Cheng Hoa Kiam Jilid 08

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping. Cheng Hoa Kiam Jilid 08
Sonny Ogawa

Cheng Hoa Kiam Jilid 08, karya Kho Ping Hoo - KUN HONG kaget bukan main. cepat mencoba untuk mengeprak kudanya supaya melompat tinggi ke depan, namun terlambat. Kuda itu mengeluarkan ringkikan keras dan roboh terjengkang karena kedua kaki belakangnya telah rusak oleh jarum-jarum beracun yang dilepas Tok-sim Sian-li.

Cerita Silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Kun Hong melompat pada saat kuda itu terjungkal, berdiri bertolak pinggang memandangi kuda yang sudah empas-empis mau mampus itu. Pemuda ini maklum bahwa kuda itu tak dapat tertolong lagi paling-paling untuk menolongnya hanya harus kedua kaki belakangnya dipotong. Akan tetapi apa artinya? Ia meludah ke arah kuda, lalu memandang kepada gurunya sambil tersenyum.

"Jarum-jarummu masih lihai, Niocu. Benar-benar kau nekat sekali hendak ikut dengan aku sampai-sampai kau tidak segan dan sayang mengorbankan kudamu Hek-liong-ma. Akan tetapi makin nekat kau hendak ikut, makin nekat pula aku hendak pergi seorang diri. Ha-ha-ha! Kejarlah kalau kau sanggup!"

Setelah berkata demikian. Kun Hong lari dengan cepat sekali keluar hutan, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena maklum betapa hebat ginkang dan ilmu lari cepat dari Tok-sim Sian-li.

Tok-sim Sian-li marah di dalam hatinya ia menoleh dan melihat tubuh Kim Li masih meringkuk dengan kedua kaki buntung di atas tanah, kemarahannya tertimpa kepada gadis yang bernasib malang ini. Ia mencabut pedang hijaunya dan berkata perlahan,

"Jangankan hanya seekor kuda. Kun Hong biar berkorban nyawa aku rela untuk dapat hidup berdekatan selalu dengan kau. Gadis ini berani mati mencintamu, ia harus mampus!" Pedangnya berkelebat menusuk dada gadis itu.

Traangg....! Sebuah batu karang sebesar kepala orang hancur lebur terpukul pada pedang itu, akan tetapi pedang di tangan Tok-sim Sian-li tertahan dan tidak terus menusuk dada Kim Li.

Tok-sim Sian-li cepat melompat ke belakang sambil membalikkan tubuh, gerakannya cepat sekali, mulutnya masih tersenyum akan tetapi alisnya berdiri matanya berkilat-kilat tanda bahwa dia marah bukan main. Siapakah yang begitu berani mati menangkis pedangnya dengan lemparan batu? Ia melihat seorang laki-laki pendek gemuk bermuka toapan.

Muka itu berkulit putih bersih dengan kumis terpelihara baik-baik dan jenggotnya lebat, hitam dan terpelihara pula. Rambutnya yang pendek dan jarang itu digelung ke atas, kecil saja terbungkus kain kuning. Laki-laki itu tertawa lebar, sikapnya tenang gagah dan berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengannya yang kuat dan berbulu itu disilangkan di depan dada.

"Tok-sim Sian-li benar-benar makin tua makin gila, tak tahu malu sudah berusia tua masih tergila-gila kepada seorang pemuda. Juga hatimu yang beracun itu makin jahat saja. Sudah melukai kedua kaki gadis ini sampai buntung kedua kakinya, sekarang masih mau dibunuh lagi karena cemburu."

Tok-sim Sian-li melengak. Kalau orang ini dapat mengetahui apa yang telah terjadi tadi, itu tandanya orang ini memiliki kepandaian tinggi. Dan selain itu, nampaknya orang ini sudah mengenalnya baik-baik. Dengan penuh selidik Tok-sim Sian-li memandang wajah orang itu. Serasa pernah ia melihatnya, muka ini benar-benar tidak asing baginya, malah muka yang amat dikenalnya, akan tetapi ia lupa lagi siapa gerangan dia.

"Manusia bermulut lancang, siapa kau?" Akhirnya ia membentak. Ini sebetulnya amat aneh bagi yang sudah mengenal watak Tok-sim Sian-li.

Wanita ini biasanya menggerakkan tangan lebih dulu dari pada menggerakkan mulutnya. Sekarang ia menanyakan nama orang dan belum menggerakkan tangannya ini benar luar biasa dan hal ini hanya dapat terjadi karena ia merasa sangsi melihat muka yang amat dikenalnya tapi lupa lagi siapa itu.

Laki-laki itu tertawa bergelak dan ternyata giginya yang rata masih baik dan putih bersih. Ketika ia tertawa kelihatan bahwa ia mempunyai garis-garis muka yang tampan dan mudah diduga bahwa ketika masih muda ia seorang yang ganteng. "Ha-ha-ha. Terlalu banyak kau mengenal pria sampai-sampai kau lupa kepada aku orang she Kwa!"

"Siang-jiu Lo-thian (Sepasang Kepalan Mengacau Langit)! Kau Kwa Cun Ek?" tanya Tok-sim Sian-li tercengang dan baru sekarang ia ingat muka laki-laki yang sebetulnya tidak asing baginya ini, kira-kira duapuluh tahun yang lalu! Orang ini adalah Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, seorang jago silat kenamaan di dunia selatan.

Begitu teringat bahwa orang di depannya ini Kwa Cun Ek Tok-sim Sian-li lalu mengeluarkan seruan marah dan langsung menyerang dengan pedangnya! Kwa Cun Ek yang mempunyai julukan Sepasang Kepalan Mengacau Langit tentu saja dapat mengelak dengan mudah. "Kau masih seperti dulu." katanya tertawa, ''genit, galak dan... tetap cantik."

Mendengar kata-kata yang bersifat setengah memuji kecantikannya ini, Tok-sim Sian-li menunda pedangnya, menudingkan pedang ke arah muka laki-laki itu sambil memaki. "Orang she Kwa! Kau meninggalkan aku lari kepada siluman lautan timur itu, benar-benar penghinaan besar namanya. Karena itu, kali ini kau harus mampus di tanganku!” Kembali ia menyerang hebat, akan tetapi lagi-lagi Kwa Cun Ek dapat mengelak tanpa balas menyerang,

"Kau benar-benar tak tahu diri dan mau menang sendiri saja!" Kwa Cun Ek menegur, suaranya sungguh-sungguh menyatakan penyesalan hatinya. "Karena kau isteriku lari meninggalkan aku dan seorang anak. Perbuatanmu yang keji itu masih hendak kau tutup dengan menyalahkan semua kepadaku? Benar-benar kau wanita dengan hati beracun!"

Tiba-tiba sikap Tok-sim Sian-li berubah mendengar ini. Senyumnya melebar dan kembali pedangnya ditahannya. "Dia meninggalkan kau? Hi-hi, lucunya! Dia minggat dari kau karena cemburu kepadaku? Bagus, baru kau puas. Siapa sih wanita yang sudi lama-lama bersamamu. Lihat jenggotmu panjang, kepalamu mulai botak dan perutnya mulai gendut. Hi-hi, puas hatiku mendengar kau ditinggal sia-sia oleh isterimu!"

