Cinta Bernoda Darah Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 04

BOK LIONG tertawa bergelak, kemudian terheran. Seingatnya baru kali inilah ia dapat tertawa sampai begitu keras sampai basah kedua matanya. Benar-benar mengherankan. Apa yang terjadi dengan dirinya?

“Habis, aku harus menyebut bagaimana? Ah, kau betul. Kau menyebutku Twako, kalau begitu kau adikku, Moi-moi.”

“Nah, begitu baru enak bicara. Terhadap seorang tuan mana aku sudi mengobrol begini? Lain lagi kalau terhadap seorang kakak....”

“Maksudmu, terhadap seorang sahabat baik seperti kakak sendiri,” potong Bok Liong.

“Sama saja, apa bedanya? Twako, kulihat tadi ilmu silatmu juga hebat sekali. Siapakah gurumu?”

Kalau orang lain yang menanyakan hal ini, tentu Bok Liong takkan mau menerangkannya. Selama ia berkecimpung di dunia kang-ouw, hanya beberapa orang tokoh besar saja yang tahu murid siapa pemuda lihai ini. Akan tetapi terhadap Lin Lin yang sekaligus sudah merobohkan jantung menawan hatinya, ia tidak berani berbohong, apa lagi tidak menjawab. Ia takut kalau-kalau gadis yang sekarang sudah ‘jinak’ dan baik kepadanya ini akan mengamuk lagi dan memusuhinya. Tidak ada malapetaka baginya di saat itu yang akan lebih besar dan hebat dari pada dimusuhi Lin Lin.

kho ping hoo serial cinta bernoda darah jilid 04


"Nona... eh, Lin-moi (Adik Lin). Guruku terkenal dengan namanya yang sederhana sekali, malah sesungguhnya, orang lain termasuk aku sendiri tak pernah mengenal namanya karena ia hanya memperkenalkan she (nama keturunan) yaitu she Gan. Karena inilah maka di dunia kang-ouw ia dikenal sebagai Gan-lopek (Empek Tua Gan)!”

Senyum di bibir Lin Lin melebar. “Gan-lopek? Hi-hik! Badut tak pernah mandi yang pantatnya besar, kumis dan jenggotnya dijadikan sarang semut, paling takut melihat cacing dan ular? Hi-hi-hik, geli hatiku kalau mengenangkan dia!” Lin Lin menutupi mulut dengan tangan kiri untuk menyembunyikan tawanya.

Bok Liong membelalakkan kedua matanya yang lebar, “Apa? Kau pernah melihat Suhu?”

Lin Lin menggeleng kepala, menahan kekehnya. Agak lama baru dia dapat bicara. “Aku hanya mendengar ceritanya dari kakek gundul pacul. Wah, kakek dan aku tertawa-tawa sampai perutku menjadi keras dan kakek jatuh terguling dari atas cabang pohon,” kembali Lin Lin tertawa terkekeh-kekeh.

Diam-diam Bok Liong menjadi tak senang hatinya karena merasa betapa suhu-nya, orang yang ia anggap paling hebat di dunia ini, menjadi buah tertawaan, sungguh pun ia cukup mengenal suhu-nya sebagai orang yang luar biasa anehnya dan kadang-kadang membuat lelucon yang luar biasa.

“Hemmm, kau pernah mendengar cerita tentang Suhu? Dan kakek gundul pacul yang menceritakan itu, apakah dia jatuh dari cabang pohon terus mati?”

Tiba-tiba suara ketawa Lin Lin terhenti. “Dia? Mati jatuh dari cabang? Ah, Twako, kau benar-benar tidak mengenal dia. Dialah yang menurunkan ilmu Serba Kosong kepadaku. Dia orang sakti seperti dewa, mana bisa mati jatuh dari cabang?”

Bok Liong benar-benar tidak mengerti. Luar biasa sekali dara ini, pikirnya. Kalau kakek gundul pacul itu mengajar ilmu, berarti kakek itu guru si nona. Akan tetapi kenapa nona ini menyebutnya gundul pacul, sebutan yang seakan-akan mengejek dan memandang rendah?

“Ah, kalau begitu beliau seorang sakti? Siapakah beliau itu, atau kau juga tidak tahu namanya?”

“Tentu saja aku tahu. Dia disebut Kim-lun Seng-jin... eh, kenapa kau, Liong-twako (Kakak Liong)?” Lin Lin heran melihat pemuda itu meloncat seperti dipagut ular dan matanya menjadi amat bundar dan lebar.

“Kim-lun Seng-jin? Beliau itu gurumukah?” tanya Bok Liong.

Kembali Lin Lin menggeleng kepala. “Bukan! Bukan guruku. Dia sahabat baikku.”

Makin heranlah Bok Liong. Masa kakek sakti yang amat terkenal di dunia ini, yang tingkatnya sekelas dengan gurunya, menjadi sahabat baik gadis ini?

“Tapi kau bilang tadi bahwa kau menerima ilmu darinya. Kan itu berarti bahwa dia gurumu.”

“Bukan! Hanya kenalan biasa saja. Tapi ilmunya Serba Kosong memang boleh juga.” Lin Lin bersikap seakan-akan hal itu merupakan hal yang ‘bukan apa-apa’ baginya, sikap ini sengaja ia ‘pasang’ karena melihat betapa Bok Liong terheran-heran dan agaknya amat menjunjung tinggi Kim-lun Seng-jin!

“Serba kosong! Aneh sekali nama ilmu itu. Tapi, Lin-moi, aku percaya bahwa ilmu yang diturunkan oleh Kim-lun Seng-jin tentulah hebat bukan main. Ah, maafkan kalau tadi aku bersikap kurang hormat. Siapa mengira bahwa kau adalah mur... eh, sahabat baik Kim-lun Seng-jin Locianpwe (Orang Tua Gagah)? Pantas saja beliau bisa bercerita tentang Suhu-ku.”

Senang sekali hati Lin Lin, kebanggaannya bukan main sehingga ia mengangkat dadanya yang sudah membusung. Karena senangnya, ia ingin memberi sekedar hiburan kepada Bok Liong dengan kata-kata manis. “Tapi kakek berkata bahwa biar pun Gan-lopek itu orangnya lucu dan merupakan seorang badut besar, namun kepandaiannya hebat. Maka sekarang, melihat kepandaianmu, aku percaya akan kesaktiannya.”

Sekarang Bok Liong teringat akan matanya menatap ke arah pedang yang tergantung di pinggang Lin Lin. Tadi ia amat terkejut ketika mendengar ucapan Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning. Ia mendengar pula tentang lenyapnya pedang pusaka itu dari gudang pusaka istana, dan ia tadi masih terheran-heran bagaimana pedang itu bisa terjatuh ke tangan Lin Lin.

Betapa pun pandainya Lin Lin, kiranya bukanlah hal yang mudah untuk dapat memasuki istana dan mencuri sebuah pedang pusaka. Akan tetapi sekarang terbukalah rahasia itu. Kalau gadis itu pergi bersama seorang sakti seperti Kim-lun Seng-jin, soal memasuki istana dan mencuri pedang pusaka bukanlah merupakan hal yang aneh lagi. Akan tetapi, ia mulai mengenal watak Lin Lin dan karenanya ia tidak mau bertanya-tanya akan hal pedang itu, takut kalau-kalau Lin Lin akan menjadi curiga dan marah kepadanya. Sebaliknya ia lalu bertanya.

“Lin-moi, setelah kita menjadi sahabat dan kenalan sekarang, bolehkah aku mengetahui apa yang kau kehendaki sehingga kau seorang diri sampai berada di tempat ini? Hendak pergi ke manakah kau?”

Ini memang merupakan pertanyaan yang dinanti-nanti Lin Lin. Gadis ini sudah mengambil keputusan untuk minta bantuan Bok Liong. Kakek gundul Kim-lun Seng-jin biar pun telah mewariskan ilmu dan mengajaknya ke kota raja, malah ke dalam istana dan mencuri pedang, namun tidak berhasil menolong dia mendapatkan musuh besarnya, juga kakak angkatnya.

Setelah mendengar tentang sangkaan Kim-lun Seng-jin mengenal asal-usulnya dengan bangsa Khitan, makin besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan Bu Song, karena dialah satu-satunya orang yang boleh diharapkan akan dapat menceritakan asal-usulnya, karena ketika ia diambil anak oleh Jenderal Kam, tentu Bu Song sudah besar dan dapat mengingat semua peristiwa di waktu itu.

“Liong-twako, sebelum aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, lebih dulu kau jawablah. Apakah kau akan suka membantuku?”

“Tentu saja! Dengan segala senang hati aku akan membantumu. Apakah yang dapat kulakukan untukmu, Moi-moi?”

“Tanpa syarat?”

“Eh... tanpa syarat bagaimana? Tentu saja, aku harus mendengar dulu apa urusanmu itu dan apa yang harus kulakukan.”

Bibir manis itu cemberut, tapi bagi Bok Liong malah tampak makin manis.

“Kalau begitu, tak usah kau membantuku. Ucapanmu itu menyatakan bahwa tidak sepenuh hatimu kau berniat membantuku. Kalau sepenuh hati suka membantu, tentu tidak akan bertanya-tanya lagi, apa saja urusannya, tetap akan suka membantu.”

Merah muka Bok Liong mendengar celaan ini, dan diam-diam ia harus akui bahwa ucapan gadis ini, biar pun terdengar seperti mencari menang sendiri, namun ada benarnya juga. “Baiklah, aku akan membantumu. Akan tetapi, Moi-moi, kau tentu tahu bahwa biar pun untuk kau sendiri, terpaksa aku tidak mau melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kebenaran. Ringkasnya, aku tidak mau membantu pihak yang melakukan kejahatan....”

Bok Liong terpaksa menghentikan kata-katanya karena seketika Lin Lin menjadi marah sekali. Gadis ini berdiri tegak, mengedikkan kepala, kedua tangan di pinggang, pandang matanya keras. “Sudahlah, kita tidak jadi bersahabat. Aku tidak sudi bersahabat dengan orang yang tidak percaya kepadaku sedangkan aku amat percaya kepadamu!” Tubuhnya membalik dan berkelebat pergi.

Bukan main kagetnya hati Bok Liong. Ia pun cepat mengerahkan ginkang-nya untuk mengejar, “Nanti dulu, Non... eh, Moi-moi. Tunggu...! Mari kita bicara...!”

Akan tetapi Lin Lin tidak mempedulikannya, terus lari kencang. Karena ia mempergunakan ginkang dari Khong-in-ban-kin, tentu saja larinya cepat sekali, mengalahkan kuda betina yang kabur dikejar kuda jantan. Dan Bok Liong sampai berkeringat karena harus mengerahkan seluruh tenaga mengejar.

“Lin-moi... tunggu dulu...! Aku percaya padamu...!”

Lin Lin mendengar derap kaki kuda. Kiranya Bok Liong yang melihat betapa gerakan Lin Lin amat gesit dan cepat kembali ke tempat tadi, meloncat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda tunggangnya itu, melakukan pengejaran. Tapi ilmu lari cepat yang dipergunakan Lin Lin benar-benar luar biasa sekali. Kalau gadis itu sudah matang dalam melatih Khong-in-ban-kin, kiranya pemuda itu biar pun berkuda takkan mampu menyusulnya. Sekarang pun sukar sekali Bok Liong dapat menyusul.

Setelah berkejaran hampir dua jam dan mereka tiba di luar kota Pao-teng sebelah selatan kota raja, barulah Lin Lin tersusul. Hal ini pun hanya karena gadis itu kehabisan napas, terpaksa ia berhenti dengan napas memburu. Sepasang pipinya menjadi merah seperti buah tomat karena darahnya bergerak cepat setelah berlari selama itu.

Bok Liong cepat-cepat melompat turun dari atas kudanya dan menghadapi Lin Lin yang berdiri cemberut. Bok Liong kembali mengangkat kedua tangan memberi hormat dan suaranya benar-benar penuh bujuk rayu, “Adikku yang baik, Moi-moi yang baik budi, maafkanlah aku yang tolol. Aku sungguh tidak mengerti mangapa kau marah-marah kepadaku. Kalau kau suka menjelaskan, biarlah aku akan membunuh diri kalau memang aku berbuat dosa terhadapmu.”

Di dalam hatinya Lin Lin tertawa geli dan mengira pemuda itu membadut. Akan tetapi karena ia masih mendongkol, ia menjawab ketus, “Kau sudah tidak percaya kepadaku, mengapa masih memperlihatkan sikap bersahabat?”

“Siapa bilang aku tidak percaya, Lin-moi? Aku percaya seribu prosen kepadamu. Percaya mati-matian dan bulat-bulat!” Bok Liong sengaja bersikap jenaka dan benar saja, dara yang memang pada dasarnya berwatak jenaka gembira itu sebentar saja sudah hilang marahnya.

“Kau bilang percaya hanya di mulut tapi di hati kau menyangka aku akan melakukan hal-hal jahat dan akan menyeretmu ke dalam perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan kebenaran. Bagus, ya? Lain di mulut lain di hati, berani sumpah tak berani mati!”

Kini tiba giliran Bok Liong yang tertawa geli di dalam hatinya. Entah dari mana dara ini memungut kata-kata sindiran yang merupakan istilah dalam panggung sandiwara itu untuk mengukur watak laki-laki.

“Wah, benar aku telah bersalah, Lin-moi, akan tetapi sungguh mati bukan maksudku untuk tidak percaya kepadamu.”

“Nah, sekarang bunuh dirilah. Aku ingin sekali lihat!” kata Lin Lin sambil duduk di atas tanah, dibawah pohon. Peluhnya yang membasahi jidat dan leher diusapnya dengan sapu tangan sutera.

“Bunuh diri...? Apa maksudmu...?”

“Eh, pakai tanya lagi! Kan kau sendiri yang tadi berjanji hendak bunuh diri kalau berdosa kepadaku. Nah, kau bunuh dirilah. Atau memang kau pun termasuk golongan yang berani sumpah tak berani mati?”

“Waduh-waduh, masa kesalahan begitu saja dianggap dosa besar yang harus ditebus dengan nyawa? Lin-moi, harap jangan main-main. Biarlah, aku mengaku salah dan tidak akan banyak tanya lagi. Aku akan membantumu tanpa syarat dan tanpa tanya-tanya lagi. Sekarang katakan, apa yang dapat kulakukan untuk membantumu? Apakah kesukaranmu?” kata Bok Liong sambil duduk pula di atas tanah, berhadapan dengan Lin Lin. Kudanya yang juga tampak lelah itu beristirahat sambil makan rumput gemuk hijau di pinggir jalan, ekornya dikebut-kebutkan ke kanan kiri mengusir lalat, kelihatan girang dan lega kuda itu setelah tadi berlomba lari.

Kini wajah Lin Lin tampak sungguh-sungguh. Memang ia tadi mendongkol, akan tetapi tidak mendalam dan puaslah ia sudah dapat balas menggoda Bok Liong. Kini dengan suara serius ia berkata. “Liong-twako, sebetulnya pikiranku amat bingung. Aku mencari musuh besar tidak bertemu, mencari kakak angkatku juga tidak berhasil, malah-malah Kakak Bu Sin dan Enci Sian Eng pun sampai sekarang tidak bertemu kembali denganku, entah lenyap ke mana mereka itu!”

Tahulah sekarang Bok Liong bahwa gadis ini adalah seorang dara remaja yang hilang dalam arti kata terpisah dari dua orang kakaknya. Ia tidak memotong, melainkan menanti gadis itu melanjutkan penuturannya.

“Kami bertiga pergi meninggalkan dusun kami di kaki Gunung Cin-ling-san dengan niat mencari musuh besar kami, juga mencari kakak angkatku yang semenjak kami lahir tak pernah kami temui. Celakanya, kami bercerai-berai dan aku mencari sendiri, dibantu oleh kakek gundul Kim-lun Seng-jin. Namun hasilnya sia-sia belaka. Kakek gundul itu ternyata tidak becus membantuku, tak dapat membawaku kepada kakak angkatku, juga tidak tahu di mana adanya musuh besarku. Nah, sekarang aku minta bantuanmu, Liong-twako, bantulah aku mencari mereka itu.”

Bok Liong tertawa. Hatinya lega bukan main. “Ah, Lin-moi, kau ini memang suka bikin orang bingung. Kalau tadi-tadi kau bilang hanya bantuan seperti ini saja, tentu aku seribu kali setuju. Akan kubantu engkau, Moi-moi. Akan tetapi, tentu saja aku harus tahu lebih dulu siapakah gerangan mereka yang kau cari. Siapakah musuh besarmu itu?”

“Aku sendiri juga tidak tahu, akan tetapi menurut dugaan kami, dia adalah si Suling Emas.”

Tiba-tiba Bok Liong meloncat sampai satu meter lebih. Mukanya berubah dan ia memandang kepada Lin Lin dengan bengong. Lin Lin juga meloncat dan membanting kakinya.

“Nah-nah-nah, kau kumat lagi! Apakah semua laki-laki memang pengecut sehingga begitu mendengar nama Suling Emas lantas menjadi ketakutan macam ini? Kau dan kakek gundul sama saja. Menjemukan benar!”

“Wah, kau yang kumat, bukan aku,” demikian suara hati Bok Liong. Akan tetapi mulutnya segera berkata, “Jangan salah sangka, Lin-moi. Aku tidak takut, hanya terheran-heran. Kau agaknya tidak tahu orang macam apa dia itu maka begitu mudah kau menuduh dia sebagai musuh besarmu. Lin-moi, Suling Emas adalah seorang pendekar sakti yang dipandang tinggi oleh para tokoh bersih di dunia kang-ouw. Masa dia membunuh ayah bundamu?”

Lin Lin cemberut. “Biar dipandang tinggi oleh semua orang di dunia atau dipandang tinggi oleh para dewa sekali pun, aku tidak takut! Ihhh, semua orang takut kepada Suling Emas. Sampai bagaimana sih kepandaiannya? Ingin aku bertemu dengan dia dan mengajak dia duel (adu ilmu) sampai selaksa jurus!”

Bok Liong meraba-raba bawah hidungnya yang tidak berkumis untuk menahan tawa. “Baiklah, Lin-moi. Aku akan membantumu dan kurasa kalau diusahakan benar, bukan tidak mungkin aku akan dapat memperjumpakan kau dengan Suling Emas.”

Wajah yang cemberut itu seketika berseri dan kembali Bok Liong merasa dadanya tergetar. Sekarang demikian hebat ia terpengaruh sehingga jantung di dalam rongga dadanya berloncatan ke atas kemudian jatuh kembali di tempatnya dalam keadaan terbalik! Mulutnya sampai ternganga ketika ia memandang wajah Lin Lin, sinar matanya sayu penuh keharuan. Baru kali ini ia menyaksikan sesuatu yang demikian indahnya sampai mengharukan.

Akan tetapi Lin Lin mana memperhatikan hal ini? Ia sudah terlampau girang. Cepat ia menyambar tangan Bok Liong, di guncang-guncangnya. “Betul, Liong-twako? Kau bisa mencari dia? Ah, kakek gundul itu saja tidak becus. Di mana adanya Suling Emas, Liong-ko? Jauh atau dekat? Hayo kita segera pergi ke sana, ingin kupaksa dia mengaku tentang pembunuhan itu!”

Kembali Bok Liong tersenyum. Kini ia berani tersenyum dan ini memudahkan ia menahan tawanya mendengar kata-kata dan melihat sikap yang lucu ini. Benar-benar seorang dara lincah jenaka yang seperti seekor burung baru belajar terbang, tidak tahu tingginya gunung lebarnya lautan!

“Tidak begitu mudah, Lin-moi. Orang macam dia itu tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi aku akan bertanya-tanya kepada tokoh kang-ouw. Aku mempunyai banyak kenalan di dunia kang-ouw, dan dari mereka kurasa akhirnya kita akan dapat berjumpa dengan Suling Emas. Sekarang soal kedua, tentang kakakmu itu. Siapa dia dan bagaimana mungkin seorang kakak tidak pernah bertemu dengan adik-adiknya selamanya?”

“Kakak angkatku itu bernama Kam Bu Song, akan tetapi ketika ia mengikuti ujian di kota raja empat belas tahun yang lalu, ia memakai she Liu. Apakah kau bisa mencari keterangan tentang dia?”

“Kam... Liu Bu Song? Tak pernah aku mendengar nama ini, akan tetapi kalau empat belas tahun yang lalu dia di kota raja, tentu saja aku tidak ingat lagi. Tentu aku masih kanak-kanak waktu itu. Akan tetapi aku dapat mencari keterangan di kota raja tentang dia. Sekarang, kau hendak mencari yang mana lebih dulu? Kalau mencari kakakmu lebih dulu, kita kembali ke kota raja. Kalau mencari Suling Emas, tidak perlu kita ke kota raja.”

Lin Lin termenung. Kedua orang itu sama pentingnya. Akan tetapi pertemuan dengan Kim-lun Seng-jin dan cerita tentang ‘Puteri Khitan’ amat menarik hatinya dan membuat ia ingin sekali segera mendengar pemecahan rahasia ini. Pula, kalau ia mencari Bu Song di kota raja, ada keuntungannya, yaitu sambil menanti datangnya Bu Sin dan Sian Eng. Mereka berdua itu pasti akan datang ke kota raja pula.

“Biar kita ke kota raja mencari Kakak Bu Song lebih dulu,” akhirnya ia berkata. “Sekalian menanti munculnya Sin-ko dan Enci Sian Eng. Liong-twako, kau baik sekali. Perlu kau kuperkenalkan dengan Sin-ko dan terutama dengan Eng-cici. Wah, dia itu gagah perkasa, ilmu pedangnya hebat dan dia cantik sekali, Twako!” Setelah berkata demikian ia tertawa-tawa gembira.

Merah muka Bok Liong. “Hush, kau bicara apa ini? Kenapa kau bilang kepadaku tentang Cici-mu? Apa perlunya?”

“Ihhh, kalau aku memuji kecantikan Enci-ku di depanmu, apa sih salahnya?” Ia tertawa-tawa lagi dan matanya menggoda.

Bok Liong tersenyum masam, hatinya mengeluh. “Engkaulah yang cantik, tidak ada wanita kedua di dalam dunia ini yang dapat menggerakkan hatiku seperti engkau,” demikian suara hatinya.

“Baiklah, kita kembali ke kota raja. Akan tetapi sarung pedangmu itu harus diganti. Biar nanti kucarikan gantinya.”

“Sarung pedang? Mengapa?” Lin Lin meraba pedangnya.

“Moi-moi, tadi aku mendengar dari kata-kata Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning yang hilang dari istana dan berada di tanganmu. Lebih baik sarungnya yang istimewa itu diganti, sehingga tidak akan dikenal orang.”

Lin Lin tersenyum. “Memang inilah pedang itu, kakek gundul dan aku yang mengambilnya. Wah, kalau kau ikut tentu senang sekali, Liong-twako. Kami berdua menyikat habis semua masakan di dalam dapur istana. Wah, enak-enak, pendeknya, selama hidup belum pernah kau merasakannya. Sampai sakit perutku, terlalu kenyang dan perut kakek itu menjadi busung. Dan kami... kami menyamar seperti kucing...” Lin Lin terkekeh gembira, menutupi mulutnya dan dengan suara terputus-putus diseling tawa ia menceritakan pengalamannya di istana.

Bok Liong kagum bukan main. Kagum akan kehebatan Kim-lun Seng-jin, juga kagum akan manisnya mulut yang bergerak-gerak bicara itu. Kemudian mereka berdua memasuki kota Pao-teng dan di sebuah toko senjata, Bok Liong membeli sebuah sarung pedang untuk pedang yang tergantung di pinggang Lin Lin. Kini pedang itu, tanpa ronce-ronce dan dengan sarung lain, tiada bedanya dengan pedang biasa, maka tentu tidak akan ada yang tahu bahwa itulah Pedang Besi Kuning, pedang pusaka rampasan dari bangsa Khitan yang lenyap dari dalam gudang pusaka istana.

Di kota Pao-teng, Bok Liong mengajak Lin Lin memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar dan bersih. Hari menjelang senja dan perut mereka telah lapar. Tanpa sungkan-sungkan Lin Lin menyetujui dan seorang pelayan segera menyambut mereka dengan hormat, apa­lagi ketika melihat pedang yang tergantung di punggung Bok Liong dan di punggung Lin Lin.

Bok Liong bertanya, “Kau hendak makan apa, Moi-moi?”

“Apa sajalah. Setelah makan eh... anu... semua itu, kiranya tidak ada makanan yang cukup enak bagiku.” Ia mengernyitkan hidung. Bok Liong maklum bahwa yang dimaksudkan Lin Lin tentu masakan-masakan di dapur istana itu. Pelayan yang menanti pesanan mereka tentu saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh nona yang cantik jelita dan gagah perkasa ini.

Bok Liong memesan arak wangi, nasi putih, bakmi, bakso dan beberapa macam sayur-mayur lagi. Pesanan itu dilayani dengan cepat sehingga beberapa menit kemudian mereka telah mulai makan minum. Kelahapan Bok Liong dan perutnya yang sudah amat lapar itu membuat Lin Lin dapat makan dengan enak juga, malah tidak kalah enaknya dengan masakan-masakan dapur istana ketika ia sudah kekenyangan. Bukanlah masakannya yang menjadi syarat mutlak untuk kelezatan, melainkan perut lapar. Perut lapar menyedapkan setiap makanan yang paling sederhana seakali pun!

Suara orang bercakap-cakap riuh­rendah memasuki restoran itu tidak menarik perhatian Lin Lin dan Bok Liong yang sedang enak makan, juga ketika beberapa orang tamu memesan masakan dengan suara parau, mereka tidak menengok dan terus makan. Akan tetapi karena tiga orang laki-laki yang baru datang itu duduknya di meja yang berhadapan dengan Lin Lin, mau tak mau Lin Lin dapat melihat mereka. Mendadak gadis ini meletakkan sumpit dan mangkoknya, kemudian ia bangkit dari tempat duduk dengan mata berapi. Bok Liong melihat keadaan gadis ini sambil menghirup kuah dari mangkok, menoleh lalu mengerutkan keningnya. Kiranya yang bercakap-cakap dan duduk mengelilingi meja itu adalah tiga orang laki-laki yang pakaiannya ditambal-tambal, pakaian pengemis jembel!

“Sssttttt, Lin-moi, tenang dan duduklah. Tak baik membuat ribut di restoran orang, bikin kacau dan rusak barang orang saja,” bisiknya.

Lin Lin sadar, menekan perasaannya dan duduk kembali. Seorang pelayan yang sedang bersiap untuk mengambilkan pesanan tiga orang pengemis itu memandang penuh kekhawatiran dan curiga kepada Lin Lin. Akan tetapi ketika melihat gadis ini duduk kembali, ia cepat-cepat pergi ke dapur. Tidak mengherankan apa bila Lin Lin kaget dan marah melihat tiga orang laki-laki itu, karena mereka ini adalah tiga orang di antara para pengemis yang malam-malam mengeroyok dia dan dua orang saudaranya.

Sebaliknya tiga orang pengemis itu agaknya tidak mengenal Lin Lin, dan hal ini pun tidak aneh. Mereka baru satu kali saja melihat Lin Lin, ini pun di waktu malam dan dalam pertempuran. Apa lagi ketika itu Lin Lin ditemani oleh Bu Sin dan Sian Eng, sedangkan sekarang hanya berdua dengan Bok Liong.

“Mereka adalah pengemis-pengemis yang dulu ikut mengeroyok kami,” bisik Lin Lin.

Bok Liong mengangguk-angguk. Gadis itu sudah bercerita tentang perselisihannya dengan para pengemis yang dipimpin oleh si Raja Pengemis It-gan Kai-ong.

“Mereka itu tokoh-tokoh Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang) dan agaknya mereka datang sebagai tamu. Wilayah mereka bukanlah di Pao-teng sini. Lin-moi, mari kita ke luar.” Bok Liong memanggil pelayan, membayar dan mengajak Lin Lin keluar dari restoran.

“Lin-moi, malam ini kita sebaiknya bermalam di sini. Pengemis-pengemis itu mencurigakan. Pengemis-pengemis Hui-houw-kai-pang merupakan orang-orang kepercayaan It-gan Kai-ong, mereka itu bekerja untuk Kerajaan Wu-yue. Kalau datang ke dekat kota raja tentu ada maksud-maksud tertentu, sebagai mata­mata. Aku akan membayangi mereka.”

“Liong-ko, kenapa kau akan lakukan hal ini? Apa hubunganmu dengan urusan itu?”

Bok Liong memandang dengan sinar mata penuh perasaan ketika ia berkata. “Lin-moi, seorang warga negara harus setia kepada negaranya. Demikian pula aku, harus setia kepada Kerajaan Sung. Kalau aku melihat persekutuan yang membahayakan negara dan aku diamkan saja bukankah itu berarti bahwa aku menjadi seorang pengkhianat? Tidak Moi-moi, takkan kudiamkan saja kalau orang-orang Hui-houw-kai-pang ini mempunyai niat melakukan sesuatu yang membahayakan negara.”

Kagum hati Lin Lin. Sebagai anak angkat Jenderal Kam, seorang patriot sejati yang rela mengorbankan diri dan kebahagiaan demi negara, tentu saja ia tahu akan hal ini, dan ia dapat menghormati sikap ini.

Malam hari itu Bok Liong dan Lin Lin membayangi tiga orang pengemis yang memasuki sebuah rumah gedung kecil di sebelah timur kota Pao-teng. Rumah ini jauh dari tetangga, pekarangannya lebar dan kelihatannya sunyi. Sebuah rumah kuno yang modelnya seperti rumah pesanggrahan bangsawan yang hanya ditinggali sewaktu-waktu saja. Bagi para penduduk Pao-teng, rumah gedung mungil ini terkenal dengan sebutan ‘Gedung Merah’ karena memang cat rumah itu serba merah.

Orang-orang hanya tahu bahwa rumah itu milik seorang bangsawan muda dari An-sui yang kadang-kadang saja datang ke rumah ini, di mana ia mempunyai beberapa orang wanita penghibur yang menjadi selir-selirnya. Kalau bangsawan muda itu datang, barulah tampak kesibukan di gedung merah ini. Tukang-tukang masak pandai dipanggil, rombongan penghibur, penari dan penyanyi, diundang dan sering kali diadakan pesta oleh bangsawan itu bersama selir-selirnya, kadang-kadang ditemani beberapa orang tamu.

Bangsawan muda itu bukan lain adalah Suma Boan, putera Pangeran Suma Kong. Memang dia seorang pemuda penghambur nafsu dan uang. Sebetulnya hanya kelihatannya saja Suma Boan merupakan seorang kongcu hidung belang yang menghabiskan waktunya dengan pelesir dan bersenang-senang. Padahal sebetulnya dia seorang muda yang penuh cita-cita. Tidak sia-sia ia menjadi murid orang sakti It-gan Kai-ong, karena tidak saja ia memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun juga memiliki cita-cita setinggi langit.

Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw ia hubungi, dan ia menghimpun tenaga untuk sewaktu-waktu bergerak melaksanakan tujuan dan cita-citanya, yaitu menggulingkan kedudukan kaisar dan mengangkat diri sendiri menjadi penggantinya! Tentu saja cita-citanya ini masih merupakan rahasia dalam hatinya dan kiranya hanya gurunya dan pembantu-pembantunya yang paling setia saja yang tahu. Orang lain hanya menganggap bahwa Suma Boan adalah seorang bangsawan, putera pangeran, masih sanak dengan kaisar, kaya raya dan royal di samping memiliki ilmu kepandaian silat tinggi.

