Cheng Hoa Kiam Jilid 18, karya Kho Ping Hoo - KUN HONG tertawa terbahak-bahak. "Mana ada ikan mau makan umpan tukang pancing yang malas? Paling-paling yuyu (kepiting sungai) yang mau menyapit. Ha-ha!"

Tukang pancing itu membuka capingnya yang lebar, lalu memandang kepada Kun Hong penuh perhatian, agak merengut. "Eh, orang muda. Kau siapakah dan apa kehendakmu datang menggoda seorang nelayan tua yang kurang makan kurang tidur?"
"Kakek, aku hendak menyeberang. Hayo kau seberangkan aku dengan perahumu ini."
Kakek itu mengamat-amati pemuda ini. "Kau mau bayar berapa?”
Kun Hong mengerutkan kening. Pemuda ini tak pernah membawa uang, tak pernah mengenal uang. Kebiasaan golongannya, yaitu golongan Mo-kauw, mau makan atau pakaian ambil saja. Milik setiap orang milik mereka juga!
"Aku tidak punya uang. Aku butuh menyeberang, kau mempunyai perahu perlu apa uang?” katanya tak senang.
Kakek itu meludah ke dalam air. "Tak punya uang untuk bayar tak punya perahu sendiri untuk menyeberang, kalau mau menyeberang boleh berenang saja." Setelah berkata demikian kembali kakek itu memperhatikan pancingnya, sama sekali tidak mau perdulikan Kun Hong.
”Tua bangka busuk! Cacingmu tidak ada ikan makan? Kau makanlah sendiri!" Kaki Kun Hong bergerak dan tubuh kakek itu terlempar ke dalam air sungai! Air muncrat dan kakek itu gelagapan baiknya ia seorang nelayan yang pandai berenang, kalau tidak tentu ia akan mati tenggelam di air yang dalam itu.
Sambil tertawa-tawa Kun Hong mencabut pedang Cheng-hoa-kiam. "He, kakek tukang pancing lihat ini! Lain kali pedangku akan membabat lehermu seperti ini. Baiknya sekarang aku sedang gembira maka kuampuni nyawamu!"
Kun Hong menyabetkan pedangnya ke arah cabang pohon yang tumbuh di pinggir sungai. Sekali sabet saja putuslah cabang itu. Kakek nelayan makin ketakutan dan berenang menjauhi tempat itu, tidak memperdulikan perahunya lagi. Kun Hong tertawa dan hendak menghampiri perahu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring lembut, "Orang jahat kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini!"
Dari atas pohon melayang turun sesosok bayangan yang bergerak cepat dan langsung menyerang Kun Hong dengan sebatang pedang tipis. Serangan ini berhabaya sekali, akan tetapi dengan mudah saja Kun Hong menangkis, terus menggunakan pedangnya menempel dan menindih pedang lawan.
Ketika ia memandang, ia mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur. Orang itu bukan lain adalah Pui Eng Lan. Gadis manis yang selama ini memenuhi ruangan hati Kun Hong dan setiap detik terbayang di depan matanya."Nona Pui Eng Lan... alangkah girang hatiku bertemu dengan kau di sini... eeehhh... anu... aku tadi hanya main-main saja dengan tukang perahu, harap kau jangan salah mengerti...." katanya ketika ingat bahwa mungkin sekali nona pujaan hatinya ini marah melihat dia mempermainkan tukang perahu tadi.
Heran benar, Kun Hong yang selama ini tidak perduli apa yang lain orang akan menganggap tentang sepak-terjangnya, sekarang di hadapan Eng Lan begitu gugup dan kikuk seperti pengantin baru di depan mertuanya!
Eng Lan merengut dan matanya berkilat-kilat. "Tak perlu mengobrol yang bukan-bukan! Aku tidak mengenal segala tukang perahu! Kau girang bertemu dengan aku? Bagus! Aku lebih girang lagi karena sekarang datang kesempatan bagiku untuk membalaskan sakit hati enci Siok Lan kepadamu!" Begitu kata-kata terakhir diucapkan, pedangnya meluncur cepat menusuk dada pemuda itu.
"Traangg.....!" Kun Hong menahan pedang itu, cukup perlahan agar gadis itu tidak terkejut. "Sabar, nona manis... sabaaar....!"
"Apa sabar? Kau pengecut jahanam, kau mempermainkan enci Siok Lan! Kau membikin sakit hatinya, merusak kebahagiaan hidupnya. Gara-gara kau yang mengacau, gara-gara kejahatan dan kecuranganmu, enci Siok Lan sampai diputus perjodohannya dengan calon suaminya."
Kembali Eng Lan menyerang, sekarang dengan bacokan keras. Kun Hong mengelak cepat, lalu menggerakkan pedangnya menindih pedang nona itu sebelum Eng Lan sempat menyerang lagi. "Nanti dulu. kau menyerang aku ini apakah untuk membunuhku?"
"Tentu saja! Kau kira main-mainkah ini?” Eng Lan meronta hendak melepaskan pedangnya dari tindihan pedang pemuda itu, namun tidak berhasil.
"Sabar dulu, adikku yang manis. Percayalah kalau memang aku bersalah dan layak menerima hukuman mati, hanya pedang di tanganmu yang akan dapat mengantar nyawaku ke sorga. Aku rela seribu kali mati di tanganmu. Akan tetapi berilah kesempatan padaku untuk mendengar uraianmu sejelasnya. Kalau kau tidak percaya, lihat, kusimpan pedangku dan ini dadaku kalau kau nanti mau tusuk setelah aku mendengar penuturanmu dan merasa aku berdosa dan layak mati." Pemuda itu benar-benar menarik pedangnya dan menyimpannya di sarung pedang, membusungkan dadanya yang bidang.