Kwa Cun Ek sekarang yang nampak marah. Sebagai jawaban dua tangannya memukul ke depan secara bergantian dan hebatnya, begitu ia menggerakkan tangan, batang-batang pohon di belakang Tok-sim Sian-li bergoyang-goyang seperti ada gempa bumi! Inilah kehebatan tenaga pukulan Kwa Cun Ek Si Sepasang Tangan Mengacau Langit! Akan tetapi Tok-sim Sian-li dengan ringannya melompat dan pukulan-pukulan itu sama sekali tidak menyusahkannya.

"Tentu saja aku tidak menarik lagi karena sudah tua. Dulu kau tergila-gila kepadaku, ketika aku masih seganteng pemuda yang kau kejar-kejar tadi. Akan tetapi kaupun sudah tua....”

Kwa Cun Ek terpaksa menghentikan kata-katanya karena begitu mendengar tentang “pemuda tadi” segera Tok-sim Sian-li teringat akan Kun Hong dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi berkelebat pergi dari situ mengejar pemuda yang dikasihinya itu.

Kwa Cun Ek menarik napas panjang berkali-kali. “Dia masih hebat baik aksi maupun kepandaiannya. Aku belum tentu bisa mengalahkan dia...” Kemudian ia menoleh kepada Kim Li, menggeleng-geleng kepala dan menggerutu. “Kasihan sekali bocah ini mati tidak hiduppun bercacad, hilang kedua kakinya sebatas lutut. Hemm, harus kuapakan dia? Biar kubawa pulang, bagaimana keputusan Siok Lan saja...” Ia lalu menghampiri Kim Li yang masih pingsan, membungkuk lalu memondongnya, dibawa pergi keluar hutan dengan langkah lebar.

Siapakah Kwa Cun Ek dan bagaimana ia dapat kenal Tok-sim Sian-li? Dia dahulu memang benar seorang pemuda ganteng dan tampan di selatan, seorang jago muda yang banyak digilai wanita-wanita, terutama wanita-wanita kangouw yang tentu saja mengharapkan jodoh-jodoh yang gagah perkasa.

Di antara semua wanita gagah dan cantik, hanya seorang pendekar wanita gagah perkasa yang menarik hatinya. Pendekar wanita ini adalah seorang tokoh muda yang disegani, yang telah membuat nama besar di sepanjang laut timur dengan pedangnya dan ilmu pukulan Sin-na-hwat yang lihai sekali. Saking hebatnya sepak terjang pendekar wanita ini, dunia kang-ouw memberi julukan kepadanya Tung-hai Sian-li (Dewi Lautan Timur).

Tentu pembaca masih ingat akan tokoh ini, yaitu seorang di antara tokoh-tokoh yang mengadakan pertemuan di puncak Kun-lun-san. Begitu berjumpa, terjalin cinta kasih antara Kwa Cun Ek dan Tung-hai Sian-li sampai terjadi pernikahan di antara mereka. Akan tetapi sebelum bertemu dengan Tung-hai Sian-li, Kwa Cun Ek pernah tergila-gila kepada seorang tokoh wanita hek-to (jalan hitam), yaitu Tok-sim Sian-li yang ketika itu masih muda, cantik jelita, genit dan cabul!

Setelah Tok-sim Sian-li yang kembali bertemu dengan Kwa Cun Ek mendengar bahwa bekas kekasihnya ini telah menikah dengan Tung-hai Sian-li, ia menjadi marah sekali dan datang menyerbu rumah bekas kekasihnya ini dengan maksud membunuh Tung-hai Sian-li. Akan tetapi di luar dugaannya, Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita muda yang gagah perkasa sehingga ia mendapat perlawanan setimpal.

Selain itu, Kwa Cun Ek juga dengan sendirinya membantu isterinya. Dikeroyok dua, Tok-sim Sian-li tidak kuat melawan dan melarikan diri. Akan tetapi, semenjak itu, kehidupan Kwa Cun Ek tidak bahagia lagi karena Tok-sim Sian-li belum mau puas sebelum Tung-hai Sian-li mendengar akan hubungan antara suaminya dan iblis wanita itu. Perhubungan suami isteri menjadi renggang, padahal tadinya amat penuh kebahagiaan, apa lagi karena Tung-hai Sian-li sudah mengandung.

Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita yang berhati keras laksana baja. Ia keren, sungguh-sungguh, jujur dan galak pula. Sakit hatinya karena hubungan suaminya dengan perempuan cabul itu tak dapat dihibur dan setelah ia melahirkan seorang anak perempuan, ia lalu lari minggat meninggalkan Kwa Cun Ek dengan anaknya yang baru berusia satu tahun!

Demikianlah riwayat singkat Kwa Cun Ek ketika masih muda. Sekarang anaknya telah berusia delapanbeias tahun cantik jelita dan selain ilmu silatnya tinggi, juga mempunyai kecerdikan luar biasa. Karena cerdiknya, hampir dalam segala hal Kwa Cun Ek menyerahkan kepada puterinya itu. Bahkan perdagangannya, yaitu perdagangan kulit, boleh dibilang berada di tangan Kwa Siok Lan, puterinya itu.

Maka tidak mengherankan apabila menghadapi nasib Kim Li, Kwa Cun Ek yang kebingungan akhirnya mengambil keputusan membawa gadis yang malang itu pulang untuk menanyakan nasihat Siok Lan! Dengan Kim Li ia sudah kenal sejak lama karena Ciok Sam ayah Kim Li adalah langganannya dalam pembelian kulit binatang. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwa Siok Lan ketika melihat ayahnya pulang memondong tubuh Kim Li yang sudah buntung kedua kakinya.

Siok Lan tentu saja kenal baik dengan Kim Li yang sering kali datang ke kota mengantarkan kulit, bahkan sering kali Kim Li minta petunjuk tentang ilmu silat dari Siok Lan yang memiliki kepandaian tinggi. Melihat keadaan Kim Li dan mendengar penuturan ayahnya, Siok Lan mengerutkan alisnya yang bagus sambil berkata,

“Bagaimana Kim Li sampai bertemu dengan iblis wanita itu dan di mana pula paman Ciok Sam. ayahnya?”

“Aku sendiri tidak tahu apa yang tadinya terjadi. Ciok Sam tidak kelihatan. Ketika aku memasuki hutan untuk mencari Ciok Sam yang sudah beberapa hari tidak muncul, kumelihat Kim Li mengejar seorang pemuda dan tahu-tahu muncul Tok-sim Sian-li yang melukai Kim Li dengan jarum-jarum hijaunya. Pemuda itu nampaknya lihai juga, segera menolong Kim Li dan terpaksa membuntungi kedua kaki gadis ini untuk menyelamatkan nyawanya. Pemuda itu bahkan berani melawan dan dapat melarikan diri dari Tok-sim Sian-li.”

“Hemm. Kim Li seorang gadis hutan yang sederhana, mudah sekali tertipu orang. Kurasa orang muda itupun bukan orang baik-baik. ayah.”

“Aku tidak mengenalnya, akan tetapi ia lihai dan nampaknya gagah.” Diam-diam di dalam hatinya, Kwa Cun Ek melihat seorang calon mantu yang amat baik dalam diri Kun Hong. Sudah lama pendekar tua ini membujuk puterinya untuk segera memilih seorang calon suami, menerima seorang di antara banyak peminan.

