmu hebat bagi seorang semuda Nona. Memang pantas sekali Pedang Besi Kuning berada di tanganmu! Dua orang anak murid Siauw-lim-pai yang durhaka ini telah melakukan kesalahan kepadamu, harap Nona sudi memberi maaf, biar pinceng nanti yang akan menghukum mereka.”

Lin Lin kaget bukan main. Hwesio tua ini dapat mengetahui segalanya, bahkan tahu pula tentang pedangnya, pedang curian dari gudang istana. Tentu seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Ia memang marah kepada dua orang hwesio yang kurang ajar itu, akan tetapi sekarang hatinya puas karena sudah ada pentolan Siauw-lim-pai yang mengurus dan hendak menghukum.

“Terserah kepada Lo-suhu. Aku percaya Lo-suhu akan benar-benar memberi hukuman berat, kalau tidak, berarti Lo­suhu membantu orang jahat!”

Muka hwesio tua itu berubah agak pucat, akan tetapi ia hanya tertawa dan menjura. Lie Bok Liong lalu mengajak Lin Lin pergi, “Marilah, setelah ada Cheng Hie Lo-suhu, tentu mereka akan mendapat bagian mereka. Cheng Hie Lo-suhu terkenal sebagai pengawal tindak-tanduk dan sepak terjang para anak mu­rid Siauw-lim-pai dan dunia kang-ouw mengenal belaka kebijaksanaan dan keadilannya. Lo-suhu, perkenankan kami pergi.”

Cheng Hie Hwesio menggerakkan tangannya, mengangguk-angguk. “Pergilah... pergilah dengan hati-hati, orang-orang muda. Doa restu dan berkahku mengiringi kalian berdua...”

Lin Lin tercengang, hendak marah kepada pemuda pesek itu. Enak saja, pikirnya, ajak-ajak seakan-akan dia itu memang teman seperjalanan. Kenal pun tidak! Akan tetapi melihat sikap hwesio yang amat halus dan baik itu, tak enak hatinya menimbulkan ribut di depannya. Ia pun mengangguk dan berjalan pergi bersama Lie Bok Liong yang menuntun kudanya.

Sampai lama mereka jalan berendeng, diam saja tidak berkata-kata, juga saling lirik saja tidak. Seakan-akan mereka saling tidak ingat lagi bahwa di sebelah mereka berjalan seorang lain. Tentu saja tidak demikian hal yang sebetulnya. Bok Liong sekaligus terbetot semangatnya oleh gadis lincah ini, dan ia berjalan sambil merenung, terheran-heran atas perubahan di dalam hatinya sendiri. Mengapa ia merasakan hal yang aneh ini, hal yang selama ia hidup belum pernah ia rasakan? Ada pun Lin Lin, ia sedang mengumpul-ngumpulkan kata-kata untuk menyerang pemuda pesek lancang ini nanti setelah mereka jauh dari hwesio tua tadi.

Setelah mereka keluar dari dalam hutan dan berada di jalan yang sunyi sekali, tiba-tiba Lin Lin berhenti dan berkata ketus, “Nah, sekarang tidak ada siapa-siapa yang akan menghalangi kita membuat perhitungan!”

Pemuda itu seakan-akan baru sadar dari alam mimpi. Ia menengok dan memandang dengan kaget. “Perhitungan? Perhitungan apa, Nona?”

“Perhitungan apa? Pura-pura tanya lagi. Kau tadi mengajak adu cepat berlomba merobohkan dua orang hwesio ceriwis. Siapa yang menang? Aku! Lalu hwesio tua Siauw-lim-pai tadi memuji-muji dan minta maaf. Memuji siapa dan minta maaf kepada siapa? Aku! Tapi kau memerintah aku ikut denganmu! Sombong!”

Bok Liong cepat menjura, sikapnya sungguh-sungguh. “Nona, harap kau tidak main-main lagi. Maafkanlah kalau sikap dan kata-kataku pernah menyinggungmu. Aku Lie Bok Liong adalah seorang laki-laki sejati, dan kulihat sepak terjangmu membuktikan bahwa kau seorang pendekar wanita yang mengagumkan. Oleh karena itu terimalah hormatku, Nona, dan sampai mati aku tidak nanti berani mengangkat senjata terhadapmu lagi. Aku mengaku kalah dan menyerah.”

Watak Lin Lin memang aneh. Dalam segala hal ia selalu tidak mau kalah. Kalau orang bersikap keras terhadapnya, ia tidak mau kalah keras, kalau orang galak, ia akan lebih galak lagi. Kini Bok Liong bersikap merendah dan mengalah dengan suara sungguh-sungguh dan wajah serius, ia pun tidak mau kalah!

“Nah, kau sih yang sombong tadinya. Padahal aku juga tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan orang seperti kau ini. Aku tahu kau bukan orang jahat, tapi kalau aku tidak bersikap keras, orang takkan mengetahui kelihaianku. Nah, kau pun kuminta maklum saja kalau tadi aku bersikap kaku. Betapa pun juga, kau telah membantuku menghadapi hwesio-hwesio kotor tadi.”

Jantung Bok Liong berdebar-debar. Alangkah girangnya melihat bahwa nona yang lincah galak ini kiranya dapat juga bicara dengan baik. Ia menahan senyumnya dan berkata lagi. “Nona, terima kasih atas pengertianmu. Kita menjadi sahabat, hal yang amat kuinginkan semenjak aku melihat kau menghajar hwesio-hwesio ceriwis di hutan itu. Sekali lagi, namaku Lie Bok Liong, biar pun bukan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw, akan tetapi aku mengenal hampir semua tokoh kang-ouw, kecuali tokoh-tokoh besar yang masih muda seperti kau. Bolehkah aku mengetahui nama dan julukanmu? Terus terang saja, aku yang banyak mengenal ilmu silat, tahu akan dasar-dasar gerakan ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan banyak partai persilatan lain lagi, tapi sama sekali buta akan ilmu silatmu yang luar biasa tadi, Nona.”

Lin Lin merasa diayun-ayun di atas awan saking bangga dan girangnya mendengar kata-kata pujian yang keluar sejujurnya dari mulut pemuda itu. Setelah ia pandang-pandang, pemuda berhidung pesek ini wajahnya menarik dan menyenangkan hati juga, sikapnya jujur dan sopan tapi tidak bermuka-muka atau menjilat, sikap sewajarnya dari seorang yang memasang isi hati pada wajahnya.

Timbul rasa suka di hatinya disertai kepercayaan besar. Apa lagi tadi ia mendengar bahwa Bok Liong ini mengenal hampir semua tokoh kang-ouw. Siapa tahu pemuda ini bisa memberitahu kepadanya tentang Suling Emas, atau mungkin juga tentang kakaknya, Bu Song. Wajahnya seketika berseri, matanya bersinar-sinar, bibirnya yang manis itu tersenyum sehingga pemuda itu merasa betapa tiba-tiba kedua lutut kakinya lemas dan gemetar!

Memang hebat daya pengaruh asmara yang mulai menggerogoti jantung seorang pemuda. Hanya si pemuda yang bersangkutan sendiri yang dapat merasakannya. Kalau seorang pemuda sedang bercinta, terutama sekali kalau mulai jatuh cinta, segala sesuatu pada diri dara yang dicintainya tampak hebat luar biasa. Kerling mata yang tajam melebihi pedang pusaka langsung menusuk dada menembus punggung! Senyum sepasang bibir merah membasah bagaikan seribu manis dari madu yang memabukkan dan membuat kepalanya pening tujuh keliling dengan mata berkunang-kunang! Kilauan gigi putih berderet rapi yang hanya tampak sekilas di balik sepasang bibir segar, lebih ampuh dari pada sinar petir yang langsung menyambar kepala memasuki tubuh menyelusup ke seluruh tulang sum­sum! Tidaklah terlalu mengherankan apa­bila Bok Lieng berdiri dengan kedua lutut gemetar ketika ia menghadapi wajah Lin Lin yang berseri-seri itu.

“Kau kira aku seorang yang buta?” demikian Lin Lin mulai kata-katanya yang kini terdengar manis, hilang sama sekali ketusnya. “Aku pun sekali bertemu saja tahu bahwa kau bukan orang jahat, akan tetapi aku harus yakin dulu. Twako... ya, lebih baik kusebut kau Twako (Kakak), karena kau tentu lebih tua dari pada Sin-ko (Kakak Sin). Eh, berapa sih usiamu?”

Mau tak mau Bok Liong tersenyum. Setelah gadis ini bersikap jenaka seperti ini, ia merasa betapa sinar matahari menjadi lebih terang dari pada tadi. “Usiaku hampir dua puluh dua tahun.”

“Nah, betul dugaanku. Sin-ko baru dua puluh tahun, aku sendiri baru tujuh belas. Sampai di mana aku tadi? Oya, tentang nama. Namaku Lin Lin, she... Kam.”

“Kam Lin Lin... indah benar namamu, Nona.”

“Wah, kalau kau masih menyebut nona-nonaan segala, aku pun akan menyebutmu dengan tuan-tuanan. Bagaimana pendapatmu, Tuan Besar?”


BERSAMBUNG KE JILID 04


Cinta Bernoda Darah Jilid 03

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 03

PADA MASA itu, dunia kang-ouw hanya mengenal Thian-te Liok-koai dan para ketua partai persilatan besar sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian. Akhir-akhir ini muncul Suling Emas sebagai tokoh sakti yang termuda. Namun diri Suling Emas ini diliputi penuh rahasia dan jarang sekali Suling Emas keluar memperlihatkan diri. Keadaannya penuh rahasia, dan ia boleh dijajarkan dengan orang-orang aneh lain, yaitu Kim-lun Seng-jin, Bu Kek Siansu, dan seorang aneh lain yang hanya dikenal dengan sebutan Empek Gan! Tentu saja Bu Kek Siansu berada di tingkat paling tinggi, bukan hanya karena usianya, namun juga kerena belum pernah terdengar ada tokoh yang melebihi kesaktiannya dari pada kakek ini.

Lin Lin boleh dianggap beruntung dapat menarik hati Kim-lun Seng-jin karena kakek sakti yang aneh ini selamanya tak pernah mau menerima murid. Dengan amat tekun gadis ini menerima latihan ilmu meringankan tubuh yang hebat, yaitu Khong-in-ban-kin yang sekaligus merupakan lweekang yang luar biasa. Di samping ini, juga kakek aneh itu menurunkan ilmu silat yang disebut Khong-in-liu-san (Awan Kosong Mengurung Gunung).

Kim-lun Seng-jin agaknya takut bertemu orang. Ia membawa Lin Lin merantau ke gunung-gunung dan hutan-hutan, kadang-kadang mereka berlatih di pinggir sungai yang amat sunyi. Aneh dua orang ini, seorang gadis remaja seorang lagi kakek tua, tiap hari mereka cekcok, tapi Lin Lin selalu membuat kakek itu mengalah karena gadis inilah yang dapat menyenangkan hatinya dengan wataknya yang lincah serta terutama sekali dapat menyenangkan perutnya dengan masak-masakan yang lezat. Lin Lin pandai sekali mengambil hati kakek itu dengan panggang daging binatang hutan yang lezat. Dari kakek ini ia mengenal pula banyak tokoh sakti dalam dunia persilatan.

kho ping hoo serial cinta bernoda darah jilid 03


Ternyata Kim-lun Seng-jin amat luas pengetahuannya dalam dunia kang-ouw. Ia mengenal semua tokoh, malah ia mengenal pula ayah Lin Lin. Beberapa kali Lin Lin bertanya tentang ayahnya, dan baru pada saat Lin Lin memanggang daging kelinci yang amat gurih baunya, kakek itu memenuhi jawaban pertanyaan ini.

“Kam-goanswe? Heh, Ayah angkatmu itu seorang yang keras hati, seorang prajurit sejati yang jujur dan setia. Kejujuran dan kesetiaannya ditambah kekerasan hatinya itulah yang membuat ia dipandang orang, kepandaiannya sih tidak ada artinya. Akan tetapi ia pernah menggemparkan dunia kang-ouw ketika ia dahulu berhasil mencuri hati Liu Lu Sian, seorang gadis sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan Cantik Beracun).”

“Lalu bagaimana, Kek?” tanya Lin Lin yang dapat menduga bahwa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ini tentulah ibu Bu Song yang oleh Kui Lan Nikouw disebut wanita dari golongan hitam dan telah bercerai dari ayah angkatnya.

“Entah bagaimana selanjutnya aku tidak dengar lagi. Akan tetapi perkawinan mereka menggemparkan. Setan cantik itu adalah anak seorang Kepala Agama Beng-kauw yang amat sakti, seorang berpengaruh besar sekali dan masih ada hubungan keluarga dengan raja-raja di Nan-cao (Yu-nan Barat). Liu Gan, seorang sakti ini, tidak setuju puterinya menikah dengan Ayah angkatmu, akan tetapi kerena Liu Lu Sian amat keras hati dan nekat, orang tua itu pun tak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi kudengar hubungan antara ayah dan puterinya ini menjadi putus. Selanjutnya entah.”

Lin Lin tahu selanjutnya. Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, yaitu yang bernama Kam Bu Song dan yang sekarang sedang ia cari, dan Liu Lu Sian telah bercerai dari ayah angkatnya.

“Di mana sekarang adanya Liu Lu Sian dan ayahnya yang bernama Liu Gan itu, Kek?”

“Heh, mana aku tahu? Bukankah Liu Lu Sian itu Ibu angkatmu?”

“Bukan. Dia sudah bercerai lama sekali, meninggalkan seorang putera yang sekarang pergi pula entah ke mana. Kalau ada orang yang amat benci Ayah, agaknya Liu Gan itu, Kek. Di mana dia sekarang?”

“Mana aku tahu? Dia orang yang amat tinggi kedudukannya. Kemudian ia menghilang, tidak ada kabarnya lagi. Pula aku tidak ada hubungan dengannya, aku pun tidak sudi menyelidiki. Dia orang... hemmm, orang golongan hitam, aku takut kedua tanganku menjadi hitam juga kalau berhubungan dengannya.”

Daging itu sudah matang. Kim-lun Seng-jin menelan air liurnya dan dengan lahap ia menyambar daging paha kelinci yang diangsurkan Lin Lin terus diganyang panas-panas.

“Wah, kau hebat! Heran aku, kenapa kalau aku yang memanggang tidak bisa begini sedap dan gurih? Tanganmu memang luar biasa!” katanya sambil menikmati daging panas.

Lin Lin tersenyum. Bukan tangannya yang membikin daging itu menjadi sedap dan gurih, melainkan garam dan bumbu, terutama daun harum dan kayu manis yang ia dapatkan di hutan itu, yang ia pergunakan sebagai bumbu. Agaknya kakek yang pandai makan ini tidak pandai masak, buta akan rahasia bumbu masak.

“Aku sudah masak seenak-enaknya untukmu, tapi apa balasanmu?”

“Ihhh, bukankah aku setiap hari melatihmu dengan ilmu-ilmu itu?”

“Segala Ilmu Khong-in (Awan Kosong), agaknya juga kosong gunanya. Apa artinya kalau dipakai menghadapi musuh besarku, si Suling Emas?”

Kakek itu mencak-mencak, tapi masih menggerogoti daging, “Kau pandang rendah sekali, ya? Hendak kulihat, kalau Suling Emas mampu menangkapmu, aku berani mempertaruhkan kedua mataku! Jangan kau main-main, bocah nakal. Dengan Khong-in-ban-kin sudah terlatih sempurna, biar It-gan Kai-ong takkan mampu mengejarmu, tahu?”

“Jadi, aku hanya akan mampu melarikan diri saja? Kau melatihku untuk berlari-lari menyelamatkan diri kalau bertemu orang sakti?”

“Heh, apa kau kira hal itu tidak perlu? Itulah yang paling penting, menyelamatkan diri lebih dulu. Apa artinya pandai memukul orang kalau akhirnya kita pun kena pukul mampus? Ilmu pukulan Khong-in-liu-san itu, jangan kau pandang ringan. Dengan mempelajari ini, sekarang kepandaianmu sudah lipat menjadi sepuluh kali dari pada yang sudah-sudah, kau tahu?”

Tentu saja Lin Lin tidak percaya akan hal ini, akan tetapi diam-diam ia girang juga. “Apa kau kira sekarang aku sudah dapat melawan Suling Emas?”

Kim-lun Seng-jin membelalakkan kedua matanya dengan alis diangkat. “Enak saja bicara! Melawan segala macam penjahat masih boleh, tapi menghadapi dia? Kau kira orang macam apa Suling Emas itu?”

“Orang apa sih dia? Bagaimana kepandaiannya?”

“Dia sih orang biasa saja, tapi ilmu kepandaiannya hebat. Sukar dipegang ekornya. Dia orang yang seperti juga aku, tidak mau berdekatan dengan keramaian. Selalu bekerja dengan diam-diam secara rahasia. Aku sendiri pun hanya mengetahuinya sebagai Suling Emas, orang muda yang amat lihai, tapi siapa dia sebetulnya tidak ada orang tahu. Entah dari mana datangnya, hanya dunia kang-ouw mengenalnya selama tujuh delapan tahun ini.”

“Kenapa kau mengira bahwa mungkin dia yang membunuh orang tua angkatku, Kek?”

