Cheng Hoa Kiam jilid 03, karya Kho Ping Hoo - PADA saat itu terdengar suara keras berpengaruh. "Semua orang berhenti bertempur!"

Hek-mo Sai-ong dan kawan-kawannya mengenal suara koksu, juga tiga orang pendekar itu mengenal suara suhu mereka maka otomatis mereka menarik senjata masing-masing dan melangkah mundur.
Beng Kun Cinjin muncul, tubuhnya makin gagah, mukanya nampak berseri dan muda, pakaiannya mewah dan kepalanya yang dulu gundul pelontos itu mulai ditumbuhi rambut. Thio Houw, Kwee Goat dan Kwee Sun Tek hampir tidak mengenal suhu mereka.
Akan tetapi begitu Beng Kun Cinjin membuka suara, mereka segera mengenal dan kini mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Kun Cinjin. "Suhu...!" kata mereka hampir berbareng.
Keadaan sunyi sekali. Para pengawal berdiri seperti patung, dengan hati tegang, hendak melihat apa yang selanjutnya akan terjadi antara guru dan tiga orang muridnya itu. Para korban sudah diangkat pergi.
"Thio Houw, apa maksudmu membawa isteri dan adikmu datang membikin ribut di sini?" terdengar Beng Kun Cinjin berkata dengan nada suara tak senang.
"Suhu, teecu bertiga bermaksud menghadap dan menemui suhu, akan tetapi para srigala utara ini menghalangi maksud teecu sehingga terjadi pertempuran:" jawab Thio Houw dengan terus terang dan sengaja menyebut para pengawal istana itu "srigala utara" untuk mengingatkan suhunya bahwa mereka itu semua adalah penjajah yang harus mereka musuhi.
Merah wajah Beng Kun Cinjin, bukan merah karena malu atau merasakan sindiran, melainkan merah karena marah. "Thio Houw, kau sungguh tidak tahu aturan! Mau menghadap pinceng mengapa datang di tengah malam buta dan membikin kacau? Mengapa tidak di siang hari dan menghadap secara baik-baik? Benar-benar memalukan pinceng yang menjadi gurunya!"
"Suhu!" Kwee Goat berseru penasaran, "Bagaimana suhu berkata demikian? Teecu bertiga datang untuk mengajak suhu pergi dari sini, dan mari kita basmi srigala-srigala ini sebelum suhu pergi bersama teecu bertiga. Suhu, mereka ini adalah musuh-musuh kita, bukan?"
Beng Kun Cinjin memandang kepada murid perempuannya, murid yang dulu amat disayangnya seperti kepada anak sendiri. "Goat-ji. aku mendengar kau sudah menjadi ibu. Mengapa kau tidak tinggal di rumah menjaga anakmu? Pulanglah kau bersama suamimu dan adikmu dan jangan mencampuri urusanku."
"Suhu, tak mungkin teecu bertiga pulang tanpa suhu ikut dengan kami!" kata Kwee Sun Tek bernafsu. "Suhu adalah junjungan kami dan setiap perbuatan suhu langsung ditanggung oleh kami, seperti juga semua perbuatan kami adalah tanggung jawab suhu. Lebih baik kami mati dari pada melihat suhu menjadi kaki tangan penjajah laknat!" Memang Kwee Sun Tek orangnya berdarah panas, maka ia tak dapat menahan kemarahannya melihat sikap suhunya yang memalukan itu.
Beng Kun Cinjin mendelikkan matanya, dan Kwee Goat yang merasa bahwa adiknya bicara keterlaluan, cepat berkata kepada suhunya dengan suara membujuk, "Suhu. kalau yang mengikat suhu di sini itu adalah puteri yang menjadi isteri suhu. Mari kita mengajaknya pergi dari sarang musuh ini. Apa sukarnya?”
"Tidak bisa... tidak bisa... pinceng sudah banyak menerima budi hong-siang dan pinceng berada di sini hanya untuk melindungi keselamatannya. Sama sekali pinceng tidak memusuhi bangsa sendiri."
"Suhu... betul-betulkah suhu tidak mau insyaf dan tetap hendak membela kepentingan musuh? Suhu, semua orang gagah di dunia kang-ouw akan mengutuk perbuatan suhu ini dan kami sendiri akan menjadi bahan makian di mana-mana sebagai murid-murid seorang penghianat bangsa!" kata Thio Houw.
"Keparat, tutup mulut!" bentak Beng Kun Cinjin dengan marah sekali.
Pada saat itu, Ta Gu Thai melangkah maju dan mencoba untuk mencari muka, "Koksu, murid-murid koksu ini gagah perkasa. Alangkah baiknya kalau mereka suka membantu pekerjaan koksu agar mereka tahu sampai di mana kebijaksanaan junjungan kita dan sampai di mana kebesaran pemerintah yang baru."
Mendengar ini, Beng Kun Cinjin mengangguk-angguk. Memang ia merasa tidak enak sekali harus bermusuhan dan ribut-ribut dengan murid-muridnya sendiri, "Kau dengar itu, Thio Houw. Go-at ji dan Sun Tek! Inilah jalan terbaik bagi kalian. Tinggallah di sini dan bantu pekerjaan pinceng. Di antara, kita tidak semestinya ada pertikaian.”
Mendengar ini, bukan main panasnya hati tiga orang pendekar itu. Kalau tadi mereka berlutut, kini serentak ketiganya berdiri tegak. "Suhu, sekali lagi. Sudah tetapkah pendirian suhu tidak akan meninggalkan musuh dan tetap menjadi koksu di sini, hidup mewah dan berenang dalam kemuliaan palsu yang diadakan oleh musuh bangsa?” tanya Thio Houw.
"Pinceng memilih jalan hidup sendiri, kalian ini orang-orang muda mau apakah? Apakah pinceng tidak berhak menentukan jalan hidup sendiri dan tidak berhak mencari kebahagiaan? Persetan dengan kalian dan pergilah dari sini kalau tidak mau mendengar omonganku!"
"Bagus!" Thio Houw juga membentak marah. "Beng Kun Cinjin, mulai saat ini aku, isteriku Kwee Goat dan adik iparku Kwee Sun Tek sudah bukan murid-muridmu lagi! Kami tidak sudi menjadi murid pengkhianat, dan hal ini akan kami umumkan di dunia kang-ouw. Mulai saat ini tidak ada sangkut-paut lagi antara kau dan kami, dan kedosaanmu boleh kau tanggung sendiri!"
Kemarahan Beng Kun Cinjin meluap. "Begitukah? Kalau begitu serahkan kembali senjata-senjatamu yang dulu kalian terima dariku!" Tubuhnya bergerak cepat sekali ke arah murid-muridnya.
Thio Houw yang maklum bahwa bekas gurunya itu hendak merampas senjata, menjadi terkejut sekali. Ia berada di dalam gua macan, artinya di dalam tempat musuh, kalau senjatanya dirampas berarti dia dan isteri serta adiknya akan menghadapi bahaya besar.
