Cheng Hoa Kiam Jilid 07, karya Kho Ping Hoo - PADA suatu hari di kala matahari sedang panas-panasnya karena waktu itu menjelang tengah hari, dari jurusan barat terdengar derap kaki kuda yang dilarikan kencang, memasuki hutan kecil di sebelah timur kota Poan kun. Penunggangnya adalah seorang pemuda tegap yang bermuka ganteng sekali.

Tidak saja pemuda itu amat ganteng, juga pakaiannya terbuat dari pada sutera nomor satu, potongannya indah sekali. Tubuhnya tegap dan sedang, nampak sehat kuat wajahnya berkulit putih kemerahan dengan rambut hitam mengkilat dibungkus di atas dengan sutera.
Sepasang matanya berkilat kilat menandakan bahwa dia amat cerdik dan tangkas lagi pemberani. Alis dan bulu matanya tebal. Mulutnya membayangkan watak yang gembira, sayang sekali ujung bibir dan dagunya membayangkan watak keras hati dan kejam.
Tentu saja hal ini hanya dapat terlihat oleh orang yang sudah ahli dalam ilmu membaca watak dari muka orang. Akan tetapi watak buruk itu hampir tidak kelihatan, tertutup oleh potongan muka yang betul-betul ganteng ini. Pendeknya, seorang pemuda remaja, berusia delapan belas tahun, yang ganteng dan tampan sekali.
Melihat caranya menunggang kuda, mudah diketahui bahwa pemuda tampan ini juga memiliki kepandaian menunggang kuda yang mengagumkan. Biarpun kuda itu besar dan berlari cepat sekali, ia kelihatan duduk tegak dan enak-enak di atas punggung kudanya, tangan kiri memegang kendali, tangan kanan menepuk-nepuk leher kuda.
"Cepat, Hek-liong'ma, cepat sedikit lagi! Kalau Niocu dapat mengejar kita, bisa repot!" kata pemuda itu kepada kuda hitam besar yang ternyata bernama Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam).
Kuda itu seperti tahu saja akan arti ucapan penunggangnya, buktinya ia segera membalap lebih cepat lagi sampai seolah-olah keempat kakinya tidak menginjak tanah. Kuda dan penunggangnya melesat cepat melalui hutan kecil itu. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring disusul bunyi pecut memecah udara.
"Heei, penunggang kuda berhenti dulu!" Suara itu adalah suara wanita dan pecutnya berbunyi "tar! tar!" keras sekali.
Kuda dan penunggangnya menjadi kaget. Memang kuda paling takut akan suara pecut, dan pemuda itu memang sedang melarikan diri dari gurunya, seorang wanita. Maka mendengar seruan ini, bukannya, berhenti ia malah menepuk leher kudanya, "Hek-liong-ma, jangan berhenti lari lebih cepat!"
Kuda itu benar-benar membalap sampai rambut pada lehernya berkibar-kibar. Sebentar saja kuda dan penunggangnya sudah hampir keluar dari hutan itu. Akan tetapi, terdengar pula suara yang menegur tadi, "Anak-anak, buruan lari ke barat. Tahan.....! Serang.....!"
Pemuda itu tidak tahu apa artinya seruan ini akan tetapi kudanya rupanya lebih tahu. atau mungkin karena alat penciumnya lebih tajam. Hek-liong-ma nampak gelisah sekali dan tak lama kemudian terdengar bunyi salak dan gonggong anjing.
Dari semak-semak belukar berloncatan keluar sembilan ekor anjing yang kelihatannya galak-galak seperti srigala Sambil menggonggong binatang-binatang ini menyerbu Hek-liong ma, bahkan ada pula beberapa di antaranya yang menerjang pemuda itu dengan mulut terpentang memperlihatkan gigi dan taring!
Siapakah pemuda tampan yang naik Hek liong ma ini? Mungkin ada yang sudah dapat menduga. Dia ini bukan lain adalah Kun Hong putera Kam Ceng Swi, atau lebih tepat lagi sebetulnya Gan Kun Hong putera Gan Tui dan Hui Niang!
Setelah lewat duabelas tahun lamanya. Kun Hong berubah menjadi seorang pemuda yang amat tampan dan ganteng, cocok benar dengan dugaan Tok-sim Sian-li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah dikalahkan oleh seorang kakek aneh yang merampas Wi Liong dari tangan mereka. Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong cepat pergi kepada Thai Khek Sian, yaitu tokoh nomor satu dari golongan Mo-kauw.
Mendengar keterangan mereka tentang kakek itu, Thai Khek Sian mencegah mereka mencari penyakit dan minta supaya mereka membiarkan saja Wi Liong diculik. "Dia itu Thian Te Cu atau dulu terkenal disebut Mayat Hidup yang menjadi penunggu Gunung Wuyi-san." Demikian antara lain keterangan dari Thai Khek Sian yang dalam golongan Mo-kauw seakan-akan menjadi rajanya.
