Cinta Bernoda Darah Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 02

Setelah selesai mengurus pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan Nikouw membuka sampul surat yang ia temukan dalam kamar adik seperguruannya. Sampul surat yang memang ditujukan kepadanya. Ia membaca isi surat itu, menggeleng-geleng kepala memanggil Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin berkumpul. Di depan mereka ia baca lagi surat itu dengan suara keras. Surat itu singkat saja, seperti berikut:

Kui Lan suci yang mulia.
Surat ini kubuat lebih dulu, menjaga kalau-kalau aku tewas dalam menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu urusanku dengan dia, tak seorang pun boleh mencampuri, dia berhak menuntut seorang di antara kami harus mati untuk membiarkan yang lain hidup di samping Bwee Hwa. Sengaja kusuruh anak-anak pergi menjemput Suci.

Kalau aku tewas, kiranya Bwee Hwa tentu akan membunuh diri seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam hubungan kami dengan orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua tewas, harap Suci atur anak-anak.

Peti hitam itu selain berisi harta pusaka yang sengaja kusimpan, juga terdapat sebuah gelang emas dengan huruf Bu Song. Kau tahu, itu adalah gelang emas milik Bu Song. Harta pusaka itu diberikan kepada empat orang anak, bagi rata, jangan bedakan sedikit juga antara Bu Song dan Lin Lin serta yang dua orang. Akan tetapi suruh tiga orang anak itu pergi mencari Bu Song sampai dapat. Aku tidak tahu di mana ia berada, pengetahuanku tentang dia sama dengan pengetahuanmu, Suci, maka kau ceritakan kepada mereka.

Kalau aku tewas di tangan Giam Sui Lok, pesan semua anak-anak jangan mencari dan membalas dendam kepadanya. Sudah terlalu banyak orang she Giam itu menderita karena aku.

Hormat Sute-mu,
KAM SI EK


Sambil terisak-isak mendengarkan bunyi surat pesan terakhir dari ayah mereka itu, tiga orang anak ini pun terheran-heran dan banyak hal yang mereka tidak mengerti.

“Kalian tentu tidak tahu siapa itu Bu Song. Baiklah pinni ceritakan secara singkat. Dahulu, sebelum Ayahmu menikah dengan Ibumu setelah menang berebutan dengan Giam Sui Lok, Ayahmu adalah seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki tunggal diberi nama Bu Song, Kam Bu Song. Pada waktu itu Bu Song sudah berusia sembilan tahun kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena kematian isterinya, melainkan karena perceraian. Ibu Bu Song seorang ahli silat yang kepandaiannya jauh melebihi Ayahmu, sayangnya... hemmm, hal ini terpaksa kuberitahukan, dia itu dahulunya adalah seorang gadis dari golongan hitam. Wataknya keras, dan mungkin karena inilah ia berpisah dari Ayahmu yang lalu menikah lagi dengan Ibumu.”

“Dan ke mana perginya... eh, Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah dia itu terhitung kakakku, karena dia pun putera Ayah?” tanya Bu Sin, berdebar hatinya mendengar bahwa dia bukanlah anak sulung, melainkan yang kedua dan di sana masih ada kakaknya yang hampir sepuluh tahun lebih tua dari padanya.

“Itulah yang selalu mengganggu hati mendiang Ayahmu. Ketika mendengar bahwa Ayahmu akan menikah dengan Ibumu, Bu Song, anak yang keras hati seperti ibunya itu diam-diam minggat pada malam hari dan sampai saat ini tidak diketahui di mana tempat tinggalnya.”

Hening sejenak. Tiga orang anak itu merasa terharu. “Apakah Ayah tidak mencarinya, Sukouw?” tanya Sian Eng.

“Tentu saja. Malah tujuh tahun kemudian Ayahmu mendengar bahwa puteranya itu berada di kota raja sebagai seorang pelajar yang menempuh ujian. Nama yang dipakainya tetap Bu Song, akan tetapi shenya she Liu, agaknya ia menggunakan she ibunya.”

“Liu Bu Song...,” kata Lin Lin, agaknya hendak mengingat-ingat nama itu di hatinya. Entah mengapa, ia merasa ter­tarik dan ada perasaan simpati di hatinya terhadap Liu Bu Song. Mungkin hal ini karena ia teringat akan nasibnya sendiri sebagai seorang anak pungut yang sudah tidak beribu bapak lagi.

“Akan tetapi ketika Ayahmu mencarinya ke sana, Bu Song sudah menghilang lagi dan sampai sekarang Ayahmu tidak tahu di mana dia berada. Sekarang, Ayah kalian menghendaki supaya kalian pergi mencarinya. Bagaimana pendirian kalian akan hal ini?”

“Sukouw, teecu merasa lebih perlu untuk pergi mencari setan dalam peti mati yang membawa suling itu. Teecu takkan mau pulang sebelum dapat membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibu!”

“Teecu juga!” kata Sian Eng.

“Tentu saja teecu juga,” sambung Lin Lin. “Akan tetapi teecu juga akan cari sampai dapat dia itu... eh, Kakak Bu Song.”

Kui Lan Nikouw mengangguk-angguk. “Pinni tidak dapat menyalahkan kalian untuk dendam ini, apa lagi kalian hanya orang-orang muda yang berdarah panas. Akan tetapi janganlah kalian terlalu sembrono dan mengira akan mudah saja mencari orang yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti yang membawa suling. Hemmm, apa lagi melihat kepandaian orang itu, andai kata kalian dapat menemukannya, agaknya belum tentu kalian akan dapat menang. Oleh karena itu, pinni perkenankan kalian pergi merantau mencari kakak kalian dan juga sekalian mencari musuh besar itu. Akan tetapi, apa bila kalian sudah bisa bertemu dengan musuh besar itu, kalian tidak boleh bertindak sembrono, lebih baik kalian memberi tahu kepada pinni. Kalau pinni mampu, tentu pinni akan membantu kalian. Andai kata tidak mampu, pinni masih dapat minta bantuan orang-orang pandai yang pinni kenal. Berjanjilah bahwa kalian tidak akan bertindak sembrono, baru pinni memperkenankan kalian pergi.”

Tiga orang muda itu berjanji akan mentaati pesan ini. Sebulan kemudian, berangkatlah tiga orang kakak beradik itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka menumpang perahu mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur mendengarkan cerita tukang perahu yang gemar berceloteh.

********************


kho ping hoo serial cinta bernoda darah


Berhari-hari tiga orang muda she Kam itu melakukan perjalanan dengan perahu, menikmati pemandangan yang amat indah di kanan kiri sungai. Tukang perahu bercerita banyak tentang keadaan kota-kota besar dan perubahan-perubahannya semenjak Wangsa Sung berdiri.

“Kita sudah dekat dengan kota Wu-han,” tukang perahu itu berkata dan wajahnya sekarang berubah menjadi gelisah. “Seperti telah saya nyatakan ketika Sam-wi (Anda Bertiga) menyewa perahu ini, saya hanya dapat mengantar sampai di Wu-han saja dan selanjutnya untuk menuju ke kota raja, Sam-wi dapat melakukan perjalanan melalui darat.”

Mendengar ini, Lin Lin bertepuk tangan dan berjingkrak girang. “Bagus sekali! Aku sudah bosan duduk dan tidur di perahu berhari-hari, kedua kakiku pegal-pegal karena tidak dipakai berjalan. Empek tukang perahu, masih berapa lama lagikah kita sampai di Wu-han?”

“Tidak lama lagi, Nona, sore nanti juga sampai. Akan tetapi menyesal sekali, saya tidak akan dapat mengantar sampai ke kota, terpaksa harus berhenti di luar kota.”

“Eh, kenapa begitu, Lopek?” Bu Sin menegur. “Bukankah kita sudah janji akan turun di Wu-han dan membayar sewanya kepadamu di sana?”

“Maaf, Tuan Muda. Tentu saja saya akan merasa senang sekali mengantar Sam-wi sampai ke kota, akan tetapi saya tidak berani melakukannya.”

“Tidak berani? Kenapa?” Sian Eng ikut bicara.

“Karena hal itu berarti bahwa uang sewa yang akan saya terima dari Sam-wi, takkan dapat kubawa pulang, paling banyak hanya setengahnya yang akan dapat saya miliki. Wah, jembel-jembel busuk itu benar-benar membuat hidup kami para nelayan tidak tenteram lagi, Nona.”

“Apa maksudmu? Siapa itu jembel-jembel busuk? Harap ceritakan kepada kami,” Bu Sin mendesak dengan rasa penasaran.

“Mereka merajalela sekarang, Tuan Muda, jembel-jembel busuk itu. Semenjak Kerajaan Sung berdiri, mereka itu kini mempunyai pengaruh yang amat besar. Di mana-mana, terutama di kota-kota besar, pengemis-pengemis itu berkelompok dan bergabung. Mereka menggunakan praktek pemungutan pajak liar. Apa lagi di Wu-han. Saya mendengar bahwa Wu-han merupakan pusat, maka di sana berkeliaran banyak sekali pengemis dan setiap orang harus tunduk terhadap mereka. Para nelayan harus membayar pajak kepada mereka setiap kali mendarat, baik berupa hasil penangkapan ikan mau pun hasil menyewakan perahu.” Tukang perahu itu kelihatan berduka dan penasaran.

“Aiiihhh, mana ada aturan begitu?” Lin Lin membanting kaki dengan marah.

“Lopek, apakah yang berwajib tidak melarang mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang?” Bu Sin bertanya penasaran.

Tukang perahu menggelengkan kepalanya. “Mereka tidak berdaya. Pengemis-pengemis itu lihai, semua pandai ilmu silat. Selain itu, mereka itu mengaku sebagai bekas-bekas pejuang yang membantu pendirian Kerajaan Sung. Oleh karena itu, Tuan Muda, kalau Sam-wi kasihan kepada saya, harap Sam-wi sudi turun di luar kota saja, karena kalau diteruskan sampai ke Wu-han, tidak urung uang sewa itu akan mereka minta sebagian atau kalau saya sedang sial, mungkin mereka akan merampasnya semua.”

Merah wajah Bu Sin dan kedua adiknya. “Tidak, Lopek! Kita terus ke Wu-han dan kami yang tanggung bahwa jembel-jembel busuk yang jahat itu tidak akan mengganggumu!”

“Tapi....”

“Kalau perlu pedang kami ikut bicara!” Lin Lin berseru sambil meraba gagang pedangnya.

Tukang perahu tidak berani membantah lagi. Dengan muka berkerut-merut penuh kekhawatiran tukang perahu melanjutkan perahunya. Benar seperti yang dikatakannya tadi, menjelang sore, perahu sudah tiba di luar tembok kota Wu-han. Di kota Wu-han inilah Sungai Han memuntahkan airnya ke dalam sungai Huang-ho dan di tempat ini merupakan pelabuhan sungai yang ramai. Mendekati tempat ini, tukang perahu pucat mukanya dan tubuhnya gemetar ketakutan.

“Celaka, Tuan Muda, lihat di sana, mereka benar-benar sudah siap merampok saya...,” bisik tukang perahu.

Bu Sin dan dua orang adiknya memandang, akan tetapi tidak ada yang aneh di pelabuhan itu. Karena hari telah sore, pelabuhan itu nampak agak sunyi, hanya beberapa orang nelayan yang sibuk, ada yang menambal perahu, ada yang menjemur jala dan menambal layar. Empat orang pengemis duduk di atas tanah bermalas-malasan. Apakah pengemis-pengemis kurus kering itu yang ditakuti tukang perahu? Hampir saja Lin Lin terkekeh memikirkan hal ini, namun tak dapat ia menahan hatinya bertanya.

“Lopek, kau maksudkan empat ekor cacing tanah itu yang akan mengganggumu?”

“Sssttttt, Nona jangan bicara terlalu keras...,” tukang perahu makin pucat.

“Dan Tuan Muda harap suka memberikan uang sewa sekarang juga kepada saya, jangan di depan mereka itu....”

“Tidak, Lopek. Kami malah hendak melihat apa yang mereka akan lakukan terhadapmu. Jangan khawatir, kalau mereka berani merampokmu, kami akan memberi hajaran kepada mereka,” kata Bu Sin.

Dengan terpaksa tukang perahu minggirkan perahunya. Empat orang pengemis itu menoleh ke arah perahu. Seorang di antara mereka yang hidungnya bengkok, menguap lalu berkata keras tanpa berdiri dari tempat duduknya di atas tanah.

“Heee, tukang perahu, dari manakah kau?”

Mengherankan sekali melihat seorang pengemis menegur secara begini dan si tukang perahu menjawab dengan sikap hormat, “Kami datang dari daerah Propinsi Shan-si, dusun La-kee-bun dekat Sungai Han.”

Empat orang pengemis itu sekarang berdiri mengulet dan menguap. Si Hidung bengkok melangkah lebar menghampiri, tanpa pedulikan Bu Sin dan dua orang adik perempuannya yang sudah meloncat turun dan berdiri memandang dengan mata tajam. “Ho-ho-ho-ho, perjalanan yang jauh sekali. Tentu biayanya banyak. Berapa kau terima?”

“...hanya... hanya dua puluh tail... itu pun belum saya terima...,” jawab si tukang perahu ketakutan.

“Goblok benar! Sejauh itu hanya dua puluh tail? Kau ditipu! Atau kau yang bohong? Setidaknya harus lima puluh tail!”

Si tukang perahu makin takut. “Betul, sahabat. Hanya dua puluh tail, akan tetapi Tuan Muda dan kedua Nona ini membagi makan dengan saya dan....”

Lin Lin sudah tidak sabar lagi mendengarkan percakapan ini. Ia melangkah maju dan telunjuk kanannya yang runcing menuding muka pengemis itu. “Hih, kau ini pengemis tukang minta-minta ataukah perampok? Ada sangkut-paut apa denganmu tentang urusan kami dengan tukang perahu?”

Pengemis itu memandang heran, lalu terbahak. “Ha-ha-ha, Loheng (Kakak), kau lihat anak ayam ini. Nona cantik, kau belum mengenal kami, ya? Kalau kau tahu siapa aku, hemmm, kau akan lari terkencing-kencing!” Empat orang pengemis itu tertawa mendengar ucapan terakhir ini.

“Jembel busuk! Siapa sudi mengenal macammu? Aku hanya tahu bahwa kau seorang jembel kotor yang berhidung bengkok. Minggat dari sini kalau kau tidak ingin aku membikin hancur hidungmu yang bengkok dan menjijikkan itu!” Lin Lin membentak dan melangkah maju. Bu Sin dan Sian Eng yang sudah mengenal watak Lin Lin tidak mau mencegah, apa lagi mereka memang mendongkol menyaksikan sikap para pengemis itu. Mereka siap menghadapi pertempuran dan membantu Lin Lin.

Pengemis berhidung bengkok marah sekali. Dengan sikap memandang rendah ia mendekati Lin Lin. “Bocah liar, kau perlu dihajar!” Lengannya yang panjang itu diulur maju dengan jari-jari tangan terbuka, agaknya hendak menangkap Lin Lin.

Gadis ini tentu saja tidak sudi mem­biarkan pengemis itu menyentuhnya. Tubuhnya berkelebat cepat sekali, kaki kirinya melayang ke atas dan....

“Prakkk!” ujung sepatunya telah mencium muka pengemis itu dengan keras.

Si pengemis itu terhuyung ke belakang, mengaduh kesakitan sambil menutupi mukanya. Darah bercucuran keluar dari hidungnya yang kini menjadi makin miring dan bengkok ke kiri! Matanya yang kanan menjadi hitam dan tak dapat dibuka lagi.

“Setan cilik, kalian berani mencari perkara dengan kami orang-orang dari Pek-ho-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Bangau Putih)?” Tiga orang pengemis yang lain lalu bergerak menerjang Lin Lin.

Gadis ini tertawa mengejek dan menghadapi mereka tanpa gentar sedikit pun juga. Bu Sin dan Sian Eng tentu saja tidak mau berpeluk tangan melihat Lin Lin hendak dikeroyok.

“Jembel-jembel jahat, jangan kurang ajar!” Sian Eng berseru dan tubuhnya berkelebat menghadapi seorang pengemis.

Bu Sin tanpa mengeluarkan suara juga menerjang maju menghadapi pengemis kedua. Ada pun pengemis yang memaki tadi sudah bertanding melawan Lin Lin. Tiga orang muda ini tidak mau mempergunakan pedang ketika melihat bahwa lawan mereka hanyalah orang biasa saja yang mengandalkan ilmu silat pasaran dan hanya pandai main gertak saja. Lin Lin menghadapi lawannya sambil tertawa-tawa, mempermainkannya dengan kelincahan tubuhnya sehingga semua serangan lawan itu hanya mengenal angin kosong belaka.

Tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh orang karena mereka ingin menonton pertempuran itu. Kejadian yang amat mengherankan mereka, akan tetapi diam-diam mereka mengkhawatirkan keselamatan tiga orang muda itu. Hampir setahun lamanya para pengemis Pek-ho-kai-pang itu merajalela, tak seorang pun berani menentang mereka. Sekarang ada tiga orang muda asing yang datang-datang bertempur melawan pengemis-pengemis itu, tentu saja mereka amat tertarik dan berbondong-bondong datang menonton. Bahkan orang-orang dalam kota Wu-han yang mendengar berita ini bergegas datang untuk menonton. Akan tetapi banyak di antara mereka terlambat karena ketika mereka datang ke pinggir sungai, pertempuran itu sudah selesai.

Bu Sin yang wataknya pendiam dan tidak mau main-main, segera dapat merobohkan lawannya dengan sebuah tendangan kilat. Pengemis itu terlempar, bergulingan dan tak dapat tertahan lagi tubuhnya menggelinding ke dalam sungai! Sian Eng juga merobohkan lawannya semenit kemudian. Pukulannya dengan tangan miring yang ‘memasuki’ lambung lawan membuat pengemis lawannya itu roboh menekan-nekan perut dan meringis kesakitan, duduk berjongkok tak tentu geraknya, tapi tidak mampu bangun kembali.

“Stoppp!” Lin Lin membentak dengan mengulur lengannya ke depan, menyetop pengemis yang menjadi lawannya.

Pengemis itu kaget, mengira gadis itu benar-benar hanya menyetopnya saja. Ia pun berdiri dengan memasang kuda-kuda dan memandang heran.

“Stop dulu sebentar, ya?” Lin Lin melangkah mendekati pengemis bekas lawan cicinya yang kini mendekam di atas tanah itu. Kakinya bergerak dan... tubuh pengemis itu terlempar ke dalam sungai menyusul kawannya! Setelah melakukan hal ini, Lin Lin menghampiri lawannya kembali yang masih berdiri memasang kuda-kuda, lalu berkata manis, “Nah, sekarang boleh teruskan!”

Sikap gadis yang lincah jenaka ini memancing ledakan ketawa dari para penonton. Memang sudah terlalu lama mereka tertekan oleh para pengemis, merasa penasaran dan marah yang ditahan-tahan. Sekarang ada tiga orang muda memberi hajaran, hati mereka lega dan puas. Biar pun biasanya mereka takut terhadap para pengemis Pek-ho-kai-pang, sekarang menyaksikan sikap gadis remaja yang cantik jelita dan jenaka itu, mereka tak dapat menahan kegembiraan mereka.

Lawan Lin Lin marah bukan main, sedangkan pengemis hidung bengkok yang menjadi orang pertama mendapatkan hajaran, siang-siang sudah meninggalkan tempat itu sambil mendekap hidungnya yang remuk. Kemarahan lawan Lin Lin membuat Lin Lin makin gembira. Ia tidak peduli betapa pengemis itu sudah mengeluarkan sebatang tongkat dan menyerang dengan tongkat di tangan.

“Wah, baunya yang tidak tahan!” Lin Lin menggunakan tangan kiri memijat hidungnya dan kini hanya menghadapi tongkat pengemis itu dengan tangan kanan saja.

Memang lincah sekali gerakan Lin Lin. Tongkat itu biar pun diputar dan dipukul-pukulkan bertubi-tubi, tak pernah dapat menyentuh ujung bajunya. Malah beberapa kali, dengan gerakan kilat, gadis ini sudah berhasil memutar ke belakang lawannya dan mengirim tendangan ke arah pantatnya sampai mengeluarkan suara berkeplok dan debu mengebul dari celana yang kotor itu. Para penonton terkekeh-kekeh geli dan ada yang memegangi perut saking menahan tawa.

“Lin-moi, lekas bereskan dia!” Bu Sin mengerutkan kening, membentak adiknya.

“Sudah beres, Sin-ko!” jawab Lin Lin.

Dan tanpa pengemis itu dapat mengerti, tahu-tahu tongkatnya sudah terampas di tangan kanan gadis itu dan kini ia terpaksa terhuyung-huyung mundur dan miring ke kanan kiri karena digebuki dengan tongkatnya sendiri. Lin Lin terus menggebuk pundak, mendorong dada dan akhirnya pengemis yang mundur-mundur itu terjengkang masuk ke dalam sungai!

Karena takut dipermainkan terus oleh Lin Lin, tiga orang pengemis itu membiarkan tubuh mereka hanyut oleh air sungai dan baru berenang mendarat setelah agak jauh dari tempat itu. Ada pun Bu Sin segera membayar tukang perahu yang ketakutan dan menyuruhnya cepat-cepat pergi dari situ. Tanpa diperintah dua kali, si tukang perahu lalu mendayung perahunya sepanjang pinggir sungai melawan arus yang tidak begitu kuat.

Bu Sin maklum bahwa mereka telah membuat ribut di tempat ini, maka ia segera mengajak kedua orang adiknya untuk memasuki kota Wu-han, tidak mempedulikan orang-orang yang tadinya menonton dan kini memandang kepada mereka penuh kekaguman dan kekhawatiran sambil membicarakan peristiwa tadi.

Karena malam telah tiba dan mereka merasa lelah sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan di waktu malam, Bu Sin mengajak dua orang adiknya ber­malam pada sebuah rumah penginapan yang berada di sebelah timur pusat kota. Sebuah rumah penginapan yang sederhana, namun cukup bersih. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah penginapan, mereka tidak pernah melihat adanya pengemis. Lega hati Bu Sin, karena ia sudah merasa khawatir kalau-kalau urusan itu berkepanjangan dan mereka akan menemui kesulitan dari kawan-kawan empat orang pengemis tadi.

“Wah, cerita empek tukang perahu tadi dilebih-lebihkan,” kata Lin Lin. “Katanya di sini berkeliaran banyak pengemis jahat, mana buktinya? Hanya empat ekor cacing tanah tadi yang tiada gunanya sama sekali.”

“Eh, Lin-moi, kenapa sih kau agaknya ingin sekali melihat pengemis-pengemis lagi? Mau apa?” tegur Sian Eng setengah menggoda.

“Ingin memberi hajaran lagi kalau mereka benar-benar jahat, biar kapok!” jawab Lin Lin.

“Lin-moi, jangan sembrono kau. Apakah kau kira setelah melihat empat orang pengemis jahat tadi, kau lalu menganggap bahwa semua pengemis jahat belaka? Yang tidak jahat patut dikasihani, seperti dia itu, bukankah patut dikasihani?” Bu Sin menunjuk ke arah seorang pengemis tua yang duduk kedinginan di bawah pohon yang berada di depan rumah penginapan.

Lin Lin dan Sian Eng memandang. Memang patut dikasihani pengemis tua ini. Ia duduk bersila melenggut bersandarkan tongkat bututnya, pakaiannya penuh tambalan, tubuhnya menggigil kedinginan, rambutnya riap-riapan seperti rambut orang gila. Kakek ini sudah tua sekali, kedua matanya meram dan dari pinggir matanya keluar kotoran bertumpuk. Bibirnya agak terbuka dan air liurnya bertetesan keluar. Menjijikkan, namun juga menimbulkan kasihan.

Dasar Lin Lin berwatak aneh dan mudah sekali berubah. Gadis ini semenjak kecilnya memang sudah aneh. Mudah marah, mudah menangis, mudah tertawa. Kalau marah hanya sebentar, kalau menangis pun hanya sebentar, dan sebagian besar waktunya tentu diisi dengan tawa dan berjenaka. Kini melihat keadaan kakek ini, tiba-tiba saja kemarahannya terhadap para pengemis tadi lenyap. Ia merogoh saku bajunya, mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke pangkuan kakek itu. Akan tetapi kakek pengemis itu masih saja tidur.

Bu Sin dan Sian Eng terkejut, akan tetapi karena mereka sudah tahu akan watak Lin Lin yang memang aneh, mereka tidak berkata apa-apa, hanya di dalam hati mengeluh bahwa kalau Lin Lin bersikap seroyal ini terhadap semua pengemis, sebentar saja mereka akan kehabisan bekal di jalan! Masa memberi sedekah kepada seorang pengemis sampai sepotong uang perak? Namun, karena hal itu telah terjadi, mereka tidak mencegah dan ketiganya segera memasuki rumah penginapan, minta sewa dua buah kamar. Sebuah untuk Lin Lin dan Sian Eng, sebuah lagi untuk Bu Sin.

Karena merasa lelah, tiga orang muda itu tidak pergi keluar untuk makan, melainkan menyuruh seorang pelayan rumah penginapan memesan makanan. Selagi mereka makan, terdengar ribut-ribut di luar. Ketiganya keluar dan apa yang terjadi di luar? Ternyata pengemis tua itulah yang menimbulkan keributan.

Tadinya orang-orang di dalam ruangan depan rumah penginapan itu, yakni para tamu yang kebetulan duduk di ruangan depan mendengar suara orang berteriak-teriak marah. Seorang pelayan wanita membawa lampu ke luar dari ruangan untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Kiranya pengemis tua itulah yang berteriak-teriak, “Nyamuk keparat! Nyamuk gila!”

Kakek pengemis itu masih duduk, akan tetapi sekarang tubuhnya yang masih duduk itu terpental-pental ke atas dalam keadaan masih bersila. Debu mengebul di bawahnya ketika tubuhnya itu terbanting-banting, tangan kanannya mengusir nyamuk yang merubungnya, tangan kiri memegangi tongkat. Wanita pelayan itu kaget sekali. Siapa yang takkan menjadi kaget dan heran melihat orang duduk bersila dapat berloncatan seperti itu? Beberapa orang tamu berlari ke luar dan sebentar saja banyak orang melihat kakek itu.

Bu Sin dan dua orang adiknya juga bergegas ke luar, meninggalkan meja makan. Mereka bengong dan terkejut. Itulah pertunjukan ginkang yang hebat. Makin lama tubuh kakek itu meloncat makin tinggi seperti terbang, sedangkan keadaannya masih duduk bersila. Yang lebih hebat lagi, uang perak yang tadinya berada di pangkuan kakek itu sekarang berada di bawahnya, juga uang ini ikut berloncatan di bawah pantat si kakek jembel!

“Nyamuk keparat!” kakek itu masih bersunggut-sunggut, tapi kata-kata sambungannya yang tak dimengerti orang lain itu mengejutkan Bu Sin dan adik-adiknya, “Keparat, uang perak membatalkan niatku membunuh tiga ekor nyamuk!”

Setelah berkata demikian, kakek itu melirik ke arah Bu Sin dan adik-adiknya. Sekarang tampak oleh mereka bahwa kakek itu matanya buta sebelah. Kakek itu bangkit berdiri, meludah sekali, lalu berjalan pergi terbongkok-bongkok dibantu tongkatnya.

Orang-orang tertawa. “Kakek itu gila, rupanya...”

Akan tetapi Bu Sin dan adik-adiknya lebih mengerti. Sama sekali bukan kakek gila, melainkan seorang sakti yang luar biasa. Apa lagi ketika mereka memandang lebih jelas, kiranya uang perak yang tadi masih ditinggalkan di situ dan uang itulah yang tadi diludahi si kakek. Ketika Bu Sin membungkuk untuk melihat lebih jelas, uang itu ternyata telah melesak dan melengkung oleh ludah.

Pucat wajah Bu Sin. “Celaka...!” pikirnya. “Tentu yang dimaksudkan dengan tiga ekor nyamuk tadi adalah kita bertiga!” Tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengajak dua orang adiknya masuk ke dalam kamar, membereskan bekal pakaian dan malam itu juga ia mengajak adik-adiknya meninggalkan kota Wu-han!

“Eh, kenapa kau seperti orang ketakutan?” tanya Lin Lin.

“Lin-moi, karena perbuatanmu memberi sedekah tadi, nyawa kita sampai detik ini masih selamat,” jawab Bu Sin sambil mengajak dua orang adiknya berjalan cepat.

“Eh, apa maksudmu, Koko?” Sian Eng kaget sekali, juga Lin Lin memandang kakaknya dengan mata terbelalak.

“Kalian ini bocah-bocah sembrono sekali. Tidak lihatkah tadi betapa kakek pengemis itu memperlihatkan ilmu ginkang yang amat luar biasa? Dan uang perak itu, diludahi saja menjadi bengkok dan rusak! Tidak salah lagi, dia tentu seorang sakti dan melihat pakaiannya, agaknya dia seorang di antara pimpinan perkumpulan pengemis. Lupakah kalian akan kata-katanya tadi bahwa uang perak membatalkan niatnya membunuh tiga ekor nyamuk? Tentu yang ia maksudkan tiga ekor nyamuk adalah kita bertiga. Agaknya dia tadinya bermaksud membunuh kita bertiga, akan tetapi karena Lin Lin memberinya sepotong uang perak, ia membatalkan niatnya. Sungguh berbahaya!”

Lin Lin membanting kaki. “Kakek keparat! Kita menaruh kasihan dan memberi sedekah, dia malah menghina, menyebut kita nyamuk dan memandang rendah sekali. Sin-ko, kenapa kau tadi tidak bilang kepadaku? Sedikitnya aku dapat mencoba kepandaiannya, sampai di mana sih tingginya maka dia begitu sombong?”

“Lin-moi, jangan bicara sembarangan. Dia orang sakti!” bentak Bu Sin.

“Aku tidak takut!” Lin Lin mengedikkan kepala membusungkan dada.

Bu Sin hendak marah, akan tetapi segera ditekannya perasaannya. Ia tidak bisa marah kepada Lin Lin. Pertama karena memang ia amat sayang kepada adik angkatnya ini, kedua, karena ia merasa tidak enak kalau harus marah kepada adik angkat, khawatir kalau-kalau Lin Lin merasa dibedakan. Memang, biar pun masih muda, Bu Sin mempunyai watak yang baik sekali.

“Lin-moi, lain kali kau harus mentaati kata-kata Koko jangan banyak membantah. Kau membikin Sin-ko menjadi bingung dan marah saja!” Sian Eng menegur Lin Lin.

Setelah ditegur, barulah Lin Lin insyaf. Sambil tertawa ia menyambar tangan Bu Sin. “Sin-ko, apakah kau marah kepadaku? Apakah aku banyak rewel? Ampunkan saja aku, ya kakak yang baik?”

Mau tak mau Bu Sin tertawa juga. “Kau memang nakal.”