Maka cepat ia menggerakkan tongkat pendeknya untuk menotok dada bekas gurunya. Juga Kwee Goat dan Kwee Sun Tek yang maklum akan maksud bekas guru ini, tidak mau mengalah mentah-mentah dan menggerakkan pedang masing-masing untuk menyerang!
Terjadi pertempuran hebat antara guru dan tiga orang muridnya! Biarpun bertangan kosong, dengan mudah Beng Kun Cinjin dapat menghindarkan diri dari tiga macam serangan itu. Akan tetapi murid-muridnya yang selama ini sudah memperoleh kemajuan pesat, cepat menyusul dengan serangan kedua membuat Beng Kun Cinjin kewalahan.
Memang, kepandaian Thio Houw dan Kwee Goat sudah tinggi, malah kiranya lebih tinggi dari pada kepandaian para panglima Istana. Betapapun juga, karena semua kepandaian mereka itu asalnya dari Beng Kun Cinjin, maka tentu saja sebentar kemudian Beng Kun Cinjin sudah dapat menguasai keadaan.
Dengan gerak tangan yang gesit dan kuat sekali, hawa pukulan Lui kong jiu dapat memukul setiap serangan mereka, kemudian dengan Ilmu Silat Pai-in-ciang, hwesio itu dapat membuat pertahanan tiga orang muridnya menjadi kalang kabut.Akan tetapi karena bukan maksudnya hendak merobohkan murid-muridnya, hanya hendak merampas senjata, tak mudah baginya untuk mencapai maksud hatinya. Apa lagi tiga orang muridnya itu sudah maklum akan kehendaknya ini dan mempertahankan senjata mereka secara mati-matian.
Dua puluh jurus lewat sudah dan Beng Kun Cinjin menjadi amat marah. Ia merasa malu sampai sekian lama tidak dapat berhasil dalam usahanya, di depan mata para panglima. Masa menghadapi murid-murid sendiri ia menjadi mati kutu? Dengan gerengan hebat tahu-tahu tasbeh yang dikalungkan di leher telah berada di tangannya.
Thio Houw, Kwee Goat, dan Kwee Sun Tek kaget bukan main. Betul-betulkah bekas suhu ini sudah demikian rusak moralnya dan hendak membunuh-bunuhi murid sendiri? Tiga orang murid itu sudah cukup maklum betapa hebat dan lihainya senjata tasbeh guru mereka, Beng Kun Cinjin itu yang sepanjang ingatan mereka belum pernah dikalahkan orang.
Sekarang melihat suhu mereka mempergunakan tasbeh ini, mereka menjadi gentar juga. Akan tetapi karena mereka sudah merasa benci kepada bekas guru yang menyeleweng ini, mereka menjadi nekat dan malah menyerang lebih hebat lagi dari pada tadi.
"Kalian benar-benar berkepala batu!" bentak Beng Kun Cinjin, tasbehnya menyambar mengeluarkan angin pukulan yang membuat tiga orang muridnya itu terhuyung ke belakang dan sebelum mereka dapat mencegah, tahu-tahu tasbeh itu sudah melingkari tongkat Thio Houw dan tangan kiri hwesio itu sudah menyambar pedang di tangan Kwee Sun Tek. Sekali ia berseru sambil mengerahkan tenaga, dua senjata itu telah dirampasnya!
Thio Houw dan Kwee Sun Tek terkejut sekali dan hanya memandang dengan mata terbelalak, melihat bagaimana senjata mereka dirampas oleh bekas guru itu.
Beng Kun Cinjin tertawa. "Kalian anak-anak muda benar-benar tak tahu diri, disuruh pergi baik-baik tidak mau, disuruh tinggal juga tidak mau, sebaliknya menghina dan membikin malu guru. Jangan salahkan pinceng kalau pinceng merampas kembali senjata sebagai hukuman. Hanya pedang Cheng-hoa-kiam di tangan Goat-ji (anak Goat) tidak pinceng minta kembali, mengingat akan kebaikan hati dan kebaktian Goat-ji dulu-dulu. Nah, pergilah kalian!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat hwesio itu telah lenyap dari situ, kembali ke kamarnya di mana kekasihnya, Kiu Hui Niang telah menantinya. Akan tetapi ia mengerutkan kening ketika mendengar suara ramai-ramai di luar orang bertempur. Tahulah ia bahwa tiga orang muridnya itu berkeras hati dan tidak mau pergi, malah kini bertempur lagi melawan para panglima istana.
Sukar baginya untuk mencegah, karena tiga orang muridnya itu yang sudah membikin rusuh di istana tentu saja tidak akan dibiarkan pergi begitu saja oleh para pengawal. Apa lagi setelah para pengawal itu melihat bahwa sekarang tiga orang itu sudah tidak mau mengaku sebagai muridnya, tentu para pengawal tidak segan-segan lagi turun tangan dan tidak sungkan lagi kepadanya yang sekarang sudah bukan guru lagi dari tiga orang itu.
Diam-diam hati Beng Kun Cinjin menjadi tidak enak sekali. Ia lalu menutup pintu dan jendela rapat-rapat agar tidak mendengar suara pertempuran di luar dan menghampiri kekasihnya yang sudah menanti di situ.
"Bagaimana, apakah penjahat-penjahat itu sudah kau bekuk?" tanya Kiu Hui Niang yang menyambut kedatangan suaminya dengan muka khawatir, "Aku masih mendengar pertempuran di luar."
"Biarlah, senjata-senjatanya sudah ku rampas. Para pengawal sudah cukup kuat untuk membereskan mereka," jawab hwesio itu sambil duduk di atas bangku dan menghirup habis secawan besar arak wangi.
"Aku mendengar bahwa mereka itu bekas murid-muridmu, betulkah?" tanya Hui Niang, wajahnya yang cantik masih memperlihatkan kekhawatiran.
"Jangan kau takut, manisku. Tidak baik waktu mengandung berkhawatir. Mereka itu hanya bekas murid muridku, bukan apa-apa. Sebentar lagi tentu mereka akan tertawan atau tewas oleh para pengawal."
"Apakah murid-muridmu hanya tiga orang itu? Mereka itu bekerja apa dan bagaimana keadaan mereka?" Hui Niang mendesak sambil mendengarkan suara ribut-ribut di luar.
Beng Kun Cinjin tersenyum, lalu menarik napas panjang untuk mengusir kenangan-kenangan lama antara guru dan murid-murid yang pada saat itu malah mengesalkan hatinya. "Yang dua adalah suami isteri membuka piauwkiok di selatan yang seorang adalah adik si isteri. Mereka memang besar kepala dan patut mendapat hukuman."
"Suamiku yang baik, suamiku yang gagah, mengapa tidak kau sendiri keluar menghabiskan nyawa mereka? Aku khawatir mereka akan dapat lolos dari kepungan para pengawal." kata Hui Niang memohon.
