Cheng Hoa Kiam Jilid 22, karya Kho Ping Hoo - HUI SIAN atau gadis yang rambutnya ikal dan diikat pita di kanan kiri tertawa merdu lalu membentak, "Kau gantilah julukan menjadi singa kepala remuk!'' Sebuah tendangan kilat menyambar tepat menghantam lutut pencuri itu.

Tan Kak berseru kesakitan tubuhnya terpental dan ia terguling di atas genteng. Tendangan ke dua menyusul membuat Tan Kak terlempar ke bawah dan suara keras menyatakan bahwa ketika jatuh ke bawah kepalanya tentu terbentur benda keras.
Kun Hong masih bersembunyi ketika semua ini terjadi. Di dalam hatinya ia memuji kepandaian dua orang nona itu, akan tetapi ketika melihat dua orang gadis itu hendak lari membawa dua buah kantong yang tak salah lagi isinya tentulah uang yang menjadi hasil curian Tan Kak, hati Kun Hong penasaran dan tidak senang.
‟Masa nona-nona itu menyerang Tan Kak hanya untuk merampas barang curian? Kalau begitu sama saja tidak ada perbedaan antara Tan Kak dan dua orang nona ini. Sayang kalau gadis-gadis-muda cantik seperti itu menjadi perampok- perampok rendah‟, pikir Kun Hong.
Ketika dua orang gadis itu hendak melarikan diri, mereka terkejut sekali karena tiba-tiba terdengar bentakan halus. "Gadis-gadis cantik tidak patut menjadi perampok!"
Berbareng dengan bentakan itu, tahu-tahu dua buah kantong yang dibawa gadis pertama tadi telah lenyap! Gadis itu mengeluarkan teriakan kaget. Ia hanya merasa betapa kantong-kantong itu direnggut orang. Cepat ia dan adiknya memutar tubuh dan mereka melihat seorang pemuda ganteng berdiri di depan mereka dengan gagah dan angker!
"Gadis-gadis muda dan cantik tidak patut menjadi perampok-perampok!" Kun Hong mengulangi kata-katanya sambil melemparkan dua buah kantong itu ke atas genteng. Terdengar suara nyaring yang menandakan bahwa kantong-kantong itu terisi emas dan perak.
"Bangsat rendah! Kau siapa berani mencampuri urusan kami?" Gadis ke dua yang bernama Hui Sian tadi membentak sambil melangkah maju, siap menyerang.
Kun Hong tetap tersenyum tenang. "Perlu sekalikah kau mengetahui namaku? Tidak malu kau menanyakan nama seorang pemuda!" Ia menggoda.
"Cih... pemuda ceriwis!" bentak gadis pertama marah.
"Penjahat macam ini bereskan saja, enci Hui Nio!" bentak Hui Sian sambil menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Pukulannya mantap dan cepat datangnya, tanda bahwa dia bukanlah orang sembarangan.Akan tetapi kali ini ia menghadapi Kun Hong, pemuda yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Sekali menggeser kaki dan menggerakkan tangan, Kun Hong berhasil menangkap pergelangan tangan gadis itu dengan tangan kirinya, membuat Hui Sian tak dapat bergerak untuk melepaskan diri!
Melihat ini, Hui Nio menghantam dari samping ke arah lambung Kun Hong. Akan tetapi, dengan jalan menarik tangan Hui Sian sehingga gadis ini menggantikan tempatnya membuat Hui Nio cepat-cepat menarik kembali tangannya karena tidak mau memukul adik sendiri. Sebelum ia tahu apa yang terjadi, tahu-tahu pergelangan tangannya tertangkap pula oleh tangan kanan Kun Hong!
"Lepaskan aku!" bentaknya dan mukanya menjadi merah sekali.
"Kurang ajar, hayo lepaskan tanganku!" Hui Sian juga berseru marah sambil meronta-ronta tanpa hasil.
"Tidak akan kulepaskan sebelum kalian berjanji takkan merampok lagi," kata Kun Hong tersenyum. Dalam keadaan seperti itu, timbul kembali sifatnya yang suka menggoda orang. Timbul kembali sukanya untuk mempermainkan wanita cantik seperti sebelum bertemu dengan Eng Lan. Ia mendapat kenyataan betapa dua orang gadis ini cantik-cantik sekali.
Tiba-tiba Hui Nio melakukan serangan dengan tangan kanannya mencengkeram ke arah lehernya sedangkan Hui Sian dengan tangan kiri melakukan gerakan dalam saat itu juga, mencengkeram ke arah kepalanya! Gerakan kedua orang gadis ini hebat sekali.
Tapi yang amat mengejutkan hati Kun Hong, ia mengenal gerakan-gerakan ini sebagai gerakan Hek-jiauw-kang, semacam ilmu mencengkeram yang ia pelajari dari Thai Khek Sian! Kagetnya bukan main dan ia melepaskan pegangannya lalu melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari cengkeraman-cengkeraman maut itu.
"Kalian murid siapa?" tanyanya akan tetapi dua orang gadis yang sudah menjadi marah sekali itu tidak memperdulikan pertanyaan ini, sebaliknya malah menghujani serangan dengan gerak tipu Hek-jiauw-kang yang lihai.
Keheranan Kun Hong makin besar melihat gerakan-gerakan mereka itu biarpun pada dasarnya sama dengan Hek-jiauw-kang yang dimilikinya, namun variasi atau perkembangannya berbeda dan tidak begitu berbahaya lagi, tidak sejahat dan seganas Hek-jiauw-kang. Tentu saja dengan enak dan mudah ia dapat menghindarkan semua serangan itu.
Hui Nio dan Hui Sian kaget setengah mati. Baru kali ini ada orang dapat melawan mereka dan dapat menghadapi ilmu cengkeraman mereka secara begitu mudah. Mereka maklum bahwa lawan ini lihai sekali, membuat mereka diam-diam menjadi kagum akan tetapi juga penasaran dan khawatir.
