Cheng Hoa Kiam Jilid 23, karya Kho Ping Hoo - DENGAN GINKANGNYA yang istimewa, cepat sekali Kun Hong sudah mendaki puncak Wuyi-san. Sambil berlari naik, ia mengatur siasat. Saat ini, tidak perlu ia bersikap kasar dan tidak perlu menantang Wi Liong. Kedatangannya ini terutama sekali hendak mencari keterangan perihal Beng Kun Cinjin yang menurut keterangan ayah angkatnya pada saat kematiannya adalah ayahnya sendiri yang telah membunuh ibunya!

Ia menjadi bingung kalau memikirkan hal ini. Ia harus dapat membuka rahasia ini dan harus mengetahui lebih dulu sedalam-dalamnya sebelum ia mengambil tindakan atas diri Beng Kun Cinjin. Kalau memang betul Beng Kun Cinjin membunuh ibunya, ia akan mencari hwesio itu dan akan membunuhnya biarpun ia itu ayahnya sendiri biarpun ia itu sudah mengobatinya!
Ketika ia tiba di puncak dan rumah tinggal Thian Te Cu sudah di depan mata, Kun Hong memperlambat larinya dan akhirnya ia memasuki halaman dengan amat hati-hati. Tiba-tiba ia berhenti dan memandang ke sebelah kiri bangunan batu kuno itu. Di atas sebuah batu yang bentuknya bundar, duduk Kwee Sun Tek yang buta.
Orang tua ini duduk tak bergerak seolah-olah sudah berubah menjadi patung, pada wajahnya terbayang kekesalan hati. Kerut-merut di pinggir matanya mendatangkan keharuan dalam hati Kun Hong, perasaan yang dahulu tak pernah dialaminya.
Entah mengapa, melihat orang tua buta yang duduk seorang diri di tempat sunyi, kelihatan sedih itu, menimbulkan rasa kasihan di dalam hatinya. Akan tetapi hanya sebentar saja karena pada dasarnya watak Kun Hong amat periang.
Kun Hong menghampiri orang tua itu, menjura di depannya dan berkata, "Kwee Sun Tek lo-enghiong, aku Kun Hong datang memberi hormat!"
Hanya kulit muka itu saja bergerak sedikit, tubuhnya tetap diam. Lalu terdengar Kwee Sun Tek menarik napas panjang. "Murid Thai Khek Sian yang lihai, aku si buta takkan dapat melawanmu. Bocah kurang ajar, kau datang lagi, apakah hendak menimbulkan lain keonaran?”
"Tidak, sekali saja sudah cukup. Aku bertobat takkan mempermainkanmu lagi karena akibatnya cukup memusingkan aku sendiri. Kwee-lo enghiong. Aku sengaja datang ini untuk minta pertolonganmu."
Kalau saja Kwee Sun Tek tidak buta, tentu ia akan membuka matanya lebar-lebar saking herannya. Pemuda murid Thai Khek Sian ini memang aneh sekali. Aneh, lihai dan jahat seperti iblis, seperti juga gurunya, Thai Khek Sian yang menjadi benggolan atau datuk kaum sesat.
"Bocah setan, kau berjanji takkan mempermainkan orang, akan tetapi kata-katamu ini bukankah sudah merupakan main-main? Jangan keterlaluan, pengakuanku bahwa aku takkan menang melawanmu bukan berarti bahwa Kwee Sun Tek takut padamu!"Kun Hong menghela napas. Sikap orang buta ini gagah, mengingatkan ia akan ayah angkatnya yang juga gagah perkasa. "Tidak, Kwee-lo-enghiong. Sungguh mati aku tidak main-main dan aku datang betul-betul mengharapkan bantuanmu."
Suara pemuda ini terdengar sungguh-sungguh membuat hati Kwee Sun Tek menjadi bimbang. "Orang muda yang aneh bantuan apa yang dapat diberikan seorang buta kepadamu?"
"Hanya sedikit keterangan tentang seorang bernama Beng Kun Cinjin...."
"Prakkk...!" Kwee Sun Tek menghantamkan tangan kanan yang dimiringkan ke arah batu karang yang didudukinya sehingga pinggir batu karang itu hancur! Orang tua buta ini tak dapat menahan kemarahannya ketika mendengar nama musuh besarnya yang dibencinya itu.
Kini giliran Kun Hong yang memandang penuh keheranan. Ia teringat akan pesan ayah angkatnya supaya bertanya kepada Kwee Sun Tek. Ternyata betul, tentu ada apa-apa di antara orang tua buta ini dengan Beng Kun Cinjin. "Kwee-lo-enghiong, kenapa kau menjadi marah-marah mendengar nama Beng Kun Cinjin?" tanyanya penuh ingin tahu.
"Orang muda, kau ada hubungan apa dengan Beng Kun Cinjin maka kau menanyakan dia?"
"Dia.... dia itu... musuhku." jawab Kun Hong, tidak berani ia mengakui Beng Kun Cinjin sebagai ayahnya.
"Musuhmu....?" Kali ini Kwee Sun Tek benar-benar kelihatan kaget dan heran sekali. Memang jawaban ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
"Dia... dia telah membunuh ayah...."
"Kam Ceng Swi dibunuhnya pula? Keparat jahanam! Orang muda, kau melihat di manakah? Hayo katakan, di mana adanya jahanam Beng Kun Cinjin sekarang?"
Diberondongi pertanyaan-pertanyaan ini Kun Hong menjawab tenang. "Di Pegunungan Bayangkari, akan tetapi sekarang ia telah melarikan diri, entah ke mana. Kwee-lo-enghiong, sebelum ayah meninggal, dia berpesan supaya aku datang kepadamu untuk bertanya tentang Beng Kun Cinjin. Ternyata kaupun agaknya sakit hati kepadanya."
"Sakit hati? Ah... orang muda dendamku bertumpuk-tumpuk dan aku tidak mau mati sebelum melihat dia terbunuh!" Kwee Sun Tek nampak bernafsu sekali, kemudian ia dapat meredakan pikirannya dan berkata lagi, "Ayahmu betul. Hanya aku yang dapat menceritakan kepadamu tentang iblis itu. Kau duduklah dan dengarkan ceritaku.”
Kun Hong mengambil tempat duduk di atas sebuah batu hitam di depan Kwee Sun Tek. mendengarkan dengan penuh perhatian dan dada berdebar. Ia tahu bahwa sekarang ia hendak mendengar pembukaan rahasia orang yang mengaku sebagai ayahnya itu, orang yang telah membunuh ibunya!
