Cheng Hoa Kiam Jilid 17

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Cheng Hoa Kiam Jilid 17
Sonny Ogawa

Cheng Hoa Kiam Jilid 17, karya Kho Ping Hoo - TIDAK BISA, suhu. karena... karena dia itu.... bukan anak teecu!”

Cerita Silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Kagetlah semua orang, termasuk Kam Kun Hong sendiri. "Ayah, jangan kau menyangkal aku sebagai anakmu hanya untuk menolongku!" teriak pemuda ini, penuh keharuan dan kemenyesalan. Ia tidak rela melihat ayahnya membohong merendah, dan bahkan menyangkalnya sebagai anak, hanya untuk menyelamatkannya dari maut.

"Siapa bilang kau anakku?" Kam Ceng Swi berkata ketus. Untung bagiku kau bukan anakku sehingga aku tidak begitu malu mempunyai anak yang menjadi penghianat bangsa!"

"Ceng Swi, dahulu kau tidak bercerita apa-apa dan kami semua menganggap dia betul-betul puteramu yang ibunya sudah meninggal. Coba kauterangkan yang jelas. Kalau dia bukan anakmu. anak siapakah?"

"Teecu juga tidak tahu." kata Kam Ceng Swi dengan keras-keras, sengaja supaya Kun Hong mendengarnya. "Dia masih kecil sekali ketika teecu mendapatkan dia menggeletak dan menangis di samping seorang wanita muda yang sudah tewas dalam sebuah hutan. Wanita muda itu tewas oleh cengkeraman seperti Tiat-jiauw-kang (Ilmu Cengkeraman Besi) di dadanya dan di situ tidak ada tanda-tanda siapa adanya nyonya muda itu. Satu-satunya tanda hanyalah gelang emas dengan ukiran huruf KUN HONG pada lengan kiri anak itu yang teecu bawa setelah teecu mengubur jenazah itu. Sampai sekarang teecu tidak tahu siapakah ayah anak itu dan siapa pula nyonya muda yang agaknya ibunya itu."

Terdengar isak tangis. Semua orang melihat Kun Hong yang menangis terisak-isak. Air matanya membanjir keluar dari sepasang matanya, mengalir turun di atas pipinya tanpa ia dapat menghapus karena kedua tangannya diikat ke belakang. Baru sekarang Kun Hong menangis, betul-betul menangis karena hatinya terasa perih, terharu dan nelangsa. Sampai ayah bundanya saja tidak ada orang yang mengenal! Jadi dia bukan putera Kam Ceng Swi!

"Namaku terukir di gelang, akan tetapi siapa she-ku?" tanyanya dengan suara terputus-putus dan serak. Berkali-kali ia menelan ludah dan menggerak-gerakkan kepala untuk mengusir air mata yang membanjir turun itu dari mukanya.

"Aku tidak tahu siapa she mu. Akan tetapi biarpun kau anak orang lain, semenjak kecil aku memeliharamu, mendidikmu sampai kau diculik orang jahat. Tidak nyana sama sekali bahwa hari ini aku bertemu lagi dengan kau sebagai seorang penghianat yang jahat sekali. Kun Hong, kalau aku tahu akan begini jadinya, lebih baik dulu kau kubiarkan mati di samping ibumu!" kata Kam Ceng Swi yang tak dapat menahan air matanya saking menyesal dan kecewa.

Untuk beberapa lama tidak ada yang membuka mulut. Kemudian Pek Mau Sianjin berkata, "Ceng Swi, setelah ternyata bahwa orang itu bukan anakmu, memang dia tidak boleh dianggap sebagai murid Kun-lun-pai. Akan tetapi dia murid Thai Khek Sian, dia seorang penghianat yang berbahaya. Setelah terjatuh ke dalam tangan kita, masa kita harus melepaskannya begitu saja? Bukankah itu sangat berbahaya?"

"Suhu, biarpun dia hanya anak pungut, akan tetapi teecu merasa akan kelemahan hati sendiri, teecu sudah menganggap dia anak sendiri dan terlalu tebal kasih sayang di dalam hati teecu. Karena inilah teecu harus berdaya sekuat tenaga untuk menyelamatkannya, lahir batin. Kalau suhu sudi mengampuni nyawanya, itu berarti teecu sudah berhasil menyelamatkan dia dari kematian. Akan tetapi tentu saja teecu takkan membiarkan dia terlepas begitu saja, membahayakan keselamatan rakyat. Melihat penjahat tanpa turun tangan berusaha membasminya, sama dengan bersekutu dengan penjahat itu."

"Lalu, bagaimana kehendakmu sekarang? Karena bukan murid Kun-lun-pai, juga bukan anakmu, pinto tidak kuasa lagi mengambil keputusan atas dirinya setelah kau berada di sini. Kau yang lebih berhak" kata ketua Kun-lun-pai dengan suara halus, hatinya merasa kasihan kepada muridnya ini yang bernasib demikian buruk sehingga mempunyai dan menyayang seorang anak pungut yang demikian jahat.

"Perkenankan teecu bicara dengan dia." kata Kam Ceng Swi. Setelah ketua itu mengangguk memberi ijin, ia lalu melangkah maju mendekati jembatan. Hatinya hancur menyaksikan betapa puteranya itu telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, tepat seperti yang sering kali ia bayangkan di kala ia merindukan anak pungutnya ini. Dia begini gagah, begini tampan, mengapa tersesat?

Semua gara-gara Bu-ceng Tok-ong yang telah menculiknya, pikir pendekar ini dengan hati geram. Bocahnya ini tidak bersalah. Tentu saja karena mendapat didikan dari orang-orang Mo-kauw, ia menjadi tersesat. Bukan salah anak itu karena terjatuh ke dalam tangan orang-orang Mo-kauw bukanlah kehendaknya. Malah Kun-lun-pai yang bersalah dalam hal ini, karena Kun-lun-pai tidak mampu merampas kembali anak ini dari tangan orang jahat.

"Kun Hong, kau bersumpahlah demi arwah ibumu bahwa sudah bertobat tidak akan melakukan kejahatan seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Mo-kauw, tidak akan menjadi kaki tangan pemerintah penjajah dan akan membantu perjuangan orang-orang gagah membela rakyat. Bersumpahlah dan aku yang akan menanggung supaya kau diampuni oleh Kun-lun-pai."

Kalau tadinya Kun Hong nampak terharu dan menangis karena mendengar bahwa dia bukan putera Kam Ceng Swi. Akan tetapi anak yang ditemukan di tengah jalan di samping mayat ibunya, tidak diketahui pula siapa ayahnya sekarang mendengar ucapan Kam Ceng Swi yang dikeluarkan dengan suara mengandung penuh harapan, pemuda ini tiba-tiba tertawa bergelak. Kelakuannya ini demikian aneh sampai semua tosu memandangnya, juga Seng-goat-pian Kam Ceng Swi melengak.

