Cheng Hoa Kiam Jilid 16, karya Kho Ping Hoo - Kam Kun Hong adalah seorang pemuda yang biasanya memandang rendah kaum wanita. Melihat wanita baginya sama dengan melihat boneka-boneka cantik yang adanya hanya untuk ditimang-timang kemudian dibuang setelah bosan. Atau seperti kembang-kembang segar yang adanya hanya untuk dipetik kemudian dibuang setelah layu.

Wataknya yang tidak baik ini terutama sekali adalah pengaruh dari watak dua orang gurunya yang mendidiknya sejak ia kecil, yaitu Tok-sim Sian-li wanita cabul itu dan Bu-ceng Tok-ong tokoh yang terkenal paling mbocengli (tidak tahu aturan)! Kemudian gurunya yang terakhir, Thai Khek Sian yang juga seorang manusia iblis berwatak rendah dan cabul. Ini semua masih ditambah lagi oleh lingkungan atau perhubungannya dengan orang-orang yang memang tidak bersih pikirannya.
Sudah banyak wanita yang dikenal Kun Hong, yang dipermainkannya seperti orang mempermainkan boneka atau kembang. Dia pemuda pembosan. Akan tetapi aneh bin ajaib, begitu bertemu dengan Pui Eng Lan, tak sedetikpun ia dapat melupakan wajah yang manis itu, tak dapat ia mengusir bayangan senyum gadis itu, kerlingnya yang tajam, lesung pipit di ujung bibirnya.
"Aku harus mendapatkan dia!" Berkali-kali pemuda ini mengambil keputusan. "Aku bisa mati karena rindu kalau tidak bisa mendapatkan dia!"
Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa gembira hatinya ketika ia mendengar bahwa gadis pujaan hatinya itu telah tertawan, bersama Tung-hai Sian-li! Cepat ia mendatangi tempat tahanan mereka dan melarang semua orang mengganggu dua orang tawanan itu, terutama sekali si gadis. Biarpun baru sebentar di kota raja, namun Kam Kun Hong sudah mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar sekali.
Ini bukan hanya karena dia datang sebagai wakil Thai Khek Sian, akan tetapi terutama sekali karena semua orang sudah menyaksikan sendiri betapa lihatnya pemuda ini. Apa lagi melihat betapa Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, tokoh-tokoh yang amat terkenal di antara pasukan-pasukan penjaga Mongol, bersikap demikian takut-takut terhadap Kun Hong.
Kekuasaan pemuda, ini menguntungkan Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan. Oleh larangan Kun Hong ini, tak seorangpun berani mengganggu mereka, bahkan Bu-ceng Tok-ong sendiripun tidak berani!
Pada hari ke dua, selagi Pui Eng Lan merenung menantikan nasibnya di dalam kamar tahanan, pintu kamar itu terbuka dari luar. Nona ini mendapat perlakuan baik. Biarpun masih diborgol kaki tangannya, akan tetapi ia berada di dalam sebuah kamar yang bersih, duduk di atas kursi dan di atas meja tersedia makanan dan minuman. Borgol kaki tangannya berantai panjang, tidak menghalangi apa bila ia hendak makan atau minum.
Akan tetapi mana bisa gadis ini mengisi perutnya? Ia hanya menanti datangnya musuh yang hendak membunuhnya sambil mengharapkan munculnya suhu dan kawan-kawannya untuk menolong dia dari kamar tahanan ini. Ia menyesal sekali karena dipisahkan dari Tung-hai Sian-li yang tiada hentinya memaki-maki menantang orang-orang Mongol mengadakan pertandingan secara jujur.
Eng Lan kaget sekali ketika mendengar pintu tahanannya terbuka dari luar. Tak salah lagi. pasti musuh yang datang. Kalau suhunya atau kawan-kawannya yang hendak menolong, tentu datang pada malam hari tidak pada pagi hari seperti itu. Akan tetapi ia tidak takut. Pui Eng Lan tidak mengenal takut.
Rasa takut akan bahaya sudah habis dideritanya ketika ia masih berusia enam tahun dahulu, ketika bala tentara Mongol menyerbu ke Tiongkok desanya dihancurkan, orang tuanya binasa dalam rumahnya yang dibakar. Dia lari, lari terus menjauhkan diri dari segala kengerian itu sampai akhirnya dipungut oleh Pak-thian Koai-jin dan menjadi muridnya.Kalau di waktu masih kecil sudah mengalami kengerian seperti itu apa lagi yang dapat mendatangkan rasa takut dalam hatinya? Tidak, Pui Eng Lan tidak kenal lagi terutama sekali tidak takut akan bahaya yang dapat membawa maut. Mukanya yang agak pucat menjadi merah secara tiba-tiba dan matanya yang indah jeli berapi-api, bibirnya yang manis bentuknya itu merengut.
"Kau?? Mau apa kau datang ke sini? Penghianat, pengecut! Tak usah membuka mulut, kalau mau bunuh lekas bunuh, aku Pui Eng Lan tidak takut!" katanya, menyambut masuknya pemuda tampan itu dengan makian pedas.
Kun Hong tersenyum, senyum mengejek yang sudah menjadi kebiasaannya dan sepasang matanya berseri-seri penuh godaan dan penuh kegembiraan. "Kalah madu olehmu...." katanya dan pandangannya penuh gairah.
"Kalah apa? Madu bagaimana? Jangan ngaco-belo!"' Eng Lan memang tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh pemuda ini.
"Kalah manis!"
"Setan jahanam, siapa sudi mendengar pujianmu? Jangan coba bermain gila di sini!"
"Main gila apa? Memang aku sudah tergila-gila kepadamu. Nona Pui Eng Lan, tahukah kau bahwa selama hidupku baru kali ini aku bertemu dengan seorang gadis yang gagah perkasa, cantik jelita, manis denok, tiada cacad seujung rambut pun! Adikku yang baik, aku tidak main-main kali ini, aku betul-betul cinta kepadamu. Katakan saja kau suka, aku akan meminangmu untuk menjadi isteriku!"
"Keparat busuk, siapa sudi mendengarkan omonganmu? Kau penghianat dan pengecut, kau menyuruh anjing-anjing Mongol itu menawan aku dan Tunghai Sian-li secara curang, dan sekarang kau masih ada muka untuk pura-pura bersikap manis? Hemm. kaukira aku orang macam apa mudah kautipu dan bujuk?”
"Kau galak, akan tetapi aku lebih suka gadis bersemangat. Kau menuduh orang sembarangan saja. Yang menawanmu memang pasukan kerajaan, akan tetapi apa kau tidak ingat akan perbuatanmu yang amat ceroboh dan menggegerkan kota raja? Kau telah membunuh seorang hartawan she Liu yang mempunyai pengaruh besar. Masih herankah kau kalau kau ditawan? Memang mudah menyalahkan orang, alangkah sukarnya meneliti kesalahan diri sendiri." Sambil berkata demikian, Kun Hong menggerakkan kedua tangannya, terdengar suara pletak-pletok dan belenggu yang mengikat kaki tangan gadis itu putus semua!