Maka dari itu Bok Liong menjadi heran sekali ketika ia mengintai dari atas genteng gedung merah bersama Lin Lin, ia melihat bahwa tiga orang pengemis itu mengadakan pertemuan dengan Suma Boan. Hal ini sama sekali tak pernah diduganya. Suma Boan putera pangeran yang tinggai di An-sui itu berada di sini? Benar-benar di luar dugaannya yang sejak dahulu berkelana. Bok Liong mengenal siapa adanya Suma Boan, murid It-gan Kai-ong yang lihai.

Akan tetapi ia sama sekali tidak tahu akan rahasia putera pangeran ini. Ia tidak menjadi heran karena Suma Boan berhubungan dengan pengemis, karena guru pemuda bangsawan itu adalah raja pengemis sendiri! Akan tetapi yang membuat ia terheran-heran adalah munculnya pemuda bangsawan itu di gedung merah, karena tadinya ia mengira bahwa tiga orang pengemis itu hendak mengadakan persekutuan atau pertemuan rahasia dengan musuh-musuh Kerajaan Sung. Maka ia kecewa dan memberi isyarat kepada Lin Lin untuk pergi dari situ.

Akan tetapi, sebaliknya wajah Lin Lin menegang ketika ia mengenal Suma Boan. Ia malah memberi isyarat kepada Bok Liong untuk mendengarkan percakapan mereka di bawah, lalu mendekatkan mulut pada telinga Bok Liong sambil berbisik. “Di rumah dia itulah aku berpisah dengan kedua kakakku.”

Mendengar ini hati Bok Liong tertarik dan ia segera mendekam dan mendengarkan percakapan empat orang itu.

Terdengar Suma Boan bertanya. “Mana Suhu? Kenapa tidak datang dan bagaimana hasilnya dengan surat yang dirampas Hek-giam-lo?”

“Kai-ong-ya tidak berhasil merampas kembali, tapi memberi tahu bahwa surat itu agaknya sudah terampas kembali oleh Siang-mou Sin-ni dari tangan Hek-giam-lo. Sekarang Ong-ya berkenan pergi sendiri menyelidik ke Yu-nan.”

“Apa? Suhu mendatangi wilayah Nan-cao?”

“Betul, Kongcu. Pada pertengahan bulan depan, tepat pada bulan purnama, di sana diadakan pesta menyambut hari raya kaum Agama Beng-kauw, sekalian memperingati hari wafat ke seribu dari Kauw-cu (Ketua Agama) yang telah meninggal dunia. Dalam kesempatan ini tentu saja Kai-ong-ya dapat menghadiri karena para tokoh hitam dan putih semua diterima dengan tangan terbuka oleh Beng-kauw.”

“Bagus!” Suma Boan kelihatan girang sekali. “Hanya sayang sekali, kalau Suhu memberi tahu, tentu aku akan ikut ke sana, untuk melihat dan menambah pengalaman.”

“Kai-ong-ya berpesan agar Kongcu suka menanti kedatangan Tok-sim Lo-tong yang sudah berjanji akan datang mengunjungi dan sudah siap memberi bantuan untuk menghadapi Suling Emas.”

“Hemmm, si keparat itu apakah sudah dapat diketahui Suhu di mana tempatnya kalau ia datang ke kota raja?”

“Menurut Kai-ong-ya, sering kali ia berada di dalam gedung perpustakaan istana.”

“Heeeee! Apa itu?” Tubuh Suma Boan berkelebat, diikuti tiga orang pengemis itu yang sudah melompat ke luar dan langsung melayang ke atas genteng.

Kiranya tadi ketika mendengar percakapan di bawah, Bok Liong dan Lin Lin menjadi tertarik sekali. Apa lagi ketika nama Suling Emas disebut-sebut, Lin Lin menjadi begitu bernafsu sehingga ia bergerak untuk membuat lubang lebih besar. Karena kurang hati-hati dan hatinya tegang, gerakannya mengeluarkan bunyi dan terdengar oleh telinga Suma Boan yang tajam.

“Keparat, berani kalian main-main di depan Lui-kong-sian?!” bentak Suma Boan sambil menerjang maju. Lui-kong-sian atau Dewa Geledek adalah julukannya.

Bok Liong maklum akan lihainya lawan, maka cepat ia memasang kuda-kuda dan menangkis. Dua lengan yang sama kuatnya bertemu dan akibatnya, keduanya terpental melayang dan tentu akan roboh terguling di atas genteng kalau tidak cepat-cepat mereka meloncat turun.

Lin Lin yang tahu bahaya juga mendahului meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Baru saja kakinya menginjak tanah, tiga orang pengemis itu sudah menerjangnya dengan tongkat, gerakan mereka cepat dan kuat. Namun Lin Lin sudah memutar pedangnya, tampak sinar kuning bergulung-gulung dari pedang itu menyambut datangnya tiga bayangan tongkat.

Ada pun Suma Boan ketika tertangkis oleh lengan Bok Liong, terkejut bukan main dan ia menjadi penasaran. “Siapakah kau? Apa perlunya kau malam-malam datang seperti pencuri?” bentaknya ketika ia sudah berhadapan dengan lawannya di atas tanah. Sayang, keadaan agak gelap sehingga ia tidak dapat mengenal siapa pemuda yang lihai di depannya ini.

“Suma-kongcu, suruh orang-orangmu mundur, dan kami akan segera pergi, tidak akan mengganggumu lagi,” kata Bok Liong sambil memandang ke arah pertempuran. Akan tetapi ia tidak khawatir akan keselamatan Lin Lin karena tiga orang pengemis itu telah terdesak hebat oleh sinar pedang kuning yang bergulung-gulung dahsyat.

“Enak saja bicara, berani kau datang untuk memerintahku? Ke neraka kau!” Suma Boan cepat menerjang dengan pukulan-pukulan maut.

Keistimewaan pemuda bangsawan ini adalah ilmu pukulan tangan kosong. Tenaganya kuat dan ia memiliki banyak tipu muslihat, juga memiliki beberapa pukulan yang mengandung tenaga beracun. Namun kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh, murid seorang sakti pula, maka semua pukulannya dapat dihalau oleh Bok Liong. Karena dia seorang pendekar yang gagah dan memang suka mengadu ilmu, apa lagi sudah lama mendengar akan nama besar Lui-kong-sian Suma Boan, Bok Liong juga tidak mau mencabut pedangnya dan melayani lawannya dengan tangan kosong pula. Keduanya sama kuat, sama cepat dan masing-masing mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi.

Keadaan Lin Lin dan para pengeroyoknya tidak seramai dua orang jago muda ini. Dalam sekejap mata saja, pedangnya telah merobohkan dua orang pengeroyok dan pengemis yang ketiga lari ketakutan menjauhkan diri! Diam-diam Lin Lin menjadi girang dan juga bangga. Ia pernah dikeroyok orang-orang seperti ini ketika bersama Bu Sin dan Sian Eng dahulu, dan mereka bertiga amat repot menghadapi pengeroyokan banyak pengemis. Akan tetapi sekarang, biar pun yang mengeroyoknya hanya bertiga, namun dengan pedang curian itu dan dengan ilmu warisan Kim-lun Seng-jin, terasa betapa lemahnya tiga orang pengeroyoknya dan betapa mudah ia merobohkan mereka! Lin Lin menoleh dan melihat Bok Liong masih bertanding hebat dengan pemuda jangkung yang sombong itu.

“Liong-twako, jangan takut, pedangku akan mencabut nyawanya!” seru Lin Lin dan cepat ia menerjang.

Sinar kuning berkelebat dan Suma Boan mengeluh sambil membuang diri ke kiri lalu berjungkir balik. Pucat wajahnya karena hampir saja ia menjadi korban sinar pedang yang mengandung hawa dingin seperti es. Ia tadi terlalu memandang rendah. Kiranya selain pemuda lawannya itu hebat, juga gadis itu amat lihai dan ganas ilmu pedangnya.

Lin Lin hendak menerjang lagi, akan tetapi tangannya disambar Bok Liong, lalu ditarik dan pemuda itu berkata, “Moi-moi, mari kita pergi, jangan bikin kacau rumah orang!”

Lin Lin baru teringat bahwa sebetulnya bukan menjadi kehendak mereka bertempur dengan orang-orang itu. Tadi ia terpaksa merobohkan lawan karena ia dikeroyok. Sekarang, apa perlunya bertanding terus? Ia tidak bermusuhan dengan pemuda bangsawan itu. Malah pemuda itu telah berjasa dalam menyebut-nyebut Suling Emas tadi. Ia tahu sekarang ke mana harus mencari Suling Emas, musuh besarnya. Ke kota raja. Di dalam gedung perpustakaan istana! Hatinya girang mengingat akan hal ini dan ia cepat meloncat pergi bersama Bok Liong, menghilang ke dalam gelap.

Suma Boan tidak mengejar. Pemuda bangsawan ini cukup cerdik dan hati-hati. Dua orang itu lihai, dan belum ia kenal siapa mereka. Tiga orangnya telah roboh, mengapa ia harus mengejar tanpa bantuan yang kuat?

Setelah berlari jauh meninggaikan kota Pao-teng, Bok Liong dan Lin Lin berhenti untuk mengatur napas. “Wah, untung kebetulan It-gan Kai-ong tidak berada di sana bersama Suma-kongcu. Kalau ada, bisa berbahaya tadi. Sama sekali tidak kuduga bahwa gedung merah itu milik Suma Boan,” kata Bok Liong.

“Aku tidak takut! Biar ada jembel tua bangka setengah buta itu aku tidak takut dan akan melawannya mati-matian!” seru Lin Lin dengan suara gagah.

“Kau memang hebat, Lin-moi. Memang tenaga kita digabung menjadi satu, belum tentu si tua dapat berbuat sekehendak hatinya. Tapi Suma Boan itu pun tak boleh dipandang ringan. Dia lihai....” Bok Liong menggeleng-geleng kepala.

Ia maklum bahwa kata-katanya ini hanya untuk mencegah agar Lin Lin tidak menjadi marah. Padahal ia tahu benar bahwa mereka berdua bukanlah lawan It-gan Kai-ong. Melawan Suma Boan saja kepandaiannya baru seimbang. Pemuda bangsawan itu harus ia akui amat hebat ilmu pukulannya. Tadi pun ia sudah kewalahan dan hampir mencabut pedangnya kalau saja Lin Lin tak segera maju membantunya.

“Liong-ko, sekarang kita harus kembali ke kota raja. Suling Emas berada di sana, di dalam gedung perpustakaan istana. Wah, kali ini dia tidak akan dapat terlepas dari tanganku!”

Bok Liong mengangguk-angguk. “Memang kurasa kali ini kita akan dapat bertemu dengannya. Akan tetapi sebelumnya, kuminta kepadamu, Lin-moi. Jangan kau terburu nafsu dan lancang menyerangnya kalau kita bertemu dengannya. Aku yang akan bicara dengannya, dan aku dapat mengajukan pertanyaan yang akan memaksanya mengaku apakah dia membunuh orang tua angkatmu ataukah tidak. Tak boleh sembrono dan lancang terhadap seorang seperti dia.”

“Aku tidak takut!”

“Memang kau tidak takut, Moi-moi, akan tetapi bagaimana kalau penyeranganmu itu salah alamat? Bagaimana kalau ternyata dia itu tidak berdosa? Bukankah kau menyerang orang yang tidak bersalah kepadamu dan kalau terjadi demikian maka berarti kaulah yang bersalah kepadanya.”

“Baiklah, baiklah. Aku akan menutup mulut dan mau menyerahkan urusan kepadamu. Asal aku segera bertemu dengannya dan mendapat kepastian, baru aku puas, Twako.”

Bok Liong tersenyum. Ia khawatir kalau-kalau sahabat barunya ini marah dan mengambul. “Marilah, Moi-moi. Kau suka melakukan perjalanan malam begini?”

“Biar malam tapi udara terang, lihat bulan tersenyum di atas tuh!”

Akan tetapi Bok Liong tidak memandang bulan, melainkan memandang wajah yang tengadah, wajah yang baginya lebih indah dari pada bulan sendiri!

“Kau tidak lelah dan ngantuk nanti?”

Lin Lin menggeleng kepala. Maka berangkatlah dua orang muda itu, berjalan kaki di bawah sinar bulan, berendeng mereka berjalan. Bagi Lin Lin, hal ini adalah biasa saja dan tidak mendatangkan perasaan apa-apa. Ia merasa seperti berjalan di samping Bu Sin. Terhadap Bok Liong ia mempunyai perasaan persaudaraan yang tebal dan menganggap pemuda ini seperti kakaknya sendiri.

Tentu saja tidak demikian apa yang berkecamuk di dalam rongga dada Bok Liong. Suasana romantis ini mendorong-dorong hasratnya, menekan-nekan hatinya dan membakar darahnya, membuat ia ingin sekali menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin menyatakan cinta kasihnya yang berkobar-kobar menghanguskan jiwanya. Ingin ia memegang jari-jari tangan yang kecil halus itu. Ingin ia mendekap kepala dengan wajah cantik dan rambut hitam halus harum itu ke dadanya, ingin membisikkan sumpah cinta, ingin ia... ingin....

“Plakkk!”

“Eh, ada apa, Twako?” Lin Lin berhenti dan menoleh ke samping, memandang heran kepada pemuda yang baru saja menempeleng kepalanya sendiri itu.

Bok Liong sadar, kaget dan gugup. “Oh... eh... tidak ada apa-apa, ada nyamuk tadi menggigit pelipisku,” jawabnya. Untung bayang-bayang pohon menyembunyikan sinar bulan dari mukanya yang menjadi merah sekali.

“Kau bikin kaget orang saja. Masa menepuk nyamuk di pelipis sendiri begitu kerasnya?” Lin Lin mengomel karena tadi ia dikagetkan dari lamunannya.

Sambil berjalan ia pun melamun, teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin akan keadaan dirinya. Betulkah ia seorang Puteri Khitan? Ia seorang puteri, keturunan langsung dari Raja Khitan? Inilah yang ia lamunkan dan ia seperti melihat dirinya dengan pakaian puteri yang indah sekali, berada di dalam gedung istana seperti yang pernah ia lihat bersama Kim-lun Seng-jin, disembah-sembah ribuan orang! Apa lagi kalau ia yang menjadi ratu dari bangsa Khitan, ia akan... akan apakah dia? Inilah yang baru ia pikir-pikir dan rencanakan dalam alam lamunannya ketika tiba-tiba Bok Liong menempeleng kepala sendiri dan mengagetkannya serta menariknya turun dari angkasa ke alam sadar.

“Sayang tidak ada kuda. Kalau kudaku masih ada, kau dapat naik kuda dan tidak terlalu lelah, Lin-moi.”

“Kenapa kau jual kudamu kalau begitu?”

Bok Liong menghela napas. “Perlu dijual... perlu sekali... saku sudah kosong, apa daya?”

Lin Lin menggerakkan tangan, sejenak menyentuh lengan pemuda itu. “Aku tahu. Kau terpaksa menjualnya untuk membelikan sarung pedangku ini dan untuk makan dan sewa kamar, untuk biaya-biaya perjalanan, bukan? Liong-ko, kau orang baik.”

Hati Bok Liong berdenyut-denyut girang, akan tetapi ia pura-pura mendengus. “Ah, yang begitu saja, mana patut diomongkan? Pula, dua orang melakukan perjalanan hanya dengan seekor kuda, canggung sekali. Kita berdua sudah sejak kecil berlatih ilmu lari cepat, untuk apa? Kalau kita mau, kita tidak akan kalah oleh larinya seekor kuda.” Mereka tertawa dan melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap.

********************


Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Lie Bok Liong yang melakukan perjalanan malam menuju ke kota raja karena Lin Lin sudah tidak sabar lagi menanti untuk segera dapat bertemu dengan orang yang dianggap musuh besarnya, yaitu Suling Emas. Mari sekarang kita menengok keadaan Sian Eng, gadis yang mengalami hal yang amat menyeramkan hatinya itu.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sian Eng tadinya berhasil melarikan diri dari tempat rahasia di bawah kuburan yang menjadi tempat tinggai Hek-giam-lo, yaitu pada saat Hek-giam-lo bertempur melawan Siang-mou Sin-ni yang datang menyerbu untuk minta dikembalikannya surat rahasia. Akan tetapi malang baginya. Di dalam sebuah hutan, selagi ia merasa lega dan mengira telah terlepas dari pada cengkeraman iblis itu, tiba-tiba si iblis itu sendiri muncul di depannya. Hek-giam-lo telah berada di situ, seakan-akan telah lebih dulu datang dan sengaja menanti kedatangannya.

Ia berusaha menyerang, namun apa dayanya terhadap Hek-giam-lo yang sakti? Di lain detik ia sudah pingsan dan dipondong Hek-giam-lo, kemudian dibawa lari secepat terbang! Kali ini si kedok iblis itu berlaku amat teliti, tak pernah memberi kesempatan sedikit pun juga kepadanya untuk dapat melepaskan diri dari pengawasannya. Hek-giam-lo bersikap amat menghormat kepadanya, menyebutnya tuan puteri, akan tetapi di samping sikap menghormat ini terbayang sifat memaksa yang tak dapat dibantah lagi. Memaksa agar Sian Eng ikut dengannya dan mentaati segala permintaannya.

Akhirnya gadis ini maklum bahwa tak mungkin ia mampu membebaskan diri lagi, maka ia juga tidak lagi mencoba. Selama iblis ini tidak mengganggunya dan memperlakukannya dengan sikap menghormat dan baik-baik, ia pun menurut saja dan hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dan ke mana ia akan dibawa.

“Hek-giam-lo, sudah berkali-kali kunyatakan bahwa aku bukanlah puteri raja seperti yang kau sebut-sebut. Aku she Kam, namaku Sian Eng. Kau salah lihat, karena itu harap jangan ganggu aku, biarkanlah aku pergi.” Berkali-kali gadis itu mencoba dengan bujukannya ketika mereka berjalan melalui sebuah bukit yang sunyi.

Hek-giam-lo memang pendiam dan ia tak banyak bicara selama dalam perjalanan, sungguh pun ia amat memperhatikan keperluan Sian Eng dan tak pernah terlambat untuk mencarikan makanan dengan pelayanan penuh hormat. Permintaan berkali-kali dari Sian Eng hanya dijawabnya singkat, “Paduka puteri raja kami memang sejak kecil diambil anak oleh Jenderal Kam.” Hanya demikian jawabnya dan selanjutnya ia tidak mau bicara lagi.

Melalui perjalanan yang amat cepat, kadang-kadang Hek-giam-lo memondong dan membawanya lari seperti terbang setelah minta maaf lebih dulu, mereka menuju ke arah timur laut dan pada suatu hari tibalah mereka di daerah yang jauh dari kota, daerah penuh hutan yang amat liar. Kemudian, di tengah-tengah daerah ini, tibalah mereka di sebuah rumah perkampungan dengan rumah-rumah yang kelihatan baru. Inilah perkampungan baru yang dijadikan pusat suku bangsa Khitan, terletak dalam sebuah hutan liar dikelilingi hutan-hutan kecil di antara gunung-gunung di perbatasan Mancuria!

Dapat dibayangkan betapa heran dan berdebar hati Sian Eng ketika Hek-giam-lo berteriak-teriak dalam bahasa yang ia tidak mengerti, lebih heran lagi ketika melihat para penyambut menjatuhkan diri berlutut di sepanjang jalan yang mereka lalui.

“Tengoklah, Tuan Puteri, rakyat kita memberi hormat kepada Paduka,” kata Hek-giam-lo, nada suaranya gembira.

Sian Eng melihat orang-orang kasar yang bertubuh tegap dan kuat, wanita-wanita cantik tapi sederhana, juga terdapat sifat-sifat gagah pada para wanita yang berlutut di pinggir jalan itu.

“Kita sekarang ke mana, Hek-giam-lo?”

“Mari menghadap Sri Baginda, Paman Paduka.”

“Pamanku?” Sian Eng tidak mendapat jawaban, terpaksa ia berjalan mengikuti Hek-giam-lo yang menuju ke sebuah rumah besar di tengah-tengah perkampungan itu.

Di depan rumah besar ini terdapat banyak penjaga, laki-laki berpakaian perang yang kelihatan gagah dan kuat, dengan tombak di tangan dan golok besar di pinggang. Mereka berbaris rapi dan memberi hormat dengan tegak ketika Hek-giam-lo dan Sian Eng lewat. Juga di dalam rumah, di sepanjang lorong, berbaris pasukan pengawal. Kiranya dalam rumah besar itu yang dari luar kelihatan sederhana, sebelah dalamnya amat mewah. Bendera-bendera kecil berkibar di mana-mana, bermacam-macam warnanya. Ketika mereka sampai di ruangan sebelah dalam, pasukan pengawal berganti, kini pasukan wanita yang cantik-cantik dan gagah serta bersinar mata tajam! Namun baik pasukan laki-laki mau pun wanita, semua kelihatannya amat takut dan menghormat Hek-giam-lo.

Melalui pelaporan seorang penjaga yang seperti raksasa wanita, besar dan bengis, mereka diperkenankan memasuki ruangan besar di mana telah menanti seorang laki-laki tampan berpakaian indah, duduk di atas sebuah kursi atau singgasana terbuat dari pada gading. Laki-laki ini usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan bermata tajam.

Hek-giam-lo yang menuntun Sian Eng masuk, berkata singkat, “Tuan Puteri, harap memberi hormat kepada Sri Baginda, Paman Paduka.” Ia sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar suaranya nyaring.

“Hamba datang menghadap. Dengan berkah Sri Baginda hamba berhasil mendapatkan Tuan Puteri yang sekarang ikut menghadap Sri Baginda.”

Laki-laki itu ternyata adalah Raja suku bangsa Khitan yang bernama Kubukan. Ia memandang wajah Sian Eng penuh perhatian. Sian Eng yang tidak sudi berlutut mengira bahwa raja yang tampan ini tentu akan marah karena ia tidak mau memberi hormat, akan tetapi kiranya tidak demikian. Raja itu memandang dengan sinar mata kurang ajar, kemudian tertawa bergelak dan berkata kepadanya dalam bahasa Han yang cukup lancar.

“Nona, marilah mendekat, biarkan aku memeriksa cermat apakah kau benar keponakanku ataukah palsu.”

Sian Eng melangkah maju sampai berada dekat dengan raja itu sambil berkata, “Hek-giam-lo tahu bahwa aku bukan keponakanmu. Sudah kuberitahukan berkali-kali tapi ia nekat saja membawaku ke sini. Siapa pun adanya kau, harap kau suka berlaku murah dan bebaskan aku.”

Raja itu memandang lagi penuh perhatian, kemudian tertawa sekali lagi. Dari mulutnya berhamburan bau arak yang keras. “Ha-ha-ha, semua orang mengaku keponakanku, ha-ha. Alangkah inginku dapat memeluk keponakanku, dapat meraba lehernya yang halus. Untung kau bukan keponakanku, Nona, kau cukup cantik jelita. Ha-ha, untung...!” Sian Eng terkejut sekali dan ia sudah merasa ngeri ketika kedua tangan raja yang berbulu lengannya itu bergerak hendak merabanya.

Akan tetapi pada saat itu Hek-giam-lo berkata dalam bahasa Khitan yang tak dimengerti Siang Eng, “Sri Baginda, kali ini tidak bisa salah lagi. Dia itu adalah anak Jenderal Kam. Sayang Jenderal Kam sendiri sudah mampus ketika hamba sampai di sana. Hamba mendengar bahwa anak-anaknya pergi ke kota raja, maka hamba menyelidiki dan berhasil menangkap anak perempuannya ini. Tak salah lagi, dia adalah puteri mendiang Tuan Puteri Tayami.”

“Hek-giam-lo, apa yang menyebabkan kau yakin benar bahwa dia ini betul-betul keponakanku? Sudah ada dua orang gadis yang dibawa datang dan perwira-perwira yang membawanya bersumpah bahwa mereka adalah keponakanku. Tapi ternyata bukan. Kau boleh lihat mereka. Biar pun mereka berdua itu jauh lebih cocok menjadi keponakan yang kucari-cari dari pada gadis ini, toh mereka itu bukan keponakanku!”

Raja memberi tanda dengan tepukan tangan dan tak lama kemudian dua orang gadis digiring masuk. Dua orang gadis yang cantik jelita akan tetapi wajah mereka pucat dan di kedua pipi yang halus tampak bekas air mata. Mereka ini berdiri di depan raja dan menundukkan muka.

“Ha-ha-ha, mereka ini keponakanku? Akan tetapi biar pun bukan, kedatangan mereka sedikit banyak menyenangkan hatiku, biar pun hanya untuk beberapa malam. Hek-giam-lo, gadis yang kau bawa ini bukanlah puteri Kakak Tayami.”

“Tapi Sri Baginda....”

“Kau mau bukti? Dengar, ketika masih bayi, pernah kulihat keponakanku itu. Pada punggungnya terdapat sebuah tanda merah. Coba kita periksa bersama!” Ia memberi isyarat dan tiba-tiba Hek-giam-lo menggerakkan tangannya. Tahu-tahu ia telah memegang senjatanya yang hebat, yaitu sabit bengkok yang amat tajam itu.

Sinar berkilauan menyambar-nyambar, Sian Eng menjerit ngeri karena merasa betapa tubuhnya dikurung sinar berkilauan. Kemudian, hampir ia roboh pingsan ketika mendapat kenyataan bahwa pakaiannya telah terbang ke kanan kiri disambar sinar itu dan beberapa detik kemudian ia telah menjadi telanjang bulat!

Dapat dibayangkan betapa malu dan marahnya Sian Eng. Ingin ia berlaku nekat dan menerjang mengadu nyawa, akan tetapi rasa malu karena keadaannya yang telanjang itu membuat ia kehilangan tenaga, malah ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan setengah bertiarap di atas lantai untuk menyembunyikan tubuhnya. Tentu saja dengan berbuat demikian, punggungnya tampak jelas dan raja bersama Hek-giam-lo melihat jelas kulit punggung yang putih bersih tiada cacad sedikit pun!

“Ha-ha-ha-ha, kau lihat, Hek-giam-lo? Dia bukan keponakanku, sayang seribu kali sayang. Tapi lumayan juga, dia cantik manis!”

“Ampun, Sri Baginda. Hamba telah berlaku ceroboh.” terdengar Hek-giam-lo berkata, suaranya gemetar penuh sesal.

“Tidak apa, kau carilah lagi. Gadis ini pasti akan menyenangkan hatiku. Eh, Nona, kau berdirilah.”

Sian Eng terkejut sekali ketika merasa betapa pundaknya diraba orang yang hendak menariknya berdiri. Ia mengangkat muka memandang dan kiranya raja itulah yang sudah turun dari singgasana untuk membangunkannya, matanya bersinar-sinar penuh nafsu. Saking ngeri, malu, dan marahnya, Sian Eng tidak ingat apa-apa lagi. Bagaikan seekor harimau betina, ia melompat dan menerkam ke depan, memukul dengan kedua tangannya ke arah dada dan perut raja itu!

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terpental ke samping, roboh menumbuk dinding. Raja itu sendiri pucat mukanya dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Hampir saja ia celaka kalau tidak ada Hek-giam-lo yang cepat menolongnya tadi. Marahnya bukan main. Lenyap keinginannya untuk mempermainkan Sian Eng, terganti rasa benci yang meluap-luap.

“Hek-giam-lo, kuserahkan dia kepadamu. Hukum dia, juga dua orang puteri palsu ini. Muak aku kepada mereka. Kubur mereka hidup-hidup, jadikan tontonan, biar rakyatku melihat dan berkesempatan menghina mereka yang menyebalkan hati rajanya!” Setelah berkata demikian, raja itu mendengus marah, lalu pergi memasuki kamarnya, diiringi oleh dayang-dayang cantik jelita dan muda-muda.

Sian Eng sudah bangun kembali dan cepat menyambar pakaiannya yang robek menjadi beberapa potong. Sedapat-dapat ia membungkus tubuhnya dengan pakaian itu dan untung bahwa pakaiannya terbuat dari pada kain yang lebar dan panjang sehingga biar pun robek-robek namun masih cukup untuk menutupi tubuhnya yang telanjang.

Akan tetapi Hek-giam-lo tak memberi kesempatan lagi kepadanya. Dengan pekik mengerikan, iblis ini bergerak dan tahu-tahu ia telah menangkap Sian Eng dan dua orang gadis pucat itu, membawa mereka bertiga seperti orang membawa tiga ekor ayam saja, kemudian melangkah lebar ke luar dari gedung itu.

Malam itu terang bulan, namun di luar perkampungan itu, di pinggir hutan, keadaan amat menyeramkan. Apa lagi kalau orang melihat ke arah kiri, di mana terdapat tempat terbuka dan sinar bulan menyorot langsung tidak terhalang ke atas tanah. Orang itu pasti akan bergidik melihat apa yang tampak di sana.

Tiga buah kepala orang berada di atas tanah. Kepala tiga orang wanita yang masih hidup! Yang dua buah adalah kepala dua orang wanita cantik bermuka pucat dan terdengar mereka ini menangis terisak-isak dengan air mata bercucuran. Akan tetapi, kepala yang berada di kiri, kepala Sian Eng, biar pun tampak agak pucat juga, namun sama sekali tidak menangis, malah sepasang matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.

Memang hebat dan mengerikan sepak terjang Hek-giam-lo, si manusia iblis yang mentaati perintah rajanya itu. Ia menggali tiga buah lubang-lubang yang sempit dan dalam macam sumur kecil, memasukkan tiga orang gadis tawanan itu ke dalam sumur dan mengubur mereka sebatas leher. Seluruh tubuh tiga orang gadis ini tidak tampak, hanya kepala mereka sebatas leher yang keluar dari tanah. Kemudian iblis ini memasang benderanya di atas pohon dekat tempat itu. Dengan adanya tanda ini, tidak ada seorang pun manusia di perkampungan itu berani mencoba menolong gadis-gadis bernasib malang ini. Siapakah berani melawan Tengkorak Hitam yang menjadi tangan kanan raja?

Setelah Hek-giam-lo pergi, Sian Eng berpikir. Ia mengenang kata-kata Raja Khitan terhadapnya dan teringatlah ia akan Lin Lin. Adiknya itu bukanlah anak kandung ayah bundanya, melainkan anak angkat. Ayahnya tidak pernah bicara tentang orang tua Lin Lin, akan tetapi adik angkatnya itu wataknya aneh sekali. Ketika ia tadi melihat pengawal-pengawal dan dayang-dayang wanita di dalam gedung Raja Khitan, alangkah besar persamaan Lin Lin dengan para wanita itu. Terutama sekali bulu mata dan hidungnya. Jantungnya berdebar. Jangan-jangan Hek-giam-lo salah ambil, mengira dia adalah Lin Lin. Dan besar kemungkinan Hek-giam-lo menduga bahwa Lin Lin adalah keponakan raja. Betulkah ini?

Tangis kedua orang gadis di sebelah depan dan belakangnya mengganggunya dari lamunan. Ia menengok dan perasaan kasihan memenuhi hatinya melihat dua buah kepala yang tidak berdaya dan sedang menangis terisak-isak itu, sama sekali lupa bahwa keadaannya sendiri pun tiada bedanya dengan mereka berdua. Ia tahu bahwa dia dan mereka akan menghadapi kematian yang mengerikan dan penuh sengsara. Dipendam sebatas leher dan dibiarkan sampai mati. Mungkin besok hari menerima penghinaan dari para penyiksanya sebelum mati kelaparan.