"Ayah... kau tadi bilang bahwa kau bukan ayahku, bahwa aku anak yatim piatu yang tidak diketahui siapa ibu bapaknya. Akan tetapi kenapa kau bersusah-payah hendak menolongku? Orang-orang Kun-lun-pai berlaku pengecut, menangkap aku secara menggelap dan memalukan. Mau bunuh boleh bunuh, siapa sih takut mati? Orang-orang hanya bisa menumpahkan kesalahan kepadaku. Aku dibawa ke Kun-lun-pai bukan kehendakku, kemudian diculik Bu-ceng Tok-ong dan menjadi murid Thai Khek Sian, masa itu salahku? Suruh aku bersumpah? Ha-ha-ha, lucu sekali, aku boleh melakukan apa saja sesuka hatiku, kenapa harus diikat dengan sumpah segala?"

Seorang tosu Kun-lun-pai marah sekali mendengar ini. "Suheng. untuk apa mintakan ampun bagi manusia macam begitu? Kita basmi saja iblis ini berarti kita menolong banyak orang."

"Nanti dulu! Ucapannya itu, bagaimana jahat terdengarnya, memang ada betulnya. Dia sampai menjadi dewasa, salahku karena aku dahulu yang menolongnya. Dia sampai menjadi murid Mo-kauw, salah Kun-lun-pai karena dulu bocah ini berada di sini dan Kun-lun-pai tidak berdaya merampasnya kembali ketika ia diculik oleh Bu-ceng Tok-ong. Akan tetapi bagaimanapun juga kalau dia tidak mau berjanji, memang berbahaya melepaskan dia...."

Seng-goat-pian Kam Ceng Swi kelihatan bingung dan sedih sekali. Melihat keadaan Kun Hong. memang seharusnya demi keamanan pemuda ini dihukum dan ditewaskan. Akan tetapi bagaimana seorang ayah dapat melihat puteranya dibunuh? Di dalam hatinya, ia menganggap Kun Hong seperti anak sendiri.

Pek Mau Sianjin yang berpemandangan awas tahu akan hal ini. Kakek ini berkata lembut. "Muridku, ada jalan pemecahannya, melenyapkan kepandaiannya tanpa melenyapkan nyawanya. Kalau kau setuju pinto akan mematikan hawa thai-yang dalam tubuhnya."

Wajah Kam Ceng Swi berseri. Inilah jalan satu-satunya menyelamatkan anak pungutnya itu, menyelamatkannya lahir batin. Pemuda itu tidak saja takkan terbunuh mati. juga kalau kepandaiannya lenyap, ia akan dapat melakukan kejahatan apakah?

"Suhu bersedia melakukan hal ini, sungguh menjadi bukti lagi akan kemuliaan hati suhu. Teecu menghaturkan banyak terima kasih dan tentu saja teecu menyetujuinya, kalau saja hal ini tidak akan mengganggu kesehatan suhu sendiri."

Ilmu untuk mematikan hawa thai-yang adalah ilmu warisan Kun-lun-pai yang amat dirahasiakan dan biasanya hanya boleh diwarisi oleh ketua-ketua Kun-lun-pai atau tokoh-tokoh yang mempunyai kedudukan paling tinggi. Murid-murid biasa, biarpun tokoh seperti Kam Ceng Swi sekalipun, tidak diperbolehkan mempelajarinya.

Sebetulnya ilmu ini adalah semacam ilmu pengobatan untuk mengusir hawa di dalam tubuh yang menimbulkan pelbagai penyakit, juga menimbulkan daya kekuatan, adapun cara untuk melakukannya amat sukar, lagi melelahkan dan menghabiskan tenaga lwee-kang.

Oleh karena itu, biarpun ia sendiri tidak bisa, akan tetapi Kam Ceng Swi yang sudah pernah melihat guru besarnya dahulu melakukan ilmu ini, menyatakan kekhawatirannya kalau-kalau ketua Kun-lun-pai itu akan menjadi sakit jika menjalankan ilmu ini.

"Bawa dia ke lian-bu-thia (ruang belajar silat)," kata kakek itu perlahan kepada Kam Ceng Swi, lalu mendahuluinya pergi ke arah kelenteng besar yang berada di puncak bukit itu diikuti oleh para tosu lainnya.

Kam Ceng Swi menghampiri Kun Hong berdiri memandang pemuda itu dengan kening berkerut dan mata penuh keharuan, kemudian ia memeluk pemuda itu sambil berkata. "Kun Hong, kau tahu betapa besar kasih sayangku kepadamu. Aku melakukan hal ini demi keselamatanmu."

Melihat Kam Ceng Swi. Orang yang selama ini ia anggap ayahnya dan yang kadang-kadang ia kenang penuh kerinduan tiba-tiba Kun Hong teringat akan maksudnya mencari ayahnya dan terbayanglah Pui Eng Lan yang manis. Begitu teringat kepada gadis ini, otomatis semua kekhawatiran lenyap, semua urusan terlupa, dan serta-merta ia berkata. "Ayah. apa benar kau sayang kepadaku?"

"Masih perlukah kau bertanya lagi? Aku sayang kepadamu seperti seorang ayah kepada anaknya sendiri."

"Kalau begitu, harap ayah mencari Pak-thian Koai-jin dan melamarkan murid perempuannya yang bernama Pui Eng Lan untuk aku!"

Kam Ceng Swi melengak dan bengong memandang putera angkatnya. Bocah ini menghadapi urusan besar, sebentar lagi akan kehilangan semua kepandaiannya, akan tetapi yang dipikirkan adalah soal perjodohan! Di samping keheranannya, ia juga merasa terharu sekali.

"Baiklah, Kun Hong. Aku akan melamar dia untukmu. Sekarang kau harus ikut ke lian-bu-thia dan merelakan kepandaianmu yang didapat dari orang-orang jahat. Lebih baik tak berkepandaian namun bersih dari pada berkepandaian akan tetapi kotor. Kepandaian yang dipergunakan untuk kebenaran adalah suatu berkah dan nikmat, akan tetapi kepandaian yang dipergunakan untuk kejahatan adalah suatu kutuk dan awal kesengsaraan."

Setelah berkata demikian, Kam Ceng Swi memondong tubuh anak pungutnya yang masih terikat itu dibawanya lari menuju ke lian-bu-thia di mana Pek Mau Sianjin dan tosu-tosu Kun-lun-pai sudah menanti kedatangannya.

Ketika Kam Ceng Swi merebahkan tubuh Kun Hong di tengah lian-bu-thia itu, dengan gerakan tubuhnya Kun Hong berhasil bangkit dan duduk dengan lutut ditekuk ke belakang. Pemuda ini tersenyum memandang ke arah Pek Mau Sianjin. lalu berkata mengejek,

"Tosu tua bangka bau! Alangkah lucunya kalau para tokoh kang-ouw melihat kau menghadapi seorang pemuda yang sudah diikat erat-erat. Ha-ha... biarpun sudah diikat, agaknya aku masih mampu membuat kau tak berdaya. Haa... kau kelihatan takut! Wajahmu yang kurus kering menjadi pucat. Ha-ha-ha! Sungguh tidak patut kau menjadi ketua Kun-lun-pai!"