Diam-diam memang Beng Kun Cinjin mengharapkan ketiga orang muridnya itu akan dapat meloloskan diri dan pergi dari situ. Betapapun juga ia tidak menghendaki tiga orang muridnya itu tewas oleh para pengawal. Tadi ia sengaja merampas senjata Thio Houw dan Kwee Sun Tek karena ia maklum bahwa tanpa senjata, mereka itu pasti takkan kuat menghadapi para panglima.
Yang lihai adalah senjata-senjata mereka yang memang bukan senjata biasa, melainkan senjata-senjata pusaka yang dulu ia berikan kepada murid-muridnya. Hanya pedang Cheng-hoa-kiam ditangan Kwee Goat ia tidak tega untuk rampas. Ia memberi kesempatan sebesarnya kepada murid perempuan itu untuk meloloskan diri mengandalkan pedangnya.
Selagi di dalam kamarnya Beng Kun Cinjin dibujuk-bujuk oleh isterinya untuk membantu para pengawal, adalah pertempuran di luar makin menghebat. Thio Houw, Kwee Goat dan Kwee Sun Tek bukan saja tidak mempunyai niat meninggalkan tempat itu sebelum melampiaskan kemarahan mereka, juga andaikata mereka hendak pergi melarikan diri kiranya para pengawal istana takkan mau membiarkan begitu saja.
Setelah Beng Kun Cinjin pergi, para pengawal istana tanpa diberi komando lagi lalu menyerbu dan mengurung mereka. Thio Houw dan Kwee Sun Tek biarpun sudah bertangan kosong, tak merasa gentar. Sambil mengeluarkan suara gerengan hebat, keduanya mengamuk bagaikan dua ekor naga yang sedang marah.
Sedangkan Kwee Goat yang masih memegang pedang, juga tidak tinggal diam. pedangnya berkelebatan mencari korban. Sebentar saja, banyak pengawal yang kurang tinggi kepandaiannya roboh menjadi korban tiga orang pendekar yang sedang marah dan mengamuk ini.
Akan tetapi, para pengawal itu makin banyak saja mendatangi tempat pertempuran dan kini yang maju mengeroyok hanyalah pengawal-pengawal kelas satu, dipimpin oleh Sin-chio Lo Thung Khak, Hek-mo Sai-ong. Ta Gu Thai, dan tiga orang panglima yang kepandaiannya juga amat tinggi yangi dikenal sebagai tiga saudara Lee yang gagah perkasa.
Menghadapi mereka ini, baru Thio Houw dan isteri serta adiknya menjadi terdesak hebat. Thio Houw yang menjadi pusat penyerangan lawan, sudah menderita luka pada pundaknya, kena sambaran senjata benggolan Hek-mo Sai-ong, kini ia hanya dapat mempertahankan diri dengan sebelah tangan saja. Juga Kwee Goat dan Kwee Sun Tek sudah lelah sekali, malah Kwee Sun Tek juga mendapat luka ringan pada lengannya, kulitnya robek berdarah karena ia menangkis senjata tajam.
Jalan keluar tidak ada lagi. Menyerah merupakan pantangan besar bagi mereka. Kwee Goat insyaf benar akan hal ini karena ia sudah terluka dan dia sendiri sudah tidak bertenaga, maklumlah nyonya ini nasib apa yang akan menimpa keluarganya. Ia teringat akan puteranya yang ia titipkan di kelenteng. Tiba-tiba ia menyerahkan pedangnya kepada Kwee Sun Tek dan berbisik.
"Adikku yang baik, lekas kau lari dan selamatkan keponakanmu!"
Sun Tek kaget. Mana bisa ia meninggalkan enci dan iparnya tewas di situ tanpa membantu sampai titik darah penghabisan? "Kau saja yang lari, cici. Wi Liong perlu dengan ibunya, biar aku mempertahankan di samping cihu." jawab pemuda itu dengan suara tetap.
"Bodoh, kalau cihumu tewas apa kau kira aku masih suka hidup? Suami isteri tewas berbareng adalah hal yang baik sekali. Kau rawat Wi Liong dan berikan Cheng-hoa-kiam ini kepadanya. Biar kelak dia yang membasmi penghianat Beng Kun Cinjin dari muka bumi!"
Sun Tek tak dapat menolak lagi. Pedang sudah diberikan di tangannya. Para pengeroyok mendesak terpaksa ia menggunakan pedang cicinya untuk membabat dan berhasil melukai seorang pengawal. Cicinya sudah terjun lagi ke dalam pertempuran, bahu-membahu dengan suaminya hanya menggunakan Ilmu Silat Pai in-ciang untuk melawan sekian banyaknya musuh yang bersenjata tajam.
Sun Tek maklum bahwa seorang di antara mereka harus hidup dan dapat melarikan diri untuk merawat Wi Liong keponakannya itu. Melihat keadaan Thio Houw dan isterinya, ia maklum bahwa memang tak mungkin memisahkan mereka. Ia cukup maklum betapa besar cinta kasih cicinya terhadap suaminya dan tentu eaja kakak perempuannya itu rela tewas di samping suaminya.
"Baiklah, enci Goat dan cihu. aku akan merawat Liong-ji. Selamat berpisah!" kata Sun Tek dengan mata basah karena tak tertahan lagi air matanya membasahi matanya. Ia memutar pedangnya dan mencari jalan keluar.
Para pengawal tentu saja tidak membiarkan ia pergi dan cepat ia dikurung. Thio Houw dan isterinya yang menggantungkan harapannya kepada Sun Tek untuk merawat anak mereka, menubruk maju dan menyerang para pengawal dengan mati-matian. Mereka tidak memperdulikan nyawa sendiri agar Sun Tek dapat bebas dan dapat merawat hidup Liong-ji mereka.
Karena gerakan mereka yang nekat untuk menolong Sun Tek ini, dalam sekejap mata saja mereka menjadi korban senjata para pengeroyok, Thio Houw roboh karena pukulan gembolan di tangan Hek-mo Sai-ong pada kepalanya, sedangkan Kwee Goat roboh terkena bacokan golok pada punggungnya.
"Adikku, rawat Liong-ji baik-baik...." Kwee Goat masih sempat bersuara sebelum nyawanya melayang meninggalkan raganya.
Melihat cici dan cihu nya roboh, mana bisa Kwee Sun Tek pergi begitu saja? Tadinya ia sudah berusaha membuka jalan keluar, akan tetapi melihat keadaan kakak perempuan dan iparnya itu, sambil berseru marah ia menerjang kembali, dalam kekalapannya merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedangnya.
Akan tetapi segera ia dikurung rapat dan hanya bisa memutar pedang melindungi diri saja dari pada hujan senjata itu. Keadaan Kwee Sun Tek sudah amat berbahaya dan dapat diramalkan bahwa tak lama kemudian iapun tentu akan roboh seperti kakak perempuan dan iparnya yang sudah tewas. Akan tamatkah riwayat tiga orang pendekar murid Beng Kun Cinjin itu secara demikian mengecewakan?
Tiba-tiba terdengar seruan Beng Kun Cinjin dari dalam kamarnya. "Yang lain-lain boleh bunuh, akan tetapi yang memegang pedang Cheng-hoa-kiam harus dibiarkan pergi!"