“Orang macam dia itu bisa berbuat apa saja. Pendeknya, tidak ada yang mengherankan andai kata mendengar pada suatu hari bahwa Suling Emas membunuh Kaisar, atau membunuh ketua Kun-lun-pai. Sepak terjangnya tidak dapat diikuti orang. Mungkin orang tuamu dibunuhnya karena ada kesalahan terhadapnya, mungkin juga karena sikap Ayahmu terhadap kerajaan, atau pun karena urusan lain, siapa bisa tahu?”

“Kek apakah dia benar-benar lihai?”

“Dia hebat.”

“Kau takut terhadap Suling Emas?”

Kakek itu mencak-mencak lagi, tulang kelinci yang sudah tak berdaging lagi digigit pecah dan disedot sumsum­nya. “Takut apa? Kim-lun Seng-jin tidak pernah mengenal takut.”

“Kalau begitu kau berani melawannya? Kau dan dia siapa lebih lihai, Kek? Apa kau bisa menangkan dia?”

Kakek itu duduk kembali, menarik napas. “Jangan kau kira bisa mengadu aku dengan Suling Emas. Tentu saja kalau dia mengganggumu, aku akan turun tangan. Akan tetapi aku tidak bisa memastikan apakah aku akan menang. Betapa pun juga saat ini ingin aku mencoba kepandaiannya.”

Girang hati Lin lin. “Kalau begitu, mari cepat kita mencarinya di kota raja, Kek. Kau bilang dia berada di sana, bukan?”

“Kira-kira begitulah. Akan tetapi orang macam dia memang sukar diikuti bayangannya. Kita lihat saja nanti, di kota raja kita dapat mencari keterangan tentang dia. Sebaiknya kau melatih lagi ilmu pukulan itu.”

Demikianlah, sambil melakukan perjalanan mencari Suling Emas, Lin Lin terus dilatih ilmu silat oleh Kim-lun Seng-jin dan tanpa disadarinya sendiri kepandaian Lin Lin meningkat dengan cepat. Gadis ini sama sekali tidak sadar bahwa Kim-lun Seng-jin sengaja mengambil jalan memutar, melalui gunung-gunung dan hutan-hutan sehingga waktu yang mereka pergunakan untuk sampai di kota raja menjadi lima kali lebih panjang, perjalanan menjadi amat jauh dan sukar. Kakek ini sengaja berbuat demikian karena ia ingin melihat Lin Lin dapat melatih diri sampai matang dalam ilmu silat itu sehingga keselamatan Lin Lin dapat terjaga. Sering kali, di waktu mereka tidur dalam hutan, kakek itu duduk dan memandang wajah Lin Lin sampai berjam-jam. Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. “Serupa benar... serupa benar...”

********************


Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang melakukan perjalanan bersama Kim-lun Seng-jin dan mari kita menengok keadaan Bu Sin dan Sian Eng. Kakak beradik ini juga cepat meninggalkan An-sui, menuju ke kota raja untuk mencari kakak mereka yang selamanya belum pernah mereka lihat, seorang yang bernama Kam Bu Song.

Dua orang ini melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi sekarang jauh berkuranglah kegembiraan mereka di perjalanan setelah Lin Lin tidak berada di dekat mereka. Malah keduanya agak muram wajahnya, karena biar pun Lin Lin hanya seorang adik angkat, namun mereka amat mengasihinya. Terutama sekali Bu Sin selalu berkerut keningnya.

Dia adalah saudara tertua dan dialah yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan Lin Lin. Sekarang gadis itu pergi tanpa diketahuinya ke mana. Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak baik, bukankah dia yang bertanggung jawab dan pula dia yang kelak disalahkan, baik oleh kakak tirinya, Kam Bu Song, mau pun oleh bibi gurunya yaitu Kui Lan Nikouw. Akan tetapi teringat akan bunyi surat yang ditinggalkan Lin Lin di kamar penginapan, dan mengingat akan pesan suami isteri Hou-han itu yang menyatakan bahwa Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti, hatinya menjadi agak lega.

Kota raja Kerajaan Sung tidak jauh lagi dan dengan melakukan perjalanan cepat, dalam waktu sepekan saja Bu Sin dan Sian Eng sudah memasuki kota raja. Ketika masih tinggal bersama ayahnya di Pegunungan Cin-ling-san di dusun Ting-chun sebelum ayahnya tewas, bekas Jenderal Kam sering kali mendongeng kepada tiga orang anaknya tentang keadaan kota raja yang amat ramai dan indah. Memang dahulu, Jenderal Kam Si Ek biar pun bertugas di Shan-si, namun ia adalah seorang pejabat pemerintah Kerajaan Sung karena pada masa itu Kerajaan Hou-han belum bangkit dan wilayah Shan-si masih termasuk wilayah Sung.

Oleh karena pernah mendengar tentang kota raja ini, ketika memasuki kota raja Bu Sin dan adiknya merasa gembira dan kagum, akan tetapi tidak terheran-heran seperti orang-orang desa yang baru pertama kali selama hidupnya memasuki kota raja yang besar. Mereka berdua mencari rumah penginapan, kemudian mulailah mereka dengan penyelidikan mereka, bertanya ke sana ke mari tentang diri seorang pemuda bernama Bu Song, she Liu. Bu Sin dan adiknya masih teringat akan penuturan bibi guru mereka betapa Bu Song pernah menempuh ujian di kota raja ini dengan menggunakan she Liu, yaitu she ibunya.

Orang pertama yang mereka tanyai adalah seorang guru sastra yang membuka sekolah bagi calon-calon pengikut ujian, seorang laki-laki yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. Memang Bu Sin selalu berhati-hati dan ia amat cerdik dan pandai mencari keterangan. Tidak ada orang yang lebih tepat dimintai keterangan tentang seorang penempuh ujian belasan tahun yang lalu di kota raja selain seorang guru sastra yang sudah tua.

Akan tetapi guru sastra itu menggeleng kepalanya dan mengerutkan kening. “Sungguh menyesal aku tidak ingat lagi akan semua nama-nama itu. Ada ratusan orang banyaknya she Liu, dan semenjak empat belas tahun sampai sekarang, entah sudah ada berapa ribu orang pelajar yang menempuh ujian.”

Bu Sin dan Sian Eng kelihatan kecewa dan menyesal sekali. Malah Sian Eng hampir menangis kalau ia ingat betapa perjalanan mereka selain sia-sia belaka, juga mereka malah kehilangan Lin Lin. Mencari seorang kakak belum dapat di­temukan, sekarang malah kehilangan seorang adik. Mendengar jawaban guru tua ini, agaknya memang tak mungkin mencari seorang yang berada di kota raja ini dan menjadi penempuh ujian pada empat belas tahun yang lalu!

Pada saat mereka hampir putus asa itu, kakek guru tua tadi berkata menghiburnya, “Masih ada satu jalan untuk mencari orang itu. Pada empat belas tahun yang lalu, yang menjabat sebagai kepala ujian adalah Pangeran Suma Kong yang sekarang tinggal di kota An-sui. Kalian coba saja menghadap beliau dan mohon pertolongannya, karena kurasa pangeran itu mempunyai catatan tentang para pengikut ujian dan siapa tahu beliau akan dapat memberi keterangan di mana adanya Liu Bu Song itu.”

Wajah kakak beradik itu berubah dan mereka saling lirik ketika mendengar kata-kata ini. Pangeran Suma di An-sui? Itulah keluarga yang gedungnya mereka datangi, dan di sana pula Lin Lin lenyap. Di sana malah terdapat It-gan Kai-ong dan pemuda lihai yang mereka dengar disebut Suma-kongcu. Karena pikiran ini membuat mereka merasa bingung dan tegang, Bu Sin segera menghaturkan terima kasih dan minta diri.

Setelah keluar dari rumah kakek guru itu, Bu Sin menarik napas panjang. “Apakah kita harus pergi ke rumah itu? Tempat yang amat berbahaya itu, bagaimana kalau mereka yang berada di sana, terutama It-gan Kai-ong, mengenal kita? Bukankah itu sama halnya dengan memasuki goa naga dan harimau?”

“Sin-ko, dengan mereka kita tidak mempunyai permusuhan. Kalau Pangeran Suma orang satu-satunya yang dapat menolong kita, mengapa kita meragu? Lebih baik kita mencoba, siapa tahu pangeran tua itu mengerti di mana ada­nya Kakak Bu Song. Kalau bukan bertanya dia, siapa lagi? Kakek guru itu saja tidak dapat menolong kita, apa lagi orang lain?”

“Dengan keluarga Pangeran Suma memang kita tidak ada permusuhan, akan tetapi kau harus ingat It-gan Kai-ong yang berada di sana. Kita pernah ribut dengan para pengemis.”

“Bukankah dia sudah memaafkan kita setelah diberi uang perak oleh Lin Lin? Kalau memang dia berniat jahat, kiranya dia sudah turun tangan sejak dulu.”

Akhirnya Bu Sin mengambil keputusan dan berkata, “Baiklah, kita ke An-sui, bertanya dan minta tolong kepada Pangeran Suma Kong. Apa pun yang akan terjadi, harus kita hadapi karena ini menjadi kewajiban kita memenuhi pesan terakhir dari Ayah untuk mencari Kakak Bu Song. Mari, Eng-moi, kita kembali ke An-sui.”

Hanya semalam mereka di kota raja dan pada keesokan harinya, kembali mereka melakukan perjalanan ke An-sui dengan cepat. Begitu tiba di An-sui beberapa hari kemudian di waktu siang, mereka berdua langsung menuju ke rumah gedung yang pernah mereka kenal di suatu malam itu, memasuki halaman rumah yang luas. Hati mereka berdebar tegang ketika pelayan yang mereka mintai tolong untuk melaporkan kepada Pangeran Suma bahwa mereka berdua mohon menghadap, memasuki pintu depan yang besar.

Akhirnya pintu terbuka dan alangkah kaget dan tegang hati mereka. Yang muncul keluar bukanlah seorang pangeran tua, melainkan seorang pemuda tinggi tegap dan tampan berhidung bengkok bermata tajam seperti burung hantu. Ini adalah pemuda yang mereka lihat malam itu, Suma-kongcu atau Suma Boan! Lebih-lebih Sian Eng tergetar hatinya ketika melihat sepasang mata pemuda itu memandangmya seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat dan mulut yang membayangkan kelicikan itu tersenyum-senyum.

Di belakang pemuda ini keluar pula belasan orang laki-laki tinggi besar dan sekali lihat saja dapat menduga bahwa mereka adalah prajurit-prajurit pengawal karena pakaian mereka seragam. Suma-kongcu memberi isyarat dan belasan orang pengawal itu masuk kembali ke dalam, kemudian pemuda itu membalas penghormatan kedua orang tamunya dengan menjura dan berkata.

“Menurut laporan pelayan, Nona dan saudara hendak menghadap Pangeran Suma. Kebetulan sekali Ayah sedang tidur siang, akan tetapi kalau ada urusan, boleh Ji-wi (Kalian) bicarakan dengan saya, karena semua urusan Ayah telah diwakilkan kepada saya. Apakah keperlu­an Ji-wi datang menghadap Ayah?”

Karena bagi Bu Sin sama saja, baik Pangeran Suma mau pun puteranya asal dapat memberi keterangan tentang kakaknya, maka ia segera berkata dengan hormat. “Maafkan kalau kami mengganggu waktu yang berharga, Suma-kongcu. Kedatangan kami mohon menghadap Pangeran Suma adalah dengan maksud mohon pertolongan, karena untuk urusan kami ini, kiranya hanya Pangeran Suma yang dapat menolong.”

Wajah Suma Boan berubah ramah, tapi pandang matanya penuh selidik dan seperti tadi, sekilas ia memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang dan punggung kedua orang muda itu. “Heran sekali, kami tidak pernah mengenal Ji-wi, pertolongan apakah yang dapat kami lakukan?”

“Begini, Kongcu. Kami mencari seorang pengikut ujian yang berada di kota raja dan mengikuti ujian empat belas tahun yang lalu. Karena pada waktu itu kami mendapat keterangan bahwa Pangeran Suma yang menjabat kepala penguji, maka kiranya sudi memberi keterangan kepada kami, apakah beliau mengetahui di mana adanya pelajar itu sekarang.”

“Siapakah namanya pelajar itu? Empat belas tahun yang lalu? Hemmm, agaknya dapat dilihat dalam buku catatan tentang pelajar.”

“Pada waktu itu, ia memasukkan namanya sebagai Liu Bu Song...”

“Bu Song...?” Suma-kongcu kelihatan kaget bukan main dan wajahnya seketika berubah merah, matanya terbelalak lebar. “Apamukah dia itu?” pertanyaannya kini tidak halus lagi.

Bu Sin dan Sian Eng kaget melihat perubahan ini, akan tetapi karena tidak dapat menduga apa yang menyebabkan Suma-kongcu berubah demikian, Bu Sin menjawab sejujurnya, “Dia adalah kakak kami...”

“Bagus!” Suma-kongcu melompat bangun lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Bu Song! Kau telah mengirim dua orang adikmu, bagus! Adik laki-laki boleh menggantikan hukumanmu, adik perempuan hemmm... cukup cantik membayar penghinaanmu. Ha-ha-ha!” Suma-kongcu bertepuk tangan dan belasan orang pengawal muncul dengan cepat sekali. “Tangkap mereka!”

Bukan main kagetnya Bu Sin dan Sian Eng melihat sikap Suma-kongcu dan mendengar perintah ini. Tanpa menanti lebih lama lagi mereka segera meloncat mundur sambil mencabut pedang. Namun gerakan Suma Boan bukan main cepatnya. Bagaikan seekor burung elang menyambar ia telah menerjang Bu Sin dan Sian Eng, kedua tangannya bergerak melakukan serangan.

Bu Sin dan Sian Eng belum sempat menarik pedang, terpaksa mereka menangkis karena serangan ini cepat dan berbahaya sekali. Kedua tangan Suma Boan bertemu dengan tangkisan tangan Bu Sin dan Sian Eng. Akibatnya, Bu Sin terhuyung mundur dan Sian Eng terguling! Kaget sekali kakak beradik ini. Sian Eng cepat hendak meloncat bangun, namun sebuah totokan dengan dua jari tangan Suma Boan telah mengenai jalan darahnya dengan cepat, membuat ia tidak mampu berkutik lagi! Sambil tertawa-tawa Suma Boan menyambar tubuh Sian Eng dan memondongnya.

“Lepaskan adikku!” Bu Sin membentak, pedangnya yang sekarang sudah ia cabut menyambar ke arah Suma Boan. Permainan pedang Bu Sin bukanlah lemah. Pedang itu meluncur cepat dan Suma Boan terpaksa menghindarkan diri sambil melompat ke samping. Akan tetapi pedang Bu Sin mengejar terus.

Pada saat itu para pengawal sudah mengepung Bu Sin sehingga pemuda ini tidak mampu lagi menolong adiknya. Terpaksa dengan kemarahan meluap-luap ia memutar pedangnya melayani belasan orang pengawal itu. Menghadapi para pengawal ini, biar pun dikeroyok, baru tampak kelihaian ilmu pedang Bu Sin. Sebentar saja tiga orang pengawal roboh terluka. Pengawal-pengawal lainnya menjadi gentar juga. Tak mereka sangka ilmu pedang pemuda ini demikian hebat. Kini mereka tidak berani mendekat rapat. Melihat ini, Suma Boan menjadi habis sabar. Ia merebahkan tubuh Sian Eng ke atas dipan di sudut ruangan, kemudian ia melompat ke medan pertandingan sambil membentak.

“Mundur kalian, orang-orang tiada guna dan lihat bagaimana aku menangkap cacing ini!”

Para pengawal menjadi lega hati mereka. Cepat mereka mundur sambil menolong tiga orang kawan mereka yang terluka. Ada pun Bu Sin ketika melihat Suma Boan, segera membentak nyaring dan menerjang maju. Ia bermaksud merobohkan kongcu itu untuk dapat menolong adiknya yang ia lihat masih rebah di atas dipan, tak dapat bergerak.

“Orang jahat she Suma! Apa kesalahan kami maka kau melakukan penangkapan?”

“Ha-ha-ha, Bu Song, kakakmu itu musuh besarku. Menyerahlah!”

“Sebelum mati takkan menyerah. Lihat pedang.”

Suma Boan tetap tertawa sambil mengelak dari sambaran pedang. Di lain saat kedua tangannya sudah bergerak menyodok dan menotok sebagai penyerangan balasan. Putera pangeran ini menghadapi Bu Sin dengan tangan kosong saja. Memang dia seorang ciang-hoat (silat tangan kosong) yang amat lihat, mewarisi ilmu silat tinggi dari It-gan Kai-ong, Bu Sin bukanlah lawannya, karena dibandingkan dengan putera pangeran ini, ilmu kepandaian Bu Sin masih amat rendah, kalah beberapa tingkat!

Tidaklah mengherankan apa bila dalam beberapa belas jurus saja, pergelangan tangan kanan Bu Sin kena disabet dengan tangan miring sehingga pedangnya terpental jauh, kemudian sebelum Bu Sin sempat menyelamatkan diri, ia telah tertotok roboh dan segera ditubruk dan diringkus oleh para pengawal. Beberapa orang pengawal yang marah karena pemuda ini sudah melukai tiga orang kawan mereka, menghujankan pukulan-pukulan. Bu Sin tentu akan tewas kalau saja Suma Boan tidak menghardik orang-orangnya.

“Jangan sentuh dia! Aku sendiri yang akan menghukumnya. Hemm, orang-orang tiada guna, kalau kalian memukuli sampai mati, nyawa kalian gantinya!” Akan tetapi Bu Sin tidak mati, hanya pingsan saja.