"Kun Hong, jangan kurang ajar!" bentak Ceng Swi, gelisah melihat sikap putera angkatnya ini.

"Suhu, lebih baik basmi saja manusia iblis ini," bentak lain orang tosu yang menjadi panas perutnya mendengar ejekan Kun Hong.

Pemuda itu menoleh dan melihat tosu yang mengusulkan supaya ia dibunuh ini adalah seorang tosu yang mukanya bopeng bekas dimakan penyakit cacar, ia berkata. "Eh... tosu bopeng, kau berani bilang begitu apakah juga berani melawanku? Coba kau lepaskan ikatan ini, tanggung dalam sepuluh jurus aku sudah dapat membuat kau lebih bopeng lagi!"

"Kun Hong... apa kau berani melawan aku?" bentak Kam Ceng Swi sambil melompat maju mendekati pemuda itu.

Kun Hong menjadi serba susah. Ia menundukkan mukanya dan berkata perlahan. "Kau bukan ayahku, akan tetapi kau telah berlaku sebagai ayahku sendiri, kau baik dan sayang kepadaku. Bagaimana aku berani melawanmu?”

"Kalau begitu kaupun harus taat kepadaku. Kun-lun-pai mengampuni kau akan tetapi kau harus rela membuang kepandaianmu yang sesat. Kau tahu, untuk mematikan hawa thai-yang di tubuhmu, suhu mengorbankan tenaga beliau yang sudah tua. Kau seharusnya berterima kasih atas maksud baik suhu bukan bersikap kurang ajar seperti itu. Atau kau lebih suka mati?”

Kam Ceng Swi marah karena ia sudah bersusah payah untuk menolong nyawa anak angkatnya, tidak tahunya yang ditolong malah bersikap demikian kurang ajar. Ia khawatir kalau-kalau ketua Kun-lun-pai akan berubah pikiran dan melanjutkan niatnya semula, membunuh pemuda ini.

Kun Hong menarik napas panjang, akan tetapi ia tersenyum. "Ayah, manusia sudah berani hidup mengapa takut mati? Di dunia ini tidak ada orang baik, setiap perbuatan baik setiap pertolongan, merupakan kedok untuk menutupi pamrih yang buruk. Kun-lun-pai hendak menolongku? Mengapa aku ditangkap dengan curang? Pek Mau Sianjin hendak menolongku? Tentu di belakang maksud ini ada niat lebih buruk dan jahat. Akan tetapi kau sudah kuanggap ayahku sendiri aku belum pernah membalas budi biarlah kali ini aku menyenangkan hatimu. Pek Mau tosu tua bangka, kau akan berbuat apa saja atas diriku, silahkan!"

Setelah berkata demikian. Kun Hong meramkan matanya. Kedua kakinya masih ditekuk berlutut karena ia tidak dapat bersila, sedangkan kedua tangannya masih diikat di belakang tubuhnya. Sikapnya ini seperti seorang hukuman yang hendak menjalani hukum potong leher!

Pek Mau Sianjin sudah bersiap-siap. Ia mengerahkan seluruh tenaga sinkang di tubuhnya sambil meramkan kedua matanya. Uap putih perlahan mengepul dari kepalanya yang agak botak, tanda bahwa hawa Yang di tubuhnya bekerja sekuatnya, kemudian perlahan-lahan uap itu menghilang dan semua tosu yang berada di situ, yang tadinya merasakan hawa panas keluar dari tubuh ketua Kun-lun-pai ini, kini merasa betapa hawa panas itu berubah menjadi dingin sekali.

Inilah hawa sakti Im yang keluar dari tubuh kakek itu. Pek Mau Sianjin sedang mematangkan perubahan-perubahan hawa di tubuhnya agar siap melakukan mematikan hawa thai-yang dari Kun Hong. Perubahan makin cepat, sebentar panas sebentar dingin dan tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan keras, tangan kanannya bergerak maju dan dua jari tangan ini, telunjuk dan tengah menotok ke arah punggung Kun Hong.

"Plak!!" Dua jari tangan itu menempel di punggung Kun Hong dan seketika pemuda itu menjadi merah sekali mukanya, cepat sekali peluhnya keluar semua dan dari kepalanya mengepul uap putih. Inilah tanda bahwa hawa Yang di tubuhnya sudah dibangkitkan oleh totokan itu. Bagaikan api menjadi berkobar-kobar di tubuhnya, panasnya tak tertahankan lagi.

"Uaakkhh!" Kun Hong muntahkan segumpal darah dari mulutnya, kemudian ia mengeluarkan seruan dan.... ”krekk!" sebagian tambang yang mengikat kedua kakinya putus!

Pek Mau Sianjin mengeluarkan seruan kaget sekali. Cepat tangan kirinya bergerak dan dua jari tangannya menggantikan tangan kanan, kini menotok ke arah lambung dekat pusar. Kembali dua jari tangannya menempel di situ dan tenaga Im yang hebat menyerang Kun Hong. Memang inilah kehebatan ilmu pukulan mematikan hawa thai-yang.

Mula-mula hawa Yang di dalam tubuh lawan dibangkitkan sampai sehebatnya, kemudian dengan tiba-tiba menyerang dengan hawa Im yang akan meresap ke dalam tulang sumsum dan perubahan yang mendadak ini akan memusnahkan hawa Thai-yang sehingga orang itu akan kehilangan semua lweekamg di tubuhnya dan menjadi seorang yang biasa saja tidak akan mungkin dapat mempergunakan kepandaian silatnya lagi.

Tadi Pek Mau Sianjin kaget menyaksikan hawa Yang di tubuh Kun Hong yang ternyata demikian hebatnya sehingga hawa ini mendatangkan kekuatan luar biasa, dan membuat pemuda itu tanpa disengaja dapat memutuskan sebagian dari tambang yang membelenggu kakinya.

Ia tidak tahu bahwa pemuda itu telah mewarisi ilmu yang hebat dari Thai Khek Sian, sehingga tenaga Yang dari Pek Mau Sianjin yang dikeluarkan untuk memancing; atau membangkitkan tenaganya, dapat ia sedot dan bahkan menambah kekuatan hawa Yang di tubuhnya!

Tiba-tiba Kun Hong merasakan pukulan atau totokan pada lambungnya yang mendatangkan hawa dingin melebihi dinginnya salju. Meresap di seluruh tubuhnya membuat ia menggigil. Tubuhnya yang tadinya disaluri hawa panas luar biasa karena hawa Yang di tubuhnya dibangkitkan, sekarang mengalami serangan hawa dingin yang hebatnya bukan kepalang.

Ia maklum bahwa hawa ini akan merusak sinkang di tubuhnya, maka cepat-cepat ia mengerahkan tenaganya untuk merobah hawa Yang menjadi hawa Im. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa ia tidak dapat melakukan perobahan itu, karena tenaga Im yang disalurkan dari totokan Pek Mau Sianjin sudah mendahuluinya dan kini sudah terlampau kuat sehingga ia tidak keburu lagi merobah hawa di tubuhnya.