Tentu saja melihat Tok-sim Sian-li. Thai Khek Sian menjadi girang dan tidak memperkenankan wanita ini pergi sebelum tinggal di situ selama sebulan lebih. Bu-ceng Tok-ong mendongkol bukan main, akan tetapi apakah dayanya terhadap Thai Khek Sian yang masih terhitung susioknya (paman gurunya) itu? Kepandaian Thai Khek Sian luar biasa tingginya, ini ia tahu betul, maka ia hanya mengurut-urut dada.
Akan tetapi ia terhibur setelah mereka diperkenankan pergi dari tempat tinggal Thai Khek Sian, yaitu di Pulau Pek-go-to (Pulau Buaya Putih), sebuah pulau kecil kosong di antara Kepulauan Cou-san-to di sebelah timur pantai Tiongkok, Thai Khek Sian sudah melihat Kun Hong dan berkata kepada Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong.
"Bocah ini boleh menjadi murid kita. Kalian ajarlah baik-baik selama sepuluh tahun, baru suruh dia ke sini untuk menerima pelajaran dariku. Kelak dia boleh diharapkan untuk memperbesar nama kita."
Tentu saja Bu-ceng Tok-ong menjadi girang sekali karena hal ini berarti bahwa ia akan berdekatan selalu dengan Tok-sim! Setelah bersepakat, mereka berdua membawa Kun Hong ke puncak Wi-san tempat tinggal Tok-sim Sian-li, karena Bu-ceng Tok-ong sendiri adalah seorang perantau yang tidak karuan tempat tinggalnya.
Di Wi-san inilah Kun Hong digembleng oleh sepasang manusia siluman itu. Selama itu perhatian Tok-sim Sian-li dicurahkan untuk mendidik Kun Hong maka untuk beberapa tahun ia tidak menurutkan nafsu hatinya yang kotor. Biasanya seringkali ia menculik pemuda-pemuda tampan dibawa ke puncak Wi-san ini.
Akan tetapi selama ia tinggal bersama Tok-ong dan Kun Hong, ia tidak pernah melakukan hal ini. Ia malah mau melayani cinta kasih Bu-ceng Tok-ong yang sudah bertahun-tahun mengaguminya. Akan tetapi di antara dua orang tokoh ini memang terdapat perbedaan watak. Sering kali mereka cekcok, bahkan pernah mereka bertempur mati-matian.
Tentu seorang di antara mereka akan roboh terluka kalau saja di situ tidak ada Kun Hong yang melerai dan menjadi juru pendamai. Anehnya, ini hari bertempur mati-matian, besok hari sudah bersendau-gurau lagi. Memang watak dan cara hidup orang-orang Mo-kauw amat aneh sekali.
Kun Hong yang dibesarkan dekat dua orang dengan watak seperti ini, dapat dibayangkan bahwa sedikit banyak iapun tentu terkena "penyakit" ini. Pemuda ini makin besar menjadi makin aneh wataknya, tidak jauh dari watak dua orang itu. Suka melucu dan menggoda orang seperti Bu-ceng Tok-ong. Pesolek dan cabul seperti Tok-sim Sian-li. Akan tetapi, kepandaiannya makin tahun makin meningkat hebat dan dalam usia enam belas tahun saja ia sudah menjadi tandingan berat bagi kedua orang gurunya!Mulailah Kun Hong memperlihatkan watak gilanya dan ia mulai tidak tunduk lagi terhadap dua orang gurunya, terutama sekali terhadap Bu-ceng Tok-ong! Pernah ketika ia sedang diberi petunjuk, ia membantah dan rewel sampai akhirnya guru dan murid ini saling serang dengan pukulan-pukulan maut!
Tok-sim Sian-li datang bukan untuk melerai, melainkan ia membantu Kun Hong menyerang Tok-ong! Tentu saja Tok-ong kewalahan, akhirnya melarikan diri turun dari Gunung Wi-san untuk memuaskan hatinya yang sudah haus akan perantauan lagi. Anehnya, di antara tiga orang ini sedikitpun tidak ada dendam!
Setelah tinggal di puncak hanya berdua dengan Kun Hong yang sementara itu sudah berusia delapan belas tahun timbullah cinta kasih dalam hati Tok-sim Sian li yang memang sejak dulu ada terhadap muridnya yang tampan ini. Dia mulai menggoda Kun Hong dengan segala macam daya. Akan tetapi Kun Hong tidak sudi melayani, bahkan pada suatu malam ia lari minggat turun gunung membawa kuda kesayangan Tok-sim Sian-li. yaitu Hek-liong-ma.
Bukan hal yang mudah untuk melarikan diri dari Wi-san. Sebelum ia dapat mencuri kuda Hek-liong-ma yang oleh Tok-sim Sian-li dititipkan di dalam dusun di bawah gunung, Kun Hong harus lebih dulu menuruni puncak mengambil jalan belakang pondok gurunya. Jalan ini amat sukar, ia harus merayap menuruni tebing-tebing yang amat curam dan melompati jurang-jurang yang lebar.
Namun, Kun Hong yang memiliki ketabahan besar itu tidak takut melalui jalan yang tidak patut dilalui manusia melainkan lebih tepat kalau dilalui binatang seperti kera yang pandai merayap dari dahan ke dahan dan dari batu ke batu. Semalam suntuk, dari tengah malam sampai pagi Kun Hong menuruni puncak Wi-san dan akhirnya dengan mudah ia mencuri Hek-liong-ma dan mengaburkan kuda itu menuju ke barat.