Pada saat itu terdengar hiruk-pikuk di bawah rumah penginapan dan obor dinyalakan orang. Banyak orang berkumpul di bawah dan keadaan menjadi ramai. Ternyata suara ribut-ribut itu membangunkan para tamu dan mayat Tan Kak yang menggeletak di bawah sudah menarik perhatian dan menimbulkan kepanikan.
Melihat ini, dua orang gadis itu cepat membalikkan tubuh dan melarikan diri, berlompatan dengan cepat dan ringan di atas wuwungan rumah.
"Berhenti dulu!" seru Kun Hong sambil mengejar. Tadi ia tidak melayani mereka dengan sungguh-sungguh, hanya main-main karena memang ia tidak mempunyai permusuhan dengan mereka dan tidak ada mau untuk merobohkan mereka. Akan tetapi ia masih penasaran karena melihat ilmu silat mereka ada persamaannya dengan ilmu silatnya maka ia mengejar.
Akan tetapi dua orang gadis itu sudah berlari cepat. Beberapa kali Hui Sian menoleh dan melempar senyum kepada pemuda ganteng dan lihai itu, akan tetapi tidak memperlambat larinya. Tiba-tiba bulan yang tadinya terang benderang, tertutup awan hitam, membuat keadaan menjadi gelap dan Kun Hong kehilangan jejak, dua orang gadis cantik yang dapat berlari amat cepat itu. Ia terpaksa membatalkan niatnya mengejar dan kembali ke tempat tadi.
Melihat keributan orang, ia tidak mau terlibat dalam persoalan itu, maka cepat ia mengambil dua kantong uang emas dan perak di atas genteng, lalu melompat turun tanpa diketahui oleh siapapun juga. Ia menuju ke kandang kuda, lalu melarikan diri malam-malam, menunggang kuda berbulu abu-abu yang besar dan kuat, kuda milik Tiat-thouw-sai Tan Kak!
Dengan kuda ini Kun Hong melanjutkan perjalanannya ke Wuyi-san. Benar saja, setelah melakukan perjalanan dengan kuda yang baik dan kuat itu. ia tidak begitu lelah dan perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Apa lagi kini ia telah membawa bekal dua kantong yang ternyata berisi potongan-potongan emas dan perak yang amat banyak jumlahnya!
Kun Hong yang biasanya tak pernah memegang uang, selalu mengambil punya siapa saja apa bila memerlukan, sekarang ia hidup sebagai seorang putera hartawan, menghamburkan uang seperti membuang pasir saja! Ia mengambil uang itu dan mempergunakannya untuk menyesuaikan hidupnya dengan yang dikehendaki Eng Lan, tidak mau lagi ia mengambil milik orang apa bila membutuhkan makan pakai.
Sama sekali ia tidak sadar bahwa kalau Eng Lan melihat cara ia menghamburkan uang yang ia rampas dari dua orang gadis itu. Eng Lan tentu akan mengerutkan dahinya yang halus, akan memarahinya. Kun Hong sekarang muncul sebagai seorang pemuda yang tampan dan pakaiannya indah dan mahal. Seorang pemuda pesolek yang membuat tiap orang wanita mengerlingkan mata penuh arti kepadanya. Malah banyak orang mengira dia seorang putera pangeran yang melakukan pelancongan!
Kita tinggalkan dulu Kun Hong yang sedang melakukan perjalanan menuju Wuyi-san dan mari kita ikuti perjalanan Wi Liong, pemuda yang tertimpa kemalangan dalam urusan perjodohannya karena gara-gara Kun Hong! Ataukah hal itu harus dipersalahkan kepada Kun Hong?
Seperti kita telah mengetahui, bukan saja karena kenakalan Kun Hong maka perjodohan itu mengalami keributan, malah juga karena sikap Wi Liong sendiri! Sikap pemuda ini ketika berhadapan muka dengan Kwa Siok Lan, gadis tunangannya sendiri kepada siapa ia jatuh cinta!
Memang nasib pemuda ini sial sekali. Ia bertemu dengan Siok Lan tanpa mengetahui bahwa gadis ini tunangannya, ia malah menyatakan cinta kepada Siok Lan dan menyatakan hendak membatalkan perjodohannya dengan tunangannya! Dasar nasibnya buruk, tidak tahu bahwa yang dicinta adalah tunangannya sendiri dan tunangan yang dibenci adalah gadis yarg membikin dia tergila-gila itu juga.
Dengan kawannya yang setia, suling itu yang sekaligus merupakan senjatanya juga Wi Liong melakukan perjalanan cepat menuju ke Poan-kun. Biarpun dia sudah menenteramkan hati, tidak urung berdebar juga dadanya. Debar-debur jantungnya menghantam kulit dada ketika ia memasuki pintu gerbang kota Poan-kun. Bagaimana macamnya gadis yang menjadi tunangannya itu? Bagaimana nanti sikap bekas calon mertuanya.
Kwa Cun Ek yang kabarnya adalah seorang jagoan tua yang gagah perkasa? Untuk menghilangkan kegelisahannya yang timbul. Wi Liong lalu mampir di sebuah warung memesan minuman. Ia mengaso minum teh wangi sambil berpikir-pikir, menghafalkan kata-kata yang harus ia ucapkan di depan bekas calon mertuanya nanti. Bibirnya berkemak-kemik matanya merenung.
"Lo-enghiong," ia seharusnya menyebut gak-hu (ayah mertua) akan tetapi karena pamannya sudah membatalkan ikatan jodoh, lebih baik menyebut lo-enghiong (orang tua gagah perkasa).