“Memang aku nakal, tapi tidak galak seperti Enci Sian Eng!” Lin Lin mengerling ke arah cicinya. Kini Sian Eng yang cemberut dan tangannya menyambar hendak mencubit lengan adiknya. Lin Lin meloncat, lari memutari tubuh Bu Sin dan menjerit-jerit, “Sin-ko, tolong... Enci galak mau bunuh aku...!”

“Hushhh, gila kau, Lin-moi! Masa bunuh, siapa yang bunuh? Memangnya kau ini seekor semut, gampang saja dibunuh.” Terpaksa Sian Eng menghentikan kejarannya. Tak berdaya ia terhadap adik yang nakal ini.

Karena di sepanjang jalan mereka bersendau-gurau, tanpa terasa tiga orang muda ini sudah keluar dari kota Wu-han melalui pintu kota sebelah timur. Malam telah larut dan keadaan amat gelap karena langit hanya diterangi bintang-bintang. Amat sukar melakukan perjalanan di malam gelap, apa lagi kalau orang tidak mengenal jalan. Tiga orang muda itu selamanya belum pernah melewati jalan itu.

“Sin-ko, kita tidak tahu mana jurusan ke kota raja, dan aku amat lelah,” Sian Eng mengomel. “Sebaiknya kita menunda perjalanan malam ini dan melanjutkannya esok pagi-pagi.”

“Kita sudah keluar dari Wu-han sekarang, boleh saja berhenti. Akan tetapi di mana harus beristirahat? Tidak ada sebuah rumah pun, sejak tadi tidak terlihat api rumah penduduk. Agaknya daerah ini jauh dari dusun.” kata Bu Sin.

“He, kalian lihat. Bukankah di sana itu rumah? Tapi gelap amat...!” Lin Lin tiba-tiba berkata.

Mereka melihat dan benar saja. Di antara kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit itu tampak bayangan sebuah bangunan rumah di sebelah kiri. Seperti diberi komando ketiganya menghampiri rumah itu dan setelah mereka berada di pekarangan depan, kiranya itu adalah sebuah kelenteng yang sudah tua dan tidak terpakai lagi.

“Kita istirahat di sini melewatkan malam,” kata Bu Sin dengan hati lega. Biar pun hanya sebuah kelenteng tua dan rusak, namun cukup lumayan dan jauh lebih baik dari pada bermalam di tengah jalan, di udara terbuka.

Baru saja mereka membersihkan lantai yang berdebu dan duduk, tiba-tiba tampak sinar api dan di depan kelenteng tua itu telah berdiri belasan orang yang memegang obor! Tiga orang muda itu memandang dan terkejutlah mereka ketika melihat bahwa empat belas orang itu berpakaian seperti pengemis!

“Kalian mau apa?” bentak Lin Lin yang sudah meloncat berdiri bersama dua orang saudaranya.

Seorang kakek pengemis bertubuh pendek gemuk, agaknya pemimpin rombongan itu karena hanya dia seorang yang tidak memegang obor, tersenyum lebar dan berkata, “Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah merobohkan empat orang anak buah kami, sekarang pangcu (ketua) kami memanggil Sam-wi menghadap.”

Bu Sin tidak heran menghadapi rombongan ini karena memang ia sudah mengkhawatirkan akibat dari pada sepak terjang mereka di tepi sungai sore tadi. Ia seorang pemuda yang waspada dan hati-hati, akan tetapi mendengar ucapan yang amat memandang rendah itu, ia menjadi mendongkol juga. Biar pun pemimpin mereka seorang pangcu, akan tetapi hanya ketua pengemis saja, bagaimana berani memanggil mereka menghadap seperti sikap pembesar saja?

“Lopek (Paman Tua), peristiwa sore tadi adalah karena kesalahan teman-temanmu sendiri yang hendak melakukan perampokan sehingga terpaksa kami orang-orang muda turun tangan. Kami tidak mempunyai urusan dengan perkumpulan kalian, juga tidak mengenal ketua kalian. Kalau dia mempunyai urusan dengan kami, persilakan dia datang ke sini bicara,” jawabnya dengan suara angkuh dan sikap tenang.

Kakek pengemis gemuk pendek itu tiba-tiba tertawa. “Ha-ha-ha-ha, baru bisa merobohkan empat orang anak buah kami yang tiada guna saja kalian sudah besar kepala. Ah, kalian seperti anak burung yang baru belajar terbang, tidak mengenal tingginya langit luasnya lautan. Orang muda, pangcu kami memanggil kalian menghadap dengan baik-baik, harap kalian mengerti dan dapat menghargai kesabaran ini. Jangan sampai aku orang tua turun tangan terhadap bocah-bocah nakal, aku malu untuk berbuat demikian.”

Seakan meledak rasa dada Lin Lin mendengar ucapan yang amat memandang rendah ini. Ia meloncat maju dan membentak, “Pengemis tua bangka sombong, kau kira kami takut kepadamu? Biar pangcumu datang sendiri, kami tidak akan takut. Kami tidak mau datang, kalian mau apa?”

“Ho-ho, benar-benar seperti katak dalam tempurung! Orang-orang muda, apakah kalian datang dari wilayah Kerajaan Hou-han di Shan-si?”

“Memang kami datang dari wilayah Hou-han, dan kami adalah sebangsa ho-han (orang-orang gagah), apakah kalian baru tahu sekarang?” Lin Lin yang pandai bicara itu menjawab, mendahului kakaknya yang masih diam saja.

Bu Sin maklum bahwa kalau ia membiarkan terus adiknya ini tampil ke depan dan beraksi keadaan tidak akan menjadi lebih baik, malah akan menjadi lebih kacau lagi! Maka ia cepat maju menghadapi kakek pendek itu.

“Lopek, ketahuilah bahwa kami orang-orang muda melakukan perjalanan hanya lewat saja di sini, sama sekali tidak mencari perkara dengan siapa pun juga. Kebetulan saja sore tadi kami bentrok dengan orang-orangmu karena mereka itulah yang mencari perkara. Kami hanya berhenti di sini untuk melewatkan malam, besok kami sudah pergi meninggalkan daerah ini. Harap kau orang tua menghabiskan perkara itu.”

“Kalian hendak kemana?”

“Ke Ibukota Kerajaan Sung.”

“Bagus! Kalian datang dari wilayah Hou-han hendak ke Ibukota Kerajaan Sung? Orang muda, mari ikut dengan kami menghadapi pangcu kami.”

Marah juga Bu Sin. Kakek pengemis ini terlalu memandang rendah. Biar pun di situ ada belasan orang pengemis, apakah dikira mereka bertiga takut?

“Kami tidak akan ikut denganmu!” jawabnya sambil mencabut pedang, diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin. Tiga orang muda ini seperti tiga ekor harimau memperlihatkan taring, dengan pedang di tangan mereka siap menghadapi pengeroyokan. Sedikit pun mereka tidak merasa takut!

“Wah-wah, benar gagah!” kakek itu berkata, lalu memberi isyarat kepada teman-temannya. “Tangkap mereka!”

Bu Sin memutar pedangnya, mengancam, “Mundur kalian! Lihat pedang!”

Namun kakek itu sudah menerjangnya dengan tongkat, juga beberapa orang pengemis dengan tongkat mereka menyerbu Sian Eng dan Lin Lin yang sudah menyambut mereka dengan pedang. Pertempuran hebat terjadi di bawah sinar obor. Tiga batang pedang orang-orang muda she Kam itu berkelebatan cepat bagaikan sinar halilintar menyambar-nyambar dan dalam beberapa jurus saja tiga orang pengeroyok sudah roboh sambil memekik kesakitan.

Pengemis pendek gemuk memberi aba-aba. Bu Sin yang bermata awas melihat betapa para pengemis itu mengeluarkan gendewa dan anak panah! Berbahaya, pikirnya.

“Eng-moi, Lin-moi, padamkan obor dengan am-gi (senjata gelap)!” teriaknya dan tangan kirinya sudah merogoh saku, mengeluarkan senjata rahasianya, yaitu piauw (pisau terbang).

Tangan kirinya bergerak cepat, dua batang piauw menyambar dan terdengar pekik dua orang pemegang obor. Tangan mereka terhujam piauw dan obor yang mereka pegang jatuh, kemudian padam. Lin Lin dan Sian Eng juga sudah mempergunakan kelihaian mereka dengan senjata rahasia mereka, yaitu jarum-jarum halus. Dalam waktu singkat obor-obor itu runtuh dan padam.

Bu Sin mempergunakan kesempatan selagi keadaan gelap ini, memberi isyarat kepada kedua orang adiknya. Mereka maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan dan mereka dikeroyok dengan anak panah, tentu mereka akan celaka. Maka dengan cepat mereka mempergunakan ginkang mereka, memutar pedang untuk menghalau setiap penghalang dan beberapa menit kemudian mereka sudah pergi dari tempat itu, lari di dalam gelap tanpa mengenal arah. Dua jam lebih mereka melarikan diri ke dalam sebuah hutan dan keadaan makin gelap karena daun-daun pohon yang amat rimbun menutupi langit di atas mereka.

“Wah, memalukan benar!” Lin Lin terengah-engah. “Kita lari-lari seperti tiga ekor kelinci dikejar-kejar harimau!” Suaranya jelas menyatakan bahwa ia tak senang melarikan diri ini, merasa sebal dan penasaran.

Bu Sin dan Sian Eng juga berhenti, menyusut keringat dengan ujung lengan baju. “Wah, berbahaya benar,” kata Bu Sin. “Lin-moi, kau benar-benar seperti yang dikatakan oleh kakek pengemis tadi, seperti katak dalam tempurung, tak tahu tingginya langit! Kalau kita tadi tidak cepat-cepat memadamkan obor dan mereka menghujankan anak panah, apa kau kira masih akan dapat bernapas saat ini?”

“Belum tentu, Sin-ko!” bantah Lin Lin. “Kita masih belum kalah, dan andai kata akhirnya kita mati dikeroyok, sedikitnya pedangku akan dapat membunuh beberapa orang lawan. Sedikitnya ada beberapa nyawa musuh yang akan menjadi pengantar nyawaku, mati pun tidak penasaran. Kalau lari-lari seperti ini, benar-benar baru disebut penasaran besar!”

Bu Sin hanya tersenyum. Ia mengenal watak Lin Lin yang nakal dan amat berani itu dan diam-diam ia merasa khawatir kalau-kalau adik angkat ini akan menimbulkan gara-gara kelak. Karena keadaan amat gelap dan mereka tidak dapat mengenal jalan, tiga orang muda itu lalu naik ke atas pohon dan terpaksa bermalam di situ seperti tiga ekor kera kedinginan! Lin Lin tiada hentinya mengomel. Akan tetapi karena mereka amat lelah, mereka dapat tertidur juga di atas pohon dan baru mereka bangun setelah di situ ramai oleh suara burung berkicau menyambut datangnya pagi.

Ketika Lin Lin dan Sian Eng membuka mata, mereka melihat Bu Sin sudah duduk dan memberi tanda dengan telunjuk di depan mulut, menyuruh mereka tidak membuat suara, lalu menuding ke bawah. Mereka memandang dan wajah mereka berubah. Jauh di bawah, kira-kira seratus meter dari pohon tempat mereka bersembunyi, tampak seorang kakek jembel berdiri bersandar tongkatnya. Kakek yang bongkok, rambutnya riap-riapan dan matanya buta sebelah. Kakek pengemis yang peman mereka lihat di depan rumah penginapan, yang diberi uang perak oleh Lin Lin dan kemudian meludahi uang itu sampai penyok!

Dan di depan kakek itu berlutut puluhan orang pengemis, termasuk para pengemis yang mengeroyok mereka semalam. Mereka berlutut tanpa berani berkutik sedikit pun juga! Kakek pengemis bongkok itu terdengar marah-marah.

“Kalian anjing-anjing tiada guna!” terdengar ia memaki sambil membanting-banting tongkat ke atas tanah. “Huh, lebih baik kubunuh kalian semua dan lebih baik aku bekerja seorang diri. Apa artinya punya banyak anak buah melebihi anjing gobloknya?”

Semua pengemis itu menggigil ketakutan dan terdengar mereka minta-minta ampun dan menyebut kakek itu dengan sebutan ong-ya (raja)! Bu Sin dan kedua orang adiknya saling pandang. Muka mereka pucat. Kiranya kakek pengemis bongkok itu adalah semacam raja pengemis yang amat berpengaruh!

“Mana anggota Pek-ho-kai-pang yang membikin ribut itu?”

Bagaikan empat ekor anjing, tampak empat orang pengemis merangkak maju dan berlutut di depan kakek itu. Bu Sin dan dua orang adiknya melihat bahwa orang-orang itu adalah empat orang pengemis yang mereka hajar di tepi sungai kota Wu-han!

“Cih, yang begini mengaku anggota pengemis? Membiarkan diri dihina orang-orang muda. Cuh-cuh-cuh-cuh!” Empat kali kakek itu meludah dan empat orang pengemis itu terjengkang roboh, tak bergerak lagi setelah tubuh mereka berkelojotan sejenak. Mereka telah mati oleh ludah kakek itu!

“Biar ini sebagai pelajaran. Sekali lagi terjadi hal yang memalukan aku akan membunuh semua anggota Pek-ho-kai-pang. Mana ketua-ketua Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang), Hek-liong-kai-pang (Naga Hitam), dan Ang-hwa-kai-pang (Kembang Merah)? Hayo maju sini!”

Tiga orang kakek pengemis tampak merangkak maju dan berlutut di depan kakek bongkok itu. “Perhatikan sekarang. Kalian harus dapat memperlihatkan jasa dan bakti bahwa kalian membantuku. Aku membutuhkan tempat persembunyian Hek-giam-lo. Cari sampai dapat dan kabarkan padaku. Kalau mungkin, selidiki di mana ia menyimpan robekan setengah bagian kitab kecil.”

“Baik, Ong-ya. Hamba akan mengerahkan seluruh kawan di kai-pang (perkumpulan pengemis),” jawab mereka berbareng dengan suara amat merendah.

“Sudah, pergi sekarang. Muak perutku melihat kalian!” kakek bongkok itu mengomel, dan bagaikan anjing-anjing diusir, puluhan orang pengemis itu pergi sambil menyeret mayat empat orang pengemis anggota Pek-ho-kai-pang itu.

Bu Sin dan dua orang adiknya bergidik. Bahkan Lin Lin yang biasanya amat tabah kini tampak pucat. Namun di samping kengerian ini, Lin Lin merasa marah sekali kepada kakek itu yang dianggapnya sombong dan kejam sekali.

“Orang macam dia harus dibasmi Sin-ko,” ia berbisik.

“Ssttt...!” Bu Sin mencegah, namun terlambat.

Kakek itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan berjalan menghampiri pohon besar di mana mereka bertiga berada. Kakek itu sama sekali tidak mendongak, akan tetapi sambil terkekeh ia berkata, “Nyawa tiga orang muda pernah kuhargai seperak akan tetapi sekarang tiada harganya sama sekali.” Tiba-tiba kedua tangannya mendorong dan....

“Kraaakkk!” batang pohon itu remuk dan tumbanglah pohon yang besar tadi.

Bu Sin dan dua orang adiknya bukanlah orang sembarangan, namun menyaksikan hal ini mereka terkejut bukan main. Cepat mereka mengerahkan ginkang dan melompat turun sebelum mereka ikut roboh bersama pohon dan tertimpa cabang dan ranting. Begitu kaki mereka menyentuh tanah, ketiganya sudah mencabut pedang dan siap menghadapi kakek sakti itu. Mereka maklum bahwa mereka takkan diberi ampun, namun mereka bertekad untuk melawan mati-matian.

“Ho-ho-ha-hah, tak tahu diri... tak tahu diri...!” Tiba-tiba tongkat di tangan kakek itu melayang, bagaikan se­ekor ular bergerak-gerak di udara dan menyambar mereka. Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin cepat mengangkat pedang membacok.

“Tranggggg!” Tiga batang pedang di tangan mereka terlepas dari tangan, runtuh di atas tanah depan mereka, sedangkan tongkat itu terpental kembali, melayang ke tangan si kakek bongkok yang tertawa berkakakan. “Ha-ha-ha-ha-hah!”

Bu Sin dan dua orang gadis itu terlalu kaget dan heran akan kesaktian lawan sehingga mereka diam tak bergerak, berdiri seperti patung dan agaknya hanya menanti datangnya pukulan maut. Pada saat itu terdengar suara suling, nyaring melengking bergema di seluruh hutan, makin lama makin dekat. Bu Sin dan dua orang gadis itu tak kuasa mendengar lebih lama lagi, jantung mereka terguncang dan tubuh mereka menggigil, terpaksa mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinga. Biar pun demikian, masih saja suara lengking tinggi itu menembus dan membuat telinga terasa sakit sekali.

Kakek itu kelihatan terkejut pula, lalu tersaruk-saruk pergi meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak menengok ke arah Bu Sin bertiga seakan-akan ia telah lupa akan adanya tiga orang muda itu. Suara suling berhenti dan tiga orang muda itu melepaskan tangan. Terdengar suara orang yang penuh wibawa.

“It-gan Kai-ong! Kau bersama Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni secara pengecut menyerang Bu Kek Siansu dan merampas kitab dan alat khim. Biar pun Bu Kek Siansu tidak peduli dan mengampuni kalian, namun aku tidak bisa membiarkan begitu saja. Berikan kitab dan nyawamu!”

Tak lama kemudian, tampaklah oleh Bu Sin bertiga orang yang bicara ini, akan tetapi hanya punggungnya saja. Dia itu seorang laki-laki yang tinggi besar, membawa suling dan berjalan perlahan.

“Dia bersuling....” Bu Sin teringat akan musuh besar, pembunuh ayahnya. Di lain saat Bu Sin dan Sian Eng sudah menyerang laki-laki itu dengan piauw dan jarum.

Orang itu berjalan seenaknya, seakan-akan tidak tahu bahwa dari belakangnya menyambar senjata-senjata rahasia. Dan tiga orang muda itu melihat dengan jelas betapa tiga batang piauw dan tujuh batang jarum itu mengenai tepat tubuh bagian belakang, namun orang itu tetap saja enak-enak berjalan tanpa menghiraukan sesuatu, seakan-akan semua senjata rahasia itu hanya daun-daun yang gugur. Sebentar kemudian ia lenyap di balik pepohonan.

“Mari kejar...!” Bu Sin berkata.

“Tiada gunanya, Sin-ko. Tak mungkin dapat dikejar,” bantah Lin Lin yang sejak tadi berdiri seperti patung.

Bu Sin maklum akan hal ini, akan tetapi melihat sikap Lin Lin ia mengerutkan kening. “Lin-moi, kenapa kau tadi tidak ikut menyerangnya? Dia pembunuh Ayah!”

“Belum tentu, Sin-ko. Apa buktinya? Lagi pula, aku tidak mau menyerang orang secara menggelap tanpa memberi peringatan. Mendiang Ayah takkan senang melihatnya.”

Merah wajah Bu Sin dan Sian Eng membentak, “Lin-moi, omongan apa ini? Kau tidak membantu, malah mencela. Kalau dia benar musuh besar Ayah, kenapa kita mesti banyak memakai aturan? Jelas bahwa dia berilmu tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kita, perlu apa kita memakai sungkan-sungkan segala? Yang perlu, kita harus dapat membalas dendam!”

Lin Lin menarik napas panjang. “Kalian tahu bahwa aku tidak akan ragu-ragu mempertaruhkan nyawaku untuk membalas sakit hati Ayah. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa dia itu pembunuh Ayah. Dengar saja kata-katanya terhadap kakek iblis tadi. Terang dia itu orang baik, maka memusuhi kakek pengemis iblis yang bernama It-gan Kai-ong tadi. Kalau kita bertindak sembrono dan salah sangka, menjatuhkan fitnah terhadap orang baik-baik, bukankah lebih celaka lagi?”

“Dia bersuling, dia lihai, tidak salah lagi.” kata Sian Eng.

“Kalau memang dia musuh kita, kelak pasti dapat bertemu lagi. Sekarang lebih baik kita lekas pergi dari tempat ini!” kata Bu Sin yang masih ngeri kalau teringat akan pengalamannya dengan kakek iblis tadi. Dengan cepat tiga orang muda ini melanjutkan perjalanan, ke arah jurusan munculnya matahari pagi.

********************

Enam orang laki-laki sederhana itu mengelilingi api unggun di dalam hutan. Mereka adalah pemburu-pemburu binatang yang tampaknya belum memperoleh hasil dan melewatkan malam gelap di dalam hutan besar dengan membuat api unggun, duduk mengelilinginya sambil bercakap-cakap.

Tiba-tiba mereka berhenti bicara dan tangan mereka meraba senjata masing-masing, yaitu tombak panjang. Mata mereka menatap ke satu jurusan dari mana mereka tadi mendengar suara mencurigakan. Dua orang segera memadamkan api unggun. Kemudian mereka merunduk dan menyelinap di balik pohon, menghampiri tempat itu dengan hati-hati. Siapa tahu malam ini mereka beruntung mendapatkan binatang buruan yang kemalaman di situ.

Akan tetapi mereka keliru. Suara yang mereka kira ditimbulkan oleh binatang buruan, kiranya dibuat oleh tiga orang muda yang agaknya baru saja datang dan sedang berusaha membuat api unggun. Seorang tampan dan dua orang gadis cantik. Seorang di antara para pemburu yang berjenggot pendek dan menjadi pemimpin rombongan pemburu enam orang ini tertawa, dan disusul oleh teman-temannya.

Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin terkejut. Cepat mereka menengok menghadapi enam orang yang muncul dari kegelapan itu, sambil tangan meraba gagang pedang.

“Ha-ha-ha, harap Sam-wi orang-orang muda jangan khawatir. Kami hanya pemburu-pemburu binatang biasa, bukan perampok,” kata pemimpin rombongan pemburu.

“Cu-wi mengagetkan saja, muncul begini tiba-tiba dari tempat gelap,” kata Bu Sin setengah menengur.

“Ha-ha, maafkan kami. Kami tadi sedang bercakap-cakap di sana, lalu mendengar suara Sam-wi (Tuan Bertiga) yang kami kira binatang hutan. Heran sekali, bagaimana orang-orang muda seperti Sam-wi ini berada di hutan liar?”

“Kami adalah pengembara-pengembara yang kemalaman di jalan,” jawab Bu Sin singkat. “Maafkan kalau kami mengganggu Cu-wi sekalian.”

“Ha-ha, tidak mengapa... tidak mengapa... hutan ini bukanlah milik kami. Tadinya saya heran melihat Sam-wi yang begini muda berani memasuki hutan liar ini di waktu malam gelap, akan tetapi melihat pedang Sam-wi, keheranan saya hilang. Mari kawan-kawan, kita membuat api unggun di sini saja.”

Mereka membuat api unggun besar dan duduk mengelilinginya. “Tan-twako, kau lanjutkan dongengmu tentang Suling Emas,” kata seorang dan suara ini dibenarkan oleh yang lain.

Laki-laki berjenggot pendek itu berkata sungguh-sungguh, “Bukan dongeng, melainkan kenyataan. Aku sendiri pernah ditolongnya. Sungguh pun aku masih belum dapat memastikan apakah dia itu manusia atau dewa, namun aku sudah amat beruntung mendapat pertolongannya.”

“Ceritakan... ceritakan...!” teman-temannya mendesak.

Bu Sin bertukar pandang dengan dua orang adiknya. Mereka tadinya menaruh curiga terhadap enam orang yang mengaku pemburu-pemburu ini, akan tetapi mendengar disebutnya nama Suling Emas, mereka tertarik sekali. Agaknya kata-kata suling itulah yang menarik perhatian. Bukankah musuh besar mereka adalah seorang yang membawa suling? Karena itu mereka bertiga lalu ikut mendengarkan, sungguh pun mereka memilih tempat duduk yang agak jauh, di atas batu-batu besar dan selalu siap waspada menjaga segala kemungkinan.

“Terjadinya di hutan Hek-yang-liu (Cemara Hitam), kurang lebih tiga bulan yang lalu,” pemburu she Tan itu mulai bercerita. “Kalian tahu hutan itu penuh dengan ular besar. Aku memang hendak berburu ular, mendapat pesanan kulit ular dari saudagar kulit dan jantung ular kembang dari seorang pemilik toko obat di kota Wu-han.”

“Kau memang tabah sekali, Tan-twako, berburu ular besar sendirian saja,” komentar seorang temannya.

“Aku sudah biasa berburu ular, cukup dengan tombak dan anak panah serta gendewa. Dalam waktu dua hari saja aku sudah dapat memanah mati dua ekor ular sebesar paha. Akan tetapi pada hari ketiga, ketika aku sedang menjemur kulit dan jantung ular, tiba-tiba muncul empat ekor harimau yang langsung menyerangku. Mereka adalah dua ekor harimau tua dan dua ekor masih muda. Aku cepat meraih tombak dan melawan, akan tetapi bagaimana dapat melawan empat ekor harimau yang menyerang sekaligus? Agaknya mereka berlumba untuk menerkam aku lebih dulu. Aku dapat menusuk paha seekor harimau, akan tetapi pada saat tombakku masih menancap di paha, harimau jantan yang tua telah menubruk dan menerkam pundak kiriku. Aku melepaskan tombak, mencabut pisau, akan tetapi sebelum aku dapat menusuk dada berbulu putih di atas mukaku itu, harimau kedua sudah menggigit pangkal lengan kananku sehingga pisau itu terlepas, seluruh tubuh terasa nyeri dan aku tak berdaya lagi....”

Lima orang pendengarnya menahan napas. “Twako, kukira apa yang dapat kau lakukan hanya berteriak minta tolong,” kata seorang. Kata-kata ini kalau diucapkan pada suasana yang tidak sedang tegang tentu terdengar lucu.

“Hutan itu sunyi, minta tolong apa artinya? Pula, aku sudah nekat dan siap menghadapi kematian sebagai seorang pemburu!” bantah pemburu she Tan dengan suara gagah. “Akan tetapi agaknya belum tiba saatnya aku mati. Pada waktu itu aku sudah hampir pingsan, pandangan mataku sudah kabur. Tiba-tiba terdengar suara suling yang melingking tinggi. Empat ekor harimau itu agaknya terkejut, aku sendiri merasa seakan-akan kedua telingaku ditusuk jarum dan agaknya aku sudah pingsan. Namun dalam keadaan hampir tak sadar itu aku melihat bayangan orang memegang suling yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Jelas bahwa suling itu terbuat dari pada benda kuning berkilauan, tentu suling emas. Terdengar suara gaduh ketika empat ekor harimau itu meraung-raung dan mengaum, lalu tampak harimau-harimau itu bergerak cepat, menerkam ke depan, terjadi perkelahian cepat yang tak dapat diikuti pandangan mata, kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi....”

“Lalu bagaimana, Twako?” Lima orang pendengarnya makin tegang. Juga tiga orang muda itu mendengarkan penuh perhatian.

“Entah berapa lama aku pingsan, aku tidak tahu. Ketika aku membuka mata, kulihat bangkai empat ekor harimau menggeletak di sana-sini. Anehnya, pundak dan lenganku sudah terbalut oleh robekan bajuku sendiri, rasanya dingin nyaman dan aku tidak merasakan nyeri lagi. Ketika kuperiksa bangkai-bangkai itu, kiranya empat ekor harimau itu pecah kepalanya. Wah, aku pesta besar, tidak saja karena mendapat daging harimau yang menguatkan tubuh, juga mendapatkan empat lembar kulit harimau yang utuh dan indah. Mau aku mengalami hal itu sekali lagi kalau hadiahnya demikian besar.”

“Jadi yang menolong itu adalah Suling Emas, pendekar ajaib yang sering kali kita dengar namanya namun belum pernah menampakkan diri kepada orang lain itu?”

“Agaknya begitulah. Siapa lagi kalau bukan dia yang dapat membunuh empat ekor harimau tanpa merusak kulitnya? Siapa lagi pendekar yang membawa suling emas kalau bukan si Suling Emas?”

Tanpa mereka sadari, Bu Sin dan dua orang adiknya kini sudah duduk mendekat api unggun. “Twako, siapakah sebenarnya Suling Emas itu? Apakah dia itu seorang pendekar yang suka menolong orang? Ataukah dia seorang penjahat yang suka membunuh orang?” tiba-tiba Bu Sin bertanya.

Pemburu she Tan itu tersenyum. “Siapa yang tahu, anak muda? Sepak terjang seorang ajaib seperti dia itu tak dapat diketahui orang. Tentang pembunuh, agaknya dia memang suka membunuh. Pernah aku mendengar betapa gerombolan perampok di muara Sungai Yang-ce sebanyak tiga puluh orang lebih semua terbunuh olehnya.”

“Kabarnya dia pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Heran betul, membunuh perampok-perampok itu adalah pekerjaan pendekar akan tetapi dua orang hwesio alim dari Siauw-lim-pai, kenapa dibunuhnya?” kata seorang pemburu yang berhidung besar.

“Juga ketika terjadi geger di kota raja karena hilangnya burung hong mutiara milik permaisuri, orang-orang mengabarkan bahwa Suling Emas yang mencurinya. Ada yang bilang dia itu sudah tua sekali, seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pelajar kuno. Betulkah ini, Tan-twako? Ketika kau ditolongnya, orang macam apa yang kau lihat?”

“Aku hampir pingsan dan gerakannya secepat kilat, hanya bayangannya saja yang kulihat. Tapi ada yang mengabarkan bahwa dia itu masih amat muda, seorang pemuda yang pakaiannya seperti pelajar. Yang sama dalam berita angin itu hanya tentang pakaiannya. Tentu dia seorang pelajar.”

“Dan pandai bersuling.”

“Suka menolong orang, suka pula membunuh, suka mencuri...”

Macam-macam suara para pemburu ini yang mengemukakan masing-masing, akan tetapi jelas bagi Bu Sin bahwa tak seorang pun di antara mereka tahu akan hal yang sesungguhnya. Diam-diam ia berpikir. Betulkah pembunuh orang tuanya adalah Suling Emas ini? Dan orang yang muncul dengan sulingnya, yang agaknya ditakuti It-gan Kai-ong, apakah dia itu Suling Emas? Pakaiannya memang seperti pakaian pelajar, tapi berwarna hitam. Tentang wajahnya, ia pun tak dapat melihatnya karena orang itu membelakanginya. Tapi jelas pakaian pelajar berwarna hitam dan tubuhnya tinggi besar.

“Sudahlah, apa pun dia, terang bahwa dia adalah seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Tidak baik kita membicarakannya. Siapa tahu ia mendengarkan percakapan kita. Hiiihhh, meremang bulu tengkukku. Orang sakti seperti dia tidak boleh dibicarakan. Kalau sedang baik, memang menyenangkan sekali, akan tetapi kalau marah....” Pemburu she Tan itu menggigil seperti orang kedinginan, menyorongkan kedua lengannya dekat api. “Betapa pun juga, kalau dia marah dan membunuhku, aku tidak akan penasaran karena memang aku berhutang budi dan nyawa kepadanya.”