Suara hwesio ini berpengaruh sekali dan semua pengawal tidak ada yang berani membantah. Apa lagi mereka sudah berhasil menewaskan dua orang musuh, hal itu sudah cukup meredakan kemarahan mereka biarpun di fihak mereka ada enam orang pengawal yang tewas dalam pertempuran itu, dan ada lima orang lain yang terluka! Kurungan terhadap Kwee Sun Tek dibuka dan tak seorangpun pengawal menyerang pemuda ini.
Kwee Sun Tek tidak tahu mengapa gurunya membiarkan dia terbebas, akan tetapi ia tidak pergi sebelum menyambar tubuh clci dan cihunya dan dengan sedih ia memanggul kedua mayat itu dan berlari keluar dari lingkungan istana.
Setelah pertempuran berhenti dan di luar sunyi, baru Beng Kun Cinjin mau keluar dan mendengarkan laporan para pengawal tentang pertempuran itu. Biarpun mukanya tidak memperlihatkan sedikitpun perasaan ketika mendengar laporan itu, namun di dalam hatinya Beng Kun Cinjin kaget setengah mati ketika mendapat laporan bahwa Kwee Goat juga tewas dan yang dapat membebaskan diri adalah Kwee Sun Tek!
Ketika ia memberi perintah dari dalam kamarnya untuk melepaskan pemegang pedang Cheng-hoa-kiam, ia bermaksud untuk mengampuni dan melepaskan murid perempuan yang ia sayang itu agar dapat pergi dan merawat anak tunggalnya. Siapa duga bahwa ternyata nyonya muda itu telah memberikan pedang kepada adiknya sehingga dengan demikian ia bersama suaminya yang tewas dan Kwee Sun Tek dapat menyelamatkan diri.
Beng Kun Cinjin maklum akan watak Kwee Sun Tek yang keras dan tahu pula bahwa di antara ketiga muridnya itu. Kwee Sun Tek yang paling bersemangat dalam membela nusa bangsa, paling patriotik. Oleh karena itu, tentu dari fihak Kwee Sun Tek ia akan mendapat permusuhan yang tak kunjung padam. Apa lagi kalau putera Kwee Goat itu dirawat oleh Kwee Sun Tek, tentu kelak akan menambahkan musuh saja.
Akan tetapi semua ini hanya disimpan di dalam hatinya sendiri saja dan ia tidak bilang sesuatu kepada para pengawal, melainkan menyuruh mereka merawat mereka yang luka dan mengurus mereka yang tewas. Juga tidak lupa ia membagi bagi hadiah, baik kepada para pengawal maupun kepada para keluarga pengawal yang tewas.
Kiu Hui Niang dapat melihat kemasgulan hati suaminya. Ia lalu mendesak. "Mengapa kau nampak berduka? Apakah kau menyedihi kematian murid-muridmu yang murtad terhadapmu itu?”
Beng Kun Cinjin menggeleng kepala dan sedianya ia takkan bercerita. Namun, isterinya terus mendesak dan karena memang hwesio ini sudah bertekuk lutut terhadap kecantikan Hui Niang, akhirnya ia mengaku juga bahwa dibebaskannya Kwee Sun Tek yang akan merawat putera Kwee Goat mendatangkan kecemasan baginya.
"Aah, mengapa kau begitu bodoh? Dia baru malam tadi pergi, membawa dua mayat pula. Mana dia bisa pergi jauh? Suamiku, ingat bahwa dia itu kelak akan menjadi musuh besar. Apa lagi bocah yang ia rawat, tentu kelak akan menjadi rintangan hidup kita saja. Andaikata bocah itu kelak tidak dapat bertemu dengan kau, kau harus ingat akan anak yang kukandung, anakmu. Apakah penghidupan anakmu ini akan menjadi aman tenteram kalau kita mempunyai musuh besar? Sebelum terlambat, dan sebelum mereka pergi jauh, lebih baik kau lekas menyusul dan membunuh mereka paman dan keponakan itu."
"Itu terlalu kejam...." keluh Beng Kun Cinjin.
"Mana bisa disebut kejam? Ini demi menyelamatkan penghidupan anak kita sendiri kelak. Dan pula, kalau anak itu dibiarkan hidup, bukankah dia akan hidup sebagai anak yatim piatu dan malah menjadi terlantar? Lebih baik dia disuruh menyusul ayah bundanya."
Seperti biasa, luluh hati Beng Kun Cinjin oleh bujukan isterinya, apa lagi ketika Hui Niang menangis terisak-isak karena amat gelisah memikirkan nasib anaknya yang masih dalam kandungan itu. Selain tergerak oleh bujukan isterinya yang cantik jelita, juga Beng Kun Cinjin nrenganggap bahwa kali ini isterinya bicara betul, ia dapat membayangkan betapa anak Kwee Goat itu kelak tentu akan berusaha membalas dendam, kalau tidak bisa kepadanya tentu kepada anaknya.
Berangkatlah Beng Kun Cinjin siang hari itu. keluar dari gedungnya untuk mengejar Kwee Sun Tek! Karena urusan ini lebih bersifat urusan pribadi, maka ia tidak memberi tahu kepada para pengawal, pula ia anggap urusan mudah untuk mengejar dan membinasakan muridnya itu.
Adapun Kwee Sun Tek yang berhasil keluar dari istana sambil membawa jenazah cici dan cihunya, dengan bercucuran air mata terus-menerus. Jenazah-jenazah itu dengan bantuan hwesio penjaga kelenteng. Dengan hati hancur ia mengubur jenazah-jenazah itu di halaman belakang kelenteng dan menyembahyangi.
Juga Thio Wi Liong, bocah yang baru berusia satu tahun dan tidak tahu apa-apa itu, ia pondong dan ia bawa bersembahyang di depan kuburan yang baru dari ayah bundanya.
"Wi Liong, barlah aku mewakili kau bersumpah kepada arwah ayah bundamu bahwa kelak apa bila kita sudah kuat kita berdua akan mencari jahanam keji penghianat bangsa itu dan akan mencabut keluar jantungnya untuk dipakai bersembahyang di depan kuburan-kuburan ini. Cheng hoa-kiam inilah yang akan mendodet perutnya dan mencabut keluar jantungnya."
Dengan wajah menyeramkan Kwee Sun Tek mencabut pedang Cheng-hoa-kiam. Wi Liong menangis ketika melihat wajah pamannya ini. Hwesio penjaga kelenteng menjadi ketakutan, apa lagi la tahu bahwa yang dimaki-maki adalah koksu yang baru.
"Sicu, pinceng harap sicu cepat-cepat meninggalkan kota raja. Tentu sicu maklum bahwa pinceng yang sudah tua dan tidak mau tersangkut urusan keduniaan, merasa gelisah kalau kalau terjadi sesuatu di kelenteng ini."