"Harap sudi memaafkan bahwa saya berani berlaku lancang menghadap lo-enghiong. Saya datang membawa pesan paman Kwee untuk menyatakan penyesalan dan maafnya kepada lo-enghiong bahwa paman telah berlaku khilaf, telah berani berlaku kasar dan memutuskan ikatan jodoh hanya karena dapat dibodohi dan dipermainkan orang jahat.
"Sekarang paman telah mengetahui sejelasnya, bahwa... Kwa-siocia tidak bersalah dan selanjutnya paman dan saya menyerah kepada lo-enghiong, mengakui kesalahan kami dan akan menerima segala hukuman yang akan dijatuhkan kepada paman dan saya..."
Kata-kata ini ia hafalkan di luar kepala, la tidak perlu menyinggung-nyinggung tentang disambungnya kembali ikatan jodoh, ia malah mengharapkan kemarahan orang tua she Kwa itu dan ia sudah bersiap sedia menerima penghinaan, bahkan sanggup pula menerima pukulan dari kakek itu, asal saja urusan beres sampai di situ saja dari perjodohan jangan disambung lagi!
Setelah debar jantungnya mereda kembali. Wi Liong membayar uang teh lalu bertanya di mana rumah keluarga Kwa. Tukang warung memandang kepadanya dengan mata dibuka lebar, agaknya terheran. Wi Liong maklum akan keheranan orang, dapat menduga bahwa tentu mengherankan orang Poan-kun bahwa ada orang yang tidak mengetahui tempat tinggal seorang ternama seperti Kwa Cun Ek.
"Siauwte bukan penduduk sini maka belum tahu di mana rumah Kwa-lo-enghiong." katanya menerangkan.
Tukang warung mengangguk-angguk, lalu memberi petunjuk di mana letak rumah keluarga Kwa itu. Wi Liong menghaturkan terima kasih lalu menuju ke rumah itu. Hatinya kembali dag-dig-dug setelah ia memasuki halaman rumah Kwa Cun Ek. Ia memang menghadapi urusan yang amat tidak menyenangkan.
Ketika melihat seorang laki-laiki setengah tua yang bertubuh gemuk dan bermuka ramah sekali, tersenyum terus berdiri di ruangan depan memandangnya, Wi Liong menjadi makin sibuk hatipya. Kalau bekas calon mertua itu orang galak dan sombong, ia malah dapat menghadapinya dengan seenaknya.
Akan tetapi kalau seramah itu mukanya, ia menjadi makin tidak enak! Cepat-cepat ia membungkuk dan mengangkat tangan memberi hormat. Dapat dibayangkan betapa kaget dan malunya ketika ia mendengar orang itu berkata.
"Kongcu mencari siapa? Apakah mencari Kwa-loya (tuan besar Kwa)?”
Ketika Wi Liong mengangkat muka, ia melihat mulut yang tadi tersenyum-senyum, kini tertawa lebar nampaknya girang sekali. Mendengar orang ini menyebut Kwa-loya, baru ia sadar bahwa kiranya orang yang ia sangka tuan rumah ini hanya seorang pelayan saja! Mukanya menjadi merah ketika ia menjawab,
"Benar, aku mohon bertemu dengan Kwa-lo-enghiong. Harap twako suka memberi tahu ke dalam."
Pelayan itu tertawa lebar lalu membungkuk-bungkuk sambil berkata. "Kongcu baik sekali begitu menghormat kepada seorang pelayan, tidak seperti kongcu-kongcu lain...."
Untuk menyembunyikan malunya karena tadi salah duga. Wi Liong berkata, "Bagiku pelayan atau majikan sama saja sama-sama manusia, apa sih bedanya?”
Pelayan itu menjadi makin senang dan heran lalu ia membungkuk-bungkuk lagi dan mundur ke dalam rumah untuk melaporkan kedatangan seorang kongeu (tuan muda) yang ganteng, halus tutur sapanya dan suka menghormati seorang pelayan!
Saking girangnya mendapat penghormatan dari tamu muda itu, pelayan gemuk itu sampai lupa menanyakan nama tamunya sehingga ketika melapor kepada Kwa Cun Ek, ia hanya berkata bahwa di luar ada seorang tuan muda mohon berjumpa dengan Kwa Cun Ek, dan bahwa tamu muda itu tampan dan sopan santun sekali.
Kwa Cun Ek segera keluar diiringkan oleh isterinya. Ketika tiba di ruangan depan, Kwa Cun Ek hanya melihat seorang pemuda yang tampan dan kelihatan seperti seorang terpelajar lemah. Akan tetapi di sampingnya, Tung-hai Sian-li mengeluarkan seruan kaget ketika melihat Wi Liong.
Di lain fihak, Wi Liong juga menjadi kikuk sekali ketika melihat Tung-hai Sian-li yang segera dikenalnya berada di samping orang tua yang tinggi besar, gagah perkasa dan berjenggot panjang bagus terpelihara itu. la segera dapat menduga bahwa tentu dia inilah yang bernama Kwa Cun Ek, memang patut sekali menjadi seorang tokoh yang gagah. Akan tetapi mengapa Tung-hai Sian-li berada di situ pula? Betapapun juga, ia segera maju dan menjura dengan hormat sekali sehingga menimbulkan rasa suka pada perasaan Kwa Cun Ek.
Kwa Cun Ek dengan senyum ramah membalas penghormatan tamu. Sama sekali dia tidak melihat bagaimana Tung-hai Sian-li di sampingnya memandang pemuda itu dengan muka merah dan mata bernyala-nyala penuh kemarahan.
"Hiantit, silahkan duduk. Ada angin baik manakah yang membawa kau datang ke sini? Kepentingan apa gerangan yang kau bawa?" Memang semenjak isterinya kembali berada di sampingnya, Kwa Cun Ek telah menjadi seorang manusia yang jauh berbeda dari pada kemarin-kemarin.