"Kau... kau menantang....?" Eng Lan menggerakkan pedangnya menusuk cepat dan kuat ke arah ulu hati pemuda itu. Ia menduga bahwa pemuda yang biasa mempermainkan orang berilmu tinggi ini tentu berpura-pura saja dan akan mengelak. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat pemuda itu sama sekali tidak bergerak, bahkan sepasang mata yang tajam seperti bintang itu sedikitpun tidak berkedip.
"Cesss.....” Pedang menembus baju mengenai kulit.
"Aduhhhh celaka....!" Aneh, yang menjerit ini bukan Kun Hong yang tertusuk, melainkan Eng Lan sendiri. Gadis ini merasa kaget setengah mati melihat pedangnya menembus baju, cepat-cepat ia menarik pulang pedangnya akan tetapi ujung pedang sudah mengenai kulit dada. Darah merah membasahi baju pemuda itu yang tetap tersenyum dan berdiri tegak.
"Aku..... aku tidak bermaksud membunuhmu secara begitu... aku tak sudi membunuh orang yang tak mau melawan...." katanya gagap sambil memandang ke arah baju yang penuh darah itu.
"Kau belum membunuhku, baru menggores kulit. Mengapa tidak jadi? Kalau kau memang menghendaki nyawaku, ambillah. Nyawaku sudah bukan milikku lagi, adikku sayang. Nyawa dan badan ini sudah lama menjadi milik seorang gadis manis bernama Pui Eng Lan...."
"Cih. tak tahu malu!!" Eng Lan menjadi merah sekali mukanya, hampir semerah baju Kun Hong yang terkena darah. "Aku menantangmu bertempur seperti layaknya orang-orang gagah. Salahmu sendiri mengapa tidak melawan?”
"Eng Lan, adikku yang manis, aku tidak main-main. Padamu aku tidak kuasa melawan, aku menyerah kalah, menurut hendak kau apakan juga. Akan tetapi coba kau ceritakan dulu apa kesalahanku. Seorang pesakitan yang diperiksa oleh pengadilan dan dijatuhi hukuman mati sekalipun akan lebih dulu diceritakan apa yang menjadi dosanya."
"Kau masih berpura-pura? Sudah kusebutkan tadi dosamu kepada enci Siok Lan sekeluarga."
"Aku tidak merasa berdosa kepada enci Siok Lan. Apakah kau maksudkan murid Pak-thian Koai-jin itu? Aku sama sekali tidak mengenalnya, bagaimana bisa berdosa kepadanya? Aku tidak berpura-pura, sungguh mati, aku tidak mengerti. Coba kau ceritakan."
Eng Lan menarik napas panjang dan memaki diri sendiri. Mengapa menghadapi pemuda ini yang sudah menyerah begitu saja, tinggal menusuk dadanya, cuss dan beres mengapa mendadak ia menjadi lemah dan tidak tega? Ah, keterlaluan memang kalau dia membunuhnya begitu saja, membunuh orang yang tidak melakukan perlawanan, membunuh orang yang kelihatannya betul-betul belum tahu akan dosanya, seorang yang... yang... demikian mencintanya. Dulupun, ketika pemuda ini membebaskannya dari tawanan, ia sudah tahu akan cinta kasih hati pemuda ini kepadanya.
"Baik kuceritakan, supaya orang tidak menganggap aku keterlaluan, akan tetapi itu... lukamu itu obatilah dulu. Ini aku mernbekal obat. Tak tahan aku melihat darah." kata gadis itu sambil mengeluarkan sebungkus obat bubuk untuk mengobati luka.
"Kau yang melukai, kau pula yang harus mengobati..." kata Kun Hong tersenyum.
Makin merah muka gadis itu. "Jangan main gila! Maksudku baik kau anggap yang bukan-bukan. Mau pakai obatku atau tidak?”
Melihat gadis itu marah-marah lagi dan bicaranya ketus, Kun Hong tertawa, menerima bungkusan itu dan mengobati luka kulit dadanya. Eng Lan miringkan kepalanya, jengah melihat pemuda itu membuka kancing baju, malu ia melihat kulit dada yang putih itu, yang sekarang kelihatan tergores ujung pedangnya. Setelah mengenakan obat, rasa perih hilang dan Kun Hong menutup lagi bajunya.
"Kau berceritalah, aku sudah siap mendengarkan." katanya sambil memandang muka gadis yang masih dipalingkan ke kiri.
Eng Lan lalu bercerita, Kun Hong mendengarkan. Mereka duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Keduanya kelihatan seakan-akan dua orang sahabat baik yang sedang mengobrol sambil makan angin. Padahal Eng Lan masih memegang pedangnya dan ia masih menganggap pemuda ini musuhnya seorang jahat yang layak ia bunuh!
Apakah yang diceritakan oleh Eng Lan kepada Kun Hong. Mari kita ikuti sendiri pengalaman gadis itu. Semenjak dibebaskan dari tawanan oleh Kun Hong di Peking, Eng Lan bersama Tung-hai Sian-li berhasil melarikan diri keluar dari kota raja.
Begitu mereka lolos keluar dari tembok kota, mereka bertemu Siok Lan dan See-thian Hoat-ong. Tentu saja dua orang ini merasa girang sekali melihat mereka telah berhasil menyelamatkan diri. Tak lama selagi mereka maling bicara, datang pula Pak-thian Koai-jin dan Lam-san Sian-ong yang melompat keluar dari balik tembok kota.
"Kami melihat kalian berlari-lari. Merasa heran tidak ada yang mengejar, maka diam-diam kami hanya mengikuti, takut kalau-kalau ada musuh menyerang dari belakang." kata Pak-thian Koai-jin.
Tadinya dia bersama Lam-san Sian-ong memasuki kota raja dengan maksud hendak menolong Tung hai Sian-li dan Pui Eng Lan. Akan tetapi selagi mereka mencari-cari pada tengah malam itu mereka melihat bayangan dua orang wanita itu berlari-lari cepat sambil berlompat-lompatan dari genteng ke genteng.