"Kau sebagai murid Thai Khek Sian, apakah kau tidak tahu bahwa dia itu terhitung saudara seperguruanmu sendiri karena dia adalah putera susiokmu Gan Yan Ki?”
"Hal itu sudah pernah kudengar." Kun Hong mengaku lalu menutup mulut karena ingin mendengar kelanjutan cerita orang tua itu.
"Beng Kun Cinjin bernama Gan Tui, dahulunya seorang tokoh kang-ouw yang besar namanya dan dapat disebut seorang gagah perkasa. Akan tetapi, biarpun ia sudah menjadi hwesio, ternyata ia lemah menghadapi godaan wanita. Ketika pada suatu malam ia menyerbu istana Kaisar Mongol, ia terpikat oleh seorang selir kaisar bernama Kiu Hui Niang Puteri Harum dan rela menjadi anjing Kaisar Mongol karena ia diberi hadiah puteri itu! Batinnya menjadi rusak dan ia menjadi seorang hina karena pengaruh wanita rendah itu."
Kun Hong menggigit bibirnya, hatinya sakit bukan main mendengar Kiu Hui Niang yang dinyatakan sebagai ibunya itu, kini dimaki-maki orang di depannya. Akan tetapi dia diam saja dan mendengarkan terus, siap untuk mendengar yang sehebat-hebatnya dari mulut orang buta ini.
"Dia mempunyai tiga orang murid. Thio Houw dan isterinya, Kwee Goat dan adik iparnya Kwee Sun Tek..."
Kun Hong menatap wajah orang buta itu dan hatinya berdebar. Jadi Kwee Sun Tek ini dahulunya murid Beng Kun Cinjin?
"Tiga orang murid itu tidak rela melihat guru mereka menjadi anjing Kaisar Mongol, lalu menyerbu ke kota raja untuk memberi peringatan kepada guru mereka. Akan tetapi, Beng Kun Cinjin Gan Tui yang sudah berubah menjadi anjing hina itu, tidak mendengarkan nasihat murid-muridnya, malah dengan keji menyuruh para pengawal mengeroyok sehingga Thio Houw dan isterinya tewas di tangan para pengawal!"
"Keji benar!!" Kun Hong berseru merah.
"Aku sempat melarikan diri, membawa anak enciku yang masih kecil dan pedang Cheng-hoa-kiam milik enciku pemberian guru kami. Akan tetapi manusia iblis itu mengejarku dan biarpun ia tidak membunuhku, dia telah mengorek keluar kedua mataku, membikin aku buta...."
"Setan jahanam benar!" kembali Kun Hong memaki. "Kalau begitu, Thio Wi Liong keponakanmu itu... dia tentulah anak Thio Houw dan isterinya yang terbunuh oleh Beng Kun Cinjin."
"Betul begitu. Nah, itulah yang kuketahui tentang Beng Kun Cinjin...."
"Akan tetapi, selanjutnya bagaimana, Kwee-lo-enghiong? Apa yang terjadi dengan Beng Kun Cinjin kemudian?"
Kwee Sun Tek menarik napas panjang. "Aku hanya mendengar kabar angin saja. Katanya ia telah kena bencana. Manusia jahat selalu dikutuk Thian. Aku mendengar isterinya, perempuan rendah Kiu Hui Niang itu, melahirkan seorang anak laki-laki. Akan tetapi Beng Kun Cinjin mendapatkan isterinya main gila dengan orang lain. Orang itu dibunuhnya dan dia bersama anak isterinya telah menghilang, tidak diketahui lagi bagaimana keadaannya dan sampai saat ini belum pernah aku berhasil mencari tempat sembunyinya."
Sekarang semua jelas bagi Kun Hong. Tak salah lagi. Tentu Beng Kun Cinjin yang marah itu telah membunuh isterinya di dalam hutan dan... dan dia ditolong oleh Kam Ceng Swi. diaku anak. Tentu jenazah ibunya ditemukan oleh Kam Ceng Swi dan gelang itu... gelang itu... tentu saja Beng Kun Cinjin mengenal gelang anaknya!
"Aku tidak tahu entah apa yang terjadi dengan isteri dan anaknya...."
"Isterinya telah dia bunuh dengan kejam di dalam hutan...!" kata Kun Hong di luar kesadarannya, suaranya keras menggigil.
"Dan anaknya....?" tanya Kwee Sun Tek.
"Anaknya....?" Kun Hong melompat dan lari pergi dari situ, turun gunung. Masih terdengar ia memekik, "Akan kubunuh dia! Kubunuh dia....!"
Kwee Sun Tek tersentak kaget dan berdiri dari batu itu. "Kau... kau anaknya....!"
Teringat ia bahwa sepanjang pengetahuannya. Kam Ceng Swi tidak pernah punya isteri atau punya anak. Tentu Kam Ceng Swi yang menolong bocah itu dan memeliharanya, mengakunya sebagai anak sendiri. Dan sekarang Kam Ceng Swi terbunuh pula oleh Beng Kun Cinjin. Sekarang Kun Hong, bocah itu mencarinya untuk membalas dendam atas kematian ibunya, atas kematian ayah pungutnya!
Kwee Sun Tek tertawa bergelak, menengadah ke langit. "Ha-ha-ha, enci Goat dan cihu, kalian lihatlah. Bukankah Thian telah menghukum manusia macam dia? Ha-ha-ha, tidak saja anak kalian yang mencari-carinya untuk membalas dendam, malah anaknya sendiri juga mencarinya untuk membunuh! Ha-ha ha. mendengar ini saja, sudah terobat hatiku....!" Kwee Sun Tek tertawa-tawa, kemudian menjatuhkan diri duduk di atas batu lagi dan menjadi tenang.
Sambil berlari-lari turun Gunung Wuyi-san, Kun Hong berkali-kali mengeluarkan suara menyeramkan, "Akan kubunuh dia... akan kubunuh dia...!"
Di samping kemarahannya dan kebenciannya terhadap ayahnya sendiri, Beng Kun Cinjin Gan Tui yang telah membunuh ibunya, yang telah melakukan perbuatan terkutuk, juga timbul semacam perasaan gundah dan nestapa di dalam dada pemuda ini. Ayahnya seorang yang rendah wataknya dan ibunya... ibunya telah melakukan perbuatan serong, ibunya juga seorang wanita yang tidak tahu malu, seorang berbudi rendah.