Kini tidak saja ia nampak segar, sehat dan pakaiannya rapi, akan tetapi juga ia menjadi seorang yang peraman, manis budi dan kelihatan bahagia sekali. Ia amat mencinta isterinya, apa lagi sekarang, setelah isterinya itu meninggalkannya selama belasan tahun!
Memang Wi Liong paling takut menghadapi keramahan bekas calon mertua ini. Kembali ia berdebar-debar ketika ia melangkah maju, memberi hormat lagi lalu mengucapkan hafalannya, "Lo-enghiong, harap sudi memaafkan bahwa saya berani berlaku lancang menghadap lo-enghiong. Saya datang..."
"Nanti dulu, hiantit." Kwa Cun Ek memotong sambil tertawa lebar sehingga di balik jenggot panjang itu kelihatan deretan gigi yang kuat. "Kau bernama siapakah dan dari mana?"
Gangguan ini mengacaukan hafalan Wi Liong yang menjadi gugup-gugup. "Saya datang... eh, saya yang rendah bernama Thio Wi Liong... dan... dan saya datang membawa pesan paman Kwee..."
Berubah wajah Kwa Cun Ek seketika. Saking kaget, heran, menyesal dan marah ia sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi! Tung-hai Sian-li yang maju ke muka dan suara wanita ini lantang nyaring ketika ia berkata.
"Pamanmu si buta itu sudah datang menghina kami dengan tuduhan-tuduhannya yang keji dan kotor. Apakah sekarang kau datang hendak menghina kami dengan mengandalkan kepandaianmu? Kalau begitu, orang muda jangan kira kami takut!" Setelah berkata demikian tangan Tung-hai Sian-li bergerak dan....”sratt!" pedangnya telah dicabutnya!
Karuan saja Wi Liong menjadi makin bingung dan gugup. Akan tetapi pemuda ini memang aneh. Begitu menghadapi kekasaran atau kesombongan, semangatnya tiba-tiba bangkit kembali maka ia berkata dengan suara dingin,
"Tung-hai Sian-li, kau ikut-ikutan mencampuri urusan kami ada sangkut-paut apakah? Kuharap kau suka meninggalkan kami dulu karena aku ada urusan penting untuk dibicarakan dengan Kwa-lo-enghiong. Nanti kalau sudah selesai urusan kami boleh kalau kau hendak bicara denganku."
Tung-hai Sian-h bagaikan dibakar isi dadanya. Mukanya makin merah dan matanya yang bagus jeli itu berapi-api. "Setan kurang ajar! Kau dan pamanmu telah menghina Siok Lan anakku! Kau hendak bicara dengan suamiku sama saja bicara dengan aku!"
Kalau saat itu lantai yang diinjaknya tiba-tiba amblas, kiranya Wi Liong tidak akan sekaget ketika mendengar brondongan kata-kata yang sama sekali tak diduga-duganya ini! Celaka tiga belas setengah! Dia yang bertugas menjadi duta perdamaian, yang diharapkan akan dapat meredakan kemarahan fihak keluarga Kwa yang tersinggung kehormatannya karena kelalaian pamannya.
Bukannya meredakan kemarahan malah sebaliknya memperbesar nyala api. Dia telah bersikap kurang ajar kepada nyonya rumah, ibu Siok Lan atau isteri Kwa Cun Ek yang dianggapnya orang lain yang usil mulut! Tanpa terasa, matanya terbelalak mulutnya ternganga dan otomatis tangannya bergerak ke belakang menggaruk- garuk kepala di belakang telinga yang sebetulnya tidak gatal.
"A...a...pa... ba...gaimana...?" Dia bertanya ap-ap-ep-ep tidak karuan saking gagapnya.
Sementara itu, Kwa Cun Ek sudah dapat meredakan guncangan hatinya ketika ia mendengar bahwa pemuda ganteng lemah-lembut yang berdiri di depannya ini bukan lain adalah bekas calon mantunya. Ia menyentuh lengan isterinya untuk menyabarkan hati isterinya itu, melangkah maju setindak dan berkata, suaranya sekarang kaku dan sikapnya angkuh.
"Thio Wi Liong, kau datang mencari aku sebetulnya mau apakah?"
Wi Liong mengerutkan kening, mengerahkan seluluh tenaga otaknya untuk mengingat-ingat hafalannya. Akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba saja ia kehilangan semua itu. Kata-kata yang sudah dirangkai dan dihafalkan di luar kepala di warung teh tadi, kini lenyap sama sekali. Otaknya tiba-tiba menjadi tumpul. Ia memeras otak sampai keringat sebesar kacang-kacang hijau berkumpul di dahinya, namun tetap tak dapat ia mengingat rangkaian kata-kata itu. Akhirnya ia berkata sekenanya,
"Saya diutus oleh paman Kwee untuk meminta maaf atas kekhilafan paman karena paman telah mendengar omongan orang jahat. Paman Kwee menyesal sekali telah... telah memutuskan perjodohan.... dan... dan... ya sudah cukup begitulah...!" Wi Liong menghapus keringatnya dari muka dengan ujung bajunya. Agaknya terlalu keras ia menghapus sehingga kulit mukanya menjadi merah sekali ketika ia menurunkan tangan yang menggosok muka.
"Hemmm... pamanmu benar-benar telah melakukan hal yang amat ceroboh. Betapapun juga, aku masih dapat memaklumi mengingat bahwa dia telah buta sehingga tak dapat membedakan antara kebohongan dan sungguh-sungguh. Akan tetapi selain minta maaf apakah tidak ada pesan lain tentang ikatan yang sudah ia putuskan?"