Tiba-tiba terdengar suara mengaum dari jauh. Dua orang gadis itu makin keras menangis dan Sian Eng sendiri bergidik. Tak salah lagi, itulah suara harimau yang mengaum dari dalam hutan. Bagaimana kalau raja hutan itu datang dan menyerang mereka? Dengan hanya kepalanya di atas tanah, Sian Eng dapat membayangkan betapa harimau itu akan makan kepala mereka seenaknya tanpa mereka dapat membalas atau pun melarikan diri. Siapa di antara mereka bertiga yang lebih dulu akan digerogoti harimau?

“Hu-hu-huk, Ayah... Ibu... tolong...!” Gadis yang berada di sebelah belakang Sian Eng menjerit-jerit.

“Aku... aku... takut... ya Tuhan cabutlah nyawaku...!” Gadis cantik di sebelah depan Sian Eng mengeluh dan menangis.

Sian Eng mengerutkan keningnya, penuh iba hati. Ia tak menyalahkan dua orang gadis itu. Tentu saja mereka ketakutan. Mereka adalah gadis-gadis biasa yang lemah. Oh, alangkah sengsaranya mati dalam keadaan ketakutan seperti itu.

“Enci berdua, tenangkanlah hati kalian. Manusia hidup memang hanya untuk menghadapi kematian yang sewaktu-waktu pasti akan tiba, cepat atau pun lambat. Mengapa takut? Mati adalah biasa, semua manusia akan mati, hanya waktu saja soalnya.”

Dua orang gadis itu menengok kepadanya, terheran-heran melihat Sian Eng sama sekali tidak menangis dan sama sekali tidak nampak takut.

"Aku... aku tidak takut mati... aku... aku lebih baik mati. Yang kutakuti adalah kengerian ini dan... dan penghinaan... ah, lebih baik aku mati, tapi jangan... jangan mati dimakan harimau...,” kata gadis di depannya terisak-isak.

“Sebelum hayat meninggalkan badan, tak boleh berputus asa,” kata pula Sian Eng. “Enci berdua harap tenang saja, kalau belum waktunya kita mati, percayalah, kita takkan mati. Kalau sudah tiba waktunya mati, ah, jangankan sudah setua kita, kanak-kanak pun bisa saja mati.”

Hiburan dan kata-kata Sian Eng yang keluar dengan suara penuh ketabahan itu ternyata ada hasilnya juga. Dua orang gadis itu berhenti menangis dan anehnya, auman binatang buas dari dalam hutan tidak terdengar lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Eng untuk mengajak dua orang teman ‘senasib sependeritaan’ itu untuk bercakap-cakap.

Dari mereka dia memperoleh keterangan bahwa seperti juga dia, dua orang itu diculik oleh tokoh-tokoh Khitan karena disangka sang puteri! Akan tetapi begitu tiba di depan raja, mereka ditelanjangi dan diperiksa punggung mereka, karena katanya puteri itu mempunyai tanda merah di punggungnya. Tentu saja, seperti juga Sian Eng, mereka tidak memiliki tanda seperti itu karena memang mereka bukanlah puteri Khitan. Kemudian dengan air mata bercucuran dua orang gadis itu bercerita betapa selama tiga hari mereka menjadi permainan raja yang kejam.

Sian Eng menjadi panas hatinya. Jiwa pendekar dalam hatinya bergolak. Kalau saja ia mendapat kesempatan, tentu akan dibunuhnya Raja Khitan itu. Ia tidak dapat bicara banyak menghadapi penderitaan dua orang gadis itu. Akan tetapi setidaknya percakapan mereka itu juga merupakan hiburan yang lumayan untuk melewatkan malam yang mengerikan ini. Tentu saja semalam suntuk mereka tak mampu tidur semenit pun juga dan menjelang pagi, karena teringat bahwa para penyiksa itu tentu akan menghabisi nyawa mereka dengan siksaan-siksaan keji, dua orang gadis itu mulai menangis lagi. Sian Eng tidak mampu lagi menghibur mereka. Gadis ini mengambil keputusan bahwa kalau ia diberi kesempatan satu kali saja terbebas dari kuburan itu, ia akan mengamuk sampai mati!

Terdengar derap kaki kuda dari jauh, makin lama makin dekat. Dua orang wanita itu menoleh ke arah Sian Eng dan air mata mereka bercucuran.

“Adik Sian Eng, selamat berpisah...,” kata gadis di depan Sian Eng.

“Mudah-mudahan kematian segera datang menjemputku...,” kata gadis di belakang Sian Eng, menyambut ucapan gadis di depan.

Sian Eng terharu, akan tetapi ia malah memaksa diri tersenyum, “Enci, kalau seorang di antara kita mati, tentu yang dua akan mati pula. Bagaimana bisa bilang selamat berpisah? Kita takkan pernah berpisah kurasa, mati pun akan bersama-sama. Bukankah itu menyenangkan sekali? Kita akan selalu ada teman, biar di alam sana pun.”

Derap kaki kuda sudah dekat sekali, datang dari arah belakang mereka. Tiga orang gadis itu dapat menoleh ke kiri kanan, akan tetapi tentu saja tidak mungkin menengok ke belakang, karena tubuh mereka yang terpendam tanah itu sama sekali tidak dapat digerakkan. Oleh karena itu, biar pun hati mereka ingin sekali, namun mereka tidak dapat memandang dan tidak tahu siapa gerangan penunggang kuda yang datang ini.

Tak lama kemudian seekor kuda yang besar dan kuat berlari congklang dan berhenti dekat mereka. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam melompat turun. Dua orang gadis itu hanya mengerling sebentar dan segera menutup mata dan menangis lagi. Pakaian orang ini sama dengan Si Iblis Hitam, mengerikan.

Akan tetapi Sian Eng menoleh ke kiri dan memandang dengan mata tajam dan kening berkerut. Darahnya berdenyut-denyut, jantungnya berdebar, membuat ia merasa dadanya sesak sekali. Si Jubah Hitam itu sama sekali bukan Hek-giam-lo, melainkan seorang laki-laki muda yang berwajah gagah sekali, tampan dan memiliki sepasang mata yang sayu di bawah lindungan sepasang alis yang tebal, hitam dan berbentuk panjang gompyok. Seorang laki-laki yang tampan dan tinggi besar.

Yang membuat Sian Eng berdebar tidak karuan hatinya adalah jubah hitam itu, mengingatkan ia akan laki-laki yang pernah ia lihat punggungnya yang berjubah hitam dan topinya, topi pelajar yang mempunyai ekor dua buah, yaitu tali hitam yang melambai ke bawah. Dan gambar pada baju di dada itu. Suling Emas! Celaka, pikirnya. Kiranya musuh besar ayah bundanya yang datang ini? Orang yang sudah membunuh ayah bundanya, sudah tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap dirinya.

Dan orang itu semenjak melompat turun dari kudanya, terus memandangnya dengan sinar mata yang tajam penuh selidik! Akan tetapi laki-laki itu segera melompat dekat, tangannya mencabut sebuah benda panjang kuning mengkilap. Sebuah suling! Tak salah lagi, dialah Suling Emas, karena yang dipegangnya itu apa lagi kalau bukan suling terbuat dari pada emas?

Dengan gerakan cepat ia mendekati Sian Eng, sinar kuning berkelebat dan sebentar saja tanah di sekeliling Sian Eng terbongkar. Setelah Sian Eng dapat membebaskan kedua tangannya, ia menekan tanah di pinggirnya dan meronta, terus meloncat ke atas, sama sekali tidak ingat bahwa pakaiannya tidak karuan macamnya karena pakaian itu sudah robek-robek dan hanya ia pakai sekedar menutupi tubuhnya saja. Begitu melompat dan berdiri, baru ia melihat keadaan dirinya, maka cepat-cepat ia menggerakkan kedua lengan menutupi dada!

Pemuda itu menyumpah, “Keparat...!”

Cepat ia membuka jubahnya yang hitam lebar itu, melemparnya ke arah Sian Eng. Kain jubah itu tepat sekali menimpa Sian Eng dan menyelimutinya dari leher sampai ke kaki! Kini Sian Eng berdiri terlongong, memandang pemuda itu yang kini tampak lebih gagah dengan pakaian dalam yang ringkas berwarna putih. Akan tetapi laki-laki itu tanpa menoleh lagi sudah mengerjakan sulingnya, membongkar dari menggali tanah untuk membebaskan dua orang gadis itu. Kembali ia menyumpah karena kedua orang gadis itu malah dimasukkan ke dalam sumur dalam keadaan hampir telanjang bulat.

“Benar-benar setan!” ia menyumpah dan dengan gemas ia merenggut kain bendera besar tanda Hek-giam-lo, merobeknya menjadi dua dan menyerahkannya kepada dua orang gadis itu yang merasa berterima kasih sekali dan terus saja mengerobongkan robekan kain hitam itu ke atas tubuh mereka.

“Lekas, kalian naik ke atas kuda ini dan cepat pergi. Amat berbahaya di sini.” Ia menoleh kepada Sian Eng, tersenyum sedikit dan berkata, “Nona, kau yang terkuat di antara kalian bertiga, kau di depan dan cepat larikan kuda ini keluar wilayah Khitan.”

Semenjak tadi Sian Eng hanya melongo, tidak tahu harus berbuat apa. “Kau... kau... Suling Emas...?” akhirnya dapat juga ia mengucapkan kata-kata.

Wajah tampan dan mata sayu itu menjadi agak muram, tapi ia mengangguk. “Bukan waktunya bercakap-cakap, lekas pergi lebih baik,” katanya.

Akan tetapi pada saat itu terdengar jerit ngeri dan dua orang gadis itu roboh terguling. Kain hitam yang menyelubungi tubuh mereka terbuka dan... kulit tubuh yang putih bersih itu sekarang berubah menghitam, mata mereka mendelik dan bibir yang tadinya merah segar kini menjadi kering membiru!

“Ah, gobloknya aku...!” Suling Emas menarik napas panjang.

“Ihhh, mereka kenapa?” Sian Eng berseru, cemas dan ngeri.

Suling Emas menunding ke arah robekan kain hitam tanda Hek-giam-lo. “Kain itu mengandung racun yang jahat. Mereka sudah mati. Agaknya lebih baik begitu. Nah, mari kita pergi.”

Sian Eng tak sempat menjawab apa lagi membantah, karena tahu-tahu tangannya telah kena dipegang dan disendal. Sentakan ini demikian kuat sehingga tak tertahankan olehnya dan tubuhnya melayang ke atas punggung kuda! Pada detik berikutnya, kuda itu telah lari cepat sekali dan Suling Emas telah duduk di belakang Sian Eng.

“Tapi... jenazah mereka itu...?” Sian Eng berseru sambil menoleh ke arah mayat dua orang gadis senasib yang menggeletak di atas tanah dan ditinggalkan begitu saja.

“Mereka sudah mati, mau diapakan lagi?” jawab Suling Emas tak acuh dan ia mengeluarkan kata-kata asing dari mulutnya kepada kuda itu yang meringkik keras lalu membalap seperti terbang cepatnya.

Tidak karuan rasa hati Sian Eng. Memang ia telah terlepas dari pada ancaman bahaya maut di tangan orang-orang Khitan, maut yang amat mengerikan. Akan tetapi ia terlepas dari bahaya yang satu untuk jatuh ke dalam tangan yang lain. Ia kini terjatuh ke dalam tangan Suling Emas! Apakah kehendak orang aneh ini? Sikapnya mencurigakan, wataknya juga aneh. Ada kalanya tampak baik dan suka menolong, akan tetapi di lain saat bisa berhati keras dan kejam. Jenazah dua orang gadis itu dibiarkan begitu saja!

Ingin ia dapat memandang muka Suling Emas, akan tetapi ia duduk di depan dan orang itu duduk di belakang. Sedikitnya ia merasa lega bahwa Suling Emas agaknya bukan laki-laki yang ceriwis. Tidak ada bukti-bukti yang membayangkan watak kotornya terhadap wanita. Sekarang pun biar mereka duduk berdua di atas punggung kuda, namun Suling Emas duduknya agak jauh di belakang sehingga tidak menyentuhnya. Kalau saja tidak tampak kedua tangan orang itu di kanan kirinya memegangi kendali kuda, tentu ia mengira bahwa Suling Emas sudah tidak berada di belakangnya lagi.

Ketika ia diculik Hek-giam-lo dan dibawa ke utara, Sian Eng mengalami perjalanan yang amat aneh, dengan Hek-giam-lo sebagai pelayan dan juga pengawasnya yang jarang mengeluarkan suara, dengan maksud yang masih merupakan rahasia baginya. Sekarang dalam perjalanan kembalinya menuju ke selatan bersama Suling Emas, Sian Eng mengalami perjalanan yang aneh pula. Seperti juga Hek-giam-lo, tokoh ini jarang sekali membuka mulut. Biar pun wajah yang tampan itu kelihatan selalu sayu dan muram, namun membayangkan sesuatu yang mengerikan bagi Sian Eng, tidak kalah seramnya oleh muka Hek-giam-lo, muka iblis tengkorak itu. Bagaimana takkan ngeri dan seram kalau melihat orang ini diam saja, tak pernah memandangnya, tak pernah bicara, pendeknya, tidak pernah apa-apa seperti patung hidup!

Malam itu Suling Emas terpaksa menghentikan kudanya. Malam amat gelap sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di sebuah lereng bukit, di pinggir jalan. Kuda hitam belang putih itu tidak diikat, dibiarkan terlepas begitu saja. Suling Emas lalu mengumpulkan ranting dan daun kering, membuat api unggun di bawah pohon besar.

Kemudian ia mengambil roti kering dan tempat minum dari kantung yang tergantung di punggung kuda, lalu duduk di dekat api unggun. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menoleh ke arah Sian Eng dan sinar matanya saja yang mengajak gadis itu duduk mendekati api. Sian Eng mendekat, lalu duduk di atas rumput kering dekat api unggun. Tanpa berkata sesuatu, Suling Emas memberi roti kering dan tempat minum.

Sian Eng menghela napas, akan tetapi menerima roti dan makan roti itu karena perutnya terasa amat lapar. Sehari suntuk mereka menunggang kuda, tak pernah berhenti sebentar pun juga, tidak makan tidak minum. Sudah lama Sian Eng tidak pernah menunggang kuda dan sekarang, sekali naik kuda sehari penuh. Punggungnya terasa kaku dan seluruh badan sakit-sakit!

Mereka makan roti kering dan minum air tawar tanpa bicara. Sesudah makan, Sian Eng melihat betapa Suling Emas hanya duduk termenung memandang api yang bernyala-nyala, duduk tak bergerak dan mata itu bersinar-sinar, hilang kesayuannya. Wajah yang tampan dan aneh itu pun tidak muram lagi, malah agak berseri. Keindahan api itukah yang mendatangkan semua ini? Ataukah karena di dalam nyala api ia melihat atau teringat akan sesuatu? Diam-diam Sian Eng menatap wajah itu dari samping. Wajah yang tampan, dengan guratan-guratan yang membayangkan penderitaan hidup, guratan kematangan jiwa. Tidak terlalu muda lagi biar pun tak mungkin mengatakan bahwa dia itu sudah tua. Sukar menaksir usianya. Akhirnya Sian Eng tak dapat menahan lagi kegelisahannya.

“Kau hendak membawaku ke mana?”

Suling Emas agaknya terkejut mendengar suara ini. Tadinya ia melamun dan seakan-akan telah lupa bahwa di dekatnya terdapat seorang manusia lain. Suara Sian Eng seperti menyeretnya turun dari dunia lamunan dan ia menoleh sambil gagap bertanya, “Apa...?”

Mendongkol juga hati Sian Eng. Orang ini terlalu memandang remeh kepadanya, pikirnya. Dengan ketus ia bertanya. “Dengan maksud apa kau menolongku, dan ke mana kau hendak membawaku pergi?”

“Dengan maksud apa?” Agaknya pertanyaan ini membuat Suling Emas kembali melamun sebentar, mengingat-ingat setelah mengulang pertanyaan itu, kemudian ia menjawab, “Tentu saja agar kau bebas dari ancaman bahaya, dan tentu saja membawamu pergi dari daerah yang dikuasai orang-orang Khitan.”

Sian Eng tak dapat berkata apa-apa lagi. Memang alangkah bodohnya pertanyaannya tadi. Tentu saja begitulah tujuan Suling Emas menolongnya, tanpa bertanya pun seharusnya ia mengerti. Akan tetapi Suling Emas ini bukan orang biasa, melainkan musuh besarnya! Kembali berdebar jantungnya dan dia memandang wajah yang sudah menoleh dan kembali menatap api unggun.

“Kurasa bukan itu maksudmu,” ia berkata dengan suara tegas dan ketus. “Suling Emas, kau telah membunuh ayah bundaku! Sekarang kau pura-pura menolongku, tentu dengan maksud tertentu yang... yang tidak baik!”

Suling Emas mengangguk-angguk, tetap memandang api, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri, agaknya ia gembira sekali mendengar ini. “Hemmm... itukah sebabnya mengapa kalian bertiga mencari-cari Suling Emas? Pantas saja kalian menghujankan senjata rahasia kepadaku di hutan itu....”

Sian Eng terkejut. Jadi orang ini sudah tahu bahwa dia dan dua orang saudaranya mencari-carinya, malah tahu pula akan penyerangan di dalam hutan itu! Benar-benar orang aneh dan lihai sekali. Akan tetapi ia tidak takut.

“Memang betul. Biar pun kau berkepandaian tinggi, karena kau membunuh ayah bunda kami, kami hendak menuntut balas. Malah sekarang juga aku menantangmu untuk bertempur. Kau harus menebus kematian orang tuaku dengan nyawamu, atau aku yang akan mengorbankan nyawa dalam menuntut balas dendam!” Sian Eng meloncat bangun dan memasang kuda-kuda, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan musuh besarnya walau pun ia cukup maklum bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tokoh aneh ini.

Suling Emas tetap tidak menoleh, malah menggunakan sebatang ranting untuk mengorek api unggun sehingga nyala api membesar, menerangi wajahnya yang tampan dan yang kini berkerut-kerut di bagian jidatnya itu.

“Hemmm, kalian bodoh. Aku tidak membunuh orang tua kalian, tahu pun tidak aku siapa mereka dan siapa kalian bertiga. Mana bisa aku membunuh orang yang tak kuketahui siapa dan di mana tempat tinggalnya?”

Sian Eng ragu-ragu dan bimbang. Ketegangan yang sudah memenuhi tubuhnya tadi mengendur, “Tapi... tapi... sebelum meninggal, Ibu bilang... tentang pembunuh itu... menyebut-nyebut tentang suling....”

“Jangan bodoh. Duduklah dan ceritakan yang jelas. Kalau aku membunuh orang, siapa pun dia itu, aku takkan menyangkal. Suling Emas tidak biasa menyangkal perbuatannya, tidak biasa bersikap pengecut, berani berbuat harus berani bertanggung jawab.”

Biar pun Suling Emas tidak menengok dan masih memandang api, namun terasa oleh Sian Eng bahwa ucapannya itu ke luar dari lubuk hati. Kemarahannya melunak dan ia lalu duduk lagi dekat api, melirik ke arah orang itu dengan bingung.

“Kalau bukan engkau, siapa...?” pertanyaan ini keluar dari bibirnya tanpa ia sadari, seakan-akan suara hatinya yang terdengar melalui bibirnya.

“Bukan aku!” jawab Suling Emas pasti. “Kalau kau mau, ceritakanlah tentang pembunuhan itu.”

Sian Eng percaya. Andai kata orang ini yang membunuh orang tuanya, kiranya tak perlu menyangkal memang. Kepandaiannya tinggi dan dia sendiri akan dapat berbuat apakah terhadap Suling Emas? Dan hatinya menjadi agak lega. Syukur kalau bukan Suling Emas. Pertama, karena kalau benar dia pembunuhnya, tentu sukar sekali membalas dendam. Kedua, ia sudah ditolongnya terlepas dari pada bahaya maut di tangan orang-orang Khitan. Ketiga, ia ingat sekarang, dan tahu bahwa dia bersama dua orang saudaranya dahulu itu pun dibebaskan dari pada bahaya maut di tangan It-gan Kai-ong oleh Suling Emas. Kalau Suling Emas pembunuh orang tua mereka dan sekaligus penolong mereka, bukankah hal itu akan menimbulkan hal yang amat membingungkan?

“Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami selalu mengira kaulah musuh besar kami. Ah, kalau begitu benar dugaan Lin-moi....”

“Lin-moi? Siapa?”

“Adikku...”

“Ahhh, begitu? Kalau tidak keberatan, ceritakan tentang pembunuhan itu.”

Sian Eng berpikir sejenak. Apa salahnya menceritakan hal itu kepada Suling Emas yang sekarang bukan lagi merupakan musuh, malah menjadi penolong? Siapa tahu dari tokoh ini ia akan dapat mengetahui siapa gerangan pembunuh ayah bundanya.

“Kami adalah keluarga Kam, tinggal di dusun Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Ayah kami....”

“Jenderal Kam.”

Sian Eng terkejut dan kembali ia menjadi curiga. “Bagaimana kau bisa tahu?”

Masih tetap merenung dan memandang api, Suling Emas menjawab tak acuh. “Banyak tokoh kukenal. Jenderal Kam bukanlah orang yang tidak ternama. Teruskanlah.”

Sian Eng melanjutkan penuturannya, semenjak munculnya Giam Sui Lok sampai dengan terbunuhnya Kam Si Ek suami isteri dan juga Giam Sui Lok dalam keadaan mengerikan. Ia menceritakan semuanya, malah urusan kakaknya, Kam Bu Song yang harus mereka cari itu pun ia ceritakan kepada Suling Emas. Panjang ceritanya, memakan waktu seperempat jam untuk menceritakan semua dengan jelas. Dan selama itu, Suling Emas duduk menghadapi api tanpa bergerak. Tak pernah menoleh kepadanya, tak pernah pula memotong ceritanya sehingga kadang-kadang Sian Eng meragu apakah ia didengar orang. Ia merasa seperti bercerita kepada sebatang pohon atau kepada sebuah patung!

“Begitulah, kami bertiga berangkat meninggalkan kampung halaman, pergi menuju ke kota raja untuk mencari musuh besar kami dan juga kakak kami Kam Bu Song. Akan tetapi, belum tercapai maksud kami dan belum selesai tugas kami, musuh belum terdapat, kakak belum bertemu, kami sudah cerai-berai tertimpa malapetaka.”

Dengan ringkas Sian Eng menceritakan betapa adiknya, Lin Lin, lenyap di atas gedung keluarga bangsawan Suma di An-sui. Kemudian betapa dia dan kakaknya, Bu Sin, yang mendatangi keluarga Suma untuk bertanya tentang kakak mereka, diserang dan ditangkap oleh Suma Boan.

“Tak tahu aku bagaimana akan nasib Sin-ko.” Ia mengakhiri ceritanya dengan suara penuh kegelisahan.

“Tak perlu gelisah. Dia selamat.”

“Bagaimana kau tahu?” Sian Eng bertanya, nada suaranya gembira dan lega bukan main. Tadinya ia mengira bahwa kakaknya itu mungkin sekali tewas dalam tangan putera pangeran yang jahat dan lihai itu. “Ah, tentu kau telah menolongnya pula, bukan?”

Suling Emas menunduk, lalu berkata perlahan, “Menolong sih tidak, hanya aku melihat dia diikat, luka-luka oleh anak panah Suma Boan. Tak dapat aku membiarkan dia mati begitu, kuambil dia dan sekarang dia sudah bebas dari bahaya. Kalian bertiga sungguh tak tahu diri....”

Sian Eng mengerutkan kening. Kalau saja ia tidak ingat bahwa orang ini sudah menolongnya, juga sudah menyelamatkan Bu Sin, tentu ia akan marah sekali. Kata-kata yang tidak hanya mencela, akan tetapi juga sifatnya memandang rendah, bahkan menghina.

“Kau sudah menolong kami, patut aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, mengapa kau melakukan semua ini? Mengapa kau menolong kami? Apa pula maksud kata-katamu tadi bahwa kami adalah tiga orang yang tak tahu diri?”

Suling Emas bangkit berdiri untuk mengumpulkan ranting di sekitar tempat itu, kemudian ia membanting ranting-ranting kering itu dekat api unggun dan berkata, suaranya seperti orang marah, “Kalian bertiga dengan kepandaian yang tidak berarti begitu berani mati melakukan perantauan untuk mencari musuh besar yang belum diketahui siapa! Sungguh menyia-nyiakan usia muda. Apa yang kalian dapat lakukan kalau bertemu dengan orang-orang jahat? Bagaimana seandainya bertemu dengan orang yang membunuh ayah bundamu?”

Sian Eng maklum akan maksud kata-kata Suling Emas, tahu bahwa kepandaian mereka bertiga memang masih jauh jika dibandingkan dengan kepandaian beberapa orang tokoh besar dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi tadinya ketika mereka melakukan perantauan, mereka sama sekali tidak mengira akan hal ini, sama sekali tidak pernah mengira bahwa di dunia ini begitu banyaknya orang pandai, orang aneh dan orang jahat. Betapa pun juga, ia tetap tidak menjadi jeri.

“Kalau bertemu, biar kepandaiannya setinggi langit, aku akan melawannya dan mengajaknya bertanding mati-matian!” Sian Eng menjawab dengan suara lantang.

Suling Emas mendengus. “Huh, mudah saja bicara. Kau anak kecil...”

Sian Eng mau marah, tapi tidak dapat. Betapa pun juga ia memang merasa seperti anak kecil di depan pemuda yang aneh ini, yang bersikap begitu alim, pendiam dan serius.

“Memang aku anak kecil, biarlah, memang tidak setua engkau,” kata-kata ini untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya.

Suling Emas menoleh, agak tersenyum. Dan aneh sekali, mendadak saja kemarahan Sian Eng lenyap dan ia merasa seakan-akan sudah lama mengenal orang ini, sudah sering kali bertemu. Hal yang tidak mungkin. Barangkali bertemu dalam alam mimpi!

“Dan kenapa kau menolongku, menolong Sin-ko?”

“Siapa menolong siapa? Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya melakukan kewajiban sebagai manusia. Kesembronoan kalian bertiga sudah membawa korban. Adikmu yang paling kecil itu hilang. Kau bilang tadi ia meninggalkan surat dan menyatakan bahwa ia dibawa pergi Kim-lun Seng-jin? Untung bertemu dengan Kim-lun Seng-jin. Kalau yang membawa itu seorang di antara Thian-te Liok-koai (Enam Setan), apakah tidak celaka sekali?”

Sian Eng memandang heran. Orang ini tidak mau disebut menolong, sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan tetapi kadang-kadang bisa marah-marah. Memang aneh sekali, membuat ia bingung. Ah, kalau saja ada Lin Lin di sini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa. Lin Lin wataknya tidak kalah anehnya, dan adiknya itu pandai sekali bicara, pandai berdebat dan andai kata di situ ada Lin Lin, agaknya keadaannya akan berubah. Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan dan gagap gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.

“Tak perlu kau marah-marah kepadaku,” akhirnya ia berkata. “Kau mau menolong atau tidak, terserah. Juga kau mau memberi tahu kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa adanya pembunuh ayah bundaku dan di mana pula adanya kakakku Bu Song, terserah.”

Suling Emas kembali membuang muka memandang api unggun. Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak sekali ketampanannya, sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah patung mati. Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting pada api, ia berkata. “Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku tidak tahu. Terang bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan saudara-saudaramu menuduhku, aku akan berusaha mendapatkan siapa pembunuh itu. Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku dia sudah mampus!”

Kaget sekali hati Sian Eng mendengar berita terakhir ini, apa lagi Suling Emas kelihatannya tidak senang ketika bicara tentang kakaknya, Bu Song. “Bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song? Bagaimana matinya? Harap kau suka bercerita kepadaku.”

Suling Emas menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang dapat diceritakan tentang diri pemuda tolol itu. Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali atau memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk dipikirkan lagi. Mengapa kau bersama saudara-saudaramu bersitegang hendak mencarinya?”

Sian Eng tidak menjawab dan mendengar bahwa kakak sulung yang sedang dicari-cari itu telah meninggal dunia, tak dapat ditahannya lagi ia menangis terisak-isak.

Suling Emas membiarkan ia menangis sampai lama. Baru kemudian terdengar ia berkata. “Sudahlah, ditangisi air mata darah sekali pun tiada gunanya. Lebih baik kau memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada. Kakakmu Bu Sin selamat dan tentu berada di tempat tidak jauh dari kota raja. Besok kita pergi ke sana dan aku akan mengantarmu sampai di kota raja. Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang aneh Kim-lun Seng-jin, akan kupesan agar dia mengembalikan adikmu yang bernama Lin Lin itu. Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah.” Setelah berkata demikian, Suling Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali merenung dekat api unggun.

Sian Eng maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh ini, maka ia pun membaringkan tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar beberapa kali ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan kedukaan membuat ia tertidur.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah terbangun dan alangkah herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya. Ia cepat bangkit duduk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh kudanya dan tak jauh dari situ terdapat api unggun. Sian Eng tertegun memandang. Orang aneh yang telah menolongnya itu sedang bersenandung. Entah apa yang dinyanyikannya karena terlalu perlahan untuk dapat ditangkap pendengarannya, akan tetapi Sian Eng mendengar suara yang menggetar penuh perasaan dalam lagu sedih yang disenandungkan itu. Bau hangus membuat ia cepat memandang api unggun dan kiranya di atas api itu terpanggang sepotong besar daging.

“Daging hangus...!” Otomatis Sian Eng melompat, menutupkan jubah hitam yang terbuka di bagian dada, lari menghampiri daging itu dan membaliknya.

Suara senandung menghilang. “Wah, aku lupa...! Rusakkah dagingnya?” Suling Emas sudah mendekat.

“Tidak, hanya hangus sedikit. Pakaian itu... punya siapa?”

“Kau pakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun di sana.”

Setelah berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian Eng, kembali pada kudanya dan melanjutkan menggosok-gosok tubuh kudanya, berdiri membelakangi gadis itu. Sian Eng memandang wajahnya agak merah, dadanya berdegup aneh. Orang yang selama ini disangkanya musuh besar pembunuh ayah bundanya, kiranya seorang penolong dan seorang yang amat baik, orang yang menarik hatinya.

Tak mungkin! Sian Eng membantah di dalam hatinya, dia jauh lebih tua dariku, dia orang aneh. Gadis ini mengusir perasaan tertarik di hatinya, bersembunyi di belakang sebatang pohon besar untuk mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah bersalin pakaian. Jubah hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia menghampiri daging panggang yang sudah masak.

“Dagingnya sudah matang!” ia berteriak pada punggung yang lebar itu.

Suling Emas membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum sedikit melihat Sian Eng telah berganti pakaian. Sian Eng yang mengharapkan datangnya ucapan pujian dari mulut Suling Emas kecewa karena orang itu tidak berkata sesuatu.

“Ini jubahmu, terima kasih,” Sian Eng mengembalikan lipatan jubah hitam. Suling Emas menerimanya tanpa berkata sesuatu, terus jubah itu dipakainya.

“Kita sarapan daging panggang lalu berangkat ke kota raja,” katanya singkat. Sian Eng hanya mengangguk dan keduanya lalu makan daging panggang dan kue kering yang menjadi bekal Suling Emas.

Setelah selesai makan, Suling Emas berkata, suaranya serius, “Jangan menyangka yang bukan-bukan. Kau harus membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu dengan kakakmu Bu Sin. Silakan!”

Kalau saja kata-kata itu tidak diucapkan demikian serius dan wajah Suling Emas yang tampan itu kelihatan angker, tentu Sian Eng akan menjadi malu dan mungkin tak sudi ia berboncengan di atas seekor kuda dengan orang ini. Akan tetapi karena ia ingin segera bertemu kembali dengan saudaranya, ia tidak mau membantah. Dengan ringan ia bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu melonjak dan berlari cepat sekali seperti terbang.