Kun Hong berlaku nekat. Biarpun ia maklum bahwa pertarungan antara kedua hawa yang bertentangan di dalam tubuhnya membuat jiwanya terancam, namun tidak ada lain jalan lagi baginya. Begitu hawa Im dari tangan Pek Mau Sianjin sudah makin menguat, Kun Hong lalu menyedot hawa ini sekuatnya ke dalam tubuhnya.

Ia seperti orang kemasukan arus listrik, bulu-bulu dan rambut di tubuhnya sampai berdiri semua dan tiba-tiba dengan teriakan dahsyat semua belenggu di tubuhnya putus dan Pek Mau Sianjin sendiri memekik kesakitan lalu melompat mundur.

Melihat ini, Kam Ceng Swi yang khawatir kalau-kalau pemuda itu memberontak dan menyerang Pek Mau Sianjin cepat maju dan memukul anak angkatnya. Akan tetapi ia terkejut sekali. Ketika tangannya mengenai tubuh Kun Hong di bagian dada Seng-goat-pian Kam Ceng Swi merasa tangannya seperti digigit ular berbisa sehingga ia menariknya dan melompat ke belakang dengan muka meringis kesakitan.

"Siancai... siancai.... baru kali ini pinto bertemu dengan pemuda begini lihai....” kata Pek Mau Sianjin yang cepat menjatuhkan diri bersila sambil mengatur napasnya. Wajahnya pucat sekali dan napasnya empas-empis, tanda bahwa kakek tua ini hampir kehabisan tenaga dan napas.

Sementara itu, Kun Hong berkelojotan di atas tanah sebentar, lalu diam dan rebah dengan muka pucat sekali. Ceng Swi memandang dengan muka pucat pula, lalu dihampirinya pemuda itu. Hatinya lega karena pemuda itu ternyata masih bernapas, biarpun amat lemah. Ia lalu berdiri dan pergi hendak mengambil air untuk diminumkan kepada anak angkatnya.

Akan tetapi begitu ia pergi, Kun Hong siuman dari pingsannya. Ia bangun duduk, nampaknya lemas. Seorang tosu, yaitu yang bopeng tadi melihat pemuda ini sudah berhasil melepaskan ikatan dan kini bangun duduk sedangkan Pek Mau Sianjin masih duduk bersila mengatur pernapasan, menjadi khawatir sekali. Cepat ia melompat maju dan menggerakkan pedangnya membabat ke arah leher Kun Hong!

"Plak.... traaanggg!" Pedang itu mencelat, si tosu bopeng melompat ke belakang sambil memegangi tangan kanannya yang sakit sekali. Ternyata tadi Kun Hong telah menggerakkan tangan kiri menyampok, sekali sampok saja ia berhasil membuat pedang itu terlepas. Akan tetapi gerakan ini yang hanya menggunakan sedikit tenaga lweekang, sudah mendatangkan rasa sakit di dadanya sampai-sampai ia menggigit bibir dan menahan keluhannya.

Melihat ini, Ceng Swi sudah berlari cepat datang ke tempat itu. Ia menegur sutenya yang lancang hendak menyerang Kun Hong, akan tetapi diam-diam iapun khawatir karena dari tangkisan tadi masih terbukti bahwa kepandaian anak muda ini tidak lenyap, tenaga lwekangnya masih hebat.

"Jangan ganggu dia, dia sudah terluka hebat....” tiba-rtiba terdengar suara Pek Mau Sianjin yang masih lemah. "Salahnya sendiri. Kalau dia tidak menyedot hawa pukulanku yang ke dua, totokan itu akan membuyarkan thai-yang di tubuhnya dan ia hanya akan kehilangan tenaga di dalam tubuhnya tanpa terluka. Sekarang, tenaganya tidak lenyap bahkan ditambah oleh sebagian dari tenaga hawa pukulan pinto tadi, tenaganya makin hebat.

"Akan tetapi dia telah menderita luka hebat di jantung dan paru-paru karena bentrokan dua macam tenaga yang berlawanan. Luka ini akan menghalangi dia mengerahkan tenaga lweekangnya. Setiap kali dia mengerahkan tenaga, dia akan terpukul sendiri dan lukanya di dalam dada akan menghebat. Thian Maha Adil, anak itu telah membuat sendiri pencegahnya sehingga dia takkan dapat berbuat jahat tanpa terancam nyawanya oleh luka itu."

Kun Hong menderita kesakitan hebat, namun ia mendengar jelas semua kata-kata ini. Ia mendongkol sekali, akan tetapi juga cemas karena baru saja ia telah mengalami bukti bahwa kata-kata kakek itu benar adanya. Ia meraba-raba dadanya dan diam-diam memaki ketua Kun-lun-pai.

"Kun Hong, kau sudah mendengar sendiri ucapan suhu. Kuharap saja mulai sekarang kau takkan melanjutkan kesesatanmu. Lebih baik menjadi rakyat biasa dari pada menjadi seorang pandai tapi menghianati bangsa sendiri."

Kun Hong tersenyum pahit, lalu berdiri perlahan dan menjura kepada ayah angkatnya. "Ayah, hanya ada dua permintaan dariku, harap ayah penuhi."

"Apa itu? Katakan," jawab Ceng Swi, terharu juga melihat keadaan pemuda yang seperti putus asa ini.

"Pertama, harap kau jangan lanjutkan pelamaranmu kepada nona Pui Eng Lan."

Ceng Swi adalah seorang yang cerdik dan luas pandangannya. Mendengar omongan ini, ia merasa hatinya tertusuk. Ia tahu akan isi hati anak angkatnya. Tentu saja pemuda ini tidak berani lagi mengharapkan perjodohannya dengan murid Pak-thian Koai-jin yang tentu memiliki kepandaian tinggi, sedangkan pemuda itu sendiri sekarang boleh dibilang telah menjadi seorang pemuda yang lemah dan selalu berada di tepi jurang maut. Maka ia mengangguk tanpa kuasa mengeluarkan kata-kata jawabannya.

"Ke dua, harap suka beri tahu, di mana dahulu kau telah mengubur jenazah ibu."

Mendengar ini Ceng Swi menjadi makin terharu. Ia melompat dekat dan memeluk leher pemuda itu. "Kau anak tak bahagia...." bisiknya. "Sebetulnya ada rencanaku membawamu ke sana, marilah kita bersama mengunjungi makam itu....”

"Tak usah, ayah. Biar aku sendiri yang mengunjungi makam ibuku....."

"Kalau begitu, pergilah ke sebuah hutan tak jauh di sebelah selatan kota raja, hutan yang banyak terdapat batu karang berbentuk menara. Makam itu kutandai dengan batu karang menara yang tinggi di mana terdapat tanda senjataku. Carilah."