Bukan main kagumnya hati Eng Lan. Ia sejak malam tadi sudah mengerahkan seluruh lweekangnya untuk mencoba mematahkan belenggu, akan tetapi tambang itu terbuat dari pada kulit binatang yang amat kuat, ulet dan mulur. Sekarang dengan gerakan demikian ringan dan cepat, pemuda ini sudah berhasil memutuskan semua ikatannya. Benar-benar hebat pemuda ini.
Eng Lan mengangkat dadanya. "Memang aku yang membunuh hartawan okpa (jahat) itu. Kau hanya menegur karena aku membunuh, tidak bertanya mengapa aku membunuhnya. Bandot tua she Liu itu karena ingin memaksa enciku menjadi selirnya, telah membunuh enciku dan suaminya berikut seorang anaknya setelah enciku menolak. Coba kau pikir, apa bandot macam itu tidak patut dibunuh?”
"Sudah sepatutnya! Dia harus seribu kali dibunuh!" Kun Hong mengangguk-angguk dengan muka sungguh-sungguh. "Akan tetapi dengar. Aku dan pasukan itu adalah petugas-petugas, penjaga keamanan kota Peking dan sekitarnya. Kau sudah datang bersama kawan-kawanmu dan melakukan pembunuhan atas diri seorang bangsawan kaya, sudah tentu kami menangkapmu."
Eng Lan mengedikkan kepalanya. "Aku yang membunuh anjing tua itu! Kau boleh tangkap aku, boleh bunuh aku. Akan tetapi jangan mengganggu yang lain. Tung-hai Sian-li tidak berdosa, mengapa ikut-ikut ditangkap? Akulah pembunuhnya dan aku siap menerima hukumannya, jangan bawa-bawa orang lain. Lepaskan dia!”
Kun Hong mengangguk-angguk. "Kau betul juga. Biar sekarang aku menyuruh orang membebaskan Tung-hai Sian-li. Dan kau juga! Akan tetapi berjanjilah bahwa kau takkan menikah dengan orang lain dan menanti pinanganku!"
Eng Lan kurang memperhatikan kalimat terakhir ini. Dia terlampau heran mendengar ucapan pemuda ini yang hendak membebaskannya, juga Tung-hai Sian-li. "Membebaskan aku...?" tanyanya, matanya terbelalak lebar memandang pemuda itu, tidak percaya.
Kun Hong mengangguk, tersenyum. "Eng Lan. aku cinta padamu. Lebih baik aku menggantung leherku sendiri dari pada melihat dan membiarkan kau dihukum gantung! Aku cinta padamu, masih herankah kau?" Sambil berkata demikian, dengan mata bersinar-sinar dan bibir tersenyum pemuda ini melangkah maju.
Eng Lan melangkah mundur, takut dan ngeri akan apa yang diperbuat oleh pemuda ini kcpadanya, Tiba-tiba, melihat bahwa ia tidak akan dapat melarikan diri lagi, nona ini menjadi nekat. Sambil berseru keras ia menerjang maju, memukul dada pemuda itu sekuatnya. Eng Lan adalah murid terkasih dari Pak-thian Koai-jin, biarpun dia seorang ahli ilmu pedang, namun pukulan tangannya juga lihai dan berbahaya.
Kun Hong mengeluarkan suara ketawa menyeramkan dan sekali ia menggerakkan tangan, ia telah berhasil menangkap pergelangan tangan gadis itu yang lalu dipeluknya. Eng Lan mencoba untuk meronta, namun tak berdaya lagi. Dalam pegangan Kun Hong ia sama sekali tidak kuasa memberontak. Ia menjadi gelisah menangis!
Aneh sekali. Kun Hong yang biasanya berhati keras dan tidak mengenal kasihan, mendengar tangis Eng Lan tiba-tiba seperti lemas seluruh tubuhnya. Cekalannya mengendur, hatinya penuh rasa kasihan. Tidak tega ia menggoda gadis yang dicintanya ini, tidak ingin ia menyusahkan hati Eng Lan. Ia melepaskan pelukannya dan berlutut!
"Eng Lan, maafkan aku... jangan khawatir, aku takkan mengganggumu... maafkan aku, aku cinta padamu..."
Eng Lan menjatuhkan diri di atas kursi, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. "Pergi kau! Pergilah....! Pergiii!!"
Kun Hong berdiri, memandang beberapa lama, menarik napas panjang, lalu berkata. "Malam ini aku akan membebaskan kau dan Tung-hai Sian-li. Aku tidak mungkin dapat menyusahkan hatimu, Eng Lan. Sementara menanti datangnya malam, kau makan dan minumlah, jangan sampai terkena angin dan jatuh sakit."
Makin keras tangis Eng Lan mendengar ucapan yang halus dan penuh perhatian ini. Ia menangis sampai lama sesudah pintu kamar itu ditutup dan dikunci lagi dari luar. Hatinya tidak karuan rasanya. Ia kagum kepada Kun Hong. Pemuda yang amat lihai ilmu silatnya, yang amat pemberani itu. Ia kagum, ia benci setengah mati, akan tetapi ia juga kasihan kepadanya! Pemuda lihai, kurang ajar, jahat, namun Eng Lan mulai makan hidangan di depannya!
Malamnya, menjelang tengah malam, pintu kamar tahanannya terbuka dari luar dan masuklah Tung-hai Sian-li. Pendekar wanita ini menaruh jari telunjuk di bibir, lalu menghampiri sambil berbisik. "Kita pergi dari sini..."
Eng Lan makin terharu, maklum bahwa pemuda yang jahat itu ternyata memegang janji. Tung-hai Sian-li lalu mendahuluinya, keluar dari pintu. Tidak kelihatan ada penjaga di luar pintu. Eng Lan mengikutinya. Kemudian, setelah melihat suasana sunyi saja. Tung-hai Sian-li dan Eng Lan melompat ke atas genteng rumah gedung yang menjadi tempat tahanan itu, lalu mulai melompat-lompat pergi dari situ.
"Kuntianak dari timur, jangan lari!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong di depan Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan.
Tentu saja dua orang wanita ini kaget sekali, maklum bahwa mereka telah dihadang oleh dua orang musuh yang amat tangguh. "Siluman beracun, kalau tidak kau, tentu aku yang menggeletak tak bernyawa!" bentak Tung-hai Sian-li dengan kemarahan meluap-luap melihat musuh besarnya kembali telah mencoba menghalangi larinya. Cepat ia mencabut pedang dan menyerang.
Tok-sim Sian-li yang memang lebih lihai, tertawa mengejek sambil melompat ke samping. Akari tetapi tiba-tiba Tok-sim Sian-li terhuyung mundur dan Bu-ceng Tok-ong yang hendak maju juga tersentak kaget dan melompat ke belakang.
"Jangan halangi mereka, biarkan mereka bebas!" kata Kun Hong yang muncul secara tiba-tiba dan tadi mendorong Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong.