Sian Eng terkejut. Di mana Suling Emas? Apakah ia dibawa kabur kuda dan Suling Emas tertinggal di belakang? Dalam gugupnya ia menengok dan... hampir saja dia beradu hidung dengan orang yang duduk di belakangnya! Kiranya Suling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini demikian ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah berada di belakangnya tadi.

Cepat Sian Eng membalikkan mukanya yang menjadi merah sekali dan diam-diam ia amat kagum akan kehebatan kepandaian orang ini, juga kagum akan kesopanannya. Biar pun ia duduk berboncengan seperti itu, namun ia tidak merasa kikuk karena Suling Emas benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh di belakang.

Memang benar ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa larinya, cepat seperti terbang dan andai kata mereka melakukan perjalanan tanpa kuda, tentu akan lebih melelahkan, juga lambat. Suling Emas melakukan perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua kali sehari. Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan.

Makin lama, Sian Eng makin percaya kepada orang aneh ini. Di dekat Suling Emas, ia merasa aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama sekali dan ia memandang orang ini sebagai seorang pendekar besar yang amat mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya pendiam, tak pernah mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan pun hanya singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng karena gadis ini ingin sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang mengagumkan hatinya ini.

Ketika memasuki pintu gerbang kota raja pagi hari itu, banyak orang memandang mereka dengan kagum dan heran. Kagum karena melihat kuda besar bagus ditunggangi sepasang orang muda yang elok dan gagah. Agaknya Suling Emas hendak menyembunyikan dirinya karena ia telah menggunakan sehelai sapu tangan untuk menutupi gambar suling di dadanya. Namun telinga Sian Eng masih dapat menangkap beberapa orang di pinggir jalan berbisik, “Dia... Suling Emas...”

Suling Emas menghentikan kudanya di dalam pekarangan lebar sebuah kelenteng, mengajak Sian Eng turun. Di ruangan depan mereka disambut oleh beberapa orang hwesio (pendeta Buddha) yang segera memberi hormat kepada Suling Emas.

“Harap para Lo-suhu (Bapak Pendeta) sudi menerima Nona Kam ini sebagai tamu terhormat dan membantunya dalam usahanya menjumpai saudaranya di kota raja.”

“Omitohud... tentu saja, Taihiap (Pendekar Besar)! Silakan masuk, Nona, dan... anggaplah di sini sebagai tempat tinggalmu sendiri,” kata hwesio tua itu dengan ramah tamah. “Apakah Taihiap tidak keberatan untuk singgah dulu dan minum teh?”

Suling Emas menggelengkan kepalanya. “Terima kasih, Lo-suhu. Saya masih mempunyai banyak urusan.” Kemudian ia menoleh kepada San Eng dan berkata. “Di kelenteng ini, kau berada di tempat yang aman. Dengan bantuan para Lo-suhu di sini, kalau saudaramu berada di kota raja, tentu kau dapat bertemu dengannya. Ingat, kalau kalian bertiga sudah saling bertemu dan berkumpul, satu-satunya hal terbaik bagi kalian adalah kembali ke Ting-chun. Nah, selamat berpisah.” Suling Emas memberi hormat kepada pendeta kepala, lalu meloncat di atas punggung kudanya yang lari cepat meninggalkan tempat itu.

Sian Eng berdiri bengong, tak dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat ia katakan? Berkumpul dengan orang itu, melakukan perjalanan bersama beberapa hari, telah membuktikan keluhuran budi Suling Emas, kesopanannya, akan tetapi juga keanehannya. Agaknya ada sesuatu yang menekan perasaan orang itu, ada sesuatu yang dideritanya di dalam batin, yang membuatnya tampak pendiam, tidak pedulian, dan wajahnya yang tampan selalu muram seperti matahari yang selalu tertutup mendung di musim hujan. Tiba-tiba ia menoleh kepada pendeta kepala, hwesio yang gendut peramah itu.

“Lo-suhu, dia itu... Suling Emas itu... orang macam apakah dia?” pertanyaan yang aneh ini keluar begitu saja dari mulut Sian Eng, langsung sebagai peluapan hatinya. Untung yang diajak bicara adalah seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu akan memalukan sekali.

Hwesio itu hanya tertawa, kemudian menjawab, “Bukan hanya kau yang mengajukan pertanyaan seperti ini, Nona. Banyak orang, di antaranya pinceng (aku) sendiri! Tapi, siapa dapat menjawab? Kalau pinceng yang menjawab hanya begini, dia itu seorang pendekar besar yang berwatak aneh. Kalau sedang menolong orang, dia bijaksana seperti dewa, kalau menghadapi lawan, dia ganas seperti iblis. Itulah Suling Emas, dan tidak pernah ada orang yang dapat menceritakan siapa dia. Tapi bagi kami, sudah cukup kalau mengetahui bahwa dia itu seorang yang baik, selalu berpihak kepada yang benar biar pun kadang-kadang amat sulit untuk dimengerti. Nona, kami menerima perintahnya, harus kami kerjakan baik-baik. Silakan masuk, Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu. Tentang saudaramu, nanti kita bicarakan dan tentu para murid di sini siap untuk membantumu mencarinya, kalau betul dia itu berada di dalam kota raja.”

Lega hati Sian Eng, sungguh pun keterangan tentang diri Suling Emas itu membuat hatinya makin penasaran dan ingin tahu. Ia memasuki kelenteng dan memang benar, para hwesio melayaninya penuh penghormatan dan kesopanan sehingga Sian Eng tidak ragu-ragu untuk mengajak mereka itu merundingkan tentang kedua saudaranya yang berpisah darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin dan memesan agar para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota raja, segera memberi tahu kepadanya.

Para hwesio itu tampak bersemangat sekali membantu Sian Eng, dan gadis ini maklum bahwa semangat ini timbul karena keyakinan bahwa membantu Sian Eng berarti membantu Suling Emas dengan melaksanakan perintahnya! Makin kagumlah hatinya terhadap orang rahasia yang sanggup membikin orang-orang alim seperti hwesio-hwesio ini demikian tunduk dan setia. Tentu saja dia tidak tahu bahwa para hwesio itu, juga banyak sekali orang-orang di kota raja, telah berhutang budi besar kepada Suling Emas.

********************


Di bagian depan telah kita ketahui bahwa Lin Lin yang ditemani Lie Bok Liong, dengan penuh harapan melakukan perjalanan ke kota raja. Hatinya girang sekali karena ia memang amat ingin bertemu dengan Suling Emas yang disangka menjadi pembunuh dari Jenderal Kam Si Ek dan isterinya. Untung ia mendengar percakapan antara Suma-kongcu dan para tokoh pengemis yang menyatakan bahwa Suling Emas berada di gedung perpustakaan istana. Kita ikuti kembali perjalanan mereka berdua.

Mereka telah berhasil melarikan diri dari gedung keluarga Suma di An-sui sebelah barat kota raja dan melanjutkan perjalanan di malam hari terang bulan. Mereka berjalan seenaknya, bercakap-cakap gembira. Begitu gembira, begitu aman seakan-akan tidak ada bahaya sesuatu yang mengintai.

Memang Lin Lin seorang gadis remaja yang gembira dan masih belum berpengalaman, maka ia pun enak saja melakukan perjalanan dan bercakap-cakap bersama Lie Bok Liong. Gadis yang masih hijau ini sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam. Ada pun Lie Bok Liong, dia adalah seorang pendekar muda yang sudah kenyang pengalaman, biasanya amat hati-hati, waspada dan berpandangan luas dan jauh, berwatak jujur dan berhati mulia. Akan tetap pada malam hari itu, hatinya rusak, kacau-balau oleh juwita di sampingnya. Sudah dua kali ia menempeleng jidatnya sendiri karena timbul pikiran yang bukan-bukan terhadap Lin Lin.

Malam terlalu indah, bulan terlalu terang, dan gadis di sampingnya terlalu cantik jelita. Bok Liong berjalan di samping Lin Lin dengan hati dan perasaan mawut (berantakan), maka ia pun tidak dapat terlalu disalahkan kalau dia sendiri menjadi kurang hati-hati, hilang kewaspadaannya. Di samping Lin Lin, dunia menjadi terlampau indah baginya sehingga sementara itu ia lupa akan bahaya-bahaya yang mengancam kehidupan dari segenap penjuru.

Biar pun Suma Boan atau Suma-kongcu sendiri tidak mengejar karena ia maklum bahwa menghadapi dua orang muda yang lihai itu seorang diri saja ia tidak akan menang, namun sudah tentu saja Suma-kongcu tidak membiarkan penghinaan terjadi di rumahnya begitu saja. Ia diam-diam menitah seorang pengawal untuk menghubungi para ketua kai-pang dan tak lama kemudian, para tokoh perkumpulan pengemis yang kebetulan berada di situ dan dapat dihubungi sudah mengatur rencana penghadangan terhadap Lin Lin dan Bok Liong. Ada tiga orang pengemis lihai yang kebetulan dapat dihubungi Suma-kongcu dan yang segera membawa teman-temannya melakukan pengejaran.

Yang pertama adalah ketua dari perkumpulan pengemis Hui-houw-kai-pang (Harimau Terbang). Hui-houw-pangcu ini sudah tua, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambutnya sudah putih semua dan senjatanya sebatang tongkat baja. Selain lihai sekali ilmu tongkatnya, juga ia amat terkenal dengan senjata rahasia yang ia sebut bulu harimau. Sebetulnya senjata ini adalah jarum-jarum halus yang diberi racun, siapa terkena akan menjadi gatal-gatal yang menjalar ke seluruh tubuh dan berakhir dengan kematian yang mengerikan.

Hui-houw-pangcu pergi melakukan pengejaran bersama barisannya yang paling ia banggakan, yaitu Hui-houw-tin (Barisan Macan Ter­bang). Barisan ini terdiri dari tiga belas orang tokoh pengemis yang berkepandaian tinggi dan yang khusus dilatih untuk membentuk Hui-houw-tin. Besarlah hati Hui-houw-pangcu mengajak barisannya ini. Biar pun ia mendengar dari Suma-kongcu bahwa dua orang muda itu lihai, namun ia yakin bahwa Hui-houw-tin akan dapat mengalahkan mereka dan dapat menawan mereka seperti yang diminta oleh Suma-kongcu.

Lewat tengah malam, Lin Lin dan Bok Liong menunda perjalanan karena mereka merasa lelah dan mengantuk. Bok Liong yang sudah beberapa kali melakukan perjalanan lewat daerah ini tahu, bahwa di luar hutan terdapat sebuah kuil kuno yang kosong dan tidak terpakai lagi. Mereka lalu menuju ke kuil itu dan girang hati Lin Lin dapat mengaso di tempat yang terlindung sehingga hawa tidak terlalu dingin. Bok Liong segera membuat api unggun dan mereka duduk di ruangan depan yang agak bersih setelah keduanya menyapu lantai dengan daun-daun kering.

“Kau mengaso dan tidurlah, Lin-moi, biar aku menjaga di sini.”

“Mana bisa aku tidur kalau dijaga orang? Twako, jangan kira aku seorang yang mau enak sendiri, tidur pulas membiarkan kau digigiti nyamuk dan mengantuk. Tidak, kalau kau tidak tidur, aku pun tidak mau tidur.”

Bok Liong tersenyum lebar, dalam hati amat bersyukur bahwa gadis ini memiliki watak yang demikian baik. Memang, kalau orang sedang bercinta, segala yang dilakukan orang yang dicintanya selalu baik, setiap gerak-gerik menyenangkan. Ia maklum bahwa kalau ia bersitegang, gadis yang keras hati ini tentu betul-betul tidak mau tidur.

“Baiklah, aku pun akan tidur di sini, kau tidur di situ. Besok pagi-pagi kita bangun melanjutkan perjalanan ke kota raja.”

“Nah, begitu baru adil namanya,” kata Lin Lin melihat pemuda itu merebahkan diri telentang dekat api unggun. Ia pun lalu merebahkan diri miring, membelakangi api unggun yang menyilaukan mata, berbantal tangan. Melihat ini Bok Liong lalu melempar bungkusan pakaiannya.

“Nih, pakailah untuk bantal, lumayan.”

Lin Lin tidak membantah, memberi hadiah senyum terima kasih lalu meramkan matanya. Bok Liong tentu saja tidak mau tidur, maklum bahwa kalau tertidur keduanya di tempat itu, akan berbahaya sekali. Yang paling berbahaya adalah ular, karena ada beberapa macam ular yang tidak takut akan api. Juga kalau api unggun padam tidak ada yang tahu. Ia tadi merebahkan diri hanya untuk memanaskan hati Lin Lin agar nona itu mau tidur. Karena gadis itu rebah membelakanginya, dengan leluasa ia dapat memandang belakang tubuh Lin Lin dan pikirannya melamun jauh, mata dan bibirnya membayangkan gelora hati yang penuh kasih dan rindu. Inilah yang menjauhkannya dari pada kewaspadaan. Ia tidak tahu bahwa belasan pasang mata sedang mengintai dari tempat gelap!

Tiba-tiba, selagi Bok Liong melamun muluk-muluk, tampak sinar-sinar kecil berwarna putih berkelebatan menyambar. Bok Liong, seorang pendekar muda yang terlatih dan sudah banyak makan asam garamnya pengalaman di dunia kang-ouw, terkejut bukan main. Bukan sinar-sinar putih yang menyambar ke arah dirinya yang ia kejutkan, melainkan sinar yang menyambar ke arah diri Lin Lin yang sudah pulas!

Tanpa berpikir panjang lagi, semata-mata untuk melindungi diri gadis itu dari pada bahaya maut, ia membuang dirinya ke depan Lin Lin sambil mengebutkan kedua lengan bajunya. Cepat sekali gerakannya sehingga gerakan ini membuat beberapa batang jarum halus yang tadinya menyambar ke arahnya, terbang lewat dan menancap ke dalam dinding. Ia berhasil pula menyelamatkan Lin Lin, akan tetapi dua batang jarum tak berhasil dikebut runtuh dan langsung menancap pada pangkal lengannya sebelah kiri.

“Twako... ada apa...?” Lin Lin melompat bangun dan secepat kilat ia melompat lagi mendahului Bok Liong.

Sebagai seorang ahil silat tinggi, begitu sadar dari pada tidurnya Lin Lin sudah berada dalam keadaan siap siaga dan sedetik ia mengira bahwa Bok Liong secara kurang ajar telah mendekatinya. Selagi ia hendak memaki sambil mencabut pedangnya tiba-tiba ia melihat Bok Liong merintih-rintih dan menggaruk-garuk pangkal lengan kirinya. Pada saat itu tampak sinar putih menyambar-nyambar pula. Maklumlah Lin Lin bahwa mereka diserang oleh lawan dengan senjata rahasia, maka cepat ia memutar pedangnya, melompat ke depan Bok Liong dan sinar kuning pedangnya merupakan gulungan yang memukul runtuh sinar-sinar putih bersambaran itu.

“Jangan gerak, cabut jarum gosokkan ini!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh, hanya gemanya saja yang terdengar, akan tetapi tahu-tahu ada sebuah benda kecil melayang jatuh dekat Bok Liong. Ternyata benda itu adalah sebuah bungkusan kecil.

Bok Liong tadinya merasa gatal-gatal bukan main pada pangkal lengannya sehingga biar pun ia tahu bahwa menggaruknya merupakan pantangan yang berbahaya, namun ia tidak kuat menahan. Mendengar suara itu ia terkejut, akan tetapi juga girang melihat datangnya bungkusan. Apa lagi melihat bahwa Lin Lin tidak terluka, bahkan gadis ini sekarang berdiri melindunginya.

Cepat ia merobek bajunya pada lengan tangan, menggunakan penerangan api unggun yang masih bernyala besar untuk mencabut keluar dua batang jarum yang hampir amblas semua ke dalam daging. Bungkusan itu ia buka, ternyata isinya bubuk berwarna kuning. Tanpa ragu-ragu lagi Bok Liong menggosok-gosokkan bubuk kuning ini pada kedua luka kecil di pangkal lengan kiri. Hebat! Seketika lenyap rasa gatal-gatal. Dengan kemarahan meluap Bok Liong mencabut pedangnya, melompat berdiri di samping Lin Lin dan berseru.

“Penjahat berhati binatang berwatak pengecut! Kalau memang ada kepandaian, keluarlah dan mari kita bertempur secara orang gagah!”

Terdengar suara ketawa mengejek. “Sudah lama kami berada di sini, buka matamu baik-baik, pemuda sombong!”

Bok Liong dan Lin Lin membalikkan tubuh. Kiranya penyerang gelap itu telah berpindah tempat, kini berada di belakang mereka. Meremang bulu tengkuk mereka memikirkan betapa bahayanya keadaan mereka tadi. Kalau penyerang gelap ini menyerang dengan jarum-jarum halus lagi dari belakang, bukankah amat berbahaya?

Jarum-jarum itu demikian halusnya sehingga tidak terdengar sambarannya. Hanya berkat sinar api unggun maka jarum-jarum putih itu kelihatan berkelebat sehingga mereka tadi dapat menyampok runtuh. Kiranya yang berada di situ bukan hanya seorang saja, melainkan empat belas orang yang kesemuanya berpakaian pengemis. Tahulah mereka bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan tiga orang yang dirobohkan Lin Lin di gedung Suma-kongcu.

“Hemmm, kiranya kalian adalah ahli-ahli pula dalam senjata rahasia. Aku kagum dan mengaku kalah dalam hal ilmu senjata rahasia. Akan tetapi, kami tantang kalian untuk menghadapi Barisan Macan Terbang (Hui-houw-tin). Kalau tidak berani, lebih baik kalian menyerah untuk kami tawan. Kalau kalian dapat menangkan Hui-houw-tin, barulah aku Hui-houw-pangcu mengaku kalah.”

Diam-diam Bok Liong dan Lin Lin terkejut dan heran sekali. Bagaimana pengemis tua ini bicara begitu aneh, menyatakan kagum dan mengaku kalah dalam ilmu senjata rahasia? Padahal mereka itu sama sekali tidak melepaskan senjata, juga dalam menghadapi penyerangan jarum-jarum tadi, biar pun Bok Liong berhasil menyampok runtuh dan Lin Lin juga berhasil menggunakan pedang menggagalkan penyerangan kedua, namun Bok Liong telah terluka. Hal ini tentu saja sama sekali tak boleh dianggap bahwa mereka berdua telah menang bertanding senjata rahasia!

Tentu saja kedua orang ini tidak tahu bahwa di dalam gelap tadi, setelah Lin Lin memutar pedang menyampok runtuh jarum-jarum itu, masih beterbangan lagi jarum-jarum bertubi-tubi dan susul-menyusul dengan cara berpindah-pindah dari pelbagai jurusan, sering kali dari arah belakang kedua orang muda itu. Ini adalah akal Hui-houw-pangcu yang menyerang mereka dari tempat gelap secara berpindah-pindah. Akan tetapi semua jarum-jarum yang menyambar dari tempat tersembunyi itu runtuh semua bertemu dengan benda-benda kecil yang melayang-layang dari segala jurusan dan ternyata bahwa yang meruntuhkan jarum-jarum itu adalah daun-daunan, bunga dan buah-buahan kecil yang secara aneh datang dari jurusan yang berlawanan sehingga Hui-houw-pangcu tentu saja mengira bahwa benda-benda itu dilepas oleh dua orang muda yang diserangnya!

Akan tetapi, sudah tentu Bok Liong dan Lin Lin tidak mau menyatakan keheranan ini. Dengan marah mereka lalu melangkah maju menghadapi barisan yang sudah tersusun di depan kuil kuno yang ruangan depannya terbuka itu.

Tiga belas orang pengemis dengan tongkat-tongkat baja di tangan telah memasang Barisan Harimau Terbang. Tiga orang sebagai kepala, masing-masing dua orang sebagai sayap kanan kiri, empat orang sebagai empat buah kaki dan dua orang sebagai ekor.

Bok Liong dan Lin Lin yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja tidak merasa gentar. “Saling membelakangi menghadapi mereka, mencegah penyerangan gelap dari belakang,” bisik Bok Liong. Lin Lin kagum dan segera menurut nasihat ini karena memang itulah cara terbaik bagi mereka sehingga dalam pengeroyokan mereka dapat mengerahkan seluruh perhatian ke depan tanpa takut penyergapan gelap.

Akan tetapi dugaan ini keliru dan terpaksa rencana Bok Liong ini tak mungkin dipertahankan. Kiranya tiga belas orang itu sama sekali tidak mengurung mereka sebagaimana biasanya barisan kalau mengepung lawan yang sedikit jumlahnya. Mereka itu langsung menerjang dari depan dengan teratur seperti gerakan seekor harimau terbang, sehingga ketika mereka menerjang maju hanya Lin Lin yang dihujani serangan sedangkan Bok Liong tidak menghadapi seorang pun lawan.

Lin Lin tidak gentar dan cepat memutar Pedang Besi Kuning di tangannya, akan tetapi ia kaget sekali karena senjata tongkat lawan yang terbuat dari baja tulen itu datangnya susul-menyusul dengan teratur, sehingga ia sama sekali tidak sempat melakukan serangan balasan karena repot melayani datangnya bayangan tongkat yang seperti hujan menimpanya dari atas, kanan, kiri dan bawah!

Melihat cara penyerangan mereka ini, tentu saja Bok Liong khawatir kalau-kalau Lin Lin celaka di tangan barisan aneh itu. Apa lagi hatinya amat tidak enak kalau barisan itu hanya menerjang Lin Lin dan membiarkan ia menganggur menjadi penjaga punggung Lin Lin belaka. Ia berseru keras dan membalik lalu menerjang, membantu Lin Lin. Akan tetapi ia masih tetap waspada, menjaga agar mereka jangan terlena dan tertipu.

Memang Bok Liong sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran. Ia cukup maklum akan kelihaian pedang Lin Lin, juga ia mengerti bahwa gadis ini kalau marah kepada lawan bisa menjadi ganas sekali. Secara langsung mereka berdua tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan para pengemis, maka ia pun menganggap tiada perlunya menurunkan tangan besi kepada mereka.

“Lin-moi, kau menahan serangan mereka, biarkan aku yang membalas!”

“Baik!” jawab Lin Lin, kembali kagum karena maklum bahwa hanya cara itulah yang memungkinkan mereka dapat balas menyerang, yaitu yang seorang bertahan, yang seorang pula menyerang.

Segera ia memutar pedangnya menjadi segulung sinar kuning yang berkilauan membungkus dirinya. Di lain pihak Bok Liong melompat ke belakang Lin Lin, membiarkan semua tongkat menyerang gadis itu, kemudian dari samping ia menerjang. Hasilnya baik sekali, terdengar teriakan kesakitan dan seorang di antara tiga orang yang merupakan bagian kepala, roboh terguling terluka pahanya oleh ujung pedang Bok Liong.

Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu sinar putih bersambaran dari belakang. Inilah yang dikhawatirkan Bok Liong. Baiknya pemuda ini sudah waspada sejak tadi. Melihat sinar putih menyambar, cepat ia memutar pedang sambil melompat ke belakang Lin Lin dan runtuhlah semua jarum tersampok sinar pedangnya. Hati Bok Liong menjadi khawatir juga.

Berabe juga kalau begini caranya mereka melakukan pengeroyokan. Ia melirik dan melihat betapa pertahanan Lin Lin amat kuat dan kokoh seperti benteng baja. Biar pun gadis itu tidak akan mendapat kesempatan untuk balas menyerang, namun dengan pertahanan macam itu, biar ada dua barisan Hui-houw-tin, kiranya belum tentu akan dapat membobol pertahanannya dalam waktu satu dua jam!

“Lin-moi, tahan terus, aku menangkap kepalanya!” bisiknya kembali.

Lin Lin sudah percaya betul akan kecerdikan kawannya. “Baik,” jawabnya tanpa ragu-ragu lagi.

Bok Liong melompat dengan tiba-tiba, gerakannya cepat sekali. Dengan hanya beberapa lompatan ia sudah tiba di balik gerombolan pohon dari mana jarum-jarum itu tadi menyambar. Dan... apa yang dilihatnya? Ia berdiri bengong memandang Hui-houw-pangcu yang roboh terlentang dengan tubuh kaku, kedua tangan masih menggenggam jarum-jarum beracun! Ternyata pengemis tua ini telah ditotok jalan darahnya yang membuat tubuhnya kaku tak dapat bergerak untuk beberapa jam lamanya. Siapa yang melakukan hal ini? Tak salah lagi, pikir Bok Liong, tentu dia yang tadi telah menolongnya dengan pemberian obat pemunah racun!

Akan tetapi ia tidak ada waktu untuk mengherankan soal ini karena di sana Lin Lin masih menghadapi pengeroyokan barisan Hui-houw-tin yang biar pun sudah roboh seorang, masih amat kuat dan cukup berbahaya. Hatinya lega karena dengan robohnya ketua Hui-houw-pang yang suka main jarum beracun ini, ia tidak khawatir lagi akan serangan gelap dari belakang. Cepat ia membalikkan tubuh dan melompat ke tempat pertempuran, serta merta menerjang dari samping. Karena kegembiraan dan kelegaan hati melihat penyerang gelap itu tak berdaya lagi, pemuda ini menyerang penuh semangat dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok!

Akan tetapi, biar pun berkurang tiga orang, ternyata barisan Hui-houw-tin ini malah mengamuk lebih hebat. Inilah keistimewaan Hui-houw-tin, seperti seekor harimau kalau terluka akan lebih hebat sepak terjangnya. Hal ini adalah karena kalau barisan itu masih lengkap tiga belas orang, ruang gerak penyerangan mereka amat sempit dan terbatas. Makin berkurang jumlahnya, makin leluasa mereka bergerak sehingga tampaknya makin buas. Namun malang bagi mereka, kini yang mereka keroyok adalah murid-murid orang sakti yang telah mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi, jauh melebihi tingkat mereka.

Setelah kini merasa yakin bahwa dari belakang takkan ada yang menyerang dengan senjata rahasia, dengan enaknya Bok Liong membabati lawan seorang demi seorang secara cepat sehingga tak sampai seperempat jam, para pengeroyok itu tinggal empat orang lagi yang cepat melempar tongkat dan berlutut mohon diampuni! Lin Lin gemas sekali, lengannya bergerak hendak membabat dengan pedangnya, akan tetapi lengannya disentuh Bok Liong.

“Sudahlah, Lin-moi. Mereka hanya menjalankan perintah. Kita tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka. Mari kita pergi!”

Pengalaman dalam pertempuran ini membuka mata Lin Lin bahwa kawannya adalah seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya, juga cerdik dan berpengalaman. Kalau saja ia tadi seorang diri menghadapi para pengemis ini, agaknya ia akan terancam bahaya hebat. Mengingat ini, biar pun hatinya tidak puas karena tidak boleh membunuh para pengeroyoknya, namun ia tidak membantah dan bersama Bok Liong mereka melompat pergi dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bulan purnama sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih menerangi jagat. Peristiwa tadi mengusir kantuk dan mereka berjalan terus memasuki hutan.

Malam telah menjelang fajar ketika bulan yang sudah turun itu tertutup puncak gunung dan sinarnya menjadi suram. Keadaan yang gelap ditambah hawa yang amat dingin memaksa dua orang muda itu kembali berhenti di dalam hutan, memilih tempat terbuka di antara pohon-pohon besar dan mereka berjongkok menghadapi api unggun yang mendatangkan hawa hangat nyaman.

“Liok-twako, kau tadi meninggalkan aku untuk menangkap Hui-houw-pangcu, bagaimana hasilnya? Belum kau ceritakan padaku.”

Bok Liong menarik napas panjang. Tadi ia memang sengaja tidak bercerita, karena khawatir kalau-kalau gadis yang aneh ini bersikeras hendak mencari penolong itu. Seorang penolong yang tidak mau memperlihatkan diri tak perlu dipaksa muncul, dan biasanya hanya orang-orang sakti yang bersikap seperti itu.

“Lin-moi, dalam pertempuran tadi, kita berdua hanya dapat keluar dengan selamat berkat pertolongan seorang sakti.”

Lin Lin mengangguk-angguk. “Sudah kuduga, malah tadinya kusangka gurumu yang melempar obat kepadamu, Twako.”

“Bukan Suhu, melainkan orang lain, entah siapa. Obat pemunah racunnya amat manjur, dan ilmu kepandaiannya hebat sekali.”

“Bagaimana kau bisa tahu, Twako?”

“Tak ingatkah kau akan ucapan Hui-houw-pangcu yang mengaku kalah bertanding senjata rahasia dengan kita? Padahal kita sama sekali tidak pernah melepaskan senjata rahasia. Bagaimana dia bisa mengaku kalah bertanding am-gi (senjata gelap)? Tidak bisa lain, tentu penolong kita yang telah menundukkanya, mungkin dengan cara menggempur jarum-jarumnya dengan am-gi lain yang amat lihai. Dan tahukah kau apa yang terjadi ketika aku meninggalkanmu untuk menghajar ketua Hui-houw-pang yang curang itu? Ia telah roboh kaku, siapa lagi kalau bukan penolong kita yang menotoknya. Di kedua tangannya masih penuh jarum-jarum beracun yang belum sempat ia sambitkan kepada kita.”

Benar saja, Lin Lin amat tertarik hatinya. “Siapakah dia Twako? Ah, setelah ia menolong kita, kenapa tadi kau diam saja? Mengapa tidak memanggil-manggil supaya dia muncul? Aku ingin sekali berkenalan dengan dia, Twako, ingin...”

“Ingin apa?” Bok Liong sendiri terheran mendengar suaranya yang berbeda dari biasa, dan lebih heran lagi merasa betapa dadanya sesak dan perasaannya tidak senang. Cemburu! Tapi ia tidak sadar akan hal ini.

“Ingin mengajak ia bertanding, menguji kepandaiannya!”

Jawaban ini membuat Bok Liong melengak heran, akhirnya ia tertawa. Gadis pujaan hatinya ini benar-benar aneh, lucu, manis dan hebat!

“Lin-moi, kalau seorang sakti tidak menghendaki dilihat orang, jangan harap akan dapat bertemu dengannya. Terang bahwa dia membantu kita dengan sembunyi, itu hanya berarti bahwa dia tidak mau kita melihatnya, maka jalan terbaik hanya membiarkan dia melanjutkan sikap itu. Memaksa dia muncul sama dengan menentang kehendaknya dan ini bukanlah pernyataan terima kasih yang baik.”

Lin Lin tidak suka akan keangkuhan. “Huh, siapa memaksa dia menolong kita? Aku sendiri sih tidak butuh akan pertolongannya. Kalau memang dia merasa diri begitu tinggi dan begitu mulia sehingga menganggap tidak berharga mengadakan pertemuan dengan kita, mengapa dia menolong kita tanpa kita minta? Uh, aku belum percaya apakah benar-benar dia itu seorang sakti, lebih tidak percaya lagi apakah dia bermaksud baik dengan pertolongannya itu.”

“Ssstttt... Lin-moi, kenapa kau bilang begitu...?”

Lin Lin melompat berdiri. “Biar! Aku tetap tidak percaya bahwa dia bermaksud baik. Kau boleh takut kepadanya, Liong-twako, akan tetapi aku tidak takut. Kalau dia betul orang baik-baik, kenapa main rahasia-rahasiaan? Siapa sudi main kucing-kucingan dengan orang yang tidak kita kenal? Orang begitu hanya menonjolkan keangkuhan dan kesombongannya, merasa lebih tinggi dari pada orang lain!”...