Suma Boan menengok ke arah dipan dan alangkah kagetnya ketika melihat dipan itu kosong. Sian Eng si cantik manis yang tadi telah tertotok dan tak mampu bergerak, rebah di atas dipan, kini tidak tampak lagi, lenyap dari tempat itu tanpa bekas!

“Keparat, di mana dia...?” Suma Boan dengan sekali lompat sudah tiba di dekat dipan dan sepasang matanya melotot. Mukanya pucat ketika ia melihat sebuah benda tertancap di atas dipan sebagai ganti gadis cantik itu. Benda yang menancap pada dipan ini adalah sebuah bendera kecil, gagangnya dari kayu hitam, benderanya berbentuk segi tiga berdasar hitam dengan gambar Hek-giam-lo si malaikat maut yang memegang sabit, tersulam dengan benang warna kuning emas!

“Hek-giam-lo...!” bibir Suma Boan berbisik, lalu ia menggertak gigi. “Lagi-lagi Hek-giam-lo mengganggu, keparat...!”

Akan tetapi ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat mengejar setan itu yang telah menculik tawanannya. Kemarahannya ia tumpahkan kepada Bu Sin. “Seret ia ke dalam kebun belakang!”

Para pengawal menyeret tubuh Bu Sin yang sudah siuman dari pingsannya tapi tidak berdaya lagi itu ke belakang. Atas perintah Suma Boan, mereka mendirikan dua batang balok yang dipasang menyilang, kemudian mengikat tubuh Bu Sin di atas balok bersilang itu.

Bu Sin sudah siuman, maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Namun ia seorang pemuda gagah perkasa, sedikit pun tidak takut. Dengan pandang mata tajam ia menatap Suma Boan yang berdiri di depannya dan di kanan kiri berdiri para pengawal.

“Orang she Suma!” Kata Bu Sin dengan suara ketus dan nyaring. “Antara kau dan aku tidak ada permusuhan, akan tetapi kau katakan bahwa kakakku Bu Song adalah musuh besarmu. Baik, aku sebagai adiknya siap menerima hukuman apa saja. Sayang kepandaianku terlalu rendah, kalau tidak tentu aku akan mewakili kakakku itu memberi hajaran kepadamu, manusia rendah.”

“Ha-ha, kematian sudah di depan mata dan masih berlagak!” dengus Suma Boan. Sekali merogoh saku, ia telah mengeluarkan enam batang anak panah. “Sebentar lagi kau mampus.”

“Siapa takut mati? Seorang gagah sekali-kali tidak berkedip menghadapi kematian, asal saja ia mati dalam kebenaran! Akan tetapi, ceritakan mengapa kakakku memusuhi orang macam kau, agar aku tahu untuk apa aku mati.”

“Bu Song seorang jahanam besar. Ia telah ditolong oleh Ayah, ujiannya diberi angka baik agar ia lulus, kemudian karena tertarik oleh kepintarannya Ayah telah memberinya kedudukan baik sebagai pembantu pribadi. Siapa kira, kakakmu manusia rendah itu tidak tahu akan kedudukannya sebagai hamba, berani main gila dengan adik perempuanku. Dia sudah kuikat seperti kau sekarang ini, mengalami cambukan seratus kali, tapi agaknya tubuhnya yang sudah hampir menjadi bangkai itu dibawa setan, atau mungkin juga dimakan setan sampai habis. Ha-ha-ha, dan sekarang kau adiknya datang untuk melanjutkan hukumannya. Tidak puas hatiku ketika itu, sekarang barulah aku puas. Penghinaan atas diri adikku akan kubalas impas. Hemmm... kalau saja perempuan itu tidak lenyap....”

“Di mana adikku, Sian Eng? Suma-kongcu, kita sama-sama lelaki, kau mau membalas, silakan, aku akan menerima dengan mata melek. Akan tetapi, kau bebaskan adikku. Dia wanita, tidak bertanggung jawab akan perbuatan kakakku.”

“Ha-ha-ha, adikmu akan kurusak, kemudian kuserahkan kepada para pengawal, penghinaan ini harus dibayar sampai habis, berikut bunganya.”

Pucat wajah Bu Sin, akan tetapi ia tidak mau membuka mulut. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk orang macam ini, malah akan mendapat penghinaan yang menyakitkan hati. Apa pun yang akan dialami oleh Sian Eng, paling hebat tentu kematian dan ia percaya bahwa Sian Eng tentu akan mempergunakan setiap kesempatan untuk meloloskan diri atau untuk membunuh diri dari pada dijamah tangan-tangan kotor itu.

“Pengecut, siapa takut ancamanmu? Mau bunuh lekas buhuh!” bentaknya.

Tangan kiri Suma Boan bergerak dan meluncurlah sebatang anak panah, menancap ke paha kiri Bu Sin. Terasa nyeri dan perih, namun Bu Sin tetap memandang dengan mata marah, pemuda perkasa ini berkedip pun tidak.

“Kalian lihat, semua anak panah ini akan mengenai sasaran tanpa membunuh korbannya. Dan hati-hati, dia harus dibiarkan tersiksa sampai mati kehabisan darah, semua harus bergiliran menjaga malam ini. Aku tidak mau kehilangan dia seperti belasan tahun yang lalu. Besok pagi akan kulihat bangkainya tetap tergantung di sini.”

“Baik, Kongcu. Hamba sekalian akan menjaganya, harap Kongcu jangan khawatir.” Serempak para pengawal menjawab sambil memberi hormat.

Dengan senyum keji dan mata berapi, Suma Boan lalu berturut-turut melepaskan anak panah dengan kedua tangannya. Cepat anak-anak panah itu meluncur dan dengan tepat menancap di paha kanan, kedua lengan dan di kedua pundak. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Bu Sin. Rasa nyeri pada kaki tangan dan pundaknya masih dapat ia pertahankan dengan menggigit bibir, sedikit pun keluhan tidak ada yang keluar dari mulutnya. Namun penghinaan ini benar-benar amat menyakitkan hatinya, hampir ia tidak kuat menahan hati untuk memaki-maki dan berteriak-teriak. Kalau ia terus dibunuh, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi dijadikan sasaran anak panah lalu dibiarkan terpanggang di situ menjadi tontonan, benar-benar menyakitkan hati sekali.

Suma Boan tertawa-tawa mengejek, lalu meludahi muka Bu Sin sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Bu Sin hanya membuang muka ke samping, akan tetapi tak dapat mencegah pipi kirinya terkena sambaran ludah. Ia merasa pipi itu panas dan sakit sehingga diam-diam ia harus mengakui kehebatan putera pangeran ini yang memiliki lweekang amat kuatnya. Namun sakit di hatinya lebih hebat.

“Jaga baik-baik! Awas, jangan sampai ada yang mencuri calon mayat ini,” pesan Suma Boan kepada anak buahnya. Mereka memberi hormat lagi dengan sikap menjilat-jilat, menyatakan kesanggupan mereka.

Setelah kongcu itu pergi, para pengawal yang dua belas orang banyaknya itu duduk mengelilingi balok bersilang di mana tubuh Bu Sin tergantung. Mereka bercakap-cakap dan merasa yakin bahwa penjagaan mereka amat kuat. Pedang dan golok mereka terletak di atas tanah, dekat tangan, siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu.

Bu Sin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Bagian yang tertusuk anak panah terasa panas dan kejang. Akan tetapi ia segera melupakan rasa nyeri ini, malah ia tidak mendengarkan percakapan para penjaga. Pikirannya sibuk memikirkan kakaknya. Tahulah ia sekarang mengapa kakaknya lenyap dari kota raja tak dapat ditemukan ayahnya.

Kiranya kakaknya itu tadinya diangkat oleh Pangeran Suma menjadi pembantunya, kemudian kakaknya agaknya bermain cinta dengan puteri pangeran, ketahuan dan ditangkap lalu disiksa seperti yang ia alami sekarang. Akan tetapi kakaknya lenyap pada malam hari. Ke mana? Benarkah sudah mati? Ah, masa dimakan setan? Ditolong setan juga tak mungkin. Siapakah yang mau menolong kakaknya? Seperti juga dia sendiri sekarang ini, siapa yang mau menolongnya?

Tiba-tiba matanya terbelalak kaget. Ia berusaha mengikuti sinar berkelebatan dengan matanya, namun tetap saja matanya silau dan tak dapat melihat apa yang berkelebatan itu. Tahu-tahu para penjaga yang tadinya duduk bercakap-cakap sudah rebah malang-melintang tak bergerak lagi, entah mati entah masih hidup. Dan tahu-tahu, seperti main sulap saja, bayangan berkelebat di dekatnya dan dalam sedetik ikatan kaki tangannya terlepas, kemudian anak-anak panah yang enam buah banyaknya itu tercabut. Darah bercucuran keluar dan Bu Sin tidak ingat lagi. Ia pingsan dan tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya.

Ketika Bu Sin sadar kembali, ia mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah hutan, dibaringkan di bawah sebatang pohon besar. Di dekatnya ada sebuah api unggun yang masih bernyala, akan tetapi tidak seorang pun manusia di situ. Bu Sin cepat bangkit duduk, memeriksa luka-lukanya. Kiranya enam buah luka di tubuhnya sudah diobati orang dan dibalut dengan kain putih dan bersih, rasanya nyaman tidak nyeri lagi. Cepat ia melompat berdiri, dilihatnya pedangnya terletak di dekat api, segera dipungutnya. Ketika memungut pedang inilah pandang matanya bertemu dengan tanah yang di­coret-coret merupakan huruf-huruf.

Adiikuti di bawa Hek Giam Lo, Aku berusaha mengejarnya.

Bu Sin terduduk kembali. Agaknya orang yang menolongnya ini sejak tadi menjaganya di situ dan melihat ia siuman, baru orang itu pergi sambil meninggalkan tulisan di dekat api dan pedang. Siapa gerangan orang itu? Kepandaiannya hebat, tidak seperti manusia. Setankah dia? Tiba-tiba ia teringat akan penuturan Suma-kongcu. Apakah setan ini pula yang belasan tahun yang lalu telah menolong kakaknya, Bu Song? Ia merasa menyesal sekali, mengapa penolongnya itu melakukan ini secara bersembunyi sehingga ia sama sekali tidak dapat menduga-duga siapa gerangan penolongnya. Lebih khawatir lagi hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Ia tidak tahu siapa itu Hek-giam-lo.

Tiba-tiba ia teringat. Pernah ia mendengar nama ini disebut orang. Ia mengingat-ingat, lalu terbayang dalam benaknya pengalamannya bersama Lin Lin dan Sian Eng ketika mereka bertiga bersembunyi di dalam hutan, di atas pohon besar kemudian mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Betapa kemudian terdengar suara melengking tinggi yang membuat It-gan Kai-ong agaknya lari ketakutan, kemudian orang yang mengeluarkan lengking tinggi tampak punggungnya dan menyebut-nyebut nama Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, dan Bu Kek Siansu. Dan sekarang Hek-giam-lo yang disebut-sebut itu telah membawa lari Sian Eng! Siapa dan apa itu Hek-giam-lo ia tidak tahu, akan tetapi melihat namanya, Hek-giam-lo berarti Iblis Maut Hitam!

Bu Sin termenung, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Lin Lin dibawa lari seorang sakti yang bernama Kim-lun Seng-jin, sekarang Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Kedua orang adiknya tidak ia ketahui bagaimana nasibnya dan berada di mana sekarang. Mencari kakaknya belum juga bertemu, hanya mendengar nasibnya yang buruk, disiksa hampir mati dan lenyap. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Dengan pikiran bingung dan gelisah sekali Bu Sin terpaksa meninggalkan tempat itu, menyusup-nyusup hutan karena ia maklum bahwa ia tentu dikejar oleh Suma-kongcu dan sekali lagi terjatuh di tangannya berarti akan hilang nyawanya...

********************


Ke mana lenyapnya Sian Eng yang tadinya berada dalam keadaan tertotok jalan darahnya, tak dapat bergerak terbaring di atas dipan? Gadis ini biar pun sudah tak dapat bergerak karena jalan darah thian-hu-hiat tertotok membuatnya lemas kehilangan tenaga, namun ingatannya masih berjalan baik dan panca inderanya tidak terpengaruh. Ia berusaha sedapat mungkin untuk mengumpulkan tenaga lweekang untuk membebaskan diri dari totokan, namun usahanya belum juga berhasil. Hatinya gelisah bukan main melihat kakaknya dikeroyok itu.

Tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu ia merasa dirinya diterbangkan dari tempat itu. Demikian cepatnya gerakan bayangan hitam yang menolongnya sehingga ia tidak dapat melihat orang ataukah setan penolongnya itu. Ia dipondong masih dalam keadaan tertotok, karena itu ia tidak dapat menggerakkan kepala untuk memandang pemondongnya. Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia mengingat-ingat.

Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Orang yang dahulu melengking tinggi mengejar It-gan Kai-ong, yang hanya terlihat punggungnya, juga berpakaian hitam. Orang yang membawa suling dan yang mereka duga adalah Suling Emas, dan juga pembunuh orang tua mereka! Celaka, pikirnya, kalau pembunuh orang tuanya, musuh besar ini yang sekarang menculiknya pergi, tentu tidak bermaksud baik. Ia tidak tahu dibawa ke jurusan mana, tapi larinya cepat sekali seperti terbang saja. Menjelang senja mereka tiba di lereng gunung.

Sian Eng sekarang sudah mampu menggerakkan kepala karena urat lehernya sudah mulai terbebas dari totokan, jalan darahnya sudah mulai mengalir kembali. Akan tetapi biar pun ia menengok dan memutar leher, tetap saja ia tidak dapat memandang muka pemondongnya yang berjubah hitam, karena kepalanya berada di punggung orang itu. Ketika ia memandang ke sekitarnya melalui kedua pundak pemondongnya, ia terkejut dan merasa ngeri.

Kiranya mereka telah berada di sebuah tempat kuburan kuno yang amat luas. Agaknya kuburan orang besar, karena selain luas juga amat indah. Bongpai (batu nisan) besar-besar dan megah berdiri di sana, di dalam lingkungan pagar tembok dan di sana sini berdiri patung-patung yang terukir indah. Jalan menuju ke batu nisan itu menanjak. Agaknya penolongnya hendak membawanya ke batu nisan itu. Akan tetapi ternyata tidak. Ia dibawa memasuki sebuah terowongan melalui sebuah pintu rahasia di balik batu nisan. Terowongan yang gelap sekali.

Tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas dan tidak gelap, agaknya sinar matahari dapat masuk ke ruangan ini. Sian Eng dilempar ke atas sebuah bangku panjang, akan tetapi ia tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk. Ini kembali membuktikan bahwa penolong atau penculiknya itu adalah seorang yang amat tinggi kepandaiannya.

Sian Eng yang sudah dapat bergerak lagi cepat menoleh dan... gadis itu hampir saja menjerit kalau tidak lekas-lekas menutupi mulut dengan kedua tangannya. Ia hanya duduk dengan mata terbelalak lebar memandang ke depan, kepada orang yang memondongnya tadi. Sehelai demi sehelai bulu di tubuhnya berdiri, dan gadis ini hampir pingsan karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang memondongnya tadi bukanlah manusia! Tengkorak hidup! Jubah hitam itu menutup sampai kepalanya, yang tampak hanya muka tengkorak dengan kedua lubang mata yang lebar, lubang hidung yang kecil dan bekas mulut yang amat lebar, masih bergigi. Mengerikan! Di tempat seperti itu, yakni di bawah tanah kuburan bertemu dengan makhluk seperti ini, benar-berar membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit ketakutan.

Kemudian makhluk yang berdiri tak bergerak seperti patung itu, mengeluarkan suaranya yang terdengar bergema namun seperti datang dari jauh, suara yang tidak pantas menjadi suara manusia hidup, “Nona datang dari Ting-chun di kaki gunung Cin-ling-san, puteri Jenderal Kam Si Ek?”

Karena masih dicekam kengerian, Sian Eng belum mampu mengeluarkan suara, hanya mengangguk dan sepasang matanya yang bening itu terbelalak lebar. Beberapa kali ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali.

Mendadak terjadi hal yang aneh dalam pandangan Sian Eng. Makhluk itu, yang kini dapat diduganya tentulah seorang manusia yang memakai topeng tengkorak, tiba-tiba menjatuhkan dirinya berlutut di depan bangku itu, di mana Sian Eng sudah bangkit berdiri!

“Aduhai Sang Puteri... bertahun-tahun hambamu seluruh rakyat menanti kehadiran Paduka Puteri, bertahun-tahun hamba yang hina mencari dengan susah payah. Akhirnya hamba mendapatkan jejak Jenderal Kam di Ting-chun, akan tetapi Paduka sudah pergi... ah, siapa duga hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini. Rakyat telah menanti untuk menjemput Paduka sebagai ratu....” Sampai di sini si kedok tengkorak itu lalu menangis sesenggukan.

Dapat dibayangkan betapa Sian Eng melongo keheranan, bulu tengkuknya berdiri kaku karena ia menganggap bahwa kedok iblis ini tentulah seorang yang miring otaknya! Akan tetapi suara tangisan kedok iblis itu demikian mengharukan hati sehingga dalam takutnya Sian Eng ikut terharu dan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya. Ia ikut pula menangis!