Tujuan utamanya adalah Wuyi-san, tempat tinggal Thian Te Cu karena ia sudah mendengar penuturan dua orang gurunya bahwa Wi Liong dibawa oleh Thian Te Cu ke bukit itu. Ia hendak mencari Wi Liong yang di waktu kecil pernah mengalahkannya dan ia selain hendak merobohkan Wi Liong, juga hendak merampas kembali pedang Cheng-hoa-kiam yang dulu oleh Thian Te Cu dirampas dari tangan gurunya!
Akan tetapi oleh karena baru sekali itu turun gunung, saking takut kalau terkejar oleh Tok-sim Sian-li dan belum tahu jalan Kun Hong keliru mengambil jalan. Seharusnya jalan menuju ke Wuyi-san adalah ke selatan, akan tetapi ia telah mengambil jalan ke barat! Demikianlah, pada hari ke dua ia bertemu dengan seorang wanita di dalam hutan yang memerintah anjing-anjing pemburu menyerang dia dan kudanya!
Hek-liong-ma bukanlah kuda yang pandai berkelahi, melainkan kuda balap yang hanya pandai lari cepat. Menghadapi serangan segerombolan anjing yang galak-galak ini, Hek-liong-ma menjadi kaget dan ketakutan, meringkik-ringkik dan mengangkat dua kaki depannya. Seekor anjing telah melompat dan menyerang hendak menggigit leher kuda itu, sedangkan yang lain-lain telah siap pula menggigit. Empat ekor yang menyerbu dari kanan melompat hendak menyergap Kun Hong!
Tadinya Kun Hong membalapkan kudanya bukan sekali-kali karena ia takut bertemu orang atau takut bertempur, melainkan karena ia yakin bahwa Tok-sim Sian-li tentu mengejarnya dan ia enggan ribut dan bertengkar dengan gurunya wanita ini. Dengan Tok-ong ia tidak ragu-ragu untuk cekcok bertempur.
Akan tetapi dengan Tok-sim Sian-li, ia merasa malu kepada diri sendiri, juga diam-diam ia kasihan melihat wanita yang selain menjadi guru, juga amat cinta kepadanya itu, baik cinta seorang ibu maupun cinta seorang kekasih. Sekarang melihat orang mempergunakan segerombolan anjing buas untuk menyerangnya, ia menjadi marah.
"Anjing-anjing pemakan bangkai, hari ini kalian mampus!" Tanpa turun dari kudanya, Kun Hong menggerakkan tangan kanan ke arah anjing yang sudah menggigit leher kudanya.
"Kuiikk!" Biarpun kepalan tangan Kun Hong tidak mengenai anjing itu, akan tetapi binatang ini mengeluarkan suara satu kali dan terlempar dalam keadaan tak bernyawa lagi, dari hidung dan mulutnya mengalir darah! Kun Hong tidak membuang banyak waktu lagi. Ia turun dari atas kudanya dan kedua tangannya digerakkan ke kanan kiri.
Dalam waktu beberapa detik saja, setelah menguik-nguik beberapa kali, semua anjing yang mengeroyok tadi sudah menggeletak bertumpuk-tumpuk semua mati dengan mata dan hidung mengalirkan darah, bahkan yang paling parah luka di kepalanya, ada darah mengalir keluar dari mata dan hidung. Bukan main hebatnya pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan oleh Kun Hong!
"Aduhai para iblis hutan yang perkasa! Dari mana datangnya seorang pemuda begini gagah dan ganteng?" Terdengar seruan kagum.
Kun Hong mendengar suara ini seperti suara wanita yang tadi menyuruhnya berhenti kemudian yang memberi perintah kepada anjing-anjing yang mengeroyoknya. Ia cepat menoleh dan memandang. Ia menjadi tertegun ketika melihat bahwa wanita itu ternyata adalah seorang perempuan muda remaja yang berdiri memandang kepadanya dengan mata kagum dan mata terbelalak.
Perempuan ini tidak bisa disebut cantik, tidak secantik Tok-sim Sian-li, hanya perempuan dusun yang pakaiannya terbuat dari kain kasar berpotongan sederhana. Akan tetapi ia masih muda dan bentuk tubuhnya menarik kulitnyapun bersih. Luluh kemarahan hati Kun Hong. Kalau perempuan ini tua sedikit saja, atau tidak memiliki bentuk tubuh demikian menggiurkan tentu sudah sejak tadi Kun Hong melakukan pukulan mautnya pula terhadap pemilik anjing-anjing itu.
"Salahmu sendiri, terpaksa aku membunuh anjing-anjingmu." akhirnya ia berkata sambil menoleh ke arah bangkai anjing yang bertumpukan.
"Tidak apa, malah terima kasih kau sudah membunuh mereka. Tidak susah-susah lagi aku harus menyembelih mereka”, jawab gadis dusun itu.
"Menyembelih mereka? Untuk apakah? Apa mau ada pesta?” tanya Kun Hong.