Kun Hong melepaskan diri dari pelukan ayahnya, memandang kepada Pek Mau Sianjin yang masih duduk bersila, lalu berkata, "Kau tosu tua tentu sudah puas dapat melukaiku, akan tetapi apakah kau juga masih begitu tamak untuk mengangkangi pedangku?"

Pek Mau Sianjin memberi isyarat kepada muridnya yang membawa Cheng-hoa-kiam, mengembalikan pedang itu kepada Kun Hong sambil berkata. "Pokiam yang baik, berguna sekali bagi seorang penegak keadilan, berbahaya bagi seorang penjahat. Semoga berguna bagimu, orang muda."

Kun Hong menerima pedang itu menyembunyikannya di bawah baju luarnya sehingga tidak kelihatan dari luar. Setelah sekarang ia tidak dapat lagi menggunakan kepandaiannya, untuk apa pedang itu? Lebih baik disembunyikan agar jangan sampai dirampas orang, apa lagi jika bertemu dengan Thio Wi Liong!

"Aku pergi," katanya singkat kepada ayahnya. lalu berjalan perlahan meninggalkan puncak itu. Ia tidak berani lagi menggunakan ilmu lari cepatnya, karena sedikit saja mengerahkan lwee-kang di dalam tubuh, berarti memperhebat luka di dadanya!

Kam Ceng Swi memandang putera angkatnya sampai jauh. Setelah Kun Hong menghilang di sebuah tikungan. Seng-goat-pian Kam Ceng Swi menghantam-hantamkan senjatanya itu di udara sehingga berbunyi "tar! tar! tar!" lalu disusul oleh nyanyian-nyanyiannya yang terkenal!

Pek Mau Sianjin menghela napas, maklum betapa hebat kesedihan hati dan kekecewaan muridnya itu. Nasib buruk... siapa dapat mengubahnya? Hanya hati yang kuat menerima, hati yang maklum bahwa hidup ini memang merupakan ujian lahir batin, siapa kuat dia menang. Dan baiknya Kam Ceng Swi termasuk orang yang kuat batinnya, maka dihadapinya kesedihan dan kekecewaan itu dengan nyanyian.

Pek Mau Sianjin diikuti oleh murid-muridnya memasuki ruangan dalam untuk beristirahat. Sedikitnya membutuhkan waktu satu bulan bagi kakek ini untuk memulihkan tenaganya setelah melakukan totokan-totokan hebat tadi.

Dengan langkah perlahan dan hati-hati Kun Hong keluar dari ruangan belajar silat di Kelenteng Kun-lun-pai. lalu menuruni puncak. Ia harus berlaku hati-hati, karena jalan di situ amat sukar dan berbahaya. Kalau di waktu datangnya, ia dapat berlari-lari dengan mudah.

Akan tetapi sekarang, sekali terpelesat ia harus menggunakan ginkangnya dan ini berarti ia akan memperhebat luka di dadanya. Ia benar-benar tersiksa, memiliki kepandaian tinggi tanpa berani mempergunakannya.

"Keparat si tua bangka Pek Mau Sianjin." hatinya memaki. "Kalau aku mendapat kesempatan, akan kucabuti semua tulang-tulang tuamu dari tubuhmu. Awas kau siluman Go-bi Cin Cin Cu! Kelak kuminumi arak sampai pecah perutmu. Awas kau Seng-goat-pian Kam Ceng Swi...”

Baru sampai di sini jalan pikirannya, ia mendengar tindakan kaki orang. Pendengarannya amat tajam dan Kun Hong segera memutar tubuhnya. Ia melihat orang yang baru saja menjadi buah pikirannya, Kam Ceng Swi, berlari-lari menyusulnya.

"Kun Hong, kau hendak ke mana?" tanya ayah angkat ini. "Kau terluka hebat, mari kuantar."

"Aku hendak ke mana, apa sangkut-pautnya dengan kau? Aku tidak membutuhkan pengantar?" jawab Kun Hong yang masih panas kepalanya karena mendongkol.

Kam Ceng Swi menundukkan kepalanya. "Aku tahu kau amat marah, akan tetapi semua itu kubiarkan demi kebaikanmu sendiri."

"Hemm, kau angkat aku dari tepi jurang kematian, dulu di waktu kecil dan sekarang pula, hanya untuk melihat aku hidup menderita? Bagus, kelak akan kubalas budimu ini!"

"Kun Hong, kau terlalu! Tak dapatkah kau melihat kenyataan? Aku tak menghendaki balasan, aku tidak perlu menonjolkan jasa, akan tetapi kalau memang hatimu belum rusak betul oleh pendidikan orang-orang Mo-kauw, kelak kau akan insyaf bahwa aku Kam Ceng Swi sesungguhnya sayang kepadamu. Kau lihat ini, selama kau tidak ada, gelangmu ini menjadi kawan yang tak pernah meninggalkan saku bajuku. Sekarang, kau sudah kembali dan pandanganmu terhadap aku sudah tidak selayaknya. Nah, kau ambil kembali gelang ini.''

Kam Ceng Swi melemparkan sebuah gelang emas kecil ke arah Kun Hong yang segera menyambarnya. Pemuda itu memandang gelang yang berada di tangannya, tidak memperdulikan lagi kepada Kam Ceng Swi yang sudah pergi dengan muka muram dan hati penuh kedukaan. Tak lama kemudian terdengar lagi suara senjata cambuknya menjeletar-jeletar dan suara nyanyiannya dari jauh. Akan tetapi Kun Hong tidak mendengarkannya lagi.

emuda ini memandang kepada gelang emas kecil yang dipegangnya. Di situ terdapat ukiran dua buah huruf yang diukir amat indah dan halusnya, dua buah huruf yang berbunyi KUN HONG. Hanya benda dan huruf inilah yang menjadi pengenal dirinya, yang membuat ia disebut Kun Hong, tanpa nama keturunan!

Kun Hong mencium gelang yang lengkat pada lengannya ketika ia masih bayi dan ditemukan oleh Kam Ceng Swi. Ia menciuminya dengan air mata berlinang, kemudian ia berkata seperti orang gila. "Kaulah ibu bapaku! Kaulah orang tuaku dan kau yang menciptakan Kun Hong di dunia ini. Ha-ha-ha!"

Sikap ini timbul dari keperihan hatinya. Biarpun Kun Hong semenjak berusia tujuh tahun sudah terjatuh ke dalam tangan Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li. kemudian semenjak itu hidup di lingkungan orang-orang yang terkenal sebagai golongan yang tidak mengenal prikebajikan sehingga bocah ini dewasa dalam keadaan kurang bersih batinnya.

Namun sebagai seorang manusia ia mempunyai perasaan cinta kasih yang dalam terhadap ayah bundanya. Sekarang, mendengar bahwa ayah bundanya tidak ada yang kenal, dan bahwa yang menjadi kawan hidupnya senenjak ia ditemukan hanyalah sebuah gelang itu tentu saja ia amat menyayang benda itu dan menganggapnya sebagai pengganti ayah bundanya.

