Cheng Hoa Kiam Jilid 24

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Cheng Hoa Kiam Jilid 24
Sonny Ogawa

Cheng Hoa Kiam Jilid 24, karya Kho Ping Hoo - KUN HONG sengaja tidak membantah ketika dua orang kakek itu menyangka ia murid Thian Te Cu, karena entah bagaimana sekarang ia merasa malu dan sungkan untuk mengaku menjadi murid Thai Khek Sian si raja orang jahat! Ia menjura kepada Im-yang Siang-cu dan berkata,

Cerita Silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

"Terima kasih atas pemberian kembali pedang ini. Hendaknya ji-wi suka memperkenalkan diri, karena kalau sampai aku tewas biar aku tahu siapa yang merobohkan aku."

Dua orang kakek itu saling pandang, agaknya heran menyaksikan perubahan sikap yang sekarang sopan ini. "Orang muda, belum tentu kami akan membunuhmu. Sebagai murid Thian Te Cu memang kau sudah cukup berharga untuk mengenal kami. Kami adalah Im-yang Siang-cu dari Bu-tong-pai, dia ini suteku disebut Yang Thian Cu dan aku sendiri Im Thian Cu." kata Im Thian Cu sambil mencabut pedangnya diturut oleh sutenya.

Baru sekarang Kun Hong tahu bahwa dua orang kakek lihai yang disebut Im-yang Siang-cu ini kiranya jago-jago terkenal dari Bu-tong-pai. Ia tidak berniat mencelakakan dua orang ini, pertama-tama karena memang ia tidak bermusuhan dengan mereka dan bentrokannya dengan mereka di Wuyi-san adalah karena kebetulan saja. Tentu mereka ini memusuhinya di waktu itu karena menyangka ia murid Thian Te Cu.

Pedang sekarang sudah dikembalikan dan lebih lagi, mereka ini masih susiok (paman guru) dari dua orang dara jelita Hui Nio dan Hui Sian. Bagaimana ia bisa memusuhi mereka? Asal aku dapat mengalahkan mereka, cukuplah. pikirnya sambil bersiap dan berkata, "Ji-wi. silahkan bergerak!"

Im-yang Siang-cu sudah cukup maklum akan kelihaian ilmu pedang pemuda ini yang sudah mereka rasai di puncak Wuyi-san. Maka tanpa membuang banyak waktu dan tanpa seji (sungkan) lagi mereka lalu menggerakkan pedang melakukan gerakan menyerang. Kun Hong berkelebat mengelak, memutar pedang dan balas menyerang. Di lain saat tiga orang itu sudah bertanding seru, saling mengerahkan kepandaian dan tenaga untuk mencoba menindih gerakan lawan.

Im-yang Siang-cu yang terkenal sebagai jago-jago pedang dari Bu-tong-pai, masih merasa penasaran bahwa dulu mereka tak dapat mengambil kemenangan dengan ilmu pedang, maka kali ini mereka memusatkan perhatian dan mengeluarikan jurus dan gerak tipu yang paling lihai dari Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat.

Namun sebenarnya, baik dalam ilmu pedang maupun tenaga dalam dan luar. Kun Hong yang sudah mendapat gemblengan dari Thai Khek Sian itu masih menang setingkat. Sumber ilmu silat yang dipelajari oleh pemuda itu lebih matang, dan lebih tinggi tingkatnya sehingga ketika Cheng-hoa-kiam ia putar cepat, dua orang lawannya menjadi kewalahan.

Kalau dulu di waktu mereka mengeroyok Kun Hong di Wuyi-san, mereka masih terhibur oleh kenyataan bahwa kekalahan mereka disebabkan oleh pedang pusaka yang dipergunakan pemuda itu, sekarang alasan ini tak dapat diajukan lagi. Mereka sekarang sengaja menggunakan dua batang pedang yang baik pula, yang tidak mudah terusak oleh Cheng-hoa-kiam seperti dulu lagi.

Akan tetapi hebatnya, mereka malah terdesak dengan cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada dahulu dalam pertempuran pertama. Dua orang kakek ini tidak tahu bahwa dahulu adanya mereka dapat bertahan lama malah akhirnya dapat merampas pedang, adalah karena Kun Hong terluka hebat dan kemudian tidak kuat menghadapi pukulan-pukulan gwakang.

Sekarang pemuda ini boleh dibilang sudah tidak menderira rasa sakit sama sekali, kepandaian dan tenaganya sudah pulih semua. Dilihat begitu saja, ia seperti sudah sembuh sama sekali dan hanya dia sendiri yang tahu bahwa di dalam dadanya, jantungnya mengalami luka yang akan membawanya ke lobang kubur tak lama lagi kalau tidak mendapat pengobatan.

Karena sinar pedang Cheng-hoa-kiam yang bergulung-gulung itu sudah mulai menindih dua sinar pedang mereka, malah setiap saat mengancam keselamatan mereka. Im-yang Siang-su mulai merasa khawatir. Yang Thian Cu mengeluarkan seruan keras dan mulailah tangan kirinya mengirim pukulan-pukulan yang sepenuhnya mengandung tenaga gwakang! Juga ayunan pedangnya mengandung tenaga gwakang.

Sedangkan di lain fihak, Im Thian Cu mempergunakan tenaga lweekang-nya. Dengan demikian, dua orang kakek ini sudah mengeluarkan kepandaian simpanan mereka yang membuat mereka terkenal dengan sebutan Im-yang Siang-cu karena dengan maju bersama mereka merupakan dua tenaga Im dan Yang untuk menggempur lawan. Inilah semacam ilmu seperti Im-yang-lian-hoan dari Kun-lun-pai. Hanya saja dilakukan oleh dua orang!

Sebelum mereka bergerak, Kun Hong sudah tahu lebih dulu dari pengalamannya yang lalu. Ia menjadi gemas juga karena teringat betapa dahulu ia menderita luka parah oleh pukulan-pukulan gwakang dari Yang Thian Cu. Pukulan yang sungguhpun tidak sehebat pukulan Thai-yang dari Kun-lun Lojin ketua Kun-lun-pai. Akan tetapi cukup mengerikan kalau mengenai orang yang tidak kuat menerimanya.

Pemuda ini sengaja menerima pukulan-pukulan itu dengan tangkisan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga sesuai dengan sifat tenaga penyerangnya. Mula-mula Yang Thian Cu yang lebih dulu berbentur lengan dengannya. Yang Thian Cu sudah merasa girang karena pemuda itu sudah berani menangkis pukulannya yang berarti pemuda itu akan terluka dan roboh.