Kedok iblis itu segera membentur-benturkan jidat tengkoraknya ke atas lantai sambil berkata, “Wahai, Paduka Puteri junjungan hamba..., betapa bahagianya hati hamba, betapa bahagianya rakyat kita setelah bertahun-tahun dikuasai raja yang tak berhak. Kini Paduka telah muncul, bagaikan sang matahari muncul untuk mengusir awan hitam yang gelap. Jangan Paduka khawatir, ada hamba Hek-giam-lo yang akan membantu Paduka merampas kembali mahkota dan singgasana yang memang menjadi hak Paduka....”

Tentu saja Sian Eng makin tidak mengerti dan menganggap orang yang miring otaknya ini sedang kambuh gilanya, maka bicaranya makin tidak karuan. Pada saat itu terdengar suara mirip tangisan yang melengking tinggi menembus sampai ke ruangan di bawah tanah itu. Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama Hek-giam-lo disusul maki-makian.

Hek-giam-lo mengangguk-anggukkan kepala tengkoraknya di depan kaki Sian Eng, lalu berkata halus, “Mohon perkenan Paduka untuk menghalau pengacau yang berada di luar istana.”

Mau tak mau Sian Eng menggigil. Tempat kuburan mengerikan seperti ini dianggap istana dan ia hendak dijadikan ratunya. Celaka! Akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani karena maklum bahwa orang gila yang menyeramkan ini memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Ia hanya mengangguk, dan agar orang gila itu tidak kecewa dan marah ia berkata lirih, “Pergilah...”

Tampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari depannya. Sian Eng menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia? Ataukah semua itu tadi peristiwa yang benar terjadi? Kalau begitu, agaknya si kedok tadi bukan manusia, jangan-jangan memang benar tengkorak hidup. Kalau manusia, masa pandai menghilang seperti itu?

Di sebelah atas, depan bongpai (batu nisan) yag besar dan megah itu, berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki. Seorang wanita cantik sekali, rambutnya hitam halus dan mengeluarkan keharuman yang mewakili taman bunga, baju luarnya putih bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun menyeramkan. Sukar mengira-ngira usianya. Melihat wajah halus, mata jeli dan bibir merah itu orang akan mengira ia masih amat muda, akan tetapi sikap, gerak-gerik dan pandang matanya membayangkan kematangan lahir batin di samping watak yang mendirikan bulu roma. Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum)! Telah kita kenal wataknya yang aneh dan kekejamannya yang melewati batas pada permulaan cerita ini. Ia sekarang berdiri di depan batu nisan besar sambil memaki-maki dengan suara nyaring, diseling lengking tinggi seperti orang menangis.

“Hek-giam-lo, tengkorak busuk bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah! Kalau kau tidak lekas keluar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus ini kubikin remuk. Hendak kulihat apakah kau masih tidak akan muncul!”

Tentu saja ucapan ini membikin marah Hek-giam-lo yang tepat muncul dari sebuah lubang di depan batu nisan setelah membuka penutup lubang itu dari bawah. Orang biasa tentu akan kaget setengah mati dan lari terkencing-kencing ketakutan kalau melihat makhluk seperti Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu nisan itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut munculnya Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya yang runcing dan tangan kanan bertolak pinggang.

“Hek-giam-lo tengkorak busuk! Hayo lekas kau serahkan padaku surat yang kau curi dari gerombolan It-gan Kai-ong si jembel tua bangka!”

Hek-giam-lo tidak menjawab akan tetapi segera melompat ke luar dan menghadapi Siang-mou Sin-ni dengan marah. “Sin-ni, antara kita sudah terdapat saling pengertian, karena jalan hidup kita tidak bersimpangan. Kau tahu bahwa aku harus membela negaraku, surat itu amat penting bagi negaraku. Kerajaan Sung selalu memusuhi Khitan, dan sekarang, setelah aku menemukan kembali Puteri Mahkota calon ratu, surat itu terlebih penting. Dengan memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat hubungan antara Khitan dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?”

“Tengkorak busuk! Kau kira hanya kau seorang yang mau mengambil peran sebagai patriot pembela bangsa dan negara? Cih, bangsa Khitan, perantau tak tentu tanah airnya, berlagak patriot segala! Surat itu adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa sangkut-pautnya dengan Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah pembela Hou-han. Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali kepada yang berhak, yaitu Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya. Biar pun untuk itu aku harus mengadu ilmu dengan patriot-patriot Khitan, aku tidak akan undur setapak pun!”

“Hemmm, kau perempuan mau main politik segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal sebagai seorang di antara Thian-te Liok-koai. Lebih baik kau pertahankan nama itu dan jangan mencampuri urusan negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki.”

“Cerewet! Kau ini selamanya pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau perempuan atau laki-laki? Hayo kembalikan!” Siang-mou Sin-ni menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di kepalanya itu sudah bergoyang-goyang.

Rambutnya merupakan senjatanya yang paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di dunia kang-ouw. Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam, panjang, halus dan harum itu akan menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum pria. Akan tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang entah sudah menewaskan nyawa berapa banyak orang!

“Sin-ni, kau tahu aturan antara kita. Surat ini kudapatkan dengan jalan menggunakan kepandaian, tentu saja tidak mungkin kuberikan kepadamu begini saja.” Sambil berkata demikian, Hek-giam-lo sudah mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari tangan Suma Boan tanpa diketahui orangnya.

Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan kalbu. Rambutnya seakan-akan hidup menyambar untuk merampas surat, sedangkan sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan darah di dada, leher, pangkal lengan dan pergelangan yang maksudnya selain merobohkan lawan juga merampas sabit!

“Uhhh!” Hek-giam-lo membentak. Surat itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang bergulung-gulung dengan sinar sabitnya.

Pada detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang dengan ganas sehingga terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan ada orang melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah yang sedang bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding di atas lantai depan batu bisa, kadang-kadang dengan gerakan ringan dan cepat keduanya berlompatan dan berkejaran di atas bongpai (batu nisan), melayang di antara pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi, melanjutkan pertandingan yang amat hebatnya.

Namun keduanya sama kuat. Pertahanan masing-masing terlampau kokoh dan rapat sehingga sukar bagi mereka untuk mencari lubang dan memasukkan serangan mematikan.

“Hi-hik, tengkorak busuk. Mana pelajaranmu dari Bu Kek Siansu? Untuk apa kau rampas setengah kitabnya? Hayo keluarkan, kulihat jurus-jurusmu adalah yang dulu-dulu juga, sudah lapuk dan kuno!” ejek Siang-mou Sin-ni.

Hek-giam-lo mendengus dan memutar sabitnya. “Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa pula? Tidak perlu cerewet, rampaslah suratmu kalau kau memang becus!”

“Keparat, hari ini Hek-giam-lo mampus di tanganku!” Siang-mou Sin-ni memperhebat gerakannya dan kini mereka bertanding lebih seru lagi, berusaha mencari kemenangan dengan mengeluarkan jurus-jurus mematikan.

Sementara itu, keberanian Sian Eng segera timbul ketika melihat dirinya ditinggalkan sendirian oleh Hek-giam-lo. Kesempatan baik sekali untuk melarikan diri. Cepat ia melompat turun dari atas bangku panjang, menyambar pedangnya yang agaknya tadi dibawa pula oleh Hek-giam-lo, dan berjalanlah ia melalui lorong di bawah tanah yang gelap.

Beberapa kali ia salah jalan. Kiranya lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan yang menyesatkan. Setelah meraba sana, merayap ke sini, akhirnya Sian Eng berhasil melihat sinar matahari melalui sebuah lubang. Pengharapannya menebal dan cepat ia merayap ke arah sinar itu yang ternyata masuk dari sebuah lubang yang cukup besar. Ia mengerahkan ginkang dan melompat ke luar dari lubang.

Sejenak kedua matanya silau dan terpaksa ia berdiri sambil memejamkan mata. Baru saja keluar dari tempat gelap ke tempat terang memang amat menyilaukan mata, hampir ia tak dapat percaya apa yang dilihatnya. Ternyata ia telah berada di depan batu-batu nisan besar dan di situ berkelebatan dua orang yang sedang bertanding dengan hebat dan aneh. Yang seorang adalah Hek-giam-lo yang mempergunakan sebuah sabit yang mengerikan. Orang kedua adalah seorang wanita cantik sekali, akan tetapi cara bertempur wanita itu aneh karena wanita itu selalu menggunakan rambutnya yang panjang dan gemuk hitam sebagai senjata!

Sian Eng tidak tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi pertandingan itu. Hek-giam-lo dianggapnya seorang miring otak yang menganggap dia sebagai seorang Puteri calon ratu, akan tetapi ia masih tidak tahu apakah iblis hitam itu mengandung niat baik ataukah buruk terhadap dirinya. Ada pun wanita cantik yang bertempur melawan Hek-giam-lo itu pun ia tidak kenal, tidak tahu pula mengapa bertempur melawan Hek-giam-lo. Oleh karena ini Sian Eng tidak mempedulikan pertempuran itu dan mendapatkan kesempatan baik ini ia segera melarikan diri.

Akan tetapi Sian Eng benar-benar keliru kalau dia mengira bahwa dua orang itu tidak melihatnya dan tidak tahu bahwa ia melarikan diri. Dua orang itu adalah orang-orang sakti yang tentu saja melihat dia keluar dari lubang tadi. Belum jauh Sian Eng melarikan diri, Hek-giam-lo mendengus.

“Sin-ni, lain waktu kita lanjutkan. Aku harus mengejar dia.”

“Hik-hik, tinggalkan dulu surat itu, baru aku memberi ampun padamu!”

Sabit di tangan Hek-giam-lo menyambar sepenuh tenaga, namun dengan mudah Siang-mou Sin-ni mengelak dan membalas dengan sambaran rambutnya.

“Keparat kau! Aku perlu sekali dengan gadis itu!” kembali Hek-giam-lo berkata, minta pertandingan dihentikan.

“Aku pun perlu sekali dengan surat itu. Sebelum kau serahkan kepadaku, jangan harap kau bisa mendapatkan gadis itu. Hi-hik.”

Kewalahan Hek-giam-lo menghadapi lawannya yang selain pandai bertempur, juga amat pandai berdebat ini. “Nah, kau makanlah suratmu!” Hek-giam-lo sudah mengeluarkan surat itu dan melemparkannya ke arah Siang-mou Sin-ni, kemudian melompat jauh untuk mengejar Sian Eng.

Ada pun Siang-mou Sin-ni melihat menyambarnya benda putih, segera ditangkapnya dan ia terkekeh girang melihat bahwa benda itu memang benar merupakan surat persekutuan antara Pemerintah Nan-cao dan Pemerintah Hou-han. Sambil tersenyum manis ia memasukkan surat itu ke dalam saku jubahnya, kemudian bersenandung lirih dan membalikkan tubuh hendak pergi dari tempat itu. Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh, matanya memandang ke arah sebuah di antara jajaran patung yang kebetulan berada di depannya. Sebuah patung sebesar patung seorang sastrawan kuno. Wajah patung itu amat halus buatannya, seperti manusia hidup saja.

“Ih, tampan juga kau!” Siang-mou Sin-ni tersenyum. “Sayang kau hanya batu, tidak punya darah dan daging. Ih, matamu terlalu tajam, lebih baik lehermu kupatahkan sebelum aku pergi.” Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya, segumpal rambut panjang menyambar ke arah leher patung.

“Plakkk!” rambut itu terpental kembali dan leher patung tidak apa-apa. Jangankan patah, gempil pun tidak.

Sepasang mata jeli bening itu terbelalak. Biasanya, hantaman rambutnya akan mampu memecahkan batu hitam, masa sekarang mematahkan leher patung saja tidak kuat? Sekali lagi ia menggerakkan kepala, kini setengah rambutnya semua menyambar, merupakan gumpalan yang cukup besar.

“Plakkk!” kali ini tubuh Siang-mou Sin-ni tergetar karena kekuatan yang ia pergunakan tadi lebih besar sehingga ketika terpental, terasa lebih hebat pula olehnya.

Wanita ini berubah wajahnya. Matanya melirik ke arah patung itu, lalu kepada patung-patung lain yang berjajar di situ. Kalau semua patung itu sekuat ini, agaknya memiliki kesaktian, hiiiiih! Siang-mou Sin-ni merasa bulu tengkuknya bangun dan ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu! Seorang wanita yang terkenal ganas seperti iblis sekarang lari ketakutan, mengira bahwa patung-patung itu sudah menjadi iblis. Mungkin menghadapi sesama manusia, iblis wanita rambut panjang itu tidak akan gentar seujung rambut pun, akan tetapi menghadapi patung batu yang dapat tahan menghadapi dua kali hantaman rambutnya, benar-benar melewati batas ketabahannya.

Kalau saja Siang-mou Sin-ni tahu betapa sepeninggalnya patung yang dihantamnya tadi dapat bergerak-gerak, tentu ia tidak akan lari, malah patung itu akan diserang mati-matian! Setelah iblis wanita rambut panjang itu pergi, ‘patung’ itu menarik napas panjang, melemparkan selubung kain putih dan tampaklah seorang pemuda tinggi besar berpakaian seperti sastrawan, pakaian berwarna hitam. Suling Emas! Seperti juga Siang-mou Sin-ni, Suling Emas yang menyamar sebagai patung itu berkelebat lenyap ke arah perginya Hek-giam-lo.

Sian Eng sudah girang hatinya dapat terbebas. Ia lari sekuat tenaga dan memasuki hutan besar. Napasnya terengah-engah dan setelah masuk di bagian hutan yang gelap, merasa dirinya aman, gadis ini memperlambat langkahnya untuk mengaso dan mengatur napas. Akan tetapi dapat dibayangkannya betapa kagetnya, sampai mukanya menjadi pucat tak berdarah lagi, ketika ia menoleh di depannya berdiri... Hek-giam-lo!

“Paduka hendak ke mana, Sang Puteri? Harap hati-hati, tanpa hamba yang melindungi, sebaiknya Paduka jangan pergi ke mana-mana. Banyak berkeliaran musuh-musuh kita,” terdengar Hek-giam-lo berkata dengan suaranya yang menyeramkan.

“Tidak... tidak... biarkan aku pergi sendiri. Jangan ganggu aku!” teriak Sian Eng yang ketakutan, dan ia hendak lari.

Akan tetapi iblis itu sekali berkelebat telah berada di depannya. Sian Eng menjadi nekat dan menggunakan pedangnya membacok. Akan tetapi entah bagaimana pedangnya seperti bertemu benda keras dan terpental jauh kemudian tubuhnya terangkat dan ia sudah dibawa lari seperti terbang cepatnya tanpa dapat meronta sedikit pun. Sian Eng menggigil ketakutan dan pingsan dalam pondongan Hek-giam-lo.

********************


Lin Lin membanting-banting kedua kakinya seperti anak kecil yang permintaannya tidak dituruti. “Kek, kau membohongi aku! Kau bilang dia berada di kota raja, mana dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah sepekan kita berada di sini, setiap malam berkeliaran semalam suntuk, kalau siang tidur di kuil tua, persis seperti kelelawar, malam berkeliaran siang tidur. Dan Suling Emas belum juga tampak batang hidungnya!”

Kim-lun Seng-jin, kakek gundul pelontos itu duduk di atas lantai kuil tua yang kotor, bersandar dinding yang sudah retak-retak dan tertawa lebar memperlihatkan giginya yang putih dan mengkilap tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya sehingga keadaan dalam kuil yang gelap itu menjadi terang.

“Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah kukatakan kepadamu bahwa orang macam Suling Emas itu sukar dipegang buntutnya.”

“Apa dia bukan manusia, Kek?”

“Heh? Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti kita.”

Melihat dara remaja itu mengajukan pertanyaan dengan muka sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun Seng-jin. “Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Sukar dipegang buntutnya berarti sukar diikuti ke mana perginya.”

“Wah, kalau begitu, sia-sia saja kita berkeliaran di kota raja ini, Kek.” Lin Lin kembali timbul marahnya dan membanting kaki.

“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Semuanya berguna dan ada manfaatnya asal saja kita tahu bagaimana mempergunakannya dan memetik manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja, bukalah matamu baik-baik. Bukankah kau menemui keadaan yang baru bagimu? Tidakkah kau ingin melihat istana raja dari dalam? Aku selalu singgah di istana kalau datang ke sini dan tak pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh, sudah lama tidak kunikmati masakan istana.”

Seketika kemurungan hati Lin Lin lenyap. Wajahnya yang jelita berseri, matanya berkilat dan seketika itu juga perutnya mendadak menjadi lapar sekali. “Wah, mari kita ke sana, Kek. Ada masakan apa saja di sana? Aduh perutku lapar sekali!”

Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, agaknya senang sekali melihat watak yang mudah berubah dan aneh dari gadis remaja itu. “Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar....”

“Serupa siapa, Kek?”

“Serupa dengan orang yang sudah tidak ada. Lin Lin. Kau boleh ikut aku ke istana dan menikmati masakan dapur yang selama hidupmu belum pernah kau makan atau lihat. Akan tetapi amat berbahaya, banyak penjaganya yang pandai.”

“Aku tidak takut!”

“Bukan soal berani atau takut, melainkan kepandaianmu yang kuragukan.”

“Eh, eh, kau mencela aku sama dengan mencela dirimu sendiri, Kek. Bukankah kau sudah memberi pelajaran serba kosong itu?” cela Lin Lin.