BERSAMBUNG KE JILID 05


Cinta Bernoda Darah Jilid 04

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 04

BOK LIONG tertawa bergelak, kemudian terheran. Seingatnya baru kali inilah ia dapat tertawa sampai begitu keras sampai basah kedua matanya. Benar-benar mengherankan. Apa yang terjadi dengan dirinya?

“Habis, aku harus menyebut bagaimana? Ah, kau betul. Kau menyebutku Twako, kalau begitu kau adikku, Moi-moi.”

“Nah, begitu baru enak bicara. Terhadap seorang tuan mana aku sudi mengobrol begini? Lain lagi kalau terhadap seorang kakak....”

“Maksudmu, terhadap seorang sahabat baik seperti kakak sendiri,” potong Bok Liong.

“Sama saja, apa bedanya? Twako, kulihat tadi ilmu silatmu juga hebat sekali. Siapakah gurumu?”

Kalau orang lain yang menanyakan hal ini, tentu Bok Liong takkan mau menerangkannya. Selama ia berkecimpung di dunia kang-ouw, hanya beberapa orang tokoh besar saja yang tahu murid siapa pemuda lihai ini. Akan tetapi terhadap Lin Lin yang sekaligus sudah merobohkan jantung menawan hatinya, ia tidak berani berbohong, apa lagi tidak menjawab. Ia takut kalau-kalau gadis yang sekarang sudah ‘jinak’ dan baik kepadanya ini akan mengamuk lagi dan memusuhinya. Tidak ada malapetaka baginya di saat itu yang akan lebih besar dan hebat dari pada dimusuhi Lin Lin.

kho ping hoo serial cinta bernoda darah jilid 04


"Nona... eh, Lin-moi (Adik Lin). Guruku terkenal dengan namanya yang sederhana sekali, malah sesungguhnya, orang lain termasuk aku sendiri tak pernah mengenal namanya karena ia hanya memperkenalkan she (nama keturunan) yaitu she Gan. Karena inilah maka di dunia kang-ouw ia dikenal sebagai Gan-lopek (Empek Tua Gan)!”

Senyum di bibir Lin Lin melebar. “Gan-lopek? Hi-hik! Badut tak pernah mandi yang pantatnya besar, kumis dan jenggotnya dijadikan sarang semut, paling takut melihat cacing dan ular? Hi-hi-hik, geli hatiku kalau mengenangkan dia!” Lin Lin menutupi mulut dengan tangan kiri untuk menyembunyikan tawanya.

Bok Liong membelalakkan kedua matanya yang lebar, “Apa? Kau pernah melihat Suhu?”

Lin Lin menggeleng kepala, menahan kekehnya. Agak lama baru dia dapat bicara. “Aku hanya mendengar ceritanya dari kakek gundul pacul. Wah, kakek dan aku tertawa-tawa sampai perutku menjadi keras dan kakek jatuh terguling dari atas cabang pohon,” kembali Lin Lin tertawa terkekeh-kekeh.

Diam-diam Bok Liong menjadi tak senang hatinya karena merasa betapa suhu-nya, orang yang ia anggap paling hebat di dunia ini, menjadi buah tertawaan, sungguh pun ia cukup mengenal suhu-nya sebagai orang yang luar biasa anehnya dan kadang-kadang membuat lelucon yang luar biasa.

“Hemmm, kau pernah mendengar cerita tentang Suhu? Dan kakek gundul pacul yang menceritakan itu, apakah dia jatuh dari cabang pohon terus mati?”

Tiba-tiba suara ketawa Lin Lin terhenti. “Dia? Mati jatuh dari cabang? Ah, Twako, kau benar-benar tidak mengenal dia. Dialah yang menurunkan ilmu Serba Kosong kepadaku. Dia orang sakti seperti dewa, mana bisa mati jatuh dari cabang?”

Bok Liong benar-benar tidak mengerti. Luar biasa sekali dara ini, pikirnya. Kalau kakek gundul pacul itu mengajar ilmu, berarti kakek itu guru si nona. Akan tetapi kenapa nona ini menyebutnya gundul pacul, sebutan yang seakan-akan mengejek dan memandang rendah?

“Ah, kalau begitu beliau seorang sakti? Siapakah beliau itu, atau kau juga tidak tahu namanya?”

“Tentu saja aku tahu. Dia disebut Kim-lun Seng-jin... eh, kenapa kau, Liong-twako (Kakak Liong)?” Lin Lin heran melihat pemuda itu meloncat seperti dipagut ular dan matanya menjadi amat bundar dan lebar.

“Kim-lun Seng-jin? Beliau itu gurumukah?” tanya Bok Liong.

Kembali Lin Lin menggeleng kepala. “Bukan! Bukan guruku. Dia sahabat baikku.”

Makin heranlah Bok Liong. Masa kakek sakti yang amat terkenal di dunia ini, yang tingkatnya sekelas dengan gurunya, menjadi sahabat baik gadis ini?

“Tapi kau bilang tadi bahwa kau menerima ilmu darinya. Kan itu berarti bahwa dia gurumu.”

“Bukan! Hanya kenalan biasa saja. Tapi ilmunya Serba Kosong memang boleh juga.” Lin Lin bersikap seakan-akan hal itu merupakan hal yang ‘bukan apa-apa’ baginya, sikap ini sengaja ia ‘pasang’ karena melihat betapa Bok Liong terheran-heran dan agaknya amat menjunjung tinggi Kim-lun Seng-jin!

“Serba kosong! Aneh sekali nama ilmu itu. Tapi, Lin-moi, aku percaya bahwa ilmu yang diturunkan oleh Kim-lun Seng-jin tentulah hebat bukan main. Ah, maafkan kalau tadi aku bersikap kurang hormat. Siapa mengira bahwa kau adalah mur... eh, sahabat baik Kim-lun Seng-jin Locianpwe (Orang Tua Gagah)? Pantas saja beliau bisa bercerita tentang Suhu-ku.”

Senang sekali hati Lin Lin, kebanggaannya bukan main sehingga ia mengangkat dadanya yang sudah membusung. Karena senangnya, ia ingin memberi sekedar hiburan kepada Bok Liong dengan kata-kata manis. “Tapi kakek berkata bahwa biar pun Gan-lopek itu orangnya lucu dan merupakan seorang badut besar, namun kepandaiannya hebat. Maka sekarang, melihat kepandaianmu, aku percaya akan kesaktiannya.”

Sekarang Bok Liong teringat akan matanya menatap ke arah pedang yang tergantung di pinggang Lin Lin. Tadi ia amat terkejut ketika mendengar ucapan Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning. Ia mendengar pula tentang lenyapnya pedang pusaka itu dari gudang pusaka istana, dan ia tadi masih terheran-heran bagaimana pedang itu bisa terjatuh ke tangan Lin Lin.

Betapa pun pandainya Lin Lin, kiranya bukanlah hal yang mudah untuk dapat memasuki istana dan mencuri sebuah pedang pusaka. Akan tetapi sekarang terbukalah rahasia itu. Kalau gadis itu pergi bersama seorang sakti seperti Kim-lun Seng-jin, soal memasuki istana dan mencuri pedang pusaka bukanlah merupakan hal yang aneh lagi. Akan tetapi, ia mulai mengenal watak Lin Lin dan karenanya ia tidak mau bertanya-tanya akan hal pedang itu, takut kalau-kalau Lin Lin akan menjadi curiga dan marah kepadanya. Sebaliknya ia lalu bertanya.

“Lin-moi, setelah kita menjadi sahabat dan kenalan sekarang, bolehkah aku mengetahui apa yang kau kehendaki sehingga kau seorang diri sampai berada di tempat ini? Hendak pergi ke manakah kau?”

Ini memang merupakan pertanyaan yang dinanti-nanti Lin Lin. Gadis ini sudah mengambil keputusan untuk minta bantuan Bok Liong. Kakek gundul Kim-lun Seng-jin biar pun telah mewariskan ilmu dan mengajaknya ke kota raja, malah ke dalam istana dan mencuri pedang, namun tidak berhasil menolong dia mendapatkan musuh besarnya, juga kakak angkatnya.

Setelah mendengar tentang sangkaan Kim-lun Seng-jin mengenal asal-usulnya dengan bangsa Khitan, makin besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan Bu Song, karena dialah satu-satunya orang yang boleh diharapkan akan dapat menceritakan asal-usulnya, karena ketika ia diambil anak oleh Jenderal Kam, tentu Bu Song sudah besar dan dapat mengingat semua peristiwa di waktu itu.

“Liong-twako, sebelum aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, lebih dulu kau jawablah. Apakah kau akan suka membantuku?”

“Tentu saja! Dengan segala senang hati aku akan membantumu. Apakah yang dapat kulakukan untukmu, Moi-moi?”

“Tanpa syarat?”

“Eh... tanpa syarat bagaimana? Tentu saja, aku harus mendengar dulu apa urusanmu itu dan apa yang harus kulakukan.”

Bibir manis itu cemberut, tapi bagi Bok Liong malah tampak makin manis.

“Kalau begitu, tak usah kau membantuku. Ucapanmu itu menyatakan bahwa tidak sepenuh hatimu kau berniat membantuku. Kalau sepenuh hati suka membantu, tentu tidak akan bertanya-tanya lagi, apa saja urusannya, tetap akan suka membantu.”

Merah muka Bok Liong mendengar celaan ini, dan diam-diam ia harus akui bahwa ucapan gadis ini, biar pun terdengar seperti mencari menang sendiri, namun ada benarnya juga. “Baiklah, aku akan membantumu. Akan tetapi, Moi-moi, kau tentu tahu bahwa biar pun untuk kau sendiri, terpaksa aku tidak mau melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kebenaran. Ringkasnya, aku tidak mau membantu pihak yang melakukan kejahatan....”

Bok Liong terpaksa menghentikan kata-katanya karena seketika Lin Lin menjadi marah sekali. Gadis ini berdiri tegak, mengedikkan kepala, kedua tangan di pinggang, pandang matanya keras. “Sudahlah, kita tidak jadi bersahabat. Aku tidak sudi bersahabat dengan orang yang tidak percaya kepadaku sedangkan aku amat percaya kepadamu!” Tubuhnya membalik dan berkelebat pergi.

Bukan main kagetnya hati Bok Liong. Ia pun cepat mengerahkan ginkang-nya untuk mengejar, “Nanti dulu, Non... eh, Moi-moi. Tunggu...! Mari kita bicara...!”

Akan tetapi Lin Lin tidak mempedulikannya, terus lari kencang. Karena ia mempergunakan ginkang dari Khong-in-ban-kin, tentu saja larinya cepat sekali, mengalahkan kuda betina yang kabur dikejar kuda jantan. Dan Bok Liong sampai berkeringat karena harus mengerahkan seluruh tenaga mengejar.

“Lin-moi... tunggu dulu...! Aku percaya padamu...!”

Lin Lin mendengar derap kaki kuda. Kiranya Bok Liong yang melihat betapa gerakan Lin Lin amat gesit dan cepat kembali ke tempat tadi, meloncat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda tunggangnya itu, melakukan pengejaran. Tapi ilmu lari cepat yang dipergunakan Lin Lin benar-benar luar biasa sekali. Kalau gadis itu sudah matang dalam melatih Khong-in-ban-kin, kiranya pemuda itu biar pun berkuda takkan mampu menyusulnya. Sekarang pun sukar sekali Bok Liong dapat menyusul.

Setelah berkejaran hampir dua jam dan mereka tiba di luar kota Pao-teng sebelah selatan kota raja, barulah Lin Lin tersusul. Hal ini pun hanya karena gadis itu kehabisan napas, terpaksa ia berhenti dengan napas memburu. Sepasang pipinya menjadi merah seperti buah tomat karena darahnya bergerak cepat setelah berlari selama itu.

Bok Liong cepat-cepat melompat turun dari atas kudanya dan menghadapi Lin Lin yang berdiri cemberut. Bok Liong kembali mengangkat kedua tangan memberi hormat dan suaranya benar-benar penuh bujuk rayu, “Adikku yang baik, Moi-moi yang baik budi, maafkanlah aku yang tolol. Aku sungguh tidak mengerti mangapa kau marah-marah kepadaku. Kalau kau suka menjelaskan, biarlah aku akan membunuh diri kalau memang aku berbuat dosa terhadapmu.”

Di dalam hatinya Lin Lin tertawa geli dan mengira pemuda itu membadut. Akan tetapi karena ia masih mendongkol, ia menjawab ketus, “Kau sudah tidak percaya kepadaku, mengapa masih memperlihatkan sikap bersahabat?”

“Siapa bilang aku tidak percaya, Lin-moi? Aku percaya seribu prosen kepadamu. Percaya mati-matian dan bulat-bulat!” Bok Liong sengaja bersikap jenaka dan benar saja, dara yang memang pada dasarnya berwatak jenaka gembira itu sebentar saja sudah hilang marahnya.

“Kau bilang percaya hanya di mulut tapi di hati kau menyangka aku akan melakukan hal-hal jahat dan akan menyeretmu ke dalam perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan kebenaran. Bagus, ya? Lain di mulut lain di hati, berani sumpah tak berani mati!”

Kini tiba giliran Bok Liong yang tertawa geli di dalam hatinya. Entah dari mana dara ini memungut kata-kata sindiran yang merupakan istilah dalam panggung sandiwara itu untuk mengukur watak laki-laki.

“Wah, benar aku telah bersalah, Lin-moi, akan tetapi sungguh mati bukan maksudku untuk tidak percaya kepadamu.”

“Nah, sekarang bunuh dirilah. Aku ingin sekali lihat!” kata Lin Lin sambil duduk di atas tanah, dibawah pohon. Peluhnya yang membasahi jidat dan leher diusapnya dengan sapu tangan sutera.

“Bunuh diri...? Apa maksudmu...?”

“Eh, pakai tanya lagi! Kan kau sendiri yang tadi berjanji hendak bunuh diri kalau berdosa kepadaku. Nah, kau bunuh dirilah. Atau memang kau pun termasuk golongan yang berani sumpah tak berani mati?”

“Waduh-waduh, masa kesalahan begitu saja dianggap dosa besar yang harus ditebus dengan nyawa? Lin-moi, harap jangan main-main. Biarlah, aku mengaku salah dan tidak akan banyak tanya lagi. Aku akan membantumu tanpa syarat dan tanpa tanya-tanya lagi. Sekarang katakan, apa yang dapat kulakukan untuk membantumu? Apakah kesukaranmu?” kata Bok Liong sambil duduk pula di atas tanah, berhadapan dengan Lin Lin. Kudanya yang juga tampak lelah itu beristirahat sambil makan rumput gemuk hijau di pinggir jalan, ekornya dikebut-kebutkan ke kanan kiri mengusir lalat, kelihatan girang dan lega kuda itu setelah tadi berlomba lari.

Kini wajah Lin Lin tampak sungguh-sungguh. Memang ia tadi mendongkol, akan tetapi tidak mendalam dan puaslah ia sudah dapat balas menggoda Bok Liong. Kini dengan suara serius ia berkata. “Liong-twako, sebetulnya pikiranku amat bingung. Aku mencari musuh besar tidak bertemu, mencari kakak angkatku juga tidak berhasil, malah-malah Kakak Bu Sin dan Enci Sian Eng pun sampai sekarang tidak bertemu kembali denganku, entah lenyap ke mana mereka itu!”

Tahulah sekarang Bok Liong bahwa gadis ini adalah seorang dara remaja yang hilang dalam arti kata terpisah dari dua orang kakaknya. Ia tidak memotong, melainkan menanti gadis itu melanjutkan penuturannya.

“Kami bertiga pergi meninggalkan dusun kami di kaki Gunung Cin-ling-san dengan niat mencari musuh besar kami, juga mencari kakak angkatku yang semenjak kami lahir tak pernah kami temui. Celakanya, kami bercerai-berai dan aku mencari sendiri, dibantu oleh kakek gundul Kim-lun Seng-jin. Namun hasilnya sia-sia belaka. Kakek gundul itu ternyata tidak becus membantuku, tak dapat membawaku kepada kakak angkatku, juga tidak tahu di mana adanya musuh besarku. Nah, sekarang aku minta bantuanmu, Liong-twako, bantulah aku mencari mereka itu.”

Bok Liong tertawa. Hatinya lega bukan main. “Ah, Lin-moi, kau ini memang suka bikin orang bingung. Kalau tadi-tadi kau bilang hanya bantuan seperti ini saja, tentu aku seribu kali setuju. Akan kubantu engkau, Moi-moi. Akan tetapi, tentu saja aku harus tahu lebih dulu siapakah gerangan mereka yang kau cari. Siapakah musuh besarmu itu?”

“Aku sendiri juga tidak tahu, akan tetapi menurut dugaan kami, dia adalah si Suling Emas.”

Tiba-tiba Bok Liong meloncat sampai satu meter lebih. Mukanya berubah dan ia memandang kepada Lin Lin dengan bengong. Lin Lin juga meloncat dan membanting kakinya.

“Nah-nah-nah, kau kumat lagi! Apakah semua laki-laki memang pengecut sehingga begitu mendengar nama Suling Emas lantas menjadi ketakutan macam ini? Kau dan kakek gundul sama saja. Menjemukan benar!”

“Wah, kau yang kumat, bukan aku,” demikian suara hati Bok Liong. Akan tetapi mulutnya segera berkata, “Jangan salah sangka, Lin-moi. Aku tidak takut, hanya terheran-heran. Kau agaknya tidak tahu orang macam apa dia itu maka begitu mudah kau menuduh dia sebagai musuh besarmu. Lin-moi, Suling Emas adalah seorang pendekar sakti yang dipandang tinggi oleh para tokoh bersih di dunia kang-ouw. Masa dia membunuh ayah bundamu?”

Lin Lin cemberut. “Biar dipandang tinggi oleh semua orang di dunia atau dipandang tinggi oleh para dewa sekali pun, aku tidak takut! Ihhh, semua orang takut kepada Suling Emas. Sampai bagaimana sih kepandaiannya? Ingin aku bertemu dengan dia dan mengajak dia duel (adu ilmu) sampai selaksa jurus!”

Bok Liong meraba-raba bawah hidungnya yang tidak berkumis untuk menahan tawa. “Baiklah, Lin-moi. Aku akan membantumu dan kurasa kalau diusahakan benar, bukan tidak mungkin aku akan dapat memperjumpakan kau dengan Suling Emas.”

Wajah yang cemberut itu seketika berseri dan kembali Bok Liong merasa dadanya tergetar. Sekarang demikian hebat ia terpengaruh sehingga jantung di dalam rongga dadanya berloncatan ke atas kemudian jatuh kembali di tempatnya dalam keadaan terbalik! Mulutnya sampai ternganga ketika ia memandang wajah Lin Lin, sinar matanya sayu penuh keharuan. Baru kali ini ia menyaksikan sesuatu yang demikian indahnya sampai mengharukan.

Akan tetapi Lin Lin mana memperhatikan hal ini? Ia sudah terlampau girang. Cepat ia menyambar tangan Bok Liong, di guncang-guncangnya. “Betul, Liong-twako? Kau bisa mencari dia? Ah, kakek gundul itu saja tidak becus. Di mana adanya Suling Emas, Liong-ko? Jauh atau dekat? Hayo kita segera pergi ke sana, ingin kupaksa dia mengaku tentang pembunuhan itu!”

Kembali Bok Liong tersenyum. Kini ia berani tersenyum dan ini memudahkan ia menahan tawanya mendengar kata-kata dan melihat sikap yang lucu ini. Benar-benar seorang dara lincah jenaka yang seperti seekor burung baru belajar terbang, tidak tahu tingginya gunung lebarnya lautan!

“Tidak begitu mudah, Lin-moi. Orang macam dia itu tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi aku akan bertanya-tanya kepada tokoh kang-ouw. Aku mempunyai banyak kenalan di dunia kang-ouw, dan dari mereka kurasa akhirnya kita akan dapat berjumpa dengan Suling Emas. Sekarang soal kedua, tentang kakakmu itu. Siapa dia dan bagaimana mungkin seorang kakak tidak pernah bertemu dengan adik-adiknya selamanya?”

“Kakak angkatku itu bernama Kam Bu Song, akan tetapi ketika ia mengikuti ujian di kota raja empat belas tahun yang lalu, ia memakai she Liu. Apakah kau bisa mencari keterangan tentang dia?”

“Kam... Liu Bu Song? Tak pernah aku mendengar nama ini, akan tetapi kalau empat belas tahun yang lalu dia di kota raja, tentu saja aku tidak ingat lagi. Tentu aku masih kanak-kanak waktu itu. Akan tetapi aku dapat mencari keterangan di kota raja tentang dia. Sekarang, kau hendak mencari yang mana lebih dulu? Kalau mencari kakakmu lebih dulu, kita kembali ke kota raja. Kalau mencari Suling Emas, tidak perlu kita ke kota raja.”

Lin Lin termenung. Kedua orang itu sama pentingnya. Akan tetapi pertemuan dengan Kim-lun Seng-jin dan cerita tentang ‘Puteri Khitan’ amat menarik hatinya dan membuat ia ingin sekali segera mendengar pemecahan rahasia ini. Pula, kalau ia mencari Bu Song di kota raja, ada keuntungannya, yaitu sambil menanti datangnya Bu Sin dan Sian Eng. Mereka berdua itu pasti akan datang ke kota raja pula.

“Biar kita ke kota raja mencari Kakak Bu Song lebih dulu,” akhirnya ia berkata. “Sekalian menanti munculnya Sin-ko dan Enci Sian Eng. Liong-twako, kau baik sekali. Perlu kau kuperkenalkan dengan Sin-ko dan terutama dengan Eng-cici. Wah, dia itu gagah perkasa, ilmu pedangnya hebat dan dia cantik sekali, Twako!” Setelah berkata demikian ia tertawa-tawa gembira.

Merah muka Bok Liong. “Hush, kau bicara apa ini? Kenapa kau bilang kepadaku tentang Cici-mu? Apa perlunya?”

“Ihhh, kalau aku memuji kecantikan Enci-ku di depanmu, apa sih salahnya?” Ia tertawa-tawa lagi dan matanya menggoda.

Bok Liong tersenyum masam, hatinya mengeluh. “Engkaulah yang cantik, tidak ada wanita kedua di dalam dunia ini yang dapat menggerakkan hatiku seperti engkau,” demikian suara hatinya.

“Baiklah, kita kembali ke kota raja. Akan tetapi sarung pedangmu itu harus diganti. Biar nanti kucarikan gantinya.”

“Sarung pedang? Mengapa?” Lin Lin meraba pedangnya.

“Moi-moi, tadi aku mendengar dari kata-kata Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning yang hilang dari istana dan berada di tanganmu. Lebih baik sarungnya yang istimewa itu diganti, sehingga tidak akan dikenal orang.”

Lin Lin tersenyum. “Memang inilah pedang itu, kakek gundul dan aku yang mengambilnya. Wah, kalau kau ikut tentu senang sekali, Liong-twako. Kami berdua menyikat habis semua masakan di dalam dapur istana. Wah, enak-enak, pendeknya, selama hidup belum pernah kau merasakannya. Sampai sakit perutku, terlalu kenyang dan perut kakek itu menjadi busung. Dan kami... kami menyamar seperti kucing...” Lin Lin terkekeh gembira, menutupi mulutnya dan dengan suara terputus-putus diseling tawa ia menceritakan pengalamannya di istana.

Bok Liong kagum bukan main. Kagum akan kehebatan Kim-lun Seng-jin, juga kagum akan manisnya mulut yang bergerak-gerak bicara itu. Kemudian mereka berdua memasuki kota Pao-teng dan di sebuah toko senjata, Bok Liong membeli sebuah sarung pedang untuk pedang yang tergantung di pinggang Lin Lin. Kini pedang itu, tanpa ronce-ronce dan dengan sarung lain, tiada bedanya dengan pedang biasa, maka tentu tidak akan ada yang tahu bahwa itulah Pedang Besi Kuning, pedang pusaka rampasan dari bangsa Khitan yang lenyap dari dalam gudang pusaka istana.

Di kota Pao-teng, Bok Liong mengajak Lin Lin memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar dan bersih. Hari menjelang senja dan perut mereka telah lapar. Tanpa sungkan-sungkan Lin Lin menyetujui dan seorang pelayan segera menyambut mereka dengan hormat, apa­lagi ketika melihat pedang yang tergantung di punggung Bok Liong dan di punggung Lin Lin.

Bok Liong bertanya, “Kau hendak makan apa, Moi-moi?”

“Apa sajalah. Setelah makan eh... anu... semua itu, kiranya tidak ada makanan yang cukup enak bagiku.” Ia mengernyitkan hidung. Bok Liong maklum bahwa yang dimaksudkan Lin Lin tentu masakan-masakan di dapur istana itu. Pelayan yang menanti pesanan mereka tentu saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh nona yang cantik jelita dan gagah perkasa ini.

Bok Liong memesan arak wangi, nasi putih, bakmi, bakso dan beberapa macam sayur-mayur lagi. Pesanan itu dilayani dengan cepat sehingga beberapa menit kemudian mereka telah mulai makan minum. Kelahapan Bok Liong dan perutnya yang sudah amat lapar itu membuat Lin Lin dapat makan dengan enak juga, malah tidak kalah enaknya dengan masakan-masakan dapur istana ketika ia sudah kekenyangan. Bukanlah masakannya yang menjadi syarat mutlak untuk kelezatan, melainkan perut lapar. Perut lapar menyedapkan setiap makanan yang paling sederhana seakali pun!

Suara orang bercakap-cakap riuh­rendah memasuki restoran itu tidak menarik perhatian Lin Lin dan Bok Liong yang sedang enak makan, juga ketika beberapa orang tamu memesan masakan dengan suara parau, mereka tidak menengok dan terus makan. Akan tetapi karena tiga orang laki-laki yang baru datang itu duduknya di meja yang berhadapan dengan Lin Lin, mau tak mau Lin Lin dapat melihat mereka. Mendadak gadis ini meletakkan sumpit dan mangkoknya, kemudian ia bangkit dari tempat duduk dengan mata berapi. Bok Liong melihat keadaan gadis ini sambil menghirup kuah dari mangkok, menoleh lalu mengerutkan keningnya. Kiranya yang bercakap-cakap dan duduk mengelilingi meja itu adalah tiga orang laki-laki yang pakaiannya ditambal-tambal, pakaian pengemis jembel!

“Sssttttt, Lin-moi, tenang dan duduklah. Tak baik membuat ribut di restoran orang, bikin kacau dan rusak barang orang saja,” bisiknya.

Lin Lin sadar, menekan perasaannya dan duduk kembali. Seorang pelayan yang sedang bersiap untuk mengambilkan pesanan tiga orang pengemis itu memandang penuh kekhawatiran dan curiga kepada Lin Lin. Akan tetapi ketika melihat gadis ini duduk kembali, ia cepat-cepat pergi ke dapur. Tidak mengherankan apa bila Lin Lin kaget dan marah melihat tiga orang laki-laki itu, karena mereka ini adalah tiga orang di antara para pengemis yang malam-malam mengeroyok dia dan dua orang saudaranya.

Sebaliknya tiga orang pengemis itu agaknya tidak mengenal Lin Lin, dan hal ini pun tidak aneh. Mereka baru satu kali saja melihat Lin Lin, ini pun di waktu malam dan dalam pertempuran. Apa lagi ketika itu Lin Lin ditemani oleh Bu Sin dan Sian Eng, sedangkan sekarang hanya berdua dengan Bok Liong.

“Mereka adalah pengemis-pengemis yang dulu ikut mengeroyok kami,” bisik Lin Lin.

Bok Liong mengangguk-angguk. Gadis itu sudah bercerita tentang perselisihannya dengan para pengemis yang dipimpin oleh si Raja Pengemis It-gan Kai-ong.

“Mereka itu tokoh-tokoh Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang) dan agaknya mereka datang sebagai tamu. Wilayah mereka bukanlah di Pao-teng sini. Lin-moi, mari kita ke luar.” Bok Liong memanggil pelayan, membayar dan mengajak Lin Lin keluar dari restoran.

“Lin-moi, malam ini kita sebaiknya bermalam di sini. Pengemis-pengemis itu mencurigakan. Pengemis-pengemis Hui-houw-kai-pang merupakan orang-orang kepercayaan It-gan Kai-ong, mereka itu bekerja untuk Kerajaan Wu-yue. Kalau datang ke dekat kota raja tentu ada maksud-maksud tertentu, sebagai mata­mata. Aku akan membayangi mereka.”

“Liong-ko, kenapa kau akan lakukan hal ini? Apa hubunganmu dengan urusan itu?”

Bok Liong memandang dengan sinar mata penuh perasaan ketika ia berkata. “Lin-moi, seorang warga negara harus setia kepada negaranya. Demikian pula aku, harus setia kepada Kerajaan Sung. Kalau aku melihat persekutuan yang membahayakan negara dan aku diamkan saja bukankah itu berarti bahwa aku menjadi seorang pengkhianat? Tidak Moi-moi, takkan kudiamkan saja kalau orang-orang Hui-houw-kai-pang ini mempunyai niat melakukan sesuatu yang membahayakan negara.”

Kagum hati Lin Lin. Sebagai anak angkat Jenderal Kam, seorang patriot sejati yang rela mengorbankan diri dan kebahagiaan demi negara, tentu saja ia tahu akan hal ini, dan ia dapat menghormati sikap ini.

Malam hari itu Bok Liong dan Lin Lin membayangi tiga orang pengemis yang memasuki sebuah rumah gedung kecil di sebelah timur kota Pao-teng. Rumah ini jauh dari tetangga, pekarangannya lebar dan kelihatannya sunyi. Sebuah rumah kuno yang modelnya seperti rumah pesanggrahan bangsawan yang hanya ditinggali sewaktu-waktu saja. Bagi para penduduk Pao-teng, rumah gedung mungil ini terkenal dengan sebutan ‘Gedung Merah’ karena memang cat rumah itu serba merah.

Orang-orang hanya tahu bahwa rumah itu milik seorang bangsawan muda dari An-sui yang kadang-kadang saja datang ke rumah ini, di mana ia mempunyai beberapa orang wanita penghibur yang menjadi selir-selirnya. Kalau bangsawan muda itu datang, barulah tampak kesibukan di gedung merah ini. Tukang-tukang masak pandai dipanggil, rombongan penghibur, penari dan penyanyi, diundang dan sering kali diadakan pesta oleh bangsawan itu bersama selir-selirnya, kadang-kadang ditemani beberapa orang tamu.

Bangsawan muda itu bukan lain adalah Suma Boan, putera Pangeran Suma Kong. Memang dia seorang pemuda penghambur nafsu dan uang. Sebetulnya hanya kelihatannya saja Suma Boan merupakan seorang kongcu hidung belang yang menghabiskan waktunya dengan pelesir dan bersenang-senang. Padahal sebetulnya dia seorang muda yang penuh cita-cita. Tidak sia-sia ia menjadi murid orang sakti It-gan Kai-ong, karena tidak saja ia memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun juga memiliki cita-cita setinggi langit.

Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw ia hubungi, dan ia menghimpun tenaga untuk sewaktu-waktu bergerak melaksanakan tujuan dan cita-citanya, yaitu menggulingkan kedudukan kaisar dan mengangkat diri sendiri menjadi penggantinya! Tentu saja cita-citanya ini masih merupakan rahasia dalam hatinya dan kiranya hanya gurunya dan pembantu-pembantunya yang paling setia saja yang tahu. Orang lain hanya menganggap bahwa Suma Boan adalah seorang bangsawan, putera pangeran, masih sanak dengan kaisar, kaya raya dan royal di samping memiliki ilmu kepandaian silat tinggi.