"Kami ditolong oleh pemuda yang bernama Kam Kun Hong itu. Lebih baik kita lekas pergi dari sini siapa tahu kalau-kalau musuh mengirim barisan mengejar," kata Tung-hai Sian-li. Tanpa banyak cakap mereka semua lalu berlari cepat ke selatan. Setelah malam terganti pagi baru mereka berhenti dan Tung-hai Sian-li menceritakan pengalamannya.
"Sungguh mati aku tidak nyana bahwa pemuda yang lihai sekali itu ternyata berhati baik, tidak seperti yang lain. Sukar dipercaya kalau dia itu murid Thai Khek Sian. Dia memasuki kamar tahanan, minta maaf atas kecurangan kawan-kawannya yang menangkap aku dan Eng Lan secara pengecut. Kemudian ia mematahkan belenggu dan minta supaya aku menjemput Eng Lan dan melarikan diri sambil memesan agar jangan aku melayani serangan kawan-kawannya. Aahh. sungguh berbahaya. Kalau tidak ada pemuda itu, aku dan Eng Lan mana kuat melawan keroyokan mereka? Cuma heranku, apakah yang menyebabkan pemuda itu berbalik pikir dan menolong kami!”
Eng Lan seorang yang mengetahui sebabnya. Akan tetapi ia diam saja dan menundukkan kepala. Setelah Tung-hai Sian-li selesai bercerita. Siok Lan lalu menghampiri ibunya ini. Sikapnya lain dari pada ketika mereka saling bertemu untuk pertama kalinya. Gadis ini berlutut dan dengan suara gemetar ia berkata, "Apakah kau masih menganggap aku anakmu?"
Tung-hai Sian-li tercengang. Tak disangkanya gadis ini akan bersikap begini. Tadinya ia sudah putus harapan dan mengira bahwa selamanya gadis itu tentu akan membencinya. Akan tetapi dia tidak menyalahkan Siok Lan yang membela ayahnya. Melihat anaknya itu kini berlutut di depannya dan mengeluarkan pertanyaan itu. hatinya berdebar dan dengan mata basah ia memeluk Siok Lan.
"Anak bodoh, tentu saja kau anakku! Sampai matipun aku akan menganggap kau anakku."
"Kalau begitu, sebagai seorang ibu tentu akan suka memenuhi permintaan anaknya yang selamanya tak pernah minta apa-apa!”
Tung-hai Sian-li terharu dan membelai kepala anaknya. "Sudah tentu saja, nyawaku kusediakan untuk memenuhi permintaanmu."
Kwa Siok Lan membalas pelukan ibunya. "Ibu, tidak begitu sukar permintaanku. Hanya satu, yaitu ibu supaya ikut anak pulang ke Poan-kun."
Wajah yang masih cantik itu menjadi pucat seketika. "Dan... dan... ayahmu...?"
"Sudah bertahun-tahun ayah menanti kedatangan ibu seperti malam gelap menanti munculnya matahari. Kau tentu mau pulang bersamaku, bukan? Ibu... permintaanku hanya satu ini, kalau ibu tidak mau penuhi, kuanggap ibu tidak mencintaku dan tidak mau menganggap aku sebagai anakmu!"
Tiba-tiba Tung-hai Sain-li melepaskan pelukannya, bangkit berdiri dan melangkah mundur. Ia membanting kakinya dan membentak "Kau hendak memaksaku?”
Siok Lan juga melompat berdiri tegak, menjawab sama kerasnya, "Ibu terlalu kejam kepada ayah!"
Dua orang wanita ini berdiri tegak saling berhadapan. Sama cantik sama tinggi langsing, dan sama-sama keras kepala dan marah! Dua pasang mata yang indah bening itu berkilat-kilat seperti mengeluarkan api. Mereka sama sekali bukan seperti ibu dan anak, lebih patut disebut dua orang lawan yang sedang saling berhadapan hendak bertempur. Seperti dua ekor singa betina!
See-thian Hoat-ong, adik seperguruan atau sute dari Kwa Cun Ek melihat keadaan ibu dan anak itu, mendehem dan berkata perlahan, berbeda dengan biasanya, "Siok Lan, jangan bersikap begitu terhadap ibumu....." Terang bahwa kakek gagah perkasa ini merasa terharu. Ia menyaksikan persamaan yang tak dapat disangkal lagi antara ibu dan anak ini, bukan persamaan rupa, melainkan persamaan watak. Sama keras kepala, sama pemarah dan sama berani!
Pak-thian Koai-jin tertawa, suara ketawanya mengandung tenaga khikang membuyarkan suasana tegang itu. Memang kakek ini sengaja hendak mendinginkan suasana, maka ia tertawa lalu disambungnya dengan kata-kata, "Nona Kwa memang betul. Mengajak ibu pulang agar supaya dapat berbakti terhadap ayah bunda. Cinta kasih yang suci tidak mementingkan perasaan sendiri. Ha-ha-ha."
Ucapan ini seperti air dingin diguyurkan ke atas kepala Tung-hai Sian-li. Terdengar ia mengisak ditahan, lalu ditubruknya tubuh anaknya dan ia berkata. "Aku menurut... apa saja yang kau minta, aku menurut....” katanya.
Siok Lan memeluk ibunya dan menangis, menangis saking girang hatinya. Pui Eng Lan yang semenjak tadi diam saja menyaksikan adegan ini. sekarang ia tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia menghampiri Siok Lan dan dengan air mata berlinang ia memegang tangan sahabatnya itu. Siok Lan menoleh dan tersenyum kepadanya, penuh perasaan kasihan. Siok Lan tahu betapa Eng Lan tertusuk hatinya menyaksikan ia dapat bertemu dan berbaik kembali dengan ibunya.
