Cheng Hoa Kiam Jilid 09 karya Kho Ping Hoo - “Bagus, orang-orang muda tak tahu apa-apa memang lebih baik lekas pulang ke rumah masing-masing.”

Kakek itu mengangguk-angguk bicara seorang diri. Karena pemuda-pemuda itu telah pergi dan telah membayar semua makanan dan minuman, maka kakek ini sekarang minum seorang diri dari guci arak besar dengan lahapnya. Sebentar saja mukanya sudah menjadi merah karena kebanyakan minum arak.
Kemudian ia menoleh kepada pemuda bertopi itu dan berkata mengerutkan kening, “Eh, anak muda. Kenapa kau masih di sini. tidak lekas pulang ke rumah ayah bundamu dan belajar membaca kirab kuno?”
Pemuda itu tersenyum, amat manis dan nampak ia amat sabar dan tenang. “Lopek, ke mana harus pulang? Aku seorang perantau, di mana aku berada di situlah rumahku, kadang-kadang berlantai bumi beratap langit.''
Mendengar jawaban ini, kakek itu nampak girang sekali. “Bagus, anak muda, kau seorang baik dan beruntung. Ha-ha-ha!” Ia mengangkat cawan araknya yang sudah ia penuhi lagi. “Senang bertemu dengan kau dan mari minum!”
Pemuda itupun mengangkat cawan araknya dan berkata, “Kesenangan berada di fihakku Lo-Enghiong yang perkasa. Aku yang muda kagum sekali melihatmu.”
Pada saat itu terdengar ribut-ribut di luar rumah makan. Ternyata para penjaga yang melanjutkan pemeriksaannya di luar, melihat hal yang amat aneh. Di halaman rumah makan itu bergeletakan tubuh para penjaga yang tadi menyeret kakek itu keluar, berada dalam keadaan tidak berdaya, pingsan terpukul atau tertotok!
Setelah melihat bahwa kakek iltu bukan orang biasa dan telah merobohkan tiga orang penjaga, para anggauta Hai-Iiong-pang menjadi marah sekali. Dengan senjata tombak, pedang atau golok mereka menghampiri kakek itu dan seorang di antara mereka membentak,
“Keladi tak tahu diri, kau berani menghina kami orang-orang Hai-Iiong-pang?” Sebentar saja kakek itu dikurung oleh belasan orang Hai-liong-pang yang sikapnya mengancam.
Akan tetapi kakek ini tenang-tenang saja, malah segera menggunakan dua jari tangan menjepit sumpit yang tadi menancap meja dilempar oleh Phang Hui. lalu berkata, “Kalian ini diperintah menjaga tiga orang Pangcumu di loteng, mengapa memusuhi aku yang berada di bawah? Kawan-kawanmu tadi menyeretku keluar, mereka yang tidak becus merangketku sekarang kalian hendak menyalahkan aku. Aturan mana ini?” katanya sambil tertawa-tawa dan melanjutkan minum araknya.
“Kami yang akan merangketmu!” bentak seorang Hai-Iiong-pang sambil membacokkan goloknya.
Kakek itu tidak menghentikan minumnya, hanya menggerakkan sumpit bambu di tangannya. Si penyerang menjerit kesakitan, goloknya terlempar dan ia berjingkrak-jingkrak ke belakang sambil memegangi lengan kanannya yang telah kena ditotok sumpit, sakitnya bukan buatan!
Orang-orang Hai-liong-pang yang lain berseru-seru marah dan segera menghujankan senjata mereka kepada kakek itu. Terdengar bunyi suara nyaring “trang-tring-trang-tring!” ketika kakek itu dengan cekatan menggunakan sumpit di tangan kanan dan cawan arak di tangan kiri untuk menangkis semua serangan orang-orang Hai-Iiong-pang itu, disusul oleh semburan arak dari mulutnya.
“whirr-whirr-whirr!” Semburan arak dari mulut orang biasa tentu hanya akan membasahi muka dan pakaian orang seperti datangnya air hujan saja, akan tetapi semburan arak dari mulut kakek ini jauh berlainan.
Para pengeroyok itu menjerit kesakitan dan di lain saat mereka lari pontang-panting keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka yang terasa sakit-sakit seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum yang runcing! Sebentar saja para pengeroyok itu habis berlarian keluar, tidak tahan menghadapi kakek yang ternyata seorang berilmu tinggi ini.
Pemuda sasterawan yang duduk di pojok mengangguk-angguk kepala perlahan dan matanya berkilat. “Seorang tokoh Kun-lun-pai...!” bisiknya perlahan kepada diri sendiri.
Sementara itu, tiga orang ketua Hai-liong-pang yang mendengar suara ribut-ribut sudah cepat muncul di kepala tangga. Alangkah kaget dan marah hati mereka ketika melihat anak buah mereka kocar-kacir dan lari cerai-berai oleh amukan seorang kakek yang tadi mereka anggap sebagai seorang tukang dongeng yang sedang dijamu oleh serombongan orang muda.
Akan tetapi Phang Cu yang paling cerdik segera dapat melihat bahwa kakek itu bukanlah orang biasa, maka ia cepat berseru ke bawah, “Sahabat yang berada di bawah, kalau orang-orang Hai-liong-pang kami lalai tidak mengadakan penyambutan sebagai tamu, silahkan naik. Arak dan daging kami masih berlimpah-limpah di sini!”
Kakek itu memandang ke atas lalu tertawa. “Ha-ha-ha, perut! Kau mimpi apa semalam? Baru saja ada yang menjamu, sekarang ada yang menawari arak dan daging. Akan tetapi rejeki tak layak ditolak dan tidak saban hari perut mendapatkan rejeki bertumpuk-tumpuk. He. kawan muda perenung, jangan kau mimpi siang di pojok itu, ada orang-orang menawari arak dan daging, mari-mari jangan sungkan, seji sipun (yang sungkan tak kebagian)!” Katanya kepada pemuda sasterawan yang duduk di pojok.
Pemuda itu tersenyum, mengangguk dan bangkit berdiri lalu bersama kakek itu menaiki tangga loteng. Mereka dipersilahkan duduk menghadapi meja penuh hidangan dan mereka melihat betapa dua orang wanita muda cantik tadi tengah duduk minum arak.