Akan tetapi selalu Siok Lan menolak, menyatakan belum ingin menikah dan akhirnya menyatakan belum ada pemuda yang ia penujui. Sekarang melihat Kun Hong yang gagah, ganteng dan lihai sekali. Kwa Cun Ek amat tertarik. Seorang pemuda yang cocok benar untuk menjadi jodoh anakku pikirnya.

Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan kedua kakinya sudah buntung. Kim Li menangis tersedu-sedu dalam pelukan Siok Lan yang menghiburnya. Juga Siok Lan sudah mengobati dan membalut kedua kaki itu, membaringkan Kim Li di atas pembaringan. Dengan sabar Siok Lan menanyakan pengalaman Kim Li dan apa yang telah terjadi dengan ayahnya.

Kim Li orangnya jujur, dan diapun amat menghormat Siok Lan. Tanpa malu-malu lagi lalu menceriterakan semua pengalamannya semenjak ia bertemu dengan Kun Hong sampai pertemuannya dengan Tok-sim Sian-li iblis wanita itu.

Siok Lan mengepal tinjunya. “Sudah kuduga pemuda itu bukan orang baik-baik!”

“Ah... tidak nona. Dia bukan orang jahat. Kam Kun Hong koko seorang yang amat baik, gagah perkasa dan mulia. Semua adalah salahku sendiri. Aku yang tergila-gila kepadanya dan aku pula yang menjadi sebab kematian ayah.”

Dia lalu secara terus terang lagi menceritakan betapa ia menyuruh anjing-anjingnya menyerang Kun Hong sehingga binatang-binatang itu tewas semua dan ayahnya menjadi marah, terjadi pertempuran antara ayahnya dan Kun Hong yang mengakibatkan tewasnya Ciok Sam. Juga ia menceritakan pula bahwa Kun Hong tinggal bersama dia selama tiga hari itu hanya untuk membantu mengurus penguburan jenazah ayahnya dan untuk menghiburnya.

“Dia tidak bersalah apa-apa, nona Siok Lan. Dia seorang yang berhati mulia dan aku... aku cinta padanya...”

Merah wajah Siok Lan, ia merasa jengah mendengar ucapan yang jujur dari Kim Li. Timbul kasihan dalam hatinya. “Kau bodoh Kim Li. Kau mengapa mencinta orang yang tidak membalas perasaanmu itu. Kau hendak menyiksa diri sendiri.”

“Apa dayaku nona? Aku tergila-gila kepada Kun Hong, dia pemuda terbaik di dunia ini. Biarpun hanya cinta sefihak, aku tidak penasaran. Aku sudah puas hidup bersama Kam Kun Hong, biarpun hanya untuk tiga hari tiga malam lamanya!” Kim Li lalu menangis lagi terisak-isak.

Siok Lan hanya menggeleng kepala, di dalam hatinya memaki Kim Li sebagai seorang gadis yang bodoh, mudah saja menjadi permainan cinta! “Mulai sekarang kau tinggallah saja di sini, Kim Li. Biar ayah melatihmu dengan ilmu silat yang lebih tinggi. Aku percaya kalau kau sudah matang ilmu silatmu, kakimu yang cacad itu tidak akan terlalu mengganggumu lagi.”

Kim Li menjadi terharu dan hanya mengangguk-angguk dengan mata berlinang air mata. Demikianlah, semenjak saat itu, gadis yang bernasib malang ini menjadi murid Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek menerima pelajaran ilmu silat tinggi.

* * *

Kota Ning-po di Propinsi Cekiang adalah kota yang cukup besar dan ramai, terletak di dekat pantai Laut Tung-hai. Kota ini boleh dibilang terletak di bagian paling pinggir sebelah timur Tiongkok dan karena berada di tepi laut dan dekat dengan kota besar Shanghai, maka menjadi pusat perdagangan dan penduduknya padat. Toko-toko, rumah-rumah makan dan losmen-losmen besar menjadi bukti kemajuan kota ini.

Di antara rumah-rumah makan yang terdapat di kota Ningpo. kiranya rumah makan Tung-thian terkenal sebagai rumah makan yang paling besar dan paling lengkap. Rumah makan ini di ruang bawah saja memiliki dua puluh lima pasang meja kursi, belum yang di ruang atas yaitu di loteng, di siitu terdapat lima pasang meja kursi.

Setiap hari tentu ada tamu yang makan di situ. Belum pernah kelihatan kosong, biarpun hanya tiga empat orang tentu ada yang bersantap. Hanya di loteng jarang terisi tamu oleh karena tamu-tamu biasa lebih suka makan di bawah. Di loteng ini hanya disediakan untuk tamu-tamu pembesar yang tidak suka makan dalam satu ruangan dengan orang-orang biasa, atau disediakan untuk keperluan khusus, misalnya ada serombongan keluarga yang hendak merayakan sesuatu.

Pada suatu senja, ruangan bawah rumah makan Tung-thian sudah penuh tamu yang makan minum sambil bersendau-gurau di antara teman dengan gembira. Tidak mengherankan apa bila keadaan pada hari itu amat ramai, karena selain malam hari itu bulan muncul sore-sore, juga saat itu adalah saat panen ikan.

Para nelayan membanjiri kota dengan hasil-hasil ikan laut mereka dan inilah saatnya para penduduk mengeduk keuntungan besar, membeli dan memborong ikan-ikan itu dari para nelayan untuk kemudian dijual dan dikirim ke lain kota dengan harga berlipat ganda.

Hanya seorang pemuda yang duduk seorang diri di pojok ruangan bawah rumah makan itu yang tidak dapat bergembira seperti yang lain-lain, karena ia makan minum seorang diri tiada kawan. Akan tetapi kegembiraan orang-orang di situ menarik hatinya dan memancing senyum di bibirnya dan seri pada matanya. Agaknya pemuda ini seorang asing, buktinya tidak ada seorangpun penduduk Ningpo mengenalnya.

Serombongan orang terdiri dari delapan orang muda memasuki restoran itu minta tempat. Pengurus rumah makan menyambut mereka dan dengan muka ramah minta mereka bersabar menanti meja kosong karena semua tempat sudah penuh.

“Bukankah di loteng masih kosong?” tanya seorang di antara pemuda-pemuda itu sambil menunjuk ke atas.

“Sekarang masih kosong, akan tetapi telah dipesan oleh tuan-tuan dari Hai-liong-pang yang akan mengadakan pertemuan di loteng dan tidak mau diganggu oleh orang-orang lain.” kata pengurus rumah makan.

Mendengar kata-kata ini, pemuda-pemuda itu tak berani berkata apa-apa lagi, melainkan menanti di luar rumah makan. Bahkan para tamu penduduk Ningpo yang mendengar nama Hai-liong-pang, nampak terkejut dan gelisah. Ada yang cepat-cepat menyelesaikan makan lalu tergesa-gesa meninggalkan rumah makan. Malah ada yang segera membayar makanan dan pergi tanpa menghabiskan sisa hidangan yang masih banyak.

Akan tetapi pemuda-pemuda yang tadi menanti di luar agaknya lebih berani karena melihat banyak tempat kosong, dengan wajah gembira mereka lalu masuk dan memilih tempat duduk. Sebentar saja ruangan bawah itu hanya tinggal setengahnya terisi tamu, di antaranya pemuda asing yang duduk menyepi seorang diri, saban-saban mengirup araknya.