Maka dari itu Bok Liong menjadi heran sekali ketika ia mengintai dari atas genteng gedung merah bersama Lin Lin, ia melihat bahwa tiga orang pengemis itu mengadakan pertemuan dengan Suma Boan. Hal ini sama sekali tak pernah diduganya. Suma Boan putera pangeran yang tinggai di An-sui itu berada di sini? Benar-benar di luar dugaannya yang sejak dahulu berkelana. Bok Liong mengenal siapa adanya Suma Boan, murid It-gan Kai-ong yang lihai.

Akan tetapi ia sama sekali tidak tahu akan rahasia putera pangeran ini. Ia tidak menjadi heran karena Suma Boan berhubungan dengan pengemis, karena guru pemuda bangsawan itu adalah raja pengemis sendiri! Akan tetapi yang membuat ia terheran-heran adalah munculnya pemuda bangsawan itu di gedung merah, karena tadinya ia mengira bahwa tiga orang pengemis itu hendak mengadakan persekutuan atau pertemuan rahasia dengan musuh-musuh Kerajaan Sung. Maka ia kecewa dan memberi isyarat kepada Lin Lin untuk pergi dari situ.

Akan tetapi, sebaliknya wajah Lin Lin menegang ketika ia mengenal Suma Boan. Ia malah memberi isyarat kepada Bok Liong untuk mendengarkan percakapan mereka di bawah, lalu mendekatkan mulut pada telinga Bok Liong sambil berbisik. “Di rumah dia itulah aku berpisah dengan kedua kakakku.”

Mendengar ini hati Bok Liong tertarik dan ia segera mendekam dan mendengarkan percakapan empat orang itu.

Terdengar Suma Boan bertanya. “Mana Suhu? Kenapa tidak datang dan bagaimana hasilnya dengan surat yang dirampas Hek-giam-lo?”

“Kai-ong-ya tidak berhasil merampas kembali, tapi memberi tahu bahwa surat itu agaknya sudah terampas kembali oleh Siang-mou Sin-ni dari tangan Hek-giam-lo. Sekarang Ong-ya berkenan pergi sendiri menyelidik ke Yu-nan.”

“Apa? Suhu mendatangi wilayah Nan-cao?”

“Betul, Kongcu. Pada pertengahan bulan depan, tepat pada bulan purnama, di sana diadakan pesta menyambut hari raya kaum Agama Beng-kauw, sekalian memperingati hari wafat ke seribu dari Kauw-cu (Ketua Agama) yang telah meninggal dunia. Dalam kesempatan ini tentu saja Kai-ong-ya dapat menghadiri karena para tokoh hitam dan putih semua diterima dengan tangan terbuka oleh Beng-kauw.”

“Bagus!” Suma Boan kelihatan girang sekali. “Hanya sayang sekali, kalau Suhu memberi tahu, tentu aku akan ikut ke sana, untuk melihat dan menambah pengalaman.”

“Kai-ong-ya berpesan agar Kongcu suka menanti kedatangan Tok-sim Lo-tong yang sudah berjanji akan datang mengunjungi dan sudah siap memberi bantuan untuk menghadapi Suling Emas.”

“Hemmm, si keparat itu apakah sudah dapat diketahui Suhu di mana tempatnya kalau ia datang ke kota raja?”

“Menurut Kai-ong-ya, sering kali ia berada di dalam gedung perpustakaan istana.”

“Heeeee! Apa itu?” Tubuh Suma Boan berkelebat, diikuti tiga orang pengemis itu yang sudah melompat ke luar dan langsung melayang ke atas genteng.

Kiranya tadi ketika mendengar percakapan di bawah, Bok Liong dan Lin Lin menjadi tertarik sekali. Apa lagi ketika nama Suling Emas disebut-sebut, Lin Lin menjadi begitu bernafsu sehingga ia bergerak untuk membuat lubang lebih besar. Karena kurang hati-hati dan hatinya tegang, gerakannya mengeluarkan bunyi dan terdengar oleh telinga Suma Boan yang tajam.

“Keparat, berani kalian main-main di depan Lui-kong-sian?!” bentak Suma Boan sambil menerjang maju. Lui-kong-sian atau Dewa Geledek adalah julukannya.

Bok Liong maklum akan lihainya lawan, maka cepat ia memasang kuda-kuda dan menangkis. Dua lengan yang sama kuatnya bertemu dan akibatnya, keduanya terpental melayang dan tentu akan roboh terguling di atas genteng kalau tidak cepat-cepat mereka meloncat turun.

Lin Lin yang tahu bahaya juga mendahului meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Baru saja kakinya menginjak tanah, tiga orang pengemis itu sudah menerjangnya dengan tongkat, gerakan mereka cepat dan kuat. Namun Lin Lin sudah memutar pedangnya, tampak sinar kuning bergulung-gulung dari pedang itu menyambut datangnya tiga bayangan tongkat.

Ada pun Suma Boan ketika tertangkis oleh lengan Bok Liong, terkejut bukan main dan ia menjadi penasaran. “Siapakah kau? Apa perlunya kau malam-malam datang seperti pencuri?” bentaknya ketika ia sudah berhadapan dengan lawannya di atas tanah. Sayang, keadaan agak gelap sehingga ia tidak dapat mengenal siapa pemuda yang lihai di depannya ini.

“Suma-kongcu, suruh orang-orangmu mundur, dan kami akan segera pergi, tidak akan mengganggumu lagi,” kata Bok Liong sambil memandang ke arah pertempuran. Akan tetapi ia tidak khawatir akan keselamatan Lin Lin karena tiga orang pengemis itu telah terdesak hebat oleh sinar pedang kuning yang bergulung-gulung dahsyat.

“Enak saja bicara, berani kau datang untuk memerintahku? Ke neraka kau!” Suma Boan cepat menerjang dengan pukulan-pukulan maut.

Keistimewaan pemuda bangsawan ini adalah ilmu pukulan tangan kosong. Tenaganya kuat dan ia memiliki banyak tipu muslihat, juga memiliki beberapa pukulan yang mengandung tenaga beracun. Namun kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh, murid seorang sakti pula, maka semua pukulannya dapat dihalau oleh Bok Liong. Karena dia seorang pendekar yang gagah dan memang suka mengadu ilmu, apa lagi sudah lama mendengar akan nama besar Lui-kong-sian Suma Boan, Bok Liong juga tidak mau mencabut pedangnya dan melayani lawannya dengan tangan kosong pula. Keduanya sama kuat, sama cepat dan masing-masing mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi.

Keadaan Lin Lin dan para pengeroyoknya tidak seramai dua orang jago muda ini. Dalam sekejap mata saja, pedangnya telah merobohkan dua orang pengeroyok dan pengemis yang ketiga lari ketakutan menjauhkan diri! Diam-diam Lin Lin menjadi girang dan juga bangga. Ia pernah dikeroyok orang-orang seperti ini ketika bersama Bu Sin dan Sian Eng dahulu, dan mereka bertiga amat repot menghadapi pengeroyokan banyak pengemis. Akan tetapi sekarang, biar pun yang mengeroyoknya hanya bertiga, namun dengan pedang curian itu dan dengan ilmu warisan Kim-lun Seng-jin, terasa betapa lemahnya tiga orang pengeroyoknya dan betapa mudah ia merobohkan mereka! Lin Lin menoleh dan melihat Bok Liong masih bertanding hebat dengan pemuda jangkung yang sombong itu.

“Liong-twako, jangan takut, pedangku akan mencabut nyawanya!” seru Lin Lin dan cepat ia menerjang.

Sinar kuning berkelebat dan Suma Boan mengeluh sambil membuang diri ke kiri lalu berjungkir balik. Pucat wajahnya karena hampir saja ia menjadi korban sinar pedang yang mengandung hawa dingin seperti es. Ia tadi terlalu memandang rendah. Kiranya selain pemuda lawannya itu hebat, juga gadis itu amat lihai dan ganas ilmu pedangnya.

Lin Lin hendak menerjang lagi, akan tetapi tangannya disambar Bok Liong, lalu ditarik dan pemuda itu berkata, “Moi-moi, mari kita pergi, jangan bikin kacau rumah orang!”

Lin Lin baru teringat bahwa sebetulnya bukan menjadi kehendak mereka bertempur dengan orang-orang itu. Tadi ia terpaksa merobohkan lawan karena ia dikeroyok. Sekarang, apa perlunya bertanding terus? Ia tidak bermusuhan dengan pemuda bangsawan itu. Malah pemuda itu telah berjasa dalam menyebut-nyebut Suling Emas tadi. Ia tahu sekarang ke mana harus mencari Suling Emas, musuh besarnya. Ke kota raja. Di dalam gedung perpustakaan istana! Hatinya girang mengingat akan hal ini dan ia cepat meloncat pergi bersama Bok Liong, menghilang ke dalam gelap.

Suma Boan tidak mengejar. Pemuda bangsawan ini cukup cerdik dan hati-hati. Dua orang itu lihai, dan belum ia kenal siapa mereka. Tiga orangnya telah roboh, mengapa ia harus mengejar tanpa bantuan yang kuat?

Setelah berlari jauh meninggaikan kota Pao-teng, Bok Liong dan Lin Lin berhenti untuk mengatur napas. “Wah, untung kebetulan It-gan Kai-ong tidak berada di sana bersama Suma-kongcu. Kalau ada, bisa berbahaya tadi. Sama sekali tidak kuduga bahwa gedung merah itu milik Suma Boan,” kata Bok Liong.

“Aku tidak takut! Biar ada jembel tua bangka setengah buta itu aku tidak takut dan akan melawannya mati-matian!” seru Lin Lin dengan suara gagah.

“Kau memang hebat, Lin-moi. Memang tenaga kita digabung menjadi satu, belum tentu si tua dapat berbuat sekehendak hatinya. Tapi Suma Boan itu pun tak boleh dipandang ringan. Dia lihai....” Bok Liong menggeleng-geleng kepala.

Ia maklum bahwa kata-katanya ini hanya untuk mencegah agar Lin Lin tidak menjadi marah. Padahal ia tahu benar bahwa mereka berdua bukanlah lawan It-gan Kai-ong. Melawan Suma Boan saja kepandaiannya baru seimbang. Pemuda bangsawan itu harus ia akui amat hebat ilmu pukulannya. Tadi pun ia sudah kewalahan dan hampir mencabut pedangnya kalau saja Lin Lin tak segera maju membantunya.

“Liong-ko, sekarang kita harus kembali ke kota raja. Suling Emas berada di sana, di dalam gedung perpustakaan istana. Wah, kali ini dia tidak akan dapat terlepas dari tanganku!”

Bok Liong mengangguk-angguk. “Memang kurasa kali ini kita akan dapat bertemu dengannya. Akan tetapi sebelumnya, kuminta kepadamu, Lin-moi. Jangan kau terburu nafsu dan lancang menyerangnya kalau kita bertemu dengannya. Aku yang akan bicara dengannya, dan aku dapat mengajukan pertanyaan yang akan memaksanya mengaku apakah dia membunuh orang tua angkatmu ataukah tidak. Tak boleh sembrono dan lancang terhadap seorang seperti dia.”

“Aku tidak takut!”

“Memang kau tidak takut, Moi-moi, akan tetapi bagaimana kalau penyeranganmu itu salah alamat? Bagaimana kalau ternyata dia itu tidak berdosa? Bukankah kau menyerang orang yang tidak bersalah kepadamu dan kalau terjadi demikian maka berarti kaulah yang bersalah kepadanya.”

“Baiklah, baiklah. Aku akan menutup mulut dan mau menyerahkan urusan kepadamu. Asal aku segera bertemu dengannya dan mendapat kepastian, baru aku puas, Twako.”

Bok Liong tersenyum. Ia khawatir kalau-kalau sahabat barunya ini marah dan mengambul. “Marilah, Moi-moi. Kau suka melakukan perjalanan malam begini?”

“Biar malam tapi udara terang, lihat bulan tersenyum di atas tuh!”

Akan tetapi Bok Liong tidak memandang bulan, melainkan memandang wajah yang tengadah, wajah yang baginya lebih indah dari pada bulan sendiri!

“Kau tidak lelah dan ngantuk nanti?”

Lin Lin menggeleng kepala. Maka berangkatlah dua orang muda itu, berjalan kaki di bawah sinar bulan, berendeng mereka berjalan. Bagi Lin Lin, hal ini adalah biasa saja dan tidak mendatangkan perasaan apa-apa. Ia merasa seperti berjalan di samping Bu Sin. Terhadap Bok Liong ia mempunyai perasaan persaudaraan yang tebal dan menganggap pemuda ini seperti kakaknya sendiri.

Tentu saja tidak demikian apa yang berkecamuk di dalam rongga dada Bok Liong. Suasana romantis ini mendorong-dorong hasratnya, menekan-nekan hatinya dan membakar darahnya, membuat ia ingin sekali menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin menyatakan cinta kasihnya yang berkobar-kobar menghanguskan jiwanya. Ingin ia memegang jari-jari tangan yang kecil halus itu. Ingin ia mendekap kepala dengan wajah cantik dan rambut hitam halus harum itu ke dadanya, ingin membisikkan sumpah cinta, ingin ia... ingin....

“Plakkk!”

“Eh, ada apa, Twako?” Lin Lin berhenti dan menoleh ke samping, memandang heran kepada pemuda yang baru saja menempeleng kepalanya sendiri itu.

Bok Liong sadar, kaget dan gugup. “Oh... eh... tidak ada apa-apa, ada nyamuk tadi menggigit pelipisku,” jawabnya. Untung bayang-bayang pohon menyembunyikan sinar bulan dari mukanya yang menjadi merah sekali.

“Kau bikin kaget orang saja. Masa menepuk nyamuk di pelipis sendiri begitu kerasnya?” Lin Lin mengomel karena tadi ia dikagetkan dari lamunannya.

Sambil berjalan ia pun melamun, teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin akan keadaan dirinya. Betulkah ia seorang Puteri Khitan? Ia seorang puteri, keturunan langsung dari Raja Khitan? Inilah yang ia lamunkan dan ia seperti melihat dirinya dengan pakaian puteri yang indah sekali, berada di dalam gedung istana seperti yang pernah ia lihat bersama Kim-lun Seng-jin, disembah-sembah ribuan orang! Apa lagi kalau ia yang menjadi ratu dari bangsa Khitan, ia akan... akan apakah dia? Inilah yang baru ia pikir-pikir dan rencanakan dalam alam lamunannya ketika tiba-tiba Bok Liong menempeleng kepala sendiri dan mengagetkannya serta menariknya turun dari angkasa ke alam sadar.

“Sayang tidak ada kuda. Kalau kudaku masih ada, kau dapat naik kuda dan tidak terlalu lelah, Lin-moi.”

“Kenapa kau jual kudamu kalau begitu?”

Bok Liong menghela napas. “Perlu dijual... perlu sekali... saku sudah kosong, apa daya?”

Lin Lin menggerakkan tangan, sejenak menyentuh lengan pemuda itu. “Aku tahu. Kau terpaksa menjualnya untuk membelikan sarung pedangku ini dan untuk makan dan sewa kamar, untuk biaya-biaya perjalanan, bukan? Liong-ko, kau orang baik.”

Hati Bok Liong berdenyut-denyut girang, akan tetapi ia pura-pura mendengus. “Ah, yang begitu saja, mana patut diomongkan? Pula, dua orang melakukan perjalanan hanya dengan seekor kuda, canggung sekali. Kita berdua sudah sejak kecil berlatih ilmu lari cepat, untuk apa? Kalau kita mau, kita tidak akan kalah oleh larinya seekor kuda.” Mereka tertawa dan melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap.

********************


Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Lie Bok Liong yang melakukan perjalanan malam menuju ke kota raja karena Lin Lin sudah tidak sabar lagi menanti untuk segera dapat bertemu dengan orang yang dianggap musuh besarnya, yaitu Suling Emas. Mari sekarang kita menengok keadaan Sian Eng, gadis yang mengalami hal yang amat menyeramkan hatinya itu.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sian Eng tadinya berhasil melarikan diri dari tempat rahasia di bawah kuburan yang menjadi tempat tinggai Hek-giam-lo, yaitu pada saat Hek-giam-lo bertempur melawan Siang-mou Sin-ni yang datang menyerbu untuk minta dikembalikannya surat rahasia. Akan tetapi malang baginya. Di dalam sebuah hutan, selagi ia merasa lega dan mengira telah terlepas dari pada cengkeraman iblis itu, tiba-tiba si iblis itu sendiri muncul di depannya. Hek-giam-lo telah berada di situ, seakan-akan telah lebih dulu datang dan sengaja menanti kedatangannya.

Ia berusaha menyerang, namun apa dayanya terhadap Hek-giam-lo yang sakti? Di lain detik ia sudah pingsan dan dipondong Hek-giam-lo, kemudian dibawa lari secepat terbang! Kali ini si kedok iblis itu berlaku amat teliti, tak pernah memberi kesempatan sedikit pun juga kepadanya untuk dapat melepaskan diri dari pengawasannya. Hek-giam-lo bersikap amat menghormat kepadanya, menyebutnya tuan puteri, akan tetapi di samping sikap menghormat ini terbayang sifat memaksa yang tak dapat dibantah lagi. Memaksa agar Sian Eng ikut dengannya dan mentaati segala permintaannya.

Akhirnya gadis ini maklum bahwa tak mungkin ia mampu membebaskan diri lagi, maka ia juga tidak lagi mencoba. Selama iblis ini tidak mengganggunya dan memperlakukannya dengan sikap menghormat dan baik-baik, ia pun menurut saja dan hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dan ke mana ia akan dibawa.

“Hek-giam-lo, sudah berkali-kali kunyatakan bahwa aku bukanlah puteri raja seperti yang kau sebut-sebut. Aku she Kam, namaku Sian Eng. Kau salah lihat, karena itu harap jangan ganggu aku, biarkanlah aku pergi.” Berkali-kali gadis itu mencoba dengan bujukannya ketika mereka berjalan melalui sebuah bukit yang sunyi.

Hek-giam-lo memang pendiam dan ia tak banyak bicara selama dalam perjalanan, sungguh pun ia amat memperhatikan keperluan Sian Eng dan tak pernah terlambat untuk mencarikan makanan dengan pelayanan penuh hormat. Permintaan berkali-kali dari Sian Eng hanya dijawabnya singkat, “Paduka puteri raja kami memang sejak kecil diambil anak oleh Jenderal Kam.” Hanya demikian jawabnya dan selanjutnya ia tidak mau bicara lagi.

Melalui perjalanan yang amat cepat, kadang-kadang Hek-giam-lo memondong dan membawanya lari seperti terbang setelah minta maaf lebih dulu, mereka menuju ke arah timur laut dan pada suatu hari tibalah mereka di daerah yang jauh dari kota, daerah penuh hutan yang amat liar. Kemudian, di tengah-tengah daerah ini, tibalah mereka di sebuah rumah perkampungan dengan rumah-rumah yang kelihatan baru. Inilah perkampungan baru yang dijadikan pusat suku bangsa Khitan, terletak dalam sebuah hutan liar dikelilingi hutan-hutan kecil di antara gunung-gunung di perbatasan Mancuria!

Dapat dibayangkan betapa heran dan berdebar hati Sian Eng ketika Hek-giam-lo berteriak-teriak dalam bahasa yang ia tidak mengerti, lebih heran lagi ketika melihat para penyambut menjatuhkan diri berlutut di sepanjang jalan yang mereka lalui.

“Tengoklah, Tuan Puteri, rakyat kita memberi hormat kepada Paduka,” kata Hek-giam-lo, nada suaranya gembira.

Sian Eng melihat orang-orang kasar yang bertubuh tegap dan kuat, wanita-wanita cantik tapi sederhana, juga terdapat sifat-sifat gagah pada para wanita yang berlutut di pinggir jalan itu.

“Kita sekarang ke mana, Hek-giam-lo?”

“Mari menghadap Sri Baginda, Paman Paduka.”

“Pamanku?” Sian Eng tidak mendapat jawaban, terpaksa ia berjalan mengikuti Hek-giam-lo yang menuju ke sebuah rumah besar di tengah-tengah perkampungan itu.

Di depan rumah besar ini terdapat banyak penjaga, laki-laki berpakaian perang yang kelihatan gagah dan kuat, dengan tombak di tangan dan golok besar di pinggang. Mereka berbaris rapi dan memberi hormat dengan tegak ketika Hek-giam-lo dan Sian Eng lewat. Juga di dalam rumah, di sepanjang lorong, berbaris pasukan pengawal. Kiranya dalam rumah besar itu yang dari luar kelihatan sederhana, sebelah dalamnya amat mewah. Bendera-bendera kecil berkibar di mana-mana, bermacam-macam warnanya. Ketika mereka sampai di ruangan sebelah dalam, pasukan pengawal berganti, kini pasukan wanita yang cantik-cantik dan gagah serta bersinar mata tajam! Namun baik pasukan laki-laki mau pun wanita, semua kelihatannya amat takut dan menghormat Hek-giam-lo.

Melalui pelaporan seorang penjaga yang seperti raksasa wanita, besar dan bengis, mereka diperkenankan memasuki ruangan besar di mana telah menanti seorang laki-laki tampan berpakaian indah, duduk di atas sebuah kursi atau singgasana terbuat dari pada gading. Laki-laki ini usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan bermata tajam.

Hek-giam-lo yang menuntun Sian Eng masuk, berkata singkat, “Tuan Puteri, harap memberi hormat kepada Sri Baginda, Paman Paduka.” Ia sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar suaranya nyaring.

“Hamba datang menghadap. Dengan berkah Sri Baginda hamba berhasil mendapatkan Tuan Puteri yang sekarang ikut menghadap Sri Baginda.”

Laki-laki itu ternyata adalah Raja suku bangsa Khitan yang bernama Kubukan. Ia memandang wajah Sian Eng penuh perhatian. Sian Eng yang tidak sudi berlutut mengira bahwa raja yang tampan ini tentu akan marah karena ia tidak mau memberi hormat, akan tetapi kiranya tidak demikian. Raja itu memandang dengan sinar mata kurang ajar, kemudian tertawa bergelak dan berkata kepadanya dalam bahasa Han yang cukup lancar.

“Nona, marilah mendekat, biarkan aku memeriksa cermat apakah kau benar keponakanku ataukah palsu.”

Sian Eng melangkah maju sampai berada dekat dengan raja itu sambil berkata, “Hek-giam-lo tahu bahwa aku bukan keponakanmu. Sudah kuberitahukan berkali-kali tapi ia nekat saja membawaku ke sini. Siapa pun adanya kau, harap kau suka berlaku murah dan bebaskan aku.”

Raja itu memandang lagi penuh perhatian, kemudian tertawa sekali lagi. Dari mulutnya berhamburan bau arak yang keras. “Ha-ha-ha, semua orang mengaku keponakanku, ha-ha. Alangkah inginku dapat memeluk keponakanku, dapat meraba lehernya yang halus. Untung kau bukan keponakanku, Nona, kau cukup cantik jelita. Ha-ha, untung...!” Sian Eng terkejut sekali dan ia sudah merasa ngeri ketika kedua tangan raja yang berbulu lengannya itu bergerak hendak merabanya.

Akan tetapi pada saat itu Hek-giam-lo berkata dalam bahasa Khitan yang tak dimengerti Siang Eng, “Sri Baginda, kali ini tidak bisa salah lagi. Dia itu adalah anak Jenderal Kam. Sayang Jenderal Kam sendiri sudah mampus ketika hamba sampai di sana. Hamba mendengar bahwa anak-anaknya pergi ke kota raja, maka hamba menyelidiki dan berhasil menangkap anak perempuannya ini. Tak salah lagi, dia adalah puteri mendiang Tuan Puteri Tayami.”

“Hek-giam-lo, apa yang menyebabkan kau yakin benar bahwa dia ini betul-betul keponakanku? Sudah ada dua orang gadis yang dibawa datang dan perwira-perwira yang membawanya bersumpah bahwa mereka adalah keponakanku. Tapi ternyata bukan. Kau boleh lihat mereka. Biar pun mereka berdua itu jauh lebih cocok menjadi keponakan yang kucari-cari dari pada gadis ini, toh mereka itu bukan keponakanku!”

Raja memberi tanda dengan tepukan tangan dan tak lama kemudian dua orang gadis digiring masuk. Dua orang gadis yang cantik jelita akan tetapi wajah mereka pucat dan di kedua pipi yang halus tampak bekas air mata. Mereka ini berdiri di depan raja dan menundukkan muka.

“Ha-ha-ha, mereka ini keponakanku? Akan tetapi biar pun bukan, kedatangan mereka sedikit banyak menyenangkan hatiku, biar pun hanya untuk beberapa malam. Hek-giam-lo, gadis yang kau bawa ini bukanlah puteri Kakak Tayami.”

“Tapi Sri Baginda....”

“Kau mau bukti? Dengar, ketika masih bayi, pernah kulihat keponakanku itu. Pada punggungnya terdapat sebuah tanda merah. Coba kita periksa bersama!” Ia memberi isyarat dan tiba-tiba Hek-giam-lo menggerakkan tangannya. Tahu-tahu ia telah memegang senjatanya yang hebat, yaitu sabit bengkok yang amat tajam itu.

Sinar berkilauan menyambar-nyambar, Sian Eng menjerit ngeri karena merasa betapa tubuhnya dikurung sinar berkilauan. Kemudian, hampir ia roboh pingsan ketika mendapat kenyataan bahwa pakaiannya telah terbang ke kanan kiri disambar sinar itu dan beberapa detik kemudian ia telah menjadi telanjang bulat!

Dapat dibayangkan betapa malu dan marahnya Sian Eng. Ingin ia berlaku nekat dan menerjang mengadu nyawa, akan tetapi rasa malu karena keadaannya yang telanjang itu membuat ia kehilangan tenaga, malah ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan setengah bertiarap di atas lantai untuk menyembunyikan tubuhnya. Tentu saja dengan berbuat demikian, punggungnya tampak jelas dan raja bersama Hek-giam-lo melihat jelas kulit punggung yang putih bersih tiada cacad sedikit pun!

“Ha-ha-ha-ha, kau lihat, Hek-giam-lo? Dia bukan keponakanku, sayang seribu kali sayang. Tapi lumayan juga, dia cantik manis!”

“Ampun, Sri Baginda. Hamba telah berlaku ceroboh.” terdengar Hek-giam-lo berkata, suaranya gemetar penuh sesal.

“Tidak apa, kau carilah lagi. Gadis ini pasti akan menyenangkan hatiku. Eh, Nona, kau berdirilah.”

Sian Eng terkejut sekali ketika merasa betapa pundaknya diraba orang yang hendak menariknya berdiri. Ia mengangkat muka memandang dan kiranya raja itulah yang sudah turun dari singgasana untuk membangunkannya, matanya bersinar-sinar penuh nafsu. Saking ngeri, malu, dan marahnya, Sian Eng tidak ingat apa-apa lagi. Bagaikan seekor harimau betina, ia melompat dan menerkam ke depan, memukul dengan kedua tangannya ke arah dada dan perut raja itu!

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terpental ke samping, roboh menumbuk dinding. Raja itu sendiri pucat mukanya dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Hampir saja ia celaka kalau tidak ada Hek-giam-lo yang cepat menolongnya tadi. Marahnya bukan main. Lenyap keinginannya untuk mempermainkan Sian Eng, terganti rasa benci yang meluap-luap.

“Hek-giam-lo, kuserahkan dia kepadamu. Hukum dia, juga dua orang puteri palsu ini. Muak aku kepada mereka. Kubur mereka hidup-hidup, jadikan tontonan, biar rakyatku melihat dan berkesempatan menghina mereka yang menyebalkan hati rajanya!” Setelah berkata demikian, raja itu mendengus marah, lalu pergi memasuki kamarnya, diiringi oleh dayang-dayang cantik jelita dan muda-muda.

Sian Eng sudah bangun kembali dan cepat menyambar pakaiannya yang robek menjadi beberapa potong. Sedapat-dapat ia membungkus tubuhnya dengan pakaian itu dan untung bahwa pakaiannya terbuat dari pada kain yang lebar dan panjang sehingga biar pun robek-robek namun masih cukup untuk menutupi tubuhnya yang telanjang.

Akan tetapi Hek-giam-lo tak memberi kesempatan lagi kepadanya. Dengan pekik mengerikan, iblis ini bergerak dan tahu-tahu ia telah menangkap Sian Eng dan dua orang gadis pucat itu, membawa mereka bertiga seperti orang membawa tiga ekor ayam saja, kemudian melangkah lebar ke luar dari gedung itu.

Malam itu terang bulan, namun di luar perkampungan itu, di pinggir hutan, keadaan amat menyeramkan. Apa lagi kalau orang melihat ke arah kiri, di mana terdapat tempat terbuka dan sinar bulan menyorot langsung tidak terhalang ke atas tanah. Orang itu pasti akan bergidik melihat apa yang tampak di sana.

Tiga buah kepala orang berada di atas tanah. Kepala tiga orang wanita yang masih hidup! Yang dua buah adalah kepala dua orang wanita cantik bermuka pucat dan terdengar mereka ini menangis terisak-isak dengan air mata bercucuran. Akan tetapi, kepala yang berada di kiri, kepala Sian Eng, biar pun tampak agak pucat juga, namun sama sekali tidak menangis, malah sepasang matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.

Memang hebat dan mengerikan sepak terjang Hek-giam-lo, si manusia iblis yang mentaati perintah rajanya itu. Ia menggali tiga buah lubang-lubang yang sempit dan dalam macam sumur kecil, memasukkan tiga orang gadis tawanan itu ke dalam sumur dan mengubur mereka sebatas leher. Seluruh tubuh tiga orang gadis ini tidak tampak, hanya kepala mereka sebatas leher yang keluar dari tanah. Kemudian iblis ini memasang benderanya di atas pohon dekat tempat itu. Dengan adanya tanda ini, tidak ada seorang pun manusia di perkampungan itu berani mencoba menolong gadis-gadis bernasib malang ini. Siapakah berani melawan Tengkorak Hitam yang menjadi tangan kanan raja?

Setelah Hek-giam-lo pergi, Sian Eng berpikir. Ia mengenang kata-kata Raja Khitan terhadapnya dan teringatlah ia akan Lin Lin. Adiknya itu bukanlah anak kandung ayah bundanya, melainkan anak angkat. Ayahnya tidak pernah bicara tentang orang tua Lin Lin, akan tetapi adik angkatnya itu wataknya aneh sekali. Ketika ia tadi melihat pengawal-pengawal dan dayang-dayang wanita di dalam gedung Raja Khitan, alangkah besar persamaan Lin Lin dengan para wanita itu. Terutama sekali bulu mata dan hidungnya. Jantungnya berdebar. Jangan-jangan Hek-giam-lo salah ambil, mengira dia adalah Lin Lin. Dan besar kemungkinan Hek-giam-lo menduga bahwa Lin Lin adalah keponakan raja. Betulkah ini?

Tangis kedua orang gadis di sebelah depan dan belakangnya mengganggunya dari lamunan. Ia menengok dan perasaan kasihan memenuhi hatinya melihat dua buah kepala yang tidak berdaya dan sedang menangis terisak-isak itu, sama sekali lupa bahwa keadaannya sendiri pun tiada bedanya dengan mereka berdua. Ia tahu bahwa dia dan mereka akan menghadapi kematian yang mengerikan dan penuh sengsara. Dipendam sebatas leher dan dibiarkan sampai mati. Mungkin besok hari menerima penghinaan dari para penyiksanya sebelum mati kelaparan.