Akan tetapi begitu dua lengan bertemu. Yang Thian Cu berseru kaget dan keras sekali, kemudian tubuhnya yang gemuk pendek itu terlempar ke belakang sampai bergulingan seperti binatang trenggiling! Di dettik selanjutnya, Im Thian Cu yang beradu lengan dengan pemuda itu, terhuyung mundur tiga langkah lalu berdiri dengan muka pucat dan kaki menggigil. Ia pun telah terkena pukulan dari hawa lweekangnya sendiri sehingga menderita luka yang biarpun tidak parah cukup menyakitkan di dalam dadanya.

Pada saat itu, tak jauh dari situ datang berlari seorang berkepala gundul yang bertubuh tinggi besar. Akan tetapi ketika tiba di dekat tempat pertempuran, hwesio ini berhenti berlari, mukanya berubah dan ia lalu memutar tubuh melarikan diri!

"Iblis jahanam, aku sudah mengenalmu, jangan lari kau...!" Kun Hong berseru seperti orang gila ketika ia mengenal muka hwesio itu. Itulah Beng Kun Cinjin, ayahnya dan musuh besarnya, orang yang harus dibunuhnya! Dengan langkah lebar ia mengejar, tanpa memperdulikan lagi kepada Im-yang Siang-cu yang masih terheran menghadapi kekalahan mereka tadi.

Dengan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan, Kun Hong mengejar terus. Hatinya girang karena tidak dinyana-nyana ia berjumpa dengan musuh besar itu di sini. Ia mengerahkan seluruh ginkangnya untuk menyusul Beng Kun Cincin yang juga memiliki ilmu lari cepat istimewa.

Beng Kun Cinjin menjadi gelisah sekali. Ia sama sekali tak pernah menduga akan bertemu dengan pemuda itu di sana. Ketika dahulu ia dikejar-kejar oleh Kun Hong, ia memang melarikan diri ke tempat tinggal pamanny yaitu Tai It Cinjin yang bukan lain adalah ipar dari ayahnya sendiri. Di tempat ini ia boleh merasa aman, selain tempatnya tersembunyi, juga di situ terdapat pamannya yang berilmu tinggi.

Siapa kira, belum lama ia berada di situ, pada hari itu ia mendengar suara orang bertempur. Ia tahu bahwa sute-sute dari pamannya, Im-yang Siang-cu sedang bertempur dengan orang maka ia hendak membantu mereka. Tidak tahunya yang bertempur melawan dua orang kakek itu, malah yang sudah mengalahkan Im yang Siang-cu, adalah bocah yang ia takuti, anaknya sendiri!

Ilmu lari Beng Kun Cinjin amat cepat, akan tetapi ia harus mengakui kehebatan ginkang dari bocah itu. Sebentar saja ia sudah hampir tersusul. Ah, alangkah akan bangganya kalau bocah yang sebetulnya anaknya itu tidak memusuhinya! Beng Kun Cinjin mulai menyesal mengapa dulu ia terburu nafsu membunuh Kiu Hui Niang.

Lebih menyesal lagi mengapa ia dulu tidak sekalian saja membunuh bocah itu ketika ia menewaskan isterinya. Akan tetapi, semua penyesalan tiada gunanya, bocah itu sudah mengejar dan malah sudah menyusulnya.

"Iblis jahanam, jangan lari!" Kun Hong membentak dari belakang, siap melakukan serangan maut. Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya sinar putih menghantamnya dari depan, diikuti oleh angin pukulan tangan kiri yang amat hebat.

Itulah penyerangan yang dilakukan secara tiba-tiba oleh Beng Kun Cinjin. Melihat ia telah tersusul, Beng Kun Cinjin tadi menanti saat baik, lalu tiba-tiba membalikkan tubuh sambil menyerang dengan tasbehnya disusul pukulan tangan kiri yang menggunakan tenaga Lui-kong-jiu, yakni pukulan jarak jauh yang akan merobohkan setiap orang lawan yang kurang kuat, biarpun pukulan ini tidak menyentuh tubuh lawan.

Akan tetapi Kun Hong yang sudah maklum akan kelihaian hwesio itu, tidak berlaku lambat. Cepat ia miringkan tubuh dan melompat ke kiri, pedang Cheng-hoa-kiam berkelebat dan ia sudah membalas dengan serangan kilat yang tak kalah hebatnya.

Pedang dan tasbeh bertemu, keduanya menggunakan tenaga yang demikian besarnya sehingga mereka terhuyung mundur dua langkah. Kini keduanya saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago berlagak, maju lagi saling pandang penuh kebencian. Napas mereka agak memburu karena habis berkejaran tadi.

"Bedebah, jangan harap bisa melarikan diri dari tanganku!" Kun Hong berkata dengan bibir terkatup saking bencinya.

"Bocah edan.... aku sudah mengobatimu, menolong nyawamu...." Beng Kun Cinjin yang agak serem melihat sikap pemuda itu, mengingatkan.

"Ya, untuk kau bunuh kalau saja tidak datang ayah angkatku... kau... iblis jahat, kau sudah membunuh dia, orang berbudi itu... kau sudah membunuh ibuku...." Kun Hong menusuk dengan pedangnya, akan tetapi dapat ditangkis oleh Beng Kun Cinjin dengan tasbehnya sambil melompat mundur. Kun Hong maju lagi, perlahan-lahan, sikapnya penuh ancaman maut.

"Ibumu... perempuan durhaka itu menipuku.... bermain gila dengan orang lain... kau sendiri mungkin bukan anakku... aku masih kasihan dan tidak membunuhmu diwaktu kecil dulu...."

"Keparat, kau hwesio jahanam tak tahu malu! Kau... kau mendatangkan cemar dan kehinaan kepada aku yang malang sekali menjadi anak isterimu! Aku harus membunuhmu, membersihkan dunia ini dari mianusia palsu macam kau!"

"Anak durhaka!" Beng Kun Cinjin tiba-tiba menyerang dengan tasbehnya sambil mengerahkan tenaganya.

Hebat sekali serangan ini sehingga Kun Hong tidak berani berlaku sembrono menangkisnya. Cepat ia mengelak dan tasbeh itu menghantam batu besar di belakangnya sampai hancur! Pecahan-pecahan batu ini bagaikan peluru terbang ke sana ke mari. Ada yang menuju ke tubuh Kun Hong. Terpaksa pemuda ini memutar pedangnya untuk menangkis peluru-peluru batu ini.

Beng Kun Cinjin yang banyak pengalaman bertempur kembali mendapat kenyataan bahwa ia berhadapan dengan lawan yang amat tangguh dan menakutkan. Ia dapat menduga bahwa bocah ini tentu sudah menerima warisan ilmu dari Thian Te Cu atau Thai Khek Sian, maka diam-diam ia bergidik dan pada saat Kun Hong sibuk menangkis hujan pecahan batu itu. Beng Kun Cinjin mendapat kesempatan baik lalu lari cepat-cepat!