Sebentar kemudian, keenam pemburu itu sudah tidur mendengkur di dekat api. Mereka ini benar-benar sembrono dan tidak pedulian. Masa enam orang di dalam hutan besar kesemuanya tidur? Tidak berjaga secara bergiliran? Bagaimana kalau api unggun menjilat baju? Mungkin mereka merasa aman karena di situ ada tiga orang muda yang agaknya tidak nampak lelah.

Mendongkol hati Bu Sin. Ia tidak sudi kalau mereka menganggap dia dan adik-adiknya sebagai penjaga keselamatan mereka. Ia mengajak kedua orang adiknya menjauhi tempat itu dan membuat api unggun sendiri, kira-kira empat ratus meter jauhnya dari tempat para pemburu.

Menjelang tengah malam, keadaan amat sunyi di dalam hutan itu. Bu Sin tak dapat meramkan mata sedikit pun. Pengalaman yang mereka alami semenjak keluar dari dusun amatlah hebat. Mulailah mereka berkenalan dengan kehidupan perantauan, bertemu dengan orang-orang kang-ouw dan malah mereka secara tidak sengaja telah terjun ke dalam permusuhan dengan golongan pengemis kang-ouw yang dikepalai atau dirajai oleh seorang tokoh sakti yang mengerikan bernama It-gan Kai-ong. Nama ini takkan mudah terlupa dari ingatannya dan ia tahu bahwa ia harus berhati-hati dan menjauhkan diri dari kakek iblis itu. Lin Lin dan Sian Eng tidur pulas meringkuk di dekat api unggun, berbantal akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah.

Tak baik melakukan perjalanan dengan gadis-gadis ini, pikirnya. Biar pun mereka berdua memiliki kepandaian tidak kalah olehnya, namun mereka tetap perempuan, banyak mendatangkan dan memancing keributan. Ia harapkan dapat bertemu dengan kakaknya, Kam Bu Song di kota raja dan besar harapannya pula bahwa keadaan kakaknya yang sepuluh tahun lebih tua dari padanya itu telah mendapatkan kedudukan yang cukup baik. Ia harus menitipkan kedua orang adiknya kepada kakaknya itu, kemudian ia akan melanjutkan usahanya mencari musuh besarnya itu, seorang diri.

Lewat sedikit tengah malam, Lin Lin bangun. “Sin-ko, sekarang kau tidurlah, biar aku yang berjaga.” Mendengar suara adiknya, Sian Eng juga bangun, mengulet dan menguap.

“Biarlah aku yang berjaga,” katanya. “Kalian tidurlah, aku tidak mengantuk,” kata Bu Sin yang kasihan melihat dua orang adiknya. Ia mengalah dan ingin berjaga semalam suntuk, membiarkan kedua adik perempuannya itu tidur melepaskan lelah.

“Ah, mana bisa, Sin-ko? Kau pun manusia dari darah daging saja, mana tidak lelah dan ngantuk? Biarlah aku dan Cici Sian Eng berjaga,” kata Lin Lin sambil menambah ranting kering pada api unggun sehingga keadaan menjadi hangat.

“Biarlah kita bercakap-cakap dulu, aku tadi merenungkan hasil kepergian kita ke kota raja. Bagaimana kalau kita tidak dapat menemukan saudara tua kita di sana?”

“Sin-ko, jangan khawatirkan hal yang belum kita hadapi. Tentu dia berada di sana. Andai kata tidak ada di sana pun, kurasa mencari seorang bernama Kam Bu Song, putera dari mendiang ayah Kam-goanswe, seorang pelajar yang datang dari Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san, tidak akan sukar. Tentu ada yang mengenalnya di kota raja. Nah, tenang dan tidurlah Sin-ko.”

Bu Sin tersenyum. Adiknya yang sulung ini memang besar hati dan kalau mendengarkan bicaranya memang ia tidak perlu gelisah. Seorang gagah tidak menakuti hal yang belum dihadapi, bahkan hal yang sudah dihadapi sekali pun tidak boleh mendatangkan rasa takut, harus dihadapi dengan tenang dan waspada, demikian pesan ayahnya dahulu.

“Lin Lin, kau benar. Biar kucoba tidur agar besok kuat kupakai jalan jauh.” Bu Sin lalu merebahkan tubuhnya, miring menghadapi api unggun.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, juga dua orang gadis itu meloncat berdiri. Mereka berdiri dan saling pandang, penuh rasa kejut dan seram. Suara melengking tinggi itu masih terdengar mengiang-ngiang ke telinga mereka. Lengking tinggi menusuk telinga, suara suling. Lalu disusul suara pekik ketakutan, atau mungkin pekik kesakitan, betapa pun juga, pekik ini susul-menyusul dan amat mengerikan.

Akhirnya tiga orang itu tidak dapat menahan lagi, telinga serasa pecah oleh lengking itu. Dengan kedua tangan menutupi telinga, Bu Sin memberi isyarat kepada adik-adiknya. Mereka lalu duduk bersila, menutupkan kedua telapak tangan ke telinga, meramkan mata dan bersemedhi, mengerahkan lweekang untuk menjaga isi dada yang terguncang hebat oleh suara itu. Dapat dibayangkan hebatnya suara itu karena biar pun mereka sudah menutupi telinga dan mengerahkan lweekang masih saja suara itu menyerbu masuk ke dalam telinga dan tubuh mereka gemetaran. Akan tetapi berkat lweekang mereka, tiga orang muda itu dapat mempertahankan diri dan tidak terluka dalam.

Hanya sepuluh menit kurang lebih suara itu melengking-lengking, lalu sunyi, sunyi seperti kuburan. Mereka menurunkan kedua tangan. Bergidik ketika saling pandang. Sinar mata mereka saling mufakat bahwa yang bersuara tadi tentulah Suling Emas, karena mereka masih ingat akan suara suling yang pernah menusuk telinga mereka ketika mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi suara suling kali ini amatlah mengerikan.

Sampai pagi tiga orang muda itu tak dapat tidur lagi. Malah mereka duduk bersila mengumpulkan tenaga, siap sedia menanti datangnya bahaya dan mengambil keputusan untuk mempertahankan diri mati-matian biar pun akan datang serangan orang sakti sekali pun. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kesunyian yang mencekam itu segera dipecahkan oleh kicau burung dan kokok ayam hutan.

“Mari kita segera pergi dari sini,” kata Bu Sin. Kedua orang adiknya dapat menangkap pandang mata dan suara hati yang tersembunyi dalam ucapan ini, seakan-akan berkata, “Untung tidak terjadi apa-apa pada kita, lebih cepat pergi dari sini lebih baik.”

Biasanya dalam perjalanan yang lalu, sebelum pergi tentu mereka bertiga akan mencari mata air atau sungai untuk mencuci muka atau mandi, terutama Lin Lin yang suka sekali bermain di air. Akan tetapi kali ini ketiganya agaknya lupa untuk cuci muka dan tergesa-gesa pergi dari situ.

“Ha, Sin-ko, lihat mereka itu!”

Ketiganya memandang. Dari jauh tampak enam orang pemburu itu masih rebah, ada yang meringkuk, ada yang telentang atau telungkup, sedangkan api unggun sudah lama padam.

“Malas amat pemburu-pemburu itu, mengapa belum juga bangun?” kata Sian Eng.

“Mari kita lihat, agak aneh sikap mereka,” kata Bu Sin.

Ketiganya berlari mendekat dan tak lama kemudian mereka bertiga berdiri dengan muka pucat dan bengong. Kiranya enam orang itu sudah tak bernyawa lagi dan kepala mereka, tepat di ubun-ubun, semua telah bolong sehingga tampak otaknya! Tahulah mereka bertiga sekarang bahwa yang menjerit-jerit malam tadi adalah mereka ini, jerit ketakutan dan kengerian.

“Ahhhhh...!” Sian Eng menutupi mukanya, perutnya tiba-tiba terasa mual dan ingin muntah. Lin Lin cepat merangkulnya.

“Tenang, Cici.” Akan tetapi dia sendiri gemetar dan kaki tangannya menjadi dingin.

“Mari kita pergi,” ajak Bu Sin, juga pemuda ini suaranya gemetar.

“Nanti dulu Sin-ko. Tak mungkin kita meninggalkan begitu saja enam mayat ini. Mereka tentu akan dirobek-robek binatang buas.”

“Habis kau mau apa?”

“Kita kubur dulu mereka. Lupakah kepada pesan Ayah bahwa melihat orang kesusahan harus menolong, terhadap orang tua harus menghormat, terhadap anak-anak harus melindungi, dan melihat mayat tak terurus harus menguburnya?”

Seketika wajah Bu Sin menjadi merah. “Terima kasih, Lin-moi. Hampir saja aku lupa akan pesan Ayah karena ngeri dan seram. Mari!”

Sekarang Sian Eng telah dapat menguatkan hatinya dan tiga orang muda ini lalu menggunakan pedang mereka untuk menggali lubang yang cukup besar untuk mengubur enam orang itu. Karena Lin Lin dan Sian Eng merasa enggan mengangkat mayat-mayat lelaki itu, Bu Sin yang turun tangan dan mengangkat mayat-mayat itu seorang demi seorang, dimasukkan ke dalam kuburan secara bertumpuk, lalu mereka bertiga menguruk lubang itu dengan tanah.

Hari telah siang ketika mereka selesai melakukan tugas ini dan cepat-cepat mereka meninggalkan tempat hutan besar itu, menuju ke arah munculnya matahari. Lega hati mereka bahwa mereka tidak menemui gangguan di jalan sampai mereka keluar dari hutan dan melalui dusun-dusun.

********************

Rumah makan itu masih sunyi. Agaknya hari masih terlampau pagi untuk makan. Bu Sin dan dua orang adiknya sudah amat lapar. Maklum, semalam berjalan terus di bawah sinar bulan. Asap berbau sedap yang melayang ke luar dari dalam dapur rumah makan menyerang hidung, membuat mereka tak dapat menahan lapar lagi.

Hanya ada dua meja yang dihadapi tamu. Kebetulan agaknya, dua meja itu adalah meja di ujung kiri dan meja di ujung kanan. Yang sebuah dihadapi seorang laki-laki berjenggot panjang, empat puluhan tahun usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja kedua dihadapi dua orang, agaknya suami isteri, kurang lebih tiga puluhan tahun. Sikap kedua orang ini gagah, baik si suami mau pun si isteri. Mereka duduk berhadapan, makan bubur panas-panas dengan sumpit, cepat sekali seakan-akan mereka tergesa-gesa. Di punggung mereka tergantung gagang dua buah senjata.

Tadinya Bu Sin dan adik-adiknya mengira bahwa mereka itu masing-masing membawa siang-kiam (pedang pasangan), akan tetapi mereka terheran melihat bahwa dua buah senjata itu tidaklah sama. Sebuah pedang dan sebilah golok! Bu Sin dan dua orang adiknya belum sempat memilih tempat, karena pada saat mereka memasuki ruangan depan rumah makan itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.

“Pencuri-pencuri bangsa Hou-han hendak sembunyi ke mana kalian?” Muncullah empat orang laki-laki yang nampak gesit-gesit dan kuat, berlompatan ke dalam dan mereka segera mengurung suami isteri itu. Seorang mencabut pedang, seorang lain mengeluarkan sepasang siang-kek (tombak pendek sepasang), orang ketiga mengeluarkan sebuah cambuk baja yang ujungnya seperti jangkar kecil, sedangkan orang keempat yang agaknya pemimpin rombongan ini, juga yang tadi membentak, memasang kuda-kuda dengan tangan kosong.

“Lebih baik kalian menyerahkan kembali benda itu kepada kami, mungkin kami akan dapat mengampuni nyawa kalian,” kata pula yang bertangan kosong.

Suami isteri itu saling lirik. Ketika si suami menurunkan mangkoknya, isterinya mencela, “Makan dulu sampai habis, baru layani anjing-anjing ini. Mengapa tergesa-gesa?” Keduanya lalu makan terus dengan tenangnya, menghabiskan bubur di dalam mangkok.

Bu Sin dan adik-adiknya amat kagum menyaksikan sikap dua orang ini. Amat tenang dan amat gagah. Namun mereka bertiga tak dapat bersimpati kepada sepasang suami isteri ini karena bukankah tadi rombongan itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah orang-orang Hou-han? Berarti orang yang sekampung dengan Bu Sin bertiga, akan tetapi siapa tahu mereka itu adalah pembantu-pembantu dari Kerajaan Hou-han yang memusuhi mendiang ayah mereka? Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.

Suami isteri itu sudah selesai makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan dua pasang sumpit di tangan meluncur bagaikan anak panah. Empat batang sumpit itu menyerang empat orang yang mengurung mereka. Namun para pengurungnya juga bukan orang sembarangan. Dengan mudah mereka mengelak, dan sumpit-sumpit itu menancap sampai separohnya lebih pada dinding.

“Bagus!” Pujian ini keluar dari mulut laki-laki jenggot panjang yang sejak tadi masih duduk di sudut, menghadapi meja dan tenang-tenang saja sambil makan daging goreng dan nonton adegan di depannya itu. Matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri, agaknya ia gembira sekali dapat makan sambil menikmati tontonan gratis ini.

Melihat betapa sambitan mereka dengan sumpit-sumpit itu tidak mengenai sasaran, suami isteri itu melempar mangkok kosong ke lantai sambil meloncat, dan begitu kedua tangan mereka bergerak, kedua tangan mereka sudah mencabut senjata dan kini tangan kiri memegang pedang sedangkan tangan kanan memegang golok. Mereka membuat gerakan memutar dan sudah berdiri saling membelakangi, siap dengan senjata di tangan. Cerdik mereka, pikir Bu Sin yang menonton di dekat pintu. Suami isteri itu berdiri berhadapan punggung, dengan kedudukan demikian mereka dapat mencegah serangan gelap dari belakang.

Pertandingan dimulai tanpa kata-kata. Empat orang itu segera menyerbu, yang bersenjata pedang dan si pemegang siang-kek mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu dikeroyok oleh si pemegang cambuk dan yang bertangan kosong. Para pelayan rumah makan itu lari berserabutan ke luar sambil berteriak-teriak ketakutan.

Bu Sin dan adik-adiknya menjadi kagum setelah pertempuran itu berlangsung seru. Kepandaian empat orang itu cukup tinggi, apa lagi yang bertangan kosong, akan tetapi gerakan mereka biasa. Sebaliknya, suami isteri itulah yang mendatangkan kagum. Si suami bergerak dengan tenang, namun kedudukannya kokoh kuat seperti batu karang. Sebaliknya, isterinya lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari seakan-akan seekor burung walet yang gesit, mendesak kedua orang lawannya.

Pertempuran itu makin lama makin hebat dan tahulah Bu Sin bertiga bahwa kepandaian mereka itu rata-rata lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian sendiri. Diam-diam ia merasa khawatir sekali dengan warisan ayahnya yang ia miliki, juga kedua orang adiknya, bagaimana mereka bertiga akan dapat merantau di dunia kang-ouw dan lebih-lebih lagi, bagaimana mereka akan mampu mencari dan membalas sakit hati orang tua mereka? Makin dekat dengan kota raja, agaknya makin banyak terdapat orang-orang yang kepandaian silatnya amat tinggi.

Tiba-tiba nyonya muda itu mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya melayang ke atas dan goloknya menyambar lawannya yang paling tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan kosong. Pada saat itu cambuk dari lawannya kedua telah melayang dan melecut, dengan gerakan cepat sekali meluncurlah jangkar kecil runcing itu ke arah lehernya!

“Roboh dia...!” Lin Lin berseru perlahan. Sejak tadi perhatian Lin Lin terpusat pada wanita ini. Ia amat kagum karena maklum bahwa dalam ilmu silat, wanita itu jauh melampauinya, baik dalam permainan senjata mau pun ilmu meringankan tubuh. Akan tetapi karena ia tidak tahu apa persoalannya maka terjadi pertempuran itu, hatinya tidak berpihak ke mana-mana. Betapa pun juga, melihat ujung cambuk yang seperti jangkar kecil itu menyambar leher, ia berseru dengan hati tegang.

Namun wanita yang masih meloncat di udara itu tiba-tiba menggerakkan pinggulnya dan... seperti seekor ular hidup, sabuknya yang panjang itu melayang ke belakang dan ujungnya tepat sekali melibat ujung cambuk. Terjadi saling libat dan tarik-menarik sehingga jalannya pertempuran di pihak wanita itu agak kaku.

Mendadak laki-laki berjenggot pendek yang duduk di sudut itu tertawa dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke dalam gelanggang pertempuran. Bu Sin dan dua orang adiknya kaget sekali, tidak mengira bahwa laki-laki penonton yang aneh itu dapat bergerak secepat itu. Tahu-tahu laki-laki ini sudah mengulur tangannya membetot ujung sabuk dan cambuk yang saling libat sambil berkata, “Tidak ramai kalau begini!”

Hebat orang ini. Sekali renggut saja, libatan dua macam senjata itu terlepas. Kelihatan tangan kirinya tadi bergerak cepat ke arah tubuh laki-laki yang dikeroyok dari belakang. Kemudian setelah cambuk dan sabuk terlepas, sambil tertawa terkekeh-kekeh laki-laki berjenggot ini sudah meloncat ke luar dari tempat itu.

Suami isteri yang menghadapi pengeroyokan berat itu agaknya tidak begitu memperhatikan ikut campurnya laki-laki berjenggot, akan tetapi Bu Sin yang sejak tadi memandang tajam, dapat melihat betapa tangan laki-laki berjenggot itu memegang sesuatu ketika tadi bergerak di belakang laki-laki yang dikeroyok.

“Mari, ikuti dia...!” katanya perlahan memberi isyarat kepada Sian Eng dan Lin Lin. Ketiganya cepat meloncat ke luar pula dan menyusup di antara banyak orang yang berkumpul dan menonton di luar rumah makan.

“Sin-ko, buat apa kita campuri urusan mereka?” Lin Lin mencela, akan tetapi melihat Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat ke luar, terpaksa ia pun mengikuti mereka.

Mereka membayangi si jenggot panjang itu dari jauh dan karena yang dibayangi hanya berjalan seenaknya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengikuti terus. Akan tetapi setelah keluar dari desa itu, si jenggot panjang lalu lari dengan gerakan cepat. Bu Sin yang ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa yang dicurinya tadi dari sepasang suami isteri dari Hou-han, mengajak adik-adiknya mengikuti terus.

Menjelang sore mereka memasuki kota An-sui dan setelah masuk kota laki-laki itu kembali berjalan biasa. Kota An-sui cukup besar dan karena kota ini sudah termasuk wilayah Kerajaan Sung, apa lagi letaknya tidak jauh dari kota raja, maka keadaannya ramai dan di situ banyak terdapat rumah-rumah kuno dan besar milik orang-orang bangsawan. Orang berjenggot panjang itu akhirnya memasuki sebuah rumah besar yang di bagian depannya ditulis dengan huruf besar: GEDUNG PANGERAN SUMA.

Tentu saja kakak beradik itu tidak berani masuk terus. “Kita bermalam di kota ini,” kata Bu Sin dan pergilah mereka mencari rumah penginapan. “Malam nanti kita menyelidik.”

Setelah berada di kamar penginapan, Lin Lin kembali mencela, “Sin-ko, kepergian kita bukankah untuk mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kita? Apa perlunya kita mencampuri urusan si jenggot tadi?”

“Kau lihat sendiri, tadi dia mencuri sesuatu dari suami isteri dari Hou-han itu,” jawab kakaknya.

“Peduli apa kalau dia mau mencuri apa pun juga? Apa sangkut pautnya dengan kita, Koko? Biar pun aku kagum kepada suami isteri yang gagah itu, akan tetapi kita tidak mengenalnya dan tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak mengenal pula siapa lawan-lawannya.”

Bu Sin menghela napas. “Kau benar, Lin-moi. Akan tetapi ada satu hal yang membuat aku tertarik dan terpaksa berpihak kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang dari wilayah Hou-han, seperti juga kita. Siapa tahu kalau-kalau benda yang dicuri si jenggot tadi amat penting bagi Kerajaan Hou-han?”

Berkerut kening Lin Lin. “Sin-ko, kau berpihak kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat bahwa Ayah telah melarikan diri dari kerajaan itu karena kelaliman rajanya?”

Bu Sin tersenyum. “Waktu itu belum menjadi kerajaan, adikku. Ayah seorang setia dan tidak suka akan pemberontakan. Akan tetapi sekarang telah menjadi wilayah Hou-han, aku tidak membela apa-apa, akan tetapi sedikitnya tentu berpihak kepada wilayah sendiri, bukan?”

“Adik Lin, kalau takut, malam ini tidak usah ikut, tinggal saja di kamar, biar aku dan Sin-ko sendiri yang pergi menyelidik,” kata Sian Eng yang tidak senang melihat kerewelan Lin Lin.

Lin Lin tidak marah, malah tertawa. “Cici, kalau ada apa-apa terjadi kapadamu, siapa yang akan menolong kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku ikut.”

“Kalau begitu tak perlu banyak rewel.”

“Kita mengaso dulu sore ini, siapa tahu malam nanti kita harus menggunakan banyak tenaga,” kata Bu Sin. “Aku akan pesan makanan di luar rumah penginapan.”

Tak lama Bu Sin keluar. Ketika masuk lagi wajahnya berubah. “Mereka juga sudah berada di kota ini.”

“Siapa?” tanya Lin Lin.

“Siapa lagi? Suami isteri itu!”

Mendengar ini, Lin Lin tertarik dan mereka menjadi tegang. Apakah sepasang suami isteri itu sudah tahu ke mana perginya orang berjenggot tadi? Apakah mereka sudah tahu bahwa orang itu mengambil sesuatu dari mereka?

“Hebat, cepat benar mereka dapat mengejar ke sini. Agaknya mereka menang dalam pertempuran tadi,” kata Lin Lin. “Apakah mereka sudah tahu tempat si jenggot itu?”

“Kurasa mereka tentu tahu. Mereka itu bukan orang biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang ulung. Akan ramai malam nanti, kita menjadi penonton saja sambil menambah pengalaman,” kata Bu Sin, dan mereka bertiga lalu pergi ke dalam kamar mengaso.

Penghuni rumah gedung itu adalah keluarga Pangeran Suma Kong. Pangeran Suma Kong ini adalah pangeran Kerajaan Sung yang masih merupakan keluarga dekat dengan kaisar. Akan tetapi karena ia pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan kaisar, ia lalu diberhentikan dari jabatannya. Akan tetapi mengingat bahwa ia masih keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya membebaskan dari tugas.

Pangeran Suma Kong lalu mengundurkan diri dari kota raja, tinggal di kota An-sui, hidup sebagai bangsawan ‘pensiunan’ yang kaya, memiliki gedung besar dan sawahnya di luar kota An-sui amat luas. Tentu saja diam-diam Pangeran Suma Kong menaruh dendam kepada Kerajaan Sung, akan tetapi karena ia sudah tua dan merasa tidak berdaya, ia menghibur diri dengan pelbagai kesenangan, tidak mau mempedulikan lagi tentang urusan kerajaan.

Namun tidak demikian dengan puteranya yang bernama Suma Boan. Puteranya ini bukanlah seorang lemah. Diam-diam dia mempelajari ilmu silat dari orang sakti yaitu bukan lain adalah si Raja Pengemis It-gan Kai-ong. Malah diam-diam Suma Boan menghimpun kekuatan, bersekutu dengan Kerajaan Wu-yue di selatan. Karena It-gan Kai-ong sendiri adalah seorang tokoh selatan yang membantu Kerajaan Wu-yue, maka dengan mudah Suma Boan mendapatkan pengaruh di kerajaan itu dan diam-diam mengadakan persekutuan untuk bersama-sama mencari kesempatan baik dan kalau tiba waktunya menggulingkan pemerintahan Kerajaan Sung.

Suma Boan sudah berusia tiga puluhan tahun lebih, belum menikah, namun terhadap wanita ia terkenal jahat dan mata keranjang. Selirnya banyak, di dalam gedung itu saja ada tujuh orang, belum terhitung selir yang di luar gedung. Banyaknya selir itu masih tidak mengurangi kenakalannya untuk mengganggu setiap orang wanita cantik yang menarik hatinya, tidak peduli wanita itu masih gadis, janda mau pun masih menjadi isteri orang lain! Dia beruang, ilmu silatnya tinggi, maka tiada orang berani menentangnya. Di An-sui ia terkenal sebagai jagoan, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja. Di dunia kang-ouw ia juga seorang yang cukup dikenal pula dengan julukannya yang amat takabur, Lui-kong-sian (Dewa Geledek)!

Suma Boan hanya mempunyai seorang saudara kandung, yaitu adik perempuannya yang bernama Suma Ceng, berusia dua puluh tujuh tahun. Suma Ceng sudah lama menikah dengan seorang pangeran dan kini tinggal di kota raja. Para pelayan di dalam gedung itu maklum betapa jauh bedanya watak Suma Ceng yang sudah pindah ikut suaminya di kota raja itu dengan Suma Boan. Suma Ceng seorang wanita yang halus tutur sapanya, lemah lembut dan baik budi pekertinya, ramah dan suka menolong terhadap para pelayan. Sebaliknya, semua pelayan kuncup hatinya dan tunduk ketakutan bila berhadapan dengan Suma Boan.

Malam hari itu, di ruangan sebelah dalam dari gedung keluarga Suma terdengar suara ketawa gembira. Beberapa orang pelayan wanita yang muda dan cantik sibuk melayani tiga orang yang sedang makan minum menghadapi meja besar. Mereka ini bukan lain adalah Suma Boan sendiri, It-gan Kai-ong yang menjadi gurunya, dan seorang laki-laki berjenggot panjang yang pagi tadi dibayangi oleh Bu Sin bertiga.

“Ciok-twako, kali ini benar-benar kau telah berjasa besar. Biarlah kuberi selamat dengan secawan arak!” terdengar Suma Boan berkata sambil tertawa dan mengangkat cawan araknya.

Si jenggot panjang yang bernama Ciok Kam itu tertawa merendah, mengangkat cawan araknya sambil berkata, “Kongcu (Tuan Muda) terlalu memuji. Hanya secara kebetulan saja saya mendapatkan surat itu, bukan sekali-kali karena jasa saya, melainkan mengandalkan rejeki semata-mata dan kemurahan hati Ong­ya yang telah menurunkan beberapa ilmu pukulan kepada saya. Karena itu, penghormatan saya kembalikan kepada Kongcu dan terutama kepada Ong-ya!” Si jenggot panjang menggerakkan cawan ke arah It-gan Kai-ong sambil membungkuk.

“Ha-ha-ho-hoh, Ciok Kam patut menjadi pembantu kita. Surat yang dirampasnya amat penting dan agaknya kau akan dapat mempergunakannya dengan baik muridku. Untuk keuntungan ini mari kita minum sepuasnya!”

Mereka menenggak habis isi cawan dan cepat-cepat seorang pelayan wanita yang cantik, yaitu seorang di antara para selir Suma Boan yang amat dipercayanya sehingga diperkenankan menghadiri pertemuan ini, mengangkat guci dan mengisi cawan-cawan kosong itu.

“Jangan khawatir, Suhu. Surat yang menyatakan hubungan persekutuan antara Kerajaan Hou-han dan Nan-cao ini tentu akan teecu (murid) bawa ke kota raja. Tentu Kaisar akan girang dan berterima kasih sekali kepada teecu dan saat yang baik itu akan teecu pergunakan untuk mencari kedudukan. Biarkan Hou-han dan Nan-cao ribut dengan Sung, biarkan anjing-anjing berebut tulang, kelak kita tinggal memukul mereka. Bukankah begitu, Suhu?”

“Ha-ha, kau lebih tahu akan hal itu. Aku orang tua mana becus memikirkan tentang negara? Kalau ada lawan yang tak sanggup kau hadapi, nah, serahkan kepadaku. Itulah bagianku. Ha-ha-ha!”

“Siapakah orangnya di dunia ini yang dapat melawan Suhu? Agaknya orang itu harus dilahirkan lebih dulu. Bukankah begitu, Ciok-twako?”

“Betul-betul, kepandaian Ong-ya seperti malaikat langit, mengandalkan bantuan Ong-ya, tidak ada cita-cita yang takkan dapat tercapai,” jawab si jenggot panjang bernama Ciok Kam.

Sementara itu, tiga bayangan berkelebat cepat sekali di atas genteng rumah besar itu. Mereka ini bukan lain adalah Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin. Sambil mengerahkan ginkang, dengan hati-hati sekali mereka berloncatan di atas genteng. Di ruangan tengah mereka mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa.

“Lin-moi, kau menjaga di sini, aku dan Cici-mu mengintai,” kata Bu Sin.

Kakak beradik itu lalu menggunakan gerak tipu In-liong-hoan-sin (Naga Awan Membalikkan Tubuh), tanpa mengeluarkan suara keduanya sudah berjungkir balik dengan kedua kaki tergantung pada ujung tembok genteng, tubuh bergantung kepala di bawah seperti dua ekor kelelawar. Lin Lin berjongkok di atas genteng, memandang kagum kepada dua orang kakaknya itu. Ada pun Bu Sin dan Sian Eng dalam keadaan bergantung membalik itu melihat bayangan orang dari jendela, bayangan tiga orang laki-laki yang duduk sambil minum arak dan tertawa-tawa.

“Ha-ha-ha, tikus-tikus kecil macam itu perlu apa diributkan? Kalau tidak ingat akan sepotong uang perak, sudah lama mereka menjadi bangkai.”

Suara ini membuat Bu Sin dan Sian Eng kaget setengah mati. Kiranya itu adalah suara It-gan Kai-ong! Dan mereka malah datang ke tempat itu, benar-benar seperti ular mendekati penggebuk!

“Suhu dan Ciok-twako, duduklah dan lanjutkan minum arak. Hidungku mencium bau harum wanita, tak boleh dilewatkan begitu saja. Suhu, bolehkah?”

“Ho-ho-hah, kalau kau melihat dua orang gadis itu tentu akan membanjir air liurmu. Aku sudah tua, tidak butuh hal itu lagi. Pergilah!”

Tiba-tiba sesosok bayangan hitam yang jangkung melompat ke luar dari ruangan itu, melesat ke arah pintu. Akan tetapi sia-sia, Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat sambil memutar tubuh ke atas genteng lagi. Bukan main heran dan khawatirnya ketika mereka tidak melihat adanya Lin Lin yang tadi berjongkok di atas genteng. Ke mana adik mereka itu?

Namun mereka tidak sempat membingungkan ke mana perginya Lin Lin karena pada saat itu, bayangan laki-laki jangkung yang keluar dari ruangan tadi sudah melesat naik ke atas genteng dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki muda yang berpakaian pesolek, bertubuh jangkung dan berhidung panjang. Muka yang tampan, namun membayangkan kekejaman. Laki-laki ini tersenyum mengejek melihat Bu Sin dan Sian Eng mencabut pedang. Akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia memandang wajah Sian Eng dan senyumannya melebar.

“Melihat wajah temanmu, nyawamu kuampuni. Lekas pergi dari sini dan tinggalkan temanmu ini untuk menemaniku semalam ini,” kata laki-laki jangkung yang bukan lain adalah Suma Boan itu kepada Bu Sin.