"Kun Hong! Kau membiarkan mereka lolos?" terdengar Tok-sim Sian-li berseru kaget sekali, juga terheran-heran. Bu-ceng Tok-ong juga heran dan mengomel.
Sementara itu melihat munculnya pemuda yang menolong mereka, Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan tidak membuang waktu lagi, terus melompat pergi dan berlari-lari menghilang di dalam gelap malam. Mereka mempergunakan kesempatan ini untuk lari saja oleh karena maklum bahwa apa bila terjadi pertempuran, tanpa dibantu kawan-kawan lain, mereka pasti akan kalah.
Biarpun merasa penasaran, Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong tidak berani mengejar. "Kun Hong....melepaskan mereka berarti melanggar tugas kita yang sudah berjanji hendak membantu pemerintah menghalau para pengacau. Bagaimana kita harus mempertanggung-jawabkan terhadap Hek-mo Sai-ong yang tentu akan melaporkan hal ini ke kota raja!” kata pula Tok-sim Sian-li penuh penyesalan.
"Kita bungkam mulut Hek-mo Sai-ong untuk selamanya kalau dia melapor." kata Kun Hong tidak perdulian.
"Biarpun Hek-mo Sai-ong dapat dibungkam, semua pasukan akan tahu belaka bahwa kau sengaja melepaskan tawanan. Apa kau kira mereka begitu bodoh?” Tok-sim mendesak lagi.
"Hayaaa... mengapa ribut-ribut? Kita tinggal pergi, habis perkara," kata Bu-ceng Tok-ong sambil tersenyum masam.
"Tok-ong, kita sudah menerima banyak hadiah dan kesenangan dari orang-orang Mongol, masa belum memperlihatkan jasa lalu ditinggal pergi?" tegur Tok-sim.
"Perduli apa? Mereka boleh mampus!" jawab Bu-ceng Tok-ong.
Tahu akan watak Bu-ceng Tok-ong yang memang paling mbocengli (tidak tahu aturan) dan susah diajak urusan. Tok-sim Sian-li yang hendak mengingatkan Kun Hong berkata lagi kepada pemuda itu. "Kun Hong, anak baik. Boleh jadi kita tidak usah terlalu pusingkan pemerintah Mongol akan tetapi kita harus ingat akan perintah Thai Khek Siansu. Thai Khek Siansu bilang, selama murid keturunan Thian Te Cu dan Gan Yan Ki memusuhi orang-orang Mongol, kita harus membantu orang-orang Mongol dan menghadapi anak murid dua orang musuh lama itu."
"Siapa melanggar perintah suhu? Tung-hai Sian-li dan nona Pui Eng Lan bukan murid dua orang itu." bantah Kun Hong.
"Akan tetapi mereka bersekongkol dengan murid Thian Te Cu. Memang keturunan Gan Yan Ki sekarang menyembunyikan diri dan tidak membantu siapa-siapa, kita boleh tidak usah memusingkan dia, akan tetapi harus diingat bahwa murid Thian Te Cu, pemuda she Thio itu telah membantu rombongan yang mengacau di sini. membantu pembunuh-pembunuh kakek Liu. Pembunuhnya sudah tertawan, akan tetapi kau membebaskannya...."
"Cukup! Aku sengaja membebaskannya, siapa melarang!" Kun Hong membentak marah dan bekas guru-gurunya tidak ada yang berani berkelisik. "Aku.... aku cinta kepada gadis itu. Aku akan mencari ayah untuk... untuk mengatur perjodohanku dengan dia...."
Merah muka Tok-sim Sian-li, dan terdengar Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha cinta bisa membikin dunia jungkir-balik! Aku mencinta Tok-sim, Tok-sim mencinta Kun Hong, Kun Hong mencinta nona Pui dan nona Pui mencinta siapa?”
"Dia tentu mencintaiku!" potong Kun Hong, matanya bersinar, siap untuk marah kalau ada yang berani menyangkal.
"Tidak bagus kalau begitu. Urusan akan berhenti di sini saja, tidak ramai lagi, tidak menggembirakan. Selama ada keruwetan dan keributan, baru ada kegembiraan. Kalau Kun Hong sudah jatuh cinta dan terbalas, untuk apa aku lama-lama di sini bengong melihati orang asyik mesra? Aku mau pergi saja!" Setelah berkata demikian, kakek yang wataknya aneh ini lalu melompat pergi, didiamkan saja oleh dua orang kawannya.
"Akupun malam ini juga hendak mencari ayah di Kun-lun-san." kata Kun Hong sambil berkelebat pergi pula.
Tok-sim Sian-li berdiri bengong. Tak terasa lagi dua butir air mata mengalir turun di atas pipinya. Hatinya perih, penuh sesal, penuh iri. penuh cemburu. Kebenciannya terhadap Tung-hai Sian-li meluap-luap.
"Siluman betina dari timur!" bisiknya sambil menggigit bibir saking gemas dan sakit hati. "Dahulu kau datang merampas Kwa Cun Ek dari tanganku, merobek luka hatiku. Sekarang kau datang lagi bersama Pui Eng Lan yang mencuri hati Kun Hong kekasihku. Kau menghancur-leburkan hatiku. Kalau aku tidak dapat membelek dadamu dan mencabut jantungmu, sampai matipun aku akan menjadi setan penasaran!"
Setelah menyumpah-nyumpah dan memaki-maki, Tok-sim Sian-li juga pergi dari situ. Untuk apa lebih lama berada di kota raja membantu Kaisar Mongol kalau di situ tidak ada Kun Hong di sampingnya? Ia hendak kembali ke Pulau Pek-go-to, hendak minta keadilan kepada Thai Khek Sian. Hendak membujuk Thai Khek Sian mempergunakan pengaruhnya yang masih kuat atas diri pentolan Mo-kauw itu, agar supaya Thai Khek Sian melarang Kun Hong berjodoh dengan Pui Eng Lan!
Pegunungan Kun-lun adalah daerah yang amat luas. Panjangnya meliputi daerah Propinsi Cinghai memanjang ke barat sampai ke Tibet. Jarang ada orang kelihatan di daerah liar ini, kecuali para pertapa yang memang selalu mencari tempat-tempat sunyi seperti itu.
Bahkan di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san, terdapat kelenteng besar yang merupakan kompleks perumahan para tosu dari Kun-lun-pai, partai persilatan yang sudah terkenal di dunia kang-ouw.
Kam Kun Hong berlari-lari di lereng Pegunungan Kun-lun-pai dengan wajah gembira sekali. Wajahnya yang tampan berseri-seri. Rambutnya yang hitam tebal itu digelung ke atas, diikat saputangan putih, membuat mukanya nampak bundar putih tampan sekali, matanya bersinar-sinar. Hatinya gembira melihat pegunungan yang sudah amat dikenalnya ini.