Tiba-tiba terdengar suara mengaum dari jauh. Dua orang gadis itu makin keras menangis dan Sian Eng sendiri bergidik. Tak salah lagi, itulah suara harimau yang mengaum dari dalam hutan. Bagaimana kalau raja hutan itu datang dan menyerang mereka? Dengan hanya kepalanya di atas tanah, Sian Eng dapat membayangkan betapa harimau itu akan makan kepala mereka seenaknya tanpa mereka dapat membalas atau pun melarikan diri. Siapa di antara mereka bertiga yang lebih dulu akan digerogoti harimau?

“Hu-hu-huk, Ayah... Ibu... tolong...!” Gadis yang berada di sebelah belakang Sian Eng menjerit-jerit.

“Aku... aku... takut... ya Tuhan cabutlah nyawaku...!” Gadis cantik di sebelah depan Sian Eng mengeluh dan menangis.

Sian Eng mengerutkan keningnya, penuh iba hati. Ia tak menyalahkan dua orang gadis itu. Tentu saja mereka ketakutan. Mereka adalah gadis-gadis biasa yang lemah. Oh, alangkah sengsaranya mati dalam keadaan ketakutan seperti itu.

“Enci berdua, tenangkanlah hati kalian. Manusia hidup memang hanya untuk menghadapi kematian yang sewaktu-waktu pasti akan tiba, cepat atau pun lambat. Mengapa takut? Mati adalah biasa, semua manusia akan mati, hanya waktu saja soalnya.”

Dua orang gadis itu menengok kepadanya, terheran-heran melihat Sian Eng sama sekali tidak menangis dan sama sekali tidak nampak takut.

"Aku... aku tidak takut mati... aku... aku lebih baik mati. Yang kutakuti adalah kengerian ini dan... dan penghinaan... ah, lebih baik aku mati, tapi jangan... jangan mati dimakan harimau...,” kata gadis di depannya terisak-isak.

“Sebelum hayat meninggalkan badan, tak boleh berputus asa,” kata pula Sian Eng. “Enci berdua harap tenang saja, kalau belum waktunya kita mati, percayalah, kita takkan mati. Kalau sudah tiba waktunya mati, ah, jangankan sudah setua kita, kanak-kanak pun bisa saja mati.”

Hiburan dan kata-kata Sian Eng yang keluar dengan suara penuh ketabahan itu ternyata ada hasilnya juga. Dua orang gadis itu berhenti menangis dan anehnya, auman binatang buas dari dalam hutan tidak terdengar lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Eng untuk mengajak dua orang teman ‘senasib sependeritaan’ itu untuk bercakap-cakap.

Dari mereka dia memperoleh keterangan bahwa seperti juga dia, dua orang itu diculik oleh tokoh-tokoh Khitan karena disangka sang puteri! Akan tetapi begitu tiba di depan raja, mereka ditelanjangi dan diperiksa punggung mereka, karena katanya puteri itu mempunyai tanda merah di punggungnya. Tentu saja, seperti juga Sian Eng, mereka tidak memiliki tanda seperti itu karena memang mereka bukanlah puteri Khitan. Kemudian dengan air mata bercucuran dua orang gadis itu bercerita betapa selama tiga hari mereka menjadi permainan raja yang kejam.

Sian Eng menjadi panas hatinya. Jiwa pendekar dalam hatinya bergolak. Kalau saja ia mendapat kesempatan, tentu akan dibunuhnya Raja Khitan itu. Ia tidak dapat bicara banyak menghadapi penderitaan dua orang gadis itu. Akan tetapi setidaknya percakapan mereka itu juga merupakan hiburan yang lumayan untuk melewatkan malam yang mengerikan ini. Tentu saja semalam suntuk mereka tak mampu tidur semenit pun juga dan menjelang pagi, karena teringat bahwa para penyiksa itu tentu akan menghabisi nyawa mereka dengan siksaan-siksaan keji, dua orang gadis itu mulai menangis lagi. Sian Eng tidak mampu lagi menghibur mereka. Gadis ini mengambil keputusan bahwa kalau ia diberi kesempatan satu kali saja terbebas dari kuburan itu, ia akan mengamuk sampai mati!

Terdengar derap kaki kuda dari jauh, makin lama makin dekat. Dua orang wanita itu menoleh ke arah Sian Eng dan air mata mereka bercucuran.

“Adik Sian Eng, selamat berpisah...,” kata gadis di depan Sian Eng.

“Mudah-mudahan kematian segera datang menjemputku...,” kata gadis di belakang Sian Eng, menyambut ucapan gadis di depan.

Sian Eng terharu, akan tetapi ia malah memaksa diri tersenyum, “Enci, kalau seorang di antara kita mati, tentu yang dua akan mati pula. Bagaimana bisa bilang selamat berpisah? Kita takkan pernah berpisah kurasa, mati pun akan bersama-sama. Bukankah itu menyenangkan sekali? Kita akan selalu ada teman, biar di alam sana pun.”

Derap kaki kuda sudah dekat sekali, datang dari arah belakang mereka. Tiga orang gadis itu dapat menoleh ke kiri kanan, akan tetapi tentu saja tidak mungkin menengok ke belakang, karena tubuh mereka yang terpendam tanah itu sama sekali tidak dapat digerakkan. Oleh karena itu, biar pun hati mereka ingin sekali, namun mereka tidak dapat memandang dan tidak tahu siapa gerangan penunggang kuda yang datang ini.

Tak lama kemudian seekor kuda yang besar dan kuat berlari congklang dan berhenti dekat mereka. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam melompat turun. Dua orang gadis itu hanya mengerling sebentar dan segera menutup mata dan menangis lagi. Pakaian orang ini sama dengan Si Iblis Hitam, mengerikan.

Akan tetapi Sian Eng menoleh ke kiri dan memandang dengan mata tajam dan kening berkerut. Darahnya berdenyut-denyut, jantungnya berdebar, membuat ia merasa dadanya sesak sekali. Si Jubah Hitam itu sama sekali bukan Hek-giam-lo, melainkan seorang laki-laki muda yang berwajah gagah sekali, tampan dan memiliki sepasang mata yang sayu di bawah lindungan sepasang alis yang tebal, hitam dan berbentuk panjang gompyok. Seorang laki-laki yang tampan dan tinggi besar.

Yang membuat Sian Eng berdebar tidak karuan hatinya adalah jubah hitam itu, mengingatkan ia akan laki-laki yang pernah ia lihat punggungnya yang berjubah hitam dan topinya, topi pelajar yang mempunyai ekor dua buah, yaitu tali hitam yang melambai ke bawah. Dan gambar pada baju di dada itu. Suling Emas! Celaka, pikirnya. Kiranya musuh besar ayah bundanya yang datang ini? Orang yang sudah membunuh ayah bundanya, sudah tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap dirinya.

Dan orang itu semenjak melompat turun dari kudanya, terus memandangnya dengan sinar mata yang tajam penuh selidik! Akan tetapi laki-laki itu segera melompat dekat, tangannya mencabut sebuah benda panjang kuning mengkilap. Sebuah suling! Tak salah lagi, dialah Suling Emas, karena yang dipegangnya itu apa lagi kalau bukan suling terbuat dari pada emas?

Dengan gerakan cepat ia mendekati Sian Eng, sinar kuning berkelebat dan sebentar saja tanah di sekeliling Sian Eng terbongkar. Setelah Sian Eng dapat membebaskan kedua tangannya, ia menekan tanah di pinggirnya dan meronta, terus meloncat ke atas, sama sekali tidak ingat bahwa pakaiannya tidak karuan macamnya karena pakaian itu sudah robek-robek dan hanya ia pakai sekedar menutupi tubuhnya saja. Begitu melompat dan berdiri, baru ia melihat keadaan dirinya, maka cepat-cepat ia menggerakkan kedua lengan menutupi dada!

Pemuda itu menyumpah, “Keparat...!”

Cepat ia membuka jubahnya yang hitam lebar itu, melemparnya ke arah Sian Eng. Kain jubah itu tepat sekali menimpa Sian Eng dan menyelimutinya dari leher sampai ke kaki! Kini Sian Eng berdiri terlongong, memandang pemuda itu yang kini tampak lebih gagah dengan pakaian dalam yang ringkas berwarna putih. Akan tetapi laki-laki itu tanpa menoleh lagi sudah mengerjakan sulingnya, membongkar dari menggali tanah untuk membebaskan dua orang gadis itu. Kembali ia menyumpah karena kedua orang gadis itu malah dimasukkan ke dalam sumur dalam keadaan hampir telanjang bulat.

“Benar-benar setan!” ia menyumpah dan dengan gemas ia merenggut kain bendera besar tanda Hek-giam-lo, merobeknya menjadi dua dan menyerahkannya kepada dua orang gadis itu yang merasa berterima kasih sekali dan terus saja mengerobongkan robekan kain hitam itu ke atas tubuh mereka.

“Lekas, kalian naik ke atas kuda ini dan cepat pergi. Amat berbahaya di sini.” Ia menoleh kepada Sian Eng, tersenyum sedikit dan berkata, “Nona, kau yang terkuat di antara kalian bertiga, kau di depan dan cepat larikan kuda ini keluar wilayah Khitan.”

Semenjak tadi Sian Eng hanya melongo, tidak tahu harus berbuat apa. “Kau... kau... Suling Emas...?” akhirnya dapat juga ia mengucapkan kata-kata.

Wajah tampan dan mata sayu itu menjadi agak muram, tapi ia mengangguk. “Bukan waktunya bercakap-cakap, lekas pergi lebih baik,” katanya.

Akan tetapi pada saat itu terdengar jerit ngeri dan dua orang gadis itu roboh terguling. Kain hitam yang menyelubungi tubuh mereka terbuka dan... kulit tubuh yang putih bersih itu sekarang berubah menghitam, mata mereka mendelik dan bibir yang tadinya merah segar kini menjadi kering membiru!

“Ah, gobloknya aku...!” Suling Emas menarik napas panjang.

“Ihhh, mereka kenapa?” Sian Eng berseru, cemas dan ngeri.

Suling Emas menunding ke arah robekan kain hitam tanda Hek-giam-lo. “Kain itu mengandung racun yang jahat. Mereka sudah mati. Agaknya lebih baik begitu. Nah, mari kita pergi.”

Sian Eng tak sempat menjawab apa lagi membantah, karena tahu-tahu tangannya telah kena dipegang dan disendal. Sentakan ini demikian kuat sehingga tak tertahankan olehnya dan tubuhnya melayang ke atas punggung kuda! Pada detik berikutnya, kuda itu telah lari cepat sekali dan Suling Emas telah duduk di belakang Sian Eng.

“Tapi... jenazah mereka itu...?” Sian Eng berseru sambil menoleh ke arah mayat dua orang gadis senasib yang menggeletak di atas tanah dan ditinggalkan begitu saja.

“Mereka sudah mati, mau diapakan lagi?” jawab Suling Emas tak acuh dan ia mengeluarkan kata-kata asing dari mulutnya kepada kuda itu yang meringkik keras lalu membalap seperti terbang cepatnya.

Tidak karuan rasa hati Sian Eng. Memang ia telah terlepas dari pada ancaman bahaya maut di tangan orang-orang Khitan, maut yang amat mengerikan. Akan tetapi ia terlepas dari bahaya yang satu untuk jatuh ke dalam tangan yang lain. Ia kini terjatuh ke dalam tangan Suling Emas! Apakah kehendak orang aneh ini? Sikapnya mencurigakan, wataknya juga aneh. Ada kalanya tampak baik dan suka menolong, akan tetapi di lain saat bisa berhati keras dan kejam. Jenazah dua orang gadis itu dibiarkan begitu saja!

Ingin ia dapat memandang muka Suling Emas, akan tetapi ia duduk di depan dan orang itu duduk di belakang. Sedikitnya ia merasa lega bahwa Suling Emas agaknya bukan laki-laki yang ceriwis. Tidak ada bukti-bukti yang membayangkan watak kotornya terhadap wanita. Sekarang pun biar mereka duduk berdua di atas punggung kuda, namun Suling Emas duduknya agak jauh di belakang sehingga tidak menyentuhnya. Kalau saja tidak tampak kedua tangan orang itu di kanan kirinya memegangi kendali kuda, tentu ia mengira bahwa Suling Emas sudah tidak berada di belakangnya lagi.

Ketika ia diculik Hek-giam-lo dan dibawa ke utara, Sian Eng mengalami perjalanan yang amat aneh, dengan Hek-giam-lo sebagai pelayan dan juga pengawasnya yang jarang mengeluarkan suara, dengan maksud yang masih merupakan rahasia baginya. Sekarang dalam perjalanan kembalinya menuju ke selatan bersama Suling Emas, Sian Eng mengalami perjalanan yang aneh pula. Seperti juga Hek-giam-lo, tokoh ini jarang sekali membuka mulut. Biar pun wajah yang tampan itu kelihatan selalu sayu dan muram, namun membayangkan sesuatu yang mengerikan bagi Sian Eng, tidak kalah seramnya oleh muka Hek-giam-lo, muka iblis tengkorak itu. Bagaimana takkan ngeri dan seram kalau melihat orang ini diam saja, tak pernah memandangnya, tak pernah bicara, pendeknya, tidak pernah apa-apa seperti patung hidup!

Malam itu Suling Emas terpaksa menghentikan kudanya. Malam amat gelap sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di sebuah lereng bukit, di pinggir jalan. Kuda hitam belang putih itu tidak diikat, dibiarkan terlepas begitu saja. Suling Emas lalu mengumpulkan ranting dan daun kering, membuat api unggun di bawah pohon besar.

Kemudian ia mengambil roti kering dan tempat minum dari kantung yang tergantung di punggung kuda, lalu duduk di dekat api unggun. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menoleh ke arah Sian Eng dan sinar matanya saja yang mengajak gadis itu duduk mendekati api. Sian Eng mendekat, lalu duduk di atas rumput kering dekat api unggun. Tanpa berkata sesuatu, Suling Emas memberi roti kering dan tempat minum.

Sian Eng menghela napas, akan tetapi menerima roti dan makan roti itu karena perutnya terasa amat lapar. Sehari suntuk mereka menunggang kuda, tak pernah berhenti sebentar pun juga, tidak makan tidak minum. Sudah lama Sian Eng tidak pernah menunggang kuda dan sekarang, sekali naik kuda sehari penuh. Punggungnya terasa kaku dan seluruh badan sakit-sakit!

Mereka makan roti kering dan minum air tawar tanpa bicara. Sesudah makan, Sian Eng melihat betapa Suling Emas hanya duduk termenung memandang api yang bernyala-nyala, duduk tak bergerak dan mata itu bersinar-sinar, hilang kesayuannya. Wajah yang tampan dan aneh itu pun tidak muram lagi, malah agak berseri. Keindahan api itukah yang mendatangkan semua ini? Ataukah karena di dalam nyala api ia melihat atau teringat akan sesuatu? Diam-diam Sian Eng menatap wajah itu dari samping. Wajah yang tampan, dengan guratan-guratan yang membayangkan penderitaan hidup, guratan kematangan jiwa. Tidak terlalu muda lagi biar pun tak mungkin mengatakan bahwa dia itu sudah tua. Sukar menaksir usianya. Akhirnya Sian Eng tak dapat menahan lagi kegelisahannya.

“Kau hendak membawaku ke mana?”

Suling Emas agaknya terkejut mendengar suara ini. Tadinya ia melamun dan seakan-akan telah lupa bahwa di dekatnya terdapat seorang manusia lain. Suara Sian Eng seperti menyeretnya turun dari dunia lamunan dan ia menoleh sambil gagap bertanya, “Apa...?”

Mendongkol juga hati Sian Eng. Orang ini terlalu memandang remeh kepadanya, pikirnya. Dengan ketus ia bertanya. “Dengan maksud apa kau menolongku, dan ke mana kau hendak membawaku pergi?”

“Dengan maksud apa?” Agaknya pertanyaan ini membuat Suling Emas kembali melamun sebentar, mengingat-ingat setelah mengulang pertanyaan itu, kemudian ia menjawab, “Tentu saja agar kau bebas dari ancaman bahaya, dan tentu saja membawamu pergi dari daerah yang dikuasai orang-orang Khitan.”

Sian Eng tak dapat berkata apa-apa lagi. Memang alangkah bodohnya pertanyaannya tadi. Tentu saja begitulah tujuan Suling Emas menolongnya, tanpa bertanya pun seharusnya ia mengerti. Akan tetapi Suling Emas ini bukan orang biasa, melainkan musuh besarnya! Kembali berdebar jantungnya dan dia memandang wajah yang sudah menoleh dan kembali menatap api unggun.

“Kurasa bukan itu maksudmu,” ia berkata dengan suara tegas dan ketus. “Suling Emas, kau telah membunuh ayah bundaku! Sekarang kau pura-pura menolongku, tentu dengan maksud tertentu yang... yang tidak baik!”

Suling Emas mengangguk-angguk, tetap memandang api, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri, agaknya ia gembira sekali mendengar ini. “Hemmm... itukah sebabnya mengapa kalian bertiga mencari-cari Suling Emas? Pantas saja kalian menghujankan senjata rahasia kepadaku di hutan itu....”

Sian Eng terkejut. Jadi orang ini sudah tahu bahwa dia dan dua orang saudaranya mencari-carinya, malah tahu pula akan penyerangan di dalam hutan itu! Benar-benar orang aneh dan lihai sekali. Akan tetapi ia tidak takut.

“Memang betul. Biar pun kau berkepandaian tinggi, karena kau membunuh ayah bunda kami, kami hendak menuntut balas. Malah sekarang juga aku menantangmu untuk bertempur. Kau harus menebus kematian orang tuaku dengan nyawamu, atau aku yang akan mengorbankan nyawa dalam menuntut balas dendam!” Sian Eng meloncat bangun dan memasang kuda-kuda, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan musuh besarnya walau pun ia cukup maklum bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tokoh aneh ini.

Suling Emas tetap tidak menoleh, malah menggunakan sebatang ranting untuk mengorek api unggun sehingga nyala api membesar, menerangi wajahnya yang tampan dan yang kini berkerut-kerut di bagian jidatnya itu.

“Hemmm, kalian bodoh. Aku tidak membunuh orang tua kalian, tahu pun tidak aku siapa mereka dan siapa kalian bertiga. Mana bisa aku membunuh orang yang tak kuketahui siapa dan di mana tempat tinggalnya?”

Sian Eng ragu-ragu dan bimbang. Ketegangan yang sudah memenuhi tubuhnya tadi mengendur, “Tapi... tapi... sebelum meninggal, Ibu bilang... tentang pembunuh itu... menyebut-nyebut tentang suling....”

“Jangan bodoh. Duduklah dan ceritakan yang jelas. Kalau aku membunuh orang, siapa pun dia itu, aku takkan menyangkal. Suling Emas tidak biasa menyangkal perbuatannya, tidak biasa bersikap pengecut, berani berbuat harus berani bertanggung jawab.”

Biar pun Suling Emas tidak menengok dan masih memandang api, namun terasa oleh Sian Eng bahwa ucapannya itu ke luar dari lubuk hati. Kemarahannya melunak dan ia lalu duduk lagi dekat api, melirik ke arah orang itu dengan bingung.

“Kalau bukan engkau, siapa...?” pertanyaan ini keluar dari bibirnya tanpa ia sadari, seakan-akan suara hatinya yang terdengar melalui bibirnya.

“Bukan aku!” jawab Suling Emas pasti. “Kalau kau mau, ceritakanlah tentang pembunuhan itu.”

Sian Eng percaya. Andai kata orang ini yang membunuh orang tuanya, kiranya tak perlu menyangkal memang. Kepandaiannya tinggi dan dia sendiri akan dapat berbuat apakah terhadap Suling Emas? Dan hatinya menjadi agak lega. Syukur kalau bukan Suling Emas. Pertama, karena kalau benar dia pembunuhnya, tentu sukar sekali membalas dendam. Kedua, ia sudah ditolongnya terlepas dari pada bahaya maut di tangan orang-orang Khitan. Ketiga, ia ingat sekarang, dan tahu bahwa dia bersama dua orang saudaranya dahulu itu pun dibebaskan dari pada bahaya maut di tangan It-gan Kai-ong oleh Suling Emas. Kalau Suling Emas pembunuh orang tua mereka dan sekaligus penolong mereka, bukankah hal itu akan menimbulkan hal yang amat membingungkan?

“Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami selalu mengira kaulah musuh besar kami. Ah, kalau begitu benar dugaan Lin-moi....”

“Lin-moi? Siapa?”

“Adikku...”

“Ahhh, begitu? Kalau tidak keberatan, ceritakan tentang pembunuhan itu.”

Sian Eng berpikir sejenak. Apa salahnya menceritakan hal itu kepada Suling Emas yang sekarang bukan lagi merupakan musuh, malah menjadi penolong? Siapa tahu dari tokoh ini ia akan dapat mengetahui siapa gerangan pembunuh ayah bundanya.

“Kami adalah keluarga Kam, tinggal di dusun Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Ayah kami....”

“Jenderal Kam.”

Sian Eng terkejut dan kembali ia menjadi curiga. “Bagaimana kau bisa tahu?”

Masih tetap merenung dan memandang api, Suling Emas menjawab tak acuh. “Banyak tokoh kukenal. Jenderal Kam bukanlah orang yang tidak ternama. Teruskanlah.”

Sian Eng melanjutkan penuturannya, semenjak munculnya Giam Sui Lok sampai dengan terbunuhnya Kam Si Ek suami isteri dan juga Giam Sui Lok dalam keadaan mengerikan. Ia menceritakan semuanya, malah urusan kakaknya, Kam Bu Song yang harus mereka cari itu pun ia ceritakan kepada Suling Emas. Panjang ceritanya, memakan waktu seperempat jam untuk menceritakan semua dengan jelas. Dan selama itu, Suling Emas duduk menghadapi api tanpa bergerak. Tak pernah menoleh kepadanya, tak pernah pula memotong ceritanya sehingga kadang-kadang Sian Eng meragu apakah ia didengar orang. Ia merasa seperti bercerita kepada sebatang pohon atau kepada sebuah patung!

“Begitulah, kami bertiga berangkat meninggalkan kampung halaman, pergi menuju ke kota raja untuk mencari musuh besar kami dan juga kakak kami Kam Bu Song. Akan tetapi, belum tercapai maksud kami dan belum selesai tugas kami, musuh belum terdapat, kakak belum bertemu, kami sudah cerai-berai tertimpa malapetaka.”

Dengan ringkas Sian Eng menceritakan betapa adiknya, Lin Lin, lenyap di atas gedung keluarga bangsawan Suma di An-sui. Kemudian betapa dia dan kakaknya, Bu Sin, yang mendatangi keluarga Suma untuk bertanya tentang kakak mereka, diserang dan ditangkap oleh Suma Boan.

“Tak tahu aku bagaimana akan nasib Sin-ko.” Ia mengakhiri ceritanya dengan suara penuh kegelisahan.

“Tak perlu gelisah. Dia selamat.”

“Bagaimana kau tahu?” Sian Eng bertanya, nada suaranya gembira dan lega bukan main. Tadinya ia mengira bahwa kakaknya itu mungkin sekali tewas dalam tangan putera pangeran yang jahat dan lihai itu. “Ah, tentu kau telah menolongnya pula, bukan?”

Suling Emas menunduk, lalu berkata perlahan, “Menolong sih tidak, hanya aku melihat dia diikat, luka-luka oleh anak panah Suma Boan. Tak dapat aku membiarkan dia mati begitu, kuambil dia dan sekarang dia sudah bebas dari bahaya. Kalian bertiga sungguh tak tahu diri....”

Sian Eng mengerutkan kening. Kalau saja ia tidak ingat bahwa orang ini sudah menolongnya, juga sudah menyelamatkan Bu Sin, tentu ia akan marah sekali. Kata-kata yang tidak hanya mencela, akan tetapi juga sifatnya memandang rendah, bahkan menghina.

“Kau sudah menolong kami, patut aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, mengapa kau melakukan semua ini? Mengapa kau menolong kami? Apa pula maksud kata-katamu tadi bahwa kami adalah tiga orang yang tak tahu diri?”

Suling Emas bangkit berdiri untuk mengumpulkan ranting di sekitar tempat itu, kemudian ia membanting ranting-ranting kering itu dekat api unggun dan berkata, suaranya seperti orang marah, “Kalian bertiga dengan kepandaian yang tidak berarti begitu berani mati melakukan perantauan untuk mencari musuh besar yang belum diketahui siapa! Sungguh menyia-nyiakan usia muda. Apa yang kalian dapat lakukan kalau bertemu dengan orang-orang jahat? Bagaimana seandainya bertemu dengan orang yang membunuh ayah bundamu?”

Sian Eng maklum akan maksud kata-kata Suling Emas, tahu bahwa kepandaian mereka bertiga memang masih jauh jika dibandingkan dengan kepandaian beberapa orang tokoh besar dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi tadinya ketika mereka melakukan perantauan, mereka sama sekali tidak mengira akan hal ini, sama sekali tidak pernah mengira bahwa di dunia ini begitu banyaknya orang pandai, orang aneh dan orang jahat. Betapa pun juga, ia tetap tidak menjadi jeri.

“Kalau bertemu, biar kepandaiannya setinggi langit, aku akan melawannya dan mengajaknya bertanding mati-matian!” Sian Eng menjawab dengan suara lantang.

Suling Emas mendengus. “Huh, mudah saja bicara. Kau anak kecil...”

Sian Eng mau marah, tapi tidak dapat. Betapa pun juga ia memang merasa seperti anak kecil di depan pemuda yang aneh ini, yang bersikap begitu alim, pendiam dan serius.

“Memang aku anak kecil, biarlah, memang tidak setua engkau,” kata-kata ini untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya.

Suling Emas menoleh, agak tersenyum. Dan aneh sekali, mendadak saja kemarahan Sian Eng lenyap dan ia merasa seakan-akan sudah lama mengenal orang ini, sudah sering kali bertemu. Hal yang tidak mungkin. Barangkali bertemu dalam alam mimpi!

“Dan kenapa kau menolongku, menolong Sin-ko?”

“Siapa menolong siapa? Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya melakukan kewajiban sebagai manusia. Kesembronoan kalian bertiga sudah membawa korban. Adikmu yang paling kecil itu hilang. Kau bilang tadi ia meninggalkan surat dan menyatakan bahwa ia dibawa pergi Kim-lun Seng-jin? Untung bertemu dengan Kim-lun Seng-jin. Kalau yang membawa itu seorang di antara Thian-te Liok-koai (Enam Setan), apakah tidak celaka sekali?”

Sian Eng memandang heran. Orang ini tidak mau disebut menolong, sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan tetapi kadang-kadang bisa marah-marah. Memang aneh sekali, membuat ia bingung. Ah, kalau saja ada Lin Lin di sini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa. Lin Lin wataknya tidak kalah anehnya, dan adiknya itu pandai sekali bicara, pandai berdebat dan andai kata di situ ada Lin Lin, agaknya keadaannya akan berubah. Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan dan gagap gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.

“Tak perlu kau marah-marah kepadaku,” akhirnya ia berkata. “Kau mau menolong atau tidak, terserah. Juga kau mau memberi tahu kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa adanya pembunuh ayah bundaku dan di mana pula adanya kakakku Bu Song, terserah.”

Suling Emas kembali membuang muka memandang api unggun. Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak sekali ketampanannya, sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah patung mati. Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting pada api, ia berkata. “Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku tidak tahu. Terang bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan saudara-saudaramu menuduhku, aku akan berusaha mendapatkan siapa pembunuh itu. Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku dia sudah mampus!”

Kaget sekali hati Sian Eng mendengar berita terakhir ini, apa lagi Suling Emas kelihatannya tidak senang ketika bicara tentang kakaknya, Bu Song. “Bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song? Bagaimana matinya? Harap kau suka bercerita kepadaku.”

Suling Emas menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang dapat diceritakan tentang diri pemuda tolol itu. Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali atau memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk dipikirkan lagi. Mengapa kau bersama saudara-saudaramu bersitegang hendak mencarinya?”

Sian Eng tidak menjawab dan mendengar bahwa kakak sulung yang sedang dicari-cari itu telah meninggal dunia, tak dapat ditahannya lagi ia menangis terisak-isak.

Suling Emas membiarkan ia menangis sampai lama. Baru kemudian terdengar ia berkata. “Sudahlah, ditangisi air mata darah sekali pun tiada gunanya. Lebih baik kau memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada. Kakakmu Bu Sin selamat dan tentu berada di tempat tidak jauh dari kota raja. Besok kita pergi ke sana dan aku akan mengantarmu sampai di kota raja. Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang aneh Kim-lun Seng-jin, akan kupesan agar dia mengembalikan adikmu yang bernama Lin Lin itu. Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah.” Setelah berkata demikian, Suling Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali merenung dekat api unggun.

Sian Eng maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh ini, maka ia pun membaringkan tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar beberapa kali ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan kedukaan membuat ia tertidur.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah terbangun dan alangkah herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya. Ia cepat bangkit duduk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh kudanya dan tak jauh dari situ terdapat api unggun. Sian Eng tertegun memandang. Orang aneh yang telah menolongnya itu sedang bersenandung. Entah apa yang dinyanyikannya karena terlalu perlahan untuk dapat ditangkap pendengarannya, akan tetapi Sian Eng mendengar suara yang menggetar penuh perasaan dalam lagu sedih yang disenandungkan itu. Bau hangus membuat ia cepat memandang api unggun dan kiranya di atas api itu terpanggang sepotong besar daging.

“Daging hangus...!” Otomatis Sian Eng melompat, menutupkan jubah hitam yang terbuka di bagian dada, lari menghampiri daging itu dan membaliknya.

Suara senandung menghilang. “Wah, aku lupa...! Rusakkah dagingnya?” Suling Emas sudah mendekat.

“Tidak, hanya hangus sedikit. Pakaian itu... punya siapa?”

“Kau pakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun di sana.”

Setelah berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian Eng, kembali pada kudanya dan melanjutkan menggosok-gosok tubuh kudanya, berdiri membelakangi gadis itu. Sian Eng memandang wajahnya agak merah, dadanya berdegup aneh. Orang yang selama ini disangkanya musuh besar pembunuh ayah bundanya, kiranya seorang penolong dan seorang yang amat baik, orang yang menarik hatinya.

Tak mungkin! Sian Eng membantah di dalam hatinya, dia jauh lebih tua dariku, dia orang aneh. Gadis ini mengusir perasaan tertarik di hatinya, bersembunyi di belakang sebatang pohon besar untuk mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah bersalin pakaian. Jubah hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia menghampiri daging panggang yang sudah masak.

“Dagingnya sudah matang!” ia berteriak pada punggung yang lebar itu.

Suling Emas membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum sedikit melihat Sian Eng telah berganti pakaian. Sian Eng yang mengharapkan datangnya ucapan pujian dari mulut Suling Emas kecewa karena orang itu tidak berkata sesuatu.

“Ini jubahmu, terima kasih,” Sian Eng mengembalikan lipatan jubah hitam. Suling Emas menerimanya tanpa berkata sesuatu, terus jubah itu dipakainya.

“Kita sarapan daging panggang lalu berangkat ke kota raja,” katanya singkat. Sian Eng hanya mengangguk dan keduanya lalu makan daging panggang dan kue kering yang menjadi bekal Suling Emas.

Setelah selesai makan, Suling Emas berkata, suaranya serius, “Jangan menyangka yang bukan-bukan. Kau harus membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu dengan kakakmu Bu Sin. Silakan!”

Kalau saja kata-kata itu tidak diucapkan demikian serius dan wajah Suling Emas yang tampan itu kelihatan angker, tentu Sian Eng akan menjadi malu dan mungkin tak sudi ia berboncengan di atas seekor kuda dengan orang ini. Akan tetapi karena ia ingin segera bertemu kembali dengan saudaranya, ia tidak mau membantah. Dengan ringan ia bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu melonjak dan berlari cepat sekali seperti terbang.