Dapat dibayangkan betapa marahnya Bu Sin dan Sia Eng mendengar kata-kata yang amat menghina ini. Akan tetapi karena berada di atas rumah orang dan mereka merasa telah melanggar aturan, maka ia mempertahankan kesabarannya dan berkata. “Harap kau suka menahan mulutmu yang lancang. Lebih baik lepaskan adik perempuanku dan kami akan pergi dari tempat ini. Kami bukan maling, hanya tadi kami mengikuti seorang laki-laki berjenggot panjang yang telah merampas barang orang. Nah, kalau kau tuan rumah, maafkan kami dan kembalikan adikku.”

Mendengar disebutnya laki-laki berjenggot merampas barang, seketika lenyaplah sikap main-main Suma Boan. Ia tidak peduli lagi akan ucapan tentang adik kedua orang ini. “Bagus, kalian mata-mata!” Sekaligus ia menerjang maju dengan serangan yang dahsyat sekali.

Bu Sin dan Sian Eng cepat mengelak sambil melompat mundur dan memutar pedang, akan tetapi pada saat itu dari jendela yang terbuka menyambar angin pukulan yang hebat, yang sekaligus mendorong mereka roboh di atas genteng! Terdengar suara It-gan Kai-ong tertawa bergelak. Kiranya kakek inilah yang mendorongkan tangannya mengirim pukulan jarak jauh dari jendela ke atas genteng! Melihat betapa dua orang muda gemblengan seperti Bu Sin dan Sian Eng dapat roboh dengan sekali terkena dorongan angin pukulan, dapat dibayangkan betapa saktinya raja pengemis itu.

Bu Sin dan Sian Eng kaget bukan main. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh mereka terlempar ke bawah genteng, dan biar pun mereka dapat mempergunakan ginkang untuk mengatur keseimbangan badan dan mencegah terbanting, namun sedikitnya mereka tentu akan luka-luka kalau saja tidak ada dua orang yang menyambar tubuh mereka. Ketika mereka memandang, kiranya yang menolong mereka itu adalah suami isteri yang dikeroyok di rumah makan pagi tadi!

“Adikku masih di atas...,” Sian Eng berkata.

“Sssttt...!” wanita yang tadi menyambar tubuhnya menarik tangan Bu Sin dan Sian Eng berlindung dalam gelap. Mereka memandang ke atas dan apa yang tampak di atas membuat Bu Sin dan Sian Eng seketika pucat, hati mereka berdebar penuh kengerian. Apa yang tampak oleh mereka?

Bukan hanya Suma Boan yang kini berdiri di atas genteng, melainkan ada bayangan kedua, bayangan makhluk yang mengerikan sekali, bukan manusia bukan binatang melainkan tengkorak memakai pakaian hitam! Muka tengkorak putih dengan sepasang lubang mata hitam besar dan gigi berjajar kacau itu benar-benar amat menyeramkan tertimpa sinar lampu yang menyinar dari pinggir gedung, dari atas diterangi bintang-bintang di langit.

Agaknya Suma Boan juga kaget melihat makhluk ini. Terdengar ia berseru keras, “Suhu... Hek-giam-lo di sini!”

Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang di atas genteng dan bayangan muka tengkorak itu berkelebat lenyap dari situ. Sebuah bayangan lain yang gerakannya seperti setan menyambar dari bawah, disusul bentakan It-gan Kai-ong.

“Hek-giam-lo mayat busuk, jangan lari kau!”

Suma Boan tidak terluka hebat. Dia merangkak bangun dan berdiri lagi di atas genteng, meraba bajunya dan dengan suara marah ia berseru. “Celaka...! Hek-giam-lo keparat, surat itu diambilnya...!”

“Bagaimana, Kongcu? Apa yang terjadi...?” kini bayangan si jenggot panjang yang naik ke atas genteng.

“Celaka, kita tertipu!” kata Suma Boan. “Tadinya dua orang bocah itu menuduh kita menangkap adiknya. Ketika mereka dijatuhkan Suhu, eh, tahu-tahu muncul Hek-giam-lo. Ia tidak berkata apa-apa, tapi aku didorong roboh. Ketika Suhu muncul ia melarikan diri, kini dikejar Suhu. Akan tetapi surat itu tidak ada lagi di dalam saku bajuku. Lihat, bajuku robek, siapa lagi yang mampu merampasnya secara begini kalau bukan Hek-giam-lo?”

“Wah, sial betul. Tapi, tak usah khawatir, Kongcu. Kalau Ong-ya sudah mengejarnya, masa tidak akan dapat merampasnya kembali?”

“Belum tentu... belum tentu...!” Suma Boan menggeleng kepalanya. “Dia lihai sekali. Heran aku, siapakah dua orang bocah tadi? Apakah kaki tangan orang Khitan?”

Sambil bersunggut-sunggut dan menyumpah-nyumpah Suma Boan melompat turun dan masuk ke dalam gedung, diikuti oleh si jenggot panjang Ciok Kam. Sebentar saja para pelayan menyambutnya, keadaan menjadi ribut karena orang-orang mendengar tentang penyerbuan musuh di atas genteng.

Akan tetapi Suma Boan membentak, “Tidak ada apa-apa, mundur semua!” Pelayan-pelayan itu, kecuali selirnya yang melayani minum, mundur ketakutan, kembali ke tempat masing-masing.

Suami isteri bersama Bu Sin dan Sian Eng yang bersembunyi melihat semua itu. Bu Sin dan adiknya amat bingung memikirkan Lin Lin, akan tetapi laki-laki itu berkata.

“Adikmu tidak berada di dalam gedung. Tadi kami melihat dia dibawa lari Seng-jin. Lebih baik kalian lekas pergi dari sini, amat berbahaya di sini. Kami berterima kasih bahwa kalian sudah menaruh perhatian akan urusan kami. Biar pun kalian anak-anak keluarga Kam, tidak percuma kalian menjadi orang-orang dari wilayah Hou-han. Nah, kita berpisah di sini.”

“Nanti dulu...!” Bu Sin mencegah. “Siapakah Seng-jin yang membawa adik kami? Dan siapa kalian ini? Urusan apakah yang menimbulkan semua keributan ini?”

Wanita itu yang menjawab kini, tersenyum duka, “Dituturkan tidak ada gunanya, juga tidak ada waktu. Kau takkan mengerti, orang muda. Tentang adikmu, dia tadi dibawa Kim-lun Seng-jin, seorang sakti yang aneh. Percuma kau mencarinya, tak mungkin mengikuti jejak seorang seperti Kim-lun Seng-jin. Tentang kami... hemmm, cukup kau ketahui bahwa kami adalah orang-orang Hou-han dan bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Selamat tinggal, jangan lama-lama berada di sini, pergi cepat. Berbahaya!” Setelah berkata demikian, suami isteri itu berkelebat dan menghilang di dalam gelap.

Bu Sin dan Sian Eng saling pandang. Mereka bingung sekali memikirkan tentang diri Lin Lin. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa kepandaian mereka masih jauh dari pada cukup untuk dapat mencari Lin Lin yang katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin. Sedangkan menghadapi si jenggot panjang dan orang muda jangkung di dalam gedung ini saja sudah terlalu berat bagi mereka, apa lagi It-gan Kai-ong ada di situ! Tidak ada jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali segera menyelinap pergi dari tempat itu, lari ke luar menyelinap-nyelinap di dalam kegelapan malam.

Dengan hati pepat dan gelisah mereka kembali ke kamar rumah penginapan dan alangkah heran akan tetapi juga lega hati mereka ketika mereka melihat tulisan Lin Lin di atas meja, tulisan dalam sebuah kertas berlipat yang singkat saja.

Sin-ko dan Eng-cici,
Terpaksa aku pergi dulu berpisah dengan kalian. Kakek gundul yang menolongku memaksa aku ikut dia sendiri saja. Akan tetapi dia baik dan bilang bahwa dia dapat membawaku ke tempat pembunuh orang tua kita.
Sampai jumpa pula,
Lin Lin


Bu Sin menarik napas panjang, lega hatinya. Tentu yang dimaksudkan di dalam surat, yang disebut oleh Lin Lin ‘kakek gundul’ itu adalah Kim-lun Seng-jin yang tadi diceritakan oleh suami isteri dari Hou-han. Ia tersenyum geli. Kakek gundul yang bernama Kim-lun Seng-jin boleh saja disebut aneh, akan tetapi kakek itu akan ‘ketemu batunya’ kalau melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini kadang-kadang mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan, aneh dan tentu kakek gundul itu akan menjadi banyak pusing olehnya.

“Dia diberi petunjuk orang sakti akan jejak musuh besar kita, itu baik sekali. Mudah-mudahan dia berhasil dan selamat,” katanya sambil merobek-robek surat itu.

“Kita sendiri bagaimana, Sin-ko? Ke mana kita harus mencari atau mengikuti Lin Lin?”

“Dia sendiri saja kalau sudah minggat mana kita mampu mengejarnya, apa lagi sekarang bersama seorang sakti. Kita tidak perlu mencarinya, kita melanjutkan perjalanan ke kota raja. Agaknya akan lebih baik kalau kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, karena sebagai seorang yang lama tinggal di kota raja, tentu dia mempunyai banyak pengalaman dan akan dapat memberi petunjuk kepada kita.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian Eng sudah meninggalkan kota An-sui menuju ke kota raja.

********************

Apakah yang terjadi dengan Lin Lin? Gadis remaja ini mengalami hal yang amat luar biasa. Seperti kita ketahui, ketika Bu Sin dan Sian Eng mengintai ke dalam ruangan gedung itu dengan cara menggantungkan kaki dengan kepala di bawah, Lin Lin berjongkok di atas genteng sambil melihat kedua saudaranya itu. Kaget ia ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng berloncatan ke atas kemudian kedua orang itu roboh ke bawah genteng.

Akan tetapi, selagi ia kebingungan dan khawatir, tiba-tiba serangkum angin pukulan yang dilontarkan oleh It-gan Kai-ong menyerangnya, membuat dia terlempar dan tentu ia pun akan terguling roboh ke bawah kalau saja tidak terjadi hal yang amat aneh. Ia tidak tahu mengapa dan bagaimana, akan tetapi tubuhnya yang sudah terjengkang itu tiba-tiba dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti dibawa angin terbang melalui genteng, cepat bukan main. Tentu saja ia takut sekali dan berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya agar kalau jatuh ke bawah tidak terbanting, namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan kaki tangannya dan ia ‘terbang’ dengan tubuh telentang. Kalau ia tidak mengalami sendiri, tentu ia tidak akan mau percaya bahkan pada saat itu ia mengira bahwa ia sedang mimpi.

Entah berapa lama ia berada dalam keadaan melayang ini, namun ia merasa bahwa ia diterbangkan tubuhnya. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia telah berada di luar kota An-sui!

“Heh-heh-heh, untung kau tidak menjadi korban It-gan Kai-ong,” terdengar suara terkekeh bicara.

Lin Lin membalikkan tubuh, ke kanan kiri, memutar tubuh melihat ke sekelilingnya. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia. Bulu tengkuknya mulai berdiri dan kedua lututnya gemetar. Ia seorang gadis yang tabah dan menghadapi siapa pun juga ia takkan mundur, takkan mengenal takut. Namun kejadian kali ini membuat ia yakin bahwa ia sedang diganggu iblis dan dongeng-dongeng tentang iblis yang pernah ia dengar membuat ia ketakutan.

“Siapa kau?”

“Siapa aku? Aku siapa? Heh-heh, aku sendiri tidak kenal siapa aku ini dan dari mana asalku, apa lagi kau bocah ingusan. Heh-heh-heh! Aku dan kau sama saja!”

Suara itu tepat di belakangnya, maka secepat kilat Lin Lin memutar tubuh dengan gerakan Hek-yan-tiauw-wi (Burung Walet Sabet Buntut), gerakannya cepat bukan main dan ia sengaja mengerahkan ginkang-nya. Akan tetapi, kembali ia hanya melihat tempat kosong, tidak ada bayangan, apa lagi orangnya!

Suara itu masih terkekeh-kekeh, “Heh-heh-heh, siapa aku? Siapa aku? Hayo cari dan tebak, di mana dan siapa aku, heh-heh-heh!” Suara itu tertawa-tawa geli seperti seorang kanak-kanak bermain kucing-kucingan.

Panas juga dada Lin Lin. Ia yakin sekarang bahwa yang bicara itu tentu seorang manusia biasa, biar pun seorang manusia yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Masa aku tidak dapat mencarimu? Demikian pikirnya dengan gemas. Cepat ia melompat lagi, berputaran dan mengeluarkan kepandaiannya untuk membalik sana berputar sini, lari berputaran seperti kitiran cepatnya. Namun tak pernah ia dapat melihat bayangan di sekeliling dirinya, padahal suara itu terus-menerus berbunyi, tertawa-tawa di belakang, kanan dan kirinya!

“Heh-heh-heh! Kau seperti seekor anjing yang berputaran hendak menggigit buntut sendiri. Heh-heh... lucu... lucu... lagi, Nona. Sekali lagi, lucu benar...!”

Tentu saja Lin Lin tidak sudi berputar lagi, malah ia cepat berhenti dan membanting kakinya. Hampir ia menangis. “Kau ini setan apa manusia? Kalau manusia perlihatkan dirimu. Kalau setan minggat dari sini, aku tidak butuh setan!” bentaknya sambil bertolak pinggang.

“Heh-heh, lebih baik jadi setan, biar pun selalu melakukan kejahatan akan tetapi memang itu kewajibannya, kalau tidak melakukan yang jahat-jahat mana disebut setan? Setidaknya setan mengakui kejahatannya, sebaliknya manusia banyak yang pura-pura suci dan bersih, padahal lebih jahat dan kotor dari pada setan sendiri. Heh-heh, Nona, aku di belakangmu, masa kau tidak dapat melihat?” Lin Lin membalikkan tubuhnya dan... tidak melihat apa-apa.

“Kau main kucing-kucingan? Aku tidak sudi main-main denganmu.”

“Lho, aku di sini, lihat baik-baik.”

Lin Lin menurunkan pandang matanya dan benar saja. Di depannya berdiri seorang kakek yang... tubuhnya pendek, hanya setinggi dadanya dan karena kakek itu tadi jongkok tentu saja tidak kelihatan. Sekarang kakek ini berdiri, kedua kakinya yang pendek itu tidak bersepatu, lucu sekali tampaknya. Badannya agak gemuk, kepalanya bundar seperti bola karet, licin tidak berambut sehelai pun juga. Tapi alisnya tebal sekali, dan rambut alisnya itu berdiri menjulang ke atas. Kumis dan jenggotnya panjang melambai sampai ke dada. Kedua daun telinganya lebar seperti telinga arca Ji-lai-hud dihiasi sepasang anting-anting perak. Anehnya, melihat orang seperti itu Lin Lin tak dapat menahan ketawanya.

“Hi-hi-hik, kau ini golongan apa? Apakah pemain wayang?” Lin Lin tertawa dan menutupi mulutnya.

“Memang dunia ini panggung wayang dan kita anak wayangnya. Bagaimana lakonnya dan apa peran yang harus kita pegang terserah Sang Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya Sang Sutradara menghendaki supaya aku menjalankan peran menolong kau dari ancaman It-gan Kai-ong si pengemis busuk.”

“Kakek pendek, bagaimana kau tadi bisa membawa aku terbang? Dan bagaimana kau tadi bisa menghilang? Aku sudah belajar ilmu ginkang bertahun-tahun akan tetapi belum ada sekuku hitam dibandingkan dengan gerakanmu. Apakah kau tadi menggunakan ilmu sihir?”

“Heh-heh, bocah nakal seperti kau ini, baru belajar jalan sudah berani mendaki gunung menyeberangi lautan! Aku tanggung, dengan kepandaianmu yang baru kelas nol itu, kau akan selalu bertemu bahaya dan akhirnya kau akan roboh! Gerakanmu masih begitu kaku dan lambat, kau namakan itu ilmu ginkang? Ho-heh-hoh, lucu amat!”

Panas perut Lin Lin, bibirnya cemberut, matanya bersinar marah. Akan tetapi kakek itu malah tertawa-tawa, memegangi perut dan berjingkrakan seperti tak dapat menahan lagi kegelian hatinya. “Dan pedang itu... heh-heh-heh, bawa-bawa pedang macam itu untuk apa? Apakah untuk mengiris bawang ataukah untuk menyembelih ayam? Heh-heh, untuk itu pun kurang tajam, baiknya untuk menakut-nakuti tikus. Heh-heh, kau takut tikus, kan?”

Lin Lin membanting kakinya. “Kakek pendek, cebol, gundul pacul! Sudah tua ompong masih sombong...!”

Kakek itu tiba-tiba meringis, memperlihatkan isi mulutnya. Hebat! Giginya berderet rapi seperti gigi Lin Lin sendiri. “Kau lihat, siapa ompong? Gigiku tidak kalah dengan gigimu? Hayo kau meringis, kita lihat gigi siapa lebih putih, lebih mengkilap!”

Geli juga hati Lin Lin. Memang gadis ini pun wataknya aneh, mudah marah, mudah gembira. Mudah menangis mudah tertawa. Melihat betapa kakek itu meringis memamerkan giginya, mau tidak mau ia tertawa juga. “Ihhh, jijik ah! Gigimu kuning-kuning begitu!”

Kakek itu kelabakan. “Masa? Ah, mana bisa? Sedikitnya dua kali sehari kugosok dengan bata. Kau bohong...!”

Tampak oleh Lin Lin kakek itu mengulur tangan kepadanya. Ia cepat melangkah mundur, akan tetapi tahu-tahu gelung rambutnya sebelah kiri yang terbungkus sutera itu terlepas karena tusuk kondenya dari perak telah berada di tangan kakek itu. Untuk apa kakek itu merampas tusuk kondenya? Untuk bercermin! Bunga perak pada tusuk konde itu sebesar kuku jari dan kakek itu berusaha untuk bercermin memeriksa giginya dari pantulan sinar bintang yang menimpa bunga perak. Tentu saja hasilnya sia-sia.

Diam-diam Lin Lin terkejut bukan main. Bagaimana kakek itu dapat merampas tusuk kondenya sedemikian cepatnya sehingga sama sekali tidak terasa olehnya? Terang bahwa kakek ini memiliki kesaktian yang hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian itu kepadanya!

“Kek, mengapa kau menolong aku dari tangan It-gan Kai-ong? Mau apa kau membawa aku ke sini?” akhirnya dia bertanya.

Kakek itu mengomel, “Gigiku putih... tidak kuning...!”

“Mengapa kau menolong aku?”

“Siapa bilang gigiku kuning, memalukan!” Kakek itu bersungut-sungut.

Lin Lin hendak marah, akan tetapi melihat sikap kakek itu seperti seorang anak kecil merajuk, ia tertawa lagi. “Memang gigimu putih, siapa bilang kuning?”

“Kau tadi yang bilang!”

“Dan kau percaya? Ih, bodohmu sendiri mengapa percaya. Gigimu putih seperti... seperti kapur.”

Kakek itu nampak girang. Kapur memang putih sekali, maka ia girang mendengar ucapan ini. Tangannya bergerak dan sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Lin Lin. Gadis ini tak sempat mengelak, ketika ia meraba gelungnya, tusuk konde itu sudah berada di tempatnya lagi dan ia sama sekali tidak merasakannya! Makin kagum hatinya.

“Kek, kenapa kau menolongku dan mau apa kau membawa aku ke sini?”

“Karena kau cantik, seperti anakku dahulu.”

Rasa haru sejenak menyelinap di hati Lin Lin. “Di mana anakmu, Kek?”

“Di mana? Di... mana, ya? Sang Sutradara sudah lama membebaskannya dari pada tugas di panggung wayang. Dia tidak main lagi.”

Makin terharu hati Lin Lin. “Anakmu sudah mati?”

Kakek itu tidak menjawab, melainkan tertawa lagi. “Kau gadis bangsaku heh-heh, tak salah lagi. Karena itu aku suka kepadamu, aku menolongmu dan kalau kau mau, biar kuberi bekal padamu agar kelak tidak ada orang berani menghinamu.”

“Aku bangsamu? Bangsa apa Kek?”

“Lihat hidungmu, coba kan sama dengan hidungku? Juga gigimu, sama dengan gigiku. Kau bangsa Khitan, tidak salah lagi.”

Otomatis, terpengaruh oleh ucapan itu, Lin Lin memandang ujung hidungnya. Tentu saja, biar pun kedua matanya sampai juling ke tengah semua, tetap saja ia tidak berhasil memandang hidungnya sendiri. Apa lagi memandang giginya! Betapa pun juga, ucapan ini menusuk perasaannya, membuat jantungnya berdebar tegang. Dia terang bukan anak keluarga Kam karena ia hanya anak pungut. Ayahnya atau siapa pun juga tidak pernah memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah ibunya yang sejati. Karena ini pula ia amat ingin bertemu dengan Bu Song, anak sulung ayah angkatnya itu karena ia menduga bahwa Bu Song tentu tahu akan hal dirinya. Sekarang mendengar kakek ini menyatakan bahwa dia bangsa Khitan, biar pun ia tidak bisa percaya dan tidak mau percaya, hatinya berdebar juga. Akan tetapi, yang paling menggirangkan hatinya adalah pernyataan kakek itu hendak memberinya bekal kepandaian.

“Kau betul-betul hendak mengajarku ilmu kepandaian, Kek? Wah, terima kasih sebelumnya. Aku amat membutuhkan itu, untuk mengalahkan musuh besarku.”

“Heh-heh, tiada musuh besar di dunia ini yang lebih besar dari pada nafsu sendiri. Siapa musuh besarmu?”

“Sayang, aku sendiri tidak tahu, Kek,” Lin Lin menggeleng kepalanya. “Ayah angkat dan sekeluarganya dibunuh orang yang tidak dikenal. Ibu angkatku hanya meninggalkan ucapan terakhir bahwa musuh besar itu bersuling.”

Tiba-tiba kakek itu melompat tinggi sekali, lenyap dari depan Lin Lin. Ketika Lin Lin mendongak dan hendak memanggil, tubuh pendek itu melayang turun dari atas dan sudah berdiri di depannya lagi. “Suling Emas? Suling Emas membunuh orang tuamu? Siapa orang tuamu?”

“Orang tua angkat, Kek. Ayah angkatku namanya Kam Si Ek...”

“Ha-ha-ha-ha, Kam Si Ek Jenderal Hou-han?”

“Kau kenal Ayah angkatku, Kek?”

Kakek itu menggeleng kepalanya. Alisnya yang amat tebal itu berkerut dan bergerak-gerak. Bibirnya juga bergerak-gerak, lalu terdengar kata-katanya. “Aneh tapi nyata. Mungkin sekali Suling Emas....”

Jantung Lin Lin berdegupan. “Apa? Musuh besarku betul Suling Emas itu, Kek? Kau tahu di mana dia? Kalau betul dia, akan kuajak bertanding mengadu nyawa.”

Seketika kakek itu memandang kepadanya seperti terkejut, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya, terbungkuk-bungkuk saking kerasnya ia tertawa.

Lin Lin marah. “Apa yang lucu? Jangan mentertawai aku, Kek. Tak enak melihat kau tertawa, gigimu kuning...!”

Seketika kakek itu berhenti tertawa. “Apa kau bilang? Gigiku putih seperti... seperti...”

“...seperti kapur!” kata Lin Lin tersenyum. “Nah, jangan tertawa saja, apa sih yang lucu?”

“Kau hendak bertanding dengan Suling Emas? Aha, biar kau peras dan kuras habis kepandaianmu, belum tentu kau bisa menang.”

“Tidak peduli. Aku akan menemuinya. Bawa aku kepadanya, Kek, dan kau tentu suka membantuku kalau aku kalah. Kan hidung dan gigi kita sama, bukan?”

“Betul, betul! Kita sebangsa, sesuku, aku akan bantu kau. Awas dia kalau berani ganggu kau!”

Senang hati Lin Lin. Ia berhutang budi kepada keluarga Kam, den jalan satu-satunya untuk membalas budi, hanyalah membalaskan dendam keluarga itu.

“Tapi aku tidak bisa meninggalkan kedua kakakku begitu saja, Kek. Mereka tentu akan gelisah dan mencariku ke mana-mana.”

“Kalau Jenderal Kam ayah angkatmu, mereka tentu saudara-saudara angkat pula, bukan? Kenapa repot-repot?”

“Ih, jangan gitu, Kek. Biar pun saudara angkat mereka itu baik sekali kepadaku, seperti kepada adik kandung sendiri.”

“Baiklah, mari kau bonceng di punggungku, kita meninggalkan pesan di kamar mereka.”

Lin Lin maklum bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti, aneh, dan sikapnya masih kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi ia lalu melompat ke punggung kakek itu dan di saat berikutnya ia harus memegang pundak kakek itu kuat-kuat karena tubuhnya segera melayang seperti terbang cepatnya!

Setelah menulis sepucuk surat untuk Bu Sin dan Sian Eng, Lin Lin lalu pergi keluar kota An-sui bersama kakek itu. Mereka kini berjalan dan bercakap-cakap. Lin Lin disuruh mengerahkan kepandaiannya, akan tetapi ia melihat betapa kakek pendek itu berjalan seenaknya saja di sebelahnya akan tetapi tak pernah tertinggal.

“Kalau merayap seperti keong begini, kapan bisa sampai di sana?” Kakek itu bersungut-sungut.

“Kau maksudkan sampai di tempat Suling Emas, Kek?”

“Di mana lagi? Bukankah kita men­cari dia? Tapi kau harus belajar ilmu pukulan lebih dulu untuk menghadapinya. Mari!” Kakek itu menyambar tangan Lin Lin dan tiba-tiba Lin Lin merasa betapa larinya menjadi cepat bukan main, dua kali lebih cepat dari pada biasanya.

Menjelang pagi mereka berhenti di sebelah hutan yang kecil tapi amat indah. Bermacam bunga memenuhi hutan. Musim semi kali ini benar-benar telah merata sampai di hutan-hutan dan membiarkan seribu satu macam bunga berkembang amat indahnya.

“Heh-heh, bagus di sini. Kita main-main di sini!” Kakek itu cepat sekali memilin akar-akar pohon menjadi tambang dan beberapa menit kemudian ia sudah berayun-ayun, duduk di atas sepotong kayu yang diikat dan digantung oleh dua helai tambang pada cabang pohon. Persis seperti anak kecil main ayun-ayunan.

Melihat kakek itu main ayunan sambil tertawa-tawa gembira, Lin Lin menegur, “Kek, katanya hendak mengajar ilmu kepadaku?”

“Aku sedang mengajarmu sekarang. Kau lihat baik-baik!”

Lin Lin mengerutkan alisnya. Celaka sekali, kakek ini selalu main-main. Masa ia akan diajari main ayunan? Kalau saja ia tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri betapa kakek itu dapat lari seperti terbang, memiliki gerakan tangan yang luar biasa cepatnya ketika meminjam tusuk kondenya, tentu ia tidak percaya bahwa kakek ini seorang sakti. Jangan-jangan kakek ini hanya mempunyai kepandaian lari cepat saja dan hendak mempermainkannya? Betulkah dia orang sakti? Kenapa begini? Tidak bersepatu, pakai anting-anting seperti perempuan, dan wataknya seperti anak kecil.

“Kek, kau ini sebenarnya siapakah? Namamu saja aku belum tahu.”

“Heh-heh, aku pun belum tahu namamu. Apa sih artinya nama? Waktu lahir kita tidak membawa nama, kan?”

Lin Lin tidak mau pedulikan lagi filsafat yang aneh-aneh dari kakek itu. “Kek, namaku Lin, sheku tentu saja...” Lin Lin hendak mengatakan “Kam”, akan tetapi kakek itu sudah mendahuluinya.

“...tidak ada karena kau bukan she Kam. Aku siapa, ya? Orang-orang menyebutku Kim-lun Seng-jin. Gagah namaku, ya? Heh-heh, Kim-lun adalah roda emas. Nah, ini dia.”

Ketika tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sepasang gelang emas. Disebut gelang bukan gelang, karena tengahnya dipasangi ruji-ruji seperti roda. Garis tengahnya satu kaki. Agaknya sepasang roda emas ini tadi disembunyikan di balik baju. Seperti ketika mengeluarkan tadi, sekali bergerak roda itu sudah lenyap lagi. Begitu cepatnya seperti sulapan saja.

“Namaku Roda Emas, memang hidup ini berputaran seperti roda. Cocok sekali, kan? Heh, A-lin, apakah kau sudah memperhatikan pelajaran ini?”

Lin Lin terkejut, juga geli mendengar ia dipanggil ‘A-lin’. Gerakan kakek itu amat cepat ketika mengeluarkan sepasang roda atau gelang tadi. Akan tetapi apakah benda-benda itu merupakan senjata? Andai kata dijadikan senjata, tadi pun tidak dimainkan. Kakek itu tiada hentinya berayun, bagaimana bisa bilang memberi pelajaran?

“Pelajaran yang mana, Kek?”

“Hehhh! Hidung dan gigimu bagus, seratus prosen Khitan, tapi otakmu sudah ditulari kebodohan orang kota! Lihat baik-baik!”

Lin Lin melihat baik-baik. Baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu bukanlah berayun sembarang berayun. Tubuhnya sama sekali tidak tampak bergerak, kakinya tidak dipakai mengayun, akan tetapi tambang itu terus berayun seperti ada yang mendorong. Anehnya, kadang-kadang ayunan itu terhenti di tengah jalan, baik sedang terayun ke belakang mau pun sedang terayun ke depan. Dengan duduk di ayunan mampu menghentikan gerakan ayunan, inilah hebat, seperti main sulap saja.

“Nah, kau sudah lihat sekarang? Untuk dapat berayun begini, kau harus memiliki Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Selaksa Kati). Biar pun kosong, namun mengandung tenaga laksaan kati biar pun berat dan kuat, namun kosong. Inti pelajaran ini kelak dapat membuat tubuhmu menjadi ringan atau berat menurut sesukamu, dan lari terbang bukan menjadi lamunan kosong lagi.”

Mulailah Lin Lin menerima gemblengan dari kakek aneh itu. Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti yang jarang muncul di dunia kang-ouw, selalu bersembunyi dan tidak suka mencari perkara. Orangnya aneh, selalu bergerak sendiri tidak mau terikat oleh perkumpulan atau oleh negara. Munculnya tiba-tiba, akan tetapi selalu meninggalkan kesan mendalam pada para tokoh kang-ouw. Biar pun tidak ada orang yang dapat menduga sampai berapa dalamnya ilmu kakek ini karena ia tidak pernah mau melibatkan diri dalam pertandingan dan permusuhan, namun mereka itu yakin bahwa kakek ini tak boleh dibuat main-main. Bahkan Thian-te Liok-koai, Si Enam Jahat atau Enam Setan Dunia sendiri tidak berani main-main terhadap Kim-lun Seng-jin...