Kakek itu tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut ilmu yang ia ajarkan benar-benar amat memandang rendah. Disebutnya ‘serba kosong’, memang nama ilmu yang ia turunkan adalah Khong-in (Mega Kosong).

“Biar pun kau sudah menerima pelajaran dariku, akan tetapi aku belum yakin apakah kau sudah berlatih sampai matang betul.”

Marah Lin Lin. Kepalanya dikedikkan, dadanya dibusungkan. “Pagi siang sore malam kau suruh aku berlatih, tak pernah membiarkan aku mengaso, sampai lupa makan lupa tidur lupa tempat, masih kau bilang aku belum berlatih matang, Kek? Kau benar-benar seorang yang kurang terima sekali. Wah, celaka, dapat seorang teman satu kali saja begini tak ingat budi dan jerih payah orang!”

“Huah-ha-ha-ha!” Kakek itu terpingkal-pingkal. Benar-benar gila. Dia yang mengajar ilmu kesaktian, eh, bocah ini malah memarahinya dan seakan-akan bocah ini yang memberi sesuatu kepadanya karena sudah rajin berlatih. Benar-benar pintar memutar-balikkan kenyataan. “Ya sudahlah, aku setuju kau berlatih keras selama ini. Akan tetapi, untuk dapat menyelinap masuk ke dapur istana, harus benar-benar mahir Khong-in-ban-kin. Coba kau perlihatkan padaku sekali lagi ilmu Khong-in-liu-san yang kau pelajari sambil mengerahkan tenaga dan ginkang. Kalau kurasa sudah cukup, sekarang juga kita pergi ke istana, makan besar, pesta-pora tanpa bayar!”

Lin Lin girang sekali, lalu mencabut pedangnya dan besilat penuh semangat. Akan tetapi pada jurus ke tujuh, ia terlalu keras menggunakan tenaga sinkang dan....

“Krakkk!” pedang yang diayunnya patah menjadi tiga potong!

Gadis itu terkejut dan berdiri tertegun, kecewa dan menyesal melihat tangan kanannya hanya memegang gagang pedang sedangkan pedangnya sudah runtuh ke bawah. Akan tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak dan bertepuk tangan sambil menari-nari kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening, mulutnya cemberut, matanya merah, mengira bahwa kakek itu mengejeknya.

“Bagus, bagus...! Kau lihat sendiri, cucuku. Dengan tenaga Khong-in-ban-kin, pedangmu yang buruk itu patah menjadi tiga potong. Ha-ha-ha, sudah hebat tenagamu, hanya belum mampu kau mengendalikan sehingga membikin rusak senjata sendiri. Cukup dan marilah ikut ke istana, tidak hanya pesta besar kita, juga kau akan bisa memilih sendiri sebatang pedang pusaka dalam kamar pusaka.”

Seketika lenyap kemarahan Lin Lin seperti awan tipis disapu angin. Ia meloncat dekat kakek itu, kemudian merangkul pundaknya. “Betulkah, Kek? Hayo, lekas kita berangkat kalau begitu!”

Sambil tertawa riang keduanya lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Kim-lun Seng-jin tidak membual ketika ia menyatakan bahwa setiap kali datang ke kota raja ia pasti mampir ke istana dan memasuki dapur istana. Memang kesukaan kakek ini hanya makan, makan enak, apa lagi masakan-masakan lezat mahal di dapur istana yang dapat dipilihnya tanpa bayar!

Kakek itu membuktikan omongannya dengan pengetahuannya yang luas tentang seluk-beluk istana. Hafal betul ia akan jalan menuju ke istana, malah ia dapat memilih dinding pagar mana yang tidak begitu keras penjagaannya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ia memang sudah menjadi ‘langganan’ tempat terlarang itu. Dari sebelah selatan, tembok yang mengurung kompleks istana memang amat sunyi. Pintu gerbang sudah tertutup dan beberapa orang penjaga bercakap-cakap di dalam gubuk penjagaan. Ada pula yang meronda di pagar tembok, membawa tombak dan pedang.

Jengkel juga Kim-lun Seng-jin melihat para penjaga itu terus-menerus meronda pagar tembok yang dipilihnya untuk melompat masuk. Pagar tembok itu amat tinggi, tidak kurang dari tujuh meter tingginya. Akan tetapi yang ia pilih itu adalah tempat di mana tumbuh sebatang pohon tidak jauh dari tembok, hanya dua meter jaraknya dari cabang terdekat dengan tembok. Kalau saja ia tidak pergi bersama Lin Lin, tentu saja ia bisa memilih tembok yang mana saja.

Diambilnya sebuah batu dan disambitnya ke arah kiri. Terdengar suara orang mengaduh di sebelah kiri. Ternyata seorang penjaga yang sedang berdiri tegak di dekat pintu gerbang terkena sambitan batu itu, tepat pada tulang keringnya di kaki, membuat ia meloncat-loncat dan mengaduh-aduh sambil memegangi tulang kering yang dicium batu. Teman-temannya segera lari menghampiri, termasuk mereka yang meronda.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-lun Seng-jin. Ia memberi isyarat kepada Lin Lin untuk melompat dan mengikutinya. Mula-mula kakek itu melompat ke atas cabang pohon terdekat dengan tembok, baru kemudian ia melompat ke atas tembok. Lin Lin agak ngeri juga melihat ke arah tempat yang tinggi itu.

Akan tetapi ia mengeraskan hati dan melompat bagaikan seekor walet. Ia heran mendapat kenyataan bahwa lompatannya amat ringan dan mudah. Mengertilah ia sekarang bahwa ini adalah hasil latihan Ilmu Khong-in-ban-kin, maka diam-diam ia amat berterima kasih kepada kakek itu.

Dengan mudah mereka melompat ke sebelah dalam dari atas tembok dan tibalah mereka di daerah istana. “Siapa tahu di sini kita akan bertemu dengan Suling Emas, Kek,” kata Lin Lin, mengagumi bangunan-bangunan besar yang dihias lampu-lampu beraneka warna.

“Boleh jadi, boleh jadi...,” kakek itu mengangguk-angguk. “Orang macam dia itu bisa berada di mana pun juga.”

“Apa dia itu hebat sekali, Kek? Apakah kau pernah bertempur dengan dia?”

Kakek itu menggeleng kepala. “Belum pernah, bertemu pun belum. Akan tetapi dalam beberapa tahun ini, ia telah membuat nama besar, jauh melebihi aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw. Aku... aku tidak suka membuat nama besar, bikin repot saja. Nah, itu di sana dapurnya, mari!”

Kim-lun Seng-jin memegang tangan Lin Lin dan keduanya melompat naik ke atas genteng. Tanpa mengeluarkan suara, seperti dua ekor kucing saja kakek dan dara remaja itu berloncatan di atas genteng. Kakek itu mengajak berhenti di atas genteng yang agak rendah, membuka genteng, mematahkan kayu penyangga genteng, lalu menyusup ke dalam, diikuti oleh Lin Lin. Mereka telah berada di atas langit-langit dapur. Dengan gerakan perlahan, Kim-lun Seng-jin membuka langit-langit di pojok yang agaknya memang sudah lama terbuka.

“Ini pintu rahasiaku, kubuat belasan tahun yang lalu,” bisiknya sambil tersenyum lebar.

Lin Lin menjadi geli juga hatinya. Kakek ini benar-benar seperti seekor kucing hendak mencari daging, pikirnya. Dari lubang itu mereka mengintip ke bawah dan bau yang sedap masuk melalui lubang itu menyambut hidung mereka.

“Ehhhmmmm, waaahhhhh, sedapnya...!” Kim-lun Seng-jin menyedot-nyedot dengan hidungnya. Juga Lin Lin merasa amat lapar sekarang. “Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa hidangan Kaisar sudah dipanaskan lagi, mari!” Ia membuka lubang itu dan melayang ke bawah, diikuti oleh Lin Lin.

Dapur itu tidak menyerupai dapur bagi Lin Lin. Terlalu bersih, terlalu mewah. Lebih bersih dari pada kamar tidurnya di rumah orang tuanya sana. Yang begini disebut dapur? Lantainya mengkilap, dindingnya dari batu marmer putih, lemari-lemarinya yang indah berdiri berjajar di sudut, penuh dengan panci-panci dan mangkok-mangkok besar. Tempat perapian untuk masak berada di sebelah kiri. Betul kata kakek itu, panci dan mangkok-mangkok itu masih nampak mengebulkan uap, tanda bahwa isinya masih panas.

Kakek itu sudah tidak mau memperhatikan atau mempedulikan Lin Lin lagi karena ia sudah sibuk membuka dan memeriksa isi panci dan mangkok. Di tangannya sudah terdapat sepasang sumpit gading yang ia ambil dari sebuah lemari. Sekarang tangan yang memegang sumpit ini kewalahan melayani mulutnya yang melahap dan cepat menghabiskan segala yang dimasukkannya. Nyumpit sana, nyumpit sini, lari ke lemari sana, kemudian ke lemari sini, kakek itu benar-benar berpesta-pora! Tangan kirinya menyambar guci arak yang berada di atas lemari terciumlah bau arak wangi ketika ia mendorong makanan di mulutnya itu dengan arak. Mulutnya mengeluarkan bunyi seperti babi makan ketika mengunyah makanan, bibirnya mengecap-ngecap penuh nikmat.

Lin Lin juga ikut berpesta-pora sungguh pun tidak selahap kakek itu. Namun ia pun gembira bukan main karena banyak sekali macamnya masakan yang luar biasa di situ. Karena ia tidak mengenal masakan-masakan itu, ia menyumpit masakan yang disebut oleh kakek itu sebagai masakan istimewa.

“Ini sop sarang burung, ini tim lidah harimau, ini sop hiu masak kecap, dan ini... wah, ini panggang ikan lele!” Tiada hentinya ia menyebut nama-nama masakan dan Lin Lin harus akui bahwa yang disebut oleh kakek itu memang benar nikmat dan lezat.

Saking gembiranya, Lin Lin juga ikut-ikutan minum arak merah yang tidak begitu keras, namun hangat di perut. Tanpa mereka sadari perut mereka menjadi penuh dan sang perut yang tak sanggup mengikuti selera lidah. Lin Lin yang minta ampun lebih dulu duduk terhenyak di atas kursi, terengah kekenyangan. Dasar dara remaja yang masih kekanakan, tanpa malu-malu ia membelakangi kakek itu untuk mengendurkan tali pinggang dalam dan luar!

“Heh-heh-heh, puas sekali ini. Wah, Kaisar amat royal hari ini, ada apa gerangan? Dasar rejekimu besar, Lin Lin!”

Kakek itu pun tak mampu lagi mengisi perutnya. Agaknya makanan sudah memenuhi perutnya sampai ke leher sehingga tiada ruangan kosong lagi untuk menampung masakan. Ia menjatuhkan diri di lantai, bersandar dinding dan minum arak keras sedikit demi sedikit sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.

Terdengar suara orang bicara dan langkah kaki mendatangi. Cepat bagaikan maling konangan (ketahuan orang) Lin Lin sudah melompat dan menerobos ke dalam lubang di atas langit-langit. Kakek itu mengikutinya sambil terkekeh dan seraya mengintai dari atas ia berbisik, “Ihhh, kenapa kau begini penakut?”

Lin Lin tidak menjawab, mukanya merah. Bukan takut, tapi siapa tidak menjadi malu kalau mencuri makanan ketahuan pemiliknya? Hatinya berdebar-debar gelisah. Selama hidupnya, baru kali ini ia melakukan pencurian. Menjadi maling makanan, alangkah rendahnya dan memalukan! Dengan muka masih merah ia ikut mengintai, hendak melihat siapakah mereka yang memasuki dapur itu. Apakah kaisar sendiri? Ataukah permaisuri? Makin berdebar jantungnya.

Tiga orang memasuki dapur istana itu. Melihat pakaian mereka, kiranya hanyalah tukang-tukang dapur saja. Begitu memasuki dapur ketiganya berhenti bicara dan memandang ke arah lemari dengan mata terbelalak. Seorang di antara mereka lari mendekati lemari dan terdengarlah ia berseru kaget.

“Celaka, masakan-masakannya ada yang curi! Ada yang makan, lihat nih, ada yang tumpah di lantai!”

“Wah-wah, celaka, tentu ada yang mencuri masuk!”

Tiga orang itu mencari sana-sini, memandang ke seluruh penjuru, lalu berdongak ke atas. Lin Lin makin berdebar jantungnya, merasa seakan-akan tiga orang itu telah mengetahui tempat persembunyiannya.

“Agaknya kucing! Kalau orang, mana berani main gila di dapur istana?”

“Masa kucing bisa mengganyang habis begini banyak masakan?”

“Siapa tahu kucing siluman?”

Ribut-ribut tiga orang tukang masak itu. “Lekas laporkan kepada penjaga, eh... ke komandan jaga saja, biar dikerahkan semua pengawal menangkap kucing laknat. Kalau yang makan masakan-masakan ini tidak tertangkap, celakalah kita, tentu mendapat hukuman dari Sri Baginda!”

Seorang di antara mereka lari keluar, agaknya hendak melapor. Lin Lin makin gelisah, akan tetapi ia lihat Kim-lun Seng-jin malah tidur mendengkur perlahan di bawah genteng! Agaknya kakek ini kekenyangan dan tertidur, sama sekali tidak tahu akan keributan di dalam dapur.

“Tentu kucing, entah berapa ekor yang masuk dan mencuri masakan,” kata lagi tukang masak yang gendut perutnya. “Hemmm, kalau tertangkap, akan kusembelih dia, kutarik keluar jantungnya, kumasak dengan jahe dan tape ketan. Baik untuk menguatkan jantung dan menambah darah.”

Pucat muka Lin Lin mendengar ancaman ini. Saking gelisahnya, ketika menggeser lebih dekat ke arah lubang untuk mengintai lebih jelas, kepalanya terantuk genteng mengeluarkan bunyi. Dua tukang masak di bawah mendengar ini dan mereka berdongak memandang penuh curiga.

“Wah, kucingnya di atas sana!” seorang menuding.

“Mana bisa? Tidak ada lubang, dari mana dia masuk?”

“Siapa tahu kucing siluman?”

Si gendut menudingkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah Lin Lin, lalu membentak, “He! Siapa di atas sana? Kucing atau manusia, atau setan?”

Tidak ada jawaban.

“Agaknya pencuri!” kata temannya.

“Lebih baik panggil para pengawal, biar ditangkap dan dihujani anak panah.”

“Nanti dulu, siapa tahu kalau hanya tikus atau kucing.” Kembali ia memandang ke arah Lin Lin sambil berseru, “Heee! Siapa sembunyi di atas langit-langit? Kalau setan atau manusia, jangan jawab. Kalau kucing, jawablah!”

Lin Lin mendengarkan penuh perhatian, dengan seluruh perasaan, menegang dan jantung berdebar. Mendengar pertanyaan ini otomatis mulutnya menjawab, “Kucing... eh, meeooonggg...!” Ia gugup sekali sehingga jawabannya kacau-balau.

“Lho! Kucing bisa bicara! Wah, celaka... setan...!” Dua orang tukang masak itu lari tunggang-langgang dan di ambang pintu mereka bertabrakan sampai jatuh bangun.

“Heh-heh-heh!” Kim-lun Seng-jin tertawa dan menarik tangan Lin Lin, diajak melompat naik ke atas genteng. “Kau lucu sekali, masa kucing bisa berkata seperti manusia!”

Merah muka Lin Lin, mulutnya cemberut. “Aku tidak sengaja. Habis, aku bingung, kau enak-enak ngorok sih, Kek!”

“Mari kita ke gudang pusaka!”

Gudang pusaka dijaga kuat. Memang gudang ini selalu dijaga siang malam karena di dalamnya terdapat simpanan senjata-senjata pusaka dan bendera-bendera milik istana. “Kau yang masuk, biar aku merobohkan lima orang penjaga itu, dan sementara kau di dalam, aku yang menjaga di luar. Lekas pilih pedang yang kau sukai, tapi hati-hati, banyak jebakan di sana. Aku percaya kau mampu menjaga diri.”

Lin Lin mengangguk dan bagaikan dua ekor burung walet, kakek dan dara remaja itu melayang turun. Lima orang penjaga serentak melongo ketika tiba-tiba di depan mereka berdiri seorang kakek gundul yang berjenggot panjang bersama seorang wanita muda secantik bidadari. Sedetik mereka mengira bahwa mereka dikunjungi sebangsa iblis dan peri, akan tetapi pada detik lain mereka sudah bergerak hendak menangkap. Namun mereka kalah cepat. Kedua tangan kakek itu bergerak dan lima orang itu roboh tertotok tak berkutik lagi. Dengan dorongan tangannya, Kim-lun Seng-jin berhasil membuka daun pintu yang terkunci.

Lin Lin cepat melompat masuk, akan tetapi baru saja kakinya menginjak lantai di sebelah dalam gedung itu, dari kanan kiri menyambar dua batang anak panah. Baiknya dara ini sudah melatih Khong-in-ban-kin secara tekun sehingga ginkang-nya sudah jauh lebih tinggi dari pada dahulu, sudah lipat entah berapa kali. Anak-anak panah itu cepat sambarannya, namun ia lebih cepat lagi. Dengan gerakan gesit ia telah melompat maju di antara sambaran anak panah, terus ke depan sehingga anak-anak panah dari kanan kiri itu meluncur lewat di belakang punggungnya!