"Berhenti kau, pengecut!" Kun Hong berteriak mengejar.

Beng Kun Cinjin berlaku cerdik. Ia sengaja membawa pengejarnya ke dusun Kim-Ie-san di mana tinggal pamannya. Tai It Cinjin. Ketika ia sudah tiba di luar dusun, ia berseru keras mengerahkan khikangnya. "Paman, tolonglah pinceng...!"

Kun Hong menjadi gemas dan juga terheran. Siapakah paman hwesio itu? Ia mengejar terus dan tiba-tiba dari dalam dusun itu berlari keluar seorang kakek tinggi besar yang berkepala botak, bermata lebar dan kedua lengan tangannya berbulu dilindungi lengan baju yang lebar. Inilah Tai It Cinjin, kakek yang pernah menyerbu Wuyi-san bersama Im-yang Siang-cu!

Kun Hong segera mengenalnya dan diam-diam pemuda ini kecewa. Kembali ia harus menghadapi lawan tangguh dan lawan ini selain menjadi paman ayahnya, ternyata adalah guru dari dua orang nona she Liok yang telah menjadi sahabatnya! Akan tetapi ia sedang menghadapi urusan penting, maka ia cepat berseru. "Tai It Cinjin harap jangan mencampuri urusan kami berdua!"

Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Tai It Cinjin berkata. "Murid Thian Te Cu benar-benar keterlaluan. Masa urusan keponakanku tak boleh aku mencampurinya! Kau berhentilah!"

Sambil berkata demikian, sepasang tangannya bergerak ke depan dan hampir saja Kun Hong berteriak kaget karena tahu-tahu tangan kanan kakek itu mulur panjang mencengkeram ke arah tangannya yang memegang pedang sedangkan tangan kiri kakek itu mengebutkan ujung lengan baju ke arah jalan darah di pundaknya.

Hebat bukan main serangan ini dan kalau bukan Kun Hong yang diserang, agaknya tak mungkin dapat melepaskan diri. Kun Hong cepat membuang tubuh ke belakang, berjumpalitan dan setelah dua kali berpoksai (berjungkir balik) barulah ia dapat berdiri dengan selamat,

"Paman, jangan lepaskan dia. Bocah ini jahat bukan main!" seru Beng Kun Cinjin yang kini maju menyerang dengan tasbehnya, "mendapat hati"' setelah pamannya datang membantu.

Kun Hong menangkis dengan pedangnya dan kembali bunga api berpijar dari pertemuan dua senjata itu yang digerakkan dengan tenaga besar, Tai It Cinjin kagum sekali. Ia tahu bahwa kepandaian Beng Kun Cinjin sudah hebat, tidak kalah oleh Im Thian Cu atau Yang Thian Cu, akan tetapi keponakannya ini sampai melarikan diri dari bocah ini, benar-benar hebat.

Juga ia merasa heran mengapa pedang Cheng-hoa-kiam bisa berada di tangan bocah itu. Akan tetapi, betapapun juga ia tidak mau kalau murid Thian Te Cu sampai tewas di tangannya. Tai It Cinjin memang seorang yang tidak mau kalah dalam hal ilmu silat sehingga beberapa kali ia mencari Thian Te Cu untuk diajak mengadu kepandaian.

Juga ia tidak senang kepada Thian Te Cu, ikut-ikutan dalam persaingan yang ada antara tiga orang kakek Wuyi dahulu. Padahal dia hanya ipar dari Gan Yan Ki dan tidak mempunyai sangkut-paut dengan urusan persaingan turun-temurun itu. Akan tetapi ketidak-senangannya terhadap Thian Te Cu hanya berdasar kekalahannya yang berkali-kali saja jadi lebih bersifat iri hati bukan benci. Oleh karena itulah ia tidak menghendaki terbunuhnya pemuda yang ia sangka murid Thian Te Cu ini.

"Minggirlah!" katanya kepada Beng Kun Cinjin. "Biar kulihat sampai di mana kelihaian murid Thian Te Cu yang satu ini!" Memang semenjak ia bertempur melawan Wi Liong di puncak Wuyi-san, Tai It Cinjin menjadi makin penasaran.

Telah bertahun-tahun ia melatih diri dan memajukan kepandaiannya, akan tetapi kenapa menghadapi murid Thian Te Cu yang memegang suling itu saja ia tidak mampu mengalahkannya? Sekarang muncul murid Thian Te Cu yang lain, maka tentu saja ia ingin sekali mencoba lagi, apakah ia pun takkan mampu mengalahkan yang ini. Memang demikianlah sifat orang aneh ini, selalu ingin menjajal kepandaian orang dan tidak mau kalah!

Beng Kun Cinjin tidak berani membantah perintah pamannya, dan ia melompat ke pinggir dengan napas lega karena kali ini bocah iblis itu tentu akan tewas di tangan pamannya, demikian pikirnya.

Kun Hong yang mengerti bahwa tak mungkin ia minta kakek ini mundur karena kakek ini paman Beng Kun Cinjin, kini menjadi marah. Tidak mungkin baginya untuk mengaku begitu saja bahwa ia berurusan dengan ayahnya sendiri. Malu ia untuk mengaku sebagai aruak Beng Kun Cinjin. Melihat bahwa tidak ada jalan lain baginya, diputarnya pedangnya sambil berseru,

"Orang tua usilan, kalau kau ingin bertempur denganku, majulah!" Pedangnya diputar menjadi segulumg sinar yang menyambar-nyambar ke arah Tai It Cinjin.

"Bagus, keluarkanlah kepandaianmu, orang muda!" seru Tai It Cinjin yang menyambut serangan itu dengan gembira sekali.

Segera terjadi pertandingan yang amat hebat dan menarik, membuat Beng Kun Cinjin yang memiliki kepandaian tinggi dan seringkali bertempur menghadapi orang-orang pandai itu menjadi bengong saking kagumnya. Belum pernah ia melihat pedang dimainkan sedemikian indah dan kuatnya seperti permainan Kun Hong.

Juga ia mengenal gerakan-gerakan yang serasi dengan ilmu silat yang ia pelajari dari ayahnya dulu. Di dalam gerakan Kun Hong terselip banyak sekali variasi dan gaya yang amat berbahaya, curang, dan ganas sekali, sampai-sampai ia mengeluarkan seruan heran dan kaget.

Tentu saja Tai It Cinjin juga melihat ini dan tiba-tiba kakek ini mengebutkan ujung lengan bajunya untuk menangkis ujung pedang Kun Hong sambil berseru kaget. "Kau murid Thai Khek Sian...!"