Kenyataan-kenyataan pahit ini seperti membuka matanya untuk dihadapkan pada duri-duri tajam yang menusuk-nusuk hatinya. Ia keturunan orang rendah budi, keturunan orang-orang jahat! Terbayang wajah Wi Liong, pemuda yang ternyata adalah keturunan orang-orang gagah, murid-murid yang berjiwa patriotik, yang terbunuh oleh gurunya yang sesat, terbunuh oleh ayahnya!
Bermunculan wajah-wajah orang gagah yang selama ini memusuhinya, dan yang terakhir dan paling mengesankan adalah bayangan wajah Eng Lan! Dia keturunan hina dan rendah ini, anak orang-orang jahat, mana boleh dibandingkan dengan Eng Lan, pendekar wanita yang hidup di lingkungan orang-orang gagah?
Kun Hong berlari terus ke bawah gunung, hatinya tidak karuan, wajahnya pucat. Teringat ia akan nasibnya yang buruk teringat akan usianya yang tinggal setahun lebih atau dua tahun kurang lagi. Ia telah menderita luka akibat pukulan Im-yang-lian-hoan dari Kun-lun-pai. Biarpun pengaruh beracun dari Hawa Im-kang dan Thai-yang di tubuhnya sudah disembuhkan oleh Liong Tosu dan oleh Beng Kun Cinjin.
Namun jantungnya sudah terluka dan ia hanya akan hidup dua tahun lagi kalau tidak mendapat obat dari Ban-mo-to. Bagaimana kalau aku selama dua tahun tak dapat mengejar Beng Kun Cinjin? Demikian pikir Kun Hong cemas. Lebih baik aku berobat dulu, setelah sehat betul baru mencari jahanam itu sampai dapat.
Setelah mengambil ketetapan ini. Kun Hong lalu menuju ke rumah petani yang ia titipi kudanya, ia memberi banyak hadiah sehingga petani tua itu menjadi girang sekali, buru-buru mengeluarkan kuda yang selama pemuda itu pergi ia rawat baik-baik dan beri makan sampai kenyang.
Kun Hong cemplak kudanya dan melarikan kudanya ke timur. Karena batinnya menderita setelah mendengar penuturan Kwee Sun Tek tentang ayah bundanya, ia seperti orang linglung, lupa bahwa sudah hampir dua hari perutnya belum diisi dan ia sedang menderita lapar. Kudanya yang sudah beristirahat dan makan kenyang, dapat lari cepat sekali.
Melalui jalan yang sunyi itu pikiran Kun Hong makin melayang-layang sehingga ia tidak tahu bahwa di tempat yang sunyi itu. jauh di depan dekat gunung kecil batu karang, terdapat tiga orang yang berdiri menantikannya. "Berhenti!"
Bentakan yang nyaring dan tiba-tiba ini menarik kembali Kun Hong dari dunia lamunannya dan barulah ia melihat bahwa ada orang-orang menghadangnya. Cepat ia menarik kendali kudanya dan berhenti di depan orang yang membentaknya tadi.
Orang itu adalah seorang pemuda yang luar biasa gagahnya, berpakaian sebagai seorang panglima perang, bentuk tubuhnya tegap mukanya tampan dan amat gagah. Begitu melihatnya, timbul rasa suka di hati Kun Hong. Seorang pemuda seperti itu sudah tentu memiliki kegagahan yang mengagumkan.
Akan tetapi tidak demikian dengan pemuda gagah itu. Dia berdiri dengan kaki dipentang dan sikapnya membayangkan kemarahan. Ketika Kun Hong melirik ke belakang pemuda gagah itu, ia terkejut karena mengenal dua orang gadis manis yang pernah ia jumpai, yaitu dua orang gadis yang telah membunuh perampok tunggal Thiat-thouw-sai Tan Kak dan merampas uang kemudian ia rampas kembali dan ia kalahkan.
Hatinya menjadi tidak enak karena tentu dua orang gadis itu hendak membalas kekalahan mereka. "Saudara ini siapakah dan ada keperluan apa menyuruh aku berhenti?" tanyanya dengan ramah sambil turun dari kudanya.
Menghadapi seorang dengan sikap demikian angker dan gagah seperti pemuda itu, benar-benar membuat ia tidak enak kalau bicara sambil duduk di atas kuda. Dengan tenang Kun Hong menambatkan kendali kudanya pada batang pohon di pingigir jalan lalu ia menghadapi pemuda gagah itu dengan sikap tenang.
Pemuda gagah itu melirik ke arah kuda dan kantong kain terisi uang emas dan perak, dua kantong yang dirampas oleh Kun Hong dari tangan dua orang gadis itu. Kemudian pandang matanya dialihkan kepada Kun Hong, melirik ke arah pedang yang tergantung di pinggang pemuda itu.
"Aku Kong Bu dan kalau kau seorang dari jalan hitam yang biasa beroperasi di selatan, tentu kaupun tahu bahwa See-thian Hoat-ong Kong Lek In adalah ayahku." Agaknya dengan perkenalan namanya dan nama ayahnya ini, Kong Cu pemuda gagah itu hendak membikin kedar hati penjahat di depannya.
Memang Kun Hong sudah mengenal See-thian Hoat-ong, maka ia cepat-cepat menjura dan tersenyum ramah, berkata. "Ah. kiranya kau adalah putera See-thian Hoat-ong. Pantas saja begini gagah perkasa. Sungguh menyenangkan sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan kau. Aku bernama Kun Hong dan she-ku... she Gan!"
Agak ragu-ragu ia menyebutkan she Gan ini, akan tetapi setelah jelas asal-usulnya, tentu saja ia tidak lagi berhak memakai she Kam. Biarpun ia benci kepada ayahnya sendiri, akan tetapi kalau ayahnya she Gan, habis ia harus pakai she apa?
"Bagus kalau kau sudah mengenal nama ayahku," kata Kong Bu menarik napas lega. "Perlu juga kiranya kau ketahui bahwa aku adalah panglima perang Kerajaan Sung Selatan yang bertugas menjaga keamanan di sekitar pantai timur. Gan Kun Hong, apakah kau sudah mengakui dosa-dosamu?"
Kun Hong tersenyum. Harus ia akui bahwa pemuda di depannya itu gagah sekali, akan tetapi sikapnya masih hijau, masih mentah dan kekanak-kanakan, la tahu bahwa pemuda yang menjadi panglima perang ini tentu maksudkan perbuatannya terhadap dua orang gadis manis itu, akan tetapi ia pura-pura bodoh dan bertanya, "Kong-ciangkun (komandan Kong), kita baru kali ini saling bertemu, bagaimana aku bisa berbuat dosa kepadamu?"