Gadis itu mengangguk. "Ayah pulang dari kota dan kami kedatangan tamu agung, patut dijamu dengan masak daging anjing yang lezat."
"Tamu agung? Siapa?"
"Kau sendiri!" Gadis itu tertawa ngikik dan Kun Hong ikut tersenyum.
"Kau siapakah dan kenapa kau berada di dalam hutan seorang diri bersama anjing-anjingmu yang galak?"
"Namaku Kim Li, bersama ayah tinggal di tengah hutan, bekerja sebagai pemburu. Telah seminggu lamanya ayah pergi ke kota menjual kulit binatang, hari ini pasti pulang. Tadi aku melihat kau lewat dengan kudamu yang bagus kukira makanan empuk, tidak tahunya tulang keras! Anjing-anjingku sudah mati, daging bertumpuk-tumpuk, sayang kalau dibuang begitu saja. Aku suka padamu, kau gagah dan tampan, mari ikut dengan aku ke rumah. Kubuatkan masak daging anjing yang lezat sambil menanti datangnya ayah. Mau, bukan?"
Memang Kun Hong sedang merasa lapar sekali. Perutnya minta diisi. Ia pandang lagi gadis di depannya itu penuh perhatian. Lumayan, manis juga kalau tersenyum. Akan tetapi ia teringat akan gurunya yang mungkin mengejarnya, maka ia menoleh ke belakang, ragu-ragu.
"Kau seperti orang melarikan diri, siapa sih yang mengejar dan mengancammu? Jangan khawatir, kalau ada musuh mengejar, aku membantumu melawan dia. Kau begini muda dan gagah perlkasa. mengapa hatimu kecil? Perlu banyak makan hati anjing kalau begitu."
Kun Hong tertawa lalu melompat mendekati gadis itu sambil menuntun kudanya. "Kau anak baik. mari aku ikut kau ke rumahmu."
Kim Li girang sekali. Tanpa ragu-ragu lagi ia menyambar lengan Kun Hong. digandengnya sambil berkata, "Kau tidak keberatan membantuku membawa bangkai-bangkai anjing itu, bukan?"
Kun Hong menggelengkan kepalanya dan kedua orang muda itu lalu mengambili bangkai-bangkai anjing, ditumpuk di punggung Hek-liong-ma yang sudah tenang kembali. Sambil tertawa-tawa dan bergandengan tangan mereka lalu memasuki hutan itu menuju ke rumah Kim Li.
Kim Li adalah seorang gadis yang semenjak kecil sudah ikut ayahnya bekerja di dalam hutan-hutan sebagai pemburu binatang-binatang buas. Ia tidak beribu lagi, hanya hidup berdua ayahnya yang bernama Ciok Sam, seorang pemburu binatang yang kasar dan memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi juga. Oleh karena selalu keluyuran dari hutan ke hutan. Kim Li menjadi seorang gadis yang kasar pula, liar dan tidak malu-malu seperti gadis-gadis kota.
Ayahnya seorang kasar yang jujur, selalu menyatakan apa yang terasa dalam hati dan pikiran. Demikian pula Kim Li tak pernah menyembunyikan perasaannya. Kalau orang lain yang membunuh anjing-anjingnya, tentu ia akan menjadi marah dan menyerangnya mati-matian. Akan tetapi begitu melihat Kun Hong, hati gadis hutan sederhana ini sekaligus terpikat dan tunduk!
Yang disebut rumah oleh Kim Li ternyata hanyalah sebuah pondok kecil sederhana saja. tempat berteduh di waktu hujan. Dengan wajah berseri dan hati girang sekali Kim Li menyuruh Kun Hong menunggu sedangkan dia sendiri sibuk memasak daging anjing. Ternyata gadis ini mempunyai persediaan bumbu yang cukup banyak dan lengkap.
"Ayah seorang yang suka makan enak, maka tiap kali datang dari kota ia tentu membawa bumbu-bumbu dan aku dipaksa belajar masak enak." kata Kim Li sambil sibuk memasak untuk tamunya.
Kun Hong yang merasa lelah, tanpa sungkan-sungkan lagi lalu melonjorkan tubuh rebah di atas tanah yang ditimbuni daun-daun kering, lalu tidur dengan enaknya. Kim Li hanya tertawa saja melihat tamunya tidur, melanjutkan masak dengan asyik, membuat beberapa macam masakan memanggang daging menanak nasi, semua ini dilakukannya dengan hati gembira.
Kadang-kadang ia menengok memandang wajah Kun Hong dan ia begitu terpikat sampai beberapa kali ia kaget mendapatkan diri sendiri berdiri bengong menatap wajah yang membuat hatinya tidak karuan itu Kemudian mukanya menjadi merah ia tersenyum-senyum malu dan melanjutkan pekerjaannya.
Kun Hong bermimpi dikejar dan tersusul oleh Tok-sim Sian-li yang memegang lengannya dan menarik-nariknya, mengajaknya kembali ke Wi-san. Ketika ia membuka mata dan sadar dari tidurnya, ternyata yang menarik-narik lengannya adalah Kim Li. Gadis ini membangunkannya, menarik-narik lengan sambil berkata dengan suara merdu.