Tanpa malu-malu lagi kakek itu lalu duduk dan menggayam daging, terus didorong arak memasuki perutnya. Sebaliknya pemuda itu hanya minum sedikit arak tidak perduli sama sekali betapa dua pasang mata yang bening dan genit mengerling-ngerling disertai bibir merah tersenyum-senyum memikat.
“Kongcu tinggal di mana dan siapakah nama yang mulia?” si baju hijau langsung bertanya dengan merdu dan senyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang putih seperti mutiara.
Pemuda itu sekali lagi mengirup araknya untuk menyembunyikan rasa malu dan jengah. Belun pernah selama hidupnya ia menghadapi rayuan wanita, apa lagi wanita yang tanpa malu-malu memperlihatkan kegenitan dan bertanya rumah dan nama pada seorang pria yang baru saja dijumpainya!“Aku sebatangkara, tidak ada tempat tinggal yang tetap...” jawabnya.
Si baju ungu tertawa kecil. “Iiih... agaknya kongcu belum mau memperkenalkan nama karena kamipun belum memperkenalkan diri. Dia ini enci Cheng Po dan aku Ang Po. Kami enci adik saudara-saudara angkat. Kongcu siapakah?”
Pemuda itu nampak bingung dan kakek itulah yang tertawa lebar menjawab. “Datang-datang ditanya nama, perlu apa sih? Waktu lahirpun tidak bernama kalau sudah mati nama dilupakan orang! Kami berdua datang atas undangan, paling perlu makan minum. He, kau ini siucai atau bukan kupanggil siucai (sasterawan) saja. Hayo lekas sikat habis daging-daging itu.” Kakek itu tertawa terbahak.
Phang Kong bangkit berdiri, menyambar cawan arak di depan kakek itu yang telah kosong lalu mengisinya dengan arak dari guci sambil berkata. “Kami tiga orang saudara She Phang ketua Hai-liong-pang berlaku kurang hormat, ada orang gagah di ruang bawah sampai tidak tahu. Harap maafkan dan biarlah siauwte minta maaf dengan secawan arak!”
Ia terus menuangkan arak itu, dan biarpun sudah penuh dituang terus. Arak sampai naik lebih tinggi dari pada pinggiran cawan, akan tetapi anehnya tidak meluber dan tidak tumpah keluar seakan-akan arak itu telah menjadi beku!
Inilah demonstrasi tenaga lweekang yang tinggi. Dengan hawa lweekangnya. Phang Kong telah mempergunakan tenaga menyedot melalui cawan sehingga biarpun isi cawan melebihi batas namun tidak tumpah keluar. Dengan cawan yang terlalu penuh ini Phang Kong menghampiri kakek itu dan memberikan cawan.
Maksudnya kalau kakek itu menerima cawan dan ternyata kurang pandai, pasti arak kelebihan di cawan itu akan tumpah membasahi tangan dan pakaian sehingga kakek itu mendapatkan hajaran.
Pula ini adalah sebagai ujian, kalau kakek itu ternyata tidak berkepandaian tinggi, dapat “dilempar” ke luar sebagai pembalasan. Kakek itu memandang ke arah cawan yang diangsurkan kepadanya, tertawa ha-ha-he-he. tidak segera menerimanya.
"Waah... kok penuh amat? Mana perutku kuat menerimanya? Jangan penuh-penuh, pang-cu. jangan sungkan-sungkan, bikin malu saja." Kakek itu meniup dengan mulutnya ke arah arak di cawan. Arak itu muncrat dan menyiram muka Phang Kong tanpa dapat dicegah lagi.
Ketua nomor satu dari Hai-liong-pang itu kaget dan kesakitan, akan tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, cawan yang dipegangnya telah berpindah tangan! Kini cawan itu tidak seperti tadi isinya hanya penuh saja, tidak lebih seperti tadi.
Sambil tersenyum-senyum kakek itu menanti sampai Phang Kong dapat membuka kembali matanya dan menyusut mukanya yang basah, lalu sambil mengangguk dan menjura ia mengangkat cawan itu, berdongak sambil membuka mulut dan menuang cawan ke arah mulutnya.
Aneh bin ajaib! Arak itu tidak mau mengalir turun, seolah-olah telah membeku di dalam cawan. Ini namanya saling memamerkan lweekang tingkat tinggi. Kalau tadi Phang Kong hanya menahan arak itu tidak meluber saja, sekarang kakek itu malah menjungkir-balikkan cawan dan arak itu tidak tumpah!
"Arak pangcu enak betul, terima kasih." kata kakek itu dan membalikkan lagi cawannya lalu minum arak itu seperti biasa, seperti lajimnya manusia minum arak dari cawannya. Muka Phang Kong menjadi merah sekali karena dalam demonstrasi ini sudah terang ia mendapat malu, selain kalah juga ia mendapat hadiah, mukanya disiram arak.
Phang Cu sudah melangkah maju. Orang ke dua dari ketua-ketua Hai-Iiong-pang ini selain cerdik, juga memiliki tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat besar, juga ia seorang ahli pedang yang cekatan dan lihai. Ia pikir bahwa mengadu lweekang dengan kakek ini takkan ada gunanya.
Juga kalau menyerang begitu saja berarti mencemarkan nama kehormatannya sebagai pangcu Hai-liong-pang, apa lagi di situ ada tamu-tamu terhormat seperti utusan dari Pulau Pek-go-to itu. Sambil tersenyum. Phang Cu mempergunakan sebatang sumpit, menusuk sepotong daging lalu menghampiri kakek itu.
"Orang tua yang gagah, kakakku sudah menyuguh minuman, biar aku pangcu ke dua dari Hai-liong-pang menyuguh daging kepadamu dan kepada siucai muda itu, masing-masing sepotong!" Begitu kata-katanya habis diucapkan, sumpit yang ada daging di ujungnya itu ia gerakkan menusuk ke arah mulut kakek tadi!
"Kamsia.... (terima kasih)!" kakek itu berkata sambil membuka mulutnya dan....” Cappp!" daging memasuki mulutnya berikut sumpit.
Sumpit itu bukan hanya dimasukkan saja melainkan ditusukkan dan kalau penerimanya kurang pandai sudah pasti sumpit itu akan melukai tenggorokan yang berarti orangnya akan tewas. Akan tetapi hebatnya, setibanya di mulut, sumpit itu macet tidak dapat terus tidak dapat ditarik kembali. Phang Cu menarik dan membetot sia-sia belaka biarpun ia memiliki tenaga sebesar tenaga gajah.