”Jangan kau pura-pura!" Kong Bu membentak sambil meraba gagang goloknya yang besar seperti golok ayahnya. ”Kau lihat, apakah kau tidak mengenal dua orang nona ini?”
Kun Hong menoleh dan memandang kepada dua orang gadis itu sambil tersenyum. Ia lihat gadis yang muda, yang rambutnya digelung dan dibungkus sutera di kanan kiri, gadis yang bernama Hui Sian itu dulu ia pegang kedua lengannya, berdiri sambil bertolak pinggang. Encinya, Hui Nio berdiri di sebelahnya dan dua orang gadis ini memandang kepadanya dengan penasaran.
Diam-diam Kun Hong menjadi merah mukanya, jengah karena tentu ia disangka perampok oleh pemuda gagah itu. Akan tetapi ia tetap tersenyum dan diam-diam ia menduga duga siapa adanya dua orang gadis lihai itu, yang memiliki ilmu cengkeraman seperti yang pernah ia pelajari dan yang sekarang tahu-tahu telah berkawan dengan seorang pemuda gagah putera See-thian Hoat-ong!
Mari kita berkenalan sebentar dengan tiga orang muda itu Pemuda itu adalah putera tunggal See-thian Hoat-ong yang bernama Kong Lek In dan bekas raja muda di Sin-kang. Ibunya sudah meninggal dunia, tewas ketika daerah itu diserbu oleh bala tentara Mongol. Seperti juga ayahnya, pemuda itu yang bernama Kong Bu, memiliki kegagahan.
Malah pemuda ini lalu menghambakan diri pada Kerajaan Sung Selatan untuk memerangi bala tentara Mongol, dan ia mendapat kepercayaan menjaga keamanan di sekitar pantai timur. Tentu saja sebagai putera See-thian Hoat-ong, Kong Bu telah mewarisi ilmu silat dan ilmu golok ayahnya.
Ketika ia mulai memegang jabatannya dan melakukan tugasnya di pantai timur, ia bertemu dengan dua orang gadis enci adik itu yang bernama Liok Hui Nio dan Liok Hui Sian. Ternyata bahwa dua orang gadis ini bukanlah orang orang sembarangan, melainkan murid-murid dari Tai it Cinjin, seorang tokoh besar di dunia kang-ouw sebagai orang sakti Bu-tong-pai!
Di samping Tai it Cinjin, masih ada lagi lm Yang Siangcu. dua orang sutenya yang juga merupakan jago-jago Bu-tong-pai yang sakti. Tentu saja pertemuan dengan orang-orang gagah ini menggirangkan hati Kong Bu. Tai It Cinjin juga suka sekali melihat pemuda ganteng putera See thian Hoat-ong ini, maka ia lalu mengusulkan perjodohan antara Kong Bu dan murid perempuannya yang pertama, Liok Hui Nio.
Kong Bu sendiri tertarik dan suka kepada Hui Nio yang pendiam, cantik jelita dan tinggi ilmu silatnya. Akan, tetapi pertunangan itu belum diresmikan karena Kong Bu menanti kesempatan berjumpa dengan ayahnya untuk minta persetujuan orang tua itu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan secara kebetulan sekali Liok Hui Nio dan adiknya Hui Sian, ketika sedang merampas harta curian perampok tunggal Tan Kak, dua orang kakak beradik ini bertemu dengan Kun Hong dan dikalahkan. Mereka menjadi terheran-heran akan kelihaian pemuda itu, akan tetapi juga penasaran sekali.
Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Kong Bu dan melaporkan tentang pengalaman mereka. Kong Bu marah sekali siapa orangnya yang tidak marah kalau tunangannya dikalahkan orang? Ia mencegah enci adik itu mencari guru mereka.
"Urusan dengan seorang maling cilik saja perlu apa harus mencapaikan guru kalian? Mari kita bereskan sendiri, hendak kulihat sampai di mana kekurang-ajaran maling itu!" Bersama dua orang gadis itu ia lalu pergi hendak mencari Kun Hong, akan tetapi kebetulan sekali sebelum pergi jauh tahu-tahu Kun Hong yang dicari-cari sudah datang.
Demikianlah perkenalan singkat dengan Kong Bu dan dua orang gadis cantik itu yang marah-marah kepada Kun Hong. Sebetulnya kalau mau dibilang marah, yang marah dan penasaran adalah Hui Nio. Akan tetapi Hui Sian, gadis manis jenaka yang rambutnya diikat kain sutera di kanan kiri, diam-diam memandang ke arah Kun Hong dengan mata bersinar-sinar aneh.
Biarpun tangannya bertolak pinggang dan sikapnya seperti seorang musuh, namun sinar matanya lembut menyapu wajah Kun Hong yang tampan. Diam-diam gadis remaja ini amat kagum kepada Kun Hong yang selain tampan, juga amat tinggi ilmu silatnya.
Seperti telah dituturkan di atas, Kong Bu membentak kepada Kun Hong yang sikapnya masih tenang jenaka. "Jangan kau pura-pura, kau lihat, apakah kau tidak mengenal dua orang nona itu?”
Kun Hong yang sudah turun dari kudanya menjura kepada Hui Nio dan Hui Sian. Hui Nio tidak perduli, akan tetapi Hui Sian dengan muka merah balas menjura! "Siauwte memang sudah mendapat kehormatan, berjumpa dengan ji-wi lihiap (dua nona pendekar) ini, hanya sayang sekali tidak dalam keadaan yang menyenangkan...." katanya tersenyum.
"Maling kecil!" Hui Nio melangkah maju, memaki sambil menudingkan telunjuknya yang runcing ke arah hidung Kun Hong. ”Kau sudah merampas barang-barang kami dan menghina kami. Hari ini aku tentu akan mengadu nyawa denganmu!"
Setelah berkata demikian, Hui Nio mencabut pedangnya. Dahulu ketika bertemu dengan Kun Hong, dia dan adiknya menghadapi Kun Hong dengan tangan kosong, sekarang ia mencabut pedangnya karena ia memang ingin sekali menebus kekalahannya yang lalu.
Melihat cara gadis itu mencabut pedang, Kun Hong kagum dan iapun ingin sekali mencoba ilmu pedang gadis-gadis yang mempunyai ilmu cengkeraman yang hampir sama dengan ilmunya sendiri itu. Akan tetapi Kun Hong sekarang jauh sekali bedanya dengan Kun Hong dahulu.