Tanpa menghiraukan lagi anak-anak panah itu, kini Lin Lin berdiri kagum memandang senjata-senjata yang dipasang berderet-deret di sepanjang dinding. Bukan main indahnya senjata-senjata itu. Tombak-tombaknya, ruyung, golok, pedang, toya dan banyak sekali macamnya, rata-rata merupakan senjata pilihan, kuno dan terbuat dari pada besi aji yang mempunyai cahaya dan hawa yang ampuh.

Akan tetapi pandang mata Lin Lin lekat pada sebatang pedang tipis yang tergantung di dinding sebelah kiri. Pedang ini kecil dan tipis, sarungnya dari kulit harimau, gagangnya kecil dan dihias ronce-ronce merah. Seperti dalam mimpi, kedua kakinya bergerak menghampiri dinding sebelah kiri, kemudian ia mengulur tangan kanan, merenggut pedang yang tergantung pada dinding itu. Ringan sekali pedang ini, akan tetapi begitu ia tarik dari dinding, tiba-tiba dari atas melayang turun sebuah benda besar dan berat, meluncur cepat akan menghantam dirinya!

Karena benda itu cepat sekali datangnya, Lin Lin yang sudah memegang pedang di tangan kanan, tak sempat mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, tangan kirinya menangkis dan... terdengar suara keras, batu besar yang meluncur turun itu pecah oleh tangkisan Lin Lin yang disertai tenaga Khong-in-ban-kin! Saking kagetnya karena pecahnya batu itu menerbitkan suara keras dan berisik, Lin Lin cepat melompat keluar lagi dari gudang itu dan di lain detik ia sudah tiba di luar kamar.

“Kek, aku pilih pedang ini...” katanya terengah-engah.

Kim-lun Seng-jin membelalakan kedua matanya. “Tepat! Kau tahu pedang ini? Inilah Pedang Besi Kuning, pedang rampasan dari bangsa Khitan ratusan tahun yang lalu! Wah-wah, kalau ini tidak ajaib namanya, tak tahu lagi aku harus disebut bagaimana.”

Pada saat itu terdengar suara gembreng dipukuli gencar tanda bahaya!

“Hayo kita pergi!” Kim-lun Seng-jin maklum akan adanya bahaya kalau para jagoan istana ke luar, maka ia tidak mau main-main lagi. Tangannya menyambar pergelangan tangan Lin Lin dan mereka melesat lari secepat terbang menuju ke pagar tembok, melompati pagar tembok dan melayang ke luar. Kiranya di luar sudah berkumpul para penjaga yang melakukan pengepungan. Namun beberapa kali kakek itu menggerakkan tangan, banyak penjaga roboh dan mereka dapat lari menghilang dalam gelap. Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di dalam kuil kuno kembali.

Mereka duduk dekat api unggun. Kakek itu menghunus pedang dan tampak sinar kuning menyilaukan mata. Dan mendadak tampak sepasang mata kakek itu berlinang air mata, kemudian ia mencium mata pedang itu. Lin Lin memandang dengan heran.

“Kek, kau pernah mengatakan bahwa aku seperti seorang gadis Khitan. Kau sendiri bilang bahwa aku mempunyai gigi dan hidung bangsa Khitan. Kemudian pedang ini kau katakan dahulu berasal dari bangsa Khitan. Kakek yang baik, apakah artinya ini semua? Bangsa apakah Khitan itu? Apakah kau mengenal pedang ini?”

Kakek itu mengusap dua butir air matanya, lalu memasukkan pedang tipis tadi ke dalam sarung, menyerahkannya kepada Lin Lin. “Kau simpan baik-baik pedang ini dan sembunyikan di balik jubahmu. Sekarang kau dengarkan ceritaku. Bangsa Khitan adalah bangsa yang gagah perkasa, bangsa yang selalu merantau karena ingin menikmati kebebasan alam, tidak mau terikat oleh apa pun juga. Mereka adalah bangsa besar, hidup bahagia dan tidak mau diperbudak oleh harta dunia dan kemuliaan duniawi. Akan tetapi sayang, betapa pun juga masih saja nafsu setan menguasai hati dan timbullah perebutan kekuasaan, yang kuat ingin menjadi pemimpin. Dahulu, puteri kepala suku bangsa Khitan adalah muridku. Tayami, ah, dia anak baik, gagah perkasa dan aku tidak kecewa mempunyai murid seperti dia. Dia itu puteri tunggal raja kami yang bijaksana, gagah dan adil, tidak mau tunduk kepada raja-raja lain, memimpin suku bangsanya dengan penuh kasih sayang, membawanya ke daerah-daerah yang subur. Akan tetapi, dia mempunyai banyak saudara, dan para saudaranya inilah yang menaruh iri hati, ingin merebut kekuasaan sehingga selalu terjadi perebutan kekuasaan. Aku sendiri tidak sudi terlibat, tidak suka aku akan pengumbaran nafsu hendak menjadi penguasa dan mencari kemuliaan kedudukan. Pernah kuanjurkan raja yang menjadi ayah muridku itu untuk mengalah saja, memberikan kedudukan pemimpin kepada adiknya yang amat ingin menjadi raja. Akan tetapi, dia tidak mau, malah mencurigaiku.” Sampai di sini kakek itu menarik napas panjang.

“Lalu bagaimana, Kek?”

“Aku masih terhitung paman luarnya, aku tersinggung lalu aku pergi meninggalkan suku bangsaku, merantau seorang diri tidak mau meributkan persoalan dunia ramai lagi. Betapa besar kedukaanku mendengar bahwa bangsaku masih saling gasak sehingga pertumpahan darah sering kali terjadi antara para penguasa. Akhirnya terjadi perang antara suku bangsa Khitan dengan Kerajaan Sung. Perang besar terjadi di Shan-si. Agaknya adik raja berkhianat, bersekutu dengan musuh dan raja kami gugur, juga puterinya, Tayami, muridku yang tersayang. Kasihan dia, suaminya, seorang prajurit pilihan Khitan yang gagah juga gugur. Kabarnya Tayami ikut pula bertempur dengan gagah perkasa, sambil memondong puterinya yang masih kecil. Aku menyesal sekali mengapa kutinggalkan dia, sehingga tahu-tahu aku mendengar dia gugur dan puterinya itu hilang.” Kakek itu memandang wajah Lin Lin dengan sepasang mata tajam penuh selidik.

Meremang bulu tengkuk Lin Lin. Belum pernah kakek itu memandangnya secara begini. “Ada apa, Kek?”

“Kau...! Kaulah puteri Tayami, tak salah lagi. Wajahmu, suaramu, watakmu, serupa benar dengan muridku. Kau cucu raja kami, kau keturunan langsung.”

Lin Lin meloncat berdiri. “Tak mungkin, Kek!”

“Siapa bilang tidak mungkin? Kau anak pungut Jenderal Kam, dan pada waktu terjadi perang, justeru Jenderal Kam Si Ek yang menjadi jago dan komandan di Shan-si, yang melakukan perlawanan hebat dan mengalahkan bangsa Khitan. Dia seorang laki-laki yang perkasa pula, siapa tahu dia melihat kau dalam gendongan Ibumu yang berjuang dengan gigih, merasa tertarik, kagum dan kemudian mengambilmu sebagai puterinya. Tak salah lagi, kaulah Yalina, puteri Tayami. Namamu juga Lin Lin, dan wajahmu serupa dia. Juga pedang itu... bukanlah terlalu kebetulan kalau di antara sekian banyaknya pusaka, kau justeru memilih pusaka Khitan? Lin Lin, tidak salah lagi, kau adalah puteri Tayami yang hilang, yang sampai sekarang dicari-cari oleh para pengikut setia dari Kakekmu, mendiang raja Kulukan.”

“Dicari-cari? Untuk apa, Kek?”

Kim-lun Seng-jin tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Memang aneh mereka itu terlalu kukuh. Karena kekukuhan mereka, terjadilah hal-hal yang menyedihkan, perebutan kursi, saling mendukung pilihan mereka. Itulah sebabnya mengapa aku menjauhkan diri. Lin Lin, kau dicari oleh mereka yang tidak suka kepada raja sekarang, untuk mengangkatmu sebagai ratu dan melawan raja yang sekarang berkuasa, yaitu pamanmu, Kubakan, Raja Khitan yang sekarang.”

“Apa...?” Lin Lin terbelalak memandang Kim-lun Seng-jin, kemudian ia membantah, “Aku masih tidak percaya, Kek. Tak mungkin aku seorang puteri bangsa Khitan karena sepatah kata pun bahasa Khitan tidak kumengerti. Ah, kau hanya mengkhayal, Kek. Hal ini harus ada buktinya. Ahhhhh... satu-satunya orang yang akan dapat memberi keterangan tentu dia!”

“Dia siapa?”

“Putera sulung Ayah angkatku, Kam Bu Song. Kek, kau bantulah aku mencari Kakak Kam Bu Song, tidak saja hal ini untuk memenuhi pesan terakhir Ayah angkatku, juga kalau dapat bertemu dengan dia kiranya dia akan dapat bercerita, anak siapa sebenarnya aku ini.”

Lin Lin lalu menceritakan pesan terakhir dari Jenderal Kam. Kim-lun Seng-jin mengangguk-angguk. “Mungkin Kam Bu Song itu dapat bercerita. Akan tetapi Lin Lin, jangan kau kira bahwa andai kata kau benar Puteri Khitan seperti persangkaanku, aku menghendaki kau benar-benar menjadi ratu dan memerangi pamanmu sendiri. Aku lebih senang melihat kau bebas seperti sekarang ini, menikmati kebahagiaan hidup tanpa ikatan sesuatu yang hanya akan menimbulkan pertumpahan darah di antara saudara dan bangsa sendiri.”

“Kalau aku betul keturunan Raja Khitan, tentu saja akan kujungkalkan pengkhianat yang telah merampas tahta Kerajaan Khitan, Kek!”

Jawaban tiba-tiba ini mengejutkan Kim-lun Seng-jin sehingga ia duduk melongo memandang Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin segera tertawa. “Jangan kau gelisah, Kek. Aku bukanlah puteri raja, aku orang biasa. Setelah mencari Suling Emas tidak bertemu, aku akan mencari Kakak Kam Bu Song sambil menanti datangnya kedua orang kakakku, Sin-ko dan Enci Eng.”

Mendadak kakek itu meloncat dan menyambar tangan Lin Lin. “Hayo kita lari ke luar kota raja. Berbahaya di sini!”

Lin Lin kaget dan hendak membantah. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan-bayangan yang amat gesit, lalu terdengar bentakan, “Maling keparat, kembalikan pedang pusaka!”

Mendengar ini, maklumlah Lin Lin bahwa mereka telah dikejar pengawal-pengawal istana yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa harus melarikan diri?

“Kek, kita lawan saja...!” serunya sambil berusaha melepaskan tangannya.

Akan tetapi Kim-lun Seng-jin malah menariknya untuk diajak lari cepat sekali menuju ke pinggir kota raja. Lin Lin tidak dapat melepaskan diri. Dengan gerakan yang luar biasa, Kim-lun Seng-jin sudah membawa Lin Lin melompati dinding tembok yang mengelilingi kota raja sehingga para pengejar tadi makin tertinggal jauh.

“Kek, kenapa kita mesti lari-lari seperti dua ekor tikus dikejar kucing? Memalukan sekali!” Lin Lin mencela ketika mereka sudah turun di luar tembok kota raja dan tangannya dilepaskan oleh Kim-lun Seng-jin.

Kakek itu tertawa. “Bukan takut, melainkan aku tidak mau menyeretmu ke dalam kesulitan. Kau masih muda, Lin Lin, dan kau keturunan Raja Khitan. Kalau mereka mengetahui akan hal ini, kau akan dikejar-kejar terus dan selanjutnya kau takkan dapat hidup dengan tenteram. Pergilah, lanjutkan usahamu mencari kakakmu. Kita berpisah di sini. Latih baik-baik Khong-in-ban-kin dan Khong-in-liu-san, dan kau takkan kecewa kelak. Tentang Suling Emas jangan khawatir. Kalau aku kebetulan bertemu dengannya, akan kutanyai dia apakah betul dia membunuh orang tua angkatmu. Kalau betul, percayalah, dia akan kuajak bertempur sampai sepuluh ribu jurus! Sekarang cepat kau pergi, mereka sudah datang!”

“Dan tinggalkan kau seorang diri menghadapi anjing-anjing dari istana itu, Kek? Tidak nanti!” Lin Lin berdiri tegak, malah segera mencabut pedangnya.

“Wah, keras kepala, seperti Tayami!” Kakek itu bersungut-sungut, lalu tiba-tiba tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah menotok pundak kiri Lin Lin.

Karena dara ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek itu akan menyerangnya tentu saja ia tidak dapat menghindarkan diri dan seketika ia merasa tubuhnya lemas sekali. Kakek itu tertawa bergelak, lalu tubuhnya melesat ke depan, menyambut datangnya para pengejar. Lin Lin tidak berdaya. Ingin ia lari membantu tapi tubuhnya lemas dan ia maklum, kalau bertempur dalam keadaan seperti ini, baru sejurus saja melawan orang biasa tentu ia akan roboh. Karena itu, ia hanya berdiri diam saja dan mendengar betapa kakek itu dikepung dan dikeroyok oleh para musuh yang berteriak-teriak.

Agaknya kakek itu sengaja mempermainkan mereka, karena ia berlari-lari membiarkan dirinya dikejar-kejar dan akhirnya Lin Lin tidak mendengar suara apa-apa lagi. Sunyi di sekelilingnya. Kakek itu sengaja memancing para musuhnya untuk mengejarnya, menjauhi Lin Lin. Dara itu maklum akan hal ini dan ia menarik napas panjang. Baru sekarang ia merasa betapa baiknya Kim-lun Seng-jin terhadapnya. Kalau dekat dengan kakek itu, mereka sering kali cekcok dan berbantahan akan tetapi setelah berpisah, tak dapat Lin Lin menahan dua air matanya menitik turun.

Tak sampai seperempat jam, totokan pada pundaknya itu buyar dengan sendirinya. Lin Lin lalu menggerakkan pedang curian, mainkan ilmu silat Khong-in-liu-san. Pedang itu mengeluarkan suara bercuitan dan sinar kuning bergulung-gulung di malam buta. Ia merasa puas sekali karena pedang yang tipis dan kecil ringan itu terasa amat enak dimainkan. Amat cocok dengan ilmu pedang yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin. Ia baru berhenti bermain silat setelah fajar berada di ambang pintu langit timur. Kegelapan malam sudah terusir, terganti cuaca remang-remang berkabut, berwarna kelabu, ia memandang pedangnya. Pedang yang amat indah, terbuat dari pada logam yang kekuning-kuningan, akan tetapi bukan emas.

“Hemmm, Pedang Besi Kuning, pusaka Khitan?” Lin Lin berpikir sambil memandangi pedangnya. “Dan aku Puteri Khitan? Seperti dongeng saja!”

Melihat bahwa yang aneh pada pedang itu hanyalah ronce-ronce merah yang panjang itu, Lin Lin segera melepas kedua ronce merah itu dan menyimpannya dalam saku jubahnya. Betapa pun juga, pedang ini adalah pedang curian, pikirnya. Kalau terlalu menyolok mata dan dilihat orang, tentu sepanjang jalan hanya akan menimbulkan keributan belaka.

Dengan hati bungah (senang) ia lalu berjalan menjauhi kota raja. Ia ingin menanti munculnya kedua orang kakaknya, yang tentu akan menuju ke kota raja pula. Untuk kembali ke kota raja sekarang terlalu berbahaya. Memang tidak ada seorang pun yang melihat dia memasuki istana, akan tetapi keadaan di kota raja tentu sedang kacau, penjagaan diperkuat dan orang-orang yang datang dari luar tentu dicurigai. Jangan-jangan pedangnya akan dikenal dan ia akan mengalami kesukaran kalau masuk kota raja. Lebih baik menanti munculnya kedua orang kakaknya itu di luar kota.

Di sebelah barat kota raja terdapat sebuah hutan yang kecil tapi amat indah. Pohon-pohon di situ tampak subur dan seakan-akan teratur. Memang hutan ini adalah hutan tempat para anggota istana menghibur diri kalau keluar kota. Lin Lin tidak tahu akan hal ini dan girang hatinya ketika memasuki hutan ini. Ia berjalan seenaknya memasuki hutan, mendengarkan kicau burung yang menyambut datangnya pagi.

Lin Lin memang memiliki watak periang. Kegembiraannya timbul melihat suasana indah dan mendengar kicau burung yang berloncatan di cabang-cabang dan ranting-ranting pohon. Kadang-kadang ia terkekeh ketawa melihat seekor kelinci muncul dari belukar, menggerak-gerakkan sepasang telinga yang panjang dan mainkan bola mata yang bening lebar. Ada kalanya ia berloncatan gembira meniru burung kecil yang berloncatan di daun-daun sambil berkicau.

Tiba-tiba Lin Lin terkejut mendengar suara orang tertawa. Karena ia amat gembira dan memperhatikan burung-burung di atas pohon, tidak diketahuinya bahwa sejak tadi ada dua orang laki-laki memperhatikannya. Dua orang laki-laki itu kini menghadang di depannya sambil tertawa. Ketika Lin Lin memandang, kiranya mereka adalah dua orang pendeta yang berkepala gundul. Dua orang hwesio yang masih muda, pakaian pendetanya bersih, gundul kepalanya kurang bersih, karena sudah mulai ditumbuhi rambut baru, sikap mereka riang dan wajah mereka berseri gembira, sama sekali tidak patut menjadi wajah pendeta yang biasanya serius dan alim. Lin Lin tersenyum melihat bahwa yang tertawa adalah dua orang pendeta. Pendeta-pendeta tidak perlu ditakuti, dan kegembiraannya timbul kembali.