Pada saat Phang Cu mengerahkan semua tenaganya, kakek itu tiba-tiba melepaskan gigitannya dan Phang Cu terdorong ke belakang oleh tenaganya sendiri, menabrak bangku sampai roboh. Baiknya ia terdorong terus ke arah wanita baju ungu yang tersenyum manis dan berkata. "Ji-pangcu, hati-hati sedikit!"
Sambil menggerakkan tangan kiri menahan ke depan. Phang Cu tertahan dan tidak jadi jatuh oleh gerakan ini. Diam-diam kakek itu menjadi kaget melihat kekuatan lweekang dari jarak jauh ini dan maklum bahwa kepandaian wanita itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaian tiga orang ketua Hai-liong-pang.
Phang Cu menjadi merah sekali mukanya. Setelah ia dipermainkan oleh kakek itu, ia tidak ada muka lagi untuk melanjutkan penyuguhan daging kepada siucai muda kawan kakek itu, maka ia lalu menjura dan berkata, "Biarlah penyuguhan daging kepada siucai muda ku wakilkan kepada sam-te saja."
Memang Phang Cu ini orangnya cerdik. Setelah melihat betapa kakaknya dan dia sendiri tidak nempil kepandaiannya melawan kakek itu, ia maklum bahwa Phang Hui juga bukan lawannya. Oleh karena itu, untuk bisa mencuci malu karena dua kali kalah tadi.
Ia sengaja hendak mewakilkan penyuguhan daging kepada siucai itu pada adiknya. Ia maklum betapa berangasan adanya Phang Hui dan kalau Phang Hui didiamkan saja tentu akan melakukan sesuatu terhadap kakek lihai itu dan akhirnya menderita kekalahan yang lebih memalukan lagi.
Phang Hui memang orangnya pemarah dan keberaniannya luar biasa Mendengar bahwa ia disuruh menjadi wakil menyuguh daging kepada siucai muda yang nampaknya lembah lembut itu ia tertawa girang. Memang sejak tadi ia merasa iri hati dan cemburu melihat betapa dua orang tamu wanita itu kelihatan amat tergila-gila kepada siucai.
Dia sendiri terkenal paling mata keranjang di antara saudara-saudaranya dan sejak tadi semangatnya sudah terbang sebagian besar ketika melihat bahwa tamu-tamunya adalah dua orang wanita yang cantik-cantik. Dengan langkah lebar ia menghampiri meja di depan siucai itu. lalu mencabut sebuah pisau belati. Dengan pisau yang runcing tajam mengkilap ini ia menusuk sepotong bakso yang kecil, lalu menghampiri siucai tadi.
"Kau siucai yang masih muda, mulutmu kecil, maka perkenankan aku menyuguh cacahan daging yang kecil pula!"
Karuan saja si siucai menjadi gelagapan dan nampak bingung dan takut. Siapa yang tidak takut kalau membayangkan bahwa cara menyuguh bakso itu dilakukan dengan menusukkan pisau runcing itu ke mulut? Kalau meleset bibir bisa suwing, kalau tepat tenggorokan bisa bolong!
"Tahan, sam-pangcu!" Si baju hijau mencegah dengan suara lembut akan tetapi amat berpengaruh. "Siucai ini tidak ikut apa-apa, hanya terbawa oleh kakek itu. Penghormatan secara itu patut diberikan kepada si kakek!”
Tentu saja Phang Hui menjadi makin mendongkol. Memang ia sudah cemburu dan iri, sekarang si baju hijau yang manis itu mencegah ia mencelakakan siucai tampan itu, perutnya menjadi makin panas.
"Dia sudah berani naik ke sini, mengapa takut menerima suguhan?" bantahnya.
Semenjak dua orang wanita itu naik ke loteng, tiga orang ketua Hai-liong-pang memang belum sempat menyaksikan kelihaian mereka. Dua orang wanita itu hanya datang memperkenalkan diri bahwa mereka adalah utusan dari Thai Khek Siansu di Pek-go-to dan datang untuk memberi peringatan kepada Hai-liong-pang bahwa di wilayah Kepulauan Couw-san-to, yang berdaulat dan berkuasa adalah Thai Khek Siansu dan setiap perahu Hai-Iiong-pang harus menghormati peraturan-peraturan yang ditentukan oleh Thai Khek Siansu!
Sebelum perundingan itu dibicarakan selesai, keburu naiknya kakek yang mengganggu pertemuan itu. Oleh karena belum mengetahui kelihaian dua orang utusan dari Pek-go-to itu, maka Phang Hui berani membantah dan ketua ke tiga dari Hai-Iiong-pang ini melanjutkan maksudnya, menusukkan pisau berujung bakso itu ke arah mulut siucai tadi.
"Trang.... auupp!" Pisau itu terlepas dari tangan Phang Hui dan sial baginya, bakso di ujung pisau itu mencelat dan secara kebetulan sekali memasuki mulutnya yang terbuka karena kagetnya.
"Ha-ha-ha-ha. aduh lucunya! Sam-pangcu dari Hai-liong-pang benar-benar pandai membadut. Lihai sekali cara makan bakso seperti itu, beberapa mangkok bakso bisa lenyap dalam sekejab mata kalau menggunakan cara seperti tadi. Sekali lagi. sam-pangcu. sekali lagi biar lohu melihat dan menikmati!"
Siucai yang tadi ketakutan, melihat kejadian ini dan mendengar omongan kakek itu menjadi geli dan ikut tertawa. Phang Hui memandang kepada wanita baju hijau yang telah menyambit pisaunya dengan sumpit sehingga pisaunya tadi terlepas dari tangan dan bakso masuk ke dalam mulut terus menggelinding memasuki perutnya.
Ia hendak marah kepada wanita baju hijau itu, akan tetapi agak jerih karena dari sambitan tadi ia tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Kemudian, mendengar suara ejekan kakek tadi, semua kemarahannya sekaligus berpindah kepada kakek itu.
Malah makin memuncak. Tubuhnya yang gemuk pendek kelihatan makin pendek lagi ketika ia mencabut sebuah golok panjang dari pinggangnya dan menghampiri kakek itu dengan tubuh agak direndahkan, siap untuk menerjang seperti seekor harimau mengintai korban.