Ia pernah dahulu tinggal di puncak Kun-lun-san, di dalam kelompok perumahan Kun-lun-pai bersama ayahnya. Seng-goat-pian Kam Ceng Swi. Belasan tahun ia meninggalkan tempat ini, semenjak ia diculik oleh Tok-sim dan Tok-ong. Tigabelas tahun ia tidak bertemu dengan ayahnya. Kadang-kadang ia merasa rindu juga, akan tetapi kadang-kadang ia tidak ingin bertemu dengan ayahnya. Entah mengapa.
Akan tetapi kali ini dengan penuh harapan ia mendaki Bukit Kun-lun untuk dapat bertemu dengan ayahnya. Tidak hanya karena rindu, terutama sekali untuk mengajukan sebuah permintaan, yaitu meminang Pui Eng Lan murid dari Pak-thian Koai-jin. Dia sendiri tidak tahu di mana tempat tinggal nona itu atau gurunya.
Akan tetapi ia percaya bahwa ayahnya tentu akan mengetahuinya. Ayahnya amat luas pengalaman dan pergaulannya, mustahil tidak tahu di mana tinggalnya Pak-thian Koai-jin, kakek kang-ouw berpakaian pengemis, bertubuh kecil pendek, matanya besar, nakal dan senjatanya juga aneh, mangkok butut dan tongkat bambu itu.
Ketika tiba di lereng di mana dahulu Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong menculik dia dan Wi Liong, hari telah menjelang senja. Kun Hong berhenti dan merenung. Seakan-akan baru kemarin saja terjadinya hal itu. Masih terbayang di depan matanya ketika ia berkelahi dengan Wi Liong. Masih teringat ia ketika Pak-thian Koai-jin mempermain-mainkannya dan mau mengambil murid padanya.
"Orang muda dari mana dan siapa nama yang datang ke tempat sunyi ini?" tiba-tiba terdengar orang menegur sampai Kun Hong menjadi kaget.
Dari cara orang ini datang begitu tiba-tiba tanpa ia melihatnya, sudah dapat diduga oleh Kun Hong bahwa orang ini tentu memiliki kepandaian tinggi. Dia seorang kakek kurus bermata sipit, jenggotnya sedikit, tak terpelihara, rambutnya digelung ke atas. Dia tidak membawa apa-apa, hanya di punggungnya tergantung sebuah tempat arak terbuat dari kulit buah waluh yang dikeringkan.
Karena berada di tempat perguruan ayahnya. Kun Hong tidak berani berlaku lancang dan kurang hormat. Ia segera menjura dan menjawab. "Siauwte adalah Kam Kun Hong. datang sengaja hendak menghadap ayahku. Kam Ceng Swi. Entah siapakah lo-enghiong ini. apakah seorang anak murid Kun-lun-pai?”
Orang itu melengak, memandang tajam lalu tertawa bergelak. "Kau putera Seng-gwat-pian? Ha-ha-ha, tidak nyana Kam-twako mempunyai seorang putera begini ganteng dan gagah! Eh Kam Kun Hong, ketahuilah, aku Cin Cin Cu sahabat baik ayahmu, seperti adik sendiri. Ha-ha, alangkah senangnya mempunyai seorang keponakan begini ganteng. Pertemuan ini harus dirayakan dengan minum arak wangi." Sambil berkata demikian, orang yang bernama Cin Cin Cu itu menurunkan ciu-ouw (tempat arak) dari punggungnya dan membuka sumbatnya. Betul saja tercium bau arak yang amat harum oleh Kun Hong.
"Maaf, siok-siok (paman). Bukan kurang menghormat, akan tetapi aku ingin sekali cepat bertemu dengan ayah. Nanti setelah bertemu dengan ayah, tentu dengan senang hati aku akan melayanimu minum arak," kata Kun Hong sambil tersenyum.
"'Tidak bisa, tidak bisa. Ayahmu kebetulan tidak berada di sini," kata Cin Cin Cu.
"Tidak berada di sini?" Kun Hong bertanya dengan suara kecewa sekali. "Kemanakah perginya ayah?"
"Kau ikutlah ke sini, minum arak. Tidak ada yang lebih nikmat dari pada minum arak sambil memandang bulan purnama dari tempat sunyi."
Kakek itu lalu melompat dan tahu-tahu ia telah duduk di atas sebuah cabang pohon yang menjulang ke atas sebuah jurang yang curam. Cabang itu bergoyang-goyang naik turun dan hanya orang yang berkepandaian tinggi saja berani duduk di tempat seperti itu, dengan melompat dari bawah pula. Sekali cabang itu patah, orangnya tentu akan terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam!
”Anak muda... kau ke sinilah temani aku minum arak mengagumi bulan sambil mengobrol seenaknya."
Kun Hong merasa ditantang. Ajakan kakek itu hampir sama dengan mencoba kepandaiannya. Di samping ini, juga ia ingin sekali mendengar di mana adanya ayahnya agar ia dapat menyusulnya Pemuda ini mengenjotkan kedua kakinya, mengerahkan ginkangnya dan melayang ke atas cabang itu, duduk di sebelah kanan kakek tadi.
Diam-diam Cin Cin Cu kaget dan kagum bukan main karena cabang itu sedikitpun tidak bergoyang! Padahal tadi ketika ia melompat ke situ, cabang itu bergoyang-goyang. Terang bahwa dalam ilmu ginkang, ia malah kalah oleh pemuda ini! Padahal ia adalah seorang ahli ginkang yang sudah mendapat julukan Bu-beng-kwi (Setan Tanpa Bayangan)!
"Bagus, kau pemuda gagah pantas menjadi keponakanku, pantas kuberi hadiah secawan arak harum!" katanya sambil mengeluarkan sebuah cawan arak yang amat kecil dan menuangkan arak dari tempat arak itu ke dalam cawan sampai penuh.
Kun Hong menerima cawan penuh arak itu dan tersenyum. Alangkah kikirnya kakek ini. cawan araknya saja demikian kecil, seperempat cawan arak biasa! Akan tetapi karena gembira juga melihat bahwa dari tempat itu ternyata mereka dapat melihat bulan purnama yang baru timbul dari timur, Kun Hong menyatakan terima kasih dan mengirup araknya sekaligus.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa arak itu menyengat lidah dan mulutnya. Arak yang demikian keras, demikian harum dan demikian enak belum pernah ia minum selama hidupnya. Hampir ia tersedak.
Cin Cin Cu tertawa ketika menerima cawan yang sudah kosong. "Ha-ha. kaukira arak ini sama dengan arak yang boleh kaubeli dari segala warung? Ha-ha-ha, arak ini telah menyimpan sari cahaya bulan bertahun-tahun lamanya, namanya juga arak sinar bulan! Kau dapat menenggak habis sekaligus tanpa tersedak, itu menandakan bahwa lweekangmu sudah amat tinggi. Kau seorang muda begini lihai, patut minum cawan ke dua!" Kembali ia menuangkan arak ke dalam cawan sampai penuh memberikannya kepada Kun Hong.