Eng Lan sendiri seorang gadis yatim piatu, hanya hidup berdua dengan encinya. Akan tetapi encinya itu menjadi korban keganasan hartawan Liu si tua bangka mata keranjang sehingga enci Eng Lan sekeluarga binasa. Itulah yang menyebabkan Eng Lan pergi ke kota raja bersama suhunya untuk membalas dendam, membunuh kakek hartawan Liu.
"Eng Lan kau berjanji hendak berkunjung ke rumahku. Lebih baik sekarang kau sekalian ikut bersama aku dan ibu ke Poan-kun. Bagaimana?" kata Siok Lan. Eng Lan hanya menoleh kepada suhunya, orang aneh dari utara yang selama ini menjadi pengganti orang tuanya.
"Boleh, boleh! Kau memang seharusnya menghibur dirimu. Pergilah ke Poan-kun tiga bulan kemudian aku menyusul ke sana." kata Pak-thian Koai-jin.
Maka berangkatlah Siok Lan dan Eng Lan bersama Tung-hai Sian-li dan juga See-thian Hoat-ong ke Poan-kun. Pak-thian Koai-jin pergi bersama Lam-san Sian-ong katanya mereka berdua hendak mancing ikan dan minum arak di Telaga See-ouw.
Hati Eng Lan agak terhibur ketika ia melakukan perjalanan dengan Siok Lan dan Tung-hai Sian-li. Adapun See-thian Hoat-ong adalah seorang gagah yang pendiam dan dengan adanya kakek tinggi besar seperti Kwan Kong ini di samping mereka, tiga orang wanita ini tidak mengalami kepusingan karena tidak ada orang berani mengganggu mereka. Jarang ada orang berani bersikap kurang ajar di depan orang seperti See-thian Hoat-ong.
Kepada Tung-hai Sian-li dan Eng Lan, Siok Lan menceritakan keadaan rumah tangganya. Karena perjalanan itu jauh dan memakan waktu lama. Banyak yang sempat diceritakan oleh Siok Lan, malah ia bercerita juga tentang Ciok Kim Li, gadis yang menjadi korban keganasan Tok-sim Sian-li, sehingga kedua kakinya sampai dibuntungi oleh Kun Hong.
"Pemuda itu baik sekali, kepandaiannya luar biasa tingginya. Sebagai murid Thai Khek Sian, memang pantas ia memiliki kepandaian demikian lihai. Sayangnya, ia berkawan dengan orang-orang Mo-kauw. Aku dan Eng Lan sudah berhutang budi kepadanya." Sambil berkata demikian, Tung-hai Sian-li melirik ke arah Eng Lan dengan pandang mata penuh arti. Wanita gagah ini sudah dapat menduga mengapa Kun Hong membebaskan dia dan Eng Lan...”
Eng Lan menjadi merah mukanya. "Bibi mengapa harus disayangkan? Orang jahat bergaul dengan orang-orang jahat, itu sudah sejamaknya. Mana ada burung gagak bergaul dengan burung hong?”
"Eng Lan... kenapa kau bicara begitu? Dia sudah menolongmu, tahu?” Siok Lan menggoda. Gadis inipun mengerti akan jalan pikiran ibunya. Memang Siok Lan amat cerdik.
"Siok Lan, kenapa kau bicara begitu? Dia menolong ibumu, bukan aku!" bantah Eng Lan, akan tetapi Siok Lan dan ibunya hanya tertawa.
Ketika tiba di luar kota Poan-kun. tiba-tiba Tung-Hai Sian-li berhenti. Siok Lan memandang heran. Sudah semenjak makin dekat dengan Poan-kun. pendekar wanita ini nampak makin muram mukanya, berbeda dengan Siok Lan yang menjadi makin gembira.
"Ibu, kita sudah sampai di Poan-kun, kenapa berhenti?" tanya Siok Lan sambil memandang wajah yang menjadi agak pucat itu.
"Kau pulanglah dulu beri tahu ayahmu. Aku menanti di sini." jawab Tung-hai Sian-li singkat.
Siok Lan seorang gadis cerdik luar biasa, akan tetapi ia berwatak keras seperti ibunya sehingga ia tidak mengerti akan sikap ini. Sebaliknya, Eng Lan lebih halus perasaannya maka Eng Lan lalu menggandeng tangannya dan berbisik.
"Enci Siok Lan, sudah sepantasnya kau pulang dulu memberitahukan ayahmu akan kedatangan ibumu." Sambil berkata demikian, ia mengerahkan tenaga menarik lengan sahabatnya itu melanjutkan perjalanan. Siok Lan memandang tak mengerti, akan tetapi Eng Lan berkedip memberi isyarat sehingga dia menurut saja memasuki kota Poan-kun.
"Enci Siok Lan. mengapa kau hendak memaksa ibumu masuk? Tentu saja ayahmu harus keluar menyambut kedatangannya. Masa kau tidak dapat menyelami perasaannya?"
Siok Lan mengangguk-anguk, akan tetapi di dalam hatinya ia merasa heran mengapa ibunya harus bersikap demikian. Namun kini timbul lagi kegirangan hatinya dan cepat-cepat ia mengajak Eng Lan menuju ke rumahnya.
Sunyi saja di rumah besar itu. Siok Lan terheran. Mengapa tidak kelihatan seorangpun di halaman depan? Ia bersama Eng Lan terus memasuki halaman dan kini terlihatlah ayahnya duduk di atas kursi, diam tak bergerak seperti patung dan Kim Li juga duduk di atas kursi pendek Gadis buntung kakinya ini memakai celana yang menutupi kedua kaki itu sehingga ia kelihatan berkaki pendek sekali tidak kelihatan buntung.