"Setan tua, kau berani menghina Koai-to Phang Hui?" serunya marah sekali, mukanya merah dan lubang hidungnya berkembang-kempis.
Memang Phang Hui terkenal akan ilmu goloknya maka mendapat nama poyokan Koai-to (Si Golok Setan). "Tuanmu akan membikin kau menjadi setan tak berkepala!" Cepat golok besar itu menyambar, bersiut suaranya mendatangkan angin, bergemerlapan mengerikan.
"Aaiiit, aduh galaknya. Agaknya yang kau makan tadi bakso perangsang, obat kuat penambah semangat!" Si kakek tetap mengejek tenang, akan tetapi secepat kilat tangan kirinya menyambar mangkok kuah dan tangan kanannya siap dengan jari tangan terbuka. Di lain saat, ketika tangan kirinya digerakkan, semangkok kuah panas menyambar muka Phang Hui dengan kecepatan yang sukar dielakkan lagi.
"Celaka....!" Phang Hui berseru kaget, cepat melompat mundur dan miringkan mukanya. Akan tetapi tetap saja kuah itu menyemprot leher dan pundaknya, sampai basah kuyup. Kalau lidah yang sudah biasa akan kuah panas, agaknya akan merasa segar kalau disiram kuah itu, akan tetapi kulit leher dan pundak yang tidak biasa, seketika menjadi merah dan panasnya membuat Phang Hui jingkrak-jingkrak dan kelejetan.
"Aauphh... panas... panas...!" ia mengaduh-aduh. Akan tetapi suaranya itu tiba-tiba berhenti dan ia terguling roboh terkena totokan jari tangan kanan kakek yang lihai itu.
Kini Phang Kong dan Phang Cu kaget sekali. Mereka tidak nyana bahwa hari ini selagi mengadakan pertemuan dengan orang-orang Pek-go-to yang belum mereka ketahui bagaimana lihainya, tahu-tahu muncul orang asing yang datang-datang terus saja membikin kacau dan ternyata amat lihai. Keduanya melompat maju menghadapi kakek itu.
"Hemm, sobat yang memperlihatkan kepandaian dan sengaja mencari perkara dengan Hai-liong-pang, sebetulnya siapa dan dari manakah? Apa alasannya pula datang-datang sengaja memusuhi Hai-liong-pang?" tanya Phang Kong sambil mencabut pedangnya, juga Phang Cu mencabut pedangnya yang tipis dan agak melengkung bentuknya seperti senjata orang-orang dari barat.
Kakek itu kini berkata dengan suara sungguh-sungguh "Sudah lama aku mendengar bahwa di daerah ini muncul Hai-liong-pang yang benar-benar merupakan hai liong (naga laut) yang jahat bagi rakyat nelayan. Oleh karena aku paling tidak suka mendengar adanya binatang binatang laut yang mengganas di darat, aku sengaja hendak menyelidiki ke sini dan ternyata memang Hai-Iiong-pang mempunyai kaki tangan yang ganas sekali.
"Kalau saja kepalanya tidak jahat dan dapat mengatur keadilan, menekan dan melenyapkan keganasan kaki tangannya, mengatur agar supaya rakyat nelayan dapat hidup beruntung dan cukup sandang pangan, aku orang tua akan pergi dengan senang dan tidak mau mencampuri urusan orang. Biar orang jangan panggil aku Seng-goat-pian Kam Ceng Swi lagi kalau aku suka mencampuri urusan orang lain yang tidak bersifat menindas rakyat jelata."
Mendengar nama ini, Phang Kong dan Phang Cu kelihatan kaget sekali. Memang Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh Kun-lun yang amat terkenal sebagai seorang pendekar yang budiman, terkenal pula kelihaian dengan senjatanya yang istimewa, yaitu tali yang kedua ujungnya terdapat senjata tajam berbentuk bulan dan bintang. Karena senjata ini maka ia mendapat julukan Seng-goat-pian (Senjata Pian Bintang Bulan).
"Kami Hai-liong-pang tidak ada permusuhan dengan fihak Kun-Iun-pai, juga kami adalah nelayan-nelayan yang menyewakan perahu, hidup mengandalkan nasib baik di tengah laut mencari ikan. Bagaimana kau bisa menyebut kami penjahat-penjahat pemeras rakyat nelayan?” kata Phang Cu.
Kam Ceng Swi tertawa bergelak. "Kalau di dunia ini semua orang dapat melihat dan mengakui kesalahan sendiri, dunia akan menjadi aman dan tenteram. Kalau ketua-ketua Hai-liong-pang dapat melihat kesalahan sendiri, Hai-liong-pang tidak akan menjadi Hai-liong-pang yang sekarang ini!
"Oleh karena tak dapat melihat sendiri, aku membantu kalian melihat kesalahan itu dan merobahnya. Melarang nelayan menggunakan perahu sendiri, merampas perahu, menyewakan perahu-perahu dengan aturan seenaknya sendiri, memungut hasil terbesar dan membagi kepada nelayan hanya asal mereka tidak kelaparan, bukankah ini memeras namanya?”
Phang Kong tak dapat menahan marahnya lagi. "Orang she Kam! Kau sombong amat. Kau ini berhak apakah hendak mengatur pekerjaan dan cara hidup kami?”
Phang Cu juga sudah marah. "Persetan dengan dia, twako. Dikiranya kita takut. Serang!"
Dua batang pedang dengan cepatnya meluncur dan menyerang Kam Ceng Swi. Tokoh Kun-lun ini mengeluarkan suara mengejek. Ia membuat gerakan aneh dengan kaki tangan dan tubuhnya.
"Traangg....! Traaangg....!"
Dua saudara Phang itu melompat mundur dan menjadi terkejut sekali karena mereka merasa tangan mereka menjadi pegal-pegal setelah pedang mereka ditangkis oleh senjata bulan di ujung kiri tali yang tahu-tahu sudah berada di tangan Kam Ceng Swi.
"Kalian memang benar jahat, tidak cukup dihajar dengan kata-kata," kata Kam Ceng Swi dan sebelum dua orang pengeroyoknya sempat tergerak menyerang, ia telah memutar senjatanya lebih dulu dan di lain saat dua orang saudara Phang itu menjadi sibuk tidak karuan.