"Bangunlah, kanda, bangun. Makanan telah tersedia, mari kita makan!"
Kun Hong melompat bangun, hatinya lega bahwa yang menariknya bukan Tok-sim Sian-li, melainkan gadis hutan ini. Tercium bau yang amat sedap, membuat perutnya menjadi makin lapar. "Aduh enaknya bau masakanmu....!” ia memuji sambil tersenyum.
Merah wajah Kim Li. Matanya bersinar-sinar girang. "Kau tidur saja tidak mau membantu orang yang sibuk masak. Hayo kita makan selagi masakan masih panas."
Kun Hong mengikuti gadis itu ke dalam dan ternyata nasi dan masakan telah tersedia di atas tanah yang telah ditilami kulit. Uap mengebul dari beberapa mangkok, membuat Kun Hong segera menyerbu. Di lain saat dua orang muda itu telah duduk berhadapan sambil makan dengan lahap dan sedapnya.
"Masakanmu enak sekali!" Kun Hong memuji sambil menghirup arak. Ia merasa puas dan timbul keinginan hati untuk melanjutkan perjalanannya.
Kim Li nampak girang dengan pujian ini. matanya mengerling bibirnya tersenyum lebar. "Betulkah? Kalau kau mau, setiap hari aku bisa membuat masakan yang enak-enak seperti itu untukmu. Eh... kau sudah tahu namaku, akan tetapi aku sendiri belum mengenal kau ini siapa."
"Namaku Kun Hong, Kam Kun Hong," jawab pemuda itu sembarangan.
"Kau datang dari mana dan hendak ke manakah?" tanya Kim Li.
Mendengar pertanyaan ini, baru Kun Hong ingat bahwa ia belum tahu ke mana sebetulnya jurusan menuju ke Wuyi-san. "Aku hendak pergi ke Wuyi-san. Tahukah kau di mana gunung itu?"
Kim Li tertawa. "Ke Wuyi-san mengapa menuju ke barat? Ayah pernah membawa aku ke kaki bukit Wuyi-san, akan tetapi tempatnya jauh sekali di selatan, ribuan li jauhnya dari sini. Kam-koko, kau mau apa sih pergi ke tempat sejauh itu? Lebih baik tinggal saja di sini bersama aku. senang kan?"
Girang hati Kun Hong mendengar bahwa Gunung Wuyi-san yang dicarinya itu berada di selatan. Baiknya ia bertemu dengan gadis ini, kalau tidak ia bisa terus ke barat! Ucapan terakhir dari Kim Li yang mengandung penuh maksud itu tak diacuhkannya sama sekali. Pada saat itu terdengar suara tindakan kaki yang berat dari luar pondok.
"Heei... alangkah sedap baunya. Kim Li, kau masak apakah begini enak?" suara seorang laki-laki yang kasar parau memasuki pondok.
Pintu pondok dibuka dari luar dan masuklah seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar bermuka licin kemerahan. Ia memanggul bangkai seekor macan yang besar dan gemuk. Pantas saja tindakan kakinya demikian berat. Orang ini melepaskan bangkai macan dari pundaknya, menghapus keringat di jidatnya sambil berkata.
"Dalam perjalanan pulang bertemu dengan si loreng ini. Kebetulan sekali kupecahkan kepalanya dengan ruyungku. Aku sudah mengilar makan dagingnya, eh, tahu-tahu sampai di sini sudah ada masakan yang lebih sedap!" Orang itu mendengus-dengus dan menggerak-gerakkan lubang hidungnya. "Eh, seperti daging anjing sedapnya!"
"Memang daging anjing ayah." jawab Kim Li. "Aku sengaja masak untuk menyambut kau datang dan kebetulan sekali ada seorang tamu. Kam-koko ini." jawaban ini diterima biasa saja oleh Ciok Sam, pemburu tinggi besar itu.
"Orang she Kam? Bagus, bagus! Kau panggil Kam-koko, he? Hemm, bagus... memang dia tampan dan ganteng. Ha-ha-ha-ha!"
Kun Hong merasa tak enak sekali melihat sikap yang kasar ini, akan tetapi ia diam saja hanya memandang dengan kerling matanya.
Ciok Sam tanpa banyak upacara lagi lalu menjatuhkan diri duduk di dekat hidangan yang masih banyak itu, lalu sekali sambar ia telah mempergunakan sumpit yang tadi dipakai Kun Hong untuk menyumpit sepotong besar daging anjing, dimasukkan ke dalam mulut dan dikunyah dengan lahap dan enaknya. Ia tidak sabar menanti sampai daging itu cukup lembut dikunyah, melainkan terus saja ditelan, sampai mengeluarkan bunyi ketika melalui kerongkongnya.
"Enak... enak..." la menyumpit lagi. "Anjing yang mana yang kau potong ini, Kim Li? Melihat begini gemuk menggajih, agaknya si belang... akan tetapi melihat empuknya, tentu si putih yang muda." Kemudian, sebelum memasukkan lagi daging ke mulutnya, ia menoleh ke kanan kiri dan bertanya.