Kun Hong tidak menjawab, hanya tertawa mengejek. "Kau boleh terka sendiri aku murid siapa, pendeknya kau tidak berhak mencampuri urusanku dengan keparat kepala gundul itu!"

Akan tetapi tiba-tiba sikap Tai It Cinjin berubah, perubahan yang amat merugikan dan membahayakan keselamatan Kun Hong. Kakek itu tiba-tiba memandang dengan matanya yang lebar menjadi merah dan ia kelihatan marah sekali.

"Kau murid Thai Khek Sian si iblis laknat? Bagus sekali, tak dapat membasmi gurunya, lumayan juga bisa membasmi muridnya!!" Setelah berkata demikian, kakek itu bergerak maju, bergantian ia mengulur lengan sampai panjang melakukan serangan-serangan maut.

Kali ini Kun Hong menjadi sibuk juga dan harus ia akui bahwa kakek ini benar-benar luar biasa lihainya. Memang, kalau diukur tentang kepandaian, kakek ini masih menang satu dua tingkat dari Kun Hong. Kalau dulu ia tidak mampu mengalahkan Wi Liong, adalah karena ia memang tidak mau mencelakakan pemuda murid Thian Te Cu. Akan tetapi sekarang ia tahu bahwa Kun Hong murid Thai Khek Sian maka ia menyerang untuk membunuh!

Tai lt Cinjin biarpun tak boleh dibilang seorang yang menjadi hamba kebajikan, namun ia selalu menjaga nama agar jangan terjerumus ke dalam jurang kejahatan. Malah ia amat membenci kejahatan, maka iapun benci sekali kepada Thai Khek Sian. Terhadap Thian Te Cu ia hanya tidak suka saja, akan tetapi karena Thian Te Cu adalah seorang budiman yang sakti ia tidak membencinya. Sebaliknya, terhadap Thai Khek Sian ia amat benci, dan kalau sekiranya kepandaiannya mengijinkan, tentu ia sudah mencari raja penjahat itu untuk membunuhnya!

Menyaksikan perubahan ini. Beng Kun Cinjin menjadi girang sekali. Terbukalah kesempatan untuk membunuh musuhnya ini, ya musuh anak, yang mendurhaka dan hendak membunuhnya itu, pikirnya. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerbu dan membantu pamannya menyerang Kun Hong. Sekarang Tai It Cinjin tidak melarangnya karena kakek ini menganggap pemuda itu musuhnya pula!

Melawan Tai It Cinjin seorang saja sudah amat berat bagi Kun Hong karena memang ia masih kalah pandai, apa lagi kakek itu sekarang di bantu oleh Beng Kun Cinjin. Ia terdesak hebat, gulungan sinar pedangnya makin lama makin menyempit. Kesempatan ini dipergunakan oleh Beng Kun Cinjin yang dengan gerakan cepat melibatkan tasbehnya pada pedang Kun Hong, sehingga pemuda itu tidak dapat menggerakkan senjatanya lagi.

Selagi ia berkutetan untuk melepaskan pedangnya. Tai It Cinjin sudah menyerang dengan totokan bertubi-tubi ke arah jalan darahnya. Kun Hong masih dapat mengelak dua tiga kali, akan tatapi totokan ke empat dan ke lima membuat ia roboh lemas tak berdaya lagi!

Beng Kun Cinjin girang sekali, akan tetapi ketika ia mengangkat tasbeh hendak dihantamkan ke arah kepala pemuda itu, seperti juga dulu ketika Kun Hong masih bayi tiba-tiba tangannya menjadi lemas dan ia tidak kuasa melakukan pembunuhan terhadap diri anaknya sendiri ini! Akan tetapi ia betul-betul menghendaki dibunuhnya pemuda yang akan membahayakan dirinya kalau tidak dibunuh, maka katanya,

"Bocah setan murid Thai Khek Sian ini kalau tidak dibunuh, kelak hanya akan mengacaukan dunia saja." Ia berkata demikian untuk mendesak pamannya membunuh Kun Hong.

"Ha-ha. Gan Tui, kau agaknya menuruni watak mendiang ayahmu, tidak tega membunuh seorang muda biarpun dia itu jahat. Kau lihat, biar aku yang mengirim nyawanya kembali ke asalnya dengan pedang ini!" Disambarnya Cheng-hoa-kiam dan diangkatnya pedang itu untuk diayun memenggal leher Kun Hong.

Pemuda itu hanya tersenyum, sedikitpun tidak gentar menghadapi maut yang sudah berada di depan matanya. Mata pedang Cheng-hoa-kiam tertimpa sinar matahari berkilauan, lalu merupakan sinar terang terayun ke arah leher Kun Hong dan...

”Suhu, tahan dulu...!" terdengar jerit melengking tinggi.

Pedang itu sudah hampir menyentuh kulit leher Kun Hong. Baiknya Tai It Cinjin memang seorang ahli pedang Bu-tong-pai yang tinggi ilmunya, maka biarpun pedang itu sudah diayunnya, serentak ia dapat menahan dan menariknya kembali ketika ia mendengar suara yang amat dikenalnya ini, Ia menoleh.

Liok Hui Sian berlari-lari lalu dengan berani ia merampas pedang Cheng-hoa-kiam dari tangan suhunya yang melongo saja. Dengan manja gadis ini berkata. "Suhu tidak boleh membunuhnya! Gan Kun Hong ini adalah sahabat baik teecu!"

Makin terheranlah Tai It Cinjin dan ia hanya bisa menoleh kepada Hui Nio yang juga sudah datang berlari-lari. "Betul, suhu! Dia sudah bertemu dengan teecu berdua dan sudah menjadi sahabat. Mengapa suhu hendak membunuhnya?" kata Hui Nio sambil memandang dengan heran.

Sementara itu. Hui Sian sudah membuka jalan darah Kun Hong yang tertotok oleh suhunya tadi, malah ia mengembalikan pedang Cheng-hoa-kiam setelah Kun Hong dapat bergerak kembali. Pemuda ini menjadi malu sekali karena kekalahannya, akan tetapi diamdiam ia berterima kasih kepada Hui Sian yang sudah menolong nyawanya.

"Dia murid Thai Khek Sian. orang jahat harus dibunuh. Bagaimana kalian bisa menjadi sahabatnya?" tanya Tai It Cincin yang masih belum hilang herannya. Kakek ini memang amat mencinta dua orang muridnya terutama sekali Hui Sian amat disayang dan dimanjanya. Oleh karena itu maka Hui Sian tadi berani mencegah suhunya membunuh Kun Hong.