Dalam pandangan mereka, seakan-akan segala bintang dan bulan di langit runtuh berhamburan, menyambar-nyambar ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa sampai mata mereka menjadi berkunang! Mereka masih berusaha mengerahkan tenaga dan kepandaian, memutar pedang melindungi diri dan balas menyerang, namun ternyata mereka hanya dapat bertahan belasan jurus saja.
Tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, tahu-tahu secara berturut-turut pedang mereka telah terlibat tali dan dibetot terlepas dari tangan mereka! Sebelum mereka dapat melompat mundur, senjata bintang telah menghantam pinggang Phang Kong dan senjata bulan menghamtam pundak Phang Cu, membuat dua orang ketua Hai-liong-pang itu terjungkal dan merayap-rayap mundur dalam keadaan terluka, tidak membahayakan jiwa akan tetapi cukup parah.
Tiba-tiba berkelebat bayangan hijau dan ungu dan dua sinar berkeredepan menyambar ke arah tubuh Kam Ceng Swi.
"Ayaaaa... lihai sekali....!” seru tokoh Kun-Iun ini dengan kaget. Baiknya ia dapat bergerak luar biasa cepatnya, memutar senjata Seng-goat-pian sedemikian rupa sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh benteng baja dan dua batang pedang yang menyerangnya tadi terpaksa ditarik mundur.
Akan tetapi Kam Ceng Swi merasa sesuatu tak beres dan ketika ia memperhatikan, ternyata ujung lengan baju kirinya sudah terbabat putus. Keringat dingin membasahi jidatnya ketika ia berkata perlahan, "Berbahaya sekali...." Dan ia berdiri tegak memandang ke arah dua orang wanita muda yang tahu-tahu sudah berdiri di depannya dengan pedang terhunus di tangan, sikap mereka keren.
"Orang-orang Kun-lun-pai dari Pek Mau Sianjin sampai kepada murid-muridnya, semua adalah manusia-manusia usil yang gatal tangan, suka mencampuri urusan orang lain! Kiranya murid Kun-lun yang bernama Seng-goat-pian. Kam Ceng Swi juga tidak terkecuali!" kata wanita baju hijau sambil tersenyum, akan tetapi matanya bersinar tajam menyambar ke arah kakek itu.
Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh kang-ouw yang sudah banyak pengalaman. Dari serangan satu gebrakan tadi saja tahulah ia bahwa biarpun dua orang wanita di depannya ini masih muda-muda, namun agaknya memiliki kepandaian ganas dan lihai yang tak boleh dipandang ringan sama sekali. Maka ia menjura dan berkata, juga dengan senyum.
"Tidak lohu (aku yang tua) sangkal, kata kata lihiap memang tepat. Orang Kun-lun-pai memang selalu mencampuri urusan orang, yaitu urusan yang tidak-adil. Memang murid-murid Kun-lun-pai belajar ilmu silat untuk membela yang lemah membasmi yang jahat, maka selalu mencampuri urusan orang lain. Bukankah demikian pula dengan semua murid partai persilatan seperti Siauw-lim-pai. Go-bi-pai, Hoa-san-pai; Kong-thong-pai dan yang lain-lain?"
Dengan kata-kata ini Kam Ceng Swi hendak bertanya sebetulnya dua orang itu dari partai mana karena terus terang saja dalam segebrakan tadi ia tidak dapat mengenal gaya ilmu silat pedang mereka.
Akan tetapi si baju hijau menjawab sambil tersenyum mengejek, "Itu kan menurut pendapatmu. Kalau menurut pendapat kami, orang yang mencampuri urusan lain orang adalah orang-orang usilan yang patut dibasmi. Orang-orang Kun-lun. Siauw-lim. Go-bi dan lain-lain adalah manusia-manusia sombong yang menganggap diri sendiri paling gagah, paling baik dan paling bersih. Cih memuakkan perut!"
Kam Ceng Swi terkejut. Ucapan semacam ini hanya dapat dikeluarkan oleh orang-orang dari satu golongan saja, yaitu golongan sia-pai atau pemeluk Mo-kauw! Ia memang sudah mendengar berita selewat bahwa di antara pulau-pulau Couw-san-to terdapat pulau yang dijadikan sarang benggolan Mo-kauw.
"Hemm, agaknya ji-wi mewakili fihak Mo-kauw. Entah siapakah gerangan yang bertahta di Kepulauan Couw-san-to?”
"Kami adalah utusan dari Thai Khek Siansu, kau yang mengganggu tugas kami sudah seharusnya dihukum. Berlututlah!" kata wanita baju hijau.
Kam Ceng Swi berubah air mukanya. Tak dinyana sama sekali bahwa ia berhadapan dengan orang-orang utusan Thai Khek Sian, orang nomor satu dari fihak Mo-kauw, orang yang berilmu tinggi sekali, bahkan yang dikabarkan bukan manusia melainkan iblis sendiri yang turun ke dunia untuk memimpin para penjahat!
Dia maklum bahwa melawan mereka ini berbahaya sekali, dan kalau ia berlutut mungkin hukumannya ringan, sebaliknya melawan mereka berarti mati betapapun tinggi ilmunya! Akan tetapi, seorang pendekar gagah perkasa seperti Kam Ceng Swi, mana sudi berlutut minta ampun di depan penjahat? Dia bersedia mengalah dalam segala hal, bersedia sabar, akan tetapi berlutut minta ampun di depan utusan-utusan Thai Khek Sian? Tidak sudi!
"Sebelum Kam Ceng Swi mati, mana bisa kau menyuruh dia berlutut?" bentaknya dan senjata Seng-goat-pian di tangannya sudah diputar untuk melindungi dirinya.
"Kalau begitu kau harus mati!” bentak si baju hijau dan seperti sepasang sinar kilat dari angkasa, pedangnya dan pedang si baju ungu itu tahu-tahu sudah menyambar cepat sekali.
Kam Ceng Swi menangkis dan terjadilah pertempuran hebat dan sengit di loteng rumah makan Tung-thian itu. Seng-goat-pian Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh persilatan yang lihai. Selain ilmu silatnya yang ia warisi dari Kun-lun-pai di mana merupakan tokoh pertengahan, juga sebagai seorang pembesar militer Kerajaan Cin dahulu, ia memiliki pengalaman luas dalam soal persilatan.