BERSAMBUNG KE JILID 03


Cinta Bernoda Darah Jilid 02

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 02

Setelah selesai mengurus pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan Nikouw membuka sampul surat yang ia temukan dalam kamar adik seperguruannya. Sampul surat yang memang ditujukan kepadanya. Ia membaca isi surat itu, menggeleng-geleng kepala memanggil Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin berkumpul. Di depan mereka ia baca lagi surat itu dengan suara keras. Surat itu singkat saja, seperti berikut:

Kui Lan suci yang mulia.
Surat ini kubuat lebih dulu, menjaga kalau-kalau aku tewas dalam menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu urusanku dengan dia, tak seorang pun boleh mencampuri, dia berhak menuntut seorang di antara kami harus mati untuk membiarkan yang lain hidup di samping Bwee Hwa. Sengaja kusuruh anak-anak pergi menjemput Suci.

Kalau aku tewas, kiranya Bwee Hwa tentu akan membunuh diri seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam hubungan kami dengan orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua tewas, harap Suci atur anak-anak.

Peti hitam itu selain berisi harta pusaka yang sengaja kusimpan, juga terdapat sebuah gelang emas dengan huruf Bu Song. Kau tahu, itu adalah gelang emas milik Bu Song. Harta pusaka itu diberikan kepada empat orang anak, bagi rata, jangan bedakan sedikit juga antara Bu Song dan Lin Lin serta yang dua orang. Akan tetapi suruh tiga orang anak itu pergi mencari Bu Song sampai dapat. Aku tidak tahu di mana ia berada, pengetahuanku tentang dia sama dengan pengetahuanmu, Suci, maka kau ceritakan kepada mereka.

Kalau aku tewas di tangan Giam Sui Lok, pesan semua anak-anak jangan mencari dan membalas dendam kepadanya. Sudah terlalu banyak orang she Giam itu menderita karena aku.

Hormat Sute-mu,
KAM SI EK


Sambil terisak-isak mendengarkan bunyi surat pesan terakhir dari ayah mereka itu, tiga orang anak ini pun terheran-heran dan banyak hal yang mereka tidak mengerti.

“Kalian tentu tidak tahu siapa itu Bu Song. Baiklah pinni ceritakan secara singkat. Dahulu, sebelum Ayahmu menikah dengan Ibumu setelah menang berebutan dengan Giam Sui Lok, Ayahmu adalah seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki tunggal diberi nama Bu Song, Kam Bu Song. Pada waktu itu Bu Song sudah berusia sembilan tahun kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena kematian isterinya, melainkan karena perceraian. Ibu Bu Song seorang ahli silat yang kepandaiannya jauh melebihi Ayahmu, sayangnya... hemmm, hal ini terpaksa kuberitahukan, dia itu dahulunya adalah seorang gadis dari golongan hitam. Wataknya keras, dan mungkin karena inilah ia berpisah dari Ayahmu yang lalu menikah lagi dengan Ibumu.”

“Dan ke mana perginya... eh, Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah dia itu terhitung kakakku, karena dia pun putera Ayah?” tanya Bu Sin, berdebar hatinya mendengar bahwa dia bukanlah anak sulung, melainkan yang kedua dan di sana masih ada kakaknya yang hampir sepuluh tahun lebih tua dari padanya.

“Itulah yang selalu mengganggu hati mendiang Ayahmu. Ketika mendengar bahwa Ayahmu akan menikah dengan Ibumu, Bu Song, anak yang keras hati seperti ibunya itu diam-diam minggat pada malam hari dan sampai saat ini tidak diketahui di mana tempat tinggalnya.”

Hening sejenak. Tiga orang anak itu merasa terharu. “Apakah Ayah tidak mencarinya, Sukouw?” tanya Sian Eng.

“Tentu saja. Malah tujuh tahun kemudian Ayahmu mendengar bahwa puteranya itu berada di kota raja sebagai seorang pelajar yang menempuh ujian. Nama yang dipakainya tetap Bu Song, akan tetapi shenya she Liu, agaknya ia menggunakan she ibunya.”

“Liu Bu Song...,” kata Lin Lin, agaknya hendak mengingat-ingat nama itu di hatinya. Entah mengapa, ia merasa ter­tarik dan ada perasaan simpati di hatinya terhadap Liu Bu Song. Mungkin hal ini karena ia teringat akan nasibnya sendiri sebagai seorang anak pungut yang sudah tidak beribu bapak lagi.

“Akan tetapi ketika Ayahmu mencarinya ke sana, Bu Song sudah menghilang lagi dan sampai sekarang Ayahmu tidak tahu di mana dia berada. Sekarang, Ayah kalian menghendaki supaya kalian pergi mencarinya. Bagaimana pendirian kalian akan hal ini?”

“Sukouw, teecu merasa lebih perlu untuk pergi mencari setan dalam peti mati yang membawa suling itu. Teecu takkan mau pulang sebelum dapat membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibu!”

“Teecu juga!” kata Sian Eng.

“Tentu saja teecu juga,” sambung Lin Lin. “Akan tetapi teecu juga akan cari sampai dapat dia itu... eh, Kakak Bu Song.”

Kui Lan Nikouw mengangguk-angguk. “Pinni tidak dapat menyalahkan kalian untuk dendam ini, apa lagi kalian hanya orang-orang muda yang berdarah panas. Akan tetapi janganlah kalian terlalu sembrono dan mengira akan mudah saja mencari orang yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti yang membawa suling. Hemmm, apa lagi melihat kepandaian orang itu, andai kata kalian dapat menemukannya, agaknya belum tentu kalian akan dapat menang. Oleh karena itu, pinni perkenankan kalian pergi merantau mencari kakak kalian dan juga sekalian mencari musuh besar itu. Akan tetapi, apa bila kalian sudah bisa bertemu dengan musuh besar itu, kalian tidak boleh bertindak sembrono, lebih baik kalian memberi tahu kepada pinni. Kalau pinni mampu, tentu pinni akan membantu kalian. Andai kata tidak mampu, pinni masih dapat minta bantuan orang-orang pandai yang pinni kenal. Berjanjilah bahwa kalian tidak akan bertindak sembrono, baru pinni memperkenankan kalian pergi.”

Tiga orang muda itu berjanji akan mentaati pesan ini. Sebulan kemudian, berangkatlah tiga orang kakak beradik itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka menumpang perahu mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur mendengarkan cerita tukang perahu yang gemar berceloteh.

********************


kho ping hoo serial cinta bernoda darah


Berhari-hari tiga orang muda she Kam itu melakukan perjalanan dengan perahu, menikmati pemandangan yang amat indah di kanan kiri sungai. Tukang perahu bercerita banyak tentang keadaan kota-kota besar dan perubahan-perubahannya semenjak Wangsa Sung berdiri.

“Kita sudah dekat dengan kota Wu-han,” tukang perahu itu berkata dan wajahnya sekarang berubah menjadi gelisah. “Seperti telah saya nyatakan ketika Sam-wi (Anda Bertiga) menyewa perahu ini, saya hanya dapat mengantar sampai di Wu-han saja dan selanjutnya untuk menuju ke kota raja, Sam-wi dapat melakukan perjalanan melalui darat.”

Mendengar ini, Lin Lin bertepuk tangan dan berjingkrak girang. “Bagus sekali! Aku sudah bosan duduk dan tidur di perahu berhari-hari, kedua kakiku pegal-pegal karena tidak dipakai berjalan. Empek tukang perahu, masih berapa lama lagikah kita sampai di Wu-han?”

“Tidak lama lagi, Nona, sore nanti juga sampai. Akan tetapi menyesal sekali, saya tidak akan dapat mengantar sampai ke kota, terpaksa harus berhenti di luar kota.”

“Eh, kenapa begitu, Lopek?” Bu Sin menegur. “Bukankah kita sudah janji akan turun di Wu-han dan membayar sewanya kepadamu di sana?”

“Maaf, Tuan Muda. Tentu saja saya akan merasa senang sekali mengantar Sam-wi sampai ke kota, akan tetapi saya tidak berani melakukannya.”

“Tidak berani? Kenapa?” Sian Eng ikut bicara.

“Karena hal itu berarti bahwa uang sewa yang akan saya terima dari Sam-wi, takkan dapat kubawa pulang, paling banyak hanya setengahnya yang akan dapat saya miliki. Wah, jembel-jembel busuk itu benar-benar membuat hidup kami para nelayan tidak tenteram lagi, Nona.”

“Apa maksudmu? Siapa itu jembel-jembel busuk? Harap ceritakan kepada kami,” Bu Sin mendesak dengan rasa penasaran.

“Mereka merajalela sekarang, Tuan Muda, jembel-jembel busuk itu. Semenjak Kerajaan Sung berdiri, mereka itu kini mempunyai pengaruh yang amat besar. Di mana-mana, terutama di kota-kota besar, pengemis-pengemis itu berkelompok dan bergabung. Mereka menggunakan praktek pemungutan pajak liar. Apa lagi di Wu-han. Saya mendengar bahwa Wu-han merupakan pusat, maka di sana berkeliaran banyak sekali pengemis dan setiap orang harus tunduk terhadap mereka. Para nelayan harus membayar pajak kepada mereka setiap kali mendarat, baik berupa hasil penangkapan ikan mau pun hasil menyewakan perahu.” Tukang perahu itu kelihatan berduka dan penasaran.

“Aiiihhh, mana ada aturan begitu?” Lin Lin membanting kaki dengan marah.

“Lopek, apakah yang berwajib tidak melarang mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang?” Bu Sin bertanya penasaran.

Tukang perahu menggelengkan kepalanya. “Mereka tidak berdaya. Pengemis-pengemis itu lihai, semua pandai ilmu silat. Selain itu, mereka itu mengaku sebagai bekas-bekas pejuang yang membantu pendirian Kerajaan Sung. Oleh karena itu, Tuan Muda, kalau Sam-wi kasihan kepada saya, harap Sam-wi sudi turun di luar kota saja, karena kalau diteruskan sampai ke Wu-han, tidak urung uang sewa itu akan mereka minta sebagian atau kalau saya sedang sial, mungkin mereka akan merampasnya semua.”

Merah wajah Bu Sin dan kedua adiknya. “Tidak, Lopek! Kita terus ke Wu-han dan kami yang tanggung bahwa jembel-jembel busuk yang jahat itu tidak akan mengganggumu!”

“Tapi....”

“Kalau perlu pedang kami ikut bicara!” Lin Lin berseru sambil meraba gagang pedangnya.

Tukang perahu tidak berani membantah lagi. Dengan muka berkerut-merut penuh kekhawatiran tukang perahu melanjutkan perahunya. Benar seperti yang dikatakannya tadi, menjelang sore, perahu sudah tiba di luar tembok kota Wu-han. Di kota Wu-han inilah Sungai Han memuntahkan airnya ke dalam sungai Huang-ho dan di tempat ini merupakan pelabuhan sungai yang ramai. Mendekati tempat ini, tukang perahu pucat mukanya dan tubuhnya gemetar ketakutan.

“Celaka, Tuan Muda, lihat di sana, mereka benar-benar sudah siap merampok saya...,” bisik tukang perahu.

Bu Sin dan dua orang adiknya memandang, akan tetapi tidak ada yang aneh di pelabuhan itu. Karena hari telah sore, pelabuhan itu nampak agak sunyi, hanya beberapa orang nelayan yang sibuk, ada yang menambal perahu, ada yang menjemur jala dan menambal layar. Empat orang pengemis duduk di atas tanah bermalas-malasan. Apakah pengemis-pengemis kurus kering itu yang ditakuti tukang perahu? Hampir saja Lin Lin terkekeh memikirkan hal ini, namun tak dapat ia menahan hatinya bertanya.

“Lopek, kau maksudkan empat ekor cacing tanah itu yang akan mengganggumu?”

“Sssttttt, Nona jangan bicara terlalu keras...,” tukang perahu makin pucat.

“Dan Tuan Muda harap suka memberikan uang sewa sekarang juga kepada saya, jangan di depan mereka itu....”

“Tidak, Lopek. Kami malah hendak melihat apa yang mereka akan lakukan terhadapmu. Jangan khawatir, kalau mereka berani merampokmu, kami akan memberi hajaran kepada mereka,” kata Bu Sin.

Dengan terpaksa tukang perahu minggirkan perahunya. Empat orang pengemis itu menoleh ke arah perahu. Seorang di antara mereka yang hidungnya bengkok, menguap lalu berkata keras tanpa berdiri dari tempat duduknya di atas tanah.

“Heee, tukang perahu, dari manakah kau?”

Mengherankan sekali melihat seorang pengemis menegur secara begini dan si tukang perahu menjawab dengan sikap hormat, “Kami datang dari daerah Propinsi Shan-si, dusun La-kee-bun dekat Sungai Han.”

Empat orang pengemis itu sekarang berdiri mengulet dan menguap. Si Hidung bengkok melangkah lebar menghampiri, tanpa pedulikan Bu Sin dan dua orang adik perempuannya yang sudah meloncat turun dan berdiri memandang dengan mata tajam. “Ho-ho-ho-ho, perjalanan yang jauh sekali. Tentu biayanya banyak. Berapa kau terima?”

“...hanya... hanya dua puluh tail... itu pun belum saya terima...,” jawab si tukang perahu ketakutan.

“Goblok benar! Sejauh itu hanya dua puluh tail? Kau ditipu! Atau kau yang bohong? Setidaknya harus lima puluh tail!”

Si tukang perahu makin takut. “Betul, sahabat. Hanya dua puluh tail, akan tetapi Tuan Muda dan kedua Nona ini membagi makan dengan saya dan....”

Lin Lin sudah tidak sabar lagi mendengarkan percakapan ini. Ia melangkah maju dan telunjuk kanannya yang runcing menuding muka pengemis itu. “Hih, kau ini pengemis tukang minta-minta ataukah perampok? Ada sangkut-paut apa denganmu tentang urusan kami dengan tukang perahu?”

Pengemis itu memandang heran, lalu terbahak. “Ha-ha-ha, Loheng (Kakak), kau lihat anak ayam ini. Nona cantik, kau belum mengenal kami, ya? Kalau kau tahu siapa aku, hemmm, kau akan lari terkencing-kencing!” Empat orang pengemis itu tertawa mendengar ucapan terakhir ini.

“Jembel busuk! Siapa sudi mengenal macammu? Aku hanya tahu bahwa kau seorang jembel kotor yang berhidung bengkok. Minggat dari sini kalau kau tidak ingin aku membikin hancur hidungmu yang bengkok dan menjijikkan itu!” Lin Lin membentak dan melangkah maju. Bu Sin dan Sian Eng yang sudah mengenal watak Lin Lin tidak mau mencegah, apa lagi mereka memang mendongkol menyaksikan sikap para pengemis itu. Mereka siap menghadapi pertempuran dan membantu Lin Lin.

Pengemis berhidung bengkok marah sekali. Dengan sikap memandang rendah ia mendekati Lin Lin. “Bocah liar, kau perlu dihajar!” Lengannya yang panjang itu diulur maju dengan jari-jari tangan terbuka, agaknya hendak menangkap Lin Lin.

Gadis ini tentu saja tidak sudi mem­biarkan pengemis itu menyentuhnya. Tubuhnya berkelebat cepat sekali, kaki kirinya melayang ke atas dan....

“Prakkk!” ujung sepatunya telah mencium muka pengemis itu dengan keras.

Si pengemis itu terhuyung ke belakang, mengaduh kesakitan sambil menutupi mukanya. Darah bercucuran keluar dari hidungnya yang kini menjadi makin miring dan bengkok ke kiri! Matanya yang kanan menjadi hitam dan tak dapat dibuka lagi.

“Setan cilik, kalian berani mencari perkara dengan kami orang-orang dari Pek-ho-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Bangau Putih)?” Tiga orang pengemis yang lain lalu bergerak menerjang Lin Lin.

Gadis ini tertawa mengejek dan menghadapi mereka tanpa gentar sedikit pun juga. Bu Sin dan Sian Eng tentu saja tidak mau berpeluk tangan melihat Lin Lin hendak dikeroyok.

“Jembel-jembel jahat, jangan kurang ajar!” Sian Eng berseru dan tubuhnya berkelebat menghadapi seorang pengemis.

Bu Sin tanpa mengeluarkan suara juga menerjang maju menghadapi pengemis kedua. Ada pun pengemis yang memaki tadi sudah bertanding melawan Lin Lin. Tiga orang muda ini tidak mau mempergunakan pedang ketika melihat bahwa lawan mereka hanyalah orang biasa saja yang mengandalkan ilmu silat pasaran dan hanya pandai main gertak saja. Lin Lin menghadapi lawannya sambil tertawa-tawa, mempermainkannya dengan kelincahan tubuhnya sehingga semua serangan lawan itu hanya mengenal angin kosong belaka.

Tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh orang karena mereka ingin menonton pertempuran itu. Kejadian yang amat mengherankan mereka, akan tetapi diam-diam mereka mengkhawatirkan keselamatan tiga orang muda itu. Hampir setahun lamanya para pengemis Pek-ho-kai-pang itu merajalela, tak seorang pun berani menentang mereka. Sekarang ada tiga orang muda asing yang datang-datang bertempur melawan pengemis-pengemis itu, tentu saja mereka amat tertarik dan berbondong-bondong datang menonton. Bahkan orang-orang dalam kota Wu-han yang mendengar berita ini bergegas datang untuk menonton. Akan tetapi banyak di antara mereka terlambat karena ketika mereka datang ke pinggir sungai, pertempuran itu sudah selesai.

Bu Sin yang wataknya pendiam dan tidak mau main-main, segera dapat merobohkan lawannya dengan sebuah tendangan kilat. Pengemis itu terlempar, bergulingan dan tak dapat tertahan lagi tubuhnya menggelinding ke dalam sungai! Sian Eng juga merobohkan lawannya semenit kemudian. Pukulannya dengan tangan miring yang ‘memasuki’ lambung lawan membuat pengemis lawannya itu roboh menekan-nekan perut dan meringis kesakitan, duduk berjongkok tak tentu geraknya, tapi tidak mampu bangun kembali.

“Stoppp!” Lin Lin membentak dengan mengulur lengannya ke depan, menyetop pengemis yang menjadi lawannya.

Pengemis itu kaget, mengira gadis itu benar-benar hanya menyetopnya saja. Ia pun berdiri dengan memasang kuda-kuda dan memandang heran.

“Stop dulu sebentar, ya?” Lin Lin melangkah mendekati pengemis bekas lawan cicinya yang kini mendekam di atas tanah itu. Kakinya bergerak dan... tubuh pengemis itu terlempar ke dalam sungai menyusul kawannya! Setelah melakukan hal ini, Lin Lin menghampiri lawannya kembali yang masih berdiri memasang kuda-kuda, lalu berkata manis, “Nah, sekarang boleh teruskan!”

Sikap gadis yang lincah jenaka ini memancing ledakan ketawa dari para penonton. Memang sudah terlalu lama mereka tertekan oleh para pengemis, merasa penasaran dan marah yang ditahan-tahan. Sekarang ada tiga orang muda memberi hajaran, hati mereka lega dan puas. Biar pun biasanya mereka takut terhadap para pengemis Pek-ho-kai-pang, sekarang menyaksikan sikap gadis remaja yang cantik jelita dan jenaka itu, mereka tak dapat menahan kegembiraan mereka.

Lawan Lin Lin marah bukan main, sedangkan pengemis hidung bengkok yang menjadi orang pertama mendapatkan hajaran, siang-siang sudah meninggalkan tempat itu sambil mendekap hidungnya yang remuk. Kemarahan lawan Lin Lin membuat Lin Lin makin gembira. Ia tidak peduli betapa pengemis itu sudah mengeluarkan sebatang tongkat dan menyerang dengan tongkat di tangan.

“Wah, baunya yang tidak tahan!” Lin Lin menggunakan tangan kiri memijat hidungnya dan kini hanya menghadapi tongkat pengemis itu dengan tangan kanan saja.

Memang lincah sekali gerakan Lin Lin. Tongkat itu biar pun diputar dan dipukul-pukulkan bertubi-tubi, tak pernah dapat menyentuh ujung bajunya. Malah beberapa kali, dengan gerakan kilat, gadis ini sudah berhasil memutar ke belakang lawannya dan mengirim tendangan ke arah pantatnya sampai mengeluarkan suara berkeplok dan debu mengebul dari celana yang kotor itu. Para penonton terkekeh-kekeh geli dan ada yang memegangi perut saking menahan tawa.

“Lin-moi, lekas bereskan dia!” Bu Sin mengerutkan kening, membentak adiknya.

“Sudah beres, Sin-ko!” jawab Lin Lin.

Dan tanpa pengemis itu dapat mengerti, tahu-tahu tongkatnya sudah terampas di tangan kanan gadis itu dan kini ia terpaksa terhuyung-huyung mundur dan miring ke kanan kiri karena digebuki dengan tongkatnya sendiri. Lin Lin terus menggebuk pundak, mendorong dada dan akhirnya pengemis yang mundur-mundur itu terjengkang masuk ke dalam sungai!

Karena takut dipermainkan terus oleh Lin Lin, tiga orang pengemis itu membiarkan tubuh mereka hanyut oleh air sungai dan baru berenang mendarat setelah agak jauh dari tempat itu. Ada pun Bu Sin segera membayar tukang perahu yang ketakutan dan menyuruhnya cepat-cepat pergi dari situ. Tanpa diperintah dua kali, si tukang perahu lalu mendayung perahunya sepanjang pinggir sungai melawan arus yang tidak begitu kuat.

Bu Sin maklum bahwa mereka telah membuat ribut di tempat ini, maka ia segera mengajak kedua orang adiknya untuk memasuki kota Wu-han, tidak mempedulikan orang-orang yang tadinya menonton dan kini memandang kepada mereka penuh kekaguman dan kekhawatiran sambil membicarakan peristiwa tadi.

Karena malam telah tiba dan mereka merasa lelah sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan di waktu malam, Bu Sin mengajak dua orang adiknya ber­malam pada sebuah rumah penginapan yang berada di sebelah timur pusat kota. Sebuah rumah penginapan yang sederhana, namun cukup bersih. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah penginapan, mereka tidak pernah melihat adanya pengemis. Lega hati Bu Sin, karena ia sudah merasa khawatir kalau-kalau urusan itu berkepanjangan dan mereka akan menemui kesulitan dari kawan-kawan empat orang pengemis tadi.

“Wah, cerita empek tukang perahu tadi dilebih-lebihkan,” kata Lin Lin. “Katanya di sini berkeliaran banyak pengemis jahat, mana buktinya? Hanya empat ekor cacing tanah tadi yang tiada gunanya sama sekali.”

“Eh, Lin-moi, kenapa sih kau agaknya ingin sekali melihat pengemis-pengemis lagi? Mau apa?” tegur Sian Eng setengah menggoda.

“Ingin memberi hajaran lagi kalau mereka benar-benar jahat, biar kapok!” jawab Lin Lin.

“Lin-moi, jangan sembrono kau. Apakah kau kira setelah melihat empat orang pengemis jahat tadi, kau lalu menganggap bahwa semua pengemis jahat belaka? Yang tidak jahat patut dikasihani, seperti dia itu, bukankah patut dikasihani?” Bu Sin menunjuk ke arah seorang pengemis tua yang duduk kedinginan di bawah pohon yang berada di depan rumah penginapan.

Lin Lin dan Sian Eng memandang. Memang patut dikasihani pengemis tua ini. Ia duduk bersila melenggut bersandarkan tongkat bututnya, pakaiannya penuh tambalan, tubuhnya menggigil kedinginan, rambutnya riap-riapan seperti rambut orang gila. Kakek ini sudah tua sekali, kedua matanya meram dan dari pinggir matanya keluar kotoran bertumpuk. Bibirnya agak terbuka dan air liurnya bertetesan keluar. Menjijikkan, namun juga menimbulkan kasihan.

Dasar Lin Lin berwatak aneh dan mudah sekali berubah. Gadis ini semenjak kecilnya memang sudah aneh. Mudah marah, mudah menangis, mudah tertawa. Kalau marah hanya sebentar, kalau menangis pun hanya sebentar, dan sebagian besar waktunya tentu diisi dengan tawa dan berjenaka. Kini melihat keadaan kakek ini, tiba-tiba saja kemarahannya terhadap para pengemis tadi lenyap. Ia merogoh saku bajunya, mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke pangkuan kakek itu. Akan tetapi kakek pengemis itu masih saja tidur.

Bu Sin dan Sian Eng terkejut, akan tetapi karena mereka sudah tahu akan watak Lin Lin yang memang aneh, mereka tidak berkata apa-apa, hanya di dalam hati mengeluh bahwa kalau Lin Lin bersikap seroyal ini terhadap semua pengemis, sebentar saja mereka akan kehabisan bekal di jalan! Masa memberi sedekah kepada seorang pengemis sampai sepotong uang perak? Namun, karena hal itu telah terjadi, mereka tidak mencegah dan ketiganya segera memasuki rumah penginapan, minta sewa dua buah kamar. Sebuah untuk Lin Lin dan Sian Eng, sebuah lagi untuk Bu Sin.

Karena merasa lelah, tiga orang muda itu tidak pergi keluar untuk makan, melainkan menyuruh seorang pelayan rumah penginapan memesan makanan. Selagi mereka makan, terdengar ribut-ribut di luar. Ketiganya keluar dan apa yang terjadi di luar? Ternyata pengemis tua itulah yang menimbulkan keributan.

Tadinya orang-orang di dalam ruangan depan rumah penginapan itu, yakni para tamu yang kebetulan duduk di ruangan depan mendengar suara orang berteriak-teriak marah. Seorang pelayan wanita membawa lampu ke luar dari ruangan untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Kiranya pengemis tua itulah yang berteriak-teriak, “Nyamuk keparat! Nyamuk gila!”

Kakek pengemis itu masih duduk, akan tetapi sekarang tubuhnya yang masih duduk itu terpental-pental ke atas dalam keadaan masih bersila. Debu mengebul di bawahnya ketika tubuhnya itu terbanting-banting, tangan kanannya mengusir nyamuk yang merubungnya, tangan kiri memegangi tongkat. Wanita pelayan itu kaget sekali. Siapa yang takkan menjadi kaget dan heran melihat orang duduk bersila dapat berloncatan seperti itu? Beberapa orang tamu berlari ke luar dan sebentar saja banyak orang melihat kakek itu.

Bu Sin dan dua orang adiknya juga bergegas ke luar, meninggalkan meja makan. Mereka bengong dan terkejut. Itulah pertunjukan ginkang yang hebat. Makin lama tubuh kakek itu meloncat makin tinggi seperti terbang, sedangkan keadaannya masih duduk bersila. Yang lebih hebat lagi, uang perak yang tadinya berada di pangkuan kakek itu sekarang berada di bawahnya, juga uang ini ikut berloncatan di bawah pantat si kakek jembel!

“Nyamuk keparat!” kakek itu masih bersunggut-sunggut, tapi kata-kata sambungannya yang tak dimengerti orang lain itu mengejutkan Bu Sin dan adik-adiknya, “Keparat, uang perak membatalkan niatku membunuh tiga ekor nyamuk!”

Setelah berkata demikian, kakek itu melirik ke arah Bu Sin dan adik-adiknya. Sekarang tampak oleh mereka bahwa kakek itu matanya buta sebelah. Kakek itu bangkit berdiri, meludah sekali, lalu berjalan pergi terbongkok-bongkok dibantu tongkatnya.

Orang-orang tertawa. “Kakek itu gila, rupanya...”

Akan tetapi Bu Sin dan adik-adiknya lebih mengerti. Sama sekali bukan kakek gila, melainkan seorang sakti yang luar biasa. Apa lagi ketika mereka memandang lebih jelas, kiranya uang perak yang tadi masih ditinggalkan di situ dan uang itulah yang tadi diludahi si kakek. Ketika Bu Sin membungkuk untuk melihat lebih jelas, uang itu ternyata telah melesak dan melengkung oleh ludah.

Pucat wajah Bu Sin. “Celaka...!” pikirnya. “Tentu yang dimaksudkan dengan tiga ekor nyamuk tadi adalah kita bertiga!” Tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengajak dua orang adiknya masuk ke dalam kamar, membereskan bekal pakaian dan malam itu juga ia mengajak adik-adiknya meninggalkan kota Wu-han!

“Eh, kenapa kau seperti orang ketakutan?” tanya Lin Lin.

“Lin-moi, karena perbuatanmu memberi sedekah tadi, nyawa kita sampai detik ini masih selamat,” jawab Bu Sin sambil mengajak dua orang adiknya berjalan cepat.

“Eh, apa maksudmu, Koko?” Sian Eng kaget sekali, juga Lin Lin memandang kakaknya dengan mata terbelalak.

“Kalian ini bocah-bocah sembrono sekali. Tidak lihatkah tadi betapa kakek pengemis itu memperlihatkan ilmu ginkang yang amat luar biasa? Dan uang perak itu, diludahi saja menjadi bengkok dan rusak! Tidak salah lagi, dia tentu seorang sakti dan melihat pakaiannya, agaknya dia seorang di antara pimpinan perkumpulan pengemis. Lupakah kalian akan kata-katanya tadi bahwa uang perak membatalkan niatnya membunuh tiga ekor nyamuk? Tentu yang ia maksudkan tiga ekor nyamuk adalah kita bertiga. Agaknya dia tadinya bermaksud membunuh kita bertiga, akan tetapi karena Lin Lin memberinya sepotong uang perak, ia membatalkan niatnya. Sungguh berbahaya!”

Lin Lin membanting kaki. “Kakek keparat! Kita menaruh kasihan dan memberi sedekah, dia malah menghina, menyebut kita nyamuk dan memandang rendah sekali. Sin-ko, kenapa kau tadi tidak bilang kepadaku? Sedikitnya aku dapat mencoba kepandaiannya, sampai di mana sih tingginya maka dia begitu sombong?”

“Lin-moi, jangan bicara sembarangan. Dia orang sakti!” bentak Bu Sin.

“Aku tidak takut!” Lin Lin mengedikkan kepala membusungkan dada.

Bu Sin hendak marah, akan tetapi segera ditekannya perasaannya. Ia tidak bisa marah kepada Lin Lin. Pertama karena memang ia amat sayang kepada adik angkatnya ini, kedua, karena ia merasa tidak enak kalau harus marah kepada adik angkat, khawatir kalau-kalau Lin Lin merasa dibedakan. Memang, biar pun masih muda, Bu Sin mempunyai watak yang baik sekali.

“Lin-moi, lain kali kau harus mentaati kata-kata Koko jangan banyak membantah. Kau membikin Sin-ko menjadi bingung dan marah saja!” Sian Eng menegur Lin Lin.

Setelah ditegur, barulah Lin Lin insyaf. Sambil tertawa ia menyambar tangan Bu Sin. “Sin-ko, apakah kau marah kepadaku? Apakah aku banyak rewel? Ampunkan saja aku, ya kakak yang baik?”

Mau tak mau Bu Sin tertawa juga. “Kau memang nakal.”