"Ayah....!" seru Siok Lan sambil berlari menghampiri ayahnya. Ketika ia pergi, ayahnya memang kurang enak badan, akan tetapi tidak sekurus ini dan juga tidak kelihatan begini sedih. "Ayah... aku membawa oleh-oleh yang amat indah dan akan menyenangkan hatimu...!" kata Siok Lan setelah tiba di depan ayahnya, lalu ia menjatuhkan diri berlutut daan memeluk lutut ayahnya.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika tiba-tiba ayahnya menggerakkan tangan menamparnya. "Plakk!!" Siok Lan menjerit dan terjengkang ke belakang. Pipi kirinya merah bengkak dan mulutnya berdarah!
"Anak setan, kau lebih baik mampus dari pada membikin malu orang tua!" terdengar Kwa Cun Ek memaki marah sambil bangkit berdiri.
Kim Li biarpun kedua kakinya sudah buntung, namun semenjak memperdalam ilmu silatnya di bawah asuhan Kwa Cun Ek, gerakannya menjadi gesit. Cepat ia melompat dan menubruk Siok Lan. lalu menghalangi di depan Kwa Cun Ek sambil berkata. "Suhu, ingat, jangan menuruti nafsu amarah! Belum tentu nona Siok Lan bersalah dalam urusan itu....!"
Kwa Cun Ek membanting kaki. "Kwee Sun Tek adalah seorang laki-laki sejati, mana dia bisa membohong? Anak ini biar minggat saja dan sini, biar aku hidup seorang diri menderita sampai mampus dari pada didekati anak yang hanya mencemarkan namaku!" Kembali ia hendak memukul akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
"Kau berani memukul anakku?”
Kwa Cun Ek tersentak kaget, berdiri tegak seperti patung, matanya melotot dan mulutnya melongo. Tung-hai Sian-li telah berdiri di hadapannya, secantik dulu, segagah dulu, segalak dulu! Di belakangnya nampak Eng Lan berdiri di pojok. Nona ini yang tadi cepat-cepat memberi tahu kepada Tung-hai Sian-li akan peristiwa di rumah itu. Mendengar anaknya dipukul oleh Kwa Cun Ek, bagaikan seekor harimau betina Tung-hai Sian-li berlari cepat sekali sampai-sampai Eng Lan sukar menyusulnya.
Tung-hai Sian-li memeluk puterinya. "Begini kau memperlakukan anakku....?" Melihat Siok Lan menangis dengan pipi bengkak dan bibir berdarah. Tung-hai Sian-li mencabut pedangnya dan melompat berdiri. "Kau hendak membunuh dia! Kau bunuh aku lebih dulu!" tantangnya.
Kwa Cun Ek yang tadinya marah-marah dan berdiri tegak kini merasa kakinya gemetar dan ia tentu akan roboh terguling kalau saja Kim Li tidak cepat-cepat membawa sebuah kursi di belakangnya. Kwa Cun Ek menjatuhkan diri di atas kursi dan menutupi mukanya.
"Kenapa baru sekarang kau datang! Kalau siang-siang kau datang, takkan terjadi peristiwa ini. Hui Goat... Hui Goat..." kata Kwa Cun Ek, suaranya terdengar menyedihkan sekali.
Hui Goat adalah nama Tung-hai Sian-li. Wanita ini menarik napas panjang lalu menyimpan kembali pedangnya. Sementara itu, Siok Lan sudah menubruk kaki ayahnya dan menangis sedih. Ia mengira akan menyaksikan pertemuan yang mesra antara ayah dan ibunya, tidak tahu datang-datang ia dipersen tamparan oleh ayahnya dan menyebabkan ayah dan ibunya hampir saja bertempur sendiri!
"Ada urusan dengan anak boleh dibicarakan, boleh dirunding, bukan datang-datang anak ditampar sampai begitu. Ayah macam apa begini?" Tung-hai Sian-li mengomel dan semacam perasaan yang aneh menjalar di dada pendekar gagah Kwa Cun Ek. Ia merasa senang diomeli isterinya, alangkah nikmat perasaan ini!
"Semua salahku... Hui Goat, apakah kau mau kembali? Membantuku merawat dan mendidik Siok Lan...? Aku sudah tidak kuat lagi mendidiknya seorang diri..."
Diam-diam Eng Lan melangkah keluar dari ruangan itu dan menangis seorang diri di halaman rumah. Ia merasa terharu dan teringat akan nasibnya sendiri. Ia tidak kuasa lagi menyaksikan pertemuan mereka, akan tetapi masih dapat mendengar pembicaraan mereka. Juga Kim Li diam-diam pergi ke belakang untuk mengambilkan minum dan persediaan lain bagi Tung-hai Sian-li dan Siok Lan. Anak ini memang mengenal kewajiban dengan baik.
"Kau kira aku datang mau apa? Kalau tidak Siok Lan yang memaksaku, untuk apa aku datang? Kau datang-datang memukul Siok Lan, apakah kesalahannya? Kau jelaskan, kalau tidak betul omonganmu, jangan kau menyesal kalau aku pergi lagi membawa serta anakku!" ancam Tung-hai Sian-li.
Diam-diam besar sekali hati Kwa Cun Ek. Mendapatkan kembali Tung-hai Sianli hidup serumah dengan isterinya yang tercinta, ah seakan-akan ia memasuki hidup baru. Akan tetapi ia menekan perasaannya dan setelah berkali-kali menarik napas panjang ia bercerita.
"Telah Lama aku ingin mendapatkan seorang calon jodoh Siok Lan akan tetapi bocah ini selalu menolak. Akhirnya aku memutuskan sendiri ikatan jodohnya dengan keponakan Kwee Sun Tek yang bernama Thio Wi Liong. Pemuda itu adalah murid Thian Te Cu, seorang anak yatim piatu. Aku segera menerima ikatan jodoh ini karena selain mengingat bahwa pemuda itu murid Thian Te Cu, juga aku kagum melihat Kwee Sun Tek yang kukenal baik di waktu mudanya. Ketika aku memberi tahu hal ini kepada Siok Lan, dia tidak menyatakan apa-apa."