Kini tahulah Kun Hong bahwa kakek ini tidak pelit, melainkan araknya yang istimewa dan tidak bisa disamakan dengan arak lain yang boleh ditenggak sampai berpuluh cawan besar. Timbul kegembiraannya, ia menerima cawan itu sambil mengucapkan terima kasih. "Lo-enghiong patut menjadi pamanku, patut menjadi saudara ayah..."
"Ha-ha-ha... tentu saja. Aku Cin Cin Cu memang dengan Kam Ceng Swi seperti adik dan kakak. Kau selanjutnya boleh menyebutku paman Cin!"
Kun Hong juga tertawa. "Paman Cin benar-benar baik sekali. Tidak tahu apakah kau juga mengerti mengapa ayah turun gunung dan sekarang berada di mana?”
"Ayahmu turun gunung menuju ke Peking untuk membantu perjuangan orang-orang gagah sedunia yang berusaha membendung pengaruh Mongol yang makin meracuni semangat orang-orang kang-ouw. Kabarnya orang-orang Mo-kauw juga sudah terang-terangan membantu para penghianat dan pembesar Mongol. Oleh karena itu ayahmu tidak dapat menahan hatinya dan sudah mendahului kami turun gunung. Apa lagi ketika ia mendengar bahwa manusia-manusia busuk macam Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-U juga ikut-ikut menjadi anjing penjilat Bangsa Mongol, malah kabarnya si gembong Mo-kauw Thai Khek Sian juga turut-turut!"
Sambil berkata demikian, tiba-tiba Cin Cin Cu menghentikan sikapnya yang tertawa-tawa, sebaliknya kini menatap wajah Kun Hong dengan tajam penuh selidik!
Ucapan itu memang benar merupakan serangan mendadak yang menikam isi dada Kun Hong, akan tetapi pemuda ini dapat mengendalikan diri dan untuk menutupi mukanya yang menjadi merah, ia meneguk arak di dalam cawannya sekaligus ke dalam mulut. Kali ini ia tidak akan tersedak lagi karena ia sudah bersiap menghadapi arak keras itu.
Cin Cin Cu kembali tertawa bergelak. "Ayahmu memang bersemangat sekali, seorang gagah perkasa yang mulutnya saja sering kali bilang tidak perduli urusan dunia., akan tetapi di dalam hatinya selalu membela rakyat kecil yang terus- menerus menjadi korban kekuasaan ganas. Kaupun gagah, mari minum cawan ke tiga. Kau tahu? Hanya tokoh-tokoh nomor satu dari Go-bi-pai yang sanggup menghabiskan tiga cawan arak sinar bulan ini sekaligus!"
Kembali cawan diisi penuh dan mendengar ucapan terakhir ini darah muda dalam tubuh Kun Hong membuat ia pantang mundur. Kalau tokoh-tokoh nomor satu dari Go-bi-pai sanggup, masa ia tidak sanggup? Padahal pandang matanya sudah mulai berkunang dan kepalanya mulai berdenyut-denyut. Dari tempat tinggi itu ia melihat jurang di bawah ternganga seperti mulut hitam yang besar mengerikan.
Bulan yang tadinya bundar terang, sekarang masih terang malah lebih terang, hanya bundarnya sudah pletat-pletot dan kadang-kadang kelihatan seperti ada dua atau tiga bertumpuk-tumpuk. Akan tetapi sebagai seorang muda yang tidak mau kalah, Kun Hong malu kalau menolak. Ia menerima cawan itu dan minum habis sekali tenggak, la mengambil keputusan untuk segera melompat turun setelah menenggak cawan ke tiga dan bercakap-cakap di atas tanah.
Akan tetapi, begitu isi cawan ke tiga memasuki perutnya, matanya menjadi gelap, denyut di kepalanya makin hebat dan tiba-tiba Cin Cin Cu bergerak melompat dari tempat itu, dari alas cabang pohon. Kun Hong maklum bahwa kalau dia tidak lekas-lekas turun, ia bisa jatuh terguling. Cepat ia melompat, akan tetapi oleh karena pandang matanya sudah kabur, lompatannya tidak tepat dan tubuhnya melayang ke pinggir jurang!
"Bagus, Cin Cin Cu sicu! Terima kasih atas pertolonganmu!" terdengar suara halus dan sehelai tambang meluncur bagaikan ular panjang, melibat tubuh Kun Hong yang masih melayang lalu menariknya dengan sentakan kuat sekali ke atas tanah. Tambang ini yang dipegang oleh seorang tosu tua telah menolong Kun Hong dari bahaya terjerumus ke dalam jurang.
Kun Hong bergulingan di atas tanah dalam keadaan setengah pingsan. Tosu tua itu lalu terus mengikat kaki tangannya dengan tambang tadi. biarpun ia sudah amat tua namun gerakannya cekatan dan segera muncul lima enam orang tosu yang membantunya. Sebentar saja Kun Hong sudah menjadi orang tawanan yang dibelenggu, tak berdaya sama sekali.
Tosu tua tinggi kurus berambut putih ini bukan lain adalah Pek Mau Sianjin atau juga terkenal disebut Kun-lun Lojin, couwsu atau guru besar dari Kun-lun-pai! Beberapa orang tosu lain adalah anak-anak muridnya atau tokoh-tokoh utama dari partai Kun-lun.
Cin Cin Cu menjura dan menarik napas panjang. "Thian memang tidak menghendaki kejahatan merajalela di dunia. Kebetulan sekali selagi aku turun gunung hendak pulang, muncul pemuda ini yang memang kita cari-cari. Kalau ia tidak lekas-lekas mengaku putera Seng-gwat-pian, mana aku bisa mengenal murid Thai Khek Stan?" Ia menggeleng-geleng kepala dan berkata lagi. "Sungguh berbahaya! Dari lompatannya ke atas cabang saja sudah membuktikan bahwa dia benar-benar lihai sekali."
"Syukur dia datang sendiri, tak usah kita susah-susah mencarinya," kata Pek Mau Sianjin, kemudian ia menyuruh murid-muridnya menggusur pemuda itu dan membawanya ke kelenteng dan menjaganya keras-keras.
Siapakah Cin Cin Cu dan mengapa dia dan tokoh-tokoh Kun-lun-pai menawan Kun Hong mempergunakan arak keras yang agaknya dicampuri obat memabokkan?
Cin Cin Cu adalah seorang tokoh Go-bi-pai, partai persilatan yang tidak kalah ternama oleh Kun-lun-pai. Dia ini adalah sute (adik seperguruan) dari Pak-thian Koai-jin dan Hu-lek Siansu yang menjadi ketua Go-bi-pai. Seperti juga Pak-thian Koai-jin, Cin Cin Cu ini paling gemar merantau, tidak suka berdiam di gunung seperti Hu Lek Siansu dan saudara-saudara yang lain.
Cin Cin Cu hidup seperti burung, terbang ke sana ke mari tidak ada yang melarang, hidup sebatangkara bersama guci araknya. Dia seorang yang amat doyan minum arak, maka julukannya Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) kadang-kadang ditambah dengan ciu-kwi (Setan Arak)!