Selagi ia tertawa sambil berjalan perlahan tanpa memperhatikan ke mana sepasang kakinya menuju, tiba-tiba ia melihat seekor kera melompat dari atas cabang pohon dan berdiri di atas batu. Binatang kera bukan merupakan binatang aneh dan melihat seekor kera melompat turun dan pohon juga bukan merupakan penglihatan yang aneh. Akan tetapi melihat seekor kera yang membawa sehelai kertas bertulisan huruf-huruf "ORANG MUDA, KAU KE SINILAH" benar-benar merupakan pemandangan yang jarang terdapat!

Kun Hong berdiri bengong. Apakah hal ini hanya kebetulan saja? Apakah binatang itu menemukan kertas yang dibawanya ke mana-mana dan kertas itu kebetulan sekali ada tulisannya seperti itu? Akan tetapi, tiba-tiba kera itu berjalan dan kadang-kadang menengok kepadanya, meringis seperti gadis cantik tersenyum dan menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti melambai kepadanya!

Kun Hong sampai menjadi bengong. Apakah kera ini dapat menulis? Aah, belum pernah ia mendengar akan hal ini. Biarpun di antara orang-orang Mo-kauw banyak yang memiliki kepandaian aneh. akan tetapi belum pernah ia melihat atau mendengar akan adanya seekor binatang kera yang pandai menulis.

Ia masih sangsi. Tak mungkin kera itu melambai-lambai kepadanya. Ia diam saja, akan tetapi kera itu memutar tubuhnya, mengeluarkan bunyi bercuitan, lalu kembali melambai-lambaikan kertas itu kepadanya, lalu berjalan lagi ke depan sambil menengok beberapa kali seperti orang yang mengajak Kun Hong supaya mengikutinya.

Kun Hong menjadi tertarik dan mulai berjalan mengikuti monyet itu. Akan tetapi monyet itu amat gesit, melompat dari batu ke batu, membuat Kun Hong payah sekali. Kalau ia tidak terluka jangankan hanya mengikuti monyet itu, biar di suruh menangkap sekalipun dapat dilakukannya dengan mudah. Sekarang, takut akan menghebatnya luka di dadanya, pemuda ini terpaksa bersusah payah, berjalan perlahan, bahkan setengah merangkak apa bila melalui batu-batu karang yang sukar.

Anehnya, kera itu seperti mengerti akan keadaannya dan beberapa kali binatang itu berhenti dan menengok seperti sengaja menantinya. Kera itu membawanya mengitari puncak. Kun Hong terkejut karena tahu-tahu setelah mengikuti kera itu sampai setengah hari lamanya, ia tiba di daerah terlarang yang dianggap suci oleh Kun-lun-pai, yaitu tanah kuburan para guru besar Kun-lun-pai yang dimakamkan di situ!

Tempat ini merupakan sebidang tanah yang penuh dengan makam, keadaannya selain sunyi juga menyeramkan, ditumbuhi pohon-pohon yang berbunga putih. Kera itu terus memasuki tanah kuburan sambil menengok-nengok. Dengan tindakan kaki perlahan dan hati seram Kun Hong memasuki tempat terlarang itu. Akan tetapi ia tidak takut dan terus mengikuti kera itu.

Tiba-tiba kera itu melompat ke atas sebuah batu karang, melompat-lompat sambil mengeluarkan suara kemudian sekali meloncat ia telah berada di atas cabang pohon berkembang, melepaskan kertas yang tadi dipegangnya. Mulutnya dimonyongkan dan terus bercuitan.

Kun Hong melangkah terus ke depan dan hampir ia berteriak saking kagetnya ketika ia tiba di bawah pohon itu. Kalau ia tidak berlaku hati-hati mungkin ia kena injak kepala orang yang menonjol keluar dari tanah seperti sepotong batu! Kepala ini botak kelimis, mengkilap dan hitam seperti batu hitam digosok, mukanya penuh rambat putih, alisnya gompyok akan tetapi sudah putih semua saking tuanya, matanya meram-melek.

Untungnya waktu itu siang hari, kalau melihat pemandangan seperti ini pada malam hari, benar-benar mengerikan sekali. Orang itu ternyata bersila ke dalam sebuah lubang di tanah sehingga hanya kepalanya saja yang kelihatan. Ketika Kun Hong menjenguk, ternyata tubuh orang laki-laki tua renta ini sama sekali tidak berpakaian, telanjang bulat seperti tengkorak hidup karena tubuhnya kurus kering tinggal tulang dibungkus kulit.

"Bagus sekali kau mau datang, orang muda!"

Ucapan ini terdengar nyaring dan jelas sampai Kun Hong melompait perlahan. Ia lupa akan pantangannya dan terasa dadanya sakit sekali ketika ia melompat kaget dan heran tadi. la meringis, akan tetapi tanpa memperdulikan rasa sakit, ia menoleh ke sana ke mari untuk mencari siapa orangnya yang bicara tadi.

Kakek telanjang ini tentu bukan orangnya yang bicara, karena semenjak tiba di situ pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah orang dan ia tidak melihat orang itu bicara, hanya matanya meram-melek seperti boneka mainan kanak-kanak.

Karena tidak melihat ada orang di sekelilingnya, Kun Hong menoleh kepada kera yang masih ayun-ayunan di atas cabang pohon di atasnya. Ah... aku sudah menjadi gila, pikirnya dengan muka merah. Monyet menulis saja sudah tak mungkin, mana ada monyet bicara? Aku terlalu terpengaruh oleh tulisan di atas kertas itu sehingga telingaku mendengar yang bukan-bukan pikirnya.

Perhatiannya segera tertuju kepada kakek itu lagi. Apa sih yang dilakukan oleh kakek ini? Melihat keadaan wajah dan kepalanya kakek ini tentu sudah sangat tua, mungkin seratus tahun lebih usianya. Seluruh tubuhnya nampak seperti sudah mati, kulit yang berkeriput dan kering itu, bibir yang pecah-pecah, rambut yang putih layu. Hanya sepasang matanya saja yang membuktikan bahwa mahluk ini masih hidup. Sudah seperti bukan manusia lagi.

"Kau terluka oleh totokan Im-yang lian-hoan! Sudah kuduga, karenanya kau kupanggil ke sini!" kembali suara yang tadi, suara serak dan pelo terdengar.

Sekali lagi Kun Hong gegandapan (terkejut dan bingung), celingukan ke sana ke mari. Sukar sekali menentukan dari mana suara tadi arah datangnya, bisa dibilang dari depan, dari kakek yang diam tak bergerak kecuali matanya itu, mungkin juga dari belakang, kanan kiri, atau dari atas! Ketika ia memandang ke atas, monyet itu mengeluarkan suara cecowetan seperti orang bergembira dan, tertawa-tawa!

"Pek-wan (lutung putih), kau senang mendengar pinto bicara dengan seorang manusia, ya? Bagus kau ambil hidangan untuk tamu kita." suara itu terdengar lagi.