Kwee Sun Tek maklum akan perasaan takut hwesio tua itu, maka ia cepat menghaturkan terima kasih, lalu mengumpulkan pakaian Wi Liong dan sambil memondong keponakannya itu, ia berangkat keluar dari kota raja dengan cepat. Ketika itu matahari telah naik tinggi dan dengan perasaan lega Kwee Sun Tek tidak menemui rintangan ketika melalui pintu gerbang kota raja.
"Aku harus membawa Liong- ji sejauh mungkin," pikirnya. "Aku harus mencarikan guru yang sakti untuk anak ini."
Diam-diam ia meragukan sendiri apakah ia dan keponakannya ini ada harapan untuk membalas dendam kepada seorang yang demikian tinggi ilmunya seperti bekas gurunya. Beng Kun Cinjin! Karena ia masih khawatir kalau-kalau Beng Kun Cinjin atau para pengawal Istana akan mengejarnya. Sun Tek melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan tenaganya dan berlari cepat melalui pintu gerbang sebelah selatan.
Ia tidak tahu bahwa setelah ia meninggalkan pintu gerbang itu kurang lebih sepuluh lie jauhnya. Beng Kun Cinjin juga tiba di pintu gerbang selatan itu. Ia segera disambut dengan penghormatan oleh penjaga pintu.
"Apakah tadi pagi kau melihat seorang laki-laki memondong seorang anak kecil lewat keluar pintu gerbang ini?” tanya Beng Kun Cinjin tanpa membalas penghormatan penjaga itu.
''Ada, koksu, ada! Tadi memang ada seorang pemuda yang gagah kelihatannya, di pinggangnya tergantung pedang dan dia memondong seorang anak laki-laki berusia satu tahun kurang lebih. Malah anak itu menangis saja memanggil-manggil ibunya." kata si penjaga.
Mendengar ini, tanpa berkata apa-apa lagi Beng Kun Cinjin lalu berkelebat dan berlari cepat mengejar ke barat. Memang kalau orang keluar dari pintu gerbang selatan ini, jalan selanjutnya menuju ke barat.
Biarpun ilmu berlari cepat dari Kwee Sun Tek sudah mencapai tingkat tinggi, namun dibandingkan dengan Beng Kun Cinjin. ia masih kalah jauh sekali. Tanpa menyadari akan datangnya bahaya. Sun Tek berlari terus ke barat. Tujuannya adalah Kuil Siauw-lim-si yang terletak kurang lebih sepuluh lie lagi di depan.
Ia mengenal Siang Tek Hosiang. Ketua kuil itu yang merupakan cabang Kelenteng Siauw-lim-si yang terkenal dipimpin oleh orang-orang gagah perkasa di dunia kangouw. Siang Tek Hosiang sendiri adalah tokoh keluaran Siauw lim si yang sudah berkepandaian tinggi dan sudah mendapat kepercayaan dari para guru-guru besar di Siauw lim pai untuk membuka cabang di tempat itu.
Maksud hati Kwee Sun Tek, ia hendak menemui sahabatnya itu dan minta surat perkenalan karena ia bermaksud hendak memasukkan Wi Liong menjadi murid Siauw lim pai yang terkenal sebagai partai persilatan yang besar. Kuil Siauw lim si itu masih berada kurang lebih tiga lie lagi di sebelah depan ketika tiba-tiba Kwee Sun Tek mendengar seruan keras dan nyaring dari belakang.
"Sun Tek, berhentilah kau!"
Kalau ketika itu ada suara geledek menyambar di dekat telinganya, belum tentu Sun Tek akan sekaget ketika ia mendengar dan mengenal suara ini. Biarpun orangnya belum kelihatan, namun ia maklum bahwa gurunya telah mengejarnya dan baru saja mengeluarkan seruan dengan pengerahan tenaga khikang yang tinggi, semacam Ilmu Coan im jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh).
Mendengar seruan ini. Sun Tek bukannya mentaati permintaan suhunya, dia malah mempercepat larinya ke depan sambil memeluk Wi Liong erat-erat. Dia sudah melewati satu lie lagi. Hutan di mana terdapat Kuil Siauw lim si itu sudah nampak di depan.
"Sun Tek, tunggu...!!" terdengar lagi suara suhunya.
Kwee Sun Tek makin "tancap gas" mendengar suara yang sudah dekat sekali ini seakan-akan suhunya sudah berada di belakang tubuhnyal Diam-diam ia menyiapkan pedang Cheng-hoa-kiam karena ia mengambil keputusan kalau ia tersusul oleh suhunya sebelum mencapai Kuil Siauw-lim-si, ia akan nekat melakukan perlawanan mati-matian.
Baiknya Beng Kun Cinjin tidak berlaku tergesa-gesa karena sudah maklum bahwa bagaimanapun juga, bekas muridnya itu takkan mampu melarikan diri dan terlepas dari tangannya.
Lega hati Sun Tek ketika ia memasuki hutan itu dan ia tidak perduli akan seruan gurunya yang sekali lagi menggeledek datangnya, tanda bahwa gurunya sudah dekat benar. Bangunan Kuil Siauw lim-si sudah nampak, gentengnya yang merah sudah kelihatan di antara daun-daun pohon. Sun Tek mengerahkan seluruh tenaga kakinya dan berlari kencang sekali menuju ke kuil itu.
Dengan napas hampir putus ia melompat masuk ke dalam ruangan dan menjatuhkan diri terengah-engah di antara tujuh orang, hwesio yang sedang melakukan upacara sembahyang dan berdoa. Tentu saja tujuh orang hwesio itu terheran-heran melihatnya.
Seorang hwesio yang usianya sudah enampuluh tahun, berjenggot panjang dan putih, berdiri dari tempat duduknya, memandang tajam lalu berkata, "Omitohud! Kalau mata pinceng yang sudah lamur tidak keliru lihat, bukankah sicu ini Kwee-sicu?”
"Losuhu, tolonglah teecu! Teecu dikejar-kejar oleh Beng Kun Cinjin...!" kata Sun Tek terengah-engah.
Hwesio tua itu mengelus-elus jenggotnya dan menggeleng-geleng kepalanya. Ia tahu siapa Beng Kun Cinjin, yakni koksu yang baru saja diangkat oleh Kaisar Mongol. Juga ia tahu bahwa Beng Kun Cinjin adalah guru orang muda ini. Ia mengenal baik Kwee Sun Tek, pemuda patriotik yang gagah dan ia dapat menduga bahwa tentu terjadi keributan antara guru dan murid, buktinya pemuda ini tidak menyebut "suhu" lagi kepada Beng Kun Cinjin.
"Heran sudah demikian jauhkah penyelewengan Beng Kun Cinjin?" katanya lirih.
"Penghianat itu telah membunuh cici dan cihuku ketika kami bertiga berusaha mengingatkannya dari penghianatannya. Dan anak ini adalah anak cici dan cihu. Sekarang penghianat itu dari kota raja mengejar teecu, mohon pertolongan losuhu dan semua suhu di sini demi keselamatan bocah ini...!"
"Sun Tek, keluarlah! Jangan bawa-bawa orang lain dalam urusan kita!" terdengar bentakan dari luar kuil. Itulah suara Beng Kun Cinjin.