”Eh, anjing-anjing lainnya ke mana perginya? Jangan biarkan mereka berkeliaran di hutan sendiri, kalau berjumpa loreng sebesar yang kubunuh tadi, kan bisa celaka!"
"Anjing-anjing sudah habis semua ayah. Semua kumasak dagingnya..."
Daging yang sudah dibawa ke depan mulut itu terlepas dari sumpit, menggelinding di atas tanah. Sepasang mata yang lebar terpentang melotot ketika ayah ini memandang puterinya. "Kau... kau gila...? Kau bilang sembilan ekor anjing itu kau sembelih semua dan kau masak dagingnya?"
Kim Li mengangguk tenang. "Terpaksa, ayah. Dari pada daging sebanyak itu membusuk kan lebih baik dimasak dan dimakan?”
"Membusuk bagaimana maksudmu?”
"Karena sembilan ekor anjing itu sudah mati semua.....” "Mati semua....??" Ciok Sam kini bangun berdiri, tubuhnya yang tinggi itu hampir sampai ke atap. "Sembilan ekor itu bukan hadiah dari Kwa lo-enghiong melainkan kutukar dengan empatpuluh lima lembar kulit harimau dan serigala. Belinya tidak murah. Bagaimana bisa mati sekaligus sembilan ekor? Hayo bilang, kenapa?"
Kun Hong yang melihat Kim Li didesak menjadi tidak tega dan menjawab tenang, "Aku yang membunuh sembilan ekor anjingmu itu."
Mendengar ini. Ciok Sam menjadi merah mukanya, matanya menjadi beringas! ”Kau yang membunuhnya, ya? Kau...?”
"Ayah, aku yang menyuruh anjing-anjing kita menyerangnya! Kusangka tadinya Kam-koko adalah daging lunak, tidak tahunya tulang keras dan akibatnya anjing-anjing kita mati semua," kata Kim Li yang melihat ayahnya marah.
Kun Hong yang sudah lama sekali hidup bersama orang-orang macam Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, tentu saja maklum akan arti "daging lunak" dan "tulang keras" ini, yaitu istilah yang digunakan oleh para anggauta liok-lim untuk menerangkan keadaan calon korban yang hendak dirampok. Oleh karena ia sejak tadi maklum bahwa Kim Li dan ayahnya selain menjadi pemburu binatang juga pemburu manusia untuk dirampok, ia bersikap dingin saja.
Mendengar ucapan anaknya, Ciok Sam tidak menjadi senang, malah makin marah. "Keparat ini lawan yang membunuh anjing-anjing pemburu kita dan kau malah menjamunya? Benar-benar gila kau! He, orang muda, kau telah membikin rugi besar padaku. Harga sembilan ekor anjing itu lima puluh tail lebih. Kau harus menggantinya!"
"Aku tidak punya uang." jawab Kun Hong tenang.
"Kulihat kudamu di luar. Kau harus meninggalkan kuda itu sebagai penggantinya!" kata Ciok Sam marah.
Kun Hong bangkit berdiri, mulai hilang kesabarannya. "Anjing-anjing itu milikmu, sekarang masih ada. Bangkai-bangkainya boleh kau makan habis. Aku datang ke rumah ini atas undangan anakmu, kalau tidak, siapa sudi makan daging anjingmu? Kuda itu milikku, tak boleh kau mengganggunya.''
"Kau tidak mau menyerahkan kuda itu?”
"Tidak, dan aku mau pergi sekarang juga." Dengan marah Kun Hong melangkah keluar dari kamar itu.
"Keparat, kalau begitu nyawamu harus kau tinggalkan!"
Mendengar seruan ini. Kun Hong tidak menoleh. Juga ia tidak menoleh ketika mendengar angin menyambarnya dibarengi pekik Kim Li yang merasa kaget melihat ayahnya menyerang Kun Hong dengan ruyungnya. "Ayah, jangan bunuh dia....!"
Akan tetapi Ciok Sam tidak perdulikan seruan anaknya, ruyungnya menyambar dengan cepat dan kuat sekali. Ia hendak memecahkan kepala Kun Hong dengan sekali pukul seperti yang ia lakukan terhadap harimau besar tadi.
Akan tetapi ia kecele. Nampaknya ruyung itu akan mengenai sasaran karena Kun Hong diam saja, namun setelah dekat kepala pemuda itu, sedikit gerakan tubuh saja membuat ruyung itu menghantam angin.
"Kau menjemukan!" terdengar Kun Hong berseru, tangan kanannya bergerak dari samping.
"Auukkk!" Ciok Sam melepaskan ruyungnya, terhuyung-huyung lalu roboh terlentang, mulutnya mengeluarkan darah. Keadaannya persis seperti anjing-anjing yang terpukul oleh Kun Hong tadi. Ternyata pemuda yang berilmu tinggi ini telah mempergunakan pukulan maut Toat-sim-ciang yang ia pelajari dari Tok-sim Sian-li! Pukulan tadi sekaligus telah mengguncangkan jantung Ciok Sam dan membuatnya muntah darah.