“Memang aku nakal, tapi tidak galak seperti Enci Sian Eng!” Lin Lin mengerling ke arah cicinya. Kini Sian Eng yang cemberut dan tangannya menyambar hendak mencubit lengan adiknya. Lin Lin meloncat, lari memutari tubuh Bu Sin dan menjerit-jerit, “Sin-ko, tolong... Enci galak mau bunuh aku...!”

“Hushhh, gila kau, Lin-moi! Masa bunuh, siapa yang bunuh? Memangnya kau ini seekor semut, gampang saja dibunuh.” Terpaksa Sian Eng menghentikan kejarannya. Tak berdaya ia terhadap adik yang nakal ini.

Karena di sepanjang jalan mereka bersendau-gurau, tanpa terasa tiga orang muda ini sudah keluar dari kota Wu-han melalui pintu kota sebelah timur. Malam telah larut dan keadaan amat gelap karena langit hanya diterangi bintang-bintang. Amat sukar melakukan perjalanan di malam gelap, apa lagi kalau orang tidak mengenal jalan. Tiga orang muda itu selamanya belum pernah melewati jalan itu.

“Sin-ko, kita tidak tahu mana jurusan ke kota raja, dan aku amat lelah,” Sian Eng mengomel. “Sebaiknya kita menunda perjalanan malam ini dan melanjutkannya esok pagi-pagi.”

“Kita sudah keluar dari Wu-han sekarang, boleh saja berhenti. Akan tetapi di mana harus beristirahat? Tidak ada sebuah rumah pun, sejak tadi tidak terlihat api rumah penduduk. Agaknya daerah ini jauh dari dusun.” kata Bu Sin.

“He, kalian lihat. Bukankah di sana itu rumah? Tapi gelap amat...!” Lin Lin tiba-tiba berkata.

Mereka melihat dan benar saja. Di antara kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit itu tampak bayangan sebuah bangunan rumah di sebelah kiri. Seperti diberi komando ketiganya menghampiri rumah itu dan setelah mereka berada di pekarangan depan, kiranya itu adalah sebuah kelenteng yang sudah tua dan tidak terpakai lagi.

“Kita istirahat di sini melewatkan malam,” kata Bu Sin dengan hati lega. Biar pun hanya sebuah kelenteng tua dan rusak, namun cukup lumayan dan jauh lebih baik dari pada bermalam di tengah jalan, di udara terbuka.

Baru saja mereka membersihkan lantai yang berdebu dan duduk, tiba-tiba tampak sinar api dan di depan kelenteng tua itu telah berdiri belasan orang yang memegang obor! Tiga orang muda itu memandang dan terkejutlah mereka ketika melihat bahwa empat belas orang itu berpakaian seperti pengemis!

“Kalian mau apa?” bentak Lin Lin yang sudah meloncat berdiri bersama dua orang saudaranya.

Seorang kakek pengemis bertubuh pendek gemuk, agaknya pemimpin rombongan itu karena hanya dia seorang yang tidak memegang obor, tersenyum lebar dan berkata, “Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah merobohkan empat orang anak buah kami, sekarang pangcu (ketua) kami memanggil Sam-wi menghadap.”

Bu Sin tidak heran menghadapi rombongan ini karena memang ia sudah mengkhawatirkan akibat dari pada sepak terjang mereka di tepi sungai sore tadi. Ia seorang pemuda yang waspada dan hati-hati, akan tetapi mendengar ucapan yang amat memandang rendah itu, ia menjadi mendongkol juga. Biar pun pemimpin mereka seorang pangcu, akan tetapi hanya ketua pengemis saja, bagaimana berani memanggil mereka menghadap seperti sikap pembesar saja?

“Lopek (Paman Tua), peristiwa sore tadi adalah karena kesalahan teman-temanmu sendiri yang hendak melakukan perampokan sehingga terpaksa kami orang-orang muda turun tangan. Kami tidak mempunyai urusan dengan perkumpulan kalian, juga tidak mengenal ketua kalian. Kalau dia mempunyai urusan dengan kami, persilakan dia datang ke sini bicara,” jawabnya dengan suara angkuh dan sikap tenang.

Kakek pengemis gemuk pendek itu tiba-tiba tertawa. “Ha-ha-ha-ha, baru bisa merobohkan empat orang anak buah kami yang tiada guna saja kalian sudah besar kepala. Ah, kalian seperti anak burung yang baru belajar terbang, tidak mengenal tingginya langit luasnya lautan. Orang muda, pangcu kami memanggil kalian menghadap dengan baik-baik, harap kalian mengerti dan dapat menghargai kesabaran ini. Jangan sampai aku orang tua turun tangan terhadap bocah-bocah nakal, aku malu untuk berbuat demikian.”

Seakan meledak rasa dada Lin Lin mendengar ucapan yang amat memandang rendah ini. Ia meloncat maju dan membentak, “Pengemis tua bangka sombong, kau kira kami takut kepadamu? Biar pangcumu datang sendiri, kami tidak akan takut. Kami tidak mau datang, kalian mau apa?”

“Ho-ho, benar-benar seperti katak dalam tempurung! Orang-orang muda, apakah kalian datang dari wilayah Kerajaan Hou-han di Shan-si?”

“Memang kami datang dari wilayah Hou-han, dan kami adalah sebangsa ho-han (orang-orang gagah), apakah kalian baru tahu sekarang?” Lin Lin yang pandai bicara itu menjawab, mendahului kakaknya yang masih diam saja.

Bu Sin maklum bahwa kalau ia membiarkan terus adiknya ini tampil ke depan dan beraksi keadaan tidak akan menjadi lebih baik, malah akan menjadi lebih kacau lagi! Maka ia cepat maju menghadapi kakek pendek itu.

“Lopek, ketahuilah bahwa kami orang-orang muda melakukan perjalanan hanya lewat saja di sini, sama sekali tidak mencari perkara dengan siapa pun juga. Kebetulan saja sore tadi kami bentrok dengan orang-orangmu karena mereka itulah yang mencari perkara. Kami hanya berhenti di sini untuk melewatkan malam, besok kami sudah pergi meninggalkan daerah ini. Harap kau orang tua menghabiskan perkara itu.”

“Kalian hendak kemana?”

“Ke Ibukota Kerajaan Sung.”

“Bagus! Kalian datang dari wilayah Hou-han hendak ke Ibukota Kerajaan Sung? Orang muda, mari ikut dengan kami menghadapi pangcu kami.”

Marah juga Bu Sin. Kakek pengemis ini terlalu memandang rendah. Biar pun di situ ada belasan orang pengemis, apakah dikira mereka bertiga takut?

“Kami tidak akan ikut denganmu!” jawabnya sambil mencabut pedang, diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin. Tiga orang muda ini seperti tiga ekor harimau memperlihatkan taring, dengan pedang di tangan mereka siap menghadapi pengeroyokan. Sedikit pun mereka tidak merasa takut!

“Wah-wah, benar gagah!” kakek itu berkata, lalu memberi isyarat kepada teman-temannya. “Tangkap mereka!”

Bu Sin memutar pedangnya, mengancam, “Mundur kalian! Lihat pedang!”

Namun kakek itu sudah menerjangnya dengan tongkat, juga beberapa orang pengemis dengan tongkat mereka menyerbu Sian Eng dan Lin Lin yang sudah menyambut mereka dengan pedang. Pertempuran hebat terjadi di bawah sinar obor. Tiga batang pedang orang-orang muda she Kam itu berkelebatan cepat bagaikan sinar halilintar menyambar-nyambar dan dalam beberapa jurus saja tiga orang pengeroyok sudah roboh sambil memekik kesakitan.

Pengemis pendek gemuk memberi aba-aba. Bu Sin yang bermata awas melihat betapa para pengemis itu mengeluarkan gendewa dan anak panah! Berbahaya, pikirnya.

“Eng-moi, Lin-moi, padamkan obor dengan am-gi (senjata gelap)!” teriaknya dan tangan kirinya sudah merogoh saku, mengeluarkan senjata rahasianya, yaitu piauw (pisau terbang).

Tangan kirinya bergerak cepat, dua batang piauw menyambar dan terdengar pekik dua orang pemegang obor. Tangan mereka terhujam piauw dan obor yang mereka pegang jatuh, kemudian padam. Lin Lin dan Sian Eng juga sudah mempergunakan kelihaian mereka dengan senjata rahasia mereka, yaitu jarum-jarum halus. Dalam waktu singkat obor-obor itu runtuh dan padam.

Bu Sin mempergunakan kesempatan selagi keadaan gelap ini, memberi isyarat kepada kedua orang adiknya. Mereka maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan dan mereka dikeroyok dengan anak panah, tentu mereka akan celaka. Maka dengan cepat mereka mempergunakan ginkang mereka, memutar pedang untuk menghalau setiap penghalang dan beberapa menit kemudian mereka sudah pergi dari tempat itu, lari di dalam gelap tanpa mengenal arah. Dua jam lebih mereka melarikan diri ke dalam sebuah hutan dan keadaan makin gelap karena daun-daun pohon yang amat rimbun menutupi langit di atas mereka.

“Wah, memalukan benar!” Lin Lin terengah-engah. “Kita lari-lari seperti tiga ekor kelinci dikejar-kejar harimau!” Suaranya jelas menyatakan bahwa ia tak senang melarikan diri ini, merasa sebal dan penasaran.

Bu Sin dan Sian Eng juga berhenti, menyusut keringat dengan ujung lengan baju. “Wah, berbahaya benar,” kata Bu Sin. “Lin-moi, kau benar-benar seperti yang dikatakan oleh kakek pengemis tadi, seperti katak dalam tempurung, tak tahu tingginya langit! Kalau kita tadi tidak cepat-cepat memadamkan obor dan mereka menghujankan anak panah, apa kau kira masih akan dapat bernapas saat ini?”

“Belum tentu, Sin-ko!” bantah Lin Lin. “Kita masih belum kalah, dan andai kata akhirnya kita mati dikeroyok, sedikitnya pedangku akan dapat membunuh beberapa orang lawan. Sedikitnya ada beberapa nyawa musuh yang akan menjadi pengantar nyawaku, mati pun tidak penasaran. Kalau lari-lari seperti ini, benar-benar baru disebut penasaran besar!”

Bu Sin hanya tersenyum. Ia mengenal watak Lin Lin yang nakal dan amat berani itu dan diam-diam ia merasa khawatir kalau-kalau adik angkat ini akan menimbulkan gara-gara kelak. Karena keadaan amat gelap dan mereka tidak dapat mengenal jalan, tiga orang muda itu lalu naik ke atas pohon dan terpaksa bermalam di situ seperti tiga ekor kera kedinginan! Lin Lin tiada hentinya mengomel. Akan tetapi karena mereka amat lelah, mereka dapat tertidur juga di atas pohon dan baru mereka bangun setelah di situ ramai oleh suara burung berkicau menyambut datangnya pagi.

Ketika Lin Lin dan Sian Eng membuka mata, mereka melihat Bu Sin sudah duduk dan memberi tanda dengan telunjuk di depan mulut, menyuruh mereka tidak membuat suara, lalu menuding ke bawah. Mereka memandang dan wajah mereka berubah. Jauh di bawah, kira-kira seratus meter dari pohon tempat mereka bersembunyi, tampak seorang kakek jembel berdiri bersandar tongkatnya. Kakek yang bongkok, rambutnya riap-riapan dan matanya buta sebelah. Kakek pengemis yang peman mereka lihat di depan rumah penginapan, yang diberi uang perak oleh Lin Lin dan kemudian meludahi uang itu sampai penyok!

Dan di depan kakek itu berlutut puluhan orang pengemis, termasuk para pengemis yang mengeroyok mereka semalam. Mereka berlutut tanpa berani berkutik sedikit pun juga! Kakek pengemis bongkok itu terdengar marah-marah.

“Kalian anjing-anjing tiada guna!” terdengar ia memaki sambil membanting-banting tongkat ke atas tanah. “Huh, lebih baik kubunuh kalian semua dan lebih baik aku bekerja seorang diri. Apa artinya punya banyak anak buah melebihi anjing gobloknya?”

Semua pengemis itu menggigil ketakutan dan terdengar mereka minta-minta ampun dan menyebut kakek itu dengan sebutan ong-ya (raja)! Bu Sin dan kedua orang adiknya saling pandang. Muka mereka pucat. Kiranya kakek pengemis bongkok itu adalah semacam raja pengemis yang amat berpengaruh!

“Mana anggota Pek-ho-kai-pang yang membikin ribut itu?”

Bagaikan empat ekor anjing, tampak empat orang pengemis merangkak maju dan berlutut di depan kakek itu. Bu Sin dan dua orang adiknya melihat bahwa orang-orang itu adalah empat orang pengemis yang mereka hajar di tepi sungai kota Wu-han!

“Cih, yang begini mengaku anggota pengemis? Membiarkan diri dihina orang-orang muda. Cuh-cuh-cuh-cuh!” Empat kali kakek itu meludah dan empat orang pengemis itu terjengkang roboh, tak bergerak lagi setelah tubuh mereka berkelojotan sejenak. Mereka telah mati oleh ludah kakek itu!

“Biar ini sebagai pelajaran. Sekali lagi terjadi hal yang memalukan aku akan membunuh semua anggota Pek-ho-kai-pang. Mana ketua-ketua Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang), Hek-liong-kai-pang (Naga Hitam), dan Ang-hwa-kai-pang (Kembang Merah)? Hayo maju sini!”

Tiga orang kakek pengemis tampak merangkak maju dan berlutut di depan kakek bongkok itu. “Perhatikan sekarang. Kalian harus dapat memperlihatkan jasa dan bakti bahwa kalian membantuku. Aku membutuhkan tempat persembunyian Hek-giam-lo. Cari sampai dapat dan kabarkan padaku. Kalau mungkin, selidiki di mana ia menyimpan robekan setengah bagian kitab kecil.”

“Baik, Ong-ya. Hamba akan mengerahkan seluruh kawan di kai-pang (perkumpulan pengemis),” jawab mereka berbareng dengan suara amat merendah.

“Sudah, pergi sekarang. Muak perutku melihat kalian!” kakek bongkok itu mengomel, dan bagaikan anjing-anjing diusir, puluhan orang pengemis itu pergi sambil menyeret mayat empat orang pengemis anggota Pek-ho-kai-pang itu.

Bu Sin dan dua orang adiknya bergidik. Bahkan Lin Lin yang biasanya amat tabah kini tampak pucat. Namun di samping kengerian ini, Lin Lin merasa marah sekali kepada kakek itu yang dianggapnya sombong dan kejam sekali.

“Orang macam dia harus dibasmi Sin-ko,” ia berbisik.

“Ssttt...!” Bu Sin mencegah, namun terlambat.

Kakek itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan berjalan menghampiri pohon besar di mana mereka bertiga berada. Kakek itu sama sekali tidak mendongak, akan tetapi sambil terkekeh ia berkata, “Nyawa tiga orang muda pernah kuhargai seperak akan tetapi sekarang tiada harganya sama sekali.” Tiba-tiba kedua tangannya mendorong dan....

“Kraaakkk!” batang pohon itu remuk dan tumbanglah pohon yang besar tadi.

Bu Sin dan dua orang adiknya bukanlah orang sembarangan, namun menyaksikan hal ini mereka terkejut bukan main. Cepat mereka mengerahkan ginkang dan melompat turun sebelum mereka ikut roboh bersama pohon dan tertimpa cabang dan ranting. Begitu kaki mereka menyentuh tanah, ketiganya sudah mencabut pedang dan siap menghadapi kakek sakti itu. Mereka maklum bahwa mereka takkan diberi ampun, namun mereka bertekad untuk melawan mati-matian.

“Ho-ho-ha-hah, tak tahu diri... tak tahu diri...!” Tiba-tiba tongkat di tangan kakek itu melayang, bagaikan se­ekor ular bergerak-gerak di udara dan menyambar mereka. Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin cepat mengangkat pedang membacok.

“Tranggggg!” Tiga batang pedang di tangan mereka terlepas dari tangan, runtuh di atas tanah depan mereka, sedangkan tongkat itu terpental kembali, melayang ke tangan si kakek bongkok yang tertawa berkakakan. “Ha-ha-ha-ha-hah!”

Bu Sin dan dua orang gadis itu terlalu kaget dan heran akan kesaktian lawan sehingga mereka diam tak bergerak, berdiri seperti patung dan agaknya hanya menanti datangnya pukulan maut. Pada saat itu terdengar suara suling, nyaring melengking bergema di seluruh hutan, makin lama makin dekat. Bu Sin dan dua orang gadis itu tak kuasa mendengar lebih lama lagi, jantung mereka terguncang dan tubuh mereka menggigil, terpaksa mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinga. Biar pun demikian, masih saja suara lengking tinggi itu menembus dan membuat telinga terasa sakit sekali.

Kakek itu kelihatan terkejut pula, lalu tersaruk-saruk pergi meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak menengok ke arah Bu Sin bertiga seakan-akan ia telah lupa akan adanya tiga orang muda itu. Suara suling berhenti dan tiga orang muda itu melepaskan tangan. Terdengar suara orang yang penuh wibawa.

“It-gan Kai-ong! Kau bersama Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni secara pengecut menyerang Bu Kek Siansu dan merampas kitab dan alat khim. Biar pun Bu Kek Siansu tidak peduli dan mengampuni kalian, namun aku tidak bisa membiarkan begitu saja. Berikan kitab dan nyawamu!”

Tak lama kemudian, tampaklah oleh Bu Sin bertiga orang yang bicara ini, akan tetapi hanya punggungnya saja. Dia itu seorang laki-laki yang tinggi besar, membawa suling dan berjalan perlahan.

“Dia bersuling....” Bu Sin teringat akan musuh besar, pembunuh ayahnya. Di lain saat Bu Sin dan Sian Eng sudah menyerang laki-laki itu dengan piauw dan jarum.

Orang itu berjalan seenaknya, seakan-akan tidak tahu bahwa dari belakangnya menyambar senjata-senjata rahasia. Dan tiga orang muda itu melihat dengan jelas betapa tiga batang piauw dan tujuh batang jarum itu mengenai tepat tubuh bagian belakang, namun orang itu tetap saja enak-enak berjalan tanpa menghiraukan sesuatu, seakan-akan semua senjata rahasia itu hanya daun-daun yang gugur. Sebentar kemudian ia lenyap di balik pepohonan.

“Mari kejar...!” Bu Sin berkata.

“Tiada gunanya, Sin-ko. Tak mungkin dapat dikejar,” bantah Lin Lin yang sejak tadi berdiri seperti patung.

Bu Sin maklum akan hal ini, akan tetapi melihat sikap Lin Lin ia mengerutkan kening. “Lin-moi, kenapa kau tadi tidak ikut menyerangnya? Dia pembunuh Ayah!”

“Belum tentu, Sin-ko. Apa buktinya? Lagi pula, aku tidak mau menyerang orang secara menggelap tanpa memberi peringatan. Mendiang Ayah takkan senang melihatnya.”

Merah wajah Bu Sin dan Sian Eng membentak, “Lin-moi, omongan apa ini? Kau tidak membantu, malah mencela. Kalau dia benar musuh besar Ayah, kenapa kita mesti banyak memakai aturan? Jelas bahwa dia berilmu tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kita, perlu apa kita memakai sungkan-sungkan segala? Yang perlu, kita harus dapat membalas dendam!”

Lin Lin menarik napas panjang. “Kalian tahu bahwa aku tidak akan ragu-ragu mempertaruhkan nyawaku untuk membalas sakit hati Ayah. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa dia itu pembunuh Ayah. Dengar saja kata-katanya terhadap kakek iblis tadi. Terang dia itu orang baik, maka memusuhi kakek pengemis iblis yang bernama It-gan Kai-ong tadi. Kalau kita bertindak sembrono dan salah sangka, menjatuhkan fitnah terhadap orang baik-baik, bukankah lebih celaka lagi?”

“Dia bersuling, dia lihai, tidak salah lagi.” kata Sian Eng.

“Kalau memang dia musuh kita, kelak pasti dapat bertemu lagi. Sekarang lebih baik kita lekas pergi dari tempat ini!” kata Bu Sin yang masih ngeri kalau teringat akan pengalamannya dengan kakek iblis tadi. Dengan cepat tiga orang muda ini melanjutkan perjalanan, ke arah jurusan munculnya matahari pagi.

********************

Enam orang laki-laki sederhana itu mengelilingi api unggun di dalam hutan. Mereka adalah pemburu-pemburu binatang yang tampaknya belum memperoleh hasil dan melewatkan malam gelap di dalam hutan besar dengan membuat api unggun, duduk mengelilinginya sambil bercakap-cakap.

Tiba-tiba mereka berhenti bicara dan tangan mereka meraba senjata masing-masing, yaitu tombak panjang. Mata mereka menatap ke satu jurusan dari mana mereka tadi mendengar suara mencurigakan. Dua orang segera memadamkan api unggun. Kemudian mereka merunduk dan menyelinap di balik pohon, menghampiri tempat itu dengan hati-hati. Siapa tahu malam ini mereka beruntung mendapatkan binatang buruan yang kemalaman di situ.

Akan tetapi mereka keliru. Suara yang mereka kira ditimbulkan oleh binatang buruan, kiranya dibuat oleh tiga orang muda yang agaknya baru saja datang dan sedang berusaha membuat api unggun. Seorang tampan dan dua orang gadis cantik. Seorang di antara para pemburu yang berjenggot pendek dan menjadi pemimpin rombongan pemburu enam orang ini tertawa, dan disusul oleh teman-temannya.

Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin terkejut. Cepat mereka menengok menghadapi enam orang yang muncul dari kegelapan itu, sambil tangan meraba gagang pedang.

“Ha-ha-ha, harap Sam-wi orang-orang muda jangan khawatir. Kami hanya pemburu-pemburu binatang biasa, bukan perampok,” kata pemimpin rombongan pemburu.

“Cu-wi mengagetkan saja, muncul begini tiba-tiba dari tempat gelap,” kata Bu Sin setengah menengur.

“Ha-ha, maafkan kami. Kami tadi sedang bercakap-cakap di sana, lalu mendengar suara Sam-wi (Tuan Bertiga) yang kami kira binatang hutan. Heran sekali, bagaimana orang-orang muda seperti Sam-wi ini berada di hutan liar?”

“Kami adalah pengembara-pengembara yang kemalaman di jalan,” jawab Bu Sin singkat. “Maafkan kalau kami mengganggu Cu-wi sekalian.”

“Ha-ha, tidak mengapa... tidak mengapa... hutan ini bukanlah milik kami. Tadinya saya heran melihat Sam-wi yang begini muda berani memasuki hutan liar ini di waktu malam gelap, akan tetapi melihat pedang Sam-wi, keheranan saya hilang. Mari kawan-kawan, kita membuat api unggun di sini saja.”

Mereka membuat api unggun besar dan duduk mengelilinginya. “Tan-twako, kau lanjutkan dongengmu tentang Suling Emas,” kata seorang dan suara ini dibenarkan oleh yang lain.

Laki-laki berjenggot pendek itu berkata sungguh-sungguh, “Bukan dongeng, melainkan kenyataan. Aku sendiri pernah ditolongnya. Sungguh pun aku masih belum dapat memastikan apakah dia itu manusia atau dewa, namun aku sudah amat beruntung mendapat pertolongannya.”

“Ceritakan... ceritakan...!” teman-temannya mendesak.

Bu Sin bertukar pandang dengan dua orang adiknya. Mereka tadinya menaruh curiga terhadap enam orang yang mengaku pemburu-pemburu ini, akan tetapi mendengar disebutnya nama Suling Emas, mereka tertarik sekali. Agaknya kata-kata suling itulah yang menarik perhatian. Bukankah musuh besar mereka adalah seorang yang membawa suling? Karena itu mereka bertiga lalu ikut mendengarkan, sungguh pun mereka memilih tempat duduk yang agak jauh, di atas batu-batu besar dan selalu siap waspada menjaga segala kemungkinan.

“Terjadinya di hutan Hek-yang-liu (Cemara Hitam), kurang lebih tiga bulan yang lalu,” pemburu she Tan itu mulai bercerita. “Kalian tahu hutan itu penuh dengan ular besar. Aku memang hendak berburu ular, mendapat pesanan kulit ular dari saudagar kulit dan jantung ular kembang dari seorang pemilik toko obat di kota Wu-han.”

“Kau memang tabah sekali, Tan-twako, berburu ular besar sendirian saja,” komentar seorang temannya.

“Aku sudah biasa berburu ular, cukup dengan tombak dan anak panah serta gendewa. Dalam waktu dua hari saja aku sudah dapat memanah mati dua ekor ular sebesar paha. Akan tetapi pada hari ketiga, ketika aku sedang menjemur kulit dan jantung ular, tiba-tiba muncul empat ekor harimau yang langsung menyerangku. Mereka adalah dua ekor harimau tua dan dua ekor masih muda. Aku cepat meraih tombak dan melawan, akan tetapi bagaimana dapat melawan empat ekor harimau yang menyerang sekaligus? Agaknya mereka berlumba untuk menerkam aku lebih dulu. Aku dapat menusuk paha seekor harimau, akan tetapi pada saat tombakku masih menancap di paha, harimau jantan yang tua telah menubruk dan menerkam pundak kiriku. Aku melepaskan tombak, mencabut pisau, akan tetapi sebelum aku dapat menusuk dada berbulu putih di atas mukaku itu, harimau kedua sudah menggigit pangkal lengan kananku sehingga pisau itu terlepas, seluruh tubuh terasa nyeri dan aku tak berdaya lagi....”

Lima orang pendengarnya menahan napas. “Twako, kukira apa yang dapat kau lakukan hanya berteriak minta tolong,” kata seorang. Kata-kata ini kalau diucapkan pada suasana yang tidak sedang tegang tentu terdengar lucu.

“Hutan itu sunyi, minta tolong apa artinya? Pula, aku sudah nekat dan siap menghadapi kematian sebagai seorang pemburu!” bantah pemburu she Tan dengan suara gagah. “Akan tetapi agaknya belum tiba saatnya aku mati. Pada waktu itu aku sudah hampir pingsan, pandangan mataku sudah kabur. Tiba-tiba terdengar suara suling yang melingking tinggi. Empat ekor harimau itu agaknya terkejut, aku sendiri merasa seakan-akan kedua telingaku ditusuk jarum dan agaknya aku sudah pingsan. Namun dalam keadaan hampir tak sadar itu aku melihat bayangan orang memegang suling yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Jelas bahwa suling itu terbuat dari pada benda kuning berkilauan, tentu suling emas. Terdengar suara gaduh ketika empat ekor harimau itu meraung-raung dan mengaum, lalu tampak harimau-harimau itu bergerak cepat, menerkam ke depan, terjadi perkelahian cepat yang tak dapat diikuti pandangan mata, kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi....”

“Lalu bagaimana, Twako?” Lima orang pendengarnya makin tegang. Juga tiga orang muda itu mendengarkan penuh perhatian.

“Entah berapa lama aku pingsan, aku tidak tahu. Ketika aku membuka mata, kulihat bangkai empat ekor harimau menggeletak di sana-sini. Anehnya, pundak dan lenganku sudah terbalut oleh robekan bajuku sendiri, rasanya dingin nyaman dan aku tidak merasakan nyeri lagi. Ketika kuperiksa bangkai-bangkai itu, kiranya empat ekor harimau itu pecah kepalanya. Wah, aku pesta besar, tidak saja karena mendapat daging harimau yang menguatkan tubuh, juga mendapatkan empat lembar kulit harimau yang utuh dan indah. Mau aku mengalami hal itu sekali lagi kalau hadiahnya demikian besar.”

“Jadi yang menolong itu adalah Suling Emas, pendekar ajaib yang sering kali kita dengar namanya namun belum pernah menampakkan diri kepada orang lain itu?”

“Agaknya begitulah. Siapa lagi kalau bukan dia yang dapat membunuh empat ekor harimau tanpa merusak kulitnya? Siapa lagi pendekar yang membawa suling emas kalau bukan si Suling Emas?”

Tanpa mereka sadari, Bu Sin dan dua orang adiknya kini sudah duduk mendekat api unggun. “Twako, siapakah sebenarnya Suling Emas itu? Apakah dia itu seorang pendekar yang suka menolong orang? Ataukah dia seorang penjahat yang suka membunuh orang?” tiba-tiba Bu Sin bertanya.

Pemburu she Tan itu tersenyum. “Siapa yang tahu, anak muda? Sepak terjang seorang ajaib seperti dia itu tak dapat diketahui orang. Tentang pembunuh, agaknya dia memang suka membunuh. Pernah aku mendengar betapa gerombolan perampok di muara Sungai Yang-ce sebanyak tiga puluh orang lebih semua terbunuh olehnya.”

“Kabarnya dia pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Heran betul, membunuh perampok-perampok itu adalah pekerjaan pendekar akan tetapi dua orang hwesio alim dari Siauw-lim-pai, kenapa dibunuhnya?” kata seorang pemburu yang berhidung besar.

“Juga ketika terjadi geger di kota raja karena hilangnya burung hong mutiara milik permaisuri, orang-orang mengabarkan bahwa Suling Emas yang mencurinya. Ada yang bilang dia itu sudah tua sekali, seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pelajar kuno. Betulkah ini, Tan-twako? Ketika kau ditolongnya, orang macam apa yang kau lihat?”

“Aku hampir pingsan dan gerakannya secepat kilat, hanya bayangannya saja yang kulihat. Tapi ada yang mengabarkan bahwa dia itu masih amat muda, seorang pemuda yang pakaiannya seperti pelajar. Yang sama dalam berita angin itu hanya tentang pakaiannya. Tentu dia seorang pelajar.”

“Dan pandai bersuling.”

“Suka menolong orang, suka pula membunuh, suka mencuri...”

Macam-macam suara para pemburu ini yang mengemukakan masing-masing, akan tetapi jelas bagi Bu Sin bahwa tak seorang pun di antara mereka tahu akan hal yang sesungguhnya. Diam-diam ia berpikir. Betulkah pembunuh orang tuanya adalah Suling Emas ini? Dan orang yang muncul dengan sulingnya, yang agaknya ditakuti It-gan Kai-ong, apakah dia itu Suling Emas? Pakaiannya memang seperti pakaian pelajar, tapi berwarna hitam. Tentang wajahnya, ia pun tak dapat melihatnya karena orang itu membelakanginya. Tapi jelas pakaian pelajar berwarna hitam dan tubuhnya tinggi besar.

“Sudahlah, apa pun dia, terang bahwa dia adalah seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Tidak baik kita membicarakannya. Siapa tahu ia mendengarkan percakapan kita. Hiiihhh, meremang bulu tengkukku. Orang sakti seperti dia tidak boleh dibicarakan. Kalau sedang baik, memang menyenangkan sekali, akan tetapi kalau marah....” Pemburu she Tan itu menggigil seperti orang kedinginan, menyorongkan kedua lengannya dekat api. “Betapa pun juga, kalau dia marah dan membunuhku, aku tidak akan penasaran karena memang aku berhutang budi dan nyawa kepadanya.”