"Suhu... Kong-twako sendiripun sudah menjadi sahabatnya. Teecu dan enci Hui Nio tadinya berebutan milik seorang penjahat, akan tetapi teecu berdua kalah olehnya, malah Kong Bu twako juga kalah. Setelah bertempur teecu bertiga menjadi sahabatnya. Masa sekarang suhu hendak membunuhnya?" kata Hui Sian cemberut sambil mengerling ke arah Kun Hong.

Tiba-tiba Tai It Cinjin tertawa terbahak-bahak. Kakek ini tentu saja sekilas pandang maklum akan isi hati muridnya. Sudah banyak sekali pemuda-pemuda yang gagah dan baik ia carikan untuk Hui Sian, akan tetapi gadis itu selalu menolaknya. Selalu Hui Sian menyatakan bahwa ia baru mau kalau dijodohkan dengan pemuda yang lebih gagah dan lebih baik dari pada Kang Bu calon kakak iparnya.

Tentu saja hal ini bukan soal mudah saja. Jarang di dunia ini ada pemuda segagah Kong Bu. Eh, tidak tahunya sekarang ada pemuda ini dan agaknya muridnya jatuh hati kepadanya.

"Ha-ha-ha, kau suka pada murid Thai Khek Sian ini? Boleh, boleh! Asal bocah ini suka berjanji tidak akan meniru kelakuan yang jahat dari suhunya. Ha-ha-ha bagus sekali!"

"Tidak bisa terjadi!" tiba-tiba Beng Kun Cinjin berseru keras, membuat semua orang menjadi kaget.

"Eh, Gan Tui, apa maksudmu?" tanya Tai It Cinjin.

"Karena... karena iblis cilik ini adalah... adalah anakku sendiri, anak durhaka yang hendak membunuhku! Iblis ini tak boleh dibiarkan hidup, dia terlalu jahat!" Setelah berkata demikian Beng Kun Cinjin menggerakkan tasbehnya menyerang Kun Hong yang masih agak lemas.

Kun Hong mengangkat pedangnya menangkis, akan tetapi karena jalan darahnya belum pulih betul, ia terhuyung ke belakang dan sebuah tendangan kilat dari Beng Kun Cinjin tepat mengenai pahanya membuat dia terguling. Beng Kun Cinjin berseru girang, memburu dan mengayun tasbehnya.

"Traangg...!" Pedang ditangan Hui Sian mencelat ketika ia menangkis tasbeh itu dalam usahanya menolong nyawa Kun Hong. "Jangan bunuh dia... aahhh.... jangan bunuh dia...!" Gadis itu menangis.

"Hui Sian!" gurunya membentak. "Kalau dia anak Gan Tui, kita tidak boleh campur tangan!"

Hui Sian juga maklum akan hal ini maka gadis ini hanya bisa berlutut sambil menangis terisak-isak, dipeluk encinya. Adapun Beng Kun Cinjin yang merasa penasaran dan marah karena serangannya tadi ditangkis Hui Sian, kini maju lagi dan mengayun tasbehnya.

Tiba-tiba bertiup angin dingin dan di antara tiupan angin ini terdengar suara ketawa yang amat merdu, akan tetapi yang membuat para pendengarnya menjadi lemas dan dingin-dingin punggungnya! Anehnya, tasbeh yang sudah diangkat oleh Beng Kun Cinjin dan digerakkan menimpa kepala Kun Hong itu seperti terkena sambaran angin, membuat tasbeh itu terpental ke belakang dan tubuh Beng Kun Cinjin juga terjengkang dan hampir saja roboh kalau hwesio itu tidak cepat-cepat melompat ke samping!

Pada saat itu, entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah muncul seorang wanita yang sudah tua akan tetapi amat cantik dan keren sikapnya, pakaiannya gilang-gemilang penuh perhiasan emas permata serba indah. Ia berdiri dengan tegak, angkuh dan keren tiada ubahnya seorang ratu. Ketika ia sedang berdiri seperti itu, tak jauh dari situ terdengar suara banyak orang perempuan berbisik-bisik dan berdencingnya senjata-senjata tajam.

Wanita itu menoleh ke arah suara tadi dan sekejap suara itu yang tadinya berisik namun tak kelihatan orangnya seperti sekumpulan siluman, menjadi berhenti dan keadaan menjadi sunyi. Dalam kesunyian ini tiba-tiba terdengar wanita itu berkata, suaranya halus dan kata-katanya teratur, akan tetapi entah mengapa mengandung sesuatu yang membikin serem para pendengarnya seakan-akan di dalam suara itu mengandung ancaman maut bagi setiap penentangnya,

"Kalau ada anak tersesat, hukumlah ayahnya! Seorang ayah tidak menyalahkan diri sendiri malah hendak membunuh anaknya. Benar-benar tak tahu malu! Kau patut diberi hukuman!" Setelah ucapan halus ini dikeluarkan, wanita itu menggerakkan tangan kirinya ke arah Beng Kun Cinjin.

Hwesio ini merasa datangnya sambaran hawa dingin, maka cepat ia mengangkat tasbehnya. Terdengar suara keras dan tasbeh itu menjadi putus, berarakan terlepas dari untaiannya dan Beng Kun Cinjin cepat-cepat menarik tangannya yang sudah terluka berdarah seperti digurat pedang telapak tangannya.

Hanya terlihat tadi sinar putih keperakan menyambar dan kiranya wanita tadi telah menyerangnya dengan sehelai tali kecil yang melibat pinggangnya seperti tali sutera. Dengan senjata macam begini bisa memutuskan untaian tasbeh dan melukai tangan Beng Kun Cinjin dengan sekali pukul, dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian wanita ini!

Wanita tua itu lalu berpaling kepada Kun Hong yang masih bengong saking kagum dan herannya, lalu membentak, "Tidak lekas pergi dari sini menanti apa lagi?"

Kun Hong maklum bahwa orang telah menolongnya dan menyuruh ia pergi, maka ia lalu memungut Cheng-hoa-kiam dan pergi dari tempat itu. Sekilas pandang ia melihat Hui Sian menoleh kepadanya dan melempar pandang yang amat menusuk perasaannya. Ia seakan-akan melihat mata Eng Lan yang memandangnya dan tahulah ia bahwa gadis ini mencintanya, mencinta dengan sepenuh hati seperti cinta kasih Eng Lan pula. Dan ia menjadi terharu!

Sementara itu, ia mendengar suara Tai It Cinjin, "Kami telah mendapat kehormatan besar dengan kunjungan Thai-houw (permaisuri) dari Ban-mo-to, biarlah lain kali aku yang rendah mengadakan kunjungan balasan!"

"Aku tidak ada urusan dengan segala orang Bu-tong-pai!" wanita itu menjawab dan tubuhnya sudah melesat pergi.