Seperti halnya Pak-thian Koai-jin. Cin Cin Cu juga seorang yang berjiwa patriotik, tidak rela ia melihat tanah airnya dijajah oleh orang-orang Mongol. Akan tetapi menghadapi kekuatan yang maha besar dari bala tentara Mongol, ia bisa apakah? Paling-paling hanya mengganggu dan mengacau saja seperti yang dilakukan oleh pendekar-pendekar lainnya.
Dalam hal ilmu silat, biarpun tidak sepandai Pak-thian Koai-jin, kiranya tidak kalah jauh oleh suhengnya. Hu Lek Siansu, hwesio yang menjadi ketua Go-bi-pai. Ada kelebihannya dari kedua orang suhengnya itu, ialah bahwa Cin Cin Cu mahir ilmu pengobatan.
Ketika melakukan perjalanan ke Peking, Cin Cin Cu mendengar tentang keadaan di sana, mendengar bahwa Thai Khek Sian, gembong pertama dari Mo-kauw telah mengutus seorang muridnya yang pandai bernama Kam Kun Hong, dikawani oleh Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li, untuk memperkuat kedudukan kaki tangan Mongol.
Ketika mendengar bahwa murid Thai Khek Sian itu adalah putera Kam Ceng Swi yang dulu diculik oleh Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li yang kini menjadi murid Thai Khek Sian. Cin Cin Cu cepat-cepat menuju ke Kun-lun-pai. Kam Ceng Swi adalah murid Kun-lun-pai, kalau puteranya sekarang menjadi jago Mongol. bukankah hal itu dapat mencemarkan nama baik partai Kun-lun-pai yang menjadi partai sahabat perkumpulannya?
Cin Cin Cu lebih tahu dari pada Kun Hong mana jalan terdekat menuju ke: Kun-lun, maka dia datang lebih dulu dari Kun Hong, biarpun selisihnya hanya dua hari. Diceritakannya kepada Pek Mau Sianjin tentang pemuda putera Kam Ceng Swi itu. Semua tokoh Kun-lun-pai masih teringat akan Kun Hong yang memang pernah tinggal di situ, maka kagetlah mereka. Terutama sekali Pek Mau Sianjin.
"Kita harus tangkap dia dan beri hukuman. Sayang Kam Ceng Swi sedang turun gunung, kalau tidak tentu hal ini bisa kita rundingkan dengan dia sebagai ayahnya."
Dua hari Cin Cin Cu melepaskan lelah di puncak Kun-lun-san yang permai. Pada hari ke tiga, ia turun gunung pada waktu senja. Seperti sudah diceritakan, secara kebetulan sekali ia bertemu dengan Kun Hong. Ia belum pernah melihat pemuda ini, akan tetapi begitu mendengar pengakuan Kun Hong, ia cepat mengatur siasat untuk menangkapnya.
Tentu saja Cin Cin Cu takkan menggunakan bantuan arak obatnya sekiranya ia tidak lebih dulu mengetahui sampai di mana kelihaian pemuda ini. Itulah sebabnya ia sengaja menguji kepandaian Kun Hong di atas cabang.
Arak yang diminum Kun Hong sebanyak tiga cawan itu bukan arak sembarangan. melainkan arak pilihan yang amat keras dan kuat. Dua cawan pertama tidak dicampuri apa-apa. akan tetapi melihat Kun Hong sudah agak pusing, cawan ke tiga dicampuri obat mabok oleh Cin Cin Cu di luar tahu Kun Hong. Biarpun Kun Hong memiliki kepandaian tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian jago tua Go-bi-pai ini.
Namun Kun Hong tetap seorang pemuda yang masih hijau. Ia terlalu percaya kepada Cin Cin Cu dan tidak merasa bahwa ia sedang di "loloh" sampai mabok. Kini ia dilempar ke dalam kamar tahanan dalam keadaan terbelenggu dan mabok setengah pingsan. Sampai sehari semalam ia tidak sadar, seperti orang tidur.
Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia bangun kembali, ia mendapatkan dirinya terbaring di atas pembaringan bambu dalam keadaan terbelenggu. Ia berusaha mengerahkan tenaga melepaskan ikatannya, namun sia-sia belaka. Tambang itu adalah tambang terbuat dari pada benang perak yang amat kuat. Kulit dagingnya akan lebih dulu rusak sebelum ia dapat memutuskan tambang itu. Ia maklum bahwa ia telah tertawan oleh orang pandai. Ia mengingat-ingat.
"Cin Cin Cu manusia curang!" tiba-tiba ia memaki keras setelah ia teringat akan pengalamannya sebelum ia pingsan. "Lepaskan aku dan mari kita bertanding secara jantan kalau kau memang laki-laki!" Biarpun ia terikat kaki tangannya, sekali menggerakkan tubuh, Kun Hong sudah melompat ke arah pintu dan begitu saja ia menumbukkan tubuhnya kepada daun pintu.
"Braakkk!' Pecahlah daun pintu itu dihantam pundaknya. Ia jatuh bergulingan keluar dan ketika ia mengangkat muka memandang, ia melihat banyak tosu tua dengan pedang di tangan sudah mengurungnya, dipimpin oleh tosu rambut putih yang masih ia kenal, karena tosu ini bukan lain adalah Pek Mau Sianjin, sucouw-nya atau guru dari ayahnya.
"Sucouw!" teriaknya girang. "Tolong lepaskan ikatan kaki tangan teecu. Teecu ditipu dan ditawan oleh seorang penjahat bernama Cin Cin Cu yang malam tadi berkeliaran di sini....!"
"Cin Cin Cu adalah sahabat pinto (aku) dan yang membelenggumu bukan dia, melainkan pinto sendiri!” jawab Pek Mau Siannjin dengan suaranya yang halus dan sikapnya yang lemah-lembut.
Namun sungguh-sungguh dan keren sekali. Di samping kemarahannya, juga kakek tua ini amat kagum menyaksikan pemuda putera Kam Ceng Swi yang dulu merupakan seorang bocah nakal sekarang telah memiliki kepandaian hebat. Bahkan dibelenggu kaki tangannya masih dapat menghancurkan pintu kamar tahanan!
Adapun Kun Hong ketika mendengar kata-kata ini, seketika melompat bangun saking herannya lupa bahwa kaki tangannya masih dibelenggu sehingga biarpun ia dapat melompat berdiri, namun ia terhuyung-huyung dan melompat-lompat seperti seekor monyet untuk menjaga keseimbangan tubuhnya jangan jatuh terguling.
Setelah dapat berdiri tegak, ia melihat tosu-tosu tua itu sudah menodongkan ujung pedang kepadanya. Pedangnya sendiri, Cheng-hoa-kiam ternyata telah dirampas. "Apa... apa artinya ini? Mana ayah, mengapa Kun-lun-pai memusuhiku?"
"Kam Kun Hong, tak perlu menyeret nama baik ayahmu. Jawablah, apakah kau benar menjadi murid Thai Khek Sian?” tanya Pek Mau Sianjin.