Sebentar kemudian, keenam pemburu itu sudah tidur mendengkur di dekat api. Mereka ini benar-benar sembrono dan tidak pedulian. Masa enam orang di dalam hutan besar kesemuanya tidur? Tidak berjaga secara bergiliran? Bagaimana kalau api unggun menjilat baju? Mungkin mereka merasa aman karena di situ ada tiga orang muda yang agaknya tidak nampak lelah.

Mendongkol hati Bu Sin. Ia tidak sudi kalau mereka menganggap dia dan adik-adiknya sebagai penjaga keselamatan mereka. Ia mengajak kedua orang adiknya menjauhi tempat itu dan membuat api unggun sendiri, kira-kira empat ratus meter jauhnya dari tempat para pemburu.

Menjelang tengah malam, keadaan amat sunyi di dalam hutan itu. Bu Sin tak dapat meramkan mata sedikit pun. Pengalaman yang mereka alami semenjak keluar dari dusun amatlah hebat. Mulailah mereka berkenalan dengan kehidupan perantauan, bertemu dengan orang-orang kang-ouw dan malah mereka secara tidak sengaja telah terjun ke dalam permusuhan dengan golongan pengemis kang-ouw yang dikepalai atau dirajai oleh seorang tokoh sakti yang mengerikan bernama It-gan Kai-ong. Nama ini takkan mudah terlupa dari ingatannya dan ia tahu bahwa ia harus berhati-hati dan menjauhkan diri dari kakek iblis itu. Lin Lin dan Sian Eng tidur pulas meringkuk di dekat api unggun, berbantal akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah.

Tak baik melakukan perjalanan dengan gadis-gadis ini, pikirnya. Biar pun mereka berdua memiliki kepandaian tidak kalah olehnya, namun mereka tetap perempuan, banyak mendatangkan dan memancing keributan. Ia harapkan dapat bertemu dengan kakaknya, Kam Bu Song di kota raja dan besar harapannya pula bahwa keadaan kakaknya yang sepuluh tahun lebih tua dari padanya itu telah mendapatkan kedudukan yang cukup baik. Ia harus menitipkan kedua orang adiknya kepada kakaknya itu, kemudian ia akan melanjutkan usahanya mencari musuh besarnya itu, seorang diri.

Lewat sedikit tengah malam, Lin Lin bangun. “Sin-ko, sekarang kau tidurlah, biar aku yang berjaga.” Mendengar suara adiknya, Sian Eng juga bangun, mengulet dan menguap.

“Biarlah aku yang berjaga,” katanya. “Kalian tidurlah, aku tidak mengantuk,” kata Bu Sin yang kasihan melihat dua orang adiknya. Ia mengalah dan ingin berjaga semalam suntuk, membiarkan kedua adik perempuannya itu tidur melepaskan lelah.

“Ah, mana bisa, Sin-ko? Kau pun manusia dari darah daging saja, mana tidak lelah dan ngantuk? Biarlah aku dan Cici Sian Eng berjaga,” kata Lin Lin sambil menambah ranting kering pada api unggun sehingga keadaan menjadi hangat.

“Biarlah kita bercakap-cakap dulu, aku tadi merenungkan hasil kepergian kita ke kota raja. Bagaimana kalau kita tidak dapat menemukan saudara tua kita di sana?”

“Sin-ko, jangan khawatirkan hal yang belum kita hadapi. Tentu dia berada di sana. Andai kata tidak ada di sana pun, kurasa mencari seorang bernama Kam Bu Song, putera dari mendiang ayah Kam-goanswe, seorang pelajar yang datang dari Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san, tidak akan sukar. Tentu ada yang mengenalnya di kota raja. Nah, tenang dan tidurlah Sin-ko.”

Bu Sin tersenyum. Adiknya yang sulung ini memang besar hati dan kalau mendengarkan bicaranya memang ia tidak perlu gelisah. Seorang gagah tidak menakuti hal yang belum dihadapi, bahkan hal yang sudah dihadapi sekali pun tidak boleh mendatangkan rasa takut, harus dihadapi dengan tenang dan waspada, demikian pesan ayahnya dahulu.

“Lin Lin, kau benar. Biar kucoba tidur agar besok kuat kupakai jalan jauh.” Bu Sin lalu merebahkan tubuhnya, miring menghadapi api unggun.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, juga dua orang gadis itu meloncat berdiri. Mereka berdiri dan saling pandang, penuh rasa kejut dan seram. Suara melengking tinggi itu masih terdengar mengiang-ngiang ke telinga mereka. Lengking tinggi menusuk telinga, suara suling. Lalu disusul suara pekik ketakutan, atau mungkin pekik kesakitan, betapa pun juga, pekik ini susul-menyusul dan amat mengerikan.

Akhirnya tiga orang itu tidak dapat menahan lagi, telinga serasa pecah oleh lengking itu. Dengan kedua tangan menutupi telinga, Bu Sin memberi isyarat kepada adik-adiknya. Mereka lalu duduk bersila, menutupkan kedua telapak tangan ke telinga, meramkan mata dan bersemedhi, mengerahkan lweekang untuk menjaga isi dada yang terguncang hebat oleh suara itu. Dapat dibayangkan hebatnya suara itu karena biar pun mereka sudah menutupi telinga dan mengerahkan lweekang masih saja suara itu menyerbu masuk ke dalam telinga dan tubuh mereka gemetaran. Akan tetapi berkat lweekang mereka, tiga orang muda itu dapat mempertahankan diri dan tidak terluka dalam.

Hanya sepuluh menit kurang lebih suara itu melengking-lengking, lalu sunyi, sunyi seperti kuburan. Mereka menurunkan kedua tangan. Bergidik ketika saling pandang. Sinar mata mereka saling mufakat bahwa yang bersuara tadi tentulah Suling Emas, karena mereka masih ingat akan suara suling yang pernah menusuk telinga mereka ketika mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi suara suling kali ini amatlah mengerikan.

Sampai pagi tiga orang muda itu tak dapat tidur lagi. Malah mereka duduk bersila mengumpulkan tenaga, siap sedia menanti datangnya bahaya dan mengambil keputusan untuk mempertahankan diri mati-matian biar pun akan datang serangan orang sakti sekali pun. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kesunyian yang mencekam itu segera dipecahkan oleh kicau burung dan kokok ayam hutan.

“Mari kita segera pergi dari sini,” kata Bu Sin. Kedua orang adiknya dapat menangkap pandang mata dan suara hati yang tersembunyi dalam ucapan ini, seakan-akan berkata, “Untung tidak terjadi apa-apa pada kita, lebih cepat pergi dari sini lebih baik.”

Biasanya dalam perjalanan yang lalu, sebelum pergi tentu mereka bertiga akan mencari mata air atau sungai untuk mencuci muka atau mandi, terutama Lin Lin yang suka sekali bermain di air. Akan tetapi kali ini ketiganya agaknya lupa untuk cuci muka dan tergesa-gesa pergi dari situ.

“Ha, Sin-ko, lihat mereka itu!”

Ketiganya memandang. Dari jauh tampak enam orang pemburu itu masih rebah, ada yang meringkuk, ada yang telentang atau telungkup, sedangkan api unggun sudah lama padam.

“Malas amat pemburu-pemburu itu, mengapa belum juga bangun?” kata Sian Eng.

“Mari kita lihat, agak aneh sikap mereka,” kata Bu Sin.

Ketiganya berlari mendekat dan tak lama kemudian mereka bertiga berdiri dengan muka pucat dan bengong. Kiranya enam orang itu sudah tak bernyawa lagi dan kepala mereka, tepat di ubun-ubun, semua telah bolong sehingga tampak otaknya! Tahulah mereka bertiga sekarang bahwa yang menjerit-jerit malam tadi adalah mereka ini, jerit ketakutan dan kengerian.

“Ahhhhh...!” Sian Eng menutupi mukanya, perutnya tiba-tiba terasa mual dan ingin muntah. Lin Lin cepat merangkulnya.

“Tenang, Cici.” Akan tetapi dia sendiri gemetar dan kaki tangannya menjadi dingin.

“Mari kita pergi,” ajak Bu Sin, juga pemuda ini suaranya gemetar.

“Nanti dulu Sin-ko. Tak mungkin kita meninggalkan begitu saja enam mayat ini. Mereka tentu akan dirobek-robek binatang buas.”

“Habis kau mau apa?”

“Kita kubur dulu mereka. Lupakah kepada pesan Ayah bahwa melihat orang kesusahan harus menolong, terhadap orang tua harus menghormat, terhadap anak-anak harus melindungi, dan melihat mayat tak terurus harus menguburnya?”

Seketika wajah Bu Sin menjadi merah. “Terima kasih, Lin-moi. Hampir saja aku lupa akan pesan Ayah karena ngeri dan seram. Mari!”

Sekarang Sian Eng telah dapat menguatkan hatinya dan tiga orang muda ini lalu menggunakan pedang mereka untuk menggali lubang yang cukup besar untuk mengubur enam orang itu. Karena Lin Lin dan Sian Eng merasa enggan mengangkat mayat-mayat lelaki itu, Bu Sin yang turun tangan dan mengangkat mayat-mayat itu seorang demi seorang, dimasukkan ke dalam kuburan secara bertumpuk, lalu mereka bertiga menguruk lubang itu dengan tanah.

Hari telah siang ketika mereka selesai melakukan tugas ini dan cepat-cepat mereka meninggalkan tempat hutan besar itu, menuju ke arah munculnya matahari. Lega hati mereka bahwa mereka tidak menemui gangguan di jalan sampai mereka keluar dari hutan dan melalui dusun-dusun.

********************

Rumah makan itu masih sunyi. Agaknya hari masih terlampau pagi untuk makan. Bu Sin dan dua orang adiknya sudah amat lapar. Maklum, semalam berjalan terus di bawah sinar bulan. Asap berbau sedap yang melayang ke luar dari dalam dapur rumah makan menyerang hidung, membuat mereka tak dapat menahan lapar lagi.

Hanya ada dua meja yang dihadapi tamu. Kebetulan agaknya, dua meja itu adalah meja di ujung kiri dan meja di ujung kanan. Yang sebuah dihadapi seorang laki-laki berjenggot panjang, empat puluhan tahun usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja kedua dihadapi dua orang, agaknya suami isteri, kurang lebih tiga puluhan tahun. Sikap kedua orang ini gagah, baik si suami mau pun si isteri. Mereka duduk berhadapan, makan bubur panas-panas dengan sumpit, cepat sekali seakan-akan mereka tergesa-gesa. Di punggung mereka tergantung gagang dua buah senjata.

Tadinya Bu Sin dan adik-adiknya mengira bahwa mereka itu masing-masing membawa siang-kiam (pedang pasangan), akan tetapi mereka terheran melihat bahwa dua buah senjata itu tidaklah sama. Sebuah pedang dan sebilah golok! Bu Sin dan dua orang adiknya belum sempat memilih tempat, karena pada saat mereka memasuki ruangan depan rumah makan itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.

“Pencuri-pencuri bangsa Hou-han hendak sembunyi ke mana kalian?” Muncullah empat orang laki-laki yang nampak gesit-gesit dan kuat, berlompatan ke dalam dan mereka segera mengurung suami isteri itu. Seorang mencabut pedang, seorang lain mengeluarkan sepasang siang-kek (tombak pendek sepasang), orang ketiga mengeluarkan sebuah cambuk baja yang ujungnya seperti jangkar kecil, sedangkan orang keempat yang agaknya pemimpin rombongan ini, juga yang tadi membentak, memasang kuda-kuda dengan tangan kosong.

“Lebih baik kalian menyerahkan kembali benda itu kepada kami, mungkin kami akan dapat mengampuni nyawa kalian,” kata pula yang bertangan kosong.

Suami isteri itu saling lirik. Ketika si suami menurunkan mangkoknya, isterinya mencela, “Makan dulu sampai habis, baru layani anjing-anjing ini. Mengapa tergesa-gesa?” Keduanya lalu makan terus dengan tenangnya, menghabiskan bubur di dalam mangkok.

Bu Sin dan adik-adiknya amat kagum menyaksikan sikap dua orang ini. Amat tenang dan amat gagah. Namun mereka bertiga tak dapat bersimpati kepada sepasang suami isteri ini karena bukankah tadi rombongan itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah orang-orang Hou-han? Berarti orang yang sekampung dengan Bu Sin bertiga, akan tetapi siapa tahu mereka itu adalah pembantu-pembantu dari Kerajaan Hou-han yang memusuhi mendiang ayah mereka? Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.

Suami isteri itu sudah selesai makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan dua pasang sumpit di tangan meluncur bagaikan anak panah. Empat batang sumpit itu menyerang empat orang yang mengurung mereka. Namun para pengurungnya juga bukan orang sembarangan. Dengan mudah mereka mengelak, dan sumpit-sumpit itu menancap sampai separohnya lebih pada dinding.

“Bagus!” Pujian ini keluar dari mulut laki-laki jenggot panjang yang sejak tadi masih duduk di sudut, menghadapi meja dan tenang-tenang saja sambil makan daging goreng dan nonton adegan di depannya itu. Matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri, agaknya ia gembira sekali dapat makan sambil menikmati tontonan gratis ini.

Melihat betapa sambitan mereka dengan sumpit-sumpit itu tidak mengenai sasaran, suami isteri itu melempar mangkok kosong ke lantai sambil meloncat, dan begitu kedua tangan mereka bergerak, kedua tangan mereka sudah mencabut senjata dan kini tangan kiri memegang pedang sedangkan tangan kanan memegang golok. Mereka membuat gerakan memutar dan sudah berdiri saling membelakangi, siap dengan senjata di tangan. Cerdik mereka, pikir Bu Sin yang menonton di dekat pintu. Suami isteri itu berdiri berhadapan punggung, dengan kedudukan demikian mereka dapat mencegah serangan gelap dari belakang.

Pertandingan dimulai tanpa kata-kata. Empat orang itu segera menyerbu, yang bersenjata pedang dan si pemegang siang-kek mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu dikeroyok oleh si pemegang cambuk dan yang bertangan kosong. Para pelayan rumah makan itu lari berserabutan ke luar sambil berteriak-teriak ketakutan.

Bu Sin dan adik-adiknya menjadi kagum setelah pertempuran itu berlangsung seru. Kepandaian empat orang itu cukup tinggi, apa lagi yang bertangan kosong, akan tetapi gerakan mereka biasa. Sebaliknya, suami isteri itulah yang mendatangkan kagum. Si suami bergerak dengan tenang, namun kedudukannya kokoh kuat seperti batu karang. Sebaliknya, isterinya lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari seakan-akan seekor burung walet yang gesit, mendesak kedua orang lawannya.

Pertempuran itu makin lama makin hebat dan tahulah Bu Sin bertiga bahwa kepandaian mereka itu rata-rata lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian sendiri. Diam-diam ia merasa khawatir sekali dengan warisan ayahnya yang ia miliki, juga kedua orang adiknya, bagaimana mereka bertiga akan dapat merantau di dunia kang-ouw dan lebih-lebih lagi, bagaimana mereka akan mampu mencari dan membalas sakit hati orang tua mereka? Makin dekat dengan kota raja, agaknya makin banyak terdapat orang-orang yang kepandaian silatnya amat tinggi.

Tiba-tiba nyonya muda itu mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya melayang ke atas dan goloknya menyambar lawannya yang paling tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan kosong. Pada saat itu cambuk dari lawannya kedua telah melayang dan melecut, dengan gerakan cepat sekali meluncurlah jangkar kecil runcing itu ke arah lehernya!

“Roboh dia...!” Lin Lin berseru perlahan. Sejak tadi perhatian Lin Lin terpusat pada wanita ini. Ia amat kagum karena maklum bahwa dalam ilmu silat, wanita itu jauh melampauinya, baik dalam permainan senjata mau pun ilmu meringankan tubuh. Akan tetapi karena ia tidak tahu apa persoalannya maka terjadi pertempuran itu, hatinya tidak berpihak ke mana-mana. Betapa pun juga, melihat ujung cambuk yang seperti jangkar kecil itu menyambar leher, ia berseru dengan hati tegang.

Namun wanita yang masih meloncat di udara itu tiba-tiba menggerakkan pinggulnya dan... seperti seekor ular hidup, sabuknya yang panjang itu melayang ke belakang dan ujungnya tepat sekali melibat ujung cambuk. Terjadi saling libat dan tarik-menarik sehingga jalannya pertempuran di pihak wanita itu agak kaku.

Mendadak laki-laki berjenggot pendek yang duduk di sudut itu tertawa dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke dalam gelanggang pertempuran. Bu Sin dan dua orang adiknya kaget sekali, tidak mengira bahwa laki-laki penonton yang aneh itu dapat bergerak secepat itu. Tahu-tahu laki-laki ini sudah mengulur tangannya membetot ujung sabuk dan cambuk yang saling libat sambil berkata, “Tidak ramai kalau begini!”

Hebat orang ini. Sekali renggut saja, libatan dua macam senjata itu terlepas. Kelihatan tangan kirinya tadi bergerak cepat ke arah tubuh laki-laki yang dikeroyok dari belakang. Kemudian setelah cambuk dan sabuk terlepas, sambil tertawa terkekeh-kekeh laki-laki berjenggot ini sudah meloncat ke luar dari tempat itu.

Suami isteri yang menghadapi pengeroyokan berat itu agaknya tidak begitu memperhatikan ikut campurnya laki-laki berjenggot, akan tetapi Bu Sin yang sejak tadi memandang tajam, dapat melihat betapa tangan laki-laki berjenggot itu memegang sesuatu ketika tadi bergerak di belakang laki-laki yang dikeroyok.

“Mari, ikuti dia...!” katanya perlahan memberi isyarat kepada Sian Eng dan Lin Lin. Ketiganya cepat meloncat ke luar pula dan menyusup di antara banyak orang yang berkumpul dan menonton di luar rumah makan.

“Sin-ko, buat apa kita campuri urusan mereka?” Lin Lin mencela, akan tetapi melihat Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat ke luar, terpaksa ia pun mengikuti mereka.

Mereka membayangi si jenggot panjang itu dari jauh dan karena yang dibayangi hanya berjalan seenaknya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengikuti terus. Akan tetapi setelah keluar dari desa itu, si jenggot panjang lalu lari dengan gerakan cepat. Bu Sin yang ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa yang dicurinya tadi dari sepasang suami isteri dari Hou-han, mengajak adik-adiknya mengikuti terus.

Menjelang sore mereka memasuki kota An-sui dan setelah masuk kota laki-laki itu kembali berjalan biasa. Kota An-sui cukup besar dan karena kota ini sudah termasuk wilayah Kerajaan Sung, apa lagi letaknya tidak jauh dari kota raja, maka keadaannya ramai dan di situ banyak terdapat rumah-rumah kuno dan besar milik orang-orang bangsawan. Orang berjenggot panjang itu akhirnya memasuki sebuah rumah besar yang di bagian depannya ditulis dengan huruf besar: GEDUNG PANGERAN SUMA.

Tentu saja kakak beradik itu tidak berani masuk terus. “Kita bermalam di kota ini,” kata Bu Sin dan pergilah mereka mencari rumah penginapan. “Malam nanti kita menyelidik.”

Setelah berada di kamar penginapan, Lin Lin kembali mencela, “Sin-ko, kepergian kita bukankah untuk mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kita? Apa perlunya kita mencampuri urusan si jenggot tadi?”

“Kau lihat sendiri, tadi dia mencuri sesuatu dari suami isteri dari Hou-han itu,” jawab kakaknya.

“Peduli apa kalau dia mau mencuri apa pun juga? Apa sangkut pautnya dengan kita, Koko? Biar pun aku kagum kepada suami isteri yang gagah itu, akan tetapi kita tidak mengenalnya dan tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak mengenal pula siapa lawan-lawannya.”

Bu Sin menghela napas. “Kau benar, Lin-moi. Akan tetapi ada satu hal yang membuat aku tertarik dan terpaksa berpihak kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang dari wilayah Hou-han, seperti juga kita. Siapa tahu kalau-kalau benda yang dicuri si jenggot tadi amat penting bagi Kerajaan Hou-han?”

Berkerut kening Lin Lin. “Sin-ko, kau berpihak kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat bahwa Ayah telah melarikan diri dari kerajaan itu karena kelaliman rajanya?”

Bu Sin tersenyum. “Waktu itu belum menjadi kerajaan, adikku. Ayah seorang setia dan tidak suka akan pemberontakan. Akan tetapi sekarang telah menjadi wilayah Hou-han, aku tidak membela apa-apa, akan tetapi sedikitnya tentu berpihak kepada wilayah sendiri, bukan?”

“Adik Lin, kalau takut, malam ini tidak usah ikut, tinggal saja di kamar, biar aku dan Sin-ko sendiri yang pergi menyelidik,” kata Sian Eng yang tidak senang melihat kerewelan Lin Lin.

Lin Lin tidak marah, malah tertawa. “Cici, kalau ada apa-apa terjadi kapadamu, siapa yang akan menolong kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku ikut.”

“Kalau begitu tak perlu banyak rewel.”

“Kita mengaso dulu sore ini, siapa tahu malam nanti kita harus menggunakan banyak tenaga,” kata Bu Sin. “Aku akan pesan makanan di luar rumah penginapan.”

Tak lama Bu Sin keluar. Ketika masuk lagi wajahnya berubah. “Mereka juga sudah berada di kota ini.”

“Siapa?” tanya Lin Lin.

“Siapa lagi? Suami isteri itu!”

Mendengar ini, Lin Lin tertarik dan mereka menjadi tegang. Apakah sepasang suami isteri itu sudah tahu ke mana perginya orang berjenggot tadi? Apakah mereka sudah tahu bahwa orang itu mengambil sesuatu dari mereka?

“Hebat, cepat benar mereka dapat mengejar ke sini. Agaknya mereka menang dalam pertempuran tadi,” kata Lin Lin. “Apakah mereka sudah tahu tempat si jenggot itu?”

“Kurasa mereka tentu tahu. Mereka itu bukan orang biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang ulung. Akan ramai malam nanti, kita menjadi penonton saja sambil menambah pengalaman,” kata Bu Sin, dan mereka bertiga lalu pergi ke dalam kamar mengaso.

Penghuni rumah gedung itu adalah keluarga Pangeran Suma Kong. Pangeran Suma Kong ini adalah pangeran Kerajaan Sung yang masih merupakan keluarga dekat dengan kaisar. Akan tetapi karena ia pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan kaisar, ia lalu diberhentikan dari jabatannya. Akan tetapi mengingat bahwa ia masih keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya membebaskan dari tugas.

Pangeran Suma Kong lalu mengundurkan diri dari kota raja, tinggal di kota An-sui, hidup sebagai bangsawan ‘pensiunan’ yang kaya, memiliki gedung besar dan sawahnya di luar kota An-sui amat luas. Tentu saja diam-diam Pangeran Suma Kong menaruh dendam kepada Kerajaan Sung, akan tetapi karena ia sudah tua dan merasa tidak berdaya, ia menghibur diri dengan pelbagai kesenangan, tidak mau mempedulikan lagi tentang urusan kerajaan.

Namun tidak demikian dengan puteranya yang bernama Suma Boan. Puteranya ini bukanlah seorang lemah. Diam-diam dia mempelajari ilmu silat dari orang sakti yaitu bukan lain adalah si Raja Pengemis It-gan Kai-ong. Malah diam-diam Suma Boan menghimpun kekuatan, bersekutu dengan Kerajaan Wu-yue di selatan. Karena It-gan Kai-ong sendiri adalah seorang tokoh selatan yang membantu Kerajaan Wu-yue, maka dengan mudah Suma Boan mendapatkan pengaruh di kerajaan itu dan diam-diam mengadakan persekutuan untuk bersama-sama mencari kesempatan baik dan kalau tiba waktunya menggulingkan pemerintahan Kerajaan Sung.

Suma Boan sudah berusia tiga puluhan tahun lebih, belum menikah, namun terhadap wanita ia terkenal jahat dan mata keranjang. Selirnya banyak, di dalam gedung itu saja ada tujuh orang, belum terhitung selir yang di luar gedung. Banyaknya selir itu masih tidak mengurangi kenakalannya untuk mengganggu setiap orang wanita cantik yang menarik hatinya, tidak peduli wanita itu masih gadis, janda mau pun masih menjadi isteri orang lain! Dia beruang, ilmu silatnya tinggi, maka tiada orang berani menentangnya. Di An-sui ia terkenal sebagai jagoan, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja. Di dunia kang-ouw ia juga seorang yang cukup dikenal pula dengan julukannya yang amat takabur, Lui-kong-sian (Dewa Geledek)!

Suma Boan hanya mempunyai seorang saudara kandung, yaitu adik perempuannya yang bernama Suma Ceng, berusia dua puluh tujuh tahun. Suma Ceng sudah lama menikah dengan seorang pangeran dan kini tinggal di kota raja. Para pelayan di dalam gedung itu maklum betapa jauh bedanya watak Suma Ceng yang sudah pindah ikut suaminya di kota raja itu dengan Suma Boan. Suma Ceng seorang wanita yang halus tutur sapanya, lemah lembut dan baik budi pekertinya, ramah dan suka menolong terhadap para pelayan. Sebaliknya, semua pelayan kuncup hatinya dan tunduk ketakutan bila berhadapan dengan Suma Boan.

Malam hari itu, di ruangan sebelah dalam dari gedung keluarga Suma terdengar suara ketawa gembira. Beberapa orang pelayan wanita yang muda dan cantik sibuk melayani tiga orang yang sedang makan minum menghadapi meja besar. Mereka ini bukan lain adalah Suma Boan sendiri, It-gan Kai-ong yang menjadi gurunya, dan seorang laki-laki berjenggot panjang yang pagi tadi dibayangi oleh Bu Sin bertiga.

“Ciok-twako, kali ini benar-benar kau telah berjasa besar. Biarlah kuberi selamat dengan secawan arak!” terdengar Suma Boan berkata sambil tertawa dan mengangkat cawan araknya.

Si jenggot panjang yang bernama Ciok Kam itu tertawa merendah, mengangkat cawan araknya sambil berkata, “Kongcu (Tuan Muda) terlalu memuji. Hanya secara kebetulan saja saya mendapatkan surat itu, bukan sekali-kali karena jasa saya, melainkan mengandalkan rejeki semata-mata dan kemurahan hati Ong­ya yang telah menurunkan beberapa ilmu pukulan kepada saya. Karena itu, penghormatan saya kembalikan kepada Kongcu dan terutama kepada Ong-ya!” Si jenggot panjang menggerakkan cawan ke arah It-gan Kai-ong sambil membungkuk.

“Ha-ha-ho-hoh, Ciok Kam patut menjadi pembantu kita. Surat yang dirampasnya amat penting dan agaknya kau akan dapat mempergunakannya dengan baik muridku. Untuk keuntungan ini mari kita minum sepuasnya!”

Mereka menenggak habis isi cawan dan cepat-cepat seorang pelayan wanita yang cantik, yaitu seorang di antara para selir Suma Boan yang amat dipercayanya sehingga diperkenankan menghadiri pertemuan ini, mengangkat guci dan mengisi cawan-cawan kosong itu.

“Jangan khawatir, Suhu. Surat yang menyatakan hubungan persekutuan antara Kerajaan Hou-han dan Nan-cao ini tentu akan teecu (murid) bawa ke kota raja. Tentu Kaisar akan girang dan berterima kasih sekali kepada teecu dan saat yang baik itu akan teecu pergunakan untuk mencari kedudukan. Biarkan Hou-han dan Nan-cao ribut dengan Sung, biarkan anjing-anjing berebut tulang, kelak kita tinggal memukul mereka. Bukankah begitu, Suhu?”

“Ha-ha, kau lebih tahu akan hal itu. Aku orang tua mana becus memikirkan tentang negara? Kalau ada lawan yang tak sanggup kau hadapi, nah, serahkan kepadaku. Itulah bagianku. Ha-ha-ha!”

“Siapakah orangnya di dunia ini yang dapat melawan Suhu? Agaknya orang itu harus dilahirkan lebih dulu. Bukankah begitu, Ciok-twako?”

“Betul-betul, kepandaian Ong-ya seperti malaikat langit, mengandalkan bantuan Ong-ya, tidak ada cita-cita yang takkan dapat tercapai,” jawab si jenggot panjang bernama Ciok Kam.

Sementara itu, tiga bayangan berkelebat cepat sekali di atas genteng rumah besar itu. Mereka ini bukan lain adalah Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin. Sambil mengerahkan ginkang, dengan hati-hati sekali mereka berloncatan di atas genteng. Di ruangan tengah mereka mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa.

“Lin-moi, kau menjaga di sini, aku dan Cici-mu mengintai,” kata Bu Sin.

Kakak beradik itu lalu menggunakan gerak tipu In-liong-hoan-sin (Naga Awan Membalikkan Tubuh), tanpa mengeluarkan suara keduanya sudah berjungkir balik dengan kedua kaki tergantung pada ujung tembok genteng, tubuh bergantung kepala di bawah seperti dua ekor kelelawar. Lin Lin berjongkok di atas genteng, memandang kagum kepada dua orang kakaknya itu. Ada pun Bu Sin dan Sian Eng dalam keadaan bergantung membalik itu melihat bayangan orang dari jendela, bayangan tiga orang laki-laki yang duduk sambil minum arak dan tertawa-tawa.

“Ha-ha-ha, tikus-tikus kecil macam itu perlu apa diributkan? Kalau tidak ingat akan sepotong uang perak, sudah lama mereka menjadi bangkai.”

Suara ini membuat Bu Sin dan Sian Eng kaget setengah mati. Kiranya itu adalah suara It-gan Kai-ong! Dan mereka malah datang ke tempat itu, benar-benar seperti ular mendekati penggebuk!

“Suhu dan Ciok-twako, duduklah dan lanjutkan minum arak. Hidungku mencium bau harum wanita, tak boleh dilewatkan begitu saja. Suhu, bolehkah?”

“Ho-ho-hah, kalau kau melihat dua orang gadis itu tentu akan membanjir air liurmu. Aku sudah tua, tidak butuh hal itu lagi. Pergilah!”

Tiba-tiba sesosok bayangan hitam yang jangkung melompat ke luar dari ruangan itu, melesat ke arah pintu. Akan tetapi sia-sia, Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat sambil memutar tubuh ke atas genteng lagi. Bukan main heran dan khawatirnya ketika mereka tidak melihat adanya Lin Lin yang tadi berjongkok di atas genteng. Ke mana adik mereka itu?

Namun mereka tidak sempat membingungkan ke mana perginya Lin Lin karena pada saat itu, bayangan laki-laki jangkung yang keluar dari ruangan tadi sudah melesat naik ke atas genteng dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki muda yang berpakaian pesolek, bertubuh jangkung dan berhidung panjang. Muka yang tampan, namun membayangkan kekejaman. Laki-laki ini tersenyum mengejek melihat Bu Sin dan Sian Eng mencabut pedang. Akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia memandang wajah Sian Eng dan senyumannya melebar.

“Melihat wajah temanmu, nyawamu kuampuni. Lekas pergi dari sini dan tinggalkan temanmu ini untuk menemaniku semalam ini,” kata laki-laki jangkung yang bukan lain adalah Suma Boan itu kepada Bu Sin.