Kera atau lutung putih itu melompat pergi sambil cecowetan, memasuki hutan sebelah kanan. Sedangkan Kun Hong celingukan lagi, akan tetapi kini kecurigaannya timbul kepada kakek itu. Kalau di situ ada manusia, manusianya hanya kakek itu sendiri dan dia tentu. Siapa lagi kalau bukan kakek ini yang bicara?

Ia tentu saja pernah mempelajari Ilmu Coan-im-kang (Ilmu Mengirim Suara) dari jauh sehingga suaranya dapat ia tujukan untuk orang-orang tertentu tanpa orang lain dapat mendengarnya. Akan tetapi, setidaknya bibir orang yang melakukan ilmu ini akan bergerak sedikit. Sedangkan kakek ini sama sekali tidak menggerakkan bibirnya yang seakan-akan sudah mati!

"Lapisan luar paru-parumu hampir terbakar oleh hawa thai-yang, sedangkan jantungmu hampir beku oleh pukulan Im-kang. Tanpa diobati mana kau bisa hidup leluasa!”

Kun Hong sudah amat memperhatikan kakek itu. Ketika suara ini terdengar, ia tidak celingukan lagi, melainkan memandang ke wajah kakek itu dengan seksama. Biarpun bibir kakek itu tidak bergerak, namun ada sedikit perubahan pada wajahnya, yaitu jenggotnya bergerak-gerak tanda bahwa di dalam leher atau perut tentu terjadi pergerakan-pergerakan oleh hawa mujijat. Ternyata benar kakek ini yang bicara, mempergunakan semacam coan-im-kang yang tinggi sekali!

Kun Hong boleh jadi buruk wataknya, akan tetapi dia cerdik. Melihat keadaan orang ini yang begitu aneh, ia segera dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang sakti dan mungkin sekali dapat menyembuhkan luka di dadanya. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu sambil membentur-benturkan jidatnya di atas tanah seperti seekor ayam makan beras.

"Huh, sikapmu tadi lebih jantan. Perlu apa bermuka-muka? Bilang saja kau ingin ditolong, hentikan segala tekuk lutut dan sembah itu!" kata kakek itu tanpa menggerakkan bibirnya.

Merah muka Kun Hong mendengar ucapan dengan nada mengejek ini. Keangkuhannya tersinggung. Ia segera berdiri dan berkata sambil lalu, "Orang tua, aku datang kau yang panggil, apa kehendakmu? Kau bilang aku terluka oleh totokan Im-yang-lian-hoan, kalau bukan untuk memberi obat, apakah hanya untuk mengejek?”

Kakek itu tertawa tanpa membuka mulut, akan tetapi suaranya seperti orang gelak terbahak, membuat Kun Hong memandang dengan melongo. Banyak sudah ia melihat orang-orang aneh di dunianya orang-orang Mo-kauw. Gurunya sendiri Thai Khek Sian adalah seorang manusia yang luar biasa sekali. Akan tetapi yang selucu kakek ini belum pernah ia melihatnya. Masa ada orang bicara dan tertawa-tawa tanpa membuka mulut atau menggerakkan bibirnya!

"Ha-ha-ha„ kalau aku mengobatimu bagaimana dan kalau aku hanya mengejek bagaimana?"

”Kalau kau mengobatiku, tak mungkin, mana ada orang miring otak macam kau mampu mengobatiku? Kalau kau mengejek, itu hakmu karena kau berada di sini tentu ada hubungannya dengan Kun-lun-pai dan karenanya namamu akan kucatat di hatiku agar kelak kalau ada kesempatan akan kubalas hinaanmu bersama si tua bangka Pek Mau Sianjin!"

Tiba-tiba kakek itu menarik napas panjang, bibirnya tetap tertutup rapat akan tetapi dadanya yang gepeng itu beralun. "Hemm, benar-benar kau kotor...! He, orang muda ketahuilah bahwa hanya karena kau ini anak pungut Kam Ceng Swi maka aku ambil perduli padamu. Ceng Swi orang baik, seorang jantan tulen maka aku tidak sayang menurunkan satu dua ilmu pukulan kepadanya. Dia jauh lebih baik dari pada semua tosu di Kun-lun. Dia sayang kepadamu, celakanya kau hidup di antara bangkai-bangkai yang berbau busuk. Akan tetapi emas tetap berharga biarpun terendam lumpur, bunga teratai tetap gemilang biarpun hidup di pecomberan. Hatimu kulihat tidak jahat."

"Stop! Kakek tua bangka, aku kau panggil ini apakah hanya untuk mendengarkan pidatomu?" Kun Hong mencela, mendongkol.

"Heh-heh-heh, kau sudah ketempatan watak Bu-ceng Tok-ong! Ketahuilah, pukulan Im-yang-lian-hoan adalah pukulan rahasia dari partai Kun-lun, biarpun orang-orang seperti Tian Te Cu atau Thai Khek Sian takkan mampu mengobati luka akibat pukulan Im-yang-lian-hoan! Pinto orang Kun-lun-pai, tentu saja dapat mengetahui ini semua. Sayang pmgobatannya tak dapat dilakukan oleh pinto seorang.

"Pukulan Im-kang dapat kusembuhkan dan kau akan terbebas dari rasa sakit apa bila mempergunakan lweekangmu. Akan tetapi pengaruh desakan hawa thai-yang darimu sendiri hanya dapat disembuhkan oleh seorang ahli gwakang seperti temanku hwesio bermuka hitam. Setelah kuobati, tenaga lweekangmu pulih kembali akan tetapi celaka kalau kau berhadapan dengan ahli gwakang.

Setelah diobati oleh temanku hwesio bermuka hitam, tenagamu luar dalam pulih semua, akan tetapi tetap saja bekas luka pada jantungmu membuat kau hanya dapat hidup paling banyak untuk dua tahun saja" Kakek itu berhenti bicara, agaknya menjadi lelah setelah bicara panjang lebar.

"Aku hidup bukan atas kehendakku, matipun bukan atas kehendakku. Kau orang tua mana bisa bicara tentang matiku? Jangan mengoceh!" kata, Kun Hong mencela lagi.

"Heh-heh-heh, bagus. Ucapan ini menyatakan kebesaran hatimu sehingga kau hidup dua tahun lagi juga tidak menyesal. Hanya kalau kau bisa mendapatkan batu kemala yang bernama Im-yang-giok-cu yang dimiliki oleh Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to maka kau akan dapat menyambung nyawamu."

Diam-diam Kun Hong kaget sekali. Gurunya, Thai Khek Sian pernah berpesan kepadanya bahwa di dunia ini hanya dua orang yang disegani gurunya yaitu pertama Thian Te Cu kakak seperguruan Thai Khek Sian sendiri dan Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to!

"Orang muda, jangan bengong saja. Maju dan berlututlah agar aku dapat menotokmu!"