Sian Eng terkejut. Di mana Suling Emas? Apakah ia dibawa kabur kuda dan Suling Emas tertinggal di belakang? Dalam gugupnya ia menengok dan... hampir saja dia beradu hidung dengan orang yang duduk di belakangnya! Kiranya Suling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini demikian ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah berada di belakangnya tadi.

Cepat Sian Eng membalikkan mukanya yang menjadi merah sekali dan diam-diam ia amat kagum akan kehebatan kepandaian orang ini, juga kagum akan kesopanannya. Biar pun ia duduk berboncengan seperti itu, namun ia tidak merasa kikuk karena Suling Emas benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh di belakang.

Memang benar ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa larinya, cepat seperti terbang dan andai kata mereka melakukan perjalanan tanpa kuda, tentu akan lebih melelahkan, juga lambat. Suling Emas melakukan perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua kali sehari. Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan.

Makin lama, Sian Eng makin percaya kepada orang aneh ini. Di dekat Suling Emas, ia merasa aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama sekali dan ia memandang orang ini sebagai seorang pendekar besar yang amat mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya pendiam, tak pernah mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan pun hanya singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng karena gadis ini ingin sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang mengagumkan hatinya ini.

Ketika memasuki pintu gerbang kota raja pagi hari itu, banyak orang memandang mereka dengan kagum dan heran. Kagum karena melihat kuda besar bagus ditunggangi sepasang orang muda yang elok dan gagah. Agaknya Suling Emas hendak menyembunyikan dirinya karena ia telah menggunakan sehelai sapu tangan untuk menutupi gambar suling di dadanya. Namun telinga Sian Eng masih dapat menangkap beberapa orang di pinggir jalan berbisik, “Dia... Suling Emas...”

Suling Emas menghentikan kudanya di dalam pekarangan lebar sebuah kelenteng, mengajak Sian Eng turun. Di ruangan depan mereka disambut oleh beberapa orang hwesio (pendeta Buddha) yang segera memberi hormat kepada Suling Emas.

“Harap para Lo-suhu (Bapak Pendeta) sudi menerima Nona Kam ini sebagai tamu terhormat dan membantunya dalam usahanya menjumpai saudaranya di kota raja.”

“Omitohud... tentu saja, Taihiap (Pendekar Besar)! Silakan masuk, Nona, dan... anggaplah di sini sebagai tempat tinggalmu sendiri,” kata hwesio tua itu dengan ramah tamah. “Apakah Taihiap tidak keberatan untuk singgah dulu dan minum teh?”

Suling Emas menggelengkan kepalanya. “Terima kasih, Lo-suhu. Saya masih mempunyai banyak urusan.” Kemudian ia menoleh kepada San Eng dan berkata. “Di kelenteng ini, kau berada di tempat yang aman. Dengan bantuan para Lo-suhu di sini, kalau saudaramu berada di kota raja, tentu kau dapat bertemu dengannya. Ingat, kalau kalian bertiga sudah saling bertemu dan berkumpul, satu-satunya hal terbaik bagi kalian adalah kembali ke Ting-chun. Nah, selamat berpisah.” Suling Emas memberi hormat kepada pendeta kepala, lalu meloncat di atas punggung kudanya yang lari cepat meninggalkan tempat itu.

Sian Eng berdiri bengong, tak dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat ia katakan? Berkumpul dengan orang itu, melakukan perjalanan bersama beberapa hari, telah membuktikan keluhuran budi Suling Emas, kesopanannya, akan tetapi juga keanehannya. Agaknya ada sesuatu yang menekan perasaan orang itu, ada sesuatu yang dideritanya di dalam batin, yang membuatnya tampak pendiam, tidak pedulian, dan wajahnya yang tampan selalu muram seperti matahari yang selalu tertutup mendung di musim hujan. Tiba-tiba ia menoleh kepada pendeta kepala, hwesio yang gendut peramah itu.

“Lo-suhu, dia itu... Suling Emas itu... orang macam apakah dia?” pertanyaan yang aneh ini keluar begitu saja dari mulut Sian Eng, langsung sebagai peluapan hatinya. Untung yang diajak bicara adalah seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu akan memalukan sekali.

Hwesio itu hanya tertawa, kemudian menjawab, “Bukan hanya kau yang mengajukan pertanyaan seperti ini, Nona. Banyak orang, di antaranya pinceng (aku) sendiri! Tapi, siapa dapat menjawab? Kalau pinceng yang menjawab hanya begini, dia itu seorang pendekar besar yang berwatak aneh. Kalau sedang menolong orang, dia bijaksana seperti dewa, kalau menghadapi lawan, dia ganas seperti iblis. Itulah Suling Emas, dan tidak pernah ada orang yang dapat menceritakan siapa dia. Tapi bagi kami, sudah cukup kalau mengetahui bahwa dia itu seorang yang baik, selalu berpihak kepada yang benar biar pun kadang-kadang amat sulit untuk dimengerti. Nona, kami menerima perintahnya, harus kami kerjakan baik-baik. Silakan masuk, Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu. Tentang saudaramu, nanti kita bicarakan dan tentu para murid di sini siap untuk membantumu mencarinya, kalau betul dia itu berada di dalam kota raja.”

Lega hati Sian Eng, sungguh pun keterangan tentang diri Suling Emas itu membuat hatinya makin penasaran dan ingin tahu. Ia memasuki kelenteng dan memang benar, para hwesio melayaninya penuh penghormatan dan kesopanan sehingga Sian Eng tidak ragu-ragu untuk mengajak mereka itu merundingkan tentang kedua saudaranya yang berpisah darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin dan memesan agar para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota raja, segera memberi tahu kepadanya.

Para hwesio itu tampak bersemangat sekali membantu Sian Eng, dan gadis ini maklum bahwa semangat ini timbul karena keyakinan bahwa membantu Sian Eng berarti membantu Suling Emas dengan melaksanakan perintahnya! Makin kagumlah hatinya terhadap orang rahasia yang sanggup membikin orang-orang alim seperti hwesio-hwesio ini demikian tunduk dan setia. Tentu saja dia tidak tahu bahwa para hwesio itu, juga banyak sekali orang-orang di kota raja, telah berhutang budi besar kepada Suling Emas.

********************


Di bagian depan telah kita ketahui bahwa Lin Lin yang ditemani Lie Bok Liong, dengan penuh harapan melakukan perjalanan ke kota raja. Hatinya girang sekali karena ia memang amat ingin bertemu dengan Suling Emas yang disangka menjadi pembunuh dari Jenderal Kam Si Ek dan isterinya. Untung ia mendengar percakapan antara Suma-kongcu dan para tokoh pengemis yang menyatakan bahwa Suling Emas berada di gedung perpustakaan istana. Kita ikuti kembali perjalanan mereka berdua.

Mereka telah berhasil melarikan diri dari gedung keluarga Suma di An-sui sebelah barat kota raja dan melanjutkan perjalanan di malam hari terang bulan. Mereka berjalan seenaknya, bercakap-cakap gembira. Begitu gembira, begitu aman seakan-akan tidak ada bahaya sesuatu yang mengintai.

Memang Lin Lin seorang gadis remaja yang gembira dan masih belum berpengalaman, maka ia pun enak saja melakukan perjalanan dan bercakap-cakap bersama Lie Bok Liong. Gadis yang masih hijau ini sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam. Ada pun Lie Bok Liong, dia adalah seorang pendekar muda yang sudah kenyang pengalaman, biasanya amat hati-hati, waspada dan berpandangan luas dan jauh, berwatak jujur dan berhati mulia. Akan tetap pada malam hari itu, hatinya rusak, kacau-balau oleh juwita di sampingnya. Sudah dua kali ia menempeleng jidatnya sendiri karena timbul pikiran yang bukan-bukan terhadap Lin Lin.

Malam terlalu indah, bulan terlalu terang, dan gadis di sampingnya terlalu cantik jelita. Bok Liong berjalan di samping Lin Lin dengan hati dan perasaan mawut (berantakan), maka ia pun tidak dapat terlalu disalahkan kalau dia sendiri menjadi kurang hati-hati, hilang kewaspadaannya. Di samping Lin Lin, dunia menjadi terlampau indah baginya sehingga sementara itu ia lupa akan bahaya-bahaya yang mengancam kehidupan dari segenap penjuru.

Biar pun Suma Boan atau Suma-kongcu sendiri tidak mengejar karena ia maklum bahwa menghadapi dua orang muda yang lihai itu seorang diri saja ia tidak akan menang, namun sudah tentu saja Suma-kongcu tidak membiarkan penghinaan terjadi di rumahnya begitu saja. Ia diam-diam menitah seorang pengawal untuk menghubungi para ketua kai-pang dan tak lama kemudian, para tokoh perkumpulan pengemis yang kebetulan berada di situ dan dapat dihubungi sudah mengatur rencana penghadangan terhadap Lin Lin dan Bok Liong. Ada tiga orang pengemis lihai yang kebetulan dapat dihubungi Suma-kongcu dan yang segera membawa teman-temannya melakukan pengejaran.

Yang pertama adalah ketua dari perkumpulan pengemis Hui-houw-kai-pang (Harimau Terbang). Hui-houw-pangcu ini sudah tua, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambutnya sudah putih semua dan senjatanya sebatang tongkat baja. Selain lihai sekali ilmu tongkatnya, juga ia amat terkenal dengan senjata rahasia yang ia sebut bulu harimau. Sebetulnya senjata ini adalah jarum-jarum halus yang diberi racun, siapa terkena akan menjadi gatal-gatal yang menjalar ke seluruh tubuh dan berakhir dengan kematian yang mengerikan.

Hui-houw-pangcu pergi melakukan pengejaran bersama barisannya yang paling ia banggakan, yaitu Hui-houw-tin (Barisan Macan Ter­bang). Barisan ini terdiri dari tiga belas orang tokoh pengemis yang berkepandaian tinggi dan yang khusus dilatih untuk membentuk Hui-houw-tin. Besarlah hati Hui-houw-pangcu mengajak barisannya ini. Biar pun ia mendengar dari Suma-kongcu bahwa dua orang muda itu lihai, namun ia yakin bahwa Hui-houw-tin akan dapat mengalahkan mereka dan dapat menawan mereka seperti yang diminta oleh Suma-kongcu.

Lewat tengah malam, Lin Lin dan Bok Liong menunda perjalanan karena mereka merasa lelah dan mengantuk. Bok Liong yang sudah beberapa kali melakukan perjalanan lewat daerah ini tahu, bahwa di luar hutan terdapat sebuah kuil kuno yang kosong dan tidak terpakai lagi. Mereka lalu menuju ke kuil itu dan girang hati Lin Lin dapat mengaso di tempat yang terlindung sehingga hawa tidak terlalu dingin. Bok Liong segera membuat api unggun dan mereka duduk di ruangan depan yang agak bersih setelah keduanya menyapu lantai dengan daun-daun kering.

“Kau mengaso dan tidurlah, Lin-moi, biar aku menjaga di sini.”

“Mana bisa aku tidur kalau dijaga orang? Twako, jangan kira aku seorang yang mau enak sendiri, tidur pulas membiarkan kau digigiti nyamuk dan mengantuk. Tidak, kalau kau tidak tidur, aku pun tidak mau tidur.”

Bok Liong tersenyum lebar, dalam hati amat bersyukur bahwa gadis ini memiliki watak yang demikian baik. Memang, kalau orang sedang bercinta, segala yang dilakukan orang yang dicintanya selalu baik, setiap gerak-gerik menyenangkan. Ia maklum bahwa kalau ia bersitegang, gadis yang keras hati ini tentu betul-betul tidak mau tidur.

“Baiklah, aku pun akan tidur di sini, kau tidur di situ. Besok pagi-pagi kita bangun melanjutkan perjalanan ke kota raja.”

“Nah, begitu baru adil namanya,” kata Lin Lin melihat pemuda itu merebahkan diri telentang dekat api unggun. Ia pun lalu merebahkan diri miring, membelakangi api unggun yang menyilaukan mata, berbantal tangan. Melihat ini Bok Liong lalu melempar bungkusan pakaiannya.

“Nih, pakailah untuk bantal, lumayan.”

Lin Lin tidak membantah, memberi hadiah senyum terima kasih lalu meramkan matanya. Bok Liong tentu saja tidak mau tidur, maklum bahwa kalau tertidur keduanya di tempat itu, akan berbahaya sekali. Yang paling berbahaya adalah ular, karena ada beberapa macam ular yang tidak takut akan api. Juga kalau api unggun padam tidak ada yang tahu. Ia tadi merebahkan diri hanya untuk memanaskan hati Lin Lin agar nona itu mau tidur. Karena gadis itu rebah membelakanginya, dengan leluasa ia dapat memandang belakang tubuh Lin Lin dan pikirannya melamun jauh, mata dan bibirnya membayangkan gelora hati yang penuh kasih dan rindu. Inilah yang menjauhkannya dari pada kewaspadaan. Ia tidak tahu bahwa belasan pasang mata sedang mengintai dari tempat gelap!

Tiba-tiba, selagi Bok Liong melamun muluk-muluk, tampak sinar-sinar kecil berwarna putih berkelebatan menyambar. Bok Liong, seorang pendekar muda yang terlatih dan sudah banyak makan asam garamnya pengalaman di dunia kang-ouw, terkejut bukan main. Bukan sinar-sinar putih yang menyambar ke arah dirinya yang ia kejutkan, melainkan sinar yang menyambar ke arah diri Lin Lin yang sudah pulas!

Tanpa berpikir panjang lagi, semata-mata untuk melindungi diri gadis itu dari pada bahaya maut, ia membuang dirinya ke depan Lin Lin sambil mengebutkan kedua lengan bajunya. Cepat sekali gerakannya sehingga gerakan ini membuat beberapa batang jarum halus yang tadinya menyambar ke arahnya, terbang lewat dan menancap ke dalam dinding. Ia berhasil pula menyelamatkan Lin Lin, akan tetapi dua batang jarum tak berhasil dikebut runtuh dan langsung menancap pada pangkal lengannya sebelah kiri.

“Twako... ada apa...?” Lin Lin melompat bangun dan secepat kilat ia melompat lagi mendahului Bok Liong.

Sebagai seorang ahil silat tinggi, begitu sadar dari pada tidurnya Lin Lin sudah berada dalam keadaan siap siaga dan sedetik ia mengira bahwa Bok Liong secara kurang ajar telah mendekatinya. Selagi ia hendak memaki sambil mencabut pedangnya tiba-tiba ia melihat Bok Liong merintih-rintih dan menggaruk-garuk pangkal lengan kirinya. Pada saat itu tampak sinar putih menyambar-nyambar pula. Maklumlah Lin Lin bahwa mereka diserang oleh lawan dengan senjata rahasia, maka cepat ia memutar pedangnya, melompat ke depan Bok Liong dan sinar kuning pedangnya merupakan gulungan yang memukul runtuh sinar-sinar putih bersambaran itu.

“Jangan gerak, cabut jarum gosokkan ini!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh, hanya gemanya saja yang terdengar, akan tetapi tahu-tahu ada sebuah benda kecil melayang jatuh dekat Bok Liong. Ternyata benda itu adalah sebuah bungkusan kecil.

Bok Liong tadinya merasa gatal-gatal bukan main pada pangkal lengannya sehingga biar pun ia tahu bahwa menggaruknya merupakan pantangan yang berbahaya, namun ia tidak kuat menahan. Mendengar suara itu ia terkejut, akan tetapi juga girang melihat datangnya bungkusan. Apa lagi melihat bahwa Lin Lin tidak terluka, bahkan gadis ini sekarang berdiri melindunginya.

Cepat ia merobek bajunya pada lengan tangan, menggunakan penerangan api unggun yang masih bernyala besar untuk mencabut keluar dua batang jarum yang hampir amblas semua ke dalam daging. Bungkusan itu ia buka, ternyata isinya bubuk berwarna kuning. Tanpa ragu-ragu lagi Bok Liong menggosok-gosokkan bubuk kuning ini pada kedua luka kecil di pangkal lengan kiri. Hebat! Seketika lenyap rasa gatal-gatal. Dengan kemarahan meluap Bok Liong mencabut pedangnya, melompat berdiri di samping Lin Lin dan berseru.

“Penjahat berhati binatang berwatak pengecut! Kalau memang ada kepandaian, keluarlah dan mari kita bertempur secara orang gagah!”

Terdengar suara ketawa mengejek. “Sudah lama kami berada di sini, buka matamu baik-baik, pemuda sombong!”

Bok Liong dan Lin Lin membalikkan tubuh. Kiranya penyerang gelap itu telah berpindah tempat, kini berada di belakang mereka. Meremang bulu tengkuk mereka memikirkan betapa bahayanya keadaan mereka tadi. Kalau penyerang gelap ini menyerang dengan jarum-jarum halus lagi dari belakang, bukankah amat berbahaya?

Jarum-jarum itu demikian halusnya sehingga tidak terdengar sambarannya. Hanya berkat sinar api unggun maka jarum-jarum putih itu kelihatan berkelebat sehingga mereka tadi dapat menyampok runtuh. Kiranya yang berada di situ bukan hanya seorang saja, melainkan empat belas orang yang kesemuanya berpakaian pengemis. Tahulah mereka bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan tiga orang yang dirobohkan Lin Lin di gedung Suma-kongcu.

“Hemmm, kiranya kalian adalah ahli-ahli pula dalam senjata rahasia. Aku kagum dan mengaku kalah dalam hal ilmu senjata rahasia. Akan tetapi, kami tantang kalian untuk menghadapi Barisan Macan Terbang (Hui-houw-tin). Kalau tidak berani, lebih baik kalian menyerah untuk kami tawan. Kalau kalian dapat menangkan Hui-houw-tin, barulah aku Hui-houw-pangcu mengaku kalah.”

Diam-diam Bok Liong dan Lin Lin terkejut dan heran sekali. Bagaimana pengemis tua ini bicara begitu aneh, menyatakan kagum dan mengaku kalah dalam ilmu senjata rahasia? Padahal mereka itu sama sekali tidak melepaskan senjata, juga dalam menghadapi penyerangan jarum-jarum tadi, biar pun Bok Liong berhasil menyampok runtuh dan Lin Lin juga berhasil menggunakan pedang menggagalkan penyerangan kedua, namun Bok Liong telah terluka. Hal ini tentu saja sama sekali tak boleh dianggap bahwa mereka berdua telah menang bertanding senjata rahasia!

Tentu saja kedua orang ini tidak tahu bahwa di dalam gelap tadi, setelah Lin Lin memutar pedang menyampok runtuh jarum-jarum itu, masih beterbangan lagi jarum-jarum bertubi-tubi dan susul-menyusul dengan cara berpindah-pindah dari pelbagai jurusan, sering kali dari arah belakang kedua orang muda itu. Ini adalah akal Hui-houw-pangcu yang menyerang mereka dari tempat gelap secara berpindah-pindah. Akan tetapi semua jarum-jarum yang menyambar dari tempat tersembunyi itu runtuh semua bertemu dengan benda-benda kecil yang melayang-layang dari segala jurusan dan ternyata bahwa yang meruntuhkan jarum-jarum itu adalah daun-daunan, bunga dan buah-buahan kecil yang secara aneh datang dari jurusan yang berlawanan sehingga Hui-houw-pangcu tentu saja mengira bahwa benda-benda itu dilepas oleh dua orang muda yang diserangnya!

Akan tetapi, sudah tentu Bok Liong dan Lin Lin tidak mau menyatakan keheranan ini. Dengan marah mereka lalu melangkah maju menghadapi barisan yang sudah tersusun di depan kuil kuno yang ruangan depannya terbuka itu.

Tiga belas orang pengemis dengan tongkat-tongkat baja di tangan telah memasang Barisan Harimau Terbang. Tiga orang sebagai kepala, masing-masing dua orang sebagai sayap kanan kiri, empat orang sebagai empat buah kaki dan dua orang sebagai ekor.

Bok Liong dan Lin Lin yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja tidak merasa gentar. “Saling membelakangi menghadapi mereka, mencegah penyerangan gelap dari belakang,” bisik Bok Liong. Lin Lin kagum dan segera menurut nasihat ini karena memang itulah cara terbaik bagi mereka sehingga dalam pengeroyokan mereka dapat mengerahkan seluruh perhatian ke depan tanpa takut penyergapan gelap.

Akan tetapi dugaan ini keliru dan terpaksa rencana Bok Liong ini tak mungkin dipertahankan. Kiranya tiga belas orang itu sama sekali tidak mengurung mereka sebagaimana biasanya barisan kalau mengepung lawan yang sedikit jumlahnya. Mereka itu langsung menerjang dari depan dengan teratur seperti gerakan seekor harimau terbang, sehingga ketika mereka menerjang maju hanya Lin Lin yang dihujani serangan sedangkan Bok Liong tidak menghadapi seorang pun lawan.

Lin Lin tidak gentar dan cepat memutar Pedang Besi Kuning di tangannya, akan tetapi ia kaget sekali karena senjata tongkat lawan yang terbuat dari baja tulen itu datangnya susul-menyusul dengan teratur, sehingga ia sama sekali tidak sempat melakukan serangan balasan karena repot melayani datangnya bayangan tongkat yang seperti hujan menimpanya dari atas, kanan, kiri dan bawah!

Melihat cara penyerangan mereka ini, tentu saja Bok Liong khawatir kalau-kalau Lin Lin celaka di tangan barisan aneh itu. Apa lagi hatinya amat tidak enak kalau barisan itu hanya menerjang Lin Lin dan membiarkan ia menganggur menjadi penjaga punggung Lin Lin belaka. Ia berseru keras dan membalik lalu menerjang, membantu Lin Lin. Akan tetapi ia masih tetap waspada, menjaga agar mereka jangan terlena dan tertipu.

Memang Bok Liong sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran. Ia cukup maklum akan kelihaian pedang Lin Lin, juga ia mengerti bahwa gadis ini kalau marah kepada lawan bisa menjadi ganas sekali. Secara langsung mereka berdua tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan para pengemis, maka ia pun menganggap tiada perlunya menurunkan tangan besi kepada mereka.

“Lin-moi, kau menahan serangan mereka, biarkan aku yang membalas!”

“Baik!” jawab Lin Lin, kembali kagum karena maklum bahwa hanya cara itulah yang memungkinkan mereka dapat balas menyerang, yaitu yang seorang bertahan, yang seorang pula menyerang.

Segera ia memutar pedangnya menjadi segulung sinar kuning yang berkilauan membungkus dirinya. Di lain pihak Bok Liong melompat ke belakang Lin Lin, membiarkan semua tongkat menyerang gadis itu, kemudian dari samping ia menerjang. Hasilnya baik sekali, terdengar teriakan kesakitan dan seorang di antara tiga orang yang merupakan bagian kepala, roboh terguling terluka pahanya oleh ujung pedang Bok Liong.

Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu sinar putih bersambaran dari belakang. Inilah yang dikhawatirkan Bok Liong. Baiknya pemuda ini sudah waspada sejak tadi. Melihat sinar putih menyambar, cepat ia memutar pedang sambil melompat ke belakang Lin Lin dan runtuhlah semua jarum tersampok sinar pedangnya. Hati Bok Liong menjadi khawatir juga.

Berabe juga kalau begini caranya mereka melakukan pengeroyokan. Ia melirik dan melihat betapa pertahanan Lin Lin amat kuat dan kokoh seperti benteng baja. Biar pun gadis itu tidak akan mendapat kesempatan untuk balas menyerang, namun dengan pertahanan macam itu, biar ada dua barisan Hui-houw-tin, kiranya belum tentu akan dapat membobol pertahanannya dalam waktu satu dua jam!

“Lin-moi, tahan terus, aku menangkap kepalanya!” bisiknya kembali.

Lin Lin sudah percaya betul akan kecerdikan kawannya. “Baik,” jawabnya tanpa ragu-ragu lagi.

Bok Liong melompat dengan tiba-tiba, gerakannya cepat sekali. Dengan hanya beberapa lompatan ia sudah tiba di balik gerombolan pohon dari mana jarum-jarum itu tadi menyambar. Dan... apa yang dilihatnya? Ia berdiri bengong memandang Hui-houw-pangcu yang roboh terlentang dengan tubuh kaku, kedua tangan masih menggenggam jarum-jarum beracun! Ternyata pengemis tua ini telah ditotok jalan darahnya yang membuat tubuhnya kaku tak dapat bergerak untuk beberapa jam lamanya. Siapa yang melakukan hal ini? Tak salah lagi, pikir Bok Liong, tentu dia yang tadi telah menolongnya dengan pemberian obat pemunah racun!

Akan tetapi ia tidak ada waktu untuk mengherankan soal ini karena di sana Lin Lin masih menghadapi pengeroyokan barisan Hui-houw-tin yang biar pun sudah roboh seorang, masih amat kuat dan cukup berbahaya. Hatinya lega karena dengan robohnya ketua Hui-houw-pang yang suka main jarum beracun ini, ia tidak khawatir lagi akan serangan gelap dari belakang. Cepat ia membalikkan tubuh dan melompat ke tempat pertempuran, serta merta menerjang dari samping. Karena kegembiraan dan kelegaan hati melihat penyerang gelap itu tak berdaya lagi, pemuda ini menyerang penuh semangat dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok!

Akan tetapi, biar pun berkurang tiga orang, ternyata barisan Hui-houw-tin ini malah mengamuk lebih hebat. Inilah keistimewaan Hui-houw-tin, seperti seekor harimau kalau terluka akan lebih hebat sepak terjangnya. Hal ini adalah karena kalau barisan itu masih lengkap tiga belas orang, ruang gerak penyerangan mereka amat sempit dan terbatas. Makin berkurang jumlahnya, makin leluasa mereka bergerak sehingga tampaknya makin buas. Namun malang bagi mereka, kini yang mereka keroyok adalah murid-murid orang sakti yang telah mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi, jauh melebihi tingkat mereka.

Setelah kini merasa yakin bahwa dari belakang takkan ada yang menyerang dengan senjata rahasia, dengan enaknya Bok Liong membabati lawan seorang demi seorang secara cepat sehingga tak sampai seperempat jam, para pengeroyok itu tinggal empat orang lagi yang cepat melempar tongkat dan berlutut mohon diampuni! Lin Lin gemas sekali, lengannya bergerak hendak membabat dengan pedangnya, akan tetapi lengannya disentuh Bok Liong.

“Sudahlah, Lin-moi. Mereka hanya menjalankan perintah. Kita tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka. Mari kita pergi!”

Pengalaman dalam pertempuran ini membuka mata Lin Lin bahwa kawannya adalah seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya, juga cerdik dan berpengalaman. Kalau saja ia tadi seorang diri menghadapi para pengemis ini, agaknya ia akan terancam bahaya hebat. Mengingat ini, biar pun hatinya tidak puas karena tidak boleh membunuh para pengeroyoknya, namun ia tidak membantah dan bersama Bok Liong mereka melompat pergi dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bulan purnama sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih menerangi jagat. Peristiwa tadi mengusir kantuk dan mereka berjalan terus memasuki hutan.

Malam telah menjelang fajar ketika bulan yang sudah turun itu tertutup puncak gunung dan sinarnya menjadi suram. Keadaan yang gelap ditambah hawa yang amat dingin memaksa dua orang muda itu kembali berhenti di dalam hutan, memilih tempat terbuka di antara pohon-pohon besar dan mereka berjongkok menghadapi api unggun yang mendatangkan hawa hangat nyaman.

“Liok-twako, kau tadi meninggalkan aku untuk menangkap Hui-houw-pangcu, bagaimana hasilnya? Belum kau ceritakan padaku.”

Bok Liong menarik napas panjang. Tadi ia memang sengaja tidak bercerita, karena khawatir kalau-kalau gadis yang aneh ini bersikeras hendak mencari penolong itu. Seorang penolong yang tidak mau memperlihatkan diri tak perlu dipaksa muncul, dan biasanya hanya orang-orang sakti yang bersikap seperti itu.

“Lin-moi, dalam pertempuran tadi, kita berdua hanya dapat keluar dengan selamat berkat pertolongan seorang sakti.”

Lin Lin mengangguk-angguk. “Sudah kuduga, malah tadinya kusangka gurumu yang melempar obat kepadamu, Twako.”

“Bukan Suhu, melainkan orang lain, entah siapa. Obat pemunah racunnya amat manjur, dan ilmu kepandaiannya hebat sekali.”

“Bagaimana kau bisa tahu, Twako?”

“Tak ingatkah kau akan ucapan Hui-houw-pangcu yang mengaku kalah bertanding senjata rahasia dengan kita? Padahal kita sama sekali tidak pernah melepaskan senjata rahasia. Bagaimana dia bisa mengaku kalah bertanding am-gi (senjata gelap)? Tidak bisa lain, tentu penolong kita yang telah menundukkanya, mungkin dengan cara menggempur jarum-jarumnya dengan am-gi lain yang amat lihai. Dan tahukah kau apa yang terjadi ketika aku meninggalkanmu untuk menghajar ketua Hui-houw-pang yang curang itu? Ia telah roboh kaku, siapa lagi kalau bukan penolong kita yang menotoknya. Di kedua tangannya masih penuh jarum-jarum beracun yang belum sempat ia sambitkan kepada kita.”

Benar saja, Lin Lin amat tertarik hatinya. “Siapakah dia Twako? Ah, setelah ia menolong kita, kenapa tadi kau diam saja? Mengapa tidak memanggil-manggil supaya dia muncul? Aku ingin sekali berkenalan dengan dia, Twako, ingin...”

“Ingin apa?” Bok Liong sendiri terheran mendengar suaranya yang berbeda dari biasa, dan lebih heran lagi merasa betapa dadanya sesak dan perasaannya tidak senang. Cemburu! Tapi ia tidak sadar akan hal ini.

“Ingin mengajak ia bertanding, menguji kepandaiannya!”

Jawaban ini membuat Bok Liong melengak heran, akhirnya ia tertawa. Gadis pujaan hatinya ini benar-benar aneh, lucu, manis dan hebat!

“Lin-moi, kalau seorang sakti tidak menghendaki dilihat orang, jangan harap akan dapat bertemu dengannya. Terang bahwa dia membantu kita dengan sembunyi, itu hanya berarti bahwa dia tidak mau kita melihatnya, maka jalan terbaik hanya membiarkan dia melanjutkan sikap itu. Memaksa dia muncul sama dengan menentang kehendaknya dan ini bukanlah pernyataan terima kasih yang baik.”

Lin Lin tidak suka akan keangkuhan. “Huh, siapa memaksa dia menolong kita? Aku sendiri sih tidak butuh akan pertolongannya. Kalau memang dia merasa diri begitu tinggi dan begitu mulia sehingga menganggap tidak berharga mengadakan pertemuan dengan kita, mengapa dia menolong kita tanpa kita minta? Uh, aku belum percaya apakah benar-benar dia itu seorang sakti, lebih tidak percaya lagi apakah dia bermaksud baik dengan pertolongannya itu.”

“Ssstttt... Lin-moi, kenapa kau bilang begitu...?”

Lin Lin melompat berdiri. “Biar! Aku tetap tidak percaya bahwa dia bermaksud baik. Kau boleh takut kepadanya, Liong-twako, akan tetapi aku tidak takut. Kalau dia betul orang baik-baik, kenapa main rahasia-rahasiaan? Siapa sudi main kucing-kucingan dengan orang yang tidak kita kenal? Orang begitu hanya menonjolkan keangkuhan dan kesombongannya, merasa lebih tinggi dari pada orang lain!”...


BERSAMBUNG KE JILID 05