Kun Hong yang memperhatikan melihat wanita itu sudah berjalan jauh dan tiba-tiba dari kanan kiri muncul belasan orang wanita yang pakaiannya indah-indah, tanpa bicara apa-apa para wanita ini berjalan di belakang wanita aneh itu, menuju ke pantai! Sampai lama Kun Hong berdiri. Jadi dia itukah Kui-bo Thai houw dari Ban-mo-to?

Ia bergidik. Tidak aneh gurunya dulu pernah memperingatkan supaya jangan sembarangan bentrok dengan Thian Te Cu dan Kui-bo Thai-houw. Thian Te Cu sudah ia duga kehebatannya karena kakek itu terhitung suheng dari suhunya. Akan tetapi baru sekarang ia menyaksikan kehebatan Kui-bo Thai-houw. Ia menghela napas panjang. Dia harus mendapatkan Im-yang-giok-cu dan wanita itu!

Bagaimana mungkin. Orangnya selain sakti luar biasa, juga aneh dan agaknya luar biasa angkuhnya. Betapapun juga, pikir Kun Hong, aku sudah melihat orangnya dan ternyata aku tidak salah jalan. Aku harus pergi ke Ban-mo-to biarpun untuk perbuatan itu aku harus berkorban nyawa.

Dengan mengambil jalan ke mana wanita-wanita tadi pergi, akhirnya Kun Hong sampai di pantai laut yang berpasir dan rendah. Ketika ia tiba di pantai, ia melihat sebuah perahu besar berkepala naga berlayar pergi dan samar samar ia melihat wanita-wanita tadi berada di perahu itu.

Kun Hong cepat mencari-cari dan melihat beberapa orang nelayan membetulkan jala di tepi pantai, ia lalu menghampiri. Para nelayan itu memandang heran karena pantai di situ memang jarang sekali didatangi pelancong. Baiknya biarpun kantong-kantong uang tertinggal di tempat di mana ia bertempur melawan Im Yang Thian Cu, Kun Hong masih menyimpan banyak di saku bajunya untuk bekal dan keperluan di jalan.

Setelah mengeluarkan beberapa buah uang emas, akhirnya ia dapat menyewa sebuah perahu layar yang dikemudikan oleh seorang nelayan muda. Perahu diluncurkan ke tengah didayung lalu layar dipasang.

"Pemandangan di sini tidak begitu indah, akan tetapi banyak sekali ikanya!" Nelayan itu bercerita mengira bahwa pemuda itu menyewa perahunya untuk berlayar menikmati pemandangan alam.

"Kau ikuti perahu besar itu!" tiba-tiba Kun Hong berkata dengan suara keren.

Nelayan itu menjadi pucat. "Ti.... tidak...! Tuan jangan main-main... mendekatpun aku tidak berani... berarti mengantar nyawa!"

"Bagus, jadi kau sudah mengenal mereka pula? Siapa mereka itu dan di mana mereka tinggal?"

Nelayan itu menjadi marah karena mengira pemuda itu hanya seorang biasa saja. "Aku tak dapat mengantar tuan. Kita kembali saja dan ini uangmu kukembalikan!"

Kun Hong menggerakkan tangannya dan nelayan itu merintih tubuhnya lemas dan sakit sakit karena jalan darahnya kena ditowel pemuda itu. Kun Hong lalu memulihkan jalan darahnya dan mencabut pedangnya. "Kau takut mereka, apakah kau tidak takut padaku? Membunuhmu di sini, apa sih sukarnya? Hayo bilang terus terang, mereka itu siapa dan di mana tinggalnya!'"

"Ampuni, taihiap... ampunkan aku seorang nelayan biasa yang tidak bersalah apa-apa. Mereka itu... mereka itu adalah para pengikut Thai-houw yang tinggal di Ban-mo-to. Jangankan mengikuti mereka, mendekat di pulau merekapun tak seorang berani. Mereka itu tidak apa-apa asal tidak diganggu, akan tetapi sekali orang bersalah.... mereka lebih ganas dari pada angin taufan dan gelombang membadai. Lebih baik kita pergi ke lain tempat saja....”

"Tidak, hayo antar aku ke Ban-mo-to. Kau jangan khawatir semua tanggung jawab aku yang memikul."

Akhirnya nelayan itu terpaksa menuruti kehendak Kun Hong biarpun di sepanjang pelayaran ia menjadi pucat dan makin ketakutan setelah mereka mendekati Pulau Ban-mo-to. Dari jauh pulau ini sudah menyeramkan, kelihatan hijau kebiruan dan angker sekali. Kalau tadi banyak perahu nelayan di dekat pulau-pulau lain di pulau yang cukup besar itu sunyi sekali, seakan-akan ikanpun takut mendekatinya. Di ujung pulau yang merupapakan teluk kelihatan perahu besar berkepala naga tadi.

"Daratkan aku di pulau itu dan kau boleh pergi kalau kau takut!" kata Kun Hong dengan suara tetap, akan tetapi tidak urung hatinya berdebar kalau ia teringat akan kelihaian Kui-bo Thai-houw.

Tukang perahu itu menjadi agak tenang karena sementara itu senja telah mendatang. Perahunya mendekati pulau dari kiri, agak jauh dari teluk itu. Setelah mepet dengan daratan. Kun Hong melompat ke darat. Nelayan itu cepat-cepat mendayung perahunya ke tengah lagi.

Tiba-tiba terdengar suara melengking dari daratan dan dua batang anak panah menyambar, sebatang ke arahnya dan sebatang lagi ke arah perahu. Ia cepat menyelinap ke dalam rumput-rumput tinggi, akan tetapi anak panah yang ke dua mengenai sasaran. Tukang perahu menjerit dan tubuhnya terjungkal ke dalam laut. Perahunya yang kosong berputaran dan bergerak-gerak terbawa ombak!

Kun Hong bersembunyi di dalam rumput tinggi, tak berani bergerak. Karena tahu bahwa penghuni pulau itu terdiri dari orang-orang pandai, ia harus berlaku hati-hati dan tidak memancing pertempuran terbuka. Ia mendengar suara dua orang wanita berbisik-bisik lalu terdengar langkah mereka meninggalkan tempat itu. Lapat-lapat terdengar suara ketawa yang amat halus dan merdu.

Kun Hong menanti sampai senja terganti malam dan keadaan menjadi gelap. Baru ia muncul dari tempat sembunyinya dan membersihkan pakaiannya yang kotor dan agak basah. Dicabutnya pedang Cheng-hoa-kiam, dipegang erat-erat. Kemudian ia berjalan menuju ke tengah pulau, ia masih bingung bagaimana ia harus mendapatkan obat Im-yang-giok-cu dari tangan Kui-bo Thai houw.