Ciok Sam memandang ke arah anaknya dengan mata mendelik, seakan-akan ia menegur mengapa puterinya tidak membantunya menggempur Kun Hong. Kim Li agaknya mengerti pandang mata ayahnya itu, maka ia berkata terisak. "Ayah, aku... aku cinta padanya..."
Ciok Sam menarik napas panjang, mengangguk-angguk lalu mengeluh panjang, dan di lain saat nyawanya telah meninggalkan badan. Kim Li menubruk ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.
”Menyesal aku terpaksa membunuh ayahmu yang galak," kata Kun Hong dengan hati tidak enak, kemudian pemuda ini bertindak keluar hendak meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi Kim Li segera melompat berdiri dan menubruk memeluknya. "Kam-koko... jangan kau tinggalkan aku.... masa kau begitu kejam? Setelah ayah meninggal, hidupku seorang diri... bawalah aku bersamamu...."
Kun Hong menjadi serba salah. Setelah sejak kecil hidup bersama Tok-sim Sian-li ia paling lemah menghadapi wanita, sungguhpun hatinya sudah mengeras dan kejam seperti hati Bu-ceng Tok-ong! Dengan lemah-lembut ia mengusap-usap rambut Kim Li sambil berkata.
"Aku tidak bisa membawamu Kim Li. Ayahmu mati karena salahnya sendiri, kepadamu aku tidak benci. Akan tetapi sungguh tak mungkin aku membawamu bersama dalam perjalananku yang jauh."
"Akan tetapi, setidaknya jangan tinggalkan aku sekarang, koko. Tidak kasihankah kau kepadaku? Aku bisa mati kalau kau tinggalkan sekarang...”
Kun Hong menarik napas panjang. "Biarlah, aku mengawanimu sampai kau selesai mengubur ayahmu."
Demikianlah, Kun Hong yang tak dapat bersikap keras terhadap wanita itu mengawani Kim Li, bahkan bantu mengurus penguburan Ciok Sam. Tentu saja Kim Li menjadi terhibur hatinya dan cepat melupakan kesedihan hatinya ditinggal mati oleh ayahnya.
Akan tetapi, hanya tiga hari Kun Hong mau menemaninya. Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali Kun Hong sudah melompat ke atas punggung Hek-liong-ma. Dengan air mata bercucuran Kim Li mencoba untuk menahan Kun Hong, akan tetapi pemuda itu dengan tegas berkata.
"Kim Li... hanya karena sayang dan kasihan kepadamu aku sampai menunda perjalananku selama tiga hari. Sekarang, bagaimanapun juga aku harus pergi"
"Kam-koko aku ikut... jangan tinggalkan aku seorang diri....”
"Tidak mungkin. Kau tak boleh ikut. Selamat tinggal, mudah-mudahan lain waktu kita dapat saling berjumpa pula." Tanpa perdulikan lagi tangis dan keluhan Kim Li. Kun Hong membalapkan kudanya pergi dari situ.
"Kam-koko... aku ikut... aku cinta padamu...!" Kim Li menjerit- jerit sambil lari mengejar sekuat tenaga. Wanita ini juga memiliki kepandaian, larinya cepat. Akan tetapi mana mungkin ia dapat menyusul Hek-liong-ma? "Kam-koko.... aduuhhh...!"
Tadinya Kun Hong tidak mengambil perduli sama sekali, akan tetapi mendengar gadis itu menjerit kesakitan, ia menengok juga. Kagetlah hatinya melihat Kim Li roboh terguling, nampaknya terluka hebat karena ia melihat darah. Kun Hong memutar kudanya dan menghampiri gadis itu, ingin tahu apa yang telah terjadi.
Dari atas kudanya ia melihat gadis itu berkelojotan, pada kedua betis kakinya terdapat luka yang mengeluarkan darah, nampaknya seperti luka biasa saja. Akan tetapi tidak demikian dalam pandangan Kun Hong yang memandang dengan mata terbelalak. Ia melompat turun, memeriksa luka-luka itu yang mengandung warna kehijauan.
"Celaka....!" katanya perlahan. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menotok jalan darah kedua kaki gadis itu di bagian belakang dan lutut, kemudian ia mencabut pedang pendek yang masih terselip di punggung Kim Li dan mengayun pedang itu membabat putus kedua kaki Kim Li sebatas lutut!
Kim Li menjerit ngeri dan roboh pingsan. Akan tetapi dari kedua kaki yang buntung itu tidak keluar banyak darah. Ini adalah karena jalan darahnya telah dihentikan oleh totokan Kun Hong.
Pemuda itu melemparkan pedang pendek ke bawah, lalu ia celingukan ke kanan kiri. "Niocu marah kepadaku mengapa menyerang gadis ini?" ia berseru.
Terdengar suara ketawa dan muncullah Tok-sim Sian-li! Wanita ini masih kelihatan muda dan genit biarpun sekarang usianya sudah bertambah dua belas tahun lagi Pandang matanya masih segalak dulu. Juga suaranya masih nyaring merdu ketika ia berkata sambil memandang ke arah Kim Li sambil tertawa-tawa.