"Ti... tidak...!" Wi Liong membohong dengan suara perlahan sehingga untuk menguatkan pernyataannya, ia menggeleng kepalanya keras-keras. Terpaksa ia membohong. Sebenarnya pamannya masih amat ingin berbesan dengan kakek gagah ini, masih ingin menyambung kembali ikatan jodoh yang telah diputuskan oleh pamannya.
Akan tetapi bagaimana ia dapat menerima penyambungan kembali kalau seluruh jiwa dan hatinya sudah terikat oleh Bu-beng Siocia (Nona Tak Bernama)? Sekarang sudah terlanjur, kebetulan ada kesempatan baik ini, setelah ikatan terputus oleh pamannya, biarlah tinggal terputus sehingga leluasa baginya untuk mencari Nona Tak Bernama!
Jawabannya yang kelihatan dipaksakan ketika mengatakan "tidak" tadi, tidak lepas dan pandang mata Tung-hai Sian-li yang amat tajam. Bagi nyonya gagah ini, lebih suka ia bermantukan Kun Hong dari pada Wi Liong yang biarpun sudah ia saksikan kelihaiannya, namun sikapnya terlalu lemah-lembut, kurang gagah. Apa lagi terutama sekali karena Kun Hong sudah pernah menolongnya maka hati nyonya ini lebih condong kepada Kun Hong. Ia melangkah maju dan berkata kepada Wi Liong, suaranya keras menuntut kepastian.
"Orang muda katakan sejelasnya. Pamanmu itu mengharapkan disambungnya kembali tali perjodohan antara kau dan anakku atau tidak? Jawab yang betul, tak perlu ragu-ragu dan sungkan-sungkan!" Kwa Cun Ek mengangguk-angguk menyetujui ucapan isterinya. Biarpun ia anggap hal itu terlalu kasar.
Terjadi perang dalam kepala Wi Liong, perang antara kebaktian terhadap pamannya yang menjadi pengganti orang tuanya dan cinta kasih yang mendalam terhadap Nona Tak Bernama. Seperti biasa dan sering kali terjadi dalam hati para muda, cinta kasihlah yang menang.
Pemuda yang selama hidupnya diajar jangan membohong dan yang memang belum pernah membohong itu, kali ini terpaksa membohong karena beratnya desakan cinta kasih yang membara di dalam hatinya. Ia menggeleng sebagai pengganti jawaban "tidak"!
Berubah wajah Kwa Cun Ek, Ia merasa tersinggung dan penasaran, juga amat marah. Kwee Sun Tek yang selama ini dianggapnya sahabat sejati, seorang gagah perkasa yang amat ia hormati, ternyata sekarang malah menjadi satu-satunya orang di dunia yang berani menghinanva secara luar batas.
Mula-mula melontarkan fitnahan keji dan kotor terhadap puterinya, lalu membatalkan pertunangan dan sekarang biarpun minta maaf, namun pada hakekatnya masih tetap menghinanya buktinya tidak mau menyambung kembali ikatan yang telah dipatahkannya secara paksa dan kasar!
"Dan sekarang, orang muda." Tung-hai Sian-li melanjutkan kata-katanya, senyum di bibirnya yang manis itu penuh ejekan, "bagaimana dengan pendapatmu sendiri? Apakah kau tidak mempunyai niat untuk menyambung kembali ikatan jodohmu yang diputus karena kebodohan pamanmu?"
Dapat dibayangkan betapa sukarnya mulut Wi Liong menjawab pertanyaan yang bagaikan ujung pedang runcing ditodongkan di depan ulu hatinya ini. Akan tetapi wajah Nona Tak Bernama terbayang di depan matanya, maka sambil meramkan matanya ia menjawab pasti. "Yang putus biar putus, aku menurut kehendak paman."
Terdengar isak makin keras lalu disambung Cepat Kwa Cun Ek dan Tung-hai Sian-li menengok, juga Wi Liong memandang ke dalam dengan hati tak enak. Sejak tadi ia sudah khawatir kalau-kalau akan mendengar bekas tunangannya menangis atau melihat munculnya tunangan itu. Betapapun juga. diam-diam ia merasa kasihan kepada tunangannya yang belum pernah dilihatnya itu gadis yang sama sekali tidak berdosa akan tetapi secara tak berdaya telah "diikatkan" kepadanya!
"Siok Lan...! Kesinilah kau dan lihat macam apa manusia yang pernah menjadi tunanganmu!" teriak Tung-hai Sian-li yang sudah marah sekali kepada Wi Liong dan Kwee Sun Tek.
Terdengar isak makin keras lalu disambung suara campur sedu-sedan, "Ti... tidak, ibu... aku tak sudi lagi melihat mukanya...!"
"Bu Beng Siocia....!" Suara Wi Liong bukan seperti suara orang ketika ia mengeluarkan sebutan ini. Dan pada saat itu berkelebat bayangan orang di dalam rumah orang yang melarikan diri ke belakang dengan cepat sekali.
Wi Liong yang mendengar suara itu sudah mengenal gadis pujaannya, sekarang melihat bayangan tubuh langsing tinggi dengan rambut dibungkus sutera di bagian atas, tidak ragu-ragu lagi. Seketika ia menjadi limbung, semangatnya seperti meninggalkan tubuhnya dan mukanya berobah pucat seperti kertas putih.
"Bu Beng Siocia...! Aahhhh... apa yang telah kulakukan....?" Dua kali ia memukul kepalanya sendiri dengan kedua tangannya sampai pipinya menjadi bengkak-bengkak dan darah mengalir dari mulutnya. Kemudian seperti orang gila ia menubruk maju, lari pesat sekali memasuki rumah dan mengejar ke belakang sambil berteriak-teriak. "Bu Beng Siocia...! Bu Beng Siocia...!!"
Tung-hai Sian-li dan suaminya saling pandang dengan muka pucat, kemudian mereka juga lari cepat mengejar. Akan tetapi mereka tertinggal jauh sekali oleh Wi Liong yang sudah mengejar laksana kilat menyambar cepatnya.