Tung-hai Sian-li memandang heran kepada anaknya. "Apa kau bilang? Thio Wi Liong....?? Siok Lan, bukankah itu pemuda yang menolong kita dari kepungan pasukan Mongol...?"
Ketika Siok Lan tidak menjawab dan hanya menundukkan muka, Tung-hai Sian-li berteriak memanggil Eng Lan. Eng Lan cepat-cepat masuk setelah menghapus air matanya, dan menghadap nyonya pendekar itu. "Eng Lan bukankah pemuda lihai yang menolong kita di kelenteng Siauw-lim-si itu bernama Thio Wi Liong?" Eng Lan hanya mengangguk.
"Teruskan ceritamu, teruskan. Aku menjadi bingung...." kata Tung-hai Sian-li. Tentu saja pendekar wanita ini bingung sekali teringat akan sikap Siok Lan terhadap Wi Liong yang ternyata adalah tunangannya sendiri.
"Sebelum aku mengikat jodoh anak kita dengan keponakan Kwee Sun Tek. pernah aku bertemu dengan seorang pemuda yang lihai, pemuda bekas murid Tok-sim Sian-li, akan tetapi dalam pertemuan itu kulihat dia gagah dan berhati baik, yang kemudian kuketahui bernama Kam Kun Hong."
Kembali Tung-hai Sian-li melengak, akan tetapi suaminya tidak memperdulikan ini dan melanjutkan ceritanya. "Dalam hati kecilku, aku kagum melihat pemuda itu dan kiranya akan suka bermantukan dia, akan tetapi karena dia sudah galang-gulung dengan orang-orang jahat, aku memilih murid Thian Te Cu. Kemudian terjadi hal yang tak kusangka-sangka." Pendekar ini nampak gemas sekali.
"Baru kemarin, Kwee Sun Tek datang ke sini dengan sikap marah-marah dan berkata bahwa Siok Lan diam-diam telah mempunyai pilihan sendiri, telah mempunyai seorang kekasih, malah kekasihnya itu datang ke Wuyi-san bersama Tok-sim Sian-li mencuri sebatang pedang pusaka, pedang Cheng-hoa-kiam. Dan pemuda itu menurut dugaan adalah Kam Kun Hong! Bukankah itu memalukan sekali! Tentu saja Kwee Sun Tek membatalkan ikatan jodoh dan menyatakan menyesal dan kecewanya."
"Bohong semua itu....!!" Tiba-tiba Siok Lan melompat keatas dan jeritannya demikian keras sampai mengagetkan orang-orang dan See-thian Hoat-ong yang tadinya merasa sungkan untuk masuk ke ruangan itu dan hanya menanti di luar tak berani mengganggu suhengnya yang sedang mengadakan pertemuan dengan anak isterinya, kini berjalan masuk. Melihat keadaan tegang, ia diam saja, hanya duduk di atas sebuah bangku di pojok, dekat Eng Lan yang juga tidak berani berkutik.
"Hemmm, dan kau percaya saja akan obrolan kosong manusia yang bernama Kwee Sun Tek itu?" tegur Tung-hai Sian-li kepada suaminya.
"Kwee Sun Tek adalah seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang gagah perkasa, selama hidupnya tak pernah ia membohong biarpun kedua matanya sudah buta." jawab Kwa Cun Ek membela diri.
"Jadi kau lebih percaya kepada orang lain dari pada anak sendiri?" isterinya mendesak, penuh kemarahan dan penyesalan. Kwa Cun Ek terdesak dan bingung.
Menghadapi serangan-serangan omongan isterinya yang kini berdiri galak di depannya dalam membantu Siok Lan, Kwa Cun Ek menjadi lemas. Timbul penyesalannya mengapa ia buru-buru marah kepada Siok Lan dan tidak menyelidiki lebih dulu. Biasanya pureri tunggalnya itu tak pernah mengecewakan hatinya.
Masa sekarang gadis itu benar-benar telah main gila dengan pemuda lain di luar tahunya? Agaknya tak masuk di akal mengingat bahwa Siok Lan tentu akan menolak kalau dahulu tidak suka dijodohkan dengan keponakan Kwee Sun Tek. Akan tetapi. Kwee Sun Tek adalah seorang gagah yang sangat boleh dipercaya!
"Tentu saja aku juga percaya kepada Siok Lan," akhirnya ia menjawab teguran isterinya. "Akan tetapi, tidak mungkin agaknya kalau Kwee Sun Tek membohongiku. Untuk apa dia berbohong? Apa keuntungannya baginya? Dia marah-marah dan sikapnya menunjukkan bahwa dia tidak membohong ketika dia mencelaku dan memutuskan pertunangan keponakannya dengan Siok Lan."
Tiba-tiba wajah Tung-hai Sian-li Lee Hui Goat berubah dan ia memandang kepada puterinya. "Siok Lan coba katakan sekali lagi. Betulkah kau tidak ada hubungan dengan pemuda bernama Kam Kun Hong itu?”
Siok Lan membalas pandang mata selidik ibunya itu dengan berani ketika ia menjawab. "Ibu sendiri menjadi saksi bahwa selama hidupku baru kumelihat pemuda itu di kelenteng Siauw-lim-si dahulu Aku tidak kenal kepadanya sebelum atau sesudah itu, bagaimana orang berani memfitnahku yang bukan-bukan?"
"Semua kata-katamu itu kupercaya penuh. Akan tetapi anakku, kalau kau sudah menjadi tunangan pemuda yang bernama Thio Wi Liong itu, mengapa kau bersikap aneh dan bermusuh kepadanya ketika kita berhadapan dengan dia? Apa artinya semua sikapmu itu?”
Merah wajah Siok Lan ditanya begini. Bagaimana ia harus menjawab? Akan tetapi dasar cerdik, ia dapat juga menjawab dengan suara mengandung penasaran.