"Kalau betul mengapa? Berdosakah menjadi muridnya!” Kun Hong mulai penasaran dan suaranya tidak menghormat lagi. Ia mulai memandang rendah kepada sucouwnya yang telah menangkap dia secara curang.
Kun-lun Lojin atau Pek Mau Sianjin, ketua Kun-lun-pai itu menarik napas panjang. "Jadi kau betul murid Thai Khek Sian? Dan kau menjadi wakil gurumu itu untuk membantu para penghianat bangsa dan para bangsawan penjajah Bangsa Mongol?”
"Memang aku mewakili suhu untuk membantu penjagaan keamanan kota raja dari para pengacau. Apa salahnya pula?" jawab Kun Hong berani.
"Memang tidak salah, kalau saja kau bukan anak Kam Ceng Swi." kata ketua Kun-lun-pai itu. "Akan tetapi sebagai keturunan seorang tokoh Kun-lun-pai, perbuatanmu itu tidak saja berarti merusak nama baik ayahmu, malah kau telah merusak nama baik Kun-lun-pai di dunia kang-ouw. Oleh karena kau putera Kam Ceng Swi. kau terhitung cucu murid pinto dan karenanya kau juga seorang anak murid Kun-lun-pai. Oleh karena inilah maka pinto harus menangkapmu dan menghabiskan riwayat sepak-terjangmu yang benar-benar memalukan itu."
"Susiok, dia telah bercampur gaul dengan orang-orang Mo-kauw. Dengan perempuan-perempuan cabul seperti Tok-sim Sian-li, itu saja sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Apa lagi ditambah dengan peristiwa-peristiwa yang timbul akibat sepak-terjangnya yang sudah seperti iblis Mo-kauw, suka mengganggu wanita dan sebagainya...!" kata seorang tosu yang sudah gatal-gatal tangannya untuk segera menjatuhkan hukuman itu.
Ketua Kun-lun-pai itu menarik napas panjang. "Sungguh pinto menyesal sekali. Kau seorang berbakat baik, sekarang telah memiliki kepandaian tinggi sekali. Akan tetapi ilmu sesat yang kau miliki hanya akan menjerumuskan kau ke dalam lembah kehinaan, menyeret nama baik orang tua dan partai. Karena itu. dengan hati berat terpaksa pinto menjatuhkan hukuman mati kepadamu. Kam Kun Hong!"
"Nanti dulu!" teriak Kun Hong marah sekali.
"Hemm, apa kau takut mampus!" bentak tosu keponakan Pek Mau Sianjin yang tadi memperingatkan susioknya tentang keburukan watak Kun Hong.
"Kalian yang takut mampus, masih tanya lagi kepadaku? Kalau kalian gagah dan tidak takut mampus, ayo lepaskan aku dan boleh kalian keroyok. Hendak kulihat sampai di mana sih kehebatan Kun-lun-pai. Masa nama besar Kun-lun-pai ternyata sekarang hanya terbukti dengan menawan seorang pemuda secara curang kemudian membunuhnya seperti orang membunuh ayam? Cih... tidak malukah kalian?”
"Bocah ingusan besar mulut! Berani kau menghina Kun-lun-pai?" teriak tosu tadi yang bernama Ban Heng Tosu. Murid keponakan Pek Mau Sianjin.
Guru dari Ban Heng Tosu ini adalah seorang suheng dari ketua Kun-lun-pai itu. Atau kakak seperguruannya, yang suka merantau. Akhirnya suheng ini meninggal di perantauan, meninggalkan surat untuk Pek Mau Sianjin agar suka memelihara muridnya yaitu Ban Heng Tosu yang membawa surat peninggalannya.
Tosu ini terkenal keras wataknya la membentak Kun Hong berbareng menusuk dada pemuda itu dengan pedangnya. Gerakannya cepat bukan main sampai-sampai Pek Mau Sianjin tidak sempat mencegahnya. Akan tetapi secepat-cepatnya gerakan Ban Heng Tosu. Kun Hong lebih cepat lagi. Biarpun kedua tangan dan kakinya dibelenggu, ia berhasil miringkan tubuh. "Breettt!" Baju Kun Hong robek di bagian dada.
"Ban Heng... jangan menjatuhkan hukuman sendiri!" bentak Pek Mau Sianjin melihat Ban Heng Tosu yang penasaran melihat tusukannya dapat dielakkan oleh orang muda yang sudah dibelenggu kaki tangannya ini masih melanjutkan serangannya.
"Bleekkk... aauuukkkhh!"
Cepat sekali terjadinya hal yang aneh dan membuat semua orang tertegun. Ketika pedang di tangan Ban Heng Tosu sudah menyerang lagi, tiba-tiba tubuh Kun Hong melayang dan pemuda ini telah mengirim tendangan yang dilakukan dengan dua kaki, tepat mengenai dada tosu sombong itu.
Ban Heng Tosu terlempar ke belakang dan menggeletak tak bergerak lagi, dari mulutnya keluar darah. Sedangkan Kun Hong yang melakukan tendangan dalam posisi seperti itu juga tertolak ke belakang dan jatuh seperti balok pohon dilempar.
Pek Mau Sianjin cepat menghampiri Ban Heng Tosu dan memeriksa keadaan murid keponakan ini, Cepat ia mengeluarkan obat bubuk, dicekokkan ke dalam mulut tosu yang sudah mau mati itu, lalu mengurut-urut dadanya beberapa lama.
"Ia terluka hebat, sukur tidak akan tewas," kata ketua Kun-lun-pai akhirnya sambil bangkit berdiri memandang Kun Hong yang kini masih rebah di atas lantai dengan ujung banyak pedang ditodongkan ke tubuhnya. Sedikit saja ia bergerak tentu tubuhnya akan menjadi bulan-bulan banyak pedang para tosu itu.
"Kau terlalu berbahaya...." kata Pek Mau Sianjin. Akan tetapi dalam suaranya terkandung rasa kagum. "Kau terlalu lihai dan terlalu jahat, karena itu terpaksa pinto tidak segan menangkapmu mengandalkan arak Cin Cin Cu. Kam Kun Hong, orang seperti engkau ini kalau dibiarkan hidup, selain akan mencemarkan nama baik orang tua dan partai, juga akan mendatangkan banyak kesengsaraan bagi rakyat." Ketua Kun-lun-pai ini menoleh kepada murid-muridnya. "Ikat dia di Kim-kio (jembatan emas)!"
Kun Hong lalu diseret dan dibawa ke jembatan emas yang dimaksudkan ketua partai itu. Jembatan emas ini adalah sebuah jembatan terbuat dari pada kayu kuning yang melintang di atas jurang yang amat dalam sampai tidak kelihatan dasarnya. Di tengah jembatan ini terdapat tiangnya dan inilah tempat latihan ginkang juga tempat menghukum murid-murid murtad.