Ketika ia masih merasa menjadi seorang dari golongan gurunya, ia tidak perdulian dan mungkin sekali timbul maksud kotor melihat dua orang enci adik yang cantik jelita dan tinggi ilmunya itu. Akan tetapi nafsu-nafsu buruk dalam dirinya sudah tersapu bersih oleh kerling mata dan senyum Pui Eng Lan kekasih hatinya, yang membuat hatinya menjadi tawar melihat dan menghadapi wanita-wanita lain.
Dahulu, ia lebih mbocengli (tidak tahu aturan) dari pada bekas gurunya Bu-ceng Tok-ong dan selalu mempergunakan aturan-aturannya sendiri seenaknya. Akan tetapi, semenjak bertemu dengan Eng Lan dan terutama sekali setelah ia mengetahui asal-usulnya, mendengar tentang ayah bundanya yang sama sekali tak patut ia banggakan.
Pemuda ini menjadi prihatin sekali. Ia harus menebus semua kesesatan ayah bundanya, ia harus memupuk kebaikan untuk menebus dosa keluarganya! Malah-malah ia merasa menyesal sekali atas segala kesesatan yang pernah ia lakukan.
"Sabar nona. Ada perkara bisa diurus dengan baik-baik. Ada persoalan bisa dirundingkan dan diselesaikan tanpa mencabut pedang," katanya. Sikapnya ketika mengucapkan kata-kata ini keren dan sungguh-sungguh sehingga membuat Hui Nio ragu-ragu dan Kong Bu juga memberi isyarat kepada tunangannya untuk bersabar.
Kemudian Kong Bu bertanya kepada Kun Hong. "Kalau semua tuduhan tadi betul, apa lagi yang harus dirundingkan?"
"Kong-ciangkun, memang aku pernah bertempur dengan dua orang nona ini. Akan tetapi aku sama sekali bukan bermaksud merampas atau menghina... aku sebetulnya...."
"Masih mau menyangkal lagi?" Tiba tiba Hui Sian yang melompat maju dengan marah-marah. "Kuda siapa yang kau naiki tadi? Dua kantung itu bukankah berisi uang emas dan perak? Dan kau... kau sudah memegang kedua tanganku... kau sudah kurang ajar dan menghinaku...!"
Kun Hong menarik napas panjang dan memang harus ia akui bahwa pada malam hari itu, ketika menghadapi Hui Sian yang cantik dan galak, ia hampir lupa kepada Eng Lan! Kini ia teringat dan merasa menyesal bukan main.
"Harap Kong-ciangkun suka mempertimbangkan. Malam hari itu aku melihat dua orang nona ini membunuh orang dan merampas uangnya. Biarpun yang dibunuh dan dirampas itu seorang penjahat, akan tetapi hatiku tidak rela melihat dua orang nona yang... can... eh, yang lihai ini menjadi perampok-perampok."
Merah wajah Kong Bu. Memang ia sudah tahu akan sepak terjang tunangannya, akan tetapi karena memang sudah menjadi pekerjaan Tai it Cinjin sejak dahulu, yaitu membasmi penjahat dan pembesar atau hartawan jahat, merampasi uang mereka untuk dipakai menolong rakyat yang sengsara, maka iapun tidak bisa apa-apa.
"Dua orang nona ini adalah murid Tai It Cinjin, sudah menjadi tugas mereka membasmi penjahat dan merampas hartanya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan pertolongan. Kau mencela orang akan tetapi kau sendiri... tahu-tahu kau malah mencuri uang itu dan kuda!"
Diam-diam Kun Hong terkejut. Pantas saja dua orang nona itu lihai sekali, tidak tahunya mereka murid Tai It Cinjin yang pernah ia temui di puncak Wuyi-san bersama dua orang lain bernama Im-yang Siang-cu yang lihai juga dan yang berhasil merampas pedangnya, Cheng-hoa-kiam!
"Ah, kiranya ji-wi lihiap ini murid Tai It Cinjin? Kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat. Pernah aku bertemu dengan beliau, juga dengan dua orang tua yang disebut Im-yang Siang-cu. Tidak tahu apakah masih ada hubungan pula dengan ji-wi lihiap?"
"Im-yang Siang-cu adalah susiok (paman guru) mereka!" kata Kong Bu yang mengira bahwa pemuda ini adalah kenalan orang tua itu. "Apakah kau kenal baik dengan mereka?"
Kun Hong tersenyum. Pedangnya dirampas, bagaimana bisa disebut kenal baik? Ia menggeleng kepala lalu berkata, "Tidak, hanya pernah bertemu saja. Tentang uang dan kuda, sebetulnya bukan kebiasaanku untuk memakai barang orang lain. Akan tetapi ketika itu pemiliknya sudah tewas, dari pada kuda dan uang menggeletak di sana, maka kubawa. Tentu aku tidak keberatan untuk memberikan kepada siapa saja asal...”
"Asal bagaimana? Hayo katakan!" bentak Hui Nio.
"Benda-benda ini sudah tidak ada pemiliknya lagi. Kalau sekarang diperebutkan, mudah saja. Di antara orang gagah ada pepatah yang berbunyi bahwa kalau tidak bertempur tidak saling mengenal dan dalam memperebutkan sesuatu siapa yang lebih kuat dia yang berhak dan menang!"
"Kau menantang?" seru Kong Bu yang menjadi panas juga hatinya "Mari maju dan kau cobalah golokku!" Dengan gerakan yang kuat dan gagah pemuda ini sudah mencabut golok besarnya yang berkilauan saking tajamnya.
Kun Hong menjura dan mencabut pedangnya perlahan. "Aku mendapat kehormatan besar sekali menerima pelajaran Kong ciangkun." Lalu ia siap-siap menghadapi pemuda ini yang kelihatan amat kuat.
"Bagus, Gan Kun Hong. Lihat golokku!" Seruan ini keras sekali dan tiba-tiba mata Kun Hong menjadi silau melihat sinar golok yang seperti kilat menyambar datangnya.
Kun Hong terkejut dan cepat mengelak, maklum akan kekuatan dan kecepatan lawan ini. Benar saja, serangan pertama yang dapat ia elakkan itu disusul serangan ke dua ke tiga dengan amat cepatnya sehingga Kun Hong harus mengeluarkan kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak. Diam-diam ia kagum sekali karena ternyata olehnya bahwa kepandaian pemuda ini tidak kalah oleh See-thian Hoat-ong, ayah pemuda itu!
Memang demikianlah halnya, Kong Bu sudah semenjak pertunangannya dengan Hui Nio, mendapat banyak petunjuk dari Tai It Cinjin sehingga ia mendapatkan kemajuan pesat sekali. Akan tetapi segera ternyata bahwa betapapun lihainya ilmu golok yang dimainkan pemuda gagah itu, Kong Bu bukanlah lawan Kun Hong yang mendapat gemblengan dari Thai Khek Sian. Kalau Kun Hong menghendaki, sebentar saja ia sudah pasti dapat merobohkan lawannya.