“Selamat pagi, Ji-wi Suhu (Bapak Pendeta Berdua)!” serunya riang. “Pagi yang indah sekali, bukan?”

Dua orang hwesio itu saling pandang, dan tertawa lebar. Seorang di antara mereka, yang alis matanya tebal, maju selangkah. “Selamat pagi. Memang pagi yang indah sekali, agaknya karena ada Nona yang cantik manis maka suasana begini menyenangkan. Siapakah nama Nona? Kami berdua senang sekali dapat berkenalan dengan Nona cantik jelita. Bukankah begitu, Suheng (Kakak Seperguruan)?”

Hwesio kedua mengangguk-angguk dan mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi besar-besar berwarna kuning. “Memang betul, dan hari ini kita tidak perlu tergesa-gesa kembali ke kelenteng, lebih senang main-main dengan Nona ini di sini.”

Seketika keriangan Lin Lin lenyap, terganti oleh kemarahan yang membuat kedua pipinya menjadi merah. Sepasang matanya yang bening seakan-akan mengeluarkan sinar berapi. “Ihhh, kalian ini dua orang bajingan yang menyamar sebagai pendeta, ataukah pendeta-pendeta yang kemasukan iblis? Bagaimana dua orang gundul berpakaian pendeta begini kurang ajar? Minggir, biarkan aku lewat, aku tidak sudi bicara dengan kalian lagi!”

“Ho-ho-hooo, nanti dulu, Manis!” Si Alis Tebal cepat membentangkan kedua lengannya menghadang di tengah jalan. “Bukan kebetulan kita saling bertemu di sini, agaknya memang antara kita bertiga sudah ada jodoh! Kalau tergesa-gesa mau pergi juga, harus memberi ciuman dulu kepada kami, seorang tiga kali. Bukankah begitu, Suheng?”

“Ya-ya, betul itu! Di tempat sunyi begini, tak usah malu-malu, Nona!” kata Si Gigi Kuning.

“Jahanam bermulut busuk!” Lin Lin membentak. Tubuhnya berkelebat dan sekali kedua tangannya mendorong dengan jurus dari ilmu silatnya Khong-in-liu-san, dua orang hwesio itu terjengkang roboh ke kanan kiri. Kini Lin Lin yang mendapat giliran tertawa nyaring bernada penuh ejekan. “Hi-hik, kiranya kalian hanyalah dua ekor monyet gundul yang hanya pandai pentang mulut menghina wanita!”

Dua orang hwesio muda itu kaget sekali, sama sekali tidak pernah mengira bahwa dara remaja itu dapat melakukan penyerangan yang sedemikian dahsyat dan tiba-tiba. Mereka marah sekali dan lenyaplah keinginan hati mereka untuk mempermainkan Lin Lin. Kini dengan mata merah mereka meloncat bangun, penuh nafsu menyakiti gadis ini. Gerakan mereka cepat dan tahu-tahu mereka telah melolos sebatang cambuk dari ikat pinggang. Cambuk hitam yang panjang dan melihat gerakan cambuk di tangan, dapat diduga bahwa mereka adalah ahli-ahli bermain cambuk yang mahir sekali.

“Bocah setan, berani kau main gila terhadap pinceng (aku)?” seru si Alis Tebal.

“Sute, kita cambuki pakaiannya sampai ia telanjang bulat!” kata si Gigi Kuning dengan nada gemas.

“Tar-tar-tar-tar!” dari depan dan belakang dua batang cambuk itu mengeluarkan bunyi dan menyambar-nyambar di atas kepala Lin Lin. Namun seujung rambut pun gadis ini tidak menjadi gentar. Malah kemarahannya memuncak.

“Hemmm, monyet-monyet gundul tak tahu diri. Hajaran tadi masih belum cukup bagi kalian, ya? Manusia-manusia berwatak kotor macam kalian kalau tidak dibasmi, hanya akan mengotorkan dunia dan mengganggu wanita saja!” Setelah berkata demikian Lin Lin menggerakkan tangan kanan dan....

“Srattt!” tampak sinar kuning menyilaukan mata karena Pedang Besi Kuning sudah berada di tangannya.

“Bagus, kau berani melawan? Rasakan cambukan ini!”

Cambuk dari depan menyambar, disusul cambuk dari belakang dan di lain saat tubuh Lin Lin sudah terkurung dua batang cambuk yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular hidup. Kiranya dua orang hwesio muda itu tidak terlalu menyombong. Permainan cambuk mereka memang hebat, cepat dan kuat sekali.

Namun kali ini mereka bertemu dengan Lin Lin yang baru saja mewarisi Ilmu Khong-in-ban-kin, ilmu yang membuat ia dapat mengerahkan ginkang yang hebat sehingga tubuhnya berubah ringan dan cepat laksana gerakan seekor burung walet. Betapa pun cepatnya dua batang cambuk itu melecut dan menyambar, tubuh Lin Lin lebih cepat lagi bergerak, berkelebat di antara sambaran cambuk diselimuti gulungan sinar kuning dari pedangnya.

Memang hebat sekali Lin Lin setelah ia mewarisi ilmu dari Kim-lun Seng-jin. Apa lagi di tangannya sekarang ada sebatang pedang pusaka terbuat dari pada besi aji yang amat ampuh. Dengan sinar yang menyilaukan mata pedangnya berkelebat dan... dua orang hwesio muda itu berteriak kesakitan ketika cambuk-cambuk di tangan mereka itu putus semua berikut ujung lengan baju dan sebagian dari kulit dan daging lengan mereka, semua terbabat oleh sinar pedang yang menyilaukan dan berhawa dingin itu! Tentu saja mereka terkejut dan ketakutan, lalu melarikan diri sambil memegangi kepala seakan-akan merasa khawatir kalau-kalau kepala mereka pun akan terbabat putus!

“Bagus sekali. Benar-benar kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat indah dan lihai!”

Lin Lin cepat menengok. Kiranya tak jauh dari tempat pertempuran itu tampak seorang laki-laki muda duduk di atas punggung kudanya. Pemuda ini berusia dua puluh tahun lebih, bermuka bundar dengan jidat lebar. Sepasang matanya lebar dan menyinarkan kejujuran, alisnya tebal, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan keramahan.

Biar pun bukan wajah yang dapat disebut tampan, namun ia tidak buruk rupa, bahkan wajahya yang sederhana ini menyenangkan hati orang. Pakaiannya pun sederhana dan bersih, rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sutera berkembang. Gagang sebuah pedang yang tampak menandakan bahwa ia pun seorang yang tidak asing akan senjata tajam. Juga bentuk tubuhnya yang kekar membayangkan tenaga besar.

Lin Lin masih marah. Sehabis bertemu dengan dua orang hwesio muda yang bermulut kotor dan lancang tadi, ia mempunyai prasangka buruk terhadap pemuda ini. Kalau laki-laki yang sudah menjadi hwesio-hwesio saja seperti tadi kurang ajarnya, apa lagi yang masih muda seperti ini! Dengan muka merah dan mulut cemberut ia membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu, lalu menghardik. “Memang kiam-hoatku indah dan lihai, juga pedangku ini cukup tajam untuk memenggal leher setiap orang laki-laki ceriwis dan kurang ajar! Kau mau apa ikut campur?”

Ada semenit pemuda itu melongo. Matanya yang lebar itu makin melebar ketika ia memandang Lin Lin. Pada matanya terbayang kekaguman luar biasa dan sesungguhnya. Ia memang kagum sekali setelah dara ini sekarang menghadapinya. Wajah Lin Lin seakan-akan menyihirnya, membuat jantungnya jungkir balik dan kepalanya puyeng, matanya berkunang-kunang. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang dara seperti ini, dan belum pernah ia mengalami guncangan seperti ini pula menghadapi seorang gadis.

Lin Lin makin tidak sabar. Agaknya laki-laki ini kurang ajar pula, duduk di atas punggung kuda dan memandangnya tanpa berkata apa-apa, memandangnya tanpa berkedip. Ia membanting kaki dan memaki, “Apa kau kira aku ini barang tontonan maka matamu melotot terus memandangku?”

Pemuda itu tersenyum. “Bukan barang tontonan, Nona, akan tetapi tidak ada tontonan yang lebih indah, lebih mempesona, lebih....”

“Kau lebih kurang ajar lagi!” bentak Lin Lin dan tubuhnya sudah melesat ke depan sambil mengirim serangan dengan pedangnya.

“Uiiihhhhh, ganas...!” pemuda itu cepat sekali membuang diri dari atas punggung kuda, berjumpalitan beberapa kali dan ketika kedua kakinya sudah berdiri di atas tanah, ternyata ia telah mencabut pedangnya yang berkilauan seperti perak. “Baiklah, Nona. Kalau kau ingin mencoba kepandaian, mari kulayani. Agaknya kau murid orang pandai dan patut menjadi lawanku bertanding pedang.” Ia melambaikan tangan kiri menantang.

Gerakan pemuda tadi amat mengagumkan hati Lin Lin. Gadis ini pun maklum bahwa lawannya kali ini bukanlah seorang sembarangan, bukan macam dua orang hwesio tadi. Akan tetapi ia tidak takut! Dan perasaannya ini ia keluarkan melalui bibirnya yang merah, “Biar ada sepuluh orang macam engkau, aku tidak gentar!”

“Ha-ha-ha, ada satu saja orang macam aku sudah terlalu repot bagimu, apa lagi ada sepuluh orang!” pemuda itu berkelakar, akan tetapi ia harus cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis karena gadis itu sudah menerjangnya dengan gerakan seperti seekor burung walet.

“Trang-trang-tranggggg...!” tiga kali pedang mereka saling beradu, menimbulkan bunga api yang muncrat ke sana-sini.

Keduanya cepat menarik pedang masing-masing dan lega hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan keras lawan keras tadi. Masing-masing kagum dan juga kaget. Apa lagi Lin Lin. Tadi ia sudah mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, dan ia maklum bahwa tenaga yang terdapat dalam ilmu ini luar biasa besarnya. Tadi ia gunakan sedikit saja untuk menghadapi dua orang hwesio, sekali babat saja cambuk-cambuk itu putus semua. Sekarang ia pergunakan tenaga ilmu ini dalam mengadu pedang, sedangkan di tangannya adalah pedang pusaka pula, mengapa pedang lawannya tidak menjadi rusak dan tidak terpental?

Ini hanya menjadi bukti bahwa pemuda pesek ini selain memiliki pedang yang ampuh juga memiliki kepandaian tinggi, dapat melawan terjangan tenaga Khong-in-ban-kin. Apakah kakek gundul pelontos Kim-lun Seng-jin yang membohonginya dan membual tentang kelihaian Khong-in-ban-kin? Kakek itu bilang bahwa jarang ada lawan yang akan dapat mengimbangi kecepatan dan kekuatan tenaga dalamnya kalau ia mengerahkan Khong-in-ban-kin. Akan tetapi sekarang, baru saja bertemu dengan seorang pemuda pesek, ilmunya itu seakan-akan tiada artinya lagi.

Di lain pihak, si Pemuda juga kaget dan tercengang di samping kekagumannya yang menjadi-jadi. Tadinya ia mengira bahwa dara lincah itu hanya memiliki gerakan yang amat cepat dan ilmu pedang yang tinggi saja, maka dengan mudah dapat mengalahkan dua orang hwe­sio kurang ajar tadi. Siapa kira dalam pertemuan pedang tadi ia mendapat kenyataan bahwa dalam hal tenaga gadis itu tidak usah mengaku kalah terhadapnya, juga pedang di tangannya itu adalah pedang ampuh yang dapat menahan pusakanya sendiri. Padahal pusakanya ini adalah pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) yang jarang bandingannya, pedang pusaka pemberian suhunya.

“Wah karena pedangmu ampuh kau jadi sombong, ya? Awas lehermu!” Lin Lin membentak dan segera gadis ini mainkan Khong-in-liu-san untuk menerjang lawannya. Hebat terjangannya ini, pedangnya berubah menjadi sinar kuning bergulung-gulung, makin lama makin tebal merupakan segunduk awan bergerak perlahan mengurung diri pemuda itu dari segala jurusan.

Pemuda itu mengeluarkan seruan tertahan. Benar-benar tak disangkanya gadis ini sedemikian lihainya. Ia pun lalu bersilat dengan pedangnya, ilmu silat yang aneh, gerakan-gerakannya lucu dengan tubuh megal-megol seperti seorang pelawak beraksi di atas panggung wayang. Hampir saja Lin Lin tak dapat menahan ketawanya menyaksikan gerakan aneh dan lucu ini. Akan tetapi ia pun terheran-heran karena ke mana pun juga pedangnya menyambar, selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda yang gerak-geriknya aneh ini. Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itu banyak mengalah, hanya mempertahankan diri dari pada serangan-serangannya yang dahsyat, tidak berusaha membalas sungguh-sungguh. Memang pemuda itu tidak ingin merobohkan Lin Lin, kekagumannya terhadap gadis itu membuat ia mengalah dan hanya ingin menguji kepandaian orang.

“Hebat..., hebat... kiam-hoat yang luar biasa!” berkali-kali pemuda itu memuji.

Akan tetapi, makin dipuji makin marahlah Lin Lin karena pujian itu ia anggap sebagai ejekan. Mana bisa ilmu pedangnya dipuji kalau sama sekali tidak mampu mendesak lawan? “Balaslah! Seranglah! Kau kira aku takut? Kalau kau bisa mengalahkan aku, baru kau laki-laki sejati!” Ia menantang. Ia berbesar hati karena ia memiliki ilmu Khong-in-ban-kin dan dengan ilmu ini ia dapat menggunakan ginkang yang sempurna sehingga ia tidak khawatir akan termakan pedang lawan.

Seperempat jam sudah mereka bertanding. Kuda tunggangan pemuda itu menjadi gelisah, berkali-kali meringkik ketakutan. Pemuda itu gemas juga. Gadis ini amat menarik hatinya, dan ia tidak tega untuk merobohkan atau mengalahkannya. Akan tetapi kalau tidak ‘diberi rasa’, tentu tidak tahu akan kelihaiannya, demikian ia pikir. Bangkit harga dirinya sebagai seorang laki-laki.

“Baiklah, Nona, lihat pedangku!” Ia memutar pedangnya cepat sekali dan mengerahkan tenaga untuk mendesak dan menindih gulungan sinar pedang lawan.

Memang hebat pemuda ini. Amat kuat tenaga desakan hawa dan sinar pedangnya, mengejutkan hati Lin Lin. Namun cepat gadis ini menggunakan Khong-in-ban-kin. Tubuhnya bergerak begitu cepat seakan-akan serupa sebuah bayangan, dengan lincahnya ia menyelinap di antara sinar pedang. Sungguh pun harus ia akui bahwa semua serangannya sekarang gagal dan buyar, tidak ada kesempatan lagi, namun ia tetap dapat mempertahankan diri dari pada desakan lawan. Makin keras pemuda itu menekan, makin lincah gerakan Lin Lin sehingga pemuda itu selain kaget juga heran dan bingung. Tahulah ia sekarang bahwa dara lincah ini adalah murid seorang sakti, karena hanya beberapa orang saja di dunia kang-ouw, boleh dihitung dengan jari jumlahnya, yang akan dapat menghindarkan diri dari tekanan pedangnya seperti ini.

Pada saat itu, terdengar bentakan keras, “Susiok (Paman Guru), inilah iblis betina liar itu!”

“Hemmm, hemmm, agaknya mengandalkan kecantikannya. Lihat pinceng menangkapnya!”

“Mari kita berlomba, Sute, aku pun timbul kegembiraan hendak menangkap gadis liar ini!” sambung suara kedua.

“Hee, Sicu (Orang Gagah), harap mundur. Biarkan pinceng berdua main-main dengan budak ini!”

Biar pun masih saling gempur, pemuda itu dan Lin Lin kini otomatis mengendurkan gerakan dan melirik. Kiranya yang datang adalah dua orang hwesio muda yang tadi, yang berdiri agak jauh. Akan tetapi kini mereka datang bersama dua orang hwesio setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan keduanya memegang sebatang tongkat hwesio yang panjang dan terbuat dari pada baja. Kedua orang hwesio ini sombong sekali lagaknya dan agaknya mereka memandang rendah kepada pemuda itu dan Lin Lin.

Tanpa memberi kesempatan lagi, dua orang hwesio setengah tua itu menerjang maju dari kanan kiri mengeroyok Lin Lin! Benar-benar tak tahu malu, pikir Lin Lin. Suaranya saja hendak berlomba untuk menangkapnya, kiranya mereka itu hanya ingin mengeroyok mengandalkan senjata yang panjang dan berat. Mana ada orang yang hendak ‘menangkap’ menggunakan tongkat yang begitu panjang dan berat?

Akan tetapi ketika ia mengayun pedang dengan putaran lebar, sekaligus menangkis dua batang tongkat itu, terdengar suara keras, bunga api berpijar dan Lin Lin merasa betapa telapak tangannya tergetar. Ia kaget dan diam-diam ia mengeluh. Kiranya di samping kesombongan mereka, dua orang hwesio ini memiliki tenaga lweekang yang hebat! Cepat ia menggerakkan tubuh dan dengan mengandalkan kelincahannya, kini ia menghadapi dua orang pengeroyoknya, lupa bahwa lawan lamanya, pemuda itu, kini berdiri menonton dan tidak menyerangnya lagi.