"Ibu. biarpun aku dan dia bertunangan, namun selamanya kami tak pernah saling bertemu muka. Dia tidak mengenal aku. akupun tidak mengenal dia. Ketika dia muncul, sikapnya mencurigakan. Biarpun dia itu tunanganku akan tetapi kalau dia mencurigakan, masa aku harus membelanya? Laginya, dia tidak mengenalku, apakah aku harus memperkenalkan diri? Memalukan sikap demikian bagiku, ibu."
Tung-hai Sian-li mengangguk kemudian ia teringat bahwa memang anaknya ini sama sekali tidak pernah tampak ada hubungan dengan Kun Hong. malah beberapa kali bertanding dan selalu memperlihatkan sikap bermusuhan. Tidak ada tanda-tanda sedikitpun yang membayangkan bahwa anaknya mempunyai hubungan tidak bersih dengan pemuda murid Thai Khek Sian yang amat lihai itu.
Ia menoleh kepada suaminya dan berkata tetap. "Tak mungkin Lan-ji mempunyai hubungan dengan Kam Kun Hong. Kau telah dibohongi orang. Kwee Sun Tek itu bicara bohong, akan kucari dan kuberi hajaran! Membatalkan pertunangan sih tidak apa-apa, di dunia ini bukan hanya Thio Wi Liong seorang yang patut menjadi jodoh anakku. Akan tetapi dia telah memburukkan nama baik Lan-ji dan hal ini aku tidak bisa mendiamkannya begitu saja."
Kwa Cun Ek terkejut sekali. Ia cukup maklum akan kekerasan hati isterinya dan sekali bicara, tentu akan dibuktikannya. Akan tetapi apa yang dapat ia perbuat? Baiknya pada saat itu. See-thian Hoat-ong yang sudah luas pengalamannya dan maklum pula bahwa orang seperti Kwee Sun Tek patut dipercaya, segera bertanya kepadanya,
"Suheng... sebetulnya tentang tuduhan Kwee Sun Tek itu terhadap Siok Lan, apakah yang menjadi dasar? Bagaimana dia bisa menyatakan tuduhan seperti itu?"
Kwa Cun Ek bernapas lega. Ada jalan baginya untuk menyabarkan hati isterinya, untuk membela Kwee Sun Tek yang dianggapnya tidak bersalah. "Hal itupun sudah kutanyakan kepadanya karena mana aku bisa percaya begitu saja terhadap tuduhan itu? Dia bercerita bahwa seorang pemuda bersama Tok-sim Sian-li datang di Wuyi-san dan mencuri pedang Cheng-hoa-kiam.
"Dia telah bertempur dengan pemuda itu dan dengan Tok-sim Sian-li. Pemuda itulah yang mengaku menjadi tunangan tak resmi dari Lan-ji tanpa memperkenalkan diri sendiri. Akhirnya Kwee Sun Tek dapat mengetahui bahwa pemuda itu adalah Kam Kun Hong. Demikianlah, dia lalu datang ke sini untuk menegurku dan membatalkan ikatan jodoh."
Tung-hai Sian-li. Kwa Siok Lan, See-thian Hoat-ong. dan juga Pui Eng Lan teringat bahwa memang Kam Kun Hong memegang pedang pusaka Cheng-hoa-kiam. Mendengar penuturan itu, diam-diam Pui Eng Lan merasa panas sekali hatinya. Entah mengapa, mendengar Kun Hong mengaku-ngaku sebagai kekasih Siok Lan dan memburukkan nama sahabatnya itu, ia menjadi marah sekali.
"Kalau begitu pemuda keparat itulah yang salah!" bentaknya, membuat semua orang menjadi kaget dan memandang kepadanya. Setelah semua orang memandangnya, baru Eng Lan sadar bahwa ia tanpa disengaja telah menarik perhatiaa semua orang, wajahnya menjadi merah karenanya.
"Maafkan, Kwa-lo-enghiong, bukan maksudku mencampuri urusan ini. Akan tetapi aku berani bersumpah bahwa enci Siok Lan tidak bersalah apa-apa dan pemuda bernama Kam Kun Hong itulah agaknya yang sengaja hendak memburukkan nama enci Siok Lan. Biar aku mencari suhu dan melaporkan hal ini agar suhu membantu cari pemuda keparat itu!"
Setelah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan kepada Siok Lan dan yang lain-lain untuk mencegahnya, gadis itu sudah melompat pergi dan lari cepat meninggalkan rumah Kwa Cun Ek.
Fihak tuan rumah sekeluarga karena sedang menghadapi urusan yang menyangkut nama baik mereka dan berada dalam suasana tegang, tidak mempunyai kesempatan untuk mencegah gadis itu pergi. Akhirnya Kwa Cun Ek dan anak isterinya, ditengahi oleh See-thian Hoat-ong, dapat berbaik kembali dan sama-sama menduga bahwa yang menjadi biang keladi adalah Kam Kun Hong.
"Pemuda itu aneh sekali," kata Tung-hai Sian-li akhirnya,, "kepandaiannya lihai bukan main, kadang-kadang wataknya nakal kurang ajar, akan tetapi ada kalanya ia berbudi baik seperti ketika membebaskan aku dan Eng Lan. Hemm. benar-benar sukar dijajaki hatinya, sukar diketahui wataknya."
"Sudah pantas dengan kedudukannya," kata See-thian Hoat-ong. "sebagai murid Thai Khek Sian, mana tidak aneh dan jahat! Betapapun juga, kita harus selalu berhati-hati menghadapi orang seperti itu yang setiap waktu bisa menjadi lawan. Bangsa Mongol tetap merupakan ancaman besar bagi tanah air dan orang-orang bagaimana gagahpun kalau sudah dapat diperalat oleh Bangsa Mongol berarti mereka itu penghianat bangsa yang berjiwa rendah! Pemuda itu sudah terang-terangan membela kepentingan bala tentara Mongol dan kaki tangannya, mana orang begitu bisa dipercaya?"