“Mereka boleh galak dan berpengaruh, asal kita tidak mengganggu mereka tak mungkin kita diganggu.” terdengar seorang di antara para pemuda itu berkata, dan pesanan makanan dan minuman dilakukan oleh seorang pelayan yang melayani mereka dengan hormat.

Pemuda-pemuda ini adalah putera-putera penduduk yang terkenal kaya di kota Ningpo, maka tentu saja para pelayan amat menghormati mereka. Tak lama kemudian datang serombongan orang. Mereka ini adalah tujuh orang laki-laki setengah tua yang pakaiannya seperti yang biasa dipakai oleh jago-jago silat. Sikap mereka keren sekali dan melihat tindakan kaki mereka, mudah diduga bahwa mereka rata-rata memiliki kepandaian silat yang lumayan.

“He, pengurus Tung-thian! Lekas siapkan meja. Sam-wi Pangcu (tiga Ketua) sebentar lagi datang!” seorang di antara mereka berseru kepada pengurus rumah makan.

Melihat bahwa mereka ini adalah orang-orang dari Hai-liong-pang, para pelayan menjadi sibuk sekali, cepat-cepat membereskan dan membersihkan meja kursi di loteng, dan di bagian dapur juga terjadi kesibukan luar biasa. Ayam gemuk di sembelih, ikan-ikan hidup dibelek perutnya, daging-daging segar dipilih, sayur dan bumbu nomor satu dikeluarkan. Pendeknya persiapan pesta besar yang mewah dan mahal dilakukan semua pegawai rumah makan Tung-thian.

Tujuh orang anggauta Hai-liong-pang inipun tidak tinggal diam, mengepalai para pelayan mengatur persiapan, kemudian mereka melakukan penjagaan di luar rumah makan. Benar-benar lagak mereka seperti serdadu-serdadu yang menjaga kedatangan pembesar-pembesar negeri.

Siapa dan apakah Hai-liong-pang yang agaknya berpengaruh serta ditakuti oleh penduduk Ningpo itu? Namanya telah menyatakan bahwa Hai-liong-pang (Perkumpulan Naga Laut) adalah sebuah perkumpulan yang berpusat di pantai laut.

Perkumpulan ini adalah perkumpulan nelayan, diketuai oleh tiga orang kakak beradik she Phang yang sebetulnya bukanlah nelayan-nelayan melainkan juragan-juragan perahu yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kepandaian ilmu silat mereka yang memang amat tinggi.

Tiga orang ini yang memiliki modal besar, membeli perahu-perahu yang banyak jumlahnya dan perahu-perahu ini mereka sewakan kepada para nelayan dengan cara pemungutan hasil yang tidak adil sama sekali. Pendeknya mereka memeras tenaga buruh nelayan mengandalkan pengaruh dan milik mereka.

Ada nelayan yang mempunyai perahu sendiri dan tidak mau menyewa perahu mereka? Nelayan seperti ini akan celaka, karena ke manapun ia mencari ikan, ia akan selalu diganggu sampai ia terpaksa pulang dengan tangan kosong. Pulang dengan selamat saja masih untung!

Tiga orang she Phang itu makin lama makin berpengaruh dan makin kaya. Kemudian karena merasa khawatir kalau-kalau para nelayan itu bersatu dan melakukan pemberontakan, secara cerdik mereka mendirikan perkumpulan nelayan yang diberi nama Hai-liong-pang. Nelayan-nelayan yang menjadi jagoan, mereka tarik menjadi kaki tangan mereka, dan makin lama perkumpulan ini menjadi makin besar dan kuat sampai para nelayan miskin tak dapat berkutik sama sekali.

Seolah-olah lautan luas menjadi milik Hai-liong-pang dan para nelayan, mengandalkan makan mereka dari hasil pemberian Hai-liong-pang. Tidak saja di pantai Hai-liong-pang merajai para nelayan juga di laut perahu-perahu yang berbendera naga ini menjadi raja.

Kemana saja perahu-perahu ini berlayar mencari ikan perahu-perahu nelayan lain daerah harus segera pergi dan mengalah. Sampai jauh perahu-perahu Hai-liong-pang ini menjelajah ke lautan timur, mengunjungi tempat-tempat yang paling banyak ikannya.

Memang harus diakui bahwa semenjak penangkapan ikan di daerah Ningpo dimonopoli oleh Hai-liong-pang, hasil penangkapan ikan menjadi makin banyak, berkat perahu-perahu yang kuat dan jala-jala ikan yang lebih baik. Akan tetapi sebagian besar dari pada hasil pendapatan itu masuk ke dalam gedung dan gudang tiga orang saudara Phang ini!

Akan tetapi tiga orang she Phang itu benar-benar tidak sadar bahwa mereka telah main-main di dekat gua naga dan harimau, tidak sadar bahwa mereka melebarkan sayap mencari pengaruh di tempat yang amat berbahaya.

Perlu diketahui bahwa Ningpo terletak di tepi pantai dan tak jauh dari pantai itu adalah kelompok Kepulauan Cou-san-to dan di antara kepulauan ini terdapat Pulau Pek-go-to (Pulau Buaya Putih) yang menjadi sarang atau tempat tinggal Thai Khek Sian, tokoh utama dari Mo-kauw! Lebih celaka lagi tiga orang she Phang ini belum pernah mengenal Thai Khek Sian dan tidak tahu bahwa Thai Khek Sian adalah “Rajanya” orang jahat!

Kalau mereka ini sudah mengenal Thai Khek Sian, kiranya biar matipun mereka takkan berani mencari pengaruh di dekat tempat itu. Sebulan yang lalu, pada suatu hari selagi tiga buah perahu Hai-liong-pang mencari perahu dan tanpa disengaja mendekati Pulau Pek-go-to.

Tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh dua orang wanita muda yang cantik. Sembilan orang nelayan dan kaki tangan Hai-liong-pang yang berada di atas tiga perahu ikan itu menjadi tercengang. Bagaimana di tengah laut muncul dua orang wanita muda cantik dengan perahu sekecil itu?

Setiap perahu ikan ditumpangi oleh dua orang nelayan dan seorang kaki tangan Hai-liong-pang yang bertindak selaku pengawas, jadi pada waktu itu terdapat enam orang nelayan dan tiga orang Hai-liong-pang. Enam orang nelayan itu yang masih percaya akan tahyul segera menjadi ketakutan dan mengira bahwa dua orang wanita cantik itu adalah dewi-dewi laut!

Akan tetapi tiga orang Hai-iiong-pang memandang kagum dan seorang di antara mereka yang terkenal mata keranjang berlancang mulut,.“Aduhai dari mana datangnya nona-nona cantik di atas lautan? Apakah sengaja datang hendak menghibur hatiku setelah aku lelah berlayar mencari ikan? Mari sini, nona-nona cantik, sini bersama Ciam-ko. Jangan malu-malu...”

Celaka bagi orang she Ciam ini. Ucapan lancang kurang ajar yang keluar dari mulutnya itu merupakan ucapan terakhir karena tiba-tiba ia terjungkal ke dalam laut dan tidak timbul lagi! Dua orang wanita itu terus menggerak-gerakkan kedua tangan dan terdengar bunyi “Krak-Krak-Krak” tiga kali.