"Losuhu, biar teecu keluar dan menyerahkan nyawa teecu. Hanya, teecu mohon para losuhu sudi melindungi bocah ini dan kelak memasukkan Thio Wi Liong ini sebagai murid Siauw-lim-pai," kata Kwee Sun Tek dengan suara memohon.
"Jangan, Kwee-sicu. Selain tidak baik melawan bekas guru sendiri, juga kau takkan menang. Untuk apa mengantarkan nyawa cuma-cuma? Kau masih muda dan perlu hidup untuk merawat keponakanmu. Kau larilah dari pintu belakang biar pinceng bertujuh membujuk Beng Kun Cinjin untuk mengampunimu," kata Siang Tek Hosiang dengan suara lemah lembut.
Sun Tek girang sekali, ia menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian ia memondong keponakannya itu dan jalan berindap indap ke pintu belakang. Adapun Siang Tek Hosiang dan enam orang sute dan muridnya berjalan keluar dengan tenang.
Biarpun dulunya Beng Kun Cinjin adalah seorang hwesio pula dan bahkan sekarangpun kepalanya masih gundul biarpun tidak sekehmis dulu, namun karena kedudukannya sebagai koksu negara Siang Tek Hosiang tidak menganggapnya sebagai sesama pendeta Buddha. Siang Tek Hosiang memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada diturut oleh enam orang hwesio yang lain.
"Ah kiranya koksu yang mengunjungi kuil kami yang buruk. Entah apa gerangan maksud kunjungan koksu yang terhormat ini?” kata Siang Tek Hosiang dengan ramah dan halus.
Beng Kun Cinjin tidak merasa heran bahwa orang mengenalnya karena sebagai koksu baru, tentu saja ia menjadi terkenal dengan kedudukannya yang tinggi itu dan semua orang di sekitar kota raja pasti mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi tak senang melihat hwesio tua itu masih berpura-pura, padahal sudah jelas bahwa tadi Kwee Sun Tek memasuki kuil ini. Bentaknya keras,
"Biasanya hwesio-hwesio Siauw-lim pai amat jujur, mengapa sekarang ada cabangnya yang diurus oleh hwesio-hwesio pandai bersikap palsu? Hwesio tua, apa kau tidak tahu bahwa pinceng adalah Beng Kun Cinjin? Lekas kau suruh orang muda yang memondong bocah tadi keluar menemui pinceng. Dia itu muridku, dan jangan kalian mencampuri urusan antara guru dan murid."
Siang Tek Hosiang tersenyum tenang. "Lo-ceng cukup tahu dengan siapa loceng berhadapan, yaitu dengan koksu baru dari pemerintah Mongol! Siauw lim pai selamanya mengutamakan kegagahan dan membenci kemunafikan, apa lagi penghianatan. Orang muda yang memondong bocah adalah seorang patriot muda perkasa, seorang sahabat loceng yang baik. Oleb karena itu, sudah sewajarnya kalau Siauw lim-pai melindungi seorang pahlawan bangsa. Mengingat akan asal-usul koksu, harap saja koksu memandang muka kami dan menghabiskan urusan ini kembali ke kota raja."
"Hwesio keparat!" Beng Kun Cinjin membanting kakinya dengan marah sekali. "Kau sudah tahu berhadapan dengan Beng Kun Cinjin dan masih berani bersikap begini? Setan alas Couwsu dari Siauw lim pai sendiri. Bhok Lo Cinjin, makan semeja duduk sebangku dengan pinceng!"
Kata kata makan semeja duduk sebangku berarti orang setingkat atau sederajat. Memang Beng Kun Cinjin dianggap tokoh kang-ouw yang besar dan hanya dapat disamakan dengan para ciangbujin {ketua) dari partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun pai, Gobi-pai dan beberapa partai lagi.
Sekarang seorang ketua cabang partai seperti Siang Tek Hosiang berani bicara seperti orang menegur atau menyindir di depannya, tentu saja membuat Beng Kun Cinjin menjadi panas perutnya. Setelah memaki marah, Beng Kun Cinjin terus saja menerobos masuk ke dalam kuil tanpa memperdulikan tujuh orang hwesio yang menghadang di depannya.
"Koksu, kuil adalah tempat suci. Tak boleh sembarangan diinjak lantainya oleh seorang pembesar asing!" kata Siang Tek Hosiang mencegah sambil mengangkat kedua lengan ke depan untuk mendorong mundur Beng Kun Cinjin. Enam orang kawannya yang terdiri dari dua orang sute dan empat orang murid, juga menghadang di tengah jalan.
Ucapan "pembesar asing" ini lebih-lebih mengobarkan kemarahan di hati Beng Kun Cinjin. Dengan bentakan "pergilah!" ia menggerakkan tangan kanan menyambut dorongan itu, sedangkan tangan kiri ia kipatkan ke arah enam orang hwesio lainnya. Biarpun gerakan ini sewajarnya dan biasa saja, akan tetapi sebetulnya gerakan itu mengandung tenaga pukulan Lui-kong-jiu yang ampuh.
Terdengar teriakan-teriakan mengerikan. Tubuh Siang Tek Hosiang terlempar dan roboh tak berkutik lagi, dari mulut hwesio tua ini keluar darah segar dan matanya melotot memandang Beng Kun Cinjin dengan sinar kemarahan yang makin lama makin melenyap ketika sepasang matanya menjadi suram dan akhirnya padam, tanda nyawanya meninggalkan tubuhnya yang sudah tua.
Adapun enam orang hwesio lain, terkena sambaran angin pukulan tangan kiri, bagaikan daun daun kering tertiup angin taufan, terlempar saling tumbuk tidak karuan.
Tanpa memperdulikan lagi keadaan para korban akibat pukulannya, Beng Kun Cinjin terus melangkah masuk dan menggeledah di dalam kuil. Akan tetapi yang ia dapati hanyalah alat-alat sembahyang dan kitab-kitab doa Agama Buddha. Tidak terdapat bayangan Kwee Sun Tek.
Beng Kun Cinjin dapat menduga bahwa bekas muridnya itu tentu melarikan diri dari pintu belakang. Tanpa membuang waktu lagi ia terus mengejar melalui pintu belakang, mengerahkan kepandaiannya dan berlari secepat terbang melakukan pengejaran.
Secepat-cepatnya dan sepandai-pandainya Kwee Sun Tek lari, mana bisa ia melawan bekas gurunya sendiri? Belum sepuluh lie ia lari, Beng Kun Cinjin sudah dapat menyusulnya!
"Sun Tek, kau hendak lari ke mana?" bentak Beng Kun Cinjin dengan suara menyeramkan.
Tak melihat jalan untuk menyelamatkan diri lagi. Kwee Sun Tek dengan wajah pucat akan tetapi mata mengandung keberanian luar biasa, berhenti, membalikkan tubuh dan berdiri tegak dengan keponakannya di dalam pondongan tangan kiri dan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan kanan.