"Bu Beng Siocia...!" Wi Liong berteriak lagi setelah ia dapat mengejar dekat.
"Jangan kejar aku...! Tak sudi aku melihat mukamu...!!" Siok Lan berkata dengan isak tangisnya menyesakkan dada. Gadis ini mengerahkan seluruh ginkangnya untuk lari secepat mungkin dari tempat dan orang yang amat dibencinya karena orang yang amat dicintanya ini telah menghinanya sehebat-hebatnya.
"Tunggu... Siok Lan... tungguuu... siapa sangka kau Siok Lan??" terengah-engah Wi Liong berkata karena pukulan batin yang diderita pada saat itu melebihi tenaga yang ada padanya. Setelah dapat menyusul, ia menyambar tangan gadis itu dan sekali sentakan saja gadis itu telab didekapnya.
"Bu-beng Siocia... Siok Lan... kau tunanganku sendiri... kau... kau ampunkan aku, Siok Lan...." Untuk beberapa detik Siok Lan menangis tersedu-sedan di atas dada orang yang paling dicintanya dan juga paling dibencinya itu. Kemudian ia merenggutkan tubuhnya dari pelukan Wi Liong. "Keparat jahanam tak tahu malu! Jangan kau sentuh aku! Siapa sudi padamu...? Minggir!" Siok Lan menendang keras sekali dan tepat mengenai perut Wi Liong yang tidak mau mengelak atau menangkis.
Tubuh pemuda itu terlempar dan membentur batu karang yang berada di belakangnya, roboh terguling-guling. Mukanya yang sudah bengkak itu lecet-lecet, akan tetapi dia bangun kembali. Melihat Siok Lan sudah lari lagi cepat iapun melompat dan mengejar. "Siok Lan.... pujaanku... Siok Lan....!" Ia mengejar terus.
Sambil menangis Siok Lan terus berlari. Gadis ini hancur hatinya. Dahulu ketika ia bertemu dengan pemuda yang menjatuhkan hatinya ini, pemuda yang sebenarnya adalah tunangannya sendiri akan tetapi begitu bodoh sehingga tidak mengenalnya, ia sengaja mempermainkan Wi Liong, ia sudah bersiap-siap untuk mempermainkan tunangannya.
Dan pada saat Wi Liong datang ke Poan-kun untuk membatalkan pertunangannya seperti telah dijanjikan pemuda itu kepadanya, ia akan muncul, tidak saja mencegah pemuda itu membatalkan, juga akan mentertawakannya dan ia sudah membayangkan betapa akan lucu kemudian mesra pertemuan itu.
Akan tetapi, celaka sekali, paman pemuda itu telah mendahuluinya, telah merusak rencananya dengan pembatalan ikatan jodoh. Kalau paman pemuda itu yang membatalkan hal itu bukan main-main lagi dan merupakan penghinaan besar. Apa lagi kini Wi Liong muncul bukan untuk memenuhi janjinya dulu, bukan merupakan pemuda yang hendak membatalkan perjodohan karena cinta kepadanya.
Akan tetapi sebagai pemuda utusan pamannya yang biarpun sudah mengakui kesalahannya, namun tetap tidak ada niatan untuk menyambung kembali ikatan jodoh. Alangkah hebat penghinaan ini dan betapapun besar cinta kasihnya kepada Wi Liong, tak mungkin ia dapat melanjutkan perjodohan itu. Menyambung kembali berarti mencemarkan kehormatan dan nama orang tuanya, berarti menjatuhkan penghinaan yang sebesar-besarnya di atas kepala ayah bundanya yang terkenal sebagai jago-jago di dunia kang-ouw.
"Tidak... minggat kau. Aku benci kepadamu, benciiii.... tak dengarkah engkau...?"
Akan tetapi Wi Liong terus mengejar. Siok Lan adalah seorang gadis yang keras hati, lebih keras dari ibunya. Melihat bahwa tak mungkin ia dapat lari dari Wi Liong yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari padanya, ia menjadi nekat. Dengan gerakan tiba-tiba ia mencabut pedangnya dan membalikkan tubuh lalu sambil memekik. "Mati kau...!"
Ia menyabetkan pedangnya membuta ke arah Wi Liong. Pemuda ini dalam keadaan setengah sadar karena hebatnya tekanan batin yang dideritanya, tidak mengelak sehingga dengan tepat pedang itu membacok paha kirinya.
"Cappp....!" Wi Liong roboh terguling, darah mengucur deras dari luka di pahanya. Baiknya pemuda ini sudah menggembleng diri secara hebat sekali sehingga biarpun ia tidak mengerahkan lweekang atau tenaga untuk menahan sabetan, namun hawa sinkang di tubuhnya membuat urat-uratnya kuat dan dagingnya otomatis dapat menahan serangan dari luar sehingga ia hanya menderita luka di luar saja yang berdarah banyak. Lain orang tentu sudah putus pahanya disambar pedang gadis itu.
"Bunuh aku... kau bunuh saja aku...!” kata Wi Liong dengan pucat ketika ia roboh terguling. Melihat darah, Siok Lan menjadi makin kalap. Ia mengangkat pedangnya, siap ditusukkan ke arah leher pemuda yang pada saat itu amat dibencinya. Akan tetapi, pada saat ujung pedang sudah mendekati tenggorokan Wi Liong, pandang mata Siok Lan bentrok dengan sinar mata pemuda itu yang menatapnya penuh kedukaan dan cinta kasih. Naik sedu-sedan di kerongkongan Siok Lan membuat tangannya menggigil dan ujung pedang itu menurun, melukai kulit dada Wi Liong dan merobek bajunya.