Ketika semua orang melihat ke atas tiang layar, ternyata gambar naga sebagai tanda keangkeran Hai-liong-pang telah patah gagangnya dan bendera-bendera itu melayang-layang jatuh ke bawah! Dapat dibayangkan betapa kagetnya para nelayan, lebih-lebih lagi dua orang Hai-liong-pang yang melihat kawan mereka terjungkal ke laut dan tewas. Seorang di antara mereka menegur marah.

“Kalian ini siapakah, berani mati sekali mematahkan tiang bendera Hai-liong-pang dan membunuh kawan kami?”

Dua orang wanita muda itu tertawa, suara ketawanya merdu dan seorang di antara mereka yang berbaju hijau menjawab. “Kalian ini orang-orang Hai-liong-pang sungguh tak tahu diri. Seperti kucing berlagak di depan harimau! Sudah lama Siansu membiarkan saja kalian berlagak dan menganggap orang-orang Hai-liong-pang seperti orang-orang gila yang tak perlu diurus..Akan tetapi hari ini kalian berani mendekati Pek-go-to. Berani memasang bendera, sudah sepatutnya kalau kalian dimusnahkan ke dalam laut.

"Akan tetapi untuk sementara cukup seorang di antara kamu saja merasai kelihaian kami. Mau tahu kami siapa? Kami adalah pelayan-pelayan dari Thai Khek Siansu dan katakan kepada pemimpin-pemimpin kalian agar supaya pada tanggal lima belas malam mengadakan perjamuan di rumah makan Tung-thian di Ningpo. Siansu tentu akan mengutus seorang wakil dan memberi petunjuk lebih jauh!”

Dua orang itu, seperti yang lain-lain sudah mendengar bahwa Pulau Pek-go-to didiami oleh orang-orang aneh, akan tetapi oleh karena selama ini Thai Khek Siansu dan para pelayannya tak pernah melakukan sesuatu yang diketahui oleh penduduk sekitar itu, mereka tidak tahu betul Thai Khek Siansu itu orang macam apa. Ucapan wanita itu membikin panas perut dua orang Hai-liong-pang, karena terang-terangan ketua mereka dipandang rendah sekali.

“Siansu kalian itu orang macam apakah begitu tidak memandang kepada Pangcu (ketua) kami? Mana bisa begitu bertemu memerintahkan Pangcu kami menyediakan penyambutan? Benar-benar terlalu sekali!”

Seorang di antara dua wanita yang berbaju ungu mengeluarkan suara menghina. “Hemm, sudah mendengar perintah tidak lekas pergi, apa ingin mampus? Terimalah ini untuk peringatan!” Nona baju ungu ini menggerakkan tangan dan dua sinar emas berkelebat.

Dua orang Hai-liong-pang yang berdiri di perahu masing-masing itu cepat mencoba untuk mengelak, akan tetapi gerakan mereka sangat terlambat. Datangnya benda bersinar itu cepat sekali dan tahu-tahu mereka merasa telinga kiri mereka sakit sekali. Ketika mereka meraba, ternyata telinga kiri mereka telah lenyap, terbabat putus oleh senjata rahasia kim-ji-piauw (piauw uang logam) dan lenyap entah terlempar ke mana.

Hebatnya, ketika mereka memandang, dua orang nona itu dengan perahu mereka yang kecil telah berada jauh sekali dari tempat itu. seakan-akan perahu itu dapat terbang! Baru sekarang dua orang Hai-liong-pang itu ketakutan.

“Cepat putar perahu. Kita pulang...!” perintah mereka kepada para nelayan yang melakukan perintah ini dengan hati girang oleh karena sejak tadi mereka memang sudah ketakutan dan mengira dua orang wanita itu sebangsa jin atau dewi-dewi lautan.

Sambil meringis-ringis kesakitan, dua orang Hai-liong-pang itu memberi laporan kepada tiga orang saudara Phang ketua Hai-liong-pang. Tentu saja mereka menjadi marah sekali terutama Phang Hui yang termuda.

“Kurang ajar sekali. Orang macam apakah Thai Khek Sian di Pulau Pek-go-to! Mari kita siapkan barisan dan serbu pulau itu!”

“Jangan terburu nafsu. Sepanjang kabar angin, orang-orang yang tinggal di pulau itu memang aneh. Siapa tahu mereka adalah orang-orang sakti yang mengasingkan diri. Kita harus berlaku hati-hati dan lebih dulu mengadakan penyelidikan sebelum lancang turun tangan.” kata Phang Cu, orang ke dua yang terhitung paling cerdik di antara tiga orang ketua itu.

“Betul apa yang dikatakan oleh ji-te.” kata Phang Kong yang tertua. “Kita harus berlaku hati-hati. Sering kali aku mendengar daerah ini dilalui oleh orang-orang aneh, tentu ada hubungannya dengan Pulau Pek-go-to. Tak boleh bertindak gegabah, apa lagi kalau mendengar laporan orang kita, baru pelayan-pelayan saja kepandaiannya begitu baik.”

“Habis apa yang hendak twako lakukan sekarang?” tanya Phang Hui yang merasa kewalahan karena kedua orang kakaknya sependapat dan hendak bersikap hati-hati, tidak seperti dia yang ingin menggempur saja.

“Tidak ada lain jalan, kita harus menanti sampai tanggal lima belas. Biar kita mendengar saja apa kehendak mereka, baru kemudian mengambil keputusan harus bersikap bagaimana.”

Demikianlah, tiga orang saudara yang menjadi ketua Hai-liong-pang itu menanti sampai tanggal lima belas. Seperti telah diceritakan di bagian depan pada tanggal Lima belas sore di rumah makan Tung-thian, tujuh orang Hai-liong-pang sudah memesan tempat dan siap menanti kedatangan tiga orang ketua Hai-liong-pang itu yang hendak menyambut tamu dari Pek-go-to.

Tiga orang ketua ini tidak rnau berlaku sembrono. Paling sukar adalah menghadapi lawan yang belum dikenal keadaanya dan belum dikenal siapa. Oleh karena itu mereka sudah memasang penjagaan terlebih dulu, bahkan telah diatur baihok (barisan pendam) yang bersembunyi di sekeliling tempat itu untuk melindungi keselamatan para ketua Hai-liong-pang.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, di ruang bawah tinggal sedikit saja tamu yang masih berani duduk, di antaranya adalah delapan orang pemuda kaya penduduk Ningpo dan seorang pemuda yang duduk menyendiri di pojok ruangan itu. Suasana di ruang bawah itu sunyi, seakan-akan semua orang terpengaruh oleh sesuatu yang menakutkan.

Hal ini terutama sekali ditimbulkan oleh sikap para pelayan yang nampak sibuk dan gelisah. Untuk menghilangkan suasana tidak enak ini, para pemuda itu mulai bersendau-gurau dan karena mereka memang orang-orang muda yang gembira sebentar saja keadaan di situ menjadi ramai dan para pelayan juga mulai berani tersenyum.

Tiba-tiba terdengar suara “tar-tar-tar” di depan pintu rumah makan. Seperti jengkerik-jengkerik yang tadinya riuh bersuara kini terpijak diam, semua orang tak berani membuka suara dan menoleh saja mereka tidak berani, hanya mengerling diam-diam ke arah pintu depan. Keadaan hening itu sebentar saja karena segera terpecah oleh suara orang bernyanyi sederhana di iringi suara “tar-tar-tar” tadi. Suaranya nyaring, nadanya tenang menyenangkan, nyanyiannya seperti orang membaca sajak dan iramanya sederhana.