Akan tetapi aneh sekali, watak Kun Hong sudah banyak berubah. Ia tidak haus akan kemenangan, kalau tadi ia ingin bertempur, itu hanya untuk mencoba kepandaian orang-orang yang menarik, hatinya itu. Ia malah merasa suka dan sayang kepada Kong Bu maka dalam pertempuran inipun ia banyak mengalah.
Bagi seorang ahli silat yang sudah tinggi kepandaiannya seperti Kong Bu, tentu saja tahu bahwa lawannya banyak mengalah, dan tahu pula bahwa lawannya ini benar-benar lihai luar biasa dan memiliki ilmu pedang yang aneh sekali. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau menerima begitu saja, apa lagi di depan tunangannya.
Malang baginya, tingkat kepandaian tunangannya Hui Nio atau adiknya, Hui Sian. sebetulnya masih lebih tinggi dari padanya, maka tentu saja Hui Nio dan Hui Sian juga tahu bahwa Kong Bu bukanlah lawan Kun Hong dan bahwa pemuda aneh itu memang sengaja mengalah.
”Bu-ko, mundurlah biarkan kami yang mencoba ilmu pedangnya!" teriak Hui Nio sambil melompat dan menyerang dengan pedang ke arah tenggorokan Kun Hong, mewakili tunangannya.
Melihat ini, sebagai seorang gagah, Kong Bu cepat-cepat mundur dan berkata, "Orang she Gan benar-benar hebat kepandaianmu!"
Hui Sian tidak tinggal diam. Melihat encinya sudah bertarung, iapun lalu menerjang dengan pedangnya. Pedang enci dan adik ini memang hebat sekali, berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung bagaikan dua ekor naga yang bermain-main di antara mega.
Kun Hong gembira sekali. Kini sepenuhnya ia menghadapi ilmu pedang Bu-tong-pai yang terkenal kuat dan indah. Akan tetapi kembali ia terheran heran karena lagi-lagi ia melihat gerakan gerakan seperti ilmu silatnya sendiri tercampur dalam ilmu pedang Bu-tong-pai itu. Kembali ia merasa menghadapi teka-teki.
Kalau gerakan-gerakan Wi Liong yang hampir menyerupai ilmu silatnya sendiri, dia tidak usah heran karena guru Wi Liong adalah Thian Te Cu yang masih terhitung suheng dari gurunya sendiri, Thai Khek Sian. Juga ilmu silat ayahnya, Beng Kun Cinjin, tentu saja mempunyai persamaan dengan ilmu silatnya, karena Beng Kun Cinjin adalah putera Gan Yan Ki yang terhitung masih sute dari gurunya.
Akan tetapi mengapa dua orang nona ini mempunyai gerak-gerik yang bersumber sama dengan ilmu silatnya? Apakah mereka ini mewarisi ilmu dari sumber Thian Te Cu, ataukah dari Beng Kun Cinjin?
Di lain lihak, dua orang nona itu, sekali lagi menghadapi kenyataan pahit yang amat mengherankan hati mereka. Dahulu, ketika mengeroyok Kun Hong dengan tangan kosong, mereka sudah merasa aneh mengapa ilmu mereka yang mereka warisi dari Thai It Cinjin, menjadi melempem dan tidak berguna terhadap pemuda ini.
Mereka sekarang mengira bahwa dengan pedang yang menjadi senjata yang paling diandalkan oleh golongan Bu-tong-pai, mereka tentu akan dapat membalas kekalahan tempo hari. Akan tetapi mereka kecele.
Juga kali ini pemuda itu dapat menghadapi ilmu pedang mereka dengan ilmu pedang yang amat aneh, kelihatan rancu dan tidak seberapa, akan letapi anehnya selalu dapat menindih sinar pedang mereka dan dapat mengurung mereka dengan gulungan yang aneh, yang membuat enci adik itu merasa dirinya terkurung!
Kalau menurut hasrat hatinya, Kun Hong ingin membikin kapok dua orang gadis yang tak mau terima kalah ini, ingin ia membikin mereka tidak berdaya atau setidaknya melepaskan pedang mereka. Akan tetapi ia segera terimgat kepada Eng Lan dan merasa bahwa tentu Eng Lan tidak suka melihat dia berlaku demikian, maka kembali kali ini ia banyak mengalah.
Pedangnya bergerak cepat bukan main, diputar-putar sehingga dua orang gadis itu terpaksa mengikuti gerakan ini karena pedang mereka seakan-akan sudah berakar menempel pada pedang pemuda itu.
Pandangan mata mereka menjadi kabur, kepala pening dan tangan kanan pegal-pegal dan tergetar sehingiga hampir saja mereka melepaskan gagang pedang. Bukan main terkejut hati mereka dan kali ini betui-betul mereka harus mengakui bahwa mereka telah berhadapan dengan seorang pemuda yang berkepandaian tinggi!
Sama sekali mereka tak mimpi bahwa pemuda ini malah pernah dikeroyok dua oleh susiok mereka yang hanya bisa mendesak setelah mengeroyok dua, malah baru bisa mendesak karena pemuda ini pada saat itu tidak kuat menghadapi serangan tenaga gwakang.
Tiba-tiba mereka berdua merasa lega karena gulungan sinar pedang yang aneh dan membuat mereka tak berdaya itu tiba-tiba lenyap disusul melompatnya Kun Hong ke belakang sambil berkata. "Ji-wi lihiap benar-benar lihai sekali ilmu pedangnya. Siauwte mengaku kalah dan biarlah uang dan kuda siauwte lepaskan!"
Hui Nio boleh jadi berhati keras dan tak kenal takut, akan tetapi dia memiliki semangat gagah dan watak jujur. Melihat sikap Kun Hong, ia lalu berkata. "Kami sudah kalah, bagaimana kau bisa bilang begitu?" Berkata demikian sambil menyimpan pedangnya. Juga Hui Sian menyimpan pedangnya dan pandang matanya kepada Kun Hong makin kagum.
Kong Bu melangkah maju, wajahnya girang. "Saudara Gan Kun Hong benar-benar hebat! Kau murid siapakah? Baru kali ini aku bertemu dengan orang yang selihai ini ilmu silatnya."