"Kalau begitu, Kwee Sun Tek berarti dibohongi oleh pemuda itu. Aku harus mencari Kwee Sun Tek di Wuyi-san dan memberitahukan hal ini. Perjodohan yang sudah diikat erat mana bisa diputuskan hanya karena gangguan orang luar yang sengaja mengacau? Tanpa alasan yang kuat. tak boleh Kwee Sun Tek mengambil tindakan sefihak yang merugikan nama baik kita." kata Kwa Cun Ek penasaran.
Sementara itu. sejak tadi Kwa Siok Lan mengerutkan kening. Ketika bertemu dengan Wi Liong, ia sengaja hendak memberi pelajaran kepada tunangannya itu untuk datang sendiri membatalkan pertunangannya dengan Siok Lan, tanpa mengetahui bahwa Kwa Siok Lan adalah gadis yang dicintanya! Akan tetapi, siapa kira ada terjadi perkara begini membingungkan.
Sebelum pemuda itu tiba, kiranya sudah didahului oleh paman pemuda itu memutuskan pertunangan, dengan alasan yang bukan-bukan. Gadis ini menjadi bingung, sedih dan juga marah. Diam-diam ia harus akui bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda tunangannya sendiri! Kini mendengar kata-kata ayahnya, kekerasan hatinya tiba-tiba bangkit dan dia berkata.
"Tidak ayah! Untuk apa kita harus merendahkan diri merangkak-rangkak seperti orang mohon supaya perjodohan itu jangan diputuskan? Alangkah rendahnya kalau kita berbuat demikian. Mereka sudah memutuskan, sudahlah! Jangankan tidak menjadi jodoh manusia itu biar selamanya tidak kawin sekalipun aku takkan mati!" Selelah berkata demikian. Siok Lan lalu lari keluar rumah sambil menangis.
Kwa Cun Ek dan Tung-hai Sian-li memandang bengong lalu menarik napas panjang. "Kau lihat, Hui Goat, setelah kau tinggalkan aku, keadaanku menjadi kacau-balau, hidupku tidak tenteram, bahkan anakmu sendiripun tidak bahagia. Apakah kau masih tega meninggalkan kami lagi...?"
Suara Kwa Cun Ek terdengar demikian mengenaskan sehingga di kedua mata nyonya itu nampak berlinang air mata. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, suami isteri yang sudah berpisah belasan tahun lamanya itu saling pandang, penuh keharuan, penuh kerinduan penuh cinta kasih.
Demikianlah pengalaman Pui Eng Lan ketika ia ikut dengan Siok Lan ke Poan-kun menjadi saksi dari adegan pertemuan yang amat mengharukan. Gadis ini setelah lari pergi dari Poan-kun, tidak pergi mencari suhunya yang katanya hendak berpesiar di Telaga See-ouw, melainkan ia terus menuju ke Kun-lun-san untuk mengadukan tentang perbuatan Kam Kun Hong itu kepada Kam Ceng Swi.
Dari gurunya ia mendapat tahu bahwa Kam Kun Hong dahulunya ikut dengan ayahnya. Seng-goat-pian Kam Ceng Swi di Kun-lun-san sebelum bocah itu terculik orang jahat dan kemudian jatuh di tangan Thai Khek Sian sebagai muridnya.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Pui Eng Lan kebetulan sekali bertemu dengan Kam Kun Hong ddan menyerang pemuda itu, melukai dadanya dan kemudian- sambil duduk berhadapan di bawah pohon, dua orang muda itu bercakap-cakap, Eng Lan menceritakan pengalamannya dan sebabnya mengapa ia menyerang Kun Hong.
"Begitulah." ia mengakhiri penuturannya, "Kau dengan keji sekali telah merusak perjodohan antara enci Siok Lan dan tunangannya, telah membuat sekeluarga Kwa berduka-cita. Apa sekarang kau masih hendak katakan bahwa tidak sepatutnya kalau aku membunuhmu untuk dosa-dosamu?"
Setelah berkata demikian, kembali Eng Lan bangkit berdiri dan pedangnya sudah siap lagi di tangannya, siap untuk melakukan pertempuran mati-matian. "Hayo kau keluarkan pedangmu, pedang Cheng-hoa-kiam yang kau curi itu dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita mengeletak di sini tak bernyawa!"
Kam Kun Hong atau sekarang ia tidak mau mempergunakan she Kam lagi oleh karena telah tahu bahwa Kam Ceng Swi bukan ayahnya, tersenyum getir dan memandang wajah nona itu dengan hati tidak karuan rasa. Terbayang olehnya betapa tadinya dengan segala kebahagiaan ia naik ke Kun-lun-san untuk minta ayahnya pergi meminang gadis ini sebagai isterinya tidak tahu selain disambut dengan pukulan yang akhirnya membuat ia terluka hebat.
Juga ia dipukul batinnya dengan keterangan bahwa ia bukanlah anak Kam Ceng Swi, melainkan anak pungut yang tidak karuan siapa bapak ibunya dan yang hanya diketahui di mana ibunya yang tak terkenal itu dikuburkan!
"Eh kau mentertawai aku?" tegur Eng Lan marah. "Aku tahu kau lihai dan aku takkan dapat mengalahkanmu, akan tetapi jangan kira aku takut padamu!"
"Eng Lan, nona manis aku percaya akan kegagahanmu. Kalau kau ingin benar membunuhku, bunuhlah. Apa bedanya bagiku? Tidak kau bunuh sekarang dua tahun lagi akupun akan mati konyol. Laginya biarpun tidak kusangkal bahwa aku telah mempermainkan si tua buta Kwee Sun Tek, akan tetapi salahnya sendiri mengapa begitu mudah dipermainkan orang...!"