"Beng Kun Cinjin, apakah setelah menjadi kaki tangan penjajah kau sudah begitu hina untuk melanggar janji sendiri? Kau sudah berjanji dan mengeluarkan kata-kata melepaskan orang yang memegang Cheng-hoa-kiam!"
Melihat pemuda itu berdiri tegak dan gagah, untuk sedetik Beng Kun Cinjin teringat akan muridnya ini di waktu masih kecil, belajar dengan tekun, rajin dan memang sejak kecil Sun Tek memiliki ketabahan hati luar biasa. Akan tetapi semua ingatan ini terusir pergi oleh bayangan bibir merah menarik dari Hui Niang, maka bentaknya keras.
"Siapa mau melepaskan kau? Pinceng memang bermaksud melepaskan Kwee Goat, bukan kau! Sungguh kau harus malu, membiarkan enci sendiri tewas dan kau sendiri melarikan dan menyelamatkan diri!"
Sun Tek menganggap tidak ada gunanya membujuk bekas gurunya ini. Maka sambil membolang balingkan pedang Cheng-hoa kiam, ia ber kata. "Kau hendak membunuh aku? Boleh, silahkan saja. Siapa sih takut mati? Akan tetapi harap saja kau masih ada sedikit prikemanusiaan dan tidak mengganggu keponakanku ini."
Setelah berkata demikian, Sun Tek menurunkan Wi Liong di atas rumput, di bawah sebatang pohon besar. Anak ini belum pandai berdiri, baru merangkak. Karena diturunkan dari pondongan dan ditinggal seorang diri di atas rumput, ia mulai menangis keras.
Beng Kun Cinjin juga tidak mau banyak bicara karena di dalam lubuk hatinya betapapun juga ia merasa bahwa kali ini ia bertindak keterlaluan. Akan tetapi kalau bekas muridnya ini tidak dibunuh, kelak tentu akan menimbulkan banyak urusan, seperti yang dikatakan oleh kekasihnya.
"'Kau sendiri yang mencari mampus, berani kau mencampuri urusan rumah tangga dan kehidupanku!" bentaknya untuk menghibur hati sendiri yang merasa tidak enak. Bentakannya ini disusul oleh gerakan tubuhnya yang cepat menyerang dengan pukulan keras.
Sun Tek sudah nekat. Ia menggerakkan pedang, memapaki gerakan gurunya dan menusuk sekuat tenaga ke arah dada Beng Kun Cinjin. Gerakannya ini disebut Cai-hong-siok-i (Burung Hong Menyisir Bulu), cepat dan berbahaya sekali karena Sun Tek memang sudah berlaku nekat. Kalau bukan bekas gurunya yang mengajarkan ilmu itu kepadanya yang menghadapi serangan ini tentu akan sibuk untuk menangkis.
Akan tetapi Beng Kun Cinjin mengeluarkan suara ketawa dingin, mengkal dan marah karena kini ia diserang orang dengan ilmu yang ia ajarkan sendiri. Dengan tenang lengan kirinya bergerak maju. Ujung bajunya yang panjang itu menyambar ke depan dengan gerakan memutar dan di lain saat, ujung pedang Cheng hoa-kiarn telah kena dililit oleh ujung lengan baju itu!
Sun Tek maklum akan kelihaian gurunya, maka ia mengerahkan seluruh tenaganya, memutar gagang pedang dan menarik dengan gerakan menggetar. "Breett!" Ujung lengan baju itu pecah!
Beng Kun Cinjin tidak menduga bekas muridnya akan begini nekat. Kemarahannya memuncak dan sebelum Sun Tek sempat menyerang lagi, bekas guru ini sudah mengirim pukulan Pai In-ciang yang cepatnya laksana kilat menyambar.
Sun Tek mengeluh, pedang Cheng-hoa-kiam sudah terampas oleh gurunya dan ia sendiri terlempar ke belakang, dadanya terasa sakit karena sudah terkena pukulan Pai in-ciang!
Beng Kun Cinjin memegang pedang Cheng-hoa-kiam dengan kedua tangan, hendak dipatahkannya, akan tetapi la teringat betapa pedang ini telah mengawaninya sejak ia muda sampai pada suatu hari ia memberikan pedang itu kepada Kwee Goat.
Timbul rasa sayangnya untuk mematahkan pedang itu, juga untuk membawa pedang itu ia merasa malu kepada diri sendiri. Akhirnya ia melemparkan pedang itu ke bawah. Pedang menancap sampai ke gagangnya di dalam tanah. Setelah itu ia melangkah maju menghampiri Sun Tek.
"Pinceng bukan seorang kejam," katanya bersungut-sungut kepada Sun Tek yang sudah tak dapat berdiri lagi. Suara Beng Kun Cmjin terdengar seperti orang mencela, seperti orang yang merasa menyesal, atau hendak mencari-cari alasan untuk menutupi hati yang tak enak karena tiga orang muridnya ia bikin celaka sendiri.
"Akan tetapi pinceng juga seorang manusia biasa. Semenjak muda pinceng selalu terlunta-lunta, selalu kecewa dan gagal dalam cinta kasih dan dalam hidup. Sekarang dalam usia tua, ada orang mencinta, ada orang memberi kesempatan kepada pinceng untuk hidup senang dan mengalami kebahagiaan dan cinta kasih. Mengapa kau datang mengacau? Jangan bilang pinceng yang keterlaluan, dan tidak ada prikemanusiaan!"
"Penghianat tak tahu malu. Mau bunuh lekas bunuh, kau kira aku takut mati? Asal kau bebaskan Wi Liong, aku orang she Kwee takkan gentar menerima kematian!” Sun Tek menantang.
"Memang akan kubunuh kau, siapa yang melarang?” kata Beng Kun Cinjin tersenyum mengejek dan ia mengangkat tangan kanannya ke atas, siap melakukan pukulan maut.
Tiba-tiba terdengar Wi Liong menjerit-jerit dan menangis. Beng Kun Cinjin menurunkan kembali tangannya, menengok ke arah Wi Liong dan menarik napas panjang. Tak sampai hati juga ia untuk membunuh Sun Tek, pemuda bekas muridnya yang begini gagah perkasa tak berkedip menghadapi kematian.
"Kuampuni nyawamu, akan tetapi pinceng terpaksa membuat kau tidak ada kesempatan lagi mengacau kelak." Setelah berkata demikian, cepat tubuhnya bergerak dan tahu-tahu Sun Tek sudah menerima dua pukulan, pertama di belakang kepala dan ke dua di antara kedua mata. Pukulan-pukulan yang sebetulnya adalah totokan yang dilakukan dengan jari telunjuk.
Sun Tek tidak merasa sakit, hanya kepalanya pening sekali dan ia terguling, pingsan. Dari kedua matanya keluar darah! Beng Kun Cinjin menoleh ke arah Wi Liong, menarik napas panjang dan berkata seorang diri,
"Bocah tak tahu apa-apa. Sun Tek takkan mampu mendidiknya menjadi orang berbahaya." Kemudian secepat terbang hwesio ini meninggalkan tempat itu, seakan-akan suara Wi Liong yang menangis menjerit-jerit itu amat mengganggunya.