Di samping partai Siauw-lim-si yang amat keras terhadap murid-murid yang menyeleweng, Kun-lun-pai merupakan partai ke dua yang amat berdisiplin dan tak kenal ampun. Pengurus-pengurus Kun-lun-pai selain dipilih seorang yang berdisiplin dan menjunjung tinggi panji kepartaian.
Nama baik partai adalah nomor satu, lebih berharga dari pada nyawa sendiri, apa lagi nyawa murid menyeleweng yang akan mencemarkan nama partai. Biasanya, kalau ada murid yang menyeleweng dan sudah dijatuhi hukuman mati, ketuanya sendiri yang melakukan hukuman itu, yakni dengan cara membunuh si murid penyeleweng di atas jembatan emas (kiru-kio) itu.
Akan tetapi oleh karena ketua Kun-lun-pai adalah seorang pendeta To yang mencucikan diri, cara membunuhnya juga tidak menusuk dengan begitu saja, melainkan dengan cara menyambitkan pedang pusaka dari jarak jauh ke arah dada yang terhukum!
Untuk menghukum Kun Hong, Pek Mau Sianjin sudah memegang pedang pusaka Kun-lun-pai. berdiri dalam jarak seratus langkah dari tempat di mana Kun Hong sudah diikat erat-erat pada tiang jembatan. Sebelum melempar pedang Pek Mau Sianjin mengeluarkan suara keren sebagai keputusan hukuman.
”Kam Kun Hong,... kau sebagai putera Kam Ceng Swi berarti anak murid Kun-lun-pai, akan tetapi kau telah mencemarkan nama baik Kun-lun-pai dengan menjadi rnurid orang-orang Mo-kauw dan terutama sekali oleh perbuatanmu membantu penjajah asing Bangsa Mongol. Oleh karena itu demi nama baik Kun-lun-pai yang kami junjung tinggi melebihi segala apa. Kami mengambil keputusan untuk menghukum mati kepadamu agar bahaya kecemaran nama partai lebih lanjut dapat dilenyapkan. Kam Kun Hong pinto (aku) atas nama Kun-lun-pai hendak melakukan hukuman atas dirimu, bersiaplah!"
Pek Mau Sianjin sudah mengangkat tangan yang memegang pedang Kun Hong yang sejak tadi mencoba untuk mengerahkan tenaga dan melepaskan diri dari ikatan ternyata sia-sia belaka karena ikatan itu kuat sekali, kini sudah tidak melihat jalan keluar. Ia tenang-tenang saja memandang ketua Kun-lun-pai dengan tajam, sama sekali tidak gentar menghadapi maut yang bersembunyi di balik ujung pedang pusaka yang setiap saat akan menembusi jantungnya!
Para tosu Kun-lun-pai diam-diam memuji. Jarang sekali ada anak murid Kun-lun-pai dihukum mati, karena belum tentu tiga tahun sekali terjadi penyelewengan-penyelewengan, akan tetapi anak murid lain yang menghadapi maut tentu akan menjadi pucat atau setidaknya meramkan mata. Pemuda ini sama sekali tidak demikian! Dia menghadapi kematian dengan mata mendelik dan bibir tersenyum mengejek!
"Murid iblis tentu saja sudah bukan manusia lagi....." kata seorang tosu.
"Dia hebat betul, sayang menyeleweng....” kata seorang tosu tua sambil menarik napas panjang.
"Kasihan sekali Seng-gwat-pian Kam Ceng Swi...." kata lagi tosu ke tiga.
Ketika Pek Mau Sianjin melangkah mundur tiga tindak, semua tosu berdiam dan semua mata ditujukan ke arah Kun Hong. Semua orang tahu bahwa kakek ketua Kun-lun-pai itu hendak melakukan gerakan Sin-liong-hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Ekornya), yaitu ilmu pedang yang dilakukan dengan jalan menimpukkan pedang sambil memutar tubuh.
Gerakan ini hanya dapat dilakukan oleh jago-jago kelas utama dari Kun-lun-pai karena pedang jauh sekali bedanya dengan senjata timpuk semacam piauw dan lain-lain. Dengan penggunaan ilmu lweekang tinggi serta latihan yang bertahun-tahun, pedang yang ditimpukkan ini akan meluncur seperti anak panah dan akan mengenai sasarannya dengan ketepatan seratus kali timpuk seratus kali kena!
Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi keras" tar! tar! tar!" diikuti seruan. "Suhu. tunggu dulu. Jangan bunuh dia....!" Bayangan orang berkelebat dan Seng-goat-pian Kam Ceng Swi sudah berlutut di depan Pek Mau Sianjin!
Semua tosu kaget dan khawatir sekali melihat sikap Kam Ceng Swi ini. Sikap ini dapat diartikan merintangi ketua yang hendak menjalankan tugas menghukum, dan ini boleh dianggap membela yang menyeleweng dan ikut berdosa pula!
Kam Ceng Swi adalah tokoh Kun-lun-pai yang amat disegani dan disayang oleh para tosu karena dia adalah bekas seorang pembesar Cin yang setia dan berbudi. Di samping ini, sepak-terjang Kam Ceng Swi sebagai seorang pendekar besar telah banyak mendatangkan pujian bagi Kun-lun-pai. Maka semua tosu amat khawatir melihat sikapnya takut kalau-kalau pendekar ini akan mendapat kesalahan dari ketua.
Pek Mau Sianjin mengerutkan keningnya. Kam Ceng Swi merupakan murid tersayang baginya, murid yang kepandaiannya hampir mengimbangi kepandaiannya sendiri oleh karena Kam Ceng Swi berkenan menggerakkan hati Liong Tosu, susioknya yang mengasingkan diri di balik gunung.
Kalau bukan Kam Ceng Swi yang merintangi pelaksanaan hukuman ini tentu ia sudah menjadi marah sekali. Namun betapapun besar rasa sayangyna kepada Kam Ceng Swi, rintangan ini benar-benar membuat hatinya tersinggung.
"Kam Ceng Swi kau mau apa menghalangi pinto menurunkan hukuman kepada orang berdosa?" tegurnya.
"Suhu, harap ampunkan teecu. Apakah dosa Kun Hong maka hendak dijatuhi hukuman mati? Kiranya teecu sebagai ayahnya berhak mengetahui sebab-sebabnya."
"'Hemmm kau memang tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu? Dia telah menjadi murid orang-orang Mo-kauw, telah membantu Bangsa Mongol dan kau masih bertanya lagi tentang dosa-dosanya?"
"Maaf suhu! Dia tidak seharusnya dihukum secara anak murid Kun-lun-pai. Karena ia bukan murid Kun-lun-pai!" bantah Kam Ceng Swi. "Belum pernah dia diambil sumpahnya sebagai anak murid Kun-lun-pai, bagaimana dia sekarang bisa dikenakan hukuman secara murid Kun-lun-pai?"
Pek Mau Sianjin melengak. Betul juga ucapan ini! "Akan tetapi, Ceng Swi, kau harus ingat, dia itu puteramu. Kalau dia mencemarkan namamu berarti mencemarkan nama Kun-lun-pai juga...!"