Inilah sebabnya maka ia dapat menciptakan senjata aneh seperti Seng-goat-pian yang agaknya hanya satu-satunya di dunia kang-ouw. Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmunya, hanya sedikit di bawah tingkat ketua Kun-lun-pai sendiri. Pek Mau Sianjin, oleh karena Kam Ceng Swi mendapat pimpinan langsung dari seorang jago tua Kun-lun, susiok dari Pek Mau Sianjin yang bernama Liong Tosu.
Akan tetapi, kali ini menghadapi dua pedang di tangan dua orang wanita utusan dari Pek-go-to ia benar-benar menjadi sibuk sekali. Belum pernah ia melawan ilmu pedang yang begini anehnya, aneh cepat dan ganas sekali, ilmu silat yang sama sekali tidak mengandung keindahan dan agaknya penciptanya tidak memperdulikan segi keindahannya, melainkan khusus setiap gerakan untuk mematikan lawan!
Kam Ceng Swi mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, piannya yang berujung bulan sabit dan bintang itu digerakkan cepat untuk melindungi tubuh dan untuk balas menyerang. Namun ia hanya dapat bertahan sampai limapuluh jurus saja. Piannya mulai menyempit gerakannya, gulungan sinar pian yang tadinya panjang menjadi pendek dan kecil, tanda bahwa ia mulai terkurung dan hanya mampu mempertahankan diri secara mati-matian saja.
"Seng-goat-pian Kam Ceng Swi, hayo lempar senjata dan berlutut minta ampun!" terdengar si baju ungu membentak sambil mendesak terus.
"Kam Ceng Swi seorang jantan tulen, mana sudi berlutut di depan siluman-siluman betina?" bentak jago Kun-lun itu sambil bertahan mati-matian.
Baiknya senjatanya terbuat dari pada bahan yang kuat, juga talinya ulet sekali sehingga tidak sampai rusak oleh desakan dua pedang itu. Akan tetapi ia benar-benar sudah payah dan mengerti bahwa sebentar lagi ia tentu akan roboh.
Dalam saat yang amat berbahaya bagi Kam Ceng Swi jago Kun-Iun yang gagah perkasa itu, tiba-tiba terdengar pujian halus. "Seorang gagah seperti Seng-goat-pian Kam Ceng Swi pada waktu sekarang jarang terdapat, sungguh membikin orang kagum!"
Yang bicara ini ternyata adalah pemuda sasterawan tadi. Dia sudah berdiri dari bangkunya dan berjalan menghampiri tempat pertempuran. Di antara tiga orang ketua Hai-liong-pang, Phang Cu paling berat lukanya karena tulang pundaknya patah ketika terpukul oleh senjata bulan sabit dari Kam Ceng Swi.
Oleh karena itu, ketika Phang Kong dan Phang Hui maju menghadang siucai itu, ia tidak dapat ikut. Phang Kong sudah membawa pedang bengkoknya yang tadi ia pungut dari atas lantai, dan Phang Hui memegang goloknya. Sikap dua orang ini mengancam, karena merekapun hendak menumpahkan sakit hati mereka kepada siucai ini sebagai kawan Kam Ceng Swi.
"Cacing buku kau mau apa?" bentak Phang Hui dan goloknya ditodongkan di depan dada siucai itu, sikapnya mengancam sekali.
Siucai itu tersenyum tenang, sama sekali tidak takut biarpun ujung golok yang runcing itu sudah menempel di depan dadanya. Juga kini Phang Kong sudah menempelkan pedang bengkoknya ke lehernya!
"Kalian ini tadi sudah keok oleh Kam-lo-enghiong, kok sekarang hendak menjual lagak. Malu ah!"
Merah muka kedua orang ketua Hai-Iiong-pang itu. "Olehmu aku belum kalah!" bentak Phang Hui.
"Belek saja dadanya!" kata Phang Kong. Dia sendiri menggerakkan pedang dibacokkan ke leher sedangkan Phang Hui menusukkan goloknya ke dada. Agaknya siucai muda yang tampan dan halus gerak-geriknya itu akan mati konyol di situ. Demikian tentu pendapat semua orang kalau melihat adegan ini.
Akan tetapi benar-benar di luar dugaan karena tiba-tiba, entah mengapa, Phang Kong dan Phang Hui berhenti bergerak dan tubuh mereka kaku dalam sikap menyerang seperti tadi, seolah-olah mereka secara mendadak telah berubah menjadi batu.
"Dua orang perempuan tamu itu terlalu ganas, mengapa kalian tidak melarang?" kata lagi pemuda itu dan sekarang ia kelihatan menggerakkan kedua tangan ke arah Phang Kong dan Phang Hui, dan tubuh yang sudah kaku dari dua orang ketua Hai-liong-pang itu melayang ke tempat pertempuran!
Dengan tepat sekali dua tubuh ketua itu menimpa dua orang wanita utusan Pek-go-to yang sedang mendesak Kam Ceng Swi dengan pedang mereka! Tentu saja dua orang wanita itu kaget sekali melihat Phang Kong dan Phang Hui tiba-tiba datang menubruk mereka. Kalau saja mereka tidak melihat sikap yang aneh dari dua orang tuan rumah itu, tentu mereka akan menyambut dengan tusukan pedang.
Akan tetapi melihat gerak-gerik yang kaku dan tidak sewajarnya dari Phang Kong dan Phang Hui, dua orang wanita muda itu cepat melompat ke samping dan terpaksa meninggalkan Kam Ceng Swi yang dapat melangkah mundur terlepas dari desakan hebat.
"Bruk! Bruk!" Tubuh Phang Kong dan Phang Hui jatuh terbanting ke atas lantai, akan tetapi tetap saja mereka tidak bergerak dan kedudukan tubuh masih seperti tadi, dalam sikap menyerang! Benar-benar aneh dan lucu keadaan dua orang itu, seperti boneka-boneka besar digeletakkan di atas lantai.
Sekali pandang saja tahulah dua orang wanita itu bahwa Phang Kong dan Phang Hui telah kena ditotok orang dan mereka terkejut. Tidak mereka sangka bahwa siucai yang sekarang masih berdiri tersenyum-senyum itu ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian juga!