Kun Hong menggeleng kepalanya. Dia sekarang mulai terbuka matanya betapa berbeda sikap dan jalan hidup orang-orang seperti Thai Khek Sian, Buceng Tok-ong, Tok-sim Sian-li dan yang lain-lain. Betapa tidak baik watak mereka. Maka ia merasa malu untuk mengaku bahwa dia murid Thai Khek Sian yang menjadi datuk atau tokoh nomor satu dari Mo-kauw.
"Ah... aku hanya belajar silat sedikit, sedikit dari sana-sini, mana ada harganya untuk dipamerkan? Kong-ciangkun barulah benar-benar gagah perkasa dan ji-wi lihiap inipun mengagumkan sekali."
Sikap merendah ini mendatangkan simpati di hati Kong Bu, juga dua orang gadis itu sekarang dapat menduga bahwa Kun Hong bukanlah "maling kecil" seperti yang tadinya mereka duga.
"Saudara Gan Kun Hong harap jangan merendah. Kami bertiga merasa tunduk sekali dan alangkah akan senangnya hatiku kalau kau suka menerima uluran tanganku untuk menjadi sahabat."
Bukan main girangnya hati Kun Hong. Alangkah bedanya sikap orang-orang ini dengan sikap orang-orang di dunianya yang selalu hidup menurut aturan dan seenaknya sendiri, tanpa sopan-santun hidup yang menjadi penghias indah dari kehidupan penuh kepahitan ini. Dengan serta merta dan gembira sekali Kun Hong mengulurkan kedua tangan dan di lain saat ia sudah berpegang lengan dengan Kong Bu.
"Kong-ciangkun, terima kasih... terima kasih bahwa kalian yang budiman sudi menganggap aku yang rendah sebagai sahabat....”
Pernyataan dan sikap penuh nafsu kegembiraan ini mengherankan Kong Bu dan dua orang nona itu, akan tetapi juga menggirangkan hati mereka. "Ah, kau selalu merendahkan diri. Kau sudah mendengar tadi bahwa aku bernama Kong Bu putera See-thian Hoat-ong. Dan dua orang nona ini, dia ini bernama Liok Hui Nio....."
"Calon isterinya!" Hui Sian menyambung dengan jenaka dan genit.
"Hushh.... kendalikan mulutmu!" Hui Nio, encinya membentak.
Kong Bu tersenyum. "Terhadap seorang sahabat baik seperti saudara Gan, kiranya tak perlu ada rahasia apa-apa. Betul, saudara Gan, Liok Hui Nio ini adalah tunanganku dan dia itu adalah adiknya, Liok Hui Sian..."
"Masih belum ada tunangan....!" kembali Hui Sian memotong sambil melirik dengan wajah merah.
Kali ini terpaksa Hui Nio tersenyum dan Kong Bu terbahak. "Betul, dia masih belum ada tunangan karena setiap orang ditolaknya! Dan mereka berdua ini adalah murid-murid Thai It Cinjin."
Kun Hong mengangguk-angguk. "Aku mendapat kehormatan besar sekali dengan perkenalan ini. Dan harap ji-wi lihiap sudi memaafkan aku bahwa tempo hari aku telah berlaku lancang. Aku sama sekali tidak tahu bahwa ji-wi (kalian) adalah orang-orang gagah yang melakukan tugas sebagai gi-to (maling budiman). Biarlah uang dua kantong dan kuda kukembalikan kepada ji-wi disertai maaf sebesarnya."
Wajahnya dua orang nona itu menjadi merah, "Sudahlah, saudara Kun Hong mengapa hal itu diributkan lagi? Kau sedang melakukan perjalanan, tentu membutuhkan kuda itu dan uang untuk bekal. Uang yang didapat dari perampok hina macam Tan Kak itu, boleh saja dipakai," kata Hui Nio.
Kong Bu membenarkan ucapan tunangannya ini dan ikut memaksa sehingga Kun Hong tidak dapat lagi membantah. "Terima kasih atas kebaikan sam-wi. Biarlah lain kali aku memerlukan datang berkunjung. Tidak tahu di manakah tempat tinggal sam-wi?"
"Pada waktu ini aku ditugaskan menjaga keamanan pantai dan tinggal di kota Wen-couw. Adapun dua orang nona ini tinggal bersama guru mereka di dusun Kim-lee-san di pantai laut. Harap saudara Gan sudi mampir kedua tempat itu apa bila kebetulan lewat."
"Tentu, tentu.... biarlah lain kali kita berjumpa kembali.” Setelah memberi hormat kepada tiga orang itu. Kun Hong cemplak kudanya dan melarikan kudanya ke jurusan timur dengan cepat.
Kong Bu dan dua orang nona itu memandang sampai lama, kemudian Kong Bu menarik napas panjang. "Dia lihai sekali, entah murid siapa. Kalau orang seperti dia itu mau membantu perjuangan menentang musuh, tentu akan lebih kuat pertahanan kita."
Dua orang gadis itu tidak berkata apa-apa mendengar pernyataan pemuda yang berpikir seperti seorang pejuang tulen itu, akan tegapi di dalam hati mereka terdapat perasaan yang berlainan. Hui Nio diam-diam merasa curiga dan masih belum percaya betul kepada Kun Hong. Sebaliknya Hui Sian diam-diam telah jatuh hati kepada pemuda yang ganteng, gagah dan berilmu tinggi itu.
Perjalanan Kun Hong melalui daerah yang berbukit, daerah yang bukit-bukitnya terdiri dari batu-batu karang yang tinggi dan runcing, sukar untuk dilalui. Memang, di antara daerah datar dan rendah di Tiongkok tenggara. Propinsi-propinsi Hok-kian dan Cekiang merupakan daerah yang agak tinggi dengan bukit-bukit Wuyi-san, Tai-goan-san dan Tien-mu-san. Kaki bukit-bukit ini terus sampai ke laut.
Terpaksa Kun Hong tak dapat melakukan perjalanan cepat. Untung baginya kuda. yang ia rampas dari perampok Thiat-thouw-sai Tan Kak itu adalah seekor kuda yang baik keturunan barat. Kalau hanya kuda biasa saja kiranya sudah tidak kuat dipakai mendaki menurun bukit-bukit yang terjal dan berbatu karang itu.
Dari keterangan penduduk dusun ia mendapat keterangan bahwa di laut timur memang banyak terdapat pulau-pulau kecil, pulau-pulau kosong yang jarang didatangi orang, atau malah tak pernah didatangi orang kecuali para nelayan sewaktu mendarat di pulau-pulau kosong untuk beristirahat atau menyelamatkan diri dari serangan taufan.