Pada saat itu. dari jauh sudah muncul Kwa Cun Ek yang berteriak nyaring, "Siok Lan....!"
Gadis itu kaget, membalikkan tubuh dan lari lagi secepatnya. Wi Liong melompat bangun, agak terpincang namun berkat ginkangnya yang luar biasa tingginya, sudah dapat berlari lagi cepat sekali walau terpincang-pincang. Darah menetes di atas tanah, di sepanjang jalan yang dilaluinya. Darah segar, sebagian besar dari paha kirinya dan sebagian dari dadanya. Kepalanya serasa dipukuli palu besar, berdenyut-denyut sakit.
Ini adalah akibat pukulannya sendiri tadi, pukulan yang dilakukan dengan keras dan dalam keadaan menyesal, duka dan marah kepada diri sendiri. Pukulannya sendiri ini di luar kesadarannya telah melukainya sendiri, luka yang tidak seberapa akan tetapi karena mengguncang otak, menjadi hebat dan berbahaya!
Melihat pemuda itu sudah mengejar sampai ke dalam hutan di sebelah timur kota Poan-kun, Siok Lan menjadi bingung. Akhirnya, setelah Wi Liong sudah dapat terdengar napasnya yang terengah-engah di belakangnya, Siok Lan mengambil keputusan nekat lalu melompat ke dalam sebuah jurang!
"Bu-beng Siocia...!" Pekik yang dikeluarkan oleh Wi Liong ini hebat sekali, seperti raung seekor singa terluka. Dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata, pemuda ini melompat, melempar diri terjun kedalam jurang itu, kedua kakinya mengait akar pohon dan tangannya menangkap tubuh Siok Lan. Semua ini terjadi dalam beberapa detik saja dan apa yang dilakukan oleh Wi Liong ini kiranya hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah tak memperdulikan kematian lagi.
Dalam keadaan sadar, kiranya takkan dapat dilakukan olehnya, sungguhpun kepandaiannya amat tinggi. Perbuatan yang dilakukan oleh Wi Liong ini biarpun mengandalkan kepandaian tinggi, namun terutama sekali berkat kenekatan yang luar biasa terdorong oleh putus asa. Melihat kekasihnya melempar diri ke dalam jurang. Wi Liong cepat menyusul dan melompat pula.
Karena kepandaiannya tinggi, lompatannya demikian cepatnya sehingga ia dapat menyusul Siok Lan dan ketajaman perasaannya membuat ia ingat untuk mengaitkan kaki kepada apa saja yang dapat menahan tubuhnya, kemudian ia berhasil untuk menyambar pinggang Siok Lan pada saat itu juga!
"Lepaskan aku, keparat!" Siok Lan meronta-ronta. Gadis ini sudah mengambil keputusan nekat untuk mati saja. Ia menggunakan kedua tangan untuk memukul, dan kedua kakinya menendang-nendang. Sayang pedangnya sudah terlempar lenyap ketika ia melompat ke dalam jurang tadi, kalau tidak agaknya ia akan menggunakan pedangnya itu.
Betapapun tinggi kepandaian Wi Liong, dipukul dan ditendang oleh gadis yang berilmu tinggi juga itu, tak dapat ditahan lebih lama lagi. Lebih-lebih karena kaki kirinya terasa lumpuh, agaknya terlampau banyak darah keluar. Tubuhnya mulai gemetar menggigil dan sukar baginya untuk mempertahankan diri lagi. Akan tetapi ia tidak mau melepaskan tubuh kekasihnya.
"Jahanam, lepaskan aku!" teriak Siok Lan sambil memukul-mukul lagi sekenanya.
Pada saat itu. Kwa Cun Ek dan isterinya sudah tiba di pinggir jurang dengan muka pucat dan napas terengah-engah. "Lan-ji...!" Kwa Cun Ek berseru kaget melihat keadaan puterinya, dipegang pinggangnya oleh kedua tangan Wi Liong yang menggantungkan kaki pada akar pohon di tebing jurang, kira-kira sepuluh kaki dalamnya dari atas. Kalau cekalan Wi Liong terlepas, atau kalau pemuda itu jatuh ke bawah... tentu akan celaka puterinya!
"Siok Lan... jangan pukul dia...!" Tung-hai Sian-li juga memekik kaget dengan muka pucat. Kemudian wanita ini hampir pingsan menyembunyikan mukanya di dada suaminya, terisak. Mereka tak berdaya menolong.
Mendengar seruan-seruan mereka, pikiran Wi Liong yang sudah gelap dan tidak karuan itu seperti mendapat sinar terang. Cepat ia mencengkeram pinggang gadis itu dengan tangan kiri. melepaskan tangan kanan dan begitu tangan kanannya bergerak, ia sudah menotok jalan darah Siok Lan sehingga gadis ini tak dapat bergerak lagi.
"Kwa-lo-enghiong... awas, terimalah puterimu...!" seru Wi Liong yang mengerahkan seluruh tenaga kepada dua lengannya, kemudian melemparkan tubuh Siok Lan ke atas sepenuh tenaga.
Tubuh itu melayang ke atas melampaui mulut jurang. Kwa Cun Ek cepat menyambar tubuh puterinya yang lalu dipeluk dan ditangisi Tung-hai Sian-li. Akan tetapi ketika Kwa Cun Ek menengok ke bawah, ia meramkan matanya melihat betapa berbareng dengan terlemparnya tubuh Siok Lan ke atas, kaitan kaki Wi Liong pada akar itu terlepas dan tubuh pemuda itu meluncur ke bawah sampai lenyap dari pandangan mata!