Kun Hong berpikir bahwa ia telah mendapat luka hebat, hiduppun percuma kalau setiap kali mengerahkan tenaga lweekang ia merasa dadanya sakit sekali. Kalau kakek ini membohong dan sebagai orang Kun-lun-pai hendak membunuhnya, paling-paling ia hanya mati! Lebih baik dari pada sekarang ini mati tidak hiduppun bukan! Ia lalu maju dan berlutut di dekat kepala itu.

Kakek itu mengeluarkan tangan kanan kiri dari lubang, dua lengan dan tangan yang kurus tinggal tulang terbungkus kulit, mengerikan. "Jangan bergerak!" kata kakek itu dan dua tangannya bergerak cepat bukan main.

Andaikata Kun Hong belum terluka dan masih leluasa bergerak sekalipun, agaknya tidak mudah mengelak dari dua serangan yang dilakukan hampir berbareng itu. Tahu-tahu jari-jari tangan kiri kakek itu sudah menotok punggungnya. Seketika hawa yang panas sekali memasuki tubuhnya melalui punggung, membuat seluruh kulitnya merah dan peluh berkumpul di jidatnya. Kemudian dengan cepat sekali menyusul totokan di lambungnya yang mendatangkan hawa dingin seperti salju.

Dua serangan ini gerakannya serupa benar dengan serangan Pek Mau Sianjin, maka diam-diam Kun Hong kaget sekali. Diserang satu kali saja oleh Pek Mau Sianjin ia terluka hebat, sekarang diserang dengan pukulan yang sama untuk kedua kalinya! Akan tetapi ia sudah tak dapat bergerak lagi karena hawa panas dan dingin yang bercampur aduk itu membuat dia pusing dan tiba-tiba ia muntahkan darah lalu terguling pingsan!

Kun Hong tidak tahu berapa lama ia jatuh pingsan, akan tetapi ketika ia siuman kembali, ia mendengar suara kera itu cecowetan dengan aneh. la menengok dan melihat kera itu bergulingan seperti anak kecil menangis di atas tanah dan kepala kakek itu sudah terkulai miring, matanya meram dan sekarang mata itu sudah mati seperti anggauta tubuh yang lain.

Kun Hong cepat mendekat dan meraba jidat kakek itu. Dingin! Ternyata kakek itu benar sudah menghembuskan napas terakhir. Di atas tanah terdapat corat-coret tulisannya. Kun Hong segera membacanya, dan benar saja, tulisan itu memang sengaja ditulis oleh kakek aneh itu sebagai pesan terakhir untuknya.

"Hwesio muka hitam di puncak Kepala Harimau Pegunungan Bayangkara. Mintalah obat kepadanya, katakan bahwa kau diberi petunjuk oleh Liong Tosu di Kun-lun-san!”

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring, "Pemuda iblis, kau berani mengganggu Liong-couwsuhu!" Serombongan tosu Kun-lun-pai dikepalai oleh Pek Mau Sianjin sendiri, berlari-larian cepat sekali menuju ke tempat itu.

Kun Hong cepat menghapus tulisan di atas tanah itu. Kemudian ia melompat berdiri lalu melarikan diri turun gunung. Tak mungkin aku dapat melawan mereka, pikirnya. Karena ingin lekas pergi ke Pegunungan Bayangkara dan khawatir kalau-kalau dikejar oleh para tosu Kun-lun-pai. Ia berlari cepat, lupa bahwa kalau berlari cepat mengerahkan lweekang dadanya akan menjadi sakit sekali.

Setelah ia berlari cepat sekali mengerahkan seluruh lweekangnya dan berada di kaki gunung jauh meninggalkan para tosu Kun-lun-pai baru ia teringat dengan kaget dan heran bahwa dadanya tidak terasa sakit sama sekali! "Aah, lukaku sembuh sebagian. Kalau begitu tua bangka aneh itu tidak bicara bohong" katanya nyaring dengan hati girang sekali, ia lalu berlutut dan menjura ke atas langit.

"Liong Tosu, terima kasih atas kebaikanmu. Semoga arwahmu menjadi dewa!" Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa Liong Tosu telah mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong menyembuhkan sebagian dari pada luka di dadanya. Untuk menyembuhkan luka hebat itu, Liong Tosu harus mengerahkan seluruh sinkangnya dan hal ini terlampau berat bagi jasmaninya yang sudah tua sekali sehingga begitu selesai mengobati pemuda itu ia lalu jatuh terkulai dan nyawanya melayang.

"Setelah ada bukti bahwa totokan Liong Tosu itu mendatangkan hasil baik dan dadaku tidak terasa sakit lagi. Tentu bicaranya tentang hwesio muka hitam yang dapat menyembuhkan sama sekali luka di dadaku itu benar pula. Pegunungan Bayangkara tidak jauh dari sini, di sebelah timur. Aku harus ke sana, mencari puncak Kepala Harimau, minta tolong kepada hwesio muka hitam," pikir Kun Hong dengan hati gembira.

Tadinya ia terluka parah dan bergerak sedikit saja dadanya sakit. Sekarang rasa sakit lenyap, akan tetapi menurut Liong Tosu penyakit itu baru sembuh sama sekali setelah ia diobati oleh hwesio muka hitam-Karena Bayangkara tidak jauh, hal itu kiranya tidak sukar dilakukan.

Biarpun setelah disembuhkan, menurut tosu tua itu, ia hanya dapat hidup selama dua tahun saja, akan tetapi hal inipun ada obatnya, yaitu Im-yang-giok-cu di Ban-mo-to. Betapapun sukarnya, kalau obat untuk menyambung nyawa, tentu akan ia cari sampai dapat!

Kun Hong hanya tahu bahwa Pegunungan Bayangkara terletak di sebelah timur Kun-lun-san akan tetapi ia tidak tahu benar, malah hampir tidak mengenal jalan di daerah ini. Pada suatu hari, perjalanannya terhalang oleh sebuah sungai yang besar. Inilah Sungai Kun-sha-kiang yang merupakan sebuah dari pada sungai-sungai yang mengawali Sungai Yang ce-kiang.

Hari telah menjelang senja ketika ia tiba di tepi sungai itu. Di tempat yang sunyi ini hanya kelihatan sebuah perahu kecil, tergolek-golek di tepi sungai dan seorang nelayan setengah tua, agaknya pemiliknya, duduk melenggut di atas kepala perahu sambil memegangi sebatang pancing. Agaknya sudah terlalu lama ia memancing namun tidak ada ikan yang menyambar maka membuat ia mengantuk, apa lagi hawa di siang hari itu memang amat panasnya.

"Haai, kakek pemalas! Hayo antar aku menyeberang sungai!" Kun Hong membentak.

Hampir saja kakek itu terguling dari perahunya saking kaget. Baru enak-enak tidur ayam dibentak sampai ia menjumbul dan tersentak kaget, matanya terbelalak. "A... ada apa... ikan besar....?” Ia gagap-gugup lalu menarik-narik pancingnya. Akan tetapi tidak ada ikan yang menyangkut...

Jilid selanjutnya,
CHENG HOA KIAM JILID 18