Minta berterang? Mencuri? Terang kalau merampas takkan berhasil. Mana ia bisa menangkan wanita itu yang agaknya ditakuti oleh Tai It Cinjin? Untuk mencuri juga sukar, karena ia tidak tahu di mana adanya benda itu dan tidak tahu pula bagaimana macamnya.

Dengan memanjat sebatang pohon besar ia dapat melihat cahaya penerangan di tengah pulau yang menunjukkan bahwa di tempat itu ditinggali orang. Ia lalu berjalan dengan hati-hati. Sejam kemudaan sampailah ia di tempat itu dan ia melihat beberapa bangunan rumah besar-besar di tengah pulau! Ia tertegun karena melihat persamaan dengan Pulau Pek-go-to tempat tinggal Thai Khek Sian. gurunya. Juga Thai Khek Sian tinggal di tengah Pulau Pek-go-to seperti ini!

Ada tujuh bangunan rumah di situ, yang enam mengitari sebuah yang besar. Mudah saja diduga bahwa di tengah yang besar itu pasti tempat tinggal Kui-bo Thai houw. Sampai lama Kun Hong menanti dan melihat keadaan. Di situ sunyi saja seakan-akan kelompok bangunan itu tidak ditinggali orang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tetabuhan yang-kim, indah sekali disusul nyanyian seorang wanita yang tidak kalah indahnya.

Bangun bulu tengkuk Kun Hong. Benar-benar keadaan yang amat ganjil. Di tempat yang begitu sunyi, begitu serem, tiba-tiba terdengar tetabuhan dan nyanyian tingkat tinggi yang indah! Benar-benar menggambarkan keganjilan Kui-bo Thai-houw sendiri, seorang wanita yang kelihatannya lemah-lembut, halus tutur sapanya, akan tetapi menyeramkan dan mengerikan sepak terjangnya! Serem-serem indah, inilah sifat Kui-bo Thai-houw dan sekelilingnya.

"Takut basah takkan dapat memperoleh ikan!" Kun Hong berkata kepada diri sendiri untuk menghibur hatinya yang agak berdebar menghadapi semua bahaya yang mengancam dirinya. Ia segera mengayun tubuh mengenjotkan kaki. Tubuhnya melayang naik ke atas genteng dengan ringan sekali. Tanpa mengeluarkan bunyi kedua kakinya berlari di atas genteng. Ia berlaku hati-hati sekali, selalu memandang ke empat penjuru sebelum melanjutkan langkahnya.

Baiknya malam itu gelap sekali, pikirnya. Hanya beribu bintang di angkasa yang menerangi alam, tidak kelihatan bulan yang masih bersembunyi di balik bumi. Ia sudah melalui rumah-rumah samping dan mendekati rumah besar dari mana terdengar tetabuhan dan nyanyian.

Tiba-tiba saja, amat mengejutkan sampai-sampai Kun Hong menjadi pucat, terdengar suara ketawa cekikikan dari kanan k'iri dan atas genteng itu menjadi terang oleh lampu-lampu penerangan yang entah kapan tahu-tahu telah digantung-gantungkan orang di sekeliling tempat itu. Ia telah terkurung lampu-lampu penerangan di atas genteng yang agak rata. Kemudian muncullah empat orang yang membuat Kun Hong merasa punggungnya dingin dan tengkuknya tebal!

Empat orang itu tubuhnya gemuk-gemuk montok, keempatnya tertawa-tawa, sama sekali tidak merdu karena terkekeh-kekeh dan cekikikan seperti empat kuntianak. Yang mengerikan, muka mereka serupa, juga pakaian mereka sama. Orang kembar empatkah gerangan? Kulit muka mereka penuh bekas luka koreng melepuh, membuat mereka nampak menggelikan tapi tidak menjijikkan, usia mereka sedikitnya ada empatpuluh tahun.

Hebatnya, empat orang setengah nenek ini berpakaian indah dan baru, di leher mereka tergantung kalung yang indah dan mahal, dan sepatu mereka mengkilap, sepatu pria yang menunjukkan betapa besar- besar kaki mereka! Benar-benar empat orang wanita yang kalau muncul di tengah kota tentu menjadi tontonan orang.

Yang membingungkan hati Kun Hong, empat orang ini benar-benar sukar dibedakan satu dari yang lain, dan hebatnya, suara ketawa mereka juga sama benar! Karena empat orang wanita buruk ini hanya terkekeh dan cekikikan genit, sama sekali tidak menyerangnya maupun bertanya. Kun Hong menjadi tidak enak kalau diam saja. "Kalian ini siapakah?”

Memang janggal sekali. Dia yang malam-malam datang ke rumah orang tanpa permisi, sekarang malah dia yang bertanya siapa mereka! Kun Hong menjadi merah mukanya ketika mendengar suara ketawa mereka makin menjadi-jadi. la pun merasa betapa janggalnya pertanyaannya tadi.

"Hi-hi-hi, orang muda lucu... lucu sekali..." kata seorang di depannya.

"Kau yang datang malah bertanya! Apa ingin sekali berkenalan dengan kami....?" sambung yang ke dua.

"Biarlah kalau kau ingin sekali tahu, kami ini empat orang gadis...." sambung yang ke tiga.

"Aku Tung Hwa Siocia (Nona Bunga Timur)..." kata yang ke empat.

"Aku Si Hwa Siocia (Nona Bunga Barat)...” sambung yang pertama.

"Aku Nam Hwa Siocia (Nona Bunga Selatan)...." sambung yang ke dua.

"Aku Pai Hwa Siocia (Nona Bunga Utara)...." sambung yang ke tiga.

Kon Hong menjadi geli, juga terheran-heran. Masa orang-orang macam begituan kok namanya indah indah sekali? Mengaku-aku masih gadis lagi! Namanya pakai nona-nona segala. Yang membingungkan mereka bicara sambung-menyambung secara otomatis seperti sudah diatur sebelumnya.

"Orang muda yang lucu...." kata yang keempat.

"Kau sudah mengenal kami...." yang pertama menyambar.

"Sekarang kau bilanglah siapa namamu...!" kata yang kedua.

"Jangan bohong supaya tak usah kami menggunakan kekerasan!" tutup yang ke tiga.

Kun Hong siap siaga dengan pedangnya, lalu menjawab, suaranya ia bikin tenang dan gagah, "Aku datang untuk menemui Kui-bo Thai-houw, untuk minta..."

Tiba-tiba saja empat orang "nona" itu marah sekali. "Kurang ajar...." memaki yang pertama.

"Berani kau memaki Thai-houw...." kata yang ke dua.