“Kata-kata yang jujur tidak bagus. Sebaliknya kata-kata yang bagus tidak jujur... Orang baik tidak banyak cakap. Sebaliknya yang banyak cakap tidak baik. Orang yang pandai tidak sombong. Sebaliknya yang sombong tidak pandai. Orang bijaksana tidak menyimpan. Ia menyumbangkan miliknya sampai habis. Akan tetapi ia makin menjadi kaya. Ia memberi dan terus memberi. Akan tetapi ia makin berkelebihan. Jalan yang ditempuh Langit. Selalu menguntungkan, tidak merugikan. Maka jalan yang ditempuh orang bijaksana. Juga selalu memberi, tidak merebut jasa!”

Inilah sajak terakhir dari kitab To Tik pelajaran dari Nabi Lo Cu dari Agama To. Semua orang yang mendengar ini tersenyum, juga pemuda yang duduk menyendiri di sudut tersenyurn kagum. Biarpun tidak semua orang hafal akan isi sajak To Tik King, akan tetapi sajak-sajak Agama To mudah dikenal amat berbeda dengan sajak-sajak Agama Buddha.

Sebelum nyanyian habis, penyanyinya sudah muncul di depan pintu, terus masuk ke rumah makan itu dan duduk di atas sebuah kursi kosong. Orang ini sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya, jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik, pakaiannya rapi dan wajahnya nampak gembira sekali. Suara menggetar tadi adalah suara ujung tali yang di ikatkan di pinggangnya, ujung tali ini ia gerak-gerakkan seperti pecut mengeluarkan bunyi yang mengiringi nyanyiannya.

Delapan orang pemuda yang tadinya juga ikut diam dan tegang kini tertawa-tawa ketika melihat bahwa yang datang hanya seorang kakek yang aneh, pakaian dan sikapnya bukan Tosu (pendeta To) akan tetapi datang-datang menyanyi ayat kitab To Tik King.

“Ha-ha-ha, Lopek (paman tua), kau benar-benar mengagetkan orang saja!” kata seorang di antara para pemuda itu.

“Lopek yang baru datang pandai bernyanyi, harus dihadiahi arak hangat!” kata pemuda ke dua.

“Betul, ajak dia menemani kita makan minum menambah kegembiraan!” kata yang lain. Beramai mereka berdiri menghampiri orang yang baru datang itu dan dengan sikap gembira orang-orang muda ini mengajaknya duduk makan minum bersama. Kakek itu tersenyum gembira pula.

“Alangkah senangnya menjadi orang-orang muda,” katanya. “Yang ada hanya kegembiraan, tidak ada lain lagi. Hidup kalau tidak mengenal gembira, apakah artinya? Baik, undangan kalian kuterima!” Dengan langkah lebar ia lalu menghampiri meja para pemuda itu dan duduk di atas sebuah bangku, disambut tepuk-sorak para muda yang menjadi gembira sekali.

“Lopek, kau tadi bilang dalam nyanyian bahwa kata-kata bagus tidak jujur dan kata-kata jujur tidak bagus, apa sih artinya?” tanya seorang pemuda setelah kakek itu dipersilakan minum.

Kakek itu menghirup araknya, mengangguk-angguk dan berkata, “Kalian orang-orang muda, perlu betul mengerti hal ini. Dengar baik-baik, kalau ada orang bicara dengan mulut manis dan enak didengar olehmu, jangan lantas kau menaruh kepercayaan penuh oleh karena kata-kata yang manis dan bagus itu belum tentu jujur. Malah semua penipu pandai bermulut manis. Sebaliknya, orang-orang jujur kalau memberi nasihat suka menyakitkan hati, akan tetapi malah kata-kata yang kasar dan tidak bagus inilah yang kadang-kadang amat berharga karena jujur.”

“Lopek, bagaimana contohnya kata-kata jujur itu tidak bagus?” tanya seorang pemuda.

Kakek itu memandang pemuda itu lalu tersenyum dan berkata, “Orang muda, terus terang kukatakan bahwa kau ini tampan, akan tetapi yang begitu saja tidak mengerti, agaknya kau kurang cerdik oleh karena hidungmu terlalu besar sehingga kau lebih pandai menggunakan hidung dari pada otak.”

Meledak suara ketawa para orang muda itu, kecuali si hidung besar yang menjadi merah mukanya dan memandang dengan mata melotot kepada kakek itu. Si kakek segera menyambung kata-katanya,

“Nah, nah, inilah contohnya. Kata-kataku tadi sejujurnya, coba saja kau tanyakan kepada siapapun juga, tentu semua bilang hidungmu terlalu besar. Kata-kata ini jujur akan tetapi bagimu tentu tidak bagus, bukan?”

Terang bahwa kakek ini bicara sambil berkelakar, maka si hidung besar akhirnyapun tertawa dan suasana di ruang bawah penuh gelak tawa. Bahkan tamu-tamu lain yang tadinya merasa tengkuknya dingin sekarang sudah merasa hangat lagi. Tiba-tiba terdengar seruan keras di depan pintu.

“Semua diam jangan berisik! Sam-wi Pangcu telah datang!” Inilah suara para penjaga tadi, yaitu orang-orang Hai-liong-pang. Mereka sudah memasuki ruangan bawah dengan sikap tegak seperti serdadu-serdadu menanti datangnya jenderal.

Semua orang kembali merasa tegang dan gelisah. Bahkan para pemuda tadi juga merasa tegang dan tidak berani mengeluarkan suara. Akan tetapi kakek tadi tersenyum-senyum, menenggak cawan araknya dan tiba-tiba ia berkata perlahan.

“Kalau ini suara yang kasar dan tidak menyenangkan, juga tidak bisa dibilang bagus!” Suaranya perlahan saja, akan tetapi jelas terdengar di ruangan itu oleh karena keadaan memang amat sunyi.

Mendengar ini, para pemuda itu cekikikan sukar dapat menahan ketawa. Mereka lirak-lirik ke arah para penjaga Hai-liong-pang dengan mulut tersenyum-senyum.

“Itu suara yang sombong!” bisik seorang pemuda di balik ujung lengan bajunya.

Semua orang kaget akan tetapi sukar diketahui siapa di antara delapan orang pemuda itu yang mengeluarkan kata-kata ini tadi. Akan tetapi kakek itu mengangguk-angguk.

“Orang yang pandai tidak sombong, maka yang berseru sombong tadi tentulah sebangsa gentong kosong!”

Tak dapat ditahan lagi, para pemuda itu tertawalah cekakak-cekikik mendengar kata-kata kakek ini yang mengangguk-angguk sambil menggerak-gerakkan mulut. Penjaga anggauta Hai-liong-pang yang tadi berseru, menjadi marah. Dengan langkah lebar ia menghampiri kakek ini dan membentak,

“Kau ini pengemis kelaparan berani main gila di depan tuan besarmu!”

Kakek itu menengok perlahan dan tersenyum sambil menudingkan telunjuknya ke muka orang itu, “Menurut penglihatanku, mukamu tidak kukenal dan muka seperti mukamu ini mana patut disebut tuan besar?” Suara dan lagaknya yang lucu membuat para pemuda itu kembali tertawa.