"Entah apa nama pulau-pulau itu." demikian keterangan seorang dusun yang sudah tua dan dahulunya juga menjadi nelayan di pantai. "Para nelayan memberi nama yang seram-seram, kadang-kadang memberi nama menurut bentuk pulau-pulau itu sendiri maka timbul nama-nama seperti Kim-ke to (Pulau Ayam Emas), Hek-hi-to (Pulau Ikan Hitam) dan lain-lain. Entah di sana ada pulau namanya Ban-mo-to atau tidak, aku tidak tahu."
Kun Hong tidak menjadi kecil hati mendengar ini. Kalau perlu; ia akan mengelilingi kepulauan kecil itu dengan sebuah perahu sampai ia dapat mencari Bari-mo-to, menemui Kui-bo Thai-houw pemilik mustika Im-yang-giok-cu untuk mengobati luka di jantungnya.
Tiga hari kemudian, setelah melakukan perjalanan yang melelahkan dan sukar sehingga kudanya sudah hampir tidak kuat lagi, Kun Hong tiba di atas bukit karang yang menjulang tinggi di tepi pantai. Ia turun dari kudanya, mendekati tepi batu karang dan menjenguk ke bawah. Laut kebiruan terbentang luas di depannya. Air itu dari tempat tinggi kelihatan tenang tak bergerak seperti kain sutera biru dibentangkan, berkeriput sedikit di sana-sini dengan busa, keputihan.
‟Aku sudah sampai di tepi laut‟ pikirnya. ‟Akan tetapi bagaimana harus berlayar mencari Pulau Ban-mo-to?‟
Terlihat jauh di tengah laut pulau-pulau kecil yang hanya merupakan titik-titik hitam besar kecil. Yang manakah di antara pulau-pulau itu letaknya Ban-mo-to? Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, dua pasang mata memandanginya dengan penuh keheranan. Dua pasang mata dua orang kakek yang duduk berlindung dari panasnya matahari di balik sebuah batu karang.
Ia tidak tahu bahwa ia telah berada di dekat dusun Kim-lee-san, tempat tinggal Tai It Cinjin dan Im-yang Siang-cu! Tidak tahu bahwa pada saat itu. Im-yang Siang-cu malah sudah melihatnya ketika dua orang kakek ini sedang berada di tempat itu.
Im-yang Siang-cu yang tadinya merasa heran melihat datangnya seorang pemuda di tempat sunyi itu ketika mengenal Kun Hong sebagai pemuda di Wuyi-san yang bertempur dengan mereka, tiba-tiba tertawa-tawa. "Ha-ha-ha, kiranya murid Thian Te Cu yang datang!" kata lm Thian Cu kakek yang tinggi kurus dengan suara mengejek.
"Jadi dia belum mampus terkena pukulanku? Ha-ha, orang muda, apa kau hendak mencari Cheng-hoa-kiam? Pedangmu itu di sini, lihatlah," ejek Yang Thian Cu, kakek yang pendek gemuk, ahli gwakang yang pernah melukai Kun Hong dengan hebat di puncak Wuyi-san.
Tadinya Kun Hong tercengang mendengar suara ketawa dua orang itu, akan tetapi setelah dia menengok dan mengenal siapa adanya dua orang yang mentertawakannya, mukanya berubah merah dan timbullah kemarahannya.
"Kalian benar. Aku datang hendak merampas kembali pedangku Cheng-hoa-kiam." katanya tenang, sedikitpun tidak takut. Dengan sigap ia menghampiri tempat dua orang musuh lamanya itu berdiri.
Im-yang Siang-cu tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam mereka kagum juga akan keberanian pemuda itu. "Orang muda, memang kami akui bahwa kepandaianmu lumayan, akan tetapi menghadapi kami berdua kau sudah kalah. Mengapa sekarang kau berani mati hendak minta kembali pokiam (pedang pusaka)? Apa kau betul-betul sudah bosan hidup?" kata Yang Thian Cu yang maklum bahwa kelemahan pemuda itu adalah menghadapi penyerangan dengan tenaga gwakang.
"Aku tidak bosan hidup dan pasti aku dapat merampas kembali pedangku asal saja kalian dua orang tua tidak bersikap pengecut."
Im-yang Siang-cu adalah jago-jago Bu-tong-pai yang berkepandaian tinggi sekali dan kedudukan mereka di dunia kang-ouw memang sudah terkenal, tentu saja mereka marah bukan main mendengar pemuda ini berani menuduh mereka bersikap pengecut.
"Bocah sombong, baru menjadi murid Thian Te Cu saja kau sudah begitu sombong! Kami merampas pedangmu bukan karena inginkan Cheng-hoa-kiam, akan tetapi untuk memberi hajaran dan tahu rasa kepada Thian Te Cu bahwa di dunia ini bukan dia saja yang pandai. Kalau kau memang mempunyai kepandaian, boleh kau kalahkan kami dan ambil kembali pedang itu!" kata Im Thian Cu marah.
''Pedangku sudah kalian rampas, tentu saja dengan pedang biasa ini aku tak dapat melawan pedang kalian yang lebih kuat. Coba Cheng-hoa-kiam berada di tanganku, dalam beberapa jurus saja aku akan mampu mengalahkan kalian orang tua kepala besar!"
Yang Thian Cu tertawa lebar. ''Benar-benar bermulut besar! Dalam pertempuran di Wuyi-san kau sudah kalah, terluka oleh pukulanku dan pedangmu sampai terampas. Kalau sekarang kau kalah lagi, jangan salahkan kami kalau jiwamu melayang."
"Kesinikan pedangku dan aku akan memperlihatkan kepada kalian bagaimana caranya orang bermain pedang!" Kun Hong sengaja bicara besar untuk memanaskan hati kedua orang jago pedang Bu-tong-pai itu.
Karena percaya bahwa mereka berdua takkan kalah oleh pemuda bekas pecundang ini. Yang Thian Cu melemparkan pedang Cheng-hoa-kiam yang dulu dirampasnya itu kepada Kun Hong. Pemuda itu dengan amat girangnya menyambut Cheng-hoa-kiam dan mengelus-elus pedang pusakanya itu. Dengan pedang ini di tangan ia tidak kakut melawan dua orang kakek ini.
Dahulu ia kalah oleh karena ia masih belum sembuh dari pengaruh pukulan Im-yang-lian-hoan bagian Thai-yang sehingga ia memang pantang menerima pukulan gwakang. Akan tetapi sekarang lukanya akibat pukulan Thai-yang itu sudah disembuhkan oleh Beng Kun Cinjin dan sekarang ia berani menghadapi lweekang maupun gwakang dari dua orang kakek ini...!