Kurang lebih tiga jam Sun Tek pingsan. Setelah sadar, ia mendapatkan kenyataan bahwa kedua matanya telah menjadi buta! Ternyata bahwa bekas gurunya telah membikin putus urat-urat di kepala, sengaja membuat ia menjadi buta biarpun biji matanya masih utuh dan kedua matanya masih melek.
Akan tetapi Sun Tek tidak mengeluh. Mendengar tangis Wi Liong, ia cepat menahan rasa sakit pada dadanya yang terpukul tadi, meraba-raba ke arah Wi Liong. Ketika mendapat kenyataan bahwa bocah itu tidak apa-apa dan sedikitpun tidak ada tanda-tanda bekas diganggu Beng Kun Cinjin, saking girangnya Sun Tek memeluki keponakannya itu dan menangis tanpa mengeluarkan air mata!
Jangankan baru dibikin terluka dan buta, biar dibunuh sekalipun asal keponakannya ini dibiarkan hidup, ia sudah merasa girang. Dengan meraba-raba akhirnya ia bisa mendapatkan Cheng-hoa-kiam kembali dan sambil memondong keponakannya.
Kwee Sun Tek, pendekar yang kini sudah menjadi buta itu berjalan terhuyung-huyung ke depan, meraba-raba jalan dengan ujung kaki, tangan kanan memondong Wi Liong, tangan kiri menggunakan pedang meraba-raba ke depan. Keadaannya sungguh mengenaskan sekali.
Bagaikan air bah meluap-luap, bala tentara Jengis Khan menyerbu ke barat. Seperti banjir dahsyat yang tak mungkin dapat terbendung lagi, bala tentara yang amat kuat ini menerjang ke jurusan barat. Segala perlawanan yang dijumpai mereka patahkan. Kerajaan kerajaan besar kecil yang dilalui, dengan halus atau keras ditundukkan.
Sin-kiang diserbu terus bergerak ke Iran dan Afganistan. Kota-kota besar indah di dunia barat seperti Bukhara, Samarkhand, Balkh dan lain lain digilas hancur. Puluhan, ratusan ribu orang dibunuh oleh bala tentara yang ganas dan kuat ini, ribuan rumah dibakar dan entah berapa banyak harta benda dirampas. Sebagian dari pada bala tentara yang kuat sekali ini membelok ke Iran utara dan menyerbu Rusia selatan melalui Pegunungan Kaukasia.
Memang bukan main hebatnya Jengis Khan memimpin bala tentaranya. Malah pasukan-pasukan Rusia di sebelah utara Laut Azov mereka hancur leburkan seperti tersebut di dalam sejarah yaitu pada tahun 1223.
Selain memiliki bala tentara yang kuat berdisiplin, juga Jengis Khan mempunyai panglima panglima perang yang pandai dan berpengalaman. Di antara panglima panglima perang ini, Beng Kun Cinjin sebagai koksu berjasa besar dalam penyerbuan ke barat. Apabila fihak lawan mengajukan panglima yang lihai, maka Beng Kun Cinjin maju dan mengalahkan panglima itu.
Berkat kepandaiannya yang luar biasa, sering kali Beng Kun Cinjin pulang ke kota raja untuk, menengok isterinya yang sudah melahirkan seorang anak laki-laki. Bukan main girangnya hati Beng Kun Cinjin, dan ia merasa hidupnya berbahagia sekali. Cintanya terhadap Kiu Hui Niang makin mendalam.
Namun di dalam kemuliaan dan kesenangannya, agaknya Beng Kun Cinjin sudah lupa akan pelajaran Agama Buddha yang jelas memperingatkan manusia bahwa segala kesenangan di dunia ini tidak kekal adanya. Segala sesuatu di alam dunia ini hanya bersifat sementara dan sebagian besar diselimuti oleh kepalsuan yang menina-bobokkan manusia yang dikuasai oleh nafsu.
Juga ia lupa bahwa manusia sendiri sudah terlalu terpengaruh oleh nafsu sehingga lenyap sifat murninya, tertutup oleh hawa nafsu, membuat manusia sendiri seperti palsu atau berkedok. Belum tentu apa yang nampak di luar itu mencerminkan keadaan di dalam.
Pada suatu hari Beng Kun Cinjin kembali mengambil cuti dan kembali ke kota raja. Baru dua bulan yang lalu ia pulang, maka kali ini pulangnya agak tak terduga. Ia sudah-merasa amat rindu kepada isteri dan anaknya. Karena ia melakukan perjalanan cepat, maka malam-malam ia terus berjalan dan tiba di kota raja ketika hari telah menjadi gelap.
Untuk membuat kedatangannya itu menjadi sebuah kejadian yang menggirangkan dan di luar dugaan isterinya, ia memasuki kota raja mempergunakan ilmunya. Tak seorangpun mengetahui karena ia melompat dari tembok kota. Juga ia pulang ke gedung mengambil jalan di atas genteng, berlari-larian seperti seekor kucing dengan hati sebesar gunung, sama sekali tidak tahu bahwa saat baginya telah tiba untuk ditinggalkan kebahagiaan menurut ukuran hati dan pikirannya.
Ketika ia tiba di atas gedungnya, ia melihat gedung itu sudah sunyi, tanda bahwa semua penghuninya sudah tidur. Memang waktu itu sudah hampir tengah malam. Akan tetapi telinganya yang amat tajam itu mendengar suara berbisik-bisik di dalam kamar bangunan kecil yang berada di taman bunga. Memang di dalam taman itu disediakan sebuah bangunan indah kecil tempat ia bersenang-senang dengan isterinya di waktu hawa di dalam gedung terlalu panas.
Beng Kun Cinjin terheran-heran. Bagaimana ada orang di dalam bangunan itu pada waktu tengah malam? la cepat melompat tanpa mengeluarkan suara dan menghampiri bangunan itu. Alangkah kaget dan herannya ketika ia mendengar suara isterinya tertawa perlahan, disusul oleh suara laki-laki.
"Hui Niang yang manis, apa kau masih mau membantah lagi? Lihat saja muka anakmu baik-baik, apanya yang mirip dengan koksu? Mata dan telinganya seperti mata kaisar, sedangkan hidung dan mulutnya seperti...."
"Seperti siapa?” terdengar Hui Niang mencela, terdengar gemas dan manja.
"Seperti... seperti hidung dan mulutku..." Laki-laki itu tertawa.
Dan Hui Niang mencela. "Bisa saja kau bicara! Hidung dan mulutmu tidak semanis hidung dan mulut anakku ini..."
"Masa? Coba kau lihat baik-baik, apakah tidak sama benar? Aku yakin bahwa anak ini adalah anak kaisar dan anakku, hanya namanya saja memakai nama koksu. Ha-ha-ha!" Laki laki itu tertawa dan terdengar Hui Niang tertawa pula dengan genit....