“Kurang ajar kau!” si penjaga itu mengulur tangan mencengkeram leher baju kakek itu, hendak diseretnya keluar.

Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba para penjaga lain berseru bahwa para Pangcu sudah tiba maka penjaga inipun melepaskan cengkeramannya dan berdiri tegak memberi hormat. Semua orang memandang ke arah pintu. Muncullah tiga orang laki-laki setengah tua yang rata-rata bertubuh kate gemuk, memasuki rumah makan itu diiringkan oleh selusin penjaga yang bersenjata lengkap.

Setelah tiba di anak tangga, tiga orang Pangcu itu memberi isyarat dengan tangan melarang para pengiringnya ikut naik dan naiklah mereka bertiga ke loteng, sedangkan para penjaga atau pengiring ini berdiri berbaris di kanan kiri anak tangga! Penjaga yang tadi hendak menghajar kakek itu, tentu saja tidak berani ribut-ribut, di depan Pangcunya, ia hanya melotot dan berbisik di telinga kakek itu,

“Awas kau, nanti akan kuhajar kau!” Setelah berkata demikian, penjaga itu bersama kawan-kawannya lalu kembali menjaga di luar rumah makan.

Akan tetapi kakek itu hanya tertawa-tawa saja, kelihatannya tidak takut sama sekali. Sikap kakek ini membuat para pemuda itupun hilang rasa takutnya dan mereka tetap bergembira dan bersendau-gurau seperti tadi.

“Tambah araknya!” teriak mereka kepada pelayan.

“Lopek ini harus dijamu sampai mabok!”

“Lopek siapakah nama yang mulia?” seorang pemuda bertanya.

“Ha. Apa perlunya tanya nama? Apa sih artinya nama? Kita semua ketika lahir tidak bernama...” jawab kakek itu tersenyum-senyum.

“Aah, jangan gitu, lopek. Kalau tidak diberi nama, bagaimana kita bisa saling mengenal dan memanggil?”

“Aku she Kam, panggil saja. Kam si gelandangan.”

Para pemuda itu tertawa lagi. Sikap kakek itu memang lucu dan amat peramah. Jarang ada orang tua suka bergaul dengan anak-anak muda, maka sebentar saja kakek ini menariK perhatian para pemuda itu. Gangguan karena datangnya tiga orang ketua Hai-liong-pang tadi sudah mereka lupakan, juga mereka tidak perduli lagi bahwa di tangga loteng itu menjaga dua belas orang anggauta Hai-liong-pang di kanan kiri seperti barisan.

Para penjaga ini memandang ke arah orang-orang muda itu dengan mata melotot, akan tetapi agaknya mereka itu bertugas menjaga saja maka tidak berani meninggalkan pos penjagaannya. Selagi orang-orang muda itu tertawa-tawa, dari loteng terdengar bentakan keras, “Hee, yang di bawah diam jangan ribut-ribut!”

Ketika para pemuda itu menengok, di kepala tangga muncul seorang di antara tiga ketua tadi. Yang muncul adalah Phang Hui, berdiri dengan muka merah dan tangan kanannya memegang sumpit. Memang Phang Hui ini terkenal ngesing (brangasan). Ketika melihat bahwa yang ribut-ribut dan bersenda-gurau seperti tidak mengindahkan kehadiran tiga orang ketua Hai-liong-pang itu hanya serombongan pemuda biasa dan seorang kakek, ia membentak lagi,

“Kalau aku mendengar suara ketawa-tawa lagi, sumpitku ini takkan mengenal ampun!” Setelah berkata begitu, tangannya bergerak dan sebatang sumpit meluncur ke bawah.

Crepp!!” Sumpit bambu itu seperti sebatang anak panah, rnenancap di atas meja kayu yang tebal dan keras itu, menancap sampai setengahnya lebih dan bergoyang-goyang. Para pemuda itu meleletkan lidah dan menjadi pucat. Kalau sumpit itu ditujukan kepada mereka, kepala atau dada mereka bisa bolong tertusuk sumpit dan nyawa mereka tak akan tertolong lagi! Seketika mereka tak berani usik lagi. Dengan lagak sombong Phang Hui meludah lalu pergi dari kepala tangga untuk kembali ke meja saudara-saudaranya di loteng.

Kakek tadi tertawa geli. “Ha-ha-ha, alangkah bagusnya. Sedangnya kita bergembira datang pelawak menghibur kita dan main sulap!”

“Sssttt...” beberapa orang pemuda memberi peringatan kepada kakek yang mereka anggap lancang itu. Kali ini mereka tidak berani menyambut kelakar si kakek, malah menjadi makin gelisah kalau-kalau para ketua Hai-liong-pang yang terkenal kejam mendengar ejekan tadi.

Phang Hui tidak mendengar, dan para penjaga di tangga yang mendengar hanya melotot, akan tetapi para penjaga di luar rumah makan mendengarnya! Masuklah tujuh orang anggauta Hai-liong-pang itu, dikepalai oleh orang yang tadi mengancam si kakek. Mereka menuju ke meja rombongan pemuda itu dengan sikap mengancam.

“Siapa tadi yang berani mengeluarkan omongan menghina Sam-Pangcu?” tanya kepala rombongan itu yang berkumis tebal.

Para pemuda tak ada yang berani bergerak, dan tamu-tamu lain diam-diam sudah membayar makanan dan menyelinap pergi meninggalkan ruangan itu. Hanya pemuda bertopi yang duduk seorang diri di pojok masih minum araknya dan matanya melirik ke arah rombongan orang Hai-liong-pang.

Kakek itu tersenyum-senyum menjawab. “Siapa sih yang menghina orang? Apa yang kau maksudkan dengan penghinaan itu, pak kumis?”

Si kumis tebal membelalakkan matanya. “Tadi ada yang menyebut Pangcu ke tiga kami sebagai pelawak. Siapa yang bicara begitu tadi?”

“Aah, kalau yang bicara tadi adalah aku sendiri...”

Tangan kanan si kumis tebal bergerak dan pundak kakek itu sudah dicengkeram, terus diseret keluar. Penjaga-penjaga lain tertawa dan tidak ikut keluar karena mereka ini menjaga kalau-kalau para pemuda itu ada yang hendak membela kakek itu.

Akan tetapi pemuda-pemuda itu mana berani menentang orang-orang Hai-liong-pang yang sudah terkenal sebagai jagoan-jagoan tukang pukul? Mereka hanya saling pandang dengan muka pucat, berdebar-debar dan amat mengkhawatirkan keadaan kakek peramah tadi. Celaka, kakek itu tentu akan dibunuh pikir mereka, atau setidaknya dipukul setengah mati.

Membunuh atau menyiksa orang sampai setengah mati adalah pekerjaan biasa dari orang-orang Hai-liong-pang dan para pembesarpun tidak ada yang mampu menghukum mereka!

Beberapa saat yang menegangkan hati lewat dengan sunyi dan semua mata memandang ke arah pintu depan ke mana kakek tadi diseret keluar ke tempat gelap. Para pemuda sudah membayangkan kakek itu menggeletak di sisi jalan dalam keadaan mati atau setengah hidup sedangkan penyiksanya, si kumis tebal itu memasuki ruangan itu kembali dengan senyum mengejek.