“Tahan senjata! Melihat gerakan, Ji-wi Suhu adalah hwesio-hwesio Siauw-lim. Betulkah?”

Dua orang hwesio setengah tua itu melompat mundur, menahan tongkat mereka lalu memandang pemuda itu. Lin Lin tidak peduli, akan tetapi ia pun tidak sudi menyerang orang yang menarik senjatanya, maka dengan pedang melintang di depan dada, ia hanya memandang, sikapnya gagah.

“Kami memang betul hwesio-hwesio Siauw-lim. Kau siapakah, Sicu, dan apa yang hendak kau katakan kepada kami?”

Pemuda itu mengerutkan keningnya. “Siauw-lim-pai adalah partai persilatan yang selalu menjunjung kebenaran dan keadilan, yang selalu bersih dan terkenal sebagai pusat orang-orang beribadat yang berilmu tinggi. Akan tetapi mengapa Ji-wi Suhu datang-datang menyerang seorang wanita?”

“Gadis liar ini menghina murid-murid keponakan kami!”

“Hemmm, pemutar-balikan fakta yang menjijikkan! Adalah dua orang hwesio itulah yang kurang ajar, mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan terhadap wanita terhormat. Dari pada menyerang orang yang tidak berdosa, Ji-wi Suhu justru akan membersihkan nama partai kalau sekarang juga memberi hukuman kepada murid-murid sendiri.”

“Orang muda, kau siapakah berani bicara lancang memberi kuliah kepada kami?”

Pemuda itu tersenyum. “Aku she Lie bernama Bok Liong, orang biasa saja. Akan tetapi aku mengenal baik Cheng Han Lo-suhu, dan pedangku Goat-kong-kiam ini selalu menghendaki kebenaran dibela oleh orang-orang gagah.”

Cheng Han Hwesio adalah ketua Siauw-lim-pai, maka mendengar disebutnya nama ini, kedua orang hwesio itu menjadi kaget sekali. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda ini akan mengadu. Memang akhir-akhir ini banyak sekali anak buah para hwesio yang tersesat, mabuk oleh kesenangan duniawi dan mempergunakan kesempatan selagi negara kacau dan ketua dari pusat tidak sempat melakukan pengawasan, mereka mengumbar nafsu jahatnya.

Keadaan memalukan dan buruk ini terutama sekali ditimbulkan oleh para penjahat dan pelarian yang menyembunyikan diri dengan jalan mencukur rambutnya dan memakai jubah pendeta, tinggal bersembunyi di kelenteng-kelenteng. Merekalah yang menjadi ‘guru’ dan menyeret para hwesio muda yang belum teguh batinnya dan masih lemah imannya ke jalan sesat. Dua orang hwesio ini hanya merupakan kepala dari sebuah kelenteng kecil, sudah terlalu lama berkecimpung di dalam keduniaan, maka hanya pada lahirnya saja seperti pendeta, namun batinnya sudah menjadi penjahat-penjahat hamba nafsu buruk.

“Keparat, kau benar-benar kurang ajar! Kau kira kami takut padamu? Sute, kau hajar dia ini, biar pinceng menangkap Nona liar. Kalau tidak diberi hajaran, tidak akan kapok orang-orang muda kepala batu ini!”

Dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu terlalu memandang rendah orang muda. Mereka mengandalkan kepandaian yang tinggi dan senjata tongkat yang berat, pula, memang ilmu tongkat atau ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat terkenal kuat. Namun pemuda itu adalah murid orang sakti, juga Lin Lin telah menerima gemblengan dari seorang sakti yang tingkatnya sejajar dengan ketua Siauw-lim-pai pusat sendiri! Maka kalau mau dibuat perbandingan, tingkat dua orang hwesio itu masih jauh di bawah.

“Aku tidak ingin kau bantu!” seru Lin Lin sambil menggerakkan pedang menghadapi serangan seorang hwesio.

“Siapa membantumu, Nona? Aku pun diserang oleh hwesio palsu ini!” jawab pemuda yang bernama Lie Bok Liong itu sambil menggerakkan pedang pula menandingi lawannya.

Pertempuran seru terjadi, terpecah menjadi dua. “Nona, adu ilmu antara kita boleh ditentukan sekarang. Siapa yang lebih dulu mengalahkan lawan, dia yang lebih unggul antara kita!” pemuda itu berseru.

“Baik, seorang laki-laki tidak melanggar janjinya!” seru Lin Lin girang.

Gadis ini sebentar saja dapat melihat kelemahan lawan dan ia yakin akan dapat merobohkannya dalam waktu cepat, maka usul pemuda itu diterimanya dengan girang. Melihat tongkat itu menyodok ke arah dadanya, Lin Lin sengaja berlaku lambat, membiarkan lawan lengah dan kegirangan. Beberapa senti meter sebelum ujung tongkat mengenai dadanya, tiba-tiba ia miringkan tubuhnya, menggunakan jurus Pek-wan-hian-ko (Lutung Putih Berikan Buah) dari ilmu silat ayahnya, tangan kirinya menangkis dengan jari-jari terbuka, dan pedangnya bergerak cepat ke depan. Inilah gerakan susulan dari Khong-in-liu-san yang tidak terduga dan amat cepat datangnya. Hwesio lawannya itu menjerit kesakitan, tongkatnya terlepas dan pangkal lengannya terobek pedang sampai kelihatan tulangnya.

Sambil tersenyum manis tapi penuh ejekan, Lin Lin membalikkan tubuh memandang ke arah pemuda pesek itu, siap untuk mengejek dan berbangga akan kemenangannya. Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali. Apa yang dilihatnya? Pemuda itu ternyata sudah lebih dulu merobohkan lawannya, hwesio lawan pemuda itu sudah rebah dengan pundak berdarah!

Akan tetapi pemuda itu berkata, “Nona, kita berhasil dalam waktu yang sama. Hayo kita berlomba merobohkan dua orang hwesio ceriwis itu!”

Lin Lin melihat betapa hwesio muda yang dua orang tadi telah melarikan diri tunggang-langgang melihat betapa kedua orang paman guru mereka telah roboh! Karena dua orang hwesio muda itu yang menjadi biang keladi pertempuran, dan dua orang hwesio itu yang sebenarnya amat kurang ajar, Lin Lin menjadi marah sekali dan tubuhnya berkelebat melakukan pengejaran. Ia melihat sesosok bayangan dengan cepat juga berkelebat di sampingnya.

Tahu bahwa pemuda pesek itu tidak mau kalah, Lin Lin mengerahkan ginkang-nya dan di lain saat ia sudah tiba di belakang dua orang hwesio itu. Pedangnya menyambar dan dua orang hwesio itu menjerit, roboh terguling. Dua orang hwesio muda itu terluka pahanya. Karena menganggap bahwa dua orang hwesio itu jahat sekali, Lin Lin kembali menggerakkan pedang hendak membunuh mereka.

“Tranggg!” bunga api berpijar ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Lie Bok Liong.

“Nona, harap jangan bunuh mereka. Mereka adalah hwesio-hwesio Siauw-lim!”

“Hwesio Siauw-lim atau hwesio-hwesio langit, siapa takut? Mereka ini jahat, kalau hwesio-hwesio tua Siauw-lim-pai membela mereka, berarti mereka pun jahat!”

“Omitohud... kasar akan tetapi harus diakui kebenarannya...,” terdengar seruan suara halus dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang hwesio tua yang putih semua jenggotnya, akan tetapi mukanya masih segar kemerahan seperti seorang muda. Hwesio ini berjubah kuning, memegang sebuah tongkat pendeta dan sinar matanya berpengaruh penuh wibawa. Melihat hwesio ini, Lie Bok Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.

“Cheng Hie Lo-suhu! Kebetulan sekali Lo-suhu datang. Kami dua orang muda telah berselisih faham dengan beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai, harap Lo-suhu memberi kebijaksanaan.”

Hwesio tua itu tertawa perlahan. “Lie-sicu tak perlu bersikap sungkan. Pinceng (aku) yang tua sudah melihat dan mendengar semua. Memang sudah pinceng dengar kenakalan empat orang anak murid ini, akan tetapi baru sekarang pinceng melihat buktinya.” Kemudian ia mengalihkan pandang mata kepada Lin Lin dan berkata, “Nona, kepandaianmu hebat bagi seorang semuda Nona. Memang pantas sekali Pedang Besi Kuning berada di tanganmu! Dua orang anak murid Siauw-lim-pai yang durhaka ini telah melakukan kesalahan kepadamu, harap Nona sudi memberi maaf, biar pinceng nanti yang akan menghukum mereka.”

Lin Lin kaget bukan main. Hwesio tua ini dapat mengetahui segalanya, bahkan tahu pula tentang pedangnya, pedang curian dari gudang istana. Tentu seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Ia memang marah kepada dua orang hwesio yang kurang ajar itu, akan tetapi sekarang hatinya puas karena sudah ada pentolan Siauw-lim-pai yang mengurus dan hendak menghukum.

“Terserah kepada Lo-suhu. Aku percaya Lo-suhu akan benar-benar memberi hukuman berat, kalau tidak, berarti Lo­suhu membantu orang jahat!”

Muka hwesio tua itu berubah agak pucat, akan tetapi ia hanya tertawa dan menjura. Lie Bok Liong lalu mengajak Lin Lin pergi, “Marilah, setelah ada Cheng Hie Lo-suhu, tentu mereka akan mendapat bagian mereka. Cheng Hie Lo-suhu terkenal sebagai pengawal tindak-tanduk dan sepak terjang para anak mu­rid Siauw-lim-pai dan dunia kang-ouw mengenal belaka kebijaksanaan dan keadilannya. Lo-suhu, perkenankan kami pergi.”

Cheng Hie Hwesio menggerakkan tangannya, mengangguk-angguk. “Pergilah... pergilah dengan hati-hati, orang-orang muda. Doa restu dan berkahku mengiringi kalian berdua...”

Lin Lin tercengang, hendak marah kepada pemuda pesek itu. Enak saja, pikirnya, ajak-ajak seakan-akan dia itu memang teman seperjalanan. Kenal pun tidak! Akan tetapi melihat sikap hwesio yang amat halus dan baik itu, tak enak hatinya menimbulkan ribut di depannya. Ia pun mengangguk dan berjalan pergi bersama Lie Bok Liong yang menuntun kudanya.

Sampai lama mereka jalan berendeng, diam saja tidak berkata-kata, juga saling lirik saja tidak. Seakan-akan mereka saling tidak ingat lagi bahwa di sebelah mereka berjalan seorang lain. Tentu saja tidak demikian hal yang sebetulnya. Bok Liong sekaligus terbetot semangatnya oleh gadis lincah ini, dan ia berjalan sambil merenung, terheran-heran atas perubahan di dalam hatinya sendiri. Mengapa ia merasakan hal yang aneh ini, hal yang selama ia hidup belum pernah ia rasakan? Ada pun Lin Lin, ia sedang mengumpul-ngumpulkan kata-kata untuk menyerang pemuda pesek lancang ini nanti setelah mereka jauh dari hwesio tua tadi.

Setelah mereka keluar dari dalam hutan dan berada di jalan yang sunyi sekali, tiba-tiba Lin Lin berhenti dan berkata ketus, “Nah, sekarang tidak ada siapa-siapa yang akan menghalangi kita membuat perhitungan!”

Pemuda itu seakan-akan baru sadar dari alam mimpi. Ia menengok dan memandang dengan kaget. “Perhitungan? Perhitungan apa, Nona?”

“Perhitungan apa? Pura-pura tanya lagi. Kau tadi mengajak adu cepat berlomba merobohkan dua orang hwesio ceriwis. Siapa yang menang? Aku! Lalu hwesio tua Siauw-lim-pai tadi memuji-muji dan minta maaf. Memuji siapa dan minta maaf kepada siapa? Aku! Tapi kau memerintah aku ikut denganmu! Sombong!”

Bok Liong cepat menjura, sikapnya sungguh-sungguh. “Nona, harap kau tidak main-main lagi. Maafkanlah kalau sikap dan kata-kataku pernah menyinggungmu. Aku Lie Bok Liong adalah seorang laki-laki sejati, dan kulihat sepak terjangmu membuktikan bahwa kau seorang pendekar wanita yang mengagumkan. Oleh karena itu terimalah hormatku, Nona, dan sampai mati aku tidak nanti berani mengangkat senjata terhadapmu lagi. Aku mengaku kalah dan menyerah.”

Watak Lin Lin memang aneh. Dalam segala hal ia selalu tidak mau kalah. Kalau orang bersikap keras terhadapnya, ia tidak mau kalah keras, kalau orang galak, ia akan lebih galak lagi. Kini Bok Liong bersikap merendah dan mengalah dengan suara sungguh-sungguh dan wajah serius, ia pun tidak mau kalah!

“Nah, kau sih yang sombong tadinya. Padahal aku juga tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan orang seperti kau ini. Aku tahu kau bukan orang jahat, tapi kalau aku tidak bersikap keras, orang takkan mengetahui kelihaianku. Nah, kau pun kuminta maklum saja kalau tadi aku bersikap kaku. Betapa pun juga, kau telah membantuku menghadapi hwesio-hwesio kotor tadi.”

Jantung Bok Liong berdebar-debar. Alangkah girangnya melihat bahwa nona yang lincah galak ini kiranya dapat juga bicara dengan baik. Ia menahan senyumnya dan berkata lagi. “Nona, terima kasih atas pengertianmu. Kita menjadi sahabat, hal yang amat kuinginkan semenjak aku melihat kau menghajar hwesio-hwesio ceriwis di hutan itu. Sekali lagi, namaku Lie Bok Liong, biar pun bukan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw, akan tetapi aku mengenal hampir semua tokoh kang-ouw, kecuali tokoh-tokoh besar yang masih muda seperti kau. Bolehkah aku mengetahui nama dan julukanmu? Terus terang saja, aku yang banyak mengenal ilmu silat, tahu akan dasar-dasar gerakan ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan banyak partai persilatan lain lagi, tapi sama sekali buta akan ilmu silatmu yang luar biasa tadi, Nona.”

Lin Lin merasa diayun-ayun di atas awan saking bangga dan girangnya mendengar kata-kata pujian yang keluar sejujurnya dari mulut pemuda itu. Setelah ia pandang-pandang, pemuda berhidung pesek ini wajahnya menarik dan menyenangkan hati juga, sikapnya jujur dan sopan tapi tidak bermuka-muka atau menjilat, sikap sewajarnya dari seorang yang memasang isi hati pada wajahnya.

Timbul rasa suka di hatinya disertai kepercayaan besar. Apa lagi tadi ia mendengar bahwa Bok Liong ini mengenal hampir semua tokoh kang-ouw. Siapa tahu pemuda ini bisa memberitahu kepadanya tentang Suling Emas, atau mungkin juga tentang kakaknya, Bu Song. Wajahnya seketika berseri, matanya bersinar-sinar, bibirnya yang manis itu tersenyum sehingga pemuda itu merasa betapa tiba-tiba kedua lutut kakinya lemas dan gemetar!

Memang hebat daya pengaruh asmara yang mulai menggerogoti jantung seorang pemuda. Hanya si pemuda yang bersangkutan sendiri yang dapat merasakannya. Kalau seorang pemuda sedang bercinta, terutama sekali kalau mulai jatuh cinta, segala sesuatu pada diri dara yang dicintainya tampak hebat luar biasa. Kerling mata yang tajam melebihi pedang pusaka langsung menusuk dada menembus punggung! Senyum sepasang bibir merah membasah bagaikan seribu manis dari madu yang memabukkan dan membuat kepalanya pening tujuh keliling dengan mata berkunang-kunang! Kilauan gigi putih berderet rapi yang hanya tampak sekilas di balik sepasang bibir segar, lebih ampuh dari pada sinar petir yang langsung menyambar kepala memasuki tubuh menyelusup ke seluruh tulang sum­sum! Tidaklah terlalu mengherankan apa­bila Bok Lieng berdiri dengan kedua lutut gemetar ketika ia menghadapi wajah Lin Lin yang berseri-seri itu.

“Kau kira aku seorang yang buta?” demikian Lin Lin mulai kata-katanya yang kini terdengar manis, hilang sama sekali ketusnya. “Aku pun sekali bertemu saja tahu bahwa kau bukan orang jahat, akan tetapi aku harus yakin dulu. Twako... ya, lebih baik kusebut kau Twako (Kakak), karena kau tentu lebih tua dari pada Sin-ko (Kakak Sin). Eh, berapa sih usiamu?”

Mau tak mau Bok Liong tersenyum. Setelah gadis ini bersikap jenaka seperti ini, ia merasa betapa sinar matahari menjadi lebih terang dari pada tadi. “Usiaku hampir dua puluh dua tahun.”

“Nah, betul dugaanku. Sin-ko baru dua puluh tahun, aku sendiri baru tujuh belas. Sampai di mana aku tadi? Oya, tentang nama. Namaku Lin Lin, she... Kam.”

“Kam Lin Lin... indah benar namamu, Nona.”

“Wah, kalau kau masih menyebut nona-nonaan segala, aku pun akan menyebutmu dengan tuan-tuanan. Bagaimana pendapatmu, Tuan Besar?”


BERSAMBUNG KE JILID 04