"Kami harus seret kau ke depan Thai-houw....." kata yang ke tiga.

"'Untuk menerima hukuman!" sambung yang ke empat.

Kun Hong kaget sekali. Baru ia teringat bahwa Tai It Cinjin sendiripun tidak menyebut Kui-bo Thai-houw akan tetapi hanya Thai-houw (Permaisuri) dengan menghilangkan sebutan Kui-bo (Biang Iblis)! Kini tahulah ia bahwa sebutan Kui-bo adalah sebutan di luaran, di dunia kang-ouw untuk menggambarkan betapa hebat dan ganas seperti biang iblis adanya nyonya cantik seperti permaisuri kaisar itu.

Akan tetapi, ucapan itu sudah dikeluarkan, tak mungkin bisa ditarik kembali. Ia memasang kuda-kuda dan siap menghadapi keroyokan empat orang perawan tua itu dengan tenang. Mulailah mereka maju, yang pertama mencengkeram hendak menangkap tangannya. Sebelum gerakan serangan ini selesai, dilanjutkan oleh yang ke dua yang berada di sebelah kanannya, kemudian disusul pula oleh gerakan yang ke tiga dan akhirnya yang ke empat yang menyempurnakan gerakan itu.

Kun Hong kaget bukan main. Inilah hebat, pikirnya. Empat orang wanita ini bukan saja rupa dan pakaian maupun bicaranya yang sambung-menyambung dan kembar, bahkan ilmu silatnya juga merupakan rangkaian ilmu silat yang satu macam akan tetapi dimainkan oleh empat orang! Dengan demikian, ia seakan-akan menghadapi seorang lawan dengan delapan tangan dan empat kepala!

Cepat ia mengelak, akan tetapi hampir saja ia terkena cengkeraman mereka. Ia maklum bahwa ia tidak mungkin mengandalkan kegesitannya untuk mengelak. Dari angin cengkeraman itu maklumlah ia bahwa mereka rata-rata memiliki tenaga lweekang yang hebat dan ia tentu akan terluka parah kalau sampai terkena serangan mereka.

Apa boleh buat, perkara sudah menjadi begini, pikirnya. Diputarnya pedangnya untuk melakukan perlawanan. Ia tidak berani berlaku sungkan-sungkan lagi, setiap serangan ia tangkis dengan pedang untuk membabat taugan lawan dan ia malah balas menyerang tak kalah hebatnya. Pemuda ini sudah menjadi nekat.

Benar benar mengerikan sekali empat orang "nona manis" itu. Selain gerakan mereka mengandung lweekang tinggi dan amat cepat serta teratur sambung-menyambung, juga mereka sekarang mulai tertawa-tawa lagi, cekikikan dan inilah yang benar-benar membingungkan hati Kun Hong.

Akan tetapi ia masih ragu-ragu untuk melukai mereka (karena ia masih ingat bahwa kedatangannya ini adalah untuk minta obat, artinya minta pertolongan. Bagaimana ia bisa melukai anggauta keluarga orang yang dimintai tolong?

"Kalian berempat janganlah terlalu mendesak!" bentaknya sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. "Biarkan aku menghadap Thai-houw....!"

Tiba-tiba empat orang itu berhenti bergerak, membuat hati Kun Hong girang sekali, ia tersenyum ramah dan mengangguk-angguk "Kalian memang orang-orang baik!"

Akan tetapi empat orang nona itu masih berdiri mengurung. "Kami mau memberi laporan baik...."

"Kepada Thai-houw. Asal saja....”

"Kau mau berjanji....”

"Mengawini kami berempat...!" Demikian ucapan yang mereka keluarkan secara sambung-menyambung dan empat orang nona manis itu membalas senyuman Kun Hong tadi sambil mengerling-ngerling dengan lagak bintang-bintang film!

Seketika itu juga senyum di bibir Kun Hong lenyap, dan bibirnya sampai pucat saking kagetnya ia mendengar ocehan mereka. "Kau seranglah aku kau bunuhlah...!" bentaknya marah sekali dan kembali pedangnya diputar cepat.

Empat orang itupun tanpa banyak cakap lagi menerjangnya sambil cekikikan. Mereka menggunakan tangan kaki, menerjang mencakar menendang akan tetapi yang paling berbahaya adalah tali tali sutera yang diikat di pinggang mereka. Ikat pinggang tali sutera ini merupakan senjata yang ampuh merupakan dua helai senjata lemas yang berbahaya karena selain dapat melukai tubuh lawan juga dapat merampas senjata!

Ternyata mereka telah mendapat ilmu ini dari Thai-houw dan ini mudah diduga karena Kun Hong teringat betapa dengan tali seperti itu pula Kui-bo Thai-houw sekali serang telah mengalahkan Beng Kun Cinjin! Namun kini Kun Hong benar-benar sudah mengamuk hebat Ia mengeluarkan seluruh kepandaian yang ia pelajari dari Thai Khek Sian dan benar saja, empat orang wanita itu tidak mampu melawannya.

Makin lama empat orang wanita itu makin kacau gerakannya, napas mereka terengah-engah dan sinar pedang Cheng-hoa-kiam yang bergulung-gulung telah mengurung mereka dari kanan kiri.

"'Pemuda lucu..."

"Gagah sekali...."

"Terlalu lihai....”

"Kami tidak kuat melawan..."

Tiba-tiba empat orang wanita aneh itu mengebutkan ujung tali pinggang sutera mereka dan berhamburanlah empat macam warna seperti asap tipis. Kun Hong mencium bau harum yang amat aneh. Ia kaget dan maklum bahwa lawan mengeluarkan senjata rahasia berbahaya.

Tidak percuma ia pernah menjadi murid Bu-ceng Tok-ong Si Raja Racun. Ia cepat mengerahkan lweekang, menahan napas dan menggunakan tangan kiri untuk memukul ke sekelilingnya, mendatangkan angin pukulan yang mengusir semua asap itu.

Ketika ia melihat lagi empat orang wanita itu sudah tidak ada dan sebagai gantinya di situ berdiri wanita tua yang cantik dan berpakaian mewah. Kui-bo Thai-houw sendiri sudah berdiri di depannya dengan sikap yang amat agung, namun sepasang alis yang panjang kecil bekas cukuran itu dikerutkan tanda bahwa hatinya tidak senang.

Kun Hong seorang yang amat cerdik. Ia datang untuk minta tolong dan ia maklum pula bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tokoh ini sehingga takkan ada gunanya kalau menggunakan kekerasan. Maka begitu melihat munculnya "Ratu" ini ia serta-merta menyimpan pedang Cheng-hoa-kiam dan menjatuhkan diri berlutut...!

Jilid selanjutnya,