Betul saja, seorang memasuki ruangan itu dengan langkah tenang. Akan tetapi, semua mata terbelalak lebar ketika melihat bahwa yang masuk adalah si kakek tadi, masuk sambil berjalan tenang, tersenyum-senyum lalu duduk di tempatnya yang tadi dekat pemuda-pemuda itu seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu!

“Jaman sekarang ini orang-orang sudah lupa akan keadaan asalnya, lupa akan dirinya sebagai manusia makhluk yang paling tinggi derajatnya. Orang-orang sekarang hidup menurutkan nafsu duniawi, lebih jahat dari pada binatang yang tidak memiliki akal budi, lebih kejam dari pada setan. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya mengisap yang miskin, di dunia mana ada keadilan?”

Melihat kakek aneh itu datang lagi tanpa menderita sesuatu, para pemuda menjadi lega hatinya. Akan tetapi mereka merasa tidak enak melihat kakek ini bicara sendiri. Seorang diantara mereka berkata. “Akan tetapi, lopek, bagaimana kau bisa bilang tidak ada keadilan sedangkan kita mempunyai pemerintah dan banyak terdapat pemimpin-pemimpin?”

Kakek itu tersenyum mengejek. “Pemimpin? Yang mana yang kau maksudkan pemimpin?”

“Lho... bukankah para pejabat pemerintah yang berpangkat tinggi itu biasanya disebut pemimpin?” kata si pemuda.

“Hah, orang-orang berpangkat itu kau anggap pemimpin? Cih, mereka memualkan perut saja!” kata si kakek dengan lagak lucu sehingga pemuda-pemuda itu timbul lagi keberanian mereka dan tertawa, biarpun perlahan-lahan dan tertahan.

Sementara itu, dua orang penjaga sudah melangkah maju lagi. Mereka tidak melihat kembalinya si kumis dan mengira kakek ini tentu telah dimaafkan oleh si kumis, atau mungkin sekali di luar kakek ini sudah melakukan siasat menyogok. Siapa tahu kakek yang pakaiannya rapi ini mempunyai banyak uang dan suka menyogok. Maka dua orang penjaga inipun mengharapkan keuntungan dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyeret kakek itu keluar, seorang menarik sebelah lengan.

“Eh, eh... kalian ini mau apa sih?” tanya kakek itu sambil meronta-ronta, namun ia tak dapat terlepas dan terus diseret keluar.

“Kau tidak tahu aturan, membikin ribut saja di sini. Kau memang ingin mampus barangkali!” bentak seorang di antara dua penjaga itu.

Kembali para pemuda menanti dengan gelisah untuk beberapa lama dan... sekali lagi kakek itu muncul sendiri dari depan pintu, berjalan tenang seperti tadi dan duduk lagi. Dua orang penjaga itu tidak kelihatan masuk lagi!

“Orang-orang berpangkat tak boleh sekali-kali kalian anggap mereka itu pemimpin, apa lagi pemimpin rakyat. Mereka itu hanya pembesar-pembesar yang besar mulut besar kepala, dan besar perut! Besar mulut karena pandai sekali bicara menina-bobokkan rakyat, besar kepala karena mengandalkan kedudukan berlaku sewenang-wenang dan besar perut karena mereka melakukan korupsi dan mbadok (makan) uang rakyat dan negara untuk menggendutkan perut dan kantong sendiri! Pembesar-pembesar macam ini adalah penjahat-penjahat yang berkedok pangkat, mereka ini lebih berbahaya dari pada penjahat biasa, karenanya aku benci sekali kepada mereka.”

Kakek itu bicara dengan bernafsu dan agaknya ia sama sekali tidak pernah terganggu oleh penjaga-penjaga yang tadi menyeretnya keluar. Sebenarnya apakah yang telah terjadi? Pertanyaan inipun memasuki benak para penjaga lain, akan tetapi selagi mereka hendak keluar. Dari luar masuk dua orang wanita cantik berbaju hijau dan ungu!

Dua orang wanita ini masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya cantik-cantik dan pakaiannya mewah. Akan tetapi sikap mereka angker dan pedang yang menggemblok dipunggung menandakan bahwa mereka bukanlah wanita sembarangan. Dengan langkah tenang, tanpa menengok ke kanan kiri mereka langsung menuju ke anak tangga yang menyambung ruangan itu ke loteng.

Akan tetapi melihat pemuda-pemuda yang berada di situ, mereka melirik dan sedikit senyum, membuat hati para pemuda itu menjadi berdebar tertarik. Sikap dua orang wanita ini begitu bertemu dengan pemuda-pemuda menjadi genit! Akan tetapi, tiba-tiba dua orang wanita itu mengerling ke arah pemuda yang duduk di pojok dan... mereka menahan tindakan kaki, lalu tersenyum lebar, saling pandang dan saling berbisik.

“Sayang kita ada urusan penting...” terdengar si baju hijau berbisik. Kemudian mereka melangkah ke anak tangga, sedikitpun tidak perduli kepada para penjaga Hai-liong-pang yang menjaga di kanan kiri tangga.

Seorang penjaga melangkah maju memalangkan gagang tombaknya di depan dua orang wanita itu. “Loteng sudah diborong oleh Pangcu kami, harap nona-nona turun.”

Si baju hijau tersenyum manis dan menyentuh gagang tombak itu dengan dua jari tangannya yang runcing dan halus. “Kalian ini penjaga macam apakah? Tidak tahu bahwa kami datang dari Pek-go-to hendak menemui Hai-liong-Pangcu?”

Penjaga itu kaget dan melangkah mundur, tiba-tiba mukanya berubah pucat karena tahu-tahu gagang tombaknya telah patah menjadi dua!

Dua orang wanita muda itu dengan langkah menggairahkan menaiki tangga loteng sambil tersenyum-senyum. Para penjaga menjadi gelisah untuk beberapa lama. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa tokoh Pek-go-to yang hendak dijamu oleh para Pangcu mereka ternyata adalah dua orang wanita muda dan cantik.

Akan tetapi alangkah hebat kepandaian dua orang wanita itu terbukti bahwa sekali sentuh dengan jari tangan, gagang tombak seorang penjaga telah patah menjadi dua! Untuk beberapa lama mereka lupa akan kakek aneh dan lupa mengapa para penjaga yang tadi menyeret kakek itu tidak nampak masuk kembali ke dalam ruangan.

Akan tetapi para pemuda yang menemani kakek itu timbul hati curiga dan diam-diam seorang di antara mereka melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi di luar. Tak lama kemudian ia masuk kembali dengan wajah pucat, berbisik-bisik kepada kawan-kawannya dan segera mereka membayar makan dan minuman lalu bubar tergesa-gesa, memandang kepada kakek itu dengan kagum dan juga takut.

Tamu-tamu lain melihat gelagat tidak baik antara para penjaga dan kakek itu, juga berangsur-angsur bubar sehingga akhirnya di ruang bawah rumah makam itu tinggal si kakek, para penjaga dan orang muda bertopi yang duduk di pojok seorang diri.

Pemuda ini ternyata amat tampan berkulit muka halus, bermata jernih tajam, alisnya tebal menghitam, hidungnya mancung dan gerak-geriknya halus seperti seorang terpelajar. Pemuda ini amat tampannya, pantas saja kalau dua orang wanita cantik yang mempunyai sifat-sifat cabul dan genit itu tadi memandang dan berbisik-bisik...

Jilid selanjutnya,