Sementara itu, Kam Ceng Swi yang biarpun sudah menduga bahwa pemuda ini memiliki kepandaian akan tetapi tidak mengira sedemikian lihainya sehingga bisa menolongnya dari bahaya maut, tertawa terbahak-bahak lalu piannya membuat suara "tar-tar-tar" diikuti oleh suara nyanyiannya,
"Pendekar sejati tidak memperlihatkan kegagahannya, ahli ilmu perang tidak menunjukkan kemarahannya, yang pandai mengagahkan musuh tidak bertengkar dengannya, yang pandai mengepalai orang merendahkan diri kepadanya. Inilah yang disebut; Sakti yang tidak merebut atau cara mempergunakan orang, atau penyesuaian dengan Langit!"
Nyanyian yang dinyanyikan oleh Kam Ceng Swi itu adalah sajak dari kitab To-tik-khing. dinyanyikan untuk memuji pemuda sasterawan itu. Kemudian ia menjura kepada pemuda itu dan berkata. "Sejak tadi lohu sudah menduga bahwa kau tentu seorang pendekar muda yang pandai sastera dan silat (bun-bu-coan-jai). Ternyata kenyataan jauh melampaui dugaan."
Pemuda itu tersenyum dan cepat-cepat membalas penghormatan orang. "Kam-lo-enghiong (orang tua gagah she Kam) terlalu memuji. Kaulah seorang tua yang patut dijadikan teladan, gagah berani dan bersemangat. Aku yang muda benar-benar tunduk dan takluk."
Dua orang ini bicara seakan-akan di situ tidak ada lain orang. Tentu saja perempuan-perempuan muda dari Pek-go-to menjadi mendongkol, lebih-lebih kepada Phang Kong dan Phang Hui yang mereka anggap tolol dan mendatangkan malu saja. Dengan ujung sepatu mereka yang runcing dan kecil itu mereka menendang tubuh Phang Kong dan Phang Hui yang dalam sekejab mata saja dapait bergerak lagi dan merayap bangun sambil mengaduh-aduh.
Melihat itu, pemuda sasterawan tadi diam-diam memuji. Dengan ujung sepatu dapat memulihkan totokan berarti telah memiliki ilmu tendangan yang hebat sekali, berarti pula dengan tendangan ujung kaki dapat menotok jalan darah orang. Pantas saja Kam Ceng Swi tidak dapat menangkan mereka, karena orang-orang yang sudah memiliki kepandaian seperti itu berarti telah mencapai tingkat yang tinggi.
Setelah membebaskan Phang Kong dan Phang Hui. Dua orang perempuan muda itu melangkah maju menghadapi pemuda itu. Kembali mereka tersenyum-senyum manis dan mata mereka memandang penuh gairah, mesra dan genit. Harus mereka akui bahwa jarang mereka bertemu dengan seorang pemuda setampan ini, dengan kulit muka yang putih halus, alis hitam tebal mata bersinar-sinar, hidung mancung dan bibir merah berbentuk bagus dan gagah.
"Kiranya kongcu yang bersikap lemah seperti seorang siucai juga memiliki ilmu silat yang tinggi. Sungguh mengagumkan sekali. Siauwmoi (adikmu yang muda) Cheng ln (Awan Hijau) dan ini ci-ciku Ang Hwa (Bunga Merah) mohon sedikit petunjuk dari kongcu yang ingin sekali kami ketahui namanya yang mulia."
Kata-kata yang keluar dari bibir merah gadis baju hijau itu amat merdu dengan suara mengalun naik turun, mesra menarik. Adapun si baju ungu yang bernama Ang Hwa itu melirak-lirik dengan senyum-senyum simpul pula.
Pemuda itu menjadi merah mukanya. Biarpun ia belum mempunyai pengalaman sama sekali dengan wanita dan tidak tahu apa maksud dua orang gadis cantik itu tersenyum-senyum dan melirak-lirik, namun perasaannya memberitahukan bahwa ia menghadapi dua orang perempuan cabul dan genit, membuat ia merasa jengah dan malu-malu. Akan tetapi karena mendengar ucapan orang merendah, iapun menjawab dengan suara menyindir.
"Biarpun kelihatan lemah aku seorang laki-laki sejati, apa anehnya memiliki sedikit kepandaian untuk menjaga diri? Sebaliknya, ji-wi adalah nona-nona muda yang kelihatan amat lemah, tidak nyana memiliki ilmu silat yang demikian ganas!"
Ang Hwa tertawa sambil menutupi mulut dengan tangan kirinya, pedangnya dilintangkan di depan dada dengan sikap aksi sekali. "Kongcu yang baik, dalam jaman seperti ini kalau kami wanita-wanita lemah tidak mengandalkan pedang dan kecepatan, bukankah kita ini hanya akan menjadi permainan pria seperti kembang-kembang yang tiada berduri dan tidak ada yang membela?" Ucapan ini disertai kerling mata yang amat menarik dan penuh arti. Akan tetapi mana pemuda itu mengerti?
”Kongcu telah mengetahui nama kami, akan tetapi pertanyaan adikku Cheng In tadi belum kongcu jawab. Siapakah nama besar kongcu dan dari partai mana?”
Pemuda itu tersenyum dan kembali hati dua orang perempuan itu dak-dik-duk tidak karuan. "Orang seperti aku ini mana mempunyai nama besar? Diberi tahu juga tidak akan kenal. Akan tetapi agar jangan disangka orang aku menyembunyikan nama dan takut dikenal orang, biarlah ji-wi ketahui bahwa aku she Thio bernama Wi Liong. Dari partai mana aku sendiripun tidak tahu karena sepanjang pengetahuanku, aku tidak masuk partai mana-mana dan hanya mempelajari sedikit ilmu penjaga diri."
Mendengar pemuda itu menyebut namanya Seng-goat-pian Kam Ceng Swi mendengarkan penuh perhatian. Ia merasa pernah mendengar nama Thio Wi Liong ini akan tetapi sudah lupa lagi entah kapan dan di mana.
Tentu pembaca masih ingat akan nama ini. Tak salah, pemuda ini adalah bocah yang dahulu dibawa oleh pamannya, Kwee Sun Tek, ke puncak Kun-lun-san untuk mencari tokoh Siauw-lim yang berada di puncak. Pemuda ini adalah putera tunggal Thio Houw dan Kwee Goat yang telah tewas oleh guru mereka sendiri, Beng Kun Cinjin dan anak buahnya, yaitu para pengawal istana Jengis Khan!