Kwa Cun Ek menahan napas dan membuka lagi matanya yang menjadi basah. Ia tidak mengerti apakah sebetulnya yang sudah terjadi maka demikian aneh sikap Wi Liong dan Siok Lan. Betapapun juga, Wi Liong telah merenggut nyawa Siok Lan dari maut dengan pengorbanan nyawa sendiri, agaknya. Karena, bagaimana orang masih dapat hidup setelah terjatuh ke dalam jurang sedemikian dalamnya?
Akan tetapi ia tak dapat berbuat sesuatu, malah hendak menjaga agar Siok Lan jangan sampai tahu lebih dulu akan kengerian yang terjadi pada diri pemuda aneh itu. Ketika ia memandang puterinya, gadis itu sudah dibebaskan pengaruh totokannya oleh ibunya, akan tetapi Siok Lan telah roboh pingsan. Dengan hati tidak karuan rasa, suami isteri itu lalu membawa pulang Siok Lan, kemudian setelah gadis itu direbahkan di dalam kamarnya dan dirawat oleh ibunya.
Kwa Cun Ek lalu pergi ke hutan itu, untuk mencari mayat Wi Liong agar ia dapat mengurus penguburannya secara baik-baik. Tung-hai Sian-li, biarpun biasanya berhati baja, kali ini menyetujui kehendak suaminya, malah mendesak suaminya berangkat cepat-cepat agar jenazah pemuda itu tidak menjadi korban binatang buas. Pesanan ini ia ucapkan dengan air mata berlinang. Akan tetapi, menjelang senja, Kwa Cun Ek pulang dengan muka lesu dan tangan kosong. Isterinya menyambut di ruangan depan.
"Lan-ji sudah siuman, menangis saja lalu sekarang sudah tertidur. Bagaimana usahamu mencarinya...?" berkata Tung-hai Sian-li perlahan.
Kwa Cun Ek menggeleng kepalanya dengan sedih. "Agaknya kekhawatiranmu telah terbukti. Aku hanya melihat bekas-bekas darah... dan robekan-robekan pakaian... tapi tidak menemukan jenazahnya... agaknya... kutakut... jenazahnya digondol binatang buas..." Kwa Cun Ek tak dapat melanjutkan kata-katanya karena keharuan membuat kerongkongannya tersumbat.
Tung-hai Sian-li mendekap mulut sendiri agar jangan mengeluarkan suara tangisan. Akan tetapi dari celah-celah jari dan ujung lengan baju yang dipakai menutupi mulut dan mata. mengalir butiran-butiran air mata.
Keharuan suami isteri ini diakhiri dengan tidur karena lelah. Baru menjelang subuh mereka dapat tidur. Tekanan-tekanan batin membuat mereka lelah. Setelah mereka bangun, keharuan itu berganti dengan panik dan gelisah karena kamar Siok Lan telah kosong! Gadis itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas!
"Siok Lan...!" Tung-haa Sian-li menjerit dan di lain saat wanita ini sudah berlari cepat meninggalkan rumahnya.
"Hui Goat...!!" Suaminya memanggil sambil mengejair keluar.
"Aku takkan pulang sebelum bertemu dengan Siok Lan!" kata Tung-hai Sian-li sambil mempercepat larinya. Kwa Cun Ek menarik napas panjang berkali-kali sambil berdiri mematung di depan rumahnya.
Kemudian, beberapa orang tetangganya melihat orang gagah ini pergi meninggalkan rumahnya, menggendong sebuah bungkusan kuning terisi bekal perjalanan. Setelah Siok Lan dan Tung-hai Sian-li pergi, untuk apa dia tinggal di rumah? Ia harus menemukan mereka, kalau tidak, biar dia tak usah pulang, sampai mati...!
Memang, peruntungan manusia tidak tentu, terputar seperti roda, sebentar di atas sebentar di bawah. Ini mengingatkan orang agar jangan menjadi congkak sombong di waktu jaya dan jangan putus asa dan kecil hati di waktu menderita.
"Pak tua, tolong kau urus baik-baik kudaku ini, aku hendak mendaki ke puncak. Ini uang untuk biayanya, kalau nanti aku turun dan mendapatkan kudaku terawat baik-baik akan kuberi hadiah lagi. Dan sekalian aku titip sekantong uang ini, awas jangan hilang!" Demikian pesan Kun Hong kepada seoramg petani miskin yang tinggal di kaki Bukit Wuyi-san.
Tentu saja petani tua yang miskin itu girang menerima hadiah uang perak hanya untuk merawat kuda beberapa hari saja. Akan tetapi kegirangannya menjadi ketakutan dan kekhawatiran ketika ia melihat sekantong uang perak dan emas itu dititipkan kepadanya. Selama ia hidup, sampai lima puluh tahun lebih, jangankan melihat, mimpipun belum pernah ia melihat uang sebanyak itu!
Setelah Kun Hong pergi, petani itu dengan badan menggigil menyimpan uang sekantong nu ke dalam biliknya di dalami pondok yang butut. Memang aneh, orang begitu miskin dalam pondok begitu butut menyimpan uang emas dan perak yang kiranya kalau dibelikan pondok seperti itu. bisa dapat beberapa ratus buah berikut tanahnya! Padahal untuk makan setiap harinya saja kadang-kadang kakek ini dipaksa berpuasa karena tidak ada yang dimakan!
Kun Hong sengaja meninggalkan kudanya kepada petani itu. Ia tidak mau memaksa kuda yang naik itu kehabisan tenaga mendaki bukit Dengan jalan kaki, mempergunakan ginkangnya ia akan dapat mencapai puncak lebih cepat lagi. Kuda itu merupakan binatang tunggangan yang amat baik.
Laginya ia merasa mempunyai kawan dalam perjalanan. Juga uang itu ia tinggalkan, karena untuk apa sih membekal uang mendaki puncak Wuyi-san? Paling-paling hanya akan menimbulkan kecurigaan kepada Kwee Sun Tek atau Wi Liong, terutama sekali Thian Te Cu....