"Alangkah lucunya! Kau meninggalkan aku untuk main gila dengan seorang wanita macam dia ini. Manusia macam dia ini mana ada harga untuk berdekatan dengan kau, Kun Hong? Lihat betapa buruknya, apa lagi setelah kedua kakinya menjadi buntung. Masih maukah kau bermain gila dengan dia?”
"Niocu, aku pergi dari Wi-san bukan untuk main gila dengan siapapun juga. Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia. Kau tentu sudah dapat menduga bahwa kepergianku ini untuk merampas kembali Cheng-hoa-kiam dari tangan Thian Te Cu dan sekalian membalas kekalahanku dahulu dari Wi Liong!"
Tok-sim Sian-li mainkan mata dan bibirnya. "Betulkah itu Kun Hong. Apakah kau belum melupakan aku dan masih cinta padaku?"
Diam-diam Kun Hong menarik napas panjang, akan tetapi ia tersenyum ketika menjawab, "Tentu saja, Niocu. Kau sudah begitu baik kepadaku selama belasan tahun ini, bagaimana aku tidak cinta padamu?"
"Cinta sebagai murid terhadap guru atau sebagai laki-laki terhadap kekasihnya?" Tok-sim Sian-li mendesak, matanya memandang tajam penuh selidik.
Kun Hong cukup cerdik untuk tidak memancing pertikaian dengan gurunya ini, maka ia menjawab dengan suara sungguh-sungguh "Sebagai kedua-duanya!"
Tok-sim Sian-li menubruk dan memeluknya sambil berkata dengan suara penuh perasaaan. "Kun Hong.... Kun Hong. Betapa aku mencintamu... tak mungkin lagi aku dapat hidup jauh darimu..."
Kun Hong membiarkan saja wanita itu memeluk dan membelainya, kadang-kadang seperti sikap seorang ibu kepada anaknya, ada kalanya juga seperti seorang wanita terhadap kekasihnya.
"Kun Hong. Kau anak baik... kau laki-laki tampan dan ganteng, sudah kuketahui sejak dahulu bahwa kau akan menjadi seorang pemuda yang paling baik dan gagah di seluruh dunia ini.”
Kun Hong hanya tersenyum saja kemudian dengan halus ia melepaskan pelukan gurunya. "Niocu. Sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku ke Wu-yi-san."
"Kau seorang diri ke Wuyi-san? Kun Hong, jangan kau main-main. Thian Te Cu bukanlah orang yang boleh dipandang rendah. Orang-orang lain tidak kukhawatirkan dan tidak kutakuti, akan tetapi Thian Te Cu... dia benar-benar lihai."
"Aku tidak takut." jawab 'Kun Hong tabah.
"Kau boleh tak takut, akan tetapi aku tidak rela melihat kau pergi ke sarangnya di Wu-yi-san. Ketahuilah, Kun Hong. Aku sendiri dan gurumu Bu-ceng Tok-ong juga tidak sanggup menghadapi Thian Te Cu. Orang satu-satunya yang sanggup kiranya hanya Thai Khek Sian susiok dari Tok-ong. Dahulu Thai Khek Sian sudah berjanji hendak menurunkan kepandaian kepadamu. Lebih baik kau lebih dulu pergi ke Pek-go-to memperdalam ilmu kepandaian, mari kuantarkan."
"Tidak. Niocu. Aku akan mencoba-coba pergi ke Wuyi-san lebih dulu," kata pemuda yang keras hati ini. "Kalau aku tidak dapat merampas kembali Cheng-hoa-kiam dan tidak sanggup mengalahkan Thian Te Cu, tidak apa, hal itu dapat ditunda dulu. Akan tetapi setidaknya aku harus dapat mencoba kepandaian Wi Liong."
"Kalau begitu aku ikut. Tak sampai hatiku membiarkan kau seorang diri pergi ke Wuyi-san.....”
"Jangan. Niocu. Aku ingin pergi sendiri!" Setelah berkata demikian, Kun Hong melompat ke atas punggung kuda Hek-liong-ma dan hendak membalapkan kudanya itu. Akan tetapi terdengar suara ketawa dan tahu-tahu tubuh Tok-sim Sian-li juga sudah melayang dan duduk di atas punggung kuda. Tepat di belakang Kun Hong.
"Mana kau bisa tinggalkan aku, anak manis?" Tok-sim Sian-li berkata menggoda.
"Kau tak boleh ikut dan harus turun, Niocu yang baik." kata Kun Hong tak kalah manisnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya membalik dan dengan kedua tangannya murid yang "manis" ini melakukan pukulan dorongan yang hebat!
Tok-sim Sian-li terkejut sekali karena maklum bahwa tenaga dorongan pemuda itu sudah amat kuat dan berbahaya. Ia mencoba untuk menangkis dengan kedua tangannya, akan tetapi tetap saja ia terguling dari atas punggung kuda. Baiknya ia sudah memiliki ginkang yang tinggi sehingga sekali menggerakkan pinggang ia dapat mengatur jatuhnya sehingga dapat tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri.
Tok-sim Sian-li tersenyum manis sekali dan matanya memancarkan cahaya kilat. Kedua tangannya diayun ke depan bergantian dan sinar hijau menyambar-nyambar...