Dapat dibayangkan betapa marahnya Bu Sin dan Sia Eng mendengar kata-kata yang amat menghina ini. Akan tetapi karena berada di atas rumah orang dan mereka merasa telah melanggar aturan, maka ia mempertahankan kesabarannya dan berkata. “Harap kau suka menahan mulutmu yang lancang. Lebih baik lepaskan adik perempuanku dan kami akan pergi dari tempat ini. Kami bukan maling, hanya tadi kami mengikuti seorang laki-laki berjenggot panjang yang telah merampas barang orang. Nah, kalau kau tuan rumah, maafkan kami dan kembalikan adikku.”

Mendengar disebutnya laki-laki berjenggot merampas barang, seketika lenyaplah sikap main-main Suma Boan. Ia tidak peduli lagi akan ucapan tentang adik kedua orang ini. “Bagus, kalian mata-mata!” Sekaligus ia menerjang maju dengan serangan yang dahsyat sekali.

Bu Sin dan Sian Eng cepat mengelak sambil melompat mundur dan memutar pedang, akan tetapi pada saat itu dari jendela yang terbuka menyambar angin pukulan yang hebat, yang sekaligus mendorong mereka roboh di atas genteng! Terdengar suara It-gan Kai-ong tertawa bergelak. Kiranya kakek inilah yang mendorongkan tangannya mengirim pukulan jarak jauh dari jendela ke atas genteng! Melihat betapa dua orang muda gemblengan seperti Bu Sin dan Sian Eng dapat roboh dengan sekali terkena dorongan angin pukulan, dapat dibayangkan betapa saktinya raja pengemis itu.

Bu Sin dan Sian Eng kaget bukan main. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh mereka terlempar ke bawah genteng, dan biar pun mereka dapat mempergunakan ginkang untuk mengatur keseimbangan badan dan mencegah terbanting, namun sedikitnya mereka tentu akan luka-luka kalau saja tidak ada dua orang yang menyambar tubuh mereka. Ketika mereka memandang, kiranya yang menolong mereka itu adalah suami isteri yang dikeroyok di rumah makan pagi tadi!

“Adikku masih di atas...,” Sian Eng berkata.

“Sssttt...!” wanita yang tadi menyambar tubuhnya menarik tangan Bu Sin dan Sian Eng berlindung dalam gelap. Mereka memandang ke atas dan apa yang tampak di atas membuat Bu Sin dan Sian Eng seketika pucat, hati mereka berdebar penuh kengerian. Apa yang tampak oleh mereka?

Bukan hanya Suma Boan yang kini berdiri di atas genteng, melainkan ada bayangan kedua, bayangan makhluk yang mengerikan sekali, bukan manusia bukan binatang melainkan tengkorak memakai pakaian hitam! Muka tengkorak putih dengan sepasang lubang mata hitam besar dan gigi berjajar kacau itu benar-benar amat menyeramkan tertimpa sinar lampu yang menyinar dari pinggir gedung, dari atas diterangi bintang-bintang di langit.

Agaknya Suma Boan juga kaget melihat makhluk ini. Terdengar ia berseru keras, “Suhu... Hek-giam-lo di sini!”

Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang di atas genteng dan bayangan muka tengkorak itu berkelebat lenyap dari situ. Sebuah bayangan lain yang gerakannya seperti setan menyambar dari bawah, disusul bentakan It-gan Kai-ong.

“Hek-giam-lo mayat busuk, jangan lari kau!”

Suma Boan tidak terluka hebat. Dia merangkak bangun dan berdiri lagi di atas genteng, meraba bajunya dan dengan suara marah ia berseru. “Celaka...! Hek-giam-lo keparat, surat itu diambilnya...!”

“Bagaimana, Kongcu? Apa yang terjadi...?” kini bayangan si jenggot panjang yang naik ke atas genteng.

“Celaka, kita tertipu!” kata Suma Boan. “Tadinya dua orang bocah itu menuduh kita menangkap adiknya. Ketika mereka dijatuhkan Suhu, eh, tahu-tahu muncul Hek-giam-lo. Ia tidak berkata apa-apa, tapi aku didorong roboh. Ketika Suhu muncul ia melarikan diri, kini dikejar Suhu. Akan tetapi surat itu tidak ada lagi di dalam saku bajuku. Lihat, bajuku robek, siapa lagi yang mampu merampasnya secara begini kalau bukan Hek-giam-lo?”

“Wah, sial betul. Tapi, tak usah khawatir, Kongcu. Kalau Ong-ya sudah mengejarnya, masa tidak akan dapat merampasnya kembali?”

“Belum tentu... belum tentu...!” Suma Boan menggeleng kepalanya. “Dia lihai sekali. Heran aku, siapakah dua orang bocah tadi? Apakah kaki tangan orang Khitan?”

Sambil bersunggut-sunggut dan menyumpah-nyumpah Suma Boan melompat turun dan masuk ke dalam gedung, diikuti oleh si jenggot panjang Ciok Kam. Sebentar saja para pelayan menyambutnya, keadaan menjadi ribut karena orang-orang mendengar tentang penyerbuan musuh di atas genteng.

Akan tetapi Suma Boan membentak, “Tidak ada apa-apa, mundur semua!” Pelayan-pelayan itu, kecuali selirnya yang melayani minum, mundur ketakutan, kembali ke tempat masing-masing.

Suami isteri bersama Bu Sin dan Sian Eng yang bersembunyi melihat semua itu. Bu Sin dan adiknya amat bingung memikirkan Lin Lin, akan tetapi laki-laki itu berkata.

“Adikmu tidak berada di dalam gedung. Tadi kami melihat dia dibawa lari Seng-jin. Lebih baik kalian lekas pergi dari sini, amat berbahaya di sini. Kami berterima kasih bahwa kalian sudah menaruh perhatian akan urusan kami. Biar pun kalian anak-anak keluarga Kam, tidak percuma kalian menjadi orang-orang dari wilayah Hou-han. Nah, kita berpisah di sini.”

“Nanti dulu...!” Bu Sin mencegah. “Siapakah Seng-jin yang membawa adik kami? Dan siapa kalian ini? Urusan apakah yang menimbulkan semua keributan ini?”

Wanita itu yang menjawab kini, tersenyum duka, “Dituturkan tidak ada gunanya, juga tidak ada waktu. Kau takkan mengerti, orang muda. Tentang adikmu, dia tadi dibawa Kim-lun Seng-jin, seorang sakti yang aneh. Percuma kau mencarinya, tak mungkin mengikuti jejak seorang seperti Kim-lun Seng-jin. Tentang kami... hemmm, cukup kau ketahui bahwa kami adalah orang-orang Hou-han dan bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Selamat tinggal, jangan lama-lama berada di sini, pergi cepat. Berbahaya!” Setelah berkata demikian, suami isteri itu berkelebat dan menghilang di dalam gelap.

Bu Sin dan Sian Eng saling pandang. Mereka bingung sekali memikirkan tentang diri Lin Lin. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa kepandaian mereka masih jauh dari pada cukup untuk dapat mencari Lin Lin yang katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin. Sedangkan menghadapi si jenggot panjang dan orang muda jangkung di dalam gedung ini saja sudah terlalu berat bagi mereka, apa lagi It-gan Kai-ong ada di situ! Tidak ada jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali segera menyelinap pergi dari tempat itu, lari ke luar menyelinap-nyelinap di dalam kegelapan malam.

Dengan hati pepat dan gelisah mereka kembali ke kamar rumah penginapan dan alangkah heran akan tetapi juga lega hati mereka ketika mereka melihat tulisan Lin Lin di atas meja, tulisan dalam sebuah kertas berlipat yang singkat saja.

Sin-ko dan Eng-cici,
Terpaksa aku pergi dulu berpisah dengan kalian. Kakek gundul yang menolongku memaksa aku ikut dia sendiri saja. Akan tetapi dia baik dan bilang bahwa dia dapat membawaku ke tempat pembunuh orang tua kita.
Sampai jumpa pula,
Lin Lin


Bu Sin menarik napas panjang, lega hatinya. Tentu yang dimaksudkan di dalam surat, yang disebut oleh Lin Lin ‘kakek gundul’ itu adalah Kim-lun Seng-jin yang tadi diceritakan oleh suami isteri dari Hou-han. Ia tersenyum geli. Kakek gundul yang bernama Kim-lun Seng-jin boleh saja disebut aneh, akan tetapi kakek itu akan ‘ketemu batunya’ kalau melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini kadang-kadang mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan, aneh dan tentu kakek gundul itu akan menjadi banyak pusing olehnya.

“Dia diberi petunjuk orang sakti akan jejak musuh besar kita, itu baik sekali. Mudah-mudahan dia berhasil dan selamat,” katanya sambil merobek-robek surat itu.

“Kita sendiri bagaimana, Sin-ko? Ke mana kita harus mencari atau mengikuti Lin Lin?”

“Dia sendiri saja kalau sudah minggat mana kita mampu mengejarnya, apa lagi sekarang bersama seorang sakti. Kita tidak perlu mencarinya, kita melanjutkan perjalanan ke kota raja. Agaknya akan lebih baik kalau kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, karena sebagai seorang yang lama tinggal di kota raja, tentu dia mempunyai banyak pengalaman dan akan dapat memberi petunjuk kepada kita.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian Eng sudah meninggalkan kota An-sui menuju ke kota raja.

********************

Apakah yang terjadi dengan Lin Lin? Gadis remaja ini mengalami hal yang amat luar biasa. Seperti kita ketahui, ketika Bu Sin dan Sian Eng mengintai ke dalam ruangan gedung itu dengan cara menggantungkan kaki dengan kepala di bawah, Lin Lin berjongkok di atas genteng sambil melihat kedua saudaranya itu. Kaget ia ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng berloncatan ke atas kemudian kedua orang itu roboh ke bawah genteng.

Akan tetapi, selagi ia kebingungan dan khawatir, tiba-tiba serangkum angin pukulan yang dilontarkan oleh It-gan Kai-ong menyerangnya, membuat dia terlempar dan tentu ia pun akan terguling roboh ke bawah kalau saja tidak terjadi hal yang amat aneh. Ia tidak tahu mengapa dan bagaimana, akan tetapi tubuhnya yang sudah terjengkang itu tiba-tiba dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti dibawa angin terbang melalui genteng, cepat bukan main. Tentu saja ia takut sekali dan berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya agar kalau jatuh ke bawah tidak terbanting, namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan kaki tangannya dan ia ‘terbang’ dengan tubuh telentang. Kalau ia tidak mengalami sendiri, tentu ia tidak akan mau percaya bahkan pada saat itu ia mengira bahwa ia sedang mimpi.

Entah berapa lama ia berada dalam keadaan melayang ini, namun ia merasa bahwa ia diterbangkan tubuhnya. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia telah berada di luar kota An-sui!

“Heh-heh-heh, untung kau tidak menjadi korban It-gan Kai-ong,” terdengar suara terkekeh bicara.

Lin Lin membalikkan tubuh, ke kanan kiri, memutar tubuh melihat ke sekelilingnya. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia. Bulu tengkuknya mulai berdiri dan kedua lututnya gemetar. Ia seorang gadis yang tabah dan menghadapi siapa pun juga ia takkan mundur, takkan mengenal takut. Namun kejadian kali ini membuat ia yakin bahwa ia sedang diganggu iblis dan dongeng-dongeng tentang iblis yang pernah ia dengar membuat ia ketakutan.

“Siapa kau?”

“Siapa aku? Aku siapa? Heh-heh, aku sendiri tidak kenal siapa aku ini dan dari mana asalku, apa lagi kau bocah ingusan. Heh-heh-heh! Aku dan kau sama saja!”

Suara itu tepat di belakangnya, maka secepat kilat Lin Lin memutar tubuh dengan gerakan Hek-yan-tiauw-wi (Burung Walet Sabet Buntut), gerakannya cepat bukan main dan ia sengaja mengerahkan ginkang-nya. Akan tetapi, kembali ia hanya melihat tempat kosong, tidak ada bayangan, apa lagi orangnya!

Suara itu masih terkekeh-kekeh, “Heh-heh-heh, siapa aku? Siapa aku? Hayo cari dan tebak, di mana dan siapa aku, heh-heh-heh!” Suara itu tertawa-tawa geli seperti seorang kanak-kanak bermain kucing-kucingan.

Panas juga dada Lin Lin. Ia yakin sekarang bahwa yang bicara itu tentu seorang manusia biasa, biar pun seorang manusia yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Masa aku tidak dapat mencarimu? Demikian pikirnya dengan gemas. Cepat ia melompat lagi, berputaran dan mengeluarkan kepandaiannya untuk membalik sana berputar sini, lari berputaran seperti kitiran cepatnya. Namun tak pernah ia dapat melihat bayangan di sekeliling dirinya, padahal suara itu terus-menerus berbunyi, tertawa-tawa di belakang, kanan dan kirinya!

“Heh-heh-heh! Kau seperti seekor anjing yang berputaran hendak menggigit buntut sendiri. Heh-heh... lucu... lucu... lagi, Nona. Sekali lagi, lucu benar...!”

Tentu saja Lin Lin tidak sudi berputar lagi, malah ia cepat berhenti dan membanting kakinya. Hampir ia menangis. “Kau ini setan apa manusia? Kalau manusia perlihatkan dirimu. Kalau setan minggat dari sini, aku tidak butuh setan!” bentaknya sambil bertolak pinggang.

“Heh-heh, lebih baik jadi setan, biar pun selalu melakukan kejahatan akan tetapi memang itu kewajibannya, kalau tidak melakukan yang jahat-jahat mana disebut setan? Setidaknya setan mengakui kejahatannya, sebaliknya manusia banyak yang pura-pura suci dan bersih, padahal lebih jahat dan kotor dari pada setan sendiri. Heh-heh, Nona, aku di belakangmu, masa kau tidak dapat melihat?” Lin Lin membalikkan tubuhnya dan... tidak melihat apa-apa.

“Kau main kucing-kucingan? Aku tidak sudi main-main denganmu.”

“Lho, aku di sini, lihat baik-baik.”

Lin Lin menurunkan pandang matanya dan benar saja. Di depannya berdiri seorang kakek yang... tubuhnya pendek, hanya setinggi dadanya dan karena kakek itu tadi jongkok tentu saja tidak kelihatan. Sekarang kakek ini berdiri, kedua kakinya yang pendek itu tidak bersepatu, lucu sekali tampaknya. Badannya agak gemuk, kepalanya bundar seperti bola karet, licin tidak berambut sehelai pun juga. Tapi alisnya tebal sekali, dan rambut alisnya itu berdiri menjulang ke atas. Kumis dan jenggotnya panjang melambai sampai ke dada. Kedua daun telinganya lebar seperti telinga arca Ji-lai-hud dihiasi sepasang anting-anting perak. Anehnya, melihat orang seperti itu Lin Lin tak dapat menahan ketawanya.

“Hi-hi-hik, kau ini golongan apa? Apakah pemain wayang?” Lin Lin tertawa dan menutupi mulutnya.

“Memang dunia ini panggung wayang dan kita anak wayangnya. Bagaimana lakonnya dan apa peran yang harus kita pegang terserah Sang Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya Sang Sutradara menghendaki supaya aku menjalankan peran menolong kau dari ancaman It-gan Kai-ong si pengemis busuk.”

“Kakek pendek, bagaimana kau tadi bisa membawa aku terbang? Dan bagaimana kau tadi bisa menghilang? Aku sudah belajar ilmu ginkang bertahun-tahun akan tetapi belum ada sekuku hitam dibandingkan dengan gerakanmu. Apakah kau tadi menggunakan ilmu sihir?”

“Heh-heh, bocah nakal seperti kau ini, baru belajar jalan sudah berani mendaki gunung menyeberangi lautan! Aku tanggung, dengan kepandaianmu yang baru kelas nol itu, kau akan selalu bertemu bahaya dan akhirnya kau akan roboh! Gerakanmu masih begitu kaku dan lambat, kau namakan itu ilmu ginkang? Ho-heh-hoh, lucu amat!”

Panas perut Lin Lin, bibirnya cemberut, matanya bersinar marah. Akan tetapi kakek itu malah tertawa-tawa, memegangi perut dan berjingkrakan seperti tak dapat menahan lagi kegelian hatinya. “Dan pedang itu... heh-heh-heh, bawa-bawa pedang macam itu untuk apa? Apakah untuk mengiris bawang ataukah untuk menyembelih ayam? Heh-heh, untuk itu pun kurang tajam, baiknya untuk menakut-nakuti tikus. Heh-heh, kau takut tikus, kan?”

Lin Lin membanting kakinya. “Kakek pendek, cebol, gundul pacul! Sudah tua ompong masih sombong...!”

Kakek itu tiba-tiba meringis, memperlihatkan isi mulutnya. Hebat! Giginya berderet rapi seperti gigi Lin Lin sendiri. “Kau lihat, siapa ompong? Gigiku tidak kalah dengan gigimu? Hayo kau meringis, kita lihat gigi siapa lebih putih, lebih mengkilap!”

Geli juga hati Lin Lin. Memang gadis ini pun wataknya aneh, mudah marah, mudah gembira. Mudah menangis mudah tertawa. Melihat betapa kakek itu meringis memamerkan giginya, mau tidak mau ia tertawa juga. “Ihhh, jijik ah! Gigimu kuning-kuning begitu!”

Kakek itu kelabakan. “Masa? Ah, mana bisa? Sedikitnya dua kali sehari kugosok dengan bata. Kau bohong...!”

Tampak oleh Lin Lin kakek itu mengulur tangan kepadanya. Ia cepat melangkah mundur, akan tetapi tahu-tahu gelung rambutnya sebelah kiri yang terbungkus sutera itu terlepas karena tusuk kondenya dari perak telah berada di tangan kakek itu. Untuk apa kakek itu merampas tusuk kondenya? Untuk bercermin! Bunga perak pada tusuk konde itu sebesar kuku jari dan kakek itu berusaha untuk bercermin memeriksa giginya dari pantulan sinar bintang yang menimpa bunga perak. Tentu saja hasilnya sia-sia.

Diam-diam Lin Lin terkejut bukan main. Bagaimana kakek itu dapat merampas tusuk kondenya sedemikian cepatnya sehingga sama sekali tidak terasa olehnya? Terang bahwa kakek ini memiliki kesaktian yang hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian itu kepadanya!

“Kek, mengapa kau menolong aku dari tangan It-gan Kai-ong? Mau apa kau membawa aku ke sini?” akhirnya dia bertanya.

Kakek itu mengomel, “Gigiku putih... tidak kuning...!”

“Mengapa kau menolong aku?”

“Siapa bilang gigiku kuning, memalukan!” Kakek itu bersungut-sungut.

Lin Lin hendak marah, akan tetapi melihat sikap kakek itu seperti seorang anak kecil merajuk, ia tertawa lagi. “Memang gigimu putih, siapa bilang kuning?”

“Kau tadi yang bilang!”

“Dan kau percaya? Ih, bodohmu sendiri mengapa percaya. Gigimu putih seperti... seperti kapur.”

Kakek itu nampak girang. Kapur memang putih sekali, maka ia girang mendengar ucapan ini. Tangannya bergerak dan sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Lin Lin. Gadis ini tak sempat mengelak, ketika ia meraba gelungnya, tusuk konde itu sudah berada di tempatnya lagi dan ia sama sekali tidak merasakannya! Makin kagum hatinya.

“Kek, kenapa kau menolongku dan mau apa kau membawa aku ke sini?”

“Karena kau cantik, seperti anakku dahulu.”

Rasa haru sejenak menyelinap di hati Lin Lin. “Di mana anakmu, Kek?”

“Di mana? Di... mana, ya? Sang Sutradara sudah lama membebaskannya dari pada tugas di panggung wayang. Dia tidak main lagi.”

Makin terharu hati Lin Lin. “Anakmu sudah mati?”

Kakek itu tidak menjawab, melainkan tertawa lagi. “Kau gadis bangsaku heh-heh, tak salah lagi. Karena itu aku suka kepadamu, aku menolongmu dan kalau kau mau, biar kuberi bekal padamu agar kelak tidak ada orang berani menghinamu.”

“Aku bangsamu? Bangsa apa Kek?”

“Lihat hidungmu, coba kan sama dengan hidungku? Juga gigimu, sama dengan gigiku. Kau bangsa Khitan, tidak salah lagi.”

Otomatis, terpengaruh oleh ucapan itu, Lin Lin memandang ujung hidungnya. Tentu saja, biar pun kedua matanya sampai juling ke tengah semua, tetap saja ia tidak berhasil memandang hidungnya sendiri. Apa lagi memandang giginya! Betapa pun juga, ucapan ini menusuk perasaannya, membuat jantungnya berdebar tegang. Dia terang bukan anak keluarga Kam karena ia hanya anak pungut. Ayahnya atau siapa pun juga tidak pernah memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah ibunya yang sejati. Karena ini pula ia amat ingin bertemu dengan Bu Song, anak sulung ayah angkatnya itu karena ia menduga bahwa Bu Song tentu tahu akan hal dirinya. Sekarang mendengar kakek ini menyatakan bahwa dia bangsa Khitan, biar pun ia tidak bisa percaya dan tidak mau percaya, hatinya berdebar juga. Akan tetapi, yang paling menggirangkan hatinya adalah pernyataan kakek itu hendak memberinya bekal kepandaian.

“Kau betul-betul hendak mengajarku ilmu kepandaian, Kek? Wah, terima kasih sebelumnya. Aku amat membutuhkan itu, untuk mengalahkan musuh besarku.”

“Heh-heh, tiada musuh besar di dunia ini yang lebih besar dari pada nafsu sendiri. Siapa musuh besarmu?”

“Sayang, aku sendiri tidak tahu, Kek,” Lin Lin menggeleng kepalanya. “Ayah angkat dan sekeluarganya dibunuh orang yang tidak dikenal. Ibu angkatku hanya meninggalkan ucapan terakhir bahwa musuh besar itu bersuling.”

Tiba-tiba kakek itu melompat tinggi sekali, lenyap dari depan Lin Lin. Ketika Lin Lin mendongak dan hendak memanggil, tubuh pendek itu melayang turun dari atas dan sudah berdiri di depannya lagi. “Suling Emas? Suling Emas membunuh orang tuamu? Siapa orang tuamu?”

“Orang tua angkat, Kek. Ayah angkatku namanya Kam Si Ek...”

“Ha-ha-ha-ha, Kam Si Ek Jenderal Hou-han?”

“Kau kenal Ayah angkatku, Kek?”

Kakek itu menggeleng kepalanya. Alisnya yang amat tebal itu berkerut dan bergerak-gerak. Bibirnya juga bergerak-gerak, lalu terdengar kata-katanya. “Aneh tapi nyata. Mungkin sekali Suling Emas....”

Jantung Lin Lin berdegupan. “Apa? Musuh besarku betul Suling Emas itu, Kek? Kau tahu di mana dia? Kalau betul dia, akan kuajak bertanding mengadu nyawa.”

Seketika kakek itu memandang kepadanya seperti terkejut, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya, terbungkuk-bungkuk saking kerasnya ia tertawa.

Lin Lin marah. “Apa yang lucu? Jangan mentertawai aku, Kek. Tak enak melihat kau tertawa, gigimu kuning...!”

Seketika kakek itu berhenti tertawa. “Apa kau bilang? Gigiku putih seperti... seperti...”

“...seperti kapur!” kata Lin Lin tersenyum. “Nah, jangan tertawa saja, apa sih yang lucu?”

“Kau hendak bertanding dengan Suling Emas? Aha, biar kau peras dan kuras habis kepandaianmu, belum tentu kau bisa menang.”

“Tidak peduli. Aku akan menemuinya. Bawa aku kepadanya, Kek, dan kau tentu suka membantuku kalau aku kalah. Kan hidung dan gigi kita sama, bukan?”

“Betul, betul! Kita sebangsa, sesuku, aku akan bantu kau. Awas dia kalau berani ganggu kau!”

Senang hati Lin Lin. Ia berhutang budi kepada keluarga Kam, den jalan satu-satunya untuk membalas budi, hanyalah membalaskan dendam keluarga itu.

“Tapi aku tidak bisa meninggalkan kedua kakakku begitu saja, Kek. Mereka tentu akan gelisah dan mencariku ke mana-mana.”

“Kalau Jenderal Kam ayah angkatmu, mereka tentu saudara-saudara angkat pula, bukan? Kenapa repot-repot?”

“Ih, jangan gitu, Kek. Biar pun saudara angkat mereka itu baik sekali kepadaku, seperti kepada adik kandung sendiri.”

“Baiklah, mari kau bonceng di punggungku, kita meninggalkan pesan di kamar mereka.”

Lin Lin maklum bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti, aneh, dan sikapnya masih kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi ia lalu melompat ke punggung kakek itu dan di saat berikutnya ia harus memegang pundak kakek itu kuat-kuat karena tubuhnya segera melayang seperti terbang cepatnya!

Setelah menulis sepucuk surat untuk Bu Sin dan Sian Eng, Lin Lin lalu pergi keluar kota An-sui bersama kakek itu. Mereka kini berjalan dan bercakap-cakap. Lin Lin disuruh mengerahkan kepandaiannya, akan tetapi ia melihat betapa kakek pendek itu berjalan seenaknya saja di sebelahnya akan tetapi tak pernah tertinggal.

“Kalau merayap seperti keong begini, kapan bisa sampai di sana?” Kakek itu bersungut-sungut.

“Kau maksudkan sampai di tempat Suling Emas, Kek?”

“Di mana lagi? Bukankah kita men­cari dia? Tapi kau harus belajar ilmu pukulan lebih dulu untuk menghadapinya. Mari!” Kakek itu menyambar tangan Lin Lin dan tiba-tiba Lin Lin merasa betapa larinya menjadi cepat bukan main, dua kali lebih cepat dari pada biasanya.

Menjelang pagi mereka berhenti di sebelah hutan yang kecil tapi amat indah. Bermacam bunga memenuhi hutan. Musim semi kali ini benar-benar telah merata sampai di hutan-hutan dan membiarkan seribu satu macam bunga berkembang amat indahnya.

“Heh-heh, bagus di sini. Kita main-main di sini!” Kakek itu cepat sekali memilin akar-akar pohon menjadi tambang dan beberapa menit kemudian ia sudah berayun-ayun, duduk di atas sepotong kayu yang diikat dan digantung oleh dua helai tambang pada cabang pohon. Persis seperti anak kecil main ayun-ayunan.

Melihat kakek itu main ayunan sambil tertawa-tawa gembira, Lin Lin menegur, “Kek, katanya hendak mengajar ilmu kepadaku?”

“Aku sedang mengajarmu sekarang. Kau lihat baik-baik!”

Lin Lin mengerutkan alisnya. Celaka sekali, kakek ini selalu main-main. Masa ia akan diajari main ayunan? Kalau saja ia tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri betapa kakek itu dapat lari seperti terbang, memiliki gerakan tangan yang luar biasa cepatnya ketika meminjam tusuk kondenya, tentu ia tidak percaya bahwa kakek ini seorang sakti. Jangan-jangan kakek ini hanya mempunyai kepandaian lari cepat saja dan hendak mempermainkannya? Betulkah dia orang sakti? Kenapa begini? Tidak bersepatu, pakai anting-anting seperti perempuan, dan wataknya seperti anak kecil.

“Kek, kau ini sebenarnya siapakah? Namamu saja aku belum tahu.”

“Heh-heh, aku pun belum tahu namamu. Apa sih artinya nama? Waktu lahir kita tidak membawa nama, kan?”

Lin Lin tidak mau pedulikan lagi filsafat yang aneh-aneh dari kakek itu. “Kek, namaku Lin, sheku tentu saja...” Lin Lin hendak mengatakan “Kam”, akan tetapi kakek itu sudah mendahuluinya.

“...tidak ada karena kau bukan she Kam. Aku siapa, ya? Orang-orang menyebutku Kim-lun Seng-jin. Gagah namaku, ya? Heh-heh, Kim-lun adalah roda emas. Nah, ini dia.”

Ketika tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sepasang gelang emas. Disebut gelang bukan gelang, karena tengahnya dipasangi ruji-ruji seperti roda. Garis tengahnya satu kaki. Agaknya sepasang roda emas ini tadi disembunyikan di balik baju. Seperti ketika mengeluarkan tadi, sekali bergerak roda itu sudah lenyap lagi. Begitu cepatnya seperti sulapan saja.

“Namaku Roda Emas, memang hidup ini berputaran seperti roda. Cocok sekali, kan? Heh, A-lin, apakah kau sudah memperhatikan pelajaran ini?”

Lin Lin terkejut, juga geli mendengar ia dipanggil ‘A-lin’. Gerakan kakek itu amat cepat ketika mengeluarkan sepasang roda atau gelang tadi. Akan tetapi apakah benda-benda itu merupakan senjata? Andai kata dijadikan senjata, tadi pun tidak dimainkan. Kakek itu tiada hentinya berayun, bagaimana bisa bilang memberi pelajaran?

“Pelajaran yang mana, Kek?”

“Hehhh! Hidung dan gigimu bagus, seratus prosen Khitan, tapi otakmu sudah ditulari kebodohan orang kota! Lihat baik-baik!”

Lin Lin melihat baik-baik. Baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu bukanlah berayun sembarang berayun. Tubuhnya sama sekali tidak tampak bergerak, kakinya tidak dipakai mengayun, akan tetapi tambang itu terus berayun seperti ada yang mendorong. Anehnya, kadang-kadang ayunan itu terhenti di tengah jalan, baik sedang terayun ke belakang mau pun sedang terayun ke depan. Dengan duduk di ayunan mampu menghentikan gerakan ayunan, inilah hebat, seperti main sulap saja.

“Nah, kau sudah lihat sekarang? Untuk dapat berayun begini, kau harus memiliki Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Selaksa Kati). Biar pun kosong, namun mengandung tenaga laksaan kati biar pun berat dan kuat, namun kosong. Inti pelajaran ini kelak dapat membuat tubuhmu menjadi ringan atau berat menurut sesukamu, dan lari terbang bukan menjadi lamunan kosong lagi.”

Mulailah Lin Lin menerima gemblengan dari kakek aneh itu. Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti yang jarang muncul di dunia kang-ouw, selalu bersembunyi dan tidak suka mencari perkara. Orangnya aneh, selalu bergerak sendiri tidak mau terikat oleh perkumpulan atau oleh negara. Munculnya tiba-tiba, akan tetapi selalu meninggalkan kesan mendalam pada para tokoh kang-ouw. Biar pun tidak ada orang yang dapat menduga sampai berapa dalamnya ilmu kakek ini karena ia tidak pernah mau melibatkan diri dalam pertandingan dan permusuhan, namun mereka itu yakin bahwa kakek ini tak boleh dibuat main-main. Bahkan Thian-te Liok-koai, Si Enam Jahat atau Enam Setan Dunia sendiri tidak berani main-main terhadap Kim-lun Seng-jin...


BERSAMBUNG KE JILID 03