Seperti telah dituturkan di bagian depan, ketika Thio Wi Liong dibawa naik ke puncak Kun-lun-san oleh pamannya yang telah buta oleh Beng Kun Cinjin. terjadi keributan di puncak itu dengan munculnya dua orang tokoh Mo-kauw yang lihai, yaitu Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li.
Dua orang manusia iblis ini telah menculik Wi Liong dan seorang bocah lain, yaitu Kam Kun Hong anak pungut Kam Ceng Swi. Akan tetapi di tengah jalan, Wi Liong dirampas dari tangan dua orang iblis itu oleh Thian Te Cu Si Mayat Hidup, tokoh aneh yang jarang sekali muncul di dunia ramai dan tidak mau tahu tentang urusan dunia. Sebagai seorang tukang ramal atau ahli bintang.
Thian Te Cu maklum bahwa Thio Wi Liong adalah seorang bocah yang selain berbakat baik sekali, juga jodoh dengan dia, seorang bocah yang patut mewarisi kepandaian tinggi karena memiliki watak yang boleh dipercaya dan mempunyai pembawaan seorang ksatria dan pendekar budiman.
Karena itu Thian Te Cu membawa Wi Liong ke Wuyi-san di mana ia bertapa dan menggembleng bocah itu, mewariskan semua kepandaiannya ilmu silat yang tinggi dan jarang tandingannya di dunia kang-ouw.
Wi Liong adalah seorang anak yang amat berbakti. Biarpun ia merasa aman dan senang berada di puncak Gunung Wuyi-san, akan tetapi hatinya selalu gelisah dan berduka kalau ia mengingat keadaan pamannya yang buta. Bagaimana dengan keadaan pamannya itu? Siapa yang akan menuntunnya kalau berjalan dan siapa yang akan mencarikan sesuap nasi?
Thian Te Cu berpemandangan awas. Tanpa bertanya ia sudah dapat membaca isi hati muridnya. Pada suatu hari ia memesan agar muridnya itu berlatih baik-baik dan tinggal seorang diri di puncak karena ia mau turun gunung untuk beberapa bulan lamanya. Dan dapat dibayangkan betapa girang hati bocah itu ketika gurunya pulang bersama dengan pamannya, Kwee Sun Tek yang buta!
Paman dan keponakan saling peluk dengan air mata mengalir turun saking bahagia dan girang. Mulai saat itu, Kwee Sun Tek juga tinggal di Wuyi-san, malah ia menerima pelajaran ilmu batin yang tinggi, juga ilmu silatnya bertambah maju dengan cepat sekali di bawah petunjuk Thian Te Cu.
Sepuluh tahun lewat dengan amat cepatnya dan selama itu, belum pernah seharipun Wi Liong dan pamannya meninggalkan puncak Wu-yi-san, Mereka nampaknya hidup dengan amat tenteram, aman damai tidak membutuhkan apa-apa.
Akan tetapi di dalam hati Kwee Sun Tek yang matanya buta itu selalu menyala api dendam yang tak kunjung padam, bahkan ada kalanya berkobar-kobar membuat ia seperti gila menahan kemarahannya. Hanya berkat ilmu batin yang banyak ia pelajari, maka ia dapat menahan dan selama itu menyimpan rahasia hatinya.
Wi Liong yang pernah bertanya tentang ayah bundanya, dijawab singkat bahwa ayah bundanya sudah meninggal dan kelak kalau sudah tiba masanya ia akan menceritakan dengan jelas tentang ayah bundanya itu. Pedang Cheng-hoa-kiam tak pernah disentuhnya, juga ia melarang keponakannya itu menjamahnya.
Ia menaruh pedang itu di dalam sebuah peti dan menyimpan peti itu di sebuah ruangan kosong di rumah kediaman Thian Te Cu di puncak gunung. Rumah besar terbuat dari pada batu besar yang ditumpuk-tumpuk, sederhana namun kuat sekali.
Setelah Thian Te Cu menyatakan bahwa pelajaran Wi Liong dalam ilmu silat dan ilmu surat sudah tamat dan kakek ini tak mau diganggu lagi karena hendak bertapa sampai datang saat penghabisan dalam hidupnya. Kwee Sun Tek lalu memanggil Wi Liong dan berkata,
"Wi Liong, saatnya sudah hampir tiba bagimu untuk mengetahui semua rahasia yang selama ini terkandung dalam hatiku. Kau hanya tahu bahwa aku ini pamanmu, adik ibumu, akan tetapi kau sendiri belum pernah melihat wajah ayah bundamu. Kasihan kau...!"
Teringat akan kakak dan iparnya, Kwee Sun Tek menjadi terharu sekali, memeluk pundak keponakannya dan matanya yang selalu terbuka akan tetapi tidak melihat apa-apa itu menjadi basah.
Wi Liong lebih tenang dan ia menahan hasratnya hendak banyak bertanya. Karena semenjak kecil iapun banyak menerima pelajaran ilmu surat, bahkan Thian Te Cu menyuruh ia membaca kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup, maka pengetahuannya tentang kebatinan tidak kalah oleh pamannya. Malah dalam hal menguasai perasaan dan pikiran ia jauh lebih kuat.
"Gurumu sudah mengundurkan diri dan mulai sekarang kau boleh pergi ke mana saja." kata pula Kwee Sun Tek. "Sekarang kau turunlah dari puncak ini dan pergilah ke utara ke kota raja. Di sana kau selidiki apakah orang tua yang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui masih menjadi koksu, ataukah sudah pindah kalau pindah ke mana. Aku ingin sekali tahu apakah dia masih hidup dan di mana sekarang ia berada. Kalau kau sudah mendapat tempat tinggalnya, kau kembalilah ke sini lagi dan nanti bersama aku turun gunung. Pada saat itulah aku akan membuka rahasiamu anak baik!"
Wi Liong mengerutkan alisnya. Mengapa pamannya ini demikian pelit dengan rahasia orang tuanya? Dia tidak berani mendesak, dan diam saja. Agaknya Kwee Sun Tek merasa juga akan perasaan hati pemuda itu maka katanya,
"Kau bersabarlah, Wi Liong. Percayalah bahwa apa yang kulakukan adalah demi kebaikanmu sendiri. Hanya kau boleh mengetahui bahwa Beng Kun Cinjin itu adalah guruku sendiri. Nah, kau berangkatlah."